Anda di halaman 1dari 22

Mengenal Muasal Masyarakat Buton

II. Memperkenalkan Masyarakat Yang Dianggap Sebagai Suku Terasing


1. Suku Wakumbu-kumbu/Wawoana/Wambu-mbu
Suku Wakumbu-Kumbu/Wawoana/Wambu-Mbu adalah suku terasing yang mendiami salah satu
wilayah hutan Kapontori. Dulu suku Wambu-mbu menyatu dengan masyarakat Kapontori tetapi
mereka mempunyai daerah pemukiman tersendiri dipedalaman Kapontori. Mereka adalah
masyarakat biasa yang taat pada pemerintah Kesultanan Buton. Setiap musim panen mereka
membawa upeti kepada Sultan Buton berupa hasil kebun dan hasil ternak./
Budayawan mencerikan :
Wambu-mbu artinya dalam bahasa Buton adalah hilang, karena awal abad ke-20 pemerintah
Belanda dan Kesultanan Buton mengadakan kerjasama politik yang ditandai dengan seringnya
pemerintah Belanda datang ke Bau-Bau, sehingga mengakibatkan masyarakat suku Wambu-mbu
bertekad untuk memisahkan diri dari Kesultanan Buton dengan memohon kepada Allah agar
perkampungan mereka tidak dapat dilihat oleh orang lain. Kuasa Allah permohonan itu dikabulkan.
Akhirnya masyarakat Wakumbu-kumbu samalah dengan dengan suku penduduk asli. Persamaannya
adalah suku Wambu-mbu memluk agama Islam, mata uang sebagai alat tukar mengikuti mata uang
masyarakat Kapontori, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Pancana, akan tetapi mereka
juga mengetahui bahasa Indonesia.
III. Memperkenalkan Masyarakat Yang Dipindahkan Kedaerah Baru
1. Masyarakat Waopini
Kesultanan Buton ada yang disebut Kamboruboru Talu Palena, yakni Tanayilandu, Tapi-tapi dan
Kumbewaha. Kamboruboru adalah induk dari kaum bangsawan yang ada di Kesultanan Buton.
Setelah diresmikan kamboruboru di mufakati hanya berjumlah 40 rumah, jika kaum bangsawan yang
tinggal di induknya telah melebihi 40 rumah maka lainnya harus pindah ketempat lain yaitu menjadi
masyarakat Waopini .masyrakat Waopini tersebut mempelajari pegunungan antara Sampolawa dan
Batauga, makin lama penduduk Waopini makin banyak.
2. Masyarakat Inulu
Masyarakat Inulu adalah perpindahan masyarakat Kamboruboru dari Tanayilandu, jika kaum
bangsawan yang tinggal di Kamboruboru Tanayilandu sudah melebihi 40 rumah maka lainnya harus
dipindahkan menjadi masyarakat Inulu berlokasi di wilayah Kecamatan Mawasangka.
3. Masyarakat Kambolosua
Masyarakat Kambolosua di Kecamatan Kapontori terbentuk akibat penduduk dari Kamboruboru Tapi-
tapi, karena penduduk Kamboruboru Tapi-tapi dibatasi sampai 40 rumah. Jadi masyarakat
Kambolosua adalah masyarakat baru yang terdiri dari perpindahan bangsawan yang merupalan
kelebihan penduduk Tapi-tapi.
Mengulas Kedatangan Mia Patamiana : (2). Kedatangan
Armada Simalui
SIMALUI adalah seorang manusia sakti, adiknya bernama SIBAANA serta pembantu
utamannya SIJAWANGKATI. Simalui berasal dari daerah bambu, negeri Melayu Pariaman.
Mereka meninggalkan negeri asalnya pada 15 hari bulan Syaban tahun Hijriyah. Sama halnya
Sipanjonga, simalui juga membawa rombongan 40 kepala keluarga sebagai pengikutnya.
Berbulan-bulan mengarungi lautan dan daratan dengan bahtera yang namanya
“POPANGUA”. Diburitannya dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang brwarna kuning
hitam selang seling. Bendera itu dinamai “BUNCAHA”.
Pada akhir tahun 1236 M, rombongan Simalui terdampar disebelah timur laut negeri Buton.
Jadi hampir bersamaan kedatangan Sipanjonga dan rombongan. Daerah pendaratan armada
Simalui disebut ‘KAMARU”, bentengnya disebut “WONCO”. Setibanya Simalui dan
rombongannya membuat pemukiman dan benteng pertahanan. Dan juga membuat lubang
pengibaran bendera didalam areal benteng yang dibuat tadi.
Tidak berapa lama menempati daerah Kamaru setalah kehidupan sudah berjalan baik, Simalui
mengutus pembantu utamanya Sijawangkati untuk mencari daerah baru yang cocok untuk
pertanian.
Maka berangkatlah Sijawangkati dan pengikutnya menyusuri pantai daratan Buton. Tibalah
disuatu tempat yang bernama “WASUEMBA” (sekarang menjadi nama sebuah desa yang
diambil dari nama pengikut dari Sijawangkati) dan membuat perkampungan serta benteng
pertahanan yang bernama “KONCU” di Wabula (sekarang wilayah Kec. Pasarwajo Kab.
Buton). Sijawangkati juga memerintahkan pengikutnya untuk membuat lubang pengibaran
bendera leluhurnya.
Tidak berapa lama, kedua rombongan (Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui dan Sijawangkati)
yang telah menempati 4 wilayah yang berbeda satu sama lain sudah saling kenal, serta saling
mengunjungi tempat masing-masing maka dibuatlah suatu kesepakatan untuk mengadakan
musyawarah. Dalam musyawarah diputuskan, bahwa mereka akan membuat perkampungan
yang dinamai “BATU YIGANDANGI”. Dan yang menjadi ketua bandar perkampungan
adalah Sipanjonga. (yang sekarang perkampungan ini disebut “LELE MANGURA”,
diabadikan menjadi tempat makam pahlawan ksatria Buton dan Muna yakni “LAKI LA
PONTO alias MURHUM”, Raja Buton VI atau Sultan Buton I).
Dan mulai saat itulah Sipanjongan tinggal di Batu Yigandangi atau Lele Mangura tanpa
seorang pendamping atau seorang osteri sampai akhir hayatnya, karea memang dia tidak
pernah menikah.
Suatu saat ketua bandar Sipanjonga berada ditengah-tengah kerumunan orang banyak, sambil
berteriak dalam bahasa sendiri dengan ucapan “WELIA” artinya buatlah perkampungan.
Welia terdiri dari suku kata : WE yang artinya buatlah dan LIA artinya perkampungan.
Ucapan Sipanjonga ini dibadikan menjadi nama Kecamatan Wolio (sekarang berada di
wilayah Kota Bau-Bau).
Setelah bandar perkampungan selesai dibentuk dan mengakui keberadaan masing-masing
maka sejak saat itu para ksatria dibebaskan untuk mencari tempat bermukim secara
perorangan. Yang semula bermukim di Lambelu dan Kamaru sebagian pergi mengadu nasib
di negeri Muna. Begitu juga mereka yang bermukim di Tobe-Tobe telah pergi ke Tiworo dan
Pulau Kabaena. Dan merekalah yang pertama menghuni daerah-daerah tersebut.

