Anda di halaman 1dari 10

Makalah Sejarah

KERAJAAN KEDIRI

OLEH KELOMPOK 6

Sonia Andini Napitupulu

Wulan Friskila Lumban Gaol

Irfan Alexander Marpaung

SMAS RK ST MARIA PAKKAT

Tahun ajaran 2023/2024


1. Latar belakang berdirinya Kerajaan Kediri

Kerajaan Kadiri, Kediri disebut juga dengan Daha atau Panjalu adalah sebuah kerajaan
Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, antara tahun 1042–1222. Dan merupakan salah satu
kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan Airlangga. Kerajaan ini merupakan bagian dari
Kerajaan Mataram Kuno.

Latar belakang munculnya Kerajaan Kediri adalah adanya pembagian Kerajaan


Kahuripan oleh Raja Airlangga pada abad ke-11. Raja Airlangga adalah pendiri sekaligus raja
terakhir dari Kerajaan Kahuripan yang pernah berdiri di Jawa Timur pada abad ke-11.

Disebutkan dalam Prasasti Pamwatan bahwa menjelang akhir pemerintahannya, Raja


Airlangga memindahkan ibu kota kerajaan ke Daha (Kediri). Saat itu, raja juga tengah
berhadapan dengan masalah suksesi kerajaan karena putri mahkota, Sanggramawijaya
Tunggadewi, justru memilih untuk menjadi petapa. Untuk menghindari perebutan takhta di
antara kedua putranya, yakni Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya, Raja Airlangga
memutuskan membagi kerajaan menjadi dua.

Kerajaan Kahuripan memiliki wilayah yang cukup luas, hampir mencakup seluruh daerah
Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Jika pembagian tidak dilakukan dengan tepat, tentunya
dapat menimbulkan masalah dari pihak yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu, Raja Airlangga
mendapat bantuan dari Mpu Bharada dalam proses pembagian Kerajaan Kahuripan. Mpu
Bharada atau Arya Bharada adalah pendeta sakti agama Buddha yang menjadi guru spiritual
Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Konon, Mpu Bharada membagi Kerajaan Kahuripan
menggunakan kesaktiannya. Hasil pembagian menyatakan bahwa Kerajaan Jenggala yang ibu
kotanya terletak di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan, sementara Kerajaan Panjalu
atau Kediri yang berpusat di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya.

Peristiwa pembagian kekuasaan ini terjadi pada tahun 1045, menandai akhir dari
pemerintahan Kerajaan Kahuripan sekaligus berdirinya Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu
(Kediri). Setelah terbagi, Kerajaan Jenggala dan Kediri ternyata tetap berselisih hingga timbul
peperangan karena Samarawijaya dan Mapanji sama-sama merasa berhak atas seluruh kekuasaan
Airlangga. Peperangan di antara keduanya terus terjadi selama beberapa dekade hingga Kerajaan
Janggala mengalami kekalahan dari Kerajaan Panjalu. Kerajaan Panjalu dengan pusat
pemerintahan di Kediri, Jawa Timur, ini pada akhirnya lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri.
2. Silsilah Raja raja yang pernah memerintah dalam kerajaan

Sri Samarawijaya (1042-1051)

Raja dengan kelahiran di Kahuripan, Jawa Timur. Prasasti Turun Hyang tersebut merupakan
piagam pengesahan anugerah Mapanji Garasakan tahun 1044 terhadap penduduk desa Turun
Hyang yang setia membantu Janggala melawan Panjalu. Jadi, pembelahan kerajaan yang
dilakukan oleh Airlangga terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya
dan Mapanji Garasakan tetap saja berebut kekuasaan.

Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra
Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan
adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada
penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang
diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.

Pemerintahan Samarawijaya di Kadiri dikenal sebagai masa kegelapan karena ia tidak


meninggalkan bukti prasasti. Ia naik takhta dipastikan tahun 1042, karena pada tahun itu
Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Akhir pemerintahan Samarawijaya tidak diketahui
dengan pasti. Prasasti yang menyebutkan nama raja Kadiri selanjutnya adalah Prasasti Mataji
adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di Desa Bangle, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur.
Prasasti ini berangka tahun 973 Saka atau 1051 M, dikeluarkan oleh raja Sri Jitendrakara
bergelar Sri Jitendrakara Paladewa Wuryyawiryya Parakrama Bhakta. Maka patut diduga bahwa
Sri Samarawijaya menjadi raja Kerajaan Panjalu paling lama sekitar 9 tahun.

Sri Jitendrakara (1051-1112)

Raja dengang kelahiran di Daha, Jawa Timur. Namanya tercatat di dalam prasasti Mataji
yang memberikan informasi tentang nama raja dengan gelar abhisekanya yang digunakan ialah
Sri Maharaja Jitendrakara Paladewa Wuryyawiryya Parakrama Bhakta yang menjadi raja Panjalu
pada sekitar tahun 973 Saka atau 1051 Masehi.
Sri Bameswara (1112-1135)

Raja dengan kelahiran di Daha, Jawa Timur. Raja Bameswara banyak sekali
meninggalkan sebuah prasasti yang didapatkan di kawasan Tulung Agung dan Kertosono.
Prasasti tersebut bertambah banyak menceritakan soal keagamaan, sehingga benar baik
kedapatan dalam masa kekuasaannya. Seperti Prasasti Karanggayam, Prasasti Pandlegan I,
Prasasti Panumbangan, Prasasti Geneng I, dan masih banyak lagi.

Sri Aji Jayabaya (1135-1159)

Pada masa kepemimpinan Jayabaya, Kerajaan Kediri mampu mengalahkan Jenggala dan
menyatukan seluruh takhta Airlangga. Masa pemerintahan Jayabaya tercatat dalam 4 prasasti
yang ditemukan, yaitu prasasti Hantang (tahun 1135 M), prasasti Talan (tahun 1136 M), dan
prasasti Jepun (tahun 1144 M). Satu lagi prasasti yang ditemukan berupa karya sastra kakawin
Bharatayuddha (tahun 1157 M).

Tidak diketahui pasti kapan Prabu Jayabaya turun takhta. Raja selanjutnya yang
memerintah Kediri berdasarkan Prasasti Padelegan II, tertanggal 23 September 1159 adalah Sri
Sarweswara. Menurut Prasasti Jaring, Sri Sarweswara merebut kekuasaan dari raja Jayabaya.
Jayabaya turun takhta dengan cara muksa atau hilang tanpa meninggalkan jasad. Sebelum
menghilang, Jayabaya bertapa terlebih dahulu di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten
Kediri. Setelahnya, mahkota (kuluk) dan juga pakaian kebesarannya (ageman) dilepas, kemudian
raja Jayabaya menghilang.

Dalam babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa disebut jika Raja Jayabaya merupakan
titisan Dewa Wisnu. Raja ini memimpin negara yang bernama Widarba dengan ibu kota di
Mamenang. Ayah Jayabaya adalah Gendrayana. Gendrayana merupakan putra dari Yudayana,
putra dari Parikesit, putra dari Abimanyu, putra dari Arjuna dari keluarga Pandawa.

Permaisuri Raja Jayabaya bernama Dewi Sara. Jayabaya diketahui memiliki 4 anak yakni
Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-
raja di tanah Jawa, bahkan sampai Kerajaan Majapahit dan juga Kerajaan Mataram Islam.
Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja dari Yawastina, melahirkan seorang anak
bernama Anglingdarma raja dari Malawapati.
Sri Sarweswara (1159-1169)

Raja kelahiran di Daha, Jawa Timur. Menurut prasasti Padelegan II pada tahun 1159 M
dan prasasti Kahyunan pada tahun 1161 M, raja Sri Sarwaswera adalah raja yang takwa
beribadah dan berbudaya, raja Sri Sarwaswera menggenggam gigih asas “diengkaulah
tersebut, segala makhluk ialah anda”.

Sri Aryeswara (1169-1180)

Raja kelahiran di Daha, Jawa Timur. Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang berkuasa
pada tahun 1171 M. Raja ini bergelar Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka. Pemerintahan Sri Aryeswara diketahui dari prasasti Angin,
tanggal 23 Maret 1171.

Sri Gandra (1180-1182)

Sri Gandra adalah raja Panjalu yang memerintah sekitar tahun 1181-1182. Nama gelar
abhisekanya ialah Sri Maharaja Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka Parakrama Anindita
Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Gandra naik
takhta.

Kameswara (1182-1194)

Sri Kameswara adalah raja dari Kerajaan Kediri, hal ini tercantum dalam Prasasti Ceker
tahun 1182 M serta Prasasti Kakawin Smaradhan. Masa pemerintahan raja Sri Kameswara
sekitar tahun 1180 M – 1190 M. Raja ini bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara
Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.
3.Kehidupan masyarakat kerajaan Kediri dalam bidang Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya

3.1 Kehidupan masyarakat dalam bidang Politik

Raja pertama Kediri adalah Samarawijaya. Selama menjadi Raja Kediri, Samarawijaya selalu
berselisih paham dengan saudaranya, Mapanji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Keduanya
merasa berhak atas seluruh takhta Raja Airlangga (Kerajaan Medang Kamulan) yang meliputi
hampir seluruh wilayah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Akhirnya perselisihan tersebut
menimbulkan perang saudara yang berlangsung hingga tahun 1052. Peperangan tersebut
dimenangkan oleh Samarawijaya dan berhasil menaklukan Jenggala. Kerajaan Kediri mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Jayabaya. Saat itu wilayah kekuasaan Kediri
meliputi seluruh bekas wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Selama menjadi Raja Kediri,
Jayabaya berhasil kembali menaklukan Jenggala yanga sempat memberontak ingin memisahkan
diri dari Kediri. Keberhasilannya tersebut diberitakan dalam prasasti Hantang yang beraangka
tahun 1135. Prasasti ini memuat tulisan yang berbunyi Panjalu jayati yang artinya Panjalu
menang. Prasasti tersebut dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah dari Jayabaya untuk
penduduk Desa Hantang yang setia pada Kediri selam perang melawan Jenggala.

Sebagai kemenangan atas Jenggala, nama Jayabaya diabadikan dalam kitab Bharatayuda.
Kitab ini merupakn kitab yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Bharatayuda memuat
kisah perang perbutan takhta Hastinapura antara keluarga Pandhawa daan Kurawa. Sejarah
pertikaian anatar Panjalu dan Jenggala mirip dengan kisah tersebut sehingga kitab Bharatayuda
dianggap sebagai legitimasi (klaim) Jayabaya untuk memperkuat kekuasaannya atas seluruh
wilayah bekas Kerajaan Medang Kamulan. Selain itu, untuk menunjukkan kebesaran dan
kewibawaan sebagai Raja Kediri, Jayabaya menyatakan dirinya sebagai keturunan Airlangga dan
titisan Dewa Wisnu. Selanjutnya ia mengenakan lencana narasinga sebagai lambang Kerajaan
Kediri. Pada masa pemerintahan Kertajaya Kerajaan Kediri mulai mengalami kemunduran. Raja
Kertajaya membuat kebijakan yang tidak populer dengan mengurangi hak-hak brahmana.
Kondisi ini menyebabkan banyak brahmana yang mengungsi ke wilayah Tumapel yang dkuasai
oleh Ken Arok. Melihat kejadian ini Kertajaya memutuskan untuk menyerang Tumapel. Akan
tetapi pertempuran di Desa Ganter, pasukan Kediri mengalami kekalahan dan Kertajaya
terbunuh. Sejak saat itu Kerajaan Kediri berakhir dan kedudukannya digantikan oleh Singasari.
3.2 Kehidupan masyarakat dalam bidang Ekonomi

Perekonomian di Kediri bertumpu pada sektor pertanian dan perdagangan. Sebagai kerajaan
agraris, Kediri memiliki lahan pertanian yang baik di sekitar Sungai Brantas. Pertanian
menghasilkan banyak beras dan menjadikannya komoditas utama perdagangan. Sektor
perdagangan Kediri dikembangkan melalui jalur pelayaran Sungai Brantas. Selain beras, barang-
barang yang diperdagangkan di Kediri antara lian emas, perak, kayu cendana, rempah-rempah,
dan pinang. Pedagang Kediri memiliki peran penting dalam perdagangan di wilyah Asia. Mereka
memperkenalkan rempah-rempah diperdagangan dunia. Mereka membawa rempah-rempah ke
sejumlah Bandar di Indonesia bagian barat, yaitu Sriwijay daan Ligor. Selanjutnya rempah-
rempah dibawa ke India, Teluk Persia, Luat Merah. Komoditas ini kemudian diangkut oleh
kapal-kapal Venesia menuju Eropa. Dengan demikian, melalui Kediri wilayah Maluku mulai
dikenal dalam lalu lintas perdagangan dunia.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Kediri dapat diketahui melalui kronik-kronik Cina yang
menyebutkan di antaranya sebagai berikut:

1. Kediri menghasilkan banyak beras


2. Barang-barang dagangan lain yang laku di pasaran, seperti emas, perak, daging, kayu
cendana, pinang, dan gerabah
3. Telah menggunakan uang yang terbuat dari emas sebagai alat pembayaran atau alat tukar
4. Posisi Kerajaan Kediri sangat strategis dalam perdagangan Indonesia Timur dan Indonesia
Barat dengan kota pelabuhannya
5. Pajak rakyat berupa hasil bumi.

3.3 Kehidupan masyarakat dalam bidang Sosial Budaya


Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, struktur pemerintahan Kerajaan Kediri sudah
teratur. Berdasarkan kedudukannya dalam pemerintahan, masyarakat Kedri dibedakan
menjadi tiga golongan sebagai berikut :

Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan
raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.

Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para
pejabat atau petugas pemerintahan di wilyah thani (daerah).

Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai


kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi.

Selain itu, prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Kediri menunjukkan adanya golongan


agamawan Hindu. Aspek kehidupan sosial kemasyarakatan Kerajaan Kediri juga dapat
ditemukan dalam kitab Ling Wai Tai Ta yang disusun oleh Chou Ku Fei pada 1178 dan
kitab Chu Fan Chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua pada 1225. Kitab itu mendeskripsikan
bahwa masyarakat Kediri berpakaian dengan mengenakan kain sampai bawah lutut dan
rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka sangat bersih dan tertata rapi, karena
pemerintahnya begitu memerhatikan keadaan rakyat agar hidup tenteram dan teratur.

4. Latar belakang Runtuhnya Kerajaan Kediri


Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja Kertajaya, seperti dikisahkan
dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Pada tahun 1222, Kertajaya dianggap telah
melanggar agama dan memaksa Brahmana menyembahnya sebagai dewa

Pada tahun 1042 M, kedua putra Raja Airlangga bersaing untuk mengambil tahta kerajaan
sehingga terdesak Airlangga berenca ingin membagi kerajaan menjadi dua bagian. Hasil perang
saudara tersebut, Kerajaan Kediri dibagikan kepada Sri Samarawijaya yang ibukotanya Kota
Daha. Sementara itu, Kerajaan Kahuripan dibagikan kepada Mapanji Garasakan yang ibukotanya
di Kahuripan. Dalam Prasasti Meaenga dituturkan bahwa Kerajaan Kediri telh berhasil
menguasai Kerajaan Kahuripan dengan menjadi raja ialah Raja Mapanji Garasakan (1042-1052
M) diabadikan dalam Prasasti tersebut. Akan tetapi, pada peperangan tersebut menyebutkan
bahwa Kerajaan Kediri berhasil mengambail semua ahli tahta Airlangga. Pada
perkembangannya, penolakan dari kaum Brahmana menjadi penyebab Raja Kertajaya marah dan
akhirnya melakukan berbagai tindakan buruk terhadap kaum Brahmana. Para Brahmana
kemudian meminta perlindungan pada Ken Arok di Singasari.. Ken Arok yang bercita-cita
memerdekakan Tumapel kekuasaan Kediri mencetuskan perang antara Kerajaan Kediri dan
Tumapel di dekat desa Ganter.

Tahun 1222 pecahlah pertempuran antara prajurit Kertajaya dan pasukan Ken Arok di desa
Ganter. Dalam peperangan ini, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan prajurit Kertajaya.
Keberhasilan Ken Arok mengalahkan Kertajaya menandai runtuhnya Kerajaan Kediri yang
kemudian menjadi kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.

Setelah Ken Arok mengangkat Kertajaya, Kediri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan
Kerajaan Singosari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai Bupati Kediri.
Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan oleh putranya , yaitu Jayakatwang. Tahun 1292 Jayakatwang menjadi
bupati geleng-geleng. Selama menjadi bupati, Jayakatwang memberontak terhadap Singosari
yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam di masa lalu dimana leluhurnya yaitu Kertajaya
dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun
kembali Kerajaan Kediri, namun hanya bertahan satu tahun. Hal itu terjadi karena adanya
serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara,
Raden Wijaya.

Kerajaan Kediri ialah salah satu kerajaan Hindu yang berada di kawasan Jawa Timur.
Kerajaan Kediri berdiri pada abad ke 12 dan adalah belahan dari kerajaan Mataram Kuno. Raja
pertama kerajaan Kediri ialah Raja Sri Jayawarsa Digjaya Shastraprabu mengatahkan bahwa dia
sebagai titisan Wisnu.

Kemenangan dari kerajaan Panjalu yang membuat pusat pemerintahan dipindahkan dari
Daha ke Kediri, sehingga hingga saat ini lebih populer dengan nama Kediri. Kerajaan Kediri
berdiri sekitar 1045 Masehi dan setelah 177 tahun berdiri, akhirnya runtuh pada 1222 Masehi.
Kerajaan Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Prabu Kertajaya dan dikisahkan dalam kitab
Pararaton juga di Nagarakretagama.

Usai runtuh sebagai kerajaan besar, Kerajaan Kediri telah meninggalkan banyak benda-
benda spiritual yang masih ada hingga sekarang. Salah satunya adalah Candi Penataran. Selain
itu, ada pula karya sastra dari Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yakni Kitab Bharatayuda dar, Kitab
Hariwangsa, serta ada juga Kitab Gatutkacasraya.

Anda mungkin juga menyukai