Anda di halaman 1dari 15

Peranan Para Aria Dalam Sejarah Tangerang1

Oleh : TB. Moggi Nurfadhil Satya Tirtayasa, S.Sos; MA2

Pendahuluan
Tangerang adalah wilayah strategis di Provinsi Banten yang berbatasan dengan Ibu Kota
Pemerintahan DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat serta berbatasan dengan wilayah Bogor
Provinsi Jawa Barat , yang saat ini sudah terbagi menjadi tiga wilayah administratif
kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, tetapi ketiganya
memiliki satu akar historis dan budaya yang sama sebagai kesatuan kawasan Tangerang
(Raya ?). Dalam hubungannya dengan Banten, dalam sejarah Kesultanan Banten, Tangerang
adalah bagian dari kawasan Kesultanan Banten semenjak 1579, diresmikan menjadi Ka-Aria-
an Tangerang tahun 1632 hingga tahun 1682, lepas dan menjadi kawasan dibawah kekuasaan
VOC Belanda yang berpusat di Batavia. Sebelum masa Kesultanan Banten wilayah
Tangerang dibawah kekuasaan kerajaan Sunda, yang sebelumnya kata Tangerang, adalah
merupakan nama salah satu Pelabuhan di kawasan ini yang dibawah kekuasaan Kerajaan
Sunda.

Salah satu catatan tertua yang menulis tentang keberadaan Tangerang adalah tulisan Tome
Pires yang berjudul Suma Oriental tahun 15133, ia pernah mengunjungi Nusantara pada abad
16 M. Ia mengisahkan mengenai Kerajaan Sunda (Cumda) yang memiliki beberapa pelabuhan
Internasional salah satunya adalah Tamgaram atau Tanggerang. Disebutkan bahwa saat itu, di
Tamgaram sudah terdapat pelabuhan besar dan pasar yang menjajakan aneka hasil bumi
penting kerajaan Sunda, termasuk lada. Lada Merupakan komoditas penting Kerajaan Sunda
yang menjadi daya tarik bagi para Saudagar dari seluruh dunia.

Ketika Tome Pires berjalan di Tamgaram,ia sudah melihat banyak suku bangsa yang datang
kesana. Orang-orang Arab, Tionghoa / Cina, India berlalu lalang pula disana. Beberapa Suku
bangsa lain seperti Melayu, Jawa, Pegu dan lain sebagainya juga terlihat di pasar dan
pelabuhannya.

1
Makalah ini dipresentasikan pada Seminar bertajuk “Tangerang Dalam Perjalanan Sejarah ”, yang diadakan
pada hari Kamis 15 Agustus 2019, di Gedung PUSPEM Kota Tangerang
2
Pnulis narasumbr adalah budayawan Kbantnan, ahli waris plaku sjarah tangrang dan Bantn, pmangku adat Ka-
aria-an Tangrang dalam wadah lmbaga adat Balai, Adat Kaariaan Tangrang
3
Cortesao, Armado (Peny.) 2015 . Summa Oriental. Karya Tome Pire Pires Perjalanan dari Laut Merah ke Cina
dan Buku Francisco Rodrigues. Terj. Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti , Yogyakarta ; Ombak. Halaman 232
Hal ini menandakan bahwa sejak sebelum adanya catatan Tome Pires, Tamgaram sudah
menjadi pelabuhan internasional, dan mungkin sejak waktu yang lama, yang belum diketahui
pasti kapan keramaian itu sudah ada di Tangerang tapi besar kemungkinan, keramaian
pelabuhan Tangerang terjadi berkelanjutan dari masa ke masa dan sedari dulu Tangerang
merupakan kawasan yang multi kultur dan multi etnis. Dalam masa sejarah, kerajaan yang
pernah menguasai wilayah Tangerang antara lain Kerajaan Tarumanegara, Sunda, Pajajaran,
Sumedang, dan Banten.

Menurut sumber tradisi lokal4, kedatangan orang Cina ke Tangerang terjadi dalam beberapa
gelombang, pada gelombang awal, dikenal adanya riwayat di masyarakat Cina Benteng
ketika seorang tokoh Cina / Tionghoa bernama Halung atau Tjen Tjie Lung yang memimpin
kapal dan membawa rombongan 100 orang cina, terdampar di teluk naga, muara Sungai
Cisadane pada sekitar tahun 1407. Pada masa itu pusat pemerintahan yakni Kerajaan Sunda
dibawah pimpinan Sanghyang Anggalarang, rombongan Halung menghadap Sanghyang
Anggalarang (alias Prabu Niskala Wastu Kancana, kakek daripada Sri Baduga Maharaja
Prabu Silihwangi) untuk meminta pertolongan, karena kapal mereka rusak dan mereka
kehabisan bekal. Dalam rombongan Halung terdapat 9 gadis cantik, yang membuat para
pengawal Anggalarang jatuh cinta, kemudian mempersunting mereka. Para lelaki dari
rombongan Halung pun banyak menikahi gadis setempat.

Sebagai bentuk kompensasi rombongan Halung diberi sebidang tanah di pantai utara Jawa,
sebelah timur Sungai Cisadane yakni Kampung Teluk Naga. Halung dan para rombongannya,
termasuk para pengawal Sanghyang Anggalarang, ditambah dengan kedatangan etnis
Tionghoa di masa berikutnya ke Tangerang, menjadi para leluhur bagi para masyarakat Cina
Benteng di Tangerang. Sedangkan Prabu Sanghyang Anggalarang penguasa tatar Sunda
termasuk Tangerang di masa lalu, menurunkan para bangsawan di tatar Sunda baik di Pakuan
Pajajaran, Cirebon, Sumedang, Jayakarta termasuk pula Kesulthanan Banten dan juga Ka-
aria-an Tangerang. Bahkan bila drunut silsilahnya para Aria Tangerang memiliki perpaduan
genetik Sunda, Jawa , Arab , Cina dan India.

Ka-Aria-an Parahyangan di Tangerang dan Para Tiga Paraksa.

Yang dimakud dengan Ka-Aria-an Parahyangan di Tangerang adalah kepemimpinan para


Aria / Maulana / Bangsawan kaum Parahyangan (kaum dari daerah tempat para Hyang / dewa
bersemayam atau wilayah pegunungan) yakni masyarakat Sunda, di kawasan Tangerang pada
masa kesultanan Banten, hingga masa Kolonial Belanda. Kerajaan Islam Banten yang
kemudian disebut Kesultanan Banten resmi berdiri 08 Oktober 1526 Masehi, dan pada tahun
1579 M berhasil menaklukan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran yang sebelumnya menguasai
Pelabuhan dan kawasan Tangerang. Bagi Banten sejak berhasil menundukkan kerajaan
tersebut otomatis wilayah kekuasaan kerajaan tersebut dalam hal ini Tangerang menjadi
wilayah kekuasaan Banten, dilain pihak para patih kerajaan Pajajaran yang tidak mau tunduk
kepada Banten membawa perangkat Mahkota Pajajaran ( Mahkota Binokasih ) dan
4
Menurut Oey Tjin eng, pengurus Klenteng Boen Tek Bio yang diwawancarai oleh Thresnawaty pada 23 Febuari
2014, cerita tentang kedatangan orang Cina di Tangerang berdasarkan naskah Tina Layang Parahyang yang
ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, mereka bermaksud mencari kehidupan yang lebih layak

Thresnawaty, euis. 2015, Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota Tangerang, dalam Patanjala
Vol. 7 No. 1 Maret halaman 49 – 64.
membawanya ke Sumedang serta secara adat melantik Pangeran Sumedang menjadi Raja
Sumedang Larang yang meneruskan tahta kekuasaan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran
dengan gelar Prabu Geusan Ulun Angka Wijaya 5; sehingga dalam pandangan Sumedang
kawasan Tangerang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Sumedang.

Dikarenakan adanya hubungan kekerabatan antara Sumedang dengan Banten sebagai


sesama keturunan Arab dari Nabi Muhammad SAW melalui ulama waliyullah di Jawa Barat
yakni Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung jati ) dan Syekh Datuk Kahfi Cirebon ; sesama
keturunan Sunda melalui Prabu Sang Hyang Anggalarang / Niskala wastu kencana kakek dari
Sri Baduga Prabu Siliwangi yang mengedepankan budaya Sunda, Sigeur Tengah (mencari
jalan tengah) sehingga kepemimpinan akan kawasan Tangerang dipersiapkan untuk dipimpin
melalui keturunan blasteran Sumedang dan Banten sebagai jalan tengah menyelesaikan
masalah kepemimpinan di wilayah kawasan Tangerang , Prabu Gusan Ulun menikahkan tiga
anaknya dengan tiga keturunan keluarga bangsawan Banten yakni6 :

1. Pangeran Soeriadiwangsa I ( Pangeran Rangga gempol I) ( Putra Prabu Gusan Ulun dengan
Ratu Harisbaya ) dinikahkan dengan Ratu Widari / Widuri binti Pangeran Upapatih bin
Maulana Yusuf Banten yang menurunkan putra bernama Pangeran / Raden Aria
Soeriadiwangsa II.

2. Nyimas Nurteja binti Prabu Geusan Ulun dinikahkan dengan Raden Jaka Lalana Putra Raden
Kidang Palakaran atau cucu Pucuk Umun Banten berputra Pangeran Raden Aria
Jayasantika ( Demang Tisnajaya ).

3. Pangeran Wiraraja I ( Putra Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya ) dinikahkan dengan
Nyimas Tjipta Putri Raden Kidang Palakaran atau cucu Pucuk Umun Banten berputra
Pangeran Wiraraja II alias Raden Aria Wangsakara / Haji Mas Wangsaraja/ Kiyai
Lenyep atau Kenyep / Raden Aria Tanggeran I

Tiga cucu Prabu Geusan Ulun Sumedang yang blasteran Banten Tersebut yang menjadi Tiga
Paraksa Keariaan Tangerang yang paling awal/ Periode I, yang mana kelak tempat mereka
dilantik menjadi pemimpin kawasan Tangerang tahun 1632, diabadikan menjadi nama
Kawasan Tiga Raksa, sedangkan dari era 1579 hingga 1632, kepemimpinan akan kawasan
Tangerang sempat diambangkan sehingga sempat dianggap sebagai kawasan tak bertuan atau
tak berpejabat secara administratif pemerintahan.

Pada tahun 1620 Sumedang dibawah Kepemimpinan Pangeran Soeriadiwangsa alias


Rangga Gempol I bin Prabu Geusan Ulun menjadi bawahan kerajaan Mataram masa Sultan
Agung, wilayah bekas Sumedang Larang menjadi lebih dikenal dengan nama Priangan,

