KITAB
WAYANG PURWA
KITAB WAYANG PURWA
DAFTAR ISI
KISAH PARA DEWA
Anwas-Anwar Lahir
Sanghyang Nurcahya
Wisuda Sanghyang Wenang
Pulau Dewa Lebur
Batara Guru Lahir
Batara Guru Krama
Lima Dewa Lahir
Jaka Sengkala
Dara Wisa
Batara Kala Lahir
Cupu Linggamanik
Batara Gana Lahir
Penumbalan Tanah Jawa
Mahadewa Buda
Andini - Andana
Prabu Hiranyakasipu
Pertiwi Cahya
Suralaya Binangun
Murwakala
Resi Siwandakara
Maharaja Birawa
Budawaka - Budakresna
Geger Sejatining Sri
Rembuculung Tigas
Parikenan Krama
Satapi Murca
Kaniyasa Lahir
Brahmana Wisaka
Begawan Kalacakra
Gilingwesi Bedah
Wirata Anyar Binangun
Basudewa Grogol
Rukma - Ugrasena Krama
Bima Bungkus
Kangsa Takon Bapa
Gandamana Luweng
Perang Pamuksa
Pandu Banjut
Danghyang Kumbayana
Pendadaran Siswa Sokalima
Drupada Rangket
Bale Sigala-Gala
Bima Bothok
Kangsa Adu Jago
Sayembara Drupadi
Bangun Kali Sarayu
Babad Wanamarta
Puntadewa Jumeneng Nata
Wasi Jaladara
Baladewa Rabi
Setyaki Lahir
Narayana Begal
Suryaputra Maling
Narayana Kembang
Narayana Kridha
Wahyu Purbasejati
Gatutkaca Lahir
Duryudana Rabi
Jayadrata Rabi
Dewa Ruci
Bima Racun
Parta Krama
Dewi Kuntulsinanten
Lesmana Mandrakumara Lahir
Udawa Sayembara
Srikandi Meguru Manah
Bangun Taman Maherakaca
Cakranegara - Madubrangta
Samba Lahir
Bambang Dewakasimpar
Gareng Dadi Ratu
Abimanyu Lahir
Palguna - Palgunadi
Sayembara Tasikmadu
Sumbadra Larung
Irawan Lahir
Abimanyu Kerem
Arjuna Tumbal
Jaka Pengalasan
Udawa Waris
Wahyu Makutarama
Nakula - Sadewa Rabi
Setyaki Kembar
Bambang Kandihawa
KITAB WAYANG PURWA
Kisah
Para
Dewa
KITAB WAYANG PURWA
putri pertama. Putra ketiga dinikahkan dengan putri keempat, sedangkan putra keempat dinikahkan
dengan putri ketiga. Begitulah seterusnya. Di lain pihak, Siti Hawa berpendapat putra pertama
hendaknya dinikahkan dengan putri pertama, putra kedua dinikahkan dengan putri kedua, dan
seterusnya, dengan alasan mereka sudah berjodoh sejak dalam kandungan.
Perbedaan pendapat itu membuat keduanya berselisih tanpa ada yang mau mengalah,
sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Masing-masing lalu mengeluarkan benih dari dalam tubuh untuk ditempatkan di dalam pusaka
Cupumanik Astagina. Benih Nabi Adam ditempatkan pada tutup cupumanik, sedangkan benih Siti
Hawa ditempatkan di badan cupumanik. Setelah beberapa hari, atas kehendak Tuhan, benih milik
Nabi Adam berubah menjadi calon janin, sedangkan benih Siti Hawa tidak berubah. Karena itulah,
Siti Hawa mengaku pasrah dan menyerahkan keputusan tentang tata cara pernikahan putra-putri
supaya dijalankan sesuai pendapat Nabi Adam.
Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa pergi, Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan Yang
Mahakuasa untuk menyatukan calon janin tersebut dengan benih Siti Hawa sehingga menjadi bayi
hidup, yang kemudian diberi nama Sayidina Sis. Dengan demikian, anak pertama sampai kelima
selalu lahir sepasang laki-laki perempuan, sedangkan putra keenam ini hanya seorang laki-laki, yaitu
Sayidina Sis tersebut. Tidak lama kemudian muncul angin topan yang menerbangkan Cupumanik
Astagina entah ke mana.
Siti Hawa mengakhiri ceritanya. Nabi Adam berusaha menenangkan perasaan istrinya, dan
menganggap keluhan Sayidina Kabil tadi adalah ujian rumah tangga belaka. Maka ia pun mengajak
Siti Hawa untuk lebih menguatkan iman dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang
Mahakuasa, semoga apa pun yang akan terjadi bisa mendatangkan kebaikan bagi umat manusia.
Malaikat Ajajil datang secara gaib lalu menangkap seberkas cahaya tersebut dan
disatukannya dengan darah berkilauan yang ia bawa dari Dewi Dlajah. Atas kehendak Tuhan,
persatuan tersebut menciptakan seorang bayi laki-laki, namun tubuhnya tidak bisa diraba dan selalu
memancarkan cahaya seperti sinar rembulan.
Nabi Adam datang dan memberi nama kedua cucunya tersebut. Yang berwujud bayi normal
diberi nama Sayidina Anwas, sedangkan yang berwujud bayi bercahaya diberi nama Sayidina
Anwar. Nabi Adam meramalkan bahwa Sayidina Anwas kelak akan menurunkan para nabi,
sedangkan Sayidina Anwar kelak tidak mau mengikuti agamanya dan memilih jalan hidup sendiri,
namun keturunannya juga banyak yang menjadi raja dan tokoh besar di dunia. Hal ini membuat
Sayidina Sis bimbang dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir Tuhan.
SANGHYANG NURCAHYA
Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sayidina Anwar sampai akhirnya menjadi dewa
pertama bergelar Sanghyang Nurcahya.
Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga, yang dipadukan dengan Serat
Arjunasasrabahu dan Serat Kandha, dengan sedikit pengembangan.
Semua kitab peninggalan sang kakek bisa dijadikan petunjuk untuk menjalani kehidupan yang
benar, karena isi kitab tersebut berasal dari apa yang diajarkan Tuhan Yang Mahakuasa kepada
Nabi Adam. Maka, mencari agama lain adalah suatu perbuatan sia-sia belaka.
Sayidina Anwar tidak setuju. Menurutnya, ilmu Tuhan itu sangat luas tak terbatas dan tidak
bisa ditampung hanya dalam kitab-kitab saja. Untuk mempelajari rahasia kehidupan, maka harus
mempelajari pula bagaimana alam bekerja. Alam memiliki hukum sebab-akibat yang berjalan sesuai
ketentuan Tuhan. Apalagi melihat Nabi Adam ternyata meninggal dunia dalam usia 990 tahun
membuat Sayidina Anwar merasa sangat kecewa. Ia berpendapat, jika memang agama yang
diajarkan Nabi Adam itu benar, harusnya dapat menghindarkannya dari kematian seperti kaum
malaikat yang hidup abadi.
Sayidina Anwas tidak setuju, karena makhluk bernama manusia dan malaikat jelas berbeda
secara penciptaan. Manusia berasal dari saripati tanah dan harus kembali menjadi tanah. Namun
Sayidina Anwar tetap bersikeras bahwa manusia bisa mencapai kehidupan abadi seperti malaikat
jika mau berusaha. Setelah membulatkan tekad, ia pun memutuskan untuk pergi berkelana lagi demi
mendapatkan kehidupan abadi tersebut.
Sayidina Anwas berusaha menghalangi niat adiknya itu. Terpaksa ia menggunakan kekerasan
supaya sang adik menghentikan langkah. Kedua bersaudara itu lalu terlibat pertarungan seru.
Karena Sayidina Anwar jauh lebih sakti, maka ia pun dapat meloloskan diri.
Sayidina Anwas sangat sedih bercampur malu. Ia bersumpah meskipun ilmu kesaktian
adiknya lebih tinggi, namun kelak akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan
Sayidina Anwar.
Atas nasihat Malaikat Ajajil, Sayidina Anwar segera mandi dan meminum air keabadian
tersebut. Setelah itu ia pun berniat menampung air yang masih terus memancar agar kelak bisa
diminum anak cucunya. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya dan juga tidak memiliki wadah
yang tepat. Memahami hal itu, Malaikat Ajajil pun menyerahkan Cupumanik Astagina milik Nabi
Adam dan Siti Hawa. Dulu cupumanik tersebut menjadi wadah benih yang mereka keluarkan saat
peristiwa lahirnya Nabi Sis. Cupumanik itu kemudian terhempas oleh angin topan dan ditemukan
Malaikat Ajajil di dalam lautan.
Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya
kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung tersebut
sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah Lulmat.
perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa, putra-
putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas.
Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka
berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara yang
lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti agama Nabi
Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya menemukan cara agar bisa
tetap awet muda.
Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh
ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup, Sayidina
Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil.
Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu
mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya
itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.
Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-laki
di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah
berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih
Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.
Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling
sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang
bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu
Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga
mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi
Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih.
Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang
Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh
Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka,
sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.
Sanghyang Wenang
menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi untuk mewujudkan mimpi
putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari keberadaan Sanghyang Tunggal.
Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia
berusaha membangunkan calon menantunya itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa
Sanghyang Tunggal justru membuat Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan.
Setelah sadar dari pingsan, Prabu Rekatatama kemudian mengheningkan cipta,
mengerahkan kesaktiannya untuk membawa pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib.
Sanghyang Tunggal
laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur berubah menjadi laki-laki pula
dan diberi nama Batara Manikmaya.
Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan,
yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir
sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan
bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.
Lembu Andini datang ke pertempuran. Batara Wungkuam dan para adik berusaha
menangkapnya namun mereka tidak mampu menandingi kekuatan dan kesaktian sapi betina itu.
Bahkan, daya perbawa yang dipancarkan Lembu Andini justru membuat para putra Batara Ismaya
itu terlempar kembali ke Kahyangan Tengguru.
Batara Guru kemudian berkata kepada Ulam Tirbah bahwa sudah saatnya ia sembuh dari
kutukan. Dengan kesaktiannya, Batara Guru mengembalikan Ulam Tirbah ke wujud semula, yaitu
menjadi Dewi Umayi yang cantik jelita. Saudagar Umaran sangat gembira bisa bertemu kembali
dengan putrinya yang telah lama hilang itu.
Batara Guru menceritakan kepada Saudagar Umaran awal mula Dewi Umayi berubah wujud
menjadi ikan besar adalah karena sesat jalan sewaktu bertapa untuk bisa menjadi istri penguasa
dunia. Karena saat ini Batara Guru telah mendapat julukan sebagai Sanghyang Jagadnata, maka
Dewi Umayi pun disarankan untuk menjadi istrinya saja jika masih ingin mewujudkan cita-cita
tersebut. Saudagar Umaran sangat gembira mendengarnya, dan Dewi Umayi juga menurut dan
tunduk terhadap lamaran Batara Guru.
Dewi Umayi
menyebarkan Agama Dewa ke sebelah barat Tanah Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil,
karena penduduk di daerah sana tidak ditakdirkan untuk menjadi pengikut para dewa. Setelah dirasa
cukup, Sanghyang Padawenang pun kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
Batara Guru lalu menyampaikan hal itu kepada sang istri, dan mereka pun masuk ke dalam
Sanggar Pemujaan untuk melakukan puja samadi dan mengheningkan cipta, dengan disertai ajian
Asmaracipta, Asmaragama, dan Asmaraturida. Setelah berhari-hari melakukan puja samadi, Batari
Uma pun mengandung untuk yang kelima kalinya.
Bulan demi bulan berlalu, akhirnya lahir seorang putra berkulit gelap yang diiringi dengan
gempa bumi, gunung meletus, hujan petir, dan topan badai. Bahkan, kelahiran putra kelima ini
sampai membuat Kahyangan Tengguru berguncang hebat, sehingga para dewa yang sedang
menghadap Batara Guru jatuh dari tempat duduk masing-masing, termasuk Batara Guru pun ikut
jatuh dari takhta Madeprawaka.
Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran putra kelima yang istimewa ini, yang
kemudian diberi nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, ia juga dimandikan dengan
Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.
Setelah kelahiran putra kelima tersebut, Batara Guru tidak lagi menyetubuhi Batari Uma,
sehingga Batara Wisnu pun menjadi anak bungsu dalam perkawinan mereka.
kelancangan mereka yang berani menyerang Kahyangan Tengguru. Sebagai permohonan maaf,
Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata membangun dua buah balai penghadapan yang sangat
indah di dalam Kahyangan Tengguru dalam waktu sekejap.
Melihat keindahan kedua balai tersebut, Batara Guru pun mengampuni kedua musuhnya dan
mempersilakan mereka pulang kembali ke Kerajaan Tunggulwesi. Untuk mengenang kejadian
tersebut, Batara Guru memberi nama kedua balai itu dengan sebutan Balai Marcukunda dan Balai
Marakata.
Sepeninggal Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata, Batara Guru mengambil pusaka Lata
Mahosadi untuk mengobati kaki kirinya yang terluka parah akibat terjepit batu cadas tadi. Namun
anehnya, Lata Mahosadi yang biasanya sangat mujarab ternyata kali ini tidak mampu mengobati
kaki kiri tersebut sehingga menjadi cacat untuk selamanya.
Seketika Batara Guru teringat ramalan Sanghyang Padawenang bahwa kelak dirinya akan
menderita empat jenis cacat karena dulu pernah menyombongkan diri sebagai yang paling tampan,
setelah kedua kakaknya, yaitu Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk rupa.
Batara Guru pun pasrah atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa jika memang ini sudah menjadi
suratan takdir baginya.
Karena kaki kirinya lumpuh, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang
Lengin.
membalaskan kekalahan Sanghyang Wenang di mana Nabi Suleman dulu pernah menghancurkan
Kahyangan Pulau Dewa.
Beberapa bulan sebelum rencana penyerangan ini, Batara Guru telah menurunkan wabah
penyakit di wilayah Bani Israil, namun masyarakat di sana tetap tegar tidak mau memeluk Agama
Dewa. Kesabaran Batara Guru akhirnya habis. Ia pun memerintahkan empu kahyangan, yaitu
Batara Ramayadi, untuk membuat senjata-senjata ampuh. Adapun Batara Ramayadi ini adalah
putra Sanghyang Ramaprawa, atau cucu Sanghyang Hening, sehingga masih terhitung keponakan
Batara Guru.
Batara Ramayadi menghadap bersama putranya, yang bernama Batara Anggajali. Mereka
berdua telah menyelesaikan perintah Batara Guru dan mempersembahkan berbagai macam senjata
ampuh sebagai pusaka Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerimanya dengan senang hati, lalu
menyerahkan senjata-senjata itu kepada para putra sebagai bekal untuk menyerang Kerajaan Bani
Israil.
Batara Wisnu
JAKA SENGKALA
Kisah ini menceritakan kelahiran dan kehidupan masa muda Jaka Sengkala, putra Batara
Anggajali. Ia kelak bergelar Ajisaka, yaitu orang yang mengisi Pulau Jawa dengan penduduk
dari bangsa manusia.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber dari Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Batara Anggajali
Ramayadi tidak perlu menggunakan tangan tapi cukup dengan memandang saja, besi baja akan
lunak dengan sendirinya.
Jaka Sengkala pun mengurungkan niat untuk berguru kepada ayahnya dan menyatakan ingin
berguru kepada sang kakek saja. Batara Anggajali melepaskan kepergian putranya itu dan
menunjukkan arah yang harus ditempuh jika ingin bertemu Batara Ramayadi.
Setelah mempelajari semua ilmu dari sang guru, Jaka Sengkala berubah menjadi sosok
rendah hati dan tidak lagi angkuh seperti sebelumnya. Pendeta Usmanaji meramalkan bahwa kelak
Jaka Sengkala akan menjadi manusia yang dipilih Tuhan untuk mengisi Pulau Jawa dengan
penduduk manusia. Jaka Sengkala juga diramalkan kelak berhasil memperoleh keabadian berkat
meminum Tirtamarta Kamandanu di Tanah Lulmat, namun waktunya masih lama.
Pendeta Usmanaji menyarankan agar saat ini Jaka Sengkala pergi ke Kerajaan Surati untuk
bertemu ayahnya sambil menunggu takdir Tuhan lebih lanjut. Rupanya Pendeta Usmanaji
mendapatkan berita bahwa Batara Guru sangat senang melihat hasil kerja Batara Anggajali dalam
menciptakan senjata-senjata kahyangan, sehingga ayah Jaka Sengkala itu pun mendapatkan
hadiah berupa Kerajaan Surati.
Jaka Sengkala menuruti nasihat sang guru. Dengan berat hati ia pun mohon pamit. Pendeta
Usmanaji melepas kepergian muridnya itu dan meramalkan kelak mereka akan bertemu lagi di Pulau
Jawa yang terletak di seberang tenggara.
DARA WISA
Kisah ini menceritakan tentang kehancuran Kahyangan Tengguru akibat serangan burung dara
berbisa buatan Nabi Isa. Batara Guru terpaksa mengungsi ke sebuah pulau panjang yang
kemudian diberi nama Pulau Jawa. Di pulau itu, ia membangun tempat tinggal baru bernama
Kahyangan Argadumilah.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan naskah-naskah
lainnya, dengan sedikit pengembangan.
Batara Sambu
Pasukan Kerajaan Bani Israil dengan dibantu pasukan Kerajaan Rum mengadakan
perlawanan, namun mereka semua tidak mampu menghadapi kekuatan para dewa. Pasukan
dewata terus-menerus maju menguasai wilayah Bani Israil.
Batara Guru sangat senang melihat keberhasilan Batara Wisnu dan meminta maaf atas
tuduhan tadi. Ia juga menetapkan bahwa senjata Cakra Sudarsana mulai saat ini resmi menjadi
pusaka pribadi Batara Wisnu. Batara Wisnu sangat berterima kasih dan menerimanya dengan suka
cita.
Dengan kesaktiannya, Batara Guru pun membangun sebuah kahyangan di puncak Gunung
Mahendra tersebut, yang kemudian ia beri nama Kahyangan Argadumilah. Setelah dirasa cukup,
Balai Marcukunda dan Balai Marakata lalu ditempatkan di dalam kahyangan baru tersebut, sehingga
pemandangan di Kahyangan Argadumilah kini sama persis seperti pemandangan di Kahyangan
Tengguru.
Kama Salah
sembah. Pada saat itulah Batara Guru tiba-tiba memangkas rambut raksasa itu. Kama Salah terkejut
dan mendongak. Secepat kilat Batara Guru memotong dua buah taringnya, dan menusuk lidahnya
hingga semua bisa di dalam mulut raksasa itu mengalir keluar. Begitu kehilangan dua buah taring
dan bisa di lidahnya, tubuh Kama Salah langsung lemas tak berdaya dan terkulai di lantai.
Batara Guru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Kama Salah. Sejak hari itu
Kama Salah diakuinya sebagai putra, dan diberi nama Batara Kala, karena lahir pada saat
senjakala. Putra nomor enam itu lalu diperintahkan untuk tinggal di Pulau Nusakambangan yang
terletak di Laut Selatan. Batara Kala berterima kasih dan berangkat menuruti perintah sang ayah.
Batara Guru kemudian menyerahkan kedua taring Batara Kala yang dipotongnya tadi kepada
Batara Ramayadi dan Batara Anggajali supaya ditempa menjadi senjata. Kedua empu kahyangan
itu lalu mengubah taring-taring tersebut menjadi dua bilah keris pusaka, yang diberi nama Keris
Kalanadah dan Keris Kaladite.
CUPU LINGGAMANIK
Kisah ini menceritakan awal mula Batara Narada diangkat menjadi penasihat kahyangan oleh
Batara Guru, serta dilanjutkan dengan pengangkatan Batara Anantaboga sebagai dewa
penguasa para ular, serta awal mula Batara Guru memiliki empat lengan dan menikahi Batari
Umaranti.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan beberapa sumber lain dalam Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai
Pustaka.
Para dewa itu terbang menuju selatan dan akhirnya sampai di Samudera Hindia. Mereka
melihat seorang laki-laki bertapa dengan duduk samadi di atas ombak laut sambil tangannya
menggenggam sebuah cupu yang bersinar indah. Batara Sambu dan yang lain pun membangunkan
laki-laki itu dan menanyakan apa maksud dan tujuannya bertapa.
Laki-laki itu mengaku bernama Maharesi Kanekaputra yang bertapa ingin menjadi penasihat
raja dewa. Batara Sambu dan para adik pun menertawakannya, kecuali Batara Wisnu yang memiliki
firasat kalau laki-laki ini benar-benar memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi.
Maharesi Kanekaputra tidak peduli dan kembali bertapa. Batara Sambu merasa diacuhkan,
dan ia pun memerintahkan para adik untuk membangunkan petapa itu dengan paksa. Tiba-tiba saja
tubuh Maharesi Kanekaputra mengeluarkan tenaga dahsyat yang mendorong para dewa itu
terlempar kembali ke utara, kecuali Batara Wisnu yang sejak awal tidak ikut mengganggunya. Batara
Wisnu mohon pamit dengan hormat lalu melesat menyusul kakak-kakaknya.
Batara Narada
pergi ke sana. Kedua dewa itu mohon pamit dan berangkat dengan mengerahkan Aji Panglimunan
sehingga tidak terlihat oleh pasukan Patih Senarudraka yang berkemah.
Sesampainya di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya
segera meminta petunjuk Sanghyang Padawenang dalam menghadapi serangan Kerajaan
Glugutinatar. Menghadapi Patih Senarudraka saja sudah sulit, apalagi menghadapi Prabu
Nilarudraka. Bahkan, Batara Wisnu yang sangat sakti saja tidak mampu mengalahkan mereka.
Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa takdir kematian Prabu Nilarudraka bukan di
tangan Batara Wisnu, tetapi di tangan adiknya yang kelak lahir dari Dewi Parwati, putri Kerajaan
Giriprawata. Namun saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, sehingga perlu
dibangunkan dan dipertemukan dengan putri tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya pun mohon pamit
untuk kemudian berangkat menemui Batara Guru di Gunung Tengguru.
Batara Kamajaya
Senarudraka pun berubah menjadi seekor gajah. Ia sangat menyesal mengetahui kesaktian Batara
Ganapati dan menyatakan tunduk kepadanya.
Melihat patihnya berubah menjadi gajah dan menyerah kepada musuh, Prabu Nilarudraka
sangat marah dan maju menyerang Batara Ganapati. Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua pihak
sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Nilarudraka ternyata benar-benar perkasa sehingga
pantas kalau ia berani menaklukkan para raja di Tanah Hindustan dan kemudian menyerbu
kahyangan. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulitnya.
Akan tetapi, setelah bertempur sekian lama Batara Ganapati akhirnya berhasil mematahkan
kedua taring Prabu Nilarudraka dan menusukkannya ke leher raja raksasa tersebut. Begitu tertusuk
taringnya sendiri, Prabu Nilarudraka langsung roboh kehilangan nyawa.
Batara Ganapati
Empu Sengkala
Pada hari keempat, Empu Sengkala didatangi Batara Wisnu yang memancarkan cahaya
hitam. Batara Wisnu mengajarkan berbagai macam ilmu kesaktian dan siasat peperangan. Setelah
Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Pada hari kelima, Empu Sengkala didatangi Batara Guru yang memancarkan cahaya
mancawarna. Batara Guru mengajarkan ilmu kesempurnaan dan ilmu panitisan. Setelah Empu
Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, Empu Sengkala kemudian membuat sebuah
penanggalan yang dalam satu pekan terdiri atas lima hari, yaitu hari Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan
Guru. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala bersamadi menghadap ke
selatan, pada hari Brahma bersamadi menghadap ke barat, pada hari Wisnu bersamadi menghadap
ke utara, dan pada hari Guru bersamadi menunduk ke bumi, serta mendongak ke angkasa.
Penanggalan yang diciptakan Empu Sengkala tersebut kemudian diberi nama Tahun
Suryasengkala dan Tahun Candrasengkala. Jika Suryasengkala didasarkan pada peredaran bumi
terhadap matahari, maka Candrasengkala didasarkan pada peredaran bulan terhadap bumi.
ternyata ada seorang manusia sedang bertapa di Gunung Dihyang. Didatanginya gunung tersebut
dan ditemuinya sang pertapa, yang ternyata Empu Sengkala, muridnya sendiri.
Empu Sengkala sangat terharu dan gembira bisa bertemu sang guru di pulau sunyi ini. Ia pun
menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak berpisah dulu, antara lain pernah menjadi raja
Kerajaan Surati dan akhirnya mendapatkan perintah dari Batara Guru untuk bertapa di Pulau Jawa.
Tak terasa sudah enam tahun lamanya Empu Sengkala bertapa dan ia pun sempat mendengar
berita adanya orang-orang Rum yang bermukim di Pulau Jawa namun mengalami nasib malang.
Pandita Usmanaji lalu mengajak Empu Sengkala untuk membantunya memasang tumbal
supaya Pulau Jawa yang angker menjadi lebih aman dan nyaman untuk ditempati manusia. Mereka
pun mulai bekerja, dengan memasang lima buah tumbal, yaitu yang empat ditanam di empat penjuru
mata angin dan satu lagi dipasang di tengah-tengah pulau. Setelah pemasangan tumbal selesai,
Pandita Usmanaji dan rombongan membawa serta Empu Sengkala meninggalkan Pulau Jawa.
Hari berikutnya, terjadilah bencana alam di segenap penjuru pulau. Gempa bumi, gunung
meletus, badai halilintar, disertai suara bergemuruh terjadi di mana-mana yang kemudian diikuti
suara jerit tangis para makhluk jahat. Mereka pun berlarian menuju Laut Selatan untuk mencari
perlindungan.
Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, kesepuluh orang itu lalu disebar untuk
menjadi pemimpin para penduduk. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala pun kembali ke Negeri
Rum, sedangkan ketiga adiknya kembali ke Tanah Hindustan.
MAHADEWA BUDA
Kisah ini menceritakan tentang Batara Guru yang menjelma sebagai seorang pertapa bernama
Resi Mahadewa Buda untuk mengajarkan agama dan tata cara kehidupan kepada para
penduduk Pulau Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang Kamulan dan menjadi raja
bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Ketika pertempuran ramai tersebut berlangsung, Begawan Danu muncul dan langsung
melerai. Setelah segala kesalahpahaman dijelaskan, Prabu Danuka sangat malu dan memohon
ampun kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
ANDINI - ANDANA
Kisah ini menceritakan Sri Padukaraja Mahadewa Buda atau Batara Guru mengutuk Lembu
Andini menjadi pelangi, dan kemudian memperoleh kendaraan baru bernama Lembu Andana
yang berkelamin jantan. Kisah dilanjutkan dengan kepergian Batara Guru meninggalkan Pulau
Jawa karena berbuat tidak adil kepada para penduduk.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Itulah sebabnya, dalam penjelmaan sebagai Sri Padukaraja Mahadewa Buda kali ini, Batara
Guru sengaja tidak mengajak serta Lembu Andini, tetapi meninggalkannya di Kahyangan
Jonggringsalaka.
Batara Guru ingin melihat apakah Lembu Andini akan terbongkar sifat aslinya atau tidak.
Ternyata kecurigaannya itu kini telah terbukti nyata.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengerahkan Aji Pameling membuat Lembu
Andini seketika hadir di hadapannya. Lembu Andini ketakutan dan serbasalah melihat Sri
Padukaraja Mahadewa Buda telah mengetahui bahwa dirinya yang menghasut Batari Umaranti dan
Batari Parwati untuk melakukan pemberontakan. Namun bagaimanapun juga, ia harus rela
menerima hukuman dari sang raja dewa.
Meskipun Lembu Andini mengakui kesalahannya, namun Sri Padukaraja Mahadewa Buda
tetap tidak lupa atas semua jasa-jasanya. Maka, sebagai hukuman, Lembu Andini pun dipecat
sebagai kendaraan dan dikutuk menjadi pelangi supaya tetap bisa bermanfaat bagi kahyangan, yaitu
sebagai tangga bagi para bidadari apabila turun ke bumi.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengampuni kesalahan Batari Umaranti dan Batari
Parwati serta menerima mereka sebagai permaisuri di Medang Kamulan Gunung Mahendra. Batari
Umaranti lalu diberi nama gelar menjadi Dewi Maheswari, sedangkan Batari Parwati menjadi Dewi
Sati.
Namun, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ternyata melakukan perbuatan tidak adil. Pada suatu
hari ada seorang raksasa bernama Ditya Atmira yang memiliki anak perempuan bernama Ken
Waktri. Mereka menghadap ke Medang Kamulan karena Ken Waktri semalam bermimpi menjadi
istri Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bersedia melaksanakan
mimpi tersebut, namun ia juga mengaku telah bermimpi hanya sebentar saja menjadi suami Ken
Waktri karena untuk selanjutnya Ken Waktri menjadi istri Batara Cingkarabala.
Mau tidak mau Ditya Atmira dan Ken Waktri pun melaksanakan keputusan tersebut. Maka
dilaksakanlah pernikahan antara Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan Ken Waktri, yang
kemudian disusul dengan pernikahan Ken Waktri dengan Batara Cingkarabala saat itu juga.
PRABU HIRANYAKASIPU
Kisah ini menceritakan tentang kelima putra Batara Guru yang menjadi raja di Pulau Jawa dan
bertakhta di lima pegunungan. Kisah dilanjutkan dengan serangan Prabu Hiranyakasipu raja
Lengkapura, leluhur Prabu Rahwana yang akhirnya tewas di tangan Batara Wisnu dalam
wujud Narasinga. Juga dikisahkan perkawinan anak-anak Prabu Hiranyakasipu dengan anak-
anak Batara Brahma.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Pulau Jawa yang dipimpin oleh lima raja bersaudara. Maka, berangkatlah kedua raja raksasa itu
menuju ke sana untuk menjadikan pulau tersebut sebagai daerah jajahan.
Batara Narasinga kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, kemudian mengamati putra Prabu
Hiranyakasipu tersebut. Ia dapat melihat bahwa Ditya Banjaranjali benar-benar tulus dan tidak
menyembunyikan maksud jahat. Maka, ia pun membebaskan raksasa muda itu dari segala hukuman
dan mengizinkannya pulang ke Kerajaan Lengkapura untuk menjadi raja di sana.
Sri Maharaja Sunda sangat berkenan terhadap penafsiran itu. Ia lantas mengumumkan bahwa
Dewi Kasipi akan dinikahkan dengan Raden Brahmanityasa, sedangkan Dewi Kistapi dengan
Raden Brahmaniyasa. Keputusan ini membuat para putra yang lain merasa kesal bercampur malu.
Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden
Brahmanaresi, dan Raden Brahamaniskala memilih pergi meninggalkan Pulau Jawa dan kembali
ke Tanah Hindustan.
PERTIWI CAHYA
Kisah ini menceritakan peperangan antara Sri Maharaja Sakra melawan raja raksasa Prabu
Danuka, yang dilanjutkan dengan perkawinan Sri Maharaja Suman dan Batari Pertiwi. Setelah
itu terjadilah perselisihan di antara kelima maharaja yang kemudian ditengahi oleh sepuluh
brahmana penjelmaan putra-putra Batara Ismaya yang dipimpin Brahmana Balika atau Batara
Siwah.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Lima maharaja telah berkumpul di Kerajaan Medang Gana, menikmati pertunjukan musik dan
tari yang digelar di sana. Tiba-tiba dari dalam tanah memancar keluar seberkas cahaya teja yang
menjulang tegak lurus ke angkasa. Kelima maharaja terkejut dan berusaha menyelidiki asal-usul
cahaya tersebut.
Sri Maharaja Suman segera menjelma menjadi babi hutan dan menggali tanah tempat cahaya
itu keluar menggunakan taringnya, sedangkan Sri Maharaja Sunda menjelma menjadi burung elang
untuk kemudian terbang ke angkasa mengejar ujung cahaya. Seampainya di atas, si burung elang
mencakar cahaya tersebut hingga pecah berantakan.
Tiba-tiba muncul seorang bidadari cantik dari dalam tanah yang digali si babi hutan. Bidadari
itu mengaku bernama Batari Pertiwi, putri Batara Nagaraja. Melihat itu, babi hutan segera kembali
ke wujud Sri Maharaja Suman, sedangkan burung elang kembali ke wujud Sri Maharaja Sunda.
tetangganya lalu beramai-ramai menangkap Pastima dan menelanjanginya. Mereka melakukan hal
itu adalah untuk melaksanakan perintah Sri Maharaja Suman.
Demikianlah, sejak kejadian itu banyak terjadi perselisihan antara warga Medang Gili dan
Medang Pura, yang akhirnya berkembang menjadi perselisihan dengan warga tiga kerajaan lainnya.
Perselisihan itu kadang disertai perkelahian, bahkan pertempuran. Lima maharaja saling
menyalahkan dan membela penduduk kerajaan masing-masing. Tidak hanya itu, bahkan Agama
Dewa pun terpecah menjadi lima aliran, yaitu Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama
Bayu, dan Agama Wisnu.
- Sri Maharaja Sakra di Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi dan jawata,
yaitu orang-orang yang tidak lagi tertarik keinginan duniawi. Ia pun mendapatkan nama
baru, yaitu Sri Maharaja Surapati.
SURALAYA BINANGUN
Kisah ini menceritakan tentang Batara Siwah yang menjadi raja di Kerajaan Medang Siwanda
bergelar Sri Maharaja Balya, di mana kebijakannya telah berhasil membuat keempat maharaja
lainnya merasa tersaingi dan kembali menjadi dewa, kecuali Sri Maharaja Surapati yang tetap
bertahan, dan kemudian membangun Kahyangan Suralaya sebagai cabang Kahyangan
Jonggringsalaka.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Maka, sejak itu banteng memiliki kemampuan untuk menghadapi serangan harimau dengan
menggunakan kedua tanduknya.
Tanah Jawa yang tekun beribadah memeluk Agama Dewa dan mengurangi keterikatan duniawi,
sehingga mereka pantas diangkat menjadi dewa dan tinggal di kahyangan.
Sri Maharaja Surapati berterima kasih telah mendapatkan kepercayaan dari Batara Guru. Ia
pun kembali memakai nama Batara Indra yang juga bergelar Batara Surapati. Dengan dibantu
Batara Narada dan Batara Wrehaspati, ia lalu membangun Kerajaan Medang Gana menjadi sama
persis dengan Kahyangan Jonggringsalaka, dan diberi nama Kahyangan Suralaya.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya,
sedangkan Batara Wrehaspati tetap tinggal di sana. Jika Batara Indra menjadi wakil Batara Guru,
maka Batara Wrehaspati menjadi wakil Batara Narada di Tanah Jawa.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA
MURWAKALA
Kisah ini menceritakan Batara Kala mencari mangsa berupa para manusia yang tergolong
Sukerta dan Sengkala. Namun usahanya digagalkan oleh Batara Wisnu yang menyamar sebagai
Ki Dalang Kandabuwana.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan buku Murwakala Cerita Religius karya Wijanarko dengan sedikit
pengembangan.
Batara Kala
- Orang yang berjalan bertiga pada saat tengah hari tanpa bercakap-cakap.
Dan banyak lagi yang lainnya.
Batara Kala sangat senang mendengar betapa banyak jenis manusia yang bisa dimangsanya
itu. Batara Guru lalu menyerahkan sebuah pusaka berwujud golok, bernama Bedama yang harus
digunakan Batara Kala untuk membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum dimakan. Batara Kala
menerima senjata itu, kemudian mohon pamit kembali ke Pulau Jawa untuk mencari mangsa.
dahi, rongga mulut, dada, dan punggung Batara Kala. Ia kemudian berpesan bahwa barangsiapa
bisa membaca tulisan rajah tersebut maka Batara Kala harus menghormatinya sebagai perwakilan
Batara Guru.
Batara Kala mematuhi pesan tersebut dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.
dahi disebut Sastra Carakabalik, pada rongga mulut disebut Sastra ing Telak, pada dada
disebut Sastra Bedati, dan pada punggung disebut Sastra Trusing Gigir.
Seketika Batara Kala teringat bahwa jika ada orang yang bisa membaca tulisan rajah pada
tubuhnya, maka ia harus dihormati sebagai wakil Batara Guru. Oleh sebab itu, Batara Kala lalu
duduk bersimpuh di hadapan Ki Dalang Kandabuwana dengan sikap pasrah dan lemas tak
bertenaga.
Ki Dalang Kandabuwana menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat tugas untuk meruwat
orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Mereka yang sudah diruwat tidak
boleh dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala menyatakan patuh terhadap ketentuan tersebut. Ia
lalu mohon pamit kembali ke Pulau Nusakambangan.
RESI SIWANDAKARA
Kisah ini menceritakan persekutuan antara Batara Siwah dalam wujud Sri Maharaja Balya
dengan Batara Kala dalam wujud Resi Siwandakara. Mereka berniat menaklukkan Kahyangan
Suralaya, namun dikalahkan oleh seorang cebol dan seekor banteng sakti, penjelmaan Batara
Wisnu dan Batara Brahma.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.
Resi Siwandakara
Siwandakara. Sri Maharaja Balya sangat murka dan mengusir pergi Resi Kuramba dari Kerajaan
Medang Siwanda. Resi Kuramba lalu kembali ke wujud semula, yaitu Batara Singajalma, dan ia
melesat pergi menuju kahyangan.
Sri Maharaja Balya kemudian berangkat sendiri ke Hutan Tulyan menemui Resi Siwandakara.
Keduanya terlibat perdebatan adu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertarungan adu kesaktian.
Akhirnya, Sri Maharaja Balya harus mengakui bahwa lawannya lebih unggul, dan ia pun menyatakan
tunduk kepada Agama Kala.
Sri Maharaja Balya lalu membawa Resi Siwandakara bergabung di Kerajaan Medang Siwanda
sebagai patih. Bersama-sama mereka menyebarkan Agama Kala sehingga berkembang semakin
luas dengan jumlah pengikut yang semakin banyak. Di antara para raja yang bergabung dengan
mereka adalah seorang raja gandarwa bernama Prabu Waka dan seorang raja raksasa bernama
Prabu Citraksa.
Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya menerima
kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan.
Setelah menamatkan pelajaran dan memperoleh segala ilmu pengetahuan, Ratu Adiyana dan
Patih Adiyati pun mengundang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara untuk mengajarkan
Agama Kala kepada rakyat di negeri mereka. Permintaan itu disetujui. Mereka lalu berangkat
bersama-sama pergi ke Kerajaan Madyasamodra yang terletak di tengah lautan.
Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang
disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya menikahi
Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun hidup bersenang-
senang di Kerajaan Madyasamodra sampai waktu yang cukup lama.
Setelah enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau
mereka sudah begitu lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban di
Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Medang
Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah tertunda sekian
lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan mereka pun membawa serta
pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak Medang Siwanda.
MAHARAJA BIRAWA
Kisah ini menceritakan Batara Kala yang menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa untuk membalas dendam kepada Batara
Brahma dan Batara Wisnu. Ia juga memerangi Batara Indra di Kahyangan Suralaya, namun pada akhirnya dapat dikalahkan
oleh Batara Wisnu dalam wujud Brahmana Kestu.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
BUDAWAKA – BUDAKRESNA
Kisah ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil
ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan antara Sri
Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya dilerai oleh Sanghyang
Rudra.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Budawaka - Budakresna
Batara Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki
jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama menjadi
pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat lebih unggul dan pertarungan
itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia mempersilakan Batara Rasikadi membawa
pulang Dewi Brahmaniyari karena putri Kerajaan Gilingaya itu memang bukan jodoh Batara Basuki.
senjata berbentuk cakram bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan tubuh
terpotong menjadi dua.
Sri Maharaja Budakresna sangat berkenan melihat keempat keris pusaka tersebut. Ia lalu
memberikan anugerah kepada Batara Sukadi dengan mengangkatnya sebagai menteri utama
Kerajaan Purwacarita, bergelar Patih Siptagati.
Sepeninggal Batara Wisnu, Brahmana Dewahesa lalu pergi ke Kerajaan Gilingaya dan
memperbaiki negeri tersebut dari kerusakan. Bala tentara yang masih tersisa dan segenap
penduduk merasa sangat gembira seolah mendapatkan pemimpin baru. Mereka pun sepakat
meminta Brahmana Dewahesa untuk menjadi raja Gilingaya yang baru, bergelar Sri Maharaja
Dewahesa.
Sementara itu, Kerajaan Purwacarita yang ditinggal pergi oleh Batara Wisnu kini menjadi
kosong seperti kota mati. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi raja yang bertakhta di sana.
REMBUCULUNG TIGAS
Kisah ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba sebagai
pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal kepala Ditya Kalarahu
yang juga bernama Ditya Rembuculung.
Kisah ini merupakan mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang disusun
dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja
Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa pengembangan seperlunya.
Batara Indra
Batara Cakra, Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara Penyarikan. Sementara itu, kaum naga
yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara Basuki.
Kini tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa enggan.
Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala, sedangkan Batara Kala
pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa
dulu.
Batara Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara Kala.
Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika para dewa bekerja
sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian, Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh
dan nantinya akan sangat berguna pada saat Batara Indra mengangkat dewa baru. Barangsiapa
meminum Tirtamarta Siwamba, maka khasiatnya sama dengan meminum Tirtamarta Kamandanu,
yaitu memperoleh umur panjang dan awet muda sampai kelak hari kiamat atau mahapralaya tiba.
Setelah memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana untuk
mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa lainnya ikut
pergi mengawalnya.
Batara Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan, yaitu
ia dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum
Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya menyatakan setuju
mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia berjanji akan meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada
siapa saja yang berhasil mencapai kesempurnaan dan berbudi luhur, tak peduli apakah mereka
penganut Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, ataupun Kala, semua mendapatkan hak
yang sama.
Mendengar janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan
para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke Kahyangan
Suralaya.
Sedikit demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah
lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang tersebut dan
ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta Siwamba yang dicari-cari. Batara Guru
segera mengeluarkan cupu pusaka buatan Batara Ramayadi yang meniru khasiat Cupumanik
Astagina warisan Sanghyang Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka tersebut sebagai
wadah, maka Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung semuanya.
Setelah Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung
Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula.
Batara Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra
supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, ia dan Batara Narada pun berpamitan
untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia seorang diri menuju Kahyangan Suralaya untuk
melaksanakan niat tersebut.
Sementara itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas
keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu, Resi
Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan berhasil mencuri
cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba.
Tirtamarta Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala
yang terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layang di udara. Ia pun membuka mulutnya lebar-
lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi melampiaskan sakit hatinya.
Batara Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung
dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung tersebut
ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali Batara Surya dan
Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi dan mengancam kelak akan
datang lagi untuk membalas dendam dengan cara menciptakan gerhana matahari ataupun bulan.
Batara Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah
kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan cara
demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang
ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan segera menyampaikannya kepada Sri
Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja yang saat itu bertakhta di Tanah Jawa.
KISAH
ZAMAN
PURWACARITA
KITAB WAYANG PURWA
PRABU PAKUKUHAN
Kisah ini menceritakan tentang riwayat Prabu Pakukuhan putra Sri Maharaja Dewahesa, yang
menjadi titisan pertama Batara Wisnu, mulai dari awal kelahirannya sampai dengan
pengangkatannya sebagai maharaja Pulau Jawa, bergelar Sri Maharaja Kanwa.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.
Empu Sengkala dahulu juga menetapkan nama-nama masa dalam satu tahun dengan meniru
penanggalan di Tanah Hindustan, yaitu Caitra, Waisaka, Jyesta, Asada, Srawana, Badrapada,
Aswina, Kartika, Margasirsa, Pusa, Manggakala, dan Palguna. Maka, Resi Radi pun mengubah
nama-nama masa tersebut dengan menggunakan istilah Jawa supaya lebih mudah dimengerti para
penduduk, yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa,
Pasta, dan Sada. Kedua belas masa itu untuk selanjutnya dikenal dengan istilah
Pranatamangsa.
Resi Radi lalu mempersembahkan penggantian nama-nama pasaran hari lima dan
pranatamangsa dua belas itu kepada Sri Maharaja Dewahesa, untuk disebarluaskan dan diterapkan
di Tanah Jawa.
Setelah mengambil keputusan, Prabu Pakukuhan pun memindahkan ibu kota kerajaan dari
Tasikmadu ke Purwacarita. Setelah istana yang baru berdiri, Resi Radi pun dibawa serta untuk
tinggal di sana dan dijadikan sebagai pendeta kerajaan, bergelar Begawan Radi.
Setelah membangun kembali Kerajaan Purwacarita, Prabu Pakukuhan pun mengganti
namanya menjadi Prabu Sri Mahapunggung.
Prabu Iramba di Kerajaan Gilingaya mendengar berita yang salah, bahwa sang ayah telah
kalah berperang dan mati dibunuh Prabu Sri Mahapunggung. Dengan dibakar amarah, ia pun pergi
menyerang Kerajaan Purwacarita. Akan tetapi, Prabu Sri Mahapunggung ternyata menyambutnya
dengan ramah dan sudah mempersiapkan perjamuan untuknya.
Prabu Agina dan Prabu Rugista berusaha meredakan kemarahan Prabu Iramba dengan
memperkenalkan bahwa Prabu Sri Mahapunggung dan Patih Jakapuring tidak lain adalah adik
mereka sendiri yang sudah lama hilang. Akan tetapi, Prabu Iramba justru semakin marah dan
menyebut mereka semua sebagai anak-anak durhaka. Ia pun mengamuk membunuh banyak
prajurit Purwacarita yang ada di depannya. Atas kejadian itu, Prabu Sri Mahapunggung murka dan
mengutuk Prabu Iramba sehingga sekujur tubuhnya berubah menjadi gajah hutan.
Gajah penjelmaan Prabu Iramba itu semakin mengamuk dan membuat kekacauan. Prabu Sri
Mahapunggung maju menghadapi gajah tersebut dan berhasil mematahkan sebelah gadingnya. Si
gajah merasa ketakutan lalu pergi melarikan diri ke Pulau Jawa sebelah barat laut (pada zaman
sekarang disebut Pulau Sumatra).
SENGKAN - TURUNAN
Kisah ini menceritakan tentang legenda Sri Maharaja Kanwa yang menyebarkan berbagai benih
tanaman pangan dan mengajarkan ilmu pertanian kepada masyarakat Jawa. Sawah dan ladang
kemudian diganggu oleh kawanan hama anak-anak Putut Jantaka, atau cucu Resi
Rembuculung. Kawanan hama itu akhirnya dapat ditumpas Sri Maharaja Kanwa, dengan
bantuan anak-anak Begawan Anda, bernama Raden Sengkan dan Raden Turunan.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Putut Jantaka
Patih Jakapuring keluar menghadapi amukan Lembu Gumarang. Namun, setelah bertarung
cukup lama, Patih Jakapuring akhirnya merasa kewalahan juga menghadapi amukan sapi raksasa
tersebut. Melihat sang adik terdesak, Sri Maharaja Kanwa pun maju dan berhasil memukul kepala
Lembu Gumarang. Secara ajaib, Lembu Gumarang tiba-tiba berubah wujud menjadi babi hutan
akibat pukulan tersebut.
Babi hutan penjelmaan Lembu Gumarang itu semakin mengamuk dan menyeruduk ke sana
kemari, merusak bangunan dan tanaman di sekitar istana Purwacarita. Sri Maharaja Kanwa dengan
cekatan berhasil menangkapnya, lalu menusukkan patahan gading yang berasal dari gajah
penjelmaan Prabu Iramba tempo hari. Seketika si babi hutan pun musnah dan berubah kembali ke
wujud Batara Kalayuwana.
Batara Kalayuwana berterima kasih kepada Sri Maharaja Kanwa karena telah dibebaskan dari
kutukan Batari Sriyati tadi. Ia pun berjanji tidak akan mengganggu lagi dan kemudian mohon pamit
kembali ke kahyangan.
Batari Sriyati sangat gembira bisa bertemu Batara Wisnu dalam wujud Sri Maharaja Kanwa.
Maka, untuk mendampingi sang suami, Batari Sriyati pun menitis pula ke dalam diri permaisuri raja,
yaitu Dewi Subur.
Hewan-hewan tikus, babi hutan, dan kera yang tak terhitung jumlahnya itu pun menyerbu dan
memakan hasil pertanian membuat para penduduk ketakutan dan melapor kepada sang raja.
Sementara itu, di antara anak-anak Putut Jantaka ada dua yang menarik perhatian Sri
Maharaja Kanwa, yaitu si sapi Kalasrenggi dan si kerbau Kalamurti. Mereka berdua beserta anak
buah masing-masing diperintahkan tinggal bersama para petani untuk membantu menggarap
sawah, antara lain membajak dan mengangkut hasil panen. Sebagai imbalan, mereka berhak
mendapatkan makanan segar berupa rumput dan ilalang, bukan makanan sampah sebagaimana
saudara-saudara mereka yang lain.
Putut Jantaka menerima segala keputusan Sri Maharaja Kanwa. Ia lalu pergi bersama anak-
anaknya dan pasukan masing-masing, kecuali si kerbau dan si sapi yang sejak saat itu tinggal di
pedesaan untuk membantu para petani menggarap sawah.
hilang entah ke mana. Patih Jakapuring lalu diperintahkan pergi ke Padepokan Andongdadapan
untuk meminta petunjuk kepada sang kakak, yaitu Begawan Anda.
Begawan Anda didampingi Raden Sengkan dan Raden Turunan menyambut kedatangan
Patih Jakapuring. Dengan kesaktian penerawangannya, Begawan Anda memberikan petunjuk
bahwa Dewi Sriganarti hilang diculik raja raksasa Kerajaan Pidanapura bernama Prabu Karungkala.
Mendengar itu, Raden Sengkan pun mengajukan diri untuk membantu membebaskan Dewi
Sriganarti. Ia lalu mohon restu kepada sang ayah untuk kemudian berangkat menuju Kerajaan
Pidanapura.
kewalahan dan menyerah memohon ampun. Namun, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli dan tetap
berniat menghukum mati raja raksasa itu.
Prabu Karungkala ketakutan dan melarikan diri menuju Kerajaan Samaskuta, tempat
kakaknya berada. Sri Maharaja Kanwa semakin marah dan ia pun mengejar Prabu Karungkala tak
peduli ke mana pun perginya.
sebelah timur yang berukuran lebih kecil tetap disebut Pulau Jawa. Adapun Pulau Jawa saat itu
masih bersatu dengan Pulau Bali.
PRABU PALINDRIYA
Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Heryanarudra dan Prabu Kandihawa,
dilanjutkan dengan cerita kehidupan Raden Respati putra Prabu Kandihawa, yang kemudian
menjadi raja bergelar Prabu Palindriya di Kerajaan Medang Kamulan. Kisah diakhiri dengan
kelahiran putra Prabu Palindriya bernama Jaka Wudug, yang kelak terkenal dengan sebutan
Prabu Watugunung.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
seorang pendeta di Padepokan Pantireja, bernama Resi Sucandra. Namun, Dewi Sriganarti jatuh
sakit karena sangat berduka atas kematian sang suami dan ia pun meninggal dunia.
Resi Sucandra kemudian mengasuh Raden Respati dan menjadikannya sebagai murid di
Padepokan Pantireja tersebut.
Kedua remaja itu pun berangkat melaksanakan perintah, namun kemudian pulang kembali ke
Pantireja tanpa disertai sang ayah. Mereka menceritakan bahwa sang ayah sekarang di Gunung
Aswata telah menjadi pendeta bergelar Resi Wrehaspati dan meminta maaf belum bisa pulang ke
Padepokan Pantireja karena masih menunggu izin dewata. Mereka juga melaporkan adanya
seorang wanita cantik yang melayani segala keperluan sang ayah di pertapaan.
Dewi Soma sangat marah mendengar laporan tersebut. Ia pun pergi ke Gunung Aswata untuk
melabrak Resi Wrehaspati dan selingkuhannya. Resi Wrehaspati merasa serba salah ketika istrinya
itu tiba-tiba datang mencaci maki. Dewi Soma lalu mengutuk kelak Batari Basundari akan menerima
karma sama seperti yang kini dirasakannya, yaitu diduakan oleh suami. Bahkan, Batari Basundari
juga dikutuk akan mengalami “sungsang bawana balik” yang luar biasa memalukan.
Setelah mengucapkan kutukan tersebut, Dewi Soma pun kembali ke Pantireja dengan
perasaan sedih tak terlukiskan.
Batara Narada lalu memberikan pelajaran ilmu kesaktian kepada Raden Sintawaka sebagai
bekal menempuh perjalanan. Setelah itu, Batara Narada pun berpesan supaya Raden Sintawaka
pergi ke Kerajaan Gilingaya dan mengabdi kepada Prabu Heryanarudra. Kelak, Raden Sintawaka
akan kembali menjadi wanita jika sudah bertemu dengan Jaka Wudug di negeri tersebut.
Raden Sintawaka berterima kasih atas anugerah dewata, dan ia pun mohon restu berangkat
menuju Kerajaan Gilingaya yang terletak di arah barat.
Sesuai wasiat Prabu Heryanarudra sebelum meninggal, takhta Kerajaan Gilingaya pun
diwariskan kepada Raden Sintawaka sebagai raja selanjutnya. Patih Anindyamantri dan para
menteri semua tunduk dan menyatakan dukungan mereka.
WATUGUNUNG WISUDA
Kisah ini menceritakan pertempuran antara Kerajaan Gilingaya dengan Kerajaan Medang
Kamulan, di mana Jaka Wudug atau Raden Raditya membantu pihak Medang Kamulan.
Sampai akhirnya, ia berhasil mengalahkan Prabu Sintwaka dan menjadi raja Gilingaya, bergelar
Prabu Watugunung.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Raden Raditya berhasil mengatasi orang-orang Gilingaya tersebut, bahkan ia mampu merebut
busur Bajra dan panah Herawana. Patih Anindyamantri merasa gentar melihat ada seorang pemuda
remaja ternyata mampu mengangkat busur dan panah pusaka itu. Maka, ia pun mengajak
pasukannya mundur kembali ke Gilingaya.
Prabu Sintawaka dan Patih Anindyamantri menyambut serangan tersebut dengan kekuatan
penuh. Terjadilah pertempuran besar, di mana pihak Gilingaya mengalami kekalahan telak. Mula-
mula Patih Anindyamantri tewas di tangan Patih Selacala. Melihat menteri utamanya gugur, Prabu
Sintawaka pun mengamuk mengerahkan segenap kesaktiannya. Patih Selacala membalas dengan
melepaskan panah Herawana. Prabu Sintawaka terlempar tubuhnya ke angkasa dan jatuh di dalam
Hutan Nastuti.
Meskipun terkena panah pusaka, Prabu Sintawaka tidak mati, tetapi kembali ke wujud wanita,
yaitu Dewi Basundari seperti sedia kala. Ia lalu bersembunyi di dalam hutan menghindari kejaran
pihak Medang Kamulan. Rupanya ia lupa bahwa dulu dewata telah mengubahnya menjadi laki-laki
supaya lebih leluasa untuk mencari Jaka Wudug, dan kelak ia akan kembali menjadi wanita lagi jika
sudah bertemu dengan putranya itu.
Tak disangka, Jaka Wudug sekarang sudah menjadi Patih Selacala dan pertarungan tadi telah
mengembalikan wujud Prabu Sintawaka kembali menjadi Dewi Basundari. Akan tetapi, hal ini sama
sekali tidak disadari oleh Dewi Basundari. Setelah kekalahan itu, ia pun membangun pondok di
dalam Hutan Nastuti tersebut dan melanjutkan bertapa untuk bisa bertemu putranya yang lama
hilang.
PALINDRIYA SEDA
Kisah ini menceritakan kelahiran Dewi Tumpak, yaitu anak hasil perselingkuhan Dewi Soma
dengan Raden Raditya, yang dilanjutkan dengan kematian Dewi Soma dan Prabu Palindriya.
Setelah itu, Kerajaan Medang Kamulan lalu dipimpin oleh penjelmaan Batara Wisnu yang
memakai gelar Prabu Satmata.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.
dalam kandungan itu kelak lahir laki-laki, maka Prabu Palindriya bersedia mengakuinya sebagai
anak sendiri. Namun, jika yang lahir adalah anak perempuan, maka Prabu Palindriya tidak sudi
mengakuinya. Setelah mendapat pesan demikian, Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra
pun mohon pamit kembali ke Padepokan Pantireja.
Raden Wukir lalu mengirim kabar ke Kerajaan Gilingwesi untuk memberi tahu Prabu
Watugunung perihal peristiwa duka tersebut. Prabu Watugunung sangat prihatin mendengarnya dan
ia pun segera datang ke istana Medang Kamulan untuk memimpin upacara pemakaman sang ayah.
- Sukra, --------- diambil dari nama Raden Sukra, yaitu putra ketiga Prabu Palindriya dengan
Dewi Soma.
- Saniscara, --- diambil dari nama pemberian Prabu Palindriya untuk bayi berkelamin palsu
yang dilahirkan Dewi Soma.
Begawan Radi lalu mempersembahkan nama-nama ketujuh hari itu kepada Prabu
Watugunung serta cara pemakaiannya yang dirangkapkan dengan hari lima atau pasaran. Misalnya,
jika hari ini Radite Legi, maka besok adalah Soma Pahing, dan lusa adalah Anggara Pon. Dengan
demikian, setelah tiga puluh lima hari berlalu, maka akan kembali lagi menjadi Radite Legi. Adapun
umur tiga puluh lima hari ini kemudian disebut dengan istilah SELAPAN.
WATUGUNUNG KRAMA
Kisah ini menceritakan tentang usaha Prabu Watugunung memperistri Dewi Tumpak dengan
syarat harus menikahi pula delapan ratus orang Putri Domas. Akan tetapi, setelah syarat itu
terpenuhi justru perasaan Prabu Watugunung beralih kepada Dewi Sinta yang tidak lain adalah
ibu kandungnya sendiri. Inilah kisah perkawinan antara ibu dan anak dalam legenda
masyarakat Jawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Prabu Watugunung
diasingkan dari Medang Kamulan jika menolak. Ternyata Prabu Satmata memilih hukuman
pengasingan daripada menceraikan istrinya. Dewi Sriyuwati sendiri juga memilih ikut pergi untuk
menyertai suaminya tersebut.
Setelah kepergian Prabu Satmata dan Dewi Sriyuwati, takhta Kerajaan Medang Kamulan
menjadi kosong tanpa raja. Bahkan, Dewi Landep (ibu kandung Dewi Sriyuwati dan Patih
Suwelacala) juga ikut pergi, yaitu pulang ke tempat tinggal ayahnya (Batara Anantaboga) di
Kahyangan Saptapratala.
Menyadari hal itu, Prabu Watugunung sangat gembira karena berhasil menaklukkan Kerajaan
Medang Kamulan tanpa harus menumpahkan darah setetes pun. Maka, sejak saat itu Medang
Kamulan pun resmi menjadi daerah bawahan Kerajaan Gilingwesi.
Namun demikian, ada seorang raja raksasa bernama Prabu Grawa dari Kerajaan Malawa
yang tetap bertahan dan mendirikan perkemahan untuk mengepung Kerajaan Kistina dan memaksa
Dewi Darti menjadi istrinya. Prabu Darta tidak mampu menghadapi kesaktian Prabu Grawa sehingga
yang bisa ia lakukan hanyalah mengulur waktu sampai datangnya bala bantuan. Berdasarkan
peristiwa itu, Danghyang Suktina pun menyarankan kepada Prabu Watugunung supaya membantu
Prabu Darta mengalahkan Prabu Grawa, sehingga Prabu Darta pasti akan berterima kasih dan siap
membantu mengumpulkan delapan ratus orang Putri Domas.
Prabu Watugunung menerima saran Danghyang Suktina tersebut dan segera memerintahkan
adik-adiknya, yaitu para arya yang dipimpin Arya Kurantil untuk berangkat menuju Kerajaan Kistina
di Semenanjung Malaya.
Setelah lengkap terkumpul delapan ratus orang Putri Domas ditambah dengan Dewi Darti,
para arya pun mohon pamit kembali ke Pulau Jawa. Prabu Darta, Prabu Angrayoda, dan Prabu
Santakya mengantar kepergian mereka sampai ke pelabuhan.
PRAHARA GILINGWESI
Kisah ini bercerita tentang meninggalnya Begawan Anggara, putra sulung Prabu Palindriya,
yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden Radeya putra Prabu Watugunung dan Dewi Sinta
yang kelak bergelar Sri Maharaja Gotaka. Kelahiran anak dari hasil perkawinan terlarang
antara ibu dan anak ini menyebabkan Kerajaan Gilingwesi dilanda bencana dan wabah
penyakit, hingga akhirnya bisa reda setelah Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.
tapa rame, yaitu mengamalkan pikiran dan tenaga untuk membantu sesama demi mendapatkan
ampunan dari Batara Guru.
Resi Satmata berterima kasih atas saran tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pamit
kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Satmata pindah ke Desa Kayuwan di Tanah Pagelen yang
lebih ramai sehingga lebih mudah untuk melakukan amal kebaikan. Di desa itu, Resi Satmata
menjadi seorang dukun yang mengamalkan ilmu pengetahuan dan tenaganya untuk mengobati
masyarakat yang menderita sakit apa saja.
akhirnya menjelaskan bahwa mimpi tersebut bermakna dewata akan mengurangi kasih sayangnya
kepada Kerajaan Gilingwesi, dengan ditandai munculnya musibah empat macam, yaitu ulat, tikus,
nyamuk, dan kuman tersebut.
Prabu Watugunung sangat tersinggung mendengar uraian Empu Gopa. Tanpa pikir panjang,
ia langsung membunuh Empu Gopa di hadapan para hadirin. Begawan Buda ngeri melihatnya dan
menasihati bahwa jika Empu Gopa dibunuh, lantas siapa nanti yang bisa dimintai bantuan mengatasi
musibah tersebut? Amarah Prabu Watugunung berangsur-angsur reda, dan ia pun menyesali
perbuatannya tadi.
Begawan Buda dan Begawan Sukra lalu pamit pulang ke Padepokan Andongdadapan. Anak
laki-laki Empu Gopa, yaitu Pastima kemudian diasuh oleh Begawan Buda dan dijadikan sebagai
murid.
mendapatkan hukuman buang dari Batara Guru, yaitu diusir pergi dari Kerajaan Medang Kamulan
karena berani menikahi calon istri raja para dewa tersebut. Prabu Satmata mematuhi hukuman itu,
dan Dewi Sriyuwati mengikuti kemana pun sang suami pergi. Karena Prabu Satmata dan Dewi
Sriyuwati telah pergi dari istana, Dewi Landep akhirnya memutuskan untuk pergi pula ke tempat
asalnya, yaitu Kahyangan Saptapratala.
Kini setelah beberapa tahun berpisah, Dewi Landep akhirnya datang ke Kerajaan Gilingwesi
untuk mengunjungi anaknya yang lain, yaitu Patih Suwelacala. Prabu Watugunung pun menerima
Dewi Landep dengan baik dan meminta ibu tirinya itu untuk menetap di istana Gilingwesi.
WATUGUNUNG GUGUR
Kisah ini menceritakan Prabu Watugunung dibantu Batara Kala melamar tujuh bidadari
Kahyangan Suralaya atas permintaan Dewi Sinta Basundari. Batara Indra lalu meminta
bantuan Resi Satmata yang kemudian berhasil menewaskan Prabu Watugunung. Selanjutnya,
satu persatu anggota keluarga Prabu Watugunung diangkat ke kahyangan dan peristiwa ini
menjadi asal-usul terciptanya Pawukon.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Tidak lama kemudian, Batara Narada datang di Gunung Candrageni. Resi Satmata dan ketiga
adik iparnya menyembah dengan hormat. Batara Narada menjelaskan bahwa kedatangannya
adalah untuk menjemput Resi Satmata sebagai jago Kahyangan Suralaya menghadapi serangan
bala tentara Prabu Watugunung. Resi Satmata sangat gembira karena hal ini bisa menjadi sarana
baginya untuk memperoleh pengampunan Batara Guru.
Setelah Batara Narada kembali ke kahyangan, Resi Satmata segera memanggil
kendaraannya yang berwujud kuda sembrani berwarna putih bersih. Ia pun mengendarai kuda itu
dengan berboncengan sekaligus bersama ketiga adik iparnya meninggalkan Gunung Candrageni.
Arya Kurantil dan kelima adiknya segera maju menyerang Raden Srigati. Kali ini Raden Srigati
merasa kewalahan dan terdesak menghadapi keenam punggawa yang masih terhitung pamannya
itu. Melihat putranya terdesak, Resi Satmata segera terjun ke pertempuran dan berhasil
menewaskan keenam arya tersebut.
Gilingwesi itu. Prabu Watugunung pun menjelaskan bahwa segala kesaktiannya berasal dari ajaran
Begawan Radi, dan hanya Begawan Radi yang mengetahui apa kelemahannya.
Resi Satmata lalu menemui Batara Surya yang dulu pernah turun ke dunia sebagai Begawan
Radi. Batara Surya diminta untuk menjelaskan apa kelemahan Prabu Watugunung. Batara Surya
tak kuasa menolak dan ia terpaksa mengatakan bahwa muridnya itu hanya bisa dibunuh dengan
Kereta Jatisurya miliknya.
Resi Satmata lalu meminjam Kereta Jatisurya milik Batara Surya itu dan segera
mengendarainya untuk melindas tubuh Prabu Watugunung. Raja Gilingwesi itu pun tewas dengan
tubuh lumat dan kemudian berubah menjadi bukit.
Gilingwesi pun diserahkan kepada Batara Wisnu. Akan tetapi, Batara Wisnu mengusulkan supaya
Kerajaan Gilingwesi diserahkan kepada Batara Brahma saja, karena negeri itu dulunya bernama
Medang Gili yang didirikan oleh kakaknya tersebut. Batara Wisnu mengaku sudah sangat bahagia
bisa mendapatkan restu dan pengampunan dari Batara Guru, dan jika ia diizinkan kembali menjadi
raja Medang Kamulan, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Maka, Batara Guru pun menyerahkan Kerajaan Gilingwesi kepada Batara Brahma supaya
menjadi raja di sana. Untuk itu, Batara Brahma lalu menggunakan gelar Prabu Brahmaraja,
sedangkan Batara Wisnu (Resi Satmata) kembali menjadi raja Medang Kamulan dengan bergelar
Prabu Wisnupati.
ARNAPURNA TUNDUNG
Kisah ini menceritakan usaha Batara Kala untuk mempermalukan Batara Wisnu melalui
anaknya yang bernama Batara Arnapurna. Akhirnya, Batara Arnapurna pun dikutuk Batara
Wisnu menjadi raksasa bernama Ditya Sudramurti. Kelak, dari Ditya Sudramurti akan lahir
tiga orang raksasa, dan salah satunya bernama Ditya Wisnungkara, yang menjadi titisan Batara
Wisnu.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.
Prabu Wisnupati
Batara Brahma kemudian dilantik menjadi raja Gilingwesi yang baru, dengan berjuluk Prabu
Brahmaraja. Danghyang Suktina pun dilantik pula sebagai menteri utama, bergelar Patih Suktina.
ular terbangun dari tidurnya dalam keadaan sekarat. Hal ini dikarenakan permata itu adalah pusaka
yang menjadi tali nyawanya, sehingga si raja siluman ular pun meninggal dunia. Akan tetapi, Wiluta
juga terkena balak, yaitu tubuhnya seketika berubah menjadi seekor ular siluman pula.
Wiluta bersedih menyesali perbuatannya. Ia kemudian melarikan diri dari istana siluman
tersebut dan berkelana di alam gaib tak tentu arah. Sampai akhirnya ia mendapatkan petunjuk
dewata supaya pergi ke Tanah Jawa dan tinggal di Gunung Kusara karena di sanalah ia bisa
bertemu dengan suami pertamanya. Begitulah, dengan susah payah Wiluta akhirnya menemukan
jalan menuju Tanah Jawa dan akhirnya sampai di Gunung Kusara dan sekarang bisa bertemu Prabu
Brahmaraja beserta Patih Suktina.
Prabu Brahmaraja terharu melihat pertemuan suami-istri yang sudah terpisah belasan tahun
tersebut. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan pulang menuju Kerajaan Gilingwesi.
Adapun candi di Gunung Kusara telah dibersihkan dari pengaruh jahat Batara Kala dan selanjutnya
bisa digunakan penduduk untuk beribadah tanpa rasa khawatir.
Prabu Wisnupati yang sudah dimabuk asmara pun merayu Ratu Kresnawatari dengan kata-
kata manis. Ketika ia menyentuh kepala raja wanita itu, seketika Ratu Kresnawatari berubah ke
wujud semula, yaitu menjadi Batara Arnapurna. Prabu Wisnupati sangat marah bercampur malu luar
biasa. Ia pun mengamuk merusak istana demi melampiaskan kekesalannya.
sangat marah dan menuduh putranya itu bertingkah ceroboh tak tahu aturan seperti raksasa.
Seketika, ucapan tersebut menjadi kutukan. Wujud Batara Padmabuja langsung berubah menjadi
raksasa berlengan panjang.
Batara Padmabuja menangis memohon ampun, namun Prabu Wisnupati tidak dapat
mencabut kutukannya kembali. Ia hanya berjanji kelak akan menitis ke dalam diri seorang pangeran
dari Kerajaan Ayodya di tanah seberang bernama Raden Sri Rama. Pangeran inilah yang kelak bisa
meruwat wujud Batara Padmabuja kembali menjadi dewa. Maka, Batara Padmabuja pun
diperintahkan pergi bertapa ke Hutan Dendaka di Tanah Hindustan untuk menunggu kedatangan
sang juru ruwat tersebut.
Batara Padmabuja menurut dan mohon pamit menjalankan perintah sang ayah. Prabu
Wisnupati lalu memberikan nama baru kepadanya, yaitu Ditya Dirgabahu.
NAGATATMALA - MUMPUNI
Kisah ini menceritakan tentang Raden Nagatatmala putra Batara Anantaboga yang berani
melarikan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati pada saat Kahyangan Suralaya menghadapi
serbuan Prabu Karungkala, penjelmaan Batara Kalakutana. Raden Nagatatmala dan Dewi
Mumpuni akhirnya mendapatkan perlindungan Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
mengirim utusan untuk melaporkan segala yang terjadi kepada Prabu Karungkala di Kerajaan
Medang Penataran.
mempertimbangkan hal itu dan akhirnya ia menyatakan setuju. Batara Indra pun menghadirkan Dewi
Komini ke Kahyangan Suralaya dan menanyakan apakah ia bersedia jika dinikahi Batara Yamadipati
menggantikan kakaknya. Ternyata Dewi Komini menerima lamaran tersebut, membuat semua yang
menyaksikan merasa gembira.
Maka, dilaksanakanlah perkawinan antara Batara Yamadipati dengan Dewi Komini di
Kahyangan Suralaya. Setelah itu, Prabu Wisnupati dan pasukannya pun mohon pamit kembali ke
Kerajaan Medang Kamulan.
Batara Yamadipati
BREMANA - BREMANI
Kisah ini menceritakan perkawinan Resi Bremana putra Prabu Brahmaraja (Batara Brahma)
dengan Dewi Srihuna putri Prabu Wisnupati (Batara Wisnu). Perkawinan ini kelak akan
menurunkan raja-raja Tanah Jawa, dan di antaranya ialah keluarga Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan Serat Pedalangan Mangkunegaran, dengan sedikit pengembangan.
Pulagra dan Patih Pulaswa tidak lain adalah dua orang putra Resi Pulaha (Patih Kalawerdati) yang
dulu tewas di tangan Prabu Wisnupati.
Prabu Pulagra lalu memerintahkan empat punggawa, yaitu Ditya Parasya, Ditya Daruka, Ditya
Sarana, dan Ditya Puyaksa untuk memimpin pasukan Medangkungwang menggempur ibu kota
Purwacarita. Keempat punggawa itu mohon pamit lalu berangkat melaksanakan perintah.
Di lain pihak, Raden Srigati, Arya Yadupura, dan pasukan Purwacarita telah bersiaga
menghadapi serangan musuh. Maka, begitu kedua pasukan bertemu terjadilah pertempuran besar.
Mula-mula Raden Srigati dan Arya Yadupura berhasil mendesak mundur keempaat punggawa
raksasa itu beserta pasukan mereka. Namun, setelah Prabu Pulagra dan Patih Pulaswa terjun ke
medan pertempuran, keadaan menjadi berbalik. Pasukan raksasa kini berhasil mendesak mundur
pihak Purwacarita hingga masuk ke dalam kota. Raden Srigati dan Arya Yadupura pun menutup
rapat-rapat gerbang kota sehingga para raksasa tidak dapat menerobos masuk.
Prabu Pulagra lalu memerintahkan keempat punggawa bersama sebagian prajurit untuk tetap
mengepung ibu kota Purwacarita, sedangkan dirinya bersama Patih Pulaswa kembali ke
perkemahan.
Sementara itu, Raden Srigati masuk ke istana untuk melaporkan kekalahannya dan memohon
kepada sang ayah supaya turun tangan menghadapi musuh. Namun, Prabu Wisnupati meramalkan
bahwa Prabu Pulagra hanya bisa dikalahkan oleh orang yang kelak menjadi jodoh Dewi Srihuna,
putrinya.
Patih Sriyana lalu mengantarkan Patih Suktina menghadap Prabu Wisnupati untuk
menyampaikan surat lamaran dari Prabu Brahmaraja. Prabu Wisnupati membaca surat tersebut dan
menyatakan bersedia menerima lamaran itu asalkan ada putra Prabu Brahmaraja yang mampu
membantunya mengatasi kepungan musuh dari Kerajaan Medangkungwang.
Mendengar keputusan itu, Patih Suktina segera mohon pamit untuk menyampaikannya
kepada Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi. Selagi para raksasa masih pingsan akibat
pengaruh makanan beracun tadi, Patih Suktina dan para pengawalnya pun buru-buru pergi
meninggalkan Kerajaan Purwacarita.
PRABU WISNUPATI MENGAMBIL RESI BREMANA DAN RESI BREMANI SEBAGAI MENANTU
Melihat musuh dari Kerajaan Medangkungwang telah ditumpas, Prabu Wisnupati keluar dan
menyambut Resi Bremana sebagai pahlawan. Sesuai janjinya, ia pun menjodohkan Resi Bremana
KITAB WAYANG PURWA
dengan Dewi Srihuna. Sementara itu, Resi Bremani yang juga berjasa besar menewaskan keempat
punggawa raksasa dijodohkan pula dengan adik Dewi Srihuna yang bernama Dewi Srihuni.
Pada hari yang ditentukan, upacara pernikahan kedua pasangan itu pun dilaksanakan. Prabu
Brahmaraja, Patih Suktina, Raden Brahmanaresi, Raden Brahmaniskala, dan Raden Brahmaniyata
datang dari Kerajaan Gilingwesi untuk ikut menyaksikan. Kecantikan Dewi Srihuna membuat Raden
Brahmanaresi terpesona dan jatuh hati kepadanya. Raden Brahamanaresi sangat menyesal
mengapa dulu ia menolak dinikahkan dengan putri Kerajaan Purwacarita itu.
Karena penyesalannya teramat dalam, Raden Brahmanaresi pun pergi meninggalkan Tanah
Jawa ke negeri seberang dengan membawa serta istrinya pula. Akhirnya, ia memilih tinggal di
Gunung Indragiri dan membangun pertapaan di sana supaya bisa melupakan wajah cantik Dewi
Srihuna.
Prabu Brahmaraja sangat prihatin mengetahui putra mahkotanya itu pergi tanpa pamit. Ia
lantas menyerahkan Kesatrian Gilingeksi kepada Raden Brahmaniskala.
TELAGA AMITAYA
Kisah ini menceritakan dua anak Batara Kala bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya,
yang menjelma menjadi Prabu Amitaya dan Patih Karkala untuk mencipta bencana kekeringan
di Pulau Jawa. Bencana tersebut akhirnya berhasil diatasi berkat jasa Raden Nagatatmala yang
kemudian dilantik menjadi raja bergelar Prabu Manindrataya. Kisah ini juga diselingi dengan
kelahiran Raden Tritrusta, putra Resi Bremana yang kelak akan menurunkan para Pandawa
dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Wisnupati dan Patih Sriyana datang berkunjung untuk menengok bayi tersebut, sekaligus melamar
putri Prabu Brahmaraja yang bernama Dewi Brahmaniyati sebagai istri Raden Srigati.
Dulu Raden Srigati dan Raden Nagatatmala pernah berselisih memperebutkan Dewi
Mumpuni, sehingga Prabu Wisnupati harus turun tangan dengan mengubah bayangan Dewi
Mumpuni menjadi kembarannya. Dewi Mumpuni tiruan tersebut kemudian diperistri Raden Srigati
sampai akhirnya kini musnah kembali ke asalnya. Untuk mengobati kesedihan putranya itu, maka
Prabu Wisnupati pun mengajak Prabu Brahmaraja kembali berbesan, yaitu menikahkan Raden
Srigati dengan Dewi Brahmaniyati.
Prabu Brahmaraja setuju dan menerima lamaran tersebut. Maka, pada hari yang telah
ditentukan, dilangsungkanlah upacara pernikahan antara Raden Srigati dengan Dewi Brahmaniyati
di istana Gilingwesi. Lima hari kemudian, Prabu Brahmaraja mengantar kedua pengantin tersebut
ke istana Purwacarita. Di sana, Prabu Brahmaraja tertarik melihat kedua anak Prabu Wisnupati yang
bernama Raden Srinada dan Dewi Srinadi. Ia pun melamar kedua keponakannya itu untuk
dinikahkan dengan kedua anaknya yang masih lajang, yaitu Dewi Brahmaniyuta dan Raden
Brahmaniyata.
Prabu Wisnupati setuju dan menerima lamaran ganda tersebut, namun belum bisa
menentukan hari pernikahan karena saat ini Kerajaan Purwacarita dan Gilingwesi sedang dilanda
bencana kekeringan. Kedua raja itu hanya mengikat perjanjian, kemudian mengirim kabar kepada
saudara mereka, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya supaya membantu mengatasi
kekeringan tersebut.
Raden Srigati yang sedang dalam perjalanan bertemu para bidadari itu dan segera menolong
mereka. Maka, terjadilah pertarungan antara dirinya melawan Patih Karkala. Setelah bertarung
cukup lama, Patih karkala akhirnya terdesak kalah dan melarikan diri kembali ke Medang Srengga.
Raden Srigati yang penasaran segera mengejar musuhnya itu. Sesampainya di Medang
Srengga ia melihat ada telaga sangat luas yang penuh dengan air melimpah ruah dan dijaga ketat
oleh para raksasa. Ia pun menduga pasti telaga inilah yang menjadi penyebab kekeringan yang
sedang melanda Pulau Jawa.
Para raksasa yang berjaga itu melihat kedatangan Raden Srigati. Mereka segera menyerang
putra Prabu Wisnupati itu sehingga terjadilah pertempuran sengit. Raden Srigati dengan cekatan
dapat mengalahkan mereka semua. Prabu Amitaya yang mendengar berita ini segera terjun ke
pertempuran menghadapi Raden Srigati. Kali ini ganti Raden Srigati yang terdesak kalah dan ia pun
melarikan diri kembali ke Kerajaan Purwacarita.
Melihat raja dan patihnya menghilang, Kapi Jinada segera memimpin pasukan Medang
Srengga mengamuk menyerang Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja. Raden Srigati dan Raden
Nagatatmala maju menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Medang Srengga
seolah tidak ada habisnya, karena setiap ada prajurit raksasa yang terluka atau tewas, jika
diceburkan ke dalam Telaga Amitaya akan segera pulih kembali.
Raden Nagatatmala yang teringat pesan ayahnya segera menceburkan Permata Iratkata ke
dalam Telaga Amitaya tersebut. Permata ini bersifat panas, sehingga air telaga langsung mendidih
dan meledak ke angkasa. Kapi Jinada dan semua prajurit raksasa tewas terkena ledakan tersebut,
menjadi hujan deras yang merata di seluruh Pulau Jawa selama tujuh hari berturut-turut.
HARUNA - HARUNI
Kisah ini menceritakan perselisihan antara kedua istri Batara Surya yang bernama Dewi
Haruna dan Dewi Haruni, yang diselingi dengan kelahiran Paksi Sempati dan Paksi Jatayu
yang kelak dikenal dalam kisah Ramayana, serta kelahiran cucu Batara Wisnu yaitu Dewi Sri
dan Raden Sadana yang kelak diangkat menjadi dewi pangan dan dewa sandang di Tanah Jawa.
Kisah dilanjutkan dengan pelantikan Resi Bremana, Raden Srigati, dan Raden Srinada, masing-
masing menjadi raja Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan Serat Pedalangan Mangkunegaran, dengan sedikit pengembangan.
Mendengar penuturan Lembu Nandini tersebut, Dewi Haruna dan Dewi Haruni bingung
menyimpulkan apakah dia termasuk sapi jantan ataukah betina. Keduanya pun kembali ke
Kahyangan Suryaloka dengan perasaan kurang puas.
Baru sekarang Dewi Haruna dan Dewi Haruni merasa puas setelah mendengar penjelasan
Prabu Wisnupati tersebut. Mereka pun saling meminta maaf dan mohon pamit pulang ke Kahyangan
Suryaloka.
PAKSI RUKMAWATI
Kisah ini menceritakan putra Prabu Watugunung yang bernama Raden Radeya mendirikan
Kerajaan Medang Galungan dan memakai gelar Prabu Sindula. Ia mengirim pasukan yang
dipimpin tujuh raksasa cucu Batara Kala untuk menggempur empat negara saingan. Dalam
pertempuran itu, Prabu Manindrataya kalah dan menjadi dewa bergelar Batara Nagatatmala,
sedangkan Kerajaan Gilingwesi kehilangan Patih Suktina. Pasukan raksasa itu akhirnya dapat
ditumpas oleh Prabu Sri Mahapunggung. Kisah ini juga menceritakan asal-usul kesaktian
pertapa wanita bernama Begawan Rukmawati, putri Batara Anantaboga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.
sepupunya, yaitu Resi Dwara, Resi Arhyang, Resi Dangu, dan Resi Sadara dilantik sebagai raja
bawahan, masing-masing berganti nama menjadi Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan
Raja Capala. Adapun yang dijadikan sebagai pendeta kerajaan adalah Arya Wakya dan Arya
Byatara, yang masing-masing diberi gelar Begawan Kudadu dan Begawan Kartika. Sementara itu,
para sepupu yang lain dijadikan sebagai punggawa dengan memakai gelar Arya.
Dari pihak raksasa, Ditya Kalana diangkat sebagai pemimpin mereka, bergelar Raja Kalana.
Batara Basuki dan Dewi Wiratma sangat gembira mendengar pengakuan Raden Anantawirya
tersebut dan merasa ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Maka, mereka bertiga
pun berangkat ke Gunung Cakrawala saat itu juga.
Karena semakin terdesak, Prabu Basurata dan Patih Sunggata terpaksa mengungsi ke Kerajaan
Purwacarita.
Setelah menaklukkan Kerajaan Wirata, pasukan Medang Galungan lalu menggempur
Kerajaan Gilingwesi. Pertempuran sengit pun terjadi. Raja Kalana berhasil membunuh Patih Suktina
beserta para punggawa, yaitu Arya Sudarya dan Arya Bahniwirya. Sebaliknya, anak Patih Suktina
yang bernama Arya Atmera berhasil menewaskan Ditya Werka dan Ditya Martyawa.
Karena pihak Gilingwesi semakin terdesak oleh gempuran musuh, Prabu Brahmanaraja dan
para punggawa yang masih hidup terpaksa mengungsi pula ke Kerajaan Purwacarita.
Prabu Basurata. Karena Begawan Rukmawati adalah anak Batara Anantaboga, sedangkan Prabu
Basurata adalah anak Batara Wisnu, maka ia pun memanggil “kakak” kepada raja Wirata tersebut.
Begawan Rukmawati meramalkan bahwa Prabu Basurata kelak akan memiliki dua orang
anak, yaitu satu laki-laki dan satu perempuan. Meskipun hanya dua, namun mereka kelak akan
menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Akan tetapi, putra dan putri itu bisa lahir apabila Prabu Basurata
pergi ke Tanah Hindustan untuk menjadi sarana lahirnya titisan Batara Wisnu di sana. Menurut
ramalan Begawan Rukmawati, Batara Wisnu akan terlahir sebagai manusia, yaitu dengan menitis
kepada putra Prabu Dasarata raja Ayodya demi untuk menumpas angkara murka Prabu Rahwana
di Kerajaan Alengka.
Sementara itu, Dewi Kusalya membelah kue payasa miliknya menjadi dua dan memberikan
yang setengah kepada Dewi Sumitra. Dewi Kekayi juga membelah kue miliknya, dan memberikan
yang setengah kepada Dewi Sumitra pula. Dewi Sumitra sangat terharu melihat kebaikan kedua
madunya itu, dan ia pun berjanji jika memiliki anak, maka anaknya itu akan selalu melayani anak-
anak yang dilahirkan Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi. Ketiga istri Prabu Dasarata itu lalu memakan
bagian kue payasa masing-masing secara bersamaan.
Pada saat itulah Batara Wisnu (ayah Prabu Basurata) didampingi Batara Laksmanasadu (ayah
Resi Wisama) turun dari kahyangan. Batara Wisnu menjelaskan bahwa meskipun hanya memakan
setengah kue payasa, namun Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi masing-masing tetap akan melahirkan
seorang putra. Prabu Dasarata diperintahkan pula untuk memberikan nama kepada keempat
anaknya yang akan lahir kelak, yaitu putra Dewi Kusalya hendaknya diberi nama Raden Rama,
sedangkan putra Dewi Kekayi hendaknya diberi nama Raden Barata. Sementara itu, Dewi Sumitra
yang memakan dua kali setengah kue, maka ia akan melahirkan dua orang putra, yang hendaknya
diberi nama Raden Lesmana dan Raden Satrugena.
Batara Wisnu juga menjelaskan kepada Prabu Basurata mengenai kue payasa utuh yang
diterimanya. Kelak jika kue itu dimakan Dewi Brahmaniyuta, maka ia akan mengandung sebanyak
dua kali. Akan tetapi, kedua anak itu tidak lahir bersamaan, melainkan selisih usia mereka terpaut
lumayan lama.
Batara Wisnu kemudian mengatakan bahwa kedatangannya adalah untuk menitis kepada
putra Prabu Dasarata yang lahir dari Dewi Kusalya, yaitu Raden Rama, yang mana kelak akan
menjadi kesatria dalam menumpas angkara murka Prabu Rahwana raja Alengka, keturunan Prabu
Hiranyakasipu. Sementara itu, Batara Laksmanasadu juga datang untuk menitis kepada salah satu
putra yang lahir dari Dewi Sumitra, yaitu Raden Lesmana, karena kelak ia akan menjadi pendamping
Raden Rama dalam menumpas kejahatan.
Setelah berkata demikian, Batara Wisnu lalu masuk ke dalam rahim Dewi Kusalya, sedangkan
Batara Laksmanasadu masuk ke dalam rahim Dewi Sumitra. Prabu Dasarata, Prabu Basurata, dan
para raja lainnya serta para resi yang hadir di situ mengiringi peristiwa tersebut dengan penuh
penghormatan.
Rombongan Dewi Sri selanjutnya tiba di Desa Boga, di mana si kepala desa yang bernama
Buyut Warahas dan istrinya yang bernama Ken Pitengan sedang memilih padi di lumbung karena
diserang hama ulat merah. Dewi Sri ikut membantu mengajarkan mantra penolak hama, lalu
mengajarkan tata cara merawat lumbung kepada mereka berdua. Ia juga mengganti nama Ken
Pitengan menjadi Ken Martani, karena nama Pitengan dianggap kurang baik dan dapat
mengundang datangnya hama.
Adapun nama Buyut Warahas juga diganti menjadi Buyut Muskala sebagai bentuk
pengharapan agar lumbung dan sawahnya tidak diserang hama lagi.
Dewi Sri kemudian melanjutkan perjalanan dengan jumlah pengiring yang semakin bertambah
banyak. Ia akhirnya sampai di Desa Medangwantu, di mana Buyut Wangkeng sedang menjemur
padi, sedangkan istrinya yang bernama Ken Sani sedang menabuh lesung hendak menumbuk padi.
Dewi Sri sangat senang mendengar suara tetabuhan itu dan memerintahkan Ken Sani supaya
melestarikan ini sebagai tradisi masyarakat Jawa. Buyut Wangkeng dan Ken Sani mematuhi, lalu
mereka mengadakan perjamuan, tetapi Dewi Sri hanya memilih minum air kelapa muda saja.
karena dia yang akan merebut Dewi Sri untuk dipersembahkan kepada Prabu Pulaswa di Kerajaan
Medang Kumuwung.
gembira. Mereka pun beramai-ramai berangkat menuju ke sana. Raden Sadana juga meminta
mereka supaya membawa bibit tanaman untuk membangun lahan pertanian sesuai perintah Dewi
Sri.
Dewi Sri di Hutan Medangagung menyambut kedatangan para pengikutnya tersebut. Mereka
lalu bergotong royong membuka Hutan Medangagung menjadi sebuah permukiman baru. Dewi Sri
prihatin melihat Biyang Samba dan Ken Patani telah menjadi janda karena suami mereka, yaitu
Buyut Krama dan Buyut Bawada tewas dibunuh Ditya Kalandaru demi membela dirinya. Maka, Dewi
Sri pun menjodohkan kedua janda itu dengan para pengikut Raden Sadana, yaitu Biyang Samba
dengan Empu Cakut, sedangkan Ken Patani dengan Buyut Tuha. Mereka mematuhi dan menerima
perjodohan tersebut dengan senang hati.
Demikianlah, Dewi Sri dan Raden Sadana telah selesai membuka Hutan Medangagung
menjadi sebuah permukiman baru, yang kemudian diberi nama Desa Sringawanti.
serta kesaktian saudara kembar Dewi Sri tersebut. Prabu Pulaswa sangat murka dan segera
memenggal kepala Ditya Mayangkara tanpa ampun.
Melihat kekejaman sang raja, Patih Kalasuba dan Ditya Kalandaru merasa ngeri. Diam-diam
mereka pun pergi meninggalkan Kerajaan Medang Kumuwung dengan membawa serta janda Ditya
Mayangkara, yaitu Dewi Wikayi yang saat itu sedang mengandung. (Dewi Wikayi adalah keponakan
Patih Kalasuba dan Ditya Kalandaru).
Prabu Pulaswa semakin marah mendengar kepergian kedua raksasa kepercayaannya itu.
Namun, ia tidak peduli dan tetap bersikeras melanjutkan niat memperistri Dewi Sri. Setelah
mengumpulkan pasukan, Prabu Pulaswa pun berangkat menyerang Desa Sringawanti untuk
menjawab tantangan Raden Sadana.
Raden Sadana sendiri telah bersiaga. Ia menyambut datangnya serangan itu dengan dibantu
Buyut Wangkeng dan Buyut Sondong beserta murid-murid mereka. Pertempuran pun terjadi.
Banyak prajurit raksasa dan warga desa yang tewas. Raden Sadana akhirnya mengerahkan Aji
Bayurota, menciptakan angin besar membuat Prabu Pulaswa dan para raksasa yang masih hidup
terhempas jauh entah ke mana.
air, yaitu air dari langit, air dari tanah, air dari tumbuhan, dan air dari binatang sebelum mereka
melakukan hubungan badan. Setelah itu Ken Sangki akan mengandung anak perempuan titisan
Batari Tiksnawati. Akan tetapi, anak perempuan itu hanya bisa lahir apabila Kyai Wrigu memelihara
seekor ular sawa yang tidur melingkar di persawahan.
Kyai Wrigu mematuhi nasihat gurunya itu dan singkat cerita istrinya telah mengandung. Ketika
memasuki usia kandungan sembilan bulan, Kyai Wrigu lalu pergi ke persawahan dan menemukan
seekor ular sawa tidur melingkar sesuai petunjuk sang guru. Ular sawa itu tidak lain adalah
penjelmaan Dewi Sri yang segera dibawanya pulang dan kemudian ditaruhnya di atas tempat tidur,
serta diberi makanan berupa katak hijau. Begitu ular sawa telah ditemukan, seketika Ken Sangki
pun melahirkan seorang bayi perempuan.
Malam harinya, Kyai Wrigu bermimpi si ular sawa dapat berbicara kepadanya, bahwa ia tidak
mau makan katak hijau dan ingin disuguhi sirih ayu, kembang arum, wewangian, dupa, serta lampu
kamar jangan dimatikan. Ia juga menasihati Kyai Wrigu agar tidur di siang hari dan begadang di
malam hari untuk menjaga si bayi dari segala marabahaya. Ia juga berpesan supaya bayi
perempuan tersebut diberi nama Ken Raketan.
Kyai Wrigu terbangun dari mimpinya dan segera melaksanakan apa yang disarankan oleh si
ular sawa.
kanan, serta jangan sampai melepaskan si bayi dari gendongan. Kyai Wrigu pun terbangun dari tidur
dan segera melaksanakan semua nasihat tersebut, sehingga Batara Guru dan pasukannya gagal
membunuh bayi Ken Raketan.
Dewi Sri setiap malam bisa berkeliling Tanah Jawa mengendarai pedati tersebut dengan melecutkan
Cambuk Nagaserang menebarkan benih tanaman pangan di segenap lahan pertanian.
Dewi Sri sangat bersyukur karena apa yang menjadi keinginannya dikabulkan oleh Batara
Guru. Kini, ia pun diangkat sebagai bidadari yang bertugas melindungi pertanian di Tanah Jawa.
Dengan mengendarai pedati tersebut, ia pun berangkat dengan didampingi Batari Tiksnawati dan
diiringi para bidadari lainnya.
PRABU CINGKARADEWA
Kisah ini menceritakan Prabu Sindula putra Prabu Watugunung yang dikalahkan anaknya
sendiri, bernama Prabu Cingkaradewa. Kisah dilanjutkan dengan usaha Prabu Cingkaradewa
menguasai seluruh Tanah Jawa, yaitu dengan menewaskan Prabu Brahmanaraja dan Prabu Sri
Mahapunggung, serta menaklukkan Prabu Basurata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa menemukan arca dari emas yang terpendam di dalam
tanah. Arca itu berwujud Batara Guru duduk bersila, yang pada tempat duduknya bertuliskan
kalimat: “Anak dan harta jika dipelihara dengan baik, akan menjadi baik. Jika tidak memiliki anak
akan membuat hati kecil. Jika tidak mempunyai harta akan sulit mewujudkan cita-cita”.
Kedatangan Arya Dwapara ke Medang Galungan kali ini adalah diutus Prabu Cingkaradewa
untuk mempersembahkan arca emas tersebut kepada Prabu Sindula sebagai tanda penyesalan.
Akan tetapi, Prabu Sindula justru tersinggung karena merasa arca emas itu dimaksudkan untuk
menyindir dirinya. Ia pun mengusir Arya Dwapara dan menyuruhnya membawa kembali arca emas
tersebut. Prabu Sindula sama sekali tidak mau mengampuni putra keduanya yang berkelakuan
menyimpang itu, bahkan ingin menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Prabu Basurata harus menyerahkan diri kepada Prabu Cingkaradewa, karena kelak akan ada pihak
lain dari tanah seberang yang akan mengalahkan raja Medang Kamulan tersebut.
Prabu Basurata merasa kecewa terhadap petunjuk itu namun tidak berani membantah. Ia lalu
mohon pamit meninggalkan Gunung Mahendra untuk kembali ke Kerajaan Purwacarita. Di tengah
jalan rombongan tersebut bertemu Raja Capala yang mengaku diutus Prabu Cingkaradewa untuk
menjemput mereka.
PRABU BRAHMASATAPA
Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Raden Tritrusta putra Prabu Brahmanaraja yang bisa
membangun kembali Kerajaan Gilingwesi, dengan bergelar Prabu Brahmasatapa. Dikisahkan
pula Prabu Brahmasatapa kemudian memiliki putra bernama Raden Dukutoya dan Dewi Srini.
Raden Dukutoya inilah yang kelak dikenal sebagai Prabu Parikenan, leluhur para Pandawa dan
Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Pada hari yang ditentukan, Prabu Brahmasatapa pun mulai menduduki takhta Kerajaan
Gilingwesi. Ia membebaskan sanak saudaranya yang sejak kematian Prabu Brahmanaraja menjadi
tahanan Arya Jabung dan Arya Jangkung. Para sanak saudara itu kemudian diberi kedudukan di
Kerajaan Gilingwesi. Mereka adalah:
- Raden Brahmaniyama (paman) mendapat gelar Resi Brahmasatama
- Raden Brahmaniyata (paman) mendapat gelar Resi Brahmasadewa.
- Raden Tripunggung (adik kandung) mendapat gelar Arya Brahmastuti.
- Raden Trimatsyaka (adik kandung) mendapat gelar Arya Brahmayana.
- Raden Siwandara (adik tiri) mendapat gelar Arya Brahmanasidi.
- Raden Sasihawa (adik tiri) mendapat gelar Arya Brahmanajati.
- Raden Aniwarna (sepupu) mendapat gelar Arya Brahmanaradya.
- Raden Drataweda (sepupu) mendapat gelar Arya Brahmanaweda.
- Raden Sutada (sepupu) mendapat gelar Arya Brahmanakestu.
Adapun yang jabatan menteri utama tetap dipegang oleh Patih Atmera, bahkan putrinya yang
bernama Ken Rajatadi dinikahi pula oleh Prabu Brahmasatapa sebagai istri kedua.
Sementara itu, Resi Dwara dan kedua anaknya yang dihukum buang Sri Maharaja
Purwacandra merasa berhutang budi kepada Prabu Brahmasatapa. Mereka bertiga pun datang
untuk mengabdi di Kerajaan Gilingwesi. Prabu Brahmasatapa menerima pengabdian mereka, dan
mengangkat Resi Dwara sebagai sesepuh istana, bergelar Empu Artati.
Akibatnya, Batari Indradi langsung jatuh ke tanah dan tidak dapat terbang lagi. Gajah Oya
sangat marah karena bidadari itu mengingkari janji. Batari Indradi meminta maaf dan berjanji tidak
akan pergi lagi. Ia menyatakan bersedia menjadi istri Gajah Oya, namun terlebih dulu harus
dibuatkan sembilan rumah indah yang berjajar mengelilingi sebuah telaga sebagai tempat tinggal
mereka kelak.
Gajah Oya hendak pulang meminta bantuan Buyut Lagra, namun ia khawatir Batari Indradi
melarikan diri. Maka, ia pun mengheningkan cipta meminta bantuan dewata. Begitu tekun ia berdoa
hingga dewata pun mengabulkan permintaannya. Secara ajaib muncul seberkas cahaya dari langit
yang seketika berubah menjadi sebuah telaga jernih dan dikelilingi sembilan rumah berjajar indah.
Akan tetapi, ketika Gajah Oya bangun dari samadinya, ia terkejut karena Batari Indradi sudah
tidak ada lagi. Rupanya bidadari itu lagi-lagi mengingkari janji dan kini telah melarikan diri. Gajah
Oya sangat marah dan segera mencari ke mana perginya bidadari tersebut.
Aywana sangat senang dan mengajak Raden Oya untuk dinikahkan dengan Dewi Hoyi di istana
Malawa. Buyut Lagra juga diajak serta untuk mendampingi anak angkatnya tersebut.
PARIKENAN KRIDA
Kisah ini menceritakan tentang masa remaja Raden Parikenan, leluhur para Pandawa dan Kurawa, yang menjadi jago dewa
untuk menumpas cucu Batara Kala yang bernama Prabu Siwalata. Ia dan saudari kembarnya, yaitu Dewi Srini, lalu
mengetahui asal-usul mereka dan akhirnya bisa bersatu lagi dengan Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
sang ayah mengampuni kesalahan ibu tiri mereka itu. Prabu Brahmasatapa mengabulkannya, tapi
sejak saat itu ia menjadi enggan menyentuh Dewi Rajatadi.
Prabu Brahmasatapa lalu mengganti gelar Bambang Parikenan dan Endang Srini menjadi
Raden Parikenan dan Dewi Srini. Adapun gelar Bambang dan Endang kemudian disebarluaskan
untuk dipakai sebagai nama depan pemuda dan pemudi yang berasal dari pertapaan.
PARIKENAN KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Parikenan putra Prabu Brahmasatapa dengan Dewi Brahmaneki adik Prabu
Basupati. Dari perkawinan ini kelak akan lahir Resi Manumanasa, yaitu pendiri Padepokan Saptaarga, atau leluhur para
Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
melarikan diri saat Prabu Brahamasatapa datang merebut kembali Kerajaan Gilingwesi. Sementara
itu, Patih Swalacala juga melarikan diri dari Kahyangan Suralaya saat Prabu Siwalata tewas di
tangan Raden Parikenan. Patih Swalacala dan Resi Swaladara lalu bertemu dan sepakat
membangun kembali Kerajaan Medang Sindula yang ditinggal mati Prabu Siwalata. Akan tetapi,
keduanya lalu berselisih tentang siapa yang berhak menjadi raja. Perselisihan itu akhirnya
dimenangkan oleh Resi Swaladara, sehingga takhta Kerajaan Medang Sindula pun jatuh
kepadanya. Sementara itu, Patih Swalacala harus rela tetap menduduki jabatan sebagai patih.
Kini, lima tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Prabu Swaladara berniat mengubah
permusuhan dengan Kerajaan Gilingwesi menjadi persaudaraan. Maka, Patih Swalacala pun diutus
untuk mengantarkan surat lamaran, bahwa Prabu Swaladara ingin mempersunting Dewi Srini
(saudari kembar Raden Parikenan) sebagai permaisuri.
Prabu Brahmasatapa sangat marah membaca surat tersebut dan langsung menolak lamaran
terhadap putrinya itu. Patih Swalacala membalas dengan ancaman bahwa pasukan Medang Sindula
akan datang menyerbu Kerajaan Gilingwesi dan merebut Dewi Srini secara paksa. Usai berkata
demikian, ia lantas undur diri kembali ke perkemahan untuk melapor kepada Prabu Swaladara.
Maka, tidak lama kemudian pasukan Medang Sindula pun datang menyerbu. Prabu
Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana beserta para arya memimpin pasukan Gilingwesi
menghadapi serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Brahmasatapa tidak
menyangka pihak Medang Sindula selama lima tahun ini ternyata berhasil menghimpun angkatan
perang baru sehingga dapat mengimbangi kekuatan pihak Gilingwesi. Melihat para prajuritnya
banyak yang tewas dibantai para raksasa secara ganas, Prabu Brahmasatapa akhirnya
memerintahkan untuk mundur dan kemudian menutup rapat-rapat gerbang benteng Kerajaan
Gilingwesi.
dikabulkan oleh Batara Indra. Meskipun silsilah Raden Parikenan terhitung masih keponakan Dewi
Brahmaneki, namun bukanlah keponakan kandung, sehingga pernikahan di antara mereka masih
dapat dimaklumi. Batara Indra juga meramalkan bahwa perkawinan mereka kelak akan menurunkan
manusia-manusia hebat yang terkenal sepanjang masa, antara lain para Pandawa dan Kurawa.
Akhirnya, Batara Indra pun berjanji akan mengutus para jawata untuk mengangkut pohon
Jayandaru dan Dewandaru beserta Gamelan Lokananta ke Kerajaan Gilingwesi, sedangkan Raden
Parikenan dan Raden Suganda diperintahkan untuk pulang lebih dulu, karena negeri mereka saat
ini sedang dikepung musuh dari Kerajaan Medang Sindula.
Raden Parikenan berterima kasih atas kemurahan hati Batara Indra, lalu ia dan Raden
Suganda pun mohon diri meninggalkan Kahyangan Suralaya.
Ken Raketan dulu, bahwa putri mereka adalah titisan Batari Daruni yang akan mendapatkan jodoh
titisan Batara Daruna.
Beberapa waktu kemudian diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Suganda dengan
Ken Raketan di Desa Wasutira. Setelah satu pekan, Raden Suganda pun memboyong istrinya itu
pindah ke Kerajaan Gilingwesi untuk hidup berumah tangga di sana.
SATAPI MURCA
Kisah ini menceritakan perkawinan Dewi Srini putri Prabu Brahmasatapa dengan Raden
Wahnaya putra Prabu Sri Mahawan, yang diselingi dengan hilangnya Dewi Satapi yang
akhirnya dapat ditemukan oleh Arya Sadaskara, putra Patih Pujangkara.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
sepasang anak kambing, Prabu Brahmasatapa masih dapat mengampuni. Namun, gara-gara
ucapan istrinya tadi amarah Prabu Brahmasatapa menjadi bangkit kembali. Prabu Brahmasatapa
pun mengucapkan kutukan, sehingga wujud Dewi Rajatadi seketika berubah menjadi seekor buaya
betina.
Prabu Brahmasatapa sangat menyesal dan segera memanggil Patih Brahmasadana yang
merupakan adik kandung Dewi Rajatadi. Patih Brahmasadana terkejut bukan main, namun ia
menyadari kalau kakaknya memang bersalah. Ia pun menghibur hati Prabu Brahmasatapa bahwa
hal ini memang sudah menjadi hukum karma atas dosa-dosa Dewi Rajatadi di masa lalu. Patih
Brahmasadana lalu membawa buaya perwujudan kakaknya itu dan melepaskannnya di Sungai
Jamuna.
Wulingga sangat senang bisa bertemu dengan Darti, namun ia juga takut mendapat hukuman
dari Ditya Singasari karena meninggalkan barisan. Arya Sadaskara menawarkan diri untuk
mengalahkan Ditya Singasari, namun Wulingga tidak berani mengantarkannya. Ia hanya berani
mempertemukan Arya Sadaskara dengan pemimpinnya, yaitu Pisacaraja Bahli, supaya mereka
bersekutu dan bersama-sama menghadapi Ditya Singasari. Akan tetapi, Wulingga bersedia
mengantarkan Arya Sadaskara apabila dirinya diajari cara bersiul menyanyikan lagu Bremara tadi.
Arya Sadaskara menyanggupi hal itu. Ia pun mengajarkan cara bersiul kepada Wulingga.
Setelah mahir, Wulingga lalu mengantarkan Arya Sadaskara menemui Pisacaraja Bahli.
kemudian menaruh curiga, jangan-jangan Arya Sadaskara yang telah menculiknya dan mengarang
cerita palsu tentang raksasa bernama Ditya Singasari.
Pisacaraja Bahli lalu berbisik di samping Arya Sadaskara supaya menyerahkan Minyak
Pranawa kepada Prabu Brahmasatapa. Setelah menerima minyak tersebut dan mengoleskannya di
mata, Prabu Brhamasatapa dapat melihat wujud Pisacaraja Bahli dan sempat terkejut beberapa
saat. Pisacaraja Bahli lalu bersumpah bahwa semua yang diceritakan Arya Sadaskara adalah benar.
Tiba-tiba Prabu Brahmasatapa melihat ada sesosok makhluk halus berwujud api yang
menyala berkobar-kobar hendak membakar istana Gilingwesi. Pisacaraja Bahli menjelaskan bahwa
itu adalah Jalegi, makhluk halus kesayangan Ditya Singasari yang ingin membalas dendam. Prabu
Brahmasatapa ketakutan dan meminta tolong kepada Pisacaraja Bahli agar membunuhnya.
Pisacaraja Bahli mematuhi, kemudian ia menyerang Jalegi dan berhasil menewaskannya.
Prabu Brahmasatapa berterima kasih dan meminta Pisacaraja Bahli supaya tetap tinggal di
Kerajaan Gilingwesi sebagai penjaga istana. Pisacaraja Bahli bercerita bahwa kakeknya yang
bernama Pisacaraja Sentruya juga pernah mengabdi di Kerajaan Gilingwesi pada masa
pemerintahan Prabu Watugunung. Setelah Prabu Watugunung gugur, Pisacaraja Sentruya pun
pindah ke Gunung Rewataka. Ia kemudian memiliki anak bernama Pisacaraja Wilika yang pindah
ke Hutan Parimbun. Adapun Pisacaraja Wilika adalah ayah dari Pisacaraja Bahli.
Pisacaraja Bahli menerima tawaran Prabu Brahmasatapa, namun ia meminta diizinkan tinggal
di sanggar yang dulu ditempati kakeknya. Kemudian setiap hari Anggara Kasih ia juga meminta
diberi sesaji berupa minyak wangi dan dupa. Prabu Brahmasatapa menyanggupinya. Sebagai
hadiah atas jasanya membunuh Jalegi tadi, Prabu Brahmasatapa pun memberikan Mutiara
Matuwahni kepada Pisacaraja Bahli. Mutiara Matuwahni tersebut tidak lain adalah kenang-
kenangan dari Batari Dresanala saat dulu Prabu Brahmasatapa jatuh cinta kepada bibinya itu.
KANIYASA LAHIR
Kisah ini menceritakan Raden Parikenan berhasil meruwat ibu tirinya, yaitu Dewi Rajatadi
dari wujud buaya putih kembali menjadi manusia. Kisah dilanjutkan dengan kelahiran Raden
Kanwa atau Raden Kaniyasa, yang kelak terkenal dengan nama Resi Manumanasa, leluhur
para Pandawa dan Kurawa, serta bagaimana Raden Kanwa diambil sebagai anak angkat Prabu
Basupati raja Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan naskah Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Rajatadi juga sangat berterima kasih kepada Raden Parikenan yang telah meruwat dirinya hingga
terbebas dari kutukan. Mereka pun bersama-sama kembali ke Kerajaan Gilingwesi untuk
menghadap Prabu Brahmasatapa.
Basupati mengambil keponakannya sebagai anak angkat yang dipersaudarakan dengan Raden
Basumurti, yaitu anak kedua Dewi Brahmaneki yang bernama Raden Kanwa.
Prabu Basupati lalu berkunjung ke Kerajaan Gilingwesi untuk mewujudkan petunjuk dewata
tersebut. Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki sebenarnya keberatan untuk melepaskan Raden
Kanwa yang masih berusia dua tahun, namun mereka juga prihatin mendengar musibah yang kini
terjadi di Kerajaan Wirata. Akhirnya, Dewi Brahmaneki pun menyerahkan Raden Kanwa kepada
sang kakak, namun dengan disertai seorang pengasuh, yaitu Dewi Wakiswari, putri Arya
Brahmanaradya.
Singkat cerita, wabah penyakit yang melanda Kerajaan Wirata telah lenyap sejak Prabu
Basupati membawa Raden Kanwa dan Dewi Wakiswari. Entah bagaimana Prabu Basupati tiba-tiba
merasa tertarik kepada Dewi Wakiswari dan ingin menjadikannya istri. Maka, ia pun mengirim
lamaran kepada Arya Brahmanaradya di Kerajaan Gilingwesi. Arya Brahmanaradya pun menerima
lamaran tersebut dengan senang hati, lalu ia berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai putra
yang lain, bernama Raden Wakiswara.
Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Prabu Basupati
dengan Dewi Wakiswari. Prabu Basupati merasa ini semua berkat kedatangan Raden Kanwa di
Kerajaan Wirata, sehingga ia kembali memiliki rasa suka terhadap wanita. Oleh sebab itu, Raden
Kanwa pun diganti namanya menjadi Raden Kaniyasa.
Prabu Basupati juga senang melihat kepandaian dan ketangkasan Raden Wakiswara. Maka,
ia pun mengangkat adik iparnya itu menjadi patih Kerajaan Wirata yang baru, bergelar Patih
Wakiswara, untuk menggantikan Patih Sunggata yang telah menetap di Purwacarita.
Prabu Brahmasatapa baru saja melihat istana berwarna keemasan di alam gaib, maka ia pun
memberi nama cucunya itu, Raden Manonbawa.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Basupati di Kerajaan Wirata juga memperoleh seorang
putra yang dilahirkan Dewi Wakiswari. Ia pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Basukesti.
BRAHMANA WISAKA
Kisah ini menceritakan Batara Ajisaka atau Empu Sangkala datang lagi ke Tanah Jawa sebagai
Brahmana Wisaka yang berhasil mengakhiri kekuasaan Sri Maharaja Purwacandra tanpa
menggunakan kekerasan. Ia kemudian naik takhta di Medang Kamulan, bergelar Sri Maharaja
Wisaka serta memerdekakan Kerajaan Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
lamaran untuk menjadikan Dewi Awanti sebagai istri, di samping Dewi Wakiswari putri Arya
Brahmanaradya.
Raja Capala menerima lamaran tersebut, namun dengan syarat Prabu Basupati harus
membawa pula kedua putranya yang lain untuk tinggal di Kerajaan Wirata. Mereka adalah Raden
Awama (kakak Dewi Awanti) dan Raden Awangga (adik Dewi Awanti). Rupanya Raja Capala
merasa khawatir kalau kedua putranya itu dijadikan anggota Wadya Seseliran untuk memuaskan
nafsu birahi Sri Maharaja Purwacandra.
Prabu Basupati menerima syarat tersebut. Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan
antara dirinya dengan Dewi Awanti, yang disaksikan oleh Prabu Brahmasatapa. Pernikahan itu
berlangsung sederhana saja. Esok harinya, Prabu Basupati dan Dewi Awanti mohon pamit
berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai Arya Awama dan Arya Awangga, sedangkan Prabu
Brahmasatapa pamit pula kembali ke Kerajaan Gilingwesi.
ke dalam sanggar pemujaan disertai kedua adiknya, yaitu Raja Tinggara dan Raja Patanggara,
kemudian mereka bersama-sama mengheningkan cipta melepaskan roh masing-masing.
Melihat Sang Maharaja telah meninggal, Patih Sukapa, Raja Yogyapara, Raja Dyapara, Raja
Wigara, beserta para punggawa lainnya pun bersama-sama masuk ke sanggar pemujaan untuk ikut
melepas roh pula. Yang tersisa kini hanyalah Raja Capala dan adik-adiknya, yaitu Arya Caracapa,
Arya Gandara, dan Arya Kumbina. Mereka berempat kemudian menyatakan tunduk kepada
Brahmana Wisaka.
BEGAWAN KALACAKRA
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Brahmasatapa dan pelantikan Raden Parikenan sebagai
raja Gilingwesi yang baru. Prabu Sri Mahawan juga meletakkan jabatannya dan mengangkat
Raden Wahnaya sebagai raja Purwacarita, bergelar Prabu Srikala. Prabu Sri Mahawan lalu
menjadi brahmana bergelar Begawan Kalacakra. Kisah dilanjutkan dengan diangkatnya
Begawan Kalacakra menjadi dewa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Batara Guru lantas mengutus Batara Narada untuk menjemput Begawan Kalacakra dan
mengangkatnya menjadi dewa seperti kedua kakaknya terdahulu, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana.
Batara Narada segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas tersebut.
Batara Narada telah tiba di Candi Astaka menemui Begawan Kalacakra yang sedang
bersamadi. Begawan Kalacakra terbangun dan menyambut Batara Narada dengan penuh hormat.
Dengan penglihatannya yang tajam, ia dapat membedakan bahwa yang datang kali ini adalah
Batara Narada asli, sedangkan yang tadi mendebatnya adalah Batara Guru palsu.
Batara Narada menjelaskan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput Begawan
Kalacakra menjadi dewa penghuni kahyangan sebagaimana kedua kakaknya dulu, yaitu Dewi Sri
dan Raden Sadana. Begawan Kalacakra tunduk dan menurut pada keputusan tersebut. Maka,
Batara Narada pun membawanya naik ke kahyangan dan menjadikannya sebagai dewa bergelar
Batara Kalacakra. Namun demikian, yang dibawa Batara Narada hanyalah roh Batara Kalacakra
saja, sedangkan jasadnya ditinggalkan di dalam Candi Astaka.
GILINGWESI BEDAH
Kisah ini menceritakan runtuhnya Kerajaan Gilingwesi akibat serangan Prabu Srikala raja
Purwacarita yang sakit hati karena calon menantunya, yaitu Dewi Kaniraras telah dinikahkan
dengan orang lain. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara Prabu Srikala dan Prabu
Basupati yang berkhir dengan kekalahan pihak Purwacarita.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
itu, Prabu Parikenan segera turun tangan melerai mereka. Maka, ia pun memberikan hadiah
sebidang tanah kepada Empu Dewayasa atas jasa-jasanya. Empu Dewayasa mematuhi dan ia pun
merestui adiknya menikah dengan Dewi Kaniraras.
Sementara itu di istana Gilingwesi, Dewi Brahmaneki dan anak-anaknya mendengar berita
bahwa sang suami telah kalah perang namun tidak diketahui di mana keberadaannya. Pada saat itu
yang masih hidup tinggal Arya Brahmanaradya, Arya Brahmanaweda, dan Arya Brahmanakestu,
serta Empu Dewayasa, Empu Kanomayasa, dan Arya Brahmangkara (putra mendiang Patih
Brahmasadana). Dewi Brahmaneki merasa Kerajaan Gilingwesi telah jatuh ke tangan musuh,
sehingga ia pun memutuskan untuk mengungsi ke Kerajaan Wirata bersama mereka semua.
Prabu Basupati di Kerajaan Wirata terkejut melihat kedatangan Dewi Brahmaneki (adiknya)
beserta rombongan. Mengetahui Kerajaan Gilingwesi telah runtuh diserang Prabu Srikala yang
melupakan ikatan persaudaraan, Prabu Basupati sangat marah dan segera menghimpun pasukan
untuk menyerang Kerajaan Purwacarita.
Basupati pun mengangkat mertuanya (ayah Dewi Wakiswari dan Patih Wakiswara) sebagai kepala
pandita yang baru, bergelar Resi Brahmanaradya.
Pada suatu hari Prabu Basupati dan Resi Brahmanaradya membicarakan kepandaian
mendiang Resi Wisama dalam hal ilmu gaib. Prabu Basupati tertarik dan ingin sekali melihat seperti
apa keadaan di alam sana. Resi Brahmanaradya bercerita bahwa kakak sepupunya, yaitu mendiang
Prabu Brahmasatapa, memiliki abdi bernama Pisacaraja Bahli yang merupakan raja makhluk halus
penjaga sanggar pemujaan di istana Gilingwesi. Konon Pisacaraja Bahli menyimpan tiga pusaka
peninggalan Prabu Brahmasatapa, yaitu Mutiara Matuwahni, Sela Timpuru, dan Minyak Pranawa.
Resi Brahmanaradya menjelaskan bahwa Minyak Pranawa itulah yang dapat digunakan untuk
melihat keadaan alam gaib, yaitu dengan cara dioleskan pada kedua mata dan telinga.
Prabu Basupati semakin tertarik dan ingin memiliki ketiga pusaka tersebut. Resi
Brahmanaradya menjelaskan bahwa Pisacaraja Bahli pernah berhutang budi kepada mendiang
Patih Sadaskara. Maka, orang yang tepat untuk diutus mengambil ketiga pusaka itu adalah putra
Patih Sadaskara yang bernama Raden Darmaruci.
Prabu Basupati pun memanggil Raden Darmaruci yang kini hidup sebatang kara. Meskipun
ayahnya (Patih Sadaskara) gugur di tangan Prabu Basupati, dan ibunya (Dewi Satapi) menyusul
bunuh diri, Raden Darmaruci mengaku tidak menyimpan dendam karena itu sudah menjadi suratan
takdir. Prabu Basupati sangat senang mendengar kebesaran hati pemuda itu. Ia lalu
mengungkapkan keinginannya untuk memiliki ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa
yang kini dirawat Pisacaraja Bahli di istana Gilingwesi. Karena Pisacaraja Bahli pernah berhutang
budi kepada mendiang Patih Sadaskara, maka Prabu Basupati pun menugasi Raden Darmaruci
untuk mengambil ketiga pusaka tersebut.
Raden Darmaruci mematuhi perintah namun ia belum pernah pergi ke Gilingwesi, meskipun
ibunya berasal dari sana. Maka, Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Brahmanakestu untuk
menemani kepergian pemuda itu.
ditentukan, ia pun memimpin upacara pindah istana, yaitu meninggalkan Purwacarita menuju ke
Andongwilis.
Sesampainya di sana, Prabu Basupati duduk di takhta dan mengumumkan untuk mengubah
nama Andongwilis menjadi Wirata, sedangkan istana Wirata yang lama diganti namanya menjadi
Medangkawuri. Kyai Wrigu selaku murid mendiang Resi Wisama mendapat tugas untuk merawat
istana Medangkawuri tersebut, dengan bergelar Resi Wrigu. Sementara itu, istana Gilingwesi tetap
dirawat oleh Arya Brahmangkara, yang kemudian mendapatkan gelar baru, yaitu Resi
Brahmastungkara.
Prabu Basupati juga mengangkat Arya Brahmanaweda dan Arya Brahmanakestu menjadi
pandita, bergelar Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu. Kedudukan mereka sebagai
punggawa kemudian digantikan oleh Raden Suganda (putra Resi Brahmanakestu), dengan bergelar
Arya Suganda. Atas usul Resi Brahmanakestu pula, Prabu Basupati lalu menikahkan Arya
Darmaruci dengan Dewi Anitri, putri Resi Brahmastungkara.
KISAH
LELUHUR
PANDAWA
KITAB WAYANG PURWA
KANIYASA SRAYA
Kisah ini menceritakan perkawinan Dewi Kaniraras dengan Prabu Durapati raja Duhyapura
yang kelak akan menurunkan Resi Dwapara, serta menceritakan Raden Kaniyasa menumpas
musuh kahyangan bernama Prabu Kuramba, leluhur raja-raja Pringgadani.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryosaputro, dengan sedikit pengembangan.
menangkapnya. Melihat putra sulungnya jatuh ke tangan musuh, Prabu Basupati pun terjun ke
medan pertempuran untuk menolong.
Setelah bertarung cukup lama, Prabu Basupati akhirnya berhasil meringkus Prabu Durapati.
Pada saat itulah muncul seorang anak perempuan yang menangis meminta supaya Prabu Durapati
jangan disakiti. Ternyata anak perempuan itu adalah putri Prabu Durapati dari istri terdahulu,
bernama Dewi Dalupi.
Prabu Basupati tersentuh hatinya melihat anak kecil tersebut dan ia pun melepaskan
lawannya. Prabu Durapati sendiri meminta maaf dan menjelaskan bahwa Patih Abisatya tadi telah
melakukan kesalahan bicara saat menyampaikan surat lamaran darinya. Ia juga mengatakan bahwa
dirinya adalah putra mendiang Prabu Basukirata raja Duhyapura terdahulu, yang merupakan
sahabat Prabu Basurata (ayah Prabu Basupati).
Prabu Basupati teringat cerita ayahnya yang pernah berkunjung ke Tanah Hindustan untuk
membantu Prabu Dasarata raja Ayodya saat mengadakan upacara mengambil Jamur Dipa demi
mendapatkan putra. Pada kesempatan itu, Prabu Basurata juga banyak berkenalan dengan para
raja Tanah Hindustan, antara lain Prabu Basukirata dari Kerajaan Duhyapura tersebut.
Kini, tiada lagi kesalahpahaman antara kedua pihak. Prabu Basupati pun menerima lamaran
Prabu Durapati yang ingin memperistri Dewi Kaniraras. Dewi Kaniraras sendiri bersedia namun ia
ingin pernikahan keduanya ini dilaksanakan setelah adiknya (Raden Kaniyasa) ditemukan.
Mendengar permintaan tersebut, Prabu Basupati segera mengutus Arya Darmaruci untuk
pergi mencari keberadaan Raden Kaniyasa.
Pada saat itulah Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci muncul di hadapan para raksasa itu.
Keduanya mengaku sebagai para jago untuk menumpas musuh kahyangan. Prabu Kuramba sangat
marah mendengarnya, apalagi begitu mengetahui kalau Arya Darmaruci adalah anak Patih
Sadaskara dan Dewi Satapi. Maka, ia pun menyerang pemuda itu untuk melampiaskan dendam
kematian ayahnya. Arya Darmaruci terdesak kewalahan menghadapi serangan Prabu Kuramba
tersebut. Melihat sepupunya dalam bahaya, Raden Kaniyasa segera menghadapi Prabu Kuramba,
dengan berbekal Panah Sarotama pemberian Batara Indra.
Setelah bertempur sekian lama, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil menewaskan Prabu
Kuramba menggunakan panah pusaka tersebut. Melihat rajanya terbunuh, Patih Saswamertyu
memilih kabur meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk kembali ke Kerajaan Pringgadani.
RESI MANUMANASA
Kisah ini menceritakan Raden Kaniyasa mendirikan Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga
dan memakai gelar Resi Manumanasa, sedangkan kedua adiknya, yaitu Raden Manonbawa dan
Raden Paridarma membuka sebuah pedukuhan di Tanah Gandara, pemberian Prabu Basupati.
Kisah ini juga menceritakan awal pertemuan Resi Manumanasa dengan Danghyang Smarasanta
yang kelak terkenal dengan sebutan Kyai Semar.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra dengan sedikit pengembangan.
Resi Manumanasa
lumayan tinggi. Sejak kematian ayahnya, ia banyak belajar kepada Resi Saniwara dan Patih
Saswamertyu. Dalam pertempuran kali ini pun, Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya
Darmaruci tidak mampu mengalahkannya. Namun demikian, kesaktian Raden Kaniyasa ternyata
masih berada di atas raja raksasa itu. Setelah bertarung sengit, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil
meringkus Prabu Rambana, sekaligus beserta Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu.
Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci lalu menghadapkan para raksasa itu kepada Prabu
Basupati di istana Wirata. Prabu Basupati bersedia mengampuni nyawa mereka asalkan Prabu
Rambana menyatakan kesetiaan kepada Kerajaan Wirata. Prabu Rambana menurut dan ia pun
mengucapkan sumpah setia di hadapan Prabu Basupati dan para punggawanya. Prabu Basupati
sangat berkenan mendengarnya. Ia lalu membebaskan Prabu Rambana dan mengizinkannya
pulang kembali ke Kerajaan Pringgadani.
Ratawu. Sesuai nasihat Batara Wisnu, Raden Kaniyasa pun mengganti namanya menjadi Resi
Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa diganti gelarnya menjadi Putut Supalawa.
Kini kedua harimau tersebut telah teruwat oleh panah Resi Manumanasa dan kembali menjadi
bidadari. Mereka pun menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Resi Manumanasa. Resi
Manumanasa sendiri tidak berani menganggap Kyai Smarasanta sebagai abdi dan lebih suka
menjadikannya sebagai saudara tua. Maka, ia pun memilih Batari Kaniraras sebagai istri, sedangkan
Batari Kanistri hendaknya menjadi istri Kyai Smarasanta.
Maka, diadakanlah pernikahan ganda di Gunung Saptaarga tersebut. Karena nama Batari
Kaniraras sama persis dengan nama kakak sulungnya, maka Resi Manumanasa pun memanggil
istrinya itu dengan sebutan baru, yaitu Dewi Retnawati. Sementara itu, Kyai Smarasanta juga
mengganti nama Batari Kanistri menjadi Dewi Kenastren, supaya lebih mudah disebut.
Sejak saat itu, Kyai Smarasanta tinggal di Gunung Saptaarga sebagai pengurus rumah tangga
Padepokan Ratawu, dan mengganti namanya menjadi Janggan Smara.
SATRUKEM LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran tiga orang putra Resi Manumanasa, yaitu Bambang Satrukem,
Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa. Mereka lahir dalam keadaan terbungkus dan
digunakan untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Kalimantara, yang kemudian
jasadnya berubah menjadi sebuah kitab pusaka bernama Jamus Kalimasada. Kisah dilanjutkan
dengan kematian Prabu Basupati dan kedua istrinya, serta Dewi Brahmaneki, serta pelantikan
Raden Basumurti sebagai raja Wirata yang ketiga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan lakon wayang dalam rubrik Pedhalangan dari Majalah
Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 11 Maret 2015
Heri Purwanto
Manonbawa dijadikan pendeta, bergelar Resi Manonbawa; sedangkan Raden Paridarma dijadikan
punggawa, bergelar Arya Paridarma.
Resi Manumanasa menyanggupi hal itu. Ia lalu berangkat bersama Batara Narada menuju
Kahyangan Suralaya sambil menggendong ketiga bayinya yang terbungkus menjadi satu itu. Putut
Supalawa dan Janggan Smara pun ikut serta.
Brahmaneki meninggal dunia karena keracunan masakan jamur. Resi Manumanasa sangat sedih
dan segera berangkat menuju Kerajaan Wirata.
Sesampainya di istana Wirata, Resi Manumanasa melihat semuanya telah berkumpul.
Upacara pemakaman terhadap mereka berempat pun diselenggarakan dalam suasana haru,
dengan dipimpin Raden Basumurti selaku putra sulung Prabu Basupati.
Beberapa pekan kemudian, Raden Basumurti dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar
Prabu Basumurti. Patih Wakiswara yang sudah tua mengundurkan diri dan menjadi pendeta,
bergelar Resi Wakiswara. Kedudukannya sebagai menteri utama digantikan oleh adik ipar Prabu
Basumurti, bergelar Patih Jatikanda (adik Dewi Jatiswara). Sementara itu, Arya Suweda putra Resi
Wakiswara juga menjadi pendeta, bergelar Resi Wedawaka.
Prabu Basumurti juga menawarkan kedudukan kepada Resi Manumanasa. Akan tetapi, Resi
Manumanasa menolak dan menyatakan lebih suka menyepi di Gunung Saptaarga sebagai pertapa
dan sesekali saja berkunjung ke Kerajaan Wirata sebagai saudara, bukan sebagai pejabat. Prabu
Basumurti tidak dapat memaksa sepupunya itu. Setelah masa berkabung usai, Resi Manumanasa
dan kedua adiknya, yaitu Resi Manonbawa dan Arya Paridarma mohon pamit kembali ke tempat
tinggal masing-masing.
PAKUMPULAN SAPTAARGA
Kisah ini menceritakan kesalahpahaman Prabu Basumurti terhadap Resi Manumanasa yang
menerima sejumlah murid di Gunung Saptaarga. Raden Basukesti diutus Prabu Basumurti
untuk menangkap Resi Manumanasa, namun ia berhasil memperbaiki hubungan di antara
mereka. Raden Basukesti juga mendapatkan cincin pusaka dari Batara Mahadewa yang kelak
membuatnya bisa menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Kisah ini disusun berdasarkan sumber
Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan
Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit
pengembangan.
Kediri, 13 Maret 2015
Heri Purwanto
Andong. Untuk selanjutnya, Raden Sriwanda hendaknya memakai gelar Resi Sakra, sedangkan
ketiga lainnya silakan bergelar Resi Artaetu, Resi Etudarma, dan Resi Darmahanara. Mereka
berempat mematuhi, lalu mohon pamit meninggalkan Gunung Saptaarga.
Sesampainya di Desa Andong, Resi Sakra dan ketiga sepupunya segera membangun
padepokan. Resi Sakra membangun Padepokan Andongpangukir, Resi Artaetu membangun
Padepokan Andongsari, Resi Etudarma membangun Padepokan Andonggading, sedangkan Resi
Darmahanara membangun Padepokan Andongdadapan.
Raden Basukesti telah membebaskan dirinya dari kutukan karena tanpa sengaja telah berbuat
kesalahan terhadap Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka. Sebagai hadiah, Batara
Mahadewa pun memberikan Cincin Manikwara untuk dipakai Raden Basukesti. Barangsiapa
memakai cincin tersebut, maka dia akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Demikianlah, Batara Mahadewa lalu kembali ke kahyangan, sedangkan para penduduk keluar
dari persembunyian untuk berterima kasih kepada Raden Basukesti.
BABAD GAJAHOYA
Kisah ini menceritakan Prabu Basumurti membantu kakak sepupunya, yang bernama Raden
Surata putra Prabu Oya sehingga bisa mendapatkan hak atas takhta Kerajaan Malawa. Kisah
dilanjutkan dengan Raden Basukesti melakukan tapa rame dan juga pernikahan Raden
Basusena putra Prabu Basumurti. Raden Basusena lalu dilantik menjadi raja Gajahoya, begelar
Prabu Hastimurti. Dari tokoh inilah kelak lahir raja-raja Kerajaan Hastina.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 17 Maret 2015
Heri Purwanto
Raden Surata menyambung cerita Prabu Basumurti tersebut, bahwa Gajah Oya setelah
teruwat menjadi manusia lalu bertemu Prabu Aywana raja Malawa yang datang ke Tanah Jawa
bersama putrinya, bernama Dewi Hoyi. Gajah Oya lalu diganti namanya menjadi Raden Oya dan
dinikahkan dengan Dewi Hoyi tersebut. Mereka hidup berumah tangga di Kerajaan Malawa, dan dari
perkawinan itu lahirlah Raden Surata.
Setelah Prabu Aywana meninggal, takhta Kerajaan Malawa diserahkan kepada Raden Oya,
yang bergelar Prabu Oya. Beberapa tahun kemudian, Prabu Oya dan Dewi Hoyi meninggal
bersamaan. Takhta Kerajaan Malawa harusnya diwarisi oleh Raden Surata selaku putra tunggal
mereka, tetapi hal itu ditentang oleh Patih Pratana yang mengatakan bahwa Raden Surata tidak
berhak menjadi raja. Alasannya ialah Prabu Oya merupakan pendatang dari Jawa, sehingga bisa
menjadi raja Malawa hanya karena mewakili istrinya. Setelah Dewi Hoyi dan Prabu Oya meninggal,
maka Raden Surata yang berdarah campuran itu tidak berhak duduk di atas takhta Kerajaan
Malawa.
Patih Pratana sangat pandai menghasut rakyat Malawa, sehingga dirinya bisa merebut takhta
kerajaan dan bergelar Prabu Pratana. Tidak hanya itu, Prabu Pratana juga berusaha membunuh
Raden Surata dan istrinya yang bernama Dewi Sarati. Merasa dalam bahaya, Raden Surata pun
Dewi Sarati mengungsi ke Kerajaan Timpuru, yaitu negeri kelahiran istrinya itu. Dewi Sarati sendiri
sedang mengandung dan sangat tertekan perasaannya. Sesampainya di Kerajaan Timpuru, ia pun
meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra, yang diberi nama Raden Asrama.
Prabu Rasika raja Timpuru sangat marah bercampur sedih atas apa yang telah dialami anak
dan menantunya. Ia pun memimpin pasukan dengan didampingi Patih Reksaka, menyerang
Kerajaan Malawa untuk menuntut hak Raden Surata. Akan tetapi, pihak lawan terlalu kuat sehingga
Prabu Rasika dan Patih Reksaka dapat dipukul mundur dan pulang membawa kekalahan. Prabu
Rasika lalu menyarankan supaya Raden Surata meminta bantuan kepada sepupunya yang saat ini
menjadi penguasa tunggal di Tanah Jawa, bernama Prabu Basumurti raja Wirata. Prabu Rasika
menjelaskan bahwa Raden Surata adalah cucu Prabu Sri Mahapunggung, sedangkan Prabu
Basumurti adalah cucu Prabu Basurata. Adapun Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata
adalah sama-sama putra Batara Wisnu.
Prabu Basumurti sangat terharu mendengar kisah menyedihkan yang dialami Raden Surata.
Ia pun memanggil Raden Surata dengan sebutan “kakak” dan menjamunya dengan penuh
penghormatan di istana Wirata. Jika dulu Raden Brahmaneka dan Gajah Oya pernah berselisih,
maka tiba saatnya kini anak-anak mereka memperbaiki hubungan dan saling mempererat
persaudaraan.
Prabu Basumurti lalu memerintahkan Raden Basukesti dan Raden Basunanda untuk
memimpin pasukan Wirata, membantu Raden Surata mendapatkan kembali haknya atas takhta
Kerajaan Malawa.
Surata. Ia memimpin persidangan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Prabu
Pratana.
Prabu Basumurti merasa senang mendengar keinginan putranya untuk hidup mandiri. Ia pun
bercerita bahwa di Desa Wahita terdapat sembilan buah rumah berjajar indah menghadap sebuah
telaga jernih yang dulu dibangun oleh Gajah Oya, atas permintaan Dewi Indradi. Karena Raden
Basusena adalah cucu Dewi Indradi, maka ia pun berhak mewarisi kesembilan rumah indah
tersebut.
Raden Basusena sangat senang dan berterima kasih kepada Prabu Basumurti. Ia lalu mohon
pamit berangkat dengan ditemani Dewi Basundari dan Raden Basundara untuk pergi ke Desa
Wahita di mana sembilan rumah indah berdiri di sana.
Beberapa bulan kemudian, Raden Basusena telah selesai membangun sebuah istana megah
dengan cara menyatukan kesembilan rumah indah tersebut. Bersamaan dengan itu, istrinya juga
melahirkan seorang putra. Prabu Basumurti dan Dewi Jatiswara serta Raden Basunanda dan Dewi
Sukawati datang berkunjung dan memberi nama cucu mereka itu, Raden Wasanta.
Prabu Basumurti sangat senang melihat istana yang dibangun putranya tersebut, dan
mengizinkan Raden Basusena menjadi raja di sana. Karena istana itu dibangun dengan cara
menyatukan kesembilan rumah yang dulu didirikan oleh Gajah Oya, maka negeri baru tersebut pun
diberi nama Kerajaan Gajahoya.
Raden Basusena dilantik menjadi raja Gajahoya bawahan Wirata dengan memakai gelar
Prabu Hastimurti, sedangkan menteri utama dijabat oleh adik iparnya, bergelar Patih Basundara.
BASUKESTI WISUDA
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Basumurti setelah merusak pohon keramat Kayu
Sriputa. Raden Basukesti lalu dilantik menjadi raja Wirata yang baru, membuat Prabu
Hastimurti raja Gajahoya merasa kecewa. Kisah dilanjutkan dengan pernikahan kedua Prabu
Basukesti dengan Dewi Sugandi untuk mendapatkan keturunan. Kisah ditutup dengan
pertempuran antara Kerajaan Wirata melawan Kerajaan Duhyapura, di mana Prabu Dwapara
raja Duhyapura kalah dan berlindung kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Maret 2015
Heri Purwanto
Sesampainya di istana Wirata, keadaan Prabu Basumurti bertambah parah. Setelah dirawat
beberapa hari, nyawanya justru tak tertolong lagi. Raja Wirata itu pun meninggal dunia.
Berita kematian Prabu Basumurti telah diterima oleh putra tunggalnya, yaitu Prabu Hastimurti
di Kerajaan Gajahoya. Ia pun buru-buru pergi ke Wirata bersama istri dan iparnya, yaitu Dewi
Basundari dan Patih Basundara, untuk menghadiri pemakaman sang ayah.
Singkat cerita, upacara pernikahan antara Prabu Basukesti dan Endang Sugandi telah
dilaksanakan. Setahun kemudian, dari perkawinan itu lahir seorang bayi perempuan, yang diberi
nama Dewi Basuwati. Nama tersebut diambil dari nama Begawan Rukmawati, yaitu sang petapa
wanita yang telah memberikan petunjuk.
Bambang Satrukem akhirnya bisa meringkus Prabu Dwapara dan menyerahkannya kepada
sang ayah. Resi Manumanasa yang berpandangan tajam dapat mengetahui kalau raja Duhyapura
ini masih keponakannya sendiri, yaitu putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua dengan Prabu
Durapati. Prabu Dwapara yang pada dasarnya ingin mencari perlindungan dari kejaran pasukan
Wirata segera menyembah penuh hormat kepada pamannya tersebut. Ia lalu memohon supaya
diizinkan tinggal di Padepokan Saptaarga.
Resi Manumanasa mengabulkan permintaan tersebut. Ia lalu mengangkat Prabu Dwapara
sebagai murid, dengan nama baru, yaitu Wasi Dwapara.
EMPU PURBAGENI
Kisah ini menceritakan Prabu Basukesti mendapatkan Jamur Dipa dari bekas tempat samadi
Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu yang kemudian diolah menjadi kue payasa untuk
dimakan Dewi Sugandi. Kisah dilanjutkan dengan hilangnya Dewi Dwarawati yang berhasil
ditemukan oleh Empu Purbageni, putra Empu Dewayasa. Kisah ini disusun berdasarkan sumber
Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan
Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit
pengembangan.
Kediri, 23 Maret 2015
Heri Purwanto
gadis dari Kerajaan Wirata untuk dimangsa, tetapi pada akhirnya justru berdebat sendiri. Ditya
Aswana menghitung gadis itu tidak termasuk julung sehingga tidak boleh dimangsa, sedangkan
Dewi Aswita bersikeras ingin memangsanya dan menuduh si kakak mencari-cari alasan karena
tertarik pada kecantikan gadis tersebut.
Empu Purbageni bersedia menjadi penengah di antara mereka, namun ia tidak paham soal
perhitungan julung. Ditya Aswana dan Dewi Aswita pun menjelaskan bahwa mereka berdua adalah
pemuja Batara Kala dan sebulan sekali selalu memangsa manusia. Akan tetapi, yang dimangsa
hanyalah manusia yang terhitung julung, yaitu julungwangi (lahir saat matahari terbit),
julungsungsang (lahir saat tengah hari), julungsarab (lahir saat matahari terbenam), dan julungpujud
(lahir saat petang hari). Menurut perhitungan Ditya Aswana, gadis yang mereka culik tidak termasuk
julung sehingga tidak boleh dimangsa. Di lain pihak, Dewi Aswita menuduh kakaknya mengada-ada
karena tertarik pada kecantikan gadis itu.
Empu Purbageni telah memahami duduk permasalahannya. Ia lalu memutuskan bahwa gadis
itu tidak boleh dinikahi Ditya Aswana, juga tidak boleh dimangsa Dewi Aswita, tetapi akan
dikembalikan kepada rajanya, yaitu Prabu Basukesti di Wirata. Ditya Aswana dan Dewi Aswita
marah merasa dipermainkan. Mereka lalu menyerang Empu Purbageni dan terjadilah pertarungan
sengit. Pada akhirnya, kedua kakak beradik itu tewas dengan kepala pecah terkena hantaman besi
Brahmakadali milik Empu Purbageni.
Jawa, bahwa jika menikahkan saudara hendaknya dilakukan di samping rumah, bukan di depan
rumah.
Setelah upacara pernikahan selesai, tiba-tiba Kerajaan Wirata diserang pasukan raksasa
Medang Kumuwung yang dipimpin langsung oleh Prabu Kunjanawreka dan Patih Kalawreka.
Kedatangan mereka adalah untuk membalas kematian Ditya Aswana dan Dewi Aswita yang tewas
di tangan Empu Purbageni.
Prabu Basukesti segera memerintahkan Arya Jayaloka memimpin pasukan untuk menghadapi
serangan tersebut. Bambang Satrukem juga mohon izin kepada Prabu Basukesti, kemudian ikut
terjun ke medan pertempuran. Setelah bertempur beberapa lama, Bambang Satrukem berhasil
memenggal kepala Prabu Kunjanawreka menggunakan panah Sarotama, sedangkan Arya Jayaloka
dapat menewaskan Patih Kalawreka.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, Prabu Basukesti mendapatkan kebahagiaan lagi, yaitu
Dewi Sugandi yang telah memakan kue payasa Jamur Dipa, kini melahirkan dua orang anak
sekaligus. Perempuan dan laki-laki. Yang perempuan diberi nama Dewi Basutari, sedangkan yang
laki-laki diberi nama Raden Basutara.
SATRUKEM KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan Bambang Satrukem dengan seorang bidadari bernama Dewi
Nilawati, serta perkawinan Wasi Dwapara dengan sepupunya yang bernama Dewi Maestri.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 25 Maret 2015
Heri Purwanto
memperistri dirinya. Demikianlah, meskipun jatuh cinta kepada Bambang Satrukem, namun demi
menjaga kehormatan, Dewi Nilawati pun mengadakan sayembara tersebut. Ia berharap semoga
Bambang Satrukem datang ke Gunung Pujangkara mengikuti sayembara dan bisa memenangkan
dirinya.
Resi Manumanasa dan Bambang Satrukem terkesan mendengar cerita Batara Narada.
Bambang Satrukem lalu mohon restu kepada sang ayah untuk mengikuti sayembara tersebut. Resi
Manumanasa merestui, lalu meminta Janggan Smara untuk menemani putra sulungnya itu pergi ke
Gunung Pujangkara.
Karena Wasi Dwapara tidak bersedia pulang ke Duhyapura, Prabu Drumanasa tidak mau
memaksa lagi. Ia justru ingin menemani pamannya itu menuju Gunung Pujangkara untuk mengikuti
sayembara yang diadakan seorang bidadari, bernama Dewi Nilawati.
Resi Manonbawa juga ikut berbahagia. Untuk semakin mempererat persaudaraan, ia pun
melamar adik Dewi Maestri, yaitu Dewi Huti untuk dinikahkan dengan putra sulungnya yang
bernama Bambang Maneriya. Arya Paridarma sangat senang menerima lamaran kakaknya
tersebut, lalu ia pun mengirim kabar bahagia ini kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga.
SAKRI LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Sakri putra Bambang Satrukem dan Dewi Nilawati
yang darinya kelak akan menurunkan Pandawa dan Kurawa. Kisah dilanjutkan dengan
perkawinan dua putra Resi Manumanasa yang lain, yaitu Bambang Sriati dengan sepupunya
yang bernama Dewi Prawita, serta Bambang Manumadewa dengan bidadari bernama Batari
Ardani.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 27 Maret 2015
Heri Purwanto
timur hendaknya diberi nama Purwakanda, yang sebelah selatan hendaknya diberi nama
Daksinakanda, dan yang di sebelah barat hendaknya diberi nama Pracimakanda.
Patih Jayaloka dan para punggawa pun berangkat melaksanakan perintah Prabu Basukesti.
Mereka menebang pepohonan yang dianggap tidak perlu, serta menangkapi hewan-hewan untuk
kepentingan Prabu Basukesti berburu kelak. Banyak sekali binatang yang lari ketakutan menuju ke
tempat dua orang yang sedang bertapa. Mereka adalah ayah dan anak, bernama Resi Kuswala dan
Bambang Daneswara.
Resi Kuswala ini seorang pendeta sakti dari tanah seberang yang menguasai ilmu sihir. Ia
sesungguhnya adalah titisan Prabu Cingkaradewa (alias Sri Maharaja Purwacandra raja Medang
Kamulan) yang terlahir kembali sebagai manusia. Selain memiliki seorang putra bernama Bambang
Daneswara, ia juga memiliki dua orang murid bernama Ditya Citradana (berwujud raksasa) dan
Putut Margana (berwujud manusia).
Melihat hewan-hewan yang berlarian tersebut, Resi Kuswala merasa kasihan lalu mengubah
wujud mereka menjadi manusia agar dapat membalas dendam kepada orang-orang Wirata. Hewan-
hewan yang telah berubah menjadi manusia itu kemudian diberi nama Indramarkata, Kalayaksa,
Gajah Barigu, Garuda Urna, dan Naga Wiswana. Mereka lalu berangkat menyerang Patih Jayaloka
dan kawan-kawan.
Terjadilah pertempuran sengit di hutan tersebut. Karena jumlah orang-orang Wirata jauh lebih
banyak, Resi Kuswala pun mengajak para pengikutnya itu mundur menyelamatkan diri.
Bambang Manumadewa maju untuk melindungi sang kakak dari ancaman raksasa dan raksasi
tersebut. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Bambang Manumadewa lama-lama
merasa terdesak, namun untungnya sebelum berangkat tadi ia sempat mendapat pinjaman panah
Sarotama dari kakak sulungnya, yaitu Bambang Satrukem. Dengan melepaskan panah pusaka
tersebut, Raksasa Murtadaka dan Murtadewi berhasil ditewaskan.
Secara ajaib, mayat raksasa dan raksasi itu musnah kemudian berubah menjadi bidadara dan
bidadari, bernama Batara Ardana dan Batari Ardini. Keduanya berterima kasih kepada Bambang
Manumadewa yang telah membebaskan diri mereka dari kutukan, serta memohon untuk diterima
mengabdi. Bambang Manumadewa tidak berani menerima pengabdian mereka dan mempersilakan
keduanya supaya mengabdi kepada sang ayah saja, yaitu Resi Manumanasa.
Setelah mendapat keputusan demikian, Batara Ardana dan Batari Ardini pun mohon pamit
berangkat ke Gunung Saptaarga.
HASTIMURTI GUGUR
Kisah ini menceritakan tewasnya Prabu Hastimurti raja Gajahoya di tangan Prabu Daneswara
raja Medang Kamulan. Tokoh Prabu Hastimurti ini merupakan kakek buyut dari Resiwara
Bisma, yang kelak menjadi senapati para Kurawa dalam perang Baratayuda.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 31 Maret 2015
Heri Purwanto
Prabu Hastimurti
Prabu Hastimurti sendiri tidak tahu-menahu dari mana asal-usul Prabu Daneswara itu, namun
ia ingin sekali memberikan pelajaran terhadap raja baru tersebut. Pertemuan lalu dibubarkan dan
Patih Basundara pun diperintahkan untuk mempersiapkan pasukan guna menggempur Kerajaan
Medang Kamulan.
BATARI GANGGASTINI
Kisah ini menceritakan perkawinan Wasi Kistira putra Resi Sakra dengan bidadari bernama
Batari Ganggastini. Adapun tokoh Wasi Kistira ini kelak menurunkan Dewi Gandari, ibu para
Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 07 Januari 2016
Heri Purwanto
Awal mulanya ialah Prabu Kunjanakresna ingin memiliki istri seorang bidadari, mengingat
dirinya masih keturunan Batara Wisnu. Maka, ia pun ditemani ayahnya yang bernama Begawan
Mangkara berangkat melamar Batari Ganggastini putri Batara Ganggastana. Namun, lamaran
tersebut ditolak Batara Ganggastana. Hal ini membuat Begawan Mangkara murka dan
menyerangnya. Terjadilah pertempuran di mana Batara Ganggastana kalah dan menjadi tawanan
Prabu Kunjanakresna.
Sementara itu, Batari Ganggastini berhasil meloloskan diri dan berlindung di tempat kakeknya,
yaitu Batara Wahana. Begawan Mangkara dan Prabu Kunjanakresna mengejar dan berusaha
menangkapnya. Batara Wahana berusaha melindungi cucunya namun ia juga terdesak dan
membawa Batari Ganggastini berlindung ke tempat Batara Baruna, kakaknya. Namun, Batara
Baruna juga tidak mampu menahan serangan Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara.
Bersama Batara Wahana dan Batari Ganggastini, Batara Baruna pun mengungsi ke Kahyangan
Suralaya untuk meminta perlindungan Batara Indra.
Mendengar kisah tersebut, Batara Indra segera memerintahkan para dewata untuk bersiaga
karena kemungkinan besar Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara sebentar lagi akan
datang mengejar ke Kahyangan Suralaya.
Menurut ramalan Batara Wrehaspati, yang bisa mengalahkan Begawan Mangkara dan Prabu
Kunjanakresna adalah sesama keturunan Batara Wisnu, sekaligus yang menjadi jodoh Batari
Ganggastini pula, yaitu Wasi Kistira putra Resi Sakra dari Padepokan Andongdadapan. Adapun
Resi Sakra adalah putra Prabu Srikala raja Purwacarita. Prabu Srikala adalah putra Prabu Sri
Mahawan, sedangkan Prabu Sri Mahawan adalah putra Prabu Sri Mahapunggung, dan Prabu Sri
Mahapunggung adalah putra Batara Wisnu. Adapun asal mula Batara Arnapurna dikutuk ayahnya
menjadi raksasa adalah karena iri hati kepada Prabu Sri Mahapunggung yang merupakan adiknya
lain ibu itu.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, Batara Kartika pun mengusulkan agar Batari
Ganggastini sendiri yang menentukan takdirnya. Batara Indra dan para dewa lainnya setuju pada
usulan tersebut. Batara Kartika lalu memasukkan tubuh Batari Ganggastini ke dalam sebidang kaca
pusaka bernama Maherakaca, kemudian kaca tersebut dilemparkan sejauh-jauhnya ke arah
Padepokan Andongdadapan, di mana Wasi Kistira tinggal bersama ayahnya.
Sementara itu, Batara Ganggastana sangat bersyukur bisa bebas dari sekapan Prabu
Kunjanakresna. Batari Ganggastini pun keluar dari dalam pusaka Maherakaca untuk menemui
ayahnya. Batara Ganggastana semakin bahagia melihat putrinya tersebut selamat dari kejaran para
raksasa.
BAMBANG MANUNGKARA
Kisah ini menceritakan perkawinan Prabu Asrama raja Malawa keturunan Prabu Oya dengan
Dewi Basuwati, putri sulung Prabu Basukesti, serta perkawinan Bambang Manungkara putra
bungsu Resi Manonbawa dengan Dewi Basutari. Bambang Manungkara lalu diangkat pula
sebagai punggawa Kerajaan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 07 April 2015
Heri Purwanto
Bambang Manungkara sangat senang mendengar pesan yang dibawa kakak sepupunya itu.
Ia lalu berangkat mencari Dewi Basutari sendirian, sedangkan Arya Sriati kembali ke Gunung
Saptaarga untuk melapor kepada Resi Manumanasa dan Resi Manonbawa.
karena mengira pemuda itu adalah pelaku penculikan terhadap Dewi Basutari. Bambang
Manungkara pun melawan untuk membela diri, sehingga terjadilah pertarungan di antara mereka.
Pada saat itulah datang Arya Sriati bersama Resi Manonbawa dan langsung melerai mereka.
Arya Sriati menjelaskan bahwa Bambang Manungkara adalah adik sepupunya dan bukan penculik
Dewi Basutari. Dewi Basutari juga ikut membenarkan apa yang disampaikan Arya Sriati, bahwa
yang menculik dirinya adalah Gandarwa Janjatma yang saat ini telah berubah menjadi patung.
Prabu Asrama merasa malu dan segera meminta maaf atas kesalahpahaman tadi. Bambang
Manungkara pun memaafkan raja Malawa tersebut. Bersama-sama mereka lalu berangkat menuju
Kerajaan Wirata.
BASUTARA KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Basutara putra Prabu Basukesti dengan Dewi
Retnadi putri Resi Artaetu untuk mempersatukan sesama keturunan Batara Wisnu. Kisah
dilanjutkan dengan pelantikan Resi Artaetu sebagai raja Medang Kamulan yang baru
menggantikan Prabu Daneswara yang memberontak terhadap Kerajaan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 11 April 2015
Heri Purwanto
Mendengar calon istrinya menghilang, Raden Basutara pun menyanggupi untuk membantu
mencari. Ia segera mengajak rombongan mohon pamit meninggalkan padepokan tersebut.
BASUKESTI SEDA
Kisah ini menceritakan meninggalnya Prabu Basukesti karena terkena tenung yang dikirimkan
oleh seorang pendeta raksasa bernama Resi Daksotama. Kisah dilanjutkan dengan pelantikan
Raden Basutara sebagai raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basukiswara.
Kisah ini saya perbaiki dari yang dulu pernah saya posting, dengan memadukan Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan Serat Pustakaraja
Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 20 Januari 2016
Heri Purwanto
Prabu Basukesti
Bambang Wasita ikut serta karena ia ingin mengabdi di istana. Prabu Basukesti berkenan
menerimanya sebagai punggawa, dengan bergelar Arya Wasita.
Ketika rombongan pengantin baru tersebut sampai di Desa Granting, tiba-tiba muncul
sekelompok raksasa menghadang mereka. Pemimpin kawanan tersebut berwujud raksasa hijau
bernama Ditya Hinu, yang mengaku putra dari Resi Daksotama, seorang pendeta raksasa di
Gunung Kapanapanta. Adapun Resi Daksotama adalah putra Prabu Pratipaksa dari Kerajaan Tiswa
di tanah seberang. Prabu Pratipaksa ini masih keturunan dewa, yaitu putra Batara Yaksaka, atau
cucu Batara Kuwera.
Ditya Hinu sengaja menghadang rombongan Prabu Basukesti untuk menguji kesaktiannya.
Raksasa hijau itu bercerita bahwa di sekitar Gunung Kapanapanta tidak ada seorang pun yang
mampu mengalahkannya dalam adu kekuatan. Ia kemudian mendengar berita bahwa Kerajaan
Wirata dipimpin seorang raja yang memiliki kesaktian tinggi, bernama Prabu Basukesti. Maka itu, ia
pun bermaksud datang ke Wirata untuk menantang Prabu Basukesti adu kekuatan. Namun, karena
menurut kabar Prabu Basukesti sedang berada di Padepokan Andongsari untuk menjemput putra
dan menantu barunya, maka Ditya Hinu dan kawan-kawan pun memutuskan untuk menunggu di
Desa Granting.
tewas atau menjadi patung. Satu-satunya yang selamat dan berhasil melarikan diri adalah Ditya
Drestaka, sahabat Ditya Hinu.
Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Basukesti pun memerintahkan para prajurit untuk
mengangkut patung raksasa penjelmaan Ditya Hinu tersebut menuju Kerajaan Wirata sebagai
pajangan di sana.
Drestaka bahwa putranya itu telah tewas dan mayatnya diubah menjadi patung untuk dipertontonkan
di istana Kerajaan Wirata. Akibat laporan tersebut, dirinya telah mengirim tenung yang
mengakibatkan Prabu Basukesti dan Patih Jayaloka meninggal dunia.
Ditya Drestaka datang melapor bahwa Raden Basutara dan pasukannya kini telah mengepung
Gunung Kapanapanta dan ia menjamin bahwa laporannya kali ini tidak mungkin salah. Ditya Hinu
sangat marah mendengarnya dan meminta izin kepada sang ayah untuk menghadapi serangan
tersebut. Resi Daksotama melarang dengan tegas. Ia tidak ingin peristiwa ini diperpanjang karena
hanya akan menjatuhkan banyak korban. Ia tidak ingin penduduk di sekitar Gunung Kapanapanta
yang tidak tahu apa-apa ikut tewas atau terluka jika perang ini benar-benar terjadi antara dirinya
melawan Raden Basutara.
Resi Daksotama pun menasihati Ditya Hinu agar tidak lagi mengumbar kesombongan, karena
terbukti putranya itu kalah melawan Arya Manungkara. Ditya Hinu pun menyadari kekeliruannya dan
ia berjanji tidak akan lagi menantang orang lain adu kekuatan. Setelah putranya berjanji demikian,
Resi Daksotama lalu mengheningkan cipta memohon kepada Yang Mahakuasa agar Gunung
Kapanapanta dihindarkan dari bencana peperangan.
Doa Resi Daksotama dikabulkan. Seketika terjadilah perubahan besar pada Raden Basutara
dan pasukannya. Tadinya mereka mengepung Gunung Kapanapanta, entah mengapa tiba-tiba saja
kini berubah menjadi mengepung istana Wirata.
Namun, Prabu Basukiswara mendesak adik iparnya itu sehingga akhirnya bersedia menerima
jabatan tersebut. Maka, sejak hari itu, Arya Wasita pun berganti gelar menjadi Patih Wasita.
Beberapa hari setelah Prabu Basukiswara menjadi raja, Dewi Wastu melahirkan seorang bayi
laki-laki. Prabu Basukiswara pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Basuketu.
SAKRI SRAYA
Kisah ini menceritakan masa remaja Bambang Sakri yang menjadi jago Kahyangan Suralaya
menghadapi Prabu Kunjanakresna raja raksasa dari Manimantaka. Bambang Sakri lalu
mendapatkan gelar Batara Sakri, dan ini pertama kalinya seorang manusia memakai gelar seperti
dewa. Kisah ini saya perbaiki dari postingan terdahulu dengan judul yang sama, berdasarkan
sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan
sedikit pengembangan.
Kediri, 23 Januari 2016
Heri Purwanto
Bambang Sakri
Pada saat itulah datang Ditya Sangkreta yang kembali dari Kahyangan Suralaya. Ia
melaporkan bahwa Patih Hiranyaka saat ini telah dikalahkan oleh jago Batara Indra yang bernama
Arya Manungkara, dan tubuhnya pun telah diubah menjadi patung.
Prabu Kunjanakresna sangat marah mendengar laporan tersebut. Ia pun bergegas
menggempur Kahyangan Suralaya.
Raja Manimantaka saat itu adalah Prabu Kalakanda yang memiliki dua istri, yaitu Dewi Rukmi
dan Dewi Mayi. Dewi Rukmi adalah putra Prabu Kalarukma dari Kerajaan Kasipura yang masih
keturunan Prabu Hiranyakasipu. Dewi Rukmi ini adalah ibu kandung Ditya Hiranyaka. Sementara
itu, Dewi Mayi adalah adik kandung Begawan Mangkara yang melahirkan Ditya Martikawata, yang
kini telah menjadi pendeta di Padepokan Ima-ima. Dengan demikian, Prabu Kunjanakresna adalah
keponakan istri kedua Prabu Kalakanda.
Setelah Prabu Kalakanda meninggal, takhta Kerajaan Manimantaka diduduki oleh Prabu
Kunjanakresna. Ditya Hiranyaka selaku putra sulung Prabu Kalakanda yang seharusnya menjadi
ahli waris takhta rela dijadikan sebagai patih asalkan bisa menikah dengan Dewi Sasmreti, adik
kandung Prabu Kunjanakresna. Prabu Kunjanakresna pun mengabulkan permintaan itu.
Mendengar cerita Patih Hiranyaka, Batara Indra mengampuninya dan mengizinkan ia menjadi
raja Manimantaka menggantikan Prabu Kunjanakresna yang telah tewas. Patih Hiranyaka sangat
berterima kasih dan segera mohon pamit kembali ke negerinya dengan membawa jasad Prabu
Kunjanakresna.
HIRANYAKA GUGUR
Kisah ini menceritakan peperangan antara Prabu Basukiswara raja Wirata melawan Prabu
Hiranyaka raja Manimantaka. Setelah Prabu Hiranyaka tewas, takhta diwarisi oleh
keponakannya, yang bergelar Prabu Mityakarda, di mana Kerajaan Manimantaka diganti
namanya menjadi Ima-imantaka.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 24 Januari 2016
Heri Purwanto
Prabu Hiranyaka marah menuduh Resi Martikawata pengecut dan tidak memiliki rasa belas
kasih kepada saudara. Kedua kakak beradik itu lalu bertengkar. Resi Martikawata akhirnya pulang
ke Padepokan Ima-ima dengan perasaan kecewa.
Prabu Hiranyaka tidak peduli pada nasihat adik tirinya itu. Ia pun memerintahkan punggawa
raksasa bernama Ditya Mahadiyu untuk memimpin pasukan menyerang Gunung Saptaarga dan
menculik Batara Sakri. Entah bagaimana caranya, Ditya Mahadiyu harus bisa menangkap Batara
Sakri dan membawanya hidup-hidup ke Kerajaan Manimantaka, karena Prabu Hiranyaka ingin
membunuh pemuda itu dengan tangannya sendiri. Prabu Hiranyaka berjanji akan mengangkat Ditya
Mahadiyu sebagai patih apabila berhasil memenuhi tugas ini.
Ditya Mahadiyu menyanggupi dan ia pun mohon pamit berangkat menuju ke Gunung
Saptaarga.
Prabu Basukiswara segera turun tangan mengerahkan Aji Dipa, membuat langit kembali
cerah. Ia kemudian melemparkan pusaka Hurug Mutrika yang menghantam kepala Prabu Hiranyaka
hingga pecah.
DANADEWA KAWISUDA
Kisah ini menceritakan peperangan antara Prabu Maheswara raja Medang Kamulan melawan
Prabu Brahmanapati raja Gilingwesi. Dalam pertempuran itu Prabu Brahmanapati tewas
melawan dua punggawa Wirata, yaitu Arya Danadewa dan Arya Kintaka. Arya Danadewa
lalu menjadi raja Gilingwesi, sedangkan Arya Kintaka menjadi menantu Prabu Maheswara,
yaitu menikah dengan Dewi Danarti.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 28 Januari 2016
Heri Purwanto
manusia, mana raksasa. Ia sendiri telah diberi wewenang oleh Prabu Brahmanapati, yaitu jika
lamaran ini ditolak, maka dirinya harus merebut Dewi Danarti secara paksa.
Prabu Maheswara marah dan mempersilakan Patih Antasura menunggu di luar jika ingin
merebut putrinya melalui peperangan. Setelah bicara demikian, ia lantas membubarkan pertemuan
dan memerintahkan Patih Nindyabawa untuk menyiapkan pasukan.
sebagaimana yang pernah diajarkan oleh ayahnya (Resi Sakra). Seketika dari tubuhnya muncul
angin topan melanda pasukan Gilingwesi hingga berhamburan porak poranda.
Prabu Brahmanapati marah menyaksikan para prajuritnya tercerai berai. Ia mengamuk dan
dihadapi Arya Danadewa. Arya Kintaka ikut maju menghadapi raja raksasa tersebut. Dengan
cekatan kedua punggawa Wirata itu akhirnya berhasil menewaskan Prabu Brahmanapati.
SAKRI KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan antara Batara Sakri dan Dewi Sati yang merupakan
pertemuan antara silsilah Keluarga Saptaarga dengan keturunan Arjuna Sasrabahu. Dari
perkawinan inilah nantinya secara turun-temurun akan lahir para Pandawa dan Kurawa. Kisah
ini adalah perbaikan dari kisah sebelumnya yang saya posting dengan judul “Sakri Krama,
Parasara Lahir”, yang mana kali ini saya pisah menjadi dua judul.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki
Tristuti Suryasaputra dan rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo,
disertai sedikit pengembangan.
Kediri, 30 Januari 2016
Heri Purwanto
Setelah bertempur cukup lama, pihak Parangrukma akhirnya berhasil mendesak pasukan
Gujulaha. Patih Srenggabadra dan Raden Partana pun menarik mundur para prajurit memasuki
benteng dan menutup rapat-rapat pintu gerbangnya.
Meskipun dalam keadaan terkepung, Prabu Partawijaya tetap berusaha mewujudkan impian
putrinya, karena ia yakin justru pemuda bernama Batara Sakri itulah yang mampu mengalahkan
Prabu Sasrasudiki. Ia pun mengutus Patih Srenggabadra berangkat ke Tanah Jawa untuk mencari
dan menjemput Batara Sakri. Patih Srenggabadra mohon pamit berangkat melaksanakan tugas
tersebut dengan menyamar sebagai rakyat jelata, supaya tidak tertangkap oleh pasukan Prabu
Sasrasudiki.
tidak mampu menembus benteng pertahanan Gujulaha, Prabu Sasrasudiki pun mengirimkan tenung
yang membuat seisi ibu kota Gujulaha dilanda wabah penyakit. Banyak penduduk kota dan prajurit
yang jatuh sakit hingga meninggal, membuat Prabu Partawijaya cemas dan berniat ingin menyerah
kalah kepada musuh. Akan tetapi, Resi Sabdamuni melarang karena ia mendapatkan petunjuk
dewata bahwa wabah penyakit tersebut bisa reda apabila Prabu Partawijaya berguru kepada Resi
Manumanasa di Gunung Saptaarga.
Ketika Prabu Partawijaya hendak berangkat ke Tanah Jawa, tiba-tiba Patih Srenggabadra
datang bersama Batara Sakri. Keduanya langsung terjun ke medan perang di mana Batara Sakri
berhasil menewaskan Prabu Sasrasudiki tersebut. Kini raja Parangrukma itu telah tewas, tetapi
tenung yang ia kirimkan masih belum reda. Prabu Partawijaya berniat melanjutkan niatnya pergi ke
Tanah Jawa untuk meminta bantuan Resi Manumanasa. Batara Sakri diminta untuk tetap tinggal di
istana menemani Dewi Sati, tidak perlu ikut mengantarkan ke sana, cukup Patih Srenggabadra saja
yang menyertai kepergian Prabu Partawijaya.
Prabu Partawijaya yang ingin membunuhnya, Resi Satrukem pun mempersilakan raja Gujulaha itu
untuk menyerang.
Prabu Partawijaya segera bertanding melawan Resi Satrukem. Keduanya pun bertarung
sengit. Resi Satrukem mencela Prabu Partawijaya yang seorang raja tetapi bertarung secara
beringas seperti layaknya seorang raksasa. Tiba-tiba Prabu Partawijaya berubah wujud menjadi
raksasa akibat ucapan Resi Satrukem yang mengandung kutukan itu. Prabu Partawijaya pun
bertarung semakin ganas dan semakin bernafsu ingin membunuh Resi Satrukem.
Resi Satrukem dengan tenang menghadapi serangan lawan. Ia pun mencela Prabu
Partawijaya yang menyeruduk-nyeruduk seperti seekor celeng. Seketika wujud Prabu Partawijaya
pun berubah dari raksasa menjadi babi hutan. Ia menjadi sangat sedih dan menangis meratap-ratap.
Satu per satu nama anggota keluarganya disebut, mulai dari sang permaisuri Dewi Sruti, lalu anak-
anaknya, yaitu Dewi Sati dan Raden Partana, hingga sang menantu, yaitu Batara Sakri.
Resi Satrukem heran mengapa putranya juga ikut-ikutan disebut namanya. Patih
Srenggabadra maju memohonkan ampun untuk rajanya, lalu ia bercerita bahwa Batara Sakri telah
menjadi menantu Prabu Partawijaya dan kini tinggal di Kerajaan Gujulaha. Resi Satrukem sangat
senang mengetahui kabar putranya yang telah lama pergi itu ternyata berhasil memenuhi cita-
citanya. Ia lalu membebaskan Prabu Partawijaya dari kutukan sehingga sang besan pun kembali ke
wujud manusia.
Prabu Partawijaya sangat menyesali perbuatannya telah menuruti ucapan pendeta jahat
bernama Resi Dwapara. Ia pun memohon kepada Resi Satrukem untuk mengantarkannya meminta
maaf kepada Resi Manumanasa.
Prabu Partawirya lalu memindahkan pusat Kerajaan Mahespati ke Taman Sriwedari, yaitu
taman indah peninggalan Prabu Arjuna Sasrabahu. Maka, sejak itulah Kerajaan Mahespati berganti
nama menjadi Kerajaan Sriwedari. Setelah Prabu Partawirya meninggal, takhta Sriwedari diwarisi
putranya yang bernama Prabu Partanadi. Kemudian Prabu Partanadi digantikan oleh putranya yang
bernama Prabu Sandela.
Prabu Sandela ini seorang mandul yang tidak bisa mempunyai anak. Siang malam ia berdoa
memohon kepada dewata agar bisa disembuhkan dari kemandulan. Akhirnya, ia pun mendapat
petunjuk supaya berguru kepada Resi Wasusarma di Padepokan Gujulaha.
Resi Wasusarma menerima Prabu Sandela dan menjadikannya sebagai murid. Ia lalu
menyerahkan segenggam rumput ilalang bernama Suket Ditpwa sebagai sarana mengobati
kemandulan Sang Prabu. Resi Wasusarma pun bercerita tentang asal-usul rumput ilalang tersebut.
Dahulu kala, ayah Resi Wasusarma yang bernama Resi Wasukarma adalah pendeta yang
mengabdi kepada Prabu Sri Rama di Kerajaan Ayodya-Pancawati. Prabu Sri Rama pun
menyerahkan kedua putranya yang bernama Raden Batlawa dan Raden Kusiya supaya berguru
kepada Resi Wasukarma.
Pada suatu hari Raden Kusiya pulang ke istana karena tidak betah tinggal di padepokan.
Prabu Sri Rama marah dan mengantarkan Raden Kusiya supaya kembali ke padepokan. Sementara
itu, Resi Wasukarma ketakutan dan mengira Raden Kusiya telah hilang. Ia pun menganyam rumput
ilalang menjadi boneka, lalu berdoa supaya boneka rumput tersebut dapat berubah menjadi
kembaran Raden Kusiya. Doa tersebut dikabulkan oleh Yang Mahakuasa. Seketika terciptalah
Raden Kusiya palsu dan sangat mirip dengan aslinya, sampai-sampai Raden Batlawa pun tidak
menyadarinya.
