Anda di halaman 1dari 4

ISKANDAR DZULKARNAIN

menafsir ulang Hikayat Iskandar Zulkarnain

1. Titisan Iskandar Dzulkarnain

Pengamat teks sejarah berbahasa Melayu, Khalid Taib dalam karya disertasinya menyimpulkan
bahwa penciptaan teks-teks sastra sejarah melibatkan tradisi Iskandar secara fungsional.
Keterlibatan tokoh Iskandar berfungsi menyajikan kebesaran raja-raja yang ditarik dari garis
keturunan. Iskandar Dzulkarkanain senantiasa diungkapkan dalam garis keturunan raja-raja Melayu.

Dalam pengantar buku Hikayat Iskandar Zulkarnain, terbitan Balai Pustaka, Siti Chamamah
Soeratno mengemukakan bahwa Iskandar Dzul karnain adalah raja besar yang melimpahkan
kebesaran kepada Raja-Raja Melayu selaku anak keturunan-nya. Iskandar Dzulkarnain menjadi raja
yang diagungkan. Ia dibanggakan sebagai tokoh yang menurunkan Raja-Raja Melayu. Kebesaran
kerajaannnya dijadikan teladan bagi pemerintahan kerajaan-kerajaan para raja Melayu Nusantara.
Selain sebagai tokoh penurun yang mengalirkan darah kebesaran raja, Iskandar Dzulkarnain
dipandang juga sebagai tokoh pemberi ajaran mulia bagi kehidupan manusia untuk mencapai
kebahagiaan jasmani dan rohaninya, dan ajaran kepemimpinan bagi para raja-raja, yaitu bahwa
seorang pemimpin atau raja harus selalu sadar akan fungsinya sebagai penggembala bagi rakyat
yang dipimpinnya.

Keagungan Iskandar Dzulkarnain sebagai raja yang diidamkan dalam corak Islam dimanfaatkan
secara intensif sejak zaman daulah daulah Islam untuk berbagai keperluan. Ada berbagai fungsi
utama dalam pengikut sertaan unsur Iskandar Dzulkarnain, terutama ialah fungsi mengangkat nama
Iskandar Dzulkarnain pada garis keturunan raja-raja Melayu di berbagai daerah di Asia Tenggara
dan fungsi ajaran yang dikemukakan pada naskah yang bertalian dengan ajaran falsafah Islam, yang
kemudian dihidupkan dalam tradisi kerajaan. Serta fungsi pembangkitan identitas jatidiri
pembentuk corak kepribadian spesifik masyarakat Melayu yang berwawasan Nusantara.
Dapat dikatakan, bahwa hampir semua teks Melayu yang menyajikan sejarah asal usul raja-raja, dan
kerajaan-kerajaan melibatkan ketokohan Iskandar Dzulkarnain, seperti juga diungkapkan dalam
berbagai teks Tambo Minangkabau yang menyatakan bahwa raja Alam Minangkabau yang pertama,
diceriterakan berasal dari keturunan Iskandar Dzulkarnain.

Masa Iskandar Muda (Alexander the great) 400SM-330 SM

Khusus yang membicarakan hubungan Indonesia dengan Iskandar Dzulkarnain adalah buku Sejarah
Melayu yang disusun Tun Sri Lanang di masa pemerintahan Iskandar Muda di Aceh. Tun Sri
Lanang adalah seorang Bendahara yang “ditawan” Aceh dan semasa itu pulalah ia menyusun
Sejarah Melayu yang dikatakannya bersumber dari Sejarah Melayu sebelumnya yang sempat
dibacanya.

Tun Sray La NaH- Du- Sura ya Lanha ( kerajaan Lanha) – Surna (Malaka).
Bendahara yang di tawan Aceh - Badha raya Gadhwa ( Parao ya Gadwa-Gedea).
Carita- Cariha - Negeri
Ceritera-ceritera yang ditulisnya merupakan sebuah karya sastra yang berasal dari kumpulan
ceritera-ceritera sebelumnya yang telah ada, bahkan dalam hubungannya dengan Iskandar
Dzulkarnain, sudah menjadi anutan dan kepercayaan para raja-raja Melayu, baik di Melaka, atau di
Sumatera seperti di Aceh, Minangkabau, Jambi dan Palembang. Khususnya di Kerajaan Kesultanan
Indrapura yang dalam riwayatnya tercatat sebagai salah satu pewaris kerajaan kerajaan Melayu
yang pernah ada pada zamannya, jauh sebelum karya Tun Sri Lanang itu ada.

Pada saat buku Sejarah Melayu tersebut ditulis oleh Tun Sri Lanang, sebenarnya yang jadi raja di
Aceh bukan lagi Iskandar Muda, tetapi seorang keturunan raja dari Malaka yang jadi menantu
Iskandar Muda. Pangeran ini juga bernama Iskandar, yakni Iskandar Tsani suami dari Ratu
Syafiatuddin, putri dari Raja Iskandar Muda. Itulah sebabnya raja Aceh dan raja-raja selanjutnya
juga menyatakan keturunan Iskandar Dzulkarnain.

Dikisahkan dalam buku itu tentang Iskandar Dzulkarnain, seorang raja besar yang sampai
menjelajahi anak benua India sekarang. Iskandar Dzulkarnain menikah dengan seorang putri anak
Raja Kida Hindi, yang dari pernikahan ini melahirkan Raja Suran . Dimasa kecilnya Raja Suran
diasuh oleh moyangnya Raja Aktabu’l Ardhi yang bersemayam di negeri Dasar Lautan. Raja Suran
kelak kemudiannya mempunyai tiga orang putra, Nila Pahlawan, Nila Pandita dan yang bungsu
bernama Nila Utama.

Puhria nahra ya GidaHinhi – Parana Gidahin (Paran Gedeon).


Raja Aktabul Adrhi - Raya harhabul ardhi - Raja /Raya Bumi Arab.
Nila Utama Nlawu Dama (Dama Luas-Luwas)
Dasar Lawutan- D-Sarawuha – Sarawa. - Sudah Tenggelam (dasar lautan).

Menjadi tiga puhra (kerajaan).


Nilaba lawa ( Niba lawa) – Nabalowa
Niba ndiHa - Nabadiha
Bungsu (Bursu-Parsu) barana manila utama

Ketiga anak Raja Suran (Kadirana Karasuran- Kerajaan Kadiran-Iskandar) ini dengan
mengendarai (Marhan darayi- Merhu Daru Raya) lembu (Lamua-benua Lamua) melakukan
perjalanan sampai ke Bukit Seguntang Mahameru (Bugi- Seh rundara – Daru Suran -Surha Mheru)
. Ketika itu, Nila Utama yang sedang mengendarai lembu, membuat dua wanita (Baniwa-
keturunan Raja Wa-ebrahim) yang tinggal di sana, yakni Wan Empu ( Bani Muwe) dan Wan
Malini ,Bani Man(d)a terheran-heran, karena dari si pengendara lembu (la-mua- pulau La-Mau) itu
memancarkan (mewarisi -mempusarai) sinar kemilau (Sinara La mayu) yang bercahaya-cahaya
(Barsya – yasahaya- Ya-sha-ya ) membuat semua padi di sawah (Bada Saba) menjadi emas
( Maya di e Mas- Syam- Damsik-Damasku-Demask-Demak) , berdaunkan perak (Barda wu Perah
-Kerajaan Perak) , dan batangnya tembaga suasa (Bada ha niya di mara suasa .

Marwane mwu danwa malini (Malyn - ya) berhaniya gaba darehiha pamu datamwanihu danha
rasalu suluniya
ya gadiyawabolehsa lahsewora gadia da-ra merega bhawa meregaha da labahsa ma syajurha
(sayuha- Seljuk). Barasala daria nahcu cura yahi sakan darzula karanayi hinsa ba merega da ripa
daraya nu syirawa hadilaha, raya masyarih damagrabi da bacara ri pada raya sulaimaa lahi salama
(sama).

Syirabaha di laha – Sarabon – Taruban ( dalam peta jawi Tarabon di tulis Syarabon)

Maka Wan Empu dan Wan Malini bertanya kepada ketiga pemuda (Kadira Bamua) tampan
(damuan-Dama) itu tentang asal usulnya, yang dijawab oleh salah seorang diantara mereka bahwa
mereka adalah bangsa manusia juga, berasal dari anak cucu Raja Iskandar Dzulkarnain, nisab
mereka dari pada Raja Nusyirwan Adil ( Rayanu Sirawak Lade- Kerajaan Sarawak), raja masyrik
dan maghrib dan pancar dari pada Raja Sulaiman Alaihis salam.

Dan dengan takdir Allah Ta’ala, dari mulut (Darumu) lembu (Lamau) kenaikan (rana raya) mereka
itupun memuntahkan buih (Mamu daharan Bawa) , dan dari buih (Daru Bawa) itu keluarlah
seorang manusia laki-laki dinamai Bat berdiri ( Bata berri- Kerajaan Bada) memuji (mamuyu-
Mayo) anak raja tersebut ( raya saba kini) . Maka anak raja itupun digelari oleh Bat dengan nama
Sang Sapurba Taramberi Teribuana ( Sah Saba Kaba D Ramueri D' ri Buwana)

Nila Pahlawan kemudian menikah ( Ramudiyamenirha-kerjaan) dengan Wan Empu, dan


( Daranuwa Mada) Nila Pandita menikah dengan Wan Malini. Sedangkan, Nila Utama yang
digelari Sang Sapurba, kemudian menikah dengan Wan Sendari anak Demang Lebar Daun, Raja
Palembang. Dari perkawinan ini Nila Utama Sang Sapurba beranak empat orang, dua orang
perempuan bernama Putri Sri Dewi, dan Putri Cendra Dewi. Serta dua orang putra bernama Sang
Maniaka, dan seorang lagi putra bungsunya yang kemudian juga bernama Nila Utama. Nila Utama
putra Sang Sapurba ini kelak berlayar menuju pulau Temasik, kemudian dikenal dalam sejarah
Melayu sebagai pendiri dan raja pertama Singapura yang berkuasa pada tahun 1300 – 1348 M.
Putra Sang Sapurba yang juga bernama Nila Utama pendiri Singapura itu, akhirnya menjadi cikal
bakal asal-usul keturunan raja-raja di Semenanjung Malaya, di antaranya Raja Malaka.

Di dalam Ranji Asli Keturunan Raja-Raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura yang
diwarisi oleh Sutan Boerhanoeddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah, (Transkripsi,1989)
dikisahkan juga secara ringkas :

“Adopun nan bakuaso samaso itu disabut Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo, kerajaan di Pulau
Linggapuri, kemudian banamo Pulau Emas, Pulau Perca, Lagundi Nan Baselo yaitu puncak
gunung Marapi. Disitulah nan banamo Parahiangan istana Sultan, atau disabut Kerajaan Sultan
Tajul Alamsyah. Pado maso itu belum banamo kerajaan Pagaruyung, dan alam ini balun banamo
Minangkabau.
Yang Ulia Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo berlayar mengarungi lautan besar dengan sebuah
rakit sampai ke Bukit Seguntang-guntang dan sampai ke sebuah pulau, yang kemudian pulau itu
beliau beri nama Singapura. Seterusnya beliau jadikan nagari Johor, Malaka dan Patani, dan lain-
lain. Dan beliau inilah yang menurunkan kerajaan Sultan Nagari Sembilan. Dan disinilah pula
pangkalnya hubungan keluarga Minangkabau dan Kerajaan Indropuro dengan kerajaan Nagari
Sembilan, Malaya.”

Pagaru yung, - Pagaru yuha-Yurha ( kerajaan Bagaru-Pageru- sering di salah transkrip sebagai
Partugu – portugis-Portugal)

dan alam ini balun banamo minangkabau- dana lamyn yabalunwan mawomi nagrabau.
Mawo mina – gunung garabau – (gunung Arab).

Hajjah Putri Balkis Alisyahbana, yang mengaku sebagai urang Nata dan memiliki latar belakang
sebagai keturunan dari Kerajaan Indrapura dalam sebuah makalahnya yang dikemukakan pada
Simposium Himpunan Melayu Seluruh Dunia, tanggal 23-27 September 1996 di Selangor, Shah
Alam, Malaysia menjelaskan bahwa :
“Dalam naskah-naskah yang menceriterakan kisah Kerajaan Indrapura sejak abad ketiga belas,
disebut bahwa Indrapura pernah merupakan sebuah kerajaan yang jaya dan makmur dan banyak
berhubungan dengan saudagar-saudagar dari mancanegara, seperti Spanyol, Portugal, Inggeris, Cina
dan sebagainya. Kerajaan ini membentang luas di Pantai Barat Sumatera dari Air Bangis hingga
Sungai Hurai, yaitu Bengkulu. Dan kerajaan ini bernama Kerajaan Melayu, yang dikemudian hari
bergabung dengan Kerajaan Minangkabau, Pagaruyung.”

Dapat diduga bahwa ada hubungan yang sama antara pendiri Singapura menurut kisah Sejarah
Melayu karangan Tun Srilanang tersebut dengan nenek moyang Raja-Raja Kerajaan Kesultanan
Indrapura, dan dengan Pariangan di kaki Gunung Merapi, Minangkabau Pagaruyung. Yakni putra
Sang Sapurba yang juga bernama Sang Nila Utama, disekitar awal abad ke 13 M.

dan menikah dengan seorang putri raja - damaniha d-ra seworha buhry raya
di lereng gunung marapi- di regrunu hma raby .
berhasil parashi
membunuh – membina – mamanu – gunung
seekor ular naga- seyego ru la rnaha - Saka (Saga) bangsa/besar ranah.

Sementara itu dikisahkan pula bahwa, Sang Sapurba, putra dari Raja Suran dari Bukit Seguntang
Mahameru kemudian pergi ke Minangkabau dan menikah dengan seorang putri raja di lereng
Gunung Marapi setelah terlebih dahulu berhasil membunuh seekor ular naga. Dan dari pernikahan
Sang Sapurba dengan putri dari Gunung Merapi Minangkabau itu, menurunkan raja-raja
Minangkabau di kemudian hari.
Bagaimanakah menurut Tambo Minangkabau?
Sumoga menjadi pengetahuan kita tentang sejarah melayu kita

Anda mungkin juga menyukai