5
Latif, R. Abdul dkk , 2008. Insun Medal Insun Madangan Sumedang Larang. Yayasan Pangeran Sumedang.
Halaman 11
6
Jasin, R. Angkagiri 1978. Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang salinan dari naskah tahun 1830 oleh Bale Adat
Kaum Parahyang atas perintah V.R.A Idar Dilaga. Halaman 4
toponim nama ada yang menganggap penyingkatan dari kata Parahyangan dalam hal latar
belakang sejarah ini, dianggap dari kata Prayangan yang artinya Rela Mengabdi7 pada tahun
1624 Sultan Agung mengutus Pangeran Soeriadiwangsa alias Pangeran Rangga Gempol I ke
Madura untuk membantu Mataram melobi ( dikarenakan kekerabatan garis Ibundanya, Ratu
Harisbaya Madura yang berkerabat dengan para pemimpin di Madura), dan menaklukan
Madura menjadi dibawah kekuasaan Mataram. Selepas dari Madura, terjadi insiden yang
menyebabkan Pangeran Soeridiwangsa I wafat di Mataram. Tahta kepemimpinan
Soeriadiwangsa I / P. Rangga Gempol I akan Sumedang, oleh pihak Mataram sebagai atasan,
tidak dibiarkan untuk dilanjutkan oleh anaknya Suriadiwangsa I yakni R A soeriadiwangsa II
/ R A Kartajiwa, melainkan malahan dialihkan kepada adik saudara P. Rangga Gempol I
lainnya yang berbeda Ibu yakni Pangeran Rangga Gede bin Prabu Geusan Ulun, hal ini
tentu saja menyebabkan kekecewaan pada kebijakan Mataram yang membuat RA
Soeriadiwangsa II dan para saudara misannya untuk hijrah ke Banten dan bergabung dengan
Pihak Kesultanan Banten.8

Ketika Dipati Ukur9 menantu Prabu Gusan Ulun dan suami dari Bibi para Tiga Paraksa,
ditugaskan oleh Sultan Agung Mataram pada bulan Mei 1629 M / 1038 H untuk menyerang
VOC di Batavia para Tiga Paraksa mengambil kesempatan untuk mengikuti pamannya Dipati
Ukur keluar dari Sumedang Hijrah ke Banten untuk menemui Sultan Banten yang secara
kekerabatan adalah Paman Mereka dan untuk bergabung dengan Kesultanan Banten

Kedatangan para tiga Paraksa tahun 1629 M dikawasan Tangerang dan Banten tidak
langsung serta merta hijrah dan menetap di Banten. Dua dari tiga paraksa yakni R A
Wangsakara dan R A Jayasantika masih mengikuti paman mereka Dipati Ukur yang
mengungsi bersembunyi di pegunungan mnghindari kejaran hukuman Mataram, atas
kegagalan misinya menyerang VOC di Batavia sedangkan RA Soeriadiwangsa II lebih dulu
menetap di Kawasan Tangerang Banten .

Ketika Dipati Ukur makin terdesak ia, mengungsikan menantu sekaligus keponakannya RA
Jaya Santika / Demang Tisnajaya disertai saudara misannya, RA Wangsakara atau
Wangsaraja kembali ke wilayah Banten10, untuk menemui saudara misan mereka RA
Soriadiwangsa II dan pamanda Sultan Banten .

7
Latif, R. Abdul dkk , 2008. Insun Medal Insun Madangan Sumedang Larang. Yayasan Pangeran Sumedang.
Halaman 20.

8
Latif, R. Abdul dkk , 2008. Insun Medal Insun Madangan Sumedang Larang. Yayasan Pangeran Sumedang.
Halaman 21
9
Tjandrasasmita, Uka 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : Gramedia halaman 127

10
Pudjiastuti, Titik, 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. (Sajarah Banten) . Jakarta : Wedatama Widya
Sastra. Halaman 338
Pada Rebo – Pon Ba’da Mulud 1042 Hijriah atau pada 13 Oktober 1632 Masehi, digelar
pertmuan antara pangeran Soeriadiwangsa II dengan Mangkubumi Banten utusan Sultan
Banten bertempat di Pasanggrahan Kadu Agung, Dalam pertemuan tersebut , Mangkubumi
Banten menyampaikan perintah Sultan Banten kepada Pangeran Soeriadiwangsa dan kedua
pangeran lainnya untuk membuka perkampungan baru diwilayah antara Cidurian dan
Cipamugas ( Cisadane ) sekaligus menjadi penjaga wilayah peninggalan Pucuk Umun,
sebagaimana ditulis dalam Paririmbon Ke-aria-an Parahijang perintah itu ditulis

Milan soen tan ngoetos Mangkoe Boemi saking Kagoestan Banten dina Rebo-Pon sasi ba’da
Moeloed taon 1042 dipon katoer ngraksa siti ngongkrong kagengan karoehoen nira kang
wawates tjidoerian dan tjimpamoegas, kang kalih doepen kator kator ndjaga basakola blagah
ksatron saking bongas wetan, sirta dipoen pasrahakun kattomas gena wawakil kabatnaning
siti anjar saoedo lan sawoedoene.

Terjemahannya :

Saya mengutus Mangkubumi Kerajaan Banten hari Rabu Pon bulan Rabiul Akhir tahun 1042
Hijriah (13 Oktober 1632) kepada Ki Suriadiwangsa (II) di Pasanggrahan Kadu Agung agar
dapat menjaga “ siti nongkrong “ ( tanah tak berjabat ) kagungan leluhurmu yang batasnya
Sungai Cidurian dan Sungai Cipamugas ( Cisadane ) , kedua agar dapat menjaga ancaman
musuh dari Bunga Wetan (Mataram ) juga diserahkan kattomas ( mahkota ) untuk mewakili
Kebantenan di tanah baru , seharusnya dan seperlunya dikelola.

Jelaslah bahwa, sejak saat itu, dengan penanggalan yang dikonversikan ke penanggalan
masehi jatuh pada tanggal 13 Oktober 1632; sudah ada pemerintahan kaum pribumi di daerah
antara Sungai Cidurian dan Sungai Cipamugas, yang kelak menjadi daerah Tangerang, Oleh
Karena itu, titimangsa ini layak dianggap sebagai Hari Lahir Kabupaten Tangerang11. Yang
Alhamdulilah sudah ditetapkan resmi menjadi Hari Jadi Kabupaten Tangerang diberlakukan
pertahun 2020.

Peranan Para Aria Tangerang dalam membangun kawasan Tangerang.

