Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN
AJARAN HINDU DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN SEEMBAHYANG
1.      Ajaran Tentang KeTuhanan
Tuhan Yang Maha Esa Menurut Hindu Dharma
Menurut Hindu Dharma, Tuhan hanya satu. Umat Hindu di Indonesia memberi Dia gelar Sang Hyang Widhi
Wasa ‘Widhi’ berarti takdir dan ‘Wasa’ artinya Yang Maha Kuasa. ‘Widhi Wasa’ berarti Yang Maha Kuasa, yang
mentakdirkan segala yang ada.[6]
 Dia juga disebut Bhatara Ciwa Pelindung Yang Tertinggi. Banyak gelar lagi yang dipersembahkan oleh umat
Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Sang Hyang Parameswara raja Termulia, Parama Wicesa, Maha
Kuasa, jagat Karana pencita Alam dan lain-lainnya.
Sebagai pencipta Ia bergelar Brahma (Utpatti), dalam aksara Ia disimbolkan dengan huruf ‘A’. Sebagai pemelihara
dan pelindung (Sthiti) ia disebut Wisnu dalam aksara disimbolkan huruf ‘U’. Sebagai Tuhan yang mengembalikan
segala isi alam kepada suber asalnya (Pralina) Ia bergelar Ciwa; sering juga disebut sebagai Icwara, sibolnya dalam
aksara adalah huruf ‘M’.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pustaka suci Weda: “EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN” ,
artinya: “hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya Adwityam Hyang Widhi itu itu “EKO NARAYANAD NA
DWITYO’STI KACIT” artinya: “hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya”.
Gelar Tuhan disebut dengan berbagai nama disebabkan sifat-sifat Sang Hyang Widhi Yang Maha Mulia, Maha
Kuasa, Maha Pengasih dan tiada terbatas. Sedangkan kekuatan manusia untuk menggambarkan Sang Hyang Widhi
sangat terbatas. Rsi-rsi agama Hindu hanya mampu memberi sebutan dengan berbagai nama serta berbagai
fungsinya. Yang paling utama ialah TRI SAKTI, yakni:
1. BRAHMA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pencipta, dalam bahasa sansekerta
disebut “UTPATTI”.
2. WISNU adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung, pemelihara dengan segala
kasih-sayangnya. Pelindung dalam bahasa sansekerta disebut “STHITI”.
3. SIWA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya melebur (pralina) dunia serta isinya dan
mengembalikan dalam penyadaran ke asal.
TRI SAKTI ini mencipta, memelihara dan melebur semesta alam. Mereka menguasai ketiga hukum: lahir, hidup,
dan mati serta seluruh makhluk, termasuk manusia. untuk dapat meresapkan kemahakuasaan Hyang Widhi ini,
agama Hindu memberikan simbol pada kekuatannya dalam ucapan aksara suci “OM”.[7] Perkataan “OM” adalah
aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga prabawanya, yaitu:
Aksara ‘A’ untuk menyimbolkan BRAHMA , Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha Pencipta.
Aksara ‘U’ untuk menyimbolkan WISNU, Hyang Widhi prabhawanya Maha Melindungi.
Aksara ‘M’ untuk menyimbolkan SIWA, Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha Pelebur.
Suara ‘A’, ‘U’ dan ‘M’ ditunggalkan menjadi AUM atau OM.
Dalam Agama Hindu, Sang Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa atau Bhatara. Dewa adalah perwujudan sinar
suci dari Sang Hyang Widhi yang memberi kekuatan suci guna kesempurnaan hidup makhluk. Dewa itu bukan
Sang Hyang Widhi Wasa, Ia hanyalah sinarnya.
 Kata ‘Dewa’ berasal dari bahasa sansekerta ‘DIV’, artinya Sinar (kata ini menjadi Day dan Divine dalam bahasa
inggris). Tegasnya,  Dewa berarti bersinar, sedangkan kata Bhatara adalah prabhawa (manifestasi) kekuatan dari
Sang Hyang Widhi untuk memberi perlindungan terhadap ciptaannya.
Kata ‘Bhatara’ berasal dari bahasa sansekerta ‘BHATR’ yang berarti pelindung, antara Dewa dan Bhatara sering
pemakaiannya diartikan sama saja. Umpamanya Dewa Wisnu disebut juga Bhatara Wisnu karena beliau
melindungi makhluk semesta.[8]
Tripramana
Agama Hindu mengajarkan teori “TRIPRAMANA” yakni: tiga cara untuk mengetahui benar-benar adanya Tuhan
Yang Maha Esa,[9] yaitu dengan cara:
1. PRATYAKSA PRAMANA ialah dengan cara melihat langsung, mengenal Tuhan Yang Maha Esa hanya
orang-orang sangat suci yang mungkin mengetahui Sang Hyang Widhi dengan cara melihat langsung, yaitu dengan
cara Pratyaksa pramana.
2. ANUMANA PRAMANA ialah dengan cara analisa  yang mudah-mudah saja. Umat Hindu percaya bahwa
terdapatnya seluruh alam semesta tentu ada yang menciptakan, yanki Sang Hyang Widhi. Apabila manusia mati
tentu ada tempatnya bagi atman yang lepas dari badan. Inipun tentu adalah Sang Hyang Widhi.
3. AGAMA PRAMANA ialah denga cara mempercayai isi pustaka suci Agama Hindu. Umpamanya kitab
suci Upanisad menyatakan bahwa Sang Hyang Widhi adalah “telinga dari semua telinga; pikiran dari semua
pikiran; ucapan dari segala ucapan; nafas dari segala nafas; mata dari segala mata”, dan lain sebagainya.
Adanya Sang Hyang Widhi
Maka dari itu, Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa merupakan maha Sempurna dan tidak terbatas, karena itu
manusia tidak dapat melihatnya. Walaupun manusia  tidak dapat melihat  Sang Hyang Widhi bukanlah Sang
Hyang Widhi tidak ada. Sebagai halnya bintang-bintang di langit, tidak kelihatan pada siang hari tidak berarti
bahwa bintang-bintang itu tidak ada atau ada hanya pada waktu malam saja. Justru karena mata manusia tidak
mampu menembus sinar matahari, maka dari itulah sebabnya tidak dapat melihat bintang-bintang di langit. Akan
tetapi bintang-bintang itu tetap ada. Demikian pula lantaran manusia tidak dapat menembus kegelapan jiwanya.
Maka tidak dapat pula melihat Sang Hyang Widhi, akan tetapi Sang Hyang Widhi pada hakikatnya tetap ada. Umat
beragama yang benar-benar melaksanakan kehidupan suci sesuai dengan petunjuk dan ajaran pustaka suci, niscaya
akan melihat Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dengan terang. Tuhan Yang Maha Esa akan tampil dalam
hati-sanubari para umat beragama dan jiwa yang suci lagi murni.
Tidak Berbentuk
Dalam pustaka suci Weda, disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi tidak berbentuk, tidak bertangan maupun berkaki,
tidak berpancaindra, tetapi beliau dapat mengetahui segala sesuatu yang ada pada makhluk. Lagi pada Hyang
Widhi tidak pernah lahir dan tidak pernah tua, tidak pernah berkurang juga bertambah. Tegasnya Sang Hyang
Widhi tidak berbentuk tetapi karena kemuliaannya dapat mengambil wujud sesuai dengan keadaan untuk
menegakan Dharma. Perwujudan ini dinamakan AWATARA.
Awatara
Istilah Awatara  adalah perwujudan Sang Hyang Widhi  ke dunia dengan mengambil suatu bentuk yang dengan
perbuatan atau ajaran-ajaran sucinya, beri tuntutan untuk membebaskan manusia dari penderitaan dan angkara
murka disebabkan kegelapan awidya.[10]
      Pustaka suci Bhagavadgita, Bab IV sloka 7 berbunyi:
      “Manakala Dharma (kebenaran) mulai hilang
      Dan Adharma (kejahatan) mulai merajalela,
      Saat itu, wahai keturunan Brata (arjuna),
      Aku sendiri turun menjelma.
Ternyata apabila dunia dalam penderitaan dan dikuasai Adharma, maka Sang Hyang Widhi turun ke dunia untuk
menegakan Dharma. Dalam hal ini, Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dalam maifestasinya sebagai
Wisnu, telah menjelma ke dunia ini sebagai Awatara sebanyak Sembilan kali untuk menjelmakan dan menegakan
Dharma. Dalam kitab suci Purana, ada disebutkan DHASA AWATARA (Sepuluh Awatara)[11] sebagai berikut:
1. MATYSA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi berbentuk ikan besar, telah menyelamatkan manusia
dari banjir yang maha besar.
2. KURMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai kura-kura raksasa telah menupu dunia ini agar
terhindar dari bahaya terbenam.
3.  WARAHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai seekor badak agung yang telah
menyelamatkan dunia dan mengait dunia dari bahaya terbenam.
4. NARASIMBA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi dalam bentuk manusia berkepala samba (singa)
telah menyelamatkan dunia dengan mebasmi kekejaman Raja Hirnyakasipu yang terkenal dengan lalim dan selalu
menindas Dharma.
5. WAMANA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai orang kerdil yang
berpengengetahuan tinggi dan mulia, telah menyelamatkan dunia dengan mengalahkan Maharaja Bali yang selalu
menginjak-injak Dharma dan kedaulatan negara.
6. PARASHURAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia bentuk Ramaparashu, yakni
Rama yang bersenjata kapak telah menyelamatkan dunia dengan membasmi segenap kesatrya yang menyeleweng
dari ajaran Dharma.
7. RAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagi Sri Rama, putra raja Dasharatha,
telah menyelamatkan duina dengan membasmi Sang Rawana, raja kelaliman dan keangkaramurkaan di negeri
Alengka.
8. KRESNA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Sri Kresna , raja Dwarawati
yang terkenal, telah membasmi raja Kangsa dan jarasada tokoh kelaliman.
9. BUDDHA AWATARA:  Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Buddha Gautama, putra raja
Sudhodana yang lahir  di kapilavastu, telah menyebarkan Dharma dan memberikan tuntunan kepada manusia untuk
mencapai Nirwana.
 10.  KALKI AWATARA: penjelmaan terakhir Sang Hyang Widhi akan membasmi segala penghianat dan
penyeleweng agama. KALKI akan turun ke dunia pada zaman Kali Yuda, yakni zaman memuncaknya
pertentangan. Menurut keyakinan umat Hindu, Awatara Kalki itu sekarang amsih belum lahir, namun
pasti akan lahir untuk melenyapkan pertentangan-pertentangan keyakinan itu.
Rsi—Acarya/Sulinggih
Disamping Awatara, dalam agama Hindu terdapat pula istilah ‘Rsi’ dan ‘Acarya’. Rsi adalah orang suci
yang atas usahanya melakukan tapa yoga, semadi, memiliki kesucian dan dapat menghubungkan dirinya
kepada Sang Hyang Widhi dan sudah mencapai moksa, sehingga dapat melihat hal-hal yang lampau (atita),
yang sekarang (wartamana) dan yang akan datang (anagata).[12]
Para rsi berkewajiban memelihara, menuntun umat manusia dengan ajaran-ajaran Weda. Awatara
berbeda dengan Rsi, sebab yang satu turun dari atas sedangka yang lainnya dari bawah naik ke atas.
Acarya berbeda pula dengan Rsi, sebab Rsi sudah melepaskan dir dari ikatan keduniawian, sedangkan
Acarya masih belum dapat melepaskan diri dari ikatan keduniawian, ia harus melakukan upacara
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Ajaran Tentang Seembahyang
Berkenaan dengan ajaran mengenai ritual Hindu yang di ajarkan dalam naskah Kusumadewa sesungguhnya tidak
terlepas dengan beberapa mantra dan doa suci yang dilafaskan oleh pemanku disatu tempat yang suci sesuai
dengan rangkaian dan enis upacara yang dijelaskan didalamnya.[13]
Beberapa hal utama sebagai periapan rituan Hindu yang diajarkan dalam naskah Kusumadewa yakni pentingnya
membersihkan sarana atau alat yang digunakan untuk melakukan perseembahyangan. Adapun alat tersebut antara
lain:[14]
1. Membersihkan Cablong
2. Menata tikar
3. Memetik daun
4. Memasang caniga
5. Membersihkan juntandeg
6. Mengisi juntanddeg air uci
7. Meenempatan dupa pada bangunan suci
8. Mengahturkan dupa
9. Dll.
Sebagai akhir dari semua rangkayan ritual dalam upacara piodalan adalah membagikan air suci atau thirta yang
diawali dengan memercikan pada bagian kepala sebanyak tiga kali , air suci ddi minum tiga kali, serta air suci
digunakan untuk membersihkan muka sebagai kesucian dan anugrah Ida sang Hyang Widhi Wasa juga dibasuhkn
tiga kali padda bagian muka. Terakhir adalah nunas sekar disertai ucapan ‘Ong Kasumaduhadi jaya nama swaha’
yang maknanya anugrah dari sang Hyang widhi wasa.[15]
Waktu berdetik-detik, bermenit-menit berhari-hari, bertahun-tahun, terus berputas di kita semua. Para Rsi kita
menyadari bahwa pase-fase waktu tersebut mempengaruhi kekuatan-kekuatan dan energi yang berbeda. Kekuatan-
kekuatan itu digambarkan sebagai dewa dan dewi. Mengucapkan doa atau arti pada jam-jam tersebut secara teratur
sangat penting karena kekuataan dewa dan dewi pada saat itu sangat senssitif pada jam-jam tersebut. Demikian
pula pada jam-jam  untuk kita beraktifitas kehidupan keagaamaan dan spiritual.[16]
 Memahami filosofi seembahyang
Perseembahyangan daalam agama Hindu yang dianut di Bali merupakan cara-cara melakukan hubungan Atma
dengan parama-atma, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua manifestassinya.[17]
 Arti dan makna seembahyang
Kata “seembahyang” berasal dri bahasa Jawa Kuno. Sembah dalam bahasa jawa kuno berarti “menyayangi,
menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Sedangkan kata Hyang artinya “suci”.[18] Jadi
kata seembahyang berarti menyembah yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang hakekatnya lebih tinggi. Dalam
bahasa yang biasa yang mereka gunakan adalah “yajna/ yadnya”.
Istilah yajna berasal dari akar kata sangsekerta “yaj” berarti menyembah, berdoa, berkorban, beramal dan bekerja
sunguh-sungguh.[19] Pada dasarnya yajna bertujuan uuntuk membalas hutang budi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Panca yajna ialah lima hal yang dipersembahkan atau pengabdian[20]
1. Brahman yajna: berbakti pada Tuhan YME
2. Devaa yajna: berbakti pada Dewata
3. Pitri yajna: berbakti pada nenek moyang
4. Nri yajna: sedekah pada yang miskin
5. Bhuta yajna: memberikan makanan pada binatang
 Yang boleh di sembah[21]
 Ida sang Hyang Widhi wasa
 Para dewa-dewa
 Para Rsi
 Leluhur
 Manusia
 Bhuta
 Arti dan fungsi sarana sembahyang[22]
Melakukan perseembahyangan umumnya umat Hindu Bali menggunakan berbagai sarana untuk memantapkan
hatinya dalam melakukan perseembahyangan. Sarana itu ada berupa bunga, buah, daun, api, dan juga thirta.
Sarana
Arti
Fungsi
1. Bunga
Lambang ketulus ikhlasan pikiran yang suci[23]
Simbol Tuhan Siwa, sarana perseembahyangan.
1. Canang
Lambang penghormatan,[24] Makna hidup
Benda benar bernilai tinggi
1. Kawagen
Keharuman
Mengharumkan Nama Tuhan[25]
1. Api
Sumber kehidupan dewanya Brahma meneranggi dan dharmanya  membakar.[26]
Sebagai pperantara yang dipuj dengan pemmuja.
1. Tirtha
Air suci[27]
Membersiihkan ddiri ddarri kotoran maupun pencemarann pikiran
1. Bija
Beras, abu suci
Mengembangkan benih kehidupan suci[28]
1. Mantra
Syair succi dari kitab Weda Sruuti sabda Tuhan[29]
Melindungi pikiran dari hal yang buruk.
 Manfaat seembahyang bagi kehidupan
Menentramkan jiwa[30]
Dengan melakukan seembahyang kita didik untuk memiliki sifat ihklas. Ihklas pada akikat nya merupakan
kebuTuhan jiwa manusia. Karna apapun yang ada pada diri kita tidak ada yang kekal, semua satu persatu atau
bersama-sama akan pergi terpisah dengan diri kita.
 Kemudahan dan ketampanan serta kecantikan  lambat laun akan surut perlahan-lahan meninggalkan diri kita.
Kekayaan, jabatan basah, kepandaia juga lambat laun akan kita tinggalkan, cepat atau lambat.
 Demikian juga yang ada di luar diri kita, semua yang kita cintai : istri, anak-anak, ayah, ibu, saudara, sahabat,
pimpinan yang baik, orang-orang yanh kita kagumi seperti guru, pendeta yang suci, cepat atau lambat juga akan
berpisah dengan kita.
Menentramkan jiwa[31]
Rasa aman dan jiwa yang tentram juga merupakan kebuTuhan rohani pada setiap orang. Rasa aman akan dirasakan
oleh orang yang selalumerasa dekat dengan Tuhan. Salah satu kemahakuasaan Tuhan adalah sebagai pelindung
ciptaan Nya yang benar-benar meyakiniNya dan selalu memuja dan melaksanakan ajaran-ajaran nya.
Rasa aman itu timbul karna adanya keyakinan bahwa Tuhan akan selalu dilindungi diri umat nya. Ibarat seorang
anak yang selalu berada disamping orang tuanya. Seperti orang sakit yang selalu didampingi oleh dokter. Jiwa
yang tentram adalah jiwa  yang terlepas dari cemas, gelisah, bingung, ragu-ragu dan kecewa. Nilai-nilai spiritual
dan nilai-nilai material hanya akan dapat dirumbuhkan oleh manusia yang berjiwa tentram.
 Manusia yang berjiwa tentram akan menjadi manusia-manusia yang produktif dan hidup bergairah . hidup di dunia
akan dirasakan sangat indah dan semarak sebagai tempat berkarma untuk meningkat kan diri. Tidak aka nada suatu
kemajuan di dunia ini  kalau dunia ini di huni oleh manusia-manusia yang berjiwa gelisah, cemas, ragu-ragu dan
selalu kecewa melihat keaadaan.
Mengatasi perbudakan materi[32]
Orang yang rajin dan tekun seembahyang akan dapat melihat dengan tenang nilai mana yang lebih tinggi dan nilai
mana yang lebih rendah. Manusia memang tidak dapat lepas dengan harta benda. Ibarat perahu tidak akan dapat
berlayar tanpa air. Tapi hendaknya diingat air itu adalah sarana, yujuan perahu perahu adalah menuju pantai.
Demikian juga manusia harta benda itu adalah alat manusia untuk mencapai pantai bahagia. Juga harus di ingat
kalau perahu yang tidak kokoh dan tidak terkendali  justru air lah yang akan menennggelamkan perahu itu.
 Demikian lah manusiakalu tidak sadar bahwa harta benda itu adalah alat justru menjadi terbalik manusia
diperalatoleh harta benda dan harta benda itulah yang di anggap tujjuan pertama dan nilai tertinggi. Manusia yang
demikian itulah yang akan di perbudak oleh materi.
Menumbuh kan cinta kasih[33]
Rasa dekat dengan Tuhan yang ditumbuhkan oleh ketekunan seembahyang, akan meningkatkan rasa cinta kasih
kepada sesama. Karena jiwa atman yang ada pada semua mahkluk adalah satu, bersumber dari Tuhan. Kalau kita
umpamakan Tuhan itu magnit dan manusia adalah sepotong besi, maka besi yang ditempelkan kepada magnit
tersebut akan menjadi  magnit pula. Kalu ada potongan besi yang lain nya ditempelkan pada besi yang telah
menempel pada magnit, besi itupun akan menjadi magnit pula.
Melestarikan alam[34]
Dalam seembahyang sebagai mana telah di uraikan dalam bab-bab sebelum nya membutuhkan sarana dari alam.
Dengan seembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan bunga-bungaan, daun-daunan, pohon buah-buahan yang
kita butuhkan dalam upaca perseembahyangan juga membutuhkan air dari sumber-sumber mata air yang alami.
Semua itu menimbulkan usaha untuk melestarikan sumber-sumber mata air tersebut.
Karena sarana-sarana perseembahyangan setiap hari dibutuhkan maka dalam setiap pekarangan umat Hindu,
apalagi dalam perkebunan nya, biasanya biasa nya pasti ditanam berbagai tumbuhan-tumbuhan yang ada gunanya
sebagai sarana perseembahyangan seperti bunga-bungaan yang beraneka warna.
Disamping itu manusipun lewat ketekunan seembahyang akan tumbu rasa cinta akan alam ciptaanTuhan. Rasa
cinta ala mini pun akan mendorong manusia untuk melestarikan alam lingkungan nya yang amat besar jasanya
pada kehidupan manusia.
Memlihara kesehatan[35]
Persembahyangan dilakukan dengan beberapa sikap yang dalam agama Hindu disebut Asana, ada beberapa bentuk
asana yang dipergunakan untuk melakukan desembahyang. Ada seembahyang yang dilakukan dengan duduk, ada
dengan berdiri seperti didalam kelas bagi siswa dalam melakukan Tri sandhaya.
Sikap duduk ada beberapa bentuk misalnya: padmasana. Yaitu sikap seembahyang  yang duduk seperti teratai.
Asana ini dilakukan dengan menempatkan kaki kanan diatas paha kiri dan kaki kiri di atas paha kanan, tulang
punggung sampai kepala menjadi satu garis tegak, sekujur tubuh dilemaskan.

PENGERTIAN KETUHANAN (TEOLOGI) DALAM


AGAMA HINDU
Hakekat ketuhanan ini seperti pula ajaran agama Hindu, maka yang menjadi sumber adalah kitab suci Veda, yang
merupakan himpunan sabda Tuhan Yang Maha Esa atau wahyu-Nya yang diterima oleh para mahārṣi di masa yang
silam. Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan
Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama. Berbagai wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun
Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud dalam pengertian materi maupun dalam jangkauan pikiran manusia, dan di
dalam bahasa Sansekerta disebut Acintyarūpa yang artinya tidak berwujud dalam alam pikiran manusia, dan
dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan “Tan kagrahita dening manah mwang indriya” (Tidak terjangkau oleh akal
dan indriya manusia).

Bila Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, muncul pertanyaan mengapa dalam sistem pemujaan kita
membuat bangunan suci, arca, pratimā, pralingga, mempersembahkan bhuṣaņa, sesajen dan lain-lain. Bukankah
semua bentuk perwujudan maupun persembahan itu ditunjukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud di
alam pikiran manusia? Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, marilah kita tinjau
difinisi atau pengertian Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan oleh Mahārṣi Vyāsa yang dikenal juga dengan
nama Badarāyaņa dalam bukunya: Brahmāsūtra, Vedāntaśastra atau Vedāntasāra, sebagai berikut: Janmādyasya
yataḥ (I.1.2), yang oelhe Swāmi Śivānanda (1977) diterjemahkan sebagai berikut : Brahman adalah asal muasal
dari alam semesta dan segala isinya (janmādi = asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya =  dunia/alam
semesta ini, yatah = dari padanya). Jadi menurut sūtra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan Yang Maha Esa yang
disebut Brahman ini merupakan asal mula segalanya. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Puruṣa Sūkta
Ṛgveda, berikut:

puruṣa evedaṁ sarvaṁ

yadbhūtaṁ yacca bahvyam,

utāmṛtatvasyeśā no

yadannenāti rohati.

(Ṛgveda X.90.2)

(Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah ada dan yang akan ada. Ia
adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan)

Demikian pula, Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup, dinyatakan pula
di dalam mantra Veda berikut:

Yo bhūtaṁ ca bhavyaṁ ca

sarvaṁ yaś cādhitiṣṭhati

svar yasyaca kevalaṁ tasmani

jyeṣṭhāya Brahmāṇe namaḥ

(Atharvaveda X.8.1)

(Tuhan Yang Maha Esa hadir  dimana-mana, asal dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada. Ia
penuh dengan rakhmat dan kebahagiaan. Kami memuja engkau, Tuhan Yang Maha Tinggi).

Selanjutnya dalam Nārāyana Upaniṣad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-2 dari mantram Tri Saṅdhyā,
juga menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa sebagai asal segalanya, maha suci tidak ternoda, sebagai berikut :

nārāyaṇa evedaṁ sarvaṁ


yadbhūtaṁ yacca bhavyam,

niṣkalaṅko niran̄jano nirvikalpo

nirākhyātaḥ śuddho deva eko

nārāyaṇo na dvitīyo’sti kaścit

(Nārāyaṇa Upaniṣad 2)

(Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada dan yang akan
ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha
cemerlang, maha suci (tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada dua-nya).

Definisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu sangat terbatas, oleh karena itu kitab-
kitab Upaniṣad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada
Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaran-Nya, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad
menyatakan tidak ada definisi yang tepat untuk-Nya, Neti-Neti (Na+iti, na+iti), bukan ini, bukan ini. Bila tidak ada
definisi yang tepat untuk-Nya, bagaimanakah kita dapat memuja-Nya? Untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa,
maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli dibidangnya
yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Tentang kitab suci atau sastra agama
sebagai sumber atau ajaran untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, kitab Brahmā Sūtra, secara tegas
menyatakan: Śāstrayonitvat (I.1.3), yang artinya: kitab suci (Veda) dan sastra agama adalah sumber untuk
memahami-Nya. Lebih jauh dalam kitab yang sama menyatakan: Tatu samanvayāt (I.1.3) yang artinya Tetapi Dia
(Brahman hanya dapat diketahui dari kitab suci dan bukan dengan bebas dalam arti yang lain), karena hal itu
merupakan penjelasan yang utama (dari semua kitab-kitab Vedānta).

Terhadap penjelasan ini, Swāmi Śivananda menyatakan: “Sūtra tersebut terkait dengan sūtra sebelumnya (I.1.2-3)
yang merujuk kepada kitab-kitab Vedānta yang menyatakan hanya Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) yang
merupakan eksistensi pertama, dan semua kitab-kitab Vedānta sepakat dengan sūtra di atas”.

Uraian tersebut di atas menegaskan bahwa kitab suci Veda dan termasuk kitab-kitab Vedānta (Upanisad) adalah
sumber yang paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).

Sumber tulisan : Teologi dan Simbol-Simbol Agama Hindu

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena
ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada
kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
(Sutta Pitaka, Udana VIII: 3).(budha)

Nah bisa disimpulkan bahwa ajaran Kejawen tentang ketuhanan adalah membahas siapa diri kita ini
dan apa tujuan kita di dunia ini. Kemudian Masyarakat kejawen juga mempercayai bahwa
Tuhan merupakan Maha Segalanya. Karena itu, mereka mengatakan jika Tuhan tidak perlu dibahas
keberadaan-Nya, karena -Dia tan kino kinayangan, tidak bisa disimbolkan ataupun
dibayangkan wujud-Nya.
Meski demikian masyarakat jawa tetap melakukan semua perintah Gusti dengan melakukan ritual-ritual
sembahyang. Sehingga mampu mengalami sebuah puncak pengalaman religius
yang disebut manunggaling karsa kawulo Ian karsa Gusti, yang mana orang tersebut akan
mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Kemampuan itu dapat diperoleh
dengan laku spiritual. Demikian penjelasan lengkap saya tentang Konsep Ajaran Kejawen Asli Tentang
Kehidupan dan Ketuhanan Semoga dengan ini kita memiliki wawasan yang luas tentang Ilmu Kejawen.
share di sini Ya...
Ajaran Tauhid dalam Keyakinan Kapitayan
Ajaran Kapitayan menyakini bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, diciptakan oleh Sang Maha
Kuasa, yang di-istilahkan sebagai Sang Hyang Taya. Sosok Sang Hyang Taya, memiliki makna Dzat yang
tidak bisa didefinisikan, yang tidak bapat didekati dengan Panca Indra.

Kepercayaan Ajaran Kapitayan kepada Sang Maha Pencipta, tentu tidak lepas dari ajaran tauhid yang
dibawa oleh leluhur umat manusia Nabi Adam.

Setelah peristiwa bencana di masa Nabi Nuh, ajaran monotheisme ini kemudian disebarluaskan oleh
pengikut serta keluarga Nabi Nuh, ke seluruh penjuru dunia. Jejak ajaran Tauhid Nabi Nuh, nampaknya
memberkas kepada ajaran Kapitayan yang dianut oleh leluhur masyarakat Nusantara di masa Pra
Sejarah.

Ajaran Kapitayan, bukan Animisme


Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran kapitayan yang awalnya merupakan kepercayaan monotheisme, mengalami
pergeseran.

Sang Hyang Taya yang Maha Ghaib, kemudian muncul dalam pribadi “TU”, “TU” lazim disebut Sanghyang Tu-nggal,
yang memiliki 2 sifat, yaitu sifat yang baik disebut Tu-Han dan sifat yang tidak baik disebut Han-Tu.

Sosok Kekuatan Sang “TU” dalam ajaran ini, diyakini berada (mempribadi) kepada benda-benda yang memiliki kosa
kata Tu atau To, seperti : wa-Tu (Batu), Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-gu, Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak),
Tu-tud (hati,limpa), To-san (pusaka), To-peng, To-ya (air). Dan melalui sarana benda-benda ini, masyarakat Pra
Sejarah melakukan persembahan dalam bentuk sesaji.

Sesaji yang diletakkan di benda-benda alam ini, kemudian disalah artikan sebagai bentuk penyembahan kepada benda-
benda alam (animisme). Padahal sejatinya merupakan sarana peribadatan kepada “Sang Pencipta”, dalam bentuk
sajian yang disebut Tumpeng.
 AGAMA BANGSA NUSANTARA

Ber Oleh karena


bagai kajian telah dilakukan untuk mencari data Sanghyang Tunggal dengan dua sifat
tentang Etnis penghuni Nusantara, Seperti yang utamanya itu bersifat ghaib, untuk
pernah dibahas sebelumnya bahwa sejak jaman memujanya dibutuhkan sarana yang bisa
Perburuaan manusia sudah mengenal didekati oleh panca indera dan alam
keyakinan dan harapan yang menjadi cikal pikiran manusia. demikianlah, dalam
bakal Agama Purba. Sejak jaman Pleistosen ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang
akhir para penghuni Nusantara sudah mengenal menyatakan bahwa kekuatan sang taya
peradaban yang berkaitan dengan Agama, dari yang mempribadi dalam Tu atau To itu
berbagai hasil budaya batu purba seperti mempribadi dalam segala sesuatu yang
Menhir, Dolmen, Yupa, Sarkofagus, dan punden memiliki nama Tu atau To seperti : wa-Tu
berundak membuktikan bahwa penghuni Sudah (Batu), Tu-rumbuk (pohon beringin) Tu-
mengenal Agama dengan berbagai ritual gu, Tu-lang, Tu-ndak (bangunan
pemujaanya. berlanjut ke jaman perunggu berundak), Tu-tud (hati,limpa), To-
sampai ke jaman logam banyak ditemukan hasil san (pusaka), To-peng, To-ya (air).
galian yang berhubungan dengan penguburan
mayat dan kegiatan sosial yang
mengindikasikan bahwa ada hubungan antara
prilaku sosial dan Agama pada kehidupan
penghuni Nusantara.
P.Mus dalam L.Inde vue de I'est . Cultes
Indiens Etindigenes au Champa menjelaskan
bahwa pada zaman purbakala pernah terdapat Dalam
kesatuan kebudayaan pada wilayah yang luas melakukan puja bakti sesembahan kepada
meliputi India, Indochina, dan Nusantara Sanghyang Taya maka disediakan sesaji
termasuk kepulauan di wilayah Pasifik, mereka Tu-mpeng dalam Tu-mpi (keranjang
percaya kepada sesuatu yang ghaib dibalik anyaman bambu), Tu-ak (arak), Tu-
benda-benda yang besar dan luas yang telah kung (sejenis ayam) untuk
memberi keberuntungan atau kesialan dalam dipersembahkan kepada sanghyang Tu-
kehidupan mereka, juga percaya bahwa ada nggal yang sifat gaibnya tersembunyi
orang-orang tertentu yang memiliki kedaulatan dibalik sesuatu yang memiliki daya ghaib
untuk memanggil, mendamaikan atau mengusir seperti wa-Tu, Tu-gu, Tu-rumbuk, Tu-lang,
kekuatan ghaib tersebut. Kluas epercayaan Tu-ndak, To-san, To-ya. Namun untuk
tersebut yang disalah artikan oleh Ilmuan melakukan permohonan yang tidak baik,
Orientalis dengan istilah Animisme dan persembahan ini akan ditujukan
Dinamisme. kepada han-Tu yang bernama sang
kepercayaan yang Manikmaya dengan persembahan yang
disebut P.Mus sebagai Animisme buruk bernama Tu-mbal.
Dinamisme tersebut pada hakikatnya adalah
Agama Kuno penduduk Nusantara yang dalam
istilah jawa dikenal dengan nama Kapitayan.
Agama yang sudah dianut sekian lama sejak
Masa Paleolitikum hingga zaman Modern
dengan nama yang berbeda-beda di setiap
wilayahnya seiring dengan perkembangan ras
manusia dan membentuk suku-suku di Berbeda
Nusantara, Seperti berbeda-bedanya bahasa di dengan persembahan sesaji kepada
setiap suku, Nama agama ini pun menjadi Sanghyang Tu-nggal yang merupakan puja
berbeda-beda di setiap wilayahnya seperti bakti melalui pelantara, para Rohaniawan
Isilah Sunda Wiwitan pada suku kapitayan melakukan sembah-
Sunda, Kejawen pada suku Hyang langsung kepada Sanghyang Tu-
Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku nggal di suautu ruangan khusus
Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak dan bernama Sanggar, bangunan persegi
nama yang lain pada setiap suku yang berbeda empat beratap Tu-mpang, dengan Tu-
sebelum datangnya pengaruh Indus dan China tuk (lubang) di dinding sebelah timur
pada awal abad Masehi dan membentuk sebagai lambang kehampaan Sanghyang,
kerajaan2 baru dengan agama baru. mengikuti aturan tertentu :
 Mula mula sang Rohaniawan
 AGAMA KAPITAYAN melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak)
menghadap Tu-tuk  (lubang) dengan kedua
tangan diangkat keatas menghadirkan
Sanghyang taya kedalam Tu-tud (hati),
setelah merasa Sanghyang taya hadir
didalam hati, kedua tangan diturunkan di
dada tepat pada Tu-tud (hati), posisi ini
disebut Swadikep (sidakep/memegang
ke-akuan diri), proses Tulajeg ini dilakukan
dalam tempo lama.
 Setelah tulajeg selesai, sembahyang
dilanjutkan dengan posisi Tu-
Dalam keyakinan ngkul  (membungkuk memandang
penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang kebawah) yang juga dilakukan dalam
pertama kali dikenal sebagai penganjur tempo yang relatif lama.
Kapitayan adalah Danghyang  Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-
Semar keturunan tegas dari Manusia Modern lumpuk  (bersimpuh dengan kedua tumit
(Homo Sapiens) pertama yang di turunkan ke diduduki) dilakukan dalam relatif lama.
dunia yaitu Adam. Dalam kitab  Yang terakhir, dilakukan dengan posisi
kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa Silsilah To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam
Nabi Adam sampai Danghyang semar dijelaskan perut ibunya) juga dilakukan dalam tempo
sebagai berikut : yang lama.Setelah melakukan sembahyang
Nabi Adam -> Nabi Syis -> Anwas dan Anwar yang begitu lama itu, Rohaniawan
-> Hyang Nur Rasa -> Hyang Wenang -> Kapitayan dengan segenap perasaan
Hyang Tunggal -> Hyang Ismaya -> berusaha menjaga keberlangsungan
Wungkuhan -> Smarasanta (Semar) Sanghyang taya yang sudah
disemayamkan didalam Tu-tud  (hati).
Seorang pemuja Sanghyang taya yang
dianggap saleh akan akan dikaruniai Tu-
ah (kekuatan gaib yang bersifat positif)
dan Tu-lah  (kekuatan gaib penangkal
negatif). Mereka yang memiliki Tu- ah dan
Tu-lah  itulah yang dianggap berhak
menjadi pemimpin masyarakat dengan
gelar ra-Tu atau dha-Tu.
Dalam ajaran kapitayan, para ra-Tu
atau dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-
ah dan Tu-lah setiap gerak geriknya akan
ditandai oleh Pi, yaitu kekuatan dari
sanghyang taya yang tersembunyi. itu
sebabnya ra-Tu atau dha-Tu menyebut diri
dengan kata ganti Pi-nakahulun
Menurut cerita, negeri asal Danghyang semar - jika berbicara disebut Pi-dha-Tu
adalah Lemuria ataw Swetadwipa, Bangsa (Pi-dato)
kulit hitam dari Benua yang tenggelam akibat - jika memberi pengajaran disebut
banjir besar yang mengakibatkan Danghyang Pi-wulang
semar dan kaumnya mengungsi ke Nusantara. - Jika memberi petunjuk disebut Pi-
Danghyang semar memiliki saudar tuduh
bernama Sang Hantaga (Togog) yang hidup di - jika memberi nasihat disebut Pi-
wilayah lain juga mengajarkan Kapitayan, tutur
Saudara semar yang lain bernama Manikmaya, - jika memberi hukuman disebut Pi-
menjadi penguasa di Alam Ghaib yang dana
disebut Ka-Hyang-an (Kayangan). - jika memancarkan wibawa disebut
Secara sederhana, Kapitayan dapat Pi-deksa
digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan - jika meninggal dunia disebut Pi-
yang memuja sembahan utama yang tara
disebut Sanghyang Taya. yang bermakna Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah
hampa, kosong, suwung, awang uwung. Taya pengejawantahan kekuatan ghaib
bermakna yang Absolute, yang tidak bisa Sanghyang Taya, Citra pribadi sanghyang
dipikirkan dan dibayang bayangkan, tidak bisa Tunggal.
didekat dengan panca indera. Orang jawa kuno Demikianlah ajaran yang dianut oleh
mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu bangsa Nusantara sejak zaman purba dan
kalimat "Tan kena Kinaya Ngapa" yang artinya masih bertahan sampai hari ini dengan
tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata nama dan cara yang berbeda seiring
Taya bermakna tidak ada tapi ada, tidak ada dengan perkembangan ras manusia
tetapi ada. Untuk itu agar bisa dikenal dan beserta kebudayaanya. pada masa
disembah manusia, Sanghyang Taya Modern, ajaran tersebut masih secara utuh
digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat dianut oleh sebagian masyarakat suku
yang disebut Tu atau To, yang bermakna pedalaman dengan istilahnya masing-
seutas benang, daya ghaib yang bersifat masing seperti Sunda Wiwitan pada suku
Adikodrati. Sunda, Kejawen pada suku
Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku
Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak.
Adapun agama-agama yang sekarang ada
adalah pengaruh dari luar yang baru
datang sejak awal Abad Masehi, seperti
Agama Hindu dan Budha dari India dan
China, Agama Kristen dari Eropa, dan
Tu atau To adalah tunggal dalam dzat, Satu Agama Islam yang merupakan pengaruh
pribadi. Tu Lazim disebut Sanghyang Tu- dari berbagai negeri seperti Persia, Arab,
nggal, Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan Rum, Gujarat, Tiongkok dan Champa.
dan ke-tidak baikan. Tu yang bersifat baik
disebut Tu-han dengan nama Sanghyang
Wenang, Tu yang bersifat tidak baik
disebut han-Tu dengan nama Sang Seluruh tulisan ini merupakan hasil kajian
Manikmaya. demikianlah baik Sanghyang Pesantren Ramadhan bersama  Ki
Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja Ngabehi H.Agus Sunyoto
dari sanghyang Tunggal yang Ghaib. yang diselenggarakan di Pesantren Global
Trabiyyatul'arifin, Pakis, Swojajar, Malang
Dengan tambahan gambar yang diambil
dari berbagai sumber
 AGAMA BANGSA NUSANTARA

Berbagai kajian telah dilakukan untuk mencari data tentang Etnis penghuni Nusantara, Seperti yang pernah
dibahas sebelumnya bahwa sejak jaman Perburuaan manusia sudah mengenal keyakinan dan harapan yang
menjadi cikal bakal Agama Purba. Sejak jaman Pleistosen akhir para penghuni Nusantara sudah mengenal
peradaban yang berkaitan dengan Agama, dari berbagai hasil budaya batu purba seperti Menhir, Dolmen,
Yupa, Sarkofagus, dan punden berundak membuktikan bahwa penghuni Sudah mengenal Agama dengan
berbagai ritual pemujaanya. berlanjut ke jaman perunggu sampai ke jaman logam banyak ditemukan hasil
galian yang berhubungan dengan penguburan mayat dan kegiatan sosial yang mengindikasikan bahwa ada
hubungan antara prilaku sosial dan Agama pada kehidupan penghuni Nusantara.
P.Mus dalam L.Inde vue de I'est . Cultes Indiens Etindigenes au Champa menjelaskan bahwa pada zaman
purbakala pernah terdapat kesatuan kebudayaan pada wilayah yang luas meliputi India, Indochina, dan
Nusantara termasuk kepulauan di wilayah Pasifik, mereka percaya kepada sesuatu yang ghaib dibalik benda-
benda yang besar dan luas yang telah memberi keberuntungan atau kesialan dalam kehidupan mereka, juga
percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki kedaulatan untuk memanggil, mendamaikan atau
mengusir kekuatan ghaib tersebut. Kluas epercayaan tersebut yang disalah artikan oleh Ilmuan Orientalis
dengan istilah Animisme dan Dinamisme.
kepercayaan yang disebut P.Mus sebagai Animisme Dinamisme tersebut pada hakikatnya adalah Agama
Kuno penduduk Nusantara yang dalam istilah jawa dikenal dengan nama Kapitayan. Agama yang sudah
dianut sekian lama sejak Masa Paleolitikum hingga zaman Modern dengan nama yang berbeda-beda di
setiap wilayahnya seiring dengan perkembangan ras manusia dan membentuk suku-suku di Nusantara,
Seperti berbeda-bedanya bahasa di setiap suku, Nama agama ini pun menjadi berbeda-beda di setiap
wilayahnya seperti Isilah Sunda Wiwitan pada suku Sunda, Kejawen pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik
Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak dan nama yang lain pada setiap suku yang berbeda
sebelum datangnya pengaruh Indus dan China pada awal abad Masehi dan membentuk kerajaan2 baru
dengan agama baru.

 AGAMA KAPITAYAN

Dalam keyakinan penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang pertama kali dikenal sebagai penganjur
Kapitayan adalah Danghyang Semar keturunan tegas dari Manusia Modern (Homo Sapiens) pertama yang
di turunkan ke dunia yaitu Adam. Dalam kitab kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa Silsilah Nabi Adam
sampai Danghyang semar dijelaskan sebagai berikut :
Nabi Adam -> Nabi Syis -> Anwas dan Anwar -> Hyang Nur Rasa -> Hyang Wenang -> Hyang Tunggal ->
Hyang Ismaya -> Wungkuhan -> Smarasanta (Semar)
Menurut cerita, negeri asal Danghyang semar adalah Lemuria ataw Swetadwipa, Bangsa kulit hitam dari
Benua yang tenggelam akibat banjir besar yang mengakibatkan Danghyang semar dan kaumnya mengungsi
ke Nusantara. Danghyang semar memiliki saudar bernama Sang Hantaga (Togog) yang hidup di wilayah lain
juga mengajarkan Kapitayan, Saudara semar yang lain bernama Manikmaya, menjadi penguasa di Alam
Ghaib yang disebut Ka-Hyang-an (Kayangan).
Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan
utama yang disebut Sanghyang Taya. yang bermakna hampa, kosong, suwung, awang uwung. Taya
bermakna yang Absolute, yang tidak bisa dipikirkan dan dibayang bayangkan, tidak bisa didekat dengan
panca indera. Orang jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat "Tan kena Kinaya
Ngapa" yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Taya bermakna tidak ada tapi ada, tidak
ada tetapi ada. Untuk itu agar bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan
mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna seutas benang, daya ghaib
yang bersifat Adikodrati.

Tu atau To adalah tunggal dalam dzat, Satu pribadi. Tu Lazim disebut Sanghyang Tu-nggal, Dia memiliki
dua sifat, yaitu kebaikan dan ke-tidak baikan. Tu yang bersifat baik disebut Tu-han dengan
nama Sanghyang Wenang, Tu yang bersifat tidak baik disebut han-Tu dengan nama Sang Manikmaya.
demikianlah baik Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja dari sanghyang Tunggal yang
Ghaib.

Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utamanya itu bersifat ghaib,
untuk memujanya dibutuhkan sarana yang bisa didekati oleh panca indera dan alam pikiran manusia.
demikianlah, dalam ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan sang taya yang
mempribadi dalam Tu atau To itu mempribadi dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To
seperti : wa-Tu (Batu), Tu-rumbuk (pohon beringin) Tu-gu, Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-
tud (hati,limpa), To-san (pusaka), To-peng, To-ya (air).

Dalam melakukan puja bakti sesembahan kepada Sanghyang Taya maka


disediakan sesaji Tu-mpeng dalam Tu-mpi (keranjang anyaman bambu), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis
ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yang sifat gaibnya tersembunyi dibalik sesuatu
yang memiliki daya ghaib seperti wa-Tu, Tu-gu, Tu-rumbuk, Tu-lang, Tu-ndak, To-san, To-ya. Namun untuk
melakukan permohonan yang tidak baik, persembahan ini akan ditujukan kepada han-Tu yang bernama
sang Manikmaya dengan persembahan yang buruk bernama Tu-mbal.

Berbeda dengan persembahan sesaji kepada Sanghyang Tu-nggal yang merupakan puja bakti melalui
pelantara, para Rohaniawan kapitayan melakukan sembah-Hyang langsung kepada Sanghyang Tu-nggal di
suautu ruangan khusus bernama Sanggar, bangunan persegi empat beratap Tu-mpang, dengan Tu-
tuk (lubang) di dinding sebelah timur sebagai lambang kehampaan Sanghyang, mengikuti aturan tertentu :
 Mula mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tu-tuk  (lubang) dengan
kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang taya kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa
Sanghyang taya hadir didalam hati, kedua tangan diturunkan di dada tepat pada Tu- tud (hati), posisi ini
disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses Tulajeg ini dilakukan dalam tempo lama.
 Setelah tulajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul  (membungkuk memandang
kebawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama.
 Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-lumpuk  (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki) dilakukan dalam
relatif lama.
 Yang terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya) juga
dilakukan dalam tempo yang lama.Setelah melakukan sembahyang yang begitu lama itu, Rohaniawan
Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah
disemayamkan didalam Tu-tud  (hati).
Seorang pemuja Sanghyang taya yang dianggap saleh akan akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan gaib yang
bersifat positif) dan Tu-lah  (kekuatan gaib penangkal negatif). Mereka yang memiliki Tu-ah dan Tu-
lah  itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat dengan gelar ra-Tu atau dha-Tu.
Dalam ajaran kapitayan, para ra-Tu atau dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah setiap gerak
geriknya akan ditandai oleh Pi, yaitu kekuatan dari sanghyang taya yang tersembunyi. itu sebabnya ra-Tu
atau dha-Tu menyebut diri dengan kata ganti Pi-nakahulun
- jika berbicara disebut Pi-dha-Tu (Pi-dato)
- jika memberi pengajaran disebut Pi-wulang
- Jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh
- jika memberi nasihat disebut Pi-tutur
- jika memberi hukuman disebut Pi-dana
- jika memancarkan wibawa disebut Pi-deksa
- jika meninggal dunia disebut Pi-tara
Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan ghaib Sanghyang Taya, Citra pribadi
sanghyang Tunggal.
Demikianlah ajaran yang dianut oleh bangsa Nusantara sejak zaman purba dan masih bertahan sampai hari
ini dengan nama dan cara yang berbeda seiring dengan perkembangan ras manusia beserta kebudayaanya.
pada masa Modern, ajaran tersebut masih secara utuh dianut oleh sebagian masyarakat suku pedalaman
dengan istilahnya masing-masing seperti Sunda Wiwitan pada suku Sunda, Kejawen pada suku
Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak.
Adapun agama-agama yang sekarang ada adalah pengaruh dari luar yang baru datang sejak awal Abad
Masehi, seperti Agama Hindu dan Budha dari India dan China, Agama Kristen dari Eropa, dan Agama Islam
yang merupakan pengaruh dari berbagai negeri seperti Persia, Arab, Rum, Gujarat, Tiongkok dan Champa.

Seluruh tulisan ini merupakan hasil kajian Pesantren Ramadhan bersama  Ki Ngabehi H.Agus Sunyoto
yang diselenggarakan di Pesantren Global Trabiyyatul'arifin, Pakis, Swojajar, Malang
Dengan tambahan gambar yang diambil dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai