Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Paradigma profesi perawat telah mengalami kemajuan yang pesat

dewasa ini. Perawat tidak lagi dianggap semata-mata sebagai “asisten”

dokter, namun profesi perawat telah disadari memiliki spesifikasi dan

keahlian khusus yang berbeda dengan dokter. Profesi perawat juga memiliki

ruang lingkup pelayanan kesehatan yang luas dan paling banyak

bersentuhan langsung dengan klien. Keperawatan merupakan pelayanan

profesional, karena perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan harus

didasarkan pada metode penyelesaian masalah secara ilmiah (scientific

problem solving) dengan berlandaskan teknologi secara tepat guna serta

menggunakan keterampilan interpersonal, teknis dan intelektual.1

Profesi perawat mutlak diperlukan dalam suatu instansi pelayanan

kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, dan klinik kesehatan untuk

melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan. Namun dalam kenyataannya,

kebutuhan masyarakat terhadap asuhan keperawatan seringkali tidak hanya

di dalam lingkup instansi kesehatan, tetapi juga di luar instansi kesehatan.

Misalnya dalam kasus klien stroke yang selesai menjalani perawatan di

rumah sakit, selanjutnya klien tersebut tetap membutuhkan perawatan

kesehatan sehari-hari di rumah. Perawatan ini akan sulit diberikan oleh

1
Kusnanto. Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. (Jakarta: EGC. 2004). Hal.44

1
2

instansi kesehatan, sehingga dibutuhkan peran perawat di luar instansi

kesehatan untuk memberikan asuhan keperawatan secara privat pada klien.

Kehadiran profesi perawat yang menyediakan praktik mandiri

sebenarnya telah lama dinantikan oleh masyarakat. Namun sekian lama para

perawat di Indonesia tidak berani membuka praktik mandiri, karena alasan

legalitas atau belum adanya payung hukum yang jelas. Berlakunya Undang-

Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran membuat profesi

perawat kian termarginalkan, karena profesi dokter diberi kewenangan

membuka praktik mandiri bagi masyarakat, sedangkan profesi perawat

belum mendapat perlindungan hukum yang jelas. Perawat enggan membuka

pelayanan paraktik mandiri, karena takut melakukan tindakan overlapping

atau bertindak di luar batas area profesinya, sehingga terjadi tumpang tindih

antara praktik keperawatan dengan praktik kedokteran.2 Akibatnya, perawat

hanya menggantungkan profesinya pada fasilitas pelayanan kesehatan dan

tidak dapat mengembangkan profesinya secara mandiri. Jika ada perawat

yang bersedia membantu melayani masyarakat secara informal, hal itu

dilakukan secara tidak terbuka atau ilegal.

Ketidakjelasan status hukum profesi perawat mencerminkan

ketidakadilan atau marginalisasi profesi keperawatan dibandingkan profesi

kedokteran. Idealnya, sebagaimana profesi kedokteran telah mendapat

perlindungan hukum, maka profesi perawat juga perlu mendapatkan

perlindungan hukum dalam menjalankan praktik keperawatan mandiri,

2
Shanti Dwi Kartika. Urgensi Undang-Undang Tentang Keperawatan. (Sumber: https://shantidk.
wordpress.com. 2012). Diunduh tanggal 14 Maret 2017. Jam 18.20 WIB.
3

karena keperawatan merupakan pelayanan profesional yang memiliki

otonomi, bertanggung jawab dan bertanggung gugat, menggunakan metode

ilmiah, berdasarkan standar praktik dan kode etik profesi dan mempunyai

aspek legal. Walaupun Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes

No.148 tahun 2010 tentang Praktik Mandiri Perawat, namun Undang-

undang keperawatan tetap diperlukan untuk memberikan kepastian

perlindungan hukum bagi perawat yang menjalankan praktik keperawatan.

Bercermin dari permasalahan legalitas profesi perawat, maka pada

tanggal 25 September 2014, pemerintah dan DPR telah mengesahkan

Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan. Dalam UU

Keperawatan tersebut, telah diatur mengenai persyaratan bagi perawat yang

akan membuka praktik keperawatan mandiri serta diperjelas batsan-batasan

kewenangan perawat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

sesuai kondisi yang dihadapi. Status hukum perawat juga diatur dengan

mekanisme yang jelas, sehingga perawat sejajar kedudukannya dengan

dokter sebagai tenaga kesehatan. Dengan berlakunya UU Keperawatan,

maka diharapkan perawat semakin termotivasi meningkatkan potensinya

dan segera melakukan registrasi kepada Konsil Keperawatan untuk

mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 jumlah

tenaga perawat yang telah terregistrasi atau telah mendapatkan Surat Tanda

Registrasi (STR) sebanyak 281.111 orang.3 Kemudian pada tahun 2015,

3
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. (Balitbang Kemenkes RI. 2014). Lampiran 3.6.
4

setelah diberlakukannya UU Keperawatan, jumlah tenaga perawat yang

telah terregistrasi meningkat tajam menjadi 384.971 orang.4 Hal ini

menunjukkan tingginya respon perawat dalam menyambut kepastian status

hukum bagi profesinya setelah berlakunya UU Keperawatan. Dengan

terregistrasi perawat melalui Surat Tanda Registrasi (STR), maka perawat

dapat mengurus ijin praktek mandiri. Hal ini juga berlaku bagi perawat yang

bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas

dan klinik kesehatan, mereka tetap dapat bekerja pada instansi tersebut, dan

di luar jam kerja mereka juga dapat membuka praktik mandiri di tengah

masyarakat.

Walaupun UU Keperawatan sudah disahkan sejak tahun 2014,

namun kondisi di lapangan seringkali menunjukkan perawat masih enggan

membuka praktik mandiri karena berbagai alasan. Berdasarkan wawancara

pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 10 orang perawat yang bertugas

di beberapa rumah sakit swasta di kawasan Kota Surabaya, seluruh perawat

tersebut menyatakan enggan membuka praktik mandiri. Alasan yang

dikemukakan sebagian besar karena mereka masih belum memahami status

hukum praktik keperawatan mandiri dan prosedur pengurusannya

berdasarkan UU Keperawatan tersebut. Alasan lain adalah karena perawat

sudah merasa nyaman dan ingin fokus berkarier di rumah sakit tempat

mereka bekerja sekarang. Jika mereka membuka praktik keperawatan

mandiri memiliki risiko kalah bersaing dengan dokter praktik dan klinik-

4
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. (Balitbang Kemenkes RI. 2015). Lampiran 3.9.
5

klinik kesehatan, karena eksistensi status praktik keperawatan mandiri

masih belum dikenal oleh masyarakat umum.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti sangat tertarik

untuk meneliti lebih jauh tentang: “Eksistensi Status Praktik

Keperawatan Mandiri Berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 2014

tentang Keperawatan.”

1.2. Rumusan Masalah

Setelah menguraikan latar belakang masalah, maka permasalahan

yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana tinjauan normatif Praktik Keperawatan Mandiri berdasarkan

Undang-Undang No.38 tahun 2014?

2. Bagaimana eksistensi status profesi Praktik Keperawatan Mandiri

berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 2014?

1.3. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan profesi

keperawatan, khususnya dalam mendukung praktik keperawatan mandiri.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat memberikan pertimbangan bagi profesi

perawat yang ingin membuka praktik keperawatan mandiri, baik


6

praktik secara penuh maupun praktik sampingan di luar jam kerjanya

di rumah sakit.

b. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan masayarakat tentang

status dan eksistensi praktik keperawatan mandiri dan kontribusinya

bagi pelayanan kesehatan masyarakat.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya

yang hendak mengambil objek penelitian sejenis.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adakah untuk:

1. Mengetahui tinjauan normatif Praktik Keperawatan Mandiri berdasarkan

Undang-Undang No.38 tahun 2014.

2. Menjelaslam eksistensi status profesi Praktik Keperawatan Mandiri

berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 2014.

1.5. Kajian Pustaka dan Kerangka Teori

1.5.1. Kajian Pustaka

1.5.1.1. Konsep tentang Eksistensi

1. Pengertian Eksistensi

Secara etimologi, eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu

excitence; dari bahasa latin existere yang berarti muncu, ada, timbul,
7

memilih keberadaan aktual. Dari kata ex berarti keluar dan sistere

yang berarti muncul atau timbul. Beberapa pengertian secara

terminologi, yaitu pertama, apa yang ada, kedua, apa yang memiliki

aktualitas (ada), dan ketiga adalah segala sesuatu (apa saja) yang di

dalam menekankan bahwa sesuatu itu ada. Berbeda dengan esensi

yang menekankan kealpaan sesuatu (apa sebenarnya sesuatu itu

seseuatu dengan kodrat inherennya). 5

Abidin mengemukakan bahwa eksistensi adalah proses yang

dinamis, sesuatu “menjadi” atau “mengada”. Ini sesuai dengan asal

kata eksistensi itu sendiri, yakni existere yang artinya “keluar dari”,

“melampaui” atau “mengatasi”. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan

terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan

atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam

mengaktualisasikan potensi-potensinya.6

Graham mengemukakan bahwa eksistensi merupakan istilah

yang diturunkan dari kosakata Latin existere yang berarti lebih

menonjol daripada (stand out), muncul, atau menjadi. Eksistensi

dngan demikian berarti kemunculan, sebuah proses menjadi ada, atau

menjadi, daripada berarti kondisi mengada (state of being).7

5
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005). Hal.183.
6
Zainal Abidin. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. (Bandung: PT. Remaja
Rosdokarya. 2007). Hal. 16.
7
Helen Graham. Psikologi Humanistik. Terj. Achmad Chausairi dan Nur Alfian Ilham.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005). Hal. 114.
8

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan

bahwa secara umum, eksistensi berarti keberadaan. Akan tetapi,

eksistensi sesungguhnya memiliki arti sebagai cara berada manusia,

bukan lagi apa yang ada, tapi, apa yang memiliki aktualisasi (ada).

Eksistensi adalah proses atau gerak untuk menjadi ada kemudian

melakukan suatu hal untuk tetap menjadi ada. Dalam konteks

penelitian ini, eksistensi yang dimaksud mengacu pada keberadaan

atau kemunculan suatu profesi, yaitu Praktik Keperawatan Mandiri

yang secara hukum telah dijamin adn diatur oleh Undang-Undang

No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan.

2. Tinjauan Filsafat Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala

dengan berpangkal pada eksistensi. Tujuan eksistensialisme sendiri

mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia seharusnya hidup

sesudah ilusi tentang kebebasannya hancur berantakan oleh mala

petaka dalam sejarah. Jadi eksistensi adalah bagaimana cara manusia

berada, memahami akan keberadaannya, mengaktualisasikan segala

potensi yang ada tanpa melepaskan dari Tuhan.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang bersifat teknis, yang

tergambar dalam berbagai sistem, yang berbeda satu sama lain.

Namun, ada beberapa subtansi atau hal yang sama di antaranya

sehingga bisa dikatakan sebagai filsafat eksistensialisme. Substansi-

substansi tersebut adalah:


9

a. Motif pokoknya adalah cara manusia berada atau eksistensi. Hanya

manusialah yang bereksistensi. eksistensi adalah cara yang khas

manusia berada. Pusat perhatian terletak pada manusia. Oleh

karena itu bersifat humanistik.

b. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti

menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat,

menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau

kurang dari keadaannya semula.

c. Di dalam filsafat eksistensialisme, manusia dipandang sebagai

terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih

harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia

sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesamanya manusia.

d. Filsafat eksistensialisme memberikan tekanan yang sangat besar

kepada pengalaman yang eksistensial. Arti pengalaman ini

berbeda-beda antara satu filosof dengan filosof yang lainnya. Ada

yang memberi tekanan kepada pengalaman keagamaan, kematian,

penderitaan, kesalahan, dan lain sebagainya.8

Eksistensialisme jika ditinjau dari sudut fungsinya dibedakan

menjadi dua. Eksistensialisme metodis dan eksistensialisme ideologis.

Eksistensialisme metodis adalah bentuk pemikiran yang menggunakan

konsep konsep dasar eksistensialisme manusia, seperti; pengalaman

personal, sejarah situasi individu, kebebasan, sebagai alat atau sarana

8
Harun Hadiwijiono. Sari Sejarah Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius. 1980). Hal.155.
10

untuk membahas tema-tema khusus dalam kehidupan manusia.

Sedangkan eksistensialisme ideologis merupakan kebalikannya,

merupakan suatu bentuk pemikiran eksistensialisme yang

menempatkan kategori-kategori atau konsep-konsep dasar

eksistensialisme manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih

dalam membahas setiap problema hidup dan kehidupan manusia pada

umumnya. Jenis eksistensialisme ini berusaha mengabsolutkan

seluruh kategori-kategori eksistensi manusia sebagai satu-satunya

kebenaran.36

1.5.1.2. Konsep Dasar tentang Profesi Keperawatan

1. Pengertian Profesi Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang

merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada

ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan biopsiko, sosio,

spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga,

kelompok, masyarakat, baik sehat maupun sakit, mencakup seluruh

proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan adalah bantuan

yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental,

keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan menuju kepada

kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.9

9
Aziz Alimul Hidayat. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. (Jakarta: Penerbit Salemba
Medika. 2004). Hal.4.
11

Menurut Undang-Undang Keperawatan, pengertian keperawatan

adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga,

kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat.

Sedangkan perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan

tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui

oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.10

Keperawatan di Indonesia sedang berkembang yang semula

masih mengutamakan tindakan prosedural (pelayanan medis) dan

mempunyai ketergantungan tinggi terhadap profesi lain (khusus

dokter) kini menjadi asuhan keperawatan yang berdasarkan: metode

ilmiah, dilaksanakan atas dasar ilmu dan kiat, bersifat mandiri,

dilandasi kode etik, adanya tanggung gugat, adanya standar profesi. 11

2. Asuhan Keperawatan Profesional

Asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional

yang merupakan bagian integral pelayanan rumah sakit secara

menyeluruh, yang mendukung keberhasilan pencapaian tujuan rumah

sakit.12 Dalam penerapan asuhan keperawatan, perawat menggunakan

standar praktik keperawatan profesional sebagai pedoman. Standar

praktik keperawatan profesional di Indonesia dijabarkan oleh PPNI,

10
Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan. Pasal 1.
11
Ma’rifin Husein. Upaya membina Sikap dan Kemampuan Profesional Perawat. (Jakarta:
Yayasan Universitas Pelita Harapan dan Siloam Glereagles Hospital. 1995). Hal.28.
12
Sapto Pawelas Arso. Perawat dan Program Keperawatan di Rumah Sakit. Materi Kuliah
Organisasi Manajemen Rumah Sakit. (Semarang: Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Universitas Diponegoro. 2009).
12

terdiri dari lima standar: 1) Pengkajian, 2) Diagnosa, 3) Keperawatan,

4) Intervensi, 5) Evaluasi. Asuhan keperawatan secara umum diartikan

sebagai pendekatan dalam pemecahan masalah yang sistematis untuk

memberikan perawatan terhadap setiap orang.13

a. Pengkajian adalah tahap awal dari asuhan keperawatan yang

merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data

dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan. Kegiatan pengkajian meliputi

pengumpulan data dan analisa data. Hal-hal yang harus

diperhatikan dalam pengumpulan data adalah tipe data dan

karakteristik data. Tipe data dalam pengkajian ada dua yaitu : data

subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang didapat

dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan

kejadian. Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat

secara independen tetapi melalui suatu interaksi/komunikasi. Data

objektif adalah data yang diobservasi dan diukur melalui inspeksi,

auskultasi, perkusi, dan palpasi. Data dapat diperoleh dari berbagai

sumber antara lain: klien, orang terdekat, catatan klien, riwayat

penyakit, konsultasi, hasil pemeriksa diagnosa, catatan medis dan

anggota tim kesehatan lain, perawatan lain dan kepustakaan.14

13
Nursalam. Kompetensi Perawat Hasil Konvensi – PPNI & BNSP. (Jakarta: PPNI. 2006).
14
Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. (Jakarta: Salemba
Medika. 2005). Hal.46.
13

b. Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai respon

seseorang, keluarga atau masyarakat terhadap proses

kehidupan/masalah kesehatan baik aktual maupun potensial. Ada

empat tipe diagnosa keperawatan, yaitu: 1) diagnosa keperawatan

aktual, menggambarkan respon manusia terhadap kondisi

kesehatan/proses kehidupan yang terjadi pada individu, keluarga

atau komunitas. Menegakkan diagnosa aktual harus ada unsur

Problem (P) + Etiology (E) atau Problem (P) + Etiology (E) + Sign

dan Sympton (S) yang memenuhi kriteria mayor dan sebagian

kriteria minor, 2) diagnosa keperawatan risiko, menggambarkan

respon manusia terhadap kondisi kesehatan/proses kesehatan yang

mungkin berkembang dalam individu, keluarga, atau masyarakat

yang rentan. Menegakkan diagnosa risiko harus ada unsur PE, 3)

diagnosa keperawatan sindrom, sekelompok tanda dan gejala yang

hampir selalu muncul secara bersamaan, 4) diagnosa keperawatan

kesejahteraan, menggambarkan respon manusia terhadap tingkat

kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat yang mempunyai

tingkat kesejahteraan lebih tinggi.15

c. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk

mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang

diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah

menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana

15
NANDA. Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2005-2006. (Philadelphia: NANDA
International. 2005). Hal.108.
14

dokumentasi. Komponen yang perlu diperhatikan untuk

mengevaluasi rencana tindakan keperawatan adalah menentukan

prioritas utama, menentukan kriteria hasil, menentukan rencana

tindakan dan dokumentasi. Dalam menentukan perencanaan perlu

menyusun suatu sistem untuk menentukan diagnosa yang akan

diambil tindakan pertama kali. Salah satu sistem yang bisa

digunakan adalah hirarki kebutuhan manusia. Contoh hirarki yang

bisa digunakan adalah Hirarki Maslow dan Hirarki Kalish.16

d. Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai

tujuan yang spesifik. Tindakan keperawatan meliputi tahap

persiapan, pelaksanaan dan dokumentasi. Tindakan keperawatan

dibedakan menjadi tindakan independen, interdependen dan

dependen. Tindakan keperawatan independen adalah suatu kegiatan

yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari

dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tindakan keperawatan

interdependen adalah suatu tindakan yang memerlukan suatu

kerjasama dengan tenaga keshatan lainnya. Tindakan dependen

adalah tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana

tindakan medis.17

e. Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa

keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil


16
Op.cit. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Hal.50.
17
Ibid. Hal.51.
15

dicapai. Dalam melakukan evaluasi yang harus diperhatikan adalah

evaluasi harus mengacu pada tujuan dan hasil evaluasi harus

dicatat. Proses evaluasi terdiri dari dua tahap yaitu mengukur

pencapaian tujuan klien dan membandingkan data yang terkumpul

dengan tujuan dan pencapaian tujuan. Tujuan evaluasi adalah untuk

melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa

dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasar

respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan.18

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas

Asuhan Keperawatan, antara lain:

a. Faktor Internal, yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri perawat

yang memotivasi dan memampukan perawat untuk melaksanakan

kompetensi keperawatan. Menurut Nursalam faktor-faktor internal

ini meliputi:

