Anda di halaman 1dari 40

BAB III

KERAJAAN SUMENEP PRA ISLAM

A. Sistem Pemerintahan dan Suksesi Pemerintahan


Dalam menelusuri bentuk sistem dan suksesi pemerintahan di Sumenep pada
periode pra-Islam, tahap awal dan satu hal yang perlu dipahami, yaitu
menghubungkan periode yang berlaku secara nasional mengenai periode pra-Islam di
kepulauan Nusantara dengan raja-raja Sumenep yang berkuasa pada periode itu, yang
tercatat pada sumber-sumber sejarah yang ada. Dari sana dapat dilacak pola sistem
dan suksesi pemerintahan pada zaman pra-Islam di kerajaan Sumenep.
Sampai saat ini, pencarian mengenai data kerajaan Sumenep yang sangat tua
sulit dilacak. Bila dihubungkan dengan periode pra-Islam secara nasional, raja-raja
Sumenep yang pernah berkuasa pada periode itu hanya tercatat pada akhir zaman
Kerajaan Singasari dan masa Kerajaan Majapahit, selebihnya sukar ditemukan.
Sultan Abdurrahman (salah satu raja Sumenep yang juga ahli bahasa) pernah
memberikan keterangan sekilas tentang keberadaan raja Sumenep sebelum kedua
periode itu. Keterangan Sultan Abdurrahman yang tercatat pada buku Reis Over Java
en Balim in het midden van 1847 menyatakan bahwa pernah ada raja di daerah dusun
Mandaraga, kecamatan Ambuten, Sumenep yang bernama Pangeran Rato.
Keterangan Sultan Abdurrahman itu sejatinya perlu kajian lanjutan. Bila benar, maka
kerajaan Sumenep adalah salah satu kerajaan tua di kepulauan Nusantara yang dapat
bertahan hingga masa kolonial.
Raja Sumenep tertua yang pernah dicatat secara jelas dalam sumber sejarah,
yaitu kitab Pararaton, adalah Banyak Wide atau Aria Wiraraja. Ia diangkat sebagai
raja di Sumenep oleh Prabu Kertanegara yang pada saat itu menjadi penguasa
Kerajaan Singasari. Sebelum Aria Wiraraja, pulau Madura hanya diperintah oleh
seorang yang berpangkat Akuwu yang namanya tak pernah tercatat dalam sejarah.1 Di
kitab Pararaton, secara hirarki Sumenep memang jelas merupakan wilayah bagian
dari Kerajaan Singasari. Kidung Harsa Wijaya menyatakan bahwa Aria Wiraraja
memiliki pangkat Demung. Sedangkan Kidung Wijayakrama tidak menyebutkan
dengan pasti apa jabatannya. Yang jelas, pada kitab Pararaton, Aria Wiraraja
disebutkan sebagai bawahan dari Prabu Kertanegara.2
Secara kekuasaan, hubungan seperti ini merupakan suatu bentuk
pemerintahan patrimonial, yang berarti ada struktur pendelegasian kekuasaan
berdasarkan pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, meskipun penguasa di Sumenep
tunduk kepada maharaja yang bertahta di Jawa, para penguasanya masih memiliki
otonomi yang luas. Di daerah masing-masing, setiap penguasa mempunyai wibawa
sebagai raja penuh, karena itu mereka dapat menentukan dan memungut upeti sampai
membebaskan suatu desa dari kewajiban membayar pajak. Karakteristik sistem
pemerintahan kerajaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh sistem kasta pada agama
Hindu-Budha, khususnya pola makrokosmos dan mikrokosmos.

1
Iskandar Zulkarnain, dkk., Sejarah Sumenep, Sumenep: Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan
Olah Raga, 2012, hal. 38.
2
Ibid., hal. 40.
Untuk pendelegasian Aria Wiraraja sebagai penguasa di Sumenep tertulis
dalam kitab Pararaton:
“Hana ta wongira, babatangira buyuting nangka, aran Banyak Wide,
sinungan Pasenggahan Aria Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinobake, kinon
Adhipati ring Songennep, anger ing Madura wetan”.3
Penugasan Aria Wiraraja tersebut merupakan ambisi Prabu Kertanegara untuk
memperluas wilayah kekuasaannya. Karena Aria Wiraraja adalah orang dekat
penguasa Singasari sebelumnya, yaitu Narasinghamurti, yang disebut dalam kitab
Nagara Krtagama memimpin Singasari bersama Wisnuwardhana, Aria Wiraraja
dianggap suatu ancaman bagi kedudukan Prabu Kertanegara sebagai penguasa
Singasari. Dikuatirkan oleh Kertanegara bila Aria Wiraraja tetap berada di
lingkungan keraton Singasari, suatu saat akan terjadi perebutan kekuasaan, mengingat
suksesi kerajaan Singasari selalu dilakukan dengan pertumpahan darah.
Setelah Singasari runtuh dan Majapahit berdiri—yang dalam proses transisi
politik banyak dipengaruhi dan dibantu oleh Aria Wiraraja— Sumenep bukan lagi
sebagai bagian dari Singasari, namun menjadi kerajaan yang berada di bawah kendali
Majapahit. Perubahan politik kekuasaan ini ditegaskan Nagara Krtagama.
Dikisahkan dalam Kakawin itu, pulau Madura adalah salah satu bagian dari
kekuasaan Majapahit.
Hubungan Sumenep dan Majapahit tampak lebih damai dibandingkan dengan
Singasari. Hal ini wajar karena Aria Wiraraja sebagai raja Sumenep banyak
membantu Prabu Kertajasa Jayawardhana dalam membangun Kerajaan Majapahit,
malah ia diberikan tambahan kekuasaan di daerah Jawa Timur bagian timur oleh
Prabu Kertajasa Jayawardhana, yaitu Blambangan dan Lumajang. Pasca ia diberikan
kekuasaan yang lebih besar, Sumenep diberikan kepada adiknya, Aria Bangah yang
selanjutnya memiliki keraton di Banasare. Satu hal yang menjadi unsur khas dalam
pemerintahan Kerajaan Sumenep adalah pasukannya yang terkenal kuat, karena hal
itulah raja Sumenep sering dipinta bantuannya dalam mengirimkan pasukan untuk
perang. Sampai kolonial datang, orang-orang Sumenep bahkan disatukan dalam suatu
organisasi pasukan yang bernama Barisan.
Meskipun peran Aria Wiraraja diperdebatkan, apakah dia pengkhianat atau
bukan, namun penggunaan gelar Aria pada masa Majapahit adalah suatu kehormatan.
Tercatat ada empat raja Sumenep yang menggunakan gelar Aria sebelum Islam
diperkirakan masuk pada masa kepemimpinan Panembahan Joharsari, yaitu Aria
Wiraraja, Aria Bangah, Aria Lembu Suranggana Danurwenda, dan Aria Asrapati.
Dikisahkan dalam Nagara Kratagama, orang yang berhak menyandang gelar Aria
adalah yang perbuatannya benar-benar pantas diteladani.
“Ndan sang ksatriya len bhujangga resi wipra yapwanumarek, ngkane
hobning asoka munggwi hiringing witana mangadeg, dharma dhyaksa kalih lawan

3
Terjemahan, “Adalah seorang hamba, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide,
yang diberi sebutan Aria Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi Adipati
di Sumenep, bertempat tinggal di Madura sebelah timur”.
sangupapatti sapta mandulur, sang tuhwaryya lekas pangaranaryya yuk -/- ti
satirun”.4
Dari sini dapat diambil suatu pendapat bahwa raja-raja Sumenep, khususnya
keempat raja di atas memiliki suatu kedudukan yang cukup tinggi di mata Majapahit.
Setelah Aria Asrapati, raja Sumenep tidak lagi menggunakan gelar Aria, tetapi
Panembahan (Panembahan Joharsari). Penggunaan gelar Panembahan itulah yang
menjadi pertanyaan banyak orang, apa sebab yang mempengaruhi tidak
digunakannya lagi gelar Aria oleh raja Sumenep. Dari tutur cerita yang berkembang,
Panembahan Joharsari diislamkan. Namun, pendapat itu sulit dibenarkan, karena
bukti-bukti yang kurang mencukupi.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit,
Sumenep diharuskan untuk membayar upeti setiap bulan. Kebijakan itu merupakan
bentuk kesetiaan kepada Majapahit. Disebutkan dalam Nagara Krtagama bahwa bila
ada kerajaan bawahannya yang membangkang, semua akan diserbu habis-habisan
oleh angkatan laut Majapahit. Sehingga tidak mustahil raja Sumenep juga mengambil
pajak dari rakyatnya untuk selanjutnya diserahkan kepada raja Majapahit. Raja di
Sumenep juga dalam setiap periode tertentu mendatangi raja Majapahit bersama raja-
raja bawahan Majapahit lainnya untuk berkumpul menghadap. Mereka datang untuk
menyerahkan segala persembahan dari wilayahnya, di Nagara Krtagama diceritakan
bahwa persembahan itu dapat bermacam-macam, seperti ayam, kambing, kerbau,
sapi, anjing, dan pakaian. Tetapi beberapa sumber menyebutkan bahwa dari
pemerintahan Aria Wiraraja di Sumenep sampai pemerintahan Hayam Wuruk di
Majapahit, Sumenep dibebaskan dari pembayaran upeti, baru setelah Majapahit
diperintah Wikramawardhana, Sumenep kembali ditarik untuk menyetor upeti.5
Dalam soal hubungan kekerabatan, De Graaf dan Pigeaud menyebutkan
bahwa terdapat hubungan beberapa keluarga Sumenep dengan bangsawan di istana
Jawa. Para raja berkewajiban menyerahkan upeti-upeti tertentu kepada raja tertinggi
di Jawa dan pada beberapa waktu datang menyatakan kesetiaan mereka, antara lain
memberikan uang pengakuan, melakukan kunjungan kehormatan, dan ikut serta
dalam pesta-pesta di istana.6
Untuk pola suksesi kepemimpinan raja Sumenep, bila merujuk pada silsilah
raja-raja Sumenep, kekuasaan raja diturunkan melalui pola kekeluargaan. Sejak
penunjukkan Aria Wiraraja sebagai raja di Sumenep oleh Prabu Kertanegara,
Sumenep dikuasai oleh keluarga keturunan Aria Wiraraja. Setelah Aria Wiraraja
mendapatkan kekuasaan yang lebih besar, yaitu Jawa Timur bagian timur, kekuasaan
di Sumenep diberikan kepada putranya, Aria Bangah, yang kemudian diberi gelar
Aria Wiraraja II. Lalu, setelah kekuasaan Aria Bangah, kekuasaan berpindah kepada
Aria Lembu Suranggana Danurwenda, putra Aria Bangah. Pada tahun 1311, Aria

4
Lihat Kakawin Desa Warnnana Nagara Krtagama suntingan I Ketut Riana (2009), “Para Ksatria,
Pendeta, bila hendak menghadap, berdiri di bawah pohon Asoka di sisi bangunan terbuka —witana,
pengawas dharma bersama tujuh orang upapatinya, yang berhak menyandang gelar Aria adalah yang
perbuatannya benar-benar pantas diteladani”.
5
Iskandar Zulkarnain, Op.Cit., Hal. 51
6
Huub de Jonge, Madura Empat Zaman Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perdagangan Ekonomi,
dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1989, hal. 46.
Lembu Suranggana Danurwenda diganti oleh anaknya, Aria Asrapati. Setelah Aria
Asrapati, kekuasaan dipegang oleh Panembahan Joharsari, putra dari Aria Asrapati.
Suksesi kepemimpinan di Sumenep pra-Islam berlangsung damai, tanpa pertumpahan
darah, tidak seperti yang dilakukan oleh para raja Singasari.

B. Raja-raja yang berkuasa di Sumenep Pra Islam


Dalam membahas raja-raja Sumenep pra-Islam, ada kiranya memperhatikan
terlebih dahulu periode kedatangan Islam ke dalam keraton Sumenep. Sejumlah
peneliti memperkirakan bahwa Islam masuk ke Sumenep pada masa kepemimpinan
Panembahan Joharsari, sehingga beberapa kalangan, khususnya masyarakat
Sumenep, berpendapat bahwa raja Islam pertama di dalam kerajaan Sumenep adalah
Panembahan Joharsari. Bila begitu, raja-raja Sumenep pra-Islam yang dapat diketahui
hanya empat raja, yaitu Aria Wiraraja, Aria Bangah, Aria Lembu Suranggana
Danurwenda, dan Aria Asrapati. Gelar Panembahan menjadi salah satu faktor
mengenai dasar pendapat ini, karena gelar Panembahan biasanya merupakan gelar
yang diberikan kepada raja-raja Islam. Teori ini sejatinya mengandung kelemahan
karena dua hal, yaitu masalah keturunan dan penguasa utama pada masa
kepemimpinan Panembahan Joharsari (Majapahit).
Secara keturunan, Panembahan Joharsari adalah putra dari Aria Asrapati, raja
Sumenep sebelumnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa Panembahan
Joharsari telah masuk Islam pada saat ia memimpin, namun sulit diterima karena Aria
Asrapati termasuk raja yang dipercaya oleh raja Majapahit (pendapat ini disandarkan
oleh gelar Aria yang digunakannya, gelar Aria adalah gelar yang diberikan raja
Majapahit kepada raja-raja yang benar-benar dapat memberikan teladan).
Pada masa kepemimpinan Panembahan Joharsari (1319 – 1331), Sumenep
masih berada di bawah kekuasaan Majapahit. Pada periode kepemimpinannya, masa-
masa keruntuhan Majapahit juga masih jauh, sehingga sulit dikatakan bahwa
Panembahan Joharsari sudah memeluk agama Islam, mengingat hubungan Sumenep
dan Majapahit cukup erat. Bukan sekadar hubungan personal, tetapi juga hubungan
politik, dikisahkan dalam Nagara Krtagama, bila ada raja-raja bawahannya yang
melanggar keputusan raja Majapahit, seperti pembayaran upeti, kepatuhan terhadap
agama Siwa, dan penghormatan kepada raja Majapahit dengan berbagai
persembahan, maka raja bawahan yang melanggar akan diserang habis-habisan oleh
raja Majapahit. Dengan demikian, sulit disimpulkan bahwa Panembahan Joharsari
adalah masa raja Islam pertama di Sumenep.
Pendapat kedua mengenai raja Islam pertama di Sumenep adalah Panembahan
Mandharaka. Bila dilihat dari bentuk makam, makam Panembahan Mandharaka
memang berkumpul dengan makam-makam Islam. Dari garis keluarga, Panembahan
Mandharaka merupakan keturunan Panembahan Joharsari, yang merupakan cicit dari
Aria Wiraraja. Secara periode, serupa dengan Panembahan Joharsari, masa
kepemimpinan Panembahan Mandharaka (1331 – 1339) juga masih jauh dari masa
keruntuhan Majapahit, sehingga sulit disimpulkan bahwa ia telah masuk Islam,
mengingat Sumenep adalah kerajaan yang setia pada Kerajaan Majapahit. Begitu pula
dengan raja-raja keturunannya, masih sulit disimpulkan bahwa mereka telah masuk
Islam. Menurut Huub de Jonge, sampai masa keruntuhan Majapahit, Sumenep adalah
kerajaan yang setia dengan Majapahit.
Baru pada masa kepemimpinan Jokotole (1415 – 1460), hubungan dengan
ulama Islam diceritakan jelas pada Babad Sumenep. Hubungan itu tercipta dari
perkawinan antara putri Jokotole dengan Sunan Padusan, putra dari Usman Haji dan
Nyai Geddemaloko. Nyai Geddemaloko merupakan putri dari Sunan Ampel. Bila
dilihat dari keterangan pada sumber itu, dapat dipertimbangkan bahwa terjadi
perubahan corak di dalam kerajaan Sumenep. Meski belum jelas secara politik,
hubungan melalui perkawinan itu menunjukkan bahwa terjadi persentuhan antara
Islam dengan keluarga kerajaan Sumenep. Akan tetapi, pendapat bahwa Sumenep
pada masa selanjutnya telah dikuasai oleh raja-raja beragama Islam juga belum dapat
disimpulkan, karena keterangan jelas seperti keterangan yang menyatakan hubungan
antara Jokotole dan Sunan Padusan di Babad Sumenep sukar ditemukan.
Yang pasti, pada masa kepemimpinan Tumenggung Kanduruwan, Sumenep
telah dikuasai oleh raja beragama Islam. Pendapat ini sangat kuat karena
Tumenggung Kanduruwan adalah salah satu bagian dari keluarga Kesultanan Demak
(putra Raden Fatah). Secara periode, pada masa kepemimpinan Tumenggung
Kanduruwan, Majapahit telah berada di ujung keruntuhannya, sehingga kekuasaan
politiknya melemah. Sumenep yang menjadi wilayah bawahan Majapahit sejak
berdirinya, sangat mudah lepas dari kekuasaan sentralistik Majapahit. Apalagi pada
masa itu, Kesultanan Demak sebagai kerajaan bercorak Islam tampil dengan kekuatan
politik yang kuat.
Dengan demikian, jarak masa yang paling aman untuk menyebutkan raja-raja
Sumenep pra-Islam adalah berawal dari masa kekuasaan Aria Wiraraja yang secara
kepemimpinan ditunjuk oleh Prabu Kertanegara sampai pada masa kepemimpinan
raja Sumenep sebelum Tumenggung Kanduruwan atau masa kekuasaan Raden Aria
Wanabaya, yang biasa disebut juga dengan Secodiningrat V. Keruntuhan Majapahit
sebagai kerajaan utama di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16 juga menjadi
alasan mengapa jarak masa yang paling aman adalah sampai pada masa sebelum
kepemimpinan Tumenggung Kanduruwan. Di bawah ini berikut raja-raja Sumenep
pra-Islam berdasarkan pendapat tersebut:

Raja-Raja Sumenep Pra Islam

NO NAMA TAHUN
BERKUASA
1. Ario Banjak Wide (Ario Wiraraja) 1269 – 1292
2. Ario Bangah 1292 – 1301
3. Aria Lembu Suranggana Danurwenda 1301 – 1311
4. Aria Asrapati 1311 – 1319
5. Panembahan Joharsari 1319 – 1331
6. Panembahan Mandharaka 1331 – 1339
7. Pangeran Bukabu Notoprojo 1339 – 1348
8. Pangeran Baragung Notoningrat 1348 – 1358
9. Raden Anggung Rawit (Secodiningrat I) 1358 – 1366
10. Tumenggung Gadjah Pramudo (Secodiningrat II) 1366 – 1386
11. Panembahan Blingi (Ario Pulang Jiwa) 1386 – 1399
12. Pangeran Adi Poday (Ario Baribin) 1399 – 1415
13. Pangeran Jokotole (Secodiningrat III) 1415 – 1460
14. Raden Aria Wegonando (Secodiningrat IV) 1460 – 1502
15. Pangeran Siding Puri (R. Aria Wonoboyo alias 1502 – 1559
Secodiningrat V)

C. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sumenep


Menelusuri suatu batas-batas wilayah pada masa yang sangat tua, seperti
batas-batas wilayah Kerajaan Sumenep pra-Islam, adalah suatu pekerjaan yang tidak
mudah. Upaya awal untuk menelusuri batas-batas wilayah itu dapat dimulai dari
tempat keraton suatu kerajaan didirikan. Keraton adalah pusat suatu kerajaan
menjalankan roda pemerintahannya. Di Sumenep, ada suatu pola yang menarik dari
penempatan keraton kerajaan. Hampir setiap pergantian kepemimpinan di kerajaan
Sumenep, penempatan keraton dipindah-pindahkan. Dari sana dapat dilacak wilayah-
wilayah kekuasaan Kerajaan Sumenep. Berikut daftar nama raja dari Aria Wiraraja
sampai Secodiningrat V dengan penempatan keratonnya:

NO NAMA TEMPAT KERATON


1. Ario Banyak Wide (Aria Wiraraja) Batu Putih
2. Ario Bangah Banasare
3. Aria Lembu Suranggana Aengnyeor (Tanjung)
Danurwenda
4. Aria Asrapati Aengnyeor (Tanjung)
5. Panembahan Joharsari Aengnyeor (Tanjung)
6. Panembahan Mandharaka Keles
7. Pangeran Bukabu Notoprojo Bukabu
8. Pangeran Baragung Notoningrat Baragung
9. Raden Anggung Rawit Banasare
(Secoadiningrat I)
10. Temenggung Gadjah Pramudo Banasare
(Pang. Secodiningrat II)
11. Panembahan Blingi (Aria Pulang Blingi
Djiwa)
12. Pangeran Adi Poday (Ario Baribin) Njamplong
13. Pangeran Jokotole (Pang. Banasare (Lapataman)
Secodiningrat III)
14. Raden Aria Wegonando (Pang. Gapura
Secodiningrat IV)
15. Pangeran Siding Puri (R. Aria Parsanga
Wonoboyo alias P. Secodiningrat V)
Sejauh mana kekuasaan kerajaan Sumenep adalah pertanyaan mendasar untuk
menjawab permasalahan pokok pada sub-bab ini. Dalam menjawab pertanyaan ini
tentu tidak mudah, mengingat konsep yang dipakai oleh kerajaan-keraajan di Asia
Tenggara pada abad kurun niaga (bahasa yang digunakan Anthony Reid) bukanlah
konsep Barat yang mengenal batas-batas fisik. Heine-Geldern, dalam artikelnya yang
berjudul “Conception of State and Kingship in Southeast Asia”, menyatakan bahwa
pada masa tradisional, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara tidak dapat dipahami
secara mutlak mengenai batasan-batasan wilayahnya.7 Konsep yang digunakan oleh
kerajaan-kerajaan pada masa itu adalah konsep Mandala.8 Artinya, kekuasaan suatu
kerajaan ditentukan oleh wibawa seorang raja dan upeti yang diberikan kepadanya.
Kedua hal ini sejatinya perlu diperhatikan dalam membahas batas-batas wilayah suatu
kerajaan pada masa kurun niaga. Namun, dalam kajian mengenai batas-batas wilayah
Sumenep, yang merujuk pada dua hal itu, sampai sekarang masih sulit ditentukan.
Untuk itu, sebelum membahas lebih lanjut, agar lebih mudah memahami hal
ini, perlu kiranya pemahaman mengenai Madura Barat dan Madura Timur. Meskipun
tampak memaksa menentukan batas wilayah dengan suatu pembatasan fisik, namun
setiap kali nama Madura disinggung dalam sastra Jawa, hampir selalu yang dimaksud
adalah Madura Barat. Madura Timur disebut Sumenep. Dalam idiom-idiom bahasa di
Madura Barat dan Madura Timur sampai abad ke-20 masih dapat dilihat adanya
perbedaan.9
Bila yang dimaksud Madura Timur adalah wilayah kekuasaan Kerajaan
Sumenep, kiranya perlu ada perbandingan dengan sejarah kerajaan di Pamekasan.
Dengan perbandingan ini, apa yang dimaksud dengan Madura Timur dapat menjadi
lebih jelas, karena Pamekasan seringkali disebut juga sebagai bagian dari wilayah
Madura Timur. Kemunculan sejarah pemerintahan lokal di Pamekasan yang sangat
tua lebih sulit ditemukan, karena bukti-bukti tertulis yang bercerita tentang adanya
suatu kerajaan di Pamekasan baru diperkirakan muncul pada abad ke-15. Nama yang
sering disebut adalah Aria Menak Senoyo. Sementara sebelum abad ke-15, tidak ada
cerita yang mengisahkan bahwa ada suatu kerajaan yang berpusat di wilayah
Pamekasan.
Bila disandingkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu (abad ke-15),
kekuasaan Majapahit mulai goyah. Jika memang benar bahwa kekuasaan lokal mulai
muncul di Pamekasan pada abad ke-15, maka tidak menutup kemungkinan bahwa hal
itu terjadi karena faktor kemunduran Majapahit. Daerah-daerah pesisir di wilayah
kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri.10 Untuk itu

7
Kobkua Suwannathat, Asia Tenggara Hubungan Tradisional Serantau, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2003, hal. 31-32.
8
Mandala berarti bulatan. Dalam konsep kekuasaan, Mandala diartikan sebagai bulatan raja-raja.
Konsep ini diambil dari konsep politik-kosmologi Hindu-Budha. Raja-raja kecil terikat oleh raja besar.
Kedudukan raja sebagai unsur penting dalam suatu kekuasaan.
9
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Mataram Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal. 189.
10
Samsul Ma’arif, The History of Madura Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonialisme
Sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: Araska, hal. 63.
sangat terbuka bahwa wilayah Pamekasan juga merupakan wilayah kekuasaan
Kerajaan Sumenep.
Akan tetapi, apakah wilayah kepulauan Sumenep (secara administratif
sekarang) juga termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Sumenep? Ada yang menarik
mengenai kekuasaan di Pulau Kangean. Pulau Kangean sudah dikenal pada masa
Majapahit, Nagara Kratagama mengisahkan Pulau Kangean seperti di bawah ini:
“Kunang tekang nusa Madhura Tanami lwir parapuri ir denjan tunggal
mwang Yamadharani rakwekana dengu… Ingkang sakasanusa Makasar Butun
Bangawi Kuni Ggaliyao mwang i (ing) Salaya Sumba Solot muar”
Kata Ggaliyo diterjemahkan sebagai Pulau Kangean. Prapanca membagi
tumpah darah Nusantara dalam daerah yang delapan. Yang disebut daerah satu adalah
Jawa, Madura, dan Ggaliyao (Kangean). Di tiap delapan wilayah itu ditempatkan
perwakilan sebagai raja, sehingga diperkirakan ada pula raja di Pulau Kangean.
Sedangkan di Sumenep dikuasai oleh keturunan Aria Wiraraja.11
Sejatinya batas-batas kekuasaan di Madura sukar diketahui secara pasti. Baru
tampak sangat jelas batas-batas wilayah itu setelah tahun 1885, saat Belanda
membagi Madura menjadi empat afdeeling dan empat kabupaten. Afdeeling dikepalai
oleh asisten residen dan kabupaten dikepalai oleh bupati. Afdeeling-afdeeling dan
kabupaten-kabupaten itu adalah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Bila ditelaah dari penempatan keraton para raja di atas, lalu membandingkan
dengan sejarah pemerintahan lokal di Pamekasan serta pendapat yang menyatakan
bahwa ada pemerintahan di Pulau Kangean, maka batas-batas wilayah kekuasaan
Sumenep dapat diprediksi meliputi wilayah Sumenep yang sekarang, juga sampai
wilayah Pamekasan, namun minus Pulau Kangean. Tidak menutup kemungkinan pula
wilayah kekuasaan Kerajaan Sumenep tidak sampai sejauh itu, karena kalau melihat
penempatan wilayah keraton Kerajaan Sumenep selalu berada di wilayah Sumenep
(sekarang), tidak pernah ditempatkan di wilayah Pamekasan atau bahkan di dekatnya.
Tapi tidak mustahil pula bahwa kekuasaan Kerajaan Sumenep melebihi wilayah yang
diperkirakan tadi, mengingat sulit ditemukan sumber-sumber yang mengisahkan
adanya kerajaan di Pulau Madura selain di Sumenep pada masa-masa Kerajaan
Majapahit atau sebelumnya, meskipun di Sampang diperkirakan terdapat suatu
komunitas Budha pada abas ke-7, akan tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa ada
suatu kerajaan yang berdiri di sana pada masa itu.

D. Peperangan Yang Terjadi pada Periode ini


Pada masa-masa sebelum kedatangan kolonial ke tanah Sumenep, sulit
ditemukan sumber yang menyatakan bahwa ada suatu peperangan antara Kerajaan
Sumenep dengan kerajaan di luar Sumenep. Yang tercatat secara jelas adalah
gambaran mengenai perlawanan Aria Wiraraja kepada Singasari, yang pada saat itu
dipimpin oleh Prabu Kertangera, yang akhirnya membantu berdirinya kerajaan
Majapahit.

11
Sahwanoedin Djojoprajitno, Kangean Dari Zaman Wilwatikta Sampai Republik Indonesia 1350-
1950, Pamekasan: Buletin KNM, hal. 6.
Perlawanan itu berawal dari rasa balas dendam Jayakatwang karena kerajaan
kakek moyangnya, Prabu Kertajaya, di Kediri diporakporandakan oleh kakek moyang
Kertanegara. Melihat rasa balas dendam itu, Aria Wiraraja yang pada saat itu
dijauhkan oleh Prabu Kertanegara ke Sumenep dari pusat Kerajaan Singasari menulis
surat agar Jayakatwang membuat perhitungan dengan Prabu Kertanegara. Surat itu
berisikan:
“Patik memberitahukan ke hadapan Sang Prabu Paduka-Nata yang sedang
berburu, hendaklah waspada memilih saat dan waktu yang setepat-tepatnya.
Pergunakanlah saat yang paling baik dan tepat. Tegal sedang tandus, tidak ada
rumput, tidak ada alang-alang, daun-daun segar sedang gugur berhamburan di
tanah. Bukitnya kecil-kecil jurangnya tidak berbahaya, hanya didiami harimau yang
sama sekali tidak menakutkan. Tidak ada kerbau, sapi, dan rusa yang bertanduk. Jika
sedang menyenggut, baiklah mereka itu diburu, pasti tidak berdaya. Satu-satunya
harimau yang tinggal adalah harimau guguh. Sudah tua renta, yakni Mpu
Raganata”. (tertulis dalam kidung Panji Wijayakrama).12
Jayaktwang pun menghimpun kekuatan dan strategi untuk menaklukan Prabu
Kertanegara. Peperangan pun terjadi, hingga akhirnya Prabu Kertanegara tewas dan
Jayakatwang menguasai wilayah yang dikuasai oleh Jayakatwang. Pada saat terdesak
itu, menantu Prabu Kertanegara, Raden Wijaya pergi ke Sumenep menemui Aria
Wiraraja. Aria Wiraraja memang sudah dikenal sebagai ahli strategi perang yang
baik. Di Sumenep terjadilah suatu persengkokolan untuk bersama menjatuhi
Jayakatwang. Mereka sepakat akan membagi dua kekuasannya bila berhasil
menaklukan Jayakatwang. Di sinilah Aria Wiraraja mengerahkan orang-orang
Madura untuk turut ikut berperang melawan Jayakatwang.
Akan tetapi, sebelum perlawanan itu dimulai, Aria Wiraraja menyarankan
agar Raden Wijaya berpura-pura meminta maaf kepada Jayakatwang dan mengabdi
kepada kerajaannya. Sampai suatu waktu Jayakatwang mempercayai Raden Wijaya,
Aria Wiraraja menyuruh Raden Wijaya untuk meminta tanah hutan di desa Tarik agar
nantinya dibabat oleh orang-orang Madura dan dijadikan suatu wilayah tinggal.
Daerah Tarik pun menjadi semakin ramai oleh penduduk, sehingga Raden Wijaya
mengambil banyak hati masyarakatnya. Hal ini dilaporkan kepada Aria Wiraraja di
Sumenep.
Aria Wiraraja kembali menyarankan agar menyerang Jayakatwang saat
kedatangan tentara Khu Bilai Khan, karena suatu saat Jayakatwang pernah menolak
dan mempermalukan utusan Khu Bilai Khan atas permintaan kekuasaan Jayakatwang
tunduk kepada kekuasaan Khu Bilai Khan. Dalam menyiapkan peperangan Raden
Wijaya membagi pasukan sesuai arah mata angin. Untuk Aria Wiraraja dan
pasukannya disiapkan menyerang melalui utara. Sedangkan Raden Wijaya dari arah
sebaliknya. Saat persiapan matang, tentara Khu Bilai Khan datang menyerang
Jayakatwang, di sinilah Aria Wiraraja juga memainkan perang dalam menghasut
sebagian tentara Khu Bilai Khan. Maka, terjadi pertarungan sengit antara
Jayakatwang dengan pasukan Cina dan pasukan Raden Wijaya dan Aria Wiraraja.
Jayakatwang pun terdesak dan akhirnya terbunuh. Pada saat yang hampir bersamaan,

12
Iskandar Zulkarnain, Op.Cit., hal. 44.
pasukan Raden Wijaya dan Aria Wiraraja menyerbu pasukan Cina yang sedang asik
berpesta merayakan kemenangannya. Setelah perang usai Raden Wijaya menjadi raja
Majapahit. Dengan demikian, Aria Wiraraja dan pasukannya memainkan peran yang
sangat penting atas berdirinya Majapahit, sehingga dalam sastra Jawa nama Aria
Wiraraja selalu muncul dalam proses pembentukan Majapahit. Aria Wiraraja pun
mendapatkan kekuasaan yang lebih luas, yaitu Blambangan dan Lumajang.
Kekuasaan di Sumenep diserahkan kepada adiknya, Aria Bangah.
Setelah Aria Wiraraja tidak ada lagi sumber yang menceritakan suatu perang
besar yang melibatkan orang-orang Sumenep sebagai aktor utamanya. Meskipun
begitu di dalam kisah Majapahit ada beberapa perang yang cukup besar, seperti
perang Bubat dan perang Paregreg yang merupakan perang antara wilayah Barat dan
Timur. Meskipun tidak secara jelas apakah orang-orang Sumenep dilibatkan dalam
kedua perang tersebut, tapi sebagai pasukan yang sukses membantu pendirian
Majapahit, tentu pasukan di Sumenep dapat diperhitungkan, apalagi mengingat
orang-orang Sumenep dan Madura pada umumnya merupakan tenaga ahli dalam
pasukan perang, begitu pula sampai hadirnya kolonial ke kepulauan Nusantara. Yang
jelas, hubungan Sumenep dan Majapahit terjalin dengan baik.
Bahkan dikisahkan dalam Babad Sumenep, Jokotole banyak membantu dalam
pembangunan gerbang Majapahit, sehingga membuat iri Patih Gadjah Mada. Pada
masa Jokotole pula, dikisahkan ada terjadi perang besar antara Jokotole dan Dempo
Dawang. Di dalam Babad Sumenep kisah itu banyak tercampur dengan mitos.
Dikisahkan Dempo Dawang adalah raja Bernama, ia ditakuti oleh rakyatnya. Sampai
Dempo Dawang dewasa, raja Bernama menyuruh ia menikah. Tapi, Dempo Dawang
malah meminta izin kepada ayahnya untuk merenggut keperawanan gadis-gadis tanpa
harus menidurinya. Permintaan itu pun diizinkan, karena Dempo Dawang adalah
anak kesayangannya. Dempo Dawang pun banyak mengunjungi berbagai kerajaan
dan juga sekaligus mengambil seluruh keperawanan gadis-gadis tanpa menidurinya,
yang dikisahkan dalam Babad Sumenep dengan menaiki perahu yang dapat berlayar
di udara. Sampai suatu saat, ia mendatangi Majapahit dan menyuruh utusannya untuk
mengirim surat kepada Jokotole di Sumenep.
Setelah membaca surat itu, Jokotole marah dan mengajak perang Dempo
Dawang tanpa melibatkan pasukan. Tantangan itu pun diterimanya, sehingga mereka
berdua perang di udara. Dempo Dawang dengan perahunya dan Jokotole dengan kuda
Megaremmeng, kuda terbangnya. Saat mereka perang di udara, Jokotole dibantu
dengan kedatangan Adi Rasa dan Adi Poday yang tidak memperlihatkan fisiknya.
Dempo Dawang pun kalah karena perahunya berhasil dihancurkan Jokotole, sehingga
Dempo Dawang jatuh ke lautan. Berita kekalahan itu disambut dengan gembira oleh
raja-raja yang telah mendengar kesaktian Dempo Dawang yang mengerikan. Meski
kisah itu bercampur dengan mistis, namun dapat memberikan gambaran bahwa
meskipun tidak ada sumber yang jelas menceritakan peperangan yang melibatkan raja
Sumenep setelah Aria Wiraraja, raja Sumenep, yang dalam kisah ini Jokotole, pernah
berperang dengan raja dari kerajaan lain. Untuk itu, dari cerita ini dapat diambil suatu
pendapat bahwa sangat terbuka ada suatu peristiwa perang yang juga melibatkan raja
dan orang-orang Sumenep di dalamnya.
BAB IV
KERAJAAN SUMENEP PERIODE ISLAM

A. Masuknya Islam dalam Keluarga Kerajaan


Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan
perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal
kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Banyak pengamat
sejarah berpendapat bahwa migrasi muslim dalam jumlah besar, termasuk ke
Nusantara, terjadi di antara periode abad ke-10 dan akhir abad ke-13. Hal itu
disebabkan oleh dinamika politik yang terjadi di wilayah dunia muslim, seperti
Baghdad dan Persia, pada saat itu. Namun, bukan berarti sebelum kedua periode
tersebut belum terjadi kontak antara penduduk pribumi Nusantara dengan muslim
pendatang. Arnold, Coromandel, dan Malabar yang banyak berbicara mengenai
kedatangan Islam di Indonesia berasumsi bahwa sejak abad ke-7 dan ke-8 sudah
terjadi interaksi antara penduduk pribumi Nusantara dan para pedagang muslim.
Pendapat ini disandarkan pada sumber-sumber Cina yang menyatakan bahwa seorang
Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera.
Orang-orang Arab itu dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal,
sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang
Arab pendatang dan penduduk lokal. Dalam kaitan ini, kitab Ajaib al-Hind salah satu
sumber Timur Tengah berbahasa Persia yang paling awal mengisahkan tentang
Nusantara mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas muslim lokal di wilayah
kerajaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Sayang teks ini tidak memberi informasi
tentang apakah penduduk asli di wilayah itu diislamkan oleh para pedagang Arab
tersebut. Yang jelas, kebiasaan duduk bersila ketika menghadap raja di daerah Zabaj
pada masa itu dihapuskan karena mendapat protes dari pedagang Oman bahwa tradisi
itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.13Agar tidak terjadi anakronistis, beberapa
pendapat ini penting dikemukakan di awal dalam menelusuri masuknya Islam di
Sumenep.
Kondisi geografis pulau Madura kiranya menjadi faktor pendukung yang
mendorong masuknya Islam di wilayah Sumenep. Pulau yang memiliki panjang
kurang lebih 160 km ini dikelilingi oleh laut. Laut sejatinya memiliki aksesbilitas
yang sangat luas, sehingga dapat mengundang banyak orang dari berbagai wilayah
untuk datang. Mengenai masuknya Islam di Sumenep, laut sejatinya memiliki andil
yang cukup penting sebagai jalan dan gerbang awal agama ini masuk ke wilayah
Sumenep. Meski belum ada bukti kuat mengenai hal ini, banyak ahli yang
menyatakan bahwa pulau Sepudi dan pelabuhan Kalianget memiliki peranan yang
cukup penting dalam mendorong masuknya Islam di Sumenep.
Bila meninjau catatan perjalan Suma Oriental karya Tome Pires yang ditulis
pada abad ke-16, Sumenep memang sama sekali tidak diberitakan. Karya yang
menjadi laporan Tome Pires kepada Raja Emanuel di Portugis untuk memberikan

13
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, hal. 19.
peluang ekonomi di wilayah baru itu boleh dikatakan menjadi bukti bahwa wilayah
Sumenep sama sekali tidak menjadi sorotan penting bagi perdagangan internasional.
Sebaliknya, bila merujuk pada legenda Jawa dan Jawa-Madura, keberadaan Sumenep
dapat dikatakan cukup penting.
Masuknya Islam di Madura tidak bisa dilepaskan dari penyebaran Islam di
pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, seperti Gresik dan Surabaya.14 Para alim
ulama —bisa disebut juga sebagai wali—, selain menyebar ke wilayah-wilayah di
pulau Jawa, juga menyebarkan Islam ke pulau Madura. Dengan perlahan kiranya
pengaruh agama Islam menjadi sangat kuat di Madura, termasuk pula di Sumenep.
Bahkan belakangan ini, pada tahun 2006, dinyatakan secara bersama bahwa Madura
adalah Serambi Madinah. Kesepakatan bersama itu menjadi bukti kuat bahwa Islam
telah mengental dalam kehidupan masyarakat di Madura. Hal itu tentu banyak
dipengaruhi oleh sejarah Madura yang cukup panjang dan sangat erat dengan Islam,
termasuk hal yang bersinggungan dengan kerajaan.
Saat mengunjungi Jawa, dalam buku Suma Oriental, Tome Pires menyatakan
bahwa salah satu faktor menguatnya Islam di pulau Jawa disebabkan dengan
banyaknya bangsawan dan penguasa yang masuk Islam, kemudian mereka
memberikan pengaruh Islam kepada masyarakatnya. Lalu yang menjadi pertanyaan,
apakah hal seperti itu juga terjadi di Sumenep? Bila ditinjau dari mata rantai para raja
Sumenep, memang terjadi islamisasi di dalam kerajaan, namun mengenai pengaruh
Islam yang disebarkan oleh raja kepada masyarakatnya masih tampak samar. Yang
jelas, Islam memberikan corak yang cukup berpengaruh kepada raja-raja yang pernah
berkuasa di Sumenep, mulai dari nama yang digunakan, huruf Arab yang digunakan
dalam menulis surat, arsitektur keraton, makam para raja, sampai bukti bangunan
khas Islam, seperti masjid.
Agak sulit memang melacak mengapa pengaruh Islam dapat masuk ke dalam
kalangan istana di Sumenep. Apalagi secara periode, bila dikatakan bahwa Islam
telah masuk ke dalam kerajaan pada abad ke-14, Sumenep masih berada dalam
kekuasaan kerajaan Majapahit yang secara agama bukan bercorak Islam, namun
Hindu-Budha. Disebutkan dalam Kakawin Nagara Krtagama bahwa Madura
merupakan salah satu daerah kekuasaannya:
“Kunang tekang nusa madhura tahani lwing para puri, ri denyan tunggal
mwang yawa dharani rakwekana dangu, samudra nanggung bhumi keta saka
karengo, teweknya -/- ndadyapantara sasiki tatwanya tanadoh”. 15
Beberapa sumber mencatat bahwasanya adipati Sumenep yang pertama masuk
Islam adalah Panembahan Joharsari. Namun, bila merujuk pada silsilah raja-raja di
Sumenep yang disimpan oleh orang-orang Kauman, pendapat itu dapat diragukan.
Pasalnya, Panembahan Joharsari tidak memiliki keturunan langsung dari keluarga
Islam, akan tetapi keturunan dari Banyak Wide (Aria Wiraraja) yang mengikuti

14
Dwi Laily Sukmawati, “Inventarisasi Naskah Lama Madura”, dalam Jurnal Manassa Manuskripta,
Vol. 1, No. 2, 2011, Depok: Universitas Indonesia, hal. 18.
15
Terjemahan, Adapun tentang pulau Madura tidak termasuk negeri asing, karena konon zaman dulu
menjadi satu dengan tanah Jawa, tahun Saka Samudrananggungbhumi —124 (samudera—4,
nanggung—2, bhumi—1 ->202 M), kala itu masanya terpisah tetapi tidak jauh asalnya memang satu.
agama yang dianut oleh kerajaan Majapahit. Malah seperti disebutkan di awal, adipati
yang pertama masuk Islam adalah adipati setelah Panembahan Joharsari, yaitu R.
Piturut Panembahan atau Panembahan Mandharaka. Bila benar raja Islam pertama di
Sumenep adalah Panembahan Joharsari, suksesi kepemimpinan tampak jelas, karena
raja Islam menurunkan tahta kekuasaannya kepada raja Islam. Yang patut menjadi
pertanyaan bila benar bahwa Panembahan Joharsari merupakan raja Islam pertama di
Sumenep adalah bagaimana Panembahan Joharsari diislamkan. Memang tidak
menutup kemungkinan bahwa Panembahan Joharsari telah masuk Islam saat ia
menjabat sebagai adipati Sumenep. Jalur perdagangan laut yang terbuka dilintasi para
pedagang pada saat itu serta mengingat pendapat para ahli sejarah yang menyatakan
terjadi migrasi besar-besaran muslim di Timur Tengah ke Nusantara pada akhir abad
ke-13 membuka alasan akan hal itu.
Setelah Panembahan Mandharaka, secara keturunan, dimulailah masa raja-
raja Islam di Sumenep hingga selanjutnya. Anaknya, Panembahan Noto Projo
(Pangeran Bukabu) —Dalam Babad Sumenep dikisahkan bahwa dari Pangeran
Bukabu lahir banyak kyai dan alim ulama— dan Panembahan Noto Ningrat
(Pangeran Baragung) menjadi penerus kerajaan. Kemudian selalu diteruskan oleh
keturunan keluarga, mulai dari Raden Anggung Rawit yang dijuluki Setjoadiningrat I,
Temenggung Gadjah Pramudo atau Pangeran Setjodiningrat II, Panembahan Blingi
atau Ario Pulang Djiwa, Pangeran Adi Poday atau Ario Baribin, Pangeran Jokotole
atau Pangeran Setjodiningrat III, Raden Ario Wegonando atau Pangeran
Setjodiningrat IV, sampai Pangeran Siding Puri alias R. Ario Wonoboyo atau
Pangeran Setjodiningrat V.
Meskipun di dalam silsilah dapat dikatakan raja-raja di Sumenep telah masuk
Islam setelah Panembahan Joharsari, pendapat ini masih diperdebatkan, karena pada
zaman itu, Madura, termasuk Sumenep, masih merupakan bagian dari kerajaan non-
Islam (Majapahit). Hubungan antara Sumenep dan Majapahit pun cukup erat. De
Graaf dan Pigeaud menggambarkan bahwa di zaman Majapahit, beberapa keluarga
raja Madura mempunyai hubungan keluarga dengan bangsawan istana Jawa. Para raja
di Pulau Madura juga berkewajiban menyerahkan upeti-upeti tertentu, seperti tenaga-
tenaga kerja kepada raja tertinggi di Jawa dan pada waktu tertentu menyatakan
kesetiaan mereka, antara lain dengan memberikan uang pengakuan, melakukan
kunjungan kehormatan, dan ikut serta dalam pesta-pesta di istana.16 Para ahli sejarah
Barat, dalam melihat hal itu mengambil sikap hati-hati. Banyak dari mereka yang
tidak berani mengambil interpretasi bahwa Islam telah masuk Sumenep pada masa-
masa itu. Malah Audrey Kahin menyatakan secara tegas bahwa Islam masuk ke tanah
Madura pada abad ke-16 (sekitar tahun 1528).17
Sementara itu, ada yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Sumenep
melalui seorang pengajar Islam yang bernama Sunan Padusan. Diceritakan bahwa
Islam diajarkan melalui kombinasi dengan budaya yang telah melekat di masyarakat.
Salah satunya adalah bila santri telah dianggap mampu melakukan rukun Islam, maka
ia dimandikan dengan air yang dicampuri dengan bunga-bunga. Melalui pola

16
Huub de Jonge, Op.Cit., hal. 46.
17
Kamus Sejarah
pengajarannya itu, banyak rakyat Sumenep tertarik pada Islam, sehingga membuat
Jokotole, raja Sumenep pada masa itu, masuk Islam. Di dalam Babad Sumenep, putri
Jokotole memang dikisahkan menikah dengan Sunan Padusan. Tempat tinggalnya di
Batuputih Sumenep.18
Setelah Pangeran Setjodiningrat V, Sumenep tidak lagi dipimpin oleh raja dari
keturunan Panembahan Joharsari. Salah satu faktor kuat yang mendorong perubahan
politik di Sumenep itu adalah keruntuhan Majapahit dari awal abad ke-16 yang
akhirnya jatuh pada tahun 1572. Sesudah itu mereka mengakui kekuasaan tertinggi
dari Kesultanan Demak yang telah berhasil keluar sebagai pemenang terkuat dalam
perebutan kekuasaan. Bersamaan dengan itu, penyebaran dan pertumbuhan agama
Islam pun semakin berkembang. Merujuk pada silsilah tadi, adipati Sumenep setelah
Pangeran Setjodiningrat V adalah Temenggung Kanduruan. Temenggung Kanduruan
merupakan keluarga dari Kesultanan Demak, yaitu anak dari Sultan Demak, Raden
Fatah. Dari sanalah lahir para pemimpin Sumenep selanjutnya. Pada periode ini jelas
bahwa kerajaan di Sumenep telah dikuasai oleh raja-raja Islam.
Mengenai perubahan politik ini, ada kisah menarik yang berkembang dalam
tutur Jawa Sedjarah Dalem tentang cerita panjang lebar yang agak kacau tentang raja-
raja Sumenep. Di situ tertera nama-nama Aria Bribin dari Pamekasan, Kuda Panolih
dari Sumenep dan patihnya Banyak Wedi. Dalam cerita itu juga muncul Temenggung
Kanduruwan, yang merupakan anak pertama dari raja Demak dan Ratu Kumambang,
seorang ratu di Japan (sebutan lain untuk Majapahit). Sedikit banyak atas perintah
tuan putrinya, Temenggung Kanduruwan membunuh cucu Banyak Wedi, termasuk
keturunannya yang menjadi raja di Sumenep, sehingga keturunan maupun keluarga
dari Banyak Wedi tidak memiliki keturunan. Raja yang malang ini bernama Ario
Wanabaya, dan sesudah meninggal bernama Pangeran Seda Puri. Setelah keturunan
dan keluarga Banyak Wedi dihabisi, Temenggung Kanduruwan melakukan semacam
kudeta menjadi raja Sumenep selanjutnya. Sampai sejauh mana kebenaran cerita tutur
Jawa itu tidak dapat diteliti lagi. Menurut cerita Sumenep, di kota itu di Kampung
Masegit Barat, dekat masjid, di bagian barat, terdapat tempat tinggal Temenggung
Kanduruwan yang menggantikan Pangeran Seda Puri. Belum ada kepastian apakah
Kanduruwan ini penguasa Islam yang pertama di Sumenep.19
Masih mengenai perubahan haluan politik ini, di Babad Sumenep kiranya
samar dijelaskan bahwa sebelum masa Temenggung Kanduruwan telah terbangun
hubungan keluarga antara penguasa di Sumenep dan keluarga Kesultanan Demak.
Dikisahkan Sunan Padusan yang merupakan putra Usman Haji dan Nyai
Geddemaloko (putri dari Sunan Ampel), memiliki dua orang putri Yang tertua
bernama Nyai Malaka, istri Raden Fatah (Sultan Demak) dan yang bungsu menjadi
istri Pangeran Sedinglanggar. Seperti yang disebutkan di atas bahwa istri Sunan
Padusan adalah putri dari Jokotole. Dari sini dapat ditinjau bahwa terdapat
persinggungan garis silsilah antara raja keturunan Panembahan Joharsari dan raja dari
Kesultanan Demak. Dengan begitu cerita tutur Jawa dalam Sedjarah Dalem yang
mengisahkan bahwa ada hubungan yang tidak harmonis antara keluarga dari

18
Raden Werdisastra, Babad Sumenep, Pasuruan: Garoeda Buana Indah, hal. 123.
19
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, Op.Cit., hal. 196.
Kesultanan Demak dengan raja-raja Sumenep keturunan Panembahan Joharsari patut
diragukan. Akan tetapi, hubungan keluarga yang dibangun oleh Jokotole dengan
Kesultanan Demak melalui Sunan Padusan juga bukan berarti menjadi bukti bahwa
setelah hubungan dua keluarga itu terbangun permasalahan keluarga tidak timbul,
malah tidak mustahil hubungan keluarga itu menjadi awal atas konflik antara
keluarga raja Sumenep keturunan Panembahan Joharsari dengan keluarga Kesultanan
Demak, sehingga Temenggung Kanduruwan dapat menggantikan tahta raja-raja
Sumenep keturunan Panembahan Joharsari.
Bila dilihat dari periode kepemimpinan, Temenggung Kanduruwan menjadi
penguasa Sumenep mulai dari tahun 1559 sampai 1562. Di makamnya tertulis wafat
pada tahun 1504 J atau 1582 masehi, sehingga boleh dikatakan bahwa memang pada
sekitar tahun 1559-1562 tidak mustahil Temenggung Kanduruwan memiliki peran
dan pengaruh di Sumenep. Menurut tradisi Sumenep setempat, Temenggung
Kanduruwan meninggal dalam pertempuran melawan orang Bali, yang raja-rajanya
selalu melindungi Blambangan dan Panarukan yang tetap kafir sampai pada
dasarwasa terakhir abad ke-16.20 Dalam paruh kedua abad ke-16, konon Kerajaan
Sumenep dipandang sebagai pertahanan terdepan oleh kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa Tengah, Demak, dan Pajang, dalam peperangan melawan kerajaan kafir di Bali.
Terlepas dari perdebatan mengenai raja Sumenep yang pertama masuk Islam, raja-
raja setelah kekuasaan Temenggung Kanduruwan dapat dipastikan merupakan raja-
raja yang memeluk agama Islam.

B. Zaman Keemasan Sultan Abdurrahman


Dari raja-raja yang pernah berkuasa di Sumenep, Abdurrahman adalah satu-
satunya raja yang mendapatkan gelar Sultan. Gelar Sultan itu diberikan oleh
pemerintah Inggris melalui wakilnya di Hindia Belanda. Disebutkan beberapa
sumber, pemberian gelar sultan didasari oleh kemampuannya dalam bidang agama,
keilmuan, dan bahasa. Bila dilihat dari periode kepemimpinannya, 1811-1854, Sultan
Abdurrahman menjadi raja Sumenep atas dua masa penjajahan kolonial, yakni
Inggris (1811-1816) dan Belanda.
Sultan Abdurrahman adalah putra kedua (8 bersaudara) dari raja Sumenep
sebelumnya, Raden Ario Atmajanegara atau Tumenggung Aria Natakusuma I atau
yang masyhur dengan nama Panembahan Somala dan bergelar Pangeran Natakusuma
I setelah perang Blambangan. Sultan Abdurrahman sejatinya diwarisi oleh
keberhasilan orangtuanya. Dikisahkan di dalam Babad Sumenep, Blambangan dan
Panarukan berhasil dibuat tunduk pada Panembahan Somala. Pada masa Panembahan
Somala pula, selama enam tahun, masjid berhasil didirikan di sebelah barat alun-alun
kota Sumenep.
Sebenarnya, sebelum suksesi kepemimpinan dari Panembahan Somala kepada
Sultan Abdurrahman, suksesi kepemimpinan sempat diberikan kepada Ario
Kusumadiningrat atau Tumenggung Nataningrat, yang merupakan putra pertama dari
Panembahan Somala. Menurut Babad Sumenep, Tumenggung Nataningrat tidak
mengikuti perintah ayahnya sehingga membuat ayahnya sakit. Para pegawai kerajaan

20
Ibid., hal. 197.
juga merasa kecil hati, sehingga Tumenggung Nataningrat dipindah ke Gembung
(Pasuruan). Suksesi kepemimpinan pun diganti oleh adiknya Raden Ario
Tirtadiningrat (Sultan Abdurrahman). Akan tetapi, beberapa sumber menyebutkan
bahwa Tumenggung Nataningrat dipindahtugaskan oleh kolonial menjadi bupati di
Pasuruan, sehingga kursi kepemimpinan di Sumenep diganti oleh Sultan
Abdurrahman.21
Pada tahun 1811 Inggris datang ke pulau Nusantara menggantikan sementara
kolonisasi Belanda. Kekuasaan-kekuasaan Belanda di Nusantara pun beralihtangan
ke Inggris, termasuk Sumenep. Kedatangan Inggris di Sumenep disambut perlawanan
oleh penduduk setempat. Digambarkan dalam Babad Sumenep bahwa kedatangan
pertama Inggris di Sumenep membuat penduduk setempat berlarian, termasuk para
serdadu Belanda bersama anak dan istrinya. Para penduduk Sumenep pun dikerahkan
oleh raja melalui patihnya, Kyai Mangon, untuk melawan Inggris, namun perlawanan
berakhir dengan kekalahan Sumenep yang memakan banyak korban, termasuk Kyai
Mangon sendiri yang wafat di Loji karena terluka parah. Orang Sumenep banyak
menggambarkan perlawanan itu dengan mengatakan “Inggris dhateng, Ke Mangon
mate e Loji” (Inggris datang, Kyai Mangon mati di Loji).
Perlawanan awal rakyat Sumenep atas kedatangan Inggris tersebut tidak
membuat hubungan antara Sumenep dan Inggris renggang begitu saja. Pembagian
kekuasaan daerah Nusantara oleh Inggris atas empat wilayah, yaitu Malaka, Sumatera
Barat, Maluku, dan Jawa (termasuk pula Madura, Banjarmasin, Makassar, dan Sunda
Kecil) membuat hubungan antara penguasa Sumenep dan Inggris terjalanin dengan
baik. Pimpinan Jawa dan sekitarnya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles, yang pada saat itu menulis masterpiece-nya, The History of Java, sering
menjalin hubungan baik dengan Sultan Abdurrahman sebagai penguasa Sumenep.
Hubungan itu terjalin berkat wawasan luas dan kemampuan Sultan
Abdurrahman dalam menguasai beberapa bahasa, yaitu Madura, Jawa Kawi, Melayu,
Arab, Sansekerta, dan Belanda.22 Karena hal itu Sultan Abdurrahman menjadi orang
kepercayaan Raffles. Salah satu pertolongan Sultan Abdurrahman terhadap Raffles
yang seringkali ditulis oleh beberapa sumber sejarah adalah permintaan Raffles
kepada Sultan Abdurrahman untuk membaca tulisan Sansekerta dalam sebuah batu
yang ditemukan di Bali. Tulisan di batu itu tidak dapat dibaca oleh seorang pun.
Dengan kemampuannya, Sultan Abdurrahman mampu menerjemahkan tulisan itu ke
dalam bahasa Melayu. Setelah dua tahun dan dicocokkan dengan terjemahan dari
seorang ahli bahasa di India, Sultan Abdurrahman menerima surat balasan dari
Raffles yang menyatakan bahwa terjemahan Sultan Abdurrahman benar. Atas hasil
dari kemampuannya itu, Sultan Abdurrahman mendapat gelar Letterkundige, yang
ditetapkan dengan besluit, yang merupakan gelar doktor kesusastraan dari pemerintah
Inggris. Kemudian batu bertulis sansekerta itu dikenal dengan sebutan Prasasti Lord
Minto. Selain gelar, Sultan Abdurrahman juga diberikan kereta kencana dan beberapa

21
Abdurachman, Sejarah Madura Selayang Pandang, Sumenep, 1971 hal. 39.
22
Iskandar Zulkarnain, dkk., Op.Cit., hal. 136.
lempengan emas. Namun lempengan emas itu hanya diambil satu, yaitu yang
berbentuk sepatu kuda.23
Sultan Abdurrahman giat memberikan data dan informasi kepada Raffles
mengenai kebutuhan-kebutuhan dalam penggarapan buku The History of Java. Dalam
bidang keagamaan, Sultan Abdurrahman juga memiliki kemampuan yang tinggi. Bila
datang ke museum di kota Sumenep, pengunjung dapat menemukan kitab suci Al-
Qur’an berukuran besar hasil tulisan tangan Sultan Abdurrahman. Menurut cerita
yang beredar di masyarakat Sumenep, pada masa kekuasaannya Sultan Abdurrahman
dapat menjaga keseimbangan ekonomi untuk masyarakatnya.
Selain Sultan Abdurrahman, Raden Saleh Nataadiningrat, ipar dari Sultan
Abdurrahman, juga banyak memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya pembukuan
Raffles. Raden Saleh Nataadiningrat memiliki kemampuan seperti Sultan
Abdurrahman di bidang bahasa. Sama seperti Sultan Abdurrahman dalam
menerjemahkan informasi-informasi untuk buku The History of Java, Raden Saleh
Nataadingrat juga membantu menerjemahkan Bharatayudha. Bahkan ia mampu
menerjemahkan bahasa Jawa langsung ke dalam bahasa Inggris. Dengan kemampuan
itu, Sumenep mendapatkan tempat yang tinggi dibandingkan kerajaan-kerajaan
lainnya.
Setelah Inggris pergi, kekuasaan di Sumenep kembali dipegang oleh Belanda.
Berbeda dengan Inggris, hubungan antara raja Sumenep dan Belanda tidak cukup
baik. Bahkan setelah Raden Saleh Nataadiningrat ditempatkan sebagai adipati di
Probolinggo, yang secara pribadi tidak disenanginya, lalu kembali dipindahtugaskan
sebagai Adipati Lasem, dan akhirnya diberhentikan oleh Belanda, Sumenep
menyusun rencana bersama untuk memerangi Belanda. Pada tanggal 24 April 1830,
setelah sempat dipenjara, Raden Saleh Nataadiningrat dan ayahnya tiba di Sumenep,
berkumpul dengan Sultan Abdurrahman membicarakan upaya mengangkat senjata
bersama melawan Belanda.
Sultan Abdurrahman sebagai panglima, mengangkat putra-putranya menjadi
stafnya:
1. Pangeran Kusuma-Senaningalaga, yang berpangkat Kolonel sebagai kepala
angkatan perang Sumenep. Ia ditunjuk pula sebagai penjaga pintu gerbang
utara kota Sumenep. Rumahnya punya keistemewaan berupa gedung
bertingkat (loteng), dengan halaman yang sangat luas, sebagai tempat latihan
militer.
2. Pangeran Kusumasinerangingrana, yang berpangkat Letnan Kolonel, sebagai
Komandan Pasukan Infantri. Ia berumah di desa Kapanjin, sebelah timur laut
Keraton Sumenep. Ia terkenal dengan sebutan Pangeran Le’nan.
3. Pangeran Kusuma Suryaningayuda, berpangkat mayor, ia diangkat sebagai
Komandan Pasukan Arteleri (meriam). Rumah tempat tinggalnya di desa
Kapanjin, dan disayangkan rumah itu kini telah punah.
4. Pangeran Kusuma Candraningprang (Pangeran Langsir), yang berpangkat
Mayor, diangkat sebagai Komandan Pasukan Kavaleri (berkuda), rumahnya di
desa Kapanjin.

23
Ibid.
Pada masa kekuasaannya, Sultan Abdurrahman juga kerapkali mengikuti
peperangan di luar Sumenep. Peperangan yang melibatkan pasukan Sumenep pada
masa Sultan Abdurrahman antara lain:
1. Perang Bone di Sulawesi tahun 1825, dengan mengirim sekitar 2000 orang
pasukan Sumenep, naik perahu untuk menyelamatkan mertuanya sendiri,
adipati di Bone.
2. Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830.
3. Perang Paderi di Sumatra Barat tahun 1825-1830. Sumenep mengirim 2
kompi pasukan infantri di bawah pimpinan Pangeran Kusuma Senaninggala
(Pangeran Kornel). Tiga kali berturut-turut Sumenep mengirimkan 2 kompi
pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kusuma Suryadingayuda dan 1000
orang pekerja sipil yang dipimpin oleh Pangeran Suryadiputra, juga putra
Sultan Sumenep. Dari peperangan itu dapat ditaklukan kembali wilayah
Buleleng, Klungkung, dan Karangasem. Dalam peperangan itu Jenderal
Michiels tertembak, sehingga meninggal dunia.
4. Perang Borneo di Kalimantan pada tahun 1854, Sumenep mengirimkan
pasukan elitnya sebanyak 150 orang pasukan Sumenep.24
Di dalam suatu periode kekuasaan Sultan Abdurrahman yang cukup panjang,
sejatinya banyak perubahan sosial yang terjadi, baik yang dilakukan oleh Sultan
Abdurrahman sendiri maupun perubahan karena adanya intervensi Belanda. Namun
yang perlu dipahami, dari tahun ke tahun, Belanda selalu berupaya menghilangkan
berbagai hak dari penguasa pribumi.25 Meskipun menurut cerita yang berkembang
pada masa Sultan Abdurrahman kesejahteraan Sumenep terjaga, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa di dalamnya ada upaya-upaya kolonial Belanda untuk
masuk dan mempengaruhi kerajaan.
Upaya intervensi Belanda tersebut banyak dilakukan melalui reformasi
administratif. Salah satu tindakan pemerintah Belanda adalah mengambil alih
monopoli garam. Setelah mengambil monopoli garam dari Inggris, maka Belanda
mengadakan reformasi dengan secara langsung mengawasi produksi, berhubungan
langsung dengan produsen, dan memonopoli pemasarannya. Keuntungan yang
seharusnya jatuh ke tangan para adipati di Madura sangatlah besar. Dalam tahun
1852, harga jual garam lebih dari tiga puluh kali harga belinya. Akan tetapi,
kehilangan industri garam tidaklah mengusik para penguasa pribumi karena mereka
sebenarnya tidak tahu cara mengambil manfaat dari industri tersebut.26
Dalam hal ini penguasa Belanda perlahan mulai memantapkan hak-hak
ekonomi mereka dengan memperkuat posisi administratif mereka. Dimulai dari
pengambilan hak-hak Bandar di Bangkalan tahun 1847, yang sebelumnya juga
dilakukan di Sumenep dan Pamekasan, sampai tuduhan korupsi oleh Belanda ke
adipati Pamekasan karena dianggap telah mengambil uang sebesar f 13.092 yang
seharusnya dibayarkan kepada para petani di dalem-an, sehingga dipecat dan
kemudian oleh Belanda Pamekasan dijadikan kabupaten di bawah pemerintahan

24
Ibid., hal. 142-143.
25
Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani Esai-Esai Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002 hal. 90.
26
Ibid., hal. 90.
Belanda. Hal serupa sebenarnya juga direncakan kepada Sultan Abdurrahman di
Sumenep, namun sampai akhir masa kekuasaannya, Belanda tidak memiliki alasan
yang tepat untuk melakukan perubahan seperti itu. Kiranya hal ini menjadi bukti yang
menunjukkan posisi kuat kekuasaaan Sumenep di bawah Sultan Abdurrahman.
Namun, pada tahun 1854, setelah Sultan Abdurrahman wafat dan diganti oleh
Panembahan Noto Kusumo, yang ironi adalah Panembahan Noto Kusumo
membiarkan kantor kepatihan (rijksbestierder) diambil alih oleh Belanda, sehingga
posisi Sumenep menjadi berada di bawah kontrol Belanda langsung.27
Dibandingkan wilayah lain di Madura, Sumenep memiliki nilai lebih di mata
Belanda karena memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak. Jumlah penduduk
yang cukup banyak itu menjadi alasan bahwa Sumenep memiliki faktor penunjang
untuk dimanfaatkan dalam upaya untuk mengeruk sumber-sumber ekonomi. Berikut
di bawah ini data mengenai keseluruhan populasi di Madura dalam publikasi tahunan
Koloniaal Verslag.

Tabel 1
Perbadingan Populasi

Tahun Sumenep Pamekasan Bangkalan Sampang Total


1816 123.350 18.400 97.890 239.640a
1845 184.408 26.552 84.765 295.726b
1856 204.191 83.257 107.256 994.704c
1857 205.205 81.910 106.490 393.605d
1867 210.218 103.117 212.774 68.83 594.741e

Sumber: aHageman, Eiland Madoera, H-16; bBleeker, “Bijdrage”, hlm. 173-177; cHageman,
“Bijdrage”, I, hlm. 327, 328, 343, dPV 1857, Bijlage Lr.A; eVb. 20 Oktober 1869 No.4,
“Statistiek der Residentie Madoera 1867”.28 Tanda abu-abu adalah populasi pada masa
kekuasaan Sultan Abdurrahman.

Pada periode kekuasaan Sultan Abdurrahman, terdapat proses pembentukan


Barisan atau pasukan prajurit terorganisir. Barisan dibentuk pada tahun 1831.
Tentara Barisan merupakan kekuatan militer yang melembaga di dalam masyarakat
Madura, termasuk Sumenep. Penduduk sekitar melihat Barisan sebagai suatu sumber
kehidupan dan kebanggaan. Prajurit-prajurit Barisan adalah orang-orang terpilih dari
desanya dan memperoleh sawah barisan. Mereka dibebaskan dari pelayanan kerja
dan pajak-pajak kolonial. Prajurit Barisan ini kemudian menjadi tenaga yang selalu
menjadi pilihan dalam suatu pertempuran.
Dalam bekerjasama dengan Belanda, upaya yang dilakukan Sultan
Abdurrahman lainnya dalam menyejahterakan rakyatnya adalah dengan
menandatangani kontrak yang menghasilkan dibebaskannya secara penuh upeti

27
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata
Bangsa, 2002, hal. 170.
28
Ibid., hal. 72.
selama lima tahun. Berbagai upaya yang dilakukannya selama sekitar 43 tahun
kepemimpinannya (1811-1854), Sultan Abdurrahman dinilai oleh masyarakat
Sumenep hingga kini sebagai pemimpin yang bijaksana dan mampu menjaga
kesejahteraan rakyatnya. Sultan Abdurrahman wafat pada tanggal 31 Maret 1854 di
usianya yang ke-73 tahun dan dimakamkan di Asta Tinggi berdekatan dengan makam
ayahnya (Panembahan Somala) serta para pembesar kerajaan Sumenep lainnya.

C. Pengaruh Islam dalam Sistem Birokrasi Pemerintahan


Struktur masyarakat di Indonesia pada masa permulaan kedatangan Islam
dalam beberapa hal masih melanjutkan tradisi masa Indonesia-Hindu. Hal itu
terutama dapat diketahui karena budaya Hindu di Indonesia kebanyakan menyentuh
lapisan kaum bangsawan dan raja-raja.29 Pada umumnya sebutan raja sebagai kepala
pemerintahan yang tertinggi pada kerajaan-kerajaan Islam masih memakai nama-
nama atau sebutan-sebutan seperti lazimnya untuk para raja pada masa sebelum
berdirinya kerajaan Islam, seperti panembahan, sultan, susuhunan, maulana, dan raja.
Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian raja
adalah seseorang yang menyatukan pelaksanaan kekuasaan tertinggi dan berbagai
lambing magis dan mistis, yang menyatukan kualitas perlengkapan-perlengkapan
itu.30
Di Sumenep, hal seperti di atas juga diterapkan di dalam Kerajaan Sumenep.
Masuknya Islam ke dalam kerajaan sejatinya tidak mengubah banyak struktur
birokrasi kerajaan. Warisan budaya pemerintahan yang feodal masih diteruskan
hingga masuknya Islam ke dalam kerajaan. Ini terbukti dengan suksesi yang
dilakukan di kalangan raja-raja Sumenep yang masih menurunkan tahtanya kepada
keturunan keluarganya. Sampai pada abad ke-20 bangsawan di kalangan keluarga
raja Sumenep juga masih memiliki posisi yang berbeda dan tinggi di kalangan
masyarakat. Dalam hal ini dengan masuknya Islam kiranya tidak mempengaruhi
masyarakat dan raja dalam memandang posisi kaum bangsawan.
Hanya saja, saat masuknya Islam ke kalangan keraton Sumenep, raja-raja
membangun institusi sosial, seperti masjid dan alun-alun. Pada tahun 1639, Pangeran
Anggadipa mendirikan masjid di desa Kepanjen, Sumenep. Nama masjidnya sering
disebut Masegit Laju yang berarti masjid lama. Menurut tutur cerita masyarakat
setempat, Pangeran Aggadipa adalah raja yang dekat dengan rakyatnya. Keberadaan
masjid sekiranya tidak berlebihan bila disebut bukti kedekatannya dengan rakyat.
dengan pendirian masjid, terdapat ruang interaksi antara berbagai golongan sehingga
juga dapat menjadi ruang penyatu antara pemimpin dengan rakyatnya. Saat
pemerintahannya, Pangeran Anggadipa membawa perubahan yang berarti bagi
perkembangan Islam di Sumenep. Perubahan tahun Saka yang berdasarkan peredaran
matahari menjadi tahun Jawa berdasarkan kalender Hijriah yang dipergunakan Islam
diterapkan di Sumenep dan mendapatkan respons positif dari masyarakat Sumenep.31

29
Nugroho Notosusanto, dkk., Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 2010 hal.
205.
30
Ibid., hal. 207.
31
Iskandar Zulkarnain, dkk., Op.Cit., hal. 84.
Ilmu agama Islam yang dianut raja-raja di Sumenep juga banyak
mempengaruhi tindakan dan keputusan pada saat pemerintahannya. Misalnya, pada
masa kekuasaan Panembahan Somala. Sebelum ia memutuskan sesuatu yang
melibatkan masyarakat, ulama-ulama diajak bermusyarawah di keraton. Pada masa
kekuasaanya, Panembahan Somala membangun komplek keraton. Di dalam struktur
pemerintahannya, secara hirarki dilibatkan pengurus-pengurus agama, seperti
penghulu keraton, khatib, tukang adzan, dan marbot masjid. Pada masanya pula,
masjid lama diperbaiki dan masjid baru, masjid jamik yang sekarang, didirikan
sebagai wakaf, sehingga harus terus dijaga oleh raja-raja setelahnya.

D. Raja-raja yang berkuasa dalam periode ini


Dari periode siapa Sumenep mulai dipimpin oleh raja beragama Islam adalah
pertanyaan pokok pada pembahasan kali ini. Sejatinya, masih banyak perdebatan,
baik di kalangan akademisi maupun masyarakat di Sumenep sendiri mengenai raja
pertama Sumenep yang beragama Islam. Perdebatan ini didasari atas perbedaan
pendapat tentang waktu kedatangan Islam ke wilayah Sumenep.
Bila merujuk pada sub-bagian di atas, secara garis besar dapat ditarik
semacam kesimpulan bahwa ada empat pendapat mengenai siapa raja Sumenep
pertama yang beragama Islam, yaitu Panembahan Joharsari, Panembahan
Mandharaka, Jokotole, dan Tumenggung Kanduruwan. Untuk itu pada sub-bab ini,
agar jelas siapa saja para raja beragama Islam yang pernah berkuasa di Sumenep, di
bawah ini dipaparkan raja-raja Sumenep yang beragama Islam berdasarkan keempat
pendapat di atas.
Raja-Raja Sumenep menurut Pendapat Panembahan Joharsari Raja Sumenep
beragama Islam pertama:
NO NAMA TAHUN
BERKUASA
16. Panembahan Joharsari 1319 – 1331
17. Panembahan Mandharaka 1331 – 1339
18. Pangeran Bukabu Notoprojo 1339 – 1348
19. Pangeran Baragung Notoningrat 1348 – 1358
20. Raden Anggung Rawit (Secodiningrat I) 1358 – 1366
21. Tumenggung Gadjah Pramudo (Secodiningrat II) 1366 – 1386
22. Panembahan Blingi (Ario Pulang Jiwa) 1386 – 1399
23. Pangeran Adi Poday (Ario Baribin) 1399 – 1415
24. Pangeran Jokotole (Secodiningrat III) 1415 – 1460
25. Raden Ario Wegonando (Secodiningrat IV) 1460 – 1502
26. Pangeran Siding Puri (R. Ario Wonoboyo alias 1502 – 1559
Secodiningrat V)
27. R. Tumenggung Kanduruwan 1559 – 1562
28. Pangeran Wetan dan Pangeran Lor 1559 – 1562
29. R. Keddu’ (Pangeran Wetan II) 1562 – 1574
30. R. Radjasa (Pangeran Lor II) 1574 – 1589
31. R. Abdullah (Pangeran Cokronegoro I) 1589 – 1626
32. Pangeran Anggadipa 1626 – 1644
33. R. Tumenggung Jayengpati 1644 – 1648
34. R. Bugan (Tumenggung Judonegoro) 1648 – 1672
35. R. Tumenggung Pulang Djiwo dan Pangeran 1672 – 1678
Sepuh
36. Pangeran Romo (Pang. Cokronegoro II) 1678 – 1709
37. R. Tumenggung Wiromenggolo (Purwonegoro) 1709 – 1731
38. R. Achmad (Tumenggung Ario Cokronegoro III) 1731 – 1744
39. R. Alza alias Pangeran Lolos 1744 – 1749
40. K. Lesap 1749 – 1750
41. R. Aju Tirtonegoro (R. Rasmana+Bindoro Saud) 1750 – 1762
42. Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario 1762 - 1811
Notokusumo I)
43. Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I 1811 – 1854
44. Panembahan Moh. Saleh (Panembahan 1854 – 1879
Notokusumo II)
45. Pangeran Mangkudiningrat (Pakunataningrat II) 1879 - 1901
46. Pangeran Ario Prataming Koesoemo 1901 – 1926
47. R. Tumenggung Ario Prabu Winoto 1926 – 1929

Raja-Raja Sumenep menurut Pendapat Panembahan Mandharaka sebagai Raja


Sumenep beragama Islam pertama:
NO NAMA TAHUN
BERKUASA
1. Panembahan Mandharaka 1331 – 1339
2. Pangeran Bukabu Notoprojo 1339 – 1348
3. Pangeran Baragung Notoningrat 1348 – 1358
4. Raden Anggung Rawit (Secodiningrat I) 1358 – 1366
5. Tumenggung Gadjah Pramudo (Secodiningrat II) 1366 – 1386
6. Panembahan Blingi (Ario Pulang Jiwa) 1386 – 1399
7. Pangeran Adi Poday (Ario Baribin) 1399 – 1415
8. Pangeran Jokotole (Secodiningrat III) 1415 – 1460
9. Raden Ario Wegonando (Secodiningrat IV) 1460 – 1502
10. Pangeran Siding Puri (R. Ario Wonoboyo alias 1502 – 1559
Secodiningrat V)
11. R. Tumenggung Kanduruwan 1559 – 1562
12. Pangeran Wetan dan Pangeran Lor 1559 – 1562
13. R. Keddu’ (Pangeran Wetan II) 1562 – 1574
14. R. Radjasa (Pangeran Lor II) 1574 – 1589
15. R. Abdullah (Pangeran Cokronegoro I) 1589 – 1626
16. Pangeran Anggadipa 1626 – 1644
17. R. Tumenggung Jayengpati 1644 – 1648
18. R. Bugan (Tumenggung Judonegoro) 1648 – 1672
19. R. Tumenggung Pulang Djiwo dan Pangeran 1672 – 1678
Sepuh
20. Pangeran Romo (Pang. Cokronegoro II) 1678 - 1709
21 R. Tumenggung Wiromenggolo (Purwonegoro) 1709 - 1731
22. R. Achmad (Tumenggung Ario Cokronegoro III) 1731 - 1744
23. R. Alza alias Pangeran Lolos 1744 – 1749
24. K. Lesap 1749 – 1750
25. R. Aju Tirtonegoro (R. Rasmana+Bindoro Saud) 1750 – 1762
26. Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario 1762 - 1811
Notokusumo I)
27. Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I 1811 – 1854
28. Panembahan Moh. Saleh (Panembahan 1854 – 1879
Notokusumo II)
29. Pangeran Mangkudiningrat (Pakunataningrat II) 1879 - 1901
30. Pangeran Ario Prataming Koesoemo 1901 – 1926
31. R. Tumenggung Ario Prabu Winoto 1926 – 1929

Raja-Raja Sumenep menurut Pendapat Jokotole Raja Sumenep beragama Islam


pertama:
NO NAMA TAHUN
BERKUASA
1. Pangeran Jokotole (Secodiningrat III) 1415 – 1460
2. Raden Ario Wegonando (Secodiningrat IV) 1460 – 1502
3. Pangeran Siding Puri (R. Ario Wonoboyo alias 1502 – 1559
Secodiningrat V)
4. R. Tumenggung Kanduruwan 1559 – 1562
5. Pangeran Wetan dan Pangeran Lor 1559 – 1562
6. R. Keddu’ (Pangeran Wetan II) 1562 – 1574
7. R. Radjasa (Pangeran Lor II) 1574 – 1589
8. R. Abdullah (Pangeran Cokronegoro I) 1589 – 1626
9. Pangeran Anggadipa 1626 – 1644
10. R. Tumenggung Jayengpati 1644 – 1648
11. R. Bugan (Tumenggung Judonegoro) 1648 – 1672
12. R. Tumenggung Pulang Djiwo dan Pangeran 1672 – 1678
Sepuh
13. Pangeran Romo (Pang. Cokronegoro II) 1678 - 1709
14. R. Tumenggung Wiromenggolo (Purwonegoro) 1709 - 1731
15. R. Achmad (Tumenggung Ario Cokronegoro III) 1731 - 1744
16. R. Alza alias Pangeran Lolos 1744 – 1749
17. K. Lesap 1749 – 1750
18. R. Aju Tirtonegoro (R. Rasmana+Bindoro Saud) 1750 – 1762
19. Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario 1762 - 1811
Notokusumo I)
20. Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I 1811 – 1854
21. Panembahan Moh. Saleh (Panembahan 1854 – 1879
Notokusumo II)
22. Pangeran Mangkudiningrat (Pakunataningrat II) 1879 - 1901
23. Pangeran Ario Prataming Koesoemo 1901 – 1926
24. R. Tumenggung Ario Prabu Winoto 1926 – 1929

Raja-Raja Sumenep menurut Pendapat Tumenggung Kanduruwan Raja Sumenep


beragama Islam pertama:
NO NAMA TAHUN
BERKUASA
1. R. Tumenggung Kanduruwan 1559 – 1562
2. Pangeran Wetan dan Pangeran Lor 1559 – 1562
3. R. Keddu’ (Pangeran Wetan II) 1562 – 1574
4. R. Radjasa (Pangeran Lor II) 1574 – 1589
5. R. Abdullah (Pangeran Cokronegoro I) 1589 – 1626
6. Pangeran Anggadipa 1626 – 1644
7. R. Tumenggung Jayengpati 1644 – 1648
8. R. Bugan (Tumenggung Judonegoro) 1648 – 1672
9. R. Tumenggung Pulang Djiwo dan Pangeran 1672 – 1678
Sepuh
10. Pangeran Romo (Pang. Cokronegoro II) 1678 - 1709
11. R. Tumenggung Wiromenggolo (Purwonegoro) 1709 - 1731
12. R. Achmad (Tumenggung Ario Cokronegoro III) 1731 - 1744
13. R. Alza alias Pangeran Lolos 1744 – 1749
14. K. Lesap 1749 – 1750
15. R. Aju Tirtonegoro (R. Rasmana+Bindoro Saud) 1750 – 1762
16. Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario 1762 - 1811
Notokusumo I)
17. Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I 1811 – 1854
18. Panembahan Moh. Saleh (Panembahan 1854 – 1879
Notokusumo II)
19. Pangeran Mangkudiningrat (Pakunataningrat II) 1879 - 1901
20. Pangeran Ario Prataming Koesoemo 1901 – 1926
21. R. Tumenggung Ario Prabu Winoto 1926 – 1929
Gambar 1: Silsilah raja-raja Sumenep yang didapat dari orang-orang keturunan Arab
di Sumenep

E. Hubungan Kerajaan Sumenep dengan Belanda


Dalam konteks perkembangan sejarah, aliran Annales mengklasifikasikan
sejarah menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan panjang (longedurae, struktur geografi),
lapisan menengah (moyennedurae, konjunktur, ekonomi), dan lapisan pendek
(peristiwa, politik). Lapisan-lapisan itu menunjukkan suatu panjang periodesasi
sejarah, semakin panjang lapisan maka semakin lambat gerak suatu perkembangan
sejarah, sebaliknya, lapisan pendek menunjukkan suatu perubahan sejarah yang cepat.
Bertolak dari pemikiran yang dicetuskan Braudel ini, khususnya lapisan ketiga,
dimensi politik, sejatinya juga tampak pada perkembangan kerajaan Sumenep. Hal itu
dapat ditinjau dari perubahan corak kerajaan Sumenep dari zaman ke zaman, mulai
dari masa perebutan hegemoni antar kerajaan lokal, masuknya Islam, sampai aliansi
dan resistensi terhadap kekuasaan asing.
Pada perkembangan sejarah kerajaan Sumenep, hubungan dengan Belanda
adalah suatu titik penting dari fase perubahan politik kerajaan Sumenep. Untuk
melacak awal hubungan itu, kiranya perlu dikemukakan di awal mengenai alasan
ekspansi bangsa Belanda ke Nusantara, khususnya Jawa. Hal ini yang kemudian pula
menjadi mata rantai awal pembentukan hubungan antar-kerajaan Sumenep dan
Belanda.
Sejak Belanda berhasil memperoleh peta-peta dan informasi ke Timur dari
bangsa Italia (Venesia) yang banyak berjasa membuat peta ke Timur, kapal-kapal
dagang Belanda di Banten dan Sunda Kelapa mulai tampak pada tahun 1595.
Perdagangan tersebut dipelopori oleh para pedagang kota Amsterdam yang memiliki
lisensi dari walikotanya untuk memegang monopoli perdagangan antara Amsterdam
dan Asia. Dalam waktu yang hampir bersamaan, daerah Zeeland di selatan juga
membentuk perusahaan pelayaran niaganya. Tidak lama kemudian kota-kota lain pun
berlomba membentuk perusahaan pelayaran niaga dengan lisensi dari kota masing-
masing.32 Pelayaran niaga ini banyak dipengaruhi oleh catatan-catatan perjalanan
yang dilakukan oleh para pelayar dalam mendeskripsikan wilayah Nusantara. Marco
Polo, misalnya, dalam buku The Travels of Marco Polo mendeskripsikan pulau Jawa
sebagai berikut:
“When you sail from Champa, one thousand five hundred miles in a course
between south and southeast, you come to a great island called Java. And the
experienced mariners of those island who know the matter well, say that it is the
greatest island in the world ………. It is subject to great king and tributary to no one
else in the world. The people are idolaters. The island is of surpassing wealth,
producing black pepper, nutmegs, spikenard, galingale, cubebs, cloves, and all other
kinds of spices. The island is also frequented by a vast amount of shipping, and by
merchants who buy and sell costly goods from which they reap great profit”33
Terlepas dari kritik-kritik yang kemudian bermunculan mengenai catatan
perjalanan pedagang Venesia ini, bila ditinjau dari perspektif pada abad ke-14 hingga
16, apa yang digambarkan Marco Polo di atas tentu menggiurkan para penguasa di
Eropa, termasuk pula Belanda, untuk mendatangi dan menguasai wilayah Nusantara.
Namun, pada masa-masa awal, banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang
mengklaim memegang monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan
Asia, dengan sendirinya menimbulkan persaingan ketat, sehingga menyebabkan
merosotnya keuntungan.

32
Nugroho Notosusanto, dkk., Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2010 hal.
29.
33
Marcopolo, The Travels of Marcopolo, hal. 260.
Dalam menyelesaikan masalah tersebut, pihak Amsterdam dan Zeeland
sepakat untuk menyatukan semua perusahaan niaga ke dalam suatu kesatuan. Dengan
bantuan intervensi keluarga Oranye (Pangeran Maurtiz), pada tanggal 20 Maret 1602
Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan
yang dinamakan Verenidge Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan
Perdagangan di Asia Timur) atau yang biasa disebut VOC. Dalam melancarkan
usahanya itu, pada tahun 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut
Jayakarta dan membentuk sebuah benteng serta sebuah kota di bagian selatan benteng
yang menjadi pusat aktivitas perdagangan VOC. Dalam mengembangkan perusahaan,
VOC juga memiliki suatu jaringan birokrasi dan persenjataan. Wujudnya adalah
benteng dengan pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang
aktif dan laporan-laporan yang panjang serta lengkap antara berbagai pejabat di
daerah dengan pusat di Batavia yang selanjutnya juga seringkali diteruskan kepada
pemerintah di Belanda.34 Menjadi jelas bahwa alasan datangnya Belanda ke wilayah
Nusantara adalah kepentingan ekonomi.
Dalam membangun mitra dengan penguasa-penguasa lokal, VOC berusaha
membangun kerjasama. Saat Portugis masih memiliki pengaruh yang kuat, VOC
membangun mitra dengan memberi dukungan kepada para penguasa lokal untuk
memerangi Portugis. Setelah kekuasaan Portugis lenyap, sistem kemitraan itu
dibangun dengan memberikan bantuan dan afiliasi dengan salah satu pihak yang
bertikai dengan suatu kerajaan tertu. Dari hubungan kemitraan ini, ekspansi dan
pengaruh VOC makin menguat, yang kemudian diteruskan pada masa kolonisasi
Belanda.
Dari sistem kemitraan inilah, hubungan antar-kerajaan Sumenep dan Belanda
terbangun. Apa yang dikatakan oleh Huub de Jonge bahwa VOC dengan terpaksa
turut campur tangan dengan urusan intern berbagai kerajaan, kiranya bukan suatu
keterdesakkan, namun merupakan strategi ekonomi VOC dalam memonopoli
perdagangan, hal ini pula yang dilakukan terhadap kerajaan Sumenep.
Pencengkraman awal Sumenep oleh VOC didorong oleh adanya kesulitan-kesulitan
serius di dalam kerajaan Jawa Tengah Mataram, yang setelah suatu pertempuran
sengit menaklukan Madura pada tahun 1624.35
Awal terbentuknya hubungan antar-kerajaan Sumenep dan Belanda tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan Mataram. Dalam hal mendapatkan wilayah
Sumenep, VOC tidak melakukan penaklukan secara langsung terhadap penguasa
pribumi, namun dengan proses yang cukup panjang serta intrik-intrik politik yang
dimainkan terhadap penguasa yang menghegemoni, dalam hal ini Mataram. Konsep
ini digambarkan oleh Raffles dalam buku The History of Java, ia menggambarkan
bahwa usaha yang dilakukan VOC untuk memperkuat posisinya adalah dengan terus
memperlemah para penguasa lokal, hingga mereka tak berdaya, kemudian

34
Nugroho Notosusanto, Op.Cit., hal. 29-30.
35
Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat
Madura, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hal. 6.
menyerahkan segalanya kepada VOC.36 Dalam penguasaan wilayah Sumenep, intrik
itu berawal dari Perang Trunajaya.
Perang Trunajaya merupakan suatu representatif dari tanda-tanda keruntuhan
tradisi Jawa (Mataram). Peristiwa ini berawal dari perpecahan di dalam istana antara
Amangkurat I dan Putra Mahkota (Adipati Anom), anaknya, yang selanjutnya
bergelar Susuhunan Amangkurat II. Perpecahan itu timbul disebabkan Amangkurat I
menyerahkan pengasuhan Putra Mahkota kepada keluarga ibunya, sehingga tidak
heran membentuk mental yang berat diakibatkan pembunuhan yang dilakukan oleh
ayahnya terhadap keluarga ibunya dan Pangeran Pekik, ayah dari ibunya. Wataknya
pada masa remaja juga sangat suka bermain wanita cantik. Ini menimbulkan konflik
dengan ayahnya yang memiliki selera yang sama. Pada tahun 1660, pihak Belanda
mendengar desas-desus bahwa Amangkurat I bermaksud membunuh putranya,
namun segera desas-desus itu terbukti tidak benar. Pada tahun 1663, muncul desas-
desus lain mengenai usaha raja untuk meracuni anaknya.37
Mulai tahun 1660, Putra Mahkota sebenarnya sudah berusaha menjalin
hubungan dengan VOC. Antara tahun 1667 dan 1675, dia mengirim sembilan
perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Persia
dan gadis-gadis Makassar.38 Pada tahap selanjutnya, Putra Mahkota menjalin
hubungan dengan seseorang yang kelak menjadi titik perubahan Mataram dan
memunculkan gejolak Perang Trunajaya, yaitu Raden Kanjoran, yang merupakan
mertua dari Raden Trunajaya. Trunajaya sangat membenci kezaliman yang dilakukan
oleh Amangkurat I yang pada tahun 1656 telah membunuh ayahnya dan mengancam
nyawanya. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan Putra Mahkota kepada
Trunajaya. Dari pertemuan inilah muncul persengkokolan politik untuk menjatuhkan
Amangkurat I. Bila ia dapat dikalahkan, Putra Mahkota akan menjadi susuhunan baru
dan Trunajaya dapat menjadi penguasa atas Madura dan sebagian Jawa Timur.
Setelah persengkokolan itu, Trunajaya pergi ke Madura untuk menggalang
kekuatan untuk memberontak. Selain itu, ia juga menghimpun prajurit-prajurit dari
Makassar, yang telah menjadi korban penindasan Arung Palakka. Mereka kemudian,
pada tahun 1675, menyerang pelabuhan-pelabuhan Jawa. Sesungguhnya, permusuhan
Madura terhadap Mataram pernah terjadi pada kisaran tahun 1620-an awal, namun
dapat diatasi oleh Sultan Agung pada tahun 1625.39 Bersamaan dengan adanya
pemberontakan Trunajaya, banyak bencana yang menimpa wilayah kekuasaan
Mataram. Rickleffs menggambarkan bahwa pada tahun 1672, beberapa gempa bumi
dan gerhana bulan terjadi, hujan turun tidak pada musimnya, gunung Merapi meletus,
pada tahun 1674-1676 bahaya kelaparan dan wabah penyakit menimpa. Pada kisaran
tahun itu, tersebar ramalan-ramalan bahwa hari-hari akhir kejayaan Mataram akan
tiba. Puncaknya pada tahun 1675, pemberontakan Trunajaya menggalang kesuksesan.
Pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa banyak ditaklukan dan istana Plered

36
Aminuddin Kasdi, dkk., Sejarah Perjuangan Raden Trunajaya, Surabaya: Unesa University Press,
2003, hal. 110.
37
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, Jakarta: Serambi, 2008, hal. 160.
38
ibid
39
Nugroho Notosusanto, Op.Cit., hal. 48.
berhasil jatuh ke tangan Trunajaya. Bahkan Trunajaya pada tahun 1676 menggunakan
gelar panembahan dan raja, yang berarti telah menggagalkan rencana yang
dicanangkan oleh Putra Mahkota yang masih berada di dalam istana.
Mataram pun terpaksa meminta bantuan kepada pihak VOC. Permintaan
inilah yang nantinya menyebabkan Mataram sangat bergantung kepada VOC.
Tercatat terdapat tiga kali VOC dan Mataram merevisi perjanjian yang telah
disepakati terkait pinjaman saat Perang Trunajaya. Perjanjian itu pada akhirnya
sangat menguntungkan VOC dan merugikan Mataram. VOC berhasil mendapatkan
pelabuhan-pelabuhan di wilayah Mataram, Semarang, dan desa-desa di sepanjang
Kaligawe. Keuntungan-keuntungan itu VOC dapatkan dari hasil utang yang dipinjam
oleh Mataram sebesar 763.900 (Dutch Florin/D.fl.).40 Sedangkan sampai pada tahun
1685, masa Amangkurat II, uutang itu baru dapat dibayar D.fl. 71.368 atau sekitar
8,99%.41 Berdasarkan perjanjian-perjanjian itu, VOC untuk pertama kalinya
melibatkan diri dalam peperangan berskala besar dan harus menjelajahi pedalaman
Jawa, yang belum banyak dikenalnya.
Saat Amangkurat I wafat pada tahun 1677, Putra Mahkota menggantikan
ayahnya dan menjadi Amangkurat II, persekutuan antara VOC dan Mataram
diperkuat. Para pemimpin VOC dikerahkan, mulai dari Speelman, yang selanjutnya
digantikan perannya oleh Anthonio Hurdt karena harus menjadi Direktur Jenderal di
Batavia menggantikan Jenderal Rijklof van Goens, Jonker Abraham Daniel van
Renesse, Francois Tack, Frederik Hendrik Muller, Jacob Couper, Jeremias van Villet,
Jan Albert Sloot van Bakelo, dan Casper Altmeyer. Setiap pemimpin perang itu
membawa ratusan hingga ribuan prajurit untuk menyerang Trunajaya dan
pasukannya. Inilah yang menyebabkan utang Mataram terhadap VOC sangat besar
dan pada akhirnya menjadi senjata makan tuan bagi Mataram. Namun terlepas dari
itu, hasil yang dicapai, pasukan Mataram dan VOC berhasil merebut kembali Kediri
pada tanggal 25 November 1678 dari Trunajaya dan berhasil menangkap Trunajaya
dan dibunuhnya setahun setelahnya.
Diceritakan pada Babad Trunajaya-Surapati, pembunuhan Trunajaya sangat
kejam, orang yang membunuhnya adalah Amangkurat II dengan cara menghunus
keris ke bagian dada Trunajaya sampai menembus ke punggung, sehingga
menyebabkan darahnya menyembur deras keluar. Dilanjutkan oleh Ki Antagopa,
seorang punggawa rendah. Amangkurat II pun juga memerintahkan para bupatinya
untuk memakan hati Trunajaya, kepalanya dipotong dan diletakkan di bawah
singgasana untuk digunakan sebagai keset, yang pada esok harinya kepala Trunajaya
ditumbuk sehingga melebur dengan tanah. Sang adik raja yang menjadi istri
Trunajaya tidak sanggup melihat peristiwa itu dan selalu menangis.
Pada saat Perang Trunajaya, wilayah Madura, termasuk Sumenep, sebenarnya
tidak masuk ke wilayah Mataram, karena Trunajaya berhasil menguasai seluruh
wilayah Madura. Hal ini berdasarkan laporan manuskrip yang berasal dari instruksi
Amangkurat II pada tanggal 2 Desember 1677 kepada seluruh bupati untuk

40
P.B.R. Carey, Oriental Documents III, The Archive of Yogyakarta Vol. I Documents Relating ti
Politics and Internal Court Affairs, Oxford: Oxford University Press, hal. 199.
41
H.J. De Graaf, Terbunuhnya Kapten Track, Jakarta: Grafiti Pers, 1989, hal. 34-35.
mengekspor padi ke VOC, yang kemudian disalin oleh G.P. Rouffaer di Yogyakarta.
Bila dilihat dari kronologis raja di Sumenep, pada masa itu Sumenep dipimpin oleh
R. Temenggung Pulang Jiwa dan Pangeran Sepuh, yang lebih dikenal sebagai
pimpinan kembar. Hal ini menunjukkan ada hubungan politik yang dijalin oleh
Trunajaya dengan pemimpin di Sumenep itu. Namun, bila dilacak lebih jauh
hubungan politik itu tercipta oleh Raden Bugan, raja Sumenep sebelum R.
Temenggung Pulang Jiwa dan Pangeran Sepuh.
Keduanya merupakan sahabat yang bertemu di Pulau Gili. Sumber lokal
menyebutkan bahwa suksesi dari Temenggung Jaingpati, raja sebelum Raden Bugan,
kepada Raden Bugan disebabkan Temenggung Jaingpati salah paham terhadap surat
yang diberikan oleh Trunajaya kepadanya. Surat yang sebenarnya berisi mengenai
niatan Trunajaya terhadap Raden Bugan untuk mengunjungi Sumenep, diartikan
sebagai invansi politik Trunajaya menaklukan Sumenep. Temenggung Jaingpati pun
ketakutan dan memerintahkan Raden Bugan untuk menyiapkan pasukan di
perbatasan antara Sumenep dan Pamekasan. Saat di perbatasan, malamnya, Raden
Bugan pergi keluar dari tempat bermalam. Pada saat keluar, ia bertemu dengan
Trunajaya, dan mengobrol semalam suntuk. Para pasukan di tempat bermalam
ketakutan dan menganggap Raden Bugan diculik, sehingga melaporkan kepada
Temenggung Jaingpati di keraton. Mendengar kabar itu, Temenggung Jaingpati
ketakutan dan melarikan diri ke daerah di Sampang tanpa kembali lagi.42 Hal ini
kiranya kalau ditinjau dengan masa selanjutnya, hubungan dekat Trunajaya dan
Raden Bugan merupakan titik awal perubahan corak kerajaan Sumenep, yang mulai
lepas dari kekuasaan Mataram. Berbeda dengan Temenggung Jaingpati yang ditunjuk
oleh Mataram, penobatan Raden Bugan langsung dipilih oleh rakyat Sumenep dengan
disaksikan Trunajaya. Digambarkan dalam satu versi bahwa Raden Bugan-lah yang
membuka kran hubungan dengan VOC. Ia meminta langsung kepada VOC untuk
membantu melepaskan Sumenep dari kekuasaan Mataram, sehingga memunculkan
pemberontakan dari kalangan kepada Raden Bugan sebagai bentuk protes. Agak
paradoks bila meninjau gambaran pengangkatan Raden Bugan oleh rakyat Sumenep
yang seakan disambut gembira dengan gambaran pemberontakan yang dilakukan
oleh beberapa ulama terhadap reaksi atas kebijakan Raden Bugan.
Terlepas dari itu, menurut banyak sumber, lepasnya kerajaan Sumenep dari
Mataram lebih jelas pada tahun 1705. Setelah carut marut permasalahan kekuasaan
Mataram, baik yang disebabkan masalah internal, seperti perpecahan kekuasaan
Mataram antara Amangkurat III dan Pakubuwana I (raja Mataram pilihan VOC
dengan didukung Adipati Surabaya dan Adipati Madura), maupun kerugian dari
Perang Trunajaya, wilayah kekuasaan Mataram makin berkurang karena harus
terpaksa diserahkan kepada VOC sebagai kompensasi atas biaya yang dikeluarkan
Belanda. Daerah-daerah yang harus diserahkan itu adalah Sumenep dan Pamekasan
di Madura, Semarang dan Kaligawe di Jawa Tengah, dan batas wilayah VOC
diperluas ke arah timur sampai sungai Cilosari di pantai utara serta sungai di pantai

42
Iskandar Zulkarnain, Op.Cit., Hal. 90.
selatan.43 Selain karena faktor perjanjian antara Mataram dan VOC, faktor pendukung
lainnya yang mendorong berpisahnya wilayah Sumenep dari Mataram adalah
keinginan dari masyarakat Sumenep karena merasa keberatan bila bergabung dengan
Mataram. Malah Sumenep, setelah pergolakan Trunajaya usai, berusaha untuk
menggabungkan wilayahnya dengan VOC. Di sinilah titik awal hubungan politik
antara kerajaan Sumenep dengan Belanda. Perjanjian pada tahun 1705 itu
mengandung rumusan:
“Dengan ini yang Mulia secara hukum melepaskan dan menyerahkan ke
dalam perlindungan Kompeni daerah-daerah Sumenep dan Pamekasan yang terletak
di ujung timur Pulau Madura”
Pada tahun 1743, Madura Barat pun masuk ke dalam kekuasaan VOC pula.
Kemudian pada tahun 1745, setelah VOC memulihkan ketertiban di Madura, Madura
dibagi dalam tiga kabupaten, yang pada sampai paruh abad ke-19 tetap tidak berubah:
Madura Barat, Pamekasan, Sumenep.44 Madura pada umumnya, termasuk juga
Sumenep, sebenarnya memiliki perbedaan ekologi yang signifikan dengan pulau
Jawa. Untuk itu daerah Sumenep sesungguhnya relatif tidak penting bagi VOC,
karena tanahnya cukup kering. Namun, penguasaan atas Sumenep dinilai cukup
penting karena merupakan salah satu rute perdagangan vital menuju timur Indonesia.
Posisi Sumenep dianggap VOC strategis untuk mengamankan jalur perdagangan.
Kalau benar seperti itu, alasan VOC menguasai Sumenep lagi-lagi disebabkan oleh
kepentingan ekonomi. Kontrak yang dilakukan antara kerajaan Sumenep dan VOC,
sangat menguntungkan VOC. Meskipun VOC memberikan otonomi pemerintah
kepada bupati Sumenep, namun Sumenep harus memberikan upeti kepada VOC,
yang disebut dengan Kontingenten.
Menurut kontrak tanggal 30 April 1751 Sumenep harus mengirimkan:
1. 80 koyan kacang hijau
2. 700 taker minyak kelapa
3. 30 pikul gula siwalan
4. 20 pikul benang kapas yang halus sesuai dengan contoh
5. 30 pikul sejenis daging kering
6. 1.000 ekor sejenis ikan kering.45
Upeti yang diberikan oleh Sumenep kepada VOC sangat menggiurkan. Selain
upeti berupa hasil bumi, VOC juga mendapatkan upeti berupa tenaga petani untuk
mengikuti semacam wajib militer, agar sewaktu-waktu dapat digunakan bila VOC
membutuhkan.46 Upeti ini dinamakan dengan upeti hidup atau kontingen hidup.
Upeti-upeti ini merupakan kebijakan baru dari VOC dan pembeda dari sistem
pemerintahan sebelumnya, yaitu Mataram. Digambarkan oleh Huub de Jonge bahwa
upeti-upeti ini merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk setempat. Pada
masa krisis VOC, permintaan upeti, khususnya kontingen hidup, mengalami
43
Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa: Relasi Pusat Daerah pada
Periode Akhir Mataram (1726-1745), Yogyakarta: Jendela, 2003, hal: 168.
44
Huub de Jonge, Op.Cit., hal. 50.
45
Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat
Madura,Op.Cit., hal. 14
46
Iskandar Zulkarnain, Op.Cit., hal. 10.
peningkatan permintaan yang signifikan. Apalagi pada prosesnya sering terjadi
penerimaan tambahan dari pihak VOC yang bersifat memaksa.
Dalam memberlakukan Sumenep, VOC memberikan perlakuan berbeda dari
wilayah lain, yaitu pemberian otonomi dalam penentuan pejabat pemerintahan yang
harus diganti. Kiranya hak otonomi inilah yang menjadi daya tarik kuat mengikat
jalinan hubungan Sumenep dengan VOC, akan tetapi apa yang disebut dengan
otonomi bukan berarti mengandung makna bentuk pemerintahan yang tunggal.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh raja Sumenep harus sepengetahuan VOC.
Misalnya, bila pemerintahan Sumenep ingin berhubungan dengan wilayah lain tidak
boleh tanpa sepengetahuan VOC. Selain itu, ada beberapa kewajiban yang diberikan
pihak VOC kepada Sumenep, seperti kewajiban raja Sumenep untuk pergi ke Batavia
atau Semarang sekali dalam setahun untuk menghadap Gubernur Jenderal
memberikan laporan dan hasil upeti.47 Meskipun demikian, raja tidak dibebankan
oleh VOC mengenai cara mengumpulkan upeti-upeti itu, namun sebelum bulan
November, raja sudah harus datang menghadap ke pulau Jawa dengan perahunya
sendiri.
Struktur pemerintahan lokal yang dijumpai VOC di Sumenep sebagian besar
sama dengan struktur yang dijumpai di kerajaan-kerajaan Jawa. Raja atau pangeran
merupakan kepala negara. Di dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu
oleh beberapa orang mantri (pejabat istana), yang di antara mereka patih atau wakil
bupati merupakan primus inter pares-nya. Mereka merupakan struktur pemerintahan
paling atas yang menjangkar ke bawah ke tingkat lokal di bagian pusat kerajaan, yaitu
sebuah dataran rendah yang dapat ditanami padi sawah pada musim penghujan. Di
daerah-daerah yang lebih sulit dicapai dan di pulau-pulau kecil bawahan,
pemerintahan jauh lebih terbelakang. Raja tidak mempunyai sesuatu pengawasan
permanen atas daerah-daerah ini.48 Pejabat-pejabat tinggi, termasuk raja dan keluarga
diberikan bagian daerah yang luas dalam apanage, yang memberi mereka hak untuk
mengenakan pajak-pajak tertentu yang dilepaskan. Berkat pungutan itu, pada tahun
1781, Panembahan Sumolo dapat mendirikan Masjid Jamik Sumenep. Sedangkan
untuk pejabat rendah, upah mereka diberikan dalam bentuk tanah bengkok kecil,
biasanya berupa sawah. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa susunan birokrasi yang
tercipta adalah susunan birokrasi tanah. VOC berupaya untuk tidak membuat raja-raja
dan para pejabat di Sumenep jengkel, karena itu mereka menyuapinya dengan hak-
hak seperti itu. Hal ini mengingat bahwa posisi penting dari Sumenep –Madura
umumnya– dalam rute perdagangan VOC ke Maluku.
Ada perbedaan yang cukup signifikan dari perlakuan VOC dengan Sumenep
dengan daerah lainnya di Madura, yaitu urusan kemiliteran. Di Sumenep, bentuk
pengawasan VOC tidak ketat seperti di Madura Barat. Hal ini dibuktikan dengan
tidak adanya larangan bagi raja Sumenep untuk memiliki amunisi dan pasukan.
Bahkan raja mendirikan dan memelihara benteng di ibu kota untuk kepentingan

47
Raja dalam dokumen-dokumen Belanda disebut Regen
48
Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat
Madura,Op.Cit., hal. 8-9.
VOC. Akan tetapi, setiap proses pemerintahan, VOC selalu turut ikut campur tangan.
Mengenai hal ini, raja berjanji:
“Untuk memperlakukan rakyat Sumenep, baik orang besar maupun orang
kecil, yang diletakkan sebagai bawahan VOC di bawah kekuasaan saya, dengan adil
dan murah hati.”49
Berdasarkan perjanjian ini kiranya menjadi jelas mengenai alasan perlakuan
berbeda VOC kepada Sumenep, yaitu kesetiaan penguasa Sumenep, yang selanjutnya
banyak dimanfaatkan oleh VOC. Berkaitan dengan hal ini, rakyat tentu menjadi objek
bagi raja atau VOC untuk digunakan tenaganya dalam meraup kekayaan dan
keuntungan yang semakin bertambah seiring dengan tuntutan yang dipinta.
Bila melihat dokumen-dokumen resmi periode ini yang masih ada, seperti
surat-surat tahunan Gubernur Jenderal (memories vans overdracht) dan jurnal harian
(daghregisters) informasi yang diberikan banyak menggambarkan mengenai
kejadian-kejadian di istana, namun hanya sekali-kali saja yang menunjukkan
hubungan dengan rakyat, sehingga gambaran utuh mengeni nasib penduduk setempat
pada periode ini kurang utuh. Tetapi di dalam sebuah memorandum tahun 1771,
perhatian diarahkan pada “pemerintahan yang jelek” dari raja dan “pembunuhan
mengerikan yang terjadi terus-menerus di sana, yang tidak dilaporkan dengan cukup
cepat olehnya”.50 Memang di satu pihak, pada abad ke-17 merupakan masa kejayaan
VOC (yang tentunya Sumenep juga turut memengaruhi), tapi belum tentu bagi nasib
para penduduk setempat. Namun yang jelas, pada tahun 1799 VOC resmi dibubarkan
karena banyak masalah eksternal maupun internal di dalam tubuh VOC, sehingga
kemudian harta kekayaan VOC diputuskan untuk diambil alih oleh negara, yang
selanjutnya menjadi kisah awal pencengkraman kolonisasi Hindia Belanda di
Nusantara, termasuk di Sumenep.
Seiring dengan pengambilalihan aset VOC kepada negara, maka pada saat
yang bersamaan diputuskan bahwa urusan administrasi disesuaikan dengan
kepentingan negara. Pada tahun 1808, Deandels diangkat menjadi Gubernur Jenderal
di Batavia. Pada awal pemerintahannya, ia langsung menghancurkan semua kontrak
dengan regen-regen (raja) Jawa, menurunkan derajat mereka, dan meletakkan pulau
Jawa di bawah pemerintahan langsung pemerintah pusat negara kolonial.51 Yang
menarik dalam kebijakan ini, Madura, termasuk Sumenep, belum dimasukkan di
dalam rencana pembaruan dan tetap dalam statusnya sebagai suatu daeah yang
diperintah secara tidak langsung.52
Pada masa pemerintahannya, Deandels memilih orang-orang Madura sebagai
bagian dari pasukan tentaranya. Untuk tidak mengecewakan Gubernur Jenderal,

49
Terjemahan asli seperti yang dikutip Huub de Jonge dari Heeres adalah sebagai berikut: “de
volkeren van Soemenep, soowel groote als kleyne, als onderdanen van de Compagnie onder mijn
regentschap gestelt, in alle regert en billikheyd te behandelen”
50
Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat
Madura, Op.Cit., hal. 18.
51
Pada periode kolonisasi Hindia-Belanda, wilayah-wilayah di daerah Mancanegara (sebutan Mataram
untuk menyebut daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura) masing-masing dikepalai oleh
seorang bupati.
52
Huub de Jonge, Op.Cit., hal. 19.
karena senang posisi mereka tidak diubah, para bupati pun dengan cepat
mempersiapkan para penduduknya untuk ikut menjadi bagian dari pasukan tentara
kolonial, layaknya pemberian kontingen hidup pada masa VOC. Namun, banyak
penduduk setempat yang melarikan diri menghindari wajib militer ini. Bahkan
sampai pada tahun 1825-1830, bala tentara Sumenep, bersama Pamekasan dan
Bangkalan dikirimkan berkali-kali ke medan perang Diponegoro. Pada tahun 1831,
Belanda membentuk korps Barisan di seluruh Madura, termasuk Sumenep, untuk
dikerahkan dalam perang-perang. Misalnya pada perang di Jambi tahun 1833,
Minangkabau 1836, Bali 1844, Aceh 1873, dan lainnya. Kekuatan Barisan ini terdiri
dari infanteri, pasukan kuda, artileri, dan pasukan pionir. Terkait hal ini raja Sumenep
menandatangani kontrak, yakni dibebaskan mengirim 1.080 serdadu untuk tentara
regular kolonial selama dua tahun dan dibebaskan penuh dari upeti selama lima
tahun.53
Setelah pengambilalihan aset VOC kepada negara, Inggris sempat
mencengkramkan kolonisasinya selama empat tahun (1811-1816). Dalam selang
waktu yang singkat ini, sebenarnya banyak perubahan yang dilakukan, termasuk
kepada Sumenep. Kontingen dalam bentuk natura diganti dengan bentuk uang,
pendapatan dari Bandar juga dibiarkan diterima sebagai penghasilan para bupati.
Pada masa ini hubungan antara Sumenep dan Inggris cukup baik, malah raja
Sumenep pada masa ini mendapatkan gelar istimewa dari pemerintahan Raffles
karena telah membantu banyak dalam pembukuan The History of Java.
Setelah konvensi London, Belanda kembali mendapatkan tanah jajahannya.
Untuk itu, kontrak-kontrak kembali menjadi andalan Belanda dalam turut ikut
campur tangan dalam kolonisasi daerah jajahannya. Salah satu hal yang menarik pada
masa ini adalah pada status para bupati. Bupati-bupati Sumenep menggunakan gelar-
gelar kehormatan, misalnya gelar Panembahan. Suatu sumber menyatakan bahwa
gelar-gelar yang diperoleh merupakan hasil dari pembelian atau melalui jalan
sogokan. Para penguasa Sumenep pada waktu itu memang bukan merupakan vassal
atau bawahan biasa, namun bupati yang dirajakan (vorstelijke regent) atau sekutu
yang merdeka (onafhankelijke bondgenoten). Namun, bila ditinjau dari tiadanya
wewenang bupati Sumenep untuk berhubungan dengan wilayah lainnya, hubungan
bupati Sumenep dan Belanda layaknya pepesan kosong. Kedaulatan sepenuhnya di
tangan Belanda, malah Belandalah yang memiliki hak dalam menentukan dan
mengangkat patih. Bahkan pasca perang Diponogoro, bupati di Madura terkena
kebijakan tanam paksa Belanda. Pada fase ini terjadi perlawanan rakyat terhadap
upaya penyerahan sebagian tanah untuk ditanami tanaman yang ditentukan
pemerintah. Campur tangan terhadap pembagian lahan akhirnya gagal dilakukan.
Selain itu, kondisi tanah dan iklim yang tidak memungkinkan menyebabkan
kebijakan tanam paksa ini tidak diteruskan.
Kembali kepada kehidupan istana, pada tahun 1854, asisten residen mendapat
kedudukan sejajar dengan bupati.54 Dalam kontrak yang sama, bupati yang baru

53
Kuntowijoyo, Op.Cit., hal. 147.
54
Sebenarnya dari masa VOC, posisi sejenis asisten residen sudah ada, namun tidak memiliki posisi
untuk berkuasa.
dinyatakan memperoleh kekuasaan atas kabupaten “tanpa hak untuk mewariskannya
kepada anaknya atau keturunan selanjutnya.55 Bila melihat isi surat yang dikirim oleh
Sultan Pakunatiningrat kepada Gubernur Jenderal A.G.P. Baron van der Capellen
tanggal 27 Februari 1826 sangat tampak bagaimana Belanda berhasil memengaruhi
bupati dalam menjalin hubungan. Salah satu kutipannya adalah:
“Maka Sri Paduka Yang Dipertuan Besar harap akan anak cucu hamba
hendak menurut tauladan hamba dengan setiawan berlindungkan diri hamba empunya
anak cucu di bawah pernaungan Gupernement Nederland karena Gupernement itu
pun memeliharakan kebajikan rakyat serta melindungkan raja yang baik dengan
setiawan jua adanya”56
Dalam kutipan tersebut tampak jelas siapa yang menguasai dan yang dikuasai.
Pada tahun 1857, Belanda selanjutnya memperkuat kontrol politiknya dengan
menetapkan Keresidenan Madura dengan ibu kotanya di Pamekasan. Belanda
menempatkan asisten residen masing-masing di dua kerajaan, Bangkalan dan
Sumenep, yang mereka anggap sebagai kabupaten-kabupaten. Pada tahun-tahun
berikutnya sedikit demi sedikit Belanda telah menyusutkan lebih jauh kerajaan-
kerajaan pribumi sampai akhirnya diputuskan untuk dihapuskan. Hal ini dilakukan
pelan-pelan, setelah Pamekasan tahun 1858, baru Sumenep pada tahun 1883. Setelah
tahun 1885, Belanda membagi Madura menjadi empat afdeeling dan empat
kabupaten. Afdeeling dikepalai oleh asisten residen dan kabupaten dikepalai oleh
bupati. Afdeeling-afdeeling dan kabupaten-kabupaten itu adalah Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Pada prosesnya, Belanda tidak dapat melepaskan kontrolnya terhadap
Sumenep. Kolonial mengontrol Sumenep dengan berbagai bentuk, misalnya dalam
mengontrol pengadilan dengan mengangkat kepala jaksa dan ajun jaksa. Penjelasan
ini berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, hal yang paling jelas adalah pada saat
Pangeran Ario Mangku Adiningrat diangkat menjadi bupati pada tahun 1881.
Meskipun pergantian pemerintahan secara resmi belum sempurna pada waktu itu,
penguasa Sumenep bukan lagi raja yang mandiri, tetapi merupakan pegawai Belanda.
Dalam waktu yang sama, pemerintah tertinggi di The Hague menetapkan bahwa
Sumenep berada di bawah penguasaan langsung pemerintah Hindia Timur Belanda.
Peralihan secara resmi kekuasaan di Sumenep dilakukan pada tahun 1883. Dengan
Besluit gubernur jenderal tanggal 18 Oktober 1883 No. 8 (Staatsblad No. 242)
kerajaan Sumenep dihapuskan.57 Untuk itu ada beberapa perubahan kebijakan,
misalnya pengaturan pajak tanah ditangani oleh kontrolir-kontrolir pemerintah,
personel-personel pribumi semuanya digaji dengan uang tunai, barang milik
panembahan dianggap milik umum (istana, rumah asisten residen, kantor asisten
residen, benteng, kantor pos, pesanggarahan, dan lainnya), untuk menenagkan kaum
bangsawan, Belanda berjanji dalam hal pengangkatan pegawai-pegawai di kabupaten

55
Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Ikhtisar Madura, “Kontrak 1854” dalam agama,
jbudayaan, 23
56
Mu’jizah, Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009, hal. 96.
57
Kuntowijoyo, Op.Cit., hal. 171.
akan mengutamakan para bangsawan.58 Memang secara perbaikan bagi penduduk
Sumenep berkembang, namun bila ditinjau secara ruang lingkup yang lebih besar,
Jawa, Sumenep masih merupakan wilayah yang terbelakang. Dikembangkanlah
sebuah rencana kesejahteraan. Hanya sebagian dari rencana itu yang dapat
dilaksanakan karena invansi Jepang.59

F. Konflik-konflik yang Mengakibatkan Keruntuhan Kerajaan


Masa-masa keruntuhan kerajaan Sumenep sebenarnya banyak dipengaruhi
dengan intrik-intrik yang dijalankan oleh kolonial. Seperti yang digambarkan
sebelumnya, kolonial merangseng masuk ke dalam keraton dengan urusan-urusan
administratif yang seringkali diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian yang
merugikan Sumenep, sehingga kekuasaan raja Sumenep makin mengecil dan
akhirnya tertancap sebagai wilayah yang dikontrol penuh oleh kolonial.
Sejak awal didirikannya kerajaan, Sumenep sejatinya selalu berada di bawah
kekuasaan suatu kekuasaan, mulai dari Singasari, Majapahit, Demak, Mataram, VOC,
sampai kolonial. Akan tetapi, cengkraman kekuasaan yang membuat posisi penguasa
Sumenep lemah dan tidak berdaya adalah ketika di bawah kontrol kolonial, yang
dibangun pada masa pendudukan VOC. Pelemahan kekuasaan itu dilakukan oleh
kolonial secara berangsur-angsur. Itulah faktor utama kemunduran hegemoni raja di
Sumenep. Hal ini berbeda dengan faktor-faktor keruntuhan kerajaan-kerajaan besar,
seperti Singasari, Majapahit, dan Mataram, yang hampir semuanya diakibatkan oleh
suatu konflik besar, seperti peperangan.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor utama terjalin hubungan
antara Sumenep dengan VOC, kemudian kolonial, adalah disebabkan oleh
keruntuhan Mataram, yang salah satu pemicu terbesarnya adalah Perang Trunajaya.
Sumenep pada masa keruntuhan Mataram itu juga mulai berusaha melepaskan dirinya
dari cengkraman Mataram, karena diperkirakan banyak merugikan Sumenep. Akan
tetapi, upaya pelepasan diri itu malah membuat Sumenep jatuh ke tangan penguasa
yang lebih buas, yaitu VOC. Hubungan itu menurut cerita yang berkembang dijalin
pada masa pemerintahan Raden Bugan, namun, pendapat ini diragukan.
Meskipun begitu, hubungan yang paling jelas adalah pada tahun 1705, karena
pada tahun itu Mataram melepaskan wilayah Sumenep kepada VOC. Hal ini
merupakan akibat dari bengkaknya peminjaman biaya Mataram kepada VOC,
sehingga berdasarkan perjanjian, Mataram harus melepaskan beberapa daerah
kekuasaannya ke tangan VOC. Di Madura, daerah itu adalah Pamekasan dan Madura.
Seperti yang disebutkan di atas, perjanjian pada tahun 1705 itu mengandung
rumusan:
“Dengan ini yang Mulia secara hukum melepaskan dan menyerahkan ke
dalam perlindungan Kompeni daerah-daerah Sumenep dan Pamekasan yang terletak
di ujung timur Pulau Madura”

58
Kuntowijoyo, Op.Cit., hal. 172.
59
Huub de Jonge, Madura Empat Zaman Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perdagangan Ekonomi,
dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi Op.Cit., hal. 58.
Dari perjanjian ini maka jelas bahwa konflik yang terjadi di Mataram sangat
merugikan Sumenep. Pada tahun 1745, VOC melakukan intervensi yang lebih jauh,
yaitu membagi Madura ke dalam tiga kabupaten, yakni Madura Barat, Pamekasan,
dan Sumenep. Pembagian ini merupakan representatif dari intervensi VOC ke dalam
pengaturan administratif Sumenep. Penguasaan Sumenep memiliki makna karena
Sumenep merupakan wilayah singgah kapal-kapal yang ingin melanjutkan ke Timur
atau sebaliknya. Permainan politik VOC kepada Sumenep adalah memberikan hak
otonomi kepada penguasa Sumenep, namun VOC tetap harus menagih upeti dari
wilayah Sumenep, baik berupa hasil bumi maupun tenaga kerja. Selain itu, ada
beberapa kewajiban yang diberikan pihak VOC kepada Sumenep, seperti kewajiban
raja Sumenep untuk pergi ke Batavia atau Semarang sekali dalam setahun untuk
menghadap Gubernur Jenderal memberikan laporan dan hasil upeti.
Setelah cengkraman VOC usai dan diganti oleh kolonisasi Belanda, Belanda
tetap menggunakan cara-cara pencengkraman melalui kontrak-kontrak. Dengan
perlahan kekuasaan Sumenep pun direbut, wewenang penguasa Sumenep terus
diperkecil. Pada tahun 1854, Belanda pun berhasil menjadikan asisten residen sejajar
kedudukannya dengan bupati (penguasa) Sumenep. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, bupati yang baru dinyatakan memperoleh kekuasaan atas kabupaten
“tanpa hak untuk mewariskannya kepada anaknya atau keturunan selanjutnya”.
Semakin lama Belanda berkuasa di atas tanah Sumenep, maka makin sempit ruang
gerak kekuasaan para penguasa Sumenep. Bahkan berhasil dibuat untuk setia kepada
Belanda. Pada tahun 1857 berlaku kebijakan bahwa Madura terbagi atas residen
dengan ibu kotanya di Pamekasan, sehingga setiap residen itu harus dikepalai oleh
seorang residen utusan Belanda.
Puncak dari intervensi Belanda itu adalah pada tahun 1883 dan 1885. Pada
tahun 1883, kerajaan Sumenep dihapuskan. Sedangkan pada tahun 1885, Sumenep
menjadi salah satu Afdeeling dan Kabupaten di Madura bersama Bangkalan,
Sampang, dan Bangkalan. Afdeeling diketuai oleh asisten residen dan kabupaten
diketuai oleh bupati. Para bangsawan dijanjikan materi-materi yang menggiurkan,
seperti gaji, uang tunjangan, rumah, dan kantor. Dengan memanfaatkan hal itu
Belanda menjadi penguasa yang menggantikan hegemoni para raja, seperti mengatur
urusan pajak, menegakkan hukum, membangun lembaga-lembaga pemerintahan,
membangun benteng, sampai membentuk pasukan militer. Meski dengan begitu
infrastuktur di Sumenep berkembang, namun secara politik, kekuasaan kerajaan
menjadi hilang.

F. Kronologis Peristiwa Sejak Berdiri sampai Keruntuhannya

1269 : Penugasan Aria Wiraraja sebagai raja Sumenep oleh Prabu


Kertanegara
1293 : Penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit pertama dan berkat
bantuan Aria Wiraraja, kekuasaannya dibagai dua, Blambangan dan
Lumajang diserahkan kepada Aria Wiraraja. Pada saat itu, kekuasaan
di Sumenep diserahkan kepada Aria Bangah, adik Aria Wiraraja.
1293 – 1301 : Masa kekuasaan Aria Bangah. Pada masa kekuasaannya keraton
dipindahkan dari Batu Putih ke Banasare.
1301 – 1311 : Masa kekuasaan Aria Lembu Suranggana Danurwenda. Pada masa
kekuasaannya keraton dipindahkan dari Banasare ke Aengnyeor,
Tanjung, Saronggi.
1311 – 1319 : Masa kekuasaan Ario Asrapati.
1319 – 1331 : Masa kekuasaan Panembahan Joharsari. Ada yang berpendapat pada
masanya Islam telah masuk ke wilayah Sumenep.
1331 – 1339 : Masa kekuasaan Panembahan Mandharaka. Pada masa ini, keraton
dipindahkan ke Keles.
1339 – 1348 : Masa kekuasaan Pangeran Bukabu Notoprojo. Keraton dipindahkan
ke Bukabu.
1348 – 1358 : Kekuasaan Pangeran Bukabu Notoprojo diganti oleh saudaranya,
Pangeran Baragung Notoningrat. Keraton dipindahkan ke Baragung.
1358 – 1366 : Masa kekuasaan Raden Anggung Rawit atau Secodiningrat I.
Keraton kembali dipindahkan ke Banasare.
1366 – 1386 : Masa kekuasaan Tumenggung Gadjah Pramudo yang bergelar
Secodiningrat II.
1386 – 1399 : Masa kekuasaan Panembahan Blingi atau Aria Pulang Jiwa. Keraton
dipindahkan ke Blingi.
1399 – 1415 : Masa kekuasaan Pangeran Adi Poday atau Ario Baribin. Keraton
dipindahkan ke Njamplong.
1415 – 1460 : Masa kekuasaan Jokotole yang bergelar Pang. Setjodiningrat III.
Pada masa ini sumber tertulis, yaitu Babad Sumenep, dengan jelas
menceritakan bahwa terdapat persentuhan dengan ulama muslim,
yaitu Sunan Padusan. Dikisahkan bahwa putri Jokotole menikah
dengan Sunan Padusan, ulama keturunan Sunan Ampel. Keraton
dipindahkan ke Banasare.
1460 – 1502 : Masa kekuasaan Raden Ario Wegonando atau Pang. Secodiningrat
IV. Keraton dipindah ke Gapura.
1502 – 1559 : Masa kekuasaan Pangeran Siding Puri atau R. Ario Wonobojo atau
P. Setjodiningrat V. Disebut sebagai keturunan terakhir Aria
Wiraraja.
1559 – 1562 : Masuknya Islam ke keraton Sumenep. Raja Sumenep keturunan
Kesultanan Demak, R. Tumenggung Kanduruan, anak dari Raden
Fatah.
1705 : Mataram menyerahkan Sumenep kepada VOC atas kompensasi
perang Trunajaya.

Anda mungkin juga menyukai