Setahun kemudian di tahun 1633 Masehi. kawasan perkampungan dirampungkan dan


kemudian dikenal dengan nama Lengkong Sumedang / Lengkong Kiai / Lengkong Ulama )
Yang dipimpin oleh RA Wangsakara .

RA Jayasantika diitugaskan sebagai Papager Jaya / kepala keamanan untuk darah pantai
utara yang berkedudukan di Muara, sementara itu, Pangeran Soeriadiwangsa II mendapat
tugas Geusan ngeridkeun balad ka Sumedang djalan Waringin Pitu ( Karawang )”. Melalui
perintah tersebut, jelas kiranya bahwa Pangeran Soeriadiwangsa , Pangeran Wiraraja II (
Raden Aria Wangsakara ), dan Pangeran Aria Santika membuka daerah antara Cisadane dan
Cidurian, Kampung tersbut kemudian berkembang dibawah kepemimpinan Raden

11
Herlina, Nina dkk. 2018. Tangerang Dari Masa ke Masa. Tangerang : Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Halaman 67
Wangsakara , Kampung yang kemudian bernama Lengkong Sumedang itu merupakan cikal
bakal wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Tangerang.

Sementara ada bangsawan lainnya yang mendapat tugas jabatan12 yakni Raden Wirajaya
menjadi Bale Kambang / kepala kebudayaan ( agama ) dan Raden Wangsa Dijaya sebagai
kepala Pertahanan di Sangiyang , selanjutnya rakyat dari daerah Pariyangan yang terancam
oleh kekuasaan Mataram datang berduyun-duyun kesini, mereka mengabdikan diri kedalam
pemerintahan Parahiyang yang baru, sehingga hanya dalam bebrapa tahun , wilayah ini sudah
ramai dengan penduduk dan aktivitasnya, Perdagangan di tepi Sungai Cisadane pun menjadi
semakin bergelora,

Pada tahun 1636 Masehi, sebuah pasukan tentara yang dipimpin oleh Tumenggung
Kuridilaga dari Kuripan (Bogor dan juga masih keturunan Sanghyang Anggalarang) , datang
berbondong – bondong ke Lengkong Sumedang, namun mereka bukan bermaksud menyerbu,
melainkan justru ingin bergabung dengan masyarakat Parahiyang di Tangerang, mereka yang
berjumlah 59 orang mengabdikan diri kepada Aria Wangsakara di Lengkong Sumedang .
maka tersebutlah ungkapan dalam bahasa Sunda “ Seket sanga sadrah pangabakti “ yang lima
puluh sembilan orang mengabdikan diri. Dalam silsilah kekerabatan dengan Kesultanan
Banten13, tercatat Tumenggung Kuridilaga sebagai saudara misan dari Ratu Siti Urianegara
yang kelak menjadi istri dari Sultan Ageng Tirtayasa (mulai bertahta tahun 1651) dan
bersaudara misan pula dengan Raden Senopati Ingalaga / Singadilaga, Tokoh yang kemudian
hari menjadi Panglima Kesultanan Banten dan pejabat setingkat Gubernur bagi Banten di
kawasan Tangerang, yang terdata baik dalam data lokal Sajarah Banten, Paririmbon Ka-Aria-
an Parahyang juga data Dagh Register Belanda, serta kelak menurunkan para bupati
Tangerang (RA Sutadilaga I – VI) di bawah VOC Belanda di tahun 1682, dimungkinkan
keluarga besar bangsawan asal Kuripan ini hijrah memasuki Tangerang Banten sejak tahun
1636 M.

Mereka diterima baik oleh para Aria, Tenaga mereka dimanfaatkan untuk membangun
ketentaraan Lengkong Sumedang, Tumenggung Kuridilaga diangkat sebagai kepala
pertahanannya. Di lain pihak pada masa itu, di Jatinegara ( Jakarta ) perang terus bergolak ,
Pangeran Soeriadiwangsa II dan pasukannya membantu perjuangan para keluarga Pangeran
Jayakarta dalam melawan Belanda, dalam kemelut yang terjadi, Pangeran Soeriadiwangsa
gugur di medan laga diperkirakan sekitar tahun 1636 Masehi.

Di bawah kepemimpinan para Aria, perdagangan masyarakat Tangerang terjamin, lada dan
pala dikirim dari pedalaman keluar daerah, sebagai gantinya, masyarakat mendapat plat besi
dan kanteh ( benang tenun ), Masyarakat juga mendirikan perbengkelan didarah Cada Malla ,
tujuannya untuk mmbuat alat-alat pertanian dan persenjataan ringan yang nanti bisa
digunakan oleh badan kamanan dan pertahanan rakyat.

12
Yasin, R. H Anwar & Mas Abdul Hanan. 2018 (editor = Tim Humas Pemerintah Kota Tangerang) Mula Jadi
Kota Tangerang. Tangerang : Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kota Tangerang. Halaman 20
13
Jasin, R. Angkagiri 1978. Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang salinan dari naskah tahun 1830 oleh Bale Adat
Kaum Parahyang atas perintah V.R.A Idar Dilaga. Halaman 4
Perdagangan alat pertanian dengan Banten dilakukan di Pamarayan, Dari sana, dimasukkan
hasil bumi dan lainnya untuk digunakan sendiri atau diperdagangkan keluar daerah , urusan
itu dikelola oleh Raden Tanumaja, Daerah pedalaman seperti Jasingan dan Rumpin juga
berkembang, mereka mengirimkan hasil bumi melalui ramainya lalu lintas Sungai Cisadane.

Ditengah gelora perdagangan ini, ada saudagar-saudagar Cina yang turut berperan , mereka
menyukai rempah-rempah, dan hasil bumi lainnya yang dipusatkan pemasarannya di Tanjung
Kait, sebagai alat tukarnya, mereka memberikan piring, mangkok, dan kantih.