1) Kemampuan komunikasi interpersonal

2) Pengetahuan tentang asuhan keperawatan

3) Keterampilan teknik perawat

4) Tingkat pendidikan

5) Karakter individu

b. Faktor Eksternal, yaitu faktor-faktor lingkungan kerja atau

manajemen organisasi yang dapat mempengaruhi kompetensi

keperawatan. Faktor-faktor eksternal ini meliputi:

18
Ibid. Hal.53.
16

1) Lingkungan kerja

2) Beban Kerja

3) Manajemen / Kepemimpinan

4) Jenjang Karier

5) Kompensasi / Insentif

6) Dll. 19

3. Peran Keperawatan Profesional

Adapun peran atau kiat-kiat dalam keperawatan menurut

George. J. B. antara lain:

a. Nursing is caring: perawat berperan memberikan asuhan

keperawatan, tidak ada kasus pribadi semua diperlakukan sama

b. Nursing is sharing: selalu melakukan sharing antara sesama

perawat dengan tim kesehatan.

c. Nursing is laughing: perawat meyakini bahwa senyum merupakan

kiat dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman

klien.

d. Nursing is crying: perawat menerima respon emosional dari orang

lain sebagai hal biasa pada situasi senang/duka.

e. Nursing is touching : sentuhan untuk meningkatkan rasa nyaman

pada saat melakukan masase atau saat menyatakan “saya

memahami anda”

19
Ibid. Hal.58.
17

f. Nursing is helping: asuhan keperawatan dilakukan untuk menolong

klien sepenuhnya memahami kondisi klien.

g. Nursing believes: meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat dan

kemampuan meningkatkan status kesehatannya.

h. Nursing is trusting: perawat menjaga kepercayaan orang lain untuk

menjaga mutu asuhan keperawatan.

i. Nursing is learning: selalu belajar mengembangkan pengetahuan

dan ketrampilan keperawatan profesional melalui asuhan

keperawatan.

j. Nursing respecting: hormat dan menghargai klien dan keluarganya

dengan menjaga kepercayaan dan rahasia klien.

k. Nursing is listening: menjadi pendengar yang baik ketika klien

bicara/mengeluh.

l. Nursing is doing: pengkajian dan intervensi keperawatan adalah

untuk memberi rasa nyaman dan aman serta asuhan keperawatan

secara komprehensif.

m. Nursing is feeling: menerima dan memahami perasaan duka,

senang, frustasi, dan rasa puas klien. 20

4. Praktek Keperawatan Profesional

Praktek keperawatan profesional merupakan perwujudan

pelayanan dan asuhan keperawatan yang bertanggung jawab dan

bertanggung gugat. Pelayanan asuhan keperawatan diberikan didasari

20
Julia B. George. Nursing Theories: The Base for Profesional Nursing Practice. (New Jersey:
Prentice Hall. 2002). Hal. 143.
18

oleh ilmu dan teknologi keperawatan yang diberikan oleh perawat

yang mempunyai kemampuan intelektual, tehnikal, interpersonal dan

dasar etik yang kuat.

Praktek keperawatan profesional yang dilakukan oleh seorang

registered profesional nurse didefinisikan sebagai penegakan

diagnosa dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan

aktual atau potensial melalui pelayanan seperti penemuan masalah,

pendidikan, pendidikan kesehatan dan memberikan perawatan untuk

meningkatkan atau memulihkan hidup atau kesehatan dan melakukan

penanganan individu sesuai dengan dipesan dokter yang sah.21

Praktek keperawatan profesional mengandung arti praktek yang

dilakukan oleh perawat profesional yaitu perawat lulusan program

bacca laurecate keperawatan (rata-rata 4 tahun universitas), walaupun

perawat profesional mungkin mengerjakan berbagai tugas ketrampilan

tehnik, namun kemampuan dan potensinya mencerminkan ruang

lingkup pengetahuan yang berdasarkan kurikulum S-1

Keperawatan.22

5. Model Pemberian Asuhan Keperawatan

Model memberikan asuhan keperawatan yang lazim dipakai

meliputi metode kasus, metode fungsional, tim keperawatan,

keperawatan primer, sistem manajemen kasus.

21
Robert Priharjo. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional. (Jakarta: EGC. 2008).
Hal.20.
22
Ibid. Hal.22.
19

a. Metode kasus merupakan metode client centered, dimana seorang

perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan pada

sejumlah pasien dalam waktu 8 atau 12 jam setiap shift. Perawat

mengkaji sampai dengan evaluasi pada setiap pasien. Pasien

dirawat oleh orang berbeda pada setiap pergantian shift.

b. Metode fungsional: sistem ini berfokus pada tugas/pekerjaan yang

harus diselesaikan. Metode penugasan setiap staf perawat

melaksanakan 1-2 fungsi keperawatan pada semua pasien yang ada

di ruangan. Misal fungsi suntik dan fungsi perawatan luka. Metode

ini cukup efisien dan ekonomis serta mengarahkan pemusatan dan

pengendalian. Kelemahannya munculnya pragmentasi

keperawatan, tidak dapat menerapkan proses keperawatan, tidak

memberikan kepuasan.

c. Tim keperawatan: metode ini untuk mengatasi fragmentasi dari

metode pada orientasi tugas. Tim keperawatan merupakan

pemberian asuhan keperawatan pada setiap pasien oleh tim

keperawatan yang dipimpin oleh perawat profesional. Perawat

ruangan dibagi 2-3 tim yang terdiri dari tenaga profesional, teknikal

dan pembantu dalam satu group kecil yang saling membantu. Ketua

tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan

berbagai tehnik kepemimpinan, pentingnya komunikasi yang

efektif agar kontinuitas rencana keperawatan terjamin. Anggota

harus menghargai kepemimpinan ketua tim.


20

d. Keperawatan primer: metode penugasan dimana satu orang perawat

bertanggung jawab penuh selama 24 jam terhadap asuhan

keperawatan pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit.

Metode primer ditandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus

menerus antara pasien dan perawat yang ditugaskan untuk

merencanakan, melakukan dan koordinasi asuhan keperawatan

selama pasien dirawat. Kelebihan bersifat kontinuitas dan

komprehensif, akuntabilitas tinggi terhadap hasil, dokter perawat

merasa puas. Pasien merasa dimanusiawikan karena terpenuhinya

kebutuhan secara individu, asuhan keperawatan yang diberikan

bermutu tinggi, tercapai pelayanan yang efektif terhadap

pengobatan, dukungan, proteksi, informasi dan advokasi.23

1.5.1.3. Undang-Undang Keperawatan

Undang-Undang Keperawatan di Indonesia memiliki perjalanan

yang panjang. Sejak Rancangan Undang-Undang (RUU) Keperawatan

ini diusulkan pada tahun 2005, barulah pada tanggal 25 September 2014,

RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang No. 38 tahun 2014

tentang Keperawatan. Undang-undang keperawatan ini terdiri dari 13 bab

dan 66 pasal. Terdapat beberapa aspek penting yang dapat diuraikan

tentang isinya:

23
Ibid. Hal.24-25.
21

1. Ketentuan Umum

Pada pasal 1 ayat 1, dikemukakan definisi keperawatan, yaitu:

“kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok,

atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat”.

Selanjutnya pada ayat 2 dikemukakan definisi perawat, yaitu:

“seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di

dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada ayat 3

dikemukakan tentang definisi pelayanan keperawatan, yaitu: “suatu

bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari

pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan

ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik

sehat maupun sakit”.24

2. Pendidikan Keperawatan

Pada pasal 9 - 11 diatur bahwa pendidikan tinggi keperawatan

diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki izin dan dapat

berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, atau

akademik yang harus menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan

berupa rumah sakit dan fasilitas tingkat pertama yang memenuhi

persyaratan, termaksud jejaring dan komunitas di dalam wilayah

binaan. Perguruan tinggi keperawatan harus memenuhi standar

nasional pendidikan keperawatan yang mengacu pada standar nasional

24
Loc.cit. Undang-Undang Keperawatan. Pasal 1.
22

dan wajib memiliki dosen yang berasal dari latar pendidikan

keperawatan. Dosen pada wahana pendidikan keperawatan

memberikan pendidikan serta melakukan penelitian dan pengabdian

kepada masyarakat dan pelayanan kesehatan serta memiliki

kesetaraan, pengakuan, dan angka kredit yang menghitung kegiatan

pelayanan kesehatan. Hal ini diatur pada pasal 12, pasal 13, pasal 14,

dan pasal 15.25

Pada pasal 16 dikemukakan tentang uji kompetensi, dimana

mahasiswa keperawatan pada akhir masa pendidikan tinggi vokasi dan

profesi harus mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh

perguruan tinggi berkerja sama dengan organisasi profesi perawat,

lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditas, dimana

ditujukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi

standar kompetensi kerja, standar kompetensi kerja disusun oleh

organisasi profesi perawat dan konsil keperawatan dan ditetapkan oleh

menteri. Mahasiswa pendidikan vokasi keperawatan yang lulus uji

kompetensi diberikan sertifikat kompetensi dan mahasiswa pendidikan

profesi yang lulus uji kompetensi diberikan sertifikat profesi yang

diterbitkan oleh perguruan tinggi.

