Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan
yang keras dan tahan lama. Nganjuk merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang menjadi gudang prasasti dari periode klasik. Namun sayangnya, banyak prasasti yang ditemukan di Nganjuk kondisinya sudah aus, sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi. Beruntung masih ada beberapa prasasti di Nganjuk yang masih bisa terbaca dan isinya memberikan sumbangsih besar bagi kajian sejarah Nusantara. Prasasti-prasasti di Nganjuk tersebut mengisi mata rantai sejarah yang penting, karena mampu menjelaskan berbagai peristiwa besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan klasik di Jawa Timur. Prasasti yang pertama adalah Prasasti Kinawe yang ditemukan di Tanjung Kalang - Ngronggot yang dikeluarkan pada tanggal 28 November tahun 928 Masehi. Prasasti ini berisi peresmian desa (wanua) Kinawe watek Kadangan, dengan hak Sima sebagai desa yang dibebaskan dari pembayaran kepada raja. 2
Prasasti yang kedua adalah
Prasasti Hering yang ditemukan di Kujon Manis - Warujayeng yang dikeluarkan pada tanggal 22 Mei tahun 934 Masehi. Prasasti ini menceritakan kegiatan pembelian tanah sawah di wilayah Hering oleh Pu Danghil selaku penguasa Watek Marganung, sehingga watek Marganung mengalami perluasan ke utara. Peristiwa itu disaksikan oleh Maharaja Sindok dan para pejabat kerajaan hingga pejabat tingkat desa. Kelak Watek Marganung sebelah selatan disebut Ganung Kidul dan Marganung sebelah utara disebut Ganung Lor atau disebut juga Keringan yang merupakan evolusi dari kata nama Hering. Prasasti yang ketiga adalah Prasasti Jayastamba atau Prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di Candirejo - Loceret yang dikeluarkan pada tanggal 10 April tahun 937 Masehi. Prasasti ini menceritakan tentang Raja Pu Sindok yang memerintahkan agar tanah sawah kakatikan di Anjukladang dijadikan 3
sima dan dipersembahkan kepada bathara di sang hyang prasada
kabhaktyan di Candi Sri Jayamerta. Prasasti ini dianggap sebagai cikal bakal lahirnya Kota Nganjuk, sehingga kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kota Nganjuk. Menurut Sejarahwan Belanda, De Casparis, Prasasti Anjuk Ladang merupakan monumen kemenangan terhadap serangan musuh dari Malayu atau Sriwijaya. Atas jasa masyarakat Anjuk Ladang, maka dianugerahkanlah status sima swatantra (desa bebas pajak) di Anjuk Ladang. Prasasti yang keempat adalah Prasasti Bandar Alim yang ditemukan di Desa Bandar Alim-Tanjunganom yang dikeluarkan pada tahun 985 Masehi. Prasasti ini ditulis oleh Kaki Manta yang berisi penghormatan kepada Dewa Lokapala. Dewa Lokapala yang dimaksud pada prasasti ini adalah Sri Lokapala yaitu menantu dari Pu Sindok atau suami dari Isanatunggawijaya. Dari prasasti ini dapat diketahui bahwa pewaris tahta Pu Sindok kemungkinan besar adalah menantunya yaitu Sri Lokapala. 4
Prasasti yang kelima
adalah Prasasti Mataji yang merupakan prasasti in situ (berdiri di lokasi aslinya) di Desa Bangle- Lengkong yang dikeluarkan pada tahun 1051 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan oleh seorang raja Śrī Mahārajyetêndrakara Wuryyawīryya Parakramā Bhakta dan Śrī Mahārajyetêndra Paladewa. Raja tersebut memberikan anugerah sima (desa bebas pajak) kepada penduduk desa Mataji yang selalu membantu perang melawan musuh-musuh yang sering mengganggu. Terdapatnya kata Panjalu menyiratkan bahwa Desa Mataji Lengkong masih merupakan wilayah dari Kerajaan Panjalu yang kemungkinan pada saat itu sering menjadi titik peperangan antara Kerajaan Panjalu dengan Jenggala. Prasasti yang keenam adalah prasasti yang baru-baru ini ditemukan di Ngetos yang di dalamnya memuat angka tahun 1032 Saka (1110 Masehi) yaitu berada pada era Kerajaan Panjalu, dimana di dalamnya disinggung tentang pemberian status sima dan menyebut juga wilayah Kanuruhan. Belum bisa ditarik suatu kesimpulan lebih jauh mengenai isi prasasti ini, karena sebagian besar aksara sudah aus tidak terbaca lagi. 5
Prasasti yang ketujuh adalah Prasasti Berbek yang ditemukan
di halaman kontrolir Belanda di Berbek yang dikeluarkan pada tahun 1338 Saka atau 1416 Masehi. Tidak ada keterangan pustaka tentang prasasti ini, namun dilihat dari angka tahunnya maka prasasti tersebut dikeluarkan pada era Kerajaan Majapahit pimpinan Raja Wikramawardhana. Sebenarnya masih banyak lagi prasasti atau batu bertulis kuno yang ditemukan di Nganjuk, namun sayangnya kondisinya sudah aus, sehingga sudah tidak terbaca, antara lain: dua buah koleksi prasasti di Museum Anjuk Ladang dan prasasti berukuran 2 meter yang roboh di sebuah perkebunan jagung di daerah Ngluyu. Demikianlah gambaran sebaran prasasti-prasasti era klasik yang ada di wilayah Kabupaten Nganjuk sampai dengan saat ini.