Tiba-tiba datanglah Prabu Sri Rama bersama Raden Kusiya yang asli. Resi Wasusarma
sangat ketakutan dan terlanjur malu. Ia pun mengumumkan akan membakar kedua Raden Kusiya,
dan yang asli pasti akan tetap selamat. Prabu Sri Rama seketika teringat peristiwa di Kerajaan
Alengka di mana ia pernah membakar istrinya, yaitu Rekyanwara Sinta untuk membuktikan
kesuciannya selama ditawan Prabu Rahwana. Ternyata Rekyanwara Sinta selamat dan tidak
hangus sama sekali. Maka, Prabu Sri Rama pun setuju jika Raden Kusiya yang kini berjumlah dua
itu dibakar. Ia yakin putranya yang asli akan tetap selamat.
Raden Kusiya sendiri sama sekali tidak takut. Dengan penuh percaya diri ia masuk ke dalam
kobaran api dan keluar dalam keadaan utuh. Sementara itu, Raden Kusiya palsu terbakar dan
berubah kembali menjadi rumput ilalang. Atas peristiwa itu, Prabu Sri Rama pun mengganti nama
padepokan tempat tinggal Resi Wasukarma menjadi Gujulaha, yang bermakna “tapal rumput”, atau
lama-lama terucap menjadi Tabelasuket.
Demikianlah, Resi Wasusarma mengakhiri ceritanya, bahwa Suket Ditpwa yang kini dipegang
Prabu Sandela adalah rumput ilalang yang dulu berasal dari sisa pembakaran Raden Kusiya palsu.
Prabu Sandela lalu memakan Suket Ditpwa itu dan kemudian pulang menemui istrinya yang
bernama Dewi Nadi.
Dewi Nadi pun mengandung setelah peristiwa tersebut. Hingga akhirnya lahirlah seorang putra
yang diberi nama Raden Sandisarma, yaitu singkatan dari nama Sandela-Nadi-Wasusarma.
Setelah dewasa, Raden Sandisarma diperintahkan Prabu Sandela untuk berguru kepada Resi
Wasusarma di Padepokan Gujulaha. Raden Sandisarma sangat betah tinggal di padepokan hingga
tidak mau pulang ke istana Sriwedari. Maka, ketika Prabu Sandela dan Resi Wasusarma sama-
sama meninggal, Raden Sandisarma tidak mau menjadi raja di Sriwedari, tetapi memindahkan ibu
kota ke Padepokan Gujulaha dan membangunnya menjadi kerajaan. Maka, sejak itulah Kerajaan
Sriwedari yang asalnya dari Kerajaan Mahespati berganti menjadi Kerajaan Gujulaha atau
Tabelasuket. Raden Sandisarma pun menjadi raja, bergelar Prabu Partawijaya.
Demikianlah riwayat Prabu Partawijaya yang memiliki nama asli Raden Sandisarma tersebut.
Resi Manumanasa sangat berkenan mendengarnya dan ia pun mengajari Prabu Partawijaya ilmu
kesaktian untuk bisa meredakan wabah penyakit akibat tenung yang melanda Kerajaan Gujulaha.
Setelah memahami semuanya, Prabu Partawijaya segera mohon pamit kembali ke negerinya.
KITAB WAYANG PURWA
(Resi Dwapara kelak akan lahir kembali sebagai Patih Sangkuni, putra Prabu Suwala raja
Gandaradesa. Patih Sangkuni inilah yang kemudian mengadu domba keluarga Pandawa dan
Kurawa sehingga meletus perang besar Bratayuda.)
PARASARA LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Parasara putra Batara Sakri dan Dewi Sati, yang
kelak menjadi Resi Parasara, yaitu leluhur para Pandawa dan Kurawa. Kisah dilanjutkan
dengan menyerahnya sisa-sisa pengikut Resi Dwapara kepada Resi Manumanasa.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan. Kisah ini saya sajikan untuk memperbaiki
postingan terdahulu, di mana kisah perkawinan Batara Sakri dan kelahiran Bambang Parasara
pernah saya jadikan satu cerita.
Kediri, 02 Februari 2016
Heri Purwanto
datangnya suara dan kemudian melihat Dewi Sati berada di atas kereta yang melaju kencang
dengan dikendarai Prabu Sadaka.
Batara Sakri menghadang kereta tersebut dan menyerang Prabu Sadaka. Terjadilah
pertarungan di antara mereka. Sementara itu, Resi Satrukem dan Janggan Smara menolong Dewi
Sati dan menurunkannya dari atas kereta. Dewi Sati merintih kesakitan dan merasa dirinya akan
segera melahirkan. Janggan Smara dengan terampil segera membantu Dewi Sati. Perlahan-lahan,
Dewi Sati pun melahirkan seorang bayi laki-laki di tengah hutan tersebut.
Di sisi lain, Batara Sakri telah menewaskan Prabu Sadaka. Ia segera mendatangi Dewi Sati
dan memeluk istrinya itu. Tidak lama kemudian datang pula Prabu Partawijaya dan Prabu
Maheswara yang mengejar Prabu Sadaka. Mereka sangat gembira melihat Dewi Sati selamat dan
telah melahirkan bayi yang sehat pula.
Resi Satrukem mengusulkan agar Batara Sakri memberi nama putranya yang baru lahir itu
Bambang Parasara, sebagai pengingat bahwa ia dilahirkan di tengah Hutan Parasara. Batara Sakri
menerima usulan sang ayah. Ia pun menetapkan nama Bambang Parasara sebagai nama putranya
tersebut. Bersama-sama mereka lantas berangkat menuju ke Gunung Saptaarga.
diterima sebagai murid agar dapat menghilangkan pengaruh ilmu sesat yang pernah diajarkan Resi
Dwapara dulu. Resi Manumanasa dengan senang hati menerima mereka bertiga. Suasana
ketegangan pun kini berubah menjadi keakraban dan tiada lagi dendam di antara mereka.
BABAD MANDRAKA
Kisah ini menceritakan berdirinya Kerajaan Mandraka yang dipimpin oleh Raden Kardana,
bergelar Prabu Mandrakusuma, menantu Arya Sriati. Juga dikisahkan pelantikan Raden
Wasanta menjadi raja Gajahoya, bergelar Prabu Pratipa. Adapun Raden Kardana adalah
leluhur Prabu Salya, sedangkan Raden Wasanta adalah leluhur Resiwara Bisma.
Kisah ini adalah perbaikan dari postingan sebelumnya yang berjudul sama, dan saya susun
berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra serta
kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 04 Februari 2016
Heri Purwanto
Prabu Partawijaya tidak gentar atas ancaman tersebut. Ia pun memerintahkan Patih
Srenggabadra untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi peperangan yang sebentar lagi
akan meletus.
Arya Sriati terkesan mendengar penuturan Raden Kardana. Ia pun mengaku bahwa dirinya
memang utusan Prabu Basukiswara dari Kerajaan Wirata. Raden Kardana merasa senang dan
memohon kepada Arya Sriati supaya diantarkan menghadap kepada Prabu Basukiswara. Ia ingin
mempersembahkan mutiara Retna Dumilah kepada raja Wirata tersebut.
Arya Sriati dan Resi Manumadewa berunding sejenak, lalu mereka pun sepakat mengabulkan
permintaan Raden Kardana. Ketiganya lalu bersama-sama pergi meninggalkan Hutan Keling
menuju ke Kerajaan Wirata.
Prabu Bahlikasura mematuhi syarat tersebut lalu ia pun undur diri meninggalkan Kerajaan
Wirata. Prabu Pratipa juga mohon pamit kembali ke Kerajaan Gajahoya. Ia menolak undangan
perjamuan dari Prabu Basukiswara untuk merayakan kemenangan perang.
SAKRI GUGUR
Kisah ini menceritakan kematian Batara Sakri di tangan Prabu Murtija, raja raksasa dari
Kerajaan Tirtakawana, serta awal mula Dewi Wayasi dari Kasipura menjadi ibu susu bagi
Bambang Parasara yang masih berusia satu tahun.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki
Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan, dan merupakan perbaikan dari kisah
berjudul sama yang pernah saya posting sebelumnya.
Kediri, 07 Februari 2016
Heri Purwanto
Putut Supalawa
Akibat gigitan tersebut, Batara Sakri roboh dan tewas seketika. Secara ajaib, jasadnya juga
ikut musnah seperti asap tertiup angin.
tak terhitung banyaknya. Selama ini Resi Manumanasa tidak pernah menganggapnya sebagai
pembantu, tetapi sudah seperti keluarga sendiri. Dalam suasana haru mereka pun berpisah. Batara
Bayusengara lalu melesat kembali ke kahyangan dalam sekejap mata.
ingin membalas dendam atas kematian mertua sekaligus pamannya, yaitu Prabu Hiranyaka raja
Manimantaka yang dulu tewas di tangan Prabu Basukiswara. Siasat Prabu Mityakarda kini menjadi
kenyataan. Arya Manungkara dan pasukan Wirata telah datang dan segera menggempur
perkemahan para raksasa Imaimantaka. Pertempuran sengit pun terjadi. Arya Manungkara dengan
mengandalkan Minyak Manihara berhasil mengubah banyak prajurit raksasa menjadi arca batu.
Prabu Mityakarda segera terjun ke medan tempur menghadapi kakak ipar Prabu Basukiswara
tersebut. Pertarungan sengit terjadi di antara mereka. Prabu Mityakarda tidak menyangka ternyata
Arya Manungkara sangat sakti dan membuatnya terdesak kewalahan. Ketika raja raksasa itu hampir
saja diubah menjadi patung batu oleh lawannya, tiba-tiba datang bala bantuan dari Kerajaan
Dwarawatiprawa, yaitu Prabu Mercukalakresna beserta pasukannya (Prabu Mercukalakresna dan
Prabu Mityakarda adalah sama-sama menantu Prabu Hiranyaka).
Prabu Mercukalakresna dan Prabu Mityakarda bekerja sama mengeroyok Arya Manungkara.
Keadaan kini berbalik. Arya Manungkara terdesak dan pusaka Minyak Manihara di tangannya dapat
direbut oleh Prabu Mercukalakresna. Dengan cekatan, Prabu Mercukalakresna segera
mengusapkan Minyak Manihara ke tubuh Arya Manungkara. Ibarat senjata makan tuan, Arya
Manungkara pun seketika berubah menjadi patung batu.
Patih Artadriya ngeri melihat Arya Manungkara telah dikalahkan. Ia pun memerintahkan
pasukan Wirata dan Mandraka supaya mundur masuk ke dalam benteng.
Bagong bersifat polos seperti anak kecil, sebagai perlambang bahwa Janggan Smara akan
selalu awet muda dan panjang umur karena ia harus mengasuh Bambang Parasara dan
keturunannya, sampai lahir titisan Batara Wisnu yang akan memelihara ketertiban dunia. Kelak
Janggan Smara akan bekerja sama dengan titisan Batara Wisnu tersebut untuk menumpas angkara
murka melalui sebuah perang besar yang disebut Bratayuda Jayabinangun.
Sanghyang Padawenang lalu memberikan sebuah pusaka berupa permata kepada Janggan
Smara. Permata ini bernama Manik Astagina yang memiliki delapan macam khasiat, yaitu tidak
merasa lapar, tidak merasa kantuk, tidak tergoda birahi, tidak merasa sedih, tidak merasa letih, tidak
terkena penyakit, tidak merasa panas, dan tidak merasa dingin. Sanghyang Padawenang mengikat
permata pusaka tersebut pada ubun-ubun Janggan Smara sehingga membentuk semacam
kuncung.
Sanghyang Padawenang kemudian musnah dari pandangan, disusul turun hujan deras
berbau harum membasahi Gunung Saptaarga dan sekitarnya. Janggan Smara lalu mengganti
namanya menjadi Kyai Semar, sedangkan Bagong dijadikan sebagai anak angkatnya. Ia lalu turun
gunung menuju Kerajaan Wirata untuk mengabarkan perihal muksanya Resi Manumanasa dan Resi
Satrukem menjadi dewa, sedangkan Bagong diperintahkan untuk menjaga Bambang Parasara.
mendengarnya, terutama Resi Srimanasa, yaitu putra kedua Resi Manumanasa. Resi Srimanasa
segera mengajak Arya Srimadewa untuk bersama-sama melayat ke Gunung Saptaarga. Prabu
Mandrakusuma dan Patih Artadriya ikut menyertai, sedangkan Arya Manungkara pulang ke
Kerajaan Wirata untuk mengabarkan berita duka ini kepada Prabu Basukiswara.
Sesampainya di Gunung Saptaarga, Resi Srimanasa dan Arya Srimadewa segera
mengadakan upacara pemuliaan untuk ayah dan kakak mereka yang telah muksa. Setelah masa
berkabung usai, mereka berunding untuk menyatukan para cucu Resi Manumanasa agar menjadi
satu keluarga. Maka, Resi Srimanasa pun menjodohkan putranya, yaitu Patih Artadriya dengan Dewi
Manuhara, putri Arya Srimadewa. Prabu Mandrakusuma bersama Kyai Semar dan Bagong menjadi
saksi dan ikut bergembira menyambut keputusan ini.
LAGNA - LAGNI
Kisah ini menceritakan petualangan pertama Raden Basuketi, yang kelak menjadi Prabu
Basuparicara, dan termasuk pula sebagai leluhur para Pandawa dan Kurawa. Dalam kisah ini
Raden Basuketi diceritakan meruwat Batara Sungkara yang berwujud celeng, serta berselisih
dengan raksasa-raksasi bersaudara, bernama Ditya Lagna dan Dewi Lagni.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 03 Maret 2016
Heri Purwanto
Celeng Sungkara tewas seketika. Namun, secara ajaib bangkainya musnah dan berubah
menjadi seorang laki-laki yang mengaku bernama Batara Sungkara. Ia sangat berterima kasih atas
bantuan Raden Basuketi yang telah meruwat dirinya hingga berubah wujud menjadi dewa.
Batara Sungkara pun bercerita bahwa dahulu kala Batara Wisnu pernah menjelma menjadi
seekor celeng untuk mengalahkan musuh sakti. Hal ini membuat salah seorang putranya, yaitu
Batara Basawa merasa malu. Ia mencela ayahnya, mengapa seorang dewa harus mengubah
wujudnya menjadi binatang rendahan semacam celeng. Batara Wisnu bersabar atas pencelaan itu
dan berniat menguji putranya tersebut.
Batara Wisnu diam-diam mengubah seekor celeng betina menjadi seorang wanita cantik dan
menyerahkannya kepada Batara Basawa. Batara Basawa yang tidak menyadarinya pun terpikat dan
menikahi wanita jadi-jadian tersebut. Dari perkawinan itu lahirlah tiga orang anak yang semuanya
berwujud celeng. Sementara itu, ibu mereka pun kembali ke wujud asal, yaitu seekor celeng betina.
Batara Basawa menyadari kesalahannya dan memohon ampun karena telah menghina ayah
sendiri. Batara Wisnu lalu memungut ketiga bayi celeng tersebut dan meruwat mereka sehingga
berubah menjadi tiga orang laki-laki. Mereka diberi nama Batara Wasudewa, Batara Wasudarma,
dan Batara Wasudara.
Setelah dewasa, Batara Wasudewa menikah dan memiliki anak berkulit hitam seperti celeng,
yang diberi nama Batara Kresnapatra. Kemudian Batara Kresnapatra memiliki dua anak berbeda
wujud, yang satu berkulit hitam seperti celeng, dan yang satunya benar-benar berwujud celeng.
Yang berkulit hitam seperti celeng diberi nama Batara Wasya, sedangkan yang berwujud celeng
diberi nama Batara Sungkara.
Demikianlah, Batara Sungkara menceritakan asal usul silsilahnya. Kini ia telah teruwat tidak
lagi berwujud celeng dan bisa kembali ke kahyangan, berkumpul bersama para dewa. Namun,
sebelum itu Batara Sungkara berjanji akan membantu Raden Basuketi sebagai balas budi, karena
ia mendapat firasat bahwa sebentar lagi akan ada kesulitan yang dihadapi pangeran Wirata tersebut.
Keadaan kini aman kembali. Batara Sungkara telah memenuhi janjinya untuk membantu
kesulitan Raden Basuketi. Ia lalu mohon pamit kembali ke kahyangan, berkumpul bersama para
dewa lainnya.
BASUKETI KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan kedua Raden Basuketi yang kelak bergelar Prabu
Basuparicara, dengan Dewi Yukti, putri Resi Basundara. Perkawinan ini sempat terkendala
karena Dewi Yukti hilang diculik Prabu Agniyara yang menyamar sebagai pelangi.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dengan sejumlah pengembangan.
Kediri, 05 Juni 2015
Heri Purwanto
Akan tetapi, Raden Basuketi menolak saran sang ayah. Ia yakin calon mertuanya, yaitu Resi
Basundara tidak mengarang cerita. Untuk itu, Raden Basuketi berniat mencari ke mana hilangnya
Dewi Yukti dan ia bertekad tidak akan menikah dengan perempuan lain. Prabu Basukiswara kembali
marah dan menuduh Raden Basuketi kurang ajar berani membantah orang tua. Ia pun mengusir
putra sulungnya itu pergi dari istana.
Patih Wasita, Resi Srimadewa, dan Arya Manungkara berusaha menyabarkan hati Prabu
Basukiswara. Berangsur-angsur kemarahan Prabu Basukiswara mereda. Ia lalu memerintahkan
Arya Manungkara untuk menyusul Raden Basuketi dan mengajaknya kembali ke istana. Arya
Manungkara segera mohon pamit melaksanakan tugas, dan Prabu Basukiswara pun membubarkan
pertemuan.
Setelah dirasa cukup, Batara Sungkara pun terbang kembali ke kahyangan, sedangkan Raden
Basuketi dan Arya Manungkara mengucapkan terima kasih lalu melanjutkan perjalanan.
Dewi Yukti, sekaligus menaklukkan Kerajaan Wirata serta membalas kematian Ditya Lagna dan
Dewi Lagni.
Arya Manungkara selaku panglima angkatan perang Wirata segera memimpin pasukan
menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Agniyara sangat pandai
mengubah wujud menjadi bermacam-macam bentuk. Namun, ilmu sihirnya itu tidak mampu
menandingi kesaktian Arya Manungkara. Raja Raksasa tersebut akhirnya gugur dengan kepala
pecah dihantam pusaka Sela Mertyujiwa. Sementara itu, Patih Kalabikswa juga tewas di tangan
Arya Srimadewa.
Prabu Basukiswara sangat berterima kasih atas jasa-jasa Arya Manungkara yang telah
menemani petualangan Raden Basuketi, dan kini menghancurkan serangan musuh. Sebagai balas
jasa sekaligus mempererat persaudaraan, Prabu Basukiswara kembali mengajak Arya Manungkara
berbesan untuk yang kedua kalinya. Kali ini ia ingin menjodohkan putra bungsunya, yaitu Raden
Basuketu dengan putri bungsu Arya Manungkara yang bernama Dewi Walibrata. Arya Manungkara
pun menerima lamaran tersebut dengan senang hati.
BASUKISWARA SEDA
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Basuketu dengan Dewi Walibrata, putri Arya
Manungkara. Kisah dilanjutkan dengan kematian Prabu Basukiswara akibat digigit ular besar
penjelmaan Prabu Nagajaya dari Kerajaan Kopara. Sepeninggal Prabu Basukiswara, Raden
Basuketi dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basuparicara.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra dengan sejumlah pengembangan.
Kediri, 10 Juni 2015
Heri Purwanto
membalas dendam. Ia mendengar Prabu Basukiswara hendak menikahkan putra bungsunya, yaitu
Raden Basuketu dengan Dewi Walibrata putri Arya Manungkara. Maka, untuk mengacaukan hajatan
tersebut sekaligus membalas dendam, Prabu Nagajaya pun menculik Dewi Walibrata dan
membawanya ke Hutan Keling.
Kini Prabu Mandrakumara dan Raden Basuketi telah datang menyerbu untuk membebaskan
Dewi Walibrata. Mereka pun disambut amukan para raksasa gabungan dari Kerajaan Kopara dan
Indrapura. Pertempuran sengit pun terjadi di hutan itu. Prabu Nagajaya sendiri turun tangan
menghadapi Raden Basuketi dan Prabu Mandrakumara. Pasukan Mandraka yang berjumlah lebih
sedikit tampak mulai kewalahan menghadapi para raksasa tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba datang Raden Basuketu dan Patih Wasita membawa pasukan Wirata
yang segera menggabungkan diri dengan pihak Mandraka. Keadaan pun berubah telak. Pihak
raksasa kini ganti menjadi pihak yang terdesak. Banyak dari mereka yang tewas berguguran dan
kabur tak tentu arah. Prabu Nagajaya sendiri terluka namun berhasil melarikan diri.
Raden Basuketu lalu membebaskan Dewi Walibrata yang disekap di dalam sebuah gua kecil.
Raden Basuketi bertanya mengapa adiknya itu melanggar larangan sang ayah untuk tidak ikut pergi
ke Hutan Keling. Raden Basuketu menjawab bahwa ia merasa tidak enak hati sebagai calon suami
Dewi Walibrata tetapi tidak berbuat apa-apa saat calon istrinya diculik orang. Maka, ia pun nekat
meloloskan diri dari istana untuk kemudian bergabung menghadapi Prabu Nagajaya. Untungnya,
Patih Wasita yang banyak pengalaman bersedia menemani keberangkatannya.
Raden Basuketi memaklumi perasaan adiknya. Ia lalu mengajak Raden Basuketu dan Dewi
Walibrata kembali ke Kerajaan Wirata, sekaligus Prabu Mandrakusuma dan Patih Artadriya juga ikut
serta.
Sesampainya di Hutan Pandeki, Prabu Basukiswara dan para raja bawahan segera memburu
kijang, babi hutan, banteng, dan sebagainya. Tiba-tiba muncul seekor ular besar yang langsung
menerjang dan menggigit bahu Prabu Basukiswara hingga raja Wirata itu terjatuh dari kudanya.
Prabu Maneriya segera memanah ular tersebut. Seketika ular besar itu pun berubah wujud menjadi
Prabu Nagajaya yang langsung menyerang Prabu Maneriya.
Patih Kalabikswa juga muncul dari persembunyian untuk membantu Prabu Nagajaya.
Terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Prabu Rambana datang dan segera membantu
Prabu Maneriya. Setelah bertempur cukup lama, Prabu Maneriya akhirnya berhasil membunuh
Prabu Nagajaya, sedangkan Prabu Rambana berhasil membunuh Patih Kalabikswa.
Sementara itu, Prabu Mandrakusuma, Prabu Danadewa, dan Prabu Maheswara berusaha
menolong Prabu Basukiswara yang semakin lemah akibat gigitan Prabu Nagajaya tadi. Mereka lalu
bersama-sama membawa Prabu Basukiswara pulang ke istana Wirata.
merasa tidak berwenang menanggapi panggilan Prabu Pratipa. Ia pun menulis surat balasan dan
mempersilakan Patih Basusara kembali ke Kerajaan Hastina.
Raden Santanu dan segera menyebarkan surat kepada Kerajaan Mandraka dan Gandaradesa
supaya mengirimkan bala bantuan untuk menghadapi serangan besar-besaran Prabu Dewamurti
tersebut.
Saat itu Sri Maharaja Wisaka memerdekakan Kerajaan Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata
sehingga tidak lagi berada di bawah kekuasaan Medang Kamulan.
Prabu Wasupati bertanya apakah Carik Sarjana senang jika Jaka Wignya kembali menjadi
manusia? Carik Sarjana menjawab tentu saja dirinya senang tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya
meruwat kutukan tersebut. Prabu Wasupati bersedia meruwat Jaka Wignya tetapi sebelumnya ia
menasihati Carik Sarjana agar jangan hanya menyalahkan anak, tetapi coba lihat dulu apakah
sebagai orang tua sudah memberikan pendidikan yang baik untuk anaknya. Orang tua hendaknya
menyekolahkan anak kepada guru yang berbudi serta mengajarinya bekerja keras, jangan selalu
memanjakannya. Selain itu, sebagai orang tua juga harus selalu memerhatikan anaknya jangan
sampai salah dalam pergaulan.
Carik Sarjana menyadari kesalahannya dalam mendidik anak selama ini. Ia pun pasrah
mengenai peruwatan Jaka Wignya. Prabu Wasupati lantas meminta Arya Manungkara meruwat
kerbau tersebut. Dengan menggunakan Minyak Mukswala, Arya Manungkara berhasil mengubah
wujud Jaka Wignya kembali menjadi manusia.
Carik Sarjana sangat berterima kasih. Ia pun menyerahkan Jaka Wignya kepada Prabu
Wasupati supaya dijadikan abdi dan diajari bekerja keras. Prabu Wasupati menerima Jaka Wignya
dan membawanya ikut serta dalam rombongan.
berterima kasih dan mengajak rombongan untuk kembali ke istana karena penjelajahan untuk kali
ini dianggap sudah cukup.
Ternyata ucapan ulat tahun terbukti benar. Tiba-tiba saja wujud Danghyang Guntara berubah
menjadi seekor ulat pula, namun berukuran lebih kecil, yaitu sebesar bantal guling.
Prasta ketakutan melihat peristiwa itu dan buru-buru melarikan diri. Ulat tahun pun mengejar
ke mana ia berlari. Kejar-kejaran di antara mereka pun berlangsung beberapa hari hingga akhirnya
mereka bertemu Resi Srimadewa yang berhasil meruwat ulat tahun kembali menjadi Batara
Kalakeya.
Kini Batara Kalakeya telah kembali ke wujud dewa dan ia berterima kasih atas bantuan Resi
Srimadewa. Atas jasa tersebut, Batara Kalakeya mempersilakan Resi Srimadewa meminta hadiah.
Seketika Resi Srimadewa pun teringat pada kedua anak Prabu Wasupati yang berbau amis dan kini
tinggal di Desa Matsya. Ia lalu meminta supaya Batara Kalakeya menyembuhkan penyakit mereka
berdua.
Batara Kalakeya bersedia mengabulkan permintaan tersebut, namun hanya Raden
Durgandana saja yang dapat ia sembuhkan. Mengenai Dewi Durgandini kelak akan sembuh oleh
Resi Parasara dari Gunung Saptaarga. Akan tetapi, kesembuhan mereka baru bisa terjadi setelah
melewati usia dua puluh tahun, dan itu pun mereka harus bertapa lebih dulu. Batara Kalakeya
menyarankan supaya Raden Durgandana bertapa ngidang di Hutan Krendayana, sedangkan Dewi
Durgandini bertapa ngrame di Sungai Jamuna.
Batara Kalakeya lalu meminta tolong kepada Resi Srimadewa supaya membebaskan
Danghyang Guntara dari kutukan. Setelah berpesan demikian, ia pun undur diri kembali ke
kahyangan.
DEWABRATA LAHIR
Kisah ini menceritakan perkawinan Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi, yang kemudian
melahirkan Raden Dewabrata. Tokoh ini kelak dikenal dengan nama Resiwara Bisma. Kisah
dilanjutkan dengan sembuhnya Raden Durgandana dari penyakit bau amisnya, serta
pembangunan Kerajaan Magada, di mana Raden Wrehadrata menjadi raja pertama.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan
sedikit pengembangan.
Kediri, 13 Juli 2015
Heri Purwanto
Prabu Santanu
Prabu Wasupati merasa terharu atas sikap Prabu Santanu tersebut. Ia pun memerintahkan
Patih Wasita untuk menyiapkan pasukan demi menghadapi datangnya serangan dari Kerajaan
Siwandapura.
meramalkan bahwa Kerajaan Hastina kelak akan menjadi negeri yang sangat besar, bahkan
melebihi keagungan Wirata. Untuk itu, Raden Dewabrata sebaiknya dipersiapkan menjadi raja yang
adil dan bijaksana, yang menguasai ilmu kenegaraan dan keprajuritan. Batari Ganggawati pun
berniat membawa putra mereka itu ke kahyangan untuk dididik para dewa, dan kelak akan
dikembalikan lagi ke Hastina setelah menamatkan pendidikan. Mengenai ilmu kenegaraan, Batari
Ganggawati akan meminta Batara Wrehaspati untuk mengajar, sedangkan untuk ilmu keprajuritan,
Batara Ramaparasu yang akan dimintai kesediaannya menjadi guru bagi Raden Dewabrata.
Dengan berat hati, Prabu Santanu pun melepaskan kepergian Batari Ganggawati yang
terbang menuju Kahyangan Suralaya sambil menggendong Raden Dewabrata.
Dewi Durgandini yang masih sering mengeluh mengapa harus menjadi tukang perahu dan hidup di
desa terpencil, padahal ia adalah putri seorang raja besar.
Aryaprabu Kistawa memaklumi hal itu. Setelah dirasa cukup, Batara Kalakeya pun undur diri
kembali ke kahyangan, sedangkan Aryaprabu Kistawa dan Raden Durgandana berangkat menuju
Kerajaan Wirata.
ABYASA LAHIR
Kisah ini menceritakan pertemuan Resi Parasara dengan Dewi Durgandini, di mana dari
pertemuan itu lahir Raden Abyasa yang kelak menurunkan Pandawa dan Kurawa. Kisah
dilanjutkan pula dengan lahirnya keenam saudara Raden Abyasa, yaitu Raden Setatama, Dewi
Sudaksina, Raden Bimakinca, Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, dan Raden Rajamala.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang saya selaraskan dengan alur cerita Mahabharata karya Resi
Wyasa, di mana Resi Parasara tetap menjadi pendeta, sedangkan Dewi Durgandini tetap
menjadi tukang perahu setelah kelahiran Raden Abyasa.
Kediri, 12 Agustus 2015
Heri Purwanto
Resi Parasara
Resi Parasara merasa kecewa bercampur malu. Namun, Begawan Rukmawati menghibur,
bahwa tidak lama lagi Resi Parasara akan berjodoh dengan seorang wanita yang mirip dengannya.
Setelah berpesan demikian, Begawan Rukmawati pun dijemput kereta emas yang turun dari
angkasa. Ia lalu menaiki kereta tersebut dan kemudian musnah dari pandangan Resi Parasara.
Akan tetapi, Resi Parasara selalu terbayang-bayang wajah Begawan Rukmawati. Malam
harinya, ia pun mengajak para panakawan pergi meninggalkan Padepokan Bimarastana secara
diam-diam karena tidak mau berumah tangga dengan Dewi Watari tanpa dilandasi rasa cinta.
Pada saat itu perahu yang mereka tumpangi berlabuh di sebuah pulau kecil yang terletak di
tengah Sungai Jamuna. Resi Parasara dan Rara Amis pun mendarat di pulau tersebut. Mereka
sama-sama tak kuasa menahan nafsu birahi sehingga melakukan hubungan badan di sana.
Sebelumnya, Resi Parasara sempat menciptakan semacam kabut tebal untuk menutupi apa yang
mereka lakukan berdua.
Tiba-tiba ada petir menggelegar menyambar perahu milik Rara Amis yang ditambatkan di tepi
pulau tadi hingga pecah menjadi dua. Resi Parasara dan Rara Amis terkejut dan merasa bersalah
karena petir ini pasti teguran dari dewata atas perzinahan yang telah mereka lakukan. Rara Amis
pun berterus terang bahwa dirinya memiliki nama asli Dewi Durgandini, putri Prabu Wasupati di
Kerajaan Wirata. Resi Parasara menyesal karena terlalu menuruti hawa nafsu sehingga lupa
bertanya tentang asal-usul Rara Amis. Seharusnya ia bertanya lebih dulu siapa orang tua gadis itu,
sehingga bisa mengajukan lamaran secara resmi kepada Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata,
bukannya berzinah seperti ini. Sebaliknya, Dewi Durgandini juga merasa bersalah karena tidak
berterus terang sejak awal kepada Resi Parasara tentang jati dirinya.
Kini, Dewi Durgandini telah mengandung anak Resi Parasara. Sembilan bulan setelah
peristiwa itu, ia melahirkan seorang bayi berkulit hitam legam, namun memiliki ari-ari berwarna putih
bersih. Resi Parasara teringat kepada Brahmana Wyasa yang dulu menyatu ke dalam dirinya dan
berniat akan terlahir kembali sebagai anaknya. Maka, Resi Parasara pun memberi nama mirip
Brahmana Wyasa untuk putranya yang baru lahir tersebut, yaitu Raden Abyasa. Sementara itu, Dewi
Durgandini juga memberikan nama Raden Kresna Dwipayana, karena bayinya itu berkulit hitam dan
dilahirkan di tengah pulau.
Ketika Resi Parasara hendak menanam ari-ari Raden Abyasa, tiba-tiba benda itu berubah
menjadi seorang bayi berkulit putih bersih. Resi Parasara pun mengakuinya sebagai anak nomor
dua dan memberinya nama Raden Setatama.
semua sebagai anak. Jika ditambah dengan Raden Abyasa dan Raden Setatama, maka jumlah
anak Resi Parasara sekarang menjadi tujuh orang.
DEWABRATA PRASETYA
Kisah ini menceritakan kemunculan Raden Dewabrata putra Prabu Santanu yang sejak bayi
ikut Batari Ganggawati untuk mendapatkan pendidikan. Kisah dilanjutkan dengan sumpah
Raden Dewabrata untuk hidup wahdat dan setia melayani raja Hastina di hadapan Dewi
Durgandini, sehingga ia pun memperoleh nama Bisma. Kisah ini saya olah berdasarkan sumber
wiracarita Mahabharata karya Resi Wyasa dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 18 Agustus 2015
Heri Purwanto
menaklukkan negeri-negeri di tanah seberang, sehingga kekuatannya sekarang jauh lebih besar
daripada dulu saat menyerang Kerajaan Wirata.
Raden Salwarukma yang masih muda juga memiliki kesaktian tinggi. Dalam pertempuran itu,
ia berhasil menangkap Prabu Santanu beserta Patih Basusara. Padahal, ayahnya dulu pernah
dikalahkan Prabu Santanu saat berperang melawan Kerajaan Wirata.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang dengan cekatan dapat
membebaskan Prabu Santanu dan Patih Basusara, serta menyerang Raden Salwarukma dengan
panah-panahnya. Raden Salwarukma kelabakan dan berusaha melawan, namun musuhnya kali ini
jauh lebih tangguh. Ia akhirnya bertekuk lutut di hadapan pemuda yang baru datang itu.
Tidak lama kemudian muncul pula Batari Ganggawati yang memperkenalkan pemuda
pahlawan tersebut sebagai Raden Dewabrata. Prabu Santanu sangat gembira sekaligus terharu
menyaksikan putranya telah tumbuh remaja dan juga memiliki kesaktian tinggi, sehingga dapat
membebaskan dirinya dari bahaya. Raden Dewabrata pun menyembah memberi hormat kepada
Prabu Santanu, ayahnya yang selama lima belas tahun tak pernah ia jumpai.
Prabu Santanu lalu menyerahkan nasib Raden Salwarukma kepada Raden Dewabrata.
Mengingat persaudaraan di antara Prabu Santanu dengan Prabu Bahlika, maka Raden Dewabrata
pun membebaskan Raden Salwarukma yang terhitung sepupunya itu, dan mempersilakannya
pulang ke Siwandapura. Raden Salwarukma merasa malu dan segera pergi tanpa pamit.
Batari Ganggawati lalu berkata kepada Prabu Santanu bahwa ia sudah memenuhi janjinya
untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada Raden Dewabrata. Kini Raden Dewabrata telah
menamatkan semua pelajaran ilmu kenegaraan dari Batara Wrehaspati, serta ilmu keprajuritan dari
Batara Ramaparasu. Setelah dirasa cukup, Batari Ganggawati pun mohon pamit kembali ke
kahyangan. Prabu Santanu meminta mantan istrinya itu tetap tinggal di Kerajaan Hastina dan
membina rumah tangga seperti dulu lagi, namun Batari Ganggawati menolak. Ia harus kembali
menjadi bidadari karena masa hukumannya di dunia telah berakhir. Ia juga menyarankan agar Prabu
Santanu segera menikah lagi untuk mendapatkan permaisuri baru sebagai pendamping.
Mendengar penawaran ini, Dewi Durgandini pun mengajukan syarat bahwa, ia bersedia menjadi istri
Prabu Santanu asalkan kelak putranya yang ditetapkan sebagai raja di Kerajaan Hastina.
Prabu Santanu sangat terpukul mendengar syarat yang diajukan Dewi Durgandini itu. Ia pun
pergi tanpa pamit meninggalkan Sungai Jamuna dengan perasaan sangat kecewa.
Sembilan bulan kemudian, datang serangan dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin
langsung oleh Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma. Mendengar kabar itu, Raden Bisma
Dewabrata segera berangkat memimpin pasukan Hastina untuk menghalau mereka.
Pertempuran sengit pun terjadi. Lagi-lagi Raden Bisma berhasil menunjukkan keunggulannya
dalam melindungi Kerajaan Hastina. Dengan melepaskan panah angin, ia pun menghempaskan
Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma beserta seluruh pasukan Siwandapura sejauh-jauhnya
meninggalkan Kerajaan Hastina.
Bersamaan dengan peristiwa kemenangan Raden Bisma tersebut, Dewi Durgandini
melahirkan dua bayi laki-laki hasil perkawinannya dengan Prabu Santanu. Kedua putra itu pun diberi
nama Raden Citranggada dan Raden Citrawirya.
Raden Dewabrata
Raden Setatama
Di tengah perjalanan, rombongan raksasa dari Anggastina itu berpapasan dengan rombongan
Raden Durgandana dari Wirata. Terjadi kesalahpahaman di antara mereka yang berlanjut dengan
pertempuran. Pihak Wirata yang dibantu Raden Bimakinca dan saudara-saudaranya, yaitu Raden
Kincaka, Raden Rupakincaka, serta Raden Rajamala berhasil memukul mundur Prabu Gajaksasura
beserta pasukannya.
Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura pun melanjutkan pencarian dan akhirnya bertemu
dengan pemuda yang mengaku bernama Raden Setatama. Ia berterus terang meminta supaya
Endang Kandini diserahkan kepadanya dan ia siap menukarnya dengan emas permata yang
melimpah. Raden Setatama menolak dengan tegas. Ia bersedia menyerahkan istrinya jika Prabu
Gajaksasura bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu.
Maka, terjadilah pertarungan antara Prabu Gajaksasura melawan Raden Setatama, serta
Patih Wistakasura melawan Raden Bimakinca. Kedua raksasa itu lebih berpengalaman daripada
lawan mereka yang masih muda belia. Akhirnya, Raden Setatama dan Raden Bimakinca pun roboh
di tangan mereka.
Setelah membunuh kedua bersaudara tersebut, Prabu Gajaksasura mengubah wujudnya
menjadi Raden Setatama, sedangkan Patih Wistakasura mengubah wujudnya menjadi Raden
Bimakinca. Keduanya lalu berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk menculik Endang Kandini.
pula Raden Abyasa beserta para panakawan yang membawa serta jasad Raden Setatama dan
Raden Bimakinca.
Resi Parasara menanyai asal-usul Dewi Hastipraba mengapa memiliki telinga lebar,
sedangkan Prabu Gajaksasura mengapa memiliki kepala gajah. Dewi Hastipraba pun bercerita
bahwa ayahnya bernama Resi Anggasti, sedangkan ibunya seorang bidadari bernama Batari Tayati,
putri Batara Tacodwara, atau cucu Batara Wrehaspati. Ketika Batari Tayati sedang mengandung,
Resi Anggasti membunuh seekor gajah liar yang merusak ladang padepokan. Akibatnya, janin yang
dikandung istrinya pun terkena balak, yaitu ketika lahir berwujud raksasa laki-laki dan perempuan,
yang satu berkepala gajah, yang satunya bertelinga lebar.
Resi Parasara terkesan mendengar itu. Ia pun memerintahkan para panakawan untuk
mengumumkan kepada warga desa, jika memiliki istri yang sedang mengandung hendaknya tidak
membunuh binatang. Jika terpaksa harus membunuh, sebaiknya menyebut jabang bayi yang
sedang dikandung istrinya.
Kini Dewi Hastipraba yang sudah kehilangan daya kekuatan memohon ampun kepada Resi
Parasara dan menyerahkan hidup matinya. Resi Parasara pun mengampuninya dan membebaskan
raksasi itu dari pengaruh mantra Sangkali. Dewi Hastipraba berterima kasih, lalu membawa jasad
Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura kembali ke Kerajaan Anggastina.
Prabu Gajaksasura
BABAD PANCALA
Kisah ini menceritakan lahirnya Raden Sucitra yang kelak menjadi Prabu Drupada, serta Raden
Kumbayana yang kelak menjadi Resi Druna. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara
Prabu Wasupati melawan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura, yang kemudian ditutup
dengan pembukaan Hutan Pancala menjadi kerajaan baru oleh Patih Suganda, yang bergelar
Prabu Gandabayu. Kisah ini juga diselingi dengan peristiwa Resi Parasara mencapai moksa,
serta bagaimana Resi Abyasa mendapatkan Pustaka Kalimahusada.
Kisah ini saya olah menggunakan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan buku Kempalan Balungan karya Ki Suratno
Guno Wiharjo, dengan beberapa pengembangan.
Kediri, 15 Maret 2016
Heri Purwanto
Bahlika dan putranya, yaitu Raden Salwarukma telah mempersiapkan serangan ini dengan sangat
matang. Pihak Duhyapura pun kalah telak, dan Prabu Drupara gugur di tangan Prabu Bahlika.
setelah itu bersamadi mengheningkan cipta. Sekejap kemudian, Resi Parasara mencapai moksa.
Tubuhnya musnah, sedangkan jiwanya naik ke alam baka.
Resi Abyasa memberikan penghormatan terakhir kepada sang ayah. Ia kemudian mengajak
keempat panakawan pergi ke Gunung Reksasrengga untuk mengabarkan hal ini kepada ibu tirinya,
yaitu Dewi Watari.
Tidak lama kemudian, Raden Durgandana datang pula ke Padepokan Bimarastana setelah
tugasnya menyebarkan undangan kepada para raja sekutu Wirata selesai. Ia pun disambut ramah
oleh Dewi Watari bersama Resi Abyasa, Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala.
Raden Durgandana bercerita tentang adanya ancaman serangan dari Prabu Bahlika raja
Siwandapura. Untuk itu, ia berniat menjadikan ketiga adik iparnya yang memiliki bakat kesaktian
sejak lahir, yaitu Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala sebagai punggawa di
Kerajaan Wirata.
Mendengar hal itu, Dewi Watari merasa terhormat karena ketiga putranya dianggap mampu
meringankan beban Kerajaan Wirata. Ia pun menyarankan agar Raden Kincaka, Raden
Rupakincaka, dan Raden Rajamala menerima tawaran Raden Durgandana tersebut. Raden
Kincaka dan Raden Rupakinca bersedia, sedangkan Raden Rajamala mengajukan syarat agar sang
ibu juga dibawa serta ke istana Wirata. Meskipun berwajah buruk rupa, namun Raden Rajamala ini
yang paling disayangi oleh Dewi Watari. Keduanya pun seolah tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
Raden Durgandana menerima syarat yang diajukan Raden Rajamala tersebut. Lagipula Resi
Indradewa juga sudah meninggal sehingga akan lebih baik jika Dewi Watari ikut serta tinggal di
Kerajaan Wirata. Setelah dirasa cukup, mereka pun bersama-sama meninggalkan Gunung
Reksasrengga. Resi Abyasa juga ikut serta bersama mereka, sekaligus ia ingin mengunjungi
adiknya yang lain, yaitu Dewi Sudaksina, istri Raden Durgandana.
Wasupati memberikan Hutan Pancala kepada mereka. Patih Suganda dan pengikutnya dipersilakan
membangun kerajaan baru di sana. Orang-orang Duhyapura itu sangat berterima kasih atas
anugerah yang diberikan Prabu Wasupati tersebut.
Singkat cerita, Patih Suganda dan para pengikutnya telah mendirikan sebuah negeri baru di
Hutan Pancala, yang diberi nama Kerajaan Pancala. Patih Suganda pun menjadi raja di sana,
bergelar Prabu Gandabayu.
MATSYAPATI WISUDA
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Wasupati dan terciptanya Telaga Watari, serta
pelantikan Raden Durgandana menjadi raja Wirata yang bergelar Prabu Matsyapati. Kisah
dilanjutkan dengan pelantikan Prabu Citranggada sebagai raja Hastina untuk menggantikan
Prabu Santanu yang menjadi bagawan. Kisah ditutup dengan kematian Prabu Citranggada di
tangan seorang gandarwa yang bernama sama.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Khusus untuk cerita kematian Prabu Citranggada saya
olah dari sumber Mahabharata karya Resi Wyasa.
Kediri, 18 Maret 2016
Heri Purwanto
Prabu Matsyapati
Arya Rajamala tidak sudi kembali ke istana. Ia masih marah kepada keluarga Prabu Wasupati
yang telah mencelakai Dewi Watari. Ia juga kesal kepada kedua kakaknya, yaitu Patih Kincaka dan
Arya Rupakinca yang tidak peduli kepada ibu mereka, dan lebih memilih menerima jabatan yang
diberikan oleh Prabu Matsyapati.
Roh Dewi Watari pun menasihati Arya Rajamala agar tidak menyimpan dendam karena hanya
akan merusak jiwa. Meskipun Prabu Wasupati berusaha memaksanya, namun dia sendiri yang
memilih bunuh diri mencebur ke dalam telaga. Lagipula Prabu Wasupati telah menyesali
perbuatannya hingga jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kini yang menjadi raja adalah Prabu
Matsyapati yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini. Untuk itu, Dewi Watari menasihati
Arya Rajamala agar tetap mengabdi kepada raja yang baru tersebut dan melupakan segala
kekesalannya.
Arya Rajamala kini telah terbuka hatinya dan membenarkan nasihat Dewi Watari. Ia pun
mohon restu kepada sang ibu agar dapat mengemban jabatan sebagai senapati Kerajaan Wirata
dengan sebaik-baiknya.
Dewi Watari merestui putra kesayangannya itu. Ia pun memberkati Arya Rajamala berumur
panjang dan sulit dibunuh. Apabila kelak Arya Rajamala berperang melawan musuh sakti dan
menderita luka parah atau bahkan kehilangan nyawa, maka tubuhnya harus segera diceburkan ke
dalam Telaga Watari. Dewi Watari memberikan anugerah bahwa dengan cara demikian maka Arya
Rajamala akan segera pulih kembali seperti sedia kala.
Arya Rajamala menerima nasihat tersebut dengan senang hati dan sangat berterima kasih.
Roh Dewi Watari lalu lenyap dari pandangan. Arya Rajamala pun undur diri kembali ke istana Wirata
dengan penuh semangat baru.
secara keji oleh seorang gandarwa, ia langsung turun tangan. Dengan mengerahkan Aji Pengabaran
yang pernah dipelajarinya dari Gandarwaraja Swala dulu, Resi Abyasa pun berhasil menewaskan
Gandarwa Citranggada.
DEWI AMBA
Kisah ini menceritakan Raden Bisma Dewabrata mengikuti sayembara memperebutkan Dewi
Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika di Kerajaan Giyantipura untuk dinikahkan dengan
Prabu Citrawirya di Hastina. Dewi Amba yang menolak pernikahan tersebut memilih bunuh diri
dan kelak arwahnya akan menjadi penjemput ajal Resiwara Bisma dalam Perang Bratayuda
melalui Dewi Wara Srikandi.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa.
Kediri, 14 September 2015
Heri Purwanto
Dewi Amba
Dewi Durgandini tertarik untuk menjadikan Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika
sebagai istri putranya. Akan tetapi, mengingat kesehatan Prabu Citrawirya yang kurang baik dan
juga tidak memiliki kesaktian cukup, maka sebaiknya Raden Bisma saja yang mewakili berangkat
untuk mengikuti sayembara. Raden Bisma pun menyanggupi perintah sang ibu suri. Ia lalu mohon
pamit berangkat menjalankan tugas tersebut.
Raden Bisma lantas memasuki gelanggang sayembara menghadapi Ditya Wahmuka, Ditya
Arimuka, Ditya Marusmuka, Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka. Dalam
perjalanan tadi, ia sempat mempelajari tata cara pengruwatan dari Kyai Semar untuk digunakan
menghadapi keenam putra Prabu Darmamuka tersebut.
Maka, begitu memasuki gelanggang, Raden Bisma pun membaca mantra pengruwatan sambil
kemudian melepaskan enam panah sekaligus, yang masing-masing pada ujungnya terpasang
kunyit welat dan batok bolu. Keenam panah tersebut mengenai sasaran masing-masing. Seketika
wujud Ditya Wahmuka kembali berubah menjadi air ketuban, Ditya Arimuka menjadi ari-ari, Ditya
Marusmuka menjadi darah nifas, sedangkan Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga
Sarpamuka menjadi tiga tali pusar. Keenamnya lalu melebur dan musnah bersatu dengan alam
semesta.
Prabu Darmamuka dan Dewi Ambarawati prihatin menyaksikan musnahnya keenam putra
mereka. Di sisi lain mereka juga senang karena ketiga putri kini telah mendapatkan jodoh. Prabu
Darmamuka pun menyerahkan Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika kepada Raden Bisma
untuk diboyong ke Kerajaan Hastina.
Mendengar itu, Prabu Citrawirya pun menolak menikahi Dewi Amba dan menyerahkannya
kembali kepada Raden Bisma. Akan tetapi, Raden Bisma tidak bersedia karena dirinya terikat
sumpah tidak akan menikah seumur hidup. Ia memutuskan untuk mengantarkan Dewi Amba pulang
ke Giyantipura.
Dewi Amba sangat tersinggung mendengar keputusan tersebut. Ia merasa diperlakukan
seperti benda yang bisa dipindah-pindah ke sana kemari begitu saja. Ia pun menyatakan dengan
tegas hanya mau menikah dengan Raden Bisma atau tidak sama sekali. Setelah berkata demikian,
Dewi Amba lalu pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.
Maka itu, Batara Narada memerintahkan Bagawan Santanu untuk memungut kedua bayi
tersebut dan membawanya ke istana. Menurut ketetapan para dewa, kedua bayi tersebut kelak akan
menjadi orang penting di Kerajaan Hastina. Yang laki-laki hendaknya diberi nama Raden Krepa,
kelak akan menjadi kepala brahmana di Kerajaan Hastina, sedangkan yang perempuan hendaknya
diberi nama Dewi Krepi, kelak akan menjadi istri pujangga Kerajaan Hastina yang bernama Resi
Druna di masa depan.
Setelah menyampaikan perintah tersebut, Batara Narada pun undur diri kembali ke
kahyangan. Bagawan Santanu memberi hormat lalu berangkat menuju Hutan Mandalasara.
Bagawan Santanu menyusuri hutan tersebut dan akhirnya berhasil menemukan sepasang
bayi laki-laki dan perempuan berusia dua tahun yang menangis di dekat mayat seorang wanita, yaitu
Ken Yoni. Bagawan Santanu pun menguburkan mayat tersebut, lalu menggendong kedua bayi itu
menuju ke Kerajaan Hastina.
yang lebih dulu menyampaikan niatnya untuk mengabdi kepada Bagawan Santanu. Karena
Bagawan Santanu sudah menjadi pendeta dan tidak lagi mengurusi kenegaraan, maka Raden
Surasena pun dipersilakan mengabdi kepada Prabu Citrawirya saja. Prabu Citrawirya menerima
Raden Surasena dan mengangkatnya sebagai punggawa yang membantu tugas-tugas Raden
Bisma.
Resi Abyasa lalu menceritakan mimpinya, yaitu ia melihat Kerajaan Hastina dikepung tujuh
orang raja. Prabu Citrawirya tenang-tenang saja mendengarnya karena ia yakin kesaktian Raden
Bisma cukup untuk mengatasi ancaman tersebut. Namun, Bagawan Santanu dan Raden Bisma
tidak setuju. Sebuah perang berbeda dengan pertarungan, sehingga tidak cukup jika hanya
mengandalkan kesaktian satu orang saja. Untuk itu, Bagawan Santanu menyarankan agar Kerajaan
Hastina segera meminta bantuan kepada para raja sekutu, antara lain Kerajaan Wirata dan
Mandraka. Prabu Citrawirya mematuhi saran sang ayah. Ia lalu mengutus Patih Basusara untuk
menyebarkan undangan.
Bagawan Santanu mendengar dengan seksama dan ia semakin mantap menjadikan Raden
Surasena sebagai menantu. Maka, pada hari yang dianggap baik dilaksanakanlah upacara
pernikahan antara Raden Surasena dengan Dewi Bandadari di istana Kerajaan Hastina.
SANTANU GUGUR
Kisah ini menceritakan kematian Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya karena ulah pendeta
raksasa bernama Danghyang Anala. Kisah dilanjutkan dengan perkawinan Resi Abyasa dengan
kedua janda Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika, serta pelantikan Resi
Abyasa menjadi raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Kresna Dwipayana.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Maret 2016
Heri Purwanto
Resi Abyasa
bertekad bulat ingin menikahi Dewi Ambika dan Dewi Ambalika hanya karena pernah mimpi bertemu
kedua putri tersebut.
Kini, keputusan sudah diambil bahwa pihak Ekacakra akan berperang melawan Kerajaan
Hastina. Untuk itu, Kyai Togog dan Bilung menasihati agar Patih Suksara berhati-hati terutama
menghadapi Raden Bisma Dewabrata, putra tertua Bagawan Santanu. Menurut kabar yang beredar,
Raden Bisma memiliki kesaktian di atas rata-rata manusia karena ia pernah berguru kepada Batara
Ramaparasu.
Patih Suksara segera memerintahkan pasukannya maju menyerang begitu melihat Raden
Bisma keluar bersama pasukan Hastina. Tidak lama kemudian pertempuran pun meletus di antara
kedua pihak. Lewat tengah hari, pihak Ekacakra mulai terdesak kalah. Melihat para prajuritnya
banyak yang tewas dan terluka, Patih Suksara pun memerintahkan mereka yang masih hidup untuk
mundur meninggalkan Kerajaan Hastina.
Citrawirya pun kejang-kejang dan meninggal dunia. Rupanya Danghyang Anala telah melepaskan
ilmu tenung untuk membunuh raja Hastina tersebut.
Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menjerit menangisi kematian suami mereka. Danghyang
Anala segera menyambar kedua wanita itu dan membawanya lari keluar istana.
Namun demikian, suara tangisan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sempat terdengar oleh
Bagawan Santanu. Ia pun berlari mengejar Danghyang Anala yang telah menculik kedua
menantunya itu. Danghyang Anala yang sudah sampai di luar istana segera menyerahkan Dewi
Ambika dan Dewi Ambalika kepada Prabu Dawaka untuk dinaikkan ke atas kereta, sedangkan
dirinya berbalik menghadang Bagawan Santanu.
Maka, terjadilah pertarungan antara Bagawan Santanu melawan Danghyang Anala. Melihat
kedua menantunya dibawa kabur Prabu Dawaka, Bagawan Santanu menjadi lengah sehingga
terkena senjata Danghyang Anala. Mantan raja Hastina itu pun tewas seketika menyusul putranya.
menikah seumur hidup. Baginya, melanggar sumpah adalah dosa besar dan jauh lebih menakutkan
daripada mati.
Raden Bisma lalu mengusulkan agar takhta Hastina dipegang Resi Abyasa sekaligus
menikahi kedua janda Prabu Citrawirya. Resi Abyasa keberatan karena dirinya adalah orang luar.
Namun, Raden Bisma tetap mendesaknya dengan berbagai alasan. Alasan pertama, Resi Abyasa
adalah putra kandung Dewi Durgandini, sedangkan dulu telah terjalin kesepakatan bahwa yang
berhak menjadi raja Hastina hanya keturunan Dewi Durgandini, bukan Raden Bisma. Saat itu tidak
dijelaskan apakah yang dimaksud dengan “keturunan Dewi Durgandini” itu hanya terbatas pada
hasil perkawinan dengan Prabu Santanu saja atau tidak. Karena tidak dibatasi, maka Resi Abyasa
juga berhak menjadi raja, karena dia adalah putra Dewi Durgandini meskipun dengan Resi Parasara.
Alasan yang kedua, selama ini Bagawan Santanu sudah menganggap Resi Abyasa seperti
anak sendiri, sehingga tidak ada salahnya jika Resi Abyasa menjadi raja menggantikan sang ayah.
Alasan ketiga, Resi Abyasa telah banyak berjasa kepada negara sehingga rakyat pasti tidak akan
keberatan jika ia menjadi pemimpin Kerajaan Hastina.
Demikianlah, terjadi perdebatan alot antara Raden Bisma dengan Resi Abyasa. Akhirnya di
antara mereka tercapai kata sepakat. Resi Abyasa bersedia menjadi raja, namun hanya bersifat
sementara saja. Kelak jika putra hasil perkawinannya dengan Dewi Ambika atau Dewi Ambalika
telah dewasa, maka ia akan mengundurkan diri kembali menjadi pendeta di Gunung Saptaarga.
Syarat yang kedua, Raden Bisma harus bersedia mendampinginya sebagai penasihat raja. Raden
Bisma pun menerima kedua syarat tersebut dengan senang hati.
Maka, pada hari yang dianggap baik dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Resi Abyasa
dengan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Upacara tersebut kemudian dilanjutkan dengan
pelantikan Resi Abyasa sebagai raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Kresna Dwipayana.
Sementara itu, Raden Bisma dilantik menjadi penasihat raja yang berkedudukan di Padepokan
Talkanda, bergelar Resiwara Bisma. Adapun jabatan kepala brahmana Kerajaan Hastina tetap
dipegang oleh Resi Jawalagni. Sementara itu, Patih Basusara yang sudah tua mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai menteri utama. Ia pun digantikan oleh punggawa yang paling cakap,
bernama Arya Jayayatna sebagai patih Hastina yang baru.
PANDU LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran putra-putra Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Kuru
(Dretarastra), Raden Pandu (Dewayana), dan Raden Widura (Yamawidura). Juga dikisahkan
tentang Prabu Cidamuka raja Srawantipura yang berniat menjadikan Raden Pandu sebagai
tumbal untuk meredakan wabah penyakit yang sedang melanda negerinya.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 28 Maret 2016
Heri Purwanto
Patih Aswanindya mematuhi perintah rajanya. Ia lalu mohon pamit berangkat melaksanakan
tugas.
ternyata, Kerajaan Hastina sedang berperang menghadapi serangan Srawantipura yang konon
kabarnya ingin merebut putra kedua Prabu Kresna Dwipayana yang baru saja lahir.
Melihat ada seorang raja menggendong bayi dengan terburu-buru, Jaka Banduwangka curiga
jangan-jangan dia adalah Prabu Cidamuka yang berhasil menculik Raden Pandu. Pemuda itu
segera menghadang dan berusaha merebut bayi tersebut. Maka terjadilah pertarungan di antara
mereka.
Prabu Cidamuka sangat berhati-hati dalam pertarungan kali ini karena ia tidak ingin bayi yang
diculiknya meninggal sebelum disembelih di Kerajaan Srawantipura. Sebaliknya, Jaka
Banduwangka juga tidak berani bertindak gegabah karena takut Raden Pandu terluka.
Pada saat itulah Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma datang mengejar Prabu
Cidamuka setelah mendapatkan laporan dari Dewi Ambalika. Karena merasa terdesak, Prabu
Cidamuka menjadi lengah dan bayi Raden Pandu berhasil direbut oleh Jaka Banduwangka.
Resiwara Bisma segera maju menyerang Prabu Cidamuka dan dalam waktu singkat raja
Srawantipura itu berhasil ditewaskan.
ABYASA GROGOL
Kisah ini menceritakan kematian Dewi Durgandini yang bertapa menebus dosa bersama Dewi
Ambika dan Dewi Ambalika. Kisah dilanjutkan dengan Prabu Kresna Dwipayana yang
membangun Hutan Tunggul sebagai tempat perburuan, serta bagaimana asal usul Arya Bargawa
dan Arya Bilawa menjadi punggawa Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 10 April 2016
Heri Purwanto
Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma berusaha mencegah niat sang ibu suri, tetapi
gagal. Dewi Durgandini telah membulatkan tekadnya. Ia pun mohon pamit dan berangkat saat itu
juga.
Demikianlah, Hutan Tunggul telah dibangun menjadi tempat perburuan. Prabu Kresna
Dwipayana sangat berkenan melihat hasil kerja Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka. Selama
beberapa hari ia menghabiskan waktu untuk bertamasya di hutan tersebut demi melepaskan beban
pikiran karena ditinggal mati sang ibu suri dan kedua permaisuri. Sejak saat itu Prabu Kresna
Dwipayana pun terkenal pula dengan julukan Sang Ratu Tunggul.
ALAP-ALAPAN AMBALINI
Kisah ini menceritakan perkawinan putri bungsu Prabu Darmamuka, yaitu Dewi Ambalini
dengan Resi Jawalagni, brahmana Kerajaan Hastina. Juga dikisahkan pertemuan Dewi Krepi
dan Raden Krepa dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu Purunggaji. Kelak, tokoh Raden Krepa
tersebut akan menjadi brahmana Kerajaan Hastina dan menjadi guru pertama bagi para
Pandawa dan Kurawa sebelum mereka belajar kepada Resi Druna.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Oktober 2015
Heri Purwanto
Raden Krepa
Prabu Swarka pun marah dan segera memerintahkan pasukan Awuawu dan pasukan Timpurusa
untuk bersatu menggempur Kerajaan Giyantipura.
Di lain pihak, Prabu Darmamuka dan Patih Jayamuka beserta pasukan Giyantipura telah
bersiaga menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Sejak kematian Ditya
Wahmuka dan saudara-saudaranya di tangan Resiwara Bisma saat sayembara dulu, kini tiada lagi
yang dapat diandalkan oleh Prabu Darmamuka. Maka, dalam pertempuran tersebut pihak
Giyantipura pun terdesak kalah.
Prabu Darmamuka merasa tidak mampu lagi mempertahankan istana. Ia pun masuk ke dalam
istana untuk menggendong Dewi Ambalini kemudian meloloskan diri dengan mengendarai sebuah
kereta menuju Kerajaan Hastina.
keterangan. Prabu Darmamuka pun menanyakan tentang awal mula mengapa Prabu Swarka gemar
membunuh setiap istrinya setelah empat puluh hari menikah.
Prabu Purunggaji pun bercerita bahwa ia dan pamannya itu sebenarnya masih keturunan
Batara Wisnu dari putranya yang bernama Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita. Putra
Prabu Sri Mahapunggung yang nomor empat bernama Raden Gajah Oya menjadi raja di negeri
Malawa, bergelar Prabu Oya. Kemudian Prabu Oya berputra Prabu Surata, sedangkan Prabu Surata
berputra Prabu Asrama.
Prabu Asrama menikah dengan Dewi Basuwati (kakak Prabu Basukiswara) dari Kerajaan
Wirata. Dari perkawinan itu lahirlah Prabu Pilama. Kemudian Prabu Pilama memiliki dua orang putra,
yaitu Prabu Parwa yang mewarisi Kerajaan Malawa, serta Prabu Swarka yang mendirikan Kerajaan
Awuawu. Prabu Parwa kemudian memiliki dua orang anak, bernama Prabu Paruwa yang
menggantikannya sebagai raja Malawa, serta Resi Saradwata yang menjadi pendeta kerajaan.
Prabu Paruwa gugur di tangan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura (kakak Prabu
Santanu raja Hastina) sedangkan Resi Saradwata menjadi tawanan. Kemudian Prabu Bahlika tewas
dalam pertempuran melawan Kerajaan Wirata. Resi Saradwata yang bebas dari penjara lalu
mendirikan Kerajaan Timpurusa karena Kerajaan Malawa telah rusak parah, dan menjadi raja
bergelar Prabu Purunggaji. Ia juga mengasuh putra mendiang Prabu Paruwa yang masih kecil,
bernama Raden Carya.
Mengenai Prabu Swarka yang suka membunuh istrinya, Prabu Purunggaji pun bercerita
bahwa pamannya itu pada mulanya memiliki seorang istri bernama Dewi Sundari. Pada suatu hari
Dewi Sundari diculik seorang wanita sakti buruk rupa bernama Endang Suyati dari Gunung Dawala.
Dewi Sundari yang sedang mengandung itu pun disembunyikan di alam siluman, sedangkan
Endang Suyati lalu menjelma menjadi Dewi Sundari palsu.
Pada suatu hari Prabu Swarka didatangi seorang bidadari bernama Batari Menaka yang
mengabarkan bahwa Dewi Sundari yang ada di istana adalah palsu, sedangkan yang asli
disembunyikan di alam siluman. Dewi Sundari yang asli dapat ditolong oleh Resi Swakuthasta dari
Padepokan Andongdadapan, namun kini ia meninggal setelah melahirkan bayi perempuan dan laki-
laki. Kedua bayi itu lalu diasuh Resi Swakuthasta, serta diberi nama Dewi Kesru dan Raden
Prahasana. Setelah mengabarkan demikian, Batari Menaka pun kembali ke kahyangan.
Prabu Swarka sangat marah dan langsung melabrak Dewi Sundari palsu (penjelmaan Endang
Suyati). Ia lalu membunuh wanita itu yang masih dalam wujud Dewi Sundari, sehingga para pelayan
istana yang menyaksikan mengira raja mereka telah membunuh istrinya sendiri.
Sebelum tewas, Endang Suyati sempat mengerahkan ilmu tenung sehingga Prabu Swarka
menderita sakit jiwa. Sejak peristiwa itu, sudah beberapa kali Prabu Swarka menikah dengan wanita
lain, namun setelah empat puluh hari tiba-tiba penyakit jiwanya kambuh dan ia pun membunuh
setiap istri barunya tersebut.
telah kembali ke wujud semula dan ia pun rela menjadi pelayan Resi Saradwata. Resi Saradwata
sangat terkesan dan memutuskan untuk menikahi Batari Janapadi serta membawanya pulang ke
Kerajaan Malawa.
Sembilan bulan kemudian Batari Janapadi melahirkan dua orang bayi hasil pernikahannya
dengan Resi Saradwata, bersamaan dengan Kerajaan Malawa diserang Prabu Bahlika dari
Kerajaan Siwandapura. Prabu Paruwa tewas terbunuh, sedangkan Resi Saradwata tertangkap
musuh dan dimasukkan ke dalam penjara. Batari Janapadi kembali ke kahyangan, sedangkan
kedua bayinya dibawa lari oleh seorang pelayan bernama Ken Yoni.
Setelah Prabu Bahlika terbunuh di Kerajaan Wirata, Resi Saradwata bebas dari penjara dan
membangun negeri baru bernama Kerajaan Timpurusa sebagai pengganti Kerajaan Malawa yang
telah hancur. Ia pun menjadi raja bergelar Prabu Purunggaji.
Mendengar kisah tersebut, Resiwara Bisma ganti bercerita bahwa belasan tahun yang lalu
ayahnya, yaitu Bagawan Santanu telah menemukan anak laki-laki dan perempuan di tengah hutan
yang menangisi sesosok mayat wanita. Wanita tersebut tidak lain adalah Ken Yoni yang meninggal
dunia, sedangkan kedua anak kecil tersebut kemudian dipungut Bagawan Santanu serta diberi
nama Dewi Krepi dan Raden Krepa.
Dewi Krepi dan Raden Krepa kemudian diasuh oleh Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda
dan telah tumbuh menjadi remaja. Keduanya pun kini hadir pula setelah tadi dijemput oleh
panakawan Petruk yang diutus Resiwara Bisma.
Prabu Purunggaji sangat terharu bisa bertemu putra dan putrinya itu setelah berpisah dengan
mereka sejak bayi. Mereka pun berpelukan dalam suasana bahagia, disaksikan Prabu Darmamuka,
Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, Resi Jawalagni, dan para hadirin lainnya.
dibebaskan dan dipersilakan untuk pulang ke negerinya. Prabu Purunggaji yang awalnya musuh,
kini berubah menjadi sekutu Prabu Darmamuka dan Prabu Kresna Dwipayana.
Prabu Purunggaji berterima kasih dan ia pun mengajak Dewi Krepi dan Raden Krepa untuk
ikut serta tinggal di Kerajaan Timpurusa. Ia berniat menjadikan Raden Krepa sebagai pangeran
mahkota. Namun, Raden Krepa dengan rendah hati menolak niat baik sang ayah. Ia merasa sejak
kecil sudah menjadi warga Kerajaan Hastina dan ingin mengabdi kepada negeri tempat ia
dibesarkan ini.
Mengenai takhta Kerajaan Timpurusa, Raden Krepa mengusulkan agar diserahkan kepada
Raden Carya saja, selaku putra mendiang Prabu Paruwa (kakak Prabu Purunggaji). Prabu
Purunggaji menerima usulan tersebut. Ia pun berjanji akan mengizinkan Raden Krepa jika kelak
setelah dewasa ingin mengabdi di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma
menyatakan siap menerima jika kelak Raden Krepa datang kembali.
Demikianlah, setelah dirasa cukup, Prabu Purunggaji pun mohon pamit kembali ke Timpurusa
dengan membawa serta Dewi Krepi dan Raden Krepa. Sementara itu, Prabu Darmamuka juga
kembali ke Kerajaan Giyantipura bersama Dewi Ambalini dan Resi Jawalagni.
lain adalah istri Prabu Swarka raja Awuawu yang diculik wanita sakti buruk rupa bernama Endang
Suyati.
Setelah dibebaskan oleh Resi Swakuthasta dan dikembalikan ke alam nyata, Dewi Sundari
pun melahirkan bayi perempuan dan laki-laki sekaligus, namun ia sendiri meninggal dunia karena
pendarahan. Resi Swakuthasta lalu mengasuh kedua bayi itu dan memberi mereka nama Dewi
Kesru dan Raden Prahasana.
Kini kedua anak asuh itu telah tumbuh dewasa. Dewi Kesru pun dinikahkan dengan Arya
Kistawa, putra bungsu Resi Swakuthasta, sedangkan Raden Prahasana ikut pula mengabdi di
Kerajaan Gandaradesa bersama kakak iparnya tersebut.
Hastina, bergelar Prabu Kresna Dwipayana. Arya Kistawa menurut dan segera berangkat
meninggalkan Kerajaan Gandaradesa.
Prabu Kiswara membenarkan ucapan adiknya. Namun demikian, ia tidak rela jika Dewi Kesru
sampai mengandung anak Gandarwa Sutibar hasil pemerkosaan tersebut. Prabu Kiswara pun
meminta tolong kepada Gandarwaraja Swala untuk memeriksa rahim adik iparnya itu dan
mengeluarkan benih yang tertanam akibat ulah Gandarwa Sutibar, tanpa menyakiti Dewi Kesru.
Gandarwaraja Swala segera maju untuk memenuhi permintaan tersebut.
Sementara itu, arwah penasaran Resi Dwapara sedang melayang-layang di atas Kerajaan
Gandaradesa. Dahulu kala, Resi Dwapara tewas di tangan sepupunya sendiri, yaitu Resi Satrukem
(kakek buyut Prabu Kresna Dwipayana) saat ia menyerang Gunung Saptaarga. Arwahnya pun
penasaran dan bertekad ingin membalas dendam dengan cara menghancurkan keturunan Resi
Satrukem. Atas petunjuk Batara Kala, arwah Resi Dwapara harus menitis ke dalam rahim Dewi
Kesru jika ingin mewujudkan keinginan tersebut.
Maka, begitu sampai di Kerajaan Gandaradesa, arwah Resi Dwapara segera masuk ke dalam
rahim Dewi Kesru. Di sisi lain, Gandarwaraja Swala yang sedang mengerahkan kesaktiannya tidak
menyadari kehadiran arwah penasaran tersebut. Ia sendiri sibuk berusaha mengeluarkan benih
yang ditanam Gandarwa Sutibar. Akan tetapi, benih dalam rahim Dewi Kesru itu kini dilindungi oleh
arwah Resi Dwapara. Perpaduan kesaktian dari kedua makhluk halus tersebut membuat si janin
bukannya gugur keluar, melainkan justru berkembang makin lama makin besar. Arwah Resi
Dwapara kemudian bersatu jiwa raga dengan janin tersebut yang kini siap dilahirkan.
Sungguh ajaib, kandungan Dewi Kesru telah matang hanya dalam waktu sehari dan kini ia
pun melahirkan seorang bayi laki-laki.
ia pun bersedia dilantik sebagai raja yang baru. Sebagai ungkapan terima kasih kepada
Gandarwaraja Swala yang telah membantunya menemukan kembali Dewi Kesru, maka Arya
Kistawa pun memakai gelar yang mirip dengannya, yaitu Prabu Suwala.
Resiwara Bisma masih prihatin atas musibah yang telah terjadi. Ia pun berharap agar kelak
Prabu Suwala dan Prabu Kresna Dwipayana dapat berbesan supaya hubungan persaudaraan
antara kedua negara dapat menjadi lebih erat. Semoga kelak setelah dewasa, Dewi Gendari bisa
menikah dengan salah satu putra Kerajaan Hastina, entah itu Raden Kuru, Raden Pandu, ataupun
Raden Widura. Prabu Suwala merasa bersyukur jika hal itu bisa menjadi kenyataan.
Sementara itu, Prabu Kresna Dwipayana sedang merenung membayangkan bahwa bayi laki-
laki yang dilahirkan Dewi Kesru kelak akan menjadi sumber kekacauan, sebagaimana firasat yang
ia terima. Ia pun berharap Batara Wisnu juga terlahir sebagai manusia untuk menangkal pengaruh
buruk bayi laki-laki ini. Untuk itu, Prabu Kresna Dwipayana mengusulkan agar sebaiknya bayi laki-
laki tersebut diberi nama Raden Suman.
Resiwara Bisma berbisik apakah Suman itu singkatan dari “nafsu siluman”, yaitu sebagai
pengingat bahwa si bayi laki-laki adalah hasil kejahatan Gandarwa Sutibar? Prabu Kresna
Dwipayana menjawab bahwa Suman adalah nama lain Batara Wisnu. Dengan demikian, apabila
nama Raden Suman dipanggil, maka itu sama saja dengan mengharap kehadiran Batara Wisnu,
sang pemelihara ketertiban dunia agar segera lahir ke dunia.
Prabu Suwala menerima saran Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Ia pun memberi nama
Raden Suman kepada bayi laki-laki yang dilahirkan istrinya. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna
Dwipayana dan Resiwara Bisma mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina disertai para
panakawan.
PANDU SRAYA
Kisah ini menceritakan tentang kepahlawanan masa kecil ayah para Pandawa, yaitu
Raden Pandu yang menjadi jago Kahyangan Suralaya menumpas Prabu Nagapaya dari
Kerajaan Guabarong. Pertempuran ini menjadi cikal-bakal permusuhan turun-temurun
antara keluarga kedua pihak.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang saya olah dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 06 Desember 2015
Heri Purwanto
Batara Indra lalu melapor kepada Batara Guru tentang kekalahannya. Baru melawan
Patih Danupaya saja sudah terdesak, apalagi jika menghadapi Prabu Nagapaya, entah
bagaimana hasilnya. Batara Guru mengheningkan cipta sejenak, kemudian mengutus
Batara Narada pergi ke Kerajaan Hastina menjemput putra kedua Prabu Kresna
Dwipayana, yaitu Raden Pandu supaya dijadikan sebagai jago kahyangan. Batara Indra
merasa heran, mana mungkin seorang anak kecil berumur tujuh tahun dapat menumpas
Prabu Nagapaya dan Patih Danupaya? Namun, karena Batara Guru sudah meramalkan
demikian, maka ia pun berusaha meyakinkan diri.
Batara Narada segera berangkat meninggalkan Kahyangan Suralaya menuju
Kerajaan Hastina untuk melaksanakan tugas tersebut.
Belum puas Prabu Kresna Dwipayana melepas rindu dengan ketiga putranya, tiba-tiba
muncul seorang raja bernama Prabu Dasabahu dari Kerajaan Sriwedari, yang mengaku
masih sepupu jauh Prabu Kresna Dwipayana. Prabu Dasabahu menjelaskan bahwa Prabu
Kresna Dwipayana adalah putra Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara adalah putra dari
pasangan Batara Sakri dan Dewi Sati. Dewi Sati memiliki adik bernama Prabu Partana, dan
mereka berdua adalah putra-putri Prabu Partawijaya dari Kerajaan Gujulaha atau
Tabelasuket. Setelah ayahnya meninggal, Prabu Partana mendirikan Kerajaan Sriwedari
(bekas taman sari Kerajaan Mahespati milik Prabu Arjunasasrabahu). Kemudian Prabu
Partana digantikan putranya yang bernama Prabu Partayadnya, yang merupakan ayah dari
Prabu Dasabahu tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana gembira mengetahui bahwa Prabu Dasabahu yang ada di
hadapannya kini ternyata masih saudara sepupu tingkat dua dengannya. Setelah hubungan
mereka lebih akrab, Prabu Dasabahu pun menjelaskan maksud kedatangannya adalah
ingin meminta tolong kepada Prabu Kresna Dwipayana untuk memadamkan wabah
penyakit yang kini melanda Kerajaan Sriwedari. Menurut petunjuk dewata yang ia peroleh,
wabah tersebut berasal dari gangguan makhluk halus yang hanya bisa dipadamkan jika
dipasangi tumbal. Adapun orang yang harus memasang tumbal adalah putra kedua raja
Hastina yang bernama Raden Pandu Dewayana.
Prabu Kresna Dwipayana ragu-ragu apakah mungkin putra keduanya mampu
memadamkan wabah penyakit di Kerajaan Sriwedari tersebut. Resiwara Bisma berusaha
meyakinkannya bahwa Raden Pandu memiliki bakat alamiah sejak lahir, dan ia melihat
sendiri bagaimana keponakannya itu saat berusia tujuh tahun mampu menumpas Prabu
Nagapaya raja Guabarong yang menyerang Kahyangan Suralaya. Prabu Kresna
Dwipayana menjawab bahwa keberhasilan Raden Pandu di Kahyangan Suralaya dulu
adalah berkat perlindungan dewata. Resiwara Bisma pun membalas, jika nanti Raden
Pandu diizinkan berangkat ke Kerajaan Sriwedari juga tetap mendapatkan perlindungan
dewa, yaitu Batara Ismaya yang berwujud Kyai Semar.
Prabu Kresna Dwipayana menyadari kekeliruannya yang terlalu mementingkan kasih
sayang pribadi sehingga meragukan petunjuk dewata yang diterima Prabu Dasabahu. Ia
pun mengizinkan Raden Pandu ikut Prabu Dasabahu pergi, tentu saja dengan diiringi para
panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Pandu menerima perintah tersebut dengan senang hati. Ia lalu berangkat
bersama Prabu Dasabahu menuju Kerajaan Sriwedari.
Arya Sanggrisma untuk memasuki alam roh yang semestinya. Sebagai tebusan, Resi
Sangki memberikan pusaka gaib kepada Raden Pandu berupa Kantong Arumba dan
Minyak Pranawa. Raden Pandu pun bersedia membebaskan Patih Praswa dan Arya
Sanggrisma. Keduanya lalu pergi bersama-sama Resi Sangki meninggalkan kerajaan gaib
Setragopaya menuju alam keabadian.
menyempurnakan para arwah penasaran tersebut sehingga mereka dapat memasuki alam
baka dengan tenang.
Melihat itu, Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna semakin yakin dan mereka pun
menyampaikan niat untuk belajar ilmu kesempurnaan kepada raja Hastina tersebut. Prabu
Kresna Dwipayana menerima niat baik mereka dengan senang hati supaya nantinya dapat
diajarkan pula kepada pihak lain yang sungguh-sungguh menginginkannya.
GANDAMANA LAHIR
Kisah ini menceritakan lahirnya Raden Gandamana yang kelak menjadi patih Kerajaan
Hastina, yang mengabdi kepada Prabu Pandu Dewanata. Juga saya sisipkan kisah
pertama kali bertemunya Raden Pandu dengan Dewi Madrim yang kelak menjadi
jodohnya.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas Ki Anom Suroto yang saya padukan
dengan buku Kempalan Balungan karya Ki Suratno Guno Wihardjo, serta buku
Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai Pustaka.
Kediri, 30 Desember 2015
Heri Purwanto
Raden Gandamana
Melihat Dewi Jarwati bunuh diri, Raden Pandu sangat menyesal dan menangisinya.
Pada saat itulah datang Resi Jarwada yang sangat terkejut melihat kakaknya telah
meninggal. Ia pun marah dan hendak melampiaskan sakit hatinya kepada Raden Pandu.
Buru-buru Kyai Semar melerai mereka. Ia pun membujuk Resi Jarwada supaya naik ke
kahyangan meminta kepada para dewa agar menghidupkan kembali Dewi Jarwati. Resi
Jarwada menerima saran tersebut dan segera berangkat menuju Kahyangan Suralaya
sambil menggendong jasad kakaknya.
Setelah Resi Jarwada pergi, Raden Pandu dan para panakawan pun berangkat
melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Pancala.
Setelah tugas pertamanya selesai, Batara Narada segera mengambil bayi Raden
Gandamana yang sedang dipangku Raden Pandu dan buru-buru membawanya pergi ke
kahyangan. Seketika para hadirin pun geger karena Raden Gandamana tiba-tiba musnah,
terutama Prabu Gandabayu yang meminta Raden Pandu untuk bertanggung jawab atas
peristiwa ini.
Prabu Kresna Dwipayana yang berpandangan tajam dapat mengetahui kalau bayi
Raden Gandamana sebenarnya telah dibawa oleh Batara Narada naik ke kahyangan.
Mendengar penjelasan sang ayah, Raden Pandu segera berangkat dengan disertai para
panakawan menyusul Batara Narada.
Candabirawa. Dari jarinya tiba-tiba muncul sesosok raksasa kerdil yang ganas dan
beringas. Ketika raksasa itu dilukai oleh Prabu Mandrapati, tiba-tiba jumlahnya bertambah
banyak menjadi sepuluh kali lipat. Semakin dilukai akan semakin bertambah banyak.
Menyadari hal ini, Prabu Mandrapati merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Prabu Kresna Dwipayana menyarankan supaya Prabu Mandrapati menghadapi
raksasa-raksasa itu dengan sikap mengheningkan cipta, pasrah tanpa perlawanan.
Sungguh aneh, begitu Prabu Mandrapati melaksanakan saran tersebut, secara ajaib
raksasa-raksasa kerdil itu berkurang jumlahnya, hingga akhirnya kembali menjadi seorang
saja dan masuk kembali ke dalam jari Resi Bagaspati.
Resi Bagaspati pun mengakui kekalahannya di hadapan Prabu Mandrapati, dan ia rela
menerima hukuman mati. Prabu Mandrapati bertanya mengapa Prabu Bagaskara melamar
Dewi Trilaksmi yang sudah bersuami, bukannya mencari wanita lain yang masih gadis.
Resi Bagaspati bercerita bahwa ia dan kakaknya itu semula memiliki istri bidadari. Istri
Prabu Bagaskara bernama Batari Satapi, putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu lahir
seorang putri yang kini telah tubuh remaja bernama Dewi Tapayati. Sementara itu, istri Resi
Bagaspati bernama Batari Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Dari perkawinan tersebut
lahir seorang putri pula bernama Dewi Pujawati. Pada suatu hari Batari Satapi dan Batari
Pudyastuti kembali ke kahyangan, membuat Dewi Tapayati merengek ingin memiliki ibu
baru. Prabu Bagaskara tidak tahu harus menikah dengan siapa, hingga akhirnya ia
bermimpi berjumpa istri Prabu Gandabayu yang bernama Dewi Trilaksmi. Begitu terbangun,
Prabu Bagaskara pun mengutus Patih Kurandayaksa untuk merebut Dewi Trilaksmi dari
suaminya.
Kini, Prabu Bagaskara telah tewas karena perbuatannya sendiri. Mendengar cerita
tersebut, Prabu Mandrapati menjadi terkesan dan membebaskan Resi Bagaspati.
Permusuhan di antara mereka pun berubah menjadi pertemanan. Resi Bagaspati lalu
mohon pamit kepada Prabu Mandrapati dan Prabu Kresna Dwipayana untuk kembali ke
Pulau Nusabelah menjemput putrinya yang bernama Dewi Pujawati, serta keponakannya,
yaitu Dewi Tapayati. Setelah itu, Resi Bagaspati berniat membangun pertapaan di puncak
Gunung Argabelah.
Sementara itu, Patih Kurandayaksa sangat kecewa melihat rajanya tewas, sedangkan
Resi Bagaspati menyerah kalah dan kini berteman dengan musuh. Ia pun mengumpulkan
sisa-sisa prajurit raksasa yang masih hidup dan mengajak mereka pergi untuk membangun
sebuah kerajaan baru. Namun sebelum itu, ia berniat menculik Dewi Tapayati dan
menjadikannya sebagai istri, karena sudah sejak lama ia jatuh cinta kepada putri rajanya
tersebut.
SAYEMBARA KUNTI
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Narasoma dengan Dewi Setyawati atau
Endang Pujawati, putri Bagawan Bagaspati, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden
Karna Basusena, putra Batara Surya yang lahir dari Dewi Kunti. Kisah ditutup dengan
kemenangan Raden Pandu memboyong tiga orang putri sekaligus, yaitu Dewi Kunti,
Dewi Madrim, dan Dewi Gendari. Mereka bertiga kelak akan melahirkan para
Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan sinetron Karmapala karya
Imam Tantowi, serta penjelasan dari Ki Manteb Soedharsono dalam acara Sarasehan
Budaya.
Kediri, 28 April 2016
Heri Purwanto
apabila adiknya diperistri Prabu Sudarma. Dasar watak Raden Narasoma yang angkuh
membuat Prabu Sudarma tersinggung. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Narasoma lama-lama terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak.
Sungguh beruntung, Raden Pandu dan para panakawan kebetulan lewat di tempat itu.
Melihat Raden Narasoma dalam bahaya, Raden Pandu segera membantu. Ia mengerahkan
ilmu Angin Garuda, membuat Prabu Sudarma beserta seluruh pasukannya terlempar jauh
entah ke mana.
Raden Narasoma dan Raden Pandu sudah saling kenal sejak sama-sama
mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala dulu. Raden Narasoma
bercerita bahwa perselisihannya dengan Prabu Sudarma adalah karena ia tidak rela jika
raja Trigarta tersebut menjadi suami adiknya. Ia lebih suka jika Dewi Madrim menjadi istri
Raden Pandu agar hubungan kekerabatan antara sesama keturunan Resi Manumanasa
dapat lebih akrab. Raden Pandu mengaku tidak berani karena ia belum mendapatkan
perintah dari ayahnya (Prabu Kresna Dwipayana) untuk menikah.
Dalam pertemuan kali ini, Raden Narasoma kagum melihat kesaktian Raden Pandu.
Ia pun berniat untuk mencari guru yang bisa mengajarkan ilmu kesaktian tingkat tinggi
kepadanya. Sebagai calon raja Mandraka, tentunya ia sangat membutuhkan ilmu andalan
demi melindungi negerinya. Raden Pandu mendukung niat Raden Narasoma tersebut. Ia
bahkan mempersilakan para panakawan untuk mendampingi Raden Narasoma selama
berkelana mencari guru. Ia menjelaskan bahwa Kyai Semar bukan sekadar pengasuh,
tetapi merupakan kakak ipar Resi Manumanasa yang memiliki pengalaman luas serta
kebijaksanaan luar biasa. Sudah tentu nasihat-nasihatnya akan sangat berguna bagi Raden
Narasoma.
Raden Narasoma sangat berterima kasih. Ia pun berpamitan kepada Raden Pandu
kemudian berangkat bersama Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong mencari
pengalaman hidup.
pingsan karena terlalu sedih. Dewi Setyawati pun berhenti dan segera merawat mertuanya
itu.
harus menyentuh tubuhnya. Meskipun tanpa bersentuhan, namun Dewi Kunti tetap saja
bisa mengandung putra Batara Surya, hasil dari hubungan tersebut.
Raden Basudewa menanyakan kebenaran cerita itu kepada Dewi Kunti. Dengan
sangat malu dan sambil menangis, Dewi Kunti mengiyakan. Kini, ia telah hamil empat bulan
padahal sebentar lagi akan diadakan sayembara pilih untuknya. Raden Basudewa merasa
peristiwa ini adalah aib besar bagi Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun dimintai tolong
untuk mencarikan jalan keluar bagi masalah ini.
Pendeta tua itu segera mengheningkan cipta dan tangannya menyentuh perut Dewi
Kunti. Secara berangsur-angsur kandungan Dewi Kunti bertambah besar. Hanya dalam
beberapa menit saja, kandungan tersebut menjadi matang dan siap dilahirkan. Tidak lama
kemudian Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa merasakan sakit sama
sekali. Sungguh ajaib, bayi laki-laki itu keluar dari kandungan dengan memakai anting-
anting dan baju zirah bergambar matahari.
Raden Basudewa sangat berterima kasih atas bantuan Resi Druwasa. Demi untuk
menyembunyikan aib yang telah dialami adiknya, Raden Basudewa bersedia menjadi ayah
angkat bagi bayi tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri. Raden Basudewa pun
memberi nama bayi itu, Raden Basusena.
Dewi Kunti sebenarnya sangat sayang kepada putranya yang tampan itu. Namun,
demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, maka ia pun merelakan bayinya diambil oleh
Raden Basudewa. Sebagai kenang-kenangan, Dewi Kunti memberikan nama panggilan
untuk bayinya, yaitu Raden Karna, yang bermakna “telinga”. Ini sebagai pengingat bahwa
putranya itu sejak dilahirkan sudah memakai anting-anting di kedua telinganya.
Resi Druwasa menyerahkan bayi laki-laki itu kepada Kyai Adirata dan Nyai Rada, serta
menjelaskan bahwa bayi tersebut adalah putra Batara Surya sebagai jawaban atas doa
mereka setiap pagi. Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bahagia dan merasa mendapatkan
kehormatan luar biasa karena dipercaya untuk mengasuh putra seorang dewa. Setelah
dirasa cukup, Resi Druwasa pun lenyap dari pandangan.
Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bersyukur karena dewata telah mengabulkan doa
mereka. Mereka pun berjanji akan selalu menyayangi bayi tersebut seperti anak kandung
sendiri. Sungguh ajaib, tiba-tiba payudara Nyai Rada dapat mengeluarkan air susu yang
langsung digunakannya untuk menyusui bayi tampan itu. Karena bayi laki-laki ini adalah
putra Batara Surya, maka Kyai Adirata pun memberinya nama Suryaputra, atau Suryatmaja.
Namun, untuk sehari-harinya bayi tersebut cukup dipanggil Radeya saja, supaya tidak
terlalu mencolok. Nyai Rada setuju. Mereka berdua lalu pulang ke rumah dengan perasaan
bahagia.
menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Gendari untuk diboyong ke Kerajaan Hastina.
Raden Pandu pun menerima tantangan tersebut.
Pertarungan dimulai. Hanya dalam beberapa serangan, Raden Pandu berhasil
menewaskan Prabu Gendara. Sebelum meninggal, Prabu Gendara sempat berpesan
kepada adik-adiknya untuk tidak membalas dendam. Ia telah merelakan kematiannya demi
untuk menjadi sarana kebahagiaan Dewi Gendari.
Dewi Gendari, Raden Suman, dan yang lain terharu melihat pengorbanan sang kakak.
Mereka lalu membagi rombongan menjadi dua. Dewi Gendari dan Raden Suman mengikuti
Raden Pandu pergi ke Kerajaan Hastina sesuai perjanjian tadi, sedangkan Raden
Anggajaksa dan Raden Sarabasanta membawa pulang jenazah Prabu Gendara.
PANDU GROGOL
Kisah ini menceritakan Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi Bagawan Abyasa,
sedangkan Raden Pandu dilantik menjadi raja Hastina menggantikan dirinya. Kisah
dilanjutkan dengan awal mula Raden Suman (yang kelak menjadi Patih Sengkuni)
menetap di Hastina, serta kisah Prabu Pandu mendapatkan kutukan setelah memanah
dua ekor kijang penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita dan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan
sedikit pengembangan.
Kediri, 02 Mei 2016
Heri Purwanto
yang pantas menjadi raja. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden Dretarastra adalah
putra sulung Prabu Kresna Dwipayana, namun sayangnya, ia menderita cacat tunanetra
sejak lahir. Oleh sebab itu, Resiwara Bisma mengusulkan agar Raden Pandu saja yang
dilantik sebagai raja baru di Kerajaan Hastina.
Raden Dretarastra tertunduk kecewa mendengar usulan Resiwara Bisma. Namun, ia
menyadari bahwa dirinya memang memiliki kekurangan. Akhirnya, ia pun setuju jika Raden
Pandu yang diangkat sebagai raja. Sebaliknya, Raden Pandu merasa tidak enak hati
kepada sang kakak. Ia memohon kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma
agar Raden Dretarastra saja yang diangkat sebagai raja.
Raden Yamawidura si bungsu dipersilakan ikut bicara. Ia mencoba bersikap adil
dengan menguraikan alasan mengapa Resiwara Bisma tidak setuju jika Raden Dretarastra
yang menjadi raja. Menurut Raden Yamawidura, seorang raja yang tunanetra sangat mudah
untuk dihasut pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan. Bahkan, seorang raja yang
memiliki penglihatan sehat saja masih dapat tertipu oleh laporan palsu, apalagi seorang raja
yang tidak dapat melihat secara langsung. Memang benar, andaikan Raden Dretarastra
menjadi raja, ia akan dilindungi oleh Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Krepa, dan
sebagainya. Akan tetapi, tidak mungkin setiap hari setiap malam mereka selalu berada di
sisi raja. Yang dikhawatirkan adalah munculnya orang licik yang bisa menyampaikan
laporan palsu pada saat raja sedang sendirian.
Setelah mendengar uraian dari Raden Yamawidura tersebut, semua orang kini merasa
jelas duduk perkaranya. Raden Dretarastra pun menyatakan rela dan senang jika adiknya
yang dilantik. Lagipula kehebatan Raden Pandu sudah terbukti, antara lain pernah menjadi
jago dewa menumpas Prabu Nagapaya, kemudian mengamankan Kerajaan Sriwedari dan
Singgela, hingga memenangkan sayembara pilih di Kerajaan Mandura.
Karena semua pihak sudah menyatakan setuju, Prabu Kresna Dwipayana pun
menetapkan Raden Pandu sebagai raja yang baru di Kerajaan Hastina menggantikan
dirinya. Raden Pandu tidak dapat menolak lagi. Ia pun menyatakan bersedia menerima
keputusan tersebut.
Maka, pada hari itu pula Raden Pandu Dewayana dilantik menjadi raja, bergelar Prabu
Pandu Dewanata. Adapun Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi pendeta di Gunung
Saptaarga, bergelar Bagawan Abyasa.
Kini, Prabu Pandu telah resmi menjadi raja. Ia pun memberikan kedudukan kepada
sang kakak, yaitu Raden Dretarastra sebagai raja bawahan di kota lama Hastina, yaitu
Gajahoya. Raden Dretarastra menerima keputusan tersebut, dan ia pun bergelar Adipati
Dretarastra.
Prabu Trigantalpati sejak kecil sangat menyayangi kakaknya itu. Setelah membaca
surat tersebut, ia pun mengolah akal bagaimana caranya untuk bisa menetap di Kerajaan
Hastina, agar bisa menyingkirkan Prabu Pandu dan keturunannya. Prabu Trigantalpati lalu
mengirim surat kepada seorang raja bernama Prabu Suwelaraja di Kerajaan Surasrata.
Surat tersebut ditulisnya sendiri, namun seolah-olah ditulis oleh Dewi Kunti.
dalam hidupnya. Baginya, duduk di atas takhta Gandaradesa tidak ada artinya jika hidupnya
jauh dari sang kakak.
Adipati Dretarastra yang hadir di tempat itu pun menjelaskan bahwa setiap hari istrinya
selalu bercerita tentang Prabu Trigantalpati. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dan
saling menyayangi sehingga tidak bisa hidup berjauhan satu sama lain. Maka, Adipati
Dretarastra pun berlawanan pendapat dengan Raden Yamawidura. Ia meminta agar Prabu
Pandu mengabulkan keinginan Prabu Trigantalpati menjadi punggawa Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu akhirnya menerima saran dari kakaknya. Ia pun menerima Prabu
Trigantalpati sebagai punggawa di Kerajaan Hastina. Tidak hanya itu, ia juga memberikan
sebidang tanah di daerah Plasajenar sebagai tempat tinggal Prabu Trigantalpati. Adapun
letak Plasajenar berdekatan dengan kota lama Gajahoya, tempat tinggal Adipati Dretarastra
dan Dewi Gendari, sehingga Prabu Trigantalpati bisa setiap saat bertemu dengan kakaknya
tersebut.
Prabu Trigantalpati sangat berterima kasih. Ia pun mengangkat kedua adiknya sebagai
raja wakil di Gandaradesa, dengan gelar Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu
Sarabasanta. Prabu Trigantalpati sendiri mulai saat itu tinggal di Plasajenar sebagai
punggawa Kerajaan Hastina, dan ia kembali memakai nama lama, yaitu Arya Suman.
Sementara itu, Raden Yamawidura merasa kecewa dalam hati. Namun, karena Prabu
Pandu sudah memutuskan demikian, ia tidak kuasa menentang lagi. Dalam hatinya muncul
firasat bahwa Arya Suman kelak akan menjadi sumber kekacauan di Kerajaan Hastina.
Resi Kindama pun mengubah wujudnya menjadi kijang jantan, serta mengubah wujud Rara
Dremi menjadi kijang betina. Keduanya lalu berzinah dalam wujud hewan tersebut. Tak
disangka, tiba-tiba Prabu Pandu datang dan memanah mereka berdua.
Prabu Pandu menyesal telah berbuat ceroboh. Ia pun meminta maaf dan menawarkan
pengobatan untuk luka Resi Kindama. Namun, Resi Kindama menolak tegas. Ia merasa
tidak ingin hidup lagi setelah kekasihnya tewas. Pendeta itu pun mengutuk Prabu Pandu
kelak akan kehilangan kesaktiannya jika bersetubuh dengan istrinya. Setelah mengutuk
demikian, Resi Kindama lalu tewas menyusul Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat menyesal. Ia pun menguburkan kedua jasad tersebut, kemudian
mengajak rombongan kembali ke Kerajaan Hastina.
KISAH
PANDAWA -
KURAWA
KITAB WAYANG PURWA
PUNTADEWA LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran putra pertama Prabu Pandu, yaitu Raden Puntadewa
yang merupakan sulung dari Pandawa Lima. Kisah diawali dengan Resi Druwasa
mengubah Raden Seta, putra Prabu Matsyapati menjadi tiga bayi, yang diberi nama
Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka. Kemudian dilanjutkan dengan
pelantikan Prabu Salya sebagai raja Mandraka, serta kisah awal mula negeri Awangga
menjadi bawahan Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dan Serat Pedalangan karya Adipati Mangkunagara VII,
dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Mei 2016
Heri Purwanto
Batara Darma
Prabu Matsyapati lalu memohon kepada Resi Druwasa agar mengabulkan keinginan
keponakannya itu. Resi Druwasa terkesan melihat ketulusan Arya Nirbita. Ia
mengheningkan cipta sesaat dan melihat gambaran di masa depan bahwa Raden Seta,
Raden Utara, dan Raden Wratsangka akan gugur semua dalam sebuah perang besar di
Tegal Kurusetra, sedangkan Arya Nirbita selamat. Bahkan, Arya Nirbita kemudian menjadi
ahli waris Kerajaan Wirata menggantikan Prabu Matsyapati. Resi Druwasa lalu membuka
mata namun tidak tega menyampaikan ramalan tersebut kepada Prabu Matsyapati dan
Dewi Sudaksina.
Tanpa banyak bicara, Resi Druwasa lalu membaca mantra dan mengubah tubuh Arya
Nirbita kembali menjadi bayi. Ia kemudian menyerahkan bayi tersebut kepada Prabu
Matsyapati dan Dewi Sudaksina untuk diasuh bersama-sama dengan Raden Seta, Raden
Utara, dan Raden Wratsangka. Setelah itu, Resi Druwasa mohon pamit kepada mereka
berdua. Ia berkata bahwa ini mungkin adalah pertemuan yang terakhir bagi mereka. Setelah
berkata demikian, pendeta tua itu pun lenyap dari pandangan, pergi entah ke mana.
Raden Narasoma sangat marah dan hampir saja terjun ke medan perang. Namun,
tiba-tiba datang pasukan Hastina yang dipimpin Adipati Dretarastra yang langsung
membantu pihak Mandraka. Patih Taksana meremehkan Adipati Dretarastra yang
tunanetra. Namun, begitu terpegang oleh lawan, tubuh Patih Taksana langsung hancur
menjadi abu terkena Aji Leburgeni milik raja wakil dari Hastina tersebut.
tunanetra. Namun, begitu terpegang oleh lawan, tubuh Patih Taksana langsung hancur
menjadi abu terkena Aji Leburgeni milik raja wakil dari Hastina tersebut.
Demikianlah, silsilah Resi Druwasa terhitung sebagai sepupu Batara Sakri (putra Resi
Satrukem), sehingga Bagawan Abyasa pun memanggil “eyang” kepadanya. Hari itu, Resi
Druwasa datang ke Gunung Saptaarga untuk berpamitan karena sudah tiba saatnya ia
meninggalkan dunia fana. Ia selalu teringat masa mudanya yang berwatak jahat karena
setiap hari dihasut oleh ayahnya (Resi Dwapara) untuk memusuhi keluarga Resi
Manumanasa. Namun, berkat kesabaran Resi Manumanasa dalam mendidiknya, sedikit
demi sedikit watak jahat Resi Druwasa luntur dan kini ia pun menjadi pendeta tua yang
welas asih dan selalu berusaha membantu siapa saja yang kekurangan.
tersebut. Dalam pertempuran itu, Prabu Rudraksa akhirnya tewas terkena panah
Mustikajamus yang dilepaskan Prabu Pandu.
Melihat rajanya tewas, para prajurit raksasa merinding ketakutan. Tiba-tiba salah
seorang raksasa berpakaian pangeran maju memberi hormat kepada Prabu Pandu. Ia
mengaku sebagai putra Prabu Rudraksa yang bernama Raden Kalakarna. Raksasa muda
itu memohon ampun atas kesalahan ayahnya dan ia pun bersedia menerima hukuman dari
Prabu Pandu.
Prabu Pandu terkesan melihat sikap sopan Raden Kalakarna. Ia pun mengizinkan
raksasa muda itu kembali ke negerinya dan menjadi pemimpin di sana. Namun demikian,
mulai saat ini Awangga harus menjadi negeri bawahan Kerajaan Hastina. Raden Kalakarna
mematuhi dan bersedia melaksanakan keputusan tersebut. Prabu Pandu merasa puas dan
mempersilakan Raden Kalakarna beserta pasukannya pulang ke Awangga dengan
membawa serta jasad Prabu Rudraksa.
Setelah keadaan kembali tenang, Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman
pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina. Di sepanjang jalan, Arya Suman berpikir
bagaimana caranya agar dapat menyingkirkan putra Prabu Pandu yang ternyata lahir lebih
dulu dibanding putra kakaknya.
DRUPADA KAWISUDA
Kisah ini menceritakan Prabu Pandu meninggalkan Gunung Saptaarga untuk kembali
memimpin Kerajaan Hastina, di mana ia bertemu Raden Sucitra dari negeri Atasangin.
Selanjutnya Prabu Pandu membantu Raden Sucitra memenangkan sayembara yang
diadakan Raden Gandamana di Kerajaan Pancala. Setelah sayembara itu, Raden
Gandamana ikut mengabdi di Kerajaan Hastina sebagai patih, sedangkan Raden Sucitra
menjadi raja Pancala, bergelar Prabu Drupada.
Kisah ini saya susun dan saya olah sedemikian rupa dengan memadukan sumber Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan buku
Kempalan Balungan Pedhalangan karya Ki Suratno Guno Wihardjo.
Kediri, 13 Mei 2016
Heri Purwanto
berupa Mangga Pertanggajiwa yang bisa digunakan untuk menanam benih Prabu Pandu di
dalam rahim kedua istrinya. Dengan cara demikian, Prabu Pandu bisa mendapatkan
keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Bahkan, berkat sarana itu, Dewi Kunti
telah melahirkan Raden Puntadewa dengan bantuan Batara Darma.
Prabu Pandu kini tidak memiliki rasa khawatir lagi. Soal kutukan Resi Kindama akan
ia cegah sekuat tenaga dengan cara puasa senggama. Sedangkan mengenai dosa atas
pembunuhan Rara Dremi akan ia tebus dengan cara membantu orang sebanyak-
banyaknya dan melayani rakyat sebaik-baiknya.
Batara Narada dan Bagawan Abyasa terkesan mendengar jawaban Prabu Pandu.
Batara Narada lalu mengabarkan bahwa Kerajaan Hastina baru saja kehilangan menteri
utamanya, yaitu Patih Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit. Adipati Dretarastra
telah mengutus Raden Yamawidura untuk menyampaikan dua nama, yaitu Arya
Banduwangka dan Arya Suman kepada Prabu Pandu untuk dipilih salah satu menjadi patih
yang baru. Namun demikian, Batara Narada memberikan petunjuk bahwa calon patih yang
pantas untuk menggantikan Patih Jayayatna bukanlah mereka, tetapi Raden Gandamana,
pangeran Kerajaan Pancala.
Prabu Pandu heran mengapa Raden Gandamana yang harus menjadi patih Hastina,
bukankah dia adalah pangeran mahkota Kerajaan Pancala, putra dari Prabu Gandabayu?
Batara Narada pun menjelaskan bahwa pangeran mahkota Kerajaan Pancala yang
sesungguhnya bernama Raden Sucitra, yang saat ini sedang bertapa di kaki Gunung
Saptaarga. Adapun Raden Gandamana sudah mengetahui sejarah keluarganya dan ia tidak
memiliki keinginan menjadi raja Pancala. Oleh sebab itu, Batara Narada pun menugasi
Prabu Pandu untuk bisa mempertemukan Raden Sucitra dengan Prabu Gandabayu.
Dengan demikian, maka Raden Gandamana akan ikut mengabdi kepada Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu mematuhi perintah tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada
segera undur diri kembali ke kahyangan.
Baradwaja pun memerintahkan Raden Sucitra selaku ahli waris sah Kerajaan Duhyapura
untuk meminta haknya kepada Patih Suganda yang kini bergelar Prabu Gandabayu itu.
Maka, berangkatlah Raden Sucitra ke Tanah Jawa. Namun, ia merasa bimbang
karena tidak mungkin Prabu Gandabayu menyerahkan takhta begitu saja kepada dirinya.
Meskipun Prabu Gandabayu adalah mantan bawahan Prabu Drupara, tapi Kerajaan
Pancala adalah hasil keringatnya sendiri, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada orang
lain semudah itu.
Karena bingung harus meneruskan perjalanan ke Pancala ataukah pulang ke
Atasangin, Raden Sucitra akhirnya duduk bersamadi di pinggir jalan. Ia lalu didatangi Batara
Narada yang memberikan petunjuk bahwa dirinya akan mendapatkan kembali hak atas
takhta apabila mengabdi kepada seorang raja bernama Prabu Pandu Dewanata. Untuk itu,
Batara Narada pun memerintahkan Raden Sucitra agar bertapa di kaki Gunung Saptaarga.
Kelak, Prabu Pandu sendiri yang akan membangunkannya dari samadi.
Prabu Pandu terkesan mendengar cerita Raden Sucitra. Ia pun menerima pengabdian
laki-laki dari tanah seberang itu dan mengajaknya bersama-sama menuju Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu berterima kasih kepada sang kakak yang telah memimpin Kerajaan
Hastina dengan baik selama dirinya menyepi di Gunung Saptaarga. Adipati Dretarastra dan
Resiwara Bisma lalu menjelaskan perihal kematian Patih Jayayatna dan menyerahkan
kepada Prabu Pandu untuk memilih siapa yang menjadi penggantinya, apakah Arya
Banduwangka yang sakti, ataukah Arya Suman yang cerdas.
Prabu Pandu menjawab bahwa dirinya telah mendapatkan petunjuk dari dewata,
bahwa bukan mereka yang akan menduduki jabatan patih. Sebentar lagi akan ada orang
lain yang sama saktinya dengan Arya Banduwangka, dan juga sama cerdasnya dengan
Arya Suman. Orang itulah yang akan dilantik sebagai patih Kerajaan Hastina oleh Prabu
Pandu.
Tiba-tiba muncul seorang punggawa yang mengaku berasal dari Kerajaan Pancala.
Punggawa itu bernama Arya Drestaketu yang membawa surat undangan dari rajanya, yaitu
Prabu Gandabayu. Prabu Pandu menerima surat tersebut dan membaca isinya, bahwa
Prabu Gandabayu mengundang para raja dan pangeran dari berbagai negeri untuk
mengikuti sayembara tanding melawan Raden Gandamana demi mendapatkan jodoh untuk
Dewi Gandawati.
Prabu Pandu merasa ini adalah kesempatan baginya untuk membantu Raden Sucitra
mendapatkan haknya, sekaligus menarik Raden Gandamana menjadi menteri utama
Kerajaan Hastina. Maka, Prabu Pandu pun menyanggupi undangan tersebut dan
mempersilakan Arya Drestaketu kembali ke negeri Pancala untuk melapor kepada rajanya.
Sepeninggal Arya Drestaketu, Prabu Pandu lalu menjelaskan kepada Resiwara Bisma
dan Adipati Dretarastra bahwa melalui sayembara di negeri Pancala inilah, Kerajaan
Hastina akan mendapatkan seorang patih baru yang bijaksana, sakti, dan cerdas. Resiwara
Bisma dan Adipati Dretarastra pun menyetujui rencana Prabu Pandu jika itu memang sudah
menjadi kehendak dewata.
Maka, setelah dirasa cukup Prabu Pandu pun mengajak Raden Sucitra berangkat
menuju Kerajaan Pancala dengan diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong.
dapat membandingkan bahwa kesaktian Raden Sucitra selaku murid Resi Baradwaja
memang berada di atas rata-rata para pelamar lainnya.
Setelah bertarung cukup lama, tiba-tiba pandangan Raden Sucitra tertuju kepada Dewi
Gandawati yang duduk di samping ayah dan ibunya. Ternyata Dewi Gandawati juga
memerhatikan Raden Sucitra, sehingga saat mata mereka saling beradu pandang, seketika
perasaan Raden Sucitra bagaikan melayang di awang-awang. Akibatnya, Raden Sucitra
menjadi lengah dan tubuhnya tertangkap oleh Raden Gandamana. Sekejap kemudian,
Raden Gandamana pun melemparkan tubuh Raden Sucitra keluar dari gelanggang.
Prabu Pandu segera mendatangi Raden Sucitra dan memintanya untuk kembali
menantang Raden Gandamana. Raden Sucitra mengaku tidak sanggup karena kesaktian
Raden Gandamana berada di atas dirinya. Prabu Pandu meminta Raden Sucitra lebih
memusatkan perhatian kepada lawan dan jangan melihat ke arah Dewi Gandawati. Prabu
Pandu memintanya untuk berusaha dengan sebaik-baiknya, tanpa terlena oleh hadiah apa
yang akan didapatkannya nanti.
Raden Sucitra masih ragu-ragu apakah dirinya bisa mengalahkan Raden Gandamana.
Prabu Pandu lalu melepas sumping di telinganya dan mengatakan bahwa ini adalah
sumping pusaka pemberian dewata. Barangsiapa memakai sumping tersebut maka
kekuatannya akan meningkat seratus kali lipat. Raden Sucitra sangat senang menerimanya.
Ia pun memakai sumping tersebut di telinga dan berangkat menantang Raden Gandamana
dengan penuh percaya diri.
Raden Gandamana senang melihat lawannya bangkit kembali dengan penuh
semangat. Keduanya lalu bertarung lagi dan saling mengerahkan kesaktian. Pertarungan
kali ini jauh lebih dahsyat. Raden Sucitra seolah tidak takut mati dan dengan sekuat tenaga
ia berhasil meringkus Raden Gandamana hingga meringkuk di atas gelanggang.
Raden Gandamana pun mengaku kalah dan menyatakan Raden Sucitra sebagai
pemenang sayembara ini. Raden Sucitra mengaku terus terang bahwa kemenangannya
adalah berkat sumping pusaka yang dipinjamkan oleh Prabu Pandu.
Prabu Pandu maju dan menjelaskan bahwa itu hanyalah sumping biasa sebagai
perhiasan telinga saja, sama sekali bukan sumping pemberian dewa. Kemenangan Raden
Sucitra semata-mata hanyalah karena rasa percaya dirinya telah bangkit dan ia pun
bertarung dengan lebih terarah. Rasa percaya diri itulah yang membuat Raden Sucitra
bersemangat dan mampu mengalahkan Raden Gandamana.
yang bernama Patih Suganda berhasil menyelamatkan harta pusaka negerinya dan pindah
ke Tanah Jawa.
Patih Suganda pun diterima Prabu Basukiswara raja Wirata dan mendapatkan hadiah
berupa Hutan Pancala sebagai tempat tinggal. Hutan tersebut dibuka menjadi kerajaan
yang baru, di mana Patih Suganda menjadi raja di sana, bergelar Prabu Gandabayu.
Mendengar cerita tersebut, Raden Gandamana menyimpulkan bahwa Raden Sucitra lebih
berhak menjadi raja Pancala dibanding dirinya. Batara Bayu pun memberikan petunjuk agar
Raden Gandamana menggelar acara sayembara tanding memperebutkan Dewi Gandawati.
Dengan cara demikian, maka Raden Sucitra akan muncul di Kerajaan Pancala dan bisa
menjadi menantu Prabu Gandabayu.
Mendengar cerita tersebut, Prabu Gandabayu sangat terkesan. Rupanya dewata telah
mengatur pertemuan antara dirinya dengan Raden Sucitra, putra mendiang majikannya
dulu. Jika memang Raden Gandamana selaku putra mahkota menolak menjadi raja, maka
tiada salahnya jika Raden Sucitra yang menduduki takhta Kerajaan Pancala. Hal ini
dianggap wajar karena Raden Sucitra telah resmi menjadi menantu Prabu Gandabayu, dan
selain itu, ia juga ahli waris sah dari Prabu Drupara, raja terakhir Duhyapura.
Raden Sucitra terharu mendengar ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan
hak atas takhta kepadanya. Meskipun dirinya adalah putra Prabu Drupara, namun baginya,
Kerajaan Pancala bukanlah miliknya, tetapi pemberian sang mertua atas keikhlasan Raden
Gandamana.
Maka, pada hari yang dianggap baik dilangsungkanlah upacara pernikahan antara
Raden Sucitra dan Dewi Gandawati. Beberapa hari kemudian, Prabu Gandabayu turun
takhta menjadi pendeta, bergelar Begawan Suganda. Raden Sucitra pun dilantik sebagai
raja Pancala yang baru, bergelar Prabu Drupada.
Sementara itu, Patih Jayarana juga mengundurkan diri dari jabatannya untuk
mengikuti Begawan Suganda ke pertapaan. Ia mengusulkan agar jabatannya sebagai patih
diserahkan kepada Arya Drestaketu saja. Prabu Drupada menerima usulan tersebut dan ia
pun melantik Arya Drestaketu sebagai patih yang baru untuk mendampingi dirinya.
memang Raden Gandamana sudah bertekad demikian, maka Prabu Drupada pun
mengizinkan adik iparnya itu mengabdi di Kerajaan Hastina.
Demikianlah, sesampainya di Kerajaan Hastina, Prabu Pandu pun mengumumkan
Raden Gandamana sebagai patih yang baru untuk menggantikan mendiang Patih
Jayayatna. Resiwara Bisma mendukung keputusan itu karena ia telah mendengar kisah
ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan haknya atas takhta Pancala kepada
Prabu Drupada. Begitu pula dengan Adipati Dretarastra dan Raden Yamawidura, mereka
pun setuju jika Prabu Pandu melantik Raden Gandamana sebagai patih Kerajaan Hastina.
Para menteri dan punggawa, seperti Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa,
dan Arya Bilawa juga menyatakan dukungan mereka. Hanya Arya Suman seorang diri yang
berani menyatakan ketidaksetujuannya. Ia menyebut Raden Gandamana adalah orang
Pancala, mana pantas menjadi patih di Kerajaan Hastina? Namun, Raden Yamawidura
segera membalas pertanyaan itu, bahwa Arya Suman juga orang Gandaradesa, tapi
mengapa berani mencalonkan diri sebagai patih di Hastina?
Arya Suman seketika terdiam tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menyimpan
kekesalan dalam hati. Dirinya pun bertekad suatu hari nanti harus bisa menyingkirkan
Raden Gandamana dan merebut jabatan patih Kerajaan Hastina.
KURAWA LAHIR
Kisah ini menceritakan Dewi Gendari melahirkan segumpal daging yang kemudian
pecah menjadi seratus potong dan diruwat oleh Bagawan Abyasa menjadi seratus
Kurawa. Juga diceritakan lahirnya Raden Bima, putra kedua Parabu Pandu yang
terbungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Kisah ditutup dengan awal
persahabatan antara Prabu Pandu dengan Prabu Tremboko, serta lahirnya Raden
Arimba dan Dewi Arimbi. Kelak Dewi Arimbi akan menjadi jodoh Raden Bima.
Kisah ini saya olah dengan sumber utama dari kitab Mahabharata karya Resi Wyasa,
dengan memasukkan unsur-unsur cerita pedalangan Jawa, serta beberapa dari Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Kediri, 21 Mei 2016
Heri Purwanto
Adipati Dretarastra
hancur berantakan. Arya Suman melihat banyak potongan daging berserakan di lantai yang
semuanya mengembang dan mengempis seperti bernapas. Ia segera mengumpulkan
semua daging-daging kecil tersebut dan setelah dihitung ternyata berjumlah seratus potong.
Adipati Dretarastra meminta maaf telah menyinggung perasaan istrinya dan ia pun
segera memanggil tabib untuk merawat Dewi Gendari, serta memerintahkan Arya Suman
untuk melaporkan peristiwa ini kepada Prabu Pandu di istana Hastina. Arya Suman pun
mohon pamit berangkat melaksanakan perintah.
bisa bernapas. Prabu Pandu sangat terkejut mendengarnya. Ia pun mengajak Resiwara
Bisma dan Raden Yamawidura berangkat menjenguk ke Gajahoya sebagaimana telah
direncanakan tadi. Adapun Patih Gandamana diperintahkan untuk tetap siaga dan waspada
menjaga keamanan Kerajaan Hastina.
Bagawan Abyasa mempersilakan Arya Suman jika ingin menunggui seratus periuk
tersebut. Ia lalu berpesan agar kelak anak-anak Adipati Dretarastra yang berjumlah seratus
hendaknya disebut para Kurawa, yang bermakna “anak-anak Kuru”, yaitu nama Adipati
Dretarastra saat masih muda. Sementara itu, Prabu Pandu yang telah diramalkan mendiang
Resi Druwasa akan memiliki lima orang anak, hendaknya kelima putranya itu disebut para
Pandawa, yang bermakna “anak-anak Pandu”.
Adipati Dretarastra dan Prabu Pandu berterima kasih atas segala bantuan sang ayah.
Bagawan Abyasa lalu undur diri kembali ke Gunung Saptaarga dengan ditemani Raden
Yamawidura dan para panakawan.
keras. Prabu Pandu berusaha merobek bungkus tersebut namun tidak berhasil. Batara
Bayu menjelaskan bahwa Pandawa yang nomor dua ini memang ditakdirkan harus
menjalani tapa brata sejak bayi di dalam bungkusnya. Kelak jika waktunya sudah tiba, akan
ada makhluk yang dikirim dewata untuk membuka bungkus tersebut. Prabu Pandu dan Dewi
Kunti diminta untuk bersabar menunggu meski harus bertahun-tahun lamanya, karena kelak
putra mereka itu akan keluar dari dalam bungkus dalam keadaan sakti mandraguna dan
memiliki keperkasaan di atas rata-rata manusia. Prabu Pandu pun diminta untuk meletakkan
bayi berbungkus tersebut di tengah Hutan Mandalasana. Setelah berpesan demikian,
Batara Bayu lalu terbang kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu dan Dewi Kunti merasa tidak tega meletakkan putra kedua mereka itu di
tengah hutan, namun mau tidak mau perintah dewa harus dilaksanakan. Prabu Pandu pun
memberi nama putra keduanya itu, Raden Bima, yang bermakna “dahsyat mengerikan”. Ia
lalu menggendong bayi berbungkus itu dan membawanya pergi menuju Hutan
Mandalasana.
diterima sebagai murid raja Hastina tersebut. Prabu Pandu mengabulkan permintaan Prabu
Tremboko. Namun demikian, ia menyuruh Prabu Tremboko memanggil “kakang” saja, dan
tidak perlu memanggil “guru” kepadanya.
Prabu Tremboko sangat berterima kasih. Sebagai bukti ketulusannya, ia meminta agar
Prabu Pandu memberikan nama untuk kedua anaknya yang baru lahir. Prabu Pandu pun
memberikan nama yang mirip dengan leluhur Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu Kuramba.
Anak laki-laki Prabu Tremboko hendaknya diberi nama Raden Arimba, sedangkan yang
perempuan hendaknya diberi nama Dewi Arimbi. Prabu Pandu juga memberikan restu
semoga mereka berdua kelak menjadi pribadi-pribadi yang berbudi luhur, meskipun
berwujud raksasa dan raksasi.
Prabu Tremboko lagi-lagi berterima kasih kepada Prabu Pandu. Ia lalu mohon pamit
kembali ke Kerajaan Pringgadani dan mengundang Prabu Pandu untuk berkunjung ke sana.
Prabu Pandu berjanji kelak pasti akan mengunjungi sahabat barunya tersebut.
Sementara itu, Raden Baka yang melihat dari jauh merasa kecewa karena kakaknya
kini bersahabat dengan musuh. Ia pun bertekad tidak mau pulang ke Pringgadani dan ingin
pindah ke negeri lain untuk membangun kekuatan di sana.
BASUDEWA KRAMA
Kisah ini menceritakan Raden Basudewa mengembara untuk menikah dengan Endang
Rohini (kelak melahirkan Prabu Baladewa) serta Dewi Dewaki (kelak melahirkan Prabu
Sri Kresna). Setelah itu, Raden Basudewa menjadi raja Mandura dan menikahi Ken
Badra yang diganti namanya menjadi Dewi Badraini (kelak melahirkan Dewiwara
Sumbadra). Juga disisipkan kisah hubungan gelap antara Raden Basudewa dengan Ken
Yasoda alias Nyai Sagopi (kelak melahirkan Patih Udawa).
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari artikel Majalah Panjebar Semangat.
Mengenai sayembara memperebutkan Dewi Dewaki, saya selaraskan dengan kitab
Mahabharata karya Resi Wyasa, yaitu tokoh Basudeva diwakili oleh Sini (kakek
Satyaki versi kitab) dalam mengikuti sayembara. Untuk cerita berikut ini, tokoh Sini
saya ganti dengan Raden Ugrasena (ayah Raden Setyaki).
Surabaya, 1 Juni 2016
Heri Purwanto
Ugrasena untuk pergi ke Gunung Suweda. Akan lebih baik apabila Raden Ugrasena pergi
ke Kerajaan Widarba saja karena di sanalah nanti ia bisa bertemu dengan kakak sulungnya
tersebut.
Raden Ugrasena berterima kasih atas petunjuk yang diberikan Bagawan Abyasa. Ia
pun mohon pamit berangkat meninggalkan Gunung Saptaarga, menuju Kerajaan Widarba.
Rohini untuk selalu melayani Raden Basudewa dengan sepenuh hati, serta menganggap
Dewi Maherah sebagai saudara yang lebih tua.
Setelah mendapatkan restu dari sang ayah, Raden Basudewa dan Endang Rohini pun
berangkat meninggalkan Gunung Suweda, menuju Kerajaan Mandura.
mandul dan tidak dapat membuat istri mengandung. Raden Basudewa tersinggung
mendengar ucapan istrinya itu dan ia pun pindah ke kamar lain. Untuk menghibur diri,
Raden Basudewa memanggil penyanyi istana bernama Ken Yasoda untuk datang ke
kamarnya.
Raden Basudewa yang merasa terhibur mendengar suara Ken Yasoda akhirnya lupa
diri. Ia pun berzinah dengan penyanyi cantik tersebut. Beberapa waktu kemudian, Ken
Yasoda melapor kepada Raden Basudewa bahwa dirinya telah hamil akibat peristiwa
tersebut. Raden Basudewa takut peristiwa aib ini bisa mencoreng wibawa Kerajaan
Mandura. Ia pun menikahkan Ken Yasoda dengan tukang kuda istana yang bernama Kyai
Antyagopa, lalu menyuruh mereka tinggal di Desa Widarakandang. Kyai Antyagopa lalu
diangkat sebagai kepala desa tersebut, bergelar Ki Buyut Antyagopa. Raden Basudewa
juga mengganti nama Ken Yasoda menjadi Nyai Sagopi.
Raden Basudewa mengakhiri ceritanya dan ia pun bertanya kepada Batara Basuki
apakah tiga putranya yang lain akan lahir dari Endang Rohini? Batara Basuki menjelaskan
bahwa Endang Rohini hanya akan melahirkan seorang putra saja. Adapun anak-anak yang
lain masing-masing akan lahir dari ibu yang berbeda. Yang satu akan lahir dari putri
Kerajaan Widarba yang bernama Dewi Dewaki, sedangkan yang satu lagi akan lahir dari
penyanyi istana Mandura yang bernama Ken Badra.
Raden Basudewa terkejut mendengarnya. Itu berarti selain Endang Rohini, dirinya
harus menikah lagi dengan Dewi Dewaki dan Ken Badra. Jika dengan Dewi Dewaki rasanya
masih masuk akal, lalu bagaimana dengan Ken Badra? Apakah menikahi seorang penyanyi
istana tidak akan merendahkan wibawa Raden Basudewa? Lalu bagaimana dengan Ken
Yasoda yang juga seorang penyanyi dan kini telah mengandung putranya? Bukankah Ken
Yasoda dan Ken Badra sama-sama penyanyi istana, mengapa yang satu harus
disembunyikan dan yang satu harus dinikahi secara sah?
Batara Basuki pun menjelaskan bahwa Ken Yasoda sebaiknya tetap disembunyikan
di Desa Widarakandang dengan nama Nyai Sagopi. Adapun Ken Badra meskipun hanya
seorang penyanyi istana, namun ia ditakdirkan kelak akan melahirkan seorang perempuan
tercantik di dunia. Bahkan, putri yang cantik tersebut kelak akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa pula.
Raden Basudewa menerima penjelasan Batara Basuki dengan seksama. Ia pun
meminta izin kepada Endang Rohini untuk menikah lagi dengan Dewi Dewaki dan Ken
Badra. Endang Rohini menjawab bahwa sejak awal dirinya sudah menerima takdir, bahwa
suaminya memiliki istri lebih dari satu. Lagipula sebelum dirinya, Raden Basudewa juga
sudah menikah dengan Dewi Maherah.
Batara Basuki lalu menjelaskan bahwa saat ini Dewi Dewaki sedang dilamar banyak
raja dan pangeran. Untuk itulah, kakak Dewi Dewaki yang bernama Raden Candradwipa
mengadakan sayembara tanding, yaitu barangsiapa bisa mengalahkan dirinya, maka ia
berhak memperistri adiknya tersebut.
Setelah memberikan penjelasan demikian, Batara Basuki pun undur diri kembali ke
kahyangan.
Satu persatu para pelamar tersebut menyerah kalah menghadapi kesaktian Raden
Candradwipa. Hingga akhirnya yang tersisa hanya tinggal Raden Ugrasena bersama para
panakawan. Raden Basudewa terkejut melihat adik bungsunya ada di bangku penonton
dan segera menghampirinya. Raden Ugrasena senang bertemu Raden Basudewa. Ia
menjawab bahwa dirinya datang ke Kerajaan Widarba adalah untuk menemukan kakak
sulungnya tersebut, sesuai petunjuk dari Bagawan Abyasa.
Raden Basudewa pun menjelaskan kepada Raden Ugrasena bahwa dirinya telah
mendapatkan petunjuk dari Batara Basuki bahwa Dewi Dewaki akan menjadi jodohnya.
Maka itu, ia pun datang ke Widarba untuk mengikuti sayembara tanding.
Sementara itu, Raden Candradwipa merasa kesal melihat Raden Basudewa dan
Raden Ugrasena bukannya naik ke gelanggang tetapi justru mengobrol sendiri. Ia pun
menantang kedua pangeran dari Mandura itu untuk maju bersama-sama. Raden Ugrasena
tersinggung melihat kesombongan Raden Candradwipa. Ia pun naik ke atas gelanggang
untuk menantang pangeran dari Widarba tersebut. Ia berkata bahwa kakak sulungnya tidak
perlu repot-repot turun tangan, cukup dirinya saja yang maju menghadapi kesombongan
Raden Candradwipa.
Raden Candradwipa pun bertarung melawan Raden Ugrasena. Pertarungan kali ini
berlangsung sangat seru. Raden Candradwipa lama-lama merasa kewalahan menghadapi
lawannya itu. Akhirnya, ia pun mengaku kalah dan mengumumkan bahwa Raden Ugrasena
adalah pemenang sayembara.
BASUDEWA GROGOL
Kisah ini menceritakan kelahiran anak-anak Prabu Basudewa, yaitu Raden Kakrasana
(kelak menjadi Prabu Baladewa), Raden Narayana (kelak menjadi Prabu Sri Kresna),
serta Dewi Sumbadra. Pada saat yang sama lahir pula putra ketiga Prabu Pandu, yaitu
Raden Arjuna yang kelak menjadi pahlawan besar dalam Perang Bratayuda. Juga
dikisahkan kelahiran Raden Kangsa yang kelak menjadi musuh anak-anak Prabu
Basudewa.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan rekaman
pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.
Kediri, 09 Juni 2016
Heri Purwanto
Prabu Basudewa
kakaknya. Dewi Kunti mengaku ingin merasakan pengalaman hamil secara wajar selama
sembilan bulan, bukan kehamilan satu hari jadi seperti sebelumnya.
Batara Indra menyanggupi permintaan Dewi Kunti. Dengan kekuasaannya, ia pun
menyatukan benih dalam rahim Dewi Kunti dengan benih milik Prabu Pandu yang ditanam
melalui potongan terakhir Mangga Pertanggajiwa, yang sampai saat ini masih menempel di
dalam perut istrinya itu. Setelah kedua benih tersebut bersatu menjadi calon janin, Batara
Indra pun memberikan restu kepadanya, lalu undur diri kembali ke kahyangan.
Demikianlah, janin tersebut kini hampir berusia tujuh bulan di dalam kandungan Dewi
Kunti. Prabu Pandu pun mengizinkan istrinya itu tinggal di istana Mandura sampai kelak
melahirkan. Prabu Pandu sendiri hendak pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk menemui
muridnya, yaitu Prabu Tremboko. Maka, rombongan pelayat yang kembali ke Kerajaan
Hastina hanya tinggal Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, dan Dewi
Madrim yang mengasuh Raden Puntadewa.
Dewi Kunti kini bersama keempat kakak iparnya menyambut kedatangan Prabu
Basudewa yang baru saja memimpin pertemuan. Prabu Basudewa berpamitan kepada
mereka untuk pergi berburu ke Hutan Banjarpatoman demi mengumpulkan hewan sebagai
pelengkap upacara tujuh bulanan dan juga peresmian Astana Gandamadana.
Di antara para istri, tampak Dewi Maherah yang terlihat lesu. Ia merupakan istri tertua
namun sampai saat ini belum juga hamil. Ia merasa Prabu Basudewa sudah tidak lagi
perhatian kepadanya, sejak Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini mengandung.
Batari Sri Laksmi dan Batari Sri Wedawati ikut terlahir pula sebagai Rakyanwara Sinta, yaitu
istri Prabu Sri Rama yang diculik Prabu Rahwana. Adapun Batara Laksmanasadu (adik
Dewi Srilaksmi atau ipar Batara Wisnu) terlahir sebagai Raden Laksmana, yaitu adik tiri
Prabu Sri Rama.
Kini, angkara murka kembali hadir mengancam ketertiban dunia dalam wujud Arya
Suman dan para Kurawa di Kerajaan Hastina. Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu
dan Batara Laksmanasadu untuk lahir sebagai manusia meredam angkara murka mereka.
Batara Wisnu pun menyatakan bersedia, namun ia mohon agar Batara Laksmanasadu
diizinkan untuk lahir sebagai kakak.
Dahulu kala saat masih menjadi Prabu Sri Rama dan Raden Laksmana, mereka
berdua bersama-sama memerangi kejahatan Prabu Rahwana. Prabu Sri Rama sangat
terkesan melihat kesetiaan Raden Laksmana dalam melayani dan melindungi dirinya. Maka,
Prabu Sri Rama pun bersumpah kelak jika menitis kembali, ia berharap semoga Raden
Laksmana menjadi yang lebih tua, agar ganti dirinya yang memberikan pelayanan.
Mendengar kisah itu, Batara Guru pun mengabulkan permintaan Batara Wisnu. Ia
memerintahkan Batara Laksmanasadu agar menitis ke dalam janin yang saat ini dikandung
Dewi Rohini dan lahir lebih dulu. Adapun Batara Wisnu diperintahkan untuk membelah diri
menjadi dua. Yang satu hendaknya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Dewaki,
sedangkan yang satunya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Kunti. Kelak setelah
dewasa, putra Dewi Rohini titisan Batara Laksmanasadu ditugasi untuk menjadi sahabat
para Kurawa agar bisa memberikan nasihat baik kepada mereka. Apabila Batara
Laksmanasadu gagal membina para Kurawa, maka Batara Wisnu yang terlahir sebagai
putra Dewi Dewaki dan putra Dewi Kunti ditugasi untuk bekerja sama membinasakan
mereka semua.
Batara Guru juga memerintahkan kedua istri Batara Wisnu untuk ikut menitis sebagai
manusia. Batari Sri Laksmi hendaknya lahir sebagai putri pasangan Kapi Jembawan dan
Dewi Trijata, sedangkan Batari Sri Wedawati hendaknya lahir sebagai putri Dewi Badraini,
yaitu istri termuda Prabu Basudewa. Kelak putri yang dilahirkan Dewi Trijata akan berjodoh
dengan putra Dewi Dewaki, sedangkan putri yang dilahirkan Dewi Badraini akan berjodoh
dengan putra Dewi Kunti.
Ketika Batara Wisnu, Batara Laksmanasadu, Batari Sri Laksmi, dan Batari Sri
Wedawati hendak mohon pamit melaksanakan tugas, tiba-tiba datang Batara Basuki yang
memohon supaya diizinkan ikut menitis sebagai putra Prabu Basudewa. Batara Basuki
bercerita bahwa dirinya pernah ditolong Prabu Basudewa setahun yang lalu. Saat itu, Batara
Basuki terhimpit batu besar karena bertarung melawan Garuda Wilmana. Untungnya, Prabu
Basudewa (yang saat itu belum menjadi raja) datang memberikan bantuan kepadanya.
Sejak saat itu, Batara Basuki merasa berhutang budi dan ingin terlahir sebagai putra Prabu
Basudewa.
Batara Guru lalu berunding dengan Batara Narada. Mereka pun mempersilakan
Batara Basuki supaya bergabung dengan Batara Laksmanasadu untuk menitis ke dalam
janin yang dikandung Dewi Rohini. Kelak janin tersebut akan terlahir sebagai sahabat kedua
pihak, yaitu menjadi sahabat para Pandawa sekaligus para Kurawa. Tidak hanya itu, ia juga
harus mengasuh keturunan para Pandawa setelah Perang Bratayuda. Karena tugasnya
yang berat tersebut, maka memang sebaiknya ada dua orang dewa yang secara sekaligus
melindunginya.
Batara Basuki berterima kasih, lalu ia pun bersatu jiwa raga dengan Batara
Laksmanasadu. Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu kemudian berangkat lebih dulu
KITAB WAYANG PURWA
dengan mengubah wujud mereka menjadi singa dan naga. Sementara itu, Batari Sri Laksmi
dan Batari Sri Wedawati berangkat dengan diantarkan Batara Narada.
Sementara itu, Prabu Basudewa palsu baru saja selesai bersetubuh dengan Dewi
Maherah. Ia sangat puas akhirnya bisa melampiaskan nafsu birahi kepada wanita
idamannya tersebut. Sebaliknya, Dewi Maherah juga merasa sangat bahagia karena Prabu
Basudewa kini kembali memperlakukannya dengan baik. Ia tidak peduli meskipun bau
badan suaminya itu berubah tidak seperti biasa, namun yang terpenting ia kini merasa lega.
Tiba-tiba terdengar suara Aryaprabu Rukma memanggil-manggil di luar kamar. Prabu
Basudewa palsu sangat marah dan segera berpakaian. Ia pun membuka pintu dan langsung
menyerang Aryaprabu Rukma. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Karena tidak
leluasa dalam wujud Prabu Basudewa, maka Prabu Gorawangsa pun kembali ke wujud
asalnya, yaitu seorang raja raksasa.
Melihat Prabu Basudewa yang baru saja tidur dengannya berubah menjadi raksasa,
Dewi Maherah pun jatuh pingsan. Dewi Rohini dan yang lain segera memapahnya masuk
ke dalam kamar.
Sementara itu, Aryaprabu Rukma terdesak menghadapi kesaktian Prabu
Gorawangsa. Patih Saragupita berusaha membantu namun tubuhnya ditangkap raja
raksasa itu dan dilemparkan jauh-jauh. Aryaprabu Rukma mencari akal. Ia pun memancing
Prabu Gorawangsa agar menjauh dari istana.
Sesampainya di luar istana, Aryaprabu Rukma gembira melihat sang kakak ipar, yaitu
Prabu Pandu datang bersama para panakawan setelah mereka mengunjungi Kerajaan
Pringgadani. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa dirinya dikejar-kejar Prabu
Gorawangsa yang telah menyusup ke dalam istana Mandura. Prabu Pandu segera
meminjamkan Panah Mustikajamus kepada adik iparnya tersebut. Aryaprabu Rukma
menerima pusaka itu dengan gembira, lalu kembali untuk menghadang Prabu Gorawangsa.
Maka, begitu Prabu Gorawangsa muncul, Aryaprabu Rukma segera melepaskan
Panah Mustikajamus ke arahnya. Panah pusaka itu meluncur dan menembus dada Prabu
Gorawangsa. Raja raksasa dari Guagra itu pun tewas seketika.
merasa tidak tega. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan kakak iparnya itu seorang diri
di tengah hutan.
Demikianlah, Aryaprabu Rukma lalu membangun gubuk ala kadarnya di hutan
tersebut sebagai tempat tinggal Dewi Maherah. Ia lalu mohon pamit kembali ke istana
dengan perasaan kalut. Kepada Prabu Basudewa, ia melapor bahwa Dewi Maherah sudah
dihukum mati olehnya.
Patih Suratimantra pun meminta bayi itu untuk diasuhnya di Kerajaan Guagra. Namun,
Resi Anggawangsa melarangnya. Ia berjanji bahwa dirinya yang akan mendidik Raden
Kangsa alias Jaka Maruta di puncak Gunung Rawisrengga. Kelak setelah dewasa dan
memiliki kesaktian tinggi, barulah Raden Kangsa diserahkan kepada Kerajaan Guagra. Resi
Anggawangsa juga melarang Patih Suratimantra untuk menyerang Kerajaan Mandura,
karena kelak Raden Kangsa sendiri yang akan membalas kematian ayah dan ibunya.
Patih Suratimantra yang sudah melihat kesaktian Resi Anggawangsa hanya bisa
mematuhi nasihat pendeta raksasa tersebut. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa pun
membawa terbang bayi Raden Kangsa menuju Gunung Rawisrengga, sedangkan Patih
Suratimantra menguburkan jasad Dewi Maherah lalu pulang ke Kerajaan Guagra.
Mendengar itu, Prabu Basudewa segera maju dan minta izin untuk menyentuh perut
Dewi Trijata. Begitu tangan Prabu Basudewa menyentuh perut wanita tua itu, tiba-tiba
muncul seberkas sinar dari angkasa yang langsung masuk meresap ke dalam perut Dewi
Trijata.
Tidak lama kemudian, Batara Narada turun dari angkasa menampakkan diri. Ia
menjelaskan bahwa Dewi Trijata sebentar lagi akan mengandung seorang anak perempuan
titisan Batari Sri Laksmi, dan kelak setelah lahir hendaknya diberi nama Dewi Jembawati.
Setelah dewasa, ia akan menjadi jodoh putra Prabu Basudewa yang berkulit hitam, yaitu
Raden Narayana. Prabu Basudewa, Kapi Jembawan, dan Dewi Trijata menyembah hormat,
mematuhi petunjuk dari Batara Narada tersebut.
Batara Narada lalu menjelaskan bahwa Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki
telah bersatu dan menitis kepada putra Prabu Basudewa yang berkulit putih kemerahan,
yaitu Raden Kakrasana. Adapun Batara Wisnu membelah diri menjadi dua, yaitu menitis
kepada Raden Narayana dan Raden Permadi. Sementara itu, Batari Sri Wedawati telah
menitis pula kepada Dewi Sumbadra.
Batara Narada juga menceritakan bahwa Dewi Maherah telah meninggal di hutan
namun sempat melahirkan seorang bayi yang diberi nama Raden Kangsa, akibat perbuatan
Prabu Gorawangsa beberapa bulan yang lalu. Kelak anak itu akan tumbuh menjadi manusia
angkara murka. Prabu Basudewa sangat marah dan berniat mencari anak itu untuk
dibinasakan sejak dini. Namun, Batara Narada melarangnya, karena sudah menjadi suratan
takdir bahwa anak itu hanya bisa dibunuh oleh kerja sama antara Raden Kakrasana, Raden
Narayana, dan Dewi Sumbadra.
Oleh sebab itu, Batara Narada pun memerintahkan Prabu Basudewa agar
menyerahkan ketiga anaknya yang baru lahir tersebut kepada Buyut Antyagopa dan Nyai
Sagopi untuk diasuh di Desa Widarakandang. Dengan cara demikian, mereka bertiga akan
tumbuh menjadi manusia-manusia bijaksana yang dekat dengan rakyat jelata. Sebaliknya,
apabila mereka tetap diasuh di dalam istana, maka ramalan dewa akan menjadi terbalik.
Bukannya mereka yang berhasil menewaskan Raden Kangsa, tetapi justru Raden Kangsa
yang akan membinasakan mereka semua.
Prabu Basudewa tidak berani membantah. Dengan berat hati ia pun menyatakan
patuh terhadap petunjuk Batara Narada tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun
undur diri kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.
Prabu Basudewa lalu menyampaikan hal itu kepada segenap keluarga. Ia juga
mengangkat Kapi Jembawan dan Dewi Trijata sebagai juru kunci untuk merawat Astana
Gandamadana, yaitu tempat Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari dimakamkan.
diserahkan. Mendengar itu, Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci segera mohon pamit, keluar
meninggalkan Balai Marcukunda.
Arya Ugrasena yang juga menyukai Nyai Sagopi pun menggunakan cara sama.
Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya, ia berhasil pula melampiaskan nafsu
birahi kepada istri Buyut Antyagopa tersebut.
Setelah peristiwa aib tersebut, Nyai Sagopi pun mengandung. Pada awalnya Buyut
Antyagopa marah ketika mengetahui istrinya telah berselingkuh dengan dua pangeran
sekaligus. Akan tetapi, pada suatu malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa
janin yang dikandung Nyai Sagopi kelak akan menjadi orang-orang mulia. Sudah menjadi
takdir Yang Mahakuasa bahwa benih yang ditanam Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena
sama-sama hidup di dalam rahim Nyai Sagopi dan berkembang menjadi janin perempuan
dan laki-laki.
Janin perempuan dalam rahim Nyai Sagopi itu berasal dari benih Aryaprabu Rukma,
jika kelak lahir ke dunia hendaknya diberi nama Rara Sati, dan diakui sebagai putri Buyut
Antyagopa. Nanti setelah dewasa ia akan menjadi prajurit wanita tangguh dan menikah
dengan Raden Arjuna, putra Prabu Pandu Dewanata. Sementara itu, janin yang laki-laki
berasal dari benih Arya Ugrasena, kelak jika lahir hendaknya diserahkan kepada Kyai
Adirata di Desa Petapralaya, supaya diberi nama Adimanggala dan dipersaudarakan
dengan putra angkatnya yang bernama Karna Basusena. Nanti setelah dewasa, apabila
Karna Basusena menjadi raja, maka Adimanggala akan ikut mendapat kemuliaan sebagai
patihnya.
Demikianlah, Buyut Antyagopa lalu pergi ke istana Mandura untuk menceritakan
petunjuk dewata tersebut kepada Prabu Basudewa. Ia mengaku ikhlas dan tidak sakit hati
meskipun istrinya dihamili dua pangeran Mandura sekaligus. Ia justru merasa ini mungkin
sudah menjadi tugas dari Nyai Sagopi untuk mengandung dan melahirkan orang-orang
mulia di kemudian hari. Setelah bercerita demikian, Buyut Antyagopa lalu mohon pamit
pulang ke Widarakandang.
Kebaikan hati Buyut Antyagopa justru membuat Prabu Basudewa merasa sangat
malu. Ia pun memanggil dan memarahi Aryaprabu Rukma serta Arya Ugrasena. Mengenai
aib ini hendaknya menjadi rahasia dan jangan sampai didengar oleh rakyat, karena akan
mencoreng wibawa Kerajaan Mandura. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Aryaprabu
Rukma dan Arya Ugrasena untuk segera menikah dengan wanita lain agar mereka bisa
melupakan sosok Nyai Sagopi. Prabu Basudewa juga melarang kedua adiknya
mengunjungi Desa Widarakandang karena tidak pantas dua pangeran Mandura
berhubungan dengan bekas pelayan istana yang kini sudah menjadi istri orang.
Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena agak tersinggung mendengar ucapan
kakaknya. Tanpa sengaja mereka pun mengungkit peristiwa sembilan tahun yang lalu saat
Prabu Basudewa berhubungan dengan Nyai Sagopi yang masih bernama Ken Yasoda. Dari
hubungan itu telah lahir seorang putra yang diberi nama Udawa, yang kini diakui sebagai
putra sulung Buyut Antyagopa.
Mendengar aibnya diungkit, Prabu Basudewa semakin marah dan mengusir kedua
adiknya itu. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena ketakutan dan segera pergi
meninggalkan istana Mandura.
Batara Narada pun berkata bahwa jodoh Aryaprabu Rukma adalah Batari Arumbini,
sedangkan jodoh Arya Ugrasena adalah Batari Wresini. Kedua bidadari tersebut kini sedang
dilamar oleh Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci untuk menjadi istri raja-raja mereka. Batara
Narada berkata bahwa kedua bidadari itu akan diserahkan kepada Aryaprabu Rukma dan
Arya Ugrasena asalkan mereka mampu menumpas pasukan raksasa yang kini mengepung
Kahyangan Jonggringsalaka.
Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menyatakan bersedia. Batara Narada senang
mendengarnya dan segera membawa mereka naik menuju kahyangan.
BIMA BUNGKUS
Kisah ini menceritakan Raden Bima putra kedua Prabu Pandu keluar dari dalam
bungkus berkat bantuan Gajah Sena yang dikirim para dewa. Gajah Sena kemudian
bersatu jiwa raga dengan Raden Bima, sehingga Pandawa nomor dua tersebut kemudian
dikenal dengan nama Raden Bimasena.
Kisah ini saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan pentas pagelaran wayang
kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.
Kediri, 03 Juli 2016
Heri Purwanto
Setelah bertempur agak lama, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura akhirnya
berhasil memukul mundur pasukan dari Gandaradesa tersebut. Setelah pihak musuh
melarikan diri, Raden Yamawidura pun mengajak Patih Gandamana melanjutkan
perjalanan.
Jarot Asem, Anting Panunggul Manik Warih, Sumping Pudak Sinumpet, Kain Poleng Bang
Bintulu Aji, Gelang Candrakirana, Kelatbahu Cepok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde
Bara.
Setelah Raden Bima mengenakan semua pakaian tersebut, Batara Bayu segera
keluar dari dalam bungkus dan memberi isyarat kepada Gajah Sena, lalu ia pun terbang ke
angkasa.
musuh. Sepasang kuku pusaka tersebut hendaknya diberi nama Kuku Pancanaka. Selain
Raden Bima, ada putra angkat Batara Bayu lainnya yang juga memiliki Kuku Pancanaka,
bernama Kapi Anoman. Batara Bayu meramalkan bahwa suatu saat nanti Raden Bima pasti
dapat bertemu dengan tokoh wanara bernama Kapi Anoman tersebut.
Batara Bayu melihat Gajah Sena kini telah bersatu jiwa raga dengan Raden Bima.
Maka, ia pun memberikan nama baru kepada putra angkatnya itu, Raden Bimasena.
Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke kahyangan. Raden Yamawidura,
Patih Gandamana, dan Raden Bimasena memberikan penghormatan, lalu mereka kembali
ke Kerajaan Hastina.
mereka. Keduanya merasa gembira dan memutuskan untuk menyusul ke hutan. Mereka
sengaja tidak memberi tahu sang ayah karena pasti akan dilarang jika pergi ke sana.
Namun di tengah jalan, Raden Puntadewa dan Raden Permadi dihadang Arya Suman
bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Karena rencananya untuk membunuh
Raden Bima telah gagal, Arya Suman pun memerintahkan Raden Suyudana dan Raden
Dursasana untuk memukuli Raden Puntadewa dan Raden Permadi sebagai pelampiasan.
Mendapat perintah demikian, Raden Suyudana dan Raden Dursasana segera maju
menyerang kedua Pandawa itu.
Raden Permadi berusaha membela diri, sedangkan Raden Puntadewa
mempersilakan jika Raden Suyudana dan Raden Dursasana ingin memukul dirinya. Ia rela
tidak melawan apabila itu memang bisa membuat kedua sepupunya tersebut merasa
bahagia.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul pemuda bertubuh tinggi besar yang langsung
menerjang Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Pemuda tinggi besar itu tidak lain
adalah Raden Bimasena yang langsung menghajar mereka. Karena merasa kewalahan,
Raden Suyudana dan Raden Dursasana pun memilih kabur, dengan diikuti Arya Suman,
paman mereka.
Raden Puntadewa dan Raden Permadi berterima kasih atas pertolongan Raden
Bimasena. Raden Yamawidura pun menjelaskan bahwa Raden Bimasena ini adalah
saudara mereka yang nomor dua, yang baru saja keluar dari dalam bungkus. Raden
Puntadewa dan Raden Permadi terharu bahagia, lalu mereka pun berangkulan dengan
Raden Bimasena.
Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pun memperkenalkan kedua pangeran
remaja itu kepada Raden Bimasena. Raden Puntadewa yang kini berusia enam belas tahun
adalah kakak sulung Raden Bimasena, sedangkan Raden Arjuna atau Raden Permadi yang
kini berusia dua belas tahun adalah adiknya. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan
perjalanan pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Puntadewa pun meminta kepada mereka
semua untuk tidak menceritakan perbuatan Raden Suyudana dan Raden Dursasana tadi
kepada keluarga di istana.
Guagra untuk meminta bantuan kepada pamannya yang bernama Patih Suratimantra di
sana.
Prabu Gorawangsa, takhta Kerajaan Guagra dibiarkan kosong, karena hanya Jaka Maruta
saja yang boleh mendudukinya. Kini ia pun mempersilakan Jaka Maruta menjadi raja
Guagra dengan memakai gelar Prabu Kangsa Dewa, yaitu nama pemberiannya saat lahir
dulu. Nama tersebut adalah singkatan dari nama Gorawangsa dan Basudewa. Maksudnya
ialah, Raden Kangsa adalah putra Prabu Gorawangsa yang menyamar sebagai Prabu
Basudewa.
Jaka Maruta terharu melihat kebaikan Patih Suratimantra kepada dirinya. Namun, ia
menolak menduduki takhta Kerajaan Guagra sebelum bisa membalas dendam kepada
Prabu Basudewa sekeluarga. Patih Suratimantra menyatakan siap membantu. Namun,
Jaka Maruta menyarankan agar Patih Suratimantra terlebih dulu membantu sahabatnya
yang bernama Jaka Slewah untuk menyerang Kerajaan Magada.
Karena Jaka Maruta yang meminta, maka Patih Suratimantra langsung menyatakan
setuju. Ia segera mengumpulkan pasukan Guagra untuk bersiap menyerang Kerajaan
Magada. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa dan Nyai Jara pun mohon pamit kembali
ke Gunung Rawisrengga.
Prabu Wrehadrata merasa sangat sedih. Ia pun membuang dua potongan bayi
tersebut ke hutan. Kedua potongan bayi itulah yang kemudian dipungut oleh Nyai Jara dan
disatukan menjadi bayi laki-laki utuh, bernama Jaka Slewah.
Kini, tubuh Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa dibenamkan di dalam tanah oleh
Prabu Pandu hingga sebatas dada. Prabu Jarasanda menangis memohon ampun. Ia
mengaku salah telah membunuh ayahnya sendiri karena dibutakan oleh dendam sejak
kecil. Namun demikian, kini dirinya telah bertobat ingin menebus dosa besar tersebut.
Dasar watak Prabu Pandu yang mudah kasihan, ia pun mengangkat tubuh Prabu
Jarasanda dan Raden Kangsa dari dalam tanah. Prabu Jarasanda lalu berlutut menyembah
Prabu Pandu memohon pengampunan dan ia pun berjanji tidak akan pernah mengganggu
Kerajaan Hastina seumur hidupnya. Prabu Pandu menerima janji tersebut. Ia pun
mempersilakan Prabu Jarasanda tetap menjadi raja Magada, karena bagaimanapun juga
Prabu Jarasanda adalah ahli waris sah Prabu Wrehadrata.
Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu dan Patih Gandamana pun membawa pasukan
kembali ke Kerajaan Hastina. Patih Jayakalana dan sebagian prajurit Magada yang tidak
mau mengabdi kepada Prabu Jarasanda memutuskan untuk ikut bergabung mengabdi
kepada Prabu Pandu Dewanata.
Dewi Mahirah adalah istri Prabu Basudewa, maka Raden Kangsa pun mengaku sebagai
putra Prabu Basudewa pula.
Arya Ugrasena tidak percaya begitu saja. Raden Kangsa pun menantang pamannya
itu berkelahi untuk membuktikan ucapannya. Keduanya lalu bertanding satu lawan satu.
Dalam pertandingan itu Arya Ugrasena kalah dan mengakui kehebatan Raden Kangsa.
Namun, Raden Kangsa telah diajari Prabu Jarasanda cara bertutur kata manis, sehingga
tidak sampai mempermalukan Arya Ugrasena di hadapan para prajurit Lesanpura. Arya
Ugrasena terkesan mendengar bujuk rayu Raden Kangsa, dan ia pun mengajak pemuda
itu menemui Prabu Basudewa di istana.
Prabu Basudewa merasa serbasalah. Di satu sisi ia belum percaya kalau Raden
Kangsa adalah anak kandungnya, namun di sisi lain ia merasa gentar dan ngeri melihat
kesaktian pemuda gagah berusia tiga belas tahun tersebut. Akhirnya, ia pun mengampuni
Patih Suratimantra dan mengakui Raden Kangsa sebagai putra.
Patih Suratimantra berterima kasih atas kebaikan hati Prabu Basudewa. Ia lalu mohon
pamit pulang ke Kerajaan Guagra dan berjanji tidak akan pernah mengganggu Kerajaan
Mandura lagi.
Setelah pasukan raksasa itu pergi, Prabu Basudewa pun menghadiahkan Kadipaten
Sengkapura sebagai tempat tinggal Raden Kangsa. Raden Kangsa sangat berterima kasih
dan mohon pamit untuk mulai memimpin daerah tersebut.
Setelah Raden Kangsa pergi, Aryaprabu Rukma langsung membuka pembicaraan. Ia
mengingatkan Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena tentang ramalan Batara Narada tiga
belas tahun yang lalu. Saat itu Batara Narada memerintahkan Prabu Basudewa untuk
menyembunyikan putra-putrinya yang baru lahir, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana,
dan Dewi Bratajaya di Desa Widarakandang agar mereka dididik dan ditempa menjadi
pribadi-pribadi yang tangguh, sekaligus untuk menghindari ancaman munculnya putra hasil
perselingkuhan Prabu Gorawangsa dan Dewi Mahirah. Aryaprabu Rukma yakin bahwa
Raden Kangsa adalah putra yang diramalkan oleh Batara Narada tersebut.
Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena terkejut mendengarnya. Mereka mengaku
benar-benar lupa terhadap ramalan itu. Apalagi melihat kesaktian Raden Kangsa dalam
meringkus Patih Suratimantra telah membuat mereka kagum sekaligus ngeri. Namun,
Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena sudah terlanjur mengakui Raden Kangsa sebagai
putra, tentunya tidak mungkin ucapan tersebut ditarik kembali. Satu-satunya jalan bagi
mereka hanyalah berdoa semoga Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya
yang kini diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi selalu mendapatkan perlindungan dari
dewata dan kelak mampu mengatasi masalah ini.
CATATAN : kisah Raden Kangsa diterima Prabu Basudewa ini terdapat dalam Pustakaraja Purwa karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita dan disebutkan terjadi pada tahun Suryasengkala 691 yang
ditandai dengan sengkalan “rupa rodra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 712 yang
ditandai dengan sengkalan “paksa anunggal paksi”. Sedangkan pertemuan Raden Kangsa dan
Prabu Jarasanda adalah pengembangan dari saya, berdasarkan cerita dalam kitab Mahabharata.
KITAB WAYANG PURWA
GANDAMANA LUWENG
Kisah ini menceritakan upaya licik Arya Suman dalam menyingkirkan Patih
Gandamana dan merebut kedudukannya sebagai menteri utama Kerajaan Hastina. Arya
Suman memang berhasil mewujudkan keinginannya namun ia harus menderita cacat
buruk rupa dan namanya pun diganti menjadi Patih Sangkuni.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas Ki Anom Suroto yang saya padukan
dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, 12 Juli 2016
Heri Purwanto
Kini Prabu Tremboko telah mempelajari ilmu kesaktian Prabu Pandu, dan ternyata itu justru
digunakan untuk melawan Kerajaan Hastina sendiri.
Sementara itu, Raden Yamawidura meminta agar Prabu Pandu jangan terlalu
gegabah memercayai isi surat dari Prabu Tremboko tersebut. Alangkah baiknya Prabu
Pandu mengirimkan duta untuk menyelidiki apakah benar Prabu Tremboko berniat
memberontak atau tidak. Prabu Pandu menyetujui usulan adiknya tersebut. Ia pun
memerintahkan Patih Gandamana untuk pergi ke Kerajaan Pringgadani dan bertanya
langsung atas hal ini kepada Prabu Tremboko.
Dewi Madrim akhirnya setuju untuk mematangkan kedua benih di dalam perutnya.
Meskipun dua potong daging Mangga Pertangga Jiwa sudah tujuh belas tahun tertanam di
dalam perutnya namun sama sekali tidak rusak ataupun ikut keluar bersama kotoran.
Setelah mempelajari mantra Aji Kunta Wekasing Rahsa dari Dewi Kunti, ia pun segera
bersamadi mengundang dua orang dewa sekaligus, yaitu dewa kembar tabib kahyangan,
bernama Batara Aswan dan Batara Aswin.
Sepasang dewa kembar itu pun turun menemui Dewi Madrim. Dewi Madrim meminta
kepada mereka agar kedua benih Prabu Pandu yang tertanam dalam perutnya bisa
disatukan dengan benih miliknya di dalam rahim sehingga menjadi janin kembar. Namun,
ia meminta agar janin kembar tersebut dibiarkan matang secara wajar selama sembilan
bulan, bukan matang secara singkat dalam waktu sekejap. Batara Aswan dan Batara Aswin
mengabulkan permintaan itu. Dengan kekuasaan mereka, seketika Dewi Madrim pun
mengandung anak kembar. Setelah dirasa cukup, kedua dewa itu lalu undur diri kembali ke
kahyangan.
Baru saja Raden Arimba selesai bercerita, tiba-tiba Arya Suman datang bersama
Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Arya Suman memperkenalkan dirinya kepada
Prabu Tremboko sebagai adik Prabu Pandu. Ia lalu mengabarkan bahwa Prabu Pandu
bertambah marah setelah membaca surat tadi, bahkan merobek-robek surat tersebut.
Prabu Pandu telah menuduh Prabu Tremboko bersikap kekanak-kanakan, karena tidak
mau menghadap hanya demi untuk merayakan kelahiran anaknya. Kini, Prabu Pandu
memerintahkan Patih Gandamana untuk menjemput paksa Prabu Tremboko yang dianggap
telah membangkang.
Prabu Tremboko merasa heran mengapa Prabu Pandu marah dan merobek-robek
suratnya yang berisi permintaan maaf tersebut. Arya Suman pun menjelaskan bahwa akhir-
akhir ini sikap Prabu Pandu berubah menjadi pemarah karena sering mendapat hasutan
dari Patih Gandamana. Arya Suman mengaku telah berusaha membela Prabu Tremboko di
hadapan Prabu Pandu, namun Patih Gandamana terlalu pandai bicara dan berhasil
meyakinkan Prabu Pandu bahwa Prabu Tremboko berniat memberontak.
Mendengar itu, Prabu Tremboko sangat marah. Ia berterima kasih kepada Arya
Suman yang peduli kepada dirinya. Raden Arimba lalu diperintahkan untuk memimpin
pasukan raksasa menghadang Patih Gandamana.
pamit hendak pulang ke Kerajaan Hastina untuk merebut kedudukan patih. Ia berjanji
apabila menjadi patih maka hubungan Kerajaan Hastina dan Pringgadani akan pulih
kembali seperti sediakala. Setelah berkata demikian, Arya Suman dan dua keponakannya
pun berangkat meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, Resi Gunabantala menagih janji Raden Yamawidura di awal tadi. Raden
Yamawidura pun bertanya apa yang menjadi permintaan sang pendeta tua dan ia siap
mengabulkannya. Resi Gunabantala menjelaskan bahwa ia memiliki seorang putri bernama
Endang Sinduwati yang bermimpi menikah dengan Raden Yamawidura. Resi Gunabantala
sangat ingin mewujudkan mimpi putrinya tersebut bagaimanapun caranya.
Raden Yamawidura menjelaskan bahwa dirinya sudah mempunyai istri bernama Dewi
Padmarini, putri Adipati Dipacandra dari Pagombakan. Dari perkawinan itu pun telah lahir
seorang putra bernama Raden Sanjaya yang saat ini masih kecil. Resi Gunabantala
menjawab tidak masalah jika Raden Yamawidura memiliki istri lebih dari satu. Ia rela jika
putrinya dimadu asalkan impian tersebut dapat terwujudkan.
Raden Yamawidura lalu meminta pendapat Kyai Semar tentang masalah ini. Kyai
Semar pun menyarankan agar Raden Yamawidura sebagai kesatria hendaknya menepati
janji yang telah diucapkannya tadi. Raden Yamawidura akhirnya menurut. Ia pun bersedia
menikahi Endang Sinduwati, putri Resi Gunabantala.
Maka, rombongan lalu dibagi menjadi dua. Patih Gandamana bersama Raden
Bratasena pulang ke Kerajaan Hastina, sedangkan Raden Yamawidura, Raden Permadi,
dan para panakawan mengikuti Resi Gunabantala menuju Padepokan Arga Kumelun, di
mana Endang Sinduwati telah menunggu.
bisa datang menyerang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu harus segera mengangkat patih
yang baru.
Prabu Pandu mengikuti saran sang kakak. Ia pun meminta pertimbangan siapa
punggawa yang bisa dilantik sebagai patih, apakah Arya Banduwangka, Arya Bargawa,
ataukah Arya Bilawa. Adipati Dretarastra menolak nama-nama itu karena mereka semua
adalah punggawa tua. Saat ini Kerajaan Hastina membutuhkan seorang tokoh muda yang
pandai dan cekatan karena keadaan sedang darurat. Maka, calon yang paling tepat
hanyalah Arya Suman.
Arya Suman mengaku keberatan karena Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya
Bilawa sudah lama mengabdi di Kerajaan Hastina sehingga mereka lebih pantas menjadi
patih dibanding dirinya. Meskipun mulutnya berkata demikian, namun dalam hati ia
membaca mantra sihir untuk memengaruhi pikiran Prabu Pandu agar mengabulkan usulan
Adipati Dretarastra. Pengaruh mantra sihir tersebut membuat Prabu Pandu terlena dan
akhirnya ia pun menyetujui pengangkatan Arya Suman sebagai patih. Ia lalu menerbitkan
surat keputusan dan memerintahkan Arya Suman untuk mengumumkannya kepada seluruh
menteri dan punggawa.
meringkusnya. Kedua tangan Patih Gandamana langsung bekerja menghajar tubuh Arya
Suman tanpa ampun.
Arya Suman berusaha melawan, tetapi Patih Gandamana terlalu kuat untuknya. Ia
berniat membaca mantra sihir namun pikirannya tidak tenang sehingga hafalannya kacau
balau. Akibat pukulan dan tendangan Patih Gandamana, wujud Arya Suman kini berubah.
Ia tidak lagi tampan seperti semula, tetapi berubah menjadi buruk rupa, yaitu mulutnya
robek, matanya agak melotot, dan punggungnya menjadi bongkok.
Raden Suyudana dan Raden Dursasana yang menunggu di luar mendengar suara
jeritan paman mereka. Keduanya segera masuk dan menyambar tubuh Arya Suman lalu
menggotongnya menuju tempat Prabu Pandu.
Suman menjadi Patih Sangkuni. Adapun nama Sangkuni berasal dari kata “saka” dan “uni”,
artinya “dari ucapan”. Maksudnya ialah, Patih Sangkuni berubah wujud menjadi buruk rupa
adalah karena ucapannya sendiri, yang melaporkan kematian Patih Gandamana padahal
orangnya masih hidup.
Patih Sangkuni pun menerima keputusan tersebut. Ia pura-pura bertobat di hadapan
Prabu Pandu dan berjanji akan menjadi patih yang baik dan membawa kemajuan bagi
Kerajaan Hastina.
CATATAN : Kisah Gandamana Luweng ini tidak terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa versi Surakarta,
sehingga Raden Ngabehi Ranggawarsita pun tidak membuat perkiraan angka tahun kejadiannya.
KITAB WAYANG PURWA
PERANG PAMUKSA
Kisah ini menceritakan Prabu Pandu berusaha memenuhi idaman Dewi Madrim yang
ingin bertamasya mengendarai Lembu Andini. Kisah dilanjutkan dengan perang besar
antara Kerajaan Hastina melawan Kerajaan Pringgadani yang disebut dengan istilah
Perang Pamuksa. Dalam perang ini Prabu Tremboko tewas, sedangkan Prabu Pandu
terluka di paha, dan kelak ini menjadi penyebab kematiannya.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan rekaman pentas Ki Manteb
Soedharsono dan pentas Ki Purbo Asmoro, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 15 Juli 2016
Heri Purwanto
tiba-tiba saja Dewi Madrim meminta hal yang aneh seperti itu. Dalam hal ini Prabu Pandu
merasa bimbang mana yang lebih baik harus didulukan.
Dewi Gandari tiba-tiba menyela pembicaraan. Ia mengatakan bahwa Dewi Madrim kali
ini sedang mengidam. Sebagai sesama perempuan, ia dapat merasakan betapa sedihnya
apabila suami tidak dapat mewujudkan idaman istri yang sedang mengandung. Sebenarnya
istri yang mengidam itu bukan ingin menyusahkan suami, tetapi ingin lebih diperhatikan.
Mungkin selama ini Prabu Pandu terlalu sibuk memikirkan urusan negara, sehingga lupa
memerhatikan Dewi Madrim. Bagaimanapun juga Dewi Madrim sedang mengandung calon
penerus silsilah Kerajaan Hastina. Untuk itu, tiada salahnya apabila Prabu Pandu
meluangkan waktu untuk mengusahakan permintaan Dewi Madrim yang aneh itu, sebagai
bukti tanda cinta suami terhadap istri.
Adipati Dretarastra membenarkan ucapan istrinya. Ia menyarankan agar Prabu Pandu
segera naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini barang sehari
kepada Batara Guru. Adipati Dretarastra berusaha meyakinkan bahwa di masa kecilnya
dulu, Prabu Pandu pernah berjasa terhadap para dewa, yaitu menumpas Prabu Nagapaya
yang menyerang kahyangan. Apabila Prabu Pandu meminjam Lembu Andini barang sehari,
tentu Batara Guru akan mengizinkan dengan suka rela.
Prabu Pandu masih saja ragu-ragu. Ia takut Batara Guru akan murka jika kendaraan
pribadinya dipinjam untuk bertamasya. Lalu, bagaimana pula dengan permasalahan
menghadapi Kerajaan Pringgadani? Bukankah ini sama artinya menghindari urusan negara
dan lebih mementingkan urusan keluarga? Sebagai raja yang bijaksana, tentunya lebih baik
Prabu Pandu mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga.
Patih Sangkuni pun ikut bicara. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa gunanya seorang
raja mengangkat para menteri dan punggawa jika mereka tidak bisa menangani persoalan.
Sudah sewajarnya apabila seorang raja menugasi bawahannya untuk menyelesaikan
masalah. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani cukup diserahkan kepada dirinya dan
para punggawa, sedangkan urusan Dewi Madrim mengidam hanya bisa dipenuhi oleh
Prabu Pandu seorang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu adalah suami, maka tidak
mungkin urusan mewujudkan idaman istri diserahkan pada orang lain.
Prabu Pandu terdiam. Ia merasa Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, dan Patih
Sangkuni sudah satu suara menyarankan agar dirinya mengutamakan permintaan Dewi
Madrim. Sebenarnya ia ingin meminta pendapat lain sebagai penyeimbang, tetapi yang ada
di situ hanya Resi Krepa, yaitu kepala pendeta yang pendiam dan jarang bicara. Raden
Yamawidura yang bijaksana saat ini masih berada di Padepokan Arga Kumelun, sedangkan
Resiwara Bisma sang sesepuh kerajaan masih bertapa di Padepokan Talkanda.
Prabu Pandu akhirnya memantapkan hati untuk menerima saran dari Adipati
Dretarastra bertiga. Ia pun mohon restu kepada sang kakak semoga berhasil meminjam
Lembu Andini kepada Batara Guru. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani sepenuhnya
diserahkan kepada Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga Patih Sangkuni harus bisa
mengusahakan perdamaian. Namun, jika pihak Pringgadani masih juga bersikeras ingin
berperang, maka pasukan Hastina sama sekali tidak boleh gentar.
Patih Sangkuni menerima tugas tersebut dan berusaha meyakinkan bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Prabu Pandu merasa lega. Ia pun membubarkan pertemuan dan masuk
ke dalam kedaton.
kaki sang suami. Dalam kesempatan itu Prabu Pandu berpamitan kepada dua istrinya itu
untuk segera naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini kepada Batara
Guru.
Dewi Madrim sangat senang mengetahui idamannya akan segera terwujud.
Sebaliknya, Dewi Kunti justru terlihat gugup dan gelisah. Ia mengaku telah bermimpi melihat
Prabu Pandu mengenakan pakaian serba putih naik perahu di tengah lautan. Tiba-tiba
muncul badai ganas yang membuat perahu tersebut terbalik dan Prabu Pandu pun
tenggelam tergulung ombak.
Dewi Madrim menjadi bimbang setelah mendengar cerita Dewi Kunti. Ia pun meminta
agar sang suami mengurungkan niat untuk naik ke kahyangan. Ia mengaku rela apabila
idamannya tidak jadi diwujudkan. Namun, Prabu Pandu menolak hal itu. Ia telah
memantapkan hati untuk meminjam Lembu Andini dan bagaimanapun juga harus dapat
diwujudkan. Mengenai mimpi Dewi Kunti semoga itu hanyalah hiasan tidur yang tidak
memiliki makna. Namun, apabila benar dirinya harus menjadi korban juga tidak masalah.
Prabu Pandu justru merasa bangga jika bisa berkorban untuk keluarga daripada diam
berpangku tangan tanpa berusaha sama sekali.
Dewi Kunti tidak berani bicara lagi. Ia hanya bisa berdoa agar usaha Prabu Pandu
membawa hasil, dan juga agar sang suami selalu mendapat perlindungan dari Yang
Mahakuasa. Prabu Pandu merasa senang. Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba
Dewi Madrim merengek minta diizinkan ikut. Ia masih khawatir mendengar cerita Dewi
Kunti. Apabila nanti Batara Guru sudi meminjamkan Lembu Andini, maka Prabu Pandu dan
dirinya bisa langsung segera pergi bertamasya. Namun, apabila Batara Guru menolak dan
menghukum Prabu Pandu, maka Dewi Madrim bersedia untuk ikut dihukum bersama.
Prabu Pandu dan Dewi Kunti menasihati Dewi Madrim agar tetap tinggal di istana.
Namun, Dewi Madrim menangis dan menuduh mereka tidak sayang kepadanya. Prabu
Pandu akhirnya luluh. Ia pun mengizinkan Dewi Madrim ikut serta bersama dirinya naik ke
Kahyangan Jonggringsalaka. Prabu Pandu juga berpesan agar Dewi Kunti menunggu di
istana dengan tenang karena semuanya pasti baik-baik saja.
mereka mengaku sebagai orang-orang Hastina yang sengaja disusupkan oleh Prabu Pandu
demi merusak Kerajaan Pringgadani dari dalam.
Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta melaporkan pula bahwa Prabu
Tremboko sekeluarga telah berhasil dibakar amarahnya. Mereka pun berubah sikap dari
yang dulu memuja Prabu Pandu, sekarang menjadi sangat benci kepadanya. Mereka
menuduh Prabu Pandu seorang raja yang tampan parasnya tetapi busuk hatinya. Tidak
hanya itu, bahkan Prabu Tremboko telah memerintahkan putra sulungnya, yaitu Raden
Arimba untuk menyerang Kerajaan Hastina secara besar-besaran.
Patih Sangkuni sangat senang mendengar laporan dari kedua adiknya. Ia pun telah
menyusun siasat untuk menyingkirkan Prabu Pandu. Ia berhasil membujuk Adipati
Dretarastra dan Dewi Gandari supaya ikut mendesak Prabu Pandu agar naik ke Kahyangan
Jonggringsalaka meminjam Lembu Andini, dan tidak perlu mengurusi Prabu Tremboko.
Patih Sangkuni yakin Batara Guru pasti murka dan menghukum mati Prabu Pandu karena
hal ini. Jika Prabu Pandu mati, maka takhta Kerajaan Hastina akan kembali pada yang
berhak, yaitu Adipati Dretarastra selaku putra sulung Bagawan Abyasa.
Tiba-tiba datang Arya Bargawa yang melaporkan bahwa pasukan raksasa Pringgadani
yang dipimpin oleh Raden Arimba telah datang menyerang dan memasuki wilayah Kerajaan
Hastina. Patih Sangkuni menerima laporan itu dan berbalik memberikan perintah kepada
sang senapati Arya Banduwangka agar memimpin langsung pasukan garis depan untuk
menghadapi para raksasa tersebut. Arya Bargawa dan Arya Bilawa diperintah pula sebagai
senapati pengapit kanan dan kiri. Arya Bargawa menerima perintah tersebut lalu berangkat
menemui Arya Banduwangka dan Arya Bilawa.
Raden Suyudana bertanya apakah dirinya boleh ikut berperang membela negara.
Patih Sangkuni berkata bahwa para Kurawa tidak perlu ikut berperang, tapi cukup menonton
dari kejauhan saja. Jika Arya Banduwangka menang, maka Patih Sangkuni akan ikut
mendapat nama baik. Tetapi, jika Arya Banduwangka gugur, maka Patih Sangkuni akan
kehilangan saingan. Syukur-syukur jika Arya Bargawa dan Arya Bilawa juga ikut tewas
bersama dengannya.
PRABU PANDU DAN DEWI MADRIM DIINGATKAN OLEH BATARA YAMADIPATI DAN
BATARI KOMINI
Prabu Pandu dan Dewi Madrim telah duduk di atas punggung Lembu Andini. Bersama-
sama mereka melanglang buana, menikmati keindahan alam dari atas langit. Tiba-tiba di
bawah terlihat sebuah taman bunga alami yang membentang di kaki Gunung
Madusakawan. Dewi Madrim sangat terkesan dan ingin bermain di taman tersebut. Lembu
Andini menurut dan segera mendarat di sana.
Prabu Pandu dan Dewi Madrim lalu berjalan kaki menyusuri taman indah itu. Bunga-
bunga yang tumbuh secara alami tampak bermekaran, disertai suara burung bersahut-
KITAB WAYANG PURWA
sahutan menambah indahnya suasana. Mereka berdua merasa betah berada di situ
sehingga tanpa sadar matahari pun telah bergeser ke ufuk barat.
Sinar matahari senja yang menerpa tubuh Dewi Madrim membuat parasnya terlihat
semakin cantik. Prabu Pandu menjadi terlena. Perlahan ia memeluk tubuh istri keduanya
itu dan mengajaknya bermesraan. Dewi Madrim sendiri juga sedang terlena. Selama
menikah ia sama sekali belum pernah merasakan nikmatnya hubungan suami istri, karena
Prabu Pandu terlanjur mendapat kutukan dari Resi Kindama. Janin yang kini dikandungnya
memang berasal dari benih sang suami, tetapi ditanam di dalam perutnya dengan bantuan
Resi Druwasa dan dimatangkan oleh dewa kembar Batara Aswan dan Batara Aswin.
Belum sempat Prabu Pandu membuka pakaian, tiba-tiba muncul sepasang kijang
yang saling kejar-kejaran, kemudian bermesraan di hadapan mereka. Prabu Pandu dan
Dewi Madrim tersinggung karena merasa disindir. Dewi Madrim pun meminta Prabu Pandu
agar membunuh kedua kijang itu sekaligus menjadikan mereka sebagai makanan di malam
nanti. Prabu Pandu segera melepaskan panah dan seketika mengenai kedua kijang
tersebut.
Begitu terkena panah, kedua kijang itu langsung musnah dan berubah wujud menjadi
Batara Yamadipati dan Batari Komini. Batara Yamadipati menjelaskan bahwa dirinya diutus
Batara Guru untuk mengawasi Prabu Pandu dan Dewi Madrim agar jangan sampai lupa diri
sehingga melanggar kutukan Resi Kindama. Dahulu kala Resi Kindama dan Rara Dremi
tewas saat bermesraan dalam wujud sepasang kijang karena dipanah oleh Prabu Pandu.
Resi Kindama pun mengutuk kelak apabila Prabu Pandu bermesraan dengan istrinya, maka
ia akan mendapatkan celaka. Untuk itulah, tujuan Batara Yamadipati dan Batari Komini
mengubah wujud menjadi sepasang kijang adalah untuk mengingatkan Prabu Pandu akan
peristiwa tersebut.
Prabu Pandu bukannya berterima kasih, tetapi justru meminta Batara Yamadipati dan
Batari Komini segera pulang ke kahyangan. Ia sama sekali tidak butuh diawasi dan dibuntuti
seperti penjahat. Batara Yamadipati tersinggung dan berkata bahwa mungkin memang
sudah tiba saatnya Prabu Pandu menyelesaikan tugas-tugas di dunia. Ia pun berkata bahwa
kelak dirinya sendiri yang akan menjemput roh Prabu Pandu. Selesai berkata demikian,
Batara Yamadipati lalu mengajak istrinya pergi meninggalkan tempat itu.
Lembu Andini menyebut Prabu Pandu kekanak-kanakan, lalu ia pun melesat terbang ke
angkasa.
Setelah Lembu Andini pergi, Prabu Pandu segera menggendong Dewi Madrim dan
berlari menuju Kerajaan Hastina menggunakan Aji Sepi Angin.
Sangkuni. Mendengar itu, Resiwara Bisma merasa prihatin dan segera menuju Kerajaan
Hastina bersama Raden Permadi dan para panakawan.
Kebetulan Resiwara Bisma berjumpa rombongan Raden Yamawidura. Karena tujuan
yang sama, mereka pun bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju istana.
Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim menangis melihat
Prabu Pandu terluka setelah bertarung melawan Prabu Tremboko. Patih Sangkuni juga ikut
pura-pura sedih. Ia pun menangis tapi dalam hati tertawa-tawa karena yakin ajal Prabu
Pandu akan segera tiba. Dengan demikian, dirinya bisa berkuasa penuh di Kerajaan
Hastina, mengendalikan para Kurawa.
Resiwara Bisma perlahan-lahan mencabut Keris Kalanadah yang masih menancap di
paha kanan Prabu Pandu, lalu menyerahkannya kepada Raden Permadi untuk disimpan.
Begitu pula dengan Keris Pulanggeni yang masih berlumuran darah Prabu Tremboko juga
diserahkan kepada Pandawa nomor tiga tersebut.
Prabu Pandu tersenyum dan sama sekali tidak takut jika dirinya harus meninggal,
karena ini mungkin menjadi penebus atas dosa-dosanya. Namun, Resiwara Bisma dan
Raden Yamawidura tidak mau menyerah. Mereka pun memanggil para tabib agar segera
mengobati luka sang raja.
CATATAN : Serat Pustakaraja Purwa versi Surakarta mengisahkan bahwa Prabu Pandu jatuh sakit setelah
memanah kijang penjelmaan Batara Yamadipati. Kisah ini oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita
diberi angka tahun Suryasengkala 689 yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana angraras
kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu kaswareng
wiyat”. Sementara itu, menurut kisah-kisah pedalangan, Prabu Pandu terluka akibat perang
melawan Prabu Tremboko. Maka, dalam tulisan di atas, saya pun menggabungkan keduanya
menjadi satu cerita.
KITAB WAYANG PURWA
PANDU BANJUT
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Pandu, di mana ia menepati janjinya untuk
masuk ke dalam Kawah Candradimuka. Dewi Madrim yang telah melahirkan Raden
Nakula dan Raden Sadewa juga ikut bunuh diri menemani sang suami.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan Serat Pustakaraja Purwa
(Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, serta rekaman pentas Ki Manteb
Soedharsono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 23 Juli 2016
Heri Purwanto
Prabu Pandu pun teringat kutukan Resi Kindama belasan tahun yang lalu. Saat itu
Resi Kindama dan Rara Dremi bermesraan dalam wujud sepasang kijang di Hutan
Pramuwana. Kebetulan Prabu Pandu dan kedua istrinya sedang berburu. Atas permintaan
Dewi Madrim, Prabu Pandu pun memanah kedua kijang tersebut. Akibatnya, Resi Kindama
dan Rara Dremi pun tewas. Sebelum meninggal, Resi Kindama sempat mengutuk sang raja
Hastina kelak akan mendapat celaka apabila bersetubuh dengan istrinya.
Kutukan tersebut membuat Prabu Pandu khawatir dirinya tidak bisa memiliki
keturunan. Untungnya, Resi Druwasa muncul membawa sarana sehingga Prabu Pandu
dapat menanam benihnya dalam rahim Dewi Kunti dan Dewi Madrim tanpa harus
bersentuhan. Atas berkat para dewa, yaitu Batara Darma, Batara Bayu, dan Batara Indra,
ketiga benih dalam rahim Dewi Kunti dapat lahir ke dunia dan kini mereka semua telah
tumbuh remaja, yaitu Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi. Adapun
benih dalam rahim Dewi Madrim saat ini telah berkembang menjadi janin kembar, berkat
bantuan Batara Aswan dan Batara Aswin.
Setelah berhasil menahan nafsu birahi selama belasan tahun, akhirnya Prabu Pandu
tergoda juga melihat paras cantik Dewi Madrim saat mereka bertamasya mengendarai
Lembu Andini. Prabu Pandu pun bermesraan dengan istrinya yang sedang hamil itu di
sebuah taman bunga di kaki gunung. Akibatnya, kutukan Resi Kindama menjadi kenyataan.
Prabu Pandu mendapat celaka saat bertarung melawan Prabu Tremboko yang terhitung
masih muridnya sendiri.
Teringat pada kutukan itu, Prabu Pandu merasa sia-sia atas semua pengobatan pada
dirinya saat ini. Ia pun mengumpulkan segenap anggota keluarga, yaitu Resiwara Bisma
dari Talkanda, Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari dari Gajahoya, Raden Yamawidura
dari Pagombakan, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Resi Krepa dari Timpurusa. Tidak
ketinggalan Dewi Kunti, Dewi Madrim, Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden
Permadi juga hadir. Dalam pertemuan yang diadakan di kamar tidur itu, Prabu Pandu
menyampaikan bahwa ajalnya sudah dekat. Ia ingin mengembalikan mandat sebagai raja
Hastina kepada Resiwara Bisma.
Resiwara Bisma terharu mendengar penuturan sang keponakan. Jika memang Prabu
Pandu sudah tidak sanggup lagi menjadi raja, maka Resiwara Bisma akan menyerahkan
takhta kepada Raden Puntadewa. Akan tetapi, Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia
berpendapat bahwa Raden Puntadewa belum bisa menjadi raja karena masih belum
menamatkan pendidikan. Selama ini para Pandawa dan Kurawa telah belajar ilmu tata
negara dan ilmu agama kepada Resi Krepa. Memang Raden Puntadewa adalah murid Resi
Krepa yang terbaik dan terpandai. Namun, ia sama sekali belum mempelajari ilmu perang.
Raden Bratasena membantah Patih Sangkuni. Meskipun belum mempelajari ilmu
perang, namun dirinya memiliki bakat kesaktian dan kekuatan sejak lahir. Ia siap melindungi
kakaknya sebagai raja Hastina dari segala ancaman bahaya. Patih Sangkuni menjawab
bahwa berkelahi itu tidak sama dengan berperang. Meskipun Raden Bratasena memiliki
bakat kesaktian dan kekuatan sejak lahir, namun ia sama sekali belum paham tentang
siasat perang, tentang formasi perang, tentang tata cara memimpin pasukan dan
sebagainya. Seorang raja yang hanya mengandalkan kekuatan satu orang akan mudah
dikalahkan oleh musuh yang memiliki para prajurit terlatih.
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura yang biasanya beda pendapat dengan Patih
Sangkuni kali ini merasa setuju. Mereka pun memutuskan bahwa para Pandawa dan
Kurawa harus menamatkan pelajaran ilmu perang terlebih dulu, barulah Raden Puntadewa
bisa duduk di atas takhta Kerajaan Hastina. Untuk sementara, Adipati Dretarastra akan
diangkat sebagai raja wakil yang menjalankan pemerintahan selama para putra belum
dinyatakan lulus.
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Pandu merasa lega atas keputusan tersebut. Ia ingin sebelum meninggal
sempat berpamitan kepada sang ayah, yaitu Bagawan Abyasa di Padepokan Saptaarga.
Raden Bratasena mengajukan diri untuk menjemput sang kakek, karena tidak mungkin jika
ayahnya yang dibawa ke sana. Raden Permadi dan para panakawan pun siap menemani.
Mereka lalu mohon pamit berangkat menuju Gunung Saptaarga.
Patih Bakasura sangat gembira. Ia lalu mohon pamit berangkat mendahului serangan.
Prabu Pandu memang harus dijalankan, tetapi bukan karena kesalahannya memakai nama
Dewanata, atau membangun istana seperti kahyangan. Batara Guru mengingatkan Batara
Kamajaya bahwa Prabu Pandu pernah meminjam Lembu Andini dan berjanji dirinya rela
dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka sebagai ganti. Itu artinya, Prabu Pandu
mendapat hukuman adalah untuk memenuhi ucapannya sendiri.
Batara Kamajaya terdiam tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu
memerintahkan Batara Yamadipati untuk menjemput roh Prabu Pandu dan membawanya
ke Gunung Jamurdipa. Batara Yamadipati menyatakan siap dan mohon pamit menjalankan
perintah.
Setelah pertemuan bubar, Batara Kamajaya mengajak Batara Aswan dan Batara
Aswin untuk membantu Prabu Pandu. Jika memang ajal Prabu Pandu sudah ditentukan,
mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Namun setidaknya, mereka akan mengusahakan
bagaimana caranya agar Prabu Pandu bisa meninggal dengan tenang. Setelah
bermusyawarah, mereka lalu membagi tugas. Batara Kamajaya pergi ke Gunung
Saptaarga, sedangkan Batara Aswan dan Batara Aswin pergi ke Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu meminta kelonggaran untuk berangkat setelah Dewi Madrim melahirkan,
serta menunggu kedatangan Raden Bratasena dan Raden Permadi yang menjemput
Bagawan Abyasa. Batara Yamadipati bersedia menunggu, namun hanya dalam batas
waktu sehari ini saja, yaitu sebelum matahari terbenam.
Tidak lama kemudian, Batara Aswan dan Batara Aswin turun dari kahyangan dan
memberi tahu Prabu Pandu bahwa mereka siap membantu agar Dewi Madrim segera
melahirkan. Prabu Pandu bahagia dan sangat berterima kasih kepada sepasang dewa
kembar tersebut.
Batara Aswan dan Batara Aswin lalu menemui Dewi Madrim. Dengan kekuasaan
mereka, janin dalam rahim Dewi Madrim pun dimatangkan dalam waktu singkat. Pada hari
itu pula, Dewi Madrim melahirkan bayi kembar laki-laki. Tidak hanya itu, kedua bayi tersebut
juga diubah menjadi anak-anak usia sepuluh tahun, agar tidak selisih terlalu jauh dengan
ketiga kakak mereka. Adapun Raden Puntadewa saat ini berusia tujuh belas tahun, Raden
Bratasena berusia lima belas tahun, sedangkan Raden Permadi berusia tiga belas tahun.
Batara Aswan dan Batara Aswin lalu menyerahkan kedua anak kembar itu kepada
Prabu Pandu. Prabu Pandu yang masih lemah hanya bisa memeluk mereka sambil
berbaring, lalu memberikan nama Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Raden Puntadewa dan Raden Permadi. Bagawan Abyasa segera meminta Kyai Semar agar
melindungi mereka. Kyai Semar langsung melesat menyusul ketiga Pandawa tersebut.
ROH PRABU PANDU DAN ROH DEWI MADRIM MASUK KE DALAM KAWAH
CANDRADIMUKA
Batara Yamadipati bersama roh Prabu Pandu telah sampai di puncak Gunung
Jamurdipa, di mana Batara Guru dan Batara Narada telah menunggu. Tidak lama kemudian
datang pula roh Dewi Madrim yang menyatakan ingin menemani sang suami menjalani
hukuman. Batara Guru menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Prabu Pandu
memenuhi janjinya.
Roh Prabu Pandu menurut. Ia pun mencebur ke dalam Kawah Candradimuka
bersama roh Dewi Madrim, melalui mulut Gunung Jamurdipa. Begitu keduanya mencebur,
seketika Gunung Jamurdipa pun menyemburkan api yang menyala-nyala dan berkobar
mengerikan.
Tidak lama kemudian datang pula Kyai Semar bersama tiga Pandawa. Kyai Semar
meminta Batara Guru agar membebaskan roh Prabu Pandu. Namun, Batara Guru menolak
karena ini semua bukanlah hukuman darinya, melainkan Prabu Pandu yang ingin memenuhi
janji untuk menghukum dirinya sendiri.
Raden Bratasena tidak sabar dan ingin mencebur menyusul sang ayah. Namun, Kyai
Semar lebih dulu mencebur ke dalam kawah. Ia mengheningkan cipta membuat gejolak
kawah menjadi lebih tenang.
Setelah suasana kawah tidak terasa panas lagi, Kyai Semar pun mempersilakan para
Pandawa jika ingin mencebur.
Batara Guru menjawab tidak tahu, karena Prabu Pandu sendiri yang berjanji jika
dirinya mati maka rohnya bersedia masuk ke dalam Kawah Candradimuka tanpa menyebut
sampai kapan batas waktunya. Sementara itu, Dewi Madrim sendiri dengan sukarela
menemani Prabu Pandu tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
Mendengar itu, Raden Bratasena pun bersumpah bahwa kelak dirinya akan
mengentas roh ayah dan ibunya dari dasar Kawah Candradimuka, kemudian memberikan
tempat terbaik di Swargaloka. Setelah bersumpah demikian, ia lantas mohon pamit kembali
ke Hastina bersama yang lain.
mempersilakan dan justru dirinya merasa bangga apabila namanya dipakai oleh Raden
Bratasena.
Demikianlah, setelah masa berkabung atas kematian Prabu Pandu dan Dewi Madrim
usai, Arya Bilawa pun berpamitan kepada Adipati Dretarastra untuk selanjutnya tinggal di
desa mengisi hari tua.
CATATAN : Peristiwa Pandu Banjut menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja
Purwa diberi angka tahun Suryasengkala 689 yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana
angraras kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu
kaswareng wiyat”. Mengenai pertempuran melawan Prabu Suksara adalah tambahan dari saya
untuk pengembangan cerita sekaligus sebagai prolog untuk lakon Bima Bumbu kelak.
KITAB WAYANG PURWA
DANGHYANG KUMBAYANA
Kisah ini menceritakan perjalanan Bambang Kumbayana ke Tanah Jawa, kelahiran
Bambang Aswatama, dan bagaimana wujud Bambang Kumbayana berubah menjadi
buruk rupa dan berganti nama menjadi Danghyang Druna. Kisah diakhiri dengan
pengangkatan Danghyang Druna menjadi guru ilmu perang bagi para Pandawa dan
Kurawa, setelah menengahi mereka saat berebut Lenga Tala.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, serta rekaman pentas Ki Nartosabdo, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 30 Juli 2016
Heri Purwanto
telah berubah menjadi bayi sempurna. Resi Baradwaja sangat senang dan memberi nama
putranya itu, Bambang Kumbayana. Kumba artinya “periuk”, dan Ayana artinya “perjalanan”.
Raden Sucitra dan Bambang Kumbayana pun ia besarkan bersama-sama di Padepokan
Girijembangan.
Kini Bambang Kumbayana telah berusia empat puluh tahun namun belum juga
menikah. Ia lebih suka bersenang-senang, menggoda gadis desa, dan juga merampok
rombongan para pedagang. Berita ini terdengar oleh Resi Baradwaja. Ia pun memarahi
Bambang Kumbayana dan memerintahkannya untuk segera menikah dan berumah tangga
secara baik-baik. Namun, Bambang Kumbayana menolak. Ia hanya mau menikah dengan
bidadari atau putri raja, bukan dengan anak pendeta seperti keinginan sang ayah.
Resi Baradwaja semakin marah dan mengusir putranya itu. Bambang Kumbayana pun
pergi seketika meninggalkan Padepokan Girijembangan.
Demikianlah, Batari Wilotama pun menjalani kutukan sebagai kuda sembrani selama
bertahun-tahun, hingga akhirnya ia bertemu Bambang Kumbayana. Maka, ketika Bambang
Kumbayana mimpi basah dan air maninya tumpah ke laut, Batari Wilotama nekat
mengejarnya supaya ia bisa hamil dan melahirkan anak manusia. Kini, putra Bambang
Kumbayana tersebut telah lahir. Batari Wilotama pun berpesan bahwa bayi laki-laki ini
memiliki pertumbuhan yang cepat seperti anak kuda. Oleh sebab itu, hendaknya ia diberi
nama Bambang Aswatama. Aswa artinya “kuda”, sedangkan Tama adalah singkatan dari
nama “Wilotama”.
Setelah berpesan demikian, Batari Wilotama lalu terbang ke kahyangan untuk
mengembalikan Mustika Aswandari kepada Batara Janapada. Bambang Kumbayana
memandangnya dengan penuh penyesalan, karena jika tadi dibicarakan baik-baik tentu
dirinya dapat memperistri seorang bidadari.
Demikianlah, apa yang diucapkan Batari Wilotama sebelum berpisah menjadi
kenyataan. Pertumbuhan Bambang Aswatama sungguh cepat seperti anak kuda. Dalam
waktu singkat bayi itu sudah bisa berjalan dan berlari-lari, membuat Bambang Kumbayana
merasa terhibur karena memiliki teman dalam perjalanan. Ia sama sekali tidak menyesal
memiliki anak tanpa istri, bahkan perasaannya kepada Bambang Aswatama kini sangat
sayang luar biasa.
memilih Raden Carya saja. Akan tetapi, Dewi Krepi memilih kabur meninggalkan istana
Timpurusa. Prabu Purunggaji sangat prihatin akan nasib putrinya itu. Ia pun mengirim surat
kepada Resi Krepa di Kerajaan Hastina agar membantu mencari keberadaan Dewi Krepi.
Dewi Krepi ganti menceritakan pengalamannya. Setelah melarikan diri dari istana, ia
bertemu dengan ibu kandungnya di tengah jalan, yaitu Batari Janapadi (sahabat Batari
Wilotama yang juga pernah menjadi kuda sembrani). Dahulu kala Batari Janapadi
meninggalkan Dewi Krepi dan Resi Krepa setelah mereka lahir untuk kembali ke
kahyangan. Dewi Krepi dan Resi Krepa semasa bayi diasuh oleh Ken Yoni di tengah hutan.
Setelah Ken Yoni meninggal, kedua bayi tersebut ditemukan dan dirawat oleh Bagawan
Santanu dan Resi Bisma di Kerajaan Hastina. Belasan tahun kemudian, Dewi Krepi dan
Resi Krepa bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu Purunggaji. Dewi Krepi lalu ikut
ayahnya tinggal di Kerajaan Timpurusa, sedangkan Resi Krepa tetap tinggal di Kerajaan
Hastina untuk bekerja sebagai kepala brahmana.
Dewi Krepi selalu menolak untuk dinikahkan sehingga ia menjadi perawan tua. Itu
karena hatinya sudah terlanjur jatuh cinta kepada Bambang Kumbayana yang ditemuinya
berkali-kali di alam mimpi. Hingga pada akhirnya, Dewi Krepi memilih kabur dari istana
karena terus-menerus dipaksa oleh Prabu Purunggaji untuk menikah dengan Raden Carya.
Dalam perjalanannya itu, ia pun bertemu sang ibu, yaitu Batari Janapadi.
Batari Janapadi sangat prihatin melihat nasib putrinya. Ia pun membantu Dewi Krepi
apabila ingin bertemu Bambang Kumbayana. Syaratnya, Dewi Krepi harus bersedia diubah
wujudnya menjadi ular besar dan harus mau menyerang adiknya sendiri, yaitu Resi Krepa.
Dewi Krepi menurut. Maka, Batari Janapadi pun mengubah wujud putrinya itu menjadi ular
besar. Ular tersebut merayap ke sana kemari hingga akhirnya bertemu dengan Resi Krepa.
Ia pun menyerang sang adik, hingga akhirnya diruwat oleh Bambang Kumbayana menjadi
manusia seperti sediakala.
Prabu Purunggaji terharu mendengar perjuangan putrinya. Karena Dewi Krepi telah
berhasil menemukan Bambang Kumbayana, maka ia tidak akan memaksa lagi. Ia pun
merestui apabila Dewi Krepi menjadi istri Bambang Kumbayana. Sebaliknya, Bambang
Kumbayana pun bersedia menikahi Dewi Krepi karena ia juga membutuhkan ibu untuk
anaknya yang bernama Bambang Aswatama. Dewi Krepi yang melihat si kecil Bambang
Aswatama langsung tumbuh sifat keibuannya. Ia pun menggendong anak laki-laki tersebut
dan menyusuinya. Sungguh ajaib, air susu Dewi Krepi langsung keluar meskipun dirinya
tidak ikut melahirkan.
Raden Carya yang gagal menikah dengan Dewi Krepi justru merasa senang. Ia pun
berterus terang kepada Prabu Purunggaji bahwa dirinya diam-diam telah menjalin
hubungan dengan Dewi Paruti, putri Resi Luda, yaitu kepala brahmana Kerajaan
Timpurusa. Prabu Purunggaji merasa bersalah telah memaksa Raden Carya dan Dewi
Krepi menikah, karena ternyata masing-masing telah mencintai orang lain. Maka, Prabu
Purunggaji pun berjanji apabila nanti kembali ke Timpurusa akan segera menikahkan Raden
Carya dengan Dewi Paruti.
Prabu Purunggaji lalu bertanya apakah Resi Krepa tidak ingin menikah juga. Resi
Krepa menjawab bahwa ia pernah bersumpah untuk mengikuti jalan hidup Resiwara Bisma
yang telah membimbingnya sejak kecil. Oleh sebab itu, ia pun bertekad untuk hidup wahdat,
yaitu tidak menikah seumur hidup, sama seperti yang dilakukan oleh Resiwara Bisma. Ia
juga menegaskan bahwa dirinya akan tetap mengabdi di Kerajaan Hastina, dan
mempersilakan Raden Carya saja yang diangkat sebagai ahli waris Kerajaan Timpurusa.
Prabu Purunggaji bangga terhadap niat baik Resi Krepa. Ia lalu mengajak Bambang
Kumbayana untuk tinggal di istana Timpurusa. Namun, Bambang Kumbayana menolak
KITAB WAYANG PURWA
karena dirinya sudah merasa nyaman dan ingin membangun rumah di taman bunga
angsoka lima warna ini. Dewi Krepi juga memilih untuk menemani sang suami dan menolak
ikut pulang ke istana. Prabu Purunggaji memaklumi. Ia pun memerintahkan para prajurit
untuk membangun padepokan sebagai tempat tinggal Bambang Kumbayana dan Dewi
Krepi di tempat itu.
Demikianlah, padepokan dekat taman bunga angsoka lima warna telah berdiri,
sebagai tempat tinggal Bambang Kumbayana dan Dewi Krepi. Bambang Kumbayana lalu
mengganti gelarnya menjadi Danghyang Kumbayana, dan memberi nama padepokannya
itu dengan sebutan Padepokan Sokalima.
Apa yang pernah dilakukan Arya Gandamana terhadap Patih Sangkuni, kini
dilakukannya kepada Danghyang Kumbayana. Arya Gandamana masih menyimpan
dendam karena diusir dari Kerajaan Hastina akibat fitnah Patih Sangkuni. Ketika Perang
Pamuksa meletus, ia hanya bisa berdoa dari jauh tanpa bisa membantu Prabu Pandu
menghadapi Prabu Tremboko. Kematian Prabu Pandu membuat Arya Gandamana semakin
kesal terhadap Patih Sangkuni. Maka, begitu Danghyang Kumbayana datang ke istana
Pancala dan berbuat kurang ajar, Arya Gandamana pun sekilas teringat Patih Sangkuni dan
langsung melampiaskan kemarahan kepadanya.
Prabu Drupada meminta maaf kepada Danghyang Kumbayana atas perbuatan Arya
Gandamana yang melampaui batas. Danghyang Kumbayana menolak permintaan maaf
tersebut. Ia kesal mengapa Prabu Drupada tidak melerai dari awal sehingga wujudnya tidak
sampai rusak seperti ini. Ia berkata bahwa dirinya bisa saja membalas perbuatan Arya
Gandamana saat ini juga. Namun, ia bersumpah bahwa kelak murid-muridnya yang akan
datang untuk membalas Arya Gandamana sekaligus Prabu Drupada. Hal ini tentu akan lebih
memalukan daripada ia sendiri yang membalas.
Arya Gandamana kembali marah dan hendak membunuh Danghyang Kumbayana.
Namun, Prabu Drupada buru-buru mencegahnya dan mengatakan ucapan Danghyang
Kumbayana jangan diambil hati. Sementara itu, Danghyang Kumbayana telah bangkit dan
berjalan tertatih-tatih pulang ke Padepokan Sokalima, dengan menyimpan dendam kesumat
di dalam hati.
Danghyang Druna yang sakti daripada ribut mencari Lenga Tala yang mungkin saja sudah
hilang meresap ke dalam tanah.
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak bisa membantah lagi. Mereka pun
setuju jika pertunjukan nanti diubah menjadi perlombaan. Akan tetapi, yang menjadi juri
dalam menentukan pemenang haruslah Danghyang Druna, bukan Patih Sangkuni. Adipati
Dretarastra setuju. Ia lalu meminta Danghyang Druna untuk menyusun peraturan
pertandingan.
Danghyang Druna mengusulkan bahwa dalam pertandingan nanti hendaknya menjadi
pertandingan persaudaraan, dan para pangeran tidak boleh saling melukai. Siapa yang
menang cukup dilihat dari seberapa lama ia mampu bertahan di atas panggung. Sebaliknya,
barangsiapa yang menyebabkan pihak lawan berdarah, maka ia akan dinyatakan gugur.
Demkikianlah, Adipati Dretarastra telah menetapkan Danghyang Druna sebagai juri
dan Patih Sangkuni sebagai panitia acara. Resiwara Bisma meminta Patih Sangkuni harus
adil dalam menentukan urutan siapa pangeran yang akan tampil. Patih Sangkuni pun
menyanggupi, bahwa nanti pangeran yang tampil akan ditentukan berdasarkan undian.
Karena semuanya telah sepakat, Adipati Dretarastra menetapkan tujuh hari lagi acara
pertandingan ini akan diadakan. Danghyang Druna diperintahkan untuk mempersiapkan
para pangeran, sedangkan Patih Sangkuni diperintahkan untuk mempersiapkan segala
sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Setelah dirasa cukup, pertemuan pun dibubarkan.
Radeya dan Adimanggala sama-sama bukan anak kandung Kyai Adirata dan Nyai
Rada. Radeya semasa bayi diperoleh Kyai Adirata dari pemberian Resi Druwasa,
sedangkan Adimanggala adalah pemberian Buyut Antyagopa dari Desa Widarakandang.
Adimanggala sangat bahagia bisa bertemu kakaknya. Ia bangga melihat Radeya telah
mewujudkan cita-cita yaitu bisa belajar kepada Batara Ramaparasu. Ia juga mengatakan
bahwa tidak lama lagi Danghyang Druna akan mengadakan pertunjukan adu kemahiran
antara para muridnya di Tegal Kurusetra.
Radeya sangat tertarik ingin menghadiri acara tersebut. Ia pun memohon restu kepada
Batara Ramaparasu semoga nanti bisa mempermalukan Danghyang Druna yang telah
menghina dirinya. Ia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa Radeya si putra kusir
kini menjadi pemanah terbaik di dunia.
Batara Ramaparasu tidak suka melihat sifat sombong Radeya. Ia pun mengutuk
Radeya jika terus-menerus bersikap angkuh dan sombong seperti itu, maka semua ilmu
kesaktian yang telah diajarkan olehnya akan lenyap dari ingatan pada saat paling
dibutuhkan.
Radeya memohon ampun kepada sang guru. Namun, Batara Ramaparasu tidak dapat
mencabut kutukannya. Ia hanya menasihati Radeya agar menjadi manusia dermawan
sebagai penyeimbang sifatnya yang angkuh. Radeya mematuhi dan bersumpah tidak akan
menolak siapa pun yang meminta sedekah kepadanya.
Batara Ramaparasu merestui Radeya semoga namanya dikenang sepanjang masa.
Ia lalu terbang meninggalkan Hutan Jatiraga, kembali ke kahyangan.
Adik perempuan Narayana yang bernama Rara Ireng merengek ingin menonton acara
itu. Narayana lalu meminta izin kepada Buyut Antyagopa agar Rara Ireng diperbolehkan ikut
pergi ke Tegal Kurusetra. Buyut Antyagopa mengizinkan tetapi Kakrasana juga harus ikut
pergi untuk menjaga keselamatan Rara Ireng.
Demikianlah, Narayana, Kakrasana, Udawa, dan Rara Ireng berangkat menuju Tegal
Kurusetra, sedangkan adik bungsu mereka yang bernama Rara Sati tetap tinggal di Desa
Widarakandang.
Tampak olehnya, Raden Bratasena masih segar bugar dan bersemangat melanjutkan
pertandingan.
Patih Sangkuni kembali melempar undian. Kali ini nama Raden Bratasena kembali
muncul bersama nama Raden Suyudana, Kurawa nomor satu. Sebelum naik ke panggung,
Raden Suyudana telah mendapat pesan dari Patih Sangkuni agar memancing amarah
Raden Bratasena.
Demikianlah, Raden Suyudana pun bertarung melawan Raden Bratasena. Tidak
hanya tangannya yang memainkan senjata gada, mulutnya juga ikut bicara mengejek. Ia
menyebut para Pandawa adalah hasil perselingkuhan Dewi Kunti dengan para dewa,
karena Prabu Pandu telah mendapat kutukan tidak bisa memiliki anak selamanya.
Raden Bratasena terpancing amarahnya. Ia memukul mulut Raden Suyudana hingga
mengeluarkan darah. Para Kurawa yang lain tidak terima dan beramai-ramai naik ke
panggung untuk mengeroyok Raden Bratasena. Pertandingan kini menjadi kacau balau,
bukan lagi satu lawan satu.
Sementara itu, Kakrasana yang menonton di antara warga Hastina tidak terima dan
segera melompat naik ke atas panggung. Para hadirin heran melihat ada pemuda desa
berkulit bule tiba-tiba membantu Raden Bratasena menghadapi para Kurawa sambil
mulutnya memaki-maki dengan kasar.
Udawa, Narayana, dan Rara Ireng ikut naik ke panggung untuk melerai. Udawa
memegangi tubuh Kakrasana, sedangkan Narayana meminta maaf kepada Adipati
Dretarastra atas ulah kakaknya itu. Adipati Dretarastra tidak terima ada rakyat jelata berani
memukul anak-anaknya. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk menangkap mereka.
Narayana segera mengajak Udawa, Kakrasana, dan Rara Ireng turun panggung lalu tiba-
tiba tubuh mereka menghilang entah ke mana. Para prajurit mencari ke mana-mana tetapi
tidak berhasil menemukan keempat remaja tersebut.
Keduanya pun bertanding di atas panggung. Dengan cekatan Raden Permadi berhasil
mengalahkan Raden Kartawarma dan membuat sepupunya itu jatuh keluar panggung.
Patih Sangkuni kembali melempar undian. Kali ini nama Raden Permadi kembali
muncul, sedangkan lawannya adalah Raden Pinten atau Nakula (Pandawa nomor empat).
Sesuai perkiraan Patih Sangkuni, Raden Pinten menyerah kalah tanpa bertanding karena
tidak mau melawan kakak sendiri.
Patih Sangkuni kembali melempar undian. Lagi-lagi nama Raden Permadi muncul,
dan yang menjadi lawannya adalah Raden Tangsen atau Sadewa (Pandawa nomor lima).
Sama seperti sebelumnya, Raden Tangsen pun menyerah kalah karena tidak mau
bertarung melawan kakak sendiri.
Nama yang tersisa kini tinggal tiga orang, yaitu Raden Suyudana, Raden Puntadewa,
dan Raden Permadi. Sejak tadi Patih Sangkuni selalu bermain ilmu sihir untuk mengatur
jalannya pertandingan. Ia menyihir supaya nama Raden Bratasena selalu muncul, dan kini
mengatur nama Raden Permadi supaya muncul pula. Adapun yang dimunculkan sebagai
lawannya kali ini adalah Raden Puntadewa (Pandawa nomor satu).
Raden Puntadewa dan Raden Permadi telah berhadapan di atas panggung. Patih
Sangkuni menyindir Raden Permadi sebaiknya bersikap hormat kepada saudara tua seperti
si kembar tadi. Raden Puntadewa terkenal tidak punya pengalaman bertarung. Tentunya
tidak pantas jika Raden Permadi mempermalukan kakaknya itu di hadapan banyak orang.
Raden Puntadewa melarang Raden Permadi termakan hasutan Patih Sangkuni.
Bagaimanapun juga Raden Permadi harus bertanding secara adil melawan dirinya.
Meskipun Raden Puntadewa tidak pernah bertarung, bukan berarti ia tidak bisa bertarung.
Di antara murid-murid Padepokan Sokalima, Raden Puntadewa adalah yang paling pandai
melempar lembing. Hari ini ia akan melemparkan lembing-lembingnya kepada Raden
Permadi. Jika nanti Raden Permadi mampu mengalahkannya, itu bukan berarti seorang
adik mempermalukan kakaknya, tetapi hendaknya dipahami lain, yaitu seorang adik
membuat kakaknya bangga.
Raden Permadi merasa mantap setelah mendengar nasihat kakaknya. Raden
Puntadewa lalu melemparkan lembing-lembingnya ke arah Raden Permadi. Satu persatu
lembing-lembing itu dapat ditangkis oleh panah-panah Raden Permadi. Setelah melihat
lembing kakaknya habis, Raden Permadi pun menghujani Raden Puntadewa dengan
ratusan panah. Para hadirin merasa kagum karena panah-panah itu sama sekali tidak
melukai Raden Puntadewa, tetapi tersusun rapi membentuk sebuah kursi.
Raden Permadi lalu menyembah Raden Puntadewa dan mempersilakannya untuk
duduk di atas kursi panah tersebut. Raden Puntadewa pun duduk sambil mengumumkan
bahwa dirinya dengan bangga menyatakan kalah di tangan sang adik.
Para hadirin seketika bersorak memuji kehebatan Raden Permadi yang berhasil
mengalahkan Raden Puntadewa tanpa mempermalukan kakaknya itu. Sebaliknya, Patih
Sangkuni sangat kecewa karena sejak awal ia berharap Raden Permadi yang menyerah
kalah kepada kakaknya, sehingga Raden Puntadewa yang maju ke pertandingan
selanjutnya melawan Raden Suyudana. Ia membayangkan Raden Suyudana yang perkasa
pasti dapat dengan mudah mengalahkan Raden Puntadewa di hadapan banyak orang.
Druna memberikan aba-aba, Raden Suyudana segera menyerang lebih dulu menggunakan
senjata gada.
Raden Permadi menggunakan busur sebagai senjata untuk menghadapinya. Setelah
agak lama bertarung, ia pun berniat mengalahkan lawan. Sambil membaca mantra, Raden
Permadi melepaskan panah ke angkasa. Tidak lama kemudian tiba-tiba muncul angin
kencang menggulung dan mengurung tubuh Raden Suyudana.
Danghyang Druna bersorak memuji Raden Permadi sebagai muridnya yang terbaik.
Bahkan, ia berpendapat bahwa kehebatan memanah Raden Permadi sudah melampaui
dirinya. Ia pun mengumumkan kepada semua orang bahwa Raden Permadi adalah
pemanah terbaik di dunia.
Kyai Adirata dan Radeya merasa gugup dan tidak berani menerima anugerah itu.
Radeya mengaku datang ke situ adalah untuk bertanding, bukan mencari hadiah. Namun,
Raden Suyudana berusaha meyakinkan mereka bahwa anugerah tersebut bukan hadiah,
melainkan sebagai bentuk rasa terima kasih. Tadi ketika tubuhnya digulung oleh angin
dingin ciptaan Raden Permadi, hanya Radeya seorang yang bisa membebaskan dirinya
dengan mengirimkan angin panas. Kini sebagai balasan, Raden Suyudana pun
mengangkat Radeya sebagai saudara, dan seluruh Kurawa akan memanggil kakak
kepadanya.
Radeya sangat terharu melihat kebaikan Raden Suyudana. Ia pun bersumpah bahwa
seumur hidup akan selalu setia melindungi dan mengawal Raden Suyudana. Keduanya lalu
berpelukan dengan disambut tepuk tangan Patih Sangkuni dan para Kurawa.
Sementara itu, Raden Yamawidura menggugat Adipati Dretarastra yang terlalu mudah
mengangkat seorang adipati tanpa pertimbangan matang. Selain itu, sang kakak juga
bersikap mendua. Tadi ketika ada pemuda bule naik panggung membantu Pandawa,
Adipati Dretarastra langsung memerintahkan para prajurit untuk menangkapnya.
Sebaliknya, ketika muncul Radeya membantu Kurawa, justru Adipati Dretarastra
memberikan anugerah kepadanya.
Adipati Dretarastra menjawab bahwa Kyai Adirata sudah lama mengabdi kepada
Kerajaan Hastina, maka sudah sepantasnya ia mendapatkan kenaikan pangkat. Keputusan
pun sudah ditetapkan, tidak bisa diubah-ubah begitu saja, karena ini akan berpengaruh
pada wibawa Adipati Dretarastra sebagai raja wakil di Hastina.
berdatangan naik ke atas panggung. Mereka menjunjung tubuh Raden Suryaputra dan
mengelu-elukannya bagaikan seorang pahlawan pemenang pertandingan.
DRUPADA RANGKET
Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Kurawa mendapat tugas dari Resi Druna
untuk menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Tugas ini berhasil dipenuhi
oleh para Pandawa, sehingga Resi Druna dapat berkuasa atas setengah wilayah
Kerajaan Pancala. Kisah dilanjutkan dengan kelahiran Dewi Drupadi, Dewi Srikandi,
dan Raden Drestajumena.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan
dengan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 Agustus 2016
Heri Purwanto
Resi Druna menyela. Ia setuju diadakan ujian ulang antara para Pandawa dan Kurawa.
Akan tetapi, ujian tersebut bukan pertandingan satu lawan satu di atas panggung seperti
kemarin, melainkan dalam bentuk perlombaan menangkap musuh. Resi Druna memiliki
musuh bernama Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala. Barangsiapa
bisa menangkap mereka berdua, maka dia yang pantas diangkat sebagai pangeran
mahkota Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak setuju karena itu berarti akan terjadi
perang antara Kerajaan Hastina dan Pancala. Padahal, kedua negara telah bersahabat
lama sejak zaman Prabu Santanu dan Prabu Gandabayu. Jika para Pandawa dan Kurawa
menyerang Pancala, maka itu akan merusak hubungan baik antara kedua pihak.
Patih Sangkuni yang memiliki dendam pribadi dengan Arya Gandamana segera
mendukung Resi Druna. Ia meminta agar Adipati Dretarastra menyetujui peperangan
tersebut. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Kurawa telah belajar ilmu perang selama
lima tahun. Untuk apa hasil belajar mereka jika tidak digunakan untuk berperang? Ujian
kemarin berupa pertandingan antarsaudara, sehingga ada beberapa orang yang sengaja
mengalah kepada lawan karena merasa segan. Namun, ujian kali ini adalah ujian yang
sesungguhnya. Dengan demikian, akan terlihat siapa yang benar-benar telah menyerap
ilmu yang diajarkan Resi Druna.
Raden Yamawidura mengakui bahwa ilmu perang memang digunakan untuk
berperang melawan musuh, tetapi bukan untuk memerangi negara sahabat seperti Pancala.
Patih Sangkuni menjawab keberatan jika Kerajaan Pancala masih dianggap sebagai
sahabat. Dalam acara pertandingan di Tegal Kurusetra kemarin, pihak Hastina telah
mengundang semua negara sahabat. Prabu Matsyapati dari Wirata hadir, Prabu Salya dari
Mandraka hadir, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Gandaradesa
hadir, begitu pula Prabu Jarasanda dari Magada juga hadir. Prabu Basudewa dari Mandura
memang tidak hadir, tetapi diwakili putranya yang bernama Adipati Kangsa. Hari itu semua
negara sahabat hadir memenuhi undangan Adipati Dretarastra, kecuali Prabu Drupada dan
Arya Gandamana yang sama sekali tidak kelihatan, juga tidak menyampaikan permohonan
maaf. Itu artinya, mereka benar-benar ingin memutuskan hubungan persahabatan antara
Pancala dan Hastina.
Raden Yamawidura bertanya apakah Patih Sangkuni selaku panitia acara benar-benar
mengundang Prabu Drupada atau tidak. Patih Sangkuni menjawab bahwa dirinya benar-
benar mengundang Prabu Drupada, tetapi surat undangannya justru dirobek-robek oleh
Arya Gandamana. Ia bersumpah apabila ceritanya ini bohong, biarlah kelak dirinya mati
mengenaskan. Dewi Gandari ikut bicara mendukung adiknya. Jika benar Arya Gandamana
telah merobek-robek surat undangan tersebut, itu berarti sama dengan menghina wibawa
Kerajaan Hastina.
Adipati Dretarastra telah termakan bujukan Patih Sangkuni dan Dewi Gandari. Ia pun
memutuskan bahwa para Kurawa dan Pandawa boleh menyerang Kerajaan Pancala untuk
menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Karena raja telah memutuskan
demikian, Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak bisa menentang lagi. Mereka
hanya bisa terdiam melihat Adipati Dretarastra kini semakin jatuh ke dalam pengaruh orang-
orang Gandaradesa.
Adipati Dretarastra lalu memanggil para Pandawa dan Kurawa untuk menghadap.
Para Pandawa diwakili Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi,
sedangkan para Kurawa diwakili Raden Suyudana, Raden Dursasana, dan Raden
Kartawarma. Mereka diperintahkan berangkat ke Kerajaan Pancala untuk menangkap
Prabu Drupada dan Arya Gandamana, serta menyerahkan keduanya kepada Resi Druna.
KITAB WAYANG PURWA
Barangsiapa yang berhasil melakukan tugas ini akan dilantik sebagai pangeran mahkota
Kerajaan Hastina.
Raden Permadi memohon izin bicara. Ia berkata bahwa Pandawa Lima adalah satu
kesatuan yang tidak ada persaingan di antara saudara dalam urusan takhta. Jika nanti
Prabu Drupada dan Arya Gandamana tertangkap oleh para Pandawa, maka yang harus
dilantik sebagai pangeran mahkota adalah Raden Puntadewa.
Raden Suyudana menanggapi bahwa yang memenangkan ujian ini nanti adalah para
Kurawa, bukan para Pandawa. Apalagi para Kurawa kini telah memiliki seorang saudara
angkat bernama Raden Suryaputra yang merupakan pemanah paling hebat di dunia. Sudah
pasti ia sanggup membantu menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana.
Resi Druna menjelaskan bahwa ujian kali ini hanya berlaku untuk murid-muridnya saja.
Jika para Kurawa berhasil menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana dengan
bantuan Raden Suryaputra, maka kemenangan mereka dianggap gagal. Raden Suyudana
marah dan tidak mau berangkat jika saudara angkatnya tidak diizinkan ikut. Namun, Patih
Sangkuni berusaha menyabarkannya. Ia berhasil meyakinkan Raden Suyudana untuk
berperang dengan kemampuan sendiri dan membuat Adipati Dretarastra bangga. Raden
Suyudana yang selalu menuruti Patih Sangkuni segera terdiam dan menyetujui ucapan
sang paman.
Demikianlah, karena para Pandawa dan Kurawa telah menerima tugas tersebut,
Adipati Dretarastra pun menunjuk Resi Druna sebagai pemimpin mereka, sekaligus untuk
memastikan keselamatan para pangeran tersebut. Resi Druna menerima tugas ini dengan
senang hati. Setelah dirasa cukup, Adipati Dretarastra pun membubarkan pertemuan.
Setelah Resi Druna pergi, Raden Suyudana datang mendekati Patih Sangkuni. Ia
bertanya mengapa tadi di dalam istana, sang paman ikut mendukung Resi Druna yang
melarang Raden Suryaputra untuk pergi berperang di pihak Kurawa. Patih Sangkuni
menjawab bahwa dirinya harus bisa mengambil simpati Resi Druna. Apabila Raden
Suyudana bersikeras mengajak sahabatnya itu, maka Resi Druna pasti merasa tidak
senang. Untuk itu, Patih Sangkuni pun berusaha mendukungnya, dengan maksud agar Resi
Druna menjadi sekutu para Kurawa. Untuk bisa menjadi raja Hastina, Raden Suyudana
harus bisa bersekutu dengan Resi Druna, dan tidak cukup hanya mengandalkan Raden
Suryaputra saja.
Raden Suyudana dapat memahami siasat Patih Sangkuni. Ia berterima kasih telah
diingatkan dan mohon pamit berangkat menuju Kerajaan Pancala. Patih Sangkuni merestui
semoga pihak Kurawa mendapat kemenangan.
orang itu. Prabu Drupada dan Arya Gandamana yang sangat menghormati mendiang Prabu
Pandu tak kuasa menahan haru. Mereka pun memeluk para Pandawa satu persatu
bagaikan anak sendiri.
Raden Puntadewa menjelaskan bahwa kedatangan mereka kali ini sungguh
serbasalah. Di satu sisi para Pandawa sangat menghormati Prabu Pandu dan Arya
Gandamana yang merupakan sahabat baik ayah mereka, namun di sisi lain mereka tidak
mampu menolak perintah guru. Raden Puntadewa tidak tahu harus berbuat bagaimana,
apakah tetap maju menghadapi orang tua sendiri, ataukah mundur tanpa melakukan
perlawanan.
Prabu Drupada menasihati para Pandawa bahwa guru adalah orang tua kedua.
Perintah guru sama nilainya dengan perintah orang tua. Prabu Drupada dan Arya
Gandamana pun menyatakan siap jika harus berperang melawan para Pandawa. Dalam
pertempuran nanti tidak ada paman, tidak ada keponakan, yang ada hanyalah mana lawan,
mana kawan. Para Pandawa harus menjalankan darma sebagai murid yang berbakti, dan
itu pasti akan membuat ayah mereka bangga di alam baka.
Prabu Drupada sangat senang karena akhirnya bisa memiliki seorang anak laki-laki.
Ia pun memberi nama putranya itu Raden Drestajumena, sebagai penghormatan untuk
Patih Drestaketu yang selama ini setia melayani dan menjaga dirinya bertapa.
Demikianlah, Resi Yodya dan Resi Upayodya lalu mohon pamit kepada Prabu
Drupada. Dalam sekejap mereka berdua pun menghilang dalam lebatnya hutan.
CATATAN : Kisah para Pandawa dan Kurawa menyerang Kerajaan Pancala ini menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 690 yang
ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning barakan”, atau tahun Candrasengkala 711 yang
ditandai dengan sengkalan “Rupa janma saswareng wiyat”.
KITAB WAYANG PURWA
BALE SIGALA-GALA
Kisah ini menceritakan Prabu Jalasengara raja Pringgala menyerang Kerajaan Hastina,
yang dilanjutkan dengan peristiwa pembakaran Balai Sigala-gala yang dilakukan Patih
Sangkuni dan para Kurawa untuk membunuh para Pandawa dan Dewi Kunti.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan
dengan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 21 Agustus 2016
Heri Purwanto
ternyata berisi tantangan untuk raja Hastina. Dalam surat tersebut Prabu Jalasengara ingin
menjadikan Hastina sebagai negeri jajahan Pringgala, baik itu secara damai ataupun
dipaksa dengan cara kekerasan.
Adipati Dretarastra marah mendengar isi surat tersebut. Ia pun memerintahkan Patih
Sangkuni untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi musuh dari Kerajaan Pringgala
tersebut. Raden Suyudana mengajukan diri sebagai senapati demi melindungi negara.
Namun, Patih Sangkuni mengusulkan agar Raden Puntadewa saja yang memimpin
pertempuran. Tentu ini menjadi kesempatan baginya sebagai calon raja untuk membuktikan
apakah mampu melindungi Kerajaan Hastina.
Raden Yamawidura melarang Raden Puntadewa pergi berperang karena ia paham
Patih Sangkuni pasti berniat mencelakakan keponakannya itu. Namun, Patih Sangkuni
menuduh Raden Yamawidura berburuk sangka kepadanya. Ia berpendapat bahwa seorang
calon raja harus bisa melindungi negara dari ancaman musuh, bukannya malah enak-
enakan tinggal di istana minta dilindungi.
Raden Yamawidura berkata bahwa Raden Puntadewa tidak perlu membuktikan diri
lagi, karena dia sudah terbukti mampu menaklukkan Kerajaan Pancala beberapa waktu
yang lalu. Patih Sangkuni menjawab memang benar Raden Puntadewa berhasil
menaklukkan Kerajaan Pancala, tetapi yang ia pimpin saat itu hanyalah adik-adiknya yang
berjumlah empat orang saja. Kali ini jelas beda, karena ia harus membuktikan diri apakah
mampu memimpin bala tentara yang berjumlah ribuan orang.
Raden Puntadewa menyetujui pendapat Patih Sangkuni. Ia lalu meminta Adipati
Dretarastra agar menunjuk dirinya sebagai senapati menghadapi Prabu Jalasengara.
Adipati Dretarastra setuju. Raden Puntadewa pun diangkat sebagai senapati, sedangkan
Raden Suyudana sebagai wakilnya. Setelah mendapat restu, mereka berdua segera keluar
mempersiapkan pasukan.
Kartawarma, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi untuk menyiagakan pasukan, pura-pura
berada di bawah perintah Raden Puntadewa.
Raden Suyudana akhirnya dapat menerima siasat sang paman yang keji itu. Ia pun
berjanji akan menyimpan rapat-rapat rahasia ini sampai kelak waktunya tiba.
tanah apabila terjadi kebakaran rumah. Para Pandawa tidak memahami maksud perkataan
Raden Yamawidura itu, kecuali Raden Puntadewa. Diam-diam Raden Puntadewa dapat
membaca pesan dari sang paman, bahwa para Kurawa berniat membakar istana
Waranawata.
Pandawa. Namun demikian, Patih Sangkuni menyuruh mereka pura-pura bersedih jika nanti
melapor kepada Adipati Dretarastra di istana. Mereka harus mengarang cerita bahwa
kebakaran ini terjadi akibat Raden Bratasena ceroboh menyenggol lampu minyak sehingga
jatuh dan membakar dinding istana.
tangga, maka sang kakak sebaiknya mendukung, bukannya menghalangi dengan berbagai
macam alasan.
Batara Anantaboga memuji sifat luhur Raden Puntadewa. Ia lalu menikahkan Raden
Bratasena dan Dewi Nagagini dengan upacara sederhana di Kahyangan Saptapratala.
CATATAN : Kisah Prabu Jalasengara menyerang Kerajaan Hastina, pembakaran Balai Sigala-gala, serta
perkawinan Raden Bratasena dengan Dewi Nagagini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan
sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai
dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.
KITAB WAYANG PURWA
BIMA BOTHOK
Kisah ini menceritakan pelantikan Raden Suyudana sebagai pangeran mahkota
Kerajaan Hastina, bergelar Raden Kurupati. Juga dikisahkan awal mula Raden
Yamawidura menjadi adipati di Pagombakan. Kisah pun ditutup dengan pertarungan
antara Raden Bratasena dengan raja raksasa pemakan daging manusia, yaitu Prabu
Baka raja Ekacakra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 Agustus 2016
Heri Purwanto
Raden Yamawidura sudah menduga bahwa Patih Sangkuni pasti mengajukan usul
demikian. Hampir saja ia mengatakan bahwa para Pandawa masih hidup, namun segera
diurungkannya. Ia lalu mengalihkan pembicaraan dan membahas soal kebakaran istana di
Waranawata. Ia bertanya mengapa yang meninggal di istana itu hanya tujuh orang saja,
yaitu Dewi Kunti, para Pandawa, dan Tumenggung Purocana. Mengapa para pelayan dan
prajurit penjaga sama sekali tidak ada yang menjadi korban? Mengapa Patih Sangkuni,
Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang juga berada di sana bisa selamat dan tidak
berusaha menyelamatkan para Pandawa dan Dewi Kunti? Apakah mungkin kebakaran ini
sudah direncanakan dan jumlah korbannya pun sudah ditentukan?
Raden Suyudana gemetar karena Raden Yamawidura mencurigai perbuatannya.
Namun, Patih Sangkuni segera menanggapi dengan tenang. Pertama, mengapa yang
meninggal hanya Dewi Kunti dan para Pandawa? Itu karena mereka terlalu letih dan
kenyang setelah berpesta pora merayakan kemenangan melawan Prabu Jalasengara dari
Pringgala. Mereka pun tertidur pulas di kamar masing-masing. Api yang membakar istana
berasal dari kamar tidur Raden Bratasena. Patih Sangkuni menduga Raden Bratasena tidak
sengaja menyenggol lampu minyak sehingga tumpah dan apinya membakar kamar. Karena
kamar tidur Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya saling bersebelahan, maka dalam
sekejap saja mereka berenam pun menjadi korban tanpa sempat menyelamatkan diri.
Mengenai pertanyaan Raden Yamawidura mengapa para pelayan yang tewas hanya
Tumenggung Purocana saja, Patih Sangkuni menjawab bahwa saat itu semua pelayan
belum ada yang tidur. Mereka sibuk membersihkan segala macam peralatan pesta. Ketika
kebakaran terjadi, para pelayan itu berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri masing-
masing. Hanya Tumenggung Purocana seorang yang berjiwa kesatria, dengan gagah
berani berusaha membangunkan para Pandawa dan Dewi Kunti. Sayang sekali, ia jatuh
tertimpa puing-puing bangunan sehingga ikut meninggal menjadi korban.
Mengenai Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang selamat dari
kebakaran itu adalah karena kamar mereka berada di pinggir istana. Bagaimanapun juga
pesta kemarin adalah untuk menjamu para Pandawa yang baru saja menang perang. Itu
sebabnya, para Pandawa mendapat kamar mewah di tengah istana, sedangkan mereka
bertiga menempati kamar di pinggiran. Dalam kebakaran kemarin, Patih Sangkuni dan dua
keponakannya juga mengalami luka-luka. Patih Sangkuni lalu menunjukkan lengannya
yang melepuh karena terjilat api.
Raden Yamawidura meragukan isi cerita Patih Sangkuni. Ia menduga bahwa
kebakaran kemarin telah direncanakan untuk membunuh para Pandawa dan Dewi Kunti.
Para pelayan di sana semuanya selamat karena mereka adalah orang-orang Gandaradesa
yang menyamar sebagai pelayan Hastina. Tumenggung Purocana ikut tewas bukan karena
ia bertindak kesatria ingin menolong para Pandawa dan Dewi Kunti, melainkan karena
memang sengaja dibunuh oleh Patih Sangkuni demi untuk melenyapkan saksi mata.
Tumenggung Purocana adalah bekas pengikut Prabu Jalasengara yang memiliki keahlian
membangun istana dari bahan apa saja. Ia ditangkap Patih Sangkuni dan diperintahkan
untuk membangun istana dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Setelah tugasnya
selesai, ia pun dibunuh pula seolah ikut menjadi korban kebakaran. Adapun soal kulit Patih
Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang melepuh, itu bukan karena
mereka ikut terjilat api, tetapi karena mereka sengaja menyulut diri sendiri.
Dewi Gandari marah mendengar Raden Yamawidura menuduh adik dan anak-
anaknya telah merencanakan kematian para Pandawa dan Dewi Kunti. Ia menuduh Raden
Yamawidura hanya mengarang cerita tanpa bukti. Ia tidak terima jika Patih Sangkuni, Raden
Suyudana, dan Raden Dursasana dituduh telah membunuh saudara-saudara mereka. Ini
sama saja dengan penghinaan terhadap keluarga Adipati Dretarastra.
KITAB WAYANG PURWA
berlarian meminta tolong karena dikejar-kejar para raksasa. Patih Jayasemedi segera turun
tangan membantu. Ia menghadang para raksasa itu dan bertempur melawan mereka.
Setelah beberapa lama, akhirnya Patih Jayasemedi berhasil menumpas habis para raksasa
tersebut yang berjumlah sepuluh orang.
Patih Jayasemedi lalu bertanya kepada warga yang dikejar-kejar raksasa tadi.
Ternyata mereka adalah penduduk Ekacakra yang mengungsi ke Waranawata karena
hendak dimangsa oleh raja mereka sendiri yang bernama Prabu Baka. Patih Jayasemedi
pun teringat beberapa tahun yang lalu raja Ekacakra bernama Prabu Suksara pernah
menyerang Kerajaan Hastina ketika Prabu Pandu sedang sakit keras menjelang ajal. Prabu
Suksara akhirnya tewas di tangan para Pandawa, sedangkan patihnya yang bernama Patih
Bakasura melarikan diri. Warga Ekacakra membenarkan berita itu, bahwa setelah Prabu
Suksara tewas, Kerajaan Ekacakra pun dipimpin oleh Patih Bakasura yang bergelar Prabu
Baka.
Patih Jayasemedi heran mengapa Prabu Baka berubah menjadi raja yang suka
memakan daging rakyatnya sendiri. Ia pun mempersilakan warga Ekacakra itu mengungsi
ke Kota Waranawata untuk sementara, sampai keadaan negeri mereka aman kembali.
Setelah berkata demikian ia lantas pergi melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan keluar masuk hutan dan desa, Dewi Kunti melihat wajah si kembar
pucat menahan lapar. Namun demikian, Raden Nakula dan Raden Sadewa berlagak tegar,
tidak mau diajak beristirahat dan juga tidak mau mengakui bahwa perut mereka sedang
lapar. Dewi Kunti khawatir kalau-kalau mereka jatuh pingsan di tengah jalan. Ia pun
mengajak putra-putranya beristirahat di bawah pohon rindang.
Dewi Kunti sangat prihatin melihat si kembar yang gemetar karena lapar. Ia berniat
memotong rambutnya yang panjang untuk ditukar dengan makanan. Mendengar itu, Raden
Bratasena dan Raden Permadi segera mencegahnya. Mereka pun mohon pamit untuk
berangkat mencari makanan.
mulanya ada seorang juru masak istana Ekacakra yang tanpa sengaja memotong jarinya
sendiri hingga jatuh tercebur ke dalam masakan. Ketika masakan tersebut dihidangkan
kepada Prabu Baka, tanpa sengaja jari yang putus tadi termakan olehnya. Prabu Baka
merasa senang dan sejak saat itu ia menjadi gemar memakan daging manusia.
Pada mulanya, Prabu Baka menyantap para penjahat yang berada di dalam penjara.
Juga ditetapkan, barangsiapa melanggar hukum di wilayah Ekacakra, maka akan mendapat
hukuman menjadi mangsa Prabu Baka. Lama-lama para penjahat di penjara habis, dan juga
para penduduk tidak ada yang berani melanggar hukum karena takut dimangsa Prabu Baka.
Padahal, Prabu Baka sendiri semakin ketagihan memakan daging manusia.
Akhirnya, Prabu Baka pun menetapkan peraturan aneh, yaitu para kepala desa harus
bergiliran menyediakan penduduknya sebagai makanan tiap tiga hari sekali. Barangsiapa
yang terpilih menjadi mangsa Prabu Baka harus melumuri tubuhnya dengan bumbu botok
dan datang ke istana Ekacakra dengan mengendarai pedati berisi nasi dan sayur, yang
ditarik oleh dua ekor kerbau. Semua itu akan dilahap habis oleh Prabu Baka, termasuk dua
ekor kerbau dan penduduk yang bernasib malang tadi.
Hari ini Desa Manahilan mendapat giliran menyediakan makanan untuk Prabu Baka.
Sayang sekali, penduduk Manahilan sudah banyak yang mengungsi ke negeri tetangga,
dan yang tersisa hanya tinggal orang-orang tua dan anak kecil. Sudah pasti Prabu Baka
akan marah besar jika Desa Manahilan mengirim makanan seperti mereka.
Karena tidak ada lagi penduduk yang bisa dijadikan korban, maka putra Resi Ijrapa
yang bernama Bambang Rawan pun mengajukan diri menadi mangsa Prabu Baka. Pemuda
itu telah berangkat dengan mengendarai pedati menuju istana Ekacakra. Inilah yang
membuat Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta bertangis-tangisan. Mendengar cerita tersebut,
Raden Bratasena segera pergi menyusul Bambang Rawan.
Baka akhirnya tewas terkena Kuku Pancanaka di tangan Raden Bratasena. Raja raksasa
itu roboh dengan perut robek dan usus terburai keluar.
Bambang Rawan kagum melihat kehebatan Raden Bratasena. Mereka lalu bersama-
sama pulang ke Desa Manahilan.
Tidak lama kemudian terdengar suara Adipati Kangsa memberi aba-aba kepada
pasukannya untuk menyerang. Arya Ugrasena dan Patih Saragupita mengerahkan pasukan
untuk menghadapinya. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Prabu Basudewa
dan Aryaprabu Rukma ikut terjun pula ke medan tempur. Mereka sama sekali tidak siap
menghadapi pemberontakan Adipati Kangsa yang serbamendadak ini.
Adipati Kangsa bersenjatakan sebuah gada besar pemberian gurunya, yaitu Resi
Anggawangsa. Gada besar tersebut bernama Lohitamuka yang diayun-ayunkan ke sana
kemari, menewaskan banyak punggawa Mandura. Adipati Kangsa lalu memukulkan gada
besar tersebut kepada Arya Ugrasena dan Prabu Basudewa. Namun, pukulan ini tidaklah
keras, sehingga mereka berdua tidak tewas, melainkan hanya jatuh terguling di atas tanah.
Sementara itu, Patih Suratimantra juga berhasil menangkap Aryaprabu Rukma dan
Patih Saragupita. Melihat para pemimpin mereka tertawan, pasukan Mandura menjadi
kocar-kacir dan banyak yang menyerah takluk kepada pihak Sengkapura.
tega dan hanya meninggalkan Dewi Mahera di tengah hutan. Andai saja dulu Aryaprabu
Rukma bersedia membunuh Dewi Mahera, sudah pasti Prabu Kangsadewa tidak akan
pernah lahir ke dunia.
Mengingat jasa Aryaprabu Rukma tersebut, Prabu Kangsadewa tidak
memenjarakannya, tetapi memerintahkan ia untuk pergi ke Desa Widarakandang
menjemput Kakrasana dan Narayana, agar tujuh hari lagi bisa bertanding di alun-alun ibu
kota Mandura. Aryaprabu Rukma menerima tugas tersebut sambil pikirannya mencari akal
agar bisa lolos. Bagaimanapun juga ia yakin Prabu Kangsadewa cepat atau lambat pasti
akan membunuhnya demi membalaskan kematian Prabu Gorawangsa. Aryaprabu Rukma
lalu berangkat ke Widarakandang dengan dikawal pasukan raksasa yang dipimpin Ditya
Kalanasura. Selain itu, Ditya Kalanasura juga diperintahkan untuk membawa Rara Ireng ke
istana agar bisa dikawini Prabu Kangsadewa. Mendengar itu, Prabu Basudewa semakin
marah dan mengutuk Prabu Kangsadewa agar segera mendapat hukuman dari Yang
Mahakuasa.
Tidak lama kemudian datanglah Aryaprabu Rukma yang dikawal Ditya Kalanasura dan
pasukannya. Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi menyambut kedatangan mereka dengan
penuh hormat. Aryaprabu Rukma menyampaikan undangan Prabu Kangsadewa kepada
Kakrasana dan Narayana agar hadir ke istana Mandura untuk mengikuti pertandingan Adu
Jago yang akan digelar tujuh hari lagi. Ia juga menyampaikan niat Prabu Kangsadewa yang
ingin mengambil Rara Ireng sebagai istri.
Aryaprabu Rukma kemudian bertanya di manakah Kakrasana dan Narayana saat ini
berada. Buyut Antyagopa menjawab bahwa Narayana masih berkelana, sedangkan
Kakrasana ada di sawah. Jika ingin Kakrasana datang, maka Aryaprabu Rukma hendaknya
pura-pura memukuli Buyut Antyagopa.
Aryaprabu Rukma menuruti saran tersebut. Ia pun pura-pura marah menuduh Buyut
Antyagopa berbuat makar karena berani menanam pohon beringin kurung kembar,
membangun benteng, dan memelihara gajah, sehingga meniru istana Mandura. Ia lalu
memukuli orang tua itu sambil memaki-maki. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda bule
melabrak Aryaprabu Rukma. Pemuda bule itu tidak lain adalah Kakrasana yang marah-
marah karena ayahnya dipukuli.
Ditya Kalanasura segera memerintahkan pasukannya untuk menangkap Kakrasana.
Pertempuran pun terjadi. Meskipun seorang pemuda desa, namun Kakrasana memiliki
bakat kesaktian sejak lahir. Dengan cekatan ia mampu menghadapi para prajurit raksasa
tersebut. Suasana yang berubah kacau ini dimanfaatkan oleh Aryaprabu Rukma untuk
meloloskan diri. Sementara itu, Buyut Antyagopa sempat menyuruh Nyai Sagopi agar pergi
menyelamatkan Rara Ireng dan Rara Sati.
Ditya Kalanasura ngeri melihat ketangkasan Kakrasana dalam menghadapi
pasukannya. Ia pun menangkap Buyut Anytagopa sebagai sandera untuk memaksa
Kakrasana agar menyerah dan menurut dibawa ke istana Mandura. Namun, Buyut
Antyagopa tidak takut mati. Ia justru menusuk dadanya sendiri menggunakan keris.
Kakrasana sangat terkejut melihat ayahnya roboh berlumur darah. Hatinya marah
bercampur sedih. Buyut Antyagopa dengan sisa-sisa tenaga memintanya pergi mencari
pusaka kahyangan untuk melawan Prabu Kangsadewa tujuh hari lagi. Meskipun Kakrasana
memiliki bakat kesaktian sejak lahir, namun itu tidak cukup untuk mengalahkan Prabu
Kangsadewa beserta seluruh pasukannya. Setelah berkata demikian, Buyut Antyagopa pun
meninggal dunia. Kakrasana segera melesat pergi memenuhi wasiat terakhir ayahnya itu.
Ditya Kalanasura memerintahkan sebagian prajurit raksasa untuk mengejar
Kakrasana dan sebagian lagi untuk mencari Aryaprabu Rukma. Ia sendiri mencari Rara
Ireng yang telah kabur bersama Nyai Sagopi dan Rara Sati.
dianggap belum menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia, maka dia boleh untuk dihidupkan
kembali. Tetapi, jika orang itu dirasa sudah layak untuk kembali ke alam baka, maka
Narayana sama sekali tidak boleh untuk menghidupkannya kembali. Narayana mematuhi
pesan tersebut. Resi Padmanaba lalu menanam bunga ajaib itu ke dalam ubun-ubun
muridnya. Jika Narayana ingin menggunakannya, maka tinggal mengusap rambut sambil
mengheningkan cipta, maka Kembang Wijayakusuma akan keluar melalui mulut.
Senjata yang ketiga berupa panah yang berukuran sangat kecil, setara dengan sehelai
rambut. Senjata tersebut bernama Panah Kesawa. Kegunaannya adalah untuk
mengerahkan Aji Balasrewu. Resi Padmanaba menanam Panah Kesawa itu di punggung
Narayana. Dalam keadaan terdesak, Narayana boleh meraba punggungnya sambil
mengheningkan cipta, maka dalam sekejap dirinya pasti akan berubah menjadi raksasa
tinggi besar.
Demikianlah, Resi Padmanaba telah memberikan tiga jenis senjata pusaka kepada
Narayana. Ia lalu bercerita bahwa sejatinya Narayana bukan anak kandung Buyut
Antyagopa dan Nyai Sagopi, melainkan putra Prabu Basudewa raja Mandura. Konon Prabu
Basudewa memiliki empat orang istri. Istri pertama bernama Dewi Mahera yang dibuang ke
hutan karena disetubuhi Prabu Gorawangsa raja Guagra, hingga melahirkan Adipati
Kangsa. Istri kedua bernama Dewi Rohini, melahirkan Kakrasana. Istri ketiga bernama Dewi
Dewaki, melahirkan Narayana. Adapun Dewi Dewaki meninggal setelah melahirkan,
sehingga Narayana sewaktu bayi disusui oleh Dewi Rohini. Sementara itu, istri keempat
Prabu Basudewa bernama Dewi Badraini, melahirkan Dewi Sumbadra, alias Rara Ireng.
Narayana terkejut mengetahui siapa ia yang sebenarnya. Resi Padmanaba kemudian
bercerita tentang asal-usulnya yang merupakan keturunan Batara Wisnu. Adapun Batara
Wisnu kini telah lahir ke dunia sebagai Narayana dan Raden Arjuna (Permadi). Sebelum
menitis, Batara Wisnu sempat menitipkan pusaka Cakra Sudarsana, Kembang
Wijayakusuma, dan Panah Kesawa kepada Resi Padmanaba agar kelak diberikan kepada
Narayana setelah dewasa. Kini tugas tersebut telah dilaksanakan. Resi Padmanaba pun
berniat meninggalkan dunia fana dan meminta agar Narayana yang mengantarkan
kepergian rohnya.
Narayana mematuhi wasiat sang guru. Ia lalu bersamadi mengheningkan cipta. Dari
dahinya memancar setitik api yang kemudian membakar tubuh Resi Padmanaba menjadi
abu. Roh Resi Padmanaba pun melesat ke angkasa, kembali ke alam baka.
Narayana lalu mengajak Udawa yang sejak tadi menunggu di luar untuk pergi
meninggalkan padepokan. Sepeninggal mereka berdua, Padepokan Utarayana menjadi
sepi tidak berpenghuni. Warga sekitar padepokan menduga-duga bahwa Resi Padmanaba
telah meninggal dunia karena dibunuh muridnya sendiri yang bernama Narayana.
siapa terkena senjata ini pasti akan terbakar tubuhnya menjadi arang. Batara Brahma lalu
menanam Senjata Nanggala tersebut di tangan kanan Kakrasana.
Pusaka yang kedua berwujud seperti alu penumbuk padi, bernama Gada Alugora.
Pusaka tersebut ditanam di ubun-ubun Kakrasana. Sejak saat itu Kakrasana mendapat
julukan baru, yaitu Halayuda, yang artinya “berperang menggunakan alu”.
Pusaka yang ketiga berupa ilmu kesaktian, bernama Aji Balarama. Dengan memiliki
ajian ini, maka Kakrasana akan memiliki daya tahan setara dengan para dewa. Ia menjadi
orang yang tahan lapar, tahan kantuk, dan tidak mudah letih. Meskipun bertempur melawan
banyak orang, ia tidak akan pernah kehabisan tenaga. Kakrasana kuat tidak makan selama
berhari-hari dan mampu menyerap panas matahari sebagai tenaga tubuhnya.
Setelah menyerahkan ketiga pusaka tersebut, Batara Brahma pun menjelaskan asal-
usul Kakrasana, yang sebenarnya adalah putra Prabu Basudewa, sama seperti Narayana
dan Rara Ireng. Adapun Prabu Basudewa saat ini sedang disekap oleh Prabu Kangsadewa
di dalam penjara. Maka, Batara Brahma memerintahkan Kakrasana agar pergi ke ibu kota
Mandura untuk membebaskannya. Setelah berpesan demikian, Batara Brahma lalu terbang
kembali ke kahyangan.
Karena dipukul secara mendadak, Wasi Parta tidak sempat melawan sehingga ia pun jatuh
tersungkur dan kehilangan nyawa.
Rara Ireng, Rara Sati, dan Nyai Sagopi menjerit keras melihat Kakrasana membunuh
pendeta muda itu. Rara Ireng menjelaskan bahwa Wasi Parta bukan orang yang mengejar-
ngejar dirinya, melainkan justru telah menolongnya menghadapi si pengejar itu. Kakrasana
menyesal telah terburu nafsu. Ia merasa berdosa karena membunuh orang yang justru
berusaha melindungi adiknya.
Sungguh kebetulan, tiba-tiba muncul pula Narayana dan Udawa. Nyai Sagopi dan
yang lain terharu bahagia karena kini mereka satu keluarga bisa berkumpul kembali, kecuali
Buyut Antyagopa. Narayana menjelaskan bahwa Buyut Antyagopa sudah meninggal dunia.
Setelah turun dari Gunung Utarayana, ia dan Udawa pulang ke Desa Widarakandang dan
mendapati Buyut Antyagopa sudah tidak bernyawa dan di sekitarnya banyak dijumpai mayat
para prajurit Sengkapura. Kakrasana menjelaskan bahwa dirinya memang melihat sendiri
Buyut Antyagopa memilih bunuh diri daripada menjadi tawanan Ditya Kalanasura. Namun,
ia tidak sempat menguburkan jasad ayah asuhnya itu karena dikejar-kejar oleh para prajurit
Sengkapura. Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati menangis mendengar nasib yang
menimpa Buyut Antyagopa tersebut.
Rara Ireng lalu bercerita bahwa Kakrasana baru saja membunuh Wasi Parta, padahal
Wasi Parta telah menolongnya dari kejaran Ditya Kalanasura. Narayana segera
mengheningkan cipta dan mengeluarkan Kembang Wijayakusuma. Begitu bunga pusaka
tersebut diletakkan di atas kepala Wasi Parta, seketika pendeta muda itu pun hidup kembali
seperti bangun dari tidur. Luka di kepalanya akibat pukulan Gada Alugora seketika tertutup
dan tidak lagi mengeluarkan darah.
Kakrasana dan yang lain takjub melihat keampuhan Kembang Wijayakusuma yang
bisa menghidupkan orang mati. Kakrasana lalu meminta maaf karena dirinya terburu nafsu
mengira Wasi Parta adalah orang yang telah mengejar-ngejar Rara Ireng. Narayana yang
kini menguasai ilmu kawaskitan pemberian Resi Padmanaba dapat mengetahui bahwa
Wasi Parta tidak lain adalah Raden Permadi, Pandawa nomor tiga, putra Dewi Kunti yang
sedang menyamar. Narayana menjelaskan pula bahwa Resi Padmanaba telah bercerita
bahwa dirinya bukan anak kandung Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi, melainkan putra
Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura. Kakrasana juga mengetahui hal itu dari Batara
Brahma. Karena Prabu Basudewa adalah kakak kandung Dewi Kunti, itu berarti Raden
Permadi adalah sepupu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng. Nyai Sagopi pun
membenarkan hal itu.
Kakrasana bercerita pula bahwa dirinya baru saja turun dari Gunung Rewataka dan
kini hendak menuju Kerajaan Mandura untuk membebaskan Prabu Basudewa dari
cengkeraman Prabu Kangsadewa. Narayana dan Udawa pun berniat demikian. Kabarnya
hari ini Prabu Kangsadewa hendak mengadakan pertunjukan Adu Jago di alun-alun ibu
kota. Dalam pertunjukan itu, Prabu Basudewa rencananya akan dibunuh di depan rakyatnya
sendiri. Oleh sebab itu, Kakrasana dan Narayana pun berangkat lebih dulu sebelum
terlambat, sedangkan Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati berjalan di belakang bersama
Raden Permadi, Udawa, dan para panakawan.
mengabarkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya kini masih hidup dan sedang menyamar
sebagai para pendeta. Bagawan Abyasa bersyukur mendengar kelima cucu dan
menantunya selamat dari peristiwa kebakaran tersebut.
Raden Bratasena lalu bercerita bahwa kedatangannya ke Gunung Saptaarga adalah
untuk meminta petunjuk tentang keberadaan adiknya, yaitu Raden Permadi yang pergi
tanpa pamit. Awal mulanya, Dewi Kunti memerintahkan Raden Bratasena dan Raden
Permadi berpencar mencari makanan untuk si kembar. Keduanya masing-masing kembali
dengan membawa tumpeng lengkap dengan lauknya. Namun, Dewi Kunti memilih tumpeng
yang dibawa Raden Bratasena karena diperoleh dari hasil mengadu nyawa, sedangkan
tumpeng yang dibawa Raden Permadi ditolak karena diperoleh dari hasil menggoda istri
orang. Sejak kejadian itu Raden Permadi menjadi murung dan akhirnya pergi berkelana
tanpa pamit bersama para panakawan.
Bagawan Abyasa memberikan petunjuk bahwa Raden Bratasena bisa bertemu
dengan adiknya itu apabila ia mau membantu Aryaprabu Rukma menyelamatkan Prabu
Basudewa. Raden Bratasena menyatakan bersedia. Bagawan Abyasa pun
memperkenalkannya dengan Aryaprabu Rukma yang tidak lain adalah adik Dewi Kunti atau
pamannya sendiri. Aryaprabu Rukma sangat senang bisa berjumpa dengan keponakannya
itu. Mereka lalu mohon pamit berangkat bersama menuju Kerajaan Mandura.
pengalaman bertarung lumayan banyak, antara lain pernah menghadapi Prabu Suksara,
Arya Gandamana, Prabu Jalasengara, dan Prabu Baka. Maka, ia pun mampu mengimbangi
kesaktian dan kekuatan Patih Suratimantra.
Sebaliknya, Patih Suratimantra merasa heran melihat ada seorang pendeta muda
yang ternyata sulit sekali dikalahkan. Setelah bertarung cukup lama, Patih Suratimantra
akhirnya terdesak kalah. Wasi Balawa berhasil menangkap tubuhnya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi hendak dibanting ke lantai panggung.
Ketika tubuhnya diangkat tinggi itulah, Patih Suratimantra sempat melihat dua pemuda
berkulit bule dan hitam baru saja datang dan menyelinap di antara para penonton. Patih
Suratimantra pun meronta sehingga dirinya berhasil bebas dari cengkeraman Wasi Balawa.
Patih raksasa itu lalu melompat ke arah Kakrasana dan Narayana, hendak menangkap
mereka berdua.
Kakrasana dengan cekatan membaca mantra dan mengeluarkan Gada Alugora.
Begitu Patih Suratimantra mendekat, ia langsung menghantam kepalanya menggunakan
gada berwujud alu tersebut. Seketika Patih Suratimantra pun tewas dengan kepala pecah.
Prabu Kangsadewa terkejut melihat pamannya tewas dibunuh pemuda bule. Ia pun
menyerang Kakrasana dengan membawa Gada Lohitamuka. Maka, terjadilah pertarungan
adu gada antara Prabu Kangsadewa dan Kakrasana. Ketika mereka saling tangkis, Gada
Alugora dan Gada Lohitamuka sama-sama terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah. Prabu
Kangsadewa dan Kakrasana melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong. Kali ini
Prabu Kangsadewa lebih unggul dan ia berhasil meringkus Kakrasana dan mencekik
lehernya menggunakan tangan kanan.
Narayana maju berusaha menolong kakaknya. Namun, Prabu Kangsadewa dengan
cekatan meringkusnya pula. Kedua pemuda itu kini sama-sama berada dalam cengkeraman
Prabu Kangsadewa. Kakrasana dicekik menggunakan tangan kanan, sedangkan Narayana
dicekik menggunakan tangan kiri. Wasi Balawa dan Aryaprabu Rukma berusaha menolong
namun mereka dikeroyok para raksasa Sengkapura.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Rara Ireng bersama Wasi Parta. Rara Ireng segera
mengerahkan ilmu gendam pengasihan, membuat Prabu Kangsadewa terlena dan kurang
waspada. Karena lengah melihat kecantikan gadis itu, Prabu Kangsadewa tidak menyadari
kalau Wasi Parta telah melepaskan panah yang meluncur dan menancap tepat di dadanya.
Prabu Kangsadewa pun kesakitan dan membuat cengkeramannya menjadi kendur.
Kakrasana dan Narayana berhasil lolos dari cekikan lawan. Mereka pun segera
mengeluarkan pusaka masing-masing. Dari tangan Narayana muncul senjata Cakra
Sudarsana yang melesat memenggal kepala Prabu Kangsadewa. Pada saat yang sama,
senjata Nanggala di tangan Kakrasana juga menghantam perut Prabu Kangsadewa hingga
terbakar menjadi arang.
Melihat sang raja telah binasa, para prajurit Sengkapura pun berhamburan. Ada yang
menyerah takluk dan ada pula yang melarikan diri.
Balawa dan Wasi Parta yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, putra-putra Dewi
Kunti.
Kakrasana lalu memungut Gada Alugora miliknya yang masih tergeletak di tanah sejak
pertarungan tadi. Adapun Gada Lohitamuka milik Prabu Kangsadewa juga masih tergeletak
karena tidak ada seorang pun yang mampu memindahkannya. Prabu Basudewa lalu
memerintahkan Wasi Balawa untuk mengangkat gada besar tersebut. Wasi Balawa
menyanggupi. Dengan penuh hormat, ia pun memegang Gada Lohitamuka dan berhasil
mengangkatnya. Prabu Basudewa kagum dan mempersilakan Wasi Balawa untuk memiliki
gada besar tersebut. Wasi Balawa bersedia. Ia lalu mengganti nama Gada Lohitamuka
menjadi Gada Rujakpolo.
Kakrasana Narayana
KITAB WAYANG PURWA
SAYEMBARA DRUPADI
Kisah ini menceritakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi, putri sulung Prabu
Drupada. Sayembara berupa adu keterampilan memanah, serta pertandingan melawan
Arya Gandamana. Dalam sayembara ini Arya Gandamana gugur dan sempat
mewariskan ilmunya kepada para Pandawa. Adapun Dewi Drupadi akhirnya menjadi
istri Raden Puntadewa.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, serta rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo dan Ki
Manteb Soedharsono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 September 2016
Heri Purwanto
Dewi Drupadi
mencoba. Prabu Salya pun mengerahkan Aji Candabirawa untuk mengerahkan para
raksasa ganas dari dalam dirinya agar turut membantu mengangkat Busur Gandiwa. Namun
demikian, semakin mereka berusaha, busur pusaka itu terasa semakin berat. Prabu Salya
akhirnya menyerah. Ia memasukkan kembali para raksasa Candabirawa ke dalam
tubuhnya, kemudian mohon pamit pulang ke Kerajaan Mandraka.
Patih Sangkuni maju dan meminta maaf kepada Prabu Drupada atas kelancangan
Raden Kurupati. Ia mencoba meluruskan maksud keponakannya itu dengan mengatakan
bahwa Prabu Drupada sudah berniat baik yaitu mencari calon suami untuk Dewi Drupadi
melalui sayembara. Akan tetapi, mengapa harus dibatasi yang pandai memanah saja?
Sebenarnya Prabu Drupada ingin mencari menantu ataukah ingin mencari pemanah jitu?
Di dunia ini hanya ada dua kesatria yang ahli panah, yaitu Raden Suryaputra dan Raden
Arjuna. Raden Suryaputra sudah terlanjur pulang karena dihina, sedangkan Raden Arjuna
sudah meninggal dunia. Apakah Prabu Drupada rela melihat Dewi Drupadi menjadi
perawan tua karena tidak ada lagi raja dan pangeran yang sanggup menyelesaikan
sayembara? Apa tidak sebaiknya sayembara ini diubah menjadi yang lebih umum saja,
misalnya melalui pertandingan adu kesaktian? Bukankah jenis senjata para kesatria di dunia
ini ada bermacam-macam, mengapa harus terbatas pada panah saja?
Arya Gandamana yang sejak dulu membenci Patih Sangkuni segera menanggapi,
bahwa dirinya siap menjadi jago jika memang sayembara panah diubah menjadi sayembara
tanding. Ia pun memohon kepada Prabu Drupada agar diizinkan untuk mewujudkan hal itu,
sama seperti dulu ia pernah mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan suami
kakaknya, yaitu Dewi Gandawati. Prabu Drupada mengizinkan Arya Gandamana untuk
menggelar sayembara tanding tersebut, karena dalam hati ia juga merasa khawatir jika
putrinya menjadi perawan tua karena sayembara yang digelar Raden Drestajumena terlalu
sulit.
Arya Gandamana kemudian berkata kepada para hadirin bahwa mulai saat ini
sayembara panah diubah menjadi sayembara tanding. Barangsiapa bisa mengalahkan
dirinya, maka ia berhak memboyong Dewi Drupadi, keponakannya. Terserah para pelamar
boleh menggunakan senjata jenis apa, Arya Gandamana siap menghadapi dengan tangan
kosong.
Raden Kurupati yang sejak tadi memendam kekesalan karena sahabatnya dihina,
segera maju untuk menantang Arya Gandamana. Mereka berdua pun bertanding satu lawan
satu. Selang agak lama Raden Kurupati terdesak dan segera mengambil senjata gada.
Namun demikian, Arya Gandamana tetap unggul. Sampai akhirnya tubuh Raden Kurupati
berhasil dilemparkannya dengan sekuat tenaga, hingga jatuh di hutan luar kota.
Patih Sangkuni segera memerintahkan Raden Dursasana untuk maju melawan Arya
Gandamana. Sama seperti kakaknya, Raden Dursasana juga kalah dan tubuhnya dilempar
ke luar kota. Merasa tidak puas, Patih Sangkuni segera memerintahkan para Kurawa
lainnya, seperti Raden Kartawarma, Raden Surtayu, Raden Durmuka, Raden Durjaya,
Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi untuk maju mengeroyok Arya
Gandamana. Namun sedikit pun Arya Gandamana tidak gentar. Dengan mengerahkan Aji
Bandung Bandawasa, ia melemparkan semua pangeran Hastina itu jauh-jauh
meninggalkan gelanggang sayembara.
Para raja dan pangeran lainnya, termasuk Patih Sangkuni ngeri melihat kekuatan Arya
Gandamana. Mereka pun membubarkan diri, meninggalkan tempat tersebut dan menyusul
ke mana jatuhnya para Kurawa. Seketika suasana kini berubah menjadi sepi, sungguh
berbeda dengan sebelumnya.
Meskipun kelima Pandawa dan Dewi Kunti menyamar sebagai kaum brahmana,
namun Resi Domya dapat mengenali mereka. Resi Domya pun berkata bahwa dirinya baru
saja pulang dari Padepokan Saptaarga menemui Bagawan Abyasa. Dalam pertemuan itu,
Bagawan Abyasa bercerita bahwa semasa hidupnya, Prabu Pandu (ayah para Pandawa)
pernah membantu Arya Sucitra memenangkan sayembara tanding mengalahkan Arya
Gandamana sehingga bisa memperistri Dewi Gandawati. Kemudian Arya Sucitra mewarisi
takhta Kerajaan Pancala dan bergelar Prabu Drupada. Atas keberhasilannya itu, ia berniat
semoga kelak bisa berbesan dengan Prabu Pandu. Menurut ramalan Bagawan Abyasa, kini
sudah saatnya putri Prabu Drupada menjadi istri salah satu dari para Pandawa.
Sungguh kebetulan, Resi Domya mendengar kabar bahwa Prabu Drupada
mengadakan sayembara untuk mencari calon suami Dewi Drupadi. Untuk itu, ia pun
meminta izin kepada Dewi Kunti agar boleh mengajak para Pandawa mengikuti sayembara
tersebut.
Dewi Kunti mengaku dirinya pernah mendengar cerita mendiang Prabu Pandu bahwa
Prabu Drupada ingin berbesan dengan mereka. Maka, Dewi Kunti pun mengizinkan Resi
Domya berangkat lebih dulu bersama Raden Puntadewa, Raden Bratasena (Bima), dan
Raden Permadi (Arjuna).
Demikianlah, Resi Domya pun mohon pamit dan segera berangkat menuju Kerajaan
Cempalareja bersama tiga Pandawa itu, dan juga panakawan Petruk dan Bagong. Adapun
Dewi Kunti berjalan di belakang bersama si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa,
serta panakawan Kyai Semar dan Nala Gareng.
Sungguh ajaib, hanya dengan diraba saja kedua batu besar itu langsung hancur menjadi
abu.
Raden Kakrasana berterima kasih dan memuji kesaktian adiknya. Andai Raden
Narayana bersedia mengikuti sayembara, pasti ia mampu mengalahkan Arya Gandamana.
Namun, Raden Narayana tetap menolak karena ia yakin Dewi Drupadi bukan jodohnya.
Raden Kakrasana menjadi bimbang apakah dirinya perlu melanjutkan sayembara itu sesuai
perintah orang tua ataukah tidak. Raden Narayana menyarankan agar sang kakak memiliki
pendirian sendiri. Mematuhi perintah orang tua adalah kewajiban. Tetapi kalau perintah itu
tidak selaras dengan ketentuan Sang Pencipta apakah harus tetap dijalankan?
Raden Narayana menyarankan lebih baik Raden Kakrasana pergi bertapa ke Gunung
Rewataka, menyempurnakan ilmu dan menyerahkan diri kepada takdir Tuhan. Urusan
jodoh dan rejeki kelak pasti akan terbuka jalan apabila Raden Kakrasana mau berusaha
memperbaiki dirinya.
Raden Kakrasana menerima saran sang adik. Ia balik bertanya ke mana Raden
Narayana akan pergi. Raden Narayana berkata bahwa tadi malam ia mimpi mendapat
perintah dewa agar berziarah ke makam kakek dan neneknya, yaitu Prabu Kuntiboja dan
Dewi Bandondari di Astana Gandamadana. Setelah berziarah, hendaknya Raden Narayana
juga berguru kepada juru kunci astana, yaitu Kapi Jembawan. Raden Kakrasana heran
mengapa Raden Narayana harus berguru kepada kera tua macam dia. Raden Narayana
menjawab bahwa Kapi Jembawan bukan sekadar kera biasa, tetapi ia adalah mantan
pengikut Prabu Sri Rama di zaman dahulu, dan juga penasihat Prabu Sugriwa, raja bangsa
Wanara. Raden Narayana berpesan kepada Raden Kakrasana agar jangan mudah
merendahkan orang lain hanya karena melihat wujud luarnya saja.
Demikianlah, Raden Kakrasasana dan Raden Narayana pun berpisah. Raden
Kakrasana mengganti nama menjadi Wasi Jaladara dan berangkat menuju Gunung
Rewataka bersama Dewi Bratajaya, sedangkan Raden Narayana berangkat menuju Astana
Gandamadana bersama Arya Udawa.
Dewi Drupadi bisa menjadi istri salah satu Pandawa. Wasi Balawa menolak dengan tegas.
Ia tidak mau diperlakukan istimewa. Pertandingan ini haruslah dilakukan dengan sungguh-
sungguh, bukan main-main.
Arya Gandamana bangga melihat sikap tegas keponakannya itu. Ia pun memulai
pertandingan. Keduanya segera bertarung tanpa senjata. Prabu Drupada sekeluarga
menonton dari jauh dan merasa kagum melihat ada seorang pendeta muda yang sanggup
mengimbangi kekuatan Arya Gandamana.
Demikianlah, pertarungan antara Arya Gandamana dan Wasi Balawa berlangsung
cukup lama. Hingga akhirnya Arya Gandamana lengah dan tubuhnya jatuh terkena
tendangan Wasi Balawa. Arya Gandamana merasa malu dan segera mengerahkan Aji
Bandung Bandawasa disertai Aji Blabak Pangantol-antol. Ketika lengah, Wasi Balawa pun
tertangkap dan diapit menggunakan ketiak.
Wasi Balawa merasa sesak kehabisan napas. Ia merintih menyebut nama
keluarganya satu persatu, mulai dari Ibu Kunti, kakak sulung, serta ketiga adiknya. Ia juga
menyebut nama Bapak Pandu dan Ibu Madrim yang sudah berada di alam baka.
Mendengar nama Prabu Pandu disebut, seketika perasaan Arya Gandamana menjadi sedih
dan tubuhnya pun gemetar.
Merasa ada peluang, Wasi Balawa segera meronta sekuat tenaga. Tanpa sadar, Kuku
Pancanaka di ibu jarinya pun memanjang dan menusuk dada Arya Gandamana hingga
tembus ke punggung. Arya Gandamana pun roboh bersimbah darah.
Arya Gandamana lalu berpesan bahwa kelak ia akan terlahir kembali ke dunia, menitis
kepada putra Raden Bratasena. Setelah berkata demikian, ia pun meninggal dunia dengan
senyum bahagia. Tubuhnya kemudian musnah bagaikan asap.
Dewi Kunti menasihati Raden Puntadewa agar menerima Dewi Drupadi sebagai
istrinya. Dahulu ketika Prabu Drupada naik takhta di Kerajaan Pancala pernah berniat ingin
berbesan dengan Prabu Pandu. Kini niat itu menjadi kenyataan. Dewi Drupadi adalah putri
sulung Prabu Drupada, tentunya tepat jika menikah dengan putra sulung Prabu Pandu, yaitu
Raden Puntadewa. Lagipula Raden Bratasena sudah menikah dengan Dewi Nagagini
namun ia bersumpah tidak akan menyentuh istrinya selama sang kakak belum menikah.
Jika Raden Puntadewa menolak menikah dengan Dewi Drupadi, maka Raden Bratasena
tidak akan memiliki anak. Raden Bratasena pun membenarkan hal itu. Jika ia tidak memiliki
anak, maka Paman Gandamana tidak akan lahir kembali ke dunia.
Raden Puntadewa masih keberatan. Ia menyarankan agar Raden Permadi saja yang
menikahi Dewi Drupadi. Namun, Raden Permadi menolak karena ia pernah berjanji tidak
akan menikah jika kedua kakaknya belum menikah. Raden Puntadewa tetap keberatan
karena bukan dirinya yang memenangkan sayembara, sehingga ia merasa tidak berhak
mengambil hadiahnya.
Dewi Kunti bercerita bahwa sayembara diwakili orang lain itu adalah hal yang wajar
dalam tradisi para kesatria. Semasa muda Resiwara Bisma pernah memenangkan
sayembara di Kerajaan Giyantipura mewakili Prabu Citrawirya, adiknya. Prabu Arjuna
Sasrabahu raja Mahespati di zaman dulu juga pernah diwakili Bambang Sumantri saat
memboyong Dewi Citrawati putri Magada. Begitu pula dengan Arya Ugrasena juga pernah
mewakili Prabu Basudewa dalam memenangkan Dewi Dewaki.
Raden Puntadewa seorang yang berwatak lembut tapi teguh pendirian. Dewi Kunti
menyadari hal itu. Ia pun bertanya apakah Raden Puntadewa sanggup menjadi anak yang
berbakti kepada orang tua yang tinggal satu-satunya ini? Raden Puntadewa menjawab
sanggup. Dewi Kunti lalu berkata bahwa seorang anak yang berbakti tentu menjalankan
perintah orang tuanya tanpa membantah. Untuk itu, Dewi Kunti pun memerintahkan Raden
Puntadewa agar menikah dengan Dewi Drupadi. Kali ini Raden Puntadewa tidak dapat
membantah lagi. Ia akhirnya menurut dan menyatakan bersedia memenuhi perintah
tersebut.
Prabu Drupada lega mendengarnya. Ia pun memerintahkan Dewi Drupadi untuk
mengalungkan rangkaian bunga ke leher Raden Puntadewa. Dewi Drupadi mematuhi. Tadi
ketika menyaksikan Raden Permadi berhasil menuntaskan sayembara panah, Dewi
Drupadi hanya merasa kagum tetapi dalam hati tidak yakin kalau pemuda itu yang akan
menjadi jodohnya. Entah mengapa hatinya justru lebih tertarik kepada Raden Puntadewa
yang berdiri tenang di pinggir gelanggang. Tak disangka, sulung para Pandawa itulah yang
kini menjadi calon suaminya.
Arya Gandamana
CATATAN : Kisah sayembara memanah dan gugurnya Arya Gandamana menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 693 yang
ditandai dengan sengkalan “Gunaning Rudra angebahaken wiyat”, atau tahun Candrasengkala
714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA
bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti masih hidup, bahkan kini telah memenangkan
sayembara di Kerajaan Cempalareja.
Setelah mendapat keterangan dari Batara Narada tersebut, Resiwara Bisma segera
meninggalkan Padepokan Talkanda untuk menemui Prabu Dretarastra di istana Hastina.
Resiwara Bisma sangat marah atas ulah para Kurawa yang mencoba membunuh para
Pandawa dan ibu mereka melalui pembakaran Balai Sigala-gala. Untuk itu, Prabu
Dretarastra mau tidak mau harus segera mengundang mereka semua pulang. Prabu
Dretarastra yang ketakutan segera memerintahkan Adipati Yamawidura untuk menjemput
para Pandawa dan Dewi Kunti di Kerajaan Cempalareja.
Demikianlah, Adipati Yamawidura mengakhiri ceritanya. Kini semua orang telah
mengetahui bahwa Dewi Kunti dan para Pandawa masih hidup dan juga selamat dari
peristiwa kebakaran di Waranawata. Untuk itu, Adipati Yamawidura memohon agar Dewi
Kunti dan para Pandawa sudi ikut bersamanya pulang ke Kerajaan Hastina.
Dewi Kunti agak keberatan karena teringat bagaimana Patih Sangkuni dan para
Kurawa berusaha mencelakakan putra-putranya. Sebenarnya ia lebih suka tinggal di
Gunung Saptaarga daripada pulang ke Kerajaan Hastina. Adipati Yamawidura berjanji
bahwa Resiwara Bisma dan dirinya akan selalu melindungi keselamatan para Pandawa.
Mengenai tempat tinggal, ia mempersilakan Dewi Kunti dan para Pandawa untuk tinggal di
Kadipaten Pagombakan jika memang tidak berkenan tinggal di istana Hastina.
Dewi Kunti akhirnya bersedia mengikuti ajakan Adipati Yamawidura, dengan syarat
harus singgah dulu ke Gunung Saptaarga untuk meminta restu Bagawan Abyasa. Adipati
Yamawidura menyanggupi. Setelah dirasa cukup, Prabu Drupada pun membubarkan
pertemuan untuk selanjutnya mempersiapkan upacara pelepasan Dewi Kunti dan para
putra.
Patih Sangkuni melarang para Kurawa turun tangan secara langsung karena beberapa
waktu yang lalu mereka sudah kalah bertempur menghadapi Raden Bratasena seorang diri
yang hanya bersenjata tiang. Mengenai hal ini, Patih Sangkuni telah mempersiapkan
rencana, yaitu mengirim surat kepada para raja yang dulu melamar Dewi Drupadi agar
mereka menghadang dan membunuh para Pandawa di tengah jalan.
Demikianlah, para raja yang telah menerima surat dari Patih Sangkuni tersebut
bergerak bersama-sama untuk menghadang perjalanan para Pandawa dan rombongannya.
Mereka dipimpin oleh Prabu Suradenta dari Kerajaan Bataputih. Menyadari hal itu, Adipati
Yamawidura segera memerintahkan Patih Jayasemedi untuk melawan mereka.
Patih Jayasemedi dan para prajurit Pagombakan maju menghadapi serangan para
raja itu. Namun, mereka terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Raden
Bratasena dan Raden Permadi segera turun tangan. Kali ini para raja itu banyak yang tewas
dan sebagian lagi melarikan diri.
pemilihan ulang. Jika Prabu Dretarastra mencopot jabatan ini dari Raden Kurupati, maka
dunia akan mencatat raja Hastina sebagai orang yang suka mengubah-ubah keputusan.
Namun jika jabatan itu tidak dikembalikan kepada Raden Puntadewa, tentunya dunia pun
akan menilai Prabu Dretarastra sebagai raja yang tidak adil. Maka, demi menjaga nama
baik Prabu Dretarastra, sebaiknya untuk hal ini dilakukan pemilihan ulang. Sebagai pihak
yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah hendaknya bukan dari anggota
keluarga Hastina, melainkan guru para Pandawa dan Kurawa, yaitu Resi Druna.
Prabu Dretarastra setuju pada usulan Patih Sangkuni. Sebelum Resiwara Bisma dan
Adipati Yamawidura sempat menanggapi, ia buru-buru menetapkan keputusan bahwa Resi
Druna ditunjuk untuk menengahi permasalahan putra mahkota. Resi Druna adalah orang
luar, bukan anggota keluarga Kerajaan Hastina, sehingga keputusannya bisa adil tanpa
memihak. Selain itu, Resi Druna juga merupakan guru para Pandawa dan Kurawa. Seorang
guru sama derajatnya dengan ayah atau ibu, sehingga keputusannya akan dihormati kedua
pihak.
Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura sebenarnya kurang setuju jika diadakan
pemilihan ulang. Namun karena Prabu Dretarastra sudah menetapkan demikian, mereka
tidak dapat membantah lagi. Mereka berharap semoga Resi Druna bisa memberikan
keputusan yang adil. Rupanya Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura belum tahu kalau
Resi Druna telah menjalin persahabatan dengan Patih Sangkuni. Selain itu, Bambang
Aswatama putra Resi Druna juga bekerja di Kepatihan Plasajenar sebagai juru tulis Patih
Sangkuni. Tentunya hal ini membuat Resi Druna merasa tertekan dan kurang bisa bersikap
adil.
Raden Nakula memanjat pundak Raden Permadi. Yang paling atas adalah Raden Sadewa
memanjat pundak Raden Nakula. Ia kemudian memetik jambu lima warna dan turun ke
tanah untuk mempersembahkannya kepada Raden Puntadewa.
Raden Puntadewa berterima kasih atas kerjasama adik-adiknya. Gandarwa Maya lalu
menjelaskan bahwa kelima jambu tersebut sebenarnya adalah Permata Pancamaya.
Permata warna putih bisa mengeluarkan air banjir, permata hitam bisa mengeluarkan
gempa, permata kuning bisa mengeluarkan angin topan, permata merah bisa mengeluarkan
api, dan permata hijau bisa mengeluarkan hewan melata.
Raden Puntadewa sekali lagi berterima kasih kepada Gandarwa Maya. Namun, ia juga
memohon agar para Kurawa disembuhkan dari pingsan mereka. Gandarwa Maya memuji
kebaikan Raden Puntadewa. Ia lalu menghembuskan angin yang membuat Raden Kurupati
dan adik-adiknya bebas dari pengaruh asap beracun.
Pegunungan Dihyang ini dahulu kala pernah menjadi tempat Empu Sangkala (Batara
Ajisaka) bertapa sebelum menumbali Tanah Jawa.
Raden Kurupati dan adik-adiknya segera mengambil perkakas seperti cangkul dan
beliung. Mereka pergi ke Pegunungan Dihyang dan mencari sumber air. Setelah bertemu,
sumber air itu lalu digali beramai-ramai dan diarahkan ke selatan membentuk sungai.
Petunjuk dewata itu kini menjadi kenyataan. Dewi Urangayu pun meminta kepada
Raden Bratasena agar bersedia menikah dengannya. Raden Bratasena mengaku sudah
memiliki seorang istri bernama Dewi Nagagini, putri Batara Anantaboga. Dewi Urangayu
menjawab tidak keberatan jika dirinya dimadu. Raden Bratasena akhirnya menyatakan
sanggup menikahi Dewi Urangayu, tetapi kelak jika kakaknya, yaitu Raden Puntadewa
sudah menjadi raja.
Dewi Urangayu memegang janji Raden Bratasena. Ia lalu membaca mantra, membuat
Panah Sarotama tiba-tiba kembali bergerak melanjutkan penggalian hingga akhirnya
bersatu dengan samudera. Demikianlah, para Pandawa telah berhasil menggali sebuah
sungai yang menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Karena tugasnya
telah selesai, Raden Bratasena pun kembali berpakaian dan sekarang ia berani
memandang Dewi Urangayu.
Raden Puntadewa, permata hitam diberikan kepada Raden Bratasena, permata kuning
diberikan kepada Raden Permadi, permata merah diberikan kepada Raden Nakula,
sedangkan permata hijau diberikan kepada Raden Sadewa. Kelima Pandawa berterima
kasih atas kemurahan hati sang guru. Mereka lalu bersama-sama kembali ke istana Hastina
untuk melapor kepada Prabu Dretarastra dan Resiwara Bisma.
CATATAN : Kisah sayembara mengunduh jambu, menimbang berat, serta menggali sungai ini menurut Raden
Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 690
yang ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning barakan”, atau tahun Candrasengkala 711
yang ditandai dengan sengkalan “Rupa janma saswareng wiyat”.
KITAB WAYANG PURWA
BABAD WANAMARTA
Kisah ini menceritakan Resiwara Bisma mengizinkan Prabu Dretarastra membagi
Kerajaan Hastina menjadi dua. Para Pandawa mendapat bagian Hutan Wanamarta
yang kemudian dibuka menjadi negara baru, bernama Kerajaan Amarta, yang beribukota
di Indraprasta.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari rekaman pertunjukan wayang kulit
dengan dalang Ki Manteb Soedharsono, yang saya padukan dengan kitab Mahabharata,
dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 01 Oktober 2016
Heri Purwanto
Hastina. Mungkin ini adalah jalan yang paling baik untuk mencegah Perang Bratayuda agar
jangan sampai meletus.
Demikianlah, Prabu Dretarastra menceritakan hasil pertemuannya dengan Resiwara
Bisma di Padepokan Talkanda. Adipati Yamawidura merasa sayang jika Kerajaan Hastina
dibagi dua. Namun, jika Resiwara Bisma sudah memutuskan demikian tentunya ini disertai
dengan pertimbangan masak. Kini yang menjadi permasalahan ialah wilayah mana yang
diserahkan untuk para Kurawa, dan wilayah mana yang diserahkan kepada para Pandawa.
Patih Sangkuni mengusulkan bahwa di bagian timur wilayah Kerajaan Hastina
terdapat hutan belantara yang sangat luas, bernama Hutan Wanamarta. Jika memang
Resiwara Bisma mengizinkan Kerajaan Hastina dibagi dua, maka tinggal serahkan saja
Hutan Wanamarta kepada para Pandawa. Biarlah mereka membuka hutan tersebut menjadi
permukiman dan membangun istana baru di sana sebagai tempat tinggal mereka.
Adipati Yamawidura tidak terima atas usulan Patih Sangkuni. Hutan Wanamarta
luasnya hanya seperempat dari seluruh wilayah Hastina. Lagipula Raden Puntadewa lebih
dulu dilantik sebagai putra mahkota daripada Raden Kurupati. Seharusnya para Kurawa
yang mendapat bagian Hutan Wanamarta, bukan para Pandawa.
Patih Sangkuni menjawab bahwa Resiwara Bisma hanya menyarankan agar wilayah
Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua, tetapi tidak mengatakan apakah pembagian itu sama
besar atau tidak. Jadi, tidak ada keharusan bahwa para Pandawa harus mendapat setengah
Kerajaan Hastina. Pembagian yang adil itu bukan sama rata sama rasa, tetapi disesuaikan
dengan kadar dan ukurannya. Kurawa berjumlah seratus orang, sedangkan Pandawa
hanya lima orang. Jika para Pandawa mendapat Hutan Wanamarta yang luasnya hanya
seperempat dari seluruh wilayah Kerajaan Hastina, maka itu sudah lebih dari cukup untuk
mereka.
Adipati Yamawidura tetap merasa curiga jangan-jangan Patih Sangkuni
merencanakan pembunuhan para Pandawa dengan cara mengirim mereka untuk
membabat Hutan Wanamarta. Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang berani
memasuki hutan tersebut karena terkenal angker dan gawat. Konon kabarnya di sana
terdapat bangsa jin yang tidak segan-segan membunuh siapa saja yang berani memasuki
Hutan Wanamarta.
Patih Sangkuni menyebut Adipati Yamawidura terlalu percaya pada cerita “gugon
tuhon” yang belum tentu benar. Sama sekali dirinya tidak ada maksud ingin mencelakakan
para Pandawa. Mengenai hal ini biarlah Raden Puntadewa saja yang memilih, apakah
bersedia membuka Hutan Wanamarta ataukah bersikukuh ingin menduduki takhta Kerajaan
Hastina.
mengenai perselisiahan antara para Pandawa dan Kurawa. Akhirnya, Resiwara Bisma pun
mengizinkan Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua.
Raden Puntadewa merasa sayang jika negeri kelahirannya dibagi menjadi dua. Jika
memang menjadi calon raja bisa membuat Raden Kurupati sehat kembali, maka biarlah
dirinya saja yang mengalah. Raden Puntadewa bersedia melepaskan jabatannya sebagai
putra mahkota dan siap mengabdi sebagai bawahan Raden Kurupati.
Prabu Dretarastra terharu mendengar kebaikan hati keponakannya itu. Ia melarang
Raden Puntadewa mengalah karena dirinya tidak ingin dicatat sejarah sebagai seorang raja
yang tidak adil, yang lebih mementingkan putra daripada keponakan. Bagaimanapun juga
Resiwara Bisma sudah menyarankan agar Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua, maka
saran tersebut harus dilaksanakan. Tentunya ini semua demi perdamaian antara para
Kurawa dan Pandawa.
Prabu Dretarastra lalu berkata bahwa salah satu pihak akan mendapat Hutan
Wanamarta, sedangkan pihak yang satunya akan mendapat sisanya, termasuk ibukota
Hastina. Jika Raden Puntadewa memilih Hutan Wanamarta, maka para Pandawa
dipersilakan untuk membangun istana baru di sana. Tetapi jika Raden Puntadewa memilih
menduduki takhta Hastina, maka Prabu Dretarastra dan para Kurawa yang akan pindah ke
Hutan Wanamarta.
Raden Puntadewa dengan tegas memilih Hutan Wanamarta. Ia tidak tega kalau
sampai Prabu Dretarastra yang pindah ke Hutan Wanamarta bersama para Kurawa, apalagi
Raden Kurupati sedang sakit keras. Jelas-jelas sepupunya itu sakit karena takut kehilangan
takhta Hastina, maka biarlah ia tetap tinggal di Hastina. Raden Puntadewa tidak terlalu
memikirkan soal takhta. Jika memang kepergiannya ke Hutan Wanamarta bisa membuat
Raden Kurupati sehat kembali, maka ia akan sangat bersyukur.
Adipati Yamawidura menyarankan agar Raden Puntadewa berpikir kembali. Hutan
Wanamarta sangat angker dan gawat. Banyak orang hilang tidak kembali lagi karena berani
masuk ke dalamnya. Konon di sana terdapat kerajaan jin yang mana penduduknya tidak
segan-segan membunuh bangsa manusia.
Raden Puntadewa menjawab bahwa hidup dan mati sudah bagian dari suratan takdir.
Jika memang para Pandawa sampai mati saat membuka Hutan Wanamarta, biarlah mereka
tercatat mati dalam menjalankan tugas mulia. Mengapa dikatakan tugas mulia? Karena para
Pandawa membuka Hutan Wanamarta untuk tujuan perdamaian, yaitu menghindari perang
saudara melawan Kurawa. Mati mulia di Hutan Wanamarta akan jauh lebih baik daripada
hidup nista membiarkan saudaranya meninggal dalam kesedihan.
Karena Raden Puntadewa sudah memutuskan demikian, maka Prabu Dretarastra pun
mengeluarkan surat ketetapan bahwa mulai hari ini Hutan Wanamarta resmi menjadi milik
para Pandawa, dan bukan lagi bagian dari Kerajaan Hastina. Setelah dirasa cukup, Prabu
Dretarastra lalu membubarkan pertemuan.
merencanakan pembunuhan para Pandawa melalui Balai Sigala-gala, dan kini mereka
berniat jahat lagi melalui Hutan Wanamarta. Para Pandawa sudah terlalu banyak mengalah.
Jika diberi izin, maka Raden Bratasena berniat mengangkat senjata untuk menggempur
para Kurawa dan mengusir mereka dari Kerajaan Hastina yang merupakan warisan Prabu
Pandu, ayah para Pandawa.
Raden Puntadewa menolak rencana Raden Bratasena. Kerajaan Hastina bukan milik
Prabu Pandu saja, tetapi milik banyak orang. Jika adiknya itu ingin memberontak, maka
harus siap berhadapan dengan Resiwara Bisma, Resi Druna, Adipati Yamawidura, Resi
Krepa, dan penduduk satu negara. Namun, sebelum menghadapi mereka, Raden
Bratasena harus menghadapi Raden Puntadewa terlebih dulu. Raden Puntadewa tidak
ingin meletus perang saudara antara para Pandawa dan Kurawa. Ia juga tidak ingin melihat
Raden Kurupati meninggal karena sakit yang tak kunjung sembuh. Soal Balai Sigala-gala
tidak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga para Kurawa adalah saudara. Mereka
berbuat khilaf seperti itu adalah karena hasutan Patih Sangkuni.
Raden Bratasena tetap tidak bisa menerima. Jika memang Kerajaan Hastina boleh
dibagi dua, maka ukurannya harus sama besar, sama luas. Hutan Wanamarta hanya
seperempat dari luas seluruh Kerajaan Hastina. Ini namanya tidak adil. Untuk itu, Raden
Bratasena berniat menuntut keadilan kepada Prabu Dretarastra.
Raden Puntadewa balik bertanya apa makna keadilan. Apakah adil itu sama rata,
sama rasa? Itu hanyalah keadilan semu. Adil itu hendaknya ditentukan dari kadar dan
ukuran. Para Kurawa berjumlah seratus orang, belum ditambah Prabu Dretarastra dan Dewi
Gandari, serta Adipati Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Belum
lagi ditambah dengan Resiwara Bisma yang pernah bersumpah seumur hidup akan selalu
setia melindungi Kerajaan Hastina. Sebaliknya, para Pandawa hanya lima orang ditambah
Dewi Kunti, mengapa meminta wilayah yang sama luasnya dengan para Kurawa? Besar
atau kecil semuanya harus disyukuri, karena rasa syukur akan berbuah pada kebahagiaan.
Meskipun wilayah Hutan Wanamarta lebih kecil, tetapi jika para Pandawa pandai bersyukur
tentu Yang Mahakuasa akan memberikan anugerah lebih besar daripada Kerajaan Hastina.
Raden Bratasena terdiam tidak membantah lagi. Adipati Yamawidura berkata bahwa
tadi di dalam istana Patih Sangkuni juga berkata demikian. Bedanya, Patih Sangkuni
berkata dengan mulut manis yang disertai niat jahat ingin menyingkirkan para Pandawa,
sedangkan Raden Puntadewa berkata dengan hati tulus penuh kebaikan. Kini Adipati
Yamawidura dapat menerima alasan mengapa Raden Puntadewa lebih memilih Hutan
Wanamarta daripada mempertahankan Kerajaan Hastina.
Raden Puntadewa lalu bertanya kepada Raden Permadi dan si kembar apakah
mereka juga menolak Hutan Wanamarta. Raden Permadi menjawab bahwa tadinya ia
sependapat dengan Raden Bratasena. Tetapi, kini hatinya telah terbuka dan dapat
menerima penjelasan sang kakak sulung. Sementara itu, Raden Nakula dan Raden Sadewa
menjawab sejak kecil mereka sudah menganggap Raden Puntadewa sebagai pengganti
ayah. Apa pun yang diputuskan sang kakak sulung, mereka siap mematuhi dan
melaksanakan. Dewi Kunti sebagai ibu pun hanya bisa merestui dan berdoa semoga
perjuangan para Pandawa dalam membuka Hutan Wanamarta mendapat perlindungan
Yang Mahakuasa. Ia yakin putra sulungnya telah menentukan pilihan yang tepat.
Kini para Pandawa sudah sepakat. Adipati Yamawidura menawarkan bantuan, yaitu
Patih Jayasemedi dan para prajurit Pagombakan akan ikut membantu membuka Hutan
Wanamarta dan membangun istana untuk para Pandawa. Raden Bratasena menolak.
Untuk membuka hutan tersebut cukup para Pandawa saja yang berangkat. Biarlah ini
menjadi bagian dari perjuangan di masa muda, yang berbuah keberkahan di hari tua.
KITAB WAYANG PURWA
Setelah berkata demikian, Raden Bratasena mengangkat tubuh ibunya di atas kepala
untuk memohon restu. Dewi Kunti merestui putra keduanya itu. Setelah mendapat restu,
Raden Bratasena pun menurunkan Dewi Kunti secara perlahan lalu mohon pamit berangkat
lebih dulu ke Hutan Wanamarta.
Adipati Yamawidura memuji watak kesatria Raden Bratasena. Meskipun tadi
membantah kakaknya dengan gencar, tetapi kini justru berangkat paling dulu untuk bekerja.
Sungguh ia berbeda dengan kebanyakan orang yang ogah-ogahan apabila hal itu bukan
menjadi pilihannya. Raden Puntadewa menjawab demikianlah watak para Pandawa.
Berdebat dan saling bantah di antara saudara sudah menjadi hal wajar di antara mereka.
Akan tetapi, jika keputusan sudah diambil maka mereka berlima pun bersatu padu bahu-
membahu untuk mewujudkannya.
Raden Puntadewa lalu bertanya kepada Dewi Drupadi apakah bersedia dipulangkan
ke Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) selama para Pandawa bekerja membuka
hutan. Hutan Wanamarta terkenal sangat angker dan berbahaya, sehingga Raden
Puntadewa tidak tega bila istrinya itu mendapat celaka di sana. Dewi Drupadi menjawab
jangankan memasuki Hutan Wanamarta, bahkan memasuki neraka paling dasar pun ia
tidak takut asalkan bisa selalu melayani sang suami. Raden Puntadewa menjawab tempat
seorang istri setia bukanlah neraka, tetapi surga yang penuh kemuliaan. Ia pun berterima
kasih atas keikhlasan istrinya itu yang rela hidup bersusah payah bersama dirinya dan
meninggalkan segala kemewahan di istana Cempalareja.
Demikianlah, para Pandawa empat dan Dewi Kunti, serta Dewi Drupadi lalu
berpamitan kepada Adipati Yamawidura. Mereka pun berangkat menuju Hutan Wanamarta
menyusul Raden Bratasena yang sudah berangkat lebih dulu.
itu, Raden Bratasena juga tidak boleh sembarangan membunuh hewan. Mereka adalah
penduduk asli Hutan Wanamarta. Jika seluruh Hutan Wanamarta dibuka menjadi
permukiman, maka hewan-hewan itu akan kehilangan tempat tinggal dan akhirnya
menyerang perkampungan penduduk.
Raden Puntadewa lalu membagi tugas. Raden Bratasena bertugas membuka hutan
sebelah kiri, sedangkan Raden Permadi membuka hutan sebelah kanan. Mengenai hewan-
hewan liar akan ditangani sendiri oleh Raden Puntadewa. Raden Bratasena dan Raden
Permadi menyanggupi lalu mereka pun berangkat melaksanakan tugas.
Setelah kedua adiknya pergi, Raden Puntadewa lalu bersamadi mengheningkan cipta.
Hewan-hewan liar berdatangan hendak menyerangnya. Namun, begitu mendekati Raden
Puntadewa, seketika hewan-hewan itu berubah menjadi jinak dan duduk manis
mengelilinginya. Raden Puntadewa lalu bangun dan menggiring hewan-hewan liar itu untuk
pindah ke wilayah hutan yang tidak dibabat, agar kelak mereka tidak sampai mengganggu
permukiman penduduk.
Gandarwa Anggaraparna marah dan hendak menyerang Kyai Semar. Namun, Kyai
Semar memanggilnya dengan nama Batara Citrarata. Gandarwa Anggaraparna terkejut
mendengar Kyai Semar menyebut nama aslinya, karena ia sebenarnya memang
penjelmaan Batara Citrarata, salah satu putra Batara Indra. Seketika Gandarwa
Anggaraparna merasa lemas tak berdaya begitu berhadapan dengan wibawa Kyai Semar.
Gandarwa Anggaraparna lalu kembali ke wujud aslinya, yaitu Batara Citrarata
tersebut. Ia bercerita dirinya memang ditugasi sang ayah untuk menunggu Hutan
Wanamarta. Beberapa waktu yang lalu Batara Indra pernah iri hati terhadap Prabu Pandu
yang memiliki nama besar di dunia. Batara Indra pun membujuk Batara Guru agar mencabut
nyawa Prabu Pandu dan memasukkannya ke dalam Kawah Candradimuka atas dosa-
dosanya berani meminjam Lembu Andini. Namun, setelah Prabu Pandu benar-benar
diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, Batara Indra merasa
sangat menyesal. Sebagai penebus kesalahannya, ia pun berniat membangun sebuah
istana untuk para Pandawa. Tentunya istana ini bukan istana palsu semacam Balai Sigala-
gala, tetapi istana yang sangat indah bagaikan kahyangan.
Batara Indra membangun istana indah bernama Indraprasta di dalam Hutan
Wanamarta, karena ia mendapat ramalan bahwa kelak para Pandawa akan berjodoh
dengan hutan tersebut. Nama Indraprasta sendiri berasal dari kata Inda Para Asta, yang
bermakna seperdelapan keindahan kahyangan Batara Indra. Istana tersebut lalu dijaga oleh
lima jin bersaudara yang merupakan abdi Batara Indra, bernama Jin Yudistira, Jin
Dandunwacana, Jin Dananjaya, Jin Tripala, dan Jin Grantika. Kelak mereka harus
menyerahkan istana Indraprasta kepada para Pandawa.
Namun demikian, Batara Indra merasa kurang percaya dan khawatir jangan-jangan
kelima jin itu melanggar perintah. Maka, ia pun mengirim putranya, yaitu Batara Citrarata
agar menyamar sebagai Gandarwa Anggaraparna dan bekerja sebagai penasihat kelima
jin tersebut. Kini, Kyai Semar telah membongkar penyamaran Gandarwa Anggaraparna
sehingga tidak ada gunanya lagi kembali ke tempat para jin itu.
Batara Citrarata lalu membebaskan Raden Permadi dari jerat pusakanya. Setelah
Raden Permadi menyembah memberi hormat, Batara Citrarata pun menghadiahkan
beberapa pusaka untuk menghadapi kaum jin dan gandarwa, yaitu Lisah Pranawa, Sela
Timpuru, dan Oyod Bayura. Lisah Pranawa adalah minyak untuk diusapkan ke mata agar
bisa melihat bangsa jin dan gandarwa dengan jelas. Sela Timpuru berwujud batu, untuk
diusapkan ke tubuh agar sembuh dari pengaruh sihir bangsa jin. Adapun Oyod Bayura
berwujud akar yang lurus seperti lidi, untuk melumpuhkan kaum jin dan gandarwa.
Raden Permadi berterima kasih menerima ketiga pusaka tersebut. Batara Citrarata
pun undur diri kembali ke kahyangan.
Sementara itu, Patih Jin Damdarat terkejut mengetahui jati diri Gandarwa
Anggaraparna yang sebenarnya. Ia pun kembali ke tempat Prabu Jin Yudistira untuk
melaporkan hal itu.
sang ayah dengan Prabu Pandu mengapa berakhir dengan peperangan, sehingga sejarah
pun mencatat Prabu Tremboko sebagai seorang pemberontak terhadap guru dan
pengkhianat terhadap sahabat. Prabu Arimba menjawab bahwa peperangan itu terjadi
karena fitnah dan hasutan Arya Suman yang sekarang bergelar Patih Sangkuni. Tokoh
itulah yang mengadu domba ayah mereka dengan Prabu Pandu.
Dewi Arimbi berkata meskipun Perang Pamuksa terjadi akibat hasutan pihak lain, tetap
saja ini menjadi catatan hitam bagi sejarah Kerajaan Pringgadani. Untuk itu, Dewi Arimbi
berniat menebus kesalahan ayahnya dengan cara berbuat baik. Ia ingin menjalani tapa
rame, membantu siapa saja yang kesusahan tanpa pandang bulu. Ia berharap semoga hasil
tapanya ini menjadi sarana kemuliaan bagi Kerajaan Pringgadani seisinya.
Prabu Arimba melarang adiknya memiliki niat demikian. Jika hanya ingin memuliakan
Kerajaan Pringgadani, cukup dengan berperang menaklukkan banyak negara, maka nama
baik Prabu Tremboko akan pulih. Dewi Arimbi tidak setuju karena hal itu akan semakin
merusak citra kaum raksasa. Ia tetap akan melakukan tapa rame, berbuat baik menolong
siapa saja yang kesusahan. Karena perdebatan mereka tidak mencapai kesepakatan, Dewi
Arimbi akhirnya memilih pergi tanpa pamit dari istana untuk mewujudkan niatnya.
Dewi Arimbi pun menyembah hormat kepada Dewi Kunti dan memperkenalkan dirinya
sebagai anak nomor dua mendiang Prabu Tremboko raja Pringgadani. Dewi Kunti terharu
dan memeluk Dewi Arimbi bagaikan anak sendiri, mengingat Prabu Tremboko adalah murid
sekaligus sahabat suaminya. Ia lalu bertanya mengapa Dewi Arimbi mengejar-ngejar Raden
Bratasena, putranya.
Dewi Arimbi bercerita bahwa dirinya sedang menjalani tapa rame, membantu siapa
saja yang kesusahan. Ketika melewati Hutan Wanamarta, ia heran mendengar suara
pepohonan dirobohkan. Ia pun masuk ke dalam hutan dan menjumpai Raden Bratasena
sedang lumpuh tak berdaya karena terkena serangan asap beracun pihak musuh. Dewi
Arimbi pun membebaskannya dari asap beracun tersebut. Tapi, Raden Bratasena terkejut
dan langsung kabur begitu saja. Dewi Arimbi mengejar untuk menanyai apa maksud Raden
Bratasena bersikap demikian. Padahal, ia sama sekali tidak memiliki pamrih kepada Raden
Bratasena.
Dewi Kunti terkesan mendengar cerita Dewi Arimbi. Meskipun wujudnya
menyeramkan, namun di mata Dewi Kunti sosok Dewi Arimbi adalah gadis yang cantik
hatinya dan semoga cantik pula wajahnya. Demikianlah ucapan Dewi Kunti mendapat izin
Yang Mahakuasa. Seketika wujud Dewi Arimbi pun berubah menjadi seorang gadis yang
cantik jelita.
Tidak lama kemudian Raden Bratasena muncul dan bercerita bahwa dirinya dikejar-
kejar raksasi menyeramkan yang suka kepadanya. Dewi Kunti berkata bahwa raksasi itu
kini ada di dekatnya. Raden Bratasena tidak percaya karena yang ada di situ adalah gadis
cantik yang mengaku bernama Dewi Arimbi. Dewi Kunti menjelaskan bahwa Dewi Arimbi
inilah raksasi yang tadi menolong dirinya dari asap beracun yang dilepaskan para jin.
Raden Bratasena terkesan melihat Dewi Arimbi. Ia pun berterima kasih dan meminta
maaf karena tadi telah bersikap kurang sopan kepadanya. Raden Puntadewa lalu berkata
bahwa dulu Prabu Pandu dan Prabu Tremboko adalah sahabat baik, namun persahabatan
mereka akhirnya putus akibat Perang Pamuksa. Kini alangkah baiknya kalau persahabatan
dua negara itu disambung kembali melalui perkawinan antara Raden Bratasena dengan
Dewi Arimbi. Demikian usulan Raden Puntadewa.
Raden Bratasena merasa tidak keberatan jika dirinya menikah dengan Dewi Arimbi.
Sebaliknya, Dewi Arimbi juga tidak keberatan. Akan tetapi, sungguh nista apabila seorang
kesatria tidak menuntaskan pekerjaannya dan lebih mendahulukan urusan perkawinan.
Raden Bratasena tersinggung mendengar ucapan Dewi Arimbi itu dan segera melesat pergi
entah ke mana.
Raden Permadi lalu mengusapkan batu ajaib Sela Timpuru ke sekujur tubuh kakaknya
itu. Seketika Raden Bratasena merasa segar kembali. Ia pun berteriak menantang Jin
Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk melanjutkan pertempuran tadi.
Demikianlah, Para Pandawa pun memasuki istana Indraprasta bersama Dewi Kunti,
Dewi Drupadi, Dewi Arimbi, dan para panakawan. Mereka kagum melihat keindahan istana
tersebut.
tubuh Prabu Arimba pada batang pohon aren tersebut. Seketika Prabu Arimba pun lemas
tak berdaya kehilangan tenaga.
Raden Bratasena meminta maaf kepada Prabu Arimba karena terpaksa berbuat
demikian. Prabu Arimba menjawab ia tidak perlu meminta maaf karena ini semua sudah
diniatkan. Prabu Arimba ingin memuliakan nama Raden Bratasena yang berhasil menikahi
adiknya melalui sayembara tanding, bukan karena dijodohkan begitu saja. Ia rela berkorban
nyawa demi kebahagiaan dan kemuliaan Dewi Arimbi, adiknya yang paling disayang, yang
lahir pada hari yang sama dengannya.
Dewi Arimbi datang sambil menangis memeluk Prabu Arimba. Datang pula adik-adik
mereka yang lain, yaitu Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden
Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana, yang sejak tadi menonton dari kejauhan. Mereka
menyatakan ikhlas atas kekalahan Prabu Arimba dan berjanji tidak akan menyimpan
dendam kepada Raden Bratasena.
Prabu Arimba sendiri merasa ajalnya sudah dekat. Ia meminta Raden Bratasena sudi
menggantikannya sebagai raja Pringgadani. Raden Bratasena menolak karena adik-adik
Prabu Arimba jauh lebih berhak. Prabu Arimba berkata untuk sementara Kerajaan
Pringgadani biarlah dipimpin Dewi Arimbi. Kelak jika sudah lahir putra hasil perkawinan
adiknya itu dengan Raden Bratasena, maka biarlah dia yang menjadi raja Pringgadani.
Raden Brajadenta dan yang lain menyatakan setuju pada keputusan Prabu Arimba tersebut.
Demikianlah, Prabu Arimba pun meninggal dunia. Sebelum nyawanya putus, ia
sempat memberikan kenang-kenangan berupa nama julukan untuk Raden Bratasena, yaitu
Wrekodara. Itu karena Raden Bratasena bertarung dengan buas bagaikan seekor serigala.
Raden Bratasena berterima kasih dan berjanji akan memakai nama Wrekodara kelak
setelah memiliki putra dari Dewi Arimbi.
terharu dan kemudian memeluk keempat adiknya sambil berkata dirinya bersedia menjadi
raja Amarta.
Semua orang kini merasa lega. Adipati Yamawidura lalu meminta Raden Puntadewa
agar mempersiapkan diri. Kelak jika sudah mendapat hari yang baik maka keponakannya
itu bisa dilantik sebagai raja negeri Amarta, yang bukan lagi menjadi bagian Kerajaan
Hastina.
CATATAN : Kisah para Pandawa mendapat Hutan Wanamarta (dari Prabu Matsyapati, bukan Prabu
Dretarastra) menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi
pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”,
atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
Sedangkan kematian Prabu Irimba menurut versi itu terjadi pada tahun Suryasengkala 692 yang
ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713
yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.
KITAB WAYANG PURWA
Sangkuni memperkenalkan diri dan menceritakan tentang kelima Pandawa yang hari ini
telah berhasil membuka Hutan Wanamarta serta mendirikan Kerajaan Amarta di sana.
Prabu Wisapati menjawab dirinya tidak memiliki urusan dengan para Pandawa. Biar
saja mereka membangun kerajaan di sana, ia tidak peduli. Patih Sangkuni berkata bahwa
para Pandawa membangun Kerajaan Amarta di atas puing-puing Kerajaan Mertani yang
dipimpin Prabu Jin Yudistira. Bahkan, prabu jin Yudistira dan keempat adiknya telah
ditumpas oleh para Pandawa. Apakah Prabu Wisapati diam saja mengetahui sahabatnya
dimusnahkan oleh Raden Puntadewa bersaudara? Demikian Patih Sangkuni bertanya.
Prabu Wisapati sangat marah mendengar hasutan Patih Sangkuni. Ia pun
memerintahkan Patih Mayasura untuk berangkat menggempur Kerajaan Amarta dan
menangkap Raden Puntadewa hidup-hidup untuk dibawa ke Guawindu. Ia ingin tangannya
sendiri yang menghukum mati Pandawa tertua itu. Patih Sangkuni dan Raden Kurupati pun
tersenyum senang melihat kemarahan Prabu Wisapati.
Dewi Drupadi terkejut melihat suaminya diculik orang. Ia segera keluar istana untuk
memberi tahu Raden Bratasena. Merasa kecolongan, Raden Bratasena pun
memerintahkan si kembar untuk pergi menyusul Raden Permadi, sedangkan dirinya berniat
mengejar si penculik. Ia juga meminta Raden Brajadenta dan adik-adiknya untuk tetap
berjaga di kota Indraprasta.
Dewi Arimbi mendengar suaminya akan berangkat ke Guawindu. Ia pun meminta
diajak serta. Raden Bratasena merasa keberatan istrinya ikut. Namun, Dewi Arimbi lebih
dulu melesat pergi. Raden Bratasena tidak dapat mencegah lagi dan ia pun segera
menyusul di belakang istrinya itu.
Dewi Urangayu menyanggupi. Ia lalu mengheningkan cipta dan dari kepalanya tiba-
tiba muncul sepasang sungut yang melambai-lambai seperti sungut seekor udang. Dewi
Urangayu kemudian maju dan menyabetkan kedua sungutnya. Yang satu mengenai naga,
dan yang satu lagi mengenai raksasi. Seketika keduanya pun jatuh terduduk dan sama-
sama kembali ke wujud asal yang cantik jelita. Si naga berubah wujud menjadi Dewi
Nagagini, sedangkan si raksasi menjadi Dewi Arimbi.
menikah lagi. Dengan demikian ia mempunyai dua orang adik, yaitu Dewi Arimbi dan Dewi
Urangayu.
Raden Bratasena berterima kasih atas kerelaan Dewi Nagagini. Ia pun berjanji akan
menjadi suami yang adil dan berusaha mendidik anak-anak dari ketiga istrinya itu agar kelak
selalu rukun seperti saudara kandung.
Prabu Wisapati gembira mengetahui Raden Puntadewa dapat menebak jati dirinya. Ia
lalu bercerita bahwa dirinya memang penjelmaan dewa ahli bangunan bernama Batara
Wiswakarma. Dahulu kala pernah terjadi perang antara Batara Indra melawan Batara Kala.
Dalam perang itu Batara Wiswakarma memihak Batara Kala. Akhirnya, Batara Kala dapat
dikalahkan oleh Batara Wisnu yang memihak Batara Indra, sedangkan Batara Wiswakarma
tertangkap dan dikutuk menjadi raksasa. Batara Wiswakarma memohon ampun dan minta
agar dibebaskan dari kutukan. Batara Wisnu menjawab tidak bisa. Batara Wiswakarma
harus menjalani hukumannya dan kelak akan ada kesatria sulung dari lima bersaudara yang
bisa mengembalikan dirinya menjadi dewa. Batara Wiswakarma menerima hal itu dan ia
pun berganti nama menjadi Prabu Wisapati.
Demikianlah kisah hidup Prabu Wisapati. Ia mendengar kabar bahwa sahabatnya
yang bernama Prabu Jin Yudistira telah dikalahkan oleh Raden Puntadewa. Maka, ini bisa
menjadi sarana baginya untuk bisa bertemu dengan sulung para Pandawa itu. Kini
siasatnya telah berhasil. Ia pun meminta kepada Raden Puntadewa agar membebaskannya
dari kutukan Batara Wisnu.
Raden Puntadewa sendiri selama diculik Patih Mayasura sempat berdoa memohon
petunjuk Yang Mahakuasa. Tiba-tiba muncul Batara Darma yang berbisik di telinganya
tanpa diketahui oleh Patih Mayasura. Batara Darma menceritakan siapa jati diri Prabu
Wisapati dan bagaimana cara menyembuhkannya dari kutukan. Demikianlah, Raden
Puntadewa pun menerapkan apa yang telah diajarkan Batara Darma tadi. Ia menempelkan
Pustaka Jamus Kalimahusada pemberian Bagawan Abyasa ke dahi Prabu Wisapati sambil
membaca mantra. Tiba-tiba Prabu Wisapati berubah wujud, tidak lagi seorang raksasa
melainkan kembali menjadi dewa bernama Batara Wiswakarma.
Madukara, istana untuk Raden Nakula diberi nama Sawojajar, sedangkan istana untuk
Raden Sadewa diberi nama Baweratalun.
Para Pandawa kagum melihat cara kerja mereka berdua. Setelah semuanya selesai,
Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura pun mohon pamit meninggalkan Kerajaan Amarta.
CATATAN : Kisah Dewi Nagagini menyusul Raden Bratasena ke Amarta dan para Kadang Braja membantu
para Pandawa menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi
pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”,
atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA
WASI JALADARA
Kisah ini menceritakan Raden Kakrasana (kelak bergelar Prabu Baladewa) menjadi
pendeta muda di Gunung Rewataka, memakai nama Wasi Jaladara, yang kemudian
bertemu dengan jodohnya, yaitu Dewi Erawati putri Prabu Salya.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman
pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdho dan ki Manteb Soedharsono,
dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 15 Oktober 2016
Heri Purwanto
Wasi Jaladara
Dewi Erawati sebagai menantu, sekaligus untuk mempererat persaudaraan antara Kerajaan
Hastina dengan Kerajaan Mandraka.
Prabu Salya sangat senang jika putrinya menjadi istri pangeran Hastina. Akan tetapi,
sayang sekali saat ini Dewi Erawati menghilang dari istana. Tidak ada seorang pun yang
tahu ke mana perginya. Hanya saja, Prabu Salya agak curiga kepada seorang pendeta
muda bernama Wasi Jaladara dari Gunung Rewataka.
Patih Sangkuni pun bertanya siapa itu Wasi Jaladara. Prabu Salya menjawab
beberapa hari yang lalu Wasi Jaladara datang ke istana Mandraka untuk melamar Dewi
Erawati. Melihat wujud Wasi Jaladara yang kumal dan berpakaian compang-camping,
Prabu Salya tidak berkenan menerima lamarannya. Wasi Jaladara pun kembali ke Gunung
Rewataka dengan tangan hampa. Setelah kejadian itu tiba-tiba Dewi Erawati menghilang
dari istana.
Patih Sangkuni menduga Wasi Jaladara adalah pelaku penculikan Dewi Erawati. Ia
yakin Wasi Jaladara tentu sakit hati karena lamarannya ditolak dan nekat menculik Dewi
Erawati. Prabu Salya juga menduga demikian. Namun, Patih Tuhayata yang sudah
mengintai Gunung Rewataka dan tidak menemukan tanda-tanda bahwa Dewi Erawati
berada di tangan Wasi Jaladara.
Patih Sangkuni bertanya mengapa Patih Tuhayata hanya mengintai? Mengapa tidak
langsung menggeledah saja? Prabu Salya tidak berani memberikan perintah, karena
Gunung Rewataka terletak di luar wilayah Kerajaan Mandraka. Mendengar itu, Patih
Sangkuni menyatakan sanggup menyerbu dan menggeledah Gunung Rewataka. Ia dan
para Kurawa siap untuk mengobrak-abrik tempat tinggal Wasi Jaladara tersebut demi
menemukan Dewi Erawati.
Prabu Salya mempersilakan apabila Patih Sangkuni mempunyai rencana seperti itu.
Ia hanya berharap putri sulungnya bisa kembali dengan selamat. Sejak kemarin Prabu
Salya sudah memiliki niat akan menikahkan Dewi Erawati dengan pria yang berhasil
menemukannya, atau mepersaudarakannya apabila yang menemukan seorang wanita.
Syukur apabila Raden Kurupati berhasil menemukan Dewi Erawati, tentu mereka bisa
menjadi suami-istri.
Patih Sangkuni berkata bahwa Raden Kurupati pasti bisa menemukan Dewi Erawati.
Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke tempat para Kurawa menunggu.
Erawati karena itu akan menjadi sarana baginya untuk bisa menemukan Raden Bratasena.
Prabu Salya berterima kasih dan memberikan petunjuk agar Raden Permadi pergi ke
Gunung Rewataka saja, karena kemungkinan besar Dewi Erawati disekap Wasi Jaladara di
sana. Raden Permadi mengiakan, kemudian ia mohon pamit berangkat meninggalkan
istana Mandraka.
Setelah Raden Permadi pergi, tiba-tiba Prabu Salya merasa bimbang karena itu berarti
akan terjadi persaingan dengan Raden Kurupati. Setelah ditimbang-timbang, Prabu Salya
merasa akan lebih baik jika Raden Kurupati dan Raden Permadi sama-sama dijadikan
menantu. Raden Kurupati biarlah berjodoh dengan Dewi Erawati, sedangkan Raden
Permadi akan dinikahkan dengan putri Prabu Salya yang lain.
Untuk itu, Prabu Salya pun memanggil Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati. Mereka
berdua ditugasi untuk bergantian memikat Raden Permadi agar mengurungkan niat mencari
Dewi Erawati. Mereka harus mengusahakan agar Raden Permadi tidak jadi berangkat dan
memilih salah satu dari mereka, sehingga Dewi Erawati bisa menjadi istri Raden Kurupati.
Dewi Srutikanti keberatan menjalankan perintah sang ayah. Ia menolak jika harus
menawarkan diri seperti wanita yang tidak berharga. Prabu Salya tersinggung mendengar
ucapan putri keduanya itu. Ia marah karena dibantah putrinya dan berkata dirinya bisa
berumur pendek karena memiliki anak yang berani melawan orang tua. Mendengar itu, Dewi
Srutikanti terpaksa menyanggupi perintah tersebut.
Dewi Banuwati juga menyanggupi karena takut kehilangan ayah. Prabu Salya bangga
mendengar perkataan putri ketiganya. Ia lalu memerintahkan Dewi Srutikanti dan Dewi
Banuwati untuk menyusul Raden Permadi dan mencegahnya sebelum pergi jauh.
Wasi Jaladara merasa bangga mendengar pujian Batara Bayu namun ia buru-buru
sadar diri, bahwa pujian bisa jadi merupakan ujian dewata. Maka, ia pun menerima Raden
Bratasena sebagai murid dan berharap ini bisa menjadi bagian dari pertapaannya.
Dewi Tapayati adalah putri Prabu Bagaskara, raja raksasa dari Kerajaan Nusabelah.
Setelah Prabu Bagaskara ditinggal istrinya yang bernama Dewi Satapi, ia memutuskan
untuk menikah lagi dengan melamar Dewi Trilaksmi, istri Prabu Gandabayu raja Pancala.
Tentu saja lamaran itu ditolak dan terjadilah perang di antara dua negara. Prabu Bagaskara
akhirnya tewas di tangan Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan adiknya
yang bernama Resi Bagaspati menyerah kalah dan berteman dengan Prabu Mandrapati,
sekutu Prabu Gandabayu.
Setelah ayahnya tewas, Dewi Tapayati dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa, menteri
utama Kerajaan Nusabelah. Mereka lalu menikah dan membangun istana di dasar Sungai
Jaladenta, bernama Kerajaan Tirtakadasar. Patih Kurandayaksa pun menjadi raja, bergelar
Prabu Kurandageni. Nama itu dipakai sebagai pengingat bahwa ia berhasil menaklukkan
air. Dari perkawinan tersebut lahirlah Raden Kartapiyoga.
Sementara itu, Resi Bagaspati adik Prabu Bagaskara kabarnya telah meninggal
dibunuh menantunya sendiri yang bernama Raden Narasoma, putra Prabu Mandrapati.
Kemudian Raden Narasoma menjadi raja Mandraka, bergelar Prabu Salya. Itulah sebabnya
Prabu Kurandageni merestui Raden Kartapiyoga menculik Dewi Erawati, tentunya agar
Prabu Salya menderita siksa batin, dan ini menjadi sarana balas dendam atas kematian
Resi Bagaspati.
Dewi Tapayati tetap saja tidak tega karena istri Prabu Salya, atau ibu Dewi Erawati
adalah sepupunya, yaitu Dewi Pujawati. Sejak kecil Dewi Tapayati dan Dewi Pujawati
adalah kawan sepermainan. Siang dan malam mereka selalu bersama bagaikan saudara
kandung, hingga akhirnya terpisah sejak peristiwa meninggalnya Prabu Bagaskara. Dewi
Tapayati bisa membayangkan pasti saat ini Dewi Pujawati sedang bersedih karena putri
sulungnya hilang diculik orang. Ia tidak tega apabila sepupunya itu sampai kehilangan dua
orang putri lagi.
Prabu Kurandageni tidak peduli. Ia mengancam akan memukul Dewi Tapayati apabila
istrinya itu masih saja membela keluarga Prabu Salya. Raden Kartapiyoga juga ikut memaki
ibunya yang lebih peduli pada anak orang lain dan menentang keinginan anak sendiri.
Sungguh sedih perasaan Dewi Tapayati karena dimaki putranya dan ia pun memilih diam
tidak berkata lagi.
Raden Kartapiyoga kemudian mohon pamit untuk kembali menyusup ke istana
Mandraka. Prabu Kurandageni merestui putranya itu dan memerintahkan Patih Kalaparda
untuk membawa sejumlah prajurit raksasa membantu menjaga Raden Kartapiyoga dari
kejauhan.
ia menyuruh Kyai Semar segera pergi mencari makanan, bukannya malah menakut-nakuti
dengan kutukan segala.
jangan mudah putus asa. Justru inilah saatnya untuk berbuat jasa kepada Prabu Salya
sekaligus membuktikan bahwa dirinya memang jodoh yang tepat untuk Dewi Erawati.
Wasi Jaladara menerima nasihat Kyai Semar. Ia pun mengajak Raden Permadi dan
Raden Bratasena untuk bersama menemukan Dewi Erawati. Namun syaratnya, mereka
berdua tidak boleh membuka jati diri Wasi Jaladara yang sesungguhnya. Keduanya pun
setuju. Mereka bertiga lalu berangkat bersama Petruk dan Bagong, sedangkan Endang
Bratajaya tetap di padepokan bersama Kyai Semar dan Nala Gareng.
Wasi Jaladara lalu melemparkan mayat Raden Kartapiyoga ke dalam istana. Prabu
Kurandageni marah melihat anaknya tewas. Ia pun mengamuk menyerang Wasi Jaladara.
Pertarungan terjadi di antara mereka. Tubuh Wasi Jaladara tertangkap dan hendak ditelan
masuk ke dalam mulut Prabu Kurandageni yang menganga lebar.
Namun, Wasi Jaladara dengan sigap mengerahkan Senjata Nanggala. Senjata
tersebut digunakan untuk memukul rongga mulut Prabu Kurandageni. Seketika Prabu
Kurandageni pun tewas dengan kepala meledak.
Wasi Jaladara berterima kasih, kemudian mohon pamit kembali ke Gunung Rewataka
bersama Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan.
CATATAN : Kisah pertemuan Wasi Jaladara dan Dewi Erawati ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan
sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”, atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan
sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA
BALADEWA RABI
Kisah ini menceritakan Wasi Jaladara alias Raden Kakrasana menjadi jago dewa untuk
menumpas Prabu Nagaprasanta dan pasukannya. Berkat kemenangan itu, ia mendapat
bantuan Batara Indra untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Prabu Salya demi
memperistri Dewi Erawati. Kisah ditutup dengan pelantikan Raden Kakrasana sebagai
raja Mandura, bergelar Prabu Baladewa.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman
pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Oktober 2016
Heri Purwanto
Prabu Baladewa
Prabu Salya tetap menepati sabda seorang raja. Soal nanti Dewi Erawati hidup bahagia
atau tidak, itu semua di luar kuasa manusia.
Prabu Salya tersinggung mendengar ucapan Patih Tuhayata. Namun, jika dipikir-pikir
memang ada benarnya juga. Bagaimanapun sabda seorang raja harus dipenuhi meskipun
bertentangan dengan perasaan. Raden Rukmarata yang memahami isi hati sang ayah
akhirnya menemukan cara untuk menggagalkan pernikahan kakaknya. Ia pun mengusulkan
agar Wasi Jaladara diberi syarat yang berat, yang harus dipenuhi saat upacara pernikahan
nanti.
Raden Rukmarata berkata bahwa untuk menikahi Dewi Erawati, Wasi Jaladara harus
bisa menyediakan “patah manten sakembaran”, yaitu dua orang gadis perawan yang
berwajah mirip sebagai pendamping pengantin. Syarat yang kedua adalah pasangan
pengantin harus dipayungi “kembar mayang” yang terbuat dari Kayu Dewandaru dan Kayu
Jayandaru, berasal dari Kahyangan Suralaya, dengan diiringi empat puluh bidadari. Syarat
yang ketiga adalah Wasi Jaladara harus bisa menyediakan “waranggana cantik”, yang
pandai menyanyikan segala jenis lagu.
Prabu Salya tertarik pada usulan putranya tersebut dan menyetujuinya. Ia pun
mengutus Raden Rukmarata dan Patih Tuhayata untuk menyampaikan persyaratan ini
kepada Wasi Jaladara di Gunung Rewataka. Ia juga menentukan hari Buda Manis minggu
depan adalah hari pernikahan, di mana Wasi Jaladara harus sudah bisa memenuhi semua
persyaratan tersebut.
berhasil membunuh Prabu Kurandageni dan Raden Kartapiyoga, serta memulangkan Dewi
Erawati yang disekap oleh mereka. Hal ini membuat para Kurawa semakin kesal.
Raden Kurupati selaku pemimpin para Kurawa berniat menyerang Gunung Rewataka
sekali lagi, namun dicegah oleh Patih Sangkuni. Dalam hal ini Patih Sangkuni meminta
Raden Kurupati untuk berpikir sebaliknya. Patih Sangkuni mengatakan bahwa Raden
Kurupati adalah calon raja Hastina, maka sebaiknya belajar bagaimana caranya mencari
sekutu, bukannya mencari musuh. Wasi Jaladara seorang sakti dan berilmu tinggi,
seharusnya dijadikan sebagai sekutu, bukannya dijadikan sebagai musuh. Saat ini Raden
Bratasena dari pihak Pandawa sudah lebih dulu berguru ilmu gada kepadanya, maka Raden
Kurupati jangan mau kalah. Patih Sangkuni menyarankan agar keponakannya itu juga
berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara, serta harus bisa memikat hatinya agar mau
menjadi sekutu para Kurawa.
Raden Kurupati sebenarnya malas jika harus berguru kepada mantan musuhnya.
Namun, membayangkan dirinya kelak menjadi raja Hastina memiliki para pelindung yang
sakti seperti Resiwara Bisma, Resi Druna, Raden Suryaputra, dan ditambah dengan Wasi
Jaladara, tentu para Pandawa dapat dihancurkan dengan mudah. Maka, berangkatlah
Raden Kurupati melaksanakan nasihat sang paman menuju Gunung Rewataka.
Demikianlah, Raden Kurupati kini telah menghadap Wasi Jaladara yang didampingi
Raden Bratasena. Ia meminta maaf karena beberapa hari yang lalu telah menyerang
Gunung Rewataka bersama adik-adiknya. Sekarang Raden Kurupati mengagumi kesaktian
dan kekuatan Wasi Jaladara dan ia memohon agar diterima sebagai murid.
Raden Bratasena yang sudah hafal watak para Kurawa langsung menaruh curiga,
jangan-jangan Raden Kurupati menyimpan maksud lain. Namun, Wasi Jaladara melarang
Raden Bratasena berburuk sangka. Pada dasarnya Wasi Jaladara berhati lembut dan
pemaaf, meskipun dari luar terlihat galak dan mudah marah. Dengan senang hati ia pun
menerima Raden Kurupati sebagai murid, dan bisa belajar bersama-sama dengan Raden
Bratasena.
mengajaknya pergi ke kahyangan. Raden Bratasena dan Raden Kurupati juga ikut
menyertai.
Wasi Jaladara berterima kasih sekali lagi. Ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung
Rewataka bersama Raden Bratasena dan Raden Kurupati, dengan membawa serta Gajah
Yudakoti, Gajah Puspadenta, Kayu Dewandaru, Kayu Jayandaru, serta empat puluh
bidadari pengiring.
belakang adalah Raden Narayana, Raden Kurupati, Raden Bratasena, Resi Jembawan,
Dewi Trijata, dan Arya Udawa.
Prabu Salya heran melihat Raden Kurupati juga ikut serta mengiring Wasi Jaladara,
padahal beberapa hari yang lalu mereka bersaing memperebutkan Dewi Erawati. Raden
Kurupati pun menjawab bahwa dirinya telah menjadi murid Wasi Jaladara dalam bidang
ilmu gada. Raden Kurupati juga menjelaskan bahwa Wasi Jaladara sesungguhnya adalah
putra mahkota Kerajaan Mandura, yang memiliki nama asli Raden Kakrasana.
Prabu Salya terkejut dan sangat malu karena selama ini ia memandang rendah
terhadap Wasi Jaladara yang dikiranya hanya seorang pendeta miskin biasa. Padahal,
pemuda ini ternyata seorang calon raja, putra sahabatnya yaitu Prabu Basudewa. Prabu
Salya pun maju menyambut calon menantunya itu dan memeluknya, untuk kemudian
dinikahkan dengan Dewi Erawati. Mulai hari ini Prabu Salya meminta Wasi Jaladara kembali
memakai nama Raden Kakrasana, tidak perlu lagi menyamar sebagai pendeta miskin
berpakaian compang-camping.
CATATAN : Kisah perkawinan Wasi Jaladara dan Dewi Erawati ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 694 yang ditandai dengan
sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan
sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA
SETYAKI LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Raden Setyaki yang kelak menjadi sekutu penting para
Pandawa dalam Perang Bratayuda. Bahkan, Raden Setyaki adalah pembunuh musuh
paling banyak nomor tiga setelah Raden Bimasena dan Raden Arjuna dalam perang
besar tersebut. Dalam kisah ini, saya mencoba menyajikan asal mula Raden Setyaki
memiliki nama Yuyudana, Tambakyuda, Singamulangjaya, dan Wresniwira.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 28 Oktober 2016
Heri Purwanto
Yuyudana / Setyaki
Prabu Setyajit berterima kasih lalu bertanya bagaimana caranya. Raden Narayana
menjawab dirinya mendapatkan firasat bahwa harimau putih yang bisa berbicara akan
muncul di Hutan Minangsraya. Di sanalah nanti hendaknya dipasang grogol, atau
perangkap macan.
Mendengar penuturan keponakannya yang terkenal waskita itu, Prabu Setyajit segera
memerintahkan Patih Setyabasa untuk memasang grogol di Hutan Minangsraya. Prabu
Baladewa, Prabu Puntadewa, Raden Narayana, dan Raden Bratasena bersedia ikut
menyertai.
Jika memang Raden Permadi berniat demikian, maka Raden Bratasena sendiri yang akan
menghukumnya. Namun, jika Raden Permadi tidak bersalah, maka Raden Bratasena akan
membelanya sekuat tenaga. Raden Permadi menjawab dirinya tidak tahu-menahu soal ini.
Ia hanya kebetulan lewat di Hutan Minangsraya dan melihat Patih Setyabasa dan para
prajurit Lesanpura sedang sibuk menghadapi seekor harimau putih, itu saja.
Raden Narayana berusaha menengahi. Ia menyarankan agar Raden Permadi
memulihkan nama baiknya dengan cara menangkap kembali harimau putih tersebut, serta
membawa pulang Dewi Wresini. Raden Permadi menyatakan sanggup, lalu ia pun melesat
mengejar si harimau putih.
penculikan dirinya oleh Patih Singamulangjaya, hingga putranya yang lahir dan langsung
tumbuh dewasa berkat perlindungan dewata. Prabu Setyajit agak ragu mendengar
penuturan istrinya. Ia merasa cerita ini sangat aneh dan tidak masuk akal.
NARAYANA BEGAL
Kisah ini menceritakan petualangan Raden Narayana sebagai berandal budiman yang
merampok harta para pejabat korup untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kisah
saya sambung dengan kelahiran Raden Supala yang kelak memusuhi Prabu Kresna, serta
perkawinan Raden Narayana dengan Endang Jembawati.
Kisah ini saya olah dari sumber Mahabharata, Serat Pustakaraja Purwa, serta blog
lakon Wayang Jombor, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 05 November 2016
Heri Purwanto
tidak pernah merugikan rakyat jelata, tetapi justru melindungi mereka dari para pejabat
rakus dan kaum lintah darat.
Prabu Baladewa terkejut dan segera bertanya kepada Patih Pragota mengapa di
daerah masih banyak pejabat yang tidak jujur dan berhati busuk. Atau jangan-jangan di
pusat justru pejabat yang seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi? Patih Pragota
menjawab bahwa mereka itu adalah para pejabat yang dulu diangkat oleh mendiang Adipati
Kangsa. Saat itu pengaruh dan kekuasaan Adipati Kangsa jauh lebih besar daripada Prabu
Basudewa. Banyak pejabat yang diangkat olehnya dan ditempatkan di lahan-lahan basah.
Para pejabat itu rata-rata bersikap rakus dan gemar menindas rakyat. Mereka juga pandai
menjilat dan mencari muka di hadapan Adipati Kangsa dengan memberikan berbagai
hadiah sogokan kepadanya.
Prabu Baladewa marah-marah menuduh Patih Pragota tidak becus bekerja. Patih
Pragota diberi waktu sepuluh hari untuk merombak susunan kementerian dan memecat
para pejabat yang korup. Jika tidak selesai, maka Patih Pragota sendiri yang akan
mendapat hukuman berat. Patih Pragota pun menjelaskan bahwa jaringan para pejabat
korup yang dulu menghamba kepada Adipati Kangsa begitu luas. Namun, ia berjanji akan
segera melakukan perombakan dan siap untuk mempertaruhkan nyawa demi menghadapi
jaringan tersebut.
Prabu Baladewa kini berterima kasih kepada Raden Narayana yang telah
mengingatkan dirinya. Mulai hari ini Raden Narayana tidak perlu merampok lagi. Prabu
Baladewa berjanji dirinya sendiri yang akan turun ke bawah untuk mengetahui penderitaan
rakyat. Berapa besarnya pajak yang pantas ditarik akan ditinjau ulang. Tentunya, pajak yang
dibayarkan tersebut harus berdampak nyata pada pembangunan dan penciptaan rasa
aman di tengah masyarakat.
Cedi sebagai pelampiasan. Namun, tadi malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa
bahwa akan datang seorang pemuda berkulit hitam cemani yang bisa meruwat Raden
Supala menjadi normal.
Raden Narayana prihatin mendengar permasalahan Prabu Darmagosa yang memiliki
putra cacat. Ia pun mengheningkan cipta sambil memangku Raden Supala. Seketika mata
ketiga, lengan ketiga, dan kaki ketiga pada bayi itu lepas dan jatuh ke lantai. Tidak hanya
itu, si bayi tiba-tiba berubah menjadi dewasa dalam waktu singkat. Kini Raden Supala telah
menjadi seorang pemuda gagah perkasa dan berwujud normal.
Prabu Darmagosa dan Dewi Srutawati terkesan dan sangat gembira. Namun, tiba-tiba
Prabu Darmagosa menghunus pedang hendak menebas leher Raden Narayana. Anehnya,
ketika pedang tersebut hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba tubuh Prabu Darmagosa
gemetar dan ia pun jatuh lemas di atas lantai. Melihat itu, Raden Supala dan Patih Kridajaya
segera ikut menyerang Raden Narayana. Namun, mereka berdua juga jatuh lemas
kehilangan daya menghadapi kesaktian Raden Narayana. Dewi Srutawati buru-buru ikut
berlutut memohon Raden Narayana agar mengampuni mereka bertiga.
Raden Narayana bertanya mengapa Prabu Darmagosa ingin membunuhnya, padahal
ia telah membantu meruwat Raden Supala. Prabu Darmagosa menjawab bahwa tadi malam
ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa akan datang seorang pemuda berkulit hitam
cemani yang mampu meruwat putranya menjadi manusia normal. Akan tetapi, kelak
putranya akan tewas di tangan pemuda hitam ini. Itulah sebabnya, Prabu Darmagosa
berniat membunuh Raden Narayana, yaitu dengan maksud ingin menggagalkan ramalan
dewata tersebut.
Raden Narayana berkata jika ia mau, maka hari ini juga ia dapat menghabisi Prabu
Darmagosa sekeluarga. Namun, jika Prabu Darmagosa mati lantas siapa yang akan
menebus dosa kepada rakyat Cedi? Oleh sebab itu, Raden Narayana pun bersedia
mengampuni Prabu Darmagosa. Mengenai nasib Raden Supala, ia berjanji tidak akan
membunuhnya tanpa sebab yang jelas. Dewi Srutawati sebagai ibu pun memohon agar
Raden Narayana bersedia mengampuni putranya meskipun berbuat kesalahan besar.
Raden Narayana mengabulkan permohonan tersebut. Ia pun berjanji akan selalu
memaafkan Raden Supala apabila kelak berbuat salah kepadanya, tetapi hanya sampai
batas seratus kali saja. Jika Raden Supala berbuat salah melebihi seratus kali, maka Raden
Narayana terpaksa menghabisi nyawanya. Dewi Srutawati pun menerima syarat tersebut.
Raden Narayana kemudian membebaskan Prabu Darmagosa, Raden Supala, dan
Patih Kridajaya sehingga mereka mampu berdiri kembali. Prabu Darmagosa berjanji akan
menebus dosa-dosanya kepada rakyat dan tidak akan menindas mereka lagi. Jika sampai
ia melanggar janji, maka Raden Narayana boleh mengambil nyawanya sewaktu-waktu.
Selain itu, ia juga memohon Raden Narayana agar sudi tinggal di istana Cedi untuk menjadi
guru pembimbing bagi Raden Supala. Ia ingin putranya itu menjadi manusia yang baik,
sehingga tidak mungkin berbuat salah kepada Raden Narayana.
Raden Narayana bersedia menjadi pembimbing Raden Supala. Namun, ia masih ada
urusan penting di Gunung Gandamadana. Kelak setelah urusan tersebut selesai, maka ia
akan kembali lagi untuk membimbing Raden Supala barang satu atau dua bulan.
Setelah dirasa cukup, Raden Narayana dan Dewi Sumbadra pun mohon pamit
meninggalkan istana Cedi. Prabu Darmagosa sekeluarga melepas kepergian mereka.
yaitu Raden Permadi bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong. Ikut pula bersama mereka Raden Setyaki, putra Prabu Setyajit dari Kerajaan
Lesanpura.
Raden Narayana dan Raden Permadi pun saling bertanya kabar. Raden Permadi
sendiri sedang mendapat tugas untuk membimbing Raden Setyaki yang baru lahir dan tiba-
tiba langsung berubah dewasa sekitar satu bulan yang lalu. Raden Setyaki ini memiliki bakat
kesaktian alami, mengingat dirinya adalah titisan Prabu Yuyudana, Prabu Tambakyuda, dan
Patih Singamulangjaya. Oleh sebab itu, Prabu Setyajit menugasi Raden Permadi untuk
membimbing putranya tersebut agar dapat mengendalikan kesaktiannya dengan baik,
sehingga tidak salah jalan. Selama satu bulan ini Raden Arjuna telah mengajarkan cara
samadi yang benar, cara mengendalikan kekuatan, ilmu keprajuritan, dan ilmu mengatur
siasat perang. Selain itu, Kyai Semar juga banyak memberikan nasihat dan petuah luhur
kepada Raden Setyaki. Setelah satu bulan berlalu, Raden Permadi pun meminta izin
kepada Prabu Setyajit untuk mengajak Raden Setyaki berkelana, berguru pada
pengalaman.
Raden Narayana memuji Raden Permadi yang telah berhasil menjadi guru yang baik,
meskipun usianya masih muda. Ia bercerita bahwa dirinya juga memiliki calon murid
bernama Raden Supala di Kerajaan Cedi. Mendengar itu, Arya Udawa bergurau
menanggapi kira-kira murid siapa yang kelak menjadi manusia baik, apakah murid Raden
Narayana, ataukah murid Raden Permadi?
Raden Narayana tidak mau berpanjang lebar. Ia berniat melanjutkan perjalanan ke
Gunung Gandamadana untuk melamar kekasihnya, yaitu Endang Jembawati putri Resi
Jembawan. Raden Permadi mohon izin ikut serta, sekaligus untuk mencarikan pengalaman
bagi Raden Setyaki. Raden Narayana mempersilakan dengan senang hati. Mereka lalu
berangkat bersama-sama.
Kyai Semar bercerita, Prabu Arjuna Sasrabahu memiliki putra bernama Prabu Rurya.
Prabu Rurya digantikan putranya yang bernama Prabu Partawirya. Prabu Partawirya inilah
yang memindahkan Kerajaan Mahespati ke Sriwedari. Kemudian Prabu Partawirya
digantikan putranya yang bernama Prabu Partanadi. Prabu Partanadi digantikan putranya
yang bernama Prabu Sandela. Kemudian Prabu Sandela digantikan putranya yang
bernama Prabu Partawijaya. Prabu Partawijaya ini memindahkan Kerajaan Sriwedari ke
Gujulaha. Ia tidak lain adalah mertua Batara Sakri, yaitu leluhur para Pandawa.
Prabu Partawijaya kemudian meninggal dan digantikan putra bungsunya, yang
bergelar Prabu Partana. Pusat kerajaan kembali dipindah ke Sriwedari, karena istana
Gujulaha hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Siwandapura. Prabu Partana kemudian
digantikan putranya yang bergelar Prabu Partayadnya. Kemudian Prabu Partayadnya
digantikan putranya yang bergelar Prabu Dasabahu. Pada zaman pemerintahan Prabu
Dasabahu inilah Kyai Semar pernah pergi ke Kerajaan Sriwedari untuk menemani ayah
para Pandawa semasa muda, yaitu Raden Pandu Dewayana. Saat itu Kerajaan Sriwedari
diserang wabah penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Prabu Dasabahu
mendapat wangsit bahwa wabah tersebut akan reda apabila dipasangi tumbal oleh putra
kedua raja Hastina yang kala itu masih dijabat Prabu Kresna Dwipayana.
Kyai Semar menduga Prabu Wahudaya ini adalah putra Prabu Dasabahu. Saat Kyai
Semar mengunjungi Kerajaan Sriwedari kala itu, Prabu Dasabahu telah ditinggal mati
istrinya yang bernama Dewi Panitra. Justru Dewi Panitra itulah yang menjadi roh penasaran
dan mengganggu rakyat Sriwedari. Kyai Semar menduga Prabu Dasabahu pasti menikah
lagi setelah negerinya tenang, dan dari perkawinan kedua itulah lahir Prabu Wahudaya.
Raden Narayana berterima kasih atas petunjuk Kyai Semar. Ia lalu berkata pada
Raden Permadi bahwa dirinya akan berperang melawan Prabu Wahudaya yang terhitung
masih kerabat keluarga Saptaarga. Raden Permadi tidak keberatan, bahkan dirinya siap
membantu untuk menggempur Kerajaan Sriwedari. Raden Narayana gembira lalu ia pun
mohon pamit kepada Resi Jembawan dan Dewi Trijata, sambil menitipkan Dewi Sumbadra
agar tetap menunggu di Astana Gandamadana.
Setelah persiapan cukup, Raden Narayana pun berangkat ditemani Raden Permadi,
Raden Setyaki, dan Arya Udawa dengan Kyai Semar sebagai penunjuk arah.
pingsan karena sang kekasih tiba-tiba muncul di hadapannya. Raden Narayana segera
memeluknya sambil berkata bahwa ia kini mendapat pencerahan justru berkat keikhlasan
hati Endang Jembawati kepadanya. Raden Narayana pun bersumpah setelah menikah
dengan Endang Jembawati, ia akan berhenti melakukan segala bentuk perbuatan ma lima,
baik itu mencuri, merampok, berjudi, berzinah, atau mabuk-mabukan.
Maka, pada hari yang dianggap baik, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara
Raden Narayana dan Endang Jembawati. Upacara ini sangat sederhana dan ala kadarnya.
Tidak lupa Raden Narayana dan Endang Jembawati pun berdoa di depan makam para
leluhur yang berjajar di Astana Gandamadana tersebut, yaitu Prabu Kuntiboja, Dewi
Bandondari, Prabu Basudewa, dan Dewi Dewaki. Mereka berdoa semoga kakek, nenek,
ayah, dan ibu yang dimakamkan di situ mendapat kebahagiaan di alam baka.
Tidak lama kemudian muncullah Prabu Baladewa dan Patih Pragota. Prabu Baladewa
gelisah menunggu Raden Narayana tak kunjung pulang, serta Dewi Sumbadra dan Arya
Udawa yang ditugasi untuk menjemput pun tak kunjung kembali. Prabu Baladewa
memutuskan untuk menyusul dan hatinya bahagia melihat sang adik telah resmi menikah
dengan kekasih pilihan hatinya.
Raden Narayana dan Prabu Baladewa pun saling berpelukan, bermaaf-maafan.
Raden Narayana telah mendapatkan pencerahan berkat penuturan Endang Jembawati saat
disekap dalam Taman Sriwedari. Kini ia berjanji tidak akan melakukan segala perbuatan
keji lagi. Prabu Baladewa terharu dan mengajaknya pulang ke istana Mandura. Namun,
Raden Narayana menolak. Ia meminta sang kakak harus tetap menegakkan hukum
untuknya yang telah melakukan perampokan terhadap pejabat negara.
Prabu Baladewa berkata Raden Narayana tidak perlu dihukum karena perampokan
tersebut bertujuan untuk menghukum para pejabat korup. Para pejabat itu kini telah dipecat
dan mendapat hukuman setimpal berkat kerja cepat Patih Pragota. Raden Narayana
senang mendengarnya. Namun, Prabu Baladewa tidak boleh pilih kasih. Janganlah karena
adik seorang raja, dirinya lantas menjadi sosok yang kebal hukum.
Prabu Baladewa merasa bimbang. Akhirnya dengan berat hati ia pun memutuskan
untuk menghukum buang Raden Narayana ke Hutan Banjarpatoman. Di hutan itu silakan
Raden Narayana membangun tempat tinggal untuk hidup berumah tangga dengan Endang
Jembawati. Raden Narayana menerima keputusan tersebut.
Maka, pada hari yang ditentukan, Raden Narayana dan Endang Jembawati pun
mohon pamit kepada Resi Jembawan sekeluarga untuk mulai tinggal di Hutan
Banjarpatoman. Meskipun ini adalah hukuman buang, namun mereka menjalaninya dengan
ikhlas dan penuh kebahagiaan.
CATATAN : Kisah perkawinan Raden Narayana dan Endang Jembawati menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 694 yang
ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang
ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”. Sementara itu, kisah Raden Supala
berguru kepada Raden Narayana, serta Raden Setyaki berguru kepada Raden Arjuna saya ambil
dari kitab Mahabharata.
KITAB WAYANG PURWA
SURYAPUTRA MALING
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Suryaputra Radeya dengan Dewi Srutikanti.
Juga dikisahkan bagaimana Raden Suryaputra menumpas pemberontakan Adipati
Kalakarna. Atas jasanya, ia pun diangkat menjadi adipati di Awangga, bergelar Adipati
Karna Basusena.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, serta pagelaran wayang orang
di TVRI, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 November 2016
Heri Purwanto
membuatnya boleh bertanding dengan Raden Permadi. Radeya pun mengganti namanya
menjadi Raden Suryaputra, yaitu nama pemberian Kyai Adirata saat ia masih bayi.
Demikianlah kisah Adipati Adirata diangkat menjadi raja bawahan Hastina, dan juga
awal mula persahabatan antara Raden Suyudana dengan Raden Suryaputra. Beberapa
bulan yang lalu Raden Suryaputra juga pernah membantu Raden Suyudana mengikuti
sayembara di Kerajaan Pancala Selatan untuk memperebutkan Dewi Drupadi. Namun,
Dewi Drupadi menolak Raden Suryaputra saat hampir saja memenangkan sayembara.
Hari ini Adipati Adirata sedang berduka karena putra sulungnya itu menghilang entah
ke mana. Ia pun berunding dengan sang istri, yaitu Dewi Rada, serta para putra yang lain,
bernama Arya Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata. Mereka membicarakan
ke mana perginya Raden Suryaputra tetapi tidak seorang pun yang bisa memberikan
jawaban. Adipati Adirata menegur istrinya yang mungkin telah bersikap kasar kepada sang
putra. Namun, Dewi Rada menjawab selama ini ia selalu sayang, bahkan memanjakan
Raden Suryaputra melebihi batas.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Arya Adimanggala segera memeriksa dan
ternyata telah terjadi pertempuran antara para prajurit Kadipaten Petapralaya melawan
pasukan raksasa dari Kadipaten Awangga. Mendengar itu, Adipati Adirata sangat marah
dan terkejut. Petapralaya dan Awangga adalah sama-sama kadipaten bawahan Hastina,
mengapa kini terlibat pertempuran?
Mendengar cerita tersebut, Raden Suryaputra tertegun karena baru tahu kalau dirinya
adalah putra seorang dewa. Ia pun menyembah Batara Surya dan memanggil ayah
kepadanya. Kemudian ia bertanya siapa ibu kandung yang telah melahirkannya ke dunia.
Batara Surya pun menjawab dengan malu-malu bahwa ini adalah peristiwa aib di masa lalu,
namun terpaksa Raden Suryaputra harus mengetahuinya.
Pada saat itu Resi Druwasa memiliki murid perempuan bernama Dewi Prita dari
Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun mengajari putri tersebut ilmu pemanggil dewa,
bernama Aji Kunta Wekasing Rasa. Pada suatu pagi, Dewi Prita membaca mantra ilmu
tersebut sambil mandi, dengan membayangkan Batara Surya. Batara Surya pun datang dan
bertanya ada keperluan apa. Dewi Prita merasa malu dan menjawab dia hanya ingin
mencoba saja. Batara Surya marah karena ilmu pemanggil dewa digunakan untuk main-
main. Namun, nafsu marahnya berubah menjadi nafsu birahi saat melihat Dewi Prita sedang
telanjang. Karena tak kuasa menahan hasrat, Batara Surya pun menyetubuhi putri tersebut
hingga hamil.
Beberapa bulan kemudian, Dewi Prita melahirkan bayi laki-laki dengan dibantu Resi
Druwasa. Batara Surya pun datang lagi untuk mengembalikan keperawanan Dewi Prita.
Batara Surya juga memberikan pusaka kepada si bayi berupa Anting Suryakundala dan
baju zirah Suryakawaca yang melekat pada tubuhnya. Bayi laki-laki itu pun diberi nama
Karna Basusena, karena telinganya memakai anting dan dadanya memakai baju zirah.
Menurut ramalan dewata, bayi Karna Basusena akan menjadi manusia istimewa yang
dikenang sepanjang masa apabila diasuh Kyai Adirata dan Nyai Rada di Desa Petapralaya.
Maka, Resi Druwasa pun membawa bayi tersebut dan menyerahkannya kepada mereka
sesuai petunjuk Batara Surya. Kyai Adirata dan Nyai Rada yang mandul dengan senang
hati menerima bayi tersebut, yang kemudian diberi nama Suryaputra (putra Surya) atau
Radeya (anak Rada).
Raden Suryaputra terharu mendengar cerita tersebut. Selama ini Adipati Adirata dan
Dewi Rada telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang bagaikan putra kandung
sendiri. Akan tetapi, yang menjadi pikirannya adalah mengapa mereka bisa memiliki tiga
putra lagi, padahal Batara Surya menyebut mereka berdua mandul.
Batara Surya pun berkata bahwa Arya Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya
Jayarata juga bukan putra kandung Adipati Adirata dan Dewi Rada. Dulu ketika Kyai Adirata
dan Nyai Rada hendak menanam ari-ari dan tali pusar Radeya, tiba-tiba datang pendeta
bernama Resi Radi, yang merupakan ayah kandung Nyai Rada sendiri. Resi Radi ini juga
seorang pendeta sakti yang mampu mengubah ari-ari dan tali pusar tersebut menjadi dua
orang bayi, yang diberi nama Druwajaya dan Jayarata.
Sementara itu, Arya Adimanggala sebenarnya adalah putra kandung Arya Ugrasena
yang kini menjadi raja Lesanpura, bergelar Prabu Setyajit. Saat itu Arya Ugrasena
melakukan hubungan gelap dengan Nyai Sagopi, istri Buyut Antyagopa dari Desa
Widarakandang. Dari hubungan tersebut lahir seorang bayi kali-laki. Atas petunjuk dewa,
Buyut Antyagopa pun menyerahkan bayi itu kepada Kyai Adirata di Desa Petapralaya,
karena bayi tersebut ditakdirkan menjadi pendamping petualangan Raden Suryaputra. Kyai
Adirata pun memberi nama bayi itu mirip dengannya, yaitu Adimanggala.
Batara Surya menjelaskan pula bahwa Arya Ugrasena adalah adik kandung Dewi
Prita. Itu artinya, Arya Adimanggala sesungguhnya masih saudara sepupu Raden
Suryaputra. Raden Suryaputra semakin penasaran. Ia pun bertanya di mana ibu
kandungnya, yaitu Dewi Prita saat ini berada. Batara Surya diam tidak menjawab. Raden
Suryaputra pun memohon untuk diberi tahu. Batara Surya akhirnya berkata bahwa Dewi
Prita adalah nama lain Dewi Kunti, yaitu ibu para Pandawa di Kerajaan Amarta.
KITAB WAYANG PURWA
Raden Suryaputra terkejut bukan main. Dulu saat acara Pendadaran Siswa Sokalima,
dirinya bertanding melawan Raden Permadi yang ternyata adiknya sendiri. Sungguh ia
merasa nasibnya telah dipermainkan para dewa. Ia merasa kelahirannya di dunia adalah
kelahiran yang tidak diharapkan, buah dari hubungan di luar nikah. Ia merasa menjadi
pendosa sejak lahir. Batara Surya menasihatinya bahwa tidak ada manusia yang terlahir
hina. Jika memang kedua orang tuanya berbuat zina, maka si bayi tetaplah suci, tidak boleh
disangkut-pautkan dengan dosa orang tuanya itu.
Raden Suryaputra meminta maaf telah berkata kasar kepada Batara Surya.
Sebaliknya, Batara Surya juga telah mempersiapkan sebuah hadiah kepada putranya itu
sebagai penebus kesalahannya di masa lalu. Dengan kekuasaannya, Batara Surya pun
menghadirkan seperangkat kereta pusaka buatan para dewa, bernama Kereta Jatisura
sebagai kendaraan pribadi putranya tersebut. Raden Suryaputra berterima kasih dan
menerima kereta pusaka itu dengan rasa syukur. Batara Surya menceritakan bahwa Kereta
Jatisura ini dulu pernah dipinjamkan kepada Prabu Sri Rama saat berperang melawan
Prabu Rahwana dalam peristiwa Brubuh Akengka di zaman kuno. Mendengar itu, Raden
Suryaputra sangat bangga dan kembali berterima kasih kepada Batara Surya.
Batara Surya kemudian memberi petunjuk agar Raden Suryaputra menikahi
perempuan yang ditakdirkan menjadi jodohnya. Perempuan itu bernama Dewi Srutikanti,
putri kedua Prabu Salya di Kerajaan Mandraka. Setelah memberikan petunjuk demikian,
Batara Surya pun melesat terbang kembali ke kahyangan.
Raden Suryaputra menyembah hormat kepada sang ayah yang telah musnah. Ia lalu
menaiki Kereta Jatisura dan mengendarainya menuju Kerajaan Mandraka.
Raden Sadewa dari Kerajaan Amarta. Adapun Raden Bratasena tidak ikut hadir karena
bertugas menjaga negara, sedangkan Raden Narayana juga masih menjalani hukuman
pengasingan di Hutan Bajarpatoman karena perbuatannya menjadi begal tempo hari.
Tidak lama kemudian, datanglah rombongan pengantin pria dari Kerajaan Hastina,
yaitu Raden Kurupati yang diiringi Patih Sangkuni dan para Kurawa lainnya. Prabu Salya
menyambut mereka dengan ramah. Kedua pihak sama-sama berharap, melalui perkawinan
ini, hubungan kekeluargaan antara Hastina dan Mandraka akan semakin erat.
Tiba-tiba Raden Rukmarata dan Dewi Banuwati datang menghadap untuk melaporkan
bahwa sang pengantin wanita, yaitu Dewi Srutikanti telah hilang diculik orang. Raden
Rukmarata berkata bahwa si penculik adalah Raden Permadi, sedangkan Dewi Banuwati
berkata bukan. Mereka berdua lalu bertengkar sendiri. Raden Rukmarata berkata si
penculik berwajah tampan dan pandai memanah. Di dunia ini siapa lagi kesatria tampan
yang pandai memanah selain Raden Permadi? Dewi Banuwati bersikeras menjawab bukan.
Ia mengaku mengenal dengan baik sosok Raden Permadi sehingga yakin kalau si penculik
bukan dia. Hampir saja Dewi Banuwati kelepasan bicara bahwa Raden Permadi adalah
kekasihnya sehingga ia kenal betul bagaimana paras badannya.
Raden Kurupati termakan ucapan Raden Rukmarata. Ia sangat marah mendengar
calon istrinya diculik sepupu sendiri. Sambil masih mengenakan pakaian pengantin, Raden
Kurupati pun berlari mengejar si penculik. Para Kurawa lainnya segera ikut mengejar sang
kakak sulung.
Sungguh kebetulan Raden Permadi dan Raden Setyaki beserta para panakawan telah
sampai di istana Mandraka. Tanpa bertanya lebih dulu, Raden Kurupati langsung
menyerang mereka. Para Kurawa yang lain pun ikut menyerang. Maka, terjadilah
pertempuran sengit. Meskipun hanya dua orang, namun Raden Permadi dan Raden Setyaki
tetap mampu bertahan dan tidak bisa ditaklukkan oleh para Kurawa tersebut.
Pada saat itulah muncul Prabu Salya, Prabu Puntadewa, dan Prabu Baladewa melerai
mereka. Raden Permadi segera menghentikan pertempuran dan menyembah memberi
hormat. Raden Kurupati marah-marah meminta Raden Permadi agar dihukum berat karena
berani menculik calon istrinya. Raden Permadi mengaku tidak tahu-menahu soal ini karena
ia sendiri baru datang. Kyai Semar dan Raden Setyaki pun bersaksi bahwa mereka selalu
bersama-sama sehingga tidak mungkin Raden Permadi menculik Dewi Srutikanti.
Sebaliknya, Raden Rukmarata bersaksi bahwa ia melihat penculik kakaknya adalah
kesatria tampan yang mahir memanah. Di dunia ini siapa lagi kesatria tampan yang mahir
memanah selain Raden Permadi? Mendengar itu, Kyai Semar pun menjelaskan bahwa dulu
saat acara pendadaran murid-murid Padepokan Sokalima, ada seorang kesatria tampan
yang mahir memanah berani menantang Raden Permadi di atas gelanggang. Raden
Permadi pun teringat bahwa kesatria tersebut pasti Raden Suryaputra alias Radeya. Ia pun
mohon pamit kepada Prabu Salya untuk menangkap si penculik yang sebenarnya. Setelah
berkata demikian, ia langsung melesat pergi dengan ditemani Raden Setyaki.
dengan bersenjata keris. Pada suatu serangan, keris Raden Permadi berhasil menyerempet
pelipis Raden Suryaputra. Dengan cekatan ia lalu meringkus lawannya tersebut dan
menodongkan kerisnya di leher Raden Suryaputra.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Batara Narada turun dari kahyangan. Ia melerai
Raden Permadi dan Raden Suryaputra agar menghentikan pertarungan karena mereka
sesungguhnya masih saudara sendiri. Raden Permadi heran mendengarnya. Batara
Narada pun menceritakan peristiwa lahirnya Raden Suryaputra yang berasal dari rahim
Dewi Kunti, ibu para Pandawa. Raden Permadi mendengar dengan seksama cerita tersebut
dari awal sampai akhir. Hatinya tergetar karena orang yang selama ini dianggapnya sebagai
musuh ternyata masih kakak sendiri. Perlahan-lahan ia pun menyembah Raden Suryaputra
dan meminta maaf kepadanya. Raden Suryaputra balas memeluk adiknya itu dan mereka
saling bermaaf-maafan.
Batara Narada juga melerai Raden Setyaki dan Arya Adimanggala serta menjelaskan
bahwa mereka juga masih saudara. Raden Setyaki adalah putra Prabu Setyajit dengan
Dewi Wresini, sedangkan Arya Adimanggala adalah putra Prabu Setyajit juga saat masih
bernama Arya Ugrasena, dari hasil hubungan gelap dengan Nyai Sagopi. Sejak bayi, Arya
Adimanggala diserahkan oleh Buyut Antyagopa kepada Kyai Adirata karena memang
begitulah petunjuk dari dewata yang harus dijalankan. Mendengar penuturan tersebut,
Raden Setyaki dan Arya Adimanggala pun saling berpelukan dan bermaaf-maafan pula.
Batara Narada lalu mengatakan bahwa Dewi Srutikanti ditakdirkan berjodoh dengan
Raden Suryaputra. Untuk itu, Raden Permadi tidak perlu menghalangi hubungan di antara
mereka. Batara Narada lalu memberikan busana raja kepada Raden Suryaputra, berupa
praba dan mahkota berbentuk topong, bernama Mahkota Bukasri, lengkap dengan Jamang
Kinantipa untuk menutupi pelipis yang tergores oleh keris Raden Permadi tadi. Dengan
memakai busana raja tersebut, Raden Suryaputra terlihat lebih tampan dan berwibawa.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke kahyangan.
Suryaputra adalah bagian dari Kerajaan Hastina, dan ini berarti keluarga Prabu Dretarastra
tetap mendapat menantu.
Patih Sangkuni dan Raden Permadi memuji keputusan yang diambil Raden Kurupati.
Sementara itu, Raden Suryaputra sangat terharu dan ia pun bersumpah tidak akan pernah
lagi mengkhianati Raden Kurupati untuk selamanya. Ia berjanji akan siap sedia
menyumbangkan jiwa dan raganya demi kemuliaan Raden Kurupati. Keduanya lalu
berpelukan dengan perasaan haru.
Para prajurit Awangga ketakutan melihat raja dan patih mereka telah gugur. Mereka
pun serentak menyatakan takluk kepada Raden Suryaputra dan Arya Adimanggala. Raden
Suryaputra mengumumkan bahwa mereka semua boleh pulang ke Kadipaten Awangga dan
harus bersumpah setia kepada Kerajaan Hastina. Para prajurit tersebut menyatakan
bersedia, kemudian mereka pun pulang dengan hati lega.
Raden Suryaputra lalu membebaskan Adipati Adirata dan Arya Jayarata dari dalam
penjara. Keduanya sangat terharu dan bangga melihat penampilan Raden Suryaputra yang
kini mengenakan busana raja pemberian dewa. Arya Adimanggala juga melaporkan bahwa
sang ibu, yaitu Dewi Rada bersama Arya Druwajaya saat ini telah berlindung di Kerajaan
Hastina. Setelah dirasa cukup, mereka berempat lalu bersama-sama kembali ke tempat
Raden Kurupati.
NARAYANA KEMBANG
Kisah ini menceritakan perkawinan kedua Raden Narayana dengan sepupunya, yaitu
Dewi Rukmini. Dalam kisah ini saya mencoba membuat pendekatan bahwa semua istri
Raden Narayana (kelak bergelar Prabu Kresna) adalah titisan para istri Batara Wisnu.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, serta
rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 November 2016
Heri Purwanto
Raden Narayana
DEWI JEMBAWATI MINTA DIMADU DENGAN DEWI RUKMINI DAN DEWI SETYABOMA
Raden Narayana sudah tiga bulan ini menjalani pengasingan di Hutan Banjarpatoman
bersama sang istri, yaitu Dewi Jembawati. Hukuman tersebut dijatuhkan oleh Prabu
Baladewa atas perbuatan Raden Narayana yang mengacau keamanan di wilayah Kerajaan
Mandura sebagai begal. Meskipun Prabu Baladewa paham bahwa adiknya menjadi begal
untuk merampok para pejabat korup sisa-sisa pengikut Adipati Kangsa dan membagi-
bagikan harta jarahannya kepada rakyat miskin, namun hukum negara harus tetap
ditegakkan. Untuk itu, Prabu Baladewa dengan terpaksa menjatuhkan hukuman buang
kepada sang adik agar menjadi contoh bagi segenap penduduk Kerajaan Mandura.
Demikianlah, Raden Narayana menjalani hukuman buang tersebut bersama Dewi
Jembawati yang setia menemaninya. Hingga pada suatu malam, Dewi Jembawati mimpi
dirinya berada dalam wujud asli, yaitu Batari Srilaksmi, di mana ia bertemu dengan adik dan
sepupunya, yang bernama Batari Srilaksmita dan Batari Sri Satyawarna. Ketiga bidadari
tersebut adalah cucu Sanghyang Pancaresi yang semuanya dinikahi Batara Wisnu.
Batari Srilaksmi dan Batari Srilaksmita adalah putri Batara Wiksmaka. Mereka memiliki
adik laki-laki bernama Batara Laksmanasadu. Dulu di zaman kuno Batara Wisnu menitis
kepada Prabu Sri Rama, Batara Laksmanasadu menitis kepada Raden Lesmana,
sedangkan Batari Srilaksmi bersama Batari Sri Wedawati menitis kepada Rakyanwara
Sinta. Kini Batara Wisnu menitis belah kepada Raden Narayana dan Raden Permadi,
sedangkan Batara Laksmanasadu menitis kepada Prabu Baladewa dan Raden Permadi
juga, serta Batari Srilaksmi menitis kepada Dewi Jembawati. Adapun Batari Srilaksmita juga
ikut menyusul lahir ke dunia dengan menitis kepada Dewi Rukmini, putri Prabu Bismaka di
Kerajaan Kumbina.
KITAB WAYANG PURWA
Madu yang kedua bernama Batari Sri Satyawarna adalah putri Batara Satya. Karena
Batara Satya adalah adik Batara Wiksmaka, maka Batari Sri Satyawarna adalah sepupu
Batari Srilaksmi, Batari Srilaksmita, dan Batara Laksmanasadu. Saat ini Batari Sri
Satyawarna juga telah lahir ke dunia dengan menitis kepada Dewi Setyaboma, putri Prabu
Setyajit di Kerajaan Lesanpura.
Dalam mimpi tersebut, Batari Srilaksmita dan Batari Sri Satyawarna mengaku ingin
berkumpul kembali dengan Batara Wisnu dan Batari Srilaksmi seperti dulu saat masih
berada di Kahyangan Utarasegara. Maka, begitu terbangun dari tidurnya, Dewi Jembawati
segera meminta Raden Narayana agar menikah lagi, mencarikan madu untuknya. Ia
meminta agar sang suami menikahi kedua sepupunya, yaitu Dewi Rukmini dan Dewi
Setyaboma.
Raden Narayana merasa heran karena pada umumnya perempuan menolak dimadu,
tetapi Dewi Jembawati justru ingin suaminya menikah lagi dengan dua perempuan
sekaligus. Dewi Jembawati menjawab Raden Narayana sebaiknya tidak perlu menutup-
nutupi lagi, bahwa sesungguhnya Raden Narayana sudah mengetahui kalau Dewi Rukmini
dan Dewi Setyaboma adalah jodohnya.
Raden Narayana tersenyum membenarkan, bahwa sejak lama ia memang sudah tahu
kalau kedua sepupunya itu adalah titisan kedua istrinya di kahyangan. Namun, ia menunggu
izin dari Dewi Jembawati sebagai titisan Batari Srilaksmi, yang merupakan istri tertua. Jika
memang Dewi Jembawati sudah mengizinkan demikian, maka Raden Narayana akan
mengatur siasat untuk bisa menikahi Dewi Rukmini terlebih dahulu, baru kemudian Dewi
Setyaboma.
dahulu harus bisa menjelaskan makna “sejatining lanang lan sejatining wadon” (sejatinya
laki-laki dan sejatinya perempuan). Jika orang itu mampu, barulah dia boleh memperistri
Dewi Rukmini. Demikian pesan Raden Narayana.
Dewi Sumbadra menerima tugas tersebut dan segera mohon pamit dengan diantarkan
Arya Udawa.
menyatakan bersedia. Prabuanom Jakapitana dan Patih Sangkuni pun gembira dan segera
mempersiapkan rombongan untuk berangkat menuju Kerajaan Kumbina.
Dewi Rukmini akhirnya luluh hatinya melihat sikap Raden Narayana yang tulus
mencintainya. Namun, ia tetap marah menuduh Raden Narayana telah menjerumuskan
dirinya sehingga kini menjadi calon istri Resi Druna. Raden Narayana menjawab hal itu tidak
benar. Resi Druna belum berhasil menerjemahkan kata sejatinya laki-laki dan sejatinya
perempuan. Memang jawaban Resi Druna benar, tetapi tidak tepat sasaran. Yang
ditanyakan adalah makna “sejatinya laki-laki dan sejatinya perempuan”, tetapi Resi Druna
menafsirkan makna “laki-laki sejati dan perempuan sejati”. Jelas ini tidak sesuai.
Dewi Rukmini bertanya bagaimana jawaban yang paling benar. Raden Narayana
menjawab nanti akan ia jelaskan di hadapan banyak orang. Teka teki ini adalah
karangannya. Ini adalah soal penggunaan bahasa, sehingga hanya dirinya yang
mengetahui jawaban paling benar, sedangkan orang lain hanya bisa memberikan tafsir.
Tafsir orang lain bisa bermacam-macam sesuai tingkat pemahaman mereka, tetapi jawaban
yang paling benar ada di tangan Raden Narayana sebagai pembuat teka-teki.
Pada saat itulah Resi Druna muncul untuk merayu Dewi Rukmini. Raden Narayana
segera bersembunyi sambil menyentuh ujung Panah Kesawa dan membaca mantra Aji
Balasrewu. Seketika wujud Raden Narayana pun berubah menjadi seorang raksasa berkulit
hitam legam. Ia meraung membuat Resi Druna terkejut dan lari tunggang langgang
meninggalkan kaputren.
sibuk mencari nafkah, sehingga pendidikan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab
perempuan. Demikianlah wanita hanya dianggap sebagai pelayan pria saja. Padahal,
wanita adalah ibu bagi kaum pria. Laki-laki berasal dari rahim perempuan. Merendahkan
derajat kaum wanita sama artinya dengan merendahkan derajat seorang ibu.
Raden Narayana menegaskan, pelayanan harus datang dari dua arah. Jika pria ingin
wanita selalu siap melayaninya, maka ia juga harus selalu siap melayani wanita. Laki-laki
tidak boleh ingin menang sendiri. Dunia ini diciptakan bukan untuk kaum laki-laki saja, tapi
untuk semua pihak. Kebahagiaan akan tercipta apabila kedua pihak saling melayani dan
tidak saling menuntut untuk dilayani. Demikianlah, sejatinya laki-laki dan sejatinya
perempuan diciptakan untuk berbeda, sama-sama tidak sempurna, tetapi justru dari situ
mereka bisa saling melengkapi, sehingga terjalin kerja sama yang indah untuk terciptanya
kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang. Itulah kebahagiaan yang sejati, bukan
kebahagiaan semu.
akan selalu membantu para Pandawa apabila menghadapi masalah apa saja. Demikianlah,
keduanya pun berpisah dan kembali menuju negeri masing-masing.
CATATAN : Kisah perkawinan Raden Narayana dengan Dewi Rukmini menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 696 yang
ditandai dengan sengkalan “Hoyaging gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717
yang ditandai dengan sengkalan “Swaraning janma gora”.
KITAB WAYANG PURWA
NARAYANA KRIDHA
Kisah ini menceritakan perkawinan ketiga Raden Narayana dengan sepupunya, yaitu
Dewi Setyaboma, serta bagaimana awal mula ia mendapatkan takhta Kerajaan
Dwarawati, dan menjadi raja bergelar Prabu Batara Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Nartosabdo, serta pentas Ki Hari Bawonocarito, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 25 November 2016
Heri Purwanto
Kini waktu tujuh hari tersebut hampir habis, sehingga Prabu Setyajit melarang Dewi
Setyaboma terlalu lama berada di istana Mandura.
Prabu Baladewa terkejut mendengar berita itu. Rupanya Resi Druna yang batal
menikah dengan Dewi Rukmini, kini ganti mengincar Dewi Setyaboma. Bagaimanapun juga
hal ini harus digagalkan. Maka, Prabu Baladewa segera mempersilakan Dewi Setyaboma
masuk ke dalam kamar untuk menjenguk Dewi Erawati yang sedang sakit dan merindukan
dirinya. Ketika Raden Setyaki hendak ikut masuk, Prabu Baladewa mencegah dengan
alasan ia ingin menjamu adik sepupunya itu dengan minuman khas Kerajaan Mandura.
Dewi Setyaboma heran dan bertanya siapakah laki-laki itu. Dewi Erawati menjawab
orang itu adalah Raden Narayana, adik iparnya. Dewi Setyaboma semakin heran karena
Raden Narayana baru saja menikah dengan Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini, mengapa
ingin menikah lagi dengannya? Dewi Erawati berkata bahwa Raden Narayana adalah titisan
Batara Wisnu, sehingga mengetahui siapa saja wanita yang menjadi jodohnya. Raden
Narayana ingin beristri tiga bukan untuk mengumbar nafsu, tetapi untuk menggenapi
takdirnya.
Dewi Erawati palsu lalu bertanya apakah Dewi Setyaboma memilih Resi Druna
ataukah Raden Narayana. Dewi Setyaboma merasa malu untuk menjawab. Dewi Erawati
pun memberi isyarat agar Dewi Bratajaya keluar kamar. Dewi Bratajaya yang biasanya
manja kini menurut tanpa membantah, karena ia sudah tahu rencana yang disusun
kakaknya.
Setelah Dewi Bratajaya keluar, Dewi Setyaboma pun berterus terang bahwa sejak
lama ia memang sudah menyukai Raden Narayana. Dulu ketika ayahnya dipenjara oleh
Adipati Kangsa, Raden Narayana yang tampil sebagai pahlawan untuk membebaskannya.
Sejak peristiwa itulah Dewi Setyaboma merasa kagum kepada kakak sepupunya itu. Rasa
kagum tersebut berubah menjadi cinta. Namun sayang, Raden Narayana justru menikah
dengan orang lain, dan membuat Dewi Setyaboma merasa harapannya telah pupus untuk
selamanya.
Dewi Erawati palsu berkata bahwa Raden Narayana juga menyukai Dewi Setyaboma
dan ingin menjadikannya sebagai istri. Dewi Setyaboma merasa senang mendengarnya,
namun tetap tidak berani menerima karena segan terhadap Dewi Jembawati dan Dewi
Rukmini. Dewi Erawati tersenyum dan segera memanggil Dewi Bratajaya yang masih
menunggu di luar kamar.
Dewi Bratajaya pun membuka pintu dan ternyata ia sudah bersama Dewi Jembawati
dan Dewi Rukmini. Dewi Setyaboma terkejut dan segera menyembah hormat kepada
mereka. Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini berkata bahwa mereka ikhlas jika Raden
Narayana menikah lagi dengan Dewi Setyaboma. Pernikahan ini bukan untuk mengumbar
nafsu, tetapi untuk mengumpulkan para titisan istri Batara Wisnu yang terpencar di tiga
tempat. Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini merasa senang jika bisa berkumpul kembali
dengan Dewi Setyaboma, seperti dahulu saat mereka masih berada di Kahyangan
Utarasegara.
Dewi Setyaboma gemetar karena hatinya bahagia. Ketika ia menoleh ternyata Dewi
Erawati palsu sudah lenyap dan berubah kembali ke wujud Raden Narayana. Raden
Narayana pun berterus terang ingin meminangnya. Dewi Setyaboma marah merasa
dipermainkan. Wajahnya merah padam menahan malu. Namun, dalam hati ia sangat
bahagia atas lamaran tersebut. Ia pun meminta Raden Narayana datang ke Kerajaan
Lesanpura secara baik-baik jika ingin melamar dirinya, bukan dengan cara tipu muslihat
seperti ini.
Pada saat itulah Raden Setyaki muncul dan marah-marah karena kakaknya
dipermainkan. Raden Narayana dengan tenang menjawab bahwa dirinya mencintai Dewi
Setyaboma dan ingin menikah dengannya. Raden Setyaki menjawab terus terang bahwa ia
juga senang jika Raden Narayana bisa menjadi iparnya. Namun, Resi Druna juga telah
meminang kakaknya. Karena sekarang ada dua calon, maka Raden Setyaki berniat
mengadakan sayembara tanding sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh Raden
Rukmaka di Kerajaan Kumbina. Ia berharap Raden Narayana bisa mengalahkan dirinya
dalam sayembara nanti, sehingga berhak atas Dewi Setyaboma.
KITAB WAYANG PURWA
Dewi Setyaboma setuju pada usulan adiknya. Mereka berdua lalu mohon pamit
kembali ke Kerajaan Lesanpura.
Setyaki tidak bisa dikalahkan karena setiap kali terluka akan langsung sembuh berkat
pengaruh Kembang Wijayakusuma.
Raden Narayana lama-lama terdesak. Jika sampai ia jatuh keluar panggung maka
rencananya untuk menikahi Dewi Setyaboma bisa gagal. Untuk mengalahkan Kembang
Wijayakusuma, maka Panah Kesawa harus digunakan. Raden Narayana pun menyentuh
ujung panah pusaka tersebut sambil membaca mantra Aji Balasrewu. Seketika ia pun
bertriwikrama menjadi raksasa tinggi besar. Kakinya lalu bergerak menginjak punggung
Raden Setyaki.
Raden Setyaki jatuh tengkurap tidak berdaya karena diinjak raksasa penjelmaan
Raden Narayana. Ia lalu mengaku kalah. Seketika raksasa tersebut pun sirna dan kembali
ke wujud Raden Narayana. Raden Setyaki lalu mengembalikan Kembang Wijayakusuma
dan mengumumkan bahwa Raden Narayana adalah pemenang sayembara.
tersebut. Perang tanding di antara mereka pun terjadi. Ditya Kunjanawresa ikut menyerang
dan segera disambut oleh Raden Setyaki. Sementara itu, Raden Permadi menghadapi
Emban Cantikawredi untuk membebaskan Dewi Setyaboma.
Sesuai ramalan Batara Guru, Prabu Yudakala Kresna akhirnya tewas terkena senjata
Cakra Sudarsana yang dilepaskan Raden Narayana. Emban Cantikawredi juga mati di
tangan Raden Permadi. Melihat pihaknya kalah, Ditya Kunjanawresa memilih kabur
melarikan diri. Pasukan Dwarakawestri pun kocar-kacir dan ikut kabur bersama sang
senapati.
Namun, Raden Narayana alias Batara Kresna lebih dulu tiba di Kerajaan
Dwarawatiprawa. Ia segera menabuh Bende Pancajanya, mendatangkan gempa bumi yang
membuat Prabu Kunjarakresna dan Ditya Kunjanawresa merasa pusing kehilangan daya.
Kedua raksasa itu lalu mengheningkan cipta sesaat untuk melawan pengaruh gaib kedua
pusaka tersebut. Begitu tenaganya pulih, Prabu Kunjarakresna langsung maju menyambar
Batara Kresna.
Pertarungan sengit pun terjadi. Batara Kresna dapat menilai bahwa Prabu
Kunjarakresna lebih sakti daripada Prabu Yudakala Kresna. Maka, untuk mengimbanginya,
ia pun membaca mantra Aji Balasrewu dan bertriwikrama menjadi raksasa pula.
Pertarungan kedua raksasa itu sungguh mengerikan. Setelah agak lama, barulah raksasa
penjelmaan Batara Kresna berhasil menewaskan Prabu Kunjarakresna.
Melihat kakak sulungnya tewas, Ditya Kunjanawresa pun melarikan diri. Ia membawa
semua prajurit raksasa Kerajaan Dwarawatiprawa dan Dwarakawestri untuk kelak
membalas dendam kepada Batara Kresna.
Maka, Prabu Setyajit pun mengizinkan Raden Setyaki mengabdi kepada Prabu
Kresna, sekaligus mengikuti Dewi Setyaboma yang diboyong ke Kerajaan Dwarawati. Prabu
Kresna menerima pengabdian Raden Setyaki dengan senang hati karena sebagai raja yang
baru pasti ia membutuhkan bantuan pemuda terampil dan sakti semacam iparnya tersebut.
Maka, Raden Setyaki pun diangkat sebagai panglima angkatan perang Dwarawati, dengan
bergelar Arya Setyaki.
CATATAN : Kisah Raden Narayana menumpas Prabu Kunjarakresna menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 695 yang ditandai dengan
sengkalan “Yaksa rudra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 716 yang ditandai dengan
sengkalan “Angrasa tunggal wangsa”. Sedangkan perkawinan Raden Narayana dengan Dewi
Setyaboma dan kematian Prabu Yudakala Kresna terjadi pada tahun Suryasengkala 696 yang
ditandai dengan sengkalan “Hoyaging gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717
yang ditandai dengan sengkalan “Swaraning janma gora”.
KITAB WAYANG PURWA
WAHYU PURBASEJATI
Kisah ini menceritakan roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menitis kepada Prabu
Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Arjuna. Juga dikisahkan awal mula kemunculan
Kapi Anoman, pahlawan bangsa wanara dari zaman kuno yang kemudian mengabdi
kepada Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan catatan yang saya dapatkan dari rubrik
Pedhalangan di Majalah Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 01 Desember 2016
Heri Purwanto
akhirnya, ketika Raden Sri Rama berhasil merobohkan Prabu Rahwana untuk yang
kesekian kalinya, tiba-tiba Kapi Anoman (senapati andalan Prabu Sugriwa) nekat
membantu. Wanara berbulu putih itu mengangkat Gunung Ungrungan dan menindihkannya
pada tubuh Prabu Rahwana.
Karena tubuhnya tertindih Gunung Ungrungan, Prabu Rahwana tidak dapat bangun
kembali, meskipun Aji Pancasunya masih bekerja. Di lain pihak, Raden Sri Rama
tersinggung karena Kapi Anoman membantu tanpa diperintah. Sebagai hukuman, Kapi
Anoman diwajibkan menjaga Gunung Ungrungan, jangan sampai roh Prabu Rahwana
keluar dan berbuat kekacauan di dunia. Kapi Anoman pun mematuhi perintah tersebut.
Setelah peristiwa Brubuh Alengka, Raden Sri Rama memboyong Rakyanwara Sinta
kembali ke Kerajaan Ayodya. Ia lalu membangun Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka
dan menjadi raja bergelar Prabu Ramawijaya. Kelak keturunannya yang kedelapan
bernama Raden Surasena mendirikan Kerajaan Mandura dan bergelar Prabu Kuntiboja. Ia
merupakan kakek dari Prabu Baladewa, Prabu Kresna, Dewi Bratajaya, dan juga para
Pandawa.
Sementara itu, Kapi Anoman dikaruniai umur panjang dan tubuh yang kuat, meskipun
terlihat tua renta. Ia bertapa di Gunung Ungrungan menjaga roh Prabu Rahwana agar tidak
keluar mengacau dunia. Pada suatu hari turunlah Batara Narada dari kahyangan yang
memberi tahu bahwa roh Prabu Rahwana telah meloloskan diri, meninggalkan penjara gaib
Gunung Ungrungan. Kapi Anoman merasa sangat berdosa karena lalai dalam menjalankan
tugas. Ia pun meminta petunjuk Batara Narada agar diberi tahu ke mana perginya roh
penjahat besar tersebut.
Batara Narada berkata bahwa roh Prabu Rahwana kini pergi untuk mewujudkan
keinginan lamanya, yaitu menikahi Rakyanwara Sinta yang merupakan titisan Batari Sri
Wedawati. Karena Rakyanwara Sinta sudah lama meninggal dunia, maka roh Prabu
Rahwana pun mencari titisan Batari Sri Wedawati yang hidup di zaman sekarang, yaitu Dewi
Bratajaya. Menurut penglihatan Batara Narada, roh Prabu Rahwana kini telah berganti
nama menjadi Prabu Godayitma, dan mendirikan kerajaan gaib bernama
Tawanggantungan di Tanah Jawa. Ia pun telah mengumpulkan roh Patih Prahasta
(pamannya) dan roh Raden Indrajit (putranya) untuk menjalankan rencana menculik Dewi
Bratajaya.
Kapi Anoman berterima kasih atas petunjuk Batara Narada. Ia pun mohon restu agar
bisa menangkap kembali roh Prabu Rahwana tersebut. Batara Narada merestui dan
memberikan pusaka berupa rantai gaib untuk mengikat roh Prabu Rahwana dan para
pengikutnya. Ia juga berpesan agar kelak Kapi Anoman tidak perlu lagi kembali ke Gunung
Ungrungan di Pulau Sailan, tetapi sebaiknya mengabdi kepada Prabu Kresna Wasudewa
raja Dwarawati, yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman sekarang.
Kapi Anoman sekali lagi berterima kasih dan sangat bersyukur apabila bisa kembali
mengabdi pada titisan Batara Wisnu. Batara Narada lalu memberikan petunjuk, yaitu jika
ingin bertemu dengan Prabu Kresna, maka Kapi Anoman harus mencarinya di Gunung
Gandamadana. Setelah berkata demikian, ia pun undur diri kembali ke kahyangan.
Setelah persiapan cukup, Prabu Kresna pun berangkat hanya berdua saja dengan
Prabu Baladewa saja. Arya Setyaki ditugasi untuk menjaga Kerajaan Dwarawati bersama
Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa. Rupanya Prabu Kresna telah mendapat
firasat akan terjadi gangguan di negerinya.
Patih Prahastayitma merasa ucapan Ditya Kunjanawresa ada benarnya. Kerja sama
ini memang harus menguntungkan kedua pihak. Maka, ia pun bersedia menemani raksasa
berkepala kuda itu menyerang Gunung Gandamadana. Patih Prahastayitma lalu
meninggalkan sebagian pasukan raksasa dan hantu untuk tetap mengacau Kerajaan
Dwarawati agar membuat sibuk Arya Setyaki dan kawan-kawan, sedangkan pasukan yang
lain dibawa untuk membantu Ditya Kunjanawresa menyerang Gunung Gandamadana.
menyingkirkan onak dan duri, bahkan berdiri di depan kakaknya itu saat hujan badai
menerjang. Ketika Raden Ramabadra sadar dari linglung, ia pun berterima kasih banyak
kepada Raden Lesmana dan berjanji kelak jika lahir kembali, ia ingin menjadi adik,
sedangkan Raden Lesmana biarlah menjadi kakak, agar bisa ganti melayani.
Demikianlah, roh Prabu Sri Rama kini memohon kepada Batara Guru agar diizinkan
menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden Lesmana biarlah menitis kepada Prabu
Baladewa saja, bukan kepada Raden Permadi. Dengan demikian, ia bisa menepati janjinya
seperti yang telah diucapkan dulu.
Batara Guru lalu berunding dengan Batara Narada. Semasa hidupnya, Raden
Lesmana tidak pernah menikah, sedangkan Raden Permadi diramalkan kelak mempunyai
banyak istri di mana-mana. Namun, dewata telah menetapkan bahwa Wahyu Sejati harus
turun kepada Pandawa nomor tiga tersebut, dan ini tidak mungkin dibatalkan. Sebagai jalan
tengah, Batara Guru pun memerintahkan roh Raden Lesmana untuk membelah menjadi
dua. Yang setengah hendaknya menitis kepada Prabu Baladewa sebagai Wahyu Wahdat,
sedangkan yang setengah tetap menitis kepada Raden Permadi sebagai Wahyu Sejati.
Roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menerima keputusan tersebut dengan
senang hati. Roh Raden Lesmana lalu membelah menjadi dua. Mereka kemudian mohon
pamit dan pergi bersama-sama menuju Gunung Gandamadana.
Raden Bratasena merinding dan merasa ngeri. Ia kini percaya bahwa sosok kera putih
di hadapannya adalah benar-benar Kapi Anoman, pahlawan pujaannya. Kapi Anoman pun
kembali ke wujud asal dan segera memeluk Raden Bratasena. Ia meminta maaf atas
pertarungan tadi. Meskipun usianya sudah tua, tapi ternyata sifatnya masih berangasan dan
mudah tersinggung oleh ucapan kaum muda.
Raden Bratasena sungguh kagum bercampur heran, ternyata Kapi Anoman masih
hidup meskipun peristiwa Brubuh Alengka sudah berlalu ratusan tahun. Kapi Anoman
menjawab dirinya memang mendapat anugerah panjang umur dari dewata karena ditugasi
menjaga roh Prabu Rahwana yang dipenjara di Gunung Ungrungan. Sayang sekali, dirinya
sempat lengah, sehingga roh Prabu Rahwana itu berhasil kabur dan kini menjadi raja di
Tawanggantungan, bergelar Prabu Godayitma.
Kapi Anoman mendapat petunjuk dari dewata bahwa untuk menangkap kembali Prabu
Godayitma, dirinya harus pergi ke Gunung Gandamadana. Namun sayang, ia tidak
mengetahui di mana letak gunung tersebut berada. Raden Bratasena menjawab bahwa
Gunung Gandamadana adalah tempat kakeknya yang bernama Prabu Kuntiboja
dimakamkan. Kebetulan juru kunci astana di gunung tersebut juga berwujud wanara tua,
bernama Resi Jembawan.
Kapi Anoman sangat terkejut mendengar nama itu disebut. Ia berkata bahwa dahulu
kala dirinya mengabdi sebagai senapati Kerajaan Guakiskenda yang dipimpin pamannya,
bernama Prabu Sugriwa. Adapun Kapi Jembawan bertindak sebagai penasihat pamannya
tersebut. Sungguh tidak disangka ternyata Kapi Jembawan juga dikaruniai umur panjang
dan kini menjadi pendeta di Gunung Gandamadana. Kapi Anoman tidak sabar lagi dan
mengajak Raden Bratasena untuk mengantarkannya pergi ke gunung tersebut. Raden
Bratasena dengan senang hati memenuhi ajakan Kapi Anoman yang kini dipanggilnya
sebagai kakak. Mereka berdua pun bergegas pergi ke sana dengan mengerahkan kesaktian
yang sama-sama pernah mereka pelajari dari Batara Bayu.
Kapi Anoman berkata bahwa dirinya ingin mengabdi kepada Prabu Kresna, dan tidak
mau pulang ke Gunung Ungrungan di Pulau Sailan. Prabu Kresna mengabulkan
permohonan itu. Ia menyarankan hendaknya Kapi Anoman membangun penjara baru untuk
Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma di Gunung Kendali, yang
masih termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna juga memerintahkan Kapi
Anoman untuk menjadi pendeta demi melunturkan sisa-sisa watak beringasnya sebagai
mantan jagoan Gunung Suwelagiri.
Kapi Anoman mematuhi dan mohon petunjuk di mana letak Gunung Kendali berada.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa Gunung Kendali tercipta dari pusaka Brahmakadali milik
Bambang Sakri, yaitu leluhur para Pandawa. Setelah Bambang Sakri gugur di tangan Prabu
Murtija, pusaka Brahmakadali berubah menjadi gunung, dan diberi nama Gunung Kendali
oleh masyarakat sekitar.
Prabu Kresna lalu memungut sebatang lidi (sada) dan melemparkannya ke arah timur.
Kapi Anoman diperintah untuk mengikuti lidi tersebut. Di mana lidi itu jatuh, maka di situlah
Gunung Kendali berada. Kapi Anoman mematuhi dan segera pergi sambil menyeret Prabu
Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma. Raden Bratasena pun bergegas
mengikuti dari belakang.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Kapi Anoman dan Raden Bratasena
melihat lidi tersebut menancap di bebatuan sebuah gunung kecil. Mereka yakin pasti
gunung tersebut yang bernama Gunung Kendali. Kapi Anoman dibantu Raden Bratasena
pun membangun penjara gaib untuk mengurung Prabu Godayitma, Raden Begakumara,
dan Patih Prahastayitma.
Setelah semuanya beres, Kapi Anoman lalu memulai kehidupannya sebagai pendeta,
dengan bergelar Resi Kapiwara Anoman. Dengan disaksikan Raden Bratasena, ia pun
memberi nama padepokannya, yaitu Kendalisada, yang bermakna Gunung Kendali
tertancap lidi.
CATATAN : Kisah Wahyu Purbasejati tidak terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa. Adapun kisah Kapi
Anoman meringkus Ditya Kunjanawresa terdapat dalam naskah tersebut, yang menurut Raden
Ngabehi Ranggawarsita terjadi bersamaan dengan pernikahan Prabu Kresna dan Dewi
Setyaboma, yaitu pada tahun Suryasengkala 696 yang ditandai dengan sengkalan “Hoyaging
gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717 yang ditandai dengan sengkalan
“Swaraning janma gora”.
KITAB WAYANG PURWA
GATUTKACA LAHIR
Kisah ini menceritakan lahirnya kesatria gagah perkasa yang namanya terkenal
sepanjang masa, yaitu Raden Gatutkaca putra Raden Bimasena. Juga dikisahkan awal
mula bertemunya Raden Arjuna dengan Endang Manuhara yang kelak dari perkawinan
mereka lahir seorang putri bernama Endang Pregiwa. Putri inilah yang nantinya
menjadi jodoh Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Manteb Soedharsono, dan juga Ki Anom Suroto, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 09 Desember 2016
Heri Purwanto
Raden Gatutkaca
Arjunawangsa. Dalam pertemuan itu hadir pula Batara Narada yang mendapat tugas dari
Batara Guru di Kahyangan Jonggringslaka untuk menyerahkan pusaka kepada Raden
Permadi yang sedang bertapa di Hutan Jatirokeh.
Batara Indra membenarkan bahwa putra angkatnya, yaitu Raden Permadi memang
sedang bertapa di Hutan Jatirokeh memohon anugerah dewata. Kesatria Panengah
Pandawa itu meminta diberi pusaka kahyangan untuk memotong tali pusar keponakannya
yang bernama Raden Tetuka, yang sudah setahun ini belum juga putus. Betapa tekun
Raden Permadi bertapa, membuat Kahyangan Suralaya dilanda hawa panas. Para bidadari
pun merasa gerah dan kehausan, sehingga banyak di antara mereka yang meratap-ratap
minta tolong.
Batara Indra bercerita bahwa setahun yang lalu Dewi Arimbi istri Raden Bratasena
melahirkan seorang bayi berwajah tampan tapi memiliki taring. Bayi tersebut diberi nama
Raden Tetuka yang merupakan titisan Arya Gandamana, kesatria tangguh dari Kerajaan
Pancala yang dulu gugur dalam peristiwa Sayembara Dewi Drupadi. Pada saat kelahiran
bayi tersebut, Dewi Drupadi ditugasi Prabu Puntadewa untuk memotong tali pusarnya tetapi
gagal. Entah mengapa, tali pusar tersebut sangat ulet dan keras, tidak bisa diputus. Raden
Nakula dan Raden Sadewa mencoba membantu tetapi gagal pula. Raden Bratasena
terpaksa menggunakan Kuku Pancanaka yang terkenal tajam luar biasa, namun juga tidak
berhasil memotong tali pusar putranya.
Setahun kini telah berlalu dan si bayi Raden Tetuka tetap terhubung dengan ari-arinya.
Karena didorong rasa prihatin, Raden Permadi pun pergi bertapa memohon kepada dewata
agar diberi pusaka yang mampu memotong tali pusar keponakannya. Itulah sebabnya
Batara Indra pun mengirim permohonan kepada Batara Guru di Kahyangan
Jonggringsalaka agar memberikan pusaka yang diinginkan Raden Permadi. Batara Guru
pun mengabulkan permohonan tersebut. Batara Narada lalu diutus pergi untuk
menyerahkan pusaka berupa Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu kepada
Pandawa nomor tiga tersebut.
Batara Indra gembira mendengar hal itu. Ia pun berniat mendampingi Batara Narada
untuk menyerahkan kedua pusaka tersebut kepada Raden Permadi di Hutan Jatirokeh.
Batara Narada merasa tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda. Ia pun pergi
meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk pergi menuju hutan di mana Raden Permadi
bertapa. Adapun Batara Indra dan para dewa lainnya tetap tinggal di Kahyangan Suralaya
untuk menjaga keamanan dari para raksasa pengacau tersebut.
Adipati Karna berterima kasih atas kebaikan Batara Narada, sehingga dirinya kini bisa
mengimbangi kesaktian Raden Permadi yang memiliki busur pusaka Gandiwa, yang
didapatkannya dari sayembara Dewi Drupadi dulu. Batara Narada heran mendengar Raden
Permadi di hadapannya berbicara tentang Raden Permadi pula. Akhirnya, ia pun sadar
bahwa dirinya telah salah menyerahkan pusaka. Kesatria yang sejak tadi diajaknya bicara
ternyata bukan Raden Permadi, melainkan Adipati Karna yang memang keduanya berwajah
mirip.
Batara Narada pun meminta Adipati Karna untuk mengembalikan Kuntadruwasa dan
Wijayadanu kepada dirinya, agar bisa diserahkan kepada Raden Permadi yang lebih
berhak. Adipati Karna menolak karena itu justru mencoreng nama baik dewata. Orang akan
menuduh dewata sebagai kaum yang plin-plan, suka mengubah-ubah keputusan. Alangkah
lucunya jika dewata memberikan anugerah kepada seseorang dan memintanya kembali
karena salah kirim.
Batara Narada merasa dipermalukan atas sindiran Adipati Karna. Ia pun melesat pergi
meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari di mana Raden Permadi yang sesungguhnya
berada.
putra Raden Bratasena. Raden Permadi memohon Adipati Karna agar sudi mengasihani
nasib Raden Tetuka yang masih terhitung keponakannya sendiri.
Adipati Karna menjawab tidak peduli. Ia masih ingat bagaimana Raden Bratasena
dengan kasar dan tanpa tata krama pernah menghina dirinya di depan orang banyak. Dulu
saat peristiwa Pendadaran Murid-Murid Sokalima, Raden Bratasena itulah yang paling
lantang menghina dirinya sebagai anak kusir. Jika kini Raden Bratasena memiliki anak
cacat, maka itu adalah karma buruk yang harus ia terima.
Raden Permadi hilang kesabaran. Ia pun menyerang Adipati Karna untuk merebut
warangka Panah Kuntadruwasa dengan kekerasan. Kedua kesatria itu lalu bertarung seru.
Di antara mereka tidak terlihat siapa yang menang ataupun kalah. Adipati Karna akhirnya
memasang Kuntadruwasa pada busur Wijayadanu untuk mengancam lawan. Namun, ia
sengaja tidak melepas warangka pembungkus ujung panah pusaka tersebut karena
memang tidak berniat membunuh Raden Permadi, melainkan hanya menakut-nakuti
adiknya saja.
Raden Permadi bukannya takut tetapi justru menerjang maju merampas Panah
Kuntadruwasa. Adipati Karna pun menarik panah pusakanya mundur, sedangkan Raden
Permadi menggenggam warangkanya. Akibatnya, kedua benda itu pun berpisah. Adipati
Karna tetap mendapatkan Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu, sedangkan Raden
Permadi mendapatkan warangka pembungkusnya saja.
Adipati Karna lalu pergi memacu Kereta Jatisura. Sementara itu, Batara Narada
datang menemui Raden Permadi. Ia mengatakan mungkin memang sudah takdir bahwa
Kuntadruwasa dan Wijayadanu harus menjadi milik Adipati Karna. Namun, ia meyakinkan
Raden Permadi bahwa warangka pusaka tersebut benar-benar terbuat dari Kayu
Kastubamulya yang dapat digunakan untuk memotong tali pusar Raden Tetuka.
Setelah berkata demikian, Batara Narada berniat kembali ke Kahyangan Suralaya
untuk membantu Batara Indra menghadapi para pengacau dari Kerajaan Kiskandapura
yang dipimpin Patih Sekiputantra. Raden Permadi prihatin mendengar berita itu. Ia pun
berjanji setelah memotong tali pusar Raden Tetuka, maka dirinya akan menyusul pergi ke
Kahyangan Suralaya untuk ikut berperang membantu para dewa. Batara Narada senang
mendengarnya dan berharap Raden Permadi dapat segera menumpas para raksasa.
melawan Patih Sekiputantra dan tubuhnya terlempar jauh entah ke mana. Batara Guru
menjelaskan bahwa jago yang dapat mengalahkan Patih Sekiputantra sekaligus Prabu
Kalapracona bukanlah Raden Permadi, melainkan keponakannya yang baru saja terpisah
dari ari-arinya, yaitu Raden Tetuka.
Mendengar itu, Batara Narada segera mohon pamit berangkat menuju Kesatrian
Jodipati.
Demikianlah, Raden Tetuka kini telah tumbuh menjadi dewasa dalam waktu singkat.
Berbagai senjata pusaka yang dilempar para dewa tadi telah menyatu ke dalam tubuhnya,
membuat dirinya bertambah kuat serta perkasa.
Batara Guru menyambut kedatangan Raden Tetuka dan memberinya nama baru, yaitu
Raden Gatutkaca. Gatut berasal dari kata “gatot” yang artinya “ulet”, sedangkan kaca
maksudnya adalah “cermin”. Maka, nama Gatutkaca mengandung makna “manusia yang
ulet dan perkasa sebagai cermin teladan bagi kaum muda”.
Para dewa yang lain memuji keindahan nama baru Raden Tetuka. Mereka pun
bergantian memberikan restu kemenangan terhadap pemuda tersebut.
menyusul ke Suralaya karena tidak sabar ingin segera menikahi Batari Supraba. Melihat
pasukannya telah tertumpas, ia pun mengamuk merusak bangunan kahyangan.
DURYUDANA RABI
Kisah ini menceritakan perkawinan Prabuanom Jakapitana alias Prabu Duryudana,
pemimpin para Kurawa, dengan Dewi Banuwati, putri Prabu Salya.
Kisah ini saya olah dari rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo,
yang dipadukan dengan hasil diskusi dengan Ki Rudy Wiratama, yang mendapat
pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 Desember 2016
Heri Purwanto
itu sudah berlalu tujuh bulan. Sungguh janggal rasanya membuat batik yang tidak terlalu
lebar, tapi memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
Adipati Dretarastra prihatin atas nasib putranya yang tiga kali gagal menikah, dan
sekarang untuk yang keempat digantung sampai tujuh bulan. Kegagalan yang pertama ialah
saat melamar Dewi Drupadi, ternyata tidak mampu mengalahkan sayembara Arya
Gandamana. Yang kedua saat melamar Dewi Erawati, ternyata tidak mampu pula
memenangkan sayembara menemukan hilangnya sang putri. Adapun yang berhasil
memenangkannya adalah Wasi Jaladara yang kini bergelar Prabu Baladewa. Kegagalan
yang ketiga adalah saat melamar Dewi Srutikanti, ternyata si mempelai wanita diculik oleh
Raden Suryaputra yang kini menjadi Adipati Karna.
Mendengar namanya disinggung, Adipati Karna segera ikut bicara. Ia menyatakan
siap pergi ke Kerajaan Mandraka untuk meminta sang mertua, yaitu Prabu Salya agar
segera menetapkan hari pernikahan. Ia berjanji tidak akan pulang sebelum mendapat
kepastian dari Prabu Salya dan Dewi Banuwati.
Belum selesai Adipati Karna bicara, tiba-tiba datang putra bungsu Prabu Salya, yaitu
Raden Rukmarata yang membawa surat dari ayahnya. Prabuanom Jakapitana menerima
surat tersebut dan membaca isinya. Ternyata surat itu berisi bahwa, Prabu Salya telah
menentukan tanggal pernikahan, namun Dewi Banuwati mengajukan dua buah syarat.
Syarat yang pertama ialah Prabuanom Jakapitana harus menyediakan perias tampan tanpa
cacat untuk mendandani Dewi Banuwati, dan syarat yang kedua ialah kedua mempelai
harus diarak keliling ibu kota Mandraka dengan mengendarai seekor gajah putih yang
dikemudikan srati (pawang) wanita.
Prabuanom Jakapitana sangat kesal dan membanting surat tersebut ke lantai. Ia
marah-marah merasa telah dipermainkan. Sudah tujuh bulan menunggu jawaban ternyata
hasilnya dipersulit seperti ini. Adipati Dretarastra berusaha menyabarkan putra sulungnya
itu dan menasihati bahwa, menjadi seorang raja harus bisa mengendalikan amarah, apalagi
di hadapan tamu. Prabuanom Jakapitana harus bersikap selayaknya laki-laki sejati yang
pantang menolak permintaan calon istri, bukannya marah-marah seperti tadi.
Patih Sangkuni pun memungut surat tersebut dan mengatakan kepada Raden
Rukmarata bahwa Prabuanom Jakapitana menerima kedua syarat yang diajukan Dewi
Banuwati. Raden Rukmarata merasa ketakutan dan segera mohon pamit kembali ke
Mandraka untuk melaporkan hasil penugasannya kepada sang ayah.
Setelah Raden Rukmarata pergi, Adipati Karna segera maju menghibur Prabuanom
Jakapitana. Mengingat dulu dirinya bisa menikah dengan Dewi Srutikanti adalah berkat
keikhlasan hati Prabuanom Jakapitana, maka kini tiba saatnya ia harus membalas budi.
Adipati Karna menyatakan sanggup untuk mewujudkan kedua syarat tersebut. Menurut
pengamatannya, di dunia ini laki-laki tampan tanpa cacat yang mahir dalam seni merias
pengantin hanyalah adiknya, yaitu Raden Permadi (Arjuna). Untuk itu, ia berniat pergi ke
Kerajaan Amarta menjemput adiknya tersebut, kemudian pergi bersama mencari gajah
putih berpawang wanita.
Prabuanom Jakapitana bersyukur dan melepas kepergian Adipati Karna dengan
penuh pengharapan. Adipati Karna lalu berangkat dengan ditemani Patih Adimanggala.
terbangun dari tidurnya, gadis itu pun berterus terang kepada sang ayah, yaitu Resi
Sidikwacana, bahwa ia ingin mengabdi pada kesatria dalam mimpinya tersebut. Sungguh
beruntung, Raden Permadi tiba-tiba jatuh dari angkasa dalam keadaan pingsan. Rupanya
ia kalah perang melawan Patih Sekiputantra dan tubuhnya terlempar dari kahyangan. Resi
Sidikwacana pun merawat dan mengobati Raden Permadi sampai sembuh. Setelah sang
pangeran pulih kembali, Resi Sidikwacana berterus terang bahwa putrinya ingin mengabdi
kepada Raden Permadi.
Raden Permadi paham bahwa Endang Manuhara ingin menjadi istrinya. Ia mengakui
gadis tersebut memang sangat cantik dan menawan. Namun, Raden Permadi sejak kecil
sudah dijodohkan dengan sepupunya, yaitu Dewi Bratajaya, dan ia pun berterus terang soal
itu. Endang Manuhara tampak kecewa dan ia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang
gadis desa biasa, tentu tidak sebanding dengan Dewi Bratajaya yang putri raja. Raden
Permadi tidak sampai hati dan ia pun menerima Endang Manuhara sebagai istri, tetapi istri
paminggir, bukan istri padmi.
Endang Manuhara berterima kasih atas kesediaan Raden Permadi menerima dirinya.
Ia tidak keberatan menjadi istri paminggir asalkan tetap bisa melayani sang pangeran.
Sebagai istri paminggir, maka dirinya tidak akan diboyong ke Kerajaan Amarta, atau
tepatnya ke Kesatrian Madukara, tetapi tetap tinggal di padepokan bersama sang ayah.
Demikianlah, Raden Permadi dan Endang Manuhara kini telah resmi menjadi suami-
istri. Ketika mereka sedang duduk berdua, tiba-tiba datang Adipati Karna dan Patih
Adimanggala beserta para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Sungguh bahagia perasaan mereka yang telah bersusah payah mencari di mana
Padepokan Andongsumawi berada, akhirnya bisa bertemu juga.
Pertama-tama Adipati Karna meminta maaf atas kejadian di Hutan Jatirokeh sebulan
yang lalu, di mana ia bersikap picik tidak mau meminjamkan warangka Panah
Kuntadruwasa untuk memotong tali pusar Raden Tetuka. Raden Permadi menjawab hal itu
tidak perlu diungkit-ungkit lagi, karena yang penting saat ini sang keponakan sudah terpisah
dengan ari-arinya.
Adipati Karna lalu bercerita bahwa kedatangannya adalah untuk meminta bantuan
Raden Permadi memenuhi syarat yang diajukan Dewi Banuwati kepada Prabuanom
Jakapitana, yaitu menyediakan perias pengantin yang tampan tanpa cacat. Adipati Karna
memuji bahwa di dunia ini manusia tampan sempurna yang menguasai ilmu merias
pengantin hanyalah Raden Permadi seorang.
Raden Permadi gemetar mendengarnya. Dalam hati ia masih menyimpan rasa cinta
terhadap Dewi Banuwati, namun kini sang kekasih akan menikah dengan orang lain, yaitu
sepupunya sendiri. Raden Permadi merasa gelisah bercampur kesal, namun akhirnya ia
mengabulkan permintaan Adipati Karna. Ia merasa ini adalah kesempatan baginya untuk
bisa bertemu dengan Dewi Banuwati dan bertanya tentang isi hati sang putri.
Raden Permadi dan Adipati Karna lalu berpamitan kepada Resi Sidikwacana dan
Endang Manuhara untuk pergi mencari syarat kedua, yaitu gajah putih berpawang wanita.
Resi Sidikwacana berkata bahwa dirinya mempunyai kawan lama seorang gandarwa
wanita, bernama Nyai Clekutana yang tinggal di Hutan Pringgabaya. Nyai Clekutana ini
mempunyai seorang anak perempuan berwujud gandarwi pula, bernama Mirahdinebak.
Putrinya itulah yang memiliki piaraan seekor gajah putih, bernama Gajah Murdaningkung.
Resi Sidikwacana lalu menulis surat pengantar untuk diberikan kepada Nyai
Clekutana. Adipati Karna dengan senang hati menerima surat tersebut dan berterima kasih
atas bantuan sang pendeta. Ia dan Raden Permadi lalu mohon pamit menuju Hutan
Pringgabaya. Khusus kepada Endang Manuhara, Raden Permadi berjanji bahwa dirinya
KITAB WAYANG PURWA
akan datang lagi suatu saat nanti. Endang Manuhara berterima kasih dan melepas
kepergian suaminya itu dengan doa keberhasilan.
langsung menerima. Namun, Dewi Banuwati berusaha mengulur waktu dengan alasan ingin
menyelesaikan karyanya yang berupa kain rimong batik. Setiap kali kain tersebut hampir
selesai, Dewi Banuwati selalu merobek dan membuangnya, kemudian memulai lagi dari
awal. Demikianlah ia berusaha mengulur waktu. Sampai akhirnya, ia mendapat teguran dari
ayah dan ibu karena telah menggantung perasaan Prabuanom Jakapitana selama
berbulan-bulan.
Saat itu Dewi Banuwati teringat ayahnya pernah bercerita bahwa dewata menakdirkan
anak-anak Adipati Dretarastra menjadi musuh anak-anak Prabu Pandu. Suatu hari nanti
akan meletus sebuah perang besar bernama Perang Bratayuda di antara mereka.
Menyadari hal itu, Dewi Banuwati pun menyatakan bersedia menikah dengan Prabuanom
Jakapitana. Melalui pernikahan ini, ia dapat mengorek rahasia kelemahan Kurawa dan para
pelindungnya untuk disampaikan kepada Raden Permadi. Dewi Banuwati bersumpah ini
semua ia lakukan demi kemenangan para Pandawa, meskipun harus berkorban
menyerahkan tubuh kepada Prabuanom Jakapitana.
Raden Permadi terharu dan tak mampu menahan air mata. Dewi Banuwati lalu
menyerahkan kain rimong batik buatannya sebagai kenang-kenangan. Mereka berdua
menangis dan saling berpelukan erat. Masing-masing tak kuasa lagi menahan perasaan,
hingga sama-sama terlena oleh godaan nafsu birahi. Raden Permadi lalu menggendong
tubuh Dewi Banuwati dan menidurkannya di atas ranjang.
tentu masih perjaka. Dewi Banuwati pun menantang Prabuanom Jakapitana untuk sama-
sama bersumpah bahwa mereka masing-masing belum pernah melakukan zina, apakah
berani?
Prabuanom Jakapitana terdiam tidak berani menjawab karena dirinya memang sudah
tidak perjaka sejak bersetubuh dengan Mirahdinebak. Maka, ia lalu keluar kamar dan
mempersilakan Raden Permadi untuk melanjutkan merias Dewi Banuwati.
Sesampainya di luar, Prabuanom Jakapitana ditanyai Patih Sangkuni bagaimana
keadaan di dalam kamar. Prabuanom Jakapitana menjawab tidak terjadi apa-apa. Ia tidak
ingin mengganggu Dewi Banuwati lagi karena takut perkawinannya akan gagal seperti yang
sudah-sudah.
Duryudana ingin menghibur diri sendiri melalui nama barunya, karena ia sering kalah dalam
persaingan melawan para Pandawa.
Sementara itu, Mirahdinebak pamit pulang ke Hutan Pringgabaya tanpa disertai gajah
putih peliharaannya. Sesuai janjinya, ia pun menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk
selamanya menjadi milik Prabu Duryudana. Kini ia pulang sendiri dalam keadaan hamil,
mengandung benih Prabu Duryudana, akibat persetubuhan mereka beberapa waktu yang
lalu.
Dewi Banuwati
CATATAN : Kisah perkawinan Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati dalam Serat Pustakaraja Purwa karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi bersamaan dengan perkawinan Adipati Karna dan Dewi
Srutikanti, yaitu pada tahun Suryasengakala 694 yang ditandai dengan sengkalan “Muka
angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan sengkalan “Janma
kaswareng barakan”. Adapun dalam pedalangan, kedua kisah tersebut tidak terjadi dalam waktu
yang sama.
KITAB WAYANG PURWA
JAYADRATA RABI
Kisah ini menceritakan perkawinan Adipati Jayadrata dengan Dewi Dursilawati, satu-
satunya anggota Kurawa yang perempuan. Kelak Adipati Jayadrata akan menjadi
sekutu penting Prabu Duryudana dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 24 Desember 2016
Heri Purwanto
Adipati Jayadrata
yang bertapa ingin memiliki putra. Demikianlah, Adipati Jayadrata sesungguhnya berasal
dari selaput pembungkus Arya Wrekodara tersebut.
Mendengar penjelasan dari Batara Narada, Arya Wrekodara pun berpelukan dengan
Adipati Jayadrata dan meminta maaf karena tadi telah menghajarnya. Batara Narada lalu
mengatakan bahwa Adipati Jayadrata jangan lagi menginginkan Dewi Drupadi, karena sang
dewi bukanlah jodohnya. Adapun jodoh Adipati Jayadrata yang sebenarnya adalah satu-
satunya putri dalam keluarga Kurawa, yaitu Dewi Dursilawati. Untuk itu, Adipati Jayadrata
dipersilakan pergi ke Kerajaan Hastina jika ingin memiliki istri, bukannya menyerang
Kerajaan Amarta.
Adipati Jayadrata berterima kasih atas petunjuk yang diberikan Batara Narada. Ia pun
meminta maaf kepada Prabu Puntadewa dan yang lain, kemudian undur diri meninggalkan
Kerajaan Amarta. Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Kresna mengajak Arya
Wrekodara pergi mencari hilangnya Raden Permadi. Prabu Puntadewa pun melepas
kepergian mereka dengan harapan semoga sang adik bisa segera ditemukan.
Dewi Dursilawati
CATATAN : Kisah perkawinan Adipati Jayadrata dan Dewi Dursilawati dalam Serat Pustakaraja Purwa
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun Suryasengakala 695 yang ditandai
dengan sengkalan “Yaksa Rudra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 716 yang ditandai
dengan sengkalan “Angrasa tunggal wangsa”.
KITAB WAYANG PURWA
DEWA RUCI
Kisah ini menceritakan perjalanan Arya Wrekodara dalam mencari air kehidupan Tirta
Pawitrasari Mahening Suci atas perintah Resi Druna, hingga akhirnya ia bisa bertemu
dan berguru kepada jati dirinya sendiri, yaitu Dewa Ruci di tengah Samudera
Minangkalbu.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Babad Ila-ila, yang dipadukan dengan rekaman
pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dan juga Ki Manteb
Soedharsono, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 31 Desember 2016
Heri Purwanto
sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa) di Gunung
Rewataka.
Kini akibat mimpi buruk tersebut, Prabu Duryudana kembali membenci Arya
Wrekodara. Ia sangat takut mimpinya menjadi kenyataan. Ia khawatir ramalan tentang
Perang Bratayuda benar-benar terjadi, dan Arya Wrekodara pun membunuh Arya
Dursasana sesuai kutukan Resi Mitreya.
Untuk itu, Prabu Duryudana berniat meminta Resi Druna agar membunuh Arya
Wrekodara. Bagaimanapun juga Resi Druna adalah guru para Pandawa dan Kurawa,
sehingga sudah pasti memahami kelemahan setiap murid-muridnya.
Resi Druna terkejut mendapat perintah demikian. Ia merasa keberatan karena dirinya
adalah pendeta, bukan algojo pencabut nyawa. Dirinya juga seorang guru, bukan jagal
manusia. Apalagi membunuh Arya Wrekodara yang merupakan murid sendiri, jelas itu tidak
mungkin.
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia mengingatkan dahulu kala Resi Druna bisa
mendapatkan pangkat dan derajat, serta segala kemewahan hidup dari Adipati Dretarastra.
Hingga Resi Druna pun pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan
Hastina dan mematuhi segala perintah yang diberikan raja Hastina. Saat ini yang duduk di
atas takhta adalah Prabu Duryudana, putra Adipati Dretarastra, tentunya sumpah yang dulu
diucapkan tetap berlaku. Apalagi Prabu Duryudana jauh lebih dermawan daripada ayahnya.
Prabu Duryudana telah mengucurkan dana besar-besaran untuk pembangunan Padepokan
Sokalima menjadi lebih megah dan lebih besar. Prabu Duryudana juga mendirikan dan
memimpin sebuah yayasan untuk lebih mengembangkan Padepokan Sokalima. Kini Resi
Druna memiliki banyak sekali murid golongan raja dan pangeran yang berasal dari berbagai
kerajaan, itu pun berkat pemasaran gencar yang dilakukan para Kurawa.
Resi Druna mengakui dirinya kini telah menjadi orang terpandang yang kaya raya dan
berkedudukan tinggi, itu semua berkat sokongan Prabu Duryudana. Ia pun bersumpah akan
selalu setia kepada Kerajaan Hastina dan tidak akan pernah mengkhianati Prabu
Duryudana. Meskipun dulu Prabu Duryudana adalah muridnya, tetapi kini telah menjadi raja
yang harus ia sembah. Akan tetapi, perintah untuk membunuh Arya Wrekodara tetap saja
Resi Druna berat hati untuk melakukannya.
Patih Sangkuni mengatakan, Resi Druna tidak perlu membunuh secara langsung,
melainkan cukup menjerumuskan Arya Wrekodara saja. Sebagai guru tentunya ada banyak
cara untuk memerintahkan muridnya melakukan sesuatu, dan si murid pasti akan
mewujudkannya meskipun itu sangat berbahaya.
Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Ia ingin memahami dan bukan sekadar
mengetahui tentang hidup ini dari mana, untuk apa, dan setelah berakhir hendak ke mana.
Resi Druna yang saat itu sedang sakit hati karena Raden Premadi berguru kepada
Resi Mitreya langsung menjawab sanggup mengajari Arya Wrekodara, tetapi tidak di hari
itu. Kelak apabila Arya Wrekodara sudah siap lahir batin, maka ia boleh datang ke
Padepokan Sokalima untuk mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi tersebut. Arya
Wrekodara merasa senang dan berjanji dirinya pasti akan segera datang.
Demikianlah Resi Druna mengakhiri ceritanya. Ia pun berniat memanfaatkan Arya
Wrekodara yang ingin berguru untuk menjerumuskan Pandawa nomor dua tersebut.
Sungguh kebetulan, tidak lama kemudian Arya Wrekodara benar-benar datang di istana
Hastina.
Prabu Duryudana menyambut ramah kedatangan adik sepupunya itu dan bertanya
ada keperluan apa tiba-tiba datang ke Kerajaan Hastina. Arya Wrekodara menjawab bahwa
sesungguhnya ia telah pergi ke Padepokan Sokalima untuk menemui Resi Druna. Akan
tetapi, menurut para janggan dan cantrik di sana, Resi Druna telah pergi ke Kerajaan
Hastina untuk mengunjungi Prabu Duryudana. Arya Wrekodara merasa tidak sabar
menunggu sang guru pulang, dan memutuskan untuk pergi menyusul.
Kini Arya Wrekodara telah bertemu Resi Druna dan menyatakan dirinya telah siap lahir
batin menerima pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari sang guru. Resi Druna
menjawab dirinya bersedia memberikan wejangan di Padepokan Sokalima, tetapi Arya
Wrekodara harus lebih dulu membuktikan kesiapannya. Untuk menerima ilmu Sangkan
Paraning Dumadi, Arya Wrekodara harus dapat memenuhi syarat-syaratnya, yaitu
menyerahkan Kayu Gung Susuhing Angin terlebih dahulu. Kayu ajaib ini konon hanya
tumbuh di puncak Gunung Candramuka, tepatnya di dalam Gua Sigrangga.
Arya Wrekodara menjawab sanggup. Ia pun mohon pamit pergi mencari kayu tersebut.
Prabu Duryudana pura-pura merasa berat hati melepas kepergian sepupunya itu. Ia
memeluk Arya Wrekodara dan memberikan restu kepadanya semoga berhasil. Ia juga
menawarkan bala bantuan sebagai pengawal. Namun, Arya Wrekodara menolak itu semua
karena ini adalah urusan pribadinya dan ia tidak ingin merepotkan orang lain. Setelah
berkata demikian, Arya Wrekodara pun berangkat meninggalkan Kerajaan Hastina.
Setelah Arya Wrekodara pergi, Patih Sangkuni bertanya kepada Resi Druna mengapa
menyuruhnya pergi ke Gunung Candramuka. Resi Druna menjawab bahwa Kayu Gung
Susuhing Angin itu sesungguhnya tidak ada. Semua ini hanyalah akal-akalan dirinya saja.
Ia pernah mendengar kabar, bahwa Gunung Candramuka adalah tempat yang angker
mengerikan. Di sana terdapat Gua Sigrangga yang dihuni sepasang raksasa bengis, yang
gemar memangsa daging manusia. Kedua raksasa itu konon sangat perkasa dan juga
kejam. Jika Arya Wrekodara pergi ke sana dan bertemu dengan kedua raksasa tersebut,
maka itu sama artinya dengan mengantar nyawa.
Patih Sangkuni gembira mendengarnya. Ia bertanya apakah Arya Wrekodara pasti
mati jika berhadapan dengan kedua raksasa itu? Resi Druna menjawab belum tentu. Lahir
atau mati adalah suratan takdir, bukan dirinya yang menentukan. Manusia hanya bisa
merencanakan, dan semua hasilnya terserah Yang Mahakuasa. Yang jelas, ia sudah
menjalankan tugas untuk menjerumuskan Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Prabu Duryudana merasa bimbang. Ia lalu memerintahkan Raden
Kartawarma untuk mengawasi Arya Wrekodara dari kejauhan. Apabila Arya Wrekodara
tidak tewas melawan kedua raksasa itu, maka Raden Kartawarma harus cepat-cepat pulang
untuk melapor, agar Resi Druna dapat segera menyiapkan rencana kedua. Raden
Kartawarma menyanggupi dan segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.
KITAB WAYANG PURWA
yang diberikan Resi Druna bukanlah kebohongan, melainkan sebuah teka-teki. Kayu Gung
Susuhing Angin bukan berwujud benda, tetapi berwujud pelajaran. Gunung Candramuka,
Gua Sigrangga, Ditya Rukmuka, Ditya Rukmakala, Batara Indra, dan Batara Bayu,
semuanya mengandung hikmah pelajaran. Mengenai makna dari pelajaran tersebut kelak
Arya Wrekodara akan menemukannya sendiri, apabila bersungguh-sungguh. Untuk itu, jika
Resi Druna memberikan tugas selanjutnya, maka jangan sampai Arya Wrekodara
menolaknya.
Arya Wrekodara pun menyanggupi saran Batara Bayu tersebut. Sebagai ungkapan
terima kasih, Batara Indra pun memberikan hadiah berupa Cincin Druwenda Mustika Manik
Candrama. Khasiat dari cincin tersebut adalah bisa melindungi keselamatan Arya
Wrekodara apabila tercebur di dalam air. Arya Wrekodara menerima hadiah tersebut
dengan rendah hati dan mengenakannya di jari. Setelah dirasa cukup, Batara Bayu dan
Batara Indra undur diri kembali ke kahyangan.
menyanggupi. Raden Permadi menanggapi bahwa ia yakin Resi Druna pasti telah didesak
Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan sang kakak kedua. Prabu
Puntadewa membenarkan hal itu. Ia pun mengingatkan bahwa dulu Prabu Duryudana
semasa muda dibantu Patih Sangkuni pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap
para Pandawa beserta Dewi Kunti dalam peristiwa Balai Sigalagala.
Arya Wrekodara berkata bahwa dulu Prabu Puntadewa pernah berpesan agar jangan
lagi mengungkit-ungkit soal Balai Sigalagala, tapi mengapa sekarang justru melanggarnya
perkataannya sendiri? Apalagi ketika Prabu Duryudana dan Arya Wrekodara sama-sama
berguru kepada Wasi Jaladara, saat itu Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan
mengumumkan bahwa Prabu Duryudana (saat itu masih bernama Raden Kurupati) telah
bertobat dan ingin memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Untuk itu, para Pandawa
tidak boleh lagi menganggap Kurawa sebagai musuh. Sungguh mengherankan, mengapa
sekarang tiba-tiba Prabu Puntadewa menaruh prasangka buruk, menduga Prabu
Duryudana pasti telah mendesak Resi Druna untuk mencelakakan dirinya?
Dewi Kunti sangat sedih karena Arya Wrekodara tetap bersikeras ingin pergi
mencebur samudera. Karena terlalu sedih, wanita itu pun jatuh pingsan. Sang menantu,
Dewi Drupadi segera memapah tubuhnya masuk ke dalam kedaton.
Raden Nakula dan Raden Sadewa ganti ikut bicara. Mereka memeluk lengan Arya
Wrekodara kiri dan kanan, meminta agar sang kakak kedua jangan pergi. Mereka menangis
meratapi nasib sebagai anak yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati ayah dan ibu.
Mereka menganggap Arya Wrekodara adalah pelindung mereka selama ini. Arya
Wrekodara tidak hanya berperan sebagai ayah, tapi juga berperan sebagai ibu bagi mereka.
Dulu saat kecil, Arya Wrekodara sering menggendong keduanya ke sana kemari. Juga
apabila tidak ada sang kakak kedua, mungkin mereka sudah mati dilalap kobaran api dalam
peristiawa Balai Sigalagala. Raden Nakula dan Raden Sadewa menganggap Arya
Wrekodara sudah seperti pengganti orang tua bagi mereka.
Arya Wrekodara merasa bimbang untuk melangkah. Namun, kuatnya niat untuk
mengetahui seluk-beluk ilmu Sangkan Paraning Dumadi membuatnya menjadi nekat. Ia pun
mengibaskan tangan si kembar, lalu mengangkat tubuh Prabu Puntadewa. Ia berkata
dirinya bersifat kaku, tidak bisa membungkuk atau berjongkok. Untuk itu, ia pun menjunjung
tubuh si kakak sulung dan meminta restu kepadanya. Jika niatnya tulus dan suci, ia meminta
restu supaya berhasil meraih cita-cita. Namun, jika niatnya bengkok, maka relakanlah
dirinya tewas tenggelam atau mati dimangsa ikan hiu.
Prabu Puntadewa melihat semangat adiknya begitu kokoh. Ia pun merestui Arya
Wrekodara semoga berhasil meraih cita-cita. Arya Wrekodara lalu menurunkan sang kakak
sulung kemudian mohon pamit berangkat menuju Samudera Minangkalbu. Para Pandawa
yang lain melepas kepergiannya dengan isak tangis. Prabu Puntadewa pun mengajak
mereka masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk berdoa bersama kepada Yang
Mahakuasa, memohon yang terbaik untuk saudara mereka nomor dua tersebut.
kembali. Apa gunanya berguru kepada Resi Druna? Resi Druna itu guru ilmu perang, bukan
guru ilmu kebatinan. Jika Arya Wrekodara ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi
sebaiknya bertanya kepada Bagawan Abyasa atau Resiwara Bisma. Mereka berdua jauh
lebih paham daripada Resi Druna. Apalagi Resi Druna terkenal sebagai pendeta mata
duitan yang hidupnya melacurkan diri kepada Prabu Duryudana, muridnya sendiri yang
kaya raya.
Arya Wrekodara merasa kecewa dua hal kepada Resi Anoman. Kecewa yang pertama
ialah Resi Anoman telah menghina gurunya yang sangat ia hormati. Resi Anoman terlalu
menilai orang dari luarnya saja. Yang kedua, Resi Anoman sebagai seorang pendeta
ternyata pikirannya belum tenang, hatinya belum hening, masih suka membanding-
bandingkan antara orang yang satu dengan lainnya. Harusnya seorang pendeta itu lebih
teduh pandangannya, lebih arif pikirannya, dan lebih luhur budi pekertinya. Menghakimi
Resi Druna suka melacurkan diri jelas karena didorong perasaan amarah semata, bukan
hasil dari pemikiran bijaksana dilandasi hati yang jernih.
Resi Anoman tersinggung atas ucapan adiknya. Ia pun menyerang Arya Wrekodara
untuk memaksanya kembali. Arya Wrekodara menghadapi serangan itu. Keduanya lalu
berkelahi. Arya Wrekodara berpikir jika dirinya melayani sang kakak angkat, maka cita-
citanya pasti akan tertunda. Maka, dengan cekatan Arya Wrekodara pun berhasil
meloloskan diri dari pertarungan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Samudera
Minangkalbu.
Resi Anoman tersenyum melihat kepergian adiknya. Ia berkata dirinya tadi hanyalah
ingin mencoba keteguhan tekad Arya Wrekodara saja. Melihat semangat yang kuat serta
niat yang lurus dari adiknya tersebut, ia pun berdoa semoga Arya Wrekodara mendapat
keberhasilan meraih cita-cita dan selalu dilindungi Tuhan Yang Mahakuasa.
sempat menangkap dan menusuk mulut tersebut menggunakan Kuku Pancanaka. Naga itu
pun mati dan bangkainya musnah dari pandangan.
menyebutnya sebagai hati nurani, sedangkan kaum negeri seberang menyebutnya sebagai
malaikat penjaga. Orang-orang yang menuruti hawa nafsu dalam menjalani kehidupan
disebut sebagai kaum angkara murka, yaitu orang-orang yang tidak mau mendengar suara
hati nurani. Mereka lebih suka mengumbar keinginan apa yang terlihat oleh panca indra.
Kaum seberang lautan menyebutnya dengan istilah godaan setan.
Selanjutnya, Arya Wrekodara mencebur ke tengah laut dan diserang seekor naga.
Sesungguhnya naga tadi bernama Naga Nemburnawa, yang merupakan kiasan dari hawa
nafsu pribadi manusia. Hawa nafsu sifatnya seperti ular yang mengikat dan membelit jiwa
manusia agar mengikuti kemauannya. Manusia yang menuruti hawa nafsu diibaratkan
seperti dibelit, diseret, dan dicaplok ular kepalanya. Itulah sebabnya legenda di Timur
Tengah mengisahkan iblis mengambil wujud ular saat menggoda Adam dan Hawa agar
melakukan dosa pertama. Bukan berarti ular adalah lambang keburukan, tetapi ular adalah
lambang nafsu yang mematuk dan membelit manusia.
Nemburnawa artinya sembilan lubang. Sembilan lubang inilah yang hendaknya dijaga
dengan baik oleh manusia agar tidak semakin terjerumus ke dalam lembah nafsu
keduniawian. Kesembilan lubang tersebut adalah dua mata, dua telinga, dua hidung, satu
mulut, satu kemaluan, dan satu pembuangan. Dalam peristiwa tadi Arya Wrekodara berhasil
mengalahkan Naga Nemburnawa menggunakan Kuku Pancanaka, ini merupakan
perlambang seorang manusia yang telah mengheningkan cipta, menggenggam tekad,
berhasil membebaskan dirinya dari belitan hawa nafsu.
Selanjutnya, Arya Wrekodara terombang-ambing digulung ombak. Tanpa melawan ia
berserah diri. Demikianlah hendaknya manusia. Setelah mampu memerangi hawa nafsu,
hendaknya bersikap rendah hati di hadapan sesama makhluk, dan berserah diri di hadapan
Sang Pencipta. Adakalanya seseorang merasa bangga setelah berhasil menundukkan
nafsunya. Tanpa ia sadari bahwa perasaan bangga itu justru membuatnya terbelit oleh
nafsu yang lain.
Manusia yang sempurna justru yang bersikap rendah hati di hadapan sesama, dan
berserah diri di hadapan Sang Pencipta. Kemudian tubuh Arya Wrekodara yang terombang-
ambing digulung ombak tetapi tidak tenggelam adalah perlambang manusia yang tetap
tenang menghadapi pasang surut kehidupan, tetapi tidak sampai tenggelam, baik itu di
dalam suka ataupun duka.
menyilaukan. Tidak ada matahari, tidak ada rembulan, juga tidak ada pelita. Hawa di sana
pun tidak panas, juga tidak dingin. Benar-benar menentramkan hati.
Terdengar kemudian suara Dewa Ruci membimbing Arya Wrekodara. Mula-mula Arya
Wrekodara melihat pemandangan samudera luas tanpa tepi. Dewa Ruci pun berkata bahwa
itu adalah gambaran “wahananing tyas pribadi”. Itulah wujud perlambang luasnya kalbu
manusia. Namun, karena manusia lebih menuruti hawa nafsu, mereka pun banyak yang
berpikiran sempit, atau istilahnya berhati kecil.
Arya Wrekodara kemudian melihat pemandangan cahaya samar-samar. Dewa Ruci
menjelaskan bahwa itu adalah Pancamaya yang merupakan “wahananing jantung” atau
sejatinya kalbu. Sifatnya sebagai pemuka, bersemayam di dalam cipta, dan mengendalikan
indra penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, dan peraba.
Arya Wrekodara lalu melihat cahaya empat macam, yaitu hitam, merah, kuning, dan
putih. Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing budi”, yang mewujudkan nafsu empat
perkara. Cahaya hitam adalah kiasan untuk nafsu badaniah, yaitu membuat manusia
merasa lapar, dahaga, letih, dan mengantuk. Cahaya merah adalah nafsu angkara,
membuat manusia ingin meraih cita-cita derajat lebih tinggi. Cahaya kuning adalah kiasan
nafsu keinginan. Nafsu ini mendorong manusia untuk meraih kegembiraan, baik itu melalui
birahi, maupun melalui kegemaran mengumpulkan barang kesukaan, ataupun menikmati
hiburan lainnya. Cahaya putih adalah perlambang nafsu pemujaan. Nafsu ini mendorong
manusia untuk ingin berbuat baik, ataupun ingin bersembahyang dan beribadah. Keempat
nafsu tersebut ibaratnya menjadi bahan bakar bagi manusia, tetapi harus dikendalikan
dengan baik dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi
racun bagi kehidupan.
Arya Wrekodara kemudian melihat cahaya yang menyala seperti api, namun
memancarkan sinar tujuh warna, yaitu hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, dan jingga.
Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing Pangeran” atau “cahyaning pramana”.
Kedelapan sinar itu merupakan perlambang dari kuasa penciptaan. Sinar hitam
menunjukkan “nisthaning cipta”, sinar merah menunjukkan “dhustaning cipta”, sinar kuning
menunjukkan “doraning cipta”, sinar putih menunjukkan “setyaning cipta”, sinar hijau
menunjukkan “sentosaning cipta”, sinar biru menunjukkan “sembadaning cipta”, dan sinar
jingga menunjukkan “owah-gingsiring cipta”.
Arya Wrekodara lalu melihat wujud seperti tawon gumana, jernih cahayanya. Dewa
Ruci menjelaskan itu adalah perlambang “pramananing sukma”, meliputi jagad besar dan
jagad kecil, yang sumber kehidupannya dari “pramananing rasa”.
Arya Wrekodara kemudian melihat wujud seperti boneka gading yang jika diamati
seperti bertahtakan mutiara. Wujudnya bersinar terang benderang. Dewa Ruci menyebut
itulah yang dinamakan “pramananing rahsa” yang berkuasa atas “purba wasesa” terhadap
alam seisinya, mendapat hidup dari Sang Hyang Atma.
Terakhir Arya Wrekodara melihat wujud sifat tunggal, bukan laki-laki juga bukan
perempuan. Tidak bertempat juga tidak bertakhta. Tanpa rupa dan tanpa warna. Cahayanya
gilang-gemilang tanpa bayangan. Dewa Ruci menyebut itu adalah “Atma Gaib, Sipat Sejati”.
Dialah yang kuasa mengatur alam semesta, bertempat di dalam “Sang Urip”.
Arya Wrekodara merasa nyaman tinggal di dalam diri Sang Dewa Ruci. Ingin rasanya
ia selamanya tinggal di sana. Dewa Ruci berkata bahwa belum saatnya Arya Wrekodara
menyatu dengan diri-Nya. Masih banyak yang harus ia lakukan di alam nyata. Untuk itu,
Arya Wrekodara harus kembali ke dunia untuk menyebarkan kasih sayang di antara sesama
makhluk, tanpa melihat perbedaan dari jenis apa, suku apa, bangsa apa, agama apa,
ataupun golongan apa pun juga.
KITAB WAYANG PURWA
Arya Wrekodara menurut. Ia pun keluar melalui telinga kanan Dewa Ruci. Sungguh
ajaib, saat keluar rambutnya telah digelung, tidak lagi terurai seperti tadi. Dewa Ruci kini
juga berwujud sama persis seperti dirinya, karena Dewa Ruci memang perwujudan jati
dirinya sendiri.
Dewa Ruci menjelaskan mengapa kini Arya Wrekodara memakai gelung minangkara,
adalah perlambang agar ia selalu rendah hati dan berserah diri. Gelung minangkara
berwujud rendah di depan, tinggi di belakang, atau kecil di depan, besar di belakang.
Meskipun Arya Wrekodara telah mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi, pernah
merasakan Manunggaling Kawula Gusti, namun hendaknya tetap rendah hati, tidak
menunjukkan keberhasilannya di depan umum. Arya Wrekodara tidak boleh tinggi hati, juga
tidak boleh pamer kepandaian. Hendaknya Arya Wrekodara tetap menjadi manusia sejati,
yaitu rendah hati di hadapan sesama, dan berserah diri di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah, Dewa Ruci telah menjelaskan semuanya. Ia berpesan agar Arya
Wrekodara selalu menghormati Resi Druna yang merupakan gurunya di alam nyata. Tanpa
perintah dari Resi Druna, tidak mungkin Arya Wrekodara dapat bertemu dengan Dewa Ruci.
Usai berkata demikian, ia pun menghilang menjadi seberkas cahaya dan masuk ke dalam
diri Arya Wrekodara.
BIMA RACUN
Kisah ini menceritakan Prabu Duryudana menjamu Arya Wrekodara dengan hidangan
beracun. Namun, Arya Wrekodara bukannya mati tetapi justru meningkat pesat
kekuatannya, yaitu setara dengan seratus gajah.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, yang dipadukan
dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 09 Januari 2017
Heri Purwanto
Bondan Paksajandu
muda) di Gunung Rewataka, sejak itulah Prabu Duryudana ingin melupakan permusuhan
dengan Arya Wrekodara.
Prabu Duryudana lalu mengajak Arya Wrekodara segera berangkat menuju
Pesanggrahan Pramanakoti. Prabu Duryudana lebih dulu meminta Arya Wrekodara agar
meninggalkan pusakanya, yaitu Gada Rujakpolo di istana Hastina saja, karena tidak pantas
rasanya jika pergi ke acara perjamuan sambil membawa senjata. Arya Wrekodara setuju
karena Prabu Duryudana dan para Kurawa lainnya juga tidak ada yang membawa senjata.
Maka, ia pun menyandarkan Gada Rujakpolo di bawah pohon beringin yang berdiri di
tengah alun alun Kerajaan Hastina.
Prabu Duryudana setuju. Namun, ia teringat bahwa Arya Wrekodara tidak dapat
tenggelam saat kemarin mencebur ke dalam Samudera Minangkalbu. Oleh sebab itu, Prabu
Duryudana pun memerintahkan para Kurawa agar mengikat tangan dan kaki Arya
Wrekodara serta memberinya pemberat berupa bandul-bandul bebatuan. Dengan
demikian, tubuh Arya Wrekodara pasti tenggelam dan tidak mengambang di air sumur.
Demikianlah, perintah Prabu Duryudana pun dilaksanakan. Arya Dursasana beserta
adik-adiknya menggotong tubuh Arya Wrekodara yang sudah diikat dan dipasangi batu
pemberat. Tubuh tinggi besar itu lalu dilemparkan masuk ke dalam Sumur Jalatunda yang
sangat dalam tiada tara.
Basuki, karena cerita yang pernah ia dengar mengatakan bahwa Batara Basuki telah
menitis kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura.
Batara Basuki menjelaskan bahwa dirinya telah meninggalkan tubuh Prabu Baladewa
untuk sementara waktu karena mendapat tugas dari Batara Guru agar menyerahkan
anugerah pusaka kepada Arya Wrekodara. Pusaka tersebut berwujud air kekuatan,
bernama Tirta Manik Rasakunda. Pusaka ini disimpan oleh Batara Basuki sehingga dewa
lain tidak berhak untuk menyerahkannya. Barangsiapa mampu menghabiskan air tersebut
dalam satu kendi tanpa sisa, maka kekuatannya akan meningkat menjadi setara dengan
sepuluh ekor gajah.
Batara Basuki lalu menyerahkan satu kendi kepada Arya Wrekodara. Dengan tenang
Arya Wrekodara menerima kendi itu dan meneguk isinya sampai habis. Batara Basuki
merasa kagum bercampur senang. Ia pun menyerahkan kendi kedua yang isinya langsung
habis pula ditenggak oleh Arya Wrekodara. Begitu pula kendi ketiga, keempat, hingga
akhirnya kendi kesepuluh pun isinya habis semua, masuk ke dalam perut Arya Wrekodara.
Batara Basuki kagum atas kemampuan Arya Wrekodara meneguk habis Tirta Manik
Rasakunda sampai sepuluh kendi berturut-turut. Padahal, air pusaka ini rasanya sangat
pahit melebihi jamu yang paling pahit. Kini air di dalam sepuluh kendi itu telah berpindah ke
dalam perut Arya Wrekodara. Itu artinya, kekuatan Sang Panenggak Pandawa telah
meningkat setara dengan seratus ekor gajah. Batara Basuki pun menasihati Arya
Wrekodara agar selalu menjaga diri dalam kebenaran, dan tidak menggunakan
kekuatannya untuk berbuat jahat.
bukan ditentukan oleh hafalan ilmu, tetapi ditentukan oleh apakah ilmu tersebut sudah
diamalkan dengan cara yang benar.
Arya Wrekodara memahami perkataan Batara Basuki, bahwa menguasai ilmu tertinggi
tidak menjamin keselamatannya. Pepatah mengatakan, “ngelmu iku kelakone kanthi laku”,
atau “ilmu itu dapat berguna apabila diamalkan”. Selain itu, memiliki ilmu setinggi langit saja
tidak cukup, melainkan harus tetap disertai watak “eling lan waspada” di setiap saat. Dengan
demikian, barulah Arya Wrekodara dapat meraih keselamatan yang sejati, bukan
keselamatan yang sifatnya semu.
Setelah semuanya jelas, Arya Wrekodara pun berniat kembali ke permukaan untuk
membalas dendam kepada Prabu Duryudana dan para Kurawa. Batara Basuki berkata
bahwa membalas dendam hanya akan melahirkan masalah baru. Hidup itu bukan soal
balas-membalas, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk tetap tegar
meskipun dihantam permasalahan. Oleh sebab itu, Batara Basuki menyarankan agar Arya
Wrekodara “memberi pelajaran” kepada para Kurawa, bukannya “membalas dendam”.
Membalas dendam dengan memberi pelajaran adalah dua hal yang berbeda. Membalas
dendam bertujuan untuk menyakiti, sedangkan memberi pelajaran bertujuan untuk
membangkitkan pemahaman agar si pelaku tidak mengulangi dosa-dosanya.
Arya Wrekodara bertanya bagaimana caranya memberikan pelajaran untuk para
Kurawa. Batara Basuki tidak menjawab, melainkan membelit tubuh kesatria gagah itu
dengan kencang sambil mengerahkan kesaktiannya. Sungguh ajaib, begitu Batara Basuki
membuka belitannya, tubuh Arya Wrekodara kini berubah menjadi seorang anak kecil.
Melalui tubuh kecil inilah hendaknya ia memberikan pelajaran kepada Prabu Duryudana
dan adik-adiknya.
Arya Wrekodara bertanya mengapa dirinya harus diubah dalam wujud anak kecil jika
hanya untuk memberi pelajaran kepada para Kurawa. Batara Basuki menjawab dengan
wujud tersebut Arya Wrekodara tidak akan dikenali dan ia dapat masuk ke wilayah Kerajaan
Hastina tanpa menimbulkan kecurigaan. Selain itu, anak kecil adalah perlambang
kepolosan, perlambang kejujuran. Prabu Duryudana yang bersifat serakah, munafik, dan
penuh kepalsuan akan lebih malu jika dikalahkan seorang anak kecil.
Arya Wrekodara dapat memahami. Batara Basuki pun memberikan nama samaran
untuknya, yaitu Bondan Paksajandu. Setelah dirasa cukup, Batara Basuki dan Arya
Wrekodara bersama-sama naik ke atas permukaan sumur. Batara Basuki menuju Kerajaan
Mandura untuk kembali menyatu dengan Prabu Baladewa, sedangkan Arya Wrekodara
alias Bondan Paksajandu menuju Kerajaan Hastina untuk memberi pelajaran kepada para
Kurawa.
Pandawa. Dewi Dursilawati gembira bertemu dengan sepupunya itu, namun ia dilarang
bersuara keras. Raden Permadi sengaja menyamar sebagai Jaka Dulit adalah untuk
mencari hiangnya sang kakak kedua, yaitu Arya Wrekodara.
Raden Permadi mendengar kabar bahwa, Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati
dijemput oleh Raden Kartawarma yang membawa undangan dari Prabu Duryudana untuk
pesta bersama. Raden Permadi merasa curiga dan berangkat menyusul ke Kerajaan
Hastina untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi. Ia merasa aneh karena tumben Prabu
Duryudana mengundang kakaknya untuk berpesta. Karena takut menimbulkan kecurigaan,
Raden Permadi pun menyamar sebagai penjual kapur sirih bernama Jaka Dulit, sedangkan
para panakawan menjadi pembantunya. Sungguh kebetulan Dewi Dursilawati pergi
berbelanja di pasar, sehingga Raden Permadi bisa mencari keterangan darinya.
Dewi Dursilawati yang berwatak polos dan jujur pun berterus terang bahwa dirinya
sempat mendengar dari sang suami bahwa Prabu Duryudana telah mengundang Arya
Wrekodara untuk dijamu dengan makanan dan minuman serbalezat di Pesanggrahan
Pramanakoti. Namun, kemudian Arya Wrekodara jatuh pingsan dan digotong entah ke
mana. Hanya itu saja yang diketahui Dewi Dursilawati.
Tiba-tiba Adipati Jayadrata melabrak masuk. Ia menuduh Jaka Dulit sedang merayu
istrinya. Dewi Dursilawati menjelaskan bahwa mereka berdua hanya bercakap-cakap saja.
Adipati Jayadrata tetap tidak terima karena istrinya bercakap-cakap dengan pria tak dikenal.
Dewi Dursilawati hampir saja mengatakan jati diri Jaka Dulit adalah Raden Permadi, namun
Jaka Dulit buru-buru menarik lengannya.
Adipati Jayadrata bertambah marah dan menyerang Jaka Dulit. Keduanya lalu
bertarung seru di luar lapak. Jaka Dulit unggul dan dapat mengalahkan lawan. Adipati
Jayadrata merasa malu dan ia pun bergegas pulang ke istana dengan menggandeng Dewi
Dursilawati.
Kedua dewa tersebut menemui Bondan Paksajandu dan mereka mengetahui kalau
anak kecil tersebut adalah penjelmaan Arya Wrekodara setelah mereka saling bertarung.
Bondan Paksajandu bertanya mengapa mereka berubah wujud menjadi raksasa, apakah
terkena kutukan lagi seperti dulu saat menjadi Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala. Batara
Indra dan Batara Bayu menjawab tidak demikian. Dulu mereka menjadi raksasa karena
melakukan kesalahan di kahyangan sehingga dikutuk oleh Batara Guru. Kali ini mereka
menjadi raksasa atas kemauan sendiri, yaitu didorong rasa prihatin melihat Prabu
Duryudana meracuni Arya Wrekodara serta ingin menguasai Gada Rujakpolo.
Batara Bayu dan Batara Indra berpesan agar Bondan Paksajandu berhati-hati dan
selalu menjaga kewaspadaan. Usai berkata demikian, mereka pun undur diri kembali ke
kahyangan.
berubah besar dan kembali menjadi Arya Wrekodara, sedangka Jaka Dulit kembali menjadi
Raden Permadi.
Setelah mengetahui siapa yang sedang dihadapi, Arya Wrekodara dan Raden
Permadi pun menghentikan pertarungan dan saling berpelukan.
PARTA KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan antara Raden Permadi (Arjuna) dengan Dewi
Bratajaya (Sumbadra). Perkawinan tersebut dapat terlaksana apabila segala
persyaratan yang diajukan Prabu Baladewa dapat terpenuhi. Dari perkawinan ini kelak
akan lahir seorang putra yang terkenal sepanjang masa, yaitu Raden Abimanyu.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan artikel pedhalangan pada Majalah Panjebar
Semangat, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 14 Januari 2017
Heri Purwanto
pernah mendengar kabar kurang sedap dari adik iparnya, yaitu Raden Rukmarata, bahwa
Raden Permadi pernah menjalin hubungan asmara dengan Dewi Banuwati. Terus terang
Prabu Baladewa tidak suka jika Dewi Bratajaya menikah dengan laki-laki yang hatinya
mendua, mencintai perempuan lain.
Prabu Kresna menjawab soal itu tidak perlu dibahas. Wajar kiranya apabila Raden
Permadi dan Dewi Banuwati pernah menjalin hubungan asmara saat mereka masih sama-
sama sendiri. Kini Dewi Banuwati telah menikah dengan Prabu Duryudana, sehingga tidak
sepantasnya apabila hubungan asmaranya dengan Raden Permadi di masa lalu diungkit-
ungkit kembali.
Prabu Baladewa berkata ia tetap saja tidak suka jika Raden Permadi menikahi
adiknya. Perempuan yang dicintai Raden Permadi adalah Dewi Banuwati, yang kini telah
menikah dengan orang lain. Itu artinya, jika Raden Permadi menikah dengan Dewi
Bratajaya, bisa jadi itu hanya untuk pelampiasan rasa sakit hati belaka. Jauh lebih baik
apabila Dewi Bratajaya dinikahkan dengan laki-laki yang benar-benar tulus mencintainya.
Laki-laki itu tidak lain adalah adik ipar Prabu Baladewa sendiri, yaitu Raden Burisrawa,
kesatria Cindekembang di Kerajaan Mandraka. Sudah lama Raden Burisrawa memendam
cinta kepada Dewi Bratajaya, hingga akhirnya ia pun memohon kepada Prabu Baladewa
agar dibantu meminang gadis pujaannya itu.
Prabu Baladewa menegaskan, Raden Burisrawa jauh lebih pantas menjadi suami
Dewi Bratajaya daripada Raden permadi. Lagipula Raden Burisrawa adalah putra mahkota
Kerajaan Mandraka yang kelak akan naik takhta menggantikan Prabu Salya. Lain halnya
dengan Raden Permadi yang bukan siapa-siapa, hanya seorang pangeran biasa, adik raja
Amarta.
Prabu Kresna tidak berani memutuskan. Semuanya terserah Dewi Bratajaya yang
menjalani. Entah siapa yang dipilih, apakah Raden Permadi ataukah Raden Burisrawa.
DEWI KUNTI MEMINANG DEWI BRATAJAYA UNTUK RADEN PERMADI
Ketika Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sibuk membahas calon suami sang adik
bungsu, tiba-tiba datang bibi mereka, yaitu Dewi Kunti Talibrata, ibu para Pandawa. Dewi
Kunti datang disertai cucunya yang perkasa, yaitu Raden Gatutkaca putra Arya Wrekodara.
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa pun menyambut mereka dengan ramah dan juga saling
menanyakan kabar para Pandawa di Kerajaan Amarta.
Dewi Kunti menyampaikan maksud tujuan kedatangannya, yaitu ingin menanyakan
kepastian tentang pernikahan antara Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya. Sekitar dua
puluh tiga tahun yang lalu, Dewi Kunti dan Dewi Badrahini melahirkan pada waktu yang
bersamaan. Dewi Kunti melahirkan Raden Permadi, sedangkan Dewi Badrahini melahirkan
Dewi Bratajaya. Prabu Basudewa pun menggendong keponakannya yang baru lahir itu di
lengan kanan, dan putrinya di lengan kiri. Disaksikan Prabu Pandu, suami Dewi Kunti, Prabu
Basudewa bersumpah kelak Raden Permadi dan Dewi Bratajaya setelah dewasa harus
menjadi suami-istri.
Kini Prabu Basudewa telah meninggal, tetapi sumpahnya masih tetap berlaku. Hari ini
Dewi Kunti datang ke Kerajaan Dwarawati untuk mewujudkan sumpah kakaknya tersebut.
Jika dulu Prabu Basudewa menjodohkan Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya secara
lisan, maka kini Dewi Kunti bermaksud mengikat hubungan di antara mereka melalui
pinangan resmi. Dewi Kunti pun membawa berbagai hasil bumi Kerajaan Amarta sebagai
hadiah untuk calon menantunya.
Prabu Kresna hendak menerima pinangan dari bibinya itu, namun buru-buru dicegah
oleh Prabu Baladewa. Memang benar Dewi Bratajaya tinggal di Taman Banoncinawi, dalam
KITAB WAYANG PURWA
wilayah Kerajaan Dwarawati yang dipimpin Prabu Kresna. Akan tetapi, putra sulung Prabu
Basudewa tetaplah Prabu Baladewa. Karena sang ayah sudah meninggal, maka yang
berhak menjadi wali mempelai perempuan adalah Prabu Baladewa. Oleh sebab itu, hanya
Prabu Baladewa yang berhak menerima atau menolak segala pinangan yang ditujukan
kepada Dewi Bratajaya.
Prabu Baladewa sendiri merasa bimbang di dalam hati. Di satu sisi ia berniat
menikahkan Dewi Bratajaya dengan Raden Burisrawa, namun di sisi lain ia tidak berani
menolak pinangan sang bibi. Maka, ia pun pura-pura mengajukan syarat-syarat berat. Prabu
Baladewa berkata bahwa, Dewi Bratajaya akan menikah dengan laki-laki yang mampu
memenuhi persyaratan darinya, yaitu:
kawin, yang mana masing-masing harus dikendarai oleh seorang bidadari sebagai
pengiring pengantin. Dengan demikian, jumlah bidadari yang harus didatangkan adalah 144
orang juga.
mempelai.
Dewi Kunti paham bahwa Prabu Baladewa sengaja ingin mempersulit putranya.
Namun, sebagai seorang ibu yang berjiwa tegar, pantang baginya untuk menyerah begitu
saja. Ia pun menyanggupi semua persyaratan yang diajukan keponakannya. Setelah dirasa
cukup, ia pamit undur diri kembali ke Kerajaan Amarta dengan diiringi Raden Gatutkaca.
Setelah bibi mereka pergi, Prabu Baladewa pun melanjutkan pembicaraannya dengan
Prabu Kresna. Ia meminta agar Dewi Bratajaya segera dinikahkan dengan Raden
Burisrawa. Prabu Kresna menolak karena Prabu Baladewa terlanjur berjanji bahwa Dewi
Bratajaya akan dinikahkan dengan laki-laki yang mampu mewujudkan berbagai persyaratan
tadi. Prabu Baladewa menjelaskan, soal persyaratan tadi hanya berlaku untuk Raden
Permadi saja. Prabu Kresna menjawab tidak demikian, karena tadi Prabu Baladewa sama
sekali tidak menyebut nama Raden Permadi. Itu artinya, persyaratan ini berlaku untuk siapa
saja yang ingin menikah dengan Dewi Bratajaya.
Prabu Baladewa tidak bisa membantah lagi. Sejak dulu ia memang tidak pernah
menang jika berdebat melawan adiknya itu. Maka, ia pun pamit undur diri untuk memberi
tahu Raden Burisrawa mengenai persyaratan tadi. Prabu Kresna mempersilakan, namun
lebih dulu ia ingin menjamu Prabu Baladewa makan bersama di Sasana Andrawina. Prabu
Baladewa menolak. Urusan perjamuan bisa ditunda nanti sekaligus dengan pesta
pernikahan Dewi Bratajaya saja. Setelah berkata demikian, Prabu Baladewa pun pamit
keluar meninggalkan istana.
PRABU BALADEWA MEMBERI TAHU PATIH SANGKUNI DAN PARA KURAWA
KITAB WAYANG PURWA
memendam cinta kepada Dewi Kunti, yaitu sejak pamannya itu gagal mengikuti sayembara
pilih di Kerajaan Mandura.
Patih Sangkuni berkata apa salahnya jika ia ingin menikahi Dewi Kunti yang sudah
lama ditinggal mati Prabu Pandu itu? Lagipula jika dirinya bisa menjadi ayah tiri para
Pandawa, maka kelima bersaudara itu tidak akan berani berbuat macam-macam kepada
para Kurawa. Itu artinya, Perang Bratayuda dapat dihindari.
Arya Dursasana yang setuju pada rencana sang paman segera memerintahkan adik-
adiknya untuk menangkap dan menawan Dewi Kunti tanpa perlu berdebat lebih lama lagi.
Para Kurawa itu pun maju bersama-sama mempercepat langkah. Mereka tidak mengira jika
Raden Gatutkaca sejak tadi mengawasi sang nenek dari angkasa. Begitu melihat Dewi
Kunti dalam bahaya, Raden Gatutkaca segera meluncur menerjang para Kurawa tersebut.
Arya Dursasana dan adik-adiknya terkejut ada seorang pemuda gagah menerjang
mereka dari angkasa. Mereka lebih terkejut lagi karena pemuda itu ternyata masih
keponakan sendiri, yaitu putra Arya Wrekodara. Memang sejak dilahirkan dan dibesarkan
di Kawah Candradimuka, baru kali ini Raden Gatutkaca berjumpa para Kurawa.
Arya Dursasana menyuruh Raden Gatutkaca lebih baik mundur saja, karena sayang
jika para Kurawa harus membunuh keponakan sendiri. Raden Gatutkaca tidak peduli.
Dirinya telah ditugasi untuk mengawal Dewi Kunti dan ia tidak akan membiarkan neneknya
diganggu orang. Para Kurawa lalu beramai-ramai menyerang Raden Gatutkaca.
Pertempuran pun terjadi. Raden Gatutkaca dengan lincah dan tangkas menghajar para
sepupu ayahnya itu hingga mereka jatuh bangun di tanah. Namun, jumlah musuh terlalu
banyak. Dewi Kunti menyarankan agar Raden Gatutkaca menghindar saja, karena ada
urusan yang jauh lebih penting daripada berkelahi dengan para Kurawa. Raden Gatutkaca
menurut. Ia lalu menggendong tubuh sang nenek dan membawanya terbang meninggalkan
pertempuran, untuk kemudian menuju Kerajaan Amarta.
BAGAWAN ABYASA HADIR DI KERAJAAN AMARTA
Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap ketiga adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Permadi, dan Raden Nakula. Kemudian datang pula Raden Sadewa bersama para
panakawan yang ditugasi menjemput sang kakek dari Gunung Saptaarga, yaitu Bagawan
Abyasa.
Prabu Puntadewa sengaja mendatangkan Bagawan Abyasa ke istana Indraprasta
untuk menjadi pinisepuh dalam acara perkawinan Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya,
mengingat ayah para Pandawa, yaitu Prabu Pandu telah lama meninggal dunia. Bagawan
Abyasa senang mendengar rencana pernikahan tersebut karena ini akan mewujudkan apa
yang menjadi cita-cita mendiang Prabu Basudewa.
Tidak lama kemudian datanglah Dewi Kunti dan Raden Gatutkaca yang turun dari
angkasa. Dewi Kunti menyembah sang mertua, kemudian menceritakan hasil kunjungannya
ke Kerajaan Dwarawati. Ia menguraikan satu persatu syarat yang diajukan Prabu Baladewa.
Mendengar itu, Arya Wrekodara merasa geram dan menuduh Prabu Baladewa sengaja
mempersulit niat baik para Pandawa. Prabu Puntadewa melarang adiknya berburuk
sangka. Ia menganggap sesulit apa pun tantangan justru bisa menjadi sarana bagi
kemuliaan para Pandawa, khususnya Raden Permadi.
Arya Wrekodara lalu bertanya pada Raden Permadi apakah adiknya itu sungguh-
sungguh mencintai Dewi Bratajaya, ataukah hanya sekadar untuk memenuhi wasiat Prabu
Basudewa saja. Raden Permadi menjawab dirinya sudah lama mencintai Dewi Bratajaya
tulus dari hati, bukan semata karena dijodohkan. Arya Wrekodara berkata jika memang
KITAB WAYANG PURWA
demikian, maka dirinya sanggup membantu mewujudkan apa saja yang menjadi syarat
Prabu Baladewa.
Bagawan Abyasa lalu membagi tugas. Raden Permadi hendaknya pergi ke
Kahyangan Suralaya menghadap Batara Indra untuk mewujudkan persyaratan yang
berkaitan dengan Balai Kencana Asaka Domas, Kayu Jayandaru dan Kayu Dewandaru,
serta para pengiring bidadari. Adapun syarat pengadaan gamelan Lokananta hendaknya
Raden Permadi meminta bantuan Batara Kamajaya di Kahyangan Cakrakembang.
Untuk memenuhi syarat cucuk lampah kera putih dan kereta kencana yang bisa
melayang, Bagawan Abyasa menugasi Arya Wrekodara meminta bantuan kakak
angkatnya, yaitu Resi Anoman di Padepokan Kendalisada. Adapun syarat pengadaan
Mahisa Danu Pancal Panggung, hendaknya pergi ke Hutan Krendawahana menemui Ditya
Dadungawuk. Mendengar itu, Raden Gatutkaca memohon izin agar dirinya saja yang
ditugasi ke sana. Ia ingin sekali membantu Raden Permadi mewujudkan pernikahan, karena
sang paman selama ini juga sangat baik kepadanya.
Bagawan Abyasa juga menugasi Raden Nakula dan Raden Sadewa untuk
mempersiapkan segala keperluan iring-iring pengantin, sedangkan Prabu Puntadewa
hendaknya membantu kelancaran usaha adiknya dengan puja sesaji dan memanjatkan doa
di sanggar pemujaan. Setelah semua tugas terbagi, Prabu Puntadewa pun mempersilakan
Raden Permadi, Arya Wrekodara, dan Raden Gatutkaca berangkat menuju ke arah tujuan
masing-masing.
ARYA WREKODARA MEMINTA RESI ANOMAN MENJADI CUCUK LAMPAH
Arya Wrekodara telah sampai di Padepokan Kendalisada yang terletak di Gunung
Kundalini. Ia menemui sang kakak angkat, yaitu Resi Anoman dan berterus terang atas apa
yang menjadi maksud kedatangannya. Tanpa banyak membantah, Resi Anoman menjawab
sanggup jika dirinya harus menjadi cucuk lampah perkawinan Raden Permadi. Arya
Wrekodara bertanya apakah Resi Anoman tidak malu, sebagai mantan jagoan Gunung
Suwelagiri zaman perang Brubuh Alengka, kini harus menari di hadapan banyak orang.
Resi Anoman menjawab tidak sama sekali. Memang dulu dirinya seorang jagoan di masa
muda. Namun, kini ia sudah tua dan harus lebih banyak bersifat rendah hati. Justru dengan
cara menjadi cucuk lampah dan ditonton banyak orang inilah dirinya bisa mengikis nafsu
kesombongan dan keangkuhan di masa muda.
Arya Wrekodara berterima kasih, lalu bertanya bagaimana caranya mendapatkan
kereta kencana yang bisa melayang di angkasa. Resi Anoman bercerita bahwa kereta
tersebut saat ini berada di Kerajaan Singgela, yaitu bernama Kereta Puspaka. Dahulu kala,
Kereta Puspaka adalah milik Prabu Danapati raja Lokapala. Setelah Kerajaan Lokapala
runtuh diserang Prabu Rahwana, Kerata Puspaka pun dirampas dan dibawa ke Kerajaan
Alengka. Setelah Prabu Rahwana gugur dalam peristiwa Brubuh Alengka, Kereta Puspaka
digunakan untuk memboyong Prabu Sri Rama dan Rakyanwara Sinta pulang ke Kerajaan
Ayodya. Setelah itu, Kereta Puspaka disimpan di Kerajaan Singgela, yaitu kelanjutan
Kerajaan Alengka.
Arya Wrekodara merasa senang mendengarnya. Ia pun meminta bantuan Resi
Anoman agar diantar menuju ke negeri Singgela tersebut. Resi Anoman menyanggupi
dengan senang hati. Keduanya lalu berangkat meninggalkan Gunung Kundalini menuju ke
sana.
RADEN PERMADI MENEMUI BATARA INDRA DAN BATARA KAMAJAYA
Sementara itu, Raden Permadi didampingi para panakawan telah sampai di
Kahyangan Cakrakembang, menghadap Batara Kamajaya. Ia menyembah hormat dan
KITAB WAYANG PURWA
Arya Wrekodara menjawab bahwa yang hendak menaiki Kereta Puspaka bukan
sembarang orang, melainkan adiknya yang bernama Raden Permadi, pemanah terbaik di
zaman ini, putra Prabu Pandu raja Hastina yang terkemuka di zamannya.
Prabu Bisawarna terkejut mendengar nama Prabu Pandu disebut. Seketika ia teringat
bahwa dulu Kerajaan Singgela pernah diserang kawanan hewan gaib penjelmaan para
arwah penasaran yang dipimpin roh kakeknya sendiri, bernama Bagawan Amisana. Saat
itu yang menjadi raja Singgela masih Prabu Palguna, sedangkan Prabu Bisawarna sendiri
masih kecil. Prabu Palguna kemudian mendapat bantuan Raden Pandu, seorang kesatria
muda dari Hastina sehingga Kerajaan Singgela bisa aman kembali. Jika benar Raden
Permadi yang hendak menikah adalah putra Raden Pandu, maka Prabu Bisawarna
bersedia meminjamkan Kereta Puspaka kepadanya tanpa pikir-pikir lagi.
Arya Wrekodara tidak menyangka ayahnya semasa muda pernah membantu
permasalahan di Kerajaan Singgela. Sungguh ia semakin bangga terlahir sebagai putra
Prabu Pandu Dewanata. Prabu Bisawarna sendiri kemudian masuk ke ruang pusaka untuk
mengadakan puja sesaji. Setelah yakin mendapat izin dari arwah para leluhur, ia pun
mengeluarkan Kereta Puspaka dan menyerahkannya kepada Arya Wrekodara.
Arya Wrekodara berterima kasih kepada Prabu Bisawarna, lalu bersama-sama Resi
Anoman mohon pamit membawa kereta tersebut menuju Kerajaan Amarta.
RADEN GATUTKACA BERTARUNG DENGAN DITYA DADUNGAWUK
Sementara itu, Raden Gatutkaca yang ditugasi mencari Mahisa Danu Pancal
Panggung telah sampai di Hutan Krendawahana. Ia melihat ratusan ekor kerbau warna
hitam bertanduk panjang seperti busur dengan kaki belang putih sedang merumput. Di
dekat kawanan kerbau tersebut tampak sang penggembala yang berwujud raksasa,
bernama Ditya Dadungawuk.
Raden Gatutkaca berterus terang meminta Ditya Dadungawuk memberikan 144 ekor
Mahisa Danu kepadanya untuk dibawa sebagai mas kawin pernikahan Raden Permadi.
Ditya Dadungawuk menolak. Majikannya telah berpesan bahwa kawanan kerbau ini hanya
boleh diberikan untuk kepentingan seseorang bernama Raden Parta, bukan yang lain.
Raden Gatutkaca pun memaksa akan menggiring sendiri kerbau sejumlah yang
dibutuhkannya. Ditya Dadungawuk marah dan menyerangnya. Maka, terjadilah pertarungan
seru di antara mereka.
Ditya Dadungawuk lama-lama terdesak menghadapi kekuatan Raden Gatutkaca,
namun ia tetap pantang menyerah. Sungguh luar biasa perjuangannya dalam menjaga
ternak milik majikannya. Pada saat itulah sang majikan datang. Ia tidak lain adalah Batara
Indra, pemimpin Kahyangan Suralaya.
Ditya Dadungawuk pun mengadukan ulah Raden Gatutkaca yang hendak merampas
Mahisa Danu untuk keperluan mas kawin Raden Permadi. Batara Indra tidak marah, justru
mempersilakannya. Ditya Dadungawuk heran, bukankah Batara Indra berpesan bahwa
Mahisa Danu hanya boleh diberikan untuk kepentingan Raden Parta saja? Batara Indra
menjawab, Raden Parta dan Raden Permadi adalah dua orang yang sama. Keduanya
sama-sama julukan untuk Raden Arjuna, pangeran nomor tiga dari Pandawa Lima, yang
juga putra angkat Batara Indra. Parta artinya adalah “putra Prita”, yaitu nama lain Dewi
Kunti, sedangkan Permadi artinya seseroang dengan “kasih sayang yang berlebih”.
Ditya Dadungawuk kini telah paham. Ia tidak lagi menghalangi Raden Gatutkaca jika
hendak menggiring kerbau danu tersebut. Batara Indra pun mempersilakan Raden
Gatutkaca untuk menggiring sejumlah yang diinginkannya. Raden Gatutkaca menjawab ia
hanya butuh 144 ekor saja. Batara Indra mempersilakannya agar mengambil beberapa ekor
KITAB WAYANG PURWA
tambahan untuk dimiliki secara pribadi. Namun, Raden Gatutkaca menolak. Ia ditugasi
mengambil 144 ekor saja, dan tidak mau mengambil lebih dari itu. Batara Indra memuji
kejujuran Raden Gatutkaca dan mempersilakan Ditya Dadungawuk untuk menemaninya
menggiring kawanan kerbau tersebut meninggalkan Hutan Krendawahana.
PARA KURAWA HENDAK MEREBUT MAHISA DANU
Raden Gatutkaca dan Ditya Dadungawuk pun berangkat menggiring 144 ekor Mahisa
Danu menuju Kerajaan Amarta. Di tengah jalan mereka dihadang Patih Sangkuni dan para
Kurawa yang hendak merampas kerbau-kerbau itu. Raden Gatutkaca berpesan kepada
Ditya Dadungawuk agar tetap menjaga kawanan kerbau, sedangkan dirinya meluncur
menerjang barisan para Kurawa.
Sekali lagi para Kurawa dibuat kocar-kacir oleh amukan Raden Gatutkaca seorang diri
yang kali ini lebih nekat daripada pertempuran sebelumnya. Patih Sangkuni merasa
terdesak dan segera memerintahkan para keponakannya untuk mundur.
RADEN PERMADI TIBA DI KERAJAAN DWARAWATI
Demikianlah, seluruh persyaratan kini telah lengkap. Prabu Puntadewa bersyukur dan
segera memberangkatkan rombongan pengantin menuju Kerajaan Dwarawati. Prabu
Kresna dan segenap keluarga besar Kerajaan Dwarawati menyambut kedatangan mereka
dengan perasaan bahagia. Keberhasilan Raden Permadi ini menjadi bukti bahwa ia
memang jodoh yang tepat untuk Dewi Bratajaya, sesuai harapan mendiang Prabu
Basudewa.
Rombongan pengantin dari Kerajaan Amarta itu tampak begitu megah. Raden
Permadi duduk di atas Kereta Puspaka yang melayang tidak menyentuh tanah. Tampak di
depannya Resi Anoman sebagai cucuk lampah menari dengan anggun dan sesekali
diselingi gerakan jenaka. Di belakang terlihat 144 ekor Mahisa Danu Pancal Panggung yang
digiring oleh Ditya Dadungawuk. Pada masing-masing punggung setiap kerbau duduk pula
seorang bidadari sebagai pengiring pengantin.
Balai Kencana Asaka Domas juga telah terpasang di halaman istana Dwarawati. Para
tamu dan undangan pun dipersilakan duduk di dalam balai tersebut. Mereka menikmati
indahnya alunan musik Gamelan Lokananta yang bergema di awang-awang, ditabuh para
dewata dengan arahan Batara Kamajaya.
PRABU BALADEWA HENDAK MEMBUNUH RADEN PERMADI
Namun, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut merusak suasana. Rupanya Prabu
Baladewa datang diiringi Raden Burisrawa, Patih Sangkuni, dan para Kurawa. Raja
Mandura itu marah-marah menuduh Raden Permadi telah berbuat curang, yaitu merebut
segala persyaratan yang sebenarnya dikumpulkan para Kurawa.
Prabu Baladewa bercerita kepada Prabu Kresna dengan suara meledak-ledak.
Menurut laporan Patih Sangkuni, para Kurawa sudah bersusah payah mengumpulkan
segala persyaratan perkawinan untuk Raden Burisrawa, tetapi di tengah jalan direbut pihak
Pandawa. Kini, Prabu Baladewa datang untuk menghukum Raden Permadi atas
kejahatannya itu. Sekejap kemudian, pusaka Nanggala pun keluar dari telapak tangannya,
siap untuk dipukulkan ke arah Raden Permadi.
Melihat itu, Dewi Bratajaya segera melangkah maju dan berlutut di hadapan Prabu
Baladewa. Ia berkata jika sang kakak ingin menghukum mati calon suaminya, maka biarlah
dirinya saja yang menggantikan. Raden Permadi juga melangkah maju dan ikut berlutut di
hadapan Prabu Baladewa. Jika Dewi Bratajaya bersedia mati untuknya, maka ia juga rela
mati untuk calon istrinya itu.
KITAB WAYANG PURWA
Dewi Kuntulsinanten
Kisah ini menceritakan seorang putri bernama Dewi Kuntulsinanten yang menjadi
rebutan para raja karena memiliki Wahyu Purbalaras. Kisah ini juga menceritakan awal mula
Raden Tambakganggeng menjadi patih Kerajaan Amarta, serta awal mula pertemuan Arya
Wrekodara dengan para putra Slagahima, yaitu Raden Gagakbaka, Raden
Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden Jangetkinatelon. Juga diceritakan
asal usul Prabu Kalasrenggi, raja raksasa yang kelak muncul di dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber buku Kempalan Balungan Lampahan Wayang Kult
Purwa karya Ki Suratno Guno Wiharjo, sedangkan untuk silsilah Prabu Jatagimbal saya
mengambil sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 28 Januari 2017
Heri Purwanto
masyarakat yang apabila jatuh sakit tidak mendapatkan pengobatan secara memadai,
sehingga angka kematian cukup besar.
Mendengar itu, Prabu Duryudana segera menuduh Patih Sangkuni telah
menyampaikan laporan palsu bahwa keadaan rakyat baik-baik saja. Berarti selama ini Patih
Sangkuni hanya menyampaikan laporan yang baik-baik saja, yaitu “asal raja senang”. Patih
Sangkuni pun menyangkal tuduhan itu. Ia menjawab bahwa dirinya beserta segenap jajaran
para menteri telah berusaha keras mewujudkan kemakmuran di Kerajaan Hastina. Siang
malam ia selalu bekerja keras untuk memajukan pembangunan di segala bidang. Namun,
apalah artinya pembangunan jika tidak diimbangi dengan jaminan keamanan yang
memadai? Masih banyak ancaman kejahatan yang menghantui masyarakat. Pencuri dan
perampok berkeliaran. Begal pun ada di mana-mana, membuat rakyat senantiasa resah
dan gelisah, sehingga tidak dapat menikmati hasil pembangunan yang sudah diupayakan
Patih Sangkuni.
Prabu Duryudana lalu bertanya kepada Adipati Karna selaku kepala angkatan
bersenjata tentang kebenaran laporan itu. Adipati Karna pun membela diri dengan
mengatakan bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga keamanan Kerajaan
Hastina. Bahkan, dalam sehari-hari dirinya lebih banyak berada di Hastina daripada di
Awangga. Itu semua karena sedemikian besar rasa tanggung jawabnya terhadap
keamanan negara. Namun, apabila masih saja terdapat angka kejahatan yang cukup tinggi,
maka itu bukan melulu kesalahan pihak aparat keamanan, tetapi karena adanya
kesenjangan ekonomi di masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Para pejabat Hastina beserta anak dan istrinya hidup berfoya-foya, pamer kekayaan,
sedangkan rakyat jelata serba kekurangan. Jika terjadi kesenjangan ekonomi macam
demikian, dapat dipastikan kejahatan akan muncul di mana-mana meskipun aparat
keamanan sudah disediakan.
Prabu Duryudana kemudian bertanya kepada Resi Druna selaku pimpinan pujangga
Kerajaan Hastina yang seharusnya bertanggung jawab atas pembangunan moral para
pejabat. Perilaku korupsi, memupuk kekayaan pribadi, dan juga kegemaran berfoya-foya
seharusnya dapat dihindari apabila Resi Druna memperbanyak acara siraman rohani
kepada para pejabat. Resi Druna pun menjawab bahwa dirinya sudah berusaha keras,
namun godaan dari luar yang datang jauh lebih banyak. Barang-barang buatan luar negeri
masuk tanpa terkendali membuat para pejabat dan orang-orang kaya Hastina tidak dapat
mengendalikan nafsunya untuk berbelanja. Mereka menganggap barang buatan luar negeri
jauh lebih berkelas daripada buatan dalam negeri. Mereka pun berlomba-lomba belanja,
terutama para istri pejabat yang selalu ingin tampil mewah. Perilaku para istri semacam
inilah yang membuat para pejabat Hastina banyak yang menyalahgunakan jabatannya
untuk memperkaya diri sendiri. Meskipun Resi Druna sudah berusaha mengadakan acara
siraman rohani seminggu sekali namun tidak berguna jika godaan dari luar datangnya
bertubi-tubi. Patih Sangkuni selaku perdana menteri adalah orang yang paling bertanggung
jawab dalam membuat kebijakan untuk membatasi masuknya barang-barang dari luar
negeri tersebut.
RESIWARA BISMA MENGABARKAN TENTANG DEWI KUNTULSINANTEN
Resiwara Bisma tersenyum melihat Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Resi Druna
ribut sendiri saling menyalahkan tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Menurutnya, ini
semua adalah tanggung jawab Prabu Duryudana selaku pemimpin mereka. Prabu
Duryudana seharusnya bisa mengatur para bawahannya supaya bekerja benar. Resiwara
Bisma terpaksa membandingkan dengan pemerintahan Prabu Pandu dulu, di mana para
menteri dan punggawa seperti Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka
bahu-membahu saling bekerja sama, bukannya saling menyalahkan kawan.
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Duryudana sangat tersinggung dan malu karena dirinya dibandingkan dengan
mendiang Prabu Pandu, yaitu ayah para Pandawa yang sangat dibencinya. Patih Sangkuni
segera menanggapi bahwa Prabu Pandu bisa seperti itu karena sebelumnya telah
mendapatkan wahyu kepemimpinan. Lain halnya dengan Prabu Duryudana yang setiap hari
sibuk memikirkan negara, sehingga tidak sempat bertapa atau berkelana untuk mencari
wahyu.
Resiwara Bisma menyebut Patih Sangkuni terlalu mencari-cari alasan. Jika memang
wahyu kepemimpinan yang dijadikan ukuran, maka tiada salahnya jika Prabu Duryudana
mencoba mendapatkannya. Prabu Duryudana boleh pergi berkelana dalam beberapa hari
untuk mencari wahyu kepemimpinan, jika memang itu bisa menjadikannya lebih percaya
diri dalam memimpin negara. Resiwara Bisma menambahkan, dalam memimpin rakyat
memang tidak cukup hanya mengandalkan kepandaian dan kegagahan tubuh, tetapi juga
harus diimbangi dengan kekuatan batin yang tebal. Oleh sebab itu, seorang raja harus mau
menjalani laku prihatin dan banyak-banyak berpuasa atau bertapa, bukan melulu hidup
nyaman di dalam istana saja.
Prabu Duryudana berkata yakin bahwa dirinya pasti mampu memimpin negara dengan
lebih baik daripada Prabu Pandu apabila memiliki wahyu kepemimpinan. Namun, ia tidak
tahu di mana wahyu tersebut bisa diperolehnya. Resiwara Bisma menjawab dirinya telah
mendapat kabar bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Purbalaras kepada Dewi
Kuntulsinanten, putri sulung Prabu Janinraja dari Kerajaan Slagahima. Oleh karena itu,
Prabu Duryudana tidak perlu susah payah pergi berkelana atau bertapa. Asalkan ia bisa
menikahi dan memboyong Dewi Kuntulsinanten, maka Wahyu Purbalaras dengan
sendirinya akan berpindah menjadi milik Kerajaan Hastina. Apabila terjadi demikian, maka
Prabu Duryudana akan menjadi raja yang lebih berwibawa, sedangkan Kerajaan Hastina
akan menjadi negeri yang lebih makmur pula.
Prabu Duryudana sangat senang mendengarnya. Ia menganggap hal ini terlalu mudah
karena tidak perlu bertapa, melainkan cukup menikah dengan seorang perempuan saja. Ia
yakin lamarannya pasti diterima karena ia seorang raja yang gagah dan kaya raya. Namun,
ia sendiri ragu seperti apa wujud Dewi Kuntulsinanten itu, apakah cantik jelita ataukah buruk
rupa? Kalau ternyata Dewi Kuntulsinanten berwajah jelek, apakah boleh Patih Sangkuni
saja yang menikah dengannya?
Resiwara Bisma heran mengapa Prabu Duryudana bertanya demikian. Sebenarnya
Prabu Duryudana ingin mencari wahyu atau hanya ingin bersenang-senang memuaskan
nafsu? Prabu Duryudana pun menjawab dirinya sangat ingin mendapatkan Wahyu
Purbalaras, tetapi jika Dewi Kuntulsinanten berwajah cantik tentunya akan lebih
membangkitkan semangat perjuangan. Resiwara Bisma berkata bahwa ia sendiri tidak tahu
seperti apa paras Dewi Kuntulsinanten. Namun menurut kabar, putri Slagahima tersebut
berkulit putih bersih seperti burung bangau yang disiram santan. Tentu tidak dapat
dibayangkan seperti apa putihnya, sudah dilambangkan seperti burung bangau masih
disiram santan pula.
Prabu Duryudana sangat tertarik mendengarnya. Ia membayangkan Dewi
Kuntulsinanten pastilah sangat cantik dan berkulit putih mulus tanpa cela. Maka, ia pun
bersemangat mengajak Patih Sangkuni dan Adipati Karna untuk berangkat hari itu juga
menuju Kerajaan Slagahima. Setelah dirasa cukup, Resiwara Bisma undur diri, pamit
pulang ke Padepokan Talkanda, sedangkan Resi Druna pamit pulang ke Padepokan
Sokalima.
PRABU DURYUDANA BERPAMITAN KEPADA DEWI BANUWATI
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan Adipati Karna
telah bersiaga di luar bersama para Kurawa untuk menunggu perintah berangkat. Prabu
Duryudana sendiri menemui sang permaisuri Dewi Banuwati untuk berpamitan. Ia mohon
pamit hendak melamar Dewi Kuntulsinanten di Kerajaan Slagahima karena putri tersebut
akan menerima Wahyu Purbalaras yang sangat penting bagi kemakmuran Kerajaan
Hastina.
Dewi Banuwati langsung marah-marah karena saat itu dirinya sedang mengandung,
tetapi suaminya justru ingin menikah lagi. Prabu Duryudana berusaha merayu dengan
segala macam cara namun Dewi Banuwati tetap saja kesal. Hal ini membuat Prabu
Duryudana merasa segan untuk berangkat. Namun, begitu membayangkan Dewi
Kuntulsinanten yang berkulit putih mulus, semangatnya kembali bangkit. Setelah dirayu
dengan susah payah, Dewi Banuwati akhirnya merelakan kepergian sang suami. Namun,
ia hanya merelakan kepergiannya tanpa mendoakan keberhasilannya.
Prabu Duryudana menjawab itu saja sudah cukup. Ia lalu buru-buru keluar istana di
mana rombongan telah menunggu. Mereka pun bersama-sama pergi menuju Kerajaan
Slagahima.
SAYEMBARA TANDING PARA PUTRA SLAGAHIMA
Kerajaan Slagahima atau yang disebut juga Kerajaan Gendingkapitu dipimpin seorang
raja bernama Prabu Janinraja Dewajumanten, atau yang disebut juga Prabu Wimanadewa.
Raja ini memiliki sembilan orang anak, yaitu Dewi Kuntulsinanten, Raden Gagakbaka,
Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok, Raden Podangbinorehan, Raden
Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden
Menjanganketawang.
Dewi Kuntulsinanten sang putri sulung berwajah cantik jelita, dengan kulit putih bersih
seperti kapas pula. Itulah sebabnya banyak raja dan pangeran berdatangan dari berbagai
penjuru untuk melamarnya. Apalagi tersiar pula kabar bahwa barangsiapa bisa menikahi
Dewi Kuntulsinanten, maka dengan sendirinya akan mendapatkan Wahyu Purbalaras yang
bisa membuatnya lebih berwibawa dalam memimpin negara.
Prabu Janinraja sendiri sedang gundah gulana karena putri sulungnya itu menghilang
entah ke mana. Dewi Kuntulsinanten hanya berkata bahwa ia ingin bertapa menjemput
turunnya Wahyu Purbalaras, tetapi tidak mengatakan ke mana hendak pergi. Padahal, para
raja dan pangeran sudah banyak berkumpul di luar istana. Andai saja Dewi Kuntulsinanten
ada, tentu sayembara pilih bisa segera dilaksanakan.
Melihat kegelisahan sang ayah, Raden Gagakbaka pun mengusulkan agar diadakan
sayembara tanding saja. Kedelapan putra itulah yang nantinya tampil sebagai senapati
dalam sayembara tersebut. Barangsiapa bisa mengalahkan mereka, maka ia berhak
memperistri sang kakak sulung. Raden Dandangminangsi dan yang lain sepakat
mendukung usulan tersebut. Karena semuanya telah setuju, maka Prabu Janinraja akhirnya
mengizinkan para putra untuk mengadakan sayembara.
Demikianlah, sayembara tanding pun digelar di alun alun Kerajaan Slagahima. Raden
Dandangminangsi yang tampil paling awal menantang para pelamar. Satu persatu para
pelamar itu dibuat jatuh dari panggung oleh pangeran berkulit hitam legam tersebut. Hingga
akhirnya ketika Raden Dandangminangsi letih kehabisan tenaga, Raden Gagakbaka maju
menggantikan. Demikianlah seterusnya. Satu persatu para putra Slagahima maju
bergantian menguji kehebatan para pelamar kakak sulung mereka.
Para raja dan pangeran itu akhirnya pulang semua karena tidak ada yang mampu
mengalahkan para putra Slagahima. Pada saat itulah rombongan Prabu Duryudana
KITAB WAYANG PURWA
bersama para Kurawa tiba di arena sayembara. Arya Dursasana segera maju menantang
Raden Gagakbaka. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Raden Kartawarma
maju membantu, dan segera dihadapi Raden Dandangminangsi. Raden Surtayu maju pula
dan berhadapan dengan Raden Dandanggaok. Sementara itu Adipati Jayadrata
berhadapan melawan Raden Podangbinorehan, serta Bambang Aswatama menghadapi
Raden Jangetkinatelon. Dalam pertarungan itu, pihak Hastina kalah dan terlempar semua
keluar panggung.
Melihat para Kurawa gagal memenangkan sayembara, Adipati Karna segera naik ke
atas panggung menantang para putra Slagahima. Dengan lagak angkuh ia menantang
kedelapan pangeran itu agar maju sekaligus melawan dirinya. Raden Gagakbaka dan
saudara-saudaranya pun menanggapi tantangan tersebut. Pertempuran satu lawan
delapan terjadi dan berlangsung seru. Adipati Karna terlanjur meremehkan lawan-
lawannya. Karena terlalu yakin pada kesaktiannya sendiri, ia menjadi lengah. Mahkota
topong Bukasri yang ia pakai pun jatuh terkena pukulan Raden Gagakbaka, sehingga
terlihatlah kepalanya yang pitak menjadi bahan tertawaan para penonton. Bagian kepala
Adipati Karna yang pitak itu tidak lain adalah bekas luka tergores keris Raden Arjuna
sewaktu mereka bertarung di Kerajaan Mandraka dahulu.
Adipati Karna sangat malu karena aibnya terbuka dan memilih turun panggung
memperbaiki penampilan. Prabu Duryudana kemudian maju dengan memanggul Gada
Singabrong mengamuk menghadapi para putra Slagahima. Pertarungan sengit pun terjadi
di antara mereka. Namun, saat itu matahari mulai terbenam di ufuk barat. Prabu Janinraja
segera menghentikan sayembara untuk dilanjutkan besok. Prabu Duryudana merasa belum
kalah dan berjanji akan datang lagi untuk mengikuti sayembara ini. Ia kemudian mengajak
rombongannya pergi mendirikan perkemahan di luar ibu kota Slagahima.
DEWI JATASINI JATUH CINTA KEPADA RADEN ARJUNA
Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Jatagimbal dari Kerajaan
Selamangleng. Pada suatu hari ia memanggil kedua panakawannya, bernama Kyai Togog
dan Bilung Sarahita untuk bertanya tentang silsilah leluhurnya. Kyai Togog pun bercerita
bahwa Prabu Jatagimbal sesungguhnya masih keturunan Ditya Jatasura dari zaman kuno,
yaitu raksasa berbadan kerbau yang merupakan adik Prabu Mahesasura raja Guakiskenda.
Pada zaman itu, Prabu Mahesasura pernah mengutus Patih Lembusura menyerang
Kahyangan Suralaya karena lamarannya terhadap Batari Tara ditolak para dewa. Namun,
Patih Lembusura akhirnya tewas melawan jago kahyangan yang bernama Kapi Subali dan
Kapi Sugriwa. Setelah itu, kedua jago tersebut menyerang Kerajaan Guakiskenda. Seorang
diri Kapi Subali berhasil menewaskan Prabu Mahesasura yang berwujud raksasa berkepala
kerbau, sekaligus Ditya Jatasura yang berwujud kerbau berkepala raksasa.
Ditya Jatasura meninggalkan seorang putra bernama Ditya Purusandaka. Putranya itu
lalu pergi berkelana meninggalkan Kerajaan Guakiskenda yang diduduki Kapi Subali dan
Kapi Sugriwa. Ditya Purusandaka kemudian memiliki dua orang anak bernama Ditya
Purusangkara dan Dewi Suhestri.
Ditya Purusangkara lalu berputra Prabu Jatasarana yang mendirikan Kerajaan
Selamangleng, sedangkan Dewi Suhestri menjadi istri seorang pendeta bernama Resi
Kandiyana.
Prabu Jatasarana memiliki dua orang putra dan dua orang putri. Putra yang tertua
bernama Prabu Jatasura, mendirikan Kerajaan Pageralun dan memiliki tiga orang anak,
bernama Ditya Lembusa, Ditya Lembusana, dan Ditya Swalembana. Adapun putra Prabu
Jatasarana yang kedua tidak lain adalah Prabu Jatagimbal sendiri, yang mewarisi Kerajaan
Selamangleng.
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Jatagimbal memiliki dua orang adik perempuan bernama Dewi Jatawati dan
Dewi Jatasini. Dewi Jatawati telah menikah dengan Prabu Kirmira, raja Kerajaan Ekacakra,
putra Prabu Baka. Adapun Dewi Jatasini si bungsu saat ini menghilang dari kerajaan. Konon
menurut laporan para emban pengasuh, Dewi Jatasini jatuh cinta kepada pangeran tampan
yang ia temui dalam mimpi. Pangeran tampan tersebut tidak lain adalah Raden Arjuna,
kesatria Panengah Pandawa.
Kyai Togog dan Bilung menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang seorang kesatria
yang sangat tampan tiada cela. Tidak hanya tampan wajah, namun Raden Arjuna juga
memiliki kesaktian yang sangat tinggi, serta merupakan lulusan terbaik Padepokan
Sokalima. Kabar terbaru yang diterima, Raden Arjuna baru saja menikah dengan Dewi
Sumbadra dari Kerajaan Dwarawati. Merekaa berdua adalah pasangan yang sangat serasi.
Raden Arjuna disebut sebagai laki-laki paling tampan di dunia, sedangkan Dewi Sumbadra
adalah perempuan paling cantik tiada banding.
Prabu Jatagimbal tertarik mendengar cerita para panakawan. Ia menjadi penasaran
ingin tahu seperti apa cantiknya Dewi Sumbadra tersebut. Maka, ia pun berencana hendak
pergi mencari hilangnya Dewi Jatasini, sekaligus ingin memaksa Raden Arjuna agar
bersedia menikahi adiknya itu. Jika Raden Arjuna menikah dengan Dewi Jatasini, maka
Dewi Sumbadra akan menjadi janda dan dinikahi pula oleh Prabu Jatagimbal. Demikianlah
rencana Prabu Jatagimbal dan ia pun kemudian berangkat seorang diri tanpa membawa
teman.
DEWI JATASINI MENEMUI DEWI SUMBADRA
Sementara itu, sang raksasi Dewi Jatasini telah memasuki Kesatrian Madukara dan
menemui Dewi Sumbadra yang duduk di Taman Maduganda. Para abdi taman pun menjerit-
jerit ketakutan, tapi Dewi Sumbadra tetap tenang dan menyambut kedatangan raksasi itu
dengan ramah.
Dewi Jatasini terkesan melihat sikap tenang Dewi Sumbadra yang tidak takut pada
dirinya. Dengan berterus terang ia pun mengatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada
Raden Arjuna dan ingin sekali menjadi istrinya. Maka, langkah pertama yang harus ia
tempuh adalah membunuh Dewi Sumbadra selaku pesaing.
Dewi Sumbadra menjawab dirinya sama sekali tidak takut mati. Ia balik bertanya
apabila dirinya mati apakah Raden Arjuna akan langsung menerima cinta Dewi Jatasini,
ataukah justru akan sangat marah dan membalas dendam? Dewi Jatasini bingung
menjawabnya. Ia lalu bertanya bagaimana sebaiknya yang ia lakukan. Padahal tadinya ia
ingin membunuh Dewi Sumbadra, namun kini justru meminta saran kepada wanita itu.
Dewi Sumbadra kemudian mengheningkan cipta membaca mantra seperti yang
pernah diajarkan oleh kakaknya, yaitu Prabu Kresna Wasudewa. Sambil membaca mantra,
tangannya mengusap sekujur tubuh Dewi Jatasini. Seketika wujud Dewi Jatasini pun
berubah menjadi sama persis seperti dirinya.
Dewi Jatasini bertanya mengapa dirinya diubah menjadi Dewi Sumbadra palsu. Dewi
Sumbadra asli pun menjawab bahwa ia ingin menguji kesetiaan suaminya. Saat ini Raden
Arjuna sedang pergi berkelana untuk mencari turunnya Wahyu Purbalaras. Maka, Dewi
Sumbadra palsu hendaknya pergi menyusul dan menggodanya. Apabila Raden Arjuna
bersedia melayani Dewi Sumbadra palsu, maka Dewi Sumbadra yang asli akan mengalah
dan memilih bunuh diri. Sebaliknya, jika Raden Arjuna tidak menanggapi, maka Dewi
Jatasini tidak boleh memaksa lagi dan harus pulang ke negerinya dengan hati ikhlas. Dewi
Jatasini harus membuang jauh-jauh pikiran ingin menjadi istri Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA
Dewi Jatasini alias Dewi Sumbadra palsu menyatakan setuju. Ia pun mohon pamit dan
segera pergi berangkat menyusul Raden Arjuna. Ia berharap dirinya bisa menjadi
pemenang dalam taruhan ini.
RADEN ARJUNA MENOLAK DEWI SUMBADRA PALSU
Raden Arjuna sendiri sedang pergi berkelana dengan ditemani para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Rupanya ia telah mendengar kabar bahwa
Wahyu Purbalaras akan turun kepada Dewi Kuntulsinanten yang kini sedang bertapa di
tengah laut, dekat negeri Slagahima. Oleh sebab itu, ia pun berniat pergi ke sana untuk
memboyong putri sekaligus wahyu tersebut agar bisa menjadi milik Kerajaan Amarta.
Tak disangka Raden Arjuna tiba-tiba dihentikan oleh istrinya, yaitu Dewi Sumbadra.
Istrinya itu mengaku sangat rindu, karena sebagai pengantin baru bukannya ditemani justru
ditinggal pergi berkelana sendirian. Raden Arjuna heran karena tadi ia sudah berpamitan
mengapa kini dipermasalahkan? Ia pun dengan tegas menolak diajak pulang karena
perjalanan yang ia lakukan ini adalah demi kepentingan negara.
Dewi Sumbadra pun merayu Raden Arjuna bahwa dirinya ingin berhubungan badan
saat ini juga, dan setelah itu sang suami boleh melanjutkan perjalanannya. Dewi Sumbadra
mengaku ingin segera mempunyai anak sebagai temannya di kala kesepian. Demikianlah
ia merayu dan bermanja-manja di hadapan sang suami. Namun, hal ini justru membuat
Raden Arjuna curiga karena ada gelagat yang kurang beres. Meskipun wajah wanita yang
merayunya ini sama persis dengan istrinya, tetapi sekilas bau keringat mereka berbeda.
Raden Arjuna dapat menyimpulkan bahwa yang ada di hadapannya adalah Dewi Sumbadra
palsu. Secepat kilat ia pun berlari menghindar untuk menguji keaslian wanita itu. Sesuai
dugaan, Dewi Sumbadra palsu mengejarnya dengan langkah cepat pula.
DEWI SUMBADRA PALSU BERTEMU RADEN ARJUNA PALSU
Raden Arjuna yang berlari menghindari Dewi Sumbadra palsu akhirnya bertemu
dengan Prabu Jatagimbal yang sedang mencari Dewi Jatasini. Prabu Jatagimbal kagum
melihat ada laki-laki sangat tampan berdiri di depannya, dan ia pun bertanya apakah benar
yang sedang dihadapinya adalah Raden Arjuna. Laki-laki tampan itu menjawab benar
dirinya memang Raden Arjuna. Prabu Jatagimbal pun berkata terus terang bahwa ia ingin
menikahkan Raden Arjuna dengan adiknya, serta menjadikan Dewi Sumbadra sebagai
istrinya. Jika Raden Arjuna menolak, maka Prabu Jatagimbal mengancam akan langsung
membunuhnya.
Raden Arjuna menjawab tidak perlu bunuh-membunuh untuk merebut istrinya. Ia
merasa telah kecewa menikah dengan Dewi Sumbadra karena ternyata sang istri memiliki
nafsu birahi yang sangat besar. Padahal, Raden Arjuna masih ingin bersenang-senang di
luar, berkelana ke mana ia suka, tetapi istrinya itu selalu saja mengikuti dan ingin mengajak
berhubungan badan tanpa kenal waktu. Terus terang, Raden Arjuna mengaku tidak kuat
melayani nafsu birahi istrinya yang menggebu-gebu. Maka, Prabu Jatagimbal pun
dipersilakan jika ingin menikahi Dewi Sumbadra sekarang juga.
Prabu Jatagimbal semakin kasmaran begitu mendengar Dewi Sumbadra ternyata
memiliki nafsu birahi yang sangat besar. Ia pun meminta Raden Arjuna menyerahkan
istrinya itu kepadanya jika memang sudah tidak sanggup melayani. Raden Arjuna berterima
kasih dan segera membaca mantra lalu mengubah wujud Prabu Jatagimbal menjadi sama
persis dengannya. Prabu Jatagimbal bertanya mengapa wujudnya harus diubah segala.
Raden Arjuna pun menjawab bahwa Dewi Sumbadra saat ini sedang kasmaran dengan
dirinya. Oleh sebab itu, jika Prabu Jatagimbal ingin berhubungan badan dengannya, maka
harus menggunakan wujud yang sama persis dengan Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Jatagimbal dapat memahami hal itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara
Dewi Sumbadra palsu memanggil-manggil. Raden Arjuna asli segera pergi, sedangkan
Raden Arjuna palsu keluar menghampiri. Dewi Sumbadra palsu itu merengek manja
mengapa dirinya ditinggalkan. Raden Arjuna palsu menjawab sebenarnya ia juga rindu
kepada sang istri tetapi malu jika dilihat para panakawan. Keduanya sama-sama gemetar
tidak kuasa lagi menahan diri. Mereka pun pergi mencari gubuk asmara untuk
melampiaskan nafsu masing-masing.
DEWI KUNTULSINANTEN MENERIMA WAHYU PURBALARAS
Sementara itu, Dewi Kuntulsinanten sang putri Slagahima sedang bertapa di atas
ombak samudera. Sudah berhari-hari ia melakukan tapa brata hingga sekujur tubuhnya pun
dipenuhi tanaman ganggang yang begitu lebat menjalar ke sana kemari. Justru berkat
tanaman gangang itulah, tubuh Dewi Kuntulsinanten selalu mengambang tanpa tenggelam,
meskipun dihantam deburan ombak yang bergulung-gulung.
Sudah empat puluh hari lamanya Dewi Kuntulsinanten bertapa. Tiba-tiba dari angkasa
muncul seberkas sinar yang merasuk ke dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian datang pula
Batara Narada membangunkan tapa gadis tersebut.
Dewi Kuntulsinanten membuka mata dan segera menyembah Batara Narada. Batara
Narada menjelaskan bahwa sang putri tidak perlu lagi melanjutkan tapa karena Wahyu
Purbalaras baru saja masuk ke dalam dirinya dalam wujud seberkas sinar. Namun
demikian, Wahyu Purbalaras ini bukan menjadi hak milik Kerajaan Slagahima, tetapi
ditakdirkan menjadi milik negara lain. Oleh sebab itu, Dewi Kuntulsinanten harus rela
bersatu jiwa raga dengan raja yang dianggapnya cocok memiliki wahyu tersebut.
Dewi Kuntulsinanten pasrah jika memang itu yang menjadi ketetapan dewata. Karena
sang putri telah sepakat, maka Batara Narada pun memisahkan badan jasmani dan rohani
Dewi Kuntulsinanten. Mulai saat ini Dewi Kuntulsinanten hanya berbadan rohani saja,
sedangkan badan jasmaninya disatukan dengan tanaman ganggang yang tadi menjalar di
sekujur tubuhnya. Demikianlah, Batara Narada pun mengubah badan jasmani Dewi
Kuntulsinanten sekaligus tanaman ganggang yang menutupinya menjadi seorang laki-laki,
yang diberi nama Raden Tambakganggeng.
Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Tambakganggeng adalah wujud jasmani
Dewi Kuntulsinanten yang mewarisi kecerdasan pikirannya dan kebaikan hatinya. Kelak
meraka pun akan selalu bersama. Raden Tambakganggeng akan mengabdi kepada raja
yang menjadi titisan Dewi Kuntulsinanten. Usai berkata demikian, Batara Narada pun
kembali ke kahyangan.
RADEN ARJUNA DITOLAK DEWI KUNTULSINANTEN
Setelah Batara Narada pergi, Dewi Kuntulsinanten dan Raden Tambakganggeng
segera naik ke daratan. Mereka bertemu Raden Arjuna bersama para panakawan yang
menjemput di pantai. Raden Arjuna heran melihat ada seorang wanita cantik tetapi
tubuhnya tembus pandang seperti cahaya. Wanita itu pun menjawab bahwa dirinya
bernama Dewi Kuntulsinanten dari Kerajaan Slagahima. Raden Arjuna merasa kebetulan
dan ia pun berterus terang ingin melamar sang putri untuk diboyong ke Kerajaan Amarta.
Dewi Kuntulsinanten memaklumi Raden Arjuna pasti telah mendengar berita tentang
Wahyu Purbalaras yang jatuh kepadanya. Ia pun bersedia diboyong Raden Arjuna apabila
sang pangeran memang pantas menjadi tempatnya menitis. Raden Arjuna lalu berdiam
mengheningkan cipta, sedangkan Dewi Kuntulsinanten masuk menyatu ke dalam dirinya.
Akan tetapi, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten sudah tidak kuat dan segera
keluar dari dalam tubuh Raden Arjuna. Ia berkata bahwa Raden Arjuna bukan sosok yang
KITAB WAYANG PURWA
ia cari karena masih diliputi watak mudah marah, dan tidak segan-segan menipu orang lain.
Raden Arjuna terperanjat menyadari bahwa dirinya memang baru saja menipu Prabu
Jatagimbal.
Raden Arjuna merasa ikhlas jika dirinya gagal memboyong Wahyu Purbalaras.
Namun, ia penasaran ingin tahu siapa kiranya orang yang menjadi pilihan Dewi
Kuntulsinanten. Maka, ia pun ikut menyertai putri tersebut pulang ke Kerajaan Slagahima.
RADEN ARJUNA MEMBUNUH PRABU JATAGIMBAL
Sementara itu, Raden Arjuna palsu dan Dewi Sumbadra palsu sedang sibuk
melampiaskan nafsu birahi masing-masing di dalam sebuah gubuk asmara. Ketika
mencapai puncak, tiba-tiba penyamaran Raden Arjuna palsu buyar dan wujudnya pun
kembali menjadi Prabu Jatagimbal. Dewi Sumbadra palsu menjerit kaget dan wujudnya pun
kembali menjadi Dewi Jatasini.
Prabu Jatagimbal dan Dewi Jatasini sangat malu bercampur sedih karena mereka
ternyata telah melakukan hubungan badan dengan saudara sendiri. Dewi Jatasini hampir
saja bunuh diri namun dapat dicegah sang kakak. Prabu Jatagimbal berkata bahwa ini
semua adalah kesalahan Raden Arjuna yang telah menipu dirinya. Maka, ia pun berangkat
untuk melabrak kesatria Pandawa tersebut demi melampiaskan sakit hati.
Raden Arjuna saat itu sedang menemani Dewi Kuntulsinanten dalam perjalanan
pulang menuju Kerajaan Slagahima. Prabu Jatagimbal berhasil menyusul dan langsung
menyerang Raden Arjuna. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Prabu Jatagimbal yang
dibakar amarah menjadi kurang teliti dan kurang waspada. Akibatnya, keris Raden Arjuna
pun berhasil merobek perutnya dan membuat raja raksasa dari Selamangleng itu tewas
kehilangan nyawa.
Dewi Jatasini yang mengintai dari kejauhan sangat berduka melihat kematian
kakaknya. Rasa cintanya kepada Raden Arjuna berubah menjadi benci. Ia pun bersumpah
akan membesarkan anak hasil persetubuhannya dengan sang kakak agar kelak membalas
dendam kepada Panengah Pandawa tersebut. Untuk sementara ini, ia berniat pergi
mengungsi kepada kakak sulungnya, yaitu Prabu Jatasura di Kerajaan Pageralun untuk
meminta perlindungan. (Kelak putra hasil hubungan Dewi Jatasini dengan Prabu Jatagimbal
akan lahir dan diberi nama Prabu Kalasrenggi).
RADEN WREKODARA MENGALAHKAN PARA PUTRA SLAGAHIMA
Pagi itu Prabu Janinraja di Kerajaan Slagahima menerima kunjungan tiga orang raja,
yaitu Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Puntadewa dari Amarta, dan Prabu Baladewa
dari Mandura. Ketiga raja tersebut juga mengajukan lamaran untuk meminang Dewi
Kuntulsinanten. Prabu Janinraja menjelaskan bahwa putri sulungnya masih belum kembali
dari bertapa menjemput turunnya Wahyu Purbalaras. Namun demikian, ia telah menetapkan
barangsiapa bisa mengalahkan putra-putranya dalam sayembara tanding, maka orang itu
berhak melamar Dewi Kuntulsinanten.
Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan ketiga raja segera mengajukan diri
bahwa ia yang akan bertanding di dalam sayembara. Jika dirinya menang, maka Dewi
Kuntulsinanten boleh memilih salah satu di antara ketiga raja yang datang bersamanya.
Usai berkata demikian, sang Panenggak Pandawa itu pun segera naik ke atas panggung.
Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, dan adik-adik mereka segera naik ke
panggung pula. Pertandingan pun dimulai. Satu persatu para putra Slagahima itu
menyerang Arya Wrekodara, namun tidak satu pun dari mereka yang mampu
mengalahkannya. Arya Wrekodara begitu tangkas dan perkasa, tidak mudah dirobohkan.
Sebaliknya, ia justru mampu mendesak kedelapan lawannya. Kedelapan putra Slagahima
KITAB WAYANG PURWA
itu pun maju bersama-sama mengerubut Arya Wrekodara. Tanpa gentar sedikit pun, Arya
Wrekodara segera mengangkat Gada Rujakpolo dan menghantamkannya ke arah lawan-
lawannya itu.
Sungguh ajaib, Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok,
Raden Podangbinorehan, Raden Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden
Cecakandon, dan Raden Menjanganketawang tidak mati terkena pukulan gada tersebut,
tetapi tubuh mereka menyusut menjadi lebih kecil daripada semula. Sebaliknya, Gada
Rujakpolo di tangan Arya Wrekodara menjadi lebih besar setelah menghantam kedelapan
pangeran tersebut. Menyadari kehebatan lawan, Raden Gagakbaka mewakili saudara-
saudaranya pun mengaku kalah dan menyatakan Arya Wrekodara sebagai pemenang
sayembara.
DEWI KUNTULSINANTEN MEMERIKSA ISI HATI KEEMPAT RAJA
Bersamaan dengan itu, Dewi Kuntulsinanten telah tiba di istana Slagahima beserta
Raden Arjuna dan Raden Tambakganggeng. Ia menghadap sang ayah, Prabu Janinraja,
untuk menyampaikan berita bahwa dirinya telah menerima Wahyu Purbalaras. Namun
demikian, di sisi lain ia harus bersedia kehilangan badan jasmaninya sehingga kini hanya
tinggal berbadan rohani saja. Adapun badan jasmani Dewi Kuntulsinanten tersebut kini telah
menjelma sebagai laki-laki bernama Raden Tambakganggeng, yang hendaknya diakui pula
sebagai putra Slagahima.
Prabu Janinraja terharu dan berusaha memeluk putri sulungnya yang kini tubuhnya
remang-remang tidak dapat diraba. Ia juga memeluk Raden Tambakganggeng yang mulai
hari ini dianggap sebagai putra kesepuluh. Setelah itu, Prabu Janinraja menceritakan
semuanya dari awal hingga akhir kepada Dewi Kuntulsinanten. Kini, sayembara tanding
telah dimenangkan oleh Arya Wrekodara yang bertindak sebagai senapati bagi ketiga raja.
Untuk selanjutnya, silakan Dewi Kuntulsinanten memilih siapa dari ketiga raja tersebut yang
ia terima sebagai suami penitisan.
Tiba-tiba Prabu Duryudana datang marah-marah menantang para putra Slagahima. Ia
berkata bahwa pertandingan kemarin belum selesai karena terhalang matahari terbenam.
Kini ia datang untuk meminta pertandingan dilanjutkan dan kemenangan Arya Wrekodara
dianggap batal.
Prabu Puntadewa berusaha menyabarkan Prabu Duryudana agar tidak perlu marah-
marah seperti itu. Sayembara hanyalah soal permainan. Kalah atau menang tidak penting.
Sekarang keputusan ada di tangan Dewi Kuntulsinanten. Biarlah sang putri memilih salah
satu di antara empat raja, bukan hanya tiga seperti disebutkan di awal tadi.
Prabu Duryudana luluh hatinya. Ia pun ikut berbaris bersama Prabu Kresna, Prabu
Baladewa, dan Prabu Puntadewa. Dewi Kuntulsinanten mohon izin untuk memeriksa hati
nurani keempat raja tersebut. Prabu Duryudana yang datang sejak kemarin meminta
diperiksa paling awal. Dewi Kuntulsinanten setuju. Ia kemudian masuk ke dalam diri raja
Hastina itu untuk memeriksa kalbunya. Namun, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten
sudah keluar lagi. Ia berkata jiwa Prabu Duryudana terlalu panas. Hatinya penuh dengan
rasa iri dan dengki, serta wataknya serakah ingin menang sendiri, membuat Dewi
Kuntulsinanten tidak dapat menerimanya sebagai suami penitisan.
Dewi Kuntulsinanten lalu masuk ke dalam diri Prabu Baladewa untuk memeriksa kalbu
raja Mandura tersebut. Sama seperti tadi, hanya sebentar saja ia langsung keluar. Wanita
itu berkata bahwa Prabu Baladewa berhati lembut tetapi sikapnya kasar, berwatak mudah
kasihan tetapi gampang marah. Seorang raja yang berwatak semacam itu cenderung
mudah dihasut dan diperdaya oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan.
KITAB WAYANG PURWA
Dewi Kuntulsinanten kemudian masuk ke dalam diri Prabu Kresna. Sama seperti
sebelumnya, wanita itu pun keluar karena merasa tidak cocok dengan sifat sang raja
Dwarawati. Menurut pengamatannya, Prabu Kresna memang seorang yang berbudi luhur,
juga sangat cerdas dan bijaksana. Akan tetapi, sifatnya kurang jujur dan suka menghalalkan
segala cara demi meraih kemenangan. Ia tidak segan-segan berbohong jika memang itu
dianggap bermanfaat. Hal ini ternyata kurang disukai oleh Dewi Kuntulsinanten.
Yang terakhir, Dewi Kuntulsinanten masuk ke dalam diri Prabu Puntadewa. Kali ini ia
merasa sangat nyaman dan cocok terhadap isi kalbu sang raja Amarta. Menurut
pengamatannya, Prabu Puntadewa seorang jujur dan adil, mengutamakan kebenaran
dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan. Prabu Puntadewa juga berani berkorban
demi kebahagiaan banyak orang, serta merelakan penderitaan untuk ia tanggung sendiri.
Dewi Kuntulsinanten pun menerima Prabu Puntadewa sebagai suaminya, namun
pernikahan mereka adalah pernikahan secara batin. Untuk selamanya, roh Dewi
Kuntulsinanten menyatu di dalam diri Prabu Puntadewa dan tidak akan keluar lagi.
Demikianlah, Dewi Kuntulsinanten yang berkulit putih kini bersatu jiwa dengan Prabu
Puntadewa yang berdarah putih.
PARA PUTRA SLAGAHIMA MENJADI PATIH AMARTA DAN JODIPATI
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa mengucapkan selamat atas terpilihnya sepupu
mereka. Dulu mereka telah mendapatkan Wahyu Purbasejati, sehingga sudah sepantasnya
jika Wahyu Purbalaras kini menjadi milik Prabu Puntadewa. Sebaliknya, Prabu Duryudana
marah-marah dan mengamuk ingin memaksa Dewi Kuntulsinanten agar keluar dari dalam
diri Prabu Puntadewa. Melihat itu, Arya Wrekodara segera bertindak menendang keluar
sepupunya tersebut.
Prabu Duryudana pun memanggil para Kurawa agar membantu. Arya Dursasana,
Raden Kartawarma, Adipati Jayadrata, dan yang lain segera maju. Arya Wrekodara segera
menendang mereka satu persatu hingga semuanya lari tunggang langgang meninggalkan
Kerajaan Slagahima.
Keadaan kini tenang kembali. Prabu Janinraja menerima takdir Yang Mahakuasa
bahwa putri sulungnya harus bersatu jiwa dengan Prabu Puntadewa. Tidak hanya itu,
Raden Tambakganggeng juga memohon izin agar diperbolehkan mengabdi kepada Prabu
Puntadewa, agar dirinya selalu dekat dengan Dewi Kuntulsinanten. Prabu Janinraja pun
mengizinkannya. Prabu Puntadewa lalu mengangkat Raden Tambakganggeng sebagai
patih Kerajaan Amarta. Selama ini sejak pertama kali berdiri, Kerajaan Amarta belum
memiliki seorang patih karena Prabu Puntadewa merangkap jabatan, di mana ia menangani
langsung segala urusan pemerintahan negerinya.
Sementara itu, Raden Gagakbaka dan adik-adiknya juga ingin mengabdi kepada Arya
Wrekodara yang telah berhasil mengalahkan mereka dalam sayembara. Prabu Janinraja
pun mengizinkan putra-putranya itu apabila ingin ikut pindah ke Kerajaan Amarta, tepatnya
di Kesatrian Jodipati. Namun, sebagian harus tetap tinggal di Kerajaan Slagahima. Tidak
baik jika negara sampai kosong karena para pangerannya lebih memilih hidup di luar negeri.
Demikianlah, kedelapan putra Prabu Janinraja pun dibagi menjadi dua kelompok.
Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden
Jangetkinatelon mengabdi kepada Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati, sedangkan Raden
Dandanggaok, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden
Menjanganketawang tetap tinggal di Kerajaan Slagahima bersama ayah mereka.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA
Arjuna. Desas-desus ini semakin diperkuat dengan permintaan aneh Dewi Banuwati, yaitu
ingin dicarikan juru rias pengantin yang tampan sempurna tanpa cacat. Siapa lagi yang
dimaksud kalau bukan Raden Arjuna si Panengah Pandawa itu?
Prabu Duryudana juga pernah mendengar cerita bagaimana caranya membedakan
wanita yang masih perawan atau tidak. Wanita jika masih perawan pasti mengeluarkan
darah saat bersetubuh pertama kali. Padahal, saat malam pertama perkawinan mereka,
ternyata darah tersebut tidak keluar dari kemaluan Dewi Banuwati. Hal ini membuat Prabu
Duryudana curiga jangan-jangan istrinya itu memang pernah berbuat zina dengan Raden
Arjuna sebelum menikah dengannya. Itulah sebabnya, ia pun ragu apakah bayi yang
dikandung Dewi Banuwati kali ini benar-benar anaknya atau bukan.
Resi Druna menasihati Prabu Duryudana agar jangan mudah menuduh istri berbuat
zina jika tidak memiliki bukti yang cukup. Tuduhan yang keliru hanya akan merusak
keharmonisan rumah tangga belaka. Tidak hanya itu, menuduh Dewi Banuwati tanpa bukti
juga akan merusak hubungan baik antara Kerajaan Hastina dengan Kerajaan Mandraka.
Maka, Prabu Duryudana sebaiknya tidak buru-buru mencurigai istri hanya karena tidak
mengeluarkan darah di malam pertama.
Adipati Karna membenarkan ucapan Resi Druna. Soal mengeluarkan darah atau tidak
itu tidak boleh digunakan sebagai acuan. Setiap perempuan memiliki riwayat tubuh yang
berbeda-beda. Ada perempuan yang sewaktu muda pernah kecelakaan terjatuh dari kuda
atau kereta, sehingga bisa saja merusak bagian dalam kelaminnya. Atau ada juga
perempuan yang bagian dalam kelaminnya berukuran tebal, sehingga tidak mudah koyak
dan mengeluarkan darah saat berhubungan badan dengan suaminya pertama kali. Oleh
sebab itu, suami jangan mudah termakan mitos soal darah perawan, karena itu hanya akan
menjadi beban yang merugikan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Suami dan istri
lebih baik saling percaya daripada saling menaruh curiga.
Patih Sangkuni berpendapat lain. Prabu Duryudana bukan hanya seorang suami
biasa, tetapi juga seorang raja besar. Apa jadinya jika permaisuri seorang raja agung
ternyata pernah berbuat zina sebelum menikah? Soal dugaan Dewi Banuwati mengandung
anak orang lain itu perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi ini menyangkut soal penerus takhta
Kerajaan Hastina pula. Kalau benar bayi yang dikandung Dewi Banuwati adalah putra
Raden Arjuna, maka hal ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna adalah anggota
Pandawa. Apabila benar demikian, maka si bayi akan menjadi musuh dalam selimut bagi
para Kurawa.
Prabu Duryudana menjadi bimbang. Di satu sisi ia menerima nasihat Resi Druna dan
Adipati Karna, namun di sisi lain ia juga percaya pada ucapan Patih Sangkuni. Setelah
ditimbang-timbang, akhirnya ia pun mengambil jalan tengah. Apabila bayi yang dilahirkan
Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka Prabu Duryudana bersedia mengakuinya sebagai
putra. Namun, apabila bayi yang lahir berkelamin perempuan, maka ia akan mengusir Dewi
Banuwati beserta anaknya itu dari Kerajaan Hastina.
PRABU MANDRAJAYA HENDAK MEREBUT DEWI BANUWATI
Usai Prabu Duryudana mengucapkan sumpah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki
datang menghadap. Laki-laki itu bernama Patih Mandradenta dari Kerajaan Saroja.
Kedatangannya ialah untuk menyampaikan sepucuk surat dari rajanya yang bernama Prabu
Mandrajaya. Prabu Duryudana pun menerima surat itu dan membaca isinya.
Dalam surat tersebut Prabu Mandrajaya menceritakan asal usulnya. Dahulu kala
tersebutlah Kerajaan Mandrapura di tanah seberang yang dipimpin oleh Prabu Barandana.
Pada suatu hari Kerajaan Mandrapura hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Kerajaan
Siwandapura. Prabu Barandana pun tewas dalam serangan tersebut. Kedua putra Prabu
KITAB WAYANG PURWA
Barandana yang bernama Raden Kardana dan Raden Karjaya terpencar menyelamatkan
diri masing-masing. Raden Kardana lalu mengabdi kepada Prabu Basukiswara di Kerajaan
Wirata dan mendapatkan sebidang tanah di Hutan Keling. Raden Kardana lalu membabat
hutan tersebut menjadi negara baru, yang diberi nama Kerajaan Mandraka. Ia pun menjadi
raja pertama, bergelar Prabu Mandrakusuma. Adapun Prabu Salya yang memerintah
Kerajaan Mandraka saat ini adalah keturunan dari Prabu Mandrakusuma tersebut.
Sementara itu, adik Raden Kardana yang bernama Raden Karjaya juga berkelana
tetapi tidak menjadi raja, melainkan hidup berbaur dengan rakyat jelata. Setelah turun-
temurun barulah ada seorang keturunannya yang berhasil mendirikan sebuah negara baru
bernama Kerajaan Saroja. Keturunannya itu tidak lain adalah Prabu Mandrajaya yang kini
berkirim surat kepada Prabu Duryudana.
Prabu Mandrajaya berniat mempersatukan dua cabang keturunan Prabu Barandana
dengan cara melamar putri Prabu Salya di Mandraka. Sayang sekali, ketiga putri Prabu
Salya sudah menikah semua. Prabu Mandrajaya tidak mau menyerah begitu saja. Di antara
ketiga putri tersebut yang paling menarik perhatiannya adalah Dewi Banuwati yang telah
menikah dengan Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Untuk itulah, Prabu Mandrajaya
pun berkirim surat agar Prabu Duryudana menceraikan Dewi Banuwati dan menyerahkan
jandanya itu sebagai permaisuri Kerajaan Saroja.
Prabu Duryudana tersinggung membaca surat tersebut. Ia pun membanting dan
memaki Patih Mandradenta bahwa Dewi Banuwati tidak akan pernah diserahkan kepada
siapa pun. Patih Mandradenta menjawab dirinya sudah mendapat wewenang dari Prabu
Mandrajaya, apabila Prabu Duryudana menolak menyerahkan istrinya, maka harus direbut
melalui peperangan. Mendengar ini, Adipati Karna segera menanggapi bahwa dirinyalah
yang akan melayani tantangan pihak Kerajaan Saroja. Untuk itu, Patih Mandradenta diminta
menunggu di luar dengan mempersiapkan seluruh pasukannya. Patih Mandradenta setuju
dan segera pamit undur diri kembali ke induk pasukannya.
Setelah Patih Mandradenta keluar, Resi Druna menggoda Prabu Duryudana dengan
bertanya mengapa Dewi Banuwati tidak diserahkan saja, bukankah tadi sang permaisuri
sudah dicurigai pernah berbuat serong? Prabu Duryudana menjawab bahwa Dewi Banuwati
adalah permaisurinya. Bagaimanapun juga ini menyangkut wibawanya sebagai raja. Jika
sampai istrinya direbut orang, maka wibawanya akan ikut jatuh pula di mata rakyat. Resi
Druna senang mendengar jawaban ini. Ia pun berdoa semoga pihak Hastina mampu
mengalahkan tantangan Kerajaan Saroja.
PRABU DURYUDANA MENEMUI DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Ia lalu masuk ke dalam kedaton
menemui sang permaisuri Dewi Banuwati yang hari ini telah memasuki usia kandungan
sembilan bulan, dan mungkin akan segera melahirkan. Tampak pula Dewi Srutikanti (istri
Adipati Karna) berjaga menemani di sisi Dewi Banuwati.
Melihat Prabu Duryudana datang, Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti segera
menyambut ramah. Prabu Duryudana tampak bermuka masam. Ia pun bercerita bahwa
dirinya baru saja menerima surat dari seorang raja bernama Prabu Mandrajaya di Kerajaan
Saroja. Surat itu berisi permintaan Prabu Mandrajaya agar Prabu Duryudana menyerahkan
Dewi Banuwati kepadanya. Tujuan Prabu Mandrajaya ingin menikahi Dewi Banuwati adalah
untuk mempererat tali kekeluargaan antara sesama cabang keturunan mendiang Prabu
Barandana raja Mandrapura.
Dewi Banuwati sangat marah mendengar berita itu. Ia merasa lebih baik mati daripada
Prabu Duryudana menyerahkan dirinya kepada laki-laki lain. Prabu Duryudana pun
bertanya apakah ucapan istrinya itu tulus dari hati ataukah hanya manis di bibir saja? Dewi
KITAB WAYANG PURWA
Banuwati pun ditanyai apabila dirinya diserahkan kepada laki-laki lain, dan laki-laki itu
adalah Raden Arjuna lantas bagaimana sikapnya, menolak atau tidak?
Dewi Banuwati pucat pasi tidak bisa menjawab. Dewi Srutikanti segera membela
adiknya dengan menyebut pertanyaan Prabu Duryudana sangatlah tidak pantas. Prabu
Duryudana pun berterus terang bahwa dirinya baru saja mengambil keputusan. Apabila bayi
yang dilahirkan Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai
putra. Sebaliknya, jika Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan, maka itu pastilah anak
Raden Arjuna. Jika benar itu yang terjadi, maka Prabu Duryudana tidak segan-segan
mengusir Dewi Banuwati keluar dari Kerajaan Hastina beserta anaknya sekaligus.
Dewi Banuwati tergetar mendengar keputusan Prabu Duryudana tersebut. Ia pun jatuh
lemas dan segera dipapah Dewi Srutikanti masuk ke dalam. Dewi Srutikanti pun menyesali
ucapan Prabu Duryudana yang melampaui batas. Sebagai suami bukannya menenangkan
perasaan istri yang sedang hamil tua, tetapi justru bersikap kasar seperti itu. Prabu
Duryudana merasa serbasalah. Ia pun pamit keluar ingin menonton Adipati Karna
menghancurkan musuh dari Kerajaan Saroja. Soal bagaimana nanti Dewi Banuwati
melahirkan, biarlah Dewi Srutikanti saja yang mendampingi. Usai berkata demikian, ia pun
bergegas keluar meninggalkan kedaton.
DEWI BANUWATI MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN
Dewi Srutikanti lalu memapah adiknya masuk ke dalam kamar. Dewi Banuwati merasa
dirinya akan segera melahirkan. Menyadari hal itu, Dewi Srutikanti khawatir ucapan Prabu
Duryudana menjadi kenyataan. Maka, ia pun seorang diri membantu Dewi Banuwati
melahirkan tanpa perlu memanggil bidan atau dayang istana. Ternyata benar, Dewi
Banuwati hari itu melahrkan seorang bayi perempuan.
Dewi Banuwati menangis sambil bercerita kepada sang kakak bahwa dirinya memang
pernah berselingkuh dengan Raden Arjuna, yaitu ketika menjelang pernikahan dulu. Saat
itu dirinya dirias di dalam kamar oleh Raden Arjuna hanya berdua saja. Mereka sama-sama
terlena sehingga melakukan hubungan badan. Tak disangka, persetubuhan tersebut
membuat Dewi Banuwati mengandung hingga akhirnya kini melahirkan anak perempuan.
Dewi Srutikanti sangat kesal mendengar ulah adiknya yang sangat memalukan.
Namun, bagaimanapun juga ia tidak rela jika Dewi Banuwati sampai diusir dari Kerajaan
Hastina. Ini semua adalah tanggung jawab Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti
pun menggendong bayi perempuan tersebut keluar melalui pintu belakang istana. Dewi
Banuwati menangis sedih karena harus berpisah dengan putrinya yang baru lahir, hingga
akhirnya ia pun jatuh pingsan.
ADIPATI KARNA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN SAROJA
Sementara itu, Adipati Karna bersama pasukan Hastina telah berhadap-hadapan
dengan musuh dari Kerajaan Saroja yang dipimpin Patih Mandradenta. Tidak lama
kemudian, kedua pihak saling menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi. Adipati Karna
dibantu Patih Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata berhasil memukul mundur
pasukan musuh tersebut.
Prabu Duryudana sangat senang melihat kemenangan kakak iparnya. Namun, ia tidak
mau berhenti sampai di sini saja. Ia ingin peperangan tetap dilanjutkan, yaitu Kerajaan
Saroja harus ditaklukkan menjadi jajahan Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana ingin melihat
seperti apa wajah Prabu Mandrajaya yang berani lancang hendak merebut istrinya.
Usai berkata demikian, Prabu Duryudana pun naik ke punggung Gajah
Murdaningkung kemudian mengajak Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap pasukan
Hastina untuk berangkat menggempur Kerajaan Saroja.
KITAB WAYANG PURWA
Raden Arjuna yakin saat ini istrinya tersebut pasti sudah melahirkan. Ia pun bergegas
menuju Padepokan Andongsumawi dan berhasil sampai di sana. Dilihatnya Endang
Manuhara sedang berdiri di depan bangunan padepokan sambil menggendong seorang
bayi perempuan pula.
Raden Arjuna pun disambut hangat oleh istrinya itu. Endang Manuhara segera
memperkenalkan bayi yang ia gendong merupakan putri hasil perkawinan mereka. Bayi
perempuan tersebut telah diberi nama Endang Pregiwa oleh kakeknya. Raden Arjuna
sangat terharu memandang anak pertamanya. Ia pun menggendong bayi tersebut sekaligus
dengan bayi perempuan yang ia bawa, masing-masing di lengan kanan dan kiri.
Endang Manuhara lalu bertanya siapa bayi perempuan yang satunya lagi. Raden
Arjuna menjawab malu-malu bahwa ini adalah putrinya sendiri yang dilahirkan oleh Dewi
Banuwati. Endang Manuhara heran mendengarnya. Ia masih ingat dulu Adipati Karna
datang menjemput suaminya untuk menjadi juru rias Dewi Banuwati yang akan menikah
dengan Prabu Duryudana. Namun, mengapa sekarang justru Dewi Banuwati melahirkan
anak perempuan Raden Arjuna?
Raden Arjuna pun menjelaskan bahwa sebelum dijodohkan dengan Prabu Duryudana,
Dewi Banuwati pernah menjalin hubungan asmara dengannya. Menjelang upacara
pernikahannya, Dewi Banuwati sengaja meminta disediakan seorang juru rias yang tampan
tanpa cacat. Maksudnya ialah, agar Prabu Duryudana menghadirkan Raden Arjuna
kepadanya. Rupa-rupanya Dewi Banuwati ingin berpamitan dengan kekasihnya tersebut.
Demikianlah, Raden Arjuna dan Dewi Banuwati pun hanya berdua di dalam kamar.
Dalam pertemuan itu Dewi Banuwati mengutarakan isi hatinya hingga membuat Raden
Arjuna terharu. Mereka pun saling menangis sedih hingga akhirnya sama-sama terlena oleh
nafsu. Begitulah ceritanya, Dewi Banuwati akhirnya melakukan hubungan badan dengan
Raden Arjuna sesaat sebelum menikah dengan Prabu Duryudana.
Akibat hubungan tersebut, Dewi Banuwati pun mengandung hingga akhirnya kini
melahirkan. Rupa-rupanya Prabu Duryudana merasa curiga apakah benar bayi tersebut
adalah anaknya atau bukan. Maka, ia pun mengambil jalan tengah. Apabila yang lahir bayi
laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai putra. Namun, jika yang lahir bayi
perempuan, maka ia akan mengusir Dewi Banuwati karena yakin pasti bayi tersebut adalah
anak hasil perselingkuhan istrinya dengan Raden Arjuna.
Sudah menjadi takdir dewata ternyata bayi yang lahir memang perempuan. Dewi
Srutikanti kakak kandung Dewi Banuwati pun menyelamatkan bayi tersebut dan meminta
Raden Arjuna agar bertanggung jawab, jangan sampai adiknya diusir dari Kerajaan Hastina.
Raden Arjuna menerima bayi tersebut dan berniat menitipkannya kepada Endang
Manuhara di Padepokan Andongsumawi.
Mendengar itu, Endang Manuhara sangat kesal karena dirinya dijadikan sebagai
tempat penitipan belaka. Sang suami berbuat selingkuh dengan wanita lain, namun ia yang
harus ikut bertanggung jawab pula. Endang Manuhara merasa berat jika harus mengasuh
anak hasil perselingkuhan mereka. Namun, tiba-tiba si bayi putri Dewi Banuwati menangis
karena lapar. Seketika sifat keibuan Endang Manuhara pun tergugah. Ia segera mengambil
bayi perempuan tersebut dari tangan Raden Arjuna dan menyusuinya.
Bayi perempuan tersebut langsung diam dan meneguk air susu Endang Manuhara
dengan lahap. Melihat wajah si bayi yang polos dan cantik, Endang Manuhara yang tadinya
kesal berubah menjadi senang, seolah dirinya kini memiliki dua orang anak sekaligus. Ia
pun bersedia merawat bayi tersebut dan menjadikannya sebagai adik Endang Pregiwa.
Endang Manuhara lalu memberi nama putri barunya itu, Endang Pregiwati.
KITAB WAYANG PURWA
Raden Arjuna setuju dan juga sangat bahagia atas ketulusan hati sang istri. Kini ia
merasa lega karena masalah pertama sudah teratasi. Sekarang tinggal masalah kedua,
yaitu mencari bayi laki-laki untuk diserahkan kepada Dewi Banuwati. Endang Manuhara
seketika teringat bahwa sang ayah, yaitu Resi Sidiwacana hari ini sedang mengunjungi
kawan lamanya, yaitu Nyai Clekutana di Hutan Pringgabaya. Konon kabarnya, putri Nyai
Clekutana yang bernama Mirahdinebak baru saja melahirkan bayi laki-laki tanpa ayah.
Mendengar itu, Raden Arjuna segera mohon pamit kepada sang istri untuk kemudian
bergegas menuju Hutan Pringgabaya.
RADEN ARJUNA MEMINTA ANAK MIRAHDINEBAK
Dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, Raden Arjuna pun sampai di tempat tinggal
Nyai Clekutana dalam waktu singkat. Bagaimanapun juga ia pernah datang ke tempat itu
bersama Adipati Karna untuk mencari seekor gajah putih sebagai syarat pernikahan Prabu
Duryudana. Itulah sebabnya, Raden Arjuna dapat langsung menemukan rumah Nyai
Clekutana. Tampak di sana Mirahdinebak sedang menggendong seorang bayi laki-laki.
Resi Sidiwacana juga masih berada di tempat itu untuk mengucapkan selamat atas
kelahiran cucu sahabatnya.
Resi Sidiwacana bertanya ada keperluan apa menantunya datang menyusul. Raden
Arjuna berterus terang menceritakan Prabu Duryudana telah mencurigai istrinya, yaitu Dewi
Banuwati berbuat selingkuh. Prabu Duryudana pun bersumpah jika istrinya melahirkan bayi
perempuan maka akan diusir kedua-duanya dari Kerajaan Hastina, namun jika melahirkan
bayi laki-laki maka akan diakui sebagai anak. Sungguh kebetulan yang lahir adalah
perempuan. Maka, Raden Arjuna pun mengambil dan menitipkan bayi itu agar diasuh oleh
Endang Manuhara yang baru saja melahirkan Endang Pregiwa. Bayi tersebut telah diterima
oleh Endang Manuhara dan diberi nama Endang Pregiwati.
Kini kedatangan Raden Arjuna ke Hutan Pringgabaya adalah untuk meminta bayi laki-
laki yang baru saja dilahirkan oleh Mirahdinebak. Bayi tersebut rencananya akan diserahkan
kepada Dewi Banuwati agar diakui sebagai anak Prabu Duryudana. Nyai Clekutana merasa
permintaan ini sangat aneh dan ia tidak rela jika cucunya harus dibawa oleh Raden Arjuna.
Mirahdinebak sendiri tergetar mendengarnya. Selama ini ia menjaga rahasia siapa
sebenarnya ayah dari bayi yang ia lahirkan tersebut. Hari ini ia terpaksa bercerita kepada
Nyai Clekutana dan Resi Sidiwacana bahwa bayinya adalah putra Prabu Duryudana raja
Hastina. Awal mulanya ialah Prabu Duryudana handak meminjam gajah putih peliharaan
Mirahdinebak sebagai syarat pernikahannya dengan Dewi Banuwati. Mirahdinebak
bersedia menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk menjadi milik Prabu Duryudana
selamanya, asalkan mereka bersetubuh terlebih dahulu. Prabu Duryudana menerima syarat
tersebut. Demikianlah awal mula mengapa Mirahdinebak dapat mengandung anak Prabu
Duryudana.
Raden Arjuna merasa kesal mendengarnya, karena Prabu Duryudana menuduh Dewi
Banuwati berselingkuh, padahal dirinya sendiri juga berhubungan badan dengan
Mirahdinebak. Raden Arjuna lalu memohon agar Mirahdinebak bersedia menyerahkan bayi
laki-laki itu kepadanya demi menyelamatkan nasib Dewi Banuwati.
Sebagai seorang ibu, Mirahdinebak sebenarnya sangat sayang kepada putranya.
Namun, sebagai sesama wanita, ia merasa kasihan pada nasib Dewi Banuwati. Setelah
ditimbang-timbang, ia akhirnya merelakan Raden Arjuna membawa putranya untuk
diserahkan kepada Dewi Banuwati. Lagipula putranya itu adalah anak kandung Prabu
Duryudana, tentunya lebih baik jika mendapat penghidupan yang layak di dalam istana
bersama ayahnya.
KITAB WAYANG PURWA
Raden Arjuna sangat berterima kasih dan menggendong bayi laki-laki tersebut. Ia lalu
mohon pamit kepada Nyai Clekutana dan Mirahdinebak, begitu pula Resi Sidiwacana juga
berpamitan kepada ibu dan anak tersebut. Mereka lalu pergi ke tujuan masing-masing.
Raden Arjuna menuju Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Sidiwacana pulang ke Padepokan
Andongsumawi.
RESI DRUNA MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA
Sementara itu di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa sedang dihadap Arya
Wrekodara, si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng
dan para panakawan. Tiba-tiba datang Resi Druna menemui mereka. Prabu Puntadewa
pun menyambut kedatangan sang guru dan bertanya ada keperluan apa. Resi Druna
berkata bahwa Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap Kurawa
telah pergi menyerang Kerajaan Saroja menghadapi Prabu Mandrajaya yang berniat
merebut Dewi Banuwati. Namun, dalam peperangan itu mereka jatuh ke dalam perangkap
musuh yang dipasang secara licik. Kini, Prabu Duryudana, Adipati Karna, dan Patih
Sangkuni menjadi tawanan Prabu Mandrajaya.
Resi Druna yang mengawasi dari kejauhan segera pergi untuk meminta bantuan.
Untuk itulah ia sengaja datang ke istana Indraprasta untuk meminta pertolongan Prabu
Puntadewa dan saudara-saudaranya agar bersedia membebaskan Prabu Duryudana dan
yang lain.
Arya Wrekodara menanggapi bahwa itu semua adalah akibat ulah Prabu Duryudana
sendiri. Prabu Duryudana terlalu sombong menyerang Kerajaan Saroja. Kesombongannya
itulah yang membuat dirinya celaka. Selain itu Prabu Duryudana juga sering berbuat licik
kepada para Pandawa, maka pantas jika hari ini mendapat balasan setimpal dari Prabu
Mandrajaya yang sama-sama licik. Oleh sebab itu, ia menyatakan tidak sudi pergi
membantu.
Prabu Puntadewa menasihati Arya Wrekodara agar jangan bersikap demikian.
Bagaimanapun juga Kerajaan Hastina adalah tanah air dan kampung halaman para
Pandawa. Saat ini raja Hastina sedang kesusahan, sudah seharusnya para Pandawa turun
tangan membantu. Apabila Prabu Duryudana tidak dibebaskan, Kerajaan Hastina akan
menjadi kacau karena tidak memiliki pemimpin. Keributan bisa terjadi di mana-mana, dan
yang paling menderita sudah pasti rakyat jelata.
Arya Wrekodara menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia membantu
membebaskan Prabu Duryudana dan kawan-kawan. Ia kemudian mohon pamit kepada
sang kakak sulung, lalu berangkat bersama Resi Druna. Para panakawan yang tadi
diperintahkan pulang oleh Raden Arjuna, kini ikut berangkat pula menyertai Arya Wrekodara
menuju Kerajaan Saroja.
ARYA WREKODARA MENGALAHKAN PRABU MANDRAJAYA
Arya Wrekodara dan Resi Druna telah sampai di Kerajaan Saroja. Prabu Mandrajaya
pun keluar menghadapi mereka. Resi Druna menantang raja tersebut untuk menghadapi
muridnya yang baru datang ini. Jika Prabu Mandrajaya kalah, maka Prabu Duryudana dan
semua pengikutnya harus dibebaskan. Namun, apabila Arya Wrekodara yang kalah, maka
Prabu Mandrajaya berhak mendapatkan Dewi Banuwati lengkap dengan seluruh Kerajaan
Hastina.
Prabu Mandrajaya sepakat. Ia lalu mengangkat gada untuk melayani tantangan Arya
Wrekodara. Di lain pihak, Arya Wrekodara juga sudah siap dengan senjata Gada Rujakpolo
di tangan. Mereka pun maju dan saling menyerang. Pertarungan sengit pun terjadi.
KITAB WAYANG PURWA
Sungguh dahsyat perkelahian mereka hingga banyak bangunan istana Saroja yang rusak
terkena pukulan gada.
Prabu Mandrajaya akhirnya lengah karena melihat istanya rusak dihantam gada Arya
Wrekodara. Akibatnya, Gada Rujuakpolo pun mendarat di kepalanya. Prabu Mandrajaya
roboh seketika. Ia bersumpah sukmanya akan menyatu dengan putra Prabu Duryudana,
agar selalu menjadi musuh anak-anak para Pandawa. Usai berkata demikian, Prabu
Mandrajaya pun meninggal dunia. Rohnya keluar meninggalkan raga naik ke angkasa
dalam wujud seberkas sinar.
Resi Druna pun bergegas membebaskan Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih
Sangkuni, dan para Kurawa lainnya dari dalam penjara. Prabu Duryudana sangat malu
karena dirinya dibebaskan oleh Arya Wrekodara yang selama ini dianggapnya sebagai
musuh. Namun, Resi Druna menasihati sang raja agar menenangkan diri. Yang terpenting
saat ini Kerajaan Saroja sudah menjadi taklukan Kerajaan Hastina dan itu berarti wilayah
Kerajaan Hastina menjadi jauh lebih luas lagi.
Prabu Duryudana merasa senang. Ia lalu mengajak Arya Wrekodara ikut kembali ke
Kerajaan Hastina di mana ia berniat menjamu sepupunya itu sebagai ungkapan terima
kasih. Resi Druna meminta Arya Wrekodara memenuhi undangan tersebut dan tidak perlu
khawatir karena dirinya yang akan menjamin para Kurawa tidak akan berbuat jahat. Arya
Wrekodara menyatakan bersedia. Ia sama sekali tidak takut Prabu Duryudana meracuni
makanannya, karena sejak meminum air pusaka Tirtamanik Rasakunda pemberian Batara
Basuki, dirinya kini menjadi kebal terhadap segala jenis racun.
Demikianlah, Prabu Duryudana bersama seluruh rombongan kemudian pulang ke
Kerajaan Hastina dengan penuh kegembiraan.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN ANAK MIRAHDINEBAK KEPADA DEWI
BANUWATI
Sementara itu, Raden Arjuna telah menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan
Hastina dan menemui Dewi Srutikanti. Saat itu Dewi Banuwati telah bangun dari pingsan
dan bertanya bagaimana keadaan putrinya. Raden Arjuna menjawab bahwa sang putri kecil
baik-baik saja, dan kini berada dalam asuhan istrinya yang bernama Endang Manuhara.
Dewi Banuwati sangat bersyukur dan berterima kasih atas segala bantuan Raden Arjuna.
Dewi Srutikanti berkata tidak perlu berterima kasih, karena bagaimanapun juga Raden
Arjuna adalah ayah kandung si bayi. Raden Arjuna sudah berbuat, maka harus ikut
bertanggung jawab. Demikianlah, sejak dulu Dewi Srutikanti memang tidak pernah suka
kepada Raden Arjuna, sungguh berbeda dengan para wanita kebanyakan.
Dewi Srutikanti lalu bertanya, siapa bayi laki-laki yang digendong Raden Arjuna
sekarang. Raden Arjuna menjawab, bayi laki-laki ini adalah putra kandung Prabu
Duryudana sendiri. Dahulu ketika hendak menikah, Dewi Banuwati mengajukan syarat agar
Prabu Duryudana menyediakan seekor gajah putih dengan pawang wanita sebagai
kendaraan pengantin. Prabu Duryudana berhasil mendapatkan Gajah Murdaningkung,
tetapi syaratnya harus mau berhubungan badan lebih dulu dengan si pawang yang bernama
Mirahdinebak. Demikianlah, bayi laki-laki ini adalah buah dari persetubuhan mereka.
Dewi Banuwati menerima bayi laki-laki itu sambil menggerutu, bahwa Prabu
Duryudana telah menuduhnya sudah tidak perawan saat menikah, padahal suaminya itu
ternyata juga tidak perjaka saat menikah dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar. Ternyata rombongan Prabu Duryudana
telah tiba di Kerajaan Hastina dan mendapat sambutan meriah atas kemenangannya
mengalahkan Prabu Mandrajaya. Menyadari hal itu, Raden Arjuna segera mohon pamit
KITAB WAYANG PURWA
untuk menghindar jangan sampai dirinya ketahuan masuk ke dalam kedaton. Dewi
Banuwati merasa berat untuk melepas kepergian mantan kekasihnya itu. Namun, Dewi
Srutikanti dengan tegas mengatakan bahwa Raden Arjuna sudah berjanji untuk tidak lagi
mengganggu rumah tangga Dewi Banuwati dan Prabu Duryudana. Janji tersebut harus
dipegang teguh. Raden Arjuna menjawab dirinya tidak akan melanggar janji ini. Namun
kelak, jika Prabu Duryudana sudah meninggal, maka ia akan datang untuk menjemput dan
memboyong Dewi Banuwati.
Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun melesat pergi meninggalkan istana
Kerajaan Hastina.
PRABU DURYUDANA MENGAKUI RADEN LESMANA SEBAGAI PUTRA
Prabu Duryudana dan rombongan telah memasuki istana dan mereka pun disambut
Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti. Prabu Duryudana langsung bertanya apakah Dewi
Banuwati melahirkan bayi laki-laki atau perempuan. Dewi Banuwati menyerahkan bayi yang
ia gendong untuk diperiksa sendiri oleh Prabu Duryudana. Prabu Duryudana pun menerima
bayi itu dan alangkah bahagia dirinya setelah melihat kelamin si bayi ternyata laki-laki.
Patih Sangkuni menanggapi dengan sinis agar Prabu Duryudana jangan buru-buru
senang dulu. Bisa jadi Dewi Banuwati melahirkan bayi perempuan namun kemudian ditukar
dengan bayi laki-laki anak orang lain. Mendengar itu, Dewi Banuwati segera mempersilakan
Patih Sangkuni untuk melihat langsung, wajah bayi tersebut mirip siapa, apakah mirip Prabu
Duryudana ataukah mirip orang lain?
Patih Sangkuni maju dan memeriksa. Alangkah terkejut dirinya ternyata wajah si bayi
memang sangat mirip dengan Prabu Duryudana. Kini ia tidak ragu lagi dan menyarankan
agar Prabu Duryudana menerima bayi tersebut sebagai putra.
Prabu Duryudana sangat bahagia setelah mendapat kepastian dari sang paman. Ia
pun menggendong bayi tersebut dengan penuh kegembiraan. Ia juga meminta maaf karena
selama ini telah mencurigai Dewi Banuwati. Mulai hari ini ia berjanji akan selalu sayang
kepada istrinya itu dan bersumpah tidak akan menikah lagi untuk selamanya, juga tidak
akan mengambil selir sama sekali. Dewi Banuwati merasa sangat bahagia mendengarnya,
dan ia pun menoleh kepada Dewi Srutikanti dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan itu menyarankan agar Prabu Duryudana
segera memberi nama putranya. Prabu Duryudana merasa bingung tidak tahu harus
memberi nama apa karena selama ini ia yakin Dewi Banuwati pasti berselingkuh dan
melahirkan anak perempuan. Untuk itu, ia menyerahkan kepada sang istri, terserah putra
mereka akan diberi nama siapa.
Dewi Banuwati pun berkata bahwa di zaman kuno ada seorang kesatria sakti bernama
Raden Lesmana yang selalu melindungi Prabu Sri Rama. Kesatria ini sangat hebat dan juga
seorang pemanah jitu. Bahkan, Prabu Sri Rama yang merupakan titisan Batara Wisnu pun
merasa banyak berhutang budi kepadanya. Oleh sebab itu, Dewi Banuwati mengusulkan
agar si bayi diberi nama Raden Lesmana saja. Prabu Duryudana merasa senang
mendengarnya dan menerima nama tersebut sebagai nama putranya.
Patih Sangkuni tiba-tiba teringat sesuatu dan segera menyela. Ia mengatakan bahwa
menurut dongeng yang pernah ia dengar, Raden Lesmana berwajah sangat tampan dan
juga pandai memanah. Jangan-jangan Dewi Banuwati memilih nama itu karena terbayang-
bayang Raden Arjuna yang juga berwajah tampan dan mahir memanah. Mendengar
hasutan sang paman, Prabu Duryudana menjadi bimbang dan bertanya kepada Dewi
Banuwati apa benar memiliki niat demikian.
KITAB WAYANG PURWA
Dewi Banuwati merasa bingung hendak menjawab apa. Dalam hati ia membenarkan,
bahwa dirinya memilih nama Raden Lesmana karena kesatria tersebut memang tokoh di
zaman kuno yang kepandaian dan wajahnya mengingatkan pada Raden Arjuna, mantan
kekasihnya.
Kyai Semar yang ikut mendampingi Arya Wrekodara segera menengahi. Ia berkata
bahwa Raden Lesmana memang mirip Raden Arjuna dalam hal ketampanan dan
kepandaian memanah. Namun, keduanya berbeda sifat. Raden Lesmana tidak menikah
seumur hidup, sedangkan Raden Arjuna sudah memiliki dua orang istri, yaitu istri paminggir
bernama Endang Manuhara, dan istri padmi bernama Dewi Sumbadra. Maka, tidak
sepantasnya Prabu Duryudana mencurigai Dewi Banuwati hanya karena masalah nama.
Lagipula Prabu Duryudana seorang raja besar. Apa yang sudah diputuskan olehnya tidak
baik jika dicabut kembali.
Mengingat usia Kyai Semar yang sudah ratusan tahun dan juga memiliki wawasan
luas, Prabu Duryudana pun mererima saran darinya. Lagipula ia sudah terlanjur suka pada
nama Raden Lesmana yang dianggapnya sangat bagus, sehingga tidak perlu diganti lagi.
Maka, ia pun menetapkan putranya tetap memakai nama ini, dengan harapan kelak si bayi
akan tumbuh menjadi seorang kesatria hebat seperti adik Prabu Sri Rama tersebut.
ROH PRABU MANDRAJAYA MENITIS KEPADA RADEN LESMANA
Ketika Prabu Duryudana sedang bergembira menggendong putranya, tiba-tiba dari
angkasa melayang turun seberkas sinar yang langsung masuk dan bersatu pada diri Raden
Lesmana. Seketika mata Raden Lesmana menjadi lebih lebar dan melotot, serta raut
wajahnya menjadi tampak bodoh, kadang tertawa sendiri, kadang menangis sendiri.
Menyaksikan hal itu, Resi Druna segera teringat sesuatu. Ia pun bercerita bahwa
sebelum meninggal, Prabu Mandrajaya bersumpah dirinya akan menitis kepada putra Prabu
Duryudana. Maka, seberkas sinar tadi pastilah roh Prabu Mandrajaya tersebut yang datang
untuk memenuhi ucapannya.
Prabu Duryudana merasa gemetar. Itu berarti putranya adalah titisan musuh. Resi
Druna menasihati sang raja agar tidak perlu takut. Prabu Mandrajaya kini terlahir kembali
sebagai Raden Lesmana bukan berarti menjadi musuh, tetapi bisa jadi ini menjadi sarana
baginya untuk menebus dosa. Jika sewaktu hidupnya, Prabu Mandrajaya pernah
menangkap dan memenjarakan Prabu Duryudana, maka kini ia menitis menjadi putra yang
selalu melayani dan menyembah kaki Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana merasa senang mendengar bekas musuhnya kelak akan
menyembah kakinya sebagai putra. Maka, ia pun menambah nama putranya menjadi
Raden Lesmana Mandrakumara, yang memiliki arti yaitu, Raden Lesmana titisan roh Prabu
Mandra.
Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar, ternyata Patih Mandradenta
datang membawa pasukan Saroja untuk melakukan bela pati, yaitu ingin bertempur sampai
mati menyusul Prabu Mandrajaya. Arya Wrekodara segera keluar dan menaklukkan
pasukan dari Kerajaan Saroja tersebut. Patih Mandradenta tidak dibunuh, melainkan
ditangkap dan dihadapkan kepada Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana yang hari ini sedang berbahagia atas kelahiran putranya, tidak mau
menjatuhkan hukuman mati kepada pasukan Saroja. Ia pun mengampuni Patih
Mandradenta dan memerintahkannya untuk membangun kembali istana Kerajaan Saroja,
dan mengganti namanya menjadi Sarojabinangun. Artinya ialah, Kerajaan Saroja yang
dibangun kembali. Kelak Sarojabinangun hendaknya menjadi tempat tinggal putranya
KITAB WAYANG PURWA
setelah dewasa, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara. Patih Mandradenta mematuhi dan
berterima kasih atas kemurahan hati Prabu Duryudana kepadanya.
Demikianlah, Prabu Duryudana pun berpesta tujuh hari - tujuh malam merayakan
kelahiran putranya. Arya Wrekodara yang ikut dijamu sebagai pahlawan selalu bersikap
waspada dan berhati-hati, jangan-jangan para Kurawa berbuat licik kepadanya. Setelah
dirasa cukup, ia pun pamit pulang ke Kerajaan Amarta bersama para panakawan.
UDAWA SAYEMBARA
Kisah ini menceritakan tentang Patih Udawa yang mengadakan sayembara tanding
untuk memperebutkan adiknya, yaitu Niken Larasati. Sayembara ini akhirnya
dimenangkan oleh Dewi Sumbadra yang menyerahkan Niken Larasati kepada Raden
Arjuna. Kelak dari perkawinan mereka lahir seorang putra yang diberi nama Raden
Bratalaras.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo yang saya padukan dengan rubrik pedhalangan di Majalah Panjebar
Semangat, disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 Februari 2017
Heri Purwanto
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Patih
Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan Raden Kartawarma dari
Tirtatinalang. Di paseban luar, para Kurawa yang dipimpin Arya Dursasana satria
Banjarjunut juga telah duduk bersiaga menunggu perintah. Hari itu Prabu Duryudana
tampak menerima pula kedatangan Prabu Baladewa, sang kakak ipar dari Kerajaan
Mandura.
Prabu Baladewa telah menerima surat dari Prabu Duryudana yang mengabarkan
tentang adik ipar mereka, yaitu Raden Burisrawa, yang saat ini sedang sakit dan tinggal di
Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana bercerita bahwa sejak gagal menikah dengan Dewi
Wara Sumbadra, Raden Burisrawa tidak pernah lagi pulang ke Kerajaan Mandraka,
melainkan pergi berkelana tak tentu arah seperti orang gila. Hingga akhirnya pada suatu
hari ia ditemukan di jalan oleh para Kurawa. Raden Burisrawa ditawari hendak diantarkan
pulang ke Mandraka tetapi menolak. Ia memilih lebih baik tinggal di Kerajaan Hastina
bersama kakaknya, yaitu Dewi Banuwati.
Sesampainya di istana Hastina, Raden Burisrawa selalu saja menyebut-nyebut nama
Dewi Sumbadra. Dewi Banuwati menasihatinya agar melupakan wanita itu karena sudah
menjadi istri Raden Arjuna. Nasihat tersebut justru membuat Raden Burisrawa semakin
kurang waras dan tubuhnya ikut sakit pula.
Prabu Duryudana melihat sumber penyakit adik iparnya itu berhubungan dengan Dewi
Sumbadra. Maka, ia pun berkirim surat kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura yang
merupakan kakak sulung Dewi Sumbadra, agar segera datang ke Kerajaan Hastina untuk
menjenguk dan membantu mengupayakan kesembuhan Raden Burisrawa.
sang ayah, yaitu Prabu Salya telah membuatkan kesatrian bernama Madyapura untuknya,
namun Raden Burisrawa lebih suka tinggal di dalam hutan. Hal itu karena ia memiliki wajah
raksasa, mirip seperti mendiang kakeknya, yaitu Resi Bagaspati. Mulutnya yang bertaring
sering menjadi bahan pembicaraan para abdi, sehingga membuat Raden Burisrawa tidak
betah tinggal di kesatrian dan lebih senang hidup di hutan. Sehari-hari ia pun berlatih tarung
melawan segala macam binatang buas.
Hingga pada suatu hari Raden Burisrawa dipanggil ke istana untuk menyaksikan
upacara pernikahan kakak sulungnya, yaitu Dewi Erawati dengan Prabu Baladewa. Saat
itulah pertama kalinya ia melihat Dewi Sumbadra yang bertindak sebagai patah
sakembaran, memegang kembar mayang bersama Dewi Jembawati, mengiringi kedua
mempelai. Seketika Raden Burisrawa pun jatuh cinta, tetapi dipendam dalam hati karena
kurang percaya diri pada wajahnya yang buruk rupa. Pertemuan kedua adalah saat Dewi
Sumbadra hadir menyaksikan upacara pernikahan Dewi Banuwati dengan Prabu
Duryudana, saat itulah Raden Burisrawa berani menunjukkan perasaannya kepada Dewi
Sumbadra.
Patih Udawa
pulang ke Mandraka tetapi menolak. Ia memilih lebih baik tinggal di Kerajaan Hastina
bersama kakaknya, yaitu Dewi Banuwati.
Sesampainya di istana Hastina, Raden Burisrawa selalu saja menyebut-nyebut nama
Dewi Sumbadra. Dewi Banuwati menasihatinya agar melupakan wanita itu karena sudah
menjadi istri Raden Arjuna. Nasihat tersebut justru membuat Raden Burisrawa semakin
kurang waras dan tubuhnya ikut sakit pula.
Prabu Duryudana melihat sumber penyakit adik iparnya itu berhubungan dengan Dewi
Sumbadra. Maka, ia pun berkirim surat kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura yang
merupakan kakak sulung Dewi Sumbadra, agar segera datang ke Kerajaan Hastina untuk
menjenguk dan membantu mengupayakan kesembuhan Raden Burisrawa.
Niken Larasati, tentu mereka bisa mengisi hari-hari dengan berlatih tanding bersama. Tanpa
pikir lagi, ia pun menyatakan bersedia menikah dengan gadis tersebut.
Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati segera memohon kepada Prabu Baladewa agar
membantu melamarkan Niken Larasati untuk menjadi istri Raden Burisrawa. Prabu
Baladewa berkata bahwa Niken Larasati telah diboyong Dewi Sumbadra untuk
menemaninya tinggal di Kesatrian Madukara, karena Raden Arjuna sering pergi berkelana.
Namun, berita terbaru mengatakan, Patih Udawa telah menjemput pulang Niken Larasati
ke Desa Widarakandang untuk dicarikan suami. Bahkan, Patih Udawa juga telah membagi-
bagikan selebaran di mana-mana bahwa ia mengadakan sayembara tanding demi
memperebutkan adiknya tersebut.
Prabu Duryudana merasa yakin bahwa Patih Udawa tentu segan bila berhadapan
dengan Prabu Baladewa, dan Niken Larasati pasti akan langsung diserahkan tanpa perlu
bertanding segala. Prabu Baladewa pun berharap demikian. Ia lalu mohon pamit kepada
Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati untuk berangkat ke Desa Widarakandang saat itu
juga.
Kerajaan Dwarawati; Kakrasana telah mewarisi takhta Kerajaan Mandura dengan bergelar
Prabu Baladewa; Narayana telah menjadi raja di Kerajaan Dwarawati dengan bergelar
Prabu Kresna Wasudewa; sedangkan Rara ireng kini bernama Dewi Wara Sumbadra telah
menjadi istri padmi satria Panengah Pandawa di Madukara, yaitu Raden Arjuna. Hanya si
bungsu Niken Larasati yang belum mendapatkan derajat layak, melainkan hanya menjadi
pelayan di Kesatrian Madukara saja. Patih Udawa merasa prihatin dan memberanikan diri
untuk menjemput pulang adiknya itu untuk dicarikan jodoh yang pantas, entah itu seorang
pangeran ataupun raja sekalian.
Prabu Kresna memuji niat baik Patih Udawa. Namun, sebagai seorang raja ia harus
tegas terhadap patihnya yang lalai menjalankan kewajiban. Maka, Prabu Kresna pun
mengizinkan Patih Udawa mengambil cuti untuk mengadakan sayembara mencari jodoh
bagi Niken Larasati, tetapi hanya satu hari ini saja. Apabila nanti matahari telah terbenam
tetapi tidak ada jodoh yang dianggap cocok, maka Patih Udawa harus rela Niken Larasati
menjadi perawan tua.
Larasati seperti adik kandung sendiri. Patih Udawa pun memanfaatkan ucapan itu. Jika
benar Niken Larasati dianggap sebagai adik kandung, maka Prabu Kresna juga harus ikut
melindungi. Untuk itu, Patih Udawa pun meminta Prabu Kresna meminjamkan Senjata
Cakra sebagai sarana mengalahkan Prabu Baladewa.
Prabu Kresna tertawa geli karena Senjata Cakra tidak boleh digunakan sembarangan.
Ia pun meminjamkan senjata yang lain, yaitu Keris Gandawisa, namun dengan syarat, Patih
Udawa tidak boleh menyombongkan diri dan tidak boleh menggores kulit Prabu Baladewa.
Patih Udawa setuju dan segera menerima keris pusaka tersebut.
Dengan bersenjata keris, Patih Udawa kembali ke gelanggang menghadapi Prabu
Baladewa. Keduanya pun melanjutkan pertandingan. Prabu Baladewa agak meremehkan
senjata Patih Udawa sehingga dirinya pun lengah. Sesuai pesan Prabu Kresna, maka Patih
Udawa tidak mengarahkan kerisnya ke kulit Prabu Baladewa, melainkan ke arah kain
kampuh yang dipakai raja Mandura tersebut. Seketika kain itu pun robek dan paha Prabu
Baladewa terlihat oleh para penonton. Prabu Baladewa merasa sangat malu dan segera
melarikan diri meninggalkan gelanggang. Patih Pragota dan Arya Prabawa segera
mengikuti kepergian raja mereka.
Patih Udawa merasa ucapan Patih Sangkuni ada benarnya juga. Ia berusaha
mencarikan jodoh untuk Niken Larasati, padahal ia sendiri belum mempunyai istri. Maka, ia
pun melepaskan cengkeramannya dan membebaskan Patih Sangkuni tetapi menegaskan
bahwa ini semua bukan karena suap. Patih Sangkuni pun berterima kasih dan berjanji akan
segera pulang ke Plasajenar untuk menjemput Dewi Antiwati. Patih Udawa agak tidak
percaya karena Patih Sangkuni terkenal sangat licik. Namun, Patih Sangkuni menegaskan
bahwa dirinya kali ini tidak berbohong. Ia sudah menyaksikan dan mengalami sendiri seperti
apa kekuatan Patih Udawa dan tentunya ia akan sangat senang jika menjadikannya sebagai
menantu.
Demikianlah, Patih Sangkuni pun dibebaskan dan segera pamit pulang ke Plasajenar.
Dalam hati ia berharap jika Patih Udawa menjadi menantunya, maka Prabu Kresna dan
Kerajaan Dwarawati akan ikut pula menjadi sekutu Prabu Duryudana dan para Kurawa.
Kini Dewi Banuwati telah bertemu Raden Arjuna di jalan. Ia pun memohon bantuan
agar Raden Arjuna pergi ke Desa Widarakandang melamar Niken Larasati untuk adiknya.
Seketika Raden Arjuna merasa gemetar. Sejak awal ia sudah berniat hendak mengikuti
sayembara tanding untuk dirinya sendiri, namun sekarang Dewi Banuwati justru meminta
pertolongan kepadanya. Karena tadi Raden Arjuna terlanjur berjanji akan membantu sekuat
tenaga apa pun yang menjadi keperluan Dewi Banuwati, mau tidak mau ia harus menepati
hal itu. Maka dengan berat hati, Raden Arjuna akhirnya menyatakan bersedia untuk
melamarkan Niken Larasati sebagai istri Raden Burisrawa.
Tiba-tiba Prabu Duryudana datang menyusul sambil marah-marah menuduh istrinya
berbuat serong dengan Raden Arjuna. Dewi Banuwati pun membela diri dengan berkata
ketus bahwa Raden Arjuna justru baru saja menyelamatkan dirinya dari gangguan laki-laki
jahat bernama Prabu Brawirasembada. Prabu Duryudana balik bertanya mengapa istrinya
itu pergi sendirian sehingga diganggu orang jahat. Dewi Banuwati balas memaki karena
suaminya tidak mau mengantar, maka ia pun pergi sendirian. Demikianlah, pasangan
suami-istri itu pun bertengkar di tengah jalan.
Raden Arjuna teringat dirinya tidak boleh terlalu mencampuri urusan rumah tangga
mereka. Maka, ia pun mohon pamit dan melesat pergi menuju Desa Widarakandang.
Raden Arjuna merasa sesak tidak bisa bernapas karena dipeluk erat oleh Patih
Udawa. Ia teringat dirinya sudah membantu Dewi Banuwati sekuat tenaga dan ternyata
Patih Udawa memang sulit dikalahkan. Karena merasa sudah memenuhi janji, maka ia pun
menyatakan kalah dalam pertandingan ini.
memenangkan sayembara, kini saatnya Raden Arjuna berjuang sendiri menolong calon
istrinya. Raden Arjuna menyanggupi. Ia pun segera melesat mengerahkan Aji Seipi Angin
untuk mengejar si penculik.
Dengan kecepatan kilat, Raden Arjuna berhasil menyusul dan menghadang Prabu
Brawirasembada yang memanggul tubuh Niken Larasati. Keduanya lalu bertarung seru.
Raden Arjuna berhasil merebut Niken Larasati dan menewaskan Prabu Brawirasembada
menggunakan Keris Pulanggeni.
Niken Larasati
Dewi Srikandi
Dari kobaran api itulah, muncul seorang gadis remaja yang diberi nama Dewi Drupadi.
Prabu Drupada belum puas dan meminta upacara dilanjutkan. Tak lama kemudian
muncullah seorang gadis yang bersifat kelaki-lakian, diberi nama Dewi Srikandi. Prabu
Drupada masih belum puas juga dan meminta sesaji tetap dilanjutkan agar mendapatkan
anak yang benar-benar laki-laki. Akhirnya, muncul seorang pemuda dari dalam kobaran api
yang diberi nama Raden Drestajumena.
Demikianlah awal mulanya Prabu Drupada memiliki tiga orang anak. Yang tertua Dewi
Drupadi telah menjadi istri Prabu Puntadewa raja Amarta, melalui sayembara yang
mereggut nyawa Arya Gandamana. Sekarang tiba saatnya Prabu Drupada memikirkan putri
keduanya, yaitu Dewi Srikandi yang sudah waktunya untuk menikah. Namun, Dewi Srikandi
tidak tertarik berumah tangga. Sifatnya yang kelaki-lakian membuatnya lebih suka berlatih
perang-perangan daripada mempelajari bagaimana caranya menjadi calon istri yang baik.
Prabu Drupada sengaja membangun sebuah taman yang sangat indah bernama
Taman Maherakaca sebagai tempat tinggal Dewi Srikandi, dengan harapan semoga
putrinya itu berubah sifat menjadi perempuan sejati. Namun, taman indah tersebut justru
digunakan Dewi Srikandi sebagai tempat berlatih memanah dan ilmu keprajuritan lainnya.
Dewi Srikandi juga pernah berkata bahwa dirinya iri kepada sang adik, yaitu Raden
Drestajumena yang pernah berguru ilmu perang kepada Resi Druna. Namun, hal itu justru
membuat Prabu Drupada marah dan menyuruhnya untuk melupakan semua keinginannya
menjadi wanita petarung.
Sejak kejadian itu Dewi Srikandi tiba-tiba menghilang entah ke mana. Prabu Drupada
sangat menyesal telah memarahi putri keduanya itu. Patih Drestaketu segera menyebarkan
orang-orangnya untuk mencari ke segala penjuru, namun Dewi Srikandi tidak juga dapat
ditemukan. Tak terasa kini sudah tiga bulan lamanya sang putri menghilang dan tidak
diketahui keberadaannya.
Prabu Drupada
Prabu Drupada membaca surat itu yang berisi keinginan Prabu Jungkungmardeya
untuk memperistri Dewi Srikandi. Melalui suratnya, Prabu Jungkungmardeya juga
memamerkan bahwa dirinya seorang raja yang masih muda, tampan, sakti, dan juga kaya
raya. Ia berharap Prabu Drupada menerima lamarannya, karena dirinya tidak ingin jika Dewi
Srikandi terpaksa direbut melalui peperangan.
Raden Drestajumena sang putra mahkota sangat tersinggung mendengar isi surat
yang dibaca ayahnya. Ia pun bertanya apa benar sosok Prabu Jungkungmardeya sama
seperti apa yang tertulis dalam surat tersebut, atau jangan-jangan wajahnya sama
menyeramkan seperti patih yang sekarang datang. Patih Jayasudarga menjawab isi surat
tersebut sangat benar. Pada mulanya, Patih Jayasudarga adalah raja Paranggubarja yang
sebenarnya. Hingga suatu hari datang seorang pemuda bernama Bambang Jungkung yang
menantangnya bertanding. Prabu Jayasudarga kalah dan terpaksa menyerahkan takhta
kerajaannya kepada pemuda itu. Bambang Jungkung pun menjadi raja baru di
Paranggubarja, bergelar Prabu Jungkungmardeya. Adapun Prabu Jayasudarga kemudian
diturunkan pangkatnya menjadi patih.
Patih Jayasudarga bercerita bahwa Prabu Jungkungmardeya tidak hanya sakti, tetapi
juga tampan dan masih muda. Raden Drestajumena tidak peduli. Ia berkata bahwa hari ini
Dewi Srikandi sedang menghilang entah ke mana. Andaikan telah ditemukan, tetap saja ia
tidak rela jika kakaknya itu menikah dengan seorang raja sombong semacam Prabu
Jungkungmardeya. Patih Jayasudarga berkata bahwa dirinya telah diberi wewenang oleh
rajanya untuk membawa Dewi Srikandi, baik itu melalui cara sopan, ataupun cara kasar.
Raden Drestajumena pun mempersilakannya untuk menunggu di luar, lengkap dengan
segenap pasukan dari Paranggubarja, apabila memang ingin menempuh cara kasar.
Patih Jayasudarga pun undur diri meninggalkan pertemuan. Prabu Drupada segera
menegur putranya yang bertindak gegabah, menantang Patih Jayasudarga beserta
pasukannya. Jika perang sampai terjadi, maka yang menjadi korban pastilah para prajurit
rendahan dan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa. Raden Drestajumena mohon maaf atas
sikapnya yang lancang. Namun, ia tidak rela apabila kakak keduanya menjadi istri seorang
raja sombong. Bagaimanapun juga lamaran ini harus ditolak. Lagipula ini adalah
kesempatan bagi Raden Drestajumena untuk menguji hasil bergurunya kepada Resi Druna
beberapa tahun yang lalu. Ia pun mohon restu kepada sang ayah untuk berangkat
menghadapi tantangan Patih Jayasudarga tersebut.
Patih Drestaketu
KITAB WAYANG PURWA
Patih Jayasudarga
KITAB WAYANG PURWA
dengannya. Dewi Srikandi sangat bahagia dan ia pun menyatakan bersedia, namun
tentunya harus meminta izin terlebih dahulu kepada Dewi Sumbadra dan Niken Larasati.
Raden Arjuna
Dewi Drupadi heran mengapa Dewi Sumbadra tidak marah melihat suaminya
mencintai wanita lain. Dewi Sumbadra pun menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang
dikaruniai Tuhan memiliki kasih sayang melimpah ruah, sehingga pantas saat masih remaja
dijuluki sebagai Sang Permadi. Seorang laki-laki yang memiliki kasih sayang berlebih
sangat wajar apabila mencintai wanita lebih dari satu. Dewi Sumbadra pun yakin, andaikata
Raden Arjuna menikah lagi, cintanya kepada para istri yang lain tidak akan pernah
berkurang.
Dewi Srikandi yang mendapat pembelaan dari Dewi Sumbadra justru merasa sangat
malu. Ia pun meronta dan lari meninggalkan Kesatrian Madukara sambil menangis berlinang
air mata. Dewi Drupadi berusaha mengejar, namun adiknya itu sudah menghilang entah ke
mana.
Dewi Drupadi
Raden Drestajumena
Dewi Srikandi merasa jika bertarung adu kekuatan jelas dirinya tidak mungkin menang
melawan Prabu Jungkungmardeya yang perkasa dan lebih berpengalaman. Maka, ia pun
menantang lawannya itu bertanding adu panah. Mereka berdua harus sama-sama
melepaskan panah ke arah masing-masing. Prabu Jungkungmardeya keberatan karena hal
ini sangat berbahaya dan bisa-bisa Dewi Srikandi terluka nantinya. Namun, Dewi Srikandi
terus memaksa sambil mengejek Prabu Jungkungmardeya pengecut, sehingga membuat
lawannya itu tersinggung dan menerima tantangannya.
Maka, Prabu Jungkungmardeya pun melepaskan panah ke arah Dewi Srikandi,
sedangkan Dewi Srikandi melepaskan panah ke arah Prabu Jungkungmardeya.
Demikianlah, kedua panah itu sama-sama meluncur dan akhirnya bertemu di udara.
Sungguh luar biasa hasil pelajaran yang diberikan Raden Arjuna. Anak panah yang
dilepaskan oleh Dewi Srikandi begitu dahsyat dan berhasil membelah panah lawan menjadi
dua. Kemudian, panah itu terus meluncur hingga menancap di leher Prabu
Jungkungmardeya.
Prabu Jungkungmardeya melotot tidak percaya. Sekejap kemudian, ia pun roboh
kehilangan nyawa. Patih Jayasudarga terkejut melihat pemandangan ini. Ia pun segera
pergi sambil mengancam akan melakukan balas dendam atas kematian rajanya.
Prabu Jungkungmardeya
Paranggubarja. Para prajurit pun berhamburan melihat pemimpin mereka gugur. Sementara
itu, Resi Dewangkara masih bertarung melawan Raden Arjuna. Meskipun kesaktiannya di
atas Prabu Jungkungmardeya, tetapi menghadapi Raden Arjuna jelas tidak mudah.
Keduanya pun bertarung sengit berusaha saling menjatuhkan. Hingga pada suatu
kesempatan, Keris Pulanggeni di tangan Raden Arjuna berhasil merobek perut Resi
Dewangkara.
Resi Dewangkara pun terluka parah. Menjelang ajal ia sempat mengheningkan cipta
sambil membaca mantra. Seketika tubuhnya pun musnah dan berubah menjadi seberkas
cahaya seukuran kunang-kunang. Cahaya tersebut melesat kencang dan jatuh di dalam
Taman Maherakaca. Seketika taman indah itu pun terbakar hebat.
Prabu Puntadewa
Prabu Supala
Prabu Duryudana
Batara Kamajaya
KITAB WAYANG PURWA
Raden Arjuna
Druna pun membalas penghinaan tersebut dengan cara mengirim murid-muridnya untuk
menyerang Kerajaan Pancala. Akhirnya, Prabu Drupada dapat diringkus oleh Raden
Arjuna, sedangkan Arya Gandamana mengaku kalah kepada Raden Bimasena
(Wrekodara). Berkat kemenangan murid-muridnya itulah, Resi Druna dapat menguasai
Kerajaan Pancala. Ia lalu membagi kerajaan ini menjadi dua, yaitu bagian utara untuk
dirinya, sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Prabu Drupada. Maka, Prabu
Drupada pun membangun istana baru di Pancala Selatan, yang diberi nama Kerajaan
Cempalareja.
Resi Druna kini datang untuk memperbaiki hubungan tersebut. Apabila dirinya bisa
menikah dengan Dewi Srikandi, maka ia berjanji akan mengembalikan wilayah Pancala
Utara, sehingga Prabu Drupada bisa kembali memimpin Kerajaan Pancala secara utuh
seperti sediakala. Untuk itu, ia menyarankan sebaiknya sayembara membangun Taman
Maherkaca dibatalkan saja. Prabu Drupada lebih baik langsung menerima lamaran Resi
Druna dan sekaligus menerima wilayah Pancala Utara tanpa perlu bersusah payah segala.
Prabu Drupada merasa bimbang mendengar tawaran Resi Druna. Namun, ia sadar
sebagai seorang raja tidak boleh seenaknya mengubah-ubah keputusan. Ia juga telah
berjanji akan mendukung penuh sumpah putrinya yang ingin memperbaiki harga diri. Maka,
ia pun berkata bahwa dirinya sudah puas hanya memimpin wilayah Pancala Selatan saja.
Mengenai lamaran Resi Druna kepada Dewi Srikandi, tetap harus melalui sayembara
membangun Taman Maherakaca.
Resi Druna, Prabu Duryudana, dan Patih Sangkuni kecewa mendengar keputusan
Prabu Drupada. Resi Druna lalu meminta izin untuk melihat Taman Maherakaca. Prabu
Drupada pun mempersilakannya dan memerintahkan Raden Drestajumena untuk ikut
mengantar.
Resi Druna
Tumenggung Sindulaga
Prabu Baladewa
melihat Tumenggung Cakranegara tidak tertidur oleh ilmu sirepnya. Ia pun segera bertanya
dan dijawab oleh Tumenggung Cakranegara yang mengaku sebagai juru taman di
Maherakaca, bernama Saramba. Raden Supali lalu bertanya di mana kamar Dewi Srikandi
karena ia ingin menculik putri tersebut. Apabila Tumenggung Cakranegara bersedia
menunjukkan, maka akan mendapat hadiah banyak uang darinya.
Tumenggung Cakranegara berkata dirinya tidak meminta hadiah berupa uang tetapi
meminta pusaka yang dibawa Raden Supali. Raden Supali heran mengapa seorang juru
taman meminta hadiah pusaka segala. Tumenggung Cakranegara pun menjawab bahwa
Dewi Srikandi adalah calon istri Raden Arjuna yang sangat sakti. Apabila ketahuan bahwa
dirinya membantu Raden Supali menculik Dewi Srikandi, tentu Raden Arjuna akan marah
besar dan membunuhnya. Oleh sebab itu, Tumenggung Cakranegara membutuhkan
pusaka ampuh untuk menghadapi kesatria Pandawa tersebut.
Raden Supali menimbang-nimbang mana yang lebih penting, apakah Dewi Srikandi
ataukah pusaka yang baru saja dicurinya. Akhirnya, ia pun menyerahkan senjata Nanggala
kepada Tumenggung Cakranegara yang dikiranya juru taman biasa. Tumenggung
Cakranegara menerima pusaka tersebut dan langsung menggunakannya untuk memukul
dada Raden Supali. Seketika Raden Supali pun roboh dan kehilangan nyawa.
Tumenggung Cakranegara
telah menjadi mayat. Raden Supali ini juga yang telah mengerahkan Aji Sirep untuk
membius seisi istana Cempalareja.
Prabu Baladewa masih saja marah-marah tidak percaya dan berniat menghajar
Tumenggung Cakranegara. Melihat adiknya dalam bahaya, Tumenggung Sindulaga segera
melindungi dan menantang Prabu Baladewa untuk menghadapi dirinya saja. Prabu Kresna
pun muncul melerai mereka berdua. Ia berkata bahwa dirinya tadi hanya pura-pura tidur
saat Raden Supali mengerahkan Aji Sirep. Ia pun membuntuti pangeran dari Cedi tersebut
dan menyaksikan sendiri bahwa pencuri senjata Nanggala memang benar Raden Supali.
Adapun Tumenggung Cakranegara justru telah berhasil merebutnya kembali.
Prabu Baladewa langsung reda kemarahannya setelah mendengar kesaksian dari
sang adik. Ia pun menerima Senjata Nanggala yang disodorkan Tumenggung Cakranegara
sambil berterima kasih. Tumenggung Sindulaga kemudian mengangkat mayat Raden
Supali dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah Kerajaan Cedi.
Dewi Srikandi
Prabu Supala dengan lagak angkuh berkata kepada Prabu Kresna bahwa dirinya tidak
akan berterima kasih, melainkan justru memaki gurunya itu sebagai begal, maling,
perampok, penipu, tukang sihir, dan segala jenis makian kasar lainnya. Prabu Baladewa
sangat marah mendengar adiknya dihina dan hendak melabrak Prabu Supala, namun
segera dicegah oleh Prabu Kresna.
Setelah Prabu Supala dan pasukannya pergi, barulah Prabu Kresna menceritakan
semuanya. Dahulu kala Prabu Supala dilahirkan dalam keadaan cacat dan bisa berubah
menjadi normal setelah diruwat oleh dirinya yang saat itu masih bernama Raden Narayana.
Prabu Darmagosa raja Cedi kala itu pun bercerita bahwa dewata telah memberikan
petunjuk, yaitu ciri-ciri orang yang bisa meruwat putranya adalah berkulit hitam cemani,
sekaligus juga menjadi pembunuh putranya tersebut kelak. Oleh sebab itu, Prabu
Darmagosa dan Dewi Srutawati pun memohon kepada Raden Narayana agar tidak
membunuh Raden Supala, serta menjadikannya sebagai murid. Raden Narayana bersedia,
namun Raden Supala hanya diberi kesempatan seratus kali berbuat salah. Lebih dari itu,
maka Raden Narayana alias Prabu Kresna terpaksa harus menggenapi takdir, yaitu
membunuh muridnya sendiri.
Setelah Raden Supala berguru kepada Prabu Kresna, ia lalu naik takhta menggantikan
Prabu Darmagosa yang meninggal dunia. Ia juga menjalin persahabatan dengan Prabu
Jarasanda yang menyimpan dendam kepada Prabu Kresna dan Prabu Baladewa atas
kematian Prabu Kangsa. Sejak itulah Prabu Jarasanda menghasut Prabu Supala agar
membenci dan memusuhi gurunya sendiri. Ditambah lagi rasa cemburu karena Dewi
Rukmini telah menjadi istri Prabu Kresna, membuat kebencian Prabu Supala semakin
berkobar. Maka, begitu ada kesempatan, Prabu Supala pun memaki Prabu Kresna dengan
segala kata-kata kasar seperti tadi. Prabu Kresna sepertinya diam tidak membalas, padahal
dalam hati ia menghitung. Ternyata makian tadi jumlahnya tidak sampai seratus, sehingga
ia pun mengampuni bekas muridnya itu.
Prabu Baladewa kagum melihat kesabaran Prabu Kresna. Andai saja dirinya yang
dimaki seperti tadi, mungkin nyawa Prabu Supala sudah melayang saat itu juga.
Prabu Kresna
Prabu Drupada pun menjelaskan bahwa yang berhasil memperbaiki Taman Maherakaca
adalah Tumenggung Cakranegara dengan disaksikan Raden Drestajumena. Resi Druna
sangat marah dan bersikeras bahwa ini adalah hasil kerjanya. Ia juga menyebut Raden
Drestajumena sebagai murid durhaka karena lebih membela orang lain daripada membela
guru sendiri. Raden Drestajumena menjawab dirinya hanya membela kebenaran, tidak
peduli harus berhadapan dengan guru atau siapa pun juga.
Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni ikut marah dan segera memerintahkan para
Kurawa untuk menculik Dewi Srikandi. Mendengar itu, Tumenggung Sindulaga segera maju
melabrak para Kurawa. Seorang diri ia bertanding dengan tangkas dan membuat para
Kurawa berhamburan meninggalkan Kerajaan Cempalareja.
Resi Druna pun maju menghadapi Tumenggung Sindulaga yang merupakan
penyamaran Arya Wrekodara. Karena merasa segan bertarung dengan guru sendiri,
Tumenggung Sindulaga memilih mundur. Resi Druna pun mengamuk merusak Taman
Maherakaca, sedangkan para hadirin banyak yang segan kepadanya. Akhirnya, Arya
Setyaki yang maju menghadapi Resi Druna yang sedang kalap tersebut. Dengan cekatan,
kesatria berbadan kecil itu pun berhasil meringkus pendeta itu dan membawanya keluar
dari istana Cempalareja.
Arya Setyaki
sakembaran berupa dua orang pemuda yang berparas tampan bersemu cantik. Namun
demikian, Prabu Drupada juga mempunyai hadiah tersendiri untuk Tumenggung
Cakranegara dan Tumenggung Sindulaga atas kemenangan mereka mengalahkan musuh
dari Kerajaan Cedi. Kedua bersaudara itu pun diangkat sebagai punggawa Kerajaan
Cempalareja, dan masing-masing mendapat hadiah sebidang tanah. Tumenggung
Sindulaga mendapat tanah lungguh di Puger Tengah, sedangkan Tumenggung
Cakranegara mendapat tanah lungguh di Warubinatur.
Prabu Drupada
CAKRANEGARA - MADUBRANGTA
Kisah ini menceritakan tentang kelanjutan Raden Arjuna dalam wujud Tumenggung
Cakranegara yang berusaha mewujudkan syarat Dewi Srikandi, yaitu menyediakan
patah sakembaran berupa dua pemuda berwajah tampan bersemu cantik. Syarat tersebut
dapat terpenuhi setelah Tumenggung Cakranegara berjumpa Bambang Madubrangta
dan Bambang Brangtakusuma.
Kisah ini saya olah dari sumber rangkuman balungan naskah Pakem Ringgit Purwa
koleksi Museum Sonobudoyo, dengan disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 11 Maret 2017
Heri Purwanto
julukannya, yaitu Sang Permadi. Anugerah dewata tersebut membuat Raden Arjuna mampu
mencintai banyak perempuan sekaligus secara adil dan merata, tanpa pilih kasih. Yang
ketiga, pemenang sayembara membangun Taman Maherakaca bukan Raden Arjuna,
melainkan Tumenggung Cakranegara. Itu artinya, Dewi Srikandi batal menjadi madu Dewi
Sumbadra. Dan yang terakhir, saat ini Dewi Sumbadra pun menghilang dari Kesatrian
Madukara bersama Niken Larasati tanpa kabar yang jelas di mana keberadaannya. Dengan
demikian, apabila Prabu Baladewa hendak menjemput pulang Dewi Sumbadra maka tidak
akan bertemu siapa-siapa.
Prabu Baladewa terkejut mendengar adik bungsunya telah hilang. Ia marah-marah
dan menuduh Prabu Kresna berbohong untuk melindungi Dewi Sumbadra. Namun, Arya
Setyaki dan Patih Udawa ikut bersumpah bahwa ucapan raja mereka benar. Mereka berkata
bahwa Dewi Sumbadra dan Niken Larasati benar-benar telah hilang meninggalkan
Kesatrian Madukara, sama seperti hilangnya Raden Arjuna dan Arya Wrekodara.
Prabu Baladewa pun reda kemarahannya. Ia kemudian pamit undur diri untuk kembali
ke Desa Pamutihan di wilayah perbatasan Kerajaan Cempalareja, di mana Prabu
Duryudana dan para Kurawa sedang berkemah di sana. Rupanya Prabu Duryudana tidak
terima atas keputusan Prabu Drupada yang menetapkan Tumenggung Cakranegara
sebagai pemenang sayembara memperbaiki Taman Maherakaca, dan bukannya memilih
Resi Druna. Itulah sebabnya ia bersama para Kurawa dan juga sejumlah raja sekutu
menduduki Desa Pamutihan untuk mengancam perbatasan Kerajaan Cempalareja. Prabu
Baladewa pun berpesan, nanti apabila Dewi Sumbadra sudah ditemukan, hendaknya Prabu
Kresna langsung membawanya menuju desa tersebut.
Demikianlah, Prabu Baladewa undur diri meninggalkan istana Dwarawati. Prabu
Kresna termangu-mangu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi. Ia pun membubarkan
pertemuan dan memutuskan pergi ke Kerajaan Amarta untuk menemui Prabu Puntadewa
di sana.
Prabu Kresna
bupati Puger Tengah, yaitu Tumenggung Sindulaga dalam pertemuan tersebut. Prabu
Drupada bertanya bagaimana persiapan perkawinan antara Tumenggung Cakranegara
dengan Dewi Srikandi, apakah segala persyaratan sudah dipenuhi? Tumenggung
Sindulaga menjawab bahwa adiknya saat ini sudah tidak berada di Warubinatur karena
sedang berusaha mewujudkan keinginan Dewi Srikandi, yaitu menyediakan sepasang
patah pengantin sakembaran yang berwajah tampan semu cantik.
Beberapa hari yang lalu Tumenggung Cakranegara telah memenangkan sayembara
membangun kembali Taman Maherakaca yang hangus dibakar Resi Dewangkara, yaitu
ayah sekaligus guru Prabu Jungkungmardeya. Karena memenangkan sayembara tersebut,
maka ia berhak mendapatkan Dewi Srikandi sebagai calon istri. Namun, Dewi Srikandi
dalam hati merasa kecewa karena sang pemenang bukan Raden Arjuna. Ia lalu
mengajukan syarat, bahwa Tumenggung Cakranegara harus mampu menghadirkan dua
orang patah sakembaran yang berwajah tampan bersemu cantik. Jika tidak, maka
pernikahan tersebut lebih baik dibatalkan saja.
Demikianlah, Tumenggung Sindulaga melaporkan tentang adiknya yang sudah
beberapa hari ini belum kembali ke Warubinatur karena pergi berkelana untuk mewujudkan
keinginan Dewi Srikandi. Namun demikian, ia yakin sang adik pasti berhasil memenuhi
syarat tersebut. Untuk itu, Tumenggung Sindulaga ganti meminta Prabu Drupada agar
segera mempersiapkan upacara pernikahan antara Tumenggung Cakranegara dengan
Dewi Srikandi.
Tiba-tiba datang punggawa Arya Yudamanyu melaporkan bahwa para Kurawa
bersama beberapa raja sekutu telah berkemah di Desa Pamutihan. Mereka tidak hanya
sekadar berkemah, tetapi juga membuat kekacauan di sana. Harta benda milik rakyat
dirampok dan dijarah, juga tidak sedikit kaum perempuan yang menjadi korban kejahatan
para Kurawa. Sepertinya mereka tidak terima karena Prabu Drupada menetapkan
Tumenggung Cakranegara sebagai pemenang sayembara, bukannya Resi Druna.
Mendengar laporan tersebut, Prabu Drupada merasa prihatin. Ia khawatir jangan-
jangan peristiwa masa lalu terulang kembali. Saat itu Kerajaan Pancala diserang oleh Resi
Druna bersama para muridnya, sehingga harus terbelah menjadi dua, yaitu utara dan
selatan. Prabu Drupada pun mendapat Pancala bagian selatan dan mendirikan Kerajaan
Cempalareja di sana.
Untuk peristiwa kali ini, Prabu Drupada memutuskan untuk mendahului menyerang,
yaitu dengan mengirim Tumenggung Sindulaga sebagai pemimpin pasukan. Tumenggung
Sindulaga menjawab sanggup. Ia lalu berangkat dengan diiringi pasukan Cempalareja
secukupnya.
Patih Sangkuni
Batara Narada
Bambang Madubrangta
Raden Arjuna juga telah menunjukkan keberaniannya dengan bertempur melawan Resi
Dewangkara. Namun, sayang sekali Taman Maherakaca hangus terbakar akibat
pertempuran itu. Dewi Srikandi sangat prihatin dan tanpa pikir panjang langsung bersumpah
tidak akan menikah kecuali dengan orang yang bisa memperbaiki Taman Maherakaca
dalam waktu semalam.
Mendengar cerita itu, Tumenggung Cakranegara menasihati Dewi Srikandi agar untuk
selanjutnya jangan lagi bertindak gegabah, mengucapkan sumpah tanpa dipikir lebih dulu.
Untung saja ia bisa memperbaiki Taman Maherakaca dalam waktu semalam. Jika tidak,
mungkin Dewi Srikandi akan menjadi perawan tua selamanya.
Dewi Srikandi tidak peduli. Ia berkata bahwa dirinya bisa saja menikah dengan
Tumenggung Cakranegara sebagai pemenang sayembara, tetapi dalam hati tetap
mencintai Raden Arjuna. Jika Tumenggung Cakranegara memaksanya untuk melayani,
maka Dewi Srikandi memilih lebih baik mati bunuh diri saja.
Dewi Srikandi sangat terharu melihat kasih sayang Dewi Sumbadra kepada dirinya.
Dewi Sumbadra pun berkata bahwa ia tidak menganggap Dewi Srikandi sebagai madu,
tetapi menganggapnya sebagai adik. Hal ini justru membuat Dewi Srikandi semakin terharu.
Ia pun bersumpah seumur hidup akan menjadi pelayan Dewi Sumbadra.
Tumenggung Sindulaga
membangun Taman Maherakaca beberapa hari yang lalu adalah Raden Arjuna sendiri,
sehingga ia berhak menjadi suami Dewi Srikandi.
Maka, Prabu Drupada pun mengadakan upacara pernikahan ulang antara Dewi
Srikandi dengan Raden Arjuna, dan bukannya dengan Tumenggung Cakranegara
sebagaimana tadi telah disahkan. Upacara pernikahan tersebut dilanjutkan dengan pesta
meriah di istana Cempalareja selama beberapa hari. Setelah itu, Raden Arjuna pun
memboyong Dewi Srikandi sebagai istri padmi nomor tiga di Kesatrian Madukara.
SAMBA LAHIR
Kisah ini menceritakan tentang lahirnya Raden Samba Wisnubrata, yaitu putra Prabu
Kresna dan Dewi Jembawati yang kelak menjadi pangeran mahkota Kerajaan
Dwarawati. Juga diceritakan asal mula Kesatrian Paranggaruda menjadi tempat
tinggal Raden Samba.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 18 Maret 2017
Heri Purwanto
merasa malu karena gagal memberikan putra yang berwujud sempurna untuk suaminya.
Diam-diam ia pun membawa putra keduanya itu pergi menuju Astana Gandamadana untuk
tinggal di sana daripada menjadi bahan ejekan penghuni istana.
Demikianlah Prabu Kresna bercerita kepada Prabu Baladewa tentang kepergian Dewi
Jembawati yang sudah dua bulan ini meninggalkan istana Dwarawati untuk tinggal bersama
kedua orang tuanya, yaitu Resi Jembawan dan Dewi Trijata di Astana Gandamadana. Prabu
Kresna merasa serbasalah. Dalam hati ia ingin menjemput pulang istri tertuanya itu, tetapi
Dewi Jembawati pasti akan sangat malu apabila kedua putranya menjadi bahan
pembicaraan penghuni istana atau penduduk ibu kota.
Prabu Baladewa merasa maklum atas apa yang menimpa rumah tangga adiknya.
Sebenarnya mudah saja bagi Prabu Baladewa untuk menasihati Prabu Kresna agar tetap
tabah dalam menghadapi cobaan hidup, atau menyarankan agar sang adik mencari hikmah
di balik setiap musibah. Yang namanya rumah tangga, baik atau buruk harus diterima.
Jangan hanya mau merasakan yang baik-baik saja, tetapi yang buruk pun harus dijalani
juga dengan lapang dada. Namun demikian, Prabu Baladewa tidak berani menasihati
seperti itu, karena andai saja ia yang mendapatkan cobaan hidup seperti ini, kemungkinan
besar akan lebih marah dan bersedih daripada Prabu Kresna.
Prabu Baladewa pun bertanya apakah Prabu Kresna sudah mencoba meruwat kedua
putranya menggunakan Kembang Wijayakusuma. Bukankah dulu Prabu Kresna semasa
muda pernah meruwat bayi Prabu Supala yang bermata tiga, berlengan tiga, dan berkaki
tiga, lantas mengapa sekarang tidak mencoba meruwat kedua putranya sendiri? Prabu
Kresna menjawab ia sudah mencoba meruwat mereka tetapi rupanya dewata tidak
mengizinkan hal itu terjadi. Keduanya pun tetap saja berbulu lebat seperti kera.
Dwarawati, di mana di dalamnya terdapat Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan
Arya Prabawa.
Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Paranggaruda dapat dihancurkan oleh pihak
Dwarawati. Bahkan, Patih Kilatwarna sendiri tewas di tangan Prabu Baladewa. Melihat
pemimpinnya terbunuh, pasukan Paranggaruda menjadi berantakan. Ditya Kilatyaksa
segera menarik mundur para prajurit yang masih hidup untuk kembali ke Kerajaan
Paranggaruda, melapor kepada raja mereka, yaitu Prabu Kilatmaka.
Prabu Baladewa dengan angkuh mengejek kekuatan pihak Paranggaruda yang
ternyata tidak sebanding dengan kesombongan Patih Kilatwarna. Prabu Kresna muncul dan
berterima kasih atas bantuan kakaknya itu dalam menjaga keamanan Kerajaan Dwarawati.
Namun, ia juga mengingatkan Prabu Baladewa untuk tidak takabur dan hendaknya tetap
waspada terhadap segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Kedua raja kakak beradik
itu kemudian masuk ke dalam istana, di mana Prabu Kresna menjamu Prabu Baladewa
untuk merayakan kemenangannya.
putra sulung Batara Guru sang raja dewa. Ia menyambut kedatangan Raden Arjuna dan
bertanya ada keperluan apa menemui dirinya.
Raden Arjuna berkata bahwa ia datang untuk memohon bantuan Batara Sambu agar
meruwat bayi yang ada dalam gendongannya. Bayi tersebut adalah putra kedua Prabu
Kresna dan Dewi Jembawati, yang terlahir dengan tubuh tertutup bulu lebat seperti kera.
Menurut petunjuk kakeknya di Padepokan Saptaarga, bayi tersebut hanya bisa diruwat
dengan air pusaka Mustika Tirtakencana milik Batara Sambu.
Batara Sambu meraih bayi tersebut dan menggendongnya dengan hati-hati. Prabu
Kresna adalah titisan Batara Wisnu, sedangkan Batara Wisnu adalah adik kandung Batara
Sambu yang nomor lima. Maka, bayi tersebut bisa dibilang masih keponakannya sendiri.
Batara Sambu pun mengambil Mustika Tirtakencana dan mengusapkannya ke sekujur
tubuh si bayi. Sungguh ajaib, seketika seluruh bulu kera yang tumbuh pada kulit si bayi pun
rontok berjatuhan di lantai. Kini yang terlihat adalah sosok bayi tampan rupawan yang
berkulit keemasan.
Batara Sambu lalu mengembalikan si bayi kepada Raden Arjuna dan berpesan agar
segera membawanya pulang ke Kerajaan Dwarawati karena takdir lain menunggu di sana.
Raden Arjuna menerima keponakannya itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas
pertolongan Batara Sambu. Ia lalu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suwelagringging
untuk kembali ke Astana Gandamadana.
Batara Sambu
Dewi Jembawati
Raden Arjuna dapat memahami niat Prabu Kresna. Ia pun mengambil Raden Samba
dari gendongan Dewi Jembawati lalu melesat pergi menghadapi Prabu Kilatmaka.
Sesampainya di sana, Raden Arjuna segera menantang raja Paranggaruda itu di mana ia
sendiri mengajukan Raden Samba.
Prabu Kilatmaka marah merasa dipermainkan. Ia pun meludahi Raden Arjuna namun
air ludahnya itu mengenai Raden Samba. Sungguh ajaib, bukannya lemas kehilangan
tenaga, tubuh Raden Samba justru berubah menjadi anak-anak yang bisa berlari-lari ke
sana kemari. Prabu Kilatmaka heran tidak percaya. Ia pun meludahi Raden Samba sekali
lagi, dan kali ini tubuh Raden Samba berubah menjadi pemuda remaja dalam waktu
seketika.
Raden Samba segera balas menyerang Prabu Kilatmaka. Dasar cucu Resi
Jembawan, ia pun berkelahi seperti monyet yang melompat ke sana kemari dan juga
menggigit telinga Prabu Kilatmaka. Prabu Kilatmaka merasa risih dan berusaha menangkap
Raden Samba. Namun, Raden Samba semakin lincah dan sesekali berhasil memukul atau
menendang raja Paranggaruda tersebut.
Prabu Kresna yang melihat dari kejauhan segera memanggil Raden Samba untuk
meninggalkan musuhnya barang sejenak. Raden Arjuna pun menggandeng keponakannya
itu untuk menghadap. Prabu Kresna merasa senang melihat kelincahan Raden Samba.
Namun, ia tidak suka putranya berkelahi seperti seekor kera. Maka, ia pun meminjamkan
Senjata Cakra kepada Raden Samba sebagai bekal untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.
Raden Samba menerima senjata tersebut dan kembali maju menghadapi Prabu
Kilatmaka. Begitu jarak mereka tidak terlalu jauh, Raden Samba segera melemparkan
Senjata Cakra yang tepat mengenai leher Prabu Kilatmaka. Seketika Prabu Kilatmaka pun
tewas dengan leher putus.
Melihat rajanya terbunuh, Ditya Kilatyaksa marah dan memimpin pasukannya untuk
melakukan bela pati, yaitu bertempur sampai mati melawan pasukan Dwarawati.
Pertempuran sengit kembali terjadi. Akhirnya, Ditya Kilatyaksa pun tewas terkena panah
Raden Arjuna.
Resi Jembawan
Wisnubrata. Hal ini karena Senjata Cakra adalah pusaka milik Batara Wisnu yang kemudian
terlahir sebagai Prabu Kresna.
Sesuai janjinya, Prabu Kresna pun mengangkat Raden Samba sebagai putra mahkota
Kerajaan Dwarawati. Adapun Kerajaan Paranggaruda yang kini telah kosong karena raja
dan seluruh pasukannya tewas, menjadi negeri bawahan Dwarawati. Prabu Kresna pun
mengubah Kerajaan Paranggaruda menjadi kesatrian sebagai tempat tinggal Raden
Samba. Sejak saat itu, Raden Samba pun mendapat nama baru pula, yaitu Raden Kusuma
Kilatmaka.
Prabu Kresna lalu mengadakan pesta syukuran untuk merayakan pelantikan Raden
Samba Wisnubrata sebagai putra mahkota. Bersamaan dengan itu, Dewi Rukmini dan Dewi
Setyaboma masing-masing melahirkan bayi laki-laki pula yang membuat Kerajaan
Dwarawati semakin berbahagia. Prabu Kresna pun memberikan nama Raden Partajumena
untuk putranya yang lahir dari Dewi Rukmini, serta Raden Setyaka untuk putranya yang
lahir dari Dewi Setyaboma.
BAMBANG DEWAKASIMPAR
Kisah ini menceritakan tentang Kyai Semar yang berubah menjadi tampan, bernama
Bambang Dewakasimpar. Juga dikisahkan awal mula Raden Arjuna memanggil
“kakang” kepada Kyai Semar dan juga perkawinan antara dirinya dengan Dewi
Sulastri, yang kelak melahirkan Raden Sumitra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra yang dipadukan dengan ringkasan pentas Wayang Orang Panca Budaya
(Bantul), dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 25 Maret 2017
Heri Purwanto
Bambang Dewakasimpar
dirinya saja yang menderita, asalkan bukan Prabu Sasrasudarma dan juga anggota
keluarga lainnya yang menjadi korban.
Prabu Sasrasudarma terharu mendengar jawaban putri sulungnya. Ia segera
mengutus Raden Sucitra agar pergi mencari bala bantuan untuk membebaskan Kerajaan
Pulorajapeti dari ancaman Prabu Tejabirawa. Ia paham Dewi Sutiragen hanya mencari-cari
alasan untuk menolak lamaran raja tersebut. Maka, apabila Prabu Tejabirawa dan Patih
Sarabirawa kembali menyerang Kerajaan Pulorajapeti karena kecewa, Prabu
Sasrasudarma sudah mempunyai jago untuk menghadapi mereka.
Raden Sucitra mematuhi perintah sang ayah dan segera mohon pamit melaksanakan
tugas.
Sementara itu, Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa mengerahkan kesaktian
mereka untuk membangun jalan raya lurus yang membentang dari istana Kerajaan
Pulorajapeti menuju Kerajaan Bandakasapta. Sungguh luar biasa kesaktian kakak beradik
ini. Mereka membangun jalan dengan menggunakan ilmu sihir. Apabila melewati sungai
atau lautan, mereka membangun jembatan; dan apabila melewati gunung atau bukit,
mereka pun menggali gua sehingga jalan tersebut benar-benar lurus tanpa berbelok.
Adapun para prajurit Bandakasapta berjalan di depan mereka, untuk menggusur rumah
penduduk ataupun menghabisi siapa saja yang dianggap menghalangi jalur jalan raya
tersebut.
Prabu Tejabirawa
Raden Arjuna menyebut sang kakak sulung terlalu berlebihan dalam memerhatikan
Kyai Semar. Menurutnya, Kyai Semar adalah titisan Batara Ismaya (kakak Batara Guru)
sehingga tidak perlu dikhawatirkan keadaannya. Justru sebaliknya, Kyai Semar-lah yang
harus memerhatikan para majikan. Raden Arjuna menyebut Kyai Semar mungkin hanya
letih karena terlalu sering mengikuti dirinya berkelana dan sekarang ingin berlibur
mengambil cuti untuk beberapa waktu.
Ketika perundingan sedang berlangsung, tiba-tiba Patih Tambakganggeng datang
menghadap. Ia melaporkan tentang adanya sejumlah prajurit raksasa dari Kerajaan
Bandakasapta, yang dipimpin Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa, telah memasuki
wilayah Kerajaan Amarta, tepatnya di Desa Karangkadempel. Kedatangan mereka adalah
untuk membangun sebuah jalan raya lurus tanpa berbelok. Para prajurit Bandakasapta
sibuk menggusur dan mengusir para penduduk desa, sedangkan Prabu Tejabirawa dan
Patih Sarabirawa menciptakan jalan raya dengan menggunakan ilmu sihir mereka.
Mendengar laporan itu, Prabu Puntadewa segera memerintahkan Arya Wrekodara
dan Raden Arjuna untuk mengambil tindakan demi melindungi rakyat. Keduanya pun mohon
pamit berangkat, dengan didampingi Patih Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca.
Prabu Puntadewa
menjadi istri Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Prabu Tejabirawa menjawab itu soal
mudah. Membangun jalan raya yang lurus dari Kerajaan Pulorajapeti saja bisa ia lakukan,
apalagi hanya soal merebut Dewi Banuwati dari tangan Prabu Duryudana. Prabu
Tejabirawa berjanji akan menyihir pikiran Prabu Duryudana agar membenci dan
menceraikan istrinya itu, sehingga Raden Arjuna bisa menikahinya.
Raden Arjuna tertarik dan bertanya apa yang bisa ia lakukan sebagai imbal balik.
Prabu Tejabirawa pun berkata bahwa ia meminta bantuan Raden Arjuna untuk memukul
mundur pasukan Amarta dan mengusir Kyai Semar dari rumahnya karena akan dilalui jalan
raya yang ia dibangun. Raden Arjuna setuju. Ia pun melepaskan panah ke udara sambil
membaca mantra. Tiba-tiba muncul angin topan yang menderu dan menerbangkan para
prajurit Amarta meninggalkan Desa Karangkadempel.
Arya Wrekodara heran melihat adiknya yang tiba-tiba berubah pikiran dan kini menjadi
teman Prabu Tejabirawa. Ia mencoba melawan namun tubuhnya ikut terlempar oleh angin
topan yang dikerahkan Raden Arjuna tersebut.
Arya Wrekodara
sudah tidak membutuhkan saran dan nasihat dari Kyai Semar yang hanya seorang rakyat
jelata.
Kyai Semar prihatin melihat perlakuan Raden Arjuna kepadanya. Ia merasa sangat
sedih karena ucapannya sudah tidak lagi didengar oleh majikan yang paling ia sayangi itu.
Kyai Semar pun mengheningkan cipta kemudian tubuhnya melesat terbang ke angkasa.
Raden Arjuna penasaran dan segera mengejar ke mana pengasuhnya itu pergi.
Setelah Kyai Semar dan Raden Arjuna meninggalkan Desa Karangkadempel, Prabu
Tejabirawa segera memerintahkan para prajuritnya untuk melanjutkan pembongkaran
rumah. Nala Gareng, Petruk, dan Bagong berusaha menghalangi tetapi jumlah pasukan
Bandakasapta terlalu banyak. Ketiga panakawan itu pun kabur melarikan diri.
Para prajurit Bandakasapta beramai-ramai hendak merobohkan rumah Kyai Semar
tetapi gagal. Padahal, rumah tersebut hanyalah gubuk kayu biasa tetapi ternyata sulit sekali
dirobohkan.
Kyai Semar
kesaktian luar biasa, jangan sampai ia disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Kyai Semar memahami maksud Sanghyang Padawenang. Ia pun meminta wujudnya
diubah menjadi kesatria tampan demi untuk menyadarkan Raden Arjuna. Ia ingin Raden
Arjuna sadar dari kesombongan bahwa ada yang lebih tampan dan sakti daripada dirinya.
Sanghyang Padawenang mengabulkan permintaan putranya itu. Wujud Kyai Semar pun
diubah menjadi kesatria tampan, dan diberi nama Bambang Dewakasimpar. Makna dari
nama itu ialah, dewa yang tersisih.
Bambang Dewakasimpar alias Kyai Semar berterima kasih atas bantuan Sanghyang
Padawenang. Ia lalu mohon restu dan segera pamit undur diri meninggalkan Kahyangan
Awang-Awang Kumitir.
Sanghyang Wenang
lagi menghargai para panakawan. Para panakawan diperlakukan hanya sebagai penghibur
belaka, sebagai benda yang tidak punya perasaan. Kini ada Bambang Dewakasimpar yang
tidak kalah tampan dibanding Raden Arjuna bersedia melindungi mereka, tentunya mereka
pun dengan senang hati mengabdi kepadanya.
Raden Arjuna marah dan menantang Bambang Dewakasimpar bertarung. Apa
gunanya memiliki wajah tampan tapi kalau tidak memiliki kesaktian yang cukup. Bambang
Dewakasimpar pun menerima tantangan itu. Mereka lalu bertarung sengit disaksikan ketiga
panakawan. Raden Arjuna terkejut melihat kesaktian lawannya. Lama-lama ia merasa
terdesak dan akhirnya mengaku kalah.
Bambang Dewakasimpar menasihati Raden Arjuna agar jangan bersikap sombong
merasa paling tampan, paling sakti, paling kuat, paling pintar, paling terhormat, karena di
atas langit masih ada langit. Raden Arjuna mohon maaf telah berbuat khilaf karena didorong
hawa nafsu. Ia pun bersedia mengabdi kepada Bambang Dewakasimpar. Bambang
Dewakasimpar menerima pengabdian Raden Arjuna dan menjadikannya sebagai
panakawan, bersaudara dengan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Arjuna merasa sangat malu. Namun, sebagai pihak yang kalah ia tidak dapat
membantah dan mau tidak mau harus menerima keputusan Bambang Dewakasimpar
dengan lapang dada.
Raden Sucitra
hati nurani para penjahat seringkali tidak didengar. Orang yang pertama kali berbuat jahat
pasti ada rasa penyesalan. Namun, semakin sering ia berbuat jahat, semakin kebal
perasaannya, karena memang ia sudah tidak bisa lagi mendengar bisikan hati nuraninya.
Sama seperti nasib Kyai Togog. Semakin jahat raja raksasa yang diasuhnya, maka semakin
kebal pula mereka terhadap nasihat kebaikan.
Kyai Togog dapat menerima penjelasan adiknya. Ia lalu mohon pamit untuk kemudian
pergi meninggalkan Desa Karangkadempel bersama Bilung Sarahita.
Kyai Togog
kepada Prabu Sasrasudarma bahwa Dewi Sutiragen adalah penjelmaan Dewi Kanastren,
yaitu istrinya yang telah lama hilang.
Prabu Sasrasudarma merasa sangat malu dan ia pun mengakui bahwa Dewi
Sutiragen memang bukan putri kandungnya, tetapi putri angkat yang dipersaudarakan
dengan kedua anaknya yang lain, yaitu Raden Sucitra dan Dewi Sulastri. Dewi Sutiragen
pun berkata bahwa dirinya memang benar memiliki nama asli Dewi Kanastren, istri Kyai
Semar yang sudah lama menghilang dari Desa Karangkadempel.
Prabu Sasrasudarma
Nala Gareng.
Prabu Baladewa membenarkan ucapan adiknya. Ia lalu mengajak Prabu Kresna untuk
segera berangkat menuju Kesatrian Madukara. Prabu Kresna pun membubarkan
pertemuan. Ia mengajak Arya Setyaki ikut serta, sedangkan Patih Udawa dan Raden
Samba ditugasi untuk menjaga negara.
yaitu Bagawan Abyasa. Raden Arjuna menceritakan persoalan yang ia hadapi, yaitu Dewi
Sumbadra ingin memakan daging ikan waderbang sisik kencana sebelum upacara siraman
atas dirinya. Untuk itulah, Raden Arjuna datang ke Gunung Saptaarga guna meminta
petunjuk kepada sang kakek di mana ikan ajaib tersebut dapat ditemukan.
Bagawan Abyasa seumur hidup belum pernah mendengar ada ikan bernama
waderbang sisik kencana. Namun, ia juga tidak berani menuduh Dewi Sumbadra
mengarang cerita. Karena tidak tega melihat cucunya yang dilanda kebingungan, Bagawan
Abyasa pun meminjamkan pusaka berwujud jaring ikan, bernama Jalasutra Tampang
Kencana, yang bermakna: jala terbuat dari sutra dengan pemberat berupa emas. Bagawan
Abyasa berkata bahwa jala pusaka ini lain daripada jala biasa. Nanti saat bertemu sungai,
Raden Arjuna tinggal melemparkan jala tersebut ke air dan jala pusaka ini seolah punya
mata sehingga bisa bergerak sendiri memerangkap ikan. Namun demikian, Bagawan
Abyasa berpesan jala pusaka tersebut jangan sampai rusak, karena hanya bisa diperbaiki
dengan mengorbankan nyawa orang yang telah merusakkannya. Raden Arjuna merasa
ngeri mendengarnya dan ia pun memberanikan diri menerima jala pusaka tersebut.
Bagawan Abyasa.
langsung marah-marah dan menuduh Nala Gareng berbuat ceroboh hingga merusakkan
Jalasutra Tampang Kencana. Bagaimanapun juga jala pusaka ini harus bisa diperbaiki, dan
itu artinya Nala Gareng harus mengorbankan nyawa.
Nala Gareng menangis ketakutan dan memohon ampun. Petruk dan Bagong hanya
bisa bingung tidak tahu harus berbuat apa. Begitu pula dengan Kyai Semar juga tidak bisa
membela dirinya. Raden Arjuna terpaksa harus menjalankan hukuman, meskipun dalam
hati merasa tidak tega terhadap Nala Gareng.
Nala Gareng merasa tidak ada jalan lain lagi. Ia sangat sedih karena nyawanya
ternyata tidak lebih berharga daripada selembar jala ikan. Dengan perasaan putus asa, ia
pun melompat terjun ke dalam sungai. Dalam sekejap tubuhnya langsung lenyap terseret
arus sungai yang deras.
Raden Arjuna kemudian memeriksa Jalasutra Tampang Kencana ternyata tetap rusak
dan tidak berubah menjadi baik. Itu artinya, nyawa Nala Gareng tidak dapat menebusnya.
Raden Arjuna merasa sedih dan menyesal karena ternyata Nala Gareng bukanlah orang
yang merusakkan jala pusaka tersebut. Namun, semuanya sudah terlambat. Nala Gareng
sudah hanyut terbawa arus, entah di mana jasadnya bisa ditemukan.
Prabu Pandupragola.
Prabu Pandupragolamanik.
KITAB WAYANG PURWA
Petruk Kantongbolong.
Dewi Sumbadra berkata kepada Raden Arjuna bahwa bukan Nala Gareng yang
merusakkan Jalasutra Tampang Kencana, tetapi Prabu Pandupragola. Itu semua karena ia
telah menyuruh raja tersebut menyelam ke dalam sungai untuk mencari ikan waderbang
sisik kencana. Kemungkinan besar Prabu Pandupragola terperangkap ke dalam jala pusaka
yang sedang dibentangkan Nala Gareng dan memberontak hingga jala itu pun robek.
Mendengar itu, Raden Arjuna segera maju menerima tantangan Prabu Pandupragola.
Keduanya lalu bertanding di halaman istana Kerajaan Amarta. Dalam pertarungan tersebut,
Prabu Pandupragola akhirnya tewas tertusuk Keris Pulanggeni milik Raden Arjuna.
Sungguh ajaib, begitu Prabu Pandupragola terbunuh, Jalasutra Tampang Kencana
yang robek seketika pulih kembali seperti sedikala. Ternyata benar apa yang dikatakan
Bagawan Abyasa, bahwa jala pusaka tersebut apabila rusak, maka hanya bisa diperbaiki
dengan mengorbankan nyawa orang yang telah merusakkannya.
Melihat rajanya tewas, Patih Jayadenda segera mengamuk untuk melakukan bela pati.
Namun, ia akhirnya tewas pula di tangan Raden Gatutkaca.
CATATAN : lakon Gareng Dadi Ratu ini sebenarnya hasil modifikasi dari lakon wayang gedog : Bancak Dadi
Ratu, di mana dikisahkan Dewi Galuh Candrakirana mengidam ikan waderbang sisik kencana
kepada Raden Panji Asmarabangun. Bancak yang menjadi raja akhirnya dapat dibongkar
penyamarannya oleh Doyok, sesama panakawan. Saya sendiri kurang tahu siapa dalang pertama
yang telah mengubah lakon ini menjadi lakon wayang purwa : Gareng Dadi Ratu. Namun
demikian, lakon ini dapat diletakkan sebelum lakon Abimanyu Lahir, karena mengisahkan Dewi
Sumbadra sedang mengandung.
KITAB WAYANG PURWA
ABIMANYU LAHIR
Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Raden Abimanyu atau yang disebut juga
Raden Angkawijaya, yaitu putra pasangan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra. Juga
dikisahkan bagaimana Raden Abimanyu menjadi putra angkat Arya Wrekodara dan
dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari sumber buku Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio
Sudibyoprono yang dipadukan dengan artikel dalam rubrik pedhalangan di Majalah
Panjebar Semangat, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 14 April 2017
Heri Purwanto
Prabu Kresna tidak dapat memberikan keterangan pasti di mana Arya Wrekodara kini
berada. Namun, ia yakin sepupunya itu pasti sedang berusaha meraih cita-cita mulia dan
tetap berada dalam perlindungan dewata. Untuk itu, Prabu Kresna berjanji nanti setelah
menjenguk Dewi Sumbadra dan bayinya, ia akan pergi membantu mencari ke mana
hilangnya Arya Wrekodara.
Arya Dursasana
selain kepada Dewa Ruci. Maka, ia menerima salam Arya Wrekodara dan menjelaskan
bahwa Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah diterima olehnya.
Arya Wrekodara bersyukur atas kemurahan para dewa yang telah memilihnya
menerima wahyu tersebut. Batara Narada pun bercerita bahwa sebenarnya Wahyu
Cahyaningrat Panuntun telah memasuki tubuh Arya Dursasana namun tidak betah dan kini
berpindah kepadanya. Namun, Batara Narada merasa penasaran mengapa Arya
Wrekodara yang memiliki pendirian kuat kini mencari wahyu untuk menjadi pemimpin?
Bukankah dulu Arya Wrekodara menolak menjadi raja saat para Pandawa membuka Hutan
Wanamarta dan menyerahkan takhta Kerajaan Amarta kepada Prabu Puntadewa saja?
Apakah sekarang Arya Wrekodara ingin melanggar ucapannya sendiri? Apakah setelah
mendapatkan Wahyu Cahyaningrat Panuntun, Arya Wrekodara akan memberontak dan
merebut takhta dari kakaknya?
Arya Wrekodara menjawab dirinya tetap memegang ucapannya itu, bahwa ia sama
sekali tidak ingin menjadi raja Amarta. Namun, pada suatu hari ia mendengar sang kakak
sulung, yaitu Prabu Puntadewa berbicara bahwa putranya yang bernama Raden Pancawala
diramalkan dewa tidak akan menjadi raja. Prabu Puntadewa pun menerima takdir tersebut
dan berharap semoga kelak yang menjadi raja menggantikan dirinya adalah keturunan Arya
Wrekodara ataupun keturunan Raden Arjuna.
Arya Wrekodara merasa prihatin mendengar ucapan sang kakak. Maka, ia pun diam-
diam pergi bertapa untuk mencari wahyu kepemimpinan agar keturunannya dapat menjadi
raja-raja Tanah Jawa. Jadi, tujuannya mencari wahyu bukan karena dirinya gila kedudukan
ingin merebut takhta, tetapi demi untuk mewujudkan keinginan Prabu Puntadewa.
Batara Narada senang mendengarnya. Itu pertanda Arya Wrekodara masih teguh
memegang ucapan. Ia lalu menasihati agar Arya Wrekodara selama empat puluh hari ini
jangan menyentuh wanita ataupun memegang bayi. Arya Wrekodara mematuhi dan tetap
berdiri menunggu Batara Narada pergi lebih dulu. Batara Narada senang melihat
kesopanannya yang sangat berbeda dengan Arya Dursasana tadi, yang menari-nari
kegirangan lupa diri. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang ke angkasa, kembali
ke kahyangan.
Prabu Kresna mendapat firasat yang kurang baik. Ia pun melesat pergi mengejar Arya
Wrekodara.
Batari Wilotama
Arya Wrekodara mendesak berkali-kali namun Raden Arjuna tetap saja menolak.
Dengan sangat kecewa ia pun melangkah pergi untuk kembali ke Kesatrian Jodipati. Pada
saat itulah Prabu Kresna datang setelah tadi tertinggal di belakang Arya Wrekodara. Ia
heran melihat bayi yang baru dilahirkan adiknya, kini tiba-tiba sudah tumbuh menjadi anak
kecil berusia lima tahun. Raden Arjuna pun menceritakan semuanya dan ia justru
disalahkan Prabu Kresna karena menghalangi keinginan Arya Wrekodara.
Prabu Kresna lalu menjelaskan bahwa Arya Wrekodara telah bersusah payah bertapa
demi meraih Wahyu Cahyaningrat Panuntun. Namun, karena kurang berhati-hati ia
melanggar pantangan dan wahyu tersebut kini berpindah kepada si bayi Angkawijaya.
Raden Arjuna prihatin mendengar apa yang dialami kakak keduanya. Ia dapat
membayangkan betapa kecewa hati Arya Wrekodara. Kini ia pun dapat memahami
mengapa kakaknya ingin mengambil Raden Angkawijaya sebagai anak angkat. Ia merasa
putranya telah mendapat keberuntungan besar dan tidak ada salahnya apabila memanggil
ayah pula kepada Arya Wrekodara.
Prabu Jayamurcita
KITAB WAYANG PURWA
Batara Candra
KITAB WAYANG PURWA
Kini tiada keraguan lagi bagi Batara Warcas. Ia pun menyerahkan Kerajaan
Plangkawati menjadi bawahan Kerajaan Amarta, kemudian mohon pamit dan segera masuk
ke dalam diri Raden Angkawijaya, bersatu jiwa raga dengannya.
CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa tokoh Abhimanyu adalah titisan dewa bernama
Varcas, putra Soma. Oleh sebab itu, saya pun mengambil kisah tersebut dan memadukannya
dengan cerita umum di pedhalangan. Saya mengisahkan Prabu Jayamurcita adalah penyamaran
Batara Warcas, dan tentunya ini akan berbeda dengan lakon-lakon wayang yang sudah umum di
masyarakat.
KITAB WAYANG PURWA
PALGUNA - PALGUNADI
Kisah ini menceritakan tentang pertarungan antara Raden Arjuna alias Palguna
melawan Prabu Ekalaya alias Palgunadi, sesama murid Resi Druna. Juga dikisahkan
tentang kesetiaan Dewi Angraeni yang memilih bunuh diri menyusul suaminya,
daripada menjadi istri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita) yang dipadukan dengan sumber dari kitab Mahabharata karya
Resi Wyasa, serta sumber dari pentas Wayang Orang di TVRI, dengan pengembangan
seperlunya.
Kediri, 23 April 2017
Heri Purwanto
Remaja itu bernama Raden Ekalaya, putra Prabu Hiranyadanu dari Kerajaan
Paranggelung. Ia pun menyembah hormat kepada Resi Druna kemudian bercerita tentang
asal usulnya. Beberapa waktu yang lalu ia mendengar kabar bahwa di Kerajaan Hastina,
tepatnya di Padepokan Sokalima ada seorang guru sakti bernama Resi Druna. Ia ingin
sekali belajar ilmu panah kepadanya. Namun, ketika sampai di Padepokan Sokalima, Raden
Ekalaya tidak berani menampakkan diri. Ia hanya mengintai dari jauh dan melihat Resi
Druna menolak seorang pemuda bernama Radeya (yaitu Adipati Karna semasa muda) yang
juga ingin menjadi muridnya. Resi Druna berkata bahwa Prabu Dretarastra telah
menugaskan dirinya untuk menjadi guru para Pandawa dan Kurawa saja, tidak boleh
menerima murid lain, kecuali putranya yang bernama Bambang Aswatama. Radeya pun
diusir pergi dari Padepokan Sokalima dan disuruh belajar menjadi kusir kereta saja seperti
ayahnya (Kyai Adirata). Radeya sangat tersinggung dan bersumpah dirinya pasti bisa
menjadi murid orang yang pernah mengajari Resi Druna ilmu kesaktian.
Raden Ekalaya yang mengintai dari jauh menjadi berkecil hati dan tidak berani
menemui Resi Druna. Ia sangat takut diusir seperti Radeya tadi. Ia pun tinggal di hutan dan
membuat patung dari tanah liat yang berbentuk persis seperti Resi Druna. Setiap pagi ia
bersamadi dan menghormat di hadapan patung tersebut. Ia membayangkan patung
buatannya itu adalah benar-benar Resi Druna yang hadir memberikan pelajaran
kepadanya.
Setelah berbulan-bulan Raden Ekalaya berguru kepada patung Resi Druna, ia pun
mendapatkan kepandaian memanah yang luar biasa. Meskipun hanya menghormat kepada
patung, namun karena kesungguhan hati Raden Ekalaya, membuat ia lebih pandai
memanah dibandingkan para Pandawa dan Kurawa yang belajar langsung kepada Resi
Druna. Hingga tadi pagi ketika sedang berlatih, tiba-tiba muncul anjing milik Raden
Suyudana yang menggonggong hendak menyerang dirinya. Raden Ekalaya pun
menembakkan panah tujuh kali yang semuanya tepat menyumpal mulut si anjing tanpa
melukainya sedikit pun.
Resi Druna sangat terkesan melihat ketulusan Raden Ekalaya dan ingin
menjadikannya sebagai murid yang sesungguhnya. Namun, ia melihat wajah Raden Arjuna
tampak iri dan malu. Seketika Resi Druna pun teringat bahwa Prabu Dretarastra melarang
dirinya menerima murid selain para Pandawa, Kurawa, dan Bambang Aswatama. Selain itu,
ia juga sudah terlanjur berjanji akan menjadikan Raden Arjuna sebagai pemanah terbaik di
dunia. Maka, ia pun merasa bersalah jika ada murid lain yang kepandaian memanahnya
melebihi Raden Arjuna.
Resi Druna lalu berkata kepada Raden Ekalaya bahwa meskipun hanya belajar
kepada patung yang mirip dengannya, namun itu sama artinya Raden Ekalaya telah belajar
kepada Resi Druna. Oleh sebab itu, Resi Druna berhak meminta pembayaran sebagaimana
lazimnya seorang guru meminta bayaran dari muridnya. Raden Ekalaya pun menyatakan
siap memberikan apa saja yang diminta Resi Druna.
Akan tetapi, yang diminta Resi Druna sebagai pembayaran ternyata sangat aneh, yaitu
ia meminta ibu jari tangan kanan Raden Ekalaya. Semua yang hadir pun terkejut
mendengarnya, terutama Raden Ekalaya. Namun karena sudah terlanjur berjanji, Raden
Ekalaya dengan mantap memotong ibu jari tangan kanannya menggunakan pisau belati.
Raden Arjuna sadar Resi Druna lebih mengasihi dirinya daripada Raden Ekalaya.
Tujuan Resi Druna meminta Raden Ekalaya memotong ibu jari tangan kanan adalah supaya
ilmu memanahnya menjadi berkurang dan Raden Arjuna tetap menjadi pemanah yang
terbaik. Raden Arjuna tidak suka diperlakukan istimewa seperti ini dan ia pun meminta Resi
Druna agar tetap menerima Raden Ekalaya sebagai murid resmi. Namun, Resi Druna tidak
bisa melanggar janjinya kepada Prabu Dretarastra. Ia hanya bisa berjanji kelak apabila
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Dretarastra sudah mengizinkan dirinya menerima murid baru dari luar Kerajaan
Hastina, maka Raden Ekalaya boleh datang lagi ke Padepokan Sokalima.
Karena Raden Arjuna tidak suka diperlakukan istimewa dan ingin bersaing secara
sehat dengan Raden Ejalaya, maka Resi Druna pun memberikan pusaka sebagai pengganti
ibu jari Raden Ekalaya yang telah putus. Pusaka tersebut berwujud cincin, bernama Sesotya
Manik Ampal yang hendaknya dipakai di jari kelingking kanan Raden Ekalaya. Meskipun
jari tangan Raden Ekalaya tinggal sembilan, namun dengan memakai cincin pusaka
tersebut, ia tetap bisa memanah dengan baik seolah masih memiliki sepuluh jari. Raden
Ekalaya sangat berterima kasih dan bersumpah akan menjaga cincin pemberian Resi Druna
itu bagaikan nyawa.
Sebelum berpisah, Resi Druna lebih dulu mempersaudarakan Raden Arjuna dengan
Raden Ekalaya. Karena Raden Arjuna memiliki nama julukan Raden Palguna (yang lahir di
bulan Palguna), maka Raden Ekalaya pun diberi nama baru, Raden Palgunadi, dan
dijadikan sebagai adiknya.
Demikianlah kisah awal mula pertemuan Resi Druna dengan Raden Ekalaya. Setelah
Prabu Hiranyadanu meninggal dunia, Raden Ekalaya pun menjadi raja di Paranggelung
dengan memakai nama Prabu Palgunadi sebagai gelarnya. Ia juga mendengar kabar bahwa
para Pandawa dan Kurawa sudah lulus dari Padepokan Sokalima, dan Resi Druna juga
sudah mendapat izin dari Prabu Dretarastra untuk menerima murid-murid baru dari luar
Hastina. Oleh sebab itu, Prabu Palgunadi pun datang lagi ke Padepokan Sokalima dan
menjadi murid resmi Resi Druna, sebagaimana Raden Drestajumena putra Prabu Drupada
yang telah lebih dulu berguru ke sana.
Dewi Angraeni.
KITAB WAYANG PURWA
Bambang Aswatama.
Demikianlah, dalam pertempuran ini para Kurawa berhasil membunuh habis semua
prajurit Paranggelung, termasuk Patih Sukarma pun gugur di tangan Bambang Aswatama.
Dewi Angraeni merasa ngeri bercampur sedih. Ia segera melanjutkan pelarian tanpa berani
menoleh ke belakang.
Patih Sukarma.
berjalan sendiri dan ia pun menawarkan bantuan untuk mengantar perjalanan Dewi
Angraeni.
Begitulah, mereka lalu berjalan bersama-sama. Dalam perjalanan itu, diam-diam
Raden Arjuna mengamati dan memuji kecantikan Dewi Angraeni. Meskipun Raden Arjuna
telah memiliki beberapa istri, namun kecantikan Dewi Angraeni sangat khas dan tidak ada
duanya. Karena tidak dapat memendam perasaan, mulutnya pun memuji kecantikan Dewi
Angraeni. Ia juga berkata, andai saja mereka bertemu lebih dulu, tentu bukan Prabu
Palgunadi yang menjadi suami Dewi Angraeni.
Dewi Angraeni merasa serbasalah. Dalam hati ia mengakui wajah dan paras Raden
Arjuna jauh lebih tampan daripada suaminya. Namun, cintanya kepada Prabu Palgunadi
begitu mendalam dan ia justru merasa takut mendengar pujian Raden Arjuna itu. Kyai
Semar memahami sikap Dewi Angraeni yang setia pada suami. Ia pun pura-pura menasihati
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong agar menjadi laki-laki yang selalu menjaga norma.
Sesungguhnya wajar apabila laki-laki menyukai perempuan. Akan tetapi, yang wajib diingat
adalah apabila si perempuan sudah memiliki suami, maka jangan pernah menginginkannya.
Jika diteruskan, itu istilahnya disebut merusak pagar hayu. Lebih baik mencari yang masih
perawan atau yang sudah janda, daripada mengganggu istri orang lain.
Raden Arjuna paham dirinya sedang disindir. Maka, ia pun tidak berani lagi memuji
Dewi Angraeni dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung.
mendengar patih dan para prajuritnya tewas dibunuh Raden Arjuna. Amarahnya semakin
membara bagaikan api yang berkobar-kobar.
Patih Sangkuni senang melihat Prabu Palgunadi mulai membenci Raden Arjuna.
Bambang Aswatama melanjutkan bercerita. Ia berkata bahwa Raden Arjuna lalu menarik
tangan Dewi Angraeni dan membawanya kabur. Bambang Aswatama mencoba mengejar
tetapi Raden Arjuna jauh lebih sakti. Hingga akhirnya ia pun bertemu Patih Sangkuni dan
Arya Dursasana yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung. Mereka
bertiga lalu sepakat mengadukan hal ini kepada Prabu Palgunadi.
Prabu Palgunadi sangat marah. Ia tidak menyangka Raden Arjuna yang sudah
dipersaudarakan dengannya tega berbuat hina seperti ini. Patih Sangkuni kembali
memanas-manasi, bahwa di dunia ini hanya ada dua orang pemanah sakti yang bisa
membunuh Raden Arjuna, yaitu Adipati Karna dan Prabu Palgunadi. Terus terang Patih
Sangkuni tidak percaya kepada Adipati Karna karena dia dan Raden Arjuna sama-sama
putra Dewi Kunti, hanya berlainan ayah. Oleh sebab itu, Patih Sangkuni menaruh
kepercayaan besar pada Prabu Palgunadi. Apabila Raden Arjuna berhasil dibunuh, maka
kedudukan Prabu Palgunadi di mata Prabu Duryudana akan melebihi Adipati Karna.
Prabu Palgunadi tidak peduli soal kedudukan. Ia hanya ingin merebut istrinya kembali.
Dengan segera ia pun berangkat mencari keberadaan Raden Arjuna dan Dewi Angraeni.
Patih Sangkuni senang berhasil mengadu domba mereka. Ia pun mengajak Arya Dursasana
dan Bambang Aswatama untuk menyaksikan bagaimana Sang Panengah Pandawa
menemui ajal.
Prabu Palgunadi yang sudah dibutakan oleh amarah sama sekali tidak percaya.
Kejadian ini membuat kenangan masa lalunya bangkit, yaitu saat ia harus memotong ibu
jari tangan sendiri gara-gara Resi Druna pilih kasih lebih menyayangi Raden Arjuna. Maka,
hari itu Prabu Palgunadi pun menantang Raden Arjuna bertanding untuk membuktikan siapa
di antara mereka yang merupakan murid terbaik Padepokan Sokalima.
Raden Arjuna sebenarnya enggan menghadapi saudara sendiri. Namun, sebagai
kesatria ia merasa tidak pantas jika menolak tantangan. Maka, ia pun menerima tantangan
tersebut. Keduanya lalu bertanding. Mereka sama-sama sakti dan terampil. Patih Sangkuni,
Arya Dursasana, dan Bambang Aswatama mengintai dari kejauhan dan berharap Prabu
Palgunadi berhasil membunuh Raden Palguna (Arjuna).
Setelah bertarung adu keris tanpa ada yang menang ataupun kalah, Raden Arjuna
dan Prabu Palgunadi ganti bertanding saling memanah. Sungguh indah dan menengangkan
pertarungan di antara mereka. Keduanya saling melepas panah ke arah lawan. Entah
berapa kali panah mereka saling bertabrakan di udara. Raden Arjuna sangat heran
mengapa Prabu Palgunadi yang hanya berjari sembilan mampu memanah dengan sangat
jitu dan dahsyat. Karena lengah memikirkan kehebatan musuh, tanpa sadar ia pun terluka.
Sebatang anak panah Prabu Palgunadi menyerempet di pundaknya.
Begitu lawannya terluka, Prabu Palgunadi semakin gencar menyerang. Ia melepaskan
panah bertubi-tubi kepada Raden Arjuna. Kali ini Raden Arjuna tidak dapat menghindar lagi
dan pasti mati di tangan adik seperguruannya itu. Namun, tiba-tiba muncul sesosok
bayangan hitam berkelebat menyambar tubuhnya dan membawa ia pergi meninggalkan
tempat pertandingan.
kepada Resi Druna, yaitu orang yang telah membuat Prabu Palgunadi menjadi sedemikian
hebat.
Raden Arjuna paham dan segera melesat pergi menggunakan Aji Seipi Angin menuju
Padepokan Sokalima.
Prabu Palgunadi.
KITAB WAYANG PURWA
Resi Druna ngeri mendengarnya. Ia pun berlari pulang menuju Sokalima sambil
mengucapkan sebutannya berkali-kali (kelak murid yang membunuh Resi Druna adalah
Raden Drestajumena, putra Prabu Drupada).
Sementara itu, Dewi Angraeni yang juga mendengar suara roh suaminya segera
memanggil-manggil minta diajak serta ke alam baka. Raden Arjuna berusaha menghibur
hatinya. Karena Dewi Angraeni telah menjadi janda, maka ia pun mengajak wanita itu ikut
pulang ke Kesatrian Madukara dan menetap di sana bersama Dewi Sumbadra, Dewi
Srikandi, dan yang lainnya. Namun, Dewi Angraeni tidak bersedia. Meskipun Prabu
Palgunadi bersikap kasar kepadanya sebelum meninggal, namun ia sama sekali tidak
marah. Ia mengerti bahwa suaminya itu hanya salah paham akibat mendengar fitnah dari
Patih Sangkuni yang jahat.
Raden Arjuna kembali membujuk Dewi Angraeni agar ikut dengannya setelah
memakamkan Prabu Palgunadi. Ia berjanji akan menjadi suami baru yang baik untuk Dewi
Angraeni. Ia berjanji akan selalu menyayangi Dewi Angraeni sepanjang masa. Namun, Dewi
Angraeni tetap teguh pada pendirian. Cintanya kepada sang suami begitu dalam. Ia pun
mengucapkan selamat tinggal pada Raden Arjuna lalu mengambil keris milik Prabu
Palgunadi yang terselip di pinggang, dan kemudian menusuk dadanya sendiri. Darah pun
menyembur keluar dan Dewi Angraeni roboh terkulai di atas jasad sang suami.
Raden Arjuna sangat terkejut dan menyesal tidak sempat mencegah hal itu. Kini Dewi
Angraeni telah meninggal dunia karena bunuh diri di hadapannya. Ia pun menangis dan
membaca mantra untuk menyempurnakan jasad suami-istri tersebut. Seketika muncul
seberkas api yang langsung membakar habis jasad Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni
tanpa sisa.
Tidak lama kemudian Prabu Kresna dan para panakawan pun datang. Mereka lalu
mengajak Raden Arjuna bersama-sama pulang ke Kerajaan Amarta. Namun, Raden Arjuna
menolak. Ia memilih pergi berkelana untuk melakukan tapa ngrame, yang mana pahalanya
akan dipersembahkan untuk arwah Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni di alam baka.
Prabu Kresna pun merestui jika memang itu yang menjadi keinginan Raden Arjuna, dan
semoga adik iparnya itu mendapatkan keberhasilan.
CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan adanya tokoh bernama Ekalavya yang memotong ibu
jarinya sendiri karena diminta oleh Resi Drona, yang takut kepandaiannya menyaingi Arjuna.
Tokoh bernama Ekalavya tersebut akhirnya bergabung dengan Jarasandha raja Magadha, dan
akhirnya ia mati di tangan Sri Krishna. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa, khususnya dalam
Serat Pustakaraja Purwa dikisahkan bahwa tokoh Ekalaya bernama Palgunadi, namun muncul
hanya sekali, yaitu saat para Pandawa sudah dewasa dan sudah tinggal di Kerajaan Amarta. Oleh
sebab itu, saya pun menggabungkan kedua sumber tersebut menjadi satu, sebagaimana yang saya
tulis di atas.
Adapun menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa, kisah Raden
Arjuna menewaskan Prabu Palgunadi dan kisah Dewi Angraeni bunuh diri terjadi pada tahun
Suryasengkala 706 yang ditandai dengan sengkalan Angraos Kamuksaning Resi, atau tahun
Candrasengkala 727 yang ditandai dengan sengkalan Pandita Nembah ing Swara.
KITAB WAYANG PURWA
SAYEMBARA TASIKMADU
Kisah ini menceritakan tentang perjalanan Raden Arjuna dengan tujuan tapa ngrame
untuk menebus dosa kepada Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni. Dalam
pengembaraannya ini ia menikah dengan Endang Ulupi yang kelak melahirkan
Bambang Irawan, serta Dewi Gandawati yang kelak melahirkan Raden Gandakusuma.
Kisah ini saya olah dari sumber Naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 29 April 2017
Heri Purwanto
terus-terusan seperti ini, maka bisa-bisa Dewi Gandawati akan menjadi perawan tua yang
tidak menikah selamanya. Raden Citraganda menghibur ayahnya, bahwa ia hanyalah
manusia biasa, tentunya di atas langit masih ada langit. Jikalau dewata sudah berkehendak
menentukan jodoh Dewi Gandawati, maka dirinya pasti akan kalah di tangan orang itu.
Prabu Gandasena merasa ragu apa benar ada orang yang bisa mengalahkan Raden
Citraganda, kecuali guru putranya itu yang bernama Bagawan Wilawuk dari Padepokan
Pringcendani.
Tidak lama kemudian datanglah rombongan para Kurawa yang dipimpin Arya
Dursasana dan Adipati Jayadrata. Mereka menyampaikan maksud kedatangan, yaitu ingin
melamar Dewi Gandawati. Adipati Jayadrata selaku juru bicara mengatakan bahwa
Kerajaan Hastina adalah negeri paling besar saat ini, di mana suatu kehormatan bagi Prabu
Gandasena apabila dapat menjadi mertua Arya Dursasana. Kapan lagi ada kesempatan
langka semacam ini? Oleh sebab itu, Adipati Jayadrata meminta kepada Prabu Gandasena
agar menyerahkan Dewi Gandawati secara baik-baik, tidak perlu melalui sayembara tanding
menghadapi Raden Citraganda segala.
Raden Citraganda menanggapi ucapan Adipati Jayadrata. Jangan karena Kerajaan
Hastina besar dan agung lantas seenaknya merendahkan pihak lain. Ia pun mempersilakan
Adipati Jayadrata dan para Kurawa naik ke atas panggung sayembara apabila benar-benar
ingin memboyong Dewi Gandawati.
Adipati Jayadrata menerima tantangan tersebut. Ia dan Raden Citraganda sama-sama
naik ke gelanggang dan mulai bertanding. Keduanya bertarung sengit. Adipati Jayadrata
tidak menyangka lawannya sedemikian tangguh. Lama-lama ia pun terdesak dan terlempar
dari gelanggang. Melihat jagonya kalah, Arya Dursasana segera maju menggantikan. Ia
menyerang Raden Citraganda dengan gencar. Namun, Raden Citraganda dapat
mengalahkannya pula.
Raden Kartawarma, Raden Srutayu, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden
Durmagati, Raden Durjaya, Raden Durmuka, Raden Wiwingsati, dan para Kurawa lainnya,
serta Bambang Aswatama serentak maju mengeroyok Raden Citraganda. Namun, Raden
Citraganda sudah menamatkan pelajarannya dari Bagawan Wilawuk. Bagaikan singa ia
mengamuk menerjang para Kurawa tersebut. Dengan mengerahkan aji Angin Garuda, ia
pun menghempaskan semua musuhnya hingga terlempar jauh meninggalkan Kerajaan
Tasikmadu.
Adipati Jayadrata.
KITAB WAYANG PURWA
Resi Jayawilapa.
Resi Druna. Oleh sebab itu, dewata hanya menempatkannya di swarga pangrantunan, yaitu
tempat peristirahatan sementara bagi para roh yang masih terikat dengan kenangan
duniawi.
Batara Narada lalu menjelaskan soal dewata yang akan memberikan pahala atas kerja
keras Raden Arjuna dalam membantu mengangkat arwah Prabu Palgunadi dan Dewi
Angraeni. Beberapa hari yang lalu, Raden Arjuna mengalami cinta tak terbalas terhadap
Dewi Angraeni. Kini, dewata pun menggariskan nasib Raden Arjuna akan menikah lagi
dengan seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan Dewi Angraeni. Perempuan itu
bernama Dewi Gandawati, putri Prabu Gandasena yang kini sedang diperebutkan oleh para
raja dan kesatria dari berbagai negara. Untuk bisa menikahinya, maka Raden Arjuna harus
dapat memenangkan sayembara tanding melawan Raden Citraganda, adik Dewi
Gandawati. Usai memberikan petunjuk demikian, Batara Narada segera undur diri, kembali
ke kahyangan.
Endang Ulupi.
Raden Citraganda.
CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan tentang Arjuna yang pergi berkelana meninggalkan
Indraprasta sebagai hukuman karena memergoki Yudhistira sedang berkasih-kasihan dengan
Draupadi. Dalam pengembaraannya itu, Arjuna menikah dengan Ulupi putri Naga Korawya yang
kelak melahirkan Irawan, serta menikah dengan Citranggada putri Kerajaan Manipura, yang
kelak melahirkan Babruwahana.
Dalam pewayangan Jawa, perempuan yang dinikahi Arjuna setelah Ulupi bernama Gandawati,
sedangkan Citranggada dikisahkan sebagai seorang laki-laki. Konon wajah Gandawati sangat
mirip dengan Angraeni, sehingga saya pun meletakkan lakon ini sesudah lakon Palguna –
Palgunadi. Lagipula kisah Arjuna membuang diri karena memergoki kakaknya sedang olah asmara
juga tidak terdapat dalam pewayangan.
Akan tetapi, karena nama Citranggada sendiri sudah terlanjur identik dengan adik Resi Bisma
yang mati muda, maka dalam kisah yang saya sajikan di atas, namanya saya ubah menjadi
Citraganda. Tentunya juga agar lebih selaras dengan saudarinya yang bernama Gandawati.
Mengenai hubungan Citraganda dengan Bagawan Wilawuk sebagai murid dan guru adalah kreasi
tambahkan dari saya, karena kisah ini nantinya akan menjadi dasar bagi lakon Gandawardaya –
Gandakusuma yang kelak semoga bisa saya sajikan dengan baik.
KITAB WAYANG PURWA
SUMBADRA LARUNG
Kisah ini menceritakan tentang Raden Burisrawa yang tergila-gila kepada Dewi
Sumbadra dan menyusup masuk ke dalam Kesatrian Madukara. Ulahnya membuat
Dewi Sumbadra tewas dan jasadnya pun dilarung oleh pihak Pandawa. Jasad Dewi
Sumbadra kemudian dihidupkan kembali oleh Raden Antareja yang sedang dalam
perjalanan mencari ayahnya, yaitu Arya Wrekodara.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
yang dipadukan dengan novel Sumbadra Larung karya Sunardi DM, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 Mei 2017
Heri Purwanto
Prabu Duryudana menjawab dirinya terakhir melihat Raden Burisrawa adalah saat
Patih Udawa mengadakan sayembara untuk memperebutkan Niken Larasati beberapa
bulan yang lalu. Saat itu Raden Burisrawa sedang patah hati karena gagal menikah dengan
Dewi Sumbadra. Ia pun luntang-lantung di jalanan dan menderita sakit jiwa. Hingga akhirnya
para Kurawa menemukannya pingsan di tepi hutan dan segera dibawa pulang ke Kerajaan
Hastina.
Atas usul Prabu Baladewa kala itu, Raden Burisrawa harus dinikahkan dengan Niken
Larasati, adik Patih Udawa agar bisa segera melupakan Dewi Sumbadra yang sudah
diperistri Raden Arjuna. Namun, rencana tersebut gagal karena Prabu Baladewa tidak dapat
memenangkan sayembara tanding melawan Patih Udawa. Justru sayembara di Desa
Widarakandang itu akhirnya dimenangkan oleh Dewi Sumbadra sendiri, dan Niken Larasati
pun diserahkan kepada Raden Arjuna. Karena dua kali menderita kegagalan, Raden
Burisrawa semakin parah keadaannya dan ia pun memilih kabur meninggalkan Kerajaan
Hastina. Prabu Duryudana mengira adik iparnya itu pulang ke Kesatrian Madyapura,
sehingga tidak memerintahkan orang untuk menyusul.
Raden Rukmarata menjelaskan bahwa Raden Burisrawa sudah setahun ini tidak
pernah pulang ke Kesatrian Madyapura, apalagi ke istana Mandraka. Itulah sebabnya ia
datang ke Kerajaan Hastina untuk meminta bantuan Prabu Duryudana mengatasi masalah
ini. Prabu Duryudana menyanggupi permintaan adik iparnya tersebut. Ia sendiri merasa
bersalah karena sudah dua kali gagal membantu Raden Burisrawa menikah.
Karena kesepakatan sudah diambil, Prabu Duryudana pun meminta Adipati Karna dan
Patih Sangkuni beserta para Kurawa untuk berangkat mencari Raden Burisrawa. Setelah
dianggap cukup, ia lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.
sayang seorang ayah. Hari ini ia tidak tahan lagi dan mendesak ibunya supaya menjelaskan
siapa ayah kandungnya dan di mana keberadaannya.
Dewi Nagagini sebenarnya takut jika Raden Antareja mengetahui tentang ayahnya,
sehingga putranya itu akan pergi dan tidak kembali lagi ke Kahyangan Saptapratala ataupun
istana Jangkarbumi. Raden Antareja berkata dirinya tidak mungkin seperti itu. Meskipun ia
sudah mengetahui siapa ayah kandungnya, ia akan tetap pulang untuk menemui ibu dan
kakeknya di kahyangan.
Batara Anantaboga merasa memang sudah waktunya Raden Antareja mengetahui
soal ini. Ia pun bercerita bahwa ayah kandung dari cucunya itu adalah Raden Bratasena
yang tinggal di Kesatrian Jodipati. Mungkin karena kesibukannya sebagai sentana Kerajaan
Amarta, membuat Raden Bratasena tidak sempat lagi berkunjung ke Kahyangan
Saptapratala. Dewi Nagagini membenarkan hal itu. Selama ini ia tidak pernah merasa
kesepian meskipun tidak pernah ditengok Raden Bratasena, karena ia menyadari suaminya
itu adalah milik negara, bukan miliknya secara pribadi.
Raden Antareja terkesan mendengar kisah tentang ayahnya. Ia pun mohon restu
kepada kakek dan ibunya untuk berangkat menemui sang ayah di Kesatrian Jodipati.
Setelah bertemu, ia pasti akan kembali lagi ke Kahyangan Saptapratala dan Kesatrian
Jangkarbumi. Batara Anantaboga merestui namun tidak tega melepaskan sang cucu begitu
saja. Ia lalu memberikan tiga jenis pusaka kepada Raden Antareja. Pusaka yang pertama
adalah selongsong sisik naga milik Batara Anantaboga. Dulu saat berganti kulit, Batara
Anantaboga tidak membuang kulit bekasnya begitu saja, tetapi membentuknya menjadi
semacam baju rompi. Baju rompi itu kini diberikan kepada Raden Antareja dan seolah
menyatu dengan kulit cucunya itu. Dari kejauhan, Raden Antareja akan terlihat seperti
seorang pemuda yang kulitnya bersisik naga. Keistimewaan pusaka rompi sisik naga ini
dapat membuat Raden Antareja kebal terhadap segala macam jenis senjata.
Pusaka yang kedua adalah berupa mantra ilmu kesaktian bernama Aji Kawastrawam.
Dengan menggunakan ilmu ini, Raden Antareja dapat mengubah wujudnya menjadi apa
saja yang ia kehendaki. Adapun pusaka yang ketiga adalah cupu berisi air kehidupan Tirta
Mustikabumi. Khasiat dari air ini dapat menyembuhkan luka dan juga menghidupkan orang
mati yang belum tiba ajalnya. Batara Anantaboga yakin ketiga pusaka yang ia berikan pasti
bermanfaat bagi cucunya yang masih miskin pengalaman itu.
Raden Antareja sangat berterima kasih atas semua pusaka pemberian sang kakek. Ia
lalu mohon restu kepada Batara Anantaboga dan Dewi Nagagini, juga kepada sang nenek,
yaitu Dewi Supreti, kemudian berangkat menuju Kerajaan Amarta.
Batara Anantaboga.
KITAB WAYANG PURWA
Adipati Karna.
kabur dari Kerajaan Hastina dan kembali menderita sakit asmara terkenang Dewi
Sumbadra. Akhirnya, ia pun tersesat masuk ke dalam Hutan Krendawahana dan menjadi
pengikut Batari Durga.
Kini Raden Burisrawa mendapat tambahan kesaktian dari Batari Durga dan ia mampu
memasuki Kesatrian Madukara tanpa ketahuan. Saat itu Raden Arjuna masih berada di
Kerajaan Tasikmadu, sedangkan keempat istri padminya berada di dalam Kesatrian
Madukara. Raden Burisrawa melihat Dewi Sumbadra duduk sendiri di Taman Maduganda,
Dewi Srikandi sedang melatih para prajurit wanita, Dewi Sulastri sedang mengasuh Raden
Angkawijaya, sedangkan Niken Larasati memimpin para abdi memasak di dapur seperti
biasa.
Merasa ada kesempatan, Raden Burisrawa segera masuk ke Taman Maduganda
mendekati Dewi Sumbadra. Ia segera mengungkapkan isi hatinya yang masih memendam
cinta meskipun sudah setahun ini Dewi Sumbadra resmi menikah dengan Raden Arjuna.
Dewi Sumbadra terkejut dan meminta Raden Burisrawa keluar dari kesatrian. Namun,
Raden Burisrawa justru semakin gencar merayu dan ingin mengajak Dewi Sumbadra lari
bersamanya. Dewi Sumbadra menolak dan hendak pergi ke tempat Dewi Srikandi berlatih.
Namun, Raden Burisrawa segera menghadang sambil menakut-nakuti wanita itu
menggunakan sebilah keris di tangan. Ia mengancam hendak menggores wajah Dewi
Sumbadra agar Raden Arjuna tidak suka lagi dan menceraikannya. Dewi Sumbadra merasa
terdesak dan memilih lebih baik mati daripada wajahnya dirusak. Ia pun maju menerjang
keris di tangan Raden Burisrawa tersebut.
Demikianlah, semuanya terjadi begitu cepat. Dewi Sumbadra meninggal dunia
seketika karena menabrak keris yang dipegang Raden Burisrawa. Raden Burisrawa sendiri
tidak menyangka wanita yang dicintainya itu ternyata sedemikian nekat.
Raden Burisrawa
Burisrawa pun menjawab bahwa dirinya memang Patih Sucitra. Dewi Srikandi berkata lagi
mengapa suaranya lebih mirip Patih Surata. Raden Burisrawa menjawab dirinya adalah
Patih Surata, bukan Patih Sucitra. Dewi Srikandi semakin curiga dan berkata mengapa
suaranya mirip Raden Gatutkaca. Raden Burisrawa segera meralat bahwa dirinya memang
Raden Gatutkaca. Pada saat itulah Dewi Srikandi maju menerjang dan melepaskan panah
ke arah suara Raden Burisrawa. Namun, Raden Burisrawa lebih dulu menghindar. Ia
sempat mengeluarkan Aji Panglimunan seperti yang diajarkan Batari Durga, sehingga
tubuhnya tidak dapat terlihat oleh Dewi Srikandi.
Dewi Srikandi.
menangis tanpa sebab. Karena semakin gelisah, Raden Arjuna pun mengajak para
panakawan mempercepat langkah.
Sesampainya di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna sangat terkejut menyaksikan istri
padmi pertamanya, yaitu Dewi Sumbadra telah meninggal dunia dan menjadi layatan
banyak orang. Keempat Pandawa lainnya telah berkumpul dengan pakaian berkabung,
begitu pula kedua kakak iparnya, yaitu Prabu Kresna dari Dwarawati dan Prabu Baladewa
dari Mandura. Prabu Baladewa yang biasanya galak dan pemarah, hari itu menangis
meraung-raung, sedangkan Prabu Kresna tampak lebih tenang.
Dewi Srikandi melapor kepada sang suami, bahwa Dewi Sumbadra meninggal karena
dibunuh orang tak dikenal. Para Pandawa tidak berani melakukan upacara pemakaman
sebelum Raden Arjuna tiba. Mendengar itu, Raden Arjuna gugup dan segera meminta
bantuan Prabu Kresna untuk menghidupkan kembali Dewi Sumbadra menggunakan
Kembang Wijayakusuma.
Prabu Kresna menjawab Kembang Wijayakusuma tidak mampu menghidupkan orang
mati yang benar-benar sudah ajal. Namun, karena Raden Arjuna mendesak, terpaksa Prabu
Kresna mengeluarkan bunga ajaib tersebut dan melewatkannya di atas jasad Dewi
Sumbadra. Namun demikian, ia sengaja tidak membaca mantra karena memiliki rencana
lain.
Raden Arjuna.
Setelah perahu siap, Raden Arjuna memimpin upacara pelepasan jasad Dewi
Sumbadra. Dengan berlinang air mata, ia mendorong perahu indah tersebut hingga terbawa
arus di Sungai Jamuna.
Ketika upacara berlangsung, Prabu Kresna diam-diam berbisik kepada Raden
Gatutkaca untuk mengawasi perahu yang berisi jasad Dewi Sumbadra itu dari angkasa.
Prabu Kresna berkata bahwa dirinya berbohong telah mimpi bertemu roh Dewi Sumbadra.
Ia sengaja melarung jasad adiknya dengan tujuan untuk menangkap si pelaku pembunuhan.
Raden Gatutkaca paham maksud Prabu Kresna dan segera melesat terbang ke angkasa
untuk mengawal jasad sang bibi.
Dewi Sumbadra.
dari Prabu Kresna untuk menangkap pelaku pembunuhan sang bibi. Karena gerak-gerik
Raden Antareja mencurigakan, maka Raden Gatutkaca pun berniat menangkapnya untuk
dihadapkan kepada Prabu Kresna.
Dewi Sumbadra menjawab bahwa dirinya mati karena didesak Raden Burisrawa, jadi
bukan Raden Antareja pelakunya. Raden Gatutkaca segera meminta maaf dan berterima
kasih atas bantuan Raden Antareja kepada bibinya. Raden Antareja sendiri menjawab
bahwa ini semua sudah takdir karena seakan-akan hati nuraninya berbisik menyuruh agar
ia mencebur ke sungai dan menghidupkan kembali jasad Dewi Sumbadra.
Dewi Sumbadra lalu bertanya tentang asal usul Raden Antareja, mengapa bisa
memiliki air ajaib pemberian Batara Anantaboga. Raden Antareja menjawab bahwa dirinya
adalah cucu Batara Anantaboga, atau putra Dewi Nagagini. Perjalanannya kali ini adalah
ingin menemui ayah kandungnya yang bernama Raden Bratasena.
Dewi Sumbadra berkata bahwa Raden Bratasena adalah nama Arya Wrekodara
semasa muda, sedangkan Arya Wrekodara adalah ayah dari Raden Gatutkaca. Dengan
kata lain, Raden Antareja dan Raden Gatutkaca adalah saudara sendiri, yaitu satu ayah lain
ibu.
Raden Gatutkaca sangat gembira mendengarnya dan segera menyembah memberi
hormat kepada Raden Antareja yang dipanggilnya sebagai kakak. Raden Antareja merasa
salah tingkah. Dewi Sumbadra menjelaskan bahwa memang sudah sepantasnya Raden
Gatutkaca menjadi adik Raden Antareja, karena ibunya, yaitu Dewi Arimbi pun memanggil
kakak kepada Dewi Nagagini.
Raden Antareja tidak ragu lagi. Ia pun memeluk Raden Gatutkaca dan memanggilnya
sebagai adik. Dewi Sumbadra lalu mengajak kedua keponakannya itu pulang ke Kesatrian
Madukara. Namun, Raden Gatutkaca menolak karena ia masih mengemban tugas dari
Prabu Kresna untuk menangkap pelaku pembunuhan sang bibi.
rambutnya. Pada saat Raden Burisrawa lengah, Dewi Sumbadra palsu tiba-tiba menampar
pipinya. Raden Burisrawa kaget dan bertanya mengapa ia ditampar. Dewi Sumbadra palsu
menjawab ada nyamuk besar hinggap di pipi Raden Burisrawa. Tidak lama kemudian Dewi
Sumbadra pun memukul kepala Raden Burisrawa. Raden Burisrawa terkejut dan bertanya
mengapa dipukul. Dewi Sumbadra palsu pun menjawab di kepala Raden Burisrawa ada
serangga bersarang.
Demikianlah, berkali-kali Raden Burisrawa dipukul oleh Dewi Sumbadra palsu. Lama-
lama ia merasa curiga mengapa tangan Dewi Sumbadra berat dan mantap. Ketika menoleh
ternyata Dewi Sumbadra palsu sudah kembali ke wujud Raden Antareja. Raden Burisrawa
terkejut dan sebelum ia menyadari, Raden Antareja sudah menghajarnya.
Raden Burisrawa berusaha kabur meninggalkan perahu, namun ia disambar Raden
Gatutkaca dari angkasa dan dijatuhkan di tanah. Raden Gatutkaca ganti menghajarnya,
kemudian melemparkan tubuh Raden Burisrawa ke arah sang kakak. Raden Antareja
menangkap Raden Burisrawa dan memukulinya. Setelah puas, ia melemparkan tubuh pria
itu ke arah Raden Gatutkaca. Kedua kakak beradik itu pun bergantian menghajar Raden
Burisrawa hingga babak belur.
menghidupkan dirinya adalah si pemuda bersisik yang bernama Raden Antareja, yaitu putra
Arya Wrekodara sendiri yang lahir dari Dewi Nagagini.
Arya Wrekodara sangat senang melihat Raden Antareja. Tadinya ia mengira hanya
memiliki satu orang putra saja, yaitu Raden Gatutkaca. Tak disangka, ternyata Dewi
Nagagini juga melahirkan anak laki-laki untuknya. Begitu mendapat penjelasan dari Dewi
Sumbadra, Raden Antareja langsung menyembah Arya Wrekodara. Keduanya pun saling
berpelukan melepas rindu.
CATATAN : Kisah Sumbadra Larung ini dikenal pula dengan judul Antasena Takon Bapa. Adapun Antasena
menurut pakem pewayangan Surakarta adalah nama Raden Antareja semasa muda. Wujud
wayangnya memakai lungsen grudan dengan rambut urai. Seiring waktu, pakem Surakarta terkena
pengaruh pakem Yogyakarta, di mana tokoh Antasena dan Antareja kemudian dikisahkan sebagai
dua orang yang berbeda.
Dalam hal ini, blog saya mengikuti pakem pewayangan populer, di mana kelak cerita Antasena
Takon Bapa akan saya munculkan dalam lakon tersendiri, dan tokohnya pun berbeda dengan
Raden Antareja. Itulah sebabnya dalam kisah di atas, Raden Antareja sejak awal sudah memakai
nama Antareja, karena tokoh Antasena kelak ada sendiri. Namun demikian, saya tetap
menampilkan ilustrasi Antareja berambut urai, yang mana Antareja berambut gelung kelak akan
saya tampilkan di lakon selanjutnya.
KITAB WAYANG PURWA
IRAWAN LAHIR
Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Bambang Irawan, yaitu putra Raden Arjuna
dengan Dewi Ulupi. Juga dikisahkan awal mula Raden Antareja menggelung rambut
dan menjadi murid Resi Jayawilapa.
Kisah ini saya olah dari sumber rangkuman balungan Pakem Ringgit Purwa koleksi
Museum Sonobudoyo, dengan disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 Mei 2017
Heri Purwanto
Prabu Nilawarna.
KITAB WAYANG PURWA
Patih Kalabandoga.
lugas, membuatnya langsung berterus terang bahwa kendaga tersebut berisi Dewi Ulupi
yang akan dipersembahkan kepada Prabu Nilawarna di Kerajaan Parangsotya.
Raden Burisrawa senang mendengarnya dan ia pun menyerang Patih Kalabandoga
untuk merebut kendaga itu. Patih Kalabandoga terkejut dan membela diri. Keduanya lalu
bertarung sengit. Dalam pertarungan itu Raden Burisrawa unggul. Ia pun menghabisi nyawa
Patih Kalabandoga dan melemparkan mayatnya ke dasar jurang.
Ulupi. Setelah bertarung agak lama, akhirnya Prabu Nilawarna tewas tertusuk Keris
Pulanggeni milik Raden Arjuna.
Setelah keadaan tenang kembali, para Pandawa pun melanjutkan upacara syukuran.
Hari itu Raden Antareja dan Bambang Irawan dipersaudarakan. Raden Antareja tidak lagi
menganggap Bambang Irawan sebagai sepupu, tetapi menjadikannya sebagai adik
kandung. Bahkan, ia juga memanggil ibu kepada Dewi Ulupi. Sejak saat itu pula Raden
Antareja tinggal di Padepokan Yasarata untuk berguru ilmu kehidupan kepada Resi
Jayawilapa.
CATATAN : Bambang Irawan adalah tokoh yang terdapat dalam kitab Mahabharata dengan nama Iravan,
sedangkan Raden Antareja adalah tokoh asli ciptaan pujangga Jawa. Menurut naskah
Mahabharata, ibu dari Iravan juga bernama Ulupi, tetapi kakeknya bernama Naga Koravya.
Sementara itu, nama raja Parangsotya menurut naskah Sonobudoyo adalah Prabu Ekawarna.
Karena khawatir rancu dengan Batara Ekawarna, yaitu kakek dari Prabu Boma Narakasura,
maka saya pun mengubah namanya menjadi Prabu Nilawarna dalam lakon yang saya sajikan di
atas.
KITAB WAYANG PURWA
ABIMANYU KEREM
Kisah ini menceritakan tentang para Pandawa yang kehilangan sejumlah pusaka, serta
Dewi Sumbadra juga hilang diculik orang. Raden Abimanyu yang masih kecil jatuh ke
sungai ketika hendak mencari ayah dan ibunya, di mana Raden Gatutkaca tidak dapat
terbang menolong karena dirinya pun kehilangan Kotang Antrakusuma.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan lakon wayang versi Jombor, yang dipadukan
dengan lakon wayang dari blog abimanyu kerem, dengan disertai pengembangan
seperlunya.
Kediri, 23 Mei 2017
Heri Purwanto
Meskipun orang luar melihat Dewi Sumbadra dimadu oleh Raden Arjuna dengan banyak
perempuan lain, tetapi ia tahu adiknya hidup bahagia. Raden Pretiwanggana menjawab hal
itu belum tentu. Terbukti saat ini Dewi Sumbadra hilang diculik orang dan Raden Arjuna
tidak berangkat mencari. Itu artinya, Raden Arjuna tidak sepenuh hati mencintai Dewi
Sumbadra. Perkawinan seperti itu apa bagusnya dipertahankan?
Prabu Baladewa hampir saja termakan ucapan Raden Pretiwanggana dan ia turut
membenarkan bahwa Raden Arjuna tidak sepenuh hati mencintai adik bungsunya. Prabu
Kresna berkata bahwa Raden Arjuna tidak seperti itu. Ia mendengar dari penuturan Raden
Sadewa, bahwa Raden Arjuna sudah berangkat mencari Dewi Sumbadra dengan ditemani
Dewi Srikandi.
Raden Pretiwanggana tertawa mengejek bahwa Raden Arjuna sungguh manusia tidak
berbudi, yaitu pergi mencari istri yang hilang dengan ditemani istrinya yang lain. Itu namanya
bukan mencari Dewi Sumbadra, tetapi pergi tamasya, bersenang-senang sendiri. Prabu
Kresna tersinggung mendengar Raden Arjuna dihina seperti itu. Ia pun mempersilakan
Raden Pretiwanggana sebaiknya pulang saja, daripada membuat kekacauan di Dwarawati.
Raden Pretiwanggana bersedia pergi, tetapi ia pergi untuk mencari Dewi Sumbadra,
bukannya pulang ke Kahyangan Ekapratala. Apabila ia berhasil menemukan Dewi
Sumbadra, maka Prabu Kresna dan Prabu Baladewa harus bersedia menceraikan adik
mereka itu dengan Raden Arjuna. Setelah menjadi janda, Dewi Sumbadra harus diizinkan
menjadi istrinya.
Prabu Baladewa mempersilakan apabila Raden Pretiwanggana mempunyai niat
demikian. Dewata yang akan menentukan takdir apakah Dewi Sumbadra tetap menjadi istri
Raden Arjuna ataukah menjadi janda dan menikah dengan Raden Pretiwanggana.
Raden Pretiwanggana yakin dirinya pasti menang. Ia pun mohon pamit berangkat
meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Setelah adik iparnya itu pergi, Prabu Kresna pun
membubarkan pertemuan. Ia mengajak Prabu Baladewa berangkat menuju Kerajaan
Amarta untuk membantu kesulitan yang sedang dialami para Pandawa.
Raden Pretiwanggana.
Dewi Sumbadra sendiri merasa terdesak. Jika terus-terusan menolak, bisa-bisa Prabu
Tunggulwijaya marah dan berbuat jahat kepadanya. Maka, untuk mengulur waktu sampai
pertolongan tiba, ia pura-pura menerima lamaran Prabu Tunggulwijaya tetapi dengan
syarat, yaitu dirinya minta dicarikan sebuah mainan yang tidak membosankan seumur
hidup.
Prabu Tunggulwijaya merasa syarat yang diajukan Dewi Sumbadra ini agak kekanak-
kanakan, tetapi ia paham bahwa wanita tersebut memang sejak kecil dimanja oleh
keluarganya sehingga wajar jika memiliki permintaan seperti itu. Maka, Prabu
Tunggulwijaya pun memerintahkan Patih Karawijaya dan yang lain agar berangkat mencari
benda tersebut.
Raden Arjuna, sedangkan dirinya mengikuti kepergian Arya Pulangjiwa dan Arya Lukitapala
menuju Kerajaan Nrancangakik.
wanita yang ia sekap itu bahwa mereka adalah mainan yang tidak akan membosankan
seumur hidup. Dewi Sumbadra sangat senang melihat Raden Abimanyu dan segera
menggendong putra kandungnya itu. Saat melihat Kleting Binatur pun ia merasa suka.
Maka, keduanya diterima dan sesuai dengan keinginan Dewi Sumbadra.
Prabu Tunggulwijaya gembira dan menagih janji Dewi Sumbadra untuk menerima
pinangannya. Dewi Sumbadra berusaha mengulur waktu lagi. Ia pura-pura bersedia
menjadi istri Prabu Tunggulwijaya apabila bisa mengalahkan suaminya, yaitu Raden Arjuna.
Prabu Tunggulwijaya sama sekali tidak takut dan menyatakan bersedia. Sungguh
kebetulan, tiba-tiba Arya Kusumantara datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar
istana ada dua orang musuh datang menantang, yaitu Raden Arjuna dan Raden Gatutkaca.
Prabu Tunggulwijaya merasa senang karena tidak perlu susah payah menyerang Kerajaan
Amarta. Ia pun bergegas keluar untuk menghadapi tantangan tersebut.
Setelah Prabu Tunggulwijaya pergi, Kleting Binatur membuka penyamaran, bahwa ia
sesungguhnya adalah Dewi Srikandi. Dewi Sumbadra sangat gembira dan segera memeluk
madunya tersebut. Dewi Srikandi lalu menggandeng tangan Dewi Sumbadra dan
mengajaknya pergi melarikan diri.
membobol gedung pusaka istana Indraprasta, tetapi kelima senjata itulah yang meloloskan
diri. Namun mengapa bisa demikian, Prabu Kresna tidak dapat menjelaskan.
Kyai Semar menyela ikut bicara. Sepertinya kelima pusaka tersebut sudah saatnya
dicuci dan disucikan tetapi para Pandawa lalai dalam melakukannya. Itulah sebabnya
mereka lolos dari istana dengan tujuan untuk mengingatkan para majikan. Prabu
Puntadewa membenarkan hal itu tetapi ia ragu apakah kegiatan mensucikan pusaka tidak
termasuk perbuatan yang menyekutukan Tuhan. Kyai Semar menjawab, semua perbuatan
tergantung niatnya. Niat baik atau buruk ada di hati pelakunya, bukan menurut pandangan
orang lain. Apabila kegiatan mensucikan pusaka diniati sebagai bentuk perawatan, yaitu
demi membersihkan pusaka dari pengaruh buruk, tentunya hal itu bukanlah dosa.
Mensucikan pusaka hendaknya diniati sebagai bentuk penghormatan terhadap harta
benda, bukan penyembahan dan pemujaan terhadap sesuatu yang dianggap lebih tinggi
dari pemiliknya. Selain itu juga sebagai ungkapan puji syukur atas karunia Tuhan kepada
kita, sehingga tidak selalu harus dikait-kaitkan dengan dosa mempersekutukan Tuhan.
Prabu Puntadewa dapat memahami penjelasan Kyai Semar. Tidak lama kemudian
Dewi Srikandi muncul pula sambil menggandeng Dewi Sumbadra dan menggendong
Raden Abimanyu. Raden Arjuna gembira menyambut mereka bertiga. Kerajaan
Nrancangakik pun lenyap dari pandangan. Prabu Puntadewa lalu mengajak semuanya
kembali ke Kerajaan Amarta untuk mengadakan syukuran.
CATATAN : Menurut balungan naskah pedalangan versi Jombor, Dewi Sumbadra hilang diculik Prabu
Jayadimurti dan Patih Jayapudenda, sedangkan menurut versi lain yang saya baca, Dewi
Sumbadra tidak hilang diculik tetapi sengaja meloloskan diri dan menjadi raja bernama Prabu
Jayabadra, dengan didampingi pusaka-pusaka Kerajaan Amarta yang berubah menjadi manusia.
Saya sengaja menggabungkan kedua sumber tersebut, sehingga jadilah seperti tulisan di atas.
KITAB WAYANG PURWA
ARJUNA TUMBAL
Kisah ini menceritakan tentang Raden Arjuna yang hendak dijadikan tumbal oleh Prabu
Suryaasmara, raja Parangkencana. Juga diceritakan kelahiran dua putra Raden Arjuna,
yaitu Raden Sumitra dan Raden Bratalaras, serta awal mula Raden Arjuna bertemu
Endang Pamegatsih, yang kelak melahirkan Bambang Pamegattresna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang disusun oleh
Ki Tristuti Suryasaputra, dengan perubahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 1 Juni 2017
Heri Purwanto
Raden Arjuna.
Prabu Suryaasmara.
Kesatrian Madukara tertidur lelap. Patih Kalagambira berhasil menemukan kamar tidur
Raden Arjuna dan segera menyambar pangeran tersebut untuk dibawa pergi.
Patih Kalagambira sudah berlari sangat jauh sambil menggendong Raden Arjuna.
Tiba-tiba Raden Arjuna terbangun dari tidur dan langsung menendang kepala penculiknya
itu. Patih Kalagambira terkejut dan melepaskan pangeran tersebut. Keduanya lalu
berhadap-hadapan hendak bertarung. Raden Arjuna lebih dulu bertanya mengapa dirinya
diculik dan hendak dibawa ke mana. Patih Kalagambira menjawab ia mengemban tugas
dari rajanya yang bernama Prabu Suryaasmara, yang ingin membebaskan Kerajaan
Parangkencana dari wabah penyakit dengan cara menyembelih Raden Arjuna dan
mengalirkan darahnya di sana.
Tentu saja Raden Arjuna menolak dirinya hendak dijadikan tumbal. Patih Kalagambira
pun berusaha meringkusnya dengan jalan kekerasan. Mereka lalu bertarung satu lawan
satu di tempat sepi tersebut. Patih Kalagambira sebenarnya tidak mampu mengalahkan
kesaktian Raden Arjuna, tetapi ia sudah bertekad bulat hendak membawa pangeran ini ke
hadapan rajanya.
Setelah bertarung cukup lama, Raden Arjuna akhirnya dapat merobohkan Patih
Kalagambira. Namun, menjelang ajal tiba, Patih Kalagambira sempat bangkit kembali dan
menggigit pundak Raden Arjuna. Keduanya lalu sama-sama roboh. Patih Kalagambira
tewas kehilangan nyawa, sedangkan Raden Arjuna pingsan karena terkena racun pada gigi
taring lawan.
Patih Kalagambira.
Endang Pamegatsih meminta sang ayah agar mengobati Raden Arjuna. Resi
Pamintajati bersedia dan segera melaksanakan keinginan putrinya. Rupa-rupanya gigi
taring Patih Kalagambira mengandung racun ganas dan Resi Pamintajati harus membuat
ramuan obat untuk menawarkan pengaruh racun tersebut. Setelah dirawat tiga hari, barulah
Raden Arjuna sadar dari pingsan tetapi kekuatannya belum pulih.
Endang Pamegatsih setiap hari merawat dan melayani keperluan Raden Arjuna
hingga sang pangeran benar-benar sehat. Raden Arjuna pun berterima kasih dan mohon
pamit hendak kembali ke Kesatrian Madukara. Resi Pamintajati mencegah dan berterus
terang bahwa ia ingin melamar Raden Arjuna untuk menjadi suami Endang Pamegatsih.
Raden Arjuna menjawab dirinya sudah memiliki banyak istri dan hanya bisa menjadikan
Endang Pamegatsih sebagai istri paminggir yang tidak dibawa ke Kesatrian Madukara,
melainkan tetap tinggal di Padepokan Argabinatur. Resi Pamintajati menjawab putrinya
bersedia dan sejak awal sudah memutuskan demikian.
Raden Arjuna sendiri terkesan melihat Endang Pamegatsih yang sudah beberapa hari
ini merawat dirinya dengan penuh kesabaran. Maka, ia pun bersedia mejadikan gadis itu
sebagai istri paminggir. Resi Pamintajati gembira dan segera menikahkan mereka berdua
secara sederhana.
Setelah dua bulan lamanya tinggal di Padepokan Argabinatur, tiba-tiba Raden Arjuna
teringat pada Dewi Sulastri dan Niken Larasati yang saat ini usia kandungan mereka pasti
sudah mencapai sembilan bulan dan tiba waktunya untuk melahirkan. Ia pun mohon pamit
kepada Resi Pamintajati dan Endang Pamegatsih. Saat itu Endang Pamegatsih sedang
hamil muda. Raden Arjuna berpesan kepada istri barunya tersebut, bahwa kelak jika
melahirkan anak laki-laki, hendaknya diberi nama Bambang Pamegattresna.
Usai berpesan demikian, Raden Arjuna segera berangkat meninggalkan Padepokan
Argabinatur menuju Kesatrian Madukara.
Resi Pamintajati.
Arjuna pun mengiris lengannya sendiri. Darah mengucur membasahi bumi Kerajaan
Parangkencana. Setelah dirasa cukup, Resi Indrajala lalu membalut luka kesatria Pandawa
nomor tiga tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.
Prabu Suryaasmara juga berterima kasih kepada Raden Arjuna dan para Pandawa
lainnya. Ia berdoa semoga kelak memiliki anak perempuan agar bisa berjodoh dengan
Raden Sumitra, yaitu putra Raden Arjuna yang baru lahir. Prabu Puntadewa dan adik-
adiknya pun berharap semoga hal itu bisa terjadi.
JAKA PENGALASAN
Kisah ini menceritakan tentang Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu yang diculik
musuh dan disembunyikan di dalam hutan, lalu mereka diganti oleh Dewi Juwitaningrat
dan Raden Senggoto yang menyamar dan masuk ke dalam Kesatrian Madukara. Raden
Abimanyu kemudian tumbuh menjadi remaja bernama Jaka Pengalasan yang akhirnya
berhasil bertemu kembali dengan ayahnya.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang
disusun Ki Tristuti Suryasaputra, dengan disertai penambahan dan pengembangan
seperlunya.
Kediri, 06 Juni 2017
Heri Purwanto
Prabu Baladewa semakin heran dan mengajak Prabu Kresna untuk mengunjungi adik
bungsu mereka itu. Semoga saja kedatangan mereka dapat membantu memulihkan Dewi
Sumbadra dan Raden Abimanyu menjadi seperti sediakala. Prabu Kresna setuju dan
kemudian membubarkan pertemuan.
Prabu Kresna lalu masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan kepada ketiga
permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma. Setelah itu ia
berangkat bersama Prabu Baladewa dan Arya Setyaki menuju Kerajaan Amarta.
Dewi Juwitaningrat.
Resi Kalaswara.
Raden Senggoto.
Resi Mandarasa kagum pada niat baik Dewi Sumbadra. Ia pun menawarkan tempat
menginap untuk wanita itu dan juga Raden Abimanyu. Dewi Sumbadra berterima kasih dan
merasa sangat beruntung. Mulai hari itu, Resi Mandarasa pun mengangkat Dewi Sumbadra
sebagai putrinya, dengan diberi nama samaran Endang Cahyaningsih, sedangkan Raden
Abimanyu dijadikan sebagai cucu, dengan nama samaran Jaka Pengalasan.
Putut Aribawa.
sepupunya tewas, ia segera maju menyerang Putut Aribawa. Keduanya pun terlibat
pertarungan sengit.
Raden Gatutkaca heran melihat sosok Putut Aribawa yang mirip dengan dirinya.
Mereka bertarung sengit, sama-sama gagah, sama-sama kuat dan perkasa. Namun, karena
Raden Gatutkaca bisa terbang, lama-lama Putut Aribawa pun terdesak kalah dan akhirnya
roboh tak berdaya. Tenaganya habis dan sepertinya ia tidak dapat hidup lebih lama lagi.
Menjelang ajal tiba, Putut Aribawa bertanya siapa nama pemuda yang berhasil
mengalahkannya. Raden Gatutkaca pun memperkenalkan dirinya. Putut Aribawa terkejut
mendengar nama itu dan berkata bahwa sesungguhnya mereka masih bersaudara. Putut
Aribawa menjelaskan bahwa ia tercipta dari ari-ari Raden Gatutkaca sendiri yang
dihanyutkan di sungai, dan ditemukan oleh Resi Mandarasa.
Raden Gatutkaca antara percaya dan tidak percaya mendengarnya. Putut Aribawa
lalu bercerita tentang Raden Senggoto yang baru saja tewas sebenarnya bukan putra
Raden Arjuna, tetapi anak musuh yang disusupkan ke dalam Kesatrian Madukara. Adapun
Raden Abimanyu yang asli adalah Jaka Pengalasan yang ada bersamanya. Raden
Gatutkaca mengamat-amati wujud Jaka Pengalasan ternyata memang mirip dengan Raden
Abimanyu yang sejak kecil sering ia temani bermain. Maka, ia pun mulai percaya pada
ucapan Putut Aribawa tadi. Namun, Putut Aribawa sendiri sudah semakin lemah. Raden
Gatutkaca merasa bersalah pada saudaranya itu dan berniat memeluknya. Akan tetapi,
ketika tubuh mereka berpadu, tiba-tiba Putut Aribawa musnah menjadi asap dan terhisap
masuk ke dalam dada Raden Gatutkaca.
Raden Gatutkaca bangkit berdiri dan merasa tenaganya menjadi lebih besar. Rupa-
rupanya Putut Aribawa telah bersatu jiwa raga dengannya dan membuat kekuatannya
meningkat beberapa kali lipat dibanding sebelumnya. Ia sangat terharu dan berterima kasih
atas pengorbanan saudaranya tersebut.
Raden Gatutkaca.
menjelaskan bahwa putra Raden Arjuna yang sebenarnya adalah Jaka Pengalasan, yang
sekarang ada di dekatnya.
Raden Arjuna terkejut dan marah mendapat jawaban demikian. Ia pun mengeluarkan
panah Sarotama dan berniat membunuh Raden Gatutkaca dan Jaka Pengalasan untuk
menegakkan keadilan. Raden Gatutkaca gentar harus berhadapan dengan paman sendiri.
Maka, ia pun menyambar tubuh Jaka Pengalasan untuk dibawa terbang jauh. Raden Arjuna
tidak mau menyerah dan segera mengejar mereka berdua menggunakan Aji Seipi Angin.
Raden Gatutkaca terbang di angkasa sambil meminta petunjuk Jaka Pengalasan, di
mana tempat tinggal Dewi Sumbadra saat ini. Akhirnya, mereka pun sampai di Padepokan
Argapudya. Resi Mandarasa dan Endang Cahyaningsih terkejut melihat Jaka Pengalasan
pulang bersama Raden Gatutkaca, dan kemudian muncul pula Raden Arjuna mengejar
mereka.
Resi Mandarasa mencoba menyabarkan Raden Arjuna dan menjelaskan duduk
perkara yang sebenarnya. Namun, Raden Arjuna sudah terbakar amarah dan berniat
mengamuk mengobrak-abrik isi padepokan. Endang Cahyaningsih maju sambil memanggil
Raden Arjuna dengan sebutan “bapakne kulup”. Raden Arjuna terkejut karena hanya Dewi
Sumbadra yang selalu memanggilnya demikian. Di antara mereka ada panggilan sayang,
yaitu “bapakne kulup” dan “ibune kulup”. Raden Arjuna merasa heran mengapa Endang
Cahyaningsih bisa mengetahui panggilan itu, sedangkan Dewi Sumbadra yang tinggal di
Kesatrian Madukara sudah lama tidak memanggilnya demikian.
Resi Mandarasa pun menjelaskan bahwa Endang Cahyaningsih sesungguhnya
adalah Dewi Sumbadra yang asli, begitu pula dengan Jaka Pengalasan adalah Raden
Abimanyu yang asli. Adapun Dewi Sumbadra yang saat ini berada di Kesatrian Madukara
adalah penyamaran Dewi Juwitaningrat, yaitu istri Patih Kalagambira yang ingin membalas
dendam atas kematian suaminya. Adapun Raden Senggoto juga bukan putra Raden Arjuna,
melainkan putra Patih Kalagambira dan Dewi Juwitaningrat.
Raden Arjuna terharu bercampur malu, dan segera memeluk Endang Cahyaningsih
bersama Jaka Pengalasan. Ia bertanya mengapa Dewi Sumbadra tidak muncul sejak dulu
untuk membongkar penyamaran Dewi Juwitaningrat. Dewi Sumbadra menjawab dirinya
sengaja bersembunyi di Padepokan Argapudya agar Raden Arjuna bisa menebus dosa
karena telah membunuh Patih Kalagambira dengan cara merawat janda dan anaknya. Jika
dewata sudah menganggap dosa tersebut lunas, pastilah Raden Arjuna akan dipertemukan
kembali dengan Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu yang asli. Lagipula, penyamaran
Raden Abimanyu menjadi Jaka Pengalasan juga ada himahnya, yaitu membuatnya menjadi
lebih tangguh dan mandiri, jauh lebih baik daripada hidup nyaman di dalam Kesatrian
Madukara yang penuh kenikmatan.
Raden Arjuna terharu mendengar ketulusan istrinya. Ia lalu mohon pamit kepada Resi
Mandarasa dan berterima kasih banyak atas segala pertolongannya selama ini. Raden
Gatutkaca juga mohon pamit dan meminta maaf karena Putut Aribawa sudah tidak ada lagi
di dunia, karena sudah bersatu jiwa raga dengan dirinya. Resi Mandarasa menjawab
memang sebaiknya begitu, karena Putut Aribawa tercipta dari ari-ari Raden Gatutkaca,
sehingga wajar jika kini kembali bersatu dengannya.
Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, Raden Abimanyu, dan Raden Gatutkaca telah kembali
ke Kesatrian Madukara. Kedatangan mereka pun disambut Dewi Srikandi, Dewi Sulastri,
dan Niken Larasati. Ketiga wanita itu heran melihat Dewi Sumbadra datang bersama Raden
Arjuna, sedangkan di dapur juga ada Dewi Sumbadra satu lagi sedang lahap menyantap
daging mentah. Raden Arjuna pun menjelaskan bahwa yang di dapur adalah Dewi
Sumbadra palsu, yaitu penyamaran Dewi Juwitaningrat.
KITAB WAYANG PURWA
Dewi Srikandi tanggap dan segera pergi ke dapur untuk menyeret Dewi Sumbadra
palsu. Dewi Sumbadra palsu terkejut menyadari penyamarannya telah terbongkar. Ia pun
kembali ke wujud raksasi dan menyerang Dewi Srikandi. Kedua wanita itu lalu bertarung
sengit. Dewi Srikandi yang sudah bersiaga dapat memenangkan pertarungan. Dengan
panahnya yang ampuh, ia pun berhasil menewaskan Dewi Juwitaningrat.
Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, dan si kembar Raden Nakula-Raden Sadewa
datang setelah mendengar keributan di Kesatrian Madukara. Mereka ikut bersyukur dan
bersuka cita karena masalah yang dihadapi Raden Arjuna telah teratasi. Raden Arjuna pun
mengadakan pesta syukuran untuk menyambut kepulangan Dewi Sumbadra dan Raden
Abimanyu yang kini telah tumbuh menjadi remaja tangguh.
CATATAN : Menurut naskah Serat Pustakaraja Purwa versi Ngasinan, lakon di atas adalah alternatif kisah
kelahiran Raden Abimanyu. Lakon ini sebenarnya diadaptasi dari cerita rakyat berjudul
Cindelaras. Dikisahkan bahwa Raden Abimanyu lahir di hutan, dan ari-arinya diubah menjadi
pemuda pengasuh bernama Putut Aribawa.
Karena saya telah menceritakan kelahiran Raden Abimanyu dalam cerita Wahyu Panuntun, maka
cerita Jaka Pengalasan pun saya ubah menjadi kelanjutan lakon Sumitra Lahir. Saya kisahkan
bahwa Dewi Juwitaningrat adalah wanita raksasa yang membalas dendam atas kematian Patih
Kalagambira. Adapun Putut Aribawa saya ubah ceritanya menjadi ari ari Raden Gatutkaca,
sehingga cerita ini dapat pula menjadi sambungan lakon Gatutkaca Lahir.
KITAB WAYANG PURWA
UDAWA WARIS
Kisah ini menceritakan tentang usaha Patih Udawa membangun Desa Widarakandang
menjadi Kepatihan. Niatnya ini mendapat halangan dari Prabu Baladewa, yang juga
telah dihasut oleh Patih Sangkuni.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Manteb Soedharsono, yang dipadukan dengan rekaman pentas wayang orang Sekar
Budaya Nusantara, dengan disertai penambahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 Juni 2017
Heri Purwanto
Patih Udawa yang sudah dua bulan ini pulang kampung dan melalaikan tugasnya sebagai
patih di Kerajaan Dwarawati. Yang kedua, ia menyampaikan selembar surat yang ditulis
putranya itu kepada Prabu Kresna.
Prabu Kresna menerima surat dari tangan Nyai Sagopi dan membaca isinya. Setelah
membaca, ia hanya diam tidak bersuara. Prabu Baladewa penasaran dan mengambil surat
tersebut. Begitu membaca isinya, ia langsung marah-marah dan mencaci-maki dengan
perkataan kasar. Rupanya surat tersebut berisi permohonan Patih Udawa untuk
membangun Desa Widarakandang menjadi Kepatihan. Prabu Baladewa pun marah besar
karena Desa Widarakandang adalah termasuk wilayah Kerajaan Mandura, dan itu berarti
Patih Udawa telah lancang melangkahi dirinya. Kemarahan Prabu Baladewa itu pun
dilampiaskannya kepada Nyai Sagopi yang dianggap tidak becus mendidik anak. Nyai
Sagopi ketakutan dan segera mohon pamit kembali ke Desa Widarakandang.
Prabu Baladewa masih marah meskipun Nyai Sagopi sudah pergi. Ia berkata Prabu
Kresna tidak perlu menghukum Patih Udawa, karena ia sendiri yang akan turun tangan.
Usai berkata demikian, Prabu Baladewa pun mohon pamit meninggalkan Kerajaan
Dwarawati menuju Desa Widarakandang pula.
Prabu Kresna termangu-mangu melihat kejadian ini. Ia khawatir akan terjadi perang
saudara antara Prabu Baladewa dengan Patih Udawa. Maka, Arya Setyaki pun diutus agar
berangkat mendahului Prabu Baladewa, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan
buruk. Ia sendiri membubarkan pertemuan, lalu masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan
kepada para permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma.
Prabu Basudewa semasa muda dengan Nyai Sagopi yang saat itu masih bernama Ken
Yasoda. Akan tetapi, cerita ini sangat dirahasiakan karena dianggap sebagai aib Kerajaan
Mandura. Ia merasa Patih Udawa telah bertindak lancang berani menceritakan hal ini
kepada istrinya, sehingga akhirnya bocor pula kepada Patih Sangkuni.
Maka, Prabu Baladewa pun semakin bulat tekadnya ingin menghukum Patih Udawa
yang seberat-beratnya. Patih Sangkuni menyatakan para Kurawa sanggup membantu. Hal
ini karena Patih Udawa telah menjadi kakak ipar Raden Arjuna. Ia yakin menantunya itu
berani makar karena mendapat dukungan para Pandawa. Oleh sebab itu, para Kurawa
sebagai musuh Pandawa tidak akan tinggal diam dan siap membantu Prabu Baladewa.
Prabu Baladewa heran mengapa Patih Sangkuni membenci Patih Udawa yang
merupakan menantunya sendiri. Patih Sangkuni menjawab dirinya menyimpan dendam
sejak dulu, yaitu saat Patih Udawa mengadakan sayembara untuk memperebutkan Niken
Larasati. Saat itu para Kurawa menderita kekalahan dan Patih Sangkuni tertangkap lalu
dipermalukan di atas panggung oleh Patih Udawa. Demi menjaga nama baik, Patih
Sangkuni terpaksa menyerahkan putrinya, yaitu Dewi Antiwati kepada Patih Udawa untuk
dijadikan istri. Namun demikian, sejak saat itu ia menyimpan dendam dan ingin
melenyapkan Patih Udawa.
Prabu Baladewa menerima penjelasan Patih Sangkuni. Ia lalu mengutus Patih Pragota
untuk mendahului pergi ke Widarakandang. Patih Pragota ditugasi untuk memanggil Patih
Udawa agar menghadap kepada Prabu Baladewa. Namun, apabila orang itu
membangkang, maka Patih Pragota boleh menggunakan kekerasan untuk memaksanya.
Patih Pragota merasa berat jika harus berkelahi dengan sepupu sendiri. Namun, ia tidak
berani menolak perintah. Dengan sangat terpaksa, ia pun mohon pamit berangkat
melaksanakan tugas.
Keduanya lalu bertarung tanpa memikirkan hubungan saudara. Dalam pertarungan itu,
Patih Pragota terdesak dan dahinya tergores ujung keris milik Patih Udawa.
Patih Udawa sengaja tidak melukai kakak sepupunya, melainkan hanya menakut-
nakuti saja. Patih Pragota pun merasa gentar dan segera mundur untuk melapor kepada
Prabu Baladewa. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Patih Sangkuni segera
mengerahkan para Kurawa untuk mengeroyok Patih Udawa.
Pada saat itulah Arya Setyaki muncul dari persembunyian. Sejak tadi ia mengintai
percakapan Patih Udawa dan Patih Pragota. Begitu melihat para Kurawa datang untuk ikut
campur, ia segera maju menghadapi mereka. Maka, terjadilah pertempuran seru di halaman
rumah Nyai Sagopi tersebut. Patih Udawa dan Arya Setyaki bekerja sama dan berhasil
memukul mundur Arya Dursasana beserta saudara-saudaranya.
Patih Pragota.
Patih Udawa menerima saran tersebut. Ia lalu mohon pamit berangkat menuju
Kesatrian Madukara. Prabu Kresna kemudian memerintahkan Arya Setyaki untuk
melindungi Nyai Sagopi, sedangkan dirinya mengamati persengketaan ini dari kejauhan.
Sementara itu, Prabu Baladewa telah mengetahui bahwa Patih Udawa melarikan diri
dari Desa Widarakandang. Ia pun bergegas mengejar dengan mengendarai Gajah
Puspadenta. Setelah Prabu Baladewa pergi, Patih Sangkuni segera memasuki rumah Nyai
Sagopi untuk menjemput pulang Dewi Antiwati. Bagaimanapun juga ia ingin putrinya itu
bercerai dengan Patih Udawa yang tidak disukainya.
Nyai Sagopi
Kyai Semar lalu bercerita bahwa Nyai Sagopi semasa muda bernama Niken Yasoda,
berparas sangat cantik dan bekerja sebagai penyanyi di Kerajaan Mandura. Mendiang
Prabu Basudewa pernah jatuh hati kepadanya, dan mereka pun melakukan hubungan
asmara, hingga menyebabkan Niken Yasoda mengandung. Prabu Basudewa lalu
menyerahkan Niken Yasoda kepada tukang kuda istana yang bernama Kyai Antyagopa dan
menyuruh mereka tinggal di Desa Widarakandang untuk menyembunyikan aib. Sejak saat
itulah Niken Yasoda diganti namanya menjadi Nyai Sagopi, dan ia pun melahirkan anak
hasil hubungan dengan Prabu Basudewa yang kelak setelah dewasa menjadi Patih Udawa.
Meskipun tinggal di desa, kecantikan Nyai Sagopi tidak berkurang. Diam-diam, adik
Prabu Basudewa yaitu Aryaprabu Rukma datang menemuinya. Mereka lalu berhubungan
dan lahirlah Niken Larasati. Kemudian datang pula adik bungsu Prabu Basudewa, yaitu Arya
Ugrasena yang juga merayu Nyai Sagopi. Dari hubungan tersebut lahir pula seorang bayi
laki-laki.
Buyut Antyagopa seorang tua yang lemah syahwat. Ia mengetahui istrinya yang muda
dan cantik berselingkuh dengan dua pangeran istana namun tidak berani menghentikan
mereka. Maka, ia pun melapor kepada Prabu Basudewa tentang ulah kedua pangeran
tersebut. Prabu Basudewa marah besar dan memerintahkan kedua adiknya untuk menikah
dengan wanita lain. Aryaprabu Rukma lalu menikah dengan Dewi Rumbini yang kelak
melahirkan Dewi Rukmini dan Raden Rukmaka, sedangkan Arya Ugrasena menikah
dengan Dewi Wresini yang kelak melahirkan Dewi Setyaboma dan Arya Setyaki.
Sementara itu, bayi laki-laki yang dilahirkan Nyai Sagopi dari hasil hubungan dengan
Arya Ugrasena kemudian dibawa pergi oleh Buyut Antyagopa. Hal ini karena Buyut
Antyagopa mendapat wangsit dari dewata agar bayi tersebut dikeluarkan dari Desa
Widarakandang dan diserahkan kepada Kyai Adirata di Kerajaan Hastina. Menurut dewata,
bayi tersebut ditakdirkan mendapat kemuliaan apabila berada dalam asuhan pria tersebut.
Kyai Adirata tinggal di Desa Petapralaya dan bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan
Hastina. Ia menyambut baik kedatangan Buyut Antyagopa dan menerima bayi laki-laki
tersebut sebagai anak angkat. Karena diasuh oleh Kyai Adirata, maka bayi itu diberi nama
Adimanggala, dan dipersaudarakan dengan anak-anaknya yang lain, yaitu Radeya,
Druwajaya, dan Jayarata. Kelak Radeya berhasil menjadi adipati di Awangga, bergelar
Adipati Karna, dan Adimanggala pun diangkat sebagai patihnya.
Mendengar cerita Kyai Semar tersebut, Patih Adimanggala terharu dan merasa
bersalah telah menyerang saudara sendiri demi mendapatkan pujian atasan. Ia pun
meminta maaf kepada Patih Udawa dan kemudian buru-buru pergi meninggalkan tempat
itu.
Patih Adimanggala.
KITAB WAYANG PURWA
Kedua pihak yang bersengketa pun saling berebut benar. Menurut Prabu Baladewa,
Desa Widarakandang adalah wilayah Kerajaan Mandura, sehingga Patih Udawa tidak dapat
seenaknya mendirikan kepatihan di sana. Sementara itu, Patih Udawa menjelaskan bahwa
mendiang Prabu Basudewa telah menyerahkan Desa Widarakandang sepenuhnya kepada
mendiang Buyut Antyagopa, dan tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura. Namun,
saat ditanyai soal bukti hitam di atas putih, Patih Udawa mengaku tidak memiliki.
Prabu Matsyapati merasa perlu untuk membuka Kitab Pustakaraja. Kitab ini
merupakan pusaka pemberian Batara Indra yang berisi daftar kerajaan yang ada di Tanah
Jawa, lengkap dengan batas-batas wilayahnya. Apabila ada suatu negara yang mengalami
perubahan wilayah, maka secara ajaib naskah dalam Kitab Pustakaraja juga ikut berubah
dengan sendirinya.
Setelah Arya Seta mengambilkan kitab tersebut, Prabu Matsyapati segera membaca
bab Kerajaan Mandura. Dalam kitab itu terdapat tulisan, Prabu Basudewa berterima kasih
atas jasa Buyut Antyagopa mengasuh anak-anaknya, yaitu Raden Kakrasana, Raden
Narayana, dan Dewi Bratajaya. Atas jasanya itu, Prabu Basudewa pun membebaskan Desa
Widarakandang tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura, dan bebas menentukan
nasibnya sendiri.
Prabu Baladewa malu mendengar keterangan tersebut. Ia masih tidak dapat mengakui
kemenangan Patih Udawa atas sengketa. Maka, ia lalu menantang Patih Udawa bertanding
di halaman istana Wirata. Apabila Patih Udawa mampu menangkis pukulan Senjata
Nanggala, maka ia bersedia melepaskan Desa Widarakandang.
Usai berkata demikian, Prabu Baladewa segera memohon izin kepada Prabu
Matsyapati untuk kemudian keluar dari istana Wirata. Patih Udawa menerima tantangan
tersebut dan kemudian ikut keluar setelah menghormat pada semua hadirin.
Prabu Matsyapati.
Prabu Baladewa tampaknya sudah gelap mata. Ia pun menghunus Senjata Nanggala
untuk dipukulkan ke tubuh Patih Udawa. Namun, dengan cekatan Patih Udawa mencabut
keris pusakanya dan digunakan untuk menangkis senjata tersebut.
Prabu Baladewa heran melihat Patih Udawa memiliki keris ampuh yang mampu
menangkis pukulan Nanggala. Patih Udawa menjelaskan bahwa pusakanya ini bernama
Keris Blabar, pemberian sang ibu, yaitu Nyai Sagopi.
Tidak lama kemudian, Nyai Sagopi datang dengan dikawal Arya Setyaki. Prabu
Baladewa segera bertanya bagaimana awal mulanya Keris Blabar bisa berada di Desa
Widarakandang. Nyai Sagopi pun bercerita bahwa keris tersebut dulu adalah milik Prabu
Basudewa yang dihadiahkan kepada Buyut Antyagopa bersamaan dengan pembebasan
Desa Widarakandang. Ketika Buyut Antyagopa meninggal, Keris Blabar pun diwarisi oleh
Nyai Sagopi yang kemudian diserahkan kepada Patih Udawa.
Prabu Baladewa termangu-mangu. Ia teringat sebelum meninggal ayahnya pernah
berwasiat agar dirinya jangan pernah menyakiti orang yang memiliki Keris Blabar. Rupanya
Prabu Basudewa sudah mengetahui bahwa Keris Blabar telah diwarisi oleh Udawa yang
merupakan anaknya sendiri dari hasil hubungan gelap. Namun demikian, ia tidak berani
berterus terang, hanya berwasiat seperti itu kepada Prabu Baladewa.
Dewi Sumbadra ikut mendekat dan berusaha mengungkit kisah masa lalu di hadapan
Prabu Baladewa. Dahulu kala mereka semua diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi di
Desa Widarakandang. Patih Udawa merupakan anak tertua yang selalu melindungi adik-
adiknya. Prabu Baladewa yang saat itu masih bernama Kakrasana, jika bertani selalu
Udawa yang menemani. Namun, Kakrasana cenderung pemarah dan jika tidak enak hati
selalu melampiaskannya kepada Udawa. Meskipun demikian, Udawa muda tidak pernah
marah, tetapi tetap sayang kepada semua adiknya.
Teringat pada cerita itu, hati Prabu Baladewa luluh dan kemarahannya reda. Ia segera
memeluk Patih Udawa dan meminta maaf atas segala sikap kasarnya selama ini. Mulai
sekarang, ia mengakui Patih Udawa sebagai kakak tertua dan memanggil “kakang”
kepadanya. Patih Udawa terharu dan berterima kasih kepada raja Mandura tersebut.
Tidak lama kemudian Patih Sangkuni dan para Kurawa datang untuk menjemput
pulang Dewi Antiwati. Namun, Dewi Antiwati menyatakan diri tetap ikut suami. Para Kurawa
segera maju untuk menyeret sepupu mereka itu. Melihat ini, Arya Wrekodara segera maju
menghadapi. Ia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tetapi juga tidak
suka melihat para Kurawa berbuat onar di Kerajaan Wirata, apalagi berniat menindas
seorang perempuan. Seorang diri ia berhasil memukul mundur para sepupunya itu kembali
ke Kerajaan Hastina.
Prabu Matsyapati bersyukur keadaan telah tenang kembali, dan yang paling utama
ialah tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara Prabu Baladewa dengan Patih Udawa.
Ia lalu mengajak semua hadirin untuk makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur
kepada dewata.
Patih Udawa.
CATATAN : Kisah Udawa Waris di atas menurut penjelasan Ki Manteb Soedharsono bukanlah Patih Udawa
menuntut warisan, tetapi kata Waris di sini maksudnya ialah “kerabat”, yaitu Patih Udawa
bertemu dengan kerabat-kerabatnya dan mendapat pengakuan dari mereka. Mengenai Dewi
Antiwati yang menjadi sumber berita bagi Patih Sangkuni adalah tambahan dari saya untuk
memperkaya dramatisasi cerita.
KITAB WAYANG PURWA
WAHYU MAKUTARAMA
Kisah ini menceritakan tentang Prabu Kresna yang menyamar sebagai Bagawan
Kesawasidi, menurunkan ajaran Astabrata kepada Raden Arjuna. Ajaran Astabrata
ini merupakan ilmu kepemimpinan peninggalan Prabu Sri Rama di zaman kuno,
sehingga ilmu ini disebut juga dengan nama Wahyu Makutarama.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo yang dipadukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, disertai
penambahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 23 Juni 2017
Heri Purwanto
tahu mimpi ini benar atau salah, serta ia juga tidak tahu siapa orang yang bernama Sri Rama
tersebut.
Resi Druna pun bercerita bahwa Prabu Sri Rama adalah raja agung titisan Batara
Wisnu yang hidup di zaman kuno. Konon ia berhasil menewaskan raja raksasa yang sangat
sakti dan berkuasa saat itu, bernama Prabu Rahwana Dasamuka dari Kerajaan Alengka.
Sebenarnya Prabu Sri Rama adalah putra mahkota Kerajaan Ayodya. Namun, ia merelakan
hak atas takhta kepada adiknya yang bergelar Prabu Barata, sedangkan dirinya sendiri
membangun negara baru bernama Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka, hidup bersama
bangsa wanara.
Prabu Duryudana tertarik mendengarnya dan semakin berminat ingin mendapatkan
Mahkota Sri Rama tersebut, demi kejayaan diri pribadi dan juga keagungan Kerajaan
Hastina. Namun, ia sama sekali tidak tahu di mana mahkota itu bisa diperoleh. Resi Druna
menjawab dirinya juga mendapatkan wangsit dari dewata tentang berita ini, tetapi yang ia
dengar adalah Wahyu Makutarama, bukannya Mahkota Sri Rama. Adapun wahyu tersebut
akan turun ke dunia melalui Bagawan Kesawasidi yang tinggal di Gunung Kutarunggu.
Prabu Duryudana bimbang mendengarnya. Ia tidak tahu mana yang benar, apakah
Mahkota Sri Rama, ataukah Wahyu Makutarama yang akan turun ke dunia. Resi Druna
menyarankan agar Prabu Duryudana berangkat ke Gunung Kutarunggu untuk memastikan
hal itu. Namun, Prabu Duryudana seorang tinggi hati yang penuh rasa gengsi. Ia merasa
dirinya seorang raja besar yang kaya raya, tentunya tidak pantas jika datang meminta-minta
kepada seorang pendeta tidak dikenal.
Adipati Karna memahami watak adik iparnya. Ia pun menawarkan diri untuk mewakili
Prabu Duryudana pergi ke Gunung Kutarunggu. Apabila yang terdapat di sana adalah
Mahkota Sri Rama, maka ia akan meminta secara baik-baik, jika perlu membelinya dengan
harga yang pantas. Akan tetapi, jika yang di sana adalah Wahyu Makutarama, maka ia
bersedia memboyong Bagawan Kesawasidi agar menurunkannya langsung kepada Prabu
Duryudana.
Prabu Duryudana gembira mendengarnya. Ia pun memberikan wewenang penuh
kepada sang kakak ipar untuk berbuat kekerasan apabila Bagawan Kesawasidi menolak
menyerahkan apa yang ia minta. Adipati Karna berterima kasih atas kepercayaan ini, dan
ia pun mohon pamit melaksanakan tugas. Prabu Duryudana lalu memerintahkan Patih
Sangkuni dan para Kurawa untuk mengawal kepergian Adipati Karna, sedangkan Resi
Druna ditugasi untuk membantu doa di sanggar pemujaan. Setelah dirasa cukup, Prabu
Duryudana pun membubarkan pertemuan.
Bagawan Kesawasidi lalu bertanya ilmu apa yang mereka inginkan dari dirinya. Resi
Mainaka menjawab ingin menjadi orang yang lebih arif dan bijaksana; Ditya Jajagwreka
menjawab ingin diubah menjadi tampan rupawan; Gajah Setubanda ingin tubuhnya
bertambah jauh lebih kuat lagi; Naga Kowara ingin memiliki umur panjang supaya bisa
melihat berbagai macam pergantian zaman; Garuda Mahambira ingin bertambah kaya raya
agar bisa bersedekah tanpa batas; sedangkan Macan Palguna ingin bertambah sakti
mandraguna.
Resi Anoman yang menjawab terakhir justru paling berbeda dengan yang lain, yaitu ia
memohon agar Bagawan Kesawasidi mengajarkan kepadanya jalan menuju kematian.
Bagawan Kesawasidi heran dan bertanya mengapa Resi Anoman meminta seperti itu. Resi
Anoman menjawab dirinya sudah tua dan merasa jenuh hidup di dunia ini. Ia rindu ingin
bertemu dengan sanak saudaranya yang sudah lebih dulu meninggal, antara lain Resi
Subali, Narpati Sugriwa, Patih Anila, Kapi Jaya Anggada, Kapi Sweda, Kapi Anggeni, Kapi
Menda, Kapi Pramujabahu, dan sebagainya. Bahkan, Resi Jembawan yang berumur
panjang seperti dirinya pun baru saja meninggal dunia dan ini membuat Resi Anoman
merasa iri.
Bagawan Kesawasidi bercerita bahwa keinginan para murid dapat terpenuhi,
tergantung bagaimana niat dan kesungguhan mereka masing-masing dalam belajar.
Khusus untuk Resi Anoman, meskipun dirinya sudah menjadi pendeta, namun jiwanya
tetaplah kesatria. Untuk seorang kesatria, maka kematian yang paling utama adalah gugur
di medan perang membela kebenaran dan keadilan. Resi Anoman gembira mendengarnya
dan berharap semoga itu bisa menjadi kenyataan.
Usai memberikan nasihat panjang lebar, Bagawan Kesawasidi berniat masuk ke
dalam sanggar pemujaan untuk bersamadi. Ia meminta Resi Mainaka dan adik-adiknya agar
berjaga di luar padepokan, jangan sampai ada siapa pun yang mengganggu samadinya.
Ketujuh murid itu pun mematuhi dan siap melaksanakan tugas.
Bagawan Kesawasidi.
Resi Mainaka menjawab dirinya tidak pernah mendengar sang guru memiliki benda
semacam itu. Adipati Karna ganti bertanya, jika begitu apakah Bagawan Kesawasidi
menyimpan Wahyu Makutarama. Resi Mainaka menjawab memang benar demikian, tetapi
saat ini sang guru sedang bersamadi dan tidak boleh diganggu. Adipati Karna tersinggung
melihat sikap Resi Mainaka yang dianggapnya menghalangi. Ia pun memaksa ingin masuk
untuk bertemu langsung dengan Bagawan Kesawasidi. Resi Mainaka mencegah karena
gurunya sudah berpesan agar para murid berjaga jangan sampai ada pihak yang
mengganggu samadinya.
Karena terus-menerus dihalangi, Adipati Karna pun berkata bahwa dirinya sudah
diberi wewenang Prabu Duryudana untuk memboyong Bagawan Kesawasidi secara paksa
dengan menggunakan kekerasan. Mendengar itu, Resi Anoman segera maju menerjang
Adipati Karna dan rombongannya. Ditya Jajagwreka, Garuda Mahambira, Naga Kowara,
Macan Palguna, dan Gajah Setubanda ikut maju membantu Resi Anoman, sedangkan Resi
Mainaka yang paling tua dipersilakan untuk duduk mengamati dari kejauhan.
Maka, terjadilah pertempuran antara para Kurawa melawan Kadang Tunggal Bayu
tersebut. Meskipun sudah lanjut usia, namun Resi Anoman adalah mantan senapati para
wanara saat mengabdi kepada Prabu Sri Rama dulu. Meskipun kekuatan tubuhnya sudah
menurun, tetapi kesaktiannya justru makin bertambah. Apalagi dengan ditambah amukan
Ditya Jajagwreka dan yang lain, membuat para Kurawa kalang kabut berhamburan.
Adipati Karna marah dan terpaksa melepaskan panah pusakanya yang bernama
Kuntadruwasa untuk menumpas para Kadang Tunggal Bayu. Panah pusaka ini berukuran
besar seperti lembing, dan hanya bisa dilepaskan menggunakan Busur Wijayadanu. Begitu
Panah Kuntadruwasa melesat, para Kadang Tunggal Bayu merasa gentar dan berusaha
menghindar. Hanya Resi Anoman satu-satunya yang berani maju menghadang. Dengan
mengerahkan Aji Maundri, Resi Anoman menangkap panah pusaka tersebut saat masih
melesat di udara, kemudian membawanya terbang bersembunyi di balik awan.
Melihat pusaka andalannya ditangkap lawan, Adipati Karna merasa lemas dan putus
asa. Ia pun menarik mundur pasukan Hastina dan mengajak mereka untuk mengepung kaki
Gunung Kutarunggu.
Adipati Karna.
dengan Prabu Sri Rama. Setelah Prabu Rahwana gugur, Raden Gunawan pun dilantik
menjadi raja Alengka yang baru, bergelar Prabu Wibisana. Demi menjauhkan rakyatnya dari
pengaruh buruk Kerajaan Alengka, maka ia pun memindahkan ibu kota negara ke
Parangkuntara, yang kemudian diberi nama Kerajaan Singgelapura.
Setelah menjadi raja cukup lama, Prabu Wibisana lalu mengundurkan diri dan
menyerahkan takhta kepada putranya yang bernama Raden Bisawarna, bergelar Prabu
Dentawilukrama. Prabu Wibisana pun menjadi pendeta di Gunung Cindramanik. Bertahun-
tahun kemudian, Kerajaan Singgelapura sudah berganti-ganti raja, tetapi Bagawan
Wibisana masih diberi umur panjang.
Hari ini Bagawan Wibisana sedang duduk di sanggar pemujaan. Tiba-tiba ia melihat
sesosok bayangan tinggi besar yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak,
mendatangi dirinya. Ia mengenali bayangan tersebut tidak lain adalah roh kakaknya sendiri,
yaitu Arya Kumbakarna. Semasa hidupnya dulu, Prabu Rahwana memiliki tiga orang adik,
yaitu Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Arya Kumbakarna
dan Dewi Sarpakenaka ikut gugur dalam perang di Kerajaan Alengka. Dalam perang
tersebut, Arya Kumbakarna berniat membela tanah air dari serangan musuh, bukan demi
membela kakaknya yang angkara murka. Namun, entah mengapa sampai kini ia sulit masuk
ke alam Swargaloka seperti yang pernah ia cita-citakan dulu. Yang terjadi justru sebaliknya,
sampai sekarang ia masih menjadi roh gentayangan yang tersesat di dunia fana. Padahal,
dulu ia mempunyai keyakinan apabila gugur dalam pertempuran, maka roh akan masuk
surga dan dilayani para bidadari.
Bagawan Wibisana menjelaskan bahwa Arya Kumbakarna sampai kini menjadi roh
gentayangan adalah karena semasa hidup hatinya mendua. Meskipun Arya Kumbakarna
berperang demi negara, berniat membela tanah air, tetapi tindakannya itu justru melawan
Kebenaran. Prabu Sri Rama adalah titisan Batara Wisnu yang turun ke dunia untuk
membasmi angkara murka Prabu Rahwana. Arya Kumbakarna jelas-jelas mengetahui hal
itu tetapi memilih tidur tanpa menentukan sikap yang pasti. Hingga akhirnya, ketika perang
besar meletus, ia pun dibangunkan Prabu Rahwana dari tidur panjangnya untuk dijadikan
senapati. Saat itu Arya Kumbakarna sudah menolak, tetapi Prabu Rahwana bersikap licik,
menyandera kedua putranya yang bernama Raden Kumbakumba dan Raden
Aswanikumba. Hal itulah yang membuat Arya Kumbakarna bimbang dan akhirnya bersedia
menjadi senapati.
Maka, Arya Kumbakarna pun maju perang dengan hati mendua. Meskipun di bibir ia
mengaku berperang demi membela negara, tetapi dalam hati ia berperang demi
keselamatan anak-anaknya. Meskipun bersemboyan tidak membela Prabu Rahwana, tetap
saja tangan Arya Kumbakarna berlumuran darah para wanara yang berjuang melawan
angkara murka. Hingga akhirnya, ia pun gugur di tangan Prabu Sri Rama dan menjadi roh
gentayangan karena tidak dapat memasuki alam Kaswargan.
Arya Kumbakarna ngeri mendengar penjelasan tersebut dan menyadari
kekeliruannya. Ia pun meminta bantuan kepada sang adik agar membebaskan dirinya dari
ketersesatan duniawi. Bagawan Wibisana menjawab ia hanya bisa membantu menunjukkan
jalan bagi sang kakak untuk menyempurnakan diri, bukannya membukakan pintu
Swargaloka. Menurut wangsit yang ia terima, di zaman ini hidup lima kesatria Pandawa
yang selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Kelak mereka akan
membersihkan angkara murka dari muka bumi melalui Perang Bratayuda. Hendaknya Arya
Kumbakarna bersatu jiwa dengan Pandawa nomor dua, yang bernama Arya Wrekodara.
Inilah jalan untuk menebus dosa semasa hidup dulu. Dengan cara ini, Arya Kumbakarna
akan ikut berjuang menumpas angkara murka, sehingga kelak bisa naik ke Swargaloka
KITAB WAYANG PURWA
bersama-sama dengan Arya Wrekodara. Itulah jalan pembebasan yang harus ditempuh
sang kakak untuk bisa lepas dari ketersesatan duniawi.
Arya Kumbakarna gembira mendengar penjelasan sang adik dan bersiap berangkat
mencari Arya Wrekodara. Bagawan Wibisana memberi saran agar Arya Kumbakarna
mencegat dan menantang perang Arya Wrekodara saat melewati Hutan Duryasa. Adapun
ciri-ciri Arya Wrekodara adalah berbadan tinggi besar, dan memakai busana mirip Resi
Anoman, yaitu sang wanara putih yang dulu pernah membakar Kerajaan Alengka. Arya
Kumbakarna menerima saran tersebut dan segera mohon pamit berangkat saat ini juga.
Arya Kumbakarna.
Keempat raksasa perwujudan hawa nafsu itu pun bertanya siapa kiranya yang bisa
meruwat mereka. Bagawan Wibisana menyarankan agar mereka berempat pergi ke Hutan
Duryasa untuk menemui kesatria Panengah Pandawa yang bernama Raden Arjuna, yang
merupakan titisan setengah Batara Wisnu. Dialah orangnya yang bisa meruwat keempat
raksasa tersebut. Keempat raksasa itu gembira mendengarnya dan segera mohon pamit
meninggalkan Padepokan Cindramanik.
Kini tinggal Bagawan Wibisana seorang diri. Ia lalu mengheningkan cipta, bersamadi
melarutkan diri dalam kuasa Semesta. Tidak lama kemudian, tubuhnya pun musnah
menjadi debu, kembali ke alam, sedangkan sukmanya melesat naik ke awang-awang,
memasuki Swargaloka.
Gunawan Wibisana.
Bagawan Kesawasidi lalu menyebutkan kesalahan Resi Anoman yang kedua, yaitu
ucapannya tidak sesuai dengan perbuatan. Bukankah tadi Resi Anoman memohon ingin
ditunjukkan jalan kematian. Namun, ketika Panah Kuntadruwasa ditembakkan, mengapa ia
menangkap dengan tangan, bukannya menerima dengan dada? Karena Resi Anoman
sudah menyia-nyiakan peluang menjemput ajal secara kesatria, maka ia harus menunda
kematiannya sendiri hingga seratus tahun ke depan. Resi Anoman harus tetap hidup di
dunia selama satu abad lagi, hingga tiba waktunya ia menjemput ajal setelah menikahkan
keturunan keenam Raden Arjuna.
Resi Anoman sangat menyesal namun semuanya telah terjadi. Ia pun berterima kasih
atas petunjuk sang guru, kemudian memperkenalkan Raden Arjuna yang ada di
belakangnya. Setelah itu, Resi Anoman mohon pamit keluar untuk berkumpul bersama
Kadang Tunggal Bayu lainnya.
Resi Anoman.
yang baik harus tampak menyenangkan di hadapan rakyat, sehingga rakyat pun menaruh
hormat dengan sendirinya, bukan karena takut. Pemimpin boleh mengubah-ubah
keputusan, asalkan itu demi kesejahteraan rakyat, bukan demi ego diri sendiri. Karena di
dunia ini tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Teladan yang ketiga ialah bintang yang bertaburan di angkasa. Gugusan bintang
dapat menjadi pedoman untuk menentukan arah dan juga pergantian musim. Selain itu,
bintang juga menjadi penghias angkasa di waktu malam. Demikianlah hendaknya seorang
pemimpin harus bisa menjadi pedoman kebaikan bagi rakyatnya. Seorang pemimpin harus
bisa menjadi teladan serta menjadi penentu arah kebijakan bagi rakyatnya. Selain itu,
pemimpin juga harus bisa menata keindahan negerinya. Pembangunan bukan hanya soal
bagaimana mendirikan bangunan, tetapi juga bagaimana cara mengatur dan menata
kegunaan dan keindahan dari tiap bangunan agar tidak saling tumpang tindih acak-acakan.
Teladan yang keempat ialah bumi, yang bersifat kokoh dan suci. Selain itu, bumi juga
bersifat adil. Apa yang ditanam, itulah yang dipanen. Demikianlah hendaknya seorang
pemimpin harus bisa kokoh hatinya, tidak mudah putus asa, tidak mudah dihasut, selalu
bersemangat pula. Selain itu, seorang pemimpin juga harus mempunyai watak suci, artinya
mampu menjaga kehormatan diri sendiri. Pemimpin yang baik tidak mudah dibeli dengan
harta suap demi kepentingan segelintir para penjilat. Pemimpin yang mudah goyah dan
tidak kokoh, juga yang tidak dapat menjaga kehormatan dirinya, maka sudah pasti ia akan
kehilangan rasa hormat dari rakyatnya. Selain itu, pemimpin juga harus berwatak adil,
mampu memberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang diusahakan rakyatnya.
Pemimpin harus memberikan anugerah sesuai kadar jasa rakyatnya masing-masing,
jangan sampai menimbulkan iri hati karena ada rakyat yang berprestasi tetapi merasa tidak
dihargai.
Teladan yang kelima ialah awan mega, yang bersifat menyeramkan, tetapi membawa
kesejukan dan air hujan. Awan mega ini hubungannya dengan matahari. Jika matahari
terlalu panas, maka awan mega bersifat menutupi. Jika matahari menghisap air laut, maka
awan mega yang menyebarkannya dalam bentuk hujan. Demikianlah seorang pemimpin
harus tampak menyeramkan seperti awan, tetapi membawa kesejukan dan juga
memberikan perlindungan. Menyeramkan di sini bukan berarti memasang wajah kejam dan
beringas, tetapi hendaknya bisa menjaga wibawa di hadapan rakyat ataupun di hadapan
luar negeri. Seorang pemimpin yang baik dan berwibawa akan dihormati oleh rakyatnya
sendiri dan juga dibanggakan di hadapan luar negeri. Namun demikian, di balik wibawanya,
sang pemimpin juga harus bisa memberikan kesejukan dan perlindungan kepada
rakyatnya. Jangan sampai Raden Arjuna menjadi pemimpin yang hanya bisa menakut-
nakuti rakyatnya, tetapi tidak dapat memberikan perlindungan. Itu namanya omong kosong.
Teladan yang keenam adalah angin. Sifat dari angin selalu bergerak mengisi ruang
yang kosong. Selain itu, angin juga menyebarkan awan yang berisi kumpulan uap air ke
segala arah untuk kemudian dicairkan menjadi tetesan hujan. Demikianlah hendaknya
Raden Arjuna menjadi pemimpin tidak boleh membeda-bedakan rakyatnya. Seorang
pemimpin harus bisa merangkul semua rakyatnya dari berbagai kalangan dan berbagai
lapisan masyarakat, meskipun rakyatnya itu suka atau tidak suka. Dengan selalu berada
dekat dengan rakyat, maka kemakmuran negara akan lebih mudah untuk dicapai. Selain
itu, pemimpin harus pula bisa menyebarkan hasil penarikan pajak untuk biaya
pembangunan secara merata. Pembangunan tidak boleh hanya dilakukan di kota-kota
tertentu saja, tetapi rakyat yang hidup di pelosok juga harus ikut merasakan nikmatnya
pembangunan. Demikianlah watak dari angin yang selalu mengisi ruang yang kosong.
Teladan yang ketujuh adalah api. Sifat dari api adalah membakar tanpa pandang bulu.
Ada istilahnya, api kecil jadi sahabat, api besar jadi penjahat. Api kecil di sini maksudnya
KITAB WAYANG PURWA
ialah, Raden Arjuna harus dapat meneladani sifat api dalam upaya menegakkan hukum
negara. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Penegakan hukum yang baik akan menambah wibawa pemimpin, dan juga memberikan
rasa aman dan nyaman bagi rakyat. Kepastian jaminan hukum juga dapat mengundang
negara luar untuk ikut menanamkan modal di dalam negeri, tentunya demi kemakmuran
rakyat pula. Adapun yang dimaksud dengan api besar ialah, seorang pemimpin harus
bersikap jahat terhadap serangan pihak luar yang mengancam kedamaian negara. Seorang
pemimpin harus berwatak api dalam mengobar dan membakar musuh yang datang
menyerang.
Teladan yang kedelapan ialah air. Sifat dari air adalah menyegarkan sekaligus sabar.
Air yang menetes sedikit demi sedikit mampu menciptakan lubang pada batu karang. Selain
itu, air jika sudah berkumpul akan menjadi samudera luas yang menampung semua benda
yang masuk kepadanya. Demikianlah hendaknya Raden Arjuna meneladani sifat air.
Seorang pemimpin harus bisa berwatak sabar, tidak grusa-grusu, tidak terburu nafsu.
Adakalanya mengalir ke bawah, ada kalanya menyembur ke atas, sesuai kebutuhan.
Seorang pemimpin harus memiliki hati yang luas seperti samudera, yaitu harus bersedia
menerima apa saja dari rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya mengharapkan
pujian saja, tetapi harus siap apabila dikritik oleh rakyatnya sendiri. Karena kritikan
sesungguhnya adalah nasihat yang disampaikan dengan cara kasar namun bisa menjadi
pedoman untuk melakukan perbaikan.
Demikianlah penjabaran isi ajaran Astabrata. Raden Arjuna bertanya mengapa dirinya
yang mendapatkan ajaran ini, bukannya sang kakak sulung, yaitu Prabu Puntadewa.
Bagawan Kesawasidi menjawab, itu karena keturunan Prabu Puntadewa akan terhenti
setelah Perang Bratayuda, sedangkan keturunan Raden Arjuna akan terus berlanjut dan
menjadi pewaris takhta. Raden Arjuna memang tidak menjadi raja, tetapi kelak
keturunannya yang akan menjadi raja-raja Tanah Jawa. Hendaknya Raden Arjuna kelak
mewariskan ilmu Astabrata ini kepada keturunannya yang berhasil menjadi raja,
menggantikan Prabu Puntadewa.
Raden Arjuna bersyukur mendengarnya. Bagawan Kesawasidi lalu meminta tolong
kepadanya untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna, yang tiga
hari lalu telah dirampas oleh Resi Anoman dalam peperangan. Raden Arjuna bersedia. Ia
kemudian berterima kasih kepada Bagawan Kesawasidi dan mohon pamit meninggalkan
Gunung Kutarunggu.
Setelah Raden Arjuna pergi, Bagawan Kesawasidi pun kembali ke wujud aslinya, yaitu
Prabu Kresna Wasudewa, raja Dwarawati. Demikianlah yang terjadi. Beberapa waktu yang
lalu Prabu Kresna mimpi bertemu mendiang gurunya, yaitu Resi Padmanaba yang
memerintahkan dirinya untuk mengajarkan ilmu Astabrata kepada Raden Arjuna. Ilmu
kepemimpinan ini dulu diperoleh Prabu Kresna saat masih bernama Raden Narayana, yang
berguru kepada Resi Padmanaba, yaitu keturunan Batara Wisnu.
lalu direbut oleh Resi Anoman. Raden Arjuna pun bercerita apa adanya mulai awal hingga
akhir, di mana ia telah mendapatkan Wahyu Makutarama, serta mendapat titipan dari
Bagawan Kesawasidi untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna.
Adipati Karna sangat bahagia mendapatkan pusakanya kembali. Ia berterima kasih
kepada Raden Arjuna dan juga mengucapkan selamat atas keberhasilan sang adik
mendapatkan Wahyu Makutarama. Raden Arjuna lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan
pulang menuju Kesatrian Madukara. Adipati Karna mempersilakan dan mereka pun
berpisah.
Setelah Raden Arjuna pergi, tiba-tiba Patih Sangkuni menyindir Adipati Karna telah
melupakan tugasnya hanya karena terhalang rasa persaudaraan. Seharusnya tadi Adipati
Karna tidak membiarkan Raden Arjuna pergi, tetapi merebut Wahyu Makutarama untuk
diserahkan kepada Prabu Duryudana. Adipati Karna termakan hasutan Patih Sangkuni. Ia
pun berangkat mengejar Raden Arjuna.
Raden Arjuna terkejut melihat Adipati karna datang menyusul dan meminta agar
Wahyu Makutarama diserahkan kepadanya. Tentu saja Raden Arjuna tidak bisa
melakukannya, karena Wahyu Makutarama bukanlah barang yang bisa dipindah-
pindahkan. Adipati Karna tidak percaya dan ia bersedia membayar berapa pun yang diminta
adiknya. Raden Arjuna menjawab dirinya bukan pedagang dan tidak dapat
memperjualbelikan wahyu. Adipati Karna lalu meminta diberi setengah bagian saja, jika
memang Raden Arjuna tidak dapat melepaskan semuanya. Ucapan ini langsung menjadi
bahan tertawaan para panakawan, karena wahyu bukanlah makanan yang bisa dibagi
menjadi dua.
Adipati Karna tersinggung dan menggunakan kekerasan untuk merebut Wahyu
Makutarama. Raden Arjuna terpaksa menghadapi kakaknya itu. Setelah mengalami banyak
kejadian sulit, ilmu kesaktian Raden Arjuna maju pesat. Adipati Karna terdesak kalah. Ketika
hendak menggunakan Panah Kuntadruwasa, ia pun teringat bahwa panah pusakanya itu
baru saja dikembalikan oleh Raden Arjuna. Bagaimanapun juga Adipati Karna masih
memegang nilai-nilai kesatria, tentunya sangat nista apabila ia membalas kebaikan sang
adik dengan menembakkan Panah Kuntadruwasa kepadanya. Karena berpikir demikian, ia
pun memilih mundur meninggalkan Raden Arjuna.
Namun demikian, Dewi Sumbadra tidak sudi disentuh suaminya. Ia merasa disia-
siakan, sering ditinggal berkelana sendiri. Raden Arjuna paham istrinya itu hanya berpura-
pura dan sedang ingin dimanja. Maka, ia pun menambah jurus rayuan segala macam
kepada Dewi Sumbadra.
Pada saat itulah Prabu Kresna muncul. Dewi Sumbadra kembali berpura-pura
meminta kepada kakaknya itu agar mengurus perceraian antara dirinya dengan Raden
Arjuna. Prabu Kresna tertawa tidak menanggapi dengan serius karena sudah hafal sifat
adiknya. Ia pun menasihati Raden Arjuna agar lebih pandai membagi waktu antara
melakukan tugas sebagai kesatria, dan juga tugas sebagai kepala rumah tangga.
Sementara itu, Adipati Karna yang masih mengintai merasa kecewa melihat Prabu
Kresna muncul. Patih Sangkuni datang menyusul dan kembali menghasut agar Adipati
Karna maju untuk merebut Wahyu Makutarama. Adipati Karna tidak bersedia, karena di
dunia ini ia sangat segan dan takut kepada Prabu Kresna. Untuk itu, ia memilih lebih baik
mundur dan melaporkan apa adanya kepada Prabu Duryudana. Patih Sangkuni merasa
tidak punya pilihan lain dan ia pun ikut mundur bersama Adipati Karna selaku kepala
rombongan.
Prabu Kresna lalu bertanya ada keperluan apa Arya Wrekodara berjalan seorang diri.
Arya Wrekodara menjawab bahwa dirinya diutus Prabu Puntadewa sang kakak sulung
untuk mencari Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra yang menghilang dari Kesatrian
Madukara. Karena tidak berhasil menemukannya, ia pun pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk
meminta petunjuk. Akan tetapi, ternyata Prabu Kresna juga sudah lama menghilang dari
istana. Ketiga permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma justru
ganti meminta tolong agar Arya Wrekodara membantu mencarikan di mana keberadaan
suami mereka itu. Tak disangka, ketiga orang yang ia cari ternyata berjalan bersama di
Hutan Duryasa ini.
Kyai Semar dan Raden Arjuna sebenarnya sudah menyadari bahwa Prabu Kresna
menghilang dari Kerajaan Dwarawati adalah untuk menyamar sebagai Bagawan
Kesawasidi dan membuka padepokan di Gunung Kutarunggu. Namun, mereka merasa
tidak perlu membuka hal ini. Tampak Prabu Kresna berterima kasih atas perhatian Arya
Wrekodara, lalu mereka pun bersama-sama pulang ke Kerajaan Dwarawati.
CATATAN : Kisah Prabu Sri Rama, Prabu Rahwana, Arya Kumbakarna, Raden Wibisana, dan Resi Anoman
semasa muda kelak akan saya sajikan sendiri dalam Seri Ramayana.
KITAB WAYANG PURWA
Kresna sangat yakin bahwa si kembar menghilang dari Kerajaan Amarta adalah untuk
mencari di mana jodoh mereka berada.
Prabu Puntadewa merasa ucapan Prabu Kresna masuk akal. Ia lalu bertanya di mana
kira-kira Raden Nakula dan Raden Sadewa dapat bertemu jodoh masing-masing. Prabu
Kresna menjawab, menurut penerawangannya, si kembar akan mendapat istri di Kerajaan
Selamirah. Ada kabar beredar bahwa, raja Selamirah yang bernama Prabu Rasadewa
sedang mengadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putrinya yang bernama Dewi
Rasawulan. Sayembara tersebut bukan berupa sayembara tanding, tetapi sayembara
menjawab pertanyaan Dewi Rasawulan. Barangsiapa mampu menerjemahkan makna cinta
sejati, maka orang itulah yang akan diterima sebagai suami.
Prabu Puntadewa dan yang lain tertarik mendengarnya. Mereka pun bertanya siapa
di antara Raden Nakula dan Raden Sadewa yang kira-kira bisa memenangkan sayembara
tersebut. Prabu Kresna tidak berani mendahului takdir, maka ia hanya menjawab, sebaiknya
mereka berangkat untuk menyusul ke sana.
Karena sudah mendapatkan titik terang, Prabu Puntadewa pun mengajak Prabu
Kresna untuk berangkat bersama menuju Kerajaan Selamirah. Arya Wrekodara, Arya
Setyaki, dan Raden Gatutkaca diminta untuk ikut mengawal, sedangkan Raden Arjuna dan
Patih Tambakganggeng ditugasi menjaga keamanan istana. Prabu Kresna sangat setuju
apabila Raden Arjuna menunggu istana, karena jika berangkat ke sana, bisa-bisa ia justru
ikut memasuki sayembara. Raden Arjuna tersipu malu dan bersedia mematuhi perintah
sang kakak sulung.
Setelah dirasa cukup, Prabu Puntadewa pun membubarkan pertemuan, kemudian
masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan terlebih dahulu kepada sang permaisuri Dewi
Drupadi, dan juga sang ibu Dewi Kunti.
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong tampak berjaga di luar gua sambil bermain-main
menghilangkan kejenuhan.
Tiba-tiba dari angkasa turun seberkas cahaya masuk ke dalam gua. Cahaya tersebut
kemudian menjelma menjadi sepasang dewa kembar, yaitu Batara Aswan dan Batara
Aswin. Kedua dewa tersebut masing-masing adalah ayah angkat Raden Nakula dan Raden
Sadewa, yang dahulu pernah menolong Dewi Madrim saat melahirkan mereka.
Raden Nakula dan Raden Sadewa pun membuka mata lalu menyembah hormat pada
kedua dewa tersebut. Batara Aswan dan Batara Aswin sengaja datang untuk mengabulkan
apa yang menjadi permintaan mereka. Kedua kesatria kembar tersebut tidak meminta apa-
apa, hanya memohon petunjuk siapakah kiranya yang menjadi jodoh mereka. Batara Aswin
bertanya balik mengapa mereka harus bertapa hanya demi untuk meminta jodoh. Raden
Nakula dan Raden Sadewa adalah dua pangeran dari Kerajaan Amarta yang berwajah
tampan. Jika mereka ingin menikah tinggal tunjuk saja, mau pilih perempuan mana, sudah
pasti akan diterima.
Raden Nakula menjawab, ia dan saudara kembarnya bertapa bukan untuk meminta
jodoh, tetapi mohon petunjuk siapa dan di mana jodoh sejati mereka berada. Batara Aswan
berkata, untuk apa bertanya soal jodoh segala. Mereka berdua tinggal melamar perempuan
mana yang diinginkan, maka perempuan itu pasti akan menjadi istri mereka. Raden Sadewa
menjawab, yang mereka cari adalah pasangan jiwa, bukan sekadar istri. Mencari istri
mudah, namun apakah yang dinikahi benar-benar pasangan jiwa atau bukan, itu yang sulit.
Batara Aswin heran mendengarnya dan ia pun bertanya apa bedanya istri dengan
pasangan jiwa. Raden Sadewa mohon maaf lalu menjawab bahwa pengertian istri dengan
pasangan jiwa tentu berbeda. Manusia dapat menikah dengan siapa saja, tetapi belum tentu
yang ia nikahi adalah pasangan jiwanya yang sejati. Yang dimaksud dengan istri adalah
seseorang yang sudah sah dinikahi, sedangkan pasangan jiwa adalah seseorang yang bisa
membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan juga lebih matang. Pasangan jiwa
adalah orang yang selalu siap mendampingi dalam suka maupun duka, memberi selamat
di saat jaya, atau memberi semangat di saat jatuh.
Ada sebagian orang yang menikah hanya karena menuruti hawa nafsu belaka,
sehingga yang dicari hanyalah lawan jenis yang cantik jelita, ataupun yang kaya raya. Ada
pula yang menikah karena tidak kuat pada tekanan masyarakat, karena takut dibilang tidak
laku, sehingga yang penting menikah dengan siapa saja, tanpa berpikir bagaimana kelak
masa depan mereka. Akibatnya, banyak kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia,
karena yang dinikahi bukan pasangan jiwa yang sejati. Bahkan, banyak pula rumah tangga
yang berantakan dan harus berakhir dengan perceraian. Jika sudah begitu, apa gunanya
menikah kalau hanya untuk membuat sakit hati?
Batara Aswan dan Batara Aswin terkesan mendengar jawaban si kembar. Mereka pun
berkata bahwa pertanyaan tadi hanyalah ujian belaka. Tujuan kedua dewa tersebut turun
dari kahyangan adalah untuk memberikan petunjuk kepada Raden Nakula dan Raden
Sadewa, di mana mereka bisa bertemu dengan pasangan jiwa masing-masing. Raden
Sadewa dapat bertemu dengan jodohnya apabila mengikuti sayembara yang diadakan
Dewi Rasawulan di Kerajaan Selamirah. Sayembara tersebut ialah menjawab pertanyaan
putri tersebut tentang apa makna dari cinta sejati.
Batara Aswin lalu memerintahkan Raden Nakula agar mengawal kepergian Raden
Sadewa. Apabila Raden Nakula bisa menyisihkan ego sebagai kakak, dan bersedia
melindungi adiknya itu dengan tulus ikhlas, maka ia pun akan bertemu dengan pasangan
jiwanya pula di Kerajaan Selamirah. Raden Nakula menjawab bersedia. Soal menjadi
pengawal adiknya, ia merasa tidak keberatan sama sekali. Sejak kecil ia pun sudah
KITAB WAYANG PURWA
menyadari kalau Raden Sadewa jauh lebih pandai dibanding dirinya. Maka, ia merasa
adiknya itu jauh lebih pantas dalam mengikuti sayembara dibanding dirinya.
Raden Sadewa keberatan disebut lebih pandai dibanding kakaknya. Mereka berdua
saudara kembar, dilahirkan dari rahim yang sama, tentunya memiliki kemampuan yang
sama pula. Raden Nakula menjawab tidaklah demikian. Meskipun mereka kembar, tetapi
Raden Sadewa lebih rajin membaca dan menambah wawasan. Adapun Raden Nakula
mengaku dirinya pemalas dan lebih suka menghabiskan waktu untuk bermain-main
bersama hewan peliharaan.
Batara Aswan dan Batara Aswin melarang mereka berdebat saling mengalah.
Keduanya memiliki kelebihan masing-masing, jadi tidak perlu bersaing siapa yang lebih
bodoh. Kedua dewa itu pun memerintahkan mereka untuk segera berangkat menuju
Kerajaan Selamirah. Raden Nakula dan Raden Sadewa mohon doa restu, kemudian
berangkat disertai para panakawan.
Prabu Brajawijaya yang sudah berniat membunuh justru terdesak, bahkan akhirnya ia tewas
terkena kerisnya sendiri, berkat keterampilan tangan Raden Nakula yang cekatan.
Setelah musuh mati akibat ulahnya sendiri, Raden Nakula pun mengajak rombongan
melanjutkan perjalanan.
Prabu Brajawijaya.
Dewi Rasawulan bertanya apa sekarang ini masih ada orang yang bisa mendengar
suara kalbunya. Raden Sadewa menjawab ada, contohnya adalah Dewi Rasawulan sendiri.
Sejak awal Dewi Rasawulan sudah tahu kalau Raden Sadewa adalah pasangan jiwanya,
namun tetap mengajukan syarat harus bisa memenangkan sayembara terlebih dahulu,
demi membuktikan apakah benar laki-laki ini adalah jodoh pilihan Tuhan untuknya atau
bukan.
Seketika tubuh Dewi Rasawulan gemetar karena Raden Sadewa dapat menebak isi
hatinya. Memang sejak awal ia sudah terkesan kepada pangeran tersebut. Raden Nakula
dan Raden Sadewa kembar sama persis, tetapi pandangan Dewi Rasawulan selalu tertuju
pada Raden Sadewa saja. Meskipun Raden Nakula berdandan rapi dan lebih menjaga
penampilan, namun hati nurani Dewi Rasawulan selalu berbisik bahwa Raden Sadewa
adalah jodoh sejatinya. Bahkan, sebelum Raden Nakula mengutarakan maksud
kedatangan mereka, bahwa Raden Sadewa yang akan mengikuti sayembara, Dewi
Rasawulan sudah lebih dulu dapat menebak hal itu.
Prabu Rasadewa melihat Dewi Rasawulan tersipu malu, dan ia pun paham bahwa
putrinya itu telah menentukan pilihan. Maka, ia segera menetapkan Raden Sadewa sebagai
pemenang sayembara dan diumumkan sebagai calon menantunya.
Raden Sadewa
Raden Indrakerata pun menantang Raden Sadewa untuk bertanding secara jantan. Ia
menyindir Raden Sadewa adalah laki-laki, maka harus bisa menunjukkan kejantanan,
jangan hanya pandai bicara merayu perempuan saja. Raden Nakula tidak ingin
kebahagiaan adiknya terganggu. Ia pun maju mewakili Raden Sadewa untuk bertarung
dengan Raden Indrakerata. Raden Sadewa keberatan karena tantangan tersebut ditujukan
kepada dirinya. Namun, Raden Nakula tetap maju ke depan, karena ia sudah berjanji
kepada Batara Aswan dan Batara Aswin menjadi pengawal Raden Sadewa.
Raden Nakula lalu menjawab tantangan Raden Indrakerata bahwa dirinya yang akan
bertanding mewakili sang adik. Ia berkata bahwa Raden Sadewa jauh lebih sakti daripada
dirinya, sehingga tidak perlu repot-repot turun tangan hanya untuk melawan manusia
sombong macam Raden Indrakerata.
Raden Indrakerata tersinggung dan menarik Raden Nakula keluar istana. Keduanya
lalu bertarung di halaman. Raden Nakula sudah bersumpah akan selalu melindungi adiknya
sehingga ia pun bertanding sekuat tenaga. Karena sudah diniatkan demikian, kekuatannya
menjadi berlipat ganda. Raden Indrakerata akhirnya terdesak dan roboh di tanah. Melihat
kakaknya kalah, Dewi Suyati segera maju untuk memohon kepada Raden Nakula agar
mengampuni nyawa Raden Indrakerata.
Ketika mata Raden Nakula dan Dewi Suyati saling berpandangan, tiba-tiba hati
masing-masing terasa bergetar. Raden Indrakerata pun menyadari hal itu. Perasaannya
kepada Raden Nakula seketika berubah menjadi persaudaraan. Ia lalu berkata bahwa
dirinya akan sangat bahagia apabila Raden Nakula berjodoh dengan Dewi Suyati.
Mendengar kakaknya berterus terang, Dewi Suyati tersipu malu, sedangkan Raden Nakula
mengangguk setuju.
Raden Sadewa datang mendekat dan memeluk Raden Nakula. Ia mengatakan bahwa
kakaknya itu telah lulus ujian sehingga dapat bertemu jodoh sejati, yaitu Dewi Suyati. Hal
ini sesuai dengan apa yang tadi disampaikan oleh Batara Aswan dan Batara Aswin. Raden
Sadewa pun bersumpah semoga kelak ganti anaknya yang selalu melayani anak Raden
Nakula.
Demikianlah, suasana permusuhan kini berubah menjadi persaudaraan. Raden
Indrakerata mohon pamit pulang lebih dulu ke Kerajaan Awu-awulangit untuk
menyampaikan hal ini kepada sang ayah, yaitu Prabu Kridamarkata agar mempersiapkan
upacara pernikahan bagi Raden Nakula dengan Dewi Suyati.
Raden Nakula.
KITAB WAYANG PURWA
CATATAN : Kisah pernikahan Raden Nakula dan Raden Sadewa sebenarnya adalah dua lakon yang berbeda.
Saya sengaja menggabungkan kedua lakon tersebut menjadi satu judul untuk lebih mendramatisasi
cerita, terutama untuk mengisahkan kedekatan hubungan antara Raden Nakula dan Raden
Sadewa.
KITAB WAYANG PURWA
SETYAKI KEMBAR
Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Setyajit raja Lesanpura
melawan Prabu Garbanata raja Garbaruci. Peperangan tersebut berakhir dengan
perkawinan antara Arya Setyaki dengan Dewi Garbarini. Juga dikisahkan bagaimana
Raden Burisrawa menyamar menjadi Arya Setyaki palsu untuk merebut pusaka
Nagabanda dari kahyangan.
Kisah ini saya olah dari pentas wayang kulit dengan lakon Setyaki Kembar yang
dibawakan oleh Ki Manteb Soedharsono, yang saya gabungkan dengan kisah Setyaki
Rabi menurut versi Ensiklopedia Wayang Purwa tulisan Rio Sudibyoprono, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 15 Juli 2017
Heri Purwanto
Arya Setyaki.
dengan Batari Wresini. Raden Garbanata pun kalah di tangan Prabu Pandu dan mendapat
pengampunan Prabu Basudewa.
Raden Garbanata kemudian pulang ke Kerajaan Paranggubarja untuk menggantikan
takhta kakaknya yang telah meninggal. Namun, ia dikhianati punggawanya sendiri yang
bernama Arya Jayasudarga. Raden Garbanata kalah dan melarikan diri ke padepokan
ayahnya, yang bernama Resi Garbasumanda. Adapun Arya Jayasudarga lalu menjadi raja
Paranggubarja, bergelar Prabu Jayasudarga.
Resi Garbasumanda berwatak sabar dan welas asih. Ia menasihati Raden Garbanata
untuk melupakan dendam dan hidup tenang di desa. Untuk sementara waktu, Raden
Garbanata mematuhi ayahnya. Ia hidup berumah tangga dengan seorang gadis desa
bernama Niken Danasari, dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Dewi Garbarini.
Belasan tahun kemudian, Resi Garbasumanda meninggal dunia karena sakit. Setelah
kematian sang ayah, tiba-tiba Raden Garbanata mendengar kabar bahwa Kerajaan
Paranggubarja telah kosong tanpa memiliki raja. Ia pun meninggalkan padepokan dan
mendatangi negeri lamanya tersebut. Ternyata Prabu Jayasudarga telah mendapatkan
hukum karma, yaitu ia dikalahkan oleh seorang pemuda gunung bernama Bambang
Jungkung, putra Resi Dewangkara. Bambang Jungkung kemudian menduduki takhta
Kerajaan Paranggubarja, dengan bergelar Prabu Jungkungmardeya, sedangkan Prabu
Jayasudarga diturunkan pangkatnya menjadi patih.
Selanjutnya, Prabu Jungkungmardeya dikisahkan tewas di tangan Dewi Srikandi, putri
Kerajaan Cempalareja yang ia inginkan sebagai calon istri. Resi Dewangkara dan Patih
Jayasudarga pun berangkat membalas dendam, tetapi mereka juga tewas di tangan Raden
Arjuna dan Raden Gatutkaca. Namun, sebelum tewas, Resi Dewangkara sempat
membakar hangus Taman Maherakaca. Raden Arjuna berhasil memenangkan sayembara
memperbaiki taman tersebut dan ia pun berhak menikah dengan Dewi Srikandi.
Demikianlah kisah yang didengar Raden Garbanata. Ia merasa senang dapat kembali
mendapatkan haknya sebagai ahli waris Kerajaan Paranggubarja tanpa perlu bersusah
payah mengusir si pengkhianat Prabu Jayasudarga, ataupun Prabu Jungkungmardeya si
pemuda gunung. Raden Garbanata lalu menjadi raja, bergelar Prabu Garbanata,
sedangkan Kerajaan Paranggubarja diganti nama menjadi Kerajaan Garbaruci, demi
mengenang kakak kandungnya tersayang. Di antara para punggawa yang ia percaya, Arya
Saradenta pun dipilihnya untuk menduduki jabatan sebagai patih.
Demikianlah kisah masa lalu Prabu Garbanata. Setelah mendapatkan kembali
kekuasaan atas takhta, segala nasihat mendiang Resi Garbasumanda seolah menguap
begitu saja. Dendam lamanya kepada Prabu Setyajit alias Arya Ugrasena bangkit kembali.
Kini, ia pun mengirim surat tantangan kepada raja Lesanpura tersebut untuk menyelesaikan
hutang nyawa atas kakaknya.
Patih Saradenta merasa bersemangat membantu kemenangan rajanya. Ia pun mohon
izin untuk mempersiapkan pasukan menggempur istana Kerajaan Lesanpura.
Batara Narada merasa heran dan kini ia yakin peristiwa masa lalu terulang lagi, di
mana ia salah memberikan pusaka kepada Adipati Karna, padahal seharusnya untuk Raden
Arjuna. Untuk lebih meyakinkan lagi, ia pun meminta Arya Setyaki di hadapannya agar
membuktikan diri apakah asli atau palsu. Arya Setyaki bersedia dan segera mengeluarkan
Gada Wesikuning dari telapak tangan. Gada tersebut berukuran kecil seperti jarum yang
secara ajaib tiba-tiba berubah menjadi besar dan panjang, bahkan lebih tinggi daripada
tubuh Arya Setyaki.
Batara Narada kini yakin bahwa pusaka Nagabanda telah salah diberikan kepada Arya
Setyaki palsu. Mendengar ada orang lain yang menyamar sebagai dirinya, Arya Setyaki
segera mohon pamit untuk mengejar orang itu dan merebut pusaka Nagabanda dari
tangannya.
kesakitan lalu berubah wujud menjadi Raden Burisrawa. Dengan tubuh terluka ia pun
melarikan diri kembali ke tempat Batari Durga untuk meminta perlindungan.
Batara Narada senang melihatnya. Ia pun meminta Prabu Kresna agar menyerahkan
Gada Wesikuning dan Nagabanda kepada Arya Setyaki yang satu lagi. Arya Wrekodara
tidak setuju karena kedua-duanya harus sama-sama dipukul demi membuktikan
keasliannya. Batara Narada keberatan karena yang palsu sudah terbongkar, untuk apa
yang asli harus menderita pula. Arya Wrekodara berkata bahwa Arya Setyaki yang tinggal
satu ini pun harus membuktikan keasliannya, jangan-jangan ia juga samaran orang lain.
Arya Setyaki menjawab dirinya bersedia. Dengan penuh keyakinan ia meminta Arya
Wrekodara untuk segera memukulkan Gada Rujakpolo kepadanya. Arya Wrekodara
menuruti. Ia pun mengayunkan gada besar tersebut hingga tepat memukul kepala Arya
Setyaki. Akan tetapi, sedikit pun Arya Setyaki tidak goyah dan tidak terluka. Ini berarti ia
telah membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar yang asli.
Sesuai kesepakatan, Prabu Kresna pun menyerahkan Gada Wesikuning yang sudah
terlilit oleh Nagabanda kepada Arya Setyaki. Kini Gada Wesikuning juga boleh disebut
dengan nama Gada Nagabanda. Arya Wrekodara mengucapkan selamat dan memberikan
julukan baru kepada Arya Setyaki yang telah membuktikan dirinya kebal terhadap pukulan
Gada Rujakpolo. Julukan baru tersebut adalah Sang Bimakunting, yang bermakna “Bima
bertubuh kecil”. Maksudnya ialah, Arya Wrekodara merupakan "Bima Besar", sedangkan
Arya Setyaki adalah "Bima Kecil".
Raden Arjuna dan para panakawan juga bergantian mengucapkan selamat. Batara
Narada merasa tugasnya telah selesai. Ia pun terbang kembali ke kahyangan dan tidak
perlu malu lagi karena salah menyerahkan pusaka kepada orang yang tidak berhak.
Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna datang untuk menyaksikan pertarungan
ini.
Prabu Setyajit telah hadir dengan tangan terikat. Prabu Garbanata dan Arya Setyaki
pun memulai pertarungan. Dengan senjata Gada Nagabanda, Arya Setyaki menyerang
Prabu Garbanata. Keduanya pun bertarung sengit. Prabu Garbanata lama-lama menyukai
ketangkasan lawannya dan tidak lagi memiliki rasa benci kepada Arya Setyaki. Hingga
akhirnya, gada yang ada di tangannya pun hancur remuk dihantam Gada Nagabanda.
Disusul kemudian pundak kanannya terkena pukulan gada. Prabu Garbanata jatuh terduduk
di tanah menahan sakit.
BAMBANG KANDIHAWA
Kisah ini menceritakan tentang Dewi Srikandi bertukar kelamin dengan Resi
Stunakarna yang merupakan penyamaran Raden Arjuna. Berkat pertukaran itu, Dewi
Srikandi bisa menjadi ayah dari Raden Nirbita, yang kelak menjadi Prabu
Niwatakawaca, yaitu raja raksasa musuh para dewa.
Kisah ini saya olah dari Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang disusun oleh Ki
Tristuti Suryasaputra, yang dipadukan dengan Kumpulan Pakem Ringgit Purwa
Surakarta yang disusun oleh Ki Rudy Wiratama, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, 22 Juli 2017
Heri Purwanto
suami dan mengajaknya pulang ke Kesatrian Madukara, jangan sampai menikah lagi untuk
yang kesekian kalinya.
Di tengah jalan, tiba-tiba Dewi Srikandi dihentikan oleh Batara Narada yang turun dari
angkasa. Dewi Srikandi menyembah hormat dan memohon petunjuk di mana kiranya ia
dapat berjumpa dengan Raden Arjuna. Batara Narada berkata bahwa dewata mengizinkan
Dewi Srikandi berjumpa dengan Raden Arjuna apabila ia menyamar sebagai laki-laki dan
pergi ke Kerajaan Ima-imantaka.
Dewi Srikandi gembira mendengarnya dan mematuhi petunjuk Batara Narada. Dulu
Batara Narada pernah mendandani Dewi Sumbadra menjadi mirip laki-laki bernama
Bambang Sintawaka saat menyusul kepergian Raden Arjuna yang mencari turunnya Wahyu
Makutarama. Kini giliran Dewi Srikandi yang didandani menjadi mirip laki-laki. Setelah
penampilannya berubah, Dewi Srikandi pun diberi nama Bambang Kandihawa.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada kembali ke kahyangan, sedangkan Bambang
Kandihawa bergegas melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Ima-imantaka.
Batara Narada.
Prabu Jayasudikya
atau mati. Maka, ia pun mengimbangi dan mengerahkan kesaktian yang lebih dahsyat.
Akibatnya, Raden Durnita pun tewas di tangan raja raksasa tersebut.
Prabu Jayasudikya terkejut melihat putranya gugur. Ia pun membatalkan perjanjian
dan mengerahkan pasukan Ima-imantaka untuk menyerbu pasukan Lokasagara. Prabu
Kalasarana marah melihat Prabu Jayasudikya mengingkari janji. Ia mengerahkan
pasukannya pula sehingga terjadilah pertempuran di antara kedua pihak.
Pada saat itulah Bambang Kandihawa datang. Sesuai petunjuk Batara Narada, ia
langsung bergabung membantu Prabu Jayasudikya. Dalam pertempuran itu, Bambang
Kandihawa berhasil menewaskan Prabu Kalasarana dengan panah-panahnya. Melihat
sang raja gugur, pasukan Lokasagara menjadi kocar-kacir. Ada yang tewas dibunuh
pasukan Ima-imantaka, ada yang menyerah, dan ada pula yang kabur melarikan diri.
Bambang Kandihawa.
Kandihawa. Alangkah terkejut perasaan Dewi Durniti saat mengetahui ternyata suaminya
itu juga berkelamin perempuan.
Dewi Durniti pun menangis dan melapor kepada ayahnya. Prabu Jayasudikya marah-
marah menuduh Bambang Kandihawa telah mempermainkan keluarganya. Bambang
Kandihawa bingung hendak menjawab bagaimana. Prabu Jayasudikya sendiri tidak butuh
penjelasan. Ia pun mengerahkan segenap kekuatannya, lalu melemparkan tubuh Bambang
Kandihawa sejauh-jauhnya.
Raden Nirbita.
KITAB WAYANG PURWA
Saat itu Batari Supraba dan adik-adiknya sedang mandi. Mereka adalah Batari
Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irim-irim, dan Batari
Tunjungbiru. Begitu menyadari ada yang sedang mengintip, Batari Supraba segera
mengajak mereka semua berpakaian. Batari Supraba lalu mendekati lubang tembok dan
menusukkan kancip, yaitu semacam pisau kecil untuk mengiris buah.
Raden Nirbita yang sedang terkesima mengintip kecantikan Batari Supraba tidak
menyadari datangnya bahaya. Ia tidak sempat lagi menghindar, sehingga matanya tertusuk
kancip tersebut. Mata yang tertusuk itu pun terluka parah dan Raden Nirbita kini mengalami
buta sebelah.
Karena sangat marah, Raden Nirbita meraung dan menjebol tembok taman. Bersama
Ditya Jayasaramba dan Ditya Jayaprakosa, ia mengamuk hendak menangkap Batari
Supraba dan para bidadari lainnya. Batari Supraba tidak gentar dan ia dengan tegas
menyebut Raden Nirbita sebagai seorang pemuda lancang yang tidak tahu sopan santun.
Mungkin karena memiliki dua pengawal berwujud raksasa, maka pantas jika kelakuannya
pun mirip kaum raksasa.
Ucapan Batari Supraba tersebut ternyata mengandung kutukan. Seketika wujud
Raden Nirbita pun berubah menjadi raksasa tinggi besar, dengan mata picak sebelah. Ia
semakin marah dan mengamuk hendak menangkap Batari Supraba.
Pada saat itulah Batara Indra datang didampingi Batara Bayu dan para dewa lainnya.
Melihat amukan Raden Nirbita, Batara Bayu segera turun tangan. Dengan kekuasaannya
ia pun mengerahkan angin dahsyat yang menggulung tubuh Raden Nirbita dan
menerbangkannya jauh-jauh meninggalkan kahyangan. Tubuh Raden Nirbita itu melayang
di angkasa, hingga akhirnya jatuh tercebur ke dalam lautan luas.
Ditya Jayasaramba dan Ditya Jayaprakosa ketakutan mengira sang pengeran telah
tewas. Mereka pun memilih kabur melarikan diri meninggalkan Kahyangan Suralaya. Di
tengah jalan mereka bertemu Prabu Kandihawa dan Bagawan Gunadarma yang sedang
dalam perjalanan menyusul kepergian Raden Nirbita. Kedua raksasa itu pun melaporkan
apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir, yaitu bagaimana Prabu Kresna mengajukan
syarat untuk mendapatkan Dewi Sumbadra, sampai dengan bagaimana Raden Nirbita
dikutuk menjadi raksasa dan tubuhnya dilemparkan para dewa hingga mati tenggelam di
dasar laut.
Prabu Kandihawa dan Bagawan Gunadarma sangat marah mendengarnya. Mereka
pun bergegas menyerang Kahyangan Suralaya untuk membalas perbuatan para dewa
terhadap Raden Nirbita.
Batari Supraba.
KITAB WAYANG PURWA
Kandihawa pun luluh dan terlena mendengarnya. Segala penyamaran yang ada pada
dirinya pun luntur, dan ia kembali ke wujud perempuan. Raden Arjuna segera merangkul
istrinya itu dan keduanya pun berpelukan mesra saling melepas rindu.
Melihat menantunya berubah wujud menjadi perempuan, Bagawan Gunadarma
marah merasa dipermainkan. Sifat raksasanya muncul dan ia pun menyerang Raden
Arjuna. Batara Narada datang mendekat dan berbisik di telinga Raden Arjuna agar
menyempurnakan kematian pendeta raksasa tersebut. Bagawan Gunadarma alias Prabu
Jayasudikya sebenarnya tidak jahat, namun tugasnya di dunia telah selesai dan sudah
waktunya ia untuk memasuki alam baka.
Raden Arjuna mematuhi dan segera melepaskan Panah Sarotama sambil membaca
mantra penyempurnaan. Panah tersebut melesat dan menancap di dahi Bagawan
Gunadarma. Seketika pendeta raksasa itu pun roboh dan meninggal dunia. Jasadnya
musnah seperti asap dan rohnya melayang masuk ke alam baka.
yang baru saja dihina dan diusir Prabu Jayasudikya. Merasa kasihan, Raden Arjuna alias
Resi Stunakarna pun meminjamkan kelaminnya untuk ditukar dengan kelamin perempuan
Prabu Kandihawa. Namun, Prabu Kandihawa lalu hilang ingatan sehingga tidak
mengembalikan kelaminnya itu hingga setahun lamanya.
Prabu Kresna bertanya mengapa Raden Arjuna tidak mendatangi Prabu Kandihawa
dan merebut kembali kelaminnya. Raden Arjuna menjawab ini adalah suratan takdir.
Selama ini ia sering menikah di sana-sini dengan banyak wanita. Mungkin Yang Kuasa
mengharuskannya memiliki kelamin wanita selama setahun untuk mengajarkan kepadanya
bagaimana rasanya menjadi wanita. Itulah sebabnya Raden Arjuna tidak menemui Prabu
Kandihawa untuk meminta kelaminnya kembali. Ia juga tidak pulang ke Kesatrian Madukara
karena tidak mungkin menemui para para istri dengan berkelamin perempuan.
Kini Raden Arjuna dan Dewi Srikandi sudah sama-sama pulih seperti sediakala.
Mereka pun bersama-sama Prabu Kresna dan Arya Wrekodara mohon pamit kepada Batara
Guru dan para dewa lainnya, untuk kembali ke Kerajaan Amarta.
Prabu Kresna.
CATATAN : Menurut versi balungan lakon yang disusun Ki Tristuti Suryasaputra, tokoh Raden Durnita tidak
tewas di awal, tetapi meninggal di akhir cerita bersama Prabu Jayasudikya. Saya sengaja
mengubah cerita menjadi kisah seorang kakak yang mencintai adiknya sendiri dan rohnya
penasaran hingga merasuki pikiran Prabu Kandihawa alias Dewi Srikandi. Dengan demikian,
saya menepis pandangan bahwa Dewi Srikandi seorang biseksual, karena ia bersetubuh dengan
Dewi Durniti bukan karena niatnya sendiri, melainkan karena sedang kerasukan roh penasaran
Raden Durnita. Dengan demikian saya juga menciptakan alasan mengapa Raden Nirbita alias
Prabu Niwatakawaca terlahir angkara murka, adalah karena hubungan incest antara Dewi
Durniti dengan roh Raden Durnita yang meminjam tubuh Dewi Srikandi dan kelamin Raden
Arjuna. Soal Raden Nirbita meminum darah Prabu Kandihawa dan berubah menjadi dewasa itu
juga tambahan dari saya agar lebih dramatis.
KITAB WAYANG PURWA
KISAH
PANDAWA
DAN
PARA
PUTRA
KITAB WAYANG PURWA
Dahulu kala Cangkok Wijayamulya dipersembahkan Batara Wisnu sebagai maskawin saat
menikahi Batari Pretiwi. Dengan menunjukkan cangkok tersebut, maka Prabu Kresna pasti
akan mengakui Raden Sitija dan Dewi Sitisundari sebagai anaknya.
Raden Sitija dan Dewi Sitisundari berterima kasih kepada sang kakek dan ibu. Mereka
lalu mohon pamit berangkat meninggalkan Kahyangan Ekapratala, menuju Kerajaan
Dwarawati.
Batari Pretiwi.
Prabu Kresna.
menyuruh adiknya itu untuk menunggu di kejauhan, biarlah ia sendiri yang berperang
melawan Prabu Narakasura.
Dewi Sitisundari menolak. Sejak dari Kahyangan Ekapratala mereka selalu bersama,
maka terhadap tugas dari sang ayah pun harus dijalani bersama pula. Meskipun dirinya
tidak dapat berperang, tetapi Dewi Sitisundari siap apabila nyawanya harus dikorbankan
demi kemenangan sang kakak. Raden Sitija terharu dan tidak kuasa menolak keinginan
adik tersayangnya itu. Ia pun mengheningkan cipta dan membaca mantra, lalu memasukkan
tubuh Dewi Sitisundari ke dalam cincin yang ia kenakan di jari. Dengan demikian, mereka
berdua bisa tetap bersama dalam perang menghadapi musuh.
Arya Setyaki kemudian datang membawa pasukan Dwarawati dan mengatakan bahwa
ia ditugasi Prabu Kresna untuk membantu Raden Sitija. Mendengar itu, Raden Sitija
mempersilakan jika Arya Setyaki hendak menghadapi pasukan Prajatisa. Akan tetapi, untuk
melawan Prabu Narakasura biarlah ia sendiri yang bertindak. Arya Setyaki tidak keberatan.
Mereka lalu bersama-sama berangkat menuju perkemahan Prabu Narakasura.
Prabu Narakasura.
Raden Sitija.
di udara. Burung yang satu tampak terdesak kalah dan meminta perlindungan kepada
Raden Sitija.
Burung yang kalah itu mengaku bernama Paksi Wilmuna. Ia memohon kepada Raden
Sitija agar dibantu mengalahkan musuhnya yang bernama Paksi Wildata. Jika Raden Sitija
bersedia membantu kesulitannya, maka ia bersedia seumur hidup mengabdi sebagai
kendaraan pemuda tersebut.
Raden Sitija tertarik melihat sosok Paksi Wilmuna yang perkasa. Ia pun berjanji untuk
membantu melawan Paksi Wildata. Melihat ada seorang pemuda yang tiba-tiba maju
menyerang dirinya, Paksi Wildata terkejut dan bertanya mengapa ada orang luar ikut
campur urusan mereka dua bersaudara.
Paksi Wilmuna dan Paksi Wildata ternyata dua bersaudara yang menetas pada hari
yang sama. Mereka pun saling berebut siapa yang lebih tua. Perselisihan ini terjadi
bertahun-tahun hingga akhirnya mereka pun berkelahi untuk menentukan siapa dari mereka
yang lebih berhak dipanggil kakak. Dalam pertarungan kali ini, Paksi Wilmuna terdesak
kalah dan meminta perlindungan Raden Sitija.
Raden Sitija baru tahu kalau kedua burung tersebut ternyata bersaudara. Namun,
karena sudah terlanjur berjanji kepada Paksi Wilmuna, terpaksa ia tetap maju menghadapi
Paksi Wildata. Keduanya lalu bertarung seru. Raden Sitija berkelahi atas nama Paksi
Wilmuna, sedikit demi sedikit berhasil membuat Paksi Wildata terdesak kalah. Hingga
akhirnya, Raden Sitija berhasil menangkap tubuh burung raksasa itu dan melemparkannya
jauh-jauh ke angkasa.
gugur, Paksi Wilmuna segera menyambar jasad Raden Sitija dan membawanya pergi ke
tempat para dewa yang menonton di kejauhan.
Prabu Bomantara.
Dewi Sitisundari.
Bomantara dan Prabu Narakasura berbisik di dalam pikirannya agar ia tetap menggunakan
nama mereka sebagai gelar. Raden Sitija terpengaruh bisikan itu. Maka, ia pun menetapkan
dirinya bergelar Prabu Boma Narakasura.
Patih Pancadnyana.
panjang dan sebaiknya diganti menjadi yang lebih sederhana. Prabu Boma memohon
kepada sang ayah agar sudi membantu mencarikan nama. Prabu Kresna berkata bahwa
Senjata Cakra tadi telah dilepaskan untuk mengukur dan menimbang mana yang lebih luas
di antara kedua negara, dan penimbangan ini didasari oleh rasa cinta ayah kepada anaknya.
Karena istilah lain untuk timbangan adalah “traju”, dan istilah untuk cinta adalah “tresna”,
maka sebaiknya Kerajaan Surateleng-Prajatisa diganti nama menjadi Kerajaan Trajutresna.
Prabu Boma senang mendengarnya dan merasa nama ini sangat indah. Ia pun
mengajak Dewi Sitisundari pulang ke istana. Namun, Dewi Sitisundari menolak ikut karena
sifat sang kakak sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Ia memohon kepada sang ayah agar
diizinkan tinggal di Kerajaan Dwarawati saja. Prabu Boma mempersilakan jika sang adik
ingin demikian. Karena Prabu Boma tidak keberatan, maka Prabu Kresna pun menerima
Dewi Sitisundari tinggal di Kerajaan Dwarawati bersama putra-putrinya yang lain.
CATATAN : Hubungan antara Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura sebagai saudara seperguruan adalah
tambahan dari saya. Begitu pula dengan kisah Prabu Narakasura melamar Dewi Rukmini juga
tambahan dari saya.
KITAB WAYANG PURWA
ABIMANYU RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Abimanyu dengan Dewi
Sitisundari. Perkawinan ini kelak menjadi perkawinan sehidup semati di antara mereka
berdua. Juga dikisahkan awal mula Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati dewasa
bertemu dengan ayah mereka, yaitu Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber pentas Wayang Orang Sekar Budaya Nusantara, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 22 Agustus 2017
Heri Purwanto
Raden Abimanyu.
Akan tetapi, Prabu Duryudana agak segan karena Prabu Kresna lebih akrab dengan
para Pandawa daripada dengan para Kurawa. Oleh sebab itu, Patih Sangkuni pun diutus
pergi ke Kerajaan Mandura untuk meminta bantuan Prabu Baladewa dalam menyampaikan
lamaran ini ke Kerajaan Dwarawati. Sudah tentu Prabu Baladewa sangat mendukung
rencana Prabu Duryudana yang ingin berbesan dengan Prabu Kresna tersebut. Maka,
kedatangannya kali ini adalah untuk mendampingi Patih Sangkuni meminang Dewi
Sitisundari sebagai calon istri Raden Lesmana Mandrakumara.
Setelah Prabu Baladewa menyampaikan maksud kedatangannya, ganti Patih
Sangkuni yang menyambung bicara. Ia memuji-muji Raden Lesmana adalah putra mahkota
Kerajaan Hastina yang merupakan kerajaan paling kaya di dunia saat ini. Ia menyebut
Raden Lesmana adalah sosok pemuda ideal yang tampan, gagah perkasa, pandai, dan
tegas dalam bertindak, sudah pasti serasi dengan Dewi Sitisundari yang cantik jelita. Prabu
Kresna lalu bertanya kepada Prabu Baladewa apakah benar demikian. Prabu Baladewa
menjawab dirinya belum pernah bertemu dengan putra Prabu Duryudana itu, sehingga tidak
tahu seperti apa paras dan kepribadiannya. Namun, jika Patih Sangkuni memuji demikian,
tentunya Raden Lesmana Mandrakumara memang serasi dengan Dewi Sitisundari.
Prabu Kresna mengaku agak sulit memutuskan, karena sudah terlanjur menerima
lamaran dari Kesatrian Madukara. Sekitar satu bulan yang lalu, Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra telah datang ke Dwarawati untuk meminang Dewi Sitisundari sebagai calon istri
Raden Abimanyu yang kini telah beranjak dewasa. Prabu Kresna menerima lamaran
tersebut tetapi belum menentukan kapan tanggal yang tepat untuk melangsungkan
pernikahan di antara putra-putri mereka. Kini datang pula lamaran dari Prabu Duryudana.
Dalam hati Prabu Kresna paham bahwa Prabu Duryudana hanya basa-basi saja, karena
tujuan Raden Lesmana dinikahkan dengan Dewi Sitisundari hanya supaya Kerajaan
Dwarawati bisa menjadi sekutu Kerajaan Hastina. Akan tetapi, Prabu Kresna tidak mungkin
menolak lamaran ini begitu saja.
Prabu Baladewa terlihat kurang senang mendengar Dewi Sitisundari telah
dipertunangkan dengan Raden Abimanyu. Ia pun berkata bahwa pertunangan tersebut
sebaiknya dibatalkan saja. Dalam segala hal, Raden Lesmana Mandrakumara jauh lebih
sempurna daripada Raden Abimanyu.
Bagaimanapun juga Raden Lesmana adalah calon raja Hastina, dan itu berarti Dewi
Sitisundari akan ikut terangkat derajatnya sebagai calon permaisuri pula.
kakak Prabu Kresna. Masalah siapa yang menjadi jodoh Dewi Sitisundari, ia berhak ikut
memutuskan. Oleh sebab itu, kedua patih Madukara tersebut sebaiknya pulang saja dan
melapor kepada majikan mereka. Patih Surata berkata dirinya tidak akan pulang, kecuali
Prabu Kresna sendiri yang menyuruh mereka pulang.
Patih Sucitra melarang Patih Surata untuk bicara lebih banyak karena akan semakin
memancing kemarahan Prabu Baladewa. Ia lalu berkata bahwa sudah nasib Raden
Abimanyu lamarannya ditolak dan dialihkan kepada pemuda lain yang lebih kaya raya. Patih
Sucitra berusaha menyindir Prabu Baladewa dengan mengatakan, bahwa dulu Raden
Arjuna banyak membantu orang mendapatkan jodohnya, antara lain pernah membantu
Prabu Puntadewa mendapatkan Dewi Drupadi, membantu Prabu Duryudana mencarikan
syarat gajah putih untuk Dewi Banuwati, bahkan pernah pula membantu Prabu Baladewa
mendapatkan Dewi Erawati.
Ucapan Patih Sucitra dengan telak mengenai lubuk hati Prabu Baladewa. Seketika ia
pun teringat peristiwa masa lalu saat dirinya dibantu Raden Arjuna mengejar penjahat
bernama Raden Kartapiyoga yang menculik Dewi Erawati. Juga ketika Prabu Salya
mengajukan syarat sulit untuk menggagalkan pertunangan Prabu Baladewa (yang kala itu
masih bernama Wasi Jaladara) dengan Dewi Erawati, namun Raden Arjuna dengan tulus
memberikan bantuan. Saat itu Raden Arjuna bahkan menyamar sebagai wanita bernama
Endang Wardiningsih untuk membantu Prabu Baladewa memenuhi persyaratan yang
diajukan Prabu Salya.
Prabu Baladewa kini merasa serbasalah. Jika ia menghalangi pernikahan antara
Raden Abimanyu dengan Dewi Sitisundari, maka itu membuatnya seolah melupakan jasa
Raden Arjuna di masa lalu. Namun, jika tidak menggagalkannya, maka itu berarti ia
mengingkari permohonan Prabu Duryudana. Setelah merenung sejenak, Prabu Baladewa
akhirnya mendapat akal. Ia berkata bahwa Dewi Sitisundari akan menikah dengan orang
yang dapat menghadirkan patah sakembaran, yaitu dua orang gadis desa berwajah kembar,
tetapi mereka bukan saudara kembar. Raden Abimanyu harus dapat mewujudkan syarat
tersebut tanpa bantuan Raden Arjuna, sedangkan Raden Lesmana Mandrakumara juga
harus dapat mewujudkannya tanpa bantuan Prabu Duryudana.
Prabu Kresna merasa keputusan Prabu Baladewa ini cukup adil, maka ia pun setuju.
Apabila Raden Abimanyu dapat mendatangkan apa yang disyaratkan Prabu Baladewa,
maka ia akan dinikahkan dengan Dewi Sitisundari saat itu juga. Hal ini pun berlaku untuk
Raden Lesmana Mandrakumara. Karena Prabu Kresna selaku ayah mempelai perempuan
sudah menetapkan demikian, Patih Surata dan Patih Sucitra segera mohon pamit untuk
kembali ke Kesatrian Madukara.
Patih Sangkuni merasa kecewa karena Prabu Baladewa berubah pikiran di tengah
jalan. Namun, karena sudah diputuskan demikian, terpaksa ia pun ikut mematuhi. Ia lalu
keluar menemui para Kurawa yang menunggu di halaman istana.
Prabu Kresna lalu mengajak Prabu Baladewa masuk ke dalam puri untuk makan
bersama dengan ketiga permaisuri. Sementara itu, Arya Setyaki dan Patih Udawa ditugasi
untuk menjaga keamanan dan mengambil tindakan yang dianggap perlu jika sampai terjadi
sesuatu hal yang kurang baik.
dalam perlombaan ini. Patih Sangkuni mengiakan, lalu ia dan para Kurawa mohon pamit
memulai pencarian terhadap dua gadis patah sakembaran.
menanyakan apa yang menjadi keperluannya. Raden Abimanyu bercerita dengan wajah
sedih, bahwa Patih Surata dan Patih Sucitra baru saja tiba dari Kerajaan Dwarawati dan
menyampaikan keputusan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa, tentang persyaratan untuk
menikahi Dewi Sitisundari. Padahal, dulu waktu ayah-ibunya (Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra) mengajukan pinangan, jelas-jelas Prabu Kresna sudah menerima, hanya belum
menentukan tanggalnya saja. Namun kini, Prabu Baladewa datang pula untuk
menyampaikan lamaran untuk Raden Lesmana Mandrakumara, membuat Prabu Kresna
bimbang dan terpaksa mengajukan syarat.
Prabustri Arimbi bertanya, syarat apa yang diminta Prabu Kresna. Raden Abimanyu
berkata bahwa syarat ini sebenarnya diusulkan oleh Prabu Baladewa, yaitu calon mempelai
pria harus dapat menghadirkan patah sakembaran berupa sepasang gadis desa berwajah
mirip, tetapi bukan saudara kembar. Dalam pencarian tersebut, Raden Abimanyu tidak
boleh dibantu Raden Arjuna, sedangkan Raden Lesmana Mandrakumara tidak boleh
dibantu Prabu Duryudana. Itulah sebabnya Raden Abimanyu datang ke Kerajaan
Pringgadani, yaitu untuk meminta bantuan Raden Gatutkaca.
Sejak kecil Raden Abimanyu sudah dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca
bagaikan adik dan kakak kandung. Mendengar keluhan adiknya itu, Raden Gatutkaca
langsung menyatakan sanggup membantu. Ia pun mohon izin kepada sang ibu agar boleh
menyertai perjalanan Raden Abimanyu. Tentu saja Prabustri Arimbi mengizinkan. Ia juga
mendoakan semoga mereka berdua dapat mewujudkan persyaratan yang diajukan Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna tersebut.
Cantrik Janaloka bangun dan merasa ngeri apakah sumpahnya menjadi kenyataan?
Ia lalu meminum air di dalam kendi yang dibawa dari padepokan, tetapi tiba-tiba saja kendi
itu pecah sendiri dan isinya tumpah semua. Cantrik Janaloka semakin ngeri. Namun, sudah
kepalang tanggung. Ia sudah terlanjur melanggar sumpah, maka biar sekalian saja ia
berdosa. Ibarat peribahasa sudah terlanjur basah, lebih baik mencebur sekalian. Maka,
Cantrik Janaloka pun nekat mengejar Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
Cantrik Janaloka
mencari ayah dapat ditunda nanti kalau Raden Lesmana Mandrakumara sudah menikah
dengan Dewi Sitisundari.
Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati bersikeras ingin berontak, tetapi tangan
mereka kemudian ditangkap dan diseret oleh Arya Dursasana.
berita meninggalnya Endang Manuhara. Dalam hati ia berterima kasih atas usaha istri
paminggirnya itu yang telah merawat kedua putrinya hingga menjadi sebesar ini.
Dewi Sumbadra menasihati agar Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati jangan terlalu
bersedih karena ia bersedia menjadi ibu untuk mereka. Ia berjanji akan memperlakukan
kedua gadis tersebut sebagai anak sendiri, tidak ubahnya seperti Raden Abimanyu. Endang
Pregiwa dan Endang Pregiwati sangat bahagia karena mereka diterima dengan baik di
Kesatrian Madukara.
Melihat kedua putrinya berwajah mirip namun bukan saudara kembar, Raden Arjuna
merasa gembira, karena mereka berdua sesuai untuk memenuhi persyaratan Prabu
Baladewa. Maka, Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati pun dijadikan sebagai patah
sakembaran untuk mengiringi Raden Abimanyu menjadi pengantin.
menyeret mereka secara paksa untuk dibawa ke Kerajaan Hastina. Untungnya, muncul
Raden Gatutkaca yang menyelamatkan mereka dan membawanya pergi bersama Raden
Abimanyu.
Prabu Duryudana merasa malu. Ia lalu pulang bersama Dewi Banuwati sambil
memberi isyarat kepada Arya Dursasana dan yang lain agar mengacaukan pesta
pernikahan Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari. Arya Dursasana, Raden Kartawarma,
Raden Surtayu, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Bambang Aswatama, Adipati Jayadrata
segera bertindak. Mereka merusak apa yang ada di hadapan mereka. Arya Wrekodara,
Arya Setyaki, Patih Udawa, dan Raden Gatutkaca segera maju menghadapi mereka.
Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Kresna pun melanjutkan pesta pernikahan
putrinya. Prabu Baladewa meminta maaf karena pada awalnya berniat menggagalkan
pernikahan tersebut, namun kini ia sadar bahwa Raden Abimanyu adalah jodoh terbaik
untuk Dewi Sitisundari. Semuanya pun berbahagia, terutama Raden Gatutkaca dan Endang
Pregiwa yang keduanya telah saling jatuh cinta sejak pandangan pertama.
CATATAN : Dalam Serat Pustakaraja Purwa dikisahkan, Raden Arjuna berjumpa Endang Manuhara
bersamaan dengan peristiwa Raden Gatutkaca lahir. Kisah tersebut terjadi sesudah Raden Arjuna
menikah dengan Dewi Sumbadra. Namun, blog saya mengikuti alur pedalangan pada umumnya,
di mana Raden Gatutkaca lahir terjadi sebelum Raden Arjuna menikah dengan Dewi Sumbadra.
Dengan demikian, maka saya mengisahkan bahwa Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati
usianya lebih tua daripada Raden Abimanyu.
KITAB WAYANG PURWA
GATUTKACA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Gatutkaca putra Arya
Wrekodara dengan Endang Pregiwa putri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari dongeng yang disampaikan orang tua saya, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 31 Agustus 2017
Heri Purwanto
Raden Gatutkaca.
Duryudana ingin memohon bantuan kepada Danghyang Druna agar pergi ke Kesatrian
Madukara, meminta Raden Arjuna membatalkan pertunangan putrinya dengan Raden
Gatutkaca.
Danghyang Druna berkata dirinya agak keberatan jika harus melakukan hal itu, karena
memisahkan dua insan yang saling jatuh cinta adalah perbuatan tidak benar. Alangkah
baiknya Raden Lesmana Mandrakumara mencari perempuan lain saja daripada
menginginkan Endang Pregiwa. Raden Gatutkaca dan Endang Pregiwa hendak dinikahkan
adalah karena mereka saling mencintai dan ini sudah terlihat sejak mereka pertama
bertemu.
Patih Sangkuni ikut bicara. Mungkin benar Endang Pregiwa dan Raden Gatutkaca
saling jatuh cinta sejak mereka pertama bertemu menjelang pernikahan Raden Abimanyu
dan Dewi Sitisundari beberapa bulan lalu. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dipikirkan
daripada mengurusi soal percintaan muda-mudi tersebut.
Danghyang Druna bertanya perkara penting apakah yang dimaksud Patih Sangkuni
itu. Patih Sangkuni bercerita bahwa dulu Bagawan Abyasa meramalkan kelak antara
keturunan Adipati Dretarastra yaitu para Kurawa, dan keturunan Prabu Pandu yaitu para
Pandawa akan saling bertempur dalam sebuah perang besar mahadahsyat bernama
Perang Bratayuda. Namun, itu semua hanyalah ramalan. Terjadi atau tidak, bisa
diusahakan sejak dini. Apabila Danghyang Druna berhasil menyingkirkan Raden Gatutkaca
dan kemudian menyatukan Raden Lesmana Mandrakumara dan Endang Pregiwa, maka
hubungan antara pihak Kurawa dan Pandawa menjadi lebih dekat. Tentunya hal ini bisa
menjadi sarana untuk mencegah terjadinya Perang Bratayuda.
Danghyang Druna terkesan mendengar uraian Patih Sangkuni. Ia sendiri selama ini
selalu ngeri dan takut apabila membayangkan tentang ramalan Perang Bratayuda.
Danghyang Druna adalah guru dari para Kurawa dan Pandawa. Membayangkan murid-
muridnya saling berperang dan saling bunuh sudah pasti membuat ia merinding dan
berharap hal itu jangan sampai terjadi. Kini, mendengar saran dari Patih Sangkuni
membuatnya bersemangat dan akhirnya ia pun setuju apabila Raden Lesmana
Mandrakumara menikah dengan Endang Pregiwa.
Prabu Duryudana merasa senang. Ia meminta Danghyang Druna entah bagaimana
caranya harus bisa membatalkan perkawinan Endang Pregiwa dengan Raden Gatutkaca,
lalu menggantikannya dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Danghyang Druna
menjawab sanggup. Ia siap meskipun harus menggunakan ilmu hitam, asalkan bisa
menggagalkan Perang Bratayuda. Prabu Duryudana merasa gembira dan berharap sang
guru berhasil mewujudkan keinginannya. Setelah dirasa cukup, ia pun membubarkan
pertemuan dan melepas keberangkatan Danghyang Druna dengan penghormatan.
Patih Sangkuni membenarkan hal itu, namun karena Raden Lesmana Mandrakumara
sudah cinta mati kepada Endang Pregiwa, maka Prabu Duryudana pun meminta
Danghyang Druna agar membatalkan pernikahan Raden Gatutkaca dengan putri Raden
Arjuna tersebut.
Raden Durmagati yang berwatak polos menyarankan agar Prabu Duryudana mencari
calon menantu yang lain saja, jangan mengganggu gadis yang sudah bertunangan dengan
pemuda lain. Patih Sangkuni berkata perkawinan Raden Lesmana Mandrakumara dengan
Endang Pregiwa ini akan menguntungkan pihak Hastina, karena dapat mencegah terjadinya
Perang Bratayuda. Selain itu, Raden Arjuna akan terikat kekeluargaan dengan para
Kurawa. Jika Kerajaan Hastina memiliki musuh, maka Panengah Pandawa tersebut bisa
diandalkan untuk membantu. Tadinya Danghyang Druna juga tidak setuju jika membatalkan
pertunangan Raden Gatutkaca dengan Endang Pregiwa. Namun, setelah mengetahui
bahwa ada banyak keuntungan di balik ini semua, maka ia pun bersedia menjadi duta
pelamar bagi Raden Lesmana Mandrakumara.
Arya Dursasana dan adik-adiknya lalu bertanya apa yang bisa mereka bantu. Patih
Sangkuni mengatakan bahwa, para Kurawa hendaknya mengawal keberangkatan
Danghyang Druna menuju Kesatrian Madukara. Besoknya, Prabu Duryudana dan Dewi
Banuwati akan menyusul dengan mengiring Raden Lesmana Mandrakumara sebagai calon
pengantin.
Demikianlah, Patih Sangkuni lalu membubarkan pertemuan. Para Kurawa segera
menyiapkan pasukan melaksanakan tugas mengawal keberangkatan Danghyang Druna.
Resi Anoman ikut membantu kesatria dari Swalabumi tersebut. Pertempuran sengit
pun terjadi. Karena jumlah musuh terlalu banyak, Resi Anoman mengajak Arya Setyaki
mundur untuk segera melaporkan hal ini kepada Arya Wrekodara dan Raden Gatutkaca di
Kesatrian Jodipati.
Resi Anoman
Danghyang Druna
tetapi batu besar tersebut yang hancur berantakan. Tidak kehabisan akal, Raden Gatutkaca
menceburkan diri ke dalam sungai. Namun, pusaka Kotang Antrakusuma yang ia pakai
membuat tubuhnya menjadi ringan dan mengambang sendiri ke permukaan.
Raden Gatutkaca bingung entah bagaimana caranya bisa bunuh diri. Ia lalu memukuli
tubuhnya sendiri hingga babak belur. Tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa.
Ternyata yang datang adalah Prabu Kresna Wasudewa. Prabu Kresna mengejek Raden
Gatutkaca sebagai kesatria yang cengeng karena bunuh diri hanya karena putus cinta.
Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik daripada Endang Pregiwa. Raden
Gatutkaca menjawab ini bukan soal kecantikan, tetapi soal cinta. Perempuan yang ia cintai
hanyalah Endang Pregiwa seorang, mana mungkin bisa digantikan gadis lain.
Prabu Kresna bertanya apakah Raden Gatutkaca sudah memastikan Endang Pregiwa
lebih mencintai Raden Lesmana Mandrakumara daripada dirinya. Jika memang Endang
Pregiwa lebih mencintai Raden Lesmana, maka Raden Gatutkaca sebaiknya merelakan
saja. Percuma bunuh diri membela kekasih yang sudah tidak menaruh cinta. Namun, jika
Endang Pregiwa lebih mencintai Raden Gatutkaca, maka bunuh diri juga tidak ada gunanya,
bahkan justru rugi besar. Sebagai seorang kesatria dan juga calon raja Pringgadani, tidak
sepantasnya Raden Gatutkaca terburu nafsu, tetapi harus mengumpulkan data terlebih
dahulu sebelum bertindak.
Raden Gatutkaca baru sadar kalau dirinya berbuat keliru. Namun, apa gunanya jika
Endang Pregiwa lebih mencintainya, tetap saja besok menikah dengan pria lain. Prabu
Kresna berkata jadi laki-laki jangan mudah menyerah. Jika memang sang kekasih sudah
dijodohkan dengan orang lain, maka lebih baik diculik saja, seperti dulu Prabu Kresna
pernah menculik Dewi Rukmini dari Kerajaan Kumbina.
Raden Gatutkaca merasa mendapat semangat baru. Kebetulan Raden Abimanyu
datang, disusul kemudian Resi Anoman dan Arya Setyaki datang pula. Ketiganya
menghibur Raden Gatutkaca agar jangan mudah menyerah karena mereka siap membantu
menggagalkan perkawinan Endang Pregiwa dengan Raden Lesmana Mandrakumara.
Prabu Kresna senang mendengarnya. Ia lalu mengatur siasat yang harus dijalankan
oleh keempat orang tersebut.
leluasa untuk saling mengutarakan isi hati. Setelah keadaan sepi, Raden Gatutkaca
bertanya apakah Endang Pregiwa mencintainya. Endang Pregiwa takut pada sang ayah,
maka ia terpaksa berbohong bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Raden Lesmana
Mandrakumara dan besok akan menjadi istrinya. Raden Gatutkaca sedih mendengarnya.
Ia pun mohon pamit hendak bunuh diri membenturkan kepala ke arah tembok taman.
Endang Pregiwa terkejut dan segera memeluk tubuh Raden Gatutkaca dari belakang. Ia
minta maaf telah berbohong supaya Raden Gatutkaca melupakannya dan mencari wanita
lain saja. Tak disangka, cinta Raden Gatutkaca begitu mendalam dan rela bunuh diri
daripada patah hati.
Raden Gatutkaca senang mendengarnya. Ia pun mengajak Endang Pregiwa kabur
meninggalkan Kesatrian Madukara untuk menikah dan hidup di desa terpencil berdua.
Endang Pregiwa bersedia ikut asalkan mereka tidak berpisah lagi. Jika nanti Raden
Gatutkaca sampai tertangkap sang ayah dan dihukum mati, Endang Pregiwa rela ikut mati.
Kedua kekasih itu telah bersatu hati. Raden Gatutkaca lalu menggendong tubuh Endang
Pregiwa dan membawanya terbang ke angkasa.
Setelah keduanya pergi, Raden Abimanyu dan Endang Pregiwati muncul. Endang
Pregiwati menangis melihat kakaknya telah diculik dan ia takut dimarahi sang ayah. Raden
Abimanyu berbisik di telinga kakaknya itu agar jangan bersedih karena ini sudah menjadi
bagian dari siasat Prabu Kresna. Raden Abimanyu lalu membaca mantra. Dari cincinnya
keluar Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati palsu. Ia kemudian membaca mantra lagi
dan memasukkan Endang Pregiwati yang asli ke dalam cincin.
Endang Pregiwa palsu adalah penjelmaan Resi Anoman, sedangkan Endang
Pregiwati palsu adalah penjelmaan Arya Setyaki. Mereka berdua telah didandani Prabu
Kresna untuk mengacaukan perkawinan Raden Lesmana Mandrakumara besok pagi.
Raden Lesmana Mandrakumara ketakutan dan lari keluar kamar. Di luar ia bertemu
Endang Pregiwati yang bertanya dengan lembut apa yang baru saja terjadi. Raden
Lesmana terpesona pada adik iparnya itu dan berniat kurang ajar kepadanya. Namun,
Endang Pregiwati balas memukul. Meskipun pukulannya pelan, tetapi tangan gadis ini
terasa begitu mantap, membuat pandangan Raden Lesmana terasa berkunang-kunang.
Raden Lesmana menangis meminta perkawinan dibatalkan dan ingin pulang ke
Hastina. Patih Sangkuni dan Danghyang Druna datang menolong. Endang Pregiwati palsu
pun kembali ke wujud asalnya, yaitu Arya Setyaki, sedangkan Endang Pregiwa palsu telah
berubah menjadi Resi Anoman. Patih Sangkuni dan Danghyang Druna pun dipukuli oleh
mereka berdua hingga memilih kabur mengamankan diri.
Prabu Duryudana marah-marah dan menuduh Raden Arjuna telah berniat
mempermalukan keluarganya. Raden Arjuna kesal dan segera melabrak Resi Anoman dan
Arya Setyaki. Kedua orang itu pun tunduk tidak melawan sama sekali. Keduanya diringkus
Raden Arjuna, kemudian diikat dan dihadapkan kepada Prabu Duryudana.
Raden Abimanyu dan Endang Pregiwati yang asli segera datang menghadap. Mereka
mengaku ikut bertanggung jawab atas hilangnya Endang Pregiwa dan memohon agar ikut
dihukum pula. Raden Arjuna semakin marah dan menampar pipi putra dan putrinya itu.
amarah Arya Wrekodara bangkit. Ia pun melangkah lebar menuju tempat putranya
ditangkap.
Sesampainya di sana, ia melihat Raden Arjuna menghunus Keris Kalanadah hendak
membunuh Raden Gatutkaca. Endang Pregiwa muncul pula dan ikut berlutut di samping
sang kekasih. Arya Wrekodara marah melihat Raden Arjuna sudah gelap mata tidak dapat
membedakan baik dan buruk. Ia pun mengangkat Gada Rujakpolo untuk menangkis Keris
Kalanadah di tangan Raden Arjuna.
Raden Arjuna marah dan menyerang Arya Wrekodara. Kedua bersaudara itu lalu
bertarung sengit. Yang satu bersenjata keris, dan yang satu bersenjata gada besar. Namun,
Raden Arjuna sedang dalam pengaruh guna-guna sehingga tidak dapat berpikir jernih.
Suatu ketika ia lengah dan kepalanya pun terkena pukulan Gada Rujakpolo.
Pukulan gada pusaka itu membuat kesadaran Raden Arjuna pulih setengah bagian.
Melihat ayahnya terluka, Endang Pregiwa segera lari mendekat dan menangis di lutut
Raden Arjuna. Tetesan air mata putrinya membasahi kaki Raden Arjuna, membuat
kesadarannya pun pulih sepenuhnya.
menangis memeluk Raden Gatutkaca dan Endang Pregiwa, serta meminta maaf kepada
mereka berdua.
Arya Wrekodara berkata tidak bisa semudah itu meminta maaf. Raden Arjuna sudah
memukuli Raden Gatutkaca, maka Arya Wrekodara akan balas memukuli Raden Abimanyu.
Dengan demikian urusan menjadi impas. Raden Arjuna berkata sang kakak boleh meminta
apa saja kepadanya, asalkan tidak balas memukuli putranya. Mendengar itu, Arya
Wrekodara pun meminta Raden Arjuna menyerahkan Keris Kalanadah kepada Raden
Gatutkaca, karena keris tersebut sesungguhnya adalah pusaka Kerajaan Pringgadani.
Raden Arjuna terkenang peristiwa lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Saat itu Prabu
Pandu berperang melawan Prabu Tremboko. Prabu Tremboko tewas terkena Keris
Pulanggeni milik Prabu Pandu, sedangkan Prabu Pandu terluka pahanya oleh tusukan Keris
Kalanadah milik Prabu Tremboko. Resiwara Bisma pun mencabut Keris Kalanadah dan
Keris Pulanggeni lalu menyerahkan keduanya kepada Raden Arjuna yang saat itu masih
remaja. Setelah dirawat beberapa hari, Prabu Pandu akhirnya meninggal pula.
Raden Arjuna menyadari bahwa Keris Kalanadah memang milik Prabu Tremboko,
sehingga wajar bila diserahkan kepada ahli warisnya, yaitu Raden Gatutkaca. Maka,
dengan menyerahkan keris pusaka tersebut, ini berarti Raden Arjuna telah merestui Raden
Gatutkaca menikah dengan Endang Pregiwa.
Prabu Duryudana dan para Kurawa marah melihat perubahan sikap Raden Arjuna.
Namun, Dewi Banuwati meminta urusan ini tidak perlu diperpanjang dan sebaiknya mereka
pulang saja ke Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana tidak berani membantah istrinya. Ia pun
mengajak adik-adiknya pulang meninggalkan Kesatrian Madukara.
Prabu Kresna dan para Pandawa bersyukur karena Raden Gatutkaca dan Endang
Pregiwa telah lulus uji dan membuktikan keteguhan cinta mereka. Kedua muda-mudi yang
berbahagia itu pun dinikahkan dengan upacara yang meriah.
CATATAN : Kisah Resi Anoman menyamar sebagai Endang Pregiwa dan Arya Setyaki menyamar sebagai
Endang Pregiwati adalah tambahan dari saya untuk memperkaya jalinan cerita.
KITAB WAYANG PURWA
WAHYU CAKRANINGRAT
Kisah ini menceritakan tentang usaha Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Samba,
dan Raden Abimanyu dalam usaha menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat.
Perlombaan ini dimenangkan oleh Raden Abimanyu, sehingga dialah kelak yang bisa
menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Kisah ini saya olah dari beberapa pertunjukan wayang kulit dengan lakon yang sama,
yang dimainkan oleh dalang Ki Manteb Soedharsono, Ki Warseno Slenk, dan juga Ki
Rudy Gareng, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 September 2017
Heri Purwanto
Raden Abimanyu.
Begitu mendengar tentang para putra Pandawa disebut, seketika Raden Lesmana
teringat pada dendamnya kepada Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca yang
menyebabkan dirinya gagal menikah tempo hari. Maka, ia pun menyatakan sanggup pergi
bertapa ke Hutan Krendayana. Prabu Duryudana dan para hadirin lainnya senang
mendengar keputusan tersebut.
Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana membubarkan pertemuan. Danghyang Druna
mohon pamit berangkat mendampingi Raden Lesmana Mandrakumara, dengan dikawal
Adipati Karna, Patih Sangkuni, Arya Dursasana, Raden Kartawarma, dan para Kurawa
lainnya.
Namun, Raden Kartawarma tetap bersikeras meminta Raden Samba dan Arya Setyaki agar
pulang saja ke Dwarawati.
Arya Setyaki yang sudah bertekad melindungi keponakannya segera bertindak. Ia pun
melabrak Raden Kartawarma agar membuka jalan. Para Kurawa yang lain segera maju
untuk melawannya. Pertempuran pun terjadi. Seorang diri Arya Setyaki menghadapi para
pangeran dari Hastina tersebut, yang juga ditambah Adipati Jayadrata dan Bambang
Aswatama. Dengan lincah dan cekatan ia berhasil mengatasi mereka semua.
Adipati Karna yang memimpin pengamanan Hutan Krendayana akhirnya turun tangan.
Kali ini Arya Setyaki mulai terdesak kalah. Namun, tekadnya demi melindungi Raden Samba
membuat kekuatannya bertambah. Dengan bersenjatakan Gada Wesikuning di tangan, ia
menangkis semua panah yang dilepaskan Adipati Karna. Begitu ada kesempatan, Arya
Setyaki pun menerobos masuk ke dalam Hutan Krendayana sambil menarik tangan Raden
Samba. Adipati Karna hendak mengejar, namun sudah kehilangan jejak. Arya Setyaki dan
Raden Samba sudah lenyap ditelan gelapnya hutan. Adipati Karna akhirnya menghentikan
pengejaran karena ia tidak ingin mengganggu Raden Lesmana Mandrakumara yang
sedang bertapa. Selain itu, ia juga tidak berani melepaskan panah sembarangan karena
takut melukai Raden Samba yang merupakan putra Prabu Kresna, yaitu orang yang paling
ia segani.
masuk ke dalamnya. Raden Abimanyu tidak tahu bagaimana caranya masuk hutan tanpa
terlihat oleh mereka.
Pada saat itulah Raden Gatutkaca datang. Ia mengaku telah diberi tahu Dewi
Sitisundari tentang keberangkatan Raden Abimanyu menuju Hutan Krendayana. Merasa
tidak tega, Raden Gatutkaca pun pergi menyusul. Ia tidak ingin bersaing memperebutkan
Wahyu Cakraningrat dengan adiknya itu, melainkan hanya ingin menjaga dan
membantunya menghadapi kesulitan.
Raden Abimanyu berterima kasih dan ia berkata ingin masuk ke dalam Hutan
Krendayana tanpa terlihat oleh para Kurawa. Raden Gatutkaca segera mendapat akal. Ia
pun menggendong tubuh Raden Abimanyu dan membawanya terbang tinggi ke angkasa.
Di langit luas mereka bersembunyi di balik awan. Hingga begitu ada kesempatan, mereka
pun meluncur turun dan mendarat di dalam Hutan Krendayana tanpa ada seorang pun
Kurawa yang melihat.
Batara Guru.
Raden Samba.
KITAB WAYANG PURWA
saja tadi Raden Gatutkaca maju menolong Raden Abimanyu saat diserang gajah liar,
namun untungnya dicegah Kyai Semar yang baru datang.
Kyai Semar bercerita bahwa ia baru bisa memasuki Hutan Krendayana setelah
rombongan para Kurawa kembali ke Kerajaan Hastina. Saat itu ia melihat Raden Abimanyu
sedang bersamadi dan diserang seekor gajah liar. Raden Gatutkaca hendak membantu,
namun dicegah Kyai Semar. Rupanya Kyai Semar paham bahwa gajah tersebut adalah
makhluk jadi-jadian yang hendak menguji kesungguhan Raden Abimanyu.
Kyai Semar lalu menasihati bahwa ujian belum selesai. Meskipun Wahyu Cakraningrat
telah bersemayam dalam diri Raden Abimanyu, namun ia tidak boleh lengah. Selama empat
puluh hari ini akan tetap ada ujian-ujian yang bisa datang sewaktu-waktu.
siuman dari pingsan pun mohon maaf kepada Prabu Kresna karena ia sempat
berprasangka buruk kepada ayahnya itu.
Cakraningrat. Namun demikian, ia merasa bangga karena Raden Samba sudah mau
berjuang untuk meraih wahyu tersebut, dan tidak lagi melulu hidup santai di Kesatrian
Paranggaruda. Prabu Kresna pun meramalkan kelak jika keturunan Raden Abimanyu
menjadi raja, maka keturunan Raden Samba akan menjadi patih yang mendampinginya.
Prabu Kresna lalu mengajak rombongan melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian
melihat ada pertempuran di mana Raden Gatutkaca dikeroyok para Kurawa. Arya
Wrekodara dan Arya Setyaki segera maju membantu mengusir Arya Dursasana dan adik-
adiknya itu. Begitu keduanya turun tangan, para Kurawa pun berhamburan pulang ke
Hastina dengan babak belur.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca berterima kasih. Mereka bercerita bahwa
Wahyu Cakraningrat sudah berhasil didapatkan, namun di tengah jalan Arya Dursasana
dan adik-adiknya berusaha merebut. Rupanya mereka tidak ikut Danghyang Druna dan
Raden Lesmana Mandrakumara pulang ke Hastina, melainkan menunggu di dekat Hutan
Krendayana untuk melampiaskan sakit hati kepada Raden Abimanyu.
Prabu Kresna bersyukur atas keberhasilan Raden Abimanyu, dan ini juga berkat
bimbingan Kyai Semar dan pengawalan Raden Gatutkaca. Mereka berdua ikut berjasa
besar. Prabu Kresna lalu mengajak rombongan tersebut untuk kembali ke Kerajaan Amarta,
melapor kepada Prabu Puntadewa.
GATUTKACA RANTE
Kisah ini menceritakan tentang usaha Raden Lesmana Mandrakumara menggagalkan
perkawinan Raden Pancawala dan Dewi Pregiwati, serta memfitnah Raden Gatutkaca
sebagai bentuk balas dendam atas kegagalannya menikahi Dewi Pregiwa.
Kisah ini saya olah dari pertunjukan wayang kulit yang dimainkan oleh dalang Ki
Soenarjo, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 September 2017
Heri Purwanto
Raden Gatutkaca
sangat marah. Prabu Duryudana pun bertanya apakah mereka sedang bertengkar. Raden
Lesmana menjawab ibunya sudah tidak sayang lagi kepadanya. Saat ia meminta dinikahkan
dengan Dewi Pregiwati, bukannya mendukung, Dewi Banuwati justru marah-marah.
Prabu Duryudana menegur Dewi Banuwati mengapa memarahi Raden Lesmana
hingga menangis seperti itu. Dewi Banuwati menjawab, Dewi Pregiwati sudah hendak
dinikahkan dengan Raden Pancawala, mengapa pula harus diganggu segala. Gadis lain
masih banyak, mengapa juga harus mengganngu calon istri orang lain?
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia mengatakan bahwa mengapa baru sekarang
Dewi Banuwati menghalangi niat Raden Lesmana Mandrakumara merebut calon istri orang
lain. Bukankah beberapa waktu yang lalu Raden Lesmana juga mengganggu pertunangan
Raden Abimanyu dengan Dewi Sitisundari, serta pertunangan Raden Gatutkaca dengan
Dewi Pregiwa? Mengapa waktu itu Dewi Banuwati diam saja? Mengapa sekarang begitu
marah ingin menghalangi niat putranya yang hendak merebut Dew Pregiwati? Memangnya
ada hubungan apa antara Dewi Banuwati dengan Dewi Pregiwati, serta mengapa Raden
Lesmana Mandrakumara tidak boleh menikahi gadis itu?
Dewi Banuwati tidak bisa menjawab. Ia paham Patih Sangkuni sedang mencurigai
Dewi Pregiwati adalah anak hasil hubungannya dengan Raden Arjuna. Maka, ia pun
menjawab bahwa tujuannya mencegah Raden Lesmana adalah supaya tidak mendapat
malu untuk yang kesekian kalinya. Lebih baik mencari perempuan lain yang belum terikat
pertunangan dengan siapa pun, daripada memalukan orang tua.
Raden Lesmana menjawab, bahwa sebelum janur kuning melengkung masih ada
kesempatan baginya untuk mendapatkan sang gadis idaman. Patih Sangkuni
membenarkan ucapan cucunya itu. Namun, Dewi Banuwati berkata, keputusan ada di
tangan Prabu Duryudana. Jika sang suami mendukung keinginan putranya, maka ia akan
meminta cerai dan pulang ke Kerajaan Mandraka.
Prabu Duryudana terkejut mendengar ancaman istrinya. Ia berpikir jika sampai
bercerai dengan permaisuri, tentu dirinya sebagai seorang raja besar akan mendapat malu
luar biasa. Maka, ia pun menjawab tidak akan menuruti keinginan Raden Lesmana
Mandrakumara untuk menikahi Dewi Pregiwati. Raden Lesmana sangat kecewa
mendengar keputusan ayahnya. Ia pun menyatakan pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.
Usai berkata demikian, pangeran manja itu lantas kabur meninggalkan pertemuan.
Dewi Banuwati berterima kasih atas keputusan Prabu Duryudana yang kali ini tidak
menuruti keinginan Raden Lesmana. Ia lalu mengajak sang suami untuk bersiap-siap pergi
ke Kerajaan Amarta menghadiri undangan perkawinan Raden Pancawala dan Dewi
Pregiwati. Patih Sangkuni menyindir Dewi Banuwati yang ingin buru-buru bertemu Raden
Arjuna, hingga tidak peduli dengan putranya sendiri yang kabur meninggalkan istana.
Mendengar sindiran itu, Prabu Duryudana pun meminta tolong Adipati Karna agar
menyusul kepergian Raden Lesmana dan membawa putranya itu kembali. Adipati Karna
menyanggupi dan segera berangkat melaksanakan tugas. Prabu Duryudana kemudian
membubarkan pertemuan dan mengajak Danghyang Druna, Patih Sangkuni serta para
Kurawa untuk bersiap menuju Kerajaan Amarta.
Raden Lesmana sendiri tidak memiliki pengalaman keluar istana, kecuali beberapa
waktu yang lalu ikut berlomba menjemput Wahyu Cakraningrat di Hutan Krendayana. Maka,
dalam keadaan putus asa karena tidak didukung ayahnya untuk menikah, yang terpikir
dalam benaknya hanyalah Hutan Krendayana. Ia pun memacu kudanya menuju ke arah
hutan tersebut.
Adipati Karna dan Patih Adimanggala dalam pengejaran melihat Raden Lesmana
memasuki Hutan Krendayana. Mereka pun bergegas mengikuti. Hingga akhirnya, mereka
dapat menghadang Raden Lesmana dan mengajaknya kembali ke istana. Raden Lesmana
menolak dibawa pulang. Ia lebih baik mati bunuh diri dimakan binatang buas daripada
pulang ke istana bertemu orang tua yang tidak sayang kepadanya. Adipati Karna berusaha
membujuk keponakannya itu tetapi Raden Lesmana tetap menolak pulang. Adipati Karna
terpaksa menggunakan kekerasan. Ia pun meringkus Raden Lesmana dan membawanya
dengan paksa.
pasukannya. Prabu Wirambadewa ini adalah putra Batari Durga yang hendak pergi
menghadap ibunya di Kahyangan Setragandamayit. Raden Burisrawa pun meminta
bantuan agar Prabu Wirambadewa yang turun tangan menolong keponakannya. Prabu
Wirambadewa dan pasukannya lalu maju menyerang Adipati Karna dan Patih Adimanggala.
Ternyata kedua orang itu sangat kuat dan sulit dikalahkan. Untungnya Prabu Wirambadewa
mendapat bantuan dari Ki Jaramaya, yaitu kepala makhluk halus pengikut Batari Durga.
Raden Lesmana Mandrakumara ketakutan saat diperkenalkan dengan Batari Durga
yang berwajah menyeramkan. Namun, setelah tahu kalau Batari Durga ini adalah guru dari
Raden Burisrawa, ia menjadi agak berani. Ia pun meminta perlindungan dari dewi berparas
raksasi tersebut dari kejaran Adipati Karna. Ia ingin mengabdi di Kahyangan
Setragandamayit seperti pamannya.
Batari Durga dengan senang hati bersedia menerima Raden Lesmana Mandrakumara
sebagai murid dan mengajarinya ilmu kesaktian, namun dengan syarat kelak setelah
meninggal, roh Raden Lesmana harus menjadi bagian dari pasukan makhluk halus pengikut
Kahyangan Setragandamayit. Raden Lesmana meminta pertimbangan pamannya soal ini.
Raden Burisrawa menjawab tidak masalah, yang penting bisa membalas sakit hati, itu yang
paling penting. Mendengar itu, Raden Lesmana pun setuju dan menyatakan sanggup
menerima syarat Batari Durga.
Batari Durga senang melihat kesungguhan hati Raden Lesmana. Ia pun bertanya ilmu
kesaktian apa yang ingin dimiliki Raden Lesmana untuk membalas dendam. Raden
Lesmana menjawab dirinya ingin bisa menghilang tidak terlihat orang lain dan mampu
membuat orang lain tertidur lelap. Batari Durga mengabulkannya. Raden Lesmana
Mandrakumara pun diberi Aji Panglimunan dan Aji Sirep, tetapi hanya bisa digunakan
selama sehari semalam saja. Raden Lesmana berterima kasih dan mohon pamit pergi ke
Kerajaan Amarta untuk mengacau perkawinan Raden Pancawala dan Dewi Pregiwati.
Raden Burisrawa tidak tega keponakannya berangkat sendiri. Ia lalu mohon pamit
kepada Batari Durga untuk mengawasi Raden Lesmana Mandrakumara dari jauh bersama
Prabu Wirambadewa.
Batari Durga.
Pregiwati putri Raden Arjuna. Para tamu yang hadir antara lain seluruh Pandawa Lima
beserta anak dan istri masing-masing, Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Baladewa dari
Mandura, Prabu Duryudana beserta Dewi Banuwati, Patih Sangkuni, dan para Kurawa dari
Kerajaan Hastina.
Setelah upacara selesai, kedua mempelai pun meminta restu kepada para sesepuh.
Pada saat meminta restu kepada Dewi Banuwati, Dewi Pregiwati dipeluk dan didoakan
secara panjang lebar. Patih Sangkuni menyindir mengapa dengan anak orang lain begitu
sayang, sedangkan anak sendiri ditelantarkan. Jangan-jangan sewaktu lahir dulu Dewi
Pregiwati dan Raden Lesmana Mandrakumara adalah anak-anak yang ditukar. Dewi
Banuwati marah mendengar sindiran Patih Sangkuni dan keluar istana daripada timbul
pertengkaran. Prabu Duryudana segera ikut keluar menyusul istrinya itu.
Raden Pancawala.
terkejut namun ia sadar dirinya tidak terlihat karena sedang menggunakan Aji Panglimunan.
Maka, dengan mengendap-endap, ia pun keluar meninggalkan kamar pengantin tersebut.
Prabu Puntadewa mengatakan masalah ini tidak perlu diperpanjang karena putranya
sudah hidup kembali. Prabu Duryudana tidak sependapat. Raden Gatutkaca sudah
melakukan dosa pembunuhan terhadap sepupu sendiri, maka ini harus diusut tuntas.
Hukum harus ditegakkan. Prabu Puntadewa terkenal sebagai raja yang adil, jangan sampai
ada yang memaki di belakang bahwa hukum di Kerajaan Amarta hanya berlaku untuk rakyat
jelata saja. Patih Sangkuni ikut menambahi, ikut mendesak Prabu Puntadewa agar
menjatuhkan hukuman kepada Raden Gatutkaca, jangan pandang bulu meskipun terhadap
keponakan sendiri.
Arya Wrekodara berkata bahwa dirinyalah yang akan menghukum mati anaknya
sendiri. Usai berkata demikian, ia pun berniat menusuk dada Raden Gatutkaca
menggunakan Kuku Pancanaka, namun tangannya dipegang Prabu Kresna. Biarlah Prabu
Puntadewa yang memutuskan, jangan main hakim sendiri.
Prabu Puntadewa pun menimbang-nimbang hukuman apa yang pantas untuk Raden
Gatutkaca. Mengingat putranya sudah hidup kembali, maka Raden Gatutkaca tidak
dihukum mati, melainkan dihukum buang di tengah hutan. Patih Sangkuni berkata bahwa
hal itu terlalu berbahaya mengingat Raden Gatutkaca sangat sakti. Ia mengusulkan agar
tubuh Raden Gatutkaca diikat menggunakan rantai baja di bawah pohon besar, sehingga
tangannya tidak bisa lagi digunakan untuk membunuh orang.
Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya setuju. Maka, Raden Gatutkaca pun
dibawa ke hutan untuk menjalani hukuman buang, kemudian diikat menggunakan rantai
baja di bawah sebatang pohon besar.
dirinya kalah kuat dan kalah perkasa. Maka, ia kembali mengerahkan Aji Panglimunan
sehingga tubuhnya tidak terlihat oleh lawan.
Raden Gatutkaca dan Dewi Pregiwa heran melihat wujud Raden Lesmana yang
menghilang dari pandangan. Tiba-tiba Raden Gatutkaca merasa seperti ada yang memukul
dari belakang. Ketika ia hendak membalas, Raden Lesmana sudah pergi menjauh.
sudah babak belur terkena pukulannya sewaktu di hutan tadi, ia menjadi kasihan. Maka,
Raden Gatutkaca pun menyatakan ia telah memaafkan Raden Lesmana.
Raden Pancawala dan Dewi Pregiwati juga dihadirkan dalam persidangan itu.
Sepasang pengantin baru tersebut juga memaafkan Raden Lesmana, dengan syarat Raden
Lesmana seumur hidup tidak boleh lagi mengganggu Dewi Pregiwa, Dewi Pregiwati, dan
Dewi Sitisundari. Raden Lesmana menyanggupi. Ia berkata bahwa perempuan lain masih
banyak dan ia tidak akan mengganggu ketiga wanita tersebut.
Dewi Banuwati datang dan meminta maaf atas perbuatan putranya yang memalukan.
Ia lalu mengajak Raden Lesmana dan Prabu Duryudana kembali ke Kerajaan Hastina.
Prabu Puntadewa pun menyatakan hukuman buang atas Raden Gatutkaca sudah
tidak berlaku lagi. Ia lalu mengadakan pesta syukuran atas terselesaikannya masalah fitnah
ini.
IRAWAN MALING
Kisah ini menceritakan kemunculan Bambang Irawan, putra Raden Arjuna, yang
menjadi pencuri di Kerajaan Hastina, dengan ditemani Raden Antareja. Karena ulah
mereka, Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca pun menjadi tersangka akibat fitnah
para Kurawa.
Kisah ini saya olah dari keterangan Ki Rudy Wiratama, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, Oktober 2017
Heri Purwanto
Bambang Irawan.
Prabu Duryudana semakin marah. Bukannya mau mengakui kesalahan, tetapi para
pejabatnya justru saling menyalahkan satu dengan yang lain. Jika terus-terusan seperti ini,
maka masalah tidak akan selesai bahkan bertambah rumit. Adipati Karna teringat dirinya
telah bersumpah setia kepada Prabu Duryudana, maka ia akhirnya menyanggupi untuk
menangkap pencuri tersebut. Prabu Duryudana senang mendengarnya dan ia pun
menugasi kakak iparnya itu untuk meringkus Bambang Jaganala hidup atau mati.
dibagi-bagikan kepada rakyat jelata yang selama ini sudah banyak menderita. Kerajaan
Hastina adalah negeri besar, tetapi yang kaya raya adalah para bangsawan dan pejabatnya
saja, sedangkan rakyat jelata di pedesaan hidup melarat.
Putut Jayabadra tidak dapat membantah keinginan Bambang Jaganala. Sejak
berangkat meninggalkan padepokan, ia sudah berjanji kepada gurunya yang juga kakek
Bambang Jaganala, bahwa ia akan selalu menjaga keselamatan adik angkatnya tersebut.
Maka, setelah keduanya sepakat, mereka pun berangkat menyusup ke dalam istana
Kerajaan Hastina malam itu juga.
Raden Kartawarma
menjawab tidak. Raden Arjuna membenarkan hal itu karena sejak tadi mereka berdua
mengunjungi dirinya di Kesatrian Madukara.
Patih Sangkuni menyindir di dunia ini mana ada maling yang mengaku. Semua pelaku
kejahatan yang tertangkap rata-rata mengarang cerita untuk menutupi perbuatan mereka.
Lagipula Raden Arjuna sudah pasti melindungi kesalahan putra dan menantunya. Boleh
dikatakan Raden Arjuna telah bersekongkol dengan kedua pencuri tersebut. Patih Sangkuni
meminta Prabu Puntadewa untuk tidak mudah percaya begitu saja pada ucapan mereka
bertiga.
Arya Wrekodara marah dan berkata Patih Sangkuni tidak perlu ikut campur
memengaruhi keputusan kakaknya. Jika memang benar Raden Abimanyu dan Raden
Gatutkaca bersalah, maka Arya Wrekodara sendiri yang akan menghukum mereka dengan
berat. Tapi jika tidak terbukti, maka Kerajaan Hastina harus meminta maaf atas fitnah ini.
Prabu Puntadewa lalu meminta pertimbangan Prabu Kresna. Prabu Kresna
menjawab, Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca harus bisa membuktikan bahwa diri
mereka tidak bersalah. Jika mereka dapat menangkap kedua pencuri tersebut, maka
keduanya akan terbebas dari jerat hukum. Selama tidak mampu menangkap kedua pencuri
itu, maka mereka berdua tidak boleh pulang ke Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa setuju
dan menetapkan keputusan demikian supaya dijalankan oleh kedua keponakannya
tersebut.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca terkejut mendengar keputusan ini. Mereka
yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba saja harus membersihkan diri dari tuduhan fitnah. Arya
Wrekodara menasihati keduanya agar jangan mengeluh. Sebagai kesatria, mereka harus
siap menjalankan tugas apa pun itu. Segala peristiwa yang terjadi jangan dianggap sebagai
kesulitan, tetapi hendaknya dianggap sebagai sarana untuk mendewasakan diri dan
menambah pengalaman hidup.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca menerima nasihat tersebut dengan sukacita.
Raden Arjuna juga menambahkan, bahwa kedua pencuri tersebut pasti orang sakti karena
bisa menyusup ke dalam istana Kerajaan Hastina dengan mudah. Oleh sebab itu, Raden
Arjuna berniat meminjamkan panah pusaka Sarotama kepada Raden Abimanyu sebagi
senjata untuk meringkus Bambang Jaganala dan Putut Jayabadra.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca berterima kasih. Mereka lalu mohon pamit
untuk berangkat menangkap kedua pencuri itu. Setelah mereka pergi, Patih Sangkuni
mohon pamit pula kembali ke Kerajaan Hastina, sedangkan Prabu Kresna mengajak Arya
Wrekodara dan Raden Arjuna mengawasi kedua putra mereka dari kejauhan.
Raden Antareja.
Jayabadra bahwa Prabu Jayasentika ternyata adalah pamannya sendiri yang sudah lama
meninggalkan padepokan.
Bambang Jaganala lalu bercerita bahwa nama aslinya adalah Bambang Irawan,
sedangkan ayahnya bernama Raden Arjuna dari keluarga Pandawa. Ia lalu
memperkenalkan kakak angkatnya, yaitu Putut Jayabadra, murid Resi Jayawilapa yang
mempunyai nama asli Raden Antareja. Kakak angkatnya ini adalah putra kesatria Pandawa
yang nomor dua, yaitu Arya Wekodara. Bambang Irawan dan Raden Antareja berniat
membuat jasa sebelum menemui ayah-ayah mereka, yaitu dengan cara mencuri harta
benda Kerajaan Hastina dan membagi-bagikannya kepada rakyat miskin.
Prabu Jayasentika merestui keponakannya semoga berhasil dan diterima menjadi
bagian dari keluarga Pandawa. Ia lalu berkata soal Dewi Lesmanawati tidak perlu dibahas
lagi. Ia tidak mungkin bersaing dengan keponakan sendiri. Prabu Jayasentika pun memilih
pulang ke Kerajaan Ngrancangkencana dan membatalkan pinangannya terhadap putri
Kerajaan Hastina tersebut. Ia mengundang Bambang Irawan dan Raden Antareja agar ikut
dengannya pergi ke Ngrancangkencana.
Bambang Irawan berterima kasih atas keputusan pamannya. Ia berjanji kelak akan
pergi berkunjung ke Ngrancangkencana setelah bisa bertemu ayahnya. Usai berkata
demikian, mereka pun berpisah. Prabu Jayasentika dan pasukannya kembali ke negeri
mereka, sedangkan Bambang Irawan dan Raden Antareja melanjutkan perjalanan.
Prabu Jayasentika
bersumpah untuk selalu melindungi Bambang Irawan yang sudah seperti adiknya sendiri.
Raden Gatutkaca berkata, jika Bambang Irawan dianggap adik, berarti Raden Antareja
sudah tidak menganggapnya sebagai adik.
Raden Antareja serbasalah. Namun, sebagai laki-laki ia pantang mengingkari janji.
Dirinya siap sedia memasang badan melindungi Bambang Irawan dan tidak segan-segan
berkelahi apabila Raden Gatutkaca membantu Raden Abimanyu. Peristiwa saat mereka
pertama bertemu dulu kiranya dapat terulang kembali.
Karena kedua pihak tidak ada yang saling mengalah, maka mereka pun serentak maju
saling menyerang. Bambang Irawan bertarung menghadapi Raden Abimanyu, sedangkan
Raden Antareja menghadapi Raden Gatutkaca. Sungguh pertarungan yang seimbang, di
mana masing-masing saling mengerahkan kesaktian untuk menjatuhkan lawan.
Kurawa untuk berfoya-foya. Itulah sebabnya, ia pun mencuri harta benda dari rumah para
Kurawa dan membagi-bagikannya kepada rakyat miskin di pelosok negeri.
Prabu Kresna berkata apa yang menjadi niat Bambang Irawan baik, namun caranya
yang salah. Mencuri untuk bersedekah adalah dua kegiatan yang saling bertolak belakang.
Bisa diibaratkan mandi menggunakan air kencing, apa mungkin itu bisa terjadi? Arya
Wrekodara menyela ikut bicara, bukankah dulu semasa muda Prabu Kresna juga pernah
menjadi begal yang meresahkan masyarakat? Prabu Kresna mengiyakan dirinya memang
pernah menjadi begal. Namun, itu dulu saat ia masih muda dan belum tahu mana yang baik,
mana yang buruk. Kini ia menyadari hal itu adalah keliru, sehingga tidak sebaiknya ditiru
oleh para putra ataupun keponakannya.
Raden Arjuna merasa malu atas perbuatan Bambang Irawan. Ia menjawab dirinya
tidak butuh jasa semacam itu. Bambang Irawan pun dipersilakan pulang saja ke Padepokan
Yasarata, tidak perlu lagi datang ke Kesatrian Madukara. Cukup begini saja pertemuan
mereka.
Bambang Irawan merasa sedih niat baiknya ternyata tidak diterima sang ayah. Ia pun
bergegas pergi dengan hati kecewa. Raden Antareja ikut sedih melihat saudaranya seperti
itu. Arya Wrekodara bertanya apakah putra sulungnya itu ikut pergi dengannya ataukah ikut
Bambang Irawan. Raden Antareja menjawab dirinya sudah berjanji, susah-senang akan
selalu melindungi adik angkatnya tersebut. Mendengar jawaban itu, Arya Wrekodara pun
mempersilakan jika Raden Antareja ikut pergi bersama Bambang Irawan.
PRABU GAMBIRANOM
Kisah ini menceritakan Bambang Irawan, putra Raden Arjuna, yang menjadi raja di
Kerajaan Ngrancangkencana, dengan ditemani Raden Antareja. Juga diceritakan Prabu
Kresna menjodohkan Bambang Irawan dengan putrinya yang bernama Dewi Titisari.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang disusun Ki
Tristuti Suryosaputro yang dipadukan dengan hasil diskusi bersama Ki Rudy Wiratama,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 Oktober 2017
Heri Purwanto
Prabu Gambiranom.
Wijayakusuma. Prabu Baladewa pun sembuh seketika dan marah-marah ingin kembali
berperang melawan Arya Nagasembada. Prabu Kresna melarang kakaknya maju perang
karena Prabu Baladewa tidak ditakdirkan untuk mengalahkan Prabu Gambiranom beserta
pasukannya.
Prabu Baladewa pun meminta Prabu Kresna saja yang maju perang membunuh Prabu
Gambiranom dan Arya Nagasembada, bukankah adiknya itu titisan Batara Wisnu?
Bukankah Prabu Kresna tinggal melepaskan Senjata Cakra untuk memenggal kepala Prabu
Gambiranom dan Arya Nagasembada?
Prabu Kresna menjawab dirinya memang titisan Batara Wisnu tetapi tugasnya adalah
menjaga ketertiban dunia, bukan membunuh orang. Senjata Cakra pun tidak boleh
digunakan sembarangan.
Menurut ramalan Prabu Kresna, yang bisa mengalahkan Prabu Gambiranom dan Arya
Nagasembada adalah para Pandawa. Oleh sebab itu, ia pun memerintahkan Raden Samba
untuk meminta bantuan ke Kerajaan Amarta. Raden Samba menyembah sang ayah, lalu
berangkat melaksanakan tugas.
menghina Prabu Kresna. Prabu Puntadewa memahami watak Prabu Kresna yang sangat
percaya pada karma dan takdir. Apabila Prabu Kresna tidak ditakdirkan mengalahkan
seseorang, maka ia tidak akan pernah mau berperang melawan orang itu. Jika Prabu
Kresna mengutus Raden Samba untuk meminta bantuan para Pandawa, itu berarti memang
para Pandawa yang diramalkan bisa mengalahkan Prabu Gambiranom dan pasukannya.
Arya Wrekodara menerima penjelasan tersebut. Ia ganti memarahi Raden Samba
yang tidak teguh dalam menjalankan tugas, sehingga Raden Abimanyu jatuh ke tangan
musuh. Raden Samba memohon ampun karena dia memang bersalah tidak berani
mencegah Raden Abimanyu berangkat ke Kerajaan Dwarawati.
Arya Wrekodara lalu menyatakan sanggup mengatasi Prabu Gambiranom. Ia pun
meminta restu Prabu Puntadewa untuk berperang melawan musuh dari Ngrancangkencana
tersebut. Prabu Puntadewa merestui lalu memerintahkan Raden Arjuna dan Raden
Gatutkaca agar ikut berangkat pula.
Dewi Ulupi lalu menantang Prabu Gambiranom. Jika ingin melukai, maka melukai
dirinya saja, jangan melukai ayah sendiri. Prabu Gambiranom gemetar mendengar
tantangan itu. Seketika penyamarannya pun terbongkar. Ia tidak lain adalah penjelmaan
Bambang Irawan, putra Dewi Ulupi sendiri dengan Raden Arjuna.
Melihat ibunya yang datang, Bambang Irawan segera berlutut dan menyembah kaki
Dewi Ulupi. Ia juga memohon maaf kepada Raden Arjuna karena telah menyebabkan
ayahnya itu terluka dan mati suri.
Mendengar janji ayahnya, Raden Antareja sangat berterima kasih dan berlutut mencium
kaki Arya Wrekodara.
Sementara itu, Raden Arjuna masih marah atas kenakalan Bambang Irawan yang
berani menyerang Kerajaan Dwarawati dan juga menawan kakaknya sendiri. Bambang
Irawan pun memerintahkan pasukan Ladrangmungkung untuk membebaskan Raden
Abimanyu. Setelah Raden Abimanyu muncul, Bambang Irawan segera meminta maaf
karena telah berlaku kurang ajar terhadap kakak sendiri. Ia sama sekali tidak ingin
mengganggu Dewi Sitisundari, melainkan hanya ingin memamerkan kesaktian saja. Raden
Abimanyu pun memaafkan. Kedua saudara itu lalu saling berpelukan.
Prabu Kresna menasihati Raden Arjuna agar jangan terlalu menyalahkan Bambang
Irawan. Ia hanyalah anak muda yang merindukan kasih sayang seorang ayah. Alangkah
baiknya jika Raden Arjuna berlaku adil, jangan hanya menyayangi Raden Abimanyu saja,
tetapi juga harus menyayangi Bambang Irawan dan anak-anak yang lain pula. Raden Arjuna
sadar atas kekeliruannya. Ia pun memeluk Bambang Irawan dan memaafkan semua
kesalahan putranya itu. Ia juga meminta maaf karena telah mengusir Bambang Irawan
tempo hari.
IRAWAN RABI
Kisah ini menceritakan perkawinan Bambang Irawan putra Raden Arjuna, dengan
Dewi Titisari putri Prabu Kresna, yang hampir saja digagalkan oleh Prabu Baladewa
yang dimintai tolong Prabu Duryudana.
Kisah ini saya olah dari sumber buku tuntunan pedhalangan lakon Irawan Rabi yang
disusun Ki Redisuta, yang dipadukan dengan catatan balungan lakon Irawan Rabi versi
Jombor, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 November 2017
Heri Purwanto
Bambang Irawan
Prabu Baladewa berusaha meyakinkan Prabu Kresna bahwa menikahkan Dewi Titisari
dengan Raden Lesmana Mandrakumara jauh lebih menguntungkan daripada dengan
Bambang Irawan. Mengapa demikian? Karena, Raden Lesmana Mandrakumara adalah
putra mahkota yang kelak menggantikan ayahnya sebagai raja di Kerajaan Hastina, yaitu
negara paling kaya di dunia saat ini. Sebaliknya, Bambang Irawan hanyalah pemuda desa
biasa. Meskipun ayahnya adalah pangeran dari Keluarga Pandawa, namun Bambang
Irawan bukan siapa-siapa. Pemuda ini lebih suka tinggal di Padepokan Yasarata daripada
menjadi sentana Kerajaan Amarta. Apakah Prabu Kresna tidak sayang apabila Dewi Titisari
hidup menderita di pegunungan?
Prabu Kresna berkata, dirinya sudah terikat perjanjian dengan Raden Arjuna sehingga
tidak mungkin membatalkan perjodohan begitu saja. Prabu Baladewa tersinggung karena
dirinya sebagai saudara tua merasa tidak dianggap. Soal perjodohan Dewi Titisari dan
Bambang Irawan bisa dibatalkan secara sepihak. Apabila Raden Arjuna dan para Pandawa
lainnya tidak terima, maka Prabu Baladewa sendiri yang akan menghadapi mereka. Prabu
Kresna tidak perlu khawatir memikirkan itu.
Prabu Kresna termenung. Ia paham bagaimana watak kakaknya yang mudah marah,
tetapi juga mudah luluh. Jika ia terus membantah, maka Prabu Baladewa akan semakin
keras. Pada dasarnya, Prabu Kresna percaya bahwa jodoh manusia adalah takdir yang
sudah ditentukan Yang Mahakuasa. Jika memang Dewi Titisari dan Bambang Irawan
ditakdirkan berjodoh, maka tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan mereka. Berpikir
demikian, Prabu Kresna pun menyetujui permintaan Prabu Baladewa. Ia bersedia
membatalkan perkawinan antara kedua muda-mudi tersebut. Dalam hati ia ingin menguji
apakah benar mereka berdua berjodoh atau tidak.
Prabu Baladewa senang mendengar keputusan sang adik. Maka, ia pun mohon pamit
berangkat menuju Kerajaan Hastina untuk menyampaikan hal ini kepada Prabu Duryudana
di sana. Mengenai persiapan pernikahan Dewi Titisari tidak perlu diubah. Yang diubah
hanyalah pengantin laki-lakinya saja.
Setelah Prabu Baladewa pergi, Prabu Kresna memerintahkan Raden Samba untuk
memberi tahu Raden Arjuna tentang pembatalan sepihak rencana perkawinan Bambang
Irawan dan Dewi Titisari. Raden Samba merasa sayang jika adiknya harus menikah dengan
Raden Lesmana Mandrakumara yang bodoh dan manja itu. Bambang Irawan jauh lebih
tampan, lebih sakti, dan lebih berwibawa daripada saingannya. Prabu Kresna melarang
putranya itu membantah. Soal perjodohan Dewi Titisari, dirinya lebih paham daripada siapa
pun.
Raden Samba akhirnya bersedia melaksanakan perintah. Setelah dirasa cukup, Prabu
Kresna pun membubarkan pertemuan. Arya Setyaki dan Patih Udawa diperintahkan untuk
menjaga keamanan negara dari kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin mengacau
ketentraman.
dinikahkan dengan Bambang Irawan putra Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Kyai Togog
menyarankan agar Prabu Baranjana mencari calon istri yang lain saja.
Bilung menambahkan, sebaiknya Prabu Baranjana jangan mencari masalah dengan
keluarga Pandawa. Bambang Irawan adalah putra Raden Arjuna, sedangkan Raden Arjuna
adalah murid terbaik Danghyang Druna dari Padepokan Sokalima. Kakak Raden Arjuna
yang bernama Arya Wrekodara juga kesatria perkasa yang tiada tandingan di dunia ini, dan
konon memiliki kekuatan setara tujuh puluh gajah. Mencari masalah dengan keluarga
Pandawa sama artinya dengan mencari mati.
Prabu Baranjana kecewa mendengarnya. Ia lalu meminta pendapat Nyai Layarmega,
yaitu raksasi yang mengasuh dirinya sejak kecil. Nyai Layarmega menjawab selama janur
kuning belum melengkung, Dewi Titisari bebas menjadi istri siapa saja. Prabu Baranjana
tidak perlu khawatir, dirinya siap membantu sekuat tenaga. Patih Kalamingkalpa ikut
mendukung pendapat Nyai Layarmega. Ia siap menggempur Kerajaan Dwarawati apabila
Prabu Kresna tidak bersedia menyerahkan Dewi Titisari.
Prabu Baranjana gembira mendapat dukungan dari Nyai Layarmega dan Patih
Minangkalpa. Karena tekadnya sudah bulat, Prabu Baranjana pun memerintahkan Patih
Kalamingkalpa membawa pasukan raksasa Jongbiraji untuk menyerang Kerajaan
Dwarawati dan merebut Dewi Titisari.
Prabu Baranjana
Arjuna bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Raden Abimanyu menjawab dirinya dan
Dewi Sitisundari sedang tidur siang, tiba-tiba dipanggil Dewi Srikandi agar menghadap.
Raden Arjuna menyindir memang enak jadi anak muda; orang tua yang bekerja keras, anak
yang menikmati hasilnya. Usai berkata demikian, ia lalu menyatakan bahwa mulai saat ini
Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari harus bercerai. Dewi Sitisundari harus pulang ke
Kerajaan Dwarawati hari ini juga.
Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari terkejut luar biasa, lebih-lebih Dewi Srikandi
yang ikut berteriak-teriak karena heran atas keputusan suaminya tersebut. Namun, Raden
Arjuna tidak peduli. Jika Prabu Kresna bisa memutuskan secara sepihak, maka dirinya pun
bisa memutuskan secara sepihak. Mendengar itu, Dewi Sitisundari segera pamit pergi
sambil berlinang air mata. Raden Abimanyu ingin mencegah istrinya, tetapi ia juga takut
kepada sang ayah. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Raden Abimanyu menjadi hilang
kesadaran dan jatuh pingsan, kemudian dipapah Dewi Srikandi masuk ke dalam.
cendanasari encok kembang kendit putih. Prabu Kresna tersenyum mendengar pesan
tersebut dan mempersilakan Dewi Sitisundari masuk untuk beristirahat.
Tidak lama kemudian Prabu Baladewa datang bersama rombongan dari Kerajaan
Hastina, antara lain Prabu Duryudana, Patih Sangkuni, serta Raden Lesmana
Mandrakumara yang sudah mengenakan busana pengantin lengkap. Prabu Kresna
menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan untuk beristirahat terlebih dulu di
wisma tamu. Mengenai pernikahan antara Raden Lesmana dengan Dewi Titisari akan
dibahas nanti. Para tamu itu pun senang dan bergegas menuju wisma tamu, kecuali Raden
Lesmana yang penasaran ingin melihat seperti apa wajah calon istrinya.
Petruk.
bertanya mengapa datang kemari. Raden Gatutkaca menjawab, mereka berdua diutus
Prabu Puntadewa untuk menjemput Bambang Irawan. Rupanya berita perceraian Dewi
Sitisundari dan Raden Abimanyu telah terdengar oleh Prabu Puntadewa, dan ia
mengkhawatirkan keselamatan Bambang Irawan yang memasuki Kerajaan Dwarawati.
Dewi Sitisundari berkata Bambang Irawan dalam keadaan baik-baik saja, silakan jika
hendak dijemput pulang. Bambang Irawan dan Dewi Titisari datang karena mendengar
percakapan tersebut. Bambang Irawan lalu menjawab, dirinya bersedia dibawa pulang ke
Kerajaan Amarta apabila bersama-sama dengan Dewi Titisari. Dewi Titisari juga menjawab
demikian, bahwa ia tidak ingin berpisah dengan Bambang Irawan. Karena keduanya sudah
seiya-sekata, Dewi Sitisundari pun mempersilakan apabila Dewi Titisari ikut bersama
Bambang Irawan.
Tiba-tiba Raden Gatutkaca mencium bau raksasa datang mendekat. Ia pun
mempersilakan Raden Antareja agar pergi dulu bersama Bambang Irawan, Dewi Titisari,
dan para panakawan. Mereka lalu pergi memasuki terowongan bawah tanah yang sudah
ditembus Raden Antareja, sedangkan Dewi Sitisundari kembali ke istana depan.
untuk bercerai dan disuruh pulang ke Dwarawati. Dewi Sitisundari menjawab tidak benar.
Raden Arjuna tidak memaksanya bercerai, dan ia pulang ke Dwarawati juga atas
kehendaknya sendiri.
Prabu Kresna tertawa mendengarnya. Selama ini ia sering mengakali orang, namun
hari ini justru diakali oleh anaknya sendiri. Ia pun memuji Raden Arjuna yang berhasil
menyusun siasat untuk mempersatukan Bambang Irawan dengan Dewi Titisari. Sekarang
ia ingin merestui kedua mempelai tersebut.
Tidak lama kemudian, Bambang Irawan dan Dewi Titisari muncul dari dalam istana
dengan diantarkan Prabu Puntadewa. Kedua pengantin itu lalu berlutut menyembah Prabu
Kresna. Prabu Kresna terharu dan merestui mereka berdua.
Prabu Baladewa datang sambil marah-marah dan berkata ia tidak setuju apabila Dewi
Titisari menjadi istri pemuda kampung seperti Bambang Irawan. Justru lebih baik apabila
keponakannya itu menjadi istri Raden Lesmana Mandrakumara yang calon raja Hastina.
Dewi Titisari menyembah dan berkata ia sudah jatuh cinta kepada Bambang Irawan dan
rela hidup di mana saja. Jika Bambang Irawan memutuskan tinggal di desa, maka ia pun
dengan senang hati akan ikut mendampingi. Prabu Baladewa berkata, kampung itu sepi
dan lebih baik tinggal di ibu kota Hastina yang ramai dan semuanya serbaada. Dewi Titisari
menjawab, jika semua orang tinggal di kota, lantas siapa yang akan membangun desa?
Segala bahan makanan yang ada di kota juga berasal dari desa. Tidak sepantasnya orang
kota memandang remeh orang desa. Jika orang desa berhenti bekerja, lantas orang kota
mau makan apa?
Prabu Baladewa termenung mendengar jawaban keponakannya. Dari marah, ia
berubah menjadi gembira. Begitulah watak raja Mandura tersebut yang mudah marah
sekaligus mudah luluh. Maka, ia pun merestui Bambang Irawan dan Dewi Titisari menjadi
suami istri. Ia juga berharap, semoga mereka berdua bisa menjadi teladan bagi para
pemuda agar membangun desa kelahiran, tidak melulu berbondong-bondong memenuhi
kota.
Sementara itu, Prabu Baranjana meninggalkan istana Jongbiraji karena tidak sabar
menunggu Emban Layarmega dan Patih Kalamingkalpa. Di tengah jalan ia bertemu Emban
Layarmega yang melaporkan bahwa Patih Kalamingkalpa telah tewas dibunuh Raden
Gatutkaca, utusan Kerajaan Amarta, sedangkan dirinya berhasil kabur melarikan diri.
Menurut kabar, Dewi Titisari juga telah diculik Raden Gatutkaca dan dibawa menuju
Kerajaan Amarta. Prabu Baranjana sangat marah mendengarnya. Ia pun berangkat
menyerang negeri tersebut.
Sesampainya di ibu kota Indraprasta, Prabu Baranjana segera mengamuk membuat
keributan. Raden Antareja berkata kepada Raden Gatutkaca yang tadi telah membunuh
Patih Kalamingkalpa, bahwa raja raksasa yang ini adalah bagiannya. Usai berkata
demikian, Raden Antareja segera maju menghadapi Prabu Baranjana. Keduanya bertarung
sengit. Tidak sampai lama, Prabu Baranjana akhirnya tewas terkena semburan bisa dari
mulut Raden Antareja.
Sementara itu, Emban Layarmega juga tewas terkena panah Dewi Srikandi. Para
Pandawa pun bergembira. Prabu Puntadewa mengundang para Kurawa agar ikut
menghadiri pernikahan Bambang Irawan dan Dewi Titisari. Prabu Duryudana marah-marah,
menolak undangan tersebut. Lagi-lagi ia mendapat malu dan segera pulang kembali ke
Kerajaan Hastina bersama Raden Lesmana Mandrakumara yang menangis dan merengek-
rengek. Patih Sangkuni memerintahkan Arya Dursasana dan adik-adiknya untuk membuat
keributan. Namun, mereka semua dapat diusir oleh Arya Wrekodara.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA
Raden Antasena.
Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu. Keempatnya segera mengepung Prabu Minalodra
dan memaksanya untuk menyerahkan diri. Prabu Minalodra sama sekali tidak takut. Ia pun
menghadapi keempat dewa tersebut bersama pasukannya yang setia.
Maka, terjadilah pertempuran antara keempat dewa melawan Prabu Minalodra dan
pasukannya. Para dewa tidak menyangka ternyata Prabu Minalodra begitu tangguh dan
perkasa. Mereka merasa kesulitan menghadapi raja raksasa tersebut. Merasa tidak
mungkin menang, Batara Sambu pun mengajak adik-adiknya untuk mundur kembali ke
Kahyangan Jonggringsalaka.
berpenglihatan tajam. Ia dapat melihat kelebat Batara Narada dan segera pergi
mengejarnya.
Mintuna selama ini sudah mencapai derajat dewa. Maka, sejak hari itu Resi Mintuna boleh
disebut dengan gelar Batara Mintuna.
Batara Baruna juga berterima kasih karena bisa kembali bertakhta di Kahyangan
Dasarsamodra. Ia pun mengangkat Batara Mintuna sebagai saudara, dan menjadikan
Raden Antasena sebagai cucu. Maka, sejak hari itu Raden Antasena pun disebut pula
sebagai cucu Batara Baruna.
tawanan Prabu Ganggatrimuka. Bulan purnama besok, mereka berlima akan disembelih
sebagai tumbal bagi keselamatan negara.
Raden Abimanyu ngeri mendengarnya. Ia pun memohon bantuan Prabu Kresna agar
sudi menolong para Pandawa. Prabu Kresna menjawab dirinya tidak ditakdirkan untuk
melawan Prabu Ganggatrimuka dan membebaskan para Pandawa. Menurut
penerawangannya, yang bisa membebaskan Pandawa Lima adalah putra Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Raden Abimanyu merasa mendapat pencerahan. Ia segera mohon
pamit kepada Prabu Kresna untuk melaporkan hal ini kepada saudara-saudaranya yang
lain. Setelah Raden Abimanyu pergi, Prabu Kresna merasa penasaran dan segera
mengikutinya dari belakang secara diam-diam.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca merasa malu mendengarnya. Raden Gatutkaca
lalu mempersilakan Raden Antareja saja yang menjadi pemimpin pasukan. Namun, Raden
Antareja menolak karena Raden Gatutkaca jauh lebih berpengalaman sebagai punggawa
daripada dirinya. Kedua bersaudara itu kembali bertengkar, tapi kali ini mereka saling
berebut kalah, bukan saling berebut menang.
Raden Antasena tertawa melihat keduanya. Berdiri saja mereka tidak sanggup tapi
hendak menyelamatkan para Pandawa. Urusan memimpin pasukan biarlah dirinya saja
yang memimpin.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca tidak terima karena ada pemuda polos
berwajah bodoh hendak memimpin mereka. Namun, mengingat kesaktian Raden Antasena
yang bisa melumpuhkan mereka hanya dengan sekali sengat, keduanya merasa gentar
untuk membantah.
Setelah saling memberi salam, Prabu Ganggapranawa pun bertanya apakah benar
Prabu Ganggatrimuka telah menyekap Pandawa Lima. Prabu Ganggatrimuka
membenarkan hal itu. Ia memang telah menculik para Pandawa menggunakan Aji Sirep
dan menyekap mereka di dalam Konggedah. Hal ini karena Kerajaan Girikadasar sedang
dilanda wabah, dan menurut petunjuk dari Batara Kala yang disembah Prabu
Ganggatrimuka, bahwa wabah tersebut akan sirna apabila Pandawa Lima disekap dan
disembelih sebagai korban.
Prabu Ganggapranawa merasa prihatin mendengarnya. Sejak awal ia tidak pernah
setuju adiknya itu memuja Batara Kala yang mengajarkan agama sesat. Lebih baik Prabu
Ganggatrimuka kembali ke jalan yang benar, dan membebaskan para Pandawa dari
sekapan. Prabu Ganggatrimuka tidak terima. Ia tetap bersikeras mengorbankan nyawa para
Pandawa dan mempersembahkan darahnya kepada Batara Kala.
Tiba-tiba seorang punggawa masuk dan melaporkan tentang putra-putra Pandawa
yang menyerang Kerajaan Girikadasar. Prabu Ganggatrimuka marah dan segera keluar
menghadapi serangan tersebut.
yang lain kagum melihat kesaktian Raden Antasena yang luar biasa itu. Dari luar terlihat
lugu dan polos, dengan wajah bodoh, namun ternyata menyimpan kehebatan yang
mengagumkan.
Prabu Ganggapranawa tidak terima melihat adiknya tewas. Ia pun maju menyerang
para putra Pandawa tersebut. Raden Antareja segera maju menghadapi. Setelah bertarung
cukup lama, ia akhirnya berhasil mendesak raja tersebut. Prabu Ganggapranawa terkena
pukulannya dan roboh di tanah. Ketika Raden Antareja hendak memukulnya lagi, tiba-tiba
Dewi Ganggi muncul menghalangi.
Dewi Ganggi memohon agar ayahnya diampuni. Sebagai ganti, biarlah dirinya saja
yang dihukum mati oleh Raden Antareja. Namun, ia juga menjelaskan bahwa ayahnya sama
sekali tidak terlibat kejahatan Prabu Ganggatrimuka. Dalam hal ini Prabu Ganggapranawa
justru menasihati Prabu Ganggatrimuka agar membebaskan para Pandawa, namun
adiknya itu tetap bersikeras memuja Batara Kala.
Raden Antareja gemetar melihat kecantikan Dewi Ganggi. Rupanya ia telah jatuh cinta
pada pandangan pertama. Prabu Kresna dan para Pandawa muncul. Prabu
Ganggapranawa pun bangkit dan meminta maaf atas dosa-dosa adiknya yang kini telah
tewas. Prabu Puntadewa mewakili para Pandawa menerima maaf tersebut dan mengajak
Prabu Ganggapranawa duduk bersama.
Raden Arjuna yang banyak berpengalaman dalam urusan cinta dapat melihat bahwa
Raden Antareja telah jatuh cinta kepada Dewi Ganggi. Ia pun meminta Arya Wrekodara
agar berbesan dengan Prabu Ganggapranawa. Arya Wrekodara setuju, mengingat Raden
Gatutkaca sudah lebih dulu menikah, maka sangat pantas apabila Raden Antareja selaku
putra sulung juga mendapatkan istri.
Mendengar itu, Prabu Ganggapranawa sangat bahagia karena dirinya bisa berbesan
dengan para Pandawa. Ia pun menanyai Dewi Ganggi apakah bersedia menjadi istri Raden
Antareja. Dewi Ganggi hanya tertunduk malu. Mereka semua pun tertawa gembira.
Suasana permusuhan kini berubah menjadi persaudaraan.
Arya Wrekodara adalah yang paling merasa gembira, karena para Pandawa termasuk
dirinya telah lolos dari maut, sekaligus mendapat seorang menantu pula. Dan yang lebih
utama, ia kini bertemu dengan putra ketiganya, yaitu Raden Antasena. Prabu Puntadewa
sekali lagi berterima kasih atas pertolongan Raden Antasena yang telah memimpin upaya
penyelamatan atas dirinya dan para Pandawa lainnya dengan sangat baik. Mereka semua
lalu kembali ke Kerajaan Amarta untuk mengadakan syukuran, sekaligus menyusun
rencana pernikahan Raden Antareja dengan Dewi Ganggi.
CATATAN : Kisah di atas sebenarnya adalah gabungan lakon Antasena Lahir dan Antasena Takon Bapa yang
saya jadikan satu. Mengenai kisah Raden Antasena sudah berusia dua puluh tahun tetapi masih
berwujud bayi adalah karangan saya, sebagai benang merah untuk mengisahkan asal mula Raden
Antasena memiliki watak polos dan jujur seperti anak kecil. Adapun Prabu Ganggapranawa
bersaudara dengan Prabu Ganggatrimuka juga tambahan dari saya, dengan maksud untuk
menyisipkan kisah pernikahan Raden Antareja dengan Dewi Ganggi.
KITAB WAYANG PURWA
WISANGGENI LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Wisanggeni, yaitu putra Raden Arjuna yang
lahir dari Batari Dresanala, putri Batara Brahma. Bambang Wisanggeni ini adalah
putra Pandawa yang sangat istimewa, tidak terkalahkan karena adakalanya menjadi
tempat Sanghyang Padawenang bersemayam.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari dongeng bapak yang saya padukan
dengan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 Desember 2017
Heri Purwanto
Bambang Wisanggeni.
Raden Arjuna berhasil menewaskan Prabu Setaketu. Batara Brahma sangat berterima
kasih. Sebagai ungkapan syukur, ia pun menikahkan Raden Arjuna dengan putrinya yang
bernama Batari Dresanala. Demikianlah kisahnya mengapa Batara Brahma lama tidak
menghadap ke Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memaklumi dan ia pun merestui
perkawinan Raden Arjuna dengan Batari Dresanala, semoga kelak mendapat keturunan
manusia utama yang memiliki kesaktian istimewa.
Batara Guru.
Batari Durga memotong pembicaraan Batara Narada dan ia semakin gencar merayu
Batara Guru. Sambil menangis-nangis ia berkata bahwa Batara Guru sudah melupakan
kewajiban sebagai ayah. Sejak kecil Prabu Dewasrani berada dalam asuhan Batari Durga
tanpa sekali pun Batara Guru menjenguk atau menujukkan tanggung jawabnya sebagai
ayah. Dalam hal ini Batari Durga tidak menyesal. Yang ia sesali hanyalah Batara Guru rela
melihat anaknya patah hati padahal bisa memberikan bantuan dengan mengandalkan
kekuasaannya.
Bujuk rayu Batari Durga telah menyentuh perasaan Batara Guru. Ia pun memutuskan
akan membantu Prabu Dewasrani mendapatkan Batari Dresanala. Batara Brahma lalu
diperintah untuk menceraikan Batari Dresanala dengan Raden Arjuna. Apabila Batari
Dresanala sudah terlanjur mengandung, maka janin dalam rahimnya harus digugurkan.
Batara Brahma terkejut mendengar perintah itu. Ia pun memohon agar Batara Guru
tidak memberikan tugas berat seperti ini. Namun, Batara Guru justru marah karena tugas
ringan seperti itu disebut berat. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengabulkan keinginan
Prabu Dewasrani, maka Batara Brahma tidak perlu mengarang-ngarang alasan segala. Ia
memerintahkan Batara Brahma agar secepatnya mengusir Raden Arjuna dari Kahyangan
Daksinageni dan menyerahkan Batari Dresanala kepada Prabu Dewasrani. Jika tidak, maka
Batara Guru sendiri yang akan bertindak. Batara Brahma tidak berani membantah lagi. Ia
pun mohon pamit meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka. Batari Durga berterima kasih
kepada sang suami, lalu mohon pamit pula untuk mengikuti Batara Brahma bersama Prabu
Dewasrani.
Sepeninggal mereka, Batara Narada mengaku sangat kecewa melihat Batara Guru
yang termakan bujuk rayu Batari Durga, sehingga bersikap tidak adil kepada Raden Arjuna
dan Batari Dresanala. Batara Guru tidak peduli dan memaki Batara Narada yang terlalu
banyak mencampuri urusan rumah tangganya. Batara Brahma adalah putra Batara Guru,
dan Batari Dresanala adalah cucunya. Maka, Batara Guru merasa berhak menikahkan
Batari Dresanala dengan laki-laki yang ia kehendaki. Apabila Batara Narada berani
menentang, maka ia tidak segan-segan memecat sepupunya itu dari jabatan kamituwa
Kahyangan Jonggringsalaka.
Batara Narada menjawab dirinya tidak takut dipecat. Bahkan, ia sendiri yang
menyatakan mundur dan melepaskan jabatan daripada melayani raja dewa yang tidak adil.
Usai berkata demikian, Batara Narada pun pergi meninggalkan pertemuan.
Batara Guru mencurigai Batara Narada akan melakukan pemberontakan. Maka, ia pun
memerintahkan Batara Sambu, Batara Bayu, dan para putranya yang lain agar mengejar
dan menangkap Batara Narada. Apabila Batara Narada bersedia meminta maaf, maka ia
bisa kembali memperoleh jabatannya sebagai kamituwa Kahyangan Jonggringsalaka.
Namun, apabila Batara Narada melawan, maka putra-putranya diberi wewenang untuk
berbuat kasar seperlunya. Batara Sambu dan yang lain merasa perintah ini sangat berat,
namun mereka tidak berani membantah.
Batara Kamajaya
Sanghyang Padawenang menerima laporan Batara Narada. Ia lalu bertanya apa yang
telah dilakukan Batara Narada sebagai kamituwa kahyangan, apakah sudah berusaha
menasihati Batara Guru untuk bertindak benar? Batara Narada tidak berani menjawab
karena takut menyombongkan diri. Sanghyang Padawenang tentunya dapat melihat sendiri
apa yang telah terjadi dengan pandangan saktinya. Sanghyang Padawenang
membenarkan hal itu bahwa dirinya memang dapat melihat Batara Guru telah berbuat tidak
adil.
Sanghyang Padawenang lalu berkata bahwa Batari Dresanala saat ini telah
mengandung putra Raden Arjuna. Melalui janin dalam perut bidadari tersebut, ia berniat
memberikan hukuman atas kesalahan Batara Guru. Ia pun memerintahkan Batara Narada
untuk mengawasi bayi itu apabila sudah lahir, sedangkan dirinya sendiri yang akan
melindungi si bayi. Batara Narada gembira mendengarnya dan berterima kasih atas
bantuan Sanghyang Padawenang yang sudi turun gunung. Kedua dewa itu lalu berangkat
menuju Kahyangan Daksinageni.
Sanghyang Padawenang
Batara Brahma membujuk putrinya itu bahwa Prabu Dewasrani jauh lebih pantas
sebagai suami daripada Raden Arjuna. Prabu Dewasrani seorang raja yang belum menikah,
sedangkan Raden Arjuna hanyalah pangeran biasa tetapi sudah mempunyai banyak istri.
Apa gunanya dimadu dengan sedemikian banyak perempuan? Bukankah lebih baik
putrinya itu menjadi permaisuri tunggal seorang raja muda yang tampan rupawan bernama
Prabu Dewasrani?
Batari Dresanala menjawab hatinya sudah tertambat kepada Raden Arjuna.
Jangankan menjadi istri yang dimadu dengan banyak wanita, sedangkan menjadi pelayan
Raden Arjuna pun ia bersedia. Apa gunanya ia menjadi permaisuri raja Tunggulmalaya
tetapi hatinya selalu merindukan suami pertama? Lagipula, dalam rahimnya telah
bersemayam janin buah cinta antara dirinya dengan Raden Arjuna.
Batara Brahma
Batara Brahma tidak peduli entah siapa dewa yang ikut campur. Ia pun memijat perut
putrinya agar janin yang sudah matang itu keluar. Kali ini Sanghyang Padawenang ikut
mendorong sehingga bayi tersebut pun keluar dari rahim Batari Dresanala. Batara Brahma
lalu memungut bayi tersebut yang ternyata berkelamin laki-laki. Ia melihat cucunya itu
sangat tampan hingga membuat hatinya bergetar tidak tega untuk membunuhnya.
Pada saat itulah Batari Durga datang bersama Prabu Dewasrani. Mereka berdua
datang untuk menjemput dan memboyong Batari Dresanala. Batara Brahma tidak berani
menolak. Ia pun mempersilakan apabila putrinya dibawa pergi. Prabu Dewasrani berterima
kasih lalu mengangkat tubuh Batari Dresanala yang masih pingsan dan pergi meninggalkan
Kahyangan Daksinageni bersama ibunya.
Batara Narada.
membunuh cucunya tersebut. Akan tetapi, pemuda yang dihadapinya sudah mendapat
kesaktian dari Sanghyang Padawenang. Batara Brahma pun tidak dapat mengalahkannya,
justru ia yang dibuat lari tunggang langgang karena terdesak oleh remaja tersebut.
Batari Dresanala
Bambang Wisanggeni.
menangkap Batara Narada sekaligus membunuh cucu Batara Brahma sesuai perintah
Batara Guru.
Melihat itu, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni agar
meminta mereka mengembalikan ayah dan ibunya. Apabila para dewa itu menolak, maka
Bambang Wisanggeni boleh memukuli mereka. Bambang Wisanggeni yang mengira Batara
Narada benar-benar kakeknya segera bertindak mematuhi perintah tersebut. Ia pun
meminta kepada para dewa itu agar mengembalikan ayah dan ibunya. Para dewa tersebut
tidak tahu-menahu. Tanpa banyak bicara, Bambang Wisanggeni pun menerjang ke arah
mereka.
Batara Sambu dan adik-adiknya tidak menyangka si pemuda begitu berani. Mereka
berusaha menangkap pemuda itu, namun Bambang Wisanggeni ternyata begitu gesit dan
lincah. Tidak seorang pun dewa yang berhasil menangkapnya. Sebaliknya, justru Bambang
Wisanggeni yang beberapa kali berhasil melayangkan pukulan dan tendangan ke arah para
dewa tersebut.
Batara Sambu merasa malu dicundangi anak remaja tak dikenal. Karena semakin
terdesak, ia pun mengajak adik-adiknya mundur, kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Melihat pihak lawan mundur, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni
agar mengejar mereka. Karena para dewa itu tidak dapat mengembalikan ayah dan ibunya,
maka Bambang Wisanggeni sebaiknya bertanya kepada raja para dewa yang bernama
Batara Guru. Bambang Wisanggeni pun bertanya seperti apa ciri-ciri raja para dewa
tersebut. Batara Narada menjawab, raja para dewa memiliki empat lengan.
Bambang Wisanggeni menyanggupi. Ia lalu melesat terbang mengejar para dewa
yang kabur tadi.
Batara Guru terkejut dan meluncur ke bawah untuk bersembunyi di dalam lautan. Akan
tetapi, Bambang Wisanggeni mampu menyusul pula ke dalam lautan. Batara Guru kembali
kabur dan bersembunyi di dalam gunung. Bambang Wisanggeni datang dan mengangkat
gunung tersebut. Batara Guru semakin ketakutan. Ia merasa perlu meminta bantuan para
Pandawa dan segera terbang menuju Kerajaan Amarta.
mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni yang jauh lebih kecil darinya itu. Raden Gatutkaca
berusaha sekuat tenaga mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni tetapi pemuda itu sedikit
pun tidak bergerak. Bahkan, Bambang Wisanggeni justru balik menangkap tangan Raden
Gatutkaca dan membanting tubuh lawannya itu ke tanah.
Bambang Wisanggeni melihat Arya Wrekodara dan kedua putranya telah kalah. Kini
tinggal putra ketiga yang masih berdiri, bernama Raden Antasena. Bambang Wisanggeni
mendatanginya dan bertanya apa mau bertarung seperti yang lain. Raden Antasena hanya
tertawa dan berkata dirinya tidak sama seperti ayah dan kedua kakaknya. Raden Antasena
tidak mau melaksanakan perintah raja secara membabi buta. Untuk itu, ia merasa perlu
menyaring terlebih dulu, apakah perintah tersebut benar atau tidak. Meskipun Prabu
Puntadewa seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, tetapi tetap saja ia seorang
manusia yang bisa berbuat khilaf.
Raden Antasena lalu bertanya mengapa Bambang Wisanggeni mengacau Kahyangan
Jonggringsalaka. Bambang Wisanggeni berkata ia ingin mencari ayah dan ibunya. Menurut
keterangan dari kakeknya, raja dewa berlengan empat mengetahui keberadaan kedua
orang tuanya itu. Namun, dewa berlengan empat yang bernama Batara Guru itu tidak mau
menjawab dan memilih kabur, membuat Bambang Wisanggeni terpaksa mengejar ke mana
pun ia pergi.
Raden Antasena lalu bertanya siapa nama ayah dan ibu Bambang Wisanggeni,
barangkali ia bisa membantu. Pemuda itu menjawab, ayahnya bernama Raden Arjuna,
sedangkan ibunya bernama Batari Dresanala. Raden Antasena gembira dan berkata bahwa
Raden Arjuna adalah pamannya, dan itu berarti Bambang Wisanggeni adalah adik
sepupunya. Ia lalu menggandeng tangan Bambang Wisanggeni dan mengajaknya masuk
ke dalam istana Indraprasta.
maaf kepada semua yang ada di situ, terutama kepada Raden Arjuna dan Bambang
Wisanggeni.
Melihat Batara Guru telah meminta maaf secaara tulus, Sanghyang Padawenang pun
keluar dari tubuh Bambang Wisanggeni. Semua orang segera menghaturkan sembah
kepada leluhur para dewa tersebut. Sanghyang Padawenang berkata bahwa Bambang
Wisanggeni adalah lambang pemberontak, maksudnya di sini adalah pemberontak yang
memperjuangkan keadilan karena penguasa yang seharusnya mengayomi justru berbuat
tidak adil. Apabila Batara Guru kembali berbuat lalim dan melanggar hukum keadilan, maka
Sanghyang Padawenang akan kembali menitis kepada Bambang Wisanggeni demi
menegakkan kebenaran.
Usai berkata demikian, Sanghyang Padawenang pun musnah dari pandangan. Batara
Guru sekali lagi meminta maaf kepada Batara Narada dan juga para Pandawa. Sebaliknya,
Batara Narada juga meminta maaf karena berani memberontak kepada Batara Guru. Kedua
dewa itu lalu saling berpelukan dan melupakan dendam di antara mereka.
Batara Guru kemudian berkata pada Raden Arjuna bahwa Batari Dresanala berada di
Kerajaan Tunggulmalaya, yaitu negeri yang dipimpin Prabu Dewasrani, putranya. Usai
berkata demikian, ia dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Raden Arjuna prihatin sekaligus bahagia melihat nasib putranya yang lahir dari Batari
Dresanala kini telah tumbuh dewasa dalam sekejap. Ia pun memeluk Bambang Wisanggeni
dan mengajak pemuda itu bersama-sama menuju Kerajaan Tunggulmalaya.
Prabu Dewasrani.
CATATAN : Dalam kisah di atas, saya memunculkan peran Sanghyang Padawenang sebagai sosok pelindung
Bambang Wisanggeni sejak awal.
KITAB WAYANG PURWA
GANDAWARDAYA
Kisah ini menceritakan kemunculan Raden Gandawardaya dan Raden Gandakusuma,
yaitu putra Raden Arjuna yang lahir dari Dewi Jimambang dan Dewi Gandawati.
Kisah ini adalah kelanjutan dari lakon Sayembara Tasikmadu.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Ngasinan) yang disusun oleh Ki Tristuti Suryasaputra, yang dipadukan dengan tulisan
R. Subalidinata, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, Januari 2018
Heri Purwanto
Duryudana, maka Dewi Grantangsasi hendak dititipkan kepadanya dan tentu akan lebih
aman jika tinggal di dalam Kerajaan Hastina.
Prabu Duryudana tidak keberatan. Ia berkata memiliki dua orang anak bernama Raden
Lesmana Mandrakumara dan Dewi Lesmanawati. Biarlah Dewi Grantangsasi tinggal
bersama kedua iparnya tersebut di dalam istana.
Raden Gandawardaya berterima kasih. Ia lalu pamit kepada istrinya untuk pergi
menyerang Kerajaan Amarta. Dewi Grantangsasi meminta diajak serta. Namun, Raden
Gandawardaya keberatan karena lawan yang dihadapi sangat kuat, sehingga lebih aman
apabila istrinya itu tinggal di istana Kerajaan Hastina. Lagipula jika Dewi Grantangsasi ikut
serta, maka perhatian Raden Gandawardaya akan terbagi dan ia tidak dapat berperang
dengan sepenuh hati.
Dewi Grantangsasi dapat memahami maksud suaminya. Ia hanya bisa melepas
kepergian Raden Gandawardaya dengan disertai doa kemenangan. Prabu Duryudana pun
memerintahkan Patih Sangkuni agar mengawal kepergian pemuda itu bersama para
Kurawa. Setelah dirasa cukup, ia lalu membubarkan pertemuan dan membawa Dewi
Grantangsasi masuk ke dalam istana.
memberanikan diri untuk bertanya kepada sang ibu tentang siapa dan di mana ayah
kandungnya berada.
Dewi Gandawati sebenarnya keberatan apabila Raden Gandakusuma meninggalkan
Kerajaan Tasikmadu. Namun, Raden Gandakusuma berhasil meyakinkan ibunya bahwa ia
hanya ingin bertemu dengan sang ayah saja, dan setelah itu kembali lagi ke Kerajaan
Tasikmadu. Mendengar itu, Dewi Gandawati pun bercerita bahwa ayah kandung Raden
Gandakusuma adalah kesatria Panengah Pandawa dari Kerajaan Amarta, yang bernama
Raden Arjuna. Mendengar kisah tersebut, semakin mantab hati Raden Gandakusuma untuk
bisa bertemu dengannya.
Maka, di hari itu Raden Gandakusuma pun berpamitan kepada Prabu Gandasena dan
Dewi Gandawati untuk berangkat ke Kerajaan Amarta. Prabu Gandasena dan Dewi
Gandawati tidak bisa mencegah dan hanya bisa memberikan restu kepada pemuda yang
penuh semangat tersebut.
akhirnya, Raden Gandawardaya mengerahkan Aji Pedut Wisa ke arahnya. Raden Arjuna
terkejut dan hampir saja lumpuh terkena asap beracun milik lawan. Namun, dengan Aji Saipi
Angin ia berhasil meloloskan diri.
Raden Arjuna yang mundur dari pertarungan kemudian bertemu Prabu Kresna yang
datang dari Kerajaan Dwarawati untuk mengunjungi para Pandawa. Raden Arjuna pun
melaporkan adanya musuh yang menyerang dirinya dan sudah berhasil menangkap Arya
Wrekodara, Raden Antareja, dan Raden Gatutkaca. Terus terang Raden Arjuna kalah dan
ingin meminta bantuan kepada Prabu Kresna. Namun, Prabu Kresna menolak turun tangan.
Ia berkata bahwa dirinya tidak ditakdirkan untuk menghadapi pemuda bernama Raden
Gandawardaya itu.
Usai berkata demikian, Prabu Kresna lalu mengajak Raden Arjuna pergi mencari jago
yang dapat digunakan untuk menghadapi utusan para Kurawa tersebut.
Patih Sangkuni dan para Kurawa terkejut ketakutan. Namun, dalam sekejap mereka
sudah dihajar dan dipukuli Arya Wrekodara beserta kedua putranya. Dalam keadaan babak
belur, mereka pun memilih lari meninggalkan tempat itu menuju Kerajaan Hastina.
Arya Wrekodara yang masih marah berniat membalas perbuatan Raden
Gandawardaya. Namun, Prabu Kresna dan Raden Arjuna datang mencegahnya. Prabu
Kresna lalu memperkenalkan siapa sebenarnya Raden Gandawardaya dan kini semua
kesalahpahaman telah berakhir.
Raden Arjuna maju memeluk Raden Gandawardaya dan Raden Gandakusuma
dengan perasaan haru. Dewi Grantangsasi juga ikut gembira melihat sang suami telah
berkumpul dengan ayah dan saudaranya yang asli. Ia bercerita bahwa dirinya memiliki
saudari kembar bernama Dewi Grantangsari yang semoga bisa berjodoh dengan Raden
Gandakusuma. Raden Arjuna senang mendengarnya dan merestui hal itu. Ia lalu mengajak
mereka bertiga dan juga Bagawan Wilawuk untuk singgah di istana Indraprasta, bertemu
dengan para Pandawa lainnya.
CATATAN : Ada dua versi yang pernah saya baca mengenai ibu kandung Gandawardaya dan Gandakusuma.
Versi pertama, mereka adalah anak Gandawati, sedangkan versi kedua adalah anak Jimambang.
Saya pun memilih jalan tengah, di mana Gandawardaya saya ceritakan sebagai anak Jimambang,
sedangkan Gandakusuma adalah anak Gandawati. Cerita pun saya kembangkan dengan
mengisahkan bahwa Citraganda adalah murid Bagawan Wilawuk.
KITAB WAYANG PURWA
BAMBANG DANASALIRA
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Dewi Lesmanawati putri Prabu
Duryudana dengan Raden Warsakusuma putra Adipati Karna. Perkawinan ini sempat
kacau oleh munculnya Bambang Danasalira putra Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Ngasinan) yang disusun oleh Ki Tristuti Suryasaputra, yang dipadukan dengan tulisan
R. Subalidinata, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 26 Januari 2018
Heri Purwanto
menjawab dirinya mendengar kisah itu dari Dewi Banuwati. Menurut cerita sang ibu,
pernikahan antara Raden Arjuna dengan Dewi Sumbadra dulu sangat indah dan megah.
Kedua mempelai duduk bersanding di dalam Balai Kencana Asaka Domas disaksikan para
tamu undangan dari berbagai negara, sungguh serasi, indah dipandang mata, sekaligus
membuat iri.
Dewi Lesmanawati pun berkata bahwa dirinya sebagai anak seorang raja agung dari
kerajaan terbesar di dunia tentu sangat pantas jika menikah di dalam Balai Kencana Asaka
Domas seperti yang pernah dialami Dewi Sumbadra. Untuk itu, ia pun memohon kepada
sang ayah agar menyediakan apa yang diinginkannya tersebut.
Patih Sangkuni merasa ini adalah kesempatan untuk menggagalkan perbesanan
antara Prabu Duryudana dengan Adipati Karna. Maka, ia pun ikut bicara. Dulu pihak
mempelai pria, yaitu keluarga Raden Arjuna yang berusaha menyediakan Balai Kencana
Asaka Domas. Sekarang pun seharusnya demikian, yaitu keluarga Raden Warsakusuma
yang harus menyediakan benda pusaka tersebut. Dengan demikian, Prabu Duryudana
dapat mengukur sebesar apa niat Raden Warsakusuma ingin menikahi Dewi Lesmanawati.
Prabu Duryudana termenung, tidak tega melihat putri kesayangannya merengek. Di
samping itu ucapan Patih Sangkuni juga terdengar masuk akal. Setelah menimbang-
nimbang sejenak, ia pun memerintahkan Patih Sangkuni untuk menyampaikan permintaan
Dewi Lesmanawati tersebut kepada Adipati Karna di Awangga.
Dalam perjalanan itu, rombogan Dewi Kunti bertemu Patih Pradaksa dan pasukan
Paranggumiwang. Begitu mengetahui bahwa niat para raksasa itu hendak merebut calon
mempelai wanita, Raden Antareja segera memerintahkan pasukan Amarta untuk
menghadang mereka. Maka terjadilah pertempuran di antara kedua pihak. Tidak sampai
lama, Patih Pradaksa merasa terdesak dan membawa pasukannya mundur kembali ke
Paranggumiwang.
Namun, Kerajaan Singgela letaknya sangat jauh di seberang lautan. Ia khawatir tidak
dapat kembali ke Kadipaten Awangga tepat waktu.
Tiba-tiba Raden Gatutkaca datang menghadap. Arya Wrekodara merasa ini sangat
kebetulan. Ia pun memerintahkan putra keduanya itu untuk segera terbang ke Kerajaan
Singgela meminjam Balai Kencana Asaka Domas kepada Prabu Bisawarna. Besok pagi,
benda pusaka itu harus sudah terpasang di Kerajaan Hastina. Raden Gatutkaca tidak berani
bicara lagi. Ia segera mohon pamit lalu berangkat terbang secepat kilat menuju arah yang
digambarkan ayahnya. Pesan dari ibunya agar melaporkan kedatangan Bambang
Danasalira kepada Raden Arjuna terpaksa ditunda dulu.
di atas pundaknya, lalu terbang menuju Kerajaan Hastina. Prabu Bisawarna berdecak
kagum menyaksikan kekuatan tenaga cucu Prabu Pandu tersebut.
Raden Gatutkaca terbang menyeberangi lautan sambil memanggul Balai Kencana
Asaka Domas. Kebetulan Resi Anoman juga sedang terbang di angkasa. Ia melihat ada
orang memanggul balai pusaka peninggalan majikannya terdahulu, yaitu Prabu Sri Rama.
Resi Anoman mengira ada penjahat yang telah mencuri benda itu. Kebetulan saat itu tengah
malam sehingga wajah Raden Gatutkaca tidak terlihat jelas. Dengan segenap kekuatan,
Resi Anoman pun melabrak Raden Gatutkaca untuk merebut Balai Kencana Asaka Domas.
Raden Gatutkaca tidak menduga adanya serangan mendadak. Pegangannya terlepas
dan Balai Kencana Asaka Domas pun jatuh tenggelam ke dasar lautan. Ia lalu bertarung
menghadapi penyerangnya tersebut. Namun, mereka lalu mengenali suara masing-masing
dan segera menghentikan perkelahian.
Resi Anoman sangat menyesal dan meminta maaf karena terburu nafsu. Raden
Gatutkaca tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia merasa telah gagal melaksanakan tugas dan
segera melesat terbang ke Kadipaten Awangga untuk menerima hukuman. Resi Anoman
merasa bersalah dan diam-diam mengikuti keponakannya itu dari belakang.
Menyaksikan rajanya gugur, Patih Pradaksa mengamuk untuk melakukan bela pati. Ia
menggempur para Kurawa yang sedang bersorak-sorak memuji kemenangan Adipati
Karna. Melihat itu, Prabu Puntadewa segera memerintahkan Arya Wrekodara untuk
membantu. Tanpa banyak bicara, Arya Wrekoda pun maju dan membunuh Patih Pradaksa
dalam waktu singkat.
BRATALARAS RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Bratalaras putra Raden
Arjuna dengan Dewi Karnawati putri Adipati Karna.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber tulisan di forum Kaskus, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 10 Februari 2018
Heri Purwanto
Raden Bratalaras
Raden Arjuna justru semakin marah mendengar cerita itu. Ia menyatakan tidak sudi
berbesan dengan Adipati Karna. Ia juga melarang keras Raden Bratalaras untuk pergi lagi
ke Kadipaten Awangga. Kyai Semar menasihati Raden Arjuna agar jangan terbawa amarah.
Janganlah hanya karena sakit hati lantas mengorbankan perasaan anak. Apabila Raden
Bratalaras dan Dewi Karnawati memang benar saling mencintai, maka lebih baik mereka
disatukan dalam perkawinan, bukannya malah dipisahkan.
Raden Arjuna tetap kukuh tidak sudi merestui niat Raden Bratalaras. Kyai Semar pun
bertanya, apakah Raden Bratalaras tetap ingin menikah dengan Dewi Karnawati? Raden
Bratalaras mengangguk. Raden Arjuna marah dan mengusir Raden Bratalaras pergi dari
Kesatrian Madukara. Kyai Semar dengan tegas menyatakan Raden Bratalaras berada
dalam perlindungannya. Mereka pun pergi semua meninggalkan Raden Arjuna.
bisa. Meskipun dirinya bersahabat akrab dengan Prabu Duryudana, namun urusan
pernikahan harus meminta kesediaan putrinya terlebih dulu. Yang kedua, Adipati Karna
hanya bisa menjawab lamaran kepada Prabu Baladewa, karena dialah yang diutus Prabu
Duryudana, bukan kepada Danghyang Druna dan Patih Sangkuni.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni tersinggung mendengarnya. Mereka pun
segera keluar menyusul Prabu Baladewa. Adipati Karna lalu memerintahkan Raden
Warsasena dan Raden Warsakusuma untuk bersiaga apabila terjadi keributan, sedangkan
dirinya masuk ke dalam untuk menanyai Dewi Karnawati. utusan belum diambil, maka
sebaiknya Adipati Karna memanggil Dewi Karnawati saja untuk disuruh memilih antara
Raden Lesmana Mandrakumara, ataukah Raden Bratalaras?
Prabu Baladewa marah-marah ada hak apa Petruk berani memerintah Adipati Karna.
Petruk balik bertanya ada hak apa Prabu Baladewa berani marah-marah di Kadipaten
Awangga. Prabu Baladewa menjawab dirinya adalah raja, maka berhak memarahi rakyat
jelata semacam Petruk. Petruk pun membela diri. Prabu Baladewa memang raja tetapi jika
berada di Kerajaan Mandura. Petruk memang rakyat jelata apabila berada di Kerajaan
Amarta. Namun, apabila berada di Kadipaten Awangga, maka kedudukan mereka sama-
sama menjadi tamu yang diutus untuk melamar putri sang tuan rumah.
Prabu Baladewa semakin marah karena derajatnya disamakan dengan Petruk. Ia pun
kehilangan kesabaran dan menarik tubuh Petruk keluar istana.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni hanya tertawa melihat ulah Prabu Baladewa
yang terbawa amarah hanya demi melayani Petruk. Mereka lalu bertanya kepada Adipati
Karna apakah lamaran Prabu Duryudana bisa diterima. Adipati Karna menjawab belum
bisa. Meskipun dirinya bersahabat akrab dengan Prabu Duryudana, namun urusan
pernikahan harus meminta kesediaan putrinya terlebih dulu. Yang kedua, Adipati Karna
hanya bisa menjawab lamaran kepada Prabu Baladewa, karena dialah yang diutus Prabu
Duryudana, bukan kepada Danghyang Druna dan Patih Sangkuni.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni tersinggung mendengarnya. Mereka pun
segera keluar menyusul Prabu Baladewa. Adipati Karna lalu memerintahkan Raden
Warsasena dan Raden Warsakusuma untuk bersiaga apabila terjadi keributan, sedangkan
dirinya masuk ke dalam untuk menanyai Dewi Karnawati.
siapa yang akan dipilih. Dewi Karnawati merasa bimbang. Di satu sisi, ia lebih mencintai
Raden Bratalaras, namun di sisi lain ia merasa tidak enak dengan keluarga Prabu
Duryudana yang selama ini selalu baik kepadanya.
Oleh sebab itu, Dewi Karnawati pun memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu
mengadakan sayembara. Patih Sangkuni menyindir ada anak seorang adipati berlagak
seperti putri raja besar, mengadakan sayembara segala. Petruk balas menyindir Patih
Sangkuni bahwa pihak Kurawa itu sudah berkali-kali kalah sayembara, sehingga kini mudah
gentar kalau mendengar kata “sayembara”. Patih Sangkuni terdiam tidak bicara lagi.
Prabu Baladewa bertanya, apa kiranya isi sayembara tersebut. Dewi Karnawati
dengan malu-malu menjawab, ia sudah lama kagum mendengar kisah tentang tajamnya
Kuku Pancanaka milik sang paman, yaitu Arya Wrekodara. Oleh sebab itu, ia pun ingin saat
menikah nanti, rambut sinomnya di dahi dicukur dan dirapikan memakai kuku pusaka
tersebut.
Prabu Baladewa dan Petruk sama-sama menyanggupi. Mereka segera mohon pamit
kembali ke kubu masing-masing.
Baladewa yang merupakan kedua gurunya, sudah tentu Arya Wrekodara tidak akan
menolak.
Raden Gatutkaca bertanya kepada ayahnya apakah benar demikian. Arya Wrekodara
menjawab benar, bahwa dirinya sudah terlanjur menyanggupi permintaan Prabu Baladewa
dan Danghyang Druna. Ia pun menyarankan agar Raden Bratalaras mencari calon istri yang
lain saja. Usai berkata demikian, Arya Wrekodara lalu ikut rombongan Prabu Baladewa
menuju Kerajaan Hastina.
Tiba-tiba Resi Anoman datang menghadap Kyai Semar. Setelah memberi salam, ia
bertanya ada keperluan apa Kyai Semar memanggil dirinya. Kyai Semar tidak merasa
mengerahkan Aji Pameling. Resi Anoman menduga pasti ada yang main-main dengannya.
Kyai Semar memintanya bersabar dulu karena ia mempunyai firasat bahwa orang itu
sebentar lagi akan datang.
Benar juga ucapan Kyai Semar. Tidak lama kemudian Bambang Wisanggeni datang
beserta rombongan Raden Bratalaras. Ia mengaku dirinya memang telah mengerahkan Aji
Pameling dengan pura-pura menirukan suara Kyai Semar. Ia tahu bahwa meskipun Resi
Anoman seorang pendeta, namun sejak dulu sangat menghormati Kyai Semar yang
penjelmaan dewa. Jika Bambang Wisanggeni menggunakan suara asli, belum tentu Resi
Anoman bersedia datang. Tetapi jika menggunakan suara Kyai Semar, sudah pasti pendeta
wanara itu bergegas datang.
Resi Anoman bertanya ada perlu apa Bambang Wisanggeni mendatangkan dirinya
dengan meniru suara Kyai Semar segala. Bambang Wisanggeni pun menceritakan apa
yang dialami Raden Bratalaras, yaitu hendak menikah dengan Dewi Karnawati di mana si
pengantin wanita mengajukan syarat ingin dicukur rambut sinomnya oleh Arya Wrekodara
menggunakan Kuku Pancanaka. Akan tetapi, Arya Wrekodara sudah terlanjur mengabulkan
permintaan untuk membantu pihak Raden Lesmana Mandrakumara. Itulah sebabnya,
Bambang Wisanggeni menghadirkan Resi Anoman adalah untuk meminjam Kuku
Pancanaka. Kuku tersebut akan dipasangnya di tangan Petruk yang akan didandani
sebagai Arya Wrekodara palsu.
Resi Anoman terkejut mendengar rencana Bambang Wisanggeni yang aneh itu. Akan
tetapi, meskipun sudah menjadi pendeta tetap saja sifat dasarnya adalah kera. Sebagai
kera, Resi Anoman memiliki watak nakal dan suka iseng. Ia penasaran ingin tahu seperti
apa cara Bambang Wisanggeni mengerjai Adipati Karna dan para Kurawa. Maka, Resi
Anoman pun menyatakan sanggup untuk meminjamkan Kuku Pancanaka di jarinya kepada
Petruk. Namun demikian, setelah sehari semalam, kuku tersebut akan kembali sendiri ke
jari Resi Anoman.
Bambang Wisanggeni tidak keberatan karena waktu 24 jam sudah cukup untuk
memenangkan kakaknya (Raden Bratalaras). Ia lalu memerintahkan Petruk untuk bersiap.
Petruk tidak berani karena takut mendapat marah Arya Wrekodara yang asli. Bambang
Wisanggeni berjanji dirinya yang akan bertanggung jawab soal ini. Petruk akhirnya bersedia.
Bambang Wisanggeni pun mengerahkan kesaktiannya dan mengubah wujud Petruk
menjadi sama persis dengan Arya Wrekodara. Resi Anoman lalu mengheningkan cipta pula
dan Kuku Pancanaka di jarinya seketika berpindah ke tangan Arya Wrekodara palsu
tersebut.
Setelah semuanya selesai, Bambang Wisanggeni meminta Kyai Semar untuk segera
mengiringkan Raden Bratalaras sebagai pengantin, sedangkan dirinya akan berusaha
mengganggu perjalanan rombongan Kerajaan Hastina agar mereka terlambat datang di
Kadipaten Awangga. Raden Bratalaras sangat berterima kasih kepada Bambang
Wisanggeni, adiknya lain ibu tersebut. Bambang Wisanggeni menjawab tidak perlu seperti
itu karena sesama saudara wajib untuk saling membantu.
palsu menjadi Petruk. Arya Wrekodara asli datang dan kehilangan jejak. Ia bingung mencari
ke mana hilangnya Arya Wrekodara palsu. Yang ia lihat hanyalah Bambang Wisanggeni
dan Petruk serius bermain catur.
Arya Wrekodara marah merasa dipermainkan. Ia pun melampiaskan kemarahannya
kepada sang pengantin berdua. Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati segera turun dari
pelaminan dan berlutut di hadapan Arya Wrekodara. Raden Bratalaras berkata dirinya siap
dibunuh apabila itu bisa meredakan kemarahan sang uwak. Dewi Karnawati pun ikut
suaminya, sehidup semati mereka bersama.
Tiba-tiba Raden Arjuna datang di tempat itu. Ia segera menyuruh kedua pengantin
untuk bangun dan biarlah dirinya saja yang menggantikan mati. Rupanya Raden Arjuna
telah menyesali perbuatannya yang lebih mementingkan gengsi, hingga mengorbankan
kebahagiaan putranya sendiri. Arya Wrekodara bertanya mengapa adiknya berkata
demikian. Raden Arjuna menjawab dirinya bersalah telah menuruti hawa nafsu, hingga
menolak untuk merestui hubungan Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati.
Arya Wrekodara gemetar karena teringat bahwa dulu percintaannya dengan Dewi
Arimbi pun ditentang oleh mendiang Prabu Arimba. Karena nasibnya dengan Raden
Bratalaras sama-sama tidak direstui, maka ia merasa tidak sepantasnya marah-marah
seperti ini. Raden Arjuna pun disuruhnya bangun kembali. Ia lalu memberikan restu kepada
Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati.
Raden Arjuna pun telah bangkit dan memeluk Raden Bratalaras. Ia meminta maaf atas
sikapnya yang kasar dan sama sekali tidak membantu pernikahan putranya itu. Raden
Bratalaras terharu dan berkata bahwa kedatangan ayahnya pada saat yang genting seperti
ini sudah sangat istimewa baginya.
SUMITRA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Sumitra putra Raden Arjuna
dengan Dewi Asmarawati putri Prabu Suryaasmara. Perkawinan ini merupakan
penggenapan atas cita-cita Prabu Suryaasmara dalam lakon Arjuna Tumbal.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 22 Februari 2018
Heri Purwanto
Sumitra
Prabu Suryaasmara berpikir sejenak, lalu berkata bahwa ia menerima nasihat Resi
Indrajala untuk mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat mewujudkan apa saja
persyaratan darinya, maka orang itulah yang berhak menjadi suami Dewi Asmarawati.
Persyaratan itu adalah: pengantin pria harus menunggang Kuda Ciptawalaha dan dipayungi
menggunakan Payung Tunggulnaga saat mendatangi Kerajaan Parangkencana; kedua,
pernikahan harus dilaksanakan di dalam Balai Sasanamulya yang dihadiri seratus bidadari.
Demikianlah isi sayembara Prabu Suryaasmara.
Adipati Karna dan Raden Antareja sama-sama menyatakan sanggup. Mereka lalu
undur diri meninggalkan Kerajaan Parangkencana.
Payung Tunggulnaga. Prabu Puntadewa meminta maaf karena Payung Tunggulnaga sudah
terlanjur dibawa Danghyang Druna.
Raden Arjuna terdiam sejenak, kemudian berkata dirinya tidak akan merebut Payung
Tunggulnaga dari tangan sang guru. Ia merasa kesal pada Prabu Suryaasmara yang telah
mengingkari janji dan sekarang justru mempersulit putranya dengan mengajukan
persyaratan aneh-aneh. Oleh sebab itu, Raden Antareja dan Raden Gatutkaca
diperintahkan untuk memberi tahu Raden Sumitra bahwa pernikahan dengan Dewi
Asmarawati tidak usah dilanjutkan.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca saling pandang lalu mohon pamit keluar istana
untuk mencari Raden Sumitra.
Prabu Kresna pun mendapat firasat bahwa sebentar lagi utusan pihak Raden Arjuna
akan datang pula. Maka, ia tidak segera menjawab permohonan Adipati Karna, melainkan
berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kabar Kerajaan Hastina, Kadipaten
Awangga, dan juga kabar para Kurawa satu persatu. Adipati Karna merasa kesal, namun
sejak dulu ia segan kepada Prabu Kresna sehingga tidak berani memaksa. Akhirnya yang
ditunggu-tunggu pun tiba. Raden Antareja datang dengan tujuan yang sama, yaitu
meminjam Kuda Ciptawalaha untuk kendaraan Raden Sumitra menikahi Dewi Asmarawati.
Adipati Karna tidak terima karena dirinya lebih dulu datang, maka ia yang lebih berhak
atas kuda tersebut. Prabu Kresna berkata dirinya belum memberikan jawaban, sehingga
belum jelas siapa yang berhak meminjam kudanya itu. Ia pun menjelaskan bahwa Kuda
Ciptawalaha adalah salah satu di antara empat kuda pusaka penarik Kereta Jaladara. Kuda
Ciptawalaha ini larinya sangat kencang melebihi kuda-kuda lainnya. Untuk itu, Adipati Karna
dan Raden Antareja silakan berlomba. Barangsiapa mampu menangkap Ciptawalaha,
maka dia yang berhak meminjam kuda tersebut.
Adipati Karna menjawab tidak masalah. Ia adalah putra Adipati Adirata yang
merupakan raja dari para kusir kereta. Sejak kecil Adipati Karna dididik cara menjinakkan
kuda dan cara mengendalikan kereta, sehingga mengejar dan menangkap Kuda
Ciptawalaha bukanlah hal sulit baginya. Usai berkata demikian, ia pun keluar istana untuk
bersiaga. Raden Antareja juga ikut keluar, disertai Prabu Kresna.
Prabu Kresna lalu memanggil Kuda Ciptawalaha. Kuda berbulu hitam legam itu datang
menemui majikannya. Prabu Kresna segera memerintahkan kuda itu untuk berlari
sekencang-kencangnya dan baru boleh berhenti apabila salah satu dari Adipati Karna atau
Raden Antareja bisa menangkapnya. Kuda Ciptawalaha seolah mengerti bahasa manusia.
Ia pun segera berlari meninggalkan Prabu Kresna.
Melihat Kuda Ciptawalaha sudah berlari, Adipati Karna dan Raden Antareja segera
mengejar. Meskipun usianya lebih tua, tetapi tubuh Adipati Karna lebih kecil dan lebih lincah
daripada Raden Antareja. Dengan mengerahkan segenap ilmu kesaktianya, ia mampu
berlari sangat cepat dan hampir menyentuh ekor Kuda Ciptawalaha. Namun, Kuda
Ciptawalaha dapat meningkatkan laju kecepatannya. Adipati Karna tidak kurang akal. Ia
pun melepaskan ratusan panah yang mengurung Kuda Ciptawalaha seperti kerangkeng.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan tiba-tiba Kuda Ciptawalaha amblas masuk ke
dalam bumi. Empat ekor kuda pusaka milik Prabu Kresna memang memiliki kemampuan
sendiri-sendiri. Kuda Ciptawalaha mampu amblas ke dalam bumi, Kuda Abrapuspa mampu
masuk ke dalam kobaran api, Kuda Sunyasakti mampu menyelam ke dalam air, dan Kuda
Sukanta mampu terbang di angkasa. Perhitungan Kyai Semar sungguh tepat, yaitu
mengutus Raden Antareja yang memiliki kesaktian sama dengan Kuda Ciptawalaha.
Melihat Kuda Ciptawalaha lolos dari kurungan panah, Raden Antareja merasa gembira
dan segera ikut amblas ke dalam bumi pula. Kuda Ciptawalaha tidak menyangka bahwa
salah satu pengejarnya ini memiliki kemampuan yang sama seperti dirinya. Raden Antareja
pun mengerahkan segenap kecepatannya hingga akhirnya mampu memeluk leher Kuda
Ciptawalaha dan membawanya kembali ke atas permukaan tanah.
Adipati Karna marah melihat Raden Antareja sudah duduk di atas punggung Kuda
Ciptawalaha. Ia pun melepaskan panah untuk memisahkan mereka. Namun, Raden
Antareja kembali mengajak Kuda Ciptawalaha untuk amblas bumi menghindari serangan
Adipati Karna. Keduanya melaju kencang di dalam tanah menuju arah Kerajaan Amarta.
Adipati Karna kini kehilangan jejak. Namun, ia kemudian teringat bahwa dirinya juga
memiliki kuda berwarna hitam legam bernama Ciptalanagati. Meskipun tidak dapat amblas
ke dalam bumi, namun wujud Kuda Ciptalanagati sangat mirip dengan Kuda Ciptawalaha.
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Suryaasmara tentu tidak akan dapat membedakan mereka. Berpikir demikian, Adipati
Karna pun bergegas pulang ke Kadipaten Awangga.
terwujud. Ia lalu menanyakan tentang persyaratan lain, yaitu Balai Sasanamulya dan
bidadari pengiring. Kyai Semar lalu membuka Cupumanik Tirta Bulayat. Sambil membaca
mantra ia memercikkan air ajaib dalam cupu tersebut ke arah halaman istana
Parangkencana. Seketika muncullah sebuah balai indah dan megah bagaikan turun dari
kahyangan.
Ketika Kyai Semar hendak menciptakan seratus bidadari dengan cara yang sama,
tiba-tiba terdengar suara mencegah dirinya. Itu adalah suara Raden Arjuna yang datang
bersama para Pandawa lainnya, serta seratus bidadari kahyangan di belakang mereka.
Raden Sumitra terharu melihat ayahnya datang. Raden Arjuna berkata bahwa ia
hanya pura-pura tidak mau ikut campur pernikahan putranya itu karena ingin melihat seperti
apa usaha Raden Sumitra. Diam-diam, Raden Arjuna naik ke Kahyangan Suralaya
menghadap Batara Indra untuk diizinkan meminjam seratus bidadari sebagai pengiring
perkawinan putranya tersebut.
Raden Sumitra menangis haru dan menyembah kaki ayahnya. Raden Arjuna
membangunkannya dan memberikan restu semoga rumah tangga Raden Sumitra dan Dewi
Asmarawati bisa berjalan dengan sebaik-baiknya.
Kini semuanya telah terpenuhi. Prabu Suryaasmara pun menikahkan putrinya dengan
Raden Sumitra. Kedua mempelai lalu duduk di atas pelaminan yang sudah terpasang di
Balai Sasanamulya. Para bidadari berbaris rapi menyambut para tamu sahabat Prabu
Suryaasmara dan juga segenap rakyat Parangkencana. Suasana sungguh indah dan
meriah.
Suryaasmara pun mengatakan dengan tegas bahwa Payung Tunggulnaga yang dipegang
Bambang Aswatama adalah palsu. Prabu Duryudana kembali merasa malu tipuannya
terbongkar.
Kemudian Prabu Suryaasmara menyebut para bidadari yang dibawa Prabu
Duryudana memang cantik-cantik, tetapi mereka tidak bersinar seperti para bidadari yang
dibawa Raden Arjuna. Maka, Prabu Suryaasmara pun menyimpulkan bahwa para bidadari
dari Kerajaan Hastina itu adalah perempuan biasa yang ia dandani biar lebih cantik.
Prabu Duryudana merasa semakin malu. Ia mengajak Raden Lesmana yang
merengek-rengek untuk segera pulang saja ke negeri Hastina. Patih Sangkuni ingin
menyenangkan hati rajanya. Para Kurawa pun diperintahkan untuk membuat kekacauan
dan merebut paksa Dewi Asmarawati. Namun, mereka semua dapat dipukul mundur oleh
Arya Wrekodara dan kedua anaknya.
Demikianlah, rombongan dari Hastina itu pun berhamburan terbirit-birit meninggalkan
Kerajaan Parangkencana. Prabu Suryaasmara merasa senang dan melanjutkan pesta
pernikahan. Prabu Puntadewa memberikan selamat kepadanya karena telah berhasil
mewujudkan cita-cita ingin berbesan dengan Raden Arjuna.
ENDRASEKTI - SUGATAWATI
Kisah ini menceritakan kemunculan Endang Sugatawati putri Raden Arjuna yang kelak
menjadi istri Raden Samba putra Prabu Kresna dan melahirkan Patih Dwara.
Kisah ini saya olah dari sumber media sosial Kaskus dan beberapa blog wayang lainnya,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 10 Maret 2018
Heri Purwanto
Prabu Kresna menjawab memang benar demikian. Namun, kali ini adik mereka, yaitu
Dewi Sumbadra mendapat firasat buruk atas kepergian sang suami. Dewi Sumbadra
mendapat firasat bahwa Raden Arjuna mendapat kecelakaan dalam perjalanan, sehingga
ia pun mengutus Raden Nakula dan Raden Sadewa untuk pergi ke Dwarawati, meminta
petunjuk di manakah keberadaan suaminya itu.
Waktu itu Prabu Kresna mengheningkan cipta sejenak dan mengatakan kepada si
kembar bahwa Raden Arjuna tidak perlu dicari, karena tidak lama lagi ia akan pulang sendiri.
Setelah mendapat petunjuk demikian, Raden Nakula dan Raden Sadewa pun bergegas
pulang untuk melapor kepada Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara.
amarah Prabu Baladewa terlanjur memuncak. Ia tidak dapat disabarkan lagi dan segera
bergegas meninggalkan istana Dwarawati mencari Prabu Janaka.
Prabu Kresna termangu-mangu melihatnya. Ia pun memerintahkan Arya Setyaki untuk
membantu Prabu Baladewa. Raden Gatutkaca juga ikut serta. Prabu Kresna lalu
membubarkan pertemuan dan membawa Dewi Sumbadra masuk ke dalam Taman
Banoncinawi.
Sugatawati adalah anak Resi Endrasekti, Kyai Semar langsung mengatakan dirinya siap
membantu. Mereka lalu berangkat bersama-sama menuju Kerajaan Dwarawati, karena
Dewi Sumbadra sudah mengungsi ke sana sejak Kerajaan Amarta direbut oleh Prabu
Janaka dari Kerajaan Bulukatiga.
Sesampainya di Kerajaan Dwarawati, Kyai Semar dan Endang Sugatawati langsung
masuk ke Taman Banoncinawi. Dewi Sumbadra yang duduk ditemani para dayang segera
menyambut mereka. Ia pun bertanya apakah Kyai Semar membawa kabar terbaru tentang
keadaan Kerajaan Amarta. Kyai Semar menjawab, dirinya datang ke Dwarawati untuk
mengantar putri Resi Endrasekti yang bernama Endang Sugatawati.
Endang Sugatawati maju mendekat dan menceritakan bahwa ayahnya sedang sakit
keras. Menurut petunjuk dewata, Resi Endrasekti bisa sembuh apabila memakan jenang
madumangsa buatan Dewi Sumbadra. Itulah sebabnya, Endang Sugatawati datang
menghadap Dewi Sumbadra adalah untuk menyerahkan sebungkus ketan hitam sebagai
bahan pembuatan jenang madumangsa tersebut.
Dewi Sumbadra merasa tidak kenal pada Resi Endrasekti. Namun, karena penasaran
ia pun menerima bungkusan itu dan melihat isinya. Sungguh terkejut perasaan Dewi
Sumbadra karena yang ada di dalam bungkusan itu ternyata bukan ketan hitam, melainkan
pakaian milik Raden Arjuna. Seketika badan Dewi Sumbadra gemetar dan ia pun jatuh
pingsan tak sadarkan diri.
Dewi Sumbadra lalu bertanya apa yang harus ia lakukan saat ini. Prabu Kresna
menjawab, sebaiknya Dewi Sumbadra memasak jenang madumangsa dan menyerahkan
makanan itu secara langsung kepada Resi Endrasekti. Ia yakin bahwa Resi Endrasekti
itulah yang bisa mengalahkan Prabu Janaka dan membebaskan Prabu Puntadewa beserta
para Pandawa lainnya.
Dewi Sumbadra mematuhi. Ia lalu masuk ke dapur. Prabu Kresna melihat Raden
Samba menyukai Endang Sugatawati. Maka, ia pun menugasi putranya itu agar menjaga
dan menemani si gadis di dalam Taman Banoncinawi. Raden Samba mematuhi perintah
ayahnya dengan senang hati.
Sementara itu, panah yang dilepaskan Prabu Janaka juga mengenai tubuh Resi
Endrasekti. Seketika wujud Resi Endrasekti pun musnah dan berubah menjadi Raden
Arjuna yang asli. Melihat rencananya menaklukkan Kerajaan Dwarawati telah gagal, Batara
Kala pun terbang ke udara, kembali ke Kahyangan Selamangumpeng.
Gunung Indragiri. Karena wajahnya berubah tua akibat ilmu sihir Batara Kala, maka Raden
Arjuna pun mengganti namanya menjadi Resi Endrasekti.
Sementara itu, Batara Kala mengubah wujudnya menjadi Raden Arjuna palsu, lalu
pergi menaklukkan Kerajaan Bulukatiga dan melorot rajanya yang bernama Prabu
Tegalelana menjadi patih. Raden Arjuna palsu kemudian menjadi raja di sana, bergelar
Prabu Janaka. Ia lalu pergi menyerang Kerajaan Amarta dan Kerajaan Dwarawati
sebagaimana yang telah diketahui bersama.
Prabu Kresna dan yang lain bersyukur segala persoalan telah selesai. Mengenai jodoh
untuk Endang Sugatawati sesuai wasiat mendiang ibunya sebelum meninggal, maka lebih
baik Raden Samba saja yang memenuhi hal itu. Sepertinya Raden Samba dan Endang
Sugatawati bisa menjadi pasangan yang serasi. Raden Arjuna tidak keberatan. Ia pun
menerima lamaran Prabu Kresna tersebut dengan senang hati. Semua orang gembira
mendengarnya dan ikut merayakan perjodohan ini.
CATATAN : Untuk kisah pertemuan Raden Arjuna dengan ibu Endang Sugatawati adalah tambahan dari
saya. Serta kisah Prabu Tegalelana yang diturunkan menjadi patih juga tambahan dari saya,
dengan tujuan supaya nanti bisa menyambung dengan lakon Pramusinta-Rayungwulan.
KITAB WAYANG PURWA
SAMBA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Samba putra Prabu Kresna
dengan Dewi Sugatawati putri Raden Arjuna. Perkawinan ini kelak melahirkan Patih
Dwara yang menjadi patih pada era pemerintahan Prabu Parikesit.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 Maret 2018
Heri Purwanto
Raden Samba mematuhi nasihat kedua orang tuanya itu tanpa berani membantah.
Prabu Baladewa lalu berkata kepada Prabu Kresna bahwa urusan melamar Dewi
Sugatawati ke Madukara biarlah dirinya saja yang berangkat. Prabu Kresna berterima kasih
dan menawari Prabu Baladewa untuk makan terlebih dulu. Namun, Prabu Baladewa
menolak. Ia berkata urusan makan bisa dilakukan nanti saja. Yang penting saat ini adalah
pergi meminang Dewi Sugatawati sebelum keduluan orang lain.
Prabu Kresna pun mengantar kepergian Prabu Baladewa hingga ke halaman istana.
Ia juga memerintahkan Arya Setyaki agar ikut menemani keberangkatan kakaknya itu
menuju Kesatrian Madukara.
Raden Arjuna tidak perlu bingung, karena rombongan dari Kerajaan Hastina yang datang
lebih dulu, sehingga lebih berhak jika lamaran mereka yang diterima. Lagipula Prabu
Baladewa juga biasanya melamar gadis untuk calon istri Raden Lesmana Mandrakumara.
Maka, apabila Raden Arjuna menerima lamaran pihak Hastina, maka Prabu Baladewa pasti
tidak akan keberatan.
Prabu Baladewa marah mendengar ucapan Patih Sangkuni. Memang benar biasanya
ia melamar gadis untuk calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Akan tetapi, kali ini yang
memberikan mandat kepadanya bukan Prabu Duryudana, melainkan Prabu Kresna. Maka,
pertanggungjawabannya kali ini adalah kepada Kerajaan Dwarawati, bukan kepada
Kerajaan Hastina. Bagaimanapun juga tugas harus dilaksanakan dengan baik. Memang
benar Raden Lesmana ataupun Raden Samba, kedua-duanya adalah keponakan. Namun,
Prabu Baladewa saat ini bertindak sebagai wakil Prabu Kresna, bukan sebagai wakil Prabu
Duryudana.
Raden Arjuna melerai perdebatan Prabu Baladewa dan Patih Sangkuni. Ia lalu
memanggil Dewi Sugatawati agar menentukan pilihan. Dewi Sugatawati pun datang
menghadap. Ia menyembah hormat kepada semua yang hadir. Raden Arjuna lalu
menceritakan semua kepada putrinya itu, bahwa telah datang dua lamaran dari Kerajaan
Hastina. Dewi Sugatawati menjawab, meskipun dirinya sudah saling kenal dengan Raden
Samba, namun ia tidak tahu apakah sepupunya itu benar-benar mencintainya atau tidak.
Patih Sangkuni menyela, kalau begitu dengan Raden Lesmana saja. Dewi Sugatawati
menjawab, apalagi dengan Raden Lesmana, ia sama sekali belum tahu orangnya.
Dewi Sugatawati lalu berkata, bahwa ia ingin menguji lebih dulu sedalam apa
kesungguhan mereka berdua. Maka, ia pun mengadakan sayembara, yaitu Raden Samba
dan Raden Lesmana harus pergi mencari dan menangkap kijang kencana berkaki merah
untuk menjadi binatang peliharaannya. Kedua pangeran itu harus menangkap kijang
tersebut dengan tangan mereka sendiri, tidak boleh diwakili orang lain.
Prabu Baladewa menyatakan sanggup memenuhi keinginan Dewi Sugatawati. Melihat
pihak lawan sudah menyanggupi, mau tidak mau Danghyang Druna dan Patih Sangkuni
pun demikian pula. Kedua rombongan itu lalu mohon pamit kembali ke negara masing-
masing.
Jembawan yang sudah berusia ratusan tahun itu sedang mendidik Raden Gunadewa agar
kelak bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai juru kunci Astana Gandamadana, tempat
pemakaman para leluhur Kerajaan Mandura dan Dwarawati.
Raden Samba pun menceritakan apa yang menjadi permintaan calon istrinya, yaitu
ingin dibawakan seekor kijang kencana berkaki merah. Resi Jembawan berkata bahwa di
dunia ini hanya ada satu hewan kijang kencana berkaki merah seperti itu, dan hewan
tersebut berkeliaran di kaki Gunung Untarayana sebelah barat. Namun, kijang kencana ini
tidak dapat ditangkap dengan cara kasar, melainkan harus dengan cara yang lembut.
Raden Samba berterima kasih kepada sang kakek, lalu mohon restu berangkat
menuju ke gunung tersebut.
Prabu Boma baru saja mendengar kabar bahwa Prabu Kresna hendak menikahkan Raden
Samba dengan Dewi Sugatawati putri Raden Arjuna. Terus terang Prabu Boma merasa iri
kepada Raden Samba yang selalu diperhatikan sang ayah. Dulu ketika Prabu Boma masih
bernama Raden Sitija dan datang pertama kali ke Kerajaan Dwarawati, saat itu Prabu
Kresna dengan tegas mengatakan bahwa takhta Kerajaan Dwarawati sudah menjadi hak
Raden Samba. Sehingga, apabila Raden Sitija hendak mencari kemuliaan, maka harus
berusaha sendiri. Raden Sitija tidak masalah diperlakukan seperti itu, karena baginya yang
terpenting adalah mendapat pengakuan sebagai anak Prabu Kresna, bukan mendapat
warisan Kerajaan Dwarawati.
Kala itu Raden Sitija akhirnya mampu mengalahkan Prabu Bomantara raja Surateleng
dan Prabu Narakasura raja Prajatisa. Ia lalu menggabungkan kedua negara mereka menjadi
satu, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Trajutresna. Ia pun menjadi raja di gabungan
dua negara tersebut dengan gelar Prabu Boma Narakasura.
Patih Pancadnyana mendengar curahan hati rajanya dengan seksama. Prabu Boma
melanjutkan ceritanya, bahwa ia tidak iri apabila Raden Samba kelak menjadi raja
Dwarawati, karena ia sudah memiliki Kerajaan Trajutresna yang diperoleh dari hasil
usahanya sendiri, bukan dari warisan orang tua. Namun, yang membuatnya iri adalah Prabu
Kresna mencarikan jodoh untuk Raden Samba, sedangkan untuknya tidak sama sekali.
Sebagai putra yang lebih tua, harusnya ia yang lebih dulu dinikahkan, bukannya Raden
Samba.
Patih Pancadnyana berkata bahwa soal jodoh, Prabu Boma tidak perlu khawatir, juga
tidak perlu iri pada Raden Samba. Ia memiliki keponakan yang cantik jelita, bernama Dewi
Agnyanawati, putra kakaknya, yaitu Prabu Krentagnyana di Kerajaan Giyantipura. Prabu
Boma keberatan, karena Patih Pancadnyana berwujud raksasa, pasti keponakannya juga
berparas raksasi. Patih Pancadnyana berkata bahwa keponakannya yang bernama Dewi
Agnyanawati itu sangat cantik, karena ibunya dari golongan manusia, bukan dari golongan
raksasi. Begitu bersemangat Patih Pancadnyana menceritakan tentang kecantikan
keponakannya yang bernama Dewi Agyanawati, membuat Prabu Boma merasa tertarik dan
berniat kapan-kapan akan berkunjung ke Kerajaan Giyantipura.
Sekarang, Prabu Boma lebih dulu ingin pergi ke Kesatrian Madukara, menyaksikan
perkawinan antara Raden Samba dengan Dewi Sugatawati. Patih Pancadnyana pun ikut
menemani.
menghindar. Para Kurawa berusaha menangkapnya tetapi tidak ada satu pun yang mampu
menandingi kelincahan hewan itu.
Para Kurawa sebagian mengeroyok Raden Samba, dan sebagian lagi berusaha
mengepung kijang kencana berkaki merah. Kijang tersebut berusaha melawan mati-matian,
daripada ditangkap oleh mereka. Pada saat itulah tiba-tiba muncul Arya Setyaki dan Patih
Udawa datang membantu. Mereka langsung terjun menghalau para Kurawa yang berani
mengganggu Raden Samba dan kijang tersebut.
Para Kurawa tidak menyangka kalau Raden Samba memperoleh bala bantuan.
Karena terdesak oleh kesaktian dua orang itu, Patih Sangkuni pun memerintahkan para
keponakannya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Hastina.
Raden Samba berterima kasih atas bantuan Arya Setyaki dan Patih Udawa yang
datang tepat pada waktunya. Ia bertanya mengapa mereka menyusul, bukankah peraturan
sayembara mengatakan, kijang kencana berkaki merah harus ditangkap olehnya sendiri,
tidak boleh dibantu orang lain. Arya Setyaki menjawab memang benar demikian. Raden
Samba memang harus menangkap kijang kencana sendiri. Namun, jika membantu
mengusir para pengacau, bukan membantu menangkap kijang, jelas tidak melanggar
peraturan. Prabu Kresna mendapat firasat pihak Hastina pasti berbuat curang, maka ia pun
mengutus Arya Setyaki dan Patih Udawa untuk menyusul dan melindungi putra
kesayangannya.
Raden Samba terkesan mendengar perhatian sang ayah kepadanya. Ia pun berterima
kasih kepada Arya Setyaki dan Patih Udawa, lalu menuntun kijang kencana melanjutkan
perjalanan pulang bersama mereka.
Raden Samba segera meminta maaf kepada Prabu Boma. Mereka lalu bersama-sama
kembali menuju Kesatrian Madukara.
BAMBANG PRAMUSINTA
Kisah ini menceritakan tentang Bambang Pramusinta yang dikirim Prabu Tegalelana
agar mati di tangan Raden Arjuna. Namun, bukannya tewas, ia justru diterima sebagai
anggota keluarga Pandawa.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas wayang kulit dengan dalang Ki Anom
Suroto, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, April 2018
Heri Purwanto
Bambang Pramusinta
berkata terus terang bahwa dirinya sengaja mengirim Bambang Pramusinta untuk mati, agar
Endang Rayungwulan menjadi janda dan bisa ia nikahi.
Endang Rayungwulan sangat terkejut mendengar rajanya berkata demikian. Ia pun
memohon agar Prabu Tegalelana jangan punya pikiran buruk seperti itu. Prabu Tegalelana
tidak peduli, dan ia justru balik merayu Endang Rayungwulan agar sudi menjadi istrinya.
Terus terang ia merasa kasihan melihat Endang Rayungwulan yang cantik jelita tetapi hidup
miskin di pedesaan. Bukankah sebaiknya ikut dengannya saja tinggal di istana?
Bambang Sabekti tidak terima kakak iparnya diperlakukan seperti itu. Ia pun
menendang tubuh Prabu Tegalelana hingga terpental keluar rumah.
Raden Arjuna membaca isinya, bahwa Prabu Tegalelana menyebut Bambang Pramusinta
adalah punggawa durhaka yang hendak merebut takhta Kerajaan Bulukatiga darinya. Tidak
hanya itu, Prabu Tegalelana sudah berkata bahwa ia memiliki pelindung bernama Raden
Arjuna, namun Bambang Pramusinta tidak peduli dan mengatakan dirinya tidak takut pada
orang yang bernama Raden Arjuna tersebut. Surat itu juga menyebutkan bahwa, Prabu
Tegalelana ingin menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Tegawati kepada Raden
Arjuna apabila ia dibantu membunuh punggawa durhaka bernama Bambang Pramusinta
tersebut.
Wajah Raden Arjuna menjadi merah padam setelah membaca surat tersebut.
Beberapa waktu yang lalu Prabu Tegalelana telah ia kalahkan dan telah memohon ampun
kepadanya. Maka, apabila ada orang lain yang berani mengganggu Prabu Tegalelana, itu
berarti tidak memandang kepada dirinya. Tanpa banyak bicara, ia pun menampar pipi
Bambang Pramusinta dan merobek-robek surat di tangannya.
Bambang Pramusinta jatuh terpelanting karena tidak menduga akan ditampar seperti
itu. Raden Arjuna maju hendak membunuhnya. Bambang Pramusinta pun melawan sekuat
tenaga. Dalam waktu singkat, keduanya segera terlibat pertarungan sengit.
Kyai Semar curiga dan memungut serpihan surat yang berserakan di bawah lalu
menggabungkannya kembali. Setelah membaca isinya, ia tidak percaya begitu saja dan
meminta Raden Arjuna untuk memeriksa Bambang Pramusinta terlebih dulu. Namun,
Raden Arjuna justru menyuruh Kyai Semar diam, tidak perlu ikut campur.
Kyai Semar menduga Raden Arjuna gelap mata karena tergoda iming-iming Prabu
Tegalelana yang akan menyerahkan Dewi Tegawati. Maka, ia pun mengajak anak-anaknya
untuk bersorak-sorak memberi semangat kepada Bambang Pramusinta.
Raden Arjuna tersinggung dan semakin keras menyerang Bambang Pramusinta.
Sebenarnya kesaktian Bambang Pramusinta masih di bawah Raden Arjuna. Namun, karena
ia mendapat semangat dari para panakawan, dan ditambah lagi Raden Arjuna bertarung
membabi buta karena dibakar amarah, membuatnya bisa mengimbangi kesatria Pandawa
tersebut.
Raden Arjuna lama-lama kewalahan menghadapi ketangkasan Bambang Pramusinta.
Karena sudah gelap mata, ia pun melepas panah pusaka Ardadedali ke arah lawannya itu.
Kyai Semar melihat ini sangat berbahaya. Maka, ia pun berdiri menghalangi di depan
Bambang Pramusinta. Begitu panah Ardadedali menyentuh kulit Kyai Semar seketika
mental dan terlempar jauh ke udara.
Prabu Kresna lalu mengajak Bambang Pramusinta dan para panakawan mengejar
Raden Arjuna yang tentunya meminta bantuan para Pandawa lainnya di istana Indraprasta.
Dewi Rasawulan juga melahirkan dua anak yang diberi nama Dewi Rayungwulan dan
Raden Sabekti. Tiba-tiba Prabu Bomantara datang menyerang Kerajaan Selamirah untuk
dijadikan negeri jajahan. Prabu Rasadewa menghadapi dengan sekuat tenaga, namun
akhirnya gugur pula di tangan raja Surateleng tersebut. Dewi Rasawulan hendak mengungsi
ke Kerajaan Amarta dengan membawa keempat bayi, namun ketika melewati Desa
Pandasurat, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Raden Pramusinta, Dewi Pramuwati, Dewi Rayungwulan, dan Raden Sabekti yang
masih bayi pun diasuh warga Desa Pandansurat hingga mereka dewasa seperti sekarang
ini. Demikianlah, Batara Narada mengakhiri cerita.
Raden Nakula dan Raden Sadewa terharu mendengar kisah hidup anak-istri mereka.
Keduanya memang mendengar bahwa Kerajaan Selamirah dan Kerajaan Awu-awulangit
sudah hancur diserang Prabu Bomantara. Kemudian, Prabu Bomantara juga tewas di
tangan Raden Sitija putra Prabu Kresna. Raden Nakula dan Raden Sadewa pergi berkelana
mencari anak dan istri masing-masing, namun tidak pernah berhasil menemukan
keberadaan mereka. Raden Nakula pun bertanya mengapa Batara Narada tidak dari dulu
menceritakan bahwa anak-anak mereka berada di Desa Pandansurat? Batara Narada
menjawab, memang sudah suratan takdir bahwa Bambang Pramusinta dan yang lain harus
hidup mandiri di desa. Kelak jika sudah tiba waktunya, yaitu saat ini, Batara Narada pun
turun menjelaskan semuanya.
Karena tugasnya telah selesai, Batara Narada undur diri kembali ke kahyangan.
atasnya. Maka, Prabu Tegalelana pun tewas di tangan pemuda itu. Melihat rajanya
terbunuh, Patih Kuntalabahu maju menyerang. Namun, ia juga menemui ajal di tangan
Bambang Pramusinta.
Sementara itu, Bambang Sabekti masuk ke dalam istana dan melihat Raden
Tegamurti sedang merayu Endang Pramuwati. Namun, Endang Pramuwati selalu menolak
dan mengancam akan bunuh diri jika terus dipaksa. Bambang Sabekti marah dan segera
menyerang Raden Tegamurti. Keduanya lalu bertarung sengit. Raden Tegamurti akhirnya
tewas pula di tangan lawannya itu.
Endang Pramuwati terharu bahagia melihat suaminya hidup kembali. Mereka lalu
bergandengan tangan mencari Endang Rayungwulan berada.
CATATAN : Kisah Bambang Pramusinta ini saya susun sebagai satu rangkaian dengan kisah Endang
Sugatawati. Mengenai kisah Prabu Bomantara menyerang Kerajaan Awu-awulangit dan
Selamirah, serta kebaikan Dewi Tegawati adalah tambahan dari saya.
KITAB WAYANG PURWA
PARTAJUMENA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Raden Partajumena putra Prabu Kresna
dengan Dewi Kusumadewati putri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo yang dirangkum oleh Ki Rudy Wiratama, dengan disertai pengembangan
seperlunya.
Kediri, 20 April 2018
Heri Purwanto
Raden Partajumena
Setelah dirasa cukup, Prabu Baladewa pamit berangkat menuju Kesatrian Madukara
di Kerajaan Amarta. Prabu Kresna pun memerintahkan Arya Setyaki agar ikut menemani
perjalanan sang kakak.
Raden Arjuna belum menjawab, tiba-tiba datang Prabu Baladewa bersama Arya
Setyaki. Sama seperti rombongan dari Kerajaan Hastina, Prabu Baladewa pun datang untuk
menyampaikan lamaran Prabu Kresna terhadap Dewi Kusumadewati sebagai calon istri
Raden Partajumena.
Danghyang Druna menyela, bahwa yang pertama datang melamar adalah pihaknya,
maka seharusnya lamaran mereka yang diterima. Prabu Baladewa berkata, lamaran pihak
Hastina belum mendapat jawaban dari sang tuan rumah, itu artinya orang lain masih
mempunyai kesempatan yang sama. Patih Sangkuni menyindir, sejak dulu Prabu Baladewa
selalu melamarkan anak orang lain, kadang anak Prabu Duryudana, kadang anak Prabu
Kresna, tetapi anak sendiri belum dinikahkan. Prabu Baladewa semakin marah dan memaki
Patih Sangkuni tidak perlu mencampuri urusan rumah tangganya.
Raden Arjuna melerai pertengkaran mereka sebelum berubah menjadi perkelahian. Ia
pun memanggil putrinya yang menjadi rebutan, yaitu Dewi Kusumadewati. Gadis itu disuruh
memilih, lamaran pihak mana yang akan diterima, apakah menjadi istri Raden Lesmana
Mandrakumara, ataukah menjadi istri Raden Partajumena? Dewi Kusumadewati tidak dapat
menjawab sekarang. Ia bercerita bahwa dirinya sejak kecil suka belajar menabuh gamelan,
maka kelak jika menikah ingin rasanya pernikahannya diiringi alunan musik gamelan
Lokananta milik Kahyangan Suralaya.
Patih Sangkuni menyebut Dewi Kusumadewati anak kecil yang suka berkhayal. Ia
menjanjikan gamelan milik Kerajaan Hastina juga merdu, tidak kalah dengan milik
Kahyangan Suralaya. Di lain pihak, Prabu Baladewa menyatakan pihak Kerajaan Dwarawati
siap mewujudkan syarat tersebut. Dulu sewaktu Raden Arjuna melamar Dewi Sumbadra,
dirinya telah mengajukan syarat-syarat berat.
Sekarang jika pihak Madukara yang mengajukan syarat seperti itu, ia siap menerima.
Usai berkata, Prabu Baladewa dan Arya Setyaki pun pamit kembali ke Kerajaan Dwarawati.
Karena sudah diputuskan demikian, Danghyang Druna ikut pamit pula, dengan disertai
Patih Sangkuni.
di bawah pohon, memohon petunjuk dewata. Tiba-tiba datang seorang bidadari turun dari
langit, yaitu Batari Wilotama.
Dahulu kala Batari Wilotama pernah mengalami kutukan sehingga berubah menjadi
kuda sembrani. Saat itu Danghyang Druna masih bernama Bambang Kumbayana, sedang
dalam perjalanan menuju Tanah Jawa mencari sahabatnya yang bernama Raden Sucitra.
Bambang Kumbayana terhalang lautan dan ia pun dihampiri si kuda sembrani penjelmaan
Batari Wilotama.
Bambang Kumbayana lalu menunggangi punggung kuda itu yang ternyata mampu
terbang di angkasa. Ketika sedang berada di punggung kuda, Bambang Kumbayana tertidur
dan mimpi bertemu Dewi Krepi hingga menyebabkan mimpi basah. Air maninya jatuh ke
laut dan disambar oleh si kuda sembrani. Sesampainya di Tanah Jawa, kuda sembrani itu
hamil dan tidak mau berpisah dengan Bambang Kumbayana. Hingga akhirnya, ia pun
melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Bambang Aswatama.
Bambang Kumbayana malu diejek orang karena mempunyai anak dari seekor kuda,
sehingga ia pun menusuk kuda sembrani tersebut. Sungguh ajaib, si kuda sembrani
berubah wujud menjadi Batari Wilotama yang kemudian kembali ke kahyangan. Bambang
Kumbayana lalu melanjutkan perjalanan dan berjumpa dengan gadis dalam mimpinya, yaitu
Dewi Krepi yang bersedia menjadi istrinya. Dewi Krepi pun mengasuh Bambang Aswatama
bagaikan anak kandungnya sendiri.
Kini, Batari Wilotama datang lagi di hadapan Danghyang Druna. Ia datang untuk
membalas jasa karena dulu telah dibebaskan dari kutukan. Danghyang Druna pun meminta
bantuan agar dipinjamkan Gamelan Lokananta dari Kahyangan Suralaya. Batari Wilotama
bersedia lalu ia pun segera melesat terbang ke sana.
bukanlah pemuda sembarangan. Ia dengan cekatan mampu mengatasi raksasa itu dan
membunuhnya.
Akan tetapi, Ditya Wilasura seolah memiliki nyawa rangkap. Begitu dibunuh, ia bisa
hidup kembali dan menyerang Raden Partajumena. Berkali-kali Raden Partajumena
membunuhnya, namun raksasa itu selalu dapat hidup kembali.
Kyai Semar melihat ada yang tidak beres. Ia pun menghampiri raksasa tersebut dan
mengerahkan kentut saktinya. Raksasa itu muntah-muntah dan berubah kembali ke wujud
asal, yaitu Batari Wilotama. Karena takut kepada Kyai Semar, Batari Wilotama pun melesat
pergi ke tempat Danghyang Druna.
hidangan. Prabu Klanawasesa menjadi berubah pikiran. Ia tidak lagi berniat menculik Dewi
Kusumadewati, tetapi ganti menyambar Dewi Pregiwa.
Para dayang pun menjerit-jerit karena Dewi Pregiwa diculik orang. Hal itu terdengar
olah Raden Gatutkaca. Segera Raden Gatutkaca pun terbang mengejar penculik istrinya.
Dalam sekejap Prabu Klanawasesa dapat tersusul. Prabu Klanawasesa tidak menyangka
ada manusia yang bisa terbang mengejar dirinya. Raden Gatutkaca tanpa banyak bicara
langsung melabrak raja Simbarmanyura tersebut.
Pertarungan sengit pun terjadi. Prabu Klanawasesa sebenarnya cukup sakti, namun
tidak mampu menandingi kesaktian Raden Gatutkaca. Akhirnya ia pun tewas dengan kepala
dicopot oleh lawannya itu. Raden Gatutkaca lalu memeluk Dewi Pregiwa dan membawa
istrinya itu kembali ke tempat pesta pernikahan.
CATATAN : Mengenai Prabu Klanawasesa dan juga raksasa penjelmaan Batari Wilotama dalam kisah di atas
adalah tambahan dari saya.
KITAB WAYANG PURWA
WISATA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Raden Wisata putra Prabu Baladewa
dengan Dewi Nilawati putri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo yang dirangkum oleh Ki Rudy Wiratama, dengan disertai pengembangan
seperlunya.
Kediri, 05 Mei 2018
Heri Purwanto
Raden Wisata
Prabu Kresna menjawab dirinya juga tidak pernah mendengar ada payung bernama
Garuda Nglayang. Namun, hal-hal yang berkenaan dengan dunia binatang tiada orang yang
pengetahuannya melebihi Resi Jembawan, yaitu mertua Prabu Kresna yang menjadi juru
kunci Astana Gandamadana. Sepertinya hanya dia seorang yang mengetahui adanya
Payung Garuda Nglayang.
Prabu Kresna lalu memanggil Raden Partajumena dan memerintahkan putranya itu
untuk pergi ke Astana Gandamadana, meminta petunjuk Resi Jembawan mengenai Payung
Garuda Nglayang. Prabu Baladewa pun memerintahkan Raden Wisata untuk ikut pergi
menemani Raden Partajumena.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna pun membubarkan pertemuan. Ia mengajak
Prabu Baladewa bersama-sama masuk ke sanggar pemujaan untuk meminta restu Yang
Mahakuasa agar pernikahan Raden Wisata mendapatkan kelancaran.
Setelah jauh dari kedua lawannya, Emban Durgamarungsit dan Patih Durgamakala
pun berunding. Mereka memutuskan untuk mengurungkan niat menyerang Kesatrian
Madukara. Emban Durgamarungsit akan berangkat sendiri menuju ke sana untuk menculik
Dewi Nilawati, sedangkan Patih Durgamakala sebaiknya pulang saja ke Kerajaan
Timbultaunan melapor kepada Prabu Kaladurgama.
mencari Gamelan Lokananta. Namun, para Kurawa yang datang hari ini jauh lebih banyak,
dan langsung mengeroyok mereka. Karena terdesak, Raden Partajumena pun meminjam
Payung Garuda Nglayang dari tangan Raden Wisata, lalu mengibas-ngibaskannya,
menghasilkan angin besar yang menderu-deru.
Patih Sangkuni dan para Kurawa tidak menyangka Payung Garuda Nglayang dapat
mengeluarkan kekuatan seperti itu. Lagi-lagi mereka pun terhempas terbang hingga jauh
sekali meninggalkan tempat itu.
Petruk Kantongbolong
Prantawati sesudah dewasa kepada Petruk. Namun, janji itu justru dilanggar sendiri karena
Dewi Prantawati saat ini hendak dinikahkan dengan orang lain.
Prabu Baladewa marah menyebut Petruk kurang ajar berani menasihati raja. Petruk
berkata, Prabu Baladewa adalah tamu juga, jadi tidak perlu merasa lebih tinggi daripada
tamu lainnya. Prabu Baladewa semakin marah dan menyeret Petruk keluar dari istana.
Prabu Kresna termenung bimbang. Ia lalu membubarkan pertemuan dan
memerintahkan Arya Setyaki untuk menjaga keamanan Kerajaan Dwarawati. Barangsiapa
yang berbuat kekacauan sebaiknya ditindak saja. Arya Setyaki menyanggupi. Prabu Kresna
lalu masuk ke dalam kedaton.
Melihat kekacauan ini, Prabu Baladewa maju melabrak Raden Antareja dan Raden
Gatutkaca. Kedua pemuda itu gentar karena ayah mereka sewaktu muda pernah berguru
kepada Prabu Baladewa saat masih bernama Wasi Jaladara. Mereka pun mundur
menghindar dan meminta maaf kepada Petruk. Petruk sendiri memilih kabur daripada
berhadapan dengan Prabu Baladewa. Untuk sementara ia mundur, mencari cara untuk
menggagalkan pernikahan Raden Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Prantawati.
Arya Gatutkaca
Perang Bratayuda antara para Kurawa melawan para Pandawa. Apabila sekarang dirinya
bisa menjadi senapati Kerajaan Amarta, maka kelak apabila perang tersebut benar-benar
meletus, dirinya bisa ikut membantu para Pandawa menumpas angkara murka para
Kurawa.
Prabu Kresna senang mendengar cita-cita luhur putranya itu. Namun, ia berkata
bahwa pemilihan Raden Gatutkaca sebagai senapati menggantikan Arya Wrekodara bukan
semata-mata soal anak menggantikan ayah, tetapi semua itu melalui proses perundingan
yang panjang. Lagipula Prabu Boma bukan anggota keluarga Pandawa, maka sebaiknya
tidak usah memiliki keinginan menjadi senapati Kerajaan Amarta.
Batara Ekawarna menjawab pendapat menantunya itu. Para Pandawa adalah
lambang kebenaran. Mereka adalah para kesatria penegak keadilan. Apabila ada orang
yang ingin ikut mendukung perjuangan mereka apakah perlu dilihat lebih dulu orang itu
memiliki hubungan kekeluargaan dengan para Pandawa atau tidak? Dalam
memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang terpenting adalah berani atau tidak, bukan
soal ada hubungan darah atau tidak.
Prabu Kresna merasa pendapat sang mertua ada benarnya juga. Hatinya kini mulai
bimbang apakah mendukung pelantikan Raden Gatutkaca sebagai senapati baru, ataukah
mengusulkan Prabu Boma saja yang menduduki jabatan tersebut. Setelah menimbang-
nimbang, ia pun berkata bahwa keinginan Prabu Boma untuk menjadi senapati para
Pandawa tidak ada salahnya. Namun, sangat baik jika putranya itu mendapatkan wahyu
senapati yang akan diturunkan oleh dewata. Konon kabarnya, para dewa hendak
menurunkan wahyu senapati dalam bentuk pusaka Topeng Waja kepada Raden Gatutkaca
selaku calon senapati Kerajaan Amarta. Apabila Prabu Boma bisa mendapatkan Topeng
Waja tersebut, maka Prabu Kresna bersedia membantu mengusulkannya untuk menjadi
senapati para Pandawa.
Batara Ekawarna dan Prabu Boma bersyukur mendengar keputusan Prabu Kresna
tersebut. Namun, ada pepatah mengatakan, “anak polah, bapa kepradah” sehingga Batara
Ekawarna pun meminta bantuan Prabu Kresna bagaimana caranya agar Prabu Boma bisa
mendapatkan wahyu pusaka tersebut. Selama ini Prabu Boma tidak pernah merepotkan
ayahnya. Bahkan, menjadi raja Trajutresna juga karena usahanya sendiri, tanpa sedikit pun
meminta bantuan Prabu Kresna.
Prabu Kresna merenung. Selama ini dia memang lebih menyayangi Raden Samba
daripada para putra yang lain. Apalagi terhadap Prabu Boma seolah tidak pernah ia
perhatikan. Bagaimana Prabu Boma bisa menjadi raja Trajutresna dan juga mencari
permaisuri, sama sekali dirinya sebagai orang tua tidak pernah memberikan bantuan. Untuk
menebus kesalahannya itu, Prabu Kresna akhirnya bersedia membantu Prabu Boma untuk
mendapatkan Wahyu Topeng Waja.
Teringat pada kesanggupan sang ayah kepada dirinya, Prabu Boma pun menyela
ucapan Raden Sadewa. Ia berkata bahwa Prabu Kresna untuk sementara ini tidak dapat
datang ke Kerajaan Amarta karena ada urusan yang lebih penting yang harus diselesaikan.
Raden Sadewa menjawab dirinya datang untuk menjemput Prabu Kresna, maka biarlah
Prabu Kresna yang menyatakan bersedia atau tidak. Prabu Boma takut ayahnya menjawab
bersedia, maka ia pun berkata bahwa dirinya kini menjadi juru bicara Kerajaan Dwarawati.
Mewakili Prabu Kresna, ia berkata bahwa ayahnya tidak bersedia hadir di Kerajaan Amarta.
Raden Sadewa semakin kesal melihat tingkah Prabu Boma. Ia bertanya kepada Prabu
Kresna apa benar sekarang di Kerajaan Dwarawati ada jabatan juru bicara segala? Prabu
Kresna hanya diam tersenyum. Raden Sadewa semakin kesal karena melihat sikap Prabu
Kresna yang seolah mendukung tingkah anaknya. Prabu Boma juga takut Prabu Kresna
menjawab bersedia. Maka, ia segera menantang Raden Sadewa apabila keberatan dengan
adanya jabatan juru bicara ini, maka silakan menghadapi dirinya di alun-alun istana.
Raden Sadewa sebenarnya tidak ada urusan dengan Prabu Boma. Namun, tingkah
laku keponakannya itu sudah melebihi batas kesabaran. Maka, ia pun keluar melayani
tantangan Prabu Boma.
Setelah Raden Sadewa keluar, Prabu Kresna menegur Prabu Boma. Sejak tadi ia
diam bukan karena merestui perbuatan putranya itu, tetapi karena tidak ingin membuat malu
Prabu Boma di hadapan Raden Sadewa. Prabu Kresna menyuruh Prabu Boma meminta
maaf kepada Raden Sadewa atas sikap kasarnya tadi. Namun, Prabu Boma menolak dan
ia pun keluar istana untuk menghadapi pamannya tersebut.
Prabu Kresna merasa prihatin, namun membiarkan Prabu Boma biarlah mendapatkan
pengalaman terlebih dulu. Ia lalu memerintahkan Arya Setyaki untuk berjaga-jaga, jangan
sampai ada pihak yang terluka atau bahkan terbunuh. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna
membubarkan pertemuan dan mempersilakan Batara Ekawarna masuk meninjau istana.
Dengan kata-kata manis, Prabu Boma pura-pura kasihan kepada Raden Antareja
yang usianya lebih tua daripada Raden Gatutkaca, tetapi harus rela menjadi bawahan
adiknya itu. Raden Antareja menjawab, tidak masalah dirinya menjadi bawahan, karena
Raden Gatutkaca memang lebih dulu bergabung dengan angkatan bersenjata Kerajaan
Amarta daripada dirinya. Prabu Boma berkata, ini bukan soal siapa yang lebih dulu menjadi
punggawa, tetapi siapa yang lebih memiliki jasa atau prestasi. Meskipun Raden Antareja
kalah lama menjadi punggawa, namun soal jasa terhadap negara belum tentu kalah
dibanding Raden Gatutkaca.
Raden Antareja termenung karena kata-kata Prabu Boma tepat merasuk ke dalam
lubuk hatinya. Ia menjadi bimbang dan hampir saja terpengaruh. Namun, ia segera
mengeraskan tekad dan kembali menantang Prabu Boma melanjutkan pertarungan. Tiba-
tiba Prabu Kresna dan Batara Ekawarna datang melerai mereka.
Melihat itu, Raden Sadewa segera maju ikut mendekat. Prabu Kresna berkata bahwa
tidak ada gunanya bertarung sesama saudara. Mengenai undangan ke Kerajaan Amarta,
dirinya tidak bisa datang hari ini karena sudah berjanji hendak membantu Batara Ekawarna
menyelesaikan masalah di Kahyangan Ekapratala. Besok pagi baru ia bisa pergi ke
Kerajaan Amarta memenuhi undangan para Pandawa.
Karena Prabu Kresna telah memutuskan demikian, Raden Sadewa merasa tidak perlu
lagi membuang waktu. Ia pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Amarta bersama Raden
Antareja.
Setelah keduanya pergi, Prabu Kresna ganti menegur Prabu Boma. Ia merasa tidak
suka dengan sikap Prabu Boma yang bertindak kasar kepada Raden Sadewa.
Bagaimanapun juga Raden Sadewa terhitung sebagai paman sehingga Prabu Boma wajib
hormat kepadanya. Lagipula Prabu Boma ingin menjadi senapati Kerajaan Amarta, maka
harusnya bisa mengambil hati para Pandawa, bukannya justru memusuhi mereka.
Prabu Boma merasa bersalah dan meminta petunjuk ayahnya. Prabu Kresna
menjawab, dirinya bersedia membantu Prabu Boma mendapatkan wahyu senapati, asalkan
putranya itu bersedia memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Prabu Boma
berterima kasih dan menyatakan bersedia. Mereka lalu berpisah. Prabu Kresna berangkat
bersama Batara Ekawarna menuju Kahyangan Jonggringsalaka, sedangkan Prabu Boma
berangkat menuju Kerajaan Amarta.
Raden Sadewa bercerita bahwa saat ini Raden Gatutkaca sedang sakit. Meskipun
demikian, upacara pelantikan tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disusun. Yang
lebih mengherankan ialah sikap Prabu Kresna yang menunda hadir ke Kerajaan Amarta
karena menerima kunjungan Prabu Boma dan Batara Ekawarna. Raden Sadewa pun
menceritakan semuanya mulai awal hingga akhir tentang penugasannya ke Kerajaan
Dwarawati.
Bambang Wisanggeni yang cerdas dapat menebak bahwa Prabu Boma mengincar
jabatan senapati Kerajaan Amarta. Tidak hanya itu, Prabu Kresna juga berniat
menggagalkan Raden Gatutkaca menerima wahyu senapati. Hal ini tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Bambang Wisanggeni pun mohon pamit untuk berangkat mengejar Prabu
Kresna. Raden Antasena tentu saja ikut serta.
Sepeninggal kedua pemuda itu, Raden Sadewa mengajak Raden Antareja
melanjutkan perjalanan. Namun, Raden Antareja mengaku tidak bisa menghadiri upacara
pelantikan Raden Gatutkaca. Ia merasa sedang tidak enak badan. Tanpa menunggu
jawaban Raden Sadewa, tiba-tiba Raden Antareja melesat pergi menuju tempat tinggalnya
di Kesatrian Jangkarbumi.
Raden Sadewa merasa sikap Raden Antareja berubah menjadi aneh setelah
bertarung dengan Prabu Boma. Namun, ia merasa yang lebih penting adalah melapor
kepada Prabu Puntadewa perihal kegagalannya membawa serta Prabu Kresna. Maka, ia
pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Amarta seorang diri.
jika mereka tidak bersedia, apa tidak sebaiknya mencari calon dari luar Kerajaan Amarta
saja?
Raden Gatutkaca yang terbaring tak berdaya di pangkuan ayahnya dapat mendengar
suara Prabu Boma. Ingin sekali ia bangkit namun tidak memiliki tenaga sama sekali.
Terdengar Prabu Boma kembali melanjutkan perkataannya yang berisi sindiran-sindiran
pedas untuk dirinya. Raden Gatutkaca semakin kesal dan merasa lebih baik mati daripada
tidak mendapatkan kesembuhan.
Tampak Prabu Boma berkata bahwa ia ingin Raden Gatutkaca segera sembuh agar
mereka bisa berlatih tanding bersama, serta bermain perang-perangan lagi seperti dulu.
Tiba-tiba dari angkasa melayang turun Topeng Waja yang kemudian melesat memasuki
Kesatrian Jodipati dan langsung menempel di wajah Raden Gatutkaca.
Sungguh ajaib, wajah Raden Gatutkaca langsung sembuh dan Topeng Prunggu pun
menyatu dengan kulitnya, membuat wajah Raden Gatutkaca kini terlihat lebih tampan
daripada sebelumnya.
Melihat itu, Prabu Boma semakin kesal. Ia pun mengajak kakeknya pulang kembali ke
Kerajaan Trajutresna, meninggalkan Prabu Kresna seorang diri.
ANTAREJA MBALELA
Kisah ini menceritakan tentang pemberontakan Raden Antareja yang tidak setuju atas
pengangkatan Raden Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan Amarta.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Anom Suroto, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 04 Agustus 2018
Heri Purwanto
maka para Kurawa yang akan mendapat keuntungan. Tidak peduli siapa yang mati, apakah
Raden Antareja, ataukah Arya Gatutkaca, tetap saja pihak Pandawa yang rugi. Syukur-
syukur apabila keduanya mati bersama, tentu itu lebih baik.
Prabu Duryudana semakin senang mendengar rencana ini. Patih Sangkuni pun mohon
pamit berangkat ke Kesatrian Jangkarbumi dengan ditemani para Kurawa.
Antareja jangan berkecil hati. Dirinya dan para Kurawa siap memberikan bantuan kepada
Raden Antareja agar bisa merebut jabatan senapati Kerajaan Amarta.
Raden Antasena menjawab tidak benar demikian. Arya Gatutkaca meskipun lebih
muda daripada Raden Antareja, namun ia lebih dulu menjadi punggawa, sehingga memiliki
pengalaman dan jasa lebih banyak. Ia tidak setuju jika ayah mereka disebut tidak adil.
Raden Antasena ingin mengajak Raden Antareja pergi ke Kesatrian Jodipati untuk meminta
maaf kepada Arya Wrekodara atas tuduhan ini.
Patih Sangkuni ikut bicara, namun ia dimaki Raden Antasena sebagai penghasut. Ia
yakin kakak sulungnya memiliki pikiran seperti ini pasti karena hasutan Patih Sangkuni yang
licik. Patih Sangkuni menjawab dirinya hanya menegaskan saja. Soal ketidakadilan yang
dirasakan Raden Antareja sudah tertanam di hati sebelum dirinya datang ke Jangkarbumi.
Raden Antareja memarahi Raden Antasena yang bersikap tidak sopan kepada
tamunya. Ia pun menjawab tegas bahwa dirinya tidak bersedia meminta maaf ke Kesatrian
Jodipati menemui sang ayah. Raden Antasena menjawab tidak masalah kakaknya bersikap
demikian. Urusan ini biarlah ayah mereka yang menyelesaikan. Usai berkata demikian,
Raden Antasena pun mohon pamit meninggalkan Kesatrian Jangkarbumi.
Setelah Raden Antasena pergi, Patih Sangkuni memberi tahu Raden Antareja agar
mencegah adik bungsunya itu jangan sampai pulang ke Kesatrian Jodipati. Jika rencana
pemberontakan Raden Antareja bocor, maka pihak Kerajaan Amarta akan bersiap siaga.
Untuk itu, lebih baik Raden Antasena ditangkap hidup atau mati sebelum mencapai
Kerajaan Amarta ataupun Kesatrian Jodipati.
Raden Antareja menerima saran Patih Sangkuni. Karena ambisinya yang besar, ia
pun melupakan rasa persaudaraan. Ia bertanya kepada Bambang Irawan pilih ikut
bersamanya ataukah bergabung dengan para Pandawa. Bambang Irawan sejak kecil sudah
akrab lahir batin dengan Raden Antareja. Maka, ia pun menyatakan ikut mendukung
pemberontakan kakaknya itu. Raden Antareja senang dan memerintahkan Bambang
Irawan agar menangkap Raden Antasena.
dukungan terhadap dirinya. Raden Antasena yang telah memukul Bambang Irawan pun
ditantang untuk memukul dirinya.
Raden Antasena menolak. Ia berkata bahwa tadi tangannya memukul Bambang
Irawan adalah karena tidak sengaja. Jika Raden Antareja hendak membalas, maka ia
bersedia menerima pukulan tanpa melawan sedikit pun. Raden Antareja pun memukul
Raden Antasena dengan keras. Raden Antasena hanya tersenyum tanpa bergerak. Raden
Antareja tersinggung merasa disepelekan. Kemarahannya memuncak dan matanya pun
memerah. Tidak lama kemudian wajah Raden Antareja berubah menjadi naga dengan lidah
menjulur mengerikan.
Raden Antasena terkejut melihat perubahan wujud kakaknya. Ia segera melompat
jauh, meloloskan diri karena menduga kakaknya itu sudah kerasukan setan.
Patih Sangkuni. Kini Raden Antareja berniat memberontak untuk merebut kedudukan
senapati Kerajaan Amarta.
Arya Gatutkaca marah mendengarnya. Ia tidak keberatan jika jabatannya sebagai
senapati diambil Raden Antareja. Yang membuatnya marah adalah mengapa Raden
Antareja melupakan persaudaraan hingga melukai Raden Abimanyu hingga seperti ini.
Batara Guritna pun memeriksa luka Raden Abimanyu. Sambil membaca mantra ia
mengusap dada pemuda itu. Sungguh ajaib, luka Raden Abimanyu sembuh seketika dan ia
pun siuman dari pingsan. Arya Gatutkaca memeluk sepupunya itu dan berterima kasih atas
pertolongan Batara Guritna.
Arya Gatutkaca kemudian mohon pamit kepada Batara Guritna untuk kembali ke
Kerajaan Amarta. Sebagai senapati angkatan bersenjata, ia merasa ini adalah
kewajibannya untuk memadamkan pemberontakan Raden Antareja. Batara Guritna
merestui dan ikut mendoakan semoga muridnya itu meraih kemenangan.
Setelah Arya Gatutkaca dan kedua saudaranya pergi, Batara Guritna tiba-tiba
didatangi Batara Narada yang turun dari kahyangan. Batara Guritna pun menyembah
hormat kepadanya. Batara Narada berkata bahwa ia membawa perintah dari Batara Guru,
yaitu Batara Guritna ditugaskan untuk menitis kepada Arya Gatutkaca sebagai penambah
kesaktian dan kebijaksanaan pemuda tersebut. Kelak jika sudah meletus Perang
Bratayuda, maka Batara Guritna boleh kembali lagi ke kahyangan.
Batara Guritna menerima perintah dengan senang hati. Ia pun mohon pamit menyusul
Arya Gatutkaca menuju Kerajaan Amarta.
Abimanyu menggunakan semburan bisa. Entah bagaimana nasib Raden Abimanyu saat ini,
para panakawan tidak mengetahui karena dibawa kabur Raden Antasena.
Arya Wrekodara marah mendengar laporan itu. Tiba-tiba di luar istana terdengar suara
ribut-ribut, rupanya Raden Antareja telah datang dan mengamuk menghadapi para prajurit
dan punggawa. Patih Tambakganggeng, Arya Andakasumilir, Patih Gagakbaka, Arya
Dandangminangsi, Arya Podangbinorehan, Patih Sucitra, Patih Surata, tidak ada seorang
pun yang mampu mengatasi amukan Raden Antareja.
Arya Wrekodara maju menghadang putra sulungnya itu. Ia memarahi Raden Antareja
yang sudah gila karena membuat keributan di negeri sendiri. Raden Antareja menjawab,
dirinya menjadi gila adalah karena sikap ayahnya yang pilih kasih, lebih menyayangi Arya
Gatutkaca dibanding para putra yang lain. Arya Wrekodara marah dituduh demikian. Ia
berniat memukul Raden Antareja, namun Arya Gatutkaca tiba-tiba muncul melerai.
Pada saat itulah Batara Guritna datang dan ia melihat muridnya dalam bahaya. Sesuai
petunjuk Batara Narada, ia pun masuk ke dalam tubuh Arya Gatutkaca, menyatu jiwa raga
dengan muridnya itu. Seketika Arya Gatutkaca seperti mendapat kekuatan baru. Ia pun
balas mengimbangi Raden Antareja dengan melakukan kroda pula. Dari punggung Arya
Gatutkaca tiba-tiba muncul sepasang sayap yang membentang lebar.
Arya Gatutkaca dan Raden Antareja kembali melanjutkan pertarungan. Yang satu
bersayap seperti garuda, dan yang satu berwajah naga dengan mulut menyemburkan bisa.
Pertarungan ini sungguh dahsyat dan mengerikan, bagaikan seekor burung elang bergulat
melawan ular besar. Prabu Kresna dan para Pandawa sampai terheran-heran melihat
perubahan wujud mereka berdua.
Lama-lama Raden Antareja terdesak menghadapi kesaktian Arya Gatutkaca. Sesaat
ia lengah dan berhasil diringkus Arya Gatutkaca. Pada saat itulah Resi Anoman muncul dan
tangannya ikut menjambak rambut Raden Antareja. Mulutnya komat-kamit membaca
mantra. Raden Antareja merasa kesakitan dan dari mulutnya keluar asap yang berubah
menjadi sosok raja raksasa menyeramkan. Ia adalah roh Prabu Rahwana.
Resi Anoman dengan cekatan menghajar roh Prabu Rahwana yang telah kabur dari
penjara gaib Gunung Kundalini dan selama ini merasuki pikiran Raden Antareja. Roh Prabu
Rahwana kewalahan dan akhirnya berhasil ditangkap Resi Anoman untuk kemudian dibawa
pulang ke Padepokan Kendalisada.
Adipati Brajadenta masih bimbang, karena menurut kabar yang ia terima, Dewi Arimbi
berniat mewariskan takhta Kerajaan Pringgadani kepada putranya, yaitu Arya Gatutkaca.
Patih Sangkuni pura-pura terkejut mendengar berita itu. Ia berkata bahwa ini semua pasti
ulah licik para Pandawa. Arya Gatutkaca memiliki darah campuran, yaitu perpaduan antara
keluarga Pandawa dengan keluarga Pringgadani. Dengan menjadikan Arya Gatutkaca
sebagai raja, itu artinya para Pandawa hendak menjajah Kerajaan Pringgadani secara tidak
langsung.
Braja harusnya bersatu menggagalkan penjajahan para Pandawa atas negeri mereka.
Raden Brajamusti menjawab, jika para Pandawa tidak boleh mencampuri urusan Kerajaan
Pringgadani, mengapa pula Patih Sangkuni dan para Kurawa ikut campur urusan ini? Ia
menyebut Patih Sangkuni hanyalah ingin menghasut Adipati Brajadenta untuk
memberontak dan kemudian menjadikan Kerajaan Pringgadani sebagai bawahan Kerajaan
Hastina.
Adipati Brajadenta memarahi Raden Brajamusti yang berani memaki tamunya. Raden
Brajamusti meminta maaf dan menegaskan sekali lagi apakah kakaknya itu bersedia ikut
dirinya pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk dilantik sebagai patih? Adipati Brajadenta
menolak dengan tegas. Ia bersedia datang ke sana apabila yang menjadi raja bukan Arya
Gatutkaca.
Mendengar jawaban itu, Raden Brajamusti merasa tidak ada gunanya berlama-lama
lagi. Ia pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Pringgadani.
Setelah Raden Brajamusti pergi, Patih Sangkuni memberi saran agar Adipati
Brajadenta menangkap adiknya tersebut. Syukur apabila Raden Brajamusti bisa ditarik
bergabung dengan dirinya. Apabila tidak bersedia, lebih baik disingkirkan daripada menjadi
penambah kekuatan pihak Pandawa. Adipati Brajadenta setuju dan segera memimpin
pasukan mengejar Raden Brajamusti. Para Kurawa pun ikut serta.
meskipun tampak samar-samar antara ada dan tiada. Ia pun segera menyembah kaki sang
kakek dengan perasaan haru.
Setelah memberikan restu kepada cucunya itu, roh Prabu Tremboko pun bercerita
tentang dirinya di zaman dulu pernah berguru kepada Prabu Pandu Dewanata, kakek Arya
Gatutkaca dari pihak ayah. Saat itu Prabu Tremboko mendapat ilmu kesaktian berupa Aji
Brajadenta dan Aji Brajamusti. Akibat belajar ilmu tersebut, tiba-tiba dari paha kiri dan kanan
Prabu Tremboko keluar dua bayi raksasa. Prabu Tremboko pun menjadikan mereka
sebagai putra yang diberi nama Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti.
Kini cucu Prabu Pandu akan dilantik menjadi raja Pringgadani. Itu artinya usia Raden
Brajadenta dan Raden Brajamusti tidak akan lama lagi. Mereka akan segera musnah,
kembali menjadi ilmu kesaktian yang bersatu dalam diri Arya Gatutkaca selaku cucu Prabu
Pandu.
Arya Gatutkaca prihatin mendengarnya. Ia tidak ingin menjadi raja daripada
kehilangan kedua pamannya tersebut. Prabu Tremboko menegur cucunya itu. Meskipun
Arya Gatutkaca menolak menjadi raja tetap saja Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti
akan mati. Tidak ada manusia yang hidup abadi. Mati sekarang atau besok apa bedanya?
Justru apabila Arya Gatutkaca menolak menjadi raja, maka yang kasihan adalah rakyat
jelata yang tidak mempunyai seorang pemimpin yang cakap.
Arya Gatutkaca mencoba memantapkan hati. Prabu Tremboko berpesan kepada
cucunya itu agar segera pulang ke Kerajaan Pringgadani, karena di sana para sesepuh
sudah berdatangan untuk menyaksikan upacara pelantikannya. Usai berkata demikian, roh
Prabu Tremboko pun musnah dari pandangan.
Arya Gatutkaca menyembah menghormati makam kakeknya, kemudian ia pergi
melesat ke angkasa.
Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar. Rupanya Adipati Brajadenta
dengan bala tentaranya telah tiba dan membuat kekacauan di wilayah Kerajaan
Pringgadani. Raden Brajalamatan dan Raden Brajawikalpa segera memimpin pasukan
menghadapi serangan itu. Namun, mereka terdesak mundur oleh kesaktian sang kakak
yang perkasa.
Dewi Arimbi marah besar melihat ulah Adipati Brajadenta. Ia pun mengambil wujud
aslinya yang seorang raksasi untuk mengamuk menyerang Adipati Brajadenta. Adipati
Brajadenta menghindari serangan sambil mulutnya menuduh Dewi Arimbi telah menjual
negara, menjadi budak para Pandawa. Mendengar tuduhan itu, Dewi Arimbi semakin marah
dan menyerang Adipati Brajadenta dengan gencar.
Adipati Brajadenta jelas lebih sakti dan lebih berpengalaman dalam pertempuran
dibanding Dewi Arimbi. Meskipun tidak pernah menyerang dengan ganas, namun ia sudah
berhasil membuat Dewi Arimbi terdesak kewalahan.
terdesak. Hingga akhirnya, Adipati Brajadenta mengerahkan Aji Gelap Sakethi membuat
tubuh Arya Gatutkaca terlempar ke udara.
mendengar ramalan bahwa ajalnya akan tiba apabila keturunan Prabu Pandu menjadi raja
Pringgadani.
Adipati Brajadenta sama sekali tidak takut pada ramalan itu. Namun, ia juga tidak ingin
mati karena sakit mendadak. Lebih baik ia mengadakan pemberontakan, sekaligus menjadi
ujian pertama Arya Gatutkaca sebagai raja. Kebetulan pula Patih Sangkuni datang
menghasut, maka ini bisa menjadi alasan Adipati Brajadenta untuk mengantarkan nyawa.
Adipati Brajadenta juga mengetahui kalau Raden Brajamusti telah menyusup di tangan
kiri Arya Gatutkaca. Itulah sebabnya, dalam pertarungan tadi ia selalu memaksa Arya
Gatutkaca agar menggunakan tangan kirinya. Begitu tangan kiri yang mengandung Raden
Brajamusti digunakan, seketika Adipati Brajadenta pun tewas menjemput takdirnya.
Arya Gatutkaca memohon maaf telah menjadi penyebab kematian kedua pamannya.
Adipati Brajadenta menjawab, tidak ada yang perlu disesalkan. Dahulu kala Prabu Pandu
mengajarikan ilmu kesaktian Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti kepada Prabu Tremboko.
Ada keajaiban alam di mana kedua ajian tersebut berubah menjadi raksasa kembar yang
diambil sebagai putra oleh Prabu Tremboko. Kini sudah saatnya mereka kembali ke asal,
yaitu bergabung dalam tubuh keturunan Prabu Pandu sebagai ilmu kesaktian.
Usai berkata demikian, roh Adipati Brajadenta pun masuk ke dalam tangan kanan Arya
Gatutkaca, sedangkan roh Raden Brajamusti masuk ke dalam tangan kirinya. Arya
Gatutkaca terharu, dan merasa kekuatan kedua tangannya meningkat pesat.
Adipati Brajadenta
KIKIS TUNGGARANA
Kisah ini menceritakan tentang perang antara Prabu Boma Narakasura melawan Prabu
Arya Gatutkaca yang memperebutkan Kadipaten Tunggarana, yang akhirnya dapat
didamaikan oleh Bambang Pamegat-tresna putra Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber ilustrasi kalender Rokok Grendhel, dengan perubahan
seperlunya.
Kediri, 19 Oktober 2018
Heri Purwanto
Di lain pihak, Patih Prabakesa dan Raden Prabagati telah bersiaga menghadapi
serangan tersebut. Perang pun terjadi. Kedua pihak sama-sama terdiri atas pasukan
raksasa yang tentunya memiliki cara bertempur ganas dan mengerikan. Bedanya ialah, para
raksasa Pringgadani tidak memiliki gigi taring karena sudah peraturan negara harus
meratakan gigi sejak kecil.
Sementara itu, Prabu Boma terbang mengendarai Garuda Wilmuna mencari
keberadaan Arya Gatutkaca. Namun, ia sama sekali tidak melihat musuh bebuyutannya
tersebut. Dengan penuh amarah, ia pun menyerang Patih Prabakesa dan Raden Prabagati.
Kedua raksasa itu pun terluka oleh kesaktiannya. Namun, mereka dapat diselamatkan oleh
Raden Kalabendana dan dibawa masuk ke dalam istana Pringgadani.
masing-masing mengelilingi arena pertarungan. Tampak kedua raja itu bertarung dengan
seimbang, sama-sama sakti dan sama-sama perkasa.
Ketika pertarungan sedang seru-serunya, tiba-tiba muncul Bambang Pamegat-tresna
dan para panakawan menghadap Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna.
Pemuda itu menyembah dan mengaku sebagai putra Raden Arjuna yang dilahirkan oleh
Endang Pamegatsih, putri Resi Pamintajati. Prabu Kresna menjawab, tidak semudah itu
mengaku sebagai anak Pandawa. Bambang Pamegat-tresna harus bisa menyelesaikan
urusan Kadipaten Tunggarana. Bambang Pamegat-tresna menyatakan sanggup, apalagi
Padepokan Argabinatur tempat ia dilahirkan masih termasuk wilayah Tunggarana, sehingga
sudah menjadi kewajibannya pula untuk memelihara perdamaian di negeri sendiri. Usai
berkata demikian, Bambang Pamegat-tresna menyembah lalu melesat ke arena
pertarungan.
Sementara itu, Prabu Boma dan Arya Gatutkaca masih sibuk bertarung dan berusaha
saling menjatuhkan. Ketika keduanya sama-sama memukul, tiba-tiba Bambang Pamegat-
tresna hadir di antara mereka. Pukulan Prabu Boma ditangkap dengan tangan kanan,
sedangkan pukulan Arya Gatutkaca ditangkap dengan tangan kiri. Para hadirin yang
menonton terkejut, terutama kedua raja yang sedang bertarung tersebut. Mereka tidak
menyangka, ada anak muda kurus yang mampu menangkap pukulan dahsyat Prabu Boma
dan Arya Gatutkaca.
Bambang Pamegat-tresna melepaskan tangkapannya dan meminta maaf telah
menengahi pertarungan. Ia pun memperkenalkan diri sebagai pemuda dari Padepokan
Argabinatur, sehingga termasuk warga Kadipaten Tunggarana. Prabu Boma tidak peduli
dan ia marah-marah karena pertarungannya dihentikan. Ia pun meminta Bambang
Pamegat-tresna agar menyingkir.
Bambang Pamegat-tresna berkata, dirinya telah diberi mandat oleh Prabu Kresna
untuk menyelesaikan persoalan Kadipaten Tunggarana. Prabu Boma tidak mau tahu.
Apabila Bambang Pamegat-tresna tidak menyingkir, maka pemuda itu akan dibunuh lebih
dulu sebelum Arya Gatutkaca. Namun, Bambang Pamegat-tresna tidak takut pada ancaman
tersebut. Ia balik menantang apabila dirinya mampu menahan tiga pukulan Prabu Boma,
maka Prabu Boma harus bersedia mengikuti keputusannya.
Prabu Boma tersinggung ditantang pemuda kurus seperti ini. Namun, karena usianya
lebih tua tentunya malu jika menolak tantangan Bambang Pamegat-tresna. Maka, ia pun
bersedia melepaskan tiga pukulan ke arah pemuda itu. Bambang Pamegat-tresna bersiaga
dan mempersilakan Prabu Boma untuk menyerang.
Prabu Boma pun memukul dada Bambang Pamegat-tresna dengan setengah tenaga.
Pemuda itu mampu menahannya sambil tersenyum. Prabu Boma melepaskan pukulan
kedua dengan lebih keras. Bambang Pamegat-tresna masih mampu menahannya, hanya
saja ia tampak mundur dua langkah. Pada pukulan ketiga Prabu Boma mengerahkan
tenaga penuh tanpa belas kasihan lagi. Bambang Pamegat-tresna pun terpental oleh
pukulan tersebut. Namun, pemuda itu tampak bangkit kembali dan berjalan sempoyongan
menghampiri Prabu Boma.
Sejak awal ia tidak tertarik untuk merebut Kadipaten Tunggarana. Yang ia lakukan selama
ini hanyalah membela diri karena diserang Kerajaan Trajutiksna.
Bambang Pamegat-tresna lalu bertanya kepada Adipati Kahana dan Resi
Sumberkatong apakah rencana bergabung dengan Kerajaan Pringgadani adalah keinginan
mereka pribadi, ataukah keinginan rakyat Tunggarana. Adipati Kahana menjawab, itu
adalah keinginan dirinya sendiri karena dahulu kala Tunggarana adalah kadipaten di bawah
Kerajaan Pringgadani, namun kemudian direbut oleh Kerajaan Surateleng atau Trajutiksna.
Mendengar itu, Bambang Pamegat-tresna pun memutuskan untuk mengadakan acara
Penentuan Pendapat Rakyat atau disingkat Pepera. Mengenai nasib Kadipaten
Tunggarana hendak bergabung dengan Kerajaan Pringgadani ataukah tetap di bawah
Kerajaan Trajutiksna biarlah rakyat sendiri yang bersuara, bukannya para pejabat yang
menentukan. Caranya ialah, sebanyak tiga ratus kepala desa yang berada di bawah
Kadipaten Tunggarana hendaknya mengadakan musyawarah bersama warga masing-
masing. Hasil dari musyawarah tersebut barulah dilaporkan kepada Adipati Kahana.
Adipati Kahana menyetujui rencana ini. Ia pun kembali ke Tunggarana dengan
ditemani Bambang Pamegat-tresna, Ditya Mahudara, dan Raden Kalabendana sebagai
panitia. Mereka bekerja mengumpulkan pendapat para kepala desa yang bermusyawarah
dengan warga masing-masing. Tujuh hari kemudian, mereka menghadap Prabu Kresna
untuk melaporkan bahwa hampir delapan puluh persen warga Tunggarana menyatakan
ingin bergabung kembali dengan Kerajaan Pringgadani.
Prabu Kresna lalu menyampaikan hal itu kepada Prabu Boma dan Arya Gatutkaca.
Prabu Boma merasa kecewa, namun ia sudah terlanjur berjanji akan mengikuti keputusan
yang diajukan Bambang Pamegat-tresna, sehingga mau tidak mau harus mengakhiri
peperangan dengan Kerajaan Pringgadani. Sebaliknya, Arya Gatutkaca yang sejak awal
tidak berniat mengukuhi Kadipaten Tunggarana terpaksa menerima keputusan ini. Namun,
ia juga memberi hak otonomi luas kepada Adipati Kahana untuk mengatur wilayah
Tunggarana. Mengenai pajak dan upeti yang harus dibayar diturunkan dan dipersilakan
untuk biaya pembangunan di Kadipaten Tunggarana.
Prabu Kresna berterima kasih atas kerja keras Bambang Pamegat-tresna dalam
menyelesaikan urusan Kadipaten Tunggarana. Raden Arjuna merasa bangga dan
mengakui pemuda itu sebagai putra Kesatrian Madukara. Arya Gatutkaca baru tahu kalau
Bambang Pamegat-tresna adalah sepupunya sendiri. Ia pun memeluk sepupunya itu dan
memberikan jamuan terbaik kepadanya.
langsung menghajar Kerajaan Purwantara. Mengapa pula harus meminta pendapat darinya
terlebuh dahulu?
Prabu Kresna menjawab, dirinya adalah titisan Batara Wisnu, sehingga tidak boleh
sembarangan berperang. Prabu Kresna terikat aturan bahwa ia hanya boleh berperang
melawan musuh yang benar-benar boleh dilawan. Itu sebabnya ia pun mengundang Prabu
Baladewa, karena ia yakin kakaknya itu memiliki cara untuk mengatasi Prabu Dewakusuma.
Prabu Baladewa menyebut Prabu Kresna terlalu banyak adat. Sejak kecil mereka
hidup bersama tentunya saling mengetahui sifat masing-masing. Prabu Baladewa sifatnya
terbuka. Jika ada musuh ya dilawan, cukup begitu saja. Maka, jika nanti pasukan Kerajaan
Purwantara datang menyerang, ia siap untuk menghadapi mereka. Prabu Kresna tidak perlu
khawatir soal ini.
Raden Samba tidak berani membantah lagi. Prabu Kresna lalu berangkat mengungsi.
Ia berpesan apabila Patih Dasagriwa bertanya, tolong dijawab saja bahwa ia pergi
mengungsi ke Kerajaan Amarta. Patih Dasagriwa hendaknya dipersilakan untuk mengejar
ke sana. Raden Samba heran mengapa tempat pengungsian harus diberi tahukan kepada
musuh? Namun, ia tidak berani membantah dan hanya bisa mematuhi perintah itu saja.
Demikianlah, Prabu Kresna pun berangkat meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Tidak
lama kemudian Patih Dasagriwa datang mencarinya. Sesuai pesan tadi, Raden Samba pun
memberi tahu Patih Dasagriwa bahwa ayahnya telah pergi mengungsi ke Kerajaan Amarta.
Apabila Patih Dasagriwa masih ingin merebut senjata Cakra, silakan untuk mengejar ke
sana.
Patih Dasagriwa melihat wajah Raden Samba tampak berkata jujur. Ia pun
memerintahkan seorang punggawa untuk pergi melapor kepada Prabu Dewakusuma di
Kerajaan Purwantara, sedangkan dirinya berangkat mengejar Prabu Kresna.
Rupanya, kebersamaan setiap hari membuat Kapi Anoman dan Endang Purwati saling
tertarik. Cinta memang tidak mengenal jarak usia, juga tidak mengenal perbedaan wujud.
Resi Purwapada yang bijaksana juga merestui hubungan mereka. Maka, Kapi Anoman dan
Endang Purwati dinikahkan secara sederhana di Padepokan Andongcinawi.
Akan tetapi, Kapi Anoman kemudian sadar bahwa dirinya sedang mengemban tugas
untuk mengejar dan menangkap roh Prabu Rahwana. Diam-diam ia pun pergi tanpa pamit
meninggalkan Padepokan Andongcinawi. Ia sama sekali tidak tahu kalau Endang Purwati
sedang mengandung putranya. Hingga akhirnya, Endang Purwati pun melahirkan seorang
putra yang diberi nama Bambang Purwaganti.
Demikianlah kisah yang disampaikan Resi Purwapada. Kini Bambang Purwaganti
telah mengetahui siapa ayah kandungnya. Ia merasa bangga ternyata ayahnya bukan orang
sembarangan. Meskipun berwujud wanara, Kapi Anoman seorang pembela kebenaran,
musuh kaum angkara murka. Ia pun bertekad bulat ingin bertemu dengan ayahnya tersebut.
Endang Purwati tidak bisa mencegah keinginan putranya. Ia hanya bisa memberikan
restu semoga Bambang Purwaganti dapat mewujudkan keinginannya. Resi Purwapada pun
memberikan petunjuk, apabila Bambang Purwaganti ingin bertemu Kapi Anoman, maka
hendaknya pergi mencari Prabu Kresna di Kerajaan Dwarawati, atau mencari Arya
Wrekodara di Kerajaan Amarta. Selain itu, Resi Purwapada juga mengajarkan sebuah
mantra kepada cucunya itu untuk pertahanan diri apabila bertemu musuh sakti. Bambang
Purwaganti berterima kasih, lalu ia pun mohon pamit meninggalkan Padepokan
Andongcinawi.
dilarang justru semakin penasaran. Ia pun mohon pamit dan melesat terbang ke arah Patih
Dasagriwa yang telah muncul mengejar Prabu Kresna.
Patih Dasagriwa dengan tangkas menghadapi serangan Arya Gatutkaca. Pertarungan
sengit pun terjadi. Arya Gatutkaca merasa lawannya ini benar-benar tangguh. Ia tidak
mampu mengalahkan Patih Dasagriwa. Sebaliknya, justru Patih Dasagriwa yang berhasil
meringkusnya dan menjadikan Arya Gatutkaca sebagai tawanan seperti Prabu Baladewa,
Arya Setyaki, dan yang lain.
Melihat itu, Prabu Kresna segera menarik lengan Raden Nakula dan membawanya
terbang menuju Kerajaan Amarta.
selama ini si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa sangat sedikit dalam pengalaman
bertempur.
Prabu Kresna menjawab, ini adalah perintah Batara Wisnu yang ada di dalam dirinya.
Raden Nakula tidak banyak bicara. Ia pun maju menghadapi amukan Prabu Dewakusuma.
Pertempuran terjadi di antara mereka. Raden Nakula bertarung imbang melawan Prabu
Dewakusuma. Namun, lama-lama ia terdesak mundur oleh kesaktian lawannya tersebut.
Patih Dasagriwa
CATATAN : Saya mencoba untuk menciptakan hubungan antara lakon di atas dengan Wahyu Purbasejati.
KITAB WAYANG PURWA
PRABU TUGUWASESA
Kisah ini menceritakan tentang Arya Wrekodara yang menyamar sebagai raja bernama
Prabu Tuguwasesa di Kerajaan Gilingwesi dan juga memerangi para Kurawa di
Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Purwabharata karya Ki
Mardibudhi, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 10 November 2018
Heri Purwanto
Prabu Tuguwasesa.
merupakan penjelmaan Batara Brahma. Kemudian ketika Batara Brahma turun ke dunia
untuk yang kedua kalinya dengan nama Sri Maharaja Budawaka, nama Kerajaan Medang-
gili pun diubah menjadi Kerajaan Gilingaya. Konon setelah itu Kerajaan Gilingaya pernah
dipimpin oleh Sri Maharaja Dewahesa yang merupakan penjelmaan Batara Rudra, yaitu
kakak Batara Guru. Hingga akhirnya ada keturunan Batara Rudra bernama Prabu
Watugunung yang memimpin negeri tersebut dan mengganti namanya menjadi Kerajaan
Gilingwesi.
Pada masa kepemimpinan Prabu Watugunung inilah, Kerajaan Gilingwesi mengalami
masa kejayaan dan menjadi kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Kebesarannya membuat
Prabu Watugunung lupa diri dan disusupi watak angkara murka. Ia akhirnya tewas dihukum
mati Batara Wisnu. Setelah peristiwa itu, Kerajaan Gilingwesi kembali dipimpin Batara
Brahma untuk yang ketiga kalinya, dengan gelar Prabu Brahmaraja.
Batara Brahma kemudian digantikan putranya yang bernama Raden Brahmanisita,
bergelar Prabu Brahmanaraja. Lalu Prabu Brahmanaraja digantikan putranya yang
bernama Prabu Tritrusta. Setelah itu, Prabu Tritrusta digantikan putranya yang bernama
Prabu Parikenan. Prabu Parikenan ini adalah ayah dari Resi Manumanasa, yang
merupakan pendiri Padepokan Saptaarga, atau leluhur para Pandawa dan Kurawa.
Prabu Duryudana bertanya, mengapa Resi Manumanasa tidak menjadi raja Gilingwesi
menggantikan ayahnya. Resiwara Bisma menjawab, Resi Manumanasa sejak kecil menjadi
putra angkat Prabu Basupati raja Wirata, dan lebih suka menjadi pendeta daripada menjadi
raja. Adapun Prabu Parikenan meninggal karena perang saudara melawan iparnya sendiri,
yaitu Prabu Srikala raja Medang-kamulan. Prabu Srikala ini tidak lain adalah leluhur Dewi
Gandari dan Patih Sangkuni.
Setelah Prabu Parikenan meninggal, Kerajaan Gilingwesi kosong selama bertahun-
tahun. Hingga akhirnya raja Wirata yang bernama Prabu Basukiswara (cucu Prabu
Basupati) memberikan negeri tersebut kepada seorang punggawa yang berjasa untuk
menjadi raja di sana. Punggawa itu bergelar Prabu Danadewa, yang merupakan leluhur dari
Prabu Yudana yang saat ini bertakhta.
Prabu Duryudana menerima penjelasan Resiwara Bisma dengan seksama. Ia baru
paham ternyata Kerajaan Gilingwesi masih memiliki sangkut-paut dengan dirinya. Hal ini
justru membuat Prabu Duryudana semakin yakin bahwa tindakannya menaklukkan
Kerajaan Gilingwesi sudah benar. Prabu Parikenan adalah leluhurnya dari pihak ayah,
sedangkan Prabu Srikala adalah leluhurnya dari pihak ibu. Oleh sebab itu, ia merasa lebih
berhak menjadi penguasa Kerajaan Gilingwesi daripada Prabu Yudana.
Patih Sangkuni membenarkan ucapan Prabu Duryudana. Kerajaan Gilingwesi saat ini
hanyalah sebuah negara kecil, namun dahulu kala pernah menjadi negara adikuasa saat
dipimpin Prabu Watugunung. Oleh sebab itu, dengan kalahnya Kerajaan Gilingwesi dan
menjadi jajahan Kerajaan Hastina, maka wibawa Prabu Duryudana tentu semakin besar
dan tentunya semakin disegani pihak kawan maupun lawan.
Resiwara Bisma kecewa melihat sikap Prabu Duryudana yang hanya menuruti nafsu
keserakahan diri sendiri, apalagi ditambah hasutan Patih Sangkuni. Ia pun pamit undur diri
kembali ke Padepokan Talkanda.
Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana heran mendengar penuturan laki-laki itu. Yang ia tahu
raja Gilingwesi bernama Prabu Yudana, dan itu pun sudah dikalahkan Adipati Karna.
Raden Antawasesa menjawab memang benar demikian. Raja Gilingwesi bernama
Prabu Yudana memang telah dikalahkan Adipati Karna utusan Prabu Duryudana. Namun,
Prabu Yudana berhasil melarikan diri ke hutan hingga akhirnya bertemu Prabu Tuguwasesa
dan Raden Antawasesa. Kedua orang itu bersedia memberikan bantuan kepada Prabu
Yudana. Raden Antawasesa lalu berangkat mengalahkan Adipati Karna dan
memasukkannya ke dalam penjara. Kerajaan Gilingwesi pun kembali ke tangan Prabu
Yudana. Namun, Prabu Yudana menyerahkan takhta kepada Prabu Tuguwasesa,
sedangkan dirinya ikhlas turun jabatan menjadi patih.
Prabu Duryudana marah bercampur tidak percaya. Ia tidak yakin Adipati Karna telah
dikalahkan dan Kerajaan Gilingwesi telah direbut Prabu Tuguwasesa. Raden Antawasesa
berkata ayahnya tidak hanya merebut Kerajaan Gilingwesi, namun sebentar lagi juga akan
merebut Kerajaan Hastina. Adapun Prabu Tuguwasesa saat ini sudah menunggu di luar
bersama Patih Yudana.
Prabu Duryudana semakin marah dan mengusir Raden Antawasesa pergi. Raden
Antawasesa pun melangkah keluar dan menantang Prabu Duryudana untuk bertempur di
alun-alun.
Gilingwesi. Karena kalah perang, Prabu Duryudana pun pergi ke Kerajaan Mandura untuk
meminta bantuan Prabu Baladewa. Akan tetapi, menurut kabar dari Dewi Erawati, ternyata
Prabu Baladewa sedang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Maka, berangkatlah Prabu
Duryudana menyusul Prabu Baladewa ke sana.
Prabu Baladewa sangat marah mendengar penuturan Prabu Duryudana. Tanpa pikir
panjang ia pun bergegas pergi mencari keberadaan Prabu Tuguwasesa. Prabu Duryudana
merasa gembira dan ia pun mengikuti kepergian kakak iparnya tersebut.
Tidak lama kemudian muncul Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca menghadap
Prabu Kresna. Mereka datang untuk meminta petunjuk atas hilangnya tiga dari lima
Pandawa. Mula-mula Prabu Puntadewa dan Raden Arjuna menghilang, lalu disusul
kemudian Arya Wrekodara juga ikut menghilang. Untuk sementara ini, Kerajaan Amarta
dipimpin oleh Raden Nakula dan Raden Sadewa. Mereka memerintahkan Raden Abimanyu
dan Arya Gatutkaca untuk pergi mencari ketiga Pandawa tersebut. Raden Abimanyu dan
Arya Gatutkaca segera pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk kepada Prabu
Kresna.
Prabu Kresna mengheningkan cipta sejenak, lalu ia mengajak Raden Abimanyu dan
Arya Gatutkaca untuk menyusul kepergian Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana.
Rupanya ia mendapat petunjuk bahwa hilangnya ketiga Pandawa tersebut ada
hubungannya dengan kemunculan Prabu Tuguwasesa yang kini memimpin Kerajaan
Gilingwesi.
maju menolong. Namun, Prabu Kresna segera mencegahnya. Arya Gatutkaca dan Raden
Abimanyu tidak boleh bertindak apabila tidak ada perintah darinya.
Raden Antawasesa tampak menantang Prabu Duryudana apabila ingin
membebaskan para tawanan hendaknya datang menyerahkan diri ke Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Tuguwasesa diam saja pertanda ia mendukung ucapan putranya itu. Prabu
Duryudana meminta bantuan kepada Prabu Kresna, namun Prabu Kresna justru
mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.
Prabu Tuguwasesa sepakat, namun ia kecewa karena kedua jago yang dibawa Prabu
Kresna hanyalah para laki-laki kurus, mana bisa mengalahkan dirinya yang gagah perkasa?
Bagawan Darmajati pun memberi isyarat agar Putut Panjangjiwa maju lebih dulu. Putut
Panjangjiwa mematuhi dan segera menantang Prabu Tuguwasesa bertanding.
Raden Antawasesa berkata, sebelum menghadapi ayahnya, maka Putut Panjangjiwa
harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu. Melihat itu, Prabu Kresna segera memberi
isyarat kepada Arya Gatutkaca untuk bertindak. Arya Gatutkaca sudah lama menunggu
perintah ini. Dengan senang hati ia pun terbang menyambar Raden Antawasesa agar tidak
mengganggu jalannya pertandingan.
Prabu Tuguwasesa sendiri telah menerima tantangan Putut Panjangjiwa. Keduanya
lalu memulai pertandingan. Mereka pun bertarung sengit, saling menyerang dan saling
berusaha menjatuhkan lawan. Meskipun berbadan kurus, namun Putut Panjangjiwa dapat
bergerak gesit seperti angin untuk mengimbangi kekuatan Prabu Tuguwasesa yang
bertubuh tinggi besar.
Raden Antasena pun meminta maaf atas pertarungan tadi. Pada dasarnya ia tidak
memiliki dendam dan hanya ingin mengajak Arya Gatutkaca main-main. Arya Gatutkaca
memaafkan adiknya itu dan mereka lalu bersama-sama menemui Prabu Kresna.
CATATAN : Dalam Serat Purwabharata tidak disebutkan adanya tokoh bernama Raden Antawasesa. Adapun
Raden Antawasesa saya tambahkan dalam kisah di atas berdasarkan umumnya yang berlaku di
pedalangan.
KITAB WAYANG PURWA
DEWA AMRAL
Kisah ini menceritakan tentang Prabu Puntadewa yang berubah wujud menjadi raksasa
untuk menyelamatkan adik-adiknya di Kawah Candradimuka.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber rekaman wayang kulit dengan
dalang Ki Nartosabdo, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 08 Desember 2018
Heri Purwanto
Dewasrani bertanya kepada ibunya mengapa dirinya diberi nama dengan unsur kata
“dewa”. Batari Durga menjawab, itu karena Prabu Dewasrani adalah putra dewa, yaitu
Batara Guru, sehingga boleh memakai nama dengan unsur kata “dewa”.
Prabu Dewasrani lalu bertanya mengapa Prabu Puntadewa memakai nama yang
mengandung unsur “dewa”, apakah ia memang putra salah satu dewa? Batari Durga
menjawab, Prabu Puntadewa adalah putra Prabu Pandu Dewanata yang mendapat nama
dengan unsur kata “dewa” dari ayahnya itu. Adapun Prabu Pandu boleh menyandang gelar
Dewanata adalah karena pernah berjasa membunuh musuh kahyangan yang bernama
Prabu Nagapaya.
Prabu Dewasrani berterus terang bahwa dirinya kesal mendengar ada orang lain yang
memiliki nama dengan unsur kata “dewa” seperti dirinya, dan orang itu menjadi raja pula.
Apalagi, ayah Prabu Puntadewa bahkan bernama Prabu Pandu Dewanata, yang artinya
“raja dewa”. Nama ini jelas menyamai Batara Guru yang memiliki gelar Sanghyang
Jagadnata, ataupun menyamai Batara Indra yang memiliki gelar Sanghyang Suranata.
Batari Durga berkata bahwa roh Prabu Pandu Dewanata sudah mendapat hukuman
dari Batara Guru, yaitu dikurung dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, istri
keduanya. Prabu Dewasrani tidak puas karena Prabu Puntadewa harusnya juga dihukum
karena memakai nama dengan unsur kata “dewa” padahal bukan anak dewa. Apabila Prabu
Puntadewa tidak dicopot dari kedudukannya sebagai raja dan juga tidak dihukum, maka
Prabu Dewasrani memilih lebih baik bunuh diri saja.
Batari Durga sangat memanjakan Prabu Dewasrani. Ia pun menuruti keinginan
putranya itu dan segera berangkat bersama menuju Kahyangan Jonggringsalaka untuk
menghadap Batara Guru.
Batara Narada heran mengapa Batara Guru begitu mudah menuruti permintaan yang
tidak masuk akal ini? Mengapa hanya karena bernama “dewa” lantas Prabu Puntadewa
harus dihukum mati diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka segala? Bukankah ada
orang lain yang juga bernama “dewa”, misalnya Prabu Baladewa ataupun Raden Sadewa?
Apakah mereka semua juga harus dihukum mati?
Batara Guru tidak menjawab. Keputusannya hanya berlaku untuk Prabu Puntadewa
saja, tidak ada urusan dengan yang lainnya. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah Batara
Narada bersedia menjalankan perintah atau tidak? Batara Narada menjawab, sebagai
bawahan maka dirinya tidak dapat menolak perintah ini. Ia hanya berusaha memberikan
saran yang baik, syukur-syukur apabila diterima. Namun demikian, semua keputusan tetap
berada di tangan Batara Guru sebagai pemimpin kahyangan. Usai berkata demikian, Batara
Narada pun pamit undur diri menuju Kerajaan Amarta.
tidak sulit untuk menyingkirkan Prabu Puntadewa. Berpikir demikian, Batari Durga pun
menyatakan setuju untuk menceburkan keempat Pandawa itu ke dalam Kawah
Candradimuka sebagai ganti Prabu Puntadewa. Dalam hati ia berpikir kelak akan mencari
cara lain untuk mencelakai sulung Pandawa tersebut.
Maka, Batara Guru pun memerintahkan Batara Yamadipati untuk melaksanakan
tugas. Batara Yamadipati segera menggiring Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden
Nakula, dan Raden Sadewa menuju ke Gunung Jamurdipa. Sesampainya di sana, ia
menceburkan keempat Pandawa tersebut ke dalam Kawah Candradimuka.
Arya Wrekodara dan ketiga adiknya tidak takut mati. Mereka pun langsung tenggelam
ke dasar kawah. Sungguh ajaib, air kawah yang mendidih itu terasa sejuk oleh mereka.
Tiba-tiba mereka sudah tiba di hadapan dua orang yang duduk di dasar Kawah
Candradimuka. Kedua orang itu tidak lain adalah ayah para Pandawa, yaitu Prabu Pandu
beserta ibu si kembar, yaitu Dewi Madrim, yang masing-masing sudah berbadan rohani.
Arya Wrekodara terharu dan segera memeluk roh Prabu Pandu, sedangkan Raden
Arjuna bersimpuh memeluk kaki ayahnya itu. Dewi Madrim juga tampak dipeluk kanan-kiri
oleh Raden Nakula dan Raden Sadewa. Selang agak lama, Prabu Pandu lalu bertanya
tentang kabar anak-anaknya itu. Arya Wrekodara menceritakan bahwa mereka lima
bersaudara sudah mendirikan Kerajaan Amarta. Sebaliknya, ia pun bertanya bagaimana
kabar Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama bersemayam di Kawah Candradimuka.
Dahulu kala ketika Dewi Madrim sedang mengandung Raden Nakula dan Raden
Sadewa, tiba-tiba terbesit keinginannya untuk bertamasya di atas kendaraan Batara Guru,
yaitu Lembu Andini. Prabu Pandu pun naik ke kahyangan meminjam lembu tersebut dengan
disertai sumpah bahwa kelak setelah meninggal ia rela tidak naik ke surga, tetapi rohnya
ditahan saja di dalam Kawah Candradimuka. Batara Guru mengizinkan Lembu Andini
dipinjam secara cuma-cuma, tetapi para dewa lainnya menganggap hal ini sebagai
kelancangan. Mereka pun menuntut agar Prabu Pandu benar-benar diceburkan ke dalam
Kawah Candradimuka sesuai keinginannya.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Pandu berperang melawan raja raksasa dari
Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu Tremboko. Dalam perang itu Prabu Tremboko tewas,
tetapi ia sempat melukai paha Prabu Pandu. Akibat luka tersebut, Prabu Pandu menderita
sakit beberapa bulan lamanya. Hingga akhirnya Batara Yamadipati datang untuk
menjemput kematiannya.
Prabu Pandu meminta waktu kepada Batara Yamadipati agar Dewi Madrim melahirkan
lebih dulu. Ternyata Dewi Madrim melahirkan sepasang bayi kembar. Sesuai janjinya, maka
roh Prabu Pandu pun dicabut dan dibawa Batara Yamadipati. Melihat itu, Dewi Madrim
merasa bersalah dan ikut meninggal pula. Rohnya kemudian ikut pergi menyertai sang
suami.
Demikianlah, awal mula mengapa roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim bersemayam di
dalam Kawah Candradimuka. Arya Wrekodara merasa heran mengapa ia dan adik-adiknya
tidak merasa panas saat diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu
menjawab, Kawah Candradimuka bukanlah kawah sembarangan. Barangsiapa memiliki
hati yang baik dan tulus, maka ia tidak akan mati apabila diceburkan ke dalam kawah
tersebut. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya pun bersyukur karena mereka bukan
termasuk golongan berhati jahat.
Keempat Pandawa itu kemudian merasa prihatin melihat keadaan Prabu Pandu dan
Dewi Madrim yang hidup menderita di dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu
menjawab, ia dan Dewi Madrim sama sekali tidak merasa menderita karena mereka sering
mendengar nama baik para Pandawa dalam membela kebenaran dan keadilan. Sebaliknya,
KITAB WAYANG PURWA
meskipun Prabu Pandu dan Dewi Madrim tinggal di Swargaloka, tetapi jika mendengar
berita para Pandawa berbuat kejahatan di dunia, maka itu rasanya seperti tinggal di neraka.
dikacau oleh dua raksasa berwarna hitam dan putih. Hanya Dewi Drupadi seorang yang
bisa mengalahkan mereka. Dewi Drupadi heran mengapa dirinya yang harus menjadi jago
kahyangan. Mengapa tidak para Pandawa saja? Batara Narada menjawab, para Pandawa
saat ini telah menjadi tawanan kedua raksasa itu. Mendengar berita tersebut, Dewi Drupadi
langsung bersemangat dan ia pun berangkat disertai Batara Narada. Raden Abimanyu,
Arya Gatutkaca, dan para panakawan ikut menyertai di belakang.
Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Dewi Drupadi segera menantang Dewa
Amral dan Ditya Kesawamanik. Seumur hidup Dewi Drupadi tidak pernah bertarung.
Namun, demi untuk menyelamatkan para Pandawa, ia sama sekali tidak takut mati.
Sebaliknya, Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik hanya saling pandang tidak tahu harus
berbuat apa. Mereka serbasalah karena tidak mungkin melayani tantangan Dewi Drupadi.
Merasa sudah saatnya untuk membuka samaran, kedua raksasa itu pun kembali ke wujud
semula, yaitu Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna.
Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan si kembar keluar dari persembunyian. Dewi
Drupadi kini telah tahu duduk permasalahannya. Ia bersyukur tidak terjadi hal buruk
menimpa para Pandawa.
CATATAN : Dalam rekaman pentas Ki Nartosabdo yang menjadi sumber rujukan saya, tidak ada adegan para
Pandawa bertemu Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Adegan tersebut sengaja saya tambahkan
untuk dramatisasi cerita, sekaligus untuk menjadi pembuka bagi lakon selanjutnya, yaitu
Bagawan Bimasuci.
KITAB WAYANG PURWA
BIMASUCI
Kisah ini menceritakan tentang Arya Wrekodara yang menjadi brahmana bergelar
Bagawan Bimasuci di Gunung Argakelasa.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman wayang kulit dengan dalang Ki Manteb
Soedharsono, yang dipadukan dengan kisah dalam kitab Sanghyang Nawaruci karya
Mpu Syiwamurti, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 05 Januari 2019
Heri Purwanto
Bagawan Bimasuci
juga baik, yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan dan memberikan pengobatan cuma-cuma
kepada masyarakat sekitar yang merupakan warga negara Hastina juga. Itu artinya, Arya
Wrekodara ikut berjasa terhadap Kerajaan Hastina.
Patih Sangkuni berkata, Danghyang Druna hendak melepaskan diri dari tanggung
jawab, padahal ini semua adalah kesalahan Danghyang Druna juga. Dahulu kala,
Danghyang Druna ditugasi untuk membunuh Arya Wrekodara dengan cara menipunya
untuk mencebur ke dalam Samudra Minangkalbu, mencari air kehidupan Tirta Pawitra
Mahening Suci. Bukannya mati, Arya Wrekodara justru bertemu Dewa Ruci dan
mendapatkan ilmu sejati sangkan paraning dumadi. Sekarang Arya Wrekodara mendirikan
padepokan dan mengajarkan ilmu sejati tersebut. Jika dihitung-hitung, sumber masalah ini
jelas berasal dari Danghyang Druna yang gagal membunuh Arya Wrekodara.
Danghyang Druna menjawab, dirinya sudah mengusahakan kematian Arya
Wrekodara sesuai apa yang diperintahkan Prabu Duryudana. Namun, soal hidup atau mati
manusia adalah wewenang mutlak Tuhan Yang Mahakuasa. Apabila Arya Wrekodara
ternyata masih hidup sampai sekarang, itu berarti Tuhan belum mengizinkannya untuk mati.
Prabu Duryudana yang termakan ucapan Patih Sangkuni meminta Danghyang Druna
untuk tidak membantah lagi. Persoalan ini harus diselesaikan oleh Danghyang Druna.
Bagaimanapun juga, Danghyang Druna harus bisa menutup Padepokan Argakelasa dan
mengusir Arya Wrekodara agar kembali ke Kerajaan Amarta.
Danghyang Druna tidak dapat menolak perintah. Ia pun mohon pamit berangkat ke
Gunung Argakelasa. Prabu Duryudana lalu memerintahkan agar Patih Sangkuni, Adipati
Karna, dan para Kurawa ikut mengawal keberangkatan Danghyang Druna.
yang lain, yaitu Resiwara Bisma meskipun seorang pendeta namun tetap berjiwa kesatria,
siap angkat senjata saat Kerajaan Hastina menghadapi musuh. Di samping mereka berdua
tentunya masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.
Resi Anoman kembali bertanya apa tujuan Bagawan Bimasuci membuka padepokan
di Gunung Argakelasa. Bagawan Bimasuci menjawab, dirinya hanya ingin mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada para pemuda. Mereka adalah masa depan suatu negara. Pemuda
adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Oleh sebab itu, sejak muda mereka perlu
untuk dibekali ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan mereka kelak.
Resi Anoman berkata, kabar yang ia dengar tidak sesederhana itu. Konon, Bagawan
Bimasuci selain mengajarkan ilmu pengetahuan juga mengajarkan ilmu kasampurnan
sangkan paraning dumadi. Itu sebabnya, Resi Anoman datang untuk membuktikan berita
tersebut. Jika memang benar demikian, ia ingin ikut belajar kepada Bagawan Bimasuci.
Bagawan Bimasuci berkata, Resi Anoman tidak bersungguh-sungguh ingin belajar,
tetapi hanya ingin menguji kepandaiannya saja. Jika memang serius ingin belajar, mengapa
Resi Anoman tidak memperbaiki sikapnya dan mengapa tidak berbicara dengan lebih sopan
santun. Resi Anoman menjawab, dirinya adalah kakak angkat Bagawan Bimasuci, tentunya
jangan disamakan dengan para murid lainnya. Bagawan Bimasuci menjawab, Resi Anoman
adalah kakak angkat Arya Wrekodara, bukan kakak angkatnya. Selama Resi Anoman tidak
memperbaiki tingkah lakunya, maka diberi ilmu segudang pun percuma, tidak akan bisa
merasuk ke dalam sanubari.
Resi Anoman tertegun mendengar ucapan Bagawan Bimasuci yang tegas dan
berwibawa. Ia mengamati dengan seksama dan baru sadar kalau ada sosok yang
memancarkan cahaya dari dalam diri Bagawan Bimasuci. Sosok tersebut adalah Dewa
Ruci, sang guru sejati. Seketika Resi Anoman pun merasa lemas tiada berdaya, dan segera
tunduk memohon ampun kepada Bagawan Bimasuci. Ia tidak lagi menggunakan bahasa
yang lugas, tetapi menggunakan bahasa halus penuh sopan santun kepada Bagawan
Bimasuci, memohon agar diterima menjadi murid.
Bagawan Bimasuci menerima sembah Resi Anoman. Namun, saat ini ia belum bisa
memberikan pelajaran karena Padepokan Argakelasa kedatangan musuh yang hendak
berbuat kekacauan. Resi Anoman pun diperintahkan untuk mengatasi para musuh tersebut.
Resi Anoman juga menyebut Patih Sangkuni sebagai orang Gandaradesa, sehingga tidak
pantas pula untuk ikut campur.
Suasana menjadi panas. Para Kurawa pun maju untuk membongkar paksa bangunan
Padepokan Argakelasa. Resi Anoman dan ketiga keponakannya segera menghalangi
mereka. Pertempuran pun terjadi. Para Kurawa terdesak tidak mampu melanjutkan aksi
mereka.
Melihat itu, Danghyang Druna maju hendak melabrak Bagawan Bimasuci. Namun,
begitu bertemu muka, ia melihat Bagawan Bimasuci penuh wibawa memancarkan aura
kedewaan. Danghyang Druna mendapatkan pengalaman batin luar biasa. Tanpa ragu lagi,
ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah Arya Wrekodara seperti
biasanya, melainkan Dewa Ruci sang Marbudyengrat. Seketika Danghyang Druna pun
duduk bersimpuh menyembah Bagawan Bimasuci. Namun, Bagawan Bimasuci tidak
menerima sembahnya, melainkan mengangkat dan menggendong tubuh Danghyang Druna
masuk ke dalam padepokan.
Melihat Danghyang Druna selaku kepala rombongan telah bergabung dengan pihak
musuh, Adipati Karna mengajak Patih Sangkuni untuk mundur saja, kembali ke Kerajaan
Hastina untuk melapor kepada Prabu Duryudana.
memerintahkan Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Batara Bayu untuk
menghukum Arya Wrekodara dan membongkar padepokannya.
Batara Narada bertanya apakah perlu menjatuhkan hukuman seperti itu? Apakah tidak
sebaiknya diselidiki terlebih dahulu apakah Arya Wrekodara benar-benar bersalah atau
tidak. Batara Guru tidak peduli. Ia sudah memutuskan demikian, maka itulah yang harus
dilaksanakan.
Mendengar itu, Batara Sambu dan adik-adiknya tidak berani menunda lagi. Mereka
pun mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.
Bagawan Bimasuci bertanya, mengapa Batara Guru gila hormat seperti itu? Apabila
Batara Guru melindungi umat manusia dengan baik, memimpin dengan adil, maka
penghormatan tulus akan datang dengan sendirinya. Lagipula, Bagawan Bimasuci merasa
terpanggil untuk mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi kepada umat manusia.
Meskipun Batara Guru yang meminta untuk menghentikan, ia tidak akan mematuhi. Batara
Guru marah dan mengutuk Bagawan Bimasuci menjadi raksasa hutan yang tidak bisa
diatur. Namun, Bagawan Bimasuci mendapat perlindungan Dewa Ruci, sehingga kutukan
tersebut berbalik mengenai Batara Guru sendiri.
bersama para dewa. Usai berkata demikian, Batara Guru dan Batara Narada kembali ke
kahyangan dengan membawa serta roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim tersebut.
CATATAN : Adegan Batara Guru berubah menjadi raksasa terdapat dalam kitab Sanghyang Nawaruci. Dalam
kisah tersebut diceritakan bahwa nama Arya Wrekodara saat menjadi brahmana adalah Sang
Angkusprana. Sedangkan roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim dientas ke Swargaloka adalah
bersumber dari rekaman Ki Manteb Soedharsono.
KITAB WAYANG PURWA
Arya Gatutkaca.
Kerajaan Amarta. Kedua negara memiliki hak yang sama untuk menjaga gunung tersebut.
Siapa tahu Arya Gatutkaca menduduki Gunung Argakelasa bukan untuk makar, melainkan
untuk mengadakan penghijauan, menjaga kelestarian lingkungan, dan sebagainya.
Prabu Duryudana marah menuduh Danghyang Druna dan Adipati Karna tidak tulus
mendukung pemerintahannya. Danghyang Druna adalah guru para Pandawa, sedangkan
Adipati Karna adalah kakak para Pandawa, sehingga wajar jika mereka memiliki maksud
lain. Danghyang Druna dan Adipati Karna meminta maaf. Mereka menyatakan diri tulus
mengabdi di Kerajaan Hastina. Segala usul yang mereka ajukan tidak lain adalah untuk
kebaikan Prabu Duryudana juga. Tentunya, jangan sampai Prabu Duryudana mendapat
malu seperti yang sudah-sudah.
Prabu Duryudana keras kepala tidak peduli pada ucapan keduanya. Yang baik
menurut dirinya hanya satu, yaitu bisa mengalahkan para Pandawa beserta anak-anak
mereka. Oleh sebab itu, ia pun menegaskan bahwa perintah untuk membubarkan
perkumpulan di Gunung Argakelasa adalah wajib dilaksanakan. Adipati Karna tidak bisa
membantah lagi. Ia pun berangkat melaksanakan tugas dengan didampingi Patih Sangkuni
dan para Kurawa.
sedang sakit keras. Siang malam Arya Wrekodara hanya berbaring di tempat tidur dan
memanggil-manggil nama Arya Gatutkaca seorang.
Arya Gatutkaca gemetar mendengar berita ini. Ia pun menyatakan hendak pulang ke
Kerajaan Amarta, dan membatalkan tapa-bratanya di Gunung Argakelasa. Bambang
Wisanggeni mencegah, karena bagaimanapun juga Arya Gatutkaca tidak boleh pergi
meninggalkan padepokan. Jika Arya Gatutkaca sampai meninggalkan Gunung Argakelasa,
maka rencana menagih janji Batara Guru akan mengalami kegagalan.
Arya Gatutkaca tidak peduli lagi dengan janji dewata. Sekarang ini yang paling penting
baginya adalah kesembuhan sang ayah. Apalah gunanya menjadi raja kahyangan, apabila
penyakit ayah kandungnya semakin bertambah parah.
Raden Antasena ikut bicara. Ia mendukung ucapan Bambang Wisanggeni agar Arya
Gatutkaca tidak pulang ke Kerajaan Amarta. Apabila benar ayah mereka sedang sakit,
tentunya Prabu Kresna bisa mengobati menggunakan Kembang Wijayakusuma, tidak perlu
susah payah menyusul ke Gunung Argakelasa.
Prabu Kresna menjawab, keampuhan Kembang Wijayakusuma tergantung semangat
si sakit. Masalahnya, yang menjadi sumber semangat Arya Wrekodara hanyalah
kepulangan Arya Gatutkaca. Meskipun diobati berkali-kali menggunakan Kembang
Wijayakusuma, tetap saja tidak ada hasilnya apabila Arya Wrekodara hanya merindukan
Arya Gatutkaca melulu.
Arya Gatutkaca merasa bimbang. Ia lalu meminta pendapat para saudara lainnya.
Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan menyarankan agar Arya Gatutkaca
pulang saja, demi kesembuhan orang tua. Soal bertapa bisa dilanjutkan lain waktu. Arya
Gatutkaca merasa mendapat pendukung. Ia pun menyatakan ikut Prabu Kresna pulang ke
Kerajaan Amarta.
Bambang Wisanggeni merasa kecewa. Ia lalu pamit pulang dengan ditemani Raden
Antasena. Prabu Kresna tidak peduli pada sikap mereka berdua. Tanpa banyak bicara, ia
segera menggandeng tangan Arya Gatutkaca dan membawanya melesat pergi
meninggalkan Padepokan Argakelasa. Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang
Irawan heran melihat kejadian ini. Mereka pun bergegas menyusul kepergian Prabu Kresna
dan Arya Gatutkaca menuju Kerajaan Amarta.
Batara Guru merasa terharu melihat watak Arya Gatutkaca yang luhur budi. Ia pun
memberikan anugerah baru, yaitu mengangkat Arya Gatutkaca sebagai putra, dengan
memberinya julukan Prabu Guruhandaya. Arya Gatutkaca merasa tersanjung dan kembali
menyembah Batara Guru.
segera maju menerjang Prabu Dewasrani, sedangkan Arya Wrekodara dan Arya Antareja
menumpas pasukan Nusarukmi. Prabu Dewasrani terdesak dan segera mengajak sisa-sisa
prajuritnya mundur melarikan diri.
Prabu Kresna bersyukur peristiwa ini berakhir dengan baik. Ia lalu mengajak mereka
semua kembali ke Kerajaan Amarta untuk melapor kepada Prabu Puntadewa.
CATATAN : Dalam rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, nama raja raksasa penjelmaan Batara
Anantaboga adalah Prabu Nagabaginda. Dalam kisah di atas saya ganti menjadi Prabu
Nagaprakosa supaya tidak rancu dengan lakon Antareja Lahir.
KITAB WAYANG PURWA
TALIRASA - RASATALI
Kisah ini menceritakan tentang munculnya dua orang laki-laki bernama Bambang
Talirasa dan Bambang Rasatali yang mengacaukan ketentraman Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman wayang orang Sekar Budaya Nusantara, yang
dipadukan dengan artikel pedhalangan di majalah Panjebar Semangat, dengan
perubahan seperlunya.
Kediri, 09 Februari 2019
Heri Purwanto
Dewi Lesmanawati yang asli masih berada di Kerajaan Hastina, disembunyikannya dari
pandangan orang lain. Bahkan, Batara Narada pun tidak mengetahui tentang siasat ini.
Batara Narada membenarkan hal itu. Ia mengira Batara Guru dalam wujud Bambang
Talirasa benar-benar lupa diri dan tega merusak kehormatan Dewi Lesmanawati.
Batara Guru lalu membisikkan sebuah mantra kepada Prabu Kresna untuk
memunculkan kembali Dewi Lesmanawati yang asli. Prabu Kresna berterima kasih. Setelah
dirasa cukup, ia pun mohon pamit kembali ke dunia bersama Raden Arjuna dan para
panakawan.
CATATAN : Dalam artikel majalah Panjebar Semangat, nama samaran Kyai Semar dan Bagong adalah
Salahrasa dan Rasasalah. Dalam cerita di atas, nama mereka saya ganti menjadi Amongrasa dan
Rasaamong.
KITAB WAYANG PURWA
BOMA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Prabu Boma Narakasura dengan
Dewi Agnyanawati yang ternyata jatuh cinta kepada Raden Samba Wisnubrata. Kisah
ini menjadi awal dari Perang Gojalisuta.
Kisah ini saya olah dari sumber artikel pedhalangan di majalah Panjebar Semangat,
dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 23 Februari 2019
Heri Purwanto
Astana Gadamadana untuk menjemput pulang Raden Samba di sana. Raden Partajumena
dan Arya Setyaki mohon pamit melaksanakan perintah. Prabu Kresna lalu membubarkan
pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.
Prabu Boma marah diperlakukan seperti ini. Ia pun mengamuk memaksa Batara
Kuwera agar menyerahkan Kembang Parijata kepadanya. Batara Kuwera dengan tangkas
menghadapi amukannya. Keduanya lalu bertarung sengit. Patih Pancadnyana dan para
punggawa Trajutresna ikut maju menyerang Batara Kuwera. Batara Kuwera dengan gagah
berani mampu menandingi mereka semua. Meskipun demikian, tetap saja ia hanya seorang
diri yang dikeroyok raksasa sebanyak itu. Batara Kuwera lama-lama letih juga dan sebuah
pukulan Prabu Boma membuat ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Prabu Boma kemudian menghampiri Kembang Parijata dan memetiknya. Pada saat
itulah Batara Kuwera bangun dari pingsan dan langsung menghantam dada Prabu Boma
menggunakan gada pusaka. Prabu Boma terpental hingga keluar kahyangan, sedangkan
Kembang Parijata yang ada di tangannya ikut terlempar entah ke mana. Melihat itu, Patih
Pancadnyana dan para punggawa raksasa segera mengejar, meninggalkan Kahyangan
Pustaka-kawedar.
wanita Dewi Agnyanawati. Betapa terkejut hati Raden Samba saat menyaksikan ternyata
Dewi Agnyanawati adalah perempuan yang pernah dijumpainya di alam mimpi dan ia
rindukan siang-malam.
Sebaliknya, Dewi Agnyanawati juga tergetar perasaannya sewaktu menyaksikan
Raden Samba berjalan di samping Prabu Boma. Tampak Prabu Boma menyerahkan
Kembang Parijata kepadanya. Dewi Agnyanawati menerima bunga tersebut dengan
perasaan menyesal. Ia membayangkan andai saja Raden Samba yang menyerahkan
bunga pusaka ini kepadanya, alangkah bahagia.
Karena persyaratan mas kawin sudah diwujudkan oleh Prabu Boma, maka pernikahan
di antara mereka pun dimulai. Ketika upacara mencuci kaki dilaksanakan, ternyata Dewi
Agnyanawati justru mencuci kaki Raden Samba. Semua orang pun terkejut melihatnya,
terutama Raden Samba yang menahan malu bercampur bahagia. Dewi Sumirat buru-buru
membetulkan posisi Dewi Agnyanawati agar membasuh kaki Prabu Boma.
CATATAN : Tokoh Prabu Banakatong adalah tambahan dari saya untuk meramaikan cerita.
KITAB WAYANG PURWA
WISANGGENI RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Bambang Wisanggeni putra Raden Arjuna
dengan Dewi Mustikawati putri Prabu Mustikadarma. Dalam upaya perkawinan ini,
Bambang Wisanggeni bersaing dengan Prabu Boma Narakasura dan Raden Lesmana
Mandrakumara.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
yang dipadukan dengan keterangan dari Ki Rudy Wiratama, serta sedikit perubahan
seperlunya.
Kediri, 01 Juni 2018
Heri Purwanto
Wisanggeni
Mustikawati menjawab, dirinya bersedia menikah asalkan ada laki-laki yang mampu
mewujudkan keinginannya, yaitu menghadirkan Cupumanik Gambar Jagad.
Mendengar jawaban itu, Prabu Boma pun mohon pamit undur diri meninggalkan
Kerajaan Sunyapura.
mahal nilai seorang Dewi Mustikawati. Ia pun tetap pada niatnya, yaitu menjadikan gadis
tersebut sebagai istri. Ia lalu bertanya di mana kira-kira Cupumanik Gambar Jagad berada.
Batari Dresanala mengatakan, cupumanik tersebut adalah pusaka milik Sanghyang
Padawenang, leluhur para dewa yang bersemayam di Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
Namun demikian, Bambang Wisanggeni jangan langsung berangkat ke sana. Masalah ini
adalah masalah besar. Bambang Wisanggeni hendaknya terlebih dulu meminta restu dan
dukungan kepada ayahnya, yaitu Raden Arjuna.
Bambang Wisanggeni mematuhi nasihat tersebut. Setelah meminta restu kepada
ibunya, ia pun pergi meninggalkan Kahyangan Duksinageni bersama Raden Antasena.
Raden Antasena dan para panakawan hanya menonton di tepi, kecuali Kyai Semar yang
memilih tidur di bawah pohon.
antara para Pandawa melawan para Kurawa. Kelak ketika Bambang Wisanggeni bersama
Raden Antasena mengembalikan cupumanik tersebut, Sanghyang Padawenang akan
menyampaikan pula apa yang menjadi takdir mereka.
Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena merasa penasaran. Mereka bertanya apa
kira-kira takdir yang kelak akan menimpa mereka. Sanghyang Padawenang tidak bersedia
menjawab karena itu belum waktunya. Kyai Semar menasihati kedua pemuda itu agar
menjalani kehidupan dengan baik, tidak perlu memikirkan hal tersebut. Kelak jika waktunya
tiba, ia yang akan mengingatkan Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena untuk
menghadap Sanghyang Padawenang dengan membawa kembali Cupumanik Gambar
Jagad.
Sanghyang Padawenang merasa cukup untuk hari ini. Bambang Wisanggeni dan yang
lain pun mohon pamit meninggalkan Kahyangan Awang-Awang Kumitir dengan membawa
cupu pusaka yang mereka cari.
PERANG GOJALISUTA
Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Kresna melawan Prabu Boma
Narakasura akibat ulah Raden Samba yang berselingkuh dengan Dewi Agnyanawati.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo, serta rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan beberapa perubahan
seperlunya.
Kediri, 19 April 2019
Heri Purwanto
agar segera berangkat melaksanakan tugas. Arya Setyaki mohon pamit, dan Prabu Kresna
lalu membubarkan pertemuan.
Patih Pancadnyana yakin Batari Pretiwi pasti merestui Prabu Boma menggusur Astana
Gandamadana, dengan alasan lebih baik mengorbankan yang sudah mati untuk
kepentingan yang masih hidup. Maka, ia pun memerintahkan para punggawa untuk
memulai pembangunan jalan lurus tersebut. Ditya Mahodara bertanya apakah tidak
sebaiknya menunggu kepulangan Prabu Boma terlebih dulu, dan apabila berangkat
sekarang apakah tidak melangkahi keputusan raja?
Patih Pancadnyana menjawab dirinya sudah hafal watak Prabu Boma. Ia yakin Prabu
Boma pasti bersedia melakukan apa saja demi Dewi Agnyanawati, asalkan tidak disuruh
menikah lagi dengan wanita lain. Karena Patih Pancadnyana sudah mendapatkan mandat
untuk menangani urusan Kerajaan Trajutresna, maka ia pun memerintahkan Ditya
Yayahgriwa untuk pergi ke Astana Gandamadana, berunding dengan Resi Gunadewa agar
memindahkan candi para leluhur di sana. Ditya Yayahgriwa mohon pamit ditemani Ditya
Amisunda dan Ditya Mahodara. Patih Pancadnyana lalu mengajak Ditya Ancakogra untuk
memulai persiapan membangun jalan lurus dari Kerajaan Trajutresna menuju Kerajaan
Giyantipura.
Singkat cerita, Ditya Yayahgriwa dan rombongan sudah sampai di Astana
Gandamadana. Mereka disambut Resi Gunadewa yang baru saja ditinggal pergi Raden
Samba. Ditya Yayahgriwa lalu menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk
menggusur Astana Gandamadana karena akan dibangun jalan lurus yang menghubungkan
antara Kerajaan Trajutresna dan Kerajaan Giyantipura. Resi Gunadewa tidak terima karena
Astana Gandamadana adalah tempat para leluhur dicandikan, antara lain Prabu Kuntiboja
dan Prabu Basudewa beserta para istri masing-masing. Lagipula Resi Gunadewa hanyalah
juru kunci astana. Ia tidak berani mengabulkan permintaan Ditya Yayahgriwa tanpa seizin
Prabu Baladewa, karena Astana Gandamadana masuk wilayah Kerajaan Mandura.
Ditya Yayahgriwa tidak peduli. Ia berkata dirinya tidak sudi pulang ke Kerajaan
Trajutresna dengan tangan hampa. Ia pun memaksa Resi Gunadewa menandatangani nota
kesepakatan bahwa Astana Gandamadana harus digusur demi pembangunan jalan lurus
tersebut. Resi Gunadewa menolak dan mengatakan dirinya lebih baik mati daripada dipaksa
mematuhi kesepakatan ini.
Ditya Yayahgriwa mengabulkan perkataan Resi Gunadewa. Ia lantas menghantam
kepala resi muda itu menggunakan gada di tangannya. Resi Gunadewa pun tewas seketika
dengan kepala remuk.
Pada saat itulah Arya Setyaki datang. Ia mengeluarkan Gada Wesikuning dan
bergerak lincah menyerang Ditya Yayahgriwa. Dalam pertempuran itu, Ditya Yayahgriwa
tewas kepalanya remuk terkena pukulan gada Arya Setyaki.
Arya Setyaki lalu menghentikan pertempuran. Ia mengatakan urusan ini biar
diselesaikan antara para raja tiga negara, yaitu Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu
Boma, karena sudah jatuh korban jiwa dari masing-masing pihak. Semuanya pun setuju.
Ditya Mahodara dan Ditya Amisunda menggotong mayat Ditya Yayahgriwa dan membawa
pasukannya kembali ke Kerajaan Trajutresna; Arya Setyaki membawa jasad Resi
Gunadewa ke Kerajaan Dwarawati, sedangkan Patih Pragota dan Arya Prabawa membawa
jasad Raden Wisata ke Kerajaan Mandura.
dasarnya juga jatuh cinta kepada adik iparnya itu sejak pandangan pertama. Mereka pun
saling melepas rindu yang terpendam di hati masing-masing. Raden Samba lalu
menggendong Dewi Agnyanawati yang meronta-ronta genit, dan keduanya pun
memuaskan hasrat birahi di dalam kamar tidur.
Perbuatan Dewi Agnyanawati dan Raden Samba terdengar oleh para dayang. Mereka
pun pergi melapor kepada Patih Pancadnyana. Mendengar laporan ini, Patih Pancadnyana
segera membawa pasukan raksasa mengepung puri tempat tinggal Dewi Agnyanawati.
Raden Samba gugup dan gemetar sehingga lupa bacaan mantra Aji Panglimunan yang bisa
membuatnya tidak terlihat. Tidak lama kemudian, Patih Pancadnyana dan para prajurit
sudah datang hendak menangkap dirinya.
Patih Pancadnyana menyebut Raden Samba pangeran tidak tahu diri, berani
menggoda kakak iparnya sendiri. Raden Samba berteriak minta tolong ketika hendak
diseret oleh Patih Pancadnyana. Suara teriakannya terdengar oleh Arya Gatutkaca yang
masih menunggu di luar istana. Arya Gatutkaca pun melesat terbang lalu menerjang turun
untuk menolong Raden Samba. Patih Pancadnyana ditendangnya hingga jatuh terjungkal.
Sejumlah prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Arya Gatutkaca. Namun, Arya Gatutkaca
tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Raden Samba untuk segera pulang ke
Kerajaan Dwarawati. Dewi Agnyanawati ingin ikut serta karena ia merasa dirinya sudah
menjadi milik Raden Samba. Raden Samba juga tidak mau pulang apabila tidak bersama
kekasihnya tersebut. Arya Gatutkaca terpaksa menggendong mereka berdua dan melesat
terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pancadnyana yang memanggil bala bantuan.
Patih Pancadnyana berkata bahwa Arya Gatutkaca juga datang mengacau Kerajaan
Trajutresna dan melarikan Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati. Prabu Boma
menjawab, Arya Gatutkaca mungkin rindu kepadanya karena sudah lama tidak berlatih
bersama. Ia justru memarahi Patih Pancadnyana dan para prajurit raksasa yang tidak
memperlakukan Arya Gatutkaca dengan sopan.
Patih Pancadnyana heran, mengapa watak rajanya yang biasanya pemarah kini
berubah menjadi sabar seperti ini. Prabu Boma tidak mau memperpanjang masalah. Ia
memerintahkan Patih Pancadnyana untuk menyusul Raden Samba dan Dewi Agnyanawati,
karena mereka akan dinikahkan di Kerajaan Trajutresna oleh Prabu Boma sendiri. Patih
Pancadnyana merasa heran, namun tidak berani membantah. Setelah menerima surat dari
rajanya, barulah ia berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.
Trajutresna, namun Prabu Kresna menjamin mereka akan baik-baik saja. Karena sang ayah
sudah menjamin demikian, maka Raden Samba dan Dewi Agnyanawati pun bersedia ikut
bersama Patih Pancadnyana.
Setelah ketiganya pergi, Raden Arjuna muncul dan menanyakan ke mana perginya
Raden Samba. Prabu Kresna menjawab bahwa Raden Samba baru saja berangkat
bersama Dewi Agnyanawati karena dijemput Patih Pancadnyana. Rencananya, mereka
berdua akan dinikahkan oleh Prabu Boma di Kerajaan Trajutresna.
Raden Arjuna terkejut mendengarnya. Ia heran mengapa Prabu Kresna begitu polos,
membiarkan Raden Samba pergi ke tempat Prabu Boma Narakasura. Ia yakin pasti Raden
Samba akan menerima hukuman mati di sana. Raden Arjuna tidak rela cucunya yang akan
lahir menjadi anak yatim. Ia pun bergegas menyusul kepergian Patih Pancadnyana dan
rombongan.
Dengan mengandalkan Aji Saipi Angin, Raden Arjuna berhasil menyusul Patih
Pancadnyana. Tanpa banyak bicara ia menendang patih raksasa tersebut, lalu membawa
Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.
Prabu Boma tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik
kepala Raden Samba hingga leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga
berserakan di tanah. Dewi Agnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis
lagi. Air matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri
menghampirinya dan mengajak Dewi Agnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutresna. Namun,
Dewi Agnyanawati berlari mendekati mayat Raden Samba, mengambil keris yang terselip
di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher sendiri.
Prabu Kresna paham maksud Prabu Boma. Ia pun melepaskan senjata Cakra untuk
menjemput serangan Prabu Boma. Senjata Cakra melesat memotong leher Paksi Wilmuna
dan menembus dada Prabu Boma. Tubuh Prabu Boma pun melayang jatuh ke tanah.
Namun, Arya Gatutkaca muncul mengusung Anjang-Anjang Kencana menjemputnya.
Tubuh Prabu Boma tidak sampai menyentuh tanah, tetapi tertahan di atas pusaka tersebut.
Hal ini membuat Aji Pancasunya tidak berfungsi, sehingga Prabu Boma tidak dapat hidup
kembali seperti tadi.
CATATAN : Kemunculan Raden Partajumena dan kelahiran Raden Dwara adalah tambahan dari saya untuk
meramaikan jalannya cerita.
KITAB WAYANG PURWA
KISAH
PANDAWA
BUANG
KITAB WAYANG PURWA
SESAJI RAJASUYA
Kisah ini menceritakan tentang upacara Sesaji Rajasuya yang diadakan oleh para
Pandawa, serta kematian Prabu Jarasanda, musuh bebuyutan Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang dipadukan
dengan buku tuntunan pedalangan lakon Sesaji Rajasuya karya Ki Sarwanto, dengan
perubahan seperlunya.
Kediri, 13 Agustus 2019
Heri Purwanto
Prabu Jarasanda
Prabu Baladewa bertanya siapa sebenarnya dua raja itu dan mengapa mereka
menangkap Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit? Prabu Kresna mengatakan bahwa kedua
raja itu hanyalah suruhan belaka. Saat ini ada dua orang raja lain yang hendak mengadakan
upacara agung, yaitu Prabu Puntadewa yang berniat mengadakan Sesaji Rajasuya, serta
Prabu Jarasanda yang hendak mengadakan Sesaji Kalalodra. Bedanya, Sesaji Rajasuya
harus dihadiri paling sedikit seratus orang raja, sedangkan Sesaji Kalalodra harus
menyembelih seratus orang raja sebagai kurban.
Prabu Jarasanda adalah raja Kerajaan Magada yang beribukota di Giribajra. Menurut
penerawangan Prabu Kresna, saat ini Prabu Jarasanda telah menyekap 97 orang raja,
termasuk Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit. Untuk menggenapi seratus, Prabu Jarasanda
berniat menangkap Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa. Adapun dua
raja bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka adalah bawahan Prabu Jarasanda yang
ditugaskan untuk menangkapi para raja calon kurban.
Prabu Baladewa terkejut dirinya menjadi sasaran. Prabu Kresna menjelaskan bahwa
Prabu Jarasanda menyimpan dendam kepada keluarga Mandura. Prabu Jarasanda adalah
menantu Prabu Gorawangsa raja Guargra, yaitu raja raksasa yang pernah menyamar
sebagai Prabu Basudewa (ayah Prabu Baladewa dan Prabu Kresna) dan menghamili Dewi
Mahira. Dari hubungan tersebut lahir Prabu Kangsa yang bersahabat dengan Prabu
Jarasanda. Ketika dulu Prabu Kangsa tewas dibunuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa
semasa muda, hal ini tentu saja membuat Prabu Jarasanda sakit hati. Itu sebabnya Prabu
Jarasanda ingin menjadikan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sebagai kurban sesaji,
serta digenapi pula dengan Prabu Puntadewa. Adapun dendam kepada para Pandawa
adalah karena mereka putra Prabu Pandu, yang mana Prabu Pandu dulu pernah
mengalahkan Prabu Jarasanda di masa muda.
Prabu Baladewa lega mendengar bahwa Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka selaku
utusan Prabu Jarasanda akan datang untuk menangkap dirinya. Itu artinya ia tidak perlu
susah payah mencari mereka berdua. Prabu Kresna justru menyerahkan masalah ini
kepada Prabu Baladewa karena dirinya akan berangkat menuju Kerajaan Amarta,
membantu para Pandawa mempersiapkan Sesaji Rajasuya. Apabila Prabu Hamsa dan
Prabu Dimbaka bisa dikalahkan, maka Prabu Baladewa diminta untuk segera menyusul ke
Kerajaan Amarta.
Prabu Baladewa heran dirinya datang untuk merundingkan masalah ini bersama
Prabu Kresna, tapi sekarang justru hendak ditinggal pergi ke Kerajaan Amarta. Namun, ia
paham watak adiknya sehingga tidak perlu berdebat lagi. Prabu Kresna pun membubarkan
pertemuan, dan ia memerintahkan Arya Setyaki serta Patih Udawa untuk membantu Prabu
Baladewa menghadapi musuh.
dihantamkan ke kepala Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka yang menyerang bersama-sama.
Kedua raja itu pun tewas untuk selamanya.
Kerajaan Magada untuk menuntut hak sebagai putra mahkota. Prabu Wrehadrata tidak
percaya bahwa Jaka Slewah adalah putranya. Mereka pun berperang. Prabu Wrehadrata
gugur di tangan anaknya sendiri, lalu kulitnya dikupas dan dijadikan sebagai genderang.
Genderang tersebut bisa berbunyi sendiri karena meminta ingin disempurnakan rohnya.
Jaka Slewah mendapat akal. Ia pun menaruh genderang tersebut di puncak Gunung
Cetiyaka sebagai pertanda apabila ada orang asing yang datang.
Setelah membunuh ayahnya sendiri, Jaka Slewah lalu menjadi raja Magada bergelar
Prabu Jarasanda, artinya “yang disatukan oleh Jara”. Kini Prabu Jarasanda berniat
mengadakan Sesaji Kalalodra, yang mana ia mengumpulkan seratus orang raja untuk
dikurbankan.
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna sangat geram mendengar kekejaman Prabu
Jarasanda. Namun, Prabu Kresna melarang mereka gegabah. Apabila masuk ke istana
Giribajra hendaknya mereka menyamar terlebih dulu menjadi pendeta, karena Prabu
Jarasanda meskipun kejam tetapi sangat menghormati kaum brahmana. Apabila tidak
menyamar, maka mereka akan mudah dicurigai dan dikepung oleh pasukan Kerajaan
Magada.
Arya Wrekodara mengaku tidak takut menghadapi para prajurit Magada. Prabu Kresna
setuju, namun itu artinya membuang-buang waktu dan tenaga. Lagipula, pesan Prabu
Puntadewa hanya Prabu Jarasanda saja yang boleh dibunuh, yang lainnya tidak boleh. Arya
Wrekodara mematuhi dan mereka bertiga pun segera bertukar busana, menyamar sebagai
pendeta.
brahmana. Ia pun bergegas menyambut mereka dengan penuh tata krama. Ketiga
brahmana tersebut mengaku bernama Resi Kesawa, Resi Balawa, dan Resi Parta.
Resi Kesawa selaku pemimpin rombongan langsung berterus terang bahwa
kedatangan mereka bertiga adalah meminta Prabu Jarasanda untuk membebaskan para
raja yang menjadi tawanan. Untuk apa menambah dosa, lebih baik hidup rukun dalam
persahabatan. Bayangkan apabila kelak keluarga 97 raja itu bersatu menggempur Prabu
Jarasanda, bukankah ini berbahaya? Prabu Jarasanda tidak peduli, karena jika mereka
dikurbankan, maka Batara Kala akan selalu melindungi Kerajaan Magada. Jangankan
diserang seratus negara, bahkan diserang seribu negara pun Prabu Jarasanda tetap
merasa aman dalam perlindungan Batara Kala.
Resi Kesawa berkata bahwa Batara Kala adalah dewa juga, dan di atas dewa masih
ada Tuhan Yang Mahakuasa. Apabila Tuhan berkehendak lain, Batara Kala bisa apa?
Prabu Jarasanda tersinggung dewa sesembahannya dihina. Ia mulai curiga pendeta di
depannya adalah Prabu Kresna, musuh bebuyutannya. Resi Kesawa merasa tidak perlu
menutupi lagi. Ia pun berterus terang bahwa dirinya memang Prabu Kresna, sedangkan
Resi Balawa adalah Arya Wrekodara, dan Resi Parta adalah Raden Arjuna.
Prabu Jarasanda senang sekali karena hari ini ia bisa membunuh Prabu Kresna untuk
membalaskan kematian sahabatnya, yaitu Prabu Kangsa dua puluh tahun yang lalu.
Selama ini Prabu Jarasanda tidak menyerang Kerajaan Dwarawati karena takut pada
sekutu Prabu Kresna, yaitu para Pandawa, mengingat dulu dirinya pernah dikalahkan Prabu
Pandu. Namun, kini Prabu Kresna dan dua Pandawa datang mengantarkan nyawa, maka
Prabu Jarasanda merasa tidak perlu segan-segan lagi.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa kedatangannya bukan untuk bertempur besar-
besaran, tetapi cukup perang tanding membunuh satu orang saja, yaitu Prabu Jarasanda.
Apabila Prabu Jarasanda mati, maka 97 raja yang ditawan harus dibebaskan. Sebaliknya,
jika Prabu Jarasanda bisa membunuh salah satu dari Prabu Kresna, Arya Wrekodara, atau
Raden Arjuna dalam perang tanding nanti, maka Sesaji Kalalodra boleh dilanjutkan, bahkan
Prabu Puntadewa dan Prabu Baladewa akan menyerahkan diri sebagai penggenap jumlah
raja yang akan disembelih.
Prabu Jarasanda seorang raja yang pandai bergulat. Ia merasa terhina jika harus
bergulat melawan Prabu Kresna dan Raden Arjuna yang berbadan kecil. Maka, ia pun
memilih Arya Wrekodara sebagai lawan bertanding. Arya Wrekodara menerima tantangan
dengan senang hati, karena sejak tadi ia berharap dirinya yang dipilih.
racun. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda memang seorang raja angkara
murka, tetapi sangat menjaga harga diri. Prabu Kresna yakin Prabu Jarasanda tidak
mungkin melakukan tindakan rendah layaknya seorang pengecut, misalnya menaruh racun
dalam hidangan. Lagipula, Prabu Kresna memiliki Kembang Wijayakusuma, sehingga
Raden Arjuna tidak perlu merasa khawatir. Setelah mendengar penjelasan demikian, Raden
Arjuna baru berani makan.
Prabu Kresna kemudian melantik Raden Jayatsena sebagai raja Magada yang baru.
Setelah itu, mereka bersama-sama berangkat ke Kerajaan Amarta untuk menghadiri Sesaji
Rajasuya.
Dahulu kala ketika masih menjadi begal, Batara Kresna pernah berkelana hingga ke
Kerajaan Cedi. Di sana sang raja yang bernama Prabu Darmagosa sedang bersedih,
karena putranya yang bernama Raden Sisupala lahir cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga
lengan, dan tiga kaki. Ia mendapatkan ramalan, bahwa orang yang bisa meruwat Raden
Sisupala adalah kelak yang akan mengambil nyawa putranya tersebut. Batara Kresna yang
saat itu bernama Begal Guwenda datang ke istana Cedi dan menggendong bayi Raden
Sisupala. Sungguh ajaib, satu mata, lengan, dan kaki bayi itu lepas sehingga menjadi bayi
normal. Prabu Darmagosa berterima kasih, namun juga memohon agar anaknya jangan
dibunuh. Begal Guwenda mengaku tidak dapat melawan takdir. Namun, ia berjanji asalkan
Raden Sisupala tidak berbuat dosa kepadanya sampai seratus kali, maka tidak akan
dibunuh. Prabu Darmagosa berterima kasih dan menyerahkan Raden Sisupala agar
menjadi murid Begal Guwenda.
Setelah dewasa Prabu Sisupala justru bersahabat dengan Prabu Jarasanda dan
beberapa kali melakukan dosa terhadap Batara Kresna. Hari ini Batara Kresna menghitung
sudah genap seratus kali bahkan lebih, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak
membunuh Prabu Sisupala.
CATATAN : Saya mengikuti alur Mahabharata bahwa Prabu Boma Narakasura mati terlebih dulu dibanding
Prabu Jarasanda. Karena Raden Samba sudah saya kisahkan tewas dalam kisah kematian Prabu
Boma, maka dalam jejer Dwarawati di atas, saya kisahkan yang tampil adalah Raden Setyaka.
KITAB WAYANG PURWA
PANDAWA DADU
Kisah ini menceritakan tentang permainan dadu antara para Kurawa yang diwakili
Patih Sangkuni melawan para Pandawa, sehingga Pandawa harus menjalani hukuman
buang selama tiga belas tahun. Kisah ini merupakan cikal-bakal Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang dipadukan
dengan rekaman lakon Pandawa Dadu yang dimainkan Ki Manteb Soedharsono,
dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 18 September 2019
Heri Purwanto
Dewi Drupadi.
Prabu Wisaka, Prabu Reksaka, Prabu Jayakurda, dan Prabu Surakesti. Setelah Prabu
Jarasanda gugur, kelima raja itu menjadi sekutu Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina,
serta berguru kepada Danghyang Druna. Kali ini Danghyang Druna meminta bayaran atas
pelajaran yang ia berikan, di mana mereka harus berangkat menyerang Kerajaan
Dwarawati.
Prabu Wiruka dan kawan-kawan bersenang hati karena ini adalah peluang bagi
mereka untuk membalaskan kematian Prabu Jarasanda, Prabu Sisupala, Prabu Hamsa,
dan Prabu Dimbaka. Mereka lalu mohon pamit dan mohon restu kepada Danghyang Druna,
kemudian berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.
Arya Wrekodara heran mengapa Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari
kelahiran, bukankah hari kelahiran antara dirinya dengan Prabu Duryudana hanya selisih
satu hari saja, dan seharusnya itu sudah lewat? Maharaja Yudistira melarang Arya
Wrekodara berburuk sangka. Ia pun bercerita tentang kisah kelahiran mereka. Kala itu Dewi
Gandari istri Prabu Dretarastra sudah lebih dulu mengandung, namun sampai dua tahun
belum juga melahirkan. Dewi Kunti yang mengandung belakangan ternyata lebih dulu
melahirkan Maharaja Yudistira. Konon Dewi Gandari sangat marah karena didahului dan ia
pun memukuli perutnya sendiri supaya si janin segera lahir. Ternyata yang keluar dari
kandungannya bukan bayi, melainkan segumpal daging hidup. Bagawan Abyasa datang
dan memecah daging tersebut menjadi seratus potong, lalu memasukkannya masing-
masing ke dalam kuali.
Beberapa waktu kemudian, Dewi Kunti melahirkan Arya Wrekodara dalam keadaan
terbungkus. Esok harinya, salah satu pecahan daging yang dilahirkan Dewi Gandari
berubah menjadi bayi normal, yaitu Prabu Duryudana. Jadi, memang benar bayi Prabu
Duryudana keluar dari kuali selisih sehari dengan lahirnya Arya Wrekodara, namun
kelahirannya ke dunia dalam wujud daging hidup adalah sesudah lahirnya Maharaja
Yudistira. Mungkin yang akan dirayakan Prabu Duryudana adalah kelahirannya yang
pertama tersebut. Maka itu, Maharaja Yudistira melarang Arya Wrekodara berburuk sangka,
apalagi yang mengundang mereka adalah Prabusepuh Dretarastra.
Raden Arjuna ikut bicara. Ia mengingatkan Maharaja Yudistira atas peristiwa Balai
Sigala-gala. Saat itu Prabu Dretarastra telah diperalat Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni
untuk mencelakakan para Pandawa. Prabu Dretarastra adalah orang yang memerintahkan
para Pandawa dan Dewi Kunti untuk bermalam di Balai Sigala-gala yang kemudian dibakar.
Untungnya, Adipati Yamawidura telah memohon bantuan kepada sang mertua, yaitu Resi
Landakseta untuk membuatkan terowongan bawah tanah, sehingga para Pandawa dan
sang ibu bisa selamat. Apalagi kali ini undangannya adalah bermain dadu, tentunya penuh
dengan rekayasa dan tipu muslihat di dalamnya.
Adipati Yamawidura membenarkan ucapan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna.
Dirinya mengaku didesak oleh Prabusepuh Dretarastra untuk mengantarkan surat
undangan ke Kerajaan Amarta. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Dewi Drupadi harus
menghadiri permainan dadu di acara syukuran tersebut. Sepertinya Adipati Yamawidura
sengaja dikirim agar para Pandawa segan menolak. Namun, hari ini ia justru menasihati
Maharaja Yudistira agar tidak menghadiri undangan mencurigakan tersebut.
Maharaja Yudistira menolak nasihat sang paman. Ia telah menyatakan dirinya akan
menghadiri undangan ini dan tidak akan menarik kembali ucapannya. Sama sekali ia tidak
pernah menaruh curiga kepada Prabusepuh Dretarastra yang sudah dianggap sebagai
pengganti ayah kandungnya. Dewi Drupadi sebagai istri juga menyatakan ikut menemani,
begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa. Arya Wrekodara dan Raden
Arjuna tidak tega kalau sampai mereka dicelakai para Kurawa. Maka, keduanya pun
menyatakan ikut berangkat.
Adipati Yamawidura sudah hafal watak Maharaja Yudistira dan ia tidak bisa mencegah
lagi. Maka, mereka pun bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna pun memacu kereta Jaladara hingga tiba di Kerajaan Amarta. Namun,
di sana ia tidak bertemu para Pandawa. Menurut keterangan Patih Tambakganggeng,
kelima Pandawa dan Dewi Drupadi telah dijemput Adipati Yamawidura untuk bersama-
sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.
Mendengar berita itu, Prabu Kresna segera memacu kereta untuk mengejar. Namun,
ia dihadang Batara Narada yang tiba-tiba turun dari angkasa. Batara Narada mencegah
Prabu Kresna ikut campur, karena ini menyangkut takdir yang harus dijalani para Pandawa.
Prabu Kresna heran takdir apa yang akan menimpa para Pandawa. Batara Narada
mengingatkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, tentunya tidak perlu ragu bahwa
para Pandawa ditakdirkan menjadi kaum kesatria penumpas angkara murka. Namun,
mereka lebih dulu harus menjalani ujian dari Yang Mahakuasa demi menguatkan hati dan
mendewasakan jiwa. Ujian tersebut akan segera datang, dan Prabu Kresna dilarang keras
untuk menggagalkannya.
Prabu Kresna memahami ucapan Batara Narada. Ia pun berjanji tidak akan membantu
Pandawa Lima, namun ia minta izin untuk mengawasi mereka. Batara Narada mengizinkan
Prabu Kresna boleh mengawasi, tapi tidak boleh membantu para Pandawa sama sekali.
Prabu Kresna berterima kasih, lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan.
babak kedua, Patih Sangkuni mulai menggunakan ilmu sihirnya. Dadu yang ia buat dari
tulang mendiang Prabu Suwala telah diisi dengan mantra sihir. Berapa pun yang angka
yang ia minta selalu muncul, seolah dadu tersebut bisa diajak bicara.
Satu persatu harta yang dipertaruhkan Maharaja Yudistira pun berpindah tangan
menjadi milik Prabu Duryudana. Melihat itu, Adipati Yamawidura tampil dan mengusulkan
agar permainan dihentikan saja, karena pihak Pandawa sudah kehabisan bekal. Namun,
Prabu Duryudana tidak bersedia. Ia mengajak Maharaja Yudistira tetap bermain, karena
harta kekayaan para Pandawa yang ada di istana Indraprasta masih banyak. Meskipun tidak
dibawa, tapi itu bisa untuk dipertaruhkan.
Maharaja Yudistira tidak ingin melihat tuan rumah kecewa. Ia pun mempertaruhkan
harta yang ada di istana Indraprasta. Namun, satu persatu lenyap menjadi milik Prabu
Duryudana karena kepandaian Patih Sangkuni melempar dadu. Hingga akhirnya istana
Indraprasta juga dipertaruhkan, dan kemudian jatuh pula ke pihak lawan.
Maharaja Yudistira diucapkan. Mulai saat ini, gelar itu harus dibuang dan kembali memakai
nama Prabu Puntadewa saja.
Tanpa ampun, Arya Dursasana tetap menjambak dan menyeret Dewi Drupadi di lantai
hingga akhirnya mereka sampai di tempat perjudian. Semua orang terkejut dan tertunduk
malu bercampur marah, terutama para Pandawa. Hanya Prabu Duryudana dan para
Kurawa yang tertawa menyaksikan pemandangan ini.
Dewi Drupadi bertanya mengapa dirinya dipertaruhkan. Apakah memang budaya
Kerajaan Hastina menganggap wanita sebagai benda yang bisa diperjualbelikan? Resiwara
Bisma dan Adipati Yamawidura tertunduk malu tidak bisa menjawab. Prabu Puntadewa dan
para Pandawa hanya bisa tertunduk lesu, karena mereka sudah menjadi budak yang tidak
memiliki hak untuk bicara.
Ternyata tidak semua Kurawa tertawa menyaksikan pemandangan itu. Raden
Durmagati adalah satu-satunya yang diam tidak ikut bergembira. Ia melangkah maju dan
meminta kepada Prabu Duryudana agar membebaskan Dewi Drupadi. Raden Durmagati
berkata bahwa perbuatan Arya Dursasana yang menjambak dan menyeret Dewi Drupadi
akan mencoreng nama baik Kerajaan Hastina di mata dunia.
Raden Durmagati memang Kurawa yang unik. Tubuhnya pendek gemuk, wajahnya
buruk rupa, penampilannya lugu seperti anak kecil, namun berpikiran bijaksana. Tidak
jarang ia berani mengkritik Patih Sangkuni apabila merencanakan kejahatan untuk para
Pandawa. Namun, kritikannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Tak disangka, kini ia
berani melawan Prabu Duryudana di depan umum. Prabu Duryudana sangat marah dan
memerintahkan Raden Kartawarma untuk meringkus Raden Durmagati dan membawanya
kembali duduk.
Prabu Duryudana teringat pada ucapan Adipati Karna tadi, bahwa Dewi Drupadi
berwajah cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan. Arya Dursasana pun
diperintahkan untuk melucuti pakaian Dewi Drupadi. Seorang wanita murahan tidak perlu
ditutupi pakaian. Nanti apabila sudah telanjang, maka Dewi Drupadi hendak dipangku di
atas paha Prabu Duryudana.
Arya Wrekodara marah mendengarnya. Ia bersumpah akan meremukkan paha Prabu
Duryudana dan meminum darah Arya Dursasana apabila berani mempermalukan Dewi
Drupadi. Prabu Duryudana tidak peduli dan tetap memerintahkan Arya Dursasana untuk
segera bertindak.
Arya Dursasana dengan beringas menarik ujung kain yang dipakai Dewi Drupadi.
Meskipun berusaha menahannya, namun kekuatan Dewi Drupadi jauh di bawah Arya
Dursasana yang berbadan gemuk tinggi besar. Ia melihat para Pandawa sudah tertunduk
lesu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah
Prabu Batara Kresna. Dewi Drupadi pun memanggil kakak iparnya itu agar datang
menolong.
Prabu Kresna masih tetap menggunakan Aji Panglimunan, namun dari tangannya
keluar kain yang menyambung kepada kain yang dikenakan Dewi Drupadi. Hal itu membuat
kain yang dikenakan Dewi Drupadi tidak bisa habis. Arya Dursasana sampai kelelahan
menarik kain tersebut namun Dewi Drupadi tidak juga terlihat telanjang. Akhirnya, Arya
Dursasana pun jatuh terduduk kehabisan tenaga, sedangkan kain yang ia tarik sudah
bertumpuk menggunung setinggi tubuhnya. Dewi Drupadi tetap berpakaian dan ia pun jatuh
ke lantai dicekam rasa sedih tak terperikan.
Dewi Drupadi menangis telah dipermalukan di istana mertua. Sebagai menantu dirinya
tidak dihargai dan dianggap sebagai benda tak bernyawa. Pada saat itulah muncul Dewi
Gandari dan Dewi Kunti mendatanginya. Dewi Kunti segera memeluk tubuh menantunya
itu, sedangkan Dewi Gandari melabrak Prabu Duryudana, anaknya sendiri.
mereka pun menitipkan Kerajaan Amarta kepada Prabu Duryudana. Dewi Kunti dan Dewi
Drupadi menyatakan ikut serta. Prabu Puntadewa tidak bersedia karena ini adalah
kesalahan dirinya, maka ibu dan istrinya dilarang ikut pergi ke hutan.
Adipati Yamawidura tidak tega melihat kakak iparnya ikut menjalani pembuangan. Ia
pun meminta Dewi Kunti untuk tinggal di Kadipaten Pagombakan saja. Prabu Puntadewa
dan keempat adiknya ikut memohon agar sang ibu menerima tawaran tersebut. Dewi Kunti
akhirnya luluh dan bersedia menerima ajakan Adipati Yamawidura.
Prabu Puntadewa lalu mengajak Dewi Drupadi pulang ke Kerajaan Pancala. Selama
para Pandawa menjalani masa pembuangan, Dewi Drupadi akan dititipkan kepada sang
ayah, yaitu Prabu Drupada. Mendengar itu, Dewi Drupadi mengancam akan bunuh diri. Ia
telah dipermalukan di istana Kerajaan Hastina, maka tidak mungkin pulang ke Kerajaan
Pancala dengan membawa aib. Baginya lebih baik mati daripada malu bertemu orang tua.
Jika Prabu Puntadewa tidak ingin melihat istrinya bunuh diri, maka sebaiknya diizinkan ikut
menemani pergi ke hutan. Bahkan, Dewi Drupadi menyatakan sumpah bahwa dirinya tidak
akan menata rambut sebelum keramas darah Arya Dursasana. Aib memalukan ini hanya
bisa ditebus dengan nyawa Arya Dursasana.
Pada saat itulah muncul Prabu Kresna menampakkan diri. Ia berkata bahwa ini semua
adalah takdir yang harus dijalani para Pandawa dan juga Dewi Drupadi. Kehidupan di hutan
jangan dianggap sebagai musibah, tetapi hendaknya menjadi sarana untuk melebur dosa
dan mendewasakan jiwa, karena kelak para Pandawa akan menjadi kesatria pinilih yang
mendapat tugas dari dewata untuk menumpas angkara murka.
Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya dapat menerima takdir ini. Dewi Drupadi
akhirnya diizinkan untuk ikut serta. Mereka lalu memohon restu dan bersama-sama
berangkat menuju Hutan Kamyaka untuk menjalani masa pembuangan selama dua belas
tahun.
CATATAN : Tokoh Kurawa yang membela Drupadi menurut versi Mahabharata bernama Wikarna. Dalam
kisah di atas saya ganti menjadi Durmagati karena saya mengikuti sanggit Ki Anom Suroto,
bahwa Durmagati adalah anggota Kurawa yang buruk rupa tetapi baik hati, yang sering
mengkritik niat jahat Patih Sangkuni.
KITAB WAYANG PURWA
KIRMIRA GUGUR
Kisah ini menceritakan tentang para Pandawa yang mulai tinggal di hutan, sedangkan
para Kurawa mengambil alih Kerajaan Amarta.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Wanaparwa, dengan perubahan
seperlunya.
Kediri, 11 Desember 2019
Heri Purwanto
menjadi raja Hastina adalah Prabu Duryudana, maka mau tidak mau ia pun harus setia
kepada muridnya tersebut.
Prabu Duryudana gembira mendengar ikrar setia Danghyang Druna. Kini ia berencana
untuk mengambil alih wilayah Kerajaan Amarta untuk menjadi bagian Kerajaan Hastina.
Sesuai perjanjian, karena para Pandawa kalah bermain dadu, maka mereka harus
menjalani hukuman buang tiga belas tahun lamanya. Selama mereka pergi, maka Kerajaan
Amarta harus dititipkan kepada para Kurawa. Oleh sebab itu, Prabu Duryudana berniat
mengirim Adipati Jayadrata agar menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa
di sana.
Prabusepuh Dretarastra agar membatalkan hukuman buang yang dijalani para Pandawa
dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan Hastina tempo hari sungguh biadab,
di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan
para hadirin, termasuk para sesepuh negara. Adipati Yamawidura merasa sangat malu tidak
dapat berbuat apa-apa. Prabusepuh Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak
mencegah anak-anaknya.
Dewi Gandari menyela pembicaraan. Ia berkata bahwa dirinya telah menghentikan
permainan itu. Pelecehan Dewi Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib Kerajaan
Hastina. Namun, itu semua telah dihentikan oleh Dewi Gandari. Lalu, mengapa Adipati
Yamawidura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?
Adipati Yamawidura menjawab, yang namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib.
Meskipun Dewi Gandari telah menghentikan permainan, namun permainan tetap saja
dilanjutkan dengan bentuk taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan
dibuang selama tiga belas tahun. Dewi Gandari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah
disepakati bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum buang selama tiga
belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman
buang.
Adipati Yamawidura berkata hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa
diwakili Patih Sangkuni yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih
Sangkuni bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Adipati Yamawidura
menyarankan agar hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang
kembali ke negara mereka. Prabusepuh Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak
bertindak, maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda
Kerajaan Hastina.
Dewi Gandari tersinggung mendengar Patih Sangkuni dituduh berbuat curang dan
bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Prabusepuh Dretarastra, dan ia meminta
izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sangkuni ke Kerajaan Gandaradesa
daripada dihina seperti ini. Adipati Yamawidura menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah
belaka.
Prabusepuh Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun memarahi Adipati
Yamawidura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. Selama ini Adipati Yamawidura
selalu berat sebelah, yaitu lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa, padahal
mereka sesama keponakan. Apapun yang dilakukan anak-anaknya selalu salah di mata
Adipati Yamawidura, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Prabu Pandu selalu
terlihat benar. Jika memang Adipati Yamawidura lebih sayang kepada para Pandawa
daripada para Kurawa, mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?
Adipati Yamawidura terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk
pergi bergabung dengan para Pandawa di Hutan Kamyaka.
karena Pandawa sudah kalah bermain dadu. Sebagai kesepakatan, para Pandawa harus
pergi ke hutan selama dua belas tahun dan menyamar di suatu negara selama setahun,
sedangkan Kerajaan Amarta harus dititipkan kepada Kurawa.
Arya Antareja sebagai juru bicara menolak keputusan itu. Menurutnya, para Kurawa
tidak berhak mengambil alih Kerajaan Amarta karena mereka menang secara curang.
Adipati Jayadrata bertanya apakah para putra Pandawa bisa membuktikan kecurangan itu.
Arya Antareja tidak bisa menjawab. Ia hanya meyakini bahwa Patih Sangkuni bermain sihir
saat melemparkan dadu.
Adipati Jayadrata marah karena para putra Pandawa menuduh tanpa bukti. Ia berkata
bahwa Kerajaan Amarta akan diambil alih hari ini juga, tidak peduli para putra Pandawa
bersedia atau tidak. Arya Antareja dan saudara-saudaranya bertekad akan mengukuhi
setiap jengkal Kerajaan Amarta. Tiba-tiba Prabu Kirmira maju menerjang mereka. Maka,
terjadilah pertempuran. Para putra Pandawa dan pasukan Amarta bertempur menghadapi
Prabu Kirmira dan pasukan raksasa Ekacakra.
Setelah bertempur cukup lama, para putra Pandawa merasa terdesak. Mereka tidak
mampu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta dan terpaksa pergi menyusul orang tua
mereka di Hutan Kamyaka. Prabu Kirmira tidak mau mengampuni. Ia tetap mengejar
mereka dan menyerahkan Kerajaan Amarta kepada Adipati Jayadrata.
itu adalah bagian dari perjanjian. Untuk itu, sebaiknya Adipati Yamawidura kembali ke
Kerajaan Hastina.
Adipati Yamawidura menggeleng. Ia masih belum bisa kembali ke sana. Tiba-tiba
datang Srati Sanjaya di tempat itu. Ia adalah juru penuntun sekaligus kusir kereta
Prabusepuh Dretarastra. Ia ditugasi menjemput pulang Adipati Yamawidura karena
Prabusepuh Dretarastra merasa kehilangan dan menyesali ucapannya.
Adipati Yamawidura berkata dirinya tidak mau pulang apabila tidak bersama para
Pandawa. Namun, Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah berjanji untuk menghormati
keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman sampai selesai.
Untuk itu, Adipati Yamawidura diminta untuk pulang saja bersama Srati Sanjaya.
Adipati Yamawidura merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Prabu Puntadewa.
Ia hanya bisa mendoakan semoga para Pandawa dan Dewi Drupadi baik-baik saja selama
menjalani masa pembuangan. Adipati Yamawidura lalu kembali ke Kerajaan Hastina
bersama Srati Sanjaya.
BHARATAYUDHA
Perang Baratayudha, atau lengkapnya Baratayuda Jayabinangun, perang antar darah
Barata, merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa
dalam pewayangan, selain perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas
pemberontakan Prabu Trembuku dari Pringgandani dan Perang Gojalisuta, perang
saudara anak bapak, antara Prabu Bomantara alias Prabu Sitija, dengan Prabu
Kresna dalam membela anaknya yang lainnya Samba Wisnubrata, serta perang
Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas serangan Raja
Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona
kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba.
Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati,
memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap.
Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar besar dari
Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan semburat sinar matahari
fajar yang membias mega dari puncak gunung gemunung ketika hendak menerangi jagat.
KITAB WAYANG PURWA
Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang berwarna
kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung podang yang menguasai
pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang berwarna putih berkumpul sesama putih,
sehingga kelihatan bagaikan kumpulan burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa.
Demikian juga barisan dengan seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya
terkumpul sesamanya.
Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni elok
bagaikan kelompok kembang setaman.
Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan,
bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah
hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan
tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai
hiasan pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang
barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.
Di atas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji,
hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.
Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan
gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap
dengan jalan kaki menggenggam gada super besar di tangannya. Di belakangnya Patih
Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.
Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya
gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya.
Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita
berwatak prajurit.
Susul menyusul di belakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu
Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya
duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi
terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang
coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa,
kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi
bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.
Susul menyusul di belakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa,
dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.
Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar
Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawal Prabu Matswapati diiring
kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang
sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk
memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi.
Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi
Pangeran Pati Arya Drestajumena, atau Trustajumena. Di belakangnya kembali menyusul
raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci
ini.
Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan
pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna,
Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain.
KITAB WAYANG PURWA
Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang
mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan.
Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa tepi strategis.
Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai
Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut
dengan segala hiasan hingga menyerupai istana.
Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala,
pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit
garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang
dibakar terlebih dahulu.
******
Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias
bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan
utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit
melingkup disekitar pesanggrahan.
Di tempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya
mesanggrah di Karangpandan.
******
Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali
iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke
Randuwatangan.
“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini”.
Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa
perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang
dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.
Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak anakku, watak
satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah
dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu
adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.
“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak
Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk
kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan
sejak kamu masih kecil”
Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura, paman para Pandawa dan
Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa sesal,
kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura
kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina.
******
Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati.
Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga
Resi Bisma dan Begawan Durna.
“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas
Pandawa yang tidak tahu tata”.
Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati.
KITAB WAYANG PURWA
“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi
senapati pertama”.
Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat
mungkin. Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu
menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata,
sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada
sepinya pertapan Talikanda menjadikannya seolah tanpa tanding.
Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak
yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam
relungnya.
Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku untuk
mengunduh segala pakarti yang aku pernah perbuat di masa lalu”.
Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh
putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada
sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya,
seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan.
Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya
menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung
dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas
menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas
mengantarnya kembali ke alam tepet suci.
Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja
Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung
mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh
suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan
momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa.
CATATAN : Terdapat versi lain, yang terbunuh oleh Raden Dewabrata ketika itu adalah Dewi
Ambika. Namun versi pada cerita ini adalah ; Ketika itu Dewi Amba, Ambika dan
Rambalika menjadi boyongan ke Astina ketika sayembara perang yang
diselenggarakan Raja Kasi telah dimenangkan oleh Dewabrata. Ketika itu kedua
adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri penengah dan terakhir sehingga
dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata
kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata
atau anak turunnya, menyebabkan Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang
seumur hidupnya.
KITAB WAYANG PURWA
Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta? Putra
pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian
yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati
Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka
Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini
dirapal.
Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara,
apalagi Wratsangka yang agak penakut.
Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu
hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan
Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking
panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma
sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa.
Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati
garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya, “Semua yang
hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir
Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami
KITAB WAYANG PURWA
sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud
kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai
aturan“.
Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna
untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu meremukkan karang
laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati
utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun
sewaktu waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi
senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna
terhadap Arya Wratsangka di sisi kiri dan kanan.
Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat
suasana yang tergelar di depan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya
Arjuna yang berdiri termangu. “Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang
terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan,
paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat”, demikian sang Arjuna tersentuh
rasa kemanusiaannya.
Lanjutnya, “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak
sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja?”.
“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini
bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah
kenyataannya”, Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin
Arjuna.
“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah
ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu,
perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk
meluwar janji yang telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa............”.,
banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.
“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku
agungkan?” tanya Arjuna.
“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas
kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah
berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu
menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi
bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu
bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna”, Kresna menjelaskan.
Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang
beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat,
mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan
kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit
yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu
membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.
Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga berlangsung seru,
keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu
kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat
kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi
kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab
tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya.
KITAB WAYANG PURWA
Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua
putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani.
Kesunyian malam mulai mencekam, bintang di langit berkelipan menyebar, sebagian
berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah mata angin di waktu
malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan
berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum
bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap
sari kembang.
Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai
pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam pikiran
mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali
terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma.
Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila
tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa
masih belum terpisahkan dari raga.
Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan
dendam kematian adik-adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat
berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga.
“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan
kematian kedua adikku”.
Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang di waktu malam terus berlangsung.
Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata
terpejam. Di dalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum
melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan
berkumpul kembali.
*********
Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur. Hari
itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.
Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini
Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya,
dua raja sekutu Kurawa dimasukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak
kembar penggedor pertahanan lawan.
KITAB WAYANG PURWA
Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara
dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.
Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang
kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya,
sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.
Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta.
Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk,
sementara Kartamarma selamat. Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah ke arah
Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping.
Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai
sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak
panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng
Durna menyingkir mencari selamat.
Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling
serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki
kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya
masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik-adiknya. Dengan
sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu
tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya
seakan dijauhkan dari dendam membara Seta.
*********
Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas,
tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para
prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung
burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan
kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.
********
Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta
lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa di atas angin Seta
sesumbar, “Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun
setapak”.
“Jangan merasa jadi lelaki sendirian di muka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah
penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah menyahut.
Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak
pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi
bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam.
Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa
saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.
***********
Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata tidak tewas.
Samar terdengar di telinganya sapaan seorang perempuan, “Dewabrata, inilah saat yang aku
tunggu, kemarilah ngger. . . !”
Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan
dandanan serba putih.
KITAB WAYANG PURWA
“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan
manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini…”.
Dewabrata menjawab dengan seribu tanya. Wanita itu menggeleng, “bukan..., akulah
Gangga..., ibumu”.
“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu
merindukan wajah itu”.
“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu
adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.
“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu
sewaktu masih bayi”, sambung Sang Batari.
********
“Beginilah cerita singkatnya ngger anakku : Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu,
ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya
semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura
sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.
Dari kecantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona
denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu dikehendaki. Maka
Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan
menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta.
Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda
Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu.
Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersama-sama.
Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaanku yang dirasa kelewat berat ketika
diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di
bengawan Gangga.
Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat
baginya. Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu berlalu
dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga
disanggupinya permitaan yang satu itu.
Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu
demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan
Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan.
Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang,
senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu
adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran ayahmu terhadap rasa
kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku.
Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari hari kehari,
hingga terucap kata-kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam
kawidodaren”.
Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.
Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan
mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat
dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden
Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya. Kelak Sang Sentanu dapat
menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini,
KITAB WAYANG PURWA
kakak Raden Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang
Baginda Matswapati.
Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang
Pandawa, dan Sentanu.
Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu
ibunya hingga saat Baratayuda tiba.
“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..?” sang Batari
menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.
Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus ke dalam lautan.
“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung
jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”
“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan senjata panah sakti
bernama Cucuk Dandang, lepaskan ke arah lawanmu”. Kasih ibu sekali ini memberikan
tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.
Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama-lama melepas kangen
dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.
********
Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul.
Tandangnya membuat giris siapapun yang ada di dekatnya. Namun tidak sampai separuh
hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.
“Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?” Bisma datang
dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah di tangan, kali ini ia yakin
dapat mengatasi kroda sang Seta.
“Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak
menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar.
Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak
panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak
hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga ke jantung.
Menggelegar tubuh sang resi terkena panah, jatuh ke bumi seiring muncratnya darah dari
dada sang satria.
Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan.
Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama,
Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang
telah berakhir dengan kemenangan di depan mata.
Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang
melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta
membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . sudah tuntas … Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah
berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . . . . . “
Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara
hendak ditujukan kepada Resi Bisma.
Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan “Duh Pukulun
Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah
yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah
prajurit wanita”
KITAB WAYANG PURWA
Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan.
Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat,
dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga
terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang
masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat.
Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar
terhindarkan.
CATATAN : Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi
Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga
sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta.
Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna.
Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi
penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi
dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata
sesal yang terucap.
“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih
punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah
mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati
memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam
Wirata dalam perang.
“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar
setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan
Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga
dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya
sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara”.
Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka pihak
Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara
pembakaran jenazah Seta selesai dilakukan.
KITAB WAYANG PURWA
BHISMA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae
Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang
digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta.
Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang
direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina.
“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu!“
Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa
saat kemenangan akan segera datang.
Lanjutnya, “Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung.
Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat
menandingi kesaktian paduka, Eyang!”
“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang
mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang
dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” berkata lantang Prabu
Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu
menyambut kemenangan.
Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri
Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta,
Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat,
bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan.
Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta menyahut, “Ngger
Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak
orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan,
diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa
ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah
dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!”.
“Apalagi, di belakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang
sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!!”
Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda
Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di
KITAB WAYANG PURWA
sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang
sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan.
Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan
dilindungi oleh para raja telukan, di belakangnya Harya Dursasana siap pada daerah
pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup ke
dalam.
Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur
mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya perut.
Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang
segera dipondongnya ke atas tilam rum.
***
Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar
rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu
membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi pribadi lain akan
menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung.
Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan
pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan
nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal
Kurukasetra menggonggong dengan suara pnjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan
liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk
memulai pesta pora.
Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga
dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi
mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati
hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih
tetap mengait pada raga.
Dewi Amba
Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama
pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada,
berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.
Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan
atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih
tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan
KITAB WAYANG PURWA
setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi
dibarisan tengah, yang sewaktu waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.
Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna,
putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia
yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan
perawakannya yang langsing sentosa.
Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna
melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah
diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim
kemarau panjang. Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh
satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut.
Gemuruh mengerikan.
Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya
memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin membakar
semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan
prajurit yang roboh sebagai pecundang.
Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di
genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang
gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat
gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang
sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada
Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban
prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu,
Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan
bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang
mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan.
Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati
Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi
dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma.
Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan
pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan
Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai
senapati Pandawa.
Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu
tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan
bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.
Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.
“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi
kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah
Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat.
“Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan segenap
pertanyaan bergulung dibenaknya.
“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya
yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.
KITAB WAYANG PURWA
“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?!
Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit
Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”
“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat
kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.
Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh
suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi
Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!”
Wara Srikandi
Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat
menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?”
“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !”, Prabu Kresna masih sambil tertawa
mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra. Tersipu Wara Srikandi dengan pujian
yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat
mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.
Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang
lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “Ayolah istriku, jangan lagi membuang
waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma”.
Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.
*******
Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput
kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang
suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh
hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan.
Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum.
Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi
Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.
Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada
Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah
dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik
keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini.
KITAB WAYANG PURWA
Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama
Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-
diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan-bulan tanpa henti.
Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam
benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar
ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu
baru saja terjadi.
Ketika membuka matanya kembali, di depan matanya Wara Srikandi dengan senyum
mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar
gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya,
Dewi Amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam
raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam di tangan Srikandi,
seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan
Resi Bisma saat ini.
Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi,
maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba.
Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang
Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika
di tanah berdebu Padang Kurusetra.
Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu
Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik-adik mereka masing-masing,
menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang
membuncah.
Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini
memangku bersama raga pepunden mereka.
*****
“Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada
ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala
permusuhan dan peperangan menjadi terhenti. . . “. tersendat dan gemetar suara Resi Bisma
kepada kedua cucu trah Barata.
“Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung
ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku”. Sambil sesekai
nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing,
teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa
ini”.
Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing masing.
Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat. “Lepaskan
sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan
Resi Bisma kali ini. “Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana
gemetar. Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih di tangannya.
Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku
menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang”.
Kali ini Werkudara yang juga berdiri di sisi raga eyangnya segera melompat tanpa
diperintah. Ketika kembali di tangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan
pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi.
Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . . . .!”
KITAB WAYANG PURWA
Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan
Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan
langkahnya ke depan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa
berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada, sebentar sebentar memukul
pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap keningnya yang berkerut. Hawa sore
yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras
mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat
masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa di dalam hati, kenapa mereka tidak
berbuat adil terhadapnya.
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan
sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka
prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada
perubahan, kembali ia melanjutkan, “Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang
benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh
siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid
Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu
Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta
dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah
sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba
mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti
mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan
segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga
pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang
berdirinya kekuatan Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya
berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara
yang ada di balairung.
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air
mukanya yang menjadi cerah.
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “Rama Prabu Mandaraka, Bapa
Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh
KITAB WAYANG PURWA
jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung
tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”. Sejenak Prabu
Duryudana terdiam.
Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan, “Namun setelah Rama Prabu Salya
membuka mata saya, bahwa ternyata di sekelilingku masih banyak agul-agul sakti, terasa terang
pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan
semangat anakmu ini”.
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak
diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Semua sudah menanti
titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan
mengharap menjadi senapati pengganti.
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan
segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa
tumpas tanpa sisa”.
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap
siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari
kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.
“Syukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah
mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi
itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu
sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan
formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan
ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua
orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya
akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus
untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya
mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan
awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.
“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu
demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk
memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar
barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas
Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana,
Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran,
sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan
pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan
gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidakpuasan yang terpancar
dari kedua Raja Seberang ini. ”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang
cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih
yang selalu melekat ditangannya.
Wajah-wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan
Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang
KITAB WAYANG PURWA
bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak
sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap
kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka
bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera
tancapkan senjata saktimu ke tanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir
menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat
mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka ke dalam. Pasti keduanya akan segera
tewas”.
******
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu
Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan
pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma
secara sederhana, namun diliputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya
Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya
taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka. Prabu Punta yang duduk berdiam diri
dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu
Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari
jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga
menyebabkan tewasnya Resi Bisma.
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini
harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa. Cair kebekuan
hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa,
”Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari.
Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah
mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur
sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan
peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal
dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi
Prabu Punta melanjutkan, ”selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk
mengatur langkah kita di bawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala
kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
KITAB WAYANG PURWA
“Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna.
Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas
terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar
yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa.
Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna
mengingatkan.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada
posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan
kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh”.
*****
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari
masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang
bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-
hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan
kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa
mengamuk di sekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan senjata
membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.
Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga,
putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan
perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah
membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.
Tak hanya itu, di bagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk
perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak
anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuat terperangah prajurit lawan. Tak
kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya
dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh
Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding
bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang
dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang di tempat ramai seperti ini
membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang
benar-benar sakti. Kejar aku..!!”
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku
layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya
menuju ketempat yang ditujunya.
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan
Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di
pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa,
kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh
barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban
amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik
pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya
KITAB WAYANG PURWA
segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita
sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar
pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua
sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan
makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang
barisan yang makin terpecah belah.
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu
sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab
musababnya, segera ia memacu kembali kereta ke arah Prabu Kresna.
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga
tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara
dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil
bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa
terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan
kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujaan yang
terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti
mandraguna. Karena yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna
berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang terlahir sudah bertameng baja di dada
dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “Aduh kakang Prabu, seribu
salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra.
Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita
panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat
ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.
“Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar
Drestajumna.
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput
dia” Sri Kresna memberi putusan.
putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang di sisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung
tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang
suami.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak
teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi”
demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa-rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri
tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti
suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas
pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda-tanda aku juga mau
hamil kakang”. Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis
keturunan, eyang.
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil
tersenyum ke arah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu,
rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya
Abimanyu ke dalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai
dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa,
tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga.
Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan
di arena peperangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di
Kurusetra”. Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak
enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah
menggelayut dipundak sang adik.
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka. Namun
lain halnya dengan Abimanyu sendiri.
Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan
baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas
keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada
istrimya, namun tangis keduanya malah bertambah-tambah.
Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika
Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang
suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan
memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang
kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama Kyai Pramugari yang
berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.
KITAB WAYANG PURWA
Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul
di udara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada di
hadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa
Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong
kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan cerita
Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang
seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya, “Sembah bektiku saya
berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang
menggayuti para orang tua orang tua kami”
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya
bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”, perintah
sang uwa.
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk
ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna
menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas
Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan
lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada
pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah
Wara Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian
besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit
Randuwatangan. Amukan Abimanyu di atas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng
terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan
penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai
sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas
musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama
membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi,
KITAB WAYANG PURWA
Bambang Sumitra
Di bagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu
Salya rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu
singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan
strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat,
Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok
Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat
menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari
berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang
dengan senjata di tangan masing-masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat
mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah
bagai diperdayai.
KITAB WAYANG PURWA
Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian, ketika pedang
Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan
yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni
menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan
tersisa menjadi ciut nyalinya.
Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat
diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling
serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh
terguling tak bangun lagi.
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan
sudah terjadi. “Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa di atasmu, dan
menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata-kata
Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung
kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari
kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat
Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi,
disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri
keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya k earah
kejadian.
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia
mengatakan, “Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal
seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka
menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal-akalannya, “Adi Sangkuni, nak
angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu,
maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!”
Sangkuni mengamini.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka
akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan,
padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi
keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.
Karno
KITAB WAYANG PURWA
“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu!”. Jawab Narpati Basukarna
sekenanya.
“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger
yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”.
Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak
Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan
pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah,
tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu
segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih
Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para
prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila
perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu: “Berhentilah
anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk
barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ”
Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman
terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang
demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap
lawan”. Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan
memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya
punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari
lukanya.
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka,
mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.
“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya,
untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.
Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya
biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali.
Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali
menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju
menyongsong serangan.
“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku
kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-
sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. Walau
terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya
masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba
keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa,
KITAB WAYANG PURWA
sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam
waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya.
Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya
anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih
jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh
senjata seperti karangan bunga yang terangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar
mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus
yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti
halnya untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi
makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah
mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan
sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat
bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling
serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan
gamelan berirama Kodok Ngorek!
Di lain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari
pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah
beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka
bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.
Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa
boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri
Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau
tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah
tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana
yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya
sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat
penakutnya sangat kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina
Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya,
Abiseca dan Secasrawa.
KITAB WAYANG PURWA
Lesmana Mandrakumara
berarak. Burung burung di dahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap
madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga
perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi
kusuma negara yang gugur, di lepas siang.
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang
terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya.
Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu,
menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi
menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka
telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
KITAB WAYANG PURWA
RICUH DI BULUPITU
Ditulis oleh hery_wae
Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar
arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur
perang, Drestajumna. Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang
kesatria menghindar dari tantangan musuh.
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan
bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya
tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu. Tepat ketika
matahari di atas kepala, dikenakan senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak
kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot
tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin
mereka tenggelam. Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir
lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara saudaramu, bicaralah
kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka
menggantikannya jadi kerak neraka itu”. Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara
adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu
mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika
atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini,
tunggangan Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu
sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati-
hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam. Di lain
pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan
menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka
ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol
dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil
melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan
Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak
Kurawa. Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat.
Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam
tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi,
namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh di atas Wersaya. Dengan tidak membuang
waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya di ujung keris Kyai
KITAB WAYANG PURWA
Kalanadah. Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan
mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka
mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan. Melihat kenyataan di depan
mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan.
Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri
Wara Subadra tak henti-hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk
dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak
terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri
belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti
dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang
menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
********
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu
karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya
helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar
mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam
dengan suara tidak jelas. Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya.
Namun orang orang di sekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam
benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja
mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka
tiada satupun yang berani membuka mulutnya. Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut
dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana-mana dengan kenangan terhadap
pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh.
Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama
pamannya.
“Paman Harya Sangkuni!” Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan
kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan
terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan
peperangan.
Namun ditegarkan hatinya ia menjawab. “Daulat sinuwun memanggil hamba”.
“Ini siang atau malam?” Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak
dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.
“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu,
ini siang atau malam,”
Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana
mengeluarkan isi pikirannya. “Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para
Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia
adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang
terjadi, yang salah bukan para dewa”.
“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta
kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya,
seperti yang disandang sekarang ini”.
KITAB WAYANG PURWA
Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan. “Anak lelaki yang hanya satu, satria
Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah
selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda”
di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur
dalam peperangan”.
“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”. Sejenak sang
Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera
dilepaskan dari sesak di dadanya.
“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang
mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara
dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka
tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi
kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku,
yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok
aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”.
Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi ketus.
“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik! “Yang terjadi adalah, para orang
tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang
tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya
ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh
perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa
mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya
tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang
dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak
dilakukan tidaklah ada nyatanya !’
“Apakah harus saya sendiri yang melangkah ke dalam peperangan menyerang para
Pandawa”. Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan
di hadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir
dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat
memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang
terpendam didadanya.
Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang,
ia membuka mulutnya.
Resi Krepa
“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna. Saya yang sanggup
menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”. Krepa memperkenalkan kembali
keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia
KITAB WAYANG PURWA
melanjutkan. “Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan
persaudaraanku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena
kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Karena paduka menjadikannya sebagai
penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi
datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba
tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya
bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan.
Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah
menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang
Baratayda Jaya Binangun”.
Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan
percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya. “Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau
muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah
berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun
menanyakan”. Krepa memancing.
“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”. Penasaran, Prabu Duryudana
menyahut. “Bicaralah Krepa, akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan
telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
Mendapat angin, Krepa makin percaya diri. “Syukurlah, apakah sebabnya bila saya
berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya
diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih
negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah
memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.
“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan
memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu
adalah terserah mereka sendiri”.
“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas
pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.
“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang
Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur
perang”.
Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana
memotong. “Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang
tepat?!”.
Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung-hitungan waktu,
kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan
kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang
lain!”.
“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga
mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.
“Maksud paman Krepa?” Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan
jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing.
Krepa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya, “Bibit disini
ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya,
keadaannya hanyalah orang biasa, sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam
KITAB WAYANG PURWA
jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam
menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkati saya setinggi langit, dan meluberinya
segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.
“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena
kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia
sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang
memberi kecerahan siang”.
“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana
Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan
pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya
membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya
adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman,
tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.
“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara
tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah.
Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi
ringkih!”.
Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak
lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia
mengoceh dihadapan adik iparnya. Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana,
menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan
suasana.
“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar”.
“Mengapa diumpamakan begitu?” Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan
keadaan yang terjadi mempertanyakan.
“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama
sinuwun”.
Kemudian sambung Durna memohon. “Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara
dengan adik ipar saya resi Krapa”.
“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa
silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.
“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk
meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat
dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.
Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang
dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan. “Kalau api yang
kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja
tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para
pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!”
“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian
para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku. Para pejabat
seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!”
“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang
ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina
kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi
KITAB WAYANG PURWA
hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi! Karena itu jangan biasakan
memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.
“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram
sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”
Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati
batu itu.
“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra
pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap
adalah setetes air pengobat dahaga”. Prabu Duryudana menyahut mengamini.
Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.
“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang telah aku sampaikan aku
cabut kembali maka betapa malunya aku”. “Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti
halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah
tadi”.
Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan
didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana. “Mohon maaf yayi
prabu Duryudana”.
Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana
malah berkata dengan nada memelas. “Kakang Prabu kami minta pengayoman”
“Apa dasarnya”. Jawab Karna.
“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”. Kembali Duryudana
berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.
“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang
yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak
tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan menjadi ngawur. Tidak aku
salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti
ini”.
Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan. Kaget
setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela
diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur. Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka
Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika. Geger para
Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian
yang sangat cepat akan membawa korban.
Aswatama
KITAB WAYANG PURWA
Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna
Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa.
Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati
Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang
nyinyir menyindir dirinya.
Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul
dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun. Merah menyala
dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar.
Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.
“Karna bila kamu memang lelaki jantan, ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan
saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi
kesempatan membela diri”.
Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.
Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama. “Heh Aswatama! Kamu anak
Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu
sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku
susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”
Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar
kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar
Adipati Karna telah sampai dipinggir arena. Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna
sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama.
“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu
telah membuat malu bapakmu!”
Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.
“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba
menolaknya”.
“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan
mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali-sekali mendekat, bila tidak aku panggil!”
Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah
menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca
kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk. Aswatama telah kehilangan
paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah
kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.
CATATAN : Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir
Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama. Ada beberapa versi tentang akhir
hidup Resi Krepa, Dalam Mahabharata diceritakan, Resi Krepa hidup sampai jaman
Prabu Parikesit, dan diangkat menjadi Parampara/Ahli nujum kerajaan. Cerita
Pedalangan menyebutkan, Krepa mati oleh tangan Adipati Karna. Kisah lain
menyebutkan. Krepa mati oleh panah Arjuna setelah berakhirnya perang
Bharatayuda, tatkala ia bersama Aswatama menyelundup masuk ke dalam istana
Astina untuk membunuh Parikesit.
KITAB WAYANG PURWA
Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.
Yang tengah duduk di bawah pohon Nagasari, duduk di atas batu yang tertata rapi, itulah
prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah
Banuwati atau Banowati.
Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup
menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit
kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis,
namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan
aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai mempadu padan busananya,
maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir.
Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak
yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang
Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin
bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat
akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala
jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah
setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berebut dengan sinar rembulan.
Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda
Jayabinangun.
Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami.
Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya,
kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.
“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya
sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena
selamanya sang dewi takkan pernah mencintai Prabu Duryudana.
“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air
pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah.
“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.
“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke
peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun di hatiku”.
KITAB WAYANG PURWA
Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila
perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari-hari kemarin yang
melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri
tercintanya.
Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi
sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan
Permadi, Arjuna muda, membekas dalam di hatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi
dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung
terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.
“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan
sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!”. Tukas sang dewi.
“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab
Duryudana terus terang.
Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan. “Aku hendak menanyakan beberapa hal.
Pertama, sejak aku meninggalkan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang
ada di Kedaton ini ?”.
“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaannya”. Banuwati
menjawab singkat.
“Syukurlah. Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”. Pertanyaan basa basi
terlontar dari mulut Prabu Duryudana.
“Tetep sehat-sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba, pastilah tidak
tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba,
sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan suaminya.
“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.
“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi Banuwati ketika
sang Prabu terdiam sejenak.
“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah
kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !”. Ragu Prabu Duryudana hendak
mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang
saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?”
“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu.
Karana dalam hitungan, jangan-jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai
kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang
menggantikannmu. . . “.
Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap
memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang
hendak dipanjang panjangkannya.
“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung
wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu
dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu
Duryudana terdiam lagi.
“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana,
terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri”!.
KITAB WAYANG PURWA
“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali Banuwati
menyalahkan anaknya.
“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.
“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa?” Kembali Banuwati mempertanyakan
hal mengapa ia harus menyesal.
“Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal.
Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain!”. Kekesalan
Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama.
“Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang
tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!”
Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi
ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga
membawa kematian si Abimanyu !”.
Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan
peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu
malah menangis tersedu sedu.
Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya. “Aneh sekali, aneh
sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah-marah kepadaku, menyalahkan
Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan….. !”
Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati
menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih.
Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti
Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara
Subadra, ia telah kehilangan anaknya yang tunggal, belum lagi istri-istrinya Siti Sundari dan Utari.
Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia”.
Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu
!. Abimanyu istrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !! “Ternyata rasa cintamu itu telah
berpaling . . . . ! “
Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada gunanya aku
menyelimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku
bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya
kamu memprihatinkan musuh ?”.
“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.
“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut
sekenanya.
“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru
sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.
Makin tak senang, ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa
kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”
“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak.
“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau
manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani
membunuhnya !”.
KITAB WAYANG PURWA
“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara
dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai
menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang
Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat
baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !”
“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya!”.
Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.
“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali?” Disalahkan para
Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.
Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau
kalahkan !”. beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas
hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.
“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan
rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi.
“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.
“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri!”. Jawab Banuwati terus
terang.
“Perkara yang mana?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam. Makin
meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang
tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah
lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya
mengatakannya sekarang juga!”.
“Tunggu apa lagi, katakan!” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi
hatinya.
“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati
paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau
Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?. Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu
membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun
tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan
dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa,
sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun-tahun. Jadi yang tipis rasa
kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa?!” Bagai bendungan yang jebol, segala
unek unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang
untuk terus terang.
“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! ” jawab Duryudana tandas.
“Silakan sinuwun mengatakan!” kali ini Sang Dewi yang menantang.
“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya
permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.
“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah
makin seru.
“Mereka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala
macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.
Namun kembali ia dicecar pertanyaan.
KITAB WAYANG PURWA
“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”
“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !”. Jengkel Prabu
Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.
“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya.
Sinuwun kalaupun kata-kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak
diperhatikan, bila demikian halnya, silahkan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi
hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang.
“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya..
“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga
lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !”. jawab senang Banuwati
“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.
“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !” Berbalik badan Banuwati hendak pergi
dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa
Prabu Duryudana dilengannya. Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia
mengendurkan pegangannya. Katanya memelas.
“Mau kemana ?”
“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke
Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik.
Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di
istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya,
di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana
mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik
molek itu. Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram
Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan
sentosa Duryudana . . . . .
KITAB WAYANG PURWA
SIHIR SEMPANI
Ditulis oleh hery_wae
Jayadrata
Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan
senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama
baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina
Raden Lesmana Mandrakumara.
Kematian Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan
Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya
Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan
peperangan kali ini.
Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.
“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping
senapati”. Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang
ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan sebagai
pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi
mereka.
“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara
agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan
perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi.
“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam
keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak
kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk
menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara”. Pendita Durna adalah ahli strategi, maka
diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak
dirancangnya itu.
“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan
tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara.
Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan anakmas Bogadenta datang
bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara
seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”. Bogadenta belum sepenuhnya
mengerti akan rancana Pandita Durna.
“Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku
harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung?
KITAB WAYANG PURWA
“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu
Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”.
Durna memutus.
Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya,
Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan
sakti bernama Murdaningsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung.
Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan.
Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan
hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata
kesedihan terhadap kawan seperguruannya
“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda
jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan
Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.
Secara fisik, Prabu Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak
ditandingkan dengan Werkudara.
“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan
Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan
pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”.
Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah
Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna. Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita
Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk
memenangkan peperangan hari ini.
Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha,
kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.
“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit
adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan
aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya
Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak
kesayangannya itu”.
**********
Di lain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari
pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang.
Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan di sebelah kiri, karena ketiadaan
Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati
Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi.
Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju
medan peperangan dihari itu. Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat,
pecahlah perang campuh kembali.
Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning
ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya,
bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak
poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha. Dihadapannya menghadang Raden
Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan
melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.
Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala
kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.
KITAB WAYANG PURWA
Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan
berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya.
Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya.
Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang
bertubi tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga
mengharuskan ia bersembunyi di sela-sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu
tenaga dengan lawannya masing-masing.
Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung
kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi
memungkinkan ia menghindar, karena di belakangnya terdapat reruntuhan kereta perang,
maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.
Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera
pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga
Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang
bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan menjadi bulan-
bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali
pukul di kepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak.
Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan
korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran
secara bergelombang.
Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah,
tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya
bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti-
ganti.
Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima
dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal.
Punggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan.
Tak menyia-nyiakan kesempatan yang terpampang di depan matanya, sekali lagi
dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa
bangun selama-lamanya.
Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya
bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi
kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri.
KITAB WAYANG PURWA
Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jerit prajurit
Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya
segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi
korban.
Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah liwung
amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun
Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa
lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang
tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap
Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada di depan mukanya. Tak sanggup
menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super
berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran.
Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban.
Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka
masing-masing masih masih di bawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan
melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan
Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Bima terpecah dengan
serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel
Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan
kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya.
Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan.
Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada.
Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata. “Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk
itu?”
“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama Jayadrata.
Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni.
“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk
sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada
Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”, perintah Durna Kumbayana.
“Baik Wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”, Sengkuni bersiap mengajak
Jayadrata.
Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni
keberatan. “Saya tidak takut dengan Werkudara. Kenapa saya harus diminta mundur ?!”
“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata
mundur dahulu“, Durna memberikan pengertian.
“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir
bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa”, kembali Jayadrata mengemukakan
keberatannya.
“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila
saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang
besar ini ngger !” Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata ke
hadapan ayahnya, Sempani.
“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke
pesanggrahan kami ini ?”
“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang
siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya.
KITAB WAYANG PURWA
“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk
itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya”.
Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni. “Andika meremehkan anak saya?
Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Di dalamnya
terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang
prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !”
“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan
ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan. Ini adalah
strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk
hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti
halnya penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil
peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia-sia, akan
melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni
menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna.
Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya. “Bila untuk meringkus Bima,
serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa-
apa, ada suara apapun yang ada di luar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari
jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu”.
Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli
tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya,
dipuja butir-butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk
merubung sang Bimasena. Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah
menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga
Jayadrata tiruan memenuhi palagan peperangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan
itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya. Tergilas Jayadrata
tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara
melihat kejadian itu !
Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi
tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman
bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.
KITAB WAYANG PURWA
Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.
Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan
rapat dengan para Kurawa.
Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja
karena telah bertahun-tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara
untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman
bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani.
Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah
bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak
membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.
Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak
tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras,
menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.
“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga
sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa-basi telah
usai dibicarakan.
“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan
hal yang tak terduga.
“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa
menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.
“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria
yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan
terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik
martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.
“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”
Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut
pertanyaannya.
“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak sabar
dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya.
“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda
belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa. Alangkah
KITAB WAYANG PURWA
gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal-akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah
prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”.
Bicara Wisamuka, tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya
yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya,
sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka.
Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik. “Aku juga bisa
seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak
terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan“.
Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu
berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya.
“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara.
Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak! Sekaranglah saatnya!”. Wisamuka
yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri.
Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.
“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?”.
dibimbingnya anak muda itu kembali duduk.
Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang
duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam
hati buah hatinya.
“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga
Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.
“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah
ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.
“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya.
Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana
yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah.
Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah
sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh di
atas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata. “Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu
nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi
ayahmu ?”.
“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada
ayah setelah nanti aku ketemu disana”.
Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan
dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu
menyembah khidmat di hadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir. Kenapa
demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka,
dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan
dengan jiwa yang kosong. Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat
dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka,
ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian.
Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya. Memang
secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda
belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka
KITAB WAYANG PURWA
menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.
“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.
Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna di tempat yang tak
terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di
Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana
yang keluar dari mulut Arjunalah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab
musababnya. “Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang? Kemana sajakah
selama ini? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan
kedatanganmu?”
Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangnya segera
bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan! Gelar pahlawan akan dengan mudah
didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera
melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan
pamannya terlebih dahulu. “Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan
Abimanyu !”.
Wisamuka
“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama
kamu pergi”.. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi
pahlawan.
Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan
sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke
hadapan Prabu Duryudana.
Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah
merayunya.
Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna.
“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main-main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang
lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.
Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris
sakti sudah siap di tangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap
hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti
sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.
Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali
senyumnya membayang. “Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang
bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang
pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau.
KITAB WAYANG PURWA
Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi
pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.
Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di
arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera
menerawang, mencari penyebab keanehan.
Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk
menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia
menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan
halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya
menyentuh kalbu.
“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali
kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.
“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila
rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata !”
Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya
Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya
dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.
Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan. Terceriterakan, Dewi
Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga.
Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat
dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya.
Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.
Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada
keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya,
karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama
Arjuna.
Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya,
terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah
meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul
Wisamuka. Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya,
Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa
tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya ke dada. Tamat riwayat Dursilawati.
Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata.
Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di
hatinya.
Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya
pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada. Murdaningsih yang muda tetapi
telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka
menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan
pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung
putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi.
Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih
wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai
deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum
merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona
dengan kecantikan dan gerak geriknya.
KITAB WAYANG PURWA
Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna
melihat apa yang tampak dihadapannya.
“Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?”
Pikir Arjuna.
Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang
memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung
sukmanya.
“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah
aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan
senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para
wanita.
Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu
Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna
dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak
lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya. Namun kali ini, wanita asing dihadapannya
datang dengan ciri ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah
ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi.
Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat
Arjuna semakin mabuk kepayang.
KITAB WAYANG PURWA
“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan
Arjuna.
“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”
Arjuna menyanggah.
“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang
beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk membuktikan
kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.
“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.
“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat
disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.
Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis,
membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan
tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk
meringkus Arjuna.
Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang
berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu. Namun tidak demikian
dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan
manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan
dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan
belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.
Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah
Murdaningkung kembali memburunya.
Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang
kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun-ubunnya
karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang
dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang di bahunya. Terpasang anak panah
pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan
otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah
Murdaningkung.
Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah
kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil
menangis. Air mata sang Dewi yang jatuh di tubuh gajah itu secara ajaib membangunkan
sang gajah dari kematian. Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih
yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya. Pada saat itu, Prabu
Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya, muncul ditengah
kejadian.
Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu
Bogadenta memarahi adik seperguruannya. “Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh
ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu
tak mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu”.
“Arjuna, Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan,
percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat
tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”
“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran.
KITAB WAYANG PURWA
Bogadenta
siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing-masing.
Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.
“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah
terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.
*******
Sesampainya di palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan
pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak
terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara
mundur.
Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya,
segera Arjuna melepaskan panah Neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari
busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai
Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu
hebat seluruh padang Kurusetra di depan Arjuna.
Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak
dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan. Ketika banjir
melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau
terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke pesanggrahannya,
tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya.
Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang
diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi
penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja
belum memuaskan rasa dihatinya.
Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat
sumpah. “Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak
dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”. Sumpah Arjuna terdengar
oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan.
Geger lawan yang segera menutup rapat jalan ke arah persembunyian Jayadrata.
Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna
“Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan
sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.
“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan
kakak iparnya.
Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan ! Bila
memang itu maumu ayo ikut aku!” Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang
strategis dalam melihat tempat persembunyian Jayadrata.
“Tunggu disini. Lihat apa yang ada di depanmu? Itulah tempat berlindungnya Jayadrata!”
KITAB WAYANG PURWA
BURISRAWA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae
Burisrawa
Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina di sela-sela perang, dirancang
bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan yang berubah
menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan layanan penuh kasih sang istri
yang didamba siang dan malam sepeninggalnya dari istana. Yang ditemui ternyata
hanyalah keruwetan yang menambah kusut masai keadaan hati di dalam. Ricuh di taman
Kadilengeng masih meninggalkan rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum
terlampiaskan. Sehingga rasa hati itu akhirnya terbayang di wajah kusut sang Prabu. Untuk
mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Di dalam mandinya, tetap yang terbayang
adalah sang istri, Dewi Banowati.
Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi menenangkan
batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa sebongkah kemenyan
sebesar kepala kerbau yang diletakkan di atas pedupaan. Segera disulut dengan api secara
hati-hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan
pedupaan itu. Segera upacara dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan
perasaan heningnya, menutup semua sembilan lubang tubuhnya.
Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar-akaran, mewangi
tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik ke angkasa berbaur mega, yang
bila terlihat bagai bayangan sosok dewata. Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma
yang melayang di keheningan sepi. Yang tersimpan di dalam kalbu sang Prabu hanyalah
kunci pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju lepasnya
mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa. Namun belum tuntas
dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi Banowati kembali membayang menggoda
pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia
berusaha dari awal. Namun kembali ia gagal.
Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang Prabu
Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam hatinya ia memaki
dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya. Merasa tak lagi ada gunanya ia
kembali ke Astina, segera dipanggilnya tunggangan sang Prabu, berupa gajah putih
bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu,
dengan secepat cepatnya. Ia hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk
menumpuk di dadanya. Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah
kembali ke pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari. Kembali ia
menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik iparnya, Jayadrata, membuatnya
semakin murka.
KITAB WAYANG PURWA
“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ? Kesanggupan andika
paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa selama itu tak kelihatan nyatanya !
Gugurnya anakku yang merupakan kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang
telah andika tambahi dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata ! Itukah yang andika telah
lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika adalah seorang
guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan telah melakukan perbuatan dengan
standar ganda. Raga andika ada di sekitar para Kurawa,namun di kedalaman hati, para Pandawalah
yang bersemayam dalam hati. Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati.
Hanya matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan? Taklah itu seimbang dengan gugurnya
Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung keturunanku. Apakah aku
sendiri yang harus maju menjadi senapati !”
Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi-tubi, malu dalam hatinya. Melihat
Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata-katanya, tak tahan ia. Segera pergi ia
tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan demikian. Apalagi peristiwa
kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik iparnya, dan diusirnya Aswatama,
membuat ia merasa bagai terkeping keping hancurnya hati.
Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin. “Aduh anak Prabu,
sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata katamu tadi ?” Salya yang dari tadi diam,
berbicara ia mengingatkan.
“Akan susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah melangkah
ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan kekuatan orang-orang di
sekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk
meringkus para Pandawa dengan kekuatannya sendiri”.
Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya, segera susul
Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban rasa yang menggelayut
dindadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.
“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan pamanmu pulang,
sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba ditemani Aswatama?” Tanya
Sangkuni ragu, karena setahu ia, Aswatama telah menjadi orang yang tak disukai sang
Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu.
Namun otaknya yang encer mengatakan, Aswatamalah yang hendak dijadikan pasal
untuk merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti. “Terserahlah Paman mau
ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya Pandita Durna”.
Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah. Sesampainya di luar,
diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan Aswatama.
Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan, mencari seseorang
dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu malam yang pekat mencari
keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah jauh meninggalakan medan Kurusetra.
Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi yang terjadi
atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti ganti terrasa didalam
hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah menjadikan rasa dan pikirnya
semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya sejajar dengan keberadaan Resi
Bisma ketika itu, yang sama-sama murid dari Ramaparasu. Pertapa sakti yang panjang
umurnya. Pertapa yang hidup sebelum jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai
murid Dewabrata dan Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni
kahyangan.
KITAB WAYANG PURWA
Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju sendiri ke
peperangan sebagai senapati. Bahkan sempat terlintas di pikirannya, bila ia mati dalam
peperangan, maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.
Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam pikirnya, ia
harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak sulungnya Lesmana
Mandrakumara. “Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana membuka
pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.
“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba bakal dipercaya
menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak cempaluk. Cepatlah kanda Prabu
mengatakan, sekaranglah hamba harus melangkah ke medan pertempuran sebagai seorang senapati
melawan Pandawa. Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut
perang di hari-hari kemarinpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati. Hari ini hamba
dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat ganjaran yang tiada ternilai harganya.
Perkenankan adikmu ini, untuk segera melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai
senapati memenuhi dada Dursasana.
“Jauh dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.
“Hah . . . bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar jawaban kakak
sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.
“Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”.
Makin tak mengerti ia mendengar jawaban kakaknya.
Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia melanjutkan “Apakah ada musuh yang
menerabas dari belakang ?”
“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakakmu Banuwati” Kaget setengah tak
percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai-sampai ia menanyakan kembali perintah itu,
tapi jawabannya sama saja.
Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit, yang seharusnya
maju ke medan perang. Kenapa harus kembali ke istana ? Kalau boleh kali ini hamba menolak
perintah paduka”
“Apa kamu tidak takut aku ?” tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.
“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung hamba”. Kecewa
Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia
tak peduli dengan keadaan dirinya ketika batinnya berontak hebat.
“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa-apa terhadap kakak
iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud dari semua perintah terhadap
adiknya.
Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung ugal-
ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak terima. Tetapi apa
daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.
Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira Dursasana.
Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya yang menyebabkan ia
merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya, dipoles bibirnya dengan gincu,
sementara gelung rambutnya dirubah seperti bentuk gelung malang, gelung para wanita.
Dalam perasaannya ia juga bagai dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.
**********
KITAB WAYANG PURWA
Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati membuat putra
Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah mengambil alih peran Pandita
Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola menyerang maju ke padang Kuru dengan
ampyak awur-awur, serabutan membabi buta.
Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan Burisrawa,
Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan Randugumbala segera
bersiap menghadang. Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan,
segera menyelonong ke hadapan Arya Werkudara.
Setyaki
“Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya yang tepat untuk
menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke
masa masa lalu, yang berkali-kali gagal menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan
Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika
didaulat menjadi kusirnya sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.
“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa yang berbadan lebih
besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara meyakinkan tekad Setyaki.
“Yang paling utama adalah tekad !” jawab Setyaki yakin.
“Tekad tidak cukup !” kembali Werkudara menjawab.
“Jadi harus bagaimana ?” tanya Setyaki memancing.
“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu kekuatanmu !“ Werkudara
menawarkan cara.
“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.
“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya, kamu pantas
menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.
Segera disorongkan batang gada ke hadapan Setyaki, dengan sekali usaha, terangkat
gada super berat Arya Bimasena.
“Bagus, kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !”. Bima Kunting artinya
adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian, Setyaki tetap bangga.
“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan gadaku ini, kamu
boleh berangkat sekarang !”. Kembali ujian kedua ditawarkan.
“Silakan kanda”. Kembali Setyaki bersiap diri.
KITAB WAYANG PURWA
Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan badan Setyaki
dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki berpijak. Gelegar suara
itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming.
Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya. “Ayoh berangkat akan aku
awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba aba.
Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu. Semakin percaya diri Setyaki
menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar. “Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang
boleh membantu !”
Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam. Bara dendam
memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena resmi ini. Mereka berdua
bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan kemenangan. “Heee Setyaki yang
datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang
terakhir. Aku tak mau melihat tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarang ! Tidak mungkin kamu
mengalahkan aku !”
“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu!”. “Apa yang kamu
andalkan? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang
kecil, terkena sambaran kakiku lunas nyawamu!” “Jangan banyak mulut, serang aku sekarang
juga!”
Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada Setyaki
dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki menghindar sambil
mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran kaki Setyaki, Burisrawa
meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke leher Setyaki. Kali ini benturan tak
dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki
Burisrawa ditebas dengan tangan berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara
tangan Setyaki kesemutan, Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang-pincang.
Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih berganti. Saling
serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan beradu gada. Setengah
hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua satria itu makin dapat ditebak
keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga raksasa penjelmaan raksasa Singa
Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja Mandaraka yang hampir tak pernah betah
tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana di hutan hutan hingga ke sisi lautan. Berguru pada
berbagai orang sakti, hingga Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi
gurunya. Tak heran ia menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari
kesaktian dan menyadap kekuatan alam.
Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa. Setyaki
mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja raksasa, rontaannya
tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa. Bangga Burisrawa akan
usahanya menjepit Setyaki
“Disini akhir hidupmu Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit,
agar kamu tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.
Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh kekuatan
raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya, bahwa peperangan
tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal, Kresna memanggil Arjuna
hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu dapat ditolong.
“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak-anakmu. Apakah jiwamu sudah
penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih banyak para sakti yang masih bermukim
di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya
KITAB WAYANG PURWA
pemusatan pikirmu. Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang
ada di tanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”
“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa ragaku” mantap Arjuna
menerima tantangan ujian itu.
Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna, tetapi
sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan keberadaan
Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi terserempet Kyai Pasupati,
lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ke tanah.
Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa, Setyaki punya
kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali kali, tewas seketika
Burisrawa.
Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi. “Huh Burisrawa . . . !
Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit ! Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !”
berkacak pinggang Setyaki didepan jasad Burisrawa.
“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul ke arah Setyaki
menjajagi rasa bangga Setyaki.
“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” kebanggaan Setyaki belum habis juga.
“Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan lawanmu ?” tanya
Kresna.
“Oooh . . . . . jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul kepalanya ?”
“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir, lihat ayah Burisrawa, Prabu Salya tidak
terima !”
Buru buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar menjauhi jasad Burisrawa.
Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju ke medan perang. Tapi tak
tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku sabar terlebih dulu.
Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk bertindak walaupun tahu betapa
sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah
kematian kakak Burisrawa, Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak
perempuannya, Erawati, Surtikanti dan Banuwati.
KITAB WAYANG PURWA
Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang, Dewi Banowati
mencoba menyenangkan hati dengan berjalan-jalan di taman sari. Taman yang jalur
jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik hijau merah biru putih dan keemasan. Diterpa
sinar matahari yang belum naik sempurna memancarkan sinar semburat bagai warna
pelangi.
Di suatu tempat yang menjadi kesukaannya, sang Dewi duduk di atas batu marmer
putih mengkilap yang direka pokok kayu. Terpesona sang Dewi memandang taman yang
asri itu dengan berbagai macam tanaman. Tanaman hias dalam jambangan yang ditata
teliti, berpasang-pasang, serasi warnanya dengan paduan bunga-bunga yang harum
mewangi. Tidak hanya dalam jambangan, bunga-bunga perdu juga menghias hamparan
taman bergerombol disela-sela rumput lembut. Bertambah indah suasana taman dengan
terbangunnya rekaan telaga yang berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna
emas, merah, putih dan warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan
ikan ikan itu bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.
Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap waktu
memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati memikirkan perang
yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap malam membakar sesaji
dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap pemujaan sang Dewi selalu
berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang berkecamuk. Untuk kemenangan
siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.
Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali kaget dengan
kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang datang adalalah adik
ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip dengan adiknya sendiri, Burisrawa,
setengah malas ia melambaikan tangannya agar iparnya itu segera mendekat.
Dursasana segera menyampaikan sembahnya, kemudian duduk dengan takzim.
Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian dengan suaminya
yang hari-hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada kejadian apa lagi di
peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak dilaporkannya. Mudah
mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi. Atau ada sesuatukah yang sangat
perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai manusia yang penuh kekerasan
meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi malah datang ke taman sari. Tempat indah
penuh kelembutan. Seribu tanya ia simpan sejenak.
Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik-baik sajakah kedatanganmu, adikku ?”.
“Sembah hamba ke hadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan baktinya.
KITAB WAYANG PURWA
“Apakah perang sudah selesai ?” tak sabar sang Dewi ingin mengetahui apa yang terjadi.
Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk kembali ke
istana.
“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka Arya Burisrawa telah
tewas dalam peperangan”.
Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi ketika
putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat ke depan dengan tatapan
kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya. Banuwati dan Burisrawa, walaupun
kakak beradik, dan pada kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi
keduanya tidaklah seperti kakak beradik yang dekat di hati satu sama lain. Banuwati malah
lebih dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di
Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.
Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar dan
cenderung ugal-ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan Dursasana.
Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana resmi istana, dan
kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke Astina. Apalagi setelah
Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu, hingga ia bersumpah, tak akan
ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa mempersunting dewi impiannya yang gagal,
atau memperistri wanita yang mirip dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.
Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir Banuwati,
“Perang itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia akan dibunuh. Kalau
Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang itu sendiri”
Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan, “Yang kedua,
adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana”.
“Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran sepuh yang sekarang
dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan harus dikembalikan ke istana. Terus
terang saja, kali ini saya ditugaskan oleh kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda
Banowati”.
“Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa curiga terhadap aku,
begitukah ?”. Banuwati mulai kesal dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah
ini buntut dari kericuhan kemarin ketika suaminya datang ?
“Ya, kira kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada kanda Prabu, karena
saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak
akan sanggup menolak”.
Dursasana sudah mulai jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan
sebelumnya. Suasana yang paling tidak senangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu
KITAB WAYANG PURWA
adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun di matanya ada sinar yang warna
cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet beracun. Hal inilah yang membuat
Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser geser mencari posisi yang enak,
namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman. Gerah rasa seluruh tubuhnya,
walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa uap embun yang baru saja kering. Tak
urung keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya.
“Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan! Kamu itu jadi seorang satria kok begitu
bodoh, begitu dungunya! “ berubah menjadi galak Dewi Banuwati. Suasana indahnya taman
sudah hilang dari perasaannya.
“Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-bodohkan, didungu-
dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan . . ” Dursasana menyabarkan diri. Mungkin bila ini
bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah atau bahkan tangannya sudah melayang.
Tabiat Dursasana yang tidak sabaran sebenarnya sudah mencapai ambang batas
kekuatan menahan, namun rasa hormat kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi
mengorbankan habis sifat urakan yang menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya
yang biasanya tak pernah diam seakan terkunci ketat erat.
“Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu seharusnya berperang.
Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke istana. Kenapa kamu menerima perintah itu
dengan begitu lugunya. Apakah itu bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan
tumpahnya darah !” Menuding-nuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak
pinggang.
Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak. “Bukan itu kanda Dewi, yang
memerintah tidak salah, yang diperintah juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah
dimarahi seperti ini ? Tapi terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran di masa datang.
Dan takut hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan kemurkaan
kanda Prabu Duryudana”. Masih mencoba sabar Dursasana.
“Dan bila hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba
laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati”.
“Duh . . Sumbarmu! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat panasnya besi membara!”,
Sinis dewi Banawati berkata.
“Dapat hamba buktikan ! Bila kanda Dewi mengatakan hamba ini satria bodoh yang takut
perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah untuk menjagai wanita, yang terjadi
sebenarnya adalah . . . . . , kanda Prabu itu orang yang kelewat sabar”, sejenak Dursasana ragu
mengatakan, namun sejurus kemudian ia melanjutkan. “Tidak ada orang yang sabar di dunia
ini melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang sangat berbisa,
yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya akan membuat gatal orang
senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya
bentuk dan rupanya yang cantik saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan . . . ”.
“Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa?”, bagaikan mendidih, darah di ubun-
ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya.
“Nanti dulu . . , kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat tanaman berbisa yang
dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati, yang sebagai istri kanda Prabu,
sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau
dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar-benarnya.
Tetapi hal itu hanya terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang
di negara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri”.
KITAB WAYANG PURWA
Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana
ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena
kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang
di sekelilingnya.
Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini,
membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka
itu menyerempet kepada Adipati Karna.
Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera menyatakan madeg
senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh
resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat
dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan
lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara-negara
jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli
lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia
menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang
dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan
negara Pagerwatangan dengan Lembusaka.
Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar
Randuwatangan malam itu benar-benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari
beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba-tiba. Arya Drestajumna dan Wara
Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan
serangan musuh.
Berita serangan itu akhirnya sampai ke telinga penghuni Randuwatangan. Arjuna yang
dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian
yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa
malam itu.
KITAB WAYANG PURWA
“Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi
kami, kanda Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah
saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.
“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk
menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan
perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria.
Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan”.
“Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini,
apakah kamu setuju ?” Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan
kerelaannya.
“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi
harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca
yang harus menjadi senapati malam ini ?”. Sahut Werkudara.
“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas di waktu malam, dan kotang
Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya”. Kresna menjelaskan
dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah
Gatutkaca harus pergi untuk menghadap Hyang Widi Wasa.
“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas
Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan
kepada Kresna.
“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu
gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan
mati sia-sia. Kejadiannya akan tercatat dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan
pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu?” kembali Kresna meyakinkan hati adik
iparnya yang masih saja ragu.
“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.
“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga ”.
Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa
kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu
mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang
Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca.
Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan.
Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan
diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.
“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk
maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar,
namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan
oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang
demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan
sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata di
dalam taman surga”.
Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan
sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan
kata pamitan terakhir kalinya.
Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu. Kata-kata
terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang
KITAB WAYANG PURWA
hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes
di kedua belah pipinya.
“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan
kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan
pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi”.
“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta mengucapkan kata kata
seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku
kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku
wisuda menjadi senapati”.
Kata-kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna
menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda
senapati. Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh paman
paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka
malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling
serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai
auman singa lapar di padang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor di tangan
kiri dan senjata di tangan kanan mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain
dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir
yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang
menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi
semakin merah. Bagaikan banjir api!
Dan diangkasapun terang obor di medan Kuru seakan menelan sinar sang hyang
wulan. Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya.
Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya
menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan
yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas. Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga
tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang
Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya. Benarlah, tanpa perlawanan
berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca. Tetapi tidak hanya
musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam
dan sama sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh
trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.
Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca
sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang. Segera Raden Gatutkaca dan
Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk
melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan
ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak,
menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga.
Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya
membuat Gatutkaca keteteran. Segera serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan
sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua
tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api
tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa
jadian dari telapak tangan Karna.
Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian
Narantaka senapati Pringgandani. Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang
Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta
Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.
KITAB WAYANG PURWA
Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam di hari lain, malam ini tidak
berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat
susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin
lesatan kereta Adipati Karna.
Di atas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang
dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka,
bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ke
tangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya
bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus.
Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta
Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan
sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama di dada musuhnya.
Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya
senjata Kunta. Ia melesat ke atas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil
mencapainya. Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang
berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas
menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap
setia menunggu sang keponakan di alam madyantara. Rasaksa lucu yang kini berujud
sukma setengah sempurna itu, hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika
perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu.
Maka ia bersiap berkeliling di atas arena tegal Kuru malam itu. Maka ketika melihat
lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai
di sasaran di atas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca.
Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang ke atas awan dengan
membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa. “Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya
pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga“.
Takzim Gatutkaca menghormat pamannya. ”Oh, paman . . . Aku tidak mengelak akan
kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu
meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah
pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai
permintaan terakhir terhadap pamannya.
“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu?” senyum sang paman menanyakan
permintaan keponakannya.
“Kematianku harus membawa korban di pihak musuh sebanyak-banyaknya, hingga perang
malam ini berakhir”, Jawab Gatutkaca mantap.
“Baik aku bisa melakukannya!” Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang
Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika
pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk ke dalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya
tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan
keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama kemenakan tersayang, hari ini
berakhir.
Bersatunya Kunta Druwasa ke dalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat.
Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai
suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan di bawah sana.
Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati
Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura
terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar
KITAB WAYANG PURWA
bertumbak-tumbak luasnya. Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang
ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.
Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan
banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca
menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun
yang ada di sekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para
raksasa, persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu.
Dan seketika perang terhenti ! Berhenti perang meninggalkan luka dalam di hati
Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.
Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar
menunda dendamnya.
“Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari
kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.
“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat apa yang akan terjadi
disana !”.
Werkudara pergi sendirian ke arah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja
perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan
mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti
yang tindakannya di masa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan
hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.
Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi
terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami
atau terlebih lagi bagi anaknya.
Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk
mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa,
keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka.
Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya.
Maka upacara segera dimulai. Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni
pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama
suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.
KITAB WAYANG PURWA
DURSASANA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae
Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa karena kematian anak
tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang masuk dalam arena
pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap saja terjadi, setelah kematian
Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna kehilangan pegangan diri, kali ini Sang
Bima Sena-pun mengalami hal yang sama. Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu
Kresna, Karna atau dirinya sendiri. Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi
senapati malam itu adalah atas niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung
membuat perasaannya yang teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga anak lelakinya
telah mendahuluinya meraih surga. Yang pertama ketika mengikhlaskan Antareja menjadi
tawur atas kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang waktu lalu.
Kemudian berita telah sampai pula di telinganya, ketika Antasena juga telah
merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan dan mengalami
perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang itu. Ia dengan sukarela
tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala, hingga lebur menjadi abu. *)
Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka remuk
redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang kosong Werkudara
berjalan menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya sampai di pinggir bengawan
Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang siang. Rasa lelah semalaman dalam
menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja, Pageralun dan Pagerwatangan, membebani
raga sang Bima, ditambah jiwa yang terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak
tercintanya. Walau amuknya semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih
Sengkuni, Anggabasa dan Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas
kematian terhadap Adipati Karna. Rebahlah di bawah randu hutan di pinggir bengawan,
sang Bima melepas lelah. Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir
bagai kejadian yang baru saja terjadi.
Dibayangkannya sosok sang istri yang begitu menyayanginya dengan segenap jiwa
dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan-angan ketika ia memilih istri. Wanita yang
lembut namun perkasa dan sakti mandraguna. Berkelebat bayangan kejadian pahit manis
perjalanan kasih, hidup dan perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu
dengannya ketika membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian
angker dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang ternyata
mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah menyatu dalam jiwa
masing-masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri ketika melihat perubahan ujud
raseksi Arimbi yang begitu perkasa dan sakti, menjadi sedemikian cantik karena sabda sang
KITAB WAYANG PURWA
ibu, Prita-Kunti Talibrata, ketika menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya
dalam membantu anak-anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing
Rahsa ke telinga Arimbi.
Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia melahirkan
seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka, tetapi oleh olah para
Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan bagaikan berotot kawat tulang
besi. Ia telah berhasil membebaskan Kahyangan Jonggring Saloka dengan mengenyahkan
Prabu Kalapercona dan para punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia
banggakan dengan sosok yang dambaan yang melekat pada angan-angannya. Putra
sempurna yang merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu,
orang tuanya, yaitu Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani.
Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya itu buyar,
ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara teriakan sesumbar
itu. Itulah suara sesumbar dari Dursasana.
Bima
Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman Kadilengeng
di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya, Banuwati, untuk
mengalahkan Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh sebagai manusia yang takut
darah, menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera menaklukkan Pandawa.
Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi anak kecil
yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah pelampiasan dendam atas
kematian anaknya tadi malam. Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala
pakaian yang melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali.
Kelelahan jiwa raga yang mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari
dalam rasa hati. Melompat sang Bima menuju ke arah suara yang nyerocos sesumbar tak
henti-hentinya.
Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika melihat
Werkudara menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai di medan peperangan,
orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia bayangkan.
“Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot-repot mencarimu di tengah
banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa! Sekalian aku hendak membalaskan kematian
anakku Dursala karena ulah anakmu Gatutkaca !” kalimat yang terucap disertai tawa yang
mengalir dari mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud.
“Apa maumu ?!” Bimasena menyahut sekenanya.
KITAB WAYANG PURWA
“Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja. Sekaranglah waktunya
untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah sebenarnya yang mempunyai kaki yang
lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan tenaga yang paling kuat diantara kita berdua !” yakin
Dursasana kali ini dapat menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang
punggung trah Pandawa ini.
“Waspadalah, ayo kita mulai !” Siaga Werkudara setelah ia berhenti berucap.
Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan Kurawa mulai
berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara dielakkan dengan
sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai sasaran, segera Dursasana
menarik kembali serangannya, kemudian ganti tangan kirinya hendak menyapu pundak
Bima.
Gerakan Dursasana yang lurus menyerang pundaknya segera ditangkis dengan
tangan kanan, benturan kedua tangan terjadi. Sentuhan tangan keduanya memulai kontak
tenaga sebagai penjajakan atas kekuatan di antara keduanya.
“He he he . . . . bagus juga kekuatanmu, jangan keburu senang dengan berhasil menghindari
serangan pertamaku. Ayolah sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak
seberapapun kekuatan yang hendak kau kerahkan”
“Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !” Kembali keduanya siap dengan
kuda-kudanya.
Kali ini kaki kanan Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba
menahan dengan kedua tangannya yang bersilang di depan dadanya. Ketika kaki
Werkudara beradu dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut
pada kakinya hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian kekuatan kaki
Werkudara telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang terpaksa menggulingkan
diri. Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya, namun waspada Dursasana yang
segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan kaki
keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masing masing.
Terlempar keduanya beberapa langkah ke belakang dengan mulut masing-masing
mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut Dursasana mengalirkan
sumpah serapah seperti kebiasaanya.
Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara yang sudah
siap dengan kuda-kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam dengan caci makinya.
Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri diselingi sambaran kepalan tangan
dari keduanya. Saling serang dan elak berlangsung seimbang pada mulanya.
Tanding keduanya bagaikan perkelahian seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak
sentosa Werkudara yang kokoh maju setapak setapak menahan dan menyerang balik
Dursasana yang berkelahi bagai seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh
sabetan tangan dan kaki kedua musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah,
sedangkan yang besar-besar batangnya bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta
akarnya.
Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari keduanya.
Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala kesaktian dari Ajian
Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga menyatunya saudara tunggal bayu
serta kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu
Kresna yang menyamar menjadi Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata
kepada Arjuna, sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari
keberadaan Kresna dan Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA
Usaha “tarak brata” inilah yang membuat ia lama kelamaan menjadikannya Werkudara
unggul telak daripada Dursasana yang jarang melakukan usaha peningkatan ilmu kesaktian
dengan lebih enak tinggal di istana.
Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong, berganti ia
mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara melayani kemauan
Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada Lukitasari.
Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi tubi dari Dursasana.
Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan segala kesaktiannya, keteguhan
Werkudara tetap tak tergoyahkan.
Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba mencari akal lain
dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan melawan dengan berulang ulang
kemudian melompati kali Cingcingguling.
“Werkudara . . . . Ayuh kejar aku ke seberang! Kamu tunjukkan seberapa kuat tenaga seribu
gajah yang kamu miliki ! “ Ia berharap sebelum kaki Werkudara menapak tebing seberang ia
sudah kembali menyerang sehingga lawannya kehilangan keseimbangan kemudian
serangan beruntun dilancarkan hingga lawan dengan mudah disasarnya.
Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan adiknya, segera
melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak Arjuna ketika adiknya itu
terkena tekanan jiwa atas kematian Abimanyu, membuat intuisi Kresna segera menemukan
dimana adanya Werkudara yang mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu.
Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak resmi dan ia
berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya seseorang untuk
menjemput Drupadi.
Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam mengubah strategi
menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika
campur tangan pihak ketiga juga ikut bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang
tak rela atas kematiannya masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak
menuntut balas atas kematiannya.
Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai menjadi sarana
atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan menginjak tebing sungai
dengan mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya. Kesempatan ini digunakan
sepenuhnya oleh Werkudara yang dengan sigap menjambak rambut lawannya, dan
kakinyapun mengunci gerak lawannya. Dengan tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana
bagaikan seekor buaya memutar mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh
musuhnya.
KITAB WAYANG PURWA
Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi dengan
tulang yang sudah patah pada beberapa bagian.
“Adikku Werkudara, lepaskan aku ! Berikan kakakmu sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan
pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku, berikan aku hidup. . . . . . . “. Memelas kata kata
permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana.
“Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu masih dalam keadaan jaya,
tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara sepupumu. Sekarang waktunya kamu
menuai tindakanmu dahulu yang selalu mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu.
Bahkan kakak iparku Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi dadu, hingga
sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali bergelung”. Mendengar permohonan ampun
tidak digubris, dengan muka yang memerah marah dan gemetar, kemudian berubah pucat
pasi tanda keputusasaan mendera dadanya.
Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam kepongahan
itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya. Kekesalan Bima
terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya hingga tercerai berai. Tidak
puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang sudah tercerai berai dilemparkan
kesegala penjuru.
Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan pernah
bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah Dursasana. Janji itu
terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh Dursasana di arena judi dadu. Janji itu terucap
disaksikan oleh semua yang hadir dalam arena itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia
tak dapat dipermalukan karena pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat
dilepas seakan tiada berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan.
Bima yang teringat akan sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana
dengan mulutnya hingga kumis dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai di tempat
kakak iparnya Drupadi, dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari
jenggot dan kumisnya, yang kemudian dipersembahkan di hadapan Drupadi yang dengan
senang hati menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.
*) Pada versi pedalangan Banyumasan, ada empat anak Werkudara. Satu yang hampir tak pernah disebut, yaitu
Raden Srenggini. Sedangkan pada masa lalu, pedalangan gaya Surakarta menyatakan Antasena dan Antareja
adalah sosok yang sama.
KITAB WAYANG PURWA
Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas kehendak Adipati
Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih ke tempat yang lain namun
dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya. Di tempat ini terlihat bentangan
suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan muram, seperti halnya cahaya
kunang-kunang. Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang-
awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis
berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi
hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar.
Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang
terlunta-lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila di bawah pohon
baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati
yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan ke dalam alam layap leyep, alam samar.
Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati,
Ramaparasu.
Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah
murung.
Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa.
Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya. “Guru, hamba telah kehilangan
harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan
gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi”
“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan
telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. Dan bila
kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan
apa maksudnya”. Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi,
bahwa di depan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana
muridnya.
“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana
dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang
terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan
hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini
kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas,
adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang
teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun
kepercayaan itu lagi” sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam,
KITAB WAYANG PURWA
menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan
menjalankan sepenuh hati.
“Jadi apa maksudmu sekarang? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi
masalahmu?” sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang
tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.
“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah
menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali
lagi mohon pencerahannya bapa guru”. Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada
sang guru.
“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa?” Kembali Ramaparasu menegaskan
pertanyaannya.
“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul di pundak ini, apakah cukup
disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan
paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya!” Kumbayana
mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada
dalam keputusasaan yang berat.
“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah
seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu
tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata
perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam
kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka
Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah
dilalui melewati keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali
kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu
adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatianlah
itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi
seorang kesatria yang harus dilalui ”
“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru”. Mengangguk Kumbayana,
mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.
“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu
membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika
menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu ke alam abadi nanti,
itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau
sebaliknya”. Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan
dari sang gurunadi.
KITAB WAYANG PURWA
Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi
prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agul-agul sakti
sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna
telah berhasil membunuh Gatutkaca. Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap,
namun kesediaannya kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya,
Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.
Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam
peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang
malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini. Melihat kelelahan yang
mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka diambil alihlah kendali
peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna sendiri.
Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari,
membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang di
tangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan
bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan
siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan
nyala kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam
menentukan dimana arena amukannya akan terjadi.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera
menghadap Sri Kresna dan Arjuna. “Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada
paduka, apakah yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat
dengan mata para prajurit”.
“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai di hadapanku. Aku akan
mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita Durna”.
Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa.
“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi Kumbayana.
Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan
patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang
dimana tidak ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana
tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam”. Kresna
mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika
itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang,
bahkan gurunya sendiri, hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan
badan yang gemetar.
“Kata-kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon
petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.
“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang kamu
miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang orang yang kamu percayai dalam
membantu usahamu, adimas”. Pesan Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.
Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat
melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan
juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang
meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana.
Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang
gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu.
Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani
senapati Bulupitu itu.
KITAB WAYANG PURWA
Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan
mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.
Drupada
“Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu. Ayolah kita
menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah Barata ini”.
“Ooh . . kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu miliki. Lupakan saat
dahulu ketika bersama-sama berguru. Lupakan saat kita sudah melewati simpang jalan dan kamu
sudah mukti wibawa di Pancalaradya, yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku
kurang tata susila ketika aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana
dan membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus berakhir
dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa pengabdiannya sebagai tokoh yang
membawa kebenaran dalam sudut pandang kita masing masing”.
Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera mengalir
gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap ditambah dengan
ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita yang hanya bertangan
fungsi tunggal.
Namun pandita Durna adalah seorang guru yang setiap kali menurunkan ilmunya
bukan menjadi berkurang, tetapi malah semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah
seorang raja yang walaupun sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih
menjanjikan kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.
Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang unggul. Hal
ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada kesempatan terbuka, sang
pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada sang Sucitra tua hingga ke
jantungnya.
“Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku, dan rasanya sudah dekat ajalku
. . . . . “ terpatah kata kata Sucitra yang sudah roboh di tanah yang bersimbah darah. Ia
menyampaikan isi hati di hadapan Kumbayana yang masih berdiri mematung.
Dengan nafas yang makin satu satu keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada
lirih melanjutkan, “namun . . . persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . sampai disini. Aku
akan sabar menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . mudah mudahan waktu
tunggu . . . . ini tak akan lama”.
Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas di tangannya.
Seketika tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan tewasnya Prabu Drupada.
KITAB WAYANG PURWA
Di lain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak lah berguna.
Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi kesempatan bertarung
dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia mengantarkan jiwanya menuju keabadian.
Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya moral
prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan gurunya.
“Sembah baktiku kami haturkan ke hadapan Bapa Guru” Dananjaya mengaturkan
sembahnya.
“Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan suba sita. Inilah
yang aku kagumi dari watak para anak Pandu” Durna terkesima dengan apa yang terjadi
dihadapannya.
Lanjutnya “Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi. Ajian Laring Merak
yang aku banggakan tidaklah ada artinya di hadapanmu. Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu.
Sudah saatnya Baratayuda menentukan, mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada
saat ini”.
Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan kewajiban
sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan murid.
Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada perasaan sedikit
segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati. Pukulan dan gerak yang
dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka tak lama kemudian
punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia merasa kesakitan.
Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa sakit yang mendera
bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia bersungguh sungguh.
Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah dengan tenaga yang lebih baik
karena faktor usia, membuat ia mendesak sang Pandita.
Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya. Kobaran dahsyat
api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat lari tunggang langgang
prajurit Amarta.
Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang di atas
palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru memadamkan
kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri yang disempurnakan
oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung silih berganti. Segala bentuk
kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak
balik pertahanan Durna. Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos
keris kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung
seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris Pulanggeni
ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti menonton tanding senjata
itu.
Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya menjadikan
peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali dari pencarian
terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana, pertempuran masih tetap
berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya adalah perang strategi. Bila secara wajar
pertempuran akan memakan waktu dan berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.
“Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai tujuan tertentu”.
“Apa maksudmu ? Werkudara menukas.
“Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa hari ini gurumu
meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidakpercayaan Duryudana kepada anak bapak
KITAB WAYANG PURWA
Sokalima. Misi dari gurumu sekarang, tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus
mengembalikan kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia
lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu”. Sejenak Kresna diam
dan menyelidik, apakah kata-katanya dimengerti oleh adik sepupunya itu.
Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. “Teruskan dongengmu, biar aku
tidak setengah setengah menelan omonganmu”
“Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati pendamping ?” Kresna
bertanya, namun kembali ia meneruskan “Itu adalah raja dari negara Malawapati, Prabu
Permeya”.
“Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ?” Kembali Bima memotong.
“Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan gajahnya sekalian,
kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka mengatakan Aswatama telah tewas!”
Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri Permeya yang
duduk pongah di atas gajahnya. Terkejut Permeya ketika di hadapannya telah berdiri
dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya ketika melihat gada di tangan Bima-
Werkudara berputar mengancam dirinya.
Tak pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak
sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah runtuh, tak sulit Werkudara
menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama. Tanpa bisa
mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.
Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan Aswatama
telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai di telinga Begawan Durna.
KITAB WAYANG PURWA
DURNA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae
Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut-sahutan yang
mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran
berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya.
“Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”
“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.
Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya
dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua
adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”
“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab
seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin
makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai. ”Ah . . sama saja,
bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya
untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.
Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian
anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan.
“Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti
Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan
perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa
akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.
Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa
yang diperingatkan oleh kanda Prabu”
Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya
datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.
KITAB WAYANG PURWA
“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang
berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan
bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira,
apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata-
katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan
berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi.
Lanjutnya, “Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang
katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih
hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya
dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.
Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika
Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang
Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara
kalimat Hesti terucap pelan.
Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah
tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna,
jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.
Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan
Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda
bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan
Kumbayana di alam madyantara-pun, punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama di
telinga sang Begawan.
Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana
tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa
guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan
perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru
imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
****
Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung
dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi
dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya
kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan
kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.
KITAB WAYANG PURWA
Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak
menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra-putra dari Adipati Drestarastra
dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura. Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi
dari hadapan Begawan Durna.
Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima.
Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna di tempat
pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada di depan arca Durna, ia
sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.
Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah
sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan
pikiran di hadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.
Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna.
Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya. Berhari
hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah,
Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.
“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna.
Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku? Taklah kamu bakal mengalahkan murid
terkasihnya!”
Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya
adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan
peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam-diam berselingkuh dengan
menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.
Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidakbenaran tuduhan itu,
dengan mengajak Arjuna ke tempat Palgunadi berada. Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap
hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas
Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan
diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah,
“Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini.
Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat
berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”
Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna
telah menyalahi janji di hadapan para sesepuh kami”
“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh
begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh
tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit
dengan susah payah.
“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai
kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya
sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu
bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan
memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.
“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang
menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok
Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.
“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang
Guru?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu.
KITAB WAYANG PURWA
Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari
tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah
menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia
menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya. Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun
berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong
menyampaikan usulnya.
“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan
melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada di belakangmu itu, Palgunadi”
“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan
Arjuna.
“Wanita di belakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat di jarimu. Bukankan itu
hal yang bersifat adil Bapa Guru ?” Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada
gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.
Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas
pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu
telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan
nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan
memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain.
Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia
mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku
menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”
Kaget Palgunadi, terputus angan-angannya ketika ia diminta segera memutuskan
pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini.
Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini
adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya
sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur
dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan
saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat
menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu. Angan itu terputus ketika suara istrinya
menanyakan beberapa hal, “Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya?
Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain? Tidakkah
seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak
memiliki . . . “.
“Baiklah . . . “, potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang
lebar, “Sekarang aku akan memutuskan!” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap
Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila
ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan
tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada
kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah
keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin
sekaligus jarinya.
“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku”
Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya.
Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya.
Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada
keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik
terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak
KITAB WAYANG PURWA
mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya
sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang
dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak,
golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya
terpancar dari hukum alam semesta.
Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa
keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah
Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina
serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang
terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun*) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan
mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada
murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.
“Segera letakkan jarimu di atas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar
kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena
peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi
murid-muridnya….”. antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.
“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak
mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.
Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya di atas batu, bersamaan dengan
dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal
dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia
alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan
yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa.
Tewas sang Palgunadi.
Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia
lengah. Cundamanik yang ada di tangan Durna secepat kilat ada pada genggaman
Anggraini yang kemudian menusukkan keris di tangannya ke dada tembus di jantung.
Menyusul sang istri setia ke pangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang
yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh
keduanya.
Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang
terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang
sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu
darimu“.
******
KITAB WAYANG PURWA
Melihat sang Drestajumna di atas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan
rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma
Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi
liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya
yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah
dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !”
Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.
Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek
menyesali kematian anaknya semata wayang.
”Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan
Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur
kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan
Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih.
Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti
akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai
bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin
akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan
aku dengan anak tanpanmu..“. menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau,
berdiri condong bersandar tebing batu.
Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi
melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib
anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan
Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan.
Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan
ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna. Tanpa
sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai
layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher
Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan
kemudian dilemparkan jauh-jauh.
Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak
menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda.
“Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan
senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran
Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling
jumpa. Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat
membalasnya.
“Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu
kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan
menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke
hadapan sahabatnya.
Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci
keabadian.
******
KITAB WAYANG PURWA
Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah
ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan
raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya.
“Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa.
Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah
menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali
tindakannya.
Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan
betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika
ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan.
Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui
hatinya.
Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan
Werkudara. Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak
kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk
tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah
sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa
tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak
adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal.
Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”.
Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang
tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih
Sengkuni.
“Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban
Sengkuni.
Aswatama
“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan
menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang
ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui
cerita yang didramatisir.
“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia
memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut
bibirnya bergetar.
“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama
pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan,
sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna
KITAB WAYANG PURWA
dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan
bunyi yang menggelegar bergemuruh di tangannya.
Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena
merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk
menghadapi amukan Aswatama.
Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu
sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua
yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati
Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan-bulani kepala dari guru para pepunden
Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah
“tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”
“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena
jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang
dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar.
Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan
itu!”
Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi
hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari
mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi
tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai
seorang penasihat perang”.
Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap
Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar.
Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam
hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki?” Setyakipun mengangguk.
”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf
atas kelakuannya tadi.
“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah
kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk
kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari.
Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama
yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.
Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk
mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng
baja. Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan
mengucapkan sumpah, “Ingat orang-orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas
atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun
perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”
KITAB WAYANG PURWA
Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan Prabu
Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu hingga
menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya bagaikan
meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya hati dibawanya
menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung. Seribu hitungan langkah
yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam pikirannya. Rencana bagaimana cara
membalaskan sakit hati atas pokal orang Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa
bersaudara atas kematian orang tuanya secara keseluruhan.
“Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna. Belum merasa lega
hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni
usaha apapun, bahkan menjadi hewan paling hina-pun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas
atas kematianmu”, kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah Aswatama.
Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang dicintainya.
Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, pamannya itu
yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada dirinya, tak terbatas pada rasa
sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal ayahnya sedari kecil di Timpuru telah
mendekat-lekatkan hatinya kepada pamannya itu.
Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan atas nama cinta,
tetapi semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban mengasuh dirinya sebagai
anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi adalah perilaku yang menghindari diri dari
kerepotan itu, demi mengejar angan tinggi seorang perantau muda yang haus akan
pengalaman dan cecapan kebebasan masa mudanya. Angan kebebasan berpetualang
yang membawa ayahnya menjadi rusak raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah
tercintanya juga diberkati kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan
menjadi guru ilmu kanuragan para Kurawa dan Pandawa.
Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih sayang sang
ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga dengan sosok dirinya
yang merupakan keturunan satu-satunya. Bagi ayahnya adalah pelecut semangat hidup,
ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna. Sosok dirinya yang mengingatkan atas
sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.
Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang mencari
dirinya telah menemukannya. “Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu
KITAB WAYANG PURWA
berpanjang panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu. Sinuwun
Prabu Duryudana berkenan memanggilmu”
Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya masih
tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat marah, ketika ia
berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika pertengkaran pamannya itu
dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian pamannya.
Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan. “Sinuwun
Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau, yang menganggap orang tuamu telah
menjadi pahlawan atas gugurnya dalam membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada
negara. Ayolah anakku, jangan ragukan kata kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas
sabda Prabu Duryudana”.
“Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini” Aswatama menuruti kata kata Patih
Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan batin. Dengan bergabung
kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia dapatkan dalam usahanya
membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan dalam kepalanya juga mengarah
kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia yang tahu.
******
Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka
dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para sanak
saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan tulang tulang
dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang membuat serasa lumpuh.
Ditambah lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik
sandi. Kematiannya yang diluar arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan
kematiannya yang sangat menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan
dendam kepada Werkudara.
“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan pertempuran”
Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang terkasihnya tewas satu
persatu.
“Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu”. Salya mencoba
menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan pilihan.
“Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu mempunyai
pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini,
aku sanggup untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu
Pandawa”.
“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dan
senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan Para Pandawa dengan landasan
bangkai para prajurit dan bergelimang dengan darah para bebanten perang”. Duryudana
menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya atas kematian adik
terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran
dari Prabu Salya.
“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul yang kiraku dapat
mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri kokoh seorang calon
senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah anak dewa penerang hari, yang telah
kuasa memenangi pertempuran malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati
muda Gatutkaca”. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga
mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan dari hati yang
tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap
KITAB WAYANG PURWA
mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil kemenangan yang dicapainya baru
baru ini yang tidak dilakukan dengan cara kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu
waktu sebelumnya yang terjadi diwaktu yang wajar, siang hari.
“Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda Adipati,
kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati
dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan terlaksana besok pagi”.
“Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah terucap dari sabda
paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada adinda Prabu, dalam
perang nanti, kami pasti akan berhadapan dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang
sudah terucap dari sabda Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal
bertemu kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas
Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan
peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan kepada
Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan kepada Karna-
Suryatmaja.
Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan pemberian
pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya, Bratasena Werkudara,
untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar keponakannya. Pertempuran
yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya
tewas pada saat Perang Baratayuda berlangsung nanti.
“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan kami,
pasti akan kami kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang hendak ia
sampaikan.
“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara kami dengan
dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi,
mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia yang setimbang dengan derajat Prabu
Kresna”.
Sejenak Karna diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada
adik iparnya itu. Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu.
“Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya Sangkuni?
Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati akan memenuhi kehendak
kanda Adipati”.
Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi telah
ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan mertuanya
yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk
KITAB WAYANG PURWA
melawan balik sikap mertuanya itu. Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan
dipenuhi tanpa harus tercampuri oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan
dalih dalam melawan sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.
“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku kehendaki.
Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu Kresna. Satu satunya orang
yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . . Rama Prabu Salya”.
Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia
berkata. “Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap apa?
Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku
sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga
sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan
permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka”.
Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan
kepada mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya.
Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya diawal
perang.
“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah sekarang
putramu sendiri yang akan maju ke medan Kurusetra. Saya relakan jiwaku demi kemenangan yang
hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam ini juga”. Duryudana mencoba untuk
menarik perhatian ayah mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan
kakak iparnya bila ia mengancam akan bertindak sendiri. Kembali diluar dugaan, Salya
berkata sambil tertawa sumbang.
“Anak mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak
usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata-kata anakmas Duryudana tadi, bukan
keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan ancaman halus seperti yang
anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu
yang membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang”.
Akhirnya Salya menyanggupi permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya
dikabulkan bukannya senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti. “Terima kasih
rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon perkenannya adinda Prabu
Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga”.
Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam
melawan rasa benci dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan
peran itu dari saat ini juga.
“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau perintahkan
untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah menantunya sekalian memanjakan
semua kemauan menantunya.
“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke Awangga. Anakmu
mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah lama anakmu tidak memberi kabar
ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon
perkenannya. Ketemu dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang
senapati. Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang
lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa, tugas yang
taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi penjelasan kepada mertuanya.
Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah. “Dalih apapun
yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti. Mari ikuti aku, kita segera
berangkat ke Awangga”.
KITAB WAYANG PURWA
“Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan mengantarkan
senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.
“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini nanti”
demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya dan Adipati
Karna sampai di gapura pesanggrahan.
Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam. Tetapi dua
sosok tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan Aswatama. Segera
keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya.
Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan. Setelah basa basi
sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu Duryudana,
“Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu dari hadapanku. Kematian
ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang
anak pahlawan, selayaknya kamu harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan.
Sedangkan perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit yang
setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali di hadapanku”.
“Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami pelihara sikap
kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba sebagai mata mata atas kedua
parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan
hubungannya dengan kedua parampara paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena
keduanya adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa. Prabu
Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda Adipati Karna adalah
saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi paduka Dewi Kunti. Maka menurut
hamba, keduanya harus diawasi benar benar pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba
mohon maaf. Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba kesampingkan”.
Aswatama menghaturkan kata kata itu dengan hati hati. Sebenarnya ia khawatir
mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada dirinya hingga diberanikan dirinya
mengutarakan isi hatinya. Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk
dalam.
Tetapi hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya. ”Anak
Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi dengan keduanya.
Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan keterangan yang diberikan besok hari ketika
perang esok hari telah usai”.
Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat memejamkan
matanya. Kenangan masa lalu dan rencana ke depan hilir mudik mengisi kepalanya. Tapi
putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi Baratayuda tidaklah menjadi
persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia hitung-hitung dalam perkara ini. Yang
utama adalah bagaimana ia dapat membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan
pamannya, baik itu melalui tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang
telah diputuskan, bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang,
dirinya aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin
menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua pihak yang
sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian bertahta diatas bangkai
mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina dengan permaisuri Dewi Banuwati.
Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.
KITAB WAYANG PURWA
Tak diceritakan bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri
tercintanya, Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana
pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari
menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga prajurit
yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya
yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya dengan cepat.
Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan
busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar
perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang
bergeletakan mencuat di antara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang
bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka
menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu
bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar
kekitar di angkasa yang biru dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya
untuk kembali berpesta pora.
Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang
sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius
menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan
sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak? “Inilah
yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah
mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan
baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem
lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada di dalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya
meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya
kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar
mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas.
***
Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu
dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap
para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang
bersifat oportunis.
KITAB WAYANG PURWA
“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru
sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para Kurawa menang
atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang
bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak
bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan
bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu,
karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina !”.
Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas
kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna.
Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak
beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah
keberangkatan Sanjaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin
kejadiannya akan berbeda.
Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah
seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-
gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan
oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api
yang membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa.
Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan. Yamawidura yang menjelma
menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan
menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi
karena sesuatu hal ia harus sembunyi-sembunyi menyelamatkannya.
Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian
telah membuat sesal dihati Srikandi. Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar
keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah
melangkah ke palagan. Maka di dalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok
Adipati Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di
pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang
oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak
rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain. “Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu
telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan
terhadap orang tuamu dan keluargamu?”.
“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu Dewanata. Sekaranglah
aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku para
Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa
berada?”
“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra
senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!”.
“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!” Pertempuran dua anak muda itu
berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya,
untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan masing masing.
Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada
Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan
Warsasena dengan menewaskannya.
Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang
tinggal satu telah tewas. Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran
KITAB WAYANG PURWA
kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata
tidaklah imbang di hadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak
lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya
membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para Pandawa.
Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam
pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari
Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta
perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja
masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah
menaiki kereta, dan ia masih ada di bawah, kemarahannya kembali meledak.
“Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua,
keparat! Orang tua masih di bawah, kamu sudah duduk nangkring di atas kereta!”.
Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari
waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya
menetapi darma. Disini derajat kusir ada di bawah senapati”.
“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu.
Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai hatiku dalam
pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu
jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat
mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”.
Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.
“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki
kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda-tanda dalam diri putramu, detak jantung di dada ini
mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk
mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . ”. Campur aduk perasaan kedua manusia menantu
dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan.
Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral
perang senapati Kurawa. Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam
bergulung di atas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor
naga yang mengincar kematian Arjuna.
Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ke tempat ia bersiap, segera
menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya “Heh kamu makhluk yang
mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.
“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu
menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya. Tetapi
sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia
pergi.
“Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun,
tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya
kematianmu!”.
“Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu
yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematianku moyangku”.
Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaannya sedikitpun, segera tahu apa yang
ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.
KITAB WAYANG PURWA
“Arjuna, di atas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan
panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah.
Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika
yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak
mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak
keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera
terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu.
Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang
dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan
kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna.
Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.
Kresna telah tahu apa yang melatarbelakangi maksud dari keberpihakan Karna
terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata,
ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna
sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu
terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu
hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah
salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa
majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada
seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu. Mari
aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi
kusirmu”.
Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna,
kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua
yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan
dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca,
kesaktian kereta Jaladara bisa berkali-kali lipat kekuatannya.
Suasana berkembang makin hening, di angkasa telah turun para dewata dengan
segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar
yang terjadi di padang Kuru. Sebaran bunga-bunga mewangi turun satu-satu bagai kupu-
kupu yang beterbangan. Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari
keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan
untuk menyambut kedatangannya.
Berkata ia kepada Arjuna “Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta
perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya”.
Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya.
“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh di hadapan Adipati Karna setelah
menghaturkan sembahnya.
“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menangis meraung-raung.
Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela-bela diriku membutakan mata menutup
rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu
KITAB WAYANG PURWA
Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”.
Karna menumpahkan isi hatinya.
“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka
kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara
paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik-adik paduka,
Kanda Adipati”. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.
Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terasa di dalam hatinya. “Lihat, air
mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang
kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama-sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga
dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang
sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku
menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi
hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang
bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?”. Sejenak mereka berdua
saling berdiam diri.
Sesaat kemudian Karna melanjutkan. ”Tak ada seorangpun di dunia ini yang dapat
mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku
nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku
memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “ Serak terpatah patah suara Adipati Karna
ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna.
Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas.
“Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira,
lebih bertenaga, lebih sakti!”.
“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang
lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian
mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.
Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah
berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya
dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak
prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan
manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.
Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna.
Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata. “Rama prabu, hampir saja
hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.
“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi
kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”.
Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya. Kembali adu
ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada di tangan Karna.
Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah
sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat
menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak.
Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna
dan mencabik segenggam rambutnya.
“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai
perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna menanyakan.
KITAB WAYANG PURWA
“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku
akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali
gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para
yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan
segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum. Adu kesaktian telah
berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling
mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua. Namun
Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati,
yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup
kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam
kelanggengan!”.
Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak
panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata
karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai
bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-
sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya tak
bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi
kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari
keretanya, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.
Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata
yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah
sepasang mata Aswatama!
Banyak sekali versi tentang cerita Karna Tanding. Petikan dan suntingan dari pagelaran demi pagelaran wayang purwa diatas, adalah
salah satunya yang terpilih untuk diketengahkan. dalam versi lain, saat tanding lawan arjuna, kereta perang Karna teperosok ke dalam
lumpur. sesuai dengan kutukan dari guru Karna yaitu Ramaparasu atau Ramabargawa. Pada saat membetulkan roda kereta yang
terperosok itulah, Kresna memerintahkan Arjuna membidik Karna. Gugurlah Karna dengan kepala terpenggal panah Arjuna. Syahdan,,
Karna menyamar sebagai seorang brahmana agar dapat diterima menjadi murid Ramaparasu, karena Ramaparasu tidak mau menerima
murid dari golongan ksatria. Pada suatu saat terbongkarlah kebohongan Karna. Merasa ditipu dan dikhianati, keluarlah kutukan dari
sang guru.
KITAB WAYANG PURWA
Kidung layu-layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai
pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik-rintik. Meski begitu, rintik hujan
itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa.
Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan
atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna
kepada orang orang di sekitarnya dan para saudara mudanya. Ia adalah sosok yang tegar
dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya
kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang
secara tersamar menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku
kebajikan. Ia telah menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan
demikian ia telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu
Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten.
Dengan terbunuhnya Adipati Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai
Jalak yang gagal, maka secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para
prajurit di arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang
tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi kenyataan,
bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang termasuk Prabu
Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut sebagai kenyataan, bahwa
perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi pengakuan terhadap kekalahan itu,
belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana.
Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan,
juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga
terlimput oleh gelap. Di hadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan apa
yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman dan Raden
Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung menyikapi keadaan
dihadapannya. Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan dan pemikiran, telah
dikalahkan oleh rasa takut akan murka junjungannya.
Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat
rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus segala
keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka berburu di hutan.
Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika mendiang ayahnya
diangkat menjadi guru bagi sekalian anak-anak Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai
saat inipun masih tetap tersandang, walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi
ketika ia harus kehilangan kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela
pamannya Krepa. Juga tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam
KITAB WAYANG PURWA
karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta
saya untuk bersedia berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti,
seketika aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan darah
yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku sendiri”.
Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal.
Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika tak ada
lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya Sangkuni.
“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?” Geragapan Patih Sangkuni menjawab
pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang.
“Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.
“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu?”
“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah untuk
beradu dada dengan para Pandawa”.
“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.
“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam
perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah berkat pemberian
dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan,
bahwa mereka telah rela menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak
Prabu”. Jawab Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata-katanya kemudian
lancar nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.
“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang, itu
sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang mengerti akan rasa
kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban.
Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela
negara, tanpa memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar,
seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan negara Astina, tetapi
ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala
kemewahan, dipuji puji dan diagung agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi
ajang kebrutalan musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?”
Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti,
umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlah kata-katanya mengikuti
arah pembicaraan pamannya itu.
“Wah, kalau saya . . . . ini kalau saya . . ., saya akan segera bertindak! Segera saya akan
melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat semena mena atas negara
ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan jumawa Patih Harya Suman menjawab.
“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi tidak
mengerti akan balas budi itu?”
“Ada saja ! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!”
Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa
maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum
mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran, sandiwara itu
akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika Prabu Duryudana kembali
mengajukan pertanyaan kepada pamannya.
“Apakah ada orang yang lain selain istriku?”
KITAB WAYANG PURWA
“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada mulanya
juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri oleh paduka anak Prabu,
ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa
sayang Paduka Angger Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara
Astina telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati”.
“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu, seberapapun
bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina ini?”.
“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.
“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya hanya
aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu kesaktian dengan para
Pendawa”.
“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau tutun tangan,
maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela melihat paduka
kerepotan”.
Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar.
Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam duduknya. Dan sampai disini Duryudana sedikit
mentok, keteteter dengan kepiawaian pamannya mengolah kata.
“Ya . . . . . tetapi . . . . . apakah ini . . . . . . , apakah aku harus menangis di hadapan istriku? Si
Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu . . . yang sejatinya bukan sanak, tapi
ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam
keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara, seharusnya
ia tidak menghindar dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman.
Seumpama saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut
si paman bagaimana?”
“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!”
Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak
hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah
pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah.
Dan berkatalah Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha
menekan perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.
“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi kepala saya
bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat hingga sampai ke dada ini. Di
seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah
dipadukan dengan kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. bila sudah
manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur
dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan menggambarkan, anak Prabu saat ini
sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti
melambaikan tangannya. Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang
diarah selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya sudah tua. Tak
usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam. Gambalangnya begini, paduka anak
Prabu sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya
mengatakan, kenapa, orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu
sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan?” Sudah disengaja Prabu Duryudana
menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung basah, maka walau dengan debaran dada,
ia mengatakan,
“Silakan bila rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.
KITAB WAYANG PURWA
“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat tingginya sosok
para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa?
Apakah saya harus gemetar melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah
sebagai anak anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari
setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan Batara Yama. Oleh
sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan dua landasan. Ketika bebanten para
Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma, sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada
paduka anak mantu, bahwa Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok
persoalannya? Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan? Oleh
sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah gugur dalam perang ini.
Itu yang pertama!”
“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu manusia bukan
manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang menerangi jagat. Walaupun ini
hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan, tapi sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah
mengenakan anting anting dan permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa,
Wijayandanu, siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak, siapapun
tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung , gunung itu akan menjadi
runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna
dapat mengalahkan dengan panah bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah
Arjuna telah membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya
bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.
Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit
dadanya, lama kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia
seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap kembali.
Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat
gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan
susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.
“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”
“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani beraninya memutus
pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu.
“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf. Silakan
apa yang hendak kamu katakan?!”
Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk
menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang atau
tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali terbentang
dihadapannya.
Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati
Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati”.
“Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” terheran Prabu Duryudana
mendengar kata kata Aswatama.
“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu Salya, saya
lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas mengenai leher Arjuna. Tetapi
arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan”
Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar
sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya sendiri.
“Siapa pembesar yang melakukan itu?
KITAB WAYANG PURWA
“Tidak lagi hamba menutup-nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar. Namun tiba
tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan kereta menjadi oleng. Panahpun
tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara,
bahwa gugurnya gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”
“Iblis keparat kamu Aswatama!” Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang
mengamati dengan sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia
itu terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan
bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu.
“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru. Paling
tinggi tugasmu hanya memberi makan kuda-kuda kendaraan para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa
derajatmu hanya di bawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan.
Kesalahanmu, pertama, kamu sudah berani-beraninya memotong pembicaraan para agung. Kedua
kamu sudah berani mengatakan yang bukan bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah
menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana
kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu berniat
merenggangkan hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata
katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus
kerismu Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh
selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah menghadapi Prabu Salya,
akan kutebas batang lehermu!”
“Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu hanya berderajat
rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama” maka Prabu Duryudana segera
menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat mertuanya seakan telah kehilangan
pengamatan dirinya.
“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih dengan kata
marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.
“Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan mampu bila
berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat rama Prabu, jangan
mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama. Rama mesti mengingat, masih banyak
kewajiban yang harus dijalankan. Mohon bersabar rama Prabu”.
“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu.
Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan mundur sejangkah menghadapi orang
tuamu itu!” masih juga belum berhenti kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit
ungkit ayah Aswatama.
Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah
membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang
pendapat itu.
“Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku sudah tak lagi
membutuhkan kamu. Pergilah!”
“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di palagan
peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati Aswatama kembali kambuh, bahkan
sekarang semakin parah.
Keputusan hari kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah
mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya
dengan sejuta rencana tumbuh di dalam rongga kepalanya.
KITAB WAYANG PURWA
SAAT-SAAT TERAKHIR
Ditulis oleh hery_wae
Aswatama segera pergi ke istal. Melepas kuda terbaik dari dalamnya, melepas tali
yang mengikat ke tonggak, kemudian ia memacu kudanya dengan kecepatan penuh
meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang segala keruwetan yang
mendera dadanya. Beban yang menindihnya, seakan hendak ia angkat dan campakkan,
dengan cara memacu kuda itu sekencang kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang
semula telah ia rancang dengan rasa was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya.
Sepenuh hati rencana telah digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun.
Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak menuju ke hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu
Salya dan istri dari Prabu Duryudana. Setelah kejadian di balairung tadi, sebuah rencana
yang tertanam dari hari hari terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul
tekad bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana. Junjungannya di masa
lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa di masa
lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah
mata. Kekesalan yang terpendam mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan
dengan pengusiran yang kedua kali terhadap dirinya.
Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua
Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya
tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya
karena perasaan malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi kata-katanya tersekat
pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana.
Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam
dengan hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng.
Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua
prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah
ada di depan mata.
Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan
setengah dipermalukan oleh Aswatama, masih mendekam didalam hati Prabu Salya.
Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi
suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran
masing masing yang berputar putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika
kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.
KITAB WAYANG PURWA
“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama.
Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak menantu. Apakah ia hanya
bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu Paman?”
Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana
dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya
dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan
nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan
jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya
menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga ada. Bahkan ia telah membunuh
mertuanya dengan tangannya sendiri”.
“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian?”
Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa
yang dikehendaki pamannya.
Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan“
“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang
belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat
mengendalikan nalarnya.
Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi
sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu,
Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah
mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku
Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi
aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata
itupun aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok
anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan
waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!”
“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu Salya,
tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih Sangkuni menjawab dengan nada
merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak-bahak, menyaksikan pancingannya
berhasil diasambar sasarannya.
Sesak di dalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja
memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana. Maka ia
tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama.
Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia
berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak
lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan
berusaha setenang yang ia bisa.
“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali dulu
menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan
bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka”.
“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana melepaskan
kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya.
Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang
pengecut.
“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku
serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya. Besok aku
KITAB WAYANG PURWA
tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan
rama Prabu Salya”.
Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren
Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul. Dan kedatangan Prabu
Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan Prameswari Mandaraka, Dewi
Setyawati.
“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun telah
berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul dalam perang
yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu?”
“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda Setyawati,
bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya hanya melepas kangen,
sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka
meninggalkanmu. Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan sebagai
seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku
terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita
berdua adalah orang yang punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita
pergi juga bersama-sama”.
Mendengar kata-kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang
wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan
kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya.
Ia telah merelakan anak-anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak
akan lagi rela melepas suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak
anaknya. Maka ia bangkit dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu
Salya yang melihat tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya.
“Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi
isi hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.
“Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina.
Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suminya Basukarna.
Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini,
hamba tidak akan melepas kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita
untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi
pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka
sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang
sekiranya dapat kita turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua
ini di Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon maaf
kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak lagi
mengorbankan seorangpun”.
Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri
memeluk suaminya.
Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya, “itulah kenapa dari dulu
aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan.
Tetapi dalam dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas
segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri dewasa, kecantikan itu
tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan
tadi, adalah mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu
punya itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga
segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari masalah pelik. Maka,
walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun seumpamanya, dari muda hingga
KITAB WAYANG PURWA
rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja
memenuhi dadaku. Dan bukan oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu
aku tidak boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu.
Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, rasanya
sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan
terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah
dewata limpahkan?”.
Jatuh ke dalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan
suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah
berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang
istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap
terjalin waktu demi waktu.
Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan
nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa
gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia yang dalam
satu sama lain. Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah.
Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat
memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan
yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua
berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah
mendapat murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya
terjadi atas mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara
seperguruan ayahnya.
Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya. Dari
situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan
kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong
Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan
masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap tidur. Kokok ayam
yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi bersiap menerangi
semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih di sanggar itu,
Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah
menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap.
KITAB WAYANG PURWA
Kita tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan kebulatan
tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di taman itu, Dewi
Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang dayang-nya. Mereka dengan setia
memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar junjungannya dapat melupakan
kemelut yang sedang menyelubungi negaranya.
Ketika Aswatama masuk ke Taman Kadilengeng, suasana hingar bingar mendadak
terhenti. Hampir semua mata menuju kearah kedatangan Aswatama. Semua menerka
nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan oleh sang tamu. Sosok
tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak Pedanyang Sokalima, anak dari Sang
Pujangga Astina. Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada
apakah gerangan berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang sudah
berhari hari berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat berganti waktu
demi waktu dan segala kemapanan pasti goyah dengan cepat.
Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh Dewi Banuwati para dayang dayang-nya
untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai segala perubahan di peperangan hendak
ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama.
Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa basi telah diucapkan oleh keduanya.
Bagi Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap ia lakukan demi
siasat yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku hormat kepada istri Prabu
Duryudana. Walau dalam hatinya ia mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi
negara Astina, tetapi pesona kecantikan Sang Dewi masih membuat dirinya juga tak
berdaya dihadapan Banuwati.
Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya dalam-
dalam. Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi kecantikan dari
junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum Banuwati telah lama
mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan kemanjaan sikap dari Banuwati,
ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk memiliki Sang Dewi semakin menindih
perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia mengidam idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati
yang manja, Banuwati yang sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang
menatapnya. Tapi bagi Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu.
Ketika itu, keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja.
Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu tabu atas masa lalu. Dan pada
saat yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap isi jiwanya, pesona yang
terpancar dari sosok seorang Banuwati.
KITAB WAYANG PURWA
“Aswatama, apakah perang sudah usai?” Itulah yang setiap kali diucapkan Sang Dewi
ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali pertanyaan itu diucapkan.
Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan ucapan dari bibir merah Banuwati
masih dengan angan angannya. Sangat jarang Aswatama berhadapan langsung dengan
Sang Dewi, bisa dikatakan tak lebih dari hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah
jabatan yang ia sandang tidak memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di
istana sejak dari muda. Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat
dasarnya, membuat runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata
pesona yang terpancar dari sosok Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-kata
yang disusun sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan.
Tetapi gugupnya Aswatama di mata Dewi Banuwati diartikan lain. Dimatanya,
kegugupan itu mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam peperangan yang
menentukan yang kehidupan negara selanjutnya. Dan Aswatama merasakan kesan yang
memancar dari mata Banuwati itu. Maka timbullah keberaniannya untuk segera melakukan
tindakan yang semula dirancangnya.
Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang. Serta merta
Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan pertanyaan itu. “Memang ada yang
hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian penting di palagan peperangan”.
“Cepat katakan, Aswatama! “ Tak sabar Banuwati segera menyahut.
“Apakah Paduka Ratu berkenan dengan apa yang hendak hamba katakan?”.
“Ya ya. . . segera katakanlah”.
“Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan tinggal menunggu saat
saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana memerintahkan kepada hamba untuk
membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari taman Kadelengeng”.
“Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada sesuatu yang membuat
aku khawatir akan keselamatan diriku”. Datar saja ucapan Dewi Banuwati, tak ada sedikitpun
kecemasan membayang di wajahnya oleh sebab dari berita yang disampaikan Aswatama.
Berita kekalahan Kurawa, sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil baginya.
Aswatama hanya mengangguk anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran
dengan sikap Banuwati. Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja.
Katanya kemudian.
“Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan bersalah bila tidak
menjalankan titah yang telah digariskan”.
“Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu ada yang
dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang Baratayuda adalah para
Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu bagaimana memperlakukan musuh, mereka tak
akan mungkin mencelakakan aku. Apalagi sifat dimas . . . . “
Terhenti ucapan yang sudah ada dikerongkongannya dan segera ditelan kembali. Dan
warna merah dadu menghiasi wajah Sang Dewi atas ketelanjurannya, walau terputus.
Namun Aswatama segera tahu apa yang hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah
membuat otak Aswama seketika terang benderang “Tetapi perkenankan hamba berterus
terang. Gusti Prabu Duryudana sudah berada di suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan
ini. Disana sudah menunggu pula ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas
kehendak ayahanda Paduka Sang Dewi, perdamaian diantara yang sedang berperang hendak
diselenggarakan. Dan diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi atas perdamaian itu. Dari pihak
KITAB WAYANG PURWA
Kurawa akan langsung dipimpin oleh Gusti Prabu Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan
dipimpin oleh Raden Arjuna”.
Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing kenangan terhadap
kekasih gelapnya.
“Ah . . “., Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang, tetapi
segera dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya.
Dari sudut matanya, Aswatama mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi
Banuwati yang dengan susah payah hendak menyembunyikan perasaan yang berkecamuk
dihatinya. Namun senyum sekilas tadi telah mengembangkan sejuta asa di hati Aswatama.
Dalam hatinya mengatakan, “Inilah saatnya!”.
Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan Banuwati
melayang layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang membayang di rongga
kepala Banuwati. Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati
memecahkan kesunyian.
“Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya lakukan, hendaknya
dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang kanda Prabu hendak berdamai setelah
kekalahan nampak dipelupuk matanya. Perdamaian yang sebelumnya telah membawa banyak
korban!” Sejenak Dewi Banowati terdiam, kemudian ia menyambung.
“Tetapi baiklah, Aswatama, kapan kita hendak berangkat?”
“Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi. Malam ini juga hamba
dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke hadapannya”.
Jawab Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi dadanya,
setelah sekian lama merasa tertindih beban yang begitu berat.
“Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama!”
“Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita. Sedangkan malam terus
berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk mempersiapkan segala sesuatu. Toh kita
besok sudah kembali lagi ke Astina”. Berpikir tangkas Aswatama segera menolak usul yang
disampaikan Dewi Banuwati.
“Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!”. Maka dengan persiapan singkat, Dewi
Banuwati berganti busana dan segera menaiki kuda. Dan Aswatama menaiki kudanya pula.
Tak ada kecurigaan apapun ketika mereka melewati penjagaan demi penjagaan,
pengawalan terakhirpun telah melepasnya. Dan tak terasa malam makin merambat dan
perjalanan mereka semakin cepat. Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang
pegagan sudah mereka lalui. Hujan yang turun sore tadi telah lama reda,langit hanya
menyisakan awan bergumpal di sana sini. Namun sebagian, masih menampakkan bintang
bintang yang berkelipan malu malu.
Kemudian tibalah mereka di padang perdu dan kemudian hutan dengan tumbuhan
kayu besar yang makin pepat. Dan malam semakin merambat larut, sementara perjalanan
terus berlanjut.
“Aswatama, apakah tempat itu masih jauh?” tanya Banuwati yang merasa curiga dengan
perjalanan malam yang seperti tak berujung.
“Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai?” Aswatama berkilah.
KITAB WAYANG PURWA
“Benarkah? Aku lihat kita malah berputar-putar arah tidak karuan bahkan kita memasuki
hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita!” tanya Banuwati ketika sampai pada tempat
yang lapang ditumbuhi beberapa pohon pohon perdu ditepi jurang.
“Mhmm . . . , baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan apa sejatinya yang
kulakukan terhadapmu”.
Sejenak Dewi Banuwati bagai terhenti jantungnya. Ia mendengar ucapan Aswatama
yang bernada lain dari biasanya. Tetapi sekuat tenaga ditenangkan hatinya. Doa akan
keselamatannya ia panjatkan untuk mengatasi kejadian yang tidak diperhitungkan
sebelumnya.
Di lain pihak, Aswatama yang sudah sekian lama bersikap hormat sebagai anak
Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha bersikap tegak.
Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan Aswatama.
Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon. “Tempat yang
agak lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap Banuwati”., demikian pikirnya
dengan debar dada yang masih bergemuruh.
Tetapi setelah diingat bahwa ia hanya berdua saja dengan Banuwati, dan apalah
artinya wanita tanpa pendamping dihadapan lelaki yang terkodrat lebih kuat. Maka jebol-lah
keraguan yang semula melimputi dirinya. Dipandangnya Banuwati dari ujung rambut
hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang. Senyum aneh tersungging di bibir Aswatama
bagai orang yang mabuk tuak.
Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai membayang
diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya masih juga tidak hendak
reda. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia menanya, dengan tetap duduk diatas
punggung kuda.
“Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama?” bergetar bibir
Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya pertanyaan itu telah
diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawab Aswatama yang masih dengan
senyum kemenangan dibibirnya.
Kemudian dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan berkata dengan dada
tengadah. “Di dunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki pesona yang
begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu agung-pun bertekuk lutut.
Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada suatu katapun yang bernada menentang.
Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu untuk ketemu Arjuna tidak diturut, hanya sedikit kata rayuan
dan seribu alasan, permintaan itu akhirnya dikabulkan. Benar benar Prabu Duryudana bagai kerbau
yang dicocok hidungnya. Dan pesona dari dirimu tidak urung telah menebar keseluruh
lingkunganmu. Pesonamu juga telah menyusup menembus dalam dijantungku. Setiap dirimu lewat
didekatku, terasa dadaku hendak pecah. Ya, terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan
ini terhadapmu, Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian karena aku
dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada dalam keadaan sekarat.
Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa Aswatama adalah pemilik yang sah dari
Banuwati untuk selanjutnya he he he . . . . !”.
Masih dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan nyalang
sosok Banuwati yang tertegun duduk di atas kuda. Tanpa berkedip, di kegelapan yang
hanya tersinari bintang, sosok siluet Banuwati di keremangan itu makin mempesona di mata
anak Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu. Hilang kewaspadaannya, dan tidak
terpikir bahwa suatu saat, kuda itu dapat dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar. Sementara
di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat melarikan diri.
KITAB WAYANG PURWA
Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi Aswatama yang selalu
mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak. Banuwati yang lambat laun bisa
menguasai dirinya, kemudian berusaha tersenyum. Ia sudah dapat melihat dengan jelas,
langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang menjepit dirinya.
“Ooh . . . begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi suamiku bila ia memiliki
kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah membawamu untuk memboyong aku kemana kamu
suka. Bawalah aku ke Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan mukti wibawa meneruskan
kejayaan Astina! Lihat bintang bintang di langit adalah saksinya!” Sang Dewi mengatakan
sambil menunjuk ke langit dimana bintang-bintang masih bergelayutan.
Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut mendongak ke langit. Dan saat yang
sedikit itu digunakan dengan sempurna oleh Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan
dipacu kuda itu tanpa menoleh kanan kiri.
Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda Banuwati. Bergulingan ia
menahan sakit di dadanya, dan merah padam mukanya oleh perasaan marah yang tidak
terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan tertatih-tatih, dilepaskan ikatannya
dengan terburu buru. Sumpah serapah membuncah dari mulutnya. Terlambat sedikit, kuda
yang ditunggangi Banowati telah menghilang di kelebatan hutan dan pekatnya malam.
Derap kaki kuda yang bergulung-gulung menggema di antara tebing telah
memperlambat usaha Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara kabut telah
turun setelah malam menjadi dingin menjelang pagi.
Sempurnalah kesulitan Aswatama dalam melacak jejak buruannya. Dewi Banuwati
yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir mengendalikan kudanya.
Terpental pental ia di atas punggung kuda yang menjadi liar menyelusup di antara pepatnya
pepohonan hutan. Walau sekuat tenaga Banuwati bergayut, namun tetap ia tak berhasil
menguasai keseimbangan badan diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke dalam
kelebatan perdu yang tumbuh menyebar di tebing jurang.
KITAB WAYANG PURWA
Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega mega di langit timur, ketika
Aswatama telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati. Kelamnya hutan
dan kabut menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak lari kuda yang ditumpangi
Banuwati. Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang masih baru kadang masih dapat terlihat
sebagai tanda lacaknya, namun sejatinya kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya
yang terperosok jatuh di tempat yang sudah jauh tertinggal.
“Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak ada yang dapat aku
katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika aku belum berhasil membunuh
perempuan celaka yang berlindung dibalik kecantikan parasnya!” Perasaan sesal dan dendam
melonjak lonjak dalam dada Aswatama. Segenap sisi hutan telah ia selusuri meneliti dengan
seksama tanda tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun Sang Dewi seolah ditabiri oleh
kekuatan gaib yang tak kasat mata.
Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang tamu yang
sedari lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh tuan rumah. Prabu
Salya yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah mengira, siapa sebenarnya yang
hendak menghadap. Firasatnya mengatakan, bukan orang lain yang hendak bertemu
dengannya. Maka ia masih tetap dalam busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja
Hyang Maha Agung, dan juga belum hendak beranjak dari sanggar pemujan.
Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat di hadapannya berjalan dua
sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya, Nakula dan Sadewa.
Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya Madrim. Adik perempuan
satu satunya yang sangat ia kasihi.
Seketika tangannya dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya
menghadap. Sambil tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap-usap kepala
kemenakannya dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan
menghaturkan sembah bakti kepadanya.
“Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari” Masih disertai senyum, Sang Uwak, ketika
melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil kemenakannya dengan
panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan Sadewa. Ia masih saja
menganggap kemenakannya masih saja selayaknya kanak kanak, walau mereka
sebetulnya sudah lepas dewasa. Panggilan itu seakan ia ucapkan sebagaimana ia dengan
segenap kasih ingin menumpahkannya kepada anak yang terlahir piatu itu. Dan masih
KITAB WAYANG PURWA
tercetak kuat dalam benaknya, betapa sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh
sepasang orang tuanya, sehingga tak terkira betapa kasih Sang Uwak tertumpah kepada
kedua kematiannya, maka Para Pandawa tak akan dapat mengalahkan senapati bentukan
Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya.
Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan
Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan maksudnya. Mereka pun
menjawab, “Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa Prabu ceriterakan”
“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan oleh
sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang dipimpin oleh
Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa
sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan.
Dalam perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian
Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali
lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah
dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu
melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun
Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu.
Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya. Tak ada seorangpun yang mampu
mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan
akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan
darah, ayahmu juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”.
Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat,
tiba tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas. Sudah menjadi suratan takdir bahwa
kematian kedua orang tuamu adalah menuai apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk
sanggup menjadi kerak Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam
Lembu Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan”.
“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura, kepada Arjuna
kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam asuhan ibu dari
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi perlindungan atasmu
sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak kandungnya. Maka itu Pinten, Tangsen,
perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara
saudaramu tua menyayangi ibunya”.
“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak membeda
bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara saudara kami yang lahir dari rahim ibu
Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika
uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.
“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas,
“Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam
menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan kakakmu
Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak
kau sampaikan Pinten, Tangsen”.
Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah
terbuka. Kemudian kematiannya, maka Para Pandawa tak akan dapat mengalahkan
senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya. Maka Nakula dan Sadewa
telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan Prabu Salya, agar nanti dengan
gampang masuk mengutarakan maksudnya.
KITAB WAYANG PURWA
Mereka pun menjawab, “ Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa
Prabu ceriterakan”
“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan oleh
sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang dipimpin oleh
Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa
sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan.
Dalam perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian
Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali
lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah
dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu
melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun
Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu.
Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram di kakinya. Tak ada seorangpun yang mampu
mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan
akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan
darah, ayahmu juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”. Sebentar prabu Salya
membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya.
“Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat, tiba tiba saja jasad keduanya telah
hilang tak berbekas. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu adalah
menuai apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak Neraka
Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu Andini, sanggup mukti waktu
itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan”.
“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura, kepada Arjuna
kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam asuhan ibu dari
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi perlindungan atasmu
sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak kandungnya. Maka itu Pinten, Tangsen,
perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara
saudaramu tua menyayangi ibunya”.
“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak membeda
bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara saudara kami yang lahir dari rahim ibu
Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika
uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.
“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas,
“Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam menjalani
Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan kakakmu Puntadewa. Aku
lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan
Pinten, Tangsen”.
Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah
terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang hendak
menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna.
“Siapakah di antara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami telah
mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda sebagai senapati perang
Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua saudara Pandawa”.
Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud kedatangannya.
Kembali dengan suara parau ia mengatakan, “Maka Uwa Prabu, dari pada memperpanjang
cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan runtuh di medan Kuru, maka kami akan
menyerahkan kematian kami sekarang juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami,
kemenakan Paduka Uwa Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya”.
KITAB WAYANG PURWA
Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun
yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing. Keduanya mengalihkan
pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian, dengan pertanyaan
disertai suara yang dalam.
“Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang
jawablah!”
“Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa.
“Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi”. Kembali Salya memerintahkan
kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa. Kedua satria kembar itu kembali
saling pandang. Kali ini Nakula bertanya kepada adiknya, Sadewa.
“Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?”
“Tersesrahlah kanda, saya akan duduk di belakang kanda saja”. Jawab Sadewa lesu.
Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa apakah yang akan menimpa
kami . . . ”.
Baru berapa patah kata Nakula berkata, namun dengan cepat Prabu Salya memotong
ucapan yang keluar dari bibir Nakula.
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah
aku ucapkan tadi”. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula
ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika
Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari
bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.
“Uwa Prabu . .”
“Uwa Prabu”, tiru Nakula
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,”
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,”
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . “.
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa “
“Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . “.
KITAB WAYANG PURWA
Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh
Prabu Salya.
Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya
Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”.
Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu.
Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih. Setelah
beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas pelukan, kemudian duduk
kembali.
Katanya, “Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk
kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi
dalam perang ini. Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa
yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa yang salah dalam
perang Barata ini”.
Keduanya hanya menganggukkan kepala dengan lemah.
“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan kata kataku,
aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”.
Nakula dan Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti.
Sejurus kemudian Prabu Salya meneruskan, “Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan
Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu berdua.
Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja baru di Mandaraka. Kamu berdua akan
aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu Sadewa”.
Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka
jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan menyerahkan
Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang, kesanggupannya menyerahkan
nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan terlahir dari dalam hati yang terdalam.
Maka Nakula dan Sadewa yang diberi kepercayaan hanya berkata menyanggupi
“Hamba, uwa Prabu, semua yang uwa Prabu katakan akan hamba junjung tinggi”.
Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu berdua adalah; Nakula, kamu akan
aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu
kuberikan kewajiban sebagai raja yang menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan
adalah, Sadewa, melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja raja d iluar Mandaraka.
Sedangkan Nakula, lakukan penggalangan dengan raja-raja jajahan yang ada dalam lingkup Negara
Mandaraka”.
“Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi ibarat orang yang
hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila selayaknya orang yang bepergian
dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila
berbicara mengenai bekal bagi orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua
memiliki sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai”.
“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka berikan kepada
kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.
“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta.
Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan. Pencipta itu
langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan
yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam
perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan
perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya”..
KITAB WAYANG PURWA
“Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas
kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain yang sudah
mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah yang telah menjadi
kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur segala hal mengenai
kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan
kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk
oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok
kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur
yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing masing.
Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan
kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara
sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang
dianut”.
“Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut orang
lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu
senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak
lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau
katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya”.
“Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan Adiguna. Sifat
yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang, Adigung, watak
seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan
kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular
yang sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan
dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan
rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah,
tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri
kemanusiaan”.
Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai
terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila
sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya. “Dan
keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah kamu berdua
menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan
manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau
orang yang berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai
sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti
yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila
tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong
oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”.
Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya.
Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti. Lanjutnya “Sedikitnya empat hal inilah
yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja.Sekarang kembalilah. Kembalilah ke
pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali
ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”.
“Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru
tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami Pandawa nanti”.
Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang akan
menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para
Pandawa.
KITAB WAYANG PURWA
“Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan kepada
yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”.
Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang
uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara
saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak
condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan
kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.
Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari
Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali
ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi
Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling.
Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka
kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam dengan
tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan kewajiban dan
kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana.
Tanpa membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana
keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu.
Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah
menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi.
Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan.
Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih
berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru.
Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang
berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali ketemu
dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas,
kegalauan hati masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya
mengenang masa lalu ketika dirinya masih muda.
Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling
bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati. Kejadian di
Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka,
setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara. Ayahnya yang kecewa dengan
perintah kepada dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu
disodorkan oleh ayahnya waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk
kepemimpinan kepada putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita.
Namun dirinya yang waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya
harus menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah
memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta sampai di
Pertapaan Argabelah.
Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan
mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar api itu,
diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya
waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati
bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah
seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri.
Seketika akalnya berputar, bagaimana caranya memetik “bunga cempaka mulia indah
nan mewangi, tetapi ditunggui oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan
dengan seorang raksasa?!
KITAB WAYANG PURWA
“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?” Begawan Bagaspati
menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam
kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada
keduanya.
Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada
Narasoma. “Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.
“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah.
“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan Bagaspati.
Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati kembali.
“Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma”. Kata
Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa di masa muda,
berwatak degsura.
Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah
salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan
yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun
ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia
ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya.
“Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini”. Bagaspati
menjelaskan.
“Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu
dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?”
“Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat menyembuhkan
penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati anakku?”. Bagaspati berterus
terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap.
Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan
bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang
menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari sakit itu.
Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah?”
KITAB WAYANG PURWA
“Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu
jawabannya”.
Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan polah
tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan di depan
dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima.
Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih
jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut
Narasoma.
“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang
terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar dengan
indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa
lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor
buaya putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga
cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.
Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui
maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati,
“Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu.
Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan
selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.
Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya,
namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya. “Untuk apa dan siapa yang hendak
diupacarai, Bapa?” Gemetar suara Pujawati.
“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma
menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab teka teki dari
calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa
permitaanku Pujawati”.
Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati agar
segera meninggalkan keduanya. Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri
disertai pandangan Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Di lain
pihak Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.
Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan
Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak
samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan meminta
syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu”.
“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan”.
Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.
KITAB WAYANG PURWA
“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang.
Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia-sia, walaupun ia hanya seorang anak perempuan
gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti
kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu,
Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun
banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh
janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.
“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-
teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang
wanita.
Maka segalanya mudah saja baginya menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali
Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang
sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati.
“Jawabannya gampang-gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah, tetapi
tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang jantan yang kau
maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu
itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai
anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang
cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah
Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada matanya.
Lanjut Begawan Bagaspati. “Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku
Pujawati, tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar
aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu di depan orang tuamu. Itukah
yang kau maksud dengan teka teki itu, raden?”
Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu
sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia
terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan
segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun
yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku
tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.
Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang di
wajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan apa yang
menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat
kau pegang teguh?”
“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”. Serta merta
Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya.
“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu
menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi ke depan aku menyebutkan kau sebagai menantuku, karena
aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut
pusakamu, tancapkan ke dada ini”.
“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa-dosa”.
Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.
Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka
yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada
Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal.
Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi
KITAB WAYANG PURWA
segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan
Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma.
Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak
lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa
kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu!”
“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Di dalam tubuhku masih terpendam ajian
yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia
dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai
kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku
serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan sebaik-baiknya”.
“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan syarat
itu”.
“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku”.
Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam
khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia
kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang
menakutkan! Itulah Candabhirawa! Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim.
Kemudian ia menanyakan “Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar
dari gua garba paduka Sang Resi?”
“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku sediakan
sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri di depanmu. Itulah sosok yang
akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa”.
Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya.
Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok
yang lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan
memelas ia mengatakan kepada Bagaspati.
“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama-lamanya? Hamba melihat hal yang
berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan.
Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap
Candabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan
Bagaspati.
“Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden
berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara, maka
Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.
“Akan aku penuhi permintaanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku.
Apakah permintaannya?”
“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden senang-
senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan kenikmatan yang
berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba sederhana?”
“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi”. kembali Narasoma
mengucap janji.
“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati
belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang
sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi-tubi. Maka tanpa
berpikir panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati.
KITAB WAYANG PURWA
Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati.
Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan.
Tetapi ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas.
Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang
masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri
termangu-mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya.
“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga nanti
bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat itulah aku hendak
menjemputmu bersama-sama dengan anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga
waktu itu tiba”.
Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu. Tetapi seketika angan Salya buyar
oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan
Kuru.
Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah
menuntaskan basah embun sedari lama. Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi
Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela
kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya
dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak di
pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah pergi kembali
ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan
Sadewa.
Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan
Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh
Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu
Kurandageni dari negara Girikedasar. Yang dipanggil buru-buru datang.
Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah
malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku
bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.
“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama paduka
kemedan Kuru”.
Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari
Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah
malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi
jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.
“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!”.
“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.
“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa, Paman
Prabu Salya”.
“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada orang-
orang tua kami yang hamba hormati”.
Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu Puntadewa.
“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk
berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi adalah perang
yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan”.
KITAB WAYANG PURWA
Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju
sebagai senapati.
“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang
yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidakadilan yang terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab
Prabu Puntadewa tenang.
“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak
angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti yang
dilakukan oleh kanda Duryudana”.
Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.
“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya kanda
Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari menantu Prabu
Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu
Puntadewa menjawab.
“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu Duryudana
adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran semesta, tindakan Prabu
Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya
dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi
Astina. Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta.
“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap
menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimulai bukan atas kemauan hamba,
diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba”.
Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus
menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak
kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah
banyak memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang
orang tua kita dan anak anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri
kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak
makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang
dinda diam saja”.
Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti
hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai kemauan yang
tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang
didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan
negara, dan tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk diberi
cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan
atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami
yang empat”.
Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia
berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu
bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?”.
“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat untuk
mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” . Jawaban Werkudara tidak membuat
Kresna puas.
“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan Kresna beralih ke
Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA
“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda
Kresna”.
“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban
yang sudah ia perkirakan. Yang disebut namanya hanya saling pandang.
“Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara.
“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik-adikmu ini. Sekarang
aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.
“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan kepada
orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh-sungguh”. Jawab Puntadewa.
Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara penuh
arti.
“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” keluh Bima seenaknya.
Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk
memutar otak yang seakan kusut.
Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, “Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati
menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba
sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.
Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga
meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang
tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci dan
tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda
akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang Hyang Wisnu
hendak katakan”.
Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu
batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah
tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa,
hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana
Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.
Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung
gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan
didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak
mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya.
Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai
macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu
melukai kulit Sang Senapati.
Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati
melayang menunggu saat yang ditunggu tunggu.
“Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasaoma, aku
tidak membenci kamu walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke
tepet suci bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan
menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”.
Melayang sukma Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta. Ketika melihat
kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah merasa terdapat
aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.
KITAB WAYANG PURWA
SALYA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae
Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya
mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali
akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji
Candabirawa.
Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat dari goa
garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa! “Raden Narasoma,
hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya Candabirawa.
“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat di depanku, dialah musuhku, Prabu Puntadewa.
Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari hadapan Prabu Salya. Ia
kemudian mengamuk sejadi jadinya ke arah para prajurit pengawal Prabu Puntadewa.
Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna
serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang
tercurah dari langit, Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan
tanpa hitungan lagi yang dapat terlihat.
Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian di sekelilingnya
yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan rangsekan musuh dalam
ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu.
Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke
seluruh prajurit yang segera menyingkir. Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil
itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu-mangu sejenak. Sebagian lagi larut
menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali ke arah
dimana Prabu Puntadewa berada.
Ketika sudah dekat jarak antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu
berhenti mendadak. Mereka kemudian saling berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah
memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu
bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan
lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh kesenangan yang
ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian
diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita
kembali ke haribaan Begawan Bagaspati”.
Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut dalam raga
Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu
KITAB WAYANG PURWA
Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar
jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.
Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus
Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada
tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara
Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh.
Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra, tetapi
sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata
panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar,
maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut
maupun sasaran bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung
peragu-lah yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.
Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk
kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak
panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam
senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya!
Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia
telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula
dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu
Salya ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya.
Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah
segera memberi aba-aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan
sendirinya telah mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi.
Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan
yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus
dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa.
Dengan sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia
gentayangan mengincar kematian Para Pandawa.
Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa
watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari pusat Kahyangan,
Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara.
Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari
Sengkuni atau Sakuni. Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang
diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang
tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku
KITAB WAYANG PURWA
mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-
nyambar.
Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk
menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi
suasana yang mungkin saja terjadi.
“Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan lemah,
dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi sebenarnyalah ia adalah seorang
yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui,
bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang tuamu
Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah
berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah.
Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak Tala dengan bergulingan di atas tumpahan minyak.
Tetapi ada yang terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran
awal untuk menyobek kulit dagingnya!”
Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu.
Didekati Sangkuni yang terbungkuk-bungkuk sesumbar maciya-ciya tanpa memperhatikan
sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa
mengalahkannya. Lengah Arya Suman! Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang
menjadi sasaran amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk ke dalam
kobaran api. Tumpas Kurawa yang menghadang.
“Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman . . . . !”
Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah menyambar tubuh lawannya yang
memang tidak lagi gesit setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika
Prabu Pandu Dewanata bertahta.
Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya sehingga ia
terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah mendarat di sela-sela bokong
Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu
lagi. Belah raga Sengkuni dengan jerit mengiring kematiannya.
“Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah ibumu, Kunti, ketika
ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu melorot dan menjadi tontonan dan sorakan
orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan
kulit dari Patih Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!”
Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja
oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati
KITAB WAYANG PURWA
telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi Satyawati
seakan berenang dalam genangan darah. Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah
yang terkapar, mencari-cari jangan jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara
mendung makin tebal terkadang seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok
demi sosok yang ia perkirakan adalah raga Prabu Salya.
Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi Setyawati tak lagi
ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah suaminya. Menjerit Dewi Setyawati
memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang belum lagi kering darah di dadanya.
“Kanda Prabu, paduka telah meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur
perang ini. Walau paduka telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur
paduka, seakan akan melambai mengajak hamba turut serta”.
Sejenak Setyawati menciumi jenazah suaminya yang sudah semakin dingin.
Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian suami tercintanya,
“Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang Paduka ucapkan semalam,
tak kan kuasa hamba tolak”.
Segera diraih cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati,
tewas Sang Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan
senyum menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.
Endang Sugandini yang sama-sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi
Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya
karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik.
Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi
Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati.
Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang
menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah
mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.
KITAB WAYANG PURWA
dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi
keputusan semula masih saja ia pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu
kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu
Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya
mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu”.
Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada di
luar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah
berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu
mengerikan. Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang
disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di
Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya
sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu.
Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah
kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah
sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi. “Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila
seseorang membangunkan orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat
ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa
dengan aji Pameling”.
Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang
selalu dijaga putranya Raden Setyaka. Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji
Pameling ke arah telinga hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah
mampu mengubah jalannya waktu.
Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun
dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi, di hadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.
“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan perang sudah
selesai?”
“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu
Duyudana”. Jawab Kresna.
“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja
Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa kehancuran. Kamu
harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa.
Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.
“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi” Jawab
Werkudara.
“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah
merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”.
Ajak Kresna Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan
ketajaman insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya
merumput.
“Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah Kyai Pamuk. Tetapi
lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu Duryudana, serta bermacam senjata.
Hamba pikir di telaga itulah Prabu Duryudana bersembunyi di bawah rimbunnya tanaman teratai
merah yang mengambang”.
“Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana. Betapa kangennya
rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan akan aku tebus tapaku untuk
kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan Kurawa”. Baladewa menimpali.
KITAB WAYANG PURWA
Dengan keluh terahan, disusul kata kata kotor, ambruk Prabu Duryudana! Tetapi
begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada Werkudara masih saja
menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana tak berujud lagi. Prabu Baladewa
murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak berdaya terkena hajaran gada
Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan Duryudana tiada tara namun kekuatan gada
Werkudara yang bagai bobot gunung Mahameru pasti akan menghancurkan sosok
Duryudana.
“Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang-mentang kamu menang,
sehingga kamu berlaku sia-sia terhadap pihak yang kalah. Duryudana sudah tidak berdaya kamu
perlakukan seperi layaknya binatang buruan! Ayoh tandingi Baladewa!”
Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang mengkhawatirkan
terjadi, telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, “Sabar kanda, sabar. Hamba sudah bilang
sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk membelokkan takdir. Baratayuda dalah peristiwa
luwarnya kaul atau janji, itu hal yang pertama. Kedua adalah arena tagih menagih antara yang
menghutangi dan yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun budi pekerti. Dan ketiga adalah,
syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya angkara itu kanda, tidaklah bisa sirna bila tidak
bersamaan dengan yang menyandangnya”.
Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera
menyambung, “Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah mengerti bahwa
Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan hutang seribu malu yang disandang
manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka kanda, ikhlaskan kematian Prabu Duryudana. Marilah
kita bersama melangkah kedepan dalam satu tindakan bersama sama para saudara kita Pandawa,
yang telah terbukti menjadi sarana hilangnya angkara”.
Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali langit
membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan berakhir.
Demikianlah, setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah kembali
menghadap Baginda Matswapati di Hupalawiya. Golongan Kurawa, Kartamarma dan
Aswatama masih berkeliaran. Namun Perang Dunia ke empat ini praktis telah berakhir . . .
.
Surak surak manengker gumuruh
Swaraning wadya surak gambira
Unggul Baratayuda para Pandawa
Labuh Negara Astina balane
Kurawa gugur tengahing palagan Pandawa . . .
Pandawa unggul ing prang Baratayuda.