3. Pelayanan Praktik Keperawatan

Pada pasal 29 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tindakan

keperawatan, perawat bertugas sebagai pemberi asuhan keperawatan,

25
Ibid. Pasal 9-11.
23

penyuluh dan konselor klien, pengelola pelayanan, peneliti

keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan kewenangan,

dan pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. Tugas

perawat dapat dilaksanakan secara bersama atau mandiri, bertanggung

jawab dan akuntabel.26

Pada pasal 30, dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas

sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan

perorangan, perawat berwenang:

a. Melakukan pengkajian keperawatan secara holistik

b. Menetapkan diagnosis keperawatan, merencanakan tindakan

keperawatan

c. Melaksanakan tindakan keperawatan

d. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan

e. Melakukan rujukan

f. Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan

kompetensi

g. Memberikan konsultasi keperawatan dan kolaborasi dengan dokter

h. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling

i. Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai

dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.

26
Ibid. Pasal 29
24

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam menjalankan tugas

sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan

masyarakat, perawat berwenang:

a. Melakukan pengkajian keperawatan kesehatan masyarakat di

tingkat keluarga dan kelompok masyarakat

b. Menetapkan permasalah keperawatan kesehatan masyarakat

c. Membantu penemuan kasus penyakit

d. Merencanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat

e. Melaksanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat

f. Melakukan pemberdayaan masyarakat

g. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat

h. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat

i. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling

j. Mengelola kasus

k. Melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan

alternatif.27

Pada pasal 31 dinyatakan bahwa pelayanan keperawatan sebagai

penyuluh dan konselor bagi klien, perawat berwenang, melakukan

pengkajian keperawatan secara holistik di tingkat individu dan

keluarga serta di tingkat kelompok masyarakat, melakukan

pemberdayaan masyarakat, melaksanakan advokasi dalam perawatan

kesehatan masyarakat, menjalin kemitraan perawatan kesehatan

27
Ibid. Pasal 30
25

masyarakat dan melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.

Perawat dalam menjalankan tugas sebagai pengelolahan pelayanan

keperawatan, perawat berwewenang melakukan pengkajian dan

menetapkan permasalahan, merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi pelayanan keperawatan, dan mengelola kasus. Perawat

dalam menjalankan tugas sebagai peneliti keperawatan, perawat

berwewenang melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika,

menggunakan sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan atas

izin pimpinan, dan menggunakan pasien sebagai subjek penelitian

sesuai dengan etika profesi dan ketentuan peraturan perundang-

undangan.28

4. Hak dan Kewajiban Perawat

Hak perawat berdasarkan Undang-Undang Keperawatan No.

38 tahun 2014 pasal 36, yaitu:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas

sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur

operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari klien

dan/atau keluarganya.

c. Menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah

diberikan.

28
Ibid. Pasal 31
26

d. Menolak keinginan klien atau pihak lain yang bertentangan dengan

kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur

operasional, atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar

Kewajiban perawat dalam melaksanakan praktik berdasarkan

Undang-Undang Keperawatan No. 38 tahun 2014 tentang

keperawatan terdapat dalam pasal 37:

a. Melengkapi sarana dan prasarana pelayanan keperawatan sesuai

dengan standar pelayanan keperawatan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

b. Memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik,

standar pelayanan keperawatan, standar profesi prosedur

operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Merujuk klien yang tidak dapat ditangani kepada perawat atau

tenaga kesehatana yang lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup

dan tingkat kompetensinya.

d. Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar.

e. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah

dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada klien dan/atau

keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya.

f. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga

kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi perawat.

g. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.


27

5. Izin Praktik

UU No. 38 tahun 2014 pada dasarnya memberikan perlindungan

hukum bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan. Praktik

Keperawatan harus dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel,

bermutu, dan aman oleh perawat yang telah mendapatkan registrasi

dan izin praktik. Izin praktik keperawatan ini diatur pada pasal 19

hingga pasal 27, sedangkan pada pasal 28 ditegaskan bahwa praktik

keperawatan yang dimaksud terdiri dari praktik keperawatan mandiri

dan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

1.5.2. Kerangka Teori

Undang-Undang No.38
tahun 2014 tentang
Keperawatan

Profesi
Perawat

Eksistensi status praktik


keperawatan mandiri

Undang-undang keperawatan telah menjadi bahan diskusi di

kalangan akademisi ilmu keperawatan sejak lama. Tidak adanya undang-


28

undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh

belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.

Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan

beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak

adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga

menyebabkan semua perawat dianggap sama level pengetahuan dan

ketrampilannya, tanpa memperhatikan derajat pendidikan mereka.

Permasalahan yang paling menyolok adalah tidak adanya jaminan hukum

bagi perawat untuk membuka praktik mandiri.

Dengan terbitnya Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang

Keperawatan, maka profesi perawat diberikan perlindungan hukum untuk

menjalankan praktik keperawatan mandiri sesuai dengan kewenangan dan

syarat-syarat yang berlaku. Sebagai implikasi atas undang-undang

tersebut, maka eksistensi status perawat semakin jelas di masyarakat.

Namun kondisi di lapangan mungkin masih membutuhkan proses adaptasi

yang tidak mudah, khususnya kepercayaan masyarakat terhadap praktik

keperawatan mandiri, karena anggapan selama ini yang memandang

perawat sebatas asisten dokter. Faktor lain adalah risiko persaingan pasar

yang semakin ketat membuat perawat lebih memilih untuk mengabdikan

diri pada lembaga kesehatan setingkat rumah sakit atau puskesmas

daripada membuka praktik keperawatan mandiri.


29

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau prosedur yang digunakan untuk

melaksanakan penelitian agar tujuannya tercapai, di dalamnya memuat

sistem yang dapat memudahkan pelaksanaan suatu penelitian.29

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskripstif kualitatif, yaitu penelitian

yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-

fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia, yang

lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar

kegiatan. Selain itu, penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan,

manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel yang diteliti,

melainkan menggambarkan suatu kondisi yang apa adanya. Satu-satunya

perlakuan yang diberikan hanyalah penelitian itu sendiri, yang dilakukan

melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.30

Rancangan penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif.

Menurut Soerjono Soekanto, metode penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan

penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.31

29
Sugiyono. Metode Penelitian Bisnis. (Bandung: CV.Alfabeta. 2009). Hal.31.
30
Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT. Rosdakarya. 2011).
Hal. 73.
31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
(Rajawali Pers. Jakarta. 2001). Hal. 13-14.
30

1.6.2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini bersifat transformatif-

emansipatoris, yaitu penelitian yang mengangkat isu hukum yang terkait

dengan persoalan politik, budaya, dan sistem-sistem lainnya yang

cenderung memarjinalkan kelompok tertindas. Metode tersebut juga

memposisikan seluruh pihak yang terlibat dalam kedudukan yang sama

(equal) dengan tujuan untuk membantu manusia agar pulih dan mampu

melepaskan diri dari tekanan-tekanan struktur sosial, struktur hukum,

ekonomi, politik, ketidakadilan, dan marjinalisasi, sehingga mampu

mengembangkan diri dan kemandirian diri.32 Penelitian transformatif-

emansipatoris dalam penelitian ini menguraikan peran UU no. 38 tahun

2014 tentang Keperawatan dalam mengangkat profesi perawat sebagai

profesi yang mandiri, khususnya dalam hal kewenangan untuk

menjalankan praktik keperawatan mandiri.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum dan Data

Sumber data penelitian ini berupa bahan-bahan hukum, yaitu:

1. Undang -Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

3. Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

4. Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan

5. Permenkes No.148 tahun 2010 tentang Praktik Mandiri Perawat

32
Anthon F. Susanto. Penelitian Hukum: Transformatif-Partisipatif. (Malang: Setara Press. 2015),
Hal. 180.
31

6. Kepmenkes Nomor 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik

Perawat.

7. SK Dirjen Yanmed No. HK 00.06.5.1.311 tentang Home Care

Disamping itu, diambil pula data dari literatur, jurnal, dan artikel

yang memuat teori-teori dan data tentang topik terkait.

1.6.4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum dan Data

Bahan hukum dan data dalam penulisan tesis ini bersifat sumber

sekunder atau data yang dikumpulkan dengan cara studi dokumentasi, yaitu

pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-

dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang

subjek. Prosedur dalam melakukan studi dokumentasi dalam penelitian ini

diadaptasi dari Lexy J. Moleong dengan beberapa penyesuaian, sebagai

berikut:33

1. Mengidentifikasi permasalahan dan mendaftar dokumen-dokumen yang

diperlukan untuk membahas masalah tersebut.

2. Mengumpulkan dokumen dari perpustakaan, internet, majalah dan

sebagainya.

3. Memeriksa kembali dokumen dari segi keabsahan, kelengkapan,

keterbacaan, kejelasan makna ataupun dari segi penyelarasan dan

penyesuaian.

33
Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Roesdakarya. 2010). Hal.5.
32

4. Mengorganisasi dokumen sesuai kebutuhan pembahasan, mulai dari

dokumen yang paling penting hingga yang kurang penting.

5. Melakukan analisa dan pembahasan berdasarkan dokumen-dokumen

tersebut.

1.6.5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum dan Data

Analisis data dilakukan dalam suatu proses, yang menurut Miles

dan Huberman mensyaratkan peneliti bergerak dalam tiga siklus kegiatan,

yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Pelaksanaan

analisis data sudah mulai dikerjakan sejak pengumpulan data dilakukan

secara intensif sampai setelah selesai pengumpulan data. Proses analisis ini

dilakukan hampir secara berbarengan dengan interpretasi data yang

dikerjakan dengan secepatnya tanpa harus menunggu banyaknya data

terkumpul. 34

Analisis bahan hukum dan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah analisis kualitatif yang dilakukan dengan cara mengatur secara

sistematis kemudian memformulasikan secara deskriptif, selanjutnya

memproses data dengan tahapan reduksi data, menyajikan data, dan

menyimpulkan. Prosedur analisis kualitatif dalam penelitian ini diuraikan

sebagai berikut:

1. Mereduksi data, dengan cara pemilahan dan konversi data yang muncul

di lapangan.

34
M. B. Miles dan M. Huberman. Analisis Data Kualitatif. (Jakarta: Penerbit UI Press. 1992).
Hal.20.
33

2. Penyajian data, yaitu dengan merangkai dan menyusun informasi dalam

bentuk satu kesatuan, selektif dan dipahami.

3. Perumusan dalam simpulan, yakni dengan melakukan tinjauan ulang di

lapangan untuk menguji kebenaran dan validitas makna yang muncul.

4. Hasil yang diperoleh diinterprestasikan, kemudian disajikan dalam

bentuk naratif dan dilengkapi dengan data tabulasi dan grafik.

5. Hasil penelitian dibahas secara deduktif dan dibuat perbandingan antara

fakta di lapangan dengan teori-teori atau pendapat para ahli. 35

Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan cara

menguraikan masalah yang ada dengan kalimat-kalimat yang bertujuan

untuk menjelaskan masalah yang terjadi hingga diperoleh suatu

kesimpulan yang jelas.

35
Ibid. Hal.22
34

BAB II

TINJAUAN NORMATIF PRAKTIK KEPERAWATAN MANDIRI

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN

2.1. Latar Belakang Urgensi Praktik Keperawatan Mandiri

Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.36

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 disebutkan

bahwa setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak

dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan

terjangkau.37 Karena itu, upaya kesehatan diselenggarakan secara terpadu

dan menyeluruh untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya bagi individu atau masyarakat. Dengan demikian wujud pelayanan

kesehatan dapat diselenggarakan dalam bentuk upaya kesehatan masyarakat

serta dapat pula diselenggarakan dalam bentuk upaya kesehatan

perseorangan atau praktik mandiri.

Tenaga keperawatan sebagai tenaga non-paramedis memiliki peran

penting, karena terkait langsung dengan mutu pelayanan kesehatan sesuai

dengan kompetensi dan pendidikan yang dimilikinya. Namun demikian,

profesi perawat selama ini masih kurang diakui dan kurang mendapat
36
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28H (1).
37
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 4 dan Pasal 5 (2)

34
35

perhatian dalam dunia kesehatan di Indonesia. Perawat seringkali hanya

dianggap sebagai asisten dokter yang tidak memiliki kewenangan yang jelas

dalam memberikan pelayanan kesehatan. Pengaturan kewenangan dan

pelimpahan wewenang yang tidak jelas serta ditambah dengan tidak adanya

perlindungan hukum bagi perawat menyebabkan perawat takut membuka

praktik mandiri, karena sewaktu-waktu ia dapat dituntut melakukan

tindakan kesehatan di luar kewenangannya. Perawat yang membuka praktik

mandiri dapat dianggap ilegal karena ia tidak mempunyai payung hukum

dalam menjalankan praktik tersebut.

Contoh permasalahan yang dihadapi perawat yaitu kasus perawat

Misran. Kasus Misran berawal dari putusan Pengadilan Negeri Tenggarong

yang dikuatkan dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Samarinda

berupa vonis tiga bulan penjara subsider denda sebesar Rp2.500.000,00 (dua

juta lima ratus ribu rupiah), yang diputuskan berdasarkan Pasal 82 ayat (1)

huruf d UU Kesehatan juncto Pasal 63 ayat (1) UU Kesehatan 1992 karena

memberikan pengobatan pada masyarakat di daerah yang tidak ada dokter,

apoteker, dan apotik di luar kewenangannya, sementara Misran adalah

petugas negara yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pelayanan

kesehatan (sebagai Kepala Puskesmas Pembantu) yang telah bertugas

selama 18 tahun tanpa masalah dalam melayani masyarakat. Selain itu,

terhadap masalah tersebut diajukan judicial review terhadap UU Kesehatan

dan dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan

Nomor 12/PUU VIII/2010 yang memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 108


36

ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

mengikat. 38

Atas dasar permasalahan di lapangan tersebut, maka praktik

keperawatan perlu diatur dengan undang-undang tersendiri agar dapat

melindungi kepentingan profesi perawat serta kepentingan masyarakat

sebagai klien dalam asuhan keperawatan yang bersifat sangat kompleks.

Keberadaan undang-undang keperawatan ini diharapkan akan memacu

perkembangan pendidikan, penelitian, dan pelayanan keperawatan sehingga

profesi perawat di Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya. Urgensi

pengaturan dengan undang-undang tersendiri ini didasarkan pada UU

Kesehatan, yang dibentuk sebagai aturan pelaksanaan amanat UUD RI

Tahun 1945. UU Kesehatan ini merupakan lex specialis dari UUD RI Tahun

1945, namun UU Kesehatan sebagai undang-undang organik merupakan lex

generalis bagi peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan

dengan kesehatan baik yang kedudukannya sejajar maupun yang ada di

bawahnya, karena UU Kesehatan hanya mengatur hal yang bersifat pokok

terkait dengan kesehatan. Keperawatan merupakan lex specialis dari

kesehatan oleh karena itu harus diatur secara spesifik dalam undang-undang

tersendiri.

Selain itu, adanya MRA (Mutual Recognition Arrangement) on

nursing service sebagai dampak dari globalisasi memungkinkan pertukaran

38
Loc.cit. Shanti Dwi Kartika.
37

perawat sebagai pelaku pelayanan jasa melalui suatu standar profesional

yang diakui sehingga ada suatu keseragaman dalam latar belakang

pendidikan, kualifikasi profesional dan lainnya. Standar profesional bagi

perawat menurut MRA yaitu perawat profesional yang telah terregistrasi

sehingga dapat mengikuti persaingan dalam perdagangan bebas. MRA juga

menentukan bahwa registrasi perawat dilakukan oleh nursing board or

nursing council yang pembentukannya melalui undang-undang. Hal ini

dapat menjadi landasan sosiologis urgensi disusunnya undang-undang

keperawatan yang mengatur sertifikasi, registrasi, dan lisensi guna

terpenuhinya kompetensi perawat sehingga pearwat Indonesia dapat

bersaing di pasar global dan mendapat pengakuan internasional.39

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dibentuklah rancangan

Undang-Undang Keperawatan yang kemudian pada tanggal 17 Oktober

2017 disahkan Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

Tujuan Undang-undang Keperawatan ini adalah untuk memberikan

kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan,

mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur

penyelenggaraan keperawatan dan praktik keperawatan yang bertanggung

jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, undang-undang ini memuat pengaturan

mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin

praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi

39
Ibid.
38

perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti

organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan

pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif.40 Salah satu implikasi

mendasar dari disahkannya Undang-Undang Keperawatan adalah adanya

jaminan hukum bagi kegiatan praktik keperawatan mandiri.

2.2. Persyaratan Praktik Keperawatan Mandiri

Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat ahli madya

keperawatan, Ners, Ners spesialis dan Ners konsultan melalui kerja sama

bersifat kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam

memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung

jawabnya.41 Berdasarkan UU No. 38 tahun 2014, disebutkan bahwa praktik

keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat dalam

bentuk Asuhan Keperawatan.42 Praktik keperawatan yang dimaksud terdiri

dari praktik keperawatan mandiri dan praktik keperawatan di fasilitas

pelayanan kesehatan.43

Adapun syarat-syarat untuk membuka praktik keperawatan

mandiri, antara lain memiliki:

40
Penjelasan UU No. 38 tahun 2014
41
Op.cit. Kusnanto. Hal.91.
42
Loc.cit. UU No.38 tahun 2014. Pasal 1
43
Ibid. Pasal 28
39

1. Surat Tanda Registrasi (STR)

Berdasarkan UU No. 38 tahun 2014 pasal 18, disebutkan

bahwa dalam melaksanakan praktik keperawatan mandiri, perawat

wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang diberikan oleh

konsil keperawatan setelah memenuhi persyaratan. Pada pasal 1

telah diterangkan bahwa yang dimaksud dengan STR adalah bukti

tertulis yang diberikan oleh konsil keperawatan kepada perawat yang

telah registrasi.

Pada pasal 18 disebutkan persyaratan memperoleh STR yaitu:

a. Memiliki ijazah pendidikan tinggi keperawatan,

b. Memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi,

c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental

d. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji

profesi

e. Membuat penyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi.

STR berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang

setiap 5 (lima) tahun, untuk persyaratan registrasi ulang yaitu:

a. Memiliki STR lama

b. Memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi

c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental

d. Membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan

etika profesi
40

e. Telah mengabdi diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di

bidangnya

f. Memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan,

pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya. 44

Sedangkan pada pasal 49 disebutkan bahwa tugas konsil

keperawatan adalah melakukan registrasi perawat, melakukan

pembinaan perawat dalam menjalankan praktik keperawatan,

menyusun standar pendidikan tinggi keperawatan, menyusun standar

praktik dan standar kompetensi perawat, dan menegakkan disiplin

praktik keperawatan. Kemudian pada pasal 50 disebutkan bahwa

wewenang konsil keperawatan yaitu, menyetujui atau menolak

permohonan registrasi perawat, menerbitkan atau mencabut STR,

menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan

pelanggaran disiplin profesi perawat, menetapkan dan memberikan

sanksi disiplin profesi perawat, dan memberikan pertimbangan

pendirian atau penutupan institusi pendidikan keperawatan.45

2. Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)

Berdasarkan UU No. 38 tahun 2014 pasal 1 diterangkan

bahwa Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) adalah bukti tertulis yang

diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada perawat

44
Ibid. Pasal 18
45
Ibid. Pasal 49-50
41

sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik

keperawatan.46

SIPP diatur pada pasal 19, pasal 20, pasal 21, dan pasal 22

yaitu: perawat yang dalam menjalankan praktik keperawatan wajib

memiliki izin yang diberikan dalam bentuk SIPP. SIPP diberikan

oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat

kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat perawat

menjalankan praktik, untuk mendapatkan SIPP harus melampirkan:

a. Salinan STR yang masih berlaku

b. Rekomendasi dari organisasi profesi perawat

c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan

dari pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

SIPP dinyatakan berlaku apabila:

a. STR masih berlaku

b. Perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPP.

SIPP berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik dan paling banyak untuk

2 (dua) tempat, perawat yang menjalankan praktik keperawatan

mandiri harus memasang papan nama praktik keperawatan.

SIPP dinyatakan tidak berlaku apabila:

a. Dicabut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Habis masa berlakunya

c. Atas permintaan perawat

46
Ibid. Pasal 1
42

d. Perawat meninggal dunia, dan ketentuan lebih lanjut mengenai

perizinan diatur dalam peraturan menteri.47

Pelanggaran yang dilakukan perawat dalam melakukan

tindakan pratik keperawatan profesional akan mendapatkan sanksi

seperti yang tercantum dalam pasal 58 berupa, teguran tertulis,

peringatan tertulis, denda administrasi, dan pencabutan izin.48

3. Memasang Papan Nama

Menurut UU No. 38 tahun 2014 pasal 21, perawat yang

menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik

Keperawatan.49 Tidak ada keterangan rinci mengenai ukuran dan tata

cara penulisan papan nama praktik keperawatan tesrebut. Namun hal

ini kiranya dapat merujuk pada ketentuan praktik kedokteran yang

dirumuskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

ketentuan terkait papan nama praktik dokter adalah sebagai

berikut:50

a. Papan praktik ukuran maksimum 60x90 cm, dasar putih, huruf

hitam, wajib mencantumkan nama, jenis spesialisasi, nomor SIP,

waktu praktik, nomor rekomendasi IDI, dan menggunakan

penerang sewajarnya.

47
Ibid. Pasal 19, 20, 21, 22
48
Ibid. Pasal 58
49
Ibid. Pasal 19, 20, 21, 22
50
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia. (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Indonesia. 2004). Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan Pasal 4.
43

b. Bagi praktik perorangan, dipasang di dinding bangunan bagian

depan atau dipancangkan di tepi jalan. Untuk rumah sakit,

puskesmas, klinik bersama, kantor kesehatan merupakan papan

nama kolektif dengan ukuran yang sewajarnya dipasang di bagian

depan/dinding lorong masuk.

c. Hanya mencatumkan gelar akademis atau sebutan profesi yang

berhubungan dengan pelayanan medis.

d. Tanpa menyertai embel-embel ajakan apa pun.

2.3. Batasan Kewenangan Praktik Keperawatan Mandiri

Undang-Undang No.38 tahun 2014 pasal 30 telah mengatur secara

batasan kewenangan praktik keperawatan mandiri, antara lain:

1. Melakukan pengkajian keperawatan secara holistik

2. Menetapkan diagnosis keperawatan, merencanakan tindakan

keperawatan

3. Melaksanakan tindakan keperawatan

4. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan

5. Melakukan rujukan

6. Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan

kompetensi

7. Memberikan konsultasi keperawatan dan kolaborasi dengan dokter

8. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling


44

9. Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan

resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.51

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami posisi perawat

merupakan tenaga paramedis, sehingga ia tidak memiliki kewenangan

memberikan tindakan medis tanpa berkolaborasi dengan tenaga medis, yaitu

dokter. Kolaborasi yang dimaksud dapat memungkinkan adanya penerimaan

wewenang dari dokter secara tertulis untuk melakukan sesuatu tindakan

medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya. Wewenang yang diberikan

terbagi menjadi dua yakni tugas yang diberikan secara delegasi dan atau

yang diberikan secara mandat.

UU keperawatan memberikan penjelasan yang mana tindakan

keperawatan delegasi dan tindakan keperawatan mandat. Pasal 32 ayat (3)

Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan

medis diberikan oleh tanaga medis (dokter) kepada perawat dengan disertai

pelimpahan tanggung jawab. Tindakan hanya dapat diberikan pada perawat

profesi/vokasi terlatih sesuai kompetensi yang dibutuhkan. Ini berarti

tanggung jawab ada pada perawat yang melakukan tindakan medis. Dalam

penjelasan UU No. 38 tahun 2014 pasal 32 ayat (4) dijelaskan bahwa

tindakan medis yang dapat dilimpahkan secara delegatif, antara lain

menyuntik, memasang infus, dan memberikan imunisasi dasar sesuai

dengan program pemerintah.52 Sedangkan Pasal 32 ayat (5) menjelaskan

pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis (dokter)


51
Loc.cit. Undang-Undang Keperawatan. Pasal 30
52
Ibid. pasal 32 (4)
45

kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dibawah

pengawasan. Tanggung jawab berada pada pemberi mandat. Tindakan

medis yang dapat dilimpahkan secara mandat, antara lain adalah pemberian

terapi parenteral dan penjahitan luka. 53

Batasan kewenangan praktik keperawatan mandiri yang tercantum

pada UU Keperawatan tersebut masih perlu didukung oleh peraturan

pelaksana lainnya yang bersifat lex specialis setingkat peraturan menteri

atau keputusan menteri kesehatan. Namun mengingat peraturan pelaksana

tersebut belum ada atau belum diperbarui setelah disahkannya UU

Keperawatan, maka kewenangan praktik keperawatan mandiri dapat

mengacu pada SK Dirjen Yanmed No. HK 00.06.5.1.311 tentang home

care, meliputi tindakan:

1. Vital sign

2. Memasang nasogastric tube

3. Memasang selang susu besar

4. Memasang cateter

5. Penggantian tube pernafasan

6. Merawat luka decukbitus

7. Suction

8. Memasang peralatan O2

9. Penyuntikan (IV,IM, IC,SC)

10. Pemasangan infus maupun obat

53
Ibid. pasal 32 (4)
46

11. Pengambilan preparat

12. Pemberian huknah/laksatif

13. Kebersihan diri

14. Latihan dalam rangka rehabilitasi medis

15. Tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik

16. Penkes

17. Konseling kasus terminal

18. Konsultasi/telepon

19. Fasilitasi ke dokter rujukan

20. Menyiapkan menu makanan

21. Membersihkan tt pasien

22. Fasilitasi kegiatan sosial pasien

23. Fasilitasi perbaikan sarana klien.54

Sedangkan menurut Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepmenkes

No.1239 tahun 2001 dijelaskan ketentuan Praktik Keperawatan Mandiri,

yaitu:

1. SIP dan SIPP harus ada

2. Ruang praktek sesuai ketentuan

3. Tersedia alat perawatan, peralatan rumah tangga,dan peralatan

emergensi sesuai ketentuan

4. Kewenangan : pemenuhan kebutuhan O2, nutrisi, integritas jaringan,

cairan dan elektrolit, eleminasi, kebersihan diri, istirahat tidur, obat-

54
SK Dirjen Yanmed No. HK 00.06.5.1.311 tentang Home Care
47

obatan, sirkulasi, keamanan dan keselamatan, managemen nyeri,

kebutuhan aktivitas, psikososial, interaksi soSial, menjelang ajal,

seksualitas, lingkungan sehat, kebutuhan bumil, ibu melahirkan, bayi

baru lahir, postpartum, dll.55

55
Kepmenkes No.1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat Bagian Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak).
48

BAB III

EKSISTENSI STATUS PROFESI PRAKTIK KEPERAWATAN MANDIRI

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN

3.1. Perkembangan Esistensi Status Praktik Keperawatan Mandiri di

Indonesia

Sebelum disahkannya UU Keperawatan pada tahun 2014,

perkembangan praktik keperawatan mandiri di Indonesia sebagian besar

masih bersifat ilegal. Dalam kondisi ketidakjelasan kewenangan perawat,

maka banyak perawat yang selain bertugas di instansi pelayanan kesehatan,

namun juga membuka praktik mandiri di luar jam dinasnya dengan

memberikan tindakan medis yang seharusnya berada di luar

kewenangannya. Berdasarkan hasil evaluasi peran dan fungsi perawat di

Puskesmas di daerah terpencil pada tahun 2005 yang dirilis oleh Kemenkes

RI dan Universitas Indonesia, ditemukan perawat yang melaksanakan tugas

di luar area kewenangan keperawatan, antara lain: menetapkan diagnosis

penyakit (92,6%); membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan

pengobatan di dalam maupun di luar gedung Puskesmas (97,1%). Hal ini

terjadi karena ketidakjelasan kewenangan perawat, sementara di pihak lain

tidak tersedia tenaga dokter di daerah-daerah terpencil tersebut.

Adanya tumpang tindih dalam pelaksanaaan di lapangan antara

praktik keperawatan dengan praktik kedokteran dan profesi lainnya akan

menimbulkan dampak hukum bagi perawat karena masih adanya “gray

48
49

area”. Menurut data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Pusat

mencatat 33 perawat sejak tahun 2005 terkena tuntutan hukum karena

melaksanakan tindakan medis untuk menolong masyarakat di daerah

terpencil yang tidak tersedia tenaga dokter. Hal ini menjadi ironi dan

bertentangan dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 bahwa setiap

orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.56

Sejak disahkannya UU Keperawatan pada tahun 2014 diharapkan

persoalan tumpang tindih kewenangan keperawatan dan kedokteran dapat

teratasi. Selain itu, perawat juga memiliki kesempatan yang sama untuk

membuka praktik mandiri seperti halnya dokter dan bidan. Namun

kenyataan di lapangan ternyata menunjukkan bahwa antusiasme perawat

untuk membuka Praktik Keperawatan Mandiri ternyata masih rendah.

Belum ada data valid tentang jumlah perawat yang mengurus SIPP (Surat

Ijin Praktik Perawat), tetapi menurut Yanti Budiyanti, perintis klinik

keperawatan mandiri “Green Care” dalam Seminar Nasional Keperawatan

2016 mengatakan bahwa saat ini pembukaan praktik perawat mandiri masih

rendah, karena belum beraninya perawat dalam membuka praktik mandiri

dan kurangnya pemahaman tentang prosedur dan aspek legal dalam

membuka praktik keperawatan mandiri.57

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit

Bhayangkara Samsoeri Mertojoso Surabaya diperoleh fakta di lapangan

56
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28H (1).
57
Seminar Nasional Keperawatan 2016. Praktik Keperawatan Mandiri Sebagai Basis dalam
Menghadapi MEA. (Bandung: Auditorium Rumah Sakit Pendidikan UNPAD. tanggal 3 Desember
2016).
50

bahwa tidak ada satupun tenaga perawat yang mengurus STR dan SIPP serta

tidak ada perawat membuka praktik keperawatan mandiri. Alasan para

perawat secara umum adalah sama, yaitu masih menganggap bahwa

pengurusan STR dan SIPP adalah rumit. Mereka juga tidak mau ambil

risiko untuk membuka praktik keperawatan mandiri, karena belum tentu

mendapat pelanggan dari masyarakat. Secara umum mereka beranggapan

bahwa masyarakat belum memiliki kepercayaan terhadap kompetensi

perawat, sehingga lebih baik datang langsung ke dokter, puskesmas, rumah

sakit atau klinik kesehatan yang sudah banyak tersedia di Surabaya.

Disamping itu, dokter juga belum tentu mau berkolaborasi dengan para

perawat yang melaksanakan praktik mandiri, karena tidak memiliki nilai

tambah yang menguntungkan bagi mereka.

Dari fakta lapangan tersebut, tampak bahwa eksistensi status praktik

keperawatan mandiri masih belum mendapat perhatian yang positif,

walaupun pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Keperawatan yang

dapat menjadi payung hukumnya. Terutama di kota-kota besar dimana

persaingan pelayanan kesehatan sangat ketat, maka praktik keperawatan

mandiri nyaris tidak mendapat tempat. Secara peluang ekonomi, praktik

keperawatan mandiri tidak memiliki prospek yang baik di kota-kota besar.

Hal ini membuat para perawat di kota-kota besar lebih memilih

mengabdikan dirinya sebagai tenaga paramedis di instansi pelayanan

kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, dan klinik kesehatan yang sudah

memiliki sistem yang mapan dan pangsa pasar yang jelas.


51

3.2. Upaya Memperkokoh Eksistensi Status Praktik Keperawatan Mandiri

Jika telah diuraikan sebelumnya bahwa eksistensi status praktik

keperawatan mandiri tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan di

kota-kota besar, maka sebaliknya di kota-kota kecil atau daerah terpencil,

status praktik keperawatan mandiri justru lebih terjamin eksistensinya. Hal

ini dikarenakan di daerah tersebut pelayanan kesehatan masih belum

tersebar dengan merata. Jumlah dokter di daerah terpencil masih sangat

kurang, sehingga tenaga perawat yang secara kuantitas jauh lebih banyak,

tentu masih sangat dibutuhkan untuk membuka pelayanan kesehatan secara

mandiri bagi masyarakat.

Fakta di kota-kota kecil seperti Jombang, Lamongan, Bojonegoro,

Tulungagung, dan sebagainya, khususnya di wilayah pedesaan peneliti

mendapat informasi lisan bahwa masih banyak perawat-perawat yang

membuka praktik bagi masyarakat sekitar. Namun sayangnya walaupun

sudah ada UU Keperawatan yang mengatur aspek legalitas praktik

keperawatan mandiri, namun kenyataan di lapangan seringkali ditemukan

bahwa para perawat tersebut tidak memiliki STR dan SIPP, tetapi mereka

berani memberikan tindakan medis di luar kewenangannya tanpa

berkolaborasi dengan dokter. Secara umum para perawat tersebut masih

beranggapan bahwa pengurusan STR dan SIPP cukup rumit karena harus

mengikuti ujian kompetensi.

Dari sini tampak bahwa para perawat masih kurang memahami

pentingnya aspek legalitas dalam melaksanakan praktik keperawatan


52

mandiri. Mereka tidak menyadari bahwa membuka praktik mandiri tanpa

ijin dan tanpa kolaborasi dengan dokter adalah tindakan ilegal yang dapat

dikenai sanksi pidana. Apalagi jika sampai perawat tersebut melakukan

malpraktik, maka akan sangat merugikan masyarakat dan hukuman pidana

yang diterima juga berat. Misalnya pada kasus perawat “SG” yang

membuka praktik bedah secara ilegal di Kota Serang. Perawat tersebut

akhirnya pada September 2016 diamankan oleh aparat kepolisian setelah

ada laporan kematian warga setelah mendapat tindakan medis di tempat

praktik si perawat yang ternyata tidak memiliki ijin.58

Karena itu, saat ini telah dibentuk komunitas APMPI (Asosiasi

Praktek Mandiri Perawat Indonesia) sebagai wadah bersama praktek

perawat. Melalui wadah APMPI dan dukungan dari PPNI, maka diharapkan

dapat mendorong para perawat untuk melaksanakan praktek mandiri sesuai

dengan keilmuannya dengan dilengkapi oleh izin praktik dari Kementerian

Kesehatan. APMPI juga secara aktif menyelenggarakan pelatihan-pelatihan

asuhan keperawatan bagi para perawat praktik mandiri, sehingga mereka

memiliki kompetensi yang baik sesuai kewenangannya, misalnya pelatihan

perawatan luka, home care, dan sebagainya.

Jika praktik keperawatan mandiri telah dilengkapi dengan izin praktik

sesuai peraturan yang berlaku, maka perawat yang ada di kota-kota kecil

dapat berkolaborasi dengan dokter di puskesmas terdekat untuk memperoleh

58
Poskota News. Berlagak Kayak Dokter, Perawat Lakukan Praktik Bedah, Lalu Diamankan.
(Sumber: http://poskotanews.com/2016/09/07/). Diunduh tanggal 12 Agustus 2017. Jam 17.10
WIB.
53

kewenangan delegasi atau mandat jika sewaktu-waktu perawat harus

melakukan tindakan medis, karena masih banyak masyarakat di pedesaan

tdiak terjangkau oleh akses kesehatan puskesmas. Disamping itu, perawat

juga mendapat kewenangan memberikan peresepan yang dapat diterima

oleh apotik terdekat. Hal ini akan sangat membantu masyarakat di daerah

pedesaan untuk mendapatkan akses kesehatan yang murah, dekat dan siap

sedia jika sewaktu-waktu diperlukan. Apabila pasien membutuhkan

tindakan medis di luar kewenangan perawat, maka perawat dapat langsung

membuat rujukan resmi ke dokter atau rumah sakit terdekat.

Di masa mendatang, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu

memperkokoh lagi eksistensi status praktik keperawatan mandiri agar fungsi

asuhan keperawatan semakin disadari pentingnya bagi masyarakat. Hal ini

sudah banyak diterapkan di negara-negara maju dimana para perawat

menjadi profesi yang sangat diakui eksistensinya dalam memberikan home

care bagi banyak keluarga. Terutama di era modern saat ini banyak penyakit

seperti hipertensi, gagal ginjal, diabetes mellitus, kanker yang membutuhkan

tidak hanya pelayanan medis, tetapi juga pelayanan komplementer, yaitu

asuhan keperawatan. Profesi keperawatan di masa mendatang harus

semakin mengembangkan pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang

komprehensif atau holistik ditujukan kepada individu, keluarga, dan

masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses

kehidupan manusia.
54

Contoh penyelenggaraan praktik mandiri perawat di Daerah Istimewa

Yogyakarta dan kota disekitarnya yang telah dilaksanakan, diantaranya

adalah Pusat perawatan luka Griya Puspa Yogyakarta yang bergerak pada

pelayanan keperawatan spesialis luka, Pondok Holistik Indonesia (PHI)

yang memberikan pelayanan keperawatan komplementer seperti akupuntur

dan bekam, Jogja Home Care yang memberikan pelayanan visite

keperawatan dirumah pasien, selain itu di kota solo telah dibuka Omah luka

solo yang bergerak juga dibidang spesialis perawatan luka, dan Budhi

Nersalindo yang bergerak pada pengembangan keperawatan berbasis herbal

yang memberikan pelayanan praktik keperawatan herbal pada masyarakat,

dan animo masyarakat Yogyakarta serta kota disekitarnya cukup tinggi

untuk melakukan pengobatan di fasilitas kesehatan seperti praktik mandiri

perawat.59

Bentuk pelayanan yang dapat diberikan oleh perawat kepada

masyarakat adalah dalam bentuk pelayanan preventif, promotif, kuratif dan

rehabilitatif. Bentuk pelayanan preventif danpromotif adalah seperti deteksi

dini dan indentifikasi faktor-faktor resiko terjadinya suatu penyakit pada

individu atau keluarga dan masyarakat, serta memberikan pendidikan atau

penyuluhan dan konseling pada individu, keluarga atau masyarakat yang

beresiko atau telah mengalami sakit. Pelayanan kuratif yang dapat dilakukan

perawat adalah pengobatan dasar dengan obat terbatas, bantuan

59
Nurcahyati dan Taufik Septiawan. Praktik Mandiri Perawat Sebagai Alternatif Solusi Masalah
Kesehatan Anda. (Sumber: http://www.kompasiana.com/tridi8789). Diunduh tanggal 12 Agustus
2017. Jam 17.10 WIB.
55

kegawatdaruratan medis sesuai kewenangan dan pengobatan komplementer.

Terapi komplementer yang dilakukan perawat didukung oleh permenkes

nomor 1109/MENKES/PER/IX/2007 yaitu yang berwenang melakukan

pengobatan komplementer adalah tenaga kesehatan yang sudah ditetapkan

dan berdasarkan kaidah ilmiah.

Bentuk terapi komplementer yang berkembang diantaranya seperti

akupunktur, bekam, hipnoterapi, reiki, pengobatan herbal, perawatan luka

dan lain sebagainya. Terapi komplementer yang diberikan oleh tenaga

kesehatan seperti perawat pastilah lebih aman dan terjamin karena

kualifikasinya memang dibidang kesehatan. Selanjutnya bentuk pelayanan

rehabilitatif dalam Praktik Mandiri Perawat meliputi pemantauan

keteraturan berobat sesuai program rehabilitasi, Kunjungan rumah (home

visit/home health nursing) sesuai rencana rehabilitasi, pelayanan

keperawatan dasar rehabilitasi secara langsung (direct care) yaitu kontak

langsung atau face to face dengan pasien seperti untuk perawatan luka,

pemasangan infus dll, maupun pelayanan rehabilitasi tidak langsung

(indirect care) seperti layananan konsultasi kesehatan. 60

60
Ibid
56

BAB IV

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Undang-Undang Nomor 38 tentang Keperawatan telah menjamin dan

mengatur persyaratan bagi perawat yang akan membuka praktik keperawatan

mandiri serta memperjelas batasan-batasan kewenangan perawat dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Status perawat menjadi sejajar

kedudukannya dengan dokter sebagai tenaga kesehatan. UU Keperawatan,

diharapkan dapat memotivasi perawat untuk menyelenggarakan praktik

keperawatan mandiri yang dilengkapi dengan syarat-syarat izin praktik, yaitu

STR dan SIPP. Praktik keperawatan mandiri secara umum tidak memiliki

kewenangan memberikan tindakan medis. Namun tindakan medis

dimungkinkan apabila perawat berkolaborasi dengan tenaga medis, yaitu

dokter untuk mendapat kewenangan delegatif maupn mandat tindakan medis.

Fakta di lapangan, menunjukkan bahwa eksistensi status praktik

keperawatan mandiri tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan di

kota-kota besar, maka sebaliknya di kota-kota kecil atau daerah terpencil,

status praktik keperawatan mandiri justru lebih terjamin eksistensinya, karena

jumlah dokter dan pelayanan kesehatan masih minim. Namun masih banyak

ditemukan bahwa para perawat tersebut tidak memiliki STR dan SIPP, tetapi

mereka berani memberikan tindakan medis di luar kewenangannya tanpa

berkolaborasi dengan dokter, sehingga tergolong tindakan ilegal yang dapat

56
57

dikenai sanksi pidana. Karena itu, melalui komunitas APMPI para perawat

didorong untuk melaksanakan praktek mandiri dengan dilengkapi oleh izin

praktik, sehingga dapat berkolaborasi dengan dokter di puskesmas terdekat

untuk melakukan tindakan medis, peresepan obat dan rujukan.

6.2. Saran

Bagi para perawat yang bekerja di rumah sakit, khususnya yang ada di

daerah kota kecil dan pedesaan disarankan agar menyelenggarakan praktik

keperawatan mandiri, tetapi harus mengurus izin praktik sesuai undang-

undang keperawatan, yaitu melengkapi STR dan SIPP serta persyaratan

lainnya. Hasil analisa peneliti, menunjukkan bahwa prospek praktik

keperawatan mandiri di wilayah pedesaan masih sangat bagus dan dapat

memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kesehatan masyarakat.

Perawat disarankan untuk menjadi anggota APMPI agar memperoleh

dukungan dan informasi terkait kemajuan praktik keperawatan mandiri.

Selain itu kompetensi perawat yang menyelenggarakan praktik mandiri juga

harus terus ditingkatkan agar semakin mendapat kepercayaan masyarakat

untuk melaksanakan asuhan keperawatan home care dan konseling kesehatan.


58

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2007. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat.


Bandung: PT. Remaja Rosdokarya.
Arso, Sapto Pawelas. 2009. Perawat dan Program Keperawatan di Rumah Sakit.
Materi Kuliah Organisasi Manajemen Rumah Sakit. Semarang: Fakultas
Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
George, Julia B. 2002. Nursing Theories: The Base for Profesional Nursing
Practice. New Jersey: Prentice Hall.
Graham, Helen. 2005. Psikologi Humanistik. Terj. Achmad Chausairi dan Nur
Alfian Ilham. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadiwijiono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat, A.Aziz Alimul. 2004. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Husein, Ma’rifin. 1995. Upaya membina Sikap dan Kemampuan Profesional
Perawat. Jakarta: Yayasan Universitas Pelita Harapan dan Siloam
Glereagles Hospital.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2004. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia. (Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. 2004). Penjelasan dan Pedoman
Pelaksanaan
Kartika, Shanti Dwi. Urgensi Undang-Undang Tentang Keperawatan. Sumber:
https://shantidk. wordpress.com. (2012). Diunduh tanggal 14 Maret 2017.
Jam 18.20 WIB.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Balitbang
Kemenkes RI.
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Balitbang
Kemenkes RI.
Kepmenkes No.1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat
Kusnanto. 2004. Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.

58
59

Miles, M. B. dan M. Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Penerbit


UI Press.
Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Roesdakarya.
NANDA. 2005. Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2005-2006.
Philadelphia: NANDA International.
Nurcahyati dan Taufik Septiawan. Praktik Mandiri Perawat Sebagai Alternatif
Solusi Masalah Kesehatan Anda. (Sumber: http://www.kompasiana.
com/tridi8789). Diunduh tanggal 12 Agustus 2017. Jam 17.10 WIB.
Nursalam. 2005. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2006. Kompetensi Perawat Hasil Konvensi – PPNI & BNSP. Jakarta:
PPNI.
Poskota News. Berlagak Kayak Dokter, Perawat Lakukan Praktik Bedah, Lalu
Diamankan. (Sumber: http://poskotanews.com/2016/09/07/). Diunduh
tanggal 12 Agustus 2017. Jam 17.10 WIB.
Priharjo, Robert. 2008. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional.
Jakarta: EGC.
Seminar Nasional Keperawatan 2016. Praktik Keperawatan Mandiri Sebagai
Basis dalam Menghadapi MEA. (Bandung: Auditorium Rumah Sakit
Pendidikan UNPAD. tanggal 3 Desember 2016).
SK Dirjen Yanmed No. HK 00.06.5.1.311 tentang Home Care
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Rajawali Pers. Jakarta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV.Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Rosdakarya.
Susanto, Anthon F. 2015. Penelitian Hukum: Transformatif-Partisipatif, Malang:
Setara Press.
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai