Kerajaaan Kediri
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada
abad ke-12. Kerajaan ini merupakan dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya
terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi bagian jalur
pelayaran yang ramai.
Sejarah awal berdirinya kerajaan kediri
“
Kerajaan Kediri adalah penerus dari Kerajaan Kahuripan dan pernah mencapai masa kejayaan di saat kerajaan dipimpin
oleh Airlangga. Oleh karena itu, para penguasa Kerajaan Kediri selanjutnya adalah penerus dari Dinasti Isyana di Jawa.
Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua. Airlangga membagi wilayah kerajaannya
dikarenakan oleh perselisihan kedua putranya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, mereka bersaing memperebutkan
takhta kerajaan.
”
Dibagian barat Kerajaan diserahkan kepada Sri Samarawijaya yang mendapat gelar Sri Samarawijaya
Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. Kerajaannya diberi nama Panjalu, dan pusat kerajaan di kota baru yang
bernama Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan disebelah timur. Kemudian kerajaannya bernama
Janggala dan mempunyai pusat kerajaan di kota lama, yang bernama Kahuripan. Kemudian, Airlangga mengundurkan diri
dari tahta kerajaan dan memilih hidup sebagai pertapa. Empat tahun kemudian, Airlangga meninggal.
Peristiwa pembagian kerajaan oleh Airlangga disebutkan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang. Prasasti Turun
Hyang II (1044) juga menguatkan informasi tentang pembagian kerajaan tersebut, dalam sejarah Kerajaan Kediri.
Dalam perjalanan sejarah Prasasti Turun Hyang II merupakan piagam pengesahan anugerah dari Mapanji Garasakan
kepada penduduk Desa Turun Hyang karena mereka setia membantu Janggala melawan Panjalu. Oleh karena itu, Desa
Turun Hyang ditetapkan sebagai sima swatantra atau perdikan (daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak).
Kerajaan Panjalu kemudian lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Pada awal beridirinya, nama Panjalu atau Pangjalu
lebih sering digunakan daripada nama Kadiri atau Kediri. Sebutan nama Panjalu dapat kita dijumpai di prasasti-prasasti
yang dibuat oleh raja-raja Kerajaan Kediri. Dalam kronik Cina yang berjudul Ling Wai Tai Ta (1178), nama Panjalu bahkan
muncul dengan sebutan Pu-chia-lung.
Perkembangan kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh. menjadi
besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala
ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga
disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya
prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh
ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri
inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah
kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara
(1268 – 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang
selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura)
untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil
mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Kehidupan Politik
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji
Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara
Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan
tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal
dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak
bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia
digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala.
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan
kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga
memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya, Medang
Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya, Airlangga memutuskan untuk
mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada
tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir
dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang
lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan
Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya
tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12, dimana Kediri tetap menjadi
kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi
Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh
kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara.
Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah
kekuasaan Kediri
Kehidupan Politik Masyarakat Kediri
• Srengga Kertajaya
Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang
aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang
wayang dilukiskan oleh prapanca.
• Pemerintahan Kertajaya
Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat.
Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama,
moksa.
Kehidupan sosial masyarakat kediri
Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang,
hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning,
dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya
yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra.
Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.
Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab
sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa
Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab
Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada
masa pemerintahan Kameswara.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri
diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno
peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk
pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang
disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai
kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya
dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya
sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan:
f. Kitab Gatutkacasraya