Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PENGANTAR SEJARAH INDONESIA

“Masa Pemerintahan Raja Airlangga”

Disusun oleh :

ROSA CAHYATIKA
(13030119140106)

Departemen Ilmu Sejarah


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro Semarang
2019
MASA PEMERINTAHAN RAJA AIRLANGGA

Airlangga merupakan raja di Kerajaan Kahuripan. Dalam silsilah yang dibuat Raja
Airlangga ia termasuk keturunan dari Raja Mpu Sindok yaitu pendiri wangsa Isana yang
memerintah kerajaan Mataram Kuno di Jawa pada tahun 929-928 M. Raja Airlangga bukan
merupakan keturunan langsung dari Mpu Sindok. Namun, anak perempuan Mpu Sindok
yaitu Sri Isnatunggawijaya menikah dengan Sri Lokapala yang kemudian memiliki keturunan
Sri Makutawangsawarddhana lalu,Sri Makutawangsawarddhana memiliki anak
Mahendraddata yang menilah dengan Dhammodayana yang merupakan putra mahkota
Wangsa Warmmadewa Gari Bali, yang mempunyai tiga orang putra yaitu Airlangga,
Marasuba Pangkaja, dan Anak Wungsu ( Munandar, 2012: 190).
Airlangga adalah penerus generasi Raja Mataram kuno dan Medang yang berpusat di
Jawa timur. Airlangga memerintah tahun 1019-1042 M. Pusat pemerintahanya berada di
tiga ibu kota yaitu Wwtan Mas berdasarkan berita prasasti Cane 1021 M, Kahuripan
berdasarkan prasasti Kamalagyan 1037 M, Dahanapura berdasarkan prasasti Pamwtan
1042 M (Buchari, 1968:26).
Pada usia 16 tahun Airlangga dikirim ke Jawa untuk dinikahkan dengan anak dari
Darmawangsa Tguh. Pernikahan tersebut tidak berjalan lama dikarenakan kerajaan tersebut
diserbu oleh raja dari kerajaan bawahan yang bernama raja Wurari. Putri atau istri dari Raja
Airlangga meninggal dalam peperangan. Peristiwa itu disebut sebagai Pralaya.
Dalam Prasasti Pucangan dijelaskan bahwa saat itu Airlangga lolos dari peperangan,
kemudian ia lari dengan Hambanya Narottama. Ia juga disebutkan sebagai penjelmaan dari
Dewa Wisnu sehingga ia tidak dapat binasa oleh kekuatan mahapralaya. Airlangga tinggal di
lereng gunung bersama seorang pendeta dan hambanya yang setiaa yaitu Narottama.
Selama tinggal disana ia hidup layaknya seorang pertapa yaitu memakai pakaian dari kulit
kayu dan makan apa saja yang diberikan oleh sang pendeta. Airlangga memulai
konsistensinya dalam menjalankan dharma di tempat pertapaan. Airlangga bertapa dengan
tujuan untuk memperkuat kesaktiannya dan ingin membangun kerajaan kembali ( Vlekke,
1943:49).
Bertahun-tahun Airlangga menghabiskan waktunya bersama pertapa-pertapa di
gunung dan hutan tidak terbuang sia-sia karena selama itu ia menghimpun kekuatan fisik
dan moral untuk mencapai tujuannya. Airlangga menyatakan bahwa masa penguasaan diri
itu akhirnya memberikan keberhasilan. Selama ia tinggal di hutan,ia tidak melupakan
pemujaan terhadap dewa-dewa siang sampai larut malam. Karena itu cinta para dewa
sangat besar kepada Airlangga dan para dewa mengarapkan ia pohon memiliki pohon
keinginan untuk memperbaiki dunia, memperbaiki bangunan-bangunan suci, dan
menghancurkan semua kejahatan yang ada di bumi.
Pada tahun 1019,Airlangga direstui sebagai raja oleh para pendeta dan para rakyat
untuk menduduki tahta. Pada waktu itu kerajaan yang ia pimpin memiliki kondisi yang
sangat memprihatinkan, berjalan tanpa raja atau pemimpin dan mengalami krisiss
kepercayaan dari kerajaan-kerajaan yang berada di bawahnya, serta terancam perpecahan.
Maka dari itu, Airlangga diharapkan dapat memperbaiki keadaan kerajaan yang dipimpinnya
( Munandar, 2012:190).
Mengenai masa pemerintahan, Raja Airlangga telah banyak menerbitkan prasasti.
Salah satunya adalah Prasasti Pucangan, prasasti tersebut menceritakan tentang banyak
peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahannya yaitu berisi tentang penyerangan
terhadap kerajaan-kerajaan kecil maupun penyerangan terhadap daerah bawahan yang
merupakan sekutu dari lawan besarnya. Raja Airlangga telah berhasil membawa
kerajaannya besar dan berjaya.
Masa pemerintahan Raja Airlangga dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu fase
konsolidasi, keemasan, dan akhir. Hampir tiga perempat dari seluruh masa pemerintahan
Airlangga dapat dianggap sebagai masa konsolidasi, yaitu saat ia berjuang untuk
menegakan hegemoni kerajaannya yang dilaksanakan dalam bentuk penaklukan daerah
yang semula menjadi bawahannya tetapi melepaskan diri setelah peristiwa Pralaya. Upaya
menegakan hegemoni dapat dilihat dari isi-isi prasasti yang dikeluarkan tahun 941 saka
(1019 M)- 959 Saka (1037). Kejadian itu dijelaskan secara panjang lebar di dalam
prasastinya, prasasti Cane, Baru, Kakurugan, Tĕrĕp, Pucangan, dan lain-lain. Masa
penaklukan berganti dengan masa keemasan yang hanya berlangsung singkat pada 1037.
Dapat diketahui dari isi prasasti Kamalagyan bahwa raja dapat memerintah dengan tenang.
Sampai muncul prasasti Gandakuti (1042) yang menyebutkan bahwa raja mengundurkan diri
dari takhta untuk menjadi pendeta. Peristiwa itu dimaknai sebagai akhir kejayaan Raja
Airlangga dan Kerajaan Mataram kuna walaupun isi prasasti lain, yang sesudahnya dan
naskah mengisyaratkan bahwa Raja Airlangga benar-benar mundur sekitar 1044.
Sejak menjadi raja, dapat diketahui bahwa Airlangga memiliki dua gelar abhiseka,
yaitu gelar yang disandang ketika mennduduki tahtanya serta menjalankan pemerintahan
dan sebagai raja yang hidup sebagai pendeta. Gelar yang disandang Airlangga ketika
memerintah adalah Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga dan
gelar yang dipakai setelah ia turun dari tahta adalah Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catra
ning Bhuwana (Munandar, 2012:191)
Sri Maharaja merupakan sebutan jabatan yang disandanggnya sedangkan Rakai Halu
adalah gelar sebagai penguasa atau pemimpin dari daerah Lungguh Halu yang dapat
diartikan sebagai gelar pejabat tinggi kerajaan yang setingkat lebih rendah dari putra
mahkota ( Rakai Hino). Gelar Rakai Halu yang disandang oleh Airlangga dapat diartikan
bahwa sebetulnya ia bukanlah putra mahkota yang seharusnya memimpin kerajaan. Ia
menjadi raja dapat disebabkan oleh terbunuhnya putri dari Raja Darmawangsa Tguh pada
peristiwa Pralaya yaitu saat perayaan perkawinannya dengan putri Darmawangsa Tguh yang
seharusnya menduduki tahta kerajaan.
Selama masa pemerintahannya, Raja Airlangga banyak melakukan berbagai
perbaikan di empat sektor kehidupan bernegara: politik, ekonomi, agama, dan masyarakat.
Di dalam bidang politis, ia berhasil menegakkan kembali hegemoni kekuasaannya dengan
membuat raja-raja bawahannya mengakui kembali kedaulatannya( Sunandar, 2012:191).
Pengaruh kekuasaannya tidak terbatas di Jawa Timur tetapi juga di wilayah Sunda
dan Sumatra serta Bali. Bahkan Casparis memperkirakan bahwa ia mempunyai jaringan
dengan raja-raja di kawasan Asia Tenggara. Di bidang ekonomi, Raja Airlangga menanggapi
tantangan pola perdagangan emporia yang berkembang di daerah Eropa dan Asia serta
berambisi menggantikan fungsi Sriwijaya sebagai pelabuhan transit internasional.
Sebagaimana diketahui, pada saat itu Sriwijaya dalam keadaan lemah karena serangan Raja
Rajendra Chola I. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Airlangga dengan langkah pasti
memperkuat perdagangan lewat laut, yaitu membangun pelabuhan transit internasional
Kambang Putih dan membenahi pelabuhan regional Hujung Galuh. Data mengenai
perkembangan itu dapat dijumpai di dalam isi prasasti Kamalagyan dan prasasti Kambang
Putih.
Selain itu, di sektor ekonomi, Airlangga juga meningkatkan pertanian sawah di
sekitar daerah aliran sungai Brantas dan sungai Solo dengan memperbaiki irigasi. Dari pola
distribusi situs temuan prasasti, dapat diperkirakan bahwa Raja Airlangga menaklukkan
daerah aliran sungai yang mengarah ke suatu titik di pantai utara Jawa, yaitu di sekitar
Tuban, tempat ditemukan prasasti Kambang Putih. Temuan arkeologis di daerah itu
menunjukkan konsentrasi pecahan keramik dari daerah India dan Asia Tenggara abad XII–
XIII. Isi prasasti Kambang Putih juga menyebutkan bahwa raja yang memerintah saat itu
adalah Rakai Garasakan. Para ahli berpendapat bahwa ia adalah anak Raja Airlangga yang
memerintah di Janggala, yaitu salah satu bagian dari Kerajaan Airlangga setelah dibagi dua.
Hal yang menguatkan asumsi itu adalah penggunaan lancana Airlangga, garudamukha
sebagai lambang prasasti Kambang Putih itu.
Di bidang sosial, Raja Airlangga mengembangkan pemberian hak istimewa pada
orang-orang yang pernah berjasa kepadanya ketika ia harus terus-menerus berperang
menegakkan hegemoninya.Dalam strategi dan siasatnya Raja Airlangga memberikan hak
istimewa pada beberapa kasta di kerajaannya, hal tersebut dilakukan oleh Airlangga sebagai
bentuk anugrah karena telah mengabdikan diri kepada kerajaan. Oleh karena itu, Airlangga
dalam strateginya telah memberikan kebijakan khusus pada masyarakat Astabrata dan
memberikan hak istimewa bagi rakyatnya yang terbagi menjadi beberapa kasta, yakni; Kasta
Brahma, kasta Ksatria, kasta Waysa, Sudra dan Warga Kilalan (warga asing).
Menurut isi dari Prasasti Pucangan menjelaskan bahwa Airlangga dalam
memberikan hak istimewa berupa Anugerah pada kaum Brahmana yang dikeluarkan pada
masa Raja Airlangga, dimana Prasasti Pucangan dan Terep tersebut menyebutkan
pemberian hak beribadah, menyembah, status sosial bagi Brahmana dan status ekonomi
yang istimewa.
Dalam data Prasasti Kakurugan tersebut sangat jelas bahwa hak istimewa yang
diberikan Raja merupakan rincian gaya hidup yang hanya dimiliki oleh golongan raja,
keluarganya dan para kasta Ksatria. Hak istimewa tersebut berupa rumah, bisa membunuh
dan kekayaan ekonomi yang lebih tinggi dari kasta di bawahnya. Sedangkan untuk
Dyah Kaki Ngadulungen memiliki hak istimewa yang sama dengan raja, terlebih diberi tugas
untuk mengawasi wilayah-wilayah kerajaan.
Kasta Waisya sebagai status paling bawah dibanding dengan Brahmana atau Ksatria
tetap memiliki hak istimewa. Dari segi sosial Raja Airlangga memiliki hubungan erat dengan
rakyatnya, sekalipun kenyataannya pada masa pemerintahan tetap ada untuk feudal yang
tidak bisa dilepaskan, namun rakyat tetap memiliki hak komunitas untuk meminta bantuan
pada sang raja ketika rakyat sudah tidak bisa mengatasi permasalahan.
Dalam prasasti Kelagen atau Kamalagyan yang dibuat untuk memperingati
pembuatan bendungan di Waringin Sapta, dimana dalam prasati ini menyebutkan bahwa
raja telah memberikan pengurangan pajak yang harus diserahkan para istana untuk Desa
Kamalagyan, Pangkaja, Kebun Sirih, tepian-tepian sungai dan rawa-rawa. Diketahui bahwa
pajak yang diberikan pada istana seluruhnya bernilai 17 Swarna, 14 masa, 4 kupang dan 4
satak serta dikurangi 10 swarna khusus diberikan pada Raja Airlangga di bulan Asuji, Dari
daerah Kalagyan Sandangan, yang pajaknya 2 swarnna dan 10 masa emas, dikurangi 2
swarnna untuk diterimakan kepada wargga hatur demi kepentingan bendungan itu juga,
sedangkan dari Kakalangan yang pajaknya 1 masa dan 2 kupang, dikurangi 1 masa untuk
diterimakan kepada wargga pati untuk kepentingan bendungan it., Sementara, pajak
tersebut juga untuk keperluan merawat bendungan. Namun, untuk pajak perdagangan yang
diberikan pajak berupa mata uang perak tidak dikurangi.
Raja Airlangga juga memiliki alasan yang cukup kuat dalam memberi anugerah
tersebut yakni karena Bengawan (Brantas) sering menjebil tanggul di Waringin Sapta hingga
menyebabkan desa di sekitar hilir mengalami banjir. Disebutkan juga desa tersebut ialah
desa Lusun, Panjuwuan, Panjiganting, Sijanantyesan, Talan, Dasapangkah dan Pangkaja. Tak
hanya itu, desa di daerah status Sima, Kalang, Kagyan, Thani Jumput, Biara-Biara, Bangsal-
Bangsal kamulan, bangunan suci pemujaan terhadap dewa dan pertapaan pada Sang Hyang
Dharmma ring Isanabhwana daerah labapura di Surapura ( Supratikno, 2002: 360).
Disitu rakyat mulai khawatir dikarenakan rakyat sudah dua kali memperbaikinya
namun selalu gagal. Disitulah Raja Airlangga membuat kebijakan yaitu dengan melakukan
kerja bakti membuat bendungan dan ini merupakan tantangan yang besar bagi masyarakat
untuk menyelesaikan perkara ini.
Banjir bah yang selalu membawa malapetakan dari segi social, ekonomi, politik dan
agama mampu di selsaikan dan tampil kemuka dalam gelanggang sejarah Indonesia.
Disitulah letak kebahagiaan kasta Sudra ketika bendungan kukuh dan kuat dan aliran sungai
Brantas telah dipecah menjadi kearah utara, besuka citalah para masyarakat yang
mengambil dagangan di Hubung Galuh, hal serupa juga dinikmati oleh para pedagang dan
nahkoda dari pulau-pulau lain, dimana mereka semua berkumpul di Hujung Galuh. Untuk
para petani yang semula sawahnya kebanjiran kini bisa menggarap sawahnya berkat
bendungan.
Bendungan di Waringin Sapta tersebut diberi nama bendungan Sri Maharaja.
Namum, Raja Airlangga berfikir bahwa kemungkinana ada yang akan merusak atau
menghancurkan mahakarya tersebut. Sehingga ia meminta penduduk Desa Kamalagyan
untuk menjaga bendungan tersebut, untuk mengantisipasi semua orang yang hendak
menghancurkan bendungan itu. Untuk itu, mereka mendapatkan bagian pajak seperti yang
telah disebutkan di atas, yaitu jumlah yang dikurangkan dari pajak yang semestinya disetor
ke kas kerajaan.

Dengan demikian, Raja Airlangga yang menerima pujian sebagai ratu cakrawati
dengan memperbaiki semua bangunan dan tempat suci serta daerah dengan status dima,
hal ini sebagai bentuk pendewasaan kerajaan di masa pemerintahannya, karena itulah Raja
Airlangga selalu menyebarluaskan perbuatan Darma agar ditiru oleh rakyatnya serta supaya
rakyat berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Dalam bidang agama, Raja Airlangga semasa hidupnya banyak menaruh perhatian
khusus terhadap kehidupan keagamaan. Sumber mengenai kehidupan keagamaan masa
Airlangga diperoleh dari prasasti-prasasti, naskah kuno, Arca, relief dan bangunan suci di
wilayah kerajaan Airlangga.
Ajaran agama Hindu yang berkembang pada masa pemerintahan Raja Airlangga
adalah aliran Hindu Dharma. Dharma berasal dari kata dhr yang berarti menjinjing,
memelihara, memangku dan mengatur. Kata dharma dapat berarti sesuatu yang mengatur
dan memelihara dunia beserta semua makhluk ( Tim, 1996 : 68).
Dharma adalah ajaran caturasrama yang terdiri dari brahmacarin, greastha,
wanaprastha dan sanyasin. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan peninggalan kebudayaan
yaitu patung Airlangga yang menaiki burung garuda menandakan bahwa raja tersebut
diwujudkan sebagai Wisnu yang berarti sebagai pemelihara dan pelindung alam semesta.
Prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja Airlangga yang menaruh perhatian khusus
terhadap kehidupan keagamaan terutama pemanjatan doa dari raja kepada para dewa
untuk permohonan perlindungan pengukuhan wilayah sebagai status Sima diantaranya:
1. Prasasti Terep
2. PrasastiBaru 952 Saka
3. Prasasti Gandhakuti 964 Saka
4. Prasasti lawan ( tanpa angka tahun)
Airlangga memerintah dengan adil terutama dalam kehidupan keagamaan. Golongan
agamaHindu aliran Siwa, Rsi, Brahma dan Budha telah hidup berdampingan dan mendapat
perlindungan oleh raja. Seperti yang terdapat dalam prasasti Baru 952 S, Prasasti Pucangan
Jawa kuno 963 S, Prasasti Lawan (tanpa angka tahun) dan Prasasti Gandhakuti 964 S.
Prasasti Pucangan Sansekerta 959 S baris ketiga, Airlangga dipersamakan dengan Sthanu
nama lain dari dewa Siwa. Prasasti tersebut memberikan keterangan bahwa Raja Airlangga
beragama Hindu Siwa.
Prasasti Pucangan Jawa kuno 963 S baris ke 11-12 menyebutkan bahwa Airlangga
adalah seorang raja yang semasa hidupnya senantiasa memanjatkan doa pada para Dewa
diwaktu siang dan malam hari, akibatnya para dewa belas kasih kepadanya dan para Dewa
mempercayakan Airlangga untuk melindungi dunia serta mewarisi kewibawaan nenek
moyang untuk memperbaiki kesenangan dunia, menghidupkan kembali san hyan
sarwwadharma (semua ajaran tentang kebaikan).
11....tatan wismreti sri maharaja ri
karadhanan bhatara rin ahoratra, nimittani
mahabharanyasihnin sarbwadewata I sri
maharaja, an sira pi-
12....nratyayanin sarbwadewata
kalpapadapa nahobana bhuwana,
kumalilirana kulitkaki, makadrbya n
rajalaksmi muwahakna harsanikananrat,
munarjiwakna san hyan sarwwadharma.
Artinya :
11....Raja tidak pernah lupa memanjatkan
doa bagi para Dewa, akibatnya belas kasih
para Dewa kepadanya sangat besar / bahwa
para
12. dewa mempercayakan pohon harapan
untuk melindungi dunia, bahwa dia harus
mewarisi kewibawaan nenek moyang dalam
memiliki wahyu keraton untuk perbaikan
kesenangan dunia, menghidupkan kembali
san hyan sarwwadharma (semua ajaran
tentang kebaikan)
Airlangga semasa hidupnya juga banyak menaruh perhatian khusus bagi
kehidupan keagamaan, terutama agama Hindu. Berita tersebut diperoleh dari prasasti-
prasasti yang dikeluarkanya, Airlangga semasa hidupnya kerap kali menyuruh untuk
membuat bangunan suci keagamaan seperti tempat-tempat pemujaan dan asrama bagi
para pendeta.Prasasti-prasasti Airlangga yang menyebutkan pembuatan bangunan suci
diantaranya Prasasti patakan baris ke 14 dan 16 menyebutkan bahwa terdapat bangunan
suci sang hyang patahunan di patakan.
14....Sang Hyang Patahunan ri Patakan
16....ri Patakan Sang Hyang Patahunan22
Prasasti Terep 1032 M menyebutkan terdapat bangunan suci patapan i trep.
Prasasti Kamalagyan/ kalagen 1037 M baris ke 9 menyebutkan bahwa terdapat bagunan suci
sang hyang dharma ringcanabhawana mangaran I Surapura di kamalagyan.Prasasti
Pucangan Sansekerta 959 S baris ke 32 menyebutkan bahwa setelah Airlangga menaklukan
musuh-musuhnya, maka atas ketaatan janjinya Raja Airlangga membuat pertapaan suci
yang indah dilereng pegunungan Pugawat.
Prasasti Pucangan Jawa kuno 1041 M baris 31-32 menyebutkan bahwa
setelah raja Airlangga menaklukan musuh-musuhnya, Raja Airlangga mendirikan bangunan
pertapaan di Pucangan. Pendirian bangunan pertapaan di Kapucangan tersebut dibuat atas
janji yang pernah diucapkan oleh Raja Airlangga. Ketaatan janji tersebut menandakan bahwa
Raja Airlangga konsisten dengan apa yang pernah diucapkanya yaitu mendirikan sebuah
bangunan suci di Pucangan.
31. ….. madamel yasa pa
32. tapan in pucangan
Artinya :
31. melaksanakan janji mendirikan
32. Pertapaan di Pucangan.
Raja Airlangga saat memerintah di Jawa Timur diduga telah memeluk agama Hindu
aliran Siwa seperti yang terdapat dalam isi prasasti Pucangan Sansekerta 959 saka, pada bait
ketiga yang isinya Airlangga dipersamakan dengan sthanu nama lain dari dewa Siwa.
3.....yas sthanur apyatitara apy avep-
sitarthaprado gunair jagatam kalpadru
mam atanum adhah karoti tasmai
siwayahnamah.
Artinya :
3. Penghormatan bagi Siwa, yang besarnya
mengatasi pohon ajaib (yang memenuhi
semua harapan), karena ia adalah sthanu,
karena kesempurnaanya dalam kadar yang
lebih tinggi memenuhi harapan dan
kebutuhan makhluk hidup. (Susanti, 2010:109)
Airlangga menganut agama Hindu aliran Siwa dibuktikan dengan sumber Kakawin
Arjunawiwaha karya Pu Kanwa juga menjelaskan adanya tokoh Arjuna yang dipersamakan
dengan Airlangga melakukan pemujaan kepada Siwa, mewarisi senjata-senjata Siwa dan
menyatukan diri dengan Siwa untuk mempersiapkan diri berperang melawan raja
Niwatakawaca.Cerita tersebut juga dijumpai dalam panel relief pada beberapa candi antara
lain : di candi Jago, candi Surawana, candi Kedaton, gua Selamangleng Kediri dan gua
Selamangleng Tulung Agung.
DAFTAR PUSTAKA
Munandar, Agus Arif. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 2. Jakarta. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Vlekke, Bernard H. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta. PT Gramedia
Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa. Jakarta. PT Komunitas Bambu

Jurnal:
Astriana, Siti. 2019. UPAYA – UPAYA RAJA AIRLANGGA DALAM MENSEJAHTERAHKAN
RAKYAT PADA TAHUN 1019 – 1042 M. Jurnal Pendidikan Sejarah. 9(1) : 2-3.
Rahadi, Deny Gita Bagus. 2013. KONSISTENSI RAJA AIRLANGGA DALAM MENJALANKAN
DHARMA DI JAWA TIMUR ABAD X-XI M. e-Jurnal Pendidikan Sejarah. 1(1) : 2-5.
Sandi, Ameerson Diga. 2015. BANJIR SUNGAI BRANTAS MASA RAJA AIRLANGGA ABAD XI
Berdasarkan Prasasti Kamalagyan 1037 M .e-Journal Pendidikan Sejarah. 3(1). 3-5.

Anda mungkin juga menyukai