Anda di halaman 1dari 15

Kerajaan Kadiri 

atau Kediri (Jawa: ꦥꦁꦗꦭꦸ ꦏꦣꦶꦫꦶ) disebut juga sebagai Panjalu adalah


sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, antara tahun 1042-1222 M. Dan
merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan Airlangga. Sebelum
pembagian kerajaan, Panjalu adalah wilayah dari Medang Kahuripan. Kerajaan ini dipimpin
oleh wangsa Isyana dan berpusat di Dahanapura, adalah nama kota kuno di masa lalu yang
sekarang menjadi bagian dari Kota Kediri.

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Arca Dwarapāla (penjaga gapura) Totok Kerot, Kediri.

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum peristiwa pembelahan kerajaan oleh Airlangga. Daha


merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti
Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon
Arang, bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada
di Kahuripan, melainkan telah berpindah ke Dahanapura dan menyebut Airlangga sebagai raja
Daha.
... 15. Sigra datang pwa sirêng sagara Rupěk, mantas ta sira ngkana, Sang Yogîswara Mpu
Baradah. Tan lingěn pwa sirêng (h)ěnu lampah Sang Mahamuni ambramaga. Sigra datang
ta sirêng nagarêng Daha, panggih ta sirâtmajanira Sang Maharaja Erlanggya sědang
tinangkil...
... 15. Segera tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di sana, Sang Pendeta Baradah.
Tidak diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan sangat cepat jalannya. Beliau segera
tiba di kerajaan Daha, bertemu dengan putranya Sang Maharaja Erlangga yang sedang
dihadap...
— (Lontar Calon Arang).

Nama Panjalu[sunting | sunting sumber]


Pada mulanya, nama Pañjalu pembacaan yang tepat sesuai aksara
adalah Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai
dalam prasasti - prasasti yang diterbitkan oleh raja - raja Panjalu. Bahkan, nama Panjalu
juga dikenal sebagai Pu-chia-lung di dalam kronik Tiongkok yang berjudul Ling wai tai
ta (1178 M).
Arca Wisnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13.

Terdapat tiga jenis tanah yang akan digunakan oleh masyarakat di masa lalu saat akan
membangun sebuah tempat atau pemukiman, pertama adalah tanah Anupa sebagai tanah
subur serta dekat dengan sumber mata air berbagai macam biji - bijian jika ditanam akan
tumbuh dengan baik. Kedua adalah tanah Sadarana, tanah yang di sebagian wilayahnya
subur dan sebagian yang lainnya kurang subur, selanjutnya yang ketiga
adalah Janggala yang merupakan tanah yang kurang subur atau hutan belantara.
Pangjalu berasal dari kata Jalu yang memiliki arti Jantan atau Pria, selanjutnya diberi unsur
kata Pang yang adalah Pe, merupakan tambahan sehingga menjadi kalimat Pe-
jantan dalam konteks kewilayahan istilah pejantan tersebut bermakna wilayah yang subur
serta berdikari atau mandiri. Istilah Kadiri merupakan sinonim kata atau persamaan dari
Pangjalu yang bermakna kemandirian. Kasus tersebut mirip dengan
nama Majapahit dengan Wilwatikta, dimana wilwa adalah buah maja dan tikta adalah pahit.

Nama Kadiri[sunting | sunting sumber]


Nama "Kadiri" atau "Kediri" juga berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang
berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan
zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara
buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan. Asal usul kata yang dipandang lebih tepat
adalah berasal dari kata "kadiri" dalam Bahasa Jawa kuno yang berarti bisa berdiri sendiri,
mandiri, berdiri tegak, berkepribadian, atau berswasembada.
Meninjau dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja - raja Panjalu dapat dilihat frasa
yang tertera pada prasasti Ceker dari tahun 1107 Saka (1185 M) yang menyebutkan:

“ ”
(9b) "...śrī mahārāja mantuk śīma nira ring bhūmi
kaḍiri..."

(Brandes 1913:171)
Terjemahan inskripsi: (Sri Maharaja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi
Kadiri...")
dalam prasasti Kamulan yang berangka tahun 1116 Saka (1194 M) menyebutkan:

“ ”
"...tatkāla ni n kentar sangke kaḍatwan ring katang-katang deni nkin malṛ
yatik kaprabhun śrī mahārāja siniwi riŋ bhūmi kaḍiri..."

(Brandes 1913:173)
Terjemahan inskripsi: (ketika meninggalkan istananya yang berada di Katang-katang
sehingga tetap dapat menjalankan pemerintahan sebagai Sri Maharaja yang bertahta di
Bhumi Kadiri...")
Penyebutan nama wilayah Kadiri untuk pertama kali ditemukan di dalam prasasti Harinjing
B pada tahun 843 Saka (19 September 921 Masehi) yang dikeluarkan oleh raja Rakai
Layang Dyah Tulodong dari kerajaan Medang atau Mataram Kuno.

“ ”
"...i śrī mahārāja mijil angkȇn cetra ka 3 i sang pamgat asing juru i kaḍiri
ikang i wilang..."

Terjemahan inskripsi: (kepada śrī mahārāja dikeluarkan setiap Bulan Caitra tanggal 3,
kepada Sang Pemutus Perkara bernama asing petugas di Kaḍiri, yang dari Wilang...")

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Runtuhnya kerajaan Medang[sunting | sunting sumber]
Raja kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan
berat kedatuan Sriwijaya. Pada tahun 1016 M. Raja Wurawari dari Lwaram
sekitar Cepu, Blora (sekutu Sriwijaya) menyerang Istana Wwatan, ibu kota kerajaan
Medang, yang tengah mengadakan pesta pernikahan Airlangga dengan putri dari raja
Dharmawangsa Teguh, Dharmawangsa Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut
sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga bersama dengan putri Dharmawangsa
berhasil lolos ditemani pembantunya Mpu Narotama.
Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh)
dengan Udayana raja dari kerajaan Bedahulu, Bali. ia lolos bersama putri Dharmawangsa
dengan ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak saat itu Airlangga
menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (Vana giri) sekarang Wonogiri,
selanjutnya menuju Sendang Made, Kudu, Jombang.

Berdirinya kerajaan Medang-Kahuripan[sunting | sunting sumber]


Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah
melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan
rakyat beserta senopati yang masih setia, untuk menyampaikan permintaan agar dirinya
mendirikan dan membangkitkan kembali sisa - sisa kejayaan Medang. Atas dukungan dari
para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana) atau
kaum Brahmana ia kemudian membangun kembali sisa - sisa kerajaan Medang yang
istananya telah hancur tersebut. Yang lazim dikenal sekarang dengan kerajaan Medang
Koripan atau Medang Kahuripan dengan ibukota baru yang bernama Watan Mas.[1]
15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis
menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai
harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya: “perintahlah negara ini
sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”
(Prasasti Pucangan) (1041 M)

Ibu kota baru bernama Watan Mas terletak di dekat sekitar Gunung Penanggungan. Pada


mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung
Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah - daerah bawahan kerajaan Medang
yang membebaskan diri setelah keruntuhannya. Baru setelah kedatuan
Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa, raja Colamandala dari kerajaan Chola, India di
tahun 1025, Airlangga bisa dengan leluasa menegakkan dan membangun kembali
kejayaan wangsa Isyana.
Sejak tahun 1029, peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu
kerajaan - kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Periode antara tahun 1029 sampai
dengan tahun 1037 adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Airlangga terhadap
musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, maupun selatan. Berita
pada prasasti pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan - penyerangan yang
dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut. Namun demikian diantara
tahun - tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh,
keberhasilannya dalam penaklukannya ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan
pelarian. Pada tahun 1031 (953 Saka) Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena
diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Raja wanita itu adalah Ratu Dyah
Tulodong, yang merupakan salah satu raja kerajaan Lodoyong (sekarang
wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Dyah Tulodong digambarkan sebagai ratu yang
memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran
antara bala tentara Raja Airlangga yang berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong.
Pertempuran tersebut terjadi lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi
Airlangga yang waktu itu sudah menguasai wilayah - wilayah di sekitar kerajaan Lodoyong.
Bahkan di beberapa riwayat, diceritakan pasukan khusus yang dibawa Ratu Dyah Tulodong
merupakan prajurit-prajurit wanita pilihan, pasukan ini bahkan berhasil memukul mundur
pasukan Airlangga dari pusat kota kerajaannya "Watan Mas" di dekat Gunung
Penanggungan hingga harus pergi ke Patakan (Sambeng, Lamongan, Jawa Timur).
Tetapi satu tahun kemudian di penghujung tahun 1032 (954 Saka), dari arah utara, pasukan
Airlangga bergerak ke selatan menuju Lodoyong. Dyah Tulodong berhasil dikalahkan oleh
Airlangga lewat pertempuran sengit. Tidak lama kemudian Raja Wurawari pun dapat
dihancurkannya, sekaligus membalaskan dendam Airlangga dan wangsa Isyana. Sejak saat
itu wilayah kerajaan Airlangga mencakup hampir seluruh Jawa Timur.

Ibu Kota Kahuripan[sunting | sunting sumber]


Tahun 1032, menurut prasasti Terep, Airlangga kemudian membangun ibu kota baru
bernama Kahuripan yang berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang.

Istana Madander[sunting | sunting sumber]


Di tahun 1037, dikeluarkan prasasti Kusambyan memuat informasi
mengenai keraton Madander yang diperkirakan sebagai lokasi dari istana Airlangga yang
terletak di sekitar Kabupaten Jombang.

Ibu Kota Dahanapura[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1042, berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, di akhir masa
pemerintahannya, Airlangga kemudian memindahkan ibukotanya ke Daha, Kota Kediri.

Berdirinya kerajaan Panjalu[sunting | sunting sumber]


Pembagian kerajaan oleh Airlangga[sunting | sunting sumber]
Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M), pada akhir pemerintahannya tahun
1042, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua
putranya, raja yang sebenarnya adalah putri Airlangga. Nama asli putri tersebut
dalam prasasti Cane (1021 M) sampai prasasti Pasar Legi (1043 M)
adalah Sanggramawijaya Tunggadewi, yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris
takhta istana Medang Kahuripan, namun ia memilih untuk mengundurkan diri dan menjalani
kehidupan suci sebagai pertapa biksuni dengan bergelar Dewi Kili Suci. Kemudian di tahun
yang sama, berdasarkan prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon
Arang, Airlangga memindahkan ibu kotanya dan mendirikan kota Dahanapura, di wilayah
Panjalu atau Kadiri.
Menurut Kitab Nagarakretagama, Airlangga sudah berpindah dan memerintah dari Daha
wilayah Panjalu atau Kadiri.[1]
... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ
daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri
saɳ rwa prabhu, ...
... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha,
waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih penggantinya
mengingat dirinya juga putra dari raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah
satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali
untuk mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah
menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata
Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakata selanjutnya digantikan adiknya
yaitu Anak Wungsu.
Sebelum turun takhta, pada akhir November 1042, atas saran penasihat kerajaan
sekaligus gurunya Mpu Bharada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi
dua, bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri
Samarawijaya, kemudian wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota
di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta, Airlangga
menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut
Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan
menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat
dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan
Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut prasasti Pasar Legi (1043 M), baik Airlangga maupun Sanggramawijaya
Tunggadewi masih aktif menjalankan pemerintahan, mengikuti penyebutan gelar
kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai raja pendeta. Hal ini
dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan
tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.

Perkembangan kerajaan[sunting | sunting sumber]


Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem, Jerman.

Candi Penataran merupakan candi yang berumur empat abad karena dibangun dan
dikembangkan oleh beberapa kerajaan sekaligus, mulai dari Kerajaan Kediri
hingga Majapahit.
Wayang Kulit wayang panji brajanata―pangeran Kerajaan Kadiri.

Masa - masa awal kerajaan Kadiri setelah peristiwa pembelahan tidak banyak
diketahui. prasasti Turun Hyang (1044 M) yang diterbitkan kerajaan Janggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal
raja Airlangga, sejarah kerajaan Kadiri mulai diketahui dengan adanya prasasti
Mataji dan prasasti Banjaran. Setelah raja Sri Jitendrakara diketahui terdapat raja
bernama Sri Bameswara berdasarkan Prasasti Karanggayam. Selanjutnya
dalam prasasti Hantang raja yang memerintah sudah berganti Sri Jayabhaya.
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan kerajaan
Janggala dengan semboyannya yang terkenal di dalam prasasti Ngantang (1135
M), yaitu Pangjalu Jayati, yang berarti Kadiri Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, kerajaan Kadiri mengalami masa
kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau
di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh kedatuan
Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta karya
Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya
selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang
berkuasa di jazirah Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan
Sumatra dikuasai Sriwijaya.[2] Pada prasasti Talan yang berangka tahun 1136 M.
(sisi depan) dan 1039 M. (sisi belakang). Memuat anugerah dari raja
Jayabhaya kepada warga desa Talan (termasuk wilayah Panumbangan) yang sejak
dahulu menyimpan prasasti ripta (lontar) dari masa leluhurnya wangsa
Isyana yaitu Airlangga. Raja Jayabhaya kemudian meneguhkan kembali prasasti
ripta tersebut menjadi sebuah batu (linggopala) dengan memberi cap kerajaan
bersimbol Garuda Mukha, serta menambahkan anugerah lain kepada warga Talan
karena telah berbakti kepada raja Airlangga yang memakai Garuda Mukha sebagai
cap dari kerajaannya. Raja Jayabhaya sendiri mengklaim bahwa raja Airlangga
adalah nenek moyangnya.
Di dalam prasasti Jaring dari masa pemerintahan Sri Gandra untuk pertama kalinya
memuat nama - nama hewan yang dipakai sebagai nama depan para pejabat
kerajaan,[3] misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, Kebo Waruga, Tikus Jinada
dan Macan Kuning. Nama
kepangkatan menjangan, lembu, kebo, macan, gajah, tikus bisa menunjukkan tinggi
rendahnya pangkat seseorang dalam istana. Nama - nama hewan untuk
kepangkatan istana juga masih terus berlanjut di masa
kerajaan Singhasari dan Majapahit setelah Kadiri runtuh. Adapun isi prasasti Jaring
berupa pengabulan permohonan penduduk desa Jaring oleh Sri Gandra
melalui Senapati Sarwwajala yang dapat disamakan
dengan laksamana atau (panglima angkatan laut), menunjukkan kemajuan Kediri
dalam bidang maritim. Sehingga dapat diketahui bahwa pada masa raja Sri Gandra,
pejabat kemiliteran mengalami perluasan peran tidak hanya sebatas menangani
urusan perang atau kemiliteran, tetapi juga urusan sipil masyarakat.
Pada masa pemerintahan Sri Kameswara seorang pujangga bernama Mpu
Dharmaja menciptakan mahakarya Kakawin Smaradahana (Asmaradahana) yang
didedikasikan untuk Sri Kameswara dan permaisurinya Sri Kirana Ratu, putri
dari kerajaan Janggala. Kakawin Smaradahana juga mengisahkan terbakarnya
dewa Kamajaya dan dewi Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-
dewi tersebut kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara dan permaisurinya yang
bernama Sri Kirana, dan dianggap merupakan inspirasi awal yang
memunculkan cerita Panji, kisah cinta yang terinspirasi dari raja Kameswara
dengan Sri Kirana. cerita Panji terfokus pada peyualangan romantika tokoh Panji
dalam menemukan kekasih hatinya yaitu Candra Kirana.
Cerita Panji mengalami perkembangan pesat dan tersebar luas pada
zaman Majapahit. Cerita Panji menggambarkan kisah percintaan dan peperangan
dari dua kerajaan, yaitu Jenggala dan Panjalu. Cerita Panji dengan tokoh sentral
Inu Kertapati dan Galuh Chandrakirana memiliki banyak versi dan tersebar hingga
ke wilayah Asia Tenggara. Selain Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera, kisah
Panji juga menyebar hingga
ke Thailand, Kamboja, Laos, Filipina, Malaysia, Vietnam dan Myanmar.[4] Tokoh
Raden Inu Kertapati diadaptasi dalam karya sastra dan drama tari dengan nama
yang bervariasi, seperti Inao/อิเหนา (Siam), Inav/Eynao (Khmer), atau E-
naung (Birma), sementara Dewi Sekartaji dikenal sebagai Bussaba/Bessaba. Di
Sulawesi, ada cerita panji yang ditulis dalam bahasa Makassar, yang
disebut Hikayat Cekele (Bahasa Melayu: Cekel).[5]
Penemuan Situs Tondowongso awal tahun 2007 diyakini sebagai peninggalan
kerajaan Panjalu juga bersama dengan Situs Adan-Adan yang memiliki bermacam
temuan benda-benda bersejarah seperti batuan fondasi candi, makara, sistem
pertirtaan (pengairan) diduga embung, pecahan keramik dan
beberapa arca peninggalan era Kerajaan Panjalu dan Tumapel yang terletak di
Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, diharapkan
dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.

Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Arca Ganesha dan pecahan candi di Karesidenan Kediri tahun 1866-1867
Situs Tondowongso di Kediri tahun 2007

Menurut sumber berita dari Tiongkok, pekerjaan utama orang Panjalu berkisar pada
pertanian (bercocok tanam padi), peternakan (sapi, babi hutan, unggas), dan
perdagangan rempah-rempah. Daha, ibu kota Kerajaan Panjalu, terletak di
pedalaman, dekat lembah sungai Brantas yang subur. Dari masa pemerintahan raja
sebelumnya Airlangga, Panjalu mewarisi sistem irigasi, termasuk
bendungan Waringin Sapta. Perekonomian Panjalu sebagian dimonetisasi, dengan
koin perak yang dikeluarkan oleh istana.
Pada periode-periode selanjutnya, perekonomian Kadiri tumbuh dengan lebih
bertumpu pada perdagangan, khususnya perdagangan rempah-rempah. Hal ini
dihasilkan dari pengembangan angkatan laut Kediri (Panjalu), memberi mereka
kesempatan untuk mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah ke pulau-pulau
timur. Panjalu mengumpulkan rempah-rempah dari anak
sungai di Kalimantan bagian selatan dan Kepulauan Maluku. Orang India dan Asia
Tenggara kemudian mengangkut rempah-rempah ke
pasar Mediterania dan Tiongkok melalui Rute Rempah-rempah yang
menghubungkan rantai pelabuhan dari Samudra Hindia ke Cina selatan.
Pertanian, peternakan, dan perdagangan berkembang pesat dan mendapat
perhatian penuh dari pemerintah. Dia melaporkan bahwa peternakan
ulat sutera untuk memproduksi pakaian sutra dan katun telah diadopsi oleh orang
Jawa pada waktu itu. Tidak ada hukuman fisik (penjara atau penyiksaan) bagi para
penjahat. Sebaliknya, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terpaksa
membayar denda berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dieksekusi
mati.
Dalam adat perkawinan, keluarga mempelai wanita menerima mas kawin berupa
emas dari mempelai pria. Alih-alih mengembangkan pengobatan medis,
masyarakat Panjalu mengandalkan doa kepada dewa dan Buddha. Pada bulan ke-
5 tahun ini, festival air dirayakan dengan orang-orang yang bepergian dengan
perahu di sepanjang sungai untuk merayakannya. Pada bulan ke-10, festival lain
diadakan di pegunungan. Orang-orang akan berkumpul di sana untuk bersenang-
senang dan memainkan berbagai musik dengan instrumen
seperti seruling, gendang, dan gambang kayu (bentuk gamelan kuno).

Hubungan dengan kekuatan regional[sunting | sunting


sumber]
Sriwijaya dan Panjalu sekitar abad ke 12 hingga awal abad ke-13

Kerajaan Panjalu yang berkuasa di Jawa bersama dengan Kedatuan Sriwijaya yang


berbasis di Sumatera sepanjang abad ke 12 hingga ke-13, tampaknya telah
mempertahankan hubungan perdagangan dengan Tiongkok dan sampai batas
tertentu dengan India. Catatan Cina mengidentifikasi kerajaan ini sebagai Tsao-
wa atau Chao-wa (Jawa), sejumlah catatan Tiongkok menandakan bahwa
penjelajah dan pedagang Cina sering mengunjungi kerajaan ini. Hubungan dengan
India adalah hubungan budaya, karena sejumlah Rakawi (penyair atau
sarjana) Jawa menulis literatur yang diilhami oleh mitologi, kepercayaan, dan
epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana. Pada abad ke-11,
hegemoni Sriwijaya di kepulauan Indonesia mulai menurun, ditandai dengan invasi
Rajendra Chola dari Kerajaan Chola ke Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Melemahnya hegemoni Sriwijaya telah memungkinkan terbentuknya kerajaan-
kerajaan regional, seperti Panjalu, yang berbasis pertanian daripada perdagangan.
Belakangan Kerajaan Kadiri berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah
ke Maluku.[6]
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan
sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai.
Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan
hijau. Raja mengenakan pakaian sutra, sepatu kulit dan perhiasan emas berukir.
Rambutnya disanggul tinggi-tinggi di atas kepala. Setiap hari, dia akan menerima
pejabat negara, dan menjalankan kerajaannya, di atas takhta persegi. Setelah
pertemuan, pejabat negara akan membungkuk tiga kali kepada raja. Jika raja
bepergian ke luar istana, raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai
700 tentara dan pejabat, sementara rakyatnya, orang-orang Panjalu, bersujud saat
raja lewat.
Tiga pangeran ditunjuk sebagai asisten raja. Ada pejabat bergelar simajie dan
luojielian (rakryan). Mereka mengelola urusan negara bersama-sama seperti
menteri utama di pusat, tetapi tidak memiliki gaji tetap, dihadiahi hasil bumi asli dan
barang-barang lainnya. Di bawah mereka ada tiga ratus atau lebih juru tulis yang
didelegasikan administrasi kota, perbendaharaan negara, lumbung, dan tentara.
Para komandan militer dibayar dua puluh tael emas setahun. Tentara memiliki
30.000 tentara yang juga dibayar dengan jumlah emas yang bervariasi setiap
tahun. Adat di negeri ini adalah melangsungkan akad nikah tanpa menggunakan
mak comblang. Pihak keluarga laki-laki cukup memberikan hadiah berupa emas
kepada keluarga pihak perempuan untuk dinikahkan. Mereka tidak menetapkan
hukuman untuk sebagian besar kejahatan. Pihak yang bersalah hanya menebus
dirinya dengan membayar denda dalam bentuk emas yang besarnya tergantung
dari keseriusan kejahatannya. Hanya perampokan yang dihukum mati.
Ada banyak monyet di pegunungan, dan mereka tidak takut pada manusia. Saat
orang memanggil mereka dengan suara "xiao, xiao" (yaitu, bersiul), mereka
langsung keluar. Saat buah-buahan dilemparkan ke mereka, monyet terbesar
keluar lebih dulu. Penduduk setempat menyebutnya Raja Kera. Setelah selesai
makan, monyet lainnya memakan apa yang ditinggalkannya. Di negeri ini terdapat
kebun bambu tempat diadakannya sabung ayam dan adu babi hutan. Rumah
mereka megah dan dihiasi dengan emas dan batu giok. Pedagang yang berkunjung
ditempatkan di wisma tamu. Makanan mereka kaya dan memperhatikan
kebersihan. Penduduk setempat membuat rambut mereka terurai dan tidak terikat;
pakaian mereka dililitkan di dada dan sampai ke lutut. Saat sakit, mereka tidak
minum obat tetapi hanya berdoa kepada dewa dan Buddha. Orang-orang telah
memberikan nama tetapi bukan nama keluarga (marga). Mereka terburu nafsu dan
suka berperang dan memiliki permusuhan jangka panjang dengan Sanfoqi
(Sriwijaya); kedua negara sering saling menyerang. [7]
Masih menurut Zhou Ku-fei bahwa Kerajaan Panjalu kekuasaannya sangat luas dan
kaya raya, menurutnya di dunia saat itu ada 3 kerajaan kaya; Kekhalifahan
Abbasiyah yang berkuasa di Arab, Kerajaan Panjalu yang menguasai Bagian Timur
Nusantara dan Sriwijaya yang menguasai bagian barat Nusantara.[8]

Wayang Kulit boneka Dewi Ragil Kuning―putri Kerajaan Kadiri.

Chau Ju-Kua, seorang pegawai resmi Dinasti Song menuliskan dalam


bukunya Zhu-fan-zhi, menggambarkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara ada dua
kerajaan yang kuat dan kaya: Sriwijaya dan Jawa (Panjalu). Di Jawa ia menemukan
bahwa orang-orang menganut dua agama: Buddha dan agama Brahmana (Hindu).
Orang Jawa adalah pemberani dan pemarah, mereka berani untuk melawan. Waktu
luangnya dipergunakan untuk mengadu binatang, hiburan favoritnya adalah sabung
ayam dan adu babi. Mata uangnya dibuat dari campuran tembaga, perak,
dan timah. Buku Chu-fan-chi menyebut bahwa maharaja jawa mempunyai wilayah
jajahan: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-
ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki
(Jenggi, Papua Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali),
Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara),
Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai
di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).
Mengenai Sriwijaya, Chou-Ju-Kua melaporkan bahwa Kien-pi (Kampe,
di Sumatera bagian utara) dengan pemberontakan bersenjatanya telah
membebaskan diri dari pengaruh Sriwijaya, dan menobatkan raja mereka sendiri.
Nasib yang sama menimpa beberapa koloni Sriwijaya di Semenanjung Malaya yang
membebaskan diri dari dominasi Sriwijaya. Namun Sriwijaya masih negara terkuat
dan terkaya di bagian barat Nusantara. Koloni Sriwijaya adalah: Pong-fong
(Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan
(Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t' ing (Jelutong), Ts'ien-mai (?), Pa-t'a (Paka), Tan-ma-
ling (Tambralinga, Ligor atau Nakhon Si Thammarat), Kia-lo-hi (Grahi, bahasa
Melayu bagian utara semenanjung), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t'o (Sunda), Lan-
wu-li (Lamuri di Aceh), dan Si-lan. Menurut sumber ini, pada awal abad ke-13
Sriwijaya masih menguasai Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa bagian
barat (Sunda).
Mengenai Sunda, buku itu merinci bahwa pelabuhan Sunda (Sunda Kelapa) sangat
bagus dan letaknya strategis, dan lada dari Sunda termasuk yang kualitas terbaik.
Orang-orang bekerja di pertanian; rumah mereka dibangun di atas tiang
kayu (rumah panggung). Namun negara itu penuh dengan perampok dan pencuri.

Keruntuhan[sunting | sunting sumber]
Kerajaan Kadiri runtuh pada masa pemerintahan raja Kertajaya, dan dikisahkan
dalam Kitab Pararaton dan Kakawin Nagarakretagama.
Artikel utama: Pemberontakan Ken Arok
Pada tahun 1222 raja Srengga atau Kertajaya sedang berselisih dengan
kaum Brahmana penyebabnya karena ia sang raja berkeinginan untuk disembah
seperti dewa. Para pendeta dari ketiga Aliran yang menolak dan dalam kondisi
terpojok kemudian pergi dari ibu kota dan meminta perlindungan kepada Ken
Angrok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan
Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter (Genter),
di wilayah timur Kadiri. Tatkala pasukan Ken Angrok berhasil menghancurkan
pasukan Kadiri. Kertajaya sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju
kahyangan atau tewas.
Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya
tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam
dewalaya (alam tempat dewa). Kedua naskah tersebut memberitakan tempat
pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah
Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan
pergi ke alam dewa.
Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian
menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari. Setelah Ken Arok mengalahkan
Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Tumapel. Ken Arok
mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258
Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
... 2. Tahun Saka Laut Manusia (1144) itulah sirnanya raja Kertajaya. Atas perintah
Siwaputera, Jayasaba berganti jadi raja. Tahun Saka delapan satu satu (1180) Sastrajaya
raja Kediri. Tahun tiga sembilan Siwa Raja (1193) Jayakatwang raja terakhir...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 44).
Artikel utama: Pemberontakan Jayakatwang
Pada tahun 1292, raja bawahan sekaligus besan dari raja
yaitu Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh
raja Kertanagara, karena dendam masa lalu dimana
leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh
Kertanagara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan leluhurnya Kadiri,
namun hanya bertahan selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan
yang dilancarkan oleh pasukan Kekaisaran Mongol dan pasukan menantu
Kertanagara, Dyah Wijaya pendiri Majapahit.

Daftar raja-raja[sunting | sunting sumber]


Penguasa Panjalu-Kadiri

Masa
pemerintah Sri/Maharaja Prasasti dan berita
an

Disebutkan dalam
Sri Samarawijaya prasasti Pucangan (1041). Adalah
Dharmasuparnawahan raja kerajaan Kadiri setelah
1042-1051
a Teguh Uttunggadewa peristiwa pembagian kerajaan
(Sri Samarawijaya) oleh Airlangga kepada kedua
putranya.

Sri Jitendra Kara


Wuryyawiryya Disebutkan dalam
1051-1112
Parakrama Bhakta prasasti Mataji (1051).
(Sri Jitendrakara)

prasasti Pandlegan
Sri Maharaja Rakai
I (1117), prasasti
Sirikan Sri Bameswara
Panumbangan, prasasti
Sakalabhuwana
Geneng (1128), prasasti
Tustikarana
1112-1135 Tangkilan (1130), prasasti
Sarwaniwariwirya
Besole (1132), prasasti
Parakrama Digjaya
Pagiliran (1134), prasasti
Uttunggadewa
Bameswara (1135), prasasti
(Sri Bameswara)
Karanggayam.

Sri Maharaja Sang


Mapanji Jayabhaya Sri
Disebutkan dalam
Warmeswara
prasasti Hantang (1135), Jepun (1
Madhusudana
144)
1135-1159 Awataranindita
dan Talan (1136). Janggala ditaklu
Suhtrisingha
kkan dan bersatu kembali dengan
Parakrama
Panjalu.
Uttunggadewa
(Jayabaya)

1159-1171 Sri Maharaja Rakai Disebutkan dalam


Sirikan Sri Sarweswara prasasti Kahyunan dan Padlegan
Janardanawatara II (1159).
Wijaya Agrajasama
Singhadani Waryawirya
Parakrama Digjaya
Uttunggadewa
Masa
pemerintah Sri/Maharaja Prasasti dan berita
an

(Sri Sarweswara)

Sri Maharaja Rake Hino


Sri Aryeswara
Madhusudanawatara
Arijamuka Disebutkan dalam
1171-1181
Sakalabhuwanaritiniwir prasasti Waleri dan Angin (1171).
yya Parakrama
Uttunggadewa
(Sri Aryeswara)

Sri Maharaja
Koncaryadipa
Handabhuwanapadalak
1181-1182 a Parakrama Anindita Disebutkan dalam prasasti Jaring.
Digjaya Uttunggadewa
Sri Gandra
(Sri Gandra)

Sri Maharaja Rake


Sirikan Sri Kameswara
Sakalabhuwanatustikar
Disebutkan dalam
ana
1182-1194 prasasti Semanding (1182) dan
Sarwaniwaryyawiryya
prasasti Ceker (1185).
Parakrama Digjaya
Uttunggadewa
(Kameswara)

Disebutkan dalam prasasti Sapu


Paduka Sri Maharaja
Angin (1190), prasasti
Sri Sarweswara
Galunggung (1194), prasasti
Triwikramawatara
Kamulan (1194), prasasti
1194-1222 Anindita
Palah (1197), prasasti Biri, prasasti
Srenggalancana
Lawadan (1205), Kakawin
Digjaya Uttunggadewa
Nagarakretagama (1365), Gugur
(Kertajaya)
tahun 1144 Saka (1222).

Pemberontakan Jayakatwang dari Gelang-gelang atau Gegelang yang


Masa
pemerintah Sri/Maharaja Prasasti dan berita
an

menghidupkan kembali dinasti kedua Kadiri yang berumur pendek.

Sri Jayakatwang Disebutkan dalam Kakawin


1292-1293
(Jayakatwang) Nagarakretagama (1365).

Situs budaya Kadiri[sunting | sunting sumber]


Candi[sunting | sunting sumber]

Candi Penataran

 Candi Penataran, Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di
lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, diperkirakan
dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri
Karya Sastra[sunting | sunting sumber]
 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu
Panuluh.
 Kakawin Lubdhaka dan Kakawin Wrettasañcaya adalah karya Mpu
Tanakung.
 Kakawin Hariwangsa, Kakawin Bhomakawya dan Kakawin
Gatotkachasraya ditulis oleh Mpu Panuluh.
 Kakawin Smaradahana ditulis oleh Mpu Dharmaja.
 Kakawin Sumanasantaka ditulis oleh Mpu Monaguna.
 Kakawin Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna.
Prasasti[sunting | sunting sumber]
 Prasasti Pucangan (1041)
 Prasasti lawan, Sambeng, Lamongan,
 Prasasti Pasar Legi (1043 M), Ngimbang, Lamongan.
 Prasasti Mataji (1051),
 prasasti Pandlegan I (1117),
 prasasti Panumbangan,
 prasasti Geneng (1128),
 prasasti Tangkilan (1130),
 prasasti Besole (1132),
 prasasti Pagiliran (1134),
 prasasti Bameswara (1135),
 prasasti Karanggayam,
 Prasasti Hantang (1135),
 Prasasti Jepun (1144),
 Prasasti Talan (1136),
 Prasasti Kahyunan,
 Prasasti Padlegan II (1159),
 Prasasti Waleri,
 Prasasti Angin (1171),
 Prasasti Jaring,
 Prasasti Semanding (1182),
 Prasasti Ceker (1185),
 Prasasti Sapu Angin (1190),
 prasasti Galunggung (1194),
 prasasti Kamulan (1194),
 prasasti Palah (1197),
 prasasti Biri (1202),
 prasasti Lawadan (1205)
Situs[sunting | sunting sumber]
 Gua Selomangleng, terletak di Mojoroto, Kediri.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


 Kerajaan Jenggala
 Kerajaan Medang
 Wangsa Isyan

Anda mungkin juga menyukai