Sementara itu, orang – orang Makasar yang memusatkan pemasarannya di Patra Manggala
menawarkan kopra, mereka datang tidak hanya untuk berdagang, tapi juga untuk kepentingan
agama di Sangiyang atau Tegal Kunir, Cadas Malela berkembang pesat, baik dari sisi
perdagangan maupun sains, disana ada Raden Wangsa Dijaya yang ikut memajukan
teknologi persenjataan, ia juga terkenal sebagai pakar keagamaan, khususnya soal ilmu falak
atau astronomi, karena kepandaiannya ini ia dijuluki Kiai Lebah Bulan.

Dari segi alat pertanian, Cadas Malela tidak hanya mengirimnya ke Banten, mereka bahkan
telah memiliki pelanggan diluar jawa. Saudagar-saudagar dari Makasar, Sumatera dan
Malaka sering berkunjung ke pelabuhan Muara untuk berdagang , orang-orang melayupun
memusatkan perdagangannya di tempat tersendiri yang disebut sebagai kampung Melayu,

Di bidang Kebudayaan, Raden Wirajaya selaku kepala Kebudayaan mendirikan Bal


Kambang ( Pesantren ) tingkat menengah , sekolah ini mengajarkan agama islam yang
disesuaikan dengan budaya pribumi, dengan begitu, rakyat yang mempunyai dasar agama
leluhur tetap bisa menerima kewajiban agama islam.

Bale kambang semakin diminati, banyak siswa dari luar daerah berdatangan ke Lengkong
Sumedang untuk belajar, Pengajaran Agama Islam di Lengkong Sumedang pun mendapat
nama baik dan meraih banyak pengikut dari luar daerah, inilah wujud keberhasilan Lengkong
Sumedang dalam mengajarkan agama, tidak ada pemaksaan , semua berjalan harmonis
menuju peradaban yang lebih baik. Juga pada tahun 1652 (sudah memasuki masa kekuasaan
Sultan Ageng Tirtayasa di Banten) bangsawan Ka-ari-an Parahyang lainnya yakni Raden
Tumenggung Kidang dan Raden Purba Prabangsa bersama 40 orang rombongannya hijrah
dan bergabung dengan kekuatan Banten di Tangerang. Kelak pada tanggal 1 juni 1660,
Sultan Banten membuat sebuah negeri besar ( Perkampungan ) yang terletak di sebelah Barat
Sungai Untung Jawa dengan memindahkan 5.000 – 6.000 penduduk ke wilayah tersebut yang
dipimpin oleh Radin Sina Patij dan Keaij Daman yang diangkat oleh Sultan Banten. Hal-hal
ini membuat Tangerang dari masa ke masa menjadi kawasan daerah yang makin berkembang
kemajuannya juga semakin ramai penduduknya.

Duta Besar Banten ke Mekkah

Selain kiprah peranan kepemimpinan dan pengembangan kemajuan di wilayah kawasan


Tangerang, menurut data Sajarah Banten, 2 dari 3 Paraksa yakni RA Wangsakara alias Mas
Wangsaraja dan RA Jayasantika alias Demang Tisnajaya, mengajukan diri kepada Sultan
Banten kala itu yang masih bergelar Pangeran Ratu Ing Banten, untuk ikut menjadi bagian
tim duta Banten ke Mekah bersama Lebe Panji, yakni sekitar tahun 1634 / 1636 M dan
kembali ke Banten sekitar tahun 1638 M14. Perjalanan ini menghasilkan kiprah prestasi
kepahlawanan diplomatik tingkat skala sekup nasional, karena melalui ijin dan restu Syarif
Mekah, Syarif Zaid Al Hasani, raja Banten, tahun 1638 mendapat gelar Sulthan (Sulthan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kodir, kakek dari dari Sultan Ageng Tirtayasa), diikuti
Makasar tahun 1639 dan Mataram tahun 1641. Dalam hal ini 2 dari 3 Paraksa ini berjasa
membangkitkan semangat nasionalisme dan membina kerjasama patriotisme antar kerajaan -
kerajaan di Nusantara dalam melawan penjajahan VOC Belanda. Saat ini RA Wangsakara /
Haji Mas Wangsaraja yang dimakamkan di Lengkong Kyai BSD Kabupateng Tangerang
sedang diusung untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Semoga hal ini berhasil dan bisa
ditindak lanjuti oleh pihak Pemkot Tangerang untuk mengusulkan pula Raden Aria
Jayasantika / Demang Tisnajaya yang dimakamkan di Batu Ceper Kota Tangerang sebagai
Pahlawan Nasional dari Kota Tangerang. Dan atau para tokoh sejarah Kota Tangerang
lainnya semisal Raden Aria Yudanegara dan Ki Mas Akdar yang dimakamkan di Sanghyang,
Raden Kuridilaga, Raden Aria Kabal ayah Nyi Mas Melati dan lain sebagainya.

Kepergian ke Mekah Haji Mas Wangsaraja / RA Wangsakara dan Jayasantika yang kembali
ke nusantara tahun 1638, berdasar data Sajarah Banten tersebut, kembali diulang RA
Wangsakara ke Mekah menjalankan ibadah haji yang kembali ke tanah air tahun 1651
berdasar data Paririmbon Ka- aria-an Parahyang. Kepulangan dari ibadah Haji di tahun 1651
ini, bersamaan pula dengan Sultan Ageng Tirtayasa mulai bertahta menggantikan mendiang
kakeknya dan mendapat gelar dari Mekah ; Sultan Abul Fath Abdul fattah. Pada masa itu
Sultan Ageng Tirtayasa, kemudian mengutus Senopati Singadilaga15 (saudara misan dari
Tumenggung Kuridilaga, juga sebagai ipar dari Sultan Ageng Tirtayasa) ke Lengkong
Sumedang, di Lengkong Sumedang disampaikan perintah Sultan Ageng bahwa masalah
keamanan di wilayah perbatasan dengan VOC menjadi tanggungjawab Pangeran
Wangsakara, selain itu Sultan Ageng pun memberikan julukan ”Ímam” kepada Wangsakara.
Untuk kepentingan pertahanan, Wangsakara membagi wilayah Lengkong Sumedang menjadi
dua wilayah pertahanan yaitu Gardu Kaler yang berpusat di Cibodas dipimpin oleh Ki
Kuridilaga dan Gardu Kidul yang berpusat di Kadipaten dibawah pimpinan Ki Wirajaya,
selain itu, dibangun pula garis pertahanan di sepanjang Cisadane yang dipimpin oleh
Tumenggung Kidang dan Ki Mauran.