Pulau Buton, Benteng dan Tasawuf


Benteng keratonPulau Buton di sebelah tenggara Sulawesi. Di antara Teluk Bone, Selat Muna, dan
Laut Banda. Dan, sekitar dua belas jam perjalanan laut dari kota Makassar. Rona budaya dan agama
masih membaur erat, memayungi kehidupan masyarakat. Benteng Keraton Wolio masih menjadi
simbol kejayaan Kesultanan Buton. Dan, jauh ke pelosok pulau, juga menghampar benteng-benteng
tua, yang menjadi bukti keberadaan, Negeri Seribu Benteng.
Pelabuhan Murhum adalah gerbang utama kota Bau-Bau, untuk menjangkau kota-kota lain di Pulau
Buton. Ratusan orang dari berbagai wilayah datang dan pergi dari tempat ini. Namun, sekitar seratus
dua puluh ribu penduduk kota ini, tidak pernah terusik. Mereka tetap larut dengan rutinitas sehari-
harinya. Pulau Buton menjadi menarik, tentu berkaitan dengan masa silam, ketika Kesultanan Buton
menjadi pengendali kekuasaan dan kedaulatan wilayah ini. Dan, catatan nyata yang membuktikan
kejayaan kesultanan itu, salah satunya adalah Benteng Keraton Wolio.
La Ode Hafilu adalah salah seorang keturunan salah seorang Sultan Buton. Ia kerap mendampingi
para peneliti, yang berniat mendapatkan data tentang Benteng Keraton Wolio, atau jejak-jejak
kejayaan Kesultanan Buton. Karena itu, ia pun mampu menuturkan keunikan Benteng Keraton Wolio
dari sisi arsitektur dan makna yang dikandungnya. Persisnya, berkaitan dengan ajaran tasawuf yang
dianut oleh Sultan-Sultan Buton. Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan
Buton ke-III, La Sangaji, pada abad ke-15. Dan, pembangunannya rampung pada masa
pemerintahan Sultan Buton ke-VI, La Buke, pada tahun 1634.
Bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelah selatan sebagai kepalanya, maka akan membentuk
huruf dal, huruf ke delapan pada alfabet bahasa arab. Atau, huruf terakhir nama Nabi Muhammad
salallahu ‘alaihi wassalam.
Pintu benteng, atau lawa, berjumlah 12, yang berarti jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa
juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam
‘alaihi salam. Bastion, atau kubu pengawasan, berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutnya
berjumlah 17, yang berarti jumlah rakaat shalat dalam sehari. Angka-angka pilihan, yang berkaitan
dengan nilai-nilai tasawuf, juga diperlihatkan Masjid Agung Keraton. Masjid ini memiliki 12 pintu,
memiliki 17 anak tangga, dan dua anak tangga tambahan di depannya. Makna dua anak tangga
adalah shalat sunnah.
Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar islam.
Kegiatan syiar Islam terjadi, persisnya setelah bentuk pemerintahan di wilayah ini berubah dari
kerajaan menjadi kesultanan, pada masa pemerintahan Raja Buton ke-VI, Lakilaponto, yang akhirnya
berganti nama menjadi, Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.
Selain pusat pemerintahan, bagian benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal ini memungkinkan,
karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400 ribu meter persegi, dan dikelilingi benteng
sepanjang 2740 meter. Tinggi tembok benteng adalah dua hingga delapan meter, dan lebarnya satu
hingga dua meter. Catatan lengkap tentang Benteng Keraton Wolio dan jejak-jejak Kejayaan
Kesultanan Buton, juga bisa didapat melalui manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah
Mujazi Mulki. Ia juga merupakan salah satu keturunan Sultan Buton. Bahkan, para leluhurnya pun
merupakan pencatat dan penyimpan manuskrip Kesultanan Buton. Seluruh manuskrip-manuskrip
kuno ini ditulis dengan huruf arab gundul. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa arab,
bahasa melayu, atau bahasa wolio.
Benteng Keraton Wolio juga masih menyimpan adat istiadat khas buton. Upacara akad-nikah diawali
dengan iring-iringan mempelai laki-laki, saat hendak mendatangi rumah mempelai perempuan.
Prosesi akad nikah, seperti juga dilakukan para leluhur mereka, dilaksanakan di dalam kamar
mempelai perempuan. Dan, di dalamnya hanya terdapat orangtua kedua mempelai, penghulu, dan
tetua adat. Seluruh prosesi dilakukan dalam bahasa wolio.
Benteng di pulau buton, ternyata bukan hanya Keraton Wolio. Namun, puluhan-puluhan benteng-
benteng lain, juga menyanggah Benteng Keraton Wolio dan mengawal Pulau Buton.
Hazirun Kudus juga merupakan salah seorang keturunan Sultan Buton. Ia juga dikenal sebagai
arkeolog lokal, yang memahami banyak tentang sebaran benteng-benteng di Pulau Buton dan jejak-
jejak kejayaan Kesultanan Buton.
Di kota Bau-Bau sendiri, paling tidak terdapat tujuh benteng. Dan, puluhan lainnya tersebar di
berbagai tempat, termasuk di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buton. Penjelasan ini membangun
dugaan kuat tentang konsep “benteng dalam kota”, seperti di negeri Jerman atau Perancis.
Perbedaan benteng di Pulau Buton dibandingkan kedua negeri itu, benteng-benteng di sini hanya
merupakan tumpukan batu kali, yang disatukan pasir dan kapur. Saat itu, memang tidak ada semen.
Sedangkan senjata andalannya adalah meriam buatan Portugis. Kekuatan lain adalah para prajurit
kesultanan didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sehingga, mereka pun merasa yakin, mampu
menghadapi siapapun, yang berniat merampas kedaulatan Kesultanan Buton.
Benteng Sara Wolio, yang menjadi penyangga Benteng Keraton Wolio, bisa menjadi pembuktian
awal Pulau Buton sebagai Negeri Seribu Benteng. Meski kerusakan mewarnai sebagian besar
bangunan, namun tidak menutup ketegaran tembok-temboknya. Di bagian dalam, benteng tua ini
hanya menyimpan rumput ilalang dan makam tua. Arsitektur bangunannya sendiri jauh lebih
sederhana dibandingkan Benteng Keraton Wolio.
Dilihat dari atas, bentuknya adalah hampir persegi panjang, dengan empat bastion atau kubu
pengawasan di tiap sudutnya. Menurut Rahmat Wong, arkeolog yang sering melakukan penelitian
tentang benteng, hampir seluruh benteng di Pulau Buton berbentuk mirip Benteng Sara Wolio. Tidak
tercapainya bentuk persegi panjang, karena bentuk benteng disesuaikan dengan kontur tanah di
bawahnya. Sedangkan, bahan bangunan yang digunakan sama dengan benteng keraton wolio, yakni
dari batu kali serta campuran pasir dan kapur.
Benteng Sara Wolio ternyata terdiri dari dua bangunan. Dan, keduanya memiliki pintu penghubung.
Seperti juga Benteng Sara Wolio pertama, Benteng Sara Wolio kedua pun tidak lagi terawat. Cukup
sulit untuk mendapati pintu, atau lawa, di benteng ini. Sedangkan di bagian dalam benteng, lagi-lagi
hanya memperlihatkan rumput ilalang.
Hanya sekitar satu kilometer dari Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau juga masih menyimpan
ketegaran Benteng Baadia. Satu dari puluhan benteng di Negeri Seribu Benteng. Bentuknya mirip
Benteng Sara Wolio. Nasibnya pun, persis seperti benteng-benteng penyangga Benteng Keraton
Wolio, tidak terawat dan seakan dibiarkan hancur. Padahal, seperti juga Benteng Keraton Wolio,
benteng-benteng kecil ini pun, bagian dari Kejayaan Kesultanan Buton. Lebih jauh lagi, merupakan
fakta sebuah peradaban luhur di masa silam, seperti yang biasa dipaparkan oleh para sesepuh dalam
syair-syair kabanti. Yakni, sebuah kesultanan yang menjunjung tinggi ajaran tasawuf. Namun, mereka
pun cerdas membangun tata kota, yang bisa terhindar dari ancaman negeri-negeri yang serakah.
Inilah Negeri Seribu Benteng. [Screening: Program POTRET SCTV 30 Juni 2007]
Yinda yindamo arata somanamo karo (korbankan harta demi keselamatan diri)
Yinda yindamo karo somanamo lipu
(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)


Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)


La Mutadi dan istrinya, masih menyenandungkan syair-syair kabanti di lingkungan rumahnya, di dekat
kawasan Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau, Pulau Buton. Syair kabanti adalah salah satu bentuk
tradisi lisan di Pulau Buton, yang berisikan nasihat dan ajaran kehidupan. Makna lebih dalam dari
syair-syair berbahasa wolio ini, umumnya adalah petikan ajaran tasawuf, yang diwariskan para
leluhur warga Pulau Buton.
Pulau Buton di masa silam adalah kerajaan Hindu, dengan raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa.
Saat itu, Pulau Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti,
nama buton tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca.
Sejarah menggulirkan cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil mengislamkan Raja ke-
VI Buton, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, dan segenap keluarganya. Namun,
ia juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan.
Bahkan, sang raja pun berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.
La Ode Muchir Raaziki adalah ahli tasawuf dan juga mantan Imamu Masjid Agung Benteng Keraton
Wolio. Ia memahami sejarah dan perkembangan ajaran tasawuf dari para leluhurnya. Sebagai Imamu
Masjid Agung Benteng Keraton Wolio, dulu ia seakan menjadi pengawal kehidupan jasmani dan
rohani di lingkungan Benteng Keraton Wolio.
Pelaksanaan shalat jum’at adalah momen yang mempertemukan para syara agama, atau pengurus
agama, di lingkungan Benteng Keraton Wolio dengan jamaah masjid, yang pastinya warga di
lingkungan benteng sendiri. Dulu, masjid menjadi tempat bertemunya sultan dan perangkat adat
dengan rakyat. Maka di bagian depan masjid terdapat dua ruang, satu untuk sultan dan satu lagu
untuk sultan batin, atau lakina agama. Setelah Kesultanan Buton berakhir, masjid hanya memiliki
lakina agama, imamu masjid, dan para pengurus lainnya.
Panggilan ketiga bedug telah terdengar. Maka, waktu shalat jum’at telah tiba. Di bale depan masjid,
Imamu Masjid masih berzikir, untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahahidup. Tata cara seperti
ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang silam. Imamu masjid benar-benar mempersiapkan diri
dan batinnya, sebelum ia berhadapan dengan jamaahnya.
Perkawinan agama dan budaya melahirkan adat-istiadat tersendiri, yakni adat-istiadat buton. Agama
menjadi rohani yang mengisi kehidupan warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya.
Upacara akad nikah adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh rangkaian
upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar 100 bahasa lokal. Namun,
pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika
mereka bermohon kepada Yang Mahaperkasa.
Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan
Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh
Sultan Dayanu Ikhsanuddin.
Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah
Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio. Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul
disampaikan berbagai ajaran tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu. Bahasa
melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang lama bermukim di
Johor,Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau Buton, umumnya berasal dari negeri jiran itu.
Meski demikian, harus diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton
yang paling fenomenal. Karena, Kesultanan Buton telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai
pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat, seperti yang kini ramai
diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru di derat yang lebih tinggi, yakni tarekat.
Saat pelaksanaan shalat jum’at semakin dekat. Setelah Imamu Masjid melaksanakan shalat tahiyatul
masjid, ia pun langsung memasuki mihrab. Maka, shalat jum’at pun segera dimulai. Khutbah salah
seorang syara agama merupakan momen pembekalan batin. Warga pulau buton percaya, doa dan
harapan yang disampaikan sang khatib akan membuahkan keselamatan bagi para jamaah. Karena,
setiap musibah yang dialami oleh warga di minggu depan, biasanya akan menjadi kesalahan sang
khatib.
Pemahaman itu telah mereka yakini sejak di masa kesultanan berjaya. Karena itu, seorang sultan
pun bukan lagi sekedar pemimpin pemerintahan, tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang
Maharaja. Dan, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi sultan dan
rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun kehidupan yang sangat demokratis dan
bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih
karena akhlaknya oleh anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar
martabat tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan bila terbukti ia melakukan
kesalahan.
Kejayaan kesultanan buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah
catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung tinggi
masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi.
Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)


Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)


Yinda yindamo syara somanamo agama.
(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)
Semoga saja, tidak hanya menjadi manuskrip kuno di rak buku Muzaji Mulki. Karena, nilah Negeri
Martabat Tujuh, negeri yang mengagungkan ajaran tasawuf dan para khalifatulnya.
Menguak Sejarah Asal-Usul Si Batara
Di kerajaan Buton nama Si Batara sangat melekat sekali dalam mengukir sejarah kerajaan Buton. Si
Batara adalah suami dari Raja Wa Kaa Kaa. Sedangkan Raja Wa Kaa Kaa adalah seorang raja
wanita yang konon keturunan dari China yang pernah memerintah sebagai raja pertama Buton pada
tahun 1332. Disebutkan pula Si Batara adalah putra bangasawan Majapahit yang saat itu berada di
Buton.
Saya melakukan penelitian ini dengan mengunakan dan membaca beberapa literatur online yang ada
di internet dengan bantuan Google.
Siapakah sebenarnya Si Batara?
Awalnya sangat sulit menemukan literatur tentang kata kunci “Si Batara” atau “Sibatara” dengan
menggunakan mesin pencari Google. Karena hanya sedikit informasi yang didapatkan dan informasi
terebut hanya itu-itu saja. Sampai pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa nama Si Batara itu
adalah hanya pengucapan dialek untuk kata “Sri Bathara”. Nah disini mulai sedikit ada titik cerah
tentang Sibatara. Jadi sebenarnya nama Sibatara itu adalah pengucapan dialek orang Buton saja
untuk menyebut Sri Bathara.
Disebutkan pula dalam sejarah Buton bahwa Sibatara adalah putra bangsawan Majapahit. Saya
mulai juga membaca-baca beberapa literatur tentang sejarah kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit
didirikan oleh Raden Wijaya sebagai keturunan dari Kerajaan Singasari yang telah hancur. Raden
Wijaya dilantik menjadi Raja Majapahit yang pertama pada tanggal 12 November 1293. Pada saat itu
Raden Wijaya bergelar Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden
Wijaya menikah dengan Dara Petak. Dara Petak adalah seorang putri dari kerajaan Kerajaan
Dharmasraya di Sumatera. Sebenarnya istri Raden Wijaya ini masih mempunyai tiga istri yang lain,
tetapi Dara Petak ini dijadikan istri yang dituakan daripada istri-istri yang lain dengan sebutan gelar
Stri Tinuheng Pura (istri yang dituakan di istana). Selain itu Dara Petak mempunyai gelar Sri
Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari.
Dari pernikahan Raden Wijaya dengan Dara Petak ini kemudian lahir seorang putra yang bernama
Jayanegara. Setelah Raden Wijaya mangkat/wafat pada tahun 1309. Maka kelanjutan tahta
Majapahit jatuh ke tangan Jayanegara. Saat menjadi Raja Majapahit yang kedua, Jayanegara
mempunyai gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pada masa
pemerintahan Jayanegara ini, kerajaan Majapahit banyak mengalami pemberontakan dari berbagai
wilayah. Pemberontakan itu dilakukan karena rasa tidak puas dengan pengangkatan Jayanegara
menjadi Raja Majapahit, karena Jayanegara dianggap bukan “asli putra daerah” dikarenakan ibu
Jayanegara adalah orang Sumatera. Jadi pada masa pemerintahan Jayanegara ini hanya dipenuhi
gejolak pemberontakan.
Pemberontakan pada masa Jayanegara antara lain:
- pemberontakan Ranggalawe
- pemberontakan Lembu Sora
- pemberontakan Juru Demung (1313)
- pemberontakan Gajah Biru (1314)
- pemberontakan Mandana dan Pawagal (1316)
- pemberontakan Nambi (1316)
- pemberontakan Ra Semi (1316)
- pemberontakan Ra Kuti (1319)
Dari sekian banyak pemberontakan diatas, pemberontakan yang paling besar adalah pemberontakan
Ra Kuti pada tahun 1319 yang berhasil menguasai istana kotaraja (ibukota) Majapahit berhasil
direbut kaum pemberontak. Sehingga memaksa Jayanegara bersama keluarganya mengungsi
meninggalkan istana. Dalam pengungsiannya tersebut Jayanegara dikawal oleh pasukan
Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada. Karena waktu itu Gajah Mada masih menjabat sebagai
pimpinan pasukan Bhayangkari. Namum tidak beberapa lama ibukota Majapahit berhasil direbut
kembali oleh pasukan Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada. Serta pemberontak Ra Kuti
berhasil ditaklukkan dan kerajaan Majapahit berhasil direbut kembali oleh Jayanegara.
Setelah Jayanegara kembali duduk sebagai raja Majapahit dan kembali memegang kekuasaan,
hubungan Majapahit dengan China (saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan / Mongol) sudah mulai
membaik. Hal ini dibuktikan dengan dikirimnya Adiytawarman untuk menjadi duta Majapahit
untukChina pada tahun 1325.
Meskipun Jayanegara telah memegang kembali kepemimpinan Majapahit setelah pemberontakan Ra
Kuti, tetapi dalam kenyataannya masih banyak sisa-sisa kelompok masyarakat yang belum puas dan
sakit hati pada Jayanegara. Hingga akhirnya Jayanegara jatuh sakit dan didatangkan seorang tabib
bernama Ra Tanca. Sebenarnnya Ra Tanca juga masih mempunyai dendam pada Jayanegara
sehingga dia berpura-pura akan mengobati Jayanegara. Saat prosesi pengobatan Jayanegara
tersebut diawasi oleh Gajah Mada. Karena saat itu Gajah Mada menjadi pengawal kesayangan
Jayanegara. Tapi dengan akal liciknya Ra Tanca berhasil membunuh Jayanegara saat berpura-pura
mengobati Jayanegara. Mengetahui rajanya terbunuh, langsung saja Gajah Mada segera
menghukum mati Ra Tanca saat itu juga. Dari kejadian pembunuhan Jayanegara ini istana Majapahit
menjadi heboh. Keadaan kerajaan Majapahit saat itu menjadi guncang. Bisa kita bayangkan juga ada
pembuhuhan raja maka keadaan pemberintahan dan kerajaan menjadi guncang.
Banyak disebutkan di literatur bahwa Jayanegara tidak memiliki putra mahkota untuk dijadikan
penggantinya menjadi Raja Mahapahit. Karena itu ditunjuklah Dyah Gitarja yaitu adik ipar Jayanegara
untuk menjadi raja Majapahit berikutnya. Dyah Gitarja ini kemudian bergelar Sri
Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani dan mulai memerintah Majapahit pada tahun
1329.
Kalau kita melihat literatur bahwa Jayanegara saat terbunuh tersebut belum sempat menggangkat
putra mahkota yang nantinya akan menggantikannya. Tapi hal ini bukan berarti Jayanegara sampai
akhir hayatnya belum memiliki istri. Karena saat terbunuh tersebut usia Jayanegara adalah 34 tahun.
Jika kita berpikir secara logika pada saat usia tersebut pastilah Jayanegara telah mempunyai istri
(selir), apalagi mengingat posisi Jayanegara adalah sebagai raja Majapahit. Sudah pasti Jayanegara
memiliki istri tetapi belum sempat ditetapkan sebagai permaisuri atau istri utama, yang nantinya
keturunannya bernah menjadi putra mahkota yang akan berhak menggantikan Jayanegara.
Mulai disinilah kita membandingkan beberapa literatur Buton ditemukan bahwa Sibatara atau Sri
Bathara adalah putra dari Jayanegara. Bisa diambil kesimpulan bahwa pada saat Jayanegara
terbunuh, istri (selir) Jayanegara yang merasa terancam kedudukannya di istana Majapahit. Salah
seorang selir tersebut saat terjadi gejolak di kerajaan Majapahit tersebut dia melarikan diri. Istri
Jayanegara (selir) itulah ibu dari Sibatara atau Sri Bathara. Kemungkinan besar saat terjadi
keguncangan pemerintahan Majapahit itu dia melarikan diri sampai di pulau Buton dengan membawa
putranya yang bernama Sri Bathara.
Sesampainya di pulau Buton inilah nantinya Sri Bathara menikah dengan Wa Kaa Kaa. Wa Kaa Kaa
adalah raja pertama kerajaan Buton yang memerintah mulai tahun 1332. Dari pernikahan antara Raja
Wa Kaa Kaa dengan Sri Bathara ini kemudian lahir seorang putri bernama Bulawambona.
Bulawambona nantinya menggantikan Wa Kaa Kaa menjadi penerus kerajaan Buton.
Daftar Raja Dan Sultan Yang Pernah Berkuasa Di Buton
Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.
Raja-raja:
1. Raja Putri Wa Kaa Kaa
2. Raja Putri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Raja Mulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).

Mengenal Sosok Sultan Dayanu Ikhsanuddin


Nama : La Elangi
Gelar Kesultanan : Sultan Dayanu Ikhsanuddin
Nama Lain : Mobolina Pauna
Masa Pemerintahan : 1578 – 1615 Masehi
Wafat : Tahun 1615
Pusara : Tanailandu dalam Benteng Keraton
Keturunan : Tanailandu I

A. Silsilah
Garis Keturunan Sultan Dayanu Ikhsanuddin (Laelangi) yakni :
1. Wa Kaa Kaa (Raja Buton I) bersuamikan Sibatara, beranakkan Bulawambona.
2. Bulawambona (Raja Buton II) bersuamikan La Baluwu, beranakkan Bataraguru.
3. Bataraguru (Raja Buton III) beristrikan Waeluncungi, beranakkan Kiyjula.
4. Kiyjula beristrikan Wa Randea, beranakkan Watubapala.
5. Watubapala bersuamikan Sugimanuru (Raja Muna III), beranakkan Murhum.
6. Murhum (Raja Buton VI/Sultan Buton I) beristrikan Wa Sameka, beranakkan Paramasuni.
7. Paramasuni bersuamikan La Siridatu, beranakkan Laelangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin).
Anak dari Laelangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin) diantaranya :
1. Pernikahannya dengan Darmastahi (anak dari Sangia Mekengkuna) :
- La Balawo atau Sangia Watole (Sultan V)
- La Cila atau Sangia Gogoli Liwuto (Sultan VIII)
- La Ode Ode atau Sangia I Eya (Raja Kulisusu)
2. Pernikahannya dengan Nyai Hiba (anak dari Sayid Abdul Wahid dengan Wa Ode Solo) :
- Sangia La Balawa (La Sinuru)
- Sangia Mbela-bela
- La Tumpamani atau Sangia I Kaesabu (Sultan XII)
B. Riwayat Singkat
Perlu diketahui bahwa sebelum menjabat seorang Sultan Laelangi pernah menduduki jabatan sapati
pada masa Sultan Buton III. Syara Buton menunjuk laelangi menjadi Sultan Buton IV, tetapi Sapati
Laelangi menganjurkan agar pengangkatan sultan dilakukan melalui proses pemilihan. Pemilihan
kemudian dilakukan dan jatuh juga kepada Sapati Laelangi. Dinobatkanlah Laelangi sebagai Sultan
Buton IV.
Suatu sejarah besar bagi struktur pemerintahan dan ketatanegaraan di Kesultanan Buton pada saat
pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin dengan datangnya Syarif Muhammad dari negeri Arab,
perundang-undangan dan ketatanegaraan Kesultanan Buton berdasarkan syariat-syariat agama
islam yang dinamakan “Martabat Tujuh”.
C. Struktur Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin ada beberapa hal yang menjadi landasan
dalam menjalankan pemerintahan diantaranya adalah :
1. Perundangan-undangan dan ketatanegaraan yang diterapkan pada masa kesultanan sebelumnya
harus dilakukan perombakan dan perbaikan. Termasuk di dalamnya ketentuan dalam pengangkatan
sultan ataupun pemegang jabatan kesultanan harus melalui pemilihan dan bukan berdasarakan garis
keturunan yang dalam bahasa Buton disebut “Pulanga”. Hal ini dimaksudkan agar setiap pemegang
jabatan dalam Kesultanan Buton betul-betul adalah orang yang memiliki kapasitas dan kemampuan
dan tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
Perbaikan perekonomian. Mengingat pada masa pemerintahan Sultan III terjadi kekeringan yang
cukup panjang yang menyebabkan perekonomian memburuk, untuk itu perlu difokuskan pada sektor
pertanian dan keuangan termasuk menciptakan alat tukar.
2. Penciptaan keamanan sangat urgen, baik dari dalam ataupun dari luar.
Dari hal tersebut maka secara garis besar sasaran kerja Sultan Dayanu Ikhsanuddin adalah :
1. Membuat perundangan dan perbaikan ketatanegaraan termasuk pembentukan pemerintahan
daerah (Sarana Wolio).
2. Mengatur pembagian wilayah perekonomian dan menciptakan pemberlakuan aturan alat tukar.
3. Peningkatan keamanan termasuk pembuatan Benteng Keraton.
Dalam masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin telah berhasil disusun kemudian diundangkan
Undang-Undang Kerajaan yang dinamakan “Martabat Tujuh”. Diterangkan disini bahwa dalam
penyusunannya Dayanu Ikhsanuddin mendapat bantuan dan nasihat-nasihat sepanjang dalam
hubungannya dengan hukum Islam dari Syarif Muhammad keturuan Arab yang berada di Buton
dalam rangka penyiaran dan pengembangan agama Islam. Kemudian setelah selesai, dimuka
sebuah rapat raksasa yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat, bertempat di Daoana Bawo.
Undang-Undang Wolio tersebut diundangkan dan diumumkan oleh Sapati La Singga di tengah-
tengah orang di pasar dengan kata-kata pengundangannya sebagai sumpahan :
Asodo mpuye, amaropu amasoka artinya demam malaria, hancur lebur dan binasa
alaintobe teemo boli aseye artinya mati mendadak dan tidak sampai
ikiwaluna ipolangona malingu artinya kepalanya ditikar dibatanlnya siapa saja
mobaliyya atawa arangania artinya yang merubah atau menambahnya
teemo duka atawa apakuraia artinya dan juga atau mengurangi
bari-baria syara idihangi mami artinya segala ketentuan yang kami tetapkan
kesemuanya ini terdapat dalam buku “ajonga indamalusa” karangan Haji Abdul Ganiyu (Kenepulu
Bula).
Secara garis besar pada pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin membagi 3 struktur pemerintahan
:
1. Pemerintah Pusat atau Pangka, berjumlah 16 orang.
2. Pemerintah Daerah atau Sarana Wolio berjumlah 84 orang.
3. Pemerintah Agama atau Sarana Hukumu, berjumlah 14 orang
Jumlah ini disesuaikan dengan jumlah surat dalam Al’ Quran dan merekalah yang memiliki hak dalam
syara Buton dalam pengambilan keputusan dari pemilihan.
Sesudah pengundangan Undang-Undang Kerajaan tersebut, Dayanu Ikhsanuddin mengadakan
penertiban dan perbaikan untuk kesempurnaan aparat kesultanaannya dengan menghapuskan
jabatan “Tunggu Weti”, karena tidak sesuai lagi dengan keadaan dan sebagai penggantinya diadakan
jabatan baru dengan gelar Bontogena (Bontogena, dalam bahasa Buton terdiri dari kata “Bonto” yang
berarti Menteri dan “Ogena” berarti besar). Dengan adanya Menteri Besar maka dengan sendirinya
akan ada Menteri Kecil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menteri besar juga mengepalai
kesemua menteri kerajaan.
Sebagai Bontogena yang pertama dipercayakan kepada “La Laja” (Kosokana) dan “Umane Ogena”
(Bulumuncu), sebagai Bontogena Matanayo dan Sukanayo. Dapat ditambahkan bahwa disamping
karena tidak sesuai dengan keadaan, penghapusan Tunggu Weti dimaksudkan sebagai peningkatan
hukum adat utamanya dibidang keuangan kerajaan yang memerlukan pengawasan yang lebih cermat
lagi dengan tugas yang lebih teratur.
D. Pertahanan
Dibidang pertahanan juga tidak ketinggalan diadakan peningkatan dan diadakan pula jabatan baru
dengan gelar “Kapitaraja” yang juga disebut “Kapitalao” yang ditunjuk sebagai kepala ketentaraan.
Orang yang pertama menduduki jabatan tersebut tidak diketahui lagi dan jabatan ini terdiri atas
Kapitalao Matanayo dan Kapitalao Sukanayo. Gelar kapitaraja mempunyai beban tugas yakni
pertahanan didarat dan dilaut. (Kapitalao berasal dari suku kata “Kapitan” dan “Laut”), pada masa
Sapati Baluwu La Arafani disebut dengan nama “Jogugu” (Syair Kanturu Mohelana), sedangkan
dalam buku Ligvoet hal. 68 oleh speelman disebut dengan nama “Jipalau”.
Dari segi lainnya, Dayanu Ikhsanuddin sepakat bersama kedua sepupunya yaitu La Singga Sapati
dan La Bula Kenepulu, yang direstui oleh pembesar kesultanan yang membagi kaum bangsawan
dalam tiga aliran atau golongan yang disebut “Kamboru-Boru Talupalena”. Dalam buku syair Haji
Abdul Ganiyu ketiga kaum bangsawan yang dimaksud adalah mereka sendiri bertiga, memberikan
nama kesatuan Laelangi, La Singga dan La Bula dengan sebutan “Lalaki Talu Miana” artinya “Tiga
Orang Bangsawan”.
Ketiga bangsawan Kamboru-boru Talupalena tersebut :
1. Laelangi berasal dari keturunan golongan Tanailandu.
2. La Singga berasal dari keturanan golongan Tapi-Tapi.
3. La Bula berasal dari keturunan golongan Kumbewaha.
Kamboru-boru Talupalena artinya Tiga batang kayu yang diikat pada ujungnya kemudian dibuka dan
di ujungnya ditempatkan nyiru atau lain sesamanya. Jadi mengandung arti kiasan dimana kaum
bangsawan yang tiga itu menjadi pendukung dan pembela karena keakhliannya, karena harta
bendanya, keberaniannya terhadap rakyat yang berada dibawah perlindungannya.
Adapun nama yang diberikan pada ketiga aliran kaum bangsawan itu adalah menurut nama tempat
tinggal dari masing-masing pembentuk kamboru-boru. Itulah sebabnya sehingga Sapati La Singga
dinamakan dengan “Sangia I Tapi-Tapi”, La Bula dengan “Laki Mancuana I Kumbewaha” kemudian
Laelangi dengan “Sangia I Tanalandu”.
E. Wafat
Laelangi meninggalkan kedudukan karena berpulang ke Rahmatullah pada tahun kira-kira 1615,
setelah kurang lebih 34 tahun dalam kedudukannya sebagai Sultan. Jenazahnya dikedudukan di
Tanailandu dalam benteng keraton dan setelah wafatnya di beri nama pengganti “Mobolina Pauna”
artinya yang meninggalkan payung kebesarannya atau kemuliaannya.
Siapa Penerus Sultan Buton?
Jumat malam (5/12), acara Kick Andy di Metro TV begitu menarik dan humanis. Kemasannpun
semakin menggugah rasa nasionalisme penontonnya termasuk saya terhadap republik ini. Bukan
karena tokoh yang dihadirkan berasal dari kalangan nasionalis, tetapi justru Raja dan para Sultan di
nusantara yang masih eksis keberadaannya yang tetap kukuh dan satu suara untuk tetap kokoh
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Awalnya, saya berpikir kehadiran para raja dan sultan ini bakal menambah pundi-pundi egoisme
suatu daerah yang bisa meruntuhkan semangat ber-NKRI, tetapi ternyata tidak. Raja dan para Sultan
yang hadir, seperti Pangeran Edwar Bernong (Raja Lampung), Tengku Lamantjitji (Sultan Deli
Serdang, yang umurnya masih 10 tahun), Andi Kumala Injo ( Putra Mahkota Kerajaan Gowa) dan
Sultan Mahmud Badaruddin (Raja Palembang Darussalam) paham dan tahu, kalau mereka hanya
pemimpin informal masyarakat, yang bukan zamannya lagi mengembangkan ‘egoisme’ kedaerahan.
Mereka juga menyadari, bahwa mengembangkan adat budaya yang tumbuh di masyarakat adalah
bagian dari tugas mereka, sehingga peran Raja dan Sultan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
untuk ‘membesarkan’ Indonesia tercinta.
Bahkan saya sangat terkesima, ketika pertanyaan Bung Andy Noya kepada Pangeran Edwar untuk
menjelaskan, kenapa para bangsawan itu disebut berdarah biru? Jawabannya simple dan sangat
logis. “Berdarah biru….sama kalau diibaratkan dengan Langit yang semakin tinggi semakin biru, Air
laut yang sangat dangkal juga akan membiru, begitupun air yang sangat jernih juga akan terlihat biru”
begitu Pangeran Edward menjawab penuh makna.
Demikian pula pernyataan Sultan Mahmud Badaruddin yang mengatakan sebelum ia dinobatkan
sebagai Raja Palembang, ia pernah menjadi seorang pemain drama, bahkan penyanyi di bar-bar.
Halnya dengan Tengku Lamatjitji yang masih sangat kekanak-kanakan menjawab jika pekerjaan
sehari-harinya hanya bermain sebagaimana layaknya anak-anak lain seusianya. Demikian pula Andi
Kumala Idjo yang status Rajanya ‘harus’ ia bisa memposisikan diri, karena beliau juga berstatus
sebagai PNS di Kabupaten Gowa.
Intinya, tak ada egoisme berlebihan, mereka sadar, bahwa mereka kini hidup di alam nyata bernama
Republik Indonesia, dimana peran mereka hanya sebagai pemimpin informal di masyarakat.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya bertanya dalam hati, kenapa Sultan Buton tidak
dihadirkan di acara itu? Tentu pertanyaan itu diilhami, karena saya sadar jika hari ini saya tinggal di
sebuah negeri bernama Kota Bau-Bau yang punya sejarah besar sebagai warisan dari Kesultanan
Buton masa lalu. Meski hanya warisan, tetapi tatanan adat dan budayanya terbina lestari, termasuk
bukti-bukti kejayaan itu. Sungguh anugerah yang tak ternilai dari Yang Maha Kuasa.
Lalu kemudian, muncul pertanyaan, apakah karena belum ada Sultan Buton yang sah dan diakui
masyarakat Buton di era modern ini? Kalau ada, siapakah sebenarnya pewaris Sultan Buton, yang
kemudian menjadi pemimpin Informal masyarakat Buton secara menyeluruh?
Memang, dalam beberapa acara formal pertemuan Raja-raja dan Sultan se-Nusantara seperti
Festival Keraton Nusantara, nama Drs H. La Ode Moch. Halaka Manarfa (Wakil Walikota Bau-Bau
saat ini) atau kakanda beliau dr. H. La Ode Izat Manarfa, M.Sc sering mendapat kepercayaan
sebagai ‘Sultan Buton’, tetapi saya yakin kalau beliau berdua, tidak terlalu ingin disebut sebagai
Sultan Buton, jika belum dilegitimasi oleh lembaga adat Buton itu sendiri.
Karena mereka sadar demokratisasi telah terbangun di negeri Buton sejak zaman dahulu, dimana
Sultan harus diangkat melalui proses panjang beradasarkan pemilihan dan sejumlah syarat khusus
yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan lembaga adat, lembaga agama serta lembaga lainnya
yang diakui dalam tataran masyarakat Buton itu sendiri. Padahal di satu sisi, orang Buton mengakui
beliau adalah titisan tulen Sultan-Sultan Buton yang pernah memerintah secara sah dan diakui oleh
semua elemen di negeri ini.
Pertanyaan berikutnya. Dimanakah lembaga-lembaga itu? Siapakah orangya? Jika semuanya masih
eksis, kenapa tidak ada pemberian kepercayaan seseorang untuk menjadi Sultan Buton? Haruskah
orang Buton membiarkan terjadinya kekosongan pemimpin informal?
Benar. Tanpa kehadiran seorang Sultan Buton dan lembaga adat yang sah secara yuridis, kebesaran
warisan Budaya dan nama besar Buton di blantika Nusantara bisa saja terpelihara. Tetapi alangkah
baiknya jika kita semua sepakat untuk kembali bersatu dalam mengembalikan ‘roh’ kesultanan Buton
itu sendiri. Alangkah terayominya masyarakat Buton secara universal, jika ia memiliki pemimpin
informal disamping pemimpin-pemimpin formal yang ada saat ini.
Pemikiran sederhananya sangat simple. Dua atau tiga orang yang berpikir bagaimana mengayomi
negeri ini, masih lebih baik jika yang berpikir itu hanya satu orang. Sebagai anak negeri, impian
hadirnya pemimpin Informal itu tentu sangat dirindukan, bukan sebagai pemimpin tandingan di
pemerintahan, tetapi pemimpin informal ‘bangsa’ Buton secara menyeluruh yang memelihara adat
budaya, dalam bingkai NKRI. Siapa dia? (**)
Dua Al Qur’an Kuno di Masa Kesultanan Buton
1. QURAN KUNO – TULISAN TANGAN H. Yi PADA ATAU H.M. ISMAIL AL BUTUNI
Qur’an ini ditulis tangan oleh H. Yi Pada setelah ia kembali dari tanah suci Mekah pada Medio Abad
XVII. Yang mendorongnya, karena pada waktu itu janganankan di Buton di Tanamulia sendiri (Pusat
Islam Pasai) Qur’an sangat langkah. H. Yi Pada disebut orang, karena beliau telah banyak berguru
tentang Islam baik, Fiqih, Ushuluddin maupun Tassauf. Pada dalam bahasa Wolio dapat bearti telah
tamat. Disamping ia berguru di Buton juga di Aceh (Nurudin Ar Raniri).
Di tanah suci ia tinggal bertahun-tahun lamanya. Ia pernah ke Yaman, Baghdad, Syiriah dan Baitul
Muqadas (Yerussalem). Di Madinah berguru pada Imlah Ibrahim Al Quruni tentang Tarekat Safariah,
demikian juga dengan Tarekat Qadiriah, walaupun beliu seorang Sulfi tetapi ia menganut aliran Suni.
Sekembalinya di Buton, karena Jabatan yang diembannya sebagai Moji di Mesjid Agung, yang
mempunyai wilayah kerja diseluruh Kesultanan Buton.
Beliau dengan tekunnya mengunjungi seluruh wilayah Kesultanan Buton untuk menyiarkan Islam,
melalui di daratan Leiwai ia juga beberapa kali ke negeri itu dalam rangka pengembangan Islam.H.
M. Ismail wafat di Keraton Wolio Buton pada awal Abad XVIII dan di makamkan di kampung Dete.
2. QUR’AN KUNO WAKUNTERE.
Penulisnya adalah Moji Kalau. Ia ini sesungguhnya berdarah Arab namanya adalah Abdullah. Ia
berada di Buton pada awal abad XVII dimasa Pemerintahan Dayanu Ikhsanuddin.
Sebelum ia tinggal di Kalu Toa (Selayar) dan beliau dibesarkan di Negri Pasai (Aceh). Sebagai
seorang ulama / Pengemban Islam, ketika ia masih berada di Pasri (Aceh) ia menyalin sebuah Al
Qur’an yang menjadi pedoman bagi setiap ulama. Mojina Kalau juga seorang beraliran Suni dan
setibanya di Buton, diterima baik oleh Dayanu Ikhsanuddin (Sultan Ke- IV ).
Ia sangat disayangi oleh Sultan disebabkan anaknya yang bernama La Cila meninggal dunia waktu
kecilnya. Tetapi berkat Do’a Abdullah La Cila ini dapat hidup kembali, yang akhirnya juga menjadi
Sultan Buton ke – VIII.
Mojina Kalau bersama-sama H. Yi Pada diangkat menjadi Moji pada Mesjid Agung, dalam kedudukan
yang terhormat, juga sebagai Bisa Patamiana. Di dalam setiap aktivitas keagamaan, mojina kalau
senantiasa membawa kitab Qur’an tulisan tangannya. Karena ini selalu dijunjung oleh seorang gadis
kecil yang bernama Wakuntere. Oleh karena itu Quran Mojina Kalau ini lebih terkenal dengan nama
Wakuntere sesuai dengan nama anak yang menjunjungnya dahulu. Mengingat Qur’an ini disalain di
negeri Pasai, penyalinnya maka berarti ia ditulis pada abad XVI. Kertasnya sudah sangat tua, namun
tulisannya yang masih mengkilat.
Sumpah “Bibir Pecah” Arung Palakka di Buton
Hingga akhir 1990-an, dalam permainan kanak-kanak di Buton, terdapat istilah “sumpah pogoso” atau
sumpah bibir pecah yang digunakan untuk menguji kebohongan teman sepermainan. Ternyata,
sumpah itu berasal dari hikayat pelarian Arung Palakka di Kesultanan Buton di abad ke-17.
Kolera dan tipus mungkin sudah biasa kita dengar legenda dan kisah keganasannya bila sudah
mewabah. Dalam cerita sejarah, pendiri kota Batavia, Jan Pieterzoon Coen, disebut-sebut mati pada
September 1629 dikarenakan kolera. Sementara dalam cerita fiksi, wabah tipus dijadikan latar novel
Frankenstein. Tapi pernahkah anda membayangkan kalau sariawan atau bibir pecah-pecah melanda
di satu wilayah?
Mendengarnya sepintas memang terasa lucu. Untungnya juga malapetaka itu tidak pernah terjadi.
Tapi seandainya saja Arung Palakka ketika lari ke Buton tidak bersembunyi di dalam gua, maka, bisa
jadi, seluruh wilayah Kesultanan Buton ketika itu dilanda “pogoso” atau bibir pecah-pecah. Siapa
yang tahu!
Ini lantaran sumpah yang diucapkan Sultan Buton ketika serombongan pasukan pencari buronan dari
Kerajaan Gowa datang menghadap ke La Awu Sultan Malik Surullah karena mendengar kabar kalau
Raja Bugis itu lari dan mencari suaka di wilayah kesultanan yang dipimpinnya.
“Saya tidak bohong. Tapi kalau benar Arung Palakka ada di atas tanah Buton, saya bersumpah
seluruh rakyat Buton akan terkena “pogoso”,? begitulah kira-kira rekaan sumpah yang diucapkan
sultan yang memerintah Buton mulai 1654-1664 kepada rombongan pasukan itu.
Buton memang tidak termakan sumpah. Soalnya Arung Palakka yang bergelar “Petta MelampeE
Gemme’na” (Pangeran yang Berambut Panjang) itu bersembunyi di sebuah gua yang terletak di
dinding tebing timur Benteng Wolio. Bukannya di “atas” tanah Buton!
Hingga kini, gua persembunyian Arung Palakka itu bisa terlihat jelas. Jalanan setapak di bibir tebing
curam di sekitarnya sudah disemen untuk memudahkan orang mencapai dan melihat gua yang ada
dalam perlindungan benteng seluas 22,8 hektar dan disebut-sebut sebagai benteng terluas di dunia
itu.
Di Buton, Arung Palakka dikenal dengan nama Latoondu. Bisa jadi ini adalah nama dari pelisanan
yang dilakukan “lidah lokal” dari dua kata “La” (awalan untuk nama laki-laki di masyarakat Buton) dan
“Tounru” (Sang Penakluk, salah satu gelar Arung Palakka). Karenanya, gua persembunyian
bangsawan Bone itu dinamai Liana Latoondu.
Leonard Y Andaya dalam bukunya Warisan Arung Palakka menyebut, menurut sumber Belanda
(Speelman) dan catatan harian Raja-raja Gowa dan Tallo, peristiwa ini terjadi sekitar akhir tahun 1660
dan awal 1661, tatkala Raja Bone-Soppeng itu melarikan diri ke Butung atau Buton, membawa
keluarga, dan para pengikutnya.
Perlindungan yang diberikan Sultan Buton ternyata terus dikenang dan menjadi dendam tersendiri
bagi Gowa. Pada 1666, Sultan Hasanuddin mengirim armada berkekuatan 20.000 personil untuk
menghantam Buton karena alasan itu.
Jejak lainnya yang berkaitan dengan cerita pelarian Arung Palakka juga terlihat jelas dari Benteng
Wolio yang mengelilingi Keraton Kesultanan Buton. Bila kita melepas pandang ke Teluk Baubau,
terdapat pulau kecil yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna. Nama pulau itu adalah Pulau
Makassar, yang letaknya hanya sekitar 10 menit menggunakan perahu bermesin dari Baubau.
Ada beberapa versi untuk menjelaskan perihal penamaan “Makassar” untuk pulau berbentuk
lingkaran tersebut. Pertama, karena di sanalah tempat para hulubalang dan pendamping Arung
Palakka diberi tempat bermukim oleh Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis.
Versi lainnya mengatakan, pulau seluas 104 kilometer persegi itu diberi nama serupa ibukota
Sulawesi Selatan itu karena di sanalah para pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman.
Sepasukan prajurit itu enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu
Gowa, Arung Palakka. Apalagi jika mereka gagal, berarti hukuman menanti dari raja.
Sementara klaim lain menyebut, pulau itu dulunya bernama Liwuto; yang dalam bahasa Buton juga
berarti pulau. Pulau nelayan itu dulunya adalah tempat menawan 5.500 pasukan Bontomarannu yang
ditangkap oleh pasukan Kompeni-Arung Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa
menyerang Buton pada 1666.
Sumpah “pogoso” sendiri, setidaknya hingga tahun 1990-an, masih dipakai oleh kanak-kanak
setempat bilamana mereka hendak menguji bohong atau tidaknya kawan sepermainannya.
Arti Buah Nenas Sebagai Simbol Kesultanan Buton
Nenas adalah tanaman buah yang dapat hidup di segala tempat baik di tanah subur maupun tandus
dengan aroma yang sangat harum dan mempunyai rasa yang cukup manis, serta mempunyai daun
yang berduri – duri.
Tanaman ini pada masa lalu banyak tumbuh di sekitar perkampungan Wolio (Kelurahan Melai Kota
Bau – Bau) yang saat itu sebagai ibu kota Kesultanan Buton. Disamping sebagai tumbuhan
peliharaan tetapi juga sebagai tanaman benteng pertahanan. Karena itu tumbuhan nenas mempunyai
bagian – bagian yang mengandung makna, yaitu :
1.Pada bagian atas mempunyai daun Mahkota menggambarkan payung dan dianggap sebagai
Pimpinan yang senantiasa mengayomi rakyatnya;
2.Pada bagian buah terdapat sisik yang sangat banyak sebagai rakyat umum dengan mendiami 72
Kadie (wilayah);
3.Daun yang berduri adalah gambaran jiwa untuk mempertahankan diri dari segala gangguan
keamanan dan ketertiban dari manapun datangnya;
4.Buah yang manis adalah mencerminkan kebaikan dengan menempatkan prinsip kerendahan hati,
sopan santun tutur kata dan tidak menyakiti orang lain;
5.Pada bagian pangkal bawah buah nenas terdapat daun yang melebar adalah landasan berpijak
seluruh masyarakat yaitu sara patanguna (empat prinsip hidup)

Pomae maeka : Saling takut sesama manusia;


Popia piara : Saling memelihara sesama manusia;
Pomaa maasiaka : Saling menyayangi sesama manusia;
Poangka angkataka : Saling menghargai sesama manusia;

Oleh karena itu simbol ini adalah makna hubungan antar sesama manusia dengan mengedepankan
prinsip keadilan, persatuan dan kesatuan, juga hubungan antara pemimpin dengan masyarakat yang
dipimpinnya.
Hakekat Dan Rahasia Asal Kejadian Negeri Buton
Sumber :
1. Saduran oleh La Ode Ichram tahun 1996, dari tulisan La Ode Tanziylu terjemahan Buku
Tembaga yang judul aslinya (ASSAJARU HULIQA DAARUL BATHNIY WA DAARUL MUNAJAT dan
tulisan La Ode Zaenu “Buton dalam Sejarah Kebudayaan”.
2. Ikhtisar Adat Istiadat dan Budaya Masyarakat Buton oleh Yayasan Keraton Wolio Buton
Pada tahun III (Hijriah atau tepatnya pada tahun 624 M, yang mana Rasulullah SAW selesai
mengerjakan Shalat Fardhu Shubuh berjamaah bersama-sama para sahabat dan pengikut dari Kaum
Muhajirin maupun Kaum Ansyardalam Mesjid. Beliau di Madinah (Masjid Quba). Seperti biasa selesai
mengerjakan shalat fardhu para sahabat, pengikut dari kaum Muhajirin maupun Ansyar tidak
langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi mendengarkan petuah atau nasehat dari Rasulullah
SAW tentang segala hal yang belum mereka ketahui. Tatkala Rasulullah SAW sedang memberikan
petuah atau nasehat, tiba-tiba terdengarlah oleh mereka suara dentuman sebanyak tiga kali berturut-
turut, lalu dari salah seorang sahabat bertanya kepada beliau : Ya Rasulullah bunyi apakah gerangan
tadi?, kemudian Rasulullah menjawab : Sesungguhnya bunyi dentuman yang baru kita dengarkan
bersama tadi adalah : Menurut firman Allah SWT yang telah diwahyukan kepadaku melalui Hadits
Qudsi “bahwa jauh dari sebeleh Timur Arabia ini ada dua gugusan tanah yang telah lama muncul dari
permukaan laut untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia.
Sedang menurut “Sabda Rasulullah SAW” bahwa manusia yang menjadi penghuni kedua negeri itu
sebagian besar akan mengikuti seruanku yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Oleh
karena itu sebelum kita didahului oleh bangsa lain untuk menginjakkan kakinya pada kedua negeri
tersebut lebih baik kita yang mendahului.
Kemudian Rasulullah SAW mengutus salah seorang sahabatnya untuk mencari kedua negeri
tersebut, akan tetapi sahabat yang ditunjuk beliau masih merasa takut. Selain itu situasi di Madinah
saat itu masih dalam keadaan berkabung karena perang. Akhirnya pencarian kedua negeri tersebut
ditangguhkan sambil menunggu keadaan Negeri Madinah normal kembali.
Karena gagal menunjuk salah seorang sahabat serta tidak ingin didahului oleh bangsa lain,
Rasulullah SAW segera mengadakan musyawarah bersama para sahabatnya untuk membahasa
rencana pencarian kedua negeri tersebut. Dalam musyawarah disepakati bahwa akan diutus dua
orang bersaudara yaitu saudara Rasulullah SAW sendiri yang belum disebutkan namanya.
Kemudian pada tahun VII (ketujuh) Hijriah, Rasulullah SAW mengutus dua orang bersaudara (kakak
beradik) yaitu saudara beliau dari Bani Hasyim untuk mencari kedua negeri yang dimaksud, yaitu
masing-masing bernama :
1. Abdul Gafur, ahli Biologi
2. Abdul Syukur, ahli Antropolgi
Dalam suatu musyawarah yang dihadiri Ali bin Abithalib bersama istrinya Fatimatuh Zuhra (Fatima
Az-Zahra) serta para kerabat tertentu. Dengan keputusan yang telah diambil. Rasulullah SAW
berpesan kepada semua yang hadir agar hasil keputusan tersebut tidak disiarkan kepada yang
lainnya. Sebab apa yang telah dibahas menyangkut ilmu Nabi dan bukan ilmu Rasul. Kemudian
Rasulullah SAW berpesan kepada kedua utusan tersebut dengan sabda yang artinya :
Bawalah kedua bendera ini, dan pasanglah pada tiap-tiap negeri yang saudara-saudara jumpai.
Adalah sebagai bukti yang menunjukkan bahwa kedua negeri itu adalah penemuanku. Dan perlu
saudara-saudara sama maklumi bahwa hakekat dan rahasia isi hatiku pada kedua negeri dimaksud
sangat erat dengan keadaanku, baik dalam bathinia maupun dalam lahiriah, dan ini adalah salah satu
titipan sepeninggalku nanti pada saudara-saudara sebagai pusaka dariku untuk diwariskan kepada
generasi penerus yang menjadi penghuni kedua negeri tersebut. Karena dari Mekah, Madinah dan
kedua negeri yang kusesuaikan dengan susunan rangkaian namaku Muhammad yang empat
hurufnya akan kujadikan pula menjadi hakekat rahasia yang terkandung dalam tiap-tiap huruf namaku
menjadi nama keempat negeri yang dimaksud yaitu Mekkah, Madinah dan kedua negeri yang akan
dicari oleh saudara-saudara utusanku.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi, yang artinya :
1. Mekkah itu kutamsil ibaratkan kepalaku dan makam hakekatnya dikandung huruf MIM awal dari
rangkaian namaku Muhammad.
2. Dan Madinah ini kutamsil ibaratkan badanku, dan makam hakekatnya dikandung huruf HA dari
rangkaian huruf namaku Muhammad.
3. Dan tanah yang mula-mula dijumpai oleh saudara-saudara utusanku, adalah kutamsil ibaratkan
perutku dan kunamai di Bathniy (bathnun) yang artinya perutku. Sebagaimana yang tersebut tadi
maka hakekatnya dikandung huruf MIM kedua dari rangkaian huruf namaku Muhammad.
4. Sedangkan tanah yang terakhir dijumpai oleh kedua utusanku adalah kutamsil ibaratkan kedua
belah kakiku yaitu Rijalaan (Rijlun) artinya kedua belah kakiku, sebagaimana tersebut diatas dan
makam hakekatnya dikandung huruf DAL, dari rangkaian huruf namaku Muhammad dan kunamai dia
Munajat (tujuan).
Selanjutnya beliau bersabda lagi, sebagai berikut :

Menurut hakekat rahasia keyakinan hatiku, kedua negeri tersebut kunamai dia masing-masing
BATHNIY dan RIJALAANI.
Karena Mekkah itu menurut rahasia keyakinan isi hatiku adalah kutamsil kepalaku, dan kita semua
maklumi bahwa pada tiap-tiap kepala manusia mengandung suatu makam “DI MAQHA” namanya. Di
Maqha inilah letaknya Mekkah itu yang kurangkaikan dengan MIM awal dari rangkaian huruf namaku
sebagaimana yang saya katakan tadi. Karena di Mekkah lah mulai terbuka pikiranku untuk
memperjuangkan kebenaran Islam sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW :
WAL MAKKIYAH WARA’SUUKAL MIIMIL AWALI ALAA SUURATIL MUHAMMAD
Artinya :
Mekkah itu adalah kepalaki huruf MIM awal dari rangkaian namaku Muhammad
Begitu pula dengan Yatsrib atau MADINATUN NABI artinya Kota Nabi, adalah kutamsil ibaratkan
badanku karena didalam badan manusia atau dada manusia itu merupakan suatu makam yang
mengandung hati dalam hakekatnya dikandung huruf HA dari rangkaian huruf namaku Muhammad.
Dan Hadits Rasulullah SAW berbunyi :
ALMADINAYAH WAL BADAANU KAL HA ALAA SUURATI MUHAMMAD
Artinya :
Madinah itu adalah dadaku huruf HA dari rangkaian huruf namaku Muhammad dan kutamsil ibaratkan
dadaku.
Karena dalam sabda beliau yang artinya :
Dan Madinah inilah saya mengumpulkan semua kekuatan, pikiran maupun tenaga dengan tulus dan
ikhlas karena Allah SWT, bersama para sahabat dan pnegikut-pengikut ku baik dari kaim Muhajirin
maupun kaum Ansyar untuk mempertahankan kemegahan Islam yaitu agama yang benar dan lurus
disisi Allah SWT.
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, yang artinya :
Demikian pula pertama yang dijumpai dari kedua saudara-saudara utusanku, saya namai Bathniy
atau perutku, karena semua dalam perut itu sebagian melalui jantung. Itulah sebabnya saya namai
Bathniy sebab di negeri itu merupakan suatu HAZANA bagiku untuk kujadikan pembendaharaan
penyimpanan hakekat rahasia agama yang kuperjuangkan dan mengenai hubungannya dengan Allah
SWT. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
WAL BATHNIY KALMIYMITS TSAANI ALAA SUURATI MUHAMMAD
Artinya :
Bathniy kutamsil ibaratkan perutku dari huruf MIM kedua rangkaian namaku Muhammad
Dalam syair Kabanti Kanturuna Mohelana (sastra klasik Buton) berikut ini :
Tuamosi yaku kupatindamo,
Ikompona incema euyincana,
Kaapaaka upeelu butuni,
Kumaanaia butuni o kompo,
Motodhikana inuncana qura’ani,
Itumo dhuka nabita akooni,
Apayincana sababuna tanasiy,
Tuamo siy auwalina wolio,
Inda kumondoa kupetula-tulakea,
Sokudhingki auwalina tuasiy,
Toakana akosaro butuni,
Amboresimo pangkati kalangana,
Artinya :
Demikian inilah saya bertanya, Diperut siapa engkau tampak, Karena engkau suka butuni, Kuartikan
butuni mengandung, Yang terdapat dalam Al Qur’an, Disitu pula Nabi bersabda, Menjadi asal sebab
tanah Wolio, Demikian ini awalnya Wolio, Tidak selesai kuceritakan semua, Sebabnya bernama
butuni, Karena menempati derajat yang tinggi.
Dan sabdanya lagi yang artinya :
Sedang negeri terakhir yang ditemui oleh kedua saudara utusanku, kutamsil sebagai kedua belah
kakiku dan kunamai Munajat.
Karena bunyi dentuman yang pertama menandakan bahwa negeri itulah yang pertama-tama
memperkenalkan dirinya kepada dunia. Bertepatan dengan bunyi dentuman tersebut Munajatnya
pula doa saya kehadirat Allah SWT untuk memohon syafaat kepada semua umat pengikut Ku dan
kumohonkan petunjuk yang benar bagi manusia yang berada ditempat kejahilan dan kekafiran.
Mudah-mudahan mereka beriman dan taqwa kepada Allah SWT.
Beliau bersabda lagi :
WAL MUNAJAT RAJALAANIY KAL DAL ALAA SUURATI MUHAMMAD
Artinya :
Negeri Munajat adalah kedua belah kakiku huruf DAL dari rangkaian huruf namaku Muhammad
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi :
Artinya :
Wahai saudara utusanku Abdul Gafur dan Abdul Syukur, berangkatlah sebagai pelaksanaan Jihad
Fisabilillah.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi :
WALAA TAHZAN INALLAHA MA’NAA
Artinya :
Dan janganlah takut dan gentar, Allah SWT bersama kita.
Ambillah kedua bendera ini, dan pasangkanlah satu persatu di negeri yang saudara-saudara jumpai
dan pesanku pada saudara-saudara, laksanakanlah dengan hati yang hati yang tulus ikhlas untuk
keagungan dan kemuliaan nama saudara-saudara dan merupakan lambang bukti perjuangan
saudara-saudara yang menghiasi lembaran sejarah dikemudian hari.
Kemudian kedua utusan ini menerima kedua bendera tersebut dari tangan Rasulullah SAW. Kedua
bendera tersebut berwarna sama yaitu hijau ditulis aksara Arab dengan hiasan sulaman benang
emas berbunyi “ LAILAHA ILALLAH MUHAMMADAR RASULULLAH” (Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah).
Dengan diiringi doa dan restu dari Rasulullah SAW, sahabat-sahabat dan keluarga yang ditinggalkan,
mudah-mudahan pencarian kedua negeri tersebut oleh kedua utusan dikabulkan oleh Allah SWT dan
kembali ke Negeri Medinah dalam keadaan selamat. Maka berangkatlah kedua utusan tersebut
meninggalkan Medinah menuju Jeddah untuk mengarungi lautan dan samudera, guna mencari kedua
negeri yang diwasiatkan oleh junjungan kita yang mulia Nabi Besar Muhammad SAW, yang
dilengkapi dengan hakekat bahtera (kapal) dan skema hubungan keempat negeri seperti yang
disebutkan.
Kedua utusan Rasulullah SAW tidak langsung menemukan kedua negeri yang diwasiatkan, tetapi
Abdul Gafur dan Abdul Syukur mengembara ke beberapa negeri seperti Johor, Pasai dan Cina dan
masih banyak lagi negeri-begeri yang dilewati, tetapi tidak diriwayatkan oleh kedua utusan tersebut.
Sehingga pengembaraan untuk mencari kedua negeri yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW
menghabiskan waktu kurang lebih 60 tahun.
Penemuan kedua negeri oleh utusan Rasulullah SAW tersebut, mengenal asal mula terjadinya negeri
Buton dan Muna seperti yang diriwayatkan oleh kedua utusan tersebut, adalah bertetapan dengan
malam Nisif Sya’ban yaitu lima belas malam bulan di langit yang malam itu bertetapan dengan 60
tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, berarti telah memasuki abad VII. Saat itulah kedua utusan
Rasulullah SAW tiba di suatu negeri yang belum dihuni oleh manusia.
Dari kejauhan nampak oleh mereka daratan, yang baru dilihat oleh salah seorang dari kedua utusan
tersebut, lalu berkata “BATHA GAFURA” artinya pasir gafur dan kata yang diucapkan salah seorang
utusan Rasulullah SAW diabadikan menjadi sebuah nama kecamatan yaitu Kecamatan Batauga
(sekarang wilayah Kabupaten Buton). Kemudian kedua utusan tadi terus menyusuri pantai dan salah
seorang dari kedua utusan berkata lagi bahwa : pinggir pantai yang baru kita jumpai ini bagaikan
pinggiran pantai Masyira (Mesir), kemudian kakak beradik Abdul Gafur dan Abdul Syukur selaku
mandataris dari Rasulullah SAW mendarat di negeri yang baru mereka temukan untuk melakukan
penyelidikan.
Setelah meneliti keadaan negeri yang baru ditemukan tadi, Abdul Gafur menulis pada sebuah batu
bunyinya “MASYIRA”. Namun sayang prasasti yang ditulis itu, sekarang sudah hilang karena waktu
dan keadaan. Tulisan tersebut diabadikan menjadi nama sebuah desa yaitu Desa Masiri (wilayah
Kec. Batauga Kab. Buton).
Setelah mengitari daerah pantai dan menulis batu prasasti, kedua utusan tersebut mencari dataran
tinggi. Seharian penuh mereka berjalan dan setelah matahari terbenam keduanya baru beristirahat
untuk melaksanakan Shalat Fardhu Maghrib. Selesai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
muslim, tiba-tiba terdengar oleh keduanya suara adzan. Kedua utusan Rasulullah SAW itu kaget,
sebab di negeri yang baru mereka temukan itu belum mempunyai penghuni manusia. Lalu kedua
utusan itu mencari arah datangnya suara yang baru didengarnya, dari kejauhan nampak sebuah
lubang menyerupai gua yang masuk lurus ke dalam tanah. Diamatinya lubang tersebut dengan
cermat lalu salah seorang dari kedua utusan berkata, bahwa suara saudara kita “ZUBAIR” sedang
menyuarakan adzan Zhohor dan didalam gua itu samar-samar terlihat Hajar Aswad di Mekkah
sedang berdzikir. Melihat kenyataan itu kedua utusan tersebut langsung mengerjakan shalat Fardhu
Zhohor, sekalipun mereka belum lama melaksanakan Shalat Magrib. Itulah sebabnya masyarakat
Buton zaman dulu apabila melaksanakan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha selalu masuk waktu Zhohor
karena bersama dengan di Mekkah (kepala). Pendengaran dan penglihatan kedua utusan itu tersebut
bukan seperti penglihatan dan pendengaran kebanyakan orang, tetapi atas kehendak Allah SWT
sehingga dapat melihat dan mendengar bukan dengar bentuk lahiriah. Dari legenda tersebut bahwa
jika kakek, nenek, ayah dan ibu atau saudara kita yang sudah meninggal dunia dapat dilihat dari
lubang tersebut.
Dimulut gua inilah Abdul Gafur menulis aksara Arab yang berbunyi “BATHN” dan tulisan tersebut
sampai sekarang masih ada, namun telah ditutupi oleh pondasi Masjid Agung Keraton Buton sebagai
Muhabat Utama.
Abdul Gafur dan Abdul Syukur merahasiakan keberadaan gua yang mereka temukan karena penuh
dengan rahasia dan merupakan pusat tanah (pusat dunia), sehingga masuk di akal apabila
Rasulullah SAW menamainya Bathniy atau perut. Dan disinilah kedua utusan memasang bendera
Rasulullah SAW, yang sekarang diabadikan menjadi tempat tiang bendera Kerajaan atau Kesultanan
Buton.
Kedua utusan tersebut menyimpulkan bahwa negeri yang baru mereka temukan itu berasal dari
segumpal buih air laut dan tanahnya masih muda usia. Dari daratan Bathniy/Bathn/Buton, diseberang
laut terlihat oleh kedua utusan itu sebuah daratan lain. Kemudian didatanginya daratan tersebut dari
daratan Buton. Sesampainya ditempat yang mereka tuju, keduanya mengadakan penelitian untuk
mengetahui keadaan tanah daratan yang baru mereka temukan. Lalu mereka mencari dataran yang
letaknya lebih tinggi, setibanya kedua utusan tadi menemukan batu berbentuk pohon sehingga
tempat itu mereka namai “SIRATUL HIJIR” artinya Pohon Batu.
Pohon batu yang ditemukan oleh kedua utusan Rasulullah SAW tersebut tumbuhya dipinggir tebing
dan disinilah Abdul Gafur dan Abdul Syukur memasang bendera Rasulullah SAW seperti yang
dipasang pada negeri yang pertama mereka temukan yaitu negeri Bathniy. Kemudian mereka
menulis nama negeri itu “MUNAJAT” yang sekarang disebut “MUNA” maksudnya adalah isi
kandungan hakekat rahasia Mina kota Arab lama.
Penelitian yang dilakukan oleh kedua utusan itu mengatakan bahwa negeri Munajat kejadiannya dari
pecahan kabut atau FILIYIN yang telah pijar merupakan suatu batu Nuqthah adalah titik BAH yang
penuh berkah merupakan salah satu iradat Allah SWT.
Adapun asal kejadian Buton menurut hasil penyelidikan kedua utusan Rasulullah SAW adalah
berasal dari segumpal buih pecahan batu Nuqthah tadi, dan atas izin Allah SWT sebagai HALIQUL
ASY YAI yang menjadikan alam semesta dan segala isinya, akhirnya buih yang dimaksud menjadi
segumpal tanah.
Dari kedua penelitian tersebut diartikan bahwa negeri Buton lebih muda umurnya daripada negeri
Muna. Buton lebih dahulu dihuni oleh manusia dan berkahnya melebihi negeri Muna. Sedang
penghuni-penghuninya adalah wali-wali Allah SWT yang alim. Selanjutnya menyebar keberbagai
daerah seperti kedua utusan Rasulullah SAW Abdul Gafur dan Abdul Syukur, setelah menetap
beberapa saat di negeri Buton dan Muna, keduanya kembali dan pindah ke negeri Pasai, Johor dan
Cina, yang merupakan alur perjalanannya dari Jeddah (Mekkah) dan tidak kembali lagi ke negeri
asalnya Madinah seperti harapan keluarganya.

EMPAT SENJATA SULTANAAT BUTUNI

Disadur dari buku MEMBARA DI API TUHAN


Sultanaat Butini bertahan selama 4 (empat) abad karena dapat menggunakan dengan sempurnah 4 (empat)
senjata Sultanaat Butuni. Ke empat senjata tersebut adalah :

Satu : Orang datang dengan kekuatannya, kita sambut dengan kelemahan,

Dua : Orang datang dengan keberaniannya, kita sambut dengan ketakutan,

Tiga : Orang datang dengan kekayaanya, kita sambut dengan kemiskinan,

Empat : Orang datang dengan jumlah yang banyak, kita sambut dengan kesedikitan.

“Yang kuat disambut dengan kelemahan” maksudnya ialah bahwa dalam melihat kedatangan orang-orang kuat,
ingatlah bahwa yang mempunyai kekuatan itu sesungguhnya adalah Tuhan sendiri. Manusia lemah tidak
berdaya, kekuatan yang ada pada dirinya adalah kekuatan Tuhan. Kenapa kita mesti merasa lemah padahal
sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah SWT semata. Yang kuat adalah mereka yang mengerjakan semua
kewajiban-Nya.

“Yang berani disambut dengan ketakutan” maksudnya mereka yang mendatangi dengan keberanian itu
hendaklah disambut dengan ketakutan hanya kepada Tuhan. Yang harusnya ditakuti itu adalah bila telah jauh
dari Tuhan. Mengapa kita harus takut dengan keberanian itu jika itu hanya ciptaan Tuhan juga.

“Orang datang dengan kekayaannya disambut dengan kemiskinan”. Yang kaya hanya Tuhan, hanya Dia yang
memiliki. Sesungguhnya tidak ada yang kaya karena diri sendiripun adalah milik-Nya. Kekayaan yang
datangpun adalah kepunyaan-Nya pula. Kepunyaan-Nya hendaklah digunakan dijalan yang Ridhai-Nya.

“Orang mendatangi dengan jumlah yang banyak disambut dengan jumlah yang sedikit”. Satu adalah jumlah
yang paling sedikit. Keyakinan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam keyakinan yang penuh kepada
Tuhan bahkan diripun menjadi tiada hanya Tuhan yang ada, sehingga menjadi kesedikitan yang banyak. Dalam
keadaan ini “seorang sudah lawannya, seribu sudah tandingannya

A. SULTAN
1. Bata-batasi pakai Lepi-lepi atau Bewe Patawala pakai Lepi-lepi
2. Baju Malau
3. Jubah Laken dan Kobelo
4. Sala Marambe
5. Bia Ogena / Bia Samasili Kumbaea
6. Keris + Sapu Tangan
7. Sulepe
8. Katuko / Tongkat

B. SAPATI
1. Bewe Poporoki berisi dan mempunyai Sulaman Benang emas
2. Jubah laken dan Kobelo agak Kecil
3. Kotango
4. Sulepe
5. Sala Marambe
6. Bia Samasili (Talu Pagata) Bia Kumbaea Talu Perak (Talu Pagata)
7. Keris / Sapu Tangan
8. Katuko / Tongkat hulu
C. KENEPULU
1. Bewe Poporoki, mempunyai isi pakaian sulaman Benang Perak
2. Jubah Laken / Hitam
3. Kotango
4. Sulepe
5. Keris + Sapu Tangan
6. Sala Marambe
7. Bia Samasili Kumbaea Perak Talu Pagata
8. Katuko / Tongakt hulu Perak
D. KAPITA RAJA / KAPITALAO
1. Bata-Batasi
2. Balahadada
3. kotango
4. Sulepe
5. Keris / Lolabi + Sapu Tangan
6. Bia Ogena (Lau-Lau)
7. Sala Arabu
E. BONTO OGENA
1. Bewe Poporoki Pakai isi tanpa Sulaman
2. Jubah (Lau Ogena)
3. Kotango
4. Bia (Lau Ogena)
5. Sulepe
6. Keris
7. Katuko / Tongakat Puu Salaka
F. BONTO SIOLIMBONA / BONTO LAINNYA
1. Bewe Poporoki
2. Jubah (Lau Ogena)
3. Kotango
4. Kain Lau Ogena
5. Keris + Sapu Tangan
6. Sulepe
7. Katuko / Tongkat Puu Salaka
G. BOBATO
1. Bewe Patawala
2. Balahadada
3. Kotango
4. Sala Arabu
5. Lolabi + Sapu Tangan
6. Bia Samasili Sampai Lutut
7. Bia Ogena
H. GALANGI
1. Kalu-kalu + Manuambo
2. Baju Khusus Galangi
3. Sala Sampai di Betis
4. Sulepe
5. Gala + Panji
6. Bewe Patawala
7. Baju Kahusus Galangi
8. Kain
9. Sulepe
10. Gala + Panji
I. SARAGINTI
1. Kalu-kalu
2. Bau-bau ( Giu-giu)
3. Sala sampai di betis
4. Kabokena Tanga
5. Katuko / Tongkat dari Rotan
J. TAMBARU
1. Kampurui, Bate
2. Baju Malau
3. Ikat Pinggang dari Kain
4. Tambu + Pemukulnya
K. PERANGKAT MESJID AGUNG KERATON
1. Serban + Jambe A. Hari Raya
2. Kotango
3. Keris + Sapu Tangan
4. Bia Kolau
5. Jubah Giu-giu
6. Sulepe
7. Katuko
L. UPACARA RESMI
1. Imam + Lakina Agama :
a. Bewe Patawala
b. Jubah + Kotango
c. Sala Marambe
d. Kain
e. Sulepe
f. Keris + Sapu Tangan
g. Katuko, Puu Salaka pakai Jumbai
2. Khatib :
a. Bewe Lancina Bebe
b. Jubah + Kotango
c. Kain
d. Sulepe
e. Keris + Sapu Tangan
f. Katuko Puu Salaka
3. M o j i :
a. Songko Tobone Pinggir Hitam
b. Jubah + Kotango
c. Kain
d. Sulepe
e. Keris + Sapu Tangan
f. Katuko besi Hulu Besi
4. Tungguna Ganda :
a. Kampurui Mpalangi
b. Baju-baju Bia-bia Tanu
c. Kain
d. Katuko dari Kayu / Kombungo
M. PAKAIAN JUM’AT
1. Semuanya memakai serban putih yang membedakan :
• Untuk Lakina Agama dan Imam berisi songko Putih pakai manik-manik di atasnya.
• Untuk Khatib berisi songko putih tidak bersulam
• Untuk Moji berisi songko Alefia
2. Semuanya memakai Jubah dan Kotango
3. Untuk Kelengkapan Lainnya tetap
N. PAKAIAN HARIAN
1. Untuk Imam dan Lakina Agama
• Bewe Lencina Bebe berisi Songko Putih bersulam
• Jubah Lau Keci + Kotango
• Kelengkapan lainnya tetap
2. Untuk Khatib
• Bewe Lencina Bebe berisi Songko Putih tanpa bersulam
• Jubah Lau Kecil
• Kelengkapan Lainnya tetap.
O. AJO BANTEA
1. Kampurui Mpalangi / Bete
2. Kain Samasili / biaya Kolau
3. Sala Arabu
4. Sulepe
5. Salenda
P. PAKAIAN PEREMPUAN
1. Isteri Bonto Ogena
a. Popungu Kelu-Kelu + Kamba Itapu + Bungaija + Bunga Gantung (Lambang Pangka)
b. Baju Koboroko tidak digulung / tergantung dan harus diluar
c. Kain Samasili Talu Pagataana + Pale Baau
d. Katapisi Giu-Giu
Apabila Pakai Baju Kambowa
Bajunya Masuk didalam dan bewetaka Iranda
Apabila sudah janda harus ada Kabokena Tanga
2. Isteri Bonto Siolimbona / Bonto Lainnya / Isteri Moji Keraton
a. Popungu Kelu-Kelu + Kamba Itapu + Bungaija
b. Baju Koboroko digulung / dipurusi dan harus di luar
c. Kain Samasili biasa + Pale Baau
d. Katapisi Giu-Giu
Apabila Pakai Baju Kambowa
Baju Masuk di dalam dan Bewetaka Iranda
Apabila sudah janda Pakai Kabokena Tanga
3. Isteri Bobato
Sama dengan Siolimbona yang membedakan Pakai Samasili Kumbaea dan Bajunya tergantung /
tidak digulung dan pakai Kancing
4. Isteri Lae-Lae
a. Popungu Kelu – Kelu + Kamba Isisiri + Bunga Ija
b. Baju Koboroko digulung / dipurusi
c. Kain Kolu + Bia – Bia
5. Kalambe
a. Popungu Kelu – Kelu + Kabewei Sakalati
b. Kabokena Lima
c. Baju Koboroko / Kambowa
d. Katapisi Giu-Giu
e. Kain Atas Hitam, Bawah Putih
6. Kabua-Bua
a. Popungu Kelu-Kelu + Kabewei Sakalti
b. Kain Giu–Giu / Bia-Bia Tanu
c. Apabila Baju Koboroko Pakai Riti
d. Apabila Baju Kambowa Pakai Kapoponda
e. Simbi
f. Jao-jaonga + Lawulu
7. Anak Perempuan
a. Kalu-Kelu Sakalti
b. Kain Giu-Giu / Bia-bia Itanu
c. Simbi, jao-jaonga + Lawulu
d. Riti atai Kapoponda
8. Anak laki-laki
a. Songko Kobelo
b. Sala Arabu
c. Balahadada
d. Kain / Giu-giu
9. Belo Baruga
a. Kebesaran
• Kampurui Apalangi
• Baju Khusus
• Kain Bia Kolau
• Kabokena Tanga Mpalangi
b. Harian
• Kampurui Bate
• Kabokena Tanga Bate
• Biya Kolau
• Tidak Pakai Baju

Anda mungkin juga menyukai