Anda di halaman 1dari 72

Universitas Esa Unggul

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Praktik keperawatan mandiri merupakan tantangan yang harus
disikapi oleh profesi keperawatan. Pada awalnya keperawatan tidak
mempunyai cara untuk mengontrol praktiknya sendiri, keperawatan seolah-
olah bukan suatu profesi mandiri yang didasari ilmu pengetahuan
keperawatan. Catatan sejarah menyatakan bahwa pelaksanaan praktik
keperawatan hanya terbatas pada pemberian obat-obatan dan pemasangan
alat kesehatan. Situasi ini berlanjut hingga dalam praktiknya perawat hanya
melaksanakan tugas dan pekerjaan berdasarkan instruksi dokter. Seluruh
tugas-tugas keperawatan dibebankan kepada perawat sebagai pelaksana
tugas rutinitas (Manurung, 2011).
Seiring dengan berjalannya waktu, profesi keperawatan terus tumbuh
dan berkembang. Profesi keperawatan mulai menata diri. Pandangan dan
kenyakinan tentang keperawatan sebagai suatu profesi mengakibatkan
bergesernya paradigma tentang pelaksanaan praktik keperawatan. Praktik
keperawatan yang sebelumnya semata-mata menekankan pada tindakan
prosedural dan bagian dari pelayanan medis berubah menjadi asuhan yang
menekankan metode ilmiah berlandaskan keilmuan yang kokoh serta
bersifat mandiri (Arni, Hasriyanti & Suarnianti, 2014).
Pemberian asuhan keperawatan sebagai bagian dari pelayanan
kesehatan secara keseluruhan dituntut untuk menyediakan pelayanan
kesehatan yang didasarakan pada kaedah-kaedah suatu profesi (Manurung,
2011). Sebagai profesi, pemberian asuhan keperawatan yang diberikan oleh
perawat didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan pada
klien baik sehat maupun sakit. Pelayanan Keperawatan yang diberikan
adalah pelayanan komprehensif yang meliputi aspek bio, psiko, sosio, dan
spiritual. Keperawatan sebagai profesi dalam menjalankan praktiknya
memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat yang berlandaskan pada
standar praktik professional dan standar kinerja profesional. Standar praktik
ini bertujuan agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang
aman, efektif dan etis.
Praktik keperawatan merupakan pelayanan yang diselenggarakan oleh
perawat dalam bentuk asuhan keperawatan. Perawat dapat memberikan
asuhan keperawatan baik di tempat praktik mandiri maupun di fasilitas
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas atau klinik kesehatan.
Saat ini masih sedikit perawat yang memberikan pelayanan keperawatan di
tempat praktik mandiri. Padahal melalui praktik mandiri, perawat lebih
memiliki kesempatan untuk dapat menunjukan sisi profesionalisme di

1
Universitas Esa Unggul

masyarakat. Penerbitan Undang-undang Keperawatan nomor 38 tahun 2014


yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 26 tahun 2019
telah memberikan kepastian hukum bahwa perawat diperkenankan untuk
mendirikan tempat praktik keperawatan mandiri baik perorang maupun
berkelompok.
Rendahnya kemampuan berupa pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh perawat untuk
melakukan praktik keperawatan mandiri merupakan faktor yang tidak dapat
disangkal. Bentuk pelayanan yang diberikan di tatanan praktik keperawatan
mandiri merupakan masalah klasik yang terus terjadi sampai saat ini.
Kebiasaan melakukan praktik pengobatan secara mandiri tanpa pelimpahan
wewenang secara mandat dan delegatif dari profesi kedokteran dianggap hal
yang biasa. Masih terdapat perawat yang melakukan praktik kedokteran.
Kondisi ini diperburuk dengan masih rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang bentuk praktik keperawatan mandiri yang dimanfaatkan oleh
sebagian oknum perawat.
Organisasi profesi keperawatan telah memberikan arahan mengenai
bentuk pelayanaan keperawatan yang dapat diberikan kepada masyarakat di
praktik keperawatan mandiri. Praktik keperawatan mandiri memiliki
lingkup area yaitu pelayanan asuhan keperawatan, pengembangan,
pengkajian dan pelayanan kesehatan, pelayanan konsultasi, dan pemberian
informasi kesehatan (ICN, 2012). Sedangkan menurut The College of
Registered Psychiatric Nurses of British Columbia menjelaskan bahwa
perawat dalam membuka praktik keperawatan mandiri memiliki cakupan
domain sebagai praktisi klinik pemberi asuhan keperawatan, memberikan
edukasi dan penyuluhan, melakukan penelitian dalam pengembangan
praktik dan melakukan administrasi pelayanan praktik.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2014 tentang
Keperawatan, menjelaskan wewenang perawat dalam menjalankan praktik
keperawatan mandiri. Wewenang perawat tersebut yaitu melakukan proses
keperawatan secara holistik, memberikan tindakan pada keadaan gawat
darurat sesuai dengan kompetensinya, melakukan rujukan, memberikan
konsultasi keperawatan, melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling,
serta melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai
dengan resep dokter. Selain itu untuk upaya kesehatan masyarakat, perawat
berwenang merencanakan tindakan perawatan kesehatan masyarakat,
membantu penemuan kasus penyakit, melakukan pemberdayaan
masyarakat, dan melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan
masyarakat (PMK RI Nomor 26, 2019).
Perawat dapat memberikan pelayanan asuhan keperawatan dalam
praktik mandiri dengan melakukan upaya kesehatan perorangan dan upaya
kesehatan masyarakat. Praktik keperawatan mandiri pada hakikatnya

2
Universitas Esa Unggul

memberikan perawat untuk lebih menunjukkan sisi profesionalisme dan


mensejajarkan diri dengan profesi lain (kedokteran). Pada praktik mandiri,
perawat relatif lebih independen dalam melakukan kegiatan pelayanan
(otonomi). Hal ini merupakan karakteristik yang penting bagi sebuah profesi
(Black, 2017). Perawat secara legal dapat menjalankan praktik mandiri
berdasarkan kebijakan dan peraturan yang diterbitkan oleh organisasi
profesi dan Pemerintah.
Perawat memiliki kesempatan untuk menajalankan peran dan
fungsinya secara bebas sesuai standar pada praktik keperawatan mandiri.
Kesempatan untuk melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif yang merupakan peran perawat secara independen dapat
dijalankan secara luas. Peran-peran tersebut dapat lebih mudah terlihat
implementasinya saat perawat menjalankan praktik keperawatan mandiri.
Melalui praktik mandiri, perawat dapat memberikan pelayanan asuhan yang
lebih individual, efektif dan efisien. Perawat dapat mempraktikkan
keterampilan dan menerapkan pengetahuan yang akan meningkatkan
kepakarannya dalam asuhan keperawatan dan pada akhirnya akan
memberikan kepuasan kerja.
Revolusi paradigma membuka pelayanan praktik keperawatan mandiri
harus terus diupayakan. Ketidakseragaman pemahaman dari perawat itu
sendiri tentang praktik keperawatan mandiri masih menjadi issue nyata.
Pada kenyataannya sudah banyak perawat yang melakukan praktik
pelayanan kesehatan secara mandiri, namun belum sesuai standar.
Pelayanan keperawatan di berbagai tempat praktik mandiri belum
mencerminkan praktik pelayanan professional (Ruswadi & Kusnanto,
2010). Perubahan mainstream harus dilakukan secara terstruktur, sistematis
dan massif bahwa perawat mampu membangun praktik keperawatan
mandiri sebagai kontribusi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Masih rendahnya minat perawat untuk melakukan
praktik mandiri merupakan tantangan yang harus dijawab.
Kebutuhan akan pelayanan keperawatam ditempat praktik mandiri
terus meningkat. Di Amerika Serikat, ada peningkatan sebanyak 5.6%
terhadap pelayanan praktik keperawatan mandiri pada tahun 2012 di
California. Hal ini diperkirakan akan meningkat sebanyak 30% hingga
tahun 2020 (Wheinberg, 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Brown
D. J. (2007) tentang perspektif konsumen terhadap perawat yang memberi
layanan praktik mandiri, ditemukan bahwa 82% responden telah mengetahui
tentang praktik keperawatan mandiri dan 58% responden lebih memilih ke
praktik perawat sebelum ke dokter. Hal ini menunjukan bahwa praktik
keperawatan mandiri dapat diterima di masyarakat.
Berdasarkan wawancara tidak terstruktur dengan Harif Fadillah
(Ketua DPP PPNI Pusat) pada tahun 2019 di Indonesia, jumlah perawat

3
Universitas Esa Unggul

yang terdaftar di sistem informasi keanggotan berjumlah ± 541.000 anggota


yang tersebar di 34 provinsi dan bekerja di fasilits pelayan kesehatan baik di
instansi pemerintah, swasta, ataupun melakukan praktik keperawatan
mandiri. Data tentang fasilitas pelayanan praktik keperawatan mandiri di
Indonesia tercatat ada 51 orang yang telah terdaftar secara legal (PPNI,
2019). Angka ini sesungguhnya lebih kecil jika dibanding kenyataan bahwa
perawat sudah banyak yang memberikan pelayanan kesehatan secara
mandiri, namun banyak faktor yang menyebabkan perawat enggan
mendaftarkan fasilitas pelayanannya secara legal ke pemerintah daerah
setempat. Keterbatasan tempat/ sarana, ketidaktahuan tata cara pengurusan
izin praktik, dan kebimbangan tentang bentuk pelayanan yang akan
diberikan merupakan bagian dari rendahnya minat perawat membuka
praktik mandiri.
Di Wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan sistem informasi
keanggotaan bulan September tahun 2019 terdaftar ± 43.356 perawat
sebagai anggota PPNI. Dari data tersebut hanya 9 perawat (0.02%) yang
sudah membuka praktik mandiri. Sedangkan di Wilayaha Jakarta Barat,
terdapat ± 7.610 perawat, dan belum satupun ada perawat yang membuka
praktik mandiri secara legal. Praktik keperawatan mandiri sebenarnya
merupakan kesempatan dan peluang bagi perawat. Perawat dapat
menjalankan profesionalisme sesuai dengan kewenangannya. Hasil
wawancara yang dilakukan peneliti pada perawat yang telah membuka
praktik mandiri mengatakan motivasi menyelenggarakan praktik
keperawatan mandiri untuk mengaplikasikan ilmu keperawatan,
mengembangkan profesi keperawatan, meningkatkan keterampilan individu
maupun tim, menjadikan tempat praktik sebagai pusat edukasi kepada klien,
keluarga dan masyarakat, serta meningkatkan pendapatan secara finansial.
Perawat lain dari Kota Bontang, provinsi Kalimantan Timur
mengatakan hasil penelitian didapatkan motivasi perawat melaksanakan
praktik mandiri tinggi sebanyak 44 responden (51,2%) dan motivasi yang
rendah sebanyak 40 responden (48,8%). untuk mewujudkan mimpi menjadi
perawat pengusaha dengan layanan homecare. Keuntungan membuka
praktik mandiri adalah tidak terikat, waktu lebih fleksibel, bebas berkreasi
dan berinovasi. Memperhatikan hasil penelitian yang menunjukkan tingkat
motivasi perawat yang tidak berbeda jauh proporsinya antara motivasi tinggi
(51,2%) dengan motivasi rendah (48,8%), maka diharapkan hasil penelitian
ini dapat menjadi acuan bagi PPNI Kota Bontang untuk lebih aktif
melakukan kegiatan peningkatan motivasi perawat dalam hal melaksanakan
praktik mandiri keperawatan dan kegiatan advokasi sehingga di masa yang
akan datang, praktik mandiri keperawatan dapat berkembang di Kota Bonta.
Namun demikian, dalam perkembangannya praktik keperawatan mandiri

4
Universitas Esa Unggul

masih sulit berkembang meskipun sudah ada payung hukum yang jelas
(Taukhit, 2015).
Banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya minat perawat
untuk membuka praktik keperawatan mandiri. Identifikasi yang dilakukan
Nursalam (2014), menyebutkan bahwa pengalaman melakukan praktik
keperawatan, kepemimpinan, percaya diri dan determinasi, pemahaman
tentang regulasi yang mengatur praktik keperawatan mandiri, kualifikasi
pendidikan, sumber daya keuangan, motivasi dalam mengembangkan jenis
serta sifat praktik keperawatan professional merupakan penyebab rendahnya
minat perawat membuka praktik mandiri.
Informasi lain berdasarkan hasil penelusuran dan wawancara secara
langsung terhadap Wakil Ketua Bidang Pelayanan DPD PPNI Kota
Administrasi Jakarta Barat pada bulan Oktober tahun 2019, untuk
penyelenggaraan praktik mandiri perawatan di Wilayah Kota administrasi
Jakarta Barat belum ada baik secara individu ataupun kelompok.
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi motivasi perawat dalam melaksanakan praktik
keperawatan mandiri di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat.

1.2 Rumusan Masalah


Praktik keperawatan mandiri masih merupakan tantangan yang harus
disikapi oleh profesi keperawatan. Rendahnya kemampuan berupa
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai
dan dimiliki oleh perawat untuk melakukan praktik keperawatan mandiri
merupakan faktor yang tidak dapat disangkal. Bentuk pelayanan yang
diberikan di tatanan praktik keperawatan mandiri merupakan masalah klasik
yang terus terjadi sampai saat ini. Kebiasaan melakukan praktik pengobatan
secara mandiri tanpa pelimpahan wewenang secara mandat dan delegatif
dari profesi kedokteran dianggap hal yang biasa. Kondisi ini diperburuk
dengan masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bentuk praktik
keperawatan mandiri yang dimanfaatkan oleh sebagian oknum perawat.
Pada kenyataannya sudah banyak perawat yang melakukan praktik
pelayanan kesehatan secara mandiri, namun belum sesuai standar.
Pelayanan keperawatan di berbagai tempat praktik mandiri belum
mencerminkan praktik pelayanan professional. Sementara kebutuhan akan
pelayanan keperawatam ditempat praktik mandiri terus meningkat. Masih
rendahnya minat perawat untuk melakukan praktik mandiri merupakan
tantangan yang harus dijawab. Banyak faktor yang menyebabkan masih
rendahnya minat perawat untuk membuka praktik keperawatan mandiri.
Berdasarkan hal tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi perawat

5
Universitas Esa Unggul

dalam melaksanakan praktik keperawatan mandiri di Wilayah Kota


Administrasi Jakarta Barat.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan
1. Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi perawat dalam
melaksanakan praktik keperawatan mandiri di Wilayah Kota
Administrasi Jakarta Barat.
2. Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran usia, jenis kelamin, lama kerja, dan status
pekerjaan perawat di wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat
b. Mengidentifikasi gambaran faktor motivasi intrinsik dan ekstrinsik
perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan mandiri.
c. Mengidentifikasi gambaran motivasi perawat dalam melaksanakan
praktik keperawatan mandiri.
d. Mengidentifikasi pengaruh faktor motivasi intrinsik (harga diri,
prestasi, kepuasan kerja, kebutuhan, harapan) dengan motivasi
perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan mandiri.
e. Mengidentifikasi pengaruh faktor motivasi ektrinsik (jenis dan sifat
pekerjaan, kelompok kerja, kondisi kerja, hubungan interpesonal)
dengan motivasi perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan
mandiri.

1.3.2 Manfaat Penulisan


1. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi profesi
keperawatan dalam meningkatkan peran dan fungsi serta motivasi dalam
mewujudkan praktek mandiri keperawatan secara professional.
2. Institusi Pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendekatan manajemen
aplikasi dari manajemen praktik keperawatan mandiriserta referensi dan
bahan bacaan bagi pendidikan.
3. Bagi Organisasi Profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keberadaan
praktik keperawatan mandirisekaligus evaluasi tehadap pelaksanaan
praktik keperawatan mandiri dan regulasi yang ada.
4. Penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini digunakan sebagai data dasar untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya terkait motivasi perawat dan praktik keperawatan
mandiri.

6
Universitas Esa Unggul

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Praktik Keperawatan
Praktik keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh
perawat dalam bentuk asuhan keperawatan (Undang-undang Keperawatan
No. 38, 2014). Praktik keperawatan merupakan tindakan mandiri perawat
profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan
kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan
menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan.
Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat professional
melalui kerjasama berbentuk kolaborasi dengan klien dan tenaga
kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan
linkungan dan wewenag tanggung jawabnya (Nursalam, 2014). Perlakuan
terhadap kompensasi pelayanan professional yang memerlukan pengetahuan
khusus tentang ilmu biologi, psikologi, sosiologi, dan teori keperawatan
sebagai dasar untuk mengkaji, menegakan diagnosis, melakukan intervensi,
dan evaluasi upaya peni ngkatan dan mempertahankan kesehatan, penemuan
dan pengelolaan masalah, cidera atau kecacatan, memepertahankan fungsi
optimal atau meninggal dengan nyaman (ANA, 2012).
Praktik keperawatan harus berlandaskan prinsip ilmiah dan
kemanusiaan serta berilmu pengetahuan dan terampil melaksanakan
pelayanan keperawatan dan bersedia dievaluasi. Inilah yang menunjukkan
profesionalisme perawat yang sangat vital bagi pelaksanaan fungsi
keperawatan mandiri, ketergantungan dan kolaboratif (Kozier, 1991 dalam
Kusnanto, 2004). Bentuk/model praktik keperawatan menurut Kusnanto
(2004) terdiri dari :
a. Praktik keperawatan di rumah sakit dan puskesmas.
b. Praktik keperawatan di rumah (home nursing practice) dalam konteks
perpanjangan pelayanan rumah sakit atau puskesmas.
c. Praktik keperawatan berkelompok (group nursing practice)
d. Praktik keperawatan individu/perorangan (individual nursing practice)

2.1.2 Praktik Mandiri Keperawatan


Praktik keperawatan mandiri adalah praktik perawat perorangan atau
berkelompok ditempat praktik mandiri diluar fasilitas pelayanan kesehatan.
Praktik keperawatan mandiri diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan
yang bertujuan untuk memandirikan klien yang membutuhkan karena
ketidaktahuan, ketidakmampuan dan ketidakmauan memenuhi kebutuhan
dasar dan merawat dirinya (Undang-undang Keperawatan No. 38, 2014).

7
Universitas Esa Unggul

College of Nurse of Ontario (2014), mendefinisikan praktik


keperawatan adalah seseorang yang melakukan wiraswasta yang bertujuan
mandiri memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan
pengetahuan dan keahlian perawat, pelayanan yang diberikan adalah
pelayanan langsung, konsultasi dan pendidikan.
Menurut konsorsium ilmu kesehatan dalam Taukhit, Margawati, &
Ardani (2015) pengertian praktik mandiri perawat merupakan bentuk
tindakan mandiri perawat profesional dalam bekerjasama dengan cara
kolaborasi baik dengan klien maupun tenaga kesehatan untuk memberikan
asuhan keperawatan yang menyeluruh berdasarkan wewenang dan tanggung
jawabnya sebagai perawat.
Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik mandiri adalah
tindakan pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan baik mandiri
maupun berkolaborasi dalam melayani klien sesuai wewenang dan prosedur
yang telah ditetapkan.

2.1.3 Tujuan Praktik Mandiri


Menurut Kozier dan Erb dalam syaiful (2015) praktik mandiri
keperawatan mempunyai 4 area praktik keperawatan yang terkait dengan
kesehatan yaitu:
a. Peningkatan Kesehatan
Perawat dalam menjalankan praktik mandiri harus dapat
meningkatkan, mengembangkan dan memelihara derajat kesehatan klien
maupun masyarakat. Kegiatan yang dapat menunjang perawat dalam
meningkatkan kesehatan sebagai berikut:
1) Melakukan pendidikan kesehatan untuk individu, komunitas,
masyarakat.
2) Membangun dan menjalin hubungan interpersonal dengan klien secara
langsung agar lebih memahami keadaan klien.
3) Perawat perlu adanya peraturan ataupun kebijakan yang mendukung.
b. Pencegahan penyakit
Tindakan pencegahan penyakit yang dilakukan perawat dalam
praktik mandiri ini bertujuan meningkatkan kebiasaan sehat bagi klien
agar dapat mempertahankan derajat kesehatan secara optimal dengan
cara:
1) Menjadi teladan dalam berpola hidup sehat di masyarakat.
2) Melakukan edukasi dalam usaha meningkatkan kesehatan
3) seperti pola makan sehat, mengendalikan stress, dan membina
hubungan antar sesama.
4) Mempengaruhi klien supaya dapat meningkatkan derajat kesehatannya
dengan cara memberitahu dampak positif perilaku hidup sehat dan
tidak negatif perilaku tidak sehat.

8
Universitas Esa Unggul

5) Memberi cara dan contoh kepada klien bagaimana cara yang baik dan
tepat dalam menyelesaikan masalah.
6) Menguatkan kehidupan klien dalam keluarganya terkait kesehatannya
dengan pola hidup sehat.
c. Pemeliharaan kesehatan
Tujuan praktik mandiri keperawatan adalah memelihara status
kesehatan klien untuk mengetahui perkembangannya dengan cara
mengidentifikasi gejala penyakit kronis klien sebelum terjadi keparahan.
Membuat klien dan masyarakat tertarik tentang masalah kesehatan
seiring dengan perubahan kehidupan sosial di masyarakat yang lebih
cenderung terhadap hal-hal instan seperti makan junk food dan jarang
berolahraga, kemudian memodifikasi lingkungan karena penyebab
penyakit adalah stres akibat kesibukan kerja karena jarang melakukan
aktivitas fisik.
d. Pemulihan Kesehatan
Tujuan praktik mandiri keperawatan adalah membantu klien dalam
meningkatkan pemulihan kesehatan setelah klien dinyatakan terdiagnosa
penyakit tertentu, agar masalah pada diri klien segera teratasi dan
meminimalkan terjadinya komplikasi.
e. Perawatan pasien menjelang ajal
Praktik mandiri keperawatan mencakup segala aspek termasuk
memberikan sentuhan yang nyaman dalam memberikan perawatan
menjelang ajal. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang perawat tidak hanya
di rumah sakit ataupun instansi kesehatan lain tetapi dalam praktik
mandiri juga bisa dilakukan.

2.1.4 Lingkup Praktik Keperawatan Mandiri


Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan No 26 tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 dijelaskan
bahwa praktik keperawatan secara mandiri harus memiliki kualifikasi
pendidikan paling rendah profesi ners, namun jika di suatu daerah tersebut
belum memiliki kualifikasi perawat ners vokasi bisa membuka praktek
mandiri sesuai dengan batasan dan kewenangannya.
Praktik keperawatan diberikan melalui asuhan keperawatan untuk
klien individu, keluarga masyarakat dan kelompok khusus dalam
menyelesaikan maslah kesehatan sederhana sampai kompleks baik sehat
maupun sakit sepanjang rentang kehidupan manusia. Pelayanan
keperawatan merupakan rangkaian tindakan yang dilandasi aspek etik legal
dan peka budaya untuk memenuhi kebutuhan klien. Kegiatan tersebut
meliputi tindakan prosedural, pengambilan keputusan klinik yang
memerlukan analisis kritis serta kegiatan advokasi dengan menunjukan
prilaku caring. Praktek keperawatan mandiri dilaksanakan dalam bentuk

9
Universitas Esa Unggul

pemberian asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan dilakukan melalui


tindakan keperawatan mandiri dan atau kolaborasi oleh tim keperawatan
sesuai dengan batasan kewenangan masing-masing jenis tenaga perawat
(PPNI, 2014).
Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di
bidang upaya kesehatan dalam lingkup pelayanan keperawatan mandiri
berdasarkan batas dan kewenangan sebagai berikut:
a. Perawat Vokasi (Diploma Keperawatan)
Mampu menguasai sains keperawatann dasar:melakukan asuhan
keperawatan yang telah direncanakan secara trampil dalam upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk memenuhi kebutuhan
bio psiko sosio spiritual secara holistic dan berdasarkan pada asuhan
keperawatan, standar operasional prosedur, memeperhatiakn keselamatan
pasien, rasa aman dan nyaman mampu bekerja sama dengan tim
keperawatan (PPNI, 2014).
b. Ners (Perawat Profesional)
Mampu menguasai sains keperawatan lanjut, mengelola asuhan ke
perawatan secara terampil dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, untuk memenui kebutuhan bio psiko sosio spiritual secara
holistic dan berdasarkan pada standard asuhan keperawatan, standar
operasional prosedur, memperhatikan keselamatan pasien, rasa aman dan
nyaman, menggunakan hasil riset, serta mampu bekerja sama dengan tim
keperawatan (perawat peneliti dan doctoral keperawatan) dan
berkolaborasi dengan tim kesehatan lain (PPNI, 2014).

2.1.5 Landasan Hukum


Landasan hukum dalam pelaksanaan praktik keperawatan mandiri
(PPNI, 2014) adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2014 tentang
Keperawatan Bab V Pasal 28 Ayat 2.
2. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 26 tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU No. 38 tahun 2014.
Kebijakan ini mengatur tentang alur dan mekanisme perizinan.
Perawat yang menjalankan praktik keperawatan mandiri wajib memiliki
izin. Izin sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk Surat Izin Praktik
Perawatan (SIPP). SIPP diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/ Kota
tempat perawat menjalankan praktiknya. Untuk mendapatkan SIPP, perawat
harus melampirkan : salinan STR yang masih berlaku, rekomendasi dari
organisasi profesi perawat, dan surat pernyataan memiliki tempat praktik
atau surat keterangan dari pimpin fasilitas pelayanan kesehatan. SIPP masih
berlaku apabila Surat Tanda Registrasi (STR) masih berlaku dan Perawat

10
Universitas Esa Unggul

berpraktik ditempat sebagaimana tercantum di SIPP. Perawat yang


menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik
keperawatan. SIPP tidak berlaku apabila dicabut berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, habis masa berlakunya, atas permintaan
perawat atau, perawat meninggal dunia.

Skema 2.1 Perizinan Praktik keperawatan mandiri


(UU RI No. 38, 2014 & PMK 26, 2019)
Ijazah Ners, STRP,
Surat keterangan sehat, foto

Verifikasi Berkas dan


Visitasi

Rekomendasi PPNI

Berkas permohonan ke
Dinkes Kabupaten/ Kota

Pemerintah Daerah
(DINKES)

Visitasi :
Persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, peralatan, obat dan bahan
habis pakai (BHP)

Penerbitan Izin Praktik


Keperawatan Mandiri
(SIPP Mandiri)

11
Universitas Esa Unggul

2.1.6 Kewenangan Perawat


Perawat yang menyelenggarakan praktik keperawatan mandiri
memiliki wewenang menyelenggarakan asuhan keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan; menyelenggarakan penyuluhan dan konseling
bagi klien; dan melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang.
Penyelenggaraan praktik keperawatan mandiri harus dilakukan sesuai
dengan standar dan kode etik keperawatan dan dilaksanakan di tempat
praktik mandiri perawat. Pemberian asuhan keperawatan dapat berupa
penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif sesuai dengan
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan dan/ atau
pelatihan. Pelaksanaan kewenangan keperawatan komplementer dan
alternatif tidak menjadi pelayanan keperawatan yang utama dan tidak
dilakukan secara terus menerus serta dilakukan sebagai pelengkap.
Sebagai pengelola pelayanan keperawatan, perawat berwenang
melakukan pangkajian keperawatan secara holistic; menetapkan diagnostic
keperawatan; merencanakan tindakan keperawatan; melaksanakan tindakan
keperawatan; mengevaluasi hasil tindakan keperawatan; melakukan
rujukan; memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi; memberikan konsultasi keperawatan dan berkolaborasi dengan
dokter; melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; melakukan
penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga
medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas. Tentang sistem rujukan
pelayanan kesehatan perorangan. Perawat dapat melakukan sistem rujukan.
Perawat harus Merujuk klien yang tidak dapat ditangani kepada perawat
atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan
tingkat kompetensinya.

2.1.7 Asas Praktik Keperawatan Mandiri


Keperawatan sebagai bagian integraldari pelayanan kesehatan di
Indonesia, menyadari bahwa kebutuhan akan pelayanan keperawatan
bersifat universal bagi klien (individu keluarga kelompok dan masyarakat),
oleh karenanya pelayanan yang diberikan oleh perawat selalu berdasarkan
pada cita-cita luhur, niat yang murni untuk keselamatan dan kesejahteraan
umat tanpa membedakan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. Oleh
karena itu, penataan praktik keperawatan berasaskan pada; peri
kemanusiaan, nilai ilmiah, etika, manfaat, keadilan, pelindungan, kesehatan
dan keselamatan klien.
Asas peri kemanusiaan adalah asas yang harus mencerminkan
pelindungan danpenghormatan hakasasi manusia serta harkatdanmartabat
setiap warga negara dan penduduk tanpa membedakan suku, bangsa, agama,
status sosial, dan ras. Asas nilai ilmiah adalah praktik keperawatan

12
Universitas Esa Unggul

dilakukan berdasarkan pada lmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh,


baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik. Asas etika
dan profesionalitas adalah bahwa pengaturan praktik keperawatan harus
dapat mencapai dan meningkatkan keprofesionalan perawat dalam
menjalankan praktik keperawatan serta memiliki etika profesi dan sikap
profesional. Asas manfaat bermaksud agar keperawatan dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Asas
keadilan adalah keperawatan harus mampu memberikan pelayanan yang
merata terjangkau, bermutu, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan
kesehatan. Asas pelindungan yaitu pengaturan praktik keperawatan harus
memberikan pelindungan yang sebesar-besarnya bagi perawat dan
masyarakat. Asas kesehatan dan keselamatan klien adalah perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan harus mengutamakan kesehatan dan
keselamatan klien.

2.1.8 Tempat Praktik Keperawatan


Tempat praktik keperawatan mandiri dilakukan ditempat praktik
mandiri dan dapat ditempat lain sesuai dengan klien, sasaran antara lain
rumah klien (home care), rumah jompo, panti asuhan, panti sosial, sekolah
dan perusahaan. Persyaratan tempat praktik keperawatan meliputi lokasi,
bangunan, prasarana, peralatan, serta obat dan bahan habis pakai.
Persyaratan lokasi harus berada pada lokasi yang mudah untuk akses
rujukan dan memperhatikan aspek kesehatan lingkungan. Bangunan untuk
tempat praktik keperawatan mandiri dapat berupa rumah tinggal, bagian dari
rumah, bagian dari kantor/ tempat kerja, mal, atau bagian dari gedung
(apartemen, rumah toko, rumah susun, mal, atau bangunan lain yang
sejenis). Dalam hal praktik mandiri berada di rumah tinggal perorangan,
akses pintu keluar masuk tempat praktik harus terpisahdari tempat tinggal
perorangan.
Bangunan tempat praktik mandiri harus memperhatikan fungsi,
keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta
perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua orang termasuk
penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut. Persyaratan bangunan
meliputi ruang dalam bangunan yang terdiri atas ruang pelayanan
administrasi, ruang tunggu, ruang periksa/ konsultasi/ ruang asuhan
keperawatan, ruang penyimpanan alat dan perbekalan kesehatan, kamar
mandi, dan ruang lain sesuai kebutuhan. Persyaratan prasarana paling
sedikit harus memiliki system air bersih, system kelistrikan atau
pencahayaan yang cukup, ventilasi atau sirkulasi udara yang baik, dan
prasarana lain sesuai kebutuhan.

13
Universitas Esa Unggul

2.1.9 Hak dan Kewajiban


Dalam melaksanakan praktik keperawatan mandiri, perawat
mempunya hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standard
prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur dari klien/ kelauarga;
melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan; menerima
imbalan jasa profesi; menolak keinginan klien atau pihak lain yang
bertentangan dengan kode etik, standard, pelayanan, standard profesi,
standard prosedur operasional, atau ketentuan peraturan perundang-
undangan; memperoleh fasilitas kerja sesuai standar, memperoleh jaminan
perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya,
mendapat kesempatan untuk mengembangkan profesi.
Kewajiban Perawat dalam melakukan praktik keperawatan mandiri
yaitu memperoleh persetujuan dari klien atau keluarga atas tindakan yang
akan diberikan; melengkapi sarana dan prasarana pelayanan keperawatan
sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan ketentuan peraturan
perundang–undangan; memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan
kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi, standar
operasional prosedur, dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
merujuk klien yang tidak dapat ditangani kepada perawat atau tenaga
kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat
kompetensinya; mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai standar;
memberikan informs yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah
dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada klien dan/ atau
keluarganya sesuai dengan batas kewenangan; melaksanakan tindakan
pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan
kompetensi perawat; melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Perawat yang menjalankan praktik keperawatan mandiri
memasang papan nama praktik keperawatan mandiri.

2.1.10 Bentuk Pelayanan Praktik Keperawatan Mandiri


Dalam meningkatkan upaya kesehatan masyarakat yang bermutu,
bermanfaat dan dapat dipertanggungngjawabkan, perlu dimanfaatkan
berbagai upaya pelayanan kesehatan termasuk pengobatan komplementer
dan alternatif.
1. Asuhan keperawatan di rumah (home care)
Merupakan salah satu sektor system layanan kesehatan yang
berkembang pesat (Kozier & Erb, 2013). Keperawatan hospice sering
kali dipertimbangkan sebagai sub spesialisasi keperawatan dirumah,
memberikan dukungan kepada klien yang sakit terminal dan keluarga
mereka selama tahap akhir kehidupan dan kehilangan (Kozier & Erb,

14
Universitas Esa Unggul

2013). Home care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan


dan komprehensif yang diberikan pada individu dan keluarga ditempat
tinggal mereka yang bertujuan meningkatkan, mempertahankan atau
memulihkan kesehatanatau memaksimalkan tingkat kemandirian dan
meminimalkan akibat dari penyakit (Kemenkes, 2015). Kebutuhan
perawatan dirumah dapat diidentifikasikan oleh siapapun yang terlibat
dengan klien, klien dirujuk ke instansi perawatan dirumah atau lembaga
keperawatan (Kozier & Erb, 2013).
Jenis pelayanan keperawatan yang diberikan dalam Home care
Antara lain Praktik keperawatan luka, stoma dan inkontinensia adalah
pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat dalam bentuk
asuhan keperawatan luka, stoma, dan inkontinensia. Praktik keperawatan
tersebut harus didasarkan pada kode etik, standard pelayanan, standar
profesi dan standar prosedur operasional (Indonesian Wound Care
Clinician Association, 2017).
American Nursing Credensialing Center (ANCC) memberikan
sertifikasi untuk keperawatan dirumah baik pada tingkat generalis
maupun pada tingkat praktik lanjutan (Kozier & Erb, 2013). Pelayanan
home care yang dapat diberikan yaitu layanan konseling dan pendidikan
kesehatan seperti gizi, pengenalan faktor resiko, tindakan gawat darurat,
home visiting, layanan perawatan dirumah 24 jam oleh perawat
professional, layanan rehabilitasi dan pemulihan seperti latihan terapi
wicara, fisioterapi, latihan mobilisasi, perawatan luka diabetic.
2. Pengobatan Komplementer dan Altenatif
Pengobatan komplementer dan alternatif adalah pengobatan non
konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat meliputi upaya promotif, kuratif, preventif, dan rehabilitatif
yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas,
keamanan, dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan bio
medik yang belum diterima. Terapi komplementer adalah semua terapi
yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi konvensional yang
direkomendasikan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan individu
(Potter & Perry, 2010).
National Center for Clompementary and Alternatif Medicine
(NCCAM) memiliki terapi alternatif dan latihan yang terorganisasi
dalam lima kategori (Potter & Perry, 2010) yaitu 1) sistem medis
alternative, dibangun antara system dan praktek yang lengkap, tipenya
adalah akupunktur, ayurveda, pengobatan homeopatik, praktik amerika
asli, praktik amerika latin, pengobatan tradisional china; 2) terapi secara
biologis, menggunakan substansi dari alam tipenya adalah herbal,
makanan dan vitamin, tipenya adalah zona untuk diet protein, diet
makrobiotik, pengobatan ortomolekuler (mega vitamin), erupean

15
Universitas Esa Unggul

phytomedicines, obat–obatan herbal; 3)manipulasi dan metode didasari


tubuh yaitu pergerakan dari satu atau lebih dari bagian tubuh, tipenya
adalah akupresur, pengobatan kiropraktik, tai chi, terapi pijat, sentuhan
ringan; 4) intervensi tubuh dan pikiran menggunakan berbagai tenik
yang dibuat untuk meningkatkan kapasitas pikiran untuk mempengaruhi
tubuh. Tipenya adalah: terapi seni, umpan balik biologis; 5) intervensi
tubuh-pikiran, menggunakan berbagai taknik yang dibuat untuk
meningkatkan kapasitas pikiran guna mempengaruhi fungsi dan gejala
tubuh, tipenya adalah terapi dansa, terapi pernapasan, imajinasi
terbimbing dan meditasi.
3. Praktik Keperawatan Telehealth / Telenursing
Telenursing adalah upaya penggunaan teknologi informasi dalam
memberikan pelayanan keperawatan dimana ada jarak secara fisik yang
jauh antara perawat dan pasien, atau antar perawat. Telenursing
merupakan bagian dari telehealth atau telemedicine dan beberapa bagian
terkait dengan aplikasi bidang medis dan nonmedis seperti telediagnosis,
telekonsultasi dan telemonitoring (Durrani, Khoja, 2009 dalam Padila, et
al., 2018). Praktik telenursing dapat diaplikasikan dalam berbagai setting
area keperawatan, dan dapat berbentuk ambulatory care, call centers,
home visit telenursing, bagian rawat jalan dan bagian kegawatdaruratan.
Telenursing juga dapat digunakan dalam ragam yang sangat bervariasi,
meliputi: via telepon (landline dan telepon seluler), personal digital
assistants (PDAs), mesin faksimili, internet by email, video dan audio
conferencing, tele radiologi, sistem informasi komputer bahkan melalui
telerobotics (Scotia, 2014).
Bentuk-bentuk tele nursing dapat berupa triage tele nursing, call-
center services, konsultasi melalui secure mail messaging system,
konseling melalui hotline service, audio atau video conferencing antara
pasien dengan petugas kesehatan atau dengan sesama petugas kesehatan,
discharge planning telenursing, home-visit tele nursing dan
pengembangan websites sebagai pusat informasi dan real-time
counseling pada pasien (Canadian Nursing InformaticsAssociation,
2015). Penyampaian layanan keperawatan melalui internet atau saluran
elektronik lainnya. merupakan praktik keperawatan. Prospek telenursing
di Indonesia sangat besar mengingat belum meratanya pembangunan,
Namun pada pelaksanaanya belum berjalan dengan baik karena
terkendala sumber daya manusia dan sarana.
4. Praktek Keperawatan Hospice
Hospice merupakan sebuah filosopi perawatan. Hospice bertujuan
untuk memberi dukungan dan perawatan bagi orang–orang yang berada
pada beberapa bulan terakhir kehidupannya karena suatu penyakit yang
tidak dapat disembuhkan sehingga hidup mereka dapat dijalani dengan

16
Universitas Esa Unggul

semaksimal dan senyaman mungkin (Potter & Perry, 2010). Hospice


merupakan pelayanan paliatif yang suportif dan terkoordinasi yang
dilakukan di rumah pasien dengan memberi pelayanan fisik, psikologis,
sosial dan spiritual untuk pasien yang menunggu ajal.
Tujuan utma perawatan hospice untuk memberikan kenyamanan
dan menjaga kualitas hidup pasien (semaksimal mungkin) bagi mereka
yang menghadapi penyakit, atau kondisi terminal yang membatasi hidup.
Setelah memasuki rumah perawatan, seorang pasien menerima perawatan
individual yang umumnya berfokus pada kesejahteraan secara
keseluruhan atau holistic. Kebutuhan perawatan hospice tidak hanya
mengatasi kondisi fisiknya tetapi juga kebutuhan emosi, sosial, dan
bahkan spiritual/ religius ketika kematian mendekat. Selain itu, tim
perawatan profesional terus mengevaluasi kondisi pasien dan
memperbarui rencana perawatan sesuai kebutuhan. Perawatan rumah
sakit juga memberikan dukungan praktis, sumber daya, dan informasi
kepada keluarga pasien dan orang yang dicintai selama masa sulit.