Perjuangan Perang Melawan VOC Belanda di Tangerang.

Pada tahun 1654, terjadi pertempuran dengan VOC karena menolak rencana VOC membuat
jalan ke Banten , setelah bertempur selama tujuh bulan, pertempuran tersebut berhenti karena
adanya perjanjian damai antara Sultan Banten dan VOC wilayah-wilayah yang direbut oleh

14
Djajadiningrat, Hoesin. 1983. Tinjaun Kritis Tentang Sajarah Banten. Halaman 196 -197
15
Herlina, Nina dkk. 2018. Tangerang Dari Masa ke Masa. Tangerang : Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Halaman 68
kedua belah pihak menjadi wilayah kekuasaan mereka, Pasukan Lengkong Sumedang
berhasil merebut wilayah Kunciran sampai Tajur Kulon (Ciangke) yang kemudian diberi
nama Lengkong Wetan yang dipimpin oleh Tumenggung Kidang. Sebagai bentuk dukungan
terhadap perjanjian damai antara Banten dan VOC, Raden Wangsakara dan seluruh
pemimpin dari Lengkong Sumedang mendirikan Pager endeng ( Gerendeng ) dan Tugu
Tangger setinggi lima depa dengan jarak sekitar 40 tumbuk ke sebelah barat Cisadane dan
sebelah timur Cidurian, sebagai pembatas antara wilayah kekuasaan Batavia dan Banten.
Tugu ini terletak ditepi Barat Sungai Cisadane, tepatnya di Kampung Gerendeng atau ujung
Jalan Otto Iskandar Dinata sekarang. Tugu ini dibangun oleh Pangeran SoegIri, salah satu
putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Tugu ini ditulis menggunakan aksara Arab gundul
berbahasa Jawa kuno dialek Banten. Setelah ditranslitrasi, tulisannya adalah sebagai berikut:

Bismillah peget Ingkang Gusti


Dining sunjukut parenah dina sabtu
Ping Gang salsa partahun wau
Rengsena perang natek Tangger Nangeran
Bungas wetan cipamugas kilen Cidurian
Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang-Titi/XXX

Terjemahan:
Dengan nama Allah tetap yang Maha Kuasa
kami mengambil ketetapan pada hari sabtu
Tanggal 5 sapar tahun wau ( 5 Shafar 1065 Hijriah / 12 Desember 1654 M )
Sesudah perang, kita memancangkan tugu penanda peringatan
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas (Cisadane)
Dan Barat yaitu Cidurian
Semuanya ikut menjaga tanah kaum Parahyan.g

Tugu dianggap sebagai tanda pembatas satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dalam Bahasa
Jawa, tanda semacam ini disebut juga dengan tengger. Dalam bahasa Sunda Tanda ini juga
disebut tengeran. Dari kata yang terakhir inilah kemudian semakin Berkembang menjadi
Tanggerang atau Tangerang. Pada masa tersebut Raden Aria Wangsakara kemudian dilantik
menjadi Raden Aria Tanggeran I, Dimana dimulai periode ke II dari Tiga Paraksa Tangerang,
dari 1654 hingga Raden Aria Tanggeran IV di tahun 1704.
Pada Tahun 1657 – 1658 terjadi Pertempuran antara Pasukan Banten dan VOC di daerah
Tajur yang terus meluas hingga ke wilayah Ciangke, dalam pertempuran itu, pasukan Banten
berhasil merebut Benteng Sudimara sekaligus mengusir VOC ke wilayah sebelah timur
Ciangke, sebagai bentuk kemenangan , pasukan Banten membangun benteng pertahanan di
wilayah yang direbutnya.16 Kemudian pada tahun 1658 dan 1659 terjadi Pertempuran
diantara daerah Angke dan Tangerang. Dalam Pertempuran tahun 1658 / 1659 data sajarah
Banten mencatat nama-nama tokoh kepahlawanan Tangerang antara lain : Raden Senopati
Ingalaga sebagai Panglima Utama ( saudara ipar dari Sultan Ageng Tirtayasa ), Kiyai Haji
Mas Wangsaraja / RA Wangsakara ( istrinya beliau adalah misan dari Sultan Ageng
Tirtayasa ) , beliau adalah ulama yang turut berjuang dan memimpin doa bagi pasukan
Banten, juga bersama Demang Tisnajaya yang mana mereka berperang menggunakan strategi
formasi Manuk Dadali, peperangan tersebut diakhiri perjanjian damai pada tanggal 10 juli
1659, dicapai kesepakatan antara banten dan VOC bahwa Cisadane merupakan tapal batas
mereka , tanah di sebelah timur Cisadane merupakan wilayah VOC dan tanah di sebelah barat
Cisadane menjadi wilayah Kesultanan Banten, untuk menjaga Keamanan daerah tersebut ,
VOC memasukan wilayah timur Cisadane ke dalam wilayah administrasi Batavia, status
wilayah tersebut mula-mula hanyalah distrik militer dari wilayah Batavia bagian barat dan
dikepalai seorang schout ( Komandan ) .

