Anda di halaman 1dari 5

Airlangga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


"Erlangga" beralih ke halaman ini. Untuk penerbit, lihat Erlangga (penerbit). Untuk pemain sepak
bola, lihat Airlangga Sucipto. Untuk universitas, lihat Universitas Airlangga.

Patung Airlangga yang didewakan berupa Dewa Wisnumengendarai Garuda, ditemukan di desa Belahan,
koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.

Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan
Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri
Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia
memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan
keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua
menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai
saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di
Indonesia.

Daftar isi
[sembunyikan]

1Asal usul
2Masa pelarian
3Masa peperangan
4Masa pembangunan
5Pembelahan kerajaan
6Akhir hayat
7Kahuripan, Daha atau Panjalu
8Pemakaian nama Airlangga
9Kepustakaan
10Referensi

Asal usul[sunting | sunting sumber]


Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana,
raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang
putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup
kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta
mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka)
dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang
dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa
Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Masa pelarian[sunting | sunting sumber]


Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa
Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang
sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba
kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram,
Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam
prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga
dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka,
atau sekitar 1006/7.[2]
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan
pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia
16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga
sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya
membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun
membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.[3] Ketika
Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi
daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah
bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan
Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa
mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Masa peperangan[sunting | sunting sumber]


Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan
melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak
berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut
musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan
(1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjosekarang).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin (dari?)[butuh rujukan]. Pada tahun 1030 Airlangga
mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja
Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan
oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari
daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas
dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji
Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat
dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja
Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas
pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma
melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Masa pembangunan[sunting | sunting sumber]


Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang
dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan
Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta
dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa
Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti
Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi
kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya
antara lain.

Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.


Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas,
dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu
Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna
Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan
perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan
Wurawari.

Pembelahan kerajaan[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia
kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia
bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042)
yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka
Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup
sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021)
sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat
Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat
menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat
ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah
menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[butuh rujukan] sebagai
raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan
perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon
Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru.
Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri
Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama,
yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan
dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku.
Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal
tersebut.

Akhir hayat[sunting | sunting sumber]


Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059)
peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan
di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti
Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut
ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui
Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat
diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan
ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun
itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Kahuripan, Daha atau Panjalu[sunting | sunting sumber]


Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan.
Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah
dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut
Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai
raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Pemakaian nama Airlangga[sunting | sunting sumber]


Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi beberapa nama, antara lain:

1. Nama sebuah kelurahan di Surabaya.


2. Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua
dan ternama di Indonesia.
3. Di Kota Kediri terdapat Museum Erlangga.
4. Di Jakarta terdapat Penerbit Erlangga.
Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai nama jalan.

Kepustakaan[sunting | sunting sumber]


Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai
Pustaka.
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ Tim Temukan Situs Wura-Wari di Cepu, Ekspedisi Bengawan Solo "Kompas" 2007, edisi Sabtu,
16 Juni 2007. (versi buku)
2. ^ de Casparis, J.G., Airlangga, The Threshold of the Second Millennium, IIAS Newsletter Online,
No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).
3. ^ Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).
Kategori:
Kelahiran 990
Kematian 1049

Anda mungkin juga menyukai