2.2 Motivasi
Motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau
menggerakkan. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan
daya dan potensi agar bekerja mencapai tujuan yang ditentukan (Hasibuan,
2006). Motivasi (motivation) adalah keinginan dalam diri seseorang yang
menyebabkan orang tersebut bertindak. Orang biasanya bertindak karena
suatu alasan untuk mencapai suatu tujuan. Jadi, motivasi adalah sebuah
dorongan yang diatur oleh tujuan dan jarang muncul dalam kekosongan.
Kata-kata kebutuhan, keinginan, hasrat, dan dorongan, semuanya serupa
dengan motif, yang merupakan asal dari kata motivasi. (Malthis dan
Jackson, 2009).
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) dalam menghadapi situasi
kerja (situation). Motivasi merupakan kondisi atau energi yang
menggerakkan diri yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan
organisasi (Mangkunegara, 2005). Istilah motivasi, dalam kehidupam
sehari-hari memiliki pengertian yang beragam baik yang berhubungan
dengan perilaku individu maupun perilaku organisasi. Namun apapun
pengertiannya, motivasi merupakan unsur penting dalam diri manusia yang
berperan dalam mewujudkan keberhasilan dalam usaha maupun pekerjaan
manusia. Dasar pelaksanaan motivasi oleh seorang pimpinan adalah
pengetahuan dan perhatian terhadap perilaku manusian yang dipimpinnya
sebagai suatu faktor penentu keberhasilan organisasi.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2000), dalam Asmuji, 2013) motivasi
adalah proses psikologis yang meningkatkan dan mengarahkan perilaku
untuk mencapai tujuan. Robbin (2003) dalam Asmuji, 2013) menyatakan

17
Universitas Esa Unggul

motivasi sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah dan


ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Dill, Erickson dan
Diefendorff (2016), menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kondisi yang
menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan memberi arah serta
ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut. Asmuji (2013)
menyimpulkan, motivasi adalah suatu dorongan proses psikologis yang
menimbulkan perilaku tertentu dan ikut menentukan intensitas, arah,
ketekunan, dan ketahanan pada perilaku tersebut sesuai tujuan yang
ditetapkan.
Motivasi menurut Hariandja (2007) adalah faktor-faktor yang
mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk
melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras
atau lemah. Sortell dan Kaluzny (1994) mengartikan motivasi sebagai
perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan atau
menjalankan kekuasaan, terutama dalam perilaku. (Suarti dan Bahtiar,
2010). Sedankan menurut Gunarsa (1995) yang dikutip Ismahmudi dkk
(2008), motivasi dan minat merupakan faktor atau tenaga yang ada dalam
diri individu dan dapat mengarahkan atau membawa tingkah laku ke arah
tujuan yang ingin dicapai.

2.2.1 Jenis-jenis Motivasi


a. Ditinjau dari bentuknya, motivasi terdiri atas :
1) Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri
individu.
2) Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari luar
individu.
3) Motivasi terdesak, yaitu motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit
dan munculnya serentak serta menghentak dan cepat sekali
(Nursalam, 2012).
b. Ditinjau dari asalnya, motivasi terdiri dari :
1) Motivasi eksternal : dari luar, ada yang menyuruh,
2) Motivasi sosial : norma masyarakat,
3) Motivasi internal (diri) : prakarsa/ kehendak sendiri (Suarli dan
Bahtiar, 2010).

2.2.2 Teori Motivasi


Gibson (dalam Suarli & Bahtiar, 2010) mengelompokkan teori-teori
motivasi dalam dua kelompok besar, yaitu teori kepuasan (content theory)
dan teori proses. Pengelompokkan tersebut digambarkan seperti tabel 2.1 di
bawah ini.

18
Universitas Esa Unggul

Teoritis Teori dan Penemunya


Penjelasan Teoritis Teori
Teori Kepuasan (Content)
Faktor-faktor dalam diri orang yang - Hierarki Kebutuhan (Maslow)
menggerakkan, mengarahkan, - Teori ERG (Clayton Alderfer)
mendukung, dan menghentikan - Teori Dua Faktor (Herzberg)
perilaku - Teori Kebutuhan yang dipelajari
(McClelland)
Teori Proses
Menguraikan, menjelaskan, - Teori Penguatan (Skinner)
menganalisis bagaimana perilaku - Teori Harapan (Vroom)
digerakkan, diarahkan, didukung - Teori Keadilan (Adams)
dan dihentikan - Teori Penetapan Tujuan (Locke)

a. Teori Kepuasan (Content Theory)


Teori ini merupakan teori yang mendasarkan atas faktor-faktor
kebutuhan dan kepuasan individu yang menyebabkan bertindak dan
berperilaku dengan cara tertentu. Teori ini memusatkan perhatian pada
faktor-faktor dalam diri orang yang menguatkan, mengarahkan,
mendukung dan menghentikan perilakunya. Jika kebutuhan semakin
terpenuhi, maka semangat pekerjaannya semakin baik.
1. Teori Hierarki Abraham Maslow
Teori hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) ini dikemukakan
oleh Maslow tahun 1954 (Barus, 2012). Teori ini memandang
kebutuhan manusia bertingkat dari yang paling rendah hingga yang
paling tinggi.
Kebutuhan tingkat dasar adalah kepuasan yang dapat diperoleh
dari luar individu, misalnya kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa
aman. Sedangkan kebutuhan tingkat tinggi adalah kebutuhan yang
dapat diperoleh dari dalam diri individu, misalnya kebutuhan
aktualisasi diri dan penghargaan.
Hierarki kebutuhan itu menurut Maslow (dalam Barus, 2012)
adalah:
a) Kebutuhan fisik dan biologis (physiological needs) yaitu kebutuhan
untuk menunjang kehidupan manusia seperti makanan, air, pakaian
dan tempat tinggal. Menurut Maslow, jika kebutuhan fisiologis
belum terpenuhi, maka kebutuhan lain tidak akan memotivasi
manusia.
b) Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan (safety and security
needs), yaitu kebutuhan untuk terbebas dari bahaya fisik dan rasa
takut kehilangan.
c) Kebutuhan sosial (affiliation or acceptance needs) yaitu kebutuhan
untuk bergaul dengan orang lain dan untuk diterima sebagai bagian
dari yang lain.

19
Universitas Esa Unggul

d) Kebutuhan akan penghargaan (esteem of status needs) yaitu


kebutuhan untuk dihargai orang lain. Kebutuhan ini akan
menghasilkan kepuasan seperti kuasa, prestasi, status dan
kebanggaan akan diri sendiri.
e) Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization needs) yaitu
kebutuhan untuk mengaktualisasikan semua kemampuan dan
potensi yang dimiliki hingga menjadi seperti yang dicita-citakan
oleh dirinya.
Menurut Maslow, kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan
kebutuhan paling tinggi dalam hirarki kebutuhan. Hierarki kebutuhan
Maslow tersebut didasari dua asumsi, yaitu kebutuhan seseorang
tergantung dari apa yang telah dipunyai, dan kebutuhan merupakan
hierarki dilihat dari pentingnya.
Teori hierarki kebutuhan Maslow mengandung kelemahan
antara lain:
a) Sukar membuktikan bahwa kebutuhan manusia itu mengikuti suatu
hierarki;
b) Terdapat kekuatan kebutuhan yang berbeda-beda pada setiap
individu, terutama pada tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi;
c) Timbulnya kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi bukan
semata-mata disebabkan telah terpenuhinya kebutuhan yang lebih
rendah, melainkan karena meningkatnya karier atau posisi
seseorang;
d) Kebutuhan-kebutuhan itu luwes sifatnya sehingga sulit menetapkan
suatu ukuran yang memuaskan segala pihak.
Walaupun teori hierarki kebutuhan Maslow ini memiliki
kelemahan, tetapi teori ini sangat berguna untuk menjelaskan motivasi
seseorang di dalam suatu organisasi. (Usman, 2006)
2. Teori Alderfer (Alderfer’s ERG theory)
Teori ini dikembangkan oleh Clayton Alderfer yang menekankan
pentingnya pemuasan kebutuhan manusia yang berkisar pada
keberadaan hubungan dengan orang lain dan pertumbuhan yang harus
terpenuhi secara simultan. Teori ini merupakan penyempurnaan dari
teori kebutuhan yang dikemukakan oleh A. H. Maslow. ERG Theory
ini oleh para ahli dianggap lebih mendekati keadaan sebenarnya
berdasarkan fakta-fakta empiris.
Aldefer mengenalkan tiga kelompok inti dari kebutuhan.
Kebutuhan pertama yaitu keberadaan (Existence), yang merupakan
suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup atau kebutuhan fisik.Kebutuhan
yang kedua yaitu berhubungan (Relatedness) yang merupakan suatu
kebutuhan untuk menjalin hubungan antar sesame. Kebutuhan yang
ketiga yaitu berkembang (Growth), suatu kebutuhan yang

20
Universitas Esa Unggul

berhubungan dengan keinginan intrinsik dari seseorang untuk


mengembangkan diri.
3. Herzberg’s Two Factor Theory
Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg ( Suarli &
Bahtiar, 2010). Teori ini mengatakan bahwa ketidakpuasan dan
kepuasan dalam bekerja muncul dalam dua dimensi (kelompok faktor)
yang terpisah.
Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan berasal dari kondisi
ekstrinsik (di luar) pekerjaan, atau konteks pekerjaan (job context),
seperti gaji, kondisi kerja, hubungan dengan supervisor, hubungan
dengan sejawat dan status. Faktor tersebut dinamakan juga faktor yang
menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfier) atau faktor higiene.
Faktor-faktor penyebab kepuasan berasal dari kondisi intrinsik (di
dalam pekerjaan), atau isi pekerjaan (job content), seperti prestasi,
pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan
kemungkinan berkembang. Faktor-faktor tersebut dinamakan juga
faktor pemuas (satisfier) atau faktor motivator.
4. Teori Kebutuhan yang dipelajari (learned need theory / three needs
theory).
Teori ini di kemukakan oleh Mc Clelland. Teori ini mengatakan
bahwa ada tiga kebutuhan manusia, yaitu :
a) Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)
Misalnya menyelesaikan pekerjaan yang menantang,
memenangkan kompetisi, bisa menyelesaikan masalah dengan
baik, bisa melakukan sesuatu lebih baik dibandingkan
sebelumnya dan berusaha untuk berhasil.
b) Kebutuhan menjalin hubungan atau berafiliasi (need for
affiliation)
Kebutuhan misalnya menjalin pertemanan, kebutuhan untuk
disukai, mengembangkan atau memelihara persahabatan dengan
orang lain.
c) Kebutuhan untuk berkuasa (need for power)
Kebutuhan misalnya kekuasaan untuk memerintah orang lain,
atau kekuasaan untuk menentukan kebijakan, dan kebutuhan
untuk lebih kuat, lebih berpengaruh terhadap orang lain.
McClelland mencatat bahwa orang-orang yang tinggi dalam
dimensi pencapaian, akan membedakan diri dari orang lain dengan
keinginan untuk tampil pada tingkat yang lebih maju dibanding orang
lain. Seseorang yang memiliki dimensi pencapaian tinggi lebih puas
dalam pekerjaan yang melibatkan tingkat keterampilan tinggi dan
tantangan yang sulit. Kebutuhan akan kekuasaan menunjukkan
keinginan seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain. Seseorang

21
Universitas Esa Unggul

dengan kebutuhan kekuasan yang tinggi lebih suka situasi yang


kompetitif.
Biasanya orang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi akan
mencari kekuatan posisi sehingga dapat memastikan bahwa metode
yang dipilih untuk mempengaruhi orang lain berada dalam kendali
dan tanggung jawabnya (Robbins & Judge, 2017).

b. Teori Proses
Teori proses mengenai motivasi berusaha menjawab bagaimana
menguatkan,
mengarahkan, memelihara dan menghentikan perilaku individu.
Teori yang tergolong kedalam teori proses, diantaranya:
1. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini dikemukakan B.F.Skinner (dalam Suarli & Bahtiar,
2010). Dia mengungkapkan bahwa perilaku di masa lampau akan
mempengaruhi tindakan di masa depan dalam suatu proses belajar.
Proses ini digambarkan sebagai berikut :
Stimulus →Respons →Konsekuensi →Respon masa depan
2. Teori harapan (Expectanty Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Victor Vroom (dalam Suarli &
Bahtiar, 2010). Vroom menyatakan, cara memilih dan bertindak dari
beberapa alternatif perilaku berdasarkan harapannya, apakah ada
keuntungan yang didapat dari masing-masing perilaku tersebut. Teori
ini mencakup konsep-konsep dasar yaitu :
a) Hasil tingkat pertama yang diperoleh dari perilaku adalah hasil
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan itu sendiri, misalnya
produktivitas dan mutu pekerjaan. Hasil tingkat kedua adalah
kejadian (berupa penghargaan atau hukuman) yang kemungkinan
Stimulus Respons Konsekuensi Respon masa depan diakibatkan
oleh hasil tingkat pertama, misalnya kenaikan upah, promosi
jabatan dan penghargaan dari tim.
b) Instrumentalitas adalah kadar keyakinan seseorang bahwa hasil
tingkat pertama akan menghasilkan hasil tingkat kedua.
c) Valensi adalah kekuatan keinginan seseorang untuk mencapai hasil
tertentu, baik itu menyangkut hasil tingkat pertama maupun tingkat
kedua.
d) Harapan (expectancy) berkaitan dengan keyakinan seseorang
mengenai kemungkinan suatu perilaku tertentu akan dikuti oleh
hasil tertentu. Nursalam (2011) merumuskan teori motivasi ini
dengan rumus :
Job outcomes : Penghargaan (promosi, kenaikan gaji, dan
pengakuan).

22
Universitas Esa Unggul

Valences : Keinginan/perasaan berhasil.


Expectancy : Kemungkinan berhasil dengan kerja keras.
Instrumentally : keyakinan akan berhasil berdasarkan kerja keras
dan situasi.
3. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Adams (dalam Suarli & Bahtiar,
2010). Inti teori ini adalah bahwa karyawan membandingkan usaha
mereka dan imbalan yang diterimanya dengan imbalan yang diterima
karyawan lainnya dalam situasi kerja yang sama. Teori motivasi ini
didasarkan pada asumsi bahwa orang termotivasi oleh keinginan untuk
diperlakukan secara adil dalam pekerjaan.
4. Teori Penetapan Tujuan (Goal SettingTheory)
Teori ini dikemukakan oleh Locke menjelaskan hubungan antara
tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep dasar
teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang
diharapkan organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku
kerjanya. Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur
oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang
sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika
seorang individu berkomitmen untuk mencapai tujuannya, maka hal
ini akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi
kinerjanya. Dalam teori ini juga dijelaskan bahwa penetapan tujuan
yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat
meningkatkan prestasi kerja (kinerja), yang diikuti dengan memiliki
kemampuan dan keterampilan kerja.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi


Motivasi merupakan proses psikologi dalam diri seseorang dan sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor ini dapat muncul
dari dalam diri (intrinsik) maupun dari luar diri (ekstrinsik).
Ardana dkk (2008:31) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi antara lain:
1. Karakteristik individu yang terdiri dari:
a. Minat
b. Sikap terhadap diri sendiri, pekerjaan dan situasi pekerjaan
c. Kebutuhan individual
d. Kemampuan atu kompensasi
e. Pengetahuan tentang pekerjaan
f. Emosi, suasana hati, perasaan keyakinan dan nilai-nilai
2. Faktor-faktor pekerjaan
a. Faktor lingkungan pekerjaan
b. Gaji dan benefit yang diterima

23
Universitas Esa Unggul

c. Kebijakan-kebijakan perusahaan
d. Supervisi
e. Hubungan antar manusia
f. Kondisi pekerjaan seperti jam kerja, lingkungan fisik dan sebagainya.
g. Budaya organisasi
3. Faktor dalam pekerjaan
a. Sifat pekerjaan
b. Rancangan tugas/pekerjaan
c. Pemberian pengakuan terhadap prestasi
d. Tingkat/besarnya tanggung jawabyang diberikan
Motivasi sebagai psikologis dalam diri seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal (Sutrisno,
2011)
Faktor internal adalah faktor motivasi yang berasal dari dalam diri
seseorang. Motivasi internal timbul karena adanya keinginan individu
untuk memiliki prestasi dan tanggungjawab di dalam hidupnya.
Beberapa hal yang termasuk dalam faktor internal adalah:
1. Harga diri dan Prestasi, yaitu motivasi di dalam diri seseorang untuk
mengembangkan kreativitas dan mengerahkan energi untuk mencapai
prestasi yang meningkatkan harga dirinya.
2. Kebutuhan, setiap individu memiliki kebutuhan di dalam hidupnya
sehingga orang tersebut menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Harapan, yaitu sesuatu yang ingin dicapai seseorang di masa
mendatang yang mempengaruhi sikap dan perasaan subjektif orang
tersebut.
4. Tanggungjawab, yaitu motivasi di dalam diri seseorang agar bekerja
dengan baik dan hati-hati untuk menghasilkan sesuatu yang
berkualitas.
5. Kepuasan kerja, yaitu motivasi dalam diri seseorang karena dapat
melakukan suatu pekerjaan tertentu.
Faktor eksternal adalah faktor motivasi yang berasal dari luar diri
seseorang. Motivasi eksternal timbul karena adanya peran dari luar,
misalnya organisai, yang turut menentukan perilaku seseorang dalam
kehidupannya. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor eksternal
adalah:
1. Jenis dan sifat pekerjaan, yaitu dorongan di dalam diri seseorang
untuk bekerja pada jenis dan sifat pekerjaan tertentu. Kondisi ini juga
dipengaruhi oleh besar imbalan yang didapatkan pada pekerjaan
tersebut.
2. Kelompok kerja, yaitu organisasi dimana seseorang bekerja untuk
mendapatkan penghasilan bagi kebutuhan hidupnya.
3. Kondisi kerja, yaitu keadaan dimana seseorang bekerja sesuai dengan
harapannya (kondusif) sehingga dapat bekerja dengan baik.

24
Universitas Esa Unggul

4. Keamanan dan keselamatan kerja, yaitu perlindungan yang


diberikan oleh organisasi terhadap jaminan kemanan dan keselamatan
seseorang dalam bekerja.
5. Hubungan interpersonal, yaitu hubungan antara teman sejawat,
dengan atasan, dan dengan bawahan. Dalam hal ini, setiap orang ingin
dihargai dan menghargai dalam organisasi sehingga tercipta suasana
kerja yang harmonis.
Menurut Peterson dan Plowman (dalam Hasibuan, 2005) yang
dikutip Fikri (2015), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang
termotivasi dalam bekerja, yaitu:
1. The desire to life (keinginan untuk hidup)
Keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang,
manusia bekerja untuk dapat makan dan dapat melanjutkan hidup.
2. The desire for position (keinginan untuk suatu posisi)
Keinginan untuk suatu posisi dengan memiliki sesuatu merupakan
keinginan kedua dan ini salah satu sebab mengapa manusia mau
bekerja.
4. The desire for power (keinginan akan kekuasaaan)
Keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di atas
keinginan memiliki, yang mendorong orang mau bekerja.
5. The desire for recognition (keinginan akan pengakuan)
Keinginan akan pengakuan, penghormatan dan status sosial
merupakan jenis terakhir dari kebutuhan yang mendorong orang untuk
bekerja. Setiap pekerja mempunyai motif keinginan (want) dan
kebutuhan (needs) tertentu dan mengharapkan kepuasan dari hasil
kerjanya.

25
Universitas Esa Unggul
Universitas Esa Unggul

2.3 Kerangka Teori


Skema 2.2
Kerangka Teori Penelitian

Input Proses Output

Teori Proses Motivasi intrinsik


Praktik Keperawatan - Teori Penguatan (Skinner) - Harga diri
Mandiri - Teori Harapan (Vroom) - Prestasi
- Teori Keadilan (Adams) - Kepuasan Kerja
Landasan hukum: Motivasi Melaksanakan
- Teori Penetapan Tujuan - Kebutuhan
- UU RI No. 3 Tahun (Locke) Praktik Mandiri
- Harapan
2014 Motivasi Ekstrinsik Keperawatan
- Permenkes No. 26 Teori Kepuasan (Content) - Jenis dan sifat
Tahun 2019 - Hierarki Kebutuhan (Maslow) pekerjaan
- Teori ERG (Clayton Alderfer) - Kelompok Kerja
- Teori Dua Faktor (Herzberg) - Kondisi kerja
- Teori Kebutuhan yang - Hubungan interpersonal
dipelajari (McClelland)

- Usia
- Jenis Kelamin
- Lama Kerja
- Status pekerjaan

Suarli & Bahtiar, (2010); Sutrisno (2011); Nursalam, (2012); PPNI, (2014)
= variable yang diteliti

26
Universitas Esa Unggul

2.4 Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang diduga atau
hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji
secara empiris (Notoatmodjo, 2015). Hipotesis pada umumnya dinyatakan
dalam bentuk hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (Ha). H0 diartikan
sebagai tidak adanya pengaruh/ hubungan atau ada perbedaan antar variabel
yang diteliti, sedangkan Ha diartikan dengan adanya pengaruh. Sesuai
dengan tujuan penelitian maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan
sebagai berikut:
2.4.1 Ada pengaruh antara motivasi intrinsik (harga diri, prestasi, kepuasan kerja,
kebutuhan, harapan) dengan motivasi perawat dalam melaksanakan praktik
keperawatan mandir.
2.4.2 Ada pengaruh antara motivasi ektrinsik (jenis dan sifat pekerjaan, kelompok
kerja, kondisi kerja, hubungan interpesonal) dengan motivasi perawat dalam
melaksanakan praktik keperawatan mandiri.
2.4.3 Ada pengaruh antara confounding (usia, jenis kelamin, lama kerja, status
pekerjaan) dengan motivasi perawat dalam melaksanakan praktik
keperawatan mandiri

27
Universitas Esa Unggul

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah
yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2015). Konsep adalah suatu abstraksi yang
dibentuk dengan suatu pengertian. Oleh sebab itu konsep tidak dapat diukur
dan diamati secara tidak langsung. Agar dapat diamati dan dapat diukur
maka konsep harus dijabarkan ke dalam variabel.
Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Penelitian
ditujukan untuk mengidentifikasi pengaruh antara variabel independen dan
variabel dependen. Dalam kerangka konsep penelitian ingin mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi perawat dalam melaksanakan
praktik keperawatan mandiri. Peneliti membagi variabel faktor-faktor
menjadi dua sub-variabel yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Variabel-variabel dari penelitian sebagai berikut:
3.1.1 Variabel Bebas (Independent variables)
Variabel bebas dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi perawat meliputi faktor pengetahuan, sikap, dan
keterampilan faktor ekstrinsik: kebijakan, modal/ finansial.
3.1.2 Variabel Terikat (Dependent variables)
Variabel terikat pada penelitian ini yaitu motivasi perawat dalam
melaksanakan praktik keperawatan mandiri.
3.1.3 Variabel perancu (Confounding)
Variabel perancu sebagai confounder yaitu karaktersitik perawat
meliputi usia, jenis kelamin, dan lam kerja.
Adapun hubungan variabel dapat digambarkan pada skema berikut:

28
Universitas Esa Unggul

Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen Variabel dependen

Motivasi intrinsik
- Harga diri Motivasi Praktik
- Prestasi Keperawatan
- Kepuasan Kerja
Mandiri
- Kebutuhan
- Harapan
Motivasi Ekstrinsik
- Jenis dan sifat pekerjaan Variabel Confounding
- Kelompok Kerja - Usia
- Kondisi kerja - Jenis Kelamin
- Hubungan interpersonal - Lama Kerja
- Status pekerjaan

3.2 Desain Penelitian


Desain atau rancangan penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan
untuk menjawab pertanyaan penelitian dan mengantisipasi kesulitan yang
dapat terjadi selama proses penelitian (Notoatmodjo, 2015).Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan
dengan cara melakukan pengukuran sistematis untuk menyelidiki fenomena
dengan tujuan mengetahui, menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan
suatu fenomena (Almalki, 2016). Metode penelitian kuantitatif digunakan
untuk mendeskripsikan fenomena pada karakteristik yang diamati, dan
biasanya mengidentifikasi korelasi antara dua entitas atau lebih.
Metode kuantitatif dipilih pada penelitian ini, dengan tujuan untuk
mengkonfirmasi hipotesis korelasi faktor-faktor yang memengaruh motivasi
perawat melaksanakan praktik keperawatan mandiri. Desain yang
digunakan pada penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional,
yaitu pengukuran yang dilakukan pada satu titik waktu tertentu untuk
memperkirakan prevalensi dari suatu populasi (Krickeberg, Pham, & Pham,
2012). Menurut Nursalam (2014), cross sectional adalah penelitian dengan
menekankan waktu pengukuran dan observasi data antara variabel dependen
dan independen dilakukan satu kali pada satu saat (point time approach)
secara simultan.
Pendekatan cross sectional dilakukan untuk menyelidiki hubungan
antara faktor-faktor yang mempengaruh motivasi perawat melaksanakan
praktik keperawatan mandiri. Pendekatan cross sectional dipilih karena

29
Universitas Esa Unggul

relatif murah dan membutuhkan waktu yang sedikit, tetapi dapat


memperkirakan prevalensi kejadian.

3.3 Objek Penelitian


Menurut Sugiyono (2016) objek penelitian adalah sasaran ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu tentang suatu
objek valid dan reliabel tentang suatu hal (variabel tertentu). Dalam
penelitian ini yang menjadi objek penelitan adalah Perwat di Wilayah Kota
Administrasi Jakarta Barat.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat.
Alasan peneliti memilih Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat sebagai
lokasi penelitian karena belum pernah ada penelitian sebelumnya yang
meneliti tentang fenomena faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
perawat melaksanakan praktik keperawatan mandiri. Waktu penelitian akan
dilaksanakan pada bulan November-Desember 2019.
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Populasi merupakan jumlah keseluruhan yang menjadi subyek
penelitian. Populasi merupakan keseluruhan dari unit didalam pengamatan
yang akan dilakukan penelitian (Sabri & Hastono, 2014). Sedangkan
Arikunto (2016) mengatakan bahwa populasi merupakan keseluruhan
subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang
bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kota Administrasi
Jakarta Barat berjumlah ± 7.610 anggota dengan jumlah kualifikasi
pendidikan ners 1.536 perawat.

3.5.2 Sampel
Sampel merupakan representasi dari populasi. Pada suatu penelitian
terutama penelitian klinis, perhitungan besar sampel memainkan peran
penting untuk menjamin akurasi dan integritas hasil penelitian (Chow, Shao,
Wang, & Lokhnygina, 2017). Sampel merupakan perwakilan populasi
dengan karakteristik yang diukur dan hasil ukur dari karakteristik nantinya
digunakan untuk menduga karakteristik populasi (Sabri & Hastono, 2014).
Besar sample pada penelitian ini menggunakan Purposive Sampling,
yaitu suatu teknik penetapan sample dengan cara memilih sample diantara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sample tersebut
dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pada
penelitian ini besar sample yang digunakan menggunakan rumus Slovin.

30
Universitas Esa Unggul

Rumus perhitungan sampel menurut Slovin:

Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = nilai kritis (batas ketelitian), batas toleransi kesalahan (ditetapkan 5%
dengan tingkat kepercayaan 95%)
Sehingga, perhitungan sampel sebagai berikut:
1536
n=
1 + (1536 X 0,052)
1536
n=
1 + (1536 X 0,0025)
1536
n=
1 + (3,84)
1536
n=
4,84
n = 317,3 (dibulatkan menjadi 317)
Berdasarkan perhitungan diperoleh jumlah sampel seluruhnya yaitu
317 responden. Tahap berikutnya peneliti melakukan random sampling
(probabilitas). Agar responden penelitian mendapat peluang yang sama
membaginya dengan stratified sampling yaitu populasi pertama dibagi
menjadi dua atau strata, seperti halnya pembagian sempel kuota, tujuanya
adalah untuk meningkatkan keterwakilan (Polit & Beck 2018).
Tabel 3.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Komisariat
Proporsi dari Jumlah
No Nama Komisariat Jumlah
Komisariat Sampel
1 PKC Kalideres 7 7/1536 x 317 1
2 RS Puri Mandiri Kedoya 8 8/1536 x 317 2
3 RS Royal Taruma 34 34/1536 x 317 7
4 RS Graha Kedoya 37 37/1536 x 317 8
5 RSPI-Puri Indah 136 136/1536 x 317 28
6 PKM Kebon Jeruk 5 5/1536 x 317 1
7 RS Cinta Kasih Tzu Chi 43 43/1536 x 317 9
8 RS Hermina Daan Mogot 53 53/1536 x 317 11
RS Jantung dan Pembuluh
9 313 313/1536 x 317 65
Darah Harapan Kita
10 RS Sumber Waras 30 30/1536 x 317 6
11 RSU Kembangan 7 7/1536 x 317 1
12 PKM Kecamatan Tambora 7 7/1536 x 317 1

31
Universitas Esa Unggul

Proporsi dari Jumlah


No Nama Komisariat Jumlah
Komisariat Sampel
13 RS PELNI Petamburan 65 65/1536 x 317 13
14 RSAB Harapan Kita 173 173/1536 x 317 36
15 RSUD Cengkareng 65 65/1536 x 317 13
16 RSUK Taman Sari 2 2/1536 x 317 0
17 RS Kanker Dharmais 177 177/1536 x 317 37
18 RS IKKT 2 2/1536 x 317 0
19 RS Medika Permata Hijau 3 3/1536 x 317 1
20 RS Siloam Kebon Jeruk 143 143/1536 x 317 30
21 JEC Kedoya 2 2/1536 x 317 0
22 PKM Palmerah 11 11/1536 x 317 2
23 RS Mitra Keluarga Kalideres 71 71/1536 x 317 15
24 RSJ Soeharto Herjan 80 80/1536 x 317 17
25 RSUD Kalideres 5 5/1536 x 317 1
26 RS Ciputra Hospital 26 26/1536 x 317 5
27 Klinik Mata Nusantara 4 4/1536 x 317 1
28 PKC Grogol Petamburan 2 2/1536 x 317 1
29 PKC Cengkareng 6 6/1536 x 317 1
30 RS Bhakti Mulia 10 10/1536 x 317 2
31 PT IDSMED 7 7/1536 x 317 1
32 PKC Kembangan 2 2/1536 x 317 1
Total 317 317

Setelah Sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan


eksklusi. Menurut Nursalam (2014), kriteria inklusi adalah karakteristik
umum subyek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan
diteliti. Pada penelitian ini kriteria inklusinya adalah:
a. Perawat dengan latar belakang pendidikan minimal Ners
b. Perawat dengan pengalaman kerja minimal 2 tahun
c. Terdaftar sebagai anggota PPNI di Wilayah Jakarta Barat dan memiliki
NIRA
d. Bersedia menjadi responden dengan mengisi informed consent.
Sedangkan kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan
subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab
(Nursalam, 2014). Pada penelitian ini kriteria eksklusinya adalah:
a. Perawat yang sedang cuti
b. Perawat yang sedang berada tugas luar/ tugas belajar
c. Perawat yang sedang sakit.

32
Universitas Esa Unggul

3.6 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah definisi yang berdasarkan karakteristik
yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Notoatmodjo, 2015).
Dalam mendefinisikan suatu variable harus dijelaskan tentang apa yang
harus diukur, bagaimana mengukurnya, apa saja kriteria pengukurannya,
instrument yang digunakan untuk mengukurnya dan skala pengukurannya.
Definisi operasional yang diberikan kepada variabel dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Alat Ukur
Definisi Skala
No Variabel dan Hasil Ukur
Operasional Ukur
Cara Ukur
Variabel Independen
Motivasi Intrinsik
1. Harga diri Pandangan Menggunakan Jumlah skor Ordinal
keseluruhan dari Kuesioner B jawaban di
individu tentang terdiri dari 5 kategorikan :
dirinya sendiri item 1= baik, jika ≥
pertanyaan 14.2 (mean)
positif (1-5) 2= kurang, jika <
dengan skala 14.2 (mean)
linkert yaitu
Sangat Setuju
(SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
2. Prestasi Hasil Usaha yang Menggunakan Jumlah skor Ordinal
telah dikerjakan Kuesioner B jawaban di
terdiri dari 5 kategorikan :
item 1= baik, jika ≥
pertanyaan 14.54 (mean)
positif (6-10) 2= kurang, jika <
dengan skala 14.54 (mean)
linkert yaitu
Sangat Setuju

33
Universitas Esa Unggul

Alat Ukur
Definisi Skala
No Variabel dan Hasil Ukur
Operasional Ukur
Cara Ukur
(SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
3. Kepuasan Tingkat kesenangan Menggunakan Jumlah skor Ordinal
Kerja yang dirasakan Kuesioner B jawaban di
seorang individu terdiri dari 5 kategorikan :
bahwa mereka item 1= baik, jika ≥
mendapat imbalan pertanyaan 13.74 (mean)
yang setimpal atas positif (11-15) 2= kurang, jika <
peranan atau dengan skala 13.74 (mean)
pekerjaannya linkert yaitu
Sangat Setuju
(SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
4. Kebutuhan segala sesuatu yang Menggunakan Jumlah skor Ordinal
dibutuhkan manusia Kuesioner B jawaban di
untuk terdiri dari 5 kategorikan :
mempertahankan
item 1= baik, jika ≥
hidup serta untuk
memperoleh pertanyaan 13.45 (mean)
kesejahteraan dan positif (36-40) 2= kurang, jika <
kenyamanan mahluk dengan skala 13.45 (mean)
hidup dalam linkert yaitu
aktivitas- Sangat Setuju
aktivitasnya dan (SS) = 5
menjadi dasar

34
Universitas Esa Unggul

Alat Ukur
Definisi Skala
No Variabel dan Hasil Ukur
Operasional Ukur
Cara Ukur
(alasan) berusaha. Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
5. Harapan bentuk dasar dari Menggunakan Jumlah skor Ordinal
kepercayaan akan Kuesioner B jawaban di
sesuatu yang terdiri dari 5 kategorikan :
diinginkan akan
item 1= baik, jika ≥
didapatkan atau
suatu kejadian akan pertanyaan 13.26 (mean)
bebuah kebaikan di positif (41-45) 2= kurang, jika <
waktu yang akan dengan skala 13.26 (mean)
datang linkert yaitu
Sangat Setuju
(SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
Motivasi Ekstrinsik
6. Jenis dan Menggunakan Jumlah skor Ordinal
sifat Kuesioner B jawaban di
pekerjaan terdiri dari 5 kategorikan :
item 1= baik, jika ≥
pertanyaan 15.13 (mean)
positif (16-20) 2= kurang, jika <
dengan skala 15.13 (mean)
linkert yaitu
Sangat Setuju
(SS) = 5
Kurang Setuju

35
Universitas Esa Unggul

Alat Ukur
Definisi Skala
No Variabel dan Hasil Ukur
Operasional Ukur
Cara Ukur
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
7. Kelompok Sekumpulan orang, Menggunakan Jumlah skor Ordinal
Kerja terdiri atas 2 anggota Kuesioner B jawaban di
atau lebih yang terdiri dari 5 kategorikan :
mempunyai tujuan
item 1= baik, jika ≥
kepentingan,
bekerjasama, saling pertanyaan 13.66 (mean)
berhubungan, positif (21-25) 2= kurang, jika <
memiliki rasa ikut, dengan skala 13.66 (mean)
bertanggung jawab, linkert yaitu
saling tergantung Sangat Setuju
satu dengan lainnya. (SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
8. Kondisi Serangkaian kondisi Menggunakan Jumlah skor Ordinal
kerja atau keadaan Kuesioner B jawaban di
lingkungan kerja terdiri dari 5 kategorikan :
dari suatu
item 1= baik, jika ≥
perusahaan yang
menjadi tempat pertanyaan 14.29 (mean)
bekerja dari para negatif (26-30) 2= kurang, jika <
karyawan yang dengan skala 14.29 (mean)
bekerja didalam linkert yaitu
lingkungan tersebut Sangat Setuju
(SS) = 1
Kurang Setuju
(KS) = 2
Setuju (S) = 3

36
Universitas Esa Unggul

Alat Ukur
Definisi Skala
No Variabel dan Hasil Ukur
Operasional Ukur
Cara Ukur
Tidak Setuju
(TS) = 4
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=5
9. Hubungan Hubungan yang Menggunakan Jumlah skor Ordinal
interperso terdiri dari dua orang Kuesioner B jawaban di
nal atau lebih yang terdiri dari 5 kategorikan :
saling tergantung
item 1= baik, jika ≥
satu sama lain dan
menggunakan pola pertanyaan 14.04 (mean)
interaksi yang positif (31-35) 2= kurang, jika <
konsisten. dengan skala 14.04 (mean)
linkert yaitu
Sangat Setuju
(SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
Variabel Independen
10. Motivasi Dorongan yang Menggunakan Jumlah skor Ordinal
perawat berasal dari internal Kuesioner C jawaban di
dan eksternal diri terdiri dari 10 kategorikan :
perawat yang item 1= baik, jika ≥
menimbulkan pertanyaan 30.36 (mean)
keinginan untuk positif (1-10) 2= kurang, jika <
melaksanakan dengan skala 30.36 (mean)
praktik keperawatan linkert yaitu
mandiri Sangat Setuju
(SS) = 5
Kurang Setuju
(KS) = 4
Setuju (S) = 3
Tidak Setuju

37
Universitas Esa Unggul

Alat Ukur
Definisi Skala
No Variabel dan Hasil Ukur
Operasional Ukur
Cara Ukur
(TS) = 2
Sangat Tidak
Setuju (STS)
=1
Variabel Confounding
11. Usia Masa kehidupan Menggunakan Usia dalam tahun Ordinal
Seseorang yang Kuesioner A pada rentang:
dihitung sejak dengan item 1= remaja akhir
tanggal kelahiran pertanyaan (<26 th).
hingga ulang tahun pada poin 4 2=dewasa awal
terakhir saat (26-35 th).
pengambilan data 3=dewasa akhir
dilakukan (>35 th)
12. Jenis Karakteristik seksual Menggunakan 1= laki-laki Nomina
kelamin responden secara Kuesioner A 2= perempuan l
biologis yang dengan item
menjadi identitas pertanyaan
sejak lahir pada poin 2
13. Lama Waktu lamanya Menggunakan Dalam tahun pada Interval
kerja responden bekerja di Kuesioner A rentang:
suatu fasilitas dengan item 1= <2 tahun
pelayanan kesehatan pertanyaan 2= 2-5 tahun
pada poin 7 3= >5 tahun

14 Status Kedudukan Menggunakan 1= Pegawai Ordinal


Pekerjaan seseorang dalam Kuesioner A kontrak
melakukan pekerjaan dengan item 2= Pegawai tetap
di suatu unit pertanyaan
3= Pegawi Negeri
usaha/kegiata pada poin 5
Sipil (PNS)

3.7 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data sebagai proses pendekatan kepada subjek dan
pengumpulan karakteristik subjek dalam penelitian (Nursalam, 2014).
Sebelum melakukan penelitian, yaitu dimulai dari mengajukan surat izin
penelitian ke Program Studi S1 Keperawatan Universitas Esa Unggul.
Selanjutnya peneliti mendatangi komisariat tempat penelitian untuk
menyerahkan surat permohonan penelitian tersebut dengan membawa
proposal penelitian. Setelah izin penelitian disetujui oleh komisariat,

38
Universitas Esa Unggul

selanjutnya peneliti mulai melakukan sosialisasi kepada bagian/ unit terkait


tempat dilakukan penelitian.
Selanjutnya teknik pengumpulan data dari penelitian ini menggunakan
data primer yaitu data yang diambil langsung dari sumbernya yang
dirumuskan melalui kuesioner dan angket. Instrumen penelitian pada
penelitian ini adalah kuesioner dengan menggunakan google forms yang
disebarkan oleh peneliti kepada ketua komisariat mealaui group yang
terhimpun dalam organisasi profesi (DPD PPNI Jakarta Barat) dan
meneruskan kuesioner tersebut kepada seluruh anggota yang ada di
komisariat masing–masing. Setiap anggota komisariat yang mengisi
kuesioner data akan langsung masuk kepeneliti melalui google drive,
peneliti dapat melihat jumlah responden yang telah mengisi kuesioner
beserta jawaban di google drive. Peneliti akan melakukan crosschek untuk
kuota responden yang belum terpenuhi ke ketua komisariat masing-masing
dengan menggunakan media sosial.
Kuesioner yang dibuat sudah mencakup semua komponen variabel
independen: motivasi intrinsik (Harga diri, Prestasi, Kepuasan Kerja)
motivasi ekstrinsik (jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja, kondisi kerja,
hubungan interpersonal motivasi terdesak (kebutuhan, harapan) serta
mencakup variable dependen yaitu motivasi melakukan praktik keperawatan
mandiri. Kuesioner penelitian ini terdiri dari 5 bagian yaitu:
1. Bagian pertama instrument A berisi identitas/ data demograpi perawat
meliputi inisial, jenis kelamin, alamat, usia, status pekerjaan, lama
bekerja.lama bekerja, dan
2. Bagian kedua instrumen B merupakan pernyataan tentang faktor-faktor
motivasi perawat faktor-faktor motivasi perawat (Harga diri, Prestasi,
Kepuasan kerja, Kebutuhan, Harapan, Jenis dan sifat pekerjaan,
Kelompok kerja, Kondisi Kerja, Hubungan interpersonal. Skala ukur
menggunakan skala Likert dengan jawaban lima pilihan yaitu sangat
setuju (5), setuju (4), kurang setuju (3), tidak setuju (2), sangat tidak
setuju (1). Kuesioner terdiri dari 45 pernyataan.
3. Bagian ketiga instrumen C merupakan pernyataan tentang motivasi.
Skala ukur menggunakan skala Likert dengan jawaban lima pilihan
yaitu sangat setuju (5), setuju (4), kurang setuju (3), tidak setuju (2),
sangat tidak setuju (1). Kuesioner terdiri dari 10 pernyataan.
Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk
mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau
mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara
sistematis serta objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau
menguji suatu hipotesis (Arikunto, 2016). Alat ukur yang digunakan pada
penelitian ini adalah lembar kuesioner. Sugiyono (2014) mengatakan
kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

39
Universitas Esa Unggul

memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden


untuk dijawab. Kuesioner berupa lembar pernyataan tentang edukasi cuci
tangan enam langkah.
Sebelum instrumen digunakan sebagai alat pengumpul data, instrumen
harus diuji terlebih dahulu agar peneliti mendapatkan instrumen yang valid
(sahih) dan reliable (terpercaya).

3.7.1 Uji Validitas


Uji validitas instrumen dilakukan untuk menunjukkan keabsahan dari
instrumen yang akan dipakai pada penelitian. Validitas (kesahihan) adalah
pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen
dalam pengumpulan data. Sedangkan reliabilitas (keandalan) adalah
kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan
hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan.
Menurut Arikunto (2016), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat kevalidan dan kesahihan suatu instrumen. Pengertian validitas
tersebut menunjukkan ketepatan dan kesesuaian alat ukur yang digunakan
untuk mengukur variabel. Alat ukur dapat dikatakan valid jika benar-benar
sesuai dan menjawab secara cermat tentang variabel yang akan diukur.
Validitas juga menunjukkan sejauh mana ketepatan pernyataan dengan apa
yang dinyatakan sesuai dengan koefisien validitas. Suatu item pernyataan
dikatakan valid, bila r-hitung positif dan lebih besar dari r-tabel (Arikunto,
2016).
Uji validitas diartikan sebagai sejauh mana suatu konsep diukur
secara akurat dalam studi kuantitatif. Hasil penelitian yang valid apabila
terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sebenarnya
menggunakan pearson correlation (Sastroasmoro & Ismael, 2014).
Pengujian korelasi digunakan untuk menunjukkan tingkat keeratan
hubungan atau kuat tidaknya suatu hubungan linier variable tergantung dan
variabel bebas. Keterkaitan antara variable penelitian dapat digambarkan
secara spesifik ke dalam model analisis korelasi pearson product moment.
Uji validitas penelitian dilakukan pada 30 responden di fasilitas
pelayanan kesehatan di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat. Hasil uji
validitas dilihat pada r-tabel dengan memperhatikan df = N-2 pada tingkat
kemaknaan 5%. Pengambilan keputusan uji validitas yaitu jika r hasil > r
tabel, maka variabel tersebut valid. Namun, jika jika r hasil < r tabel, maka
variabel tersebut tidak valid. Besarnya r tabel berdasarkan rumus degree of
freedom (df) = N-2 = 30-2 = 28. Pada tingkat kemaknaan 5%, didapat angka
r tabel 0,361. Uji validitas telah dilakukan pada 30 responden dengan hasil r
hitung sebesar 0,368-0,725. Hasil tersebut menunjukkan seleuruh
pernyataan pada kuisioner dinyatakan valid (>0,361).
.

40
Universitas Esa Unggul

3.7.2 Uji Reliabilitas


Sedangkan uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui ketetapan suatu
instrumen didalam mengukur gejala yang sama walaupun dalam waktu yang
berbeda. Notoatmodjo (2015) berpendapat bahwa reliabilitas adalah index
yang menunjukan apakah suatu alat pengukur dalam penelitian dapat
dipercaya. Hal ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran dari
instrument tersebut tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau
lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta
atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu
yang berlainan (Nursalam, 2014).
Reliabilitas merupakan suatu instrumen yang bila digunakan beberapa
kali untuk mengukur objek yang sama maka akan menghasilkan data yang
sama. Hasil pengukuran yang memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi akan
mampu memberikan hasil yang terpercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas
instrumen ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas.
Jika suatu instrumen dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan
hasil pengukurannya yang diperoleh konsisten, instrumen itu reliabel.
Perhitungan dalam pengujian reliabilitas, yaitu suatu variabel dapat
dikatakan reliabel apabila memberikan nilai Cronbach’s Alpha > 0,6 (Sabri
& Hastono, 2014).
Peneliti telah melakukan uji reliabilitas pada 30 responden. Hasil uji
tersebut didapatkan rentang nilai 0,916-0,923. Rata-rata nilai reliabilitas
sebesar 0,920. Nilai ini menunjukkan seleuruh pernyataan pada kuisioner
dinyatakan reliabel (> 0,6).

3.8 Teknis Analisa Data


3.8.1 Pengolahan Data
Setelah data terkumpul maka langkah berikutnya adalah pengolahan
data. Dalam penelitian ini pengolahan data terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
1. Editing
Editingdilakukan untuk memeriksa validitas data yang masuk.
Kegiatan ini terdiri dari pemeriksaan atas kelengkapan pengisian
kuesioner dan alat ukur. Langkah-langkah yang dilakukan adalah
memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan data, dan
memeriksa keseragaman data.Pada tahap ini dilakuakan pengeditan pada
data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh merupakan data yang
bersih dan lengkap, artinya bahwa data tersebut telah terisi semua,
konsisten dan relevan, serta dapat dibaca dengan baik sehingga dapat
dimengerti.
2. Coding

41
Universitas Esa Unggul

Coding merupakan kegiatan merubah data ke dalam bentuk yang


lebih ringkas dengan menggunakan kode-kode tertentu (Azwar, 2013).
Maksudnya bahwa data yang sudah dieditdiberi identitas sehingga
memiliki arti tertentu pada saat dianalisis. Semua variabel pada penelitian
ini dikategorikan pada proses coding. Pengkodean data yang semula
berupa huruf, diubah menjadi angka untuk mempermudah proses
pengolahan data.
3. Entry
Entrya dalah proses memasukkan jawaban yang telah dikode ke
dalam tabel melalui pengolahan computer. Entry berguna untuk
menghitung frekuensi data dan dianalisis dengan menggunakan bantuan
aplikasi perangkat lunak komputer program SPSS (Statistical Program
for Social Science). Entry data merupakan kegiatan memasukkan semua
data isian kuesioner yang telah dikoding terlebih dahulu melalui program
pengolahan komputer untuk dapat diproses lalu dianalisa.
4. Cleaning
Cleaning adalah kegiatan pemeriksaan kembali data yang telah
dimasukkan ke dalam komputer untuk mengetahui adanya kesalahan
kode dan melakukan koreksi (Notoatmodjo, 2015). Data yang tidak
sesuai dengan kebutuhan akan dihapus. Peneliti dapat mengetahui
missing data dengan melakukan pengecekan. Cleaning merupakan
kegiatan pengecekan ulang terhadap data yang sudah dimasukkan
kedalam program pengolahan data untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan dalm pengkodingan, adanya ketidaklengkapan
selanjutnya dilakukan pembetulan atau koreksi sehingga sudah siap
untuk dianalisa.

3.8.2 Analisis Data


Setelah data dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan uji statistic yang sesuai dengan pendekatan atau
desain yang digunakan, sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang disebut
analisa data (Notoatmodjo, 2015). Analisa data dalam penelitian ini
menggunakan analisa univariat dan bivariat.

1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik
dari masing-masing variabel yang diteliti. Analisis univariat dilakukan
berdasarkan jenis data yang dimiliki dari variabel yang diuji. Variabel
dengan data kategorik, dianalisis menggunakan frekuensi dan persentase
data, sedangkan variabel dengan data numerik dianalisis dengan nilai
mean atau median, standar deviasi, nilai minimum dan nilai maksimum,

42
Universitas Esa Unggul

serta nilai confidence interval (CI) 95%. Analisis univariat yang


dilakukan dapat dilihat pada tabel 3.2 anaisis univariat.
Tabel 3.2 Analisis Univariat
No Variabel Skala/Data Analisis Univariat
Distribusi frekuensi dan
1 Umur Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
2 Jenis kelamin Nominal/Kategorik
persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
3 Lama kerja Interval/Numerik
persentase (%)
Status Distribusi frekuensi dan
4 Ordinal/Kategorik
Pekerjaan persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
5 Harga diri Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
6 Prestasi Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
7 Kepuasan Kerja Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
8 Kebutuhan Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
9 Harapan Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Jenis dan sifat Distribusi frekuensi dan
10 Ordinal/Kategorik
pekerjaan persentase (%)
Kelompok Distribusi frekuensi dan
11 Ordinal/Kategorik
Kerja persentase (%)
Distribusi frekuensi dan
12 Kondisi kerja Ordinal/Kategorik
persentase (%)
Hubungan Distribusi frekuensi dan
13 Ordinal/Kategorik
interpersonal persentase (%)
Motivasi Distribusi frekuensi dan
14 Ordinal/Kategorik
perawat persentase (%)

2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antar
variabel yang diteliti (Dharma, 2015). Analisis bivariat dilakukan untuk
membuktikan hipotesis yang dikemukakan peneliti. Sebelum dilakukan
uji korelasi maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Uji normalitas
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kolmogorov-Smirnov
dikarenakan jumlah sampel dalam penelitian ini lebih dari 50 sampel
(Pamungkas, 2016). Apabila hasi; uji diperoleh nilai p > 0,05 maka data
dikatakan berdistribusi normal. Apabila data yang didalam penelitian ini
berdistribusi normal maka data tersebut tergolong data parametrik maka
uji bivariat yang dapat digunakan adalah korelasi pearson. Uji korelasi

43
Universitas Esa Unggul

pearson ini digunakan untuk menguji hubungan antara variabel


independen dan variabel dependen.
Nilai koefisien (nilai r) menunjukan besarnya hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen. Koefisien korelasi pearson
memiliki nilai paling kecil adalah -1 dan paling besar adalah 1, jika nilai
r 0 maka tidak ada hubungan sama sekali antara variabel independen dan
variabel dependen. Namun, dikatakan juga bahwa jika nilai korelasi
pearson diatas 0,5 (r > 0,5) maka menunjukan korelasi yang cukup kuat,
sedangkan jika nilai korelasi peasron dibawah 0,5 (r < 0,5) maka
menunjukan korelasi lemah. Sedangkan jika data dalam penelitian ini
tidak berdistribusi normal maka data tersebut tergolong data non
parametrik maka uji korelasi yang dapat digunakan adalah uji chi-squere
(x2). Uji chi-squere ini digunakan untuk membuktikan adanya hubungan
antara dua variabel dengan batas kemaknaan 0,05 apabila nilai p < 0,05
maka hasil perhitungan statistik bermakna ada hubungan antara kedua
variabel, dan apabila p > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak
bermakna atau tidak terdapat hubungan antara kedua variabel.

3.8.3 Etika Penelitian


Sejak Deklarasi Helsinki ditetapkan bahwa kesejahteraan setiap
peserta (subjek) dalam studi penelitian harus didahulukan dari kemajuan
ilmu pengetahuan(World MedicalAssociation, 2008 dalam Greaney et al.,
2012). Untuk memastikan perlindungan subjek penelitian, pedoman etika
penelitian untuk perawat dan profesional kesehatan lainnya telah
memasukkan prinsip etika yang luas untuk memandu pelaksanaan
penelitian. Dewan pengawas etik keperawataninternasional telah
memberikan panduan bagi perawat tentang perilaku etis penelitian dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi semua yang terlibat
dalam proses penelitian(Greaney et al., 2012). Prinsip-prinsip ini, yang
diartikulasikan dalam Laporan Belmont (Komisi Nasional untuk
Perlindungan Subjek Manusia dari Penelitian Biomedis dan Perilaku, 1979)
mencakup tiga prinsip utama yaitu menghormatiorang, kebaikan dan
keadilan.
Greaney et al., (2012) dalam studinya yang bertema tentang panduan
etika penelitianuntuk peneliti pemula, menyebutkan prinsip etik yang
diterapkan dalam penelitian yaitu:
1. Right to self for persons
Pada dasarnya prinsip menghormati hak orang lain berfungsi untuk
mencegah eksploitasi responden. Tidak dapat diterima bahwa responden
dilihat hanya sebagaisarana untuk pengetahuan baru, tetapi bahwa
responden dihormati sebagai individu yang memiliki hak
sendiri.Responden yang memenuhi kriteria inklusi diberikan lembar

44
Universitas Esa Unggul

pernyataan (informed consent)bersedia menjadi responden penelitian.


Setelah mendapat penjelasan tentang manfaat dan kegunaan penelitian
maka responden bebas untuk memilih persetujuan menjadi responden
atau tidak. Cara ini dilakukan sebagai upaya menghormati harkat dan
martabat responden.
2. Right to anonymity
Peneliti tidak menggunakan nama responden pada kuesioner untuk
menjaga kerahasiaan informasi. Peneliti menggunakan kode untuk
menandai responden berupa k1 untuk responden pertama, k2 untuk
responden ke-2, dan begitu selanjutnya. Penggunaaan kode pada
kuesioner hanya diketahui oleh peneliti untuk digunakan jika ada hal-hal
yang ingin dikonfirmasi.
3. Right to confidentiality
Data penelitian yang berasal dari responden wajib dijaga
kerahasiannya, termasuk didalamnya seluruh dokumen pengumpul data
berupa biografi dan kuesioner. Seluruh dokumen disimpan dalam tempat
khusus yang hanya bisa diakses oleh peneliti saja dan jika selesai proses
penelitian maka seluruh data akan dimusnahkan dengan cara dibakar.
4. Right to privacy
Hak bebas untuk memilih jawaban pada kuesioner yang diberikan.
Responden diberikan kesempatan mengisi kuesioner sekitar 30 menit
pada hari pertemuan. Peneliti mengatur jarak dengan responden selama
proses pengisian kuesioner untuk menghargai kerahasiaan jawaban,
namun jika ada pertanyaan tentang maksud isi kuesioner maka peneliti
menjelaskan tanpa mempengaruhi pemikiran dan pendapat responden.
Kuesioner tidak boleh dibawa pulang kerumah dan harus diselesaikan
dalam satu waktu pertemuan.
5. Beneficence
Prinsip beneficence mengharuskan peneliti memastikan
kesejahteraan responden, namun ini juga memasukkan prinsip non-
maleficence yang mengacu pada kegiatan melindungi responden dari
bahaya tidak akan menimbulkan bahaya secara langsung. Oleh karena
itu, prinsip beneficence menuntut agar peneliti memaksimalkan manfaat
yang mungkin dari penelitian dan meminimalkan kerugian. Peneliti
meyakinkan bahwa manfaat penelitian yang akan dilakukan jauh lebih
besar ketimbang kemungkinan kerugian yang akan didapat.

45
Universitas Esa Unggul

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Data Hasil Penelitian


4.1.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi setiap
variabel baik independen maupun dependen. Gambaran yang didapatkan
akan dimasukan kedalam tabel distribusi frekuensi dan bertujuan
menggambarkan responden sesuai karakteristik. Adapun variabel yang
dianalisa penelitian ini antara lain faktor motivasi intrinsik dan ekstrinsik
melaksanakan praktik keperawatan mandiri, motivasi melaksanakan
praktik keperawatan mandiri, umur, jenis kelamin, lamanya bekerja dan
status pekerjaan.
a. Umur
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Perawat Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)
Umur Frekuensi %
< 26 tahun 9 2.8
26-35 tahun 247 77.9
> 35 tahun 61 19.2
Jumlah 317 100.0
Tabel 4.1 diperoleh gambaran umur responden di Jakarta Barat, 9
responden (2.8%) dibawah 26 tahun, 247 responden (77.9%) antara 26-
35 tahun, dan 61 responden (19.2%) diatas 35 tahun.
b. Jenis Kelamin
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Perawat Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)
Jenis Kelamin Frekuensi %
Laki-laki 103 32.5
Perempuan 214 67.5
Jumlah 317 100.0
Tabel 5.2 diperoleh gambaran jenis kelamin responden di Jakarta Barat,
103 responden (32.5%) berjenis kelamin laki-laki dan 214 responden
(67.5%) berjenis kelamin perempuan.

46
Universitas Esa Unggul

c. Masa Kerja
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja
Perawat Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)
Masa Kerja Frekuensi %
< 2 tahun 14 4.4
2-5 tahun 243 76.7
> 5 tahun 60 18.9
Jumlah 317 100.0
Tabel 4.3 diperoleh gambaran masa kerja responden di Jakarta Barat, 14
responden (4.4%) masa kerja kurang dari 2 tahun, 243 responden
(76.7%) masa kerja antara 2-5 tahun dan 60 responden (18.9%) masa
kerja lebih dari 5 tahun.
d. Status Pekerjaan
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan
Perawat Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)
Status Pekerjaan Frekuensi %
Pegawai Kontrak 274 86.4
Pegawai Tetap 18 5.7
Pegawai Negeri Sipil 25 7.9
Jumlah 317 100.0
Tabel 4.4 diperoleh gambaran status pekerjaan responden di Jakarta
Barat, 274 responden (86.4%) merupakan pegawai kontrak, 18
responden (5.7%) merupakan pegawai tetap, dan 25 responden (7.9%)
merupakan pegawai negeri sipil (PNS).
e. Faktor Motivasi
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Faktor Motivasi
Perawat Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)
Faktor Motivasi Frekuensi %
Motivasi Intrinsik
Harga diri
Baik 233 73.5
Kurang 84 26.5
Prestasi
Baik 249 78.5
Kurang 68 21.5
Kepuasan
Baik 179 56.5
Kurang 138 43.5

47
Universitas Esa Unggul

Faktor Motivasi Frekuensi %


Kebutuhan
Baik 220 69.4
Kurang 97 30.6
Harapan
Baik 193 60.9
Kurang 124 39.1

Motivasi Ekstrinsik
Jenis dan sifat pekerjaan
Baik 177 55.8
Kurang 140 44.2
Kelompok kerja
Baik 219 69.1
Kurang 98 30.9
Kondisi kerja
Baik 205 64.7
Kurang 112 35.3
Hubungan interpersonal
Baik 228 71.9
Kurang 89 28.1
Jumlah 317 100.0
Tabel 4.5 diperoleh gambaran tentang faktor motivasi perawat dalam
melaksanakan praktik mandiri keperawatan. Faktor motivasi dibagi
menjadi dua kategori yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi
intrinsik terdiri dari lima subvariabel yaitu harga diri baik sebanyak 233
responden (73.5%), prestasi baik 249 (78.5%), kepuasan baik 179
(56.5%), kebutuhan baik 220 (69.4%), dan harapan dipersepsikan baik
sebanyak 193 (60.9%). Pada Motivasi ekstrinsik dibagi menjadi empat
subvariabel yaitu jenis dan sifat pekerjaan dipersepsikan baik sebanyak
177 (55.8%), kelompok kerja baik 219 (69.1%), kondisi pekerjaan baik
205 (64.7%), dan hubungan interpersonal baik sebanyak 228 (71.9%)
f. Motivasi Perawat
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi
Perawat Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)
Motivasi Frekuensi %
Tinggi 216 68.1
Rendah 91 28.7
Jumlah 317 100.0

48
Universitas Esa Unggul

Tabel 4.6 diperoleh gambaran motivasi perawat melaksanakan praktik


mandiri keperawatan di Jakarta Barat, 216 responden (68.1%) memiliki
motivasi yang tinggi, sedangkan sisanya sebanyak 91 responden
(28.7%) motivasi rendah.

4.1.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan secara langsung
antara variabel independen yaitu faktor motivasi dengan variabel
dependen yaitu motivasi melaksanakan praktik keperawatan mandiri.
Analisis bivariat yang digunakan adalah uji Chi- Square.
Tabel 4.7
Analisis Hubungan Faktor Motivasi dengan Motivasi Perawat
Melaksanakan Praktik Mandiri Keperawatan
di Jakarta Barat Desember 2019 (n = 317)

Motivasi
Faktor Motivasi Tinggi Rendah ∑n ∑% pvalue
n % n %
Motivasi Intrinsik
Harga diri
Baik 152 80.4 37 19.6 189 100
0.001
Kurang 84 65.6 44 34.4 128 100
Prestasi
Baik 185 81.1 43 18.9 228 100
0.02
Kurang 36 40.5 53 59.5 89 100
Kepuasan
Baik 118 62.4 71 37.6 189 100
0.11
Kurang 40 31.2 88 68.8 128 100
Kebutuhan
Baik 146 89.0 18 11.0 164 100
0.02
Kurang 75 49.0 78 51.0 153 100
Harapan
Baik 197 77.9 56 22.1 253 100
0.035
Kurang 34 53.1 30 46.9 64 100
Motivasi Ekstrinsik
Jenis & sifat
pekerjaan
Baik 163 85.3 28 14.7 191 100
0.01
Kurang 76 60.3 50 39.7 126 100
Kelompok kerja
Baik 158 77.1 47 22.9 205 100
0.001
Kurang 49 43.7 63 56.3 112 100

49
Universitas Esa Unggul

Motivasi
Faktor Motivasi Tinggi Rendah ∑n ∑% pvalue
n % n %
Kondisi kerja
Baik 144 79.6 37 20.4 181 100
0.035
Kurang 56 41.2 80 58.8 136 100
Hubungan
interpersonal
Baik 138 74.6 47 25.4 185 100
0.001
Kurang 60 45.5 72 54.5 132 100
Jumlah 317 100
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 189 responden yang
memiliki faktor harga diri baik terdapat 152 responden (80.4%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 37 responden (19.6%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki faktor harga diri kurang dari 128 responden terdapat 84
responden (65.6%) memiliki motivasi tinggi dan 44 responden (34.4%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square
menunjukkan hasil p value = 0.001 (p-value < 0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan signifikan antara faktor harga diri dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 228 responden yang
memiliki faktor prestasi baik terdapat 185 responden (81.1%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 43 responden (18.9%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki faktor prestasi kurang dari 89 responden terdapat 36
responden (40.5%) memiliki motivasi tinggi dan 53 responden (59.5%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square
menunjukkan hasil pvalue = 0.02 (p-value < 0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan signifikan antara faktor prestasi dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 189 responden yang
memiliki faktor kepuasan baik terdapat 118 responden (62.4%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 71 responden (37.6%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki faktor kepuasan kurang dari 128 responden terdapat 40
responden (31.2%) memiliki motivasi tinggi dan 88 responden (68.8%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square
menunjukkan hasil pvalue = 0.11 (p-value > 0.05) yang berarti bahwa tidak ada
hubungan antara faktor kepuasan dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 164 responden yang
memiliki faktor kebutuhan baik terdapat 146 responden (89.0%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 18 responden (11.0%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki faktor kebutuhan kurang dari 153 responden terdapat 75
responden (49.0%) memiliki motivasi tinggi dan 78 responden (51.0%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square

50
Universitas Esa Unggul

menunjukkan hasil pvalue = 0.02 (p-value < 0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan signifikan antara faktor kebutuhan dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 253 responden yang
memiliki faktor harapan baik terdapat 197 responden (77.9%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 56 responden (22.1%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki faktor harapan kurang dari 64 responden terdapat 34
responden (53.1%) memiliki motivasi tinggi dan 30 responden (46.9%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square
menunjukkan hasil pvalue = 0.035 (p-value < 0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan signifikan antara faktor harapan dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 191 responden yang
memiliki faktor jenis dan sifat pekerjaan baik terdapat 163 responden (85.3%)
memiliki motivasi tinggi dan 28 responden (14.7%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor jenis dan sifat pekerjaan kurang dari
126 responden terdapat 76 responden (60.3%) memiliki motivasi tinggi dan 50
responden (39.7%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.01 (p-value < 0.05) yang
berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor jenis dan sifat pekerjaan
dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 205 responden yang
memiliki faktor kelompok kerja baik terdapat 158 responden (77.1%) memiliki
motivasi tinggi dan 47 responden (22.9%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki kelompok kerja kurang dari 112 responden terdapat 49
responden (43.7%) memiliki motivasi tinggi dan 63 responden (56.3%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square
menunjukkan hasil pvalue = 0.001 (p-value < 0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan signifikan antara faktor kelompok kerja dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 181 responden yang
memiliki faktor kondisi kerja baik terdapat 144 responden (79.6%) memiliki
motivasi tinggi dan 37 responden (20.4%) memiliki motivasi rendah. Sedangkan
responden yang memiliki kondisi kerja kurang dari 136 responden terdapat 56
responden (41.2%) memiliki motivasi tinggi dan 80 responden (58.8%) memiliki
motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-square
menunjukkan hasil pvalue = 0.035 (p-value < 0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan signifikan antara faktor kondisi kerja dengan motivasi.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 185 responden yang
memiliki faktor hubungan interpersonal baik terdapat 138 responden (74.6%)
memiliki motivasi tinggi dan 47 responden (25.4%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki kondisi kerja kurang dari 132 responden
terdapat 60 responden (45.5%) memiliki motivasi tinggi dan 72 responden

51
Universitas Esa Unggul

(54.5%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan


chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.001 (p-value < 0.05) yang berarti
bahwa ada hubungan signifikan antara faktor kondisi kerja dengan motivasi.

52
Universitas Esa Unggul

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan Hasil Penelitian


5.1.1 Analisis Univariat
a. Umur
Hasil analisis menunjukkan rata-rata usia perawat di Jakarta
Barat berada pada rentang usia 26 sampai 35 tahun (77.9%). Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata usia perawat di Jakarta Barat berada
pada rentang usia produktif. Usia menggambarkan tahap
perkembangan seseorang sehingga dapat dilihat bertambahnya
kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu. Rerata usia perawat
di Jakarta Barat menggambarkan kondisi perawat dalam usia produktif
dan karakteristik fisik yang prima. Semakin bertambah usia seseorang
seharusnya semakin tinggi pula motivasinya karena ada keinginan
untuk membuktikan eksistensi di tempat kerja (Klaus et al., 2012),
namun penambahan usia juga dapat mengurangi motivasi karena
alasan peluang pengembangan yang menurun dan keterbatasan masa
depan (Kooij et al., 2011).
Usia dapat dihubungkan dengan aspek kedewasaan. Semakin
bertambah usia, pola pikir seseorang dianggap makin bijaksana dan
bertanggung jawab. Kedewasaan berkaitan dengan motivasi
mempelajari pengetahuan baru, kemampuan intelektual, luas
pengalaman, serta banyaknya keterampilan yang telah dipelajari
(Robbin & Judge, 2017). Asumsinya bahwa seseorang yang lebih
dewasa, seharusnya berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya
dan merasa lebih kompeten dalam bekerja. Namun, sifat kepribadian
seseorang dapat berubah selama rentang usia kehidupan, dan pada
gilirannya dapat menimbulkan perubahan sikap dalam bekerja (Ng &
Feldman, 2010). Pada usia lebih lanjut terkadang motivasi menjadi
surut karena rutinitas dan daya tarik terhadap pekerjaan yang
menurun.
Berkaitan dengan praktik keperawatan mandiri, usia seseorang
nampaknya dapat memberikan kontribusi terhadap keinginan
membuka praktik mandiri. Perawat dengan rentang usia muda lebih
tertarik untuk membuka diri terhadap pengetahuan baru termasuk
pengetahuan tentang praktik keperawatan mandiri. Platis et al., (2015)
menyimpulkan bahwa pekerja yang lebih tua dianggap kurang tertarik
untuk mempelajari hal-hal yang baru dan cenderung kurang peduli
dengan perkembangan pengetahuan. Pekerja yang lebih tua telah
nyaman ditempat kerja yang ada ketimbang ditempat baru yang penuh
tantangan dan butuh adaptasi.

53
Universitas Esa Unggul

b. Jenis Kelamin
Hasil analisis menunjukkan bahwa perawat di Jakarta Barat
mayoritas perempuan (67.5%). Hal ini semakin menegaskan bahwa
keperawatan identik dengan perofesi yang didominasi perempuan.
Meskipun dari waktu ke waktu proporsi laki-laki yang memilih
keperawatan sebagai profesi/ pekerjaan telah meningkat secara
bertahap, namun persentase perawat laki-laki masih rendah.
Keperawatan merupakan profesi kesehatan dengan disparitas terbesar
antara laki-laki dan perempuan. Fakta menunjukkan tidak ada aturan
yang membatasi jumlah laki-laki untuk menjadi perawat, namun
dominasi perempuan terus terjadi sampai hari ini. Penelitian
Ashkenazi et al., (2017) menyoroti persepsi mahasiswa keperawatan
laki-laki untuk belajar keperawatan dan beberapa hambatan yang
dihadapi. Hasilnya menyebutkan bahwa status publik yang rendah dari
profesi keperawatan dan hambatan yang mencegah laki-laki untuk
berintegrasi secara bebas di lahan praktik saling terkait.
Citra keperawatan berangsur-angsur berubah, namun gambaran
ikonik tradisional keperawatan terus memengaruhi pilihan karier.
Asosiasi keperawatan profesional dan sekolah keperawatan memiliki
peran penting dalam mempromosikan citra positif perawat laki-laki
dan untuk membatasi stereotip keperawatan sebagai profesi feminim.
Laki-laki dalam keperawatan mewakili tenaga kerja yang kuat dan
stabil. Hal ini kadang dibutuhkan pada unit-unit tertentu seperti kamar
bedah, ruang intensif, dan unit gawat darurat. Motivasi laki-laki
memilih karir sebagai perawat harus dipahami untuk meningkatkan
persepsi publik bahwa perawat laki-laki juga dibutuhkan dan pada
akhirnya akan meningkatkan status dimata masyarakat (Ashkenazi et
al., 2017).
Meskipun perempuan mendominasi profesi keperawatan, namun
pada praktik mandiri nampaknya minat perempuan lebih kecil
dibanding laki-laki. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa sifat
perempuan memiliki kecenderungan tidak ingin mencoba tantangan
baru, lebih nyaman dengan kondisi kerja yang sudah ada dan dengan
pendapatan yang diberikan. Dari sisi kebijakan organisasi dan
pemerintah, nampaknya turut memengaruhi pilihan karir bekerja bagi
perempuan. Praktik keperawatan mandiri masih dianggap
membingungkan bagi sebagian perawat. Jenis/ produk praktik yang
akan dilaksanakan masih belum difahami secara komprehensif.
Kondisi ini diperburuk dengan ketidaktahuan pengurusan izin
membuka praktik keperawatan mandiri. Sementara laki-laki memiliki
kecenderungan untuk lebih terbuka terhadap tantangan baru.
c. Masa Kerja

54
Universitas Esa Unggul

Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata masa kerja perawat


di Jakarta Barat berada pada rentang 2-5 tahun (76.7%). Masa kerja
dalam rentang waktu yang cukup lama akan meningkatkan
pengalaman dalam bekerja. Perawat yang memiliki masa kerja yang
lebih lama akan membuka peluang yang lebih besar terhadap
penguasaan pekerjaan (kompetensi) menjadi lebih baik (Ng &
Feldman, 2009) Jumlah masa kerja memengaruhi persepsi seseorang
untuk tetap tinggal di lingkungan pekerjaan saat ini, dibandingkan
memilih pergi untuk mencari tempat pekerjaan baru. Alasan
kemungkinan ketidakcocokkan ditempat baru dan kesulitan adaptasi
serta kerugian finansial menjadi pertimbangan (Robbins & Judge,
2017). Masa kerja turut memengaruhi motivasi seseorang karena
alasan keterlibatan yang lama ditempat kerja sehingga akan
membentuk rasa memiliki terhadap organisasi.
Masa kerja yang lama akan membentuk berbagai pengalaman dan
senioritas. Jika senioritas merupakan waktu yang dihabiskan pada
pekerjaan tertentu, bukti menunjukkan hubungan positif antara
senioritas dan produktivitas kerja (Robbins & Judge, 2017).
Pengalaman kerja tampaknya menjadi prediktor yang baik dari
produktivitas, meskipun terkadang hubungan ini tidak linier. Pendapat
lain mengatakan bahwa staf baru menunjukkan kinerja yang lebih baik
daripada staf yang telah lama bekerja (Luthans, 2011). Masa kerja
yang lama juga berisiko akan mengalami kejenuhan dalam bekerja.
Hal ini turut berkontribusi pada menurunnya motivasi kerja. Masa
kerja yang lama dapat memberikan kontribusi terhadap penguasaan
teknikal dan manajerial.
Masa kerja akan memberikan berbagai pengalaman terhadap
seorang perawat yang akan digunakan ketika perawat tersebut
melaksanakan praktik keperawatan mandiri. Ditempat kerja, perawat
akan mendapatkan pengalaman berharga dan dapat mengaplikasikan
berbagai teori yang didapatkan selama kuliah. Pengalaman kerja akan
berkontribusi pada penguasaan kompetensi dan manajemen
tatalaksana berbagai kasus yang terjadi pada pasien. Modal berharga
ini merupakan aset potensial yang akan digunakan secara independen
pada praktik keperawatan mandiri.
d. Status Pekerjaan
Hasil analisis menunjukkan bahwa status pekerjaan perawat di
Jakarta Barat didominasi oleh pegawai kontrak (86.4%). Status
pekerjaan merupakan jenis kedudukan seseorang dalam melakukan
pekerjaan di suatu unit usaha atau kegiatan (Badan Pusat Statistik,
2017). Status terhadap suatu pekerjaan diyakini memiliki kontribusi
terhadap motivasi seseorang untuk tetap tinggal dalam pekerjaan

55
Universitas Esa Unggul

tersebut. Perawat dengan status pekerjaan sebagai PNS lebih memiliki


ketenangan dalam bekerja dan memiliki peluang pengembangan karier
serta jaminan hari tua. Sebaliknya hal ini tidak dialami oleh para
perawat yang berstatus pegawai non-PNS terutama pegawai dengan
status kontrak.
Perawat dengan status pegawai kontrak merupakan staf yang
bekerja hanya untuk waktu tertentu berdasar kesepakatan antara
perawat dengan rumah sakit/ instansi pelayanan kesehatan tempat
bekerja. Agar kegiatan operasional dan pelayanan dapat berjalan
terarah dan hubungan antara staf dengan perusahaan/ instansi
pelayanan kesehatan jelas, maka semuanya diatur dalam surat
perjanjian kerja yang diperbaharui setiap tahunnya. Kondisi ini akan
berdampak pada motivasi perawat dalam bekerja. Pekerjaan sebagai
perawat merupakaan pekerjaan yang sifatnya tetap. Perawat
merupakan bagian dari tim pelayanan kesehatan yang harus tersedia
24 jam didekat pasien. Sehingga perawat harus mendapatkan jaminan
kepastian status dalam bekerja.
Praktik keperawatan mandiri merupakan bagian dari peluang
usaha. Masih rendahnya penyerapan tenaga perawat di sarana
pelayanan kesehatan merupakan fakta yang terjadi sampai hari ini.
Praktik keperawatan mandiri hadir sebagai bagian dari
entrepreneurship. Perawat dibarikan keleluasaan mengembangkan
karir dan usaha melalui praktik mandiri. Hadirnya Permenkes nomor
26 tahun 2019 memberikan kepastian hukum bahwa perawat memiliki
hak dan kesejajaran dalam melaksankan praktik keperawatan secara
mandiri.
e. Faktor Motivasi
1) Harga diri
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor harga diri yaitu yang memiliki harga diri baik sebanyak 233 responden
(73.5%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki harga diri kurang
sebanyak 84 responden (26.5%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
mayoritas responden memiliki harga diri baik. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Sari (2015) sebagian besar responden memiliki
harga diri yang tinggi yaitu 38 orang (71,7%) dan 15 orang (28,3%)
memiliki harga diri yang sedang. Harga diri yang positif/ baik akan
membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan
kemampuan diri, rasa berguna serta yakin kehadirannya diperlukan.
Individu yang memiliki harga diri rendah cenderung merasa bahwa
dirinya tidak mampu dan berharga. Penelitian Nurvia dan Safitri (2014)
mengungkapkan jika seseorang mengevaluasi dirinya secara negatif, tidak
mampu dalam bekerja, kurang percaya diri, kurang dihargai rekan kerjanya,

56
Universitas Esa Unggul

maka hal tersebut akan menimbulkan tekanan-tekanan yang dapat menguras


tenaga sehingga berisiko menimbulkan kelelahan fisik, emosional maupun
mental. Sehingga seseorang dengan harga diri rendah cenderung memiliki
motivasi yang rendah.
Praktik keperawatan mandiri merupakan bentuk praktik professional
perawat yang lebih mengedepankan pada prinsip kemandirian perawat dalam
mengaplikasikan pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui praktik mandiri,
perawat lebih memiliki kesempatan untuk dapat menunjukan sisi
profesionalisme di masyarakat. Perawat mempunyai peluang yang besar untuk
menajalankan peran dan fungsinya secara bebas sesuai standar pada praktik
keperawatan mandiri. Aplikasi ini akan meningkatkan harga diri perawat
sebagai bagian dari professional pemberi asuhan kepada pasien.
2) Prestasi
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor prestasi yaitu yang memiliki prestasi baik sebanyak 249 responden
(78.5%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki prestasi kurang
sebanyak 68 responden (21.5%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
mayoritas responden memiliki prestasi baik. Prestasi yang dicapai seseorang
akan meningkatkan motivasi dan menguntungkan bagi organisasi tempat
bekerja karena akan berdampak pada produktifitas (Kadarisman, 2013).
Praktik mandiri keperawatan merupakan salah satu bentuk penghargaan
organisasi profesi dan pemerintah kepada perawat untuk menjalankannya.
Perawat yang menjalankan praktik mandiri merupakan perawat yang memiliki
komptensi dan keilmuan yang mampu mengambil keputusan dan melakukan
penatalaksanaan terhadap masalah pasien secara independen. Perawat akan
menggunakan kemampuan terbaik yang dimiliki untuk memberikan asuhan
kepada pasien. Hanya perawat yang berprestasi yang mampu melaksanakan
praktik mandiri. Perawat yang melaksanakan praktik mandiri akan
memberikan kontribusi secara nyata bagi pengembangan profesionalisme dan
pembangunan kesehatan. Praktik mandiri keperawatan memberikan simbiosis
mutualisme antara pemerintah, organisasi profesi, perawat itu sendiri dan
pasien sebagai subjek pelayanan.
3) Kepuasan
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor kepuasan yaitu yang memiliki kepuasan baik sebanyak 179 responden
(56.5%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki kepuasan kurang
sebanyak 138 responden (43.5%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
perbedaan sangat kecil antara faktor kepuasan baik dan kurang. Beberapa
peneliti telah menjadikan kepuasan sebagai variable penelitian dengan hasil
yang beragam. Penelitian Liu et al., (2012) melaporkan ketidakpuasan perawat
lebih dari 50%. Angka kepuasan kerja perawat masih tidak puas sebesar 50%
di rumah sakit militer Jakarta (Yayah & Hariyati, 2015), 43,3% di Kota

57
Universitas Esa Unggul

Salatiga, Semarang (Lutfiyah, Sukesi, & Solechan, 2014). Kepuasan kerja


masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Kepuasan yang belum optimal dapat berfungsi sebagai panduan untuk
mengeksplorasi motivasi perawat. Adanya rasa ketidakpuasan terhadap
pekerjaan dapat disebabkan karena adanya rasa kebutuhan yang tidak
terpenuhi. Kepuasan yang tidak terpenuhi ditempat lama merupakan bagian
dari motivasi perawat berkeinginan untuk melaksanakan praktik mandiri.
Melalui praktik mandiri, perawat dapat mengaktualisasikan semua
kemampuan dan potensi yang dimiliki hingga menjadi seperti yang dicita-
citakan oleh dirinya.
4) Kebutuhan
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor kebutuhan yaitu yang memiliki kebutuhan baik sebanyak 220
responden (69.4%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki
kebutuhan kurang sebanyak 97 responden (30.6%). Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa mayoritas responden memiliki persepsi terhadap faktor
kebutuhan yanag baik. Kebutuhan yang terpenuhi atau tidak akan
memengaruhi tingkat motivasi seseorang. Seseorang yang kebutuhannya
terpenuhi tentunya akan merasa lebih puas dan termotivasi untuk melakukan
suatu aktivitas. Semakin banyak kebutuhan yang didapat, semakin besar pula
tingkat kepuasan yang dirasakan. Pada teori pemenuhan kebutuhan,
penggabungan beberapa aspek pengukuran kepuasan berdasarkan faktor
terpenuhinya kebutuhan dari pekerjaan merupakan aspek pengukuran
kepuasan kerja secara umum (Harrigan & Commons, 2015).
Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 26 tahun 2019 yang
didalamnya mengatur perawat untuk melakukan praktik mandiri merupakan
salah satu kebutuhan yang terpenuhi. Kebijakan tersebut merupakan paying
hukum dan legalitas secara resmi dari Pemerintah yang mengakui bahwa
profesi perawat memiliki hak untuk melaksanakan praktik mandiri. Kebutuhan
berikutnya muncul yakni bagaimana organisasi profesi dan pemerintah daerah
bersinergi untuk menerbitkan izin dan memberikan bimbingan serta arahan
kepada perawat untuk melaksanakan praktik mandiri. Fenomena yang muncul
saat ini, masih banyak perawat yang kebingungan untuk megurus perizinan
ketika hendak melaksanakan praktik mandiri keperawatan.
5) Harapan
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor harapan yaitu yang memiliki harapan baik sebanyak 193 responden
(60.9%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki harapan kurang
sebanyak 124 responden (39.1%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
mayoritas responden memiliki harapan yang baik. Harapan berkaitan dengan
kecenderungan kekuatan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu
bergantung pada kekuatan harapan tentang hasil yang akan didapat (Vito et al,

58
Universitas Esa Unggul

2016). Teori ini memusatkan ketertarikan pada hubungan seseorang yang


memiliki kecenderungan melakukan usaha terbaik pada pekerjaan untuk
mendapatkan penilaian terhadap kinerja.
Praktik mandiri keperawatan memunculkan harapan dari berbagai aspek.
Perawat beraharap melalui praktik mandiri dapat lebih meningkatkan
kesejahteraan, pengakuan, kontribusi, dan kesejajaran dengan profesi lain
khususnya kedokteran. Praktik mandiri keperawatan menjadi harapan bagi
perawat untuk merubah mainset, bahwa perawat memiliki kemandirian yang
bebas untuk melaksanakan asuhan keperawatan. Selama ini, perawat lebih
cenderung untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien sakit.
Sementara upaya promosi dan pencegahan belum memiliki tempat yang luas,
baik di masyarakat maupun dikalangan profesi perawat itu sendiri. Melalui
praktik mandiri, perawat difasilitasi untuk melaksanakan asuhan dengan
berbagai bentuk praktik peningkatan kesehatan.
6) Jenis dan sifat pekerjaan
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor jenis dan sifat pekerjaan yaitu yang memiliki prestasi baik sebanyak
177 responden (55.8%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki
faktor jenis dan sifat pekerjaan kurang sebanyak 140 responden (44.2%). Dari
hasil tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak responden memiliki faktor
jenis dan sifat pekerjaan baik. Berbagai penelitian dan pengalaman banyak
orang menunjukkan bahwa jenis dan sifat pekerjaan akan membawa pada
kondisi kebosanan dalam bekerja. Kebosanan pada pekerjaan mempunyai
dampak negatif yang sering menampakkan diri dalam keletihan, kesalahan
dalam pelaksanaan tugas dan kecelakaan. Cara terbaik untuk mengatasi
berbagai hal negatif tersebut adalah dengan variasi dalam cara penyelesaian
tugas seseorang. Praktik keperawatan mandiri memberikan tantangan bagi
profesi keperawatan khususnya di Jakarta Barat. Alternatif pendirian tempat
praktik mandiri keperawatan merupakan salah satu cara agar motivasi dalam
bekerja terus dipertahankan pada kondisi yang optimal.
7) Kelompok kerja
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor kelompok kerja yaitu yang memiliki kelompok kerja baik sebanyak 219
responden (69.1%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki
kelompok kerja kurang sebanyak 98 responden (30.9%). Dari hasil tersebut
dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki kelompok kerja baik.
Kelompok kerja memungkinkan seseorang akan saling berinteraksi, saling
membagi informasi, sharing dan saling membantu menyelesaikan masalah
dalam organisasi untuk meningkatkan kerja demi tercapainya keberhasilan
organisasi. Pentingnya kelompok kerja yang baik akan memberikan peluang
untuk mengoptimalkan motivasi dan kerja sama.

59
Universitas Esa Unggul

Praktik mandiri keperawatan dapat dilakukan secara individu atau


berkelompok. Perawat dapat membentuk kelompok untuk melaksanakan
praktik mandiri dengan berbagai bentuk asuhan. Melalui praktik berkelompok,
perawat dapat bekerjasama memberikan pelayanan keperawatan secara
holistik kepada klien berdasarkan pada standar praktik yang berlaku. Praktik
mandiri berkelompok akan meringankan beban kerja dan dapat meningkatkan
kualitas asuhan yang diberikan. Bisa kita bayangkan dalam praktik mandiri
keperawatan secara berkelompok yang terdiri dari perawat dengan berbagai
latar belakang keahlian (expert) dan pengalaman, tentunya akan membuat
kualitas asuhan lebih baik.
8) Kondisi kerja
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor kondisi kerja yaitu yang memiliki kondisi kerja baik sebanyak 205
responden (64.7%) dari total 317 responden, sedangkan yang memiliki kondisi
kerja kurang sebanyak 112 responden (35.3%). Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa lebih banyak responden memiliki faktor kondisi kerja baik.
Kondisi pekerjaan, baik secara fisik maupun psikologis turut memengaruhi
motivasi. Faktor fisik terdiri dari kondisi fisik seseorang dan lingkungan,
meliputi kesehatan karyawan, posisi tubuh waktu bekerja (body mechanic),
perlengkapan kerja, jenis pekerjaan, ventilasi udara, termasuk pengaturan
waktu kerja dan jam istirahat/ cuti. Faktor psikologis berkaitan dengan kondisi
kejiwaan yang meliputi minat, ketentraman kerja, sikap terhadap kerja, dan
perasaan bekerja.
Praktik mandiri keperawatan dapat dilakukan diberbagai tatanan
layanan. Praktik mandiri dapat dilakukan pada individu, keluarga, kelompok
maupun di komunitas. Paraktik mandiri juga dapat dilakukan di tempat praktik
sendiri yang akan memberikan rasa aman dan nyaman saat bekerja.
Persyaratan bangunan haruslah dipenuhi sesuai standar dan ketentuan yang
berlaku. Kondisi kerja pada praktik mandiri baik dari segi fisik maupun
psikologis akan memberikan motivasi bagi perawat untuk memberikan asuhan
yang lebih baik.

9) Hubungan interpersonal
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi responden terkait
faktor hubungan interpersonal yaitu yang memiliki hubungan interpersonal
baik sebanyak 228 responden (71.9%) dari total 317 responden, sedangkan
yang memiliki hubungan interpersonal kurang sebanyak 89 responden
(28.1%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas responden
memiliki hubungan interpersonal baik. Praktik keperawatan mandiri
membutuhkan interaksi dengan orang lain, mengikuti aturan serta kebijakan
Organisasi Profesi dan Pemerintah. Pada praktik mandiri, tentulah kita akan
memiliki rekan kerja. Rekan kerja yang memiliki kesamaan dalam bersikap

60
Universitas Esa Unggul

akan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dan membentuk tali


persahabatan. Perasaan senang dan rasa persahabatan yang timbul sangat
berkaitan dengan motivasi dan kepuasan kerja seseorang.

f. Motivasi Perawat
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
motivasi tinggi untuk melaksanakan praktik mandiri keperawatan (68.1%).
Motivasi merupakan unsur penting yang harus dimiliki oleh perawat karena
memberikan dorongan untuk bekerja sebaik mugkin. Belum optimalnya
motivasi pada perawat untuk melaksanakan praktik keperawatan mandiri
penting untuk mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak
khususnya organisasi profesi (PPNI). Motivasi rendah memberikan penekanan
negatif pada diri perawat sehingga menganggap praktik mandiri keperawatan
hanya akan merepotkan dan membentuk rasa tidak percaya diri (Dill,
Erickson, & Diefendorff, 2016).
Motivasi melaksanakan praktik keperawatan mandiri bersifat individual
dan berbeda untuk setiap orang, tergantung pada kebutuhan yang dihadapi.
Motivasi perawat merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan rasa
percaya diri dan membuktikan eksistensi profesi dalam organisasi dan
masyarakat (Taghipour & Dejban, 2013). Adanya dukungan dari organisasi
profesi dan para professional keperawatan akan memberikan dampak positif
pada motivasi kerja perawat khususnya motivasi melaksanakan praktik
mandiri keperawatan. Motivasi perawat secara luas berkontribusi pada
pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan organisasi profesi dan untuk
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terhadap masyarakat.

5.1.2 Analisis Bivariat


a. Hubungan Faktor Harga Diri dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 189 responden yang
memiliki faktor harga diri baik terdapat 152 responden (80.4%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 37 responden (19.6%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor harga diri kurang dari 128
responden terdapat 84 responden (65.6%) memiliki motivasi tinggi dan 44
responden (34.4%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil p value = 0.001 (p-value < 0.05)
yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor harga diri dengan
motivasi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa ada korelasi signifikan antara
pengakuan akan harga diri dengan motivasi kerja (Thasinia, 2013). Penelitian
Badri & Aziz (2011) menyimpulkan bahwa ada korelasi signifikan antara
harga diri terhadap motivasi.
Harga diri sangat berharga dan berpengaruh dalam memotivasi diri
untuk melaksanakan praktik mandiri keperawatan. Harga diri merupakan

61
Universitas Esa Unggul

penilaian seseorang terhadap keberhargaan dirinya baik secara fisik,


intelektual, emosional, maupun moral yang diperoleh dari hasil interaksinya
dengan lingkungannya dan penghargaan, penerimaan serta perlakuan orang
lain terhadap dirinya. Selanjutnya Coopersmith (1967) dalam (Nursalam,
2014) menyatakan bahwa harga diri merupakan suatu penilaian pribadi
tentang penghargaan yang diekspresikan didalam sikap individu terhadap
dirinya sendiri. Lebih jauh lagi Coopersmith menerangkan bahwa harga diri
dalam perkembangannya terbentuk dari interaksi individu dengan
lingkungannya dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan dan perlakuan
orang lain terhadap dirinya.
Perawat yang mampu mengaplikasikan praktik mandiri merupakan
individu yang puas atas karakter dan kemampuan dirinya. Mereka akan
memberikan penghargaan yang positif dalam dirinya, sehingga akan
menumbuhkan rasa percaya diri, aktif dan berhasil dalam melaksanakan
praktik mandiri. Hal ini menjadi kontribusi terhadap peningkatan motivasi
diri. Sedangkan individu yang memiliki harga diri yang rendah adalah
individu yang tidak puas dengan karakteristik dan kemampuan diri, terfokus
pada kelemahannya, hilang kepercayaan dirinya, sehingga mereka akan
merasa tidak aman dan sulit untuk mengekspresikan dirinya dalam
lingkungan. Rendahnya harga diri ini dapat membawa pengaruh kurang baik
bagi perilaku individu dalam kehidupannya (Badri & Aziz, 2011).
b. Hubungan Faktor Prestasi dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 228 responden yang
memiliki faktor prestasi baik terdapat 185 responden (81.1%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 43 responden (18.9%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor prestasi kurang dari 89 responden
terdapat 36 responden (40.5%) memiliki motivasi tinggi dan 53 responden
(59.5%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.02 (p-value < 0.05)
yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor prestasi dengan
motivasi. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Cahyani, Wahyuni, &
Kurniawan (2016) yang menyatakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap motivasi seseorang yaitu prestasi kerja. Makatiho, Tilaar, & Rateg
(2014) menekankan pengakuan atas prestasi menjadi faktor yang berpengaruh
dengan motivasi kerja perawat.
Pengakuan dan penghargaan akan prestasi melaksanakan praktik
mandiri merupakan salah satu motivator dalam meningkatkan kinerja.
Pengakuan yang didapat meliputi pujian, penghargaan, dan perhatian baik dari
organisasi profesi; rekan kerja; pasien; dan rnasyarakat secara luas mengenai
prestasi kerja yang dilakukan. Perawat yang melaksanakan praktik mandiri
akan merasa bahwa pekerjaan sebagai perawat yang telah dilakukan mendapat
apresiasi yang sesuai dari lingkungannya. Ini akan menjadi sumber motivasi

62
Universitas Esa Unggul

yang dapat meningkatkan semangat dalam bekerja. Penelitian menyimpulkan


bahwa ada korelasi signifikan antara pengakuan akan prestasi kerja dengan
motivasi bekerja (Astuti & Zulaifah, 2017).

c. Hubungan Faktor Kepuasan dengan Motivasi


Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 189 responden yang
memiliki faktor kepuasan baik terdapat 118 responden (62.4%) yang
memiliki motivasi tinggi dan 71 responden (37.6%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor kepuasan kurang dari 128
responden terdapat 40 responden (31.2%) memiliki motivasi tinggi dan 88
responden (68.8%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.11 (p-value > 0.05)
yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara faktor kepuasan dengan
motivasi. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wolo,
Trisnawati, & Wiryadi (2015) yang menyatakan tidak terdapat hubungan
antara motivasi dengan kepuasan kerja. Pendapat berbeda dikemukakan oleh
Krisdayanto (2010) yang menyoroti bahwa motivasi dipengaruhi aspek
kepuasan kerja.
Kepuasan kerja merupakan manifestasi persepsi seseorang dan
merupakan komparasi hasil dengan harapan. Kepuasan kerja perawat masih
menunjukkan angka yang rendah. Pada dasarnya kepuasan kerja bersifat
individual, setiap orang akan memiliki derajat kepuasan yang bervariasi
karena dipengaruhi oleh persepsi yang ada pada dirinya. Kepuasan kerja
perawat merupakan fenomena yang patut mendapat perhatian karena
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja pelayanan yang diberikan.
Kepuasan kerja menjadi faktor penentu dari perilaku anggota organisasi.
Praktik mandiri keperawatan menjadi salah satu pilihan bagi perawat
yang merasa tidak puas dengan tempat kerja yang sekarang. Perawat memiliki
kebebasan menentukan berbagai aspek yang menjadi penyebab ketidakpuasan.
Gaji, lingkungan kerja, dan berbagai faktor lainnya dapat dikondisikan sesuai
keinginan ditempat praktik mandiri. Yang terakhir, tingkat kepuasan perawat
akan disesuaikan dengan derajat kemampuan melakukan praktik mandiri.
Perawat akan mengukur tingkat kepuasannya sesuai dengan kemampuan
melaksankan praktik mandiri.
d. Hubungan Faktor Kebutuhan dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 164 responden yang
memiliki faktor kebutuhan baik terdapat 146 responden (89.0%) yang
memiliki motivasi tinggi dan 18 responden (11.0%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor kebutuhan kurang dari 153
responden terdapat 75 responden (49.0%) memiliki motivasi tinggi dan 78
responden (51.0%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.02 (p-value < 0.05)

63
Universitas Esa Unggul

yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor kebutuhan dengan
motivasi.
Kompleksitas konsep motivasi menjelaskan berbagai definisi, tetapi
kebanyakan literatur menunjukkan bahwa seseorang memiliki kebutuhan
sehingga tingkat motivasi kerja sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh
kebutuhan ini terpenuhi (Al Maqbali, 2015). Abaraham maslow (1943)
mengembangkan teori hierarki kebutuhan dan kebutuhan ini akan memotivasi
seseorang untuk memenuhinya. Dalam pandangan ini, individu termotivasi
untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih rendah sebelum bekerja untuk
memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Kebutuhan yang telah
terpenuhi tidak lagi memotivasi, sehingga kebutuhan berikutnya menjadi
dominan. Kebutuhan dalam pertimbangan hierarki maslow yaitu kebutuhan
fisiologis, keselamatan, sosial/ memiliki, harga diri, hingga kebutuhan
aktualisasi diri. Masing-masing kebutuhan ini memiliki karakteristik khusus.
Pandangan analitik perilaku berfokus pada bagaimana memenuhi setiap
tingkat kebutuhan dengan tingkat motivasi tertentu (Harrigan & Commons,
2015).
Kebutuhan akan melaksanakan praktik mandiri keperawatan merupakan
bagian dari aktualisasi diri. Melalui praktik mandiri, perawat dapat
mengaktualisasikan semua kemampuan dan potensi yang dimiliki hingga
menjadi seperti yang dicita-citakan oleh diri dan profesinya. Praktik mandiri
merupakan bagian dari kebutuhan profesi yang belum banyak di aplikasikan
sampai saat ini. Disatu sisi, praktik mandiri merupakan bagian dari kebutuhan
untuk membuktikan eksistensi profesi dimata masyarakat dan profesi lain.
Disisi lain, masih sedikit perawat yang mengaplikasikan praktik mandiri
secara nyata sesuai dengan standar yang berlaku.
e. Hubungan Faktor Harapan dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 253 responden yang
memiliki faktor harapan baik terdapat 197 responden (77.9%) yang memiliki
motivasi tinggi dan 56 responden (22.1%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor harapan kurang dari 64 responden
terdapat 34 responden (53.1%) memiliki motivasi tinggi dan 30 responden
(46.9%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.035 (p-value < 0.05)
yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor harapan dengan
motivasi.
Harapan merupakan prediktor mutlak terhadap motivasi. Harapan tidak
dapat dipisahkan oleh motivasi kerja yang seringkali merupakan energy untuk
melakukan aktivitas. Gambaran yang akurat tentang hubungan ini adalah
bahwa harapan akan menimbulkan motivasi kerja yang tinggi. Teori ini
memusatkan ketertarikan pada hubungan yaitu seseorang memiliki
kecenderungan melakukan usaha terbaik (motivasi) pada pekerjaan untuk

64
Universitas Esa Unggul

mendapatkan penilaian kinerja. Penilaian kinerja yang baik diharapkan akan


berdampak pada pemberian imbalan/ kompensasi. Terakhir, imbalan yang
diterima seseorang apakah sesuai dengan yang diinginkan/ harapkan (Robbins
& Judge, 2017).
Praktik mandiri keperawatan merupakan harapan bagi perawat untuk
memotivasi diri melakukan usaha terbaik. Usaha ini akan melahirkan
semangat dalam bekerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan/
kesejahteraan. Harapan akan kesejahteraan yang lebih layak melahirkan
konsekuensi peningkatan kinerja. Melalui praktik mandiri, perawat
bersemangat mengkapasitasi diri dengan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap sesuai standar pelayanan asuhan keperawatan.
f. Hubungan Faktor Jenis dan sifat pekerjaan dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 191 responden yang
memiliki faktor jenis dan sifat pekerjaan baik terdapat 163 responden (85.3%)
memiliki motivasi tinggi dan 28 responden (14.7%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki faktor jenis dan sifat pekerjaan kurang
dari 126 responden terdapat 76 responden (60.3%) memiliki motivasi tinggi
dan 50 responden (39.7%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik
dengan menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.01 (p-value
< 0.05) yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor jenis dan
sifat pekerjaan dengan motivasi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Sulistyarini, (2013) dan Wolo et al., (2015) yang menyatakan salah
satu faktor pekerjaan yang memengaruhi motivasi kerja yaitu karaktersitik
(jenis dan sifat) serta kondisi pekerjaan itu sendiri.
Karakteristik yang terdapat di dalam sebuah pekerjaan dapat menjadi
faktor motivasi dalam bekerja. Praktik mandiri keperawatan merupakan
pemberian asuhan yang diberikan sesuai dengan klien sasarannya. Praktik
mandiri keperawatan merupakan strategi profesi keperawatan untuk
mendekatkan pelayanan keperawatan kepada masyarakat. Melalui praktik
mandiri, masyarakat dikenalkan bahwa profesi perawat mampu melaksanakan
praktik secara mandiri. Keterampilan perawat diperlukan untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan dengan baik sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Motivasi kerja akan meningkat atau menurun pada diri perawat jika suatu
pekerjaan dianggap sulit atau mudah dikerjakan, serta perasaan bahwa
kemampuannya diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Perawat
akan melakukan pekerjaan dengan perasaan senang jika pekerjaan tersebut
dapat memberikan kesempatan untuk memaksimalkan kemampuannya.
Praktik mandiri keperawatan akan memaksimalkan perawat untuk
mengeksplorasi kemapuannya.
g. Hubungan Faktor Kelompok Kerja dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 205 responden yang
memiliki faktor kelompok kerja baik terdapat 158 responden (77.1%)

65
Universitas Esa Unggul

memiliki motivasi tinggi dan 47 responden (22.9%) memiliki motivasi rendah.


Sedangkan responden yang memiliki kelompok kerja kurang dari 112
responden terdapat 49 responden (43.7%) memiliki motivasi tinggi dan 63
responden (56.3%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.001 (p-value < 0.05)
yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor kelompok kerja
dengan motivasi.
Banyak faktor memengaruhi motivasi seseorang. Salah satu yang perlu
dicermati adalah kelompok kerja. Pada praktik mandiri keperawatan, perawat
dapat membentuk kelompok untuk melaksanakan praktik mandiri. Melalui
praktik berkelompok, perawat dapat bekerjasama memberikan pelayanan
keperawatan secara holistik kepada klien berdasarkan pada standar praktik
yang berlaku. Kelompok kerja mempunyai peran yang penting dalam
pencapaian tujuan. Hal ini disebabkan karena adanya kelompok kerja yang
menyenangkan membuat perawat akan melakukan praktik mandiri lebih
bergairah dan bersemangat. Kelompok kerja yang baik, nyaman, ramah akan
mempengaruhi perawat dalam melakukan praktik mandiri. Kelompok kerja
merupakan bagian dari aspek psikologis pekerjaan yang harus didukung oleh
suasana yang kondusif. Situasi yang nyaman dengan rekan-rekan sejawat
merupakan syarat wajib untuk terus membina hubungan yang baik dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kualitas asuhan yang diberikan pada pasien.
h. Hubungan Faktor Kondisi Kerja dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 181 responden yang
memiliki faktor kondisi kerja baik terdapat 144 responden (79.6%) memiliki
motivasi tinggi dan 37 responden (20.4%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki kondisi kerja kurang dari 136 responden
terdapat 56 responden (41.2%) memiliki motivasi tinggi dan 80 responden
(58.8%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.035 (p-value < 0.05)
yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor kondisi kerja
dengan motivasi. Penelitian lain mengemukakan hubungan yang bermakna
antara persepsi tentang iklim kerja dengan motivasi kerja perawat (p < 0,001)
(Yayah & Hariyati, 2015). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Cahyani,
Wahyuni, & Kurniawan (2016) yang menyatakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap motivasi seseorang yaitu kondisi kerja.
Kondisi kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan
motivasi kerja. Pada praktik mandiri keperawatan, perawat dapat menciptakan
dan modifikasi kondisi kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Kondisi kerja
mempunyai pengaruh langsung terhadap perawat dalam melaksanakan praktik
mandiri. Kondisi kerja yang sesuai dengan kebutuhan akan meningkatkan
kinerja. Suatu kondisi kerja dikatakan baik apabila dapat melaksanakan
kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Oleh karena itu penentuan

66
Universitas Esa Unggul

dan penciptaan kondisi kerja yang baik akan sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan. Sebaliknya apabila kondisi kerja yang tidak baik akan
dapat menurunkan motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat
menurunkan produktivitas.
i. Hubungan Faktor Hubungan Interpersonal dengan Motivasi
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 185 responden yang
memiliki faktor hubungan interpersonal baik terdapat 138 responden (74.6%)
memiliki motivasi tinggi dan 47 responden (25.4%) memiliki motivasi rendah.
Sedangkan responden yang memiliki kondisi kerja kurang dari 132 responden
terdapat 60 responden (45.5%) memiliki motivasi tinggi dan 72 responden
(54.5%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan chi-square menunjukkan hasil pvalue = 0.001 (p-value < 0.05)
yang berarti bahwa ada hubungan signifikan antara faktor kondisi kerja
dengan motivasi. Penelitian lain menunjukkan ada pengaruh signifikan antara
hubungan interpersonal terhadap motivasi kerja (p < 0,05) (Abdullah, 2014).
Aswat (2010) dan Zahara, Sitorus, & Sabri (2011) menyatakan bahwa salah
satu faktor yang memengaruhi motivasi seseorang adalah hubungan
interpersonal.
Relasi interpersonal mencerminkan keinginan untuk memiliki hubungan
yang ramah dan akrab dengan orang lain dalam lingkungan organisasi.
Seseorang yang tinggi dalam dimensi relasi interpersonal cenderung
menyediakan waktu yang cukup untuk mencari interaksi dengan orang lain.
Kebutuhan akan relasi interpersonal yang kuat akan melalakukan aktivitas tim
di mana interdependensi dan kerjasama dengan orang lain adalah yang
terpenting. Tingkat afiliasi yang tinggi memotivasi seseorang untuk bersimpati
dan mengakomodasi kebutuhan lainnya (Smith et al., 2012). Relasi ini akan
memunculkan semangat pada perawat yang hendak melaksanakan praktik
mandiri. Perawat dapat meminta informasi dan bertukar pendapat (sharing)
dengan rekan sejawat lainnya tentang segala aspek yang diperlukan pada
praktik mandiri. Rekan kerja merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
motivasi kerja seseorang (Atefi, Abdullah, & Wong, 2014), khususnya ketika
perawat ingin membuka praktik mandiri.
5.2 Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian yang mengambil tema tentang motivasi melaksanakan praktik
mandiri keperawatan masih sangat terbatas. Studi literatur mengungkapkan
banyak faktor yang memengaruhi motivasi seseorang, secara garis besar faktor
motivasi dibagi kedalam dua kategori yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor pekerjaan yang memengaruhi motivasi meliputi imbalan berupa gaji,
pengakuan dari lingkungan kerja, kebijakan administrasi, hubungan dengan rekan
kerja, jaminan pekerjaan, dan karaktersitik serta kondisi pekerjaan itu sendiri (al
Maqbali, 2015; Sulistyarini, 2015). Penelitian lain menambahkan bahwa faktor
kepemimpinan, pengembangan karir, dan pengembangan organisasi memiliki

67
Universitas Esa Unggul

korelasi kuat secara parsial dan simultan terhadap motivasi seseorang (p < 0,05)
(Djestawan, 2012)
Penelitian kualitatif yang dilakukan Taukhit (2015) tentang pengalaman
perawat dalam membuka praktik mandiri keperawatan menyimpulkan bahwa
motivasi perawat yang utama mendirikan praktik mandiri adalah untuk menambah
pendapatan finansial. Penelitian lain menyebutkan bahwa praktik mandiri
keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan belum dilaksanakan secara
optimal (Ruswadi & Kusnanto, 2010). Lebih lanjut penelitian ini memberikan
alasan kurangnya pengawasan baik yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
setempat maupun Organisasi Profesi. Purnama, Hamidah & Syamsu (2014)
menyebutkan bahwa tenaga kesehatan (perawat) diberi kewenangan untuk
membuka praktik mandiri di luar fasilitas pelayanan kesehatan dengan metode
yang sama seperti praktik dokter. Padahal belum ada Kebijakan khusus yang
mengatur tentang tindak praktik mandiri perawat dan praktik tersebut nyata tetap
berjalan di seputaran daerah tersebut.
Penelitian yang dilakukan Mustain (2007) tentang peran organisasi profesi
dalam pengawasan praktik mandirj keperawatan menyimpulkan bahwa masih
lemahnya peran PPNI dalam pengaturan praktik mandiri perawat. Mustain (2007)
merinci faktor masih lemahnya peran organisasi profesi yaitu ditinjau dari
Organisasi Profesi (PPNI), lemahnya perjuanganprofesi dalam sisi birokrasi
pemerintah, hal ini dapat dilihat belum adanya undangundang yang mengatur
tentang realisasi model praktik mandiri keperawatan. Ditinjau dari anggota, masih
rendahnya kesadaran dari anggota profesi perawat, tentang kesadaran hukum
untuk melakukan praktik mandiri keperawatan, hal tampak dengan bentuk praktik
yang dilakukan saat ini adalah praktik sebagai dokter. Perawat belum mau dan
mampu untuk melakukan praktik mandiri keperawatan. Ditinjau dari Masyarakat,
masih mengganggap perawat adalah mampu bertindak sebagai dokter, tempat
mereka meminta pertolongan, dan tidak harus jauh-jauh ketempat praktik dokter.
Mereka beranggapan perawat lebih murah, mudah, hubungan masyarakat lebih
dekat, tidak ada jam praktik/sewaktu-waktu bisa melayani, dan sembuh. Dintinjau
dari Pemerintah, belum ada aturan hukum, yang mengatur tentang praktik mandiri
keperawatan, bentuk dan modelnya, secara mandiri dan berkelompok.

68
Universitas Esa Unggul

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa


1. Gambaran karakteristik responden yaitu mayoritas responden berumur antara
26-35 tahun (32,2%), berjenis kelamin perempuan (67.5%), lama kerja 2-5
tahun (76.7%), dan status pekerjaan sebagai tenaga kontrak (86.4%).
2. Gambaran faktor motivasi dibagi menjadi dua kategori yaitu motivasi intrinsik
dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik terdiri dari lima subvariabel yaitu harga diri
baik sebanyak 233 responden (73.5%), prestasi baik 249 (78.5%), kepuasan
baik 179 (56.5%), kebutuhan baik 220 (69.4%), dan harapan dipersepsikan
baik sebanyak 193 (60.9%). Pada Motivasi ekstrinsik dibagi menjadi empat
subvariabel yaitu jenis dan sifat pekerjaan dipersepsikan baik sebanyak 177
(55.8%), kelompok kerja baik 219 (69.1%), kondisi pekerjaan baik 205
(64.7%), dan hubungan interpersonal baik sebanyak 228 (71.9%)
3. Gambaran motivasi perawat melaksanakan praktik mandiri keperawatan di
Jakarta Barat, 216 responden (68.1%) memiliki motivasi yang tinggi,
sedangkan sisanya sebanyak 91 responden (28.7%) motivasi rendah.
4. Terdapat hubungan signifikan antara faktor motivasi intrinsik (harga diri
prestasi, kebutuhan, dan harapan) dan motivasi ekstrinsik (jenis dan sifat
pekerjaan, kelompok kerja, kondisi pekerjaan, dan hubungan interpersonal)
dengan motivasi perawat melaksanakan praktikm mandiri dengan nilai pvalue
< 0.05.
5. Tidak terdapat hubungan antara faktor kepuasan dengan motivasi, dengan nilai
pvalue 0.11.

6.2 Saran
1. Organisasi Profesi
Perlu adanya dukungan dari organisasi profesi terhadap pelaksanaan praktik
mandiri keperawatan sebagai upaya menjaga dan meningkatkan motivasi
perawat.
2. Pemerhati dan Praktisi Keperawatan
Memberikan tulisan dan referensi sebagai sumber
3. Penelitian Berikut
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengembangkan penelitian selanjutnya terkait praktik mandiri keperawatan
dan kaitannya dengan motivasi dengan menggunakan metode pendekatan
yang berbeda.

69
Universitas Esa Unggul

DAFTAR REFERENSI

Almalki, S. (2016). Integrating Quantitative and Qualitative Data in Mixed


Methods Research — Challenges and Benefits. Journal of Education and
Learning, 5(3), 288–296.
American Nurses Asociation. (2012). Principles for Nurse Staffing. Second
edition. Silver Spring, Maryland.
Arikunto, S. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta:Rineka Cipta.
Arni, Hasriyanti & Suarnianti. (2014). Hubungan Motivasi Perawat Dengan
Penerapan Model Praktik Keperawatan Profesional Di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Grestelina. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis. Vol. 4 No.6.
Asmuji. (2013). Manajemen Keperawatan Cetakan ke II. Ar-Ruzz Media.
Yogjakarta
Azwar, Saifuddin. (2013). Metode Penelitian . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cahyani, I. D., Wahyuni, I., & Kurniawan, B. (2016). Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Motivasi Kerja pada Perawat Rumah Sakit Jiwa. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 4(2), 76–85.
Canadian Nurses Assosiation. (2015). Nurse One, the Canadian Nurses Portal
Ottawa.
Chow, S.-C., Shao, J., Wang, H., & Lokhnygina, Y. (2017). Sample Size
Calculation in Clinical Research (Third Edit). Boca Raton: CRC Press Taylor
& Francis Group.
College of Nurse of Ontario. (2014). Entry to Practice Competencies for
Registered Nurses.ISBN 978-1-77116-116-9. Toronto: Author.
Dill, J., Erickson, R. J., & Diefendorff, J. M. (2016).Motivation in caring labor :
Implications for the well-being and employment outcomes of nurses. Social
Science & Medicine, 167, 99–106.
Fikri, Khairin. (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan PerawatTentang Praktik
Mandiri Dengan MotivasiPerawat Melaksanakan Praktik keperawatan
mandiri di Kota Bontang 2015.
Greaney, A., Sheehy, A., Heffernan, C., Murphy, J., Mhaolrúnaigh, N., Heffernan,
E., & Brown, G. (2012). Research ethics application: a guide for the novice
researcher. British Journal of Nursing., 21(1), 38–43.
Indonesian Wound Care Clinician Association. (2017). Wound care management
in Indonesia: issues and challenges in diabetic foot ulceration. Vol.1 Issue 2.
International Council of Nurses.(2012). The ICN Code of Ethics for Nurses
Kawaguchi. (2004). Development of a Telenursing System Forpatients with
Chronic Condition. Journal of Telemedicine and Telecare, 10, 239-244.
Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2016. ISBN 978-602-416-065-4

70
Universitas Esa Unggul

Kozier,B.,&Glenora Erb. (2013). Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Alih


bahasa: Esty Wahyu Ningsih, Devi Yulianti, Yuyun Yuningsih. dan Ana
Lusyana. Jakarta:EGC.
Krickeberg, K., Pham, V. T., & Pham, T. M. H. (2012). Cross-Sectional Studies.
In: Epidemiology. Statistics for Biology and Health. (pp. 143–146). New
York, NY: Springer. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-1205-2
Krisdiyanto, A. (2010). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi dan
Pengaruhnya terhadap Peningkatan Kinerja Karyawan.
Makatiho, J. G., Tilaar, C., & Ratag, B. (2014). Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Motivasi Kerja Perawat di Instalasi Rawat Inap C RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado.
Manurung, Santa. (2011). Keperawatan Profesional. Jakarta: Trans Info Media
Notoatmodjo, S. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan (Ed. Revisi). Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Nursalam. (2014). Manajemen keperawatan: Aplikasi dalam praktek keperawatan
professional. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik
Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.
Padila, Lina, L. F., Febriawati, H., Agustina, B., Yanuarti, R. (2018). Home Visit
Berbasis Sistem Informasi Manajemen Telenursing. Jurnal Keperawatan
Silampari. Volume 2, Nomor 1, Desember 2018. e-ISSN: 2581-1975. p-
ISSN: 2597-7482. DOI: https://doi.org/10.31539/jks.v2i1.14
Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 26 (2019). Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2014). Satndar Praktik Keperawatan
Indonesia. PPNI. Jakarta.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental of Nursing:
FundamentalKeperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta: EGC.
Robbins, P. Stephen & Judge, Timothy A. (2017).Organizational Behaviour,
Edisi 13, Jilid 1, Salemba Empat, Jakarta.
Ruswadi, I.& Kusnanto, H.(2010). Evaluasi Praktik keperawatan mandiri
Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan Di Kabupaten Indramayu.
Sabri, L., & Hastono, S. P. (2014). Statistik Kesehatan (Ed. 1). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Scotia. (2014). Telehealth Nursing. Journal of Telemedicine and Telecare, 10,
239-244.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif,Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Taukhit (2015). Pengalaman Perawat dalam Membuka Praktik keperawatan
mandiri di Kabupaten Badung Provinsi Bali.
Undang-undang RI. Nomor 38 (2014). Tentang Keperawatan

71
Universitas Esa Unggul

Zahara, Y., Sitorus, R., & Sabri, L. (2011). Faktor-faktor Motivasi Kerja:
Supervisi, Penghasilan, dan Hubungan Interpersonal Mempengaruhi Kinerja
Perawat Pelaksana. JKI, 14(2001), 73–82.

72

Anda mungkin juga menyukai