Anda di halaman 1dari 41

ASAL USUL SUKU TOLAKI MEKONGGA

Dalam kisah tempoh dulu menceritakan bahwa rumpun yang


pertama-tama mendiami wonua Unenapo (nama awalnya Wonua-
Sorume Mekongga) adalah rumpun Moronene dan Toare. Tetapi setelah
beberapa generasi mereka mendiami wonua Unenapo, datanglah
rumpun baru pindahan dari penghuni wilayah sekitar danau Matana,
Mahalona dan danau Towuti. Sehingga rumpun yang telah lama
mendiami wilayah tersebut terdesak agak ke selatan dari wilayah
Unenapo. Rumpun baru ini bergerak dari wilayah danau Matana dan
Mahalona menuju kearah tenggara dari daerah asalnya dengan
menyusuri aliran sungai Lasolo dan Konaweeha sehingga mereka tiba
disuatu Lembah dataran luas dipinggiran sungai Konaweeha yaitu
wilayah Andolaki. Mereka bermukim diwilayah ini beberapa generasi
tanpa marga dan nama suku, akhirnya sebahagian dari pindahan danau
Matana dan Mahalona ini melakukan lagi perpindahan dari Andolaki
menuju kearah Barat melewati lereng gunung Watuwila atau yang
sekarang disebut pegunungan Mekongga. Berhari hari mereka
melakukan perjalanan tanpa tujuan yang pasti dan akhirnya sebahagian
dari mereka tiba disuatu lembah datar dan luas yang saat ini diberi nama
Lambo (Mowewe), Laloeha (Poundui), Puuehu (wundulako) dan
Ulunggolaka. Disinilah mereka berkembang beberapa generasi dan
menamakan rumpun mereka itu To Unenapo, sementara rumpun
Moronene bergerak agak ke selatan yaitu suatu wilayah padang luas
yang saat ini diberi nama Wundulako dan Watubangga, sedang rumpun
Toare bergerak ke Timur sehingga tiba disuatu wilayah yang saaat ini
diberi nama Poli-Polia. Rumpun pendatang baru mendiami beberapa

1
wilayah Napo (padang luas) yang masing-masing Napo itu dipimpin
oleh seorang yang dituakan yaitu Toono Motuo. Dari sekian Toono
Dadio selaku penduduk baru yang belum mempunyai marga dan nama
sukunya menempati wonua Unenapo dengan membentuk beberapa
wilayah pemukiman kecil seperti Napo i Poondui, Napo i Puuehu, Napo
i Ulunggolaka, Napo i Lambo, Napo i Puundoho, Napo i Tikonu, Napo i
Puuwonggia (Sabilambo), Napo i Lalombaa dan Balandete. Tiap-tiap
Napo dipimpin oleh seorang Toono Motuo sehingga terbentuklah Toono
Motuo i Puuehu (Wundulako), Toono Motuo i Tikonu (Silea), Toono
Motuo i Puuwonggia (Sabilambo), Toono Motuo i Lambo (Mowewe)
Toono Motuo i Puundoho (Baula), Toono Motuo i Poundui (Laloeha)
dan toono Motuo i Lalombaa (Balandete). Sifat kegotong royongan dari
semua masyarakat penghuni Napo sangat terjalin dan sangat taat kepada
pemimpinnya. Semua pekerjaan seperti membuat rumah tempat tinggal,
membuka lahan pertanian dikerjakan secara bergotong royong.
Begitulah kehidupan masyarakat suku Tolaki Mekongga tempoh dulu.
Dari kisah yang ada di kalangan Suku Tolaki Mekongga saat ini bahwa
sesungguhnya rumpun To Unenapo yang kemudian berubah nama
menjadi Suku Tolaki Mekongga (dimasa pemerintahan Sangia Ndudu-
Larumbalangi) berasal dari rumpun yang sama dengan penghuni
wilayah pesisir danau Matana dan Mahalona seperti rumpun Suku Mori
di Sulawesi Tengah, Suku Tobungku, dan suku Luwuk Banggai karena
kalau didengar dari dialeg bahasanya banyak sekali persamaannya,
begitu pula adat istiadatnya sebagai contoh seperti Seni Budayanya
kalau di Mekongga yang populer adalah tarian Lulo sedang di
Sulawesi tengah yang populer Tari Modero. Sementara cara

2
pementasannya adalah sama Karena semua penari berjejer sambil
bergandengan tangan, hanya saja pada tari Modero para Penari bergerak
berputar membuat lingkaran sambil menyanyi secara berbalas-balasan.
Rumpun-rumpun tersebut awalnya adalah penghuni wilayah pesisir
danau Matana dan Mahalona bersama-sama dengan Suku Tolaki
Mekongga yang sebelumnya mereka menamakan diri To Unenapo.
Rumpun To Unenapo berubah nama menjadi Tolaki Mekongga sekitar
abad ke XV setelah sangia Ndudu Larumbalangi berhasil memusnahkan
burung Rajawali raksasa yang bernama Kongga Aha. Konon ceritanya
bahwa besarnya Burung Kongga Aha sama dengan besarnya tujuh ekor
Kerbau putih digabung menjadi satu sehingga mampu memangsa
hewan-hewan seperti kerbau, kambing bahkan manusia. Burung kongga
raksasa jatuh terkapar dilembah gunung Osu Mbegolua setelah beberapa
hari terbang berputar-putar sambil meneteskan darahnya dan akhirnya
daerah-daerah dimana darah Kongga Aha menetes tanahnya berubah
menjadi berwarna merah seperti Pomalaa, Malili, Torobulu, Amesiu,
Asera yang sekarang menjadi daerah penghasil tambang Nikel dan
tambang emas seperti didaerah Bombana. Konon cerita bahwa proses
pembusukan bangkai Kongga Aha berlangsung cukup lama dilembah
Osu Mbegolua (Hulu sungai lamekongga sekarang). Nanah dan ulat-
ulatnya mengalir menuju ke dataran rendah sampai keluar kelaut teluk
Mekongga, dan akhirnya aliran nanah dan ulat-ulat tadi menjadi aliran
sebuah sungai yang saat ini diberi nama sungai Mekongga. Dengan
demikian maka nama wilayah Mekongga dan nama Suku Tolaki
Lamekongga berasal dari peristiwa terbunuhnya burung Kongga Aha
oleh masyarakat pada waktu itu dibawa komando Sangia Ndudu
Larumbalangi.
3
KERAJAAN MEKONGGA

Munculnya Kerajaan Mekongga di Sulawesi Tenggara di awali


dengan datangnya seorang laki-laki sakti yang tidak diketahui asal-
usulnya. Menurut cerita yang ada di daerah Mekongga bahwa raja-raja
yang pernah berkuasa di Mekongga mulai raja yang pertama sampai raja
yang keempat adalah turunan dari langit atau Tomanuru (Ari I Wawo
Sangia).

Laki-laki yang dimaksud adalah Larumbalangi. Beliau datang di


daerah Wonua Sorume sekitar abad ke XV bersama saudara
perempuannya yang bernama Watenri Abe ata Watenri Rawe. Mereka
mendarat di bukit Kolumba di hulu Sungai Balandete dengan kendaraan

4
selembar sarung ukuran 3 x 3 meter yang disebut oleh Orang Mekongga
Toloa Mbekadu dan orang Tolaki menamakan Sawu Uha, ditiup oleh
angin sakti dari daerah asalnya sampai mendarat di Bukit Kolumba.
Kedatangan mereka diketahui oleh Ketujuh Toono Motuo yang
sementara berkuasa di daerah Unenapo saat itu. Mereka dalah:

1. Toono motuo I Puuehu (Wundulako)


2. Tono Motuo I Tikonu (Silea)
3. Tono Motuo I Sabilambo
4. Toono Motuo I Lalombaa
5. Toono Motuo I Lambo (Mowewe)
6. Toono Motuo I Puundoho (Baula)
7. Toono Motuo I Poondui (Laloeha)

Gambar ketujuh toono motuo

Ketujuh Toono Motuo tersebut berunding untuk menemui


Larumbalangi dan pada akhirnya mereka sepakat menemui
Larumbalangi di Bukit Kolumba (Balandete). Dalam pertemuan itu,
ketujuh Toono Motuo melaporkan kepada Larumbalangi tentang

5
gangguan keamanan yang sementara melanda daerah Unenapo.
Gangguan keamanan tersebut sangat menakutkan sehingga kehidupan
masyarakat tidak tentram. Konon ceritanya bahwa gangguan itu
disebabkan oleh keganasan seekor Burung Rajawali Raksasa yang
besarnya tujuh kali lipat lebih besar dari seekor kerbau. Oleh orang
mekongga, burung tersebut dinamakan Kongga Aha atau Kongga
Owose.

Demikian pertemuan antara para Toono Motuo dengan


Larumbalangi dan permintaan mereka diterima oleh Larumbalangi
dengan membuat kesepakatan sebagai berikut:

1. Semua laki-laki dewasa penghuni Tobu harus menyediakan bambu


runcing (O sungga)
2. Disiapkan satu orang manusia pemberani sebagai umpan
3. Sebuah pohon dipangkas dahan-dahannya untuk tempat
Larumbalangi berdiri menghadang Kongga Aha
4. Perempuan dan anak-anak mencari tempat perlindungan yang aman
didalam gua Watu Wulaa

6
Berkat taktik dan strategi yang dilakukan Larumbalangi maka
burung Kongga Aha dapat terbunuh. Sebelum Kongga Aha terkapar
jatuh ke bumi selama satu hari ia terbang sambil meneteskan darah hasil
tusukan keris Larumbalangi dan tusukan puluhan bambu runcing ketika
Kongga Aha menerkam mangsanya yaitu seorang laki-laki pemberani
yang juga seorang Tamalaki bernama Tasahea yang bertindak sebagai
umpan yang dipasang diantara bambu-bambu runcing . Burung Kongga
yang terluka terbang meneteskan darah yang cukup banyak melewati
daerah Pomalaa, Kolono, Amesiu, Wolasi, Malili, Lanowulu dan Asera
sehingga daerah-daerah yang dilewati tersebut tanahnya menjadi merah
seperti yang kita saksikan saat ini. Keberhasilan Larumbalangi
membunuh burung Kongga Aha menjadikan masyarakat Unenapo
(Wonua Sorume) hidup tentram, aman dan damai. Maka ketujuh Toono
Motuo sepakat mengangkat Larumbalangi menjadi Pemimpin mereka I
Wonua Sorume (Mekongga) saat itu.

1. PEMERINTAHAN LARUMBALANGI
Sebelum datangnya Larumbalangi sebagai Sangia I Wonua
Unenapo atau Wonua Sorume, wilayah-wilayah ini diperintah oleh
7 Orang Toono Motuo, tetapi dengan keberhasilan Larumbalangi
menciptakan keamanan dan kedamaian I Wuta Mekongga, maka
seluruh masyarakat Unenapo yang diwakilkan oleh para Toono
Motuo mengangkat Larumbalangi sebagai pemimpin tertinggi dari
mereka dengan gelar Anakiano Wonua I Mekongga. Larumbalangi
menerima permintaan masyarakat Unenapo dengan ketentuan
bahwa semua wilayah yang terpisah-pisah harus menjadi satu

7
kesatuan yang kokoh dan kuat. Orang banyak dari berbagai etnis
hendaklah selalu bersatu dan merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpecah belah seperti yang sudah nyata dalam usaha menewaskan
musuh besar yaitu Kongga Aha. Sehingga dengan demikian
peristiwa pembunuhan burung raksasa (Kongga Aha) Wonua
Unenapo atau Wonua Sorume diubah namanya menjadi Wonua
Mekongga.

Keris pusaka dan sarung tenun peninggalan Larumbalangi


Berselang cukup lama pemerintahan Sangia Larumbalangi, suatu
ketika tiba-tiba datanglah Guntur dan petir sambar menyambar
disertai kabut tebal menyebabkan banyak orang heran dan
ketakutan. Setelah situasi reda kembali, ternyata Larumbalangi
menghilang dan dimana tempat ia berdiri, tadinya tampaklah
seorang laki-laki gagah perkasa yang tidak dikenal sebelumnya.
Semua orang merasa heran dan takjub dibuatnya. Laki-laki yang tak
dikenal itu memperkenalkan dirinya bahwa Ia bernama
Lakonunggu. Adapun Ayahnya Larumbalangi telah kembali I
Wawo Sangia dan Ia ditugaskan oleh ayahnya untuk melanjutkan
tugas dan kewajiban ayahnya demi keselamatan orang banyak
(Toono Dadio) di Mekongga.

8
2. PEMERINTAHAN LAKONUNGGU
Lakonunggu diterima dan diangkat menjadi pemimpin tertinggi
mereka dengan gelar Anakiano Wonua i Mekongga. Lakonunggu
menyelenggarakan pemerintahan di wonua mekongga tidak berbeda
dengan sistem pemerintahan yang dilaksanakan Larumbalangi
ayahnya. Persatuan dan kesatuan masyarakat Unenapo yang tinggal
secara terpisah pisah diupayakan oleh Lakonunggu untuk
senantiasa mengokohkan kebersamaan dalam segala kegiatan,
terutama disaat musim bercocok tanam dan mendirikan rumah
tempat tinggal mereka. Demikian didalam kepemimpinan
Lakonunggu, tiba tiba datanglah suatu kejadian ajaib seperti yang
terjadi pada Larumbalangi ayahnya yaitu guntur dan petir serta
halilintar dan kabut menutupi tubuh Lakonunggu yang sedang
berdiri dihadapan beberapa orang Toono Motuo dan masyarakat
banyak (toono dadio). Setelah suasana menjadi redah kembali,
ternyata Lakonunggu telah lenyap karena ia telah kembali ke
daerah asalnya yaitu I wawo sangia. Maka berakhirlah pula
kekuasaan dan kepemimpinan Lakonunggu I wonua Sorume-
Mekongga sebagai pelanjut kekuasaan ayahnya.

3. PEMERINTAHAN MELANGA
Diwonua Mekongga saat itu dalam keadaan mendung,
matahari tidak kelihatan karena tertutup awan hitam dan kabut yang
tebal. Tiba-tiba terjadi kilat secara bertubi-tubi sehingga suasana
berubah menjadi terang benderang.

9
Dalam suasana terang benderang, berdiri pula seorang lelaki
yang tak dikenal dan tidak mau menyebutkan namanya, akhirnya
oleh orang Mekongga memberi nama sesuai kejadian yang ada
pada waktu itu yaitu Melanga artinya cahaya terang benderang.
Melanga melaksanakan tugasnya memimpin masyarakat wonua
sorume tidak berbeda dengan pendahulunya, tetapi tidak lama
kemudian Melanga mangkat dan oleh karenanya masyarakat
Mekongga saat itu memberi gelar SANGIA MENGGAA.

4. PEMERINTAHAN LAGALISO
Setelah Melanga tiada, maka seseorang lainnya muncul lagi
ditengah-tengah rakyat banyak. Ia memperkenalkan dirinya dan
menyebut namanya LAGALISO dan ia adalah anak dari
Lakonunggu dari istrinya yang ada I wawo sangia. Ia diturunkan ke
bumi untuk meneruskan tugas dan tanggung jawab ayahnya
Lakonunggu menjadi pemimpin I wonua Mekongga. Sesudah
beberapa lama Lagaliso memimpin masyarakat, ternyata keadaan
rakyat menjadi lebih baik hidupnya sehingga dengan demikian
maka Lagaliso tak diragukan lagi untuk diangkat menjadi Anakia I
wuta Mekongga. Selang beberapa lama Lagaliso memerintah I
wuta Mekongga tanpa diketahui dengan pasti Lagaliso menghilang,
kembali ke daerah asalnya I wawo sangia. Tidak lama kemudian
datanglah anaknya yang bernama Lamba-lambasa atau biasa
disebut Rumbalasa yang menyatakan bahwa ia disuruh ayahnya
Lagaliso untuk menggantikannya menjadi Anakia I Mekongga.

10
5. PEMERINTAHAN LAMBA-LAMBASA atau SANGIA
RUMBALASA

Kehadiran Lamba-lambasa I wonua Sorume-Mekongga


disambut baik oleh Toono Dadio I wuta Mekongga, karena
kehadirannya merupakan pelanjut tugas dari ayahnya yaitu
Lagaliso. Dengan tidak memakan waktu lama Lamba-lambasa
langsung diangkat menjadi Anakiano wuta Mekongga sebagai
pemimpin tertinggi masyarakat didaerah Mekongga saat itu. Untuk
mempererat hubungannya dengan masyarakat, maka Lamba-
Lambasa memutuskan untuk menikah dengan seorang putri
Mekongga yang bernama HUMELE atau biasa disebut
WEKONENGGE. Dari hasil pernikahan ini antara Lamba-Lambasa
dengan Humele maka lahirlah 2 (dua) orang putra yaiti LOMBO-
LOMBO dan TOBANUA. Setelah Lamba-Lambasa mangkat
kerena usia yang sudah tua, maka yang menggantikan
kedudukannya sebagai pemimpin pemerintahan adalah anaknya
yang bernama LOMBO-LOMBO atau biasa disebut
SABULOMBO.

6. PEMERINTAHAN LOMBO-LOMBO atau SABULOMBO


Sangia Lombo-Lombo memerintah I wonua Mekongga
diperkirakan selama 48 tahun yaitu mulai tahun 1550 hingga tahun
1598 M. Dalam menjalankan roda kepemimpinannya beliau banyak
memiliki pengetahuan sangat luas dan pemikiran maju. Menurut
kisah yang ada didalam masyarakat Mekongga bahwa Lombo-
Lombo ketika dilahirkan walaupun sudah berumur 4 tahun tetapi
11
ubun-ubunnya belum keras. Oleh karena itulah beliau diberi nama
LOMBO-LOMBO. Namun disuatu saat seorang wanita
pengasuhnya yang bernama INAWEDUANGGA mendapat pesan
melalui mimpi dari neneknya WASASI WASABENGGALI yang
menyatakan bahwa putra sangia Rumbalasa yang bernama Lombo-
Lombo baru akan bertulang ubun-ubunnya kalau ia diupacarakan
secara adat Mekongga yang disebut SINOSAMBAKAI. Dari
sinilah mulainya acara adat Sinosambakai sampai adanya acara
tersebut dikalangan masyarakat Tolaki-Mekongga tetapi hanya
untuk anak pertama saja. Sangia Lombo-Lombo setelah dewasa ia
menikah dengan seorang wanita yang bernama MAWUANESE
sehingga lahir seorang anak laki-laki yang mereka beri nama
TABUTOALA. Menurut kisah yang ada bahwa sebelum Lombo-
Lombo diangkat menjadi Bokeo I wuta Mekongga beliau harus
menikah dengan putri BUBURANDA di Latoma yang bernama
WUNGABAE. Setelah selesai dilangsungkan pernikahan antara
sangia Lombo-Lombo dengan Wungabae, maka sangia Buburanda I
wowa Latoma memberi hadiah kepada anaknya yaitu suatu daerah
yang sangat luas mulai dari Tumbudadio (Rate-Rate) perbatasan
gunung Tamosi sampai dengan Sungai Konaweeha. Dikisahkan
bahwa sangia Lombo-Lombo memiliki 3 orang isteri yaitu:
- Isteri pertama ; Mawuanese dan anaknya bernama Tabutoala
- Isteri kedua ; Inoi Saribua meninggal terbunuh dalam
keadaan hamil tua.
- Isteri ketiga ; wungabae dan anaknya masing-masing
bernama
12
 Teporambe yang nama aslinya Puluase
 Wasitau
 Latoranga
 Wandudu

Untuk diketahui bahwa Teporambe adalah cucu dari sangia


Buburanda i wowa Latoma dan Teporambe adalah ayah kandung
Sangia Nibandera dari istrinya yang bernama Wehiuka Putri Sangia
Lakarama dari Benua/ Angata.

7. PEMERINTAHAN BOKEO TEPORAMBE


Ketika sangia lombo-lombo telah tiada maka pemerintahan I
wonua Mekongga di gantikan oleh putranya bernama Teporambe.
Pada pemerintahan Teporambe ditetapkan struktur pemerintahan
pada tingkat wilayah yang di pimpin seorang Toono Motuo dan
dilengkapi dengan perangkat wilayah yang terdiri dari Tolea,
posudo , Mbuoway , Mbusehe , Otadu dan Tusawuta. Di
kisahkan bahwa pada saat Teporambe mau di lantik menjadi raja
mekongga (Bokeo) maka Buburanda kakeknya dari Latoma
mengirim satu utusan dengan membawa pesan dan amanah untuk
Teporambe cucunya. Dalam pesan tersebut kakeknya mengharap
bahwa kalau cucunya sudah menjadi raja mekongga supaya nama
Puluase diganti dengan Teporambe, hal ini di maksud untuk
memperingati peristiwa pendekatan atau perhubungan yang jauh
menjadi dekat kembali. Sebagaimana dikemukakan , bahwa
sebelumnya Teporambe di angkat menjadi raja, ia pernah tinggal di
kerajaan Konawe sambil belajar tentang cara-cara pemerintahan di
13
kerajaan Konawe. Tiap-tiap wilayah di pimpin oleh seorang To’ono
motuo, dan semua pimpinan wilayah bertanggung jawab kepada
raja (Bokeo). Pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe inilah
mulai di bentuk sara owoseno wonua atau undang-undang kerajaan.
Sara owoseno wonua adalah suatu lembaga legislatif yang
merangkap sebagai lembaga yudikatif apabila raja melanggar
hukum.

Guci peninggalan Sangia Ni Lulo/ Bokeo Teporambe

Dimasa pemerintahan Bokeo Teporambe Agama Islam


sudah mulai masuk di Kerajaan Mekongga. Dari data-data tertulis
dikemukakan bahwa agama Islam yang masuk di daerah Mekongga
dibawa oleh para pedagang dari Sulawesi Selatan. Namun juga ada
utusan dari kerajaan Luwu datang membawa agama Islam yang
besar kemungkinan pada masa pemerintahan Datu Pati Arase yang
digelar Petta Matindroeri Pattimang ± abad ke XVII. Walaupun
agama islam sudah masuk pada masa Bokeo Teporambe, tapi
sampai beliau wafat tidak memeluk agama islam karena beliau
sangat menghormati keyakinan nenek moyangnya yang masih
beragama animisme bahkan masyarakat pada saat itu masih sering

14
makan daging babi yang di haramkan dalam agama islam. Bokeo
Teporambe sangat menghargai adat istiadat dari leluhurnya dan
selalu menyelenggarakan upacara ritual seperti Monahu Ndau yang
disertai dengan pementasan tari-tarian seperti tarian lulo, sehingga
setelah beliau wafat diberi gelar Sangia Nilulo.

Lulo Sangia

Dari pernikahan antara Bokeo Teporambe dengan wehiuka


beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak bernama
Ladumaa setelah memeluk agama islam. Sejak lahirnya diberi nama
Kinokori dan setelah dewasa berubah namanya menjadi Lelemala
untuk di ketahui bahwa Wehiuka adalah putri Mokole Lakarama
dari Benua- Angata (Lambuya selatan sekarang.)

8. PEMERINTAHAN BOKEO LADUMAA (SANGIA


NIBANDERA)
Atas persetujuan Toono Dadio maka Ladumaa diangkat
menjadi raja Mekongga dengan gelar Bokeo menggantikan ayahnya
yang sudah wafat. Wilayah pemerintahannya semakin luas dan

15
penduduk Mekongga pun semakin banyak sehingga banyak
mendiami daerah-daerah yang sebelumnya belum ada penghuninya.
Karena wilayah Kerajaan Mekongga sangat luas, maka Bokeo
Ladumaa menempatkan seorang Mokole di Kondeeha yaitu di
Lelewawo sebagai pintu batas sebelah barat wilayah Mekongga.
Sedangkan Toono Motuo di Sabilambo didudukkan sebagai
petambeanggareno Bokeo dan Toono Motuo di Lalombaa
didudukkan sebagai Pedulu mbaaluano Bokeo. Mereka itu adalah
orang yang sangat diharapkan oleh Bokeo Ladumaa untuk
membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di Wilayah
Mekongga saat itu.
Adapun struktur pemerintahan Bokeo Ladumaa yang berlaku
sampai Kerajaan Mekongga mengalami kemunduran adalah sebagai
berikut.

16
1. Pemerintahan pusat Kerajaan yang terdiri dari ;
a. Bokeo adalah Raja
b. Kapita adalah tangan besi Bokeo
c. Pabitara adalah juru bicara Kerajaan
d. Sapati adalah yang mengurus bagian umum terutama
urusan rumah tangga Kerajaan.
2. Penguasa wilayah untuk membantu Pemerintah pusat Kerajaan
yang dipimpin oleh seorang Puu Tobu, ditugaskan mengatur
pemberlakuan adat di Wilayahnya, dan bertanggung jawab
kepada Bokeo (Raja)
3. Toono Motuo sebagai penguasa di daerah dan dibantu oleh
para pemangku adat antara lain :
a. Pabitara mengatur dan mengawasi pelaksanaan hukum
adat serta berusaha menyelesaikan perkara-perkara dan
persoalan dalam daerahnya.
b. Tolea bertugas secara khusus menangani masalah
perkawinan dan perceraian.
c. Posudo bertugas sebagai pembantu umum.
Selain dari jabatan-jabatan seperti tersebut diatas, ada pula jabatan
lain yang sifatnya berdiri sendiri yaitu :
a. Mbuakoi (dukun) bertugas untuk mengurus masalah
kepercayaan kesehatan dan menyumpah Raja.
b. Tamalaki bertugas menjaga keamanan dan pertahanan apabila
Kerajaan diserang musuh.
c. Tadu sebagai ahli nujum bertugas sebagai pengatur siasat
perang, dan menentukan waktu yang baik untuk berangkat
berperang.

17
d. Tusa wuta (Puu wuta) menentukan saat-saat yang tepat dan
baik untuk berladang (bercocok tanam) dengan memperhatikan
jalannya bintang-bintang di langit.
Dengan struktur yang telah disusunnya, maka Bokeo Ladumaa
dapat menjalankan pemerintahan Kerajaan dengan aman, damai dan
sejahtera. Keadaan ini didukung pula oleh rakyatnya yang sangat
taat kepada perintah-perintah Raja.
Dikisahkan bahwa ketika Ladumaa telah lahir, maka kakeknya
Sangia Lakarama dari Benua (Angata) memberikan Tiari wonua
kepada cucunya yaitu mulai dari Rate-Rate, Loeya, Ladongi,
Onembute, Wonua Mbuteo, Watumohai dan Osu Mendoke.
Hubungan dengan Raja-Raja lain seperti Kerajaan Konawe,
Kerajaan Luwu, Kerajaan Bone, Muna dan Buton sangat baik.
Kebijaksanaan Bokeo Ladumaa untuk menjalin hubungan kerajaan-
kerajaan tetangganya merupakan salah satu strategi untuk
menciptakan ketentraman bagi rakyatnya dari gangguan keamanan
disamping mempererat hubungan persahabatan guna menjaga
kestabilan ekonominya. Dengan demikian maka gangguan
keamanan baik dari luar maupun dari dalam dapat teratasi.
Bokeo Ladumaa mempunyai 12 orang anak dari 4 orang istrinya
yaitu:
1. Istri pertama bernama Wekasili dengan anak 5 orang
- Lapobandu (Mokole i Kapu)
- Lasone (Mokole i Lambandia)
- Tomboa
- Wekoe (Mokole i Bende)
- Sima

18
2. Istri kedua bernama Basembu dengan anak 5 orang
- Talaga (Mokole i sabilambo)
- Lasikiri (Mokole i Wundulako)
- Kunde (Mokole i Bende)
- Hinungga
- Lasipole (Mokole i Wundulako)
3. Istri ke tiga bernama Natuu dengan anak 1 orang yaitu
Wamena (Mokole i Rate-Rate).
4. Istri ke empat bernama Wowundu dengan anak 1 orang yaitu
Ladawa.
Karena luasnya wilayah Kerajaan Mekongga maka Bokeo
Ladumaa membagi wilayah Mekongga menjadi 4 daerah bagian
yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mokole kecil.
Adapun pembagian ke-4 daerah bagian tersebut adalah sebagai
berikut;
1. Wilayah inti (pusat Kerajaan) yang diperintah langsung oleh
Bokeo meliputi daerah mulai dari Lanu/ Iwoimendaa sampai ke
selatan Tuwonduwo (Laponu-ponu) Toari.
2. Daerah bagian Kondeeha (Mala-Mala) yang diperintah oleh
Mokole Kondeeha mulai dari Woimendaa sampai ke utara
Pakue (Patikala)
3. Daerah bagian Solewatu (Singgere) diperintah oleh Mokole
Singgere mulai dari Mowewe sampai Sanggona.
4. Daerah bagian Lapai (Watu Mendonga) diperintah oleh
Mokole Lapai mulai dari Uete sampai ke Tongauna

19
Sekitar abad ke-18 Sangia Nibandera (Ladumaa) beserta
beberapa kerajaan lainnya seperti Raja, Luwu, Raja Konawe, Raja
Gowa, Raja Buton (Wolio) diundang ke Kerajaan Bone untuk
mengadakan konferensi khusus dalam membicarakan persiapan
masing-masing daerah dalam rangka menghadapi penjajah Belanda.
Sekembalinya Sangia Nibandera dari pertemuan Raja-Raja di
Kerajaan Bone, beliau melantik beberapa orang aparat kerajaan
termasuk anak-anak beliau yang akan bertugas di masing-masing
daerah bagian Kerajaan Mekongga. Adapun aparat kerajaan yang
dilantik oleh Sangia Nibandera adalah sebagai berikut.
1. Lasikiri ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil) yang
berkedudukan di Wundulako mendampingi ayahnya yang
sudah semakin tua.
2. Talaga ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil) yang
berkedudukan di Sabilambo.
3. Lapobandu ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil)
yang berkedudukan di Kapu.
4. Lasone ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil) yang
berkedudukan di Lambandia.
5. Kunde ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil) yang
berkedudukan di Lamunde.
6. Wekoe ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil) yang
berkedudukan di Bende.
7. Wamena ; memangku jabatan sebagai Bokeo (Raja kecil) yang
berkedudukan di Rate-Rate.

20
8. Kuu ; menjabat sebagai Kapita Mekongga menggantikan
ayahnya Kapita Lapaga (Kapita Watu)
Pelantikan aparat Kerajan Mekongga dilakukan oleh Sangia
Nibandera karena disamping untuk menjaga keamanan dalam
wilayah Kerajaan, juga merupakan suatu upaya untuk menjaga agar
jangan sampai terjadi pemberontakan dari anak-anak beliau hanya
karena merasa iri dan kecewa memperebutkan kekuasaan.
Sekitar tahun 1732 Sangia Nibandera menyerahkan penuh
tampuk kekuasaan Kerajaan Mekongga kepada salah seorang
anaknya yaitu Lasikiri sebagai Raja Mekongga dengan gelar
Bokeo oha. Pengunduran diri beliau karena mengingat usia yang
sudah terlalu tua.
Namun suatu tragedi yang cukup mengecewakan bagi Sangia
Nibandera yaitu 5 hari setelah pelantikan Lasikiri menggantikan
tahta kekuasaan ayahnya menjadi Bokeo Mekongga, terjadilah
pemberontakan yang dilakukan oleh Lasone putra kedua dari istri
pertama Sangia Nibandera menuntut kepada ayahnya agar yang
harus menjadi Bokeo Mekongga adalah dia (Lasone), sambil
mengangkat pedangnya menantang ayahnya tetapi sangia
Nibandera tetap tenang bahkan beliau menasihati anaknya agar dia
kembali saja ke Lambandia melakukan tugasnya sebagai Bokeo.
Tetapi karena Lasone memang terkenal berwatak keras tetap tidak
menerima nasihat ayahnya. Dan pada akhirnya Lasone kembali ke
Lambandia dengan penuh rasa kecewa atas putusan ayahnya.
Setelah 3 hari Lasone balik ke Lambandia, kabarpun datang yang
memberitahukan bahwa Lasone telah wafat, dan dengan wafatnya

21
Lasone maka kedudukannya sebagai Bokeo Lambandia digantikan
oleh anaknya yang bernama Batuula.

Diketahui bahwa Sangia Nibandera mempunyai anak sebanyak


12 orang dari 4 istrinya, dan 7 orang anak bekiau yang dilantik pada
saat itu cuma Lasikiri yang di anggap mampu menggalang dan
memimpin kerajaan Mekongga sehingga beliau yang kelak
dinobatkan menjadi raja mekongga sekaligus menerima bendera
merah putih dan parang pusaka Taawu dari Sangia Nibandera
ayahnya.

Kemudian pada zaman pemerintahan Bokeo Lasikiri yaitu


sekitar tahun 1753 Bokeo Mekongga ke 8 Ladumaa dengan gelar
Sangia Nibandera wafat dalam usia 113 tahun dan dimakamkan di
Tikonu Kecamatan Wundulako sekarang ± 2 km dari jalan poros
Pomalaa-Kolaka sekarang.

Inilah makam Bokeo Ladumaa / Sangia Nibandera

22
9. PEMERINTAHAN BOKEO LASIKIRI
Berhubung dengan pertimbangan usia yang semakin tua maka
pada tahun 1732 Lasikiri dilantik oleh Sangia Nibandera atas
musyawarah bersama seluruh Toono Motuo dan para Bokeo
pemimpin wilayah di daerah-daerah kecuali Lasone tidak mau
hadir dalam musyawarah tersebut. Lasikiri dikukuhkan menjadi
Raja Mekongga dengan gelar Bokeo oha. Sementra saudara-
saudaranya seperti Lapobandu, Talaga, Lasone, Kunde, Wekoe dan
Wamena teteap menduduki jabatan Bokeo kecil pemimpin disalah
satu wilayah saja. Pada saat Lasikiri dikukuhkan menjadi Raja
Mekongga ke- 9 permaisuri beliau adalah bernama Tika dan
Lasikiri sendiri adalah anak ke- 2 dari istri kedua Sangia Nibandera
yang bernama Basembu. Sementara Basembu adalah cucu Mokole
Kobaena Tus Umar di Moronene.

10. PEMERINTAHAN BOKEO LASIPOLE


Sekitar tahun 1808 Lasipole diangkat menjadi Bokeo
Mekongga menggantikan Bokeo Lasikiri kakaknya yang telah
wafat karena sakit. Bokeo Lasipole dipilih menjadi Raja Mekongga
atas musyawarah semua aparat Kerajaan termasuk ke tujuh orang
Toono Motuo, beliau dilantik di Katabole dan disumpah sesuai adat
Mekongga dengan cara Tinotonao dan Pinotoro dengan gelar
Bokeo oha.
Pada saat Lasipole dinobatkan menjadi Raja Mekongga ke- 10
beliau didampingi oleh permaisurinya yang bernama Tunggo atau
Sangia Uwa. Untuk diketahui bahwa Tunggo adalah putri dari

23
Tendeao dengan istrinya bernama Wasinan, sedangkan ayah dari
Tendeao yang bernama Laloasa atau yang lebih dikenal dengan
nama Tabutoala masih saudara se bapak dengan Bokeo Teporambe
kakeknya Bokeo Lasipole. Dengan demikian maka Bokeo Lasipole
masih bersepupu dua kali dengan Tunggo Istrinya.
Dari pernikahan Bokeo Lasipole dengan Tunggo maka lahir
putra-putrinya sebanyak 5 orang yaitu :
1. Mburi (Bokeo Mburi)
2. Bio oha (Bokeo Bula)
3. Nalinggode
4. Teo
5. Dadao

11. PEMERINTAHAN BOKEO ROBE


Berhubung usia Bokeo Lasipole semakin tua, maka
kedudukannya sebagai Bokeo Mekongga digantikan oleh Robe
dengan gelar Bokeo Mekongga ke 11. Pemerintahan Bokeo Robe
tidak berlangsung lama seperti pemerintahan Bokeo sebelumnya.
Diakhir masa pemerintahannya beliau diganti oleh putri Bokeo
Lasipole yang bernama Mburi. Bokeo Robe adalah putra dari
Bokeo Lasikiri dengan istrinya yang bernama Tika.

12. PEMERINTAHAN BOKEO MBURI


Bokeo Mburi adalah anak pertama dari Bokeo Lasipole dari
istri yang bernama Tunggo. Beliau dinobatkan menjadi Raja
Mekongga yang ke 12 menggantikan Bokeo Robe dan memerintah

24
di Wonua Mekongga mulai tahun 1828 – 1860. Pada masa
pemerintahan Bokeo Mburi inilah sempat membuat Timbawo dan
Tabere yang sampai saat ini masih tersimpan baik pada keluarga
Nyonya Waode Lowa. Pada tahun 1860 Bokeo Mburi digantikan
oleh adiknya yang bernama Bio oha. Bio oha adalah putra ke 2
Bokeo Lasipole dari istri yang bernama Tunggo.

13. PEMERINTAHAN BOKEO BULA


Bio Oha atau Bokeo Bula dinobatkan sebagai Bokeo
Mekongga yang ke 13 menggantikan Bokeo Mburi kakaknya mulai
tahun 1860 – 1906. Pada saat beliau dinobatkan menjadi Raja
MEkongga beliau didampingi oleh permaisuri yang bernama
Dambu dan mempunyai anak yang bernama Laparuru. Pada tahun
1906 penjajah Belanda sudah mulai masuk di wilayah Kerajaan
Mekongga dan karena beliau tidak mau bekerja sama dengan
penjajah Belanda maka beliau mengungsi ke Tariisi sedangkan
aparatnya Mambulo mengungsi ke Rate-Rate. Dengan demikian
maka ibu kota Kerajaan Mekongga menjadi kosong. Dalam
kekosongan tersebut maka kemenakan Bokeo Bula ayang bernama
Bio Seka atau yang lebih dikenal bernama Latambaga diangkat
menjadi Bokeo Mekongga menggantikan pamannya Bokeo Bula.

14. PEMERINTAHAN BOKEO LATAMBAGA TAHUN 1906 –


1932
Untuk diketahui bahwa Bio Seka alias Latambaga adalah
putra pertama dari pernikahan Tumbe dengan Dadao. Tumbe

25
adalah cucu dari Kapita Lapaga (Kapita Watu) sedangkan Dadao
adalah anak bungsu Bokeo Lasipole pada istrinya yang bernama
Tunggo. Pada tahun 1906 Bokeo Bula digantikan oleh
kemenakannya yang bernama Latambaga. Setelah Bokeo
Latambaga dinobatkan menjadi Raja Mekongga yang ke 14, maka
beliau memanggil mantan aparat Bokeo Bula yaitu Mambulo yang
pada waktu itu mengungsi ke Rate-Rate, kemudian beliau lantik
menjadi Mokole di Rate-Rate.

Bokeo Latambaga
Bokeo Latambaga cukup berjasa dalam pembuatan jalan
poros Kolaka-Kendari seperti yang kita nikmati saat ini. Bokeo
Latambaga mempunyai 5 orang anak dari pernikahannya dengan
Tapuo yaitu: Konggoasa, Wendehake, Budu, Garu dan Musi.
Dari ke 5 orang anak tersebut salah satu diantara mereka pernah
menjabat sebagai Kapita di Mekongga yaitu Konggoasa. Sehingga
untuk mengenang jasa-jasa beliau maka nama Konggoasa
diabadikan menjadi nama salah satu lapangan sepakbola di
Kabupaten Kolaka.

26
Latamoro, Bokeo Latambaga dan Konggoasa; Bokeo Latambaga adalah
Bokeo pada saat Belanda masuk ke Kolaka

15. PEMERINTAHAN BOKEO INDUMO DG. MAKKALU


TAHUN 1932-1945
Pada akhir tahun 1932 Bokeo Latambaga melepaskan
kekuasaannya sebagai Bokeo Mekongga yang telah memerintah ±
26 tahun di Wonua Sorume Mekongga, dan selanjutnya kekuasaan
beliau digantikan oleh Bokeo Indumo. Pada fase pemerintahan
Bokeo Indumo, kekuasaan Raja dalam pemerintahan tidak
sepenuhnya seperti kekuasaan Raja-Raja sebelumnya Karena
Keberadaan Raja pada masa ini cuma untuk pelestarian adat saja.
Sementara kekuasaan dalam pemerintahan dipegang oleh
Controeleur yaitu seorang pejabat yang diangkat oleh pemerintah
Belanda, yang berhak mengatur jalannya roda pemerintahan.
Sehingga dengan demikian kedudukan Raja hanya sebagai pengatur
masyarakat dalam melaksanakan adat istiadat.

27
16. PEMERINTAHAN BOKEO GURO TAHUN 1945 – 1949
Kehadiran kembali panjajah Belanda di Indonesia terkhusus
didaerah Wonua Sorume-Mekongga membuat semakin sempit
posisi kedudukan Raja sebagai penguasa, karena kekuasaan dalam
wilayah Kerajaan lebih banyak dikuasai oleh Tentara-tentara NICA
dan orang-orang pribumi yang sudah terpengaruh dengan system
penjajah Belanda.
Dapat dikatakan bahwa kekuasaan Raja dalam urusan pemerintahan
sudah tidak terlihat dikalangan masyarakat kerajaan karena
kesemuanya itu berada ditangan penguasa dalam pemerintahan
Negara, sehingga dengan keadaan seperti ini akhirnya Bokeo Guro
mengambil sikap mengasingkan diri dan keluarga dari kalangan
masyarakat, karena beliau tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah yang sudah terhasut oleh Belanda. Dalam situasi
kosong pemegang tahta Kerajaan Mekongga, maka Puuwatu
diangkat oleh NICA menjadi Bokeo Mekongga ke 17
menggantikan Bokeo Guro yang sudah berdomisili diluar wilayah
Kerajaan Mekongga, walaupun Puuwatu bukan keturunan Raja
dari Mekongga.
17. MASA KEKUASAAN BOKEO PUUWATU
Transisi kekuasaan seorang Raja sudah lama terjadi didalam
wilayah Kerajaan Mekongga, mulai pada masa kekuasaan Bokeo
Indumo Dg. Makkalu, Bokeo Guro sampai pada masa kekuasaan
Bokeo Puuwatu. Kedudukan Raja pada masa ini hanya sebagai
pelestari adat istiadat didalam masyarakat, sementara yang
memegang kekuasaan dalam pemerintahan berada ditangan

28
pemerintah yang berkuasa pada masanya. Perbedaan paham dalam
menyikapi kedatangan kembali penjajah Belanda terjadi antara
Bokeo Guro dan Puuwatu ditambah dengan hasutan penguasa
NICA pada saat itu sehingga Bokeo Puuwatu berusaha mencari
Bokeo Guro untuk ditangkap dan dimasukkan penjara, tetapi usaha
Bokeo Puuwatu tidak berhasil karena masyarakat pada waktu itu
tidak ada yang mau membantu menunjukkan jalan ke tempat
persembunyian Bokeo Guro. Salah seorang masyarakat bernama
Tembo dipaksa oleh Bokeo Puuwatu untuk menunjukkan jalan
kesana, tetapi Tembo dengan akal yang tinggi justru mengarahkan
kearah yang jauh dari lokasi yang sebenarnya, belum lagi jalan
yang dilaluinya sangat sulit untuk dilewati dengan jalan kaki,
akhirnya Bokeo Puuwatu membatalkan niat jahatnya untuk
menangkap dan memenjarakan Bokeo Guro sampai berakhir masa
kekuasaannya di Kerajaan Mekongga pada tahun 1950.

18. MASA KEKUASAAN BOKEO MBURI (Putri Pa Lowa)


Masa kevakuman Raja Mekongga berlangsung cukup lama,
mulai berakhirnya kekuasaan Bokeo Puuwatu sampai dengan
dilantiknya Sainab Lowa sebagai Bokeo Mekongga ke 18.
Kekuasaan bokeo pada masa ini tinggal berupaya untuk
melestarikan kebudayaan Mekongga terutama manjaga pelaksanaan
adat istiadat dan kesenian daerah agar ciri khas kebudayaan
Mekongga tetap terpelihara.

29
19. MASA KEKUASAAN BOKEO DRS. H. KHAERUN DAHLAN
(Putra pertama H. Dahlan)
Dengan meninggalnya Saenab Lowa beberapa tahun yang
lalu maka jabatan Bokeo di Mekongga menjadi kosong. Sehingga
dengan demikian maka aparat Kerajaan Mekongga berupaya untuk
secepatnya mengisi kekosongan itu dengan memilih Bokeo yang
baru. Dalam pemilihan Bokeo Mekongga ke 19 ini suasana cukup
alot karena ada beberapa kubu yang masing-masing menginginkan
untuk dipilih menjadi Bokeo, tetapi pada akhirnya mereka semua
sepakat memilih DRS. H. Khaerun Dahlan menjadi Bokeo
Mekongga pada saat ini.

pelantikan Khaerun Dahlan sebagai Bokeo Mekongga ke XX

Karena faktor kesehatan beliau yang kurang menunjang


sehingga program dan kegiatan sebagai Bokeo belum ada yang
Nampak didalam masyarakat.

30
URUTAN RAJA-RAJA PENGUASA I WONUA SORUME-
MEKONGGA
DAN SILSILAH KERAJAAN MEKONGGA

I. URUTAN PARA PENGUASA DI KERAJAAN MEKONGGA


MULAI ABAD XV
1. Sangia Larumbalangi (Sangia Ndudu)
2. Sangia Lakonunggu (Sangia Bubundu)
3. Sangia Melanga (Sangia Menggaa)
4. Sangia Lagaliso (Sangia Mbendua)
5. Sangia Lamba-Lambasa (Sangia Rumbalasa)
6. Sangia Lombo-Lombo (Sangia Sinambakai) Putra Sangia
Rumbalasa dengan Wekonengge.
7. Bokeo Teporambe (Sangia Nilulo) Putra Sangia Lombo-
Lombo dengan Wungabae
8. Bokeo Ladumaa (Sangia Nibandera) Putra Bokeo Teporambe
dengan Wehiuka
9. Bokeo Lasikiri (Putra Bokeo Ladumaa dengan Basembu)
10. Bokeo Lasipole (Putra Bokeo Ladumaa dengan Basembu)
11. Bokeo Robe (Putra Bokeo Lasikiri dengan Tika)
12. Bokeo Mburi (Puri Bokeo Lasipole dengan Tunggo)
13. Bokeo Bula (Putra Bokeo Lasipole dengan Tunggo)
14. Bokeo Latambaga (Putra Tumbe dengan Dadao)
15. Bokeo Indumo Dg. Makkalu
16. Bokeo Guro (Putra Dimbara dengan Gombe)
17. Bokeo Puuwatu (Berasal dari Kerajaan Konawe)

31
18. Bokeo Mburi (Putra Pa Lowa dengan Nonya Waode)
19. Bokeo Khaerun Dahlan (Putra H. Dahlan dengan Nurtina)

II. SILSILAH RAJA-RAJA MEKONGGA MULAI SANGIA


RUMBALASA
1. Sangia Lamba-Lambasa menikah dengan Wekonengge atau
Humele melahirkan 2 orang putra yaitu:
- Lombo-Lombo (Sabulombo)
- Tobanua
2. Sangia Lombo-lombo menikah dengan Mawuanese maka
lahirlah 1 orang anak yang mereka namakan Tabutoala atau
Laloasa
3. Sangia Lombo-lombo menikah dengan Inoi Saribua
(Keturunan bangsawan Muna-Buton). Mereka tidak punya
anak karena Inoi Saribua wafat dalam keadaan hamil tua.
4. Sangia Lombo-lombo menikah lagi dengan putri Buburanda I
Wonua Latoma (Tambo tepuliano oleo kerajaan Konawe) yang
bernama Wungubae maka lahirlah 4 orang anak yang mereka
namakan
a. Puluase alias Teporambe (Sangia Nilulo)
b. Wasitau
c. Latoranga (Kapita I Bende)
d. Wandudu
5. Boke teporambe menikah dengan seorang putri Mokole
Lakarama dari Benua (Angata) yang bernama Wehiuka maka
lahirlah seorang putra penerus tahta kerajaan Mekongga yang

32
waktu lahirnya mereka beri nama Kinokori dan setelah dewasa
mereka ubah namanya menjadi Lelemala dan akhirnya setelah
memluk Agama Islam berubah nama menjadi Ladumaa
(Sangia Nibandera).
6. Bokeo ladumaa menikah dengan Wekasili melahirkan 5 orang
anak yang mereka beri nama masing-masing:
- Lapobandu (Mokole I Kapu)
- Lasone ( Mokole I Lambandia)
- Wekoe ( Mokole I Bende)
- Tomboa
- Sima
7. Bokeo Ladumaa menikah dengan seorang putri (cucu kotua
Kabaena) yang bernama Basembu sehingga melahirkan 5
orang anak yang mereka beri nama masing-masing :
- Talaga ( Mokole I Sabilambo )
- Lasikiri ( Bokeo Mekongga ke – 9 )
- Kunde ( Mokole I Lamunde )
- Hinungga
- Lasipole ( Bokeo Mekongga ke- 10 )
8. Bokeo Ladumaa menikah dengan Natuu maka lahirlah 1 orang
anak perempuan yang mereka beri nama Wamena (Mokole I
Rate-rate)
9. Bokeo Ladumaa menikah dengan Wowundu atau Ijauleng
maka lahirlah anak laki yang mereka beri nama Ladawa atau
Madekaleng.

33
10. Bokeo Lasikiri menikah dengan Tika maka lahirlah anak-
anaknya yang mereka beri nama masing-masing :
- Robe (Mokole Lombosia)
- Lapotende
- Paluwu
11. Bokeo Lasipole menikah dengan Tunggo putri dari Tendeao
maka lahirlah 5 orang anaknya yang mereka beri nama masing-
masing:
- Mburi (Bokeo Mekongga ke-12)
- Biooha (Bokeo Bula – Bokeo Mekongga ke-13)
- Nalinggode
- Teo
- Dadao
12. Bokeo Lasipole menikah dengan Wahide maka lahirlah 3 orang
anaknya yang mereka beri nama:
- Wena
- Tola
- Dimbara
13. Pernikahan antara Dadao dengan Tumbe (cucu Kapita Lapaga)
melahirkan 2 orang anak yang mereka beri nama:
- Bio Seka alias Latambaga (Bokeo Mekongga ke-14)
- Sinau
14. Bokeo Latambaga menikah dengan Tapuo melahirkan 5 orang
anak yang mereka beri nama:
- Konggoasa (Kapita Mekongga)

34
- Wendehake (Pernah menjadi istri Bokeo Guro)
- Budu
- Garu
- Musi
15. Pernikahan antara Dimbara dengan Gombe melahirkan 3 orang
anak yaitu:
- Bokeo Guro
- Haya
- Dahlan
16. Bokeo Guro menikah dengan Saida melahirkan 3 orang anak
yaitu:
- Hadi
- Saeho
- Budu
17. Bokeo Guro menikah dengan Mbode melahirkan 4 orang anak
yaitu:
- Tabio
- Firman Guro
- Saro
- Muhamad
18. Bokeo Guro menikah dengan Wendehake tidak punya
keturunan
19. Bokeo Guro menikah dengan Lika punya anak 1 orang tapi
meninggal dunia.

35
20. Bokeo Guro menikah dengan Boho (orang dari Amosilu)
melahirkan 3 orang anak yaitu:
- Gae
- Ndili
- Nabo
21. Haya menikah dengan Dg. Makka melahirkan 4 orang anak
yaitu:
- Seko
- Wuto
- Yodo
- Sudi
22. H. Dahlan menikah dengan Nurtina melahirkan 7 orang anak
yaitu:
- Drs. H. Khaerun Dachlan (Bokeo Mekongga ke-19)
- Hayati
- Hasmito Dachlan, SH.M.Si
- Teti
- Susi
- Hakim
- Yuli

36
37
ASAL-USUL GELAR SANGIA NIBANDERA

Dimasa pemerintahan Bokeo Ladumaa Kerajaan Mekongga


mencapai zaman keemasannya dan menjadi terkenal sampai ke
kerajaan-kerajaan tetangga seperti Konawe, Buton, Luwu, Gowa dan
Ternate. Pemerintahan beliau dikenal bukan hanya karena keberhasilan
membawa rakyatnya hidup tentram dan makmur tetapi juga karena
keberhasilan dan kesaktiannya. Pada tahun 1679 Datu Luwu Ke 19 yang
bernama Alimuddin Setia Raya mengutus aparat Kerajaan Luwu untuk
datang menemui Raja Mekongga Ladumaa alias Lelemala guna
menyampaikan permohonan bantuan Datu Luwu sehubungan dengan
terjadinya peperangan yang dihadapi kerajaan Luwu menghadapi
Kerajaan Suppa di tanah Soppeng.

kedatuan Luwu

Beberapa kali Laskar kerajaan Luwu mengadakan penyerangan


terhadap laskar-laskar kerajaan Suppa tetapi hasilnya adalah kekalahan
yang dibawa pulang bahkan hampir dilumpuhkan sama sekali. Dalam
keadaan kebingungan Raja Luwu terpaksa meminta bantuan Raja

38
Lelemala untuk datang membantu Luwu berperang melawan kerajaan
Suppa. Menerima permohonan bantuan tersebut Raja Lelemala
langsung mengatur pasukannya, yang terdiri dari para Tamalaki pilihan
diambil dari setiap Tobu yang dipimpin oleh Kapita Lapaga (Kapita
Watu). Kapita Lapaga adalah paman dari Raja Lelemala alias Ladumaa.
Raja Lelemala berangkat ke Luwu dengan membawa 40 orang
Tamalaki pilihan untuk membantu Datu Luwu. Rombongan pasukan
Lelemala berangkat dengan menumpangi beberapa buah perahu
menyusuri pantai Tolala, Pakue dan Tanjung Patikala. Rombongan
pasukan Lelemala tiba di Luwu dan disambut oleh pembesar-pembesar
Kerajaan Luwu termasuk Raja Luwu sendiri Datu Alimuddin Setia
Raya. Selesai upacara penyambutan dilanjutkan dengan rapat koordinasi
dalam rangka menyusun strategi penyerangan terhadap musuh. Raja
Lelemala dengan keberanian dan kesaktian yang dimiliki, beliau
membuat sebuah suling dari bambu yang disebut Suling Meobu.
Setelah semua persiapan rampung maka berangkatlah semua pasukan
gabungan menuju Soppeng (Kerajaan Suppa). Pasukan Luwu mekongga
tiba di Suppa tengah malam tetapi para penjaga keamanan kerajaan
Suppa masih berjaga-jaga. Melihat keadaan seperti itu maka Raja
Mekongga ke VIII meniup suling bambu yang telah disiapkan sebelum
berangkat dari tanah Luwu. Dengan bunyi yang keluar dari suling
bambu tersebut membuat para jawara pengawal Kerajaan Suppa
menjadi tertidur pulas, sehingga dengan kesempatan ini dimanfaatkan
oleh pasukan gabungan Raja Lelemala masuk ke dalam istana kerajaan
mengambil seorang gadis yang menjadi penyebab sengketa antara
Kerajaan Luwu dan Kerajaan Suppa. Keberhasilan membawa pulang

39
gadis yang dipersengketakan itu merupakan kebahagiaan yang luar
biasa bagi Datu Luwu dan segenap aparat kerajaan termasuk semua
masyarakat Luwu. Atas bantuan dari kerajaan mekongga maka
Kerajaan Luwu dapat memenangkan peperangan tersebut yang
diperkirakan terjadi pada tahun 1679 dimana pada saat itu Lelemala
baru berusia 59 tahun dan tepatnya 9 tahun beliau memerintah di
Kerajaan Mekongga. Sebagai rasa syukur dan penghargaan yang tinggi
kepada Raja Lelemala dan segenap masyarakat Mekongga maka Datu
Luwu Alimuddin Setia Raya meneyerahkan sebuah bendera merah putih
bertuliskan kalimat-kalimat “Tauhid La Ilaha Illallahu, Muhammad
darasulullahu”.

BENDERA SANGIA NIBANDERA


Pada bagian bendera yang berwarna putih disertai gambar-gambar
binatang berbisa dan benda-benda tajam. Setelah kembali dan tiba di
Mekongga maka Raja Lelemala memanggil dan memerintahkan kepada
Sapati, Kapita, Pabitara, para Mokole dan Toono Motuo serta segenap
rakyat Mekongga pada saat itu untuk berkumpul mengadakan pesta
syukuran atas keselamatan Raja Lelemala dan pasukannya setelah
berperang membantu Kerajaan Luwu menghadapi Laskar-laskar
Kerajaan Suppa di Tanah Soppeng. Sebagai puncak acara pada saat itu

40
adalah dikukuhkannya Raja Lelemala alias Ladumaa dengan gelar
Sangia Nibandera yang berarti Dewa pembawa bendera kemenangan.
Alhasil dari bantuan yang diberikan oleh sangia Nibandera kepada Raja
Luwu maka hubungan antara Mekongga dengan Luwu semakin Kental,
apalagi leluhur dari Sangia Nibandera juga berasal dari Luwu. Bokeo
Ladumaa sangat kagum dengan tulisan yang tertera pada bendera merah
putih itu beliau ingin memahami arti dan maknanya. Mendengar
keinginan Ladumaa tentang hal itu maka Datu Luwu merasa sangat
bahagia karena ternyata Ladumaa alias Lelemala ada keinginan untuk
memeluk agama Islam. Dengan demikian Datu Luwu mengutus dua
orang guru agama Islam ke Kerajaan Mekongga salah satu diantaranya
adalah Opu Daeng Masaro, mereka diutus untuk mengajarkan arti dan
makna tulisan yang tertera pada bendera yang dihadiahkan padanya,
sekaligus menyampaikan dasar-dasar pandangan agama Islam sampai
pada pengislaman Bokeo Lelemala karena pada waktu itu beliau belum
memeluk agama Islam. Setelah beliau masuk Agama Islam kerajaan
mekongga semakin makmur, tenteram dan damai, sehingga tidak heran
jika pada saat beliau menjadi pemimpin kerajaan mekongga, masyarakat
wonua sorume mencapai puncak kejayaannya.

41

Anda mungkin juga menyukai