Anda di halaman 1dari 7

Kerajaan Pagaruyung

Oleh : Amatullah Ahdallaili A.A (2211020085)

I. Pendahuluan
Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Batu Sangkar, Luhak Tanah Datar,
merupakan sebuah kerajaan yang pernah menguasai seluruh Alam Minangkabau. Bahkan
pada masa keemasannya kerajaan ini pernah menguasi seluruh wilayah Sumatera Tengah.
Menurut prasasti-prasasti yang ditemukan seperti Prasasti Kubu Rajo, Prasasti
Pagaruyung, dan Prasasti Suroaso. Yang pertama kali mendirikan kerajaan serta raja
pertama dari kerajaan Pagaruyung adalah Adityawarman (1347-1375 M), seorang
paglima perang Majapahit yang juga merupakan keturunan dari kerajaan Darmasraya
(Melayu). Pada mulanya kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Adityawarman yang
juga dibesarkan dalam lingkungan istana Majapahit, merupakan kerajaan yang menganut
agama Budha, baru pada pertengahan abad ke-16 kerajaan Pagaruyung memeluk agama
Islam dimana pada saat itu kerajaan Pagaruyung dipimpin oleh Sultan Alif.
Alam Minangkabau terdiri dari Pesisir, Darat, dan Rantau. Darat merupakan
kekuasaan inti dari kerajaan Pagaruyung terbagi menjadi tiga luhak, yakni Luhak Agam,
Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota. Pada Abad ke-14 saat Adityawarman
mendirikan kerajaan Pagaruyung, ketiga Luhak tersebut praktis masuk kedalam wilayah
kekuasaan dari kerajaan Pagaruyung dimana ketiga Luhak tersebut merupakan wilayah
asli Minangkabau serta pusat kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Tempat raja bertempat
tinggal terdapat di Luhak Tanah Datar tepatnya di Batusangkar.
Sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan Pagaruyung ketiga Luhak tersebut
merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Darmasraya yang merupakan cikal bakal
kerajaan Pagaruyung. Pada pertengahan abad ke-14 saat Adityawarman mendirikan
kerajaan Pagaruyung, dia memindahkan pusat kerajaannya lebih ke daerah pedalaman,
yakni di daerah Batu Sangkar, di Luhak Tanah Datar. Dan Adityawarman mendirikan
pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang terpusat atau sentralisasi, dimana pada
saat itu raja berkuasa penuh serta memiliki wibawa yang cukup besar atas ke tiga Luhak
serta daerah rantau atau daerah taklukkan kerajaan Pagaruyung yang letaknya berada
diluar wilayah ketiga Luhak tersebut yang meliputi seluruh Sumatera Tengah dan
sebagian Sumatera Utara.
Dengan wafatnya Adityawarman dan tepatnya sejak abad ke-15 tidak ada
pemerintah kerajaan Pagaruyung/Minangkabau lagi yang berwibawa dan ditaati oleh
seluruh daerah Alam Minagkabau, pada saat itu menurut (Mansour, 1970:23) “Kerajaan
Pagaruyung adalah konfederasi republik-republik genealogis disebut Luhak”. Yang mana
setiap daerahnya berdiri sendiri-sendiri yang diperintah oleh seorang penghulu yang
memiliki kekuasaan besar atas daerah yang dipimpinnya, pemerintahan penghulu tersebut
disebut Nagari.

II. Pembahasan
Sumber Sejarah Kerajaan Pagaruyung
Merujuk pada sumber sejarah, Kerajaan Pagaruyung dipimpin seorang raja
bernama Adityawarman (Prasasti Amoghapasa). Prasasti Amoghapasa tertulis pada
bagian belakang stela patung baru yang disebut paduka Amoghapasa sebagaimana
disebutkan dalam Prasasti Padang Roco. Pada tahun 1347 M, Adityawarman menambah
pahatan aksara pada bagian belakang patung tersebut untuk merayakan bahwa patung ini
melambangkan dirinya.
Patung Amoghapasa merupakan hadiah dari Raja Kertanegara dari Singasari
kepada Tribhuwanaraja (Raja Melayu di Dharmasraya) pada tahun 1286 M. Pada bagian
lapik arca, terdapat manuskrip yang disebut Prasasti Padang Roco. Manuskrip yang
dipahat pada bagian belakang patung dituliskan dalam bahasa Sanskerta. Tata bahasa dari
pahatan mansukrip ini tidak terstruktur, sehingga menyulitkan dalam menerjemahkannya
secara benar. Sebagian besar isinya merupakan puji-pujian kepada Adityawarman.
(Wintala Achmad, 2021:102)
Dari beberapa teks yang sudah jelas dapat membantu perkiraan maksud dari
manuskrip ini, fokus utama adalah tentang pengukuhan atau pratista dari patung
Amoghapasa oleh Acarya (pendeta guru) Dharmasekara atas perintah Adityawarman
(Adityawarmodaya). Disebutkan pula, Aditywarman menyatakan dirinya menjadi
Maharajadiraja bergelar Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra
Maulimali Warmadewa dengan memulihkan keadaan sebelumnya (Kerajaan Melayu) dan
kemudian menamakannya Malayapura pada tahun 1347 M.
Kandungan di dalam Prasasti Amoghapasa ini sama dengan kandungan dalam Prasasti
Batu Sangkar yang menyebutkan bahwa Adityawarman sebagai Raja (Tuan Surawasa) di
Pagaruyung.

Berdirinya Kerajaan Pagaruyung


Nama Kerajaan Pagaruyung dirujuk dari nama pohon nibung atau ruyung atau
inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar yaitu pada tulisan beraksara Jawa
dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi “Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan
Khalifatullah yang mempunyai takhta kerajaan dalam Negeri Pagaruyung Darul Qarar
Johan Berdaulat Zillullah fil ‘Alam”.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang
Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 M Adityawarman memproklamirkan diri
menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti
yang terpahat pada Prasasti Kuburajo, dan anak dari Dara Jingga putri dari kerajaan
Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama
Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa
pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke
daerah pedalaman Minangkabau.
Dari Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman
menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang
senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu
Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai
dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan
(kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi
tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat
menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang
signifikan pada kawasan tersebut.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting
di Sumatra, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari
prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut
sesuatu hal yang berkaitan dengan Bhumi Jawa dan kemudian dari berita Tiongkok
diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali
selama rentang waktu 1371 M sampai 1377 M.
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan
kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409 M. Legenda-legenda
Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang
Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang
bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Fase-fase Perkembangan Kerajaan Pagaruyung


Pengaruh Hindu-Budha di Sumatra bagian tengah telah muncul kira-kira pada
abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara,
dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatra
bagian tengah dan sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang
didapati oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan
Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja
melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara
peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat
dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 M tentang adanya utusan San-fo-ts'i
kepada Kaisar Tiongkok yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada
kawasan San-fo-ts'i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatra tengah sampai sekarang masih dijumpai
pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padang Roco, kawasan
percandian Padang lawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan
tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat
ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari
Mongol dan raja Kertanegara dari Singasari.
Ketika agama Islam masuk dan berkembang terutama sejak abad ke-16 yang
dimana pengislaman kerajaan Pagaruyung tak terlepas dari peran Kesultanan Aceh yang
saat itu sudah menguasai daerah-daerah pantai di Pesisir Barat yakni mulai dari Barus,
Tiku, Pariaman, hingga Indrapura. Pada masa itu kekuasaan raja yang berada di Batu
Sangkar tidak lebih sebagai simbolis saja, pada saat itu banyak daerah dari ketiga Luhak
yang berdiri sendiri-sendiri dan diperintah oleh seorang penghulu di tiap-tiap Nagari.
Kekuasaan raja pada saat itu hanya merupakan simbol belaka, tidak memerintah dan
hanya menjalankan upacara-upacara yang ditetapkan adat, akan tetapi tetap mendapatkan
penghormatan dari rakyat. Yang menurut (Amran, 1981:53) “nama kerajaan
Minangkabau (Pagaruyung) tidak lain dari nama kolektif untuk begitu banyak Nagari,
daerah-daerah merdeka berbentuk republik-republik mini, tetapi dari keturunan yang
sama, mempunyai adat istiadat dan bahasa yang sama pula”.
Agama Islam masuk ke Minangkabau dengan cara yang damai, agama ini disebar
luaskan oleh Kesultanan Aceh yang saat itu telah menguasai sebagaian besar wilayah
Pesisir Pantai Barat Sumatera. Awalnya Islam menyebar dari pesisir lalu terus masuk
kedalam ke wilayah kerajaan Pagaruyung dan akhirnya raja beserta para pemuka adat
menerima ajaran ini dan menjadikan Islam sebagai agama (lebih tepatnya pada masa
pemerintahan Sultan Alif dimana Syekh Burhanuddin yang berasal dari Aceh yang
memiliki peran meng Islamkan raja, serta mendirikan pusat pendidikan Agama yang
terdapat di Ulakan, Syekh Burhanuddin juga mendapat julukan Tuanku Ulakan dan
sampai sekarang makamnya masih ada dan ramai dikunjungi).
Dengan cepat Agama Islam menyebar dan dianut oleh mayoritas penduduk
Minangkabau, baik oleh raja, penghulu, sampai kaum ninik mamak, dan rakyat. Agama
Islam dengan cepat menyatu dengan adat sehingga ada pepatah Minang yang
menyebutkan “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”, (Syara’ berarti agama
yang berarti Islam). Kaum Penghulu dan Ulama hidup berdampingan di dalam suatu
Nagari, para Ulama bertugas mengajarkan ilmu agama di surau-surau dan hanya terbatas
pada ilmu agama saja.
Kehancuran kerajaan ini bermula pada abad ke-19 saat terjadinya konflik antara
kaum padri dan kaum adat.
Meskipun sudah melalui beberapa kali perundingan, tapi tidak ada kesepakatan
yang bisa ditemukan di antara mereka. Hal tersebut membuat negeri Pagaruyung
bergejolak dan puncaknya terjadi perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman
menyerang Pagaruyung tahun 1815 M. Di saat yang sama, Sultan Arifin Muningsyah
harus melarikan diri ke lubuk Jambi karena terdesak oleh kaum Padri.
Karena terhimpit, keluarga Kerajaan meminta bantuan Belanda dan
menandatangani perjanjian kerjasama dengan mereka untuk melawan kaum Padri.
Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar yang menjadi
perwakilan kerajaan Pagaruyung. Akibat perjanjian tersebut menjadi tanda bahwa
Pagaruyung telah menyerah kepada pemerintah Belanda.
Belanda secara resmi mendapatkan Pagaruyung dari tangan Kaum Padri. Bahkan
pihak pemerintah Hindia Belanda membatasi keinginan Sultan Tangkal Alam
Bagagarsyah untuk menjadi raja di Pagaruyung. Hal ini membuat Sultan Tangkal Alam
Bagagarsyah berusaha mencari cara untuk mengusir Belanda dari negerinya. Konflik ini
menjadi awal pecahnya pemberontakan tahun 1841 M sekaligus berakhirnya Pagaruyung
karena tidak dapat direbut dari tangan Belanda.

III. Penutup
Kerajaan pagaruyung merupakan lanjutan dari kerajaan Darmasraya. Sebelumnya,
kerajaan Darmasraya merupakan kerajaan terbesar dan terkuat di Sumatera, hal inilah
yang mengundang raja Kertanegara untuk mengadakan hubungan persahabatan ke
kerajaan Darmasraya. Maka diadakanlah hubungan diantara kedua kerajaan tersebut yang
dimulai dengan ekspedisi yang dilakukan kerajaan Singashari ke kerajaan Darmasraya,
atau yang lebih dikenal dengan ekspedisi Pamalayu. Dimana ekspedisi Pamalayu ini
merupakan tindakan dari kerajaan Singashari untuk menjalin persahabatan dengan
kerajaan Darmasraya.
Adityawarman merupakan salah seorang panglima perang kerajaan Majapahit dan
juga seorang pejabat istana yang memiliki kedudukan penting di istana Majapahit.
Setelah gagal menduduki tahta Majapahit sepeninggalnya Jayanegara yang juga
merupakan sepupunya, Adityawarman kemudian kembali ke kerajaan darmasraya dan
disana ia dinobatkan sebagai raja. Setelah menjadi raja di Darmasraya Adityawarman
kemudian memindahkan pusat kekuasaannya ke daerah lebih pedalaman dan kemudian
mendirikan kerajaan Pagaruyung, yang mana nama Pagaruyung diambil dari nama
wilayah tempat pusat kekuasaan kerajaan yang baru didirikan Adityawarman, yakni
Nagari Pagaruyung yang ada di Luhak Tanah Datar. Pemindahan kekuasaan dan
pendirian kerajaan Pagaruyung ini dilakukan untuk memperkuat kedudukan
Adityawarman di Sumatera dan juga untuk melepaskan hubungan dengan Majapahit.

Anda mungkin juga menyukai