VOC mengetahui bahwa Banten melakukan penjagaan yang kuat di perbatasan sehingga
dikirimlah pasukan untuk menjaga wilayah perbatasannya, Akibatnya peprangan tidak dapat
dihindarkan dan berlangsung lama, banyak kapal VOC dirampok ditengah lautan, pelayaran
VOC mendapat gangguan dari rakyat Banten.

Untuk memperkuat pertahanannya di wilayah yang berbatasan dengan VOC , berdasarkan


informasi dari Resolusi tanggal 1 juni 1660, Sultan Banten membuat sebuah negeri besar
( Perkampungan ) yang terletak di sebelah Barat Sungai Untung Jawa dengan memindahkan
5.000 – 6.000 penduduk ke wilayah tersebut, Pembangunan kampung tesebut dibenarkan oleh

16
Herlina, Nina dkk. 2018. Tangerang Dari Masa ke Masa. Halaman 70 -71
VOC yang mengirim seorang mata-mata yang berlayar sepanjang Sungai Untung Jawa,
Delapan tahun setelah perkampungan terbentuk di tahun 1668, dimana kawasan tersebut
dipimpin oleh Radin Sina Patij dan Keaij Daman yang diangkat oleh Sultan Banten.

Dalam Dagh Register tanggal 4 Maret 1680, penguasa wilayah Cisadane adalah Keaij Dipattij
dengan gelar Kiai Aria Soetadalaga, pada saat wilayah timur Cisadane di kuasai oleh VOC,
Soetadilaga , Soebraja ( anaknya) dan 143 orang pengiring dan tentaranya, tidak meminta
perlindungan kepada Sultan Banten, melainkan menyatakan keinginannya untuk mengabdi k
Batavia, Penguasa Batavia menerima penyerahan diri Kiai Aria Soetadilaga dan Sobraja serta
menyerahkan kekuasaan atas wilayah tersebut kepada mereka, VOC memberi tugas kepada
mereka untuk membantu VOC merebut wilayah Keariaan Tanggeran. kemudian mereka
memerangi pasukan Banten dan berhasil memukul mundur pasukan Banten dari wilayah
perbatasan, lantas VOC menganugerahi penghargaan kepada mereka, Kiyai Dipati Soetadilaga
di anugerahi gelar Kiyai Aria Soetadilaga , yang pada tanggal 2 Juli 1682 diangkat VOC
belanda sebagai Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi daerah antara Sungai Angke dan
Cisadane. anak Beliau Soebraja dianugerahi gelar Raden Aria Soeriamanggala.17

Sejak itu wilayah Tangerang dan juga Banten mengalami konflik Internal Devide Et Impera
( adu domba ) selain perpecahan di Pemimpin Tangerang begitu pula terjadi perpecahan di
Kepemimpinan Kesultanan Banten, antara Sultan Ageng Tirtyasa dengan Sultan Haji.

Pada tanggal 17 April 1684 Kepemimpinan Kesultanan Banten telah resmi dipimpin oleh Sultan
Haji, dan mengadakan perjanjian Politik dan Perdamaian dengan VOC Belanda sehingga secara
De Jure penguasaan Wilayah Tangerang oleh Banten lepas kepada VOC Belanda akan tetapi
para pemimpin Keariaan Tangerang tidak sepenuhnya tunduk kepada VOC sehingga beberapa
kali terjadi Konflik dan baru berhasil dikuasai Belanda di tahun 1711 / 1712. Selepas
tertangkapnya Aria Tangerang ke- IV struktur perintahan tradisional oleh VOC Belanda tidak
diubah dan tetap dipertahankan dengan jabatan Aria Gerendeng I sampai dengan V dari tahun
1748 hingga 1870.

Para Pemimpin Wilayah Tangerang dari masa periode


Kesultanan Banten hingga masa VOC Belanda

Dalam buku De Haan Priangan de Preanger – Regentschappen onder ht Nederlandsch


Bestuur tot 1811 ( De Haan, 1912) , tercatat Gubernur Tangerang ialah Pangeran Dipati
dibawah Sultan Ageng Tirtayasa Banten menguasai daerah yang dikepalai oleh para kepala
daerah Aria / Bupati dimana nama Lengkong dipinggir barat Cisadane juga ikut tercatat di
dalamnya18.

Dari sejarah – sejarah kepemimpinan Tangerang yang diungkap diatas maka dapat disusun
daftar kepemimpinan Tangerang yang terbagi atas beberapa periode.

17
Herlina, Nina dkk. 2018. Tangerang Dari Masa ke Masa. Halaman
82 -83
18
Tjandrasasmita, Uka 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Halaman 126 -127
I. Tiga Raksa Aria Tangerang Periode I ( 1632 hingga 1654 )19
1. Raden Aria Soeriadiwangsa II
2. Raden Aria Jayasantika
3. Raden Aria Wangsakara

II. Aria Tangerang Periode II ( 1654 - 1704 )

1. Aria Tanggeran I / R.A Wangsakara ( 1654 - 1665 )


2. Aria Tanggeran II / R.A Yudhanegara ( 1665 – 1693 )
3. Aria Tanggeran III/ R.A Raksanegara ( 1693 – 1703 )

Tiga Aria Tanggeran periode ini dikenal Tiga Raksa Periode II setelah mereka Aria
Tanggeran masih di teruskan kepemimpinannya oleh

4. Aria Tanggeran IV / R.A Kidang 20 ( 1703 - 1704 ) adalah

Di masa Aria Tanggeran Periode II ini terjadi pemekaran wilayah di tahun 1660 sehingga ada
kepemimpinan Gubernur Tanggeran, antara lain :

1. Raden Senopati Tanggeran


2. Raden Aria Wangsadirja
3. Kiyai Aria Soetadilaga

Yang mana Kiyai Aria Soetadilaga kemudian menjadi Bupati Tanggeran pada masa VOC
Belanda yang dilanjutkan dengan daftar Bupati sebagai berikut

Daftar Bupati – Bupati Tangerang pada Masa VOC21

Nama Bupati Tahun Keterangan

1. Kiai Aria Sutadilaga I 1682- 1739 Bupati Pertama yang diangkat


VOC
2. Kiai Aria Sutamanggala I 1739
3. Kiai Aria Sutamanggala II 1739 – 1741 Diberhentikan Oleh VOC
4. Kiai Aria Sutadilaga II 1741 – 1751 Tewas oleh Kiai Tapa
5. Kiai Aria Sutadilaga III 1751 – 1765 Dipecat VOC dan dibuang ke
Pulau Dam Karena Pemabuk
6. Mas Glissar 1765 – 1766 Dipecat VOC karena Pemadat
dan Penjudi
7. Aria Sutadilaga IV 1766 – 1771

19
Jasin, R. Angkagiri 1978. Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang salinan dari naskah tahun
1830 oleh Bale Adat Kaum Parahyang atas perintah V.R.A Idar Dilaga halaman 4
20
Jasin, R. Angkagiri 1978. Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang salinan dari naskah tahun
1830 oleh Bale Adat Kaum Parahyang atas perintah V.R.A Idar Dilaga halaman 12
21
Herlina, Nina dkk. 2018. Tangerang Dari Masa ke Masa. Tangerang : Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Halaman 89 - 90
8. Aria Sutadilaga V 1771 – 1773
9. Tumenggung Aria Sutadilaga VI 1773 – 1802

Sumber : Aardrikundig en Statistich Woordenboek van Nederlandsch Indi I, 1861 – 315; Dag Register
v.h Casteel Batavia 24 Novembr 1682;de haan, I, 1910; 67, Gewone Resoluti van het Castel
Batavia, 27 Desember 1765, 30 Desember 1766, Gewone Resolutie van het Casteel Batavia ,
30 Desember 1791, Gewone Resolutie van het Casteel Batavia , 30 Maret 1769,

Di masa tahun 1748 terjadi pembagian wilayah antara Tangerang dan Gerendeng. Para
Bangsawan di kawsan Gerendeng memiliki latar belakang sejarah yang berbeda kubu dengan
keluarga Bupati Tangerang sehingga kubu bangsawan yang bersebrangan dengan Bupati
Tangerang Tersebut di pimpin oleh Aria Gerendeng22 yang awalnya dipimpin oleh Pendatang
Arab pilihan Belanda namun kemudian berhasil dilanjutkan kepemimpinannya dari kalangan
Aria Parahyang dengan daftar pemimpin sebagai berikut

1.Aria Gerendeng I / Maulana Syarif Abdullah Tahun 1748-1751


2.Aria Gerendeng II / Raden Ramdon Bin Bagoes Uning Bin R.Pamit Wijaya Bin R. Tmg.
Kuridilaga Tahun 1751-1775
3.Aria Gerendeng III / R.Soetadiwangsa Bin Tumenggung Tanuwinata Bin R. Raksanegara
Tahun 1775-1802
4.Aria Gerendeng IV / R. Soetadilaga (kalipasir) Bin Aria Garendeng II Tahun 1802 - 1823

5.Aria Garendeng V/ R. Idar Dilaga Bin Aria Gerendeng IV Tahun 1827-1870

Di masa selanjutnya status Ke Bupatian atau Ke Arian Di ambil alih oleh VOC Ke
Batavia dan status nya di bagi menjadi Kewedanaan.

22
Jasin, R. Angkagiri 1978. Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang salinan dari naskah tahun 1830 oleh Bale Adat
Kaum Parahyang atas perintah V.R.A Idar Dilaga halaman 13 , 14 dan 18
Dalam kaitan kekerabatannya dengan masyarakat Cina Benteng, tercatat dalam Paririmbon
Ka-Aria-an Parahyang bahwa Aria Gerendeng V yakni Raden Idar Dilaga menikahi wanita
Cina bernama Pe Nio alias Nyai Siti Hamimah dan berputra 7. Lantas Aria Gerendeng I
memiliki cucu Demang Ramelan yang beristri Oeiy Po Seng yang memiliki anak bawaan
Oeiy Hoat Seng alias Raden Muhamad Zidar, yang tahun 1825 menjabat sebagai Hoof
Insfecteur untuk urusan kebun- kebun dan tanah se -ka Ariaan.
DAFTAR PUSTAKA

Cortesao, Armado (Peny.) 2015 . Summa Oriental. Karya Tome Pire Pires Perjalanan dari
Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues. Terj. Adrian Perkasa dan Anggita
Pramesti , Yogyakarta ; Ombak.

Djajadiningrat, Hoesin. 1983. Tinjaun Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta : Penerbit
Djambatan

Herlina, Nina dkk. 2018. Tangerang Dari Masa ke Masa. Tangerang : Pemerintah Kabupaten
Tangerang.

Jasin, R. Angkagiri 1978. Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang salinan dari naskah tahun 1830
oleh Bale Adat Kaum Parahyang atas perintah V.R.A Idar Dilaga. Tangerang

Latif, R. Abdul dkk , 2008. Insun Medal Insun Madangan Sumedang Larang. Yayasan
Pangeran Sumedang.

Pudjiastuti, Titik, 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. (Sajarah Banten) . Jakarta :
Wedatama Widya Sastra.

Thresnawaty, euis. 2015, Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota


Tangerang, dalam Patanjala Vol. 7 No. 1 Maret halaman 49 – 64.

Tjandrasasmita, Uka 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : Gramedia

Yasin, R. H Anwar & Mas Abdul Hanan. 2018 (editor = Tim Humas Pemerintah Kota
Tangerang) Mula Jadi Kota Tangerang. Tangerang : Bagian Humas dan Protokol Pemerintah
Kota Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai