Anda di halaman 1dari 1392

KITAB WAYANG PURWA

KITAB
WAYANG PURWA
KITAB WAYANG PURWA

DAFTAR ISI
KISAH PARA DEWA
 Anwas-Anwar Lahir
 Sanghyang Nurcahya
 Wisuda Sanghyang Wenang
 Pulau Dewa Lebur
 Batara Guru Lahir
 Batara Guru Krama
 Lima Dewa Lahir
 Jaka Sengkala
 Dara Wisa
 Batara Kala Lahir
 Cupu Linggamanik
 Batara Gana Lahir
 Penumbalan Tanah Jawa
 Mahadewa Buda
 Andini - Andana
 Prabu Hiranyakasipu
 Pertiwi Cahya
 Suralaya Binangun
 Murwakala
 Resi Siwandakara
 Maharaja Birawa
 Budawaka - Budakresna
 Geger Sejatining Sri
 Rembuculung Tigas

KISAH ZAMAN PURWACARITA


 Prabu Pakukuhan
 Sengkan - Turunan
 Sri Kanwa Pralaya
 Prabu Palindriya
 Sintawaka Bersih Desa
 Watugunung Wisuda
 Palindriya Seda
 Watugunung Krama
 Prahara Gilingwesi
 Watugunung Gugur
 Arnapurna Tundung
 Nagatatmala - Mumpuni
 Bremana - Bremani
 Telaga Amitaya
 Haruna - Haruni
 Paksi Rukmawati
 Payasa Jamur Dipa
 Sri - Sadana Murca
 Sri - Sadana Makahyangan
 Prabu Cingkaradewa
 Prabu Brahmasatapa
 Gajah Oya Ruwat
 Parikenan Krida
KITAB WAYANG PURWA

 Parikenan Krama
 Satapi Murca
 Kaniyasa Lahir
 Brahmana Wisaka
 Begawan Kalacakra
 Gilingwesi Bedah
 Wirata Anyar Binangun

KISAH LELUHUR PANDAWA


 Sakri Lahir
 Hastimurti Gugur
 Batari Ganggastini
 Bambang Manungkara
 Basutara Krama
 Basukesti Seda
 Sakri Sraya
 Hiranyaka Gugur
 Danadewa Kawisuda
 Sakri Krama
 Parasara Lahir
 Babad Mandraka
 Sakri Gugur
 Manumanasa - Satrukem Muksa
 Lagna - Lagni
 Basuketi Krama
 Basukiswara Seda
 Perang Wirata - Hastina
 Durgandini - Durgandana Lahir
 Dewabrata Lahir
 Parasara Lelana
 Abyasa Lahir
 Dewabrata Prasetya
 Setatama Gugur, Seta Lahir
 Babad Pancala
 Matsyapati Wisuda
 Dewi Amba
 Babad Negara Mandura
 Santanu Gugur
 Pandu Lahir
 Abyasa Grogol
 Alap-Alapan Ambalini
 Gendari - Suman Lahir
 Pandu Sraya
 Pandu Nyirep Pageblug
 Gandamana Lahir
 Sayembara Kunti
 Pandu Grogol

KISAH PANDAWA - KURAWA


 Puntadewa Lahir
 Drupada Kawisuda
 Kurawa Lahir
 Basudewa Krama
KITAB WAYANG PURWA

 Basudewa Grogol
 Rukma - Ugrasena Krama
 Bima Bungkus
 Kangsa Takon Bapa
 Gandamana Luweng
 Perang Pamuksa
 Pandu Banjut
 Danghyang Kumbayana
 Pendadaran Siswa Sokalima
 Drupada Rangket
 Bale Sigala-Gala
 Bima Bothok
 Kangsa Adu Jago
 Sayembara Drupadi
 Bangun Kali Sarayu
 Babad Wanamarta
 Puntadewa Jumeneng Nata
 Wasi Jaladara
 Baladewa Rabi
 Setyaki Lahir
 Narayana Begal
 Suryaputra Maling
 Narayana Kembang
 Narayana Kridha
 Wahyu Purbasejati
 Gatutkaca Lahir
 Duryudana Rabi
 Jayadrata Rabi
 Dewa Ruci
 Bima Racun
 Parta Krama
 Dewi Kuntulsinanten
 Lesmana Mandrakumara Lahir
 Udawa Sayembara
 Srikandi Meguru Manah
 Bangun Taman Maherakaca
 Cakranegara - Madubrangta
 Samba Lahir
 Bambang Dewakasimpar
 Gareng Dadi Ratu
 Abimanyu Lahir
 Palguna - Palgunadi
 Sayembara Tasikmadu
 Sumbadra Larung
 Irawan Lahir
 Abimanyu Kerem
 Arjuna Tumbal
 Jaka Pengalasan
 Udawa Waris
 Wahyu Makutarama
 Nakula - Sadewa Rabi
 Setyaki Kembar
 Bambang Kandihawa
KITAB WAYANG PURWA

KISAH PANDAWA DAN PARA PUTRA


 Sitija Takon Bapa
 Abimanyu Rabi
 Gatutkaca Rabi
 Wahyu Cakraningrat
 Gatutkaca Rante
 Irawan Maling
 Prabu Gambiranom
 Irawan Rabi
 Antasena Takon Bapa
 Wisanggeni Lahir
 Gandawardaya
 Bambang Danasalira
 Bratalaras Rabi
 Sumitra Rabi
 Endrasekti - Sugatawati
 Samba Rabi
 Bambang Pramusinta
 Partajumena Rabi
 Wisata Rabi
 Petruk Nagih Janji
 Wahyu Topeng Waja
 Antareja Mbalela
 Gatutkaca Jumeneng Ratu
 Kikis Tunggarana
 Purwaganti Takon Bapa
 Prabu Tuguwasesa
 Dewa Amral
 Bimasuci
 Gatutkaca Nagih Janji
 Talirasa - Rasatali
 Boma Rabi
 Wisanggeni Rabi
 Perang Gojalisuta

KISAH PANDAWA BUANG


 Sesaji Rajasuya
 Pandawa Dadu
 Kirmira Gugur
KITAB WAYANG PURWA

Kisah
Para
Dewa
KITAB WAYANG PURWA

ANWAS - ANWAR LAHIR


Kisah ini menceritakan tentang peristiwa pembunuhan pertama di dunia, perkawinan Sis, dan
kelahiran anak-anak Sis yang bernama Anwas dan Anwar. Kelak, tokoh bernama Anwar ini
akan menjadi dewa pertama yang bergelar Sanghyang Nurcahya.
Sumber yang dipakai dalam penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kisah-kisah tradisi dari Timur Tengah.

SITI HAWA MENGIDAM BUAH-BUAHAN SURGA


Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam bersama para putra sedang membicarakan sang istri,
yaitu Siti Hawa, yang kali ini sedang mengandung untuk ketiga belas kalinya. Yang membuat heran
adalah Siti Hawa mengidam ingin memakan buah-buahan dari Taman Surga.
Dalam pembicaraan itu Sayidina Kabil sang putra sulung juga menyampaikan keluhan yang
selama ini dipendam dalam hati, yaitu tentang peraturan Nabi Adam dalam menikahkan putra-
putrinya. Sayidina Kabil lahir bersama Siti Aklimah, sedangkan Sayidina Habil lahir bersama Siti
Damimah. Namun, Sayidina Kabil yang berwajah tampan ternyata dinikahkan dengan Siti Damimah
yang berwajah jelek, sedangkan Sayidina Habil yang berwajah jelek ternyata dinikahkan dengan Siti
Aklimah yang berwajah cantik. Selama ini Sayidina Kabil selalu memendam kekecewaaan dalam
hati, namun sekarang ia tidak tahan lagi dan menyampaikan rasa kesalnya itu kepada sang ayah.
Nabi Adam menjelaskan bahwa peraturan tersebut ditetapkan dengan pertimbangan bahwa
Sayidina Kabil dan Siti Aklimah lahir bersama, maka mereka berasal dari satu benih yang sama,
sehingga tidak baik jika dinikahkan. Sayidina Kabil kecewa dengan jawaban sang ayah. Ia lalu pamit
undur diri meninggalkan pertemuan.
Nabi Adam kembali membicarakan kehamilan Siti Hawa. Dulu mereka berdua telah melanggar
larangan Tuhan Yang Mahakuasa, sehingga harus dikeluarkan dari Taman Surga. Kini Siti Hawa
sedang mengandung dan merindukan kelezatan buah-buahan dari tempat yang serba indah itu.
Putra keenam bernama Sayidina Sis mengajukan diri untuk mewujudkan idaman sang ibu. Nabi
Adam sangat yakin pada kemampuan Sayidina Sis dan memberikan restu kepadanya untuk
berangkat.

SITI HAWA MENCERITAKAN KELAHIRAN SAYIDINA SIS


Nabi Adam masuk ke dalam puri dan disambut Siti Hawa. Kepada sang istri, ia menceritakan
jalannya pertemuan, di mana Sayidina Sis bersedia mengusahakan terwujudnya buah-buahan dari
Taman Surga. Ia juga menceritakan kekecewaan Sayidina Kabil karena beristrikan Siti Damimah
yang buruk rupa.
Siti Hawa mengungkit cerita masa lalu di mana antara dirinya dan sang suami pernah
berselisih paham mengenai tata cara perkawinan putra-putri mereka. Nabi Adam berpendapat, putra
pertama hendaknya dinikahkan dengan putri kedua, sedangkan putra kedua dinikahkan dengan
KITAB WAYANG PURWA

putri pertama. Putra ketiga dinikahkan dengan putri keempat, sedangkan putra keempat dinikahkan
dengan putri ketiga. Begitulah seterusnya. Di lain pihak, Siti Hawa berpendapat putra pertama
hendaknya dinikahkan dengan putri pertama, putra kedua dinikahkan dengan putri kedua, dan
seterusnya, dengan alasan mereka sudah berjodoh sejak dalam kandungan.
Perbedaan pendapat itu membuat keduanya berselisih tanpa ada yang mau mengalah,
sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Masing-masing lalu mengeluarkan benih dari dalam tubuh untuk ditempatkan di dalam pusaka
Cupumanik Astagina. Benih Nabi Adam ditempatkan pada tutup cupumanik, sedangkan benih Siti
Hawa ditempatkan di badan cupumanik. Setelah beberapa hari, atas kehendak Tuhan, benih milik
Nabi Adam berubah menjadi calon janin, sedangkan benih Siti Hawa tidak berubah. Karena itulah,
Siti Hawa mengaku pasrah dan menyerahkan keputusan tentang tata cara pernikahan putra-putri
supaya dijalankan sesuai pendapat Nabi Adam.
Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa pergi, Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan Yang
Mahakuasa untuk menyatukan calon janin tersebut dengan benih Siti Hawa sehingga menjadi bayi
hidup, yang kemudian diberi nama Sayidina Sis. Dengan demikian, anak pertama sampai kelima
selalu lahir sepasang laki-laki perempuan, sedangkan putra keenam ini hanya seorang laki-laki, yaitu
Sayidina Sis tersebut. Tidak lama kemudian muncul angin topan yang menerbangkan Cupumanik
Astagina entah ke mana.
Siti Hawa mengakhiri ceritanya. Nabi Adam berusaha menenangkan perasaan istrinya, dan
menganggap keluhan Sayidina Kabil tadi adalah ujian rumah tangga belaka. Maka ia pun mengajak
Siti Hawa untuk lebih menguatkan iman dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang
Mahakuasa, semoga apa pun yang akan terjadi bisa mendatangkan kebaikan bagi umat manusia.

KEBERANGKATAN SAYIDINA SIS MENCARI BUAH-BUAHAN SURGA


Sayidina Habil memerintahkan empat orang adiknya, yaitu Sayidina Israil, Sayidina Israwan,
Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis untuk mengantarkan keberangkatan Sayidina Sis dalam
mewujudkan idaman sang ibu. Di tengah perjalanan, Sayidina Sis dan keempat saudaranya itu
diganggu oleh kaum setan pengikut Malaikat Ajajil yang dulu diusir dari Taman Surga karena
menolak perintah Tuhan. Terjadilah pertempuran di mana para setan tersebut dapat diusir pergi.
Sesampainya di tepi hutan, Sayidina Sis berpisah dengan keempat saudaranya untuk
melanjutkan perjalanan seorang diri. Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan
Sayidina Yasis lalu kembali ke Kusniya Malebari dan mendoakan perjalanan Sayidina Sis supaya
berhasil dan selalu mendapatkan perlindungan.

SAYIDINA SIS MENDAPATKAN ANUGERAH


Seorang diri Sayidina Sis memasuki hutan belantara untuk kemudian bertafakur meminta izin
Tuhan Yang Mahakuasa supaya bisa mendapatkan buah-buahan Taman Surga. Setelah empat
puluh hari bertafakur mengheningkan cipta, Malaikat Jibril pun datang menyampaikan perintah
Tuhan, bahwa Sayidina Sis diizinkan naik ke Taman Surga untuk memetik buah-buahan yang
menjadi idaman ibunya. Sayidina Sis sangat gembira, dan ia pun berangkat dengan pertolongan
Malaikat Jibril.
Di dalam Taman Surga, Malaikat Jibril mengantarkan Sayidina Sis memetik buah-buahan
yang diinginkan Siti Hawa. Setelah dirasa cukup, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan keputusan
Tuhan yang kedua, yaitu menikahkan Sayidina Sis dengan seorang bidadari bernama Dewi Mulat.
Malaikat Jibril menyampaikan kehendak Tuhan bahwa kelak Sayidina Sis akan menurunkan
manusia-manusia utama, dan sebagian di antaranya akan menjadi nabi dan raja. Maka itu, yang
menjadi istri Sayidina Sis haruslah wanita utama pula.
Sayidina Sis sangat bersyukur. Ia kemudian membawa Dewi Mulat turun ke dunia dan
membangun rumah tangga di Kusniya Malebari. Buah-buahan dari Taman Surga pun
dipersembahkan kepada Siti Hawa yang menerimanya dengan suka cita.
Setelah tiba saatnya, Siti Hawa pun melahirkan sepasang putra-putri seperti biasa. Nabi Adam
memberi nama putra putrinya itu, masing-masing Sayidina Kayumaras dan Siti Indunmaras.
KITAB WAYANG PURWA

SAYIDINA KABIL MEMBUNUH SAYIDINA HABIL


Pada suatu hari, Sayidina Kabil datang menemui Sayidina Habil di rumahnya untuk meminta
supaya Siti Aklimah diceraikan dan diserahkan kepadanya. Sayidina Habil sebenarnya sangat
menyayangi kakak sulungnya, namun ia juga tidak berani melanggar keputusan sang ayah. Merasa
tersinggung, Sayidina Kabil menantang Sayidina Habil untuk mengadakan kurban. Barangsiapa
yang diterima sesajinya maka dialah yang berhak memperistri Siti Aklimah. Sayidina Habil bersedia
menuruti tantangan itu dengan harapan sang kakak bisa mendapatkan petunjuk Tuhan supaya
sadar.
Maka, kedua bersaudara itu lantas mempersiapkan sesaji masing-masing. Karena Sayidina
Kabil seorang petani, maka kurban yang ia sajikan pun berwujud hasil bumi, seperti buah-buahan
dan palawija. Namun karena ia bersifat kikir, maka yang dipilih adalah buah-buahan dan palawija
yang buruk, sedangkan yang baik disisihkan untuk dipakai sendiri. Sementara itu Sayidina Habil
seorang peternak, maka ia pun mengurbankan hewan-hewan peliharaannya. Karena ia bersifat
murah hati dan penuh iman, maka yang dipilihnya sebagai sesaji adalah hewan-hewan yang terbaik
pula.
Tuhan Yang Mahakuasa kemudian mengirim api dari langit untuk membakar sesaji yang
dipersembahkan Sayidina Habil, sebagai pertanda bahwa kurbannya telah diterima. Sayidina Kabil
sangat kesal dan bertambah iri. Karena kedengkian dan kecemburuannya sudah memuncak, ia pun
mengambil sebongkah batu dan memukul kepala Sayidina Habil hingga pecah.
Melihat adiknya mati, Sayidina Kabil menjadi kebingungan bercampur sedih. Ia tidak tahu
harus bagaimana lagi. Tiba-tiba terlihat olehnya dua ekor burung gagak sedang berkelahi. Gagak
yang menang kemudian mengubur bangkai gagak yang mati di dalam tanah. Merasa mendapatkan
petunjuk, Sayidina Kabil pun menguburkan mayat Sayidina Habil seperti gagak itu.
Sayidina Kabil kemudian menemui Siti Aklimah untuk menikahinya. Siti Aklimah menolak
karena takut melanggar perintah sang ayah. Sayidina Kabil tidak peduli, dan ia pun memukul Siti
Aklimah sampai pingsan, kemudian membawanya lari meninggalkan Negeri Kusniya Malebari
sejauh-jauhnya.

MALAIKAT AJAJIL MEMPEROLEH ANAK PEREMPUAN


Malaikat Ajajil dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan Yang Mahakuasa
untuk bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam. Kini ia mendengar kehendak Tuhan
bahwa keturunan Sayidina Sis akan menjadi manusia-manusia utama. Maka, ia pun bertafakur
memohon kepada Tuhan supaya diizinkan memiliki seorang putri. Ia berharap melalui putrinya itu
bisa lahir keturunan Sayidina Sis yang bisa menjadi raja dan penguasa umat manusia.
Tuhan Yang Mahaadil pun mengabulkan permohonan Malaikat Ajajil. Atas kehendak-Nya, dari
sebagian tubuh Malaikat Ajajil tercipta seorang perempuan yang berwajah sama persis dengan Dewi
Mulat, yang kemudian diberi nama Dewi Dlajah. Malaikat Ajajil lalu membawa putrinya itu ke Negeri
Kusniya Malebari supaya bisa mengandung benih Sayidina Sis.
Malaikat Ajajil memasuki rumah Sayidina Sis secara diam-diam dan menculik Dewi Mulat
untuk ditukar dengan Dewi Dlajah. Beberapa hari kemudian, setelah mengetahui Dewi Dlajah telah
disetubuhi Sayidina Sis yang tidak bisa membedakan istrinya, Malaikat Ajajil pun mengembalikan
Dewi Mulat dan membawa pulang Dewi Dlajah.

LAHIRNYA SAYIDINA ANWAR DAN SAYIDINA ANWAR


Sembilan bulan kemudian, Dewi Dlajah melahirkan bersamaan dengan terbenamnya
matahari. Namun anehnya, anak yang lahir itu berwujud segumpal darah yang berkilauan. Malaikat
Ajajil mengambil darah tersebut lalu membawanya pergi ke Negeri Kusniya Malebari.
Sementara itu pada hari yang sama, Dewi Mulat lebih dulu melahirkan bersamaan dengan
terbitnya matahari. Yang dilahirkannya adalah dua orang anak. Anak yang satu berwujud bayi
normal, sedangkan yang satunya berwujud seberkas cahaya.
KITAB WAYANG PURWA

Malaikat Ajajil datang secara gaib lalu menangkap seberkas cahaya tersebut dan
disatukannya dengan darah berkilauan yang ia bawa dari Dewi Dlajah. Atas kehendak Tuhan,
persatuan tersebut menciptakan seorang bayi laki-laki, namun tubuhnya tidak bisa diraba dan selalu
memancarkan cahaya seperti sinar rembulan.
Nabi Adam datang dan memberi nama kedua cucunya tersebut. Yang berwujud bayi normal
diberi nama Sayidina Anwas, sedangkan yang berwujud bayi bercahaya diberi nama Sayidina
Anwar. Nabi Adam meramalkan bahwa Sayidina Anwas kelak akan menurunkan para nabi,
sedangkan Sayidina Anwar kelak tidak mau mengikuti agamanya dan memilih jalan hidup sendiri,
namun keturunannya juga banyak yang menjadi raja dan tokoh besar di dunia. Hal ini membuat
Sayidina Sis bimbang dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir Tuhan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SANGHYANG NURCAHYA
Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sayidina Anwar sampai akhirnya menjadi dewa
pertama bergelar Sanghyang Nurcahya.
Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga, yang dipadukan dengan Serat
Arjunasasrabahu dan Serat Kandha, dengan sedikit pengembangan.

NABI ADAM MENINGGAL DUNIA


Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam telah berusia 990 tahun dan kini dalam keadaan
sakaratulmaut menjelang wafat. Di sekitarnya telah berkumpul semua anggota keluarga, mulai dari
istri, para putra-putri, serta cucu dan cicit. Namun ada seorang yang belum datang, yaitu Sayidina
Anwar putra Sayidina Sis. Nabi Adam mengetahui kalau Sayidina Anwar saat ini sedang berkelana
di Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada Malaikat Ajajil.
Tidak lama kemudian Sayidina Anwar datang dan menyampaikan rasa prihatin atas keadaan
sang kakek. Sayidina Sis bertanya apakah benar putranya itu telah berguru kepada Malaikat Ajajil
di Hutan Ambalah. Jika memang benar, ia melarang keras Sayidina Anwar berhubungan lagi dengan
Malaikat Ajajil karena dulu telah dikeluarkan dari Taman Surga oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas
kesombongannya yang menolak memberikan penghormatan kepada Nabi Adam.
Sayidina Anwar mengakui dirinya memang telah berkelana sampai ke Hutan Ambalah di
Tanah Keling, dan berguru kepada seorang pertapa tua. Pertapa tua itu telah mengajarinya berbagai
macam ilmu kesaktian, antara lain kemampuan terbang, menghilang, amblas bumi, menyelam di
air, serta berubah wujud. Mengenai Malaikat Ajajil, ia mengaku tidak kenal dan tidak tahu-menahu.
Nabi Adam menjelaskan bahwa pertapa tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang
menyamar. Ia berwasiat agar Sayidina Anwar tidak lagi berhubungan dengannya dan supaya
kembali ke agama yang benar.
Tidak lama kemudian muncul dua malaikat yang diutus Tuhan untuk datang ke Kusniya
Malebari. Mereka adalah Malaikat Izrail yang bertugas menjemput roh Nabi Adam, dan Malaikat
Jibril yang bertugas menyampaikan keputusan Tuhan untuk menunjuk Sayidina Sis, putra keenam,
sebagai nabi menggantikan sang ayah, dan mengangkat Sayidina Kayumaras, putra ketiga belas,
sebagai raja Kusniya Malebari yang baru, dengan bergelar Sultan Kayumutu.
Demikianlah, Nabi Adam pun meninggal dunia. Para anggota keluarga serentak memanjatkan
doa mengantarkan kepergian rohnya.

SAYIDINA ANWAR MENINGGALKAN KUSNIYA MALEBARI


Empat puluh hari setelah meninggalnya Nabi Adam, terjadi percakapan antara dua orang putra
Nabi Sis, yaitu Sayidina Anwas dan Sayidina Anwar mengenai rahasia kehidupan. Menurut Sayidina
Anwas, agama Nabi Adam adalah agama yang paling benar dan harus diikuti tanpa penolakan.
KITAB WAYANG PURWA

Semua kitab peninggalan sang kakek bisa dijadikan petunjuk untuk menjalani kehidupan yang
benar, karena isi kitab tersebut berasal dari apa yang diajarkan Tuhan Yang Mahakuasa kepada
Nabi Adam. Maka, mencari agama lain adalah suatu perbuatan sia-sia belaka.
Sayidina Anwar tidak setuju. Menurutnya, ilmu Tuhan itu sangat luas tak terbatas dan tidak
bisa ditampung hanya dalam kitab-kitab saja. Untuk mempelajari rahasia kehidupan, maka harus
mempelajari pula bagaimana alam bekerja. Alam memiliki hukum sebab-akibat yang berjalan sesuai
ketentuan Tuhan. Apalagi melihat Nabi Adam ternyata meninggal dunia dalam usia 990 tahun
membuat Sayidina Anwar merasa sangat kecewa. Ia berpendapat, jika memang agama yang
diajarkan Nabi Adam itu benar, harusnya dapat menghindarkannya dari kematian seperti kaum
malaikat yang hidup abadi.
Sayidina Anwas tidak setuju, karena makhluk bernama manusia dan malaikat jelas berbeda
secara penciptaan. Manusia berasal dari saripati tanah dan harus kembali menjadi tanah. Namun
Sayidina Anwar tetap bersikeras bahwa manusia bisa mencapai kehidupan abadi seperti malaikat
jika mau berusaha. Setelah membulatkan tekad, ia pun memutuskan untuk pergi berkelana lagi demi
mendapatkan kehidupan abadi tersebut.
Sayidina Anwas berusaha menghalangi niat adiknya itu. Terpaksa ia menggunakan kekerasan
supaya sang adik menghentikan langkah. Kedua bersaudara itu lalu terlibat pertarungan seru.
Karena Sayidina Anwar jauh lebih sakti, maka ia pun dapat meloloskan diri.
Sayidina Anwas sangat sedih bercampur malu. Ia bersumpah meskipun ilmu kesaktian
adiknya lebih tinggi, namun kelak akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan
Sayidina Anwar.

SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN TIRTAMARTA KAMANDANU


Setelah sampai di perbatasan Kusniya Malebari, Sayidina Anwar bertemu Malaikat Ajajil yang
memperkenalkan diri sebagai kakeknya dari pihak ibu. Malaikat Ajajil juga menceritakan bahwa
dirinya dulu menyamar sebagai pertapa tua yang telah mengajarkan segala macam ilmu kesaktian
sewaktu Sayidina Anwar bertapa di Hutan Ambalah di Tanah Keling.
Sayidina Anwar bertanya alasan apa yang membuat Nabi Adam berwasiat agar dirinya tidak
lagi berhubungan dengan Malaikat Ajajil. Malaikat Ajajil pun menceritakan latar belakang
permasalahan ini. Dulu di Taman Surga, ia adalah pemuka kaum malaikat, bahkan disebut-sebut
sebagai makhluk yang paling tekun beribadah kepada Tuhan. Sampai akhirnya Tuhan berkehendak
memilih manusia bernama Adam sebagai khalifah di muka bumi. Para malaikat menyampaikan
keluhan kepada Tuhan bahwa manusia hanyalah makhluk yang suka berbuat kerusakan. Tuhan lalu
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam sehingga para malaikat pun mengaku
kalah. Maka ketika Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk menyatakan tunduk dan
memberikan penghormatan kepada Nabi Adam, mereka pun serentak mematuhi, kecuali Malaikat
Ajajil sang pemuka. Malaikat Ajajil tetap pada pendiriannya, bahwa manusia adalah makhluk yang
mudah berubah-ubah hatinya, sehingga tidak layak mendapatkan penghormatan. Karena menolak
perintah Tuhan itulah, Malaikat Ajajil pun dikeluarkan dari Taman Surga.
Sayidina Anwar mendengarkan cerita itu dengan seksama, dan merasa pendapat Malaikat
Ajajil ada benarnya, namun menentang perintah Tuhan jelas adalah perbuatan yang keliru. Ia tidak
mau terlibat dalam permusuhan antara Nabi Adam dan Malaikat Ajajil karena keduanya adalah
sama-sama kakek baginya. Ia hanya ingin bisa hidup abadi seperti kaum malaikat. Malaikat Ajajil
berjanji akan membimbing cucunya itu dalam mewujudkan cita-citanya. Sayidina Anwar sangat
gembira dan bersedia mematuhi segala nasihatnya. Mereka berdua lalu berangkat menuju ke Kutub
Utara untuk mencari sumber keabadian tersebut, yang konon akan memancar dari mustika awan
mendung di sana.
Malaikat Ajajil dan Sayidina Anwar akhirnya sampai di Tanah Lulmat yang terletak di balik
Kutub Utara. Di sana Sayidina Anwar kemudian bertapa memohon kemurahan Tuhan. Setelah
sekian lama bertapa melawan hawa dingin, datanglah sekumpulan awan mendung yang berasal
dari Lautan Rahmat. Dari awan mendung tersebut memancar keluar air keabadian yang disebut
Tirtamarta Kamandanu.
KITAB WAYANG PURWA

Atas nasihat Malaikat Ajajil, Sayidina Anwar segera mandi dan meminum air keabadian
tersebut. Setelah itu ia pun berniat menampung air yang masih terus memancar agar kelak bisa
diminum anak cucunya. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya dan juga tidak memiliki wadah
yang tepat. Memahami hal itu, Malaikat Ajajil pun menyerahkan Cupumanik Astagina milik Nabi
Adam dan Siti Hawa. Dulu cupumanik tersebut menjadi wadah benih yang mereka keluarkan saat
peristiwa lahirnya Nabi Sis. Cupumanik itu kemudian terhempas oleh angin topan dan ditemukan
Malaikat Ajajil di dalam lautan.
Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya
kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung tersebut
sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah Lulmat.

SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN LATA MAHOSADI


Sesampainya di luar Kutub Utara, Malaikat Ajajil pamit pergi meninggalkan Sayidina Anwar
yang kemudian melanjutkan perjalanan pulang sendiri. Di tengah jalan, Sayidina Anwar menemukan
Pohon Rewan, yaitu sejenis pohon ajaib yang tidak memiliki daun sama sekali, tapi bisa hidup sehat.
Suara hatinya berkata bahwa akar pohon gundul tersebut bernama Oyod Mimang, merupakan
pusaka yang sangat ampuh.
Sayidina Anwar lalu mengambil Oyod Mimang itu dan menjadikannya sebagai pusaka yang
diberi nama Lata Mahosadi. Keampuhan akar pohon ini adalah dapat digunakan untuk
menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan bisa menghidupkan orang mati.
Akan tetapi, karena menyimpan Lata Mahosadi tanpa persiapan, tiba-tiba pikiran Sayidina
Anwar menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana arah jalan pulang menuju Kusniya Malebari. Maka,
ia pun berjalan secara serabutan dan akhirnya terlunta-lunta selama ribuan tahun.

SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA DUA MALAIKAT


Sesampainya di Laut Hitam, Sayidina Anwar menyaksikan pemandangan aneh. Ia melihat dua
orang manusia tergantung-gantung di angkasa, di atas laut. Sayidina Anwar bertanya, dan kedua
orang itu mengaku bernama Malaikat Harut dan Malaikat Marut.
Kedua malaikat tersebut dulu pernah menyampaikan keluhan kepada Tuhan, bahwa
keputusan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi adalah keliru. Banyak sekali
keturunan Nabi Adam yang berbuat kerusakan dan menuruti hawa nafsu. Jika yang menjadi khalifah
adalah bangsa malaikat, tentu bumi akan lebih makmur.
Kedua malaikat juga berkata, jika mereka memiliki hawa nafsu seperti manusia, pasti mereka
tetap bisa mengendalikannya dan tidak mungkin terjerumus ke dalam kejahatan. Tuhan Yang
Mahakuasa lalu memberikan ujian dengan cara mengisi mereka berdua dengan hawa nafsu dan
menurunkannya ke bumi. Ternyata pada akhirnya mereka gagal juga menjalani ujian tersebut
karena terlena oleh pujian sehingga mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia dengan sesuka
hati. Kini, Malaikat Harut dan Malaikat Marut harus menjalani hukuman dengan tergantung-gantung
di atas Laut Hitam.
Sayidina Anwar sangat tertarik dan ingin menjadi murid mereka. Kedua malaikat lalu
mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu
kebijaksanaan, serta ilmu berbicara dengan berbagai jenis makhluk hidup.
Sayidina Anwar sangat bersyukur. Ia merasa tidak perlu lagi kembali ke Negeri Kusniya
Malebari karena semua anggota keluarga yang dikenalnya pasti sudah meninggal dunia. Maka, ia
lantas menanyakan di mana letak Surga dan Neraka karena ingin melihat bagaimana keadaan di
dalam sana. Kedua malaikat berbohong dengan mengatakan bahwa Surga dan Neraka terletak di
hulu Sungai Nil.

SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA SAYIDINA LATA DAN SITI UJWA


Sayidina Anwar yang polos segera mengikuti petunjuk kedua malaikat gurunya. Ia pun
mendatangi Sungai Nil dan berjalan menyusuri sungai terpanjang di dunia tersebut. Dalam
KITAB WAYANG PURWA

perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa, putra-
putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas.
Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka
berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara yang
lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti agama Nabi
Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya menemukan cara agar bisa
tetap awet muda.
Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh
ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup, Sayidina
Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil.

SAYIDINA ANWAR MELIHAT ISI SURGA DAN NERAKA


Sayidina Anwar telah sampai di hulu Sungai Nil yang berupa rawa-rawa sangat luas bernama
Rawa Jambirijahiri. Ia sangat kecewa dan merasa telah ditipu oleh Malaikat Harut dan Malaikat
Marut karena di tempat itu ternyata sama sekali tidak terdapat Surga dan Neraka. Yang ada di sana
hanyalah pemandangan Gunung Kapsi yang berkali-kali menyemburkan api mengerikan.
Sayidina Anwar melihat air yang mengisi rawa-rawa tersebut ternyata bersumber dari mata air
di Gunung Kapsi. Maka ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Di puncak gunung,
ia bertemu seorang kakek tua yang mengaku sebagai penguasa Surga dan Neraka.
Kakek tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia mengatakan bahwa
Sayidina Anwar yang berhati tulus dalam mematuhi petunjuk kedua gurunya, berhak menerima
anugerah Tuhan berupa Permata Retnadumilah. Melalui permata tersebut, Sayidina Anwar dapat
menyaksikan keindahan Surga dan kengerian Neraka.
Si kakek tua lalu mengajarkan berbagai macam ilmu baru kepada Sayidina Anwar, antara lain
ilmu panitisan atau bersatu dengan makhluk lain, ilmu memasuki alam kematian, dan ilmu
memutarbalikkan waktu. Setelah selesai, kakek tua itu memerintahkan kepada Sayidina Anwar
untuk bertapa ke Pulau Lakdewa yang terletak di Samudera Hindia. Sayidina Anwar pun mohon
pamit dan berangkat.

SAYIDINA ANWAR BERTAPA DI PULAU LAKDEWA


Sayidina Anwar telah sampai di Pulau Lakdewa dan bertapa di puncak sebuah gunung. Ia
bertapa dengan cara menatap jalannya Matahari. Jika pagi hari wajahnya menghadap ke timur, jika
siang hari wajahnya menghadap ke atas, dan jika sore hari wajahnya menghadap ke barat,
kemudian jika malam hari ia berendam di air.
Setelah tujuh tahun bertapa seperti itu dengan sabar dan tekun, Sayidina Anwar pun menjadi
makhluk halus yang berbadan rohani, tinggal di alam Sunyaruri, yaitu alam para jin. Di alam itu tiada
barat, tiada timur, tiada utara, tiada selatan, tiada atas, tiada bawah. Terang tanpa siang, gelap
tanpa malam. Ruang dan waktu menjadi satu, sudah musnah semua tiada nama, dan segalanya
berada dalam rengkuhan Tuhan Yang Mahakuasa.
Sayidina Anwar kemudian mendapatkan perintah Tuhan untuk segera berkeluarga, karena
keturunan Sayidina Anwas saja saat ini sudah mencapai zaman Nabi Musa. Sayidina Anwar patuh
dan segera bertapa di dalam gua untuk mendapatkan jodoh yang tepat.

PRABU NURHADI MENCARI MENANTU


Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan
Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih Amir.
Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi didatangi
seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina Anwar sudah dekat,
dan saat ini bertapa di sebuah gua. Kakek tua itu mengabarkan bahwa perkawinan Dewi Nurrini
dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Hindustan dan Tanah Jawa.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu
mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya
itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.
Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-laki
di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah
berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih
Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.

SAYIDINA ANWAR MENIKAH DENGAN DEWI NURRINI


Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok
Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama,
membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai dengan
petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara mereka pun
dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi Sanghyang
Nurcahya.
Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang
diberi nama Sanghyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan
diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang menantu. Maka sejak saat
itu, Sanghyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa, yang namanya kemudian diganti
menjadi Kahyangan Pulau Dewa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

WISUDA SANGHYANG WENANG


Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sanghyang Nurrasa, putra Sanghyang Nurcahya yang
dilanjutkan dengan putranya yang bernama Sanghyang Wenang.
Sumber dari penyusunan cerita ini adalah Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

SANGHYANG NURRASA MENINGGALKAN PULAU DEWA


Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih
Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan takhta beserta
semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun Sanghyang
Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab berat ini.
Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah
sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagi-lagi
Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman, apalagi dirinya
belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup. Sanghyang Nurcahya
marah dan mengusir Sanghyang Nurrasa pergi meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa.
Sepeninggal Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya
mengampuni Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang Nurcahya
menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai sejauh mana
keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan Patih Amir
untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan. Sang Patih menurut dan segera
berangkat.

SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA


Sanghyang Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah
gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata bersama
pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa di wilayah Kerajaan Pulau
Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya menghentikan tapa brata tersebut.
Sanghyang Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu
kepandaian yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri, namun
Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali. Patih Amir
yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai pertempuran tersebut sebelum
jatuh korban di antara mereka.
Kepada Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari
Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan Patih Amir
sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang Nurrasa ternyata masih
anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir untuk berkunjung ke
Kerajaan Pulau Darma.
KITAB WAYANG PURWA

SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI


Raja jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih Parwata,
sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula. Prabu Rawangin menyambut
baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa suka kepadanya. Maka, Prabu
Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa sebagai menantu, yaitu dijodohkan dengan
putrinya yang bernama Dewi Rawati.
Prabu Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi mendapat
petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis. Tak disangka laki-laki
yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan masih anggota keluarga sendiri dari pihak
ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang Nurrasa meminta pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih
Amir pun menyarankan supaya menerima perjodohan tersebut. Sanghyang Nurrasa akhirnya
bersedia menjadi menantu Prabu Rawangin.
Maka, diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati.
Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk menetap di
Kahyangan Pulau Dewa.

SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWATA


Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi
Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran dirinya
sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman hidupnya dalam
sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa
bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata
Mahosadi, dan Retna Dumilah.
Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya
kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat itu,
Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa.

KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA


Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa
rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu
mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara itu
dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi nama
Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang
bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.
Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin
sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang
Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di antara
mereka adalah Sanghyang Wenang.

PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA


Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya
penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak
menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian
Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda dari
Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa.
Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan
ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para jin
tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.
Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu,
namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba. Adapun
Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan Patih Amir.
KITAB WAYANG PURWA

Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling
sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang
bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu
Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga
mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi
Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih.
Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang
Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh
Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka,
sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.

Sanghyang Wenang

SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI


Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada
Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan menjadi
persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk menjadi
menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan senang hati.
Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri
Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun Sanghyang
Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang Nurrasa.
Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang
Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan Keling
kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu mengangkat
Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya
diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang kelak lahir dari Dewi Sahoti.
Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka
peninggalan Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa
raga dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa
tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang
Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa.
Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.
KITAB WAYANG PURWA

KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL


Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang
di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi
Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning,
hitam, dan putih. Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu
sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa.
Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal,
sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PULAU DEWA LEBUR


Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Sanghyang Wenang melawan Nabi Suleman
yang berakhir dengan kehancuran Pulau Dewa, dan disambung dengan berdirinya Kahyangan
Tengguru.
Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.

NAGA ANANTAWASESA MEMINTA PERLINDUNGAN


Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan sang mertua, yaitu
Prabu Hari, beserta Patih Sangadik. Yang dibicarakan adalah rencana Prabu Hari untuk turun takhta
dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada cucunya, yaitu Sanghyang Tunggal. Namun, Sanghyang
Wenang menjelaskan bahwa saat ini putra pertamanya itu sedang pergi berkelana. Rupanya
Sanghyang Tunggal mewarisi sifat turun-temurun dari para leluhur yang suka mengembara dan
melakukan tapa brata.
Sanghyang Wenang juga menceritakan bahwa Dewi Sahoti saat ini sedang mengandung
untuk yang kedua kalinya dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan. Prabu Hari sangat senang
mendengar berita gembira ini dan tidak sabar menunggu kelahiran cucunya.
Tiba-tiba datang seorang raja jin berwujud ular besar bernama Naga Anantawasesa dari
Kerajaan Saptapratala yang mengaku ingin menjadi pengikut Sanghyang Wenang. Tadinya ia
adalah penganut agama Nabi yang diajarkan oleh Nabi Suleman di Kerajaan Bani Israil, namun
kemudian tertarik untuk berpindah menjadi penganut agama Dewa. Hal ini didengar oleh pemuka
bangsa jin yang mengabdi kepada Nabi Suleman, bernama Jin Sakar. Terjadilah perselisihan di
mana Jin Sakar memaksa Naga Anantawasesa supaya kembali memeluk agama Nabi. Naga
Anantawasesa menolak dan terjadilah pertempuran. Karena jumlah pasukan Jin Sakar lebih banyak,
ia pun terdesak dan melarikan diri menuju Kahyangan Pulau Dewa untuk meminta perlindungan.
Tidak lama kemudian, Jin Sakar datang menyusul dan meminta supaya Naga Anantawasesa
diserahkan kepadanya. Jin Sakar juga memperingatkan Sanghyang Wenang agar meninggalkan
agama Dewa dan kembali kepada agama yang benar, yaitu yang sudah turun-temurun sejak zaman
Nabi Adam. Apalagi saat ini yang menjadi pemuka agama adalah Nabi Suleman, yang juga merajai
bangsa manusia, jin, dan segala jenis binatang di wilayah Bani Israil.
Sanghyang Wenang mengatakan bahwa masalah agama adalah masalah keyakinan yang
tidak bisa dipaksakan. Prabu Hari kesal melihat ulah Jin Sakar dan menantangnya keluar.
Pertemuan pun dibubarkan.

KELAHIRAN SANGHYANG HENING DAN DEWI SUYATI


Sanghyang Wenang menemui istrinya, Dewi Sahoti yang hendak melahirkan. Tidak lama
kemudian lahirlah sepasang Akyan, laki-laki dan perempuan, yang masing-masing memancarkan
cahaya.
KITAB WAYANG PURWA

Sanghyang Wenang memandikan keduanya dengan Tirtamarta Kamandanu, sehingga


memiliki wujud bayi dan dalam waktu singkat berubah pula menjadi dewasa.
Sanghyang Wenang lalu memberi nama untuk mereka berdua. Yang laki-laki diberi nama
Sanghyang Hening, sedangkan yang perempuan diberi nama Dewi Suyati.

JIN SAKAR MENJADI PENGIKUT SANGHYANG WENANG


Prabu Hari berhadap-hadapan dengan Jin Sakar. Terjadilah pertempuran antara pasukan jin
Kahyangan Pulau Dewa melawan pasukan jin Kerajaan Bani Israil. Pada mulanya pihak Pulau Dewa
terdesak kewalahan. Namun kemudian Sanghyang Wenang turun ke medan laga dan
mengeluarkan Aji Pangabaran, membuat Jin Sakar dan para prajuritnya terkulai lemas tanpa daya
dan menyerah kalah.
Jin Sakar mohon ampun dan menyatakan diri tunduk kepada Kahyangan Pulau Dewa.
Sanghyang Wenang lalu bertanya mengapa Nabi Suleman bisa begitu berkuasa terhadap segala
jenis makhluk hidup, mulai dari manusia, jin, serta binatang. Jin Sakar menceritakan bahwa Nabi
Suleman memiliki cincin pusaka pemberian Tuhan bernama Cincin Maklukatgaib yang menjadi
daya kesaktiannya.
Sanghyang Wenang tertarik dan ingin memiliki cincin pusaka tersebut. Prabu Hari menasihati
bahwa menginginkan benda milik orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Namun Sanghyang
Wenang mengabaikan nasihat mertuanya dan tetap memerintahkan Jin Sakar untuk pergi
mencurinya.
Jin Sakar menyatakan sanggup dan segera berangkat meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa
menuju ke Negeri Bani Israil. Sementara itu, Prabu Hari menjenguk Dewi Sahoti yang baru saja
melahirkan dan menemui kedua cucu barunya dengan penuh suka cita. Setelah itu, ia dan Patih
Sangadik mohon pamit pulang ke Kerajaan Keling.

JIN SAKAR MENCURI CINCIN MAKLUKATGAIB


Jin Sakar tiba di tempat tujuan dan diam-diam menyusup ke dalam kamar tidur Nabi Suleman.
Ketika Sang Nabi sedang mandi, Cincin Maklukatgaib ditinggal di dalam kamar tidurnya. Jin Sakar
yang sudah hafal kegiatan sehari-hari Nabi Suleman pun dapat mencuri cincin tersebut dan
memakainya di jari. Ketika Nabi Suleman selesai mandi dan hendak mengambil cincin itu, Jin Sakar
lebih dulu menyerangnya sampai pingsan dan kemudian melemparkan tubuhnya ke laut.
Setelah memakai cincin pusaka tersebut, Jin Sakar menjadi lupa diri. Ia pun menyamar
sebagai Nabi Suleman dan duduk di atas takhta memimpin segenap rakyat Bani Israil. Setelah
empat puluh hari bersenang-senang, Jin Sakar akhirnya teringat pada Sanghyang Wenang. Ia lalu
meninggalkan Kerajaan Bani Israil dan kembali menuju Kahyangan Pulau Dewa.

NABI SULEMAN MENDAPATKAN KEMBALI CINCIN MAKLUKATGAIB


Rupanya perbuatan Jin Sakar mencuri Cincin Maklukatgaib dan menyamar menjadi Nabi
Suleman telah diketahui oleh para jin lainnya. Mereka pun mengejar Jin Sakar dan berhasil
menyusulnya. Terjadilah pertempuran di atas laut. Jin Sakar terdesak kewalahan dan Cincin
Maklukatgaib pun jatuh ke dalam laut. Ia kemudian melarikan diri kembali ke Kahyangan Pulau
Dewa.
Sementara itu, nasib Nabi Suleman yang telah dibuang ke laut oleh Jin Sakar ternyata dapat
diselamatkan oleh para pencari ikan dalam keadaan sakit parah. Ia pun dirawat di desa nelayan dan
setiap hari berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa supaya diberi kesembuhan.
Doa tersebut akhirnya dikabulkan. Cincin Maklukatgaib yang jatuh ke laut telah digigit oleh
seekor ikan, dan ikan itu kemudian ditangkap para nelayan. Mengetahui ada yang aneh pada mulut
ikan tersebut, para nelayan pun mempersembahkannya kepada Nabi Suleman.
Nabi Suleman sangat gembira bisa menemukan kembali Cincin Maklukatgaib dan langsung
mendapat kesembuhan. Ia pun berterima kasih kepada para nelayan dan segera kembali ke
Kerajaan Bani Israil.
KITAB WAYANG PURWA

SANGHYANG TUNGGAL BERKELUARGA


Di Kahyangan Selongkandi, Sanghyang Darmajaka telah memiliki lima orang anak, bernama
Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan
Sanghyang Pancaresi. Adapun Dewi Darmani telah dinikahkan dengan Sanghyang Tunggal, putra
sulung Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu telah lahir tiga orang putra, yaitu Sanghyang Rudra,
Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali.
Telah cukup lama Sanghyang Tunggal tinggal di Kahyangan Selongkandi. Pada suatu hari ia
bermimpi melihat Kahyangan Pulau Dewa hancur lebur karena bencana alam besar-besaran.
Seketika ia pun merasa cemas terhadap keselamatan orang tuanya. Maka, ia lantas mohon pamit
kepada Sanghyang Darmajaka untuk pulang ke Pulau Dewa. Sanghyang Darmajaka pun
memberikan izin, serta berharap Sanghyang Wenang sekeluarga selalu mendapatkan perlindungan
dari Tuhan Yang Mahakuasa.

NABI SULEMAN MENGHANCURKAN PULAU DEWA


Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan Jin Sakar yang baru
kembali dari menjalankan tugas di Kerajaan Bani Israil. Jin Sakar memohon ampun karena dirinya
telah lupa diri sehingga pada akhirnya gagal mendapatkan Cincin Maklukatgaib. Sanghyang
Wenang menerima laporan tersebut dengan perasaan pasrah kepada takdir Tuhan. Ia juga merasa
bersalah karena tidak sepantasnya menginginkan benda milik orang lain yang bukan menjadi
haknya.
Sanghyang Wenang kemudian menyambut kedatangan Sanghyang Tunggal, putra
sulungnya. Mereka lalu saling becerita tentang keadaan masing-masing. Sampai akhirnya,
Sanghyang Tunggal menceritakan mimpi buruk yang telah dialaminya. Baru saja Sanghyang
Tunggal mengakhiri cerita, tiba-tiba terjadi bencana alam besar-besaran melanda Pulau Dewa.
Ternyata Nabi Suleman telah datang secara diam-diam untuk menghukum Jin Sakar dan para
pengikutnya yang telah berkhianat. Ia memasang pusaka Kasang Tumbal, sehingga menyebabkan
Pulau Dewa diguncang gempa bumi dan banjir besar, serta Gunung Tunggal pun meletus hebat.
Para jin pengikut Pulau Dewa menjadi kocar-kacir dan berteriak-teriak mohon ampun.
Sanghyang Wenang merasa tidak mampu menghadapi tumbal yang dipasang Nabi Suleman dan
memutuskan untuk pergi mengungsi. Selain itu ia juga mengetahui cerita zaman dulu, bahwa
Sayidina Anwas pernah bersumpah akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan
Sayidina Anwar, dan inilah saatnya sumpah itu menjadi kenyataan.
Dalam keadaan gawat itu, Naga Anantawasesa mengusulkan supaya Sanghyang Wenang
sekeluarga mengungsi saja ke tempat tinggalnya di Kerajaan Saptapratala yang terletak di dalam
perut bumi. Sanghyang Wenang akhirnya menerima usulan tersebut dan segera berangkat dengan
dipandu raja jin berwujud ular besar itu.

SANGHYANG WENANG MEMBANGUN KAHYANGAN TENGGURU


Beberapa tahun kemudian Prabu Hari datang menemui Sanghyang Wenang di Kerajaan
Saptapratala dan menyampaikan berita bahwa Nabi Suleman telah meninggal dunia karena usia
tua. Sanghyang Wenang sekeluarga pun muncul kembali ke permukaan bumi, namun saat itu Pulau
Dewa sudah hancur berkeping-keping menjadi pulau-pulau kecil.
Sanghyang Wenang kemudian pindah ke Pegunungan Himalaya dan mendirikan kahyangan
baru yang tidak kalah indahnya di puncak Gunung Tengguru. Sementara itu, Prabu Hari menyatakan
turun takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal
lalu memboyong Dewi Darmani dan ketiga putra mereka untuk tinggal di sana.
Sementara itu, Naga Anantawasesa yang telah berjasa besar dengan menyediakan Kerajaan
Saptapratala sebagai tempat pengungsian Sanghyang Wenang sekeluarga juga mendapatkan
anugerah. Ia pun menjadi menantu Sanghyang Wenang, yaitu dinikahkan dengan Dewi Suyati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BATARA GURU LAHIR


Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Antaga, Batara Ismaya, dan Batara Guru yang berasal
dari sebutir telur, serta awal mula Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk
rupa, dan berganti nama menjadi Togog dan Semar, yang dilanjutkan dengan kisah
pengangkatan Batara Guru menjadi penguasa Kahyangan Tengguru.
Kisah ini saya susun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan Serat Purwacarita,
dengan sedikit pengembangan.

SANGHYANG TUNGGAL INGIN BERPUTRA LAGI


Di Kahyangan Keling, Sanghyang Tunggal dihadap para putra, yaitu Sanghyang Rudra,
Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali. Mereka membicarakan kisah perjalanan hidup
sang leluhur, yaitu Sanghyang Nurcahya dalam Kitab Pustaka Darya. Ternyata pada mulanya
Sanghyang Nurcahya adalah makhluk berbadan jasmani, dan setelah menjalani tapa brata
bertahun-tahun, akhirnya berubah wujud menjadi makhluk berbadan rohani yang tinggal di alam
halus.
Sanghyang Tunggal ingin sekali memiliki anak yang bisa berbadan jasmani juga rohani,
sehingga kelak bisa menjadi pemimpin Triloka, atau tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah, dan
alam bawah. Dengan demikian, para dewa tidak hanya memimpin bangsa jin saja, tetapi juga
mampu memimpin umat manusia seperti Nabi Suleman, tokoh yang telah mengalahkan ayahnya.
Maka, ia pun memutuskan untuk pergi bertapa demi mencapai keinginan tersebut. Untuk
selanjutnya, takhta Kahyangan Keling diserahkan kepada Sanghyang Rudra yang kemudian
bergelar Sanghyang Darmadewa.

SANGHYANG TUNGGAL PERGI BERTAPA


Sanghyang Tunggal kemudian berpamitan kepada sang istri, yaitu Dewi Darmani untuk pergi
bertapa mewujudkan cita-citanya. Dewi Darmani mengizinkan serta merelakan Sanghyang Tunggal
jika harus menikah lagi demi mendapatkan anak yang berbadan jasmani dan rohani. Sanghyang
Tunggal pun mengajak istrinya untuk berserah diri kepada Tuhan semoga mendapatkan jalan yang
terbaik.
Setelah dirasa cukup, Sanghyang Tunggal lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Keling
dan bertapa di tepi pantai dengan duduk di atas batu karang.

PRABU REKATATAMA MENCARI MENANTU


Tersebutkah raja jin berwujud kepiting dari Kerajaan Telengsamodra, bernama Prabu
Rekatatama. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Dewi Rekatawati yang telah bermimpi
KITAB WAYANG PURWA

menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi untuk mewujudkan mimpi
putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari keberadaan Sanghyang Tunggal.
Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia
berusaha membangunkan calon menantunya itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa
Sanghyang Tunggal justru membuat Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan.
Setelah sadar dari pingsan, Prabu Rekatatama kemudian mengheningkan cipta,
mengerahkan kesaktiannya untuk membawa pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib.

SANGHYANG TUNGGAL MENIKAH DENGAN DEWI REKATAWATI


Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena tahu-tahu dirinya sudah berada
di dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah ada seorang raja jin kepiting dan putri cantik,
yang tidak lain adalah Prabu Rekatatama dan Dewi Rekatawati.
Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk melamar Sanghyang Tunggal sebagai
suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat mencapai
cita-cita memiliki putra berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima lamaran tersebut.

Sanghyang Tunggal

TERCIPTA TIGA PUTRA DARI SEBUTIR TELUR


Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak Sanghyang Tunggal. Ketika tiba
waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah dan
membanting telur tersebut. Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan Kerajaan
Telengsamodra. Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula untuk
mengejarnya.
Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang Wenang terkejut dan
berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit, dan baru bisa ditangkap setelah
Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya.
Sanghyang Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah
anaknya yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya, maka ia
pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya itu bisa berubah menjadi
anak.
Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu menyiram telur itu dengan air keabadian
Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi seorang
laki-laki yang diberi nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah menjadi seorang laki-
KITAB WAYANG PURWA

laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur berubah menjadi laki-laki pula
dan diberi nama Batara Manikmaya.
Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan,
yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir
sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan
bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.

SANGHYANG TUNGGAL MENJADI SANGHYANG PADAWENANG


Sanghyang Wenang kemudian menyampaikan niatnya untuk menyerahkan takhta Kahyangan
Tengguru kepada Sanghyang Tunggal beserta seluruh pusaka peninggalan leluhur. Sanghyang
Tunggal tunduk dan patuh terhadap keputusan sang ayah. Maka, Sanghyang Wenang pun
memberikan tambahan berbagai macam ilmu kesaktian, kemudian ia menitis, bersatu jiwa raga ke
dalam diri Sanghyang Tunggal.
Sejak hari itu, Sanghyang Tunggal menjadi pemimpin Kahyangan Tengguru. Karena ia
merasa ilmu pengetahuan dan wibawa sang ayah jauh lebih besar, maka ia pun mengganti nama
menjadi Sanghyang Padawenang.

PERSELISIHAN BATARA ANTAGA DAN BATARA ISMAYA


Beberapa tahun kemudian terjadilah perselisihan antara Batara Antaga dan Batara Ismaya.
Mereka berdua sama-sama merasa berhak menjadi ahli waris Sanghyang Tunggal. Batara Antaga
sebagai anak tertua merasa yang paling berhak naik takhta. Namun hal itu dibantah oleh Batara
Ismaya yang mengetahui sejarah leluhur, bahwa Sanghyang Nurrasa dulu menunjuk Sanghyang
Wenang sebagai ahli waris, padahal Sanghyang Darmajaka lebih tua.
Kedua kakak beradik itu lalu bertarung adu kesaktian. Namun keduanya sama-sama kuat
sehingga sulit menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akhirnya, mereka pun
memanggil Batara Manikmaya untuk menjadi saksi dan memberikan penilaian yang adil terhadap
persaingan tersebut.
Batara Manikmaya lalu mengusulkan supaya Batara Antaga dan Batara Ismaya menelan
gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya melalui dubur. Dengan cara ini dapat diketahui siapa
yang lebih sakti dan siapa yang lebih pintar. Keduanya pun setuju. Batara Antaga yang mula-mula
memilih salah satu gunung di Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha menelannya dalam sekali
lahap. Setelah berusaha sekuat tenaga, gunung tersebut pun masuk ke dalam perut Batara Antaga,
namun tidak bisa keluar. Karena tadi ia telah memaksakan diri melahap gunung, maka mulutnya kini
menjadi robek dan lebar, matanya pun melotot besar, serta tubuhnya menjadi bulat dan gemuk.
Batara Ismaya maju dan memilih sebuah gunung yang lebih besar. Dengan sabar dan telaten
ia memakan gunung itu perlahan-lahan hingga semua masuk ke dalam perutnya setelah beberapa
hari. Namun ia juga tidak mampu mengeluarkannya melalui dubur. Karena tidak tidur selama
berhari-hari, kini wujud Batara Ismaya menjadi berubah jelek, dengan mata sembab dan hidung
ingusan. Selain itu, karena gunung yang ditelannya lebih besar daripada yang ditelan Batara Antaga,
akibatnya tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan lebih bulat daripada sang kakak.
KITAB WAYANG PURWA

BATARA MANIKMAYA MEMENANGKAN PERLOMBAAN


Sanghyang Padawenang datang dan sangat murka melihat ulah kedua putranya. Ia pun
mengumumkan bahwa Batara Manikmaya adalah yang berhak mewarisi takhta Kahyangan
Tengguru, sedangkan mereka berdua diperintah untuk pergi bertapa di alam Sunyaruri. Kelak jika
saatnya tiba, Sanghyang Padawenang akan memberikan perintah kepada mereka supaya muncul
ke alam nyata dan menjadi pengasuh keturunan Batara Manikmaya. Batara Antaga hendaknya
menjadi pengasuh golongan raksasa, sedangkan Batara Ismaya menjadi pengasuh golongan
manusia.
Batara Antaga dan Batara Ismaya mematuhi keputusan sang ayah, namun mereka tidak bisa
menerima begitu saja kalau Batara Manikmaya langsung diangkat menjadi ahli waris Kahyangan
Tengguru. Mereka meminta Batara Manikmaya harus bisa membuktikan kalau dirinya juga bisa
menelan dan mengeluarkan gunung sesuai perlombaan yang telah ditetapkan tadi.
Batara Manikmaya setuju. Ia lalu memilih gunung paling indah di Himalaya, yaitu Gunung
Kaelasa untuk dimasukkan ke dalam perut. Berbeda dengan kedua kakaknya, ia lebih dulu
mengheningkan cipta dan mengubah gunung itu menjadi sangat kecil sehingga dapat dengan
mudah ditelan dan dikeluarkan lagi melalui dubur. Setelah itu, gunung tersebut dikembalikan ke
ukuran asli dan diletakkan ke tempat semula.
Batara Antaga dan Batara Ismaya mengakui kepandaian dan kesaktian Batara Manikmaya,
dan mereka pun merelakan takhta Kahyangan Tengguru menjadi milik si adik bungsu. Namun
Batara Ismaya mengeluhkan wujudnya yang telah berubah menjadi buruk rupa, sehingga mustahil
ada wanita yang sudi menjadi istrinya. Padahal Sanghyang Padawenang dulu pernah meramalkan
bahwa ia kelak akan memiliki sepuluh anak.
Sanghyang Padawenang menjawab bahwa urusan jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan Yang
Mahakuasa. Jelek atau tampan bukanlah ukuran untuk mendapatkan jodoh. Usai berkata demikian
ia lantas mendatangkan seorang wanita yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, yaitu Dewi
Senggani putri Sanghyang Hening. Wanita inilah yang ditakdirkan menjadi jodoh Batara Ismaya.

BATARA MANIKMAYA MEMPEROLEH KUTUKAN


Melihat kedua kakaknya telah berubah menjadi buruk rupa, tiba-tiba timbul sifat sombong
dalam diri Batara Manikmaya yang merasa paling tampan dibanding mereka berdua. Sanghyang
Padawenang prihatin mendengar kesombongan itu. Ia pun meramalkan bahwa Batara Manikmaya
kelak akan menderita empat jenis cacat, yaitu berkaki pincang, berleher belang, bertaring dua, dan
berlengan empat.
Batara Manikmaya menyesali kesombongannya dan memohon ampun. Namun Sanghyang
Padawenang mengatakan bahwa itu semua telah menjadi takdir Tuhan dan semoga menjadi
pengingat agar Batara Manikmaya lebih berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan.

BATARA MANIKMAYA MENJADI RAJA DEWA


Singkat cerita, Batara Ismaya telah menikah dengan Dewi Senggani dan mendapatkan
sepuluh anak, yaitu Batara Wungkuam, Batara Kuwera, Batara Siwah, Batara Wrehaspati,
Batara Surya, Batara Candra, Batara Yamadipati, Batara Temburu, Batara Kamajaya, dan
Batari Darmanastiti. Setelah itu ia pun mohon pamit dan berangkat bersama Batara Antaga menuju
ke alam Sunyaruri untuk mulai bertapa. Sejak saat itu Batara Antaga memakai nama Kyai Togog,
sedangkan Batara Ismaya memakai nama Kyai Semar.
Setelah keberangkatan kedua putranya, Sanghyang Padawenang lalu menyerahkan takhta
Kahyangan Tengguru dan segala pusaka warisan leluhur kepada Batara Manikmaya, sedangkan ia
sendiri hidup menyepi dengan membangun kahyangan baru bernama Kahyangan Awang-Awang
Kumitir. Batara Manikmaya kemudian menjadi raja para dewa dengan bergelar Batara Tengguru,
atau disingkat Batara Guru.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BATARA GURU KRAMA


Kisah ini menceritakan bagaimana Batara Guru menaklukkan Lembu Andini menjadi
kendaraannya, serta perkawinan Batara Guru dengan Dewi Umayi yang kemudian bergelar
Batari Uma. Juga dikisahkan bagaimana Batara Guru menyebarkan agama Dewa ke segenap
penjuru Daratan Asia.
Kisah ini disusun dengan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryosaputro, dengan
sedikit pengembangan.

SINAR TEJA DARI TENGGARA


Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan para putra Batara Ismaya, yaitu
Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara
Candra, Batara Kuwera, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya. Rupanya sebelum berangkat
menuju alam Sunyaruri untuk bertapa, Batara Ismaya telah berpesan kepada mereka supaya
mengabdi kepada Batara Guru di Kahyangan Tengguru.
Batara Guru menerima pengabdian para keponakannya itu dengan senang hati. Batara Guru
lalu membicarakan adanya sinar teja, atau semacam pelangi tegak lurus yang berasal dari wilayah
Pegunungan Himalaya di sebelah tenggara Kahyangan Tengguru. Batara Guru mengetahui bahwa
sinar teja itu berasal dari seekor sapi betina bernama Lembu Andini yang dipertuhankan oleh
masyarakat di sekitar sana.
Batara Guru lalu memerintahkan Batara Wungkuam dan adik-adiknya untuk menaklukkan sapi
tersebut. Para keponakan pun mohon izin kemudian berangkat segera.

LEMBU ANDINI MENGALAHKAN PARA DEWA


Lembu Andini adalah sapi betina yang dapat berbicara. Ia dihadap pengikutnya dari Kerajaan
Himaka yang bernama Prabu Japaran dan Patih Parasdya. Seluruh rakyat Kerajaan Himaka telah
memuja dan menyembah Lembu Andini bagaikan Tuhan. Dalam pertemuan itu Lembu Andini
meramalkan akan datang pasukan dewa yang dikirim Batara Guru untuk menaklukkannya. Prabu
Japaran pun diperintahkan menghadapi kedatangan mereka itu.
Tidak lama kemudian, para putra Batara Ismaya telah tiba dan langsung dihadang pasukan
Prabu Japaran. Batara Wungkuam meminta Prabu Japaran supaya meninggalkan penyembahan
terhadap Lembu Andini dan menganut agama Dewa. Prabu Japaran menolak dan ganti meminta
para dewa supaya menyembah Lembu Andini. Perdebatan itu berlanjut dengan pertempuran. Dalam
waktu yang tidak terlalu lama, para dewa berhasil memukul mundur Prabu Japaran beserta
pasukannya.
KITAB WAYANG PURWA

Lembu Andini datang ke pertempuran. Batara Wungkuam dan para adik berusaha
menangkapnya namun mereka tidak mampu menandingi kekuatan dan kesaktian sapi betina itu.
Bahkan, daya perbawa yang dipancarkan Lembu Andini justru membuat para putra Batara Ismaya
itu terlempar kembali ke Kahyangan Tengguru.

BATARA GURU MENGALAHKAN LEMBU ANDINI


Melihat para keponakan tak kuasa menghadapi kesaktian Lembu Andini, Batara Guru pun
berangkat sendiri. Setelah berhadapan dengan Lembu Andini, mereka langsung terlibat adu
kepandaian. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-usul Lembu Andini yang merupakan anak
seorang jin bernama Jin Rohpatanam.
Lembu Andini marah sekaligus malu karena kalah dalam adu kepandaian. Ia pun menyerang
Batara Guru dan terjadilah pertarungan. Setelah bertempur cukup lama, akhirnya Lembu Andini
menyerah tak berdaya terkena daya kesaktian Batara Guru yang mengerahkan Aji Pengabaran.
Batara Guru kemudian menaiki punggung Lembu Andini dan menjadikannya kendaraan.
Prabu Japaran dan pasukannya datang ke tempat itu. Mereka terkejut melihat ada seorang
laki-laki menaiki punggung sapi betina yang mereka sembah selama ini. Lembu Andini menjelaskan
bahwa sejak hari ini ia memeluk agama Dewa, dan Batara Guru yang berdiri di atas punggungnya
adalah raja para dewa. Prabu Japaran dan yang lain masih bimbang dan ragu. Namun setelah
Batara Guru memancarkan kesaktiannya, mereka pun meringkuk tak berdaya dan menjadi
pengikutnya pula.
Batara Guru lalu membawa Lembu Andini naik ke Kahyangan Tengguru dan sejak saat itu
sang sapi betina menjadi kendaraannya. Batara Guru pun mendapatkan julukan baru sebagai
Sanghyang Pasupati, yang berarti “penguasa hewan ternak”.

Batara Guru (Manikmaya)

AGAMA DEWA BERKEMBANG DI DARATAN ASIA


Sejak zaman Sanghyang Nurcahya sampai Sanghyang Tunggal, agama Dewa hanya dianut
oleh makhluk berbadan rohani, yaitu para dewa, jin, dan siluman. Begitu Batara Guru berkuasa,
pemeluk agama Dewa menjadi berkembang pesat, yaitu merambah para makhluk berbadan
jasmani, antara lain bangsa manusia dan raksasa. Hal ini karena Batara Guru bisa berbadan jasmani
sekaligus rohani sehingga bisa menjadi penguasa di alam kasar dan alam halus.
Setelah Lembu Andini menyerah kalah dan menjadi kendaraan Batara Guru, para pengikutnya
pun ikut takluk pula. Prabu Japaran adalah raja manusia yang mengawali memeluk agama Dewa.
Batara Guru kemudian menyebarkan agama Dewa ke Tanah Tiongkok.
Setelah rakyat di segenap Tanah Hindustan dan Tanah Tiongkok menganut agama Dewa,
Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Jagadnata, yang berarti “pemimpin
dunia”.
KITAB WAYANG PURWA

ULAM TIRBAH DARI RAWA SIBLISTAN


Batara Guru kemudian bermaksud menyebarkan agama Dewa ke arah barat, yaitu Tanah
Persi. Namun ia mendengar kabar bahwa orang-orang Persi saat ini menyembah seekor ikan
bernama Ulam Tirbah bagaikan Tuhan. Maka, ia pun berangkat menuju Rawa Siblistan, tempat ikan
ajaib itu berada.
Batara Guru telah sampai di Rawa Siblistan dan bertemu dengan Ulam Tirbah. Ternyata Ulam
Tirbah seekor ikan betina berukuran raksasa. Batara Guru memerintahkan supaya Ulam Tirbah
bertobat menghentikan penyembahan atas dirinya dan menjadi penganut agama Dewa. Ulam
Tirbah marah dan mengadu kesaktian dengan Batara Guru. Sampai akhirnya, Batara Guru
mengerahkan kesaktiannya membuat air rawa-rawa berubah menjadi panas sehingga Ulam Tirbah
menyerah kalah.
Batara Guru kemudian menebak asal-usul Ulam Tirbah pada mulanya seorang wanita cantik
bernama Dewi Umayi, putri Saudagar Umaran yang masih keturunan Nabi Saleh. Ia memiliki
keinginan menjadi istri penguasa dunia namun melakukan sesat jalan saat bertapa, sehingga
berubah wujud menjadi ikan betina.
Batara Guru berpesan supaya Ulam Tirbah bersabar karena tidak lama lagi akan tiba
waktunya ia berubah kembali menjadi Dewi Umayi. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun
meninggalkan Rawa Siblistan kembali ke Kahyangan Tengguru.

KERAJAAN PERSI TERKENA WABAH PENYAKIT


Setelah Ulam Tirbah mengalami kekalahan, Kerajaan Persi tiba-tiba diserang wabah penyakit.
Banyak penduduknya yang tewas menjadi korban. Bahkan, raja negeri ini yang bernama Prabu
Dirjasta juga terserang penyakit dan meninggal dunia.
Putra mahkota bernama Pangeran Dastandar menggantikan sang ayah menjadi raja. Ia
mendapatkan petunjuk dari para ahli nujum, bahwa Ulam Tirbah yang disembah bangsa Persi
sekarang telah tunduk kepada raja dewa bernama Batara Guru. Para ahli nujum pun menyarankan
supaya Prabu Dastandar pergi memohon kepada Batara Guru untuk membantu melenyapkan
wabah penyakit tersebut dari Kerajaan Persi.

SAUDAGAR UMARAN MENCARI PUTRINYA


Prabu Dastandar pun berangkat dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Namun ia tidak tahu
harus pergi ke mana supaya bisa bertemu Batara Guru. Maka ia pun memutuskan untuk bertanya
kepada Ulam Tirbah di Rawa Siblistan.
Di tengah jalan Prabu Dastandar bertemu seorang saudagar bernama Umaran yang ditemani
keponakannya bernama Patih Turkan. Saudagar Umaran adalah raja Kerajaan Merut, yaitu negeri
para pedagang. Ia mengaku telah kehilangan putrinya yang bernama Dewi Umayi. Menurut petunjuk
di alam mimpi, putrinya itu akan muncul di Rawa Siblistan berkat pertolongan Batara Guru.
Prabu Dastandar merasa kebetulan karena ia sendiri juga ingin bertemu Batara Guru. Maka,
ia pun menawarkan diri kepada Saudagar Umaran dan Patih Turkan untuk menjadi penunjuk jalan
menuju Rawa Siblistan. Ketiga orang itu lantas pergi bersama-sama.

ULAM TIRBAH MENJADI DEWI UMAYI


Prabu Dastandar, Saudagar Umaran, dan Patih Turkan telah sampai di Rawa Siblistan. Prabu
Dastandar mengadakan puja samadi dan kemudian Ulam Tirbah pun muncul ke permukaan. Ulam
Tirbah mengatakan bahwa dirinya tidak lagi pantas disembah karena sudah tunduk kepada Batara
Guru dan menjadi penganut agama Dewa.
Tiba-tiba Batara Guru datang di Rawa Siblistan. Daya perbawanya yang memancar membuat
Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan jatuh pingsan. Setelah mereka bertiga sadar
segera buru-buru menyembah kepada Batara Guru. Batara Guru menjelaskan kepada Saudagar
Umaran bahwa putrinya yang selama ini hilang dan dicari-cari tidak lain adalah Ulam Tirbah tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru kemudian berkata kepada Ulam Tirbah bahwa sudah saatnya ia sembuh dari
kutukan. Dengan kesaktiannya, Batara Guru mengembalikan Ulam Tirbah ke wujud semula, yaitu
menjadi Dewi Umayi yang cantik jelita. Saudagar Umaran sangat gembira bisa bertemu kembali
dengan putrinya yang telah lama hilang itu.
Batara Guru menceritakan kepada Saudagar Umaran awal mula Dewi Umayi berubah wujud
menjadi ikan besar adalah karena sesat jalan sewaktu bertapa untuk bisa menjadi istri penguasa
dunia. Karena saat ini Batara Guru telah mendapat julukan sebagai Sanghyang Jagadnata, maka
Dewi Umayi pun disarankan untuk menjadi istrinya saja jika masih ingin mewujudkan cita-cita
tersebut. Saudagar Umaran sangat gembira mendengarnya, dan Dewi Umayi juga menurut dan
tunduk terhadap lamaran Batara Guru.

Dewi Umayi

BATARA GURU MENIKAHI DEWI UMAYI


Batara Guru juga dapat menebak asal-usul Saudagar Umaran, yang merupakan keturunan
Nabi Saleh. Di Kerajaan Merut, Saudagar Umaran memiliki istri bernama Dewi Nurweni, yang telah
melahirkan tiga orang putri bernama Dewi Umari, Dewi Umayi, dan Dewi Umani. Adapun Dewi Umari
yang sulung telah menjadi istri Patih Turkan. Karena Batara Guru menjadikan Dewi Umayi sebagai
ratu kahyangan, maka Dewi Umani hendaknya menjadi ratu kerajaan, yaitu dengan menjadi istri
Prabu Dastandar, raja Kerajaan Persi. Batara Guru juga dapat menebak bahwa pemuda berpakaian
rakyat jelata yang tadi bersamadi memanggil Ulam Tirbah muncul ke permukaan tidak lain adalah
Prabu Dastandar sendiri yang sedang menyamar.
Saudagar Umaran sangat gembira menerima saran tersebut. Prabu Dastandar pun menurut
dan membuka penyamaran. Namun ia memohon kepada Batara Guru supaya membantu
melenyapkan wabah penyakit yang melanda Kerajaan Persi. Batara Guru mengabulkan
permohonan itu. Dengan ilmu kesaktiannya, ia mengirimkan angin segar yang meniup dan
memusnahkan semua bibit penyakit yang selama ini meresahkan rakyat Kerajaan Persi.
Prabu Dastandar sangat berterima kasih. Ia kemudian mengikuti Saudagar Umaran menuju
Kerajaan Merut untuk menikah dengan Dewi Umani, sedangkan Batara Guru membawa Dewi Umayi
ke Kahyangan Tengguru untuk dijadikan ratu di sana. Sejak saat itu, Dewi Umayi resmi menjadi istri
Batara Guru, dengan bergelar Batari Uma. Dengan demikian, inilah pertama kalinya keturunan
Sayidina Anwar bertemu dengan keturunan Sayidina Anwas menjadi satu keluarga.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

LIMA DEWA LAHIR


Kisah ini menceritakan kelahiran lima putra Batara Guru dari hasil pernikahan dengan Batari
Uma atau Dewi Umayi. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara
Bayu, dan Batara Wisnu. Kisah dilanjutkan dengan pertempuran pasukan dewata melawan
Prabu Kalamercu yang mengakibatkan Batara Guru menderita cacat kaki kirinya, serta
dikisahkan pula para dewa menyerang Kerajaan Bani Israil.
Sumber yang digunakan untuk menyusun kisah ini adalah Serat Paramayoga yang dipadukan
dengan Serat Purwacarita, dengan sedikit pengembangan.

KELAHIRAN EMPAT PUTRA BATARA GURU


Tepat setahun setelah perkawinan Batara Guru dengan Batari Uma lahirlah seorang putra
yang diiringi dengan gempa bumi melanda banyak tempat. Putra pertama itu diberi nama Batara
Sambu, yang kemudian dimandikan dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu sehingga
langsung tumbuh menjadi dewasa seketika.
Dua tahun kemudian Batari Uma melahirkan lagi seorang putra yang diiringi dengan letusan
gunung berapi di banyak tempat. Putra kedua itu diberi nama Batara Brahma, yang kemudian
dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.
Dua tahun berikutnya Batari Uma melahirkan seorang putra yang diiringi dengan hujan petir
dan banjir besar melanda di banyak tempat. Putra ketiga itu diberi nama Batara Indra, yang
kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu pula sehingga langsung berubah dewasa
seketika.
Dua tahun setelah itu, Batari Uma kembali melahirkan seorang putra yang diiringi dengan
angin topan dan badai melanda di banyak tempat. Putra keempat itu diberi nama Batara Bayu, yang
kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah menjadi dewasa
seketika.

KELAHIRAN PUTERA KELIMA YANG ISTIMEWA


Pada suatu hari Batara Guru menerima kedatangan Sanghyang Padawenang yang ingin
melihat perkembangan Kahyangan Tengguru. Batara Guru menceritakan kepada sang ayah tentang
keberhasilannya menyebarluaskan Agama Dewa, sehingga kini tidak hanya dianut oleh makhluk
halus saja, tetapi juga diikuti bangsa manusia, raksasa, dan binatang beraneka ragam.
Sanghyang Padawenang senang melihat keempat cucunya, namun merasa masih kurang
puas. Ia lalu menasihati Batara Guru supaya memiliki seorang anak yang benar-benar sempurna
lahir batin, berhati murni, serta memiliki kesaktian luar biasa, sehingga kelak bisa menjadi
pemelihara ketertiban dunia. Untuk itu, Batara Guru dan Batari Uma tidak perlu lagi melakukan
persetubuhan seperti manusia biasa, tetapi menggunakan tapa brata dan mengheningkan cipta.
Mengenai perkembangan Agama Dewa, Sanghyang Padawenang merasa sangat puas
dengan usaha yang dilakukan Batara Guru. Namun ia juga berpesan supaya Batara Guru tidak
KITAB WAYANG PURWA

menyebarkan Agama Dewa ke sebelah barat Tanah Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil,
karena penduduk di daerah sana tidak ditakdirkan untuk menjadi pengikut para dewa. Setelah dirasa
cukup, Sanghyang Padawenang pun kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
Batara Guru lalu menyampaikan hal itu kepada sang istri, dan mereka pun masuk ke dalam
Sanggar Pemujaan untuk melakukan puja samadi dan mengheningkan cipta, dengan disertai ajian
Asmaracipta, Asmaragama, dan Asmaraturida. Setelah berhari-hari melakukan puja samadi, Batari
Uma pun mengandung untuk yang kelima kalinya.
Bulan demi bulan berlalu, akhirnya lahir seorang putra berkulit gelap yang diiringi dengan
gempa bumi, gunung meletus, hujan petir, dan topan badai. Bahkan, kelahiran putra kelima ini
sampai membuat Kahyangan Tengguru berguncang hebat, sehingga para dewa yang sedang
menghadap Batara Guru jatuh dari tempat duduk masing-masing, termasuk Batara Guru pun ikut
jatuh dari takhta Madeprawaka.
Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran putra kelima yang istimewa ini, yang
kemudian diberi nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, ia juga dimandikan dengan
Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.
Setelah kelahiran putra kelima tersebut, Batara Guru tidak lagi menyetubuhi Batari Uma,
sehingga Batara Wisnu pun menjadi anak bungsu dalam perkawinan mereka.

KEDATANGAN MUSUH DARI TUNGGULWESI


Pada suatu hari Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan Patih
Kalamarkata yang menyampaikan surat tantangan dari rajanya, yang bernama Prabu Kalamercu,
seorang jin penguasa Kerajaan Tunggulwesi. Surat tantangan itu berisi keinginan Prabu Kalamercu
untuk mencoba kesaktian sang raja dewata. Batara Sambu dan para adik meminta Batara Guru
untuk tidak menanggapi tantangan tersebut, dan mereka berlima yang akan maju menghadapi
musuh.
Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Tunggulwesi yang dipimpin Prabu Kalamercu
dan Patih Kalamarkata melawan pasukan dewata yang dipimpin Batara Sambu bersaudara. Tidak
salah kiranya jika raja dan patih itu berani menantang Kahyangan Tengguru, karena kesaktian
mereka memang luar biasa. Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu dapat
dipukul mundur oleh mereka.
Batara Wisnu maju menghadapi musuh. Kesaktiannya memang terlihat melebihi keempat
kakaknya, di mana ia berhasil mengalahkan Patih Kalamarkata. Namun, untuk menghadapi
kesaktian Prabu Kalamercu ternyata masih belum cukup hebat. Raja jin ini lebih berpengalaman
dalam pertempuran dan mampu memukul mundur Batara Wisnu pula.
Melihat kelima putranya terdesak, Batara Guru pun maju ke medan pertempuran dengan
mengendarai Lembu Andini. Terjadilah perang tanding ramai antara dirinya melawan Prabu
Kalamercu. Selama menjadi raja kahyangan, baru kali ini Batara Guru menemukan musuh yang
sedemikian kuatnya. Bahkan, tombak Trengganaweni dan tombak Kalaminta yang menjadi pusaka
andalannya juga tidak mampu melukai tubuh Prabu Kalamercu. Sebaliknya, Prabu Kalamercu justru
berhasil membuatnya terdesak sampai ke Pegunungan Himalaya yang berbatu terjal. Bahkan, raja
jin itu akhirnya dapat menghempaskan tubuh Batara Guru hingga terlempar dari punggung Lembu
Andini.
Batara Guru jatuh ke dalam jurang terjal dan kaki kirinya pun terperosok masuk ke sela-sela
batu cadas. Dalam keadaan terjepit ia masih berusaha menghadapi serangan Prabu Kalamercu.
Karena kemenangan sesaat itu, Prabu Kalamercu sempat lengah sehingga kesempatan itu
digunakan oleh Batara Guru untuk mengerahkan ajian Kemayan, yang membuat raja jin tersebut
roboh lunglai dengan tubuh lemas tidak berdaya.

BATARA GURU MENDAPATKAN CACAT PERTAMA


Batara Sambu dan para adik beramai-ramai menolong sang ayah keluar dari himpitan batu
cadas. Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata sudah menyerah kalah dan mohon ampun atas
KITAB WAYANG PURWA

kelancangan mereka yang berani menyerang Kahyangan Tengguru. Sebagai permohonan maaf,
Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata membangun dua buah balai penghadapan yang sangat
indah di dalam Kahyangan Tengguru dalam waktu sekejap.
Melihat keindahan kedua balai tersebut, Batara Guru pun mengampuni kedua musuhnya dan
mempersilakan mereka pulang kembali ke Kerajaan Tunggulwesi. Untuk mengenang kejadian
tersebut, Batara Guru memberi nama kedua balai itu dengan sebutan Balai Marcukunda dan Balai
Marakata.
Sepeninggal Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata, Batara Guru mengambil pusaka Lata
Mahosadi untuk mengobati kaki kirinya yang terluka parah akibat terjepit batu cadas tadi. Namun
anehnya, Lata Mahosadi yang biasanya sangat mujarab ternyata kali ini tidak mampu mengobati
kaki kiri tersebut sehingga menjadi cacat untuk selamanya.
Seketika Batara Guru teringat ramalan Sanghyang Padawenang bahwa kelak dirinya akan
menderita empat jenis cacat karena dulu pernah menyombongkan diri sebagai yang paling tampan,
setelah kedua kakaknya, yaitu Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk rupa.
Batara Guru pun pasrah atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa jika memang ini sudah menjadi
suratan takdir baginya.
Karena kaki kirinya lumpuh, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang
Lengin.

BATARA GURU MENIKAHKAN PARA PUTRA


Setelah para putranya dirasa cukup matang, Batara Guru berkenan menikahkan mereka
dengan para bidadari cucu Sanghyang Pancaresi. Adapun Sanghyang Pancaresi adalah putra
bungsu Sanghyang Darmajaka, kakak sulung Sanghyang Wenang.
Putra Sanghyang Pancaresi bernama Maharesi Guruweda memiliki tiga orang putri, bernama
Dewi Susti yang dinikahkan dengan Batara Sambu, Dewi Saci yang dinikahkan dengan Batara
Brahma, dan Dewi Wiranci yang dinikahkan dengan Batara Indra.
Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Pancadewa memiliki putri bernama Dewi
Swamnyana yang dinikahkan dengan Batara Sambu, serta Dewi Saraswati dan Dewi Rarasati yang
keduanya dinikahkan dengan Batara Brahma.
Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Wiksmaka memiliki putri bernama Dewi
Srilaksmi dan Dewi Srilaksmita yang keduanya dinikahkan dengan Batara Wisnu.
Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Satya memiliki putri bernama Dewi Sri
Satyawarna, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.
Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Janaka memiliki putri bernama Dewi
Nignyata, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.
Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Soma memiliki putri bernama Dewi Sumi
yang dinikahkan dengan Batara Bayu. Dewi Sumi memiliki kakak bernama Dewi Ratih yang telah
dinikahkan dengan Batara Kamajaya, putra Batara Ismaya. Konon pasangan ini disebut-sebut
sebagai yang paling tampan dan paling cantik di dunia.
Demikianlah, silsilah para dewa pun berkembang biak sedemikian rupa. Ada dewa yang
menikah dengan bidadari, ada yang menikah dengan manusia biasa, ada pula yang menikah
dengan golongan jin ataupun siluman.

BATARA GURU BERNIAT MENYERANG BANI ISRAIL


Batara Guru telah memiliki kekuasaan besar yang membentang dari Tanah Persi dan
Hindustan ke arah utara dan timur jauh. Namun, ia merasa kurang puas jika belum bisa
menaklukkan daerah barat Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil. Meskipun Sanghyang
Padawenang pernah menasihatinya supaya tidak menyebarkan Agama Dewa ke wilayah Kerajaan
Bani Israil, namun Batara Guru tidak menghiraukannya. Selain itu, Batara Guru juga penasaran ingin
KITAB WAYANG PURWA

membalaskan kekalahan Sanghyang Wenang di mana Nabi Suleman dulu pernah menghancurkan
Kahyangan Pulau Dewa.
Beberapa bulan sebelum rencana penyerangan ini, Batara Guru telah menurunkan wabah
penyakit di wilayah Bani Israil, namun masyarakat di sana tetap tegar tidak mau memeluk Agama
Dewa. Kesabaran Batara Guru akhirnya habis. Ia pun memerintahkan empu kahyangan, yaitu
Batara Ramayadi, untuk membuat senjata-senjata ampuh. Adapun Batara Ramayadi ini adalah
putra Sanghyang Ramaprawa, atau cucu Sanghyang Hening, sehingga masih terhitung keponakan
Batara Guru.
Batara Ramayadi menghadap bersama putranya, yang bernama Batara Anggajali. Mereka
berdua telah menyelesaikan perintah Batara Guru dan mempersembahkan berbagai macam senjata
ampuh sebagai pusaka Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerimanya dengan senang hati, lalu
menyerahkan senjata-senjata itu kepada para putra sebagai bekal untuk menyerang Kerajaan Bani
Israil.

Batara Wisnu

PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN BANI ISRAIL


Para dewata dipimpin Batara Sambu telah tiba di wilayah Kerajaan Bani Israil. Dilatarbelakangi
dendam kekalahan Sanghyang Wenang di tangan Nabi Sulaiman ratusan tahun silam membuat
para dewa semakin bernafsu menghancurkan kerajaan tersebut. Banyak rumah dan bangunan
dihancurkan, serta rakyat jelata tewas menjadi korban.
Seorang pendeta Kerajaan Bani Israil yang bernama Pendeta Usmanajid dan putranya yang
bernama Pendeta Usmanaji berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi
pertolongan. Muncullah tiba-tiba angin besar yang meniup dan menghempaskan para dewa kembali
ke Kahyangan Tengguru, kecuali Batara Wisnu.
Batara Wisnu lalu berhadapan dengan Pendeta Usmanajid. Mereka pun terlibat perdebatan
adu kepandaian. Dalam hal kesaktian memang Batara Wisnu lebih unggul, tetapi dalam hal ilmu
kesempurnaan, ia harus mengakui kehebatan Pendeta Usmanajid yang lebih berpengalaman.
Pertempuran di antara mereka berdua akhirnya berubah menjadi persahabatan. Batara Wisnu
kemudian berteman baik dengan Pendeta Usmanaji, putra Pendeta Usmanajid, dan saling bertukar
ilmu selama beberapa hari. Setelah berbicara panjang lebar, ternyata hakikat Agama Dewa dan
Agama Nabi sama-sama baik dan sama-sama bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang
Mahakuasa. Hanya saja, perbedaan tata cara ibadah telah membuat para pemeluk kedua agama
ini sering terlibat pertengkaran dan perkelahian yang tidak sedikit menelan korban jiwa.
Batara Wisnu kemudian mohon pamit kembali ke Kahyangan Tengguru dengan membawa
perasaan sukacita.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

JAKA SENGKALA
Kisah ini menceritakan kelahiran dan kehidupan masa muda Jaka Sengkala, putra Batara
Anggajali. Ia kelak bergelar Ajisaka, yaitu orang yang mengisi Pulau Jawa dengan penduduk
dari bangsa manusia.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber dari Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

PRABU SAKIL BERTEMU BATARA ANGGAJALI


Tersebutlah seorang raja keturunan Nabi Ismail bernama Prabu Sakil yang memerintah
Kerajaan Najran. Raja ini suka sekali berdagang ke seberang lautan dengan berdandan sebagai
saudagar. Pada suatu hari, kapal yang ditumpangi Prabu Sakil dan para pengikutnya hancur
dihantam badai. Seluruh penumpang tewas, kecuali Prabu Sakil yang terapung-apung di lautan
dengan berpegangan pada sebilah papan kayu.
Batara Anggajali saat itu sedang duduk di atas ombak laut sambil mengerjakan perintah
Batara Guru untuk membuat senjata-senjata pusaka kahyangan. Ketika melihat Prabu Sakil
terapung-apung, ia pun bergegas menolong dan membawanya naik ke daratan.
Setelah sadar dari pingsan, Prabu Sakil berterima kasih atas pertolongan Batara Anggajali.
Mereka pun berkenalan dan saling menceritakan asal-usul masing-masing. Sebagai ungkapan
terima kasih, Prabu Sakil memohon dengan sangat agar Batara Anggajali sudi singgah di Kerajaan
Najran barang beberapa hari.
Batara Anggajali tidak tega untuk menolak. Maka dengan kesaktiannya, ia pun menggendong
Prabu Sakil dan membawanya terbang di udara, sehingga dalam sekejap saja mereka sudah sampai
di ibu kota Kerajaan Najran.

BATARA ANGGAJALI MENIKAHI DEWI SAKA


Prabu Sakil sangat menyukai pribadi Batara Anggajali dan berterus terang ingin
menjadikannya menantu. Saat itu ia telah memiliki seorang putri remaja bernama Dewi Saka yang
hendak dijodohkan dengan dewa pembuat senjata tersebut.
Batara Anggajali menerima lamaran Prabu Sakil dengan senang hati. Maka dilangsungkanlah
pernikahan antara dirinya dengan Dewi Saka. Namun ia juga tidak bisa lama-lama meninggalkan
tugas yang diberikan Batara Guru. Setelah sang istri mengandung, Batara Anggajali pun mohon
pamit kembali ke tengah lautan untuk melanjutkan pembuatan senjata-senjata pusaka.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Anggajali

KELAHIRAN JAKA SENGKALA


Sudah lebih dari sembilan bulan mengandung, namun Dewi Saka belum juga melahirkan.
Segala macam pengobatan sudah diusahakan oleh Prabu Sakil namun belum juga berhasil. Sampai
akhirnya, usia kandungan mencapai dua tahun, barulah Dewi Saka melahirkan bayi laki-laki berkulit
putih bersih, dengan mata berwarna merah berkilat-kilat. Bayi itu diberi nama Jaka Sengkala, karena
kelahirannya tergolong aneh dan tidak seperti bayi-bayi lain pada umumnya.
Sejak kecil Jaka Sengkala sudah memiliki keistimewaan. Ia tidak minum air susu ibunya, tetapi
menghisap ujung jari sendiri. Ketika berusia delapan tahun ia sudah menamatkan semua ilmu yang
diajarkan para ulama. Setelah tumbuh dewasa ia pun memiliki berbagai macam kesaktian, antara
lain mampu terbang di angkasa.
Pada suatu hari Jaka Sengkala meminta ibunya untuk menceritakan siapa sebenarnya ayah
kandungnya. Setelah didesak terus-menerus, Dewi Saka akhirnya bercerita, bahwa Jaka Sengkala
sebenarnya adalah anak seorang dewa pembuat senjata, bernama Batara Anggajali, yang saat ini
berada di atas Samudera Hindia.
Jaka Sengkala sangat penasaran ingin bertemu ayahnya dan tidak bisa ditahan lagi. Ia pun
mohon pamit kepada kakek dan ibunya untuk pergi mencari Batara Anggajali. Dengan berat hati
Prabu Sakil dan Dewi Saka pun melepas kepergian Jaka Sengkala yang sangat mereka kasihi itu
dan mendoakannya supaya selalu mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa.

JAKA SENGKALA BERTEMU AYAHNYA


Jaka Sengkala terbang meninggalkan Kerajaan Najran dan sampai di atas Samudera Hindia.
Di tengah lautan ia melihat Batara Anggajali sedang duduk tenang di atas ombak lautan sambil
tangannya bekerja membuat senjata-senjata pusaka. Jaka Sengkala yakin orang itu adalah ayah
kandungnya dan ia pun segera memperkenalkan diri. Mengetahui pemuda itu adalah anak Dewi
Saka, Batara Anggajali sangat gembira dan menerimanya sebagai putra.
Jaka Sengkala sangat kagum melihat kesaktian sang ayah dalam membuat senjata yang tidak
menggunakan api, namun cukup jarinya memijat-mijat besi saja. Ia pun menyatakan ingin tinggal
bersama sang ayah. Namun Batara Anggajali berkata bahwa sebaiknya Jaka Sengkala pulang ke
Najran saja supaya bisa hidup mulia di sana sebagai raja yang kelak menggantikan kakeknya. Jaka
Sengkala mengaku tidak suka kemewahan dan ingin hidup sebagai murid sang ayah saja. Karena
baginya, Batara Anggajali adalah yang paling sakti di dunia.
Batara Anggajali menolak anggapan itu. Ia mengatakan bahwa ayahnya, atau kakek dari Jaka
Sengkala yang bernama Batara Ramayadi jauh lebih sakti darinya. Jika membuat senjata, Batara
KITAB WAYANG PURWA

Ramayadi tidak perlu menggunakan tangan tapi cukup dengan memandang saja, besi baja akan
lunak dengan sendirinya.
Jaka Sengkala pun mengurungkan niat untuk berguru kepada ayahnya dan menyatakan ingin
berguru kepada sang kakek saja. Batara Anggajali melepaskan kepergian putranya itu dan
menunjukkan arah yang harus ditempuh jika ingin bertemu Batara Ramayadi.

JAKA SENGKALA BERTEMU KAKEKNYA


Jaka Sengkala akhirnya berhasil menemukan Batara Ramayadi yang sedang duduk di atas
awan mega sedang sibuk membuat berbagai senjata pusaka. Tanpa perlu Jaka Sengkala
memperkenalkan diri, ternyata Batara Ramayadi sudah dapat menebak kalau ia adalah cucunya
sendiri, yaitu putra Batara Anggajali.
Jaka Sengkala menyampaikan niatnya ingin berguru kepada sang kakek yang dianggapnya
paling sakti di dunia. Kini ia melihat dengan mata sendiri bagaimana sang kakek membuat senjata
tanpa perlu menggunakan tangan. Cukup dengan dipandang saja, segala macam besi dan baja
akan lunak dengan sendirinya. Namun, Batara Ramayadi menolak sebutan paling sakti tersebut,
karena ia hanyalah seorang empu pembuat senjata. Para dewa di Kahyangan Tengguru jauh lebih
sakti, dan yang paling sakti adalah Batara Guru, sang raja para dewa. Adapun dewa lainnya yang
memiliki kesaktian setara dengan Batara Guru adalah putra bungsunya yang bernama Batara
Wisnu.
Jaka Sengkala terlihat kecewa karena kakeknya ternyata bukan yang paling sakti. Ia kemudian
mohon pamit untuk berangkat menemui Batara Wisnu. Batara Ramayadi mengizinkan dan
menunjukkan arah yang harus ditempuh menuju tempat tinggal Batara Wisnu tersebut.

JAKA SENGKALA BERTEMU BATARA WISNU


Berkat petunjuk sang kakek, Jaka Sengkala berhasil menemukan Gunung Tengguru dan tiba
di kahyangan tempat tinggal Batara Wisnu. Tanpa harus memperkenalkan diri, Batara Wisnu dapat
menebak asal-usul Jaka Sengkala sekaligus mengetahui perasaan kecewa dalam hati pemuda itu
terhadap ayah dan kakeknya yang ternyata bukan manusia paling sakti di dunia. Jaka Sengkala
sangat senang melihat kepandaian Batara Wisnu dalam menebak asal-usul serta isi hatinya. Ia pun
menyatakan ingin berguru kepadanya. Batara Wisnu mengatakan jika Jaka Sengkala ingin menjadi
murid maka harus bisa menyesuaikan diri dengan perilaku kehidupannya.
Jaka Sengkala menyatakan siap untuk menyesuaikan diri dengan perilaku Batara Wisnu.
Batara Wisnu pun menguji Jaka Sengkala. Dalam sekejap tubuh Batara Wisnu sudah menghilang
dari pandangan dan kemudian amblas ke dalam perut bumi, setelah itu terbang ke angkasa, dan
mendarat di Kutub Utara, kemudian menuju ke Kutub Selatan dalam waktu sekejap. Anehnya, ke
mana pun Batara Wisnu pergi, Jaka Sengkala selalu dapat menyertainya.
Batara Wisnu mengatakan bahwa Jaka Sengkala tidak perlu lagi belajar kesaktian karena
pada dasarnya ia telah sakti sejak lahir. Batara Wisnu juga menjelaskan bahwa di dunia ini tidak ada
makhluk yang memiliki kesaktian paling sempurna, karena yang sempurna hanyalah Tuhan Yang
Mahasempurna. Maka, ilmu yang paling tinggi derajatnya bukanlah ilmu kesaktian yang membuat
manusia tidak terkalahkan, tetapi ilmu pengetahuan yang membuat manusia semakin dekat dengan
Tuhan Yang Mahakuasa. Itulah ilmu kesempurnaan yang seharusnya dipelajari dan diamalkan.
Jaka Sengkala pun memohon supaya Batara Wisnu mengajarkan ilmu kesempurnaan
tersebut agar ia dapat mendekati Tuhan Yang Mahakuasa. Batara Wisnu menyarankan supaya Jaka
Sengala berguru kepada sahabatnya saja yang bernama Pendeta Usmanaji di Kerajaan Bani Israil.
Jaka Sengkala menurut dan berangkat menuju arah yang ditunjukkan kepadanya.

JAKA SENGKALA MENJADI MURID PENDETA USMANAJI


Jaka Sengkala akhirnya bertemu dengan Pendeta Usmanaji dan menceritakan apa yang
disampaikan Batara Wisnu kepadanya. Pendeta Usmanaji berkenan menerimanya sebagai murid
dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah mempelajari semua ilmu dari sang guru, Jaka Sengkala berubah menjadi sosok
rendah hati dan tidak lagi angkuh seperti sebelumnya. Pendeta Usmanaji meramalkan bahwa kelak
Jaka Sengkala akan menjadi manusia yang dipilih Tuhan untuk mengisi Pulau Jawa dengan
penduduk manusia. Jaka Sengkala juga diramalkan kelak berhasil memperoleh keabadian berkat
meminum Tirtamarta Kamandanu di Tanah Lulmat, namun waktunya masih lama.
Pendeta Usmanaji menyarankan agar saat ini Jaka Sengkala pergi ke Kerajaan Surati untuk
bertemu ayahnya sambil menunggu takdir Tuhan lebih lanjut. Rupanya Pendeta Usmanaji
mendapatkan berita bahwa Batara Guru sangat senang melihat hasil kerja Batara Anggajali dalam
menciptakan senjata-senjata kahyangan, sehingga ayah Jaka Sengkala itu pun mendapatkan
hadiah berupa Kerajaan Surati.
Jaka Sengkala menuruti nasihat sang guru. Dengan berat hati ia pun mohon pamit. Pendeta
Usmanaji melepas kepergian muridnya itu dan meramalkan kelak mereka akan bertemu lagi di Pulau
Jawa yang terletak di seberang tenggara.

JAKA SENGKALA TIBA DI KERAJAAN SURATI


Dari Kerajaan Bani Israil menuju Kerajaan Surati, Jaka Sengkala tidak lagi terbang di angkasa
seperti yang sudah-sudah, tetapi lebih memilih berjalan kaki menyusuri jalur darat. Sesampainya di
tempat yang dituju, ia disambut dengan hangat oleh sang ayah, yaitu Batara Anggajali. Adapun saat
itu Batara Anggajali telah menjadi raja dengan bergelar Prabu Iwasaka.
Jaka Sengkala pun diangkat sebagai pangeran mahkota Kerajaan Surati dengan bergelar
Raden Ajisaka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DARA WISA
Kisah ini menceritakan tentang kehancuran Kahyangan Tengguru akibat serangan burung dara
berbisa buatan Nabi Isa. Batara Guru terpaksa mengungsi ke sebuah pulau panjang yang
kemudian diberi nama Pulau Jawa. Di pulau itu, ia membangun tempat tinggal baru bernama
Kahyangan Argadumilah.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan naskah-naskah
lainnya, dengan sedikit pengembangan.

RENCANA BATARA GURU MENYERANG BANI ISRAIL


Batara Guru di Kahyangan Tengguru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara
Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan rencana menyerang
Kerajaan Bani Israil dan menyebarluaskan Agama Dewa di sana. Rupanya Batara Guru masih
penasaran karena sampai sekarang belum juga bisa menaklukkan negeri para nabi tersebut.
Batara Wisnu memohon supaya sang ayah mengurungkan niat, karena tidak baik
memaksakan agama kepada orang lain. Lagipula, Kerajaan Bani Israil saat ini sudah menjadi
jajahan Kerajaan Rum, dan bukan lagi sebuah negeri yang merdeka.
Batara Guru marah dan menuduh Batara Wisnu telah bersekongkol dengan kaum Bani Israil.
Batara Guru tetap pada pendirian untuk memaksakan Agama Dewa kepada penduduk Bani Israil,
sebagai balasan atas perbuatan Nabi Sulaiman yang telah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa
dahulu kala. Mengenai Kerajaan Rum yang saat ini berkuasa, itu bisa diatur nanti. Bila perlu, setelah
menaklukkan Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata akan bergerak menaklukkan Kerajaan Rum
sekalian.
Batara Wisnu tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu
untuk mengumpulkan dan memimpin pasukan dewata serta memulai penyerangan.

Batara Sambu

PASUKAN DEWATA MENYERANG BANI ISRAIL


Batara Sambu dan para adik, yaitu Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara
Wisnu, serta beberapa sepupu, yaitu Batara Wrehaspati, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara
Surya, Batara Candra, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya menyusun rencana penyerangan
terhadap Kerajaan Bani Israil sesuai perintah Batara Guru. Sebenarnya Batara Sambu juga kurang
setuju terhadap rencana ini. Akan tetapi, ia tidak memiliki keberanian seperti Batara Wisnu dalam
menentang perintah sang ayah. Ia hanya bisa berharap semoga peperangan kali ini bisa berjalan
dengan baik tanpa menjatuhkan banyak korban. Setelah dirasa cukup, mereka pun menyiapkan
pasukan dewata dan berangkat menuju ke arah barat.
Sesampainya di wilayah Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata mulai mengadakan
pengrusakan. Para penduduk dipaksa untuk meninggalkan Agama Nabi dan beralih memeluk
Agama Dewa. Hanya Batara Wisnu yang terlihat diam saja dengan perasaan sangat prihatin.
KITAB WAYANG PURWA

Pasukan Kerajaan Bani Israil dengan dibantu pasukan Kerajaan Rum mengadakan
perlawanan, namun mereka semua tidak mampu menghadapi kekuatan para dewa. Pasukan
dewata terus-menerus maju menguasai wilayah Bani Israil.

NABI ISA MENCIPTAKAN BURUNG DARA BERBISA


Pada saat itu hidup seorang keturunan Sayidina Anwas yang bernama Nabi Isa. Ia didatangi
para murid yang memohon supaya Nabi Isa turun tangan menyelamatkan Kerajaan Bani Israil dari
kehancuran. Nabi Isa lantas mengambil tanah liat dan membentuknya menjadi boneka burung dara.
Setelah meniupnya, secara ajaib tiba-tiba boneka tanah liat itu hidup menjadi burung dara
sungguhan yang dapat terbang di angkasa, tentu saja atas izin Tuhan Yang Mahakuasa.
Burung dara ajaib itu melesat ke angkasa dan menyerang para dewa. Paruhnya mampu
menyemburkan bisa panas yang melukai kulit para dewa. Selain itu, burung tersebut juga mampu
terbang cepat dan sangat gesit sehingga para dewa tidak mampu menangkapnya. Melihat keadaan
telah berbalik, Batara Sambu pun memerintahkan pasukan dewata supaya mundur kembali ke
Gunung Tengguru.

BATARA GURU MENGUNGSI KE SEBERANG TIMUR


Batara Sambu dan pasukan dewata telah kembali dan menghadap Batara Guru untuk
menyampaikan apa yang telah terjadi. Tak disangka, burung dara ajaib tetap mengejar dan merusak
bangunan kahyangan. Para dewa dan bidadari pontang-panting berlarian terkena semburan bisa
panas dari paruhnya.
Batara Guru sendiri juga kesulitan untuk menangkap burung dara ciptaan Nabi Isa tersebut.
Dalam keadaan terdesak inilah Batara Guru baru menyadari kesalahannya yang telah melanggar
pesan Sanghyang Padawenang untuk tidak mengganggu penduduk Bani Israil.
Batara Guru merasa sangat berduka dan segera memerintahkan semua dewa dan bidadari
untuk mengungsi meninggalkan Kahyangan Tengguru. Para dewa lalu masuk ke dalam Balai
Marcukunda, sedangkan para bidadari masuk ke dalam Balai Marakata. Batara Bayu yang perkasa
lalu mengangkat kedua balai tersebut dan membawanya terbang sekencang-kencangnya ke arah
timur dengan mengerahkan kekuatan angin.
Setelah menyeberangi Samudra Hindia, Batara Bayu sampai di sebuah pulau yang
membentang panjang dari ujung utara-barat dan berbelok ke timur. Pulau tersebut tidak lain adalah
gabungan Sumatra, Jawa, dan Bali di masa sekarang yang saat itu masih satu kesatuan. Batara
Guru lalu memerintahkan Batara Bayu untuk berhenti di Tanah Padang, di bagian Pulau Sumatra
sekarang.

BATARA WISNU MEMUSNAHKAN DARA BERBISA


Setelah Batara Bayu menurunkan kedua balai, tak disangka burung dara ajaib masih mengejar
dan kembali menyemburkan bisa panas ke arah para dewa dan bidadari. Batara Guru curiga melihat
Batara Wisnu yang tetap segar bugar, sama sekali tidak terluka oleh semburan bisa panas tersebut.
Batara Wisnu terpaksa mengaku, bahwa ia diam-diam menjalin persahabatan dengan
Pendeta Usmanaji dari Bani Israil, dan pernah bertukar ilmu dengan orang itu sehingga ia mampu
menangkal semburan bisa panas burung dara tersebut. Batara Guru sangat marah dan menuduh
putra bungsunya itu telah berkhianat.
Batara Wisnu berduka mendapat tuduhan demikian. Ia lantas mohon izin untuk maju
menghadapi si burung dara. Batara Ramayadi melaporkan bahwa dirinya telah menyelesaikan
sebuah senjata ampuh bernama Cakra Sudarsana. Senjata tersebut berwujud piringan bergigi
tajam, yang kemudian dipinjamkan kepada Batara Wisnu atas izin Batara Guru.
Batara Wisnu maju menerima Cakra Sudarsana, kemudian melemparkannya ke arah burung
dara berbisa sambil mengucapkan doa permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa di dalam hati.
Kali ini si burung dara tidak bisa lagi menghindar. Begitu terkena senjata Cakra Sudarsana, burung
ajaib itu langsung hancur berkeping-keping menjadi bara api yang jatuh di kaki Gunung Marapi.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru sangat senang melihat keberhasilan Batara Wisnu dan meminta maaf atas
tuduhan tadi. Ia juga menetapkan bahwa senjata Cakra Sudarsana mulai saat ini resmi menjadi
pusaka pribadi Batara Wisnu. Batara Wisnu sangat berterima kasih dan menerimanya dengan suka
cita.

PARA DEWA TERKENA RACUN CALAKUTA


Tersebutlah seorang raja siluman bernama Danghyang Calakuta yang menguasai segenap
hewan berbisa di Kerajaan Wisabawana yang terletak di kaki Gunung Marapi. Ia sangat terkejut
karena tiba-tiba saja ada sejumlah kepingan bara api yang jatuh menimpa tempat tinggalnya.
Akibatnya, terjadilah kebakaran hebat yang membuat banyak hewan berbisa anak buahnya tewas
menjadi korban.
Danghyang Calakuta sangat marah dan menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi.
Setelah mengetahui kalau bara api tersebut berasal dari bangkai burung dara yang dibunuh dewa,
maka ia pun merencanakan pembalasan yang setimpal. Dengan kesaktiannya, Danghyang
Calakuta lalu mencampurkan racun ganas ke dalam sebuah telaga jernih di kaki Gunung Marapi.
Sementara itu, para dewa dan bidadari merasa sangat kehausan akibat dikejar-kejar burung
dara berbisa tadi. Mereka lalu menemukan telaga jernih di kaki Gunung Marapi dan segera minum
sepuas-puasnya dengan riang gembira. Sungguh aneh, begitu meminum air telaga itu, mereka
semua langsung roboh tak sadarkan diri.
Batara Guru yang belum sempat meminum air telaga tersebut segera melakukan penyelidikan.
Setelah mengetahui kalau air telaga itu mengandung racun, maka ia pun menghirup habis racun
dalam telaga tersebut dan menghentikannya di kerongkongan. Akibatnya, sejak saat itu Batara Guru
pun memiliki leher belang biru sebagai cacat nomor dua, sehingga ia mendapatkan julukan baru
sebagai Sanghyang Nilakanta.
Batara Guru kemudian menyembuhkan para dewa dan bidadari yang keracunan
menggunakan Lata Mahosadi. Setelah sembuh dan bangkit dari sekarat, mereka dipersilakan
minum kembali karena air telaga saat ini sudah bebas dari racun.

BATARA GURU MENGELILINGI PULAU PANJANG


Batara Guru kemudian bertemu dengan Danghyang Calakuta yang telah menebarkan racun
di telaga tadi. Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kemenangan Batara
Guru. Danghyang Calakuta mohon ampun dan menceritakan apa yang telah terjadi pada tempat
tinggalnya di Wisabawana, sehingga ia nekat melakukan pembalasan dengan meracuni air telaga
yang hendak diminum para dewata.
Batara Guru yang saat ini sedang mengalami masa prihatin merasa tidak ada gunanya
memperpanjang kesalahpahaman. Ia pun menerima permohonan ampun Danghyang Calakuta, dan
memintanya untuk menjadi pemandu jalan. Rupanya Batara Guru tertarik melihat pulau panjang
tersebut dan ingin berjalan-jalan mengelilinginya.
Danghyang Calakuta dengan senang hati mengantarkan Batara Guru memeriksa keadaan
pulau dari ujung utara-barat menuju selatan-timur. Pulau tersebut sangat indah dan subur, dengan
gunung-gunung yang berbaris-baris, namun penghuninya hanya terdiri dari kaum bekasakan dan
makhluk halus saja. Setelah selesai berkeliling, Batara Guru pun berterima kasih kepada Danghyang
Calakuta dan mengangkatnya sebagai anggota dewata dengan bergelar Batara Calakuta.
Batara Guru kemudian memberi nama pulau panjang tempatnya tinggal kini dengan sebutan
Pulau Jawa.

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN ARGADUMILAH


Dalam perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, Batara Guru tertarik pada sebuah gunung indah
bernama Gunung Mahendra, yang pada zaman sekarang disebut Gunung Lawu. Ia merasa cocok
berada di sana dan ingin membangun kahyangan baru sebagai tempat tinggal sementara. Kelak jika
sudah aman, ia tentu akan kembali lagi ke Kahyangan Tengguru di Pegunungan Himalaya.
KITAB WAYANG PURWA

Dengan kesaktiannya, Batara Guru pun membangun sebuah kahyangan di puncak Gunung
Mahendra tersebut, yang kemudian ia beri nama Kahyangan Argadumilah. Setelah dirasa cukup,
Balai Marcukunda dan Balai Marakata lalu ditempatkan di dalam kahyangan baru tersebut, sehingga
pemandangan di Kahyangan Argadumilah kini sama persis seperti pemandangan di Kahyangan
Tengguru.

JAKA SENGKALA MENJADI RAJA


Sementara itu di Kerajaan Surati, Prabu Iwasaka telah mendengar berita mengenai
kepindahan Batara Guru ke Pulau Jawa karena dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaaan Nabi Isa.
Prabu Iwasaka merasa sangat prihatin dan berniat menyusul ke sana. Ia pun kembali menjadi Batara
Anggajali dan menyerahkan takhta Kerajaan Surati kepada putranya, yaitu Jaka Sengkala.
Jaka Sengkala menggantikan ayahnya menjadi pemimpin Kerajaan Surati dengan bergelar
Prabu Ajisaka. Setelah upacara pelantikan putranya selesai, Batara Anggajali kemudian melesat
terbang menyusul Batara Guru ke Pulau Jawa dan bergabung dengan para dewata di Kahyangan
Argadumilah.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BATARA KALA LAHIR


Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Batara Kala yang terjadi dari kama salah Batara
Guru, dilanjutkan dengan peristiwa Batari Uma berubah wujud menjadi Batari Durga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

BATARA GURU MENGAJAK BATARI UMA BERPESIAR


Meskipun telah membangun Kahyangan Argadumilah yang tidak kalah indahnya dibanding
Kahyangan Tengguru, namun perasaan Batara Guru masih sangat kecewa atas kekalahannya
melawan mukjizat Nabi Isa. Ia hanya bisa menyesali perbuatannya yang telah menyerang Kerajaan
Bani Israil dan melanggar nasihat Sanghyang Padawenang.
Untuk menghibur diri, Batara Guru mengajak Batari Uma pergi berpesiar menikmati keindahan
Pulau Jawa. Batari Uma awalnya tidak bersedia karena ia mendapatkan firasat akan terjadi hal yang
tidak baik. Namun Batara Guru terus-menerus mendesak sehingga Batari Uma akhirnya menurut
juga.

LAHIRNYA KAMA SALAH


Batara Guru dan Batari Uma pun berangkat dengan mengendarai Lembu Andini. Mereka
terbang di angkasa menikmati keindahan Pulau Jawa dari atas. Ketika melewati Laut Selatan, saat
itu hari sudah menjelang senja. Sinar matahari terbenam yang kemerah-merahan menerpa tubuh
Batari Uma sehingga membuatnya terlihat semakin cantik.
Tiba-tiba saja Batara Guru terbangkit nafsu birahinya. Maklum saja, sejak kelahiran Batara
Wisnu yang melalui ajian Asmaragama, Asmaracipta, dan Asmaraturida, ia tidak pernah lagi
melakukan persetubuhan dengan sang istri, sehingga kali ini nafsunya bagaikan meledak dan
berkobar-kobar.
Batara Guru pun mengajak Batari Uma bersetubuh di atas punggung Lembu Andini saat itu
juga. Batari Uma menolak karena malu, namun Batara Guru terus memaksa dan mengancam
hendak menggunakan kekerasan. Batari Uma mengingatkan Batara Guru selaku raja dewata tidak
sepantasnya bersikap seperti raksasa. Ucapan Batari Uma yang sedang terdesak itu berubah
menjadi kutukan. Seketika, Batara Guru pun mendapatkan cacat ketiga, yaitu memiliki dua buah
taring panjang seperti raksasa. Maka, sejak saat itu Batara Guru mendapatkan julukan baru, yaitu
Sanghyang Randuwana, yang bermakna "memiliki taring seperti buah randu hutan".
Batara Guru sangat murka atas kutukan yang menimpa dirinya. Keinginannya bersetubuh pun
berubah menjadi niat untuk memerkosa istri sendiri. Tubuh Batari Uma kemudian diangkat dan
didudukkan di atas pangkuannya. Karena nafsu birahi sudah tak terkendalikan, air mani Batara Guru
pun memancar keluar. Namun Batari Uma meronta menghindarinya sehingga air mani tersebut jatuh
ke laut. Tiba-tiba saja air laut yang terkena tumpahan air mani sang raja dewata langsung mendidih
dan mengepulkan asap.
KITAB WAYANG PURWA

Kama Salah

KAMA SALAH BERUBAH WUJUD MENJADI RAKSASA


Dengan perasaan kecewa bercampur malu, Batara Guru memutuskan pulang ke Kahyangan
Argadumilah. Tiba-tiba datang dewa penjaga lautan yang bernama Batara Baruna menghadap
kepadanya. Batara Baruna ini adalah putra Batara Gangga, putra Batara Hermaya, putra Sanghyang
Hening, yaitu paman Batara Guru.
Batara Baruna melaporkan bahwa di Laut Selatan telah tercipta api berkobar-kobar yang
menewaskan banyak ikan dan binatang air. Batara Baruna mengaku kesulitan memadamkan api
tersebut, karena semakin dipadamkan justru semakin bertambah besar. Kedatangannya ke
Kahyangan Argadumilah ini adalah untuk memohon bantuan kepada Batara Guru supaya turun
tangan menyelamatkan segenap binatang laut.
Batara Guru paham bahwa api tersebut sesungguhnya berasal dari "kama salah", yaitu luapan
nafsu birahi salah tempat yang tadi tumpah dan membuat air laut mendidih. Rupanya gelembung
kama salah tersebut kini telah berkembang dan tumbuh menjadi api yang berkobar-kobar. Batara
Guru lalu memerintahkan Batara Sambu supaya memimpin para adik dan para sepupu untuk
memadamkan kobaran Kama Salah tersebut.
Batara Sambu dan pasukan dewata telah tiba di Laut Selatan dan mengepung api yang
berkobar-kobar itu. Mereka lantas mengerahkan segala cara untuk memadamkan api Kama Salah.
Namun, bukannya padam, api tersebut justru berkobar semakin besar. Para dewa lantas
melemparkan berbagai senjata pusaka ke dalam kobaran api. Namun, secara ajaib api itu justru
berubah wujud menjadi raksasa mengerikan. Semakin para dewa menghujaninya dengan senjata,
raksasa itu justru semakin bertambah besar dan kuat.
Raksasa Kama Salah itu lalu mengamuk melakukan serangan balasan. Para dewa pun kocar-
kacir dibuatnya. Mereka berhamburan terbang kembali ke Kahyangan Argadumilah. Si Kama Salah
terus mengejar sambil menanyakan siapa dirinya, dan siapa orang tuanya.

KAMA SALAH MENDAPAT NAMA BATARA KALA


Kama Salah mengejar para dewa sampai memasuki Kahyangan Argadumilah. Batara Guru
dengan tenang menyambut kedatangannya dan menyuruhnya duduk di lantai. Kama Salah heran
melihat wujud Batara Guru yang jauh lebih kecil dari dirinya namun berani memberikan perintah
begitu saja. Batara Guru pun memperkenalkan diri sebagai raja dewata, penguasa seluruh dunia.
Kama Salah merasa kebetulan, karena Batara Guru pasti bisa menceritakan siapa asal-usulnya,
dan siapa orang tuanya.
Batara Guru bersedia menceritakan asal-usul Kama Salah apabila raksasa tersebut
memberikan sembah bakti yang tulus kepadanya. Kama Salah pun membungkuk menghaturkan
KITAB WAYANG PURWA

sembah. Pada saat itulah Batara Guru tiba-tiba memangkas rambut raksasa itu. Kama Salah terkejut
dan mendongak. Secepat kilat Batara Guru memotong dua buah taringnya, dan menusuk lidahnya
hingga semua bisa di dalam mulut raksasa itu mengalir keluar. Begitu kehilangan dua buah taring
dan bisa di lidahnya, tubuh Kama Salah langsung lemas tak berdaya dan terkulai di lantai.
Batara Guru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Kama Salah. Sejak hari itu
Kama Salah diakuinya sebagai putra, dan diberi nama Batara Kala, karena lahir pada saat
senjakala. Putra nomor enam itu lalu diperintahkan untuk tinggal di Pulau Nusakambangan yang
terletak di Laut Selatan. Batara Kala berterima kasih dan berangkat menuruti perintah sang ayah.
Batara Guru kemudian menyerahkan kedua taring Batara Kala yang dipotongnya tadi kepada
Batara Ramayadi dan Batara Anggajali supaya ditempa menjadi senjata. Kedua empu kahyangan
itu lalu mengubah taring-taring tersebut menjadi dua bilah keris pusaka, yang diberi nama Keris
Kalanadah dan Keris Kaladite.

BATARI UMA DIKUTUK MENJADI BATARI DURGA


Berita tentang Batara Guru memiliki anak berwujud raksasa besar dan mengerikan telah
membuatnya merasa sangat malu. Ia pun menimpakan kesalahan kepada Batari Uma yang
seharusnya tidak menolak sewaktu diajak bersetubuh di atas punggung Lembu Andini tadi. Batara
Guru pun menemui Batari Uma dan menceritakan segalanya. Ia memarahi Batari Uma sebagai istri
tidaklah pantas menolak perintah suami.
Batari Uma balas mengatakan bahwa terciptanya Batara Kala tidak lain karena kesalahan
Batara Guru sendiri yang tidak dapat mengendalikan nafsu birahi. Jawaban ini membuat Batara
Guru tersinggung dan semakin marah. Batara Guru lalu menjambak rambut sang istri dan memukuli
badannya. Kedua kaki Batari Uma diangkat sehingga tubuhnya pun tergantung dengan kepala di
bawah.
Batari Uma menjerit memohon ampun dengan suara yang melengking menyayat hati. Batara
Guru tidak peduli dan menyebut jeritan Batari Uma itu seperti suara raksasi. Karena Batara Guru
memiliki ajian Kawastrawam, membuat apa yang ia ucapkan menjadi kenyataan. Seketika wujud
Batari Uma pun berubah menjadi raksasi buruk rupa.
Batara Guru menyesali kutukannya, namun semua sudah terlambat. Sejak saat itu Batari Uma
diganti namanya menjadi Batari Durga dan diperintahkan untuk tinggal di Hutan Setragandamayit,
memimpin para hantu dan siluman. Kelak ia akan berubah cantik kembali jika diruwat oleh seorang
yang paling muda dari lima bersaudara Pandawa.
Batari Uma yang telah berganti nama menjadi Batari Durga itu pun menerima keputusan sang
suami dengan perasaan sedih. Ia lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Argadumilah dan pergi
ke Hutan Setragandamayit untuk membangun kahyangan pribadi di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

CUPU LINGGAMANIK
Kisah ini menceritakan awal mula Batara Narada diangkat menjadi penasihat kahyangan oleh
Batara Guru, serta dilanjutkan dengan pengangkatan Batara Anantaboga sebagai dewa
penguasa para ular, serta awal mula Batara Guru memiliki empat lengan dan menikahi Batari
Umaranti.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan beberapa sumber lain dalam Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai
Pustaka.

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA


Di Kahyangan Argadumilah, Batara Guru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara
Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan berita meninggalnya
Nabi Isa yang kemudian dibangkitkan kembali dan diangkat naik ke Surga. Tak terasa sudah lima
belas tahun para dewata berkahyangan di Pulau Jawa, dan inilah saatnya untuk kembali lagi ke
Pegunungan Himalaya.
Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun memimpin perjalanan para dewata kembali menuju
Gunung Tengguru. Kahyangan Argadumilah di Gunung Mahendra seketika menjadi kosong tak
berpenghuni setelah kepergian mereka.
Sesampainya di Pegunungan Himalaya, para dewata sangat prihatin melihat keadaan
Kahyangan Tengguru yang porak poranda akibat serangan burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa
dulu. Batara Guru berpendapat, kahyangan yang sudah rusak sebaiknya tidak ditempati lagi. Ia
kemudian terbang ke angkasa untuk melihat ke sekeliling Pegunungan Himalaya. Akhirnya, pilihan
pun jatuh kepada sebuah gunung bernama Gunung Kailasa.
Batara Guru lalu membangun kahyangan baru di atas Gunung Kailasa tersebut. Balai
Marcukunda dan Balai Marakata ditempatkan di dalamnya, serta dibangun pula sepasang pintu
gerbang bernama Kori Selamatangkep yang bisa membuka dan menutup sendiri tergantung tamu
yang datang berniat baik ataukah buruk.
Kahyangan baru tersebut akhirnya selesai dibangun dan diberi nama Kahyangan
Jonggringsalaka, karena memancarkan sinar putih keperakan. Para dewa juga membangun
kahyangan pribadi sebagai tempat tinggal masing-masing. Batara Sambu tinggal di Kahyangan
Suwelagringging, Batara Brahma tinggal di Kahyangan Duksinageni, Batara Indra tinggal di
Kahyangan Karang Kaindran, Batara Bayu tinggal di Kahyangan Swargapanglawung, Batara Wisnu
tinggal di Kahyangan Utarasegara, Batara Yamadipati tinggal di Kahyangan Yamaniloka, Batara
Kamajaya tinggal di Kahyangan Cakrakembang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

PARA DEWA BERTEMU MAHARESI KANEKAPUTRA


Beberapa tahun kemudian Batara Guru melihat adanya sinar teja atau pelangi tegak lurus di
sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Ia pun memerintahkan para putra untuk menyelidiki asal-
usul sinar teja tersebut. Batara Sambu lalu berangkat bersama keempat adiknya.
KITAB WAYANG PURWA

Para dewa itu terbang menuju selatan dan akhirnya sampai di Samudera Hindia. Mereka
melihat seorang laki-laki bertapa dengan duduk samadi di atas ombak laut sambil tangannya
menggenggam sebuah cupu yang bersinar indah. Batara Sambu dan yang lain pun membangunkan
laki-laki itu dan menanyakan apa maksud dan tujuannya bertapa.
Laki-laki itu mengaku bernama Maharesi Kanekaputra yang bertapa ingin menjadi penasihat
raja dewa. Batara Sambu dan para adik pun menertawakannya, kecuali Batara Wisnu yang memiliki
firasat kalau laki-laki ini benar-benar memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi.
Maharesi Kanekaputra tidak peduli dan kembali bertapa. Batara Sambu merasa diacuhkan,
dan ia pun memerintahkan para adik untuk membangunkan petapa itu dengan paksa. Tiba-tiba saja
tubuh Maharesi Kanekaputra mengeluarkan tenaga dahsyat yang mendorong para dewa itu
terlempar kembali ke utara, kecuali Batara Wisnu yang sejak awal tidak ikut mengganggunya. Batara
Wisnu mohon pamit dengan hormat lalu melesat menyusul kakak-kakaknya.

Batara Narada

BATARA GURU MENGHADAPI MAHARESI KANEKAPUTRA


Batara Guru datang menemui Maharesi Kanekaputra setelah mendapat laporan kekalahan
putra-putranya. Batara Guru sangat heran mengapa ada seorang maharesi yang bertapa ingin
menjadi penasihat kahyangan. Maka, selaku raja dewa ia pun mengajukan beberapa pertanyaan
untuk menguji ilmu pengetahuan petapa tersebut.
Maharesi Kanekaputra menjawab setiap pertanyaan Batara Guru dengan gaya bercanda,
namun setiap jawabannya selalu benar. Batara Guru merasa kagum sekaligus kesal melihat
Maharesi Kanekaputra yang tingkah lakunya seperti pelawak itu. Maka, ia pun tak kuasa menahan
diri dan menyebut lawan bicaranya itu seperti badut. Ucapan tersebut disertai Aji Kawastrawam
sehingga wujud Maharesi Kanekaputra dalam sekejap berubah bentuk menjadi laki-laki bertubuh
pendek dan gemuk seperti badut, dengan wajah lucu yang selalu mendongak ke atas.
Batara Guru menyesali ucapannya namun semuanya sudah terlambat. Ia kemudian
menelusuri asal-usul Maharesi Kanekaputra yang tidak lain adalah kakak sepupunya sendiri, yaitu
putra Sanghyang Caturkaneka, atau cucu Sanghyang Darmajaka. Batara Guru pun memohon maaf
dan mengabulkan keinginan Maharesi Kanekaputra menjadi penasihat kahyangan, karena selama
ini ia sering berbuat khilaf karena terlalu berkuasa tanpa ada yang mengendalikan. Maharesi
Kanekaputra menerima permohonan tersebut, dan ia pun memakai nama Batara Narada.
Sejak saat itu Batara Narada menjadi penasihat Batara Guru, dan ia mendapatkan Kahyangan
Sidiudal-udal sebagai tempat tinggal. Ia juga menyerahkan Cupu Linggamanik yang selalu
digenggamnya sewaktu bertapa kepada Batara Guru sebagai pelengkap pusaka Kahyangan
Jonggringsalaka. Cupu Linggamanik tersebut adalah pemberian ayahnya, yaitu Sanghyang
Caturkaneka yang berisikan air Tirta Mayahadi.
KITAB WAYANG PURWA

BATARA ANANTABOGA DAN BATARA BASUKI


Pada suatu hari Cupu Linggamanik tiba-tiba terbang sendiri meninggalkan ruang pusaka
Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk mencari ke mana
hilangnya cupu pusaka tersebut.
Cupu Linggamanik ternyata masuk ke Kahyangan Saptapretala di dasar bumi dan ditemukan
oleh seekor naga yang sedang bertapa. Naga itu bernama Adisesa yang langsung menangkap cupu
pusaka tersebut dengan mulutnya.
Para dewa datang dan menuduh Naga Adisesa telah mencuri Cupu Linggamanik. Naga
Adisesa tidak terima dan terjadilah pertempuran. Tidak lama kemudian muncul adik Naga Adisesa
bernama Naga Basuki yang segera membantu sang kakak. Para dewa terdesak kewalahan dan
akhirnya kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melaporkan apa yang terjadi.
Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang ke Kahyangan Saptapratala untuk
menanyai Naga Adisesa dan Naga Basuki secara baik-baik. Ternyata Batara Guru dapat menebak
asal-usul kedua naga tersebut yang terhitung masih kerabat sendiri. Ayah Batara Guru yaitu
Sanghyang Tunggal memiliki adik perempuan bernama Dewi Suyati yang menikah dengan jin
berwujud naga bernama Anantawasesa. Dari perkawinan itu lahir dua ekor naga bernama
Anantaswara dan Anantadewa. Anantaswara memiliki anak perempuan bernama Dewi Basu,
sedangkan Anantadewa memiliki putra bernama Anantanaga. Anantanaga dan Dewi Basu
kemudian dinikahkan, sehingga lahir dua ekor naga bernama Adisesa dan Basuki tersebut.
Karena Batara Guru datang secara baik-baik, Naga Adisesa pun menyerahkan Cupu
Linggamanik dengan cara yang baik pula. Sebagai rasa terima kasih, Naga Adisesa dan Naga
Basuki diangkat menjadi dewa dan masing-masing diberi gelar Batara Anantaboga dan Batara
Basuki. Batara Anantaboga ditunjuk sebagai pemimpin para ular yang hidup di darat, sedangkan
Batara Basuki menjadi pemimpin para ular yang hidup di air.
Setelah dirasa cukup, Batara Guru dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan
Jonggringsalaka dengan membawa Cupu Linggamanik.

KELAHIRAN BAYI DARI BUAH RANTI


Sejak kepergian Batari Uma menjadi Batari Durga yang tinggal di Kahyangan
Setragandamayit, Batara Guru merasa kesepian dan kehilangan rekan untuk dimintai pertimbangan.
Ia pun meminta kepada mertuanya, yaitu Saudagar Umaran untuk dicarikan istri yang wajahnya
mirip dengan Batari Uma. Saudagar Umaran tidak tahu bagaimana caranya, namun ia juga tidak
berani menolak permintaan sang raja dewata.
Saudagar Umaran kemudian pulang ke Kerajaan Merut dan bersamadi di kebun buah ranti di
pekarangan istananya. Setelah beberapa lama, tapa brata Saudagar Umaran tersebut akhirnya
dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba saja ada sebutir buah ranti yang membesar
ukurannya sedikit demi sedikit. Saudagar Umaran lalu membuka buah ranti berukuran besar
tersebut, ternyata di dalamnya berisikan seorang bayi.
Akan tetapi, bayi ajaib itu tiba-tiba terbang melesat ke arah timur. Saudagar Umaran pun
bergegas mengejar ke mana perginya. Ternyata bayi itu melayang-layang memasuki Kahyangan
Jonggringsalaka dan membuat suasana menjadi gempar. Para dewa berusaha menangkapnya
namun tidak ada yang mampu. Saudagar Umaran datang melapor kepada Batara Guru bahwa bayi
itu adalah bayi ajaib yang tercipta dari dalam buah ranti di pekarangan istananya.
Batara Guru pun turun tangan berusaha ikut menangkap si bayi namun selalu gagal. Ia merasa
sangat kesal dan berkata andai saja dirinya memiliki empat lengan, tentu bisa menangkap bayi
tersebut. Seketika ucapan yang disertai Aji Kawastrawam itu menjadi kenyataan. Tiba-tiba saja
lengan Batara Guru berubah menjadi empat. Tanpa pikir lagi, ia pun melesat dan berhasil
menangkap kedua tangan dan kedua kaki si bayi menggunakan keempat lengannya itu.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru berlengan empat

BATARA GURU MENIKAHI BATARI UMARANTI


Batara Guru mengamati wujud si bayi ajaib yang ternyata memiliki kelamin ganda. Ia lalu
meruwat bayi tersebut menggunakan siraman air Tirta Mayahadi dalam Cupu Linggamanik,
sehingga kelamin laki-laki pada si bayi musnah dan yang tertinggal hanya kelamin perempuan saja.
Batara Guru lalu menyiramkan Tirta Mayahadi untuk yang kedua kalinya. Secara ajaib, bayi itu
langsung berubah menjadi perempuan dewasa seketika.
Batara Guru dan Saudagar Umaran sangat gembira karena wajah perempuan tersebut sama
persis dengan Batari Uma. Batara Guru juga berkenan menjadikannya sebagai istri sebagai
pengganti Batari Uma. Perempuan itu lalu diberi nama Batari Umaranti, karena tercipta dari buah
ranti.
Pernikahan antara Batara Guru dengan Batari Umaranti akhirnya dikaruniai tiga orang putra,
yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BATARA GANA LAHIR


Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Ganesa atau Ganapati, yaitu dewa berkepala gajah,
serta awal mula Prabu Ajisaka menjadi Empu Sengkala.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang
dipadukan dengan Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit
pengembangan.

PRABU AJISAKA KEHILANGAN TAKHTA


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Sambu untuk sementara memimpin pertemuan,
karena saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, dengan tujuan menyerap sisa-
sisa daya perbawa yang tertinggal di kahyangan lama untuk dipindahkan ke kahyangan baru.
Tiba-tiba datang Prabu Ajisaka, putra Batara Anggajali, yang melaporkan bahwa Kerajaan
Surati telah hancur diserang musuh raksasa bernama Prabu Nilarudraka dari Kerajaan Glugutinatar.
Prabu Ajisaka mohon ampun karena tidak mampu mempertahankan negeri anugerah Batara Guru
tersebut. Ia juga melaporkan bahwa selama para dewa berkahyangan di Tanah Jawa, Prabu
Nilarudraka dan pasukannya telah banyak menaklukkan raja-raja di Tanah Hindustan.
Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Nilarudraka yang bernama Patih Senarudraka
menghadap Batara Sambu untuk meminta supaya Prabu Ajisaka diserahkan kepadanya. Tidak
hanya itu, ia juga meminta agar para dewa mengakui kekuasaan Prabu Nilarudraka.
Batara Sambu marah mendengar permintaan tersebut. Ia pun mempersilakan Patih
Senarudraka menunggu di luar karena permintaan tersebut akan dihadapi dengan pertempuran.

PARA DEWA KALAH PERANG MELAWAN PATIH SENARUDRAKA


Patih Senarudraka memimpin pasukan raksasa menghadapi pasukan dewata yang dipimpin
langsung oleh Batara Sambu. Perang besar pun terjadi. Para dewa merasa kesulitan tidak mampu
mengalahkan kekuatan para raksasa Kerajaan Glugutinatar tersebut. Akhirnya, Batara Sambu pun
menarik mundur pasukan dewata dan menutup rapat-rapat gerbang Kori Selamatangkep.
Melihat pihak lawan mundur ke dalam kahyangan, Patih Senarudraka pun mendirikan
perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, untuk mengepung jalur masuk menuju Kahyangan
Jonggringsalaka. Sementara itu, Prabu Nilarudraka yang menduduki Kerajaan Surati mengirim
kabar bahwa dirinya telah bergerak untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang lain.

PARA DEWA MEMINTA PETUNJUK SANGHYANG PADAWENANG


Setelah para dewa masuk kembali ke dalam Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Narada
menyarankan agar Batara Sambu meminta petunjuk Sanghyang Padawenang di Kahyangan
Awang-Awang Kumitir. Batara Sambu pun menugasi Batara Wisnu dan Batara Kamajaya untuk
KITAB WAYANG PURWA

pergi ke sana. Kedua dewa itu mohon pamit dan berangkat dengan mengerahkan Aji Panglimunan
sehingga tidak terlihat oleh pasukan Patih Senarudraka yang berkemah.
Sesampainya di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya
segera meminta petunjuk Sanghyang Padawenang dalam menghadapi serangan Kerajaan
Glugutinatar. Menghadapi Patih Senarudraka saja sudah sulit, apalagi menghadapi Prabu
Nilarudraka. Bahkan, Batara Wisnu yang sangat sakti saja tidak mampu mengalahkan mereka.
Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa takdir kematian Prabu Nilarudraka bukan di
tangan Batara Wisnu, tetapi di tangan adiknya yang kelak lahir dari Dewi Parwati, putri Kerajaan
Giriprawata. Namun saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, sehingga perlu
dibangunkan dan dipertemukan dengan putri tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya pun mohon pamit
untuk kemudian berangkat menemui Batara Guru di Gunung Tengguru.

BATARA GURU MEMBAKAR BATARA KAMAJAYA


Batara Guru sedang tekun bersamadi di puing-puing bekas reruntuhan Kahyangan Tengguru.
Batara Wisnu dan Batara Kamajaya datang menghadap. Mereka berusaha membangunkan Batara
Guru namun tidak berhasil. Batara Kamajaya akhirnya mohon izin untuk menggunakan Panah
Pancawisaya, yang berguna untuk membangkitkan gairah dan rasa cinta di hati Batara Guru.
Setelah Batara Wisnu mengizinkan, Batara Kamajaya pun melepaskan Panah Pancawisaya
dan mengenai dada Batara Guru. Seketika Batara Guru dalam samadinya pun bermimpi melihat
seorang putri cantik bernama Dewi Parwati putri Kerajaan Giriprawata. Namun begitu terbangun, ia
sangat marah karena mengetahui ternyata itu semua adalah ulah Batara Kamajaya yang berusaha
membangkitkan nafsu birahinya. Tak kuasa menahan murka, Batara Guru pun bertriwikrama
menjadi Sanghyang Rudrapati, yang memiliki mata ketiga di dahi. Mata ketiga itu lalu memancarkan
sorot api yang langsung membakar Batara Kamajaya menjadi abu.
Batara Wisnu memohon supaya Batara Guru meredam kemarahan dan ia pun menceritakan
apa yang telah terjadi. Setelah menyadari duduk permasalahannya, Batara Guru pun kembali ke
wujud semula dan merasa berduka. Ia lalu memerintahkan Batara Wisnu mengumpulkan abu
jenazah Batara Kamajaya dan membawanya pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Ia sendiri
kemudian terbang menuju Kerajaan Giriprawata untuk menikahi Dewi Parwati sesuai petunjuk
Sanghyang Padawenang.

BATARA GURU MENIKAHI DEWI PARWATI


Di Kerajaan Giriprawata, Prabu Himawan dan Dewi Minawati menyambut kedatangan Batara
Guru dengan penuh hormat. Mereka berdua menerima dengan suka cita saat Batara Guru
menyampaikan maksud kedatangannya ingin melamar Dewi Parwati, putri mereka, sebagai istri.
Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Batara Guru dengan Dewi Parwati. Setelah itu,
Batara Guru kemudian mohon pamit memboyong Dewi Parwati untuk tinggal di Kahyangan
Jonggringsalaka.

BATARA GURU MENGHIDUPKAN BATARA KAMAJAYA DAN BATARI RATIH


Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Dewi Parwati melihat para
dewa dan bidadari sedang berkabung di hadapan abu jenazah berjumlah dua. Rupanya Batari Ratih
sangat berduka mengetahui Batara Kamajaya mati terbakar, dan ia pun melakukan bela pati ikut
membakar diri menyusul sang suami.
Para dewa memohon kepada Batara Guru supaya menghidupkan kembali pasangan suami-
istri tersebut. Batara Guru lalu menyiram kedua abu jenazah itu menggunakan air kehidupan
Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, kedua abu jenazah pun berubah wujud menjadi Batara
Kamajaya dan Batari Ratih seperti sedia kala.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Kamajaya

KELAHIRAN BATARA GANAPATI


Sudah lima bulan lamanya Patih Senarudraka berkemah di kaki Gunung Jamurdipa
mengepung Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu Dewi Parwati sudah mengandung pula.
Para dewa berharap bayi yang akan dilahirkannya itulah yang kelak bisa mengalahkan musuh dari
Kerajaan Glugutinatar.
Sementara itu Prabu Nilarudraka telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di segenap penjuru
Tanah Hindustan. Kerajaan terakhir yang ia kalahkan adalah Kerajaan Giriprawata, di mana ia
berhasil menawan Prabu Himawan dan Dewi Minawati. Maka, tiba saatnya Prabu Nilarudraka
bergabung dengan Patih Senarudraka di kaki Gunung Jamurdipa untuk bersama-sama menyerbu
Kahyangan Jonggringsalaka.
Para dewa menjadi panik mendengar Prabu Nilarudraka telah datang di perkemahan Gunung
Jamurdipa. Padahal, usia kandungan Dewi Parwati belum mencapai masa kelahiran. Para dewa
akhirnya bertekad untuk bertempur mati-matian melawan Prabu Nilarudraka dan Patih Senarudraka
dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada.
Batara Guru mengajak Dewi Parwati menyaksikan para dewa mempersiapkan pasukan di
halaman Kahyangan Jonggringsalaka yang disebut Repat Kepanasan. Pada saat melihat gajah
yang dikendarai Batara Indra, Dewi Parwati menjerit ngeri. Gajah tersebut bernama Gajah Erawata
yang berukuran sangat besar, membuat Dewi Parwati ketakutan dan janin yang ada di dalam
rahimnya ikut berontak.
Melihat keadaan yang tidak baik itu, Batara Guru pun menggunakan kesaktiannya untuk
membantu sang istri melahirkan sebelum waktunya. Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang
anehnya berkepala gajah. Para dewa terheran-heran, namun mereka berharap bayi berwujud aneh
inilah yang bisa mengalahkan musuh sesuai ramalan Sanghyang Padawenang.
Batara Guru kemudian menyiram putranya yang berkepala gajah itu menggunakan Tirtamarta
Kamandanu. Secara ajaib, bayi tersebut langsung berubah dewasa dan diberi nama Batara
Ganapati atau Batara Ganesa.

BATARA GANAPATI MENGALAHKAN PATIH SENARUDRAKA


Di perkemahan pasukan Glugutinatar, Prabu Nilarudraka sedang menyusun rencana
penyerbuan bersama Patih Senarudraka. Tiba-tiba mereka mendengar pasukan dewata telah
membuka gerbang Kori Selamatangkep dan melakukan serangan balasan dengan dipimpin seorang
dewa yang baru lahir bernama Batara Ganapati.
Patih Senarudraka maju menghadapi Batara Ganapati. Begitu berhadap-hadapan, Patih
Senarudraka langsung tertawa geli melihat ada seorang dewa bertubuh gagah tapi berkepala gajah.
Sungguh ajaib, gara-gara menertawakan wujud Batara Ganapati, seketika seluruh tubuh Patih
KITAB WAYANG PURWA

Senarudraka pun berubah menjadi seekor gajah. Ia sangat menyesal mengetahui kesaktian Batara
Ganapati dan menyatakan tunduk kepadanya.
Melihat patihnya berubah menjadi gajah dan menyerah kepada musuh, Prabu Nilarudraka
sangat marah dan maju menyerang Batara Ganapati. Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua pihak
sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Nilarudraka ternyata benar-benar perkasa sehingga
pantas kalau ia berani menaklukkan para raja di Tanah Hindustan dan kemudian menyerbu
kahyangan. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulitnya.
Akan tetapi, setelah bertempur sekian lama Batara Ganapati akhirnya berhasil mematahkan
kedua taring Prabu Nilarudraka dan menusukkannya ke leher raja raksasa tersebut. Begitu tertusuk
taringnya sendiri, Prabu Nilarudraka langsung roboh kehilangan nyawa.

BATARA GANAPATI MENDAPAT KAHYANGAN GLUGUTINATAR


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa dalam suasana suka cita
karena pihak musuh telah berhasil dihancurkan. Kerajaan Glugutinatar milik Prabu Nilarudraka kini
diubah menjadi kahyangan tempat tinggal Batara Ganapati. Para raja yang ditawan dan kerajaannya
direbut Prabu Nilarudraka juga dibebaskan dan dikembalikan ke negeri masing-masing. Termasuk
di antara mereka adalah Prabu Himawan dan Dewi Minawati dari Kerajaan Giriprawata.
Sementara itu, Patih Senarudraka yang kini berwujud gajah telah menyatakan sumpah setia
kepada Batara Guru. Ia kemudian mendapatkan nama baru, yaitu Gajah Sena, dan diserahkan
kepada Batara Bayu untuk mengabdi kepadanya.

Batara Ganapati

PRABU AJISAKA MENJADI EMPU SENGKALA


Batara Guru lalu menerima kedatangan Batara Anggajali bersama putranya, yaitu Prabu
Ajisaka. Setelah Kerajaan Surati direbut Prabu Nilarudraka, Prabu Ajisaka mengungsi ke
Kahyangan Jonggringsalaka dan banyak membantu sang ayah dalam membuat senjata-senjata
kahyangan untuk menghadapi pasukan raksasa Glugutinatar. Kini Prabu Ajisaka telah menguasai
segala ilmu pembuatan senjata, dan ia telah berganti nama menjadi Empu Sengkala.
Batara Guru sangat senang melihat pengabdian Empu Sengkala, namun tidak
mengizinkannya kembali ke Kerajaan Surati yang telah hancur itu. Batara Guru meramalkan, kelak
Empu Sengkala akan mendapatkan tugas untuk mengisi Pulau Jawa di seberang lautan dengan
penduduk manusia. Maka, sebelum saat itu tiba, Empu Sengkala pun diperintahkan untuk bertapa
di pulau panjang tersebut.
Empu Sengkala mematuhi perintah sang raja dewa dan ia segera mohon pamit berangkat ke
Pulau Jawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PENUMBALAN TANAH JAWA


Kisah ini menceritakan bagaimana awal mula Pulau Jawa diisi penduduk manusia. Juga
dikisahkan bagaimana Empu Sengkala membantu memasang tumbal di Pulau Jawa yang angker
sehingga menjadi aman untuk dihuni manusia.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

Empu Sengkala

EMPU SENGKALA BERANGKAT KE PULAU JAWA


Batara Anggajali di tempat pembuatan senjata kahyangan menerima kedatangan Empu
Sengkala yang hendak pergi bertapa di Pulau Jawa atas perintah Batara Guru. Batara Anggajali pun
membekali putranya itu dengan mengajarkan beberapa tambahan ilmu kesaktian dan nasihat
kehidupan. Setelah dirasa cukup, ia lalu memberikan doa restu agar sang putra selalu mendapatkan
keselamatan dalam perjalanannya.
Setelah berlayar menyeberangi lautan luas, Empu Sengkala akhirnya tiba di Pulau Jawa yang
saat itu masih tersambung dengan Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Butuh waktu seratus tiga hari
bagi Empu Sengkala untuk berkeliling menjelajahi pulau tersebut dari Tanah Aceh di ujung barat
laut sampai ke Bali. Pulau tersebut benar-benar sepi dan hanya dihuni oleh para makhluk halus,
siluman, bekasakan, dan binatang buas.
Setelah selesai berkeliling, Empu Sengkala lalu membangun tempat tinggal di Gunung
Dihyang, dengan diberi nama Padepokan Purwapada.

EMPU SENGKALA MENCIPTAKAN PENANGGALAN


Empu Sengkala mulai bertapa di Padepokan Purwapada. Karena daya perbawa yang ia
pancarkan, tidak ada makhluk halus yang berani mengganggunya. Setelah beberapa hari bertapa
ia pun didatangi oleh Batari Srilaksmi yang memancarkan cahaya putih. Batari Srilaksmi
mengajarkan kepadanya ilmu Asmaragama, Asmaranala, Asmaratura, Asmaraturida, dan
Asmarandana. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Pada hari kedua, Empu Sengkala didatangi Batara Kala yang memancarkan cahaya kuning.
Batara Kala mengajarkan berbagai macam ilmu sihir, kemayan, dan panggendaman. Setelah Empu
Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Pada hari ketiga, Empu Sengkala didatangi Batara Brahma yang memancarkan cahaya
merah. Batara Brahma mengajarkan berbagai macam ilmu ramalan dan kemampuan melihat masa
depan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
KITAB WAYANG PURWA

Pada hari keempat, Empu Sengkala didatangi Batara Wisnu yang memancarkan cahaya
hitam. Batara Wisnu mengajarkan berbagai macam ilmu kesaktian dan siasat peperangan. Setelah
Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Pada hari kelima, Empu Sengkala didatangi Batara Guru yang memancarkan cahaya
mancawarna. Batara Guru mengajarkan ilmu kesempurnaan dan ilmu panitisan. Setelah Empu
Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, Empu Sengkala kemudian membuat sebuah
penanggalan yang dalam satu pekan terdiri atas lima hari, yaitu hari Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan
Guru. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala bersamadi menghadap ke
selatan, pada hari Brahma bersamadi menghadap ke barat, pada hari Wisnu bersamadi menghadap
ke utara, dan pada hari Guru bersamadi menunduk ke bumi, serta mendongak ke angkasa.
Penanggalan yang diciptakan Empu Sengkala tersebut kemudian diberi nama Tahun
Suryasengkala dan Tahun Candrasengkala. Jika Suryasengkala didasarkan pada peredaran bumi
terhadap matahari, maka Candrasengkala didasarkan pada peredaran bulan terhadap bumi.

PENDUDUK NEGERI RUM MENGISI PULAU JAWA


Tersebutlah raja Kerajaan Rum bernama Maharaja Galbah. Pada suatu hari ia memimpin
pertemuan dengan dihadap sang putra bernama Pangeran Oto, dan menteri utama bernama Patih
Amirulsamsu. Yang dibicarakan adalah perihal mimpi Maharaja Galbah, yaitu ia mendapatkan
perintah dari suara gaib agar mengisi Pulau Jawa di seberang lautan timur. Pulau tersebut sangat
subur namun hanya dihuni kaum bekasakan dan makhluk halus, tanpa ada manusia sama sekali di
dalamnya.
Maharaja Galbah bertanya kepada para pendeta kerajaan dan mereka menjelaskan bahwa
suara gaib dalam mimpi tersebut adalah perintah Tuhan Yang Mahakuasa agar dilaksanakan. Maka,
Maharaja Galbah pun mengutus Patih Amirulsamsu untuk memimpin sebagian penduduk Kerajaan
Rum pindah dan bermukim di Pulau Jawa.
Patih Amirulsamsu berangkat dengan membawa dua puluh ribu orang penduduk Rum
menyeberang lautan luas. Sesampainya di Pulau Jawa, orang-orang Rum tersebut bergotong
royong membuka hutan dan mendirikan perkampungan. Setelah dirasa cukup, Patih Amirulsamsu
lalu kembali untuk melapor kepada Maharaja Galbah.
Sepeninggal Sang Patih, orang-orang Rum di Pulau Jawa banyak yang jatuh sakit dan
meninggal karena tidak tahan hawa panas serta diganggu makhluk halus, atau ada pula yang
dimangsa binatang buas. Dalam waktu tiga tahun saja yang tersisa hanya tinggal dua puluh orang
dan mereka memutuskan untuk pulang ke Negeri Rum.

PANDITA USMANAJI BERANGKAT KE PULAU JAWA


Maharaja Galbah sangat sedih mendengar laporan bahwa dari dua puluh ribu orang yang
menghuni Pulau Jawa hanya tersisa dua puluh orang saja dan mereka memilih pulang kembali ke
Negeri Rum. Patih Amirulsamsu berpendapat bahwa Pulau Jawa terlalu angker untuk ditempati
manusia, dan untuk itu perlu dipasangi tumbal penakluk makhluk halus. Sang Patih melaporkan
bahwa di Negeri Bani Israil hidup seorang pendeta berilmu tinggi bernama Pandita Usmanaji yang
kiranya bisa melaksanakan tugas berat ini.
Kerajaan Bani Israil sudah lama menjadi negeri jajahan Kerajaan Rum, sehingga Maharaja
Galbah dapat leluasa memanggil Pandita Usmanaji untuk menghadap dan menerima perintah
darinya. Pandita Usmanaji tiba di kerajaan dan menyatakan siap melaksanakan perintah itu. Ia lalu
mohon pamit berlayar ke Pulau Jawa dengan diiringi sejumlah pendeta lainnya.

EMPU SENGKALA MEMBANTU PENUMBALAN PULAU JAWA


Setelah berlayar beberapa bulan, rombongan Pandita Usmanaji akhirnya tiba dan mendarat
di Pulau Jawa. Berkat kesaktiannya, Pandita Usmanaji dapat merasakan bahwa di pulau tersebut
KITAB WAYANG PURWA

ternyata ada seorang manusia sedang bertapa di Gunung Dihyang. Didatanginya gunung tersebut
dan ditemuinya sang pertapa, yang ternyata Empu Sengkala, muridnya sendiri.
Empu Sengkala sangat terharu dan gembira bisa bertemu sang guru di pulau sunyi ini. Ia pun
menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak berpisah dulu, antara lain pernah menjadi raja
Kerajaan Surati dan akhirnya mendapatkan perintah dari Batara Guru untuk bertapa di Pulau Jawa.
Tak terasa sudah enam tahun lamanya Empu Sengkala bertapa dan ia pun sempat mendengar
berita adanya orang-orang Rum yang bermukim di Pulau Jawa namun mengalami nasib malang.
Pandita Usmanaji lalu mengajak Empu Sengkala untuk membantunya memasang tumbal
supaya Pulau Jawa yang angker menjadi lebih aman dan nyaman untuk ditempati manusia. Mereka
pun mulai bekerja, dengan memasang lima buah tumbal, yaitu yang empat ditanam di empat penjuru
mata angin dan satu lagi dipasang di tengah-tengah pulau. Setelah pemasangan tumbal selesai,
Pandita Usmanaji dan rombongan membawa serta Empu Sengkala meninggalkan Pulau Jawa.
Hari berikutnya, terjadilah bencana alam di segenap penjuru pulau. Gempa bumi, gunung
meletus, badai halilintar, disertai suara bergemuruh terjadi di mana-mana yang kemudian diikuti
suara jerit tangis para makhluk jahat. Mereka pun berlarian menuju Laut Selatan untuk mencari
perlindungan.

EMPU SENGKALA MENDAPAT PERINTAH DARI MAHARAJA GALBAH


Pandita Usmanaji tiba di Kerajaan Rum dan melaporkan keberhasilannya kepada Maharaja
Galbah. Maharaja Galbah juga sangat berterima kasih atas bantuan Empu Sengkala dan
memberikan gelar Pandita Isaka kepadanya. Pandita Usmanaji lalu mohon pamit pulang ke Negeri
Bani Israil dengan mengajak Empu Sengkala ikut serta. Di sana Empu Sengkala pun mendapatkan
banyak tambahan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian darinya.
Pada suatu hari Patih Amirulsamsu datang ke Bani Israil untuk menyampaikan surat perintah
Maharaja Galbah kepada Empu Sengkala. Bagaimanapun juga perintah Tuhan Yang Mahakuasa
untuk menempatkan penduduk manusia di Pulau Jawa harus tetap dilaksanakan. Hanya saja,
perintah tersebut tidak menjelaskan bahwa yang harus ditempatkan di sana adalah penduduk
Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah kini memerintahkan Empu Sengkala untuk mencari
penduduk negeri lain yang cocok dengan keadaan Pulau Jawa sehingga bisa bermukim di sana
dengan nyaman.
Empu Sengkala menyatakan bersedia dan ia pun mohon restu kepada Pandita Usmanaji,
kemudian berangkat menuju ke timur.

EMPU SENGKALA MEMIMPIN PENGISIAN PULAU JAWA


Empu Sengkala tiba di Kahyangan Jonggringsalaka menghadap Batara Guru untuk meminta
petujuk dalam melaksanakan perintah Tuhan Yang Mahakuasa melalui mimpi Maharaja Galbah
tersebut. Batara Guru selaku pemimpin tertinggi di Tanah Hindustan dan sekitarnya memberikan
izin kepada Empu Sengkala untuk mengumpulkan orang-orang Keling, Benggala, dan Siam karena
mereka memiliki tubuh yang cocok dengan keadaan alam di Pulau Jawa.
Empu Sengkala kemudian menemui ayahnya, yaitu Batara Anggajali. Sang ayah memberikan
restu dan menyertakan putra-putranya yang lain untuk membantu pekerjaan Empu Sengkala
tersebut. Mereka adalah Empu Bratandang, Empu Braruni, dan Empu Braradya, yaitu anak-anak
Batara Anggajali yang lahir dari istri kedua.
Empu Sengkala ditemani ketiga adiknya berlayar membawa dua puluh ribu orang yang
mereka kumpulkan dari Keling, Benggala, dan Siam, sesuai perintah Batara Guru. Setelah mendarat
di Pulau Jawa, orang-orang itu kemudian diajak bergotong royong membuka hutan dan pegunungan
untuk dijadikan tempat permukiman.
Setelah sepuluh tempat permukiman berdiri, Empu Sengkala lalu memilih sepuluh orang yang
paling pandai di antara para penduduk untuk mendapatkan tambahan pelajaran darinya. Mereka
bernama Jangga, Wisaka, Kutastaka, Malipata, Wiswandana, Kurmanda, Kusalya, Anuwilipa,
Suskadi, dan Sarada.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, kesepuluh orang itu lalu disebar untuk
menjadi pemimpin para penduduk. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala pun kembali ke Negeri
Rum, sedangkan ketiga adiknya kembali ke Tanah Hindustan.

EMPU SENGKALA MENINJAU PULAU JAWA


Tujuh belas tahun kemudian Empu Sengkala kembali mendapatkan perintah untuk berlayar
ke Pulau Jawa. Kali ini yang memberikan perintah adalah Maharaja Oto, yaitu putra Maharaja
Galbah. Maharaja baru itu memerintahkan Empu Sengkala pergi meninjau keadaan Pulau Jawa
sebagaimana wasiat terakhir Maharaja Galbah sebelum meninggal. Jika penduduk Pulau Jawa
sudah berkembang pesat dan hidup aman tenteram, tentu roh Maharaja Galbah bisa merasa tenang
di alam baka.
Empu Sengkala lalu berangkat disertai sejumlah orang Rum sebagai pengiring. Setelah tiba
di Pulau Jawa, mereka gembira melihat para penduduk semakin berkembang dan jumlah mereka
meningkat pesat. Orang-orang Rum yang datang tersebut menjadi tertarik dan sebagian dari mereka
memilih untuk ikut menetap di Pulau Jawa.
Empu Sengkala lalu menunjuk seorang bernama Tamus untuk menjadi pemimpin orang-orang
Rum yang menetap di Pulau Jawa. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala kemudian kembali ke
Negeri Rum untuk menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto.

EMPU SENGKALA MENDAPATKAN AIR KEABADIAN


Setelah menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto tentang keadaan penduduk di Pulau
Jawa, Empu Sengkala kembali menemui Pandita Usmanaji di Kerajaan Bani Israil. Pada suatu
malam ia bermimpi mendengar suara gaib yang menyuruhnya pergi ke Kutub Utara mencari sebuah
tempat bernama Tanah Lulmat dan bertapa di sana. Setelah berunding dengan sang guru, ia pun
mohon restu dan berangkat melaksanakan mimpi tersebut.
Setelah bersusah payah, Empu Sengkala akhirnya sampai juga di Tanah Lulmat. Setelah
bertapa beberapa bulan, tiba-tiba muncul mustika awan yang memancarkan air keabadian
Tirtamarta Kamandanu seperti yang pernah dialami Sayidina Anwar ribuan tahun silam. Terdengar
pula suara gaib yang memerintahkan Empu Sengkala untuk meminum air tersebut. Setelah
meminumnya, Empu Sengkala seketika mendapatkan kehidupan kekal dan tetap awet muda
selamanya.
Setelah itu, suara gaib kembali terdengar yang kali ini mengatakan bahwa kelak Empu
Sengkala harus datang lagi ke Pulau Jawa untuk menumpas angkara murka dan mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada penduduk di sana. Namun peristiwa tersebut masih berselang ratusan tahun
dari saat ini. Untuk menunggu datangnya saat itu, Empu Sengkala diperintahkan untuk tinggal di
Tanah Hindustan sebagai brahmana.
Suara gaib tersebut kemudian menghilang tidak terdengar lagi. Empu Sengkala lalu
meninggalkan Tanah Lulmat dan pergi menemui Pandita Usmanaji di Negeri Bani israil, untuk
kemudian mohon pamit berangkat ke Tanah Hindustan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

MAHADEWA BUDA
Kisah ini menceritakan tentang Batara Guru yang menjelma sebagai seorang pertapa bernama
Resi Mahadewa Buda untuk mengajarkan agama dan tata cara kehidupan kepada para
penduduk Pulau Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang Kamulan dan menjadi raja
bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

BATARA GURU MENDAPAT TUGAS KE PULAU JAWA


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para putra, yaitu
Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Mereka
membicarakan tentang orang-orang Keling, Benggala, dan Siam yang telah berkembang biak di
Pulau Jawa selama seratus tahun. Pada mulanya mereka yang datang bersama Empu Sengkala
masih tekun beribadah sesuai ajaran Agama Dewa. Namun kini, anak keturunan mereka banyak
yang tidak beriman dan hanya sibuk mencari makan atau berkembang biak saja.
Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dari Kahyangan Awang-Awang
Kumitir. Batara Guru menghaturkan sembah dan menceritakan keadaan Pulau Jawa yang
penduduknya saat ini sudah jauh dari agama dan hidup seperti hewan saja. Sanghyang
Padawenang merasa sangat prihatin mendengarnya. Maka, ia pun memerintahkan Batara Guru
supaya pergi ke Pulau jawa untuk mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk di sana. Batara
Guru mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan kepemimpinan Kahyangan Jonggringsalaka
untuk sementara waktu kepada Batara Sambu dengan didampingi Batara Narada.

BATARA GURU MENJELMA MENJADI RESI MAHADEWA BUDA


Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, Batara Guru lebih dulu berpamitan kepada sang istri, yaitu
Batari Umaranti. Ia juga meninggalkan Lembu Andini di Kahyangan Jonggringsalaka untuk
menemani Batari Umaranti. Setelah dirasa cukup, Batara Guru lalu menjelma menjadi seorang resi
dengan menyembunyikan segala bentuk cacat tubuhnya, seperti berlengan empat, bertaring,
berkaki pincang, dan berleher belang. Nama gelar yang ia pakai adalah Resi Mahadewa Buda.
Resi Mahadewa Buda pun berangkat ke Pulau Jawa dan mulai mengajarkan Agama Dewa.
Para penduduk yang berusia tua menyambut gembira kedatangan Sang Resi, karena mereka
samar-samar masih teringat tentang agama yang pernah dianut para leluhur yang dulu datang ke
Pulau Jawa bersama Empu Sengkala. Sementara itu, para penduduk yang berusia muda pun belajar
agama mulai dari awal.
Tidak hanya itu, selain bangsa manusia juga banyak pula jenis makhluk lain yang ikut belajar
Agama Dewa kepada Resi Mahadewa Buda. Mereka adalah kaum raksasa, siluman, bahkan segala
jenis binatang pun banyak pula yang berguru kepadanya.
Setelah berkelana menjelajahi Pulau Jawa untuk mengajarkan agama, Resi Mahadewa Buda
lalu membangun sebuah padepokan di Gunung Kamula sebagai tempat tinggalnya. Di padepokan
tersebut ia menerima murid dan pengikut yang semakin banyak jumlahnya dan juga beraneka ragam
jenisnya.

RESI MAHADEWA BUDA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KAMULAN


Setelah mengajarkan ilmu agama selama empat puluh tahun, Resi Mahadewa Buda
menerima kedatangan Batara Narada dari Tanah Hindustan, yang menyampaikan perintah
Sanghyang Padawenang supaya mengajarkan pula tata cara pemerintahan kepada masyarakat
Jawa yang sudah semakin berkembang kehidupannya itu.
Maka, Batara Guru pun mengubah padepokan di Gunung Kamula menjadi sebuah pusat
pemerintahan, yang diberi nama Kerajaan Medang Kamulan. Ia menjadi raja di sana dengan
bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda, sedangkan Batara Narada menjadi menteri utama
bergelar Patih Narada.
KITAB WAYANG PURWA

KISAH SENA SI TUNANETRA MEMOHON KEADILAN


Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima kedatangan seorang penduduk
bernama Sena yang menghadap memohon keadilan. Ia mengeluh mengapa Tuhan Yang
Mahakuasa menciptakan dirinya tidak sempurna, yaitu menderita tunanetra sejak lahir.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda menasihati agar Sena tidak mencela ciptaan Tuhan. Namun,
Sena terus-menerus memohon supaya diberi mata yang lebar agar bisa melihat pemandangan
dunia. Sri Padukaraja Mahadewa Buda pun mengabulkannya. Sena berterima kasih dan
meninggalkan pertemuan.
Tidak lama kemudian, Sena kembali lagi datang menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda
dan mengeluh ternyata memiliki mata lebar tidaklah enak, karena mudah kemasukan debu. Ia
memohon agar diberi mata yang sempit saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda mengabulkannya.
Sena pun berterima kasih dan mohon pamit keluar ruangan.
Namun, baru saja berada di luar istana, Sena terjatuh karena matanya silau melihat halilintar
menyambar di angkasa. Ia pun kembali menghadap dan memohon kepada Sri Padukaraja
Mahadewa Buda supaya matanya dikembalikan buta saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda
mengabulkannya dan memberikan nasihat bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan
setiap makhluk hidup dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apa yang sangat
diinginkan oleh seseorang belum tentu menjadi sumber kebahagiaannya, dan apa yang tidak disukai
seseorang belum tentu menjadi sumber penderitaannya. Jika ada bagian tubuh yang memiliki
kekurangan, tentu ada bagian tubuh lain yang memiliki kelebihan.
Sena merenungkan nasihat tersebut dan ia pun mendapatkan pencerahan. Setelah
meninggalkan istana Medang Kamulan, ia banyak belajar ilmu pengobatan dan akhirnya menjadi
seorang dukun yang memberikan pengobatan kepada masyarakat luas.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMINDAHKAN MEDANG KAMULAN


Setelah lima tahun bertakhta di Gunung Kamula, Sri Padukaraja Mahadewa Buda teringat dulu
ia pernah dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa sehingga pindah ke Pulau Jawa dan
membangun sebuah kahyangan baru di Gunung Mahendra. Kahyangan tersebut diberi nama
Kahyangan Argadumilah, dan kini menjadi tempat kosong setelah lama ditinggalkan. Teringat pada
kenangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ingin sekali memindahkan pusat kerajaan
Medang Kamulan dari Gunung Kamula ke Gunung Mahendra tersebut.
Demikianlah, Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan dibantu Patih Narada dan para menteri
pun membangun kembali bekas Kahyangan Argadumilah di puncak Gunung Mahendra menjadi
sebuah istana, yaitu pusat Kerajaan Medang Kamulan yang baru. Istana yang baru ini tentu saja
jauh lebih indah dan lebih megah daripada istana lama di Gunung Kamula.

MEDANG KAMULAN DISERANG KERAJAAN GUA GOBAJRA


Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat cahaya kemilau dari arah Laut
Selatan. Patih Narada pun dikirim untuk pergi menyelidiki. Ternyata cahaya itu berasal dari seorang
pertapa raksasa bernama Begawan Danu. Ketika ditanya apa tujuannya bertapa, ia menjawab ingin
dijadikan maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan. Patih Narada lalu membawanya pergi
menemui Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima Patih Narada yang datang membawa Begawan
Danu. Setelah memberikan beberapa ujian kecerdasan, Sri Padukaraja tertarik dan menyukai ilmu
pengetahuan yang dimiliki Begawan Danu. Maka, pertapa raksasa itu pun dikabulkan keinginannya,
yaitu diangkat menjadi maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan.
Tidak lama kemudian tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin raja
raksasa bernama Prabu Danuka, anak Begawan Danu. Rupanya telah terjadi salah paham, di mana
Prabu Danuka mengira ayahnya ditangkap Patih Narada untuk dimasukkan penjara.
KITAB WAYANG PURWA

Ketika pertempuran ramai tersebut berlangsung, Begawan Danu muncul dan langsung
melerai. Setelah segala kesalahpahaman dijelaskan, Prabu Danuka sangat malu dan memohon
ampun kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENDAPATKAN SEPASANG RAKSASA KEMBAR


Di antara pasukan Prabu Danuka ada dua orang raksasa kembar bernama Ditya Cingkarabala
dan Ditya Balaupata yang menarik perhatian Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa
kembar itu adalah putra Patih Gopatana, menteri utama pengikut Prabu Danuka. Rupanya Sri
Padukaraja Mahadewa Buda sangat terkesan melihat kekuatan dan kesaktian sepasang raksasa
kembar tersebut saat bertempur melawan pasukannya tadi. Ia pun meminta mereka supaya tetap
tinggal di Gunung Mahendra sebagai penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan.
Patih Gopatana sangat senang dan mengizinkan jika kedua putranya diterima menjadi abdi
Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu pun menurut dan patuh terhadap
perintah tersebut. Maka, sejak saat itu mereka pun menjadi sepasang abdi penjaga pintu gerbang
Kerajaan Medang Kamulan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ANDINI - ANDANA
Kisah ini menceritakan Sri Padukaraja Mahadewa Buda atau Batara Guru mengutuk Lembu
Andini menjadi pelangi, dan kemudian memperoleh kendaraan baru bernama Lembu Andana
yang berkelamin jantan. Kisah dilanjutkan dengan kepergian Batara Guru meninggalkan Pulau
Jawa karena berbuat tidak adil kepada para penduduk.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

KERAJAAN MEDANG KAMULAN KEMBAR DUA


Sri Padukaraja Mahadewa Buda di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Narada serta
para resi dan punggawa yang disebut kaum jawata. Mereka membicarakan adanya berita bahwa
bekas Kerajaan Medang Kamulan yang lama di Gunung Kamula telah diduduki seorang raja dari
Tanah Hindustan bernama Prabu Sri Rajadurga.
Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Sri Rajadurga yang bernama Patih Rajasatya
menyampaikan surat tantangan dari rajanya. Surat tantangan itu menyebutkan bahwa, apabila Sri
Padukaraja Mahadewa Buda kalah perang, maka Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra
harus diserahkan untuk menjadi satu dengan Medang Kamulan di Gunung Kamula. Setelah
menyampaikan surat tersebut, Patih Rajasatya lalu mundur dan kembali ke perkemahan rajanya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda segera
memerintahkan Patih Narada mempersiapkan pasukan jawata Gunung Mahendra. Setelah dirasa
cukup, pertemuan pun dibubarkan.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENGALAHKAN PRABU SRI RAJADURGA


Pertempuran pun terjadi antara pasukan Medang Kamulan Gunung Mahendra melawan
pasukan Medang Kamulan Gunung Kamula. Setelah kedua pihak kalah dan menang silih berganti,
akhirnya Sri Padukaraja Mahadewa Buda turun sendiri ke medan perang menghadapi Prabu Sri
Rajadurga. Terjadilah pertarungan sengit yang cukup lama, di mana akhirnya Prabu Sri Rajadurga
dapat ditaklukkan dan menyerah kalah.
Ternyata Prabu Sri Rajadurga dan Patih Rajasatya tidak lain adalah penjelmaan kedua istri
Batara Guru sendiri, yaitu Batari Umaranti dan Batari Parwati. Sri Padukaraja Mahadewa Buda
bertanya mengapa mereka menyamar sebagai laki-laki dan menantang perang seperti ini. Batari
Umaranti menjawab bahwa dirinya telah dihasut oleh Lembu Andini supaya memberontak kepada
Sri Padukaraja Mahadewa Buda alias Batara Guru yang kini bertakhta di Pulau Jawa.

LEMBU ANDINI DIKUTUK MENJADI PELANGI


Sri Padukaraja Mahadewa Buda sebenarnya sudah lama curiga bahwa Lembu Andini masih
menyimpan dendam atas kekalahannya dulu dan selama ini terpaksa bersedia menjadi kendaraan
baginya. Selain itu, Lembu Andini juga memendam perasaan kesal karena Batara Guru telah
mengutuk Batari Umayi menjadi raksasi.
KITAB WAYANG PURWA

Itulah sebabnya, dalam penjelmaan sebagai Sri Padukaraja Mahadewa Buda kali ini, Batara
Guru sengaja tidak mengajak serta Lembu Andini, tetapi meninggalkannya di Kahyangan
Jonggringsalaka.
Batara Guru ingin melihat apakah Lembu Andini akan terbongkar sifat aslinya atau tidak.
Ternyata kecurigaannya itu kini telah terbukti nyata.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengerahkan Aji Pameling membuat Lembu
Andini seketika hadir di hadapannya. Lembu Andini ketakutan dan serbasalah melihat Sri
Padukaraja Mahadewa Buda telah mengetahui bahwa dirinya yang menghasut Batari Umaranti dan
Batari Parwati untuk melakukan pemberontakan. Namun bagaimanapun juga, ia harus rela
menerima hukuman dari sang raja dewa.
Meskipun Lembu Andini mengakui kesalahannya, namun Sri Padukaraja Mahadewa Buda
tetap tidak lupa atas semua jasa-jasanya. Maka, sebagai hukuman, Lembu Andini pun dipecat
sebagai kendaraan dan dikutuk menjadi pelangi supaya tetap bisa bermanfaat bagi kahyangan, yaitu
sebagai tangga bagi para bidadari apabila turun ke bumi.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengampuni kesalahan Batari Umaranti dan Batari
Parwati serta menerima mereka sebagai permaisuri di Medang Kamulan Gunung Mahendra. Batari
Umaranti lalu diberi nama gelar menjadi Dewi Maheswari, sedangkan Batari Parwati menjadi Dewi
Sati.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENAKLUKKAN LEMBU ANDANA


Sri Padukaraja Mahadewa Buda memerintahkan para jawata untuk mencari sapi yang mirip
dengan Lembu Andini sebagai kendaraan pengganti. Sepasang raksasa penjaga gerbang, yaitu
Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata melaporkan bahwa mereka memiliki saudara tiri
berwujud sapi jantan bernama Lembu Andana yang juga sakti seperti Lembu Andini. Lembu Andana
tersebut adalah putra Ditya Gopatana yang lahir dari Dewi Sungkawa, sedangkan Batara
Cingkarabala dan Batara Balaupata lahir dari Dewi Amatri.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda lalu mengirim pasukan Medang Kamulan untuk menjemput
Lembu Andana yang saat ini sedang bertapa di Gunung Kampud. Begitu mengetahui dirinya akan
dijadikan sebagai kendaraan, Lembu Andana pun bangun dari tapa dan mengamuk menghadapi
para prajurit jawata tersebut. Dalam waktu singkat pasukan Medang Kamulan dibuat kocar-kacir dan
berlarian kembali ke Gunung Mahendra.
Setelah menerima laporan, Sri Padukaraja Mahadewa Buda memutuskan berangkat sendiri
ke Gunung Kampud untuk menangkap Lembu Andana. Maka, terjadilah pertarungan sengit antara
mereka berdua. Setelah bertempur cukup lama, Lembu Andana akhirnya menyerah kalah dan
tunduk menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat wujud Lembu Andana sangat mirip dengan Lembu
Andini, hanya berbeda jenis kelamin saja. Jika Lembu Andini berkelamin betina, maka Lembu
Andana berkelamin jantan. Oleh karena itu, Lembu Andana pun diganti namanya menjadi Lembu
Nandini, dan sejak itu resmi menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jika kelak kembali
ke kahyangan.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMAKSAKAN MIMPI


Pada suatu malam, Sri Padukaraja Mahadewa Buda bermimpi menemukan sebongkah
permata di puncak Gunung Mahendra, dan esok harinya ternyata ia benar-benar menemukan
permata tersebut. Maka, ia lalu mengumumkan barangsiapa mimpi melakukan sesuatu, maka esok
harinya harus mewujudkan mimpi tersebut. Misalnya, jika ada orang yang bermimpi mandi, maka
esoknya ia harus mandi seperti pada mimpinya itu.
Peraturan baru ini membuat rakyat menjadi gembira sekaligus resah. Mereka yang bermimpi
bagus tentu akan merasa senang, sedangkan yang bermimpi buruk pasti akan merasa susah.
Misalnya, ada kijang bermimpi dimangsa harimau, maka esok harinya ia harus merelakan diri untuk
diterkam harimau.
KITAB WAYANG PURWA

Namun, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ternyata melakukan perbuatan tidak adil. Pada suatu
hari ada seorang raksasa bernama Ditya Atmira yang memiliki anak perempuan bernama Ken
Waktri. Mereka menghadap ke Medang Kamulan karena Ken Waktri semalam bermimpi menjadi
istri Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bersedia melaksanakan
mimpi tersebut, namun ia juga mengaku telah bermimpi hanya sebentar saja menjadi suami Ken
Waktri karena untuk selanjutnya Ken Waktri menjadi istri Batara Cingkarabala.
Mau tidak mau Ditya Atmira dan Ken Waktri pun melaksanakan keputusan tersebut. Maka
dilaksakanlah pernikahan antara Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan Ken Waktri, yang
kemudian disusul dengan pernikahan Ken Waktri dengan Batara Cingkarabala saat itu juga.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA KEMBALI MENJADI BATARA GURU


Tersebutlah seekor bunglon bijaksana yang merasa prihatin mendengar keluh kesah
penduduk Medang Kamulan yang terdiri dari berbagai jenis makhluk hidup itu. Para penduduk
manusia, raksasa, gandarwa, siluman, dan binatang banyak yang kecewa terhadap kewajiban
melaksakan mimpi yang telah ditetapkan Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
Si bunglon dapat merasakan bahwa kebijaksanaan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jauh
menurun setelah kedatangan Dewi Maheswari dan Dewi Sati. Sang raja yang lama tidak berjumpa
kedua istrinya itu kini lebih banyak bersenang-senang untuk memuaskan kerinduan sehingga tidak
lagi memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan baik.
Maka, setelah membulatkan tekad, si bunglon memberanikan diri datang ke Gunung
Mahendra menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Ia menyampaikan keluhan para penduduk
bahwa kewajiban melaksanakan mimpi adalah keputusan yang sangat memberatkan dan tidak
masuk akal. Bagaimanapun juga tidak semua mimpi adalah petunjuk Tuhan, bahkan banyak di
antaranya hanyalah bunga tidur belaka.
Sri Padukaraja Mahadewa Buda merasa sangat malu melihat ada seekor bunglon telah
menegur kebijaksaannya yang dirasa memang tidak masuk akal. Maka, ia pun memutuskan kembali
menjadi Batara Guru dan pergi meninggalkan Pulau Jawa. Batara Narada, Batari Umaranti, Batari
Parwati, Batara Cingkarabala, Batara Balaupata, dan para jawata lainnya juga ikut serta
meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan sehingga Gunung Mahendra menjadi sepi seketika.

LIMA DEWA BERSIAP MELANJUTKAN TUGAS BATARA GURU


Batara Guru dan rombongannya telah kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka di Tanah
Hindustan. Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dan menegur kegagalan Batara
Guru dalam memakmurkan Pulau Jawa karena terlena oleh peraturan melaksanakan mimpi yang
tidak masuk akal. Batara Guru mohon ampun dan berniat memerintahkan kelima putranya untuk
melanjutkan tugas memakmurkan Pulau Jawa tersebut.
Setelah Sanghyang Padawenang menerima usulan itu, Batara Guru pun memerintahkan
Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu supaya
mempersiapkan diri menjadi lima raja yang mengatur Pulau Jawa. Kelima dewa itu menyatakan
bersedia dan berjanji melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PRABU HIRANYAKASIPU
Kisah ini menceritakan tentang kelima putra Batara Guru yang menjadi raja di Pulau Jawa dan
bertakhta di lima pegunungan. Kisah dilanjutkan dengan serangan Prabu Hiranyakasipu raja
Lengkapura, leluhur Prabu Rahwana yang akhirnya tewas di tangan Batara Wisnu dalam
wujud Narasinga. Juga dikisahkan perkawinan anak-anak Prabu Hiranyakasipu dengan anak-
anak Batara Brahma.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

LIMA DEWA BERANGKAT KE TANAH JAWA


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya.
Yang dibicarakan adalah rencana untuk melanjutkan penyebaran Agama Dewa dan pembangunan
di Pulau Jawa, yaitu dengan mengirim kelima putra yang lahir dari Batari Umayi untuk menjadi raja
di sana. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara
Wisnu.
Kelima dewa pun meminta restu kepada Batara Guru dan Batara Narada, kemudian mereka
mohon pamit berangkat menuju ke Pulau Jawa.

LIMA DEWA MEMBANGUN KERAJAAN DI PUNCAK GUNUNG


Sesampainya di Pulau Jawa, kelima dewa putra Batara Guru pun mencari tempat yang cocok
untuk mendirikan kerajaan masing-masing. Mereka menelusuri Pulau Jawa yang membentang
panjang dari Tanah Aceh sampai Tanah Bali, dan masing-masing akhirnya memilih pegunungan
sebagai ibu kota kerajaan mereka.
Batara Sambu turun di Gunung Rajabasa, di daerah Sumatra sebelah selatan, lalu mendirikan
Kerajaan Medang Prawa di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Maldewa.
Batara Brahma turun di Gunung Mahera, di daerah Banten, lalu mendirikan Kerajaan Medang
Gili di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sunda.
Batara Wisnu turun di Gunung Gora, di daerah Tegal, lalu mendirikan Kerajaan Medang Pura
di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Suman.
Batara Indra turun di Gunung Mahameru, di daerah Jawa sebelah timur, lalu mendirikan
Kerajaan Medang Gana di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sakra.
Batara Bayu turun di Gunung Karang, di daerah Bali, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gora
di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Bima.
Kelima maharaja tersebut memerintah di wilayah masing-masing dengan derajat yang setara,
tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang lebih rendah di antara mereka.
KITAB WAYANG PURWA

TUJUH DEWA MENJADI RESI


Setahun kemudian, datanglah tiga orang resi penjelmaan dewa ke Pulau Jawa untuk
membantu penyebaran agama. Mereka adalah Resi Atrakelasa, Resi Drasta, dan Resi Kusamba.
Adapun Resi Atrakelasa adalah penjelmaan Batara Wanda, putra Batara Brahmastya, putra
Sanghyang Pancaresi; sedangkan Resi Drasta adalah penjelmaan Batara Langsur, putra
Sanghyang Citragotra, putra Sanghyang Pancaresi; dan Resi Kusamba adalah penjelmaan Batara
Singajalma, juga putra Sanghyang Citragotra.
Dua tahun kemudian datang lagi empat orang resi ke Pulau Jawa. Mereka adalah Resi Prawa,
Resi Boma, Resi Bana, dan Resi Kosara. Adapun Resi Prawa adalah penjelmaan Batara Kulika,
putra Batara Sanggana, atau cucu Sanghyang Hening. Kemudian Resi Boma adalah penjelmaan
Batara Suksena, dan Resi Bana adalah penjelmaan Batara Suksrana, keduanya adalah kakak
beradik putra Batara Nihoya, adik dari Batara Sanggana. Terakhir adalah Resi Kosara merupakan
penjelmaan Batara Gangga, putra Batara Hermaya, adik dari Batara Nihoya.

PARA RESI MENJADI PATIH DI LIMA KERAJAAN


Tahun demi tahun berlalu, ketujuh resi itu memiliki pengikut yang semakin banyak. Mereka
kemudian berpencar untuk mengunjungi kelima kerajaan yang dipimpin oleh lima dewa dengan
membawa pengikut masing-masing.
Resi Atrakelasa mengunjungi Kerajaan Medang Prawa. Ia disambut dengan baik oleh Sri
Maharaja Maldewa dan diangkat sebagai patih di sana.
Resi Drasta dan Resi Kusamba mengunjungi Kerajaan Medang Gili. Mereka disambut dengan
baik oleh Sri Maharaja Sunda, dan keduanya diangkat sebagai patih di sana.
Resi Prawa mengunjungi Kerajaan Medang Gana. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Sakra
dan diangkat sebagai patih di sana, dengan nama baru Patih Resi Kapila.
Resi Boma dan Resi Bana mengunjungi Kerajaan Medang Gora. Mereka disambut baik oleh
Sri Maharaja Bima dan diangkat sebagai patih di sana.
Yang terakhir adalah Resi Kosara mengunjungi Kerajaan Medang Pura. Ia disambut baik oleh
Sri Maharaja Suman dan diangkat sebagai patih di sana.

PRABU HIRANYAKASIPU MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA GURU


Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura.
Kerajaan Lengkapura ini terletak di Pulau Srilangka, yaitu bekas Kahyangan Selongkandi yang dulu
ditempati Sanghyang Darmajaka, kakak Sanghyang Wenang. Pada suatu hari Sanghyang
Darmajaka memutuskan untuk membangun tempat tinggal baru bernama Kahyangan Imamaya,
sehingga Kahyangan Selongkandi menjadi kosong tak berpenghuni. Akhirnya, bekas kahyangan itu
diambil alih oleh bangsa raksasa yang dipimpin Ditya Hiranyakasipu, dan dibangun menjadi kerajaan
bernama Lengkapura. Itulah sebabnya, Kerajaan Lengkapura memiliki keindahan luar biasa
bagaikan kahyangan para dewa.
Prabu Hiranyakasipu ini merupakan pemuja Batara Guru yang setia dan pernah menjalankan
tapa brata sangat berat selama belasan tahun. Batara Guru berkenan menerima tapa brata tersebut
dan bersedia mengabulkan apa saja permintaan Prabu Hiranyakasipu, kecuali jika ia meminta
kehidupan abadi. Ternyata yang diminta Prabu Hiranyakasipu adalah ilmu kesaktian, yaitu tidak bisa
dikalahkan oleh dewa, manusia, raksasa, binatang, jin, juga tubuhnya tidak bisa terkena penyakit
dan tidak bisa terluka oleh senjata jenis apa pun. Batara Guru mengabulkan permintaan tersebut.
Setelah mendapatkan kesaktian yang diinginkannya, Prabu Hiranyakasipu sangat berterima kasih
dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Lengkapura.
Namun, setelah mendapatkan kesaktian justru sifat Prabu Hiranyakasipu berubah menjadi
angkara murka. Ia banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Tanah Hindustan, dengan
dibantu adiknya yang bernama Prabu Hiranyawreka raja Kerajaan Kasipura. Sampai akhirnya
mereka mendengar di seberang timur terdapat sebuah pulau yang sangat indah dan subur bernama
KITAB WAYANG PURWA

Pulau Jawa yang dipimpin oleh lima raja bersaudara. Maka, berangkatlah kedua raja raksasa itu
menuju ke sana untuk menjadikan pulau tersebut sebagai daerah jajahan.

PRABU HIRANYAKASIPU MENYERANG PULAU JAWA


Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka mendarat di Pulau Jawa. Yang menjadi
sasaran pertama adalah Kerajaan Medang Prawa yang terletak paling barat. Perang besar pun
terjadi. Sri Maharaja Maldewa terdesak kalah dan melarikan diri ke tenggara untuk berlindung di
Kerajaan Medang Gili.
Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili menerima kedatangan Sri Maharaja Maldewa,
dan ia merasa sangat khawatir mendengar apa yang telah dialami kakaknya itu. Ia lalu mengundang
ketiga saudara yang lain supaya datang dengan membawa bala tentara masing-masing. Ia sangat
yakin negerinya akan menjadi sasaran Prabu Hiranyakasipu yang berikutnya. Maka, ia pun berniat
menggabungkan kekuatan lima kerajaan dengan berkumpul di Medang Gili.
Ketiga maharaja telah datang di Kerajaan Medang Gili dengan membawa pasukan lengkap,
serta menunggang kendaraan masing-masing. Sri Maharaja Sakra datang dengan mengendarai
Gajah Erawata, Sri Maharaja Bima mengendarai Gajah Sena, sedangkan Sri Maharaja Suman
mengendarai Garuda Brihawan.

PRABU HIRANYAKASIPU TEWAS MELAWAN BATARA NARASINGA


Sesuai dugaan, Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka pun datang menyerbu
Kerajaan Medang Gili. Pertempuran kembali berlangsung di mana pasukan raksasa Kerajaan
Lengkapura dan Kasipura menghadapi gabungan pasukan jawata dari lima kerajaan. Kendaraan Sri
Maharaja Suman yang bernama Garuda Brihawan ikut maju menerjang dan berhasil menewaskan
Prabu Hiranyawreka.
Prabu Hiranyakasipu sangat marah melihat adiknya tewas. Ia pun mengamuk memukul
mundur pasukan jawata. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya, juga tidak ada satu
senjata pun yang dapat melukai kulitnya.
Dalam keadaan gawat tersebut, Batara Narada datang dari Kahyangan Jonggringsalaka
menemui lima maharaja untuk menceritakan riwayat Prabu Hiranyakasipu. Begitu mengetahui
kesaktian macam apa yang dimiliki Prabu Hiranyakasipu, Sri Maharaja Suman pun mendapat akal
untuk mengalahkan raja raksasa tersebut. Ia lalu mengubah wujudnya menjadi manusia berkepala
singa dengan memakai nama Batara Narasinga.
Maka terjadilah perang tanding seru antara Prabu Hiranyakasipu melawan Batara Narasinga.
Setelah bertarung cukup lama, Prabu Hiranyakasipu akhirnya terluka parah dengan perut robek
terkena kuku-kuku tajam di kedua tangan Batara Narasinga.
Prabu Hiranyakasipu yang sekarat merasa heran mengapa anugerah Batara Guru tidak bisa
melindungi dirinya dari serangan lawan yang satu ini. Batara Narasinga menjelaskan bahwa dirinya
adalah manusia berkepala hewan, sehingga tidak bisa disebut manusia, juga tidak bisa disebut
binatang. Ia juga tidak menggunakan senjata untuk mengalahkan Prabu Hiranyakasipu, tetapi
menggunakan cakar untuk merobek perutnya. Prabu Hiranyakasipu akhirnya meninggal karena
luka-lukanya. Namun, ia sempat bersumpah bahwa kelak ia akan menitis bersatu jiwa raga dengan
seorang keturunannya yang bernama Prabu Rahwana untuk menyebarkan kejahatan dan angkara
murka.

RADEN BANJARANJALI MENYERAHKAN DIRI


Prabu Hiranyakasipu memiliki putra berwujud raksasa muda bernama Ditya Banjaranjali.
Berbeda dengan sang ayah yang kejam dan angkara murka, Ditya Banjaranjali bersifat lembut dan
berbudi luhur. Dengan sikap tulus ia menyerahkan diri kepada lima maharaja dan siap menerima
hukuman. Sri Maharaja Sunda selaku tuan rumah menyerahkan keputusan kepada Batara
Narasinga, karena dialah yang berhasil mengalahkan Prabu Hiranyakasipu.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narasinga kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, kemudian mengamati putra Prabu
Hiranyakasipu tersebut. Ia dapat melihat bahwa Ditya Banjaranjali benar-benar tulus dan tidak
menyembunyikan maksud jahat. Maka, ia pun membebaskan raksasa muda itu dari segala hukuman
dan mengizinkannya pulang ke Kerajaan Lengkapura untuk menjadi raja di sana.

ANAK-ANAK SRI MAHARAJA SUNDA DATANG KE PULAU JAWA


Berita bahwa Kerajaan Medang Gili mengalami kerusakan parah setelah perang besar
melawan Prabu Hiranyakasipu terdengar sampai ke Tanah Hindustan. Para putra Batara Brahma
pun berangkat menuju ke Pulau Jawa untuk membantu sang ayah membangun kembali Kerajaan
Medang Gili.
Karena Batara Brahma telah menjelma menjadi manusia bergelar Sri Maharaja Sunda, maka
putra-putranya pun ikut menjelma sebagai manusia dengan bergelar Raden untuk yang laki-laki,
dan Dewi untuk yang perempuan. Inilah awal mula adanya pangeran bergelar Raden. Sementara
itu, gelar Dewi sudah lazim dipakai sejak zaman sebelumnya.
Para putra Sri Maharaja Sunda tersebut adalah Raden Maricibrahma dan Raden
Naradabrahma yang lahir dari Batari Sacika; kemudian Raden Brahmanasa, Raden
Brahmanadewa, Raden Brahmanakanda, dan Raden Brahmanaresi yang lahir dari Batari Saraswati;
dan selanjutnya adalah Raden Brahmaniskala, Raden Brahmanityasa, Raden Brahmaniyara, Raden
Brahmaniyari, Raden Brahmaniyodi, Raden Brahmaniyasa, Raden Brahmaniyasa, Dewi
Brahmaniwati, Dewi Brahmanisri, Dewi Brahmaniyati, Dewi Brahmaniyuta, Dewi Dresanala, dan
Dewi Dresawati yang kesemuanya lahir dari Batari Rarasati.

PRABU BANJARANJALI MEMPERSEMBAHKAN KEDUA ADIKNYA


Pada suatu hari Prabu Banjaranjali yang telah menjadi raja Kerajaan Lengkapura datang
kembali ke Pulau Jawa dengan sikap persahabatan. Kali ini ia datang untuk mempersembahkan
kedua adiknya yang cantik kepada Sri Maharaja Sunda sebagai permintaan maaf karena dulu
ayahnya telah banyak berbuat kerusakan di Kerajaan Medang Gili. Kedua putri itu bernama Dewi
Kasipi dan Dewi Kistapi.
Sri Maharaja Sunda heran mengapa Prabu Banjaranjali memiliki dua orang adik berwujud
manusia cantik, sedangkan dia berwujud raksasa. Prabu Banjaranjali menjelaskan bahwa ibu
mereka bukan berasal dari bangsa raksasa, melainkan seorang manusia bernama Dewi Nariti, putri
Prabu Nasa dari Kerajaan Banapura. Jika Prabu Banjaranjali berwujud raksasa seperti sang ayah,
maka kedua adiknya berparas cantik seperti sang ibu.
Sri Maharaja Sunda sangat berkenan menerima kedua putri itu dan berniat menjadikan
mereka sebagai menantu. Akan tetapi, terjadilah perselisihan di antara para putranya yang
memperebutkan kedua putri tersebut. Mereka yang berebut adalah Raden Maricibrahma, Raden
Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, Raden
Brahamaniskala, dan Raden Brahmanityasa. Sri Maharaja Sunda bingung menentukan pilihan dan
khawatir akan terjadi perkelahian di antara para putranya itu.
Pada saat itulah Sri Maharaja Suman datang di Kerajaan Medang Gili dengan mengendarai
Garuda Brihawan. Ia mengusulkan supaya diadakan sayembara saja di antara para putra yang
berselisih tersebut. Sri Maharaja Sunda setuju dan segera bersamadi memohon petunjuk Tuhan
Yang Mahakuasa. Tiba-tiba dari langit turun sebuah kitab gaib yang jatuh ke tangan Sri Maharaja
Sunda.
Sri Maharaja Sunda pun mengumumkan barangsiapa bisa membaca dan menafsirkan isi kitab
gaib tersebut, berhak menikahi Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi. Ternyata yang mampu membacanya
hanyalah Raden Brahmanityasa namun ia tidak mampu menafsirkannya. Isi kitab tersebut berbunyi
“Diya heng diyan darya”.
Raden Brahmaniyasa yang tidak ikut memperebutkan kedua putri mengajukan diri untuk
mencoba menerjemahkan kalimat gaib tersebut. Menurut penafsirannya, kalimat itu mengandung
makna: “kedua putri dimiliki oleh kelapangan hati”.
KITAB WAYANG PURWA

Sri Maharaja Sunda sangat berkenan terhadap penafsiran itu. Ia lantas mengumumkan bahwa
Dewi Kasipi akan dinikahkan dengan Raden Brahmanityasa, sedangkan Dewi Kistapi dengan
Raden Brahmaniyasa. Keputusan ini membuat para putra yang lain merasa kesal bercampur malu.
Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden
Brahmanaresi, dan Raden Brahamaniskala memilih pergi meninggalkan Pulau Jawa dan kembali
ke Tanah Hindustan.

PRABU BANJARANJALI DAN GARUDA BRIHAWAN MENJADI MENANTU MEDANG GILI


Sri Maharaja Suman kemudian menjelaskan maksud kedatangannya di Kerajaan Medang Gili
adalah untuk menagih hadiah atas bantuannya membunuh Prabu Hiranyakasipu dan Prabu
Hiranyawreka. Adapun hadiah yang diminta Sri Maharaja Suman adalah supaya Sri Maharaja Sunda
menikahkan seorang putrinya dengan Garuda Brihawan.
Sri Maharaja Sunda agak bimbang jika putrinya harus menikah dengan seekor burung. Hal ini
sudah dipertimbangkan oleh Sri Maharaja Suman. Maka sebelum berangkat ke Medang Gili tadi,
Sri Maharaja Suman sempat mengajarkan ilmu kesaktian kepada Garuda Brihawan supaya bisa
mengubah wujud menjadi manusia.
Setelah melihat Garuda Brihawan berubah wujud menjadi laki-laki tampan, Sri Maharaja
Sunda sangat berkenan dan setuju menyerahkan Dewi Brahmanisri kepadanya. Selain itu, Sri
Maharaja Sunda juga senang melihat ketulusan Prabu Banjaranjali menyerahkan kedua adiknya.
Sebagai tali asih, Sri Maharaja Sunda pun menyerahkan Dewi Brahmaniwati sebagai istri Prabu
Banjaranjali.
Maka, diadakanlah pernikahan antara empat pasang pengantin di Kerajaan Medang Gili
tersebut. Mereka adalah Prabu Banjaranjali dengan Dewi Brahmaniwati; Garuda Brihawan dengan
Dewi Brahmanisri; Raden Brahmanityasa dengan Dewi Kasipi; serta Raden Brahmaniyasa dengan
Dewi Kistapi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PERTIWI CAHYA
Kisah ini menceritakan peperangan antara Sri Maharaja Sakra melawan raja raksasa Prabu
Danuka, yang dilanjutkan dengan perkawinan Sri Maharaja Suman dan Batari Pertiwi. Setelah
itu terjadilah perselisihan di antara kelima maharaja yang kemudian ditengahi oleh sepuluh
brahmana penjelmaan putra-putra Batara Ismaya yang dipimpin Brahmana Balika atau Batara
Siwah.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

PRABU DANUKA MENYERANG KERAJAAN MEDANG GANA


Di Kerajaan Gua Gobajra, raja raksasa Prabu Danuka dihadap Patih Kiswaraja dan para
menteri, serta putranya yang bernama Ditya Danupati. Mereka mendengar berita bahwa lima
maharaja yang berkuasa di Pulau Jawa baru saja menumpas Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan
Lengkapura dan sejak saat itu mereka menjadi sangat benci terhadap kaum raksasa. Bahkan,
kelima maharaja itu juga telah memerintahkan pembantaian terhadap kaum raksasa yang dianggap
sebagai makhluk tidak berguna.
Prabu Danuka sangat murka dan menuduh kelima maharaja telah berbuat tidak adil, karena
pada zaman Sri Padukaraja Mahadewa Buda dulu, semua jenis makhluk hidup dilindungi tanpa pilih
kasih. Maka, Prabu Danuka pun memerintahkan Patih Kiswaraja dan Ditya Danupati
mempersiapkan pasukan Gua Gobajra untuk menyerang kelima maharaja tersebut.
Sasaran pertama Prabu Danuka adalah Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Sri
Maharaja Sakra menjelaskan bahwa berita pembantaian kaum raksasa yang didengar Prabu
Danuka itu tidak benar, bahkan Sri Maharaja Sunda dari Kerajaan Medang Gili telah mengambil
Prabu Banjaranjali sebagai menantu. Namun demikian, Prabu Danuka tidak percaya dan tetap
menggempur Kerajaan Medang Gana. Perang besar pun terjadi. Karena pihak raksasa lebih kuat
dan persiapannya lebih matang, Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila akhirnya melarikan diri
setelah bertempur sekuat tenaga melawan musuh.

SRI MAHARAJA SAKRA MENDAPAT BANTUAN PASUKAN WANARA


Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila dalam pelarian ke arah barat bertemu pasukan
wanara, yaitu sebangsa kera yang memiliki kecerdasan seperti manusia dan biasa hidup di hutan
pegunungan Tanah Hindustan. Pemimpin pasukan wanara ini bernama Kapi Malawapati, yang
ternyata adalah sahabat baik Patih Resi Kapila saat masih menjadi Batara Gangga dulu. Kapi
Malawati dan pasukannya sengaja datang dari Tanah Hindustan ke Pulau Jawa adalah untuk
menyusul sahabatnya itu dan ingin ikut serta mengabdi kepada Sri Maharaja Sakra.
Sri Maharaja Sakra sangat gembira mendapatkan bala bantuan. Ia menceritakan bahwa saat
ini Kerajaan Medang Gana telah direbut musuh dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin Prabu
Danuka. Kapi Malawapati segera mohon pamit untuk kemudian berangkat menyerang para raksasa
tersebut.
Sesampainya di Kerajaan Medang Gana, pasukan wanara langsung menggempur pasukan
raksasa Gua Gobajra. Pertempuran besar pun terjadi. Melihat banyak prajurit raksasa yang tewas
dibunuh para wanara, Prabu Danuka sangat marah dan mengamuk melakukan pembalasan. Kapi
Malawapati segera maju menghadapinya. Raja kaum wanara itu mengheningkan cipta
mengerahkan Aji Bayurota. Dari tubuhnya keluar angin topan dahsyat yang bergulung-gulung
menewaskan Prabu Danuka dan Patih Kiswaraja beserta pasukan mereka. Ditya Danupati sendiri
berhasil lolos dari maut dan memilih pulang ke Gua Gobajra beserta para prajurit yang masih hidup.

MUNCULNYA CAHAYA PERTIWI


Setelah pertempuran besar itu, Sri Maharaja Sakra bersama Patih Resi Kapila dan Kapi
Malawapati memperbaiki bangunan istana Medang Gana yang rusak parah. Sri Maharaja Sakra lalu
mengundang keempat maharaja lainnya untuk ikut merayakan syukuran atas keberhasilan Negeri
Medang Gana lolos dari bahaya.
KITAB WAYANG PURWA

Lima maharaja telah berkumpul di Kerajaan Medang Gana, menikmati pertunjukan musik dan
tari yang digelar di sana. Tiba-tiba dari dalam tanah memancar keluar seberkas cahaya teja yang
menjulang tegak lurus ke angkasa. Kelima maharaja terkejut dan berusaha menyelidiki asal-usul
cahaya tersebut.
Sri Maharaja Suman segera menjelma menjadi babi hutan dan menggali tanah tempat cahaya
itu keluar menggunakan taringnya, sedangkan Sri Maharaja Sunda menjelma menjadi burung elang
untuk kemudian terbang ke angkasa mengejar ujung cahaya. Seampainya di atas, si burung elang
mencakar cahaya tersebut hingga pecah berantakan.
Tiba-tiba muncul seorang bidadari cantik dari dalam tanah yang digali si babi hutan. Bidadari
itu mengaku bernama Batari Pertiwi, putri Batara Nagaraja. Melihat itu, babi hutan segera kembali
ke wujud Sri Maharaja Suman, sedangkan burung elang kembali ke wujud Sri Maharaja Sunda.

RAMALAN BATARI PERTIWI


Batari Pertiwi kemudian duduk berhadap-hadapan dengan lima maharaja di Kerajaan Medang
Gana. Ia menyampaikan nasihat supaya mereka berlima tetap menjaga kerukunan dan persatuan,
jangan saling iri di antara sesama saudara karena hanya akan menimbulkan perpecahan. Kelima
maharaja itu merasa tidak mungkin akan terjadi perselisihan di antara mereka. Namun demikian,
mereka tetap berjanji untuk saling setia satu sama lain dan selalu menjaga kerukunan.
Batari Pertiwi kemudian menjelaskan bahwa di antara kelima maharaja tadi ada dua orang
yang berusaha keras menemukan asal-usul sumber cahaya teja yang terpancar tadi, yaitu Sri
Maharaja Sunda dan Sri Maharaja Suman. Yang satu menjelma menjadi burung elang, dan yang
satu lagi menjelma menjadi babi hutan. Atas usaha yang dilakukan keduanya, Batari Pertiwi pun
meramalkan kelak keturunan merekalah yang akan berkuasa turun-temurun di Tanah Jawa.
Sri Maharaja Suman sangat tertarik melihat kecantikan Batari Pertiwi dan ia pun mengajukan
lamaran untuk menikahinya. Batari Pertiwi menerima lamaran tersebut karena ia memang
ditakdirkan berjodoh dengan Batara Wisnu yang saat ini telah menjelma sebagai Sri Maharaja
Suman tersebut. Batari Pertiwi juga memberikan hadiah kepada Sri Maharaja Sunda alias Batara
Brahma atas usahanya mengejar cahaya teja tadi. Hadiah tersebut berupa Permata Mustikabumi,
sumber dari cahaya teja yang memancar dari tanah tadi. Sri Maharaja Sunda bersenang hati
menerimanya dan menyimpan permata pusaka itu baik-baik.
Setelah dirasa cukup, keempat maharaja lalu mohon pamit kepada Sri Maharaja Sakra untuk
pulang ke negara masing-masing.

LIMA MAHARAJA BERSELISIH


Tidak lama setelah peristiwa di Kerajaan Medang Gana tersebut, terjadilah perselisihan di
antara para pengikut lima maharaja. Ramalan Batari Pertiwi akhirnya menjadi kenyataan.
Awal dari perselisihan itu adalah seorang penduduk Kerajaan Medang Pura bernama Kodeya
yang pergi mengunjungi saudaranya di Kerajaan Medang Gili, bernama Puyika. Namun Puyika
justru menipu Kodeya sehingga habis seluruh harta dan perhiasan yang dibawanya. Kodeya lalu
menghadap Sri Maharaja Sunda dan meminta keadilan, namun Sri Maharaja Sunda justru
menyalahkannya dan membela Puyika.
Kodeya pulang ke Kerajaan Medang Pura dengan perasaan kecewa lalu mengadukan nasib
sialnya kepada Sri Maharaja Suman. Karena Sri Maharaja Suman tidak mempunyai cara untuk
mendapatkan kembali harta dan perhiasan Kodeya, maka ia pun berjanji akan melakukan
pembalasan dengan cara lain. Apabila ada penduduk Medang Gili yang memasuki Medang Pura,
semua orang harus mempermalukannya.
Pada suatu hari ada seorang pemburu dari Kerajaan Medang Gili bernama Pastima yang
mengejar kijang berkulit ungu sampai masuk ke wilayah Kerajaan Medang Pura. Di sana ia
kehilangan jejak dan pandangan matanya kemudian tertuju pada seekor burung derkuku. Pastima
berusaha menangkapnya, namun ketahuan Salibana, pemilik burung tersebut. Salibana dan para
KITAB WAYANG PURWA

tetangganya lalu beramai-ramai menangkap Pastima dan menelanjanginya. Mereka melakukan hal
itu adalah untuk melaksanakan perintah Sri Maharaja Suman.
Demikianlah, sejak kejadian itu banyak terjadi perselisihan antara warga Medang Gili dan
Medang Pura, yang akhirnya berkembang menjadi perselisihan dengan warga tiga kerajaan lainnya.
Perselisihan itu kadang disertai perkelahian, bahkan pertempuran. Lima maharaja saling
menyalahkan dan membela penduduk kerajaan masing-masing. Tidak hanya itu, bahkan Agama
Dewa pun terpecah menjadi lima aliran, yaitu Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama
Bayu, dan Agama Wisnu.

KEDATANGAN SEPULUH BRAHMANA


Perselisihan di antara kelima maharaja itu akhirnya terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan
Jongringsalaka. Maka, ia pun mengirim kesepuluh keponakannya, yaitu anak-anak Batara Ismaya
untuk menjadi juru damai di antara mereka. Kesepuluh keponakan itu pun mohon pamit berangkat
ke Tanah Jawa dengan menjelma sebagai kaum brahmana.
Anak-anak Batara Ismaya itu adalah:
- Batara Wungkuam menjadi Brahmana Weda,
- Batara Siwah menjadi Brahmana Balika,
- Batara Wrehaspati menjadi Brahmana Trista,
- Batara Yamadipati menjadi Brahmana Graksa,
- Batara Surya menjadi Brahmana Grisma,
- Batara Candra menjadi Brahmana Walanta,
- Batara Kuwera menjadi Brahmana Hima,
- Batara Temburu menjadi Brahmana Patuk,
- Batara Kamajaya menjadi Brahmana Tadi, dan
- Batari Darmanastiti menjadi Brahmana wanita Yukti.
Di antara kesepuluh brahmana tersebut, yang dipilih menjadi pemimpin rombongan adalah
Brahmana Balika, di mana ia mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan agama dari
Batara Guru.
Kesepuluh brahmana tersebut akhirnya tiba di Pulau Jawa dan bermukim di bekas Kerajaan
Medang Kamulan di Gunung Mahendra. Mereka lalu mengirim undangan supaya kelima maharaja
datang dan berkumpul di gunung tersebut.

PEMBAGIAN TUGAS LIMA MAHARAJA


Kelima maharaja telah berkumpul di Gunung Mahendra. Kesepuluh brahmana mengaku
diutus Batara Guru untuk menjadi penengah dalam perselisihan mereka. Maka diumumkanlah
sebuah sayembara, barangsiapa bisa mengembangkan aksara A, I, U, E, dan O, maka dia berhak
menjadi maharaja tertinggi di Tanah Jawa. Ternyata kelima maharaja itu tidak mampu dan
menyatakan tunduk terhadap semua keputusan para brahmana.
Kesepuluh brahmana lalu menetapkan pembagian rakyat di Tanah Jawa. Mulai saat ini ;
- Sri Maharaja Maldewa di Kerajaan Medang Prawa hanya boleh memimpin binatang
terbang, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Kagapati.
- Sri Maharaja Suman di Kerajaan Medang Pura hanya boleh memimpin binatang air, dan ia
pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Matsyapati.
- Sri Maharaja Bima di Kerajaan Medang Gora hanya boleh memimpin binatang darat, dan
ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Mregapati.
- Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili hanya boleh memimpin manusia dan raksasa,
dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Prajapati.
KITAB WAYANG PURWA

- Sri Maharaja Sakra di Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi dan jawata,
yaitu orang-orang yang tidak lagi tertarik keinginan duniawi. Ia pun mendapatkan nama
baru, yaitu Sri Maharaja Surapati.

BRAHMANA BALIKA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA


Setelah kelima maharaja menerima keputuan tersebut dan pulang ke negara masing-masing,
para brahmana pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru,
kecuali satu orang saja yang tetap tinggal di Tanah Jawa untuk mengawasi kelima maharaja agar
tidak berselisih lagi. Brahmana yang tetap tinggal di Gunung Mahendra tersebut adalah sang
pemimpin rombongan, yaitu Brahmana Balika alias Batara Siwah.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan wawasan agama yang didapatkannya dari Batara
Guru sebelum berangkat, Brahmana Balika lalu mengajarkan Agama Dewa kepada masyarakat
Tanah Jawa yang datang kepadanya. Semakin lama, jumlah murid dan pengikutnya semakin
banyak. Akhirnya, Brahmana Balika pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Maharaja
Balya, serta membangun kembali bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra yang
ditempatinya menjadi sebuah negeri baru bernama Kerajaan Medang Siwanda.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SURALAYA BINANGUN
Kisah ini menceritakan tentang Batara Siwah yang menjadi raja di Kerajaan Medang Siwanda
bergelar Sri Maharaja Balya, di mana kebijakannya telah berhasil membuat keempat maharaja
lainnya merasa tersaingi dan kembali menjadi dewa, kecuali Sri Maharaja Surapati yang tetap
bertahan, dan kemudian membangun Kahyangan Suralaya sebagai cabang Kahyangan
Jonggringsalaka.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

KISAH NADRIKA MEMINTA KEADILAN


Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili dihadap kedua patihnya, yaitu Resi Drasta dan
Resi Kusamba. Mereka sedang membicarakan permasalahan para penduduk yang terdiri dari
bangsa manusia dan raksasa. Tiba-tiba datang seorang manusia bernama Nadrika yang
menghadap untuk memohon keadilan. Nadrika menceritakan bahwa istrinya telah tewas dimangsa
raksasa. Akan tetapi, karena ia tidak mengetahui siapa nama raksasa itu sehingga Sri Maharaja
Prajapati mengaku kesulitan untuk memutuskan perkara. Sri Maharaja Prajapati hanya bisa
memberikan saran supaya Nadrika menikah lagi dengan perempuan lain.
Nadrika sangat kecewa terhadap keputusan Sri Maharaja Prajapati tersebut. Ia lalu pergi ke
Gunung Mahendra untuk memohon keadilan kepada Sri Maharaja Balya, pemimpin Kerajaan
Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin mendengar kisah Nadrika. Ia lalu memberikan
daun rontal yang sudah ditulisi mantra Rajah Sengkali untuk membunuh kaum raksasa. Nadrika
sangat berterima kasih dan segera membawa pulang daun rontal tersebut.
Sesampainya di Kerajaan Medang Gili, Nadrika pun menaruh daun rontal itu di jalanan dan
mengintainya dari tempat persembunyian. Ada seorang raksasa bernama Ditya Srenggampa
sedang mencari mangsa tanpa sadar melangkahi daun rontal tersebut. Seketika raksasa itu menjadi
lemas dan kemudian roboh di tanah kehilangan nyawa.
Nadrika sangat gembira namun sekaligus ketakutan karena khawatir para raksasa yang lain
akan mengejarnya untuk membalas dendam. Berpikir demikian, Nadrika pun meninggalkan
Kerajaan Medang Gili untuk kemudian mengabdi kepada Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang
Siwanda.

KISAH INDUK BANTENG MEMINTA KEADILAN


Pada suatu hari ada seekor induk banteng yang kehilangan anak karena dimangsa harimau.
Ia datang ke Kerajaan Medang Gora, menghadap Sri Maharaja Mregapati untuk meminta keadilan.
Namun Sri Maharaja Mregapati justru memutuskan supaya si induk banteng membalas dengan cara
memangsa anak harimau.
Si induk banteng merasa kecewa, kemudian pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan
Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin dan memberikan kekuatan pada tanduk
banteng sehingga bisa lebih keras dan runcing untuk bisa digunakan sebagai senjata melawan
harimau. Si induk banteng sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Medang
Gora.
KITAB WAYANG PURWA

Maka, sejak itu banteng memiliki kemampuan untuk menghadapi serangan harimau dengan
menggunakan kedua tanduknya.

SRI MAHARAJA MATSYAPATI KEMBALI MENJADI BATARA WISNU


Pada suatu hari Sri Maharaja Matsyapati di Kerajaan Medang Pura dihadap pemimpin ikan
karena banyak rakyatnya yang mati dimangsa bangau. Sri Maharaja Matsyapati mengaku tidak bisa
memberikan pengadilan, karena bangau termasuk binatang terbang yang tunduk kepada Sri
Maharaja Kagapati di Kerajaan Medang Prawa.
Si pemimpin ikan merasa kecewa dan pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan
Medang Siwanda untuk memohon keadilan. Sri Maharaja Balya merasa prihatin dan memberikan
minyak sakti kepada si pemimpin ikan yang bisa digunakan untuk menghindari serangan bangau.
Si pemimpin ikan berterima kasih dan membagikan minyak itu kepada rakyatnya. Namun karena
jumlahnya terbatas, maka ada ikan yang mendapatkan minyak, ada pula yang tidak kebagian. Ikan
yang mendapatkan minyak menjadi licin tubuhnya sehingga bisa berenang lebih gesit dan sulit
ditangkap bangau.
Sri Maharaja Matsyapati sangat malu mendengar Sri Maharaja Balya ternyata memiliki
kebijaksanaan melebihi dirinya. Ia pun meninggalkan Kerajaan Medang Pura dan kembali ke Tanah
Hindustan sebagai Batara Wisnu.
Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili yang mendengar berita ini segera menjadikan
Kerajaan Medang Pura sebagai negara bawahan, dengan menempatkan Resi Drasta sebagai wakil
di sana. Namun Resi Drasta merasa tidak mampu mengemban kewajiban, sehingga ia kembali
menjadi Batara Langsur dan pulang ke Tanah Hindustan.
Mendengar itu, Sri Maharaja Prajapati lalu mengirim Resi Kusamba untuk mewakilinya
sebagai raja bawahan di Kerajaan Medang Pura.

TIGA MAHARAJA KEMBALI KE TANAH HINDUSTAN


Sri Maharaja Kagapati, Sri Maharaja Prajapati, dan Sri Maharaja Mregapati semakin hari
semakin kehilangan wibawa karena rakyatnya banyak yang meminta perlindungan kepada Sri
Maharaja Balya, kemudian menjadi penduduk Kerajaan Medang Siwanda pula. Para penduduk itu
juga melepaskan agama mereka masing-masing, untuk kemudian memeluk agama yang diajarkan
Sri Maharaja Balya, yang disebut Agama Siwah. Semakin hari, jumlah pemeluk Agama Siwah
semakin bertambah banyak dan mengalahkan jumlah pemeluk agama lainnya.
Akhirnya, ketiga maharaja tersebut tidak kuat lagi menahan rasa malu. Mereka pun
memutuskan kembali ke Tanah Hindustan, yaitu Sri Maharaja Kagapati kembali menjadi Batara
Sambu, Sri Maharaja Prajapati kembali menjadi Batara Brahma, dan Sri Maharaja Mregapati
kembali menjadi Batara Bayu.
Sementara itu, Sri Maharaja Surapati menjadi satu-satunya raja yang hidup tenang tanpa
merasa tersaingi oleh wibawa Sri Maharaja Balya. Hal itu karena rakyat Kerajaan Medang Gana
adalah kaum resi dan jawata yang sudah tidak tertarik keinginan duniawi, sehingga jarang terjadi
perselisihan di antara mereka.
Dengan demikian, di Tanah Jawa kini hanya tertinggal dua orang maharaja saja, yaitu Sri
Maharaja Balya yang memimpin Kerajaan Medang Siwanda di Gunung Mahendra, serta Sri
Maharaja Surapati yang memimpin Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Selain mereka,
juga ada Resi Kusamba yang menjadi raja bawahan di Kerajaan Medang Pura di Gunung Gora.

BATARA INDRA MEMBANGUN KAHYANGAN SURALAYA


Pada suatu hari Sri Maharaja Surapati di Kerajaan Medang Gana menerima kedatangan
Batara Narada dan Batara Wrehaspati. Kedua dewa itu datang untuk menyampaikan perintah
Batara Guru supaya Sri Maharaja Surapati mendirikan kahyangan di Gunung Mahameru sebagai
perwakilan Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Hal ini dikarenakan banyak penduduk
KITAB WAYANG PURWA

Tanah Jawa yang tekun beribadah memeluk Agama Dewa dan mengurangi keterikatan duniawi,
sehingga mereka pantas diangkat menjadi dewa dan tinggal di kahyangan.
Sri Maharaja Surapati berterima kasih telah mendapatkan kepercayaan dari Batara Guru. Ia
pun kembali memakai nama Batara Indra yang juga bergelar Batara Surapati. Dengan dibantu
Batara Narada dan Batara Wrehaspati, ia lalu membangun Kerajaan Medang Gana menjadi sama
persis dengan Kahyangan Jonggringsalaka, dan diberi nama Kahyangan Suralaya.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya,
sedangkan Batara Wrehaspati tetap tinggal di sana. Jika Batara Indra menjadi wakil Batara Guru,
maka Batara Wrehaspati menjadi wakil Batara Narada di Tanah Jawa.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

MURWAKALA
Kisah ini menceritakan Batara Kala mencari mangsa berupa para manusia yang tergolong
Sukerta dan Sengkala. Namun usahanya digagalkan oleh Batara Wisnu yang menyamar sebagai
Ki Dalang Kandabuwana.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan buku Murwakala Cerita Religius karya Wijanarko dengan sedikit
pengembangan.

Batara Kala

BATARA GURU MENETAPKAN JENIS MANGSA BATARA KALA


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya.
Mereka membicarakan perkembangan Pulau Jawa yang saat ini hanya memiliki dua orang
penguasa saja, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya dan Sri Maharaja Balya di Kerajaan
Medang Siwanda.
Tidak lama kemudian datanglah Batara Baruna, dewa penguasa lautan yang datang bersama
Batara Kala, penguasa Pulau Nusakambangan. Batara Baruna melaporkan perbuatan Batara Kala
yang terus-menerus memangsa ikan di laut, sehingga banyak binatang air menjadi korban. Batara
Baruna meminta Batara Kala berhenti memangsa ikan karena jika hal itu terus dilakukan, maka
jumlah ikan di lautan akan habis. Lagipula Batara Kala terlahir dari buih samudera, sehingga tidak
sepantasnya memangsa sesama penghuni laut.
Atas laporan itu, Batara Kala pun memohon keadilan kepada Batara Guru untuk diberikan
jenis makanan lain, karena jika ia tidak boleh memangsa ikan lantas bagaimana caranya untuk
mengisi perut dan menambah tenaga?
Batara Guru pun memutuskan supaya Batara Kala memangsa manusia saja, yaitu mereka
yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Sukerta adalah manusia yang boleh dimangsa
karena kelahirannya, sedangkan Sengkala adalah manusia yang boleh dimangsa karena salah
perbuatan.
Adapun yang termasuk golongan Sukerta antara lain:
- Ontang-anting, yaitu anak tunggal tanpa saudara.
- Kedana-kedini, yaitu dua bersaudara laki-laki perempuan.
- Uger-uger lawang, yaitu dua bersaudara laki-laki.
- Kembang sepasang, yaitu dua bersaudara perempuan.
- Gotong mayit, yaitu tiga bersaudara jenis kelamin sama.
- Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara yang perempuan di tengah.
- Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara yang laki-laki di tengah.
KITAB WAYANG PURWA

- Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua.


- Serimpi, yaitu empat bersaudara perempuan semua.
- Pandawa, yaitu lima bersaudara laki-laki semua.
- Pandawi, yaitu lima bersaudara perempuan semua.
- Pipilan, yaitu lima bersaudara dengan satu laki-laki.
- Padangan, yaitu lima bersaudara dengan satu perempuan.
- Wungkus, yaitu anak yang lahir dalam bungkus.
- Wungkul, yaitu anak yang lahir tanpa ari-ari.
- Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung tali pusar.
- Tiba ungker, yaitu anak yang lahir tercekik tali pusar.
- Jempina, yaitu anak yang lahir sebelum waktunya.
- Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan.
- Wahana, yaitu anak yang lahir dalam keramaian.
- Julungwangi, yaitu anak yang lahir saat matahari terbit.
- Julungsungsang, yaitu anak yang lahir tengah hari.
- Julungsarab, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam.
- Julungpujud, yaitu anak yang lahir petang hari.
- Siwah, yaitu anak dengan keterbelakangan mental.
- Kresna, yaitu anak yang lahir berkulit hitam gelap.
- Wungle, yaitu anak yang lahir berkulit putih bule.
- Walika, yaitu anak yang memiliki taring.
- Wungkuk, yaitu anak yang punggungnya bungkuk.
- Dengkak, yaitu anak yang mendongak ke depan.
- Butun, yaitu anak yang mendongak ke belakang.
- Wujil, yaitu anak yang terlahir kerdil.
- Kembar, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin sama.
- Dampit, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin beda.
- Gondang kasih, yaitu dua anak lahir sehari berkulit putih dan hitam.
- Tawang gantungan, yaitu dua anak yang lahir beda hari.
- Sukrenda, yaitu dua anak yang lahir terbungkus.
Sementara itu yang dimaksud golongan Sengkala, antara lain:
- Orang yang tidak menutup pintu dan jendela pada saat senja.
- Orang yang tidur di dipan tanpa tikar.
- Orang yang tidur di kasur tanpa seprei.
- Orang yang punya sumur tepat di depan rumah.
- Orang yang punya sumur tepat di belakang rumah.
- Orang yang punya tanah pekarangan miring.
- Orang yang menggulingkan dandang saat menanak nasi.
- Orang yang menaruh dandang di tungku padahal belum mencuci beras.
- Orang yang mematahkan cobek.
- Orang yang tidak menyisakan beras di lumbung.
- Orang yang menyapu di malam hari.
- Orang yang mengelap kotoran dengan kain yang dipakai.
- Orang yang membuang sampah di kolong.
- Orang yang sering telanjang.
- Orang yang berdiri di depan pintu.
- Orang yang bergelantungan di pintu.
- Orang yang sering bertopang dagu.
- Orang yang sering berdiri dengan satu kaki.
- Orang yang suka bersiul.
- Orang yang suka menggigit kuku.
- Orang yang memotong kuku malam hari.
- Orang yang makan sambil berjalan.
- Orang yang makan sambil tiduran.
- Orang yang duduk di atas bantal.
KITAB WAYANG PURWA

- Orang yang berjalan bertiga pada saat tengah hari tanpa bercakap-cakap.
Dan banyak lagi yang lainnya.
Batara Kala sangat senang mendengar betapa banyak jenis manusia yang bisa dimangsanya
itu. Batara Guru lalu menyerahkan sebuah pusaka berwujud golok, bernama Bedama yang harus
digunakan Batara Kala untuk membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum dimakan. Batara Kala
menerima senjata itu, kemudian mohon pamit kembali ke Pulau Jawa untuk mencari mangsa.

BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS MENJADI JURU RUWAT


Setelah Batara Kala meninggalkan kahyangan, Batara Narada pun mengajukan keberatan
atas apa yang menjadi keputusan Batara Guru tadi. Jika semua orang dengan ketentuan Sukerta
dan Sengkala tersebut dimangsa oleh Batara Kala, maka penduduk Pulau Jawa akan berkurang
banyak, bahkan seluruh manusia di dunia juga akan ikut habis.
Batara Guru menyadari kekeliruannya. Ia pun memanggil Batara Wisnu dan Batara Brahma
untuk bersama-sama Batara Narada meruwat para manusia di Pulau Jawa yang termasuk golongan
Sukerta dan Sengkala supaya terhindar dari ancaman Batara Kala. Batara Wisnu segera mengubah
wujudnya menjadi seorang dalang bernama Ki Dalang Kandabuwana, sedangkan Batara Brahma
menjadi penabuh gender wanita bernama Nyai Seruni, dan Batara Narada menjadi penabuh
kendang bernama Panjak Kalunglungan.
Batara Wisnu juga mengajak serta adik-adiknya yang lahir dari Batari Umaranti, yaitu Batara
Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara untuk menyamar sebagai para penabuh gamelan.
Bersama-sama mereka lalu berangkat ke Pulau Jawa.

BATARA KALA MEMBERI NAMA KALABANG DAN KALAJENGKING


Sesampainya di Pulau Jawa, Batara Kala merasa letih dan beristirahat di bawah pohon asam.
Ketika sedang tidur, tiba-tiba kakinya digigit seekor lipan. Seketika ia pun terbangun namun tidak
marah melihat binatang itu, bahkan menjadikannya sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru
untuk lipan, yaitu Kalabang, artinya “kala yang berwarna merah”.
Batara Kala melanjutkan tidur. Tiba-tiba kakinya dicapit seekor ketunggeng yang kemudian
menyuntikkan ekornya yang tajam. Batara Kala terbangun namun tidak marah, dan menjadikan
ketunggeng sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk ketunggeng, yaitu Kalajengking,
artinya “kala yang menungging”.

BATARA KALA HENDAK MEMANGSA BATARA GURU


Batara Kala memandang ke atas dan tiba-tiba melihat Batara Guru dan Batari Umaranti
mengendarai Lembu Nandini sedang terbang di angkasa untuk meninjau keadaan Pulau Jawa.
Kebetulan saat itu sedang tengah hari, dan mereka bertiga juga tidak bercakap-cakap, sehingga
termasuk golongan Sengkala. Maka, Batara Kala pun segera terbang menghadang mereka bertiga.
Batara Guru heran mengapa Batara Kala ingin memakan dirinya. Batara Kala mengaku tidak
peduli meskipun Batara Guru adalah ayahnya, yang jelas saat ini sudah masuk ke dalam golongan
Sengkala sehingga boleh dimangsa. Batara Guru pasrah jika memang dirinya harus dimangsa oleh
anak sendiri. Namun sebelumnya, ia ingin bermain tebak-tebakan lebih dulu dengan Batara Kala.
Yang ia tanyakan adalah makna kalimat “Hong, eka egul, eka wancah, dwi srogi, tri nabi, sapta
trisu cahya, astha pada”.
Batara Kala tidak bisa menjawabnya. Batara Guru pun menjelaskan makna kalimat tersebut
secara panjang lebar, yaitu “satu ekor, satu tali hidung, dua tanduk, tiga pusar, tujuh mata, dan
delapan kaki” yang tidak lain dalah penggambaran Batara Guru, Batari Umaranti, dan Lembu
Nandini.
Setelah menerima penjelasan tersebut, Batara Kala bersiap memangsa mereka bertiga, akan
tetapi saat itu matahari sudah agak condong ke barat sehingga Batara Guru berkata bahwa dirinya
bertiga sudah bukan lagi golongan Sengkala sehingga tidak boleh dimangsa. Batara Kala merasa
kalah cerdik dan tertunduk malu. Pada saat itulah Batara Guru secara cepat menuliskan rajah pada
KITAB WAYANG PURWA

dahi, rongga mulut, dada, dan punggung Batara Kala. Ia kemudian berpesan bahwa barangsiapa
bisa membaca tulisan rajah tersebut maka Batara Kala harus menghormatinya sebagai perwakilan
Batara Guru.
Batara Kala mematuhi pesan tersebut dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.

BATARA KALA MENGEJAR JAKA JATUSMATI


Tersebutlah seorang pemuda bernama Jaka Jatusmati, yang merupakan anak tunggal Nyai
Prihatin dari Desa Medangkawit. Pada suatu hari ia mandi di Telaga Nirmala untuk menghilangkan
nasib buruknya. Tiba-tiba muncul Batara Kala hendak memangsanya karena tahu kalau ia anak
tunggal. Jaka Jatusmati pun berlari sekencang-kencangnya, dan Batara Kala selalu mengejar ke
mana pun ia pergi.
Dalam pelariannya, Jaka Jatusmati banyak melewati orang-orang Sengkala, antara lain ada
orang yang memasang atap rumah tapi tiangnya belum dikuatkan, ada orang yang merobohkan
dandang saat menanak nasi, ada pula orang yang mematahkan cobek saat menggiling bumbu.
Batara Kala yang tetap mengejar Jaka Jatusmati tidak memangsa orang-orang itu, tetapi mengutuk
mereka akan kehilangan harta benda. Dengan demikian, menjadi mangsa Batara Kala tidak berarti
harus mati badan, tetapi juga bisa mati sandang pangan.
Sampai akhirnya, ia pun melihat ada sebuah pertunjukan wayang di Desa Medangwantu, yang
dimainkan oleh Ki Dalang Kandabuwana.
Orang yang mengadakan hajatan menanggap wayang tersebut bernama Buyut Wangkeng
yang ingin mendamaikan anak dan menantunya, yaitu Rara Primpen dan Buyut Geduwal. Awalnya,
Rara Primpen sejak menjadi pengantin tidak pernah mau melayani suaminya, bahkan sampai minta
bercerai. Buyut Wangkeng pun menasihatinya dengan sabar, sehingga Rara Primpen akhirnya
bersedia melanjutkan rumah tangga dengan Buyut Geduwal, asalkan sang ayah menanggap
wayang untuknya. Maka, Buyut Wangkeng pun mengundang Ki Dalang Kandabuwana untuk
mendalang di rumahnya.

BATARA KALA TUNDUK KEPADA KI DALANG KANDABUWANA


Jaka Jatusmati yang tiba di rumah Buyut Wangkeng segera menyusup ke atas panggung
wayang dan berbaur dengan para penabuh gamelan. Batara Kala yang datang menyusul menjadi
bengong karena tertarik melihat pertunjukan wayang, sehingga lupa kepada buruannya. Sebaliknya,
para penonton langsung ketakutan dan berlarian ke segala arah begitu melihat ada raksasa tinggi
besar tiba-tiba muncul di antara mereka.
Ki Dalang Kandabuwana pun menghentikan pentas dan menemui Batara Kala. Batara Kala
meminta supaya pentas dilanjutkan karena ia sudah terlanjur suka. Ki Dalang Kandabuwana
bersedia melanjutkannya asalkan Batara Kala membayar tebusan dengan cara menyerahkan
senjata Bedama. Batara Kala pun menyerahkan senjata itu kepada Ki Dalang Kandabuwana.
Tiba-tiba Batara Kala melihat Jaka Jatusmati ikut menabuh gamelan dan ia pun menangkap
pemuda itu untuk dimangsa. Akan tetapi, begitu teringat pada pesan Batara Guru, ia segera meminta
kembali senjata Bedama dari tangan Ki Dalang Kandabuwana untuk menyembelih Jaka Jatusmati.
Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkan Bedama, asalkan ditukar dengan Jaka Jatusmati.
Batara Kala setuju, dan ia pun menyerahkan Jaka Jatusmati dan menerima Bedama.
Begitu menerima Bedama, Batara Kala baru ingat kalau Jaka Jatusmati sudah lepas dari
tangannya. Ia pun meminta supaya pemuda itu diserahkan kepadanya. Ki Dalang Kandabuwana
bersedia menyerahkannya asalkan ditukar dengan Bedama. Batara Kala lalu menyerahkan Bedama
tersebut, dan ia pun menerima Jaka Jatusmati, begitu seterusnya.
Batara Kala semakin bingung. Ketika ia lengah dan mulutnya ternganga, tiba-tiba saja Ki
Dalang Kandabuwana membaca tulisan rajah di rongga mulutnya, juga rajah-rajah lainnya di dahi,
punggung, dan dada. Batara Kala heran ternyata orang yang dihadapinya ini bisa membaca tulisan-
tulisan tersebut. Ki Dalang Kandabuwana juga menjelaskan nama-nama rajah tersebut, yaitu pada
KITAB WAYANG PURWA

dahi disebut Sastra Carakabalik, pada rongga mulut disebut Sastra ing Telak, pada dada
disebut Sastra Bedati, dan pada punggung disebut Sastra Trusing Gigir.
Seketika Batara Kala teringat bahwa jika ada orang yang bisa membaca tulisan rajah pada
tubuhnya, maka ia harus dihormati sebagai wakil Batara Guru. Oleh sebab itu, Batara Kala lalu
duduk bersimpuh di hadapan Ki Dalang Kandabuwana dengan sikap pasrah dan lemas tak
bertenaga.
Ki Dalang Kandabuwana menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat tugas untuk meruwat
orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Mereka yang sudah diruwat tidak
boleh dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala menyatakan patuh terhadap ketentuan tersebut. Ia
lalu mohon pamit kembali ke Pulau Nusakambangan.

KI DALANG KANDABUWANA MENGADAKAN RUWATAN MASSAL


Setelah Batara Kala pergi, Ki Dalang Kandabuwana dan para pengikutnya lalu mengadakan
upacara Ruwatan terhadap orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Setelah
meruwat mereka, ia juga mengajarkan mantra penolak gangguan jahat Batara Kala yang berbentuk
Tembang Prawiralalita, berbunyi:
Yamaraja–Jaramaya, Yamarani–Niramaya, Yasilapa–Palasiya,
Yamidora–Radomiya, Yamidosa–Sadomiya, Yadayuda–Dayudaya,
Yasiyaca–Cayasiya, Yasihama–Mahasiya.
Selain itu ia juga mengajarkan laku brata sebanyak lima perkara kepada masyarakat Jawa
untuk menghindari ancaman Batara Kala, yaitu:
- Puasa, menahan makan dan minum.
- Berjaga, tidak tidur sampai orang lain tidur.
- Membisu, mengurangi banyak bicara.
- Wahdat, mengurangi persetubuhan dengan jarak seratus hari, atau paling tidak empat
puluh hari.
- Bersabar, mengurangi marah.
Setelah mengajarkan itu semua, Ki Dalang Kandabuwana kembali ke wujud Batara Wisnu dan
kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka bersama para dewa lainnya untuk melaporkan bahwa tugas
telah selesai dilaksanakan. Batara Guru menerima laporan tersebut dengan senang hati dan
berpesan agar Batara Wisnu tetap waspada karena setiap saat Batara Kala bisa datang kembali
untuk membuat kekacauan di Pulau Jawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

RESI SIWANDAKARA
Kisah ini menceritakan persekutuan antara Batara Siwah dalam wujud Sri Maharaja Balya
dengan Batara Kala dalam wujud Resi Siwandakara. Mereka berniat menaklukkan Kahyangan
Suralaya, namun dikalahkan oleh seorang cebol dan seekor banteng sakti, penjelmaan Batara
Wisnu dan Batara Brahma.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.

Resi Siwandakara

BATARA KALA MENJADI RESI SIWANDAKARA


Di Pulau Nusakambangan, Batara Kala merenungi nasibnya yang gagal mencari mangsa
golongan Sukerta dan Sengkala akibat campur tangan Ki Dalang Kandabuwana penjelmaan Batara
Wisnu. Ia merasa iri pada kehebatan kakaknya itu, dan memutuskan untuk pergi bertapa agar
bertambah ilmu kesaktiannya.
Batara Kala pun memilih Hutan Tulyan sebagai tempatnya bertapa. Berbulan-bulan lamanya
ia bersamadi mengendalikan hawa nafsu, membuat kesaktian dan kecerdasannya berkembang
pesat. Tidak hanya itu, ia juga menyusun jenis agama baru sebagai pecahan Agama Dewa, yang
disebut dengan nama Agama Kala. Semakin hari jumlah murid dan pengikutnya semakin bertambah
banyak. Ia lalu mendirikan padepokan sebagai tempat mengajar dan berganti nama menjadi Resi
Siwandakara.

SRI MAHARAJA BALYA MENGIRIM SERANGAN KE HUTAN TULYAN


Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda dihadap Resi Kuramba selaku raja bawahan
di Kerajaan Medang Pura. Mereka membicarakan adanya agama baru bernama Agama Kala yang
diajarkan oleh seorang brahmana berwujud raksasa, bernama Resi Siwandakara. Sri Maharaja
Balya merasa resah karena banyak pengikut Agama Siwah yang beralih memeluk Agama Kala.
Maka, Resi Kuramba pun dikirim untuk memanggil Resi Siwandakara datang ke Medang Siwanda.
Resi Kuramba membawa pasukan gabungan Medang Siwanda dan Medang Pura mendatangi
Resi Siwandakara di padepokan Hutan Tulyan. Terjadilah percakapan antara dirinya dengan resi
berwujud raksasa itu yang berlanjut dengan perdebatan adu kepandaian. Resi Kuramba kalah
perbawa dan memaksa Resi Siwandakara ikut dengannya ke Medang Siwanda dengan
menggunakan kekerasan.
Resi Siwandakara melawan sehingga terjadilah pertempuran. Resi Kuramba dan pasukannya
merasa terdesak kewalahan. Mereka tidak mampu menghadapi kesaktian Resi Siwandakara,
sehingga terpaksa mundur kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.

SRI MAHARAJA BALYA MEMELUK AGAMA KALA


Sri Maharaja Balya menerima laporan Resi Kuramba yang gagal menjalankan tugasnya.
Hatinya tersinggung mendengar Resi Kuramba memuji-muji kepandaian dan kesaktian Resi
KITAB WAYANG PURWA

Siwandakara. Sri Maharaja Balya sangat murka dan mengusir pergi Resi Kuramba dari Kerajaan
Medang Siwanda. Resi Kuramba lalu kembali ke wujud semula, yaitu Batara Singajalma, dan ia
melesat pergi menuju kahyangan.
Sri Maharaja Balya kemudian berangkat sendiri ke Hutan Tulyan menemui Resi Siwandakara.
Keduanya terlibat perdebatan adu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertarungan adu kesaktian.
Akhirnya, Sri Maharaja Balya harus mengakui bahwa lawannya lebih unggul, dan ia pun menyatakan
tunduk kepada Agama Kala.
Sri Maharaja Balya lalu membawa Resi Siwandakara bergabung di Kerajaan Medang Siwanda
sebagai patih. Bersama-sama mereka menyebarkan Agama Kala sehingga berkembang semakin
luas dengan jumlah pengikut yang semakin banyak. Di antara para raja yang bergabung dengan
mereka adalah seorang raja gandarwa bernama Prabu Waka dan seorang raja raksasa bernama
Prabu Citraksa.

SRI MAHARAJA BALYA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Agama Dewa di Pulau Jawa kini hanya tinggal dua aliran saja yang berkembang pesat, yaitu
Agama Kala dan Agama Indra. Para pengikut kedua aliran ini banyak yang terlibat perselisihan dan
perkelahian, karena sama-sama merasa paling benar. Batara Indra sendiri akhirnya turun tangan
dan mengirim surat ke Kerajaan Medang Siwanda supaya Sri Maharaja Balya beralih memeluk
Agama Indra. Tentu saja hal ini membuat Sri Maharaja Balya sangat marah dan segera mengirim
pasukan untuk menyerang Kahyangan Suralaya.
Pasukan Kerajaan Medang Siwanda yang dipimpin Patih Siwandakara, Prabu Waka, dan
Prabu Citraksa berangkat menyerbu Gunung Mahameru. Sesampainya di sana mereka berhadapan
dengan pasukan Kahyangan Suralaya yang dipimpin Kapi Malawapati. Pertempuran besar pun
terjadi. Pihak kahyangan mengalami kekalahan di mana Kapi Malawapati tewas di tangan Patih
Siwandakara.
Melihat panglimanya mati, pasukan jawata pun kocar-kacir dan mundur ke dalam Kahyangan
Suralaya, kemudian menutup pintu gerbang rapat-rapat.

KEDUA PIHAK MEMBUAT SENJATA PUSAKA


Di dalam Kahyangan Suralaya, Batara Indra memerintahkan para jawata untuk membuat
berbagai senjata pusaka demi menghadapi kekuatan Sri Maharaja Balya. Para jawata tersebut
adalah anggota keluarga Batara Ramayadi dan Batara Anggajali yang berjumlah lima belas orang.
Kelima belas jawata pembuat senjata itu adalah Batara Ramayana, Batara Ramakandi, Batara
Ramakandeya, Batara Isakandi, Batara Ramadewa, Batara Dewayana, Batara Widayana, Batara
Kanditan, Batara Kandihawa, Batara Ramabada, Batara Janabada, Batara Indrabada, Batara
Hirabada, Batara Amidabada, dan Batara Sekandrabada.
Mendengar hal itu, Patih Siwandakara segera menyusup ke Gunung Mahameru dan
memasang tumbal penolak balak untuk menarik kekuatan gaib senjata-senjata pusaka buatan
kelima belas jawata tersebut. Hal ini diketahui Batara Bayu yang datang ke Kahyangan Suralaya
untuk membantu Batara Indra. Ia pun mengirimkan angin topan yang menghempaskan Patih
Siwandakara beserta para pengikutnya hingga kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.
Patih Siwandakara segera melapor kepada Sri Maharaja Balya mengenai usaha Batara Indra
yang memerintahkan para empu jawata membuat senjata pusaka. Untuk mengimbangi hal itu, Sri
Maharaja Balya pun memerintahkan menantunya yang bernama Batara Wiswakadi untuk membuat
senjata pusaka pula. Batara Wiswakadi segera melaksanakan perintah tersebut bersama
sepupunya yang bernama Batara Wiswakarma.

UNDANGAN DUA JIN WANITA DARI LAUTAN


Pada suatu hari datang dua orang jin wanita bersaudara dari Kerajaan Madyasamodra,
bernama Ratu Adiyana dan Patih Adiyati. Mereka menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan
KITAB WAYANG PURWA

Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya menerima
kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan.
Setelah menamatkan pelajaran dan memperoleh segala ilmu pengetahuan, Ratu Adiyana dan
Patih Adiyati pun mengundang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara untuk mengajarkan
Agama Kala kepada rakyat di negeri mereka. Permintaan itu disetujui. Mereka lalu berangkat
bersama-sama pergi ke Kerajaan Madyasamodra yang terletak di tengah lautan.
Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang
disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya menikahi
Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun hidup bersenang-
senang di Kerajaan Madyasamodra sampai waktu yang cukup lama.
Setelah enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau
mereka sudah begitu lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban di
Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Medang
Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah tertunda sekian
lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan mereka pun membawa serta
pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak Medang Siwanda.

SRI MAHARAJA BALYA KALAH PERANG


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu
untuk membantu Batara Indra menghadapi angkara murka Sri Maharaja Balya dan Patih
Siwandakara. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang cebol bernama Jaka
Wamana, sedangkan Batara Brahma mengubah wujudnya menjadi seekor banteng sakti bertubuh
besar.
Jaka Wamana menggiring si banteng besar menghadang rombongan Sri Maharaja Balya yang
sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya terkejut
dan menanyakan asal-usul serta tujuan orang cebol itu yang berani menghadang perjalanannya.
Jaka Wamana menjawab bahwa ia telah turun dari langit untuk menghukum keserakahan Sri
Maharaja Balya.
Sri Maharaja Balya mengejek Jaka Wamana yang bertubuh cebol, tidak mungkin memiliki
cukup kesaktian untuk melawan seorang maharaja. Jaka Wamana menjawab bahwa kesaktian itu
hanyalah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Sri Maharaja Balya tersinggung dan memperkenalkan
bahwa dirinya adalah orang yang hendak dihukum Jaka Wamana itu. Jaka Wamana dan si banteng
besar segera menantang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara berkelahi. Tantangan itu
diterima, dan terjadilah pertempuran di antara mereka.
Sri Maharaja Balya mengerahkan segenap kekuatan, namun tidak mampu menandingi
kesaktian Jaka Wamana. Begitu pula dengan Patih Siwandakara juga tidak mampu mengalahkan
banteng besar yang dihadapinya. Akhirnya, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara pun
mengubah wujud masing-masing menjadi raksasa sebesar gunung. Anehnya, Jaka Wamana juga
mampu mengubah wujudnya menjadi raksasa yang jauh lebih besar lagi. Kakinya amblas ke dasar
bumi, sedangkan kepalanya melebihi tingginya tujuh lapis angkasa. Bahkan, tangannya mampu
meraih bebatuan meteor yang melayang-layang di luar angkasa.
Sementara itu, si banteng besar juga telah mengubah wujudnya menjadi gunung api yang
berkobar-kobar membakar segalanya. Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara tidak kuat
menghadapi hawa panas yang membara, ditambah dengan hujan batu meteor yang dilemparkan
raksasa penjelmaan Jaka Wamana. Akhirnya, mereka tidak kuat menahan sakit dan menyerah
kalah.
Sri Maharja Balya bertobat menyadari kesalahan dan keserakahannya. Ia lalu kembali ke
wujud Batara Siwah dan pulang ke Tanah Hindustan menghadap Batara Guru. Sementara itu, Patih
Siwandakara kembali ke wujud Batara Kala dengan perasaan sangat kecewa dan dendam kesumat.
Ia memilih pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Nusakambangan untuk kembali bertapa demi
menambah kesaktian.
KITAB WAYANG PURWA

BATARA BRAHMA MENJADI RAJA MEDANG SIWANDA


Ratu Adiyana dan Patih Adiyati berlutut memohon ampun di hadapan Jaka Wamana dan si
banteng api, begitu pula dengan para pengikut Sri Maharaja Balya yang lain. Jaka Wamana lalu
kembali ke wujud Batara Wisnu, sedangkan si banteng api kembali ke wujud Batara Brahma. Mereka
memberikan pengampunan kepada kedua jin wanita itu, serta menerima pengabdian para pengikut
Sri Maharaja Balya yang terdiri dari berbagai golongan.
Batara Brahma dan Batara Wisnu kemudian berbagi tugas menangani para pengikut Sri
Maharaja Balya tersebut. Batara Brahma bertugas memimpin para pengikut yang berwujud makhluk
kasar, yaitu bangsa manusia, raksasa, dan binatang; sedangkan Batara Wisnu memimpin pengikut
yang berwujud makhluk halus, yaitu bangsa jin, siluman, peri, dan gandarwa.
Batara Brahma kemudian menduduki takhta Kerajaan Medang Siwanda dengan bergelar Sri
Maharaja Budawaka, serta menikahi Dewi Adiyana sebagai permaisuri. Sementara itu, Batara
Wisnu menikahi Dewi Adiyati dan masuk ke alam sunyaruri untuk menjadi pemimpin di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

MAHARAJA BIRAWA
Kisah ini menceritakan Batara Kala yang menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa untuk membalas dendam kepada Batara
Brahma dan Batara Wisnu. Ia juga memerangi Batara Indra di Kahyangan Suralaya, namun pada akhirnya dapat dikalahkan
oleh Batara Wisnu dalam wujud Brahmana Kestu.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

BATARA KALA MENJADI SRI MAHARAJA BIRAWA


Batara Kala yang sangat kecewa atas kekalahannya berusaha menghimpun kekuatan untuk
membalas dendam. Ia bertapa siang malam selama beberapa bulan sehingga kesaktiannya
meningkat pesat. Setelah para pengikutnya bertambah banyak pula, ia pun meninggalkan Pulau
Nusakambangan dan membangun sebuah kerajaan baru di Hutan Tulyan, yang diberi nama
Kerajaan Medang Kamulan, meniru nama kerajaan yang dulu didirikan oleh Batara Guru di Gunung
Mahendra. Sebagai raja di sana, ia memakai gelar Sri Maharaja Birawa.
Pada suatu hari Sri Maharaja Birawa menerima kedatangan tiga orang empu kahyangan, yaitu
putra Batara Isakandi yang bernama Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi. Ketiga
bersaudara itu memohon perlindungan kepada Sri Maharaja Birawa karena dikejar-kejar hendak
dibunuh seorang raksasa sakti bernama Ditya Danupaya, putra Ditya Danupati, atau cucu Prabu
Danuka yang mendendam kepada para dewa.
Sri Maharaja Birawa bersedia memberikan perlindungan kepada mereka bertiga. Ditya
Danupaya akhirnya datang dan menantang perang Sri Maharaja Birawa apabila tidak mau
menyerahkan ketiga buruannya itu. Maka, terjadilah pertempuran seru di antara mereka yang
akhirnya dimenangkan oleh Sri Maharaja Birawa. Ditya Danupaya menyerah kalah dan pasrah hidup
mati. Melihat ketulusan raksasa itu, Sri Maharaja Birawa pun menerimanya sebagai kawan. Bahkan,
Ditya Danupaya juga diangkat sebagai menteri utama Kerajaan Medang Kamulan, bergelar Patih
Danupaya.
Sri Maharaja Birawa juga menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, serta
Batara Rasikadi, dan menjadikan mereka sebagai pembuat pusaka kerajaan. Selain itu, ia juga
menikahi adik perempuan Patih Danupaya yang bernama Dewi Danupadi.

SRI MAHARAJA BIRAWA MENGHANCURKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA


Sri Maharaja Birawa lalu menyusun rencana untuk membalas dendam kepada Batara Brahma
dan Batara Wisnu. Ia pun memerintahkan Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi
untuk membuat senjata-senjata ampuh. Setelah tugas selesai dilaksanakan, Sri Maharaja Birawa
dan Patih Danupaya berangkat memimpin pasukan menyerang Kerajaan Medang Siwanda.
Di Kerajaan Medang Siwanda, Sri Maharaja Budawaka yang merupakan penjelmaan Batara
Brahma tidak menduga akan datangnya serangan mendadak dari Kerajaan Medang Kamulan
tersebut.
Pertempuran besar pun terjadi. Kerajaan Medang Siwanda mengalami kehancuran,
sedangkan Sri Maharaja Budawaka melarikan diri ke arah barat.
KITAB WAYANG PURWA

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MEMBANGUN KERAJAAN GILINGAYA


Perjalanan Sri Maharaja Budawaka akhirnya sampai di wilayah Kerajaan Medang Gili, yaitu
negeri yang dulu pernah dipimpinnya saat menjadi Sri Maharaja Sunda. Namun, Kerajaan Medang
Gili tersebut sekarang sudah terbengkalai dan tidak terawat, karena kosong tidak memiliki raja.
Di negeri itu, Sri Maharaja Budawaka ditolong dan diberi makan oleh seorang tua bernama
Kyai Sudana. Sri Maharaja Budawaka sangat berterima kasih dan mengajak Kyai Sudana beserta
keluarganya membangun kembali Kerajaan Medang Gili. Ia kemudian mengangkat anak Kyai
Sudana yang bernama Jaka Suweda menjadi menteri utama, bergelar Patih Suweda. Adapun nama
Kerajaan Medang Gili untuk selanjutnya diganti menjadi Kerajaan Gilingaya.

SRI MAHARAJA BIRAWA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Setelah puas mengalahkan Sri Maharaja Budawaka dan mengusirnya pergi, Sri Maharaja
Birawa lalu berniat menyerang Kahyangan Suralaya yang dipimpin Batara Indra. Rancana ini tidak
disetujui Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi. Karena mereka bertiga berani
terang-terangan menentang rencana ini, Sri Maharaja Birawa pun marah besar. Ketiga putra Batara
Isakandi itu memilih melarikan diri meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan karena takut
menghadapi amukan raja raksasa tersebut.
Sri Maharaja Birawa dan Patih Danupaya kemudian berangkat memimpin pasukan Medang
Kamulan menyerang Kahyangan Suralaya. Perang besar pun terjadi di kaki Gunung Mahameru.
Batara Indra dan pasukan Dorandara terdesak kalah. Pada saat itulah Batara Bayu datang
membantu dan berhasil membunuh Patih Danupaya, kemudian ia bertempur melawan Sri Maharaja
Birawa.
Batara Bayu dan Sri Maharaja Birawa sama-sama mengadu kesaktian sampai waktu yang
cukup lama. Batara Bayu merasa kesulitan mengalahkan lawannya itu. Ia akhirnya mengerahkan
angin topan yang menerbangkan tubuh Sri Maharaja Birawa beserta para prajuritnya yang masih
hidup kembali ke Kerajaan Medang Kamulan.

BRAHMANA KESTU MENGALAHKAN SRI MAHARAJA BIRAWA


Batara Indra takut kalau Sri Maharaja Birawa datang kembali dengan kekuatan yang lebih
besar. Ia lalu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Pameling memanggil adiknya, yaitu Batara
Wisnu yang memiliki kesaktian paling tinggi di antara sesama saudara. Batara Wisnu pun datang
dari Alam Sunyaruri dan menyatakan sanggup menghadapi Sri Maharaja Birawa.
Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana
Kestu. Ia mendatangi Kerajaan Medang Kamulan dan menantang Sri Maharaja Birawa adu
kesaktian. Tantangan itu diterima dan mereka pun bertarung seru. Karena sampai sekian lama tidak
ada yang menang dan tidak ada yang kalah, Sri Maharaja Birawa lalu menantang Brahmana Kestu
adu kepandaian wawasan.
Sri Maharaja Birawa mengajukan teka-teki yang berbunyi:
Tuwuh doning mudratirta,
Seta ti kang purwandaya,
Mapatra pita laksmita,
Sirang puspa maharakta,
Mang bapte kang pala kresna,
Mesi nanda mancawarna,
Ma sadrasa marta wisa,
Taman kena pisahahna.
Yang artinya:
Tumbuhnya di tengah air,
putih batang pohonnya,
daun kuning bersinar,
bunganya merah menyala,
KITAB WAYANG PURWA

buahnya berwarna hitam,


berisi emas permata aneka warna,
rasanya enam jenis bisa menjadi obat atau racun,
tidak dapat terpisahkan.
Brahmana Kestu menjawab teka-teki tersebut:
Tumbuhnya pramana di dalam budi, pohon pramana suci, daunnya birahi, bunganya amarah, buahnya
kesentosaan, isinya pancaindera dan akal yang berjumlah enam, jika keluarnya baik bisa menjadi obat,
jika keluarnya buruk bisa menjadi racun, tidak dapat dipisahkan karena jika dipisah tentu
menimbulkan kematian.
Sri Maharaja Birawa sangat malu karena teka-tekinya dapat ditebak oleh Brahmana Kestu. Ia
pun menyerah kalah dan menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Brahmana Kestu. Maka,
Brahmana Kestu lalu menjatuhkan hukuman buang kepada Sri Maharaja Birawa supaya tinggal di
Hutan Krendawana.
Sri Maharaja Birawa sanggup menjalani hukuman tersebut. Ia lalu kembali ke wujud Batara
Kala dan berangkat menuju Hutan Krendawana bersama istrinya, yaitu Dewi Danupadi yang telah
diganti namanya menjadi Dewi Kali.

RAHMANA KESTU MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN


Setelah Sri Maharaja Birawa kalah dan berangkat menjalani pembuangan, para pengikutnya
pun menyatakan tunduk kepada Brahmana Kestu serta menyerahkan takhta kerajaan kepada
brahmana penjelmaan Batara Wisnu tersebut.
Brahmana Kestu menerima takhta Kerajaan Medang Kamulan itu dan ia pun menjadi raja
dengan bergelar Sri Maharaja Budakresna.

Sri Maharaja Birawa

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BUDAWAKA – BUDAKRESNA
Kisah ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil
ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan antara Sri
Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya dilerai oleh Sanghyang
Rudra.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

Budawaka - Budakresna

PUTRI SRI MAHARAJA BUDAWAKA HILANG DICULIK ORANG


Sri Maharaja Budawaka di Kerajaan Gilingaya sedang bersedih karena putrinya yang lahir dari
permaisuri Dewi Rarasati, yang bernama Dewi Brahmaniyari telah hilang entah ke mana. Patih
Suweda dan para punggawa juga berusaha mencari ke segala penjuru namun tidak mendapatkan
hasil.
Tiba-tiba datanglah tiga orang dewa empu putra Batara Isakandi, yaitu Batara Sukadi, Batara
Reksakadi, dan Batara Rasikadi yang memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan Gilingaya.
Mereka bertiga mengaku telah diusir oleh Sri Maharaja Birawa karena berani menentang niatnya
yang ingin menyerang Kahyangan Suralaya.
Sri Maharaja Budawaka bersedia menerima pengabdian ketiga dewa empu tersebut asalkan
dibantu mencari ke mana hilangnya Dewi Brahmaniyari. Batara Sukadi segera mengheningkan cipta
dan mendapatkan petunjuk bahwa sang dewi saat ini berada di Kahyangan Saptapratala yang
terletak di dalam perut bumi. Namun, ia mengaku tidak mengetahui caranya untuk bisa sampai ke
sana.
Batara Reksakadi mengaku mengetahui jalan menuju Kahyangan Saptapratala, tetapi ia tidak
berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Batara Rasikadi kemudian mengajukan diri untuk
mencari Dewi Brahmaniyari dan ia mengaku berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga.
Maka, Batara Reksakadi pun menggambarkan peta jalan menuju Kahyangan Saptapratala untuk
dipelajari Batara Rasikadi.

BATARA RASIKADI MEREBUT DEWI BRAHMANIYARI


Dengan berbekal peta buatan kakaknya, Batara Rasikadi berhasil memasuki Kahyangan
Saptapratala. Ternyata Dewi Brahamaniyari memang benar-benar berada di sana karena telah
diculik oleh Batara Basuki, adik Batara Anantaboga.
Kedatangan Batara Rasikadi disambut dengan baik oleh Batara Anantaboga. Batara Rasikadi
berterus terang menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput pulang Dewi
Brahmaniyari. Batara Anantaboga mempersilakan Batara Rasikadi melaksanakan niatnya, asalkan
ia bersedia mengajari Batara Basuki ilmu pertempuran. Permintaan ini sebenarnya adalah sindiran,
bahwa Batara Rasikadi harus merebut Dewi Brahmaniyari melalui perkelahian.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki
jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama menjadi
pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat lebih unggul dan pertarungan
itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia mempersilakan Batara Rasikadi membawa
pulang Dewi Brahmaniyari karena putri Kerajaan Gilingaya itu memang bukan jodoh Batara Basuki.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENGAMBIL MENANTU


Batara Rasikadi membawa Dewi Brahmaniyari kembali ke Kerajaan Gilingaya dan
menghadapkannya kepada Sri Maharaja Budawaka. Sungguh gembira hati Sri Maharaja Budawaka
dan ia pun berkenan menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi.
Akan tetapi, ketiga dewa empu bersaudara itu kemudian mengajukan permohonan untuk bisa
menikahi Dewi Brahmaniyari. Ternyata mereka telah jatuh hati kepada sang dewi dan masing-
masing menganggap diri paling berjasa dan merasa paling berhak menjadi suaminya. Batara
Rasikadi mengatakan bahwa dirinya telah berjasa membawa pulang Dewi Brahmaniyari. Batara
Reksakadi mengatakan bahwa perbuatan itu bisa terjadi berkat peta yang digambarkannya.
Sementara itu, Batara Sukadi berpendapat, bahwa peta tersebut bisa digambar adalah karena ia
yang pertama kali mendapatkan petunjuk tentang keberadaan sang dewi yang disembunyikan di
Kahyangan Saptapratala.
Sri Maharaja Budawaka bingung menentukan pilihan, apalagi persaingan ketiga bersaudara
itu semakin memanas dan berubah menjadi pertengkaran. Tiba-tiba datang pula seorang raja
raksasa bernama Prabu Jambuwana dari Kerajaan Prajantaka yang mengaku telah mendapat
perintah dewata melalui mimpi supaya mempersunting salah satu putri Sri Maharaja Budawaka demi
kemakmuran negerinya.
Hal ini tentu saja membuat Sri Maharaja Budawaka bertambah bingung. Maka, ia pun berjanji
akan menerima lamaran Prabu Jambuwana tersebut, asalkan dibantu memberikan keadilan kepada
ketiga dewa bersaudara yang sedang bertengkar itu. Prabu Jambuwana segera mempelajari apa
yang sebenarnya telah terjadi, kemudian ia menyampaikan pendapat bahwa Dewi Brahmaniyari
hanya pantas diserahkan kepada laki-laki yang berani bertaruh nyawa demi melindunginya.
Sri Maharaja Budawaka sangat senang mendengar pendapat itu dan segera mengumumkan
bahwa Dewi Brahmaniyari akan dinikahkan dengan Batara Rasikadi. Di lain pihak, Batara Sukadi
dan Batara Reksakadi juga mendapatkan hadiah pengganti atas jasa-jasa mereka, yaitu masing-
masing diangkat sebagai raja bawahan di negeri Citrahoya dan Wameswara. Sesuai janjinya di awal
tadi, lamaran Prabu Jambuwana pun diterima pula. Raja raksasa itu diizinkan menikahi adik Dewi
Brahmaniyari yang bernama Dewi Brahmaniyoni.
Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan di Kerajaan Gilingaya terhadap kedua pasangan
tersebut, yaitu Batara Rasikadi dengan Dewi Brahmaniyari, serta Prabu Jambuwana dengan Dewi
Brahmaniyoni.

PRABU JAMBUWANA MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN


Prabu Jambuwana kemudian memboyong Dewi Brahamaniyoni untuk tinggal di Kerajaan
Prajantaka. Pada suatu hari Dewi Brahmaniyoni bercerita tentang riwayat ayahnya, bahwa Sri
Maharaja Budawaka adalah penjelmaan Batara Brahma yang pada mulanya menjadi penguasa di
Kerajaan Medang Siwanda menggantikan Sri Maharaja Balya. Kemudian pada suatu hari Sri
Maharaja Budawaka dikalahkan oleh raja Kerajaan Medang Kamulan sehingga terusir
meninggalkan Medang Siwanda. Sri Maharaja Budawaka kemudian membangun Kerajaan
Gilingaya dan menjadi raja di sana sampai saat ini.
Prabu Jambuwana selaku menantu merasa berkewajiban untuk membalaskan kekalahan Sri
Maharaja Budawaka. Ia pun memimpin pasukan raksasa Kerajaan Prajantaka berangkat
menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana terjadilah pertempuran besar. Melihat
pasukan Medang Kamulan terdesak, Sri Maharaja Budakresna akhirnya turun sendiri ke medan
perang dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke arah Prabu Jambuwana. Begitu terkena
KITAB WAYANG PURWA

senjata berbentuk cakram bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan tubuh
terpotong menjadi dua.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENYERANG SRI MAHARAJA BUDAKRESNA


Setelah suaminya tewas, Dewi Brahmaniyoni kembali ke Kerajaan Gilingaya untuk mengadu
kepada sang ayah. Sri Maharaja Budawaka sangat terkejut bercampur marah. Ia pun memutuskan
untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan demi membalaskan kematian menantunya, sekaligus
membalaskan dendamnya atas kekalahan yang telah lalu.
Begitu tiba di Kerajaan Medang Kamulan, Sri Maharaja Budawaka langsung berhadapan
dengan Sri Maharaja Budakresna. Ia teringat bahwa raja Medang Kamulan yang dulu
mengalahkannya berwujud raksasa, bernama Sri Maharaja Birawa, namun kini yang
menghadapinya ternyata berwujud manusia bernama Sri Maharaja Budakresna. Rupanya telah
terjadi pergantian raja di Medang Kamulan, namun hal ini tidak dipedulikan Sri Maharaja Budawaka.
Ia yakin bahwa Sri Maharaja Budakresna adalah anggota keluarga Sri Maharaja Birawa dan bisa
menjadi sasaran pelampiasan balas dendamnya.
Maka, terjadilah pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja
Budakresna. Pertarungan itu memakan waktu selama beberapa hari, sedangkan mereka kalah dan
menang silih berganti. Tidak jelas siapa yang lebih unggul di antara mereka berdua. Sampai
akhirnya datang seorang dewa turun dari kahyangan yang melerai perkelahian itu.
Dewa yang datang tersebut adalah Sanghyang Rudra, kakak Batara Guru lain ibu.
Kehadirannya adalah untuk menjelaskan bahwa pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka dan
Sri Maharaja Budakresna sebaiknya tidak perlu dilanjutkan, karena masing-masing adalah
penjelmaan Batara Brahma dan Batara Wisnu. Mereka berdua adalah saudara kandung sesama
putra Batara Guru yang sejak dulu saling akrab namun kini tidak saling mengenali.
Sri Maharaja Budawaka sangat malu begitu mengetahui bahwa Sri Maharaja Budakresna
ternyata adiknya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Sri Maharaja Budakresna atas segala
kesalahannya. Di lain pihak, Sri Maharaja Budakresna juga merasa sangat malu tidak bisa
mengenali penjelmaan kakaknya. Maka, untuk membuang sial dan menghapuskan kenangan buruk
itu, Sri Maharaja Budakresna mengganti nama Kerajaan Medang Kamulan menjadi Kerajaan
Purwacarita.
Setelah dirasa cukup, Sanghyang Rudra pun pamit kembali ke Kahyangan Keling, sedangkan
Sri Maharaja Budawaka kembali ke Kerajaan Gilingaya.

BATARA RASIKADI MENJADI RAJA NEGERI GILINGAYA


Sri Maharaja Budawaka telah kembali ke Kerajaan Gilingaya, namun ia masih sangat malu
dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengenali penjelmaan Batara Wisnu dalam wujud Sri
Maharaja Budakresna. Karena perasaan malunya yang teramat sangat itu, ia pun tidak bersemangat
lagi menjadi raja Gilingaya, dan memilih kembali ke wujud Batara Brahma. Maka, setelah
mewariskan takhta Kerajaan Gilingaya kepada sang menantu, yaitu Batara Rasikadi, ia pun kembali
ke tempat tinggalnya di Kahyangan Daksinageni.
Sepeninggal sang mertua, Batara Rasikadi dilantik menjadi raja Kerajaan Gilingaya yang baru,
dengan bergelar Prabu Brahmakadali. Adapun kedudukan sebagai menteri utama tetap dijabat oleh
Patih Suweda.
Sementara itu, melihat sang adik menjadi raja, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi merasa
sakit hati. Mereka sangat malu dan keberatan hidup di bawah perintah Prabu Brahmakadali.
Keduanya lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Gilingaya.
Batara Sukadi memilih pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Sri Maharaja
Budakresna, sedangkan Batara Reksakadi pergi berkelana ke Tanah Hindustan di mana ia berhasil
menaklukkan Kerajaan Kasipura dan menjadi raja di sana.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

GEGER SEJATINING SRI


Kisah ini menceritakan terciptanya tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari
Supraba dan adik-adiknya, serta mengisahkan pertempuran antara Prabu Brahmakadali
melawan Sri Maharaja Budakresna yang disebabkan oleh kesalahpahaman.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

TERCIPTANYA TUJUH BIDADARI UNGGULAN


Di Kahyangan Suralaya, Batara Indra dihadap Batara Wrehaspati dan para jawata, sedang
membicarakan tentang sebuah permata indah bernama Mustika Mulat yang jatuh dari langit. Atas
petunjuk yang diterima dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, permata tersebut
hendaknya dicipta menjadi tujuh bidadari unggulan, dengan melibatkan bantuan keempat saudara
lainnya.
Untuk itu, Batara Indra pun mengirimkan undangan kepada Batara Sambu, Batara Brahma,
Batara Bayu, dan Sri Maharaja Budakresna (Batara Wisnu) di tempat tinggal masing-masing. Kini,
keempatnya telah hadir di Kahyangan Suralaya. Batara Indra segera mengajak mereka untuk
mengheningkan cipta mengelilingi Mustika Mulat tersebut, sesuai petunjuk Batara Guru.
Berkat puja samadi yang dilakukan kelima dewa, Mustika Mulat pun berubah wujud menjadi
tujuh orang bidadari yang sangat cantik jelita. Batara Indra kemudian memberi mereka nama Batari
Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim, dan
Batari Tunjungbiru.
Batara Indra sangat senang dan mengangkat ketujuh bidadari itu sebagai anak. Mereka
bertujuh lalu diperintahkan mengelilingi taman Kahyangan Suralaya, dan setelah itu melakukan
tarian Bedaya di hadapan para jawata. Inilah awal mula Pulau Jawa mengenal tarian Bedaya yang
kelak akan banyak dimainkan di keraton-keraton.

BATARA SUKADI MENJADI PATIH SIPTAGATI


Setelah pertemuan di Kahyangan Suralaya usai, para dewa pun kembali ke tempat tinggal
masing-masing. Dalam perjalanan pulang tersebut, Sri Maharaja Budakresna melihat ada
sebongkah batu meteor meluncur jatuh dari luar angkasa. Batu meteor itu segera ditangkapnya
menggunakan kesaktian. Setelah diperiksa dengan seksama, ternyata batu meteor itu mengandung
logam yang bermutu tinggi. Dikarenakan bentuknya seperti bunga padma, maka Sri Maharaja
Budakresna pun memberinya nama Tosan Padma.
Sri Maharaja Budakresna lalu membawa pulang Tosan Padma ke Kerajaan Purwacarita dan
menyerahkannya kepada Batara Sukadi supaya ditempa menjadi senjata pusaka. Batara Sukadi
segera melaksanakan perintah tersebut dengan baik, dan akhirnya berhasil mengubah Tosan
Padma menjadi empat bilah keris pusaka.
KITAB WAYANG PURWA

Sri Maharaja Budakresna sangat berkenan melihat keempat keris pusaka tersebut. Ia lalu
memberikan anugerah kepada Batara Sukadi dengan mengangkatnya sebagai menteri utama
Kerajaan Purwacarita, bergelar Patih Siptagati.

PRABU BRAHMAKADALI MEMINTA SEJATINING SRI


Pada suatu hari Sri Maharaja Budakresna di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan
Patih Suweda dari Kerajaan Gilingaya. Patih Suweda datang untuk menyampaikan surat Prabu
Brahmakadali yang ingin meminta Sejatining Sri. Apabila Sri Maharaja Budakresna mengizinkan,
maka Prabu Brahmakadali akan datang secara pribadi ke Kerajaan Purwacarita.
Sri Maharaja Budakresna sangat murka membaca surat tersebut, karena dianggap sebagai
penghinaan baginya. Ia menuduh Prabu Brahmakadali berniat kurang ajar, karena meminta
Sejatining Sri berarti meminta permaisurinya. Hal ini dikarenakan para istri Batara Wisnu (Sri
Maharaja Budakresna) banyak yang memiliki nama depan “Sri”, antara lain Dewi Srilaksmi, Dewi
Srilaksmita, Dewi Sriyani, dan Dewi Sri Satyawarna.
Sri Maharaja Budakresna pun mengusir Patih Suweda agar kembali kepada rajanya dan
melapor bahwa permintaannya ditolak. Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan Patih Siptagati untuk
memimpin pasukan menggempur Kerajaan Gilingaya.

PRABU BRAHMAKADALI GUGUR


Patih Suweda tiba di Kerajaan Gilingaya dan melaporkan kegagalannya kepada Prabu
Brahmakadali. Tidak lama kemudian, pasukan Purwacarita yang dipimpin Patih Siptagati datang
menyerbu. Patih Suweda segera keluar memimpin pasukan Gilingaya menghadapi serangan
tersebut. Pertempuran besar pun terjadi, di mana Patih Suweda akhirnya tewas di tangan Patih
Siptagati.
Prabu Brahmakadali maju memimpin langsung pasukan Gilingaya. Kali ini ganti pihak
Purwacarita yang terpukul mundur. Bahkan, Patih Siptagati gugur pula di tangan Prabu
Brahmakadali yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri itu.
Sri Maharaja Budakresna yang mendengar pasukannya terdesak mundur segera melesat
terbang dan mendarat di medan pertempuran. Ia lalu bertarung menghadapi Prabu Brahmakadali
dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana. Begitu terkena pusaka berbentuk cakram tersebut,
Prabu Brahmakadali pun gugur seketika.

BRAHMANA DEWAHESA MENYADARKAN SRI MAHARAJA BUDAKRESNA


Batara Rudra (kakak tiri Batara Guru) di Kahyangan Keling merasa prihatin mendengar berita
pertempuran antara Kerajaan Purwacarita melawan Kerajaan Gilingaya. Jika dulu ia pernah melerai
pertempuran antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna, maka kini ia merasa
perlu untuk datang kembali ke Pulau Jawa.
Batara Rudra mengubah wujud menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana Dewahesa
menuju Kerajaan Purwacarita. Ia menemui Sri Maharaja Budakresna dan mengatakan bahwa
pertempuran yang telah terjadi hanyalah karena kesalahpahaman belaka. Ia menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Sejatining Sri bukanlah meminta permaisuri, tetapi Prabu Brahmakadali
ingin meminta kepada Sri Maharaja Budakresna supaya mengajarkan Sejatining Ilmu Keraton.
Brahmana Dewahesa menyebut kedua pihak sama-sama keliru. Sri Maharaja Budakresna
dinyatakan bersalah karena terlalu menuruti amarah, sedangkan Prabu Brahmakadali juga bersalah
karena sebagai pihak yang lebih muda ia seharusnya berterus terang dan bukannya main tebak-
tebakan seperti itu.
Sri Maharaja Budakresna sangat malu dan menyesali kesalahannya yang terburu nafsu. Ia
lalu kembali ke wujud Batara Wisnu dan mohon pamit untuk pulang ke Kahyangan Utarasegara,
meninggalkan Kerajaan Purwacarita.

BRAHMANA DEWAHESA MENJADI RAJA GILINGAYA


KITAB WAYANG PURWA

Sepeninggal Batara Wisnu, Brahmana Dewahesa lalu pergi ke Kerajaan Gilingaya dan
memperbaiki negeri tersebut dari kerusakan. Bala tentara yang masih tersisa dan segenap
penduduk merasa sangat gembira seolah mendapatkan pemimpin baru. Mereka pun sepakat
meminta Brahmana Dewahesa untuk menjadi raja Gilingaya yang baru, bergelar Sri Maharaja
Dewahesa.
Sementara itu, Kerajaan Purwacarita yang ditinggal pergi oleh Batara Wisnu kini menjadi
kosong seperti kota mati. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi raja yang bertakhta di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

REMBUCULUNG TIGAS
Kisah ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba sebagai
pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal kepala Ditya Kalarahu
yang juga bernama Ditya Rembuculung.
Kisah ini merupakan mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang disusun
dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja
Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa pengembangan seperlunya.

Batara Indra

BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA


Pada suatu hari Batara Guru dan Batara Narada berkunjung ke Kahyangan Suralaya. Batara
Indra dan Batara Wrehaspati menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Batara Guru
duduk di takhta Balai Marcukunda. Batara Guru sangat berkenan melihat hasil kerja Batara Indra
yang telah membangun Kahyangan Suralaya di Gunung Mahameru sebagai cabang Kahyangan
Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Mulai dari Balai Marcukunda, Balai Marakata, Taman Nadisara,
Repat Kepanasan, Kori Selamatangkep, Balai Paparyawarna, Sumur Golang Galing, Wot Ogal Agil,
sampai Gunung Jamurdipa dan Kawah Candradimuka, semua dibuat sama persis dengan aslinya.
Demikianlah, jika di Kahyangan Jonggringsalaka Batara Guru berwenang mengangkat
manusia yang berbudi luhur menjadi dewa, maka di Kahyangan Suralaya pun Batara Indra memiliki
wewenang yang sama. Akan tetapi, Batara Indra mengaku tidak bisa memberikan umur panjang
kepada dewa yang telah ia angkat karena di Kahyangan Suralaya tidak terdapat air kehidupan
Tirtamarta Kamandanu.
Batara Guru menasihati Batara Indra supaya tidak berkecil hati, karena kedatangannya ini
justru untuk memberikan petunjuk bahwa Tirtamarta Kamandanu memiliki kembaran bernama
Tirtamarta Siwamba, yang bisa menjadi milik Kahyangan Suralaya. Jika dulu Tirtamarta Kamandanu
diperoleh sang leluhur Sanghyang Nurcahya melalui tapa brata di Kutub Utara, maka Tirtamarta
Siwamba bisa diperoleh jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga
mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan.

BATARA INDRA MENGUNDANG PARA DEWA DAN NAGA


Setelah menerima petunjuk tersebut, Batara Indra segera mengutus Batara Wrehaspati untuk
berkeliling mengundang para dewa dan para naga di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian,
para dewa itu pun berdatangan di Kahyangan Suralaya. Mereka adalah Batara Sambu, Batara
Brahma, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Kuwera, Batara
Surya, Batara Candra, Batara Temburu, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahadewa,
KITAB WAYANG PURWA

Batara Cakra, Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara Penyarikan. Sementara itu, kaum naga
yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara Basuki.
Kini tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa enggan.
Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala, sedangkan Batara Kala
pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa
dulu.
Batara Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara Kala.
Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika para dewa bekerja
sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian, Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh
dan nantinya akan sangat berguna pada saat Batara Indra mengangkat dewa baru. Barangsiapa
meminum Tirtamarta Siwamba, maka khasiatnya sama dengan meminum Tirtamarta Kamandanu,
yaitu memperoleh umur panjang dan awet muda sampai kelak hari kiamat atau mahapralaya tiba.
Setelah memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana untuk
mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa lainnya ikut
pergi mengawalnya.

BATARA INDRA DISERANG MURID-MURID BATARA KALA


Batara Kala masih menjalani masa pembuangan di Hutan Krendawana sebagai hukuman atas
kekalahannya saat menjadi Sri Maharaja Birawa dulu. Di situ ia dihadap para murid yang terdiri dari
kaum raksasa. Adapun pemimpin para raksasa itu bernama Ditya Kalarahu bersama anaknya, yang
bernama Ditya Jantaka. Dalam pertemuan itu Batara Kala mengumumkan bahwa Ditya Kalarahu
telah menamatkan semua pelajaran darinya, dan berhak menerima murid sendiri untuk ikut
menyebarkan Agama Kala. Maka, Batara Kala pun mengangkat Ditya Kalarahu sebagai pendeta
bergelar Resi Rembuculung, sedangkan Ditya Jantaka ditunjuk sebagai pembantunya, bergelar
Putut Jantaka.
Tidak lama kemudian ada seorang murid datang melapor bahwa Batara Indra sedang dalam
perjalanan menuju Hutan Krendawana dengan dikawal para dewa. Batara Kala marah mengira
kakaknya itu berniat menyerangnya untuk melanjutkan permusuhan dulu. Maka, ia pun
memerintahkan Resi Rembuculung dan Putut Jantaka untuk menghadang serangan tersebut.
Resi Rembuculung dan Putut Jantaka segera memimpin para raksasa untuk bersama-sama
menyerang rombongan Batara Indra. Menghadapi serangan mendadak itu, Batara Indra dan
rombongan terpaksa membela diri. Maka, terjadilah pertempuran ramai di tepi Hutan Krendawana
tersebut.

PARA RAKSASA MENERIMA UNDANGAN KE KAHYANGAN SURALAYA


Setelah bertempur cukup lama, Resi Rembuculung dan pasukannya mulai terdesak mundur.
Mengetahui hal ini, Batara Kala segera terjun langsung menghadapi Batara Indra. Pertarungan
sengit pun terjadi di antara mereka, karena masing-masing masih menyimpan dendam lama. Batara
Indra sampai lupa bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk mengundang para raksasa, bukan
untuk berperang.
Tiba-tiba Batara Wisnu datang menyusul dan segera melerai kedua saudaranya yang sedang
bertarung itu. Melihat kedatangannya, Batara Kala justru semakin marah karena teringat beberapa
kali Batara Wisnu pernah mengalahkan dirinya, antara lain sebagai Ki Dalang Kandabuwana, Jaka
Wamana, dan Brahmana Kestu. Namun, Batara Wisnu berusaha menyabarkannya dan mengatakan
bahwa itu semua ia lakukan sama sekali bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi memelihara
ketertiban Pulau Jawa.
Setelah suasana lebih tenang, Batara Wisnu pun menjelaskan bahwa kedatangan Batara
Indra ke Hutan Krendawana bukan untuk menantang perang, tetapi untuk mengundang Batara Kala
dan para raksasa supaya membantu para dewa mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan
dan mengeluarkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba dari dalamnya.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan, yaitu
ia dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum
Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya menyatakan setuju
mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia berjanji akan meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada
siapa saja yang berhasil mencapai kesempurnaan dan berbudi luhur, tak peduli apakah mereka
penganut Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, ataupun Kala, semua mendapatkan hak
yang sama.
Mendengar janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan
para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke Kahyangan
Suralaya.

PARA DEWA MENDAPATKAN TIRTAMARTA SIWAMBA


Setelah para dewa dan raksasa berkumpul di Kahyangan Suralaya, maka pekerjaan mencari
Tirtamarta Siwamba pun dimulai. Bersama-sama mereka berangkat menuju ke Laut Selatan,
sampai akhirnya menemukan sebuah pulau di mana Gunung Mandaragiri berada.
Batara Guru memberikan petunjuk, bahwa Tirtamarta Siwamba hanya bisa diperoleh dengan
cara mengangkat Gunung Mandaragiri, tetapi harus dengan cara memutarnya perlahan-lahan.
Apabila gunung tersebut diangkat secara langsung justru air kehidupan akan musnah dan gagal
diperoleh.
Untuk itu, Batara Anantaboga dan Batara Basuki pun mengubah wujud mereka menjadi naga.
Karena Gunung Mandaragiri sangat besar, maka kedua naga itu harus menyambung tubuh mereka
supaya bisa membelit dan mengelilingi gunung tersebut secara sempurna. Selanjutnya, para dewa
dan para raksasa berjajar-jajar menjadikan tubuh kedua naga itu sebagai pegangan, lalu mereka
bersama-sama bergerak memutar Gunung Mandaragiri secara perlahan-lahan (pada zaman sekarang
seperti membuka baut, di mana kedua naga yang membelit gunung berfungsi sebagai kunci ring, red .).

Sedikit demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah
lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang tersebut dan
ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta Siwamba yang dicari-cari. Batara Guru
segera mengeluarkan cupu pusaka buatan Batara Ramayadi yang meniru khasiat Cupumanik
Astagina warisan Sanghyang Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka tersebut sebagai
wadah, maka Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung semuanya.
Setelah Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung
Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula.
Batara Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra
supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, ia dan Batara Narada pun berpamitan
untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.

RESI REMBUCULUNG MENCURI TIRTAMARTA SIWAMBA


Batara Kala kemudian menagih janji Batara Indra bahwa dirinya dibebaskan dari hukuman
buang dan murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra
mengabulkan permintaan pertama, bahwa mulai saat ini Batara Kala boleh meninggalkan Hutan
Krendawana dan kembali hidup di Pulau Nusakambangan. Mengenai permintaan kedua akan
dikabulkan jika ada raksasa berbudi luhur yang mencapai kesempurnaan hidup, tentu dapat
diangkat menjadi dewa dan boleh meminum Tirtamarta Siwamba.
Batara Kala memegang janji tersebut dan ia pun pamit untuk pulang ke Pulau
Nusakambangan. Ia berencana membangun tempat tinggal di sana yang diberi nama Kahyangan
Selamangumpeng. Mengenai Hutan Krendawana untuk selanjutnya diserahkan kepada Resi
Rembuculung dan Putut Jantaka supaya menjadi tempat mereka mengajarkan Agama Kala.
Batara Indra dan para dewa lalu kembali ke Kahyangan Suralaya, sedangkan Resi
Rembuculung dan para raksasa kembali ke Hutan Krendawana. Di tengah jalan Resi Rembuculung
tiba-tiba ingin mencuri Tirtamarta Siwamba karena ia berpikir jangan-jangan Batara Indra kelak akan
KITAB WAYANG PURWA

mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia seorang diri menuju Kahyangan Suralaya untuk
melaksanakan niat tersebut.
Sementara itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas
keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu, Resi
Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan berhasil mencuri
cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba.

BATARA WISNU MEREBUT KEMBALI TIRTAMARTA SIWAMBA


Batara Wisnu yang waspada dapat mengetahui kalau Resi Rembuculung telah mencuri
Tirtamarta Siwamba. Diam-diam ia pun mengikuti raksasa itu kembali ke rombongannya.
Resi Rembuculung disambut Putut Jantaka dan para raksasa lainnya. Ketika Tirtamarta
Siwamba hendak dibagi-bagikan, tiba-tiba Batara Wisnu muncul dalam wujud seorang wanita cantik
bernama Dewi Malini. Kecantikannya membuat para raksasa itu mabuk kepayang dan masing-
masing ingin memilikinya. Mereka pun saling bertengkar dan berkelahi sendiri. Pada saat itulah Dewi
Malini merebut Tirtamarta Siwamba dan membawanya kembali ke Kahyangan Suralaya dalam
wujud Batara Wisnu.
Begitu Tirtamarta Siwamba telah lenyap, para raksasa baru menyadari kesalahan mereka.
Resi Rembuculung berniat mengejar Batara Wisnu, namun Putut Jantaka mencegahnya. Putut
Jantaka mengingatkan supaya sang ayah percaya kepada janji Batara Indra saja. Namun, Resi
Rembuculung tidak menghiraukan saran anaknya itu. Ia merasa ilmunya sudah sempurna dan
pantas mendapatkan Tirtamarta Siwamba saat ini juga. Setelah membulatkan tekad, ia pun
berangkat sendiri mengejar ke Kahyangan Suralaya.

Batara Surya dan Batara Candra

BATARA WISNU MEMENGGAL KEPALA RESI REMBUCULUNG


Resi Rembuculung menyelinap ke dalam Kahyangan Suralaya dan melihat Batara Wisnu
menyerahkan Tirtamarta Siwamba kepada Batara Indra. Kebetulan hari itu Batara Indra berniat
meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada para dewa baru yang belum pernah meneguk Tirtamarta
Kamandanu. Resi Rembuculung melihat para dewa baru itu sedang berbaris di hadapan Batara
Indra. Memanfaatkan acara tersebut, ia segera mengubah wujudnya menjadi seorang dewa pula
dan menyelinap masuk ke dalam barisan.
Batara Surya dan Batara Candra kebetulan memergoki Resi Rembuculung saat berubah
wujud dan menyusup ke dalam barisan. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Batara Wisnu.
Maka, pada saat-saat genting di mana dewa jelmaan Resi Rembuculung sedang mendapatkan
giliran meneguk Tirtamarta Siwamba, pada saat itulah Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra
Sudarsana yang secara tepat memenggal kepala raksasa itu.
KITAB WAYANG PURWA

Tirtamarta Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala
yang terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layang di udara. Ia pun membuka mulutnya lebar-
lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi melampiaskan sakit hatinya.
Batara Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung
dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung tersebut
ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali Batara Surya dan
Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi dan mengancam kelak akan
datang lagi untuk membalas dendam dengan cara menciptakan gerhana matahari ataupun bulan.
Batara Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah
kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan cara
demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang
ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan segera menyampaikannya kepada Sri
Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja yang saat itu bertakhta di Tanah Jawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

KISAH

ZAMAN

PURWACARITA
KITAB WAYANG PURWA

PRABU PAKUKUHAN
Kisah ini menceritakan tentang riwayat Prabu Pakukuhan putra Sri Maharaja Dewahesa, yang
menjadi titisan pertama Batara Wisnu, mulai dari awal kelahirannya sampai dengan
pengangkatannya sebagai maharaja Pulau Jawa, bergelar Sri Maharaja Kanwa.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.

SRI MAHARAJA DEWAHESA MENATA PENDUDUK JAWA


Sri Maharaja Dewahesa (Batara Rudra) di Kerajaan Gilingaya dihadap kelima putranya yang
datang dari Kahyangan Keling, yaitu Prabu Isru, Prabu Iramba, Prabu Harnida, Prabu Agina, dan
Prabu Rugista. Mereka berlima datang ke Tanah Jawa untuk membantu sang ayah memimpin
negara. Sri Maharaja Dewahesa lalu berbagi tugas dengan kelima putranya itu untuk menata para
penduduk Pulau Jawa ke dalam enam kelompok, yaitu:
- Penduduk beragama Kala dipimpin oleh Prabu Isru,
- Penduduk beragama Wisnu dipimpin oleh Prabu Harnida,
- Penduduk beragama Indra dipimpin oleh Prabu Agina,
- Penduduk beragama Sambu dipimpin oleh Prabu Rugista,
- Penduduk beragama Bayu dipimpin oleh Prabu Iramba,
- Penduduk beragama Brahma dipimpin oleh Sri Maharaja Dewahesa sendiri.
Sri Maharaja Dewahesa juga menerima kedatangan Batara Nihoya dalam wujud seorang resi
bernama Resi Wiloda, yang kemudian dilantik sebagai patih sekaligus pandita di Kerajaan Gilingaya.

RESI RADI MENATA HARI PASARAN DAN PRANATAMANGSA


Pada suatu hari datang pula seorang pertapa ahli penanggalan bernama Resi Radi yang
menghadap Sri Maharaja Dewahesa untuk meminta sebidang tanah sebagai tempatnya
membangun padepokan. Sri Maharaja Dewahesa mengetahui jati diri Resi Radi yang tidak lain
adalah penjelmaan Batara Surya, keponakannya sendiri. Maka, ia pun memberikan tanah di Gunung
Tasik sebagai tempat tinggal Resi Radi tersebut.
Sesampainya di Gunung Tasik, Resi Radi segera menyusun penanggalan Jawa dan
memperbarui apa yang sudah ada. Pada zaman dahulu Empu Sengkala telah menciptakan
penyebutan hari lima dalam satu pekan, yaitu Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan Guru, namun
masyarakat Jawa merasa segan menggunakannya. Mereka takut terkena balak karena dianggap
kurang sopan jika menyebut secara langsung nama para dewa, sehingga mereka lebih suka
menggantinya dengan istilah warna, yatu hari Putih, Kuning, Merah, Hitam, dan Mancawarna. Maka,
mulai saat ini Resi Radi pun memperkenalkan penyebutan hari lima dengan istilah baru, yaitu Legi,
Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kelima hari tersebut untuk selanjutnya dikenal dengan istilah
Pasaran.
KITAB WAYANG PURWA

Empu Sengkala dahulu juga menetapkan nama-nama masa dalam satu tahun dengan meniru
penanggalan di Tanah Hindustan, yaitu Caitra, Waisaka, Jyesta, Asada, Srawana, Badrapada,
Aswina, Kartika, Margasirsa, Pusa, Manggakala, dan Palguna. Maka, Resi Radi pun mengubah
nama-nama masa tersebut dengan menggunakan istilah Jawa supaya lebih mudah dimengerti para
penduduk, yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa,
Pasta, dan Sada. Kedua belas masa itu untuk selanjutnya dikenal dengan istilah
Pranatamangsa.
Resi Radi lalu mempersembahkan penggantian nama-nama pasaran hari lima dan
pranatamangsa dua belas itu kepada Sri Maharaja Dewahesa, untuk disebarluaskan dan diterapkan
di Tanah Jawa.

KEDATANGAN PARA BRAHMANA DAN KELAHIRAN RADEN PAKUKUHAN


Beberapa waktu kemudian, Sri Maharaja Dewahesa menerima kedatangan Batara Penyarikan
yang menjelma sebagai seorang brahmana bergelar Brahmana Srita. Batara Penyarikan adalah juru
tulis Kahyangan Jonggringsalaka yang datang ke Pulau Jawa untuk mengajarkan ilmu menulis dan
seni sastra kepada masyarakat, yaitu yang dinamakan Aksara Kawi dan Sastradewata. Ia datang
dengan disertai delapan orang brahmana lainnya, yaitu Brahmana Satya, Brahmana Walmikya,
Brahmana Loda, Brahmana Agdisti, Brahmana Kirata, Brahmana Istira, Brahmana Situda, dan
Brahmana Waswa.
Brahmana Srita juga mengabarkan bahwa Batara Wisnu akan datang untuk mengukuhkan
tata cara agama, pertanian, dan kehidupan bermasyarakat di Tanah Jawa. Dalam hal ini Batara
Wisnu akan melaksanakan tugasnya dengan cara menitis atau bersatu jiwa raga ke dalam diri putra
Sri Maharaja Dewahesa.
Kebetulan saat itu istri Sri Maharaja Dewahesa yang bernama Dewi Sundari sedang
mengandung. Ketika waktunya tiba, lahirlah seorang bayi laki-laki berwajah tampan. Batara Wisnu
datang dari Kahyangan Utarasegara dan bersatu jiwa raga dengan bayi tersebut. Sri Maharaja
Dewahesa lalu memberi nama putranya itu Raden Pakukuhan.
Dua tahun kemudian, Dewi Sundari melahirkan lagi seorang putra yang oleh Sri Maharaja
Dewahesa diberi nama Raden Jakapuring.

RADEN PAKUKUHAN DAN RADEN JAKAPURING BERGURU KEPADA RESI RADI


Tahun demi tahun berlalu, Raden Pakukuhan dan Raden Jakapuring telah tumbuh menjadi
dua orang pemuda yang tampan dan cerdas, tetapi juga sangat nakal dan susah diatur. Sri Maharaja
Dewahesa berkali-kali mendapatkan laporan pengaduan dari para penduduk tentang kenakalan
mereka. Ia pun kehilangan kesabaran dan mengusir pergi kedua putranya itu meninggalkan
Kerajaan Gilingaya.
Raden Pakukuhan dan Raden Jakapuring pun berkelana sampai ke Gunung Tasik dan
berguru kepada Resi Radi (Batara Surya). Di bawah bimbingan Sang Guru, sedikit demi sedikit
kenakalan mereka mulai berkurang. Akhirnya, setelah menamatkan segala pelajaran, Raden
Pakukuhan dan Raden Jakapuring pun mendapat tugas dari gurunya itu untuk membangun sebuah
permukiman di kaki Gunung Tasik, yang diberi nama Kota Tasikmadu.
Secara berangsur-angsur, Kota Tasikmadu bertambah ramai dan memiliki banyak penduduk.
Raden Pakukuhan pun diangkat sebagai raja bergelar Prabu Pakukuhan, sedangkan Raden
Jakapuring menjadi menteri utama bergelar Patih Jakapuring. Prabu Pakukuhan juga menikahi putri
Resi Radi yang bernama Dewi Manis sebagai permaisurinya.

PRABU PAKUKUHAN MENJADI PRABU SRI MAHAPUNGGUNG


Pada suatu hari Prabu Pakukuhan mengunjungi bekas Kerajaan Purwacarita yang telah lama
ditinggalkan oleh Sri Maharaja Budakresna. Bagaimanapun juga, Prabu Pakukuhan adalah titisan
Batara Wisnu, sedangkan Sri Maharaja Budakresna adalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka, begitu
melihat kota tua yang bertanah subur tersebut, perasaan Prabu Pakukuhan langsung tertarik dan
ingin menempatinya.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah mengambil keputusan, Prabu Pakukuhan pun memindahkan ibu kota kerajaan dari
Tasikmadu ke Purwacarita. Setelah istana yang baru berdiri, Resi Radi pun dibawa serta untuk
tinggal di sana dan dijadikan sebagai pendeta kerajaan, bergelar Begawan Radi.
Setelah membangun kembali Kerajaan Purwacarita, Prabu Pakukuhan pun mengganti
namanya menjadi Prabu Sri Mahapunggung.

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENIKAH LAGI


Pada suatu hari Dewi Manis meninggal dunia. Setelah habis masa berkabung dan lewat satu
tahun, Prabu Sri Mahapunggung menikah lagi dengan dua orang putri, yaitu Dewi Wagemi putri
Batara Denda, dan Dewi Nastiti putri Batara Wrehaspati.
Beberapa waktu kemudian, Prabu Sri Mahapunggung memergoki Dewi Wagemi dan Dewi
Nastiti melakukan hubungan sejenis (lesbian). Sang Prabu sangat marah dan mengutuk kedua
istrinya itu tersambar petir sehingga mati seketika.
Setelah kehilangan kedua istrinya, Prabu Sri Mahapunggung menikah lagi dengan Dewi
Subur, yaitu adik kandung Dewi Wagemi, putri Batara Denda.

LIMA RAJA MENYERANG PURWACARITA


Sri Maharaja Dewahesa di Kerajaan Gilingaya mendengar kabar bahwa Kerajaan Purwacarita
telah berdiri kembali dan dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sri Mahapunggung. Kelima
putranya pun dikirim untuk menyelidiki raja baru tersebut, dan membawanya menghadap ke istana
Gilingaya.
Prabu Isru, Prabu Harnida, Prabu Agina, Prabu Rugista, dan Prabu Iramba datang ke
Purwacarita dan menemui Prabu Sri Mahapunggung. Mereka menyampaikan perintah supaya
Prabu Sri Mahapunggung menghadap ke Kerajaan Gilingaya dan mengakui kekuasaan Sri
Maharaja Dewahesa atas seluruh Pulau Jawa.
Karena lima raja itu datang dengan sikap kurang sopan, Prabu Sri Mahapunggung menolak
mereka sehingga terjadilah pertempuran. Perang besar itu berakhir dengan kematian Prabu Isru
dan Prabu Harnida, sedangkan Prabu Agina dan Prabu Rugista menyerah kalah kepada Prabu Sri
Mahapunggung. Adapun Prabu Iramba melarikan diri kembali ke Kerajaan Gilingaya.
Prabu Sri Mahapunggung memperkenalkan dirinya kepada Prabu Agina dan Prabu Rugista,
bahwa ia tidak lain adalah Raden Pakukuhan yang dulu diusir oleh sang ayah. Prabu Agina dan
Prabu Rugista sangat gembira bertemu adik mereka itu, dan keduanya pun diminta untuk tetap
tinggal di Kerajaan Purwacarita.

SRI MAHARAJA DEWAHESA KEMBALI MENJADI BATARA RUDRA


Prabu Iramba kembali ke Kerajaan Gilingaya dan menyampaikan laporan kepada sang ayah.
Sri Maharaja Dewahesa sangat marah dan berangkat sendiri ke Purwacarita untuk membunuh
Prabu Sri Mahapunggung.
Sesampainya di Kerajaan Purwacarita, Sri Maharaja Dewahesa disambut dengan penuh
hormat dan sembah bakti oleh Prabu Sri Mahapunggung dan Patih Jakapuring. Sri Maharaja
Dewahesa sangat malu begitu mengetahui kalau orang yang dianggapnya musuh itu ternyata
adalah putra-putranya sendiri yang telah lama hilang.
Seketika Sri Maharaja Dewahesa teringat kejadian puluhan tahun silam, saat ia menasihati Sri
Maharaja Budakresna (Batara Wisnu) yang terburu nafsu membunuh Prabu Brahmakadali. Tak
disangka, kejadian memalukan seperti itu kini justru menimpa dirinya sendiri. Karena tak kuasa
menahan malu, Sri Maharaja Dewahesa pun kembali ke wujud Batara Rudra dan pulang ke
Kahyangan Keling.

PRABU IRAMBA MENGAMUK DI PURWACARITA


KITAB WAYANG PURWA

Prabu Iramba di Kerajaan Gilingaya mendengar berita yang salah, bahwa sang ayah telah
kalah berperang dan mati dibunuh Prabu Sri Mahapunggung. Dengan dibakar amarah, ia pun pergi
menyerang Kerajaan Purwacarita. Akan tetapi, Prabu Sri Mahapunggung ternyata menyambutnya
dengan ramah dan sudah mempersiapkan perjamuan untuknya.
Prabu Agina dan Prabu Rugista berusaha meredakan kemarahan Prabu Iramba dengan
memperkenalkan bahwa Prabu Sri Mahapunggung dan Patih Jakapuring tidak lain adalah adik
mereka sendiri yang sudah lama hilang. Akan tetapi, Prabu Iramba justru semakin marah dan
menyebut mereka semua sebagai anak-anak durhaka. Ia pun mengamuk membunuh banyak
prajurit Purwacarita yang ada di depannya. Atas kejadian itu, Prabu Sri Mahapunggung murka dan
mengutuk Prabu Iramba sehingga sekujur tubuhnya berubah menjadi gajah hutan.
Gajah penjelmaan Prabu Iramba itu semakin mengamuk dan membuat kekacauan. Prabu Sri
Mahapunggung maju menghadapi gajah tersebut dan berhasil mematahkan sebelah gadingnya. Si
gajah merasa ketakutan lalu pergi melarikan diri ke Pulau Jawa sebelah barat laut (pada zaman
sekarang disebut Pulau Sumatra).

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENJADI SRI MAHARAJA KANWA


Setelah Sri Maharaja Dewahesa kembali ke kahyangan, Prabu Sri Mahapunggung menjadi
satu-satunya raja di Pulau Jawa. Maka, sebagai penguasa penuh, ia pun mengganti nama menjadi
Sri Maharaja Kanwa.
Sementara itu, kedua kakaknya yang telah bergabung dengannya pun diberi kedudukan
sebagai pendeta Kerajaan Purwacarita mendampingi Begawan Radi, yaitu Prabu Agina memakai
gelar Begawan Anda, sedangkan Prabu Rugista memakai gelar Begawan Radya.
Sri Maharaja Kanwa kemudian memberikan tempat kedudukan untuk guru dan kedua
kakaknya tersebut. Begawan Radi mendapatkan tempat tinggal di Padepokan Medangagung,
Begawan Anda mendapatkan tempat tinggal di Padepokan Andongdadapan, sedangkan Begawan
Radya mendapatkan tempat tinggal di Padepokan Gadingmawukir.
Sri Maharaja Kanwa juga menerima pengabdian Brahmana Srita (Batara Penyarikan) beserta
rombongan delapan brahmana lainnya. Para brahmana itu pun diangkat sebagai pujangga dan guru
sastra di Kerajaan Purwacarita.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SENGKAN - TURUNAN
Kisah ini menceritakan tentang legenda Sri Maharaja Kanwa yang menyebarkan berbagai benih
tanaman pangan dan mengajarkan ilmu pertanian kepada masyarakat Jawa. Sawah dan ladang
kemudian diganggu oleh kawanan hama anak-anak Putut Jantaka, atau cucu Resi
Rembuculung. Kawanan hama itu akhirnya dapat ditumpas Sri Maharaja Kanwa, dengan
bantuan anak-anak Begawan Anda, bernama Raden Sengkan dan Raden Turunan.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

Putut Jantaka

BATARI SRIYATI MENYUSUL BATARA WISNU


Sri Maharaja Kanwa di Kerajaan Purwacarita sedang membicarakan jalannya pemerintahan
bersama Patih Jakapuring, Brahmana Srita, dan para menteri lainnya. Tiba-tiba datang seorang
bidadari bernama Batari Sriyati, yang tidak lain adalah istri Batara Wisnu, dan juga kakak Batara
Penyarikan (Brahmana Srita). Bidadari itu datang untuk meminta perlindungan Sri Maharaja Kanwa
dari kejaran seekor sapi raksasa bernama Lembu Gumarang.
Rupanya sejak kepergian Batara Wisnu meninggalkan Kahyangan Utarasegara, Batari Sriyati
selalu merasa rindu dan ingin pergi mencarinya, namun tidak tahu harus ke mana. Akhirnya, pada
suatu hari ia menerima surat dari Batara Penyarikan, bahwa adiknya itu telah menemukan Batara
Wisnu menitis kepada Sri Maharaja Kanwa di Pulau Jawa. Batara Penyarikan sendiri juga telah
menjelma sebagai pujangga Kerajaan Purwacarita bernama Brahmana Srita. Setelah membaca
surat tersebut, Batari Sriyati pun memutuskan untuk pergi menyusul sang suami.
Akan tetapi, sesampainya di Pulau Jawa, Batari Sriyati bertemu anak Batara Kala bernama
Batara Kalayuwana yang terpesona dan ingin memerkosa dirinya. Batari Sriyati berontak dan
mengutuk Batara Kalayuwana sehingga berubah menjadi seekor sapi bernama Lembu Gumarang.
Lembu Gumarang marah dan mengejar Batari Sriyati, sampai akhirnya Batari Sriyati pun tiba
di Kerajaan Purwacarita dan meminta perlindungan kepada Sri Maharaja Kanwa.

SRI MAHARAJA KANWA MENGALAHKAN BATARA KALAYUWANA


Mendengar penuturan Batari Sriyati itu, Sri Maharaja Kanwa segera memerintahkan pasukan
untuk menangkap Lembu Gumarang. Tidak lama kemudian, Lembu Gumarang pun tiba di halaman
istana dan mengamuk demi mendapatkan Batari Sriyati. Banyak prajurit Purwacarita yang tewas
terkena serudukan tanduknya dan tendangan kakinya.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Jakapuring keluar menghadapi amukan Lembu Gumarang. Namun, setelah bertarung
cukup lama, Patih Jakapuring akhirnya merasa kewalahan juga menghadapi amukan sapi raksasa
tersebut. Melihat sang adik terdesak, Sri Maharaja Kanwa pun maju dan berhasil memukul kepala
Lembu Gumarang. Secara ajaib, Lembu Gumarang tiba-tiba berubah wujud menjadi babi hutan
akibat pukulan tersebut.
Babi hutan penjelmaan Lembu Gumarang itu semakin mengamuk dan menyeruduk ke sana
kemari, merusak bangunan dan tanaman di sekitar istana Purwacarita. Sri Maharaja Kanwa dengan
cekatan berhasil menangkapnya, lalu menusukkan patahan gading yang berasal dari gajah
penjelmaan Prabu Iramba tempo hari. Seketika si babi hutan pun musnah dan berubah kembali ke
wujud Batara Kalayuwana.
Batara Kalayuwana berterima kasih kepada Sri Maharaja Kanwa karena telah dibebaskan dari
kutukan Batari Sriyati tadi. Ia pun berjanji tidak akan mengganggu lagi dan kemudian mohon pamit
kembali ke kahyangan.
Batari Sriyati sangat gembira bisa bertemu Batara Wisnu dalam wujud Sri Maharaja Kanwa.
Maka, untuk mendampingi sang suami, Batari Sriyati pun menitis pula ke dalam diri permaisuri raja,
yaitu Dewi Subur.

SRI MAHARAJA KANWA MEMBUKA LAHAN PERTANIAN


Setelah peristiwa itu, tiba-tiba Batara Narada datang dari kahyangan menemui Sri Maharaja
Kanwa untuk menyampaikan bibit tanaman pangan pemberian Batara Guru agar ditanam dan
disebarkan di Pulau Jawa. Batara Narada juga menyampaikan perintah Batara Guru supaya Sri
Maharaja Kanwa mengajarkan ilmu pertanian kepada masyarakat Pulau Jawa.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun kembali ke kahyangan, sedangkan Sri Maharaja
Kanwa dan Patih Jakapuring berangkat ke Gunung Krendayana untuk membuka lahan pertanian
dan menyebarkan bibit-bibit tanaman pangan tersebut. Jika sebelum ini, para penduduk Pulau Jawa
mencukupi kebutuhan pangan dengan cara berburu dan mengumpulkan buah-buahan dari hutan,
maka mulai sekarang mereka pun belajar ilmu pertanian, baik itu persawahan maupun perkebunan
kepada Sri Maharaja Kanwa. Lahan pertanian yang telah dibuka itu membentang luas dari Gunung
Krendayana ke arah timur dan selatan (pada zaman sekarang kira-kira membentang dari Surakarta
sampai ke Surabaya di timur, dan Bantul di selatan).

SERANGAN HAMA PERTANIAN


Sementara itu, Putut Jantaka putra Resi Rembuculung tinggal di Gunung Antaga sejak
peristiwa pemenggalan kepala ayahnya oleh Batara Wisnu dahulu. Ia menikah dengan seorang
siluman wanita, yang dari perkawinan itu lahir berbagai jenis binatang. Mereka adalah:
- Tikus Jinada yang berwujud tikus putih.
- Celeng Demalung yang berwujud babi hutan
- Kutila Pas yang berwujud kera
- Kalamurti yang berwujud kerbau
- Kalasrenggi yang berwujud sapi
- Sangsam Randi yang berwujud rusa
- Kidang Ujung yang berwujud kijang
- Bulus Pas yang berwujud bulus
- Kura Greges yang berwujud kura-kura
Pada suatu hari para binatang ini mengeluh lapar kepada sang ayah. Putut Jantaka
mendengar berita bahwa Sri Maharaja Kanwa telah membuka banyak lahan pertanian untuk
menghidupi rakyatnya. Maka, ia pun memerintahkan anak-anaknya itu untuk meminta makan ke
istana Purwacarita.
Tikus Jinada, Celeng Demalung, dan Kutila Pas berangkat lebih dulu dengan membawa anak
buah masing-masing yang berjumlah sangat banyak. Namun, sebelum mencapai istana mereka
sudah tertarik melihat persawahan dan perkebunan yang saat itu hendak memasuki masa panen.
KITAB WAYANG PURWA

Hewan-hewan tikus, babi hutan, dan kera yang tak terhitung jumlahnya itu pun menyerbu dan
memakan hasil pertanian membuat para penduduk ketakutan dan melapor kepada sang raja.

PATIH JAKAPURING MEMINTA BANTUAN BEGAWAN ANDA


Begitu mendengar berita adanya serangan hama pertanian, Sri Maharaja Kanwa segera
memerintahkan Patih Jakapuring memimpin pasukan melakukan penumpasan. Pertempuran sengit
pun terjadi. Akan tetapi, tentara Purwacarita tidak mampu menumpas hewan-hewan tersebut karena
jumlah mereka semakin lama semakin bertambah banyak dan berdatangan dari segala penjuru.
Mendengar hal itu, Sri Maharaja Kanwa segera mengirim perintah supaya Patih Jakapuring pergi
meminta bantuan kepada sang kakak, yaitu Begawan Anda.
Begawan Anda di Padepokan Andongdadapan menerima laporan Patih Jakapuring. Ia pun
mengirimkan kedua muridnya yang bernama Putut Candramawa dan Putut Wiyunghyang untuk
membantu menumpas hama yang menyerang lahan pertanian Kerajaan Purwacarita. Begawan
Anda juga memberikan pusaka berupa kentongan dan mantra pengusir hama.
Patih Jakapuring, Putut Candramawa, dan Putut Wiyunghyang lalu mendatangi lahan
pertanian dan berusaha menumpas hama. Putut Candramawa mengeluarkan ribuan kucing,
sedangkan Putut Wiyunghyang mengeluarkan ribuan anjing. Pertempuran sengit terjadi, hingga
pada akhirnya menewaskan banyak tikus, kera, dan babi hutan anak buah Tikus Jinada, Kutila pas,
dan Celeng Demalung.

ANAK KEMBAR BEGAWAN ANDA DIKIRIM MEMBANTU


Tidak lama kemudian datanglah anak-anak Putut Jantaka yang lain, yaitu Kalamurti,
Kalasrenggi, Sangsam Randi, dan Kidang Ujung bersama pasukan masing-masing. Mereka marah
besar dan mengamuk setelah melihat bangkai-bangkai tikus, kera, dan babi hutan berserakan di
tanah pertanian. Kali ini Putut Candramawa dan Putut Wiyunghyang tidak mampu menanggulangi
amukan hewan-hewan tersebut.
Patih Jakapuring teringat pada pesan Begawan Anda dan segera menabuh pusaka kentongan
serta membaca mantra pemberian kakaknya itu. Tiba-tiba muncullah dua orang pemuda kembar
yang langsung menghadapi hama berwujud sapi, kerbau, kijang, dan rusa itu dan berhasil
menumpas mereka.
Sri Maharaja Kanwa datang ke tempat pertempuran dan melihat ada dua orang pemuda
kembar berhasil mengatasi masalah. Para pemuda itu mengaku bernama Raden Sengkan dan
Raden Turunan, yang keduanya adalah putra Begawan Anda dari Padepokan Andongdadapan. Sri
Maharaja Kanwa sangat gembira dan menyambut baik kedua keponakannya itu.

SRI MAHARAJA KANWA MENGALAHKAN PUTUT JANTAKA


Telah dua kali Putut Jantaka mengirim anak-anaknya, namun mereka belum juga kembali
membawa makanan. Maka, ia pun berangkat dengan disertai anak-anaknya yang lain, yaitu Bulus
Pas dan Kura Greges. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Putut Jantaka sangat marah dan
mengamuk melakukan pembalasan.
Putut Jantaka, Bulus Pas, dan Kura Greges mengeluarkan kesaktian mereka berupa hama
dan penyakit. Sri Maharaja Kanwa akhirnya terjun ke medan pertempuran. Ia mengeluarkan
kesaktian berupa ular sawa yang memangsa hama-hama tersebut, serta mendatangkan hujan
Toyamarta dan angin Nilapracanda yang membersihkan Kerajaan Purwacarita dari segala macam
bibit penyakit.
Putut Jantaka baru mengetahui kalau Sri Maharaja Kanwa adalah titisan Batara Wisnu, yaitu
dewa yang dulu telah mengalahkan ayahnya. Menyadari betapa tinggi ilmu kesaktian Batara Wisnu,
ia pun menyerah kalah dan menyatakan takluk bersama semua anak-anaknya. Akan tetapi, Sri
Maharaja Kanwa ternyata membiarkan mereka tetap hidup, asalkan dengan syarat mereka hanya
boleh memakan jenis makanan sisa manusia. Mereka juga hanya boleh tinggal di tempat-tempat
sempit, lorong, selokan, lumbung, dan tempat gelap lainnya.
KITAB WAYANG PURWA

Sementara itu, di antara anak-anak Putut Jantaka ada dua yang menarik perhatian Sri
Maharaja Kanwa, yaitu si sapi Kalasrenggi dan si kerbau Kalamurti. Mereka berdua beserta anak
buah masing-masing diperintahkan tinggal bersama para petani untuk membantu menggarap
sawah, antara lain membajak dan mengangkut hasil panen. Sebagai imbalan, mereka berhak
mendapatkan makanan segar berupa rumput dan ilalang, bukan makanan sampah sebagaimana
saudara-saudara mereka yang lain.
Putut Jantaka menerima segala keputusan Sri Maharaja Kanwa. Ia lalu pergi bersama anak-
anaknya dan pasukan masing-masing, kecuali si kerbau dan si sapi yang sejak saat itu tinggal di
pedesaan untuk membantu para petani menggarap sawah.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SRI KANWA PRALAYA


Kisah ini menceritakan tentang Sri Maharaja Kanwa yang mendapat tugas dari Batara Guru
untuk mengukuhkan tatanan kehidupan beragama di Tanah Jawa, yang dilanjutkan dengan
peristiwa hilangnya Dewi Sriganarti, kematian Raden Sengkan, dan terpisahnya Pulau Jawa
dengan Pulau Sumatra akibat banjir besar.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra,
dengan sedikit pengembangan.

SRI MAHARAJA KANWA MENGUKUHKAN TATANAN ENAM AGAMA


Sri Maharaja Kanwa di Kerajaan Purwacarita dihadap Patih Jakapuring, Brahmana Srita, dan
para menteri lainnya. Tiba-tiba datang Batara Narada yang menyampaikan perintah Batara Guru di
Kahyangan Jonggringsalaka supaya Sri Maharaja Kanwa menyebarkan dan mengukuhkan tatanan
kehidupan enam agama di Pulau Jawa, yaitu Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, dan Kala.
Dengan berpegang teguh pada tatanan tersebut, maka para penduduk Pulau Jawa diharap akan
lebih damai dan tidak mudah saling bertikai antara satu dengan lainnya.
Tatanan keenam agama tersebut meliputi:
- sebutan penghulu
- penanda diri
- ibadah pemujaan
- laku diri
- tapa brata
- hari raya
- larangan
- wewenang
- wasiat
- mengurus kematian
- kenduri selamatan
Setelah menjelaskan semua uraian dengan lengkap dan rinci, Batara Narada pun pamit
kembali ke kahyangan. Sri Maharaja Kanwa kemudian berangkat menyebarkan tatanan keenam
agama tersebut ke seluruh penjuru Pulau Jawa, dengan didampingi Patih Jakapuring dan Brahmana
Srita.

SRI MAHARAJA KANWA KEHILANGAN PUTRI


Setelah tugas menyebarkan tatanan keenam agama selesai, Sri Maharaja Kanwa kembali ke
istana Purwacarita dan ia sangat terkejut mengetahui putrinya yang bernama Dewi Sriganarti telah
KITAB WAYANG PURWA

hilang entah ke mana. Patih Jakapuring lalu diperintahkan pergi ke Padepokan Andongdadapan
untuk meminta petunjuk kepada sang kakak, yaitu Begawan Anda.
Begawan Anda didampingi Raden Sengkan dan Raden Turunan menyambut kedatangan
Patih Jakapuring. Dengan kesaktian penerawangannya, Begawan Anda memberikan petunjuk
bahwa Dewi Sriganarti hilang diculik raja raksasa Kerajaan Pidanapura bernama Prabu Karungkala.
Mendengar itu, Raden Sengkan pun mengajukan diri untuk membantu membebaskan Dewi
Sriganarti. Ia lalu mohon restu kepada sang ayah untuk kemudian berangkat menuju Kerajaan
Pidanapura.

RADEN SENGKAN MEREBUT DAN MENIKAHI DEWI SRIGANARTI


Prabu Karungkala di Kerajaan Pidanapura telah menculik Dewi Sriganarti dan
menempatkannya di dalam taman sari. Meskipun dibujuk dan dirayu sedemikian rupa, namun Dewi
Sriganarti tetap menolak menjadi istri Prabu Karungkala. Pada suatu malam, Raden Sengkan
berhasil menyusup ke dalam taman sari tersebut dan membawa lari Dewi Sriganarti untuk
dikembalikan ke Kerajaan Purwacarita.
Sri Maharaja Kanwa sangat gembira menyambut kedatangan Raden Sengkan dan Dewi
Sriganarti. Sebagai ungkapan terima kasih, Raden Sengkan pun dinikahkan dengan Dewi Sriganarti.
Upacara pernikahan digelar beberapa hari kemudian, dengan dihadiri Begawan Radi, Begawan
Anda, Begawan Radya, Raden Turunan, Putut Candramawa, dan Putut Wiyunghyang.
Akan tetapi, nasib Raden Sengkan sungguh malang. Pada malam pertama pernikahannya itu,
Prabu Karungkala datang menyusup ke dalam istana Purwacarita dan menggigit leher Raden
Sengkan yang sedang tidur bersama Dewi Sriganarti. Raden Sengkan pun tewas seketika,
sedangkan Dewi Sriganarti kembali diculik dan dibawa lari meninggalkan Kerajaan Purwacarita.
Raden Turunan mendengar jeritan Dewi Sriganarti yang meminta tolong. Ia pun berlari
mengejar dan berhasil menyusul Prabu Karungkala. Terjadilah pertarungan sengit yang berakhir
dengan kekalahan Prabu Karungkala. Raden Turunan lalu membawa pulang Dewi Sriganarti,
sedangkan Prabu Karungkala melarikan diri kembali ke istana Pidanapura.
Segenap penghuni istana Purwacarita sangat berduka atas kematian Raden Sengkan yang
mengenaskan itu. Sebagai pengganti sekaligus membalas jasa, Raden Turunan lalu dinikahkan
dengan Dewi Sriganarti pada hari berikutnya.

BEGAWAN ANDA DAN BEGAWAN RADYA MENINGGAL DUNIA


Beberapa hari setelah kematian Raden Sengkan dan pernikahan Raden Turunan, ayah
mereka yaitu Begawan Anda jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, Begawan
Radya di Padepokan Gadingmawukir juga ikut sakit dan meninggal pula.
Sri Maharaja Kanwa dan Patih Jakapuring datang melayat kedua kakak mereka itu. Setelah
upacara pemakaman berakhir, Sri Maharaja Kanwa lalu meminta sang guru, yaitu Begawan Radi
untuk menjadi pemimpin segenap pandita di Kerajaan Purwacarita, serta menempati Padepokan
Andongdadapan, bekas tempat tinggal Begawan Anda.
Sri Maharaja Kanwa menyimpulkan bahwa, penyebab meninggalnya Begawan Anda dan
Begawan Radya ini adalah karena mereka terlalu bersedih atas kematian Raden Sengkan yang
mengenaskan. Sri Maharaja Kanwa pun melimpahkan semua kesalahan kepada Prabu Karungkala.
Maka, setelah kembali ke istana Purwacarita, ia segera mengumpulkan bala tentara dan bergerak
menggempur Kerajaan Pidanapura.

SRI MAHARAJA KANWA MENYERANG KERAJAAN PIDANAPURA


Sri Maharaja Kanwa memimpin langsung pasukan Purwacarita menyerbu Kerajaan
Pidanapura, dengan didampingi Patih Jakapuring dan Brahmana Srita. Sementara itu, Raden
Turunan ditugasi menjaga kerajaan.
Sesampainya di wilayah Pidanapura, terjadilah pertempuran besar. Pasukan raksasa
Pidanapura digempur habis-habisan dan istananya dihancurkan. Prabu Karungkala terdesak
KITAB WAYANG PURWA

kewalahan dan menyerah memohon ampun. Namun, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli dan tetap
berniat menghukum mati raja raksasa itu.
Prabu Karungkala ketakutan dan melarikan diri menuju Kerajaan Samaskuta, tempat
kakaknya berada. Sri Maharaja Kanwa semakin marah dan ia pun mengejar Prabu Karungkala tak
peduli ke mana pun perginya.

SRI MAHARAJA KANWA DITINGGALKAN BATARA WISNU


Prabu Sangkala di Kerajaan Samaskuta (kerajaan ini terletak di Pulau Sumatra pada zaman
sekarang) menerima kedatangan adiknya. Ia sangat marah mendengar penuturan Prabu
Karungkala yang sudah menyerah mohon ampun tetapi tetap diancam hendak dibunuh oleh Sri
Maharaja Kanwa. Maka, Prabu Sangkala pun berjanji akan memberikan perlindungan kepada
adiknya itu dari serangan Sri Maharaja Kanwa.
Tidak lama kemudian, datanglah Sri Maharaja Kanwa beserta pasukannya yang meminta
supaya Prabu Karungkala diserahkan. Prabu Sangkala mengerahkan pasukannya untuk
menghadapi serangan tersebut. Perang besar kembali terjadi. Lagi-lagi Pasukan Purwacarita
memperoleh kemenangan. Kerajaan Samaskuta berhasil dihancurkan, sedangkan Prabu Sangkala
dan Prabu Karungkala tewas terkena panah Sri Maharaja Kanwa.
Kemenangan yang diperoleh pihak Purwacarita ini telah membuat Sri Maharaja Kanwa lupa
diri. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk melakukan pembantaian terhadap seluruh anggota
keluarga Prabu Sangkala dan rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Keputusan ini membuat Batara
Wisnu yang berada di dalam diri Sri Maharaja Kanwa merasa gerah dan tidak tahan lagi. Ia pun
keluar meninggalkan tubuh Sri Maharaja Kanwa dan bergegas kembali ke Kahyangan Utarasegara.
Brahmana Srita yang berpandangan tajam mengetahui kalau Batara Wisnu telah memisahkan
diri dari raga Sri Maharaja Kanwa. Ia merasa tidak ada gunanya lagi menjadi pengikut Kerajaan
Purwacarita. Maka, Brahmana Srita pun kembali ke wujud Batara Penyarikan dan melesat pergi ke
Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.

SRI MAHARAJA KANWA TEWAS DISAPU BANJIR


Setelah ditinggalkan oleh Batara Wisnu, amarah Sri Maharaja Kanwa semakin tidak terkendali.
Ia memutuskan pulang ke Kerajaan Purwacarita dan membunuh setiap raksasa yang dijumpai
dalam perjalanan.
Ketika melewati Gunung Batuwara, Sri Maharaja Kanwa berjumpa seorang pertapa raksasa
bernama Begawan Prakempa. Setelah mengetahui kalau Begawan Prakempa ini adalah ayah dari
Prabu Sangkala dan Prabu Karungkala, amarah Sri Maharaja Kanwa kembali meluap dan ingin
membunuhnya. Patih Jakapuring berusaha mengingatkan Sri Maharaja Kanwa bahwa Begawan
Prakempa tidak terlibat atas perbuatan jahat anak-anaknya. Selain itu, membunuh seorang pertapa
yang sedang menyepi adalah sebuah dosa besar.
Akan tetapi, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli pada nasihat itu. Ia lalu menusuk dada Begawan
Prakempa menggunakan patahan gading Gajah Iramba. Begawan Prakempa yang tidak melawan
sama sekali langsung tewas seketika. Sebelum roboh ia masih sempat mengucapkan kutukan,
bahwa kematian Sri Maharaja Kanwa akan segera terjadi tidak lama lagi. Tuhan Yang Mahakuasa
pun mengabulkan kutukan tersebut. Tiba-tiba terjadilah gempa bumi dahsyat yang disertai dengan
hujan badai. Tidak lama kemudian, air laut pun naik ke daratan menyebabkan banjir besar yang
disertai ombak meluap-luap (peristiwa ini pada zaman sekarang disebut dengan istilah tsunami).
Sri Maharaja Kanwa dan pasukannya tewas tenggelam oleh bencana alam yang mengerikan
itu. Hanya Patih Jakapuring satu-satunya orang yang berhasil selamat, dengan tubuh tersangkut
pada cabang pohon di puncak Gunung Batuwara. Setelah banjir surut, ia pun turun dan segera
berlari ke arah timur.
Akibat banjir besar itu, Pulau Jawa kini terbelah menjadi dua. Pulau di sebelah barat Gunung
Batuwara yang berukuran lebih besar disebut dengan nama Pulau Sumatra, sedangkan pulau di
KITAB WAYANG PURWA

sebelah timur yang berukuran lebih kecil tetap disebut Pulau Jawa. Adapun Pulau Jawa saat itu
masih bersatu dengan Pulau Bali.

PATIH JAKAPURING BERSELISIH DENGAN RADEN TURUNAN


Patih Jakapuring yang berhasil meloloskan diri dari malapetaka akhirnya sampai di Kerajaan
Purwacarita. Raden Turunan dan Dewi Sriganarti terkejut dan sangat berduka mengetahui Sri
Maharaja Kanwa telah meninggal. Raden Turunan heran melihat Patih Jakapuring tetap selamat,
sedangkan seluruh bala tentara Purwacarita gugur bersama Sri Maharaja Kanwa.
Patih Jakapuring tersinggung merasa dirinya telah dicurigai berkhianat. Karena perselisihan
dengan Raden Turunan tidak dapat dihindari lagi, ia pun memilih pergi meninggalkan Kerajaan
Purwacarita. Kepergiannya itu disertai seorang pengikut yang berpihak kepadanya, bernama Empu
Cakut, yaitu pembuat senjata di Kerajaan Purwacarita.
Raden Turunan lalu dilantik menjadi raja yang baru di Purwacarita menggantikan sang mertua,
dengan bergelar Prabu Kandihawa. Adapun yang mendampinginya sebagai menteri utama adalah
anak laki-laki Putut Candramawa, bernama Patih Mandasrawa. Mereka berdua lalu bekerja sama
menghimpun angkatan perang baru untuk menggantikan para prajurit yang telah tewas bersama Sri
Maharaja Kanwa dalam bencana banjir besar di Gunung Batuwara.
Sementara itu, Patih Jakapuring dan Empu Cakut berkelana ke arah barat sampai akhirnya
tiba di bekas Kerajaan Gilingaya, yang kini telah menjadi kota mati sejak ditinggal pergi Sri Maharaja
Dewahesa (Batara Rudra). Patih Jakapuring pun membangun kembali kerajaan peninggalan
ayahnya itu dan menjadi pemimpin di sana, dengan bergelar Prabu Heryanarudra. Sebagai
pendamping, Empu Cakut pun diangkat menjadi menteri utama, dengan bergelar Patih
Anindyamantri.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PRABU PALINDRIYA
Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Heryanarudra dan Prabu Kandihawa,
dilanjutkan dengan cerita kehidupan Raden Respati putra Prabu Kandihawa, yang kemudian
menjadi raja bergelar Prabu Palindriya di Kerajaan Medang Kamulan. Kisah diakhiri dengan
kelahiran putra Prabu Palindriya bernama Jaka Wudug, yang kelak terkenal dengan sebutan
Prabu Watugunung.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

PRABU HERYANARUDRA MENYERANG PRABU KANDIHAWA


Prabu Kandihawa di Kerajaan Purwacarita dihadap Patih Mandasrawa dan para menteri. Saat
itu mereka sedang membicarakan soal permusuhan dengan Prabu Heryanarudra di Kerajaan
Gilingaya yang sudah terjadi bertahun-tahun. Prabu Kandihawa prihatin karena permusuhan
tersebut telah merambat sampai ke rakyat jelata di pedesaan, di mana antara penduduk Purwacarita
dan Gilingaya sering terjadi pertengkaran dan perkelahian apabila mereka berjumpa.
Tidak lama kemudian datanglah utusan Kerajaan Gilingaya, yaitu Patih Anindyamantri yang
menyampaikan surat dari rajanya. Surat itu berisi perintah Prabu Heryanarudra kepada Prabu
Kandihawa supaya datang menghadap untuk meminta maaf. Jika tidak, maka pasukan Gilingaya
akan segera menghancurkan Kerajaan Purwacarita.
Prabu Kandihawa sangat marah dan mengatakan kepada Patih Anindyamantri bahwa pihak
Purwacarita siap menghadapi tantangan tersebut. Patih Anindyamantri pun mohon pamit untuk pergi
melapor kepada rajanya.

PRABU KANDIHAWA GUGUR DALAM PERTEMPURAN


Patih Anindyamantri melapor kepada Prabu Heryanarudra yang sudah bersiaga di
perkemahan. Mendengar sang keponakan tidak mau meminta maaf, Prabu Heryanarudra segera
memerintahkan pasukan Gilingaya bergerak menyerbu istana Purwacarita saat itu juga.
Pertempuran besar pun terjadi. Pasukan Gilingaya sudah mempersiapkan penyerangan ini
dengan sedemikian rupa, sehingga pihak Purwacarita akhirnya mengalami kekalahan habis-
habisan. Banyak prajurit Purwacarita yang tewas, bahkan Patih Mandasrawa akhirnya gugur pula di
tangan Patih Anindyamantri, sedangkan Prabu Kandihawa gugur di tangan Prabu Heryanarudra.
Dewi Sriganarti (istri Prabu Kandihawa) membawa sang putra yang masih kecil bernama
Raden Respati melarikan diri ke arah timur saat kehancuran itu terjadi. Mereka akhirnya ditolong
KITAB WAYANG PURWA

seorang pendeta di Padepokan Pantireja, bernama Resi Sucandra. Namun, Dewi Sriganarti jatuh
sakit karena sangat berduka atas kematian sang suami dan ia pun meninggal dunia.
Resi Sucandra kemudian mengasuh Raden Respati dan menjadikannya sebagai murid di
Padepokan Pantireja tersebut.

RADEN RESPATI MENJADI RESI WREHASPATI


Setelah dewasa, Raden Respati dinikahkan dengan putri Resi Sucandra yang bernama Dewi
Soma. Dari perkawinan itu secara berturut-turut lahir tiga orang putra, yang diberi nama Raden
Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Pada suatu hari Resi Sucandra memerintahkan Raden
Respati pergi bertapa di Gunung Aswata untuk mendapatkan tambahan ilmu kesaktian. Raden
Respati pun berpamitan kepada istri dan ketiga anaknya, kemudian berangkat seorang diri.
Sesampainya di Gunung Aswata, Raden Respati bertapa tekun siang dan malam sesuai
petunjuk sang mertua. Pada suatu hari datanglah Batara Wrehaspati yang turun dari Kahyangan
Suralaya untuk menyampaikan anugerah dari Batara Indra kepadanya. Rupanya Batara Indra
merasa senang terhadap tapa brata tersebut dan berkenan memberikan anugerah berupa pusaka
busur Bajra dan panah Herawana supaya menjadi senjata andalan Raden Respati.
Batara Wrehaspati lalu memberikan anugerah kedua, yaitu mengajarkan tambahan ilmu
kesaktian kepada Raden Respati. Setelah tuntas memberikan segala pelajaran, Batara Wrehaspati
pun memerintahkan Raden Respati menjadi seorang resi dan mengizinkannya memakai gelar Resi
Wrehaspati yang sama seperti namanya. Raden Respati berterima kasih atas segala anugerah yang
diterimanya itu, dan ia pun mengganti namanya menjadi Resi Wrehaspati sesuai perintah tersebut.
Setelah dirasa cukup, Batara Wrehaspati kemudian pamit kembali ke Kahyangan Suralaya, melapor
kepada Batara Indra.

RESI WREHASPATI BERSELINGKUH DENGAN BATARI BASUNDARI


Tersebutlah seorang bidadari bernama Batari Basundari, putri Batara Anantaboga dari
Kahyangan Saptapratala. Pada suatu hari datang seekor raja naga bernama Naga Sindula yang
melamar dirinya untuk dijadikan istri. Batara Anantaboga menerima lamaran itu, namun Batari
Basundari tidak bersedia menikah dengan Naga Sindula. Karena sang ayah terus memaksa, Batari
Basundari pun memilih kabur meninggalkan kahyangan dengan ditemani dua ekor hewan
peliharaannya. Kedua hewan tersebut yang satu berwujud kambing, bernama Mendapatra; dan
yang satunya berwujud angsa, bernama Banyakpatra.
Demikianlah, Batari Basundari pun berkelana terlunta-lunta tak tentu arah. Jika menyeberangi
sungai, ia diangkut Banyakpatra, dan jika melewati jalanan terjal ia diangkut Mendapatra. Ketika
perjalanannya mencapai kaki Gunung Aswata, Batari Basundari merasa letih dan sangat lapar.
Meskipun di sana banyak terdapat buah-buahan, namun entah mengapa ia ingin sekali makan
daging kambing dan angsa. Mendapatra dan Banyakpatra seolah-olah dapat membaca pikiran sang
majikan tersebut. Mereka pun merelakan diri disembelih dan dimasak untuk dimakan Batari
Basundari.
Pada saat itu Resi Wrehaspati yang bertapa di puncak Gunung Aswata mencium bau
masakan kambing dan angsa yang sangat sedap. Ia lalu terbangun dan berjalan menuju ke arah
datangnya bau sehingga bertemu dengan Batari Basundari. Mereka pun berkenalan dan saling jatuh
cinta. Setelah makan bersama, Resi Wrehaspati merayu Batari Basundari dan mengajaknya
bermesraan. Batari Basundari pura-pura menolak dengan sikap manja, membuat Resi Wrehaspati
semakin bernafsu kepadanya. Kedua orang itu pun sama-sama terlena dan akhirnya berzinah di
Gunung Aswata tersebut.

DEWI SOMA MENGUTUK BATARI BASUNDARI


Sementara itu, Resi Sucandra di Padepokan Pantireja meninggal dunia. Dewi Soma mengirim
Raden Anggara dan Raden Buda untuk memberi tahu ayah mereka di Gunung Aswata, sedangkan
Raden Sukra tetap tinggal untuk mengurusi pemakaman sang kakek.
KITAB WAYANG PURWA

Kedua remaja itu pun berangkat melaksanakan perintah, namun kemudian pulang kembali ke
Pantireja tanpa disertai sang ayah. Mereka menceritakan bahwa sang ayah sekarang di Gunung
Aswata telah menjadi pendeta bergelar Resi Wrehaspati dan meminta maaf belum bisa pulang ke
Padepokan Pantireja karena masih menunggu izin dewata. Mereka juga melaporkan adanya
seorang wanita cantik yang melayani segala keperluan sang ayah di pertapaan.
Dewi Soma sangat marah mendengar laporan tersebut. Ia pun pergi ke Gunung Aswata untuk
melabrak Resi Wrehaspati dan selingkuhannya. Resi Wrehaspati merasa serba salah ketika istrinya
itu tiba-tiba datang mencaci maki. Dewi Soma lalu mengutuk kelak Batari Basundari akan menerima
karma sama seperti yang kini dirasakannya, yaitu diduakan oleh suami. Bahkan, Batari Basundari
juga dikutuk akan mengalami “sungsang bawana balik” yang luar biasa memalukan.
Setelah mengucapkan kutukan tersebut, Dewi Soma pun kembali ke Pantireja dengan
perasaan sedih tak terlukiskan.

RESI WREHASPATI MENDAPAT RESTU BATARA ANANTABOGA


Pada suatu hari Resi Wrehaspati dan Batari Basundari melihat ada dua ekor naga sedang
bertarung di angkasa. Batari Basundari mengenali yang sedang bertarung itu tidak lain adalah
ayahnya sendiri, yaitu Batara Anantaboga melawan Naga Sindula. Kepada Resi Wrehaspati ia
bercerita bahwa Naga Sindula itulah yang dulu melamar dirinya sebagai istri, namun ia menolak dan
memilih kabur meninggalkan Kahyangan Saptapratala.
Batari Basundari lalu meminta Resi Wrehaspati supaya membantu ayahnya membunuh Naga
Sindula. Resi Wrehaspati pun melepaskan panah Herawana ke angkasa dan secara tepat mengenai
Naga Sindula hingga tewas seketika. Batara Anantaboga segera turun ke tanah dan mengubah
wujudnya menjadi manusia untuk kemudian berterima kasih kepada Resi Wrehaspati. Ia juga sangat
gembira bertemu Batari Basundari dan meminta maaf karena dulu telah memaksa putrinya itu
menikah dengan Naga Sindula.
Batari Basundari juga memohon maaf karena dulu telah pergi tanpa pamit meninggalkan
Kahyangan Saptapratala untuk menghindari lamaran Naga Sindula tersebut. Ia lalu bertanya
mengapa sang ayah berkelahi dengan Naga Sindula tadi. Batara Anantaboga pun bercerita bahwa
Naga Sindula ternyata menyimpan maksud jahat ingin menguasai Kahyangan Saptapratala. Adapun
tujuan Naga Sindula melamar Batari Basundari sebagai istri tidak lain adalah demi untuk
mewujudkan cita-citanya tersebut.
Batari Basundari sangat bahagia karena semua masalah kini telah menjadi jelas. Ia pun
memperkenalkan Resi Wrehaspati kepada Batara Anantaboga. Ternyata Batara Anantaboga sangat
menyukai Resi Wrehaspati dan merestuinya sebagai menantu.

RESI WREHASPATI MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KAMULAN


Batara Anantaboga lalu memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada Resi Wrehaspati.
Setelah pelajaran selesai, ia pun memerintahkan menantunya itu untuk membuka sebuah
permukiman di Hutan Pagelen. Resi Wrehaspati mematuhi perintah tersebut dan memohon restu,
kemudian berangkat dengan ditemani Batari Basundari. Mereka pun membuka Hutan Pagelen
menjadi sebuah perkampungan.
Dalam waktu yang tidak lama, permukiman itu telah ramai dipadati penduduk. Pada dasarnya
Resi Wrehaspati adalah cucu Sri Maharaja Kanwa sehingga dalam dirinya mengalir darah
bangsawan. Setelah mengambil keputusan, ia pun mengubah Desa Pagelen menjadi sebuah
kerajaan bernama Medang Gele, dan menobatkan dirinya sebagai raja berjuluk Prabu Palindriya.
Pada suatu hari Batara Anantaboga datang berkunjung ke Kerajaan Medang Gele dengan
ditemani putrinya yang lain, bernama Batari Basuwati. Batara Anantaboga sangat senang melihat
perkembangan negeri yang dipimpin menantunya itu, dan menyarankan supaya namanya diganti
menjadi Medang Kamulan, yaitu meniru nama kerajaan yang pertama kali berdiri di Pulau Jawa.
Prabu Palindriya mematuhi perintah tersebut. Maka, sejak saat itu Kerajaan Medang Gele pun
berganti nama menjadi Kerajaan Medang Kamulan.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU PALINDRIYA MENIKAH LAGI DAN MENGAMBIL BANYAK SELIR


Batari Basundari yang sangat rindu kepada Batari Basuwati telah meminta adiknya itu untuk
tetap tinggal sementara waktu di Kerajaan Medang Kamulan. Batara Anantaboga memberikan izin,
dan ia pun pulang sendiri ke Kahyangan Saptapratala.
Akan tetapi, terjadilah cinta segitiga di istana Medang Kamulan karena Prabu Palindriya dan
Batari Basuwati ternyata saling menyukai. Batari Basundari yang saat itu sedang hamil terpaksa
mengizinkan sang suami memperistri adiknya itu. Prabu Palindriya sangat senang dan ia pun
menikahi Batari Basuwati sebagai permaisuri kedua. Untuk menyamarkan bahwa kedua istrinya
adalah bidadari, Prabu Palindriya pun mengganti nama mereka berdua, yaitu Batari Basundari
menjadi Dewi Sinta, dan Batari Basuwati menjadi Dewi Landep.
Namun demikian, perasaan cemburu Dewi Sinta semakin berkobar karena sang suami
ternyata suka bermain wanita. Meskipun memiliki dua orang permaisuri bidadari ternyata Prabu
Palindriya masih merasa kurang juga. Terhitung ia telah mengambil dua puluh enam perempuan
sebagai selir untuk melampiaskan nafsu birahinya.

LAHIRNYA JAKA WUDUG


Dewi Sinta yang sudah tidak tahan lagi terhadap tingkah laku suaminya, akhirnya memutuskan
untuk kabur meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan meskipun dalam keadaan hamil tua. Ia pun
memilih tinggal di Desa Cangkring untuk menenangkan perasaan. Tidak lama kemudian, lahirlah
seorang bayi laki-laki dari rahimnya yang diberi nama Jaka Wudug.
Dewi Sinta merasa kutukan pertama Dewi Soma telah menjadi kenyataan. Kini ia harus rela
menjalani hidup sebagai warga desa yang jauh dari kemewahan dan harus merawat putranya
seorang diri. Karena kemarahannya kepada sang suami begitu besar, ia pun memutuskan untuk
kembali memakai nama pemberian orang tuanya, yaitu Dewi Basundari.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SINTAWAKA BERSIH DESA


Kisah ini menceritakan perjalanan Dewi Basundari mencari Jaka Wudug yang kabur dari
rumah. Atas izin dewata, Dewi Basundari pun berubah menjadi laki-laki bernama Raden
Sintawaka. Selanjutnya, Raden Sintawaka diambil sebagai anak angkat oleh Prabu
Heryanarudra dan menjadi ahli waris Kerajaan Gilingaya dan melakukan Bersih Desa untuk
membersihkan segala wabah penyakit.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustaka Raja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

KELAHIRAN ANAK-ANAK PRABU PALINDRIYA


Prabu Palindriya di Kerajaan Medang Kamulan sedang menunggu kelahiran anak-anaknya.
Sungguh suatu kebetulan, sang permaisuri Dewi Landep dan para selir yang berjumlah dua puluh
enam itu semuanya sedang mengandung bersamaan.
Ketika waktunya tiba, Dewi Landep pun melahirkan sepasang bayi perempuan dan laki-laki.
Yang perempuan diberi nama Dewi Sriyuwati, sedangkan yang laki-laki diberi nama Raden Wukir.
Selang tujuh hari kemudian seorang selir melahirkan bayi laki-laki, disusul kemudian selir yang
lain melahirkan bayi laki-laki pula pada tujuh hari berikutnya. Demikianlah, setiap tujuh hari sekali
seorang selir Prabu Palindriya melahirkan seorang anak, sehingga tuntas kedua puluh enam putra
pun lahir ke dunia dalam waktu dua puluh enam pekan setelah Dewi Landep melahirkan.
Kedua puluh enam putra Prabu Palindriya yang lahir daris selir itu masing-masing diberi nama
Raden Kurantil, Raden Tolu, Raden Gumbreg, Raden Warigalit, Raden Warigagung, Raden
Julungwangi, Raden Julungsungsang, Raden Galungan, Raden Kuningan, Raden Langkir,
Raden Mandasiya, Raden Julungpujud, Raden Pahang, Raden Kuruwelut, Raden Marakeh,
Raden Tambir, Raden Medangkungan, Raden Maktal, Raden Wuye, Raden Manahil, Raden
Prangbakat, Raden Bala, Raden Wugu, Raden Wayang, Raden Kulawu, dan Raden Dukut.
Prabu Palindriya mendadak teringat pada permaisuri pertama, yaitu Dewi Sinta yang telah
kabur entah ke mana. Saat meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan dulu, Dewi Sinta sedang
dalam keadaan hamil tua dan tentunya saat ini ia sudah melahirkan.

DEWI BASUNDARI MENGUSIR JAKA WUDUG


Di Desa Cangkring, Dewi Sinta yang telah memakai nama Dewi Basundari hidup sebagai
rakyat jelata. Putranya yang bernama Jaka Wudug sudah berusia dua tahun dan diasuhnya seorang
diri. Pada suatu hari Jaka Wudug menangis keras-keras minta makan. Saat itu Dewi Basundari
masih sibuk menanak nasi. Karena kehilangan kesabarannya, Dewi Basundari pun memukul kepala
Jaka Wudug menggunakan centong. Jaka Wudug ketakutan dan lari meninggalkan ibunya dengan
kepala terluka di bagian belakang.
Dewi Basundari meneruskan memasak makanan. Ketika semuanya telah matang, ternyata
Jaka Wudug sudah hilang entah ke mana. Dewi Basundari mencari putranya itu ke mana-mana
namun tidak juga bertemu. Ia merasa sangat menyesal mengapa tadi kehilangan kesabaran dan
memukul putra satu-satunya itu. Rupanya sifatnya yang suka kabur kini telah menurun kepada Jaka
Wudug. Barulah sekarang ia dapat membayangkan betapa sedih perasaan ayahnya dulu ketika ia
kabur dari Kahyangan Saptapratala.

DEWI BASUNDARI DIUBAH MENJADI LAKI-LAKI


Karena tidak berhasil menemukan anaknya, Dewi Basundari lalu bertapa memohon bantuan
dewata. Ia merasa kesulitan jika harus berkelana dalam wujud wanita dan ingin berganti kelamin
menjadi laki-laki supaya lebih leluasa dalam mencari Jaka Wudug.
Setelah beberapa hari bertapa tekun tanpa makan, tanpa tidur, akhirnya permohonan Dewi
Basundari dikabulkan dewata. Ia didatangi Batara Narada yang membawa anugerah Batara Guru
untuk mengubah wujudnya menjadi laki-laki. Secara ajaib, Dewi Basundari pun seketika berubah
menjadi seorang laki-laki dan diberi nama baru, yaitu Raden Sintawaka.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada lalu memberikan pelajaran ilmu kesaktian kepada Raden Sintawaka sebagai
bekal menempuh perjalanan. Setelah itu, Batara Narada pun berpesan supaya Raden Sintawaka
pergi ke Kerajaan Gilingaya dan mengabdi kepada Prabu Heryanarudra. Kelak, Raden Sintawaka
akan kembali menjadi wanita jika sudah bertemu dengan Jaka Wudug di negeri tersebut.
Raden Sintawaka berterima kasih atas anugerah dewata, dan ia pun mohon restu berangkat
menuju Kerajaan Gilingaya yang terletak di arah barat.

JAKA WUDUG MENJADI ANAK ANGKAT RESI BAGASPATI


Sementara itu, Jaka Wudug yang kabur meninggalkan rumah ternyata berlari ke arah Sungai
Serayu. Karena kurang berhati-hati, kakinya pun terpeleset sehingga tubuhnya tercebur dan hanyut
dibawa arus sungai tersebut. Itulah sebabnya mengapa sang ibu sama sekali tidak dapat
menemukan keberadaannya. Setelah beberapa hari hanyut terapung-apung dibawa aliran sungai,
Jaka Wudug akhirnya ditemukan oleh seorang pendeta bernama Resi Bagaspati yang bertapa di
tepi Sungai Serayu. Resi Bagaspati sangat heran melihat ada anak kecil berusia dua tahun hanyut
di sungai tapi masih tetap hidup. Ketika Jaka Wudug siuman dari pingsan, Resi Bagaspati pun
menanyai asal-usulnya. Namun, Jaka Wudug hanya bisa menyebutkan namanya tapi tidak dapat
menceritakan dari mana ia berasal.
Resi Bagaspati sangat prihatin melihat keadaan anak kecil tersebut, sekaligus kagum dan
heran pula melihat kemampuannya bertahan hidup. Karena tidak tahu harus diantar pulang ke
mana, Resi Bagaspati pun memutuskan untuk merawat Jaka Wudug dan menjadikannya sebagai
anak angkat.

RADEN SINTAWAKA BERTEMU PRABU HERYANARUDRA


Prabu Heryanarudra di Kerajaan Gilingaya suka bertani dan gemar memelihara binatang, yaitu
sifat yang mirip dengan mendiang Sri Maharaja Kanwa. Pada suatu hari ia pergi ke hutan untuk
memikat burung. Dilihatnya banyak burung bertengger pada dahan pohon aren. Prabu
Heryanarudra lalu memerintahkan para prajurit untuk menebang dahan tersebut. Ketika ditebang,
ternyata dari pohon aren itu memancar air nira yang manis rasanya.
Prabu Heryanarudra merasa senang ketika mencicipi air nira tersebut. Ia lalu memerintahkan
para prajurit untuk mengumpulkan air nira sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang dan dimasak
menjadi gula. Itulah awal mula masyarakat Jawa mengenal pembuatan gula aren.
Dalam perjalanan pulang ke istana Gilingaya, rombongan Prabu Heryanarudra diserang
sekelompok harimau. Para prajurit banyak yang terluka karena diterkam dan dicakar binatang buas
tersebut. Tiba-tiba muncul Raden Sintawaka membantu mengalahkan dan mengusir kawanan
harimau tersebut, sehingga kembali masuk ke dalam hutan.
Prabu Heryanarudra sangat senang menerima bantuan pemuda berwajah tampan itu yang
bisa mengusir kawanan harimau tanpa melukai mereka sedikit pun. Ketika Raden Sintawaka
menyampaikan niatnya ingin mengabdi pada Kerajaan Gilingaya, Prabu Heryanarudra langsung
menerimanya.

PRABU HERYANARUDRA MENINGGAL KARENA WABAH


Sudah bertahun-tahun lamanya Raden Sintawaka mengabdi kepada Prabu Heryanarudra
namun belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Jaka Wudug, putranya. Justru yang terjadi
adalah hubungannya dengan Prabu Heryanarudra yang semakin akrab bagaikan anak dan ayah.
Prabu Heryanarudra memang tidak memiliki putra dan ia telah menunjuk Raden Sintawaka menjadi
ahli warisnya jika meninggal kelak.
Pada suatu ketika, Kerajaan Gilingaya terserang wabah penyakit. Banyak penduduk yang mati
menjadi korban. Prabu Heryanarudra turun tangan secara langsung untuk memberikan bantuan
kepada para penduduk yang menderita. Akibatnya, ia pun ikut tertular wabah penyakit tersebut dan
meninggal pula beberapa hari kemudian.
KITAB WAYANG PURWA

Sesuai wasiat Prabu Heryanarudra sebelum meninggal, takhta Kerajaan Gilingaya pun
diwariskan kepada Raden Sintawaka sebagai raja selanjutnya. Patih Anindyamantri dan para
menteri semua tunduk dan menyatakan dukungan mereka.

PRABU SINTAWAKA MENGADAKAN BERSIH DESA


Prabu Sintawaka lalu mengajak Patih Anindyamantri dan para menteri berunding mencari cara
untuk menghentikan wabah penyakit tersebut. Patih Anindyamantri bercerita bahwa semasa muda
Prabu Heryanarudra bernama Raden Jakapuring pernah berguru bersama kakaknya yang bernama
Raden Pakukuhan kepada seorang brahmana di Gunung Tasik. Brahmana itu bernama Begawan
Radi yang saat ini tinggal di Padepokan Andongdadapan. Mungkin Begawan Radi bisa dimintai
bantuan untuk menanggulangi wabah penyakit yang saat ini melanda Kerajaan Gilingaya.
Padepokan Andongdadapan berada di luar kekuasaan Kerajaan Gilingaya ataupun Kerajaan
Medang Kamulan, karena dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Purwacarita yang saat ini
sudah runtuh. Maka, Prabu Sintawaka pun bisa dengan leluasa pergi ke padepokan tersebut untuk
menghadap Begawan Radi dan meminta petunjuk kepadanya. Begawan Radi yang tidak lain adalah
penjelmaan Batara Surya segera menyanggupi permohonan tersebut. Ia lalu berangkat menuju
Kerajaan Gilingaya menyertai Prabu Sintawaka.
Sesampainya di Gilingaya, Begawan Radi segera menyebarkan perintah supaya para
penduduk baik di kota maupun di desa mengadakan selamatan yang disebut Sesaji Gramaweda.
Perintah tersebut dalam waktu singkat segera tersebar luas ke segenap penjuru negeri untuk
dilaksanakan.
Perintah Begawan Radi ternyata membuahkan hasil. Setelah diadakan selamatan secara
merata, Kerajaan Gilingaya pun terbebas dari wabah penyakit. Begawan Radi menyarankan supaya
selamatan seperti ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Para penduduk pun mematuhinya.
Inilah awal mula terciptanya perkumpulan selamatan di Tanah Jawa. Karena masyarakat desa
kesulitan menyebut istilah Sesaji Gramaweda, mereka pun lebih suka menyebutnya dengan istilah
Bersih Desa.

RADEN RADITYA BERGURU KEPADA BEGAWAN RADI


Setelah tugasnya di Kerajaan Glingaya selesai, Begawan Radi kembali ke Padepokan
Andongdadapan. Tidak lama kemudian datang seorang remaja bernama Jaka Wudug yang
mengaku sebagai anak angkat Resi Bagaspati yang tinggal di tepi Sungai Serayu. Jaka Wudug
menceritakan bahwa ayah angkatnya itu telah meninggal dan sempat menyampaikan wasiat supaya
ia pergi berguru kepada Begawan Radi di Padepokan Andongdadapan.
Begawan Radi yang sudah lama mengenal Begawan Bagaspati merasa prihatin mendengar
kabar kematian tersebut. Maka, ia pun menerima Jaka Wudug sebagai muridnya. Melihat wajah
pemuda itu sangat tampan dan bercahaya seperti matahari, Begawan Radi pun mengganti nama
Jaka Wudug menjadi Raden Raditya. Ia yakin kalau remaja ini bukanlah pemuda desa biasa, tetapi
keturunan seorang raja besar.
Maka, sejak itu Jaka Wudug yang telah berganti nama menjadi Raden Raditya pun berguru
kepada Begawan Radi alias Batara Surya dan tinggal di Padepokan Andongdadapan untuk
mendapatkan berbagai pelajaran ilmu kesaktian.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

WATUGUNUNG WISUDA
Kisah ini menceritakan pertempuran antara Kerajaan Gilingaya dengan Kerajaan Medang
Kamulan, di mana Jaka Wudug atau Raden Raditya membantu pihak Medang Kamulan.
Sampai akhirnya, ia berhasil mengalahkan Prabu Sintwaka dan menjadi raja Gilingaya, bergelar
Prabu Watugunung.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

PRABU SINTAWAKA BERPERANG DENGAN PRABU PALINDRIYA


Prabu Sintawaka di Kerajaan Gilingaya dihadap Patih Anindyamantri dan para menteri lainnya.
Mereka membicarakan datangnya surat tantangan dari Kerajaan Medang Kamulan, di mana Prabu
Palindriya ingin membalas kematian ayahnya (Prabu Kandihawa) yang dulu tewas dibunuh Prabu
Heryanarudra. Karena Prabu Heryanarudra juga telah meninggal karena wabah penyakit, maka
pembalasan dendam pun ditujukan kepada anak angkatnya, yaitu Prabu Sintawaka.
Prabu Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi Basundari menerima tantangan
tersebut. Ia sendiri masih menyimpan dendam di dalam hati terhadap Prabu Palindriya yang telah
mengkhianati perkawinan mereka dulu. Maka, ia pun memerintahkan Patih Anindyamantri supaya
mempersiapkan pasukan perang untuk menghadapi serangan pihak lawan.
Beberapa hari kemudian pasukan Medang Kamulan yang dipimpin langsung oleh Prabu
Palindriya datang menyerbu Kerajaan Gilingaya. Prabu Sintawaka menyambut serangan tersebut
di mana ia sendiri yang turun tangan menghadapi Prabu Palindriya. Pertempuran terjadi cukup lama.
Kedua pihak kalah dan menang silih berganti. Merasa pertahanan pihak Gilingaya terlalu kuat, Prabu
Palindriya akhirnya menarik mundur pasukannya kembali ke Medang Kamulan.

RADEN RADITYA MENGAMBIL PUSAKA KE GUNUNG ASWATA


Sementara itu, Raden Raditya (Jaka Wudug) telah menamatkan pendidikannya di Padepokan
Andongdadapan, dengan menyerap semua ilmu yang diajarkan Begawan Radi. Mendengar berita
adanya peperangan antara Kerajaan Medang Kamulan dan Kerajaan Gilingaya, ia ingin sekali ikut
membantu salah satu pihak. Menurutnya, yang layak dibantu adalah Prabu Palindriya karena yang
memulai masalah adalah Kerajaan Gilingaya di zaman Prabu Heryanarudra dulu. Andai saja Prabu
Heryanarudra tidak membunuh Prabu Kandihawa, tentu Prabu Palindriya tidak akan menyerang
Prabu Sintawaka.
Begawan Radi mempersilakan Raden Raditya jika ingin membantu pihak Medang Kamulan,
tetapi hendaknya jangan bersikap gegabah memamerkan kepandaian. Begawan Radi lalu bercerita
bahwa Prabu Palindriya semasa mudanya bernama Raden Respati yang pernah bertapa di Gunung
Aswata dan menerima pusaka pemberian Batara Indra, berupa busur Bajra dan panah Herawana.
Ketika Prabu Paindriya bertakhta di Kerajaan Medang Kamulan, kedua pusaka itu masih tertinggal
di Gunung Aswata. Begawan Radi menyarankan agar Raden Raditya pergi ke Gunung Aswata untuk
mengambil kedua pusaka tersebut dan mempersembahkannya kepada Prabu Palindriya. Dengan
cara inilah Raden Raditya kelak akan mendapatkan kejayaan.
Raden Raditya mohon restu kepada sang guru kemudian berangkat ke Gunung Aswata.
Sesampainya di sana ia bertemu Patih Anindyamantri yang juga dikirim Prabu Sintawaka untuk
mengambil kedua pusaka tersebut. Prabu Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi
Basundari rupanya masih ingat kalau busur Bajra dan panah Herawana milik Prabu Palindriya
tertinggal di Gunung Aswata setelah digunakan untuk membunuh Naga Sindula dulu. Maka, Prabu
Sintawaka pun berniat untuk menguasai kedua pusaka tersebut dan membawanya ke istana
Gilingaya.
Setelah mencari ke sana kemari, Patih Anindyamantri berhasil menemukannya, tetapi ia tidak
mampu mengangkat busur dan panah pusaka tersebut. Melihat kedatangan seorang pemuda yang
juga ingin mengambil kedua pusaka itu, Patih Anindyamantri segera berusaha mengusirnya. Maka,
terjadilah pertempuran antara Raden Raditya melawan Patih Anindyamantri dan para prajuritnya.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Raditya berhasil mengatasi orang-orang Gilingaya tersebut, bahkan ia mampu merebut
busur Bajra dan panah Herawana. Patih Anindyamantri merasa gentar melihat ada seorang pemuda
remaja ternyata mampu mengangkat busur dan panah pusaka itu. Maka, ia pun mengajak
pasukannya mundur kembali ke Gilingaya.

RADEN RADITYA BERSELINGKUH DENGAN DEWI SOMA


Setelah mendapatkan busur Bajra dan panah Herawana, Raden Raditya melanjutkan
perjalanan menuju Kerajaan Medang Kamulan. Ketika melewati Padepokan Pantireja, ia berjumpa
Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya beserta ketiga anaknya, yaitu Raden Anggara, Raden
Buda, dan Raden Sukra. Di tempat itu ia mendapatkan perjamuan yang sangat baik, bahkan Dewi
Soma sangat menyukainya dan menganggapnya sebagai anak.
Melihat ketampanan Raden Raditya yang mirip Prabu Palindriya semasa muda, Dewi Soma
pun terpesona kepadanya. Sejak sang suami berselingkuh dengan Dewi Basundari, ia tidak pernah
lagi bertemu Prabu Palindriya, padahal dalam hati sangat merindukannya. Dewi Soma sama sekali
tidak tahu kalau Raden Raditya yang kini tinggal di rumahnya itu adalah anak hasil perselingkuhan
Prabu Palindirya dengan Dewi Basundari tersebut.
Setelah dirayu terus-menerus, Raden Raditya akhirnya goyah pendiriannya dan bersedia
melayani nafsu birahi Dewi Soma. Tanpa sepengetahuan Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden
Sukra, mereka berdua pun melakukan hubungan perzinahan. Sebaliknya, ketiga putra Dewi Soma
itu juga sama sekali tidak menaruh curiga karena sudah menganggap Raden Raditya sebagai adik
sendiri.

RADEN RADITYA MENJADI PATIH SELACALA


Setelah beberapa hari tinggal di Padepokan Pantireja, Raden Raditya melanjutkan perjalanan
dan tiba di Kerajaan Medang Kamulan. Di sana ia dihadang para putra Prabu Palindriya yang
dipimpin Raden Wukir, karena dicurigai sebagai mata-mata Kerajaan Gilingaya. Terjadilah
pertarungan di mana Raden Raditya berhasil mengalahkan para pangeran tersebut.
Prabu Palindriya datang melerai yang sedang berkelahi. Raden Raditya menyembah dengan
penuh hormat dan menyerahkan busur Bajra dan panah Herawana kepadanya. Prabu Palindriya
tidak lupa bahwa kedua pusaka tersebut adalah miliknya dan selama ini tertinggal di Gunung
Aswata. Melihat Raden Raditya yang tampan dan berilmu tinggi, Prabu Palindriya merasa sangat
senang dan berniat menjadikannya sebagai menantu, yaitu akan dinikahkan dengan Dewi Sriyuwati
(saudari kandung Raden Wukir).
Setelah pengumuman itu disampaikan, tiba-tiba saja datang Batara Narada turun dari
kahyangan, dan meminta supaya perjodohan itu dibatalkan. Batara Narada menjelaskan bahwa
Raden Raditya ini adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari, sehingga
masih bersaudara tiri dengan Dewi Sriyuwati. Untuk itu, Raden Raditya tidak boleh dijodohkan
dengan Dewi Sriyuwati, tetapi sebaiknya diangkat menjadi patih saja.
Batara Narada juga menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa kelak Dewi Sriyuwati akan
diangkat sebagai bidadari kahyangan dan menjadi istri Batara Guru sendiri. Prabu Palindriya merasa
bersyukur dan mematuhi segala perintah Batara Guru tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara
Narada pun kembali ke kahyangan.
Sesuai perintah tadi, Prabu Palindriya lalu melantik Raden Raditya sebagai patih Kerajaan
Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala, yang bermakna “batu gunung”. Dewi Sriyuwati, Raden
Wukir, dan para putra lainnya menerimanya sebagai saudara tua dan memanggil kakak kepadanya.

PATIH SELACALA MENGALAHKAN PRABU SINTAWAKA


Setelah mendapatkan kekuatan baru, Prabu Palindriya pun memerintahkan Patih Selacala
untuk memimpin pasukan Medang Kamulan menyerang Kerajaan Gilingaya. Prabu Palindriya juga
meminjamkan busur Bajra dan panah Herawana kepada Patih Selacala sebagai senjata untuk
mengalahkan Prabu Sintawaka.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Sintawaka dan Patih Anindyamantri menyambut serangan tersebut dengan kekuatan
penuh. Terjadilah pertempuran besar, di mana pihak Gilingaya mengalami kekalahan telak. Mula-
mula Patih Anindyamantri tewas di tangan Patih Selacala. Melihat menteri utamanya gugur, Prabu
Sintawaka pun mengamuk mengerahkan segenap kesaktiannya. Patih Selacala membalas dengan
melepaskan panah Herawana. Prabu Sintawaka terlempar tubuhnya ke angkasa dan jatuh di dalam
Hutan Nastuti.
Meskipun terkena panah pusaka, Prabu Sintawaka tidak mati, tetapi kembali ke wujud wanita,
yaitu Dewi Basundari seperti sedia kala. Ia lalu bersembunyi di dalam hutan menghindari kejaran
pihak Medang Kamulan. Rupanya ia lupa bahwa dulu dewata telah mengubahnya menjadi laki-laki
supaya lebih leluasa untuk mencari Jaka Wudug, dan kelak ia akan kembali menjadi wanita lagi jika
sudah bertemu dengan putranya itu.
Tak disangka, Jaka Wudug sekarang sudah menjadi Patih Selacala dan pertarungan tadi telah
mengembalikan wujud Prabu Sintawaka kembali menjadi Dewi Basundari. Akan tetapi, hal ini sama
sekali tidak disadari oleh Dewi Basundari. Setelah kekalahan itu, ia pun membangun pondok di
dalam Hutan Nastuti tersebut dan melanjutkan bertapa untuk bisa bertemu putranya yang lama
hilang.

PATIH SELACALA MENJADI PRABU WATUGUNUNG


Prabu Palindriya bersuka cita mendengar berita kemenangan Patih Selacala atas Kerajaan
Gilingaya. Sejak saat itu, Kerajaan Gilingaya pun resmi menjadi negeri bawahan Kerajaan Medang
Kamulan, dan Patih Selacala diangkat sebagai pemimpin di sana.
Sebagai raja bawahan, Patih Selacala kemudian mengganti namanya menjadi Prabu
Watugunung. Tidak hanya itu, nama Kerajaan Gilingaya pun diganti pula menjadi Kerajaan
Gilingwesi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PALINDRIYA SEDA
Kisah ini menceritakan kelahiran Dewi Tumpak, yaitu anak hasil perselingkuhan Dewi Soma
dengan Raden Raditya, yang dilanjutkan dengan kematian Dewi Soma dan Prabu Palindriya.
Setelah itu, Kerajaan Medang Kamulan lalu dipimpin oleh penjelmaan Batara Wisnu yang
memakai gelar Prabu Satmata.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.

PRABU PALINDRIYA MENERIMA SURAT DARI DEWI SOMA


Prabu Palindriya di Kerajaan Medang Kamulan dihadap putranya yang lahir dari Dewi Landep,
yaitu Raden Wukir, serta para putra lainnya yang lahir dari selir. Mereka membicarakan tentang
Prabu Watugunung yang kini sudah bertakhta di Kerajaan Gilingwesi dan menjadikan kerajaan
tersebut lebih maju dan makmur, serta tunduk kepada Medang Kamulan.
Tiba-tiba datang tiga orang putra Prabu Palindriya dari Dewi Soma, yaitu Raden Anggara,
Raden Buda, dan Raden Sukra. Prabu Palindriya sangat terharu menerima mereka karena sudah
dua puluh tahun lebih tidak bertemu, yaitu sejak peristiwa Dewi Soma melabrak perselingkuhannya
dengan Dewi Basundari dulu. Prabu Palindriya pun memperkenalkan ketiga putranya itu kepada
para putra lainnya yang tinggal di istana.
Raden Anggara kemudian menyerahkan surat dari sang ibu kepada Prabu Palindriya. Surat
itu berisi permohonan maaf Dewi Soma atas tindakan kasarnya dulu sehingga rumah tangga mereka
menjadi berantakan. Dewi Soma menyatakan ingin kembali bersatu seperti dulu, dan ia
mengundang Prabu Palindriya untuk berkunjung ke Padepokan Pantireja.
Setelah membaca surat itu, Prabu Palindriya pun mengheningkan cipta untuk melihat apa
yang sebenarnya terjadi. Ternyata saat ini Dewi Soma sedang mengandung anak hasil
perselingkuhan dengan laki-laki lain, tetapi Prabu Palindriya tidak mengetahui siapa laki-laki
tersebut. Tujuan Dewi Soma mengundang Prabu Palindriya datang ke Padepokan Pantireja adalah
agar bisa bersetubuh dengannya, sehingga anak dalam kandungan tersebut bisa disamarkan
sebagai anaknya.
Prabu Palindriya pun mengatakan terus terang kepada Raden Anggara, Raden Buda, dan
Raden Sukra bahwa ibu mereka saat ini sedang mengandung hasil perselingkuhan. Apabila anak
KITAB WAYANG PURWA

dalam kandungan itu kelak lahir laki-laki, maka Prabu Palindriya bersedia mengakuinya sebagai
anak sendiri. Namun, jika yang lahir adalah anak perempuan, maka Prabu Palindriya tidak sudi
mengakuinya. Setelah mendapat pesan demikian, Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra
pun mohon pamit kembali ke Padepokan Pantireja.

DEWI SOMA MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN


Di Padepokan Pantireja, Dewi Soma menerima kedatangan ketiga putranya yang
menyampaikan pesan dari Prabu Palindriya tersebut. Mendengar laporan itu, Dewi Soma merasa
khawatir jangan-jangan yang dilahirkannya nanti adalah bayi perempuan sehingga tidak
mendapatkan pengakuan dari Prabu Palindriya. Adapun anak dalam kandungan tersebut
sesungguhnya adalah hasil perselingkuhan Dewi Soma dengan Prabu Watugunung saat masih
bernama Raden Raditya dulu.
Beberapa bulan kemudian, Dewi Soma ternyata melahirkan bayi perempuan. Apa yang ia
khawatirkan kini telah menjadi kenyataan. Dewi Soma yang kebingungan lalu mencari akal. Ia
melihat ada sebuah pancuran yang terbuat dari batu cadas berukuran kecil seperti kelamin bayi laki-
laki. Dewi Soma pun mengambil pancuran tersebut dan menempelkannya pada kelamin bayi
perempuan itu. Ia lalu berdoa memohon kemurahan dewata, sehingga kelamin palsu itu pun
berubah wujud menjadi seperti asli dan menyatu sempurna dengan kelamin si bayi perempuan.

KEMATIAN DEWI SOMA DAN PRABU PALINDRIYA


Prabu Palindriya menerima kabar bahwa Dewi Soma telah melahirkan bayi laki-laki, dan ia
pun bergegas pergi ke Padepokan Pantireja. Sesampainya di sana, ia disambut dengan ramah oleh
Dewi Soma dan diajak rujuk kembali untuk membina rumah tangga seperti dulu lagi.
Sesuai janjinya, Prabu Palindriya pun menerima bayi itu sebagai anak sendiri. Ia lalu
memangku bayi tersebut dan memberinya nama Raden Saniscara, serta mendoakannya supaya
tumbuh menjadi anak yang selalu sehat dan selamat dari segala macam niat jahat. Akibat doa
tersebut, kelamin palsu pada bayi Saniscara tiba-tiba terlepas dan kembali menjadi pancuran batu
cadas.
Prabu Palindriya sangat marah begitu mengetahui ternyata bayi yang dipangkunya adalah
bayi perempuan. Ia kecewa bukan karena Dewi Soma telah berselingkuh dengan pria lain, karena
dirinya lebih dulu berselingkuh dengan Dewi Basundari. Yang membuatnya sangat murka adalah
Dewi Soma sudah berbohong dengan mengubah kelamin bayi itu dari perempuan menjadi laki-laki.
Ia pun memungut pancuran batu cadas tersebut dan melemparkannya tepat mengenai dahi Raden
Anggara hingga jatuh pingsan. Tidak puas sampai di sini, ia lalu mengangkat bayi perempuan itu
dan hendak membantingnya ke tanah. Akan tetapi, Raden Buda dengan cekatan merebutnya dan
membawa bayi itu lari meninggalkan Pantireja.
Prabu Palindriya kemudian menyerang Dewi Soma namun dihalangi oleh Raden Sukra.
Akibatnya, Raden Sukra pun ikut dipukul pula hingga jatuh pingsan oleh ayahnya itu. Dewi Soma
yang ketakutan dan merasa bersalah akhirnya memilih bunuh diri. Melihat istri pertamanya itu mati,
kemarahan Prabu Palindriya berubah menjadi penyesalan dan ia pun pergi meninggalkan Pantireja.
Raden Anggara dan Raden Sukra telah siuman dari pingsan dan mereka menangisi kematian
sang ibu. Setelah menguburkan jenazah Dewi Soma, mereka berdua lalu pergi ke hutan dan berhasil
menemukan Raden Buda yang bersembunyi di situ dengan si bayi perempuan. Raden Buda sangat
berduka mendengar kematian Dewi Soma namun tidak berani kembali ke Padepokan Pantireja.
Ketiga bersaudara itu sepakat untuk tetap bersembunyi di hutan sampai keadaan benar-benar
aman. Adapun adik kecil mereka, yaitu si bayi perempuan lalu diberi nama Dewi Tumpak, sebagai
pengingat bahwa semasa bayi alat kelaminnya pernah ditumpangi pancuran batu cadas menjadi
kelamin laki-laki palsu.
Sementara itu, Prabu Palindriya yang kembali ke istana Medang Kamulan akhirnya jatuh sakit
akibat amarah yang meluap tadi. Setelah dirawat beberapa hari, penyakitnya justru bertambah
parah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia karena darahnya berhenti mengalir.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Wukir lalu mengirim kabar ke Kerajaan Gilingwesi untuk memberi tahu Prabu
Watugunung perihal peristiwa duka tersebut. Prabu Watugunung sangat prihatin mendengarnya dan
ia pun segera datang ke istana Medang Kamulan untuk memimpin upacara pemakaman sang ayah.

BATARA WISNU MENJADI RAJA BERGELAR PRABU SATMATA


Setelah Prabu Watugunung pulang ke Kerajaan Gilingwesi, tiba-tiba datang seorang pendeta
bernama Resi Satmata yang meminta takhta Medang Kamulan untuk didudukinya. Tentu saja
Raden Wukir dan para adik menolaknya dan mereka pun bersatu melawan pendeta tersebut.
Pertempuran sengit terjadi di mana Resi Satmata berhasil mengalahkan mereka semua.
Resi Satmata tidak lain adalah penjelmaan Batara Wisnu yang mendapat perintah dari Batara
Guru untuk menjadi raja di Medang Kamulan demi menjaga ketertiban Pulau Jawa. Raden Wukir
dan adik-adiknya menyatakan tunduk dan merelakan takhta warisan sang ayah diduduki pendeta
tersebut. Resi Satmata kemudian dinobatkan sebagai raja, bergelar Prabu Satmata.
Akan tetapi, Prabu Satmata kemudian tertarik melihat kecantikan Dewi Sriyuwati (saudari
kandung Raden Wukir) dan ingin menikahinya. Raden Wukir dan para adik tidak setuju dan berani
menentang hal itu, karena Dewi Sriyuwati adalah calon istri Batara Guru. Namun, Prabu Satmata
tidak peduli dan tetap menikahi Dewi Sriyuwati. Lagipula, Dewi Sriyuwati sendiri juga menerima cinta
Prabu Satmata.
Perkawinan tersebut membuat Raden Wukir dan adik-adiknya yang berjumlah dua puluh
enam tidak sudi lagi mengabdi kepada Prabu Satmata. Namun demikian, mereka tidak ada yang
berani melawan karena pernah merasakan kehebatan Prabu Satmata. Akhirnya, para putra Prabu
Palindriya itu pun memilih pindah ke Kerajaan Gilingwesi, mengabdi kepada sang kakak, yaitu Prabu
Watugunung.

RADEN WUKIR MENJADI PATIH SUWELACALA


Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi menyambut baik kedatangan saudara-saudaranya
tersebut. Ia sangat kesal mengetahui adanya seorang pendeta yang tidak jelas asalnya tiba-tiba
saja berani menduduki takhta Medang Kamulan. Raden Wukir dan para adik pun dipersilakan untuk
menetap di Kerajaan Gilingwesi saja. Bahkan, Raden Wukir lalu diangkat sebagai menteri utama,
bergelar Patih Suwelacala.
Prabu Watugunung juga mengangkat adik-adiknya dari selir sebagai punggawa Kerajaan
Gilingwesi dan memberi mereka gelar Arya. Misalnya, Raden Kurantil menjadi Arya Kurantil, Raden
Julungwangi menjadi Arya Julungwangi, Raden Prangbakat menjadi Arya Prangbakat, dan
sebagainya. Inilah awal mula adanya gelar Arya di Pulau Jawa.

BEGAWAN RADI MENCIPTAKAN HARI TUJUH


Sementara itu, Begawan Radi di Padepokan Andongdadapan berniat menciptakan nama-
nama hari yang baru. Jika dulu Empu Sengkala telah menciptakan hari lima yang terdiri atas Sri,
Kala, Brahma, Wisnu, Guru yang kemudian diubah oleh Begawan Radi menjadi hari Legi, Pahing,
Pon, Wage, Kliwon, maka sekarang Begawan Radi berniat menciptakan hari tujuh sebagai
rangkapan hari lima tersebut. Begawan Radi pun mengambil nama-nama anggota keluarga Prabu
Palindriya untuk menciptakan hari tujuh tersebut, yaitu:
- Radite, -------- diambil dari nama Raden Raditya, yaitu putra Prabu Palindriya dengan Dewi
Sinta atau Dewi Basundari. Raden Raditya ini tidak lain adalah nama Prabu
Watugunung semasa muda.
- Soma, --------- diambil dari nama Dewi Soma, yaitu istri pertama Prabu Palindriya.
- Anggara, ----- diambil dari nama Raden Anggara, yaitu putra sulung Prabu Palindriya
dengan Dewi Soma.
- Buda, ---------- diambil dari nama Raden Buda, yaitu putra kedua Prabu Palindriya dengan
Dewi Soma.
- Respati, ------ diambil dari nama Raden Respati, yaitu nama kecil Prabu Palindriya.

KITAB WAYANG PURWA

- Sukra, --------- diambil dari nama Raden Sukra, yaitu putra ketiga Prabu Palindriya dengan
Dewi Soma.
- Saniscara, --- diambil dari nama pemberian Prabu Palindriya untuk bayi berkelamin palsu
yang dilahirkan Dewi Soma.
Begawan Radi lalu mempersembahkan nama-nama ketujuh hari itu kepada Prabu
Watugunung serta cara pemakaiannya yang dirangkapkan dengan hari lima atau pasaran. Misalnya,
jika hari ini Radite Legi, maka besok adalah Soma Pahing, dan lusa adalah Anggara Pon. Dengan
demikian, setelah tiga puluh lima hari berlalu, maka akan kembali lagi menjadi Radite Legi. Adapun
umur tiga puluh lima hari ini kemudian disebut dengan istilah SELAPAN.

BEGAWAN RADI KEMBALI MENJADI BATARA SURYA


Setelah mempersembahkan hasil pemikirannya itu, Begawan Radi lalu berpamitan kepada
Prabu Watugunung untuk meninggalkan Pulau Jawa. Ia pun mengungkapkan jati dirinya, bahwa ia
sesungguhnya adalah penjelmaan Batara Surya yang turun untuk mengajarkan penanggalan
kepada masyarakat.
Kedatangan Begawan Radi pertama kali di Pulau Jawa adalah pada masa pemerintahan Sri
Maharaja Dewahesa di Kerajaan Gilingaya yang sekarang sudah berganti nama menjadi Gilingwesi
tersebut. Sri Maharaja Dewahesa berputra Sri Maharaja Kanwa, kemudian berputra Dewi Sriganarti,
yang menikah dengan Prabu Kandihawa, kemudian berputra Prabu Palindriya, dan kemudian
berputra Prabu Watugunung. Dengan demikian, keberadaan Batara Surya sebagai Begawan Radi
sudah lama sekali, yaitu sebanyak lima angkatan sejak Sri Maharaja Dewahesa.
Prabu Watugunung sangat sedih jika harus berpisah dengan sang guru yang sudah banyak
memberikan pelajaran kepadanya itu, namun sama sekali tidak kuasa untuk mencegahnya.
Begawan Radi pun memberikan pesan terakhir supaya Prabu Watugunung mencari saudara-
saudaranya yang lahir dari Dewi Soma dan menjadikan mereka bertiga sebagai pandita kerajaan di
Andongdadapan menggantikan dirinya. Setelah berpesan demikian, Begawan Radi lalu berubah
wujud menjadi Batara Surya dan terbang kembali menuju kahyangan tempat tinggalnya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

WATUGUNUNG KRAMA
Kisah ini menceritakan tentang usaha Prabu Watugunung memperistri Dewi Tumpak dengan
syarat harus menikahi pula delapan ratus orang Putri Domas. Akan tetapi, setelah syarat itu
terpenuhi justru perasaan Prabu Watugunung beralih kepada Dewi Sinta yang tidak lain adalah
ibu kandungnya sendiri. Inilah kisah perkawinan antara ibu dan anak dalam legenda
masyarakat Jawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

Prabu Watugunung

PRABU WATUGUNUNG MENEMUKAN KETIGA KAKAKNYA


Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Suwelacala dan para arya. Tidak
lama kemudian datang Arya Kurantil dan Arya Kuningan yang melaporkan bahwa keduanya telah
berhasil menemukan Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra yang bersembunyi di hutan
sejak kematian ibu mereka (Dewi Soma). Prabu Watugunung sangat gembira menyambut kehadiran
ketiga kakak tirinya itu dan segera mengangkat mereka sebagai pendeta kerajaan untuk
menggantikan kedudukan Begawan Radi yang telah kembali ke kahyangan sebagai Batara Surya.
Maka, sejak saat itu ketiganya pun mengubah gelar masing-masing menjadi Begawan Anggara,
Begawan Buda, dan Begawan Sukra, serta mendapat tempat tinggal di Andongdadapan,
Gadingmawukir, dan Medangagung.
Setelah saudara-saudaranya berkumpul, Prabu Watugunung lalu memutuskan untuk
menyerang Prabu Satmata yang telah menduduki takhta Kerajaan Medang Kamulan. Patih
Suwelacala dan para arya diperintahkan untuk menghimpun pasukan, lalu berangkat menuju negeri
peninggalan ayah mereka itu.

KERAJAAN GILINGWESI MENAKLUKKAN MEDANG KAMULAN


Prabu Watugunung dan pasukan Gilingwesi telah sampai di Kerajaan Medang Kamulan,
namun mereka terheran-heran karena Prabu Satmata ternyata sudah tidak lagi bertakhta di sana.
Para prajurit yang berjaga menceritakan bahwa Prabu Satmata telah mendapat teguran keras dari
Batara Guru karena berani menikahi Dewi Sriyuwati. Beberapa hari yang lalu Batara Narada datang
membawa pesan Batara Guru kepada Prabu Satmata supaya menceraikan Dewi Sriyuwati atau
KITAB WAYANG PURWA

diasingkan dari Medang Kamulan jika menolak. Ternyata Prabu Satmata memilih hukuman
pengasingan daripada menceraikan istrinya. Dewi Sriyuwati sendiri juga memilih ikut pergi untuk
menyertai suaminya tersebut.
Setelah kepergian Prabu Satmata dan Dewi Sriyuwati, takhta Kerajaan Medang Kamulan
menjadi kosong tanpa raja. Bahkan, Dewi Landep (ibu kandung Dewi Sriyuwati dan Patih
Suwelacala) juga ikut pergi, yaitu pulang ke tempat tinggal ayahnya (Batara Anantaboga) di
Kahyangan Saptapratala.
Menyadari hal itu, Prabu Watugunung sangat gembira karena berhasil menaklukkan Kerajaan
Medang Kamulan tanpa harus menumpahkan darah setetes pun. Maka, sejak saat itu Medang
Kamulan pun resmi menjadi daerah bawahan Kerajaan Gilingwesi.

RESI SATMATA BERKELANA MENEBUS DOSA


Sementara itu, Prabu Satmata yang menjalani hukuman pengasingan kembali memakai gelar
Resi Satmata dan mendirikan padepokan di Hutan Kuyana. Meskipun pada awalnya ia berani
melawan perintah Batara Guru, namun lama-lama ia merasa bimbang juga karena telah merebut
calon istri ayahnya itu. Akhirnya, pada suatu malam ia pun meninggalkan Dewi Sriyuwati yang
sedang tidur untuk berkelana sendiri demi menebus dosa.
Dalam pengembaraannya itu, Resi Satmata berpindah-pindah dari satu padepokan ke
padepokan lain. Dari Hutan Kuyana ia pindah ke Hutan Lodaya, kemudian ke Kabareyan, dan
setelah itu ke Parangtritis di pesisir selatan Pulau Jawa.

PRABU WATUGUNUNG MELAMAR DEWI TUMPAK


Pada suatu hari Prabu Watugunung pergi ke Padepokan Andongdadapan mengunjungi ketiga
kakak tirinya, yaitu Begawan Anggara, Begawan Buda, dan Begawan Sukra. Di tempat itu ia melihat
adik perempuan ketiga begawan, yaitu Dewi Tumpak yang kini telah berusia lima belas tahun. Putri
bungsu peninggalan Dewi Soma itu telah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik, dan
membuat Prabu Watugunung jatuh hati kepadanya.
Prabu Watugunung berterus terang ingin menjadikan Dewi Tumpak sebagai istrinya. Rupanya
tiada seorang pun yang tahu kalau hubungan mereka sebenarnya adalah ayah dan anak, karena
Dewi Tumpak tidak lain merupakan putri hasil perselingkuhan Prabu Watugunung semasa muda
dengan mendiang Dewi Soma.
Dewi Tumpak sendiri mengira dirinya adalah anak kandung Prabu Palindriya yang lahir dari
Dewi Soma, dan ia pernah mendengar bahwa Prabu Watugunung juga merupakan putra Prabu
Palindriya, tetapi lahir dari Dewi Basundari. Maka, dengan segala cara ia pun berusaha menolak
lamaran dari orang yang dikira kakak tirinya itu. Karena Prabu Watugunung tetap memaksa, Dewi
Tumpak akhirnya bersedia dijadikan istri asalkan dimadu dengan delapan ratus orang putri sebagai
selir. Kedelapan ratus putri itu disebut dengan istilah Putri Domas, dan mereka harus berasal dari
negeri di seberang lautan.

PRABU WATUGUNUNG MENGIRIM PARA ARYA KE NEGERI SEBERANG


Prabu Watugunung menyanggupi syarat yang diajukan Dewi Tumpak tersebut. Sungguh
kebetulan hari itu datang seorang pendeta dari negeri seberang bernama Danghyang Suktina yang
ingin mengabdi kepada Prabu Watugunung. Pendeta itu mengaku kehilangan istrinya dan ia
mendapat petunjuk dari dewata supaya mengabdi di Kerajaan Gilingwesi jika ingin bertemu lagi
dengan istrinya tersebut.
Karena Danghyang Suktina berasal dari seberang lautan, Prabu Watugunung pun
memintanya untuk membantu mencarikan delapan ratus orang Putri Domas dari sana. Danghyang
Suktina mengusulkan bahwa cara yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah dengan
membantu kerepotan pihak lain. Saat ini Kerajaan Kistina yang terletak di Semenanjung Malaya
sedang dikepung musuh. Prabu Darta raja Kistina memiliki adik perempuan bernama Dewi Darti
yang sangat cantik dan diinginkan banyak raja. Akan tetapi, tidak satu pun lamaran itu yang diterima
oleh Dewi Darti, sehingga para raja dengan sukarela kembali ke negeri mereka masing-masing.
KITAB WAYANG PURWA

Namun demikian, ada seorang raja raksasa bernama Prabu Grawa dari Kerajaan Malawa
yang tetap bertahan dan mendirikan perkemahan untuk mengepung Kerajaan Kistina dan memaksa
Dewi Darti menjadi istrinya. Prabu Darta tidak mampu menghadapi kesaktian Prabu Grawa sehingga
yang bisa ia lakukan hanyalah mengulur waktu sampai datangnya bala bantuan. Berdasarkan
peristiwa itu, Danghyang Suktina pun menyarankan kepada Prabu Watugunung supaya membantu
Prabu Darta mengalahkan Prabu Grawa, sehingga Prabu Darta pasti akan berterima kasih dan siap
membantu mengumpulkan delapan ratus orang Putri Domas.
Prabu Watugunung menerima saran Danghyang Suktina tersebut dan segera memerintahkan
adik-adiknya, yaitu para arya yang dipimpin Arya Kurantil untuk berangkat menuju Kerajaan Kistina
di Semenanjung Malaya.

PARA ARYA MENGAMANKAN KERAJAAN KISTINA


Arya Kurantil dan adik-adiknya telah sampai di Kerajaan Kistina dan langsung bertempur
menghadapi pasukan Prabu Grawa. Perang ramai pun terjadi. Prabu Grawa sendiri akhirnya tewas
di tangan Arya Kurantil, sedangkan menteri utamanya yang bernama Patih Santakya menyerah
kalah.
Prabu Darta bertanya kepada Patih Santakya mengapa Prabu Grawa bersikeras ingin
menikahi Dewi Darti, padahal para raja yang lain secara sukarela bersedia pulang ke negeri masing-
masing setelah lamaran mereka ditolak. Patih Santakya menceritakan bahwa rajanya itu telah
menculik putri Kerajaan Prawastina yang bernama Dewi Pratima untuk dijadikan istri. Akan tetapi,
Dewi Pratima bersedia dinikahi asalkan dimadu dengan sepupunya yang bernama Dewi Darti. Itulah
sebabnya Prabu Grawa bersikeras ingin menikahi Dewi Darti, semata-mata hanya demi untuk
memenuhi persyaratan yang diajukan Dewi Pratima.
Prabu Darta sangat terkejut mendengar cerita itu karena Dewi Pratima tidak lain adalah
sepupunya sendiri, dan ia pernah berniat menjadikannya sebagai istri. Tak disangka, Dewi Pratima
tiba-tiba hilang diculik orang dan ternyata si penculik adalah Prabu Grawa raja raksasa dari Malawa
tersebut.

PRABU DARTA MENIKAHI DEWI PRATIMA


Patih Santakya kembali ke perkemahan untuk menjemput Dewi Pratima, kemudian
menyerahkannya kepada Prabu Darta. Arya Kurantil menyarankan agar Prabu Darta melanjutkan
niatnya untuk menikahi Dewi Pratima sebagai permaisuri. Maka, Prabu Darta pun mengirim lamaran
kepada pamannya, yaitu Prabu Angrayoda di Kerajaan Prawastina, yang merupakan ayah dari Dewi
Pratima.
Patih Santakya dan segenap bala tentara raksasa yang masih tersisa menyatakan takluk
kepada para arya. Arya Kurantil selaku pimpinan pun mengangkat Patih Santakya sebagai raja baru
di Kerajaan Malawa, tetapi dengan syarat harus tunduk kepada perintah Prabu Watugunung di
Kerajaan Gilingwesi. Patih Santakya mematuhi syarat tersebut. Maka, ia pun dilantik sebagai raja
dengan bergelar Prabu Santakya.
Sementara itu, Prabu Angrayoda di Kerajaan Prawastina sangat bahagia mendengar kabar
bahwa putrinya yang hilang ternyata telah ditemukan dalam keadaan selamat di Kerajaan Kistina,
dan ia pun menerima lamaran Prabu Darta. Maka, pada hari yang telah ditentukan, diadakanlah
upacara pernikahan antara Prabu Darta dengan Dewi Pratima, yang dihadiri para arya dari Kerajaan
Gilingwesi dan Prabu Santakya dari Kerajaan Malawa.

PARA ARYA MENGUMPULKAN PUTRI DOMAS


Setelah pernikahan Prabu Darta dan Dewi Pratima tersebut, para arya lalu menyampaikan
permasalahan yang sedang dihadapi Prabu Watugunung, yaitu ingin menikahi Putri Domas yang
berjumlah delapan ratus orang dari negeri seberang. Dengan senang hati, Prabu Darta, Prabu
Angrayoda, dan Prabu Santakya pun mengumpulkan delapan ratus orang putri cantik dari negeri
masing-masing. Bahkan, Prabu Darta juga mempersembahkan adiknya, yaitu Dewi Darti untuk
dinikahkan pula dengan Prabu Watugunung.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah lengkap terkumpul delapan ratus orang Putri Domas ditambah dengan Dewi Darti,
para arya pun mohon pamit kembali ke Pulau Jawa. Prabu Darta, Prabu Angrayoda, dan Prabu
Santakya mengantar kepergian mereka sampai ke pelabuhan.

ARYA PRANGBAKAT BERTEMU DEWI SINTA


Para arya berlayar meninggalkan Semenanjung Malaya dan akhirnya sampai di Pulau Jawa.
Arya Kurantil selaku pimpinan segera memerintahkan Arya Prangbakat supaya berangkat lebih dulu
untuk menyampaikan laporan kepada Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala.
Arya Prangbakat pun berangkat seorang diri namun ia tersesat sampai ke Hutan Nastuti. Di
hutan itu ia melihat sebuah pondok yang dihuni seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita itu
tidak lain adalah Dewi Basundari yang dulu pernah menjelma menjadi Prabu Sintawaka dan
dikalahkan oleh Prabu Watugunung saat masih bernama Patih Selacala.
Kecantikan Dewi Basundari membuat Arya Prangbakat berniat jahat ingin mengganggunya.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul banjir besar yang menerjang dirinya. Arya Prangbakat pun minta tolong
memohon ampun dan berjanji tidak berani lagi berpikiran jahat kepada Dewi Basundari. Tiba-tiba
saja banjir besar itu pun surut dan meresap ke dalam bumi.
Arya Prangbakat menyampaikan sembah hormat kepada wanita di hadapannya itu. Dewi
Basundari lalu memperkenalkan dirinya sebagai Dewi Sinta, yaitu nama yang dulu dipakai saat
menjadi permaisuri di Kerajaan Medang Kamulan. Arya Prangbakat tiba-tiba mempunyai niat ingin
mempersembahkan Dewi Sinta kepada rajanya, karena hanya Prabu Watugunung yang pantas
menjadi suami wanita secantik dia. Kebetulan Dewi Sinta sendiri juga sudah jenuh hidup menyepi
tanpa kawan di tepi hutan, sehingga ia pun bersedia dibawa ke Kerajaan Gilingwesi.
Untuk mengenang peristiwa banjir ajaib yang telah melanda dirinya, Arya Prangbakat pun
mengganti nama Hutan Nastuti menjadi Hutan Roban, di mana “rob” berarti “banjir”.

PRABU WATUGUNUNG MENIKAHI DEWI SINTA


Arya Prangbakat telah sampai di Kerajaan Gilingwesi untuk menyampaikan laporan
kemenangan di Semenanjung Malaya kepada Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala, sekaligus
ia mempersembahkan Dewi Sinta yang ditemukannya di Hutan Roban tadi. Prabu Watugunung
sangat senang mendengar laporan tersebut, namun ia jauh lebih senang lagi saat menerima
kehadiran Dewi Sinta. Melihat kecantikan Dewi Sinta, seketika ia pun lupa kepada niatnya untuk
memperistri Dewi Tumpak.
Pada dasarnya Dewi Sinta memang seorang bidadari putri Batara Anantaboga, sehingga
wujudnya selalu awet muda dan cantik sepanjang masa. Ia sama sekali tidak tahu kalau Prabu
Watugunung adalah anak kandungnya sendiri yang lama hilang sejak berusia dua tahun.
Sebaliknya, Prabu Watugunung juga sudah lupa kepada wajah ibu kandungnya itu, dan yang ia
ingat hanyalah ibunya bernama Dewi Basundari.
Sementara itu, Patih Suwelacala telah memimpin upacara penyambutan untuk menjemput
rombongan Arya Kurantil yang membawa Dewi Darti dan Putri Domas. Sesampainya di Kerajaan
Gilingwesi, Prabu Watugunung pun menikahi kesemua putri itu, sekaligus menikahi Dewi Tumpak
pula. Dengan demikian, dalam peristiwa itu ia telah memperistri delapan ratus tiga orang wanita
secara sekaligus. Dengan demikian, Prabu Watugunung telah menikahi anak kandungnya sendiri,
yaitu Dewi Tumpak, serta menikahi ibu kandungnya pula, yaitu Dewi Sinta. Akan tetapi, Dewi Sinta
telah menjadi istri yang paling disayanginya, sehingga Dewi Tumpak, Dewi Darti, dan para Putri
Domas hanya dibuatkan istana saja tetapi tidak pernah diajak berhubungan badan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PRAHARA GILINGWESI
Kisah ini bercerita tentang meninggalnya Begawan Anggara, putra sulung Prabu Palindriya,
yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden Radeya putra Prabu Watugunung dan Dewi Sinta
yang kelak bergelar Sri Maharaja Gotaka. Kelahiran anak dari hasil perkawinan terlarang
antara ibu dan anak ini menyebabkan Kerajaan Gilingwesi dilanda bencana dan wabah
penyakit, hingga akhirnya bisa reda setelah Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.

Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala

BEGAWAN ANGGARA MENINGGAL DUNIA


Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Suwelacala, Danghyang Suktina,
dan para arya. Mereka membicarakan sang permaisuri Dewi Sinta yang kini sedang mengandung
dan beberapa waktu lagi akan melahirkan. Prabu Watugunung merasa cintanya kepada Dewi Sinta
semakin hari semakin besar, sedangkan kepada istri-istri yang lain sama sekali ia tidak ingin
menyentuh mereka. Patih Suwelacala pun menyarankan agar Prabu Watugunung juga
memerhatikan para istri yang lain, jangan hanya melulu kepada Dewi Sinta saja.
Akan tetapi, Prabu Watugunung menolak saran itu, bahkan ia berniat hendak menceraikan
semua istrinya, kecuali Dewi Sinta seorang. Prabu Watugunung memutuskan untuk menyerahkan
Dewi Darti kepada Patih Suwelacala, serta para Putri Domas kepada para arya. Sementara itu, Dewi
Tumpak yang pada dasarnya masih terlalu muda belia dibiarkan menjadi janda untuk sementara
waktu sampai kelak menemukan calon suami yang benar-benar tepat untuknya.
Tiba-tiba datang Begawan Sukra (kakak tiri Prabu Watugunung) yang menyampaikan berita
duka bahwa Begawan Anggara telah meninggal dunia. Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala
sangat terkejut dan bersedih mendengar berita yang sangat mendadak ini. Pertemuan pun
dibubarkan, dan Prabu Watugunung berangkat memimpin langsung rombongan melayat menuju
Padepokan Andongdadapan.
Sesampainya di sana, rombongan Prabu Watugunung itu disambut oleh Begawan Buda, dan
mereka kemudian bersama-sama menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah Begawan
Anggara. Setelah upacara selesai, Prabu Watugunung memberikan kedudukan kepada tiga orang
putra Begawan Anggara. Putra yang paling tua diangkat sebagai pandita menggantikan sang ayah,
bergelar Resi Dwara, sedangkan putra kedua dan ketiga dijadikan punggawa Kerajaan Gilingwesi,
dengan nama Arya Wakya dan Arya Byatara.

RESI SATMATA MENJADI DUKUN


Sementara itu, Resi Satmata (penjelmaan Batara Wisnu) di Padepokan Parangtritis telah
bertapa sekian lama demi untuk menebus dosanya yang telah lancang berani menikahi calon istri
Batara Guru, yaitu Dewi Sriyuwati. Pada suatu hari Batara Narada datang berkunjung melihat
keadaannya. Dalam kunjungannya itu, Batara Narada menyarankan supaya Resi Satmata menjalani
KITAB WAYANG PURWA

tapa rame, yaitu mengamalkan pikiran dan tenaga untuk membantu sesama demi mendapatkan
ampunan dari Batara Guru.
Resi Satmata berterima kasih atas saran tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pamit
kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Satmata pindah ke Desa Kayuwan di Tanah Pagelen yang
lebih ramai sehingga lebih mudah untuk melakukan amal kebaikan. Di desa itu, Resi Satmata
menjadi seorang dukun yang mengamalkan ilmu pengetahuan dan tenaganya untuk mengobati
masyarakat yang menderita sakit apa saja.

RESI SATMATA MENGAMBIL MURID


Pengobatan yang dibuka Resi Satmata semakin hari semakin bertambah ramai. Bahkan,
orang-orang yang datang berobat kepadanya bukan melulu dari Desa Kayuwan saja, tetapi juga dari
desa-desa lain banyak yang meminta pertolongannya. Antara lain yang datang kepadanya adalah
Buyut Gopa, kepada Desa Sewu. Buyut Gopa datang untuk memintakan obat atas penyakit aneh
yang dialami anaknya, bernama Pastima, yang tiba-tiba saja mengalami kelumpuhan tidak bisa
berjalan.
Resi Satmata menerawang mencari tahu apa penyebab penyakit Pastima. Ternyata pada
suatu hari Pastima yang masih kecil itu bermain-main bersama teman-temannya di pinggir kuburan
desa. Tanpa sengaja, Pastima melangkahi pusaka yang dipendam di sana sehingga terkena balak
dan jatuh sakit. Resi Satmata lalu memberikan resep panjang lebar untuk mengobati penyakit
Pastima itu. Tak disangka, Buyut Gopa ternyata memiliki ingatan tajam dan dapat langsung
menghafalkan resep yang rumit tersebut dengan baik.
Buyut Gopa lalu mengumpulkan bahan-bahan obat seperti yang diajarkan Resi Satmata dan
memberikannya kepada Pastima. Secara ajaib, Pastima langsung sembuh dan bisa bermain lagi
dengan teman-temannya. Buyut Gopa sangat bahagia dan kembali menemui Resi Satmata untuk
berterima kasih. Sebaliknya, Resi Satmata juga sangat senang melihat bakat serta kepandaian
Buyut Gopa dan berkenan menjadikannya sebagai murid.
Maka, sejak saat itu, Buyut Gopa pun berguru kepada Resi Satmata di Desa Kayuwan. Yang
ia pelajari tidak hanya ilmu pengobatan, tapi juga ilmu perbintangan dan ilmu tafsir mimpi. Setelah
menamatkan pendidikannya, Buyut Gopa diizinkan membuka tempat pengobatan sendiri di Desa
Sewu, dan boleh menggunakan nama Empu Gopa.

KELAHIRAN RADEN RADEYA DAN PEMBUNUHAN EMPU GOPA


Di Kerajaan Gilingwesi, Dewi Sinta telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Prabu Watugunung
sangat bahagia menyambut kelahiran putra pertamanya itu, dan memberinya nama Raden Radeya.
Beberapa hari kemudian, Prabu Watugunung bermimpi namun setelah bangun dari tidurnya
ia ternyata lupa kepada mimpinya itu. Ia pun mengumpulkan para pandita untuk menafsirkan arti
mimpinya, dan tentu saja tidak ada seorang pun yang bisa. Bagaimana mungkin orang lain bisa
menafsirkan mimpinya, jika ia sendiri lupa apa yang telah diimpikannya? Bahkan, dua pemuka para
pandita, yaitu Begawan Buda dan Begawan Sukra juga tidak dapat menafsirkannya.
Prabu Watugunung sangat kecewa dan marah kepada semua pandita itu. Namun, Begawan
Buda berhasil menyabarkannya dengan mengatakan bahwa ia mempunyai seorang kawan yang
pandai menafsirkan mimpi, bernama Empu Gopa dari Desa Sewu. Prabu Watugunung tertarik dan
memerintahkan Begawan Buda untuk pergi menjemputnya.
Begawan Buda lalu mohon pamit berangkat ke Desa Sewu dan kemudian kembali ke istana
dengan membawa serta Empu Gopa. Prabu Watugunung menyambut mereka dan meminta Empu
Gopa menafsirkan mimpinya. Empu Gopa yang menguasai ilmu tafsir mimpi dapat melihat bahwa
Prabu Watugunung tadi malam telah bermimpi melihat seekor harimau dimangsa ular sampai tinggal
tulang belulangnya. Dari mulut ular itu lalu keluar ulat, tikus, nyamuk, dan kuman.
Mendengar uraian tersebut, samar-samar Prabu Watugunung dapat mengingat kembali
mimpinya tadi malam. Ia lalu memerintahkan Empu Gopa untuk menafsirkan mimpi tersebut, namun
Empu Gopa mengaku tidak berani. Prabu Watugunung terus memaksa, sehingga Empu Gopa
KITAB WAYANG PURWA

akhirnya menjelaskan bahwa mimpi tersebut bermakna dewata akan mengurangi kasih sayangnya
kepada Kerajaan Gilingwesi, dengan ditandai munculnya musibah empat macam, yaitu ulat, tikus,
nyamuk, dan kuman tersebut.
Prabu Watugunung sangat tersinggung mendengar uraian Empu Gopa. Tanpa pikir panjang,
ia langsung membunuh Empu Gopa di hadapan para hadirin. Begawan Buda ngeri melihatnya dan
menasihati bahwa jika Empu Gopa dibunuh, lantas siapa nanti yang bisa dimintai bantuan mengatasi
musibah tersebut? Amarah Prabu Watugunung berangsur-angsur reda, dan ia pun menyesali
perbuatannya tadi.
Begawan Buda dan Begawan Sukra lalu pamit pulang ke Padepokan Andongdadapan. Anak
laki-laki Empu Gopa, yaitu Pastima kemudian diasuh oleh Begawan Buda dan dijadikan sebagai
murid.

KERAJAAN GILINGWESI DILANDA MUSIBAH


Beberapa hari setelah pembunuhan Empu Gopa, tiba-tiba Kerajaan Gilingwesi dilanda
bencana alam bertubi-tubi, mulai dari gempa bumi, hujan deras, petir halilintar, dan banjir bandang
yang merobohkan banyak bangunan serta menewaskan banyak penduduk.
Setelah banjir surut, tiba-tiba saja datang ulat-ulat sedemikian banyaknya yang merusak
tanaman pertanian, kemudian disusul ribuan tikus yang menyerang bahan makanan penduduk.
Selanjutnya datang pula sekawanan nyamuk yang tak terhitung banyaknya menggigit dan
menghisap darah para penduduk dan hewan ternak. Terakhir adalah munculnya kuman-kuman
pembawa penyakit yang menyerang kulit para penduduk sehingga banyak di antara mereka yang
menderita sakit kudis sangat parah.
Prabu Watugunung sedih menyaksikan penderitaan penduduknya. Berangsur-angsur wibawa
Kerajaan Gilingwesi merosot sehingga banyak negeri jajahan yang menolak tunduk kepadanya.
Karena pikirannya sudah buntu, Prabu Watugunung pun memutuskan untuk meminta pertolongan
kepada Batara Kala yang merupakan penguasa dari segala hewan berbisa demi melenyapkan
wabah di negerinya itu.

PRABU WATUGUNUNG MENJADI PEMUJA BATARA KALA


Prabu Watugunung kemudian mendirikan sebuah candi di Gunung Kusara demi untuk
menyenangkan hati Batara Kala. Ketika candi telah berdiri, Batara Kala datang dan sangat berkenan
melihat usaha Prabu Watugunung tersebut. Di hadapan Batara Kala, Prabu Watugunung
menyatakan diri memeluk Agama Kala dan memohon supaya dibantu mengatasi musibah dan
wabah penyakit yang melanda Kerajaan Gilingwesi.
Batara Kala bersedia memenuhi permohonan Prabu Watugunung. Ia lalu memerintahkan para
murid yang dipimpin raksasa ayah dan anak, bernama Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu. Para
raksasa itu dibantu kaum makhluk halus segera menaklukkan seluruh hama dan kuman penyakit
yang melanda, sehingga Kerajaan Gilingwesi kembali pulih seperti sedia kala.
Prabu Watugunung sangat gembira menyaksikan negerinya sudah kembali aman dan
tentram. Ia pun meminta Ditya Brekutu supaya tinggal di istana Gilingwesi sebagai pembimbingnya
dalam mendalami Agama Kala. Batara Kala mengizinkan, dan ia pun kembali ke Kahyangan
Selamangumpeng bersama Ditya Pulasya.

DEWI LANDEP MENGUNJUNGI KERAJAAN GILINGWESI


Beberapa waktu kemudian, Dewi Landep datang mengunjungi Kerajaan Gilingwesi. Patih
Suwelacala sangat gembira dan terharu menyambut ibu kandungnya itu karena mereka sudah lama
tidak bertemu.
Dewi Landep menceritakan pengalamannya sejak Patih Suwelacala dan para arya pergi
meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan untuk bergabung dengan Prabu Watugunung di Kerajaan
Gilingwesi. Saat itu Dewi Landep tetap tinggal di Medang Kamulan bersama anaknya yang lain,
yaitu Dewi Sriyuwati yang telah dinikahi Prabu Satmata. Akan tetapi, pada suatu hari Prabu Satmata
KITAB WAYANG PURWA

mendapatkan hukuman buang dari Batara Guru, yaitu diusir pergi dari Kerajaan Medang Kamulan
karena berani menikahi calon istri raja para dewa tersebut. Prabu Satmata mematuhi hukuman itu,
dan Dewi Sriyuwati mengikuti kemana pun sang suami pergi. Karena Prabu Satmata dan Dewi
Sriyuwati telah pergi dari istana, Dewi Landep akhirnya memutuskan untuk pergi pula ke tempat
asalnya, yaitu Kahyangan Saptapratala.
Kini setelah beberapa tahun berpisah, Dewi Landep akhirnya datang ke Kerajaan Gilingwesi
untuk mengunjungi anaknya yang lain, yaitu Patih Suwelacala. Prabu Watugunung pun menerima
Dewi Landep dengan baik dan meminta ibu tirinya itu untuk menetap di istana Gilingwesi.

DEWI LANDEP BERTEMU DEWI SINTA


Pada suatu hari Dewi Landep bertemu permaisuri Prabu Watugunung, yaitu Dewi Sinta, yang
tidak lain adalah kakaknya sendiri. Mereka pun saling berpelukan dengan rasa haru setelah puluhan
tahun berpisah. Nama asli Dewi Sinta adalah Dewi Basundari, sedangkan nama asli Dewi Landep
adalah Dewi Basuwati. Setelah keduanya dinikahi Prabu Palindriya, nama mereka pun
disederhanakan seperti itu. Pada suatu hari, Dewi Sinta kabur tanpa pamit meninggalkan Kerajaan
Medang Kamulan dalam keadaan mengandung karena cemburu. Sejak itulah Dewi Sinta dan Dewi
Landep tidak pernah bertemu lagi sampai puluhan tahun lamanya.
Dewi Sinta lalu bercerita bahwa anak yang dikandungnya telah lahir dan diberi nama Jaka
Wudug, namun anak itu kemudian hilang entah ke mana pada usia dua tahun. Dewi Landep sangat
terkejut mendengarnya, karena ia menduga kalau Jaka Wudug tidak lain adalah Prabu Watugunung
sendiri.
Dewi Landep pun menceritakan bagaimana awal mula Prabu Palindriya menerima seorang
pemuda bernama Raden Raditya yang ingin mengabdi di Kerajaan Medang Kamulan. Pengabdian
itu pun diterima, bahkan Prabu Palindriya berniat menjodohkan Raden Raditya dengan Dewi
Sriyuwati. Akan tetapi, tiba-tiba datang Batara Narada mencegah hal itu jangan sampai terjadi,
karena Raden Raditya tidak lain adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi
Basundari. Raden Raditya kemudian diangkat sebagai patih di Medang Kamulan, bergelar Patih
Selacala, hingga akhirnya ia berhasil menjadi raja Gilingwesi yang bergelar Prabu Watugunung
tersebut.
Dewi Sinta sangat terkejut mendengar cerita itu dan ia merasa ketakutan saat membayangkan
jangan-jangan Prabu Watugunung memang benar-benar Jaka Wudug. Itu berarti ia telah menikah
dengan anaknya sendiri. Apalagi dari perkawinan tersebut telah lahir seorang putra yang masih bayi,
bernama Raden Radeya.

DEWI SINTA MENOLAK DISENTUH PRABU WATUGUNUNG


Dewi Sinta yang ketakutan mendengar cerita Dewi Landep akhirnya bertekad untuk
membuktikannya sendiri. Pada suatu hari saat berduaan dengan Prabu Watugunung, ia pun
menyisir rambut suaminya itu dan menemukan bekas luka di kepala bagian belakangnya. Prabu
Watugunung menceritakan bahwa semasa kecil ia pernah dipukul ibunya yang bernama Dewi
Basundari di bagian itu dan lukanya masih membekas sampai sekarang.
Sungguh terkejut hati Dewi Sinta bukan kepalang karena telah mendapatkan kesimpulan dari
cerita tersebut, bahwa suaminya ternyata anak kandungnya sendiri. Seketika ia pun teringat
peristiwa ketika Dewi Soma melabrak dirinya saat berselingkuh dengan Resi Wrehaspati sebelum
menjadi Prabu Palindriya dulu. Saat itu Dewi Soma sangat marah dan mengutuk dirinya kelak akan
mengalami “sungsang bawana” dan menderita malu luar biasa. Ternyata kutukan itu kini telah
menjadi kenyataan.
Sejak saat itu Dewi Sinta selalu menolak dengan halus apabila Prabu Watugunung
mengajaknya bermesraan. Ia yakin bahwa segala musibah dan malapetaka yang melanda Kerajaan
Gilingwesi adalah hukuman dewata terhadap perbuatannya yang telah menikah dengan anak
kandung sendiri. Ia takut jika melakukan hubungan badan lagi dengan Prabu Watugunung, maka
bencana dan musibah akan kembali terjadi dan kemungkinan bisa lebih dahsyat lagi.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

WATUGUNUNG GUGUR
Kisah ini menceritakan Prabu Watugunung dibantu Batara Kala melamar tujuh bidadari
Kahyangan Suralaya atas permintaan Dewi Sinta Basundari. Batara Indra lalu meminta
bantuan Resi Satmata yang kemudian berhasil menewaskan Prabu Watugunung. Selanjutnya,
satu persatu anggota keluarga Prabu Watugunung diangkat ke kahyangan dan peristiwa ini
menjadi asal-usul terciptanya Pawukon.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

PRABU WATUGUNUNG HENDAK MELAMAR TUJUH BIDADARI DEMI DEWI SINTA


Batara Kala di Kahyangan Selamangumpeng dihadap para murid yang dipimpin Ditya
Pulasya. Tidak lama kemudian datang Prabu Watugunung dari Kerajaan Gilingwesi bersama Patih
Suwelacala dan Ditya Brekutu. Prabu Watugunung datang menghadap untuk menyampaikan
permasalahannya, yaitu sang permaisuri Dewi Sinta sudah beberapa bulan ini tidak pernah lagi mau
disentuh olehnya. Kadang sang istri mengaku sedang datang bulan, kadang mengaku sedang tidak
enak badan. Sampai akhirnya, ketika Prabu Watugunung mengancam hendak menggunakan
kekerasan, Dewi Sinta pun mengajukan syarat bahwa dirinya bersedia kembali melayani sang suami
asalkan dimadu dengan tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Supraba, Batari
Wilutama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim, dan Batari
Tunjungbiru.
Batara Kala heran mendengar kisah tersebut dan menasihati Prabu Watugunung supaya tidak
usah mengabulkan permintaan aneh Dewi Sinta itu. Namun, perasaan cinta Prabu Watugunung
terhadap Dewi Sinta sudah terlalu mendalam, dan ia rela melakukan apa saja demi mendapatkan
kembali cinta kasih sang permaisuri. Bahkan, Patih Suwelacala juga ikut kena marah karena
menyarankan supaya Prabu Watugunung menahan diri dan tidak terlalu menuruti hawa nafsu.
Prabu Watugunung lalu menjelaskan maksud dan tujuannya menghadap Batara Kala adalah
untuk meminta petunjuk bagaimana caranya mengabulkan permintaan aneh tersebut. Batara Kala
akhirnya bersedia membantu Prabu Watugunung. Ia menjelaskan bahwa manusia biasa tidak
mungkin menikah dengan bidadari, kecuali orang yang memiliki jasa sangat besar terhadap
kahyangan. Maka, sebaiknya Prabu Watugunung mempersembahkan hadiah kepada Batara Indra
sebagai pengganti jasa, dan hadiah itu bisa berupa busur Bajra dan panah Herawana.
Meskipun busur Bajra dan panah Herawana adalah benda pusaka warisan ayahnya (Prabu
Palindriya), tapi Prabu Watugunung rela kehilangan keduanya demi mewujudkan permintaan Dewi
Sinta. Batara Kala lalu mengutus Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu untuk menyerahkan kedua
pusaka itu kepada Batara Indra di Kahyangan Suralaya. Setelah kedua raksasa berangkat, Prabu
Watugunung lalu mohon pamit pulang ke Kerajaan Gilingwesi.
KITAB WAYANG PURWA

BATARA INDRA MENOLAK LAMARAN PRABU WATUGUNUNG


Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung
menghadap Batara Indra. Kedua raksasa ayah dan anak itu lalu mempersembahkan busur Bajra
dan panah Herawana supaya ditukar dengan tujuh bidadari unggulan. Batara Indra menerima kedua
pusaka itu dan menjelaskan bahwa busur Bajra dan panah Herawana dulunya memang milik
Kahyangan Suralaya sebelum dihadiahkan kepada mendiang Prabu Palindriya saat masih bernama
Raden Respati. Jika Prabu Watugunung mengembalikan kedua pusaka itu kepada Kahyangan
Suralaya, maka Batara Indra tetap menganggapnya sebagai sebuah jasa. Batara Indra pun berjanji
kelak jika Prabu Watugunung meninggal, maka jiwanya akan diangkat sebagai dewa dan
mendapatkan istri bidadari.
Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk
melapor kepada Prabu Watugunung. Namun, di tengah jalan Ditya Pulasya merasa ada yang aneh
pada keputusan Batara Indra tadi. Padahal, Batara Indra telah menerima busur Bajra dan panah
Herawana, tetapi mengapa ia menunda untuk mengabulkan permohonan Prabu Watugunung? Ditya
Pulasya lalu mengajak Ditya Brekutu dan segenap pasukan raksasa yang mengawal untuk kembali
ke Kahyangan Suralaya.
Para raksasa itu menghadap Batara Indra dan meminta supaya ketujuh bidadari diserahkan
saat ini juga. Batara Indra marah dan mengerahkan pasukan Dorandara. Terjadilah pertempuran di
mana pasukan raksasa berhasil dipukul mundur keluar dari Kahyangan Suralaya. Ditya Pulasya lalu
mendirikan perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, sedangkan Ditya Brekutu diperintah untuk
pulang dan melapor kepada Prabu Watugunung.

PRABU WATUGUNUNG MENGIRIM BALA BANTUAN


Ditya Brekutu telah sampai di Kerajaan Gilingwesi dan langsung menghadap Prabu
Watugunung. Saat itu Prabu Watugunung sedang menerima kedatangan sekutunya, yaitu Prabu
Santakya, raja raksasa Kerajaan Malawa. Mendengar laporan Ditya Brekutu, bahwa Batara Indra
tidak bersedia menyerahkan ketujuh bidadari, Prabu Watugunung menjadi sangat marah. Ia lalu
memerintahkan Prabu Santakya untuk memimpin pasukan menyerang Kahyangan Suralaya.
Sebelum berangkat, Prabu Santakya meminta dibantu para arya yang memiliki sifat seperti
harimau, gajah, kambing, kera, ular, dan banteng. Prabu Watugunung lalu memilih enam orang
adiknya, yaitu Arya Kurantil yang bersifat seperti harimau, Arya Julungwangi yang bersifat seperti
gajah, Arya Mandasiya yang bersifat seperti kambing, Arya Tambir yang bersifat seperti kera, Arya
Prangbakat yang bersifat seperti ular, dan Arya Dukut yang bersifat seperti banteng. Prabu Santakya
sendiri juga menunjuk empat orang raksasa anak buahnya sebagai para pemimpin pasukan, yaitu
Ditya Pragalba, Ditya Prabata, Ditya Keswari, dan Ditya Arimoha. Setelah pasukan siap, mereka
pun berangkat menyerang Kahyangan Suralaya untuk membantu Ditya Pulasya.

RESI SATMATA MENERIMA TUGAS MENGAMANKAN KAHYANGAN


Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kunjungan Batara Guru dan Batara Narada
dari Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru menjelaskan bahwa Batara Indra tidak mungkin bisa
mengalahkan Prabu Watugunung yang dilindungi Batara Kala. Satu-satunya yang bisa
mengalahkan raja Gilingwesi itu hanyalah Batara Wisnu yang saat ini sedang menjelma sebagai
Resi Satmata. Batara Indra mematuhi nasihat tersebut. Batara Guru lalu meminta Batara Narada
untuk mencari dan menjemput Resi Satmata. Batara Narada pun mohon pamit dan berangkat
melaksanakan tugas tersebut.
Resi Satmata sendiri sedang menjalani tapa rame, dengan menjadi dukun pengobatan yang
hidup berpindah-pindah. Kali ini ia bertempat tinggal di Gunung Candrageni (sekarang Gunung
Merapi), dan sedang menerima kedatangan tiga orang adik iparnya, yaitu Batara Laksmanasadu,
Batara Penyarikan, dan Batara Satyawaka. Mereka bertiga ikut prihatin atas hukuman pengasingan
yang dijalani Resi Satmata akibat kemarahan Batara Guru. Padahal, kejadian itu sudah belasan
tahun berlalu, tapi mengapa sampai sekarang Batara Guru belum juga memberikan pengampunan
padanya?
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian, Batara Narada datang di Gunung Candrageni. Resi Satmata dan ketiga
adik iparnya menyembah dengan hormat. Batara Narada menjelaskan bahwa kedatangannya
adalah untuk menjemput Resi Satmata sebagai jago Kahyangan Suralaya menghadapi serangan
bala tentara Prabu Watugunung. Resi Satmata sangat gembira karena hal ini bisa menjadi sarana
baginya untuk memperoleh pengampunan Batara Guru.
Setelah Batara Narada kembali ke kahyangan, Resi Satmata segera memanggil
kendaraannya yang berwujud kuda sembrani berwarna putih bersih. Ia pun mengendarai kuda itu
dengan berboncengan sekaligus bersama ketiga adik iparnya meninggalkan Gunung Candrageni.

RESI SATMATA BERTEMU DEWI SRIYUWATI DAN RADEN SRIGATI


Dalam perjalanan terbang mengendarai kuda sembrani, rombongan Resi Satmata melewati
sebuah desa bernama Waringinsapta. Di desa itu Resi Satmata melihat istrinya, yaitu Dewi Sriyuwati
sedang duduk bersama seorang pemuda remaja di halaman rumah. Resi Satmata sangat marah
dan langsung turun ke darat untuk menanyai istrinya itu. Namun, Dewi Sriyuwati dengan tenang
menjelaskan bahwa pemuda remaja itu adalah anak mereka sendiri.
Ternyata dulu sewaktu Resi Satmata pergi meninggalkan padepokan di Hutan Kuyana, saat
itu Dewi Sriyuwati sedang hamil muda. Kini anak yang dikandung itu telah tumbuh menjadi remaja
tampan dan diberi nama Raden Srigati. Resi Satmata pun meminta maaf atas kesalahannya dulu
yang pergi tanpa pamit karena tidak ingin melibatkan Dewi Sriyuwati dalam menjalani hukuman
pengasingan. Ia sengaja berbuat demikian supaya sang istri kembali ke istana Medang Kamulan,
atau mungkin bergabung dengan saudaranya, yaitu Patih Suwelacala di Kerajaan Gilingwesi.
Tak disangka, Dewi Sriyuwati ternyata memilih untuk pergi mencari ke mana Resi Satmata
pergi. Dalam keadaan hamil ia terlunta-lunta sampai akhirnya memasuki Desa Waringinsapta. Di
desa inilah ia melahirkan Raden Srigati dan hidup membaur bersama rakyat jalata.
Resi Satmata sangat terharu mendengar cerita Dewi Sriyuwati. Ia berjanji tidak akan
meninggalkan anak dan istrinya lagi. Namun, saat ini ia harus menjalankan tugas dari Batara Guru
terlebih dulu, yaitu menumpas Prabu Watugunung yang telah menjadi musuh kahyangan. Kelak
setelah memenangkan pertempuran dan mendapat pengampunan, maka ia berjanji akan datang
lagi untuk menjemput Dewi Sriyuwati dan Raden Srigati. Ia juga memperkenalkan ketiga dewa yang
menyertainya kali ini adalah tiga orang adik iparnya saat menjadi Batara Wisnu di Kahyangan
Utarasegara. Mereka adalah Batara Laksmanasadu adik Batari Srilaksmi, Batara Penyarikan adik
Batari Sriyati, dan Batara Setyawaka adik Batari Srisatyawarna.
Dewi Sriyuwati mendoakan supaya sang suami memenangkan pertempuran. Namun, ia juga
memiliki permintaan supaya Resi Satmata jangan membunuh saudara kandungnya, yaitu Patih
Suwelacala. Resi Satmata menyanggupi permintaan tersebut. Ia lalu berangkat bersama ketiga adik
iparnya menuju Gunung Mahameru, tempat Kahyangan Suralaya berada.

RADEN SRIGATI MENUMPAS PARA RAKSASA


Resi Satmata, Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Setyawaka telah sampai
di Kahyangan Suralaya dan menghadap Batara Guru. Tampak para dewa lainnya sudah berkumpul
di sana, antara lain Batara Narada, Batara Indra, Batara Surya, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara
Yamadipati, dan Batara Wrehaspati.
Batara Guru terkesan melihat perbuatan mulia Resi Satmata dengan menjadi dukun
pengobatan yang menolong masyarakat tanpa pilih kasih. Batara Guru pun memberikan
pengampunan atas segala kesalahan Resi Satmata, serta merestui perkawinan putranya itu dengan
Dewi Sriyuwati yang dulu sempat membuatnya sangat murka. Resi Satmata bersyukur, dan ia pun
mohon restu hendak keluar menghadapi bala tentara Kerajaan Gilingwesi.
Tiba-tiba di luar sudah terdengar adanya pertempuran. Ternyata Raden Srigati diam-diam
menyusul ayahnya naik ke Kahyangan Suralaya dan langsung bertarung melawan para raksasa
Kerajaan Malawa. Meskipun selama ini tinggal di desa, namun pada dasarnya ia adalah putra Batara
Wisnu sehingga memiliki kesaktian alami sejak lahir. Prabu Santakya dan keempat punggawanya
akhirnya tewas satu persatu di tangan Raden Srigati.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Kurantil dan kelima adiknya segera maju menyerang Raden Srigati. Kali ini Raden Srigati
merasa kewalahan dan terdesak menghadapi keenam punggawa yang masih terhitung pamannya
itu. Melihat putranya terdesak, Resi Satmata segera terjun ke pertempuran dan berhasil
menewaskan keenam arya tersebut.

PRABU WATUGUNUNG TERJUN KE PERTEMPURAN


Prabu Watugunung, Batara Kala, Patih Suwelacala, beserta para arya lainnya datang
menyusul ke Kahyangan Suralaya. Saat itu yang tertinggal menjaga istana hanyalah Danghyang
Suktina. Melihat bala tentara Gilingwesi dan Malawa telah dihancurkan oleh Resi Satmata dan
Raden Srigati, mereka sangat marah dan langsung terjun ke medan pertempuran. Para arya pun
maju mengeroyok Resi Satmata, namun mereka satu persatu jatuh berguguran menemui ajal
terkena senjata Cakra Sudarsana.
Prabu Watugunung sangat marah melihat semua adiknya tewas, kecuali Patih Suwelacala.
Batara Kala dapat melihat bahwa Resi Satmata tidak lain adalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka,
ia segera merasuki tubuh Prabu Watugunung untuk menjadikannya lebih kuat. Prabu Watugunung
kemudian maju menghadapi lawan. Resi Satmata pun melepaskan senjata Cakra Sudarsana namun
ternyata tidak mampu melukai kulit raja Gilingwesi itu.
Maka, terjadilah pertarungan sengit antara Resi Satmata melawan Prabu Watugunung.
Keduanya terlihat sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Watugunung yang sudah dirasuki
Batara Kala dapat mengubah wujudnya menjadi raksasa sebesar gunung dan mengamuk merusak
bangunan Kahyangan Suralaya. Resi Satmata pun mengimbanginya dengan bertriwikrama menjadi
raksasa yang lebih besar lagi. Dalam pertempuran tersebut, raksasa penjelmaan Resi Satmata
berhasil mengeluarkan Batara Kala dan mengusirnya pergi, sehingga membuat Prabu Watugunung
kembali ke wujud semula.

PRABU WATUGUNUNG DIHUKUM MATI


Meskipun telah ditinggal Batara Kala, namun Prabu Watugunung tetap tangguh dan tidak
dapat dibunuh. Resi Satmata yang telah kembali ke wujud manusia segera menghentikan
pertempuran. Ia lalu menantang Prabu Watugunung adu kepandaian daripada bertarung tanpa
akhir. Prabu Watugunung diminta mengajukan sebuah teka-teki, dan Resi Satmata siap
menjawabnya. Jika teka-teki itu bisa ditebak, maka Prabu Watugunung harus dihukum mati. Tapi
jika teka-teki itu tidak dapat ditebak, maka Prabu Watugunung boleh pulang dengan membawa tujuh
bidadari unggulan.
Prabu Watugunung menerima tantangan Resi Satmata. Ia lalu mengajukan sebuah teka-teki
untuk diterjemahkan Resi Satmata dan ditafsirkan apa maknyanya. Teka-teki itu berbunyi:
“Supila silapa, supila kupala, kupila supala”.
Resi Satmata menjawab bahwa arti dari teka-teki itu adalah:
“Wit dhakah woh dhakah (pohon besar, buah besar); wit dhakah who
dhikih (pohon besar, buah kecil); dan wit dhikih who dhakah (pohon
kecil, buah besar)”.
Adapun tafsir dari teka-teki tersebut adalah:
- Pohon besar buahnya besar adalah kelapa. Maknanya ialah jika Prabu
Watugunung tewas, maka anak keturunannya tidak boleh dibunuh dan harus
dimuliakan.
- Pohon besar buahnya kecil adalah beringin. Maknanya ialah jika Prabu
Watugunung tewas, maka istrinya jangan sampai diganggu.
- Pohon kecil buahnya besar adalah semangka. Maknanya ialah kedudukan
para arya yang gugur supaya diwariskan kepada anak-anak mereka.
Prabu Watugunung terkesan pada jawaban Resi Satmata dan ia pun merelakan dirinya untuk
dihukum mati. Namun, Resi Satmata mengaku tidak tahu bagaimana caranya bisa membunuh raja
KITAB WAYANG PURWA

Gilingwesi itu. Prabu Watugunung pun menjelaskan bahwa segala kesaktiannya berasal dari ajaran
Begawan Radi, dan hanya Begawan Radi yang mengetahui apa kelemahannya.
Resi Satmata lalu menemui Batara Surya yang dulu pernah turun ke dunia sebagai Begawan
Radi. Batara Surya diminta untuk menjelaskan apa kelemahan Prabu Watugunung. Batara Surya
tak kuasa menolak dan ia terpaksa mengatakan bahwa muridnya itu hanya bisa dibunuh dengan
Kereta Jatisurya miliknya.
Resi Satmata lalu meminjam Kereta Jatisurya milik Batara Surya itu dan segera
mengendarainya untuk melindas tubuh Prabu Watugunung. Raja Gilingwesi itu pun tewas dengan
tubuh lumat dan kemudian berubah menjadi bukit.

ASAL MULA TERCIPTANYA PAWUKON


Patih Suwelacala yang dibiarkan hidup oleh Resi Satmata segera pulang ke Kerajaan
Gilingwesi untuk melapor kepada Dewi Sinta perihal kematian Prabu Watugunung. Mendengar
laporan itu, Dewi Sinta pun menangis keras-keras hingga suara jeritannya terdengar sampai ke
Kahyangan Suralaya.
Batara Narada datang dari kahyangan untuk menenangkan wanita itu. Dewi Sinta memohon
kepada Batara Narada supaya para dewa mengampuni kesalahan Prabu Watugunung, yaitu suami
sekaligus putranya tersebut. Batara Narada mengatakan bahwa Batara Guru telah mengampuni
dosa-dosa Prabu Watugunung dan berniat mengangkat rohnya naik ke kahyangan. Tidak hanya itu,
satu persatu roh anggota keluarga Prabu Watugunung juga akan diangkat ke kahyangan setiap
tujuh hari sekali pada hari Radite.
Dewi Sinta sangat bersyukur. Maka, pada hari Radite pekan ini ia dijemput Batara Yamadipati
untuk diangkat ke kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran Dewi Landep (adik Dewi Sinta, atau ibu
kandung Dewi Sriyuwati dan Patih Suwelacala) yang dijemput naik ke kahyangan. Pada hari Radite
berikutnya, Patih Suwelacala dikembalikan namanya menjadi Arya Wukir dan dijemput naik ke
kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran roh Arya Kurantil yang dijemput, disusul dengan roh para
arya lainnya setiap hari Radite, sampai akhirnya giliran roh Prabu Watugunung yang dijemput
sebagai penutup. Dengan demikian lengkap sudah tiga puluh roh telah dijemput naik ke kahyangan
setiap tujuh hari sekali.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, Batara Surya lalu menciptakan sebuah penanda waktu
baru untuk memperkaya tata cara penanggalan di Pulau Jawa. Penanda waktu ini disebut pawukon
yang berjumlah tiga puluh wuku, di mana setiap wuku terdiri atas tujuh hari, mulai hari Radite sampai
hari Saniscara. Ketiga puluh wuku tersebut adalah:
1. Wuku Sinta 16. Wuku Pahang
2. Wuku Landep 17. Wuku Kuruwelut
3. Wuku Wukir 18. Wuku Marakeh
4. Wuku Kurantil 19. Wuku Tambir
5. Wuku Tolu 20. Wuku Medangkungan
6. Wuku Gumbreg 21. Wuku Maktal
7. Wuku Warigalit 22. Wuku Wuye
8. Wuku Warigagung 23. Wuku Manahil
9. Wuku Julungwangi 24. Wuku Prangbakat
10. Wuku Julungsungsang 25. Wuku Bala
11. Wuku Galungan 26. Wuku Wugu
12. Wuku Kuningan 27. Wuku Wayang
13. Wuku Langkir 28. Wuku Kulawu
14. Wuku Mandasiya 29. Wuku Dukut
15. Wuku Julungpujud 30. Wuku Watugunung

BATARA BRAHMA DITUNJUK MENJADI RAJA GILINGWESI


Batara Guru sangat senang atas keberhasilan Resi Satmata alias Batara Wisnu dalam
usahanya mengamankan Pulau Jawa dari kejahatan Batara Kala. Sebagai hadiah, Kerajaan
KITAB WAYANG PURWA

Gilingwesi pun diserahkan kepada Batara Wisnu. Akan tetapi, Batara Wisnu mengusulkan supaya
Kerajaan Gilingwesi diserahkan kepada Batara Brahma saja, karena negeri itu dulunya bernama
Medang Gili yang didirikan oleh kakaknya tersebut. Batara Wisnu mengaku sudah sangat bahagia
bisa mendapatkan restu dan pengampunan dari Batara Guru, dan jika ia diizinkan kembali menjadi
raja Medang Kamulan, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Maka, Batara Guru pun menyerahkan Kerajaan Gilingwesi kepada Batara Brahma supaya
menjadi raja di sana. Untuk itu, Batara Brahma lalu menggunakan gelar Prabu Brahmaraja,
sedangkan Batara Wisnu (Resi Satmata) kembali menjadi raja Medang Kamulan dengan bergelar
Prabu Wisnupati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ARNAPURNA TUNDUNG
Kisah ini menceritakan usaha Batara Kala untuk mempermalukan Batara Wisnu melalui
anaknya yang bernama Batara Arnapurna. Akhirnya, Batara Arnapurna pun dikutuk Batara
Wisnu menjadi raksasa bernama Ditya Sudramurti. Kelak, dari Ditya Sudramurti akan lahir
tiga orang raksasa, dan salah satunya bernama Ditya Wisnungkara, yang menjadi titisan Batara
Wisnu.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.

Prabu Wisnupati

SIKAP ORANG-ORANG GILINGWESI TERHADAP RAJA BARU


Di Kerajaan Gilingwesi, sedang terjadi perselisihan antara dua kelompok, yaitu kelompok yang
siap menerima Batara Brahma sebagai raja baru, melawan kelompok yang menentang hal itu.
Danghyang Suktina mewakili kelompok pertama menjelaskan bahwa Kerajaan Gilingwesi sudah
kalah, dan sudah sewajarnya jika tunduk pada keputusan pihak pemenang. Lagipula, pada zaman
dulu Kerajaan Gilingwesi bernama Medang Gili, adalah negeri yang dibangun oleh Batara Brahma,
sehingga wajar jika sekarang kembali kepada pemiliknya semula.
Di lain pihak, Arya Wakya dan Arya Byatara (dua orang putra mendiang Begawan Anggara)
menyatakan keberatan dan ingin menghimpun kekuatan untuk menolak kedatangan Batara Brahma,
serta membalaskan kematian Prabu Watugunung. Akan tetapi, mereka kalah suara karena
Danghyang Suktina akhirnya berhasil meyakinkan semua menteri dan punggawa. Maka, kedua arya
itu diam-diam meninggalkan istana Gilingwesi dengan membawa serta Raden Radeya (putra Prabu
Watugunung dan Dewi Sinta Basundari) bersama mereka.

BATARA BRAHMA MENJADI PRABU BRAHMARAJA


Beberapa hari kemudian, Batara Brahma datang di Kerajaan Gilingwesi dengan didampingi
Batara Wisnu dan Batara Penyarikan. Mereka disambut Danghyang Suktina beserta para menteri
dan punggawa yang mengucapkan sumpah setia. Batara Brahma pun mengajak mereka semua
untuk bersama-sama membangun kembali Kerajaan Gilingwesi yang sempat terpuruk akibat wabah
penyakit dan bencana alam, serta peperangan melawan Kahyangan Suralaya.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Brahma kemudian dilantik menjadi raja Gilingwesi yang baru, dengan berjuluk Prabu
Brahmaraja. Danghyang Suktina pun dilantik pula sebagai menteri utama, bergelar Patih Suktina.

BATARA WISNU MENJADI PRABU WISNUPATI


Setelah pelantikan di istana Gilingwesi selesai, Batara Wisnu dan Batara Penyarikan mohon
pamit untuk berangkat ke Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana, mereka segera
membangun kembali negeri yang sempat kosong lama itu. Batara Wisnu naik takhta sebagai raja
berjuluk Prabu Wisnupati, sedangkan Batara Penyarikan menjadi menteri utama bergelar Patih
Sriyana. Batara Wisnu lalu memanggil murid-muridnya saat menjadi Resi Satmata dulu untuk
dijadikan punggawa. Para murid itu pun berangkat meninggalkan Gunung Candrageni untuk
memenuhi panggilan sang guru.
Setelah enam tahun bertakhta, ternyata Prabu Wisnupati selalu merasa gelisah. Patih Sriyana
menjelaskan bahwa perasaan gelisah ini mungkin dikarenakan istana yang sekarang diduduki
pernah menjadi saksi bahwa Prabu Wisnupati (saat dulu masih bernama Prabu Satmata) pernah
menerima murka Batara Guru. Untuk itu, Patih Sriyana mengusulkan supaya Prabu Wisnupati
memindahkan istana Medang Kamulan ke tempat yang baru sehingga terbebas dari kenangan lama.
Prabu Wisnupati menyetujui usulan ini. Mereka lantas bermusyawarah dan memilih Hutan
Roban sebagai tempat untuk membangun istana baru Medang Kamulan. Prabu Wisnupati lantas
memerintahkan semua orang untuk bergotong royong membangun ibu kota baru tersebut dan
selanjutnya bertakhta di sana.

PRABU BRAHMARAJA DAN PATIH SUKTINA MENDATANGI CANDI KUSARA


Prabu Brahmaraja dan Patih Suktina menghadiri peresmian istana baru Kerajaan Medang
Kamulan di Hutan Roban tersebut dan memberikan ucapan selamat kepada Prabu Wisnupati.
Setelah menginap beberapa hari, mereka lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Gilingwesi.
Dalam perjalanan pulang itu, Patih Suktina bercerita kepada Prabu Brahmaraja tentang Prabu
Watugunung yang berubah menjadi angkara murka sesudah membangun candi pemujaan Batara
Kala di Gunung Kusara. Patih Suktina takut candi tersebut masih menyimpan pengaruh buruk bagi
rakyat Kerajaan Gilingwesi. Ia memohon supaya Prabu Brahmaraja sudi turun tangan
menghilangkan pengaruh buruk pada Candi Kusara dan mengubahnya menjadi baik.
Maka, Prabu Brahmaraja pun membelokkan perjalanan untuk kemudian naik ke Gunung
Kusara. Di tempat itu ia mengheningkan cipta bersama Patih Suktina di depan candi untuk
menghilangkan pengaruh jahat dari bangunan tersebut. Tiba-tiba muncul seekor ular besar
menyerang mereka berdua. Prabu Brahmaraja pun menangkap ular itu dan melemparkannya
hingga membentur bangunan candi.
Secara ajaib, ular tersebut lantas berubah wujud menjadi seorang perempuan. Patih Suktina
sangat terkejut bercampur senang karena perempuan itu tidak lain adalah istrinya yang telah lama
hilang, bernama Wiluta.
Belasan tahun yang lalu saat Patih Suktina masih bernama Danghyang Suktina dan tinggal di
Semenanjung Malaya, entah mengapa tiba-tiba Wiluta menghilang tanpa jejak. Danghyang Suktina
mencari ke sana kemari namun tidak juga bisa menemukannya. Ia akhirnya mendapat petunjuk
dewata bahwa sarana untuk menemukan Wiluta adalah dengan cara menyeberang ke Tanah Jawa
dan mengabdi di Kerajaan Gilingwesi. Tak disangka, setelah belasan tahun berlalu ia akhirnya bisa
bertemu lagi dengan istrinya itu.
Setelah sang suami selesai bercerita, Wiluta ganti menceritakan apa yang telah terjadi
padanya. Saat itu ia pamit mengambil air di sungai namun kemudian tersesat seperti kena sihir, dan
tahu-tahu sudah memasuki sebuah istana indah yang dihuni kaum siluman ular. Raja siluman itu
mengaku suka kepada Wiluta dan ingin menikahinya. Karena Wiluta tidak tahu bagaimana caranya
kembali ke alam nyata, ia terpaksa menerima pinangan tersebut.
Pada suatu hari ketika tidur bersama, Wiluta melihat pada mulut suami barunya itu terdapat
sebutir permata yang bersinar. Ia pun mencungkil permata tersebut dan membuat si raja siluman
KITAB WAYANG PURWA

ular terbangun dari tidurnya dalam keadaan sekarat. Hal ini dikarenakan permata itu adalah pusaka
yang menjadi tali nyawanya, sehingga si raja siluman ular pun meninggal dunia. Akan tetapi, Wiluta
juga terkena balak, yaitu tubuhnya seketika berubah menjadi seekor ular siluman pula.
Wiluta bersedih menyesali perbuatannya. Ia kemudian melarikan diri dari istana siluman
tersebut dan berkelana di alam gaib tak tentu arah. Sampai akhirnya ia mendapatkan petunjuk
dewata supaya pergi ke Tanah Jawa dan tinggal di Gunung Kusara karena di sanalah ia bisa
bertemu dengan suami pertamanya. Begitulah, dengan susah payah Wiluta akhirnya menemukan
jalan menuju Tanah Jawa dan akhirnya sampai di Gunung Kusara dan sekarang bisa bertemu Prabu
Brahmaraja beserta Patih Suktina.
Prabu Brahmaraja terharu melihat pertemuan suami-istri yang sudah terpisah belasan tahun
tersebut. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan pulang menuju Kerajaan Gilingwesi.
Adapun candi di Gunung Kusara telah dibersihkan dari pengaruh jahat Batara Kala dan selanjutnya
bisa digunakan penduduk untuk beribadah tanpa rasa khawatir.

BATARA KALA MENGHASUT ANAK BATARA WISNU


Sementara itu, Batara Kala di Kahyangan Selamangumpeng sedang berunding dengan
menantunya yang bernama Resi Pulaha (suami Dewi Kalayuwati). Mereka sedang membicarakan
rencana balas dendam atas kematian Prabu Watugunung yang dikalahkan Batara Wisnu (saat
menjadi Resi Satmata). Resi Pulaha mengingatkan bahwa ada seorang putra Batara Wisnu yang
menjadi penganut Agama Kala, bernama Batara Arnapurna, dan saat ini tinggal di Kahyangan
Selamangumpeng. Resi Pulaha menyarankan agar Batara Kala memanfaatkan Batara Arnapurna
ini untuk membalas dendam kepada Batara Wisnu.
Batara Kala setuju pada usulan tersebut dan ia segera memanggil Batara Arnapurna datang
menghadap. Ia lalu menjelaskan kepada Batara Arnapurna bahwa Batara Wisnu saat ini telah
menjadi raja Medang Kamulan bergelar Prabu Wisnupati dan juga mengangkat Raden Srigati
sebagai pangeran mahkota. Padahal, secara usia Raden Srigati jauh lebih muda daripada Batara
Arnapurna. Selain itu, Raden Srigati juga lahir di dunia, sedangkan Batara Arnapurna lahir di
kahyangan sehingga sudah seharusnya memiliki derajat yang lebih tinggi.
Mendengar hasutan tersebut, Batara Arnapurna merasa sangat kesal dan ingin merebut
kedudukan pangeran mahkota dari tangan Raden Srigati. Batara Kala menasihati agar Batara
Arnapurna tidak menggunakan cara kasar, tetapi lebih baik cara halus saja. Batara Arnapurna pun
mematuhi dan siap menjalankan segala rencana yang disusun gurunya itu.
Maka, Batara Kala pun menyihir Batara Arnapurna menjadi seorang wanita yang diberi nama
Ratu Kresnawatari. Ia juga mengubah Resi Pulaha menjadi wanita pula dan diberi nama Patih
Suskandani. Mereka berdua diperintahkan untuk membangun istana bernama Medang Penataran
di dekat Medang Kamulan. Yang ditunjuk sebagai punggawa adalah Ditya Swadumiya dan Ditya
Dwaramiya yang keduanya juga diubah menjadi wanita bernama Wara Suminta dan Wara Sahoyi.
Ratu Kresnawatari dan Patih Suskandani pun mohon pamit kepada Batara Kala, kemudian
mereka berangkat melaksanakan perintah.

PRABU WISNUPATI BERTEMU RATU KRESNAWATARI


Pada suatu hari Prabu Wisnupati sedang berburu kijang di Hutan Roban. Karena terlalu asyik,
ia pun terpisah jauh meninggalkan para pengawal. Tanpa terasa, perjalanannya mengejar kijang
membuat dirinya tersesat masuk ke wilayah istana Medang Penataran yang berada di tengah hutan.
Prabu Wisnupati heran melihat ada istana yang semua penghuninya terdiri dari kaum wanita.
Ia pun pura-pura menyerah saat Wara Suminta dan Wara Sahoyi datang menangkapnya. Prabu
Wisnupati lalu dibawa masuk dan dihadapkan kepada Ratu Kresnawatari.
Melihat kecantikan Ratu Kresnawatari, seketika Prabu Wisnupati menjadi terpesona. Sungguh
hebat pengaruh sihir Batara Kala yang membuat Prabu Wisnupati tidak tahu kalau raja wanita
tersebut adalah anaknya sendiri. Sebaliknya, Ratu Kresnawatari dalam hati merasa tidak tega
melihat ayahnya yang lupa diri sehingga ia menjadi salah tingkah sendiri.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Wisnupati yang sudah dimabuk asmara pun merayu Ratu Kresnawatari dengan kata-
kata manis. Ketika ia menyentuh kepala raja wanita itu, seketika Ratu Kresnawatari berubah ke
wujud semula, yaitu menjadi Batara Arnapurna. Prabu Wisnupati sangat marah bercampur malu luar
biasa. Ia pun mengamuk merusak istana demi melampiaskan kekesalannya.

PRABU WISNUPATI MENGUTUK BATARA ARNAPURNA


Pada saat itulah Patih Suskandani, Wara Suminta, dan Wara Sahoyi muncul beserta para
prajurit wanita. Prabu Wisnupati mengerahkan Aji Pengabaran membuat mereka semua kembali ke
wujud raksasa. Merasa telah dipermainkan, Prabu Wisnupati semakin marah dan bertempur
melawan para raksasa itu. Satu per satu para raksasa tewas terbunuh, kecuali Resi Pulaha yang
berhasil melarikan diri kembali ke tempat tinggal Batara Kala.
Batara Arnapurna menyembah Prabu Wisnupati dan memohon supaya ayahnya itu
meredakan kemarahan, tetapi ia tidak mau meminta maaf karena merasa tidak bersalah. Batara
Arnapurna selaku putra yang lebih tua merasa lebih pantas menjadi pangeran mahkota Kerajaan
Medang Kamulan daripada Raden Srigati. Ia juga menyampaikan keluhan mengapa sang ayah tega
membunuh para raksasa yang selama ini menjadi teman-temannya.
Prabu Wisnupati sangat marah mendengar perkataan putranya itu. Apalagi saat Batara
Arnapurna membela kaum raksasa, ia tidak bisa menahan diri lagi. Prabu Wisnupati menganggap
kaum raksasa adalah kotoran dunia yang layak dilenyapkan, dan ia pun mengutuk Batara Arnapurna
sehingga berubah wujud menjadi raksasa berwajah mengerikan.
Batara Arnapurna memohon ampun telah memiliki perasaan iri hati terhadap adik sendiri, dan
ia rela jika Raden Srigati tetap menjadi ahli waris takhta Medang Kamulan. Akan tetapi, ia tidak
paham mengapa sang ayah begitu membenci kaum raksasa. Tidak adil rasanya jika semua raksasa
dianggap jahat, sedangkan semua manusia dianggap baik. Apalagi jati diri Prabu Wisnupati adalah
Batara Wisnu, dewa pelindung ketertiban dunia. Sungguh tidak adil apabila Batara Wisnu hanya
melindungi bangsa manusia, dan membenci bangsa raksasa seperti saat ini.
Prabu Wisnupati akhirnya menyadari kekeliruannya. Namun, ia tidak dapat mencabut
kutukannya kembali. Ia lalu memerintahkan Batara Arnapurna untuk pergi ke Gunung Sarandipa di
tanah seberang dan berguru kepada Resi Turila. Setelah menamatkan pelajaran darinya dan
membersihkan diri dari pengaruh jahat Batara Kala, hendaknya Batara Arnapurna menikahi putri
gurunya itu yang bernama Dewi Mastura. Kelak dari perkawinan tersebut akan lahir tiga orang
raksasa berwarna kuning, merah, dan hitam. Yang berwarna kuning hendaknya diberi nama Ditya
Simparawan, yang merah hendaknya diberi nama Ditya Triwinggati, dan yang hitam hendaknya
diberi nama Ditya Wisnungkara. Kelak, Prabu Wisnupati akan menitis kepada Ditya Wisnungkara
untuk meruwat Batara Arnapurna kembali menjadi dewa. Selain itu, Ditya Wisnungkara kelak juga
akan menjadi guru yang mengajarkan kebaikan kepada kaum raksasa.
Batara Arnapurna mematuhi segala perintah sang ayah. Ia lalu mohon pamit berangkat ke
Gunung Sarandipa, dan Prabu Wisnupati pun memberinya nama baru, yaitu Ditya Sudramurti.

BATARA SAMBU DAN BATARA WISNU BERBESAN


Prabu Wisnupati pulang ke istana Medang Kamulan, dan di sana ia menerima kunjungan sang
kakak, yaitu Batara Bayu yang diutus Batara Sambu untuk melamarkan putranya yang bernama
Batara Sambodana untuk dinikahkan dengan putri Prabu Wisnupati yang bernama Dewi Ardanari.
Prabu Wisnupati menerima lamaran tersebut dengan senang hati.
Maka, pada hari yang telah ditentukan Batara Sambu pun datang dengan mengiringkan
pengantin pria. Batara Indra dan para jawata dari Kahyangan Suralaya, serta Prabu Brahmaraja dan
Patih Suktina dari Kerajaan Gilingwesi ikut pula menghadiri acara tersebut. Bahkan, Batara Guru
dan Batara Narada juga datang dari Kahyangan Jonggringsalaka untuk memberikan restu.

PRABU WISNUPATI MENGUTUK BATARA PADMABUJA MENJADI RAKSASA


Pada saat upacara pernikahan berlangsung, seorang putra Prabu Wisnupati bernama Batara
Padmabuja yang suka bergurau tanpa sadar melangkahi bayangan Batara Guru. Prabu Wisnupati
KITAB WAYANG PURWA

sangat marah dan menuduh putranya itu bertingkah ceroboh tak tahu aturan seperti raksasa.
Seketika, ucapan tersebut menjadi kutukan. Wujud Batara Padmabuja langsung berubah menjadi
raksasa berlengan panjang.
Batara Padmabuja menangis memohon ampun, namun Prabu Wisnupati tidak dapat
mencabut kutukannya kembali. Ia hanya berjanji kelak akan menitis ke dalam diri seorang pangeran
dari Kerajaan Ayodya di tanah seberang bernama Raden Sri Rama. Pangeran inilah yang kelak bisa
meruwat wujud Batara Padmabuja kembali menjadi dewa. Maka, Batara Padmabuja pun
diperintahkan pergi bertapa ke Hutan Dendaka di Tanah Hindustan untuk menunggu kedatangan
sang juru ruwat tersebut.
Batara Padmabuja menurut dan mohon pamit menjalankan perintah sang ayah. Prabu
Wisnupati lalu memberikan nama baru kepadanya, yaitu Ditya Dirgabahu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

NAGATATMALA - MUMPUNI
Kisah ini menceritakan tentang Raden Nagatatmala putra Batara Anantaboga yang berani
melarikan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati pada saat Kahyangan Suralaya menghadapi
serbuan Prabu Karungkala, penjelmaan Batara Kalakutana. Raden Nagatatmala dan Dewi
Mumpuni akhirnya mendapatkan perlindungan Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

ANAK BATARA KALA MENJADI RAJA MEDANG PENATARAN


Setelah Prabu Wisnupati membongkar penyamaran Batara Arnapurna dalam wujud Ratu
Kresnawatari, Kerajaan Medang Penataran menjadi kosong dan rusak karena tidak ada lagi yang
bertakhta di sana. Batara Kala lalu mengutus Batara Kalakutana (putranya) dan Resi Pulaha
(menantunya) untuk membangun kembali Kerajaan Medang Penataran dan membalas dendam
kepada para dewa atas kematian Prabu Watugunung.
Batara Kalakutana dan Resi Pulaha lalu membangun istana Medang Penataran yang baru di
Desa Sepang. Setelah istana itu berdiri megah, Batara Kalakutana pun menjadi raja di sana dengan
bergelar Prabu Karungkala, sedangkan Resi Pulaha menjadi menteri utama bergelar Patih
Kalawerdati.

PRABU KARUNGKALA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Prabu Karungkala kemudian mengutus Patih Kalawerdati naik ke Kahyangan Suralaya untuk
melamar tujuh bidadari unggulan, yaitu Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari
Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim, dan Batari Tunjungbiru. Lamaran tersebut secara
tegas ditolak oleh Batara Indra. Namun demikian, justru inilah yang menjadi bagian dari rencana
Prabu Karungkala. Penolakan terhadap lamaran tersebut bisa digunakannya sebagai alasan untuk
memerangi para dewa.
Maka, terjadilah pertempuran antara pasukan dewata melawan pasukan raksasa di halaman
Repat Kepanasan. Batara Indra yang turun secara langsung ke medan tempur dapat menewaskan
banyak raksasa, namun ia akhirnya terdesak juga saat menghadapi kesaktian Patih Kalawerdati.
Merasa tidak mampu memenangkan pertempuran, Batara Indra pun menarik mundur pasukannya
dan menutup rapat-rapat gerbang Selamatangkep.
Melihat pihak dewata mengurung diri di dalam Kahyangan Suralaya, para raksasa pun
mendirikan perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa mengepung mereka. Patih Kalawerdati lalu
KITAB WAYANG PURWA

mengirim utusan untuk melaporkan segala yang terjadi kepada Prabu Karungkala di Kerajaan
Medang Penataran.

KISAH RADEN NAGATATMALA PUTRA BATARA ANANTABOGA


Di Kahyangan Saptapratala, Batara Anantaboga berpamitan kepada istri dan anaknya, yaitu
Dewi Suparti dan Raden Nagatatmala untuk berangkat memenuhi panggilan Batara Indra. Rupanya
demi untuk mengalahkan pasukan raksasa Medang Penataran, Batara Indra telah menyebar
undangan memanggil para dewa di segenap penjuru supaya berkumpul di Kahyangan Suralaya.
Raden Nagatatmala ingin ikut serta tetapi ditolak dengan tegas oleh sang ayah.
Setelah Batara Anantaboga pergi, Raden Nagatatmala meminta izin kepada ibunya supaya
diperbolehkan menyusul ke Kahyangan Suralaya dengan alasan hanya ingin melihat-lihat
keindahannya saja dan bukan untuk ikut berperang. Akan tetapi, Dewi Suparti tidak mengizinkannya.
Kalau hanya untuk melihat-lihat keindahan Kahyangan Suralaya tidak perlu pergi ke sana, tetapi
cukup melihat gambarnya saja.
Maka, Dewi Suparti lalu meminjamkan pusaka Kaca Benggala kepada Raden Nagatatmala.
Melalui pusaka tersebut, Raden Nagatatmala dapat melihat secara langsung keadaan di Kahyangan
Suralaya. Tampak olehnya para dewa berdatangan satu per satu memenuhi panggilan Batara Indra.
Yang menarik perhatiannya adalah kedatangan Batara Yamadipati yang disertai istrinya, bernama
Dewi Mumpuni.
Raden Nagatatmala seketika terpesona melihat kecantikan Dewi Mumpuni itu. Ia pun pura-
pura mengantuk dan pamit tidur kepada ibunya. Akan tetapi, setelah lewat tengah malam, diam-
diam pemuda itu menyelinap pergi meninggalkan Saptapratala menuju Kahyangan Suralaya.

RADEN NAGATATMALA BERSELINGKUH DENGAN DEWI MUMPUNI


Sesampainya di tempat tujuan, Raden Nagatatmala berhasil menyusup masuk dan
menemukan kamar tidur Dewi Mumpuni. Ia segera memasuki kamar tersebut dan memperkenalkan
dirinya kepada wanita itu. Dewi Mumpuni sendiri pada dasarnya tidak mencintai Batara Yamadipati
yang berwajah bengis mengerikan, sehingga begitu melihat sosok Raden Nagatatmala yang tampan
rupawan, ia langsung jatuh hati kepadanya. Karena keduanya sama-sama saling jatuh cinta, mereka
pun lupa diri dan bermesraan di kamar itu.
Batara Yamadipati yang merasa gelisah tiba-tiba saja ingin menjenguk istrinya di kamar.
Betapa terkejut dirinya saat memergoki Dewi Mumpuni sedang bermesraan dengan laki-laki lain.
Batara Yamadipati sangat murka dan menanyakan asal-usul pemuda itu. Dengan sikap polos,
Raden Nagatatmala mengaku terus terang bahwa dirinya adalah putra Batara Anantaboga dari
Kahyangan Saptapratala.
Batara Yamadipati pun mengamuk hendak membunuh Raden Nagatatmala. Akan tetapi,
meskipun masih muda belia namun Raden Nagatatmala sangat lincah dan mampu mengalahkan
dewa berwajah bengis itu.

RADEN NAGATATMALA MENGUNGSI KE MEDANG KAMULAN


Batara Yamadipati mundur dan menghadap Batara Indra untuk melaporkan perbuatan anak
Batara Anantaboga yang berani berselingkuh dengan istrinya. Batara Indra sangat marah dan
segera memasukkan Batara Anantaboga ke dalam penjara. Ia lalu mengirim para dewa berilmu
tinggi untuk membantu Batara Yamadipati menangkap Raden Nagatatmala. Para dewa sakti itu
antara lain, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kamajaya, Batara Sambu, dan Batara Bayu.
Batara Yamadipati dan para dewa itu lalu mengepung Raden Nagatatmala dan berusaha
menangkapnya. Kali ini Raden Nagatatmala merasa terdesak, namun ia berhasil meloloskan diri
bersama Dewi Mumpuni meninggalkan Kahyangan Suralaya.
Batara Yamadipati dan para dewa tersebut melaporkan kegagalan mereka kepada Batara
Indra. Batara Indra sendiri sangat marah karena ketika Batara Yamadipati pergi bersama para dewa
sakti itu untuk menangkap Raden Nagatatmala, tiba-tiba saja Prabu Karungkala datang ke
KITAB WAYANG PURWA

perkemahan pasukan Medang Penataran, kemudian bersama-sama Patih Kalawerdati menyerang


Kahyangan Suralaya. Pihak kahyangan benar-benar terdesak, namun untungnya musuh belum
dapat menembus benteng pertahanan para dewa.
Batara Indra kemudian membebaskan Batara Anantaboga dari penjara dan
memerintahkannya untuk meringkus Raden Nagatatmala. Batara Anantaboga segera berangkat
dan akhirnya bisa menyusul Raden Nagatatmala dan Dewi Mumpuni. Melihat keduanya sama-sama
saling mencintai, Batara Anantaboga tidak tega memisahkan mereka. Keduanya pun diperintahkan
supaya meminta perlindungan kepada Prabu Wisnupati di Kerajaan Medang Kamulan. Raden
Nagatatmala dan Dewi Mumpuni mohon ampun telah menyusahkan Batara Anantaboga, lalu
mereka pun berangkat melaksanakan nasihat tersebut.

RADEN SRIGATI HENDAK MEREBUT DEWI MUMPUNI


Raden Nagatatmala dan Dewi Mumpuni telah sampai di Kerajaan Medang Kamulan dan
memohon kepada Prabu Wisnupati supaya diterima mengabdi di sana. Prabu Wisnupati menerima
pengabdian itu dan mengangkat Raden Nagatatmala menjadi punggawa kerajaan.
Raden Srigati (putra Prabu Wisnupati) diam-diam jatuh hati kepada Dewi Mumpuni. Pada
suatu hari saat Dewi Mumpuni sedang sendirian, Raden Srigati mendatanginya dan menyampaikan
kata-kata rayuan. Namun, Dewi Mumpuni menolaknya sehingga membuat Raden Srigati sangat
marah. Ketika Raden Srigati memaksakan kehendaknya, Dewi Mumpuni menjerit keras sehingga
terdengar oleh Raden Nagatatmala.
Raden Nagatatmala datang dan langsung melabrak Raden Srigati. Keduanya pun terlibat
pertarungan yang dimenangkan oleh Raden Nagatatmala. Pada saat itulah Prabu Wisnupati datang
melerai. Raden Srigati meminta sang ayah membelanya dan membantunya merebut Dewi Mumpuni.
Akan tetapi, Prabu Wisnupati dengan tegas menolak itu. Ia tidak mau bersikap tidak adil
kepada Raden Nagatatmala, juga tidak mau menyakiti hati anaknya. Maka, dengan kesaktiannya,
Prabu Wisnupati pun mengambil bayangan Dewi Mumpuni dan mengubahnya menjadi perempuan
yang sama persis, seolah-olah Dewi Mumpuni kembar dua.
Prabu Wisnupati lalu menyerahkan Dewi Mumpuni yang tercipta dari bayangan kepada Raden
Srigati, sedangkan Dewi Mumpuni yang asli diserahkan kepada Raden Nagatatmala. Raden Srigati
sangat senang menerimanya dan ia pun menjadikan Raden Nagatatmala sebagai saudara angkat.

PRABU WISNUPATI MENUMPAS PRABU KARUNGKALA


Pada suatu hari Batara Narada datang ke Kerajaaan Medang Kamulan menemui Prabu
Wisnupati untuk menyampaikan berita bahwa Prabu Karungkala dan Patih Kalawerdati dari
Kerajaan Medang Penataran telah mengepung Kahyangan Suralaya dan mengalahkan para dewa.
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka telah memberikan perintah supaya Prabu Wisnupati
naik ke Kahyangan Suralaya untuk membantu Batara Indra.
Prabu Wisnupati menerima perintah tersebut lalu berangkat ditemani Patih Sriyana, Raden
Srigati, dan Raden Nagatatmala. Begitu tiba di Kahyangan Suralaya, mereka langsung terjun ke
medan pertempuran dan memukul mundur para raksasa. Bahkan, Prabu Wisnupati akhirnya
berhasil menewaskan Prabu Karungkala dan Patih Kalawerdati menggunakan senjata Cakra
Sudarsana.

BATARA INDRA MENGAMPUNI RADEN NAGATATMALA


Batara Indra menemui Prabu Wisnupati dan mengucapkan terima kasih atas segala
bantuannya. Ia pun menanyakan hadiah apa yang pantas diberikan kepada raja Medang Kamulan
itu atas jasanya tersebut. Prabu Wisnupati hanya meminta supaya Batara Indra mengampuni
kesalahan Raden Nagatatmala dan menyarankan kepada Batara Yamadipati agar sudi menceraikan
Dewi Mumpuni yang tidak mencintainya itu.
Batara Indra mengabulkan permintaan tersebut. Ia lalu menyarankan agar Batara Yamadipati
menikahi adik Dewi Mumpuni yang bernama Dewi Komini sebagai ganti. Batara Yamadipati
KITAB WAYANG PURWA

mempertimbangkan hal itu dan akhirnya ia menyatakan setuju. Batara Indra pun menghadirkan Dewi
Komini ke Kahyangan Suralaya dan menanyakan apakah ia bersedia jika dinikahi Batara Yamadipati
menggantikan kakaknya. Ternyata Dewi Komini menerima lamaran tersebut, membuat semua yang
menyaksikan merasa gembira.
Maka, dilaksanakanlah perkawinan antara Batara Yamadipati dengan Dewi Komini di
Kahyangan Suralaya. Setelah itu, Prabu Wisnupati dan pasukannya pun mohon pamit kembali ke
Kerajaan Medang Kamulan.

Batara Yamadipati

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BREMANA - BREMANI
Kisah ini menceritakan perkawinan Resi Bremana putra Prabu Brahmaraja (Batara Brahma)
dengan Dewi Srihuna putri Prabu Wisnupati (Batara Wisnu). Perkawinan ini kelak akan
menurunkan raja-raja Tanah Jawa, dan di antaranya ialah keluarga Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan Serat Pedalangan Mangkunegaran, dengan sedikit pengembangan.

PRABU WISNUPATI MENGUBAH MEDANG PENATARAN MENJADI PURWACARITA


Setelah mengalahkan Prabu Karungkala (Batara Kalakutana) dan Patih Kalawerdati (Resi
Pulaha), Prabu Wisnupati pun menduduki bekas istana mereka di Medang Penataran dan
menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan yang baru. Maka, sejak saat itu Prabu Wisnupati pun
bertakhta di Kerajaan Medang Penataran, dan mengganti namanya menjadi Purwacarita, meniru
nama kerajaan yang dipimpin Sri Maharaja Kanwa dahulu.
Pada suatu hari ketika Prabu Wisnupati dihadap Patih Sriyana, Raden Srigati, dan para
menteri, tiba-tiba datang seorang raksasa bernama Ditya Parasya yang mengaku diutus rajanya,
bernama Prabu Pulagra dari Kerajaan Medangkungwang untuk menyampaikan surat lamaran. Surat
itu berisi permintaan Prabu Pulagra untuk memperistri putri Prabu Wisnupati yang bernama Dewi
Srihuna.
Raden Srigati sangat marah mendengar isi surat tersebut. Ia tidak rela saudarinya diperistri
seorang raja raksasa. Ditya Parasya pun diusir pergi dan lamaran itu ditolak mentah-mentah. Ditya
Parasya meninggalkan istana sambil mengancam bahwa pasukan raksasa Kerajaan
Medangkungwang telah bersiaga mengepung Purwacarita jika lamaran raja mereka ditolak.
Sepeninggal sang raksasa, Prabu Wisnupati mengungkapkan pendapatnya bahwa ia juga
tidak setuju jika Dewi Srihuna diperistri Prabu Pulagra. Namun, ia menyayangkan sikap Raden
Srigati yang suka tergesa-gesa dan terburu nafsu. Sebagai calon raja, seharusnya Raden Srigati
lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, juga hendaknya mampu mengendalikan amarah
dengan lebih baik.
Raden Srigati menyadari kekeliruannya. Namun, ia sudah terlanjur menolak lamaran Prabu
Pulagra sehingga mau tidak mau harus bertanggung jawab menghadapi tantangan Kerajaan
Medangkungwang tersebut. Raden Srigati lalu mohon pamit memimpin pasukan Purwacarita
menghadapi ancaman musuh dengan didampingi punggawa bernama Arya Yadupura.

PASUKAN MEDANGKUNGWANG MENGEPUNG PURWACARITA


Sementara itu, Ditya Parasya telah kembali ke perkemahan di luar kota Purwacarita untuk
menghadap Prabu Pulagra dan Patih Pulaswa. Ia melaporkan bahwa lamaran Prabu Pulagra
terhadap Dewi Srihuna telah ditolak mentah-mentah oleh Raden Srigati yang mewakili Prabu
Wisnupati. Prabu Pulagra justru merasa sangat senang karena dengan demikian ia memiliki alasan
untuk menyerang Kerajaan Purwacarita demi membalaskan kematian ayahnya. Adapun Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Pulagra dan Patih Pulaswa tidak lain adalah dua orang putra Resi Pulaha (Patih Kalawerdati) yang
dulu tewas di tangan Prabu Wisnupati.
Prabu Pulagra lalu memerintahkan empat punggawa, yaitu Ditya Parasya, Ditya Daruka, Ditya
Sarana, dan Ditya Puyaksa untuk memimpin pasukan Medangkungwang menggempur ibu kota
Purwacarita. Keempat punggawa itu mohon pamit lalu berangkat melaksanakan perintah.
Di lain pihak, Raden Srigati, Arya Yadupura, dan pasukan Purwacarita telah bersiaga
menghadapi serangan musuh. Maka, begitu kedua pasukan bertemu terjadilah pertempuran besar.
Mula-mula Raden Srigati dan Arya Yadupura berhasil mendesak mundur keempaat punggawa
raksasa itu beserta pasukan mereka. Namun, setelah Prabu Pulagra dan Patih Pulaswa terjun ke
medan pertempuran, keadaan menjadi berbalik. Pasukan raksasa kini berhasil mendesak mundur
pihak Purwacarita hingga masuk ke dalam kota. Raden Srigati dan Arya Yadupura pun menutup
rapat-rapat gerbang kota sehingga para raksasa tidak dapat menerobos masuk.
Prabu Pulagra lalu memerintahkan keempat punggawa bersama sebagian prajurit untuk tetap
mengepung ibu kota Purwacarita, sedangkan dirinya bersama Patih Pulaswa kembali ke
perkemahan.
Sementara itu, Raden Srigati masuk ke istana untuk melaporkan kekalahannya dan memohon
kepada sang ayah supaya turun tangan menghadapi musuh. Namun, Prabu Wisnupati meramalkan
bahwa Prabu Pulagra hanya bisa dikalahkan oleh orang yang kelak menjadi jodoh Dewi Srihuna,
putrinya.

PRABU BRAHMARAJA MENDAPATKAN PERINTAH BERBESAN DENGAN PRABU


WISNUPATI
Prabu Brahmaraja (Batara Brahma) di Kerajaan Gilingwesi dihadap Raden Brahmanaresi,
Raden Brahmaniskala, Raden Brahmaniyata, Patih Suktina, dan para menteri. Tiba-tiba datang
Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk menyampaikan perintah supaya Prabu Brahmaraja
berbesan dengan Prabu Wisnupati. Kelak perkawinan ini diramalkan akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa. Maka, Prabu Brahmaraja pun memerintahkan Raden Brahmanaresi untuk berangkat
mempersunting putri Kerajaan Purwacarita sesuai perintah tersebut.
Raden Brahmanaresi selaku pangeran mahkota yang berkedudukan di Kesatrian Gilingeksi
telah menikah, sehingga ia mengusulkan supaya adiknya saja yang bernama Raden Brahmanisita
atau Raden Brahmaniyama yang dinikahkan dengan putri Prabu Wisnupati. Adapun Raden
Brahmaniskala sudah menikah, sedangkan Raden Brahmaniyata masih belum cukup umur untuk
membangun rumah tangga.
Prabu Brahmaraja menerima usulan Raden Brahmanaresi itu. Ia lalu memerintahkan Raden
Brahmaniskala untuk memanggil Raden Brahmanisita dan Raden Brahmaniyama yang saat ini
sedang bertapa di Gunung Saptaharga, sedangkan Patih Suktina diperintahkan pergi ke Kerajaan
Purwacarita untuk menyampaikan lamaran kepada Prabu Wisnupati.

PATIH SUKTINA MENYUSUP KE DALAM KOTA PURWACARITA


Patih Suktina dan para pengawal berangkat meninggalkan Kerajaan Gilingwesi. Setelah
menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di dekat ibu kota Purwacarita dan melihat pasukan
raksasa Medangkungwang sedang mengepung di sana. Patih Suktina pun menyamar sebagai
pedagang makanan untuk mengelabui para raksasa itu.
Melihat rombongan para pedagang datang membawa makanan, para raksasa pun ramai-
ramai membeli dagangan mereka. Namun, Patih Suktina telah mencampur makanan dagangannya
dengan sari tanaman kecubung sehingga para raksasa itu pun mabuk kepayang dan kehilangan
kesadaran mereka.
Setelah para raksasa dapat dilumpuhkan, Patih Suktina dan para pengawal bergegas menuju
gerbang ibu kota Purwacarita. Patih Sriyana yang mengenali mereka segera membukakan pintu
gerbang dan menyambut kedatangan utusan Kerajaan Gilingwesi itu dengan penuh rasa haru.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sriyana lalu mengantarkan Patih Suktina menghadap Prabu Wisnupati untuk
menyampaikan surat lamaran dari Prabu Brahmaraja. Prabu Wisnupati membaca surat tersebut dan
menyatakan bersedia menerima lamaran itu asalkan ada putra Prabu Brahmaraja yang mampu
membantunya mengatasi kepungan musuh dari Kerajaan Medangkungwang.
Mendengar keputusan itu, Patih Suktina segera mohon pamit untuk menyampaikannya
kepada Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi. Selagi para raksasa masih pingsan akibat
pengaruh makanan beracun tadi, Patih Suktina dan para pengawalnya pun buru-buru pergi
meninggalkan Kerajaan Purwacarita.

RESI BREMANA DAN RESI BREMANI MENDAPAT PERINTAH MENIKAH


Sementara itu, Raden Brahmaniskala telah sampai di Gunung Saptaharga untuk
membangunkan kedua adiknya yang sedang bertapa. Kedua adiknya itu adalah Raden
Brahmanisita dan Raden Brahmaniyama yang masing-masing telah berganti nama menjadi lebih
sederhana, yaitu Resi Bremana dan Resi Bremani.
Setelah mendengar perintah dari sang ayah untuk menikah, Resi Bremana merasa belum
dapat menyanggupinya. Ia meminta supaya Resi Bremani saja yang berangkat memenuhi perintah
tersebut. Resi Bremani tidak berani menolak keputusan sang kakak, dan ia pun berangkat
meninggalkan Gunung Saptaharga menuju Kerajaan Gilingwesi.
Raden Brahmaniskala dan Resi Bremani telah tiba di hadapan Prabu Brahmaraja bersamaan
dengan datangnya Patih Suktina yang melaporkan keadaan di Purwacarita. Mendengar syarat yang
diajukan Prabu Wisnupati tersebut, Prabu Brahmaraja pun memerintahkan Resi Bremani untuk
berangkat menghadapi para raksasa itu, dan membekalinya dengan senjata pusaka secukupnya.

RESI BREMANI MENGHADAPI PASUKAN MEDANGKUNGWANG


Resi Bremani bersama pasukannya telah sampai di luar ibu kota Purwacarita dan segera
menggempur para raksasa yang mengepung di sana. Perang besar pun terjadi. Dengan
kesaktiannya, Resi Bremani dapat menewaskan keempat punggawa Medangkungwang, yaitu Ditya
Parasya, Ditya Daruka, Ditya Sarana, dan Ditya Puyaksa.
Mendengar pasukannya tertumpas, Prabu Pulagra dan Patih Pulaswa maju ke medan tempur.
Kali ini Resi Bremani terdesak kewalahan dan akhirnya tertangkap oleh kedua bersaudara tersebut.

RESI BREMANA MENGALAHKAN PRABU PULAGRA


Sementara itu, Resi Bremana masih melanjutkan pertapaannya di Gunung Saptaharga. Tiba-
tiba datang Batara Narada membangunkannya dan memberi tahu bahwa tapa bratanya telah
diterima oleh Batara Guru. Sebagai anugerah, Batara Guru berkenan memberikan pusaka bernama
Panah Guruwinda kepada Resi Bremana.
Batara Narada lalu menyerahkan Panah Guruwinda itu kepada Resi Bremana, dan juga
menyampaikan kabar bahwa Resi Bremani saat ini telah tertangkap oleh Prabu Pulagra dan Patih
Pulaswa. Resi Bremana sangat prihatin atas keselamatan adiknya itu. Ia pun mohon pamit kepada
Batara Narada untuk berangkat menuju Kerajaan Purwacarita.
Sesampainya di sana, Resi Bremana melihat adiknya sedang disandera Prabu Pulagra dan
Patih Pulaswa di depan pintu gerbang ibu kota Purwacarita. Prabu Pulagra berteriak mengancam
akan membunuh Resi Bremani apabila Prabu Wisnupati tidak keluar menyerahkan diri.
Resi Bremana segera menyerang Prabu Pulagra demi menyelamatkan adiknya dari bahaya.
Pertempuran pun terjadi. Resi Bremana melepaskan Panah Guruwinda yang membuat Prabu
Pulagra tewas kehilangan nyawa. Sementara itu, Patih Pulaswa dapat dilukai dan menyerah kalah
kepada Resi Bremana.

PRABU WISNUPATI MENGAMBIL RESI BREMANA DAN RESI BREMANI SEBAGAI MENANTU
Melihat musuh dari Kerajaan Medangkungwang telah ditumpas, Prabu Wisnupati keluar dan
menyambut Resi Bremana sebagai pahlawan. Sesuai janjinya, ia pun menjodohkan Resi Bremana
KITAB WAYANG PURWA

dengan Dewi Srihuna. Sementara itu, Resi Bremani yang juga berjasa besar menewaskan keempat
punggawa raksasa dijodohkan pula dengan adik Dewi Srihuna yang bernama Dewi Srihuni.
Pada hari yang ditentukan, upacara pernikahan kedua pasangan itu pun dilaksanakan. Prabu
Brahmaraja, Patih Suktina, Raden Brahmanaresi, Raden Brahmaniskala, dan Raden Brahmaniyata
datang dari Kerajaan Gilingwesi untuk ikut menyaksikan. Kecantikan Dewi Srihuna membuat Raden
Brahmanaresi terpesona dan jatuh hati kepadanya. Raden Brahamanaresi sangat menyesal
mengapa dulu ia menolak dinikahkan dengan putri Kerajaan Purwacarita itu.
Karena penyesalannya teramat dalam, Raden Brahmanaresi pun pergi meninggalkan Tanah
Jawa ke negeri seberang dengan membawa serta istrinya pula. Akhirnya, ia memilih tinggal di
Gunung Indragiri dan membangun pertapaan di sana supaya bisa melupakan wajah cantik Dewi
Srihuna.
Prabu Brahmaraja sangat prihatin mengetahui putra mahkotanya itu pergi tanpa pamit. Ia
lantas menyerahkan Kesatrian Gilingeksi kepada Raden Brahmaniskala.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

TELAGA AMITAYA
Kisah ini menceritakan dua anak Batara Kala bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya,
yang menjelma menjadi Prabu Amitaya dan Patih Karkala untuk mencipta bencana kekeringan
di Pulau Jawa. Bencana tersebut akhirnya berhasil diatasi berkat jasa Raden Nagatatmala yang
kemudian dilantik menjadi raja bergelar Prabu Manindrataya. Kisah ini juga diselingi dengan
kelahiran Raden Tritrusta, putra Resi Bremana yang kelak akan menurunkan para Pandawa
dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

PRABU AMITAYA MENGHISAP SEMUA SUMBER AIR DI PULAU JAWA


Tersebutlah dua orang putra Batara Kala bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya
yang pada suatu hari didatangi seekor kera bernama Kapi Jinada. Adapun Kapi Jinada ini adalah
keturunan Kutila Pas, yaitu pemimpin hama kera, putra Putut Jantaka di zaman sebelumnya.
Kedatangan Kapi Jinada adalah untuk menghasut Batara Siwahoya dan Batara Kartineya supaya
membalaskan kekalahan leluhurnya di tangan Sri Maharaja Kanwa dulu. Karena Sri Maharaja
Kanwa adalah titisan Batara Wisnu, maka Kapi Jinada pun mengalihkan dendamnya kepada Prabu
Wisnupati yang merupakan penjelmaan Batara Wisnu tersebut.
Dengan segala bujuk rayu, Kapi Jinada akhirnya berhasil mengobarkan amarah Batara
Siwahoya dan Batara Kartineya, sehingga keduanya menjadi sangat benci kepada Prabu Wisnupati
di Purwacarita dan Prabu Brahmaraja di Gilingwesi. Kedua putra Batara Kala itu lalu membangun
istana di Hutan Srengga yang diberi nama Kerajaan Medang Srengga. Batara Siwahoya kemudian
mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Prabu Amitaya, sedangkan Batara Kartineya menjadi
menteri utama, bergelar Patih Karkala.
Prabu Amitaya, Patih Karkala, dan Kapi Jinada lalu bermusyawarah mencari cara untuk
mengalahkan Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati. Keputusan yang dihasilkan adalah mereka
harus menciptakan bencana kekeringan untuk melumpuhkan Kerajaan Purwacarita dan Gilingwesi.
Prabu Amitaya lalu mengerahkan kesaktiannya dengan menyedot habis semua air pada sungai,
telaga, sumur, dan mata air di segenap penjuru Pulau Jawa. Seluruh air itu dipindahkannya ke dalam
sebuah telaga di wilayah Medang Srengga yang dijaga rapat oleh para raksasa.

KELAHIRAN RADEN TRITRUSTA DAN PERKAWINAN RADEN SRIGATI


Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi sedang berbahagia karena dari perkawinan Resi
Bremana dan Dewi Srihuna telah lahir seorang putra yang diberi nama Raden Tritrusta. Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Wisnupati dan Patih Sriyana datang berkunjung untuk menengok bayi tersebut, sekaligus melamar
putri Prabu Brahmaraja yang bernama Dewi Brahmaniyati sebagai istri Raden Srigati.
Dulu Raden Srigati dan Raden Nagatatmala pernah berselisih memperebutkan Dewi
Mumpuni, sehingga Prabu Wisnupati harus turun tangan dengan mengubah bayangan Dewi
Mumpuni menjadi kembarannya. Dewi Mumpuni tiruan tersebut kemudian diperistri Raden Srigati
sampai akhirnya kini musnah kembali ke asalnya. Untuk mengobati kesedihan putranya itu, maka
Prabu Wisnupati pun mengajak Prabu Brahmaraja kembali berbesan, yaitu menikahkan Raden
Srigati dengan Dewi Brahmaniyati.
Prabu Brahmaraja setuju dan menerima lamaran tersebut. Maka, pada hari yang telah
ditentukan, dilangsungkanlah upacara pernikahan antara Raden Srigati dengan Dewi Brahmaniyati
di istana Gilingwesi. Lima hari kemudian, Prabu Brahmaraja mengantar kedua pengantin tersebut
ke istana Purwacarita. Di sana, Prabu Brahmaraja tertarik melihat kedua anak Prabu Wisnupati yang
bernama Raden Srinada dan Dewi Srinadi. Ia pun melamar kedua keponakannya itu untuk
dinikahkan dengan kedua anaknya yang masih lajang, yaitu Dewi Brahmaniyuta dan Raden
Brahmaniyata.
Prabu Wisnupati setuju dan menerima lamaran ganda tersebut, namun belum bisa
menentukan hari pernikahan karena saat ini Kerajaan Purwacarita dan Gilingwesi sedang dilanda
bencana kekeringan. Kedua raja itu hanya mengikat perjanjian, kemudian mengirim kabar kepada
saudara mereka, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya supaya membantu mengatasi
kekeringan tersebut.

KAHYANGAN SURALAYA MENGALAMI KEKERINGAN


Prabu Amitaya di Kerajaan Medang Srengga menerima laporan dari Patih Karkala dan Kapi
Jinada, bahwa rakyat Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita banyak yang mati kehausan akibat
bencana kekeringan yang mereka ciptakan. Akan tetapi, Batara Indra saat ini telah membantu kedua
kerajaan tersebut dengan cara mengucurkan air hujan dari Kahyangan Suralaya.
Mendengar itu, Prabu Amitaya sangat marah dan kembali mengerahkan kesaktiannya untuk
menghirup habis air dari kahyangan dan memindahkannya ke dalam telaga miliknya di Medang
Srengga.
Batara Indra menjadi kebingungan karena air di telaga dan kolam-kolam Kahyangan Suralaya
tiba-tiba habis tanpa sisa. Ia pun memerintahkan Batara Wrehaspati untuk memberi kabar kepada
Prabu Wisnupati bahwa dirinya tidak bisa lagi membantu mengatasi bencana kekeringan di Pulau
Jawa.
Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan Batara Wrehaspati yang
menyampaikan kabar tersebut. Apabila bumi yang mengalami kekeringan tentunya sudah biasa.
Namun, jika yang dilanda kekeringan adalah kahyangan, tentu hal ini sangat aneh. Maka, Prabu
Wisnupati pun mengutus Raden Srigati untuk menyelidiki apa penyebab kekeringan ini. Raden
Srigati mohon restu dan segera berangkat melaksanakan perintah tersebut.

RADEN SRIGATI MENGEJAR PATIH KARKALA


Sementara itu, para bidadari di Kahyangan Suralaya merasa gerah dan haus. Mereka pun
ramai-ramai turun ke dunia untuk mencari sumber air yang masih ada. Kebetulan Patih Karkala
sedang menyusup ke wilayah Purwacarita untuk mengintai keadaan di sana. Melihat kedatangan
para bidadari itu, Patih Karkala segera mengerahkan kesaktiannya dengan berubah wujud menjadi
sebuah telaga berair jernih.
Para bidadari sangat gembira menemukan telaga tersebut. Mereka pun langsung mandi dan
minum sepuasnya. Tiba-tiba saja telaga itu berubah kembali menjadi Patih Karkala, sehingga para
bidadari itu menjerit-jerit ketakutan bercampur malu. Patih Karkala pun mengejar mereka dengan
penuh nafsu birahi.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Srigati yang sedang dalam perjalanan bertemu para bidadari itu dan segera menolong
mereka. Maka, terjadilah pertarungan antara dirinya melawan Patih Karkala. Setelah bertarung
cukup lama, Patih karkala akhirnya terdesak kalah dan melarikan diri kembali ke Medang Srengga.
Raden Srigati yang penasaran segera mengejar musuhnya itu. Sesampainya di Medang
Srengga ia melihat ada telaga sangat luas yang penuh dengan air melimpah ruah dan dijaga ketat
oleh para raksasa. Ia pun menduga pasti telaga inilah yang menjadi penyebab kekeringan yang
sedang melanda Pulau Jawa.
Para raksasa yang berjaga itu melihat kedatangan Raden Srigati. Mereka segera menyerang
putra Prabu Wisnupati itu sehingga terjadilah pertempuran sengit. Raden Srigati dengan cekatan
dapat mengalahkan mereka semua. Prabu Amitaya yang mendengar berita ini segera terjun ke
pertempuran menghadapi Raden Srigati. Kali ini ganti Raden Srigati yang terdesak kalah dan ia pun
melarikan diri kembali ke Kerajaan Purwacarita.

RADEN NAGATATMALA MEMINTA PETUNJUK BATARA ANANTABOGA


Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita telah menerima laporan Raden Srigati tentang hasil
penyelidikannya. Raden Nagatatmala mohon izin supaya diperbolehkan meminta bantuan ayahnya
(Batara Anantaboga). Prabu Wisnupati setuju dan mengizinkannya berangkat. Maka, Raden
Nagatatmala pun bergegas menuju ke Kahyangan Saptapratala.
Setibanya di hadapan sang ayah, Raden Nagatatmala segera menceritakan musibah
kekeringan yang saat ini melanda Pulau Jawa akibat ulah Prabu Amitaya dan Patih Karkala. Batara
Anantaboga pun memberikan dua buah permata, yaitu Permata Iratkata yang berwarna merah, dan
Permata Irattaka yang berwarna hijau. Permata Iratkata hendaknya diceburkan ke dalam telaga milik
Prabu Amitaya, sedangkan Permata Irattaka hendaknya ditanam di pusat Kerajaan Purwacarita.
Batara Anantaboga juga menjelaskan bahwa Prabu Amitaya dan Patih Karkala tidak lain adalah dua
orang putra Batara Kala yang bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya, dan mereka ingin
membalas dendam kepada Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja.
Setelah mendapatkan segala penjelasan, Raden Nagatatmala pun mohon pamit kembali ke
Kerajaan Purwacarita.

PRABU WISNUPATI MENGALAHKAN PRABU AMITAYA DAN PATIH KARKALA


Prabu Wisnupati menerima laporan Raden Nagatatmala dan segera menanam Permata
Irattaka di tengah-tengah wilayah Kerajaan Purwacarita. Permata ini bersifat dingin, serta berkhasiat
menghidupkan kembali sumber air dan sumur-sumur yang kering. Segala tanaman pun kembali
menghijau, membuat seluruh penduduk bersuka ria.
Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi mendengar kabar bahwa Kerajaan Purwacarita telah
terbebas dari bencana kekeringan. Ia pun berangkat ke Purwacarita dengan didampingi Patih
Suktina untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Prabu Wisnupati menjelaskan kepada
sang kakak sama seperti apa yang telah disampaikan Batara Anantaboga kepada Raden
Nagatatmala. Mendengar itu, Prabu Brahmaraja sangat marah dan segera mengajak Prabu
Wisnupati untuk mengalahkan Prabu Amitaya supaya seluruh Pulau Jawa terbebas dari bencana
kekeringan.
Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja pun berangkat menuju ke Medang Srengga dengan
disertai Raden Srigati, Raden Nagatatmala, Patih Sriyana, dan Patih Suktina. Sesampainya di sana,
mereka langsung dihadang Prabu Amitaya dan Patih Karkala. Prabu Wisnupati pun menegur kedua
raksasa itu dengan kalimat:
“Anumoda manadukara, hongi muti mutika mangalipya mudye muta”.
Yang artinya: “ingat-ingatlah, semoga yang lupa menjadi ingat”.
Kalimat ini membuat Prabu Amitaya dan Patih Karkala terdiam tidak bisa menjawab. Mereka
berdua pun kembali ke wujud Batara Siwahoya dan Batara Kartineya, kemudian lenyap dari
pandangan.
KITAB WAYANG PURWA

Melihat raja dan patihnya menghilang, Kapi Jinada segera memimpin pasukan Medang
Srengga mengamuk menyerang Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja. Raden Srigati dan Raden
Nagatatmala maju menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Medang Srengga
seolah tidak ada habisnya, karena setiap ada prajurit raksasa yang terluka atau tewas, jika
diceburkan ke dalam Telaga Amitaya akan segera pulih kembali.
Raden Nagatatmala yang teringat pesan ayahnya segera menceburkan Permata Iratkata ke
dalam Telaga Amitaya tersebut. Permata ini bersifat panas, sehingga air telaga langsung mendidih
dan meledak ke angkasa. Kapi Jinada dan semua prajurit raksasa tewas terkena ledakan tersebut,
menjadi hujan deras yang merata di seluruh Pulau Jawa selama tujuh hari berturut-turut.

RADEN NAGATATMALA MENJADI RAJA MEDANG SRENGGA


Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati sangat senang melihat Pulau Jawa kini subur kembali
dan terbebas dari bencana kekeringan akibat ulah Prabu Amitaya. Mereka berdua pun sepakat
menyerahkan Kerajaan Medang Srengga kepada Raden Nagatatmala yang dianggap sebagai
pahlawan dalam peristiwa ini.
Raden Nagatatmala menerima keputusan tersebut dengan rendah hati. Ia pun dilantik sebagai
raja Medang Srengga yang baru, bergelar Prabu Manindrataya.

PRABU BRAHMARAJA DAN PRABU WISNUPATI KEMBALI BERBESAN


Sesuai dengan kesepakatan jika Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita terbebas dari bencana
kekeringan, maka Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati akan kembali berbesan. Maka, pada hari
yang ditentukan, diadakanlah upacara pernikahan antara Dewi Brahmaniyuta dengan Raden
Srinada, yang kemudian disusul dengan Raden Brahmaniyata dan Dewi Srinadi.
Dengan demikian, Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati telah menikahkan lima pasang
putra dan putri mereka, yaitu Resi Bremana dengan Dewi Srihuna; Resi Bremani dengan Dewi
Srihuni; Dewi Brahmaniyati dengan Raden Srigati; Dewi Brahmaniyuta dengan Raden Srinada; serta
Raden Brahmaniyata dengan Dewi Srinandi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

HARUNA - HARUNI
Kisah ini menceritakan perselisihan antara kedua istri Batara Surya yang bernama Dewi
Haruna dan Dewi Haruni, yang diselingi dengan kelahiran Paksi Sempati dan Paksi Jatayu
yang kelak dikenal dalam kisah Ramayana, serta kelahiran cucu Batara Wisnu yaitu Dewi Sri
dan Raden Sadana yang kelak diangkat menjadi dewi pangan dan dewa sandang di Tanah Jawa.
Kisah dilanjutkan dengan pelantikan Resi Bremana, Raden Srigati, dan Raden Srinada, masing-
masing menjadi raja Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan Serat Pedalangan Mangkunegaran, dengan sedikit pengembangan.

BATARA SURYA MEMILIKI DUA ISTRI YANG SELALU BERSELISIH


Batara Surya di Kahyangan Suryaloka memiliki dua orang istri yang masih bersaudara sepupu
tetapi selalu berselisih, bernama Dewi Haruna dan Dewi Haruni. Nama asli Dewi Haruna adalah
Batari Maniarti, putri Batara Nirma, sedangkan nama asli Dewi Haruni adalah Batari Prawi, putri
Batara Ramaprawa. Adapun Batara Nirma dan Batara Ramaprawa ialah sama-sama putra
Sanghyang Hening.
Antara Dewi Haruna dan Dewi Haruni ini setiap hari selalu berselisih memperebutkan cinta
kasih sang suami. Mereka sering bermain tebak-tebakan, yaitu barangsiapa yang menang maka dia
yang berhak mendapatkan perhatian Batara Surya.

KEDUA DEWI MENEBAK JENIS KELAMIN LEMBU NANDINI


Adu tebak-tebakan yang pertama di antara Dewi Haruna dan Dewi Haruni adalah persoalan
jenis kelamin Lembu Nandini, kendaraan Batara Guru. Dewi Haruna menebak jenis kelamin Lembu
Nandini adalah pejantan, sedangkan Dewi Haruni menebak betina.
Kedua dewi itu lalu pergi ke Kahyangan Jonggringsalaka dan menemui Lembu Nandini di
tempat peristirahatannya. Mendengar perselisihan kedua istri Batara Surya tersebut, Lembu Nandini
pun bercerita bahwa pada mulanya kendaraan Batara Guru adalah seekor sapi betina putri Jin
Rohpatanam yang bernama Lembu Andini. Karena pada suatu hari Lembu Andini mengadu domba
Batara Guru dan Batari Umaranti, maka Batara Guru pun murka dan mengutuknya sehingga
berubah wujud menjadi pelangi.
Batara Guru lalu menangkap seekor sapi jantan putra Ditya Gopatana yang bernama Lembu
Andana. Karena berhasil dinaiki Batara Guru sebagai kendaraan, maka Lembu Andana pun
dianggap sebagai sapi betina, dan diberi nama perempuan, yaitu Lembu Nandini.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar penuturan Lembu Nandini tersebut, Dewi Haruna dan Dewi Haruni bingung
menyimpulkan apakah dia termasuk sapi jantan ataukah betina. Keduanya pun kembali ke
Kahyangan Suryaloka dengan perasaan kurang puas.

LAHIRNYA ANAK-ANAK PAKSI BRISWAWA


Dewi Haruna dan Dewi Haruni kembali berdebat dan kali ini mengenai anak-anak Paksi
Briswawa. Adapun Paksi Briswawa adalah raja bangsa burung yang merupakan keturunan Garuda
Brihawan, kendaraan Batara Wisnu.
Dahulu kala Garuda Brihawan telah berjasa membantu Batara Wisnu menghadapi serangan
Prabu Hiranyakasipu raja Lengkapura dan Prabu Hiranyawreka raja Kasipura. Garuda Brihawan lalu
dinikahkan dengan putri Batara Brahma yang bernama Dewi Brahmanisri. Dari perkawinan itu lahir
seekor burung bernama Paksi Bribrahma. Kemudian Paksi Bribrahma memiliki putra bernama Paksi
Nartiwinata. Selanjutnya, Paksi Nartiwinata berputra Paksi Kiswabriswa, dan Paksi Kiswabriswa
berputra Paksi Briswawa tersebut.
Dewi Haruna dan Dewi Haruni mendengar bahwa istri Paksi Briswawa telah melahirkan dua
butir telur. Mereka pun berdebat apabila kedua telur tersebut menetas menjadi dua ekor burung,
maka Dewi Haruna yang menang, sedangkan jika yang menetas hanya satu, maka Dewi Haruni
yang menang.
Kedua dewi itu lalu menemui Paksi Briswawa di tempat tinggalnya untuk menanyakan perihal
kedua telur tersebut. Paksi Briswawa sendiri sedang bersedih karena istrinya pergi entah ke mana
dan tidak mau mengerami kedua telur itu. Dewi Haruna dan Dewi Haruni terus mendesak Paksi
Briswawa supaya menetaskan kedua telur tersebut, sehingga jelas siapa yang menang dan siapa
yang kalah di antara mereka.
Paksi Briswawa lalu mengerahkan kesaktiannya dan membanting telur yang pertama. Dari
telur tersebut muncul dua ekor anak burung yang langsung bisa terbang. Paksi Briswawa memberi
nama kedua anaknya itu, Paksi Arna dan Paksi Mahambira. Keduanya kemudian diperintahkan
pergi mencari ibu mereka ke segenap penjuru Tanah Jawa.
Setelah kedua putranya itu pergi, Paksi Briswawa kembali mengerahkan kesaktiannya dan
membanting telur yang kedua. Dari telur tersebut muncul dua ekor anak burung pula yang langsung
bisa terbang seperti telur pertama tadi. Paksi Briswawa memberi mereka nama Paksi Sempati dan
Paksi Jatayu. Keduanya lalu diperintahkan pergi mencari ibu mereka ke segenap penjuru Tanah
Hindustan.
Setelah kedua anak burung itu pergi, Dewi Haruna dan Dewi Haruni kembali berdebat. Di
antara mereka tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, karena kedua telur tersebut tidak
menetas menjadi satu atau dua anak burung, melainkan menetas menjadi empat anak burung.
Kedua dewi itu lalu mohon pamit kembali ke Kahyangan Suryaloka.

KELAHIRAN DEWI SRI DAN RADEN SADANA


Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita sedang menunggu kelahiran cucunya, yaitu hasil
perkawinan Raden Srigati dengan Dewi Brahmaniyati. Tiba-tiba saja datang Dewi Haruna dan Dewi
Haruni untuk ikut serta menyaksikan kelahiran tersebut. Rupanya kedua istri Batara Surya itu
kembali main tebak-tebakan, yaitu jika Dewi Brahmaniyati melahirkan bayi laki-laki maka Dewi
Haruna yang menang, dan jika melahirkan bayi perempuan maka Dewi Haruni yang menang.
Ketika waktunya tiba, Dewi Brahmaniyati pun melahirkan. Akan tetapi, yang lahir ternyata dua
anak sekaligus, yaitu bayi perempuan dan bayi laki-laki. Prabu Wisnupati sangat gembira dan
memberi nama cucu-cucunya itu Dewi Sri dan Raden Sadana.
Prabu Wisnupati kemudian menjelaskan kepada Dewi Haruna dan Dewi Haruni bahwa hasil
tebakan mereka berdua tidak tepat, karena yang lahir bukan laki-laki atau perempuan, tetapi
sekaligus kedua-duanya. Ini pertanda bahwa antara istri tua dan istri muda tidak ada yang menang
atau kalah, karena sesungguhnya cinta Batara Surya itu terletak pada istri tua, sedangkan kasihnya
terletak pada istri muda.
KITAB WAYANG PURWA

Baru sekarang Dewi Haruna dan Dewi Haruni merasa puas setelah mendengar penjelasan
Prabu Wisnupati tersebut. Mereka pun saling meminta maaf dan mohon pamit pulang ke Kahyangan
Suryaloka.

KELAHIRAN RADEN TRIPUNGGUNG DAN RADEN ANIWARNA


Sementara itu, Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi juga sedang menunggu kelahiran
cucu-cucunya, yaitu anak kedua Resi Bremana dengan Dewi Srihuna, serta anak pertama Resi
Bremani dengan Dewi Srihuni. Setelah tiba waktunya, Dewi Srihuna pun melahirkan seorang bayi
laki-laki yang diberi nama Raden Tripunggung, sedangkan Dewi Srihuni juga melahirkan bayi laki-
laki yang diberi nama Raden Aniwarna.
Akan tetapi, Dewi Srihuni meninggal dunia setelah melahirkan putranya tersebut. Resi
Bremani sangat berduka atas peristiwa ini, membuatnya tidak mau makan dan minum selama
berhari-hari.
Prabu Wisnupati dan Patih Sriyana datang melayat ke Kerajaan Gilingwesi. Resi Bremani
masih juga bersedih meskipun mendapatkan bermacam-macam nasihat dari sang mertua. Pada
saat itulah Batara Narada datang dan menyampaikan petunjuk Batara Guru di Kahyangan
Jonggringsalaka, bahwa jodoh Resi Bremani yang kedua adalah putri Batara Temburu yang
bernama Batari Drawiyani. Adapun Batara Temburu dan Batari Drawiyani saat ini sedang bertapa
di Gunung Mambramuka, di mana Batara Temburu memakai nama samaran Resi Patuk, sedangkan
Batari Drawiyani memakai nama samaran Dewi Padrawi.
Selain itu, Batara Narada juga menyampaikan perintah Batara Guru supaya Prabu Brahmaraja
dan Prabu Wisnupati mengakhiri masa pemerintahan mereka di dunia, serta kembali menjadi Batara
Brahma dan Batara Wisnu. Kedua raja itu pun mematuhi perintah tersebut dan berjanji akan kembali
ke kahyangan setelah menunjuk pengganti masing-masing.

PRABU BRAHMARAJA MENUNJUK RESI BREMANA SEBAGAI PENGGANTI


Prabu Brahmaraja kemudian mengutus Patih Suktina ke Gunung Mambramuka untuk
mengundang Resi Patuk dan Dewi Padrawi. Setelah berhasil menemukan gunung tersebut, Patih
Suktina pun membawa serta Resi Patuk dan Dewi Padrawi ke istana Gilingwesi. Sesampainya di
sana, Prabu Brahmaraja segera mengajak Resi Patuk untuk berbesan, yaitu dengan menjadikan
Dewi Padrawi sebagai istri Resi Bremani. Resi Patuk pun menerima lamaran tersebut dengan
senang hati, karena memang itulah petunjuk yang pernah ia terima dari Batara Narada.
Setelah upacara pernikahan berakhir, Prabu Brahmaraja lalu mengumpulkan anak-anaknya
dan menunjuk Resi Bremana sebagai raja Gilingwesi yang baru menggantikan dirinya. Para putra
yang lain sepakat memberikan dukungan. Maka, pada hari itu pun Resi Bremana dilantik menjadi
raja bergelar Prabu Brahmanaraja, yang maksudnya ialah seorang brahmana menjadi raja.
Setelah mendapatkan penggantinya, Prabu Brahmaraja pun kembali ke wujud Batara Brahma,
kemudian berpamitan kepada anak-anaknya untuk pulang ke Kahyangan Duksinageni.

PRABU WISNUPATI MENUNJUK PENGGANTINYA


Sementara itu, Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita juga berpamitan kepada anak-
anaknya. Karena Raden Srigati dan Raden Srinada sama-sama dirasa cakap dan layak, maka
mereka pun sama-sama dilantik menjadi raja. Raden Srigati dinobatkan sebagai raja Purwacarita
bergelar Prabu Sri Mahapunggung (meniru gelar Batara Wisnu saat menitis menjadi Prabu
Pakukuhan), sedangkan Raden Srinada dinobatkan sebagai raja Medang Pura, bergelar Prabu
Basurata. Adapun Kerajaan Medang Pura tidak lain adalah negeri lama yang dulu pernah dibangun
Batara Wisnu saat menjelma sebagai Sri Maharaja Suman Matsyapati.
Setelah menunjuk penggantinya, Prabu Wisnupati pun kembali ke wujud Batara Wisnu,
kemudian pulang ke Kahyangan Utarasegara. Sementara itu, Patih Sriyana juga kembali ke wujud
Batara Penyarikan dan menunjuk putranya yang bernama Raden Pujarcana sebagai menteri utama
Kerajaan Purwacarita mendampingi Prabu Sri Mahapunggung, bergelar Patih Mudabatara.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU BASURATA MENGUBAH MEDANG PURA MENJADI WIRATA


Prabu Brahmanaraja dan Patih Suktina datang berkunjung ke Kerajaan Purwacarita untuk
memberi selamat atas pelantikan Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata. Tiba-tiba saja
Prabu Brahmanaraja jatuh hati melihat kecantikan kakak perempuan Patih Mudabatara yang
bernama Dewi Pujawati dan melamarnya saat itu juga. Lamaran tersebut diterima, dan Dewi
Pujawati pun diboyong ke Kerajaan Gilingwesi sebagai istri kedua berdampingan dengan Dewi
Srihuna.
Bersamaan dengan itu, Prabu Sri Mahapunggung pun melepas kepergian adiknya, yaitu
Prabu Basurata yang berangkat untuk memimpin Kerajaan Medang Pura sesuai wasiat sang ayah.
Rombongan Prabu Basurata akhirnya tiba di Medang Pura yang telah menjadi kota mati
tertutup hutan belantara sejak kepergian Resi Kusamba yang menggantikan Sri Maharaja Suman
Matsyapati dulu. Prabu Basurata dan para pengikutnya pun bergotong royong membuka hutan
tersebut sampai akhirnya istana Medang Pura kembali berdiri tegak.
Prabu Basurata lalu mengganti nama Kerajaan Medang Pura menjadi Kerajaan Wirata, dan
mengangkat seorang pengikutnya yang bernama Empu Ranggita sebagai menteri utama, bergelar
Patih Sunggata.

BERKEMBANGNYA KETURUNAN BATARA BRAHMA DAN BATARA WISNU


Demikianlah, secara berturut-turut keturunan Batara Brahma dan Batara Wisnu telah lahir ke
dunia. Setelah pelantikannya sebagai raja Purwacarita, Prabu Sri Mahapunggung mendapatkan
putra ketiga yang lahir dari Dewi Brahmaniyati, diberi nama Raden Wandu. Pada saat bersamaan,
Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi juga mendapatkan anak ketiga yang lahir dari Dewi
Srihuna, diberi nama Raden Trimatsyaka.
Setahun kemudian, istri kedua Prabu Brahmanaraja, yaitu Dewi Pujawati melahirkan seorang
putra yang diberi nama Raden Siwandara, sedangkan Resi Bremani juga mendapatkan seorang
putra dari Dewi Padrawi, yang diberi nama Raden Drataweda. Berselang dua tahun berikutnya, Dewi
Pujawati melahirkan anak kedua, yang diberi nama Raden Sasihawa.
Sementara itu, dari perkawinan Prabu Basurata dan Dewi Brahmaniyuta di Kerajaan Wirata
masih juga belum memperoleh keturunan. Hal ini membuat pasangan tersebut bersedih namun
mereka tetap berusaha dan berdoa tanpa putus asa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PAKSI RUKMAWATI
Kisah ini menceritakan putra Prabu Watugunung yang bernama Raden Radeya mendirikan
Kerajaan Medang Galungan dan memakai gelar Prabu Sindula. Ia mengirim pasukan yang
dipimpin tujuh raksasa cucu Batara Kala untuk menggempur empat negara saingan. Dalam
pertempuran itu, Prabu Manindrataya kalah dan menjadi dewa bergelar Batara Nagatatmala,
sedangkan Kerajaan Gilingwesi kehilangan Patih Suktina. Pasukan raksasa itu akhirnya dapat
ditumpas oleh Prabu Sri Mahapunggung. Kisah ini juga menceritakan asal-usul kesaktian
pertapa wanita bernama Begawan Rukmawati, putri Batara Anantaboga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.

ANAK PRABU WATUGUNUNG MEMBANGUN KERAJAAN


Di Padepokan Andongdadapan berkumpul para anggota keluarga Prabu Watugunung, yang
mana mereka sedang menerima kedatangan tujuh orang raksasa cucu Batara Kala.
Para anggota keluarga Prabu Watugunung tersebut adalah:
- Raden Radeya, putra Prabu Watugunung dengan Dewi Sinta Basundari.
- Resi Sadara, putra Patih Suwelacala.
- Resi Dwara, Arya Wakya, dan Arya Byatara, yaitu putra-putra Begawan Anggara.
- Resi Arhyang, Wasi Warukung, Wasi Paningron, Wasi Uwas, Wasi Mawulu, dan
Dewi Tungle (istri Buyut Pastima), yaitu anak-anak Begawan Buda.
- Resi Dangu, Wasi Jagur, Wasi Gigis, Wasi Kerangan, Wasi Nohan, Wasi Wogan,
Dewi Tulus (istri Raden Radeya), Janggan Wurung, dan Janggan Dadi, yaitu anak-
anak Begawan Sukra.
- serta Buyut Pastima, anak angkat sekaligus menantu Begawan Buda. Adapun ayah
kandung Buyut Pastima adalah Empu Gopa (murid Resi Satmata) yang dulu dibunuh
Prabu Watugunung gara-gara menyampaikan ramalan tentang kehancuran Kerajaan
Gilingwesi.
Sementara itu, para cucu Batara Kala yang datang berkunjung adalah:
- Ditya Kalana dan Ditya Kalayata, yaitu anak-anak Batara Kalakutana.
- Ditya Wirot, Ditya Werka, dan Ditya Martyawa, yaitu anak-anak Batara Siwahoya.
- Ditya Saraweda dan Ditya Upadarwya, yaitu anak-anak Batara Kalayuwana.
Kedatangan tujuh raksasa ini adalah untuk mengajak Raden Radeya bekerja sama
membalaskan kematian Prabu Watugunung dan menguasai Pulau Jawa. Pada dasarnya Raden
Radeya juga menyimpan dendam atas kematian ayahnya, sehingga ia langsung menerima ajakan
tersebut. Setelah kesepakatan terjalin, mereka pun bersama-sama membangun sebuah negeri
bernama Kerajaan Medang Galungan dan membentuk angkatan perang.
Raden Radeya kemudian dilantik sebagai raja bergelar Prabu Sindula. Saudara angkatnya,
yaitu Buyut Pastima dilantik sebagai menteri utama bergelar Patih Sukapa, sedangkan keempat
KITAB WAYANG PURWA

sepupunya, yaitu Resi Dwara, Resi Arhyang, Resi Dangu, dan Resi Sadara dilantik sebagai raja
bawahan, masing-masing berganti nama menjadi Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan
Raja Capala. Adapun yang dijadikan sebagai pendeta kerajaan adalah Arya Wakya dan Arya
Byatara, yang masing-masing diberi gelar Begawan Kudadu dan Begawan Kartika. Sementara itu,
para sepupu yang lain dijadikan sebagai punggawa dengan memakai gelar Arya.
Dari pihak raksasa, Ditya Kalana diangkat sebagai pemimpin mereka, bergelar Raja Kalana.

PASUKAN MEDANG GALUNGAN MENYERANG MEDANG SRENGGA


Setelah persiapan selesai, Prabu Sindula mulai melaksanakan rencana menguasai Pulau
Jawa. Ia pun mengirim pasukan Medang Galungan yang dipimpin para raksasa menyerbu keempat
kerajaan musuh. Raja Kalana bertugas menyerang Kerajaan Gilingwesi; Ditya Kalayata dan Ditya
Wirot bertugas menyerang Kerajaan Medang Srengga; Ditya Werka dan Ditya Martyawa bertugas
menyerang Kerajaan Wirata; sedangkan Ditya Saraweda dan Ditya Upadarwya bertugas
menyerang Kerajaan Purwacarita.
Pasukan Ditya Kalayata dan Ditya Wirot lebih dulu mencapai sasaran dibandingkan yang lain.
Menghadapi serangan mendadak tersebut, Prabu Manindrataya segera terjun ke pertempuran
memimpin langsung pasukan Medang Srengga. Dalam pertempuran itu, Ditya Kalayata dan Ditya
Wirot berhasil ditewaskan olehnya.
Mendengar kedua saudaranya terbunuh, Raja Kalana segera memanggil para raksasa lainnya
untuk menunda serangan masing-masing. Mereka semua dikumpulkan untuk kemudian bersama-
sama menggempur Kerajaan Medang Srengga. Kali ini Prabu Manindrataya terdesak karena
dikeroyok lima raksasa tersebut.
Pada saat itulah Batara Indra datang menyelamatkan Prabu Manindrataya beserta istrinya,
yaitu Dewi Mumpuni untuk diangkat ke Kahyangan Suralaya. Batara Indra menjelaskan bahwa
sudah menjadi suratan takdir jika Kerajaan Medang Srengga harus hancur diserang musuh,
sedangkan Prabu Manindrataya dan Dewi Mumpuni diangkat menjadi dewa dan bidadari, masing-
masing bergelar Batara Nagatatmala dan Batari Mumpuni.

PUTRA PRABU MANINDRATAYA TERLUNTA-LUNTA


Kerajaan Medang Srengga telah jatuh ke tangan Raja Kalana dan menjadi daerah jajahan
Medang Galungan. Putra Prabu Manindrataya yang bernama Raden Anantawirya berhasil
meloloskan diri namun pikirannya kacau karena kehilangan kedua orang tua. Ia berkelana tak tentu
arah seperti orang gila, sampai akhirnya tersesat ke Gunung Titisari.
Di gunung itu ia bertemu seorang pertapa wanita yang bernama Dewi Wiratma. Setelah saling
memperkenalkan diri, ternyata Dewi Wiratma adalah bibi Raden Anantawirya sendiri, karena ia
adalah adik lain ibu dari Batara Nagatatmala. Jika Batara Nagatatmala adalah putra Batara
Anantaboga yang lahir dari Batari Suparti, maka Dewi Wiratma lahir dari Batari Ken Driya.
Raden Anantawirya bertanya apa sebabnya sang bibi meninggalkan kahyangan dan bertapa
sendiri di Gunung Titisari. Dewi Wiratma menjelaskan bahwa tujuannya adalah ingin bertemu burung
betina ajaib bernama Paksi Rukmawati. Burung betina tersebut memiliki paruh emas, kaki emas,
mata mutiara, bulu permata warna-warni, dan mampu menceritakan apa yang terjadi di masa depan
dan masa lalu, serta apa yang terjadi di alam nyata dan alam gaib. Dewi Wiratma sendiri mendengar
adanya burung ajaib tersebut dari ibunya (Batari Ken Driya) dan ia ingin sekali bertemu dengannya.
Akan tetapi, tempat tinggal Paksi Rukmawati di Gunung Cakrawala sangat sulit didekati karena
dilindungi oleh petir beraneka macam.
Pada saat itulah datang Batara Basuki (adik Batara Anantaboga) menemui Dewi Wiratma dan
menyampaikan petunjuk bahwa segala petir di Gunung Cakrawala itu bisa ditembus oleh manusia
kurang waras yang berlidah cabang tiga. Raden Anantawirya terkejut mendengarnya karena sejak
lahir ia memiliki lidah cabang tiga dan sejak kehilangan kedua orang tua, ia pun berkurang
kewarasan dan sering bertingkah seperti orang gila.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Basuki dan Dewi Wiratma sangat gembira mendengar pengakuan Raden Anantawirya
tersebut dan merasa ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Maka, mereka bertiga
pun berangkat ke Gunung Cakrawala saat itu juga.

DEWI WIRATMA MENJADI MURID PAKSI RUKMAWATI


Batara Basuki membawa Dewi Wiratma dan Raden Anantawirya terbang memasuki kawasan
Gunung Cakrawala. Mereka pun disambut sambaran petir beraneka macam, namun tidak ada yang
mampu membuat ketiganya terluka. Ini semua berkat keberadaan Raden Anantawirya yang berlidah
cabang tiga dan sudah berkurang kewarasannya itu. Akhirnya, mereka pun berhasil memasuki
kahyangan tempat tinggal Paksi Rukmawati di puncak gunung tersebut.
Paksi Rukmawati sendiri sangat gembira menyambut kedatangan mereka bertiga. Sudah
menjadi suratan takdir bahwa burung ajaib itu harus mewariskan ilmunya kepada Dewi Wiratma
yang telah bertapa sekian lama demi bisa menemuinya. Maka, sejak saat itu Dewi Wiratma pun
menjadi murid sang burung ajaib dan mendapat segala ilmu pengetahuan darinya.
Setelah menamatkan pelajaran, Paksi Rukmawati lalu bertukar nama dengan Dewi Wiratma,
sehingga sejak hari itu Dewi Wiratma dikenal dengan nama Begawan Rukmawati, sedangkan Paksi
Rukmawati dikenal dengan nama Paksi Wiratma. Begawan Rukmawati kemudian mendapat
perintah supaya mendirikan padepokan di Gunung Mahendra, bekas kahyangan Sri Padukaraja
Mahadewa Buda (Batara Guru) dulu.
Paksi Wiratma lalu mengobati penyakit Raden Anantawirya hingga sembuh. Ia kemudian
menitis bersatu jiwa raga dengan pemuda itu dan menyerahkan Kahyangan Cakrawala kepadanya.
Maka, sejak saat itu Raden Anantawirya pun dikenal dengan nama Batara Wiratma.

BEGAWAN RUKMAWATI MENGUBAH GAJAH ERAWATI MENJADI MANUSIA


Batara Basuki dan Begawan Rukmawati mohon pamit kepada Batara Wiratma untuk
kemudian berangkat menuju Gunung Mahendra. Ketika terbang melewati Hutan Pancala, mereka
berdua melihat seekor gajah betina sedang bertapa. Begawan Rukmawati mendatangi gajah betina
itu dan menebak namanya adalah Gajah Erawati. Tidak hanya itu, Begawan Rukmawati juga dapat
menebak asal-usul gajah betina tersebut.
Dahulu kala, ada sepasang gajah bersaudara, yang jantan bernama Gajah Erawata, dan yang
betina bernama Gajah Erawati. Keduanya menarik perhatian Batara Indra dan mereka pun dibawa
ke Kahyangan Suralaya untuk dijadikan kendaraan. Akan tetapi, Gajah Erawati sangat nakal susah
diatur sehingga akhirnya diusir keluar dari kahyangan.
Gajah Erawati menyesali kecerobohannya dan ia pun bertapa di Hutan Pancala supaya bisa
menjadi manusia yang mengerti tata krama. Pada suatu hari datang Batari Wiranci (istri Batara
Indra) yang memberikan petunjuk bahwa hanya murid Paksi Rukmawati yang bisa meruwat dirinya
menjadi manusia. Gajah Erawati pun mematuhi pesan tersebut dan ia bertapa dengan lebih tekun
agar bisa tercapai cita-citanya.
Demikianlah, Begawan Rukmawati dapat menebak asal-usul Gajah Erawati dengan sangat
rinci. Ia kemudian mengusap kepala gajah betina itu tiga kali. Secara ajaib, Gajah Erawati pun
berubah wujud menjadi seorang wanita cantik, yang kemudian diberi nama Dewi Rukmini. Begawan
Rukmawati lalu mengajarkan segala macam tata krama dan ilmu kepandaian kepadanya, serta
meramalkan kelak Dewi Rukmini akan menjadi istri seorang raja di Pulau Jawa.
Begawan Rukmawati kemudian menyuruh Dewi Rukmini untuk melanjutkan bertapa di Hutan
Pancala tersebut. Dewi Rukmini sangat berterima kasih dan mematuhi segala petunjuk sang guru.
Begawan Rukmawati dan Batara Basuki lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Mahendra.

RAJA KALANA MENAKLUKKAN WIRATA DAN GILINGWESI


Sementara itu, pasukan Medang Galungan yang dipimpin Raja Kalana bergerak menggempur
Kerajaan Wirata. Banyak sekali punggawa Wirata yang terbunuh, antara lain Arya Kulalata (anak
Patih Sunggata) beserta Arya Wiraketu, Arya Prayagnita, Arya Nirdaprawa, dan Arya Prawasata.
KITAB WAYANG PURWA

Karena semakin terdesak, Prabu Basurata dan Patih Sunggata terpaksa mengungsi ke Kerajaan
Purwacarita.
Setelah menaklukkan Kerajaan Wirata, pasukan Medang Galungan lalu menggempur
Kerajaan Gilingwesi. Pertempuran sengit pun terjadi. Raja Kalana berhasil membunuh Patih Suktina
beserta para punggawa, yaitu Arya Sudarya dan Arya Bahniwirya. Sebaliknya, anak Patih Suktina
yang bernama Arya Atmera berhasil menewaskan Ditya Werka dan Ditya Martyawa.
Karena pihak Gilingwesi semakin terdesak oleh gempuran musuh, Prabu Brahmanaraja dan
para punggawa yang masih hidup terpaksa mengungsi pula ke Kerajaan Purwacarita.

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENUMPAS PARA RAKSASA


Prabu Basurata dan Prabu Brahmanaraja telah tiba di istana Purwacarita dan menceritakan
segalanya kepada Prabu Sri Mahapunggung. Mendengar itu, Prabu Sri Mahapunggung sangat
marah dan segera menghimpun pasukan untuk bersiaga menghadapi serangan para raksasa
tersebut.
Maka, ketika pasukan Medang Galungan tiba, mereka segera disambut perang oleh pihak
Purwacarita. Tiga raksasa yang masih tersisa, yaitu Raja Kalana, Ditya Saraweda, dan Ditya
Upadarwya bertempur menghadapi Prabu Sri Mahapunggung. Dalam pertarungan itu, Ditya
Saraweda dan Ditya Upadarwya tewas terbunuh, sedangkan Raja Kalana lari ketakutan melihat
kesaktian Prabu Sri Mahapunggung.
Prabu Sri Mahapunggung mengejar ke mana pun Raja Kalana lari. Pertempuran di antara
mereka kembali terjadi di Hutan Pancala. Kali ini Raja Kalana tidak bisa lolos lagi dan ia pun tewas
di tangan raja Purwacarita tersebut.
Prabu Sri Mahapunggung kemudian berjalan menyusuri Hutan Pancala dan bertemu Dewi
Rukmini yang sedang bertapa. Prabu Sri Mahapunggung jatuh hati dan melamar Dewi Rukmini
untuk dijadikan sebagai istri kedua di samping Dewi Brahmaniyati. Dewi Rukmini yang teringat pada
ramalan Begawan Rukmawati tanpa ragu langsung menerima lamaran tersebut. Maka, Prabu Sri
Mahapunggung dengan perasaan suka cita pun memboyong Dewi Rukmini ke istana Purwacarita.

BATARA NARADA MELARANG PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MEMBALAS SERANGAN


Prabu Sri Mahapunggung, Prabu Basurata, dan Prabu Brahmanaraja berunding di istana
Purwacarita untuk menyusun rencana membalas serangan kepada Prabu Sindula di Kerajaan
Medang Galungan. Pada saat itulah datang Batara Narada yang melarang niat tersebut supaya
jangan sampai diteruskan. Batara Narada menjelaskan bahwa Prabu Sindula adalah anak Prabu
Watugunung, sedangkan dulu Batara Wisnu dalam wujud Resi Satmata telah berjanji bahwa
keturunan Prabu Watugunung tidak akan disakiti.
Mendengar penjelasan tersebut, Prabu Sri Mahapunggung terpaksa mengurungkan niatnya.
Prabu Basurata dan Prabu Brahmanaraja lalu mohon pamit kembali ke kerajaan masing-masing.
Kedudukan para punggawa yang telah gugur kemudian diwariskan kepada anak-anak mereka.
Dalam hal ini kedudukan mendiang Patih Suktina sebagai menteri utama Kerajaan Gilingwesi pun
digantikan Arya Atmera, yang bergelar Patih Atmera.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PAYASA JAMUR DIPA


Kisah ini menceritakan usaha yang dilakukan Prabu Basurata untuk mendapatkan putra. Ia
berlayar ke Tanah Hindustan atas petunjuk Begawan Rukmawati untuk membantu upacara
Prabu Dasarata yang juga ingin memiliki putra. Upacara tersebut adalah meletakkan kue
payasa di atas tanaman ajaib Jamur Dipa. Kelak Prabu Dasarata akan mendapatkan empat
orang anak, yaitu Raden Rama, Raden Barata, Raden Lesmana, dan Raden Satrugena,
sedangkan Prabu Basurata mendapatkan dua orang anak, yaitu Raden Brahmaneka dan Dewi
Brahmaneki yang usianya terpaut lumayan jauh.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dan Ramayana karya Resi Walmiki, dengan sedikit pengembangan.

PRABU BASURATA INGIN MEMILIKI PUTRA


Prabu Basurata di Kerajaan Wirata dihadap Patih Sunggata dan Resi Wisama, serta para
punggawa yaitu Arya Sakuta, Arya Sakrita, dan Arya Sarisungga. Saat itu Prabu Basurata sedang
bersedih karena usianya telah lebih dari empat puluh tahun tetapi belum juga memiliki anak.
Padahal, kakaknya, yaitu Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita telah memiliki tiga
orang anak, sedangkan iparnya, yaitu Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi telah memiliki
lima orang anak.
Prabu Basurata merasa prihatin karena sebagai raja sangat tidak baik jika ia tidak memiliki
putra yang bisa dijadikan ahli waris takhta. Resi Wisama pun menyarankan supaya Sang Prabu
meminta petunjuk kepada sepupunya yang bernama Resi Paninda di Gunung Candramuka.
Mungkin dengan saran yang diberikan Resi Paninda, akan lahir seorang putra di Kerajaan Wirata.
Prabu Basurata tertarik pada usulan Resi Wisama dan ia pun berpamitan kepada sang
permaisuri, yaitu Dewi Brahmaniyuta untuk kemudian berangkat menuju ke Gunung Candramuka
dengan didampingi Patih Sunggata dan Resi Wisama.

RESI PANINDA MENGANTAR PRABU BASURATA MENEMUI BEGAWAN RUKMAWATI


Rombongan Prabu Basurata telah sampai di padepokan Gunung Candramuka dan disambut
dengan ramah oleh Resi Paninda. Namun, ketika Prabu Basurata menyampaikan keinginannya
untuk bisa berputra, Resi Paninda memohon maaf karena tidak bisa membantu, tetapi ia sanggup
mengantarkan Sang Prabu pergi ke Gunung Mahendra menemui seorang pertapa wanita bernama
Begawan Rukmawati. Konon, pertapa wanita ini seorang bidadari berkepandaian tinggi yang
sepertinya bisa membantu Prabu Basurata memiliki keturunan.
Prabu Basurata, Resi Paninda, Patih Sunggata, dan Resi Wisama akhirnya sampai di Gunung
Mahendra dan disambut Begawan Rukmawati beserta muridnya yang berwujud seekor gajah putih.
Ternyata Begawan Rukmawati memang sangat sakti dan bisa menebak apa yang menjadi keinginan
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basurata. Karena Begawan Rukmawati adalah anak Batara Anantaboga, sedangkan Prabu
Basurata adalah anak Batara Wisnu, maka ia pun memanggil “kakak” kepada raja Wirata tersebut.
Begawan Rukmawati meramalkan bahwa Prabu Basurata kelak akan memiliki dua orang
anak, yaitu satu laki-laki dan satu perempuan. Meskipun hanya dua, namun mereka kelak akan
menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Akan tetapi, putra dan putri itu bisa lahir apabila Prabu Basurata
pergi ke Tanah Hindustan untuk menjadi sarana lahirnya titisan Batara Wisnu di sana. Menurut
ramalan Begawan Rukmawati, Batara Wisnu akan terlahir sebagai manusia, yaitu dengan menitis
kepada putra Prabu Dasarata raja Ayodya demi untuk menumpas angkara murka Prabu Rahwana
di Kerajaan Alengka.

RIWAYAT GAJAH PUTIH MURID BEGAWAN RUKMAWATI


Prabu Basurata sangat senang dan bersedia melaksanakan saran tersebut. Akan tetapi, lebih
dulu ia ingin mendapatkan keterangan mengenai gajah putih murid Begawan Rukmawati yang ikut
menyambut kedatangannya tadi. Ia sangat heran mengapa ada seekor gajah putih yang bisa
berbicara seperti manusia. Sungguh mengejutkan, ternyata Begawan Rukmawati memperkenalkan
gajah putih itu sebagai keponakan Prabu Basurata sendiri, karena si gajah tidak lain adalah anak
keempat Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita.
Begawan Rukmawati lalu menceritakan asal-usul gajah putih tersebut. Prabu Sri
Mahapunggung telah memiliki tiga orang anak dari istri pertama (Dewi Brahmaniyati), yaitu Dewi Sri,
Raden Sadana, dan Raden Wandu. Kemudian Prabu Sri Mahapunggung menikah lagi dengan Dewi
Rukmini yang ditemukannya di Hutan Pancala. Akan tetapi, Dewi Rukmini meninggal dunia setelah
melahirkan seekor bayi gajah putih. Hal itu terjadi karena Dewi Rukmini tidak lain adalah penjelmaan
Gajah Erawati, milik Batara Indra.
Karena merasa sedih bercampur malu, Prabu Sri Mahapunggung lalu membuang bayi gajah
putih itu ke Hutan Pancala. Pada suatu hari, Begawan Rukmawati menemukan bayi gajah putih
tersebut dan membawanya pergi ke Gunung Mahendra untuk dirawat dan dijadikan murid.
Prabu Basurata sangat terkesan melihatnya. Meskipun baru berusia tiga tahun, namun gajah
putih ini sudah lancar berbicara seperti manusia dewasa. Setelah mendapat penjelasan demikian,
Sang Prabu pun mohon pamit berangkat menuju Tanah Hindustan dengan didampingi Resi Paninda
dan Resi Wisama, sedangkan Patih Sunggata kembali ke istana Wirata untuk melapor kepada Dewi
Brahmaniyuta.
Sepeninggal orang-orang Wirata tersebut, Begawan Rukmawati memerintahkan si gajah putih
pergi ke Bukit Oya untuk bertapa di sana. Kelak jika si gajah putih bertemu kepala Desa Wahita
bernama Buyut Lagra, maka ia harus menurut kepadanya, karena Buyut Lagra itulah yang akan
menjadi jalan baginya untuk memperoleh kemuliaan. Si gajah putih mematuhi perintah tersebut dan
segera mohon pamit berangkat menuju ke Bukit Oya. Kelak ia akan dikenal dengan sebutan Gajah
Oya karena menjalani tapa brata tersebut.

PRABU BASURATA TIBA DI TANAH HINDUSTAN


Sementara itu, rombongan Prabu Basurata telah mendarat di Tanah Hindustan. Mereka
dihadang pasukan penjaga pelabuhan Kerajaan Ayodya yang dipimpin Danghyang Wulambi, karena
dicurigai sebagai musuh yang datang untuk menyerang. Akibatnya, terjadilah pertempuran karena
kesalahpahaman tersebut.
Pertempuran itu akhirnya berhenti setelah kedatangan Resi Supanu, guru Danghyang
Wulambi yang juga suami Dewi Nariti, keponakan Resi Paninda. Resi Paninda pun menjelaskan
kepada Resi Supanu bahwa kedatangan Prabu Basurata dari Kerajaan Wirata ini adalah untuk
membantu Prabu Dasarata dalam usaha mendapatkan putra.
Resi Supanu sangat gembira dan segera mengantarkan Prabu Basurata untuk menemui
Prabu Dasarata yang saat ini sedang berkemah di tepi Hutan Dandaka. Sesampainya di sana, Prabu
Basurata pun disambut ramah oleh Prabu Dasarata yang saat itu juga ditemani para sahabatnya,
bernama Prabu Janaka raja Mantili, Prabu Aywana raja Malawa, dan Prabu Suwira raja Duhyapura.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU BASURATA MEMBANTU PRABU DASARATA MENDAPATKAN PUTRA


Prabu Basurata dan Prabu Dasarata saling memperkenalkan diri. Prabu Basurata
menjelaskan kedatangannya ke Tanah Hindustan adalah sebagai sarana untuk mendapatkan putra.
Sebaliknya, Prabu Dasarata juga bercerita bahwa sudah lama ia menikah tetapi belum mendapatkan
keturunan, padahal istrinya berjumlah tiga orang, yaitu Dewi Kusalya, Dewi Kekayi, dan Dewi
Sumitra. Pemimpin para pandita Kerajaan Ayodya yang bernama Resi Wasista menyarankan
supaya Prabu Dasarata meminta bantuan Resi Reksasrengga di Pertapaan Lomasana untuk
memimpin upacara mendapatkan putra.
Prabu Dasarata berangkat menuju Pertapaan Lomasana. Resi Reksasrengga pun
menyatakan sanggup untuk memimpin upacara mendapatkan putra bagi raja Ayodya tersebut.
Upacara itu akan diselenggarakan di Hutan Dandaka karena di sana telah tumbuh jamur ajaib
bernama Jamur Dipa yang akan menjadi sarana bagi Prabu Dasarata untuk mendapatkan
keturunan. Konon jamur ini tumbuh di atas abu jenazah seorang pendeta bernama Resi Paspa.
Resi Paspa semasa hidupnya pernah bertapa di Hutan Dandaka untuk mendapatkan
kesaktian, yaitu jika ia memegang kepala seseorang, maka seluruh tubuh orang itu akan terbakar
menjadi abu. Batara Guru terkesan melihat ketekunan Resi Paspa, dan ia pun turun dari kahyangan
untuk mengabulkan permintaannya. Setelah mendapatkan kesaktian tersebut, Resi Paspa menjadi
lupa diri dan ingin membunuh Batara Guru untuk merebut takhta Kahyangan Jonggringsalaka. Ia
pun berusaha memegang kepala Batara Guru supaya tubuh raja dewa itu terbakar menjadi abu.
Pada saat itulah Batara Wisnu datang membantu ayahnya, dengan cara menyamar menjadi seorang
wanita cantik bernama Dewi Malini. Resi Paspa seketika jatuh cinta melihat Dewi Malini dan
membiarkan Batara Guru meloloskan diri. Resi Paspa pun merayu ingin menikahi Dewi Malini,
namun wanita itu bersedia asalkan Resi Paspa mandi dan keramas terlebih dulu. Resi Paspa yang
sudah tergila-gila pun menuruti permintaan Dewi Malini itu dan ia segera mandi di sungai. Ketika
tangannya memegang kepala untuk keramas, seketika tubuh Resi Paspa pun terbakar menjadi abu
dan tertiup angin hingga jatuh di tepi Hutan Dandaka.
Kini di tempat jatuhnya abu Resi Paspa itu telah tumbuh tanaman ajaib Jamur Dipa. Resi
Reksasrengga meramalkan jika ketiga istri Prabu Dasarata memakan kue payasa yang diletakkan
di atas jamur tersebut, maka mereka pasti akan segera mengandung. Akan tetapi, barangsiapa
menyentuh Jamur Dipa ini maka tubuhnya akan terbakar menjadi abu, kecuali putra Batara Wisnu
saja yang dapat menyentuhnya. Resi Reksasrengga pun memberikan nasihat supaya Prabu
Dasarata banyak bersedekah karena dengan demikian, putra Batara Wisnu akan datang sendiri ke
Hutan Dandaka.
Prabu Dasarata melaksanakan nasihat tersebut, hingga akhirnya Prabu Basurata putra Batara
Wisnu kini telah datang di hadapannya. Setelah dirasa lengkap, Resi Reksasrengga pun memulai
upacara dengan membaca berbagai japa mantra, kemudian Prabu Basurata dipersilakan
meletakkan tiga buah kue payasa yang telah dipersiapkan Prabu Dasarata di atas Jamur Dipa
tersebut.
Setelah menunggu beberapa lama, tiga buah kue payasa itu tampak menyala, sedangkan
Jamur Dipa menjadi layu dan akhirnya mati. Resi Reksasrengga menjelaskan bahwa kekuatan gaib
Jamur Dipa telah berpindah ke dalam tiga kue tersebut dan hendaknya Prabu Dasarata
menyerahkannya kepada Dewi Kusalya, Dewi Kekayi, dan Dewi Sumitra.

KETIGA ISTRI PRABU DASARATA BERBAGI KUE PAYASA


Prabu Dasarata lalu menemui ketiga istrinya di perkemahan. Akan tetapi, ia hanya mengambil
dua kue payasa saja untuk diberikan kepada Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi, sedangkan kue payasa
yang ketiga diberikan kepada Prabu Basurata. Rupanya Prabu Dasarata merasa prihatin
mengetahui Prabu Basurata juga belum memiliki anak, dan kue yang ketiga itu diberikannya sebagai
ungkapan terima kasih. Prabu Dasarata memiliki tiga orang istri dan ia merasa sudah cukup senang
apabila dua di antara mereka bisa mengandung. Di sisi lain, Prabu Basurata hanya memiliki satu
orang istri, sehingga kue payasa itu harus diberikan kepadanya sebagai sarana memiliki putra untuk
menjadi ahli waris Kerajaan Wirata. Prabu Basurata sangat terharu namun juga tidak enak hati
menerima kue payasa tersebut yang seharusnya menjadi jatah Dewi Sumitra.
KITAB WAYANG PURWA

Sementara itu, Dewi Kusalya membelah kue payasa miliknya menjadi dua dan memberikan
yang setengah kepada Dewi Sumitra. Dewi Kekayi juga membelah kue miliknya, dan memberikan
yang setengah kepada Dewi Sumitra pula. Dewi Sumitra sangat terharu melihat kebaikan kedua
madunya itu, dan ia pun berjanji jika memiliki anak, maka anaknya itu akan selalu melayani anak-
anak yang dilahirkan Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi. Ketiga istri Prabu Dasarata itu lalu memakan
bagian kue payasa masing-masing secara bersamaan.
Pada saat itulah Batara Wisnu (ayah Prabu Basurata) didampingi Batara Laksmanasadu (ayah
Resi Wisama) turun dari kahyangan. Batara Wisnu menjelaskan bahwa meskipun hanya memakan
setengah kue payasa, namun Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi masing-masing tetap akan melahirkan
seorang putra. Prabu Dasarata diperintahkan pula untuk memberikan nama kepada keempat
anaknya yang akan lahir kelak, yaitu putra Dewi Kusalya hendaknya diberi nama Raden Rama,
sedangkan putra Dewi Kekayi hendaknya diberi nama Raden Barata. Sementara itu, Dewi Sumitra
yang memakan dua kali setengah kue, maka ia akan melahirkan dua orang putra, yang hendaknya
diberi nama Raden Lesmana dan Raden Satrugena.
Batara Wisnu juga menjelaskan kepada Prabu Basurata mengenai kue payasa utuh yang
diterimanya. Kelak jika kue itu dimakan Dewi Brahmaniyuta, maka ia akan mengandung sebanyak
dua kali. Akan tetapi, kedua anak itu tidak lahir bersamaan, melainkan selisih usia mereka terpaut
lumayan lama.
Batara Wisnu kemudian mengatakan bahwa kedatangannya adalah untuk menitis kepada
putra Prabu Dasarata yang lahir dari Dewi Kusalya, yaitu Raden Rama, yang mana kelak akan
menjadi kesatria dalam menumpas angkara murka Prabu Rahwana raja Alengka, keturunan Prabu
Hiranyakasipu. Sementara itu, Batara Laksmanasadu juga datang untuk menitis kepada salah satu
putra yang lahir dari Dewi Sumitra, yaitu Raden Lesmana, karena kelak ia akan menjadi pendamping
Raden Rama dalam menumpas kejahatan.
Setelah berkata demikian, Batara Wisnu lalu masuk ke dalam rahim Dewi Kusalya, sedangkan
Batara Laksmanasadu masuk ke dalam rahim Dewi Sumitra. Prabu Dasarata, Prabu Basurata, dan
para raja lainnya serta para resi yang hadir di situ mengiringi peristiwa tersebut dengan penuh
penghormatan.

PRABU BASURATA KEMBALI KE PULAU JAWA


Setelah beberapa hari tinggal di Kerajaan Ayodya, Prabu Basurata pun mohon pamit kembali
ke Pulau Jawa untuk menyerahkan kue payasa kepada istrinya. Prabu Dasarata sangat berterima
kasih atas segala bantuan raja Wirata tersebut, dan ia pun menyerahkan sebuah kereta kencana
bernama Kereta Garudayaksa sebagai hadiah kenang-kenangan. Prabu Janaka dan Prabu Aywana
juga ikut mendampingi Prabu Dasarata mengantarkan rombongan Prabu Basurata sampai ke
pelabuhan.
Setelah berlayar beberapa lama, rombongan Prabu Basurata akhirnya tiba di Pulau Jawa dan
langsung melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Wirata. Sesampainya di istana, Sang Prabu segera
menyerahkan kue payasa tersebut kepada Dewi Brahmaniyuta.
Setelah memakan kue itu, Dewi Brahmaniyuta pun mengandung. Setelah melewati sembilan
bulan, Dewi Brahmaniyuta akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raden
Brahmaneka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SRI - SADANA MURCA


Kisah ini menceritakan perjalanan kedua anak Prabu Sri Mahapunggung yang meloloskan diri
meninggalkan Kerajaan Purwacarita, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana yang kelak dipuja
masyarakat Jawa sebagai dewi pelindung pangan atau pertanian, dan dewa pelindung sandang.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan
sedikit pengembangan.

PATIH PULASWA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KUMUWUNG


Patih Pulaswa, yaitu cucu Batara Kala yang dulu menyerah kalah kepada Prabu Brahmanaraja
(saat masih bernama Resi Bremana) telah melarikan diri dari penjara Kerajaan Gilingwesi dan
bersembunyi di Hutan Roban. Setelah keadaan aman dan memiliki banyak pengikut, ia pun
mendirikan istana Medang Kumuwung dan menjadi raja di sana bergelar Prabu Pulaswa.
Pada suatu hari Prabu Pulaswa dihadap para sepupunya sesama cucu Batara Kala, yaitu
Patih Kalasuba dan Ditya Kalandaru (keduanya adalah putra Batara Kalayuwana). Kepada mereka
berdua Prabu Pulaswa bercerita tentang mimpi tadi malam, yaitu memperistri Dewi Sri, putri
Kerajaan Purwacarita. Untuk mewujudkan mimpi tersebut, Prabu Pulaswa pun mengutus Ditya
Kalandaru untuk menyampaikan lamaran kepada Prabu Sri Mahapunggung.

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG KEHILANGAN DEWI SRI DAN RADEN SADANA


Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita dihadap Patih Mudabatara dan Raden
Wandu (anak nomor tiga), serta para punggawa yang dipimpin Arya Nitiradya, Arya Yadupura, dan
Arya Partaka. Saat itu Prabu Sri Mahapunggung sedang bersedih karena anak pertama dan kedua,
yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Awal
permasalahannya ialah Prabu Sri Mahapunggung hendak menjodohkan Raden Sadana dengan
Dewi Panitra, putri Arya Partaka. Akan tetapi, Raden Sadana tidak bersedia dan memilih kabur pada
malam hari karena sang ayah terus-menerus memaksa. Mendengar adik kembarnya telah pergi,
Dewi Sri pun ikut pergi pula untuk mencarinya tanpa membawa pengawal seorang pun.
Pada saat itu Ditya Kalandaru telah tiba di istana Purwacarita menghadap Prabu Sri
Mahapunggung untuk menyampaikan lamaran dari rajanya. Prabu Sri Mahapunggung tidak dapat
memberikan jawaban karena Dewi Sri telah hilang dari istana demi mencari keberadaan Raden
Sadana. Apabila Ditya Kalandaru bisa menemukan dan membawa pulang Dewi Sri, maka Prabu Sri
Mahapunggung berjanji akan menerima lamaran Prabu Pulaswa tersebut.
Ditya Kalandaru menerima persyaratan yang diajukan Prabu Sri Mahapunggung. Ia lalu
mohon pamit dan mengerahkan Aji Penggandan untuk menelusuri bau jejak langkah Dewi Sri.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI SRI BERLINDUNG DI DESA MEDANGWANGI


Ditya Kalandaru melacak kepergian Dewi Sri hingga masuk ke dalam sebuah hutan. Di sana
ia bertemu seorang pencari kayu bernama Wedana dan bertanya kepadanya apakah pernah melihat
seorang wanita cantik lewat di situ. Wedana menjawab tidak tahu. Ditya Kalandaru merasa kesal
dan langsung membunuh pencari kayu tersebut.
Setelah Ditya Kalandaru pergi, Dewi Sri justru melewati hutan itu. Ia sangat terkejut hingga
jatuh pingsan saat menemukan mayat Wedana yang bentuk tubuhnya mirip Raden Sadana. Tidak
lama kemudian datanglah kepala Desa Medangwangi bernama Buyut Bawada, yang tidak lain
adalah kakak kandung Wedana. Melihat adiknya tewas, Buyut Bawada sangat terkejut dan
menangis sedih. Tangisannya itu membuat Dewi Sri terbangun dari pingsan. Begitu mengetahui
kalau wanita di hadapannya adalah putri sulung Prabu Sri Mahapunggung, Buyut Bawada seketika
menyembah hormat.
Buyut Bawada kemudian membawa mayat adiknya untuk dikuburkan, serta mengajak Dewi
Sri beristirahat di rumahnya. Istri Buyut Bawada yang bernama Ken Patani menghidangkan
makanan, tetapi Dewi Sri meminta disediakan tempat tidur. Dewi Sri lalu mengajarkan tata cara
membersihkan tempat tidur kepada Ken Patani, karena tempat tidur yang bersih akan
mendatangkan berkah dari dewata.
Esok paginya, Ditya Kalandaru dan pasukannya datang menyerbu Desa Medangwangi dan
meminta supaya Dewi Sri diserahkan kepadanya. Buyut Bawada beserta warga desa menghadapi
serangan itu. Banyak sekali di antara mereka yang tewas, termasuk Buyut Bawada sendiri juga
gugur terkena golok Ditya Kalandaru.

DEWI SRI BERLINDUNG DI DESA KARANGLENGKI


Sementara itu, Dewi Sri dan Ken Patani berhasil lolos meninggalkan Desa Medangwangi dan
mereka pun sampai di rumah kepala Desa Karanglengki yang bernama Buyut Krama. Kebetulan
Ken Patani mengenal istri Buyut Krama yang bernama Biyang Samba. Sejak pergi meninggalkan
istana, baru kali ini Dewi Sri merasa lapar. Biyang Samba pun menghidangkan nasi golong, pecel
ayam, dan sayur menir kepadanya. Dewi Sri berterima kasih, lalu mengajarkan tata cara kebersihan
dapur dan pedaringan tempat menyimpan beras, karena dapur yang bersih akan mendatangkan
berkah dewata.
Tidak lama kemudian, Ditya Kalandaru dan pasukannya datang mengejar Dewi Sri. Buyut
Krama dan sejumlah warga desa menghadapi mereka. Terjadilah pertempuran yang berakhir
dengan kematian Buyut Krama dan kawan-kawannya itu. Dewi Sri sendiri berhasil meloloskan diri
dengan ditemani Ken Patani dan Biyang Samba.

DEWI SRI MEMINTA PERTOLONGAN BUYUT WANGKENG


Perjalanan Dewi Sri dan kedua janda pengikutnya telah sampai di Desa Kalimarka. Mereka
bertemu seorang remaja bernama Sindura yang sedang memetik bunga di taman. Sindura lalu
mengantarkan rombongan Dewi Sri itu menemui kedua orang tuanya, yaitu Buyut Radima dan Ken
Sangkep.
Dewi Sri disambut dengan penuh hormat oleh pasangan tersebut. Ia kemudian mengajarkan
tata cara merawat taman dan kebun serta bagaimana cara sesajinya. Buyut Radima dan Ken
Sangkep sangat berterima kasih. Mereka lalu menyarankan agar Dewi Sri meminta pertolongan
Buyut Wangkeng di Desa Medangwantu untuk mengalahkan para raksasa, karena kepala desa yang
satu ini terkenal sakti dan memiliki banyak ilmu. Dewi Sri menerima saran tersebut. Buyut Radima
sekeluarga lalu ikut mengantarkan menuju ke sana.
Perjalanan rombongan itu kemudian melewati Desa Beji. Di sana Dewi Sri mengobati hewan
ternak milik Umbul Manggala yang terkena penyakit. Dewi Sri juga mengajarkan tata cara merawat
kandang kepadanya. Setelah itu perjalanan pun dilanjutkan, dan Umbul Manggala ikut serta
mengantarkan sang dewi.
KITAB WAYANG PURWA

Rombongan Dewi Sri selanjutnya tiba di Desa Boga, di mana si kepala desa yang bernama
Buyut Warahas dan istrinya yang bernama Ken Pitengan sedang memilih padi di lumbung karena
diserang hama ulat merah. Dewi Sri ikut membantu mengajarkan mantra penolak hama, lalu
mengajarkan tata cara merawat lumbung kepada mereka berdua. Ia juga mengganti nama Ken
Pitengan menjadi Ken Martani, karena nama Pitengan dianggap kurang baik dan dapat
mengundang datangnya hama.
Adapun nama Buyut Warahas juga diganti menjadi Buyut Muskala sebagai bentuk
pengharapan agar lumbung dan sawahnya tidak diserang hama lagi.
Dewi Sri kemudian melanjutkan perjalanan dengan jumlah pengiring yang semakin bertambah
banyak. Ia akhirnya sampai di Desa Medangwantu, di mana Buyut Wangkeng sedang menjemur
padi, sedangkan istrinya yang bernama Ken Sani sedang menabuh lesung hendak menumbuk padi.
Dewi Sri sangat senang mendengar suara tetabuhan itu dan memerintahkan Ken Sani supaya
melestarikan ini sebagai tradisi masyarakat Jawa. Buyut Wangkeng dan Ken Sani mematuhi, lalu
mereka mengadakan perjamuan, tetapi Dewi Sri hanya memilih minum air kelapa muda saja.

DITYA KALANDARU BERTARUNG MELAWAN BUYUT WANGKENG


Ditya Kalandaru dan pasukan raksasa akhirnya tiba di Desa Medangwantu dan meminta
supaya Dewi Sri diserahkan kepadanya. Buyut Wangkeng dan murid-muridnya maju menghadapi.
Terjadilah pertempuran seru di desa itu. Baru kali ini Ditya Kalandaru mendapatkan lawan yang
seimbang. Ia akhirnya mengerahkan Aji Pengasrepan membuat Buyut Wangkeng dan murid-
muridnya lumpuh kedinginan.
Ditya Kalandaru lalu menangkap Buyut Wangkeng dan hendak membunuhnya. Namun, Buyut
Wangkeng sempat membaca Aji Bawanamantra, membuat pandangan Ditya Kalandaru menjadi
gelap hingga akhirnya buta sama sekali. Semua prajurit raksasa pengikutnya juga ikut mengalami
nasib yang sama. Mereka meraung-raung dan sambil bergandeng-gandeng tangan pergi
meninggalkan Desa Medangwantu.
Pada saat itulah datang murid Buyut Wangkeng yang bernama Buyut Sondong dari Desa
Medanggowong. Melihat gurunya menggigil kedinginan, Buyut Sondong segera memberikan
pertolongan. Dewi Sri kemudian bertanya kepadanya apakah mengetahui keberadaan Raden
Sadana yang telah lama hilang. Sungguh kebetulan, Buyut Sondong mengaku ia dan istrinya yang
bernama Ken Sademi pernah menjamu Raden Sadana beserta dua orang pengikutnya, bernama
Empu Cakut dari Dadapagung dan Buyut Tuha dari Awanda. Saat itu Raden Sadana
mengungkapkan niatnya ingin membangun sebuah permukiman di Hutan Medangagung.
Dewi Sri sangat gembira dan mengajak Buyut Sondong menyusul ke sana. Buyut Wangkeng
dan Ken Sani menyatakan siap mengawal pula. Maka, berangkatlah rombongan yang semakin
banyak itu pergi menuju ke Desa Medanggowong.

DITYA KALANDARU BERTEMU GARUDA WILMUKA


Sementara itu, Ditya Kalandaru dan para pengikutnya yang kehilangan penglihatan akhirnya
tersesat sampai ke sebuah pegunungan. Mereka berjalan menabrak-nabrak dan menghancurkan
bebatuan yang menghalangi. Hingga akhirnya Ditya Kalandaru tanpa sadar memukul hancur
sebongkah batu besar, dan tiba-tiba saja muncul seekor burung besar bernama Garuda Wilmuka
dari dalamnya.
Garuda Wilmuka berterima kasih kepada Ditya Kalandaru karena telah dibebaskan dari
himpitan batu besar tadi. Ia mengaku mengalami kecelakaan terjepit batu besar tersebut karena
mengejar seekor ular untuk dimangsa. Sebagai balasan, ia pun menyapukan bulu sayapnya pada
kedua mata Ditya Kalandaru dan para raksasa lainnya sehingga mereka pun mendapatkan
kesembuhan.
Ditya Kalandaru memperkenalkan dirinya sebagai anak Batara Kalayuwana, atau cucu Batara
Kala. Sebaliknya, Garuda Wilmuka mengaku sebagai putra Resi Jaluda, atau cucu Batara Antaga.
Keduanya lalu bersahabat dan Garuda Wilmuka mempersilakan Ditya Kalandaru pulang saja,
KITAB WAYANG PURWA

karena dia yang akan merebut Dewi Sri untuk dipersembahkan kepada Prabu Pulaswa di Kerajaan
Medang Kumuwung.

GARUDA WILMUKA MENCULIK DEWI SRI


Rombongan Dewi Sri telah sampai di Desa Medanggowong dan mereka pun melanjutkan
perjalanan menuju ke Hutan Medangagung. Tiba-tiba Garuda Wilmuka muncul dan langsung
menyambar tubuh Dewi Sri untuk dibawa terbang ke angkasa. Para pengikutnya pun menjerit-jerit
tapi tiada seorang pun yang dapat menolong.
Dewi Sri yang dicengkeram Garuda Wilmuka menangis dan berteriak meminta pertolongan
kakeknya, yaitu Batara Wisnu. Pada saat itulah muncul seekor garuda bernama Garuda Winanteya
yang merupakan putra Garuda Nartiwinata, atau cucu Garuda Bribrahma, atau cicit Garuda
Brihawan, kendaraan Batara Wisnu. Mendengar tangisan Dewi Sri itu, Garuda Winanteya segera
menerjang Garuda Wilmuka. Akibatnya, tubuh Dewi Sri pun terlepas dari cengkeraman dan
meluncur jatuh ke tanah.
Garuda Winanteya hendak menyambar Dewi Sri, tetapi Garuda Wilmuka menyerangnya.
Maka, terjadilah perkelahian antara dua burung besar tersebut, sedangkan nasib Dewi Sri akhirnya
tak tertolong lagi. Ia pun tewas dengan tubuh hancur lumat menghantam bumi.
Garuda Winanteya berhasil membunuh Garuda Wilmuka, lalu turun menghampiri jasad Dewi
Sri dan menangisinya. Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan membawa air suci
Tirtamarta Kamandanu untuk menghidupkan kembali Dewi Sri karena belum takdir baginya untuk
mati. Setelah Dewi Sri bangun dari kematian dengan tubuh pulih seperti sedia kala, Batara Narada
pun memerintahkan Garuda Winanteya untuk mengantarkannya menemui Raden Sadana di Hutan
Medangagung.

DEWI SRI BERTEMU RADEN SADANA


Dewi Sri lalu naik ke punggung Garuda Winanteya dan mereka pun terbang menuju ke Hutan
Medangagung. Sesampainya di sana, Dewi Sri sangat gembira bisa bertemu dengan Raden
Sadana. Kedua bersaudara itu saling berangkulan dengan perasaan haru dan saling menceritakan
pengalaman masing-masing.
Akan tetapi, Raden Sadana tetap menolak diajak pulang ke Purwacarita dan bertekad ingin
mendirikan permukiman di Hutan Medangagung. Dewi Sri tidak dapat membujuknya lagi, bahkan
berbalik siap membantunya. Dewi Sri lalu menyuruh Raden Sadana pergi ke Desa Medanggowong
untuk memberitahukan hal ini kepada Buyut Sondong, Buyut Wangkeng, dan yang lain. Raden
Sadana pun berangkat dengan mengendarai Garuda Winanteya, sedangkan Dewi Sri tetap tinggal
dengan dijaga Empu Cakut dan Buyut Tuha.

RADEN SADANA MENGALAHKAN PARA RAKSASA


Dalam perjalanan, Raden Sadana berjumpa Ditya Kalandaru dan pasukannya. Raden Sadana
dan Garuda Winanteya pun turun dari angkasa dan menyerang kawanan raksasa yang selalu
mengejar Dewi Sri itu. Terjadilah pertempuran di mana satu per satu prajurit raksasa tewas terkena
panah Raden Sadana atau dipatuk Garuda Winanteya. Ditya Kalandaru yang tinggal seorang diri
mengamuk menyerang Raden Sadana. Karena raksasa yang satu ini tidak mempan senjata, Raden
Sadana pun mengerahkan Aji Bayurota, membuat tubuh Ditya Kalandaru terlempar sejauh-jauhnya.

DEWI SRI DAN RADEN SADANA MEMBANGUN DESA SRINGAWANTI


Raden Sadana dan Garuda Winanteya akhirnya tiba di Desa Medanggowong dan masuk ke
rumah Buyut Sondong. Di situ tampak berkumpul lengkap Buyut Sondong, Ken Sademi, Buyut
Wangkeng, Ken Sani, Buyut Muskala, Ken Martani, Umbul Manggala, Buyut Radima, Ken Sangkep,
Sindura, Biyang Samba, dan Ken Patani. Mereka semua sedang menangisi nasib Dewi Sri yang
hilang diculik Garuda Wilmuka.
Raden Sadana menceritakan kepada mereka bahwa kakaknya telah selamat dari penculikan
itu, dan saat ini sedang menunggu di Hutan Medangagung. Buyut Sondong dan lainnya sangat
KITAB WAYANG PURWA

gembira. Mereka pun beramai-ramai berangkat menuju ke sana. Raden Sadana juga meminta
mereka supaya membawa bibit tanaman untuk membangun lahan pertanian sesuai perintah Dewi
Sri.
Dewi Sri di Hutan Medangagung menyambut kedatangan para pengikutnya tersebut. Mereka
lalu bergotong royong membuka Hutan Medangagung menjadi sebuah permukiman baru. Dewi Sri
prihatin melihat Biyang Samba dan Ken Patani telah menjadi janda karena suami mereka, yaitu
Buyut Krama dan Buyut Bawada tewas dibunuh Ditya Kalandaru demi membela dirinya. Maka, Dewi
Sri pun menjodohkan kedua janda itu dengan para pengikut Raden Sadana, yaitu Biyang Samba
dengan Empu Cakut, sedangkan Ken Patani dengan Buyut Tuha. Mereka mematuhi dan menerima
perjodohan tersebut dengan senang hati.
Demikianlah, Dewi Sri dan Raden Sadana telah selesai membuka Hutan Medangagung
menjadi sebuah permukiman baru, yang kemudian diberi nama Desa Sringawanti.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SRI - SADANA MAKAHYANGAN


Kisah ini menceritakan perjalanan Dewi Sri dan Raden Sadana yang mendapat kutukan dari
ayah mereka hingga berubah menjadi ular sawa dan burung sriti. Ular sawa itu akhirnya
teruwat kembali setelah ia melindungi bayi pasangan Kyai Wrigu dan Ken Sangki di Desa
Wasutira. Kemudian Dewi Sri diangkat menjadi dewi pangan, sedangkan Raden Sadana
diangkat menjadi dewa sandang.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

DITYA MAYANGKARA MENYUSUP KE DESA SRINGAWANTI


Prabu Pulaswa di Kerajaan Medang Kumuwung dihadap Patih Kalasuba, Ditya Kalandaru,
dan para punggawa raksasa. Mereka membicarakan tentang Dewi Sri yang saat ini kabarnya telah
mendirikan Desa Sringawanti di Hutan Medangagung bersama Raden Sadana. Untuk itu, Prabu
Pulaswa mengirim Ditya Mayangkara, suami Dewi Wikayi (putri Batara Kalakeya) supaya berangkat
menculik Dewi Sri.
Ditya Mayangkara pun berangkat melaksanakan perintah rajanya. Sesampainya di Desa
Sringawanti, ia mengubah wujudnya menjadi seekor sapi liar dan segera berbaur dengan kawanan
ternak yang digembalakan Umbul Manggala. Melihat jumlah ternaknya bertambah satu, Umbul
Manggala sangat senang. Beberapa hari kemudian, ia berniat menyembelih sapi barunya itu
sebagai hidangan selamatan.
Sapi penjelmaan Ditya Mayangkara tersebut pun berontak ketika hendak disembelih dan
mengamuk melukai Umbul Manggala beserta warga desa lainnya. Mendengar itu, Raden Sadana
segera turun tangan membantu. Ia melepaskan panah ke arah si sapi liar yang seketika mengubah
wujudnya menjadi Ditya Mayangkara kembali. Dengan cekatan, Raden Sadana lalu melepaskan
panah kedua yang berhasil melumpuhkan raksasa tersebut.
Ditya Mayangkara kesakitan memohon ampun. Ia juga menyebut-nyebut nama ayahnya, yaitu
Resi Wisnungkara. Raden Sadana heran mendengar nama itu dan bertanya apa hubungan Resi
Wisnungkara dengan Batara Wisnu, kakeknya. Ditya Mayangkara menjawab, bahwa ayahnya
adalah putra dari Resi Sudramurti, sedangkan Resi Sudramurti adalah penjelmaan Batara
Arnapurna, putra Batara Wisnu.
Raden Sadana senang mendengarnya, karena itu berarti Ditya Mayangkara masih terhitung
keponakannya sendiri. Ia pun membebaskan Ditya Mayangkara dan memberinya makan-minum
serta sejumlah uang. Raden Sadana juga menitipkan pesan jika Prabu Pulaswa ingin menikahi Dewi
Sri, maka raja raksasa itu harus melangkahi mayatnya terlebih dulu. Ditya Mayangkara menerima
pesan tersebut dan kemudian mohon pamit kembali ke Kerajaan Medang Kumuwung.

PRABU PULASWA MENYERANG DESA SRINGAWANTI


Ditya Mayangkara telah sampai di istana Medang Kumuwung dan melaporkan kegagalannya
kepada Prabu Pulaswa. Ia juga menyampaikan pesan Raden Sadana serta memuji-muji kebaikan
KITAB WAYANG PURWA

serta kesaktian saudara kembar Dewi Sri tersebut. Prabu Pulaswa sangat murka dan segera
memenggal kepala Ditya Mayangkara tanpa ampun.
Melihat kekejaman sang raja, Patih Kalasuba dan Ditya Kalandaru merasa ngeri. Diam-diam
mereka pun pergi meninggalkan Kerajaan Medang Kumuwung dengan membawa serta janda Ditya
Mayangkara, yaitu Dewi Wikayi yang saat itu sedang mengandung. (Dewi Wikayi adalah keponakan
Patih Kalasuba dan Ditya Kalandaru).
Prabu Pulaswa semakin marah mendengar kepergian kedua raksasa kepercayaannya itu.
Namun, ia tidak peduli dan tetap bersikeras melanjutkan niat memperistri Dewi Sri. Setelah
mengumpulkan pasukan, Prabu Pulaswa pun berangkat menyerang Desa Sringawanti untuk
menjawab tantangan Raden Sadana.
Raden Sadana sendiri telah bersiaga. Ia menyambut datangnya serangan itu dengan dibantu
Buyut Wangkeng dan Buyut Sondong beserta murid-murid mereka. Pertempuran pun terjadi.
Banyak prajurit raksasa dan warga desa yang tewas. Raden Sadana akhirnya mengerahkan Aji
Bayurota, menciptakan angin besar membuat Prabu Pulaswa dan para raksasa yang masih hidup
terhempas jauh entah ke mana.

ARYA NITIRADYA DIUTUS MENJEMPUT DEWI SRI DAN RADEN SADANA


Beberapa hari kemudian, Dewi Sri dan Raden Sadana menerima kedatangan punggawa
Kerajaan Purwacarita, yaitu Arya Nitiradya yang diutus untuk mengajak pulang mereka berdua. Arya
Nitiradya menceritakan bahwa Prabu Sri Mahapunggung dan Dewi Brahmaniyati sangat sedih atas
kepergian Dewi Sri dan Raden Sadana, hingga akhirnya mereka mengutus Patih Mudabatara untuk
meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra. Begawan Rukmawati pun
menjelaskan bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana telah mendirikan pedukuhan bernama Desa
Sringawanti di Hutan Medangagung.
Setelah mendapatkan petunjuk tersebut, Prabu Sri Mahapunggung segera mengutus Arya
Nitiradya untuk mengajak pulang Dewi Sri dan Raden Sadana. Kini Arya Nitiradya telah bertemu
mereka berdua. Jika dulu Raden Sadana kabur meninggalkan istana karena dipaksa menikah
dengan Dewi Panitra (putri Arya Partaka), maka sekarang hal itu tidak perlu dirisaukan lagi, karena
Prabu Sri Mahapunggung telah menikahkan Dewi Panitra dengan Raden Wandu (adik Dewi Sri dan
Raden Sadana).
Akan tetapi, Dewi Sri dan Raden Sadana meminta maaf karena tidak bisa menerima ajakan
Arya Nitiradya. Mereka mengaku sudah cukup senang tinggal di Desa Sringawanti dan tidak mau
pulang ke istana. Karena gagal membujuk keduanya, Arya Nitiradya akhirnya mohon pamit kembali
ke Purwacarita.

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENGUTUK DEWI SRI DAN RADEN SADANA


Arya Nitiradya telah tiba di Kerajaan Purwacarita dan melaporkan kegagalannya mengajak
pulang Dewi Sri dan Raden Sadana. Prabu Sri Mahapunggung sangat marah mendengarnya. Ia
menggerutu sendiri apakah kedua anaknya itu lebih suka hidup gelandangan seperti ular sawa atau
burung sriti?
Demikianlah, ucapan seorang ayah yang sedang sakit hati ternyata berubah menjadi kutukan,
meskipun tidak berhadapan secara langsung. Di Desa Sringawanti, tubuh Dewi Sri seketika berubah
menjadi ular sawa, sedangkan Raden Sadana berubah wujud menjadi burung sriti. Keduanya
merasa kebingungan dan pergi meninggalkan desa secara terpisah. Masing-masing pun terlunta-
lunta tak tentu arah.

ULAR SAWA DIPELIHARA KYAI WRIGU DAN KEN SANGKI


Sementara itu, di Desa Wasutira di wilayah Kerajaan Wirata hidup seorang tuwaburu bernama
Kyai Wrigu yang memiliki istri bernama Ken Sangki. Mereka sudah lama menikah namun belum juga
memiliki anak. Pada suatu hari Kyai Wrigu meminta petunjuk kepada gurunya, yaitu Resi Wisama
(kepala pandita Kerajaan Wirata) untuk memberikan jalan keluar terhadap permasalahan tersebut.
Resi Wisama menyarankan supaya Kyai Wrigu dan Ken Sangki meminum campuran empat jenis
KITAB WAYANG PURWA

air, yaitu air dari langit, air dari tanah, air dari tumbuhan, dan air dari binatang sebelum mereka
melakukan hubungan badan. Setelah itu Ken Sangki akan mengandung anak perempuan titisan
Batari Tiksnawati. Akan tetapi, anak perempuan itu hanya bisa lahir apabila Kyai Wrigu memelihara
seekor ular sawa yang tidur melingkar di persawahan.
Kyai Wrigu mematuhi nasihat gurunya itu dan singkat cerita istrinya telah mengandung. Ketika
memasuki usia kandungan sembilan bulan, Kyai Wrigu lalu pergi ke persawahan dan menemukan
seekor ular sawa tidur melingkar sesuai petunjuk sang guru. Ular sawa itu tidak lain adalah
penjelmaan Dewi Sri yang segera dibawanya pulang dan kemudian ditaruhnya di atas tempat tidur,
serta diberi makanan berupa katak hijau. Begitu ular sawa telah ditemukan, seketika Ken Sangki
pun melahirkan seorang bayi perempuan.
Malam harinya, Kyai Wrigu bermimpi si ular sawa dapat berbicara kepadanya, bahwa ia tidak
mau makan katak hijau dan ingin disuguhi sirih ayu, kembang arum, wewangian, dupa, serta lampu
kamar jangan dimatikan. Ia juga menasihati Kyai Wrigu agar tidur di siang hari dan begadang di
malam hari untuk menjaga si bayi dari segala marabahaya. Ia juga berpesan supaya bayi
perempuan tersebut diberi nama Ken Raketan.
Kyai Wrigu terbangun dari mimpinya dan segera melaksanakan apa yang disarankan oleh si
ular sawa.

PARA DEWA HENDAK MEMBUNUH BAYI KEN RAKETAN


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka sangat marah karena Batari Tiksnawati menitis
menjadi manusia tanpa izin. Maka, ia pun mengutus Batara Kala untuk membunuh bayi Ken Raketan
supaya Batari Tiksnawati dapat kembali ke kahyangan. Batara Kala pun berangkat dengan
mengubah wujudnya menjadi serigala.
Kyai Wrigu yang sedang tidur siang di rumahnya bermimpi si ular sawa mengatakan nanti
malam akan ada serigala datang untuk membunuh bayi Ken Raketan. Maka itu, hendaknya pintu
rumah diasapi dengan belerang dan bagian dalam rumah diasapi dengan daun kelapa tiga kali
dalam semalam. Kyai Wrigu juga harus bersesaji nasi punar dan lauk hati, serta mengelilingi rumah
sambil membaca mantra menyebut nama Batara Kala. Kyai Wrigu terbangun dari tidur dan
melaksanakan nasihat tersebut. Akibatnya, ketika malam tiba Batara Kala dalam wujud serigala
gagal memangsa bayi Ken Raketan dan segera kembali ke kahyangan.
Hari berikutnya, Batara Guru mengirim Batara Brahma untuk membunuh bayi Ken Raketan.
Batara Brahma pun mengubah wujudnya menjadi seekor sapi liar. Lagi-lagi Kyai Wrigu bermimpi di
siang hari di mana si ular sawa menasihatinya untuk memasang daun nanas yang dilorengi dengan
arang dan abu, serta diasapi dengan kulit bawang merah. Bagian dalam rumah hendaknya tetap
diasapi dengan daun kelapa tiga kali dalam semalam. Selain itu, Kyai Wrigu juga perlu bersesaji
nasi merah, sayur rebus, gantal, kinang, dan paradan, serta mengelilingi rumah sambil membaca
mantra menyebut nama Batara Brahma. Kyai Wrigu pun terbangun dari tidur dan segera
melaksanakan nasihat tersebut. Akibatnya, pada malam itu Batara Brahma gagal membunuh bayi
Ken Raketan dan kembali ke kahyangan.
Hari berikutnya Batara Guru mengirim Batara Wisnu untuk membunuh bayi Ken Raketan.
Batara Wisnu pun berangkat dengan mengubah wujudnya menjadi babi hutan. Siang harinya Kyai
Wrigu kembali bermimpi mendapat nasihat dari si ular sawa supaya menaruh duri pohon bidara di
depan pintu yang diasapi dengan pucuk daun tanjung, sedangkan bagian dalam tetap diasapi
dengan daun kelapa sebanyak tiga kali semalam. Kyai Wrigu juga harus bersesaji nasi hitam dengan
lauk ikan laut, serta mengelilingi rumah sambil membaca mantra menyebut nama Batara Wisnu.
Kyai Wrigu pun terbangun dari tidur dan segera melaksanakan nasihat tersebut, sehingga Batara
Wisnu gagal melaksanakan tugas dan kembali ke kahyangan.
Batara Guru sangat marah dan memutuskan untuk berangkat secara langsung membunuh
bayi Ken Raketan dengan disertai para dewa. Mereka pun mengubah wujud menjadi berbagai
macam binatang, mulai dari burung, kambing, kijang, tikus, sapi, bahkan sampai nyamuk dan semut.
Kali ini Kyai Wrigu dalam mimpinya mendapatkan nasihat panjang lebar dari si ular sawa demi
menghadapi serangan besar tersebut. Hendaknya Kyai Wrigu juga mendatangkan tetangga kiri-
KITAB WAYANG PURWA

kanan, serta jangan sampai melepaskan si bayi dari gendongan. Kyai Wrigu pun terbangun dari tidur
dan segera melaksanakan semua nasihat tersebut, sehingga Batara Guru dan pasukannya gagal
membunuh bayi Ken Raketan.

PARA BIDADARI MENEMUI DEWI SRI


Batara Guru kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka dan ia akhirnya mengetahui kalau
kegagalannya adalah disebabkan campur tangan Dewi Sri. Maka, ia pun mengirim para bidadari
yang dipimpin Batari Nariti (putri Batara Suksena) untuk menjemput Dewi Sri menjadi penghuni
kahyangan.
Rombongan Batari Nariti telah sampai di rumah Kyai Wrigu dan menyusup masuk menemui
ular sawa penjelmaan Dewi Sri. Mereka menyampaikan keputusan Batara Guru untuk menjadikan
Dewi Sri sebagai bidadari kahyangan dan hendaknya tidak lagi campur tangan melindungi bayi Ken
Raketan. Dewi Sri merasa rikuh karena dirinya masih berwujud ular sawa, sedangkan keberadaan
Raden Sadana juga masih belum jelas. Jika ia harus menjadi bidadari, maka Raden Sadana harus
dijadikan dewa pula.
Batari Nariti dan rombongan bidadari itu pun menjelaskan kedatangan mereka adalah untuk
meruwat Dewi Sri kembali menjadi manusia dan menjemputnya naik ke kahyangan, sedangkan
takdir Raden Sadana kelak juga akan teruwat menjadi manusia oleh Begawan Brahmanaresi di
Gunung Indragiri. Dewi Sri merasa lega dan ia pun menurut saat para bidadari itu membebaskan
dirinya dari kutukan.
Akan tetapi, setelah kembali berwujud manusia, Dewi Sri mengaku keberatan dibawa ke
kahyangan karena tidak tega melihat bayi Ken Raketan dibunuh hanya demi untuk mengeluarkan
roh Batari Tisknawati. Ia menjelaskan bahwa Kyai Wrigu dan Ken Sangki sudah lama menikah dan
baru sekarang bisa mempunyai keturunan, mengapa harus dipisahkan dengan si bayi secara
kejam? Jika ini dianggap sebagai kesalahan, maka Batara Guru selaku raja dewa seharusnya bisa
memberikan jalan keluar yang lebih bijaksana. Batari Nariti tidak dapat menjawab dan ia pun
mengajak rombongannya kembali ke kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.

DEWI SRI DIJEMPUT MENJADI BIDADARI


Sepeninggal para bidadari, Dewi Sri lalu keluar kamar menemui Kyai Wrigu dan Ken Sangki.
Pasangan suami istri itu gugup bercampur gembira begitu mengetahui bahwa si ular sawa yang
selama ini menolong mereka ternyata penjelmaan putri Kerajaan Purwacarita, yang merupakan
cucu Batara Wisnu. Kyai Wrigu dan Ken Sangki sendiri sebenarnya masih bersaudara sepupu, dan
mereka adalah cicit Batara Siwah, sehingga masih terhitung keponakan Dewi Sri. Mereka sangat
berterima kasih atas segala nasihat Dewi Sri yang telah beberapa kali menyelamatkan nyawa Ken
Raketan.
Tidak lama kemudian Batari Nariti kembali datang untuk menyampaikan keputusan Batara
Guru, bahwa bayi Ken Raketan tidak akan dibunuh, tetapi ditukar rohnya. Batari Tiksnawati akan
dikeluarkan dari tubuh si bayi dan digantikan dengan Batari Daruni. Adapun Batari Daruni telah
berdosa melakukan zinah dengan saudaranya sendiri yang bernama Batara Daruna, sehingga
mereka harus menjalani hukuman terlahir sebagai manusia. Batari Daruni harus menitis kepada Ken
Raketan, sedangkan Batara Daruna harus menitis kepada Raden Suganda, putra Raden Sutada,
atau cucu Raden Brahmaniyata dan Dewi Srinandi di Kerajaan Gilingwesi. Kelak mereka akan
ditakdirkan berjodoh setelah dewasa.
Dewi Sri bersyukur atas keputusan tersebut. Setelah pertukaran roh bayi selesai, Dewi Sri pun
menyatakan bersedia dibawa ke kahyangan menjadi bidadari, asalkan dijemput menggunakan
pedati yang ditarik Lembu Gumarang dan disediakan cemeti Nagaserang pula.
Batari Nariti segera kembali ke kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru. Tidak lama
kemudian ia kembali lagi dengan membawa apa yang diminta Dewi Sri tersebut. Rupanya Batara
Guru mengetahui maksud Dewi Sri meminta pedati yang ditarik Lembu Gumarang dan
bersenjatakan cambuk Nagaserang adalah sebagai kiasan bahwa ia ingin diangkat sebagai dewi
pelindung pertanian. Batara Guru pun mengabulkan permintaan itu, sehingga dengan demikian,
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sri setiap malam bisa berkeliling Tanah Jawa mengendarai pedati tersebut dengan melecutkan
Cambuk Nagaserang menebarkan benih tanaman pangan di segenap lahan pertanian.
Dewi Sri sangat bersyukur karena apa yang menjadi keinginannya dikabulkan oleh Batara
Guru. Kini, ia pun diangkat sebagai bidadari yang bertugas melindungi pertanian di Tanah Jawa.
Dengan mengendarai pedati tersebut, ia pun berangkat dengan didampingi Batari Tiksnawati dan
diiringi para bidadari lainnya.

KISAH RADEN SADANA DAN DEWI LAKSMITAWAHNI


Sementara itu, Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita sedang berduka karena
menantunya, yaitu Dewi Panitra meninggal dunia setelah melahirkan seorang bayi laki-laki, hasil
perkawinan dengan Raden Wandu. Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Raden Wandawa.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Sri Mahapunggung menerima kunjungan sepupunya, yaitu
Begawan Brahmanaresi (putra Batara Brahma) dari Gunung Indragiri di Tanah Hindustan, bersama
putrinya yang bernama Dewi Laksmitawahni, serta cucunya yang masih bayi, bernama Dewi Hartati.
Begawan Brahmanaresi menjelaskan bahwa Dewi Hartati adalah putri Dewi Laksmitawahni
hasil perkawinan dengan Raden Sadana. Prabu Sri Mahapunggung sangat terkejut mendengarnya
dan ia pun meminta penjelasan lebih lanjut. Begawan Brahmanaresi lalu bercerita bahwa pada suatu
hari Dewi Laksmitawahni mimpi bertemu Raden Sadana dan jatuh cinta kepadanya. Begitu
terbangun, ia memohon kepada ayahnya supaya dinikahkan dengan pemuda itu. Begawan
Brahmanaresi pun bersiap untuk berangkat ke Tanah Jawa. Akan tetapi, ia merasa kesal karena
sanggar tempatnya bersembahyang dikotori oleh seekor burung sriti. Burung sriti itu lalu dipanahnya
dan seketika berubah wujud menjadi Raden Sadana.
Raden Sadana menceritakan kalau dirinya mendapat kutukan dari sang ayah menjadi burung
sriti, sedangkan kakaknya yang bernama Dewi Sri berubah menjadi ular sawa. Begawan
Brahmanaresi merasa terharu dan bersyukur mendengarnya, lalu ia pun menikahkan Raden
Sadana dengan Dewi Laksmitawahni, putrinya. Akan tetapi, ketika dari perkawinan itu lahir seorang
bayi perempuan yang diberi nama Dewi Hartati, tiba-tiba saja Raden Sadana musnah karena
dijemput Batara Narada untuk menjadi dewa penghuni kahyangan. Jika Dewi Sri diangkat sebagai
dewi pangan, maka Raden Sadana diangkat menjadi dewa sandang.
Kini, kedatangan Begawan Brahmanaresi ke Kerajaan Purwacarita adalah untuk
menyampaikan berita tersebut sekaligus memperkenalkan si bayi Dewi Hartati sebagai cucu Prabu
Sri Mahapunggung. Prabu Sri Mahapunggung merasa terharu mendengar cerita itu, dan ia
memutuskan untuk tetap berbesan dengan Begawan Brahmanaresi. Untuk itu, setelah masa
berkabung Raden Wandu usai, ia akan dinikahkan dengan Dewi Laksmitawahni.
Raden Wandu dan Dewi Laksmitawahni pun menerima keputusan tersebut. Maka, pada hari
yang telah ditentukan dilaksanakanlah upacara perkawinan di antara mereka. Setelah upacara
berakhir, Begawan Brahmanaresi mohon pamit kembali ke Gunung Indragiri di Tanah Hindustan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PRABU CINGKARADEWA
Kisah ini menceritakan Prabu Sindula putra Prabu Watugunung yang dikalahkan anaknya
sendiri, bernama Prabu Cingkaradewa. Kisah dilanjutkan dengan usaha Prabu Cingkaradewa
menguasai seluruh Tanah Jawa, yaitu dengan menewaskan Prabu Brahmanaraja dan Prabu Sri
Mahapunggung, serta menaklukkan Prabu Basurata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

RIWAYAT PRABU CINGKARADEWA PUTRA PRABU SINDULA


Prabu Sindula (putra Prabu Watugunung) di Kerajaan Medang Galungan dihadap Patih
Sukapa dan para punggawa, antara lain Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja
Capala. Dalam pertemuan itu mereka sedang membicarakan selesainya pembangunan istana baru
di bawah tanah, yang disebut Keraton Gotaka.
Tiba-tiba datanglah utusan dari Kerajaan Medang Kamulan yang bernama Arya Dwapara (adik
Raja Capala). Adapun raja Medang Kamulan bernama Prabu Cingkaradewa, tidak lain adalah putra
Prabu Sindula sendiri, yang dulu telah diusir dari Medang Galungan. Ia bernama asli Raden Sadewa.
Dari perkawinan Prabu Sindula dan Dewi Tulus (putri Begawan Sukra) telah lahir empat orang
anak, yaitu Dewi Ratnadewi, Raden Sadewa, Raden Dewata, dan Raden Jawata. Beberapa tahun
yang lalu, Prabu Sindula telah mengusir Raden Sadewa pergi dari Medang Galungan karena putra
keduanya itu berkelakuan menyimpang, yaitu suka bersetubuh dengan sesama laki-laki.
Awal dari kisah tersebut ialah Raden Sadewa jatuh cinta kepada adik Raja Capala yang
bernama Dewi Capadi. Karena Raden Sadewa adalah cucu Prabu Watugunung, sedangkan Dewi
Capadi adalah putri Patih Suwelacala, itu berarti Raden Sadewa jatuh cinta kepada bibinya sendiri.
Tentu saja Dewi Capadi menolak karena takut melanggar aturan agama. Akan tetapi, Raden
Sadewa tidak peduli dan ia berniat memerkosa bibinya itu. Karena terus didesak, Dewi Capadi
akhirnya nekat bunuh diri, membuat Raden Sadewa sangat berduka.
Kematian Dewi Capadi telah membuat Raden Sadewa membenci perempuan dan lebih
mencintai laki-laki. Ia tidak mau menikah secara wajar dan lebih suka melakukan hubungan sejenis
(homoseksual). Hal ini membuat Prabu Sindula sangat marah dan mengusir anak keduanya itu.
Raden Sadewa pun pergi meninggalkan Medang Galungan dengan disertai tiga orang adik Dewi
Capadi, yaitu Arya Dwapara, Arya Gandara, dan Arya Kumbina.
Kini, peristiwa itu telah lama berlalu. Arya Dwapara yang datang ke istana Medang Galungan
bercerita bahwa, setelah Raden Sadewa diusir pergi, ia lantas berkelana sampai ke Tanah Pagelen,
yaitu di bekas istana Medang Kamulan dulu (zaman Prabu Palindriya). Di tempat itu ia membangun
kembali istana milik kakek buyutnya tersebut dan menjadi raja di sana, bergelar Prabu
Cingkaradewa.
KITAB WAYANG PURWA

Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa menemukan arca dari emas yang terpendam di dalam
tanah. Arca itu berwujud Batara Guru duduk bersila, yang pada tempat duduknya bertuliskan
kalimat: “Anak dan harta jika dipelihara dengan baik, akan menjadi baik. Jika tidak memiliki anak
akan membuat hati kecil. Jika tidak mempunyai harta akan sulit mewujudkan cita-cita”.
Kedatangan Arya Dwapara ke Medang Galungan kali ini adalah diutus Prabu Cingkaradewa
untuk mempersembahkan arca emas tersebut kepada Prabu Sindula sebagai tanda penyesalan.
Akan tetapi, Prabu Sindula justru tersinggung karena merasa arca emas itu dimaksudkan untuk
menyindir dirinya. Ia pun mengusir Arya Dwapara dan menyuruhnya membawa kembali arca emas
tersebut. Prabu Sindula sama sekali tidak mau mengampuni putra keduanya yang berkelakuan
menyimpang itu, bahkan ingin menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

PRABU CINGKARADEWA MENDATANGI KERAJAAN MEDANG GALUNGAN


Arya Dwapara telah kembali ke Kerajaan Medang Kamulan menghadap Prabu Cingkaradewa.
Setelah mendengar semua laporan, Prabu Cingkaradewa memutuskan untuk menyerahkan nyawa
kepada sang ayah di istana Medang Galungan jika memang ia dikehendaki mati. Maka, raja Medang
Kamulan itu pun berangkat dengan disertai pasukannya yang dipimpin Arya Dwapara, Arya
Gandara, dan Arya Kumbina.
Sementara itu, Prabu Sindula justru salah paham mengira Prabu Cingkaradewa datang
membawa pasukan untuk menyerang dirinya. Ia pun mengerahkan pasukan Medang Galungan
untuk menghadapinya dengan dipimpin putra ketiga dan keempat, yaitu Raden Dewata dan Raden
Jawata. Mendengar sesama putranya akan bertempur dan saling bunuh, sang permaisuri Dewi
Tulus merasa sangat sedih. Ia lalu terjun ke dalam api, yang kemudian disusul putri sulungnya, yaitu
Dewi Ratnadewi.
Prabu Sindula sangat menyesal mengetahui istri dan anak tertuanya telah mati bunuh diri.
Namun, ia terlanjur mengeluarkan perintah, sedangkan Raden Dewata dan Raden Jawata juga telah
berangkat ke medan perang.

AKHIR HIDUP PRABU SINDULA


Sementara itu, Raden Dewata dan Raden Jawata merasa bimbang melaksanakan perintah
sang ayah karena harus bertempur melawan kakak sendiri. Mereka pun memutuskan pura-pura
berperang saja, agar bisa bersikap aman pada kedua pihak. Maka, ketika pertempuran terjadi,
kedua pangeran itu pun pura-pura tewas terkena senjata Prabu Cingkaradewa.
Akan tetapi, para prajurit Medang Galungan yang tidak tahu-menahu sandiwara itu mengira
kedua pangeran benar-benar mati. Maka, mereka pun melaporkan hal itu kepada Prabu Sindula.
Amarah Prabu Sindula kembali berkobar dibuatnya. Ia pun berangkat menuju ke medan perang.
Meskipun Patih Sukapa, Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala berusaha
menasihati bahwa itu semua hanyalah sandiwara, namun Prabu Sindula tidak peduli.
Prabu Sindula yang tiba di medan tempur segera disambut oleh sembah bakti Prabu
Cingkaradewa. Ia juga melihat Raden Dewata dan Raden Jawata hidup kembali, karena mereka
memang hanya pura-pura mati. Prabu Sindula menjadi sangat malu menyadari kesalahannya. Ia
lalu kembali ke istana dan mengheningkan cipta melepaskan roh, memutus nyawa sendiri.

KERAJAAN MEDANG KAMULAN DIPINDAHKAN KE MEDANG GALUNGAN


Prabu Cingkaradewa, Raden Dewata, dan Raden Jawata sangat berduka mendengar
kematian ayah mereka, juga kematian sang ibu dan kakak sulung. Sementara itu, Patih Sukapa dan
para punggawa telah bermusyawarah dan sepakat mengangkat Prabu Cingkaradewa sebagai raja
Medang Galungan yang baru.
Prabu Cingkaradewa menerima keputusan itu, namun ia kemudian mengubah nama Medang
Galungan menjadi Medang Kamulan. Patih Sukapa tetap menduduki jabatannya, begitu pula para
punggawa lainnya. Hanya saja, nama Arya Dwapara diganti menjadi Arya Caracapa supaya tidak
mirip dengan Raja Dyapara.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU CINGKARADEWA MENDAPAT PERINTAH MENAKLUKKAN TANAH JAWA


Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa pergi berkelana didampingi Patih Sukapa dengan
menyamar sebagai rakyat biasa untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakat pedesaan.
Setelah dirasa cukup, Patih Sukapa lalu mendampingi Prabu Cingkaradewa melakukan tapa
kungkum, yaitu berendam di tengah sungai yang mengalir.
Setelah bertapa kungkum beberapa hari, Prabu Cingkaradewa didatangi arwah leluhurnya,
yaitu Sri Maharaja Kanwa Pakukuhan yang memberikan perintah supaya ia menaklukkan Tanah
Jawa. Sri Maharaja Kanwa ingin keturunannya itu menjadi maharaja penguasa Tanah Jawa seperti
dirinya dulu semasa hidup. Sebagai senjata, Sri Maharaja Kanwa pun memberikan pusaka Pedang
Candrahasa kepada Prabu Cingkaradewa.

KEMATIAN PRABU BRAHMANARAJA


Setelah mendapatkan perintah dari sang leluhur, Prabu Cingkaradewa dan Patih Sukapa
segera kembali ke istana Medang Kamulan dan mulai mempersiapkan pasukan. Terhitung ada tiga
kerajaan besar di Tanah Jawa yang harus ditaklukkan, yaitu Gilingwesi, Wirata, dan Purwacarita.
Sebagai sasaran pertama, Prabu Cingkaradewa pun berangkat menyerbu Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi menerima surat tantangan dari cucu Prabu
Watugunung tersebut. Ia pun memimpin pasukan untuk menyambut serangan. Maka, terjadilah
pertempuran yang menewaskan banyak prajurit di kedua pihak. Prabu Cingkaradewa lalu
menantang Prabu Brahmanaraja bertanding satu lawan satu. Pertarungan seru pun terjadi di antara
mereka. Akhirnya, Prabu Brahmanaraja tewas terkena Pedang Candrahasa milik Prabu
Cingkaradewa.
Prabu Cingkaradewa kemudian menawan semua anggota keluarga Prabu Brahmanaraja dan
memasukkan mereka ke dalam penjara. Namun demikian, ada satu orang yang berhasil meloloskan
diri, yaitu sang pangeran mahkota Raden Tritrusta.

KEMATIAN PRABU SRI MAHAPUNGGUNG


Setelah menaklukkan Kerajaan Gilingwesi, Prabu Cingkaradewa lalu menyerbu Kerajaan
Wirata. Pertempuran kembali terjadi dan lagi-lagi dimenangkan oleh pihak Medang Kamulan. Prabu
Basurata raja Wirata yang kalah perang melarikan diri bersama Patih Sunggata untuk meminta
perlindungan kepada kakaknya, yaitu Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita.
Sementara itu, Prabu Sri Mahapunggung sedang berbahagia karena cucunya baru saja lahir,
yaitu putra dari perkawinan Raden Wandu dan Dewi Laksmitawahni. Ia pun memberi nama cucunya
itu Raden Wahnaya. Tidak lama kemudian Prabu Basurata datang melaporkan bahwa dirinya baru
saja dikalahkan Prabu Cingkaradewa raja Medang Kamulan, yang juga telah menewaskan Prabu
Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Sri Mahapunggung sangat marah mendengar laporan adiknya itu. Ia pun memimpin
langsung pasukan Purwacarita menghadapi kedatangan pihak Medang Kamulan. Perang kembali
terjadi. Untuk mengurangi jatuhnya banyak korban, Prabu Cingkaradewa menantang Prabu Sri
Mahapunggung bertanding satu lawan satu. Terjadilah pertarungan seru di antara mereka. Prabu
Sri Mahapunggung mengerahkan segenap kesaktiannya. Namun, karena usianya yang sudah
cukup tua, ia akhirnya kehabisan tenaga dan meninggal dunia.

PRABU BASURATA MENGUNGSI KE GUNUNG MAHENDRA


Setelah kakaknya tewas, Prabu Basurata kehilangan semangat dan ingin bunuh diri. Namun,
Patih Mudabatara mencegahnya. Raja Wirata itu kemudian diajak pergi mengungsi ke Gunung
Mahendra untuk meminta perlindungan Begawan Rukmawati. Maka, berangkatlah Prabu Basurata
disertai Patih Mudabatara dan Patih Sunggata menuju ke sana.
Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra menyambut kedatangan mereka. Setelah
mendengarkan apa yang terjadi, Begawan Rukmawati lalu mengheningkan cipta untuk mencari
petunjuk apa yang seharusnya dilakukan Prabu Basurata. Ternyata petunjuk yang ia terima adalah
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basurata harus menyerahkan diri kepada Prabu Cingkaradewa, karena kelak akan ada pihak
lain dari tanah seberang yang akan mengalahkan raja Medang Kamulan tersebut.
Prabu Basurata merasa kecewa terhadap petunjuk itu namun tidak berani membantah. Ia lalu
mohon pamit meninggalkan Gunung Mahendra untuk kembali ke Kerajaan Purwacarita. Di tengah
jalan rombongan tersebut bertemu Raja Capala yang mengaku diutus Prabu Cingkaradewa untuk
menjemput mereka.

PRABU CINGKARADEWA MENJADI SRI MAHARAJA PURWACANDRA


Prabu Cingkaradewa yang masih menduduki Kerajaan Purwacarita menyambut kedatangan
Prabu Basurata beserta rombongan. Tak disangka, Prabu Cingkaradewa yang kemarin bersikap
kejam ternyata kini berubah sangat ramah dan memanggil “paman” kepada Prabu Basurata.
Rupanya saat menduduki Kerajaan Purwacarita, Prabu Cingkaradewa menemukan kitab yang
berisi silsilah keluarga Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata. Di kitab itu tertulis bahwa
kedua raja tersebut adalah putra Batara Wisnu yang lahir dari Dewi Sriyuwati, sedangkan Dewi
Sriyuwati adalah adik tiri Prabu Watugunung, sesama putra Prabu Palindriya. Setelah membaca
kitab silsilah tersebut, Prabu Cingkaradewa merasa sangat menyesal karena telah menyebabkan
tewasnya Prabu Sri Mahapunggung yang masih terhitung paman baginya.
Maka, Prabu Cingkaradewa pun mengizinkan Prabu Basurata kembali menjadi raja di Wirata,
sedangkan Kerajaan Purwacarita diserahkan kepada putra Prabu Sri Mahapunggung, yaitu Raden
Wandu, bergelar Prabu Sri Mahawan. Kedua raja itu diperbolehkan mengatur kerajaan masing-
masing, namun setiap tahun harus melapor kepada Prabu Cingkaradewa di Kerajaan Medang
Kamulan. Prabu Basurata dan Prabu Sri Mahawan pun menyatakan tunduk dan bersumpah setia
kepada Prabu Cingkaradewa.
Kini, Prabu Cingkaradewa telah menjadi penguasa tertinggi di seluruh Tanah Jawa
sebagaimana yang dikehendaki arwah Sri Maharaja Kanwa Pakukuhan. Sebagai raja agung, Prabu
Cingkaradewa pun mengganti gelarnya menjadi Sri Maharaja Purwacandra.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PRABU BRAHMASATAPA
Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Raden Tritrusta putra Prabu Brahmanaraja yang bisa
membangun kembali Kerajaan Gilingwesi, dengan bergelar Prabu Brahmasatapa. Dikisahkan
pula Prabu Brahmasatapa kemudian memiliki putra bernama Raden Dukutoya dan Dewi Srini.
Raden Dukutoya inilah yang kelak dikenal sebagai Prabu Parikenan, leluhur para Pandawa dan
Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

RADEN TRITRUSTA MENDAPAT JODOH BIDADARI


Raden Tritrusta putra Prabu Brahmanaraja sedang bertapa di Gunung Soda atas perintah
mertuanya, yaitu Batara Sumantanu. Awalnya ia berhasil meloloskan diri saat Kerajaan Gilingwesi
diserang musuh dan ayahnya gugur di tangan Prabu Cingkaradewa. Ia kemudian berkelana terlunta-
lunta hingga akhirnya sampai di kaki Gunung Soda. Di tempat itu ia diserang raksasa bernama Ditya
Widata dan terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Raden Tritrusta akhirnya berhasil
mengalahkan raksasa itu menggunakan panahnya. Secara ajaib, raksasa tersebut tidak mati tetapi
berubah wujud menjadi seorang dewa bernama Batara Sumantanu.
Batara Sumantanu adalah putra Batara Ramaprawa yang melakukan kesalahan di kahyangan
sehingga terkena kutukan menjadi raksasa bernama Ditya Widata tadi. Ia berterima kasih telah
dibebaskan dari kutukan. Raden Tritrusta lalu disarankan untuk bertapa di puncak Gunung Soda
jika ingin mendapatkan kembali kemuliaannya di Kerajaan Gilingwesi.
Kini beberapa bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Batara Sumantanu datang kembali di
Gunung Soda untuk membangunkan tapa Raden Tritrusta. Kali ini ia datang bersama putrinya yang
bernama Dewi Widati untuk dijodohkan dengan Raden Tritrusta. Raden Tritrusta pun menerima
keputusan tersebut dengan senang hati.
Setelah menikahkan mereka berdua, Batara Sumantanu menjelaskan bahwa saat ini keadaan
sudah aman. Ia menyarankan supaya Raden Tritrusta pura-pura menyerahkan diri kepada Prabu
Cingkaradewa yang saat ini sudah bergelar Sri Maharaja Purwacandra di Kerajaan Medang
Kamulan. Dengan mengabdi kepada Sri Maharaja Purwacandra, maka Raden Tritrusta dapat
membangun kembali Kerajaan Gilingwesi dan kelak jika sudah cukup kekuatan, ia dapat
memberontak kepada Sri Maharaja Purwacandra. Batara Sumantanu juga menyarankan sebaiknya
Raden Tritrusta pergi ke Wirata terlebih dulu untuk meminta tolong kepada Prabu Basurata supaya
dihadapkan ke Kerajaan Medang Kamulan.
Raden Tritrusta mematuhi semua nasihat sang mertua. Ia lalu mohon pamit meninggalkan
Gunung Soda dengan disertai Dewi Widati, istrinya.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN TRITRUSTA DITERIMA SRI MAHARAJA PURWACANDRA


Sri Maharaja Purwacandra di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Sukapa, Raden
Dewata, Raden Jawata, Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala. Mereka
membicarakan tentang Kerajaan Gilingwesi yang sampai sekarang belum memiliki raja, karena
putra sulung Prabu Brahmanaraja yang bernama Raden Tritrusta masih belum ditemukan.
Raja Wipara menjelaskan bahwa selama ini Kerajaan Gilingwesi dijaga oleh kedua putranya,
yaitu Arya Jabung dan Arya Jangkung. Apabila Raden Tritrusta tetap tidak bisa ditemukan, ia
mengusulkan supaya kedua putranya itu saja yang dilantik sebagai raja Gilingwesi. Sri Maharaja
Purwacandra berjanji akan mempertimbangkan usulan tersebut.
Namun, tiba-tiba Prabu Basurata datang menghadap dengan disertai Raden Tritrusta dan
Dewi Widati. Prabu Basurata memperkenalkan Raden Tritrusta adalah putra mendiang Prabu
Brahmanaraja yang lama hilang dan sekarang ingin menyerahkan diri kepada Sri Maharaja
Purwacandra.
Sri Maharaja Purwacandra sangat senang ketika Raden Tritrusta mengucapkan sumpah setia
kepadanya disaksikan para hadirin. Maka, ia pun mengumumkan bahwa Raden Tritrusta akan
dilantik sebagai raja Gilingwesi yang baru. Hal ini membuat Raja Wipara sangat kecewa. Diam-diam
ia pun pergi meninggalkan istana Medang Kamulan untuk bergabung dengan kedua anaknya di
Gilingwesi.

PEMBERONTAKAN ARYA JABUNG DAN ARYA JANGKUNG


Arya Jabung dan Arya Jangkung di Kerajaan Gilingwesi menyambut kedatangan ayah
mereka. Raja Wipara pun bercerita bahwa putra mahkota Kerajaan Gilingwesi yang bernama Raden
Tritrusta telah muncul dan kini mengabdi kepada Sri Maharaja Purwacandra. Arya Jabung dan Arya
Jangkung sangat marah begitu mengetahui Sri Maharaja Purwacandra batal melantik mereka
sebagai penguasa Kerajaan Gilingwesi yang resmi.
Kedua arya itu lalu menyatakan pemberontakan terhadap Kerajaan Medang Kamulan. Mereka
pun melantik diri sendiri sebagai penguasa penuh di Kerajaan Gilingwesi, di mana Arya Jabung
memakai gelar Prabu Kalajaya, sedangkan Arya Jangkung memakai gelar Patih Kaladitya.

RADEN TRITRUSTA MENUMPAS PEMBERONTAKAN GILINGWESI


Sri Maharaja Purwacandra sangat murka mendengar berita pemberontakan kedua putra Raja
Wipara itu. Ia pun mengirim Raden Tritrusta beserta Raden Dewata dan Raden Jawata untuk
memimpin pasukan Medang Kamulan menumpas pemberontakan tersebut.
Maka, terjadilah pertempuran di Kerajaan Gilingwesi. Ketika matahari hampir terbenam,
Raden Tritrusta akhirnya berhasil menangkap Prabu Kalajaya dan Patih Kaladitya beserta Raja
Wipara untuk kemudian dihadapkan kepada Sri Maharaja Purwacandra di Kerajaan Medang
Kamulan.
Sri Maharaja Purwacandra akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Prabu Kalajaya dan
Patih Kaladitya. Akan tetapi, Raden Tritrusta memohon pengampunan atas kesalahan mereka. Sri
Maharaja Purwacandra mengabulkan permohonan itu dan menggantinya menjadi hukuman buang
ke Hutan Medangagung. Nama Prabu Kalajaya dan Patih Kaladitya pun dikembalikan menjadi Arya
Jabung dan Arya Jangkung. Sementara itu, ayah mereka, yaitu Raja Wipara juga dihukum buang
dan dikembalikan namanya menjadi Resi Dwara.

RADEN TRITRUSTA DILANTIK MENJADI RAJA GILINGWESI


Sri Maharaja Purwacandra sangat berkenan atas keberhasilan Raden Tritrusta yang
didampingi Raden Dewata dan Raden Jawata dalam menumpas pemberontakan anak-anak Resi
Dwara. Maka, Raden Tritrusta pun dilantik menjadi raja Gilingwesi yang baru. Karena pernah
bertapa di Gunung Soda, ia pun diberi gelar Prabu Brahmasatapa. Sri Maharaja Purwacandra juga
memberi gelar kepada Raden Dewata dan Raden Jawata, masing-masing menjadi Raja Wigara dan
Raja Patanggara.
KITAB WAYANG PURWA

Pada hari yang ditentukan, Prabu Brahmasatapa pun mulai menduduki takhta Kerajaan
Gilingwesi. Ia membebaskan sanak saudaranya yang sejak kematian Prabu Brahmanaraja menjadi
tahanan Arya Jabung dan Arya Jangkung. Para sanak saudara itu kemudian diberi kedudukan di
Kerajaan Gilingwesi. Mereka adalah:
- Raden Brahmaniyama (paman) mendapat gelar Resi Brahmasatama
- Raden Brahmaniyata (paman) mendapat gelar Resi Brahmasadewa.
- Raden Tripunggung (adik kandung) mendapat gelar Arya Brahmastuti.
- Raden Trimatsyaka (adik kandung) mendapat gelar Arya Brahmayana.
- Raden Siwandara (adik tiri) mendapat gelar Arya Brahmanasidi.
- Raden Sasihawa (adik tiri) mendapat gelar Arya Brahmanajati.
- Raden Aniwarna (sepupu) mendapat gelar Arya Brahmanaradya.
- Raden Drataweda (sepupu) mendapat gelar Arya Brahmanaweda.
- Raden Sutada (sepupu) mendapat gelar Arya Brahmanakestu.
Adapun yang jabatan menteri utama tetap dipegang oleh Patih Atmera, bahkan putrinya yang
bernama Ken Rajatadi dinikahi pula oleh Prabu Brahmasatapa sebagai istri kedua.
Sementara itu, Resi Dwara dan kedua anaknya yang dihukum buang Sri Maharaja
Purwacandra merasa berhutang budi kepada Prabu Brahmasatapa. Mereka bertiga pun datang
untuk mengabdi di Kerajaan Gilingwesi. Prabu Brahmasatapa menerima pengabdian mereka, dan
mengangkat Resi Dwara sebagai sesepuh istana, bergelar Empu Artati.

DEWI WIDATI MELAHIRKAN BAYI KEMBAR LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Beberapa bulan kemudian, Dewi Widati melahirkan dua orang anak kembar laki-laki dan
perempuan. Diam-diam Ken Rajatadi menculik kedua bayi itu dan membuangnya ke hutan. Ia lalu
mengambil dua ekor bayi kambing dan menyerahkannya kepada Prabu Brahmasatapa.
Prabu Brahmasatapa sangat murka karena mengira Dewi Widati benar-benar melahirkan dua
ekor bayi kambing. Ia pun memarahi istri pertamanya itu dengan segala macam perkataan. Dewi
Widati kehilangan kesabaran. Ia pun kembali menjadi bidadari dan pulang ke kahyangan Batara
Sumantanu.
Ken Rajatadi merasa senang usahanya untuk menyingkirkan Dewi Widati telah berhasil. Kini
ia pun menjadi satu-satunya permaisuri di Kerajaan Gilingwesi.
Sementara itu, bayi laki-laki dan perempuan yang dilahirkan Dewi Widati akhirnya ditemukan
oleh Begawan Rukmawati dan dibawa ke Gunung Mahendra untuk diasuh di sana. Kedua anak
Prabu Brahmasatapa itu masing-masing diberi nama Raden Dukutoya dan Dewi Srini.

PRABU BRAHMASATAPA JATUH CINTA KEPADA BIBINYA


Pada suatu hari Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi menerima kedatangan bidadari
putri Batara Brahma, yaitu Batari Dresanala. Kedatangan Batari Dresanala ini adalah untuk
menyampaikan perintah Batara Brahma kepada Resi Brahmasatama dan Resi Brahmasadewa
supaya pulang ke Kahyangan Daksinageni untuk diangkat menjadi dewa.
Melihat kecantikan Batari Dresanala, seketika Prabu Brahmasatapa jatuh hati dan berterus
terang ingin menikahinya. Namun, Batari Dresanala menolak lamaran itu karena dirinya adalah bibi
dari Sang Prabu yang merupakan putra Prabu Brahmanaraja. Resi Brahmasatama dan Resi
Brahmasadewa juga ikut menjelaskan bahwa lamaran seperti itu tidaklah pantas, namun Prabu
Brahamasatapa tetap saja memaksa.
Batari Dresanala akhirnya terbang ke kahyangan disertai Resi Brahmasatama dan Resi
Brahmasadewa meninggalkan istana Gilingwesi. Namun demikian, Batari Dresanala sempat
meninggalkan Mutiara Matuwahni kepada Prabu Brahmasatapa sebagai kenang-kenangan pelipur
lara. Dengan memandang mutiara tersebut, Prabu Brahmasatapa dapat melihat gambar bibinya
yang cantik itu ada di dalamnya.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU BRAHMASATAPA MENERIMA PERINTAH SRI MAHARAJA PURWACANDRA


Beberapa waktu kemudian, Prabu Brahmasatapa berduka cita karena mertuanya, yaitu Patih
Atmera meninggal dunia. Jabatan menteri utama kemudian diisi oleh putra Patih Atmera yang
bernama Arya Daneswara, bergelar Patih Brahmasadana.
Prabu Brahmasatapa kemudian menerima kedatangan Arya Caracapa dari Kerajaan Medang
Kamulan yang diutus Sri Maharaja Purwacandra untuk meminta kedua anak Empu Darmarasa,
bernama Empu Rasajati dan Empu Rasawadi. Keduanya diminta untuk dijadikan sebagai wadya
seseliran, yaitu laki-laki pemuas nafsu birahi raja.
Prabu Brahmasatapa pun memanggil Empu Darmarasa supaya memenuhi perintah sang
maharaja tersebut. Akan tetapi, Empu Darmarasa merasa keberatan melepaskan kedua putranya.
Ia mengingatkan Prabu Brahmasatapa sebagai raja harusnya melindungi rakyatnya, bukannya
justru menjerumuskan seperti ini.
Prabu Brahmasatapa sangat murka mendengar penolakan itu. Empu Darmarasa dan kedua
putranya lalu dihukum bakar sampai mati. Kedudukan Empu Darmarasa sebagai pembuat senjata
istana kemudian digantikan adiknya, yang bernama Empu Dewarasa.
Demikianlah, Prabu Brahmasatapa yang awalnya hanya berpura-pura menyerahkan diri
kepada Kerajaan Medang Kamulan, kini menjadi lupa diri karena sering disanjung puji oleh Sri
Maharaja Purwacandra.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

GAJAH OYA RUWAT


Kisah ini menceritakan peristiwa Gajah Oya putra mendiang Prabu Sri Mahapunggung yang
teruwat menjadi manusia, bernama Raden Oya. Peristiwa peruwatan ini terjadi karena
pertarungannya melawan Raden Brahmaneka, putra Prabu Basurata. Kisah dilanjutkan dengan
pernikahan Raden Oya dengan Dewi Hoyi dari Kerajaan Malawa, serta Raden Brahmaneka
dengan Batari Indradi, seorang bidadari. Raden Brahmaneka kemudian menjadi raja Wirata
yang baru, bergelar Prabu Basupati.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryosaputro,
dengan sedikit pengembangan.

PRABU BASURATA MENGUSIR RADEN BRAHMANEKA DARI ISTANA


Prabu Basurata di Kerajaan Wirata dihadap pangeran mahkota Raden Brahmaneka, Patih
Sunggata, Resi Wisama, beserta para punggawa. Mereka sedang membicarakan kehamilan kedua
sang permaisuri Dewi Brahmaniyuta yang saat ini sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan.
Hal ini sesuai dengan ramalan Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra dulu, bahwa Dewi
Brahmaniyuta setelah memakan kue Payasa Jamurdipa dari Tanah Hindustan akan mengandung
sebanyak dua kali, namun jaraknya berjauhan.
Prabu Basurata sendiri merasa usianya sudah tua. Ia ingin turun takhta menjadi pertapa dan
menyerahkan takhta Kerajaan Wirata kepada Raden Brahmaneka. Untuk itu, Raden Brahmaneka
harus menikah terlebih dulu sebelum dilantik menjadi raja. Raden Brahmaneka pun dipersilakan
memilih putri kerajaan mana yang ingin dinikahinya. Akan tetapi, Raden Brahmaneka bersedia
menikah asalkan dengan bidadari, sama seperti sepupunya, yaitu Prabu Brahmasatapa di Kerajaan
Gilingwesi yang menikah dengan Batari Widati.
Prabu Brahmaneka marah mendengar perkataan putranya itu. Ia memaksa Raden
Brahmaneka untuk melupakan keinginan aneh tersebut dan menikah dengan manusia biasa saja.
Akan tetapi, Raden Brahmaneka tetap bersikeras pada keputusannya. Hal ini membuat Prabu
Basurata semakin marah dan ia pun mengusir putra pertamanya itu pergi dari Kerajaan Wirata.

KELAHIRAN DEWI BRAHMANEKI


Setelah Raden Brahmaneka pergi meninggalkan istana, Patih Sunggata dan Resi Wisama
menyampaikan saran kepada Prabu Basurata supaya meredam amarahnya. Prabu Basurata
berangsur-angsur tenang dan ia pun memerintahkan Patih Sunggata supaya berangkat bersama
beberapa punggawa untuk menyusul kepergian Raden Brahmaneka dan membawanya kembali ke
istana.
Prabu Basurata dan Resi Wisama kemudian masuk ke dalam puri karena mendapat laporan
dari para pelayan bahwa Dewi Brahmaniyuta telah melahirkan seorang bayi perempuan. Prabu
Basurata sangat gembira menyambut kelahiran putrinya itu. Anak kedua yang usianya selisih
belasan tahun dari kakaknya itu pun diberi nama Dewi Brahmaneki.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU AYWANA MENCARI OBAT UNTUK PUTRINYA


Tersebutlah Prabu Aywana dari Kerajaan Malawa di Tanah Hindustan yang berlayar ke Tanah
Jawa bersama putrinya, bernama Dewi Hoyi yang menderita sakit kasmala. Menurut petunjuk yang
diterima Prabu Aywana, Dewi Hoyi akan sembuh kembali apabila dimandikan di sebuah telaga yang
dikelilingi sembilan rumah di dekat Desa Wahita dan di sana pula putrinya itu akan bertemu dengan
jodohnya, yaitu seorang pangeran dari Kerajaan Purwacarita.
Kini, rombongan Prabu Aywana telah mendarat di pelabuhan Kerajaan Wirata dan secara
kebetulan bertemu pasukan Patih Sunggata yang sedang mencari Raden Brahmaneka. Terjadilah
salah paham karena Patih Sunggata mengira rombongan dari Kerajaan Malawa itu datang untuk
menyerang Kerajaan Wirata. Pertempuran di antara mereka pun terjadi. Akhirnya, Prabu Aywana
turun melerai dan menjelaskan bahwa dirinya adalah kawan baik Prabu Basurata. Dulu saat Prabu
Basurata hadir di Kerajaan Ayodya saat upacara Payasa Jamurdipa, Prabu Aywana juga datang di
sana dan sempat berkenalan dengannya.
Mendengar penjelasan itu, Patih Sunggata meminta maaf atas kesalahpahaman tadi dan
mengundang Prabu Aywana untuk berkunjung ke istana Wirata. Akan tetapi, Prabu Aywana
terpaksa menolak undangan tersebut karena harus segera memandikan putrinya di telaga Desa
Wahita. Kelak jika Dewi Hoyi telah sembuh, Prabu Aywana berjanji akan mengunjungi Prabu
Basurata secara pribadi.
Kedua rombongan itu pun saling bermaaf-maafan kemudian berpisah untuk melanjutkan
perjalanan masing-masing.

GAJAH OYA BERTEMU BIDADARI


Sementara itu di Desa Wahita, Buyut Lagra sedang mencari kayu bakar bersama anak
angkatnya yang berwujud gajah putih, bernama Gajah Oya. Tiba-tiba Gajah Oya menemukan
sebuah mahkota terbuat dari kaca yang bertuliskan “indradi”. Buyut Lagra menduga itu pasti
mahkota milik seorang bidadari yang terjatuh.
Buyut Lagra dan Gajah Oya kemudian membawa pulang mahkota itu beserta kayu bakar yang
sudah terkumpul banyak. Merasa lapar, Gajah Oya lalu berangkat kembali untuk memetik buah-
buahan di hutan. Tiba-tiba saja ia melihat seorang wanita cantik menangis sendirian di bawah
pohon. Wanita cantik itu berbicara sendiri bahwa dirinya seorang bidadari bernama Batari Indradi
yang kehilangan mahkota kaca dan tidak dapat kembali ke kahyangan. Ia bersumpah barangsiapa
bisa menemukan mahkotanya, maka ia rela menjadi istri orang itu jika laki-laki, atau menjadi
saudaranya jika perempuan.
Gajah Oya pun muncul dan mengatakan bahwa dirinya bisa menghadirkan mahkota tersebut.
Batari Indradi sangat terkejut melihat ada seekor gajah putih yang bisa berbicara. Ia membayangkan
apabila mahkotanya benar-benar bisa ditemukan, bagaimana mungkin ia menjadi istri seekor gajah?
Namun, karena mahkota itu benar-benar penting, maka ia pun mempersilakan Gajah Oya untuk
mengambilnya.

GAJAH OYA MEMBANGUN TELAGA DAN SEMBILAN RUMAH


Gajah Oya pulang ke rumah untuk mengambil mahkota kaca milik Batari Indradi. Mendengar
penuturan anak angkatnya, Buyut Lagra merasa khawatir jangan-jangan bidadari itu akan
mengingkari janji. Maka, ia lantas mengajarkan sebuah mantra kepada Gajah Oya. Setelah
menghafalkan mantra tersebut, Gajah Oya pun kembali ke hutan tempat Batari Indradi menunggu.
Sesampainya di sana, Gajah Oya menyerahkan mahkota kaca itu kepada Batari Indradi.
Gajah berbulu putih itu lalu menagih janji Batari Indradi untuk menjadi istrinya. Dalam hati Batari
Indradi merasa risih jika bersuamikan seekor gajah. Maka, begitu mengenakan mahkota kaca
tersebut, ia pun buru-buru melesat terbang ke angkasa untuk kembali ke kahyangan.
Akan tetapi, Gajah Oya segera membaca mantra pemberian ayah angkatnya, yaitu: “Hong
komakoten kamurep kamidep”.
KITAB WAYANG PURWA

Akibatnya, Batari Indradi langsung jatuh ke tanah dan tidak dapat terbang lagi. Gajah Oya
sangat marah karena bidadari itu mengingkari janji. Batari Indradi meminta maaf dan berjanji tidak
akan pergi lagi. Ia menyatakan bersedia menjadi istri Gajah Oya, namun terlebih dulu harus
dibuatkan sembilan rumah indah yang berjajar mengelilingi sebuah telaga sebagai tempat tinggal
mereka kelak.
Gajah Oya hendak pulang meminta bantuan Buyut Lagra, namun ia khawatir Batari Indradi
melarikan diri. Maka, ia pun mengheningkan cipta meminta bantuan dewata. Begitu tekun ia berdoa
hingga dewata pun mengabulkan permintaannya. Secara ajaib muncul seberkas cahaya dari langit
yang seketika berubah menjadi sebuah telaga jernih dan dikelilingi sembilan rumah berjajar indah.
Akan tetapi, ketika Gajah Oya bangun dari samadinya, ia terkejut karena Batari Indradi sudah
tidak ada lagi. Rupanya bidadari itu lagi-lagi mengingkari janji dan kini telah melarikan diri. Gajah
Oya sangat marah dan segera mencari ke mana perginya bidadari tersebut.

RADEN BRAHMANEKA MELINDUNGI BATARI INDRADI


Batari Indradi memang telah kabur meninggalkan Gajah Oya dengan berlari sekencang-
kencangnya, karena ia sudah tidak dapat terbang lagi. Gajah Oya sendiri terus mengejarnya dan
hampir dapat menyusul bidadari itu. Batari Indradi pun menjerit minta tolong dan suaranya itu
terdengar oleh Raden Brahmaneka yang kebetulan lewat di sana.
Raden Brahmaneka segera turun tangan memberikan bantuan. Terjadilah pertarungan antara
dirinya melawan Gajah Oya. Karena tenaga Gajah Oya jauh lebih kuat, Raden Brahmaneka pun
terdesak dan melarikan diri dengan membawa serta Batari Indradi.
Raden Brahmaneka dan Batari Indradi lalu bersembunyi di dasar sebuah jurang. Di sana
mereka menemukan sebatang anak panah yang menancap di batu. Raden Brahmaneka mencabut
anak panah itu lalu melemparkannya ke arah Gajah Oya. Secara ajaib, wujud Gajah Oya pun
berubah menjadi seorang pemuda tampan dan anak panah tadi berubah menjadi pakaian yang
langsung melekat di tubuhnya. Pemuda tampan itu kemudian terlempar jauh entah ke mana.

PRABU AYWANA MENIKAHKAN PUTRINYA DENGAN GAJAH OYA


Sementara itu, rombongan Prabu Aywana telah sampai di Desa Wahita dan bertemu Buyut
Lagra sang kepala desa. Setelah berkenalan, mereka lalu pergi bersama-sama mencari adanya
telaga yang dikelilingi sembilan rumah. Begitu menemukan telaga tersebut, Prabu Aywana segera
memandikan Dewi Hoyi sehingga sembuh dari penyakit kasmala yang dideritanya.
Tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang terlempar entah dari mana dan jatuh di
hadapan Prabu Aywana. Pemuda itu bangun dan memperkenalkan dirinya kepada Buyut Lagra
sebagai Gajah Oya. Buyut Lagra yang mengenali suaranya seketika merasa bahagia karena anak
angkatnya itu telah teruwat menjadi manusia.
Buyut Lagra kemudian menceritakan asal-usul anak angkatnya itu kepada Prabu Aywana.
Sesungguhnya Gajah Oya adalah putra mendiang Prabu Sri Mahapunggung yang lahir dari istri
kedua bernama Dewi Rukmini. Karena lahir dalam wujud bayi gajah putih, Prabu Sri Mahapunggung
merasa malu dan membuang putra keempatnya itu di Hutan Pancala. Bayi gajah putih itu kemudian
ditemukan oleh Begawan Rukmawati dan diasuh di Gunung Mahendra. Setelah dewasa, gajah putih
diperintahkan Begawan Rukmawati untuk bertapa di Bukit Oya, sehingga ia pun terkenal dengan
sebutan Gajah Oya. Begawan Rukmawati juga memberikan petunjuk bahwa Gajah Oya kelak akan
berubah wujud menjadi manusia apabila mengabdi kepada Buyut Lagra di Desa Wahita. Kini,
petunjuk itu telah menjadi kenyataan. Mulai saat ini, Gajah Oya pun diganti namanya menjadi Raden
Oya.
Prabu Aywana sangat senang mendengar cerita tersebut. Ia mengaku juga mendapatkan
petunjuk dewata bahwa putrinya akan berjodoh dengan seorang pangeran dari Kerajaan
Purwacarita. Maka, Raden Oya pun dijodohkan dengan Dewi Hoyi sesuai petunjuk tersebut. Buyut
Lagra menasihati Raden Oya agar melupakan Batari Indradi yang suka ingkar janji itu dan menerima
Dewi Hoyi sebagai gantinya. Raden Oya mematuhi dan menerima perjodohan tersebut. Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Aywana sangat senang dan mengajak Raden Oya untuk dinikahkan dengan Dewi Hoyi di istana
Malawa. Buyut Lagra juga diajak serta untuk mendampingi anak angkatnya tersebut.

PRABU BASURATA MENERIMA BATARI INDRADI SEBAGAI MENANTU


Sementara itu, Raden Brahmaneka membawa Batari Indradi pulang ke Kerajaan Wirata.
Prabu Basurata menyambut gembira kedatangan putranya itu namun sekaligus tidak berkenan
melihat kehadiran seorang wanita bersamanya. Raden Brahmaneka dituduh sembarangan
mengambil perempuan sebagai istri.
Raden Brahmaneka menjelaskan kepada sang ayah bahwa Batari Indradi yang dibawanya ini
merupakan seorang bidadari. Ia menyatakan telah berhasil mewujudkan keinginannya, yaitu
menikah dengan bidadari. Prabu Basurata tidak percaya dan ingin mendapatkan bukti. Batari Indradi
pun mengheningkan cipta dan menghadirkan sebutir permata Retnadumilah di hadapannya, untuk
kemudian dipersembahkan kepada Prabu Basurata.
Prabu Basurata sangat berkenan menerima permata tersebut. Maka, ia pun merestui Raden
Brahmaneka menikah dengan Batari Indradi.

RADEN BRAHMANEKA MENJADI RAJA WIRATA


Sesuai janjinya, Prabu Basurata pun turun takhta apabila Raden Brahmaneka telah
menemukan jodohnya. Ia lalu mengirim permohonan kepada atasannya, yaitu Sri Maharaja
Purwacandra di Kerajaan Medang Kamulan supaya diizinkan menunjuk putranya sebagai
pengganti. Setelah mendapatkan izin tersebut, Prabu Basurata pun turun takhta dan melantik Raden
Brahmaneka sebagai raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basupati.
Prabu Basurata sendiri kemudian menjadi pertapa menghabiskan sisa umurnya, bergelar
Begawan Wasubrata.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PARIKENAN KRIDA
Kisah ini menceritakan tentang masa remaja Raden Parikenan, leluhur para Pandawa dan Kurawa, yang menjadi jago dewa
untuk menumpas cucu Batara Kala yang bernama Prabu Siwalata. Ia dan saudari kembarnya, yaitu Dewi Srini, lalu
mengetahui asal-usul mereka dan akhirnya bisa bersatu lagi dengan Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

KERAJAAN GILINGWESI MENDAPAT TANTANGAN DARI MUSUH RAKSASA


Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Brahmasadana, Arya Brahmastuti,
Arya Brahmayana, Arya Brahmanasidi, Arya Brahmanaweda, Arya Brahmanaradya, Arya
Brahmanajati, dan Arya Brahmanakestu. Mereka sedang membicarakan berita duka dari Kerajaan
Wirata, yaitu Dewi Indradi permaisuri Prabu Basupati yang musnah kembali ke kahyangan setelah
melahirkan seorang putra bernama Raden Basumurti. Peristiwa ini membuat Prabu Brahmasatapa
terkenang pada pengalamannya sendiri lima belas tahun yang lalu saat ia ditinggalkan istri
pertamanya, yaitu Dewi Widati yang musnah kembali ke kahyangan setelah melahirkan dua ekor
bayi kambing. Prabu Brahmasatapa masih penasaran sampai sekarang dan tidak dapat melupakan
peristiwa tersebut, meskipun pernikahannya dengan Dewi Rajatadi telah dikaruniai seorang anak
perempuan yang diberi nama Dewi Satapi.
Ketika Prabu Brahmasatapa hendak berangkat mengunjungi Kerajaan Wirata, tiba-tiba datang
seorang raksasa bernama Patih Swalacala yang berasal dari Kerajaan Medang Sindula. Patih
Swalacala ini datang untuk menyampaikan surat dari rajanya, yaitu Prabu Siwalata yang ingin
membalaskan dendam turun-temurun antara keturunan Batara Kala terhadap keturunan Batara
Brahma dan Batara Wisnu. Adapun Prabu Siwalata merupakan putra Batara Siwahoya, atau cucu
Batara Kala.
Prabu Brahmasatapa menerima tantangan itu. Maka, Patih Swalacala pun undur diri kembali
ke perkemahan untuk melapor kepada rajanya.

PRABU BRAHMASATAPA MENGUNGSI KE MEDANG KAMULAN


Prabu Siwalata di perkemahan dihadap Resi Swaladara dan para punggawa raksasa. Tidak
lama kemudian Patih Swalacala datang melapor bahwa Prabu Brahmasatapa menerima tantangan
tersebut. Prabu Siwalata sangat senang dan ia pun memimpin pasukan Medang Sindula berangkat
menggempur istana Gilingwesi.
Di lain pihak, Prabu Brahmasatapa juga memimpin langsung pasukan Gilingwesi menghadapi
serangan itu. Perang besar pun terjadi. Setelah bertempur beberapa hari, pihak Gilingwesi akhirnya
terdesak dan tidak mampu lagi menghadapi kekuatan musuh yang begitu besar. Prabu
Brahmasatapa sekeluarga terpaksa mengungsi ke Kerajaan Medang Kamulan untuk meminta
pertolongan Sri Maharaja Purwacandra.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU SIWALATA INGIN MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Prabu Siwalata kini telah menduduki takhta Kerajaan Gilingwesi. Ia kemudian berunding
dengan Patih Swalacala dan Resi Swaladara untuk melanjutkan rencana membalaskan dendam
leluhurnya. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Batara Indra di Kahyangan Suralaya. Prabu
Siwalata dan Patih Swalacala lalu berangkat memimpin bala tentara menuju ke sana, sedangkan
Resi Swaladara dan sebagian pasukan sisanya tetap berjaga di Kerajaan Gilingwesi.
Sesampainya di kaki Gunung Jamurdipa, Prabu Siwalata mengutus Patih Swalacala untuk
menyampaikan surat kepada Batara Indra yang saat itu sedang memimpin pertemuan para dewa.
Batara Indra menerima surat itu dan membaca isinya yang berisi permintaan Prabu Siwalata untuk
dapat menikahi salah satu bidadari unggulan, yaitu Batari Wilotama. Batara Indra sangat marah dan
langsung menolak lamaran tersebut. Karena keputusan sudah jelas, Patih Swalacala pun undur diri
kembali ke perkemahan untuk melapor kepada rajanya.
Prabu Siwalata sendiri sangat senang mendengar lamarannya ditolak, karena hal ini bisa
menjadi alasan baginya untuk menggempur Kahyangan Suralaya. Maka, ia pun mengerahkan
pasukan raksasa yang langsung berhadapan dengan pasukan dewata yang dipimpin putra-putra
Batara Indra, yaitu Batara Citranggada, Batara Citrasena, Batara Citrarata, dan Batara
Arjunawangsa.
Dalam pertempuran itu, pihak raksasa berhasil membuat para dewa terdesak mundur hingga
berlindung ke dalam kahyangan dan mengunci rapat-rapat Kori Selamatangkep. Batara Indra
kemudian mengheningkan cipta memohon petunjuk Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka.
Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk mencarikan jago
bagi Kahyangan Suralaya. Adapun jago tersebut adalah cicit Batara Brahma yang terlahir dampit
dan saat ini menjadi murid Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra.

DESA BANASRI MENGADAKAN SESAJI MEMINTA HUJAN


Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra saat itu sedang menerima kedatangan para
pemuka Desa Banasri yang meminta petunjuk bagaimana caranya mendatangkan hujan. Sudah
beberapa bulan ini sawah dan ladang Desa Banasri dilanda kekeringan dan gagal panen. Begawan
Rukmawati pun menyarankan mereka untuk mengadakan sesaji yang harus dipimpin oleh dua orang
anak kembar dampit, yaitu kembar laki-laki dan perempuan. Kebetulan Begawan Rukmawati
memiliki dua orang murid kembar dampit, yaitu Raden Dukutoya dan Dewi Srini yang bisa membantu
memimpin sesaji tersebut. Para pemuka Desa Banasri sangat gembira dan segera mohon pamit
sambil mengajak serta kedua muda-mudi itu pergi bersama mereka.
Sesampainya di Desa Banasri, Raden Dukutoya dan Dewi Srini segera memimpin sesaji
sebagaimana yang telah diajarkan Begawan Rukmawati. Dewi Srini memasak bubur berbentuk
butiran lonjong seperti lumut dan diberi nama Bubur Dawet, kemudian diserahkan kepada Raden
Dukutoya untuk disebarkan ke tanah persawahan dan perkebunan. Setelah membaca beberapa
mantra, tidak lama kemudian hujan deras pun turun mengguyur Desa Banasri, membuat seluruh
penduduk merasa sangat senang dan bersuka cita.

BATARA NARADA MEMBAWA RADEN DUKUTOYA DAN DEWI SRINI KE KAHYANGAN


Setelah hujan reda, tiba-tiba Batara Narada muncul dan langsung menyambar Raden
Dukutoya dan Dewi Srini. Melihat kedua muda-mudi itu hilang diculik, para pemuka Desa Banasri
sangat ketakutan dan segera naik ke Gunung Mahendra untuk melapor kepada Begawan
Rukmawati. Begitu menerima laporan tersebut, Begawan Rukmawati segera mengheningkan cipta
untuk mengetahui duduk permasalahannya. Setelah mendapatkan kejelasan, ia pun terbang
menyusul kedua muridnya itu pergi ke Kahyangan Suralaya.
Batara Narada yang telah sampai segera menghadapkan Raden Dukutoya dan Dewi Srini
kepada Batara Indra. Tidak lama kemudian Begawan Rukmawati datang pula. Batara Indra
menjelaskan kepada bidadari pertapa itu bahwa para dewata sangat membutuhkan bantuan Raden
Dukutoya untuk menghadapi musuh kahyangan yang bernama Prabu Siwalata. Begawan
Rukmawati pun mempersilakannya karena ia yakin pada kemampuan muridnya tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN DUKUTOYA MENUMPAS PRABU SIWALATA


Raden Dukutoya kemudian maju ke medan pertempuran memimpin pasukan dewata
menghadapi pasukan raksasa Kerajaan Medang Sindula. Pertempuran pun berlangsung sengit.
Dengan cekatan Raden Dukutoya berhasil memukul mundur para raksasa tersebut dengan panah-
panahnya.
Mengetahui para prajuritnya terdesak, Prabu Siwalata pun terjun ke pertempuran menghadapi
Raden Dukutoya. Pertempuran seru kembali terjadi. Lagi-lagi Raden Dukutoya mendapatkan
kemenangan, di mana ia berhasil membuat Prabu Siwalata tewas kehilangan nyawa.
Melihat rajanya terbunuh, Patih Swalacala ketakutan dan melarikan diri dengan sisa-sisa
prajurit raksasa yang masih hidup meninggalkan Kahyangan Suralaya.

RADEN DUKUTOYA BERGANTI NAMA MENJADI BAMBANG PARIKENAN


Batara Indra sangat gembira menyambut kemenangan Raden Dukutoya. Begawan
Rukmawati sendiri merasa sudah tiba saatnya untuk menceritakan jati diri Raden Dukutoya dan
Dewi Srini kepada kedua muda-mudi itu. Ia pun menjelaskan bahwa mereka berdua sesungguhnya
adalah putra-putri Prabu Brahmasatapa raja Gilingwesi yang lahir dari permaisuri Dewi Widati. Sejak
bayi mereka dibuang ke hutan oleh Dewi Rajatadi sang istri kedua Prabu Brahmasatapa yang
dilanda iri hati dan cemburu, serta menggantikan mereka dengan dua ekor anak kambing. Begawan
Rukmawati lalu menemukan dan mengasuh mereka berdua hingga akhirnya sampai pada hari ini.
Batara Indra dan Batara Narada menyarankan agar Raden Dukutoya dan Dewi Srini menemui
ayah mereka di Kerajaan Gilingwesi. Akan tetapi, sebaiknya mereka menggunakan nama samaran
terlebih dulu, dan jangan langsung mengaku sebagai putra-putri Prabu Brahmasatapa untuk
mencegah terjadinya kesalahpahaman. Raden Dukutoya hendaknya mengganti nama menjadi
Bambang Parikenan, sedangkan Dewi Srini mengganti nama menjadi Endang Srini. Keduanya lalu
mohon pamit menuju Kerajaan Gilingwesi. Mereka merasa sangat terharu saat berpisah dengan
Begawan Rukmawati yang selama ini telah merawat dan membesarkan mereka bagaikan ibu
sendiri.

PRABU BRAHMASATAPA MENERIMA KEDUA ANAKNYA


Sementara itu, Prabu Brahmasatapa telah kembali ke Kerajaan Gilingwesi dengan membawa
bala bantuan dari Kerajaan Medang Kamulan, yang dipimpin Raja Capala. Menghadapi serangan
balasan itu, Resi Swaladara dan para prajurit raksasa yang tidak ikut menyerang Kahyangan
Suralaya merasa terdesak kewalahan. Prabu Brahmasatapa akhirnya berhasil mengusir mereka
pergi meninggalkan istana Gilingwesi.
Tidak lama kemudian, datanglah Bambang Parikenan dan Endang Srini menghadap Prabu
Brahmasatapa dan memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan Gilingwesi. Prabu
Brahmasatapa tertarik melihat kecantikan Endang Srini yang membuatnya terkenang kepada Dewi
Widati. Ia pun bertanya apakah gadis remaja itu istri ataukah saudara Bambang Parikenan.
Bambang Parikenan menjawab bahwa Endang Srini adalah saudari kembarnya. Prabu
Brahmasatapa sangat senang dan menerima pengabdian Bambang Parikenan, namun dengan
syarat Endang Srini harus diserahkan kepadanya untuk dijadikan sebagai istri.
Pada saat itulah Batara Narada turun dari angkasa dan melarang Prabu Brahmasatapa
melanjutkan niatnya, karena Endang Srini tidak lain adalah anak kandungnya sendiri. Batara Narada
menjelaskan bahwa Bambang Parikenan dan Endang Srini adalah anak kembar dampit yang
dilahirkan Dewi Widati, namun dibuang ke hutan oleh Dewi Rajatadi karena cemburu. Kedua bayi
itu kemudian ditukar Dewi Rajatadi dengan dua ekor bayi kambing. Setelah menceritakan semua
kejadian dengan rinci, Batara Narada lalu undur diri kembali ke kahyangan.
Prabu Brahmasatapa sangat bahagia bercampur malu. Ia bahagia karena bisa berkumpul
kembali dengan kedua anaknya yang lama hilang, sekaligus malu karena kurang waspada dan
hampir saja menikahi putrinya sendiri. Selain itu, ia juga sangat marah kepada Dewi Rajatadi yang
telah memfitnah Dewi Widati. Namun, Bambang Parikenan dan Endang Srini memohon supaya
KITAB WAYANG PURWA

sang ayah mengampuni kesalahan ibu tiri mereka itu. Prabu Brahmasatapa mengabulkannya, tapi
sejak saat itu ia menjadi enggan menyentuh Dewi Rajatadi.
Prabu Brahmasatapa lalu mengganti gelar Bambang Parikenan dan Endang Srini menjadi
Raden Parikenan dan Dewi Srini. Adapun gelar Bambang dan Endang kemudian disebarluaskan
untuk dipakai sebagai nama depan pemuda dan pemudi yang berasal dari pertapaan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PARIKENAN KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Parikenan putra Prabu Brahmasatapa dengan Dewi Brahmaneki adik Prabu
Basupati. Dari perkawinan ini kelak akan lahir Resi Manumanasa, yaitu pendiri Padepokan Saptaarga, atau leluhur para
Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

PRABU BRAHMASATAPA MEMBAHAS PERKAWINAN RADEN PARIKENAN


Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Brahmasadana, Arya Brahmastuti,
Arya Brahmayana, Arya Brahmanasidi, dan Arya Brahamanakestu. Mereka sedang membicarakan
rencana pernikahan Raden Parikenan yang saat ini sudah berumur dua puluh tahun. Setahun yang
lalu, Prabu Brahamasatapa berkunjung ke Kerajaan Wirata untuk melayat meninggalnya Begawan
Wasubrata (Prabu Basurata). Pada saat itulah ia tertarik melihat adik Prabu Basupati, yaitu Dewi
Brahmaneki dan berterus terang ingin mengambilnya sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan
Raden Parikenan jika kelak masa berkabung telah usai. Akan tetapi, Prabu Basupati agak bimbang
menanggapi lamaran tersebut. Jika ditinjau secara usia, Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki
memang sebaya. Namun, jika ditinjau secara silsilah, Raden Parikenan masih terhitung keponakan
Dewi Brahmaneki. Prabu Basupati takut mendapat murka para dewa, sehingga ia pun mengajukan
syarat yaitu pihak pengantin pria harus dapat menghadirkan pohon Jayandaru dan Dewandaru dari
Kahyangan Suralaya untuk memayungi kedua mempelai, serta upacara pernikahan mereka nanti
harus diiringi tetabuhan Gamelan Lokananta milik Batara Indra. Jika Batara Indra bersedia
meminjamkannya, itu berarti dewata telah merestui pernikahan antara bibi dan keponakan tersebut.
Kini, waktu setahun telah terlewati dan masa berkabung pun telah usai. Prabu Brahmasatapa
merasa sudah tiba saatnya untuk menikahkan Raden Parikenan dengan Dewi Brahmaneki. Akan
tetapi, saat ini Raden Parikenan sedang pergi meninggalkan istana entah ke mana. Oleh sebab itu,
Prabu Brahmasatapa pun mengutus Raden Suganda putra Arya Brahmanakestu untuk berangkat
mencarinya.

PASUKAN MEDANG SINDULA MENGEPUNG KERAJAAN GILINGWESI


Setelah Raden Suganda berangkat, tiba-tiba datang Patih Swalacala dari Kerajaan Medang
Sindula menghadap Prabu Brahmasatapa untuk menyampaikan surat dari rajanya yang baru, yaitu
Prabu Swaladara. Prabu Brahmasatapa teringat kalau Patih Swalacala ini adalah pengikut Prabu
Siwalata, yaitu cucu Batara Kala yang dulu pernah menduduki Kerajaan Gilingwesi. Prabu Siwalata
kemudian tewas di tangan Raden Parikenan saat menyerang Kahyangan Suralaya, sedangkan
Kerajaan Gilingwesi dapat direbut kembali oleh Prabu Brahmasatapa dengan bantuan bala tentara
dari Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Brahmasatapa masih ingat kalau yang menjaga Kerajaan
Gilingwesi saat itu bernama Resi Swaladara, mewakili Prabu Siwalata.
Patih Swalacala pun bercerita bahwa Resi Swaladara memang orang yang ditugasi menjaga
Kerajaan Gilingwesi saat Prabu Siwalata menyerang Kahyangan Suralaya. Resi Swaladara lalu
KITAB WAYANG PURWA

melarikan diri saat Prabu Brahamasatapa datang merebut kembali Kerajaan Gilingwesi. Sementara
itu, Patih Swalacala juga melarikan diri dari Kahyangan Suralaya saat Prabu Siwalata tewas di
tangan Raden Parikenan. Patih Swalacala dan Resi Swaladara lalu bertemu dan sepakat
membangun kembali Kerajaan Medang Sindula yang ditinggal mati Prabu Siwalata. Akan tetapi,
keduanya lalu berselisih tentang siapa yang berhak menjadi raja. Perselisihan itu akhirnya
dimenangkan oleh Resi Swaladara, sehingga takhta Kerajaan Medang Sindula pun jatuh
kepadanya. Sementara itu, Patih Swalacala harus rela tetap menduduki jabatan sebagai patih.
Kini, lima tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Prabu Swaladara berniat mengubah
permusuhan dengan Kerajaan Gilingwesi menjadi persaudaraan. Maka, Patih Swalacala pun diutus
untuk mengantarkan surat lamaran, bahwa Prabu Swaladara ingin mempersunting Dewi Srini
(saudari kembar Raden Parikenan) sebagai permaisuri.
Prabu Brahmasatapa sangat marah membaca surat tersebut dan langsung menolak lamaran
terhadap putrinya itu. Patih Swalacala membalas dengan ancaman bahwa pasukan Medang Sindula
akan datang menyerbu Kerajaan Gilingwesi dan merebut Dewi Srini secara paksa. Usai berkata
demikian, ia lantas undur diri kembali ke perkemahan untuk melapor kepada Prabu Swaladara.
Maka, tidak lama kemudian pasukan Medang Sindula pun datang menyerbu. Prabu
Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana beserta para arya memimpin pasukan Gilingwesi
menghadapi serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Brahmasatapa tidak
menyangka pihak Medang Sindula selama lima tahun ini ternyata berhasil menghimpun angkatan
perang baru sehingga dapat mengimbangi kekuatan pihak Gilingwesi. Melihat para prajuritnya
banyak yang tewas dibantai para raksasa secara ganas, Prabu Brahmasatapa akhirnya
memerintahkan untuk mundur dan kemudian menutup rapat-rapat gerbang benteng Kerajaan
Gilingwesi.

RADEN SUGANDA MENDAPATKAN PETUNJUK DARI BEGAWAN RUKMAWATI


Sementara itu, Raden Suganda yang mendapat tugas untuk menjemput pulang Raden
Parikenan tidak tahu harus pergi ke mana. Ia pun memutuskan untuk meminta petunjuk kepada
Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra.
Begawan Rukmawati menerima kedatangan Raden Suganda dan segera mengheningkan
cipta mencari tahu di mana keberadaan Raden Parikenan. Beberapa saat kemudian, ia pun
mengatakan bahwa Raden Parikenan sedang bertapa di Hutan Tikbrasara demi untuk mendapatkan
izin Batara Indra dalam hal memenuhi persyaratan pernikahan yang diajukan Prabu Basupati.
Begawan Rukmawati mendapatkan gambaran bahwa Batara Indra telah berkenan mengabulkan
permintaan tersebut, mengingat Raden Parikenan pernah berjasa mengalahkan musuh Kahyangan
Suralaya, yaitu Prabu Siwalata.
Begawan Rukmawati lalu memberikan petunjuk lain kepada Raden Suganda supaya menikahi
Ken Raketan, anak seorang tuwaburu di Kerajaan Wirata bernama Kyai Wrigu. Meskipun Ken
Raketan hanya seorang gadis biasa dari Desa Wasutira, namun ia adalah titisan bidadari bernama
Batari Daruni, sedangkan Raden Suganda sendiri adalah titisan Batara Daruna. Mereka sudah
ditakdirkan berjodoh dan kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Raden Suganda mematuhi segala petunjuk Begawan Rukmawati lalu ia pun mohon diri
meninggalkan Gunung Mahendra.

RADEN SUGANDA DAN RADEN PARIKENAN NAIK KE KAHYANGAN


Sesuai petunjuk tersebut, Raden Suganda berhasil menemukan Raden Parikenan sedang
bertapa di tengah Hutan Tikbrasara. Ia pun membangunkan sepupunya itu dan menyampaikan
pesan Begawan Rukmawati, bahwa Batara Indra telah mengabulkan permohonannya sebagai
imbalan atas jasanya menumpas Prabu Siwalata lima tahun silam. Raden Parikenan gembira
mendengarnya. Ia lalu mengajak Raden Suganda naik ke Kahyangan Suralaya untuk menghadap
Batara Indra.
Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kedatangan Raden Parikenan dan Raden
Suganda dengan ramah. Mengenai persyaratan yang diajukan Prabu Basupati, segalanya akan
KITAB WAYANG PURWA

dikabulkan oleh Batara Indra. Meskipun silsilah Raden Parikenan terhitung masih keponakan Dewi
Brahmaneki, namun bukanlah keponakan kandung, sehingga pernikahan di antara mereka masih
dapat dimaklumi. Batara Indra juga meramalkan bahwa perkawinan mereka kelak akan menurunkan
manusia-manusia hebat yang terkenal sepanjang masa, antara lain para Pandawa dan Kurawa.
Akhirnya, Batara Indra pun berjanji akan mengutus para jawata untuk mengangkut pohon
Jayandaru dan Dewandaru beserta Gamelan Lokananta ke Kerajaan Gilingwesi, sedangkan Raden
Parikenan dan Raden Suganda diperintahkan untuk pulang lebih dulu, karena negeri mereka saat
ini sedang dikepung musuh dari Kerajaan Medang Sindula.
Raden Parikenan berterima kasih atas kemurahan hati Batara Indra, lalu ia dan Raden
Suganda pun mohon diri meninggalkan Kahyangan Suralaya.

RADEN PARIKENAN DAN RADEN SUGANDA MENUMPAS PARA RAKSASA


Raden Parikenan dan Raden Suganda telah sampai di perkemahan pasukan Medang Sindula
yang terletak di luar benteng Kerajaan Gilingwesi. Mereka langsung menantang Prabu Swaladara
dan Patih Swalacala untuk bertanding menentukan hidup dan mati, tanpa melibatkan pasukan.
Tantangan tersebut diterima. Maka, diadakanlah perang tanding antara Raden Parikenan melawan
Prabu Swaladara, serta Raden Suganda melawan Patih Swalacala.
Setelah memakan waktu cukup lama, perang tanding tersebut pun berakhir dengan kematian
Prabu Swaladara dan Patih Swalacala. Pasukan raksasa Medang Sindula ketakutan melihat kedua
pemimpin mereka tewas. Maka, mereka pun menyerah memohon ampun dan kemudian beramai-
ramai pergi meninggalkan Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmasatapa sangat gembira mendengar putra dan keponakannya telah berhasil
mengusir musuh. Tidak lama kemudian Batara Wrehaspati datang diiringi para jawata dan bidadari
mengantarkan pohon Jayandaru, pohon Dewandaru, dan Gamelan Lokananta sebagai syarat
pernikahan Raden Parikenan. Prabu Brahmasatapa bertambah gembira menerima kiriman dari
Batara Indra tersebut.

PERKAWINAN RADEN PARIKENAN DAN DEWI BRAHMANEKI


Setelah segala persyaratan terpenuhi, Prabu Brahmasatapa pun memimpin rombongan
pengantin pria berangkat menuju Kerajaan Wirata. Rombongan ini disambut baik oleh pihak
mempelai wanita yang dipimpin Prabu Basupati. Upacara pernikahan Raden Parikenan dan Dewi
Brahmaneki pun berlangsung khidmat, dengan diiringi suara tetabuhan Gamelan Lokananta yang
berkumandang di angkasa.
Para tamu berdatangan dari segala penjuru, antara lain Sri Maharaja Purwacandra dari
Kerajaan Medang Kamulan, serta Prabu Sri Mahawan dari Kerajaan Purwacarita untuk memberikan
restu. Pada saat itulah Prabu Sri Mahawan tertarik melihat kecantikan Dewi Srini dan ingin
menjadikannya sebagai menantu. Maka, Prabu Sri Mahawan pun menyampaikan niatnya kepada
Prabu Brahmasatapa, yaitu ingin menikahkan Dewi Srini dengan Raden Wahnaya, putra keduanya.
Prabu Brahmasatapa menerima lamaran tersebut dengan senang hati dan berharap hubungan
kekeluargaan antara Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita bisa semakin bertambah erat.

RADEN SUGANDA MENIKAHI KEN RAKETAN


Setelah upacara pernikahan Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki berakhir, Raden
Suganda menyampaikan kepada ayahnya (Arya Brahmanakestu) tentang petunjuk Begawan
Rukmawati, bahwa jodohnya adalah seorang gadis dari Desa Wasutira bernama Ken Raketan, putri
Kyai Wrigu. Karena Begawan Rukmawati sudah berpesan demikian, Arya Brahmanakestu tidak
berani membantah. Ia pun mengajak Raden Suganda untuk berangkat melamar gadis tersebut.
Sesampainya di Desa Wasutira, Arya Brahmanakestu segera menemui Kyai Wrigu untuk
melamar Ken Raketan sebagai istri Raden Suganda. Kyai Wrigu sangat terharu karena anaknya
hanya seorang gadis desa biasa, namun diambil sebagai menantu oleh seorang pembesar Kerajaan
Gilingwesi. Kyai Wrigu dan istrinya, yaitu Ken Sangki seketika teringat pesan Dewi Sri saat kelahiran
KITAB WAYANG PURWA

Ken Raketan dulu, bahwa putri mereka adalah titisan Batari Daruni yang akan mendapatkan jodoh
titisan Batara Daruna.
Beberapa waktu kemudian diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Suganda dengan
Ken Raketan di Desa Wasutira. Setelah satu pekan, Raden Suganda pun memboyong istrinya itu
pindah ke Kerajaan Gilingwesi untuk hidup berumah tangga di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SATAPI MURCA
Kisah ini menceritakan perkawinan Dewi Srini putri Prabu Brahmasatapa dengan Raden
Wahnaya putra Prabu Sri Mahawan, yang diselingi dengan hilangnya Dewi Satapi yang
akhirnya dapat ditemukan oleh Arya Sadaskara, putra Patih Pujangkara.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

DEWI SATAPI HILANG DARI ISTANA GILINGWESI


Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi dihadap Raden Parikenan, Patih Brahmasadana,
Arya Brahmastuti, Arya Brahmayana, Arya Brahmanakestu, dan para punggawa lainnya. Mereka
sedang membicarakan perihal Dewi Satapi (putri Prabu Brahmasatapa dengan Dewi Rajatadi) yang
hilang entah ke mana. Sampai saat ini Prabu Brahmasatapa belum mendapatkan petunjuk tentang
keberadaan putri bungsunya tersebut.
Tidak lama kemudian datanglah utusan dari Kerajaan Purwacarita, yaitu Patih Pujangkara dan
putranya yang bernama Arya Sadaskara. Kedatangan mereka adalah untuk menyampaikan lamaran
resmi Prabu Sri Mahawan yang ingin mengambil Dewi Srini sebagai menantu, yaitu dinikahkan
dengan Raden Wahnaya. Beberapa bulan yang lalu, yaitu saat pernikahan Raden Parikenan dan
Dewi Brahmaneki di Kerajaan Wirata, Prabu Sri Mahawan sempat mengutarakan niatnya itu kepada
Prabu Brahmasatapa. Kini ia pun mengirim utusan untuk menegaskan lamarannya dengan
membawa segala macam benda-benda pertunangan.
Prabu Brahmasatapa sebenarnya sangat senang apabila dapat berbesan dengan Prabu Sri
Mahawan. Akan tetapi, saat ini ia sedang berduka karena putri bungsunya menghilang tanpa jejak,
sehingga belum dapat memberikan jawaban terhadap lamaran tersebut. Patih Pujangkara turut
prihatin mendengar hal itu dan ia bersedia membantu mencari keberadaan Dewi Satapi. Setelah
menyerahkan benda-benda pertunangan dari rajanya, Patih Pujangkara dan Arya Sadaskara pun
mohon pamit kembali ke Kerajaan Purwacarita.

PRABU BRAHMASATAPA MENGUTUK DEWI RAJATADI MENJADI BUAYA


Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Brahmasatapa masuk ke dalam kedaton menemui
Dewi Rajatadi yang saat itu sedang menangisi hilangnya Dewi Satapi. Prabu Brahmasatapa
berusaha menyabarkan istrinya itu dan ia juga menceritakan tentang lamaran yang dikirim Prabu Sri
Mahawan untuk Dewi Srini. Hal ini justru membuat Dewi Rajatadi bertambah sedih. Ia mengeluh
Prabu Brahamasatapa pilih kasih, lebih menyayangi Dewi Srini yang lahir dari bidadari dibanding
Dewi Satapi yang lahir darinya. Dewi Rajatadi menduga hilangnya Dewi Satapi pasti kabur dari
istana karena mengetahui sikap ayahnya yang berat sebelah tersebut.
Tuduhan ini membuat Prabu Brahmasatapa sangat tersinggung. Padahal, saat Dewi Rajatadi
terbukti membuang Raden Parikenan dan Dewi Srini sewaktu bayi dan menukar mereka dengan
KITAB WAYANG PURWA

sepasang anak kambing, Prabu Brahmasatapa masih dapat mengampuni. Namun, gara-gara
ucapan istrinya tadi amarah Prabu Brahmasatapa menjadi bangkit kembali. Prabu Brahmasatapa
pun mengucapkan kutukan, sehingga wujud Dewi Rajatadi seketika berubah menjadi seekor buaya
betina.
Prabu Brahmasatapa sangat menyesal dan segera memanggil Patih Brahmasadana yang
merupakan adik kandung Dewi Rajatadi. Patih Brahmasadana terkejut bukan main, namun ia
menyadari kalau kakaknya memang bersalah. Ia pun menghibur hati Prabu Brahmasatapa bahwa
hal ini memang sudah menjadi hukum karma atas dosa-dosa Dewi Rajatadi di masa lalu. Patih
Brahmasadana lalu membawa buaya perwujudan kakaknya itu dan melepaskannnya di Sungai
Jamuna.

PATIH PUJANGKARA MEMINTA PETUNJUK BEGAWAN RUKMAWATI


Sementara itu, Patih Pujangkara dan Arya Sadaskara yang dalam perjalanan pulang menuju
Kerajaan Purwacarita menyempatkan untuk singgah di Gunung Mahendra. Rupanya Patih
Pujangkara berniat meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati perihal hilangnya Dewi Satapi.
Begawan Rukmawati menyambut kedatangan ayah dan anak itu, lalu memberikan penjelasan
bahwa hilangnya Dewi Satapi adalah hukuman untuk Dewi Rajatadi sebagai balasan atas
perbuatannya dulu yang pernah membuang Raden Parikenan dan Dewi Srini semasa bayi. Namun
kini, Dewi Rajatadi telah mendapatkan hukuman baru, yaitu dikutuk suaminya menjadi buaya.
Dengan demikian, hilangnya Dewi Satapi sudah saatnya harus diakhiri. Begawan Rukmawati pun
menyarankan agar Arya Sadaskara yang berangkat mencari Dewi Satapi, karena ia diramalkan
berjodoh dengan putri bungsu Kerajaan Gilingwesi tersebut.
Begawan Rukmawati memberikan petunjuk bahwa yang menculik Dewi Satapi adalah raksasa
penguasa Hutan Wanapringga, bernama Ditya Singasari. Untuk mengalahkan raksasa tersebut,
Begawan Rukmawati pun membekali Arya Sadaskara dengan ilmu kesaktian berupa mantra Aji
Danurdara dan tulisan Rajah Kalamuksa. Arya Sadaskara berterima kasih dan menghafalkannya
dengan baik, lalu mohon restu kepada pertapa wanita tersebut dan juga kepada ayahnya untuk
kemudian berangkat menuju Hutan Wanapringga. Patih Pujangkara juga mohon pamit kepada
Begawan Rukmawati untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Purwacarita.

ARYA SADASKARA MEMBANTU PISACI DARTI MENEMUKAN SUAMINYA


Perjalanan Arya Sadaskara telah sampai di pinggiran Hutan Wanapringga, di mana ia melihat
seorang wanita sedang menangis. Wanita itu didekatinya dan mengaku bernama Darti dari bangsa
pisaci, yaitu sejenis makhluk halus. Darti mengaku bahwa dirinya sengaja menampakkan diri di
hadapan manusia supaya dibantu menemukan suaminya, yaitu seorang pisaca bernama Wulingga.
Darti bercerita bahwa pemimpin kaum pisaca yang bernama Pisacaraja Bahli telah ditaklukkan
oleh Ditya Singasari, sehingga semua pisaca, termasuk Wulingga, kini menjadi pelayan Ditya
Singasari. Darti meminta bantuan Arya Sadaskara supaya memanggil Wulingga agar keluar dari
barisan dengan cara bersiul menyanyikan lagu. Darti menjelaskan bahwa suaminya itu sangat
senang mendengar siulan dan ia akan menari-nari mendekati orang yang bersiul itu. Supaya Arya
Sadaskara dapat melihat wujud Wulingga, Darti pun memberikan Minyak Pranawa untuk dioleskan
di kedua mata dan telinganya.
Arya Sadaskara lalu berangkat menyusuri sebuah jurang di Hutan Wanapringga sesuai
petunjuk yang diberikan Darti. Berkat Minyak Pranawa, ia dapat melihat ada begitu banyak makhluk
halus beserta perkampungan mereka. Ketika melihat ada barisan para pisaca, Arya Sadaskara
segera bersiul menyanyikan lagu Bremara. Dari barisan itu tampak keluar seorang pisaca menari-
nari dan mendekati Arya Sadaskara. Arya Sadaskara yakin yang datang ini pasti bernama Wulingga.
Ia pun segera menangkap pisaca itu dan membawanya pergi menemui Darti.
Wulingga sangat terkejut mengapa Arya Sadaskara dapat melihat dan menangkapnya. Begitu
sampai di tempat Darti, ia pun paham kalau pemuda itu ternyata mendapatkan Minyak Pranawa dari
istrinya.
KITAB WAYANG PURWA

Wulingga sangat senang bisa bertemu dengan Darti, namun ia juga takut mendapat hukuman
dari Ditya Singasari karena meninggalkan barisan. Arya Sadaskara menawarkan diri untuk
mengalahkan Ditya Singasari, namun Wulingga tidak berani mengantarkannya. Ia hanya berani
mempertemukan Arya Sadaskara dengan pemimpinnya, yaitu Pisacaraja Bahli, supaya mereka
bersekutu dan bersama-sama menghadapi Ditya Singasari. Akan tetapi, Wulingga bersedia
mengantarkan Arya Sadaskara apabila dirinya diajari cara bersiul menyanyikan lagu Bremara tadi.
Arya Sadaskara menyanggupi hal itu. Ia pun mengajarkan cara bersiul kepada Wulingga.
Setelah mahir, Wulingga lalu mengantarkan Arya Sadaskara menemui Pisacaraja Bahli.

ARYA SADASKARA MEMBUNUH DITYA SINGASARI


Wulingga telah mengantarkan Arya Sadaskara menemui Pisacaraja Bahli. Setelah berkenalan
dan menjalin persahabatan, Pisacaraja Bahli dan Arya Sadaskara pun merundingkan cara untuk
membebaskan kaum pisaca dari penjajahan Ditya Singasari. Pisacaraja Bahli mengaku dirinya
mempunyai batu ajaib bernama Sela Timpuru yang bisa diubah menjadi benda apa saja untuk
dipakai membunuh Ditya Singasari. Akan tetapi, Sela Timpuru hanya bisa digunakan oleh orang
yang menguasai Aji Danurdara dan Rajah Kalamuksa.
Sungguh kebetulan, Arya Sadaskara telah mendapatkan kedua ilmu tersebut dari Begawan
Rukmawati. Pisacaraja Bahli sangat senang mendengarnya. Mereka berdua lalu berangkat menuju
Gua Sindula, tempat Ditya Singasari menyembunyikan seorang wanita cantik di dalamnya.
Pisacaraja Bahli bercerita bahwa Ditya Singasari beberapa kali hendak memerkosa wanita itu,
namun selalu saja si wanita lenyap dari pandangan. Arya Sadaskara yakin wanita itu pastilah Dewi
Satapi, putri bungsu Prabu Brahmasatapa.
Sesampainya di Gua Sindula, Pisacaraja Bahli segera meminjamkan Sela Timpuru kepada
Arya Sadaskara, kemudian berteriak menantang Ditya Singasari. Arya Sadaskara lalu menuliskan
Rajah Kalamuksa pada batu ajaib tersebut dan membaca mantra Aji Danurdara. Seketika Sela
Timpuru berubah menjadi senjata cambuk. Ketika Ditya Singasari keluar dari gua, Arya Sadaskara
segera menyerang raksasa itu dan terjadilah perkelahian di antara mereka. Saat Ditya Singasari
berhasil menghindari lecutan cambuk tersebut dan makin mendekat, Arya Sadaskara pun
mengubah Sela Timpuru menjadi pedang untuk pertarungan jarak dekat. Ketika Ditya Singasari
mundur untuk menghindari tusukan pedang tersebut, Arya Sadaskara mengubah senjatanya
menjadi sebatang tombak dan melemparkannya tepat menusuk leher raksasa tersebut.
Ditya Singasari tewas meninggalkan seorang putra yang masih bayi, bernama Ditya
Rambana. Sahabatnya yang bernama Ditya Saniwara pun menggendong bayi raksasa itu dan
membawanya kabur meninggalkan Hutan Wanapringga.
Sementara itu, Arya Sadaskara masuk ke dalam Gua Sindula menemui Dewi Satapi yang
sedang bersamadi. Dewi Satapi sangat berterima kasih kepada pahlawan penolongnya itu. Ia pun
menceritakan peristiwa yang ia alami. Pada mulanya Ditya Singasari ingin menikah lagi setelah
ditinggal mati istrinya saat melahirkan Ditya Rambana. Ditya Singasari pun menyusup ke dalam
istana Gilingwesi dan menculik Dewi Satapi saat sedang memetik bunga. Ditya Singasari lalu
menyembunyikan Dewi Satapi di dalam Gua Sindula. Dewi Satapi pun bersamadi memohon
perlindungan dewata, sehingga Ditya Singasari yang berniat ingin memerkosa tidak dapat melihat
wujudnya. Meskipun Ditya Singasari menggunakan Minyak Pranawa, tetap saja ia tidak mampu
melihat keberadaan Dewi Satapi.
Arya Sadaskara bersyukur mendengar cerita tersebut dan segera memasukkan Dewi Satapi
ke dalam Sela Timpuru. Ia kemudian berangkat menuju Kerajaan Gilingwesi dengan ditemani
Pisacaraja Bahli.

PRABU BRAHMASATAPA MENCURIGAI ARYA SADASKARA


Arya Sadaskara tiba di hadapan Prabu Brahmasatapa dan melaporkan semua
pengalamannya. Ia kemudian mengeluarkan Dewi Satapi dari dalam Sela Timpuru. Prabu
Brahmasatapa sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan putri bungsunya itu, namun ia
KITAB WAYANG PURWA

kemudian menaruh curiga, jangan-jangan Arya Sadaskara yang telah menculiknya dan mengarang
cerita palsu tentang raksasa bernama Ditya Singasari.
Pisacaraja Bahli lalu berbisik di samping Arya Sadaskara supaya menyerahkan Minyak
Pranawa kepada Prabu Brahmasatapa. Setelah menerima minyak tersebut dan mengoleskannya di
mata, Prabu Brhamasatapa dapat melihat wujud Pisacaraja Bahli dan sempat terkejut beberapa
saat. Pisacaraja Bahli lalu bersumpah bahwa semua yang diceritakan Arya Sadaskara adalah benar.
Tiba-tiba Prabu Brahmasatapa melihat ada sesosok makhluk halus berwujud api yang
menyala berkobar-kobar hendak membakar istana Gilingwesi. Pisacaraja Bahli menjelaskan bahwa
itu adalah Jalegi, makhluk halus kesayangan Ditya Singasari yang ingin membalas dendam. Prabu
Brahmasatapa ketakutan dan meminta tolong kepada Pisacaraja Bahli agar membunuhnya.
Pisacaraja Bahli mematuhi, kemudian ia menyerang Jalegi dan berhasil menewaskannya.
Prabu Brahmasatapa berterima kasih dan meminta Pisacaraja Bahli supaya tetap tinggal di
Kerajaan Gilingwesi sebagai penjaga istana. Pisacaraja Bahli bercerita bahwa kakeknya yang
bernama Pisacaraja Sentruya juga pernah mengabdi di Kerajaan Gilingwesi pada masa
pemerintahan Prabu Watugunung. Setelah Prabu Watugunung gugur, Pisacaraja Sentruya pun
pindah ke Gunung Rewataka. Ia kemudian memiliki anak bernama Pisacaraja Wilika yang pindah
ke Hutan Parimbun. Adapun Pisacaraja Wilika adalah ayah dari Pisacaraja Bahli.
Pisacaraja Bahli menerima tawaran Prabu Brahmasatapa, namun ia meminta diizinkan tinggal
di sanggar yang dulu ditempati kakeknya. Kemudian setiap hari Anggara Kasih ia juga meminta
diberi sesaji berupa minyak wangi dan dupa. Prabu Brahmasatapa menyanggupinya. Sebagai
hadiah atas jasanya membunuh Jalegi tadi, Prabu Brahmasatapa pun memberikan Mutiara
Matuwahni kepada Pisacaraja Bahli. Mutiara Matuwahni tersebut tidak lain adalah kenang-
kenangan dari Batari Dresanala saat dulu Prabu Brahmasatapa jatuh cinta kepada bibinya itu.

PERNIKAHAN DEWI SRINI DAN DEWI SATAPI


Prabu Brahmasatapa sangat gembira karena segala masalah telah teratasi. Ia pun
menyatakan bahwa Arya Sadaskara akan diambil sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Dewi
Satapi. Ia juga mengutus Patih Brahmasadana untuk membalas lamaran Prabu Sri Mahawan
terhadap Dewi Srini yang hendak dijodohkan dengan Raden Wahnaya.
Maka, pada hari yang ditentukan, dilangsungkanlah upacara pernikahan ganda di Kerajaan
Gilingwesi, yaitu Dewi Srini dengan Raden Wahnaya, serta Dewi Satapi dengan Arya Sadaskara.
Kebahagiaan ini semakin bertambah dengan berita kelahiran anak pertama Raden Parikenan dan
Dewi Brahmaneki, yang diberi nama Dewi Kaniraras.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

KANIYASA LAHIR
Kisah ini menceritakan Raden Parikenan berhasil meruwat ibu tirinya, yaitu Dewi Rajatadi
dari wujud buaya putih kembali menjadi manusia. Kisah dilanjutkan dengan kelahiran Raden
Kanwa atau Raden Kaniyasa, yang kelak terkenal dengan nama Resi Manumanasa, leluhur
para Pandawa dan Kurawa, serta bagaimana Raden Kanwa diambil sebagai anak angkat Prabu
Basupati raja Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan naskah Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

RADEN PARIKENAN DITANTANG BUAYA PUTIH


Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi baru saja pulang dari Kerajaan Purwacarita untuk
menjenguk kedua putrinya yang melahirkan. Dewi Srini yang menikah dengan Raden Wahnaya
telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sriwanda, sedangkan Dewi Satapi yang
menikah dengan Arya Sadaskara juga melahirkan seorang putra, diberi nama Raden Darmaruci.
Saat ini menantu Prabu Brahmasatapa, yaitu Dewi Brahmaneki (istri Raden Parikenan) juga
sedang mengandung untuk yang kedua kalinya. Adapun anak pertama mereka, yaitu Dewi
Kaniraras telah berusia satu tahun.
Ketika Prabu Brahmasatapa sedang memimpin pertemuan dengan Raden Parikenan, Patih
Brahmasadana, Arya Brahmanaradya, Arya Brahmastuti, Arya Brahmanakestu, dan para punggawa
Kerajaan Gilingwesi lainnya, tiba-tiba datang menghadap seorang laki-laki yang mengaku sebagai
kepala Desa Cita, bernama Buyut Sanggora. Ia melaporkan tentang warga desanya yang sering
diganggu buaya putih ketika lewat di dekat Sungai Jamuna. Buaya putih itu bisa berbicara seperti
manusia, dan ia menitip pesan ingin berkelahi melawan Raden Parikenan. Jika Raden Parikenan
menolak datang ke Sungai Jamuna, maka buaya putih itu akan semakin banyak menyerang warga
desa. Sampai saat ini si buaya putih hanya melukai dan menakut-nakuti, namun ia mengancam
untuk selanjutnya akan membunuh dan memangsa siapa saja yang lewat di dekat Sungai Jamuna.
Raden Parikenan prihatin mendengar laporan Buyut Sanggora tersebut. Ia pun mohon restu
kepada sang ayah untuk menghadapi tantangan buaya putih tersebut. Prabu Brahmasatapa tidak
tega dan memerintahkan Arya Brahmanaradya untuk mengawal Raden Parikenan. Akan tetapi,
Patih Brahmasadana menawarkan dirinya untuk menggantikan Arya Brahmanaradya mengawal
sang pangeran. Rupanya dalam hati ia menduga kalau buaya putih tersebut tidak lain adalah
penjelmaan kakaknya, yaitu Dewi Rajatadi yang setahun lalu mendapat kutukan dari Prabu
Brahmasatapa.
Prabu Brahmasatapa memberikan izin kepada Patih Brahmasadana untuk mengawal Raden
Parikenan. Maka, Raden Parikenan dan Patih Brahmasadana pun mohon pamit berangkat dengan
dipandu Buyut Sanggora menuju ke Sungai Jamuna, tempat si buaya putih berada.

RADEN PARIKENAN MENGALAHKAN BUAYA PUTIH


Raden Parikenan dan Patih Brahmasadana bersama Buyut Sanggora telah sampai di tepi
Sungai Jamuna tempat buaya putih sering mengganggu warga. Raden Parikenan lalu berteriak
memanggil buaya putih itu agar keluar dari persembunyiannya. Tidak lama kemudian, si buaya putih
pun muncul dari dalam sungai dan langsung menyerang Raden Parikenan. Terjadilah perkelahian
sengit di antara mereka.
Patih Brahmasadana hanya menonton sambil berjaga-jaga. Ia kini sangat yakin kalau buaya
putih tersebut adalah penjelmaan kakaknya. Saat itu Raden Parikenan tampak bergulat melawan si
buaya putih dan perkelahian mereka pun berlanjut di dalam sungai. Patih Brahmasadana sangat
khawatir dan berniat ikut mencebur. Akan tetapi, tiba-tiba Raden Parikenan keluar dari dalam sungai
bersama Dewi Rajatadi yang kini telah kembali ke dalam wujud manusia.
Sesampainya di darat, Raden Parikenan bercerita bahwa di dalam air tadi ia bergulat melawan
buaya putih. Ketika napasnya mulai sesak, Raden Parikenan pun menusukkan kerisnya ke dalam
mulut buaya putih tersebut. Sungguh ajaib, si buaya putih tiba-tiba berubah wujud menjadi ibu tirinya,
yaitu Dewi Rajatadi. Mendengar cerita itu Patih Brahmasadana merasa sangat gembira. Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Rajatadi juga sangat berterima kasih kepada Raden Parikenan yang telah meruwat dirinya hingga
terbebas dari kutukan. Mereka pun bersama-sama kembali ke Kerajaan Gilingwesi untuk
menghadap Prabu Brahmasatapa.

LAHIRNYA RADEN KANWA


Prabu Brahmasatapa menyambut gembira atas keberhasilan Raden Parikenan. Ia juga sangat
bahagia melihat Dewi Rajatadi telah terbebas dari kutukan dan kembali menjadi manusia. Dewi
Rajatadi memohon maaf atas segala dosa-dosanya dan berjanji akan menjadi istri yang baik di sisi
Prabu Brahmasatapa. Suasana haru pun kini tampak menghiasi istana Kerajaan Gilingwesi.
Dewi Rajatadi lalu bercerita tentang pengalamannya selama setahun menjadi buaya putih di
Sungai Jamuna. Awalnya ia sangat marah dan kecewa, namun kemudian menyesali segala
kesalahannya. Siang dan malam ia bertapa memohon petunjuk dewata supaya terbebas dari
kutukan dan bisa kembali menjadi manusia. Setelah sekian lama bertapa, tiba-tiba terdengar suara
dewata berbisik bahwa yang bisa membebaskan dirinya dari kutukan adalah Raden Parikenan, yang
dulu semasa bayi pernah dibuangnya ke hutan dan ditukar dengan bayi kambing.
Dewi Rajatadi sangat malu dan menyesal saat disinggung tentang perbuatan jahatnya di masa
lalu tersebut. Ia lalu mengatur rencana bagaimana supaya Raden Parikenan datang ke Sungai
Jamuna. Maka, setiap ada warga Desa Cita yang lewat di dekat Sungai Jamuna pun langsung
diserangnya. Kepada mereka, ia menitip pesan supaya Raden Parikenan didatangkan di
hadapannya.
Demikianlah, siasat Dewi Rajatadi akhirnya berhasil karena Buyut Sanggora telah
mendatangkan Raden Parikenan ke Sungai Jamuna dan membebaskan dirinya dari wujud buaya
putih, kembali menjadi manusia. Prabu Brahmasatapa terharu mendengar penuturan istrinya dan ia
pun bersedia menerima kembali Dewi Rajatadi asalkan benar-benar menyesali perbuatannya di
masa lalu.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul para dayang yang melaporkan bahwa Dewi Brahmaneki
telah melahirkan bayi laki-laki, anak kedua Raden Parikenan. Prabu Brahmasatapa sangat gembira
dan memberi nama cucunya itu, Raden Kanwa.

PRABU BASUPATI MENGUSIR PATIH SUNGGATA


Dua tahun kemudian di Kerajaan Wirata terjadi wabah penyakit yang menewaskan banyak
penduduk. Prabu Basupati sangat sedih dan mengajak Patih Sunggata untuk memasang tumbal
demi melenyapkan wabah penyakit tersebut. Patih Sunggata tidak setuju dan menyarankan agar
Prabu Basupati menikah lagi. Patih Sunggata yakin bahwa musibah wabah penyakit tersebut adalah
teguran dewata yang tidak senang melihat ada seorang raja menduda tanpa pendamping. Adapun
istri Prabu Basupati, yaitu Dewi Indradi telah lama meninggal setelah melahirkan putra pertama
mereka, yang diberi nama Raden Basumurti.
Mendengar usulan tersebut, Prabu Basupati sangat tersinggung dan menuduh Patih Sunggata
bersikap lancang berani mencampuri urusan pribadinya. Ia mengatakan bahwa selain mendiang
Dewi Indradi, tidak ada lagi wanita di dunia ini yang mampu memikat hatinya. Patih Sunggata pun
diusir pergi dari istana beserta putranya yang bernama Arya Sarisungga.
Patih Sunggata dan Arya Sarisungga kemudian pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk
mengabdi kepada Prabu Sri Mahawan. Mendengar apa yang terjadi di Kerajaan Wirata, Prabu Sri
Mahawan ikut merasa prihatin. Ia lalu menerima pengabdian ayah dan anak tersebut, di mana Patih
Sunggata diangkat sebagai kepala pembuat senjata, sedangkan Arya Sarisungga dijadikan
punggawa penjaga perbatasan.

PRABU BASUPATI MENGAMBIL RADEN KANWA SEBAGAI ANAK ANGKAT


Setelah mengusir Patih Sunggata dan Arya Sarisungga, Prabu Basupati masuk ke dalam
sanggar pemujaan untuk bersamadi memohon petunjuk dewata demi membebaskan Kerajaan
Wirata dari wabah penyakit yang sedang melanda. Dewata pun memberikan petunjuk supaya Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Basupati mengambil keponakannya sebagai anak angkat yang dipersaudarakan dengan Raden
Basumurti, yaitu anak kedua Dewi Brahmaneki yang bernama Raden Kanwa.
Prabu Basupati lalu berkunjung ke Kerajaan Gilingwesi untuk mewujudkan petunjuk dewata
tersebut. Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki sebenarnya keberatan untuk melepaskan Raden
Kanwa yang masih berusia dua tahun, namun mereka juga prihatin mendengar musibah yang kini
terjadi di Kerajaan Wirata. Akhirnya, Dewi Brahmaneki pun menyerahkan Raden Kanwa kepada
sang kakak, namun dengan disertai seorang pengasuh, yaitu Dewi Wakiswari, putri Arya
Brahmanaradya.
Singkat cerita, wabah penyakit yang melanda Kerajaan Wirata telah lenyap sejak Prabu
Basupati membawa Raden Kanwa dan Dewi Wakiswari. Entah bagaimana Prabu Basupati tiba-tiba
merasa tertarik kepada Dewi Wakiswari dan ingin menjadikannya istri. Maka, ia pun mengirim
lamaran kepada Arya Brahmanaradya di Kerajaan Gilingwesi. Arya Brahmanaradya pun menerima
lamaran tersebut dengan senang hati, lalu ia berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai putra
yang lain, bernama Raden Wakiswara.
Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Prabu Basupati
dengan Dewi Wakiswari. Prabu Basupati merasa ini semua berkat kedatangan Raden Kanwa di
Kerajaan Wirata, sehingga ia kembali memiliki rasa suka terhadap wanita. Oleh sebab itu, Raden
Kanwa pun diganti namanya menjadi Raden Kaniyasa.
Prabu Basupati juga senang melihat kepandaian dan ketangkasan Raden Wakiswara. Maka,
ia pun mengangkat adik iparnya itu menjadi patih Kerajaan Wirata yang baru, bergelar Patih
Wakiswara, untuk menggantikan Patih Sunggata yang telah menetap di Purwacarita.

PRABU BRAHMASATAPA BERTEMU DEWI ADIYANA DAN DEWI ADIYANTI


Sementara itu di Kerajaan Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa pada suatu hari memanggil
pimpinan makhluk halus yang menjaga istananya, yaitu Pisacaraja Bahli. Rupanya Prabu
Brahmasatapa ingin mencoba lagi khasiat Minyak Pranawa. Setelah mengoleskan minyak tersebut
di pelupuk mata dan kedua telinganya, Prabu Brahmasatapa lalu berjalan-jalan di sekitar istana
Gilingwesi, dengan ditemani Pisacaraja Bahli. Mereka pun melihat sebuah istana gaib berwarna
kuning keemasan yang dihuni oleh dua orang wanita cantik. Pisacaraja Bahli memperkenalkan
mereka adalah sepasang jin wanita yang masih terhitung nenek Prabu Brahmasatapa. Kedua jin
tersebut tidak lain adalah Dewi Adiyana (istri Batara Brahma) dan Dewi Adiyati (istri Batara Wisnu).
Prabu Brahmasatapa menyembah memberi hormat kepada kedua neneknya itu. Dewi
Adiyana dan Dewi Adiyati sangat terkesan kepadanya dan berkenan untuk memberikan anugerah.
Dewi Adiyana menyerahkan sebatang tebu untuk dimakan Prabu Brahmasatapa. Ternyata Prabu
Brahmasatapa hanya mampu menghabiskan empat ruas saja dan sudah merasa kenyang. Maka,
Dewi Adiyana pun meramalkan bahwa Kerajaan Gilingwesi sejak Batara Brahma hanya akan
dipimpin oleh empat turunan saja. Itu artinya cucu Prabu Brahmasatapa tidak bisa menjadi raja.
Prabu Brahmasatapa sangat sedih dan ia meminta supaya diperbolehkan menghabiskan sisa
tebu tadi. Namun, Dewi Adiyana tidak mengizinkan karena sudah terlanjur dan tiada gunanya lagi.
Dewi Adiyati lalu menyerahkan sekantong biji bercampur kecambah kepada Prabu Brahmasatapa
untuk diambil segenggam. Prabu Brahmasatapa merogoh kantong tersebut dan mengambil
segenggam isinya. Ternyata dalam genggaman itu hanya empat biji saja yang belum berkecambah.
Dewi Adiyati pun menjelaskan bahwa hanya empat keturunan saja di bawah Prabu Brahmasatapa
yang tidak menjadi raja. Itu artinya, keturunan kelima akan kembali menjadi raja, namun bukan di
Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmasatapa sangat gembira mendengar ramalan Dewi Adiyati tersebut. Ia lalu
mohon pamit kembali ke alam nyata. Dewi Adiyana dan Dewi Adiyati pun memberinya hadiah
berupa permata Manikhara sebagai kenang-kenangan.

LAHIRNYA RADEN MANONBAWA DAN RADEN BASUKESTI


Sesampainya di istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa mendapatkan berita bahagia, yaitu
Dewi Brahmaneki kembali melahirkan seorang bayi laki-laki (anak ketiga Raden Parikenan). Karena
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Brahmasatapa baru saja melihat istana berwarna keemasan di alam gaib, maka ia pun
memberi nama cucunya itu, Raden Manonbawa.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Basupati di Kerajaan Wirata juga memperoleh seorang
putra yang dilahirkan Dewi Wakiswari. Ia pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Basukesti.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BRAHMANA WISAKA
Kisah ini menceritakan Batara Ajisaka atau Empu Sangkala datang lagi ke Tanah Jawa sebagai
Brahmana Wisaka yang berhasil mengakhiri kekuasaan Sri Maharaja Purwacandra tanpa
menggunakan kekerasan. Ia kemudian naik takhta di Medang Kamulan, bergelar Sri Maharaja
Wisaka serta memerdekakan Kerajaan Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

SRI MAHARAJA PURWACANDRA INGIN PEMBARUAN WADYA SESELIRAN


Sri Maharaja Purwacandra di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Sukapa beserta para
punggawa utama, yaitu Raja Tinggara, Raja Patanggara, Raja Yogyapara, Raja Dyapara, dan Raja
Capala. Hadir pula para raja bawahan, yaitu Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi, Prabu Sri
Mahawan dari Purwacarita, dan Prabu Basupati dari Wirata. Ketiga raja bawahan ini melaporkan
keadaan negeri masing-masing. Dalam kesempatan itu Prabu Brahmasatapa juga mengabarkan
kelahiran cucu barunya, yang diberi nama Raden Paridarma (anak keempat Raden Parikenan dan
Dewi Brahmaneki).
Sri Maharaja Purwacandra lalu membubarkan pertemuan, kecuali Prabu Sri Mahawan saja
yang disuruhnya tetap tinggal. Sebagaimana yang sudah diketahui banyak orang, sejak muda Sri
Maharaja Purwacandra menderita kelainan seksual, yaitu hanya menyukai hubungan sesama jenis
dan tidak mau menikah dengan perempuan. Untuk melampiaskan nafsu birahinya, ia memiliki satu
kelompok bernama Wadya Seseliran yang beranggotakan para pemuda tampan. Namun, saat ini
Sri Maharaja Purwacandra merasa sudah bosan dengan mereka dan ingin dicarikan para pemuda
tampan yang baru. Dulu ia pernah memerintahkan Prabu Brahmasatapa melakukan itu namun
gagal. Kini, Sri Maharaja Purwacandra pun memerintahkan Prabu Sri Mahawan untuk mencarikan
para pemuda tampan dari wilayah Kerajaan Purwacarita sebagai anggota Wadya Seseliran yang
baru.
Prabu Sri Mahawan sebagai raja bawahan hanya bisa menyanggupi perintah tersebut,
meskipun dalam hati merasa muak. Ia lalu mohon pamit berangkat meninggalkan istana Medang
Kamulan.

PRABU BASUPATI MENIKAHI DEWI AWANTI


Sementara itu, Prabu Brahmasatapa dan Prabu Basupati diundang Raja Capala untuk singgah
di rumahnya sebelum meraka kembali ke negeri masing-masing. Di tempat itu Prabu Basupati jatuh
hati melihat putri Raja Capala yang bernama Dewi Awanti. Ia pun berterus terang mengajukan
KITAB WAYANG PURWA

lamaran untuk menjadikan Dewi Awanti sebagai istri, di samping Dewi Wakiswari putri Arya
Brahmanaradya.
Raja Capala menerima lamaran tersebut, namun dengan syarat Prabu Basupati harus
membawa pula kedua putranya yang lain untuk tinggal di Kerajaan Wirata. Mereka adalah Raden
Awama (kakak Dewi Awanti) dan Raden Awangga (adik Dewi Awanti). Rupanya Raja Capala
merasa khawatir kalau kedua putranya itu dijadikan anggota Wadya Seseliran untuk memuaskan
nafsu birahi Sri Maharaja Purwacandra.
Prabu Basupati menerima syarat tersebut. Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan
antara dirinya dengan Dewi Awanti, yang disaksikan oleh Prabu Brahmasatapa. Pernikahan itu
berlangsung sederhana saja. Esok harinya, Prabu Basupati dan Dewi Awanti mohon pamit
berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai Arya Awama dan Arya Awangga, sedangkan Prabu
Brahmasatapa pamit pula kembali ke Kerajaan Gilingwesi.

MUNCULNYA BRAHMANA WISAKA


Sementara itu, Prabu Sri Mahawan disertai para pengawalnya masih menjalankan perintah
Sri Maharaja Purwacandra untuk mengumpulkan para pemuda tampan sebagai Wadya Seseliran
yang baru. Di sepanjang jalan apabila ada pemuda tampan yang bertemu mereka pasti segera
ditangkap dan dimasukkan ke dalam kereta kurungan.
Perjalanan Prabu Sri Mahawan dan pasukannya akhirnya sampai di Gunung Kanda, di mana
hidup seorang guru bernama Danghyang Salikoswa bersama putranya yang tampan, bernama
Bambang Kusalya. Prabu Sri Mahawan pun meminta Danghyang Salikoswa untuk menyerahkan
Bambang Kusalya sebagai anggota Wadya Seseliran. Danghyang Salikoswa merasa ketakutan dan
hanya bisa pasrah, tetapi Bambang Kusalya menolak mentah-mentah. Pemuda itu mencela
kelakuan Sri Maharaja Purwacandra sebagai raja tertinggi di Pulau Jawa tetapi tidak melindungi
rakyatnya, justru menyebar ketakutan. Meskipun seluruh Tanah Jawa makmur, tetapi rakyat dilanda
kekhawatiran, takut dijadikan pemuas birahi Sang Maharaja.
Prabu Sri Mahawan dalam hati membenarkan ucapan Bambang Kusalya, namun di sisi lain ia
juga takut kepada Sri Maharaja Purwacandra. Maka, ia terpaksa menggunakan kekerasan untuk
memaksa pemuda itu ikut dengannya. Bambang Kusalya pun berusaha melarikan diri menghindari
penangkapan tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul serombongan pria tampan dari Tanah Hindustan. Pemimpin
mereka bernama Brahmana Wisaka, sedangkan anggotanya adalah murid-muridnya yang
berjumlah tujuh puluh orang. Brahmana Wisaka menanyakan ada permasalahan apa, dan setelah
mengetahui jawabannya, ia pun menawarkan diri kepada Prabu Sri Mahawan untuk dijadikan
Wadya Seseliran beserta seluruh muridnya, tetapi Bambang Kusalya dan para pemuda lainnya
dibebaskan. Melihat wajah Brahmana Wisaka dan murid-muridnya tiada yang jelek, Prabu Sri
Mahawan pun setuju. Ia lalu kembali ke istana Medang Kamulan dengan membawa mereka semua.

BRAHMANA WISAKA ADU KEPANDAIAN MELAWAN SRI MAHARAJA PURWACANDRA


Sesampainya di istana, Prabu Sri Mahawan menghadapkan rombongan Brahmana Wisaka itu
kepada Sri Maharaja Purwacandra. Melihat ada tujuh puluh satu laki-laki tampan di hadapannya, Sri
Maharaja Purwacandra merasa sangat senang dan memuji keberhasilan Prabu Sri Mahawan.
Akan tetapi, Brahmana Wisaka tidak mau dijadikan anggota Wadya Seseliran begitu saja
apabila tantangannya tidak diterima oleh Sri Maharaja Purwacandra, yaitu adu kepandaian
berhitung. Sri Maharaja Purwacandra merasa tertantang dan mengabulkannya. Bahkan, ia juga
berjanji apabila dirinya kalah, maka Kerajaan Medang Kamulan akan diserahkan kepada Brahmana
Wisaka. Sebaliknya, jika ia yang menang, maka brahmana tampan itu harus menjadi anggota
Wadya Seseliran pemuas birahinya.
Maka, dimulailah adu kepandaian berhitung antara Sri Maharaja Purwacandra melawan
Brahmana Wisaka. Setelah melewati beberapa babak, Sri Maharaja Purwacandra akhirnya
mengakui kepandaian Brahmana Wisaka berada di atasnya. Dengan sikap kesatria, ia lalu masuk
KITAB WAYANG PURWA

ke dalam sanggar pemujaan disertai kedua adiknya, yaitu Raja Tinggara dan Raja Patanggara,
kemudian mereka bersama-sama mengheningkan cipta melepaskan roh masing-masing.
Melihat Sang Maharaja telah meninggal, Patih Sukapa, Raja Yogyapara, Raja Dyapara, Raja
Wigara, beserta para punggawa lainnya pun bersama-sama masuk ke sanggar pemujaan untuk ikut
melepas roh pula. Yang tersisa kini hanyalah Raja Capala dan adik-adiknya, yaitu Arya Caracapa,
Arya Gandara, dan Arya Kumbina. Mereka berempat kemudian menyatakan tunduk kepada
Brahmana Wisaka.

BRAHMANA WISAKA MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN


Prabu Sri Mahawan sangat terkesan melihat kepandaian Brahmana Wisaka yang berhasil
mengalahkan Sri Maharaja Purwacandra tanpa kekerasan sedikit pun. Ternyata Brahmana Wisaka
ini tidak lain adalah penjelmaan Batara Ajisaka atau Empu Sangkala yang dahulu kala pernah
datang ke Pulau Jawa memasang tumbal supaya dapat dihuni manusia. Kini ia datang kembali atas
perintah Batara Guru untuk mengakhiri perbuatan menyimpang Sri Maharaja Purwacandra yang
banyak meresahkan rakyatnya itu, serta untuk mengajarkan bahasa Sanskerta dan aksara
Dewanagari kepada masyarakat Jawa.
Sesuai perjanjian, Brahmana Wisaka pun menjadi raja Medang Kamulan yang baru, bergelar
Sri Maharaja Wisaka. Meskipun memakai gelar maharaja, namun ia tidak ingin menjadi penguasa
tunggal di Pulau Jawa. Ia pun mengumumkan bahwa Kerajaan Purwacarita, Gilingwesi, dan Wirata
mulai saat ini kembali menjadi negeri merdeka dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Medang
Kamulan.
Sebagai orang asing yang tiba-tiba menjadi raja, Sri Maharaja Wisaka merasa tidak leluasa
memerintah. Ia lalu mengajak Raja Capala dan ketiga adiknya untuk memimpin Medang Kamulan
bersama-sama, sehingga mereka berlima pun disebut sebagai Raja Palima. Adapun yang diangkat
sebagai menteri utama adalah Bambang Kusalya, bergelar Patih Kusalya. Sementara ayahnya,
yaitu Danghyang Salikoswa diangkat sebagai pandita kerajaan, bergelar Brahmana Salikoswa.

KETIGA RAJA BERGURU KEPADA SRI MAHARAJA WISAKA


Prabu Sri Mahawan yang menyaksikan perubahan besar tersebut segera pergi ke Kerajaan
Gilingwesi untuk menemui Prabu Brahmasatapa. Ia mengabarkan berita kematian Sri Maharaja
Purwacandra dan kini Kerajaan Medang Kamulan diperintah oleh Sri Maharaja Wisaka yang sangat
bijaksana. Prabu Brahmasatapa terkejut sekaligus gembira karena dalam hati ia masih menyimpan
sakit hati atas kematian ayahnya dulu, yaitu Prabu Brahmanaraja yang tewas di tangan Sri Maharaja
Purwacandra (saat masih bernama Prabu Cingkaradewa).
Prabu Sri Mahawan dan Prabu Brahmasatapa lalu pergi ke Kerajaan Wirata menemui Prabu
Basupati untuk menyampaikan berita tersebut. Prabu Basupati sangat terkejut pula dan sekaligus
gembira karena Kerajaan Wirata kini telah kembali menjadi negeri merdeka. Mereka bertiga lalu
berunding dan akhirnya sepakat untuk berguru kepada Sri Maharaja Wisaka. Maka, berangkatlah
ketiga raja itu menuju Kerajaan Medang Kamulan.
Sri Maharaja Wisaka pun menerima mereka sebagai murid. Ia lalu mengajarkan aksara
Dewanagari, bahasa Sanskerta, ilmu kesaktian, ilmu berhitung, dan ilmu kesempurnaan kepada
ketiga raja tersebut. Beberapa hari kemudian, putra sulung Prabu Sri Mahawan, yaitu Raden
Wandawa (yang lahir dari Dewi Panitra) datang menyusul untuk ikut berguru pula. Sri Maharaja
Wisaka sangat senang melihat kecerdasannya. Ia lalu menjadikan Raden Wandawa sebagai anak
angkat dan menyuruhnya untuk tinggal menetap di Medang Kamulan.
Setelah beberapa bulan terlewati, tiba-tiba datang Arya Awangga dari Kerajaan Wirata yang
membawa kabar gembira bahwa kakaknya, yaitu Dewi Awanti telah melahirkan seorang putra.
Prabu Basupati sangat gembira atas kelahiran putra ketiganya itu dan mohon untuk diizinkan pulang.
Sri Maharaja Wisaka merasa ikut senang dan ia pun mengajak Raja Capala, Prabu Brahmasatapa,
dan Prabu Sri Mahawan untuk menyertai Prabu Basupati kembali ke Wirata.
Sesampainya di istana Wirata, Prabu Basupati segera menggendong putra ketiganya itu dan
memberinya nama, Raden Basunanda.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN WANDAWA MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN


Setelah dua tahun menjadi raja di Medang Kamulan, Sri Maharaja Wisaka akhirnya
menyatakan turun takhta untuk melanjutkan perjalanannya mengajarkan baca tulis kepada
masyarakat Jawa. Apabila terus-menerus dirinya tinggal di istana, tentu hanya akan menciptakan
kesenjangan belaka. Maka, Sri Maharaja Wisaka pun kembali menjadi Brahmana Wisaka dan
menyerahkan takhta kepada putra angkatnya, yaitu Raden Wandawa.
Pada hari yang ditentukan, Raden Wandawa dilantik sebagai raja Medang Kamulan yang
baru, bergelar Prabu Sriwahana. Esok harinya, ia melepas keberangkatan Brahmana Wisaka
dengan perasaan haru. Brahmana Wisaka pun melanjutkan perjalanannya mengajarkan ilmu baca
tulis kepada masyarakat Jawa. Setelah dirasa cukup, ia lalu kembali ke Tanah Hindustan sebagai
Batara Ajisaka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BEGAWAN KALACAKRA
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Brahmasatapa dan pelantikan Raden Parikenan sebagai
raja Gilingwesi yang baru. Prabu Sri Mahawan juga meletakkan jabatannya dan mengangkat
Raden Wahnaya sebagai raja Purwacarita, bergelar Prabu Srikala. Prabu Sri Mahawan lalu
menjadi brahmana bergelar Begawan Kalacakra. Kisah dilanjutkan dengan diangkatnya
Begawan Kalacakra menjadi dewa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.

PRABU BRAHMASATAPA MEMBUNUH KATAK BERTAPA


Pada suatu hari Prabu Brahmasatapa berburu di hutan dengan ditemani Patih Brahmasadana.
Setelah puas mendapatkan banyak kijang, kelinci, dan babi hutan, mereka pun berniat pulang.
Dalam perjalanan menuju istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana
menjumpai seekor katak yang sedang bertapa.
Prabu Brahmasatapa merasa heran sekaligus geli melihat pemandangan aneh tersebut. Ia
pun mengejek si katak untuk apa bertapa segala, apakah ingin menjadi dewa katak? Patih
Brahmasadana sebenarnya tidak setuju pada sikap Prabu Brahmasatapa, namun ia diam saja tanpa
berkata apa-apa. Sementara itu, Prabu Brahmasatapa terus-menerus menertawakan katak tersebut
dengan sikap menghina.
Tak disangka, katak itu mampu berbicara dan mengatakan bahwa Prabu Brahmasatapa tidak
sepantasnya merendahkan sesama makhluk. Meskipun sebagai binatang namun jika mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa tentu derajatnya lebih mulia daripada manusia yang
mengedepankan angkara murka. Prabu Brahmasatapa sangat tersinggung pada ucapan tersebut.
Ia pun membunuh katak itu dan merobek-robek bangkainya.
Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap dan halilintar menyambar-nyambar. Terdengar suara
si katak berkumandang di angkasa, mengatakan bahwa sebentar lagi Prabu Brahmasatapa akan
mendapatkan balasan dari dewata. Mendengar itu, Prabu Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana
merinding ketakutan dan buru-buru pergi meninggalkan tempat tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU BRAHMASATAPA DAN PATIH BRAHMASADANA MENINGGAL DUNIA


Sesampainya di istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa sangat menyesali perbuatannya dan
jatuh sakit. Setelah dirawat beberapa hari ternyata sakitnya bertambah parah dan akhirnya ia pun
meninggal dunia. Sementara itu, Patih Brahmasadana juga merasa bersalah karena sebagai
menteri utama, harusnya ia mengingatkan rajanya jika berbuat kesalahan. Patih Brahmasadana
merasa gagal dalam menjalankan tugas dan ia pun meletakkan jabatannya, lalu masuk ke sanggar
pemujaan untuk mengheningkan cipta, melepaskan rohnya sendiri.
Kerajaan Gilingwesi pun berkabung. Prabu Sri Mahawan dari Kerajaan Purwacarita, Prabu
Basupati dari Kerajaan Wirata, dan Prabu Sriwahana dari Kerajaan Medang kamulan datang
menyampaikan belasungkawa. Setelah masa berkabung selesai, Raden Parikenan dilantik sebagai
raja Gilingwesi yang baru, bergelar Prabu Parikenan. Adapun yang diangkat sebagai menteri utama
adalah menantu Patih Brahmasadana yang bernama Arya Sangkaya, putra Arya Brahmastuti.
Sementara itu, yang dijadikan sebagai punggawa kerajaan adalah Arya Sanyaki putra Arya
Brahmastuti, dan Arya Jatmaka putra Arya Brahmayana. Prabu Parikenan lalu mengangkat pula
keempat pamannya sebagai pandita kerajaan, yang masing-masing kemudian bergelar Resi
Brahmastuti, Resi Brahmayana, Resi Brahmanasidi, dan Resi Brahmanajati.

PRABU SRI MAHAWAN TURUN TAKHTA MENJADI BRAHMANA


Setelah upacara pelantikan Prabu Parikenan sebagai raja Gilingwesi usai, para tamu pun
mohon pamit kembali ke negeri masing-masing. Dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan
Purwacarita, Prabu Sri Mahawan selalu merenung memikirkan kematian Prabu Brahmasatapa yang
sangat mendadak. Ia merasa seorang raja yang memiliki kekuasaan besar dan ilmu kesaktian tinggi
tetap saja tidak dapat menghindar dari maut, apalagi kalau berbuat salah terhadap sesama ciptaan
Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah berpikir keras, Prabu Sri Mahawan akhirnya memutuskan untuk
turun takhta dan menjadi brahmana agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Maka, begitu sampai di istana, Prabu Sri Mahawan pun mengumumkan pengunduran dirinya
dan menyerahkan takhta Kerajaan Purwacarita kepada putra nomor dua, yaitu Raden Wahnaya
(karena putra sulung telah menjadi raja di Medang Kamulan). Prabu Sri Mahawan lalu menjadi
brahmana bergelar Begawan Kalacakra dan membangun sebuah tempat pertapaan yang diberi
nama Candi Astaka.
Raden Wahnaya pun dilantik menjadi raja Purwacarita yang baru, bergelar Prabu Srikala.
Sementara itu, Patih Pujangkara juga meletakkan jabatannya sebagai menteri utama, dan
digantikan putranya, yang bergelar Patih Sadaskara.

BATARA GURU MENGUJI KESUNGGUHAN BEGAWAN KALACAKRA


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka mendapat laporan dari Batara Indra bahwa para
bidadari di Kahyangan Suralaya merasa kepanasan karena hawa pertapaan yang dipancarkan
Begawan Kalacakra dari Candi Astaka. Rupa-rupanya Begawan Kalacakra bertapa ingin mencapai
kesempurnaan hidup dan mendapatkan derajat kemuliaan yang lebih tinggi.
Batara Guru pun mengutus Batari Durga untuk menguji kesungguhan Begawan Kalacakra.
Batari Durga segera mengubah wujudnya menjadi Batara Guru palsu dan mendarat di Candi Astaka.
Mengetahui kedatangan Batara Guru palsu tersebut, Begawan Kalacakra pun bangun dari samadi
dan menyambutnya dengan hormat.
Batara Guru palsu lalu menguji ilmu pengetahuan Begawan Kalacakra. Mereka berdua
kemudian terlibat perdebatan adu kepandaian hingga akhirnya Batara Guru palsu kalah dan kembali
ke wujud Batari Durga, kemudian buru-buru pergi meninggalkan candi tersebut.

BEGAWAN KALACAKRA DIANGKAT MENJADI DEWA


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka menerima laporan dari Batari Durga bahwa
Begawan Kalacakra telah lulus ujian. Rupanya di antara ketiga raja yang dulu berguru kepada Sri
Maharaja Wisaka (Batara Ajisaka), yang berhasil menyerap ilmu paling banyak adalah Prabu Sri
Mahawan atau Begawan Kalacakra tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru lantas mengutus Batara Narada untuk menjemput Begawan Kalacakra dan
mengangkatnya menjadi dewa seperti kedua kakaknya terdahulu, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana.
Batara Narada segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas tersebut.
Batara Narada telah tiba di Candi Astaka menemui Begawan Kalacakra yang sedang
bersamadi. Begawan Kalacakra terbangun dan menyambut Batara Narada dengan penuh hormat.
Dengan penglihatannya yang tajam, ia dapat membedakan bahwa yang datang kali ini adalah
Batara Narada asli, sedangkan yang tadi mendebatnya adalah Batara Guru palsu.
Batara Narada menjelaskan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput Begawan
Kalacakra menjadi dewa penghuni kahyangan sebagaimana kedua kakaknya dulu, yaitu Dewi Sri
dan Raden Sadana. Begawan Kalacakra tunduk dan menurut pada keputusan tersebut. Maka,
Batara Narada pun membawanya naik ke kahyangan dan menjadikannya sebagai dewa bergelar
Batara Kalacakra. Namun demikian, yang dibawa Batara Narada hanyalah roh Batara Kalacakra
saja, sedangkan jasadnya ditinggalkan di dalam Candi Astaka.

PRABU SRIWAHANA MENINGGAL DUNIA


Prabu Srikala sangat terkejut saat mengetahui sang ayah telah meninggal dunia dan jasadnya
ditemukan dalam keadaan duduk bersila di ruangan Candi Astaka. Ia lalu mengirimkan berita duka
itu kepada sang kakak di Kerajaan Medang Kamulan, yaitu Prabu Sriwahana.
Prabu Sriwahana sangat terkejut mendengar kematian ayahnya yang sangat mendadak.
Karena hatinya terlalu berduka, ia pun jatuh sakit dan meninggal pula. Istrinya yang bernama Dewi
Hartati lalu melakukan bela pati menyusul kematian Prabu Sriwahana.
Prabu Sriwahana dan Dewi Hartati meninggalkan tiga orang putra yang masih kecil-kecil,
bernama Raden Artaetu, Raden Etudarma, dan Raden Darmahanara. Ketiganya kemudian dibawa
Resi Salikoswa dan Patih Kusalya menemui Prabu Srikala di Kerajaan Purwacarita.
Prabu Srikala sangat terkejut bercampur sedih mendengar berita kematian kakak dan kakak
iparnya yang mendadak itu. Ia pun mengambil ketiga putra mereka yang diantarkan Resi Salikoswa
dan Patih Kusalya untuk dijadikan sebagai anak angkat dan dipersaudarakan dengan putranya yang
lahir dari Dewi Srini, yaitu Raden Sriwanda.
Dengan meninggalnya Prabu Sriwahana, maka Kerajaan Medang Kamulan tidak lagi memiliki
raja dan oleh Prabu Srikala lalu dijadikan sebagai negeri bawahan Kerajaan Purwacarita.

PRABU BASUPATI MENGAMBIL MENANTU


Prabu Srikala kemudian mengabarkan berita kematian Begawan Kalacakra dan Prabu
Sriwahana kepada Prabu Basupati di Kerajaan Wirata dan Prabu Parikenan di Kerajaan Gilingwesi.
Begitu menerima berita tersebut, Prabu Basupati dan Prabu Parikenan segera berangkat dari negeri
masing-masing memimpin rombongan belasungkawa menuju Kerajaan Purwacarita.
Dalam upacara pemakaman tersebut, Raden Basumurti putra sulung Prabu Basupati tertarik
melihat salah seorang anggota rombongan dari Gilingwesi, yaitu Dewi Jatiswara putri Arya
Brahmanaweda. Setelah upacara pemakaman selesai, Raden Basumurti segera memohon kepada
ayahnya supaya dinikahkan dengan gadis cantik tersebut.
Prabu Basupati sebenarnya agak bimbang, karena Dewi Jatiswara adalah sepupu istri
keduanya, yaitu Dewi Wakiswari, sehingga masih terhitung bibi Raden Basumurti sendiri. Maka,
Prabu Basupati pun merundingkan hal itu dengan Dewi Wakiswari, Prabu Parikenan, dan Arya
Brahmanaweda. Setelah ditimbang-timbang, perjodohan antara Raden Basumurti dan Dewi
Jatiswara tidaklah terlalu rumit jika dibandingkan dengan pernikahan antara Prabu Parikenan dan
Dewi Brahmaneki dulu. Itu karena Raden Basumurti bukan putra kandung Dewi Wakiswari, sehingga
bukan pula keponakan Dewi Wakiswari secara langsung. Bahkan, jika dilihat dari silsilah ayah
mereka, Raden Basumurti dan Dewi Jatiswara justru terhitung sepupu jauh.
Akhirnya, perundingan itu menyepakati perjodohan antara Raden Basumurti dan Dewi
Jatiswara, sehingga hubungan antara Kerajaan Wirata dan Gilingwesi menjadi lebih erat lagi.
KITAB WAYANG PURWA

PERKAWINAN RADEN BASUMURTI DAN DEWI JATISWARA


Maka, pada hari yang telah ditentukan diadakanlah upacara perkawinan antara Raden
Basumurti dengan Dewi Jatiswara yang diselenggarakan di Kerajaan Gilingwesi. Prabu Srikala ikut
hadir memenuhi undangan. Dalam kesempatan itu ia tertarik melihat putri sulung Prabu Parikenan,
yaitu Dewi Kaniraras dan ingin menjadikannya sebagai menantu.
Begitu upacara perkawinan selesai, Prabu Srikala segera menemui Prabu Parikenan dan
mengutarakan keinginannya untuk berbesan, yaitu dengan mengikat perjodohan antara Dewi
Kaniraras dan Raden Sriwanda. Prabu Parikenan menyambut baik lamaran tersebut, karena akan
lebih mempererat hubungan kedua pihak. Akan tetapi, ia merasa Dewi Kaniraras dan Raden
Sriwanda masih terlalu kecil untuk berumah tangga. Prabu Parikenan memperkirakan paling sedikit
tiga tahun lagi barulah mereka berdua bisa dinikahkan. Prabu Srikala setuju dan jika nanti saatnya
tiba, maka ia akan melamar Dewi Kaniraras secara resmi sebagai menantunya.
Demikianlah, Prabu Basupati lalu memboyong pasangan pengantin Raden Basumurti dan
Dewi Jatiswara menuju Kerajaan Wirata. Setahun kemudian, dari perkawinan itu lahirlah seorang
putra yang diberi nama Raden Basusena.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

GILINGWESI BEDAH
Kisah ini menceritakan runtuhnya Kerajaan Gilingwesi akibat serangan Prabu Srikala raja
Purwacarita yang sakit hati karena calon menantunya, yaitu Dewi Kaniraras telah dinikahkan
dengan orang lain. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara Prabu Srikala dan Prabu
Basupati yang berkhir dengan kekalahan pihak Purwacarita.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

DEWI KANIRARAS SAKIT PARAH


Prabu Parikenan di Kerajaan Gilingwesi sedang bersedih karena putri sulungnya, yaitu Dewi
Kaniraras menderita sakit parah. Akibat rasa sakitnya itu, setiap hari Dewi Kaniraras selalu merintih
dan tidak dapat tidur. Patih Sangkaya sudah diutus mencari obat ke mana-mana namun tidak dapat
menyembuhkannya.
Prabu Parikenan lalu mengumumkan sayembara barangsiapa dapat menyembuhkan Dewi
Kaniraras, maka ia akan dijadikan menantu, yaitu dinikahkan dengan putri sulungnya tersebut.
Rupanya Prabu Parikenan lupa bahwa tiga tahun yang lalu Dewi Kaniraras telah diminta oleh Prabu
Srikala untuk dijodohkan dengan Raden Sriwanda.
Maka, begitu sayembara diumumkan, para dukun, tabib, dan resi pun berdatangan untuk
mengobati penyakit Dewi Kaniraras. Akan tetapi, tiada satu pun dari mereka yang berhasil
menyembuhkan sang putri.

EMPU KANOMAYASA MENYEMBUHKAN DEWI KANIRARAS


Kepala pembuat senjata di Kerajaan Gilingwesi, yaitu Empu Dewarasa memerintahkan kedua
putranya untuk mengikuti sayembara tersebut. Empu Dewarasa ini adalah adik dari Empu
Darmarasa yang dulu dihukum mati Prabu Brahmasatapa (ayah Prabu Parikenan) karena menolak
menyerahkan kedua putranya yang hendak dijadikan anggota Wadya Seseliran pemuas birahi Sri
Maharaja Purwacandra di Medang Kamulan.
Kedua putra Empu Dewarasa yang bernama Empu Dewayasa dan Empu Kanomayasa segera
menghadap Prabu Parikenan untuk mengikuti sayembara. Setelah Prabu Parikenan mempersilakan
mereka untuk bertindak, Empu Dewayasa pun maju lebih dulu dan meniup ubun-ubun Dewi
Kaniraras sambil membaca mantra. Seketika Dewi Kaniraras berhenti menangis karena rasa
sakitnya telah hilang. Akan tetapi, gadis itu tetap tidak dapat bangun dari tempat tidur, pertanda
bahwa penyakitnya belum lenyap seluruhnya.
Empu Kanomayasa maju untuk mengobati Dewi Kaniraras dengan cara menjilati ubun-
ubunnya sambil membaca mantra. Seketika Dewi Kaniraras pun mampu bangkit berdiri dan merasa
tubuhnya pulih seperti sediakala. Prabu Parikenan sangat gembira dan ia pun mengumumkan Empu
Kanoyasa sebagai pemenang sayembara dan berhak menikahi putrinya.
Empu Dewayasa tidak terima karena ia merasa dirinya juga berjasa telah meringankan
penyakit Dewi Kaniraras. Khawatir terjadi perselisihan antara kakak beradik putra Empu Dewarasa
KITAB WAYANG PURWA

itu, Prabu Parikenan segera turun tangan melerai mereka. Maka, ia pun memberikan hadiah
sebidang tanah kepada Empu Dewayasa atas jasa-jasanya. Empu Dewayasa mematuhi dan ia pun
merestui adiknya menikah dengan Dewi Kaniraras.

PRABU PARIKENAN MENOLAK LAMARAN PRABU SRIKALA


Pada suatu hari Prabu Parikenan menerima kedatangan Patih Sadaskara dari Kerajaan
Purwacarita yang diutus Prabu Srikala untuk menyampaikan lamaran resmi perihal perjodohan Dewi
Kaniraras dengan Raden Sriwanda. Prabu Parikenan baru ingat kalau dulu ia pernah bersepakat
dengan Prabu Srikala untuk berbesan. Namun, saat itu Raden Sriwanda dan Dewi Kaniraras belum
cukup umur, sehingga mereka pun sepakat menunda perjodohan sampai tiga tahun ke depan. Kini,
waktu tiga tahun itu telah terlewati dan Prabu Srikala pun mengirimkan lamaran secara resmi dengan
mengutus Patih Sadaskara.
Prabu Parikenan merasa serbasalah karena Dewi Kaniraras saat ini telah dinikahkan dengan
Empu Kanomayasa selaku pemenang sayembara. Maka, dengan sangat terpaksa ia pun menolak
lamaran tersebut, dan menitipkan surat balasan kepada Patih Sadaskara.
Prabu Srikala di Kerajaan Purwacarita sangat marah saat membaca surat balasan tersebut.
Ia merasa tersinggung dan menuduh Prabu Parikenan telah mempermainkan kesepakatan
dengannya tiga tahun silam. Pada saat itulah Batara Kala datang merasukinya untuk mengadu
domba keturunan Batara Wisnu dengan Batara Brahma.
Setelah dirasuki Batara Kala, Prabu Srikala semakin gelap mata dan ia pun mengumpulkan
pasukan untuk kemudian berangkat menyerang Kerajaan Gilingwesi. Mengetahui suaminya hendak
berperang melawan kakaknya, Dewi Srini hanya bisa berdoa memohon kepada dewata supaya
memberikan jalan yang terbaik.

PRABU PARIKENAN KALAH PERANG


Prabu Parikenan di Kerajaan Gilingwesi sangat terkejut mendengar berita bahwa Prabu
Srikala telah datang menyerang. Ia pun mengerahkan pasukan untuk menghadapi serangan
tersebut. Maka, pertempuran di antara mereka pun meletus tak terhindarkan lagi. Inilah perang
saudara pertama antara keturunan Batara Brahma melawan keturunan Batara Wisnu.
Dalam pertempuran itu satu per satu punggawa kedua pihak berguguran. Dari pihak
Purwacarita yang terbunuh adalah Arya Sadabekti dan Arya Sadagati, yaitu dua orang adik Patih
Sadaskara. Sementara itu, dari pihak Gilingwesi yang gugur adalah Patih Sangkaya, Arya Jatmaka,
dan Arya Sanyaki. Mereka bertiga tewas di tangan Patih Sadaskara.
Di sisi lain, Prabu Srikala yang telah dirasuki Batara Kala seolah mendapatkan kesaktian yang
berlipat ganda. Ia berhasil membunuh empat sesepuh Kerajaan Gilingwesi, yaitu Resi Brahmastuti,
Resi Brahmayana, Resi Brahmanasidi, dan Resi Brahmanajati. Mendengar keempat pamannya
tewas, Prabu Parikenan sangat marah dan segera terjun ke medan perang untuk menghadapi Prabu
Srikala.
Pertarungan antara kedua raja itu berlangsung seru. Prabu Srikala akhirnya berhasil memukul
Prabu Parikenan dan membuat raja Gilingwesi itu terlempar jauh dari hadapannya. Pada saat itulah
muncul Batara Narada menemui Prabu Parikenan dan menjelaskan bahwa sudah takdir Kerajaan
Gilingwesi harus berakhir hari ini. Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka telah memutuskan
untuk mengangkat Prabu Parikenan menjadi dewa, bergelar Batara Brahma’am. Mengenai anak
dan istrinya akan tetap mendapatkan jalan keluar dari masalah ini.
Prabu Parikenan hanya bisa mematuhi keputusan dewata tersebut. Sejenak kemudian, Batara
Narada pun mengangkat dirinya naik ke kahyangan.

DEWI BRAHMANEKI MEMINTA PERLINDUNGAN KE WIRATA


Prabu Srikala dan Patih Sadaskara heran melihat Prabu Parikenan tiba-tiba menghilang
setelah terkena pukulan tadi. Mereka pun mencari ke mana-mana namun tidak dapat
menemukannya.
KITAB WAYANG PURWA

Sementara itu di istana Gilingwesi, Dewi Brahmaneki dan anak-anaknya mendengar berita
bahwa sang suami telah kalah perang namun tidak diketahui di mana keberadaannya. Pada saat itu
yang masih hidup tinggal Arya Brahmanaradya, Arya Brahmanaweda, dan Arya Brahmanakestu,
serta Empu Dewayasa, Empu Kanomayasa, dan Arya Brahmangkara (putra mendiang Patih
Brahmasadana). Dewi Brahmaneki merasa Kerajaan Gilingwesi telah jatuh ke tangan musuh,
sehingga ia pun memutuskan untuk mengungsi ke Kerajaan Wirata bersama mereka semua.
Prabu Basupati di Kerajaan Wirata terkejut melihat kedatangan Dewi Brahmaneki (adiknya)
beserta rombongan. Mengetahui Kerajaan Gilingwesi telah runtuh diserang Prabu Srikala yang
melupakan ikatan persaudaraan, Prabu Basupati sangat marah dan segera menghimpun pasukan
untuk menyerang Kerajaan Purwacarita.

PRABU BASUPATI MENGALAHKAN PRABU SRIKALA


Prabu Srikala di Kerajaan Purwacarita mendengar berita bahwa Prabu Basupati datang
menyerang demi membalaskan kekalahan Prabu Parikenan. Maka, Patih Sadaskara pun dikirim
untuk menghadapi serangan tersebut. Akan tetapi, Patih Sadaskara akhirnya tewas di tangan Prabu
Basupati.
Prabu Srikala sangat marah dan terjun ke medan perang. Setelah bertempur cukup lama
menghadapi Prabu Basupati (yang masih terhitung pamannya), akhirnya ia mengalami kekalahan
dan tubuhnya pun diikat menggunakan rantai. Pada saat itulah Batara Kala keluar dari tubuh Prabu
Srikala dengan perasaan puas telah mengadu domba keturunan Batara Wisnu dan Batara Brahma.
Tidak lama kemudian, Dewi Srini datang bersimpuh dan memohon supaya Prabu Basupati
mengampuni nyawa Prabu Srikala. Dewi Srini tidak ingin kehilangan suami setelah dirinya
kehilangan dua orang saudara, yaitu Prabu Parikenan yang gugur dalam pertempuran, dan Dewi
Satapi yang bunuh diri menyusul kematian Patih Sadaskara.
Prabu Basupati akhirnya mengabulkan permohonan Dewi Srini itu. Prabu Srikala tidak dijatuhi
hukuman mati, tetapi diturunkan dari takhta Purwacarita dan dibuang ke Hutan Dantawu.

PRABU SRIKALA MENINGGAL DI HUTAN


Prabu Srikala dan Dewi Srini beserta putra mereka, yaitu Raden Sriwanda, juga para
keponakan, yaitu Raden Artaetu, Raden Etudarma, dan Raden Darmahanara berangkat menjalani
pengasingan menuju ke Hutan Dantawu. Sesampainya di sana, mereka pun membangun sebuah
permukiman sederhana yang diberi nama Desa Andong.
Setelah kehilangan takhta, Prabu Srikala mengganti gelarnya menjadi Begawan Srikala.
Meskipun kini menempuh jalur rohani, namun ia senantiasa terkenang pada kekalahannya di tangan
Prabu Basupati. Karena terlalu banyak berpikir, Begawan Srikala akhirnya jatuh sakit dan meninggal
dunia.

PRABU BASUPATI MENDUDUKI TAKHTA PURWACARITA


Sementara itu, Prabu Basupati yang kini menduduki istana Purwacarita sangat kagum melihat
keindahan di dalamnya dan merasa enggan untuk kembali ke Wirata. Karena berniat ingin menetap
di Purwacarita, maka Patih Wakiswara pun diutus pulang untuk menjemput seluruh anggota
keluarga di sana.
Setelah Patih Wakiswara datang kembali bersama kedua permaisuri dan para putra, Prabu
Basupati pun mengumumkan bahwa mulai hari ini ia bertakhta di bekas istana Purwacarita.
Demikianlah, dengan berakhirnya kekuasaan Prabu Parikenan dan Prabu Srikala, maka Prabu
Basupati kini menjadi satu-satunya raja yang berkuasa di Tanah Jawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

WIRATA ANYAR BINANGUN


Kisah ini menceritakan Prabu Basupati membangun istana Wirata baru di Andongwilis dan
untuk kemudian bertakhta di sana. Dikisahkan pula Raden Darmaruci putra Patih Sadaskara
diutus pergi ke Gilingwesi untuk mengambil pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa yang
disimpan Pisacaraja Bahli. Dengan menggunakan Minyak Pranawa, Prabu Basupati dapat
melihat alam gaib dan bertemu Sedulur Papat Lima Pancer.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

PRABU BASUPATI HENDAK MEMBANGUN ISTANA BARU


Prabu Basupati telah satu tahun bertakhta di Kerajaan Purwacarita. Meskipun istana
tempatnya tinggal sangat indah, namun ia merasa kurang nyaman. Resi Wisama menjelaskan
bahwa sebuah istana yang pernah mengalami kekalahan oleh serbuan musuh memang tidak baik
untuk ditempati sebagai pusat pemerintahan. Mendengar itu, Prabu Basupati pun mengutus Patih
Wakiswara untuk mencari lahan kosong sebagai tempat mendirikan istana yang baru.
Patih Waksiwara berangkat dengan ditemani kedua pamannya, yaitu Arya Brahmanakestu
dan Arya Brahmanaweda. Arya Brahmanakestu mengusulkan untuk menemui besannya yang
tinggal di Desa Wasutira, yaitu Kyai Wrigu dan bertanya tentang lahan yang cocok untuk
membangun istana. Patih Wakiswara setuju dan segera membawa rombongan menuju ke sana.
Kyai Wrigu dan Ken Sangki (istrinya) menyambut kedatangan para pembesar itu dengan
hormat. Ketika Patih Wakiswara menanyakan tentang lahan yang cocok untuk membangun istana,
Kyai Wrigu mengusulkan sebaiknya di Desa Andongwilis saja. Patih Waksiwara bergegas ke sana
untuk memeriksa dan ternyata ucapan Kyai Wrigu terbukti benar. Desa Andongwilis memiliki tanah
yang rata dan luas, serta mudah dijangkau.
Patih Waksiwara segera melapor kepada Prabu Basupati tentang Desa Andongwilis tersebut.
Maka, Prabu Basupati pun mengeluarkan perintah kepada Patih Wakiswara untuk memulai
pembangunan istana baru di sana.

EMPU KANOMAYASA TEWAS SAAT BEKERJA


Patih Waksiwara memimpin pembangunan istana baru di Desa Andongwilis. Ketika para
pekerja menggali tanah untuk meletakkan batu pondasi, mereka menemukan sebongkah batu
logam Brahmakadali. Patih Waksiwara pun mengirimkan batu logam tersebut kepada Prabu
Basupati di Purwacarita.
Prabu Basupati segera memanggil dua bersaudara pembuat senjata, yaitu Empu Dewayasa
dan Empu Kanomayasa untuk menempa batu logam Brahmakadali menjadi cangkul dan beliung
yang dapat digunakan para pekerja menggali tanah. Namun, Empu Kanomayasa merasa sayang
jika logam sebagus ini ditempa menjadi peralatan. Ia mengusulkan supaya sebagian dari batu
tersebut ditempa menjadi senjata pusaka. Prabu Basupati setuju. Maka, Empu Dewayasa pun
diperintahkan untuk membuat peralatan, sedangkan Empu Kanomayasa diperintahkan membuat
persenjataan dari batu logam Brahmakadali tersebut.
Empu Dewayasa dan Empu Kanomayasa mulai bekerja. Karena membuat senjata pusaka,
Empu Kanomayasa pun mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya. Pada saat itulah dari
jari-jari tangannya keluar api yang berkobar membakar dirinya sendiri sampai tewas.
Prabu Basupati sangat sedih mendengar berita itu. Ia pun menjemput janda Empu
Kanomayasa, yaitu Dewi Kaniraras beserta kedua anaknya yang masih kecil, bernama Raden
Prawa dan Dewi Prawita, supaya untuk selanjutnya tinggal di istana.

RESI BRAHMANARADYA MENGGANTIKAN RESI WISAMA YANG MENINGGAL


Beberapa hari kemudian, Prabu Basupati kembali mendapatkan berita duka, yaitu
meninggalnya Resi Wisama, kepala pandita kerajaan. Setelah masa berkabung usai, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Basupati pun mengangkat mertuanya (ayah Dewi Wakiswari dan Patih Wakiswara) sebagai kepala
pandita yang baru, bergelar Resi Brahmanaradya.
Pada suatu hari Prabu Basupati dan Resi Brahmanaradya membicarakan kepandaian
mendiang Resi Wisama dalam hal ilmu gaib. Prabu Basupati tertarik dan ingin sekali melihat seperti
apa keadaan di alam sana. Resi Brahmanaradya bercerita bahwa kakak sepupunya, yaitu mendiang
Prabu Brahmasatapa, memiliki abdi bernama Pisacaraja Bahli yang merupakan raja makhluk halus
penjaga sanggar pemujaan di istana Gilingwesi. Konon Pisacaraja Bahli menyimpan tiga pusaka
peninggalan Prabu Brahmasatapa, yaitu Mutiara Matuwahni, Sela Timpuru, dan Minyak Pranawa.
Resi Brahmanaradya menjelaskan bahwa Minyak Pranawa itulah yang dapat digunakan untuk
melihat keadaan alam gaib, yaitu dengan cara dioleskan pada kedua mata dan telinga.
Prabu Basupati semakin tertarik dan ingin memiliki ketiga pusaka tersebut. Resi
Brahmanaradya menjelaskan bahwa Pisacaraja Bahli pernah berhutang budi kepada mendiang
Patih Sadaskara. Maka, orang yang tepat untuk diutus mengambil ketiga pusaka itu adalah putra
Patih Sadaskara yang bernama Raden Darmaruci.
Prabu Basupati pun memanggil Raden Darmaruci yang kini hidup sebatang kara. Meskipun
ayahnya (Patih Sadaskara) gugur di tangan Prabu Basupati, dan ibunya (Dewi Satapi) menyusul
bunuh diri, Raden Darmaruci mengaku tidak menyimpan dendam karena itu sudah menjadi suratan
takdir. Prabu Basupati sangat senang mendengar kebesaran hati pemuda itu. Ia lalu
mengungkapkan keinginannya untuk memiliki ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa
yang kini dirawat Pisacaraja Bahli di istana Gilingwesi. Karena Pisacaraja Bahli pernah berhutang
budi kepada mendiang Patih Sadaskara, maka Prabu Basupati pun menugasi Raden Darmaruci
untuk mengambil ketiga pusaka tersebut.
Raden Darmaruci mematuhi perintah namun ia belum pernah pergi ke Gilingwesi, meskipun
ibunya berasal dari sana. Maka, Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Brahmanakestu untuk
menemani kepergian pemuda itu.

RADEN DARMARUCI BERTEMU PISACARAJA BAHLI


Raden Darmaruci dan Arya Brahmanakestu telah tiba di istana Gilingwesi. Sejak Prabu
Parikenan gugur dan Dewi Brahmaneki pindah ke Wirata, istana Gilingwesi menjadi kosong, namun
tetap dirawat oleh Arya Brahmangkara, putra mendiang Patih Brahmasadana. Melihat Arya
Brahmanakestu datang bersama seorang pemuda, Arya Brahmangkara pun menyambut dengan
hormat. Arya Brahmanakestu lalu memperkenalkan Raden Darmaruci sebagai keponakan
mendiang Prabu Parikenan, yaitu putra Dewi Satapi. Arya Brahmangkara sangat senang dan ia pun
memerintahkan putrinya yang bernama Dewi Anitri untuk menyiapkan perjamuan.
Setelah perjamuan selesai, Arya Brahmangkara mengantarkan Raden Darmaruci dan Arya
Brahmanakestu menuju sanggar pemujaan. Mereka lalu membakar dupa untuk memanggil keluar
Pisacaraja Bahli. Raja makhluk halus itu pun muncul dan heran melihat wajah Raden Darmaruci
serta bau badannya yang sangat mirip Patih Sadaskara. Raden Darmaruci pun memperkenalkan
dirinya sebagai putra tunggal Patih Sadaskara dan Dewi Satapi. Ia diutus Prabu Basupati untuk
mengambil ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa, yaitu Mutiara Matuwahni, Sela
Timpuru, dan Minyak Pranawa. Pisacaraja Bahli sendiri telah mendengar bahwa Prabu Basupati kini
menjadi penguasa tunggal di pulau jawa. Maka, ia pun mematuhi perintah tersebut dan
menyerahkan ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa kepada Raden Darmaruci.
Raden Darmaruci menerima ketiga pusaka itu dan segera kembali ke Kerajaan Purwacarita
bersama Arya Brahmanakestu.

PRABU BASUPATI PINDAH KE ISTANA BARU


Prabu Basupati di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan Raden Darmaruci dan Arya
Brahmanakestu. Ia pun menerima ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa dengan senang
hati. Sebagai hadiah, Raden Darmaruci diangkat sebagai punggawa, bergelar Arya Darmaruci.
Bersamaan dengan itu, Patih Wakiswara datang pula dan melaporkan bahwa pembangunan istana
baru di Andongwilis telah selesai. Prabu Basupati gembira mendengarnya. Pada hari yang
KITAB WAYANG PURWA

ditentukan, ia pun memimpin upacara pindah istana, yaitu meninggalkan Purwacarita menuju ke
Andongwilis.
Sesampainya di sana, Prabu Basupati duduk di takhta dan mengumumkan untuk mengubah
nama Andongwilis menjadi Wirata, sedangkan istana Wirata yang lama diganti namanya menjadi
Medangkawuri. Kyai Wrigu selaku murid mendiang Resi Wisama mendapat tugas untuk merawat
istana Medangkawuri tersebut, dengan bergelar Resi Wrigu. Sementara itu, istana Gilingwesi tetap
dirawat oleh Arya Brahmangkara, yang kemudian mendapatkan gelar baru, yaitu Resi
Brahmastungkara.
Prabu Basupati juga mengangkat Arya Brahmanaweda dan Arya Brahmanakestu menjadi
pandita, bergelar Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu. Kedudukan mereka sebagai
punggawa kemudian digantikan oleh Raden Suganda (putra Resi Brahmanakestu), dengan bergelar
Arya Suganda. Atas usul Resi Brahmanakestu pula, Prabu Basupati lalu menikahkan Arya
Darmaruci dengan Dewi Anitri, putri Resi Brahmastungkara.

SEDULUR PAPAT LIMA PANCER


Pada suatu hari, Prabu Basupati yang masih penasaran dengan alam gaib berniat mencoba
khasiat Minyak Pranawa. Setelah dioleskan pada mata dan telinga, Prabu Basupati dapat melihat
sebuah istana gaib berwarna keemasan. Dari istana itu muncul seorang laki-laki berwarna kuning
yang menjemput Prabu Basupati dan mengatakan bahwa dirinya dipanggil kakak tertua.
Prabu Basupati terheran-heran karena merasa tidak memiliki kakak. Namun karena
penasaran, ia pun menurut saja menyertai laki-laki berwarna kuning itu. Ternyata di dalam istana
emas tersebut telah duduk menunggu raja pria dan ratu wanita, serta tiga orang laki-laki lainnya,
yang berwarna putih, merah, dan hitam. Laki-laki kuning tadi lalu bergabung dengan mereka.
Dengan demikian, ada enam sosok makhluk gaib yang menyambut kedatangan Prabu Basupati.
Prabu Basupati sendiri bimbang karena raja pria dan ratu wanita itu mengaku sebagai
kakaknya. Raja pria pun menjelaskan bahwa setiap manusia yang terlahir di dunia ini tidaklah
sendiri, tetapi bersama keenam saudaranya. Dua yang tertua berwujud raja pria dan ratu wanita
disebut Marmati, yang lahir lewat dada, yaitu wujud kecemasan ibu saat hendak melahirkan. Yang
lahir selanjutnya adalah saudara berwarna putih yang disebut Kawah, yaitu perwujudan dari air
ketuban. Setelah itu lahir si bayi, dan dilanjutkan dengan kelahiran ketiga saudara lainnya, yaitu Ari-
Ari yang berwarna kuning, Getih atau darah yang berwarna merah, dan Pusar yang berwarna hitam.
Mereka semua inilah yang disebut Sedulur Papat Lima Pancer, atau saudara empat lima pusat yang
selalu menyertai manusia, meskipun manusia sering tidak menyadarinya.
Raja pria itu menjelaskan kepada Prabu Basupati bahwa alangkah baiknya manusia merawat
dan mengingat keberadaan para saudara yang tidak kelihatan itu, dan mereka pun siang malam
akan selalu menjaga manusia tersebut. Prabu Basupati juga diajari cara melakukan sesaji kepada
para saudara gaib untuk disebarluaskan kepada masyarakat Jawa. Selain itu, raja pria juga
mengajarkan doa dan mantra yang hendaknya diucapkan setiap melakukan pekerjaan, supaya para
saudara gaib senantiasa menemani dan membantu kelancaran pekerjaan itu. Jika akan tidur
hendaknya doa dibaca pula supaya para saudara gaib memberikan penjagaan. Juga jika akan
membuang kotoran hendaknya dibaca supaya para saudara gaib membantu membersihkan isi
tubuh. Kelak jika tiba waktunya ajal, hendaknya yang dibaca adalah mantra pengruwatan supaya
para saudara gaib itu ikut tersucikan dan tidak menjadi perusuh di dunia.
Dengan senang hati, Prabu Basupati mematuhi ajaran kakak gaibnya tersebut. Ia lalu mohon
pamit kembali ke alam nyata untuk kemudian menyebarluaskan apa yang telah ia dapatkan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

KISAH

LELUHUR

PANDAWA
KITAB WAYANG PURWA

KANIYASA SRAYA
Kisah ini menceritakan perkawinan Dewi Kaniraras dengan Prabu Durapati raja Duhyapura
yang kelak akan menurunkan Resi Dwapara, serta menceritakan Raden Kaniyasa menumpas
musuh kahyangan bernama Prabu Kuramba, leluhur raja-raja Pringgadani.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryosaputro, dengan sedikit pengembangan.

DEWI KANIRARAS DILAMAR RAJA SEBERANG


Prabu Basupati di Kerajaan Wirata (Andongwilis) dihadap Patih Wakiswara, Raden Basumurti,
Resi Brahmanaradya, Resi Brahmanaweda, dan Resi Brahmanakestu. Mereka sedang
membicarakan hilangnya putra angkat Sang Prabu, yaitu Raden Kaniyasa (putra kandung Prabu
Parikenan dan Dewi Brahmaneki yang tinggal di Wirata) yang pergi meninggalkan istana tanpa
pamit.
Pada saat itulah datang seorang tamu yang mengaku bernama Patih Abisatya dari Kerajaan
Duhyapura di Tanah Hindustan. Ia diutus rajanya yang bernama Prabu Durapati untuk
menyampaikan pinangan kepada Dewi Kaniraras, keponakan Prabu Basupati. Apabila pinangan
diterima, maka Kerajaan Wirata dan Duhyapura bisa menjadi sahabat. Tetapi apabila lamaran
ditolak, maka kedua kerajaan bisa menjadi musuh.
Dewi Kaniraras memang telah menjadi janda sejak suaminya meninggal karena kecelakaan
kerja, yaitu Empu Kanomayasa. Akan tetapi, Prabu Basupati sangat tersinggung mendengar ucapan
Patih Abisatya yang bernada menantang itu. Ia pun menolak lamaran tersebut dan mempersilakan
apabila pihak Kerajaan Duhyapura ingin memulai serangan. Patih Abisatya pun mohon pamit
kembali ke perkemahan tempat rajanya menunggu.
Prabu Basupati segera memerintahkan Patih Wakiswara dan Raden Basumurti untuk
mempersiapkan pasukan. Keduanya pun keluar istana, di mana Arya Suganda, Arya Darmaruci,
Arya Panurta, Arya Suhatya, dan Arya Maradana telah menunggu perintah.

PRABU BASUPATI MENERIMA LAMARAN PRABU DURAPATI


Patih Abisatya telah sampai di perkemahan Kerajaan Duhyapura dan melaporkan kepada
Prabu Durapati bahwa Prabu Basupati menolak lamarannya. Prabu Durapati memarahi Patih
Abisatya karena salah bicara dan membuat Prabu Basupati tersinggung. Namun, semua sudah
terlanjur. Prabu Durapati pun berangkat ke istana Wirata untuk meluruskan kesalahpahaman
tersebut.
Akan tetapi, pihak Wirata yang dipimpin Patih Wakiswara dan Raden Basumurti sudah
terlanjur bersiaga dan langsung menyerang rombongan Prabu Durapati itu. Terjadilah pertempuran
di antara mereka. Prabu Durapati berhadapan melawan Raden Basumurti dan berhasil
KITAB WAYANG PURWA

menangkapnya. Melihat putra sulungnya jatuh ke tangan musuh, Prabu Basupati pun terjun ke
medan pertempuran untuk menolong.
Setelah bertarung cukup lama, Prabu Basupati akhirnya berhasil meringkus Prabu Durapati.
Pada saat itulah muncul seorang anak perempuan yang menangis meminta supaya Prabu Durapati
jangan disakiti. Ternyata anak perempuan itu adalah putri Prabu Durapati dari istri terdahulu,
bernama Dewi Dalupi.
Prabu Basupati tersentuh hatinya melihat anak kecil tersebut dan ia pun melepaskan
lawannya. Prabu Durapati sendiri meminta maaf dan menjelaskan bahwa Patih Abisatya tadi telah
melakukan kesalahan bicara saat menyampaikan surat lamaran darinya. Ia juga mengatakan bahwa
dirinya adalah putra mendiang Prabu Basukirata raja Duhyapura terdahulu, yang merupakan
sahabat Prabu Basurata (ayah Prabu Basupati).
Prabu Basupati teringat cerita ayahnya yang pernah berkunjung ke Tanah Hindustan untuk
membantu Prabu Dasarata raja Ayodya saat mengadakan upacara mengambil Jamur Dipa demi
mendapatkan putra. Pada kesempatan itu, Prabu Basurata juga banyak berkenalan dengan para
raja Tanah Hindustan, antara lain Prabu Basukirata dari Kerajaan Duhyapura tersebut.
Kini, tiada lagi kesalahpahaman antara kedua pihak. Prabu Basupati pun menerima lamaran
Prabu Durapati yang ingin memperistri Dewi Kaniraras. Dewi Kaniraras sendiri bersedia namun ia
ingin pernikahan keduanya ini dilaksanakan setelah adiknya (Raden Kaniyasa) ditemukan.
Mendengar permintaan tersebut, Prabu Basupati segera mengutus Arya Darmaruci untuk
pergi mencari keberadaan Raden Kaniyasa.

RADEN KANIYASA DIBAWA KE KAHYANGAN


Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, Arya Darmaruci akhirnya berhasil menemukan
Raden Kaniyasa menyepi di Hutan Wimana. Ternyata sepupunya itu sedang bertapa untuk
menambah ilmu dan kepandaian demi bisa menjadi seorang resi. Arya Darmaruci pun mengabarkan
bahwa Raden Kaniyasa diminta untuk segera pulang karena kakak sulungnya, yaitu Dewi Kaniraras
akan menikah dengan Prabu Durapati dari Kerajaan Duhyapura.
Pada saat itulah muncul Batara Narada yang turun dari angkasa mengabarkan bahwa saat ini
Kahyangan Suralaya sedang dikepung musuh dari Kerajaan Pringgadani, bernama Prabu Kuramba
yang ingin memperistri Batari Wilotama. Karena Batara Indra menolak lamaran itu, Prabu Kuramba
pun mengamuk menggempur pertahanan para dewata. Batara Indra lalu meminta petunjuk Batara
Guru di Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru pun meramalkan bahwa yang bisa mengalahkan
Prabu Kuramba adalah Raden Kaniyasa, putra mendiang Prabu Parikenan yang menjadi anak
angkat Prabu Basupati.
Mengetahui dirinya mendapat kepercayaan, Raden Kaniyasa pun menyatakan bersedia. Ia
meminta Arya Darmaruci supaya pulang lebih dulu. Namun, Arya Darmaruci tidak bersedia pulang
kalau tidak bersama Raden Kaniyasa. Ia meminta supaya diizinkan mendampingi pergi ke
Kahyangan Suralaya. Maka, Batara Narada lalu membawa mereka berdua naik ke Kahyangan
Suralaya untuk dihadapkan kepada Batara Indra.

RADEN KANIYASA MENUMPAS PRABU KURAMBA


Prabu Kuramba adalah putra Ditya Singasari yang dulu pernah menculik Dewi Satapi dan
akhirnya tewas di tangan Arya Sadaskara. Sepeninggal ayahnya, Ditya Kuramba berguru kepada
seorang pendeta raksasa bernama Resi Saniwara. Setelah mendapatkan kesaktian, ia pun
menaklukkan banyak raksasa untuk dijadikan anak buah, dan membuka Hutan Wanapringga tempat
tinggal ayahnya menjadi sebuah kerajaan bernama Pringgadani.
Demikianlah, Prabu Kuramba semakin bertambah kekuasaannya dan ia pun mengutus Patih
Saswamertyu untuk melamar Batari Wilotama di Kahyangan Suralaya. Karena Batara Indra menolak
lamaran tersebut, Prabu Kuramba pun menyusul dan mengamuk menggempur pertahanan para
dewa.
KITAB WAYANG PURWA

Pada saat itulah Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci muncul di hadapan para raksasa itu.
Keduanya mengaku sebagai para jago untuk menumpas musuh kahyangan. Prabu Kuramba sangat
marah mendengarnya, apalagi begitu mengetahui kalau Arya Darmaruci adalah anak Patih
Sadaskara dan Dewi Satapi. Maka, ia pun menyerang pemuda itu untuk melampiaskan dendam
kematian ayahnya. Arya Darmaruci terdesak kewalahan menghadapi serangan Prabu Kuramba
tersebut. Melihat sepupunya dalam bahaya, Raden Kaniyasa segera menghadapi Prabu Kuramba,
dengan berbekal Panah Sarotama pemberian Batara Indra.
Setelah bertempur sekian lama, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil menewaskan Prabu
Kuramba menggunakan panah pusaka tersebut. Melihat rajanya terbunuh, Patih Saswamertyu
memilih kabur meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk kembali ke Kerajaan Pringgadani.

RADEN KANIYASA MENDAPATKAN PAKAIAN KEBESARAN


Setelah memenangkan pertempuran, Batara Indra pun memberikan hadiah kepada Raden
Kaniyasa berupa pakaian kebesaran, yaitu mahkota Gandawara, kopiah Indrakala, cincin Talipraba,
gelang kaki Indrabraja, kutang Jajasulardi, praba Kuntibajra, baju Gandawari, sengkang Bama,
gelang bahu Waliyasa, gelang lengan Bauwara, dan keroncong Karawili.
Setelah mendapatkan anugerah tersebut, Raden Kaniyasa disertai Arya Darmaruci mohon
pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya. Batara Narada pun mengantarkan mereka hingga
mendarat di istana Kerajaan Wirata. Prabu Basupati sangat gembira mengetahui apa yang telah
dialami Raden Kaniyasa. Setelah dirasa cukup, Batara Narada kemudian kembali ke kahyangan.

PERKAWINAN DEWI KANIRARAS DAN PRABU DURAPATI


Setelah Raden Kaniyasa ditemukan, maka diselenggarakanlah upacara pernikahan antara
Dewi Kaniraras dengan Prabu Durapati yang dipimpin Resi Brahmanaradya.
Prabu Basupati sendiri terkesan melihat pakaian Raden Kaniyasa pemberian Batara Indra. Ia
pun memerintahkan para seniman untuk membuat tiruan pakaian tersebut dalam jumlah banyak,
untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para pangeran, yaitu Raden Basumurti, Raden Basukesti,
Raden Basunanda, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma, untuk dikenakan pada pesta
perkawinan tersebut.
Beberapa hari kemudian, Prabu Durapati berniat memboyong Dewi Kaniraras untuk menetap
di Kerajaan Duhyapura. Akan tetapi, Empu Dewayasa (kakak mendiang Empu Kanomayasa)
meminta supaya Dewi Kaniraras meninggalkan kedua anaknya dari perkawinan terdahulu, yaitu
Raden Prawa dan Dewi Prawita. Empu Dewayasa sangat menyayangi kedua keponakannya itu
bagaikan anak sendiri, dan meminta supaya mereka tetap tinggal di Kerajaan Wirata.
Setelah dipertimbangkan, Dewi Kaniraras akhirnya mengabulkan permintaan kakak iparnya
tersebut. Dengan berat hati, Dewi Kaniraras meninggalkan kedua anaknya dan ia pun pergi bersama
suami barunya ke Kerajaan Duhyapura di tanah seberang.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

RESI MANUMANASA
Kisah ini menceritakan Raden Kaniyasa mendirikan Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga
dan memakai gelar Resi Manumanasa, sedangkan kedua adiknya, yaitu Raden Manonbawa dan
Raden Paridarma membuka sebuah pedukuhan di Tanah Gandara, pemberian Prabu Basupati.
Kisah ini juga menceritakan awal pertemuan Resi Manumanasa dengan Danghyang Smarasanta
yang kelak terkenal dengan sebutan Kyai Semar.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra dengan sedikit pengembangan.

Resi Manumanasa

DEWI BRAHMANEKI MEMINTA TANAH UNTUK ANAK-ANAKNYA


Prabu Basupati di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wakiswara, Raden Basumurti, Raden
Basukesti, dan Raden Basunanda. Tidak lama kemudian hadir pula Dewi Brahmaneki bersama
ketiga putranya, yaitu Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma. Dewi
Brahmaneki mengaku tadi malam bermimpi didatangi arwah suaminya, yaitu Prabu Parikenan yang
memberikan wasiat supaya para putra hidup mandiri dan tidak lagi bersantai di istana Wirata. Untuk
itu, Dewi Brahmaneki pun meminta sebidang tanah kepada Prabu Basupati sebagai tempat tinggal
ketiga putranya dan supaya mereka menjadikannya lahan bercocok tanam.
Prabu Basupati mengabulkan permintaan adiknya tersebut. Ia lalu memberikan tanah bekas
milik Arya Gandara kepada Raden Kaniyasa bersaudara. Adapun Arya Gandara tidak lain adalah
punggawa Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purwacandra yang
sudah lama meninggal dunia. Karena tidak memiliki keturunan, tanah tempat tinggalnya pun tiada
yang mewarisi pula. Akibatnya, tanah itu sekarang tak terawat lagi dan banyak ditumbuhi tanaman
liar.
Dewi Brahmaneki menerima pemberian kakaknya itu dengan senang hati. Setelah dirasa
cukup, Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma mohon doa restu kemudian
berangkat menuju Tanah Gandara. Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Darmaruci memimpin
sejumlah prajurit untuk mengawal ketiga keponakannya itu.

RADEN KANIYASA MENGALAHKAN PRABU RAMBANA


Baru saja rombongan Raden Kaniyasa meninggalkan kota Wirata, mereka langsung bertemu
pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani yang dipimpin Prabu Rambana, putra Prabu Kuramba.
Kedatangan pasukan raksasa itu ke Kerajaan Wirata adalah untuk membalaskan kematian Prabu
Kuramba yang dulu tewas di tangan Raden Kaniyasa pada saat menyerang Kahyangan Suralaya.
Maka, terjadilah pertempuran antara rombongan dari Wirata itu melawan para raksasa
Pringgadani. Prabu Rambana sendiri masih sangat muda namun memiliki ilmu kesaktian yang
KITAB WAYANG PURWA

lumayan tinggi. Sejak kematian ayahnya, ia banyak belajar kepada Resi Saniwara dan Patih
Saswamertyu. Dalam pertempuran kali ini pun, Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya
Darmaruci tidak mampu mengalahkannya. Namun demikian, kesaktian Raden Kaniyasa ternyata
masih berada di atas raja raksasa itu. Setelah bertarung sengit, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil
meringkus Prabu Rambana, sekaligus beserta Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu.
Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci lalu menghadapkan para raksasa itu kepada Prabu
Basupati di istana Wirata. Prabu Basupati bersedia mengampuni nyawa mereka asalkan Prabu
Rambana menyatakan kesetiaan kepada Kerajaan Wirata. Prabu Rambana menurut dan ia pun
mengucapkan sumpah setia di hadapan Prabu Basupati dan para punggawanya. Prabu Basupati
sangat berkenan mendengarnya. Ia lalu membebaskan Prabu Rambana dan mengizinkannya
pulang kembali ke Kerajaan Pringgadani.

RADEN KANIYASA BERGURU KEPADA BATARA WISNU


Setelah keadaan aman, Raden Kaniyasa dan rombongannya kembali melanjutkan perjalanan
menuju Tanah Gandara. Sesampainya di sana, tiba-tiba hujan deras turun selama beberapa hari.
Banjir bandang pun melanda daerah itu, membuat sebagian prajurit Wirata hanyut entah ke mana.
Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci juga ikut hanyut terbawa arus
banjir. Dengan susah payah Raden Kaniyasa berenang untuk menangkap dan melemparkan tubuh
mereka ke atas pohon tinggi. Akan tetapi, ia sendiri justru hanyut dan tak sempat menyelamatkan
diri.
Pada saat itulah muncul Batara Wisnu yang turun dari angkasa untuk menolong Raden
Kaniyasa lalu membawanya terbang, hingga akhirnya mendarat di Gunung Saptaarga. Di puncak
gunung tersebut, Batara Wisnu mengangkat Raden Kaniyasa sebagai murid dan mengajarinya
berbagai macam ilmu pengetahuan dan kesaktian.
Setelah dirasa cukup, Batara Wisnu memerintahkan Raden Kaniyasa untuk bertapa mencapai
kesempurnaan diri di Gunung Saptaarga, dan mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa.
Batara Wisnu meramalkan kelak akan ada leluhur para dewa yang akan datang mengajarkan ilmu
kesempurnaan kepadanya. Sementara itu, urusan membuka Tanah Gandara biarlah dilanjutkan
oleh Raden Manonbawa dan Raden Paridarma saja.

RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA MEMBUKA PEDUKUHAN GANDARA


Saat itu banjir telah surut dan Batara Wisnu datang ke Tanah Gandara menemui Raden
Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci yang sedang menangisi nasib kakak mereka.
Batara Wisnu mengabarkan bahwa Raden Kaniyasa selamat dari banjir bandang dan saat ini telah
menjadi pertapa di Gunung Saptaarga. Raden Manonbawa dan yang lain lega mendengarnya serta
berniat menyusul ke sana. Namun, Batara Wisnu melarang dan menyarankan agar mereka tetap
melanjutkan kegiatan membuka Tanah Gandara menjadi pedukuhan.
Raden Manonbawa dan Raden Paridarma mematuhi saran Batara Wisnu tersebut. Mereka
lalu bergotong royong membuka Tanah Gandara dengan dibantu Arya Darmaruci dan para prajurit
Wirata.

RESI MANUMANASA MEMBUKA PADEPOKAN RATAWU


Sementara itu, Raden Kaniyasa menelusuri Gunung Saptaarga yang memiliki tujuh puncak
untuk mencari tempat yang cocok sebagai pertapaan. Saat menelusuri puncak demi puncak, Raden
Kaniyasa melihat ada seberkas cahaya teja tegak lurus ke angkasa. Setelah didekati ternyata
cahaya teja itu memancar keluar dari tubuh seekor wanara berbulu putih bersih yang sedang
bertapa. Wanara putih itu terbangun dan menyambut kedatangan Raden Kaniyasa. Ia mengaku
bernama Kapi Supalawa, putra Batara Bayu yang bertapa ingin mendapatkan kesempurnaan hidup.
Menurut petunjuk dari ayahnya, Kapi Supalawa akan mencapai cita-cita tersebut apabila mengabdi
kepada keturunan Batara Brahma yang bernama Raden Kaniyasa.
Raden Kaniyasa menerima pengabdian Kapi Supalawa. Mereka berdua lalu membangun
sebuah pertapaan di bekas tempat Kapi Supalawa bertapa tadi, dan diberi nama Padepokan
KITAB WAYANG PURWA

Ratawu. Sesuai nasihat Batara Wisnu, Raden Kaniyasa pun mengganti namanya menjadi Resi
Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa diganti gelarnya menjadi Putut Supalawa.

RESI MANUMANASA MENDAPAT ILMU DARI SANGHYANG PADAWENANG


Setelah membangun padepokan, Resi Manumanasa pun mulai bertapa untuk meraih
kesempurnaan hidup. Setelah beberapa hari terlewati, Batara Indra dan para penghuni Kahyangan
Suralaya merasa gerah terkena hawa gaib yang dipancarkan olehnya. Batara Indra lalu menurunkan
hujan deras disertai angin badai dan petir menyambar-nyambar di puncak Gunung Saptaarga,
namun tidak berhasil membangunkan Resi Manumanasa.
Batara Indra lalu mencoba cara halus, yaitu mengirim ketujuh bidadari unggulan untuk
menggoda Resi Manumanasa. Ketujuh bidadari itu ialah Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari
Warsiki, Batari Surendra, Batari Irim-irim, Batari Gagarmayang, dan Batari Tunjungbiru. Mereka
mendarat di Padepokan Ratawu dan berusaha dengan segala cara untuk membuyarkan ketekunan
Resi Manumanasa. Akan tetapi, ketujuh bidadari itu justru terlempar kembali ke Kahyangan
Suralaya akibat hawa gaib yang dipancarkan Sang Resi.
Tidak lama kemudian, datanglah leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang yang
mendarat di Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa mendapat firasat dan segera terbangun dari
tapanya untuk kemudian menyembah penuh hormat kepada Sanghyang Padawenang.
Kedatangan Sanghyang Padawenang adalah untuk memberikan anugerah ilmu
kesempurnaan hidup kepada Resi Manumanasa. Setelah Resi Manumanasa menamatkan segala
pelajaran, Sanghyang Padawenang berpesan bahwa tidak lama lagi akan ada seorang putranya
yang datang bergabung di Gunung Saptaarga. Putranya itu tidak lain adalah Batara Ismaya (kakak
Batara Guru) yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri.
Setelah berpesan demikian, Sanghyang Padawenang lalu kembali ke Kahyangan Awang-
Awang Kumitir.

RESI MANUMANASA BERTEMU KYAI SMARASANTA


Beberapa hari kemudian, Resi Manumanasa melihat seorang laki-laki bertubuh pendek bulat
sedang berlari mendaki puncak Gunung Saptaarga karena dikejar dua ekor harimau berwarna
merah dan putih. Resi Manumanasa segera memberikan pertolongan. Ia melepaskan dua anak
panah untuk melumpuhkan kedua harimau tersebut. Tak disangka, begitu terkena panah, kedua
harimau itu musnah dan berubah wujud menjadi dua orang bidadari yang mengaku bernama Batari
Kanistri dan Batari Kaniraras.
Sementara itu, laki-laki bertubuh pendek bulat tadi mengaku bernama Kyai Smarasanta yang
menyatakan ingin mengabdi di Padepokan Ratawu. Akan tetapi, Resi Manumanasa yakin bahwa
laki-laki ini sesungguhnya adalah Batara Ismaya, putra Sanghyang Padawenang yang selama ini
tinggal di Alam Sunyaruri. Awal mula Batara Ismaya berubah wujud menjadi gemuk pendek dan
buruk rupa seperti itu adalah akibat berlomba menelan gunung bersama Batara Antaga ratusan
tahun yang lalu.
Kyai Smarasanta akhirnya berterus terang bahwa dirinya memang perwujudan Batara Ismaya.
Ia menjelaskan tentang kedatangannya ke Gunung Saptaarga ini adalah untuk menjalankan
perintah Sanghyang Padawenang supaya dirinya mengabdi kepada Resi Manumanasa. Sementara
itu, Batara Antaga (kakaknya) juga telah mendapat perintah untuk mengabdi kepada para raja di
negeri seberang.
Kyai Smarasanta lalu menjelaskan bahwa kedua bidadari bernama Batari Kanistri dan Batari
Kaniraras adalah putri Batara Hira, keturunan Sanghyang Caturkaneka yang secara tidak sengaja
melakukan kesalahan, sehingga mendapat kutukan menjadi sepasang harimau merah dan putih.
Pada suatu hari, kedua harimau itu menghadang Kyai Smarasanta yang sedang dalam perjalanan
menuju Gunung Saptaarga. Kyai Smarasanta mengetahui kalau mereka sesungguhnya adalah
bidadari yang terkena kutukan dan salah satunya akan menjadi jodoh Resi Manumanasa. Maka, ia
pun pura-pura ketakutan dan berlari mendaki Gunung Saptaarga supaya kedua harimau itu
mengejarnya dan bisa bertemu Resi Manumanasa.
KITAB WAYANG PURWA

Kini kedua harimau tersebut telah teruwat oleh panah Resi Manumanasa dan kembali menjadi
bidadari. Mereka pun menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Resi Manumanasa. Resi
Manumanasa sendiri tidak berani menganggap Kyai Smarasanta sebagai abdi dan lebih suka
menjadikannya sebagai saudara tua. Maka, ia pun memilih Batari Kaniraras sebagai istri, sedangkan
Batari Kanistri hendaknya menjadi istri Kyai Smarasanta.
Maka, diadakanlah pernikahan ganda di Gunung Saptaarga tersebut. Karena nama Batari
Kaniraras sama persis dengan nama kakak sulungnya, maka Resi Manumanasa pun memanggil
istrinya itu dengan sebutan baru, yaitu Dewi Retnawati. Sementara itu, Kyai Smarasanta juga
mengganti nama Batari Kanistri menjadi Dewi Kenastren, supaya lebih mudah disebut.
Sejak saat itu, Kyai Smarasanta tinggal di Gunung Saptaarga sebagai pengurus rumah tangga
Padepokan Ratawu, dan mengganti namanya menjadi Janggan Smara.

DEWI BRAHMANEKI MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA


Pada suatu hari, Dewi Brahmaneki datang ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Resi
Manumanasa dan berkenalan dengan menantu barunya, yaitu Dewi Retnawati. Setelah beramah
tamah dan melepas kerinduan, Dewi Brahmaneki lalu menceritakan keadaan di Kerajaan Wirata.
Saat ini Resi Brahmastungkara di Gilingwesi dan Resi Wrigu di Medangkawuri (Wirata lama) telah
meninggal dunia. Kedudukan mereka lalu digantikan oleh menantu masing-masing, yaitu Arya
Darmaruci menduduki Padepokan Gilingwesi, bergelar Resi Darmaruci, serta Arya Suganda
menduduki Padepokan Medangkawuri, bergelar Resi Suganda. Dewi Brahmaneki juga
mengabarkan bahwa beberapa hari lagi Prabu Basupati akan melangsungkan pernikahan untuk
putra kedua dan ketiganya, yaitu Raden Basukesti dan Raden Basunanda. Rupanya Prabu Basupati
hendak berbesan dengan adik iparnya, yaitu Arya Awangga yang memiliki tiga orang putri bernama
Dewi Pancawati, Dewi Sukawati, dan Dewi Dwarawati. Raden Basukesti akan dinikahkan dengan
Dewi Pancawati, sedangkan Raden Basunanda dinikahkan dengan Dewi Sukawati. Untuk itu, Dewi
Brahmaneki pun menyampaikan pula undangan Prabu Basupati kepada Resi Manumanasa supaya
berkumpul di Kerajaan Wirata menghadiri pernikahan tersebut. Maka, esok harinya Dewi
Brahmaneki pun turun gunung bersama Resi Manumanasa dan Dewi Retnawati. Mereka singgah
pula di Pedukuhan Gandara, mengajak serta Raden Manonbawa dan Raden Paridarma untuk
kemudian bersama-sama menuju ke Kerajaan Wirata.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SATRUKEM LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran tiga orang putra Resi Manumanasa, yaitu Bambang Satrukem,
Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa. Mereka lahir dalam keadaan terbungkus dan
digunakan untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Kalimantara, yang kemudian
jasadnya berubah menjadi sebuah kitab pusaka bernama Jamus Kalimasada. Kisah dilanjutkan
dengan kematian Prabu Basupati dan kedua istrinya, serta Dewi Brahmaneki, serta pelantikan
Raden Basumurti sebagai raja Wirata yang ketiga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan lakon wayang dalam rubrik Pedhalangan dari Majalah
Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 11 Maret 2015
Heri Purwanto

DEWI BRAHMANEKI MENIKAHKAN RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA


Satu tahun berlalu sejak Prabu Basupati di Kerajaan Wirata menggelar pernikahan Raden
Basukesti dan Raden Basunanda. Pada suatu hari Dewi Brahmaneki datang menghadap dan
meminta tolong supaya Prabu Basupati mencarikan jodoh untuk Raden Manonbawa dan Raden
Paridarma. Prabu Basupati pun memanggil Patih Waksiwara untuk menanyakan kedua putrinya
yang bernama Dewi Suwedi dan Dewi Subahni. Adapun putra sulung Patih Wakiswara bernama
Arya Suweda telah menjadi punggawa Kerajaan Wirata. Ketika Prabu Basupati menyampaikan
maksudnya ingin menikahkan Dewi Suwedi dengan Raden Manonbawa, serta Dewi Subahni
dengan Raden Paridarma, Patih Wakiswara langsung menyatakan setuju.
Maka, pada hari yang ditentukan, dilangsungkanlah pernikahan ganda tersebut. Resi
Manumanasa juga datang menghadiri perkawinan adik-adiknya itu namun tidak bersama Dewi
Retnawati, karena saat itu sedang mengandung. Setelah upacara pernikahan selesai, Prabu
Basupati lalu mengangkat kedua keponakannya itu menjadi pegawai Kerajaan Wirata. Raden
KITAB WAYANG PURWA

Manonbawa dijadikan pendeta, bergelar Resi Manonbawa; sedangkan Raden Paridarma dijadikan
punggawa, bergelar Arya Paridarma.

DEWI RETNAWATI MEMAKAN BUAH SUMARWANA


Dalam perjalanan pulang ke Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa melihat sebuah pohon
yang hanya memiliki buah satu butir, namun terlihat bersinar menyilaukan. Buah itu pun dipetiknya
dan dibawa pulang. Sesampainya di Pertapaan Ratawu, Resi Manumanasa memberikan buah yang
bersinar itu kepada Dewi Retnawati.
Tepat tengah hari, Dewi Retnawati memakan buah pemberian suaminya tersebut. Ternyata
rasanya sangat manis dan menyegarkan. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Resi
Manumanasa dan Dewi Retnawati segera keluar memeriksa dan melihat di halaman padepokan
tampak Putut Supalawa dan Janggan Smara sedang berkelahi melawan sesosok makhluk
gandarwa. Gandarwa itu mengamuk dan meminta supaya buah miliknya dikembalikan.
Resi Manumanasa segera melerai perkelahian tersebut dan menanyakan asal-usul si
gandarwa. Gandarwa itu mengaku bernama Satrutapa. Ia bercerita pada suatu hari dirinya
mendapatkan bibit pohon Sumarwana. Pohon itu kelak akan berbuah satu kali dan barangsiapa
yang memakannya tentu akan menurunkan tokoh-tokoh besar di Tanah Jawa. Maka, Gandarwa
Satrutapa pun menanam bibit pohon tersebut dan merawatnya setiap hari hingga akhirnya berbuah.
Sungguh malang, ketika Resi Manumanasa kebetulan lewat dan memetik buah tersebut, Gandarwa
Satrutapa sedang ketiduran.
Mendengar cerita tersebut, Resi Manumanasa merasa sangat bersalah telah mengambil buah
milik orang lain. Tadinya ia mengira buah tersebut tumbuh liar begitu saja seperti pohon-pohon
lainnya di sekitar situ. Gandarwa Satrutapa sebenarnya sangat kecewa, namun saat melihat Dewi
Retnawati yang sedang mengandung, ia akhirnya merelakan buah tersebut. Namun sebagai
gantinya, Gandarwa Satrutapa meminta supaya diizinkan menitis kepada janin yang dikandung
Dewi Retnawati itu.
Resi Manumanasa mengamati sosok Gandarwa Satrutapa yang berwujud makhluk halus
namun sepertinya memiliki sifat yang polos dan jujur. Maka, ia pun mengizinkan apabila gandarwa
tersebut menitis kepada calon anaknya. Gandarwa Satrutapa sangat senang, lalu ia pun masuk ke
dalam kandungan Dewi Retnawati.

DEWI RETNAWATI MELAHIRKAN BAYI BUNGKUS


Ketika kandungannya memasuki usia sembilan bulan, Dewi Retnawati pun melahirkan. Akan
tetapi, bayi yang dilahirkannya berukuran sangat besar dan terbungkus oleh semacam selaput
keras. Dewi Retnawati sendiri meninggal dunia akibat persalinan yang tak wajar itu dan sukmanya
kembali ke kahyangan sebagai bidadari.
Resi Manumanasa sangat berduka. Ia berusaha membuka bungkus bayi tersebut namun tidak
berhasil. Putut Supalawa dan Janggan Smara juga mencoba namun mereka pun tidak mampu
membuka bungkus bayi berukuran besar itu.
Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan menemui Resi Manumanasa. Ia
menjelaskan mengapa ukuran bayi berbungkus yang dilahirkan Dewi Retnawati itu sangat besar,
adalah karena di dalamnya berisi tiga orang bayi laki-laki. Bungkus tersebut dapat dibuka hanya jika
Resi Manumanasa membantu Kahyangan Suralaya yang saat ini diserang musuh dari Kerajaan
Nusarukmi, dipimpin Prabu Kalimantara.
Batara Narada pun bercerita bahwa Prabu Kalimantara datang ke Kahyangan Suralaya untuk
melamar Batari Gagarmayang sebagai permaisuri, namun ditolak oleh Batara Indra. Merasa
tersinggung, Prabu Kalimantara dan saudara-saudaranya lantas mengamuk menyerang para dewa.
Menurut petunjuk dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, Prabu Kalimantara hanya bisa
dikalahkan oleh Resi Manumanasa dengan menggunakan bayi berbungkus yang baru saja
dilahirkan Dewi Retnawati.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Manumanasa menyanggupi hal itu. Ia lalu berangkat bersama Batara Narada menuju
Kahyangan Suralaya sambil menggendong ketiga bayinya yang terbungkus menjadi satu itu. Putut
Supalawa dan Janggan Smara pun ikut serta.

RESI MANUMANASA MENGALAHKAN PRABU KALIMANTARA


Resi Manumanasa telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung berhadapan dengan
pasukan Kerajaan Nusarukmi. Putut Supalawa ikut bertempur menewaskan banyak prajurit musuh.
Prabu Kalimantara tampak berbaris bersama saudara-saudaranya, yang bernama Patih Ardadedali,
Arya Karawelang, dan Garuda Banatara. Dalam pertempuran sebelumnya, Batara Indra dan para
dewa tidak mampu mengalahkan mereka, karena setiap kali ada yang terluka atau terbunuh, akan
segera bangkit kembali setelah mendapatkan kibasan sayap Garuda Banatara.
Resi Manumanasa yang telah mendapatkan petunjuk dari Batara Narada segera bersiap untuk
melemparkan bayi berbungkusnya. Ia paham hal ini sangat berbahaya, namun hanya dengan cara
demikian ketiga bayinya bisa terbebas dari selaput pembungkus. Maka, ketika mendapatkan waktu
yang tepat, Resi Manumanasa pun melemparkan bayi berbungkusnya itu ke arah musuh.
Bayi berbungkus tersebut melayang secepat kilat dan membentur kepala Prabu Kalimantara,
lalu mental dan berturut-turut mengenai Patih Ardadedali, Arya Karawelang, dan Garuda Banatara.
Mereka semua pun roboh kehilangan nyawa, dan secara ajaib jasad masing-masing berubah wujud
menjadi pusaka. Prabu Kalimantara berubah menjadi sebuah kitab; Patih Ardadedali menjadi
sebatang anak panah; Arya Karawelang menjadi sebatang tombak; dan Garuda Banatara menjadi
sebuah payung.
Di lain pihak, selaput pembungkus bayi robek pula, sehingga ketiga putra Resi Manumanasa
kini bebas merdeka. Ketiga bayi laki-laki itu menangis bersamaan, membuat Resi Manumanasa
kesulitan menentukan siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda. Batara Narada lalu
memberikan petunjuk sehingga Resi Manumanasa dapat menetapkan urutan usia bagi ketiga
putranya itu. Yang paling tua adalah titisan Gandarwa Satrutapa, diberi nama Bambang Satrukem.
Yang nomor dua diberi nama Bambang Sriati, sedangkan yang paling muda diberi nama Bambang
Manumadewa.
Batara Indra berterima kasih atas bantuan Resi Manumanasa mengalahkan para musuh
kahyangan dan bersiap memberikan hadiah kepadanya. Namun, Resi Manumanasa meminta
anugerah untuk ketiga anaknya saja, supaya bisa tetap hidup meskipun ditinggal ibu mereka. Maka,
Batara Indra pun memberikan anugerah apabila ketiga bayi itu menghisap jari tangan mereka
sendiri, maka dari jari itu akan memancar keluar air susu, sampai kelak mereka berusia dua tahun.
Resi Manumanasa sangat berterima kasih atas anugerah ajaib tersebut.
Sementara itu, Batara Narada telah memberi nama kepada pusaka-pusaka yang berasal dari
jasad para musuh kahyangan tadi. Prabu Kalimantara yang telah berubah menjadi kitab, diberi nama
Serat Kalimasada. Namun, lembaran-lembaran kitab tersebut masih kosong tanpa tulisan. Batara
Narada meramalkan kelak akan ada keturunan Resi Manumanasa bernama Resi Abyasa yang
mampu menulisi kitab kosong tersebut dengan ajaran-ajaran kesempurnaan hidup.
Sementara itu, anak panah yang berasal dari jasad Patih Ardadedali diberi nama Panah
Ardadedali, sedangkan tombak yang tercipta dari jasad Arya Karawelang diberi nama Tombak
Karawelang. Adapun Garuda Banatara yang berubah menjadi payung pusaka, diberi nama Payung
Tunggulnaga. Batara Narada lalu menitipkan keempat pusaka itu kepada Batara Indra supaya
disimpan dan kelak hendaknya diberikan kepada anak keturunan Resi Manumanasa. Batara Indra
pun menerima dan menyanggupi permintaan tersebut.
Setelah dirasa cukup, Resi Manumanasa lalu mohon pamit meinggalkan Kahyangan Suralaya,
dengan disertai Putut Supalawa dan Janggan Smara. Mereka masing-masing menggendong bayi
Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa.

PRABU BASUPATI DIGANTIKAN PRABU BASUMURTI


Sesampainya di Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa menerima kunjungan Arya Suweda
yang menyampaikan berita duka bahwa Prabu Basupati, Dewi Wakiswari, Dewi Awanti, serta Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Brahmaneki meninggal dunia karena keracunan masakan jamur. Resi Manumanasa sangat sedih
dan segera berangkat menuju Kerajaan Wirata.
Sesampainya di istana Wirata, Resi Manumanasa melihat semuanya telah berkumpul.
Upacara pemakaman terhadap mereka berempat pun diselenggarakan dalam suasana haru,
dengan dipimpin Raden Basumurti selaku putra sulung Prabu Basupati.
Beberapa pekan kemudian, Raden Basumurti dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar
Prabu Basumurti. Patih Wakiswara yang sudah tua mengundurkan diri dan menjadi pendeta,
bergelar Resi Wakiswara. Kedudukannya sebagai menteri utama digantikan oleh adik ipar Prabu
Basumurti, bergelar Patih Jatikanda (adik Dewi Jatiswara). Sementara itu, Arya Suweda putra Resi
Wakiswara juga menjadi pendeta, bergelar Resi Wedawaka.
Prabu Basumurti juga menawarkan kedudukan kepada Resi Manumanasa. Akan tetapi, Resi
Manumanasa menolak dan menyatakan lebih suka menyepi di Gunung Saptaarga sebagai pertapa
dan sesekali saja berkunjung ke Kerajaan Wirata sebagai saudara, bukan sebagai pejabat. Prabu
Basumurti tidak dapat memaksa sepupunya itu. Setelah masa berkabung usai, Resi Manumanasa
dan kedua adiknya, yaitu Resi Manonbawa dan Arya Paridarma mohon pamit kembali ke tempat
tinggal masing-masing.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PAKUMPULAN SAPTAARGA
Kisah ini menceritakan kesalahpahaman Prabu Basumurti terhadap Resi Manumanasa yang
menerima sejumlah murid di Gunung Saptaarga. Raden Basukesti diutus Prabu Basumurti
untuk menangkap Resi Manumanasa, namun ia berhasil memperbaiki hubungan di antara
mereka. Raden Basukesti juga mendapatkan cincin pusaka dari Batara Mahadewa yang kelak
membuatnya bisa menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Kisah ini disusun berdasarkan sumber
Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan
Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit
pengembangan.
Kediri, 13 Maret 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUMURTI MENCURIGAI RESI MANUMANASA


Prabu Basumurti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda, Resi Wakiswara, Raden
Basukesti, Raden Basunanda, serta Prabu Rambana raja Pringgadani. Mereka sedang
membicarakan desas-desus bahwa Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga hendak melakukan
pemberontakan terhadap Kerajaan Wirata. Untuk itu, Prabu Basumurti telah mengutus para
punggawa untuk memeriksa ke sana.
Pada saat itulah kedua punggawa yang dikirim untuk menyelidiki, yaitu Arya Kawaka dan Arya
Wisraba datang menghadap dan melaporkan bahwa Resi Manumanasa benar-benar ingin
memberontak kepada Kerajaan Wirata. Mereka bercerita bahwa dua orang pembantu Resi
Manumanasa yang bernama Kapi Supalawa dan Janggan Smara telah mengumpulkan para
pemuda desa di sekitar Gunung Saptaarga untuk melatih mereka ilmu perang dan baris-berbaris.
Prabu Basumurti sangat marah mendengar laporan itu. Ia pun memerintahkan Prabu Rambana
untuk menangkap Resi Manumanasa dan menghadapkannya ke istana Wirata.
Prabu Rambana mohon pamit berangkat menuju ke Gunung Saptaarga. Prabu Basumurti lalu
membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam, disambut oleh sang permaisuri Dewi Jatiswara di
gapura kedaton.

RESI MANUMANASA MENGAJAR PARA SEPUPU


Sementara itu, Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga dihadap para sepupunya, yaitu
Raden Sriwanda (putra mendiang Prabu Srikala), serta Raden Artaetu, Raden Etudarma, dan Raden
Darmahanara (ketiganya putra mendiang Prabu Sriwahana). Mereka berempat telah beberapa
bulan ini berguru kepada Resi Manumanasa mempelajari segala macam ilmu pengetahuan.
Meskipun Prabu Parikenan (ayah Resi Manumanasa) gugur saat berperang melawan Prabu Srikala,
namun tiada dendam di antara anak keturunan mereka.
Hari itu Resi Manumanasa menyatakan keempat sepupunya telah menamatkan segala
pelajaran darinya, dan menyarankan agar mereka menjadi pendeta setelah kembali ke Desa
KITAB WAYANG PURWA

Andong. Untuk selanjutnya, Raden Sriwanda hendaknya memakai gelar Resi Sakra, sedangkan
ketiga lainnya silakan bergelar Resi Artaetu, Resi Etudarma, dan Resi Darmahanara. Mereka
berempat mematuhi, lalu mohon pamit meninggalkan Gunung Saptaarga.
Sesampainya di Desa Andong, Resi Sakra dan ketiga sepupunya segera membangun
padepokan. Resi Sakra membangun Padepokan Andongpangukir, Resi Artaetu membangun
Padepokan Andongsari, Resi Etudarma membangun Padepokan Andonggading, sedangkan Resi
Darmahanara membangun Padepokan Andongdadapan.

PRABU RAMBANA MENYERANG GUNUNG SAPTAARGA


Prabu Rambana beserta Patih Saswamertyu dan pasukan raksasa Pringgadani telah sampai
di kaki Gunung Saptaarga dan melihat seekor kera putih dan seorang laki-laki pendek bulat sedang
melatih para pemuda desa ilmu perang dan baris-berbaris. Tanpa banyak tanya, Prabu Rambana
langsung memerintahkan pasukannya untuk membubarkan perkumpulan itu.
Kera putih dan laki-laki bulat pendek tersebut tidak lain adalah Putut Supalawa dan Janggan
Smara. Begitu mendapat serangan mendadak dari para raksasa, mereka pun memberikan
perlawanan. Maka, terjadilah pertempuran di antara mereka. Para pemuda desa banyak yang
menjadi korban keganasan para raksasa. Namun, para raksasa sendiri juga tidak sedikit yang roboh
terkena amukan Putut Supalawa.
Demi mencegah jatuhnya korban lebih banyak, Putut Supalawa segera mengerahkan
kesaktiannya berupa Angin Garuda yang membuat Prabu Rambana dan seluruh pasukannya
terhempas sejauh-jauhnya dari wilayah Gunung Saptaarga.

PRABU BASUMURTI MENGIRIM RADEN BASUKESTI


Prabu Basumurti sangat marah mendengar berita kekalahan Prabu Rambana. Ia lalu
memerintahkan adiknya, yaitu Raden Basukesti supaya memimpin pasukan Wirata mengempur
Gunung Saptaarga. Raden Basukesti mematuhi, namun dalam hati ia masih tidak percaya kalau
Resi Manumanasa menyusun pemberontakan.
Raden Basukesti pun berangkat didampingi Raden Basunanda memimpin pasukan Wirata.
Namun, di tengah jalan Raden Basukesti memerintahkan berhenti. Ia berniat melakukan
penyelidikan terlebih dulu apa benar Resi Manumanasa menyusun pemberontakan atau tidak.
Untuk itu, Raden Basunanda diminta menunggu bersama seluruh pasukan, sedangkan Raden
Basukesti melakukan penyamaran ditemani dua orang abdinya, yang bernama Indu dan Sindu.

RADEN BASUKESTI MERUWAT RAKSASA BERNAMA DITYA DARWAKA


Raden Basukseti dan kedua abdinya menyamar sebagai pedagang untuk menyelidiki benar
tidaknya berita pemberontakan Resi Manumanasa. Mereka bertanya kepada para penduduk di
sepanjang jalan, dan ternyata para penduduk tidak tahu-menahu soal itu. Ketika Raden Basukesti
bertanya mengapa para pemuda desa berlatih perang dan baris-berbaris, para penduduk menjawab
bahwa itu bukan latihan perang, melainkan latihan bela diri untuk menghadapi gangguan raksasa
ganas bernama Ditya Darwaka.
Raden Basukesti penasaran dan bertanya tentang Ditya Darwaka tersebut. Para penduduk
menjawab bahwa sudah beberapa bulan ini ada raksasa ganas bernama Ditya Darwaka yang sering
mengamuk mencelakai banyak orang. Tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya. Untuk
itulah, para pemuda lalu berlatih ilmu bela diri kepada Putut Supalawa dan Janggan Smara di kaki
Gunung Saptaarga supaya bisa mengalahkan raksasa tersebut.
Pada saat itulah Ditya Darwaka datang dan mengamuk, membuat para penduduk berlarian.
Raden Basukesti segera menghadapinya. Mereka bertarung sengit di mana Raden Basukesti
terdesak kewalahan. Raden Basukesti lalu melepaskan panah yang tepat mengenai leher raksasa
itu hingga tewas.
Secara ajaib, jasad Ditya Darwaka musnah dan berubah menjadi seorang dewa, yaitu Batara
Mahadewa, putra Batara Guru dari Batari Umaranti. Batara Mahadewa berterima kasih karena
KITAB WAYANG PURWA

Raden Basukesti telah membebaskan dirinya dari kutukan karena tanpa sengaja telah berbuat
kesalahan terhadap Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka. Sebagai hadiah, Batara
Mahadewa pun memberikan Cincin Manikwara untuk dipakai Raden Basukesti. Barangsiapa
memakai cincin tersebut, maka dia akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Demikianlah, Batara Mahadewa lalu kembali ke kahyangan, sedangkan para penduduk keluar
dari persembunyian untuk berterima kasih kepada Raden Basukesti.

RADEN BASUKESTI MENEMUI RESI MANUMANASA


Raden Basukesti telah sampai di Pertapaan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga. Resi
Manumanasa sangat gembira menyambut saudara sepupunya itu. Raden Basukesti berterus terang
bahwa kedatangannya adalah untuk menyelidiki desas-desus tentang Resi Manumanasa yang
kabarnya hendak memberontak terhadap Kerajaan Wirata. Resi Manumanasa sangat terkejut dan
menyatakan bahwa berita itu tidak benar.
Raden Basukesti lalu bertanya mengapa Resi Manumanasa melatih para pemuda desa ilmu
bela diri seperti hendak membentuk angkatan perang. Putut Supalawa dan Janggan Smara yang
juga hadir segera menjelaskan bahwa merekalah yang bertanggung jawab melatih para pemuda
desa itu. Awalnya para pemuda desa itu mengeluh sering diganggu raksasa bernama Ditya
Darwaka. Mereka pun ingin dilatih ilmu bela diri kepada Putut Supalawa dan Janggan Smara. Lama-
kelamaan, para pemuda desa yang ikut berlatih semakin banyak, sehingga terkesan seolah-olah
Resi Manumanasa hendak membentuk angkatan perang.
Putut Supalawa juga bercerita pada suatu hari datang punggawa Kerajaan Wirata bernama
Arya Kawaka dan Arya Wisraba yang marah-marah dan memerintahkan supaya latihan para
pemuda itu dibubarkan. Putut Supalawa tersinggung atas sikap tidak sopan mereka dan membalas
dengan ucapan kasar pula. Akibatnya, terjadilah perselisihan dan berlanjut dengan perkelahian di
antara mereka.
Raden Basukesti yakin telah terjadi kesalahpahaman antara Kerajaan Wirata dengan Gunung
Saptaarga dikarenakan penyelidikan Arya Kawaka dan Arya Wisraba yang kurang cermat. Untuk
itu, Raden Basukesti mengajak Resi Manumanasa pergi ke istana Wirata menghadap Prabu
Basumurti dan menjelaskan semua persoalan supaya tidak lagi terjadi kesalahpahaman. Resi
Manumanasa bersedia memenuhi ajakan tersebut. Maka, mereka pun berangkat meninggalkan
pertapaan menuju Kerajaan Wirata.

PRABU BASUMURTI MEMINTA MAAF KEPADA RESI MANUMANASA


Raden Basukesti dan Resi Manumanasa telah sampai di istana Wirata, menghadap Prabu
Basumurti. Raden Basukesti pun menceritakan semua peristiwa yang ia alami dari awal sampai
akhir kepada sang kakak. Bahwasanya para pemuda desa berlatih ilmu bela diri di kaki Gunung
Saptaarga bukanlah untuk membentuk angkatan perang, tetapi untuk menghadapi gangguan Ditya
Darwaka. Adapun Ditya Darwaka telah dikalahkan oleh Raden Basukesti. Dalam hal ini Raden
Basukesti tidak berani menceritakan kalau raksasa tersebut adalah penjelmaan Batara Mahadewa
yang telah memberikan Cincin Manikwara pula, karena takut sang kakak akan tersinggung
mendengarnya.
Mendengar penuturan Raden Basukesti, Prabu Basumurti sangat malu telah salah paham
kepada Resi Manumanasa. Ia pun meminta maaf namun masih ada perasaan ragu-ragu di hatinya.
Resi Manumanasa paham akan hal itu dan segera mengucapkan sumpah setia kepada Prabu
Basumurti dan Kerajaan Wirata, dengan Raden Basukesti sebagai saksi.
Prabu Basumurti merasa lega. Ia lantas memberikan hadiah berupa emas dan permata untuk
bekal hidup sehari-hari Resi Manumanasa dan para murid di Gunung Saptaarga.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BABAD GAJAHOYA
Kisah ini menceritakan Prabu Basumurti membantu kakak sepupunya, yang bernama Raden
Surata putra Prabu Oya sehingga bisa mendapatkan hak atas takhta Kerajaan Malawa. Kisah
dilanjutkan dengan Raden Basukesti melakukan tapa rame dan juga pernikahan Raden
Basusena putra Prabu Basumurti. Raden Basusena lalu dilantik menjadi raja Gajahoya, begelar
Prabu Hastimurti. Dari tokoh inilah kelak lahir raja-raja Kerajaan Hastina.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 17 Maret 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUMURTI MENOLONG RADEN SURATA DARI MALAWA


Prabu Basumurti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda (ipar), Resi Wakiswara (paman
istri), Raden Basunanda (adik), dan Raden Basusena (putra). Ketika mereka sedang membicarakan
masalah pemerintahan, tiba-tiba datang Raden Basukesti yang disertai seorang laki-laki bernama
Raden Surata. Pertama-tama Raden Basukesti meminta maaf karena dirinya datang terlambat
dalam menghadiri pertemuan. Ini karena di rumahnya tiba-tiba datang seorang tamu bernama
Raden Surata tersebut, yang mengaku berasal dari Kerajaan Malawa di Tanah Hindustan, dan
masih cucu mendiang Prabu Sri Mahapunggung raja Purwacarita terdahulu.
Prabu Basumurti merasa ragu, mengapa Prabu Sri Mahapunggung bisa memiliki cucu yang
tinggal di Tanah Hindustan? Ditambah lagi penampilan Raden Surata yang compang-camping,
membuat Prabu Basumurti merasa ragu. Raden Surata pun bercerita bahwa ia adalah putra Prabu
Oya, sedangkan Prabu Oya adalah putra Prabu Sri Mahapunggung yang pada saat dilahirkan
berwujud seekor gajah putih.
Prabu Basumurti seketika teringat mendiang ayahnya (Prabu Basupati) pernah bercerita
tentang sepupunya, yaitu putra Prabu Sri Mahapunggung yang berwujud gajah putih dan diasuh
oleh Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra. Gajah putih itu kemudian bertapa di Bukit Oya
sehingga dikenal dengan sebutan Gajah Oya. Pada suatu hari Prabu Basupati saat masih muda
dan bernama Raden Brahmaneka pernah berselisih dengan Gajah Oya karena melindungi seorang
bidadari, bernama Batari Indradi. Tanpa sengaja, Raden Brahmaneka menemukan sebatang anak
panah dan melemparkannya ke arah Gajah Oya. Secara ajaib, Gajah Oya berubah wujud menjadi
laki-laki tampan namun tubuhnya terlempar entah ke mana. Raden Brahmaneka lalu menikahi Batari
Indradi, yang kemudian dari perkawinan itu lahirlah Prabu Basumurti.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Surata menyambung cerita Prabu Basumurti tersebut, bahwa Gajah Oya setelah
teruwat menjadi manusia lalu bertemu Prabu Aywana raja Malawa yang datang ke Tanah Jawa
bersama putrinya, bernama Dewi Hoyi. Gajah Oya lalu diganti namanya menjadi Raden Oya dan
dinikahkan dengan Dewi Hoyi tersebut. Mereka hidup berumah tangga di Kerajaan Malawa, dan dari
perkawinan itu lahirlah Raden Surata.
Setelah Prabu Aywana meninggal, takhta Kerajaan Malawa diserahkan kepada Raden Oya,
yang bergelar Prabu Oya. Beberapa tahun kemudian, Prabu Oya dan Dewi Hoyi meninggal
bersamaan. Takhta Kerajaan Malawa harusnya diwarisi oleh Raden Surata selaku putra tunggal
mereka, tetapi hal itu ditentang oleh Patih Pratana yang mengatakan bahwa Raden Surata tidak
berhak menjadi raja. Alasannya ialah Prabu Oya merupakan pendatang dari Jawa, sehingga bisa
menjadi raja Malawa hanya karena mewakili istrinya. Setelah Dewi Hoyi dan Prabu Oya meninggal,
maka Raden Surata yang berdarah campuran itu tidak berhak duduk di atas takhta Kerajaan
Malawa.
Patih Pratana sangat pandai menghasut rakyat Malawa, sehingga dirinya bisa merebut takhta
kerajaan dan bergelar Prabu Pratana. Tidak hanya itu, Prabu Pratana juga berusaha membunuh
Raden Surata dan istrinya yang bernama Dewi Sarati. Merasa dalam bahaya, Raden Surata pun
Dewi Sarati mengungsi ke Kerajaan Timpuru, yaitu negeri kelahiran istrinya itu. Dewi Sarati sendiri
sedang mengandung dan sangat tertekan perasaannya. Sesampainya di Kerajaan Timpuru, ia pun
meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra, yang diberi nama Raden Asrama.
Prabu Rasika raja Timpuru sangat marah bercampur sedih atas apa yang telah dialami anak
dan menantunya. Ia pun memimpin pasukan dengan didampingi Patih Reksaka, menyerang
Kerajaan Malawa untuk menuntut hak Raden Surata. Akan tetapi, pihak lawan terlalu kuat sehingga
Prabu Rasika dan Patih Reksaka dapat dipukul mundur dan pulang membawa kekalahan. Prabu
Rasika lalu menyarankan supaya Raden Surata meminta bantuan kepada sepupunya yang saat ini
menjadi penguasa tunggal di Tanah Jawa, bernama Prabu Basumurti raja Wirata. Prabu Rasika
menjelaskan bahwa Raden Surata adalah cucu Prabu Sri Mahapunggung, sedangkan Prabu
Basumurti adalah cucu Prabu Basurata. Adapun Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata
adalah sama-sama putra Batara Wisnu.
Prabu Basumurti sangat terharu mendengar kisah menyedihkan yang dialami Raden Surata.
Ia pun memanggil Raden Surata dengan sebutan “kakak” dan menjamunya dengan penuh
penghormatan di istana Wirata. Jika dulu Raden Brahmaneka dan Gajah Oya pernah berselisih,
maka tiba saatnya kini anak-anak mereka memperbaiki hubungan dan saling mempererat
persaudaraan.
Prabu Basumurti lalu memerintahkan Raden Basukesti dan Raden Basunanda untuk
memimpin pasukan Wirata, membantu Raden Surata mendapatkan kembali haknya atas takhta
Kerajaan Malawa.

PASUKAN WIRATA MENGALAHKAN KERAJAAN MALAWA


Raden Basukesti dan Raden Basunanda memimpin pasukan Wirata berlayar menuju Tanah
Hindustan dengan Raden Surata sebagai penunjuk jalan. Sesampainya di sana, Prabu Rasika dan
pasukan Timpuru menggabungkan diri untuk kemudian bersama-sama menyerang Kerajaan
Malawa.
Prabu Pratana memimpin pasukan Malawa menghadapi serangan gabungan tersebut. Perang
besar pun terjadi. Setelah bertempur seharian, Raden Basukesti akhirnya berhasil menangkap
Prabu Pratana.
Para penghuni istana Kerajaan Malawa ternyata tidak semuanya mendukung kepemimpinan
Prabu Pratana. Ada sebagian di antara mereka bahkan memiliki bukti bahwa kematian Prabu Oya
dan Dewi Hoyi secara bersamaan adalah karena diracun oleh Prabu Pratana yang kala itu menjabat
sebagai patih.
Kini, para pembesar Kerajaan Malawa sepakat menyerahkan takhta kepada Raden Surata
selaku putra tunggal Prabu Oya dan Dewi Hoyi. Setelah dilantik, Raden Surata pun bergelar Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Surata. Ia memimpin persidangan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Prabu
Pratana.

RADEN BASUKESTI MENJALANI TAPA RAME


Prabu Surata sangat berterima kasih kepada kedua sepupunya, yaitu Raden Basukesti dan
Raden Basunanda yang telah membantunya mendapatkan kembali hak atas takhta Kerajaan
Malawa. Setelah mendapatkan perjamuan dan berbagai macam hadiah, Raden Basukesti dan
Raden Basunanda pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Wirata bersama pasukan mereka.
Dalam perjalanan pulang, Raden Basukesti sering melamun memikirkan cincin permata
Manikwara yang dulu diterimanya dari Batara Mahadewa. Konon, dengan memilliki cincin tersebut,
Raden Basukesti dapat menjadi raja Wirata. Tentu saja hal ini membuatnya bingung. Bagaimana
mungkin ia bisa menjadi raja, padahal Prabu Basumurti telah memiliki seorang putra sebagai ahli
waris, yaitu Raden Basusena? Raden Basukesti lama-lama khawatir jika terlalu memikirkan takhta
Kerajaan Wirata, bisa-bisa dirinya akan memberontak seperti yang telah dilakukan Patih Pratana di
Kerajaan Malawa.
Karena takut hatinya tergoda untuk memberontak, maka begitu sampai di Pulau Jawa, Raden
Basukesti tidak langsung pulang ke Wirata, tetapi memisahkan diri dari rombongan dengan ditemani
dua abdi kesayangannya saja, yaitu Indu dan Sindu. Mereka bertiga lalu menyamar menjadi
pengembara, sedangkan Raden Basunanda memimpin rombongan kembali ke Wirata untuk
melaporkan kemenangan kepada Prabu Basumurti.
Raden Basukesti yang menyamar sebagai pengembara itu lalu menjalani tapa rame untuk
mengumpulkan kebaikan dan mengusir pikiran jahat. Tapa rame adalah kegiatan memberikan
pertolongan kepada siapa saja yang sedang membutuhkan bantuan. Tidak hanya menolong orang
yang masih hidup, Raden Basukesti dan kedua abdinya juga menguburkan mayat yang mereka
temui di jalanan. Bahkan, mereka bertiga tidak hanya menguburkan mayat manusia, tapi juga
bangkai-bangkai binatang, serta membersihkan segala sampah yang mereka temukan.
Setelah satu tahun lamanya berkelana, pada suatu hari Raden Basukesti bertemu Patih
Jatikanda di jalan yang mengaku diutus Prabu Basumurti untuk mencari dan menjemputnya pulang.
Patih Jatikanda menjelaskan bahwa Prabu Basumurti hendak berbesan dengan Raden Basunanda,
yaitu melalui pernikahan antara Raden Basusena dengan Dewi Basundari. Karena upacara
perkawinan mereka akan segera diselenggarakan tidak lama lagi, maka Prabu Basumurti pun
mengutus Patih Jatikanda untuk mencari Raden Basukesti dan membawanya pulang ke Wirata.
Patih Jatikanda mengaku telah mencari
Raden Basukesti ke mana-mana hingga akhirnya bisa bertemu di tempat ini. Raden Basukesti
sangat gembira mendengar berita tersebut. Ia pun bergegas pulang bersama Patih Jatikanda ke
Kerajaan Wirata untuk menyaksikan pernikahan antara kedua keponakannya tersebut.

PERNIKAHAN RADEN BASUSENA DAN DEWI BASUNDARI


Raden Basusena adalah putra tunggal Prabu Basumurti dengan Dewi Jatiswara (kakak
perempuan Patih Jatikanda), sedangkan Dewi Basundari dan adiknya yang bernama Raden
Basundara adalah anak Raden Basunanda dengan Dewi Sukawati. Sementara itu, perkawinan
Raden Basukesti dan Dewi Pancawati sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang pun anak.
Pada hari yang telah ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Raden
Basusena dengan Dewi Basundari tersebut. Kedua mempelai duduk di pelaminan, di atas pangkuan
Raden Basukesti yang menganggap mereka seperti anak sendiri.

RADEN BASUSENA MENDIRIKAN KERAJAAN GAJAHOYA


Pada suatu hari, Raden Basusena berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin hidup mandiri
seperti pamannya, yaitu Resi Manumanasa yang membangun Padepokan Ratawu di Gunung
Saptaarga, ataupun Resi Manonbawa dan Arya Paridarma yang membuka Pedukuhan Gandara.
Untuk itu, Raden Basusena pun meminta sebidang tanah kepada sang ayah untuk membangun
tempat tinggal sendiri.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basumurti merasa senang mendengar keinginan putranya untuk hidup mandiri. Ia pun
bercerita bahwa di Desa Wahita terdapat sembilan buah rumah berjajar indah menghadap sebuah
telaga jernih yang dulu dibangun oleh Gajah Oya, atas permintaan Dewi Indradi. Karena Raden
Basusena adalah cucu Dewi Indradi, maka ia pun berhak mewarisi kesembilan rumah indah
tersebut.
Raden Basusena sangat senang dan berterima kasih kepada Prabu Basumurti. Ia lalu mohon
pamit berangkat dengan ditemani Dewi Basundari dan Raden Basundara untuk pergi ke Desa
Wahita di mana sembilan rumah indah berdiri di sana.
Beberapa bulan kemudian, Raden Basusena telah selesai membangun sebuah istana megah
dengan cara menyatukan kesembilan rumah indah tersebut. Bersamaan dengan itu, istrinya juga
melahirkan seorang putra. Prabu Basumurti dan Dewi Jatiswara serta Raden Basunanda dan Dewi
Sukawati datang berkunjung dan memberi nama cucu mereka itu, Raden Wasanta.
Prabu Basumurti sangat senang melihat istana yang dibangun putranya tersebut, dan
mengizinkan Raden Basusena menjadi raja di sana. Karena istana itu dibangun dengan cara
menyatukan kesembilan rumah yang dulu didirikan oleh Gajah Oya, maka negeri baru tersebut pun
diberi nama Kerajaan Gajahoya.
Raden Basusena dilantik menjadi raja Gajahoya bawahan Wirata dengan memakai gelar
Prabu Hastimurti, sedangkan menteri utama dijabat oleh adik iparnya, bergelar Patih Basundara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUKESTI WISUDA
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Basumurti setelah merusak pohon keramat Kayu
Sriputa. Raden Basukesti lalu dilantik menjadi raja Wirata yang baru, membuat Prabu
Hastimurti raja Gajahoya merasa kecewa. Kisah dilanjutkan dengan pernikahan kedua Prabu
Basukesti dengan Dewi Sugandi untuk mendapatkan keturunan. Kisah ditutup dengan
pertempuran antara Kerajaan Wirata melawan Kerajaan Duhyapura, di mana Prabu Dwapara
raja Duhyapura kalah dan berlindung kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Maret 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUMURTI BERBURU DAN BERDERMA


Pada suatu hari Prabu Basumurti raja Wirata pergi berburu ke Hutan Pandeki, dengan
didampingi Raden Basukesti, Raden Basunanda, dan Patih Jatikanda. Setelah puas mendapatkan
banyak hewan buruan, mereka tidak langsung pulang ke istana, karena Prabu Basumurti berniat
membagi-bagikan derma kepada masyarakat pedesaan.
Demikianlah, sesampainya di pedesaan, para prajurit membagi-bagikan uang dan makanan.
Para penduduk pun berduyun-duyun memperebutkannya. Mereka rela berdesak-desakan demi
mendapatkan sedekah pemberian Sang Prabu. Akan tetapi, ada seorang laki-laki yang tidak ikut
memperebutkan sedekah, tetapi duduk diam menghadap sebatang pohon. Prabu Basumurti heran
melihat orang itu dan segera mengutus Raden Basukesti untuk menanyainya.
Raden Basukesti mendekati orang itu dan bertanya kepadanya, mengapa tidak ikut menerima
sedekah dari raja? Orang itu mengaku bernama Cantrik Janaloka dan pohon keramat yang
ditungguinya bernama pohon Kayu Sriputa. Menurut keyakinan orang itu, arwah gurunya yang
bernama Ajar Ariloka telah bersatu ke dalam pohon tersebut, sehingga menunggui pohon Kayu
Sriputa baginya jauh lebih mulia daripada berbaris memperebutkan harta sedekah. Apalagi cara
Prabu Basumurti membagi-bagikan sedekah terlihat sangat angkuh dan ingin dipuji, bukan dilandasi
rasa tulus ikhlas dari hati.
PRABU BASUMURTI MENINGGAL DUNIA
Raden Basukesti lalu melapor kepada Prabu Basumurti tentang apa yang disampaikan Cantrik
Janaloka. Prabu Basumurti sangat tersinggung melihat ada seorang warga desa yang lebih takut
kepada pohon daripada raja. Ia lalu melemparkan Pedang Candrahasa (pusaka peninggalan Sri
Maharaja Purwacandra) ke arah pohon Kayu Sriputa. Seketika pohon keramat itu pun terpotong
menjadi dua dan roboh ke tanah. Akan tetapi, setelah mengambil kembali pusakanya, Prabu
Basumurti merasa tidak enak badan dan segera mengajak para pengikutnya pulang.
KITAB WAYANG PURWA

Sesampainya di istana Wirata, keadaan Prabu Basumurti bertambah parah. Setelah dirawat
beberapa hari, nyawanya justru tak tertolong lagi. Raja Wirata itu pun meninggal dunia.
Berita kematian Prabu Basumurti telah diterima oleh putra tunggalnya, yaitu Prabu Hastimurti
di Kerajaan Gajahoya. Ia pun buru-buru pergi ke Wirata bersama istri dan iparnya, yaitu Dewi
Basundari dan Patih Basundara, untuk menghadiri pemakaman sang ayah.

PRABU BASUKESTI MENJADI RAJA WIRATA


Setelah masa berkabung usai, para pembesar Kerajaan Wirata, antara lain Resi
Brahmanaweda, Resi Brahmanakestu, Raden Basukesti, Raden Basunanda, Patih Jatikanda, dan
Resi Wakiswara bermusyawarah. Mereka akhirnya sepakat menyerahkan takhta kepada Raden
Basukesti, kecuali Raden Basunanda yang menyatakan Prabu Hastimurti lebih berhak atas takhta
tersebut. Namun demikian, suara terbanyak tetap menghendaki Raden Basukesti sebagai raja
Wirata, karena Prabu Hastimurti telah membangun kerajaan bernama Gajahoya dan hidup mandiri
di sana.
Mendengar keputusan tersebut, Prabu Hastimurti sangat kecewa dan pulang tanpa pamit.
Meskipun dulu ia pernah berkata kepada mendiang ayahnya tentang keinginannya untuk hidup
mandiri dengan membangun kerajaan sendiri, namun dalam hati ia juga berharap bisa menjadi raja
Wirata. Tak disangka, setelah sang ayah meninggal, takhta Kerajaan Wirata justru jatuh ke tangan
pamannya.
Raden Basunanda yang tidak setuju dengan pengangkatan Raden Basukesti sebagai raja
Wirata pun ikut pindah ke Kerajaan Gajahoya. Prabu Hastimurti menerima kedatangan mertua
sekaligus pamannya itu dan mengangkatnya sebagai pandita kerajaan, bergelar Resi Basunanda.
Sementara itu, pada hari yang ditentukan, Raden Basukesti pun dilantik menjadi raja Wirata
yang baru, bergelar Prabu Basukesti. Sebagai menteri utama tetap dijabat oleh Patih Jatikanda.

PRABU BASUKESTI MENIKAH LAGI


Pada suatu hari Cantrik Janaloka datang ke istana Wirata menghadap Prabu Basukesti. Ia
mengabarkan bahwa setelah Kayu Sriputa ditebang oleh mendiang Prabu Basumurti, arwah Ajar
Ariloka lalu berpindah ke dalam diri Prabu Basukesti. Untuk itu, Cantrik Janaloka memohon supaya
diterima mengabdi di Kerajaan Wirata. Prabu Basukesti pun menjadikannya sebagai punggawa,
bergelar Arya Jayaloka.
Pada suatu hari, Prabu Basukesti mengeluh kepada Arya Jayaloka bahwa sampai hari ini
perkawinannya dengan Dewi Pancawati belum juga mendapatkan keturunan. Padahal, adiknya
yaitu Raden Basunanda telah memiliki seorang cucu di Kerajaan Gajahoya. Prabu Basukesti
meminta tolong kepada Arya Jayaloka bagaimana caranya agar bisa mendapatkan anak. Arya
Jayaloka pun mohon pamit untuk pergi ke Gunung Mahendra, untuk meminta petunjuk kepada
Begawan Rukmawati.
Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra menyambut kedatangan Arya Jayaloka. Mengenai
keinginan Prabu Basukesti untuk mendapatkan keturunan, Begawan Rukmawati menjelaskan
bahwa Sang Prabu harus menikah lagi karena sang permaisuri Dewi Pancawati mandul. Mengenai
siapa yang harus dinikahi sebagai istri kedua, Begawan Rukmawati menyarankan agar Prabu
Basukesti meminang putri Resi Suganda di Padepokan Medangkawuri, yang bernama Endang
Sugandi. Arya Jayaloka berterima kasih lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Wirata.
Sesampainya di istana, Arya Jayaloka segera menyampaikan petunjuk dari Begawan
Rukmawati tersebut kepada Prabu Basukesti. Prabu Basukesti lalu merundingkan hal itu kepada
Dewi Pancawati dan ia pun mendapatkan izin untuk menikah lagi.
Maka, Prabu Basukesti pun mengirim lamaran kepada Resi Suganda di Padepokan
Medangkawuri. Resi Suganda menerima pinangan tersebut dengan suka cita, dan ini sesuai dengan
ramalan Begawan Rukmawati dulu bahwa istrinya, yaitu Ken Raketan akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa. Ramalan itu kini menjadi kenyataan, karena Endang Sugandi akan diperistri oleh Prabu
Basukesti, raja Wirata.
KITAB WAYANG PURWA

Singkat cerita, upacara pernikahan antara Prabu Basukesti dan Endang Sugandi telah
dilaksanakan. Setahun kemudian, dari perkawinan itu lahir seorang bayi perempuan, yang diberi
nama Dewi Basuwati. Nama tersebut diambil dari nama Begawan Rukmawati, yaitu sang petapa
wanita yang telah memberikan petunjuk.

KERAJAAN WIRATA BERPERANG DENGAN KERAJAAN DUHYAPURA


Pada suatu hari Prabu Basukesti menerima laporan bahwa ada sejumlah kapal berbendera
asing berlayar dari negeri seberang menuju Tanah Jawa. Sepertinya kapal-kapal tersebut membawa
pasukan siap tempur. Prabu Basukesti marah dan segera memerintahkan Patih Jatikanda dan Arya
Jayaloka untuk memimpin pasukan menghadapi serangan tersebut.
Pasukan dari tanah seberang itu telah tiba di pelabuhan Kerajaan Wirata. Rupanya mereka
berasal dari Kerajaan Duhyapura di Tanah Hindustan, yang dipimpin oleh Prabu Dwapara dan Patih
Durbara. Begitu mendarat, mereka segera memerintahkan penyerbuan. Sementara itu, pasukan
Wirata yang dipimpin Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka juga telah bersiaga untuk menghadapi
serangan tersebut.
Maka, terjadilah pertempuran sengit di antara kedua pihak. Setelah lewat tengah hari, pasukan
Duhyapura dapat dikalahkan. Patih Durbara tertangkap oleh Arya Jayaloka, sedangkan Prabu
Dwapara melarikan diri.
Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka lalu menghadapkan Patih Durbara kepada Prabu
Basukesti. Prabu Basukesti pun menanyainya mengapa tiba-tiba Kerajaan Duhyapura datang
menyerang Kerajaan Wirata. Patih Durbara pun bercerita bahwa rajanya yang bernama Prabu
Dwapara masih keturunan Wirata, karena merupakan putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua
dengan Prabu Durapati.
Belasan tahun yang lalu Dewi Kaniraras putri sulung Prabu Parikenan dan Dewi Brahmaneki
menjadi janda setelah ditinggal mati suami pertamanya, yaitu Empu Kanomayasa yang mengalami
kecelakaan kerja. Dewi Kaniraras lalu menikah lagi dengan Prabu Durapati, dan selanjutnya
diboyong ke Kerajaan Duhyapura di Tanah Hindustan. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putra
yang diberi nama Raden Dwapara. Pada saat putranya itu berusia lima belas tahun, Prabu Durapati
meninggal dunia.
Raden Dwapara pun naik takhta dalam usia yang masih remaja menggantikan sang ayah,
dengan bergelar Prabu Dwapara. Setahun kemudian Dewi Kaniraras meninggal pula dan ia sempat
bercerita tentang tanah kelahirannya di Pulau Jawa. Menjelang kematiannya, Dewi Kaniraras
berwasiat supaya Prabu Dwapara menyambung kekeluargaan dengan Kerajaan Wirata.
Akan tetapi, Prabu Dwapara yang masih muda belia itu memiliki pikiran yang mudah panas.
Bukannya melaksanakan wasiat sang ibu, ia justru ingin menaklukkan Kerajaan Wirata dan
menjadikan Tanah Jawa sebagai jajahan Kerajaan Duhyapura.
Demikianlah, Prabu Dwapara lalu memimpin pasukan untuk menyerang Kerajaan Wirata,
namun pada akhirnya justru mengalami kekalahan. Entah bagaimana nasib Prabu Dwapara saat ini,
tidak diketahui dengan pasti. Patih Durbara mengakhiri ceritanya dan ia siap menerima hukuman.
Akan tetapi, Prabu Basukesti membebaskannya dan memberikan bekal secukupnya untuk
perjalanan pulang kembali ke Kerajaan Duhyapura.
Patih Durbara sangat berterima kasih lalu mohon pamit kembali ke Tanah Hindustan dengan
sisa-sisa pasukannya yang masih hidup.

PRABU DWAPARA MENGABDI KEPADA RESI MANUMANASA


Sementara itu, Prabu Dwapara yang meloloskan diri dari pertempuran tadi akhirnya tersesat
sampai ke Gunung Saptaarga. Di gunung itu ia bertemu ketiga putra Resi Manumanasa yang telah
tumbuh remaja, yaitu Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa. Terjadilah
kesalahpahaman di antara mereka karena sikap Prabu Dwapara yang sombong, sehingga berlanjut
dengan sebuah perkelahian.
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Satrukem akhirnya bisa meringkus Prabu Dwapara dan menyerahkannya kepada
sang ayah. Resi Manumanasa yang berpandangan tajam dapat mengetahui kalau raja Duhyapura
ini masih keponakannya sendiri, yaitu putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua dengan Prabu
Durapati. Prabu Dwapara yang pada dasarnya ingin mencari perlindungan dari kejaran pasukan
Wirata segera menyembah penuh hormat kepada pamannya tersebut. Ia lalu memohon supaya
diizinkan tinggal di Padepokan Saptaarga.
Resi Manumanasa mengabulkan permintaan tersebut. Ia lalu mengangkat Prabu Dwapara
sebagai murid, dengan nama baru, yaitu Wasi Dwapara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

EMPU PURBAGENI
Kisah ini menceritakan Prabu Basukesti mendapatkan Jamur Dipa dari bekas tempat samadi
Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu yang kemudian diolah menjadi kue payasa untuk
dimakan Dewi Sugandi. Kisah dilanjutkan dengan hilangnya Dewi Dwarawati yang berhasil
ditemukan oleh Empu Purbageni, putra Empu Dewayasa. Kisah ini disusun berdasarkan sumber
Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan
Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit
pengembangan.
Kediri, 23 Maret 2015
Heri Purwanto

MENINGGALNYA RESI BRAHMANAWEDA DAN RESI BRAHMANAKESTU


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda, Arya Jayaloka, Empu Dewayasa,
dan para punggawa lainnya. Mereka sedang membicarakan tentang dua sesepuh istana, yaitu Resi
Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu yang sudah lama tidak menghadiri pertemuan.
Tidak lama kemudian datanglah Resi Suganda (mertua Prabu Basukesti yang juga putra Resi
Brahmanakestu) mengabarkan bahwa kedua sesepuh tersebut telah meninggal dunia. Mereka
berdua meninggal ketika sedang bersamadi di sanggar pemujaan. Secara ajaib, tubuh Resi
Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu sama-sama musnah seperti asap, dan di bekas tempat
mereka bersamadi tumbuh semacam jamur, yang disebut Jamur Dipa. Yang lebih mengherankan
lagi, Resi Suganda ternyata tidak mampu memetik jamur tersebut.
Prabu Basukesti dan para hadirin sangat terkejut dan berduka, terutama Patih Jatikanda yang
merupakan putra Resi Brahmanaweda. Di samping itu, mereka juga penasaran mendengar adanya
tumbuhan Jamur Dipa tersebut. Seketika Prabu Basukesti teringat pada riwayat kakeknya, yaitu
Prabu Basurata pendiri Kerajaan Wirata yang pernah mendapatkan Jamur Dipa dari Tanah
Hindustan. Jamur Dipa tersebut diolah menjadi kue payasa yang kemudian dimakan oleh sang
permaisuri Dewi Brahmaniyuta. Setelah memakan kue payasa tersebut, Dewi Brahmaniyuta bisa
mengandung dan melahirkan Prabu Basupati (ayah dari Prabu Basukesti).
Maka, Prabu Basukesti pun mengajak Patih Jatikanda, Arya Jayaloka, dan Empu Dewayasa
berangkat menuju ke sanggar pemujaan tempat Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu
meninggal.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU BASUKESTI MEMETIK JAMUR DIPA


Prabu Basukesti dan rombongan telah sampai di sanggar pemujaan. Mereka lalu
mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu.
Setelah itu, Prabu Basukesti pun memerintahkan Patih Jatikanda, Empu Dewayasa, dan Arya
Jayaloka untuk memetik Jamur Dipa yang tumbuh di tempat itu. Akan tetapi, mereka ternyata tidak
mampu memetik tumbuhan kecil tersebut.
Prabu Basukesti lalu turun tangan sendiri untuk memetiknya. Sungguh aneh, begitu ia yang
memetik, Jamur Dipa tersebut langsung tercabut dari tempatnya tumbuh. Tiba-tiba muncul pula
cahaya teja yang terang benderang dan kemudian masuk ke dalam tubuh Prabu Basukesti melalui
ubun-ubun.
Resi Suganda, Patih Jatikanda, Empu Dewayasa, dan Arya Jayaloka terkesima menyaksikan
pemandangan tersebut. Mereka melihat wajah Prabu Basukesti menjadi lebih tampan dan berseri-
seri setelah kemasukan cahaya teja dari Jamur Dipa. Setelah dirasa cukup, Prabu Basukesti lalu
mengajak rombongan kembali ke istana.
Sesampainya di istana, Prabu Basukesti segera menyerahkan Jamur Dipa kepada juru masak
untuk diolah menjadi kue payasa. Setelah kue matang, Prabu Basukesti menyerahkannya kepada
dua permaisuri, yaitu Dewi Pancawati dan Dewi Sugandi. Akan tetapi, Dewi Pancawati menolak
karena dirinya sudah ditakdirkan mandul tidak memiliki anak. Maka, semua kue payasa pun
diberikan kepada Dewi Sugandi.
Prabu Basukesti berharap setelah memakan kue payasa dari Jamur Dipa tersebut, Dewi
Sugandi dapat mengandung seorang anak laki-laki yang kelak bisa menjadi pangeran mahkota
Kerajaan Wirata.

DEWI DWARAWATI HILANG DICULIK


Beberapa bulan setelah peristiwa Jamur Dipa tersebut, Prabu Basukesti dihadapkan pada
sebuah permasalahan, yaitu hilangnya Dewi Dwarawati, adik bungsu Dewi Pancawati. Sang Prabu
telah berusaha mencari saudari iparnya itu ke mana-mana namun tidak juga mendapatkan hasil. Ia
lalu mengadakan sayembara, barangsiapa bisa menemukan Dewi Dwarawati maka akan dinikahkan
dengannya.
Empu Dewayasa (kepala pembuat senjata di Kerajaan Wirata) segera memerintahkan
putranya yang bernama Empu Purbageni untuk mengikuti sayembara tersebut. Empu Purbageni
sendiri baru saja pulang dari Pulau Nusakencana untuk mencari bijih besi Brahmakadali. Begitu
mendapat perintah demikian dari sang ayah, ia pun berangkat mencari hilangnya Dewi Dwarawati.

EMPU PURBAGENI MEMBUNUH DUA RAKSASA PENCULIK


Setelah melakukan penelusuran berhari-hari, Empu Purbageni tetap saja tidak mendapatkan
kabar tentang keberadaan Dewi Dwarawati. Ia kemudian bersamadi memohon petunjuk dewata.
Pada saat itulah datang Batara Ramayadi, dewa para empu, yang turun dari kahyangan untuk
memberikan petunjuk bahwa Empu Purbageni harus pergi ke Hutan Matiraga jika ingin menemukan
Dewi Dwarawati. Empu Purbageni berterima kasih, lalu mohon restu berangkat menuju ke hutan
tersebut.
Sesampainya di Hutan Matiraga, Empu Purbageni menemukan sebuah gua yang
mencurigakan. Sayup-sayup terdengar suara dua orang berbicara dari dalam gua. Empu Purbageni
pun bersembunyi di dekat mulut gua untuk mendengarkan percakapan mereka. Rupanya yang
sedang berbicara itu adalah dua orang kakak-beradik laki-laki dan perempuan. Sepertinya mereka
sedang berdebat tentang seorang gadis yang telah mereka culik. Si kakak ingin menikahinya,
sedangkan si adik ingin memangsa gadis itu.
Empu Purbageni yakin kalau wanita yang telah mereka culik adalah Dewi Dwarawati. Ia lalu
berteriak memanggil laki-laki dan perempuan yang sedang berdebat itu sehingga mereka pun keluar
dari dalam gua. Laki-laki dan perempuan ini ternyata berwujud raksasa dan raksasi. Si raksasa
bernama Ditya Aswana, sedangkan adiknya bernama Dewi Aswita. Mereka telah menculik seorang
KITAB WAYANG PURWA

gadis dari Kerajaan Wirata untuk dimangsa, tetapi pada akhirnya justru berdebat sendiri. Ditya
Aswana menghitung gadis itu tidak termasuk julung sehingga tidak boleh dimangsa, sedangkan
Dewi Aswita bersikeras ingin memangsanya dan menuduh si kakak mencari-cari alasan karena
tertarik pada kecantikan gadis tersebut.
Empu Purbageni bersedia menjadi penengah di antara mereka, namun ia tidak paham soal
perhitungan julung. Ditya Aswana dan Dewi Aswita pun menjelaskan bahwa mereka berdua adalah
pemuja Batara Kala dan sebulan sekali selalu memangsa manusia. Akan tetapi, yang dimangsa
hanyalah manusia yang terhitung julung, yaitu julungwangi (lahir saat matahari terbit),
julungsungsang (lahir saat tengah hari), julungsarab (lahir saat matahari terbenam), dan julungpujud
(lahir saat petang hari). Menurut perhitungan Ditya Aswana, gadis yang mereka culik tidak termasuk
julung sehingga tidak boleh dimangsa. Di lain pihak, Dewi Aswita menuduh kakaknya mengada-ada
karena tertarik pada kecantikan gadis itu.
Empu Purbageni telah memahami duduk permasalahannya. Ia lalu memutuskan bahwa gadis
itu tidak boleh dinikahi Ditya Aswana, juga tidak boleh dimangsa Dewi Aswita, tetapi akan
dikembalikan kepada rajanya, yaitu Prabu Basukesti di Wirata. Ditya Aswana dan Dewi Aswita
marah merasa dipermainkan. Mereka lalu menyerang Empu Purbageni dan terjadilah pertarungan
sengit. Pada akhirnya, kedua kakak beradik itu tewas dengan kepala pecah terkena hantaman besi
Brahmakadali milik Empu Purbageni.

EMPU PURBAGENI MEMBAWA PULANG DEWI DWARAWATI


Empu Purbageni lalu masuk ke dalam gua tempat Dewi Dwarawati disekap. Kepada adik ipar
Prabu Basukesti itu ia memperkenalkan diri sebagai putra Empu Dewayasa yang ditugasi untuk
membawanya pulang ke Kerajaan Wirata. Dewi Dwarawati sangat berterima kasih dirinya telah
diselamatkan dari kedua raksasa tadi.
Begitu keluar dari gua, Empu Purbageni dan Dewi Dwarawati melihat ada sejumlah raksasa
tiba-tiba datang dan meratapi mayat Ditya Aswana dan Dewi Aswita. Para raksasa itu berasal dari
Kerajaan Medang Kumuwung yang dipimpin oleh Patih Kalawreka. Mereka mendapat tugas dari
Prabu Kunjanawreka untuk mencari Ditya Aswana dan Dewi Aswita yang telah lama meninggalkan
istana. Rupanya, kedua raksasa kakak beradik tersebut adalah putra dan putri raja Medang
Kumuwung.
Mengetahui Ditya Aswana dan Dewi Aswita telah tewas di tangan Empu Purbageni, Patih
Kalawreka sangat marah dan memeritahkan para prajurit untuk menyerangnya. Empu Purbageni
dengan lincah menghadapi para raksasa tersebut, namun lama-lama terdesak juga.
Pada saat itulah muncul putra sulung Resi Manumanasa, yaitu Bambang Satrukem yang
sedang berkelana ditemani Janggan Smara. Pemuda itu segera turun tangan membantu Empu
Purbageni mengalahkan para raksasa tersebut. Merasa terdesak, Patih Kalawreka akhirnya
mengajak pasukannya meninggalkan Hutan Matiraga dengan membawa serta mayat Ditya Aswana
dan Dewi Aswita.
Empu Purbageni lalu berkenalan dengan Bambang Satrukem dan mereka sama-sama
gembira karena ternyata masih saudara. Empu Purbageni adalah keponakan mendiang Empu
Kanomayasa, sedangkan Bambang Satrukem adalah putra Resi Manumanasa. Adapun Empu
Kanomayasa adalah kakak ipar Resi Manumanasa.

PERNIKAHAN EMPU PURBAGENI DENGAN DEWI DWARAWATI


Empu Purbageni telah tiba di Kerajaan Wirata dan menyerahkan Dewi Dwarawati kepada
Prabu Basukesti. Bambang Satrukem juga ikut menemani. Prabu Basukesti sangat gembira dan
sesuai janjinya, ia pun menjodohkan Dewi Dwarawati dengan Empu Purbageni. Dewi Dwarawati
mematuhi keputusan tersebut karena pada dasarnya ia juga menyukai Empu Purbageni yang telah
menyelamatkan dirinya dari marabahaya.
Karena ayah Dewi Dwarawati, yaitu Arya Awangga telah meninggal, maka yang
menyelenggarakan pernikahan adalah Prabu Basukesti. Upacara pernikahan itu dilaksanakan di
rumah Patih Jatikanda yang terletak di samping istana. Inilah yang kemudian ditiru masyarakat
KITAB WAYANG PURWA

Jawa, bahwa jika menikahkan saudara hendaknya dilakukan di samping rumah, bukan di depan
rumah.
Setelah upacara pernikahan selesai, tiba-tiba Kerajaan Wirata diserang pasukan raksasa
Medang Kumuwung yang dipimpin langsung oleh Prabu Kunjanawreka dan Patih Kalawreka.
Kedatangan mereka adalah untuk membalas kematian Ditya Aswana dan Dewi Aswita yang tewas
di tangan Empu Purbageni.
Prabu Basukesti segera memerintahkan Arya Jayaloka memimpin pasukan untuk menghadapi
serangan tersebut. Bambang Satrukem juga mohon izin kepada Prabu Basukesti, kemudian ikut
terjun ke medan pertempuran. Setelah bertempur beberapa lama, Bambang Satrukem berhasil
memenggal kepala Prabu Kunjanawreka menggunakan panah Sarotama, sedangkan Arya Jayaloka
dapat menewaskan Patih Kalawreka.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, Prabu Basukesti mendapatkan kebahagiaan lagi, yaitu
Dewi Sugandi yang telah memakan kue payasa Jamur Dipa, kini melahirkan dua orang anak
sekaligus. Perempuan dan laki-laki. Yang perempuan diberi nama Dewi Basutari, sedangkan yang
laki-laki diberi nama Raden Basutara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SATRUKEM KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan Bambang Satrukem dengan seorang bidadari bernama Dewi
Nilawati, serta perkawinan Wasi Dwapara dengan sepupunya yang bernama Dewi Maestri.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 25 Maret 2015
Heri Purwanto

KERAJAAN WIRATA MENDAPAT TANTANGAN DARI KERAJAAN MADENDA


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda, Resi Suganda, Empu Purbageni,
Arya Jayaloka, dan para punggawa lainnya. Ketika mereka sedang membahas jalannya
pemerintahan, tiba-tiba datang seorang tamu dari Kerajaan Madenda di Tanah Hindustan, bernama
Patih Nitibawa. Ia diutus rajanya yang bernama Prabu Drumanasa untuk menyampaikan surat
lamaran kepada Dewi Dwarawati, adik ipar Prabu Basukesti.
Prabu Basukesti tidak dapat menerima lamaran tersebut karena Dewi Dwarawati sudah
menjadi istri Empu Purbageni. Patih Nitibawa dengan angkuh menyarankan supaya Dewi Dwarawati
bercerai saja dengan Empu Purbageni, untuk kemudian menerima lamaran Prabu Drumanasa.
Mendengar itu, Empu Purbageni marah dan menitip pesan kepada Patih Nitibawa, yaitu jika
ingin memperistri Dewi Dwarawati, maka Prabu Drumanasa harus melangkahi mayatnya terlebih
dahulu. Patih Nitibawa pun undur diri kembali ke perkemahan rajanya untuk menyampaikan pesan
tersebut.
Prabu Basukesti lalu memerintahkan Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka mempersiapkan
pasukan untuk berjaga-jaga. Nanti apabila pihak Prabu Drumanasa mengerahkan pasukannya
untuk mengeroyok Empu Purbageni, maka hendaknya Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka tidak
tinggal diam.
Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Basukesti pun masuk ke dalam kedaton di mana
kedua istrinya, yaitu Dewi Pancawati dan Dewi Sugandi telah menunggu di depan gapura.
KITAB WAYANG PURWA

PASUKAN MADENDA DIPUKUL MUNDUR


Patih Nitibawa telah kembali ke perkemahan menghadap Prabu Drumanasa untuk melaporkan
tentang lamarannya yang ditolak. Prabu Drumanasa sangat kecewa karena ia ingin sekali menikahi
Dewi Dwarawati supaya bisa bersekutu dengan Kerajaan Wirata. Sebenarnya saat ini istana
Madenda sedang diduduki musuh dari Kerajaan Duhyapura sehingga Prabu Drumanasa terpaksa
mengungsi ke Tanah Jawa bersama Patih Nitibawa dan pasukannya yang masih tersisa. Niat di
hatinya ingin menjalin persekutuan dengan Kerajaan Wirata melalui perkawinan, tak disangka Dewi
Dwarawati yang diharapkannya telah menjadi istri Empu Purbageni.
Karena sudah kepalang tanggung, Prabu Drumanasa pun berangkat memenuhi tantangan
Empu Purbageni yang sudah menunggu di alun-alun. Begitu berhadapan, mereka langsung
bertarung satu lawan satu dengan disaksikan Prabu Basukesti, Patih Jatikanda, Arya Jayaloka, dan
para punggawa lainnya. Pertarungan sengit itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya
dimenangkan oleh Empu Purbageni.
Prabu Drumanasa sangat malu dikalahkan oleh seorang empu di hadapan para prajuritnya. Ia
pun memerintahkan Patih Nitibawa dan pasukannya maju mengeroyok Empu Purbageni. Melihat
itu, Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka segera mengerahkan pasukan Wirata untuk menghadang
mereka. Pertempuran pun terjadi. Banyak korban berjatuhan di antara mereka. Hingga akhirnya,
Patih Nitibawa pun gugur di tangan Patih Jatikanda.
Melihat pihaknya semakin terdesak, Prabu Drumanasa merasa tidak mampu lagi bertahan. Ia
pun memerintahkan para prajuritnya yang masih tersisa untuk mundur meninggalkan Kerajaan
Wirata. Sementara itu, Patih Jatikanda sendiri terlihat sangat letih setelah membunuh Patih
Nitibawa. Tiba-tiba ia pun roboh dan tak bernapas lagi untuk selamanya.
Kerajaan Wirata berhasil mengusir musuh, namun juga berkabung atas meninggalnya Patih
Jatikanda yang telah lama mengabdi sejak zaman mendiang Prabu Basumurti. Setelah upacara
pemakaman selesai, Prabu Basukesti pun melantik Arya Jayaloka sebagai menteri utama yang
baru, bergelar Patih Jayaloka.

BAMBANG SATRUKEM JATUH CINTA KEPADA BIDADARI


Sementara itu, Resi Manumanasa di Padepokan Saptaarga sedang dihadap ketiga putranya,
yaitu Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa, serta para pengikut, yaitu
Putut Supalawa, Janggan Smara, dan Wasi Dwapara. Resi Manumanasa menanyai Bambang
Satrukem mengapa akhir-akhir ini tampak gelisah dan sering menyanyikan tembang yang berisikan
syair kerinduan. Bambang Satrukem merasa malu jika menjawab di hadapan banyak orang. Resi
Manumanasa pun membubarkan pertemuan sehingga hanya tinggal mereka berdua saja yang
tersisa.
Bambang Satrukem lalu bercerita bahwa sebulan yang lalu ia bertemu seekor ular besar di
kaki Gunung Saptaarga. Dengan cekatan ia pun memanah ular besar tersebut. Sungguh ajaib, ular
besar itu musnah dan berubah wujud menjadi seorang bidadari yang mengaku bernama Batari
Nilawati. Biadadari itu bercerita bahwa dirinya mendapat kutukan dari Batara Guru karena
melakukan suatu kesalahan. Kini, ia telah teruwat berkat bantuan Bambang Satrukem. Setelah
berterima kasih, Batari Nilawati pun mohon pamit kembali ke kahyangan.
Sejak bertemu Batari Nilawati itulah siang dan malam Bambang Satrukem selalu terkenang
kepadanya. Resi Manumanasa merasa maklum karena putra sulungnya itu telah tumbuh dewasa.
Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan mengunjungi Resi Manumanasa. Batara
Narada menceritakan bahwa Batari Nilawati sebenarnya juga jatuh hati kepada Bambang Satrukem
yang telah meruwat dirinya dari kutukan. Akan tetapi, sebagai wanita ia merasa malu jika harus
menyatakan cinta terlebih dahulu. Untuk itu, Batari Nilawati memohon izin kepada Batara Guru untuk
tidak lagi menjadi bidadari, dan selanjutnya ia akan tinggal di Gunung Pujangkara dengan nama
Dewi Nilawati.
Setelah mendapat izin dari Batara Guru, Dewi Nilawati pun mengadakan sayembara untuk
mendapatkan suami. Ia mengolah buah labu kahyangan menjadi minuman yang diberi nama
Kamandalu Matula. Barangsiapa mampu meneguk habis minuman tersebut, maka orang itu berhak
KITAB WAYANG PURWA

memperistri dirinya. Demikianlah, meskipun jatuh cinta kepada Bambang Satrukem, namun demi
menjaga kehormatan, Dewi Nilawati pun mengadakan sayembara tersebut. Ia berharap semoga
Bambang Satrukem datang ke Gunung Pujangkara mengikuti sayembara dan bisa memenangkan
dirinya.
Resi Manumanasa dan Bambang Satrukem terkesan mendengar cerita Batara Narada.
Bambang Satrukem lalu mohon restu kepada sang ayah untuk mengikuti sayembara tersebut. Resi
Manumanasa merestui, lalu meminta Janggan Smara untuk menemani putra sulungnya itu pergi ke
Gunung Pujangkara.

WASI DWAPARA BERTEMU PRABU DRUMANASA


Ketika Batara Narada bercerita tentang Dewi Nilawati tadi, diam-diam Wasi Dwapara
mengintai dan menguping pembicaraan mereka. Mendengar ada bidadari menggelar sayembara di
Gunung Pujangkara, Wasi Dwapara sangat tertarik dan ingin sekali mengikutinya. Maka, ia pun
turun gunung meninggalkan Padepokan Saptaarga untuk mendahului kepergian Bambang
Satrukem dan Janggan Smara.
Di tengah perjalanan, Wasi Dwapara bertemu rombongan Prabu Drumanasa yang baru saja
kalah perang melawan Kerajaan Wirata. Mereka senang sekali bisa bertemu karena Prabu
Drumanasa terhitung masih keponakan Wasi Dwapara. Prabu Drumanasa adalah anak Prabu
Wagirata, sedangkan Prabu Wagirata adalah anak Prabu Durmapati. Adapun Prabu Durmapati
adalah kakak Prabu Durapati, dan mereka adalah sesama putra Prabu Basukirata. Prabu Durapati
tersebut tidak lain adalah ayah dari Wasi Dwapara.
Pada suatu hari Prabu Wagirata raja Madenda mendengar kabar bahwa Prabu Dwapara kalah
perang di Tanah Jawa dan tidak diketahui bagaimana nasibnya, sedangkan Patih Durbara mendapat
pengampunan dari raja Jawa. Setelah pulang ke Kerajaan Duhyapura, Patih Durbara menyerahkan
takhta untuk diduduki putranya yang bernama Bambang Basuki, bergelar Prabu Basukiyana. Patih
Durbara sendiri lalu menjadi pandita kerajaan, bergelar Resi Kuntadruwasa.
Tindakan Patih Durbara ini membuat Prabu Wagirata marah. Ia lalu menyerang Kerajaan
Duhyapura untuk menurunkan Prabu Basukiyana. Akan tetapi, Prabu Wagirata sendiri justru gugur
dalam peperangan.
Prabu Wagirata lalu digantikan putranya yang bergelar Prabu Drumanasa sebagai raja
Madenda. Perang melawan Kerajaan Duhyapura dilanjutkan kembali. Akan tetapi, Prabu
Drumanasa yang masih muda belia dan miskin pengalaman itu pun mendapatkan kekalahan.
Kerajaan Madenda bahkan direbut oleh Prabu Basukiyana dan dijadikan satu dengan Kerajaan
Duhyapura.
Demikianlah, Prabu Drumanasa lalu pergi ke Tanah Jawa untuk menjalin persekutuan dengan
Prabu Basukesti raja Wirata, melalui lamaran terhadap Dewi Dwarawati. Tak disangka, Dewi
Dwarawati ternyata sudah menikah dengan Empu Purbageni. Prabu Drumanasa berusaha merebut
Dewi Dwarawati secara paksa, namun mengalami kekalahan.
Kini, Prabu Drumanasa sangat senang bisa bertemu Wasi Dwapara dan mengajaknya kembali
ke Tanah Hindustan untuk merebut takhta Kerajaan Duhyapura dan Madenda dari tangan Prabu
Basukiyana.
Wasi Dwapara prihatin mendengar riwayat keponakannya itu. Ia pun bercerita bahwa setelah
dirinya kalah perang melawan Kerajaan Wirata dulu, ia lalu ditampung pamannya dari pihak ibu,
yaitu Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga dan dijadikan sebagai murid. Soal ajakan kembali ke
Tanah Hindustan, Wasi Dwapara menolak karena ia sudah terlanjur betah tinggal di Pulau Jawa.
Lagipula, ia rela negerinya dipimpin Prabu Basukiyana, karena sesungguhnya Prabu Basukiyana
adalah kakak iparnya sendiri. Sebelum menikah dengan Dewi Kaniraras (ibu Wasi Dwapara),
mendiang Prabu Durapati telah memiliki seorang anak perempuan dari istri terdahulu yang bernama
Dewi Dalupi. Setelah dewasa, Dewi Dalupi menikah dengan Bambang Basuki, putra Patih Durbara.
Karena Prabu Dwapara telah kalah perang di Tanah Jawa dan tidak diketahui bagaimana nasibnya,
maka wajar apabila Patih Durbara menyerahkan takhta Duhyapura kepada Bambang Basuki,
karena putranya itu adalah menantu Prabu Durapati, raja terdahulu.
KITAB WAYANG PURWA

Karena Wasi Dwapara tidak bersedia pulang ke Duhyapura, Prabu Drumanasa tidak mau
memaksa lagi. Ia justru ingin menemani pamannya itu menuju Gunung Pujangkara untuk mengikuti
sayembara yang diadakan seorang bidadari, bernama Dewi Nilawati.

BAMBANG SATRUKEM MEMENANGKAN SAYEMBARA


Di Gunung Pujangkara, Dewi Nilawati menerima kedatangan Wasi Dwapara dan Prabu
Drumanasa. Tidak lama kemudian hadir pula Bambang Satrukem yang ditemani Janggan Smara.
Mereka semua datang untuk mengikuti sayembara meminum air Kamandalu Matula yang diperas
Dewi Nilawati dari buah labu kahyangan.
Karena Wasi Dwapara lebih tua dan datang lebih awal, Bambang Satrukem pun
mempersilakan kakak sepupunya itu untuk meminum terlebih dulu. Air Kamandalu Matula itu
disimpan Dewi Nilawati dalam sebuah kendi. Ketika Wasi Dwapara mengangkat kendi tersebut dan
meneguk isinya, tiba-tiba mulutnya terasa panas dan bibirnya melepuh hingga robek menganga.
Seketika Wasi Dwapara pun berubah menjadi buruk rupa.
Kini tiba giliran Bambang Satrukem untuk meminum air Kamandalu Matula. Prabu Drumanasa
berusaha mengganggu pikirannya dengan mengatakan sungguh sayang apabila Bambang
Satrukem yang tampan itu harus robek mulutnya seperti sang paman. Namun, Bambang Satrukem
tetap tenang dan mengambil kendi tersebut dengan perasaan ikhlas apa pun yang akan terjadi.
Perlahan-lahan ia meneguk isi kendi tersebut sampai habis. Anehnya, Bambang Satrukem tidak
mengalami celaka, justru tubuhnya terasa lebih sehat dan segar bugar.
Wasi Dwapara marah merasa sayembara ini hanyalah akal-akalan belaka. Ia lalu memberi
isyarat kepada Prabu Drumanasa untuk bersama-sama mengeroyok Bambang Satrukem. Melihat
itu, Janggan Smara segera turun tangan membantu. Mula-mula Prabu Drumanasa dapat
dilemparkan sejauh-jauhnya dari Gunung Pujangkara. Wasi Dwapara yang masih bertahan akhirnya
tidak kuat juga setelah Janggan Smara mengerahkan kentut saktinya. Ia pun melarikan diri
meninggalkan gunung tersebut.
Demikianlah, Bambang Satrukem lalu memboyong Dewi Nilawati untuk menikah di Gunung
Saptaarga.

WASI DWAPARA MENJADI MENANTU ARYA PARIDARMA


Sementara itu, Wasi Dwapara yang melarikan diri dari Gunung Pujangkara bertemu Arya
Paridarma di tengah jalan. Saat itu Arya Paridarma sedang menuju ke Gunung Saptaarga untuk
menghadap Resi Manumanasa (kakaknya) demi mendapatkan obat bagi putrinya yang menderita
sakit lumpuh, bernama Dewi Maestri.
Wasi Dwapara pun memperkenalkan diri sebagai putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua
dengan Prabu Durapati raja Duhyapura. Arya Paridarma pun bersyukur bisa bertemu dengan
keponakannya. Wasi Dwapara lalu menawarkan diri untuk mengobati Dewi Maestri karena selama
ini ia telah berguru banyak ilmu kepada Resi Manumanasa. Arya Paridarma agak ragu tapi akhirnya
menerima tawaran Wasi Dwapara tersebut.
Sesampainya di Pedukuhan Gandara, Arya Paridarma segera mempersilakan Wasi Dwapara
untuk mengobati putrinya. Saat itu Dewi Maestri sedang tidur di pangkuan ibunya, yaitu Dewi
Subahni, dan kakinya dipijat oleh adiknya yang bernama Dewi Huti. Tampak hadir pula Resi
Manonbawa (kakak Arya Paridarma) beserta istrinya, yaitu Dewi Suwedi (kakak Dewi Subahni).
Wasi Dwapara lalu meminta Arya Paridarma menyediakan sebuah mentimun dan seekor lalat.
Setelah tersedia, Wasi Dwapara memasukkan lalat tersebut ke dalam mentimun dan membacakan
japa mantra. Mentimun itu lalu disuapkan kepada Dewi Maestri. Sungguh ajaib, Dewi Maestri pun
sembuh dari sakitnya dan dapat berjalan kembali seperti sedia kala.
Arya Paridarma, Resi Manonbawa, dan yang lain sangat kagum bercampur gembira
menyaksikan keberhasilan Wasi Dwapara. Sebagai ungkapan terima kasih, Arya Paridarma pun
mengambil Wasi Dwapara sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Dewi Maestri. Wasi Dwapara
dan Dewi Maestri pun menurut dan menerima perjodohan tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Manonbawa juga ikut berbahagia. Untuk semakin mempererat persaudaraan, ia pun
melamar adik Dewi Maestri, yaitu Dewi Huti untuk dinikahkan dengan putra sulungnya yang
bernama Bambang Maneriya. Arya Paridarma sangat senang menerima lamaran kakaknya
tersebut, lalu ia pun mengirim kabar bahagia ini kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga.

Wasi Dwapara dan Bambang Satrukem

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SAKRI LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Sakri putra Bambang Satrukem dan Dewi Nilawati
yang darinya kelak akan menurunkan Pandawa dan Kurawa. Kisah dilanjutkan dengan
perkawinan dua putra Resi Manumanasa yang lain, yaitu Bambang Sriati dengan sepupunya
yang bernama Dewi Prawita, serta Bambang Manumadewa dengan bidadari bernama Batari
Ardani.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 27 Maret 2015
Heri Purwanto

EMPU PURBAGENI MENJADI KEPALA PEMBUAT SENJATA DI WIRATA


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jayaloka, Resi Suganda, dan para
punggawa. Tidak lama kemudian datanglah Empu Dewayasa bersama putranya, yaitu Empu
Purbageni. Ikut pula di belakang mereka seorang empu muda, bernama Empu Prawa. Empu
Dewayasa menjelaskan bahwa Empu Prawa ini adalah keponakannya, yaitu putra mendiang Empu
Kanomayasa dengan Dewi Kaniraras, yang juga telah diambil sebagai menantu pula, yaitu
dinikahkan dengan Dewi Marapi, adik Empu Purbageni.
Kedatangan Empu Dewayasa adalah untuk mengajukan pengunduran dirinya sebagai kepala
pembuat senjata di Kerajaan Wirata karena usianya yang sudah semakin tua, serta memohon agar
jabatan itu dapat diisi oleh Empu Purbageni. Setelah mempertimbangkannya, Prabu Basukesti pun
mengabulkan permohonan Empu Dewayasa tersebut. Maka, dengan disaksikan para hadirin, Sang
Prabu melantik Empu Purbageni sebagai kepala pembuat senjata yang baru, dan Empu Prawa
sebagai pendampingnya.

PRABU BASUKESTI MEMBANGUN HUTAN PERBURUAN


Setelah pelantikan Empu Purbageni tersebut, Prabu Basukesti memerintahkan Patih Jayaloka
untuk membangun hutan perburuan di empat penjuru Kerajaan Wirata sebagai tempat tamasya dan
olah raga. Hutan perburuan di sebelah utara hendaknya diberi nama Utarakanda, yang sebelah
KITAB WAYANG PURWA

timur hendaknya diberi nama Purwakanda, yang sebelah selatan hendaknya diberi nama
Daksinakanda, dan yang di sebelah barat hendaknya diberi nama Pracimakanda.
Patih Jayaloka dan para punggawa pun berangkat melaksanakan perintah Prabu Basukesti.
Mereka menebang pepohonan yang dianggap tidak perlu, serta menangkapi hewan-hewan untuk
kepentingan Prabu Basukesti berburu kelak. Banyak sekali binatang yang lari ketakutan menuju ke
tempat dua orang yang sedang bertapa. Mereka adalah ayah dan anak, bernama Resi Kuswala dan
Bambang Daneswara.
Resi Kuswala ini seorang pendeta sakti dari tanah seberang yang menguasai ilmu sihir. Ia
sesungguhnya adalah titisan Prabu Cingkaradewa (alias Sri Maharaja Purwacandra raja Medang
Kamulan) yang terlahir kembali sebagai manusia. Selain memiliki seorang putra bernama Bambang
Daneswara, ia juga memiliki dua orang murid bernama Ditya Citradana (berwujud raksasa) dan
Putut Margana (berwujud manusia).
Melihat hewan-hewan yang berlarian tersebut, Resi Kuswala merasa kasihan lalu mengubah
wujud mereka menjadi manusia agar dapat membalas dendam kepada orang-orang Wirata. Hewan-
hewan yang telah berubah menjadi manusia itu kemudian diberi nama Indramarkata, Kalayaksa,
Gajah Barigu, Garuda Urna, dan Naga Wiswana. Mereka lalu berangkat menyerang Patih Jayaloka
dan kawan-kawan.
Terjadilah pertempuran sengit di hutan tersebut. Karena jumlah orang-orang Wirata jauh lebih
banyak, Resi Kuswala pun mengajak para pengikutnya itu mundur menyelamatkan diri.

LAHIRNYA BAMBANG SAKRI


Di Padepokan Saptaarga, Resi Manumanasa sedang berbahagia karena telah lahir cucu
pertamanya, yaitu putra Bambang Satrukem dan Dewi Nilawati, yang diberi nama Bambang Sakri.
Putut Supalawa dan Janggan Smara diperintahkan untuk membagi-bagikan derma kepada
masyarakat pedesaan di sekitar Gunung Saptaarga sebagai ungkapan rasa syukur Resi
Manumanasa.
Beberapa hari kemudian, Empu Dewayasa datang berkunjung ke Gunung Saptaarga
menemui Resi Manumanasa. Mereka pun beramah-tamah melepas kerinduan. Empu Dewayasa
lalu membicarakan kisah masa lalu saat Dewi Kaniraras (kakak sulung Resi Manumanasa) menikah
dengan Prabu Durapati dan diboyong ke Kerjaan Duhyapura di Tanah Hindustan. Saat itu Empu
Dewayasa meminta supaya putra-putri Dewi Kaniraras dari perkawinan dengan mendiang Empu
Kanomayasa, yaitu Raden Prawa dan Dewi Prawita, tidak usah dibawa serta. Keduanya lalu diasuh
sendiri oleh Empu Dewayasa di Tanah Jawa. Setelah dewasa, mereka pun dicarikan jodoh pula.
Raden Prawa dinikahkan dengan Dewi Marapi, putri Empu Dewayasa, sedangkan Dewi Prawita
sampai saat ini belum menemukan laki-laki yang pantas, padahal usianya sudah mencapai tiga
puluh tahun.
Kedatangan Empu Dewayasa ke Gunung Saptaarga ini adalah untuk melamar salah satu
putra Resi Manumanasa sebagai suami Dewi Prawita. Karena si putra sulung, yaitu Bambang
Satrukem telah menikah dengan Dewi Nilawati, maka Resi Manumanasa pun menawarkan
Bambang Sriati saja yang menikah dengan Dewi Prawita.
Empu Dewayasa menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Bambang Sriati sendiri juga
menyatakan bersedia menikah dengan Dewi Prawita, meskipun calon istrinya itu berusia sepuluh
tahun lebih tua daripada dirinya.
Setelah persiapan dirasa cukup, Resi Manumanasa pun merestui kepergian Bambang Sriati
bersama Empu Dewayasa. Ia juga memerintahkan si putra bungsu, yaitu Bambang Manumadewa
agar ikut mengantarkan kepergian kakaknya menuju Kerajaan Wirata.

BAMBANG MANUMADEWA MERUWAT DUA RAKSASA


Di tengah perjalanan, rombongan Empu Dewayasa itu dihadang sepasang raksasa laki-laki
dan perempuan bernama Murtadaka dan Murtadewi. Raksasa dan raksasi itu berniat menangkap
Bambang Sriati untuk dijadikan mangsa.
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Manumadewa maju untuk melindungi sang kakak dari ancaman raksasa dan raksasi
tersebut. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Bambang Manumadewa lama-lama
merasa terdesak, namun untungnya sebelum berangkat tadi ia sempat mendapat pinjaman panah
Sarotama dari kakak sulungnya, yaitu Bambang Satrukem. Dengan melepaskan panah pusaka
tersebut, Raksasa Murtadaka dan Murtadewi berhasil ditewaskan.
Secara ajaib, mayat raksasa dan raksasi itu musnah kemudian berubah menjadi bidadara dan
bidadari, bernama Batara Ardana dan Batari Ardini. Keduanya berterima kasih kepada Bambang
Manumadewa yang telah membebaskan diri mereka dari kutukan, serta memohon untuk diterima
mengabdi. Bambang Manumadewa tidak berani menerima pengabdian mereka dan mempersilakan
keduanya supaya mengabdi kepada sang ayah saja, yaitu Resi Manumanasa.
Setelah mendapat keputusan demikian, Batara Ardana dan Batari Ardini pun mohon pamit
berangkat ke Gunung Saptaarga.

PERNIKAHAN BAMBANG SRIATI DAN DEWI PRAWITA


Rombongan Empu Dewayasa telah sampai di Kerajaan Wirata. Prabu Basukesti ikut bersuka
cita mendengar rencana pernikahan antara Dewi Prawita dengan Bambang Sriati. Ia pun
memberikan sumbangan besar dan mempersilakan pernikahan itu agar diselenggarakan di rumah
Patih Jayaloka saja, karena lebih besar daripada rumah Empu Dewayasa.
Maka, pada hari yang ditentukan diselenggarakanlah upacara pernikahan antara Bambang
Sriati dengan Dewi Prawita di kepatihan. Tidak lama kemudian terdengar laporan bahwa Resi
Kuswala dan Bambang Daneswara beserta para pengikut mereka mengadakan kekacauan di
pedesaan wilayah Kerajaan Wirata. Prabu Basukesti pun memerintahkan para punggawa untuk
menumpas para pengacau tersebut. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mampu menghadapi
ilmu sihir Resi Kuswala.
Prabu Basukesti teringat bahwa ayahnya (Prabu Basupati) telah meninggalkan warisan
pusaka berupa Sela Timpuru. Dengan bersenjatakan batu ajaib tersebut, Prabu Basukesti berangkat
menuju medan pertempuran dan berhasil membunuh Resi Kuswala. Melihat ayahnya tewas,
Bambang Daneswara ketakutan dan melarikan diri beserta sisa-sisa pengikutnya yang masih hidup.

PERNIKAHAN BAMBANG MANUMADEWA DENGAN BATARI ARDINI


Satu bulan kemudian, Empu Dewayasa mengantarkan Bambang Sriati dan Dewi Prawita
berkunjung ke Gunung Saptaarga. Bambang Manumadewa ikut serta sekaligus pulang ke tempat
sang ayah. Sesampainya di sana, mereka pun disambut Resi Manumanasa, Bambang Satrukem,
dan Dewi Nilawati dengan suka cita.
Bambang Manumadewa terkejut melihat Batara Ardana dan Batari Ardini benar-benar
mengabdi di Gunung Saptaarga sebagaimana yang dulu ia sarankan. Resi Manumanasa sendiri
tidak berani menerima pengabdian bidadara dan bidadari itu, tetapi berniat mengambil Batari Ardini
sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Bambang Manumadewa.
Bambang Manumadewa dan Batari Ardini mematuhi keputusan Resi Manumanasa tersebut.
Maka, diadakanlah upacara pernikahan sederhana di Gunung Saptaarga untuk mereka berdua.
Mengenai Batara Ardana, Resi Manumanasa mempersilakannya kembali ke kahyangan. Namun,
Batara Ardana menolak karena ia belum membalas budi atas jasa Bambang Manumadewa yang
telah meruwatnya dari kutukan. Maka, Resi Manumanasa lalu minta dibuatkan sebuah kereta
kencana. Batara Ardana menyanggupi. Setelah kereta tercipta, ia pun mohon pamit kembali ke
kahyangan.

BAMBANG SRIATI MENGABDI DI KERAJAAN WIRATA


Setelah beberapa waktu tinggal di Gunung Saptaarga, Empu Dewayasa pun mohon pamit
kepada Resi Manumanasa untuk pulang ke Kerajaan Wirata. Ia juga memintakan izin untuk
Bambang Sriati dan Dewi Prawita agar mereka hidup berumah tangga di kota Wirata saja. Bambang
Sriati sendiri juga ingin mengabdi kepada Prabu Basukesti sebagai punggawa kerajaan.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Manumanasa mengabulkan permohonan izin tersebut. Ia lalu memberikan sejumlah


nasihat kepada Bambang Sriati sebagai bekalnya mengabdi kelak.
Demikianlah, Bambang Sriati dan Dewi Prawita beserta Empu Dewayasa telah kembali ke
Kerajaan Wirata. Bambang Sriati pun diterima sebagai punggawa kerajaan, dengan bergelar Arya
Sriati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

HASTIMURTI GUGUR
Kisah ini menceritakan tewasnya Prabu Hastimurti raja Gajahoya di tangan Prabu Daneswara
raja Medang Kamulan. Tokoh Prabu Hastimurti ini merupakan kakek buyut dari Resiwara
Bisma, yang kelak menjadi senapati para Kurawa dalam perang Baratayuda.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 31 Maret 2015
Heri Purwanto

Prabu Hastimurti

PRABU HASTIMURTI MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN


Prabu Hastimurti di Kerajaan Gajahoya dihadap Resi Basunanda (mertua), Patih Basundara
(adik ipar), serta Raden Wasanta (putra). Mereka membicarakan putusnya hubungan antara
Kerajaan Gajahoya dengan Kerajaan Wirata yang sudah berlangsung sekian lama, yaitu sejak
meninggalnya Prabu Basumurti. Resi Basunanda menyarankan supaya Prabu Hastimurti sebagai
pihak yang lebih muda sudi memperbaiki hubungan dengan sang paman, yaitu Prabu Basukesti di
Wirata. Apalagi sejak dulu Prabu Basukesti selalu menganggap Prabu Hastimurti seperti anak
sendiri. Akan tetapi, Prabu Hastimurti menolak saran tersebut. Sampai sekarang ia masih
memendam sakit hati karena pamannya itu dianggap telah merebut takhta Wirata yang seharusnya
ia warisi.
Pada saat itulah Arya Basusara, putra Patih Basundara datang menghadap dan melaporkan
bahwa kini telah muncul sebuah kerajaan baru bernama Medang Kamulan, dengan rajanya yang
bernama Prabu Daneswara. Kerajaan ini menurut penyelidikan telah melanggar batas-batas wilayah
Kerajaan Gajahoya.
Prabu Hastimurti sangat marah mendengar laporan itu. Ia merasa Prabu Daneswara telah
merongrong wibawanya sebagai raja negeri Gajahoya. Resi Basunanda pun menceritakan riwayat
Kerajaan Medang Kamulan sebagaimana yang ia ketahui. Dahulu kala Kerajaan Medang Kamulan
pernah berjaya menguasai Tanah Jawa saat dipimpin Sri Maharaja Purwacandra (saudara sepupu
Dewi Awanti, ibu kandung Resi Basunanda). Sri Maharaja Purwacandra lalu dikalahkan oleh
Brahmana Wisaka tanpa menggunakan kekerasan. Brahmana Wisaka pun menjadi raja Medang
Kamulan dan memerdekakan tiga negeri bawahan, yaitu Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata.
Setelah dua tahun berlalu, Sri Maharaja Wisaka menyerahkan takhta Medang Kamulan kepada
putra angkatnya, yang bergelar Prabu Sriwahana. Setelah Prabu Sriwahana meninggal, Kerajaan
Medang Kamulan tidak terdengar lagi kabarnya, hingga kemudian dibangun kembali oleh Prabu
Daneswara tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Hastimurti sendiri tidak tahu-menahu dari mana asal-usul Prabu Daneswara itu, namun
ia ingin sekali memberikan pelajaran terhadap raja baru tersebut. Pertemuan lalu dibubarkan dan
Patih Basundara pun diperintahkan untuk mempersiapkan pasukan guna menggempur Kerajaan
Medang Kamulan.

PERANG ANTARA GAJAHOYA DAN MEDANG KAMULAN


Sementara itu, Prabu Daneswara di Kerajaan Medang Kamulan sedang dihadap para menteri
dan punggawa yang dipimpin Patih Citradana. Prabu Daneswara ini tidak lain adalah putra Resi
Kuswala yang dulu tewas di tangan Prabu Basukesti saat mengacau Kerajaan Wirata. Adapun Resi
Kuswala adalah titisan Sri Maharaja Purwacandra, raja Medang Kamulan terdahulu. Setelah
berjuang keras dan mengumpulkan banyak pengikut, Prabu Daneswara akhirnya berhasil
membangun kembali Kerajaan Medang Kamulan yang sudah lama menjadi kota mati tersebut.
Tidak lama kemudian, datanglah serangan dari Kerajaan Gajahoya yang dipimpin Raden
Wasanta, Patih Basundara, dan Arya Basusara. Prabu Daneswara pun menghadapi serangan
tersebut dengan mengerahkan segenap pasukannya. Pertempuran sengit terjadi di antara kedua
pihak. Raden Wasanta yang bertarung melawan Prabu Daneswara tampak kewalahan dan akhirnya
terlempar oleh kesaktian raja Medang Kamulan tersebut entah ke mana. Melihat sang pangeran
menghilang, Patih Basundara dan Arya Basusara pun menarik mundur pasukan Gajahoya.
Sepeninggal mereka, Prabu Daneswara memerintahkan Ditya Kalayaksa untuk mencari
Raden Wasanta dan menangkapnya hidup atau mati. Ditya Kalayaksa pun mohon pamit
melaksanakan tugas tersebut.

RADEN WASANTA BERTEMU BAMBANG SATRUKEM


Raden Wasanta sendiri jatuh di Hutan Minangsraya akibat lemparan Prabu Daneswara tadi.
Setelah bangun dari pingsan, ia merasa tersesat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Pada saat
itulah datang Ditya Kalayaksa yang dikirim untuk menangkapnya. Perkelahian di antara mereka pun
terjadi. Raden Wasanta yang masih letih itu terdesak dan mencoba untuk melarikan diri.
Kebetulan putra sulung Resi Manumanasa, yaitu Bambang Satrukem yang didampingi
Janggan Smara lewat di hutan itu. Bambang Satrukem langsung turun tangan membantu Raden
Wasanta. Setelah bertarung beberapa lama, Ditya Kalayaksa akhirnya tewas terkena panah
Sarotama.
Raden Wasanta berterima kasih atas bantuan Bambang Satrukem dan mereka pun saling
memperkenalkan diri. Sungguh lega perasaan Bambang Satrukem setelah mengetahui kalau
pemuda itu masih terhitung keponakannya sendiri. Hal itu karena Raden Wasanta adalah cucu
Prabu Basumurti yang merupakan saudara sepupu Resi Manumanasa. Raden Wasanta juga
gembira bisa bertemu pamannya. Ia pun menceritakan tentang ayahnya yang saat ini sedang
berperang melawan musuh hebat bernama Prabu Daneswara dari Kerajaan Medang Kamulan.
Mendengar berita tersebut, Bambang Satrukem merasa ingin membantu. Ia pun mengajak
Janggan Smara mendampingi Raden Wasanta kembali ke Kerajaan Gajahoya.

PRABU HASTIMURTI GUGUR DALAM PEPERANGAN


Sementara itu, Prabu Hastimurti di Kerajaan Gajahoya yang telah menerima laporan dari Patih
Basundara merasa sangat prihatin atas hilangnya Raden Wasanta. Ia berharap putra tunggalnya itu
tetap selamat meskipun nasibnya belum diketahui. Tidak lama kemudian terdengar berita bahwa
pasukan Medang Kamulan yang dipimpin langsung oleh Prabu Daneswara telah memasuki wilayah
Kerajaan Gajahoya untuk melakukan serangan balasan. Pasukan ini besar sekali, membuat Prabu
Hastimurti merasa ragu untuk menghadapinya.
Resi Basunanda pun menyarankan agar Prabu Hastimurti meminta pertolongan kepada Prabu
Basukesti di Kerajaan Wirata. Akan tetapi, Prabu Hastimurti merasa lebih baik mati daripada
memohon kepada pamannya itu. Ia pun nekat maju perang menghadapi Prabu Daneswara. Setelah
bertempur cukup lama, Prabu Hastimurti akhirnya tewas terkena panah Sarapamungkas yang
dilepaskan Prabu Daneswara.
KITAB WAYANG PURWA

RESI BASUNANDA MEMINTA BANTUAN PRABU BASUKESTI


Kerajaan Gajahoya kini telah jatuh ke tangan musuh. Resi Basunanda yang berhasil lolos
segera pergi ke Kerajaan Wirata untuk melaporkan hal itu kepada Prabu Basukesti, yang merupakan
kakaknya lain ibu. Prabu Basukesti menyambut ramah kedatangan adiknya ini. Mereka sudah lama
tidak bertemu karena Resi Basunanda pergi meninggalkan Kerajaan Wirata untuk membimbing
menantunya di Gajahoya. Resi Basunanda sendiri meminta maaf atas kesalahannya dulu yang
menentang pelantikan Prabu Basukesti sebagai raja Wirata. Kini keadaan sedang genting. Kerajaan
Gajahoya telah diserang musuh dari Medang Kamulan, sedangkan Prabu Hastimurti tewas di tangan
Prabu Daneswara.
Prabu Basukesti sangat marah mendengar berita duka tersebut. Meskipun Prabu Hastimurti
telah lama memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya, namun ia tetap menganggap
keponakannya itu seperti anak sendiri. Kini, begitu mendengar Prabu Hastimurti telah tewas, ia pun
memimpin langsung pasukan Wirata untuk menggempur kekuatan Prabu Daneswara.

PRABU DANESWARA DITANGKAP BAMBANG SATRUKEM


Sementara itu, Prabu Daneswara dan pasukannya sedang sibuk menguras kekayaan
Kerajaan Gajahoya untuk diangkut menuju Medang Kamulan. Tidak lama kemudian datanglah
pasukan Wirata yang dipimpin Prabu Basukesti menyerang mereka. Pertempuran sengit di antara
kedua pihak pun tak terhindarkan lagi.
Sementara itu, Bambang Satrukem dan Raden Wasanta beserta Janggan Smara juga telah
tiba di sana. Mereka segera terjun ke medan pertempuran membantu pihak Wirata. Prabu Basukesti
sendiri tampak terdesak menghadapi kesaktian Prabu Daneswara yang lebih muda dan ilmunya
meningkat pesat dibanding dulu saat ia mengacau Kerajaan Wirata bersama ayahnya (Resi
Kuswala).
Dengan hadirnya Bambang Satrukem, keadaan menjadi berbalik. Kali ini ganti Prabu
Daneswara yang terdesak kalah. Ia lalu melepaskan panah Sarapamungkas, namun dapat ditangkis
menggunakan panah Sarotama milik Bambang Satrukem. Akhirnya, Prabu Daneswara pun
tertangkap dan dihadapkan kepada Prabu Basukesti.

RADEN WASANTA MENJADI RAJA GAJAHOYA


Prabu Basukesti sangat senang melihat keberhasilan Bambang Satrukem. Sebenarnya ia
berniat membunuh Prabu Daneswara, namun raja Medang Kamulan itu memohon ampun dengan
alasan ia hanya membela diri. Ia menjelaskan bahwa Kerajaan Gajahoya adalah pihak yang
memulai serangan lebih dulu. Prabu Basukesti pun bertanya kepada Resi Basunanda dan ternyata
adiknya itu membenarkan bahwa Prabu Hastimurti memang lebih dulu mengirim serangan kepada
pihak Medang Kamulan.
Prabu Basukesti akhirnya membebaskan Prabu Daneswara dengan syarat harus
mengucapkan sumpah setia kepada Kerajaan Wirata. Prabu Daneswara pun mematuhi perintah
tersebut. Maka, sejak saat itu Kerajaan Medang Kamulan menjadi bawahan Kerajaan Wirata.
Prabu Basukesti lalu memanggil Raden Wasanta yang masih terhitung cucunya. Karena saat
ini Prabu Hastimurti telah gugur, maka takhta Kerajaan Gajahoya pun diserahkan kepada putra
tunggalnya tersebut. Namun demikian, sejak hari itu Kerajaan Gajahoya harus tunduk dan menjadi
bawahan Kerajaan Wirata. Raden Wasanta mematuhi perintah tersebut, tetapi ia merasa belum siap
menjadi raja sehingga menyerahkan takhta Gajahoya kepada sang kakek, yaitu Resi Basunanda.
Atas keputusan tersebut, Prabu Basukesti pun menetapkan Resi Basunanda sebagai raja
wakil di Gajahoya sampai kelak Raden Wasanta merasa sanggup menjalankan pemerintahan. Resi
Basunanda mematuhi dan menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Wirata.
Setelah keadaan damai kembali, Bambang Satrukem dan Janggan Smara mohon pamit
kembali ke Gunung Saptaarga. Prabu Basukesti sangat berterima kasih atas bantuan mereka dan
memberikan hadiah berupa sejumlah uang sebagai bekal hidup untuk tinggal di pertapaan.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

BATARI GANGGASTINI
Kisah ini menceritakan perkawinan Wasi Kistira putra Resi Sakra dengan bidadari bernama
Batari Ganggastini. Adapun tokoh Wasi Kistira ini kelak menurunkan Dewi Gandari, ibu para
Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 07 Januari 2016
Heri Purwanto

BATARI GANGGASTINI DIKEJAR-KEJAR PARA RAKSASA TIRTAKADASAR


Batara Indra di Kahyangan Suralaya dihadap para dewata, antara lain Batara Wrehaspati,
Batara Kartika, dan Batara Ardana. Mereka sedang membicarakan adanya kaum masyarakat yang
berperilaku menyimpang di sekitar Gunung Kusara, yaitu mencintai sesama jenis. Para laki-laki di
sana menolak berkumpul dengan istri-istri mereka, melainkan lebih memilih berhubungan badan
dengan sesama laki-laki. Batara Indra selaku wakil Batara Guru di Tanah Jawa merasa
berkewajiban untuk mengembalikan masyarakat ini ke jalan yang benar.
Batara Ardana mengusulkan agar saudara iparnya saja yang ditugasi untuk menyadarkan
mereka, yaitu Bambang Manumadewa putra Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga. Batara Indra
mempertimbangkan usulan tersebut dan akhirnya menyetujui. Ia pun mengutus Batara Ardana
supaya pergi ke Gunung Saptaarga untuk menyampaikan tugas ini kepada Bambang Manumadewa.
Sepeninggal Batara Ardana, tiba-tiba datang dua orang dewa penguasa ikan kakak beradik,
yaitu Batara Baruna dan Batara Wahana. Ikut serta bersama mereka seorang bidadari cantik yang
merupakan cucu Batara Wahana, bernama Batari Ganggastini. Batara Wahana bercerita bahwa
putranya, yaitu Batara Ganggastana telah ditangkap oleh raja raksasa bernama Prabu
Kunjanakresna dari Kerajaan Tirtakadasar.
KITAB WAYANG PURWA

Awal mulanya ialah Prabu Kunjanakresna ingin memiliki istri seorang bidadari, mengingat
dirinya masih keturunan Batara Wisnu. Maka, ia pun ditemani ayahnya yang bernama Begawan
Mangkara berangkat melamar Batari Ganggastini putri Batara Ganggastana. Namun, lamaran
tersebut ditolak Batara Ganggastana. Hal ini membuat Begawan Mangkara murka dan
menyerangnya. Terjadilah pertempuran di mana Batara Ganggastana kalah dan menjadi tawanan
Prabu Kunjanakresna.
Sementara itu, Batari Ganggastini berhasil meloloskan diri dan berlindung di tempat kakeknya,
yaitu Batara Wahana. Begawan Mangkara dan Prabu Kunjanakresna mengejar dan berusaha
menangkapnya. Batara Wahana berusaha melindungi cucunya namun ia juga terdesak dan
membawa Batari Ganggastini berlindung ke tempat Batara Baruna, kakaknya. Namun, Batara
Baruna juga tidak mampu menahan serangan Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara.
Bersama Batara Wahana dan Batari Ganggastini, Batara Baruna pun mengungsi ke Kahyangan
Suralaya untuk meminta perlindungan Batara Indra.
Mendengar kisah tersebut, Batara Indra segera memerintahkan para dewata untuk bersiaga
karena kemungkinan besar Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara sebentar lagi akan
datang mengejar ke Kahyangan Suralaya.

PERTEMPURAN PARA DEWATA MELAWAN PASUKAN TIRTAKADASAR


Sesuai dugaan, pasukan raksasa dari Tirtakadasar yang dipimpin Begawan Mangkara dan
Prabu Kunjanakresna datang juga menyerang Kahyangan Suralaya untuk merebut Batari
Ganggastini. Batara Indra dan para dewata segera menghadapi serangan mereka. Pertempuran
sengit pun terjadi di antara kedua belah pihak.
Tak disangka, kekuatan pihak raksasa sungguh besar, membuat para dewata terdesak
kewalahan. Batara Indra pun menarik mundur pasukannya dan menutup pintu gerbang
Selamatangkep untuk kemudian berlindung di dalam Kahyangan Suralaya.
Begawan Mangkara dan Prabu Kunjanakresna yang tidak dapat memasuki Kahyangan
Suralaya mengumumkan akan membawa Batara Ganggastana ke Kerajaan Tirtakadasar sebagai
tawanan. Batara Ganggastana akan dibebaskan asalkan Batara Indra menyerahkan Batari
Ganggastini kepada Prabu Kunjanakresna. Akan tetapi, jika Batara Indra tetap bersikukuh, maka
Batara Ganggastana akan disiksa dengan kejam dalam penjara.
Setelah mengancam demikian, Begawan Mangkara dan Prabu Kunjanakresna lalu menarik
mundur pasukan untuk kembali ke Kerajaan Tirtakadasar.

BATARA KARTIKA MEMASUKKAN BATARI GANGGASTINI KE DALAM KACA


Batara Indra dan para dewata di dalam Kahyangan Suralaya berunding mencari cara untuk
dapat mengalahkan Begawan Mangkara dan Prabu Kunjanakresna. Batara Wrehaspati meramalkan
bahwa Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara hanya bisa dikalahkan oleh sesama
keturunan Batara Wisnu yang bernama Wasi Kistira, pendeta muda dari Andongdadapan.
Batara Indra heran bagaimana bisa Batara Wisnu memiliki keturunan berwujud raksasa?
Batara Wrehaspati pun menjelaskan bahwa Batara Wisnu pernah mengutuk salah satu putranya
yang berbuat kesalahan, bernama Batara Arnapurna menjadi raksasa, yang kemudian berganti
nama menjadi Ditya Sudramurti. Kemudian Ditya Sudamurti menjadi resi dan memiliki tiga putra
berwujud raksasa pula, bernama Ditya Simparawan, Ditya Triwinggati, dan Ditya Wisnungkara.
Putra yang bungsu, yaitu Ditya Wisnungkara berputra Ditya Mayangkara yang tewas dipenggal
Prabu Pulaswa karena gagal menangkap Dewi Sri dan Raden Sadana, putra Prabu Sri
Mahapunggung.
Ditya Mayangkara yang tewas itu meninggalkan seorang istri yang sedang hamil, bernama
Dewi Wikayi. Putra yang lahir dari kandungan tersebut bernama Prabu Kalakresna, pendiri Kerajaan
Dwarawatiprawa. Prabu Kalakresna lalu digantikan putranya yang bernama Prabu Mangkara, yang
setelah tua menjadi pendeta bergelar Begawan Mangkara. Adapun takhta Dwarawatiprawa
diserahkan kepada putranya, yaitu Prabu Kunjanakresna, yang kemudian memindahkan ibu kota
kerajaannya ke dasar samudera, dan diberi nama Kerajaan Tirtakadasar.
KITAB WAYANG PURWA

Menurut ramalan Batara Wrehaspati, yang bisa mengalahkan Begawan Mangkara dan Prabu
Kunjanakresna adalah sesama keturunan Batara Wisnu, sekaligus yang menjadi jodoh Batari
Ganggastini pula, yaitu Wasi Kistira putra Resi Sakra dari Padepokan Andongdadapan. Adapun
Resi Sakra adalah putra Prabu Srikala raja Purwacarita. Prabu Srikala adalah putra Prabu Sri
Mahawan, sedangkan Prabu Sri Mahawan adalah putra Prabu Sri Mahapunggung, dan Prabu Sri
Mahapunggung adalah putra Batara Wisnu. Adapun asal mula Batara Arnapurna dikutuk ayahnya
menjadi raksasa adalah karena iri hati kepada Prabu Sri Mahapunggung yang merupakan adiknya
lain ibu itu.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, Batara Kartika pun mengusulkan agar Batari
Ganggastini sendiri yang menentukan takdirnya. Batara Indra dan para dewa lainnya setuju pada
usulan tersebut. Batara Kartika lalu memasukkan tubuh Batari Ganggastini ke dalam sebidang kaca
pusaka bernama Maherakaca, kemudian kaca tersebut dilemparkan sejauh-jauhnya ke arah
Padepokan Andongdadapan, di mana Wasi Kistira tinggal bersama ayahnya.

BATARI GANGGASTINI DITEMUKAN WASI KISTIRA


Pusaka Maherakaca yang berisi Batari Ganggastini jatuh di hadapan Wasi Kistira yang sedang
bersamadi. Ketika kaca tersebut memantulkan cahaya, Wasi Kistira merasa silau dan membuka
mata. Ia heran melihat ada bidadari cantik tinggal di dalam kaca tersebut. Seketika ia pun jatuh cinta
kepada Batari Ganggastini dan segera melaporkan hal ini kepada sang ayah, yaitu Resi Sakra.
Resi Sakra terkejut mendengar soal penemuan kaca aneh tersebut. Dari dalam kaca, Batari
Ganggastini lalu bercerita tentang segala apa yang ia alami kepada Resi Sakra dan Wasi Kistira. Ia
memohon supaya mereka bersedia membantu membebaskan ayahnya dari sekapan Prabu
Kunjanakresna.
Resi Sakra dan Wasi Kistira prihatin mendengar penuturan Batari Ganggastini, namun mereka
tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara. Maka,
Resi Sakra pun mengajak Wasi Kistira pergi ke Gunung Saptaarga untuk meminta petunjuk Resi
Manumanasa, yang merupakan guru sekaligus sepupunya.

RESI MANUMANASA MENGANGKAT KEDUA PUTRANYA MENJADI RESI


Sementara itu, Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga dihadap ketiga putranya, yaitu
Bambang Satrukem, Arya Sriati, dan Bambang Manumadewa. Arya Sriati datang mengunjungi sang
ayah untuk mengabarkan bahwa dirinya telah diterima mengabdi di Kerajaan Wirata sebagai
punggawa.
Tiba-tiba datang Batara Ardana yang juga kakak ipar Bambang Manumadewa. Kedatangan
Batara Ardana adalah untuk menyampaikan perintah dari Batara Indra yang menugasi Bambang
Manumadewa untuk menyadarkan penduduk di sekitar Gunung Kusara yang mengidap kelainan
seksual, yaitu mencintai sesama jenis. Kebetulan, Resi Manumanasa merasa ketiga putranya telah
menamatkan semua ilmu yang ia ajarkan. Jika Arya Sriati telah menjadi punggawa di Kerajaan
Wirata, maka Bambang Satrukem dan Bambang Manumadewa akan diangkat Resi Manumanasa
sebagai pendeta. Mulai hari itu Bambang Satrukem boleh memakai gelar Resi Satrukem dan
menjadi ahli waris Gunung Saptaarga, sedangkan Bambang Manumadewa bergelar Resi
Manumadewa dan diperintahkan membangun padepokan di Gunung Kusara sesuai perintah dari
Batara Indra tersebut.
Resi Manumadewa mematuhi perintah sang ayah, lalu ia pun mohon pamit berangkat menuju
ke Gunung Kusara dengan disertai Batara Ardana.

RESI MANUMANASA MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADA RESI SAKRA


Tidak lama kemudian datanglah Resi Sakra dan Wasi Kistira yang membawa pusaka
Maherakaca berisi Batari Ganggastini. Resi Sakra pun menceritakan kepada Resi Manumanasa dan
Resi Satrukem perihal riwayat Batari Ganggastini dari awal sampai akhir, serta ia memohon petunjuk
bagaimana caranya untuk bisa mengalahkan Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Manumanasa mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk bahwa di Desa


Kagaluhan terdapat ayah dan anak bernama Resi Srahuka dan Ajar Walutru yang memiliki pusaka
bernama Cundamanik. Pusaka inilah yang bisa digunakan untuk mengalahkan para raksasa
tersebut.
Resi Sakra dan Wasi Kistira berterima kasih lalu mohon pamit menuju ke Desa Kagaluhan.
Resi Manumanasa pun memerintahkan Resi Satrukem beserta Janggan Smara dan Putut Supalawa
untuk ikut membantu perjuangan mereka.

RESI SRAHUKA MEMINJAMKAN CUNDAMANIK KEPADA RESI SAKRA


Resi Sakra dan rombongan telah sampai di Desa Kagaluhan menemui Resi Srahuka dan Ajar
Walutru. Resi Sakra menceritakan semua kisah yang dialami Batari Ganggastini. Untuk itu, ia
meminta tolong supaya Resi Srahuka bersedia meminjamkan pusaka Cundamanik untuk
membebaskan Batara Ganggastana dan mengalahkan Prabu Kunjanakresna serta Begawan
Mangkara.
Resi Srahuka ikut prihatin mendengar kisah tersebut dan ia bersedia meminjamkan pusaka
Cundamanik. Putranya, yaitu Ajar Walutru sangat tertarik untuk ikut pergi membantu membebaskan
Batara Ganggastana. Karena sang ayah mengizinkan, Ajar Walutru segera bergabung dalam
rombongan Resi Sakra.

BEGAWAN MANGKARA TEWAS DI TANGAN WASI KISTIRA


Resi Sakra dan rombongannya telah sampai di Kerajaan Tirtakadasar. Mereka dipergoki para
prajurit raksasa yang dipimpin Patih Kalakrida. Terjadilah pertempuran di antara kedua pihak. Resi
Sakra menggunakan pusaka Cundamanik yang bisa menyemburkan api dan membakar hangus
para raksasa tersebut, sedangkan Patih Kalakrida tewas di tangan Putut Supalawa sang kera putih.
Prabu Kunjanakresna dan Begawan Mangkara mendengar keributan itu dan segera datang
menyerbu. Wasi Kistira maju menghadapi Begawan Mangkara, sedangkan Resi Satrukem
menghadapi Prabu Kunjanakresna. Terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Melihat Wasi
Kistira bukan tandingan Begawan Mangkara, Ajar Salutru pun ikut maju membantu.
Begawan Mangkara tetaplah unggul meskipun dikeroyok Wasi Kistira dan Ajar Salutru
sekaligus. Melihat putranya terdesak, Resi Sakra segera melemparkan pusaka Cundamanik. Wasi
Kistira menangkap pusaka tersebut lalu memukulkannya ke arah Begawan Mangkara. Seketika
Begawan Mangkara pun tewas dengan tubuh terbakar habis menjadi abu.
Melihat ayahnya tewas mengenaskan, Prabu Kunjanakresna merasa ngeri dan ia pun lari
meninggalkan pertempuran. Dengan disertai sisa-sisa prajuritnya, Prabu Kunjanakresna
meninggalkan Kerajaan Tirtakadasar sejauh-jauhnya.

RESI SAKRA MEMBEBASKAN BATARA GANGGASTANA DAN BATARA ARDANA


Resi Sakra dan rombongannya lalu bertemu seorang raksasi yang mengaku bernama Dewi
Sasmreti, adik kandung Prabu Kunjanakresna. Ia menyerah kepada Resi Sakra dan pasrah jika
harus mati seperti ayahnya. Resi Sakra berjanji tidak akan menyakiti Dewi Sasmreti asalkan diberi
tahu di mana Batara Ganggastana disekap. Dewi Sasmreti lalu mengantarkan rombongan itu ke
gedung penjara Kerajaan Tirtakadasar. Resi Sakra segera menggunakan pusaka Cundamanik
untuk melelehkan pintu penjara tersebut. Ternyata di dalam penjara tidak hanya terdapat Batara
Ganggastana saja, tetapi juga terdapat Batara Ardana yang ikut disekap pula.
Batara Ardana bercerita kepada Resi Satrukem bahwa ia telah mengantarkan Resi
Manumadewa sampai ke Gunung Kusara. Dalam perjalanan pulang ke Kahyangan Suralaya, ia
bertemu rombongan Begawan Mayangkara dan Prabu Kunjanakresna yang sedang menuju ke
negeri mereka di Tirtakadasar dengan membawa Batara Ganggastana sebagai tawanan. Batara
Ardana diam-diam menyusup ke dalam istana untuk membebaskan Batara Ganggastana, tetapi
justru dirinya yang tertangkap dan dimasukkan pula ke dalam penjara.
KITAB WAYANG PURWA

Sementara itu, Batara Ganggastana sangat bersyukur bisa bebas dari sekapan Prabu
Kunjanakresna. Batari Ganggastini pun keluar dari dalam pusaka Maherakaca untuk menemui
ayahnya. Batara Ganggastana semakin bahagia melihat putrinya tersebut selamat dari kejaran para
raksasa.

PERNIKAHAN WASI KISTIRA DAN BATARI GANGGASTINI


Batari Ganggastini lalu bercerita bahwa ia telah berjanji untuk menjadi istri Wasi Kistira apabila
dibantu membebaskan ayahnya dari sekapan Prabu Kunjanakresna. Batara Ganggastana sama
sekali tidak keberatan atas perjanjian tersebut. Ia pun merestui jika Wasi Kistira menjadi
menantunya.
Sementara itu, Batara Ardana juga tertarik melihat keberanian Ajar Salutru yang membantu
Wasi Kistira menewaskan Begawan Mangkara. Ia lalu mengheningkan cipta memanggil putrinya
yang bernama Batari Widasari. Seketika Batari Widasari pun hadir di hadapannya. Batara Ardana
lalu meminta Ajar Walutru menjadi menantunya, yaitu dengan menikahi Batari Widasari tersebut.
Batari Widasari menurut dan mematuhi keputusan sang ayah. Di lain pihak, Ajar Walutru juga sangat
senang dan berterima kasih atas kebaikan Batara Ardana.
Demikianlah, setelah peristiwa itu dilaksanakanlah perkawinan antara Wasi Kistira dengan
Batari Ganggastini, serta Ajar Salutru dengan Batari Widasari. Resi Manumanasa dan Resi
Manumadewa, serta Resi Srahuka ikut menghadiri upacara pernikahan tersebut yang digelar
sederhana di Padepokan Andongdadapan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG MANUNGKARA
Kisah ini menceritakan perkawinan Prabu Asrama raja Malawa keturunan Prabu Oya dengan
Dewi Basuwati, putri sulung Prabu Basukesti, serta perkawinan Bambang Manungkara putra
bungsu Resi Manonbawa dengan Dewi Basutari. Bambang Manungkara lalu diangkat pula
sebagai punggawa Kerajaan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 07 April 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUKESTI KEHILANGAN DEWI BASUTARI


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap putranya, yaitu Raden Basutara yang telah
tumbuh remaja, serta Patih Jayaloka, Empu Purbageni, Arya Sriati, dan para punggawa lainnya.
Mereka sedang membicarakan hilangnya Dewi Basutari, putri kedua Sang Prabu. Anehnya, tidak
seorang pun penghuni istana yang mengetahui ke mana perginya Dewi Basutari, seolah-olah ia
lenyap bagaikan diculik makhluk halus.
Pada saat itulah datang tamu dari Kerajaan Malawa di tanah seberang, yaitu Begawan Surata
bersama putranya yang bernama Prabu Asrama. Prabu Basukesti menyambut kedatangan mereka
dengan penuh keakraban, mengingat dulu ia pernah membantu perjuangan Begawan Surata demi
mendapatkan haknya atas Kerajaan Malawa. Kini, Begawan Surata telah menjadi brahmana dan
menyerahkan takhta kepada putranya yang bergelar Prabu Asrama tersebut.
Begawan Surata tidak pernah melupakan jasa Prabu Basukesti terhadap dirinya dulu. Sebagai
sesama keturunan Batara Wisnu, ia ingin sekali berbesan dengan Prabu Basukesti, yaitu melalui
pernikahan antara Prabu Asrama dengan Dewi Basuwati, putri sulung Kerajaan Wirata. Prabu
Basukesti sebenarnya setuju apabila putri sulungnya itu menjadi menantu Begawan Surata. Akan
tetapi, saat ini putri keduanya, yaitu Dewi Basutari sedang menghilang dan belum diketahui
keberadaannya. Untuk itu, Prabu Basukesti hanya dapat menerima pinangan Begawan Surata
namun belum dapat memutuskan kapan tanggal pernikahannya.
Begawan Surata dapat memaklumi permasalahan Prabu Basukesti. Ia pun menyarankan agar
putranya ikut membantu mencari hilangnya Dewi Basutari. Prabu Asrama menyanggupi permintaan
sang ayah dan bersiap hendak berangkat. Prabu Basukesti berterima kasih dan menawarkan
perjamuan kepada mereka. Namun, Prabu Asrama menolak secara halus dan memilih mohon pamit
berangkat saat itu juga.
Prabu Basukesti lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton bersama
Begawan Surata, di mana kedua permaisuri, yaitu Dewi Pancawati dan Dewi Sugandi telah
menunggu di gapura.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU ASRAMA BERTEMPUR MELAWAN PARA GANDARWA


Prabu Asrama telah berangkat memimpin pasukan Malawa untuk mencari hilangnya Dewi
Basutari. Ikut bergabung bersama mereka Patih Jayaloka dan Arya Sriati beserta sejumlah prajurit
Wirata.
Sementara itu, tersebutlah pemimpin para gandarwa penghuni Hutan Surateleng yang
bernama Gandarwa Janjatma. Dialah sebenarnya yang telah menculik Dewi Basutari untuk
dijadikan istri. Akan tetapi, sampai hari ini Dewi Basutari masih juga tidak mau melayani
keinginannya. Gandarwa Janjatma pun meminta bantuan adik-adiknya, yaitu Gandarwi Parupu dan
Gandarwi Prawi supaya membujuk Dewi Basutari. Namun, kedua gandarwa perempuan itu juga
tidak mampu membuat Dewi Basutari menerima cinta kakak mereka. Gandarwa Janjatma yang
kehilangan kesabaran lalu mengubah wujud Dewi Basutari menjadi sebentuk arca batu.
Pada saat itulah datang seorang prajurit gandarwa yang melaporkan bahwa, telah muncul
pasukan gabungan dari Malawa dan Wirata yang menggeledah Hutan Surateleng untuk mencari
Dewi Basutari. Gandarwa Janjatma sangat marah dan segera memimpin pasukannya untuk
memukul mundur pasukan tersebut.
Maka, terjadilah pertempuran antara pasukan gabungan Malawa dan Wirata yang terdiri dari
para manusia melawan pasukan gandarwa yang terdiri dari para makhluk halus tersebut. Dalam
pertempuran itu pihak gandarwa terdesak namun mereka mampu menghilang lenyap dari
pandangan Prabu Asrama dan pasukannya.
Setelah pertempuran berakhir, Arya Sriati mohon pamit memisahkan diri dari induk pasukan
untuk pergi ke Gunung Saptaarga meminta petunjuk ayahnya, yaitu Resi Manumanasa.

RESI MANUMANASA MERAMALKAN JODOH DEWI BASUTARI


Arya Sriati telah sampai di Gunung Saptaarga beramaan dengan Resi Manonbawa
(pamannya) yang datang dari Desa Gandara untuk mengunjungi Resi Manumanasa. Jika Arya Sriati
melaporkan tentang hilangnya Dewi Basutari, maka Resi Manonbawa menceritakan tentang
kepergian Bambang Manungkara, putra bungsunya.
Resi Manonbawa bercerita bahwa sebelum pergi, Bambang Manungkara pernah mengeluh
hanya dirinya saja keturunan Prabu Parikenan yang belum menikah, karena kakaknya, yaitu
Bambang Maneriya, serta sepupunya, yaitu Resi Satrukem, Arya Sriati, Resi Manumadewa, Resi
Dwapara, dan yang lain, semuanya telah berumah tangga. Resi Manonbawa menduga Bambang
Manungkara pergi meninggalkan Desa Gandara adalah untuk bertapa supaya bisa menemukan
siapa wanita yang tepat menjadi jodohnya.
Resi Manumanasa pun mengheningkan cipta setelah menerima kedua laporan tersebut.
Petunjuk dewata yang didapatkannya ialah, bahwa hilangnya Bambang Manungkara dari Gandara
dan Dewi Basutari dari Wirata sebenarnya saling berkaitan. Resi Manumanasa meramalkan bahwa
mereka berdua kelak akan menjadi suami-istri, sehingga hanya Bambang Manungkara saja yang
dapat menemukan hilangnya Dewi Basutari.
Untuk itu, Resi Manumanasa menyarankan kepada Arya Sriati jika ingin menemukan Dewi
Basutari, maka terlebih dahulu harus bisa menemukan di mana Bambang Manungkara bertapa.
Resi Manumanasa lalu memberikan petunjuk kepada putra keduanya itu agar berjalan ke arah timur,
karena di sanalah ia akan bertemu Bambang Manungkara. Arya Sriati pun mohon pamit
meninggalkan Gunung Saptaarga.

ARYA SRIATI BERJUMPA BAMBANG MANUNGKARA


Arya Sriati yang berjalan ke arah timur akhirnya sampai di Hutan Kumbara dan bertemu
Bambang Manungkara yang sedang bertapa. Ia pun membangunkan adik sepupunya itu dan
menceritakan tentang ramalan Resi Manumanasa, bahwa jodoh Bambang Manungkara adalah
Dewi Basutari, putri kedua Prabu Basukesti.
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Manungkara sangat senang mendengar pesan yang dibawa kakak sepupunya itu.
Ia lalu berangkat mencari Dewi Basutari sendirian, sedangkan Arya Sriati kembali ke Gunung
Saptaarga untuk melapor kepada Resi Manumanasa dan Resi Manonbawa.

BAMBANG MANUNGKARA MENGALAHKAN GANDARWA JANJATMA


Perjalanan Bambang Manungkara akhirnya sampai di Hutan Randualas. Di sana ia bertemu
kedua gandarwa wanita adik Gandarwa Janjatma, yaitu Gandarwi Prawi dan Gandarwi Parupu.
Kedua gandarwi itu tertarik melihat ketampanan Bambang Manungkara dan mereka pun bertengkar
memperebutkannya. Bambang Manungkara melerai keduanya dengan kata-kata manis dan berhasil
menenangkan mereka.
Pada saat itulah Gandarwa Janjatma datang dan melihat bagaimana kepandaian Bambang
Manungkara merayu kedua adiknya hingga mereka berhenti bertengkar. Ia pun tertarik dan minta
tolong kepada pemuda itu bagaimana caranya memikat perasaan perempuan yang disukainya, yaitu
Dewi Basutari.
Bambang Manungkara bersedia mengajari Gandarwa Janjatma asalkan diberi bayaran yang
pantas. Gandarwa Janjatma pun menyerahkan pusakanya yang bernama Minyak Manihara, yang
jika diusapkan kepada seseorang maka orang itu akan berubah menjadi arca batu. Bambang
Manungkara menerimanya tetapi dianggap masih kurang. Gandarwa Janjatma lalu menyerahkan
Minyak Muksala untuk mengembalikan arca batu tadi menjadi manusia. Bambang Manungkara
menerimanya dan menganggap itu pun masih kurang. Gandarwa Janjatma lalu menyerahkan Akar
Bayura yang berkhasiat bisa menampakkan tempat tinggal makhluk halus. Lagi-lagi Bambang
Manungkara mengaku masih kurang.
Gandarwa Janjatma yang semakin bernafsu lantas menyerahkan pusaka Kantong Arumba
untuk mengantongi segala benda. Bambang Manungkara tetap saja menjawab masih kurang. Maka,
Gandarwa Janjatma pun menyerahkan pusaka terakhirnya, yaitu Sela Mertyujiwa yang berbentuk
batu untuk mengalahkan makhluk halus. Begitu menerima pusaka yang terakhir tersebut, Bambang
Manungkara langsung memukulkannya di kepala Gandarwa Janjatma. Seketika Gandarwa
Janjatma roboh dan ia bertanya mengapa dirinya dipukul. Bambang Manungkara pun menjelaskan
bahwa dirinya adalah utusan Kerajaan Wirata yang ditugasi mencari Dewi Basutari.
Gandarwa Janjatma marah merasa dikhianati. Ia berusaha bangkit untuk melawan, namun
Bambang Manungkara segera mengusapnya dengan Minyak Manihara hingga membuat gandarwa
itu berubah menjadi arca batu. Gandarwi Prawi dan Gandarwi Parupu marah melihat kakak mereka
ditipu. Keduanya pun menyerang Bambang Manungkara. Namun, Bambang Manungkara menakut-
nakuti kedua gandarwi itu dengan Sela Mertyujiwa, membuat keduanya gentar dan melarikan diri.
Setelah keadaan aman, Bambang Manungkara berusaha mencari di mana Dewi Basutari
disembunyikan. Ia lalu memukuli pepohonan di sekitar situ dengan menggunakan Akar Bayura.
Seketika terlihatlah arca batu berwujud putri raja yang disembunyikan di dalam sebatang pohon.
Bambang Manungkara yakin kalau arca batu tersebut adalah perwujudan Dewi Basutari yang diubah
oleh Gandarwa Janjatma menggunakan Minyak Manihara.
Bambang Manungkara lalu mengusap arca batu itu menggunakan Minyak Muksala, sehingga
Dewi Basutari pun berubah kembali ke wujud manusia. Dewi Basutari sangat berterima kasih atas
bantuan Bambang Manungkara yang telah membebaskannya dari pengaruh sihir Gandarwa
Janjatma. Ia pun semakin senang setelah mengetahui bahwa pahlawan penolongnya ini ternyata
masih kerabat sendiri, yaitu putra kedua Resi Manonbawa dari Desa Gandara.
Bambang Manungkara lalu memasukkan patung penjelmaan Gandarwa Janjatma ke dalam
Kantong Arumba, kemudian mengajak Dewi Basutari meninggalkan Hutan Randualas, kembali ke
Kerajaan Wirata.

BAMBANG MANUNGKARA BERTEMU ROMBONGAN PRABU ASRAMA


Di tengah perjalanan, Bambang Manungkara dan Dewi Basutari bertemu pasukan gabungan
Wirata dan Malawa. Patih Jayaloka yang mengenali Dewi Basutari segera memberi tahu Prabu
Asrama. Tanpa banyak bertanya, Prabu Asrama langsung menyerang Bambang Manungkara
KITAB WAYANG PURWA

karena mengira pemuda itu adalah pelaku penculikan terhadap Dewi Basutari. Bambang
Manungkara pun melawan untuk membela diri, sehingga terjadilah pertarungan di antara mereka.
Pada saat itulah datang Arya Sriati bersama Resi Manonbawa dan langsung melerai mereka.
Arya Sriati menjelaskan bahwa Bambang Manungkara adalah adik sepupunya dan bukan penculik
Dewi Basutari. Dewi Basutari juga ikut membenarkan apa yang disampaikan Arya Sriati, bahwa
yang menculik dirinya adalah Gandarwa Janjatma yang saat ini telah berubah menjadi patung.
Prabu Asrama merasa malu dan segera meminta maaf atas kesalahpahaman tadi. Bambang
Manungkara pun memaafkan raja Malawa tersebut. Bersama-sama mereka lalu berangkat menuju
Kerajaan Wirata.

PRABU BASUKESTI MENGGELAR PERNIKAHAN


Prabu Basukesti dan Begawan Surata di Kerajaan Wirata sangat senang melihat Dewi
Basutari telah ditemukan dalam keadaan selamat. Ia pun bertanya kepada Bambang Manungkara
siapa pelaku penculikan putrinya. Bambang Manungkara lalu membuka Kantong Arumba dan
mengeluarkan patung penjelmaan Gandarwa Janjatma. Prabu Basukesti semakin penasaran dan
meminta Bambang Manungkara supaya mengembalikannya ke wujud semula.
Bambang Manungkara segera mengoleskan Minyak Muksala kepada patung tersebut.
Seketika patung itu berubah kembali menjadi Gandarwa Janjatma. Melihat keberadaan Bambang
Manungkara, Gandarwa Janjatma langsung mengamuk dan menyerangnya. Resi Manonbawa
segera turun tangan membantu putranya. Ia pun mengerahkan Aji Danurdara, membuat Gandarwa
Janjatma merasa lemas dan jatuh terkulai di tanah.
Gandarwa Janjatma mohon ampun kepada Prabu Basukesti atas segala kesalahannya
menculik Dewi Basutari. Prabu Basukesti pun mengampuninya, dengan syarat Gandarwa Janjatma
harus pergi sejauh-jauhnya dari wilayah Kerajaan Wirata. Gandarwa Janjatma menurut. Ia pun
undur diri meninggalkan tempat itu.
Dengan ditemukannya Dewi Basutari, maka permasalahan di Kerajaan Wirata telah
terselesaikan. Sesuai janjinya, Prabu Basukesti segera menyelenggarakan upacara pernikahan
putri sulungnya, yaitu Dewi Basuwati dengan Prabu Asrama, putra Begawan Surata.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Basukesti menikahkan pula Dewi Basutari dengan
pahlawan penolongnya, yaitu Bambang Manungkara. Selain itu, Bambang Manungkara juga
diangkat menjadi punggawa Kerajaan Wirata, bergelar Arya Manungkara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUTARA KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Basutara putra Prabu Basukesti dengan Dewi
Retnadi putri Resi Artaetu untuk mempersatukan sesama keturunan Batara Wisnu. Kisah
dilanjutkan dengan pelantikan Resi Artaetu sebagai raja Medang Kamulan yang baru
menggantikan Prabu Daneswara yang memberontak terhadap Kerajaan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 11 April 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUKESTI HENDAK MENIKAHKAN RADEN BASUTARA


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap Raden Basutara (putra mahkota), Patih Jayaloka,
Empu Purbageni, Arya Sriati, dan Arya Manungkara. Mereka sedang membicarakan mimpi Prabu
Basukesti bahwa Raden Basutara hendaknya dijodohkan dengan Dewi Retnadi, putri Resi Artaetu
dari Padepokan Andongsari.
Patih Jayaloka dan yang lain menyetujui apabila Prabu Basukesti mewujudkan mimpinya,
karena ini bisa menjadi sarana mendekatkan antarsesama keturunan Batara Wisnu. Prabu
Basukesti adalah putra Prabu Basupati, putra Prabu Basurata, putra Batara Wisnu. Sementara itu,
Resi Artaetu adalah putra Prabu Sriwahana, yang merupakan putra Prabu Sri Mahawan, putra Prabu
Sri Mahapunggung, putra Batara Wisnu.
Raden Basutara mematuhi kehendak sang ayah jika dirinya harus menikah dengan Dewi
Retnadi putri Resi Artaetu. Maka, Prabu Basukesti pun mengutus Arya Manungkara untuk
mendampingi Raden Basutara menyampaikan pinangan ke Padepokan Andongsari.
Setelah dirasa cukup, Prabu Basukesti lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam
kedaton, di mana kedua permaisuri, yaitu Dewi Pancawati dan Dewi Sugandi telah menunggu di
gapura.

DEWI RETNADI HILANG DARI PADEPOKAN ANDONGSARI


Sementara itu, Resi Artaetu di Padepokan Andongsari sedang dikunjungi adik-adiknya, yaitu
Resi Etudarma dari Andonggading dan Resi Darmahanara dari Andongpangukir, serta sepupu
mereka, yaitu Resi Sakra dari Andongdadapan. Mereka sedang membicarakan hilangnya Dewi
Retnadi, di mana Resi Artaetu sama-sekali tidak mendapatkan petunjuk tentang keberadaan
putrinya tersebut.
Pada saat itulah datang Raden Basutara bersama Arya Manungkara menyampaikan pinangan
untuk Dewi Retnadi. Resi Artaetu merasa gembira atas lamaran tersebut, namun ia tidak dapat
memberikan jawaban karena Dewi Retnadi saat ini telah hilang dari padepokan.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar calon istrinya menghilang, Raden Basutara pun menyanggupi untuk membantu
mencari. Ia segera mengajak rombongan mohon pamit meninggalkan padepokan tersebut.

PASUKAN WIRATA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN MEDANG KAMULAN


Dalam perjalanan mencari keberadaan Dewi Retnadi, rombongan Raden Basutara bertemu
sejumlah prajurit raksasa dari Kerajaan Medang Kamulan. Pemimpin rombongan itu bernama Ditya
Margana yang bertanya ke mana arah jalan menuju Gunung Saptaarga.
Arya Manungkara curiga mengapa para raksasa itu mencari Gunung Saptaarga, jangan-
jangan mereka hendak menyerang Resi Manumanasa dan Resi Satrukem. Ia pun menanyai para
raksasa itu. Namun, para raksasa justru marah dan menyerang Arya Manungkara. Maka, terjadilah
pertempuran di antara mereka. Banyak para prajurit raksasa yang tewas di tangan Arya Manungkara
dan Raden Basutara.
Ditya Margana akhirnya tertangkap oleh Arya Manungkara dan dipaksa menyebutkan
alasannya menuju Gunung Saptaarga. Raksasa itu menjawab bahwa ia diutus rajanya, yaitu Prabu
Daneswara untuk meminta ilmu pengasihan dari Resi Manumanasa. Ilmu pengasihan tersebut akan
digunakan untuk Dewi Retnadi yang saat ini disekap oleh Prabu Daneswara.
Karena Ditya Margana telah berterus terang, Arya Manungkara pun melepaskannya. Kini jelas
sudah kalau Dewi Retnadi menghilang dari padepokan adalah karena diculik Prabu Daneswara.
Raden Basutara pun mengajak Arya Manungkara untuk segera mempersiapkan pasukan
menggempur Kerajaan Medang Kamulan. Akan tetapi, Arya Manungkara tidak setuju. Ia
mengusulkan sebaiknya Raden Basutara meminta petunjuk kepada Resi Manumanasa saja tentang
bagaimana caranya membebaskan Dewi Retnadi tanpa harus menimbulkan banyak korban. Karena
jika Raden Basutara langsung menyerang Kerajaan Medang Kamulan dengan membawa banyak
prajurit, bisa-bisa Prabu Daneswara menjadikan Dewi Retnadi sebagai sandera. Tentunya ini akan
sangat berbahaya.
Raden Basutara setuju. Mereka lalu bersama-sama berangkat menuju ke Gunung Saptaarga.

RADEN BASUTARA MEMINTA BANTUAN RESI MANUMANASA


Sesampainya di Padepokan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga, Raden Basutara dan Arya
Manungkara disambut ramah oleh Resi Manumanasa beserta Resi Satrukem. Raden Basutara
segera menyampaikan permohonannya untuk dibantu membebaskan Dewi Retnadi, putri Resi
Artaetu dari Andongsari yang kini disekap Prabu Daneswara di Kerajaan Medang Kamulan.
Resi Manumanasa prihatin atas permasalahan yang dihadapi Raden Basutara. Ia pun
memerintahkan Resi Satrukem untuk membantu Raden Basutara menyusup ke istana Medang
Kamulan, sedangkan Arya Manungkara sebaiknya kembali ke Padepokan Andongsari dan
mempersiapkan pasukan di sana.
Resi Satrukem mematuhi perintah sang ayah. Ia lalu berangkat menemani Raden Basutara
menuju Kerajaan Medang Kamulan. Sementara itu, Arya Manungkara mohon pamit kembali ke
Andongsari dengan membawa pasukan Wirata untuk menghadapi serangan balasan dari pihak
Medang Kamulan.

RADEN BASUTARA MENCULIK DEWI RETNADI


Raden Basutara dan Resi Satrukem telah sampai di Kerajaan Medang Kamulan. Resi
Satrukem mengerahkan Aji Panglimunan sambil memegang tangan Raden Basutara, sehingga
wujud mereka berdua menjadi tidak terlihat. Keduanya lalu masuk ke dalam istana dan mengintai
pembicaraan Prabu Daneswara dan Patih Citradana.
Dalam pembicaraan itu, Prabu Daneswara mengutarakan kekesalannya karena sampai saat
ini Dewi Retnadi belum juga menerima cintanya. Untuk itu, ia terpaksa mengirim Ditya Margana ke
Gunung Saptaarga supaya meminta ilmu pengasihan kepada Resi Manumanasa, seorang pendeta
yang sangat terkenal. Akan tetapi, sampai sekarang Ditya Margana belum juga kembali.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah menguping pembicaraan tersebut, Resi Satrukem mengajak Raden Basutara


menyusup ke dalam kaputren tempat Dewi Retnadi disembunyikan. Sesampainya di sana, Resi
Satrukem segera melumpuhkan para penjaga, sedangkan Raden Basutara masuk menemui Dewi
Retnadi dan mengajaknya pergi meninggalkan istana Medang Kamulan.
Tidak lama kemudian, Prabu Daneswara datang pula ke kaputren dan ia terkejut melihat para
penjaga dalam keadaan pingsan sedangkan Dewi Retnadi telah lenyap pula. Ia sangat marah dan
segera mengajak Patih Citradana untuk mengejar para penyusup tersebut.

RADEN BASUTARA DIJODOHKAN DENGAN DEWI RETNADI


Raden Basutara dan Resi Satrukem telah sampai di Padepokan Andongsari untuk
mengembalikan Dewi Retnadi. Resi Artaetu sangat gembira dan menetapkan Raden Basutara
sebagai calon suami untuk putrinya itu.
Tidak lama kemudian Prabu Daneswara dan Patih Citradana datang membawa pasukan
Medang Kamulan untuk menggempur Padepokan Andongsari dan merebut Dewi Retnadi. Arya
Manungkara yang sudah bersiaga dengan para prajurit Wirata segera maju menghadapi serangan
tersebut.
Pertempuran sengit pun terjadi. Arya Manungkara yang bersenjatakan Minyak Manihara
dengan cekatan mengubah banyak prajurit Medang Kamulan menjadi patung batu. Prabu
Daneswara dan Patih Citradana terjun ke medan pertempuran, namun keduanya tewas di tangan
Resi Satrukem yang bersenjatakan panah Saradibya.

RESI ARTAETU MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata menyambut gembira keberhasilan Raden Basutara dalam
menemukan hilangnya Dewi Retnadi. Ia juga berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan
oleh Resi Satrukem, begitu pula kepada Arya Manungkara yang menjalankan tugasnya dengan baik.
Maka, pada hari yang ditentukan, diselenggarakanlah upacara pernikahan antara Raden Basutara
dan Dewi Retnadi yang dihadiri pula oleh Resi Artaetu, Resi Etudarma, Resi Darmahanara, dan Resi
Sakra.
Setelah Prabu Daneswara tewas, Kerajaan Medang Kamulan kini kosong tidak memiliki raja.
Kerajaan tersebut pada zaman dulu dipimpin oleh Sri Maharaja Purwacandra Cingkaradewa yang
dikalahkan oleh Brahmana Wisaka dari Tanah Hindustan. Brahmana Wisaka kemudian menjadi raja
bergelar Sri Maharaja Wisaka. Setelah Sri Maharaja Wisaka kembali ke Tanah Hindustan, takhta
Medang Kamulan diwarisi oleh muridnya, yaitu Prabu Sriwahana yang juga keturunan Batara Wisnu.
Prabu Sriwahana meninggal dunia saat putra-putranya masih kecil. Kerajaan Medang
Kamulan akhirnya menjadi kota mati karena tidak memiliki raja, hingga akhirnya dibangun kembali
oleh Prabu Daneswara tersebut. Kini Prabu Daneswara telah tewas. Prabu Basukesti merasa sangat
pantas apabila Kerajaan Medang Kamulan dipimpin oleh putra tertua Prabu Sriwahana, yaitu Resi
Artaetu.
Maka, pada hari yang dianggap baik, Prabu Basukesti pun melantik Resi Artaetu sebagai raja
Medang Kamulan yang baru, dengan bergelar Prabu Maheswara. Arya Manungkara juga
diperintahkan untuk mengembalikan wujud para prajurit Medang Kamulan yang telah diubahnya
menjadi patung batu. Arya Manungkara mematuhi perintah tersebut. Begitu kembali ke wujud
manusia, para prajurit itu segera memohon ampun. Prabu Basukesti pun memerintahkan mereka
untuk bersumpah setia mengabdi kepada Prabu Maheswara. Para prajurit tersebut mematuhi dan
sangat berterima kasih atas pengampunan yang diberikan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUKESTI SEDA
Kisah ini menceritakan meninggalnya Prabu Basukesti karena terkena tenung yang dikirimkan
oleh seorang pendeta raksasa bernama Resi Daksotama. Kisah dilanjutkan dengan pelantikan
Raden Basutara sebagai raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basukiswara.
Kisah ini saya perbaiki dari yang dulu pernah saya posting, dengan memadukan Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan Serat Pustakaraja
Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 20 Januari 2016
Heri Purwanto

Prabu Basukesti

PERKAWINAN RADEN BASUTARA DENGAN DEWI WASTU


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap putra mahkota Raden Basutara beserta para
menteri dan punggawa, antara lain Patih Jayaloka, Empu Purbageni, Arya Sriati, dan Arya
Manungkara. Mereka membahas rencana pernikahan Raden Basutara yang kedua setelah ditinggal
mati istrinya, yaitu Dewi Retnadi. Adapun Dewi Retnadi telah meninggal dunia ketika melahirkan
seorang putra yang diberi nama Raden Basuketi.
Kini, Prabu Basukesti telah meminang sepupu Dewi Retnadi sebagai calon istri Raden
Basutara, yaitu Dewi Wastu, putri Resi Etudarma dari Padepokan Andongsari. Adapun Padepokan
Andongsari dulunya adalah tempat tinggal Resi Artaetu (ayah mendiang Dewi Retnadi). Setelah
Resi Artaetu menjadi raja di Medang Kamulan, bergelar Prabu Maheswara, Padepokan Andongsari
pun ditempati oleh adiknya, yaitu Resi Etudarma tersebut.
Resi Etudarma pun telah membalas lamaran Prabu Basukesti yang pada intinya ia setuju
apabila putrinya menjadi istri Raden Basutara. Maka, pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah
rombongan pengantin pria menuju ke Padepokan Andongsari.
Upacara pernikahan antara Raden Basutara dan Dewi Wastu digelar sederhana. Selain Resi
Etudarma selaku tuan rumah, hadir pula dalam acara itu Prabu Maheswara, Resi Darmahanara, dan
juga Resi Sakra.

PRABU BASUKESTI BERTEMU RAKSASA HIJAU


Sebulan kemudian, Prabu Basukesti berkunjung ke Padepokan Andongsari untuk memboyong
putra dan menantunya ke istana. Yang ikut mendampingi dirinya adalah Patih Jayaloka dan Arya
Manungkara.
Resi Etudarma menyambut kedatangan besannya dengan ramah. Setelah dirasa cukup,
berangkatlah rombongan pengantin menuju ke Kerajaan Wirata. Adik pengantin putri yang bernama
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Wasita ikut serta karena ia ingin mengabdi di istana. Prabu Basukesti berkenan
menerimanya sebagai punggawa, dengan bergelar Arya Wasita.
Ketika rombongan pengantin baru tersebut sampai di Desa Granting, tiba-tiba muncul
sekelompok raksasa menghadang mereka. Pemimpin kawanan tersebut berwujud raksasa hijau
bernama Ditya Hinu, yang mengaku putra dari Resi Daksotama, seorang pendeta raksasa di
Gunung Kapanapanta. Adapun Resi Daksotama adalah putra Prabu Pratipaksa dari Kerajaan Tiswa
di tanah seberang. Prabu Pratipaksa ini masih keturunan dewa, yaitu putra Batara Yaksaka, atau
cucu Batara Kuwera.
Ditya Hinu sengaja menghadang rombongan Prabu Basukesti untuk menguji kesaktiannya.
Raksasa hijau itu bercerita bahwa di sekitar Gunung Kapanapanta tidak ada seorang pun yang
mampu mengalahkannya dalam adu kekuatan. Ia kemudian mendengar berita bahwa Kerajaan
Wirata dipimpin seorang raja yang memiliki kesaktian tinggi, bernama Prabu Basukesti. Maka itu, ia
pun bermaksud datang ke Wirata untuk menantang Prabu Basukesti adu kekuatan. Namun, karena
menurut kabar Prabu Basukesti sedang berada di Padepokan Andongsari untuk menjemput putra
dan menantu barunya, maka Ditya Hinu dan kawan-kawan pun memutuskan untuk menunggu di
Desa Granting.

DITYA HINU DIUBAH MENJADI ARCA BATU


Prabu Basukesti bertanya apa sebenarnya tujuan Ditya Hinu menantang banyak orang untuk
adu kekuatan. Apakah ia ingin memangsa mereka? Ditya Hinu menjawab bahwa itu tidak benar.
Menurutnya, bangsa raksasa terdiri atas lima golongan, yaitu raksasa hijau, putih, kuning, merah,
dan hitam. Golongan raksasa hijau seperti Ditya Hinu tidak memangsa manusia, begitu pula kaum
raksasa putih. Sementara itu, golongan raksasa kuning meskipun tidak memangsa manusia, tetapi
mereka suka mengganggu dan berbuat jahil. Adapun yang jahat dan suka memangsa manusia
adalah golongan raksasa merah dan hitam. Itulah sebabnya dahulu kala Batara Wisnu pernah
menitis kepada cucunya yang berwujud raksasa hitam, bernama Resi Wisnungkara. Tujuannya
ialah, Batara Wisnu ingin mengajarkan kebaikan kepada golongan raksasa merah dan hitam supaya
mereka tidak menjadi sampah dunia.
Prabu Basukesti menerima penjelasan Ditya Hinu. Ia pun memerintahkan para punggawanya
untuk bertanding adu kekuatan melawan raksasa hijau tersebut. Yang maju pertama adalah Gajah
Bajradenta, bekas pengikut Prabu Daneswara di Kerajaan Medang Kamulan dulu. Setelah adu
kekuatan beberapa jurus, Gajah Bajradenta tewas di tangan Ditya Hinu.
Prabu Basukesti lalu memerintahkan Ditya Margana yang juga bekas pengikut Prabu
Daneswara untuk maju menghadapi Ditya Hinu. Keduanya bertarung seru dan berakhir pula dengan
kematian Ditya Margana. Melihat sang pemimpin tewas, para prajurit raksasa Wirata pun maju
mengeroyok Ditya Hinu. Namun, justru mereka sendiri yang jatuh berguguran menghadapi kekuatan
raksasa hijau tersebut.
Ditya Hinu sangat senang karena bisa mengalahkan pasukan raksasa Kerajaan Wirata.
Dengan sikap sombong ia pun menantang Prabu Basukesti bertarung. Prabu Basukesti lalu melirik
dan berkedip ke arah Arya Manungkara. Sang menantu paham dan segera mempersiapkan
pusakanya, yaitu Minyak Manihara. Prabu Basukesti lalu maju menghadapi Ditya Hinu. Sebelum
bertanding ia berkata bahwa dirinya sudah tua, sehingga jika nanti ia kelelahan dan mundur, maka
Arya Manungkara yang akan maju melanjutkan pertarungan.
Ditya Hinu mengangguk setuju. Prabu Basukesti pun maju menghadapi raksasa hijau tersebut.
Pertarungan pun terjadi. Meskipun sudah tua, namun Prabu Basukesti masih cukup lincah dan
membuat kagum para prajurit yang melihatnya. Setelah belasan jurus, raja Wirata itu melompat
mundur, dan pada saat itulah Arya Manungkara menerjang secepat kilat lalu mengoleskan Minyak
Manihara ke tubuh Ditya Hinu. Seketika tubuh Ditya Hinu pun berubah menjadi arca batu akibat
serangan mendadak tersebut.
Melihat pemimpin mereka menjadi patung, para raksasa pengikut Ditya Hinu pun maju
mengamuk menyerang Arya Manungkara. Patih Jayaloka dan Arya Wasita segera maju membantu
menghadapi para raksasa tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Hampir semua raksasa itu
KITAB WAYANG PURWA

tewas atau menjadi patung. Satu-satunya yang selamat dan berhasil melarikan diri adalah Ditya
Drestaka, sahabat Ditya Hinu.
Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Basukesti pun memerintahkan para prajurit untuk
mengangkut patung raksasa penjelmaan Ditya Hinu tersebut menuju Kerajaan Wirata sebagai
pajangan di sana.

RESI DAKSOTAMA MENGIRIM TENUNG KE KERAJAAN WIRATA


Ditya Drestaka telah kembali ke Gunung Kapanapanta dan menghadap sang guru, yaitu Resi
Daksotama. Ia bercerita bahwa Ditya Hinu telah kalah bertarung melawan Prabu Basukesti raja
Wirata. Sebenarnya Resi Daksotama sangat kesal terhadap ulah Ditya Hinu yang sering berbuat
onar, suka menantang semua orang yang dijumpainya untuk adu kekuatan. Ia berharap semoga
kekalahan ini bisa membuat putranya sadar bahwa di dunia ini masih banyak orang lain yang lebih
kuat darinya.
Ditya Drestaka kecewa dan ia pun memanas-manasi gurunya agar turun tangan membalas
dendam kepada pihak Wirata. Ia berkata bahwa Ditya Hinu sekarang sudah tewas dan mayatnya
diubah menjadi patung batu untuk dijadikan tontonan di Kerajaan Wirata. Resi Daksotama sangat
terkejut mendengarnya. Ia pun termakan hasutan Ditya Drestaka dan kini menjadi sangat marah
terhadap orang-orang Wirata.
Resi Daksotama lalu mengeluarkan pusakanya yang berupa kalung mutiara, bernama Hurug
Mutrika. Setelah membaca mantra, dari pusaka tersebut keluar semacam tenung yang kemudian
dikirim menuju Kerajaan Wirata.

KEMATIAN PRABU BASUKESTI DAN PATIH JAYALOKA


Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata sama sekali tidak menyadari datangnya bahaya. Akibat
tenung yang dikirimkan Resi Daksotama, seketika terjadilah wabah penyakit melanda lingkungan
istana. Banyak para prajurit yang jatuh sakit dan meninggal dunia. Tidak terkecuali Prabu Basukesti
dan Patih Jayaloka juga ikut sakit tertular wabah tersebut.
Setelah dirawat beberapa hari, Prabu Basukesti dan Patih Jayaloka akhirnya meninggal dunia.
Seisi istana sangat sedih, terutama Raden Basutara sang putra mahkota yang sangat berduka. Arya
Manungkara yakin kalau wabah penyakit ini pasti ada hubungannya dengan Ditya Hinu. Ia lalu
meminta izin kepada Raden Basutara untuk mengembalikan wujud Ditya Hinu seperti sediakala
supaya bisa ditanyai. Raden Basutara mengizinkan.
Arya Manungkara segera mengusapkan Minyak Muksala pada patung batu perwujudan Ditya
Hinu tersebut. Seketika raksasa hijau itu pun kembali ke wujud asalnya. Ia melihat suasana
mencekam sedang menyelubungi istana Kerajaan Wirata dan ia pun mengatakan bahwa ini adalah
akibat tenung yang dikirim ayahnya, yaitu Resi Daksotama.
Merasa puas karena kekalahannya telah terbalas, Ditya Hinu pun melesat pergi secepat kilat
meninggalkan Kerajaan Wirata.

RADEN BASUTARA BERANGKAT MENYERANG GUNUNG KAPANAPANTA


Kini jelas sudah bahwa Prabu Basukesti dan Patih Jayaloka telah meninggal dunia akibat
perbuatan pengecut Resi Daksotama yang mengirim tenung. Ia pun memerintahkan Arya
Manungkara, Arya Sriati, dan Arya Wasita untuk mempersiapkan pasukan sebanyak-banyaknya
guna menyerbu Gunung Kapanapanta.
Raden Basutara lalu berpamitan kepada istrinya, yaitu Dewi Wastu yang kini sedang hamil,
bahwa ia akan pergi mengobrak-abrik Gunung Kapanapanta. Ia besumpah bahwa dirinya tidak mau
menjadi raja Wirata sebelum bisa mengalahkan Resi Daksotama.

RESI DAKSOTAMA MENYADARI KEKELIRUANNYA


Sementara itu, Resi Daksotama di Gunung Kapanapanta sangat gembira melihat Ditya Hinu
pulang dengan selamat. Kini ia merasa berdosa karena terlanjur percaya pada laporan Ditya
KITAB WAYANG PURWA

Drestaka bahwa putranya itu telah tewas dan mayatnya diubah menjadi patung untuk dipertontonkan
di istana Kerajaan Wirata. Akibat laporan tersebut, dirinya telah mengirim tenung yang
mengakibatkan Prabu Basukesti dan Patih Jayaloka meninggal dunia.
Ditya Drestaka datang melapor bahwa Raden Basutara dan pasukannya kini telah mengepung
Gunung Kapanapanta dan ia menjamin bahwa laporannya kali ini tidak mungkin salah. Ditya Hinu
sangat marah mendengarnya dan meminta izin kepada sang ayah untuk menghadapi serangan
tersebut. Resi Daksotama melarang dengan tegas. Ia tidak ingin peristiwa ini diperpanjang karena
hanya akan menjatuhkan banyak korban. Ia tidak ingin penduduk di sekitar Gunung Kapanapanta
yang tidak tahu apa-apa ikut tewas atau terluka jika perang ini benar-benar terjadi antara dirinya
melawan Raden Basutara.
Resi Daksotama pun menasihati Ditya Hinu agar tidak lagi mengumbar kesombongan, karena
terbukti putranya itu kalah melawan Arya Manungkara. Ditya Hinu pun menyadari kekeliruannya dan
ia berjanji tidak akan lagi menantang orang lain adu kekuatan. Setelah putranya berjanji demikian,
Resi Daksotama lalu mengheningkan cipta memohon kepada Yang Mahakuasa agar Gunung
Kapanapanta dihindarkan dari bencana peperangan.
Doa Resi Daksotama dikabulkan. Seketika terjadilah perubahan besar pada Raden Basutara
dan pasukannya. Tadinya mereka mengepung Gunung Kapanapanta, entah mengapa tiba-tiba saja
kini berubah menjadi mengepung istana Wirata.

RESI DAKSOTAMA MENYERAHKAN HURUG MUTRIKA


Selagi Raden Basutara dan pasukannya terheran-heran mengapa tiba-tiba mereka
mengepung istana sendiri, datanglah Resi Daksotama dan Ditya Hinu menyerahkan diri. Resi
Daksotama meminta maaf kepada Raden Basutara karena telah mengirimkan tenung yang
membuat Prabu Basukesti dan beberapa lainnya meninggal dunia. Di hadapan para prajurit Wirata
tersebut, Resi Daksotama menyatakan dirinya menyerah kalah kepada Raden Basutara.
Resi Daksotama lalu menarik kembali tenung yang menyelubungi istana Wirata dan
memasukkannya ke dalam kalung pusaka Hurug Mutrika. Sebagai tanda ketulusannya, ia pun
menyerahkan Hurug Mutrika kepada Raden Basutara. Sebenarnya Raden Basutara sangat marah
dan ingin menghukum mati Resi Daksotama. Akan tetapi, melihat ketulusan pendeta raksasa
tersebut ia menjadi luluh dan memaafkannya. Namun demikian, ia meminta supaya Resi Daksotama
dan Ditya Hinu meninggalkan Tanah Jawa karena jika melihat mereka bisa-bisa kenangan atas
kematian Prabu Basukesti bangkit kembali.
Resi Daksotama dan Ditya Hinu berterima kasih atas kemurahan hati Raden Basutara. Resi
Daksotama pun mendoakan semoga Raden Basutara bisa menjadi raja yang baik dan memimpin
Tanah Jawa dengan adil bijaksana. Setelah berkata demikian, Resi Daksotama dan Ditya Hinu
mohon pamit pergi meninggalkan mereka. Kedua ayah dan anak itu menyatakan bahwa mereka
akan kembali ke negeri asal-usul mereka, yaitu Kerajaan Tiswa di tanah seberang.

RADEN BASUTARA MENJADI RAJA WIRATA


Demikianlah, keadaan kini kembali aman dan tenteram. Pada hari yang dianggap baik, Raden
Basutara pun dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basukiswara. Sebagai menteri
utama untuk menggantikan Patih Jayaloka yang telah meninggal, Prabu Basukiswara pun menunjuk
sang kakak ipar, yaitu Arya Manungkara supaya menduduki jabatan tersebut.
Akan tetapi, Arya Manungkara menolak dengan halus. Ia merasa tidak pantas memegang
jabatan patih karena dirinya ikut bersalah telah mengubah Ditya Hinu menjadi patung. Akibatnya,
Resi Daksotama marah dan mengirimkan tenung ke istana Wirata. Atas kejadian itu, Arya
Manungkara merasa bahwa dirinya ikut berdosa menjadi penyebab kematian Prabu Basukesti dan
Patih Jayaloka.
Prabu Basukiswara lalu menunjuk Arya Sriati sebagai patih, namun Arya Sriati juga merasa
keberatan. Arya Sriati dan Arya Manungkara lalu mengusulkan agar Arya Wasita saja yang diangkat
sebagai patih. Arya Wasita merasa segan karena dirinya adalah punggawa baru di Kerajaan Wirata.
KITAB WAYANG PURWA

Namun, Prabu Basukiswara mendesak adik iparnya itu sehingga akhirnya bersedia menerima
jabatan tersebut. Maka, sejak hari itu, Arya Wasita pun berganti gelar menjadi Patih Wasita.
Beberapa hari setelah Prabu Basukiswara menjadi raja, Dewi Wastu melahirkan seorang bayi
laki-laki. Prabu Basukiswara pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Basuketu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SAKRI SRAYA
Kisah ini menceritakan masa remaja Bambang Sakri yang menjadi jago Kahyangan Suralaya
menghadapi Prabu Kunjanakresna raja raksasa dari Manimantaka. Bambang Sakri lalu
mendapatkan gelar Batara Sakri, dan ini pertama kalinya seorang manusia memakai gelar seperti
dewa. Kisah ini saya perbaiki dari postingan terdahulu dengan judul yang sama, berdasarkan
sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan
sedikit pengembangan.
Kediri, 23 Januari 2016
Heri Purwanto

Bambang Sakri

BAMBANG DANADEWA DAN BAMBANG KINTAKA MENJADI PUNGGAWA WIRATA


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wasita, Arya Sriati, dan Arya
Manungkara. Mereka sedang membicarakan rencana pembangunan taman sari di Kota
Medangkawuri atau Wirata Lama. Patih Wasita pun ditunjuk sebagai pemimpin pembangunan
taman tersebut.
Tidak lama kemudian datanglah dua orang laki-laki yang bernama Bambang Danadewa dan
Bambang Kintaka. Mereka memohon agar diterima mengabdi menjadi punggawa di Kerajaan
Wirata. Bambang Danadewa adalah putra Resi Artaetu, atau adik mendiang Dewi Retnadi. Dengan
demikian, ia merupakan adik ipar Prabu Basukiswara. Meskipun Resi Artaetu kini telah menjadi raja
Medang Kamulan dan bergelar Prabu Maheswara, namun Bambang Danadewa tidak bersedia
diangkat menjadi putra mahkota di sana. Ia memohon kepada sang ayah agar diizinkan mengabdi
kepada Prabu Basukiswara saja. Ia mengaku telah bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa di
Kerajaan Wirata ia akan mendapat lebih banyak pengalaman berharga daripada tinggal di Medang
Kamulan. Prabu Maheswara pun mengizinkannya berangkat.
Dalam perjalanan menuju Kerajaan Wirata, Bambang Danadewa bertemu Bambang Kintaka
yang juga ingin mengabdi kepada Prabu Basukiswara. Adapun Bambang Kintaka adalah putra
bungsu Resi Sakra di Padepokan Andongdadapan, atau adik dari Wasi Kistira. Sedangkan Resi
Sakra adalah adik sepupu Prabu Maheswara. Dengan demikian, Bambang Danadewa dan
Bambang Kintaka adalah saudara sepupu tingkat dua.
Prabu Basukiswara menerima pengabdian mereka berdua. Keduanya pun diangkat sebagai
punggawa, yang mana masing-masing diberi gelar Arya Danadewa dan Arya Kintaka. Tugas
pertama untuk mereka adalah membantu Patih Wasita membangun taman sari di Kota
Medangkawuri.
KITAB WAYANG PURWA

ARYA MANUNGKARA MENJADI JAGO KAHYANGAN


Setelah Patih Wasita, Arya Danadewa, dan Arya Kintaka berangkat melaksanakan tugas, tiba-
tiba datang Batara Wrehaspati yang diutus Batara Indra untuk meminta bantuan kepada Prabu
Basukiswara. Batara Wreshaspati bercerita bahwa saat ini Kahyangan Suralaya sedang dikepung
musuh raksasa dari Kerajaan Manimantaka. Awal mulanya ialah datang utusan dari negeri tersebut
yang bernama Patih Hiranyaka. Ia datang untuk melamar bidadari tercantik, yaitu Batari Supraba
sebagai istri rajanya yang bernama Prabu Kunjanakresna. Hal ini karena Prabu Kunjanakresna
adalah keturunan Batara Wisnu, sehingga ia merasa pantas jika memiliki istri bidadari.
Batara Indra teringat bahwa Prabu Kunjanakresna dulunya adalah raja Dwarawatiprawa yang
kemudian pindah ke Tirtakadasar, di mana ia dan ayahnya yang bernama Begawan Mangkara
pernah mengejar-ngejar Batari Ganggastini, putri Batara Ganggastana. Batari Ganggastini akhirnya
bisa diselamatkan oleh Wasi Kistira, putra Resi Sakra. Dalam pertempuran itu Begawan Mangkara
tewas dan Prabu Kunjanakresna melarikan diri.
Ternyata Prabu Kunjanakresna kini telah menjadi raja Manimantaka dan ia masih melanjutkan
niatnya untuk memperistri bidadari. Batara Indra pun menolak lamaran tersebut, meskipun Patih
Hiranyaka mengancam akan mengepung kahyangan. Tak disangka, Patih Hiranyaka ternyata
sangat sakti dan tidak ada seorang pun dewa yang dapat mengalahkannya.
Batara Indra lalu memerintahkan Batara Wrehaspati untuk meminta bantuan Arya
Manungkara, kakak ipar Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata sebagai jago kahyangan. Itu karena
Arya Manungkara memiliki pusaka Minyak Manihara yang dapat digunakan untuk mengalahkan
Patih Hiranyaka.
Arya Manungkara pun menyanggupi hal itu dan ia mohon izin kepada Prabu Basukiswara
untuk segera berangkat membantu Kahyangan Suralaya. Prabu Basukiswara mengizinkan dan ia
pun menyertakan pula satu pasukan untuk membantu Arya Manungkara.

ARYA MANUNGKARA MENGALAHKAN PATIH HIRANYAKA


Arya Manungkara dan pasukannya telah tiba di Kahyangan Suralaya dan segera terjun ke
medan pertempuran menghadapi pasukan raksasa Manimantaka. Pertempuran sengit pun terjadi.
Arya Manungkara banyak membunuh musuh raksasa dengan mengubah wujud mereka menjadi
arca batu menggunakan Minyak Manihara.
Patih Hiranyaka maju menghadapinya. Setelah bertempur sekian lama, Arya Manungkara
akhirnya berhasil pula mengubah patih raksasa itu menjadi arca batu. Melihat pemimpinnya kalah,
para prajurit raksasa pun berhamburan dan sebagian melarikan diri kembali ke Kerajaan
Manimantaka.

PRABU KUNJANAKRESNA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Prabu Kunjanakresna di Kerajaan Manimantaka dihadap putranya yang bernama Ditya
Mercukalakresna, seorang raksasa muda. Ditya Mercukalakresna bertanya mengapa sang ayah
bersikeras ingin menikahi bidadari, padahal dulu sudah gagal menikah dengan Batari Ganggastini.
Prabu Kunjanakresna menjawab bahwa dirinya adalah keturunan Batara Wisnu, dewa paling sakti,
sehingga sangat pantas apabila memiliki istri seorang bidadari.
Ditya Mercukalakresna memohon kepada sang ayah agar menghentikan niat tersebut karena
semalam ia bermimpi buruk, bahwa sang ayah tenggelam saat menyeberangi lautan. Prabu
Kunjanakresna bukannya gentar tapi justru marah mendengar saran putranya tersebut. Ia menuduh
Ditya Mercukalakresna mengarang cerita mimpi segala hanya untuk mencegah niatnya memperistri
bidadari. Prabu Kunjanakresna juga menuduh putranya itu cemburu apabila kelak memiliki adik yang
lahir dari bidadari. Ditya Mercukalakresna memohon ampun dan sama sekali tidak ada niat seperti
itu. Dengan tulus hati ia berkata bahwa dirinya sangat menyayangi Prabu Kunjanakresna dan tidak
ingin ayahnya itu mengalami musibah akibat cita-cita yang terlalu tinggi.
KITAB WAYANG PURWA

Pada saat itulah datang Ditya Sangkreta yang kembali dari Kahyangan Suralaya. Ia
melaporkan bahwa Patih Hiranyaka saat ini telah dikalahkan oleh jago Batara Indra yang bernama
Arya Manungkara, dan tubuhnya pun telah diubah menjadi patung.
Prabu Kunjanakresna sangat marah mendengar laporan tersebut. Ia pun bergegas
menggempur Kahyangan Suralaya.

PRABU KUNJANAKRESNA MENGALAHKAN ARYA MANUNGKARA


Prabu Kunjanakresna telah sampai di Kahyangan Suralaya dan dihadang Arya Manungkara
beserta pasukan yang ia pimpin. Pertempuran sengit pun terjadi di antara mereka. Kali ini giliran
Arya Manungkara yang terdesak. Tubuhnya ditangkap Prabu Kunjanakresna dan pusakanya berupa
Minyak Manihara dan Minyak Muksala berhasil direbut oleh raja raksasa tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Batara Narada yang segera menolong Arya Manungkara dan
membawanya berlindung di balik dinding Kahyangan Suralaya.
Batara Indra menyambut kedatangan Batara Narada dengan penuh hormat. Batara Narada
mengaku dikirim Batara Guru dari Kahyangan Jonggringsalaka untuk menyampaikan pesan, bahwa
yang bisa mengalahkan Prabu Kunjanakresna adalah cucu Resi Manumanasa yang bernama
Bambang Sakri. Setelah menyampaikan pesan tersebut, Batara Narada lalu berangkat menuju ke
Gunung Saptaarga.

BATARA NARADA MENJEMPUT BAMBANG SAKRI


Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga sedang dihadap putra sulungnya, yaitu Resi
Satrukem beserta Janggan Smara dan Putut Supalawa. Tidak lama kemudian datanglah Batara
Narada yang membawa pesan dari Batara Guru untuk meminjam Bambang Sakri putra Resi
Satrukem sebagai jago Kahyangan Suralaya menghadapi serangan Prabu Kunjanakresna.
Resi Manumanasa agak keberatan karena cucunya itu masih berusia lima belas tahun dan
dianggap terlalu muda untuk menjadi jago para dewa. Batara Narada pun mengingatkan bahwa
Batara Guru tidak mungkin salah memilih jago. Bukankah dulu Resi Manumanasa semasa muda
juga pernah bertanding di kahyangan melawan Prabu Kuramba dari Pringgadani? Bukankah Resi
Satrukem semasa bayi dalam bungkus juga pernah dibawa ke kahyangan untuk menumpas Prabu
Kalimantara dari Nusarukmi?
Resi Manumanasa dan Resi Satrukem merasa ucapan Batara Narada tidak salah. Maka,
mereka pun merelakan Bambang Sakri dibawa naik ke Kahyangan Suralaya dengan disertai
Janggan Smara.

BAMBANG SAKRI MENGALAHKAN PRABU KUNJANAKRESNA


Sesampainya di Kahyangan Suralaya, Batara Narada menghadapkan Bambang Sakri kepada
Batara Indra. Batara Indra lalu membisikkan ilmu kesaktian di telinga Bambang Sakri dan membekali
pemuda itu dengan senjata berupa Besi Brahmakadali. Bambang Sakri pun mohon pamit berangkat
menghadapi musuh. Sesampainya di luar gerbang kahyangan, Bambang Sakri segera bertempur
melawan Prabu Kunjanakresna. Setelah bertarung agak lama, Bambang Sakri akhirnya berhasil
memukul kepala raja raksasa itu menggunakan Besi Brahmakadali hingga hancur berantakan.
Patih Hiranyaka yang telah dipulihkan wujudnya oleh Prabu Kunjanakresna menggunakan
Minyak Muksala segera menyerahkan diri dan memohon ampun kepada Batara Indra. Ia pun
mengembalikan Minyak Manihara dan Minyak Muskala yang tadi telah direbut oleh Prabu
Kunjanakresna. Batara Indra pun menerima kedua pusaka itu dan menyerahkan kepada pemiliknya,
yaitu Arya Manungkara.
Batara Indra lalu bertanya bagaimana awal mulanya Prabu Kunjanakresna bisa menjadi raja
Manimantaka. Patih Hiranyaka menjawab bahwa dulunya Prabu Kunjanakresna adalah raja raksasa
dari Kerajaan Dwarawatiprawa yang kemudian pindah ke Tirtakadasar. Setelah ayahnya yang
bernama Begawan Mangkara tewas di tangan Wasi Kistira, Prabu Kunjanakresna pun
meninggalkan Kerajaan Tirtakadasar untuk mengungsi ke Kerajaan Manimantaka.
KITAB WAYANG PURWA

Raja Manimantaka saat itu adalah Prabu Kalakanda yang memiliki dua istri, yaitu Dewi Rukmi
dan Dewi Mayi. Dewi Rukmi adalah putra Prabu Kalarukma dari Kerajaan Kasipura yang masih
keturunan Prabu Hiranyakasipu. Dewi Rukmi ini adalah ibu kandung Ditya Hiranyaka. Sementara
itu, Dewi Mayi adalah adik kandung Begawan Mangkara yang melahirkan Ditya Martikawata, yang
kini telah menjadi pendeta di Padepokan Ima-ima. Dengan demikian, Prabu Kunjanakresna adalah
keponakan istri kedua Prabu Kalakanda.
Setelah Prabu Kalakanda meninggal, takhta Kerajaan Manimantaka diduduki oleh Prabu
Kunjanakresna. Ditya Hiranyaka selaku putra sulung Prabu Kalakanda yang seharusnya menjadi
ahli waris takhta rela dijadikan sebagai patih asalkan bisa menikah dengan Dewi Sasmreti, adik
kandung Prabu Kunjanakresna. Prabu Kunjanakresna pun mengabulkan permintaan itu.
Mendengar cerita Patih Hiranyaka, Batara Indra mengampuninya dan mengizinkan ia menjadi
raja Manimantaka menggantikan Prabu Kunjanakresna yang telah tewas. Patih Hiranyaka sangat
berterima kasih dan segera mohon pamit kembali ke negerinya dengan membawa jasad Prabu
Kunjanakresna.

BAMBANG SAKRI MENDAPAT GELAR BATARA


Batara Indra berterima kasih atas bantuan Bambang Sakri menumpas Prabu Kunjanakresna.
Bambang Sakri pun mendapat bermacam-macam hadiah, serta diizinkan memakai gelar Batara
Sakri seperti gelar para dewa.
Setelah mendapatkan perjamuan dari para bidadara dan bidadari, Batara Sakri pun kembali
ke Gunung Saptaarga dengan diantarkan oleh Batara Narada serta Arya Manungkara dan Janggan
Smara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

HIRANYAKA GUGUR
Kisah ini menceritakan peperangan antara Prabu Basukiswara raja Wirata melawan Prabu
Hiranyaka raja Manimantaka. Setelah Prabu Hiranyaka tewas, takhta diwarisi oleh
keponakannya, yang bergelar Prabu Mityakarda, di mana Kerajaan Manimantaka diganti
namanya menjadi Ima-imantaka.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 24 Januari 2016
Heri Purwanto

PRABU HIRANYAKA HENDAK MENYERANG GUNUNG SAPTAARGA


Setelah Prabu Kunjanakresna tewas dalam pertempuran di Kahyangan Suralaya, adik iparnya
yaitu Patih Hiranyaka menyerahkan diri kepada Batara Indra. Ia mendapat pengampunan dan
diizinkan menjadi raja di Manimantaka menggantikan Prabu Kunjanakresna.
Patih Hiranyaka kini telah berganti gelar menjadi Prabu Hiranyaka. Pada suatu hari datanglah
adik tirinya, yaitu Resi Martikawata dari Padepokan Ima-ima. Kedatangan Resi Martikawata adalah
untuk menagih janji Prabu Hiranyaka tentang perjodohan putra-putri mereka. Dahulu istri Prabu
Hiranyaka, yaitu Dewi Sasmreti (adik Prabu Kunjanakresna) pernah mengusulkan agar kedua
putrinya yang bernama Dewi Mastura dan Dewi Kanaka dinikahkan dengan sepupu-sepupu mereka.
Dewi Mastura hendaknya dinikahkan dengan Ditya Mercukalakresna putra Prabu Kunjanakresna,
sedangkan Dewi Kanaka hendaknya dinikahkan dengan Ditya Mityakarda putra Resi Martikawata.
Prabu Hiranyaka yang kala itu masih menjabat sebagai patih berjanji akan mewujudkan usulan
istrinya tersebut.
Kini Dewi Sasmreti telah meninggal dan Patih Hiranyaka juga sudah menjadi raja. Resi
Martikawata datang untuk menagih janji tersebut. Prabu Hiranyaka mengaku tidak lupa. Namun, ia
belum bisa menikahkan mereka semua karena masih menyimpan dendam kepada Batara Sakri
yang telah membunuh Prabu Kunjanakresna. Setelah dendam tersebut bisa terbalaskan, barulah
Prabu Hiranyaka bersedia menikahkan kedua putrinya.
Resi Martikawata menasihati kakaknya agar tidak terlalu menuruti dendam. Bahkan, Prabu
Hiranyaka sebaiknya bersyukur karena mendapatkan pengampunan dari Batara Indra dan bisa
menduduki takhta Kerajaan Manimantaka. Jika hanya menuruti dendam maka tidak akan pernah
ada habisnya. Lagipula Batara Sakri membunuh Prabu Kunjanakresna juga semata-mata
melaksanakan tugas dari para dewa, bukan atas kehendaknya pribadi.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Hiranyaka marah menuduh Resi Martikawata pengecut dan tidak memiliki rasa belas
kasih kepada saudara. Kedua kakak beradik itu lalu bertengkar. Resi Martikawata akhirnya pulang
ke Padepokan Ima-ima dengan perasaan kecewa.
Prabu Hiranyaka tidak peduli pada nasihat adik tirinya itu. Ia pun memerintahkan punggawa
raksasa bernama Ditya Mahadiyu untuk memimpin pasukan menyerang Gunung Saptaarga dan
menculik Batara Sakri. Entah bagaimana caranya, Ditya Mahadiyu harus bisa menangkap Batara
Sakri dan membawanya hidup-hidup ke Kerajaan Manimantaka, karena Prabu Hiranyaka ingin
membunuh pemuda itu dengan tangannya sendiri. Prabu Hiranyaka berjanji akan mengangkat Ditya
Mahadiyu sebagai patih apabila berhasil memenuhi tugas ini.
Ditya Mahadiyu menyanggupi dan ia pun mohon pamit berangkat menuju ke Gunung
Saptaarga.

DITYA MAHADIYU JATUH DI HUTAN MANAHILAN


Ditya Mahadiyu bersama pasukan raksasa yang dipimpinnya telah sampai di kaki Gunung
Saptaarga dan mengacau pedesaan. Mereka didatangi oleh pengikut Resi Manumanasa yang
bernama Putut Supalawa si kera putih. Mengetahui para raksasa itu berniat jahat, yaitu hendak
menculik Batara Sakri, Putut Supalawa pun mengamuk berusaha menumpas mereka. Terjadilah
pertempuran sengit. Para raksasa itu banyak yang tewas di tangan sang kera putih.
Namun, jumlah prajurit raksasa itu sangat banyak. Mereka bersama-sama mengeroyok Putut
Supalawa, membuat kera putih itu merasa kewalahan. Mengetahui peristiwa ini, Janggan Smara
segera melapor kepada Resi Manumanasa. Untuk mencegah korban jatuh semakin banyak, Resi
Manumanasa segera mengheningkan cipta, memohon pertolongan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba
muncullah angin besar yang menghempaskan para raksasa itu sehingga semuanya terlempar jauh
hingga jatuh di Hutan Manahilan.
Ditya Mahadiyu dan pasukannya merasa kecewa telah gagal memenuhi tugas. Karena takut
kembali ke Kerajaan Manimantaka, mereka pun berkemah di dalam Hutan Manahilan untuk
memulihkan kekuatan.

PRABU BASUKISWARA MENINJAU TAMAN MALDEWA


Sementara itu, Prabu Basukiswara raja Wirata sedang meninjau tamansari baru di Kota
Medangkawuri (Wirata lama) yang dibangun oleh Patih Wasita bersama Arya Danadewa dan Arya
Kintaka. Pembangunan tamansari tersebut telah selesai dan Prabu Basukiswara sangat senang
melihat hasilnya. Prabu Basukiswara pun memberinya nama Taman Maldewa.
Dalam perjalanan pulang menuju ke Wirata, rombongan Prabu Basukiswara bertemu seorang
laki-laki tua yang mengaku bernama Buyut Karsula dari Desa Sabara. Orang tua itu sangat
ketakutan dan melapor kepada Prabu Basukiswara bahwa desanya baru saja diobrak-abrik
kawanan raksasa dari Hutan Manahilan. Banyak penduduk desa dan hewan ternak yang mati
dimangsa oleh para raksasa beringas tersebut.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar ada penjahat berani mengganggu keamanan
rakyatnya. Ia pun memimpin langsung pasukan untuk menumpas para raksasa di Hutan Manahilan
tersebut.

PASUKAN DITYA MAHADIYU DITUMPAS PRABU BASUKISWARA


Prabu Basukiswara dan pasukannya telah sampai di Hutan Manahilan dan segera
menggempur perkemahan para raksasa dari Kerajaan Manimantaka itu. Ditya Mahadiyu dan
pasukannya memberikan perlawanan. Pertempuran sengit pun terjadi. Banyak prajurit raksasa yang
berubah menjadi arca batu akibat terkena Minyak Manihara milik Arya Manungkara.
Ditya Mahadiyu maju menghadapi Arya Manungkara. Arya Manungkara yang sudah kelelahan
tidak mampu mengalahkan pemimpin raksasa tersebut. Arya Danadewa segera maju membantu,
namun Ditya Mahadiyu tetap sulit untuk dikalahkan.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basukiswara memerintahkan kedua punggawanya itu mundur. Secepat kilat ia


melemparkan kalung pusaka Hurug Mutrika yang tepat menghantam dada Ditya Mahadiyu.
Pemimpin raksasa itu pun tewas seketika. Sisa-sisa prajuritnya yang masih hidup merasa ngeri dan
berlarian meninggalkan Hutan Manahilan.

BUYUT KARSULA BERTEMU ANAKNYA


Salah seorang raksasa pengikut Ditya Mahadiyu ada yang berwujud cebol dan tidak ikut kabur
bersama teman-temannya, melainkan menyerah kepada Prabu Basukiswara. Raksasa cebol itu
mengaku bernama Ditya Aswapangga, perawat kuda para raksasa tersebut.
Prabu Basukiswara penasaran dan menanyai asal-usul raksasa cebol tersebut. Ditya
Aswapangga pun bercerita bahwa ia berasal dari Gunung Kandaka, putra Resi Mudita. Sebelum
meninggal dunia, Resi Mudita sempat bercerita bahwa Ditya Aswapangga bukan anak kandungnya,
melainkan putra Buyut Karsula dari Desa Sabara.
Awal mulanya ialah istri Buyut Karsula melahirkan anak berwujud segumpal daging. Buyut
Karsula merasa malu dan berniat membuang gumpalan daging itu ke sungai. Kebetulan Resi Mudita
sedang beristirahat di tepi sungai sambil memberi minum kudanya. Melihat hal itu, Resi Mudita
segera mencegahnya dan ia pun meminta gumpalan daging tersebut dari tangan Buyut Karsula.
Resi Mudita lalu membawanya pulang ke Gunung Kandaka, sedangkan Buyut Karsula kembali ke
Desa Sabara.
Sesampainya di Gunung Kandaka, Resi Mudita bertapa agar bisa meruwat gumpalan daging
tersebut. Atas izin Yang Mahakuasa, gumpalan daging itu akhirnya berubah menjadi bayi raksasa
yang diberi nama Aswapangga. Aswa artinya “kuda”, sedangkan pangga artinya “minum”. Sengaja
Resi Mudita memberi nama demikian karena ia mendapatkan gumpalan daging tersebut pada saat
memberi minum kudanya di tepi sungai.
Ditya Aswapangga pun diasuh Resi Mudita bagaikan anak sendiri dan juga diajari berbagai
macam ilmu kesaktian. Menjelang ajalnya tiba, barulah Resi Mudita bercerita kalau Ditya
Aswapangga sebenarnya adalah anak kandung Buyut Karsula. Namun, Resi Mudita menasihati
agar Ditya Aswapangga mengabdi kepada Ditya Mahadiyu di Hutan Manahilan, karena jika langsung
menemui Buyut Karsula bisa-bisa membuat takut warga Desa Sabara.
Demikianlah, Ditya Aswapangga diterima oleh Ditya Mahadiyu dan ditugasi menjadi perawat
kuda-kuda tunggangan para raksasa di Hutan Manahilan. Di kala malam, Ditya Aswapangga juga
diperintahkan untuk memeragakan ilmu kesaktiannya untuk menghibur para raksasa. Antara lain,
Ditya Aswapangga mampu berubah menjadi tinggi besar ataupun menjadi kecil seperti jerami.
Prabu Basukiswara terkesan mendengar cerita Ditya Aswapangga dan kemudian
menyerahkan raksasa itu kepada Buyut Karsula. Buyut Karsula pun menerima Ditya Aswapangga
dengan perasaan haru. Ia sangat bahagia putranya yang dulu terlahir dalam wujud gumpalan daging
kini telah tumbuh dewasa.
Buyut Karsula sangat berterima kasih kepada Prabu Basukiswara. Ia lalu mohon pamit
kembali ke Desa Sabara bersama Ditya Aswapangga. Prabu Basukiswara dan pasukannya pun
melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Wirata.

PRABU HIRANYAKA MENYERANG KERAJAAN WIRATA


Prabu Hiranyaka di Kerajaan Manimantaka mendapatkan laporan dari para prajuritnya yang
selamat bahwa Ditya Mahadiyu telah tewas di Hutan Manahilan di tangan Prabu Basukiswara. Raja
raksasa itu sangat marah dan mempersiapkan seluruh pasukan untuk menggempur Kerajaan
Wirata. Untuk sementara, urusan dendam kepada Batara Sakri ditunda terlebih dahulu.
Prabu Hiranyaka dan pasukannya telah tiba di Kerajaan Wirata. Pertempuran sengit pun
terjadi. Prabu Hiranyaka mengerahkan Aji Kemayan membuat langit di atas Kota Wirata seketika
gelap gulita. Para penduduk ibu kota ketakutan dan merasa sangat ngeri.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basukiswara segera turun tangan mengerahkan Aji Dipa, membuat langit kembali
cerah. Ia kemudian melemparkan pusaka Hurug Mutrika yang menghantam kepala Prabu Hiranyaka
hingga pecah.

RESI MARTIKAWATA MENYERAHKAN DIRI KEPADA PRABU BASUKISWARA


Tidak lama kemudian, Resi Martikawata datang dari Padepokan Ima-ima untuk menyerahkan
diri. Ia memohon agar Prabu Basukiswara mengampuni para prajurit raksasa yang masih hidup dan
juga tidak menyerang balik Kerajaan Manimantaka karena akan banyak rakyat yang tidak berdosa
turut menjadi korban.
Prabu Basukiswara terkesan melihat sikap bijaksana Resi Martikawata dan bertanya tentang
asal-usul pendeta raksasa tersebut. Resi Martikawata pun menjawab bahwa dirinya adalah adik tiri
Prabu Hiranyaka. Mereka sama-sama putra Prabu Kalakanda raja Manimantaka sebelumnya, tetapi
beda ibu. Prabu Hiranyaka lahir dari Dewi Rukmi, sedangkan dirinya lahir dari Dewi Mayi. Adapun
Dewi Rukmi adalah putra Prabu Kalarukma dari Kerajaan Kasipura yang masih keturunan Prabu
Hiranyakasipu, sedangkan Dewi Mayi adalah putri Prabu Kalakresna raja Dwarawatiprawa yang
masih keturunan Batara Wisnu.
Prabu Basukiswara pun mengabulkan permintaan Resi Martikawata untuk tidak menyerang
balik Kerajaan Manimantaka. Bahkan, Resi Martikawata juga diizinkan menduduki takhta negeri
tersebut. Namun, Resi Martikawata tidak bersedia karena ia ingin menghabiskan sisa hidupnya
untuk bertapa di tempat sepi. Ia mengusulkan agar putranya saja yang bernama Ditya Mityakarda
yang menggantikan sebagai raja Manimantaka. Prabu Basukiswara pun menerima usulan tersebut.
Resi Martikawata juga meminta izin untuk menikahkan putra dan keponakannya, yaitu Ditya
Mityakarda dan Ditya Mercukalakresna dengan kedua putri mendiang Prabu Hiranyaka, yaitu Dewi
Mastura dan Dewi Kanaka, sesuai wasiat ibu mereka, yaitu Dewi Sasmreti dahulu. Prabu
Basukiwara yang sudah menganggap Resi Martikawata sebagai teman pun mengizinkannya.
Maka, pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Ditya
Mityakarda dengan Dewi Kanaka, sedangkan Ditya Mercukalakresna dengan Dewi Mastura.
Setelah itu, Ditya Mityakarda dilantik menjadi raja Manimantaka, sedangkan Ditya Mercukalakresna
membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Dwarawatiprawa.
Resi Martikawata merasa lega. Ia pun pergi bertapa ke tengah hutan untuk menghabiskan
sisa hidupnya. Putranya yang kini bergelar Prabu Mityakarda lalu menggabungkan Kerajaan
Manimantaka dengan Padepokan Ima-ima menjadi satu, yang kemudian diberi nama Kerajaan Ima-
imantaka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DANADEWA KAWISUDA
Kisah ini menceritakan peperangan antara Prabu Maheswara raja Medang Kamulan melawan
Prabu Brahmanapati raja Gilingwesi. Dalam pertempuran itu Prabu Brahmanapati tewas
melawan dua punggawa Wirata, yaitu Arya Danadewa dan Arya Kintaka. Arya Danadewa
lalu menjadi raja Gilingwesi, sedangkan Arya Kintaka menjadi menantu Prabu Maheswara,
yaitu menikah dengan Dewi Danarti.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 28 Januari 2016
Heri Purwanto

PUTRI PRABU MAHESWARA DILAMAR RAJA RAKSASA


Prabu Maheswara di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Nindyabawa beserta para
punggawa. Mereka sedang membicarakan putri bungsu Sang Prabu, yaitu Dewi Danarti yang kini
telah dewasa dan belum menikah. Prabu Maheswara meminta pendapat kepada Patih Nindyabawa
sebaiknya putri bungsunya itu dinikahkan dengan siapa. Patih Nindyabawa mengusulkan sebaiknya
Dewi Danarti dinikahkan dengan sepupunya saja, apakah itu putra Resi Etudarma, Resi
Darmahanara, ataupun Resi Sakra. Dengan demikian tentunya akan semakin mempererat
hubungan sesama keturunan Batara Wisnu.
Belum sempat Prabu Maheswara memutuskan, tiba-tiba datang seorang raksasa bernama
Patih Antasura. Ia mengaku diutus rajanya yang bernama Prabu Brahmanapati dari Kerajaan
Gilingwesi untuk meminang Dewi Danarti. Prabu Maheswara heran mengapa Kerajaan Gilingwesi
kini ada kembali. Yang ia tahu, raja terakhir Gilingwesi adalah Prabu Parikenan yang gugur melawan
Prabu Srikala raja Purwacarita. Kerajaan Gilingwesi kemudian berubah menjadi padepokan yang
dijaga oleh Resi Brahmastungkara, putra Patih Brahmasadana. Setelah Resi Brahmastungkara
meninggal, Padepokan Gilingwesi kemudian dijaga menantunya, yaitu Resi Darmaruci, yang juga
keponakan Prabu Parikenan.
Patih Antasura pun menjawab bahwa rajanya yang bernama Prabu Brahmanapati adalah
raksasa dari tanah seberang yang berguru kepada Resi Darmaruci. Setelah Resi Darmaruci
meninggal, Prabu Brahmanapati pun membangun kembali Padepokan Gilingwesi menjadi kerajaan,
di mana ia menjadi raja yang bertakhta di sana.
Prabu Maheswara kecewa mendengar penuturan Patih Antasura bahwa Prabu Brahmanapati
ternyata juga berwujud raksasa. Dengan tegas ia pun menolak lamaran tersebut karena tidak ingin
memiliki menantu seorang raksasa. Patih Antasura tersinggung atas penolakan tersebut. Ia
menyebut Prabu Maheswara sebagai raja yang sombong karena terlalu membeda-bedakan mana
KITAB WAYANG PURWA

manusia, mana raksasa. Ia sendiri telah diberi wewenang oleh Prabu Brahmanapati, yaitu jika
lamaran ini ditolak, maka dirinya harus merebut Dewi Danarti secara paksa.
Prabu Maheswara marah dan mempersilakan Patih Antasura menunggu di luar jika ingin
merebut putrinya melalui peperangan. Setelah bicara demikian, ia lantas membubarkan pertemuan
dan memerintahkan Patih Nindyabawa untuk menyiapkan pasukan.

PRABU MAHESWARA MENEWASKAN PATIH ANTASURA


Patih Antasura telah kembali ke induk pasukannya dan bersiap menggempur istana Medang
Kamulan. Sebaliknya, Patih Nindyabawa juga sudah mempersiapkan pasukan Medang Kamulan
untuk menghadapi serangan dari Gilingwesi tersebut.
Maka, terjadilah pertempuran antara kedua pihak. Selama beberapa jam pertempuran itu
berlangsung sengit. Patih Nindyabawa bertarung melawan Patih Antasura dan ia merasa kewalahan
menghadapi kesaktian raksasa tersebut.
Melihat patihnya terdesak, Prabu Maheswara segera turun tangan membantu. Ia melepaskan
panah yang menembus dada Patih Antasura. Para prajurit raksasa pun berhamburan melihat
pemimpin mereka tewas. Mereka yang masih hidup segera mundur meninggalkan Kerajaan Medang
Kamulan untuk kembali ke Kerajaan Gilingwesi.

PRABU BRAHMANAPATI MENYERANG MEDANG KAMULAN


Prabu Brahmanapati di Kerajaan Gilingwesi sangat marah begitu mendengar laporan bahwa
pinangannya terhadap Dewi Danarti telah ditolak oleh Prabu Maheswara, bahkan Patih Antasura
juga gugur dalam pertempuran. Tanpa membuang waktu, ia pun menghimpun kembali pasukan
Gilingwesi dan berangkat menyerang Medang Kamulan.
Prabu Maheswara dan Patih Nindyabawa menyambut serangan tersebut dengan pasukan
lengkap. Pertempuran kembali meletus. Kali ini ganti pihak Medang Kamulan yang terdesak oleh
kekuatan Prabu Brahmanapati. Hingga akhirnya, Prabu Maheswara merasa tidak mampu lagi
mempertahankan negerinya. Ia pun memutuskan untuk mengungsi bersama seluruh keluarga dan
sisa-sisa pasukan Medang Kamulan yang masih hidup menuju Kerajaan Wirata.

PRABU MAHESWARA MEMINTA BANTUAN KE WIRATA


Dalam perjalanan mengungsi itu, Prabu Maheswara memerintahkan Patih Nindyabawa pergi
lebih dulu ke Kerajaan Wirata untuk meminta bantuan kepada Prabu Basukiswara dalam
menghadapi Prabu Brahmanapati. Patih Nindyabawa mematuhi dan segera bergegas mendahului
rombongan untuk melaksanakan perintah tersebut.
Sesampainya di istana Wirata, Patih Nindyabawa segera melapor kepada Prabu Basukiswara
tentang kekalahan rajanya dan kini Kerajaan Medang Kamulan telah diduduki musuh bernama
Prabu Brahmanapati dari Kerajaan Gilingwesi. Prabu Basukiswara terkejut mendengar peristiwa
buruk yang menimpa mertuanya. Ia segera memerintahkan kedua punggawa, yaitu Arya Danadewa
dan Arya Kintaka untuk memimpin pasukan Wirata membantu kesulitan Prabu Maheswara. Adapun
Arya Danadewa adalah putra nomor dua Prabu Maheswara, sedangkan Arya Kintaka adalah putra
bungsu Resi Sakra (sepupu Prabu Maheswara).

PRABU BRAHMANAPATI BERHASIL DIKALAHKAN


Arya Danadewa dan Arya Kintaka beserta pasukan Wirata telah bertemu rombongan Prabu
Maheswara di jalan. Mereka sangat terharu melihat keadaan Prabu Maheswara yang
memprihatinkan itu. Arya Danadewa dan Arya Kintaka lalu menyusun siasat. Mereka membagi
kekuatan menjadi dua. Pasukan Wirata menyerang dari kiri, sedangkan pasukan Medang Kamulan
bergerak menyerang dari kanan.
Prabu Brahmanapati yang masih menduduki Kerajaan Medang Kamulan tidak menduga akan
diserang dari dua arah. Pertempuran sengit kembali terjadi. Arya Kintaka mengheningkan cipta
KITAB WAYANG PURWA

sebagaimana yang pernah diajarkan oleh ayahnya (Resi Sakra). Seketika dari tubuhnya muncul
angin topan melanda pasukan Gilingwesi hingga berhamburan porak poranda.
Prabu Brahmanapati marah menyaksikan para prajuritnya tercerai berai. Ia mengamuk dan
dihadapi Arya Danadewa. Arya Kintaka ikut maju menghadapi raja raksasa tersebut. Dengan
cekatan kedua punggawa Wirata itu akhirnya berhasil menewaskan Prabu Brahmanapati.

PRABU BASUKISWARA MEMBERIKAN ANUGERAH UNTUK KEDUA PUNGGAWA


Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Basukiswara didampingi Patih Wasita, Arya Sriati,
dan Arya Manungkara datang mengunjungi Prabu Maheswara di Medang Kamulan. Raja Wirata itu
sangat senang melihat hasil kerja Arya Danadewa dan Arya Kintaka. Ia pun berniat memberikan
anugerah kepada mereka berdua.
Prabu Basukiswara lalu menetapkan Arya Danadewa yang merupakan putra kedua Prabu
Maheswara sebagai raja di Gilingwesi, menggantikan Prabu Brahmanapati yang telah tewas.
Sementara itu, Arya Kintaka hendaknya mendapatkan anugerah berupa istri, yaitu menikah dengan
Dewi Danarti, putri Prabu Maheswara yang diinginkan Prabu Brahmanapati tersebut. Prabu
Maheswara menyetujui apa yang disarankan menantunya itu.
Maka, pada hari yang ditentukan, Arya Danadewa pun dilantik menjadi raja Gilingwesi sebagai
bawahan Kerajaan Wirata, bergelar Prabu Danadewa. Sementara itu, Arya Kintaka dinikahkan pula
dengan Dewi Danarti.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SAKRI KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan antara Batara Sakri dan Dewi Sati yang merupakan
pertemuan antara silsilah Keluarga Saptaarga dengan keturunan Arjuna Sasrabahu. Dari
perkawinan inilah nantinya secara turun-temurun akan lahir para Pandawa dan Kurawa. Kisah
ini adalah perbaikan dari kisah sebelumnya yang saya posting dengan judul “Sakri Krama,
Parasara Lahir”, yang mana kali ini saya pisah menjadi dua judul.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki
Tristuti Suryasaputra dan rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo,
disertai sedikit pengembangan.
Kediri, 30 Januari 2016
Heri Purwanto

DEWI SATI BERMIMPI MENIKAH DENGAN BATARA SAKRI


Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Partawijaya dari Kerajaan Gujulaha (yang juga
terkenal dengan nama Kerajaan Tabelasuket) di Tanah Hindustan. Ia memiliki dua orang anak
bernama Dewi Sati dan Raden Partana, yang keduanya lahir dari permaisuri bernama Dewi Sruti.
Pada suatu malam Dewi Sati bermimpi menikah dengan seorang laki-laki tampan bernama Batara
Sakri yang tinggal di Gunung Saptaarga. Begitu bangun dari tidurnya, ia segera menceritakan
mimpinya ini kepada sang ayah.
Prabu Partawijaya ingin sekali mewujudkan impian putrinya itu. Maka, ia pun
merundingkannya dengan para pembesar kerajaan, antara lain Patih Srenggabadra dan Resi
Sabdamuni. Menurut keterangan Resi Sabdamuni, Gunung Saptaarga terletak di Pulau Jawa, di
mana tinggal di sana dua orang petapa ayah dan anak yang sama-sama berilmu tinggi, yaitu Resi
Manumanasa dan Resi Satrukem. Namun, Resi Sabdamuni tidak mengetahui ada hubungan apa
antara kedua petapa itu dengan Batara Sakri.
Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang raja bernama Prabu Sasrasudiki dari Kerajaan
Parangrukma yang ingin meminang Dewi Sati sebagai istrinya. Mengingat Dewi Sati hanya ingin
menikah dengan Batara Sakri dalam mimpinya, maka Prabu Partawijaya pun menolak lamaran
tersebut. Hal ini membuat Prabu Sasrasudiki sangat marah dan undur diri sambil mengancam akan
menghancurkan Kerajaan Gujulaha.

PRABU SASRASUDIKI MENGEPUNG KERAJAAN GUJULAHA


Setelah lamarannya ditolak, Prabu Sasrasudiki mengerahkan pasukan Parangrukma
menyerang Kerajaan Gujulaha untuk memaksa supaya Dewi Sati diserahkan kepadanya. Pihak
Gujulaha di bawah pimpinan Patih Srenggabadra dan Raden Partana pun menghadapi mereka.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah bertempur cukup lama, pihak Parangrukma akhirnya berhasil mendesak pasukan
Gujulaha. Patih Srenggabadra dan Raden Partana pun menarik mundur para prajurit memasuki
benteng dan menutup rapat-rapat pintu gerbangnya.
Meskipun dalam keadaan terkepung, Prabu Partawijaya tetap berusaha mewujudkan impian
putrinya, karena ia yakin justru pemuda bernama Batara Sakri itulah yang mampu mengalahkan
Prabu Sasrasudiki. Ia pun mengutus Patih Srenggabadra berangkat ke Tanah Jawa untuk mencari
dan menjemput Batara Sakri. Patih Srenggabadra mohon pamit berangkat melaksanakan tugas
tersebut dengan menyamar sebagai rakyat jelata, supaya tidak tertangkap oleh pasukan Prabu
Sasrasudiki.

RESI SATRUKEM MENGUSIR BATARA SAKRI


Sementara itu, di Padepokan Paremana yang terletak di salah satu puncak Gunung
Saptaarga, Resi Satrukem dan Dewi Nilawati dihadap putra mereka, yaitu Batara Sakri. Resi
Satrukem menasihati Batara Sakri untuk segera menikah membangun rumah tangga. Dijelaskan
pula bahwa keluarga Gilingwesi dan Saptaarga secara turun-temurun kebanyakan beristrikan
bidadari, misalnya Prabu Tritrusta dengan Dewi Widati, Resi Manumanasa dengan Dewi Retnawati,
serta dirinya dengan Dewi Nilawati. Alangkah baiknya jika Batara Sakri juga beristrikan seorang
bidadari untuk menggenapi tradisi keluarga. Apalagi enam tahun yang lalu Batara Sakri telah berjasa
menjadi jago kahyangan menumpas Prabu Kunjanakresna dari Manimantaka, tentu Batara Indra
tidak akan keberatan apabila ia menikah dengan bidadari.
Akan tetapi, Batara Sakri menolak saran ayahnya tersebut. Ia berterus terang tidak ingin
menikah dengan bidadari karena ujung-ujungnya hanya membuat dirinya hidup menetap di puncak
gunung. Baginya, akan lebih baik apabila ia bisa menikah dengan putri seorang raja.
Resi Satrukem tersinggung mendengar pendapat Batara Sakri. Ia pun mengusir putranya itu
dan melarangnya pulang ke Gunung Saptaarga jika tidak dapat membuktikan ucapannya. Batara
Sakri pun mohon pamit lalu berangkat meninggalkan padepokan dengan diiringi tangis ibunya.

BATARA SAKRI MEMBEBASKAN KERAJAAN GUJULAHA


Batara Sakri telah cukup jauh berjalan meninggalkan Gunung Saptaarga. Di tengah jalan ia
bertemu Patih Srenggabadra yang datang ke Pulau Jawa untuk mencarinya. Setelah berkenalan,
Patih Srenggabadra sangat gembira bisa bertemu dengan orang yang ia cari dan segera
mengajaknya pergi ke Gujulaha untuk dinikahkan dengan Dewi Sati. Batara Sakri pun menerima
ajakan tersebut karena ini bisa menjadi jalan baginya untuk mewujudkan cita-cita menikah dengan
seorang putri raja.
Sesampainya di Kerajaan Gujulaha, Batara Sakri langsung menghadapi kepungan Prabu
Sasrasudiki. Pertempuran sengit pun terjadi di antara mereka. Dengan cekatan, Batara Sakri
berhasil membunuh raja Parangrukma itu menggunakan senjata Brahmakadali.

PERNIKAHAN BATARA SAKRI DAN DEWI SATI


Prabu Partawijaya menyambut kedatangan Batara Sakri dengan sukacita. Apalagi Dewi Sati
juga membenarkan bahwa pria inilah yang ditemuinya di alam mimpi beberapa hari silam. Namun,
Prabu Partawijaya lebih dulu bertanya, mengapa Batara Sakri yang seorang manusia biasa
memakai gelar “batara” seperti layaknya seorang dewa? Batara Sakri pun menjawab bahwa gelar
yang ia pakai adalah pemberian Batara Indra sebagai ungkapan terima kasih karena jasanya yang
pernah menjadi jago kahyangan saat masih berusia lima belas tahun dulu.
Prabu Partawijaya semakin berkenan mendengarnya. Ia pun melamar Batara Sakri sebagai
menantu untuk dinikahkan dengan Dewi Sati. Batara Sakri menerima perjodohan ini dengan penuh
hormat. Maka, pada hari yang dianggap baik, diadakanlah upacara pernikahan antara dirinya
dengan Dewi Sati di istana Gujulaha. Namun, upacara pernikahan ini dilaksanakan sangat
sederhana karena Kerajaan Gujulaha sedang dilanda wabah penyakit.
Prabu Partawijaya bercerita bahwa ketika Patih Srenggabadra berlayar ke Tanah Jawa untuk
mencari Batara Sakri, ibu kota Kerajaan Gujulaha dikepung pasukan Prabu Sasrasudiki. Karena
KITAB WAYANG PURWA

tidak mampu menembus benteng pertahanan Gujulaha, Prabu Sasrasudiki pun mengirimkan tenung
yang membuat seisi ibu kota Gujulaha dilanda wabah penyakit. Banyak penduduk kota dan prajurit
yang jatuh sakit hingga meninggal, membuat Prabu Partawijaya cemas dan berniat ingin menyerah
kalah kepada musuh. Akan tetapi, Resi Sabdamuni melarang karena ia mendapatkan petunjuk
dewata bahwa wabah penyakit tersebut bisa reda apabila Prabu Partawijaya berguru kepada Resi
Manumanasa di Gunung Saptaarga.
Ketika Prabu Partawijaya hendak berangkat ke Tanah Jawa, tiba-tiba Patih Srenggabadra
datang bersama Batara Sakri. Keduanya langsung terjun ke medan perang di mana Batara Sakri
berhasil menewaskan Prabu Sasrasudiki tersebut. Kini raja Parangrukma itu telah tewas, tetapi
tenung yang ia kirimkan masih belum reda. Prabu Partawijaya berniat melanjutkan niatnya pergi ke
Tanah Jawa untuk meminta bantuan Resi Manumanasa. Batara Sakri diminta untuk tetap tinggal di
istana menemani Dewi Sati, tidak perlu ikut mengantarkan ke sana, cukup Patih Srenggabadra saja
yang menyertai kepergian Prabu Partawijaya.

PRABU PARTAWIJAYA BERTEMU RESI DWAPARA


Setelah berlayar menyeberangi lautan, Prabu Partawijaya dan Patih Srenggabadra akhirnya
tiba di Pulau Jawa. Ketika sedang berjalan menuju ke Gunung Saptaarga, mereka bertemu Prabu
Sadaka dan Patih Warsita dari Kerajaan Magada. Prabu Sadaka ini adalah sahabat lama Prabu
Partawijaya. Mereka pun saling bertanya kabar dan ada keperluan apa berada di Pulau Jawa. Prabu
Partawijaya menjawab bahwa dirinya ingin berguru kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga
supaya bisa meredakan wabah penyakit yang kini melanda negerinya.
Mendengar itu, Prabu Sadaka menyarankan agar Prabu Partawijaya mengurungkan niat dan
lebih baik membelokkan perjalanan menuju ke Padepokan Tegalbamban saja. Prabu Sadaka
menjelaskan bahwa dirinya sudah beberapa bulan ini berguru kepada pemimpin padepokan
tersebut yang bernama Resi Dwapara.
Karena terus-menerus dibujuk, Prabu Partawijaya akhirnya mengikuti saran Prabu Sadaka
untuk bersama-sama pergi ke Padepokan Tegalbamban. Sesampainya di sana, mereka pun
disambut ramah oleh Resi Dwapara dan putranya yang bernama Wasi Druwasa.
Resi Dwapara menjelaskan bahwa dirinya adalah keponakan Resi Manumanasa dari pihak
ibu. Mengenai ilmu kesaktian, ia mengaku lebih sakti daripada pamannya di Gunung Saptaarga
tersebut. Prabu Partawijaya tidak percaya. Maka, Resi Dwapara pun pamer kehebatan dengan cara
menghentakkan tubuh Wasi Druwasa hingga terlempar jauh, namun segera kembali lagi dalam
waktu singkat begitu namanya dipanggil.
Prabu Partawijaya masih tidak percaya. Resi Dwapara lalu memanggil pembantunya yang
membawakan hidangan perjamuan. Begitu mendekat, Resi Dwapara langsung menusuk
pembantunya itu hingga tewas. Namun, begitu ia memanggil namanya, si pembantu langsung hidup
kembali. Resi Dwapara juga memanggil ayam panggang yang dihidangkan. Seketika, ayam
panggang itu pun hidup kembali lengkap dengan bulunya.
Prabu Partawijaya sangat kagum melihat kesaktian Resi Dwapara. Maka, ia pun membatalkan
kepergiannya ke Gunung Saptaarga dan memohon supaya Resi Dwapara membantu meredakan
wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Gujulaha.

PRABU PARTAWIJAYA DITUGASI MEMBUBARKAN PADEPOKAN SAPTAARGA


Resi Dwapara mengaku mudah sekali untuk meredakan wabah penyakit akibat tenung yang
dikirimkan Prabu Sasrasudiki, karena raja tersebut juga pernah menjadi muridnya. Namun, ia
mengajukan syarat, yaitu Prabu Partawijaya harus berangkat ke Gunung Saptaarga untuk
membunuh Resi Manumanasa dan Resi Satrukem. Rupanya dalam hati Resi Dwapara masih
menyimpan dendam atas kekalahannya dalam memperebutkan Dewi Nilawati dulu.
Prabu Partawijaya mematuhi dan segera berangkat menuju ke Gunung Saptaarga bersama
Patih Srenggabadra. Di tengah jalan mereka bertemu Resi Satrukem dan Janggan Smara yang
sedang berkelana mencari ke mana perginya Batara Sakri. Begitu mengetahui maksud dan tujuan
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Partawijaya yang ingin membunuhnya, Resi Satrukem pun mempersilakan raja Gujulaha itu
untuk menyerang.
Prabu Partawijaya segera bertanding melawan Resi Satrukem. Keduanya pun bertarung
sengit. Resi Satrukem mencela Prabu Partawijaya yang seorang raja tetapi bertarung secara
beringas seperti layaknya seorang raksasa. Tiba-tiba Prabu Partawijaya berubah wujud menjadi
raksasa akibat ucapan Resi Satrukem yang mengandung kutukan itu. Prabu Partawijaya pun
bertarung semakin ganas dan semakin bernafsu ingin membunuh Resi Satrukem.
Resi Satrukem dengan tenang menghadapi serangan lawan. Ia pun mencela Prabu
Partawijaya yang menyeruduk-nyeruduk seperti seekor celeng. Seketika wujud Prabu Partawijaya
pun berubah dari raksasa menjadi babi hutan. Ia menjadi sangat sedih dan menangis meratap-ratap.
Satu per satu nama anggota keluarganya disebut, mulai dari sang permaisuri Dewi Sruti, lalu anak-
anaknya, yaitu Dewi Sati dan Raden Partana, hingga sang menantu, yaitu Batara Sakri.
Resi Satrukem heran mengapa putranya juga ikut-ikutan disebut namanya. Patih
Srenggabadra maju memohonkan ampun untuk rajanya, lalu ia bercerita bahwa Batara Sakri telah
menjadi menantu Prabu Partawijaya dan kini tinggal di Kerajaan Gujulaha. Resi Satrukem sangat
senang mengetahui kabar putranya yang telah lama pergi itu ternyata berhasil memenuhi cita-
citanya. Ia lalu membebaskan Prabu Partawijaya dari kutukan sehingga sang besan pun kembali ke
wujud manusia.
Prabu Partawijaya sangat menyesali perbuatannya telah menuruti ucapan pendeta jahat
bernama Resi Dwapara. Ia pun memohon kepada Resi Satrukem untuk mengantarkannya meminta
maaf kepada Resi Manumanasa.

PRABU PARTAWIJAYA MENCERITAKAN LELUHURNYA


Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga menerima kedatangan Prabu Partawijaya dan Patih
Srenggabadra yang diantarkan Resi Satrukem dan Janggan Smara. Sungguh ajaib, sebelum Prabu
Partawijaya bercerita, Resi Manumanasa sudah dapat menebak kalau ia adalah raja Gujulaha yang
pada awalnya ingin berguru ke Gunung Saptaarga tapi kemudian bimbang dan akhirnya berguru
kepada Resi Dwapara di Padepokan Tegalbamban. Prabu Partawijaya sangat malu dan menyesali
kesalahannya, tidak dapat membedakan mana yang baik, mana yang buruk.
Resi Manumanasa pun menjelaskan bahwa Resi Dwapara adalah keponakannya sendiri, yaitu
putra Dewi Kaniraras dengan suami kedua bernama Prabu Durapati raja Duhyapura. Dahulu kala
Resi Dwapara pernah berguru kepadanya di Gunung Saptaarga. Hubungan baik tersebut akhirnya
putus setelah Resi Dwapara kalah bersaing dengan Resi Satrukem dalam memperebutkan seorang
bidadari bernama Dewi Nilawati. Dewi Nilawati kemudian menjadi istri Resi Satrukem dan
melahirkan Batara Sakri.
Resi Dwapara lalu pergi ke Desa Gandara dan menikahi Dewi Maestri, putri sulung Arya
Paridarma (adik bungsu Resi Manumanasa). Dari pernikahan itu lahirlah Wasi Druwasa. Namun,
Dewi Maestri sendiri meninggal karena pendarahan. Resi Dwapara lalu membawa bayi Wasi
Druwasa pergi meninggalkan Desa Gandara. Di tengah jalan ia bertemu seorang janda bernama
Ken Dyapi yang sanggup mengasuh bayi Wasi Dwapara. Demikianlah, Ken Dyapi lalu ikut serta
menemani perjalanan Resi Dwapara hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah tempat bernama
Tegalbamban dan mendirikan padepokan di sana.
Setelah menceritakan riwayat Resi Dwapara, Resi Manumanasa ganti bertanya tentang
silsilah Prabu Partawijaya. Prabu Partawijaya pun bercerita bahwa dirinya adalah keturunan seorang
raja titisan Batara Wisnu, bernama Prabu Arjuna Sasrabahu dari Kerajaan Mahespati di tanah
seberang. Setelah Prabu Arjuna Sasrabahu meninggal dalam pertempuran melawan Resi
Ramabargawa, takhta Kerajaan Mahespati pun diwarisi putranya yang bergelar Prabu Rurya.
Setelah Prabu Rurya meninggal, takhta diwarisi putranya yang bernama Prabu Partawirya. Adapun
Prabu Partawirya memiliki adik perempuan bernama Dewi Sumitra yang menjadi istri Prabu
Dasarata raja Ayodya. Dewi Sumitra inilah yang melahirkan Raden Laksmana, yang setia menemani
kakak tirinya, yaitu Prabu Sri Rama dalam perang melawan Prabu Rahwana raja Alengka.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Partawirya lalu memindahkan pusat Kerajaan Mahespati ke Taman Sriwedari, yaitu
taman indah peninggalan Prabu Arjuna Sasrabahu. Maka, sejak itulah Kerajaan Mahespati berganti
nama menjadi Kerajaan Sriwedari. Setelah Prabu Partawirya meninggal, takhta Sriwedari diwarisi
putranya yang bernama Prabu Partanadi. Kemudian Prabu Partanadi digantikan oleh putranya yang
bernama Prabu Sandela.
Prabu Sandela ini seorang mandul yang tidak bisa mempunyai anak. Siang malam ia berdoa
memohon kepada dewata agar bisa disembuhkan dari kemandulan. Akhirnya, ia pun mendapat
petunjuk supaya berguru kepada Resi Wasusarma di Padepokan Gujulaha.
Resi Wasusarma menerima Prabu Sandela dan menjadikannya sebagai murid. Ia lalu
menyerahkan segenggam rumput ilalang bernama Suket Ditpwa sebagai sarana mengobati
kemandulan Sang Prabu. Resi Wasusarma pun bercerita tentang asal-usul rumput ilalang tersebut.
Dahulu kala, ayah Resi Wasusarma yang bernama Resi Wasukarma adalah pendeta yang
mengabdi kepada Prabu Sri Rama di Kerajaan Ayodya-Pancawati. Prabu Sri Rama pun
menyerahkan kedua putranya yang bernama Raden Batlawa dan Raden Kusiya supaya berguru
kepada Resi Wasukarma.
Pada suatu hari Raden Kusiya pulang ke istana karena tidak betah tinggal di padepokan.
Prabu Sri Rama marah dan mengantarkan Raden Kusiya supaya kembali ke padepokan. Sementara
itu, Resi Wasukarma ketakutan dan mengira Raden Kusiya telah hilang. Ia pun menganyam rumput
ilalang menjadi boneka, lalu berdoa supaya boneka rumput tersebut dapat berubah menjadi
kembaran Raden Kusiya. Doa tersebut dikabulkan oleh Yang Mahakuasa. Seketika terciptalah
Raden Kusiya palsu dan sangat mirip dengan aslinya, sampai-sampai Raden Batlawa pun tidak
menyadarinya.
Tiba-tiba datanglah Prabu Sri Rama bersama Raden Kusiya yang asli. Resi Wasusarma
sangat ketakutan dan terlanjur malu. Ia pun mengumumkan akan membakar kedua Raden Kusiya,
dan yang asli pasti akan tetap selamat. Prabu Sri Rama seketika teringat peristiwa di Kerajaan
Alengka di mana ia pernah membakar istrinya, yaitu Rekyanwara Sinta untuk membuktikan
kesuciannya selama ditawan Prabu Rahwana. Ternyata Rekyanwara Sinta selamat dan tidak
hangus sama sekali. Maka, Prabu Sri Rama pun setuju jika Raden Kusiya yang kini berjumlah dua
itu dibakar. Ia yakin putranya yang asli akan tetap selamat.
Raden Kusiya sendiri sama sekali tidak takut. Dengan penuh percaya diri ia masuk ke dalam
kobaran api dan keluar dalam keadaan utuh. Sementara itu, Raden Kusiya palsu terbakar dan
berubah kembali menjadi rumput ilalang. Atas peristiwa itu, Prabu Sri Rama pun mengganti nama
padepokan tempat tinggal Resi Wasukarma menjadi Gujulaha, yang bermakna “tapal rumput”, atau
lama-lama terucap menjadi Tabelasuket.
Demikianlah, Resi Wasusarma mengakhiri ceritanya, bahwa Suket Ditpwa yang kini dipegang
Prabu Sandela adalah rumput ilalang yang dulu berasal dari sisa pembakaran Raden Kusiya palsu.
Prabu Sandela lalu memakan Suket Ditpwa itu dan kemudian pulang menemui istrinya yang
bernama Dewi Nadi.
Dewi Nadi pun mengandung setelah peristiwa tersebut. Hingga akhirnya lahirlah seorang putra
yang diberi nama Raden Sandisarma, yaitu singkatan dari nama Sandela-Nadi-Wasusarma.
Setelah dewasa, Raden Sandisarma diperintahkan Prabu Sandela untuk berguru kepada Resi
Wasusarma di Padepokan Gujulaha. Raden Sandisarma sangat betah tinggal di padepokan hingga
tidak mau pulang ke istana Sriwedari. Maka, ketika Prabu Sandela dan Resi Wasusarma sama-
sama meninggal, Raden Sandisarma tidak mau menjadi raja di Sriwedari, tetapi memindahkan ibu
kota ke Padepokan Gujulaha dan membangunnya menjadi kerajaan. Maka, sejak itulah Kerajaan
Sriwedari yang asalnya dari Kerajaan Mahespati berganti menjadi Kerajaan Gujulaha atau
Tabelasuket. Raden Sandisarma pun menjadi raja, bergelar Prabu Partawijaya.
Demikianlah riwayat Prabu Partawijaya yang memiliki nama asli Raden Sandisarma tersebut.
Resi Manumanasa sangat berkenan mendengarnya dan ia pun mengajari Prabu Partawijaya ilmu
kesaktian untuk bisa meredakan wabah penyakit akibat tenung yang melanda Kerajaan Gujulaha.
Setelah memahami semuanya, Prabu Partawijaya segera mohon pamit kembali ke negerinya.
KITAB WAYANG PURWA

KEMATIAN RESI DWAPARA


Resi Dwapara di Padepokan Tegalbamban sangat marah mendengar berita bahwa Prabu
Partawijaya telah tunduk kepada Resi Manumanasa dan kini kembali ke Kerajaan Gujulaha. Ia pun
memerintahkan Prabu Sadaka dan Patih Warsita untuk menghimpun pasukan Magada. Mereka lalu
berangkat menggempur Gunung Saptaarga.
Begitu pasukan tersebut datang dan membuat keributan, Resi Manumanasa segera
memerintahkan pengikutnya, yaitu Putut Supalawa untuk bertindak. Putut berwujud kera putih itu
segera mengerahkan kesaktiannya berupa Aji Bayurota. Dari tubuhnya muncul angin topan yang
menderu-deru menghempaskan tubuh Prabu Sadaka dan Patih Warsita beserta semua prajurit
Magada entah ke mana.
Sementara itu, Resi Dwapara masih bertahan dan bertarung melawan Resi Satrukem.
Meskipun ilmu Resi Dwapara maju pesat dalam beberapa tahun ini, namun tetap saja ia tidak
mampu menandingi kesaktian Resi Satrukem. Ia akhirnya tewas di tangan sepupunya itu. Jasadnya
musnah dan suaranya berkumandang di angkasa bahwa kelak ia akan lahir kembali menjadi
seorang pangeran berwatak licik dari Kerajaan Gandaradesa, yang akan mengadu domba
keturunan Resi Satrukem hingga terpecah belah. Kelak akan ada keturunan Resi Satrukem, yaitu
para Pandawa dan Kurawa yang bersaudara sepupu tetapi saling bermusuhan, seperti permusuhan
antara Resi Satrukem dan Resi Dwapara.
Sementara itu, Wasi Druwasa yang ketakutan karena melihat ayahnya tewas segera
melarikan diri sejauh-jauhnya meninggalkan Gunung Saptaarga. Keadaan kini kembali aman dan
tenteram.

Resi Dwapara lawan Resi Satrukem

(Resi Dwapara kelak akan lahir kembali sebagai Patih Sangkuni, putra Prabu Suwala raja
Gandaradesa. Patih Sangkuni inilah yang kemudian mengadu domba keluarga Pandawa dan
Kurawa sehingga meletus perang besar Bratayuda.)

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PARASARA LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Parasara putra Batara Sakri dan Dewi Sati, yang
kelak menjadi Resi Parasara, yaitu leluhur para Pandawa dan Kurawa. Kisah dilanjutkan
dengan menyerahnya sisa-sisa pengikut Resi Dwapara kepada Resi Manumanasa.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan. Kisah ini saya sajikan untuk memperbaiki
postingan terdahulu, di mana kisah perkawinan Batara Sakri dan kelahiran Bambang Parasara
pernah saya jadikan satu cerita.
Kediri, 02 Februari 2016
Heri Purwanto

BATARA SAKRI MENINGGALKAN KERAJAAN GUJULAHA


Prabu Partawijaya di Kerajaan Gujulaha dihadap pangeran mahkota Raden Partana beserta
para menteri dan punggawa, antara lain Patih Srenggabadra dan Resi Sabdamuni. Mereka sedang
membicarakan putri Sang Prabu yaitu Dewi Sati yang kini sedang mengandung setelah menikah
dengan Batara Sakri.
Tiba-tiba Dewi Sati datang menghadap dalam keadaan menangis. Ia bercerita bahwa
suaminya telah pergi dari istana. Awal mulanya ialah Batara Sakri mengaku tidak betah tinggal di
istana dan ingin kembali ke Gunung Saptaarga. Batara Sakri sangat menyesal telah bertengkar
dengan ayahnya, yaitu Resi Satrukem sebelum menikah dulu. Waktu itu Batara Sakri disuruh Resi
Satrukem mencari istri bidadari untuk menggenapi tradisi keluarga, namun ia menolak karena jika
menikah dengan bidadari maka ujung-ujungnya hanya tinggal di padepokan saja. Batara Sakri pun
menyatakan bahwa dirinya ingin menikah dengan putri raja supaya bisa tinggal di istana.
Jawaban tersebut membuat Resi Satrukem tersinggung dan mengusir Batara Sakri. Kini
Batara Sakri telah mewujudkan cita-citanya bisa menikah dengan putri raja, namun ternyata ia tidak
betah tinggal di istana. Batara Sakri sangat menyesal telah menyinggung perasaan ayahnya dan
ingin pulang ke Gunung Saptaarga untuk meminta maaf kepada Resi Satrukem. Ia pun mengajak
Dewi Sati tinggal di padepokan dan menetap di sana untuk selamanya. Namun, Dewi Sati menolak.
Ia mengaku tidak mungkin meninggalkan segala kemewahan yang dimilikinya sejak kecil. Hal ini
membuat mereka berdua bertengkar. Batara Sakri kecewa karena Dewi Sati sebagai seorang istri
tidak patuh kepada suami.
Karena dalam pertengkaran tersebut tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Batara Sakri
memilih pergi meninggalkan istana.
Kini Dewi Sati menyesal karena tidak mematuhi sang suami. Ia pun merengek mengajak sang
ayah untuk mengantarkannya menyusul Batara Sakri ke Gunung Saptaarga. Prabu Partawijaya
berusaha menyabarkan putrinya itu. Ia memaklumi bahwa dirinya terlalu memanjakan Dewi Sati
sejak kecil sehingga setelah menikah kurang bisa membawa diri sebagai istri yang baik. Ia pun
berjanji akan mengantarkan putrinya itu menyusul ke Gunung Saptaarga tetapi nanti bila sudah
melahirkan.
Namun, Dewi Sati menolak. Ia tidak mau menunda-nunda lagi. Semakin lama dirinya berpisah
dengan Batara Sakri justru membuat dirinya semakin bertambah sedih karena merasa berdosa
kepada suami. Ia meminta saat ini juga sang ayah mengantarkannya pergi ke Gunung Saptaarga.
Prabu Partawijaya yang sangat menyayangi putrinya itu tidak bisa menolak lagi. Ia pun meminta
Resi Sabdamuni membuatkan jamu penguat kandungan agar perjalanan ke Tanah Jawa nanti tidak
membahayakan janin yang berada di dalam rahim Dewi Sati. Resi Sabdamuni mematuhi dan segera
berangkat mempersiapkan ramuan.
Setelah dirasa cukup, Prabu Partawijaya pun membubarkan pertemuan kemudian berpamitan
kepada sang permaisuri Dewi Sruti bahwa dirinya akan berangkat ke Tanah Jawa untuk
mengantarkan putri mereka.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU PARTAWIJAYA BERSELISIH DENGAN PRABU SADAKA


Prabu Partawijaya dan Dewi Sati telah berlayar ke Tanah Jawa dan mendarat di pelabuhan
yang menjadi wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Mereka pun bertemu Prabu Maheswara dan Patih
Nindyabawa yang kebetulan sedang meninjau suasana perdagangan di pelabuhan. Terjadilah salah
paham di mana Prabu Maheswara mengira Prabu Partawijaya adalah raja dari tanah seberang yang
hendak menyerang Medang Kamulan. Namun, begitu melihat keadaan Dewi Sati yang sedang
hamil, Prabu Maheswara pun menyadari kekeliruannya.
Prabu Partawijaya mengaku hendak pergi ke Gunung Saptaarga untuk menyusul
menantunya, yaitu Batara Sakri. Prabu Maheswara merasa senang begitu mendengar Prabu
Partawijaya ternyata besan Resi Satrukem. Ia sendiri juga mengaku memiliki hubungan baik dengan
Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga karena dulu semasa muda dan masih bernama Raden
Artaetu pernah berguru kepada Resi Manumanasa. Prabu Partawijaya pun menjelaskan bahwa
dirinya juga murid Resi Manumanasa. Seketika suasana tegang pun mencair menjadi keakraban di
antara kedua raja tersebut.
Tiba-tiba datanglah sebuah kapal besar yang mendarat di pelabuhan. Dari kapal itu turun
Prabu Sadaka dan Patih Warsita dari Kerajaan Magada di tanah seberang. Prabu Partawijaya
bertanya ada urusan apa sahabatnya itu datang ke Pulau Jawa. Prabu Sadaka mengaku hendak
menyerang Gunung Saptaarga demi membalaskan kematian gurunya, yaitu Resi Dwapara.
Prabu Partawijaya berusaha menasihati Prabu Sadaka, bahwa Resi Manumanasa adalah
pendeta berbudi luhur yang difitnah oleh Resi Dwapara. Masalah dendam ini sebaiknya tidak perlu
dilanjutkan lagi. Bahkan, Prabu Partawijaya mengajak Prabu Sadaka untuk ikut serta berguru
kepada Resi Manumanasa. Prabu Sadaka tidak peduli mendapat nasihat demikian dan
memutuskan untuk tetap menyerang Gunung Saptaarga. Prabu Partawijaya bertekad akan
menghalangi serangan itu karena Resi Manumanasa sudah menjadi gurunya. Ia tidak peduli lagi
meskipun Prabu Sadaka adalah kawan lamanya. Prabu Maheswara pun demikian. Maka,
meletuslah pertempuran di pelabuhan tersebut, yaitu antara pasukan Magada melawan pasukan
Medang Kamulan dan Gujulaha.
Pasukan Magada yang jumlahnya lebih sedikit akhirnya tercerai berai. Prabu Sadaka bahkan
terpisah dari pasukannya. Ia pun menyambar Dewi Sati dan menaikkannya ke atas kereta lalu
membawanya kabur. Sementara itu, Patih Warsita memerintahkan sisa-sisa pasukannya yang
masih hidup untuk naik kembali ke atas kapal dan berlayar meninggalkan pelabuhan.
Prabu Partawijaya sangat gugup melihat Dewi Sati diculik Prabu Sadaka. Ia pun bergegas
mengejar dengan ditemani Prabu Maheswara.

BATARA SAKRI MEMOHON MAAF KEPADA AYAHNYA


Sementara itu, Batara Sakri telah sampai di Gunung Saptaarga dan langsung bersujud
mencium kaki ayahnya, yaitu Resi Satrukem. Ia memohon maaf karena dulu telah menyinggung
perasaan sang ayah, yaitu berkata tidak mau menikah dengan bidadari karena ujung-ujungnya
hanya hidup di padepokan saja. Kini ia telah mewujudkan cita-citanya tersebut, yaitu menikahi
seorang putri raja. Akan tetapi, hidup di istana ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan.
Ia merasa tinggal di padepokan jauh lebih menentramkan hati.
Resi Satrukem senang mendengar penuturan putranya. Namun, bagaimanapun juga Batara
Sakri telah berumah tangga, sehingga akan lebih baik jika hidup mandiri bersama istri. Ia pun
memutuskan untuk mengajak Batara Sakri pergi ke Kerajaan Gujulaha untuk menjemput Dewi Sati
dan memboyongnya ke Gunung Saptaarga. Batara Sakri mematuhi saran sang ayah. Mereka lalu
berangkat bersama-sama dengan ditemani Janggan Smara.

DEWI SATI MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI


Ketika perjalanan mereka sampai di Hutan Parasara, tiba-tiba terdengar suara wanita meminta
tolong. Batara Sakri terkejut karena mengenali suara itu adalah suara Dewi Sati. Ia heran mengapa
tiba-tiba istrinya itu ada di Tanah Jawa. Tanpa membuang waktu, ia segera melesat ke arah
KITAB WAYANG PURWA

datangnya suara dan kemudian melihat Dewi Sati berada di atas kereta yang melaju kencang
dengan dikendarai Prabu Sadaka.
Batara Sakri menghadang kereta tersebut dan menyerang Prabu Sadaka. Terjadilah
pertarungan di antara mereka. Sementara itu, Resi Satrukem dan Janggan Smara menolong Dewi
Sati dan menurunkannya dari atas kereta. Dewi Sati merintih kesakitan dan merasa dirinya akan
segera melahirkan. Janggan Smara dengan terampil segera membantu Dewi Sati. Perlahan-lahan,
Dewi Sati pun melahirkan seorang bayi laki-laki di tengah hutan tersebut.
Di sisi lain, Batara Sakri telah menewaskan Prabu Sadaka. Ia segera mendatangi Dewi Sati
dan memeluk istrinya itu. Tidak lama kemudian datang pula Prabu Partawijaya dan Prabu
Maheswara yang mengejar Prabu Sadaka. Mereka sangat gembira melihat Dewi Sati selamat dan
telah melahirkan bayi yang sehat pula.
Resi Satrukem mengusulkan agar Batara Sakri memberi nama putranya yang baru lahir itu
Bambang Parasara, sebagai pengingat bahwa ia dilahirkan di tengah Hutan Parasara. Batara Sakri
menerima usulan sang ayah. Ia pun menetapkan nama Bambang Parasara sebagai nama putranya
tersebut. Bersama-sama mereka lantas berangkat menuju ke Gunung Saptaarga.

PATIH WARSITA BERTEMU PRABU DRUMANASA


Sementara itu, Patih Warsita dan sisa-sisa pasukan Magada yang berlayar pulang bertemu
kapal besar berbendera Kerajaan Madenda. Ia mengenali penumpang kapal tersebut adalah Prabu
Drumanasa, sahabat Prabu Sadaka saat dulu sama-sama belajar kepada Resi Dwapara. Ia juga
melihat Wasi Druwasa, putra mendiang Resi Dwapara ikut serta dalam kapal tersebut.
Prabu Drumanasa raja Madenda ini adalah putra dari Prabu Wagirata yang merupakan
sepupu Resi Dwapara. Ia dulu pernah menemani Resi Dwapara saat memperebutkan Dewi Nilawati
di Gunung Pujangkara melawan Resi Satrukem. Kini ia bersama-sama Wasi Druwasa berangkat ke
Tanah Jawa untuk menyerang Gunung Saptaarga demi membalaskan kematian Resi Dwapara.
Mendengar tujuan Prabu Drumanasa tersebut, Patih Warsita merasa senang dan ia pun
memutar kembali kapalnya untuk ikut bergabung dalam penyerangan ini.

PRABU BASUKISWARA BERGURU KEPADA RESI MANUMANASA


Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga sedang menerima kunjungan Prabu Basukiswara
yang didampingi Patih Wasita dan Arya Manungkara. Kedatangan Prabu Basukiswara ini adalah
untuk berguru kepada pendeta agung yang masih terhitung pamannya tersebut. Resi Manumanasa
mengabulkan niat Prabu Basukiswara dengan senang hati, dan mengajarinya ilmu kebatinan serta
ilmu sangkan paraning dumadi.
Resi Manumanasa juga memperkenalkan Prabu Partawijaya raja Gujulaha kepada Prabu
Basukiswara. Kedua raja itu pun langsung akrab dan saling menjalin persaudaraan. Prabu
Basukiswara juga memberikan ucapan selamat atas pernikahan Batara Sakri dan Dewi Sati, serta
kelahiran putra mereka yang diberi nama Bambang Parasara.

PRABU DRUMANASA MENYERAH KEPADA RESI MANUMANASA


Tidak lama kemudian datanglah pasukan Prabu Drumanasa yang membuat kekacauan di kaki
Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa segera memerintahkan Putut Supalawa si kera putih untuk
menghadapi mereka, namun jangan sampai menimbulkan kematian. Prabu Basukiswara juga
memerintahkan Patih Wasita dan Arya Manungkara supaya ikut membantu.
Pertempuran pun terjadi. Putut Supalawa berhasil menangkap hidup-hidup Wasi Druwasa dan
membawanya naik ke puncak Gunung Saptaarga. Di sisi lain Arya Manungkara juga berhasil
menangkap Prabu Drumanasa, sedangkan Patih Wasita berhasil meringkus Patih Warsita. Ketiga
pengacau itu pun dihadapkan kepada Resi Manumanasa.
Resi Manumanasa mengampuni ketiga orang itu karena mengetahui kalau mereka masih
dalam pengaruh buruk mendiang Resi Dwapara. Prabu Drumanasa, Wasi Druwasa, dan Patih
Warsita kagum melihat kebesaran hati Resi Manumanasa dan mereka pun memohon supaya
KITAB WAYANG PURWA

diterima sebagai murid agar dapat menghilangkan pengaruh ilmu sesat yang pernah diajarkan Resi
Dwapara dulu. Resi Manumanasa dengan senang hati menerima mereka bertiga. Suasana
ketegangan pun kini berubah menjadi keakraban dan tiada lagi dendam di antara mereka.

PRABU PARTAWIJAYA BERBESAN DENGAN PATIH WARSITA


Sementara itu, Dewi Sruti di Kerajaan Gujulaha menerima surat dari Prabu Partawijaya bahwa
Dewi Sati telah melahirkan bayi laki-laki. Tanpa membuang-buang waktu, ia pun mengajak Raden
Partana untuk berangkat ke Gunung Saptaarga saat itu juga.
Sesampainya di Gunung Saptaarga, Dewi Sruti dan Raden Partana sangat bahagia melihat
bayi Bambang Parasara. Tidak hanya itu, Dewi Sruti juga kagum melihat keagungan Resi
Manumanasa. Ia pun meminta izin kepada sang suami agar diperbolehkan ikut berguru di Gunung
Saptaarga. Prabu Partawijaya segera menyampaikan hal itu kepada Resi Manumanasa. Ternyata,
Resi Manumanasa tidak membeda-bedakan antara murid laki-laki dan perempuan. Menurutnya,
mencari ilmu wajib dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin. Prabu Partawijaya
dan Dewi Sruti senang mendengarnya. Maka, sejak saat itu Dewi Sruti pun menjadi murid Resi
Manumanasa dan belajar bersama-sama Prabu Basukiswara, Prabu Drumanasa, Wasi Druwasa,
dan Patih Warsita.
Setelah pelajaran selesai, Resi Manumanasa mempersilakan murid-muridnya kembali ke
negeri masing-masing. Prabu Basukiswara kembali ke Wirata, sedangkan Prabu Drumanasa
kembali ke Madenda. Sementara itu, Wasi Druwasa dipersilakan untuk menduduki Padepokan
Tegalbamban bekas peninggalan ayahnya (Resi Dwapara). Sejak hari itu, Wasi Druwasa pun
berganti gelar menjadi Resi Druwasa.
Patih Warsita juga dipersilakan untuk kembali ke Kerajaan Magada. Karena Prabu Sadaka
telah tewas di tangan Batara Sakri dan tidak memiliki ahli waris, maka Patih Warsita dipersilakan
untuk menjadi raja di Magada. Maka, sejak hari itu Patih Warsita pun berganti gelar menjadi Prabu
Warsita.
Untuk menjalin persaudaraan, Prabu Partawijaya mengajak Prabu Warsita berbesan.
Kebetulan Prabu Warsita memiliki anak perempuan bernama Dewi Sutiksna dan hendaknya ia
dinikahkan dengan Raden Partana, putra bungsu Prabu Partawijaya. Prabu Warsita sangat gembira
menyambut ajakan tersebut. Ia pun berjanji sesampainya di Magada akan segera mempersiapkan
pernikahan tersebut.
Demikianlah, keadaan kini kembali tenteram dan damai. Resi Manumanasa telah berhasil
mengubah sikap permusuhan dari para pengikut mendiang Resi Dwapara menjadi sebuah
persaudaraan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BABAD MANDRAKA
Kisah ini menceritakan berdirinya Kerajaan Mandraka yang dipimpin oleh Raden Kardana,
bergelar Prabu Mandrakusuma, menantu Arya Sriati. Juga dikisahkan pelantikan Raden
Wasanta menjadi raja Gajahoya, bergelar Prabu Pratipa. Adapun Raden Kardana adalah
leluhur Prabu Salya, sedangkan Raden Wasanta adalah leluhur Resiwara Bisma.
Kisah ini adalah perbaikan dari postingan sebelumnya yang berjudul sama, dan saya susun
berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra serta
kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 04 Februari 2016
Heri Purwanto

Raden Kardana, pendiri Kerajaan Mandraka.

KERAJAAN GUJULAHA DIANCAM RAJA SIWANDAPURA


Prabu Partawijaya di Kerajaan Gujulaha dihadap putra mahkota yaitu Raden Partana beserta
para menteri dan punggawa, antara lain Patih Srenggabadra dan Resi Sabdamuni. Mereka sedang
membicarakan berita tentang negeri tetangga, yaitu Kerajaan Mandrapura yang telah hancur akibat
serangan Prabu Bahlikasura raja Siwandapura.
Menurut kabar yang beredar, Prabu Bahlikasura adalah murid Batara Kala yang ingin
menyebarkan agama Kala di Tanah Hindustan. Ia memaksa raja-raja sekitarnya supaya mau
mengikuti dirinya, yaitu memuja Batara Kala. Jika raja tersebut menurutinya, maka dia akan
diperlakukan dengan baik. Namun, jika raja tersebut menolak, maka negerinya akan hancur
diserang pasukan Siwandapura.
Demikianlah, Kerajaan Mandrapura yang dipimpin Prabu Barandana dengan tegas menolak
mengikuti agama Kala. Prabu Bahlikasura marah dan menyerang negeri tersebut. Konon kabarnya
saat ini Kerajaan Mandrapura sudah hancur, rata dengan tanah. Prabu Barandana tewas di tangan
Prabu Bahlikasura, begitu pula dengan seluruh anggota keluarganya, kecuali sang putra mahkota
yang bernama Raden Kardana. Entah bagaimana nasib Raden Kardana saat ini tiada seorang pun
yang mengetahui keberadaannya.
Ketika Prabu Partawijaya sedang membicarakan berita tersebut, tiba-tiba datanglah utusan
Prabu Bahlikasura yang bernama Patih Balawara menyampaikan surat dari rajanya. Prabu
Partawijaya menerima surat itu dan membaca isinya. Surat tersebut berisi ajakan Prabu Bahlikasura
kepada Prabu Partawijaya supaya ikut memuja Batara Kala. Prabu Partawijaya dengan tegas
menolak ajakan tersebut. Bagaimanapun juga seluruh rakyat Gujulaha akan tetap teguh memegang
agamanya, yaitu memuja Tuhan Yang Mahakuasa sesuai ajaran agama Wisnu. Atas penolakan itu,
Patih Balawara pun undur diri dan mengancam bahwa pasukan Siwandapura saat ini sudah
bersiaga untuk menggempur Kerajaan Gujulaha.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Partawijaya tidak gentar atas ancaman tersebut. Ia pun memerintahkan Patih
Srenggabadra untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi peperangan yang sebentar lagi
akan meletus.

PRABU PARTAWIJAYA MENGUNGSI KE TANAH JAWA


Patih Balawara telah kembali ke induk pasukan untuk melaporkan penolakan Prabu
Partawijaya kepada Prabu Bahlikasura di perkemahan. Prabu Bahlikasura marah mendengar
penolakan tersebut. Ia pun memerintahkan pasukan Siwandapura maju menggempur Kerajaan
Gujulaha saat ini juga.
Di lain pihak, Prabu Partawijaya dan pasukannya telah bersiaga. Begitu kedua pasukan
bertemu, pertempuran sengit pun terjadi. Banyak prajurit yang tewas di pihak Gujulaha. Bahkan,
Resi Sabdamuni juga ikut terbunuh di tangan pendeta Kerajaan Siwandapura yang bernama Resi
Logitasa.
Prabu Partawijaya merasa ngeri melihat kekuatan pasukan musuh. Ia pun memutuskan untuk
mengungsi ke Tanah Jawa, meminta bantuan Kerajaan Wirata. Begitu perintah diumumkan, Patih
Srenggabadra segera mengumpulkan sisa-sisa prajurit yang selamat. Bersama-sama mereka
mengikuti Prabu Partawijaya beserta anak dan istrinya berlayar meninggalkan Kerajaan Gujulaha
yang kini telah jatuh ke tangan musuh.

ARYA SRIATI DIUTUS MENYELIDIKI CAHAYA DI HUTAN KELING


Sementara itu di Kerajaan Wirata, Prabu Basukiswara mendapat laporan dari penduduk di
sekitar Hutan Keling, bahwa dari dalam hutan tersebut memancar cahaya teja tegak lurus ke
angkasa yang berwarna merah, putih, kuning, dan hitam. Prabu Basukiswara sangat penasaran dan
memerintahkan Arya Sriati untuk berangkat memeriksa ke sana.
Dalam perjalanan menuju ke Hutan Keling, Arya Sriati berjumpa adiknya, yaitu Resi
Manumadewa yang hendak pergi ke Kerajaan Wirata untuk mengunjunginya. Arya Sriati
menjelaskan bahwa dirinya sedang mengemban tugas dari Prabu Basukiswara untuk menyelidiki
Hutan Keling. Resi Manumadewa tertarik mendengarnya dan ia pun memutuskan untuk ikut
menyertai kepergian sang kakak.

ARYA SRIATI BERTEMU RADEN KARDANA


Arya Sriati dan Resi Manumadewa kini telah sampai di Hutan Keling. Sesuai dengan laporan
masyarakat, ternyata benar bahwa hutan tersebut memang memancarkan cahaya teja empat warna
yang tegak lurus ke angkasa. Dengan hati-hati kedua putra Resi Manumanasa itu pun masuk ke
dalam hutan mencari sumber cahaya.
Sesampainya di dalam hutan, mereka melihat seorang pemuda bertapa sambil menggenggam
sebutir mutiara. Pemuda itu tampak lusuh dengan pakaian compang-camping. Rupanya cahaya teja
yang memancar ke angkasa berasal dari mutiara yang digenggam oleh pemuda itu. Arya Sriati dan
Resi Manumadewa tampak terkesan dan mencoba membangunkan pemuda tersebut.
Pemuda itu bangun dan memberi hormat kepada Arya Sriati dan Resi Manumadewa. Kedua
pihak pun saling memperkenalkan diri. Ternyata pemuda itu adalah Raden Kardana, pelarian dari
Kerajaan Mandrapura. Ia menceritakan bahwa negerinya kini hancur dan orang tuanya tewas akibat
serbuan Prabu Bahlikasura dari Kerajaan Siwandapura. Ia pun melarikan diri dan mendapatkan
petunjuk dari dewata supaya pergi bertapa ke Tanah Jawa.
Sesampainya di Tanah Jawa, Raden Kardana bertapa di Hutan Keling. Setelah tujuh hari tujuh
malam tiba-tiba Batara Indra datang menemuinya. Batara Indra menghadiahkan mutiara pusaka
Retna Dumilah yang bisa memancarkan cajaya teja empat warna. Daya kekuatan mutiara tersebut
adalah jika dicium oleh Raden Kardana, maka Raden Kardana tidak akan merasa haus dan lapar.
Batara Indra juga memberikan petunjuk agar Raden Kardana melanjutkan bertapa karena tidak lama
lagi akan ada utusan dari Kerajaan Wirata yang akan menjadi sarana kemuliaannya.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Sriati terkesan mendengar penuturan Raden Kardana. Ia pun mengaku bahwa dirinya
memang utusan Prabu Basukiswara dari Kerajaan Wirata. Raden Kardana merasa senang dan
memohon kepada Arya Sriati supaya diantarkan menghadap kepada Prabu Basukiswara. Ia ingin
mempersembahkan mutiara Retna Dumilah kepada raja Wirata tersebut.
Arya Sriati dan Resi Manumadewa berunding sejenak, lalu mereka pun sepakat mengabulkan
permintaan Raden Kardana. Ketiganya lalu bersama-sama pergi meninggalkan Hutan Keling
menuju ke Kerajaan Wirata.

BATARA SAKRI MENOLONG MERTUANYA


Sementara itu, Prabu Partawijaya dan rombongannya yang mengungsi meninggalkan
Kerajaan Gujulaha telah sampai di Tanah Jawa. Mereka tetap dikejar-kejar pasukan Siwandapura
yang dipimpin oleh Arya Pinggala. Di tengah jalan, Prabu Partawijaya bertemu menantunya, yaitu
Batara Sakri yang sedang berjalan ditemani Janggan Smara.
Batara Sakri segera membantu kesulitan sang mertua. Ia menghadang Arya Pinggala dan
pasukannya, sehingga terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Arya Pinggala akhirnya
tewas di tangan Batara Sakri. Melihat pemimpinnya terbunuh, para prajurit Siwandapura ketakutan
dan melarikan diri.
Prabu Partawijaya sangat berterima kasih atas bantuan sang menantu. Ia menjelaskan bahwa
saat ini Kerajaan Gujulaha telah hancur diserang musuh dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin
Prabu Bahlikasura. Oleh karena itu, Prabu Partawijaya sekeluarga pun pergi mengungsi sekaligus
meminta perlindungan Kerajaan Wirata.
Batara Sakri prihatin mendengarnya. Ia ganti bercerita bahwa saat ini istrinya, yaitu Dewi Sati
sedang menderita sakit paru-paru yang kadang disertai batuk darah. Ia pun pergi mencari tanaman
obat dengan ditemani Janggan Smara. Setelah menemukan tanaman obat yang dimaksud, mereka
berniat pulang ke Gunung Saptaarga, hingga akhirnya bertemu rombongan mertuanya tersebut di
tengah jalan.
Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti sangat prihatin mendengar keadaan putri mereka.
Rombongan dari Gujulaha itu lalu dibagi menjadi dua. Dewi Sruti dan para wanita berangkat
menyertai Batara Sakri ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Dewi Sati, sedangkan Prabu
Partawijaya, Raden Partana, Patih Srenggabadra, dan para prajurit melanjutkan perjalanan menuju
Kerajaan Wirata.
Batara Sakri sendiri berjanji akan segera menyusul ke Wirata setelah mengantarkan tanaman
obat untuk Dewi Sati. Prabu Partawijaya berterima kasih dan mereka lalu berpisah sesuai tujuan
masing-masing.

PRABU BASUKISWARA MELANTIK RADEN WASANTA MENJADI RAJA GAJAHOYA


Sementara itu, Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata menerima kunjungan Raden Wasanta
dari Kerajaan Gajahoya. Raden Wasanta adalah putra mendiang Prabu Hastimurti, yaitu kakak
sepupu Prabu Basukiswara yang telah lama meninggal dalam pertempuran melawan Prabu
Daneswara raja Medang Kamulan. Sepeninggal Prabu Hastimurti, Kerajaan Gajahoya dipegang
oleh mertua sekaligus pamannya, yaitu Resi Basunanda. Kini Raden Wasanta datang ke Wirata
untuk mengabarkan bahwa kakeknya, yaitu Resi Basunanda telah meninggal dunia.
Prabu Basukiswara sangat terkejut dan prihatin mendengar berita tersebut. Ia lalu
mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah Resi Basunanda. Setelah dirasa cukup, Prabu
Basukiswara lalu menetapkan Raden Wasanta sebagai raja Gajahoya yang baru dan hendaknya
tetap tunduk kepada Kerajaan Wirata. Raden Wasanta mematuhi dan ia pun dilantik dengan gelar
Prabu Pratipa.
Prabu Basukiswara juga menunjuk putra Resi Basunanda, yaitu Patih Basundara agar
menggantikan ayahnya menjadi pendeta penasihat Prabu Pratipa, dengan bergelar Resi
Basundara. Adapun kedudukan patih di Gajahoya hendaknya dipegang oleh putra Resi Basundara
yang bernama Raden Basusara. Demikianlah keputusan Prabu Basukiswara.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU PARTAWIJAYA DAN RADEN KARDANA TIBA DI WIRATA


Setelah pelantikan Prabu Pratipa usai, Prabu Basukiswara menerima kedatangan Prabu
Partawijaya beserta rombongannya. Prabu Partawijaya mengisahkan bahwa Kerajaan Gujulaha dan
beberapa negara tetangga di Tanah Hindustan saat ini sudah jatuh ke tangan Prabu Bahlikasura,
seorang pemuja Batara Kala dari Kerajaan Siwandapura. Prabu Basukiswara sangat prihatin
mendengarnya dan ia pun berjanji akan melindungi Prabu Partawijaya dari kejaran musuh tersebut.
Tidak lama kemudian datang pula Arya Sriati bersama Raden Kardana dan Resi
Manumadewa. Arya Sriati menyampaikan hasil penyelidikannya terhadap cahaya teja yang
memancar dari Hutan Keling, ternyata berasal dari mutiara pusaka milik Raden Kardana. Ia adalah
pelarian dari Kerajaan Mandrapura yang negerinya juga hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura.
Prabu Basukiswara semakin marah mendengar ulah Prabu Bahlikasura. Ia pun berjanji akan
melindungi Raden Kardana di Kerajaan Wirata. Raden Kardana sangat berterima kasih dan segera
mempersembahkan mutiara Retna Dumilah supaya menjadi pusaka Kerajaan Wirata.
Prabu Basukiswara sangat berkenan menerimanya dan ia pun membalas terima kasih dengan
menganugerahkan Hutan Keling kepada Raden Kardana supaya dibuka menjadi kerajaan baru di
sana.

PRABU BAHLIKASURA MENYERANG KERAJAAN WIRATA


Prabu Bahlikasura telah mendapat laporan bahwa Prabu Partawijaya dan Raden Kardana
berlindung di Kerajaan Wirata. Ia pun berangkat mengejar dengan membawa pasukan lengkap dari
Kerajaan Siwandapura. Meskipun ia datang dengan alasan ingin menangkap Prabu Partawijaya dan
Raden Kardana, namun tujuan yang sebenarnya adalah ingin menaklukkan dan menjajah Kerajaan
Wirata.
Di lain pihak, Prabu Basukiswara sudah bersiaga. Ia memerintahkan Patih Wasita dan Arya
Manungkara untuk menyambut serangan tersebut. Prabu Pratipa dan pasukan Gajahoya juga ikut
membantu. Pasukan gabungan ini masih ditambah dengan Batara Sakri yang juga datang bersama
para murid Padepokan Gunung Saptaarga.
Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Bahlikasura tidak menyangka ternyata kekuatan
Kerajaan Wirata sedemikian besarnya. Satu persatu para punggawa Kerajaan Siwandapura
berguguran. Antara lain, Ditya Kalakunjana tewas di tangan Putut Supalawa, Ditya Gajahsinga
tewas di tangan Arya Sriati, Garuda Otgawa tewas di tangan Batara Sakri, Patih Balawara tewas di
tangan Patih Wasita, sedangkan Resi Logitasa tewas di tangan Resi Manumadewa.
Prabu Bahlikasura mengamuk dan hampir saja berhasil menangkap Prabu Partawijaya. Arya
Manungkara maju menghadapinya. Pertarungan sengit pun terjadi. Arya Manungkara tampak
kewalahan dan hampir saja kalah di tangan raja Siwandapura tersebut. Melihat itu, Prabu Pratipa
segera maju membantu. Kali ini Prabu Bahlikasura ganti terdesak kalah. Ketika ia lengah, tiba-tiba
Arya Manungkara maju kembali dan mengusapkan Minyak Manihara ke tubuhnya. Seketika raja
Siwandapura itu pun berubah menjadi arca batu.

PRABU BASUKISWARA MEMBEBASKAN PRABU BAHLIKASURA


Prabu Basukiswara memerintahkan Arya Manungkara untuk memulihkan wujud Prabu
Bahlikasura supaya bisa ditanyai. Arya Manungkara segera mengoleskan Minyak Muksala,
membuat arca batu di hadapannya seketika berubah kembali menjadi Prabu Bahlikasura.
Prabu Basukiswara sangat kesal kepada Prabu Bahlikasura dan berniat menjadikannya
sebagai tawanan yang harus ditebus mahal oleh anggota keluarganya di Kerajaan Siwandapura.
Prabu Pratipa tiba-tiba ikut bicara dan memintakan pengampunan untuk Prabu Bahlikasura. Setelah
berdebat cukup lama, akhirnya Prabu Basukiswara membebaskan raja Siwandapura tersebut,
dengan syarat tidak lagi mengganggu Prabu Partawijaya dan Raden Kardana yang kini menjadi
bagian dari Kerajaan Wirata.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Bahlikasura mematuhi syarat tersebut lalu ia pun undur diri meninggalkan Kerajaan
Wirata. Prabu Pratipa juga mohon pamit kembali ke Kerajaan Gajahoya. Ia menolak undangan
perjamuan dari Prabu Basukiswara untuk merayakan kemenangan perang.

PRABU PRATIPA BERSAHABAT DENGAN PRABU BAHLIKASURA


Dalam perjalanan pulang ke Gajahoya, Prabu Pratipa ditemui Prabu Bahlikasura yang
berterima kasih atas pembelaannya tadi. Prabu Pratipa sendiri mengaku kurang suka terhadap
Prabu Basukiswara sehingga ia pun membela Prabu Bahlikasura. Bagaimanapun juga usia Prabu
Pratipa lebih tua daripada Prabu Basukiswara, tetapi karena silsilah ia harus memanggil “paman”
kepadanya dan tunduk kepada raja Wirata tersebut. Ia bercita-cita suatu saat nanti Kerajaan
Gajahoya harus bisa merdeka dan tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata.
Prabu Bahlikasura menyatakan siap membantu Prabu Pratipa. Kedua raja itu lalu menjalin
persahabatan. Prabu Bahlikasura mengaku memiliki seorang anak perempuan bernama Dewi
Sunanda yang ingin dipersembahkannya sebagai istri Prabu Pratipa. Untuk itu, Prabu Pratipa pun
diundang berkunjung ke Kerajaan Siwandapura. Prabu Pratipa dengan senang hati menerima
perjodohan tersebut. Ia lebih dulu mengajak Prabu Bahlikasura singgah di Kerajaan Gajahoya,
kemudian mereka bersama-sama berlayar menuju Siwandapura.

RADEN KARDANA MENDIRIKAN KERAJAAN MANDRAKA


Atas izin Prabu Basukiswara, Hutan Keling kini telah dibuka menjadi sebuah negeri baru yang
dipimpin Raden Kardana, dengan gelar Prabu Mandrakusuma. Negeri baru tersebut menjadi
bawahan Kerajaan Wirata dan diberi nama Kerajaan Mandraka, yaitu meniru nama Mandrapura,
negeri tempat asal Prabu Mandrakusuma.
Prabu Basukiswara juga mengatur perjodohan antara Prabu Mandrakusuma dengan putri
sulung Arya Siati yang bernama Dewi Artati. Adapun adik Dewi Artati yang bernama Raden Artadriya
ditunjuk sebagai patih di Kerajaan Mandraka, bergelar Patih Artadriya. Tidak hanya itu, Prabu
Basukiswara juga mengangkat Arya Sriati sebagai pendeta yang mendampingi Prabu
Mandrakusuma. Maka, sejak saat itu Arya Sriati pun berganti nama menjadi Resi Srimanasa.
Prabu Basukiswara juga terkesan melihat kehebatan adik bungsu Arya Sriati, yaitu Resi
Manumadewa yang ikut berjuang menghadapi pasukan Siwandapura. Ia pun menawarkan jabatan
punggawa menggantikan kedudukan Arya Sriati kepada Resi Manumadewa. Dengan senang hati,
Resi Manumadewa menerima tawaran tersebut. Maka, sejak hari itu Resi Manumadewa menjadi
punggawa Kerajaan Wirata, dengan gelar Arya Srimadewa.

PRABU PARTAWIJAYA MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA


Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Partawijaya mohon pamit meninggalkan Kerajaan
Wirata. Ia sangat berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan Prabu Basukiswara kepada
rombongannya yang datang mengungsi meminta perlindungan. Prabu Basukiswara tidak keberatan
sama sekali mengingat persahabatan antara kedua negara, yaitu Wirata dan Gujulaha.
Prabu Partawijaya, Raden Partana, dan Patih Srenggabadra pun undur diri. Namun demikian,
mereka tidak kembali ke Kerajaan Gujulaha, melainkan pergi ke Gunung Saptaarga bersama Batara
Sakri. Prabu Partawijaya ingin lekas-lekas menjenguk dan melihat keadaan putrinya, yaitu Dewi Sati
yang kini menderita sakit paru-paru.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SAKRI GUGUR
Kisah ini menceritakan kematian Batara Sakri di tangan Prabu Murtija, raja raksasa dari
Kerajaan Tirtakawana, serta awal mula Dewi Wayasi dari Kasipura menjadi ibu susu bagi
Bambang Parasara yang masih berusia satu tahun.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki
Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan, dan merupakan perbaikan dari kisah
berjudul sama yang pernah saya posting sebelumnya.
Kediri, 07 Februari 2016
Heri Purwanto

Putut Supalawa

PRABU BASUKISWARA MELANTIK BAMBANG MANERIYA MENJADI RAJA GANDARADESA


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap kedua putra, yaitu Raden Basuketi dan Raden
Basuketu, serta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Wasita, Arya Manungkara, dan Arya
Srimadewa. Hadir pula Bambang Maneriya (kakak kandung Arya Manungkara) beserta putranya
yang bernama Bambang Mandara.
Sejak Resi Manonbawa dan Arya Paridarma meninggal (keduanya adalah adik Resi
Manumanasa), maka kedudukan sebagai pemimpin Desa Gandara dipegang oleh Bambang
Maneriya (putra Resi Manonbawa sekaligus menantu Arya Paridarma). Di bawah kepemimpinan
Bambang Maneriya, perkembangan Desa Gandara semakin maju dan penduduknya bertambah
banyak. Desa tersebut kini bisa dikatakan telah berubah menjadi sebuah kota yang ramai.
Prabu Basukiswara sangat berkenan mendengar berita tersebut dan ia berniat
mengembangkan Desa Gandara menjadi sebuah kerajaan yang boleh mengatur pemerintahan
sendiri dan membentuk pasukan, tetapi harus tetap setia kepada Kerajaan Wirata. Dengan
demikian, Kerajaan Wirata akan semakin bertambah kuat karena memiliki negara bawahan yang
bertambah banyak.
Untuk itulah Prabu Basukiswara memanggil Bambang Maneriya datang menghadap ke
Kerajaan Wirata. Bambang Maneriya menerima niat baik Prabu Basukiswara dengan senang hati
dan ia pun mengucapkan sumpah setia kepada Kerajaan Wirata. Prabu Basukiswara lalu
melantiknya menjadi raja kecil, bergelar Prabu Maneriya, sedangkan Desa Gandara diganti
namanya menjadi Kerajaan Gandaradesa.
KITAB WAYANG PURWA

DATANGNYA ANCAMAN MUSUH DARI TIRTAKAWANA


Setelah upacara pelantikan Prabu Maneriya usai, Prabu Basukiswara menerima kedatangan
Patih Sahasra dari Kerajaan Gilingwesi yang menyampaikan berita bahwa rajanya, yaitu Prabu
Danadewa telah ditawan musuh dari Kerajaan Tirtakawana yang bernama Patih Wiswageni, utusan
Prabu Murtija.
Patih Sahasra pun bercerita bahwa Prabu Murtija adalah raja raksasa dari laut selatan yang
memuja Batara Kala. Karena keturunan Batara Kala sering kalah melawan keturunan Batara Wisnu,
maka Prabu Murtija pun berniat membalas dendam. Ia mengirim pasukan besar yang dipimpin Patih
Wiswageni untuk menangkap para keturunan Batara Wisnu yang ada saat ini. Mula-mula yang
diserang adalah Prabu Danadewa di Kerajaan Gilingwesi. Kabarnya setelah menangkap Prabu
Danadewa, sasaran selanjutnya adalah ayahnya, yaitu Prabu Maheswara di Kerajaan Medang
Kamulan dan juga Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata. Mereka semua akan dibawa ke Kerajaan
Tirtakawana oleh Prabu Murtija untuk dikorbankan di hadapan patung Batara Kala.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar berita yang dibawa Patih Sahasra itu. Ia pun
memerintahkan Arya Manungkara memimpin pasukan untuk membantu Kerajaan Medang Kamulan.
Prabu Maneriya mohon izin ikut membantu sebagai darma baktinya kepada Kerajaan Wirata. Prabu
Basukiswara pun mempersilakannya. Maka, berangkatlah Prabu Maneriya dan Arya Manungkara
menjalankan tugas tersebut.

PRABU MANERIYA MENEWASKAN PATIH WISWAGENI


Pasukan yang dipimpin Prabu Maneriya dan Arya Manungkara telah sampai di Kerajaan
Medang Kamulan. Saat itu sedang terjadi pertempuran antara pihak Medang Kamulan melawan
para raksasa dari Kerajaan Tirtakawana. Prabu Maheswara tampak turun langsung ke medan
tempur namun ia terdesak menghadapi kesaktian Patih Wiswageni.
Prabu Maneriya dan Arya Manungkara segera membantu Prabu Maheswara. Kedudukan kini
menjadi seimbang. Arya Manungkara menumpas para prajurit raksasa hingga jumlah mereka
berkurang sangat banyak, sedangkan Prabu Maneriya bertarung melawan Patih Wiswageni. Dalam
pertarungan tersebut akhirnya Patih Wiswageni berhasil ditewaskan. Melihat pemimpinnya
terbunuh, sisa-sisa prajurit raksasa yang masih hidup pun berhamburan pulang ke Kerajaan
Tirtakawana.
Prabu Danadewa kini telah bebas dari sekapan musuh. Bersama-sama Prabu Maheswara,
mereka mengucapkan terima kasih atas bantuan Prabu Maneriya dan Arya Manungkara yang
datang tepat pada waktunya.

PRABU AMBINASA DAN DEWI WAYASI MENDAPAT PERINTAH DEWATA


Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Ambinasa dari Kerajaan Kasipura di tanah seberang
yang memiliki istri bernama Dewi Wayasi. Dari perkawinan mereka telah lahir seorang putra yang
kini masih bayi, bernama Raden Sadamuka.
Saat itu Kerajaan Kasipura sedang dilanda wabah penyakit yang menewaskan banyak
penduduk. Prabu Ambinasa dan Dewi Wayasi berdoa di sanggar pemujaan, memohon petunjuk
bagaimana caranya untuk mengatasi wabah ganas tersebut. Setelah bersamadi berhari-hari,
mereka pun didatangi Batara Narada yang turun dari kahyangan.
Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa Kerajaan Kasipura bisa
terbebas dari wabah penyakit apabila Dewi Wayasi bersedia menyusui seorang bayi berusia satu
tahun bernama Bambang Parasara di Gunung Saptaaarga yang baru saja ditinggal mati ibunya.
Setelah menyampaikan pesan demikian, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.
Sepeninggal Batara Narada, Prabu Ambinasa segera mempersiapkan diri berangkat ke Pulau
Jawa. Akan tetapi, Dewi Wayasi merasa bimbang karena ia mendapatkan firasat buruk jika pergi ke
sana. Prabu Ambinasa berusaha meyakinkan istrinya, bahwa petunjuk dari dewa pastilah untuk
kebaikan manusia. Setelah perasaan Dewi Wayasi lebih tenang, mereka pun berkemas dan
berangkat menuju ke Pulau Jawa.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI WAYASI MENYUSUI BAMBANG PARASARA


Di Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa sekeluarga sedang berduka
karena Dewi Sati, istri Batara Sakri meninggal dunia akibat penyakit paru-paru yang disertai batuk
darah. Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti sudah tentu sangat bersedih karena menyaksikan secara
langsung bagaimana putri mereka meregang nyawa. Selama ini Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti
memang tinggal di Gunung Saptaarga untuk menunggui putri mereka yang sakitnya semakin parah,
yaitu sejak Kerajaan Gujulaha hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura dari Siwandapura.
Batara Sakri tentunya yang paling bersedih atas kematian istrinya itu. Ia merasa berdosa
karena mengajak Dewi Sati tinggal di Gunung Saptaarga yang sederhana, padahal sejak kecil sang
istri hidup mewah di istana Gujulaha serta dimanjakan oleh Prabu Partawijaya. Batara Sakri
menyesal terlalu memaksakan kehendak sehingga akhirnya Dewi Sati jatuh sakit dan meninggal
dunia. Padahal, putra mereka yaitu Bambang Parasara masih berusia satu tahun.
Karena kesedihannya itulah, Batara Sakri pun pergi seorang diri meninggalkan padepokan.
Resi Manumanasa, Resi Satrukem, Prabu Partawijaya dan yang lainnya sangat menyesalkan
tindakan Batara Sakri yang terlalu hanyut dalam perasaan hingga melupakan kewajibannya sebagai
ayah. Resi Manumanasa telah mengutus Janggan Smara untuk menyusulnya tetapi sampai
sekarang belum juga kembali.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Ambinasa dan Dewi Wayasi dari Kerajaan Kasipura.
Mereka merasa serbasalah datang bertamu karena suasana Gunung Saptaarga sedang dirundung
duka. Resi Manumanasa bertanya apa yang menjadi keperluan mereka. Belum sempat Prabu
Ambinasa menjawab, Dewi Wayasi sudah bergerak menggendong bayi Bambang Parasara yang
menangis keras dan segera menyusuinya bersama putra mereka, yaitu Raden Sadamuka. Dewi
Wayasi menyusui kedua bayi tersebut sekaligus. Bambang Parasara di sebelah kiri, dan Raden
Sadamuka di sebelah kanan.
Demikianlah, Prabu Ambinasa lalu menceritakan bahwa kedatangan mereka adalah untuk
memenuhi petunjuk dewa, yaitu Dewi Wayasi harus menyusui Bambang Parasara agar Kerajaan
Kasipura terbebas dari wabah penyakit. Resi Manumanasa sangat bersyukur mendengarnya dan ia
pun mengheningkan cipta memohon kepada dewa agar wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan
Kasipura dihilangkan secepatnya.
Prabu Partawijaya lalu berangkat mencari Batara Sakri. Prabu Ambinasa ikut menemani
sebagai ungkapan syukurnya karena telah berhasil melaksanakan petunjuk dewata. Kedua raja dari
tanah seberang itu pun bersama-sama menuruni Gunung Saptaarga.

BATARA SAKRI GUGUR DI TANGAN PRABU MURTIJA


Sementara itu, Batara Sakri sudah beberapa hari ini duduk melamun di Hutan Wanamarta.
Janggan Smara yang ditugasi Resi Manumanasa untuk menyusul akhirnya bisa bertemu
dengannya. Ia berusaha membujuk Batara Sakri agar segera pulang demi Bambang Parasara. Akan
tetapi, Batara Sakri sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Mengenai putranya, ia yakin Bambang
Parasara memiliki takdir yang panjang dan pasti ada jalan terbaik untuknya.
Pada saat itulah muncul Prabu Murtija bersama pasukannya yang sedang bergerak menuju
Kerajaan Wirata untuk membalas kematian Patih Wiswageni. Ia pun bertanya kepada Batara Sakri
tentang jalan mana yang harus ditempuh jika ingin menuju Kerajaan Wirata. Batara Sakri balik
bertanya mengapa Prabu Murtija ingin membunuh Prabu Basukiswara. Prabu Murtija pun menjawab
bahwa ia ingin menumpas semua keturunan Batara Wisnu di Pulau Jawa. Batara Sakri menjawab
bahwa dirinya juga keturunan Batara Wisnu dari garis Dewi Srihuna. Ia pun menantang Prabu
Murtija jika ingin membunuhnya.
Prabu Murtija sangat senang melihat mangsa di hadapannya. Ia pun menyerang Batara Sakri
dengan beringas. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Batara Sakri pada dasarnya
sudah tidak memiliki semangat hidup lagi dan ingin segera menyusul kematian istrinya. Hal itu
membuat dirinya lengah sehingga lehernya terkena gigitan Prabu Murtija.
KITAB WAYANG PURWA

Akibat gigitan tersebut, Batara Sakri roboh dan tewas seketika. Secara ajaib, jasadnya juga
ikut musnah seperti asap tertiup angin.

KEMATIAN PRABU PARTAWIJAYA DAN PRABU AMBINASA


Prabu Partawijaya dan Prabu Ambinasa telah tiba di Hutan Wanamarta dan secara kebetulan
mereka melihat Batara Sakri tewas dalam pertarungan. Prabu Partawijaya segera maju menyerang
Prabu Murtija, namun ia kalah kuat dan akhirnya tewas di tangan raja raksasa tersebut.
Prabu Ambinasa marah melihat kawannya terbunuh. Ia pun maju menghadapi Prabu Murtija.
Keduanya bertarung sengit. Namun, pada akhirnya Prabu Ambinasa juga gugur terkena gigitan raja
raksasa dari Tirtakawana tersebut.
Kini yang tertinggal hanyalah Prabu Murtija dan Janggan Smara saja. Di luar dugaan, Janggan
Smara yang bertubuh bulat pendek itu ternyata sangat lincah dapat menghindari setiap serangan
Prabu Murtija. Bagaimanapun juga, Janggan Smara adalah penjelmaan Batara Ismaya, kakak
Batara Guru. Jika ia mau, ia bisa saja mengalahkan Prabu Murtija dengan mudah. Namun,
Sanghyang Padawenang telah menugasinya sebagai pengasuh, bukan sebagai kesatria petarung.
Teringat pada pesan sang ayah, Janggan Smara pun berlari ke arah Gunung Saptaarga dan
memancing Prabu Murtija supaya mengejarnya.

PRABU MURTIJA GUGUR BERSAMA PUTUT SUPALAWA


Janggan Smara telah sampai di hadapan Resi Manumanasa dan Resi Satrukem. Ia
melaporkan tentang Batara Sakri, Prabu Partawijaya, dan Prabu Ambinasa yang telah gugur di
Hutan Wanamarta menghadapi Prabu Murtija. Resi Manumanasa dan Resi Satrukem sangat
prihatin. Putut Supalawa sang wanara putih segera diperintahkan untuk maju menghadapi Prabu
Murtija.
Putut Supalawa telah bertemu Prabu Murtija yang sedang mengamuk merusak pedesaan di
kaki Gunung Saptaarga. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Putut Supalawa akhirnya
berhasil membunuh Prabu Murtija, namun ia sendiri juga gugur dan berubah wujud menjadi dewa
bernama Batara Bayusengara.
Batara Bayusengara lalu naik ke padepokan menemui Resi Manumanasa. Ia menceritakan
bahwa dirinya adalah putra Batara Bayu yang melakukan kesalahan sehingga diturunkan ke dunia.
Awal mulanya ialah Batara Bayusengara merasa iri kepada Kapi Anoman, yaitu wanara putih putra
Batara Guru yang diserahkan kepada Batara Bayu sebagai anak angkat. Sepak terjang Kapi
Anoman dalam membantu Prabu Sri Rama (titisan Batara Wisnu) saat perang besar melawan Prabu
Rahwana di Kerajaan Alengka membuat namanya harum dan dipuji-puji para dewa. Mereka selalu
menyebut-nyebut nama Kapi Anoman sebagai putra Batara Bayu yang perkasa, yang telah
membunuh banyak raksasa di Kerajaan Alengka.
Batara Bayusengara sangat kesal mendengar nama ayahnya selalu dikait-kaitkan dengan
wanara putih tersebut. Batara Bayu justru tidak senang kepada sikap Batara Bayusengara yang
suka meremehkan bangsa wanara. Sungguh ajaib, seketika tubuh Batara Bayusengara pun
berubah wujud menjadi wanara putih yang mirip dengan Kapi Anoman.
Batara Bayusengara menyesali sikap angkuhnya dan ia memohon supaya sang ayah
mengembalikan wujudnya seperti semula. Batara Bayu memberikan nasihat bahwa putranya itu bisa
terbebas dari kutukan apabila mengabdi kepada keturunan Batara Brahma dan Batara Wisnu yang
bernama Raden Kaniyasa. Batara Bayu lalu mengganti nama Batara Bayusengara menjadi Kapi
Supalawa.
Kapi Supalawa lalu bertapa di Gunung Saptaarga dan ia pun bertemu Raden Kaniyasa yang
sedang membuka padepokan. Raden Kaniyasa kemudian mengganti namanya menjadi Resi
Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa menjadi pembantunya, bergelar Putut Supalawa.
Demikianlah, Putut Supalawa kini telah kembali ke wujud asalnya, yaitu Batara Bayusengara.
Ia berterima kasih atas segala ilmu dan pelajaran yang diberikan Resi Manumanasa selama ini.
Sebaliknya, Resi Manumanasa juga berterima kasih atas semua bantuan Batara Bayusengara yang
KITAB WAYANG PURWA

tak terhitung banyaknya. Selama ini Resi Manumanasa tidak pernah menganggapnya sebagai
pembantu, tetapi sudah seperti keluarga sendiri. Dalam suasana haru mereka pun berpisah. Batara
Bayusengara lalu melesat kembali ke kahyangan dalam sekejap mata.

DEWI WAYASI MENJADI MURID RESI MANUMANASA


Dewi Sruti dan Dewi Wayasi sangat berduka atas kematian suami masing-masing. Dewi
Wayasi sendiri sudah mendapatkan firasat buruk saat hendak berangkat ke Tanah Jawa bersama
Prabu Ambinasa. Kini, firasat buruknya itu telah menjadi kenyataan.
Berita kematian Batara Sakri itu telah sampai di Kerajaan Wirata. Prabu Basukiswara pun
datang secara langsung untuk melayat. Ia sangat terharu atas pengorbanan Prabu Partawijaya dan
Prabu Ambinasa yang ikut gugur di tangan Prabu Murtija, padahal mereka bukan keturunan Batara
Wisnu.
Prabu Basukiswara lalu melantik Raden Partana, putra bungsu Prabu Partawijaya sebagai
raja baru di Kerajaan Gujulaha, dengan gelar Prabu Partana. Akan tetapi, karena Kerajaan Gujulaha
sudah dihancurkan oleh Prabu Bahlikasura, maka hendaknya Prabu Partana membangun kembali
negeri yang lama peninggalan leluhurnya, yaitu Kerajaan Sriwedari. Untuk itu, Prabu Basukiswara
berjanji akan menyumbang biaya pembangunan kota lama tersebut. Prabu Partana sangat
berterima kasih dan bersama-sama dengan ibunya, yaitu Dewi Sruti, mereka mohon pamit
meninggalkan Gunung Saptaarga.
Sementara itu, Prabu Basukiswara juga memberikan anugerah kepada Dewi Wayasi atas
pengorbanan Prabu Ambinasa, berupa Hutan Giyanti. Meskipun Hutan Giyanti terletak di Tanah
Jawa, namun sejak saat ini menjadi hak milik Kerajaan Kasipura yang terletak di seberang lautan.
Dewi Wayasi boleh membangun permukiman di hutan itu ataupun mengubahnya menjadi apa saja.
Dewi Wayasi berterima kasih dan berharap mungkin keturunannya yang kelak akan mengambil
manfaat dari Hutan Giyanti tersebut.
Sementara ini, Dewi Wayasi masih ingin tinggal di Gunung Saptaarga untuk berguru kepada
Resi Manumanasa sekaligus menyusui Bambang Parasara sampai usia dua tahun. Resi
Manumanasa berkenan menerimanya sebagai murid. Ia pun mengajarkan ilmu sangkan paran
dumadi dan kesempurnaan hidup kepada janda Prabu Ambinasa tersebut.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

MANUMANASA - SATRUKEM MUKSA


Kisah ini menceritakan Resi Manumanasa dan Resi Satrukem muksa menjadi dewa dengan
dijemput langsung oleh Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa. Sanghyang Padawenang
lalu menugasi Janggan Smara menjadi pengasuh Bambang Parasara dan keturunannya kelak.
Janggan Smara pun memakai nama baru, yaitu Kyai Semar, sedangkan bayangannya diubah
pula menjadi manusia bernama Bagong.
Kisah ini disusun dan diolah dengan sejumlah pengembangan berdasarkan sumber Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan
Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dan merupakan perbaikan
dari kisah yang pernah saya posting sebelumnya dengan judul yang sama.
Kediri, 14 Februari 2016
Heri Purwanto

PRABU BASUKISWARA MENGIRIM BANTUAN KE KERAJAAN MANDRAKA


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wasita, Arya Srimadewa, dan Arya
Manungkara. Ketika mereka sedang membicarakan masalah pemerintahan, tiba-tiba datang utusan
dari Kerajaan Mandraka, yaitu Patih Artadriya yang mengabarkan bahwa negerinya sedang
diserang musuh. Prabu Mandrakusuma raja Mandraka didatangi raja raksasa dari Kerajaan
Imaimantaka, bernama Prabu Mityakarda yang ingin merebut istrinya, yaitu Dewi Artati. Karena
kekuatan pihak raksasa sangat besar, Prabu Mandrakusuma terdesak dan menutup rapat-rapat
gerbang benteng Kerajaan Mandraka. Ia lalu mengutus Patih Artadriya untuk meminta bantuan
kepada Kerajaan Wirata.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar berita ini. Ia segera teringat bahwa Prabu
Mityakarda adalah putra Resi Martikawata yang dulu pernah menyatakan tunduk kepada Kerajaan
Wirata. Menanggapi masalah tersebut, Prabu Basukiswara pun mengustus Arya Manungkara untuk
membawa pasukan Wirata membantu kesulitan Prabu Mandrakusuma. Arya Manungkara segera
mohon pamit berangkat bersama Patih Artadriya menuju Kerajaan Mandraka.

PRABU MERCUKALAKRESNA MENANGKAP ARYA MANUNGKARA


Di luar benteng Kerajaan Mandraka, pasukan raksasa Imaimantaka sedang bersiaga di bawah
pimpinan Prabu Mityakarda. Hadir pula penasihat raja yang bernama Kyai Togog dan Bilung.
Berbeda dengan ayahnya (Resi Martikawata) yang bijaksana, Prabu Mityakarda ini bersifat angkara
murka. Ia ingin menaklukkan negeri-negeri di Tanah Jawa menjadi jajahan Kerajaan Imaimantaka.
Yang menjadi sasaran pertama adalah Kerajaan Mandraka, dengan alasan ingin merebut Dewi
Artati, istri Prabu Mandrakusuma.
Sebenarnya tujuan Prabu Mityakarda menggempur Kerajaan Mandraka adalah supaya Prabu
Mandrakusuma meminta bantuan Kerajaan Wirata. Dengan demikian, Kerajaan Imaimantaka
mendapatkan alasan untuk memerangi Kerajaan Wirata. Bagaimanapun juga, Prabu Mityakarda
KITAB WAYANG PURWA

ingin membalas dendam atas kematian mertua sekaligus pamannya, yaitu Prabu Hiranyaka raja
Manimantaka yang dulu tewas di tangan Prabu Basukiswara. Siasat Prabu Mityakarda kini menjadi
kenyataan. Arya Manungkara dan pasukan Wirata telah datang dan segera menggempur
perkemahan para raksasa Imaimantaka. Pertempuran sengit pun terjadi. Arya Manungkara dengan
mengandalkan Minyak Manihara berhasil mengubah banyak prajurit raksasa menjadi arca batu.
Prabu Mityakarda segera terjun ke medan tempur menghadapi kakak ipar Prabu Basukiswara
tersebut. Pertarungan sengit terjadi di antara mereka. Prabu Mityakarda tidak menyangka ternyata
Arya Manungkara sangat sakti dan membuatnya terdesak kewalahan. Ketika raja raksasa itu hampir
saja diubah menjadi patung batu oleh lawannya, tiba-tiba datang bala bantuan dari Kerajaan
Dwarawatiprawa, yaitu Prabu Mercukalakresna beserta pasukannya (Prabu Mercukalakresna dan
Prabu Mityakarda adalah sama-sama menantu Prabu Hiranyaka).
Prabu Mercukalakresna dan Prabu Mityakarda bekerja sama mengeroyok Arya Manungkara.
Keadaan kini berbalik. Arya Manungkara terdesak dan pusaka Minyak Manihara di tangannya dapat
direbut oleh Prabu Mercukalakresna. Dengan cekatan, Prabu Mercukalakresna segera
mengusapkan Minyak Manihara ke tubuh Arya Manungkara. Ibarat senjata makan tuan, Arya
Manungkara pun seketika berubah menjadi patung batu.
Patih Artadriya ngeri melihat Arya Manungkara telah dikalahkan. Ia pun memerintahkan
pasukan Wirata dan Mandraka supaya mundur masuk ke dalam benteng.

RESI MANUMANASA DAN RESI SATRUKEM MENJADI DEWA


Sementara itu, Resi Manumanasa dan putra sulungnya, yaitu Resi Satrukem di Gunung
Saptaarga bertapa siang dan malam untuk mencapai kesempurnaan. Pertapaan mereka ini
menyebabkan Kahyangan Suralaya berguncang dan para bidadara-bidadari merasa tidak kuat
menahan hawa panas yang dipancarkan oleh ayah dan anak tersebut.
Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa sangat berkenan menyaksikan tapa brata
tersebut dan ia pun turun ke Gunung Saptaarga untuk membangunkan Resi Manumanasa dan Resi
Satrukem. Keduanya terbangun dan segera menyampaikan sembah hormat kepada sang leluhur
para dewa.
Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menjemput Resi
Manumanasa dan Resi Satrukem menjadi dewa yang bersatu dengan dirinya. Resi Manumanasa
pun diberi nama baru, yaitu Batara Prawa, sedangkan Resi Satrukem diberi nama Batara Darma.
Keduanya lalu masuk bersatu ke dalam cahaya gemilang yang dipancarkan Sanghyang
Padawenang dan mencapai muksa.

ASAL-USUL BAGONG DAN KUNCUNG SEMAR


Ketika Sanghyang Padawenang hendak kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir,
muncul Janggan Smara yang tidak lain adalah penjelmaan Batara Ismaya, putranya sendiri.
Janggan Smara bersiap hendak ikut memasuki cahaya gemilang tersebut, namun dicegah oleh
Sanghyang Padawenang.
Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa belum waktunya Janggan Smara kembali ke
kahyangan karena masih banyak tugas yang harus ia kerjakan di dunia, yaitu mengasuh Bambang
Parasara yang saat ini masih berusia dua tahun beserta anak keturunannya kelak. Bahkan, kakak
Batara Ismaya yang bernama Batara Antaga pun kini telah menjalankan tugasnya sebagai
pengasuh para raksasa dengan nama Kyai Togog. Adapun yang menjadi rekan kerja Kyai Togog
adalah hawa nafsunya sendiri yang telah mewujud menjadi manusia, bernama Bilung Sarawita.
Janggan Smara mematuhi perintah Sanghyang Padawenang untuk mengasuh Bambang
Parasara dan keturunannya kelak, namun ia meminta diberi kawan pula. Sanghyang Padawenang
pun berkata bahwa teman Janggan Smara adalah bayangannya sendiri. Seketika bayangan
Janggan Smara pun berubah menjadi manusia bertubuh bulat pendek, bermata lebar, dan memakai
rambut gombak. Sanghyang Padawenang memberi nama orang itu Bagong dan menjadikannya
sebagai rekan Janggan Smara dalam menjalankan tugasnya.
KITAB WAYANG PURWA

Bagong bersifat polos seperti anak kecil, sebagai perlambang bahwa Janggan Smara akan
selalu awet muda dan panjang umur karena ia harus mengasuh Bambang Parasara dan
keturunannya, sampai lahir titisan Batara Wisnu yang akan memelihara ketertiban dunia. Kelak
Janggan Smara akan bekerja sama dengan titisan Batara Wisnu tersebut untuk menumpas angkara
murka melalui sebuah perang besar yang disebut Bratayuda Jayabinangun.
Sanghyang Padawenang lalu memberikan sebuah pusaka berupa permata kepada Janggan
Smara. Permata ini bernama Manik Astagina yang memiliki delapan macam khasiat, yaitu tidak
merasa lapar, tidak merasa kantuk, tidak tergoda birahi, tidak merasa sedih, tidak merasa letih, tidak
terkena penyakit, tidak merasa panas, dan tidak merasa dingin. Sanghyang Padawenang mengikat
permata pusaka tersebut pada ubun-ubun Janggan Smara sehingga membentuk semacam
kuncung.
Sanghyang Padawenang kemudian musnah dari pandangan, disusul turun hujan deras
berbau harum membasahi Gunung Saptaarga dan sekitarnya. Janggan Smara lalu mengganti
namanya menjadi Kyai Semar, sedangkan Bagong dijadikan sebagai anak angkatnya. Ia lalu turun
gunung menuju Kerajaan Wirata untuk mengabarkan perihal muksanya Resi Manumanasa dan Resi
Satrukem menjadi dewa, sedangkan Bagong diperintahkan untuk menjaga Bambang Parasara.

KYAI SEMAR BERTEMU ARYA SRIMADEWA


Dalam perjalanan menuju Kerajaan Wirata, Kyai Semar bertemu pasukan Wirata yang
dipimpin Arya Srimadewa (putra bungsu Resi Manumanasa, atau adik Resi Satrukem). Mereka pun
saling bertanya kabar masing-masing. Arya Srimadewa sangat terkejut mendengar ayah dan
kakaknya telah muksa. Ia ingin sekali melayat ke Gunung Saptaarga, namun dirinya sedang
mengemban tugas dari Prabu Basukiswara untuk membebaskan Kerajaan Mandraka dari kepungan
musuh. Ternyata berita kekalahan Arya Manungkara telah sampai di Kerajaan Wirata.
Kyai Semar prihatin mendengar berita itu. Ia pun menyarankan agar Arya Srimadewa lebih
dulu menyelesaikan tugasnya, barulah nanti mengunjungi Gunung Saptaarga. Arya Srimadewa
menurut. Mereka lalu bersama-sama bergerak menuju Kerajaan Mandraka.

ARYA SRIMADEWA MENGALAHKAN PARA RAKSASA


Arya Srimadewa dan pasukan Wirata telah sampai di Kerajaan Mandraka dan menggempur
perkemahan para raksasa. Pertempuran kembali terjadi dan kali ini berlangsung lebih sengit
daripada sebelumnya, karena pasukan yang dibawa Arya Srimadewa jauh lebih banyak daripada
yang dibawa Arya Manungkara kemarin. Prabu Mercukalakresna dan Prabu Mityakarda maju
bersama mengeroyok Arya Srimadewa.
Menghadapi kedua raja raksasa tersebut, Arya Srimadewa merasa terdesak kewalahan. Ia
pun mundur kemudian mengheningkan cipta mengerahkan angin topan yang membuat kedua raja
tersebut beserta seluruh pasukan mereka terhempas jauh entah ke mana.
Kyai Togog dan Bilung yang tidak ikut terlempar oleh angin topan tampak berjalan mendekati
Kyai Semar. Mereka pun saling bertanya kabar. Kyai Togog telah mendapat tugas dari Sanghyang
Padawenang untuk mengasuh para raksasa, sedangkan Kyai Semar mendapat tugas untuk
mengasuh para kesatria. Kyai Togog lalu mohon pamit pergi bersama Bilung, namun sebelumnya
ia sempat menyerahkan pusaka Minyak Manihara dan Minyak Muksala kepada Kyai Semar. Kedua
minyak pusaka itu telah direbut oleh Prabu Mercukalakresna dari tangan Arya Manungkara, dan
hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya.

RESI SRIMANASA DAN ARYA SRIMADEWA MELAYAT KE GUNUNG SAPTAARGA


Kyai Semar telah mengembalikan wujud Arya Manungkara menjadi manusia menggunakan
Minyak Muksala. Prabu Mandrakusuma dan Resi Srimanasa juga muncul dari dalam benteng dan
berterima kasih atas bantuan Arya Srimadewa yang telah berhasil mengusir musuh dari Kerajaan
Mandraka.
Kyai Semar lalu menyampaikan berita bahwa Resi Manumanasa dan Resi Satrukem telah
muksa menjadi dewa, yang kini bergelar Batara Prawa dan Batara Darma. Semua orang terkejut
KITAB WAYANG PURWA

mendengarnya, terutama Resi Srimanasa, yaitu putra kedua Resi Manumanasa. Resi Srimanasa
segera mengajak Arya Srimadewa untuk bersama-sama melayat ke Gunung Saptaarga. Prabu
Mandrakusuma dan Patih Artadriya ikut menyertai, sedangkan Arya Manungkara pulang ke
Kerajaan Wirata untuk mengabarkan berita duka ini kepada Prabu Basukiswara.
Sesampainya di Gunung Saptaarga, Resi Srimanasa dan Arya Srimadewa segera
mengadakan upacara pemuliaan untuk ayah dan kakak mereka yang telah muksa. Setelah masa
berkabung usai, mereka berunding untuk menyatukan para cucu Resi Manumanasa agar menjadi
satu keluarga. Maka, Resi Srimanasa pun menjodohkan putranya, yaitu Patih Artadriya dengan Dewi
Manuhara, putri Arya Srimadewa. Prabu Mandrakusuma bersama Kyai Semar dan Bagong menjadi
saksi dan ikut bergembira menyambut keputusan ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

LAGNA - LAGNI
Kisah ini menceritakan petualangan pertama Raden Basuketi, yang kelak menjadi Prabu
Basuparicara, dan termasuk pula sebagai leluhur para Pandawa dan Kurawa. Dalam kisah ini
Raden Basuketi diceritakan meruwat Batara Sungkara yang berwujud celeng, serta berselisih
dengan raksasa-raksasi bersaudara, bernama Ditya Lagna dan Dewi Lagni.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 03 Maret 2016
Heri Purwanto

RADEN BASUKETI PERGI BERKELANA KARENA KEHILANGAN ISTRI


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wasita, Arya Srimadewa, dan Arya
Manungkara. Mereka sedang membiarakan hilangnya sang putra mahkota, yaitu Raden Basuketi
yang meninggalkan istana tanpa pamit.
Beberapa waktu yang lalu Prabu Basukiswara memutuskan untuk berbesan dengan Arya
Manungkara supaya lebih mempererat tali persaudaraan. Raden Basuketi putra sulung Prabu
Basukiswara dijodohkan dengan Dewi Subakti putri Arya Manungkara. Akan tetapi, baru menikah
tiga hari Dewi Subakti menderita sakit panas dan meninggal dunia. Raden Basuketi sangat terpukul
atas peristiwa itu dan ia pun pergi tanpa pamit meninggalkan istana Wirata.
Prabu Basukiswara dan Arya Manungkara telah ikhlas atas meninggalnya Dewi Subakti dan
berharap Raden Basuketi bisa segera ditemukan. Untuk itu, Prabu Basukiswara pun mengutus Arya
Srimadewa agar mencari keberadaan Raden Basuketi. Arya Srimadewa lalu mohon pamit berangkat
melaksanakan tugas.

PRABU AGNIYARA KEHILANGAN ANAK-ANAKNYA


Tersebutlah seorang raja raksasa dari Kerajaan Indrapura, bernama Prabu Agniyara. Ia
memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan, bernama Ditya Lagna dan Dewi Lagni yang saat
ini menghilang entah ke mana. Awal mulanya ialah mereka berdua selalu mengeluh mengapa
terlahir ke dunia sebagai raksasa-raksasi. Keduanya mengaku ingin sekali menjadi manusia
berparas tampan atau cantik, tidak seperti sekarang ini.
Prabu Agniyara menasihati kedua anaknya untuk menerima takdir yang telah ditentukan Sang
Pencipta. Menjadi raksasa itu bukan suatu kesialan apabila mau mensyukurinya. Prabu Agniyara
pun memberikan contoh nama-nama raksasa yang dikenang sepanjang masa, misalnya Prabu
Rahwana raja besar penuh kuasa dari Kerajaan Alengka, atau Raden Kumbakarna, seorang
raksasa berukuran besar mengerikan tetapi berjiwa kesatria, atau Resi Wisnungkara, seorang
raksasa berkulit hitam tetapi berjiwa brahmana.
Akan tetapi, Ditya Lagna dan Dewi Lagni tetap bersikeras ingin menjadi manusia. Mereka
berdua pun pergi tanpa pamit dari istana dengan tujuan bertapa untuk mewujudkan cita-cita.
Kini Prabu Agniyara merasa bingung dan khawatir jangan-jangan kedua anaknya
mendapatkan celaka. Ia pun mengutus Resi Swawaktya untuk pergi mencari Ditya Lagna dan Dewi
Lagni. Resi Swawaktya pun berangkat dengan dikawal dua raksasa, yaitu Ditya Karsula dan Ditya
Biksama.
ROMBONGAN PARA RAKSASA BERSELISIH DENGAN PASUKAN WIRATA
Demikianlah, Resi Swawaktya berangkat memimpin pasukan raksasa mencari hilangnya Ditya
Lagna dan Dewi Lagni. Dalam perjalanan itu mereka bertemu Arya Srimadewa bersama pasukan
Wirata yang bermaksud mencari hilangnya Raden Basuketi.
Terjadilah perselisihan di antara kedua pasukan tersebut yang berlanjut dengan pertempuran
sengit. Untuk mencegah jatuhnya banyak korban, Arya Srimadewa pun mengheningkan cipta
mendatangkan angin topan yang melanda pihak raksasa. Resi Swawaktya dan pasukannya pun
terhempas oleh angin tersebut dan terbang jauh entah ke mana.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah keadaan aman, Arya Srimadewa kembali melanjutkan perjalanannya.

DITYA LAGNA DAN DEWI LAGNI MENJADI MANUSIA


Sementara itu, kedua anak Prabu Agniyara yang sedang dicari-cari, yaitu Ditya Lagna dan
Dewi Lagni sedang bertapa di Hutan Krendayana untuk bisa menjadi manusia. Para dewa pun
berkenan mengabulkan apa yang menjadi keinginan mereka. Tidak lama kemudian Batara Narada
turun dari kahyangan untuk menyampaikan anugerah dari Batara Guru kepada raksasa-raksasi
kakak beradik tersebut.
Ditya Lagna dan Dewi Lagni bangun dari tapa dan menyembah Batara Narada. Batara Narada
datang untuk menyampaikan keputusan Batara Guru, yaitu mengubah kedua raksasa-raksasi itu
menjadi manusia. Namun demikian, ada syarat untuk mereka. Ditya Lagna akan diubah menjadi
manusia normal tetapi berkelamin wanita, sedangkan Dewi Lagni tetap menjadi wanita tetapi
menderita cacat.
Ditya Lagna menimbang-nimbang keputusan tersebut dan akhirnya bersedia diubah menjadi
manusia. Tidak masalah jika dirinya berganti kelamin menjadi wanita, yang penting tidak lagi
berwujud raksasa. Batara Narada pun mengabulkannya. Seketika Ditya Lagna pun berubah wujud
menjadi seorang manusia berkelamin wanita, dan diberi nama baru Dewi Warani.
Sementara itu, Dewi Lagni tidak ada masalah soal kelamin karena ia akan diubah menjadi
manusia berkelamin wanita juga. Akan tetapi, ia merasa keberatan jika menderita cacat. Untuk itu,
ia memohon supaya diizinkan memilih apa yang menjadi cacatnya. Batara Narada mempersilakan.
Dewi Lagni pun memilih menjadi wanita tuli saja, jangan cacat yang lain. Batara Narada
mengabulkan hal itu. Seketika Dewi Lagni pun berubah wujud menjadi wanita tuli, yang diberi nama
baru Dewi Wuryati.
Batara Narada lalu kembali ke kahyangan karena tugasnya telah selesai. Ia berpesan kepada
Dewi Warani dan Dewi Wuryati supaya menjaga kesabaran. Karena, jika mereka marah-marah
maka keduanya akan segera kembali menjadi raksasa dan raksasi lagi. Dewi Warani dan Dewi
Wuryati mematuhi nasihat tersebut.

DEWI WARANI DAN DEWI WURYATI BERTEMU CELENG


Setelah menjadi manusia berparas cantik, Dewi Warani dan Dewi Wuryati memutuskan untuk
pergi ke Kerajaan Wirata. Mereka mendengar kabar bahwa di sana Prabu Basukiswara memiliki dua
orang putra, bernama Raden Basuketi dan Raden Basuketu. Mereka berniat memikat kedua
pangeran itu supaya bisa dijadikan sebagai istri.
Dalam perjalanan tersebut Dewi Warani dan Dewi Wuryati bercakap-cakap tetapi selalu salah
paham. Itu karena telinga Dewi Wuryati tuli sehingga tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan
oleh kakaknya. Tiba-tiba saja mereka melihat seekor celeng sedang bertapa di bawah sebatang
pohon rimbun sambil menertawakan mereka. Dewi Warani dan Dewi Wuryati terkejut melihat ada
celeng bisa tertawa dan berbicara. Karena penasaran, mereka pun mendatangi celeng tersebut.
Celeng itu mengaku sedang bertapa tekun tapi kemudian terbangun karena merasa geli
mendengar percakapan kedua wanita yang “tidak nyambung” di depannya. Dewi Warani dan Dewi
Wuryati heran melihat ada seekor celeng yang bisa berbicara. Celeng itu mengaku bernama
Sungkara yang merupakan keturunan Batara Wisnu. Ia lalu bercakap-cakap dengan kedua wanita
itu dan saling menanyakan asal usul masing-masing.

RADEN BASUKETI MERUWAT CELENG SUNGKARA


Kebetulan Raden Basuketi lewat di tempat itu. Ia heran melihat ada seekor celeng yang bisa
berbicara dan menertawakan Dewi Wuryati yang selalu salah tangkap karena telinganya tuli. Raden
Basuketi mengira celeng tersebut hendak menyakiti kedua wanita di hadapannya. Tanpa bertanya,
ia pun menghunus keris dan langsung menusukkannya ke tubuh celeng tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Celeng Sungkara tewas seketika. Namun, secara ajaib bangkainya musnah dan berubah
menjadi seorang laki-laki yang mengaku bernama Batara Sungkara. Ia sangat berterima kasih atas
bantuan Raden Basuketi yang telah meruwat dirinya hingga berubah wujud menjadi dewa.
Batara Sungkara pun bercerita bahwa dahulu kala Batara Wisnu pernah menjelma menjadi
seekor celeng untuk mengalahkan musuh sakti. Hal ini membuat salah seorang putranya, yaitu
Batara Basawa merasa malu. Ia mencela ayahnya, mengapa seorang dewa harus mengubah
wujudnya menjadi binatang rendahan semacam celeng. Batara Wisnu bersabar atas pencelaan itu
dan berniat menguji putranya tersebut.
Batara Wisnu diam-diam mengubah seekor celeng betina menjadi seorang wanita cantik dan
menyerahkannya kepada Batara Basawa. Batara Basawa yang tidak menyadarinya pun terpikat dan
menikahi wanita jadi-jadian tersebut. Dari perkawinan itu lahirlah tiga orang anak yang semuanya
berwujud celeng. Sementara itu, ibu mereka pun kembali ke wujud asal, yaitu seekor celeng betina.
Batara Basawa menyadari kesalahannya dan memohon ampun karena telah menghina ayah
sendiri. Batara Wisnu lalu memungut ketiga bayi celeng tersebut dan meruwat mereka sehingga
berubah menjadi tiga orang laki-laki. Mereka diberi nama Batara Wasudewa, Batara Wasudarma,
dan Batara Wasudara.
Setelah dewasa, Batara Wasudewa menikah dan memiliki anak berkulit hitam seperti celeng,
yang diberi nama Batara Kresnapatra. Kemudian Batara Kresnapatra memiliki dua anak berbeda
wujud, yang satu berkulit hitam seperti celeng, dan yang satunya benar-benar berwujud celeng.
Yang berkulit hitam seperti celeng diberi nama Batara Wasya, sedangkan yang berwujud celeng
diberi nama Batara Sungkara.
Demikianlah, Batara Sungkara menceritakan asal usul silsilahnya. Kini ia telah teruwat tidak
lagi berwujud celeng dan bisa kembali ke kahyangan, berkumpul bersama para dewa. Namun,
sebelum itu Batara Sungkara berjanji akan membantu Raden Basuketi sebagai balas budi, karena
ia mendapat firasat bahwa sebentar lagi akan ada kesulitan yang dihadapi pangeran Wirata tersebut.

KEMATIAN DITYA LAGNA DAN DEWI LAGNI


Firasat Batara Sungkara menjadi kenyataan. Tidak lama kemudian tiba-tiba ada satu pasukan
raksasa yang jatuh dari angkasa. Mereka adalah Resi Swawaktya, Ditya Karsula, dan Ditya Biksama
yang melayang-layang dihempas angin topan saat bertempur melawan Arya Srimadewa tadi. Resi
Swawaktya yang berpandangan tajam dapat mengenali bahwa Dewi Warani dan Dewi Wuryati
adalah penjelmaan Ditya Lagna dan Dewi Lagni. Ia pun meminta mereka supaya pulang ke Kerajaan
Indrapura. Namun, Dewi Warani dan Dewi Wuryati tidak mau, karena mereka sudah membulatkan
tekad ingin mengabdi di Kerajaan Wirata.
Resi Swawaktya yang telah diberi wewenang oleh Prabu Agniyara segera memerintahkan
Ditya Karsula dan Ditya Biksama untuk memaksa mereka berdua. Raden Basuketi pun maju untuk
menghalangi kedua raksasa tersebut. Sesuai janjinya, Batara Sungkara juga ikut maju membantu
Raden Basuketi. Pertempuran pun terjadi, di mana Ditya Karsula tewas di tangan Raden Basuketi,
sedangkan Ditya Biksama tewas di tangan Batara Sungkara.
Melihat kedua raksasa pengikut ayahnya tewas, Dewi Warani berubah pikiran. Ia marah-
marah memaki Raden Basuketi adalah orang yang beringas dan suka mengumbar kekerasan.
Karena kehilangan kesabaran, seketika wujud Dewi Warani pun berubah kembali menjadi raksasa,
yaitu Ditya Lagna. Raden Basuketi terkejut mengetahui jati diri wanita yang telah dibelanya tadi.
Keduanya pun bertarung dan berakhir dengan kematian Ditya Lagna.
Melihat kakaknya tewas, Dewi Wuryati sangat marah dan kembali ke wujud aslinya, yaitu
seorang raksasi bernama Dewi Lagni. Ia pun menyerang Raden Basuketi, namun dihadang Batara
Sungkara. Dalam pertarungan tersebut, Dewi Lagni akhirnya tewas pula menyusul kakaknya.
Resi Swawaktya mengamuk melihat kedua anak majikannya terbunuh. Pada saat itulah
datang Arya Srimadewa yang diutus Prabu Basukiswara untuk mencari hilangnya Raden Basuketi.
Pertarungan pun terjadi dan berakhir dengan kematian Resi Swawaktya di tangan Arya Srimadewa.
KITAB WAYANG PURWA

Keadaan kini aman kembali. Batara Sungkara telah memenuhi janjinya untuk membantu
kesulitan Raden Basuketi. Ia lalu mohon pamit kembali ke kahyangan, berkumpul bersama para
dewa lainnya.

PRABU AGNIYARA MENYERANG KERAJAAN WIRATA


Raden Basuketi dan Arya Srimadewa telah kembali ke Kerajaan Wirata. Prabu Basukiswara
sangat bahagia melihat putranya baik-baik saja, bahkan kini telah bertambah banyak pengalaman.
Ia menasihati agar Raden Basuketi jangan terlalu bersedih atas kematian Dewi Subakti. Sebagai
gantinya, Prabu Basukiswara berniat untuk menjodohkan Raden Basuketi dengan putri Resi
Basundara di Kerajaan Gajahoya, yang bernama Dewi Yukti. Tentunya ini sekaligus agar
kekerabatan antara sesama keturunan Prabu Basupati menjadi lebih dekat. Raden Basuketi hanya
menurut, mematuhi keputusan sang ayah.
Tidak lama kemudian Prabu Basukiswara mendapat laporan bahwa Kerajaan Wirata diserang
Prabu Agniyara dari Kerajaan Indrapura yang tidak terima atas kematian Ditya Lagna dan Dewi
Lagni. Mendengar itu, Prabu Basukiswara pun memerintahkan Arya Manungkara dan Arya
Srimadewa segera memimpin pasukan Wirata untuk menghadapi mereka.
Pertempuran pun terjadi. Prabu Agniyara dan pasukannya tidak mampu menembus
pertahanan pihak Wirata. Akhirnya pasukan raksasa itu porak-poranda. Prabu Agniyara
memerintahkan para prajuritnya yang masih hidup agar mundur kembali ke Kerajaan Indrapura.
Dalam hati ia masih menyimpan dendam kepada Raden Basuketi dan berniat menyusun rencana
untuk membalaskan kematian kedua anaknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUKETI KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan kedua Raden Basuketi yang kelak bergelar Prabu
Basuparicara, dengan Dewi Yukti, putri Resi Basundara. Perkawinan ini sempat terkendala
karena Dewi Yukti hilang diculik Prabu Agniyara yang menyamar sebagai pelangi.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dengan sejumlah pengembangan.
Kediri, 05 Juni 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUKISWARA HENDAK BERBESAN DENGAN RESI BASUNDARA


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata bersama Patih Wasita, Arya Srimadewa, dan Arya
Manungkara sedang membicarakan surat lamaran yang telah dikirim kepada Resi Basundara di
Kerajaan Gajahoya. Dalam surat itu, Prabu Basukiswara bermaksud menikahkan sang putra
mahkota, yaitu Raden Basuketi dengan putri Resi Basundara yang bernama Dewi Yukti. Perkawinan
ini akan menjadi perkawinan kedua bagi Raden Basuketi setelah istri pertamanya, yaitu Dewi
Subakti putri Arya Manungkara meninggal dunia karena sakit panas.
Ketika mereka sedang sibuk membahas rencana pernikahan tersebut, tiba-tiba datang Resi
Basundara membawa kabar bahwa Dewi Yukti telah hilang tanpa diketahui keberadaannya. Awal
mulanya ialah Dewi Yukti tertarik melihat pelangi di angkasa dan tanpa sadar kakinya pun berjalan
ke arah ujung pelangi tersebut berada. Tak disangka, pelangi itu tiba-tiba hidup dan kemudian
merenggut tubuh Dewi Yukti serta membawanya kabur. Resi Basundara sudah berusaha mencari
ke mana-mana namun tidak juga berhasil menemukan keberadaan putrinya tersebut.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar berita ini. Ia menuduh Resi Basundara sengaja
mengarang cerita khayal tentang pelangi yang bisa menculik manusia segala, padahal yang
sebenarnya adalah Resi Basundara tidak setuju menikahkan Dewi Yukti dengan Raden Basuketi.
Prabu Basukiswara heran mengapa Resi Basundara menolak lamarannya, padahal pernikahan ini
bisa mendekatkan hubungan kekeluargaan antara sesama keturunan Prabu Basupati (raja Wirata
kedua). Lagipula, Raden Basuketi adalah putra mahkota yang kelak menjadi raja. Itu berarti, Dewi
Yukti dengan sendirinya akan menjadi calon permaisuri pula.
Resi Basundara bersumpah bahwa apa yang ia ceritakan adalah benar, dan sama sekali
bukan dusta yang dibuat-buat. Namun, Prabu Basukiswara sudah terlanjur marah. Ia mengusir Resi
Basundara dan melarangnya pulang ke Kerajaan Gajahoya. Bagaimanapun juga, Gajahoya adalah
negeri bawahan Kerajaan Wirata, sehingga Prabu Basukiswara merasa berhak melarang Resi
Basundara pulang ke sana.
Setelah Resi Basundara pergi, Prabu Basukiswara memanggil Raden Basuketi supaya
menghadap. Kepada putra sulungnya itu, ia menceritakan bahwa Dewi Yukti hilang diculik pelangi.
Cerita ini jelas khayal dan mengada-ada. Untuk itu, Raden Basuketi dipersilakan memilih calon istri
yang lain saja.
KITAB WAYANG PURWA

Akan tetapi, Raden Basuketi menolak saran sang ayah. Ia yakin calon mertuanya, yaitu Resi
Basundara tidak mengarang cerita. Untuk itu, Raden Basuketi berniat mencari ke mana hilangnya
Dewi Yukti dan ia bertekad tidak akan menikah dengan perempuan lain. Prabu Basukiswara kembali
marah dan menuduh Raden Basuketi kurang ajar berani membantah orang tua. Ia pun mengusir
putra sulungnya itu pergi dari istana.
Patih Wasita, Resi Srimadewa, dan Arya Manungkara berusaha menyabarkan hati Prabu
Basukiswara. Berangsur-angsur kemarahan Prabu Basukiswara mereda. Ia lalu memerintahkan
Arya Manungkara untuk menyusul Raden Basuketi dan mengajaknya kembali ke istana. Arya
Manungkara segera mohon pamit melaksanakan tugas, dan Prabu Basukiswara pun membubarkan
pertemuan.

RADEN BASUKETI DIHADANG PARA RAKSASA


Raden Basuketi telah cukup jauh berjalan meninggalkan ibu kota Wirata. Di tengah jalan ia
bertemu barisan pasukan raksasa dari Kerajaan Indrapura yang dipimpin Patih Kalabikswa. Para
raksasa itu sedang mencari raja mereka yang menghilang dari istana, yaitu Prabu Agniyara.
Patih Kalabikswa menghentikan perjalanan Raden Basuketi dan bertanya dengan kasar
apakah pernah bertemu Prabu Agniyara. Raden Basuketi tersinggung atas sikap kasar para raksasa
itu dan ia pun menjawab dengan seenaknya. Patih Kalabikswa marah dan mengerahkan
pasukannya untuk menyerang Raden Basuketi.
Terjadilah pertarungan yang tidak seimbang, di mana Raden Basuketi seorang diri harus
menghadapi para raksasa sebanyak itu. Ketika ia mulai terdesak dan hampir saja mati di tangan
Patih Kalabikswa, tiba-tiba muncul sang paman, yaitu Arya Manungkara yang langsung
membantunya menghadapi musuh. Dengan menggunakan pusaka Permata Manikhara, Arya
Manungkara berhasil mengubah beberapa raksasa menjadi arca batu, membuat Patih Kalabikswa
merasa ngeri dan mengajak pasukannya kabur meninggalkan tempat itu.
Arya Manungkara lalu menyampaikan perintah Prabu Basukiswara supaya Raden Basuketi
pulang ke istana. Raden Basuketi menolak karena ia sudah bertekad bulat untuk bisa menemukan
Dewi Yukti, calon istrinya. Arya Manungkara tidak mampu membujuk keponakannya itu, dan di sisi
lain juga tidak tega membiarkannya pergi sendiri. Seketika ia pun teringat semasa muda dulu dirinya
juga pernah berkelana mencari hilangnya Dewi Basutari (saudara perempuan Prabu Basukiswara)
yang diculik Gandarwa Janjatma dan kini menjadi istrinya. Terkenang pada pengalaman sendiri,
membuat Arya Manungkara berjanji akan menemani Raden Basuketi pergi mencari Dewi Yukti.
Raden Basuketi sangat berterima kasih atas kesediaan sang paman. Mereka lalu bersama-
sama melanjutkan perjalanan mencari keberadaan putri Resi Basundara tersebut.

RADEN BASUKETI MENDAPAT PETUNJUK DEWA


Raden Basuketi dan Arya Manungkara berjalan melewati lembah pegunungan dan pedesaan.
Pada saat singgah di Desa Wasutira, mereka berjumpa Batara Sungkara yang dulu pernah diruwat
Raden Basuketi dari wujud celeng menjadi seorang dewa. Raden Basuketi sangat gembira bertemu
sahabatnya itu dan memperkenalkannya kepada Arya Manungkara.
Batara Sungkara sengaja turun dari kahyangan untuk memberikan petunjuk kepada Raden
Basuketi tentang keberadaan Dewi Yukti. Ia menjelaskan bahwa pelangi yang menculik Dewi Yukti
adalah penjelmaan Prabu Agniyara, raja raksasa dari Kerajaan Indrapura yang ingin membalas
dendam atas kematian putra dan putrinya, yaitu Ditya Lagna dan Dewi Lagni. Beberapa waktu yang
lalu, Ditya Lagna dan Dewi Lagni tewas di tangan Raden Basuketi dan Batara Sungkara. Kini, ayah
mereka yaitu Prabu Agniyara ingin membalas dendam dengan cara menculik calon istri Raden
Basuketi.
Batara Sungkara pun memberikan petunjuk bahwa Dewi Yukti saat ini disembunyikan oleh
Prabu Agniyara di Hutan Magada. Ia menawarkan diri untuk membantu, namun Raden Basuketi
menolak dengan halus. Ia merasa ini adalah urusan pribadi antara dirinya dengan Prabu Agniyara,
sedangkan Batara Sungkara sudah banyak membantu saat menghadapi Ditya Lagna dan Dewi
Lagni dulu.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah dirasa cukup, Batara Sungkara pun terbang kembali ke kahyangan, sedangkan Raden
Basuketi dan Arya Manungkara mengucapkan terima kasih lalu melanjutkan perjalanan.

RADEN BASUKETI MENEMUKAN DEWI YUKTI


Raden Basuketi dan Arya Manungkara telah sampai di Hutan Magada. Setelah menyusuri
hutan tersebut cukup lama, mereka akhirnya melihat Dewi Yukti sedang bersamadi di atas batu,
sedangkan Prabu Agniyara berusaha menyerangnya. Pada awalnya Prabu Agniyara hanya ingin
menggagalkan perkawinan Raden Basuketi. Namun, lama-lama ia tergoda melihat kecantikan Dewi
Yukti dan kini berniat untuk memerkosanya. Akan tetapi, Dewi Yukti bersamadi dengan sangat
hening hingga tubuhnya memancarkan hawa gaib yang berguna sebagai pagar, membuat Prabu
Agniyara tidak bisa mewujudkan niat jahatnya.
Raden Basuketi terkesan melihat kegigihan Dewi Yukti. Ia pun maju menyerang Prabu
Agniyara. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Selang agak lama, Arya Manungkara melihat
keponakannya mulai terdesak. Ia lalu meminjamkan pusaka Sela Mertyujiwa kepada Raden
Basuketi. Dengan menggunakan batu ajaib tersebut, Raden Basuketi berhasil melukai Prabu
Agniyara yang kemudian melarikan diri meninggalkan Hutan Magada.
Raden Basuketi membangunkan Dewi Yukti dari samadinya. Dewi Yukti sangat berterima
kasih telah dibebaskan dari sekapan Prabu Agniyara. Raden Basuketi dan Arya Manungkara lalu
mengantarkan gadis itu kembali kepada ayahnya.

DEWI YUKTI BERTEMU AYAHNYA


Sementara itu, Resi Basundara yang telah diusir Prabu Basukiswara dan dilarang pulang ke
Kerajaan Gajahoya, kini tinggal seorang diri di tepi Hutan Pancala. Prabu Pratipa (keponakannya)
dan Patih Basusara (putranya) datang berkunjung dari Gajahoya. Prabu Pratipa sangat kesal atas
sikap Prabu Basukiswara yang sewenang-wenang menghukum Resi Basundara melebihi
kesalahannya. Bagi Prabu Pratipa, hukuman buang adalah hukuman yang lebih hina daripada
kematian.
Prabu Pratipa lantas mengajak Resi Basundara pulang ke Gajahoya dan tidak perlu lagi
menghiraukan perintah Prabu Basukiswara. Apabila nanti Prabu Basukiswara marah dan
menyerang Kerajaan Gajahoya, maka Prabu Pratipa siap menghadapi dengan sekuat tenaga. Akan
tetapi, Resi Basundara menolak ajakan keponakannya itu. Ia tetap yakin pada keadilan Yang
Mahakuasa, bahwa suatu saat nanti Prabu Basukiswara akan menyadari kekeliruannya.
Pada saat itulah Dewi Yukti datang bersama Raden Basuketi dan Arya Manungkara. Resi
Basundara sangat bahagia melihat putrinya telah kembali. Ia lalu mengajak Dewi Yukti dan Raden
Basuketi melapor kepada Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata. Sementara itu, Prabu Pratipa dan
Patih Basusara pulang ke Gajahoya dengan memendam perasaan kesal.

PRABU BASUKISWARA MEMINTA MAAF KEPADA RESI BASUNDARA


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata menerima kedatangan Raden Basuketi, Arya
Manungkara, beserta Resi Basundara dan Dewi Yukti. Arya Manungkara melaporkan apa yang telah
disaksikannya dan ia berani menjamin bahwa Resi Basundara sama sekali tidak berbohong tentang
hilangnya Dewi Yukti yang diculik pelangi. Arya Manungkara pun menjelaskan bahwa pelangi itu
adalah penjelmaan Prabu Agniyara dari Kerajaan Indrapura.
Prabu Basukiswara menyadari kekeliruannya dan segera meminta maaf kepada Resi
Basundara dengan disaksikan seluruh hadirin. Resi Basundara sangat terharu dan menerima
permintaan maaf calon besannya itu. Mereka lalu bermusyawarah untuk menentukan hari
pernikahan antara Raden Basuketi dan Dewi Yukti.

KEMATIAN PRABU AGNIYARA


Pada hari yang ditentukan diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Basuketi dan Dewi
Yukti. Setelah pesta berakhir, tiba-tiba Kerajaan Wirata diserang pasukan raksasa dari Kerajaan
Indrapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Agniyara. Tujuan serangan ini adalah untuk merebut
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Yukti, sekaligus menaklukkan Kerajaan Wirata serta membalas kematian Ditya Lagna dan
Dewi Lagni.
Arya Manungkara selaku panglima angkatan perang Wirata segera memimpin pasukan
menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Agniyara sangat pandai
mengubah wujud menjadi bermacam-macam bentuk. Namun, ilmu sihirnya itu tidak mampu
menandingi kesaktian Arya Manungkara. Raja Raksasa tersebut akhirnya gugur dengan kepala
pecah dihantam pusaka Sela Mertyujiwa. Sementara itu, Patih Kalabikswa juga tewas di tangan
Arya Srimadewa.
Prabu Basukiswara sangat berterima kasih atas jasa-jasa Arya Manungkara yang telah
menemani petualangan Raden Basuketi, dan kini menghancurkan serangan musuh. Sebagai balas
jasa sekaligus mempererat persaudaraan, Prabu Basukiswara kembali mengajak Arya Manungkara
berbesan untuk yang kedua kalinya. Kali ini ia ingin menjodohkan putra bungsunya, yaitu Raden
Basuketu dengan putri bungsu Arya Manungkara yang bernama Dewi Walibrata. Arya Manungkara
pun menerima lamaran tersebut dengan senang hati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUKISWARA SEDA
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Basuketu dengan Dewi Walibrata, putri Arya
Manungkara. Kisah dilanjutkan dengan kematian Prabu Basukiswara akibat digigit ular besar
penjelmaan Prabu Nagajaya dari Kerajaan Kopara. Sepeninggal Prabu Basukiswara, Raden
Basuketi dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basuparicara.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra dengan sejumlah pengembangan.
Kediri, 10 Juni 2015
Heri Purwanto

PRABU BASUKISWARA HENDAK MENIKAHKAN RADEN BASUKETU


Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wasita, Arya Srimadewa, Raden
Basuketi, Raden Basuketu, dan para punggawa lainnya. Mereka sedang membicarakan rencana
pernikahan antara Raden Basuketu dengan Dewi Walibrata, putri Arya Manungkara.
Pada saat itulah tiba-tiba Arya Manungkara datang menghadap dan melaporkan bahwa
putrinya telah hilang diculik orang. Anehnya, si penculik sengaja meninggalkan surat tantangan
bahwa Dewi Walibrata saat ini disekap di Hutan Keling dan akan dikembalikan apabila Arya
Manungkara menyerahkan nyawanya sebagai tebusan. Surat tantangan tersebut ditandatangani
oleh seseorang bernama Prabu Nagajaya dari Kerajaan Kopara yang ingin membalas dendam atas
kematian Prabu Agniyara tempo hari.
Arya Manungkara mohon pamit untuk berangkat memenuhi tantangan tersebut. Namun,
Prabu Basukiswara melarangnya karena ia harus mempersiapkan segala keperluan upacara
pernikahan. Raden Basuketu pun mengajukan diri untuk mencari calon istrinya yang hilang itu,
namun ia juga dilarang untuk berangkat. Karena Hutan Keling masuk wilayah Kerajaan Mandraka,
maka Prabu Basukiswara mengirimkan surat perintah kepada Prabu Mandrakusuma untuk
menangkap dan menghukum Prabu Nagajaya.
Setelah dirasa cukup, Prabu Basukiswara pun membubarkan pertemuan. Raden Basuketi lalu
berangkat ke Kerajaan Mandraka untuk menyampaikan surat perintah ayahnya kepada Prabu
Mandrakusuma agar segera menumpas Prabu Nagajaya dan membebaskan Dewi Walibrata.

PRABU MANDRAKUSUMA MENERIMA PERINTAH ATASAN


Raden Basuketi telah sampai di Kerajaan Mandaraka dan disambut ramah oleh Prabu
Mandrakusuma, Resi Srimanasa, dan Patih Artadriya. Ia menceritakan peristiwa penculikan Dewi
Walibrata putri Arya Manungkara, di mana si pelaku meninggalkan surat tantangan dengan
mengaku bernama Prabu Nagajaya yang ingin membalas dendam atas kematian Prabu Agniyara.
Prabu Mandrakusuma sangat kesal mendengar berita itu karena Hutan Keling masuk ke
dalam wiayah Kerajaan Mandraka yang ia pimpin. Sebagai raja bawahan, ia menyatakan bersedia
melaksanakan tugas dari Prabu Basukiswara. Bersama Patih Artadriya, ia pun berangkat menyerbu
Hutan Keling dengan membawa pasukan secukupnya. Raden Basuketi merasa penasaran. Ia tidak
ingin duduk menunggu di istana Mandraka, tetapi ikut serta dalam rombongan tersebut menuju
Hutan Keling.

USAHA MEMBEBASKAN DEWI WALIBRATA


Prabu Mandrakusuma, Raden Basuketi, dan Patih Artadriya beserta pasukan Mandraka telah
memasuki Hutan Keling. Di sana mereka disambut pasukan raksasa dari Kerajaan Kopara yang
dipimpin langsung oleh Prabu Nagajaya. Di antara para raksasa itu tampak Patih Kalabikswa yang
dulu merupakan abdi Prabu Agniyara di Kerajaan Indrapura.
Rupanya setelah Prabu Agniyara tewas, Patih Kalabikswa melarikan diri dan bergabung
dengan Prabu Nagajaya di Kerajaan Kopara. Adapun Prabu Nagajaya adalah saudara seperguruan
Prabu Agniyara. Begitu mendengar saudaranya tewas, Prabu Nagajaya sangat marah dan berniat
KITAB WAYANG PURWA

membalas dendam. Ia mendengar Prabu Basukiswara hendak menikahkan putra bungsunya, yaitu
Raden Basuketu dengan Dewi Walibrata putri Arya Manungkara. Maka, untuk mengacaukan hajatan
tersebut sekaligus membalas dendam, Prabu Nagajaya pun menculik Dewi Walibrata dan
membawanya ke Hutan Keling.
Kini Prabu Mandrakumara dan Raden Basuketi telah datang menyerbu untuk membebaskan
Dewi Walibrata. Mereka pun disambut amukan para raksasa gabungan dari Kerajaan Kopara dan
Indrapura. Pertempuran sengit pun terjadi di hutan itu. Prabu Nagajaya sendiri turun tangan
menghadapi Raden Basuketi dan Prabu Mandrakumara. Pasukan Mandraka yang berjumlah lebih
sedikit tampak mulai kewalahan menghadapi para raksasa tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba datang Raden Basuketu dan Patih Wasita membawa pasukan Wirata
yang segera menggabungkan diri dengan pihak Mandraka. Keadaan pun berubah telak. Pihak
raksasa kini ganti menjadi pihak yang terdesak. Banyak dari mereka yang tewas berguguran dan
kabur tak tentu arah. Prabu Nagajaya sendiri terluka namun berhasil melarikan diri.
Raden Basuketu lalu membebaskan Dewi Walibrata yang disekap di dalam sebuah gua kecil.
Raden Basuketi bertanya mengapa adiknya itu melanggar larangan sang ayah untuk tidak ikut pergi
ke Hutan Keling. Raden Basuketu menjawab bahwa ia merasa tidak enak hati sebagai calon suami
Dewi Walibrata tetapi tidak berbuat apa-apa saat calon istrinya diculik orang. Maka, ia pun nekat
meloloskan diri dari istana untuk kemudian bergabung menghadapi Prabu Nagajaya. Untungnya,
Patih Wasita yang banyak pengalaman bersedia menemani keberangkatannya.
Raden Basuketi memaklumi perasaan adiknya. Ia lalu mengajak Raden Basuketu dan Dewi
Walibrata kembali ke Kerajaan Wirata, sekaligus Prabu Mandrakusuma dan Patih Artadriya juga ikut
serta.

PERNIKAHAN RADEN BASUKETU DAN DEWI WALIBRATA


Prabu Basukiswara dan Arya Manungkara menyambut kedatangan rombongan Raden
Basuketi yang telah berhasil membebaskan Dewi Walibrata. Prabu Basukiswara sempat marah-
marah kepada Raden Basuketu yang berani melanggar larangannya untuk tidak ikut pergi ke Hutan
Keling. Untunglah segalanya kini telah berlalu, dan semua kini baik-baik saja.
Maka, pada hari yang ditentukan, Raden Basuketu dan Dewi Walibrata pun dinikahkan di
istana Wirata. Hadir pula para raja bawahan Prabu Basukiswara, antara lain Prabu Mandrakusuma
raja Mandraka, Prabu Maneriya raja Gandaradesa, Prabu Maheswara raja Medang Kamulan, Prabu
Danadewa raja Gilingwesi, dan Prabu Rambana raja Pringgadani.

PRABU BASUKISWARA BERBURU DI HUTAN PANDEKI


Setelah acara pernikahan putra keduanya selesai, Prabu Basukiswara mengumpulkan
segenap raja bawahan. Di antara mereka ada satu orang yang tidak hadir, yaitu Prabu Pratipa dari
Gajahoya. Sejak peristiwa perang antara Kerajaan Wirata melawan Siwandapura belasan tahun
silam, Prabu Pratipa tidak pernah lagi datang menghadap ke Wirata. Sepertinya ia mewarisi sakit
hati ayahnya (Prabu Hastimurti) yang merasa lebih berhak atas takhta Kerajaan Wirata daripada
Prabu Basukesti (ayah Prabu Basukiswara). Bahkan, saat ini terdengar pula kabar bahwa Prabu
Pratipa sedang membangun istana baru di Hutan Kurujanggala yang lebih besar dan lebih megah
daripada Gajahoya. Istana baru itu diberi nama Hastina, yang diambil dari nama mendiang ayahnya,
yaitu Prabu Hastimurti.
Patih Wasita menawarkan diri untuk menyampaikan surat teguran kepada Prabu Pratipa,
namun hal itu tidak disetujui Prabu Basukiswara. Sepertinya dalam hati Prabu Basukiswara ada
perasaan segan kepada Prabu Pratipa. Meskipun secara silsilah Prabu Basukiswara terhitung
paman, tetapi secara usia ia lebih muda daripada Prabu Pratipa.
Prabu Basukiswara lalu mengajak para raja bawahan untuk bertamasya dan berburu di Hutan
Pandeki. Prabu Maneriya, Prabu Mandrakumara, Prabu Maheswara, Prabu Danadewa, dan Prabu
Rambana mematuhi dan segera mempersiapkan segala keperluan masing-masing. Mereka lalu
bersama-sama mendampingi sang raja Wirata menuju ke hutan perburuan.
KITAB WAYANG PURWA

Sesampainya di Hutan Pandeki, Prabu Basukiswara dan para raja bawahan segera memburu
kijang, babi hutan, banteng, dan sebagainya. Tiba-tiba muncul seekor ular besar yang langsung
menerjang dan menggigit bahu Prabu Basukiswara hingga raja Wirata itu terjatuh dari kudanya.
Prabu Maneriya segera memanah ular tersebut. Seketika ular besar itu pun berubah wujud menjadi
Prabu Nagajaya yang langsung menyerang Prabu Maneriya.
Patih Kalabikswa juga muncul dari persembunyian untuk membantu Prabu Nagajaya.
Terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Prabu Rambana datang dan segera membantu
Prabu Maneriya. Setelah bertempur cukup lama, Prabu Maneriya akhirnya berhasil membunuh
Prabu Nagajaya, sedangkan Prabu Rambana berhasil membunuh Patih Kalabikswa.
Sementara itu, Prabu Mandrakusuma, Prabu Danadewa, dan Prabu Maheswara berusaha
menolong Prabu Basukiswara yang semakin lemah akibat gigitan Prabu Nagajaya tadi. Mereka lalu
bersama-sama membawa Prabu Basukiswara pulang ke istana Wirata.

PRABU BASUKISWARA MENINGGAL DUNIA


Sesampainya di istana, segenap anggota keluarga Kerajaan Wirata bersedih dan menangisi
keadaan Prabu Basukiswara yang semakin parah. Para tabib berusaha memberikan pengobatan,
namun racun yang disemburkan ular penjelmaan Prabu Nagajaya tadi telah menjalar ke seluruh
tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga, Prabu Basukiswara pun menyampaikan wasiat bahwa sepeninggal
dirinya, hendaknya Raden Basuketi dilantik menjadi raja Wirata yang baru.
Demikianlah, setelah mewariskan takhta kepada putra sulungnya, Prabu Basukiswara
akhirnya meninggal dunia. Setelah masa berkabung usai, Raden Basuketi dilantik menjadi raja
Wirata yang baru menggantikan sang ayah, dengan bergelar Prabu Basuparicara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PERANG WIRATA - HASTINA


Kisah ini menceritakan Prabu Basuparicara atau Prabu Basuketi pergi meninggalkan istana
untuk bertapa di hilir Sungai Jamuna. Ketika Kerajaan Wirata dipimpin Raden Basuketu
sebagai wakil raja, datang serangan dari Prabu Pratipa raja Hastina. Dalam pertempuran itu
Prabu Pratipa gugur, dan putra bungsunya yang bernama Raden Santanu dilantik sebagai raja
Hastina yang baru.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki
Tristuti Suryasaputra dan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 12 Juni 2015
Heri Purwanto

Prabu Pratipa Dewamurti

PRABU BASUPARICARA MENINGGALKAN KERAJAAN WIRATA


Prabu Basuparicara di Kerajaan Wirata sedang berduka karena sang permaisuri, yaitu Dewi
Yukti meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Wrehadrata. Ia
sangat sedih karena dua kali menikah selalu saja kehilangan istri. Yang pertama adalah Dewi
Subakti yang meninggal karena sakit, dan yang kedua adalah Dewi Yukti yang meninggal setelah
melahirkan.
Pada suatu malam datang Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk menyampaikan
petunjuk bahwa Prabu Basuparicara harus pergi meninggalkan istana Wirata dan menjalani hidup
sebagai petapa di hilir Sungai Jamuna. Dengan cara demikian, Prabu Basuparicara akan bertemu
jodoh baru, yang kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Setelah mendapatkan petunjuk demikian, Prabu Basuparicara pun menitipkan Kerajaan
Wirata kepada adiknya, yaitu Raden Basuketu, kemudian ia berangkat meninggalkan istana menuju
Sungai Jamuna.

RADEN BASUKETU MENDAPAT SURAT PANGGILAN DARI PRABU PRATIPA


Pada suatu hari, Raden Basuketu menerima kedatangan Patih Basusara dari Kerajaan
Hastina (yang dulu bernama Kerajaan Gajahoya) yang menyampaikan surat dari rajanya, yaitu
Prabu Pratipa. Melalui surat itu, Prabu Pratipa menyatakan dirinya kini merdeka dan memakai gelar
baru, yaitu Prabu Dewamurti serta tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata. Secara silsilah
maupun secara usia, Prabu Dewamurti lebih tua daripada Prabu Basuparicara sehingga ia merasa
berhak memanggil raja Wirata untuk datang menghadap kepadanya di Kerajaan Hastina.
Setelah membaca surat tersebut, Raden Basuketu berusaha menjawab dengan tenang bahwa
saat ini Prabu Basuparicara sedang bepergian meninggalkan istana Wirata. Sebagai wakil raja, ia
KITAB WAYANG PURWA

merasa tidak berwenang menanggapi panggilan Prabu Pratipa. Ia pun menulis surat balasan dan
mempersilakan Patih Basusara kembali ke Kerajaan Hastina.

PRABU DEWAMURTI BERSIAP MENYERANG KERAJAAN WIRATA


Prabu Dewamurti di Kerajaan Hastina dihadap ketiga putranya yang bernama Raden Dewapi,
Raden Bahlika, dan Raden Santanu. Hadir pula sang mertua, yaitu Prabu Bahlikasura raja
Siwandapura beserta Patih Wikuntana. Prabu Bahlikasura datang untuk menanyakan niat Prabu
Dewamurti yang kabarnya hendak menaklukkan Kerajaan Wirata. Jika benar demikian, ia bersedia
membantu dengan segenap kemampuan.
Raden Dewapi, Raden Bahlika, dan Raden Santanu bertanya mengapa sang ayah
bermusuhan dengan Kerajaan Wirata, padahal secara silisilah memiliki leluhur yang sama. Prabu
Dewamurti pun bercerita bahwa pada mulanya Kerajaan Wirata dipimpin kakeknya, yaitu Prabu
Basumurti. Setelah Prabu Basumurti meninggal, takhta seharusnya jatuh kepada putra tunggalnya,
yaitu Prabu Hastimurti. Akan tetapi, Prabu Hastimurti sudah menjadi raja bawahan di Gajahoya,
sehingga yang dilantik sebagai raja Wirata adalah Prabu Basukesti, adik Prabu Basumurti.
Setelah Prabu Hastimurti meninggal, takhta Gajahoya kemudian diwarisi Prabu Pratipa.
Sementara itu, Prabu Basukesti mewariskan takhta Wirata kepada putranya, yaitu Prabu
Basukiswara. Usia Prabu Pratipa lebih tua daripada Prabu Basukiswara, tetapi karena silsilah, ia
harus memanggil “paman” kepadanya. Selain itu, Prabu Pratipa juga menyimpan dendam karena
pamannya dari pihak ibu, yaitu Resi Basundara, pernah diusir oleh Prabu Basukiswara karena
peristiwa hilangnya Dewi Yukti yang diculik pelangi jadi-jadian.
Prabu Pratipa lalu membangun istana baru di Hutan Kurujanggala yang lebih megah daripada
Gajahoya. Istana baru itu diberi nama Hastina. Nama ini sengaja dipakai untuk mengenang ayahnya,
yaitu Prabu Hastimurti. Sementara itu, yang menjadi raja Wirata saat ini adalah Raden Basuketi,
putra sulung Prabu Basukiswara yang bergelar Prabu Basuparicara. Karena usia dan silsilah Prabu
Pratipa lebih tua, maka ia tidak sudi menjadi bawahan Prabu Basuparicara dan menyatakan Hastina
sebagai kerajaan merdeka. Ia pun mengganti gelarnya menjadi Prabu Dewamurti.
Setelah mendengar cerita tersebut, ketiga putra Prabu Dewamurti pun mengutarakan
pendapat yang berbeda-beda. Raden Dewapi mendukung Kerajaan Hastina merdeka, tetapi tidak
setuju jika ayahnya memerangi raja Wirata karena masih saudara. Raden Bahlika sepenuhnya
mendukung Hastina merdeka sekaligus Wirata juga harus ditaklukkan. Sementara itu, Raden
Santanu menyarankan agar ayahnya tetap menjaga perdamaian dengan pihak Wirata, dan tidak
perlu memerdekakan diri. Raden Santanu juga mengingatkan tentang Resi Basundara yang telah
meninggal dunia akibat terlalu memikirkan kemungkinan terjadinya perang saudara antara Wirata
dan Hastina.
Prabu Dewamurti tersinggung mendengar pendapat putra bungsunya itu. Ia pun memarahi
Raden Santanu habis-habisan. Pada saat itulah datang Patih Basusara yang menyampaikan surat
balasan dari Kerajaan Wirata, bahwa saat ini Prabu Basuparicara sedang bepergian meninggalkan
istana, sehingga wakilnya, yaitu Raden Basuketu tidak berani memenuhi panggilan Prabu Pratipa.
Prabu Dewamurti tersinggung membaca surat balasan tersebut, apalagi Raden Basuketu tidak
mengakui gelar barunya. Kini tekadnya telah bulat untuk menyerang dan menaklukkan Kerajaan
Wirata. Ia pun memerintahkan Patih Basusara untuk mengumpulkan seluruh pasukan Hastina yang
ditambah dengan bala bantuan dari Kerajaan Siwandapura.

RADEN SANTANU MELAPORKAN AYAHNYA KEPADA PIHAK WIRATA


Sementara itu, Raden Basuketu di Kerajaan Wirata sedang berunding dengan Patih Wasita,
Arya Manungkara, Arya Srimadewa, serta para punggawa lainnya. Mereka membicarakan tentang
sikap Prabu Dewamurti yang menyatakan Kerajaan Hastina telah merdeka dan tidak mau lagi
menjadi bawahan Wirata.
Tiba-tiba Raden Santanu datang menghadap dan melaporkan rencana ayahnya yang hendak
menyerang Kerajaan Wirata dengan mengerahkan gabungan pasukan Hastina dan Siwandapura.
Raden Basuketu terkejut sekaligus marah mendengar laporan ini. Ia pun berterima kasih kepada
KITAB WAYANG PURWA

Raden Santanu dan segera menyebarkan surat kepada Kerajaan Mandraka dan Gandaradesa
supaya mengirimkan bala bantuan untuk menghadapi serangan besar-besaran Prabu Dewamurti
tersebut.

RESI MAHOSADA BERTAPA DI HILIR SUNGAI JAMUNA


Tersebutlah seorang petapa bernama Resi Mahosada yang sedang bersamadi di hilir Sungai
Jamuna. Pada suatu hari ia didatangi pendeta bernama Resi Nirmalacipta dari Padepokan
Giripurna. Resi Nirmalacipta ini mengaku telah kehilangan putrinya yang bernama Endang Adrika,
yang jatuh tercebur di Sungai Jamuna kemudian hanyut terbawa arus. Menurut petunjuk Dewata,
Resi Nirmalacipta harus meminta bantuan Resi Mahosada yang saat ini sedang bertapa di hilir
Sungai Jamuna.
Resi Mahosada menyanggupi permintaan Resi Nirmalacipta tersebut. Ia lalu mengheningkan
cipta memohon kekuatan dari Dewata untuk menemukan Endang Adrika. Secara ajaib, sepasang
lengan Resi Mahosada bisa menjulur sangat panjang untuk digunakannya menyelami dan
mengaduk-aduk Sungai Jamuna. Beberapa saat kemudian, kedua lengannya itu kembali ke ukuran
semula sambil menggenggam seekor ikan emas betina.
Resi Mahosada lalu mengheningkan cipta meruwat ikan emas tersebut. Secara ajaib, wujud
ikan itu berubah menjadi seorang perempuan cantik, yang tidak lain adalah Endang Adrika, putri
Resi Nirmalacipta.
Resi Nirmalacipta sangat bahagia dan memeluk putrinya yang telah ditemukan tersebut.
Endang Adrika pun bercerita bahwa ketika sedang mengambil air, kakinya terpeleset dan tubuhnya
tercebur ke dalam Sungai Jamuna. Entah bagaimana, tiba-tiba saja wujudnya berubah menjadi
seekor ikan emas betina. Kini, berkat bantuan Resi Mahosada, ia pun terbebas dari kutukan dan
kembali lagi menjadi manusia.
Pada saat itulah datang Batara Narada yang menyampaikan perintah Batara Guru di
Kahyangan Jonggringsalaka supaya Resi Nirmalacipta menikahkan Endang Adrika dengan Resi
Mahosada, yang tidak lain adalah penyamaran Prabu Basuparicara raja Wirata.
Batara Narada berpesan pula bahwa dari perkawinan itu kelak akan lahir raja-raja Tanah
Jawa. Batara Narada kemudian menyampaikan petunjuk kedua, bahwa Kerajaan Wirata saat ini
akan berperang dengan Kerajaan Hastina. Akan tetapi, Prabu Basuparicara tidak perlu khawatir
karena Raden Basuketu mampu mengatasi masalah ini. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun
undur diri kembali ke kahyangan.
Resi Nirmalacipta sangat berkenan menerima perintah Dewata. Ia pun mengundang Prabu
Basuparicara singgah di Padepokan Giripurna. Prabu Basuparicara menolak secara halus karena
saat ini ia harus segera kembali ke Kerajaan Wirata yang sedang dalam keadaan genting.

PRABU DEWAMURTI GUGUR DALAM PEPERANGAN


Sementara itu, Prabu Dewamurti yang memimpin langsung gabungan pasukan Hastina dan
Siwandapura telah tiba di wilayah Kerajaan Wirata. Kedatangan mereka disambut oleh gabungan
pasukan Wirata, Mandraka, dan Gandaradesa yang dipimpin langsung oleh Raden Basuketu.
Perang besar pun terjadi. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Setelah sehari penuh
bertempur, Prabu Bahlikasura raja Siwandapura tewas di tangan Raden Basuketu yang
bersenjatakan pedang Candrahasa, warisan Srimaharaja Purwacandra di zaman dulu.
Melihat mertuanya terbunuh, Prabu Dewamurti sangat murka dan menerjang Raden
Basuketu. Pertarungan sengit terjadi antara mereka. Raden Basuketu yang lebih muda dan kalah
pengalaman terdesak oleh kesaktian Prabu Dewamurti. Akan tetapi, kemenangan itu membuat
Prabu Dewamurti lengah, sehingga lehernya pun putus terpenggal pedang Candrahasa di tangan
Raden Basuketu.
Melihat ayah dan kakeknya tewas, Raden Bahlika bergegas melarikan diri bersama Patih
Wikuntana menuju Kerajaan Siwandapura di tanah seberang, sedangkan Raden Dewapi dan Patih
Basusara menyerahkan diri.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN SANTANU DILANTIK MENJADI RAJA HASTINA


Prabu Basuparicara dan istri barunya, yaitu Endang Adrika, telah tiba di Kerajaan Wirata.
Raden Basuketu menyambut kedatangan mereka dan melaporkan segala yang telah terjadi. Prabu
Basuparicara sangat sedih mendengarnya, apalagi peristiwa itu harus berakhir dengan kematian
Prabu Dewamurti yang masih kerabat sendiri.
Prabu Basuparicara lalu memanggil dua putra mendiang Prabu Dewamurti yang tersisa, yaitu
Raden Dewapi dan Raden Santanu untuk menentukan siapa di antara mereka yang harus mewarisi
Kerajaan Hastina. Sebagai putra sulung, tentunya Raden Dewapi lebih berhak atas takhta ayahnya.
Akan tetapi, Raden Santanu memberi tahu Prabu Basuparicara bahwa kakaknya itu menderita
penyakit kulit yang kadang-kadang kambuh dan bisa menular. Seorang raja yang memiliki penyakit
seperti ini tentunya akan sangat berbahaya dan bisa kehilangan wibawa di mata rakyat.
Raden Dewapi tersinggung mendengar ucapan adiknya. Ia mengakui bahwa dirinya memang
memiliki penyakit kulit yang kadang-kadang kambuh. Akan tetapi, cara bicara Raden Santanu
sangat menyakitkan hati. Ditambah lagi perbuatan Raden Santanu yang telah mengkhianati ayah
sendiri, jelas ini sangat durhaka. Raden Dewapi pun merelakan takhta Kerajaan Hastina diwarisi
Raden Santanu, namun ia juga mengutuk adiknya itu kelak hanya akan memiliki anak saja, tanpa
memiliki cucu, sehingga takhta akan jatuh ke tangan orang luar. Setelah mengucapkan kutukan
tersebut, Raden Dewapi bergegas pergi meninggalkan istana Wirata untuk bertapa di dalam hutan.
Raden Santanu sangat prihatin dan ia pun menjelaskan kepada Prabu Basuparicara bahwa
dirinya sama sekali tidak ada niat durhaka kepada orang tua. Tujuannya melapor ke Wirata adalah
untuk menyadarkan ayahnya agar jangan memberontak. Tak disangka, sang ayah justru terbunuh
dalam pertempuran tersebut.
Prabu Basuparicara memercayai penuturan Raden Santanu. Ia lalu mengangkat putra bungsu
mendiang Prabu Dewamurti itu sebagai raja Hastina, bergelar Prabu Santanu, atau lengkapnya
Prabu Santanumurti. Adapun jabatan menteri utama tetap dipegang oleh Patih Basusara.
Prabu Basuparicara sangat menyesali kematian Prabu Pratipa Dewamurti yang seharusnya
tidak perlu terjadi. Hanya karena berebut wibawa dan kuasa, mengapa sesama saudara harus saling
membunuh? Untuk itu, Prabu Basuparicara pun menyatakan mulai hari ini Kerajaan Hastina tidak
lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata, dan Prabu Santanu dianggap sebagai sekutu yang
sederajat. Prabu Santanu sangat berterima kasih atas kepercayaan ini. Meskipun telah merdeka, ia
menyatakan tetap menganggap raja Wirata sebagai sesepuh yang akan selalu dihormati layaknya
pengganti orang tua.
Sementara itu, Prabu Basuparicara yang pernah mendapatkan pengalaman ajaib yaitu
berlengan sangat panjang, kini mendapatkan gelar baru pula, yaitu Prabu Dirgabahu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DURGANDINI - DURGANDANA LAHIR


Kisah ini menceritakan lahirnya Dewi Durgandini dan Raden Durgandana yang berbau amis
seperti ikan. Dewi Durgandini kelak menurunkan para Pandawa dan Kurawa, sedangkan
Raden Durgandana kelak bergelar Prabu Matsyapati, menjadi sekutu penting pihak Pandawa
dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dengan beberapa pengembangan.
Kediri, 17 Juni 2015
Heri Purwanto

Prabu Basuparicara alias Prabu Wasupati

PRABU BASUPARICARA MENGGELAR SESAJI RAJAWEDA


Prabu Basuparicara di Kerajaan Wirata mengadakan upacara agung Sesaji Rajaweda yang
dihadiri oleh segenap pejabat istana, para pendeta dan resi, serta para raja bawahan, antara lain
Prabu Mandrakusuma raja Mandraka, Prabu Maneriya raja Gandaradesa, Prabu Maheswara raja
Medang Kamulan, Prabu Danadewa raja Gilingwesi, dan Prabu Rambana raja Pringgadani. Hadir
pula Prabu Santanu raja Hastina yang telah mendapatkan kemerdekaan penuh sebagai mitra
sederajat. Dalam upacara itu, Prabu Basuparicara mengganti gelarnya menjadi Prabu Wasupati,
sedangkan sang permaisuri Dewi Adrika diganti namanya menjadi Dewi Swargandini. Raden
Basuketu yang dinilai berhasil menjalankan tugasnya sebagai wakil raja selama Prabu Wasupati
berkelana, juga mendapat gelar baru, yaitu Aryaprabu Kistawa.
Setelah upacara berakhir, Prabu Wasupati mengumumkan bahwa mulai hari ini, semua
kerajaan bawahan dinyatakan merdeka dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Wirata. Dengan
demikian, Kerajaan Mandraka, Gandaradesa, Medang Kamulan, Gilingwesi, dan Pringgadani mulai
sekarang berhak menentukan jalannya pemerintahan masing-masing seperti Kerajaan Hastina dan
tidak lagi wajib melapor kepada Kerajan Wirata. Rupanya Prabu Wasupati tidak ingin peristiwa
Perang Wirata – Hastina yang memakan korban Prabu Pratipa terulang kembali hanya karena
perasaan ingin mengungguli antara kerajaan satu dengan yang lainnya.
Para raja bawahan merasa terharu mendengar keputusan tersebut. Apa yang dilakukan Prabu
Wasupati ini sama persis dengan yang pernah dilakukan oleh Sri Maharaja Wisaka di Kerajaan
Medang Kamulan ratusan tahun silam setelah ia berhasil mengalahkan Sri Maharaja Purwacandra.
KITAB WAYANG PURWA

Saat itu Sri Maharaja Wisaka memerdekakan Kerajaan Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata
sehingga tidak lagi berada di bawah kekuasaan Medang Kamulan.

PRABU MANERIYA TURUN TAKHTA DIGANTIKAN PUTRANYA


Meskipun telah mendapatkan kemerdekaan penuh, namun para raja sepakat untuk tetap
menganggap raja Wirata sebagai sesepuh Tanah Jawa. Mereka pun berjanji apabila mengangkat
raja baru akan tetap meminta restu kepada raja Wirata.
Kesepakatan ini pun dibuktikan oleh Prabu Maneriya raja Gandaradesa. Pada suatu hari ia
memutuskan untuk turun takhta dan menjadi pendeta, bergelar Begawan Maneriya. Takhta
Kerajaan Gandaradesa pun diserahkan kepada putranya, yang bergelar Prabu Mandara. Pada saat
pelantikan, Begawan Maneriya mengundang Prabu Wasupati untuk hadir dan memberikan restu
kepada putranya tersebut.

LAHIRNYA DEWI DURGANDINI DAN RADEN DURGANDANA


Setelah menghadiri undangan di Kerajaan Gandara, Prabu Wasupati pulang ke Wirata dan
mendapatkan berita gembira, yaitu sang permaisuri Dewi Swargandini telah melahirkan dua anak
sekaligus, perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, sungguh disayangkan, kedua bayi tersebut berbau
amis seperti ikan. Ini dikarenakan Dewi Swargandini semasa masih bernama Endang Adrika dulu
pernah mendapatkan kutukan menjadi seekor ikan mas. Tak disangka, bau amisnya kini diwarisi
oleh kedua bayi yang baru lahir tersebut. Karena keduanya berbau tidak sedap, maka Prabu
Wasupati pun memberi mereka nama Dewi Durgandini dan Raden Durgandana.
Prabu Wasupati sangat sedih bercampur malu melihat keadaan kedua anaknya itu. Ia pun
mendatangkan para tabib dan ahli obat, juga brahmana dan pendeta dari berbagai tempat, namun
tidak seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit mereka.
Prabu Wasupati lalu bersamadi di dalam sanggar pemujaan selama berhari-hari untuk
meminta petunjuk dewata. Pada suatu malam, Batara Narada datang memberi tahu Prabu Wasupati
supaya jangan bersedih, karena ini adalah ujian untuk Dewi Durgandini dan Raden Durgandana.
Meskipun keduanya berbau amis, namun mereka ditakdirkan kelak akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa. Untuk itu, Prabu Wasupati harus menitipkan mereka berdua kepada seorang nelayan
di Desa Matsya yang bernama Kyai Dasa. Dengan cara demikian, Dewi Durgandini dan Raden
Durgandana kelak akan mendapatkan jalan bagi kesembuhan mereka.
Prabu Wasupati mematuhi petunjuk dari Batara Narada tersebut. Ia lalu membawa kedua
bayinya ke Desa Matsya dan menyerahkannya kepada Kyai Dasa untuk dirawat. Kyai Dasa tidak
menganggap hal ini sebagai beban, namun justru menganggapnya sebagai suatu kehormatan
karena bisa merawat putri dan putra raja Wirata.

PRABU WASUPATI MENJELAJAH PEDESAAN


Delapan tahun berlalu setelah peristiwa kelahiran Dewi Durgandini dan Raden Durgandana.
Pada suatu hari Prabu Wasupati pergi mengembara dalam penyamaran untuk melihat secara
langsung bagaimana kehidupan masyarakat pedesaan. Bersama dirinya, ikut menyamar pula tiga
orang pembesar Kerajaan Wirata, yaitu Aryaprabu Kistawa, Patih Wasita, dan Arya Manungkara.
Ketika perjalanan mereka sampai di Desa Sumendangan, tampak seorang laki-laki berlari
dikejar-kejar seekor kerbau. Patih Wasita dan Arya Manungkara segera menangkap kerbau
tersebut, sedangkan Prabu Wasupati menanyai si laki-laki yang mengaku bernama Carik Sarjana.
Sungguh mengejutkan, ternyata kerbau yang mengejar Carik Sarjana adalah anaknya sendiri
yang telah mengalami kutukan. Kerbau tersebut awalnya seorang pemuda bernama Jaka Wignya.
Karena sifatnya yang pemalas membuatnya menjadi bodoh dan tidak punya tata krama. Karena
kesalnya, Carik Sarjana pun memaki Jaka Wignya sebagai anak bodoh seperti kerbau yang tidak
pantas menggantikan kedudukannya sebagai pamong desa. Tak disangka, seketika wujud Jaka
Wignya pun berubah menjadi kerbau akibat ucapan ayahnya itu.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Wasupati bertanya apakah Carik Sarjana senang jika Jaka Wignya kembali menjadi
manusia? Carik Sarjana menjawab tentu saja dirinya senang tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya
meruwat kutukan tersebut. Prabu Wasupati bersedia meruwat Jaka Wignya tetapi sebelumnya ia
menasihati Carik Sarjana agar jangan hanya menyalahkan anak, tetapi coba lihat dulu apakah
sebagai orang tua sudah memberikan pendidikan yang baik untuk anaknya. Orang tua hendaknya
menyekolahkan anak kepada guru yang berbudi serta mengajarinya bekerja keras, jangan selalu
memanjakannya. Selain itu, sebagai orang tua juga harus selalu memerhatikan anaknya jangan
sampai salah dalam pergaulan.
Carik Sarjana menyadari kesalahannya dalam mendidik anak selama ini. Ia pun pasrah
mengenai peruwatan Jaka Wignya. Prabu Wasupati lantas meminta Arya Manungkara meruwat
kerbau tersebut. Dengan menggunakan Minyak Mukswala, Arya Manungkara berhasil mengubah
wujud Jaka Wignya kembali menjadi manusia.
Carik Sarjana sangat berterima kasih. Ia pun menyerahkan Jaka Wignya kepada Prabu
Wasupati supaya dijadikan abdi dan diajari bekerja keras. Prabu Wasupati menerima Jaka Wignya
dan membawanya ikut serta dalam rombongan.

ARYA MANUNGKARA MERUWAT SUNDEL BOLONG


Prabu Wasupati dan rombongan melanjutkan perjalanan menjelajahi desa demi desa. Ketika
sampai di Desa Katripala, hari telah menjelang senja. Mereka menyaksikan para penduduk
mengungsi meninggalkan desa karena setiap malam ada hantu sundel bolong yang menyebarkan
bau busuk seperti kentut.
Malam itu Prabu Wasupati dan rombongan bersiaga untuk menangkap hantu yang
meresahkan penduduk tersebut. Ternyata benar, samar-samar mereka mencium bau busuk yang
semakin lama semakin menyengat. Arya Manungkara segera mendatangi sumber bau dan
memukulnya menggunakan Akar Bayura. Seketika tampak sesosok peri berwajah cantik yang
konon disebut sebagai hantu sundel bolong oleh para penduduk desa.
Peri cantik itu mengaku bernama Dewi Umi yang gentayangan ingin kembali ke kahyangan
sebagai bidadari. Menurut petunjuk dewata, Dewi Umi harus datang ke Desa Katripala karena tidak
lama lagi akan muncul punggawa Kerajaan Wirata bernama Arya Manungkara yang bisa meruwat
dirinya kembali menjadi bidadari. Dewi Umi pun melaksakan petunjuk tersebut. Setelah mendatangi
Desa Katripala selama tujuh malam, akhirnya ia bisa bertemu Arya Manungkara yang berada di
dalam rombongan Prabu Wasupati.
Sebelum peruwatan dimulai, Prabu Wasupati bertanya mengapa Dewi Umi bisa mengeluarkan
bau busuk seperti kentut. Dewi Umi pun menjelaskan bahwa di dalam rahimnya tersimpan sembilan
wadah berisi minyak, yaitu minyak gaceng dalam wadah akik merah, minyak sawa dalam wadah
akik biru, minyak kowangan dalam wadah akik jingga, minyak nyamu dalam wadah akik kuning,
minyak gandarwa dalam wadah akik hitam, minyak sagungu dalam wadah akik abu-abu, minyak
srengan dalam wadah akik ungu, minyak twasni dalam wadah akik hijau, dan minyak sari dalam
wadah akik putih. Kesembilan jenis minyak itulah yang mengeluarkan bau busuk seperti kentut. Dewi
Umi berjanji akan memberikan kesembilan minyak tersebut kepada Arya Manungkara jika bisa
meruwat dirinya menjadi bidadari. Arya Manungkara keberatan karena dirinya tentu akan
mengeluarkan bau busuk jika menyimpan kesembilan minyak itu. Dewi Umi menjelaskan bahwa
minyak-minyak ini mengeluarkan bau busuk hanya apabila disimpan di dalam rahim. Khasiat minyak
tersebut apabila dioleskan pada senjata dan digunakan untuk berperang akan membuat musuh
lemas kehilangan tenaga.
Setelah menerima penjelasan demikian, Arya Manungkara pun mulai meruwat Dewi Umi
menggunakan mantra yang pernah diajarkan oleh ayahnya (Resi Manonbawa). Setelah pembacaan
mantra berakhir, wujud Dewi Umi berubah menjadi bidadari. Setelah berterima kasih, wanita itu
terbang ke kahyangan dan meninggalkan sembilan butir akik di tanah, berisi minyak sebagaimana
yang ia ceritakan tadi.
Arya Manungkara segera memungut kesembilan akik tersebut dan mempersembahkannya
kepada Prabu Wasupati untuk disimpan sebagai pusaka Kerajaan Wirata. Prabu Wasupati
KITAB WAYANG PURWA

berterima kasih dan mengajak rombongan untuk kembali ke istana karena penjelajahan untuk kali
ini dianggap sudah cukup.

MENINGGALNYA RESI SRIMANASA


Empat tahun kemudian, Prabu Wasupati menerima kabar duka bahwa Resi Srimanasa di
Kerajaan Mandraka meninggal dunia. Adik Resi Srimanasa yang menjadi pendeta di Kerajaan
Wirata, yaitu Resi Srimadewa pun berangkat melayat ke sana.
Resi Srimanasa merupakan mertua dari Prabu Mandrakusuma dan juga ayah dari Patih
Artadriya. Setelah Resi Srimadewa datang, upacara pemakaman untuknya pun diselenggarakan
dengan khidmat. Selama beberapa bulan Resi Srimadewa tinggal di Kerajaan Mandraka untuk
menghibur keluarga yang ditinggalkan kakaknya. Setelah dirasa cukup, ia lalu kembali ke Kerajaan
Wirata.

RESI SRIMADEWA MERUWAT ULAT TAHUN SELUMBUNG BANDUNG


Dalam perjalanan pulang ke Wirata, Resi Srimadewa berjumpa seorang penduduk desa
bernama Prasta yang berlari karena dikejar seekor ulat tahun yang tubuhnya seukuran lumbung
bandung. Resi Srimadewa pun melepaskan panah menewaskan ulat tahun tersebut. Secara ajaib,
bangkai ulat tahun itu musnah dan berubah menjadi seorang dewa bernama Batara Kalakeya. Ia
sangat berterima kasih kepada Resi Srimadewa karena dibebaskan dari kutukan.
Resi Srimadewa bertanya mengapa Batara Kalakeya mengejar-ngejar Prasta. Batara
Kalakeya pun bercerita mulai awal bahwa secara tak sengaja ia berbuat kesalahan di kahyangan
sehingga mendapat kutukan dari sang ayah (Batara Kaloka) menjadi ulat tahun selumbung
bandung. Ulat tahun lalu bertapa di sebuah jurang di Hutan Krendayana. Pada suatu hari seorang
warga desa bernama Prasta lewat di dekat jurang itu sambil meratapi nasibnya yang dilanda
kemiskinan dan kelaparan. Ulat tahun menghentikan langkah Prasta dan berjanji akan membantu
masalahnya asalkan Prasta menyerahkan beberapa tongkol jagung yang ia bawa.
Prasta pun menyerahkan jagung-jagungnya kepada ulat tahun dengan perasaan takut. Si ulat
tahun melahap jagung-jagung tersebut sampai habis lalu mengeluarkannya kembali melalui dubur
dalam wujud permata yang diberi nama Mustika Boga. Permata itu diberikan kepada Prasta yang
mana jika Prasta meminta makanan, maka apa yang ia minta akan langsung tersedia.
Prasta pun mencobanya. Ia meminta makanan kepada permata tersebut dan seketika
terciptalah berbagai macam makanan di hadapannya. Ulat tahun pun mempersilakan Prasta pulang
membawa Mustika Boga untuk menghidupi keluarganya. Akan tetapi, sebagai syaratnya, setiap
tahun Prasta harus menyerahkan seekor kerbau kepada ulat tahun. Prasta mematuhi dan mohon
pamit membawa permata ajaib tersebut.
Sesampainya di rumah, Prasta mencipta banyak makanan melalui Mustika Boga, membuat
keluarganya terbebas dari kelaparan. Bahkan, dalam beberapa bulan saja Prasta sudah menjadi
orang kaya di desanya, yaitu Desa Dyumna karena berdagang makanan. Sesuai perjanjian, pada
tahun pertama Prasta pun datang ke Hutan Krendayana untuk menyerahkan seekor kerbau kepada
ulat tahun, begitu pula dengan tahun kedua.
Akan tetapi, pada tahun ketiga Prasta tidak lagi menepati janji. Ulat tahun marah dan menyusul
ke Desa Dyumna. Prasta pun menjelaskan bahwa ketidakhadirannya ialah karena dilarang oleh
pemuka agama setempat yang bernama Danghyang Guntara. Menurut Danghyang Guntara,
daripada kerbau itu diserahkan kepada ulat tahun, lebih baik diserahkan untuk kepentingan upacara
agama, sehingga kehidupan Prasta akan lebih berkah.
Secara kebetulan, hari itu Danghyang Guntara datang ke rumah Prasta untuk meminta
sumbangan upacara keagamaan. Ulat tahun pun menanggapi Danghyang Guntara sesungguhnya
adalah pemuka agama yang munafik. Dia melarang Prasta menyerahkan kerbau ke Hutan
Krendayana bukan karena tulus demi kebaikan, tetapi ingin memperalat Prasta supaya menjadi
penyumbang kepentingan agamanya. Apabila ucapan ulat tahun benar, maka Danghyang Guntara
pasti akan menerima balak seperti dirinya.
KITAB WAYANG PURWA

Ternyata ucapan ulat tahun terbukti benar. Tiba-tiba saja wujud Danghyang Guntara berubah
menjadi seekor ulat pula, namun berukuran lebih kecil, yaitu sebesar bantal guling.
Prasta ketakutan melihat peristiwa itu dan buru-buru melarikan diri. Ulat tahun pun mengejar
ke mana ia berlari. Kejar-kejaran di antara mereka pun berlangsung beberapa hari hingga akhirnya
mereka bertemu Resi Srimadewa yang berhasil meruwat ulat tahun kembali menjadi Batara
Kalakeya.
Kini Batara Kalakeya telah kembali ke wujud dewa dan ia berterima kasih atas bantuan Resi
Srimadewa. Atas jasa tersebut, Batara Kalakeya mempersilakan Resi Srimadewa meminta hadiah.
Seketika Resi Srimadewa pun teringat pada kedua anak Prabu Wasupati yang berbau amis dan kini
tinggal di Desa Matsya. Ia lalu meminta supaya Batara Kalakeya menyembuhkan penyakit mereka
berdua.
Batara Kalakeya bersedia mengabulkan permintaan tersebut, namun hanya Raden
Durgandana saja yang dapat ia sembuhkan. Mengenai Dewi Durgandini kelak akan sembuh oleh
Resi Parasara dari Gunung Saptaarga. Akan tetapi, kesembuhan mereka baru bisa terjadi setelah
melewati usia dua puluh tahun, dan itu pun mereka harus bertapa lebih dulu. Batara Kalakeya
menyarankan supaya Raden Durgandana bertapa ngidang di Hutan Krendayana, sedangkan Dewi
Durgandini bertapa ngrame di Sungai Jamuna.
Batara Kalakeya lalu meminta tolong kepada Resi Srimadewa supaya membebaskan
Danghyang Guntara dari kutukan. Setelah berpesan demikian, ia pun undur diri kembali ke
kahyangan.

RESI SRIMADEWA MERUWAT DANGHYANG GUNTARA


Resi Srimadewa dan Prasta telah kembali ke Desa Dyumna dan menemukan ulat seukuran
bantal guling penjelmaan Danghyang Guntara. Dengan kesaktiannya, Resi Srimadewa berhasil
meruwat wujud Danghyang Guntara kembali menjadi manusia.
Resi Srimadewa lalu menasihati Danghyang Guntara agar menjadi pemuka agama yang baik
dan benar, jangan suka menasihati umat tetapi tidak dapat menasihati diri sendiri, serta jangan pula
memupuk kekayaan dengan cara menjual ajaran agama. Danghyang Guntara menyadari
kesalahannya dan berjanji akan mematuhi segala nasihat Resi Srimadewa.

RESI SRIMADEWA MELAPOR KEPADA PRABU WASUPATI


Singkat cerita, Resi Srimadewa telah kembali ke istana Wirata dan melapor kepada Prabu
Wasupati mengenai pesan Batara Kalakeya sebelum kembali ke kahyangan mengenai peruwatan
untuk penyakit Dewi Durgandini dan Raden Durgandana.
Menurut pesan tersebut, kelak jika kedua putra Prabu Wasupati itu telah genap berusia dua
puluh tahun, maka mereka harus mulai bertapa untuk mendapatkan kesembuhan. Dewi Durgandini
hendaknya bertapa ngrame di Sungai Jamuna, sedangkan Raden Durgandana hendaknya bertapa
ngidang di Hutan Krendayana. Kelak Batara Kalakeya akan turun dari kahyangan untuk mengobati
Raden Durgandana, sedangkan Dewi Durgandini ditakdirkan sembuh oleh Resi Parasara dari
Gunung Saptaarga.
Prabu Wasupati sangat gembira mendengar petunjuk dewa yang dibawa Resi Srimadewa. Ia
menghitung saat ini putra dan putrinya yang dititipkan pada Kyai Dasa masih berusia dua belas
tahun. Itu berarti masih delapan tahun lagi menjelang usia mereka genap mencapai dua puluh tahun
untuk memulai pertapaan masing-masing.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DEWABRATA LAHIR
Kisah ini menceritakan perkawinan Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi, yang kemudian
melahirkan Raden Dewabrata. Tokoh ini kelak dikenal dengan nama Resiwara Bisma. Kisah
dilanjutkan dengan sembuhnya Raden Durgandana dari penyakit bau amisnya, serta
pembangunan Kerajaan Magada, di mana Raden Wrehadrata menjadi raja pertama.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan
sedikit pengembangan.
Kediri, 13 Juli 2015
Heri Purwanto

Prabu Santanu

PRABU SANTANU MELAPORKAN SERANGAN PRABU BAHLIKA KE WIRATA


Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata dihadap Raden Wrehadrata (putra sulungnya), Patih
Wasita, Arya Manungkara, dan Aryaprabu Kistawa. Tidak lama kemudian hadir pula Prabu Santanu
dari Kerajaan Hastina yang melaporkan bahwa kakaknya, yaitu Prabu Bahlika raja Siwandapura
hendak menyerang Kerajaan Wirata. Prabu Santanu mengaku telah menerima surat dari Prabu
Bahlika yang berisi ajakan untuk membalas dendam atas kematian ayah mereka.
Belasan tahun silam, Prabu Pratipa Dewamurti raja Hastina gugur di tangan Aryaprabu
Kistawa saat menyerang Kerajaan Wirata. Ketiga putranya mengalami nasib yang berbeda. Raden
Dewapi yang sulung hidup menyepi di hutan dan tidak diketahui lagi bagaimana kabarnya. Raden
Bahlika melarikan diri ke Kerajaan Siwandapura (tempat ibunya berasal) dan menjadi raja di sana.
Sementara Raden Santanu si putra bungsu menyerah kepada pihak Wirata dan mewarisi takhta
Kerajaan Hastina.
Kini, hubungan antara Kerajaan Wirata dan Hastina tidak lagi sebagai atasan dan bawahan,
tetapi sudah menjadi sekutu yang sederajat. Namun demikian, Prabu Santanu tetap menganggap
Prabu Wasupati sebagai sesepuh yang dihormati. Itulah sebabnya, surat ajakan balas dendam dari
kakaknya pun ia tolak dengan tegas. Prabu Santanu menyatakan, jika Prabu Bahlika datang
menyerang Tanah Jawa, maka kekuatan Hastina siap berdiri di depan Wirata.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Wasupati merasa terharu atas sikap Prabu Santanu tersebut. Ia pun memerintahkan
Patih Wasita untuk menyiapkan pasukan demi menghadapi datangnya serangan dari Kerajaan
Siwandapura.

PRABU SANTANU MEMUKUL MUNDUR KAKAKNYA


Beberapa waktu kemudian, apa yang dilaporkan Prabu Santanu menjadi kenyataan. Prabu
Bahlika dan Patih Wikuntana datang bersama pasukan Siwandapura menggempur Kerajaan Wirata.
Sesuai janjinya, Prabu Santanu dibantu Patih Basusara pun menempatkan pasukan Hastina di garis
depan untuk menghadapi serangan tersebut.
Prabu Bahlika terkejut melihat tindakan adik bungsunya itu. Prabu Santanu tidak hanya
menolak membantunya membalas dendam, tetapi justru memihak musuh yang seharusnya
diperangi bersama. Prabu Santanu menjawab bahwa ia tidak menganggap Prabu Wasupati sebagai
musuh, tetapi menganggapnya sebagai sesepuh pengganti orang tua. Mengenai sang ayah yang
gugur di tangan Aryaprabu Kistawa, itu pun bukan kesalahan pihak Wirata. Prabu Pratipa sendiri
yang lebih dulu menyerang Wirata sehingga akhirnya menemui ajal di dalam pertempuran.
Prabu Bahlika tidak peduli pada segala alasan yang disampaikan Prabu Santanu. Ia tetap
menganggap Prabu Wasupati dan Aryaprabu Kistawa sebagai musuh besar. Jika Prabu Santanu
berada di pihak Wirata, maka adiknya itu akan dianggapnya sebagai musuh pula. Usai berkata
demikian, ia lalu memerintahkan pasukan Siwandapura untuk maju memulai pertempuran.
Prabu Santanu yang sudah bertekad membela Kerajaan Wirata pun mengerahkan pasukan
Hastina untuk menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit terjadi di antara mereka. Saling
serang dan saling berusaha mengalahkan. Menjelang senja, pihak Siwandapura mulai terlihat
kewalahan. Prabu Santanu berhasil melukai Prabu Bahlika, sehingga kakaknya itu terpaksa
memerintahkan pasukannya untuk mundur meninggalkan Kerajaan Wirata.
Prabu Wasupati berterima kasih atas bantuan Prabu Santanu yang berhasil memukul mundur
Prabu Bahlika dan pasukannya. Prabu Wasupati kemudian menjamu Prabu Santanu, Patih
Basusara, dan segenap pasukan Hastina sebagai perayaan atas kemenangan tersebut.

PRABU SANTANU MENIKAH DENGAN DEWI JAHNAWI


Setelah dirasa cukup, Prabu Santanu dan pasukannya mohon pamit meninggalkan Kerajaan
Wirata. Dalam perjalanan pulang menuju Hastina, Prabu Santanu bertemu seorang wanita berparas
cantik di dekat Sungai Silugangga. Wanita itu mengaku bernama Dewi Jahnawi yang hidup sebatang
kara tidak memiliki sanak saudara.
Prabu Santanu seketika jatuh cinta dan ia pun mengutarakan niatnya ingin menikahi Dewi
Jahnawi. Saat ini usia Prabu Santanu hampir mencapai tiga puluh tahun namun belum memiliki istri
sama sekali. Dewi Jahnawi pun menerima lamaran tersebut. Maka, ia lalu diboyong ke Kerajaan
Hastina untuk dijadikan sebagai permaisuri di sana.

LAHIRNYA RADEN DEWABRATA


Sembilan bulan berlalu setelah perkawinan itu. Dewi Jahnawi melahirkan seorang putra yang
diberi nama Raden Dewabrata. Akan tetapi, ia meninggal dunia setelah melahirkan dan jasadnya
musnah, berubah menjadi seorang bidadari. Ternyata Dewi Jahnawi adalah penjelmaan Batari
Ganggawati, putri Batara Ganggadenta. Prabu Santanu sangat berduka sekaligus terkejut melihat
perubahan wujud istrinya itu.
Batari Ganggawati pun bercerita bahwa pada mulanya ia adalah waranggana di Kahyangan
Suralaya. Ketika sedang menari dan bernyanyi menghibur para dewa, tanpa sengaja pakaiannya
terlepas karena tidak diikat dengan baik. Batara Indra sangat marah dan menuduh Batari
Ganggawati melakukan perbuatan ceroboh. Batari Ganggawati pun diturunkan ke dunia sebagai
manusia biasa, dan bisa kembali ke kahyangan apabila telah melahirkan seorang putra raja.
Prabu Santanu sangat prihatin karena itu berarti permaisurinya akan pergi meninggalkan
dirinya. Batari Ganggawati pun menghiburnya agar jangan terlalu bersedih. Sebelum berpisah, ia
KITAB WAYANG PURWA

meramalkan bahwa Kerajaan Hastina kelak akan menjadi negeri yang sangat besar, bahkan
melebihi keagungan Wirata. Untuk itu, Raden Dewabrata sebaiknya dipersiapkan menjadi raja yang
adil dan bijaksana, yang menguasai ilmu kenegaraan dan keprajuritan. Batari Ganggawati pun
berniat membawa putra mereka itu ke kahyangan untuk dididik para dewa, dan kelak akan
dikembalikan lagi ke Hastina setelah menamatkan pendidikan. Mengenai ilmu kenegaraan, Batari
Ganggawati akan meminta Batara Wrehaspati untuk mengajar, sedangkan untuk ilmu keprajuritan,
Batara Ramaparasu yang akan dimintai kesediaannya menjadi guru bagi Raden Dewabrata.
Dengan berat hati, Prabu Santanu pun melepaskan kepergian Batari Ganggawati yang
terbang menuju Kahyangan Suralaya sambil menggendong Raden Dewabrata.

DEWI DURGANDINI DAN RADEN DURGANDANA BERTAPA


Tujuh tahun berlalu setelah peristiwa itu. Kyai Dasa di Desa Matsya menerima kunjungan
Aryaprabu Kistawa yang diutus Prabu Wasupati. Kedatangan adik raja tersebut adalah untuk
menyampaikan petunjuk dewata kepada kedua anak Prabu Wasupati yang dititipkan kepada Kyai
Dasa, supaya mereka memulai bertapa demi mendapatkan kesembuhan dari penyakit mereka, yaitu
berbau amis sejak lahir.
Kyai Dasa lalu menghadirkan kedua anak asuhnya tersebut, yang ia panggil dengan nama
Rara Amis dan Jaka Matsya. Keduanya pun diberi tahu bahwa nama asli mereka masing-masing
adalah Dewi Durgandini dan Raden Durgandana, yang merupakan putri dan putra Prabu Wasupati
dari Kerajaan Wirata. Mereka berdua sangat terkejut begitu mengetahui kalau ayah kandung mereka
ternyata seorang raja.
Aryaprabu Kistawa menjelaskan kepada kedua keponakannya itu, bahwa Prabu Wasupati
sama sekali tidak membuang mereka, tetapi menitipkan kepada Kyai Dasa sesuai petunjuk dewa.
Kini, usia mereka telah genap dua puluh tahun, dan Dewata telah memberikan petunjuk agar
keduanya memulai pertapaan demi mendapatkan kesembuhan. Untuk itu, Dewi Durgandini
hendaknya melakukan tapa ngrame di Sungai Jamuna sebagai tukang perahu yang
menyeberangkan siapa saja tanpa imbalan, sedangkan Raden Durgandana hendaknya bertapa
ngidang di Hutan Krendayana, yaitu hidup dengan memakan rumput saja.
Dewi Durgandini dan Raden Durgandana mematuhi, lalu keduanya memohon restu kepada
Aryaprabu Kistawa dan Kyai Dasa untuk memulai bertapa.

RADEN DURGANDANA MENDAPATKAN KESEMBUHAN


Sudah empat puluh hari lamanya Raden Durgandana bertapa ngidang di Hutan Krendayana.
Pada suatu hari ia didatangi seekor harimau lapar yang ingin memangsanya. Teringat pada pesan
Aryaprabu Kistawa yang menyuruhnya untuk meniru perilaku seekor kijang, Raden Durgandana pun
sama sekali tidak melawan. Ia merasa ikhlas andaikata hidupnya harus berakhir sebagai mangsa
harimau lapar tersebut.
Tiba-tiba sang harimau berubah wujud menjadi Batara Kalakeya, yaitu dewa yang dulu pernah
berjanji kepada Resi Srimadewa untuk meruwat putra Prabu Wasupati. Ia pun memperkenalkan diri
kepada Raden Durgandana dan menyatakan bahwa sang pangeran telah lulus ujian keikhlasan,
sehingga berhak mendapatkan kesembuhan.
Raden Durgandana lalu duduk bersila mengheningkan cipta, sedangkan Batara Kalakeya
meraba sekujur tubuhnya untuk menghisap penyakit bau amis yang ia derita sejak lahir. Selang
agak lama, Batara Kalakeya pun mengakhiri pengobatan dan Raden Durgandana dinyatakan telah
sembuh seperti manusia normal pada umumnya.
Pada saat itulah Aryaprabu Kistawa datang menjenguk ke Hutan Krendayana. Ia pun
menyampaikan sembah hormat kepada Batara Kalakeya yang telah menyembuhkan
keponakannya. Batara Kalakeya menjelaskan bahwa dirinya hanya ditakdirkan untuk
menyembuhkan Raden Durgandana saja. Sementara itu, orang yang ditakdirkan bisa
menyembuhkan Dewi Durgandini adalah Resi Parasara dari Gunung Saptaarga. Akan tetapi, Dewi
Durgandini sampai saat ini belum ikhlas menjalani pertapaannya sehingga peristiwa pertemuannya
dengan Resi Parasara mungkin masih lama baru bisa terjadi. Batara Kalakeya telah mengamati
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Durgandini yang masih sering mengeluh mengapa harus menjadi tukang perahu dan hidup di
desa terpencil, padahal ia adalah putri seorang raja besar.
Aryaprabu Kistawa memaklumi hal itu. Setelah dirasa cukup, Batara Kalakeya pun undur diri
kembali ke kahyangan, sedangkan Aryaprabu Kistawa dan Raden Durgandana berangkat menuju
Kerajaan Wirata.

PRABU WASUPATI MEMBANGUN KERAJAAN MAGADA


Prabu Wasupati dan Dewi Swargandini di Kerajaan Wirata menyambut kedatangan Raden
Durgandana dan Aryaprabu Kistawa dengan penuh suka cita. Namun, mereka juga prihatin
mendengar tentang Dewi Durgandini yang belum memperoleh kesembuhan sampai saat ini.
Sebagai ungkapan syukur, Prabu Wasupati pun mengirimkan hadiah beraneka macam kepada Kyai
Dasa di Desa Matsya yang selama ini telah mengasuh kedua anaknya dengan sangat baik dan
penuh kesabaran.
Beberapa hari kemudian, putra sulung Prabu Wasupati yang lahir dari mendiang Dewi Yukti,
yaitu Raden Wrehadrata bermimpi bahwa dirinya tidak boleh menjadi raja Wirata karena kelak akan
memiliki keturunan yang berwatak angkara murka. Begitu terbangun dari tidurnya, Raden
Wrehadrata pun melaporkan hal itu kepada sang ayah. Ia menyatakan rela untuk tidak menjadi raja
dan menyerahkan kedudukannya sebagai pangeran mahkota kepada Raden Durgandana, adik
tirinya.
Prabu Wasupati sangat terharu mendengar pernyataan Raden Wrehadrata yang penuh
keikhlasan tersebut. Karena Dewata telah memberikan petunjuk kepada putra sulungnya melalui
mimpi, maka Prabu Wasupati tidak bisa menolak hal itu. Sebagai ganti, Prabu Wasupati pun
memerintahkan Patih Wasita agar membuka Hutan Magada yang terletak di kaki Gunung Cetiyaka
menjadi negeri baru untuk diserahkan kepada Raden Wrehadrata. Prabu Wasupati berpendapat,
jika Raden Wrehadrata menjadi raja di Magada, bukan di Wirata, maka ramalan Dewata tidak akan
berlaku lagi.
Demikianlah, beberapa bulan kemudian Hutan Magada telah berubah menjadi sebuah negeri
baru, yang diberi nama Kerajaan Magada. Raden Wrehadrata pun dilantik sebagai raja di sana,
bergelar Prabu Wrehadrata. Ia berjanji tidak akan menginjakkan kaki di Kerajaan Wirata untuk
selamanya, supaya keturunannya kelak tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki darah Wirata.
(Usaha Prabu Wasupati untuk menggagalkan ramalan dewa sepertinya tidak berguna. Kelak
setelah beberapa puluh tahun berlalu, Prabu Wrehadrata akhirnya memiliki seorang anak yang
angkara murka, bernama Prabu Jarasanda. Ia sendiri bahkan tewas dibunuh anaknya itu. Kemudian
Prabu Jarasanda akhirnya tewas di tangan Raden Wrekodara, keturunan Dewi Durgandini.)

Prabu Wasupati alias Prabu Basuparicara

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ABYASA LAHIR
Kisah ini menceritakan pertemuan Resi Parasara dengan Dewi Durgandini, di mana dari
pertemuan itu lahir Raden Abyasa yang kelak menurunkan Pandawa dan Kurawa. Kisah
dilanjutkan pula dengan lahirnya keenam saudara Raden Abyasa, yaitu Raden Setatama, Dewi
Sudaksina, Raden Bimakinca, Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, dan Raden Rajamala.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang saya selaraskan dengan alur cerita Mahabharata karya Resi
Wyasa, di mana Resi Parasara tetap menjadi pendeta, sedangkan Dewi Durgandini tetap
menjadi tukang perahu setelah kelahiran Raden Abyasa.
Kediri, 12 Agustus 2015
Heri Purwanto

Resi Parasara

BEGAWAN RUKMAWATI MUKSA


Resi Parasara di Gunung Saptaarga sedang bersamadi ketika ia tiba-tiba didatangi leluhurnya,
yaitu Prabu Parikenan yang telah menjadi dewa bergelar Batara Brahma-am. Dalam pertemuan itu,
Batara Brahma-am memerintahkan Resi Parasara untuk berguru kepada seorang bidadari petapa
di Gunung Mahendra yang bernama Begawan Rukmawati. Batara Brahma-am menceritakan bahwa
dirinya sejak kecil bersama sang adik, yaitu Dewi Srini, telah diasuh dan dibesarkan oleh Begawan
Rukmawati tersebut bagaikan anak sendiri.
Setelah Batara Brahma-am kembali ke kahyangan, Resi Parasara pun berangkat menuju
Gunung Mahendra dengan didampingi panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Sesampainya di sana mereka disambut oleh Begawan Rukmawati yang memiliki penglihatan tajam
dan langsung mengetahui jati diri Resi Parasara.
Dahulu kala Begawan Rukmawati sering menjadi tumpuan pertanyaan jika para raja
mendapatkan masalah. Seiring berkembangnya zaman, nama Begawan Rukmawati dan Gunung
Mahendra semakin dilupakan orang. Tak disangka, tiba-tiba saja muncul Resi Parasara yang ingin
berguru menimba ilmu kepadanya.
Begawan Rukmawati pun mengajarkan segala kepandaiannya kepada Resi Parasara sampai
akhirnya sang murid dinyatakan lulus. Di lain pihak, Resi Parasara sedang terpesona melihat
kecantikan gurunya yang seorang bidadari itu. Resi Parasara telah berusia empat puluh tahun,
namun baru kali ini ia merasa tertarik kepada seorang wanita. Dengan penuh rasa malu, ia pun
memberanikan diri mengutarakan perasaannya kepada Begawan Rukmawati.
Begawan Rukmawati tidak dapat menerima cinta Resi Parasara karena tiga hal. Pertama,
karena Resi Parasara adalah muridnya. Kedua, karena Resi Parasara adalah keturunan Prabu
Parikenan yang tidak lain adalah anak angkatnya sendiri. Ketiga, karena Begawan Rukmawati
merasa sudah saatnya ia mencapai muksa, bersatu dengan semesta.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Parasara merasa kecewa bercampur malu. Namun, Begawan Rukmawati menghibur,
bahwa tidak lama lagi Resi Parasara akan berjodoh dengan seorang wanita yang mirip dengannya.
Setelah berpesan demikian, Begawan Rukmawati pun dijemput kereta emas yang turun dari
angkasa. Ia lalu menaiki kereta tersebut dan kemudian musnah dari pandangan Resi Parasara.

RESI PARASARA MEMBASMI SERANGAN HAMA


Tidak lama kemudian, Resi Parasara menerima kedatangan seorang pendeta bernama Resi
Indradewa dari Padepokan Bimarastana. Resi Indradewa bercerita bahwa ladang dekat
pertapaannya sering diserang hama. Ia sudah mengusahakan berbagai macam cara namun hama
yang menyerang justru semakin bertambah banyak.
Atas petunjuk dewa, Resi Indradewa harus meminta bantuan kepada Resi Parasara yang saat
ini berada di Gunung Mahendra. Menanggapi permintaan tersebut, Resi Parasara segera bersiul
memanggil sahabatnya, yaitu Gandarwaraja Swala. Dalam sekejap mata, sang raja makhluk halus
pun hadir di hadapannya.
Gandarwaraja Swala lalu menggendong Resi Parasara, Resi Indradewa, serta panakawan
Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong terbang menuju Padepokan Bimarastana. Dalam
waktu sekejap mereka pun tiba di sana. Resi Parasara langsung bersamadi mengheningkan cipta
untuk menghalau hama yang menyerang ladang milik Resi Indradewa. Ada berbagai macam jenis
hama yang menyerang. Mulai dari wereng, tikus, sampai babi hutan. Satu persatu mereka lumpuh
dan berjatuhan di tanah terkena daya gaib mantra Resi Parasara.
Tiba-tiba muncul seorang pendeta yang mengaku bahwa dirinyalah yang mengirim kawanan
hama tersebut. Pendeta itu bernama Resi Puruhita yang langsung menyerang Resi Parasara.
Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kekalahan Resi Puruhita.
Resi Parasara lalu menanyakan apa alasan Resi Puruhita mengirim kawanan hama ke ladang
milik Resi Indradewa. Resi Puruhita menjawab bahwa ladang tersebut dulunya bernama Setra
Pitara, yaitu kuburan milik para leluhurnya. Mendengar itu, Resi Indradewa segera meminta maaf
karena ia tidak tahu kalau tanah lapang yang telah diubahnya menjadi ladang tersebut adalah bekas
kuburan leluhur Resi Puruhita.
Kini semua permasalahan telah jelas. Resi Parasara lalu mengheningkan cipta mendatangkan
arwah para leluhur Resi Puruhita. Mereka pun hadir dan meminta Resi Puruhita untuk meredam
amarahnya. Para leluhur itu menjelaskan bahwa tempat mereka kini adalah di alam baka,
sedangkan jasad mereka yang sudah lama terpendam di tanah kini telah musnah terurai dan bersatu
kembali dengan alam semesta. Asalnya tiada, kembali tiada. Untuk itu, Resi Puruhita diminta untuk
tidak mempermasalahkan jika Resi Indradewa melanjutkan kegiatan berladang, karena tanah
lapang Setra Pitara akan lebih bermanfaat bagi masyarakat jika digunakan sebagai lahan pertanian.
Setelah berpesan demikian, arwah para leluhur itu pun musnah kembali ke alam baka.
Resi Puruhita merasa lega mendengarkan penjelasan dari para leluhurnya. Ia pun
menyatakan rela jika Resi Indradewa melanjutkan kegiatan berladang di bekas kuburan tersebut
dan berjanji tidak akan mengirimkan hama lagi. Ia juga berterima kasih kepada Resi Parasara yang
telah menengahi permasalahan ini dengan bijaksana.

RESI PARASARA MENIKAH DENGAN DEWI WATARI


Setelah Resi Puruhita meninggalkan Setra Pitara, Resi Indradewa berterima kasih atas segala
bantuan Resi Parasara. Sebagai ungkapan syukurnya, ia pun menyerahkan putrinya yang bernama
Dewi Watari supaya menjadi istri Resi Parasara.
Resi Parasara sudah berusia empat puluh tahun tetapi belum berumah tangga, tentunya hal
ini kurang baik menurut pandangan masyarakat. Karena terus-menerus dibujuk, Resi Parasara tidak
dapat menolak lagi. Ia pun menerima perjodohan tersebut dan menikahi Dewi Watari di Padepokan
Bimarastana.
KITAB WAYANG PURWA

Akan tetapi, Resi Parasara selalu terbayang-bayang wajah Begawan Rukmawati. Malam
harinya, ia pun mengajak para panakawan pergi meninggalkan Padepokan Bimarastana secara
diam-diam karena tidak mau berumah tangga dengan Dewi Watari tanpa dilandasi rasa cinta.

RESI PARASARA BERTAPA DI HUTAN PAREWANA


Sesampainya di Hutan Parewana, Resi Parasara bersamadi mengheningkan cipta. Ia
bertekad tidak akan menikah jika tidak dengan perempuan yang berwajah mirip Begawan
Rukmawati.
Berhari-hari lamanya Resi Parasara bertapa tanpa makan dan minum, hingga pada suatu
ketika di atas kepalanya hinggap dua ekor burung pipit sejodoh. Kedua burung tersebut tidak hanya
hinggap, tetapi juga bersarang di atas kepala Resi Parasara. Hari demi hari berlalu, si burung betina
pun bertelur tiga butir hingga akhirnya menetas semua.
Akan tetapi, burung jantan dan burung betina itu tidak mau merawat dan memberi makan
ketiga anak mereka. Resi Parasara terbangun dari samadinya dan berusaha memanggil si burung
jantan dan betina agar kembali ke sarang mereka. Namun, sepasang induk burung tersebut justru
terbang menjauh, membuat Resi Parasara semakin kesal dan bergegas mengejar sambil
memegang sarang berisi ketiga anak mereka.

RESI PARASARA BERTEMU DEWI DURGANDINI


Sepasang induk burung pipit itu hinggap dari pohon satu ke pohon lainnya, seolah mereka
ingin bermain kejar-kejaran dengan Resi Parasara. Tak terasa, pengejaran Resi Parasara terhalang
oleh Sungai Jamuna, sedangkan sepasang induk burung tersebut telah berada di seberang sana.
Pada saat itulah Resi Parasara melihat seorang tukang perahu berwajah cantik namun berbau
amis mendekati dirinya. Tukang perahu itu mengaku bernama Rara Amis yang menawarkan diri
untuk menyeberangkan Sang Resi. Resi Parasara terkesima karena wajah tukang perahu ini sama
persis dengan Begawan Rukmawati yang dicintainya. Tanpa banyak bertanya lagi, ia pun naik ke
atas perahu dan meminta diseberangkan untuk mengejar sepasang induk burung tadi.
Tiba-tiba sepasang induk burung yang hinggap di pohon seberang sungai musnah entah ke
mana, begitu pula ketiga anak burung yang ada di tangan Resi Parasara juga ikut lenyap.
Sesampainya di seberang, Resi Parasara mengurungkan niatnya untuk turun dan meminta supaya
diantarkan menyusuri Sungai Jamuna saja. Rara Amis menurut dan menjalankan perahu sesuai
permintaan Sang Resi.
Resi Parasara sama sekali tidak jijik terhadap bau badan Rara Amis, tetapi justru merasa iba.
Ia pun menawarkan diri untuk mengobati penyakit gadis itu. Rara Amis mengiakan dengan penuh
pengharapan. Resi Parasara lalu mengusapkan rimpang kunyit ke sekujur tubuh Rara Amis sambil
membaca mantra Muskala. Berangsur-angsur penyakit Rara Amis rontok dan berubah menjadi
semacam lumpur yang kemudian dilemparkan ke dalam sungai oleh Resi Parasara.
Sementara itu, sepasang induk burung pipit dan ketiga anaknya yang telah musnah tadi
berubah wujud menjadi Batara Guru, Batara Narada, serta Batari Warsiki, Batari Gagarmayang, dan
Batari Tunjungbiru. Mereka berlima sengaja menjelma menjadi burung pipit sekeluarga untuk
mempertemukan Resi Parasara dengan Dewi Durgandini (Rara Amis) karena mereka ditakdirkan
berjodoh dan menurunkan seorang putra yang kelak menjadi pendeta agung di Tanah Jawa.

LAHIRNYA RADEN ABYASA


Rara Amis kini telah sembuh dari penyakitnya dan ia sangat berterima kasih kepada Resi
Parasara. Di lain pihak, Resi Parasara tergetar hatinya saat mengusapkan kunyit ke sekujur tubuh
Rara Amis. Ia pun berterus terang telah jatuh cinta kepada gadis itu. Sebaliknya, Rara Amis juga
merasa jatuh hati kepada penolongnya tersebut. Meskipun Resi Parasara sudah berusia lebih dari
empat puluh tahun, tetapi wajahnya sangat tampan dan juga awet muda karena tekun bertapa setiap
waktu.
KITAB WAYANG PURWA

Pada saat itu perahu yang mereka tumpangi berlabuh di sebuah pulau kecil yang terletak di
tengah Sungai Jamuna. Resi Parasara dan Rara Amis pun mendarat di pulau tersebut. Mereka
sama-sama tak kuasa menahan nafsu birahi sehingga melakukan hubungan badan di sana.
Sebelumnya, Resi Parasara sempat menciptakan semacam kabut tebal untuk menutupi apa yang
mereka lakukan berdua.
Tiba-tiba ada petir menggelegar menyambar perahu milik Rara Amis yang ditambatkan di tepi
pulau tadi hingga pecah menjadi dua. Resi Parasara dan Rara Amis terkejut dan merasa bersalah
karena petir ini pasti teguran dari dewata atas perzinahan yang telah mereka lakukan. Rara Amis
pun berterus terang bahwa dirinya memiliki nama asli Dewi Durgandini, putri Prabu Wasupati di
Kerajaan Wirata. Resi Parasara menyesal karena terlalu menuruti hawa nafsu sehingga lupa
bertanya tentang asal-usul Rara Amis. Seharusnya ia bertanya lebih dulu siapa orang tua gadis itu,
sehingga bisa mengajukan lamaran secara resmi kepada Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata,
bukannya berzinah seperti ini. Sebaliknya, Dewi Durgandini juga merasa bersalah karena tidak
berterus terang sejak awal kepada Resi Parasara tentang jati dirinya.
Kini, Dewi Durgandini telah mengandung anak Resi Parasara. Sembilan bulan setelah
peristiwa itu, ia melahirkan seorang bayi berkulit hitam legam, namun memiliki ari-ari berwarna putih
bersih. Resi Parasara teringat kepada Brahmana Wyasa yang dulu menyatu ke dalam dirinya dan
berniat akan terlahir kembali sebagai anaknya. Maka, Resi Parasara pun memberi nama mirip
Brahmana Wyasa untuk putranya yang baru lahir tersebut, yaitu Raden Abyasa. Sementara itu, Dewi
Durgandini juga memberikan nama Raden Kresna Dwipayana, karena bayinya itu berkulit hitam dan
dilahirkan di tengah pulau.
Ketika Resi Parasara hendak menanam ari-ari Raden Abyasa, tiba-tiba benda itu berubah
menjadi seorang bayi berkulit putih bersih. Resi Parasara pun mengakuinya sebagai anak nomor
dua dan memberinya nama Raden Setatama.

RESI PARASARA MENDAPATKAN TUJUH ANAK


Tidak lama kemudian datanglah Resi Indradewa dan Endang Watari sambil menggendong
lima bayi. Resi Indradewa menggendong tiga bayi laki-laki, sedangkan Dewi Watari menggendong
satu bayi perempuan dan satu bayi laki-laki. Resi Parasara dan Dewi Durgandini pun menyambut
kedatangan mereka dengan senang hati sekaligus heran melihat kelima bayi yang mereka bawa itu.
Resi Indradewa pun bercerita bahwa pada suatu hari Batara Narada datang ke Padepokan
Bimarastana membawa lima macam benda, yaitu rimpang kunyit, dayung, dan perahu yang telah
pecah menjadi dua, serta segumpal lumpur. Batara Narada lalu mengubah kelima benda tersebut
menjadi bayi supaya diasuh Dewi Watari sebagai anak-anak Resi Parasara.
Yang pertama kali diubah menjadi bayi perempuan adalah rimpang kunyit, yaitu benda yang
dipakai Resi Parasara untuk mengobati Dewi Durgandini. Batara Narada pun memberinya nama
Dewi Sudaksina.
Benda kedua yang diubah menjadi bayi adalah dayung milik Dewi Durgandini. Batara Narada
memberinya nama Raden Bimakinca.
Selanjutnya, yang diubah adalah perahu yang terbelah menjadi dua, yaitu perahu milik Dewi
Durgandini yang tersambar petir saat ditambatkan di tepi pulau tengah sungai. Kedua belahan
perahu tersebut berubah menjadi sepasang bayi kembar, yang diberi nama Raden Kincaka dan
Raden Rupakinca.
Yang terakhir diubah menjadi bayi adalah gumpalan lumpur penjelmaan penyakit Dewi
Durgandini. Bayi yang terakhir ini memiliki taring seperti raksasa, diberi nama Raden Rajamala.
Batara Narada lalu menyerahkan kelima bayi tersebut kepada Resi Indradewa dan Dewi
Watari dan menjelaskan di mana Resi Parasara saat ini berada. Setelah dirasa cukup, ia pun undur
diri kembali ke kahyangan.
Demikianlah, Resi Indradewa menceritakan asal-usul kelima bayi tersebut kepada Resi
Parasara dan Dewi Durgandini. Resi Parasara terkesan mendengarnya dan menerima mereka
KITAB WAYANG PURWA

semua sebagai anak. Jika ditambah dengan Raden Abyasa dan Raden Setatama, maka jumlah
anak Resi Parasara sekarang menjadi tujuh orang.

DEWI DURGANDINI DIJEMPUT RADEN DURGANDANA


Tidak lama kemudian datang pula Raden Durgandana dan Kyai Dasa di pulau tersebut dan
mereka sangat gembira melihat Dewi Durgandini telah sembuh dari penyakitnya. Raden
Durgandana berkata bahwa ayah mereka, yaitu Prabu Wasupati beberapa hari yang lalu
mendapatkan petunjuk dewata bahwa Dewi Durgandini telah sembuh dari penyakitnya. Prabu
Wasupati pun mengutus Raden Durgandana untuk menjemput Dewi Durgandini pulang ke Kerajaan
Wirata. Akan tetapi, sungguh mengejutkan karena Dewi Durgandini mengaku telah memiliki anak
dari hasil perzinahan dengan Resi Parasara.
Raden Durgandana marah menuduh Resi Parasara sebagai pendeta berbudi rendah yang
telah merusak kesucian kakaknya. Ia pun menyerang Resi Parasara untuk melampiaskan
kekesalan. Resi Parasara terpaksa menghadapi serangan Raden Durgandana untuk membela diri.
Setelah bertarung agak lama, Resi Parasara akhirnya berhasil meringkus Raden Durgandana.
Meskipun telah kalah, Raden Durgandana tetap memaki Resi Parasara sebagai pendeta tak
berbudi meskipun memiliki ilmu setinggi langit. Mendengar itu, Resi Parasara tidak melawan lagi
karena ia menyadari kesalahannya yang terlalu menuruti hawa nafsu. Ia pun melepaskan Raden
Durgandana dan meminta maaf kepada pengeran dari Wirata tersebut.
Resi Parasara lalu mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya sehingga membuat Dewi
Durgandini kembali menjadi perawan seperti sedia kala. Setelah itu, ia lalu mengajak Resi
Indradewa dan Dewi Watari kembali ke Padepokan Bimarastana sambil membawa ketujuh bayinya.

DEWI DURGANDINI MELANJUTKAN TAPA NGRAME


Sepeninggal mereka, Raden Durgandana mengajak Dewi Durgandini pulang ke Kerajaan
Wirata. Akan tetapi, Dewi Durgandini menyatakan tidak bersedia pulang karena ia merasa telah
berdosa besar menuruti hawa nafsu dan mencemarkan nama baik Prabu Wasupati. Untuk itu, ia
mengaku ingin melanjutkan tapa ngrame menjadi tukang perahu di Sungai Jamuna sebagai
penebus dosa.
Raden Durgandana berusaha membujuk kakaknya untuk ikut pulang ke Wirata, namun tidak
berhasil. Ia lalu meminta Kyai Dasa membuatkan sebuah perahu baru yang kemudian diberikannya
kepada Dewi Durgandini sebagai sarana melakukan tapa ngrame. Setelah dirasa cukup, Raden
Durgandana mohon pamit dan menitipkan Dewi Durgandini kepada Kyai Dasa seperti waktu-waktu
sebelumnya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DEWABRATA PRASETYA
Kisah ini menceritakan kemunculan Raden Dewabrata putra Prabu Santanu yang sejak bayi
ikut Batari Ganggawati untuk mendapatkan pendidikan. Kisah dilanjutkan dengan sumpah
Raden Dewabrata untuk hidup wahdat dan setia melayani raja Hastina di hadapan Dewi
Durgandini, sehingga ia pun memperoleh nama Bisma. Kisah ini saya olah berdasarkan sumber
wiracarita Mahabharata karya Resi Wyasa dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 18 Agustus 2015
Heri Purwanto

PRABU SANTANU DISERANG RADEN SALWARUKMA DARI SIWANDAPURA


Prabu Santanu di Kerajaan Hastina dihadap menteri utama Patih Basusara dan kepala
pendeta Resi Jawalagni, beserta para punggawa lainnya. Mereka sedang membicarakan keadaan
negara yang semakin hari semakin bertambah maju. Kerajaan Hastina kini menjadi negeri besar,
bahkan menyamai Kerajaan Wirata yang dulu pernah menjadi atasannya. Jumlah penduduknya juga
semakin banyak, dan wilayahnya pun semakin luas. Hal ini sesuai dengan ramalan Batari
Ganggawati dulu sebelum berpisah dengan Prabu Santanu.
Prabu Santanu lalu teringat pada putranya, yaitu Raden Dewabrata, yang sejak bayi dibawa
Batari Ganggawati ke kahyangan untuk dididik para dewa dan dipersiapkan menjadi pangeran
mahkota Kerajaan Hastina. Tak terasa kini sudah lima belas tahun berlalu. Prabu Santanu berharap
Raden Dewabrata telah menamatkan pendidikannya dan dapat berkumpul kembali dengannya.
Dalam pertemuan itu, Patih Basusara dan Resi Jawalagni mengusulkan agar Prabu Santanu
menikah lagi, karena kurang baik jika seorang raja tidak memiliki permaisuri. Namun, Prabu Santanu
tidak ingin memikirkan soal itu sebelum bisa berkumpul dengan Raden Dewabrata.
Tiba-tiba datanglah seorang pangeran yang mengaku bernama Raden Salwarukma, putra
Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura. Kedatangannya adalah untuk meminta takhta Kerajaan
Hastina dari tangan Prabu Santanu yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Menurut Raden
Salwarukma, ayahnya lebih tua daripada Prabu Santanu sehingga lebih berhak mewarisi Kerajaan
Hastina. Apalagi Prabu Santanu bisa menjadi raja juga karena mengkhianati Prabu Pratipa
(ayahnya) dan menyingkirkan Raden Dewapi (kakak sulungnya).
Prabu Santanu tersinggung atas sikap keponakannya itu. Ia pun mempersilakan Raden
Salwarukma untuk menunggu di alun-alun jika ingin merebut takhta Kerajaan Hastina.

RADEN SALWARUKMA DIKALAHKAN RADEN DEWABRATA


Prabu Santanu dan Patih Basusara memimpin pasukan Hastina berangkat menghadapi
tantangan Raden Salwarukma yang membawa sejumlah pasukan Siwandapura. Terjadilah
pertempuran sengit di antara mereka. Dalam belasan tahun ini Kerajaan Siwandapura banyak
KITAB WAYANG PURWA

menaklukkan negeri-negeri di tanah seberang, sehingga kekuatannya sekarang jauh lebih besar
daripada dulu saat menyerang Kerajaan Wirata.
Raden Salwarukma yang masih muda juga memiliki kesaktian tinggi. Dalam pertempuran itu,
ia berhasil menangkap Prabu Santanu beserta Patih Basusara. Padahal, ayahnya dulu pernah
dikalahkan Prabu Santanu saat berperang melawan Kerajaan Wirata.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang dengan cekatan dapat
membebaskan Prabu Santanu dan Patih Basusara, serta menyerang Raden Salwarukma dengan
panah-panahnya. Raden Salwarukma kelabakan dan berusaha melawan, namun musuhnya kali ini
jauh lebih tangguh. Ia akhirnya bertekuk lutut di hadapan pemuda yang baru datang itu.
Tidak lama kemudian muncul pula Batari Ganggawati yang memperkenalkan pemuda
pahlawan tersebut sebagai Raden Dewabrata. Prabu Santanu sangat gembira sekaligus terharu
menyaksikan putranya telah tumbuh remaja dan juga memiliki kesaktian tinggi, sehingga dapat
membebaskan dirinya dari bahaya. Raden Dewabrata pun menyembah memberi hormat kepada
Prabu Santanu, ayahnya yang selama lima belas tahun tak pernah ia jumpai.
Prabu Santanu lalu menyerahkan nasib Raden Salwarukma kepada Raden Dewabrata.
Mengingat persaudaraan di antara Prabu Santanu dengan Prabu Bahlika, maka Raden Dewabrata
pun membebaskan Raden Salwarukma yang terhitung sepupunya itu, dan mempersilakannya
pulang ke Siwandapura. Raden Salwarukma merasa malu dan segera pergi tanpa pamit.
Batari Ganggawati lalu berkata kepada Prabu Santanu bahwa ia sudah memenuhi janjinya
untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada Raden Dewabrata. Kini Raden Dewabrata telah
menamatkan semua pelajaran ilmu kenegaraan dari Batara Wrehaspati, serta ilmu keprajuritan dari
Batara Ramaparasu. Setelah dirasa cukup, Batari Ganggawati pun mohon pamit kembali ke
kahyangan. Prabu Santanu meminta mantan istrinya itu tetap tinggal di Kerajaan Hastina dan
membina rumah tangga seperti dulu lagi, namun Batari Ganggawati menolak. Ia harus kembali
menjadi bidadari karena masa hukumannya di dunia telah berakhir. Ia juga menyarankan agar Prabu
Santanu segera menikah lagi untuk mendapatkan permaisuri baru sebagai pendamping.

PRABU SANTANU MELANTIK RADEN DEWABRATA SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA


Prabu Santanu menilai Raden Dewabrata telah matang secara usia dan pendidikan. Maka,
pada hari yang dianggap baik, ia pun melantik putranya itu sebagai pangeran mahkota Kerajaan
Hastina. Berita ini disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat karena mereka merasa
pengangkatan Raden Dewabrata sebagai calon raja adalah keputusan yang sangat tepat. Para
penduduk yakin jika kelak Raden Dewabrata menjadi raja, maka Kerajaan Hastina akan lebih
makmur dan semakin berwibawa.
Setelah upacara pelantikan putranya berakhir, Prabu Santanu mengajak Raden Dewabrata
pergi berburu ke Hutan Mandalasara untuk bertamasya.

PRABU SANTANU BERTEMU DEWI DURGANDINI


Dalam perburuan tersebut, Prabu Santanu terlalu asyik mengejar seekor kijang, sehingga
tanpa terasa ia pun terpisah dari rombongan dan hanya ditemani pembantunya yang bernama Kyai
Surarata. Mereka berdua naik kuda masing-masing, mengejar buruan tersebut hingga sampai di tepi
Sungai Jamuna.
Di tepi sungai tersebut, Prabu Santanu terkesima melihat ada seorang tukang perahu cantik
jelita, yang tidak lain adalah Dewi Durgandini. Seketika ia pun jatuh cinta dan berterus terang ingin
memperistri tukang perahu tersebut. Dewi Durgandini menolak lamaran Prabu Santanu karena
dirinya hanyalah seorang rakyat jelata yang tinggal di Desa Matsya, tentunya tidak pantas menjadi
istri seorang raja besar dari Kerajaan Hastina. Apalagi ia juga seorang janda yang pernah
melahirkan anak sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Penolakan Dewi Durgandini ini membuat Prabu Santanu semakin penasaran. Prabu Santanu
tidak peduli meskipun Dewi Durgandini sudah janda, karena ia sendiri juga seorang duda. Ia pun
berjanji akan mengabulkan segala permintaan Dewi Durgandini apabila bersedia menjadi istrinya.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar penawaran ini, Dewi Durgandini pun mengajukan syarat bahwa, ia bersedia menjadi istri
Prabu Santanu asalkan kelak putranya yang ditetapkan sebagai raja di Kerajaan Hastina.
Prabu Santanu sangat terpukul mendengar syarat yang diajukan Dewi Durgandini itu. Ia pun
pergi tanpa pamit meninggalkan Sungai Jamuna dengan perasaan sangat kecewa.

PRABU SANTANU JATUH SAKIT


Prabu Santanu dan Kyai Surarata bertemu Raden Dewabrata beserta Resi Jawalagni dan
Patih Basusara yang sibuk mencari mereka. Tanpa banyak bicara, Prabu Santanu langsung
mengajak rombongan tersebut kembali ke Kerajaan Hastina. Raden Dewabrata heran melihat
perubahan sikap ayahnya yang kini menjadi murung selama perjalanan pulang.
Sesampainya di istana, Prabu Santanu lebih suka mengurung diri di dalam kamar.
Perasaannya sedang bimbang. Di satu sisi ia seorang duda yang terlanjur jatuh cinta dan
mengumbar janji kepada seorang wanita, dan di sisi lain ia tidak ingin menggantikan kedudukan
Raden Dewabrata sebagai putra mahkota dengan orang lain. Karena terlalu keras berpikir,
kesehatan Prabu Santanu menjadi buruk dan ia pun jatuh sakit.
Raden Dewabrata mencari tahu apa yang menyebabkan ayahnya sakit namun sang ayah
hanya diam tak mau berterus terang. Ia lalu bertanya kepada Kyai Surarata perihal apa yang terjadi
selama perburuan kemarin. Setelah didesak terus-menerus, Kyai Surarata akhirnya bercerita dari
awal hingga akhir tentang pertemuan Prabu Santanu dengan Dewi Durgandini, perempuan tukang
perahu di Sungai Jamuna.

RADEN DEWABRATA MELAMAR DEWI DURGANDINI UNTUK AYAHNYA


Setelah memahami duduk persoalannya, Raden Dewabrata pun berangkat ke Sungai Jamuna
menemui Dewi Durgandini. Kepada wanita itu, ia memperkenalkan diri sebagai putra tunggal Prabu
Santanu dan menyatakan ingin melamarnya sebagai istri sang ayah. Dewi Durgandini pun
menyampaikan syarat bahwa ia bersedia menjadi istri Prabu Santanu asalkan keturunannya yang
ditetapkan sebagai raja Hastina.
Tak disangka, Raden Dewabrata menerima syarat tersebut tanpa menawar dan ia rela
melepaskan kedudukannya sebagai pangeran mahkota Kerajaan Hastina. Ia juga berjanji akan
selalu setia seumur hidup melayani keturunan Dewi Durgandini yang menjadi raja Hastina, siapa
pun orangnya.
Dewi Durgandini masih belum puas. Ia percaya Raden Dewabrata pasti akan menepati
janjinya. Namun, bagaimana dengan keturunannya kelak? Dewi Durgandini khawatir keturunannya
nanti akan diberontak oleh keturunan Raden Dewabrata.
Mendengar itu, Raden Dewabrata pun bersumpah akan menjalani hidup wahdat, yaitu tidak
menikah seumur hidup. Dengan demikian, Dewi Durgandini tidak perlu khawatir terhadap
keturunannya. Sumpah ini pun disambut dengan suara halilintar menggelegar memenuhi angkasa.
Pada saat itulah, Prabu Santanu datang bersama Kyai Surarata dan meminta Raden
Dewabrata untuk membatalkan sumpahnya. Ia rela tidak jadi menikah dengan Dewi Durgandini
daripada Raden Dewabrata yang harus melepaskan haknya serta menjalani hidup wahdat. Namun,
Raden Dewabrata menolak membatalkan apa yang telah ia ucapkan. Ia menyatakan bahwa
kebahagiaan sang ayah berada di atas segalanya.
Prabu Santanu sangat terharu atas ketulusan putranya tersebut. Ia pun memberikan nama
baru untuk Raden Dewabrata, yaitu Raden Bisma yang berarti “mengerikan”. Itu karena sumpahnya
tadi disambut oleh gelegar petir yang mengerikan.

RADEN BISMA MEMUKUL MUNDUR PRABU BAHLIKA


Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah pernikahan antara Prabu Santanu dengan Dewi
Durgandini. Pernikahan ini dihadiri pula oleh Prabu Wasupati dan Raden Durgandana dari Kerajaan
Wirata, serta para raja lainnya, seperti Prabu Mandararya dari Kerajaan Gandaradesa, serta Prabu
Mandrakiswara dari Kerajaan Mandraka.
KITAB WAYANG PURWA

Sembilan bulan kemudian, datang serangan dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin
langsung oleh Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma. Mendengar kabar itu, Raden Bisma
Dewabrata segera berangkat memimpin pasukan Hastina untuk menghalau mereka.
Pertempuran sengit pun terjadi. Lagi-lagi Raden Bisma berhasil menunjukkan keunggulannya
dalam melindungi Kerajaan Hastina. Dengan melepaskan panah angin, ia pun menghempaskan
Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma beserta seluruh pasukan Siwandapura sejauh-jauhnya
meninggalkan Kerajaan Hastina.
Bersamaan dengan peristiwa kemenangan Raden Bisma tersebut, Dewi Durgandini
melahirkan dua bayi laki-laki hasil perkawinannya dengan Prabu Santanu. Kedua putra itu pun diberi
nama Raden Citranggada dan Raden Citrawirya.

Raden Dewabrata

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SETATAMA GUGUR, SETA LAHIR


Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Setatama dengan Endang Kandini, serta Raden
Durgandana dengan Dewi Sudaksina. Kisah dilanjutkan dengan kematian Raden Setatama dan
Raden Bimakinca di tangan Prabu Gajaksasura dari Kerajaan Anggastina, lalu ditutup dengan
kelahiran Raden Seta dan Raden Nirbita.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 26 Agustus 2015
Heri Purwanto

Raden Setatama

RENCANA PERNIKAHAN RADEN DURGANDANA DENGAN DEWI SUDAKSINA


Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata dihadap Raden Durgandana, Patih Wasita, Aryaprabu
Kistawa, dan Resi Manungkara. Mereka sedang membicarakan rencana perkawinan antara Raden
Durgandana dengan Dewi Sudaksina, yaitu putri Resi Parasara yang tercipta dari rimpang kunyit.
Karena Dewi Sudaksina diasuh oleh Resi Indradewa dan Dewi Watari, maka pinangan terhadapnya
pun dikirim ke Padepokan Bimarastana, bukan ke Gunung Saptaarga. Adapun Dewi Sudaksina saat
ini baru berusia lima belas tahun, sedangkan Raden Durgandana sudah berusia tiga puluh enam
tahun.
Tidak lama kemudian, datanglah Raden Bimakinca (putra Resi Parasara yang tercipta dari
dayung) menghadap Prabu Wasupati untuk menyampaikan surat balasan dari Resi Indradewa.
Dalam surat itu disebutkan bahwa lamaran Prabu Wasupati terhadap Dewi Sudaksina diterima,
namun saat ini Raden Setatama (putra Resi Parasara yang tercipta dari ari-ari Raden Abyasa) telah
hilang entah ke mana. Dewi Sudaksina bersedia menikah dengan Raden Durgandana asalkan
saudaranya itu ditemukan terlebih dahulu.
Mendengar isi surat tersebut, Raden Durgandana mohon izin kepada sang ayah supaya
diperbolehkan ikut mencari hilangnya Raden Setatama, karena secara tidak langsung ini merupakan
syarat yang diajukan Dewi Sudaksina atas perkawinan mereka. Setelah mempertimbangkannya,
Prabu Wasupati pun mengizinkan Raden Durgandana berangkat dengan didampingi Aryaprabu
Kistawa. Setelah dirasa cukup, Prabu Wasupati lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam
kedaton, di mana sang permaisuri Dewi Swargandini telah menunggu di gapura.

PRABU GAJAKSASURA INGIN MENIKAHI ENDANG KANDINI


Tersebutlah seorang raja dari Kerajaan Anggastina di tanah seberang, bernama Prabu
Gajaksasura yang memiliki adik perempuan bernama Dewi Hastipraba. Kedua orang ini mempunyai
wujud aneh. Prabu Gajaksasura adalah raksasa berkepala gajah, sedangkan Dewi Hastipraba
adalah raksasi bertelinga lebar seperti gajah. Adapun Dewi Hastipraba telah menikah dengan Patih
Wistakasura, menteri utama Kerajaan Anggastina.
Pada suatu malam Prabu Gajaksasura bermimpi melihat seorang gadis cantik bernama
Endang Kandini, putri Resi Kandihawa dari Padepokan Candiretna. Seketika ia pun jatuh cinta
kepada gadis tersebut. Begitu terbangun dari tidurnya, ia segera berangkat mencari di mana
Padepokan Candiretna berada untuk melamar Endang Kandini. Patih Wistakasura ikut menemani
dengan membawa pasukan secukupnya, sedangkan Dewi Hastipraba tetap tinggal untuk menjaga
istana.
KITAB WAYANG PURWA

Di tengah perjalanan, rombongan raksasa dari Anggastina itu berpapasan dengan rombongan
Raden Durgandana dari Wirata. Terjadi kesalahpahaman di antara mereka yang berlanjut dengan
pertempuran. Pihak Wirata yang dibantu Raden Bimakinca dan saudara-saudaranya, yaitu Raden
Kincaka, Raden Rupakincaka, serta Raden Rajamala berhasil memukul mundur Prabu Gajaksasura
beserta pasukannya.

RADEN DURGANDANA BERTEMU RADEN SETATAMA


Setelah menghalau para raksasa dari Kerajaan Anggastina, rombongan Raden Durgandana
melanjutkan perjalanan mencari Raden Setatama. Tiba-tiba saja Raden Durgandana mendapatkan
pikiran ingin naik ke Gunung Saptaarga untuk meminta petunjuk Resi Parasara.
Sementara itu, Resi Parasara di Gunung Saptaarga sedang mendidik putra sulungnya, yaitu
Raden Abyasa. Tiba-tiba datang putra keduanya, yaitu Raden Setatama bersama seorang
perempuan dan pendeta raksasa. Raden Setatama memperkenalkan perempuan itu adalah istrinya
yang bernama Endang Kandini, sedangkan sang pendeta raksasa adalah mertuanya, bernama Resi
Kandihawa dari Padepokan Candiretna. Resi Parasara heran melihat besannya berwujud raksasa,
tetapi memiliki putri yang berparas cantik. Resi Kandihawa pun bercerita bahwa pada mulanya ia
juga berwujud manusia, namun karena salah mempelajari ilmu akhirnya terkena balak dan berubah
wujud menjadi raksasa. Untuk itu, ia ingin berguru kepada Resi Parasara supaya mendapatkan
sarana pengruwatan dan bisa kembali menjadi manusia lagi.
Tidak lama kemudian datang pula Raden Durgandana beserta rombongan. Kini hubungan
antara Raden Durgandana dengan Resi Parasara sudah terjalin baik. Jika dulu Raden Durgandana
pernah memaki Resi Parasara karena berzinah dengan kakaknya (Dewi Durgandini), maka
sekarang ia menjadi calon menantu Sang Resi, karena hendak menikahi Dewi Sudaksina.
Sungguh kebetulan, Raden Durgandana yang berniat ingin meminta petunjuk kepada Resi
Parasara di Gunung Saptaarga tentang keberadaan Raden Setatama, justru bertemu dengan calon
iparnya itu di sana. Raden Durgandana pun menceritakan dari awal sampai akhir tentang Dewi
Sudaksina yang menerima pinangannya tetapi dengan syarat Raden Setatama harus ditemukan
terlebih dulu.
Setelah semuanya jelas, Raden Durgandana pun mengajak Raden Setatama ikut ke Kerajaan
Wirata. Raden Setatama bersedia, dan ia pun menitipkan Endang Kandini beserta Resi Kandihawa
di Gunung Saptaarga. Resi Parasara melepas kepergian putra keduanya itu dengan perasaan tidak
tenang, seolah akan terjadi hal buruk menimpa padanya.

PERNIKAHAN RADEN DURGANDANA DAN DEWI SUDAKSINA


Kini persyaratan yang diajukan Dewi Sudaksina telah terpenuhi. Pada hari yang ditentukan,
diadakanlah pernikahan antara dirinya dengan Raden Durgandana yang diselenggarakan di istana
Kerajaan Wirata. Banyak sekali tamu yang hadir dari berbagai kerajaan, antara lain Prabu
Mandrakiswara dari Mandraka, Prabu Mandararya dari Gandaradesa, serta tentu saja Dewi
Durgandini (kakak Raden Durgandana) bersama suaminya, yaitu Prabu Santanu dari Hastina.

KEMATIAN RADEN SETATAMA DAN RADEN BIMAKINCA


Beberapa bulan kemudian, Raden Setatama kembali ke Gunung Saptaarga untuk menemui
istrinya. Raden Bimakinca ikut menemani, sedangkan Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, dan
Raden Rajamala tetap tinggal di istana Wirata bersama Dewi Sudaksina yang telah mengandung
putra Raden Durgandana.
Dalam perjalanan tersebut, Raden Setatama dan Raden Bimakinca bertemu Prabu
Gajaksasura dan Patih Wistakasura yang sedang mencari keberadaan Endang Kandini. Rupanya
Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura telah menemukan Padepokan Candiretna, namun
mereka kecewa karena Endang Kandini dan Resi Kandihawa tidak berada di sana. Mereka pun
mengobrak-abrik padepokan tersebut dan mendapatkan keterangan dari para cantrik bahwa
Endang Kandini telah menikah dengan seorang pemuda bernama Raden Setatama, dan sekarang
ikut bersama suaminya tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura pun melanjutkan pencarian dan akhirnya bertemu
dengan pemuda yang mengaku bernama Raden Setatama. Ia berterus terang meminta supaya
Endang Kandini diserahkan kepadanya dan ia siap menukarnya dengan emas permata yang
melimpah. Raden Setatama menolak dengan tegas. Ia bersedia menyerahkan istrinya jika Prabu
Gajaksasura bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu.
Maka, terjadilah pertarungan antara Prabu Gajaksasura melawan Raden Setatama, serta
Patih Wistakasura melawan Raden Bimakinca. Kedua raksasa itu lebih berpengalaman daripada
lawan mereka yang masih muda belia. Akhirnya, Raden Setatama dan Raden Bimakinca pun roboh
di tangan mereka.
Setelah membunuh kedua bersaudara tersebut, Prabu Gajaksasura mengubah wujudnya
menjadi Raden Setatama, sedangkan Patih Wistakasura mengubah wujudnya menjadi Raden
Bimakinca. Keduanya lalu berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk menculik Endang Kandini.

GANDARWARAJA SWALA MELAPOR KEPADA RESI PARASARA


Raden Abyasa dan para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong kebetulan
lewat di tempat itu dan menjumpai Raden Setatama serta Raden Bimakinca yang tergeletak
bersimbah darah. Raden Abyasa sangat terkejut dan sedih melihat keadaan kedua adiknya tersebut.
Raden Bimakinca telah tewas, sedangkan Raden Setatama masih dalam keadaan sekarat.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Raden Setatama menceritakan apa yang ia alami dari awal
sampai akhir. Raden Abyasa sendiri sebenarnya hendak pergi ke istana Wirata untuk memberi tahu
Raden Setatama bahwa Endang Kandini telah mengandung. Mendengar itu, Raden Setatama
merasa gembira bisa memiliki keturunan, meskipun ajalnya sudah dekat. Ia pun berwasiat jika
anaknya lahir laki-laki, mohon untuk diberi nama Raden Nirbita.
Setelah berpesan demikian, Raden Setatama akhirnya meninggal dunia menyusul Raden
Bimakinca. Raden Abyasa segera bersiul memanggil sahabat ayahnya, yaitu Gandarwaraja Swala
(yang juga ayah kandung panakawan Petruk). Seketika Gandarwaraja Swala pun hadir di
hadapannya. Raden Abyasa menceritakan dari awal sampai akhir tentang apa yang dialami kedua
adiknya, dan ia meminta tolong Gandarwaraja Swala supaya pergi melapor kepada Resi Parasara,
sebelum Raden Setatama palsu datang ke Gunung Saptaarga.
Gandarwaraja Swala segera melesat secepat kilat dan dalam sekejap sudah berada di
Gunung Saptaarga. Ia melapor kepada Resi Parasara dan Resi Kandihawa tentang kematian Raden
Setatama dan Raden Bimakinca. Mendengar suaminya tewas, Endang Kandini langsung jatuh
pingsan. Resi Kandihawa sangat marah dan ia pun turun gunung untuk membereskan Prabu
Gajaksasura dan Patih Wistakasura.

KEMATIAN PRABU GAJAKSASURA DAN PATIH WISTAKASURA


Ketika tiba di kaki Gunung Saptaarga, Resi Kandihawa berjumpa Raden Setatama dan Raden
Bimakinca palsu yang hendak naik ke puncak. Ia pura-pura memanggil mereka lalu berdiri di tengah-
tengah keduanya. Secepat kilat, Resi Kandihawa mencekik leher Raden Setatama palsu di tangan
kanan dan Raden Bimakinca palsu di tangan kiri, lalu membenturkan kepala mereka hingga remuk.
Keduanya pun tewas dan kembali ke wujud semula, yaitu Prabu Gajaksasura dan Patih
Wistakasura.
Sementara itu, Dewi Hastipraba yang sedang terbang di angkasa kebetulan lewat dan ia
sangat terkejut melihat kakak dan suaminya telah tewas dibunuh seorang pendeta raksasa. Ia pun
menerjang Resi Kandihawa dengan sekuat tenaga. Resi Kandihawa yang tidak menyadari
datangnya serangan mendadak tersebut akhirnya tewas pula di tangan sang raksasi.

GANDARWARAJA SWALA MERINGKUS DEWI HASTIPRABA


Pada saat itulah Resi Parasara dan Gandarwaraja Swala datang di tempat kejadian.
Gandarwaraja Swala segera menyerang Dewi Hastiraba. Dengan mengerahkan mantra Sangkali,
sang raja gandarwa berhasil melumpuhkan raksasi bertelinga lebar itu. Tidak lama kemudian datang
KITAB WAYANG PURWA

pula Raden Abyasa beserta para panakawan yang membawa serta jasad Raden Setatama dan
Raden Bimakinca.
Resi Parasara menanyai asal-usul Dewi Hastipraba mengapa memiliki telinga lebar,
sedangkan Prabu Gajaksasura mengapa memiliki kepala gajah. Dewi Hastipraba pun bercerita
bahwa ayahnya bernama Resi Anggasti, sedangkan ibunya seorang bidadari bernama Batari Tayati,
putri Batara Tacodwara, atau cucu Batara Wrehaspati. Ketika Batari Tayati sedang mengandung,
Resi Anggasti membunuh seekor gajah liar yang merusak ladang padepokan. Akibatnya, janin yang
dikandung istrinya pun terkena balak, yaitu ketika lahir berwujud raksasa laki-laki dan perempuan,
yang satu berkepala gajah, yang satunya bertelinga lebar.
Resi Parasara terkesan mendengar itu. Ia pun memerintahkan para panakawan untuk
mengumumkan kepada warga desa, jika memiliki istri yang sedang mengandung hendaknya tidak
membunuh binatang. Jika terpaksa harus membunuh, sebaiknya menyebut jabang bayi yang
sedang dikandung istrinya.
Kini Dewi Hastipraba yang sudah kehilangan daya kekuatan memohon ampun kepada Resi
Parasara dan menyerahkan hidup matinya. Resi Parasara pun mengampuninya dan membebaskan
raksasi itu dari pengaruh mantra Sangkali. Dewi Hastipraba berterima kasih, lalu membawa jasad
Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura kembali ke Kerajaan Anggastina.

LAHIRNYA RADEN SETA DAN RADEN NIRBITA


Berita kematian Raden Setatama dan Raden Bimakinca telah terdengar sampai ke Kerajaan
Wirata. Raden Durgandana dan Dewi Sudaksina pun pergi ke Gunung Saptaarga untuk menghadiri
pemakaman Raden Setatama dan Raden Bimakinca. Saat itu Dewi Sudaksina sedang mengandung
pula. Hatinya sangat sedih karena kehilangan dua saudara sekaligus. Ia pun meminta izin kepada
suaminya untuk tetap tinggal di padepokan dan baru kembali ke istana Wirata setelah melahirkan
kelak. Raden Durgandana mengabulkan permintaan istrinya tersebut.
Beberapa bulan kemudian, janda Raden Setatama yaitu Endang Kandini melahirkan seorang
bayi laki-laki. Sesuai wasiat sang suami, bayi tersebut pun diberi nama Raden Nirbita. Sementara
itu, Dewi Sudaksina juga melahirkan bayi laki-laki. Jika Endang Kandini mengandung selama
sembilan bulan, maka Dewi Sudaksina hanya mengandung selama tujuh bulan. Untuk mengenang
Raden Setatama, maka Dewi Sudaksina dan Raden Durgandana pun memberi nama putra mereka,
Raden Seta.
Setelah tiga bulan tinggal di Gunung Saptaarga, Raden Durgandana dan Dewi Sudaksina
kembali ke Wirata. Endang Kandini pun dibawa serta. Raden Durgandana berjanji akan
membesarkan Raden Nirbita yang telah yatim sejak lahir itu bersama-sama dengan Raden Seta di
istana Wirata.

Prabu Gajaksasura

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BABAD PANCALA
Kisah ini menceritakan lahirnya Raden Sucitra yang kelak menjadi Prabu Drupada, serta Raden
Kumbayana yang kelak menjadi Resi Druna. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara
Prabu Wasupati melawan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura, yang kemudian ditutup
dengan pembukaan Hutan Pancala menjadi kerajaan baru oleh Patih Suganda, yang bergelar
Prabu Gandabayu. Kisah ini juga diselingi dengan peristiwa Resi Parasara mencapai moksa,
serta bagaimana Resi Abyasa mendapatkan Pustaka Kalimahusada.
Kisah ini saya olah menggunakan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan buku Kempalan Balungan karya Ki Suratno
Guno Wiharjo, dengan beberapa pengembangan.
Kediri, 15 Maret 2016
Heri Purwanto

KERAJAAN DUHYAPURA DISERANG PRABU BAHLIKA


Prabu Drupara di Kerajaan Duhyapura sedang dihadap Resi Baradwaja (sepupunya) beserta
Patih Suganda dan para punggawa. Mereka sedang berbahagia karena permaisuri Prabu Drupara,
yaitu Dewi Setyarini telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sucitra, sedangkan
istri Resi Baradwaja, yaitu Dewi Padmawati juga melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden
Kumbayana.
Prabu Drupara memiliki nama asli Raden Prisata, yang merupakan putra Prabu Sengara.
Sementara itu, Resi Baradwaja adalah putra Resi Maruta. Dahulu Prabu Sengara dan Resi Maruta
pernah datang ke Tanah Jawa untuk melamar Dewi Durgandini namun mereka dikalahkan oleh Resi
Parasara yang dibantu Gandarwaraja Swala.
Ketika Kerajaan Duhyapura sedang merayakan kebahagiaan atas lahirnya kedua bayi
tersebut, tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu
Bahlika. Rupanya Prabu Bahlika masih bernafsu ingin menjadi raja yang paling berkuasa di Tanah
Hindustan dengan alasan menyebarkan agama Kala. Prabu Drupara didampingi Resi Baradwaja
dan Patih Suganda segera maju menghadapi serangan tersebut. Perang besar pun terjadi. Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Bahlika dan putranya, yaitu Raden Salwarukma telah mempersiapkan serangan ini dengan sangat
matang. Pihak Duhyapura pun kalah telak, dan Prabu Drupara gugur di tangan Prabu Bahlika.

RESI BARADWAJA MERAWAT RADEN SUCITRA DAN RADEN KUMBAYANA


Setelah raja mereka tewas, Resi Baradwaja dan Patih Suganda tercerai berai. Patih Suganda
membawa sisa-sisa pasukan yang masih hidup mengungsi ke Tanah Jawa, sedangkan Resi
Baradwaja menyelamatkan keluarga Prabu Drupara menuju daerah Atasangin. Dalam perjalanan
mengungsi tersebut, Dewi Setyarini dan Dewi Padmawati yang masih lemah karena baru saja
melahirkan akhirnya meninggal dunia.
Resi Baradwaja akhirnya sampai di daerah Atasangin. Ia pun membangun sebuah padepokan
sebagai tempat tinggal di puncak sebuah gunung bernama Girijembangan. Di sana ia merawat
Raden Sucitra bersama-sama dengan putranya, yaitu Raden Kumbayana. Ia berjanji akan mendidik
mereka berdua supaya kelak setelah dewasa dapat kembali meraih kemuliaan.

PATIH SUGANDA DITERIMA DI KERAJAAN WIRATA


Sementara itu, Patih Suganda dan sisa-sisa pasukan Duhyapura yang masih hidup telah
mendarat di Tanah Jawa dan menghadap Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata. Sejak zaman Prabu
Basurata secara turun-temurun telah terjalin persahabatan antara Kerajaan Wirata dengan
Duhyapura sehingga berita kematian Prabu Drupara membuat Prabu Wasupati merasa sangat
kehilangan.
Prabu Wasupati pun berunding dengan Patih Wasita, Aryaprabu Kistawa, dan Raden
Durgandana untuk membahas masalah ini. Sang Prabu mendapat firasat bahwa cepat atau lambat
Prabu Bahlika dan pasukan Siwandapura akan datang menyerbu Kerajaan Wirata. Bagaimanapun
juga Prabu Bahlika tidak mungkin bisa melupakan kematian ayahnya, yaitu Prabu Pratipa raja
Hastina yang dulu tewas di tangan Aryaprabu Kistawa.
Kini kekuatan Prabu Bahlika sudah jauh lebih besar daripada dulu saat ia datang menyerang
Kerajaan Wirata. Saat itu Prabu Bahlika dapat dipukul mundur karena Kerajaan Wirata mendapat
bantuan dari Kerajaan Hastina di bawah pimpinan Prabu Santanu. Menghadapi masalah ini, Patih
Wasita mengusulkan agar Kerajaan Wirata kembali meminta bantuan pihak Hastina untuk
menghadapi Prabu Bahlika yang kemungkinan besar akan segera datang.
Aryaprabu Kistawa tidak setuju karena bagaimanapun juga Prabu Santanu adalah adik
kandung Prabu Bahlika. Meskipun Prabu Santanu sudah menjadi menantu Prabu Wasupati, namun
hubungan persaudaraan tetap tidak bisa dipungkiri begitu saja. Aryaprabu Kistawa khawatir jangan-
jangan kali ini Prabu Bahlika berhasil menghasut Prabu Santanu untuk berbalik melawan Kerajaan
Wirata untuk bersama-sama membalaskan kematian ayah mereka. Apalagi sekarang Prabu
Santanu telah memiliki putra yang sangat sakti bernama Raden Bisma. Tentu akan sangat
berbahaya jika ternyata Raden Bisma juga terkena hasutan Prabu Bahlika.
Untuk itu, Aryaprabu Kistawa mengusulkan agar Kerajaan Wirata tidak hanya meminta
bantuan kepada Hastina saja, tetapi juga sekutu-sekutu yang lain, seperti Mandraka, Gandaradesa,
Gilingwesi, Medang Kamulan, ataupun Pringgadani.
Prabu Wasupati menerima usulan tersebut dan memerintahkan Raden Durgandana berangkat
menyebarkan undangan kepada para raja sekutu tersebut.

RESI PARASARA MENCAPAI MOKSA


Sementara itu, di Padepokan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga, Resi Parasara dihadap
putranya, yaitu Raden Abyasa beserta para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong. Hari ini Raden Abyasa genap berusia dua puluh tahun dan ia dinyatakan telah menamatkan
segala pendidikan. Melihat bakat dan kecerdasan putranya itu, Resi Parasara pun melantik Raden
Abyasa menjadi pendeta bergelar Resi Abyasa, meskipun usianya masih terhitung muda.
Resi Parasara lalu berkata bahwa kini tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana karena semua
tugas-tugasnya telah selesai. Ia pun menyerahkan pusaka Manikpramana kepada Resi Abyasa, dan
KITAB WAYANG PURWA

setelah itu bersamadi mengheningkan cipta. Sekejap kemudian, Resi Parasara mencapai moksa.
Tubuhnya musnah, sedangkan jiwanya naik ke alam baka.
Resi Abyasa memberikan penghormatan terakhir kepada sang ayah. Ia kemudian mengajak
keempat panakawan pergi ke Gunung Reksasrengga untuk mengabarkan hal ini kepada ibu tirinya,
yaitu Dewi Watari.

RESI ABYASA MENDAPATKAN PUSTAKA KALIMAHUSADA


Dalam perjalanan menuju ke Gunung Reksasrengga, Resi Abyasa tiba-tiba bertemu seorang
pemuda lumpuh yang mengaku bernama Jaka Hilya. Pemuda lumpuh itu bercerita bahwa dirinya
baru saja berkeliling dunia sambil merangkak ngesot. Resi Abyasa merasa geli tidak percaya.
Melihat sikap Resi Abyasa yang meragukan ucapannya, Jaka Hilya pun menantangnya adu
kecepatan. Resi Abyasa menerima tantangan itu, mengingat dirinya pernah berguru ilmu melesat
kepada Gandarwaraja Swala. Ia pun mempersilakan Jaka Hilya bergerak lebih dulu, dan ia pasti
dapat menangkapnya.
Kyai Semar memberi aba-aba dimulainya perlombaan. Jaka Hilya segera merangkak ngesot,
dan Resi Abyasa mengejar di belakang. Sungguh ajaib, meskipun kakinya lumpuh, Jaka Hilya dapat
bergerak lincah dan sangat cepat. Resi Abyasa mengejar dengan sekuat tenaga. Entah bagaimana,
dirinya sudah berada di tempat yang terang benderang, tetapi tidak memiliki matahari. Selain itu
juga tidak jelas mana utara, mana selatan, mana barat, mana timur, mana atas, mana bawah.
Resi Abyasa melihat Jaka Hilya memasuki cahaya warna hitam yang gelap pekat. Ia pun
menyusul ke sana dan tubuhnya terasa seperti ditelan bumi. Terlihat kemudian Jaka Hilya memasuki
cahaya warna merah. Resi Abyasa segera menyusul ke sana dan tubuhnya terasa seperti terbakar
dalam kobaran api. Dilihatnya Jaka Hilya memasuki cahaya warna kuning. Resi Abyasa menyusul
ke sana dan tubuhnya pun terasa seperti dihempaskan angin topan. Dilihatnya Jaka Hilya memasuki
cahaya warna putih. Ia pun menyusul ke sana dan tubuhnya kini terasa seperti hanyut tenggelam di
dalam lautan luas.
Demikianlah, Resi Abyasa pasrah terombang-ambing di dalam cahaya tersebut hingga dirinya
terdampar di dalam sebuah tempat yang kosong namun luas tanpa batas. Ia lalu melihat Jaka Hilya
bangkit berdiri, tidak lagi lumpuh. Lama-lama wujud pemuda itu musnah dan yang tertinggal hanya
suaranya saja, menggema di telinga Resi Abyasa. Suara itu mengaku sebagai Sang Jatidiri, guru
sejati yang hadir untuk memberikan ujian kepada Resi Abyasa.
Resi Abyasa pun berserah diri atas apa yang akan terjadi padanya. Suara itu lalu menggema,
mengajarkan ilmu kesempurnaan kepada Resi Abyasa. Setelah semua pelajaran selesai, tiba-tiba
Resi Abyasa telah kembali ke alam nyata di mana Kyai Semar dan ketiga anaknya menunggu.
Tangan Resi Abyasa pun telah menggenggam sebuah kitab pula. Kyai Semar mengenali kitab
tersebut adalah Pustaka Kalimahusada, yang dahulu tercipta dari jasad Prabu Kalimantara raja
Nusahantara bersamaan dengan peristiwa lahirnya Resi Satrukem, kakek buyut Resi Abyasa.
Kitab tersebut dulu tercipta dalam keadaan kosong, dan kini tiba-tiba saja penuh dengan
tulisan. Resi Abyasa membaca halaman demi halaman pada kitab itu ternyata berisi ilmu
kesempurnaan yang tadi telah ia pelajari dari suara sang guru sejati di alam awang-uwung.
Resi Abyasa sangat bersyukur atas segala karunia Tuhan Yang Mahakuasa pada dirinya. Kyai
Semar menasihatinya agar selalu rendah hati dan jangan sampai lupa diri. Resi Abyasa berterima
kasih lalu mengajak para panakawan melanjutkan perjalanan.

RESI ABYASA DAN RADEN DURGANDANA MENGUNJUNGI DEWI WATARI


Sesampainya di Padepokan Bimarastana yang terletak di Gunung Reksasrengga, Resi
Abyasa dan para panakawan disambut ramah oleh Dewi Watari beserta ketiga anak asuhnya, yaitu
Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala. Mendengar suaminya telah moksa, naik
ke alam baka, Dewi Watari merasa sangat prihatin sekaligus bangga. Padahal sebulan yang lalu
ayahnya, yaitu Resi Indradewa juga meninggal dunia, kini Resi Parasara menyusul pula.
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian, Raden Durgandana datang pula ke Padepokan Bimarastana setelah
tugasnya menyebarkan undangan kepada para raja sekutu Wirata selesai. Ia pun disambut ramah
oleh Dewi Watari bersama Resi Abyasa, Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala.
Raden Durgandana bercerita tentang adanya ancaman serangan dari Prabu Bahlika raja
Siwandapura. Untuk itu, ia berniat menjadikan ketiga adik iparnya yang memiliki bakat kesaktian
sejak lahir, yaitu Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala sebagai punggawa di
Kerajaan Wirata.
Mendengar hal itu, Dewi Watari merasa terhormat karena ketiga putranya dianggap mampu
meringankan beban Kerajaan Wirata. Ia pun menyarankan agar Raden Kincaka, Raden
Rupakincaka, dan Raden Rajamala menerima tawaran Raden Durgandana tersebut. Raden
Kincaka dan Raden Rupakinca bersedia, sedangkan Raden Rajamala mengajukan syarat agar sang
ibu juga dibawa serta ke istana Wirata. Meskipun berwajah buruk rupa, namun Raden Rajamala ini
yang paling disayangi oleh Dewi Watari. Keduanya pun seolah tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
Raden Durgandana menerima syarat yang diajukan Raden Rajamala tersebut. Lagipula Resi
Indradewa juga sudah meninggal sehingga akan lebih baik jika Dewi Watari ikut serta tinggal di
Kerajaan Wirata. Setelah dirasa cukup, mereka pun bersama-sama meninggalkan Gunung
Reksasrengga. Resi Abyasa juga ikut serta bersama mereka, sekaligus ia ingin mengunjungi
adiknya yang lain, yaitu Dewi Sudaksina, istri Raden Durgandana.

KERAJAAN WIRATA DISERANG PRABU BAHLIKA


Sementara itu, pasukan Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Bahlika dan Raden
Salwarukma telah datang menyerbu Kerajaan Wirata. Prabu Wasupati pun menghadapi serangan
tersebut dengan didampingi Patih Wasita dan Aryaprabu Kistawa bersama bala bantuan dari
sejumlah kerajaan sekutu. Maka, terjadilah pertempuran besar antara kedua pihak yang boleh
dikatakan telah menjadi musuh bebuyutan.
Prabu Bahlika menyerbu Kerajaan Wirata dengan alasan mengejar Patih Suganda. Padahal,
tujuan utamanya adalah untuk membalaskan kematian ayahnya (Prabu Pratipa) yang dulu gugur di
tangan Aryaprabu Kistawa (saat masih bernama Raden Basuketu). Kini, dendam tersebut akhirnya
dapat terbalaskan. Dalam pertempuran kali ini, Prabu Bahlika berhasil menewaskan Aryaprabu
Kistawa.
Patih Wasita yang sudah tua juga gugur dalam peperangan karena kehabisan tenaga. Kini
Prabu Bahlika bergerak maju untuk menyerang Prabu Wasupati. Patih Suganda dan orang-orang
Duhyapura berusaha membantu namun mereka bukan tandingan raja Siwandapura tersebut.
Pada saat-saat genting itulah muncul Raden Durgandana bersama Raden Kincaka, Raden
Rupakinca, dan Raden Rajamala yang langsung berperang di pihak Wirata untuk menghadapi
pasukan Siwandapura.
Raden Rupakinca dan Raden Rajamala berhasil menyelamatkan Prabu Wasupati yang hampir
saja tewas di tangan Prabu Bahlika. Sementara itu, Raden Kincaka menyerang Prabu Bahlika dan
akhirnya berhasil menewaskan raja Siwandapura tersebut. Melihat ayahnya terbunuh, Raden
Salwarukma segera kabur meloloskan diri.

PATIH SUGANDA MEMBANGUN KERAJAAN PANCALA


Prabu Wasupati sangat berterima kasih atas pertolongan Raden Kincaka dan kedua adiknya.
Mereka bertiga pun diangkat sebagai punggawa Kerajaan Wirata dan mendapatkan hadiah berupa
sebidang tanah sebagai tempat tinggal, yang diberi nama Kincapura. Bersama-sama Dewi Watari,
mereka bertiga pun mulai saat itu tinggal di tempat tersebut. Sementara itu, Resi Abyasa dan para
panakawan mohon pamit kembali ke Gunung Saptaarga setelah beberapa hari dijamu oleh Raden
Durgandana dan Dewi Sudaksina.
Keadaan kini aman kembali. Patih Suganda dan orang-orang Duhyapura ikut membantu
memperbaiki Kota Wirata yang rusak akibat peperangan. Sebagai ungkapan terima kasih, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Wasupati memberikan Hutan Pancala kepada mereka. Patih Suganda dan pengikutnya dipersilakan
membangun kerajaan baru di sana. Orang-orang Duhyapura itu sangat berterima kasih atas
anugerah yang diberikan Prabu Wasupati tersebut.
Singkat cerita, Patih Suganda dan para pengikutnya telah mendirikan sebuah negeri baru di
Hutan Pancala, yang diberi nama Kerajaan Pancala. Patih Suganda pun menjadi raja di sana,
bergelar Prabu Gandabayu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

MATSYAPATI WISUDA
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Wasupati dan terciptanya Telaga Watari, serta
pelantikan Raden Durgandana menjadi raja Wirata yang bergelar Prabu Matsyapati. Kisah
dilanjutkan dengan pelantikan Prabu Citranggada sebagai raja Hastina untuk menggantikan
Prabu Santanu yang menjadi bagawan. Kisah ditutup dengan kematian Prabu Citranggada di
tangan seorang gandarwa yang bernama sama.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Khusus untuk cerita kematian Prabu Citranggada saya
olah dari sumber Mahabharata karya Resi Wyasa.
Kediri, 18 Maret 2016
Heri Purwanto

Prabu Matsyapati

PRABU WASUPATI JATUH HATI KEPADA DEWI WATARI


Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata sedang dilanda asmara karena jatuh cinta kepada Dewi
Watari, mantan istri mendiang Resi Parasara. Sejak Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden
Rajamala diangkat sebagai punggawa, Dewi Watari pun ikut serta menetap di istana Wirata. Karena
sering berjumpa, lama-lama dalam hati Prabu Wasupati tumbuh rasa cinta kepada Dewi Watari.
Dengan segala cara, Prabu Wasupati berusaha menarik perhatian Dewi Watari. Berbagai
hadiah pun dikirimkan ke rumah wanita itu namun semuanya ditolak dengan halus. Dewi Watari
adalah istri Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara pernah berhubungan dengan Dewi
Durgandini, putri Prabu Wasupati. Itu artinya, Prabu Wasupati adalah ayah mertua Resi Parasara,
sehingga tidak pantas apabila menyatakan cinta kepada Dewi Watari. Namun, Prabu Wasupati
membantah alasan itu karena Resi Parasara tidak pernah menikahi putrinya secara sah, sehingga
tidak pernah ia anggap sebagai menantu.
Dewi Watari tetap merasa keberatan karena putrinya, yaitu Dewi Sudaksina telah menikah
dengan Raden Durgandana, putra Prabu Wasupati. Itu artinya, hubungannya dengan Prabu
Wasupati adalah besan, sehingga tidak pantas apabila sesama besan menjadi suami-istri. Namun,
Prabu Wasupati membantah alasan tersebut karena Dewi Sudaksina bukan anak kandung Dewi
Watari.
Karena terus-menerus ditolak, Prabu Wasupati akhirnya hilang kesabaran. Ia pun berusaha
memaksa Dewi Watari menerima cintanya dan mengancam wanita itu dengan kekerasan. Dewi
Watari merasa ketakutan dan melarikan diri. Karena sudah dikuasai nafsu birahi, Prabu Wasupati
pun mengejar ke mana janda Resi Parasara itu pergi.
KITAB WAYANG PURWA

KEMATIAN DEWI WATARI DAN PRABU WASUPATI


Dewi Watari berlari sekencang-kencangnya menuju ke arah Gunung Reksasrengga, tempat
tinggalnya yang semula. Namun, pelariannya terhalang sebuah telaga di luar Kota Wirata. Tidak
lama kemudian Prabu Wasupati datang menyusul dan memintanya supaya menurut saja karena
percuma apabila tetap melarikan diri. Akan tetapi, Dewi Watari sangat teguh pada pendiriannya. Ia
pernah bersumpah seumur hidup hanya menikah satu kali saja, meskipun sang suami (Resi
Parasara) tidak pernah mencintainya dengan sungguh-sungguh.
Karena Prabu Wasupati sudah gelap mata dan berniat memerkosa dirinya, Dewi Watari
akhirnya memilih bunuh diri dengan cara terjun ke dalam telaga di depannya. Prabu Wasupati yang
juga berjuluk Prabu Dirgabahu segera mengulurkan kedua lengannya yang seketika berubah
menjadi sangat panjang untuk menarik keluar Dewi Watari. Akan tetapi, sekian lama ia mengaduk-
aduk air telaga tetap saja tidak mampu menemukan tubuh wanita itu. Entah mengapa jasad Dewi
Watari seolah-olah lenyap dan bersatu dengan air telaga tersebut.
Prabu Wasupati yang sangat kecewa akhirnya pulang ke istana Wirata. Ia menyesal telah
menggunakan kekuasaannya untuk menindas seorang wanita demi menuruti hawa nafsu, apalagi
wanita itu akhirnya memilih mati bunuh diri. Karena merasa sangat bersalah, akhirnya Prabu
Wasupati pun jatuh sakit.
Setelah dirawat beberapa hari, sakit Prabu Wasupati justru bertambah parah dan tak tertolong
lagi. Sebelum meninggal dunia, Prabu Wasupati sempat meminta maaf kepada sang permaisuri
Dewi Swargandini atas perbuatannya terhadap Dewi Watari. Begitu mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi, Dewi Swargandini merasa sangat kecewa dan ikut sakit pula. Beberapa hari
kemudian, sang permaisuri yang memiliki nama asli Endang Adrika itu pun meninggal dunia
menyusul suaminya.

RADEN DURGANDANA DILANTIK MENJADI PRABU MATSYAPATI


Setelah masa berkabung usai, Raden Durgandana sang pangeran mahkota dilantik menjadi
raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Matsyapati. Matsya artinya “ikan”, sedangkan Pati artinya
“pemimpin”. Ia sengaja memakai gelar tersebut sebagai pengingat bahwa semasa kecil dulu pernah
tinggal di Desa Matsya karena menderita penyakit bau amis bersama kakaknya, yaitu Dewi
Durgandini yang kini telah menjadi permaisuri di Kerajaan Hastina.
Prabu Matsyapati lalu mengangkat adik iparnya, yaitu Arya Kincaka sebagai patih. Sementara
itu, Arya Rupakinca dan Arya Rajamala sebagai senapati kerajaan. Namun demikian, Arya Rajamala
tidak hadir dalam acara pelantikan tersebut.

ARYA RAJAMALA MEMBANGUN TELAGA WATARI


Arya Rajamala yang tidak menghadiri upacara pelantikan ternyata sedang berada di tepi
telaga tempat Dewi Watari meninggal. Di antara semua anak Resi Parasara, memang dialah yang
menjadi kesayangan Dewi Watari. Maka, sejak Dewi Watari tewas menceburkan diri ke dalam telaga
dan jasadnya musnah, Arya Rajamala pun setiap hari tinggal di tempat itu. Di sekitar telaga ia
menanam pohon penghias dan menata bebatuan agar lingkungan menjadi lebih indah. Ia berharap
roh Dewi Watari yang bersemayam di dalam telaga merasa bahagia menikmati keindahan telaga
yang ia bangun tersebut.
Telaga tempat Dewi Watari meninggal kini berubah menjadi sangat indah dan tidak lagi
gersang seperti sebelumnya. Untuk mengenang ibunya, Arya Rajamala pun memberinya nama
Telaga Watari. Kini ia merasa betah tinggal di situ dan tidak ingin lagi pulang ke istana Wirata
maupun ke Kincapura.
Pada suatu malam, roh Dewi Watari muncul menampakkan diri. Arya Rajamala sangat
gembira dan segera menyembah memberi hormat kepadanya. Dewi Watari berterima kasih atas
segala usaha Arya Rajamala menyenangkan dirinya dengan membangun telaga tempatnya
bersemayam menjadi lebih indah. Namun, ia tidak setuju apabila Arya Rajamala tetap tinggal di tepi
telaga ini dan melupakan kewajibannya sebagai senapati Kerajaan Wirata.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Rajamala tidak sudi kembali ke istana. Ia masih marah kepada keluarga Prabu Wasupati
yang telah mencelakai Dewi Watari. Ia juga kesal kepada kedua kakaknya, yaitu Patih Kincaka dan
Arya Rupakinca yang tidak peduli kepada ibu mereka, dan lebih memilih menerima jabatan yang
diberikan oleh Prabu Matsyapati.
Roh Dewi Watari pun menasihati Arya Rajamala agar tidak menyimpan dendam karena hanya
akan merusak jiwa. Meskipun Prabu Wasupati berusaha memaksanya, namun dia sendiri yang
memilih bunuh diri mencebur ke dalam telaga. Lagipula Prabu Wasupati telah menyesali
perbuatannya hingga jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kini yang menjadi raja adalah Prabu
Matsyapati yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini. Untuk itu, Dewi Watari menasihati
Arya Rajamala agar tetap mengabdi kepada raja yang baru tersebut dan melupakan segala
kekesalannya.
Arya Rajamala kini telah terbuka hatinya dan membenarkan nasihat Dewi Watari. Ia pun
mohon restu kepada sang ibu agar dapat mengemban jabatan sebagai senapati Kerajaan Wirata
dengan sebaik-baiknya.
Dewi Watari merestui putra kesayangannya itu. Ia pun memberkati Arya Rajamala berumur
panjang dan sulit dibunuh. Apabila kelak Arya Rajamala berperang melawan musuh sakti dan
menderita luka parah atau bahkan kehilangan nyawa, maka tubuhnya harus segera diceburkan ke
dalam Telaga Watari. Dewi Watari memberikan anugerah bahwa dengan cara demikian maka Arya
Rajamala akan segera pulih kembali seperti sedia kala.
Arya Rajamala menerima nasihat tersebut dengan senang hati dan sangat berterima kasih.
Roh Dewi Watari lalu lenyap dari pandangan. Arya Rajamala pun undur diri kembali ke istana Wirata
dengan penuh semangat baru.

PRABU SANTANU TURUN TAKHTA DAN MENJADI PENDETA


Sementara itu, Prabu Santanu dan Dewi Durgandini telah kembali ke Kerajaan Hastina setelah
melayat Prabu Wasupati dan menyaksikan pelantikan Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata. Setelah
menyaksikan peristiwa tersebut, Prabu Santanu kini terbuka pandangannya bahwa seorang raja
besar yang paling dihormati di Tanah Jawa, yaitu mertuanya sendiri, telah meninggal dunia karena
sulit mengendalikan nafsu birahi. Ia pun merasa dirinya sudah tua dan sebaiknya lebih mendekatkan
diri kepada Yang Mahakuasa. Kini keempat anaknya pun sudah tumbuh dewasa semua. Yang tertua
adalah Raden Bisma yang lahir dari Dewi Ganggawati, sedangkan yang tiga lainnya adalah Raden
Citranggada, Raden Citrawirya, dan Dewi Bandondari yang lahir dari Dewi Durgandini.
Maka pada hari yang ditentukan, Prabu Santanu pun mengumumkan pengunduran dirinya
sebagai raja Hastina. Mulai hari itu, Prabu Santanu menjadi pendeta bergelar Bagawan Santanu
yang tinggal sebuah padepokan bernama Talkanda. Di sana ia ingin hidup menyepi agar bisa lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Sesuai perjanjian antara Raden Bisma dengan Dewi Durgandini dulu, maka yang diangkat
sebagai raja baru di Hastina adalah Raden Citranggada, bergelar Prabu Citranggada. Adapun
jabatan menteri utama tetap dipegang oleh Patih Basusara.

PRABU CITRANGGADA TEWAS DIBUNUH GANDARWA


Pada suatu hari Prabu Citranggada pergi berburu ke dalam hutan. Karena terlalu asyik
mengejar seekor kijang, ia pun terpisah dari rombongan. Tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok
makhluk halus tinggi besar yang menyeramkan, dan mengaku bernama Gandarwa Citranggada.
Prabu Citranggada heran melihat ada gandarwa yang menyamai namanya. Ia pun meminta
gandarwa tersebut mengganti nama. Sebaliknya, justru Gandarwa Citranggada yang meminta
Prabu Citranggada supaya berganti nama. Keduanya lalu bertengkar tidak ada yang mau mengalah.
Pertengkaran itu pun akhirnya berubah menjadi pertarungan sengit di antara mereka.
Demikianlah, setelah bertarung cukup lama, Prabu Citranggada akhirnya tewas di tangan
Gandarwa Citranggada. Pada saat itulah tiba-tiba Resi Abyasa datang bersama panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Melihat ada seorang raja muda yang tewas dibunuh
KITAB WAYANG PURWA

secara keji oleh seorang gandarwa, ia langsung turun tangan. Dengan mengerahkan Aji Pengabaran
yang pernah dipelajarinya dari Gandarwaraja Swala dulu, Resi Abyasa pun berhasil menewaskan
Gandarwa Citranggada.

RESI ABYASA BERTEMU DEWI DURGANDINI


Tidak lama kemudian muncul Raden Bisma bersama para prajurit yang datang untuk mencari
hilangnya Prabu Citranggada. Orang-orang Hastina itu sangat terkejut melihat raja mereka telah
tewas, dan sempat menaruh curiga jangan-jangan Resi Abyasa yang telah membunuh Prabu
Citranggada.
Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan melerai Raden Bisma dan Resi Abyasa
yang hendak bertarung. Batara Narada menjelaskan bahwa Prabu Citranggada sudah ditakdirkan
mati muda dibunuh Gandarwa Citranggada. Ia juga menjelaskan bahwa Gandarwa Citranggada
telah tewas pula di tangan Resi Abyasa yang merupakan putra sulung Dewi Durgandini dari
hubungannya dengan Resi Parasara dua puluh lima tahun silam. Setelah memberikan penjelasan
demikian, Batara Narada lalu kembali ke kahyangan.
Menyadari kekeliruannya, Raden Bisma meminta maaf dan merangkul Resi Abyasa bagaikan
adiknya sendiri. Mereka lalu bersama-sama membawa jasad Prabu Citranggada kembali ke
Kerajaan Hastina.
Dewi Durgandini dan Raden Citrawirya di istana sangat terkejut dan berduka melihat Prabu
Citranggada telah kembali dalam keadaan tak bernyawa. Rasa sedih Dewi Durgandini bercampur
gembira karena berjumpa dengan putra sulungnya yang kini telah dewasa, yaitu Resi Abyasa.

RADEN CITRAWIRYA MENJADI RAJA HASTINA YANG BARU


Bagawan Santanu telah mendengar berita kematian Prabu Citranggada dan ia pun bergegas
datang ke Kerajaan Hastina untuk memakamkan putranya itu. Suasana haru mewarnai upacara
tersebut.
Setelah masa berkabung usai, Bagawan Santanu melantik Raden Citrawirya menjadi raja
Hastina yang baru, bergelar Prabu Citrawirya menggantikan kakaknya. Resi Abyasa ikut
menyaksikan pelantikan tersebut. Setelah usai, ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung Saptaarga.
Ia berjanji kepada Bagawan Santanu dan Dewi Durgandini bahwa dirinya akan selalu siap
membantu Kerajaan Hastina apabila dilanda kerepotan. Dewi Durgandini pun melepas kepergian
putra sulungnya itu dengan perasaan haru.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DEWI AMBA
Kisah ini menceritakan Raden Bisma Dewabrata mengikuti sayembara memperebutkan Dewi
Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika di Kerajaan Giyantipura untuk dinikahkan dengan
Prabu Citrawirya di Hastina. Dewi Amba yang menolak pernikahan tersebut memilih bunuh diri
dan kelak arwahnya akan menjadi penjemput ajal Resiwara Bisma dalam Perang Bratayuda
melalui Dewi Wara Srikandi.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa.
Kediri, 14 September 2015
Heri Purwanto

Dewi Amba

RADEN BISMA BERANGKAT KE GIYANTIPURA


Prabu Citrawirya di Kerajaan Hastina dihadap Raden Bisma (kakak tiri), Patih Basusara, Resi
Jawalagni, dan para punggawa. Hadir pula sang ibu suri, yaitu Dewi Durgandini. Sudah enam bulan
lamanya Prabu Citrawirya menjadi raja menggantikan kakaknya, yaitu Prabu Citranggada yang
tewas dibunuh gandarwa bernama sama. Saat itu Prabu Citranggada gugur dalam keadaan belum
beristri, apalagi berputra, membuat Dewi Durgandini khawatir jangan-jangan Prabu Citrawirya juga
meninggal sebelum memiliki keturunan. Alasannya ialah Prabu Citrawirya sejak kecil sudah sakit-
sakitan, dan penyakitnya itu bisa kambuh sewaktu-waktu.
Oleh sebab itu, Dewi Durgandini meminta Prabu Citrawirya harus memiliki permaisuri
secepatnya. Tidak hanya itu, demi menjamin keturunan Bagawan Santanu jangan sampai terputus,
maka sebaiknya putranya itu menikah dengan perempuan lebih dari satu. Prabu Citrawirya
menyadari keadaan dirinya yang kurang sehat dan ia pun mematuhi apa yang menjadi keinginan
sang ibu. Akan tetapi, ia sama sekali tidak tahu wanita mana yang harus dinikahi sebagai permaisuri.
Raden Bisma pun melaporkan bahwa raja Giyantipura yang bernama Prabu Darmamuka
memiliki empat orang putri dan enam orang putra. Putri yang tiga orang sudah dewasa, bernama
Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika, sedangkan yang satu lagi masih kecil, bernama
Dewi Ambalini. Sementara itu, keenam putranya terdiri atas tiga orang raksasa bernama Ditya
Wahmuka, Ditya Arimuka, dan Ditya Marusmuka, sedangkan yang tiga berwujud ular naga, bernama
Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka.
Ketiga putri Prabu Darmamuka yang telah dewasa kini dilamar banyak raja dan pangeran dari
berbagai negeri. Karena Prabu Darmamuka bingung menentukan pilihan, maka keenam putranya
pun mengadakan sayembara tanding. Barangsiapa dapat mengalahkan ketiga raksasa dan ketiga
ular tersebut, maka ia berhak memboyong ketiga putri sekaligus.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Durgandini tertarik untuk menjadikan Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika
sebagai istri putranya. Akan tetapi, mengingat kesehatan Prabu Citrawirya yang kurang baik dan
juga tidak memiliki kesaktian cukup, maka sebaiknya Raden Bisma saja yang mewakili berangkat
untuk mengikuti sayembara. Raden Bisma pun menyanggupi perintah sang ibu suri. Ia lalu mohon
pamit berangkat menjalankan tugas tersebut.

KEENAM PUTRA GIYANTIPURA MENGALAHKAN PARA PELAMAR


Sementara itu di Kerajaan Giyantipura, Prabu Darmamuka dan permaisurinya yang bernama
Dewi Ambarawati, beserta keempat putri mereka, yaitu Dewi Amba, Dewi Ambika, Dewi Ambalika,
dan Dewi Ambalini sedang duduk menyaksikan gelanggang tempat Ditya Wahmuka, Ditya Arimuka,
Ditya Marusmuka, Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka bertanding
menghadapi para raja dan pangeran yang mencoba mengikuti sayembara.
Akan tetapi, dari sekian banyak pelamar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ketiga
raksasa dan ketiga ular tersebut. Bahkan, tidak sedikit pula dari mereka yang gugur kehilangan
nyawa di atas gelanggang pertandingan. Hal ini karena Ditya Wahmuka, Ditya Arimuka, dan Ditya
Marusmuka seolah-olah tidak dapat dibunuh. Jika Ditya Wahmuka terluka atau tewas, maka
tubuhnya segera dilangkahi Ditya Arimuka dan tiba-tiba pulih kembali. Sebaliknya, jika Ditya Arimuka
yang roboh, ia akan segera bangun kembali setelah dilangkahi Ditya Marusmuka, begitu seterusnya.
Demikian pula dengan ketiga saudara mereka yang berwujud ular. Jika ada satu yang tewas, maka
dua yang lain akan menghidupkan dengan cara saling membelit.
Melihat itu, Prabu Darmamuka merasa khawatir jangan-jangan di dunia ini tidak ada seorang
pun yang bisa mengalahkan keenam putranya tersebut. Jika benar demikian, bisa-bisa Dewi Amba,
Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika tidak akan menikah seumur hidup. Namun, Ditya Wahmuka
berusaha meyakinkan sang ayah bahwa jodoh ketiga saudarinya pasti akan segera datang.

RADEN BISMA SINGGAH KE GUNUNG SAPTAARGA


Raden Bisma yang telah berangkat ke Giyantipura untuk mengikuti sayembara terlebih dulu
singgah di Gunung Saptaarga. Meskipun memiliki kesaktian tinggi, namun ia mendapatkan firasat
bahwa keenam putra Prabu Darmamuka sulit untuk dikalahkan. Untuk itu, Raden Bisma pun berniat
meminta saran dan petunjuk dari Resi Abyasa sebagai bekalnya mengikuti sayembara tersebut.
Resi Abyasa bercerita bahwa Prabu Darmamuka masih terhitung kakak sepupunya, karena
Resi Parasara (ayah Resi Abyasa) adalah saudara sepersusuan Prabu Sadamuka (ayah Prabu
Darmamuka). Konon kabarnya Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika dulu dilahirkan pada
hari yang sama, dengan satu ari-ari dan tiga tali pusar. Secara ajaib, air ketuban yang mengawali
kelahiran mereka berubah menjadi Ditya Wahmuka, kemudian ari-ari berubah menjadi Ditya
Arimuka, dan darah nifas menjadi Ditya Marusmuka. Adapun ketiga tali pusar mereka, masing-
masing berubah menjadi Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka. Untuk dapat
mengalahkan mereka berenam dalam sayembara nanti sebaiknya tidak menggunakan kekerasan,
tetapi dengan cara meruwat dan menyempurnakan mereka kembali ke wujud asal.
Untuk itu, Resi Abyasa pun meminta Kyai Semar bersama Nala Gareng, Petruk, dan Bagong
supaya ikut berangkat menyertai perjalanan Raden Bisma. Untuk bisa meruwat keenam putra Prabu
Darmamuka tersebut tentu saja dibutuhkan nasihat dari Kyai Semar yang berpengetahuan luas.
Raden Bisma sangat berterima kasih, lalu ia mohon pamit berangkat menuju Kerajaan Giyantipura
bersama keempat panakawan.

RADEN BISMA MEMENANGKAN SAYEMBARA


Demikianlah, Raden Bisma dan para panakawan telah sampai di Kerajaan Giyantipura.
Terlebih dulu ia menghadap Prabu Darmamuka untuk meminta izin apabila nanti Dirya Wahmuka
dan yang lain terluka atau mungkin terbunuh. Prabu Darmamuka pun mengizinkan. Sejak awal ia
sudah merasa siap jika terjadi hal yang buruk pada keenam putranya. Lagipula sayembara ini juga
keinginan mereka, dan mereka pun sudah siap mati di atas gelanggang demi mendapatkan jodoh
yang terbaik untuk ketiga saudari mereka.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Bisma lantas memasuki gelanggang sayembara menghadapi Ditya Wahmuka, Ditya
Arimuka, Ditya Marusmuka, Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga Sarpamuka. Dalam
perjalanan tadi, ia sempat mempelajari tata cara pengruwatan dari Kyai Semar untuk digunakan
menghadapi keenam putra Prabu Darmamuka tersebut.
Maka, begitu memasuki gelanggang, Raden Bisma pun membaca mantra pengruwatan sambil
kemudian melepaskan enam panah sekaligus, yang masing-masing pada ujungnya terpasang
kunyit welat dan batok bolu. Keenam panah tersebut mengenai sasaran masing-masing. Seketika
wujud Ditya Wahmuka kembali berubah menjadi air ketuban, Ditya Arimuka menjadi ari-ari, Ditya
Marusmuka menjadi darah nifas, sedangkan Naga Wasusarpa, Naga Sarpadipa, dan Naga
Sarpamuka menjadi tiga tali pusar. Keenamnya lalu melebur dan musnah bersatu dengan alam
semesta.
Prabu Darmamuka dan Dewi Ambarawati prihatin menyaksikan musnahnya keenam putra
mereka. Di sisi lain mereka juga senang karena ketiga putri kini telah mendapatkan jodoh. Prabu
Darmamuka pun menyerahkan Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika kepada Raden Bisma
untuk diboyong ke Kerajaan Hastina.

RADEN BISMA DIHADANG PRABU SALWARUKMA


Dalam perjalanan menuju Kerajaan Hastina, rombongan Raden Bisma dihadang sepupunya,
yaitu Prabu Salwarukma putra mendiang Prabu Bahlika. Setelah Prabu Bahlika tewas di tangan
Raden Kincaka saat menyerang Kerajaan Wirata, Raden Salwarukma melarikan diri dan
membangun kerajaan baru bernama Subapura, sebagai kelanjutan Siwandapura.
Beberapa hari yang lalu Prabu Salwarukma menyusup ke dalam istana Giyantipura dan
berkenalan dengan Dewi Amba. Di antara mereka kemudian tumbuh perasaan saling menyukai.
Namun demikian, Dewi Amba tetap meminta Prabu Salwarukma meminangnya secara kesatria,
yaitu melalui sayembara menghadapi Ditya Wahmuka dan yang lain. Prabu Salwarukma
menyanggupi hal itu. Ia lalu pulang ke Subapura untuk mempersiapkan upacara pernikahan karena
yakin dirinya pasti dapat memenangkan sayembara tersebut.
Akan tetapi, Prabu Salwarukma datang terlambat di mana Dewi Amba, Dewi Ambika, dan
Dewi Ambalika telah diboyong Raden Bisma menuju Hastina. Ia pun mengejar dan berhasil
menghentikan rombongan tersebut. Prabu Salwarukma lalu menantang Raden Bisma bertarung
demi memperebutkan ketiga putri Giyantipura. Ia juga mengejek Raden Bisma sebagai kesatria
yang tidak punya pendirian, karena dulu pernah bersumpah hidup membujang tapi mengapa
sekarang hendak menikahi tiga putri sekaligus. Tersinggung atas ejekan tersebut, Raden Bisma pun
maju melayani tantangan Prabu Salwarukma. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka yang
berakhir dengan kekalahan raja Subapura.
Prabu Salwarukma pun merelakan Raden Bisma memboyong ketiga putri Giyantipura ke
Hastina. Ia juga berpesan kepada Dewi Amba agar melupakan kisah cinta di antara mereka untuk
selamanya. Usai berkata demikian, ia lalu pulang ke Subapura dengan perasaan sedih.
Raden Bisma mempersilakan Dewi Amba jika ingin menyusul ke Subapura. Namun, wanita itu
menolak karena dirinya telah menjadi putri boyongan. Bagaimanapun juga ia harus mematuhi apa
yang telah menjadi ketetapan sayembara.

DEWI AMBA INGIN MENIKAH DENGAN RADEN BISMA


Dewi Durgandini dan Prabu Citrawirya di Kerajaan Hastina menyambut kedatangan Raden
Bisma bersama ketiga putri boyongan. Hadir pula Bagawan Santanu dari Padepokan Talkanda yang
ikut berbahagia atas kemenangan putranya. Raden Bisma segera menyerahkan ketiga putri
Giyantipura itu kepada ayah dan ibunya untuk dinikahkan dengan Prabu Citrawirya.
Prabu Citrawirya pun menyambut ketiga calon istrinya. Dewi Ambika dan Dewi Ambalika
mematuhi keputusan tersebut, sedangkan Dewi Amba terang-terangan menolak. Ia mengaku telah
bersumpah hanya mau menikah dengan pemenang sayembara, yaitu Raden Bisma. Ditambah lagi
Raden Bisma juga telah mengalahkan Prabu Salwarukma, kekasihnya.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar itu, Prabu Citrawirya pun menolak menikahi Dewi Amba dan menyerahkannya
kembali kepada Raden Bisma. Akan tetapi, Raden Bisma tidak bersedia karena dirinya terikat
sumpah tidak akan menikah seumur hidup. Ia memutuskan untuk mengantarkan Dewi Amba pulang
ke Giyantipura.
Dewi Amba sangat tersinggung mendengar keputusan tersebut. Ia merasa diperlakukan
seperti benda yang bisa dipindah-pindah ke sana kemari begitu saja. Ia pun menyatakan dengan
tegas hanya mau menikah dengan Raden Bisma atau tidak sama sekali. Setelah berkata demikian,
Dewi Amba lalu pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.

BATARA RAMAPARASU MEMBANTU DEWI AMBA


Pada hari yang dianggap baik, diadakanlah upacara pernikahan antara Prabu Citrawirya
dengan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sekaligus. Para tamu dan undangan datang dari seluruh
penjuru negeri, termasuk juga dari berbagai negeri sahabat, antara lain Prabu Matsyapati dari
Wirata, Prabu Mandradipa dari Mandraka, Prabu Mandararya dari Gandaradesa, dan Prabu
Gandabayu dari Pancala.
Pada saat pesta berlangsung, tiba-tiba datang Dewi Amba bersama Batara Ramaparasu yang
merupakan guru Raden Bisma. Kedatangan Batara Ramaparasu adalah untuk membantu Dewi
Amba mendapatkan haknya. Ia menyarankan agar Raden Bisma membatalkan sumpahnya dan
bersedia menikahi Dewi Amba. Sebagai guru yang berderajat dewa, ia bersedia menanggung dosa
muridnya tersebut.
Akan tetapi, Raden Bisma tetap bersikeras mempertahankan sumpahnya. Ia mengaku
keberatan menikahi Dewi Amba, meskipun yang memerintah adalah gurunya sendiri. Batara
Ramaparasu tersinggung merasa disepelekan oleh muridnya dan ia pun berniat menggunakan
kekerasan untuk memaksa Raden Bisma.
Raden Bisma terpaksa melayani tantangan Batara Ramaparasu. Keduanya lalu bertanding di
alun-alun Kerajaan Hastina dengan disaksikan segenap para hadirin. Pertarungan antara mereka
pun berlangsung seru. Meskipun sebagai murid, namun Raden Bisma dapat mengimbangi Batara
Ramaparasu. Bahkan, lama-lama Batara Ramaparasu merasa terdesak menghadapi kesaktian
muridnya itu.
Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan memisah mereka berdua. Batara Narada
menjelaskan bahwa Batara Ramaparasu tidak perlu lagi memaksa Raden Bisma menikahi Dewi
Amba, karena muridnya itu ditakdirkan hidup membujang selamanya. Di sisi lain, perbuatan Raden
Bisma yang mengecewakan seorang wanita akan mendapatkan balasan di kemudian hari. Kelak
dirinya ditakdirkan akan meninggal di tangan seorang prajurit wanita.
Setelah berkata demikian, Batara Narada kembali ke kahyangan. Batara Ramaparasu merasa
kecewa atas sikap Raden Bisma yang keras kepala, dan ia pun bersumpah tidak mau lagi memiliki
murid dari golongan kesatria. Usai berkata demikian ia lantas pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.

DEWI AMBA MEMBAKAR DIRI


Dewi Amba sangat kecewa namun merasa tidak dapat berbuat apa-apa kalau memang sudah
takdir harus demikian. Dengan perasaan sedih, ia lalu bersamadi mengheningkan cipta. Dari
dahinya tiba-tiba keluar setitik api yang lama-lama menjadi besar dan berkobar membakar tubuhnya
sendiri. Dewi Amba pun tewas menjadi abu dalam waktu sekejap.
Raden Bisma dan para hadirin hanya bisa terkejut melihat kejadian yang sangat cepat itu.
Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menangis meratapi kematian kakak mereka yang mengenaskan.
Raden Bisma juga ikut menyesali kejadian itu. Ia menyatakan rela jika kelak arwah Dewi Amba
datang untuk menjemput ajalnya. Seketika suasana pesta perkawinan pun berubah menjadi duka
cita.
Resi Jawalagni selaku kepala pandita Kerajaan Hastina segera memimpin upacara
mendoakan arwah Dewi Amba. Setelah upacara berakhir, para tamu undangan pun mohon pamit
kembali ke negeri masing-masing.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Bisma melawan Batara Ramaparasu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BABAD NEGARA MANDURA


Kisah ini menceritakan Bagawan Santanu memungut bayi perempuan dan laki-laki yang diberi
nama Dewi Krepi dan Raden Krepa yang kemudian diasuh di Kerajaan Hastina. Kisah
dilanjutkan dengan peristiwa tujuh raja menyerang Hastina, serta seorang pemuda bernama
Raden Surasena yang menjadi menantu Bagawan Santanu dan mendirikan Kerajaan Mandura,
bergelar Prabu Kuntiboja.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita.
Kediri, 20 Maret 2016
Heri Purwanto

BAGAWAN SANTANU MEMUNGUT BAYI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Bagawan Santanu di Padepokan Talkanda sedang bersamadi mengheningkan cipta. Tiba-tiba
datang Batara Narada yang turun dari kahyangan membangunkan dirinya. Bagawan Santanu pun
membuka mata dan menyembah hormat kepada dewa tersebut.
Batara Narada datang untuk memberikan perintah kepada Bagawan Santanu agar memungut
bayi laki-laki dan perempuan yang saat ini telantar di Hutan Mandalasara. Kedua bayi tersebut
adalah putri dan putra Resi Saradwata dari Kerajaan Malawa yang dilahirkan bidadari bernama
Batari Janapadi. Setelah melahirkan kedua bayi tersebut, Batari Janapadi kembali ke kahyangan,
bersamaan dengan terjadinya peperangan antara Kerajaan Malawa melawan Kerajaan
Siwandapura. Prabu Paruwa, kakak Resi Saradwata tewas dalam pertempuran itu, sedangkan Resi
Saradwata tertangkap oleh Prabu Bahlika raja Siwandapura (yang tidak lain adalah kakak kandung
Bagawan Santanu).
Setelah Prabu Bahlika tewas saat menyerang Kerajaan Wirata, Resi Saradwata bebas dari
penjara dan membangun negeri baru bernama Kerajaan Timpurusa. Ia pun menjadi raja di sana
dengan bergelar Prabu Purunggaji. Namun demikian, akibat serangan Prabu Bahlika beberapa
waktu yang lalu, kedua anaknya yang baru saja lahir hilang entah ke mana. Sebenarnya kedua bayi
tersebut diselamatkan oleh dayang istana Malawa yang bernama Ken Yoni dan dibawa bersembunyi
di Hutan Mandalasara. Kini kedua bayi tersebut telah berusia dua tahun dan hidup telantar, karena
Ken Yoni baru saja meninggal karena sakit.
KITAB WAYANG PURWA

Maka itu, Batara Narada memerintahkan Bagawan Santanu untuk memungut kedua bayi
tersebut dan membawanya ke istana. Menurut ketetapan para dewa, kedua bayi tersebut kelak akan
menjadi orang penting di Kerajaan Hastina. Yang laki-laki hendaknya diberi nama Raden Krepa,
kelak akan menjadi kepala brahmana di Kerajaan Hastina, sedangkan yang perempuan hendaknya
diberi nama Dewi Krepi, kelak akan menjadi istri pujangga Kerajaan Hastina yang bernama Resi
Druna di masa depan.
Setelah menyampaikan perintah tersebut, Batara Narada pun undur diri kembali ke
kahyangan. Bagawan Santanu memberi hormat lalu berangkat menuju Hutan Mandalasara.
Bagawan Santanu menyusuri hutan tersebut dan akhirnya berhasil menemukan sepasang
bayi laki-laki dan perempuan berusia dua tahun yang menangis di dekat mayat seorang wanita, yaitu
Ken Yoni. Bagawan Santanu pun menguburkan mayat tersebut, lalu menggendong kedua bayi itu
menuju ke Kerajaan Hastina.

KERAJAAN HASTINA DISERANG MUSUH DARI AGLIPURA


Prabu Citrawirya di Kerajaan Hastina dihadap Raden Bisma Dewabrata, Patih Basusara, dan
Resi Jawalagni. Mereka sedang membicarakan adanya surat tantangan dari Prabu Sidara, raja
Aglipura di bumi utara. Dalam surat itu disebutkan bahwa Prabu Sidara ingin merebut kedua
permaisuri Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Tentu saja Prabu Citrawirya
menolak permintaan tersebut.
Raden Bisma setuju dan menganggap surat ini adalah bentuk penghinaan terhadap
kedaulatan Kerajaan Hastina. Ia pun mohon izin kepada Prabu Citrawirya untuk mempersiapkan
pasukan. Prabu Citrawirya mempersilakan dan menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada
kakak tirinya itu. Raden Bisma lalu undur diri untuk memberi tahu segenap para punggawa agar
bersiaga.
Demikianlah, Prabu Sidara yang marah karena permintaannya ditolak segera memimpin
pasukan Aglipura maju menyerang istana Hastina. Raden Bisma yang sudah bersiaga menyambut
serangan tersebut. Pertempuran pun terjadi di mana Prabu Sidara tewas di tangan Raden Bisma.
Bersamaan dengan itu, Bagawan Santanu datang ke istana Hastina. Ia mengucapkan selamat
atas keberhasilan putranya mengamankan kerajaan. Kemudian ia pun menyerahkan kedua bayi
yang ia temukan di hutan, yaitu Dewi Krepi dan Raden Krepa supaya menjadi anak asuh Raden
Bisma. Dengan senang hati, Raden Bisma pun menerima kedua bayi pemberian ayahnya tersebut.

RESI ABYASA BERTEMU RADEN SURASENA


Sementara itu di Padepokan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga, Resi Abyasa bermimpi
melihat Kerajaan Hastina dikepung oleh tujuh orang raja. Begitu terbangun, ia segera mengajak
para panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong untuk menyampaikan hal ini
kepada Prabu Citrawirya dan Raden Bisma.
Dalam perjalanan menuju Kerajaan Hastina, Resi Abyasa dan para panakawan bertemu
seorang pemuda yang tersesat. Pemuda itu mengaku bernama Raden Surasena dari Kerajaan
Yadawa di tanah seberang. Ia mengaku telah bermimpi mendapat petunjuk dewata bahwa ia akan
mendapat kemuliaan di Tanah Jawa, bukan di negerinya sendiri. Namun demikian, kemuliaan
tersebut hanya dapat dicapai apabila dirinya mengabdi kepada Bagawan Santanu di Kerajaan
Hastina. Maka, Raden Surasena pun berlayar ke Tanah Jawa, namun ia kebingungan tidak tahu
jalan mana yang harus ditempuh.
Resi Abyasa melihat Raden Surasena seorang yang jujur dan dapat dipercaya. Karena ia
sendiri hendak menuju ke Kerajaan Hastina, maka Raden Surasena pun diajak ikut serta
bersamanya. Raden Surasena sangat berterima kasih. Mereka lalu bersama-sama menuju ke sana.

BAGAWAN SANTANU MEMINTA BANTUAN PARA SEKUTU


Resi Abyasa dan Raden Surasena telah tiba di Kerajaan Hastina. Mereka disambut oleh
Bagawan Santanu, Prabu Citrawirya, dan Raden Bisma Dewabrata. Mula-mula Raden Surasena
KITAB WAYANG PURWA

yang lebih dulu menyampaikan niatnya untuk mengabdi kepada Bagawan Santanu. Karena
Bagawan Santanu sudah menjadi pendeta dan tidak lagi mengurusi kenegaraan, maka Raden
Surasena pun dipersilakan mengabdi kepada Prabu Citrawirya saja. Prabu Citrawirya menerima
Raden Surasena dan mengangkatnya sebagai punggawa yang membantu tugas-tugas Raden
Bisma.
Resi Abyasa lalu menceritakan mimpinya, yaitu ia melihat Kerajaan Hastina dikepung tujuh
orang raja. Prabu Citrawirya tenang-tenang saja mendengarnya karena ia yakin kesaktian Raden
Bisma cukup untuk mengatasi ancaman tersebut. Namun, Bagawan Santanu dan Raden Bisma
tidak setuju. Sebuah perang berbeda dengan pertarungan, sehingga tidak cukup jika hanya
mengandalkan kesaktian satu orang saja. Untuk itu, Bagawan Santanu menyarankan agar Kerajaan
Hastina segera meminta bantuan kepada para raja sekutu, antara lain Kerajaan Wirata dan
Mandraka. Prabu Citrawirya mematuhi saran sang ayah. Ia lalu mengutus Patih Basusara untuk
menyebarkan undangan.

TUJUH RAJA MENYERANG KERAJAAN HASTINA


Beberapa waktu kemudian, mimpi Resi Abyasa menjadi kenyataan. Kerajaan Hastina
diserang oleh tujuh raja bersama pasukannya masing-masing. Ketujuh raja itu berasal dari Kerajaan
Sindu, Tunggulmalaya, Trigarta, Kalingga, Dasarna, Cedi, dan Gardapura. Mereka datang untuk
membalas kematian Prabu Sidara raja Aglipura yang telah tewas di tangan Raden Bisma tempo
hari.
Ketujuh raja itu sudah mempersiapkan serangan dengan matang, namun mereka tidak
menyangka jika Kerajaan Hastina ternyata sudah bersiaga dengan dibantu pasukan dari Wirata dan
Mandraka. Perang besar pun terjadi. Ketujuh raja tersebut mengalami kekalahan telak. Lima di
antara mereka tewas terbunuh, sedangkan dua raja sisanya berhasil ditangkap.
Dua orang raja yang tertangkap itu adalah Prabu Sapwani dari Kerajaan Sindu dan Prabu
Karditya dari Kerajaan Tunggulmalaya. Prabu Sapwani dikalahkan oleh Raden Bisma, sedangkan
Prabu Karditya dikalahkan oleh Raden Surasena. Mereka lalu dihadapkan kepada Bagawan
Santanu dan Prabu Citrawirya untuk mendapatkan hukuman.
Bagawan Santanu menyarankan agar kedua raja itu dibebaskan saja dan dipersilakan pulang
ke negeri masing-masing. Prabu Citrawirya menyetujui usulan sang ayah. Hal ini membuat Prabu
Sapwani dan Prabu Karditya sangat terkesan dan mengucapkan terima kasih. Mereka pun
bersumpah akan selalu setia kepada Kerajaan Hastina.

RADEN SURASENA MENJADI MENANTU BAGAWAN SANTANU


Bagawan Santanu senang melihat kehebatan dan keberanian Raden Surasena dalam
pertempuran tadi. Ia pun berniat menjadikannya sebagai menantu, yaitu sebagai suami putri
bungsunya yang bernama Dewi Bandadari. Namun demikian, ia lebih dulu ingin mengetahui asal
usul dan silsilah pemuda tersebut.
Raden Surasena pun mengaku bahwa dirinya masih keturunan Prabu Sri Rama, raja
Pancawati di tanah seberang. Prabu Sri Rama memiliki dua orang putra, yaitu Prabu Batlawa yang
menjadi raja Ayodya, dan Prabu Kusiya yang menjadi raja Mantili. Setelah Prabu Batlawa
meninggal, ia digantikan putranya yang bergelar Prabu Kunta. Kerajaan Ayodya pun dipindahkan
ke Yadawa. Setelah Prabu Kunta meninggal, yang menjadi raja Yadawa adalah putranya yang
bergelar Prabu Boja. Kemudian Prabu Boja digantikan putranya yang bergelar Prabu Maruta. Lalu
Prabu Maruta digantikan putranya yang bergelar Prabu Iswara, dan Prabu Iswara berputra Prabu
Yadu. Setelah meninggal, Prabu Yadu digantikan putranya yang bergelar Prabu Wasukunti sebagai
raja Yadawa.
Raden Surasena adalah putra dari Prabu Wasukunti. Pada suatu malam ia bermimpi bahwa
kemuliaannya bukan diperoleh di Kerajaan Yadawa, melainkan di Tanah Jawa. Sebagai sarananya,
ia harus mengabdi kepada Bagawan Santanu di Kerajaan Hastina.
KITAB WAYANG PURWA

Bagawan Santanu mendengar dengan seksama dan ia semakin mantap menjadikan Raden
Surasena sebagai menantu. Maka, pada hari yang dianggap baik dilaksanakanlah upacara
pernikahan antara Raden Surasena dengan Dewi Bandadari di istana Kerajaan Hastina.

RADEN SURASENA MEMBANGUN KERAJAAN MANDURA


Beberapa bulan kemudian, Bagawan Santanu mewujudkan impian menantu barunya. Ia
memberikan Hutan Boja kepada Raden Surasena supaya dibuka menjadi kerajaan baru yang
merdeka, tidak di bawah Hastina. Raden Surasena dan Dewi Bandadari berterima kasih atas
anugerah dari sang ayah, lalu mereka pun segera berangkat dengan dikawal para prajurit
secukupnya.
Demikianlah, di atas Hutan Boja kini telah berdiri sebuah negeri baru yang bernama Kerajaan
Mandura. Raden Surasena menjadi raja negeri tersebut dengan bergelar Prabu Kuntiboja.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SANTANU GUGUR
Kisah ini menceritakan kematian Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya karena ulah pendeta
raksasa bernama Danghyang Anala. Kisah dilanjutkan dengan perkawinan Resi Abyasa dengan
kedua janda Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika, serta pelantikan Resi
Abyasa menjadi raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Kresna Dwipayana.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Maret 2016
Heri Purwanto

Resi Abyasa

PRABU CITRAWIRYA KAMBUH PENYAKITNYA


Prabu Citrawirya di Kerajaan Hastina sedang kambuh penyakitnya. Memang sejak kecil ia
sudah sakit-sakitan, tetapi kali ini keadaannya sangat parah. Tidak ada tabib ataupun dukun yang
dapat menyembuhkannya. Sudah belasan hari ia terbaring di tempat tidur, sehingga tidak mampu
memimpin jalannya pemerintahan. Hal ini membuat Bagawan Santanu merasa harus meninggalkan
Padepokan Talkanda untuk duduk kembali di atas takhta demi mewakili putranya tersebut.
Demikianlah, pada suatu hari Bagawan Santanu dihadap para menteri dan punggawa, antara
lain Raden Bisma Dewabrata, Patih Basusara, dan Resi Jawalagni. Ketika sedang membahas
masalah pemerintahan dan juga bagaimana mengusahakan pengobatan untuk Prabu Citrawirya,
tiba-tiba datang seorang raksasa bernama Patih Suksara yang mengaku diutus rajanya, yaitu Prabu
Dawaka dari Kerajaan Ekacakra untuk menyampaikan surat.
Bagawan Santanu membaca surat tersebut ternyata berisi permintaan Prabu Dawaka yang
ingin menikahi permaisuri Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Permintaan
aneh tersebut tentu saja ditolak Bagawan Santanu. Patih Suksara pun mengaku telah diberi
wewenang oleh Prabu Dawaka bahwa dirinya harus bisa membawa Dewi Ambika dan Dewi
Ambalika, baik itu melalui cara damai maupun cara perang. Bagawan Santanu marah dan
mempersilakan Patih Suksara menunggu di luar jika ingin berperang melawan Kerajaan Hastina.
Patih Suksara pun undur diri. Bagawan Santanu lalu memerintahkan putra sulungnya, yaitu
Raden Bisma untuk bersiaga mempersiapkan pasukan menghadapi tantangan pihak Ekacakra
tersebut. Raden Bisma menyembah mohon restu kemudian keluar melaksanakan perintah.

RADEN BISMA MEMUKUL MUNDUR MUSUH DARI EKACAKRA


Patih Suksara yang kembali ke pasukannya segera meminta pendapat panakawan Kyai
Togog dan Bilung. Kedua panakawan itu sebenarnya tidak menyetujui keinginan Prabu Dawaka
yang ingin merebut istri orang. Namun sayangnya, Prabu Dawaka tidak mempan dinasihati. Ia sudah
KITAB WAYANG PURWA

bertekad bulat ingin menikahi Dewi Ambika dan Dewi Ambalika hanya karena pernah mimpi bertemu
kedua putri tersebut.
Kini, keputusan sudah diambil bahwa pihak Ekacakra akan berperang melawan Kerajaan
Hastina. Untuk itu, Kyai Togog dan Bilung menasihati agar Patih Suksara berhati-hati terutama
menghadapi Raden Bisma Dewabrata, putra tertua Bagawan Santanu. Menurut kabar yang beredar,
Raden Bisma memiliki kesaktian di atas rata-rata manusia karena ia pernah berguru kepada Batara
Ramaparasu.
Patih Suksara segera memerintahkan pasukannya maju menyerang begitu melihat Raden
Bisma keluar bersama pasukan Hastina. Tidak lama kemudian pertempuran pun meletus di antara
kedua pihak. Lewat tengah hari, pihak Ekacakra mulai terdesak kalah. Melihat para prajuritnya
banyak yang tewas dan terluka, Patih Suksara pun memerintahkan mereka yang masih hidup untuk
mundur meninggalkan Kerajaan Hastina.

RESI ABYASA BERMIMPI BURUK


Sementara itu, Resi Abyasa di Padepokan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga bermimpi
melihat Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya naik perahu bersama mengarungi samudera,
namun kemudian perahu tersebut terbalik dan mereka pun tenggelam digulung ombak.
Resi Abyasa menceritakan mimpinya itu kepada panakawan Kyai Semar. Menurut Kyai
Semar, mimpi tersebut adalah pertanda buruk yang mungkin akan menimpa Bagawan Santanu dan
Prabu Citrawirya.
Resi Abyasa gugup mendengarnya dan lekas-lekas berangkat menuju Kerajaan Hastina untuk
menyampaikan hal ini. Perjalanannya pun disertai Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Namun demikian, perjalanan Resi Abyasa agak terhambat karena di tengah jalan ia
berpapasan dengan kawanan raksasa dari Ekacakra yang terpisah dari induk pasukan Patih
Suksara. Terjadilah pertarungan di antara mereka, yang mana Resi Abyasa berhasil menumpas
seluruh prajurit raksasa tersebut.

PRABU DAWAKA MENDATANGI KERAJAAN HASTINA


Prabu Dawaka, raja raksasa di Kerajaan Ekacakra menerima kepulangan Patih Suksara yang
melaporkan kegagalannya merebut Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Prabu Dawaka sangat marah
menyebut Patih Suksara sebagai raksasa bodoh yang tidak becus bekerja.
Saat itu hadir pula guru dari Prabu Dawaka yang bernama Danghyang Anala, seorang pendeta
raksasa berilmu tinggi. Ia menasihati Prabu Dawaka agar menenangkan diri. Memang Kerajaan
Hastina memiliki panglima perang andalan yang hebat, bernama Raden Bisma Dewabrata,
sehingga wajar jika Patih Suksara dapat dipukul mundur. Untuk itu, lebih baik Prabu Dawaka
mengurungkan niatnya untuk merebut kedua istri Prabu Citrawirya.
Prabu Dawaka semakin marah. Bagaimanapun juga ia merasa wajib untuk bisa mewujudkan
mimpinya, yaitu memperistri kedua putri dari Giyantipura tersebut. Ia pun mengajak Danghyang
Anala berangkat menculik Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Danghyang Anala tidak mampu
menolak keinginan muridnya itu. Mereka berdua lalu naik kereta, di mana Patih Suksara diperintah
untuk menjadi kusirnya.

KEMATIAN PRABU CITRAWIRYA DAN BAGAWAN SANTANU


Patih Suksara memacu kereta yang dinaiki Prabu Dawaka dan Danghyang Anala sekencang-
kencangnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka telah sampai di Kerajaan Hastina. Prabu
Dawaka dan Patih Suksara menunggu di luar istana, sedangkan Danghyang Anala masuk
menyusup ke dalam.
Sesampainya di dalam kedaton, Danghyang Anala melihat Prabu Citrawirya terbaring lemah
dalam keadaan sakit dengan ditunggui Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Tanpa banyak berpikir,
Danghyang Anala langsung membaca mantra dan dari mulutnya tiba-tiba keluar setitik api sebesar
kunang-kunang yang melayang dan masuk ke dalam ubun-ubun Prabu Citrawirya. Seketika Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Citrawirya pun kejang-kejang dan meninggal dunia. Rupanya Danghyang Anala telah melepaskan
ilmu tenung untuk membunuh raja Hastina tersebut.
Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menjerit menangisi kematian suami mereka. Danghyang
Anala segera menyambar kedua wanita itu dan membawanya lari keluar istana.
Namun demikian, suara tangisan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sempat terdengar oleh
Bagawan Santanu. Ia pun berlari mengejar Danghyang Anala yang telah menculik kedua
menantunya itu. Danghyang Anala yang sudah sampai di luar istana segera menyerahkan Dewi
Ambika dan Dewi Ambalika kepada Prabu Dawaka untuk dinaikkan ke atas kereta, sedangkan
dirinya berbalik menghadang Bagawan Santanu.
Maka, terjadilah pertarungan antara Bagawan Santanu melawan Danghyang Anala. Melihat
kedua menantunya dibawa kabur Prabu Dawaka, Bagawan Santanu menjadi lengah sehingga
terkena senjata Danghyang Anala. Mantan raja Hastina itu pun tewas seketika menyusul putranya.

KEMATIAN DANGHYANG ANALA DAN PRABU DAWAKA


Raden Bisma mendengar keributan dan segera mendatangi tempat pertarungan. Ia terkejut
melihat ayahnya sudah tergeletak di tanah karena melawan seorang pendeta raksasa. Tanpa
banyak bertanya ia langsung menyerang Danghyang Anala. Terjadilah pertarungan di antara
mereka. Danghyang Anala terdesak menghadapi Raden Bisma yang jauh lebih sakti daripada
Bagawan Santanu. Pendeta raksasa itu pun memilih kabur melarikan diri menyusul Prabu Dawaka.
Sementara itu, kereta yang ditumpangi Prabu Dawaka dihadang Resi Abyasa dan para
panakawan yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Hastina. Melihat Dewi Ambika dan
Dewi Ambalika menjerit-jerit meminta tolong, Resi Abyasa segera melabrak raja raksasa itu.
Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kematian Prabu Dawaka dengan
tubuh terkapar di atas kereta.
Tidak lama kemudian datang pula Danghyang Anala yang dikejar Raden Bisma. Keduanya
kembali melanjutkan pertarungan. Kali ini Danghyang Anala tidak sempat kabur lagi. Pendeta
raksasa itu pun tewas terkapar di tanah terkena senjata Raden Bisma.

PATIH SUKSARA MENYATAKAN TAKLUK


Patih Suksara yang bertindak sebagai kusir kereta menyerahkan diri di hadapan Raden Bisma
dan Resi Abyasa. Ia memohon ampun dan mengaku hanyalah sebagai bawahan yang menjalankan
tugas. Raden Bisma pun mengampuni patih raksasa itu. Ia mempersilakan Patih Suksara pulang ke
Kerajaan Ekacakra dan menjadi raja di sana menggantikan Prabu Dawaka yang sudah tewas,
namun selamanya tidak boleh lagi mengganggu Kerajaan Hastina. Patih Suksara berterima kasih
dan bersumpah tidak akan pernah mengganggu Kerajaan Hastina lagi. Ia lalu mohon diri sambil
membawa jasad Prabu Dawaka dan Danghyang Anala.
Setelah patih raksasa itu pergi, Raden Bisma dan Resi Abyasa lalu membawa Dewi Ambika
dan Dewi Ambalika kembali ke istana Hastina.

RESI ABYASA MENJADI RAJA HASTINA


Suasana duka pun menyelubungi Kerajaan Hastina. Dewi Durgandini menangis meratapi
kematian suami dan putranya. Kini ia menyesali keserakahannya yang dulu melarang Raden Bisma
menjadi raja dan meminta hak atas takhta Hastina untuk diberikan kepada putra-putranya. Kini
kedua putranya telah meninggal. Prabu Citranggada telah tewas dibunuh Gandarwa Citranggada,
sedangkan Prabu Citrawirya meninggal bersama Bagawan Santanu dibunuh Danghyang Anala.
Setelah masa berkabung usai, diadakanlah perundingan untuk menentukan siapa yang harus
menjadi raja Hastina menggantikan Prabu Citrawirya. Dewi Durgandini yang merasa bersalah atas
keserakahan di masa lalu kini meminta Resi Bisma membatalkan sumpahnya supaya bisa menjadi
raja Hastina dan menikahi kedua janda Prabu Citrawirya. Dengan demikian, garis keturunan Prabu
Santanu tidak putus sampai di sini. Raden Bisma menolak hal itu. Bagaimanapun juga ia telah
bersumpah disaksikan bumi dan langit untuk tidak akan menjadi raja Hastina serta tidak akan
KITAB WAYANG PURWA

menikah seumur hidup. Baginya, melanggar sumpah adalah dosa besar dan jauh lebih menakutkan
daripada mati.
Raden Bisma lalu mengusulkan agar takhta Hastina dipegang Resi Abyasa sekaligus
menikahi kedua janda Prabu Citrawirya. Resi Abyasa keberatan karena dirinya adalah orang luar.
Namun, Raden Bisma tetap mendesaknya dengan berbagai alasan. Alasan pertama, Resi Abyasa
adalah putra kandung Dewi Durgandini, sedangkan dulu telah terjalin kesepakatan bahwa yang
berhak menjadi raja Hastina hanya keturunan Dewi Durgandini, bukan Raden Bisma. Saat itu tidak
dijelaskan apakah yang dimaksud dengan “keturunan Dewi Durgandini” itu hanya terbatas pada
hasil perkawinan dengan Prabu Santanu saja atau tidak. Karena tidak dibatasi, maka Resi Abyasa
juga berhak menjadi raja, karena dia adalah putra Dewi Durgandini meskipun dengan Resi Parasara.
Alasan yang kedua, selama ini Bagawan Santanu sudah menganggap Resi Abyasa seperti
anak sendiri, sehingga tidak ada salahnya jika Resi Abyasa menjadi raja menggantikan sang ayah.
Alasan ketiga, Resi Abyasa telah banyak berjasa kepada negara sehingga rakyat pasti tidak akan
keberatan jika ia menjadi pemimpin Kerajaan Hastina.
Demikianlah, terjadi perdebatan alot antara Raden Bisma dengan Resi Abyasa. Akhirnya di
antara mereka tercapai kata sepakat. Resi Abyasa bersedia menjadi raja, namun hanya bersifat
sementara saja. Kelak jika putra hasil perkawinannya dengan Dewi Ambika atau Dewi Ambalika
telah dewasa, maka ia akan mengundurkan diri kembali menjadi pendeta di Gunung Saptaarga.
Syarat yang kedua, Raden Bisma harus bersedia mendampinginya sebagai penasihat raja. Raden
Bisma pun menerima kedua syarat tersebut dengan senang hati.
Maka, pada hari yang dianggap baik dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Resi Abyasa
dengan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Upacara tersebut kemudian dilanjutkan dengan
pelantikan Resi Abyasa sebagai raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Kresna Dwipayana.
Sementara itu, Raden Bisma dilantik menjadi penasihat raja yang berkedudukan di Padepokan
Talkanda, bergelar Resiwara Bisma. Adapun jabatan kepala brahmana Kerajaan Hastina tetap
dipegang oleh Resi Jawalagni. Sementara itu, Patih Basusara yang sudah tua mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai menteri utama. Ia pun digantikan oleh punggawa yang paling cakap,
bernama Arya Jayayatna sebagai patih Hastina yang baru.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PANDU LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran putra-putra Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Kuru
(Dretarastra), Raden Pandu (Dewayana), dan Raden Widura (Yamawidura). Juga dikisahkan
tentang Prabu Cidamuka raja Srawantipura yang berniat menjadikan Raden Pandu sebagai
tumbal untuk meredakan wabah penyakit yang sedang melanda negerinya.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 28 Maret 2016
Heri Purwanto

Prabu Kresna Dwipayana

DEWI AMBIKA MELAHIRKAN BAYI TUNANETRA


Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina dihadap Resiwara Bisma dari Padepokan
Talkanda, serta para menteri dan punggawa, antara lain Resi Jawalagni dan Patih Jayayatna.
Mereka sedang membicarakan kedua janda mendiang Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan
Dewi Ambalika yang telah dinikahi Prabu Kresna Dwipayana dan kini masing-masing sedang
mengandung. Menurut perkiraan Sang Prabu, tidak lama lagi kedua permaisuri tersebut akan segera
melahirkan.
Benar juga, ketika mereka sedang membicarakan masalah tersebut, tiba-tiba muncul sang ibu
suri yaitu Dewi Durgandini yang mengabarkan bahwa Dewi Ambika sudah melahirkan. Prabu Kresna
Dwipayana segera membubarkan pertemuan dan bergegas masuk ke dalam kedaton bersama
Resiwara Bisma.
Sesampainya di dalam kedaton, Prabu Kresna Dwipayana segera menemui Dewi Ambika
yang sedang bersama bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi tersebut berkelamin laki-laki dan
setelah diperiksa ternyata bermata buta. Dewi Durgandini dan Resiwara Bisma prihatin
mendengarnya. Prabu Kresna Dwipayana pun menjelaskan bahwa kelahiran bayi tunanetra ini
sudah menjadi suratan takdir, karena Dewi Ambika ketika bersetubuh dengannya selalu
memejamkan mata.
Dewi Ambika malu dan menyesal mendengarnya. Ia berterus terang bahwa saat bersetubuh
dengan Prabu Kresna Dwipayana memang selalu memejamkan mata. Itu karena ia merasa sangat
takut melihat wujud Sang Prabu yang berkulit hitam legam seperti arang. Tak disangka, kini ia
mendapatkan balak yaitu melahirkan seorang putra yang tidak dapat melihat.
Demikianlah, Prabu Kresna Dwipayana ikhlas menerima keadaan putra sulungnya yang
tunanetra itu dan ia pun memberinya nama Raden Kuru.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI AMBALIKA MELAHIRKAN BAYI KEMBAR SIAM


Tidak lama kemudian para dayang melaporkan bahwa Dewi Ambalika juga melahirkan bayi
laki-laki yang berjumlah dua sekaligus. Prabu Kresna Dwipayana, Dewi Durgandini, dan Resiwara
Bisma segera memeriksa ke dalam kamar. Mereka terkejut melihat kedua bayi laki-laki itu ternyata
kembar siam, yaitu kaki kiri bayi yang satu menempel pada leher bayi yang lain.
Dewi Ambalika menangis memohon agar Prabu Kresna Dwipayana meruwat kedua bayi
tersebut agar terpisah satu sama lain. Prabu Kresna Dwipayana segera membaca mantra kemudian
mengiris bagian yang menempel pada kedua bayi tersebut dengan hati-hati. Keduanya kini terpisah,
namun menderita cacat untuk selamanya. Bayi yang pertama berleher tengleng atau selalu menoleh
dan tidak dapat menggerakkan lehernya, sedangkan bayi yang satunya berkaki pincang sebelah
kiri.
Prabu Kresna Dwipayana melihat kedua bayi tersebut berkulit kuning pucat. Ini merupakan
pengingat bahwa dulu ketika bersetubuh dengan dirinya, Dewi Ambalika ketakutan sampai pucat
sekujur tubuhnya. Itulah sebabnya ia mendapatkan balak, yaitu mendapatkan dua orang putra yang
berkulit kuning pucat.
Prabu Kresna Dwipayana pun menetapkan bayi yang berleher tengleng sebagai yang lebih
tua dan memberinya nama Raden Pandu, sedangkan bayi yang berkaki pincang ditetapkan sebagai
yang lebih muda, dan diberi nama Raden Widura.

PRABU SWALACALA MENJADI RAJA TUNGGULMALAYA


Sementara itu di Kerajaan Tunggulmalaya, Prabu Karditya baru saja meninggal dunia karena
sakit. Prabu Karditya ini adalah salah satu dari tujuh orang raja yang pernah menyerang Kerajaan
Hastina saat pemerintahan Prabu Citrawirya dulu. Dari ketujuh orang itu sebanyak lima orang tewas
dalam pertempuran, sedangkan sisanya yang dua orang menyerah kalah dan mendapat
pengampunan dari mendiang Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya. Kedua raja tersebut adalah
Prabu Sapwani dari Kerajaan Sindu Banakeling dan Prabu Karditya dari Kerajaan Tunggulmalaya.
Kedua raja taklukan itu telah bersumpah setia tidak akan lagi mengganggu Kerajaan Hastina.
Kini Prabu Karditya telah meninggal dunia karena sakit. Takhta Kerajaan Tunggulmalaya
kemudian diwarisi putra sulungnya yang bergelar Prabu Swalacala. Adapun yang menjadi patih
adalah putra kedua, yaitu Patih Wisudarya, dan yang menjadi panglima adalah putra ketiga, yaitu
Arya Pramuseta.
Setelah masa berkabung usai, Prabu Swalacala berniat pergi ke Kerajaan Hastina untuk
melaporkan perihal kematian ayahnya dan juga tentang pelantikan dirinya sebagai raja yang baru
kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma. Patih Wisudarya dan Arya Pramuseta ikut
menyertai.

PRABU CIDAMUKA HENDAK MENUMBALI NEGARANYA


Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Cidamuka yang memimpin Kerajaan Srawantipura.
Saat itu Kerajaan Srawantipura sedang dilanda wabah penyakit. Banyak penduduknya yang jatuh
sakit dan meninggal dunia dalam waktu singkat. Prabu Cidamuka yang merupakan pemuja Batara
Kala memutuskan untuk mengadakan sesaji demi mengatasi wabah tersebut. Batara Kala pun turun
dari kahyangan menerima sesaji untuknya. Ia lalu memberikan petunjuk agar Prabu Cidamuka
menyembelih putra kedua Prabu Kresna Dwipayana raja Hastina sebagai tumbal jika ingin
memadamkan wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Srawantipura. Adapun putra kedua
Prabu Kresna Dwipayana itu bernama Raden Pandu yang baru saja lahir ke dunia.
Setelah Batara Kala kembali ke kahyangan, Prabu Cidamuka segera menyampaikan hal itu
kepada Patih Aswanindya yang merupakan pamannya sendiri. Ia pun mengutus Sang Patih
berangkat ke Kerajaan Hastina dengan membawa sejumlah emas permata untuk ditukar dengan
Raden Pandu, putra kedua Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Jika pihak Hastina menolak
menyerahkan bayi itu, maka Patih Aswanindya harus merebutnya melalui peperangan.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Aswanindya mematuhi perintah rajanya. Ia lalu mohon pamit berangkat melaksanakan
tugas.

PATIH ASWANINDYA BERPERANG MELAWAN PRABU SWALACALA


Patih Aswanindya berserta pasukan Srawantipura berpapasan dengan rombongan Prabu
Swalacala yang juga sama-sama hendak menuju ke Kerajaan Hastina. Mereka saling bertanya ada
keperluan apa hendak menemui Prabu Kresna Dwipayana. Patih Aswanindya pun menjawab terus
terang bahwa ia diutus rajanya untuk membeli putra kedua raja Hastina yang bernama Raden Pandu
dengan emas permata. Rencananya Raden Pandu akan disembelih sebagai tumbal untuk
meredakan wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Srawantipura.
Prabu Swalacala merasa aneh dengan jawaban Patih Aswanindya. Tidak mungkin ada
ceritanya seorang bapak menyerahkan anaknya untuk disembelih orang lain sebagai tumbal,
meskipun ditukar dengan emas permata. Patih Aswanindya tidak peduli karena ia telah diberi
wewenang oleh rajanya untuk merebut Raden Pandu melalui peperangan.
Prabu Swalacala sebagai sekutu Kerajaan Hastina tidak terima atas hal ini. Ia pun menantang
Patih Aswanindya berperang melawan dirinya terlebih dulu sebelum berperang melawan Kerajaan
Hastina. Patih Aswanindya pun melayani tantangan tersebut. Maka, terjadilah pertempuran di antara
mereka. Hingga akhirnya, Patih Aswanindya dan Prabu Swalacala sama-sama gugur karena
keduanya memiliki kesaktian yang setara.
Patih Wisudarya dan Arya Pramuseta yang berhasil memukul mundur pasukan Srawantipura
terkejut dan sedih melihat kakak mereka tewas bersama musuh. Mereka lalu membagi tugas. Arya
Pramuseta kembali ke Kerajaan Tunggulmalaya dengan membawa jasad Prabu Swalacala,
sedangkan Patih Wisudarya melanjutkan perjalanan ke Hastina untuk melaporkan peristiwa ini
kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MELANTIK PRABU WISUDARYA


Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma di Kerajaan Hastina menerima kedatangan
Patih Wisudarya yang melaporkan tentang kematian Prabu Karditya (ayahnya), serta Prabu
Swalacala (kakaknya). Ia juga menceritakan tentang kemungkinan adanya serangan dari Kerajaan
Srawantipura yang ingin menjadikan Raden Pandu sebagai tumbal.
Prabu Kresna Dwipayana prihatin mendengarnya. Ia berterima kasih dan sangat terharu atas
pengorbanan Prabu Swalacala yang menjadi perisai bagi Kerajaan Hastina. Atas usul Resiwara
Bisma, Prabu Kresna Dwipayana pun mengangkat Patih Wisudarya sebagai raja Tunggulmalaya
yang baru, sedangkan kedudukannya sebagai patih hendaknya digantikan oleh Arya Pramuseta.

PRABU CIDAMUKA MENCULIK RADEN PANDU


Sementara itu di Kerajaan Srawantipura, Prabu Cidamuka sangat marah dan sedih
mendengar berita kematian Patih Aswanindya yang merupakan pamannya itu. Ia pun mengerahkan
seluruh pasukan Srawantipura untuk berangkat menggempur Kerajaan Hastina.
Di lain pihak, Kerajaan Hastina telah bersiaga menghadapi serangan tersebut berkat laporan
dari Patih Wisudarya. Maka, terjadilah perang besar di antara mereka. Dalam waktu singkat,
pasukan Hastina berhasil menghancurkan serangan dari Srawantipura itu.
Prabu Cidamuka membiarkan pasukannya ditumpas habis oleh pihak lawan, sedangkan
dirinya memutar dan menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan Hastina. Ia pun merebut Raden
Pandu yang sedang digendong Dewi Ambalika dan kemudian melarikan diri sekencang-
kencangnya.

PRABU CIDAMUKA DIHADANG JAKA BANDUWANGKA


Prabu Cidamuka berlari sambil menggendong bayi Raden Pandu meninggalkan Kerajaan
Hastina. Namun, di tengah jalan ia dihadang oleh seorang pemuda bernama Jaka Banduwangka
dari Desa Supa. Awalnya pemuda itu ingin pergi ke istana untuk mendaftar sebagai prajurit. Namun
KITAB WAYANG PURWA

ternyata, Kerajaan Hastina sedang berperang menghadapi serangan Srawantipura yang konon
kabarnya ingin merebut putra kedua Prabu Kresna Dwipayana yang baru saja lahir.
Melihat ada seorang raja menggendong bayi dengan terburu-buru, Jaka Banduwangka curiga
jangan-jangan dia adalah Prabu Cidamuka yang berhasil menculik Raden Pandu. Pemuda itu
segera menghadang dan berusaha merebut bayi tersebut. Maka terjadilah pertarungan di antara
mereka.
Prabu Cidamuka sangat berhati-hati dalam pertarungan kali ini karena ia tidak ingin bayi yang
diculiknya meninggal sebelum disembelih di Kerajaan Srawantipura. Sebaliknya, Jaka
Banduwangka juga tidak berani bertindak gegabah karena takut Raden Pandu terluka.
Pada saat itulah Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma datang mengejar Prabu
Cidamuka setelah mendapatkan laporan dari Dewi Ambalika. Karena merasa terdesak, Prabu
Cidamuka menjadi lengah dan bayi Raden Pandu berhasil direbut oleh Jaka Banduwangka.
Resiwara Bisma segera maju menyerang Prabu Cidamuka dan dalam waktu singkat raja
Srawantipura itu berhasil ditewaskan.

JAKA BANDUWANGKA MENJADI PUNGGAWA HASTINA


Prabu Kresna Dwipayana berterima kasih atas perjuangan Jaka Banduwangka dalam merebut
Raden Pandu dari tangan penculik. Ia pun menawarkan hadiah emas permata kepada pemuda itu.
Namun, Jaka Banduwangka menolak dengan sopan karena tujuannya meninggalkan Desa Supa
hanyalah ingin mengabdi sebagai prajurit di Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna Dwipayana terkesan mendengarnya. Ia pun menerima pengabdian Jaka
Banduwangka, bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai punggawa Kerajaan Hastina. Jaka
Banduwangka sangat berterima kasih atas anugerah ini. Maka, sejak saat itu ia pun berhak memakai
nama Arya Banduwangka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ABYASA GROGOL
Kisah ini menceritakan kematian Dewi Durgandini yang bertapa menebus dosa bersama Dewi
Ambika dan Dewi Ambalika. Kisah dilanjutkan dengan Prabu Kresna Dwipayana yang
membangun Hutan Tunggul sebagai tempat perburuan, serta bagaimana asal usul Arya Bargawa
dan Arya Bilawa menjadi punggawa Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 10 April 2016
Heri Purwanto

DEWI DURGANDINI BERMIMPI TENTANG PERANG BRATAYUDA


Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara
Bisma dari Padepokan Talkanda, serta para menteri dan punggawa, antara lain Resi Jawalagni,
Patih Jayayatna, dan Arya Banduwangka. Ketika mereka sedang membicarakan jalannya
pemerintahan, tiba-tiba datang sang ibu suri, yaitu Dewi Durgandini dalam keadaan gugup.
Dewi Durgandini bercerita bahwa tadi malam dirinya baru saja bermimpi buruk. Dalam
mimpinya itu terlihat adanya perang besar yang menewaskan banyak raja dan kesatria. Resiwara
Bisma tampak ikut serta dalam perang tersebut demi membela Kerajaan Hastina. Anehnya, Dewi
Durgandini juga melihat adiknya, yaitu Prabu Matsyapati raja Wirata, namun berada di pihak lain,
yaitu melawan pihak Resiwara Bisma.
Dewi Durgandini heran mengapa perang besar itu bisa terjadi dan mengapa Kerajaan Wirata
dan Hastina berhadap-hadapan sebagai musuh. Sebenarnya ia ingin bertanya secara pribadi
kepada Prabu Kresna Dwipayana setelah persidangan selesai. Namun, hatinya tidak sabar
menunggu sehingga ia pun memberanikan diri masuk ke aula persidangan untuk segera
menanyakan arti mimpi tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana segera mengheningkan cipta untuk meminta petunjuk atas mimpi
yang dialami ibunya itu. Ia kemudian membuka mata dan menjelaskan bahwa di masa depan
memang akan terjadi perang besar yang melibatkan banyak raja dan kesatria. Perang besar tersebut
dinamakan Bratayuda, yang merupakan perang antara dua pihak, yaitu keturunan Raden Kuru yang
disebut para Kurawa melawan keturunan Raden Pandu yang disebut para Pandawa, demi
memperebutkan Kerajaan Hastina.
Dewi Durgandini sangat terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka keserakahannya di masa
lalu akan menjadi bibit meletusnya perang besar di masa depan yang menewaskan banyak raja dan
kesatria. Andai saja dulu ia tidak serakah merebut hak atas takhta Kerajaan Hastina dari tangan
Resiwara Bisma (yang saat itu masih bernama Raden Dewabrata), tentu Raden Kuru dan Raden
Pandu tidak akan pernah lahir di dunia. Jika mereka tidak pernah lahir, maka keturunan mereka
tidak akan berperang untuk memperebutkan Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna Dwipayana menjelaskan kepada ibunya, bahwa perang besar tersebut sudah
menjadi ketetapan dewata. Setelah perang tersebut usai akan lahir sebuah zaman baru, tatanan
baru, dan lenyapnya sifat-sifat angkara murka dari muka bumi.
Namun, Dewi Durgandini tetap bersedih membayangkan itu. Resiwara Bisma pun berusaha
menghiburnya. Ia berjanji akan mendidik Raden Kuru dan Raden Pandu, juga Raden Widura, agar
mereka menjadi manusia-manusia berbudi luhur yang bisa membina keturunan masing-masing
sehingga tidak memiliki watak serakah dan berebut takhta Kerajaan Hastina.
Dewi Durgandini berterima kasih atas kesediaan Resiwara Bisma. Ia juga meminta maaf atas
keserakahannya di masa lalu yang ternyata menjadi bibit meletusnya perang besar Bratayuda di
masa depan itu. Namun demikian, Dewi Durgandini telah membulatkan tekad untuk pergi
meninggalkan Kerajaan Hastina. Ia berniat pergi bertapa ke Gunung Saptaarga untuk menebus
dosa-dosanya dengan cara bersamadi sampai mati.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma berusaha mencegah niat sang ibu suri, tetapi
gagal. Dewi Durgandini telah membulatkan tekadnya. Ia pun mohon pamit dan berangkat saat itu
juga.

DEWI AMBIKA DAN DEWI AMBALIKA IKUT PERGI BERTAPA


Kedua permaisuri Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika
mendengar berita bahwa sang ibu suri hendak berangkat ke Gunung Saptaarga untuk bertapa
sampai mati demi menebus dosa. Mereka berdua pun memutuskan untuk ikut serta mendampingi
Dewi Durgandini. Bagaimanapun juga ramalan tentang perang besar antara keturunan Raden Kuru
melawan keturunan Raden Pandu sangatlah mengerikan. Sebagai ibu mereka, Dewi Ambika dan
Dewi Ambalika merasa berdosa jika tidak berusaha mencegah perang tersebut. Karena perang
besar itu sudah menjadi ketetapan dewata, maka mereka berdua berniat ikut bertapa untuk meminta
agar dewata membatalkan terjadinya Perang Bratayuda.
Prabu Kresna Dwipayana berusaha mencegah kedua istrinya itu, bahwa tidak ada gunanya
bertapa mencegah terjadinya Perang Bratayuda, karena itu sudah menjadi suratan takdir yang tidak
bisa diganggu gugat. Namun, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sudah membulatkan tekad.
Keduanya bersumpah lebih baik mati daripada melihat keturunan mereka saling berperang.
Prabu Kresna Dwipayana menyadari bahwa kedua permaisuri tidak pernah mencintainya
dengan sepenuh hati. Itu sebabnya mereka tidak mau mendengarkan perkataannya. Dewi Ambika
dan Dewi Ambalika pun dipersilakan pergi jika memang ingin bertapa ke Gunung Saptaarga.
Namun, mereka harus lebih dulu memikirkan bagaimana pengasuhan Raden Kuru, Raden Pandu,
dan Raden Widura yang semuanya masih bayi.
Dewi Ambika memutuskan untuk menyerahkan pengasuhan Raden Kuru kepada pelayannya
yang bernama Ken Purici. Sementara itu, Dewi Ambalika menyerahkan Raden Pandu kepada Ken
Bila, serta Raden Widura kepada Ken Kesuya. Ketiga pelayan tersebut mematuhi dan menerima
tugas pengasuhan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Baik itu Ken Purici, Ken Bila, maupun
Ken Kesuya, semuanya adalah keturunan seorang brahmana, bernama Resi Nastapa.

DEWI DURGANDINI, DEWI AMBIKA, DAN DEWI AMBALIKA MENINGGAL DUNIA


Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna Dwipayana pun memimpin langsung pasukan Hastina
yang mengawal keberangkatan sang ibu suri beserta kedua permaisuri menuju Gunung Saptaarga.
Sesampainya di tempat tujuan, ketiga wanita itu langsung masuk ke sanggar pemujaan dan memulai
bertapa.
Prabu Kresna Dwipayana memutuskan untuk menunggui mereka bertiga sampai empat puluh
hari, baru kemudian kembali ke Kerajaan Hastina. Namun, ketika memasuki hari ketiga puluh, tiba-
tiba terdengar suara ledakan dari dalam sanggar pemujaan. Prabu Kresna Dwipayana segera
masuk ke dalam dan melihat Dewi Durgandini, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika telah tergeletak di
lantai tanpa bernapas lagi. Rupanya mereka bertiga telah meninggal dunia dalam pertapaan
tersebut.
Dewi Durgandini memang bertekad untuk bersamadi sampai mati demi menebus dosa-dosa
keserakahannya di masa lalu. Sementara itu, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika bertekad lebih baik
mati daripada melihat keturunan mereka saling berperang. Rupanya dewata telah mengabulkan apa
yang menjadi keinginan mereka tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana segera memimpin upacara pemakaman mereka bertiga. Setelah
masa berkabung usai, dengan perasaan sangat sedih ia pun memimpin rombongan kembali ke
Kerajaan Hastina.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MEMBANGUN HUTAN PERBURUAN


Prabu Kresna Dwipayana sangat berduka atas meninggalnya Dewi Durgandini, Dewi Ambika,
dan Dewi Ambalika. Ia pun memerintahkan untuk membangun sebuah sarana perburuan di Hutan
Tunggul sebagai tempat wisata melepaskan beban pikiran. Patih Jayayatna segera melaksanakan
perintah tersebut dengan dibantu Arya Banduwangka.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, Hutan Tunggul telah dibangun menjadi tempat perburuan. Prabu Kresna
Dwipayana sangat berkenan melihat hasil kerja Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka. Selama
beberapa hari ia menghabiskan waktu untuk bertamasya di hutan tersebut demi melepaskan beban
pikiran karena ditinggal mati sang ibu suri dan kedua permaisuri. Sejak saat itu Prabu Kresna
Dwipayana pun terkenal pula dengan julukan Sang Ratu Tunggul.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MERUWAT BAMBANG BARGAWA


Pada suatu hari ketika Prabu Kresna Dwipayana sedang berburu bersama Patih Jayayatna
dan Arya Banduwangka, tiba-tiba muncul seorang pendeta yang berlari-lari meminta perlindungan.
Pendeta itu mengaku bernama Resi Bargu yang dikejar-kejar seekor banteng berukuran besar.
Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka segera menghadang banteng tersebut. Terjadilah
perkelahian di antara mereka. Namun demikian, meskipun dikepung dari segala penjuru ternyata
tidak ada seorang pun yang mampu meringkus banteng besar tersebut.
Resi Bargu bercerita kepada Prabu Kresna Dwipayana bahwa banteng besar tersebut
sesungguhnya adalah putranya sendiri yang bernama Bambang Bargawa. Awal mulanya ia
berwujud manusia bertubuh gagah dan tinggi besar bagaikan Resi Ramabargawa (Batara
Ramaparasu) di zaman dulu. Karena kegagahan dan keperkasaan putranya itu, Resi Bargu menjadi
lupa diri dan memuji-muji Bambang Bargawa bagaikan seekor banteng perkasa. Sungguh ajaib,
ucapan Resi Bargu menjadi kenyataan. Seketika wujud Bambang Bargawa pun berubah dari
seorang pemuda gagah perkasa menjadi seekor banteng bertubuh besar.
Bambang Bargawa menjadi kalap dan mengamuk menghancurkan padepokan ayahnya. Resi
Bargu ketakutan dan melarikan diri ke Hutan Tunggul, di mana ia akhirnya bertemu dengan Prabu
Kresna Dwipayana saat ini.
Setelah mengetahui duduk perkaranya, Prabu Kresna Dwipayana segera mengheningkan
cipta lalu melepaskan senjata pengruwatan. Senjata tersebut mengenai tubuh si banteng besar dan
seketika mengubahnya kembali ke wujud Bambang Bargawa.
Resi Bargu sangat berterima kasih atas bantuan Prabu Kresna Dwipayana yang telah
mengembalikan wujud putranya seperti sediakala. Ia pun menyerahkan Bambang Bargawa agar
menjadi pelayan Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana sendiri
tertarik melihat wujud Bambang Bargawa yang tinggi besar dan menawarkan jabatan punggawa
kepada pemuda itu. Bambang Bargawa menurut dan menerima tawaran Sang Prabu. Maka, sejak
saat itu ia pun resmi menjadi punggawa Kerajaan Hastina, bergelar Arya Bargawa.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna Dwipayana pun mengajak Patih Jayayatna dan Arya
Banduwangka, serta Arya Bargawa pulang ke Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Bargu
mendapatkan sejumlah uang untuk biaya memperbaiki padepokannya yang telah rusak akibat
diamuk banteng besar penjelmaan putranya tadi.

BATU SAYARA JATUH DI ALUN ALUN KERAJAAN HASTINA


Sesampainya di Kerajaan Hastina, Prabu Kresna Dwipayana terkejut melihat ada sebongkah
batu besar di tengah-tengah alun alun. Resi Jawalagni menjelaskan bahwa ketika Sang Prabu pergi
berburu, tiba-tiba ada sebongkah batu meteor jatih dari angkasa. Batu tersebut menurut keterangan
para ahli logam merupakan jenis Batu Sayara yang sangat berat dan sulit dipindahkan.
Prabu Kresna Dwipayana lalu memerintahkan si punggawa baru, yaitu Arya Bargawa agar
memindahkan Batu Sayara tersebut. Arya Bargawa melangkah maju dan mengangkat batu berat itu
dengan mudah, kemudian melempar-lemparkannya ke udara. Melihat hal ini, Prabu Kresna
Dwipayana mendapat gagasan untuk mengadakan sayembara. Ia mengumumkan apabila ada
prajurit yang mampu mengangkat Batu Sayara seperti yang dilakukan Arya Bargawa, maka dia akan
dinaikkan pangkatnya menjadi punggawa.
Para prajurit pun berlomba-lomba mengangkat Batu Sayara namun tidak seorang pun yang
mampu melakukannya. Jangankan memindahkan batu berat tersebut seperti Arya Bargawa,
sedangkan mengangkatnya saja mereka tidak mampu.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU KRESNA DWIPAYANA MERUWAT JAKA BILAWA


Tersebutlah seorang cebol bernama Jaka Bilawa yang merupakan adik kandung Ken Bila
(dayang pengasuh Raden Pandu). Sehari-hari Jaka Bilawa bekerja sebagai tukang kuda di Kerajaan
Hastina. Mendengar ada sayembara tersebut, ia pun memberanikan diri untuk ikut mendaftar. Ken
Bila melarangnya pergi karena tidak mungkin adiknya yang cebol itu mampu mengangkat Batu
Sayara. Jika pun mampu, mana mungkin seorang cebol dilantik menjadi punggawa kerajaan.
Namun, Jaka Bilawa telah membulatkan tekad. Ia pun berlari untuk ikut mendaftar sebagai calon
punggawa.
Patih Jayayatna tertawa melihat wujud Jaka Bilawa yang cebol tapi ingin ikut mengangkat Batu
Sayara. Jaka Bilawa tersinggung dan berkata bahwa dirinya tidak hanya mampu mengangkat Batu
Sayara, tapi juga mampu melempar-lemparkannya seperti Arya Bargawa.
Jaka Bilawa lalu mempersilakan Arya Bargawa untuk melemparkan Batu Sayara ke arahnya.
Arya Bargawa tidak tega jika nanti batu berat tersebut melukai Jaka Bilawa. Namun, Jaka Bilawa
mengaku siap menerima segala akibatnya. Jika dirinya sampai terluka atau tewas tertimpa Batu
Sayara, maka keluarganya tidak akan menuntut Arya Bargawa.
Arya Bargawa menerima tantangan tersebut. Ia lalu mengangkat Batu Sayara dan
melemparkannya ke arah Jaka Bilawa. Sungguh ajaib, Jaka Bilawa yang bertubuh cebol ternyata
mampu menangkap Batu Sayara lalu melempar-lemparkannya ke udara seperti bermain bola.
Semua mata para hadirin yang memandang merasa kagum dan heran luar biasa.
Prabu Kresna Dwipayana senang melihatnya. Ia pun memutuskan untuk mengangkat Jaka
Bilawa sebagai punggawa. Setelah mengheningkan cipta, Prabu Kresna Dwipayana lalu
melepaskan senjata pengruwatan yang tepat mengenai tubuh Jaka Bilawa. Seketika tubuh Jaka
Bilawa pun berubah dari sosok cebol menjadi tinggi besar deperti Arya Bargawa.
Prabu Kresna Dwipayana pun mengumumkan bahwa mulai hari ini Jaka Bilawa resmi diangkat
menjadi punggawa Kerajaan Hastina, bergelar Arya Bilawa, yang berdampingan dengan Arya
Bargawa. Mereka berdua berada di bawah Arya Banduwangka yang menjadi senapati utama,
pemimpin angkatan perang Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ALAP-ALAPAN AMBALINI
Kisah ini menceritakan perkawinan putri bungsu Prabu Darmamuka, yaitu Dewi Ambalini
dengan Resi Jawalagni, brahmana Kerajaan Hastina. Juga dikisahkan pertemuan Dewi Krepi
dan Raden Krepa dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu Purunggaji. Kelak, tokoh Raden Krepa
tersebut akan menjadi brahmana Kerajaan Hastina dan menjadi guru pertama bagi para
Pandawa dan Kurawa sebelum mereka belajar kepada Resi Druna.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Oktober 2015
Heri Purwanto

Raden Krepa

PRABU SWARKA MELAMAR DEWI AMBALINI


Prabu Darmamuka di Kerajaan Giyantipura dihadap Patih Jayamuka beserta para menteri dan
punggawa. Mereka membicarakan keadaan putri bungsu Sang Prabu, yaitu Dewi Ambalini yang
saat ini sedang menderita sakit lumpuh. Dulu sewaktu Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi
Ambalika diboyong Resiwara Bisma ke Kerajaan Hastina, Dewi Ambalini masih kecil. Kini, ia telah
tumbuh dewasa menjadi seorang gadis yang cantik jelita seperti ketiga kakaknya itu. Namun sayang,
tiba-tiba saja Dewi Ambalini terserang penyakit lumpuh dan tidak dapat bangun dari tempat tidur.
Prabu Darmamuka sudah berusaha mencarikan segala obat untuk menyembuhkan putri
bungsunya itu, tetapi belum juga membuahkan hasil. Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang yang
mengaku bernama Patih Indradresta dari Kerajaan Awuawu, yang menyampaikan surat dari
rajanya, bernama Prabu Swarka. Surat itu berisi pinangan terhadap Dewi Ambalini yang hendak
dipersunting sebagai istri Prabu Swarka.
Setelah membaca surat tersebut, Prabu Darmamuka dengan tegas menolaknya. Ternyata
Prabu Darmamuka pernah mendengar berita bahwa Prabu Swarka memiliki kebiasaan buruk, yaitu
suka membunuh istrinya setelah empat puluh hari menikah. Entah sudah berapa banyak wanita
yang menjadi korban kekejaman raja Awuawu tersebut, hingga beritanya menyebar ke berbagai
negeri tetangga.
Karena penolakan ini, Patih Indradresta pun mengancam Kerajaan Giyantipura akan
dihancurkan oleh pasukan Awuawu dan Timpurusa yang telah bersiaga. Ia lalu undur diri untuk
melapor kepada Prabu Swarka yang kini menunggu di perkemahan.

PRABU SWARKA MENGGEMPUR KERAJAAN GIYANTIPURA


Prabu Swarka di perkemahan sedang dihadap keponakannya, yaitu Prabu Purunggaji dari
Kerajaan Timpurusa. Begitu Patih Indradresta datang dan menyampaikan laporan kegagalannya,
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Swarka pun marah dan segera memerintahkan pasukan Awuawu dan pasukan Timpurusa
untuk bersatu menggempur Kerajaan Giyantipura.
Di lain pihak, Prabu Darmamuka dan Patih Jayamuka beserta pasukan Giyantipura telah
bersiaga menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Sejak kematian Ditya
Wahmuka dan saudara-saudaranya di tangan Resiwara Bisma saat sayembara dulu, kini tiada lagi
yang dapat diandalkan oleh Prabu Darmamuka. Maka, dalam pertempuran tersebut pihak
Giyantipura pun terdesak kalah.
Prabu Darmamuka merasa tidak mampu lagi mempertahankan istana. Ia pun masuk ke dalam
istana untuk menggendong Dewi Ambalini kemudian meloloskan diri dengan mengendarai sebuah
kereta menuju Kerajaan Hastina.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MENERIMA PRABU DARMAMUKA


Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina dihadap Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi
Jawalagni, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hari itu Sang Prabu sedang
meresmikan sebuah tempat wisata bernama Paramuwana di dekat Hutan Tunggul.
Tidak lama kemudian tiba-tiba datang kereta yang dikawal sejumlah prajurit Giyantipura. Dari
kereta itu turunlah Prabu Darmamuka yang langsung disambut hangat oleh Prabu Kresna
Dwipayana. Hubungan mereka berdua sudah seperti saudara sepupu, karena ayah Prabu
Darmamuka (Prabu Sadamuka) adalah saudara sepersusuan ayah Prabu Kresna Dwipayana (Resi
Parasara). Hubungan mereka menjadi semakin akrab setelah kedua putri Prabu Darmamuka, yaitu
Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menjadi istri Prabu Kresna Dwipayana.
Prabu Darmamuka pun menceritakan tentang Kerajaan Giyantipura yang terpaksa
ditinggalkan karena diduduki musuh dari Kerajaan Awuawu dan Timpurusa, bernama Prabu Swarka
dan Prabu Purunggaji. Hal itu terjadi karena Prabu Darmamuka menolak lamaran Prabu Swarka
yang ingin memperistri Dewi Ambalini.
Prabu Darmamuka bermaksud menyerahkan Dewi Ambalini sebagai istri Prabu Kresna
Dwipayana yang baru, mengingat Dewi Ambika dan Dewi Ambalika telah meninggal dunia saat
bertapa di Gunung Saptaarga bersama Dewi Durgandini. Namun, Prabu Kresna Dwipayana
menolak tawaran itu. Ia meramalkan bahwa jodoh Dewi Ambalini bukan dirinya, tetapi Resi
Jawalagni, kepala brahmana Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna Dwipayana lalu memerintahkan Resi Jawalagni untuk mengobati penyakit
lumpuh yang diderita Dewi Ambalini. Resi Jawalagni segera melaksanakan perintah. Demikianlah,
karena memang sudah menjadi suratan takdir, Resi Jawalagni pun berhasil menyembuhkan Dewi
Ambalini sehingga dapat kembali berjalan seperti sediakala.

KEMATIAN PRABU SWARKA DAN MENYERAHNYA PRABU PURUNGGAJI


Beberapa hari kemudian, Kerajaan Hastina diserang gabungan pasukan Awuawu dan
Timpurusa yang dipimpin langsung oleh Prabu Swarka. Pertempuran sengit pun terjadi. Karena
pihak Hastina sudah bersiaga, maka pasukan musuh berhasil dikalahkan. Dalam pertempuran itu
Prabu Swarka tewas di tangan Resiwara Bisma, sedangkan Patih Indradresta tewas di tangan Arya
Banduwangka.
Sementara itu, Prabu Kresna Dwipayana berhasil mengalahkan Prabu Purunggaji. Tiba-tiba
muncul seorang dewa bernama Batara Janapada yang turun dari kahyangan dan meminta supaya
Prabu Purunggaji jangan dibunuh. Batara Janapada menjelaskan bahwa Prabu Purunggaji adalah
menantunya, yaitu suami dari putrinya yang bernama Dewi Janapadi. Dari perkawinan tersebut telah
lahir dua orang anak, yaitu Dewi Krepi dan Raden Krepa yang sejak kecil diasuh oleh Resiwara
Bisma.

PRABU PURUNGGAJI BERCERITA TENTANG RIWAYAT PRABU SWARKA


Setelah menjelaskan semuanya, Batara Janapada kembali ke kahyangan. Prabu Kresna
Dwipayana lalu menyerahkan Prabu Purunggaji kepada Prabu Darmamuka untuk dimintai
KITAB WAYANG PURWA

keterangan. Prabu Darmamuka pun menanyakan tentang awal mula mengapa Prabu Swarka gemar
membunuh setiap istrinya setelah empat puluh hari menikah.
Prabu Purunggaji pun bercerita bahwa ia dan pamannya itu sebenarnya masih keturunan
Batara Wisnu dari putranya yang bernama Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita. Putra
Prabu Sri Mahapunggung yang nomor empat bernama Raden Gajah Oya menjadi raja di negeri
Malawa, bergelar Prabu Oya. Kemudian Prabu Oya berputra Prabu Surata, sedangkan Prabu Surata
berputra Prabu Asrama.
Prabu Asrama menikah dengan Dewi Basuwati (kakak Prabu Basukiswara) dari Kerajaan
Wirata. Dari perkawinan itu lahirlah Prabu Pilama. Kemudian Prabu Pilama memiliki dua orang putra,
yaitu Prabu Parwa yang mewarisi Kerajaan Malawa, serta Prabu Swarka yang mendirikan Kerajaan
Awuawu. Prabu Parwa kemudian memiliki dua orang anak, bernama Prabu Paruwa yang
menggantikannya sebagai raja Malawa, serta Resi Saradwata yang menjadi pendeta kerajaan.
Prabu Paruwa gugur di tangan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura (kakak Prabu
Santanu raja Hastina) sedangkan Resi Saradwata menjadi tawanan. Kemudian Prabu Bahlika tewas
dalam pertempuran melawan Kerajaan Wirata. Resi Saradwata yang bebas dari penjara lalu
mendirikan Kerajaan Timpurusa karena Kerajaan Malawa telah rusak parah, dan menjadi raja
bergelar Prabu Purunggaji. Ia juga mengasuh putra mendiang Prabu Paruwa yang masih kecil,
bernama Raden Carya.
Mengenai Prabu Swarka yang suka membunuh istrinya, Prabu Purunggaji pun bercerita
bahwa pamannya itu pada mulanya memiliki seorang istri bernama Dewi Sundari. Pada suatu hari
Dewi Sundari diculik seorang wanita sakti buruk rupa bernama Endang Suyati dari Gunung Dawala.
Dewi Sundari yang sedang mengandung itu pun disembunyikan di alam siluman, sedangkan
Endang Suyati lalu menjelma menjadi Dewi Sundari palsu.
Pada suatu hari Prabu Swarka didatangi seorang bidadari bernama Batari Menaka yang
mengabarkan bahwa Dewi Sundari yang ada di istana adalah palsu, sedangkan yang asli
disembunyikan di alam siluman. Dewi Sundari yang asli dapat ditolong oleh Resi Swakuthasta dari
Padepokan Andongdadapan, namun kini ia meninggal setelah melahirkan bayi perempuan dan laki-
laki. Kedua bayi itu lalu diasuh Resi Swakuthasta, serta diberi nama Dewi Kesru dan Raden
Prahasana. Setelah mengabarkan demikian, Batari Menaka pun kembali ke kahyangan.
Prabu Swarka sangat marah dan langsung melabrak Dewi Sundari palsu (penjelmaan Endang
Suyati). Ia lalu membunuh wanita itu yang masih dalam wujud Dewi Sundari, sehingga para pelayan
istana yang menyaksikan mengira raja mereka telah membunuh istrinya sendiri.
Sebelum tewas, Endang Suyati sempat mengerahkan ilmu tenung sehingga Prabu Swarka
menderita sakit jiwa. Sejak peristiwa itu, sudah beberapa kali Prabu Swarka menikah dengan wanita
lain, namun setelah empat puluh hari tiba-tiba penyakit jiwanya kambuh dan ia pun membunuh
setiap istri barunya tersebut.

PRABU PURUNGGAJI BERTEMU PUTRA DAN PUTRINYA


Prabu Purunggaji mengakhiri ceritanya tentang riwayat Prabu Swarka. Prabu Kresna
Dwipayana kemudian teringat pada pertemuannya dengan Batara Janapada tadi, yang memberikan
keterangan bahwa Prabu Purunggaji adalah ayah dari Dewi Krepi dan Raden Krepa. Resiwara
Bisma sangat terkejut mendengarnya dan segera memerintahkan panakawan Petruk untuk
memanggil Dewi Krepi dan Raden Krepa di Padepokan Talkanda.
Prabu Purunggaji sangat gembira mendengar putra dan putrinya itu ternyata masih hidup dan
diasuh oleh Resiwara Bisma. Ia pun bercerita bahwa dahulu kala ketika masih muda dan bernama
Resi Saradwata, dirinya pernah bertapa dan diganggu seekor kuda sembrani betina. Karena kuda
betina tersebut tidak dapat diusir, Resi Saradwata terpaksa memanahnya. Sungguh ajaib, begitu
terkena panah tiba-tiba kuda sembrani betina itu berubah menjadi seorang bidadari cantik bernama
Batari Janapadi.
Awal mula Batari Janapadi berubah menjadi kuda sembrani adalah karena mencuri dan
menelan permata milik ayahnya (Batara Janapada) yang disebut Mustika Aswandari. Kini dirinya
KITAB WAYANG PURWA

telah kembali ke wujud semula dan ia pun rela menjadi pelayan Resi Saradwata. Resi Saradwata
sangat terkesan dan memutuskan untuk menikahi Batari Janapadi serta membawanya pulang ke
Kerajaan Malawa.
Sembilan bulan kemudian Batari Janapadi melahirkan dua orang bayi hasil pernikahannya
dengan Resi Saradwata, bersamaan dengan Kerajaan Malawa diserang Prabu Bahlika dari
Kerajaan Siwandapura. Prabu Paruwa tewas terbunuh, sedangkan Resi Saradwata tertangkap
musuh dan dimasukkan ke dalam penjara. Batari Janapadi kembali ke kahyangan, sedangkan
kedua bayinya dibawa lari oleh seorang pelayan bernama Ken Yoni.
Setelah Prabu Bahlika terbunuh di Kerajaan Wirata, Resi Saradwata bebas dari penjara dan
membangun negeri baru bernama Kerajaan Timpurusa sebagai pengganti Kerajaan Malawa yang
telah hancur. Ia pun menjadi raja bergelar Prabu Purunggaji.
Mendengar kisah tersebut, Resiwara Bisma ganti bercerita bahwa belasan tahun yang lalu
ayahnya, yaitu Bagawan Santanu telah menemukan anak laki-laki dan perempuan di tengah hutan
yang menangisi sesosok mayat wanita. Wanita tersebut tidak lain adalah Ken Yoni yang meninggal
dunia, sedangkan kedua anak kecil tersebut kemudian dipungut Bagawan Santanu serta diberi
nama Dewi Krepi dan Raden Krepa.
Dewi Krepi dan Raden Krepa kemudian diasuh oleh Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda
dan telah tumbuh menjadi remaja. Keduanya pun kini hadir pula setelah tadi dijemput oleh
panakawan Petruk yang diutus Resiwara Bisma.
Prabu Purunggaji sangat terharu bisa bertemu putra dan putrinya itu setelah berpisah dengan
mereka sejak bayi. Mereka pun berpelukan dalam suasana bahagia, disaksikan Prabu Darmamuka,
Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, Resi Jawalagni, dan para hadirin lainnya.

RESI JAWALAGNI MENIKAH DENGAN DEWI AMBALINI


Kerajaan Hastina kini telah aman kembali. Atas saran Prabu Kresna Dwipayana, Prabu
Darmamuka pun menjodohkan Dewi Ambalini dengan Resi Jawalagni yang telah berhasil
menyembuhkan penyakit putri bungsunya tersebut. Resi Jawalagni tidak berani menerima karena
usianya sudah tua, sehingga kurang pantas jika ia menikah dengan seorang gadis yang baru
menginjak dewasa. Namun, Dewi Ambalini ternyata menerima keputusan ayahnya. Ia bersedia
menikah dengan seorang brahmana tua yang telah menyembuhkan penyakitnya.
Prabu Kresna Dwipayana pun menyarankan agar Resi Jawalagni menerima perjodohan itu
karena mereka memang sudah ditakdirkan menjadi pasangan suami-istri. Resi Jawalagni tidak bisa
menolak lagi. Ia pun menerima keputusan Prabu Darmamuka. Maka, pada hari yang dianggap baik,
dilaksanakanlah upacara pernikahan antara dirinya dengan Dewi Ambalini, di mana usia mereka
terpaut sangat jauh.
Setelah upacara perkawinan berakhir, Prabu Darmamuka merasa bimbang karena lagi-lagi
harus berpisah dengan putrinya. Jika dulu Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika secara
sekaligus diboyong ke Kerajaan Hastina, apakah kini putri bungsunya juga harus demikian? Prabu
Darmamuka merasa keberatan apabila Dewi Ambalini juga menetap di Kerajaan Hastina bersama
Resi Jawalagni.
Prabu Kresna Dwipayana dapat memahami perasaan mertuanya. Ia pun mempersilakan Resi
Jawalagni untuk ikut tinggal di Kerajaan Giyantipura, sehingga Prabu Darmamuka tidak perlu
berpisah dengan Dewi Ambalini. Mengenai kedudukannya sebagai kepala brahmana Kerajaan
Hastina, Prabu Kresna Dwipayana pun menyarankan agar Resiwara Bisma sebagai penggantinya.
Resiwara Bisma dengan senang hati menerima keputusan Prabu Kresna Dwipayana tersebut.
Maka, setelah perkawinan itu, Resi Jawalagni ikut serta mendampingi istrinya pulang ke Kerajaan
Giyantipura bersama Prabu Darmamuka.

RADEN KREPA MENOLAK MENJADI RAJA TIMPURUSA


Prabu Kresna Dwipayana telah menyaksikan bahwa Prabu Purunggaji sebenarnya tidak jahat
dan ia hanya membantu pamannya ikut menyerang Kerajaan Hastina. Maka, raja Timpurusa itu pun
KITAB WAYANG PURWA

dibebaskan dan dipersilakan untuk pulang ke negerinya. Prabu Purunggaji yang awalnya musuh,
kini berubah menjadi sekutu Prabu Darmamuka dan Prabu Kresna Dwipayana.
Prabu Purunggaji berterima kasih dan ia pun mengajak Dewi Krepi dan Raden Krepa untuk
ikut serta tinggal di Kerajaan Timpurusa. Ia berniat menjadikan Raden Krepa sebagai pangeran
mahkota. Namun, Raden Krepa dengan rendah hati menolak niat baik sang ayah. Ia merasa sejak
kecil sudah menjadi warga Kerajaan Hastina dan ingin mengabdi kepada negeri tempat ia
dibesarkan ini.
Mengenai takhta Kerajaan Timpurusa, Raden Krepa mengusulkan agar diserahkan kepada
Raden Carya saja, selaku putra mendiang Prabu Paruwa (kakak Prabu Purunggaji). Prabu
Purunggaji menerima usulan tersebut. Ia pun berjanji akan mengizinkan Raden Krepa jika kelak
setelah dewasa ingin mengabdi di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma
menyatakan siap menerima jika kelak Raden Krepa datang kembali.
Demikianlah, setelah dirasa cukup, Prabu Purunggaji pun mohon pamit kembali ke Timpurusa
dengan membawa serta Dewi Krepi dan Raden Krepa. Sementara itu, Prabu Darmamuka juga
kembali ke Kerajaan Giyantipura bersama Dewi Ambalini dan Resi Jawalagni.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

GENDARI - SUMAN LAHIR


Kisah ini menceritakan lahirnya Dewi Gendari yang kelak menjadi istri Adipati Dretarastra dan
melahirkan Seratus Kurawa, serta kelahiran Raden Suman yang kelak bergelar Patih Sangkuni,
yaitu tokoh licik yang mengadu domba para Kurawa dan Pandawa sehingga meletus Perang
Bratayuda.
Kisah ini saya susun berdasarkan informasi dari kawan-kawan pecinta wayang di media sosial,
yang kemudian saya olah dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa dan Serat Pustakaraja
Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryosaputro.
Kediri, 18 November 2015
Heri Purwanto

SILSILAH PRABU KISWARA DAN ARYA KISTAWA


Kerajaan Gandaradesa yang dulu didirikan oleh Prabu Basukiswara raja Wirata, pada awalnya
dipimpin oleh Prabu Maneriya (putra Resi Manonbawa, atau cucu Prabu Parikenan). Setelah Prabu
Maneriya meninggal, ia digantikan putranya yang bernama Prabu Mandara. Kemudian Prabu
Mandara digantikan putranya yang bernama Prabu Mandararya. Karena Prabu Mandararya tidak
memiliki anak laki-laki, maka ketika ia meninggal takhta Gandaradesa pun diwarisi menantunya yang
bergelar Prabu Kiswara (suami Dewi Mandarawati).
Prabu Kiswara ini sesungguhnya masih keturunan Batara Wisnu. Ia adalah putra sulung Resi
Swakuthasta dari Padepokan Andongdadapan. Resi Swakuthasta adalah putra dari pasangan Resi
Kistira dan Batari Ganggastini. Adapun Resi Kistira adalah putra Resi Sakra (yaitu sepupu sekaligus
murid Resi Manumanasa, pendiri Padepokan Saptaarga). Resi Sakra adalah putra Prabu Srikala
(raja Purwacarita). Prabu Srikala adalah putra Prabu Srimahawan, sedangkan Prabu Srimahawan
adalah putra Prabu Sri Mahapunggung, atau cucu Batara Wisnu.
Pada mulanya Prabu Mandararya raja Gandaradesa berguru kepada Resi Swakuthasta di
Padepokan Andongdadapan. Hubungan mereka menjadi lebih erat setelah putri Prabu Mandararya,
yaitu Dewi Mandarawati dinikahkan dengan Bambang Kiswara, putra sulung Resi Swakuthasta.
Karena Prabu Mandararya tidak memiliki anak laki-laki, maka Bambang Kiswara sekaligus
ditetapkan sebagai ahli waris Kerajaan Gandaradesa.
Adapun putra bungsu Resi Swakuthasta yang bernama Bambang Kistawa juga ikut mengabdi
ke Kerajaan Gandaradesa sebagai punggawa, bergelar Arya Kistawa. Selain itu, Resi Swakuthasta
juga memiliki dua orang anak asuh bernama Dewi Kesru dan Raden Prahasana yang ditemukannya
sekitar dua puluh tahun silam. Pada saat itu Resi Swakuthasta menolong seorang wanita hamil
bernama Dewi Sundari yang disembunyikan di alam siluman oleh musuhnya. Dewi Sundari ini tidak
KITAB WAYANG PURWA

lain adalah istri Prabu Swarka raja Awuawu yang diculik wanita sakti buruk rupa bernama Endang
Suyati.
Setelah dibebaskan oleh Resi Swakuthasta dan dikembalikan ke alam nyata, Dewi Sundari
pun melahirkan bayi perempuan dan laki-laki sekaligus, namun ia sendiri meninggal dunia karena
pendarahan. Resi Swakuthasta lalu mengasuh kedua bayi itu dan memberi mereka nama Dewi
Kesru dan Raden Prahasana.
Kini kedua anak asuh itu telah tumbuh dewasa. Dewi Kesru pun dinikahkan dengan Arya
Kistawa, putra bungsu Resi Swakuthasta, sedangkan Raden Prahasana ikut pula mengabdi di
Kerajaan Gandaradesa bersama kakak iparnya tersebut.

KELAHIRAN RADEN GENDARA DAN DEWI GENDARI


Pada suatu hari Prabu Kiswara di Kerajaan Gandaradesa dihadap Patih Mandasrawa, Arya
Kistawa, dan Arya Prahasana, serta para punggawa lainnya. Arya Kistawa melaporkan bahwa
istrinya, yaitu Dewi Kesru baru saja melahirkan bayi laki-laki dan perempuan, dan ia memohon
kepada sang kakak supaya memberikan nama kepada mereka. Prabu Kiswara sangat bahagia
mendengarnya dan memberi nama untuk kedua keponakannya itu, Raden Gendara dan Dewi
Gendari. Makna dari nama tersebut adalah “putra dan putri yang dilahirkan di Kerajaan
Gandaradesa”.
Ketika Prabu Kiswara hendak membubarkan pertemuan untuk menengok dua keponakannya
yang baru lahir, tiba-tiba muncul sesosok makhluk halus yang mengaku bernama Gandarwa Sutibar,
utusan Prabu Siswandakala dari Kerajaan Selamangleng. Kedatangan Gandarwa Sutibar adalah
untuk menyampaikan surat lamaran dari rajanya yang ingin menikahi Dewi Kesru, istri Arya Kistawa.
Arya Kistawa sangat marah dan mengatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan istrinya
kepada Gandarwa Sutibar. Ia pun menantang Gandarwa Sutibar supaya melangkahi mayatnya
terlebih dahulu jika ingin merebut Dewi Kesru. Gandarwa Sutibar menerima tantangan tersebut dan
kemudian undur diri menunggu Arya Kistawa di luar istana.
Prabu Kiswara berpesan agar Arya Kistawa berhati-hati menghadapi Gandarwa Sutibar yang
berasal dari golongan makhluk halus tersebut. Patih Mandasrawa dan Arya Prahasana pun
diperintahkan untuk menyiagakan pasukan Gandaradesa demi membantu Arya Kistawa.
Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Kiswara lalu masuk ke dalam istana di mana sang
permaisuri Dewi Mandarawati telah menunggu. Sudah bertahun-tahun mereka menikah namun
belum juga memiliki anak, sehingga kelahiran Raden Gendara dan Dewi Gendari ini membuat
mereka ikut bahagia. Bahkan, Prabu Kiswara berniat mengambil Raden Gendara sebagai anak
angkat.

GANDARWA SUTIBAR MENCULIK DEWI KESRU


Sementara itu, Gandarwa Sutibar telah kembali ke pasukannya yang menunggu di luar istana.
Tidak lama kemudian Arya Kistawa dan Patih Mandasrawa datang dengan diiringi pasukan
Gandaradesa. Pertempuran pun terjadi di antara mereka demi menjawab surat lamaran dari Prabu
Siswandakala tadi.
Gandarwa Sutibar melihat prajuritnya banyak yang tewas di tangan Arya Kistawa dan
pasukannya. Menyaksikan pihaknya terdesak, Gandarwa Sutibar pun menghilang lenyap dari
pandangan. Ia lalu masuk ke dalam kaputren dan menculik Dewi Kesru yang sedang beristirahat.
Prabu Kiswara dan Dewi Mandarawati yang masing-masing sedang menggendong bayi
Raden Gendara dan Dewi Gendari sangat terkejut melihat Dewi Kesru tiba-tiba lenyap dari
pandangan. Arya Kistawa yang telah memukul mundur pasukan musuh pun ikut terkejut begitu
mendengar laporan. Ia segera mencari ke seluruh pelosok istana tetapi tidak juga menemukan
keberadaan istrinya.
Prabu Kiswara menasihati adiknya untuk tetap tenang. Ia menyarankan agar Arya Kistawa
meminta petunjuk tentang hilangnya Dewi Kesru kepada Resi Abyasa yang kini telah menjadi raja
KITAB WAYANG PURWA

Hastina, bergelar Prabu Kresna Dwipayana. Arya Kistawa menurut dan segera berangkat
meninggalkan Kerajaan Gandaradesa.

ARYA KISTAWA MENDAPAT BANTUAN GANDARWARAJA SWALA


Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri
Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Tiba-tiba
datang Arya Kistawa yang memohon untuk dibantu mengatasi permasalahannya. Berdasarkan
silsilah Resi Manumanasa dan Resi Sakra, maka Prabu Kresna Dwipayana pun memanggil “kakak”
kepada Arya Kistawa. Mendengar berita penculikan Dewi Kesru tersebut, Prabu Kresna Dwipayana
merasa prihatin. Ia lalu mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk dari dewata bahwa Dewi
Kesru hilang karena diculik Gandarwa Sutibar.
Karena yang menculik adalah bangsa gandarwa, maka Prabu Kresna Dwipayana segera
bersiul mengundang sahabat ayahnya, yaitu Gandarwaraja Swala (ayah kandung panakawan
Petruk). Raja makhluk halus itu seketika datang, siap melaksanakan tugas. Prabu Kresna
Dwipayana pun meminta tolong kepada Gandarwaraja Swala untuk membantu Arya Kistawa
menemukan istrinya yang diculik Gandarwa Sutibar.
Gandarwaraja Swala menjelaskan bahwa Gandarwa Sutibar adalah bekas anak buahnya
yang berkhianat dan kini mengabdi kepada Prabu Siswandakala, raja raksasa dari Kerajaan
Selamangleng. Gandarwaraja Swala pun bersedia membantu Arya Kistawa, sekaligus untuk
memberikan hukuman kepada Gandarwa Sutibar. Keduanya lalu mohon pamit berangkat. Prabu
Kresna Dwipayana memerintahkan panakawan Petruk dan Bagong untuk ikut bersama mereka. Ia
sendiri mengajak Resiwara Bisma beserta Kyai Semar dan Nala Gareng pergi mengunjungi Prabu
Kiswara di Kerajaan Gandaradesa.

GANDARWA SUTIBAR MEMERKOSA DEWI KESRU


Sementara itu, Gandarwa Sutibar sedang menyekap Dewi Kesru di dalam Hutan Tikbrasara.
Pada mulanya, ia berniat menghadapkan Dewi Kesru kepada Prabu Siswandakala yang ingin sekali
menikahinya. Akan tetapi, begitu menyaksikan kecantikan istri Arya Kistawa tersebut, Gandarwa
Sutibar menjadi terpikat dan ingin memilikinya untuk diri sendiri, atau istilahnya “melik nggendong
lali”.
Melihat keadaan Dewi Kesru yang masih lemah karena baru saja melahirkan dua bayi
sekaligus, Gandarwa Sutibar tidak kekurangan akal. Ia pun mengerahkan ilmu sihirnya untuk
menyembuhkan perempuan itu sehingga menjadi sehat seperti sediakala. Gandarwa Sutibar lalu
meminta Dewi Kesru untuk menjadi istrinya. Dewi Kesru menolak dengan tegas. Karena
kesehatannya sudah pulih, ia pun meronta dan berusaha melarikan diri dari sekapan Gandarwa
Sutibar.
Gandarwa Sutibar marah dan hasratnya semakin memuncak. Ia pun mengejar Dewi Kesru
dan berhasil menangkapnya, lalu memerkosa wanita itu demi melampiaskan nafsu birahinya.

GANDARWARAJA SWALA MEMBUNUH GANDARWA SUTIBAR


Gandarwaraja Swala dan Arya Kistawa telah sampai di Hutan Tikbrasara. Mereka sangat
marah melihat ulah Gandarwa Sutibar. Tanpa banyak bicara, Gandarwaraja Swala langsung
menghajar bekas anak buahnya itu dan terjadilah pertarungan di antara mereka.
Setelah bertarung cukup lama, Gandarwaraja Swala akhirnya berhasil membunuh Gandarwa
Sutibar. Ia lalu bersama Arya Kistawa membawa Dewi Kesru pulang ke Kerajaan Gandaradesa.

DEWI KESRU MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI


Arya Kistawa, Dewi Kesru, dan Gandarwaraja Swala telah tiba di Kerajaan Gandaradesa. Di
hadapan Prabu Kiswara dan anggota keluarga lainnya, Dewi Kesru berterus terang bahwa dirinya
baru saja diperkosa oleh Gandarwa Sutibar. Ia merasa sangat sedih dan berniat bunuh diri. Namun,
Arya Kistawa mencegahnya karena menganggap apa yang telah terjadi adalah suratan takdir di luar
kehendak manusia.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kiswara membenarkan ucapan adiknya. Namun demikian, ia tidak rela jika Dewi Kesru
sampai mengandung anak Gandarwa Sutibar hasil pemerkosaan tersebut. Prabu Kiswara pun
meminta tolong kepada Gandarwaraja Swala untuk memeriksa rahim adik iparnya itu dan
mengeluarkan benih yang tertanam akibat ulah Gandarwa Sutibar, tanpa menyakiti Dewi Kesru.
Gandarwaraja Swala segera maju untuk memenuhi permintaan tersebut.
Sementara itu, arwah penasaran Resi Dwapara sedang melayang-layang di atas Kerajaan
Gandaradesa. Dahulu kala, Resi Dwapara tewas di tangan sepupunya sendiri, yaitu Resi Satrukem
(kakek buyut Prabu Kresna Dwipayana) saat ia menyerang Gunung Saptaarga. Arwahnya pun
penasaran dan bertekad ingin membalas dendam dengan cara menghancurkan keturunan Resi
Satrukem. Atas petunjuk Batara Kala, arwah Resi Dwapara harus menitis ke dalam rahim Dewi
Kesru jika ingin mewujudkan keinginan tersebut.
Maka, begitu sampai di Kerajaan Gandaradesa, arwah Resi Dwapara segera masuk ke dalam
rahim Dewi Kesru. Di sisi lain, Gandarwaraja Swala yang sedang mengerahkan kesaktiannya tidak
menyadari kehadiran arwah penasaran tersebut. Ia sendiri sibuk berusaha mengeluarkan benih
yang ditanam Gandarwa Sutibar. Akan tetapi, benih dalam rahim Dewi Kesru itu kini dilindungi oleh
arwah Resi Dwapara. Perpaduan kesaktian dari kedua makhluk halus tersebut membuat si janin
bukannya gugur keluar, melainkan justru berkembang makin lama makin besar. Arwah Resi
Dwapara kemudian bersatu jiwa raga dengan janin tersebut yang kini siap dilahirkan.
Sungguh ajaib, kandungan Dewi Kesru telah matang hanya dalam waktu sehari dan kini ia
pun melahirkan seorang bayi laki-laki.

KEMATIAN PRABU KISWARA


Pemandangan ajaib itu membuat heran semua yang menyaksikannya. Prabu Kiswara tidak
peduli dan ia berniat membunuh bayi laki-laki anak gandarwa tersebut. Namun, Arya Kistawa
mencegah kakaknya karena tidak tega melihat wajah polos si bayi. Entah mengapa, Arya Kistawa
merasa kasihan terhadap bayi itu dan ingin merawatnya sebagai anak sendiri.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma dari Kerajaan
Hastina. Prabu Kiswara menyambut kedatangan mereka dan menceritakan keanehan yang dialami
adik iparnya. Prabu Kresna Dwipayana mendapatkan firasat bahwa bayi laki-laki yang baru lahir ini
akan menjadi sumber kekacauan di masa depan. Namun, itu semua sudah menjadi kehendak Yang
Mahakuasa sebagai sarana untuk membersihkan bumi dari angkara murka. Itu sebabnya, bayi laki-
laki ini tidak ditakdirkan untuk mati sekarang. Prabu Kresna Dwipayana pun tunduk pada suratan
takdir dan ia hanya bisa berusaha menyabarkan kemarahan Prabu Kiswara.
Pada saat itulah datang Patih Mandasrawa yang melaporkan bahwa raja raksasa Prabu
Siswandakala dari Kerajaan Selamangleng telah menyerbu Kerajaan Gandaradesa karena
lamarannya ditolak. Prabu Kiswara yang masih dibakar amarah langung maju ke medan perang
untuk menyambut datangnya musuh. Karena perasaannya sedang bingung, ia menjadi kurang
waspada sehingga lengah dan menemui ajal di tangan Prabu Siswandakala dalam pertempuran
tersebut.
Melihat sang tuan rumah terbunuh, Resiwara Bisma tidak bisa tinggal diam begitu saja. Ia pun
terjun ke medan perang menghadapi musuh. Dalam pertempuran itu, ia berhasil menewaskan Prabu
Siswandakala dan menghancurkan pasukan Selamangleng.

ARYA KISTAWA MENJADI RAJA GANDARADESA


Kerajaan Gandaradesa kini berduka karena kehilangan rajanya. Setelah masa berkabung
usai, Prabu Kresna Dwipayana menyarankan agar Dewi Mandarawati menggantikan suaminya
menjadi raja. Namun, Dewi Mandarawati merasa tidak sanggup dan menyerahkan takhta
Gandaradesa kepada adik iparnya, yaitu Arya Kistawa. Ia sendiri merasa sudah cukup bahagia jika
dapat melaksanakan keinginan mendiang Prabu Kiswara, yaitu mengambil Raden Gendara sebagai
anak angkat.
Arya Kistawa merasa keberatan menjadi raja karena dirinya bukan asli orang Gandaradesa,
tetapi pendatang dari Andongdadapan. Namun, karena Dewi Mandarawati tetap memaksa, akhirnya
KITAB WAYANG PURWA

ia pun bersedia dilantik sebagai raja yang baru. Sebagai ungkapan terima kasih kepada
Gandarwaraja Swala yang telah membantunya menemukan kembali Dewi Kesru, maka Arya
Kistawa pun memakai gelar yang mirip dengannya, yaitu Prabu Suwala.
Resiwara Bisma masih prihatin atas musibah yang telah terjadi. Ia pun berharap agar kelak
Prabu Suwala dan Prabu Kresna Dwipayana dapat berbesan supaya hubungan persaudaraan
antara kedua negara dapat menjadi lebih erat. Semoga kelak setelah dewasa, Dewi Gendari bisa
menikah dengan salah satu putra Kerajaan Hastina, entah itu Raden Kuru, Raden Pandu, ataupun
Raden Widura. Prabu Suwala merasa bersyukur jika hal itu bisa menjadi kenyataan.
Sementara itu, Prabu Kresna Dwipayana sedang merenung membayangkan bahwa bayi laki-
laki yang dilahirkan Dewi Kesru kelak akan menjadi sumber kekacauan, sebagaimana firasat yang
ia terima. Ia pun berharap Batara Wisnu juga terlahir sebagai manusia untuk menangkal pengaruh
buruk bayi laki-laki ini. Untuk itu, Prabu Kresna Dwipayana mengusulkan agar sebaiknya bayi laki-
laki tersebut diberi nama Raden Suman.
Resiwara Bisma berbisik apakah Suman itu singkatan dari “nafsu siluman”, yaitu sebagai
pengingat bahwa si bayi laki-laki adalah hasil kejahatan Gandarwa Sutibar? Prabu Kresna
Dwipayana menjawab bahwa Suman adalah nama lain Batara Wisnu. Dengan demikian, apabila
nama Raden Suman dipanggil, maka itu sama saja dengan mengharap kehadiran Batara Wisnu,
sang pemelihara ketertiban dunia agar segera lahir ke dunia.
Prabu Suwala menerima saran Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Ia pun memberi nama
Raden Suman kepada bayi laki-laki yang dilahirkan istrinya. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna
Dwipayana dan Resiwara Bisma mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina disertai para
panakawan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PANDU SRAYA
Kisah ini menceritakan tentang kepahlawanan masa kecil ayah para Pandawa, yaitu
Raden Pandu yang menjadi jago Kahyangan Suralaya menumpas Prabu Nagapaya dari
Kerajaan Guabarong. Pertempuran ini menjadi cikal-bakal permusuhan turun-temurun
antara keluarga kedua pihak.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang saya olah dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 06 Desember 2015
Heri Purwanto

KAHYANGAN SURALAYA DISERBU MUSUH DARI GUABARONG


Di Kahyangan Suralaya, Batara Indra menerima kunjungan Batara Guru dari
Kahyangan Jonggringsalaka dan mempersilakannya duduk di Bale Paparyawarna, dengan
dihadap oleh segenap para dewa. Batara Narada juga ikut hadir menyertai kedatangan
Batara Guru. Mereka membicarakan keadaan Pulau Jawa yang kini aman tenteram, di
mana tiada lagi kerajaan yang berperang untuk tujuan saling menaklukkan. Hanya saja, ada
sejumlah kerajaan kecil di tanah seberang yang sering mengganggu kedamaian Pulau
Jawa.
Tidak lama kemudian datanglah seorang raksasa bernama Patih Danupaya dari
Kerajaan Guabarong yang menyampaikan surat dari rajanya, bernama Prabu Nagapaya.
Surat itu berisi lamaran Prabu Nagapaya yang ingin memperistri salah satu bidadari
unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Warsiki.
Batara Indra selaku tuan rumah secara tegas langsung menolak lamaran tersebut,
bahwa kaum raksasa tidak berhak menginginkan istri bidadari, kecuali memiliki jasa besar
terhadap kahyangan. Patih Danupaya tersinggung dan mengancam bahwa pasukan
raksasa dari Kerajaan Guabarong telah bersiaga untuk menggempur Kahyangan Suralaya
dan merebut Batari Warsiki secara paksa. Batara Indra pun mempersilakan Patih Danupaya
menunggu di halaman Repatkepanasan jika ingin menantang para dewa berperang.
Patih Danupaya segera undur diri kembali ke pasukannya. Batara Indra mohon pamit
pula kepada Batara Guru untuk keluar menghadapi tantangan dari Kerajaan Guabarong
tersebut.

PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN PARA RAKSASA


Patih Danupaya adalah menteri utama Kerajaan Guabarong sekaligus adik kandung
Prabu Nagapaya. Dalam menjalankan tugas melamar Batari Warsiki, ia mendapat
kewenangan penuh dari kakaknya. Maka, begitu kembali ke perkemahan di kaki Gunung
Jamurdipa, di mana panakawan Kyai Togog dan Bilung beserta pasukan raksasa
Guabarong telah menunggu, ia langsung memberikan aba-aba untuk menggempur
Kahyangan Suralaya.
Di lain pihak, Batara Indra dan pasukan Dorandara sudah bersiaga menyambut
serangan mereka. Pertempuran sengit pun terjadi di Repatkepanasan. Batara Indra dibantu
putra-putranya, yaitu Batara Citranggada, Batara Citrarata, Batara Citrasena, dan Batara
Arjunawangsa menghadapi gempuran para raksasa itu. Sungguh tak disangka, Patih
Danupaya ternyata memiliki kesaktian tinggi dan mampu memukul mundur para dewa.
Menyadari pihaknya terdesak, Batara Indra segera menarik mundur pasukan sehingga
masuk kembali ke dalam tembok Kahyangan Suralaya dan menutup rapat-rapat gerbang
Selamatangkep.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Indra lalu melapor kepada Batara Guru tentang kekalahannya. Baru melawan
Patih Danupaya saja sudah terdesak, apalagi jika menghadapi Prabu Nagapaya, entah
bagaimana hasilnya. Batara Guru mengheningkan cipta sejenak, kemudian mengutus
Batara Narada pergi ke Kerajaan Hastina menjemput putra kedua Prabu Kresna
Dwipayana, yaitu Raden Pandu supaya dijadikan sebagai jago kahyangan. Batara Indra
merasa heran, mana mungkin seorang anak kecil berumur tujuh tahun dapat menumpas
Prabu Nagapaya dan Patih Danupaya? Namun, karena Batara Guru sudah meramalkan
demikian, maka ia pun berusaha meyakinkan diri.
Batara Narada segera berangkat meninggalkan Kahyangan Suralaya menuju
Kerajaan Hastina untuk melaksanakan tugas tersebut.

RESIWARA BISMA MENJADI GURU BAGI ANAK-ANAK PRABU KRESNA


DWIPAYANA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Kresna Dwipayana sedang memimpin pertemuan yang
dihadiri Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya
Bilawa. Hadir pula Raden Krepa dari Kerajaan Timpurusa yang sesuai ikrarnya, ingin
mengabdi di Kerajaan Hastina. Sejak kecil Raden Krepa bersama Dewi Krepi dipungut
Bagawan Santanu dan diserahkan kepada Resiwara Bisma, sehingga ia pun menganggap
dirinya sebagai warga Kerajaan Hastina, meskipun ayah kandungnya adalah pemimpin
Kerajaan Timpurusa.
Hari itu Prabu Kresna Dwipayana sedang membicarakan ketiga putranya, yaitu Raden
Kuru, Raden Pandu, dan Raden Widura yang telah berusia tujuh tahun. Ia merasa sudah
saatnya ketiga putranya itu mendapatkan pendidikan, baik itu ilmu kenegaraan maupun ilmu
keprajuritan. Maka, Prabu Kresna Dwipayana pun berniat meninggalkan takhta untuk
sementara waktu demi mendidik ketiga pangeran kecil tersebut.
Resiwara Bisma tidak setuju apabila Prabu Kresna Dwipayana yang harus menangani
sendiri pendidikan ketiga putranya. Bagaimanapun juga Prabu Kresna Dwipayana adalah
raja yang harus memimpin jalannya pemerintahan. Mengenai masalah pendidikan,
Resiwara Bisma bersedia menjadi guru bagi ketiga pangeran kecil sesuai janjinya kepada
mendiang Dewi Durgandini dulu. Untuk itu, ia pun memohon izin untuk membawa ketiga
pangeran tersebut tinggal bersama dirinya di Padepokan Talkanda agar pikiran mereka
lebih terpusat dalam menjalani pendidikan.
Prabu Kresna Dwipayana lalu bertanya siapa nantinya yang akan menjadi kepala
pendeta Kerajaan Hastina apabila Resiwara Bisma memusatkan pikiran untuk mendidik
Raden Kuru, Raden Pandu, dan Raden Widura. Resiwara Bisma mengusulkan supaya
Raden Krepa saja yang ditunjuk untuk menggantikan dirinya. Sejak kecil Raden Krepa
tinggal di Padepokan Talkanda dan mendapat banyak pendidikan agama dari Resiwara
Bisma. Maka, meskipun usianya masih muda namun pengetahuan Raden Krepa terhadap
isi kitab suci dan segala macam tata cara upacara keagamaan sudah sangat mendalam.
Prabu Kresna Dwipayana memercayai ucapan Resiwara Bisma. Ia pun setuju
mengangkat Raden Krepa menjadi kepala brahmana Kerajaan Hastina, dan berhak
memakai gelar Resi Krepa.
Selain itu, Prabu Kresna Dwipayana juga memberikan nama baru untuk ketiga
putranya yang mulai memasuki dunia pendidikan. Raden Kuru diberi nama baru Raden
Dretarastra. Raden Pandu diberi nama baru Raden Dewayana. Sementara itu, Raden
Widura diberi nama baru Raden Yamawidura.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN PANDU DIBAWA BATARA NARADA KE KAHYANGAN


Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada menemui Prabu Kresna Dwipayana
untuk menyampaikan pesan Batara Guru agar meminjam Raden Pandu sebagai jago
kahyangan.
Batara Narada menjelaskan bahwa Kahyangan Suralaya saat ini sedang diserang
pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong di bawah pimpinan Patih Danupaya, yang marah
karena lamaran raja mereka, yaitu Prabu Nagapaya ditolak Batara Indra. Adapun Prabu
Nagapaya adalah keturunan Bagawan Danu di zaman kuno.
Prabu Kresna Dwipayana merasa bimbang melepas Raden Pandu untuk dibawa
Batara Narada sebagai jago kahyangan. Resiwara Bisma pun menawarkan dirinya saja
yang menjadi jago, bukan keponakannya yang masih kecil itu. Namun, Batara Narada
menjelaskan bahwa yang diramalkan mampu mengalahkan Prabu Nagapaya dan Patih
Danupaya adalah Raden Pandu. Meskipun masih kecil, Raden Pandu memiliki bakat
kesaktian alamiah pada dirinya. Lain halnya dengan Resiwara Bisma yang jauh lebih tua
dan lebih berpengalaman, namun kalau tidak ditakdirkan mampu mengalahkan Prabu
Nagapaya juga tidak bisa dijadikan sebagai jago kahyangan.
Prabu Kresna Dwipayana merenung teringat para leluhurnya yang banyak menjadi
jago kahyangan, antara lain Prabu Parikenan, Resi Manumanasa, dan Batara Sakri. Setelah
menimbang-nimbang, Prabu Kresna Dwipayana tidak lagi merasa ragu untuk melepaskan
Raden Pandu pergi, tetapi justru merasa bangga jika putranya dipercaya dapat menumpas
musuh para dewa.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Prabu Kresna Dwipayana, Batara Narada
segera membawa Raden Pandu berangkat menuju Kahyangan Suralaya. Resiwara Bisma
yang penasaran sekaligus tidak tega membiarkan keponakannya pergi tanpa pendamping
segera ikut menyusul bersama para panakawan.

RADEN PANDU MENGALAHKAN PRABU NAGAPAYA


Batara Narada telah sampai di Kahyangan Suralaya dan segera menghadapkan
Raden Pandu kepada Batara Guru dan Batara Indra. Tidak lama kemudian datang pula
Resiwara Bisma beserta para panakawan. Batara Guru lalu memerintahkan Batara
Ramayadi (pembuat senjata kahyangan) untuk memberikan pusaka sebagai bekal Raden
Pandu dalam menghadapi musuh. Batara Ramayadi pun memberikan sebatang panah
bernama Mustikajamus.
Setelah menerima pusaka tersebut, Batara Guru lalu memerintahkan Batara Bayu
untuk mengawal kepergian Raden Pandu menghadapi para raksasa dari Guabarong.
Sementara itu, Prabu Nagapaya raja Guabarong merasa tidak sabar menunggu Patih
Danupaya yang tidak kunjung kembali dengan memboyong Batari Warsiki. Ia pun menyusul
ke perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa sambil menggendong putranya yang masih kecil,
bernama Raden Nagagumbang.
Patih Danupaya menyambut kedatangan kakaknya itu dengan penuh rasa malu,
karena belum berhasil menunaikan tugasnya. Prabu Nagapaya lalu mengajak Patih
Danupaya bersama-sama menggempur Kahyangan Suralaya. Mereka pun berangkat dan
kemudian melihat Batara Bayu menghadang di jalan sambil menggendong seorang anak
kecil.
Batara Bayu menjelaskan bahwa anak kecil yang digendongnya adalah Raden Pandu,
putra raja Hastina. Anak kecil inilah yang akan menjadi jago dewa untuk menumpas Prabu
Nagapaya dan pasukannya.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Nagapaya tersinggung merasa disepelekan. Ia pun menyerang Batara Bayu


dan terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Prabu Nagapaya lalu mengubah
wujudnya menjadi naga raksasa dan menerjang Batara Bayu. Ketika Prabu Nagapaya
menyemburkan bisa panas, Batara Bayu menyodorkan tubuh Raden Pandu. Sungguh ajaib,
Raden Pandu tidak terluka sama sekali oleh bisa panas tersebut.
Prabu Nagapaya tidak percaya. Ia lalu menyembur salah seorang prajuritnya yang
seketika langsung tewas dengan kulit melepuh. Kembali ia menyembur Raden Pandu
namun anak kecil itu sama sekali tidak terluka. Prabu Nagapaya mencoba semburan ketiga
namun tetap saja tidak mempan pada diri Raden Pandu.
Batara Bayu mengatakan bahwa Prabu Nagapaya sudah tiga kali menyerang Raden
Pandu, maka sekarang giliran Raden Pandu yang menyerang Prabu Nagapaya. Prabu
Nagapaya mempersilakan. Raden Pandu lalu melemparkan Panah Mustikajamus ke arah
lawan. Panah pusaka tersebut langsung menancap di kepala Prabu Nagapaya hingga
membuatnya tewas seketika.
Melihat rajanya terbunuh, Patih Danupaya ketakutan dan segera menggendong
Raden Nagagumbang pergi meninggalkan Kahyangan Suralaya.

RADEN PANDU MENDAPAT ANUGERAH DEWATA


Batara Guru menyambut kemenangan Raden Pandu dan memberinya anugerah
berupa minyak ajaib bernama Lenga Tala yang jika diusapkan ke sekujur tubuh dapat
membuat kulit menjadi kebal terhadap segala jenis senjata. Sementara itu, Batara Indra
juga memberikan anugerah berupa nama Dewanata kepada Raden Pandu. Gelar
Dewanata ini memiliki makna yang sama dengan gelar Surapati yang dipakai oleh Batara
Indra. “Sura” artinya sama dengan “dewa”, sedangkan “pati” artinya sama dengan “nata”,
yaitu “pemimpin”.
Batara Guru lalu berpesan kepada Resiwara Bisma untuk mendidik Raden Pandu
dengan sebaik-baiknya. Adapun Raden Pandu ini pada dasarnya memiliki bakat kesaktian
alamiah sejak lahir, namun belum terarah dan belum bisa mengendalikannya. Tentu saja ini
menjadi tugas bagi Resiwara Bisma selaku guru Raden Pandu.
Resiwara Bisma berterima kasih, kemudian mohon pamit kepada para dewa
meninggalkan Kahyangan Suralaya bersama Raden Pandu dan para panakawan, untuk
kemudian kembali ke Kerajaan Hastina.

PATIH DANUPAYA MENYERANG KERAJAAN HASTINA


Resiwara Bisma dan rombongan telah tiba di Kerajaan Hastina. Mereka disambut
Prabu Kresna Dwipayana dengan penuh sukacita. Para menteri dan punggawa pun memuji-
muji kehebatan Raden Pandu yang masih kecil namun memiliki bakat kesaktian terpendam.
Beberapa hari kemudian, datanglah pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong yang
dipimpin Patih Danupaya menyerang Kerajaan Hastina. Pertempuran sengit pun terjadi.
Sekali lagi Raden Pandu menunjukkan kehebatannya. Ia melepaskan panah Mustikajamus
yang melesat menembus dada Patih Danupaya. Patih Danupaya pun tewas seketika dan
pasukannya dapat dipukul mundur oleh pihak Hastina.
Kerajaan Hastina kini aman kembali. Prabu Kresna Dwipayana dengan bangga
melepaskan kepergian ketiga putranya, yaitu Raden Kuru Dretarastra, Raden Pandu
Dewayana, dan Raden Yamawidura untuk memulai pendidikan di Padepokan Talkanda, di
bawah asuhan Resiwara Bisma.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

PANDU NYIREP PAGEBLUG


Kisah ini menceritakan ketiga putra Prabu Kresna Dwipayana telah dewasa dan
menamatkan pelajaran dari Resiwara Bisma, di mana putra kedua yaitu Raden Pandu
kemudian dimintai tolong untuk membasmi wabah penyakit yang melanda Kerajaan
Sriwedari dan juga Kerajaan Singgela. Kisah ini berisi pesan moral tentang pentingnya
mempelajari ilmu kerohanian agar tidak tersesat setelah meninggal dunia kelak.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 11 Desember 2015
Heri Purwanto

KETIGA PANGERAN HASTINA MENAMATKAN PENDIDIKAN


Sudah dua belas tahun lamanya Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda mendidik
ketiga putra Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Dretarastra, Raden Pandu Dewayana,
dan Raden Yamawidura. Ketiganya diajari ilmu tata negara dan keprajuritan sebagaimana
yang dulu pernah ia peroleh dari Batara Wrehaspati dan Batara Ramaparasu.
Kini ketiga pangeran itu telah berusia sembilan belas tahun dan menamatkan semua
pelajaran. Resiwara Bisma lalu memerintahkan mereka agar bertapa di puncak Gunung
Saptaarga (tempat leluhur mereka berasal), untuk meminta anugerah dewata sebagai
penyempurna ilmu masing-masing. Ketiganya pun mohon pamit dan berangkat
melaksanakan perintah dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong.
Setelah empat puluh hari bertapa, Raden Dretarastra, Raden Pandu, dan Raden
Yamawidura didatangi Batara Guru, Batari Durga, dan Batara Narada. Mereka pun bangun
dari tapa dan dipersilakan untuk meminta anugerah sesuai yang diinginkan masing-masing.
Raden Dretarastra yang tuna netra meminta diberi kekuatan tubuh melebihi rata-rata
manusia biasa. Batari Durga pun menganugerahkan Aji Leburgeni yang membuat Raden
Dretarastra mampu meremukkan benda apa saja dengan kedua tangannya.
Sementara itu, Raden Pandu meminta diberi anugerah ilmu kesaktian untuk
melindungi Kerajaan Hastina. Batara Guru pun memberikan Aji Brajadenta dan Aji
Brajamusti yang masing-masing ditempatkan pada lengan kanan dan kirinya. Yang terakhir,
Raden Yamawidura meminta diberi kepandaian pikir dan kebijaksanaan. Maka, Batara
Narada pun menganugerahkan Aji Kawidagdan kepada putra bungsu Prabu Kresna
Dwipayana tersebut.
Setelah dirasa cukup, Batara Guru, Batari Durga, dan Batara Narada kembali ke
kahyangan. Resiwara Bisma kemudian datang dan memberikan ucapan selamat kepada
ketiga keponakannya tersebut. Ia lalu mengantar mereka pulang ke Kerajaan Hastina untuk
menghadap sang ayah di sana.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MENERIMA KUNJUNGAN PRABU DASABAHU


Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina sedang dihadap Patih Jayayatna, Resi
Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Tidak lama kemudian
datanglah Resiwara Bisma dan ketiga pangeran. Sungguh bangga dan bahagia Prabu
Kresna Dwipayana melihat ketiga putranya telah tumbuh dewasa dan menamatkan segala
pelajaran yang diberikan oleh Resiwara Bisma, serta mendapatkan anugerah dewata
sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
KITAB WAYANG PURWA

Belum puas Prabu Kresna Dwipayana melepas rindu dengan ketiga putranya, tiba-tiba
muncul seorang raja bernama Prabu Dasabahu dari Kerajaan Sriwedari, yang mengaku
masih sepupu jauh Prabu Kresna Dwipayana. Prabu Dasabahu menjelaskan bahwa Prabu
Kresna Dwipayana adalah putra Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara adalah putra dari
pasangan Batara Sakri dan Dewi Sati. Dewi Sati memiliki adik bernama Prabu Partana, dan
mereka berdua adalah putra-putri Prabu Partawijaya dari Kerajaan Gujulaha atau
Tabelasuket. Setelah ayahnya meninggal, Prabu Partana mendirikan Kerajaan Sriwedari
(bekas taman sari Kerajaan Mahespati milik Prabu Arjunasasrabahu). Kemudian Prabu
Partana digantikan putranya yang bernama Prabu Partayadnya, yang merupakan ayah dari
Prabu Dasabahu tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana gembira mengetahui bahwa Prabu Dasabahu yang ada di
hadapannya kini ternyata masih saudara sepupu tingkat dua dengannya. Setelah hubungan
mereka lebih akrab, Prabu Dasabahu pun menjelaskan maksud kedatangannya adalah
ingin meminta tolong kepada Prabu Kresna Dwipayana untuk memadamkan wabah
penyakit yang kini melanda Kerajaan Sriwedari. Menurut petunjuk dewata yang ia peroleh,
wabah tersebut berasal dari gangguan makhluk halus yang hanya bisa dipadamkan jika
dipasangi tumbal. Adapun orang yang harus memasang tumbal adalah putra kedua raja
Hastina yang bernama Raden Pandu Dewayana.
Prabu Kresna Dwipayana ragu-ragu apakah mungkin putra keduanya mampu
memadamkan wabah penyakit di Kerajaan Sriwedari tersebut. Resiwara Bisma berusaha
meyakinkannya bahwa Raden Pandu memiliki bakat alamiah sejak lahir, dan ia melihat
sendiri bagaimana keponakannya itu saat berusia tujuh tahun mampu menumpas Prabu
Nagapaya raja Guabarong yang menyerang Kahyangan Suralaya. Prabu Kresna
Dwipayana menjawab bahwa keberhasilan Raden Pandu di Kahyangan Suralaya dulu
adalah berkat perlindungan dewata. Resiwara Bisma pun membalas, jika nanti Raden
Pandu diizinkan berangkat ke Kerajaan Sriwedari juga tetap mendapatkan perlindungan
dewa, yaitu Batara Ismaya yang berwujud Kyai Semar.
Prabu Kresna Dwipayana menyadari kekeliruannya yang terlalu mementingkan kasih
sayang pribadi sehingga meragukan petunjuk dewata yang diterima Prabu Dasabahu. Ia
pun mengizinkan Raden Pandu ikut Prabu Dasabahu pergi, tentu saja dengan diiringi para
panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Pandu menerima perintah tersebut dengan senang hati. Ia lalu berangkat
bersama Prabu Dasabahu menuju Kerajaan Sriwedari.

RADEN PANDU MEMASANG TUMBAL DI SRIWEDARI


Prabu Dasabahu, Raden Pandu, dan para panakawan telah tiba di Kerajaan Sriwedari.
Mereka heran melihat keadaan negeri itu yang kini sunyi senyap dengan penduduk tinggal
sedikit. Patih Jayakusuma menyambut kepulangan rajanya dan menjelaskan bahwa selama
Prabu Dasabahu pergi ke Kerajaan Hastina, semakin banyak penduduk Sriwedari yang
meninggal terkena wabah penyakit, sedangkan mereka yang masih hidup pergi mengungsi
ke negara tetangga.
Prabu Dasabahu semakin prihatin melihat keadaan negerinya. Tak lupa ia juga
berterima kasih kepada Patih Jayakusuma yang tetap setia menjaga Kerajaan Sriwedari
selama ia pergi mencari pertolongan ke negeri Hastina.
Prabu Dasabahu lalu meminta pendapat kepada Kyai Semar tentang bagaimana
caranya meredakan wabah penyakit tersebut. Kyai Semar pun meminta daftar tempat-
tempat paling angker di segenap penjuru Kerajaan Sriwedari. Patih Jayakusuma segera
menyiapkan daftar tersebut dan menyerahkannya kepada Kyai Semar. Mereka lalu
KITAB WAYANG PURWA

berangkat bersama-sama mendatangi tempat-tempat angker tersebut. Di sepanjang


perjalanan, Kyai Semar mengajari Raden Pandu bagaimana cara memasang tumbal
beserta mantra yang harus diucapkan.
Sesampainya di tempat-tempat angker tersebut, Raden Pandu segera bekerja sesuai
petunjuk yang ia terima dari Kyai Semar. Tempat terakhir yang mereka datangi adalah
pemakaman luas bernama Setragopaya. Begitu tumbal selesai dipasang di situ tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut. Rupanya kaum makhluk halus merasa kepanasan dan mereka
menjerit-jerit minta tolong. Tidak lama kemudian muncul pula sebuah istana emas di dalam
lingkungan pemakaman tersebut lengkap dengan penduduknya.

ISTRI PRABU DASABAHU MENJADI RATU MAKHLUK HALUS


Rombongan Prabu Dasabahu segera mendekati istana gaib tersebut. Melihat
kedatangan mereka, para makhluk halus pun bubar berlarian, kecuali seorang perempuan
yang tetap di tempatnya sambil mengeluh kepanasan. Prabu Dasabahu mengenali roh
perempuan tersebut bernama Ken Hyasi, yang semasa hidupnya bekerja di istana Sriwedari
sebagai pelayan istrinya. Adapun istri Prabu Dasabahu bernama Dewi Panitra juga sudah
meninggal beberapa bulan yang lalu, bahkan sebelum meninggalnya Ken Hyasi.
Begitu ditanyai Prabu Dasabahu, Ken Hyasi menjelaskan bahwa dirinya kini mengabdi
kepada roh Dewi Panitra yang telah menjadi ratu makhluk halus dan mendirikan kerajaan
gaib di pemakaman Setragopaya. Adapun wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan
Sriwedari adalah perbuatan Dewi Panitra yang ingin membunuh penduduk dan menjadikan
arwah mereka sebagai bala tentara Kerajaan Setragopaya.
Prabu Dasabahu prihatin mendengar berita itu. Ia sadar istrinya semasa hidup
memang kurang peduli pada urusan kerohanian dan lebih suka menuruti nafsu keduniawian
belaka. Prabu Dasabahu menyesal dulu terlalu memanjakan istrinya yang suka berbuat
seenaknya sehingga kini setelah meninggal, arwahnya tersesat dan tidak dapat memasuki
alam baka yang semestinya.

RADEN PANDU MENUMPAS PASUKAN MAKHLUK HALUS


Tidak lama kemudian muncul arwah Dewi Panitra bersama pasukannya menyerbu
rombongan Prabu Dasabahu. Prabu Dasabahu meminta kepada istrinya itu supaya
menghentikan segala wabah penyakit yang melanda Kerajaan Sriwedari. Sebaliknya, Dewi
Panitra justru ingin membunuh Prabu Dasabahu supaya arwah mereka dapat berkumpul
lagi dan berpasangan di alam gaib. Usai berkata demikian, ia lalu memerintahkan pasukan
makhluk halus yang dipimpin Patih Praswa dan senapati Arya Sanggrisma supaya
menyerang Prabu Dasabahu.
Raden Pandu dan Patih Jayakusuma segera maju menghadapi serangan tersebut.
Terjadilah pertempuran di antara mereka. Pada puncaknya, Raden Pandu mengerahkan Aji
Pengabaran yang pernah ia pelajari dari Resiwara Bisma untuk memukul mundur pasukan
makhluk halus tersebut.
Ketika matahari terbit, pasukan makhluk halus telah mengalami kekalahan dan banyak
yang musnah. Kini yang tersisa dari mereka hanya tinggal arwah Patih Praswa dan Arya
Sanggrisma yang keduanya menyatakan tunduk kepada Raden Pandu, sedangkan roh
Dewi Panitra melarikan diri. Tiba-tiba muncul roh seorang kakek tua dari arah lain, bernama
Resi Sangki yang memohon supaya Patih Praswa dan Arya Sanggrisma dibebaskan,
karena mereka berdua adalah putranya.
Resi Sangki mengaku datang dari alam baka yang sejati untuk membebaskan kedua
putranya dari pengaruh sesat Dewi Panitra. Ia berniat membawa arwah Patih Praswa dan
KITAB WAYANG PURWA

Arya Sanggrisma untuk memasuki alam roh yang semestinya. Sebagai tebusan, Resi
Sangki memberikan pusaka gaib kepada Raden Pandu berupa Kantong Arumba dan
Minyak Pranawa. Raden Pandu pun bersedia membebaskan Patih Praswa dan Arya
Sanggrisma. Keduanya lalu pergi bersama-sama Resi Sangki meninggalkan kerajaan gaib
Setragopaya menuju alam keabadian.

RADEN PANDU MEMBANTU KESULITAN KERAJAAN SINGGELA


Wabah penyakit yang melanda Kerajaan Sriwedari kini telah reda. Penduduk yang
tersisa berangsur-angsur mendapatkan kesembuhan, sedangkan yang mengungsi ke
negara tetangga juga banyak yang kembali menempati rumah mereka. Prabu Dasabahu
sangat berterima kasih kepada Raden Pandu dan para panakawan, terutama Kyai Semar
atas segala bantuan yang mereka berikan.
Tiba-tiba datang adik ipar Prabu Dasabahu, yaitu saudara kandung mendiang Dewi
Panitra yang bernama Prabu Palguna, raja Singgela. Prabu Palguna mengeluh bahwa
negerinya kini sering diserang berbagai macam hewan gaib yang sulit sekali ditumpas.
Sungguh kebetulan Raden Pandu belum pulang ke Kerajaan Hastina. Mendengar berita
tersebut, ia pun mengajak para panakawan untuk ikut membantu kesulitan yang dialami
Kerajaan Singgela. Prabu Palguna sangat senang mendengarnya. Mereka lalu bersama-
sama berlayar menuju Kerajaan Singgela yang terletak di Pulau Sailan. Prabu Dasabahu
juga ikut pergi menyertai.
Sesampainya di Kerajaan Singgela, Raden Pandu segera bertindak menghadapi
hewan-hewan gaib yang sering menyerang penduduk itu. Ia pun mengerahkan Aji
Pengabaran membuat hewan-hewan tersebut musnah dan berubah wujud menjadi roh
orang-orang yang telah mati. Salah satu di antara mereka adalah Bagawan Amisana,
mertua Prabu Palguna sendiri.
Bagawan Amisana memimpin para arwah tersebut berterima kasih atas bantuan
Raden Pandu yang membebaskan diri mereka dari penderitaan. Dulu semasa hidup,
mereka adalah orang-orang yang senang memakai susuk, yaitu menanam semacam benda
di dalam tubuh untuk tujuan tertentu. Ada yang memakai susuk kecantikan, ada yang
memakai susuk keperkasaan, ada pula yang memakai susuk kewibawaan. Namun
sayangnya, pemakaian susuk ini ternyata menghalangi mereka setelah meninggal dunia,
yaitu ketika hendak memasuki alam baka. Akibatnya, mereka menjadi arwah penasaran
yang bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Kyai Semar menjelaskan barangsiapa memakai susuk hendaknya melepas benda itu
sebelum meninggal. Jika si pemakai terlanjur meninggal tanpa sempat melepaskannya,
maka pihak keluarga yang harus melepaskan benda itu saat memandikan jenazah, antara
lain dengan menggunakan sarana daun kelor. Akan tetapi, yang lebih baik adalah
menghindari pemakaian susuk dan menggantinya dengan memupuk rasa percaya diri serta
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna
mendengar penuturan Kyai Semar dengan seksama untuk nanti mereka sampaikan kepada
rakyat negeri masing-masing.
Arwah Bagawan Amisana dan para pengikutnya sekali lagi berterima kasih, kemudian
mohon pamit memasuki alam baka. Mereka pun meninggalkan benda-benda susuk yang
mereka gunakan semasa hidup untuk diserahkan kepada Raden Pandu. Ada yang berupa
batu permata, ada pula yang berupa logam mulia ataupun besi baja. Raden Pandu
menerima benda-benda tersebut untuk dijadikan kenang-kenangan, bukan untuk digunakan
sebagai susuk seperti yang telah mereka lakukan semasa hidup.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN PANDU TERTARIK MELIHAT KEINDAHAN TAMAN SOKA


Prabu Palguna berterima kasih atas bantuan Raden Pandu yang telah mengembalikan
ketenteraman di Kerajaan Singgela. Raden Pandu sendiri terkagum-kagum melihat
keindahan istana Singgela. Prabu Palguna menjelaskan bahwa di Pulau Sailan ini dulunya
terdapat Kerajaan Alengka yang jauh lebih indah daripada Kerajaan Singgela. Setelah
Prabu Rahwana raja Alengka gugur di tangan Prabu Sri Rama (titisan Batara Wisnu), takhta
pun diduduki adiknya yang bernama Prabu Wibisana, yang kemudian memindahkan ibu
kota ke Singgela. Setelah beberapa tahun memimpin Kerajaan Singgela, Prabu Wibisana
turun takhta menjadi pendeta di Gunung Cindramanik, dan ia pun digantikan putranya yang
bernama Prabu Bisawarna. Kemudian Prabu Bisawarna digantikan putranya yang bernama
Prabu Bisaka. Adapun Prabu Bisaka adalah ayah dari Prabu Palguna yang kemudian
menggantikannya, serta ayah dari Dewi Panitra istri Prabu Dasabahu.
Mendengar cerita itu, Raden Pandu menjadi tertarik ingin melihat seperti apa sisa-sisa
keindahan Kerajaan Alengka. Prabu Palguna pun mengantarkannya melihat-lihat ke sana.
Istana Alengka sudah lama tidak ditempati namun tetap terjaga keindahannya, terutama
Taman Soka yang dulu digunakan Prabu Rahwana untuk menyekap Rekyanwara Sinta, istri
Sri Rama yang diculiknya.
Raden Pandu ingin sekali membangun taman sari di Kerajaan Hastina yang sama
indahnya dengan Taman Soka. Prabu Palguna pun memberikan kepadanya berbagai
macam bibit tanaman yang tumbuh di Taman Soka untuk nantinya ditanam di Kerajaan
Hastina, sekaligus sebagai ungkapan terima kasih atas segala bantuan pangeran muda
tersebut.

PRABU DASABAHU DAN PRABU PALGUNA BERGURU KEPADA PRABU KRESNA


DWIPAYANA
Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna merasa prihatin melihat nasib Dewi Panitra dan
Bagawan Amisana yang menjadi arwah penasaran setelah meninggal dunia. Jika Dewi
Panitra dapat dimaklumi karena semasa hidup memang kurang memerhatikan urusan
kerohanian. Namun, di lain pihak Bagawan Amisana yang seorang pendeta ternyata masih
bisa tersesat pula. Kyai Semar menjelaskan bahwa seseorang yang menguasai ilmu agama
belum tentu dapat memasuki alam keabadian yang sebenarnya, apabila ilmu agama
tersebut hanya dihafalkan tanpa dihayati, serta tidak digunakan untuk berbuat kebaikan
terhadap sesama makhluk.
Mendengar itu, Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna memohon kepada Kyai Semar
supaya diajari ilmu “sangkan paran dumadi” dan “kalepasan budi” yang sejati, agar kelak
setelah meninggal mereka dapat memasuki alam baka dengan sebaik-baiknya.
Kyai Semar mengaku dirinya hanya seorang pengasuh. Jika kedua raja tersebut ingin
belajar, hendaknya mereka berguru kepada Prabu Kresna Dwipayana saja, karena raja
Hastina tersebut dulunya seorang pendeta bijak berilmu sempurna, bernama Resi Abyasa.
Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna menerima saran tersebut dan mereka pun bersama-
sama mengantarkan Raden Pandu pulang ke negeri Hastina.
Sesampainya di Hastina, rombongan tersebut disambut oleh Prabu Kresna Dwipayana
dan Resiwara Bisma. Tiba-tiba datang pula arwah Dewi Panitra bersama sisa-sisa
pasukannya yang masih bernafsu ingin membunuh Prabu Dasabahu untuk dijadikan
sebagai pasangan di alam gaib. Resiwara Bisma terjun menghadapi mereka dengan
mengerahkan Aji Pengabaran membuat para arwah tersebut lumpuh kehilangan daya dan
memohon ampun. Prabu Kresna Dwipayana lalu membaca doa dan mantra untuk
KITAB WAYANG PURWA

menyempurnakan para arwah penasaran tersebut sehingga mereka dapat memasuki alam
baka dengan tenang.
Melihat itu, Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna semakin yakin dan mereka pun
menyampaikan niat untuk belajar ilmu kesempurnaan kepada raja Hastina tersebut. Prabu
Kresna Dwipayana menerima niat baik mereka dengan senang hati supaya nantinya dapat
diajarkan pula kepada pihak lain yang sungguh-sungguh menginginkannya.

RADEN PANDU MEMBANGUN TAMAN KADILENGLENG


Raden Pandu lalu menunjukkan bibit tanaman yang ia peroleh dari Taman Soka di
bekas Kerajaan Alengka untuk bisa ditanam di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana
menyambut baik niat putranya tersebut. Raden Pandu lalu memimpin para juru taman
membangun sebuah taman sari yang bentuknya sama persis dengan Taman Soka.
Kini taman indah tersebut telah berdiri. Prabu Kresna Dwipayana meresmikannya
dengan memberikan nama Taman Kadilengleng, karena barangsiapa yang menyaksikan
keindahan taman tersebut akan terkesima seperti orang yang sedang mabuk kepayang.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

GANDAMANA LAHIR
Kisah ini menceritakan lahirnya Raden Gandamana yang kelak menjadi patih Kerajaan
Hastina, yang mengabdi kepada Prabu Pandu Dewanata. Juga saya sisipkan kisah
pertama kali bertemunya Raden Pandu dengan Dewi Madrim yang kelak menjadi
jodohnya.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas Ki Anom Suroto yang saya padukan
dengan buku Kempalan Balungan karya Ki Suratno Guno Wihardjo, serta buku
Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai Pustaka.
Kediri, 30 Desember 2015
Heri Purwanto

Raden Gandamana

PRABU GANDABAYU MENGUNDANG PARA RAJA SAHABAT


Prabu Gandabayu di Kerajaan Pancala didampingi Patih Jayarana dan para
punggawa, menerima kedatangan para raja sahabat, yaitu Prabu Kresna Dwipayana dari
Kerajaan Hastina dan Prabu Mandrapati Naradenta dari Kerajaan Mandraka. Kedua raja
tersebut sengaja diundang untuk membantu permasalahan Prabu Gandabayu, di mana
sang permaisuri Dewi Trilaksmi sudah tiga belas bulan mengandung anak kedua namun
belum juga melahirkan. Adapun anak pertama mereka seorang perempuan, bernama Dewi
Gandawati yang kini telah tumbuh menjadi gadis remaja.
Prabu Mandrapati mengaku tidak memiliki kemampuan untuk membantu soal
kelahiran tersebut. Namun, ia yakin Prabu Kresna Dwipayana sebagai seorang raja-pandita
pasti memiliki cara untuk mengatasi masalah ini. Prabu Kresna Dwipayana pun menyatakan
sanggup membantu, membuat Prabu Gandabayu merasa lega dan menaruh harapan besar
kepadanya.
Pada saat itulah datang seorang raksasa dari Kerajaan Candi Bungalan di Pulau
Nusabelah yang bernama Patih Kurandayaksa. Ia datang diutus rajanya yang bernama
Prabu Bagaskara untuk melamar permaisuri Kerajaan Pancala, yaitu Dewi Trilaksmi. Hal ini
tentu saja membuat Prabu Gandabayu sangat marah dan langsung menolak permintaan
aneh tersebut. Prabu Mandrapati memintanya bersabar, dan ia mengajukan diri melayani
permintaan Patih Kurandayaksa. Raja Mandraka itu mempersilakan Patih Kurandayaksa
memboyong Dewi Trilaksmi asalkan bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu. Patih
Kurandayaksa menerima tantangan tersebut lalu undur diri kembali ke induk pasukannya.
Prabu Mandrapati segera pamit keluar istana untuk menghadapi Patih Kurandayaksa
dan mempersilakan Prabu Gandabayu dan Prabu Kresna Dwipayana supaya tetap tenang
demi mencari cara untuk membantu Dewi Trilaksmi supaya bisa segera melahirkan. Prabu
Gandabayu berterima kasih atas bantuan Prabu Mandrapati, dan ia pun membubarkan
pertemuan lalu masuk ke dalam kedaton bersama Prabu Kresna Dwipayana.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI TRILAKSMI MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI


Prabu Gandabayu dan Prabu Kresna Dwipayana masuk ke dalam kedaton menemui
Dewi Trilaksmi yang ditunggui putri sulungnya, yaitu Dewi Gandawati. Usia kandungan Dewi
Trilaksmi sudah mencapai tiga belas bulan namun belum juga melahirkan. Prabu Kresna
Dwipayana yang sudah menyatakan sanggup membantu segera mengajak Prabu
Gandabayu dan Dewi Trilaksmi bersama-sama mengheningkan cipta meminta kemurahan
dewata demi kelancaran persalinan.
Prabu Kresna Dwipayana lalu mempersiapkan sesaji dan memulai upacara memohon
supaya bayi yang dikandung Dewi Trilaksmi segera lahir tanpa halangan. Permohonan
Prabu Kresna Dwipayana dikabulkan dewata. Seketika Dewi Trilaksmi merasa perutnya
sakit dan ia pun dibawa masuk ke dalam kamar untuk ditangani para bidan istana. Tidak
lama kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki berbadan sehat yang segera digendong Prabu
Gandabayu. Sebagai ungkapan terima kasih, Prabu Gandabayu mempersilakan Prabu
Kresna Dwipayana memberikan nama untuk putranya yang baru lahir tersebut. Prabu
Kresna Dwipayana pun memberinya nama, Raden Gandamana.

PRABU MANDRAPATI MEMUKUL MUNDUR MUSUH


Prabu Mandrapati Naradenta yang juga disebut Prabu Artayana telah bersiaga di alun-
alun dengan didampingi Patih Tuhayana beserta segenap pasukan yang ia bawa dari
Kerajaan Mandraka. Ikut bergabung pula bersama mereka yaitu Patih Jayarana yang
memimpin pasukan Pancala, serta Patih Jayayatna yang memimpin pasukan Hastina.
Di lain pihak, Patih Kurandayaksa yang disertai panakawan Kyai Togog dan Bilung
juga bersiaga bersama pasukan raksasa dari Kerajaan Candi Bungalan. Kedua pihak
kemudian berhadapan dan saling menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi. Setelah
lewat tengah hari, pihak Candi Bungalan mulai terdesak. Patih Kurandayaksa segera
memerintahkan pasukannya mundur meninggalkan Kerajaan Pancala.
Prabu Gandabayu menyambut kemenangan Prabu Mandrapati dan mengajaknya
masuk ke dalam istana untuk merayakan kelahiran Raden Gandamana. Prabu Mandrapati
ikut berbahagia dan berniat akan menunda kepulangannya ke Mandraka sampai selapan
hari kedepan (selapan adalah sebutan untuk tiga puluh lima hari).

RADEN PANDU BERTEMU DEWI JARWATI


Sementara itu, putra kedua Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Pandu sedang
dalam perjalanan menyusul sang ayah ke Kerajaan Pancala. Perjalanannya itu ditemani
para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Di tengah jalan mereka
kehausan dan singgah di sebuah padepokan yang dihuni kakak beradik, bernama Dewi
Jarwati dan Resi Jarwada.
Saat itu Resi Jarwada sedang keluar untuk mandi di sungai. Dewi Jarwati yang tinggal
sendirian menjamu Raden Pandu dan para panakawan dengan makanan dan minuman ala
kadarnya. Diam-diam Dewi Jarwati terpesona dan jatuh hati melihat ketampanan Raden
Pandu. Karena tak kuasa menahan perasaannya, ia pun berterus terang ingin diperistri
pangeran dari Kerajaan Hastina tersebut.
Raden Pandu menolak permintaan Dewi Jarwati dan mengatakan bahwa tidak pantas
seorang wanita berterus terang ingin dinikahi laki-laki. Raden Pandu menasihati agar Dewi
Jarwati bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan terhormat. Perkataan
Raden Pandu tersebut membuat Dewi Jarwati tersinggung dan sangat malu. Tak kuasa
menahan kekecewaannya, ia pun bunuh diri menggunakan patrem (keris kecil).
KITAB WAYANG PURWA

Melihat Dewi Jarwati bunuh diri, Raden Pandu sangat menyesal dan menangisinya.
Pada saat itulah datang Resi Jarwada yang sangat terkejut melihat kakaknya telah
meninggal. Ia pun marah dan hendak melampiaskan sakit hatinya kepada Raden Pandu.
Buru-buru Kyai Semar melerai mereka. Ia pun membujuk Resi Jarwada supaya naik ke
kahyangan meminta kepada para dewa agar menghidupkan kembali Dewi Jarwati. Resi
Jarwada menerima saran tersebut dan segera berangkat menuju Kahyangan Suralaya
sambil menggendong jasad kakaknya.
Setelah Resi Jarwada pergi, Raden Pandu dan para panakawan pun berangkat
melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Pancala.

RESI JARWADA MENGAMUK DI KAHYANGAN


Resi Jarwada yang telah sampai di Kahyangan Suralaya langsung meminta para dewa
agar menghidupkan kembali Dewi Jarwati. Permintaan tersebut ditolak membuat Resi
Jarwada mengamuk menantang para dewa. Batara Indra pun memerintahkan pasukan
Dorandara untuk meringkus pendeta muda tersebut. Namun, Resi Jarwada ternyata sangat
sakti. Begitu ia meraba pusakanya yang bernama Kalung Robyong Mustikarawis, seketika
tubuhnya berubah menjadi raksasa tinggi besar dan menyeramkan. Para dewa tidak
mampu menangkapnya, justru mereka yang terdesak mundur oleh amukan raksasa
tersebut.
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka telah mendengar bahwa Kahyangan
Suralaya diserang pendeta muda bernama Resi Jarwada. Ia pun memanggil roh Dewi
Jarwati untuk ditanyai apakah bersedia kembali dihidupkan demi meredam amarah Resi
Jarwada. Roh Dewi Jarwati menolak karena percuma ia dihidupkan lagi jika menanggung
malu karena ditolak cintanya oleh Raden Pandu. Batara Guru menjelaskan bahwa Dewi
Jarwati bukanlah jodoh Raden Pandu. Namun, jika Dewi Jarwati benar-benar mencintai
pangeran Hastina tersebut, maka hendaknya ia bersatu jiwa raga dengan Dewi Madrim putri
Kerajaan Mandraka. Karena, wanita inilah yang ditakdirkan menjadi jodoh sehidup semati
Raden Pandu. Arwah Dewi Jarwati menyatakan bersedia dan menerima nasihat tersebut
dengan senang hati.
Batara Guru lalu mengutus Batara Narada untuk melaksanakan dua tugas, yaitu
mengantarkan arwah Dewi Jarwati agar bisa bersatu dengan Dewi Madrim, serta
menjemput jago kahyangan untuk mengalahkan Resi Jarwada. Adapun yang bernama Dewi
Madrim saat ini sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Pancala untuk menyusul
ayahnya (Prabu Mandrapati), sedangkan jago yang bisa mengahadapi Resi Jarwada juga
berada di Pancala, yaitu putra Prabu Gandabayu yang baru lahir.
Batara Narada mematuhi perintah tersebut dan segera berangkat menuju Kerajaan
Pancala bersama roh Dewi Jarwati tersebut.

BATARA NARADA MENCULIK RADEN GANDAMANA


Sementara itu, Raden Pandu dan para panakawan telah sampai di istana Pancala dan
ikut berbahagia atas upacara selapanan Raden Gandamana. Datang pula putra dan putri
Prabu Mandrapati dari Kerajaan Mandraka, yaitu Raden Narasoma dan Dewi Madrim.
Antara Raden Pandu dan Dewi Madrim diam-diam ada perasaan saling menyukai sejak
pertemuan pertama tersebut. Raden Narasoma mengetahui hal ini dan berharap adiknya
bisa berjodoh dengan Raden Pandu.
Tidak lama kemudian, Batara Narada dan roh Dewi Jarwati tiba di istana Pancala
tanpa menampakkan diri. Batara Narada kemudian memasukkan roh Dewi Jarwati ke dalam
diri Dewi Madrim sehingga bersatu jiwa dengan putri Kerajaan Mandraka tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah tugas pertamanya selesai, Batara Narada segera mengambil bayi Raden
Gandamana yang sedang dipangku Raden Pandu dan buru-buru membawanya pergi ke
kahyangan. Seketika para hadirin pun geger karena Raden Gandamana tiba-tiba musnah,
terutama Prabu Gandabayu yang meminta Raden Pandu untuk bertanggung jawab atas
peristiwa ini.
Prabu Kresna Dwipayana yang berpandangan tajam dapat mengetahui kalau bayi
Raden Gandamana sebenarnya telah dibawa oleh Batara Narada naik ke kahyangan.
Mendengar penjelasan sang ayah, Raden Pandu segera berangkat dengan disertai para
panakawan menyusul Batara Narada.

RESI JARWADA BERSATU DENGAN RADEN GANDAMANA


Batara Narada telah kembali ke Kahyangan Suralaya dan menyerahkan bayi Raden
Gandamana kepada Batara Bayu supaya dijedi, yaitu dibesarkan secara mendadak. Batara
Bayu segera mengerahkan kesaktiannya dan membuat Raden Gandamana seketika
berubah dari wujud bayi menjadi seorang pemuda gagah perkasa. Tidak hanya itu, Batara
Bayu juga mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya, berupa Aji Bandung Bandawasa dan Aji
Seipi Angin sebagai bekal untuk menghadapi Resi Jarwada.
Batara Narada lalu memerintahkan Raden Gandamana maju menghadapi Resi
Jarwada yang masih mengamuk dalam wujud raksasa, merusak bangunan kahyangan.
Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Dengan mengerahkan Aji Sepi Angin,
Raden Gandamana dapat bergerak secepat angin menghindari serangan raksasa tersebut,
dan dengan Aji Bandung Bandawasa ia dapat melipatgandakan kekuatannya sehingga
seimbang dengan kekuatan raksasa yang menjadi lawannya.
Raksasa perwujudan Resi Jarwada akhirnya terdesak kewalahan. Dalam suatu
kesempatan, Raden Gandamana berhasil memecahkan kepala raksasa tersebut. Resi
Jarwada pun tewas dengan jasad musnah. Arwahnya lalu masuk bersatu jiwa dengan
Raden Gandamana, sekaligus kalung pusaka Robyong Mustikarawis ikut bersatu pula di
dalam tubuh Raden Gandamana.
Kahyangan Suralaya kini telah aman kembali. Pada saat itulah Raden Pandu dan para
panakawan datang menyusul. Batara Narada memberi tahu Raden Pandu bahwa Raden
Gandamana kini telah tumbuh dewasa dan boleh dibawa pulang. Raden Pandu gembira
melihatnya dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Pancala dengan mengajak serta Raden
Gandamana.

KEMATIAN PRABU BAGASKARA DAN MENYERAHNYA RESI BAGASPATI


Sementara itu, Prabu Bagaskara raja raksasa dari Candi Bungalan di Pulau Nusabelah
dihadap adiknya yang bernama Resi Bagaspati. Mereka menerima kedatangan Patih
Kurandayaksa yang melaporkan kegagalannya merebut Dewi Trilaksmi. Prabu Bagaskara
sangat marah dan berniat berangkat sendiri menyerang Kerajaan Pancala. Resi Bagaspati
menasihati kakaknya itu agar membatalkan niatnya untuk merebut istri orang. Prabu
Bagaskara tidak peduli pada nasihat adiknya. Ia pun mengajak Patih Kurandayaksa kembali
menyerang Pancala. Karena mendapat firasat buruk, mau tidak mau Resi Bagaspati pun
mengikuti dari belakang.
Prabu Bagaskara akhirnya tiba di Kerajaan Pancala bersamaan dengan datangnya
Raden Pandu dan Raden Gandamana. Pertempuran kembali terjadi. Raden Gandamana
berhasil menewaskan raja raksasa dari Candi Bungalan tersebut.
Sementara itu, Resi Bagaspati bertarung menghadapi Prabu Mandrapati, yang dibantu
Prabu Kresna Dwipayana. Resi Bagaspati memiliki kesaktian aneh, bernama Aji
KITAB WAYANG PURWA

Candabirawa. Dari jarinya tiba-tiba muncul sesosok raksasa kerdil yang ganas dan
beringas. Ketika raksasa itu dilukai oleh Prabu Mandrapati, tiba-tiba jumlahnya bertambah
banyak menjadi sepuluh kali lipat. Semakin dilukai akan semakin bertambah banyak.
Menyadari hal ini, Prabu Mandrapati merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Prabu Kresna Dwipayana menyarankan supaya Prabu Mandrapati menghadapi
raksasa-raksasa itu dengan sikap mengheningkan cipta, pasrah tanpa perlawanan.
Sungguh aneh, begitu Prabu Mandrapati melaksanakan saran tersebut, secara ajaib
raksasa-raksasa kerdil itu berkurang jumlahnya, hingga akhirnya kembali menjadi seorang
saja dan masuk kembali ke dalam jari Resi Bagaspati.
Resi Bagaspati pun mengakui kekalahannya di hadapan Prabu Mandrapati, dan ia rela
menerima hukuman mati. Prabu Mandrapati bertanya mengapa Prabu Bagaskara melamar
Dewi Trilaksmi yang sudah bersuami, bukannya mencari wanita lain yang masih gadis.
Resi Bagaspati bercerita bahwa ia dan kakaknya itu semula memiliki istri bidadari. Istri
Prabu Bagaskara bernama Batari Satapi, putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu lahir
seorang putri yang kini telah tubuh remaja bernama Dewi Tapayati. Sementara itu, istri Resi
Bagaspati bernama Batari Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Dari perkawinan tersebut
lahir seorang putri pula bernama Dewi Pujawati. Pada suatu hari Batari Satapi dan Batari
Pudyastuti kembali ke kahyangan, membuat Dewi Tapayati merengek ingin memiliki ibu
baru. Prabu Bagaskara tidak tahu harus menikah dengan siapa, hingga akhirnya ia
bermimpi berjumpa istri Prabu Gandabayu yang bernama Dewi Trilaksmi. Begitu terbangun,
Prabu Bagaskara pun mengutus Patih Kurandayaksa untuk merebut Dewi Trilaksmi dari
suaminya.
Kini, Prabu Bagaskara telah tewas karena perbuatannya sendiri. Mendengar cerita
tersebut, Prabu Mandrapati menjadi terkesan dan membebaskan Resi Bagaspati.
Permusuhan di antara mereka pun berubah menjadi pertemanan. Resi Bagaspati lalu
mohon pamit kepada Prabu Mandrapati dan Prabu Kresna Dwipayana untuk kembali ke
Pulau Nusabelah menjemput putrinya yang bernama Dewi Pujawati, serta keponakannya,
yaitu Dewi Tapayati. Setelah itu, Resi Bagaspati berniat membangun pertapaan di puncak
Gunung Argabelah.
Sementara itu, Patih Kurandayaksa sangat kecewa melihat rajanya tewas, sedangkan
Resi Bagaspati menyerah kalah dan kini berteman dengan musuh. Ia pun mengumpulkan
sisa-sisa prajurit raksasa yang masih hidup dan mengajak mereka pergi untuk membangun
sebuah kerajaan baru. Namun sebelum itu, ia berniat menculik Dewi Tapayati dan
menjadikannya sebagai istri, karena sudah sejak lama ia jatuh cinta kepada putri rajanya
tersebut.

RADEN GANDAMANA BERKUMPUL DENGAN KELUARGANYA


Kerajaan Pancala kini telah aman kembali. Raden Pandu pun memperkenalkan Raden
Gandamana kepada keluarganya, yaitu Prabu Gandabayu (ayah) dan Dewi Trilaksmi (ibu),
serta Dewi Gandawati (kakak). Mereka sangat bahagia melihat Raden Gandamana kini
telah tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Tadinya usia antara Dewi Gandawati dengan
Raden Gandamana selisih jauh, namun kini seolah-olah menjadi sepantaran.
Prabu Kresna Dwipayana dan Prabu Mandrapati, serta Raden Narasoma dan Dewi
Madrim ikut berbahagia melihatnya. Prabu Gandabayu pun mengadakan pesta syukuran
untuk merayakan kemenangan ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SAYEMBARA KUNTI
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Narasoma dengan Dewi Setyawati atau
Endang Pujawati, putri Bagawan Bagaspati, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden
Karna Basusena, putra Batara Surya yang lahir dari Dewi Kunti. Kisah ditutup dengan
kemenangan Raden Pandu memboyong tiga orang putri sekaligus, yaitu Dewi Kunti,
Dewi Madrim, dan Dewi Gendari. Mereka bertiga kelak akan melahirkan para
Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan sinetron Karmapala karya
Imam Tantowi, serta penjelasan dari Ki Manteb Soedharsono dalam acara Sarasehan
Budaya.
Kediri, 28 April 2016
Heri Purwanto

PRABU MANDRAPATI MENGUSIR RADEN NARASOMA


Prabu Mandrapati Naradenta atau Prabu Artayana di Kerajaan Mandraka sedang
memimpin pertemuan, dihadap putra mahkota Raden Narasoma, serta para menteri dan
punggawa, antara lain Patih Tuhayana dan Arya Tuhayata. Dalam pertemuan tersebut
Prabu Mandrapati mengutarakan niatnya untuk menyerahkan takhta kepada Raden
Narasoma. Namun sebelum itu, Raden Narasoma harus menikah lebih dulu, karena sudah
menjadi tradisi bahwa seorang raja hendaknya memiliki permaisuri sebagai “tetimbangan”.
Akan tetapi, Raden Narasoma menolak permintaan ayahnya. Ia tidak ingin dijodohkan
dengan sembarang perempuan, karena cita-citanya adalah menikah dengan bidadari, atau
sekurang-kurangnya putri seorang bidadari. Prabu Mandrapati marah melihat sikap angkuh
Raden Narasoma yang berkeinginan muluk-muluk. Ia pun mengusir putra sulungnya itu dan
melarangnya pulang apabila tidak dapat mewujudkan keinginannya.
Raden Narasoma bergegas pergi meninggalkan istana Mandraka. Patih Tuhayana
berusaha menyabarkan Prabu Mandrapati. Namun, Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa
dirinya mengusir Raden Narasoma bukan karena benci, tetapi untuk memberikan pelajaran
hidup kepada putranya itu. Setelah tiada yang perlu dibicarakan lagi, Prabu Mandrapati pun
membubarkan pertemuan.

RADEN NARASOMA BERTEMU RADEN PANDU


Raden Narasoma sudah berjalan jauh meninggalkan istana. Di tengah jalan ia bertemu
rombongan Prabu Sudarma dari Kerajaan Trigarta yang berniat pergi ke Kerajaan Mandraka
untuk melamar Dewi Madrim. Mendengar itu, Raden Narasoma marah-marah tidak setuju
KITAB WAYANG PURWA

apabila adiknya diperistri Prabu Sudarma. Dasar watak Raden Narasoma yang angkuh
membuat Prabu Sudarma tersinggung. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Narasoma lama-lama terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak.
Sungguh beruntung, Raden Pandu dan para panakawan kebetulan lewat di tempat itu.
Melihat Raden Narasoma dalam bahaya, Raden Pandu segera membantu. Ia mengerahkan
ilmu Angin Garuda, membuat Prabu Sudarma beserta seluruh pasukannya terlempar jauh
entah ke mana.
Raden Narasoma dan Raden Pandu sudah saling kenal sejak sama-sama
mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala dulu. Raden Narasoma
bercerita bahwa perselisihannya dengan Prabu Sudarma adalah karena ia tidak rela jika
raja Trigarta tersebut menjadi suami adiknya. Ia lebih suka jika Dewi Madrim menjadi istri
Raden Pandu agar hubungan kekerabatan antara sesama keturunan Resi Manumanasa
dapat lebih akrab. Raden Pandu mengaku tidak berani karena ia belum mendapatkan
perintah dari ayahnya (Prabu Kresna Dwipayana) untuk menikah.
Dalam pertemuan kali ini, Raden Narasoma kagum melihat kesaktian Raden Pandu.
Ia pun berniat untuk mencari guru yang bisa mengajarkan ilmu kesaktian tingkat tinggi
kepadanya. Sebagai calon raja Mandraka, tentunya ia sangat membutuhkan ilmu andalan
demi melindungi negerinya. Raden Pandu mendukung niat Raden Narasoma tersebut. Ia
bahkan mempersilakan para panakawan untuk mendampingi Raden Narasoma selama
berkelana mencari guru. Ia menjelaskan bahwa Kyai Semar bukan sekadar pengasuh,
tetapi merupakan kakak ipar Resi Manumanasa yang memiliki pengalaman luas serta
kebijaksanaan luar biasa. Sudah tentu nasihat-nasihatnya akan sangat berguna bagi Raden
Narasoma.
Raden Narasoma sangat berterima kasih. Ia pun berpamitan kepada Raden Pandu
kemudian berangkat bersama Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong mencari
pengalaman hidup.

RADEN NARASOMA BERTEMU RESI BAGASPATI


Dalam perjalanannya itu, Raden Narasoma dan para panakawan berjumpa seorang
pendeta raksasa berwajah menyeramkan. Pendeta raksasa itu bernama Resi Bagaspati
dari Padepokan Argabelah, yang terlihat sangat gembira begitu mengetahui kalau pemuda
yang ditemuinya bernama Raden Narasoma. Ia mengaku memiliki seorang putri yang tadi
malam bermimpi menjadi istri pemuda tampan bernama Raden Narasoma. Oleh sebab itu,
Resi Bagaspati pun mengajak Raden Narasoma pergi ke padepokannya untuk menikah
dengan putrinya tersebut.
Raden Narasoma ngeri melihat wujud Resi Bagaspati sehingga langsung menolak
ajakannya. Ia yakin anak perempuan seorang pendeta raksasa pasti berwajah buruk seperti
ayahnya. Resi Bagaspati terpaksa menggunakan kekerasan untuk memaksa Raden
Narasoma. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Dengan mudah, Resi Bagaspati
dapat meringkus Raden Narasoma dan membawanya pergi menuju Padepokan Argabelah.
Raden Narasoma berteriak-teriak meminta tolong kepada Kyai Semar dan anak-anaknya.
Tetapi Kyai Semar justru menyarankan agar Raden Narasoma menurut saja, karena ia
mendapat firasat bahwa pendeta raksasa inilah yang akan menjadi sarana baginya untuk
mewujudkan cita-cita.
Sesampainya di padepokan, Raden Narasoma sangat terkejut melihat anak
perempuan Resi Bagaspati ternyata berparas cantik jelita, bernama Endang Pujawati.
Seketika ia pun jatuh cinta kepada gadis tersebut. Namun sayangnya, ia sudah terlanjur
bersumpah untuk tidak akan menikah, kecuali dengan bidadari, atau anak seorang bidadari.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN NARASOMA MENIKAH DENGAN ENDANG PUJAWATI


Resi Bagaspati pun bercerita kepada Raden Narasoma. Pada mulanya, ia memiliki
istri seorang bidadari bernama Batari Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Adapun Batara
Darmastuti adalah kakak tiri Batara Guru (yaitu sama-sama putra Sanghyang Tunggal,
tetapi beda ibu. Batara Darmastuti lahir dari Dewi Darmani, sedangkan Batara Guru lahir
dari Dewi Rekatawati). Dari perkawinan antara Resi Bagaspati dan Dewi Pudyastuti tersebut
lahirlah Dewi Pujawati. Resi Bagaspati juga memiliki kakak bernama Prabu Bagaskara yang
menjadi raja di Nusabelah. Prabu Bagaskara ini menikah pula dengan bidadari bernama
Batari Satapi, putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu lahir seorang putri berparas raksasa,
bernama Dewi Tapayati.
Setelah Batari Satapi dan Batari Pudyastuti kembali ke kahyangan, Dewi Tapayati
merengek minta dicarikan ibu baru. Prabu Bagaskara lalu bermimpi bertemu Dewi Trilaksmi,
istri Prabu Gandabayu raja Pancala. Ia pun berangkat melamar wanita itu sebagai istri
barunya. Namun, ketika menyerang Kerajaan Pancala, Prabu Bagaskara tewas di tangan
Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan Resi Bagaspati dikalahkan sekutu
Kerajaan Pancala, yang bernama Prabu Mandrapati raja Mandraka. Resi Bagaspati lalu
bertobat dan membangun pertapaan di Padepokan Argabelah. Dewi Pujawati juga ikut serta
tinggal di padepokan, dan diganti namanya menjadi Endang Pujawati. Adapun Dewi
Tapayati menghilang entah ke mana, sepertinya dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa.
Raden Narasoma teringat dirinya memang ikut mengunjungi kelahiran Raden
Gandamana di Kerajaan Pancala. Namun, saat itu ia tidak ikut berperang sehingga tidak
mengenal Resi Bagaspati yang kini berada di hadapannya.
Setelah mendengar semuanya, Raden Narasoma pun bersedia menikahi Endang
Pujawati yang merupakan putri seorang bidadari. Resi Bagaspati sangat senang dan ia
segera menggelar upacara pernikahan antara Raden Narasoma dengan Endang Pujawati,
dengan disaksikan para panakawan.

RESI BAGASPATI MENINGGAL DUNIA


Beberapa hari kemudian, Resi Bagaspati memanggil Raden Narasoma dan Endang
Pujawati untuk menghadap. Resi Bagaspati bertanya apakah Endang Pujawati bersedia
mendampingi Raden Narasoma meski harus kehilangan orang tua? Endang Pujawati
menjawab dirinya bersedia mendampingi suami, tetapi juga merasa berat jika harus
berpisah dengan orang tua. Resi Bagaspati menerima jawaban tersebut, dan menyuruh
Endang Pujawati untuk menunggu di luar.
Resi Bagaspati lalu berbicara empat mata dengan Raden Narasoma. Ia meminta agar
Raden Narasoma menjaga Endang Pujawati dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah
menyakiti putrinya itu. Raden Narasoma bersedia dan ia pun bersumpah seumur hidup
hanya memiliki seorang istri saja.
Resi Bagaspati lalu bercerita bahwa dirinya memiliki ilmu kesaktian bernama Aji
Candabirawa yang akan diwariskan kepada Raden Narasoma. Dengan ilmu ini, Raden
Narasoma dapat mengeluarkan seorang raksasa kerdil ganas dari jarinya, yang jika dilukai
justru akan bertambah banyak jumlahnya. Raden Narasoma pernah mendapat cerita dari
ayahnya tentang kedahsyatan ilmu ini, sehingga ia pun menyatakan bersedia menerimanya.
Resi Bagaspati lalu mengajarkan mantra ilmu tersebut kepada Raden Narasoma.
Mereka lalu bersama-sama mengheningkan cipta, dan Aji Candabirawa pun berpindah dari
dalam tubuh Resi Bagaspati ke dalam tubuh Raden Narasoma.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Bagaspati merasa lega. Ia menjelaskan bahwa sudah tiba saatnya ia


meninggalkan dunia fana karena semua kewajibannya telah terpenuhi. Selama memiliki Aji
Candabirawa, Resi Bagaspati tidak akan bisa mati. Ia lalu menyerahkan sebilah keris
kepada Raden Narasoma agar digunakan untuk menusuk sikunya. Karena, hanya dengan
cara demikian Resi Bagaspati bisa melepaskan nyawanya.
Raden Narasoma menerima keris tersebut namun tidak tega menggunakannya untuk
menusuk sang mertua. Resi Bagaspati memaksa Raden Narasoma melakukannya, karena
selama dirinya masih hidup, Endang Pujawati tidak akan mau meninggalkan Padepokan
Argabelah untuk tinggal di Kerajaan Mandraka. Resi Bagaspati merasa dirinya hanya
menjadi penghalang bagi kebahagiaan putrinya. Raden Narasoma tetap tidak tega. Ia justru
mengajak sang mertua untuk bersama-sama tinggal di istana Mandraka.
Resi Bagaspati menolak ajakan tersebut. Ia pun menyerang Raden Narasoma untuk
memaksa menantunya itu. Raden Narasoma terdesak dan seketika menusukkan keris di
tangannya sambil memejakan mata. Keris tersebut tepat menancap di siku Resi Bagaspati.
Darah berwarna putih pun memancar keluar, bersamaan dengan robohnya Resi Bagaspati
kehilangan nyawa.
Endang Pujawati yang mendengar suara ribut segera masuk ke dalam. Ia sangat
terkejut melihat sang ayah telah tewas di tangan suaminya. Raden Narasoma pun
menceritakan semua kejadian apa adanya. Tidak lama kemudian, roh Resi Bagaspati
menampakkan diri di angkasa. Ia berterima kasih atas kesediaan Raden Narasoma
mengantarkannya memasuki gerbang kematian. Ia juga berpesan agar Endang Pujawati
selalu patuh kepada sang suami.
Raden Narasoma merasa berduka kehilangan mertua yang sangat ia hormati. Ia
berharap kelak saat kematiannya tiba, semoga arwah Resi Bagaspati yang datang
menjemputnya. Resi Bagaspati bersedia. Ia berpesan kelak akan ada seorang raja berdarah
putih yang menjadi penyebab kematian Raden Narasoma. Saat peristiwa itu terjadi, Resi
Bagaspati akan datang menjemput roh sang menantu tercinta. Setelah berkata demikian,
arwah Resi Bagaspati pun musnah dari pandangan.
Raden Narasoma lalu bertanya kepada Endang Pujawati apakah masih mau menjadi
istrinya setelah peristiwa ini. Endang Pujawati menjawab bersedia mendampingi Raden
Narasoma seumur hidup, karena sekarang ia tahu bahwa sang ayah meninggal atas
kemauan sendiri, bukan karena dibunuh oleh suaminya. Raden Narasoma senang
mendengarnya. Ia merasa bangga atas kesetiaan Endang Pujawati, dan mengganti nama
istrinya itu menjadi Dewi Setyawati.

PRABU MANDRAPATI KEMBALI MENGUSIR RADEN NARASOMA


Raden Narasoma dan Dewi Setyawati telah pulang ke Kerajaan Mandraka, sedangkan
para panakawan pulang ke Kerajaan Hastina. Prabu Mandrapati menyambut kedatangan
putra dan menantunya itu dengan perasaan bahagia. Hubungan antara ayah dan anak
tersebut menjadi baik kembali, apalagi Raden Narasoma telah berhasil mewujudkan
sumpahnya, yaitu menikah dengan anak seorang bidadari.
Akan tetapi, Prabu Mandrapati sangat marah begitu mengetahui Raden Narasoma
telah membunuh Resi Bagaspati, mertuanya sendiri. Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa
Resi Bagaspati telah menjadi sahabatnya. Raden Narasoma pun dituduh sebagai anak
durhaka dan diusir pergi dari istana Mandraka.
Putri bungsu Prabu Mandrapati, yaitu Dewi Madrim masih rindu kepada kakaknya.
Begitu Raden Narasoma diusir untuk yang kedua kalinya, ia pun ikut pergi meninggalkan
istana. Ketika Dewi Setyawati hendak menyusul mereka, tiba-tiba Prabu Mandrapati jatuh
KITAB WAYANG PURWA

pingsan karena terlalu sedih. Dewi Setyawati pun berhenti dan segera merawat mertuanya
itu.

DEWI KUNTI HAMIL SEBELUM NIKAH


Sementara itu di Kerajaan Mandura, Prabu Kuntiboja telah memiliki empat orang anak
yang lahir dari istrinya, yaitu Dewi Bandondari (putri mendiang Prabu Santanu raja Hastina).
Keempat anak tersebut bernama Raden Basudewa, Dewi Kunti, Raden Rukma, dan Raden
Ugrasena. Sang pangeran mahkota Raden Basudewa telah memiliki seorang istri bernama
Dewi Mahirah tetapi belum dikaruniai putra, sedangkan Dewi Kunti saat ini telah beranjak
dewasa dan ia dilamar oleh banyak raja serta pangeran dari berbagai negeri.
Prabu Kuntiboja memutuskan untuk mengadakan sayembara pilih, yaitu biarlah Dewi
Kunti sendiri yang menentukan pilihan dengan cara mengalungkan untaian bunga ke leher
si pelamar yang ia kehendaki. Akan tetapi, sudah empat bulan lamanya Dewi Kunti
mengurung diri di dalam kaputren dan tidak pernah menghadap ayah atau ibunya. Prabu
Kuntiboja merasa curiga jangan-jangan terjadi hal buruk pada putrinya itu. Maka, ia pun
mengutus Raden Basudewa untuk menengok dan memastikan keadaan Dewi Kunti di
dalam kaputren.
Raden Basudewa segera berangkat memasuki kaputren, di mana Dewi Kunti
mengurung diri di dalam kamar. Raden Basudewa meminta izin masuk kamar tetapi ditolak
oleh Dewi Kunti dengan alasan dirinya sedang menjalani tapa ngebleng atas perintah
gurunya yang bernama Resi Druwasa. Raden Basudewa semakin curiga dan ia pun
mendobrak pintu kamar kaputren. Betapa terkejut ia melihat adiknya itu memegangi perut
yang tampak mengembang, pertanda Dewi Kunti sedang hamil.
Raden Basudewa marah-marah menuduh Dewi Kunti telah berbuat zina. Ia pun
memaksa adiknya itu agar menyebutkan laki-laki mana yang telah menghamilinya. Namun,
Dewi Kunti hanya menangis tanpa menjawab sedikit pun. Raden Basudewa menaruh curiga
kepada Resi Druwasa, guru Dewi Kunti. Ia pun berniat hendak mencari dan menghukum
pendeta tua tersebut.

LAHIRNYA RADEN KARNA BASUSENA


Mendengar gurunya disalahkan, Dewi Kunti menjelaskan bahwa kehamilannya ini
bukan disebabkan oleh Resi Druwasa. Untuk lebih jelasnya, Dewi Kunti mengerahkan Aji
Pameling untuk mengundang kehadiran Resi Druwasa. Seketika Resi Druwasa pun muncul
di dalam kaputren tersebut.
Resi Druwasa ini tidak lain adalah putra Resi Dwapara (keponakan Resi
Manumanasa). Meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi karena ilmunya tinggi ia masih
mampu berkelana menjelajahi banyak negeri. Kini ia singgah di Kerajaan Mandura dan
menjadi guru bagi Dewi Kunti.
Resi Druwasa mengaku telah mengajarkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal
Tanpa Lawan kepada Dewi Kunti. Kegunaan ajian ini adalah untuk memanggil dewa supaya
memberikan pertolongan. Pada suatu pagi saat matahari terbit, Dewi Kunti sedang mandi
sambil menghafalkan mantra ajian tersebut dengan menyebut nama Batara Surya. Seketika
Batara Surya pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi Kunti
merasa malu dan mengaku dirinya hanya mencoba-coba ilmu tersebut tanpa ada keperluan
apa pun.
Batara Surya marah merasa dipermainkan. Namun, kemarahannya berubah menjadi
nafsu birahi karena melihat lekuk tubuh Dewi Kunti yang hanya tertutup kain basahan. Ia
pun mengerahkan Aji Asmaracipta, sehingga dapat bersenggama dengan Dewi Kunti tanpa
KITAB WAYANG PURWA

harus menyentuh tubuhnya. Meskipun tanpa bersentuhan, namun Dewi Kunti tetap saja
bisa mengandung putra Batara Surya, hasil dari hubungan tersebut.
Raden Basudewa menanyakan kebenaran cerita itu kepada Dewi Kunti. Dengan
sangat malu dan sambil menangis, Dewi Kunti mengiyakan. Kini, ia telah hamil empat bulan
padahal sebentar lagi akan diadakan sayembara pilih untuknya. Raden Basudewa merasa
peristiwa ini adalah aib besar bagi Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun dimintai tolong
untuk mencarikan jalan keluar bagi masalah ini.
Pendeta tua itu segera mengheningkan cipta dan tangannya menyentuh perut Dewi
Kunti. Secara berangsur-angsur kandungan Dewi Kunti bertambah besar. Hanya dalam
beberapa menit saja, kandungan tersebut menjadi matang dan siap dilahirkan. Tidak lama
kemudian Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa merasakan sakit sama
sekali. Sungguh ajaib, bayi laki-laki itu keluar dari kandungan dengan memakai anting-
anting dan baju zirah bergambar matahari.
Raden Basudewa sangat berterima kasih atas bantuan Resi Druwasa. Demi untuk
menyembunyikan aib yang telah dialami adiknya, Raden Basudewa bersedia menjadi ayah
angkat bagi bayi tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri. Raden Basudewa pun
memberi nama bayi itu, Raden Basusena.
Dewi Kunti sebenarnya sangat sayang kepada putranya yang tampan itu. Namun,
demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, maka ia pun merelakan bayinya diambil oleh
Raden Basudewa. Sebagai kenang-kenangan, Dewi Kunti memberikan nama panggilan
untuk bayinya, yaitu Raden Karna, yang bermakna “telinga”. Ini sebagai pengingat bahwa
putranya itu sejak dilahirkan sudah memakai anting-anting di kedua telinganya.

RESI DRUWASA MEMBAWA BAYI KARNA BASUSENA


Tiba-tiba Batara Surya turun dari kahyangan dan mendarat di dalam kaputren tersebut.
Ia meminta maaf kepada Raden Basudewa karena telah terbawa nafsu birahi dan membuat
Dewi Kunti hamil di luar nikah. Dengan kesaktiannya, ia pun meruwat Dewi Kunti sehingga
kembali menjadi perawan seperti sediakala.
Mengenai bayi laki-laki hasil hubungan mereka itu, Batara Surya melarang Raden
Basudewa untuk mengasuhnya sebagai anak angkat, karena Karna Basusena diramalkan
kelak akan menjadi pahlawan besar apabila keluar dari Kerajaan Mandura. Mengenai
anting-anting dan baju zirah yang dipakai si bayi adalah pusaka pemberiannya. Anting-
anting tersebut bernama Suryakundala, sedangkan baju zirah yang melekat di dada si bayi
bernama Suryakawaca. Selama mengenakan kedua pusaka tersebut, tidak ada satu pun
senjata yang dapat melukai Karna Basusena.
Raden Basudewa dan Dewi Kunti mematuhi keputusan dewata yang menghendaki
agar bayi Karna Basusena keluar dari wilayah Kerajaan Mandura. Dewi Kunti pun menangis
berlinang air mata saat Batara Surya memerintahkan Resi Druwasa untuk membawa bayi
tersebut. Batara Surya kemudian kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Druwasa lenyap
dari pandangan, meninggalkan Kerajaan Mandura.

RESI DRUWASA MENYERAHKAN KARNA BASUSENA KEPADA KYAI ADIRATA


Tersebutlah seorang kusir kereta bernama Kyai Adirata yang mengabdi di Kerajaan
Hastina. Ia tinggal di Desa Petapralaya bersama istrinya yang bernama Nyai Rada, putri
Resi Radi. Mereka sudah puluhan tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Setiap
pagi pasangan ini selalu berdoa di tepi Sungai Jamuna namun belum juga membuahkan
hasil. Hingga akhirnya, pagi itu Resi Druwasa muncul dengan berjalan di atas sungai sambil
menggendong bayi laki-laki menemui mereka berdua.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Druwasa menyerahkan bayi laki-laki itu kepada Kyai Adirata dan Nyai Rada, serta
menjelaskan bahwa bayi tersebut adalah putra Batara Surya sebagai jawaban atas doa
mereka setiap pagi. Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bahagia dan merasa mendapatkan
kehormatan luar biasa karena dipercaya untuk mengasuh putra seorang dewa. Setelah
dirasa cukup, Resi Druwasa pun lenyap dari pandangan.
Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bersyukur karena dewata telah mengabulkan doa
mereka. Mereka pun berjanji akan selalu menyayangi bayi tersebut seperti anak kandung
sendiri. Sungguh ajaib, tiba-tiba payudara Nyai Rada dapat mengeluarkan air susu yang
langsung digunakannya untuk menyusui bayi tampan itu. Karena bayi laki-laki ini adalah
putra Batara Surya, maka Kyai Adirata pun memberinya nama Suryaputra, atau Suryatmaja.
Namun, untuk sehari-harinya bayi tersebut cukup dipanggil Radeya saja, supaya tidak
terlalu mencolok. Nyai Rada setuju. Mereka berdua lalu pulang ke rumah dengan perasaan
bahagia.

RADEN NARASOMA MEMENANGKAN SAYEMBARA PILIH


Hari itu Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura mengadakan sayembara pilih untuk
Dewi Kunti. Sang putri berdiri di atas panggung sambil memegang kalung untaian bunga, di
mana satu per satu pelamar mendatanginya. Apabila Dewi Kunti diam saja, maka pelamar
tersebut harus mundur dan digantikan pelamar lain untuk maju ke depan.
Dewi Kunti sendiri pikirannya sedang melayang membayangkan putranya, yaitu Karna
Basusena yang kini entah ada di mana. Ia berdoa semoga bisa mendapatkan suami yang
berasal dari negeri yang sama dengan tempat di mana putranya itu berada. Satu per satu
pelamar maju dan didiamkan olehnya, hingga akhirnya jumlah pelamar yang tersisa tinggal
satu orang, yaitu Raden Narasoma.
Dewi Kunti merasa tidak punya pilihan lagi. Meskipun hatinya tidak nyaman melihat
sikap Raden Narasoma yang angkuh, namun demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura,
terpaksa ia pun memilih pangeran tersebut sebagai pemenang sayembara. Dewi Kunti lalu
turun dari panggung dan mengalungkan untaian bunga ke leher Raden Narasoma.
Hal ini ternyata mengundang kemarahan para pelamar lainnya yang merasa
disepelekan. Raden Narasoma justru merasa mendapatkan kesempatan untuk mencoba
ilmu barunya. Ia pun menantang semua raja dan pangeran untuk merebut Dewi Kunti dari
tangannya. Para pelamar itu maju menyerang. Raden Narasoma lalu mengerahkan Aji
Candabirawa. Dari ujung jarinya keluar sesosok raksasa bertubuh kerdil tapi ganas
menyeramkan. Raksasa itu mengamuk menghadapi para penyerang. Para raja dan
pangeran pun menusukkan senjata mereka mengenai raksasa itu. Sungguh ajaib, percikan
darah si raksasa berubah menjadi sejumlah raksasa baru. Demikianlah seterusnya. Setiap
si raksasa mengeluarkan darah, maka darahnya akan langsung berubah menjadi raksasa
baru. Jika awalnya, si raksasa Candabirawa hanya berjumlah seorang, maka kini jumlahnya
menjadi lebih banyak daripada para raja dan pangeran yang menyerang. Mereka menerjang
dan menggigit dengan ganas, membuat para raja dan pangeran itu banyak yang terluka dan
melarikan diri.

RADEN PANDU MENGALAHKAN RADEN NARASOMA


Pada saat itulah Raden Pandu dan para panakawan datang ke Kerajaan Mandura
karena diutus Prabu Kresna Dwipayana untuk mengikuti sayembara. Mereka terkejut
melihat acara sayembara pilih telah berubah menjadi ajang pertempuran. Raden Narasoma
pun menantang Raden Pandu jika ingin mengikuti sayembara, maka harus dapat merebut
Dewi Kunti secara kesatria.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Pandu menolak dan merelakan Raden Narasoma sebagai pemenang. Ia


memutuskan untuk pulang ke Hastina saja. Raden Narasoma merasa disepelekan dan ia
pun memerintahkan para raksasa Candabirawa untuk menyerang Raden Pandu.
Raden Pandu dengan lincah menghadapi serangan para raksasa ganas tersebut.
Namun demikian, ia merasa terdesak karena para raksasa itu jumlahnya bertambah banyak
jika dilukai. Melihat itu, Kyai Semar memberikan nasihat supaya Raden Pandu meletakkan
senjata dan mengheningkan cipta, seperti nasihat Prabu Kresna Dwipayana kepada Prabu
Mandrapati dulu saat berperang melawan Prabu Bagaskara.
Raden Pandu menurut. Ia lalu membuang senjata dan duduk bersila mengheningkan
cipta. Sungguh aneh, dengan cara tidak melawan justru jumlah para raksasa menjadi
berkurang satu demi satu hingga akhirnya tinggal seorang saja seperti sediakala yang
kemudian masuk kembali ke dalam jari Raden Narasoma. Secepat kilat Raden Pandu
melesat dan menangkap tubuh Raden Narasoma, lalu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad
dan membenamkan tubuh lawannya itu di dalam tanah hingga sebatas dada.

RADEN PANDU MENDAPATKAN DUA ORANG PUTRI


Raden Narasoma mengaku kalah dan menyadari kesalahannya telah berbuat
sombong, merasa dirinya paling hebat. Raden Pandu lalu mengangkat tubuhnya kembali
ke permukaan. Raden Narasoma pun menyerahkan Dewi Kunti kepada Raden Pandu
karena sejak awal dia tahu kalau sang putri memilihnya karena terpaksa, bukan tulus dari
hati. Lagipula Raden Narasoma telah memiliki istri bernama Dewi Setyawati dan tidak ingin
menduakannya. Ia datang ke Mandura bukan untuk melamar Dewi Kunti, tetapi hanya untuk
mencoba keampuhan Aji Candabirawa saja.
Dewi Kunti mendapatkan firasat apabila ia menikah dengan Raden Pandu, maka ini
akan menjadi sarana baginya untuk bisa bertemu Karna Basusena. Maka, ia pun
memindahkan kalung untaian bunga dari leher Raden Narasoma ke leher Raden Pandu.
Raden Narasoma teringat saat berkunjung ke Pancala dulu, antara Raden Pandu dan
Dewi Madrim telah terjalin perasaan saling menyukai. Kebetulan hari itu Dewi Madrim juga
ikut menyertainya. Ia pun menyerahkan adiknya itu kepada Raden Pandu supaya dijadikan
sebagai istri kedua. Raden Pandu dengan senang hati menerimanya, sekaligus untuk
mendekatkan kekeluargaan sesama keturunan Resi Manumanasa.
Tiba-tiba datang Arya Tuhayata dari Kerajaan Mandraka yang ditugasi Prabu
Mandrapati untuk menjemput pulang Raden Narasoma. Mendengar ayahnya sudah tidak
marah lagi, Raden Narasoma merasa senang dan ia pun mohon pamit kepada Prabu
Kuntiboja untuk pulang ke Mandraka.

ROMBONGAN RADEN PANDU DIHADANG RADEN SUMAN


Sementara itu, Prabu Suwala raja Gandaradesa telah meninggal dunia. Takhta
kerajaan pun diwarisi putra sulungnya yang bergelar Prabu Gendara. Hari itu Prabu
Gendara berangkat ke Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara pilih bersama adik-
adiknya, yaitu Dewi Gendari, Raden Suman, Raden Anggajaksa, dan Raden Sarabasanta.
Dalam perjalanan tersebut, rombongan Prabu Gendara bertemu Raden Pandu yang
sedang menuju Kerajaan Hastina bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Menyadari dirinya
telah terlambat, Prabu Gendara pun berniat pulang ke Gandaradesa, namun Raden Suman
menghasutnya supaya merebut Dewi Kunti dari tangan Raden Pandu.
Prabu Gendara termakan hasutan adiknya, dan ia pun menantang Raden Pandu
bertarung. Jika dirinya yang menang, maka Dewi Kunti akan diminta untuk diboyong ke
Gandaradesa. Sebaliknya, jika Raden Pandu yang menang, maka Prabu Gendara akan
KITAB WAYANG PURWA

menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Gendari untuk diboyong ke Kerajaan Hastina.
Raden Pandu pun menerima tantangan tersebut.
Pertarungan dimulai. Hanya dalam beberapa serangan, Raden Pandu berhasil
menewaskan Prabu Gendara. Sebelum meninggal, Prabu Gendara sempat berpesan
kepada adik-adiknya untuk tidak membalas dendam. Ia telah merelakan kematiannya demi
untuk menjadi sarana kebahagiaan Dewi Gendari.
Dewi Gendari, Raden Suman, dan yang lain terharu melihat pengorbanan sang kakak.
Mereka lalu membagi rombongan menjadi dua. Dewi Gendari dan Raden Suman mengikuti
Raden Pandu pergi ke Kerajaan Hastina sesuai perjanjian tadi, sedangkan Raden
Anggajaksa dan Raden Sarabasanta membawa pulang jenazah Prabu Gendara.

RADEN DRETARASTRA MEMILIH DEWI GENDARI


Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, dan segenap keluarga besar Kerajaan
Hastina menyambut kedatangan Raden Pandu yang berhasil memboyong tiga orang putri
sekaligus. Mereka juga ikut prihatin dan menyampaikan duka cita atas meninggalnya Prabu
Gendara.
Raden Pandu berniat menyerahkan dua orang di antara ketiga putri tersebut kepada
kedua saudaranya, yaitu Raden Dretarastra dan Raden Yamawidura. Raden Dretarastra
bersedia menerima, sedangkan Raden Yamawidura menolak karena ia mengaku telah
memiliki seorang kekasih bernama Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra. Adapun
Adipati Dipacandra adalah pemimpin Kadipaten Pagombakan, yaitu sebuah negeri kecil
bawahan Kerajaan Hastina. Raden Yamawidura berniat menikahi Dewi Padmarini kelak
setelah kedua kakaknya menikah lebih dulu.
Raden Pandu pun mempersilakan Raden Dretarastra yang lebih tua agar mengambil
dua orang putri sekaligus. Namun, Raden Dretarastra bersedia mengambil satu saja karena
Raden Pandu yang telah bekerja keras memenangkan mereka, sehingga adiknya itu
dianggap yang lebih pantas mendapatkan dua orang istri.
Karena menderita tunanetra, Raden Dretarastra pun meminta bantuan sang guru,
yaitu Resiwara Bisma untuk memilihkan salah satu putri sebagai istrinya. Resiwara Bisma
menyarankan agar Raden Dretarastra mengambil Dewi Gendari saja, karena usianya lebih
tua daripada Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Raden Dretarastra setuju dan Raden Pandu pun
menyerahkan putri dari Gandaradesa tersebut kepada kakaknya.
Dewi Gendari sangat kecewa namun tidak dapat membantah karena menyadari
dirinya hanyalah seorang putri boyongan. Raden Suman juga kecewa karena sang kakak
menjadi istri seorang tunanetra. Namun, ia berusaha menghibur Dewi Gendari bahwa
Raden Dretarastra adalah putra sulung Prabu Kresna Dwipayana. Kelak, jika Prabu Kresna
Dwipayana mengundurkan diri dan kembali menjadi Resi Abyasa, maka takhta Kerajaan
Hastina akan dipegang oleh Raden Dretarastra sebagai raja yang baru. Itu artinya, Dewi
Gendari akan menjabat sebagai permaisuri kerajaan.
Dewi Gendari merasa sedikit terhibur. Ia berharap ucapan adiknya itu dapat menjadi
kenyataan. Setelah dirasa cukup, Raden Suman pun mohon pamit kembali ke Kerajaan
Gandaradesa untuk menerima warisan takhta dari sang kakak sulung yang telah meninggal
(Prabu Gendara). Ia berjanji, meskipun sudah menjadi raja di sana akan tetap sering-sering
mengunjungi Dewi Gendari di Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PANDU GROGOL
Kisah ini menceritakan Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi Bagawan Abyasa,
sedangkan Raden Pandu dilantik menjadi raja Hastina menggantikan dirinya. Kisah
dilanjutkan dengan awal mula Raden Suman (yang kelak menjadi Patih Sengkuni)
menetap di Hastina, serta kisah Prabu Pandu mendapatkan kutukan setelah memanah
dua ekor kijang penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita dan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan
sedikit pengembangan.
Kediri, 02 Mei 2016
Heri Purwanto

Prabu Pandu Dewanata

RADEN PANDU MENJADI RAJA HASTINA


Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina dihadap para menteri dan punggawa,
antara lain Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya
Bargawa, dan Arya Bilawa. Hari itu Sang Prabu merasa sudah tiba saatnya untuk
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai raja sementara. Dulu ia bersedia menduduki
takhta Hastina adalah karena dipaksa Resiwara Bisma untuk mewakili adiknya yang mati
muda, yaitu mendiang Prabu Citrawirya. Selain itu, Prabu Kresna Dwipayana juga menikahi
kedua janda adiknya tersebut, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Ia menyatakan
bersedia menjadi raja, tetapi hanya sementara saja, yaitu sampai putra-putra hasil
perkawinan mereka telah dewasa dan dianggap mampu untuk memimpin Kerajaan Hastina.
Kini ketiga putra Prabu Kresna Dwipayana yang lahir dari Dewi Ambika dan Dewi
Ambalika telah dewasa, yaitu Raden Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden
Yamawidura. Prabu Kresna Dwipayana lalu memanggil mereka bertiga agar ikut bergabung
dalam pertemuan tersebut, untuk menerima keputusan siapa yang berhak menjadi raja.
Ketiga pangeran tersebut telah hadir. Prabu Kresna Dwipayana lalu meminta pendapat
Resiwara Bisma selaku ahli waris sah Kerajaan Hastina, tentang siapa di antara mereka
KITAB WAYANG PURWA

yang pantas menjadi raja. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden Dretarastra adalah
putra sulung Prabu Kresna Dwipayana, namun sayangnya, ia menderita cacat tunanetra
sejak lahir. Oleh sebab itu, Resiwara Bisma mengusulkan agar Raden Pandu saja yang
dilantik sebagai raja baru di Kerajaan Hastina.
Raden Dretarastra tertunduk kecewa mendengar usulan Resiwara Bisma. Namun, ia
menyadari bahwa dirinya memang memiliki kekurangan. Akhirnya, ia pun setuju jika Raden
Pandu yang diangkat sebagai raja. Sebaliknya, Raden Pandu merasa tidak enak hati
kepada sang kakak. Ia memohon kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma
agar Raden Dretarastra saja yang diangkat sebagai raja.
Raden Yamawidura si bungsu dipersilakan ikut bicara. Ia mencoba bersikap adil
dengan menguraikan alasan mengapa Resiwara Bisma tidak setuju jika Raden Dretarastra
yang menjadi raja. Menurut Raden Yamawidura, seorang raja yang tunanetra sangat mudah
untuk dihasut pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan. Bahkan, seorang raja yang
memiliki penglihatan sehat saja masih dapat tertipu oleh laporan palsu, apalagi seorang raja
yang tidak dapat melihat secara langsung. Memang benar, andaikan Raden Dretarastra
menjadi raja, ia akan dilindungi oleh Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Krepa, dan
sebagainya. Akan tetapi, tidak mungkin setiap hari setiap malam mereka selalu berada di
sisi raja. Yang dikhawatirkan adalah munculnya orang licik yang bisa menyampaikan
laporan palsu pada saat raja sedang sendirian.
Setelah mendengar uraian dari Raden Yamawidura tersebut, semua orang kini merasa
jelas duduk perkaranya. Raden Dretarastra pun menyatakan rela dan senang jika adiknya
yang dilantik. Lagipula kehebatan Raden Pandu sudah terbukti, antara lain pernah menjadi
jago dewa menumpas Prabu Nagapaya, kemudian mengamankan Kerajaan Sriwedari dan
Singgela, hingga memenangkan sayembara pilih di Kerajaan Mandura.
Karena semua pihak sudah menyatakan setuju, Prabu Kresna Dwipayana pun
menetapkan Raden Pandu sebagai raja yang baru di Kerajaan Hastina menggantikan
dirinya. Raden Pandu tidak dapat menolak lagi. Ia pun menyatakan bersedia menerima
keputusan tersebut.
Maka, pada hari itu pula Raden Pandu Dewayana dilantik menjadi raja, bergelar Prabu
Pandu Dewanata. Adapun Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi pendeta di Gunung
Saptaarga, bergelar Bagawan Abyasa.
Kini, Prabu Pandu telah resmi menjadi raja. Ia pun memberikan kedudukan kepada
sang kakak, yaitu Raden Dretarastra sebagai raja bawahan di kota lama Hastina, yaitu
Gajahoya. Raden Dretarastra menerima keputusan tersebut, dan ia pun bergelar Adipati
Dretarastra.

DEWI GENDARI MEMINTA BANTUAN ADIKNYA


Pelantikan Prabu Pandu sebagai raja Hastina membuat Dewi Gendari sangat kecewa.
Kini ia telah merasakan kekecewaan sebanyak dua kali. Pertama, ia kecewa karena gagal
menjadi istri Prabu Pandu dan justru diserahkan kepada Adipati Dretarastra yang buta.
Kedua, ia kecewa karena suaminya gagal menjadi raja.
Untuk mengobati kekecewaannya, Dewi Gendari pun mengirimkan surat kepada
adiknya, yaitu Raden Suman yang telah menjadi raja di Gandaradesa, bergelar Prabu
Trigantalpati. Dalam surat tersebut ia meminta bantuan sang adik agar mengusahakan
suaminya, atau mungkin keturunannya kelak supaya bisa menjadi raja Hastina. Jika tidak,
maka Dewi Gendari merasa lebih baik mati saja.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Trigantalpati sejak kecil sangat menyayangi kakaknya itu. Setelah membaca
surat tersebut, ia pun mengolah akal bagaimana caranya untuk bisa menetap di Kerajaan
Hastina, agar bisa menyingkirkan Prabu Pandu dan keturunannya. Prabu Trigantalpati lalu
mengirim surat kepada seorang raja bernama Prabu Suwelaraja di Kerajaan Surasrata.
Surat tersebut ditulisnya sendiri, namun seolah-olah ditulis oleh Dewi Kunti.

PRABU SUWELARAJA MENYERANG KERAJAAN HASTINA


Prabu Suwelaraja di Kerajaan Surasrata dulu ikut melamar Dewi Kunti di Kerajaan
Mandura, namun ia tidak terpilih dan juga kalah dalam pertarungan melawan Raden
Narasoma. Hari itu ketika sedang duduk sendirian, tiba-tiba datang seorang dayang yang
mengaku diutus Dewi Kunti dari Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat. Prabu
Suwelaraja menerima surat itu dan membaca isinya dengan penasaran. Surat tersebut
berisi kekecewaan Dewi Kunti menjadi istri Prabu Pandu di Hastina, padahal sebenarnya ia
ingin menjadi istri Prabu Suwelaraja. Dewi Kunti juga menyesal mengapa dulu tidak memilih
Prabu Suwelaraja dalam sayembara, sehingga akhirnya kini jatuh ke tangan Prabu Pandu
yang tidak disukainya. Surat tersebut ditutup pula dengan permintaan Dewi Kunti agar
Prabu Suwelaraja merebutnya dari tangan Prabu Pandu, atau ia memilih bunuh diri saja.
Prabu Suwelaraja tergetar perasaannya setelah membaca surat tersebut. Ia tidak
menyadari bahwa surat itu sesungguhnya palsu belaka dan merupakan tulisan Prabu
Trigantalpati. Dayang yang membawa surat itu juga bukan orang Hastina, melainkan orang
Gandaradesa. Namun, Prabu Suwelaraja terlanjur percaya dan tanpa pikir panjang, ia pun
berangkat menyerang Kerajaan Hastina dengan membawa pasukan besar.

PRABU TRIGANTALPATI MENGABDI KE HASTINA


Prabu Pandu di Kerajaan Hastina terkejut karena tiba-tiba negerinya diserang Prabu
Suwelaraja dari Kerajaan Surasrata. Pertempuran sengit pun terjadi. Pada saat itulah tiba-
tiba datang Prabu Trigantalpati bersama kedua adiknya, yaitu Raden Anggajaksa dan
Raden Sarabasanta. Mereka membawa pasukan Gandaradesa yang langsung bergabung
dengan pihak Hastina untuk menghancurkan pasukan Surasrata.
Demikianlah, Prabu Trigantalpati berhasil mengadu domba Kerajaan Hastina dengan
Surasrata, kemudian ia tampil sebagai pahlawan. Dalam perang tersebut, ia dan kedua
adiknya berhasil membunuh Prabu Suwelaraja dan menghadapkan mayatnya kepada
Prabu Pandu.
Prabu Pandu berterima kasih atas bantuan pihak Gandaradesa, sehingga keadaan
Hastina kini menjadi aman kembali. Ia pun berniat memberikan hadiah kepada Prabu
Trigantalpati atas jasa-jasanya tersebut. Namun, Prabu Trigantalpati meminta hadiah yang
aneh, yaitu ia ingin diterima mengabdi sebagai punggawa di Kerajaan Hastina. Ia mengaku
tidak bisa jauh dari kakaknya, yaitu Dewi Gendari, yang kini menjadi istri Adipati Dretarastra.
Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam suka dan duka, sehingga Prabu Trigantalpati
merasa tidak bisa hidup jika tidak melihat Dewi Gendari setiap hari.
Prabu Pandu terkesan melihat kesetiaan Prabu Trigantalpati kepada Dewi Gendari.
Sebaliknya, Raden Yamawidura merasa curiga. Sungguh aneh jika Prabu Trigantalpati
yang sudah menjadi raja di Gandaradesa tiba-tiba ingin meninggalkan takhta dan memilih
menjadi punggawa di Hastina. Raden Yamawidura pun meminta Prabu Pandu agar lebih
bijak dalam bersikap dan tidak buru-buru mengabulkan permintaan Prabu Trigantalpati yang
aneh tersebut.
Prabu Trigantalpati tidak mau kalah. Ia pun menangis di hadapan Prabu Pandu dan
mengatakan bahwa bisa berada di dekat Dewi Gendari adalah kebahagiaan paling besar
KITAB WAYANG PURWA

dalam hidupnya. Baginya, duduk di atas takhta Gandaradesa tidak ada artinya jika hidupnya
jauh dari sang kakak.
Adipati Dretarastra yang hadir di tempat itu pun menjelaskan bahwa setiap hari istrinya
selalu bercerita tentang Prabu Trigantalpati. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dan
saling menyayangi sehingga tidak bisa hidup berjauhan satu sama lain. Maka, Adipati
Dretarastra pun berlawanan pendapat dengan Raden Yamawidura. Ia meminta agar Prabu
Pandu mengabulkan keinginan Prabu Trigantalpati menjadi punggawa Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu akhirnya menerima saran dari kakaknya. Ia pun menerima Prabu
Trigantalpati sebagai punggawa di Kerajaan Hastina. Tidak hanya itu, ia juga memberikan
sebidang tanah di daerah Plasajenar sebagai tempat tinggal Prabu Trigantalpati. Adapun
letak Plasajenar berdekatan dengan kota lama Gajahoya, tempat tinggal Adipati Dretarastra
dan Dewi Gendari, sehingga Prabu Trigantalpati bisa setiap saat bertemu dengan kakaknya
tersebut.
Prabu Trigantalpati sangat berterima kasih. Ia pun mengangkat kedua adiknya sebagai
raja wakil di Gandaradesa, dengan gelar Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu
Sarabasanta. Prabu Trigantalpati sendiri mulai saat itu tinggal di Plasajenar sebagai
punggawa Kerajaan Hastina, dan ia kembali memakai nama lama, yaitu Arya Suman.
Sementara itu, Raden Yamawidura merasa kecewa dalam hati. Namun, karena Prabu
Pandu sudah memutuskan demikian, ia tidak kuasa menentang lagi. Dalam hatinya muncul
firasat bahwa Arya Suman kelak akan menjadi sumber kekacauan di Kerajaan Hastina.

PRABU PANDU MELINDUNGI PELARIAN DARI MALAKA


Pada suatu hari Prabu Pandu pergi bertamasya bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim
mengunjungi hutan wisata Pramuwana yang dulu dibangun oleh Prabu Kresna Dwipayana
(Bagawan Abyasa). Yang ikut bersama mereka adalah Arya Banduwangka dengan
membawa sedikit prajurit serta para panakawan.
Di tengah jalan, Prabu Pandu bertemu seorang laki-laki berpakaian compang-camping
yang mengaku bernama Nakoda Darwa. Laki-laki itu mengaku baru saja mendapatkan
musibah bertubi-tubi. Prabu Pandu merasa kasihan dan memberinya makan. Namun,
Nakoda Darwa tidak selera karena ia sedang bersedih hati setelah kehilangan anak
gadisnya.
Nakoda Darwa bercerita bahwa dirinya berasal dari Kerajaan Malaka di tanah
seberang. Pada suatu hari ia memergoki istrinya berselingkuh dengan Raden Sadrasa,
putra raja Malaka. Nakoda Darwa pun mengamuk dan berkelahi dengan Raden Sadrasa.
Dalam perkelahian itu, Raden Sadrasa tewas, sedangkan istri Nakoda Darwa bunuh diri
karena malu.
Prabu Dasarna raja Malaka sangat marah mendengar putranya tewas. Ia pun
memerintahkan agar Nakoda Darwa dihukum mati atas dosa-dosanya. Nakoda Darwa
ketakutan dan ia pun melarikan diri bersama putrinya yang bernama Rara Dremi ke Tanah
Jawa.
Akan tetapi, sesampainya di Tanah Jawa, Nakoda Darwa justru mendapatkan
musibah. Anak gadisnya tiba-tiba hilang karena diculik oleh seorang pendeta bernama Resi
Kindama. Kini Nakoda Darwa terlunta-lunta seorang diri dengan keadaan memprihatinkan.
Di satu sisi ia dikejar-kejar pasukan Malaka, dan di sisi lain ia bingung mencari keberadaan
Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat kasihan melihat keadaan Nakoda Darwa. Ia pun berjanji akan
melindungi laki-laki itu dan siap membantu mencari anak gadisnya sampai ketemu.
KITAB WAYANG PURWA

NAKODA DARWA MENINGGAL DUNIA


Tidak lama kemudian, datang pula pasukan Malaka yang dipimpin seorang punggawa
bernama Arya Wirawangsa. Kedatangan mereka adalah untuk menangkap Nakoda Darwa
dan membawanya kembali ke Kerajaan Malaka. Prabu Pandu menjelaskan bahwa Nakoda
Darwa kini berada dalam perlindungan Kerajaan Hastina. Lagipula, Nakoda Darwa
membunuh pangeran Malaka itu karena istrinya diselingkuhi Raden Sadrasa, bukan karena
sengaja ingin membunuh.
Arya Wirawangsa tidak peduli. Ia pun mengancam Prabu Pandu akan merebut Nakoda
Darwa secara paksa, dan bila perlu melalui pertempuran. Arya Banduwangka marah
mendengarnya dan segera tampil melindungi rajanya. Maka, sekejap kemudian terjadilah
pertempuran antara para prajurit Hastina melawan pihak Malaka.
Dalam pertempuran itu, Arya Banduwangka berhasil meringkus Arya Wirawangsa dan
menghadapkannya kepada Prabu Pandu. Akan tetapi, Prabu Pandu sendiri sangat terkejut
melihat Nakoda Darwa duduk diam di atas batu tanpa bergerak lagi. Ternyata laki-laki itu
sudah meninggal dunia. Rupanya selama ini Nakoda Darwa berjuang melawan penderitaan
batin karena istrinya berselingkuh dan putrinya hilang diculik orang. Maka, begitu
mendengar Prabu Pandu berjanji akan melindunginya dan juga siap membantu mencari
Rara Dremi sampai ketemu, seketika Nakoda Darwa merasa lega dan nyawanya pun
terlepas dengan tenang.
Karena Nakoda Darwa telah meninggal, Prabu Pandu pun menyuruh Arya
Banduwangka membebaskan Arya Wirawangsa. Prabu Pandu lalu menulis surat kepada
Prabu Dasarna di Malaka agar peristiwa ini tidak perlu diperpanjang. Ia pun meminta agar
Kerajaan Malaka dan Kerajaan Hastina menjalin persahabatan.
Prabu Pandu lalu menitipkan surat tersebut kepada Arya Wirawangsa dan juga
memberikan sejumlah uang dan makanan kepadanya sebagai bekal perjalanan pulang ke
Malaka. Arya Wirawangsa berterima kasih dan segera mohon pamit meninggalkan tempat
itu bersama seluruh pasukannya.

PRABU PANDU MEMANAH DUA EKOR KIJANG


Prabu Pandu dan rombongannya akhirnya sampai di Hutan Pramuwana. Ia lalu pergi
berburu bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim, sedangkan Arya Banduwangka dan para
panakawan mengawal di belakang. Tidak lama kemudian, mereka melihat ada sepasang
kijang sedang berkasih-kasihan di balik semak-semak.
Dewi Kunti menyarankan agar Prabu Pandu mencari sasaran yang lain, karena tidak
sebaiknya mengganggu hewan yang sedang kawin. Sebaliknya, Dewi Madrim meminta
sang suami agar memanah kedua kijang tersebut karena ini sangat menguntungkan. Dalam
sekali panah, Prabu Pandu akan mendapatkan dua kijang sekaligus.
Prabu Pandu sebenarnya tidak tega. Namun, karena Dewi Madrim merengek terus-
menerus, Prabu Pandu pun melepaskan panahnya. Seketika panah tersebut melesat dan
menembus kedua kijang dalam sekaligus. Sungguh ajaib, kedua kijang itu berubah menjadi
sepasang manusia, laki-laki dan perempuan.
Prabu Pandu terkejut gugup dan segera mendatangi pasangan itu yang sekarat
terkena panahnya. Yang perempuan akhirnya meninggal lebih dulu. Yang laki-laki merintih
kesakitan, mengaku bernama Resi Kindama. Ia merasa ini adalah hukun karma karena
dirinya telah menculik Rara Dremi, putri Nakoda Darwa. Pada mulanya Rara Dremi tidak
mau mengikuti Resi Kindama. Namun, gadis tersebut akhirnya menurut setelah terkena Aji
Pengasihan yang dikerahkan sang pendeta. Karena takut ketahuan Nakoda Darwa, maka
KITAB WAYANG PURWA

Resi Kindama pun mengubah wujudnya menjadi kijang jantan, serta mengubah wujud Rara
Dremi menjadi kijang betina. Keduanya lalu berzinah dalam wujud hewan tersebut. Tak
disangka, tiba-tiba Prabu Pandu datang dan memanah mereka berdua.
Prabu Pandu menyesal telah berbuat ceroboh. Ia pun meminta maaf dan menawarkan
pengobatan untuk luka Resi Kindama. Namun, Resi Kindama menolak tegas. Ia merasa
tidak ingin hidup lagi setelah kekasihnya tewas. Pendeta itu pun mengutuk Prabu Pandu
kelak akan kehilangan kesaktiannya jika bersetubuh dengan istrinya. Setelah mengutuk
demikian, Resi Kindama lalu tewas menyusul Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat menyesal. Ia pun menguburkan kedua jasad tersebut, kemudian
mengajak rombongan kembali ke Kerajaan Hastina.

PRABU PANDU PERGI BERTAPA DI GUNUNG SAPTAARGA


Sesampainya di istana, Prabu Pandu segera menceritakan peristiwa yang dialaminya
kepada Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, dan Raden Yamawidura. Dalam pertemuan
itu Prabu Pandu menyampaikan niatnya untuk bertapa menebus dosa dan menyerahkan
takhta Kerajaan Hastina kepada Adipati Dretarastra selama kepergiannya.
Resiwara Bisma berusaha menghibur keponakannya itu, bahwa ini semua bukan
salah Prabu Pandu. Bagaimanapun juga Resi Kindama telah berdosa karena menculik Rara
Dremi putri Nakoda Darwa, sehingga ia mendapatkan karma melalui panah Prabu Pandu.
Oleh sebab itu, Prabu Pandu tidak perlu bertapa menebus dosa, karena ia hanyalah menjadi
sarana dewata untuk menghukum pendeta jahat tersebut.
Namun, Prabu Pandu tidak setuju. Meskipun Resi Kindama berdosa telah menculik
Rara Dremi, namun gadis tersebut juga ikut mati terkena panah. Prabu Pandu tetap merasa
bersalah karena ia sendiri telah berjanji kepada mendiang Nakoda Darwa untuk mencari
dan menemukan putrinya. Sungguh sayang, Rara Dremi sendiri justru tewas di tangan
Prabu Pandu.
Kini, Prabu Pandu telah membulatkan tekadnya untuk hidup menyepi di Gunung
Saptaarga. Resiwara Bisma akhirnya mengizinkan, namun ia memberi saran agar
pertapaan tersebut dilaksanakan selama tiga tahun saja. Kelak setelah tiga tahun, Prabu
Pandu harus kembali untuk memimpin Kerajaan Hastina. Prabu Pandu mematuhi. Ia
kemudian menyerahkan takhta Hastina kepada Adipati Dretarastra sebagai raja wakil
selama kepergiannya.
Demikianlah, Prabu Pandu pun berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk memulai
hidup menyepi di sana. Kedua istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim memohon untuk
ikut serta. Mereka tidak mau ditinggal di istana karena sebagai istri, mereka merasa wajib
untuk mendampingi suami dalam suka maupun duka. Tidak hanya mereka berdua, para
panakawan pun ikut pula menemani kepergian Prabu Pandu menuju ke tempat pertapaan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

KISAH
PANDAWA -
KURAWA
KITAB WAYANG PURWA

PUNTADEWA LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran putra pertama Prabu Pandu, yaitu Raden Puntadewa
yang merupakan sulung dari Pandawa Lima. Kisah diawali dengan Resi Druwasa
mengubah Raden Seta, putra Prabu Matsyapati menjadi tiga bayi, yang diberi nama
Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka. Kemudian dilanjutkan dengan
pelantikan Prabu Salya sebagai raja Mandraka, serta kisah awal mula negeri Awangga
menjadi bawahan Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita dan Serat Pedalangan karya Adipati Mangkunagara VII,
dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Mei 2016
Heri Purwanto

Batara Darma

LAHIRNYA RADEN UTARA DAN RADEN WRATSANGKA


Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata dihadap putra tunggalnya, yaitu Raden Seta,
beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Kincaka, Arya Rupakinca, Arya
Rajamala, dan Arya Nirbita. Hadir pula seorang pendeta tua pengelana bernama Resi
Druwasa yang merupakan guru Prabu Matsyapati.
Resi Druwasa ini pernah menjadi guru Dewi Kunti saat berkelana ke negeri Mandura
dulu. Kali ini ia pun berkelana ke negeri Wirata dan telah beberapa bulan lamanya menjadi
guru bagi Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Hari itu Prabu Matsyapati telah menamatkan pelajarannya dan ia pun berterima kasih
kepada Resi Druwasa. Sebelum mereka berpisah, Prabu Matsyapati memohon untuk diberi
sarana agar bisa berputra lagi. Prabu Matsyapati mengeluh karena ia hanya memiliki
seorang putra, sedangkan kakaknya yaitu mendiang Dewi Durgandini telah memiliki banyak
anak dan cucu. Bahkan, dua orang cucunya, yaitu Adipati Dretarastra dan Prabu Pandu
juga telah berumah tangga.
Sementara itu, Prabu Matsyapati hanya memiliki seorang putra saja, yaitu Raden Seta
yang kini telah berusia empat puluh tahun tetapi belum menikah, apalagi memiliki anak.
Sehari-hari ia hanya sibuk belajar dan berlatih meningkatkan kesaktian. Untuk itu, Prabu
Matsyapati pun memohon sarana kepada Resi Druwasa agar bisa berputra lagi, sehingga
silsilah Kerajaan Wirata dapat berkembang lebih banyak.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Druwasa menyatakan bersedia. Ia lalu meminta agar Prabu Matsyapati


memanggil sang permaisuri Dewi Sudaksina. Setelah Dewi Sudaksina hadir di pertemuan,
Resi Druwasa pun mengheningkan cipta sejenak, lalu menyampaikan ramalannya.
Ramalan tersebut berbunyi, Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina akan memiliki tambahan
dua orang putra lagi dan satu orang putri. Kedua putra tersebut akan tercipta jika Raden
Seta bersedia kembali menjadi bayi, sedangkan yang perempuan akan lahir secara normal
dari rahim Dewi Sudaksina beberapa puluh tahun lagi.
Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina lalu bertanya kepada Raden Seta apakah
bersedia dikembalikan menjadi bayi agar bisa memiliki adik. Raden Seta menyatakan
bersedia namun dengan syarat, ia tidak ingin kehilangan semua ilmu dan kesaktian yang
telah ia pelajari selama ini. Resi Druwasa menjelaskan apabila Raden Seta kembali menjadi
bayi, maka ia akan kehilangan kesaktiannya hanya untuk sementara saja. Kelak setelah
dewasa, hendaknya Raden Seta pergi bertapa ke Gunung Suhrini, maka semua
kesaktiannya akan kembali lagi seperti sediakala, bahkan semakin bertambah banyak.
Mendengar penjelasan tersebut, Raden Seta pun menyatakan siap dikembalikan
menjadi bayi demi kebahagiaan ayah dan ibunya. Resi Druwasa segera mengadakan sesaji
dan membaca mantra. Perlahan-lahan tubuh Raden Seta menyusut semakin kecil dan
mengecil, hingga kembali menjadi bayi. Kemudian bayi tersebut berubah menjadi tiga, yang
masing-masing berwarna putih, kuning, dan merah. Resi Druwasa lalu menyerahkan ketiga
bayi tersebut kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina bahagia menerima ketiga bayi itu. Mereka
berharap dengan lahirnya ketiga bayi laki-laki ini, maka silsilah Kerajaan Wirata dapat
berkembang lagi. Bayi yang berkulit putih pun ditetapkan sebagai yang paling tua dan diberi
nama Raden Seta. Sementara itu, bayi yang berkulit kuning diberi nama Raden Utara,
sedangkan bayi yang berkulit merah diberi nama Raden Wratsangka.
Resi Druwasa kembali mengheningkan cipta sambil mulutnya mengucapkan ramalan.
Kelak beberapa puluh tahun lagi Dewi Sudaksina akan mengandung dan melahirkan si anak
bungsu. Anak bungsu tersebut berkelamin perempuan dan berkulit hitam manis. Hendaknya
Prabu Matsyapati memberinya nama Dewi Utari yang kelak akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa.
Prabu Matsyapati penasaran dan bertanya mengapa Dewi Utari harus lahir di masa
depan, mengapa tidak saat ini saja? Resi Druwasa pun menjelaskan bahwa Dewi Utari akan
lahir ke dunia bersamaan dengan kelahiran laki-laki yang akan menjadi jodohnya, yaitu
Raden Abimanyu, cucu Prabu Pandu Dewanata.

ARYA NIRBITA KEMBALI MENJADI BAYI


Tiba-tiba Arya Nirbita memberanikan diri ikut bicara. Sejak bayi ia sudah ditinggal mati
ayahnya, yaitu Raden Setatama (saudara Dewi Sudaksina). Tidak lama kemudian ibunya
yang bernama Dewi Kandini juga ikut meninggal dunia. Setelah menjadi yatim piatu, Arya
Nirbita pun diasuh Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina untuk dibesarkan bersama-sama
dengan Raden Seta.
Sejak kecil Arya Nirbita dan Raden Seta adalah kawan sepermainan. Hubungan
mereka sudah seperti saudara kandung. Kini Raden Seta telah kembali menjadi bayi dan
berubah menjadi tiga. Hal itu membuat Arya Nirbita merasa sedih dan kehilangan teman.
Maka, ia pun memohon kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina agar dirinya juga
diubah menjadi bayi, sehingga bisa menjadi kawan sepermainan Raden Seta dan kedua
adiknya tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Matsyapati lalu memohon kepada Resi Druwasa agar mengabulkan keinginan
keponakannya itu. Resi Druwasa terkesan melihat ketulusan Arya Nirbita. Ia
mengheningkan cipta sesaat dan melihat gambaran di masa depan bahwa Raden Seta,
Raden Utara, dan Raden Wratsangka akan gugur semua dalam sebuah perang besar di
Tegal Kurusetra, sedangkan Arya Nirbita selamat. Bahkan, Arya Nirbita kemudian menjadi
ahli waris Kerajaan Wirata menggantikan Prabu Matsyapati. Resi Druwasa lalu membuka
mata namun tidak tega menyampaikan ramalan tersebut kepada Prabu Matsyapati dan
Dewi Sudaksina.
Tanpa banyak bicara, Resi Druwasa lalu membaca mantra dan mengubah tubuh Arya
Nirbita kembali menjadi bayi. Ia kemudian menyerahkan bayi tersebut kepada Prabu
Matsyapati dan Dewi Sudaksina untuk diasuh bersama-sama dengan Raden Seta, Raden
Utara, dan Raden Wratsangka. Setelah itu, Resi Druwasa mohon pamit kepada mereka
berdua. Ia berkata bahwa ini mungkin adalah pertemuan yang terakhir bagi mereka. Setelah
berkata demikian, pendeta tua itu pun lenyap dari pandangan, pergi entah ke mana.

PRABU MATSYAPATI MENDAPAT UNDANGAN KE MANDRAKA


Tidak lama kemudian datanglah utusan dari Kerajaan Mandraka, bernama Arya
Tuhayata yang menghadap Prabu Matsyapati. Arya Tuhayata menyampaikan berita duka
bahwa rajanya, yaitu Prabu Mandrapati telah meninggal dunia. Sang putra mahkota, yaitu
Raden Narasoma akan dilantik sebagai raja yang baru, namun menung Prabu Matsyapati
sangat terkejut dan bersedih mendengar berita duka tersebut. Bagaimanapun juga
hubungan antara Kerajaan Wirata dan Mandraka sudah terjalin sekian lama. Bahkan, raja
pertama Mandraka, yaitu Prabu Kardana Mandrakusuma adalah mantan punggawa
Kerajaan Wirata pada masa pemerintahan Prabu Basukiswara.
Tanpa membuang-buang waktu, Prabu Matsyapati pun berpamitan kepada Dewi
Sudaksina. Mengenai pesta syukuran atas lahirnya Raden Seta, Raden Utara, dan Raden
Wratsangka dapat ditunda nanti setelah ia kembali dari Kerajaan Mandraka. Selama
kepergiannya nanti, urusan Kerajaan Wirata diserahkan kepada Patih Kincaka dan Arya
Rajamala. Setelah dirasa cukup, Prabu Matsyapati lalu berangkat dengan dikawal Arya
Rupakinca.

KERAJAAN MANDRAKA DISERANG KERAJAAN AWANGGA


Sementara itu, di Kerajaan Mandraka sedang terjadi pertempuran. Awal mulanya ialah
seorang raksasa dari Kerajaan Awangga yang bernama Patih Taksana datang untuk
melamar Dewi Madrim menjadi permaisuri rajanya yang bernama Prabu Rudraksa. Raden
Narasoma selaku tuan rumah menjelaskan bahwa saat ini Kerajaan Mandraka sedang
berkabung karena meninggalnya Prabu Mandrapati. Lagipula Dewi Madrim sudah menjadi
istri Prabu Pandu, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada Prabu Rudraksa.
Patih Taksana mengaku sudah mendapatkan kewenangan penuh dari Prabu
Rudraksa. Ia pun meminta Raden Narasoma agar menceraikan Dewi Madrim dengan Prabu
Pandu supaya bisa diboyong ke Kerajaan Awangga. Raden Narasoma marah terhadap
sikap lancang Patih Taksana. Namun, Patih Tuhayana berusaha menyabarkannya. Sang
Patih pun meminta Raden Narasoma untuk tetap menunggui jenazah Prabu Mandrapati,
sedangkan dirinya yang maju menghadapi Patih Taksana.
Maka, tidak lama kemudian terjadilah pertempuran antara pasukan Awangga melawan
pasukan Mandraka. Dalam pertempuran itu Patih Tuhayana tewas digigit lehernya oleh
Patih Taksana.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Narasoma sangat marah dan hampir saja terjun ke medan perang. Namun,
tiba-tiba datang pasukan Hastina yang dipimpin Adipati Dretarastra yang langsung
membantu pihak Mandraka. Patih Taksana meremehkan Adipati Dretarastra yang
tunanetra. Namun, begitu terpegang oleh lawan, tubuh Patih Taksana langsung hancur
menjadi abu terkena Aji Leburgeni milik raja wakil dari Hastina tersebut.

RADEN NARASOMA DILANTIK MENJADI PRABU SALYA


Keadaan kini telah aman kembali. Adipati Dretarastra datang bersama Dewi Gendari
dan Arya Suman dari Kerajaan Hastina untuk menyampaikan belasungkawa atas
meninggalnya Prabu Mandrapati. Ia memohon maaf atas ketidakhadiran Prabu Pandu,
Dewi Kunti, dan Dewi Madrim karena mereka bertiga sedang menjalani masa penyepian di
Gunung Saptaarga, demi untuk menghilangkan kutukan Resi Kindama.
Raden Narasoma mengaku sudah mendengar peristiwa tersebut. Ia memaklumi jika
mereka bertiga tidak bisa hadir di Kerajaan Mandraka. Tidak lama kemudian datang pula
rombongan Prabu Matsyapati dari Wirata, rombongan Prabu Gandabayu dari Pancala, serta
rombongan Prabu Kuntiboja dari Mandura. gu restu dari Prabu Matsyapati selaku sesepuh
para raja di Tanah Jawa.
Prabu Matsyapati sangat terkejut dan bersedih mendengar berita duka tersebut.
Bagaimanapun juga hubungan antara Kerajaan Wirata dan Mandraka sudah terjalin sekian
lama. Bahkan, raja pertama Mandraka, yaitu Prabu Kardana Mandrakusuma adalah mantan
punggawa Kerajaan Wirata pada masa pemerintahan Prabu Basukiswara.
Tanpa membuang-buang waktu, Prabu Matsyapati pun berpamitan kepada Dewi
Sudaksina. Mengenai pesta syukuran atas lahirnya Raden Seta, Raden Utara, dan Raden
Wratsangka dapat ditunda nanti setelah ia kembali dari Kerajaan Mandraka. Selama
kepergiannya nanti, urusan Kerajaan Wirata diserahkan kepada Patih Kincaka dan Arya
Rajamala. Setelah dirasa cukup, Prabu Matsyapati lalu berangkat dengan dikawal Arya
Rupakinca.

KERAJAAN MANDRAKA DISERANG KERAJAAN AWANGGA


Sementara itu, di Kerajaan Mandraka sedang terjadi pertempuran. Awal mulanya ialah
seorang raksasa dari Kerajaan Awangga yang bernama Patih Taksana datang untuk
melamar Dewi Madrim menjadi permaisuri rajanya yang bernama Prabu Rudraksa. Raden
Narasoma selaku tuan rumah menjelaskan bahwa saat ini Kerajaan Mandraka sedang
berkabung karena meninggalnya Prabu Mandrapati. Lagipula Dewi Madrim sudah menjadi
istri Prabu Pandu, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada Prabu Rudraksa.
Patih Taksana mengaku sudah mendapatkan kewenangan penuh dari Prabu
Rudraksa. Ia pun meminta Raden Narasoma agar menceraikan Dewi Madrim dengan Prabu
Pandu supaya bisa diboyong ke Kerajaan Awangga. Raden Narasoma marah terhadap
sikap lancang Patih Taksana. Namun, Patih Tuhayana berusaha menyabarkannya. Sang
Patih pun meminta Raden Narasoma untuk tetap menunggui jenazah Prabu Mandrapati,
sedangkan dirinya yang maju menghadapi Patih Taksana.
Maka, tidak lama kemudian terjadilah pertempuran antara pasukan Awangga melawan
pasukan Mandraka. Dalam pertempuran itu Patih Tuhayana tewas digigit lehernya oleh
Patih Taksana.
Raden Narasoma sangat marah dan hampir saja terjun ke medan perang. Namun,
tiba-tiba datang pasukan Hastina yang dipimpin Adipati Dretarastra yang langsung
membantu pihak Mandraka. Patih Taksana meremehkan Adipati Dretarastra yang
KITAB WAYANG PURWA

tunanetra. Namun, begitu terpegang oleh lawan, tubuh Patih Taksana langsung hancur
menjadi abu terkena Aji Leburgeni milik raja wakil dari Hastina tersebut.

RADEN NARASOMA DILANTIK MENJADI PRABU SALYA


Keadaan kini telah aman kembali. Adipati Dretarastra datang bersama Dewi Gendari
dan Arya Suman dari Kerajaan Hastina untuk menyampaikan belasungkawa atas
meninggalnya Prabu Mandrapati. Ia memohon maaf atas ketidakhadiran Prabu Pandu,
Dewi Kunti, dan Dewi Madrim karena mereka bertiga sedang menjalani masa penyepian di
Gunung Saptaarga, demi untuk menghilangkan kutukan Resi Kindama.
Raden Narasoma mengaku sudah mendengar peristiwa tersebut. Ia memaklumi jika
mereka bertiga tidak bisa hadir di Kerajaan Mandraka. Tidak lama kemudian datang pula
rombongan Prabu Matsyapati dari Wirata, rombongan Prabu Gandabayu dari Pancala, serta
rombongan Prabu Kuntiboja dari Mandura.
Setelah semua tamu lengkap, Raden Narasoma pun memimpin upacara pemakaman
Prabu Mandrapati Naradenta. Upacara tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelantikan
dirinya sebagai raja yang baru menggantikan sang ayah, dengan bergelar Prabu Salyapati
Somadenta. Upacara pelantikan tersebut dipimpin oleh Prabu Matsyapati selaku sesepuh
para raja di Tanah Jawa.
Demikianlah, kini Prabu Salya telah resmi menduduki takhta Kerajaan Mandraka. Ia
kemudian mengangkat Arya Tuhayata sebagai patih yang baru untuk menggantikan Patih
Tuhayana yang telah gugur dalam pertempuran kemarin.
Setelah beberapa hari, Prabu Matsyapati, Prabu Kuntiboja, Prabu Gandabayu, dan
Adipati Dretarastra mohon pamit kembali ke negeri masing-masing. Adipati Dretarastra tidak
langsung pulang ke Kerajaan Hastina, melainkan berniat singgah terlebih dulu ke Gunung
Saptaarga untuk menjenguk ayah dan adiknya di sana.

RESI DRUWASA MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA


Sementara itu, Resi Druwasa yang telah meninggalkan Kerajaan Wirata, kini datang
mengunjungi Gunung Saptaarga. Bagawan Abyasa, Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi
Madrim pun menyambut kedatangan pendeta tua pengelana tersebut. Lebih-lebih Dewi
Kunti sangat menaruh hormat kepada Resi Druwasa yang pernah menjadi gurunya tersebut.
Kyai Semar pun menjelaskan hubungan silsilah Resi Druwasa dengan Bagawan
Abyasa. Dahulu kala, pendiri padepokan di Gunung Saptaarga, yaitu Resi Manumanasa
memiliki kakak perempuan bernama Dewi Kaniraras yang menikah dengan Empu
Kanomayasa di Kerajaan Wirata. Setelah Empu Kanomayasa meninggal karena
kecelakaan kerja, Dewi Kaniraras pun menjadi istri Prabu Durapati di Kerajaan Duhyapura.
Dari perkawinan itu lahirlah Resi Dwapara.
Resi Dwapara kemudian berguru kepada Resi Manumanasa, namun kemudian ia
berkhianat setelah kalah bersaing melawan sepupunya, yaitu Resi Satrukem (putra Resi
Manumanasa) dalam memperebutkan Dewi Nilawati. Resi Dwapara kemudian menjadi
menantu pamannya yang lain, yaitu Arya Paridarma (adik bungsu Resi Manumanasa) di
Desa Gandara (sekarang menjadi Kerajaan Gandaradesa). Dari perkawinan itu lahirlah Resi
Druwasa.
Resi Dwapara yang selalu memusuhi Resi Manumanasa dan berusaha ingin
membunuhnya, akhirnya tewas sendiri di tangan Resi Satrukem. Sementara itu, putranya
yaitu Resi Druwasa bertobat dan menjadi murid Resi Manumanasa. Resi Druwasa pun
dikaruniai umur panjang sehingga bisa hidup sampai saat ini dan berkelana mengunjungi
berbagai negeri untuk membagi-bagikan ilmunya.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, silsilah Resi Druwasa terhitung sebagai sepupu Batara Sakri (putra Resi
Satrukem), sehingga Bagawan Abyasa pun memanggil “eyang” kepadanya. Hari itu, Resi
Druwasa datang ke Gunung Saptaarga untuk berpamitan karena sudah tiba saatnya ia
meninggalkan dunia fana. Ia selalu teringat masa mudanya yang berwatak jahat karena
setiap hari dihasut oleh ayahnya (Resi Dwapara) untuk memusuhi keluarga Resi
Manumanasa. Namun, berkat kesabaran Resi Manumanasa dalam mendidiknya, sedikit
demi sedikit watak jahat Resi Druwasa luntur dan kini ia pun menjadi pendeta tua yang
welas asih dan selalu berusaha membantu siapa saja yang kekurangan.

RESI DRUWASA MEMBERIKAN SARANA BERPUTRA KEPADA PRABU PANDU


Resi Druwasa telah berubah watak dari seorang jahat menjadi welas asih adalah sejak
berguru di Gunung Saptaarga. Maka, ia ingin Gunung Saptaarga menjadi tempat baginya
untuk melepaskan jiwa dan memasuki alam baka. Namun demikian, ia mendapat perintah
dari dewata untuk memberikan sarana kepada Prabu Pandu agar bisa berputra. Rupanya
Resi Druwasa telah mendengar tentang peristiwa Prabu Pandu memanah dua ekor kijang
penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi, sehingga mendapat kutukan akan bernasib
celaka apabila bersetubuh dengan istrinya. Tentu saja hal ini menyebabkan Prabu Pandu
tidak akan bisa memiliki keturunan seumur hidupnya.
Untuk itu, Resi Druwasa pun datang dengan membawa sebutir Mangga
Pertanggajiwa, yaitu buah makanan para dewa. Buah mangga tersebut akan dijadikan
sebagai sarana agar Prabu Pandu bisa memiliki keturunan. Caranya, Resi Druwasa terlebih
dulu mengupas mangga tersebut dan memisahkan dagingnya dari biji. Setelah itu, ia
bersamadi mengheningkan cipta untuk menyerap saripati air mani dari dalam tubuh Prabu
Pandu. Saripati air mani tersebut keluar dalam wujud cahaya dan ditanam dalam daging
Mangga Pertanggajiwa.
Resi Druwasa meramalkan kelak Dewi Kunti akan melahirkan tiga putra, sedangkan
Dewi Madrim melahirkan dua putra sebagai penutup. Maka, Resi Druwasa pun membelah
daging mangga yang sudah bercampur dengan saripati benih Prabu Pandu itu menjadi lima.
Yang tiga potong diserahkan kepada Dewi Kunti, sedangkan yang dua potong diserahkan
kepada Dewi Madrim. Kedua permaisuri itu pun menelan semua potongan daging mangga
jatah mereka masing-masing sampai habis.
Demikianlah, kelima potong daging Mangga Pertanggajiwa tersebut digunakan untuk
menanam benih Prabu Pandu di dalam perut Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Dengan
demikian, Prabu Pandu dapat memiliki putra tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Akan
tetapi, benih Prabu Pandu itu baru bisa menjadi janin apabila bertemu dengan benih dalam
rahim Dewi Kunti ataupun Dewi Madrim. Mengenai caranya, hanya dewa yang dapat
melakukannya. Untuk itu, Resi Druwasa pun menyarankan agar Dewi Kunti mengerahkan
Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan seperti yang pernah ia ajarkan dulu.
Resi Druwasa juga berpesan agar Dewi Kunti menjaga jarak umur kelahiran ketiga
putranya. Setelah ketiga putra Dewi Kunti lahir, maka silakan ia mengajarkan ajian tersebut
kepada Dewi Madrim. Mereka tidak perlu khawatir karena potongan daging mangga
tersebut akan tertanam di dalam perut masing-masing dan tidak ikut keluar bersama
kotoran. Prabu Pandu dan kedua istrinya kagum mendengarnya, dan menyatakan patuh
terhadap nasihat Resi Druwasa. Resi Druwasa tersenyum lalu tiba-tiba arwahnya keluar
meninggalkan raga. Sekejap kemudian, jasad pendeta tua itu ikut musnah, bersatu dengan
alam semesta.
Bagawan Abyasa prihatin melihatnya. Ia lalu memimpin upacara penghormatan untuk
mengantarkan arwah sepupu kakeknya itu agar memasuki alam baka dengan tenang dan
bahagia.
KITAB WAYANG PURWA

KELAHIRAN RADEN PUNTADEWA


Setelah upacara penghormatan arwah Resi Druwasa selesai, Prabu Pandu mengajak
Dewi Kunti memasuki sanggar pemujaan. Di dalam tempat itu, Prabu Pandu meminta Dewi
Kunti menggunakan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan untuk
mengundang datangnya dewa. Dewi Kunti bertanya dewa siapa yang akan diundang
datang. Prabu Pandu ingin memiliki putra sulung yang berwatak adil bijaksana agar kelak
dapat memimpin kerajaan dengan sebaik-baiknya. Maka, ia pun meminta agar Batara
Darma yang diundang hadir.
Dewi Kunti mematuhi dan segera membaca mantra ajian tersebut sambil
membayangkan Batara Darma, dewa kebijaksanaan. Tidak lama kemudian Batara Darma
pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi Kunti memohon agar
benih yang ada dalam rahimnya dapat dipersatukan dengan benih Prabu Pandu yang telah
ditanam dalam potongan daging Mangga Pertanggajiwa, agar bisa menjadi janin. Batara
Darma menyatakan bersedia. Dengan kekuasaannya, benih Prabu Pandu dapat bersatu
dengan benih dalam rahim Dewi Kunti menjadi janin, sehingga Dewi Kunti pun mengandung
pada saat itu juga.
Tidak hanya itu, Batara Darma juga mematangkan kandungan Dewi Kunti sehingga
bertambah besar dalam waktu sekejap. Hari itu juga, Dewi Kunti pun melahirkan seorang
bayi laki-laki tanpa kesakitan sedikit pun. Batara Darma memberikan restu kepada bayi
tersebut, kemudian ia lenyap, kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu sangat bersyukur atas kelahiran putra pertamanya. Ia pun menggendong
bayi laki-laki berwajah tampan itu dan memberinya nama, Raden Puntadewa. Nama ini
sebagai pengingat bahwa dirinya dapat berputra berkat bantuan dewata.

DEWI GENDARI MENELAN BIJI MANGGA PERTANGGAJIWA


Tidak lama kemudian, datanglah Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman
mengunjungi Gunung Saptaarga. Mereka mengabarkan perihal kematian Prabu Mandrapati
dan juga pelantikan Raden Narasoma sebagai Prabu Salya, raja Mandraka yang baru.
Bagawan Abyasa, Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim terkejut dan prihatin
mendengar berita ini. Lebih-lebih Dewi Madrim sangat sedih karena tidak bisa menghadiri
pemakaman ayahnya. Karena terlalu berduka, istri kedua Prabu Pandu itu pun jatuh pingsan
dan segera dibawa masuk ke dalam oleh Dewi Kunti.
Dewi Gendari dan Arya Suman merasa heran melihat Dewi Kunti menggendong
seorang bayi laki-laki. Prabu Pandu pun menjelaskan bahwa dirinya memang telah dikutuk
Resi Kindama, namun tetap bisa berputra berkat sarana dari Resi Druwasa. Namun
sayangnya, Resi Druwasa baru saja meninggal dunia.
Arya Suman pun berbisik kepada kakaknya untuk meminta sarana pula agar bisa
segera berputra. Dewi Gendari pun memohon kepada Bagawan Abyasa agar diberi sarana.
Bagawan Abyasa lalu memungut biji Mangga Pertanggajiwa dan memberinya restu agar
menjadi obat penyubur kandungan menantunya itu. Dewi Gendari pun menerima biji
mangga tersebut dan segera menelannya. Bagawan Abyasa lalu berpesan kepada Adipati
Dretarastra agar nanti setelah pulang ke Hastina agar segera melakukan hubungan badan
dengan Dewi Gendari yang kini dalam keadaan subur. Adipati Dretarastra tersipu malu dan
mematuhi nasihat ayahnya.

KERAJAAN AWANGGA MENJADI BAWAHAN HASTINA


Tidak lama kemudian datanglah Prabu Rudraksa dari Kerajaan Awangga yang berniat
merebut Dewi Madrim menjadi istrinya. Prabu Pandu pun maju menghadapi raja raksasa
KITAB WAYANG PURWA

tersebut. Dalam pertempuran itu, Prabu Rudraksa akhirnya tewas terkena panah
Mustikajamus yang dilepaskan Prabu Pandu.
Melihat rajanya tewas, para prajurit raksasa merinding ketakutan. Tiba-tiba salah
seorang raksasa berpakaian pangeran maju memberi hormat kepada Prabu Pandu. Ia
mengaku sebagai putra Prabu Rudraksa yang bernama Raden Kalakarna. Raksasa muda
itu memohon ampun atas kesalahan ayahnya dan ia pun bersedia menerima hukuman dari
Prabu Pandu.
Prabu Pandu terkesan melihat sikap sopan Raden Kalakarna. Ia pun mengizinkan
raksasa muda itu kembali ke negerinya dan menjadi pemimpin di sana. Namun demikian,
mulai saat ini Awangga harus menjadi negeri bawahan Kerajaan Hastina. Raden Kalakarna
mematuhi dan bersedia melaksanakan keputusan tersebut. Prabu Pandu merasa puas dan
mempersilakan Raden Kalakarna beserta pasukannya pulang ke Awangga dengan
membawa serta jasad Prabu Rudraksa.
Setelah keadaan kembali tenang, Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman
pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina. Di sepanjang jalan, Arya Suman berpikir
bagaimana caranya agar dapat menyingkirkan putra Prabu Pandu yang ternyata lahir lebih
dulu dibanding putra kakaknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

DRUPADA KAWISUDA
Kisah ini menceritakan Prabu Pandu meninggalkan Gunung Saptaarga untuk kembali
memimpin Kerajaan Hastina, di mana ia bertemu Raden Sucitra dari negeri Atasangin.
Selanjutnya Prabu Pandu membantu Raden Sucitra memenangkan sayembara yang
diadakan Raden Gandamana di Kerajaan Pancala. Setelah sayembara itu, Raden
Gandamana ikut mengabdi di Kerajaan Hastina sebagai patih, sedangkan Raden Sucitra
menjadi raja Pancala, bergelar Prabu Drupada.
Kisah ini saya susun dan saya olah sedemikian rupa dengan memadukan sumber Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan buku
Kempalan Balungan Pedhalangan karya Ki Suratno Guno Wihardjo.
Kediri, 13 Mei 2016
Heri Purwanto

Raden Sucitra melawan Raden Gandamana dalam sayembara di Kerajaan Pancala.

PATIH JAYAYATNA MENINGGAL DUNIA


Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina sedang dihadap para menteri dan punggawa,
yaitu Raden Yamawidura, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, Arya Bilawa, dan
Arya Suman. Hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara Bisma. Dalam pertemuan itu
mereka membahas tentang Patih Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit beberapa
hari lalu.
Adipati Dretarastra meminta izin kepada Resiwara Bisma untuk mengangkat patih
baru di Kerajaan Hastina. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Adipati Dretarastra hanyalah
raja wakil sehingga tidak berwenang mengangkat patih, kecuali atas persetujuan raja yang
sah, yaitu Prabu Pandu Dewanata. Raden Yamawidura membenarkan pendapat Resiwara
Bisma. Dalam hal ini, Adipati Dretarastra hanya bisa mengajukan calon saja, sedangkan
yang berhak menyetujui pelantikannya adalah Prabu Pandu.
Arya Suman menyela ikut bicara. Ia bertanya apakah yang boleh diajukan sebagai
calon patih haruslah menteri atau punggawa sepuh yang sudah lama mengabdi? Apakah
punggawa muda yang baru bergabung juga boleh diajukan sebagai patih jika memang
memenuhi syarat? Apabila hanya punggawa lama saja yang boleh diajukan, maka sudah
tentu Arya Banduwangka yang memiliki peluang paling besar.
Resiwara Bisma memahami arah pembicaraan Arya Suman yang ingin mengajukan
dirinya sendiri sebagai patih Kerajaan Hastina. Maka, daripada berlarut-larut, ia pun
KITAB WAYANG PURWA

menyerahkan keputusan kepada Adipati Dretarastra untuk menentukan nama-nama calon


patih, yang nantinya akan disampaikan kepada Prabu Pandu di Gunung Saptaarga untuk
mendapatkan persetujuan.
Ternyata Adipati Dretarastra menyetujui usulan Arya Suman, bahwa jabatan patih
tidak harus dipegang oleh punggawa lama, tetapi punggawa yang baru pun berhak
mendapatkan kesempatan apabila memang memenuhi syarat. Maka, ia lantas memilih dua
nama, yaitu Arya Banduwangka dan Arya Suman sebagai calon patih baru yang
menggantikan mendiang Patih Jayayatna. Arya Banduwangka adalah senapati angkatan
perang Hastina yang memiliki kesaktian paling tinggi dibanding para punggawa lainnya,
sedangkan Arya Suman adalah punggawa baru namun memiliki kecerdasan luar biasa di
atas rata-rata.
Demikianlah keputusan Adipati Dretarastra. Raden Yamawidura pun diperintahkan
untuk menyampaikan hal ini kepada Prabu Pandu di Gunung Saptaarga agar mendapat
pengesahan. Raden Yamawidura menerima tugas tersebut lalu mohon pamit berangkat
dengan ditemani seorang punggawa muda, putra mendiang Patih Jayayatna yang bernama
Arya Jayasemedi.
Setelah dirasa cukup, Adipati Dretarastra pun membubarkan pertemuan. Ia masuk ke
dalam kedaton menemui istrinya, yaitu Dewi Gendari yang sedang hamil muda. Dewi
Gendari meminta sang suami mengusahakan Arya Suman agar terpilih menjadi patih.
Namun, Adipati Dretarastra mengaku hanya bisa memberikan jalan saja, karena keputusan
sepenuhnya tetap berada di tangan Prabu Pandu. Dalam hal ini ia merasa prihatin karena
sebagai putra sulung Bagawan Abyasa ternyata tidak memiliki wewenang apa-apa. Ia pun
berharap kelak putranya bisa lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat, sehingga tidak
memiliki nasib seperti dirinya.

BATARA NARADA MENEMUI PRABU PANDU DI GUNUNG SAPTAARGA


Prabu Pandu di Gunung Saptaarga sedang bersamadi bersama Bagawan Abyasa.
Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada membangunkan anak dan ayah tersebut.
Keduanya pun membuka mata dan segera menyampaikan sembah hormat kepada Batara
Narada.
Batara Narada datang ke Gunung Saptaarga bukan untuk membebaskan Prabu
Pandu dari kutukan Resi Kindama, tetapi untuk menyampaikan pesan dari Batara Guru.
Pesan tersebut berupa pilihan, apakah Prabu Pandu dan kedua istrinya akan selamanya
menyepi di Gunung Saptaarga demi menebus dosa atas pembunuhan Resi Kindama dan
Rara Dremi, ataukah kembali ke Kerajaan Hastina untuk memimpin negara?
Prabu Pandu menimbang-nimbang sejenak, kemudian menjawab dengan tegas
bahwa ia ingin kembali memimpin Kerajaan Hastina meskipun belum terbebas dari kutukan.
Batara Narada bertanya apa yang menjadi tujuan Prabu Pandu ingin kembali menjadi raja,
apakah agar bisa berkuasa dan memerintah rakyat seperti dulu lagi? Prabu Pandu pun
menjawab, bahwa ia sama sekali tidak menganggap takhta sebagai bentuk kekuasaan.
Baginya, seorang raja bukanlah majikan rakyat, tetapi justru pelayan rakyat. Ia ingin kembali
menjadi raja adalah demi untuk melayani dan membahagiakan seluruh rakyat Hastina,
bukan untuk berkuasa atas diri mereka.
Batara Narada lalu bertanya apakah Prabu Pandu sudah tidak takut pada kutukan Resi
Kindama, yaitu jika bersetubuh dengan istrinya maka ia akan medapat celaka? Prabu Pandu
menjawab hidup dan mati adalah suratan takdir Yang Mahakuasa. Selama ini yang ia
takutkan bukanlah kematian, tetapi jangan-jangan seumur hidup tidak memiliki keturunan.
Sungguh beruntung, beberapa bulan yang lalu Resi Druwasa datang memberikan sarana
KITAB WAYANG PURWA

berupa Mangga Pertanggajiwa yang bisa digunakan untuk menanam benih Prabu Pandu di
dalam rahim kedua istrinya. Dengan cara demikian, Prabu Pandu bisa mendapatkan
keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Bahkan, berkat sarana itu, Dewi Kunti
telah melahirkan Raden Puntadewa dengan bantuan Batara Darma.
Prabu Pandu kini tidak memiliki rasa khawatir lagi. Soal kutukan Resi Kindama akan
ia cegah sekuat tenaga dengan cara puasa senggama. Sedangkan mengenai dosa atas
pembunuhan Rara Dremi akan ia tebus dengan cara membantu orang sebanyak-
banyaknya dan melayani rakyat sebaik-baiknya.
Batara Narada dan Bagawan Abyasa terkesan mendengar jawaban Prabu Pandu.
Batara Narada lalu mengabarkan bahwa Kerajaan Hastina baru saja kehilangan menteri
utamanya, yaitu Patih Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit. Adipati Dretarastra
telah mengutus Raden Yamawidura untuk menyampaikan dua nama, yaitu Arya
Banduwangka dan Arya Suman kepada Prabu Pandu untuk dipilih salah satu menjadi patih
yang baru. Namun demikian, Batara Narada memberikan petunjuk bahwa calon patih yang
pantas untuk menggantikan Patih Jayayatna bukanlah mereka, tetapi Raden Gandamana,
pangeran Kerajaan Pancala.
Prabu Pandu heran mengapa Raden Gandamana yang harus menjadi patih Hastina,
bukankah dia adalah pangeran mahkota Kerajaan Pancala, putra dari Prabu Gandabayu?
Batara Narada pun menjelaskan bahwa pangeran mahkota Kerajaan Pancala yang
sesungguhnya bernama Raden Sucitra, yang saat ini sedang bertapa di kaki Gunung
Saptaarga. Adapun Raden Gandamana sudah mengetahui sejarah keluarganya dan ia tidak
memiliki keinginan menjadi raja Pancala. Oleh sebab itu, Batara Narada pun menugasi
Prabu Pandu untuk bisa mempertemukan Raden Sucitra dengan Prabu Gandabayu.
Dengan demikian, maka Raden Gandamana akan ikut mengabdi kepada Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu mematuhi perintah tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada
segera undur diri kembali ke kahyangan.

PRABU PANDU BERTEMU RADEN SUCITRA


Prabu Pandu telah membulatkan tekad untuk meninggalkan Gunung Saptaarga dan
kembali ke Kerajaan Hastina. Bagawan Abyasa pun memberikan restu semoga putranya itu
selalu menjadi raja yang baik, yang bisa membahagiakan rakyatnya, serta semoga Prabu
Pandu bisa mengendalikan nafsu birahi agar terhindar dari kutukan Resi Kindama. Prabu
Pandu berterima kasih kepada sang ayah, lalu mohon pamit berangkat bersama Dewi Kunti,
Dewi Madrim, dan para panakawan. Raden Puntadewa yang masih berusia tiga bulan pun
dibawa serta naik kereta.
Begitu sampai di kaki Gunung Saptaarga, rombongan Prabu Pandu bertemu seorang
laki-laki yang bertapa di bawah pohon rindang. Laki-laki itu pasti yang bernama Raden
Sucitra, sebagaimana petunjuk dari Batara Narada. Prabu Pandu pun membangunkannya,
dan ternyata benar, ia mengaku bernama Sucitra dari negeri Atasangin di tanah seberang.
Prabu Pandu lalu bertanya mengapa Raden Sucitra bertapa di kaki Gunung
Saptaarga. Raden Sucitra bercerita bahwa dirinya adalah putra mendiang Prabu Drupara
dari Kerajaan Duhyapura. Ketika Kerajaan Duhyapura hancur diserang Prabu Bahlika dari
Sewandapura, Raden Sucitra masih bayi dan diselamatkan oleh Resi Baradwaja (adik
sepupu Prabu Drupara). Resi Baradwaja lalu membesarkan Raden Sucitra bersama dengan
putranya yang bernama Bambang Kumbayana di negeri Atasangin.
Setelah dewasa, Raden Sucitra diberi tahu Resi Baradwaja bahwa ketika Kerajaan
Duhyapura runtuh diserang musuh, harta pusaka negeri itu diselamatkan oleh Patih
Suganda, yang kabarnya kini membangun Kerajaan Pancala di Tanah Jawa. Resi
KITAB WAYANG PURWA

Baradwaja pun memerintahkan Raden Sucitra selaku ahli waris sah Kerajaan Duhyapura
untuk meminta haknya kepada Patih Suganda yang kini bergelar Prabu Gandabayu itu.
Maka, berangkatlah Raden Sucitra ke Tanah Jawa. Namun, ia merasa bimbang
karena tidak mungkin Prabu Gandabayu menyerahkan takhta begitu saja kepada dirinya.
Meskipun Prabu Gandabayu adalah mantan bawahan Prabu Drupara, tapi Kerajaan
Pancala adalah hasil keringatnya sendiri, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada orang
lain semudah itu.
Karena bingung harus meneruskan perjalanan ke Pancala ataukah pulang ke
Atasangin, Raden Sucitra akhirnya duduk bersamadi di pinggir jalan. Ia lalu didatangi Batara
Narada yang memberikan petunjuk bahwa dirinya akan mendapatkan kembali hak atas
takhta apabila mengabdi kepada seorang raja bernama Prabu Pandu Dewanata. Untuk itu,
Batara Narada pun memerintahkan Raden Sucitra agar bertapa di kaki Gunung Saptaarga.
Kelak, Prabu Pandu sendiri yang akan membangunkannya dari samadi.
Prabu Pandu terkesan mendengar cerita Raden Sucitra. Ia pun menerima pengabdian
laki-laki dari tanah seberang itu dan mengajaknya bersama-sama menuju Kerajaan Hastina.

PRABU PANDU BERTEMU RADEN YAMAWIDURA


Dalam perjalanan menuju Hastina, rombongan Prabu Pandu bertemu Raden
Yamawidura dan Arya Jayasemedi yang sedang dikeroyok puluhan orang bertopeng.
Raden Sucitra segera turun tangan membantu. Orang-orang bertopeng itu dapat ditumpas
dan sisanya melarikan diri.
Pada saat itulah muncul Arya Suman yang mengaku hendak membantu Raden
Yamawidura menghadapi para musuh bertopeng. Raden Yamawidura curiga dari mana
Arya Suman tahu kalau dirinya baru saja dikeroyok orang-orang bertopeng. Apakah sejak
tadi Arya Suman mengintip dari kejauhan, ataukah jangan-jangan para penyerang
bertopeng tadi adalah orang-orang suruhan Arya Suman sendiri?
Arya Suman terkejut siasatnya diketahui Raden Yamawidura. Sesungguhnya orang-
orang bertopeng tadi adalah para prajurit dari Kerajaan Gandaradesa yang menyamar
sebagai perampok untuk mengeroyok Raden Yamawidura dan Arya Jayasemedi. Nanti jika
keduanya telah terdesak barulah Arya Suman tampil sebagai pahlawan mengusir orang-
orang bertopeng itu. Dengan demikian, Raden Yamawidura akan merasa berhutang budi
kepadanya dan pasti akan meminta kepada Prabu Pandu agar dirinya saja yang dijadikan
sebagai patih, bukan Arya Banduwangka yang tidak punya jasa. Tak disangka, siasat Arya
Suman itu gagal total karena tiba-tiba muncul Raden Sucitra bersama rombongan Prabu
Pandu yang langsung membantu Raden Yamawidura.
Arya Suman berusaha membela diri, sedangkan Raden Yamawidura mendesaknya
agar mengakui kelicikannya. Prabu Pandu pun melerai mereka berdua. Tidak penting siapa
sebenarnya para perampok bertopeng tadi, yang penting Raden Yamawidura tidak terluka.
Prabu Pandu lalu memperkenalkan Raden Sucitra sebagai saudara angkatnya, lalu mereka
pun bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Hastina.

DATANGNYA UNDANGAN SAYEMBARA DARI KERAJAAN PANCALA


Prabu Pandu dan rombongannya telah sampai di Kerajaan Hastina. Mereka disambut
bahagia oleh Resiwara Bisma dan Adipati Dretarastra yang mendengar keputusan Prabu
Pandu untuk kembali memimpin negara. Adipati Dretarastra pun menyerahkan takhta
kepada adiknya itu, sedangkan ia kembali menduduki jabatannya sebagai raja bawahan di
kotalama Gajahoya.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandu berterima kasih kepada sang kakak yang telah memimpin Kerajaan
Hastina dengan baik selama dirinya menyepi di Gunung Saptaarga. Adipati Dretarastra dan
Resiwara Bisma lalu menjelaskan perihal kematian Patih Jayayatna dan menyerahkan
kepada Prabu Pandu untuk memilih siapa yang menjadi penggantinya, apakah Arya
Banduwangka yang sakti, ataukah Arya Suman yang cerdas.
Prabu Pandu menjawab bahwa dirinya telah mendapatkan petunjuk dari dewata,
bahwa bukan mereka yang akan menduduki jabatan patih. Sebentar lagi akan ada orang
lain yang sama saktinya dengan Arya Banduwangka, dan juga sama cerdasnya dengan
Arya Suman. Orang itulah yang akan dilantik sebagai patih Kerajaan Hastina oleh Prabu
Pandu.
Tiba-tiba muncul seorang punggawa yang mengaku berasal dari Kerajaan Pancala.
Punggawa itu bernama Arya Drestaketu yang membawa surat undangan dari rajanya, yaitu
Prabu Gandabayu. Prabu Pandu menerima surat tersebut dan membaca isinya, bahwa
Prabu Gandabayu mengundang para raja dan pangeran dari berbagai negeri untuk
mengikuti sayembara tanding melawan Raden Gandamana demi mendapatkan jodoh untuk
Dewi Gandawati.
Prabu Pandu merasa ini adalah kesempatan baginya untuk membantu Raden Sucitra
mendapatkan haknya, sekaligus menarik Raden Gandamana menjadi menteri utama
Kerajaan Hastina. Maka, Prabu Pandu pun menyanggupi undangan tersebut dan
mempersilakan Arya Drestaketu kembali ke negeri Pancala untuk melapor kepada rajanya.
Sepeninggal Arya Drestaketu, Prabu Pandu lalu menjelaskan kepada Resiwara Bisma
dan Adipati Dretarastra bahwa melalui sayembara di negeri Pancala inilah, Kerajaan
Hastina akan mendapatkan seorang patih baru yang bijaksana, sakti, dan cerdas. Resiwara
Bisma dan Adipati Dretarastra pun menyetujui rencana Prabu Pandu jika itu memang sudah
menjadi kehendak dewata.
Maka, setelah dirasa cukup Prabu Pandu pun mengajak Raden Sucitra berangkat
menuju Kerajaan Pancala dengan diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong.

RADEN GANDAMANA MENGALAHKAN PARA PELAMAR


Sementara itu di Kerajaan Pancala, Raden Gandamana bertanding menghadapi para
raja dan pangeran yang bermaksud melamar Dewi Gandawati, kakaknya. Satu per satu
para pelamar itu kalah di tangan Raden Gandamana, termasuk Prabu Duskarta dari
Kerajaan Madenda dan Prabu Adireja dari Kerajaan Tunggulmanik.
Setelah para pelamar habis, Prabu Gandabayu mendekati Raden Gandamana dan
memintanya untuk menghentikan sayembara. Di satu sisi Prabu Gandabayu kagum dan
bangga melihat kesaktian putranya itu, namun di sisi lain ia takut Dewi Gandawati menjadi
perawan tua, karena jangan-jangan di dunia ini tidak ada yang bisa memenangkan
sayembara tanding ini.
Raden Gandamana meminta sang ayah untuk tetap tenang dan bersabar, karena ia
mendapatkan firasat bahwa sebentar lagi akan datang seorang laki-laki yang tepat untuk
menjadi suami bagi kakaknya.

RADEN SUCITRA BERTANDING MELAWAN RADEN GANDAMANA


Rombongan Prabu Pandu akhirnya sampai di Kerajaan Pancala dan mendaftarkan
Raden Sucitra sebagai peserta sayembara. Raden Gandamana pun mempersilakan Raden
Sucitra naik ke panggung untuk bertanding dengannya. Maka, terjadilah pertarungan sengit
di antara mereka. Kali ini Raden Gandamana merasa mendapatkan lawan yang kuat. Ia
KITAB WAYANG PURWA

dapat membandingkan bahwa kesaktian Raden Sucitra selaku murid Resi Baradwaja
memang berada di atas rata-rata para pelamar lainnya.
Setelah bertarung cukup lama, tiba-tiba pandangan Raden Sucitra tertuju kepada Dewi
Gandawati yang duduk di samping ayah dan ibunya. Ternyata Dewi Gandawati juga
memerhatikan Raden Sucitra, sehingga saat mata mereka saling beradu pandang, seketika
perasaan Raden Sucitra bagaikan melayang di awang-awang. Akibatnya, Raden Sucitra
menjadi lengah dan tubuhnya tertangkap oleh Raden Gandamana. Sekejap kemudian,
Raden Gandamana pun melemparkan tubuh Raden Sucitra keluar dari gelanggang.
Prabu Pandu segera mendatangi Raden Sucitra dan memintanya untuk kembali
menantang Raden Gandamana. Raden Sucitra mengaku tidak sanggup karena kesaktian
Raden Gandamana berada di atas dirinya. Prabu Pandu meminta Raden Sucitra lebih
memusatkan perhatian kepada lawan dan jangan melihat ke arah Dewi Gandawati. Prabu
Pandu memintanya untuk berusaha dengan sebaik-baiknya, tanpa terlena oleh hadiah apa
yang akan didapatkannya nanti.
Raden Sucitra masih ragu-ragu apakah dirinya bisa mengalahkan Raden Gandamana.
Prabu Pandu lalu melepas sumping di telinganya dan mengatakan bahwa ini adalah
sumping pusaka pemberian dewata. Barangsiapa memakai sumping tersebut maka
kekuatannya akan meningkat seratus kali lipat. Raden Sucitra sangat senang menerimanya.
Ia pun memakai sumping tersebut di telinga dan berangkat menantang Raden Gandamana
dengan penuh percaya diri.
Raden Gandamana senang melihat lawannya bangkit kembali dengan penuh
semangat. Keduanya lalu bertarung lagi dan saling mengerahkan kesaktian. Pertarungan
kali ini jauh lebih dahsyat. Raden Sucitra seolah tidak takut mati dan dengan sekuat tenaga
ia berhasil meringkus Raden Gandamana hingga meringkuk di atas gelanggang.
Raden Gandamana pun mengaku kalah dan menyatakan Raden Sucitra sebagai
pemenang sayembara ini. Raden Sucitra mengaku terus terang bahwa kemenangannya
adalah berkat sumping pusaka yang dipinjamkan oleh Prabu Pandu.
Prabu Pandu maju dan menjelaskan bahwa itu hanyalah sumping biasa sebagai
perhiasan telinga saja, sama sekali bukan sumping pemberian dewa. Kemenangan Raden
Sucitra semata-mata hanyalah karena rasa percaya dirinya telah bangkit dan ia pun
bertarung dengan lebih terarah. Rasa percaya diri itulah yang membuat Raden Sucitra
bersemangat dan mampu mengalahkan Raden Gandamana.

RADEN SUCITRA MENJADI RAJA PANCALA


Prabu Gandabayu dan Dewi Trilaksmi, serta Dewi Gandawati naik ke gelanggang
untuk menyambut sang pemenang. Prabu Gandabayu pun mengumumkan kepada
segenap hadirin yang menonton bahwa Raden Sucitra adalah menantunya, yaitu calon
suami Dewi Gandawati. Tidak hanya itu, Prabu Gandabayu juga berniat turun takhta
menjadi pendeta dan mengangkat Raden Gandamana sebagai raja Pancala yang baru.
Akan tetapi, Raden Gandamana menolak kehendak sang ayah. Ia dengan tegas
menyatakan bahwa takhta Kerajaan Pancala hendaknya diberikan kepada Raden Sucitra
saja. Ia pun menjelaskan bahwa beberapa waktu yang lalu dirinya bertemu sang guru, yaitu
Batara Bayu. Dalam pertemuan itu, Batara Bayu menceritakan tentang sejarah Kerajaan
Pancala kepada Raden Gandamana. Pada mulanya, ada sebuah kerajaan di tanah
seberang bernama Duhyapura yang hancur diserang Prabu Bahlika dari Sewandapura.
Prabu Drupara raja Duhyapura tewas dalam serangan itu, namun putranya yang masih bayi,
bernama Raden Sucitra diselamatkan Resi Baradwaja. Adapun menteri utama Duhyapura
KITAB WAYANG PURWA

yang bernama Patih Suganda berhasil menyelamatkan harta pusaka negerinya dan pindah
ke Tanah Jawa.
Patih Suganda pun diterima Prabu Basukiswara raja Wirata dan mendapatkan hadiah
berupa Hutan Pancala sebagai tempat tinggal. Hutan tersebut dibuka menjadi kerajaan
yang baru, di mana Patih Suganda menjadi raja di sana, bergelar Prabu Gandabayu.
Mendengar cerita tersebut, Raden Gandamana menyimpulkan bahwa Raden Sucitra lebih
berhak menjadi raja Pancala dibanding dirinya. Batara Bayu pun memberikan petunjuk agar
Raden Gandamana menggelar acara sayembara tanding memperebutkan Dewi Gandawati.
Dengan cara demikian, maka Raden Sucitra akan muncul di Kerajaan Pancala dan bisa
menjadi menantu Prabu Gandabayu.
Mendengar cerita tersebut, Prabu Gandabayu sangat terkesan. Rupanya dewata telah
mengatur pertemuan antara dirinya dengan Raden Sucitra, putra mendiang majikannya
dulu. Jika memang Raden Gandamana selaku putra mahkota menolak menjadi raja, maka
tiada salahnya jika Raden Sucitra yang menduduki takhta Kerajaan Pancala. Hal ini
dianggap wajar karena Raden Sucitra telah resmi menjadi menantu Prabu Gandabayu, dan
selain itu, ia juga ahli waris sah dari Prabu Drupara, raja terakhir Duhyapura.
Raden Sucitra terharu mendengar ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan
hak atas takhta kepadanya. Meskipun dirinya adalah putra Prabu Drupara, namun baginya,
Kerajaan Pancala bukanlah miliknya, tetapi pemberian sang mertua atas keikhlasan Raden
Gandamana.
Maka, pada hari yang dianggap baik dilangsungkanlah upacara pernikahan antara
Raden Sucitra dan Dewi Gandawati. Beberapa hari kemudian, Prabu Gandabayu turun
takhta menjadi pendeta, bergelar Begawan Suganda. Raden Sucitra pun dilantik sebagai
raja Pancala yang baru, bergelar Prabu Drupada.
Sementara itu, Patih Jayarana juga mengundurkan diri dari jabatannya untuk
mengikuti Begawan Suganda ke pertapaan. Ia mengusulkan agar jabatannya sebagai patih
diserahkan kepada Arya Drestaketu saja. Prabu Drupada menerima usulan tersebut dan ia
pun melantik Arya Drestaketu sebagai patih yang baru untuk mendampingi dirinya.

RADEN GANDAMANA MENJADI PATIH KERAJAAN HASTINA


Satu bulan lamanya Prabu Pandu tinggal di Kerajaan Pancala. Ia lalu mohon pamit
kepada Prabu Drupada dan Dewi Gandawati untuk kembali ke Kerajaan Hastina. Prabu
Drupada sangat berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan raja Hastina tersebut.
Ia berharap semoga kelak keturunannya bisa menjadi satu keluarga dengan keturunan
Prabu Pandu.
Prabu Pandu lalu bertanya kepada Raden Gandamana apakah sudi jika
mendampinginya sebagai patih di Kerajaan Hastina. Tanpa banyak kata, Raden
Gandamana langsung menyatakan bersedia. Dulu pertama kali Raden Gandamana
berkenalan dengan Prabu Pandu adalah saat dirinya menjadi jago kahyangan menghadapi
amukan Resi Jarwada dari Padepokan Jajarsewu. Sejak saat itu Raden Gandamana
mengagumi sifat bijaksana Prabu Pandu dan ingin sekali menjadi pelayannya. Apalagi
ditambah peristiwa yang baru terjadi, di mana Prabu Pandu mampu membangkitkan
semangat dan rasa percaya diri Prabu Drupada hanya dengan menggunakan sumping
biasa, hal ini membuat Raden Gandamana semakin bertambah kagum kepadanya.
Prabu Drupada sebenarnya membutuhkan bantuan Raden Gandamana untuk
mendampinginya dalam memimpin Kerajaan Pancala. Namun, Kerajaan Hastina jauh lebih
besar dan lebih maju, tentunya lebih membutuhkan menteri sebaik Raden Gandamana. Jika
KITAB WAYANG PURWA

memang Raden Gandamana sudah bertekad demikian, maka Prabu Drupada pun
mengizinkan adik iparnya itu mengabdi di Kerajaan Hastina.
Demikianlah, sesampainya di Kerajaan Hastina, Prabu Pandu pun mengumumkan
Raden Gandamana sebagai patih yang baru untuk menggantikan mendiang Patih
Jayayatna. Resiwara Bisma mendukung keputusan itu karena ia telah mendengar kisah
ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan haknya atas takhta Pancala kepada
Prabu Drupada. Begitu pula dengan Adipati Dretarastra dan Raden Yamawidura, mereka
pun setuju jika Prabu Pandu melantik Raden Gandamana sebagai patih Kerajaan Hastina.
Para menteri dan punggawa, seperti Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa,
dan Arya Bilawa juga menyatakan dukungan mereka. Hanya Arya Suman seorang diri yang
berani menyatakan ketidaksetujuannya. Ia menyebut Raden Gandamana adalah orang
Pancala, mana pantas menjadi patih di Kerajaan Hastina? Namun, Raden Yamawidura
segera membalas pertanyaan itu, bahwa Arya Suman juga orang Gandaradesa, tapi
mengapa berani mencalonkan diri sebagai patih di Hastina?
Arya Suman seketika terdiam tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menyimpan
kekesalan dalam hati. Dirinya pun bertekad suatu hari nanti harus bisa menyingkirkan
Raden Gandamana dan merebut jabatan patih Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

KURAWA LAHIR
Kisah ini menceritakan Dewi Gendari melahirkan segumpal daging yang kemudian
pecah menjadi seratus potong dan diruwat oleh Bagawan Abyasa menjadi seratus
Kurawa. Juga diceritakan lahirnya Raden Bima, putra kedua Parabu Pandu yang
terbungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Kisah ditutup dengan awal
persahabatan antara Prabu Pandu dengan Prabu Tremboko, serta lahirnya Raden
Arimba dan Dewi Arimbi. Kelak Dewi Arimbi akan menjadi jodoh Raden Bima.
Kisah ini saya olah dengan sumber utama dari kitab Mahabharata karya Resi Wyasa,
dengan memasukkan unsur-unsur cerita pedalangan Jawa, serta beberapa dari Serat
Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Kediri, 21 Mei 2016
Heri Purwanto

Adipati Dretarastra

DEWI GENDARI MELAHIRKAN GUMPALAN DAGING


Dewi Gendari, istri Adipati Dretarastra di Gajahoya sudah dua tahun mengandung tapi
belum juga melahirkan. Ia sudah meminta sarana kepada Bagawan Abyasa, namun
mertuanya itu hanya memberi nasihat supaya bersabar. Bagawan Abyasa meramalkan
bahwa yang dikandung Dewi Gendari adalah seratus orang anak, maka kehamilannya pun
memakan waktu lebih lama daripada kehamilan wanita lain pada umumnya yang hanya
sembilan bulan.
Namun, Adipati Dretarastra sebagai suami sudah hilang kesabarannya dan bertanya
itu yang dikandung Dewi Gendari apa benar bayi ataukah penyakit? Dewi Gendari sangat
tersinggung. Ia pun masuk ke dalam kamar dan memukuli perutnya sendiri sekeras-
kerasnya. Karena terus-menerus dipukuli, janin dalam rahim Dewi Gendari akhirnya keluar.
Namun anehnya, janin tersebut tidak berwujud bayi, melainkan berwujud segumpal daging
berwarna merah yang bisa mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas.
Dewi Gendari heran bercampur ngeri. Ia pun mengangkat gumpalan daging itu dan
membantingnya ke lantai dengan perasaan sangat kecewa. Daging itu pun hancur
berantakan menjadi potongan-potongan kecil. Dewi Gendari kemudian jatuh terduduk dan
menjerit keras.
Adipati Dretarastra dan Arya Suman segera masuk ke dalam kamar karena
mendengar suara jeritan. Mereka melihat Dewi Gendari menangis sedih dan bercerita
bahwa dirinya baru saja melahirkan segumpal daging yang kemudian dibantingnya dan kini
KITAB WAYANG PURWA

hancur berantakan. Arya Suman melihat banyak potongan daging berserakan di lantai yang
semuanya mengembang dan mengempis seperti bernapas. Ia segera mengumpulkan
semua daging-daging kecil tersebut dan setelah dihitung ternyata berjumlah seratus potong.
Adipati Dretarastra meminta maaf telah menyinggung perasaan istrinya dan ia pun
segera memanggil tabib untuk merawat Dewi Gendari, serta memerintahkan Arya Suman
untuk melaporkan peristiwa ini kepada Prabu Pandu di istana Hastina. Arya Suman pun
mohon pamit berangkat melaksanakan perintah.

KERAJAAN HASTINA DISERANG PASUKAN RAKSASA PRINGGADANI


Prabu Pandu di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri
Resiwara Bisma, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya
Banduwangka. Mereka sedang membahas tentang Dewi Gendari yang sudah dua tahun
mengandung tetapi belum juga melahirkan. Prabu Pandu mendapatkan firasat buruk dan ia
berniat mengajak Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura pergi ke Kadipaten Gajahoya
untuk menjenguk Dewi Gendari.
Namun, belum sempat mereka berangkat, tiba-tiba datang seorang raksasa yang
mengaku bernama Raden Baka, adik Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani.
Kedatangan Raden Baka adalah untuk menantang Prabu Pandu demi membalaskan
kekalahan leluhurnya, yaitu Prabu Kuramba dan Prabu Rambana di tangan Resi
Manumanasa.
Prabu Kuramba adalah raja pertama Pringgadani yang pernah mengacau Kahyangan
Suralaya karena ingin memperistri bidadari. Ia akhirnya tewas di tangan Resi Manumanasa
yang saat itu masih bernama Raden Kaniyasa selaku jago para dewa. Sepeninggal Prabu
Kuramba, Kerajaan Pringgadani dipimpin putranya yang bernama Prabu Rambana. Ia
datang menyerang Kerajaan Wirata untuk membalas kematian ayahnya. Namun, Prabu
Rambana ini akhirnya menyerah kalah kepada Raden Kaniyasa dan menjadi sekutu Prabu
Basupati, raja Wirata saat itu. Kerajaan Wirata dan Pringgadani pun menjadi sahabat turun-
temurun, hingga akhirnya kini dipimpin oleh Prabu Tremboko.
Namun demikian, Raden Baka masih menyimpan dendam atas kekalahan leluhurnya
di tangan Raden Kaniyasa alias Resi Manumanasa, yang tidak lain adalah leluhur Prabu
Pandu Dewanata. Itulah sebabnya ia pun membawa pasukan Pringgadani untuk
menyerang Kerajaan Hastina, demi membalaskan kekalahan para leluhurnya tersebut.
Patih Gandamana maju menjawab tantangan Raden Baka. Ia siap mewakili Prabu
Pandu untuk menjadi lawan Raden Baka. Nanti, jika dirinya tewas, barulah Raden Baka
bisa menghadapi Prabu Pandu secara langsung. Raden Baka pun setuju dan segera keluar
istana untuk mempersiapkan pasukan.

PATIH GANDAMANA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN PRINGGADANI


Raden Baka telah kembali ke induk pasukannya dan bersiap-siaga menghadapi pihak
Hastina. Tidak lama kemudian datanglah Patih Gandamana beserta Arya Banduwangka,
Arya Bargawa, dan Arya Bilawa dengan membawa pasukan Hastina. Begitu kedua pihak
bertemu, meletuslah pertempuran sengit di antara mereka.
Lewat tengah hari, para raksasa Pringgadani mulai terdesak dan banyak yang tewas.
Raden Baka sendiri kewalahan menghadapi kesaktian Patih Gandamana. Akhirnya, ia pun
memerintahkan sisa-sisa pasukannya mundur meninggalkan Kerajaan Hastina dan
mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas kekalahan.
Setelah keadaan kembali tenang, Arya Suman datang dan segera melapor kepada
Prabu Pandu bahwa kakaknya, yaitu Dewi Gendari telah melahirkan segumpal daging yang
KITAB WAYANG PURWA

bisa bernapas. Prabu Pandu sangat terkejut mendengarnya. Ia pun mengajak Resiwara
Bisma dan Raden Yamawidura berangkat menjenguk ke Gajahoya sebagaimana telah
direncanakan tadi. Adapun Patih Gandamana diperintahkan untuk tetap siaga dan waspada
menjaga keamanan Kerajaan Hastina.

RADEN YAMAWIDURA MENJEMPUT BAGAWAN ABYASA


Prabu Pandu, Resiwara Bisma, Raden Yamawidura, serta Arya Suman telah sampai
di Kadipaten Gajahoya. Adipati Dretarastra yang sedang menunggu di samping tempat tidur
Dewi Gendari, menyambut mereka dan menceritakan apa yang telah terjadi, bahwa sang
istri telah melahirkan segumpal daging yang kini pecah menjadi seratus potong.
Resiwara Bisma, Prabu Pandu, dan Raden Yamawidura heran melihat seratus
potongan daging tersebut tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas.
Resiwara Bisma menyarankan agar Adipati Dretarastra meminta bantuan sang ayah untuk
meruwat daging-daging kecil tersebut. Mendengar itu, Prabu Pandu segera memerintahkan
Raden Yamawidura untuk pergi ke Gunung Saptaarga, menjemput Bagawan Abyasa.
Raden Yamawidura mematuhi dan segera berangkat bersama para panakawan, yaitu
Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.

BAGAWAN ABYASA BERANGKAT KE KADIPATEN GAJAHOYA


Sesampainya di Gunung Saptaarga, Raden Yamawidura dan para panakawan segera
menghadap Bagawan Abyasa. Kepada sang ayah, Raden Yamawidura menceritakan
tentang kakak iparnya, yaitu Dewi Gendari yang telah melahirkan segumpal daging yang
bisa bernapas. Daging itu kini pecah menjadi seratus potongan kecil yang masing-masing
tetap mengembang dan mengempis.
Raden Yamawidura menyampaikan tujuan kedatangannya adalah diutus Prabu Pandu
untuk meminta kesediaan Bagawan Abyasa meruwat keseratus potongan daging tersebut.
Bagawan Abyasa menyatakan bersedia, meskipun dalam hati mendapat firasat bahwa
seratus potong daging tersebut akan berubah menjadi manusia normal, namun selalu
bermusuhan dengan anak-anak Prabu Pandu. Meskipun demikian, Bagawan Abyasa
sebagai orang tua tidak boleh pilih kasih dan harus tetap bersikap adil terhadap semua
keturunannya.
Raden Yamawidura, Bagawan Abyasa, dan para panakawan lalu berangkat menuju
Kadipaten Gajahoya. Di tengah jalan mereka dihadang para raksasa sisa-sisa pengikut
Raden Baka. Terjadilah pertarungan di mana Raden Yamawidura berhasil menumpas habis
semua penghadang tersebut.

BAGAWAN ABYASA MERUWAT SERATUS POTONG DAGING


Sesampainya di Kadipaten Gajahoya, Bagawan Abyasa segera bekerja memasukkan
seratus potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari itu masing-masing ke dalam sebuah
periuk. Dengan demikian terdapat seratus periuk yang masing-masing ditutup dengan
selembar daun talas. Bagawan Abyasa lalu mengadakan upacara sesaji dan membaca
mantra di hadapan seratus periuk tersebut.
Setelah upacara sesaji selesai, Bagawan Abyasa berpesan kepada Adipati
Dretarastra agar menunggui seratus periuk itu selama tiga puluh lima hari. Jika Tuhan Yang
Mahakuasa mengizinkan, maka keseratus potongan daging dalam periuk akan berubah
menjadi bayi normal. Arya Suman menawarkan dirinya saja yang menunggui periuk-periuk
itu, sedangkan Adipati Dretarastra sebaiknya mendampingi Dewi Gendari yang masih
terguncang karena peristiwa ini.
KITAB WAYANG PURWA

Bagawan Abyasa mempersilakan Arya Suman jika ingin menunggui seratus periuk
tersebut. Ia lalu berpesan agar kelak anak-anak Adipati Dretarastra yang berjumlah seratus
hendaknya disebut para Kurawa, yang bermakna “anak-anak Kuru”, yaitu nama Adipati
Dretarastra saat masih muda. Sementara itu, Prabu Pandu yang telah diramalkan mendiang
Resi Druwasa akan memiliki lima orang anak, hendaknya kelima putranya itu disebut para
Pandawa, yang bermakna “anak-anak Pandu”.
Adipati Dretarastra dan Prabu Pandu berterima kasih atas segala bantuan sang ayah.
Bagawan Abyasa lalu undur diri kembali ke Gunung Saptaarga dengan ditemani Raden
Yamawidura dan para panakawan.

LAHIRNYA RADEN BIMA PUTRA KEDUA PRABU PANDU


Tiga puluh empat hari setelah peristiwa itu, Prabu Pandu berunding dengan kedua
istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim di istana Hastina. Hari itu Raden Puntadewa
(putra pertama Prabu Pandu) telah berusia dua tahun, maka sudah saatnya ia memiliki
seorang adik. Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang dulu
telah ditanam di dalam rahimnya agar menjadi seorang bayi.
Sekitar tiga tahun yang lalu telah terjadi peristiwa, yaitu Prabu Pandu memanah
sepasang kijang yang sedang kawin di Hutan Pramuwana. Ternyata kedua kijang itu adalah
penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi. Sebelum tewas, Resi Kindama sempat
mengutuk Prabu Pandu akan bernasib celaka apabila bersetubuh dengan wanita.
Kutukan tersebut membuat Prabu Pandu sangat gelisah. Bukan kematian yang
membuatnya takut, tetapi rasa khawatir jangan-jangan selama hidup tidak memiliki
keturunan. Untungnya, pada suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa
buah Mangga Pertanggajiwa. Daging buah mangga dari kahyangan tersebut digunakan
untuk menyerap saripati benih dari dalam tubuh Prabu Pandu. Dewi Kunti dan Dewi Madrim
lalu menelan potongan daging mangga itu agar tertanam di dalam perut mereka. Dewi Kunti
menelan tiga potong, sedangkan Dewi Madrim menelan dua potong. Sungguh ajaib,
potongan-potongan mangga itu tidak ikut keluar bersama kotoran tetapi mampu menempel
di dalam perut mereka berdua. Dengan cara demikian, Prabu Pandu dapat memiliki
keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya tersebut.
Prabu Pandu kemudian meminta Dewi Kunti mengundang dewa kebijaksanaan agar
membantu mematangkan benih di dalam rahimnya. Maka, Dewi Kunti pun mengundang
Batara Darma menggunakan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan. Batara
Darma pun hadir dan mematangkan benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti. Hanya
dalam sehari saja, Dewi Kunti melahirkan bayi tampan yang diberi nama Raden Puntadewa.
Kini, Raden Puntadewa telah berusia dua tahun dan Prabu Pandu pun meminta Dewi
Kunti untuk mematangkan benih yang kedua. Ia ingin memiliki putra kedua yang gagah
perkasa agar bisa melindungi kakaknya yang bijaksana dan menjaga keamanan negara.
Maka, Dewi Kunti pun membaca mantra sambil membayangkan sosok Batara Bayu.
Sekejap kemudian datanglah Batara Bayu, seorang dewa yang bertubuh gagah dan tinggi
besar, turun dari kahyangan menemui mereka.
Prabu Pandu pun memohon kepada Batara Bayu agar mematangkan benihnya yang
sudah lama ditanam dalam rahim Dewi Kunti. Batara Bayu bersedia dan segera
mengerahkan kesaktiannya. Benih Prabu Pandu tersebut disatukannya dengan benih Dewi
Kunti. Seketika Dewi Kunti pun mengandung. Sama seperti yang sebelumnya, Dewi Kunti
hanya mengandung selama satu hari saja dan langsung membesar, siap untuk dilahirkan.
Demikianlah, Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi pada hari itu juga tanpa
kesakitan. Namun anehnya, bayi itu lahir dalam keadaan terbungkus semacam selaput
KITAB WAYANG PURWA

keras. Prabu Pandu berusaha merobek bungkus tersebut namun tidak berhasil. Batara
Bayu menjelaskan bahwa Pandawa yang nomor dua ini memang ditakdirkan harus
menjalani tapa brata sejak bayi di dalam bungkusnya. Kelak jika waktunya sudah tiba, akan
ada makhluk yang dikirim dewata untuk membuka bungkus tersebut. Prabu Pandu dan Dewi
Kunti diminta untuk bersabar menunggu meski harus bertahun-tahun lamanya, karena kelak
putra mereka itu akan keluar dari dalam bungkus dalam keadaan sakti mandraguna dan
memiliki keperkasaan di atas rata-rata manusia. Prabu Pandu pun diminta untuk meletakkan
bayi berbungkus tersebut di tengah Hutan Mandalasana. Setelah berpesan demikian,
Batara Bayu lalu terbang kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu dan Dewi Kunti merasa tidak tega meletakkan putra kedua mereka itu di
tengah hutan, namun mau tidak mau perintah dewa harus dilaksanakan. Prabu Pandu pun
memberi nama putra keduanya itu, Raden Bima, yang bermakna “dahsyat mengerikan”. Ia
lalu menggendong bayi berbungkus itu dan membawanya pergi menuju Hutan
Mandalasana.

LAHIRNYA RADEN SUYUDANA PUTRA SULUNG ADIPATI DRETARASTRA


Esok harinya, tepat tiga puluh lima hari sejak Bagawan Abyasa meruwat seratus
potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari. Hari itu tiba-tiba langit di Kerajaan Hastina
gelap gulita karena tertutup mendung tebal dengan disertai petir yang menyambar-
nyambar. Suasana semakin mencekam karena terdengar pula suara lolongan anjing hutan
yang bersahut-sahutan.
Prabu Pandu, Resiwara Bisma, dan Raden Yamawidura datang mengunjungi Adipati
Dretarastra di Kadipaten Gajahoya. Hari itu satu periuk telah pecah dan dari dalamnya
keluar seorang bayi laki-laki. Arya Suman segera menggendong bayi tersebut dan
menyerahkannya kepada Dewi Gendari.
Raden Yamawidura melihat pertanda buruk berupa langit gelap dengan disertai suara
petir bersahutan dan lolongan anjing hutan yang mengiringi lahirnya bayi ini. Ia yakin kelak
si bayi akan menjadi sumber malapetaka dunia. Untuk itu, Raden Yamawidura
menyarankan agar bayi ini segera dibunuh sebelum terlambat.
Arya Suman menyebut usulan Raden Yamawidura sangat tidak masuk akal. Jika
benar suara petir dan lolongan anjing hutan itu adalah pertanda buruk, belum tentu
semuanya berhubungan dengan lahirnya bayi ini. Dalam satu hari entah ada berapa bayi
yang lahir di Kerajaan Hastina, bisa jadi suara-suara itu berhubungan dengan salah satu
dari mereka. Arya Suman bertanya apakah Raden Yamawidura akan membunuh semua
bayi yang lahir di hari ini demi mencegah peristiwa buruk yang belum tentu terjadi di masa
depan dan mungkin hanya sebatas ramalan saja.
Prabu Pandu merasa ucapan Arya Suman benar, namun Raden Yamawidura juga
tidak salah. Maka, ia pun menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Adipati Dretarastra
selaku ayah si bayi. Adipati Dretarsatra merasa bimbang. Ia menggendong putra sulungnya
itu dan hendak mencekiknya. Tiba-tiba bayi itu menangis karena melihat tangan ayahnya
bergerak. Adipati Dretarastra sangat gembira ketika menyadari ternyata anaknya itu tidak
buta seperti dirinya. Ia pun menyatakan tidak akan membunuh bayi tersebut. Bahkan, ia
bersumpah akan membunuh siapa saja yang berani menyakiti putranya.
Karena Adipati Dretarastra sudah memutuskan demikian, Raden Yamawidura tidak
berani mendesak lagi. Adipati Dretarastra lalu memberi nama putra sulungnya itu, Raden
Suyudana, yang bermakna “unggul dalam perang”. Ini sebagai sindiran bahwa si anak telah
menang atas Raden Yamawidura yang berniat membunuhnya.
KITAB WAYANG PURWA

LAHIRNYA SEMBILAN PULUH SEMBILAN KURAWA


Demikianlah, setelah Raden Bima lahir pada hari pertama dan Raden Suyudana lahir
pada hari kedua, Kerajaan Hastina kembali berbahagia atas lahirnya bayi laki-laki pada hari
ketiga yang tercipta dari potongan daging dalam periuk. Bayi laki-laki itu selalu tertawa-tawa
sejak dikeluarkan dari dalam periuk. Adipati Dretarastra pun memberi nama putra keduanya
itu, Raden Dursasana.
Pada hari berikutnya, kembali lahir seorang bayi laki-laki dalam periuk, yang diberi
nama Raden Surtayu. Kemudian pada esok harinya, lahir lagi bayi laki-laki yang diberi nama
Raden Durmagati.
Demikianlah, setiap hari lahir bayi laki-laki putra Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari
yang tercipta dari potongan daging dalam periuk. Ada yang dalam sehari lahir satu bayi,
ada pula yang langsung lahir dua bayi sekaligus, dan semuanya berkelamin laki-laki. Hingga
pada akhirnya, lahirlah seorang bayi perempuan sebagai penutup. Adipati Dretarastra
memberi nama anak bungsunya itu, Dewi Dursilawati.
Kini, anak-anak Adipati Dretarastra telah genap berjumlah seratus bayi yang
semuanya tercipta dari seratus potongan daging dalam periuk. Keseratus bayi tersebut
disebut dengan istilah Sata Kurawa, atau Kurawa Seratus.

PRABU TREMBOKO MENYERAH KEPADA PRABU PANDU


Prabu Pandu ikut berbahagia atas kelahiran para keponakannya. Ia pun mengadakan
pesta syukuran di alun alun Kerajaan Hastina, sehingga seluruh rakyat dapat ikut bersuka
ria atas kelahiran para Kurawa tersebut. Hanya Raden Yamawidura saja, satu-satunya
orang yang tidak ikut menghadiri pesta syukuran itu. Ia lebih suka berkemah di Hutan
Mandalasana untuk menunggui Raden Bima, yaitu bayi berbungkus yang dilahirkan Dewi
Kunti beberapa waktu lalu.
Pada hari ketujuh pesta syukuran di Kerajaan Hastina tiba-tiba keadaan berubah
menjadi kacau karena datangnya serangan pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani
yang dipimpin langsung oleh Prabu Tremboko. Kedatangan Prabu Tremboko adalah untuk
membalaskan kekalahan adiknya, yaitu Raden Baka di tangan Patih Gandamana.
Prabu Pandu segera terjun ke medan pertempuran demi melindungi rakyatnya.
Terjadilah pertarungan antara dirinya melawan raja raksasa Pringgadani tersebut. Dalam
pertarungan itu Prabu Pandu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad, di mana ia berhasil
menancapkan tubuh Prabu Tremboko di dalam tanah hingga sebatas dada.
Prabu Tremboko mengaku kalah dan memohon ampun atas kelancangannya
menyerang Kerajaan Hastina. Ia mengaku ini semua karena hasutan Raden Baka yang
ingin membalaskan kekalahan leluhur Kerajaan Pringgadani. Prabu Pandu melihat sorot
mata Prabu Tremboko memancarkan rasa penyesalan. Ia pun terkesan dan segera
membebaskan raja raksasa bertubuh tinggi besar tersebut.
Tidak lama kemudian muncul seorang emban raksasa yang datang dari Pringgadani.
Emban raksasa itu mengabarkan bahwa hari ini permaisuri Prabu Tremboko, yaitu Dewi
Hadimba telah melahirkan dua bayi sekaligus, yang satu laki-laki, dan yang satunya
perempuan. Prabu Tremboko sangat bahagia mendengarnya. Ia menyesal telah menuruti
hasutan Raden Baka sehingga berangkat menyerang Kerajaan Hastina dan meninggalkan
istrinya yang sedang hamil tua.
Prabu Pandu ikut berbahagia atas kelahiran putra dan putri Prabu Tremboko. Ia pun
mengajak Prabu Tremboko mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Prabu
Tremboko sangat terharu melihat kebaikan hati Prabu Pandu. Ia pun memohon agar
KITAB WAYANG PURWA

diterima sebagai murid raja Hastina tersebut. Prabu Pandu mengabulkan permintaan Prabu
Tremboko. Namun demikian, ia menyuruh Prabu Tremboko memanggil “kakang” saja, dan
tidak perlu memanggil “guru” kepadanya.
Prabu Tremboko sangat berterima kasih. Sebagai bukti ketulusannya, ia meminta agar
Prabu Pandu memberikan nama untuk kedua anaknya yang baru lahir. Prabu Pandu pun
memberikan nama yang mirip dengan leluhur Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu Kuramba.
Anak laki-laki Prabu Tremboko hendaknya diberi nama Raden Arimba, sedangkan yang
perempuan hendaknya diberi nama Dewi Arimbi. Prabu Pandu juga memberikan restu
semoga mereka berdua kelak menjadi pribadi-pribadi yang berbudi luhur, meskipun
berwujud raksasa dan raksasi.
Prabu Tremboko lagi-lagi berterima kasih kepada Prabu Pandu. Ia lalu mohon pamit
kembali ke Kerajaan Pringgadani dan mengundang Prabu Pandu untuk berkunjung ke sana.
Prabu Pandu berjanji kelak pasti akan mengunjungi sahabat barunya tersebut.
Sementara itu, Raden Baka yang melihat dari jauh merasa kecewa karena kakaknya
kini bersahabat dengan musuh. Ia pun bertekad tidak mau pulang ke Pringgadani dan ingin
pindah ke negeri lain untuk membangun kekuatan di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUDEWA KRAMA
Kisah ini menceritakan Raden Basudewa mengembara untuk menikah dengan Endang
Rohini (kelak melahirkan Prabu Baladewa) serta Dewi Dewaki (kelak melahirkan Prabu
Sri Kresna). Setelah itu, Raden Basudewa menjadi raja Mandura dan menikahi Ken
Badra yang diganti namanya menjadi Dewi Badraini (kelak melahirkan Dewiwara
Sumbadra). Juga disisipkan kisah hubungan gelap antara Raden Basudewa dengan Ken
Yasoda alias Nyai Sagopi (kelak melahirkan Patih Udawa).
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari artikel Majalah Panjebar Semangat.
Mengenai sayembara memperebutkan Dewi Dewaki, saya selaraskan dengan kitab
Mahabharata karya Resi Wyasa, yaitu tokoh Basudeva diwakili oleh Sini (kakek
Satyaki versi kitab) dalam mengikuti sayembara. Untuk cerita berikut ini, tokoh Sini
saya ganti dengan Raden Ugrasena (ayah Raden Setyaki).
Surabaya, 1 Juni 2016
Heri Purwanto

RADEN BASUDEWA MENGHILANG DARI ISTANA


Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura dihadap putra ketiga dan keempat, yaitu Raden
Rukma dan Raden Ugrasena beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih
Yudawangsa dan Arya Saragupita. Dalam pertemuan itu mereka membicarakan sang putra
mahkota, yaitu Raden Basudewa yang sudah tiga bulan ini menghilang dari istana. Padahal,
Prabu Kuntiboja merasa dirinya sudah tua dan ingin turun takhta, serta menyerahkan
tampuk pemerintahan kepada putra sulungnya tersebut.
Patih Yudawangsa melapor bahwa dirinya sudah mengerahkan banyak orang untuk
mencari Raden Basudewa ke mana-mana tetapi belum juga mendapatkan hasil.
Mendengar itu, Prabu Kuntiboja akhirnya memerintahkan Raden Ugrasena pergi ke Gunung
Saptaarga untuk meminta petunjuk kepada sang besan, yaitu Bagawan Abyasa. Ia yakin,
Bagawan Abyasa yang berilmu tinggi pasti dapat memberikan petunjuk tentang keberadaan
Raden Basudewa. Nanti setelah mendapatkan petunjuk, Raden Ugrasena diperintahkan
untuk menjemput pulang kakak sulungnya tersebut.
Raden Ugrasena pun siap melaksanakan perintah. Ia lalu mohon pamit berangkat
meninggalkan istana. Prabu Kuntiboja merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi. Ia pun
membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton, di mana Dewi Bandondari (istri)
dan Dewi Maherah (menantu) sudah menunggu di gapura.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU GORAWANGSA INGIN MEREBUT DEWI MAHERAH


Sementara itu di Kerajaan Guagra, tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu
Gorawangsa. Pada suatu malam ia bermimpi bertemu seorang wanita cantik yang mengaku
bernama Dewi Maherah. Seketika Prabu Gorawangsa pun jatuh cinta kepada wanita itu dan
ingin menikahinya. Begitu terbangun dari tidur, ia segera memanggil para panakawan untuk
dimintai keterangan, yaitu Kyai Togog dan Bilung.
Kyai Togog yang berwawasan luas menjelaskan bahwa Dewi Maherah adalah putri
Resi Amiraga dari Padepokan Andongcempaka yang kini telah menjadi istri Raden
Basudewa dari Kerajaan Mandura. Antara Raden Basudewa dan Dewi Maherah sudah
menikah cukup lama, namun kabarnya sampai sekarang mereka belum juga dikaruniai
anak.
Prabu Gorawangsa sudah terlanjur jatuh cinta kepada Dewi Maherah dan ia tidak
peduli meskipun wanita dalam mimpinya itu sudah bersuami. Kyai Togog dan Bilung
menasihati Prabu Gorawangsa agar mengurungkan niatnya untuk merebut istri orang.
Namun, Prabu Gorawangsa tetap keras kepala dan menolak nasihat tersebut. Ia pun
mengirim Patih Suratimantra yang merupakan adiknya sendiri untuk pergi ke Mandura,
memboyong Dewi Maherah.
Patih Suratimantra menerima perintah dari sang kakak, kemudian berangkat dengan
membawa pasukan raksasa menuju Kerajaan Mandura.

PERTEMPURAN ANTARA PASUKAN MANDURA MELAWAN GUAGRA


Patih Suratimantra bersama pasukannya telah sampai di wilayah Kerajaan Mandura.
Mereka pun membuat kekacauan untuk memancing pihak istana agar segera keluar. Tidak
lama kemudian datanglah Raden Rukma dan Patih Yudawangsa menemui mereka.
Patih Suratimantra berterus terang ingin merebut Dewi Maherah dari tangan Raden
Basudewa untuk diserahkan kepada kakaknya, yaitu Prabu Gorawangsa. Mendengar itu,
Raden Rukma marah dan menantang Patih Suratimantra bertempur secara jantan.
Maka, terjadilah pertempuran antara kedua pihak. Raden Rukma dan Patih
Yudawangsa merasa terdesak menghadapi Patih Suratimantra dan pasukannya yang
ternyata sangat kuat tersebut. Bahkan, Patih Yudawangsa pun tewas dalam pertempuran
itu. Merasa tidak mungkin menang, Raden Rukma lalu memerintahkan pasukannya untuk
mundur dan kemudian menutup rapat-rapat pintu gerbang benteng Kerajaan Mandura.
Prabu Kuntiboja telah mendapat laporan dari Raden Rukma bahwa Kerajaan Mandura
kini dikepung musuh dari Kerajaan Guagra, serta bagaimana Patih Yudawangsa gugur
dalam pertempuran. Prabu Kuntiboja merasa pihak lawan sangat kuat, dan ia pun
memerintahkan punggawa Arya Saragupita untuk berangkat ke Kerajaan Hastina, meminta
bantuan kepada sekutu sekaligus menantunya, yaitu Prabu Pandu Dewanata.
Begitu menerima perintah tersebut, Arya Saragupita segera mohon pamit berangkat
dengan berhati-hati agar jangan sampai tertangkap oleh pihak Guagra.

RADEN UGRASENA MEMINTA PETUNJUK BAGAWAN ABYASA


Sementara itu, Raden Ugrasena telah sampai di Gunung Saptaarga dan menghadap
Bagawan Abyasa. Kepada besan ayahnya itu, ia memohon petunjuk tentang keberadaan
Raden Basudewa yang sudah tiga bulan menghilang dari istana Mandura.
Bagawan Abyasa mengheningkan cipta sejenak, lalu membuka mata dan menjelaskan
bahwa saat ini Raden Basudewa sedang berada di Gunung Suweda, di mana ia menikah
lagi demi mendapatkan keturunan. Namun demikian, Bagawan Abyasa melarang Raden
KITAB WAYANG PURWA

Ugrasena untuk pergi ke Gunung Suweda. Akan lebih baik apabila Raden Ugrasena pergi
ke Kerajaan Widarba saja karena di sanalah nanti ia bisa bertemu dengan kakak sulungnya
tersebut.
Raden Ugrasena berterima kasih atas petunjuk yang diberikan Bagawan Abyasa. Ia
pun mohon pamit berangkat meninggalkan Gunung Saptaarga, menuju Kerajaan Widarba.

RADEN UGRASENA BERTEMU PRABU PANDU


Raden Ugrasena yang telah meninggalkan Gunung Saptaarga kini bertemu kakak
iparnya, yaitu Prabu Pandu Dewanata di tengah jalan. Tampak olehnya, sang kakak ipar
memimpin sejumlah pasukan Hastina bersama Arya Saragupita pula. Raden Ugrasena pun
bertanya ada kejadian apa di Kerajaan Mandura. Arya Saragupita menjelaskan bahwa saat
ini istana sedang dikepung para raksasa dari Kerajaan Guagra yang ingin merebut Dewi
Maherah, istri Raden Basudewa.
Mendengar berita itu, Raden Ugrasena merasa bimbang dan ingin pulang ke Mandura
untuk membantu mengusir para raksasa tersebut. Namun, Prabu Pandu melarang dan
memintanya untuk tetap melanjutkan tugas dari sang ayah, yaitu menemukan keberadaan
Raden Basudewa. Soal menghadapi para raksasa, biarlah ini menjadi tugas Prabu Pandu
saja.
Raden Ugrasena percaya pada kemampuan kakak iparnya tersebut. Ia pun mohon
pamit melanjutkan perjalanan. Prabu Pandu lalu memerintahkan para panakawan, yaitu
Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong supaya ikut menemani perjalanan Raden
Ugrasena.

PRABU PANDU MENGUSIR PATIH SURATIMANTRA


Prabu Pandu dan pasukan Hastina telah sampai di wilayah Kerajaan Mandura. Mereka
segera menggempur perkemahan para raksasa Kerajaan Guagra. Terjadilah pertempuran
sengit di antara mereka. Dalam pertempuran kali ini, Patih Suratimantra merasa terdesak
menghadapi kesaktian Prabu Pandu dan kekuatan pasukan Hastina. Ia pun memerintahkan
pasukannya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Guagra.
Prabu Kuntiboja dan Raden Rukma keluar dari dalam benteng untuk menyambut
kemenangan Prabu Pandu. Mereka berterima kasih atas bantuan raja Hastina tersebut
dalam mengusir musuh. Namun demikian, Prabu Pandu meminta pihak Mandura untuk
tetap waspada, karena ia yakin tidak lama lagi Prabu Gorawangsa akan datang untuk
membalas kekalahan pasukannya.

RADEN BASUDEWA MEMBOYONG ENDANG ROHINI


Sementara itu, Raden Basudewa yang sedang dicari-cari saat ini berada di Gunung
Suweda, di mana ia telah menikah dengan Endang Rohini, putri Resi Kawita. Kepada istri
barunya tersebut ia sudah menjelaskan bahwa dirinya memiliki seorang istri di istana
Mandura yang bernama Dewi Maherah, putri Resi Amiraga dari Padepokan
Andongcempaka. Namun, sudah sekian lama mereka menikah belum juga dikaruniai anak.
Itulah sebabnya mengapa Raden Basudewa pergi berkelana adalah untuk mencari wanita
yang bisa melahirkan keturunan untuknya. Hingga akhirnya ia pun bertemu Endang Rohini
dan menjadikannya sebagai istri kedua.
Kini sudah tiba saatnya Raden Basudewa meminta izin kepada sang mertua untuk
memboyong Endang Rohini pindah ke Kerajaan Mandura. Resi Kawita pun mempersilakan
karena putrinya sudah resmi menjadi istri Raden Basudewa. Ia pun menasihati Endang
KITAB WAYANG PURWA

Rohini untuk selalu melayani Raden Basudewa dengan sepenuh hati, serta menganggap
Dewi Maherah sebagai saudara yang lebih tua.
Setelah mendapatkan restu dari sang ayah, Raden Basudewa dan Endang Rohini pun
berangkat meninggalkan Gunung Suweda, menuju Kerajaan Mandura.

RADEN BASUDEWA MENOLONG BATARA BASUKI


Begitu sampai di kaki Gunung Suweda, Raden Basudewa melihat seekor ular naga
berwarna putih tertindih sebongkah batu besar, di mana tampak pula seekor burung garuda
siap menerkamnya. Raden Basudewa tidak tega melihatnya dan ia pun maju menyerang
burung garuda tersebut yang mengaku bernama Garuda Wilmana. Terjadilah perkelahian
di antara mereka yang dimenangkan oleh Raden Basudewa. Garuda Wilmana merasa
terdesak dan segera terbang melarikan diri.
Ular naga berwarna putih itu pun berterima kasih atas bantuan Raden Basudewa. Kini
ia meminta pertolongan sekali lagi supaya dibebaskan dari himpitan batu. Raden Basudewa
bersedia membantu asalkan si naga putih berjanji tidak memangsa dirinya. Naga putih itu
menyatakan bersedia, bahkan ia bersumpah selama hidupnya belum pernah memangsa
manusia sama sekali.
Raden Basudewa lalu mengerahkan segenap kekuatannya untuk mendorong batu
besar yang menghimpit tubuh si naga putih. Perlahan-lahan batu tersebut bergerak. Merasa
agak longgar, naga putih itu pun merayap keluar dan berhasil membebaskan diri.
Sungguh ajaib, begitu terbebas dari himpitan batu, ular naga putih itu langsung
berubah wujud menjadi seorang dewa, yaitu Batara Basuki.

BATARA BASUKI MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADA RADEN BASUDEWA


Raden Basudewa dan Endang Rohini menyembah hormat kepada Batara Basuki.
Sebaliknya, Batara Basuki pun berterima kasih atas bantuan putra mahkota Kerajaan
Mandura tersebut. Ia bercerita bahwa dirinya kurang berhati-hati saat berkelahi dengan
Garuda Wilmana tadi, sehingga tubuhnya tertimpa sebongkah batu besar dan tidak dapat
bergerak, juga tidak dapat kembali ke wujud dewa.
Batara Basuki lalu bertanya apakah Raden Basudewa hendak pulang ke Kerajaan
Mandura bersama Endang Rohini? Raden Basudewa pun mengiakan. Ia memang berniat
memperkenalkan istri barunya tersebut kepada segenap keluarga, dan berharap Endang
Rohini kelak dapat mengandung keturunannya. Terus terang Raden Basudewa merasa
kecewa karena sudah bertahun-tahun menikah dengan Dewi Maherah tetapi belum juga
memiliki anak. Padahal, adiknya yaitu Dewi Kunti sudah melahirkan dua orang putra dari
perkawinannya dengan Prabu Pandu di Kerajaan Hastina. Itulah sebabnya, Raden
Basudewa pun pergi berkelana dan memilih Endang Rohini dari Gunung Suweda sebagai
istri barunya.
Batara Basuki mendengar dengan seksama lalu mengucapkan ramalan bahwa Raden
Basudewa kelak memiliki empat orang anak. Anak yang pertama saat ini sudah berada
dalam kandungan Ken Yasoda di Desa Widarakandang. Raden Basudewa tertunduk malu
karena ternyata Batara Basuki mengetahui bahwa dirinya pernah berselingkuh dengan
seorang penyanyi istana Mandura yang bernama Ken Yasoda. Adapun Ken Yasoda ini
adalah adik dari punggawa Arya Saragupita.
Dengan perasaan malu Raden Basudewa pun menjelaskan peristiwa tersebut kepada
Endang Rohini. Awalnya telah terjadi pertengkaran antara dirinya dengan Dewi Maherah.
Raden Basudewa menuduh Dewi Maherah mandul dan tidak dapat memberinya keturunan.
Sebaliknya, Dewi Maherah meminta sang suami untuk berani mengakui bahwa dirinya juga
KITAB WAYANG PURWA

mandul dan tidak dapat membuat istri mengandung. Raden Basudewa tersinggung
mendengar ucapan istrinya itu dan ia pun pindah ke kamar lain. Untuk menghibur diri,
Raden Basudewa memanggil penyanyi istana bernama Ken Yasoda untuk datang ke
kamarnya.
Raden Basudewa yang merasa terhibur mendengar suara Ken Yasoda akhirnya lupa
diri. Ia pun berzinah dengan penyanyi cantik tersebut. Beberapa waktu kemudian, Ken
Yasoda melapor kepada Raden Basudewa bahwa dirinya telah hamil akibat peristiwa
tersebut. Raden Basudewa takut peristiwa aib ini bisa mencoreng wibawa Kerajaan
Mandura. Ia pun menikahkan Ken Yasoda dengan tukang kuda istana yang bernama Kyai
Antyagopa, lalu menyuruh mereka tinggal di Desa Widarakandang. Kyai Antyagopa lalu
diangkat sebagai kepala desa tersebut, bergelar Ki Buyut Antyagopa. Raden Basudewa
juga mengganti nama Ken Yasoda menjadi Nyai Sagopi.
Raden Basudewa mengakhiri ceritanya dan ia pun bertanya kepada Batara Basuki
apakah tiga putranya yang lain akan lahir dari Endang Rohini? Batara Basuki menjelaskan
bahwa Endang Rohini hanya akan melahirkan seorang putra saja. Adapun anak-anak yang
lain masing-masing akan lahir dari ibu yang berbeda. Yang satu akan lahir dari putri
Kerajaan Widarba yang bernama Dewi Dewaki, sedangkan yang satu lagi akan lahir dari
penyanyi istana Mandura yang bernama Ken Badra.
Raden Basudewa terkejut mendengarnya. Itu berarti selain Endang Rohini, dirinya
harus menikah lagi dengan Dewi Dewaki dan Ken Badra. Jika dengan Dewi Dewaki rasanya
masih masuk akal, lalu bagaimana dengan Ken Badra? Apakah menikahi seorang penyanyi
istana tidak akan merendahkan wibawa Raden Basudewa? Lalu bagaimana dengan Ken
Yasoda yang juga seorang penyanyi dan kini telah mengandung putranya? Bukankah Ken
Yasoda dan Ken Badra sama-sama penyanyi istana, mengapa yang satu harus
disembunyikan dan yang satu harus dinikahi secara sah?
Batara Basuki pun menjelaskan bahwa Ken Yasoda sebaiknya tetap disembunyikan
di Desa Widarakandang dengan nama Nyai Sagopi. Adapun Ken Badra meskipun hanya
seorang penyanyi istana, namun ia ditakdirkan kelak akan melahirkan seorang perempuan
tercantik di dunia. Bahkan, putri yang cantik tersebut kelak akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa pula.
Raden Basudewa menerima penjelasan Batara Basuki dengan seksama. Ia pun
meminta izin kepada Endang Rohini untuk menikah lagi dengan Dewi Dewaki dan Ken
Badra. Endang Rohini menjawab bahwa sejak awal dirinya sudah menerima takdir, bahwa
suaminya memiliki istri lebih dari satu. Lagipula sebelum dirinya, Raden Basudewa juga
sudah menikah dengan Dewi Maherah.
Batara Basuki lalu menjelaskan bahwa saat ini Dewi Dewaki sedang dilamar banyak
raja dan pangeran. Untuk itulah, kakak Dewi Dewaki yang bernama Raden Candradwipa
mengadakan sayembara tanding, yaitu barangsiapa bisa mengalahkan dirinya, maka ia
berhak memperistri adiknya tersebut.
Setelah memberikan penjelasan demikian, Batara Basuki pun undur diri kembali ke
kahyangan.

RADEN UGRASENA MEWAKILI RADEN BASUDEWA DALAM SAYEMBARA


Setelah mendapatkan petunjuk dewata, Raden Basudewa dan Endang Rohini
membelokkan perjalanan yaitu tidak lagi menuju Kerajaan Mandura, melainkan menuju
Kerajaan Widarba. Sesampainya di sana, mereka melihat Raden Candradwipa bertarung di
atas gelanggang menghadapi para raja dan pangeran yang ingin melamar Dewi Dewaki.
KITAB WAYANG PURWA

Satu persatu para pelamar tersebut menyerah kalah menghadapi kesaktian Raden
Candradwipa. Hingga akhirnya yang tersisa hanya tinggal Raden Ugrasena bersama para
panakawan. Raden Basudewa terkejut melihat adik bungsunya ada di bangku penonton
dan segera menghampirinya. Raden Ugrasena senang bertemu Raden Basudewa. Ia
menjawab bahwa dirinya datang ke Kerajaan Widarba adalah untuk menemukan kakak
sulungnya tersebut, sesuai petunjuk dari Bagawan Abyasa.
Raden Basudewa pun menjelaskan kepada Raden Ugrasena bahwa dirinya telah
mendapatkan petunjuk dari Batara Basuki bahwa Dewi Dewaki akan menjadi jodohnya.
Maka itu, ia pun datang ke Widarba untuk mengikuti sayembara tanding.
Sementara itu, Raden Candradwipa merasa kesal melihat Raden Basudewa dan
Raden Ugrasena bukannya naik ke gelanggang tetapi justru mengobrol sendiri. Ia pun
menantang kedua pangeran dari Mandura itu untuk maju bersama-sama. Raden Ugrasena
tersinggung melihat kesombongan Raden Candradwipa. Ia pun naik ke atas gelanggang
untuk menantang pangeran dari Widarba tersebut. Ia berkata bahwa kakak sulungnya tidak
perlu repot-repot turun tangan, cukup dirinya saja yang maju menghadapi kesombongan
Raden Candradwipa.
Raden Candradwipa pun bertarung melawan Raden Ugrasena. Pertarungan kali ini
berlangsung sangat seru. Raden Candradwipa lama-lama merasa kewalahan menghadapi
lawannya itu. Akhirnya, ia pun mengaku kalah dan mengumumkan bahwa Raden Ugrasena
adalah pemenang sayembara.

RADEN BASUDEWA MEMBOYONG DEWI DEWAKI


Prabu Candrapadma raja Widarba yang sejak tadi menonton sayembara yang digelar
putranya, kini naik ke atas gelanggang. Ia mengumumkan bahwa Raden Ugrasena adalah
pemenang sayembara yang berhak menjadi suami putrinya, yaitu Dewi Dewaki. Namun,
Raden Ugrasena menjelaskan bahwa sejak awal dirinya mengikuti sayembara hanyalah
untuk mewakili sang kakak, yaitu Raden Basudewa. Maka, sebaiknya Dewi Dewaki
diserahkan kepada Raden Basudewa saja.
Prabu Candrapadma lalu bertanya kepada Raden Candradwipa apakah ia rela jika
Raden Basudewa yang memperistri Dewi Dewaki? Raden Candradwipa mempersilakan. Ia
berpendapat bahwa Raden Ugrasena yang bungsu saja sudah sedemikian hebat, tentunya
Raden Basudewa yang sulung jauh lebih hebat lagi.
Demikianlah, Prabu Candrapadma pun mengumumkan pernikahan antara Raden
Basudewa dengan Dewi Dewaki di hadapan para hadirin. Namun demikian, Raden
Basudewa mengaku tidak dapat tinggal lama di Widarba karena harus segera pulang ke
Mandura. Maka, begitu pesta pernikahan selesai, Raden Basudewa segera meminta izin
kepada sang mertua dan kakak ipar untuk memboyong istri barunya tersebut.

PRABU PANDU MEMUKUL MUNDUR PRABU GORAWANGSA


Sementara itu, Prabu Gorawangsa sangat marah saat menerima laporan kekalahan
Patih Suratimantra. Ia pun berangkat memimpin langsung serangan terhadap Kerajaan
Mandura, demi untuk merebut Dewi Maherah. Prabu Pandu yang telah bersiaga segera
menghadang serangan tersebut. Maka, terjadilah pertempuran di antara kedua pihak yang
berlangsung sengit.
Prabu Gorawangsa akhirnya terdesak menghadapi kesaktian Prabu Pandu. Ia pun
memerintahkan pasukannya untuk mundur. Namun demikian, ia merasa belum puas jika
belum bisa mewujudkan cita-citanya. Ia pun bersumpah kelak akan datang lagi ke Kerajaan
Mandura untuk merebut Dewi Maherah, meskipun dengan cara yang paling licik.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI MAHERAH BERNIAT BUNUH DIRI


Setelah keadaan tenang kembali, Raden Basudewa dan kedua istri barunya datang
bersama Raden Ugrasena dan para panakawan. Prabu Kuntiboja beserta segenap
keluarga menyambut kepulangan sang putra mahkota yang sudah tiga bulan menghilang
tersebut. Raden Basudewa pun memperkenalkan Endang Rohini dan Dewi Dewaki kepada
segenap keluarga. Tidak hanya itu, Raden Basudewa juga meminta izin kepada sang ayah
untuk bisa menikahi penyanyi istana yang bernama Ken Badra. Itu semua ia lakukan demi
untuk memenuhi petunjuk dewata.
Dewi Maherah terkejut mengetahui sang suami telah menikah lagi, bahkan berniat
menggenapi jumlah istri menjadi empat. Ia pun berkata lebih baik dirinya diambil Prabu
Gorawangsa daripada dimadu tiga sekaligus. Raden Basudewa tersinggung dan
mempersilakan Dewi Maherah pergi ke Guagra jika ingin menjadi istri raja raksasa tersebut.
Dewi Maherah merasa ucapannya salah. Karena malu, ia pun mengambil keris dan
berniat bunuh diri. Endang Rohini dan Dewi Dewaki segera memeluk lutut Dewi Maherah
dan memohon kepadanya agar menghentikan niat tersebut. Mereka mengaku tidak punya
niat untuk merebut Raden Basudewa. Bagaimanapun juga mereka berjanji akan tetap
menganggap Dewi Maherah sebagai kakak tertua. Mendengar itu, Dewi Maherah akhirnya
luluh. Ia pun meminta maaf kepada sang suami telah berbicara kurang pantas. Ia merasa
dirinya memang tidak dapat memberikan keturunan, sehingga pantas apabila Raden
Basudewa menikah lagi dengan wanita lain.

RADEN BASUDEWA MENJADI RAJA MANDURA


Demikianlah, beberapa hari kemudian Prabu Kuntiboja mengumumkan pengunduran
dirinya sebagai raja Mandura dan sejak saat itu ia pun hidup sebagai petapa di Gunung
Gandamadana bersama Dewi Bandondari. Ia berpesan kepada putra-putranya, kelak jika
dirinya meninggal agar dimakamkan di gunung tersebut.
Bersamaan dengan itu, Raden Basudewa sang putra mahkota pun diangkat sebagai
raja Mandura yang baru, bergelar Prabu Basudewa. Prabu Pandu dan Dewi Kunti dari
Kerajaan Hastina ikut hadir untuk menyaksikan pelantikan sang kakak.
Prabu Basudewa kemudian memberikan jabatan penting kepada kedua adiknya.
Raden Rukma diangkat sebagai wakil raja yang berkedudukan di Kumbina, bergelar
Aryaprabu Rukma. Sementara itu, Raden Ugrasena si bungsu diangkat sebagai senapati
tertinggi yang berkedudukan di Lesanpura, bergelar Arya Ugrasena. Adapun jabatan
menteri utama diisi oleh Arya Saragupita untuk menggantikan Patih Yudawangsa yang telah
gugur dalam pertempuran.
Beberapa hari kemudian, Prabu Basudewa pun menikahi Ken Badra sebagai istri
keempat. Sejak hari itu, Ken Badra diganti namanya menjadi Dewi Badraini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BASUDEWA GROGOL
Kisah ini menceritakan kelahiran anak-anak Prabu Basudewa, yaitu Raden Kakrasana
(kelak menjadi Prabu Baladewa), Raden Narayana (kelak menjadi Prabu Sri Kresna),
serta Dewi Sumbadra. Pada saat yang sama lahir pula putra ketiga Prabu Pandu, yaitu
Raden Arjuna yang kelak menjadi pahlawan besar dalam Perang Bratayuda. Juga
dikisahkan kelahiran Raden Kangsa yang kelak menjadi musuh anak-anak Prabu
Basudewa.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan rekaman
pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.
Kediri, 09 Juni 2016
Heri Purwanto

Prabu Basudewa

PRABU BASUDEWA HENDAK PERGI BERBURU


Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura dihadap kedua adiknya, yaitu Aryaprabu
Rukma dari Kumbina dan Arya Ugrasena dari Lesanpura, serta para menteri dan punggawa
yang dipimpin Patih Saragupita. Saat itu Prabu Basudewa sedang bersedih sekaligus
gembira. Ia sedih karena baru saja ditinggal mati kedua orang tuanya, yaitu Bagawan
Kuntiboja dan Dewi Bandondari di Gunung Gandamadana. Sedangkan di sisi lain, ia
gembira karena ketiga istri barunya, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini
masing-masing telah mengandung tujuh bulan. Selain itu, sang adik yaitu Dewi Kunti juga
sedang mengandung dan saat ini berada di istana Mandura.
KITAB WAYANG PURWA

Dalam pertemuan itu, Prabu Basudewa membahas tentang sejauh mana


pembangunan candi makam di Gunung Gandamadana sebagai astana untuk kedua orang
tuanya. Patih Saragupita melaporkan bahwa pembangunan astana tersebut telah hampir
selesai sesuai rencana. Prabu Basudewa gembira mendengarnya. Berarti dalam waktu
dekat ini akan ada dua acara besar. Acara yang pertama adalah upacara tujuh bulan
kehamilan Dewi Rohini, Dewi Dewaki, Dewi Badraini, serta Dewi Kunti, dan acara yang
kedua adalah peringatan seratus hari meninggalnya Bagawan Kuntiboja dan Dewi
Bandondari sekaligus peresmian Astana Gandamadana.
Karena akan ada dua acara besar, Prabu Basudewa berniat pergi ke Hutan
Banjarpatoman, yaitu hutan pagrogolan di wilayah Kerajaan Mandura untuk mengumpulkan
hewan buruan sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa cukup, ia pun membubarkan
pertemuan.

PRABU BASUDEWA MENEMUI PARA ISTRI DAN DEWI KUNTI


Prabu Basudewa lalu masuk ke dalam kedaton untuk menemui para istri, yaitu Dewi
Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini, serta adik kandungnya nomor dua,
yaitu Dewi Kunti Talibrata.
Beberapa bulan yang lalu Dewi Kunti datang bersama rombongan dari Kerajaan
Hastina untuk menghadiri upacara pemakaman Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari
di Gunung Gandamadana. Setelah upacara selesai, Dewi Kunti memohon kepada sang
suami (Prabu Pandu) agar diizinkan tinggal di Kerajaan Mandura sampai melahirkan. Ia
ingin melahirkan bersama dengan ketiga kakak iparnya di istana tempat dirinya dulu
dibesarkan.
Kehamilan Dewi Kunti yang ketiga ini berbeda dengan kehamilan sebelumnya.
Beberapa tahun yang lalu tanpa sengaja Prabu Pandu membunuh Resi Kindama dan Rara
Dremi yang sedang bersenggama dalam wujud sepasang kijang. Sebelum tewas, Resi
Kindama sempat mengutuk Prabu Pandu akan mengalami nasib celaka apabila bersetubuh
dengan istrinya. Prabu Pandu sangat gelisah karena itu berarti dirinya tidak akan memiliki
keturunan. Untunglah pada suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa
Mangga Pertanggajiwa untuk menanam benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti dan
Dewi Madrim. Dewi Kunti menelan tiga potong daging mangga, sedangkan Dewi Madrim
menelan dua potong. Dengan demikian, Prabu Pandu dapat memiliki anak tanpa harus
menyentuh kedua istrinya tersebut.
Dewi Kunti lalu mengundang Batara Darma untuk mematangkan salah satu benih
Prabu Pandu di dalam rahimnya. Benih tersebut matang dalam waktu satu hari dan lahir
sebagai bayi laki-laki, yang diberi nama Raden Puntadewa. Dua tahun kemudian, Dewi
Kunti mengundang Batara Bayu untuk mematangkan benih yang kedua. Benih tersebut
matang dalam waktu satu hari pula dan lahir sebagai bayi laki-laki berbungkus, diberi nama
Raden Bima. Atas petunjuk Batara Bayu, Prabu Pandu pun meletakkan bayi Raden Bima
tersebut di tengah Hutan Mandalasana hingga kelak datang utusan dewa yang mampu
merobek bungkusnya.
Setahun kemudian, Prabu Pandu meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang
ketiga dengan mengundang dewa yang ahli dalam budaya dan kesenian. Dewi Kunti segera
mengundang Batara Indra menggunakan ilmu yang dulu diajarkan Resi Druwasa. Batara
Indra pun turun dari Kahyangan Suralaya menemui Dewi Kunti dan Prabu Pandu. Dewi
Kunti menyampaikan maksudnya, tetapi ia hanya memohon agar Batara Indra
mempertemukan benihnya dengan benih Prabu Pandu, itu saja. Mengenai kematangan
janin yang ketiga ini biarlah matang secara alami, bukan matang secepat kilat seperti kedua
KITAB WAYANG PURWA

kakaknya. Dewi Kunti mengaku ingin merasakan pengalaman hamil secara wajar selama
sembilan bulan, bukan kehamilan satu hari jadi seperti sebelumnya.
Batara Indra menyanggupi permintaan Dewi Kunti. Dengan kekuasaannya, ia pun
menyatukan benih dalam rahim Dewi Kunti dengan benih milik Prabu Pandu yang ditanam
melalui potongan terakhir Mangga Pertanggajiwa, yang sampai saat ini masih menempel di
dalam perut istrinya itu. Setelah kedua benih tersebut bersatu menjadi calon janin, Batara
Indra pun memberikan restu kepadanya, lalu undur diri kembali ke kahyangan.
Demikianlah, janin tersebut kini hampir berusia tujuh bulan di dalam kandungan Dewi
Kunti. Prabu Pandu pun mengizinkan istrinya itu tinggal di istana Mandura sampai kelak
melahirkan. Prabu Pandu sendiri hendak pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk menemui
muridnya, yaitu Prabu Tremboko. Maka, rombongan pelayat yang kembali ke Kerajaan
Hastina hanya tinggal Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, dan Dewi
Madrim yang mengasuh Raden Puntadewa.
Dewi Kunti kini bersama keempat kakak iparnya menyambut kedatangan Prabu
Basudewa yang baru saja memimpin pertemuan. Prabu Basudewa berpamitan kepada
mereka untuk pergi berburu ke Hutan Banjarpatoman demi mengumpulkan hewan sebagai
pelengkap upacara tujuh bulanan dan juga peresmian Astana Gandamadana.
Di antara para istri, tampak Dewi Maherah yang terlihat lesu. Ia merupakan istri tertua
namun sampai saat ini belum juga hamil. Ia merasa Prabu Basudewa sudah tidak lagi
perhatian kepadanya, sejak Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini mengandung.

PASUKAN MANDURA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN GUAGRA


Setelah berpamitan kepada para istri dan adiknya, Prabu Basudewa pun berangkat
menuju Hutan Banjarpatoman bersama Aryaprabu Rukma, Arya Ugrasena, dan Patih
Saragupita dengan membawa prajurit secukupnya. Di tengah jalan mereka bertemu
pasukan raksasa dari Kerajaan Guagra yang dipimpin Patih Suratimantra.
Patih Suratimantra bersama pasukannya sedang mencari sang kakak, yaitu Prabu
Gorawangsa yang sudah satu bulan ini menghilang entah ke mana. Ia mendapat firasat
bahwa kakaknya itu datang ke Kerajaan Mandura untuk merebut Dewi Maherah. Ia pun
pergi menyusul dengan membawa pasukan secukupnya. Melihat kedatangan para raksasa
dari Guagra itu, Prabu Basudewa segera memerintahkan pasukan Mandura untuk
menghadang mereka.
Maka, terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Patih Suratimantra
merasa kewalahan, dan ia pun memerintahkan para prajuritnya untuk mundur, kembali ke
Kerajaan Guagra.
Prabu Basudewa merasa khawatir atas keamanan istana Mandura. Ia pun
memerintahkan Patih Saragupita untuk kembali dan memperketat pengamanan istana.
Patih Saragupita mohon pamit lalu bergegas melaksanakan tugas.

BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS LAHIR MENJADI MANUSIA


Sementara itu, Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka sedang memimpin
pertemuan para dewa yang dihadiri Batara Narada, Batara Wisnu, Batari Sri Laksmi, Batari
Sri Wedawati, dan Batara Laksmanasadu. Dalam pertemuan itu, Batara Guru
memerintahkan Batara Wisnu supaya lahir ke dunia sebagai anak manusia untuk
menumpas angkara murka.
Pada zaman dahulu, Batara Wisnu telah lahir sebagai Prabu Sri Rama untuk
menumpas angkara murka Prabu Rahwana di Kerajaan Alengka. Istri Batara Wisnu, yaitu
KITAB WAYANG PURWA

Batari Sri Laksmi dan Batari Sri Wedawati ikut terlahir pula sebagai Rakyanwara Sinta, yaitu
istri Prabu Sri Rama yang diculik Prabu Rahwana. Adapun Batara Laksmanasadu (adik
Dewi Srilaksmi atau ipar Batara Wisnu) terlahir sebagai Raden Laksmana, yaitu adik tiri
Prabu Sri Rama.
Kini, angkara murka kembali hadir mengancam ketertiban dunia dalam wujud Arya
Suman dan para Kurawa di Kerajaan Hastina. Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu
dan Batara Laksmanasadu untuk lahir sebagai manusia meredam angkara murka mereka.
Batara Wisnu pun menyatakan bersedia, namun ia mohon agar Batara Laksmanasadu
diizinkan untuk lahir sebagai kakak.
Dahulu kala saat masih menjadi Prabu Sri Rama dan Raden Laksmana, mereka
berdua bersama-sama memerangi kejahatan Prabu Rahwana. Prabu Sri Rama sangat
terkesan melihat kesetiaan Raden Laksmana dalam melayani dan melindungi dirinya. Maka,
Prabu Sri Rama pun bersumpah kelak jika menitis kembali, ia berharap semoga Raden
Laksmana menjadi yang lebih tua, agar ganti dirinya yang memberikan pelayanan.
Mendengar kisah itu, Batara Guru pun mengabulkan permintaan Batara Wisnu. Ia
memerintahkan Batara Laksmanasadu agar menitis ke dalam janin yang saat ini dikandung
Dewi Rohini dan lahir lebih dulu. Adapun Batara Wisnu diperintahkan untuk membelah diri
menjadi dua. Yang satu hendaknya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Dewaki,
sedangkan yang satunya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Kunti. Kelak setelah
dewasa, putra Dewi Rohini titisan Batara Laksmanasadu ditugasi untuk menjadi sahabat
para Kurawa agar bisa memberikan nasihat baik kepada mereka. Apabila Batara
Laksmanasadu gagal membina para Kurawa, maka Batara Wisnu yang terlahir sebagai
putra Dewi Dewaki dan putra Dewi Kunti ditugasi untuk bekerja sama membinasakan
mereka semua.
Batara Guru juga memerintahkan kedua istri Batara Wisnu untuk ikut menitis sebagai
manusia. Batari Sri Laksmi hendaknya lahir sebagai putri pasangan Kapi Jembawan dan
Dewi Trijata, sedangkan Batari Sri Wedawati hendaknya lahir sebagai putri Dewi Badraini,
yaitu istri termuda Prabu Basudewa. Kelak putri yang dilahirkan Dewi Trijata akan berjodoh
dengan putra Dewi Dewaki, sedangkan putri yang dilahirkan Dewi Badraini akan berjodoh
dengan putra Dewi Kunti.
Ketika Batara Wisnu, Batara Laksmanasadu, Batari Sri Laksmi, dan Batari Sri
Wedawati hendak mohon pamit melaksanakan tugas, tiba-tiba datang Batara Basuki yang
memohon supaya diizinkan ikut menitis sebagai putra Prabu Basudewa. Batara Basuki
bercerita bahwa dirinya pernah ditolong Prabu Basudewa setahun yang lalu. Saat itu, Batara
Basuki terhimpit batu besar karena bertarung melawan Garuda Wilmana. Untungnya, Prabu
Basudewa (yang saat itu belum menjadi raja) datang memberikan bantuan kepadanya.
Sejak saat itu, Batara Basuki merasa berhutang budi dan ingin terlahir sebagai putra Prabu
Basudewa.
Batara Guru lalu berunding dengan Batara Narada. Mereka pun mempersilakan
Batara Basuki supaya bergabung dengan Batara Laksmanasadu untuk menitis ke dalam
janin yang dikandung Dewi Rohini. Kelak janin tersebut akan terlahir sebagai sahabat kedua
pihak, yaitu menjadi sahabat para Pandawa sekaligus para Kurawa. Tidak hanya itu, ia juga
harus mengasuh keturunan para Pandawa setelah Perang Bratayuda. Karena tugasnya
yang berat tersebut, maka memang sebaiknya ada dua orang dewa yang secara sekaligus
melindunginya.
Batara Basuki berterima kasih, lalu ia pun bersatu jiwa raga dengan Batara
Laksmanasadu. Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu kemudian berangkat lebih dulu
KITAB WAYANG PURWA

dengan mengubah wujud mereka menjadi singa dan naga. Sementara itu, Batari Sri Laksmi
dan Batari Sri Wedawati berangkat dengan diantarkan Batara Narada.

PRABU BASUDEWA MEMANAH SINGA DAN NAGA


Singa penjelmaan Batara Wisnu dan naga penjelmaan Batara Laksmanasadu itu pun
memasuki Hutan Banjarpatoman tempat Prabu Basudewa berburu, dan langsung
menyerang raja Mandura tersebut. Prabu Basudewa dengan cekatan memanah mereka
berdua. Begitu terkena panah, kedua hewan tersebut langsung musnah dan berubah
menjadi cahaya. Sang singa musnah menjadi dua cahaya, yaitu hitam dan kuning,
sedangkan sang naga musnah menjadi cahaya putih kemerah-merahan. Ketiga cahaya
tersebut lalu melesat menuju ke arah istana Mandura.
Prabu Basudewa merasa penasaran sekaligus khawatir. Ia pun memerintahkan
Aryaprabu Rukma untuk mengejar ketiga cahaya tersebut. Aryaprabu Rukma menyembah
hormat lalu berangkat melaksanakan tugas.

PRABU GORAWANGSA MENYAMAR SEBAGAI PRABU BASUDEWA


Sementara itu, Prabu Gorawangsa raja Guagra yang jatuh cinta kepada Dewi Maherah
kini menyusup ke dalam istana Mandura. Karena Patih Saragupita memperketat keamanan,
Prabu Gorawangsa pun mengubah wujudnya menjadi sama persis dengan Prabu
Basudewa.
Patih Saragupita heran melihat Prabu Basudewa pulang sendirian. Prabu Basudewa
palsu itu mengaku sebelum berangkat sempat bertengkar dengan Dewi Maherah. Selama
berburu di Hutan Banjarpatoman ia merasa gelisah dan ingin pulang untuk meminta maaf
kepada istri tertuanya itu. Patih Saragupita memaklumi dan segera mempersilakan Prabu
Basudewa palsu itu masuk ke dalam kedaton.
Sesampainya di dalam, Prabu Basudewa palsu pun disambut Dewi Maherah, Dewi
Rohini, Dewi Dewaki, Dewi Badraini, dan Dewi Kunti. Prabu Basudewa palsu itu mengaku
ingin meminta maaf karena selama ini kurang peduli kepada Dewi Maherah dan
mengajaknya masuk ke dalam kamar untuk menebus semua kesalahannya. Dewi Maherah
merasa sangat bahagia dan segera menggandeng Prabu Basudewa palsu itu masuk ke
dalam kamar, meninggalkan yang lainnya.
Setelah mereka berdua masuk kamar, tiba-tiba datang tiga cahaya yang langsung
masuk ke dalam istana Mandura. Cahaya yang berwarna putih kemerahan masuk ke dalam
perut Dewi Rohini, cahaya hitam masuk ke dalam perut Dewi Dewaki, dan cahaya kuning
masuk ke dalam perut Dewi Kunti.
Batara Narada yang mengawasi dari angkasa segera mengubah Batari Sri Wedawati
menjadi cahaya mancawarna dan memasukkannya ke dalam perut Dewi Badraini. Dengan
demikian, kini hanya tinggal Batari Sri Laksmi saja yang belum menitis.

KEMATIAN PRABU GORAWANGSA


Tidak lama kemudian datanglah Aryaprabu Rukma yang ditugasi Prabu Basudewa
untuk mengejar tiga cahaya tadi. Dewi Rohini dan yang lain menyambut kedatangannya
dan bercerita bahwa Prabu Basudewa baru saja pulang dan kini berada di kamar bersama
Dewi Maherah.
Aryaprabu Rukma heran mengapa Prabu Basudewa sudah lebih dulu pulang ke
istana. Ia khawatir jangan-jangan ada musuh sakti yang menyamar sebagai kakaknya itu.
Ia pun berteriak di luar kamar, memanggil Prabu Basudewa palsu agar segera keluar.
KITAB WAYANG PURWA

Sementara itu, Prabu Basudewa palsu baru saja selesai bersetubuh dengan Dewi
Maherah. Ia sangat puas akhirnya bisa melampiaskan nafsu birahi kepada wanita
idamannya tersebut. Sebaliknya, Dewi Maherah juga merasa sangat bahagia karena Prabu
Basudewa kini kembali memperlakukannya dengan baik. Ia tidak peduli meskipun bau
badan suaminya itu berubah tidak seperti biasa, namun yang terpenting ia kini merasa lega.
Tiba-tiba terdengar suara Aryaprabu Rukma memanggil-manggil di luar kamar. Prabu
Basudewa palsu sangat marah dan segera berpakaian. Ia pun membuka pintu dan langsung
menyerang Aryaprabu Rukma. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Karena tidak
leluasa dalam wujud Prabu Basudewa, maka Prabu Gorawangsa pun kembali ke wujud
asalnya, yaitu seorang raja raksasa.
Melihat Prabu Basudewa yang baru saja tidur dengannya berubah menjadi raksasa,
Dewi Maherah pun jatuh pingsan. Dewi Rohini dan yang lain segera memapahnya masuk
ke dalam kamar.
Sementara itu, Aryaprabu Rukma terdesak menghadapi kesaktian Prabu
Gorawangsa. Patih Saragupita berusaha membantu namun tubuhnya ditangkap raja
raksasa itu dan dilemparkan jauh-jauh. Aryaprabu Rukma mencari akal. Ia pun memancing
Prabu Gorawangsa agar menjauh dari istana.
Sesampainya di luar istana, Aryaprabu Rukma gembira melihat sang kakak ipar, yaitu
Prabu Pandu datang bersama para panakawan setelah mereka mengunjungi Kerajaan
Pringgadani. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa dirinya dikejar-kejar Prabu
Gorawangsa yang telah menyusup ke dalam istana Mandura. Prabu Pandu segera
meminjamkan Panah Mustikajamus kepada adik iparnya tersebut. Aryaprabu Rukma
menerima pusaka itu dengan gembira, lalu kembali untuk menghadang Prabu Gorawangsa.
Maka, begitu Prabu Gorawangsa muncul, Aryaprabu Rukma segera melepaskan
Panah Mustikajamus ke arahnya. Panah pusaka itu meluncur dan menembus dada Prabu
Gorawangsa. Raja raksasa dari Guagra itu pun tewas seketika.

ARYAPRABU RUKMA MEMBUANG DEWI MAHERAH


Tidak lama kemudian datang pula Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena yang
membawa banyak hewan buruan. Melihat mayat Prabu Gorawangsa, mereka pun terkejut
dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Aryaprabu Rukma bercerita bahwa raja raksasa
ini baru saja menyusup masuk ke dalam istana dalam wujud Prabu Basudewa palsu dan
berzinah dengan Dewi Maherah.
Prabu Basudewa sangat marah mendengarnya. Ia pun memerintahkan Aryaprabu
Rukma untuk membunuh Dewi Maherah di tengah hutan. Ia tidak rela jika darah istrinya
yang berselingkuh itu sampai mengotori istana Mandura. Aryaprabu Rukma merasa
bimbang, lalu mohon pamit melaksanakan perintah.
Sesampainya di istana, Aryaprabu Rukma segera menemui Dewi Maherah yang
sedang dirawat Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan yang lain. Aryaprabu Rukma bercerita
bahwa Prabu Gorawangsa telah tewas berkat bantuan Prabu Pandu. Saat ini Prabu
Basudewa yang asli sedang menunggu Dewi Maherah di luar istana dan meminta untuk
bertemu sekarang juga. Dewi Maherah merasa sedih karena yakin pasti dirinya akan
mendapat hukuman. Ia pun menuruti ajakan Aryaprabu Rukma.
Aryaprabu Rukma dan Dewi Maherah kemudian naik kereta sampai ke tengah hutan.
Di dalam hutan lebat itulah Aryaprabu Rukma berterus terang bahwa dirinya mendapat
perintah dari Prabu Basudewa untuk menghukum mati Dewi Maherah. Akan tetapi, ia
KITAB WAYANG PURWA

merasa tidak tega. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan kakak iparnya itu seorang diri
di tengah hutan.
Demikianlah, Aryaprabu Rukma lalu membangun gubuk ala kadarnya di hutan
tersebut sebagai tempat tinggal Dewi Maherah. Ia lalu mohon pamit kembali ke istana
dengan perasaan kalut. Kepada Prabu Basudewa, ia melapor bahwa Dewi Maherah sudah
dihukum mati olehnya.

DEWI MAHERAH BERTEMU PATIH SURATIMANTRA


Dewi Maherah sudah dua bulan tinggal seorang diri di dalam hutan. Karena terlalu
sedih, keadaannya semakin memburuk dan ia pun jatuh sakit. Tiba-tiba muncul Patih
Suratimantra bersama para prajurit Guagra lewat di hutan itu untuk mencari hilangnya Prabu
Gorawangsa. Melihat ada wanita sakit terbaring di dalam gubuk, Patih Suratimantra heran
dan mendatanginya.
Dewi Maherah yang sudah putus asa mempersilakan Patih Suratimantra jika ingin
memangsa dirinya. Patih Suratimantra mengaku dirinya bukan raksasa hutan pemangsa
manusia, tetapi raksasa bangsawan dari Kerajaan Guagra, adik Prabu Gorawangsa. Dewi
Maherah semakin sedih mendengar nama Prabu Gorawangsa disebut. Ia bercerita bahwa
dirinya telah dinodai oleh Prabu Gorawangsa hingga hidupnya hancur seperti ini. Patih
Suratimantra terkejut dan bertanya di mana kini Prabu Gorawangsa berada. Dewi Maherah
pun menjawab bahwa Prabu Gorawangsa telah tewas dibunuh Aryaprabu Rukma dibantu
Prabu Pandu dua bulan yang lalu.
Patih Suratimantra sangat marah mendengarnya. Ketika hendak menyerang Kerajaan
Mandura untuk membalas dendam, tiba-tiba Dewi Maherah muntah-muntah dan meninggal
dunia.

LAHIRNYA JAKA MARUTA


Patih Suratimantra prihatin melihat kematian Dewi Maherah. Ketika hendak
menguburkan jasad wanita itu, tiba-tiba datang seorang pendeta raksasa yang bernama
Resi Anggawangsa dari Gunung Rawisrengga. Pendeta raksasa itu mengaku mencium bau
janin yang terbawa angin. Karena penasaran, ia pun terbang mencari sumber bau tersebut.
Ternyata bau janin itu berasal dari perut Dewi Maherah.
Patih Suratimantra terkejut senang bercampur sedih. Ia senang karena ternyata
kakaknya memiliki keturunan akibat perzinahan dua bulan yang lalu, dan ia sedih karena
Dewi Maherah meninggal dunia sehingga tidak mungkin bisa melahirkan. Resi
Anggawangsa meminta Patih Suratimantra untuk tetap tenang, karena yang meninggal
hanya Dewi Maherah, tetapi janin dalam kandungannya tetap hidup.
Resi Anggawangsa lalu mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya. Atas izin
dewata, kandungan dalam rahim Dewi Maherah berangsur-angsur matang dalam waktu
singkat. Perut Dewi Maherah yang sudah tidak bernyawa itu semakin membesar hingga
akhirnya robek dan keluarlah bayi laki-laki dari dalamnya.
Resi Anggawangsa lalu menggendong bayi tersebut dan memberinya nama Jaka
Maruta, yang artinya “pemuda angin”. Ini sebagai pengingat bahwa Resi Anggawangsa
dapat menemukannya berkat hembusan angin yang membawa bau janin sampai ke
Gunung Rawisrengga.
Patih Suratimantra sangat bahagia melihat keponakannya telah lahir. Ia pun
memberinya nama Raden Kangsa Dewa, yang bermakna, putra Prabu Gorawangsa yang
lahir berkat kemurahan dewata.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Suratimantra pun meminta bayi itu untuk diasuhnya di Kerajaan Guagra. Namun,
Resi Anggawangsa melarangnya. Ia berjanji bahwa dirinya yang akan mendidik Raden
Kangsa alias Jaka Maruta di puncak Gunung Rawisrengga. Kelak setelah dewasa dan
memiliki kesaktian tinggi, barulah Raden Kangsa diserahkan kepada Kerajaan Guagra. Resi
Anggawangsa juga melarang Patih Suratimantra untuk menyerang Kerajaan Mandura,
karena kelak Raden Kangsa sendiri yang akan membalas kematian ayah dan ibunya.
Patih Suratimantra yang sudah melihat kesaktian Resi Anggawangsa hanya bisa
mematuhi nasihat pendeta raksasa tersebut. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa pun
membawa terbang bayi Raden Kangsa menuju Gunung Rawisrengga, sedangkan Patih
Suratimantra menguburkan jasad Dewi Maherah lalu pulang ke Kerajaan Guagra.

KELAHIRAN PUTRA-PUTRI PRABU BASUDEWA


Sementara itu, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu di Kerajaan Mandura sedang
gelisah menunggu kelahiran putra-putra mereka. Tidak lama kemudian datang seorang
pelayan yang mengabarkan bahwa Dewi Rohini telah melahirkan seorang bayi laki-laki
berkulit putih kemerah-merahan. Prabu Basudewa sangat bahagia dan memberinya nama,
Raden Kakrasana.
Beberapa jam kemudian, Prabu Basudewa menerima kabar bahwa Dewi Dewaki
melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit hitam legam. Prabu Basudewa kembali
berbahagia dan memberi nama putranya itu, Raden Narayana. Akan tetapi, keadaan Dewi
Dewaki melemah setelah melahirkan, dan akhirnya ia pun meninggal dunia. Hal ini
membuat Prabu Basudewa sangat berduka. Ia pun menyerahkan Raden Narayana kepada
Dewi Rohini untuk disusui.
Esok harinya, pagi-pagi sekali para pelayan menyampaikan kabar bahwa Dewi
Badraini dan Dewi Kunti melahirkan dalam waktu yang bersamaan. Prabu Basudewa dan
Prabu Pandu sangat gembira dan segera menjenguk mereka di kamar. Dewi Badraini
melahirkan bayi perempuan yang berkulit agak hitam. Prabu Basudewa pun memberi nama
putrinya itu, Dewi Sumbadra, mirip dengan nama ibunya.
Sementara itu, Dewi Kunti melahirkan bayi laki-laki berkulit kuning langsat dan
berwajah sangat tampan. Prabu Pandu pun memberi nama putranya itu, Raden Arjuna,
sedangkan Dewi Kunti memberinya nama tambahan, Raden Permadi, yang bermakna
“kasih sayang utama”. Prabu Basudewa ikut berbahagia dan memberi nama panggilan
untuk keponakannya tersebut, Raden Parta, sesuai dengan nama Dewi Kunti sewaktu kecil,
yaitu Dewi Prita.
Prabu Basudewa menggendong bayi Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra lalu
mengumumkan kelak mereka berdua hendaknya menjadi jodoh. Prabu Pandu, Dewi Kunti,
dan Dewi Badraini menjadi saksi atas pengumuman tersebut.

KAPI JEMBAWAN DAN DEWI TRIJATA MENGHADAP PRABU BASUDEWA


Sore harinya, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu menerima kunjungan pasangan
suami istri yang sudah sama-sama tua. Yang laki-laki berwujud wanara (manusia kera),
sedangkan yang wanita terlihat cantik meskipun sudah tidak muda lagi. Pasangan tersebut
mengaku bernama Kapi Jembawan dan Dewi Trijata, yang dulunya pernah mengabdi
kepada Prabu Sri Rama dan Rakyanwara Sinta.
Kapi Jembawan dan Dewi Trijata sudah ratusan tahun menikah tetapi belum juga
memiliki keturunan. Mereka pun mendapat petunjuk dewata supaya meminta restu kepada
keturunan Prabu Sri Rama yang bernama Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar itu, Prabu Basudewa segera maju dan minta izin untuk menyentuh perut
Dewi Trijata. Begitu tangan Prabu Basudewa menyentuh perut wanita tua itu, tiba-tiba
muncul seberkas sinar dari angkasa yang langsung masuk meresap ke dalam perut Dewi
Trijata.
Tidak lama kemudian, Batara Narada turun dari angkasa menampakkan diri. Ia
menjelaskan bahwa Dewi Trijata sebentar lagi akan mengandung seorang anak perempuan
titisan Batari Sri Laksmi, dan kelak setelah lahir hendaknya diberi nama Dewi Jembawati.
Setelah dewasa, ia akan menjadi jodoh putra Prabu Basudewa yang berkulit hitam, yaitu
Raden Narayana. Prabu Basudewa, Kapi Jembawan, dan Dewi Trijata menyembah hormat,
mematuhi petunjuk dari Batara Narada tersebut.
Batara Narada lalu menjelaskan bahwa Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki
telah bersatu dan menitis kepada putra Prabu Basudewa yang berkulit putih kemerahan,
yaitu Raden Kakrasana. Adapun Batara Wisnu membelah diri menjadi dua, yaitu menitis
kepada Raden Narayana dan Raden Permadi. Sementara itu, Batari Sri Wedawati telah
menitis pula kepada Dewi Sumbadra.
Batara Narada juga menceritakan bahwa Dewi Maherah telah meninggal di hutan
namun sempat melahirkan seorang bayi yang diberi nama Raden Kangsa, akibat perbuatan
Prabu Gorawangsa beberapa bulan yang lalu. Kelak anak itu akan tumbuh menjadi manusia
angkara murka. Prabu Basudewa sangat marah dan berniat mencari anak itu untuk
dibinasakan sejak dini. Namun, Batara Narada melarangnya, karena sudah menjadi suratan
takdir bahwa anak itu hanya bisa dibunuh oleh kerja sama antara Raden Kakrasana, Raden
Narayana, dan Dewi Sumbadra.
Oleh sebab itu, Batara Narada pun memerintahkan Prabu Basudewa agar
menyerahkan ketiga anaknya yang baru lahir tersebut kepada Buyut Antyagopa dan Nyai
Sagopi untuk diasuh di Desa Widarakandang. Dengan cara demikian, mereka bertiga akan
tumbuh menjadi manusia-manusia bijaksana yang dekat dengan rakyat jelata. Sebaliknya,
apabila mereka tetap diasuh di dalam istana, maka ramalan dewa akan menjadi terbalik.
Bukannya mereka yang berhasil menewaskan Raden Kangsa, tetapi justru Raden Kangsa
yang akan membinasakan mereka semua.
Prabu Basudewa tidak berani membantah. Dengan berat hati ia pun menyatakan
patuh terhadap petunjuk Batara Narada tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun
undur diri kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.
Prabu Basudewa lalu menyampaikan hal itu kepada segenap keluarga. Ia juga
mengangkat Kapi Jembawan dan Dewi Trijata sebagai juru kunci untuk merawat Astana
Gandamadana, yaitu tempat Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari dimakamkan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

RUKMA - UGRASENA KRAMA


Kisah ini menceritakan perkawinan Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta
perkawinan Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Pada umumnya kedua cerita
tersebut dipentaskan sendiri-sendiri. Namun, karena kisahnya hampir mirip, maka saya
mencoba menggabungkannya menjadi satu lakon saja.
Kisah ini saya kembangkan dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai
Pustaka, yang saya padukan dengan buku Reroncen Balungan Lampahan Ringgit
Purwa, karya Ki Bondhan Hargana.
Kediri, 23 Juni 2016
Heri Purwanto

Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena

KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA DISERANG PASUKAN RAKSASA


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa, antara lain Batara
Narada dari Sidikpangudal-udal, Batara Brama dari Daksinageni, dan Batara Indra dari
Suralaya. Mereka sedang membicarakan perihal Batara Wisnu yang telah lahir ke dunia
sebagai manusia, yaitu menitis kepada putra Prabu Basudewa yang bernama Raden
Narayana, serta putra Prabu Pandu yang bernama Raden Permadi. Sebagai pendamping,
ikut menitis pula Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki yang terlahir sebagai Raden
Kakrasana putra Prabu Basudewa. Kini Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Raden
Permadi telah berusia tujuh tahun. Raden Kakrasana dan Raden Narayana dibesarkan di
Desa Widarakandang, sedangkan Raden Permadi dibesarkan di Kerajaan Hastina.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba datang dua raksasa yang mengaku bernama Patih
Kaladirga dari Kerajaan Guamiring dan Patih Kalaruci dari Kerajaan Paranggubarja. Raja
Guamiring yang bernama Prabu Sasradewa dan raja Paranggubarja yang bernama Prabu
Garbaruci adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama memiliki keinginan
memperistri bidadari kahyangan. Untuk itu, Prabu Sasradewa mengutus Patih Kaladirga
untuk melamar Batari Arumbini, sedangkan Prabu Garbaruci mengutus Patih Kalaruci untuk
melamar Batari Wresini. Kedua patih raksasa itu pun berangkat bersama-sama ke
Kahyangan Jonggringsalaka untuk menyampaikan pinangan tersebut kepada Batara Guru
selaku raja para dewa. Mereka juga berkata telah diberi wewenang penuh oleh raja masing-
masing untuk memboyong kedua bidadari tersebut, baik secara halus maupun kasar.
Batara Brama dan Batara Indra tersinggung mendengar ucapan kedua raksasa yang
bernada menantang itu. Mereka pun mempersilakan keduanya untuk menunggu di
lapangan Repatkepanasan, karena di sanalah Batari Arumbini dan Batari Wresini akan
KITAB WAYANG PURWA

diserahkan. Mendengar itu, Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci segera mohon pamit, keluar
meninggalkan Balai Marcukunda.

PASUKAN DEWATA DIKALAHKAN PASUKAN RAKSASA


Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci yang telah berada di luar Balai Marcukunda segera
menyiagakan pasukan raksasa dari Kerajaan Guamiring dan Paranggubarja. Mereka pun
bersiap untuk menghadapi pasukan dewata yang dipimpin Batara Brama dan Batara Indra.
Tidak lama kemudian, Batara Brama dan Batara Indra muncul memimpin pasukan
kahyangan, yang biasa disebut pasukan Dorandara. Begitu kedua pihak bertemu, terjadilah
pertempuran sengit di antara mereka. Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci mampu
membuktikan kesombongan mereka. Kedua raksasa itu ternyata memiliki kesaktian tinggi
yang mampu membuat Batara Brama dan Batara Indra terdesak mundur.
Melihat pihak dewata kewalahan, Batara Narada segera maju melerai mereka. Kepada
kedua patih raksasa tersebut, Batara Narada menyampaikan pesan bahwa kedua bidadari,
yaitu Batari Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan tapi menunggu waktu yang baik,
yaitu hari Selasa Kliwat atau Anggara Kasep, tanggal tiga puluh dua, bulan Jumadilawas,
tahun Bebas, bersamaan dengan terbitnya matahari dari barat.
Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci merasa bingung namun Batara Narada berhasil
meyakinkan mereka. Kedua patih raksasa itu lalu membawa pasukan mereka untuk mundur
dan berkemah di kaki Gunung Jamurdipa.
Setelah pasukan raksasa itu pergi, Batara Narada segera menjelaskan kepada Batara
Brama, Batara Indra, dan para dewa lainnya bahwa musuh kahyangan hanya bisa
dikalahkan oleh jago kahyangan. Menurut petunjuk Batara Guru, manusia yang bisa
menjadi jago para dewa saat ini adalah kakak beradik dari Kerajaan Mandura, yaitu saudara
muda Prabu Basudewa yang bernama Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Untuk itu,
Batara Narada pun diperintahkan berangkat menjemput mereka naik ke kahyangan.

KISAH AIB DI KERAJAAN MANDURA


Batara Narada berhasil menemukan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sedang
bertapa di Hutan Jatirokeh. Ia pun turun dari angkasa membangunkan kedua pangeran
tersebut. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena membuka mata lalu mereka buru-buru
menyembah hormat kepada Batara Narada.
Batara Narada bertanya apa yang menjadi tujuan Aryaprabu Rukma dan Arya
Ugrasena bertapa di Hutan Jatirokeh. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa ia dan
adiknya telah diusir dari Kerajaan Mandura oleh sang kakak, yaitu Prabu Basudewa. Pada
mulanya Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sama-sama menyukai penyanyi istana yang
bernama Ken Yasoda. Namun kemudian, Prabu Basudewa menyerahkan Ken Yasoda yang
sedang hamil kepada Kyai Antyagopa, putra Buyut Gupala. Kyai Antyagopa lalu dijadikan
sebagai kepala Desa Widarakandang, bergelar Buyut Antyagopa, sedangkan Ken Yasoda
diganti namanya menjadi Nyai Sagopi.
Prabu Basudewa lalu menugasi Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi untuk mengasuh
ketiga anaknya, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya, sesuai
petunjuk dewata. Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya itu, Aryaprabu
Rukma pun berkunjung ke Desa Widarakandang untuk menemui Nyai Sagopi. Dengan
segala bujuk rayu serta ancaman, Aryaprabu Rukma akhirnya bisa melampiaskan nafsunya
kepada Nyai Sagopi, tanpa sepengetahuan Buyut Antyagopa.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Ugrasena yang juga menyukai Nyai Sagopi pun menggunakan cara sama.
Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya, ia berhasil pula melampiaskan nafsu
birahi kepada istri Buyut Antyagopa tersebut.
Setelah peristiwa aib tersebut, Nyai Sagopi pun mengandung. Pada awalnya Buyut
Antyagopa marah ketika mengetahui istrinya telah berselingkuh dengan dua pangeran
sekaligus. Akan tetapi, pada suatu malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa
janin yang dikandung Nyai Sagopi kelak akan menjadi orang-orang mulia. Sudah menjadi
takdir Yang Mahakuasa bahwa benih yang ditanam Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena
sama-sama hidup di dalam rahim Nyai Sagopi dan berkembang menjadi janin perempuan
dan laki-laki.
Janin perempuan dalam rahim Nyai Sagopi itu berasal dari benih Aryaprabu Rukma,
jika kelak lahir ke dunia hendaknya diberi nama Rara Sati, dan diakui sebagai putri Buyut
Antyagopa. Nanti setelah dewasa ia akan menjadi prajurit wanita tangguh dan menikah
dengan Raden Arjuna, putra Prabu Pandu Dewanata. Sementara itu, janin yang laki-laki
berasal dari benih Arya Ugrasena, kelak jika lahir hendaknya diserahkan kepada Kyai
Adirata di Desa Petapralaya, supaya diberi nama Adimanggala dan dipersaudarakan
dengan putra angkatnya yang bernama Karna Basusena. Nanti setelah dewasa, apabila
Karna Basusena menjadi raja, maka Adimanggala akan ikut mendapat kemuliaan sebagai
patihnya.
Demikianlah, Buyut Antyagopa lalu pergi ke istana Mandura untuk menceritakan
petunjuk dewata tersebut kepada Prabu Basudewa. Ia mengaku ikhlas dan tidak sakit hati
meskipun istrinya dihamili dua pangeran Mandura sekaligus. Ia justru merasa ini mungkin
sudah menjadi tugas dari Nyai Sagopi untuk mengandung dan melahirkan orang-orang
mulia di kemudian hari. Setelah bercerita demikian, Buyut Antyagopa lalu mohon pamit
pulang ke Widarakandang.
Kebaikan hati Buyut Antyagopa justru membuat Prabu Basudewa merasa sangat
malu. Ia pun memanggil dan memarahi Aryaprabu Rukma serta Arya Ugrasena. Mengenai
aib ini hendaknya menjadi rahasia dan jangan sampai didengar oleh rakyat, karena akan
mencoreng wibawa Kerajaan Mandura. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Aryaprabu
Rukma dan Arya Ugrasena untuk segera menikah dengan wanita lain agar mereka bisa
melupakan sosok Nyai Sagopi. Prabu Basudewa juga melarang kedua adiknya
mengunjungi Desa Widarakandang karena tidak pantas dua pangeran Mandura
berhubungan dengan bekas pelayan istana yang kini sudah menjadi istri orang.
Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena agak tersinggung mendengar ucapan
kakaknya. Tanpa sengaja mereka pun mengungkit peristiwa sembilan tahun yang lalu saat
Prabu Basudewa berhubungan dengan Nyai Sagopi yang masih bernama Ken Yasoda. Dari
hubungan itu telah lahir seorang putra yang diberi nama Udawa, yang kini diakui sebagai
putra sulung Buyut Antyagopa.
Mendengar aibnya diungkit, Prabu Basudewa semakin marah dan mengusir kedua
adiknya itu. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena ketakutan dan segera pergi
meninggalkan istana Mandura.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI JAGO KAHYANGAN


Demikianlah, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena bercerita kepada Batara Narada
tentang latar belakang kenapa mereka pergi dari istana. Tujuan mereka bertapa di Hutan
Jatirokeh adalah untuk meminta petunjuk dewata tentang siapa wanita yang bisa menjadi
jodoh mereka. Karena hanya dengan memiliki istri, maka mereka bisa diterima kembali oleh
Prabu Basudewa dan mendapatkan maaf dari sang kakak.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada pun berkata bahwa jodoh Aryaprabu Rukma adalah Batari Arumbini,
sedangkan jodoh Arya Ugrasena adalah Batari Wresini. Kedua bidadari tersebut kini sedang
dilamar oleh Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci untuk menjadi istri raja-raja mereka. Batara
Narada berkata bahwa kedua bidadari itu akan diserahkan kepada Aryaprabu Rukma dan
Arya Ugrasena asalkan mereka mampu menumpas pasukan raksasa yang kini mengepung
Kahyangan Jonggringsalaka.
Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menyatakan bersedia. Batara Narada senang
mendengarnya dan segera membawa mereka naik menuju kahyangan.

KEMATIAN PATIH KALARUCI DAN PATIH KALADIRGA


Begitu sampai di Kahyangan Jonggringsalaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena
segera menjalankan tugas. Mereka pun memimpin pasukan Dorandara menggempur
perkemahan para raksasa di kaki Gunung Jamurdipa. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih
Kaladirga bertarung melawan Aryaprabu Rukma, sedangkan Patih Kalaruci bertarung
melawan Arya Ugrasena. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kedua patih raksasa yang
sakti itu akhirnya tewas di tangan dua pangeran dari Mandura tersebut.
Melihat pemimpin mereka tewas, para prajurit raksasa pun berhamburan melarikan
diri, meninggalkan Gunung Jamurdipa.

PRABU SASRADEWA DAN PRABU GARBARUCI DATANG MENYERANG


Berita kematian Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci telah terdengar oleh Prabu
Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Kedua raja yang satu perguruan itu pun marah dan
berangkat menyerang Kahyangan Jonggringsalaka. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena
segera menghadang mereka dan terjadilah pertempuran sengit. Prabu Sasradewa berhasil
menangkap Aryaprabu Rukma dan melemparkan tubuhnya jauh-jauh, begitu pula dengan
Prabu Garbaruci yang berhasil menangkap dan melemparkan tubuh Arya Ugrasena.
Melihat kedua jago kahyangan telah kalah dan tidak diketahui nasibnya, Batara Guru
pun memerintahkan Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata untuk menutup rapat-rapat
pintu gerbang kahyangan, yaitu Kori Selamatangkep. Dengan demikian, Prabu Sasradewa
dan Prabu Garbaruci pun tertahan di luar tanpa bisa masuk ke dalam kahyangan.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENDAPAT BANTUAN PRABU


PANDU
Sementara itu, tubuh Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang terlempar jauh
akhirnya jatuh di Hutan Mandalasana. Saat itu Prabu Pandu bersama para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berada di dalam hutan tersebut untuk
mengunjungi putranya yang nomor dua, yaitu Raden Bima yang masih berada di dalam
bungkus sejak lahir.
Melihat kedua adik iparnya jatuh dari kahyangan, Prabu Pandu segera mendatangi
dan mengobati mereka. Setelah Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena pulih dari luka,
mereka pun ingin kembali ke kahyangan untuk menghadapi kedua musuh tadi. Prabu Pandu
menyatakan siap membantu. Ia meminjamkan pusaka Panah Mustikajamus dan Keris
Pulanggeni kepada kedua adik iparnya itu, kemudian ikut bersama menemani mereka
kembali naik ke kahyangan.
Demikianlah, setelah mendapat bantuan senjata pusaka, Aryaprabu Rukma dan Arya
Ugrasena kembali menantang Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Akhirnya, Prabu
Sasradewa pun tewas terkena Panah Mustikajamus yang dilepaskan Aryaprabu Rukma,
sedangkan Prabu Garbaruci tewas tertusuk Keris Pulanggeni di tangan Arya Ugrasena.
KITAB WAYANG PURWA

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MEMBOYONG DUA BIDADARI


Batara Guru dan segenap para dewa berterima kasih kepada Aryaprabu Rukma dan
Arya Ugrasena atas jasa mereka menumpas musuh kahyangan, juga kepada Prabu Pandu
Dewanata yang telah memberikan bantuan kepada mereka.
Sesuai janji di awal, Batara Guru pun menyerahkan Batari Arumbini kepada Aryaprabu
Rukma, serta Batari Wresini kepada Arya Ugrasena. Kedua pangeran itu berterima kasih,
lalu mohon diri memboyong para bidadari tersebut ke Kerajaan Mandura dengan ditemani
Prabu Pandu dan para panakawan.

PRABU BASUDEWA MENIKAHKAN ADIK-ADIKNYA


Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura menyambut kepulangan Aryaprabu Rukma dan
Arya Ugrasena yang masing-masing telah membawa bidadari sebagai calon istri. Prabu
Basudewa pun meminta maaf karena telah berlaku kasar mengusir kedua adiknya itu.
Sebaliknya, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena juga meminta maaf karena telah
menyinggung perasaan sang kakak.
Demikianlah, pada hari yang dianggap baik dilaksanakan upacara perkawinan antara
Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta Arya Ugrasena dengan Batari Wresini.
Upacara pernikahan ganda ini berlangsung meriah dan banyak dihadiri para tamu serta
undangan.
Tiba-tiba kemeriahan tersebut diganggu oleh datangnya serangan dari adik kandung
Prabu Garbaruci yang bernama Raden Garbanata dari Kerajaan Paranggubarja. Prabu
Pandu segera turun tangan membantu pihak Mandura. Dengan cekatan ia berhasil
meringkus Raden Garbanata dan menyerahkannya kepada Prabu Basudewa.
Prabu Basudewa bersedia mengampuni Raden Garbanata asalkan ia bersumpah
tidak lagi mengganggu ketenangan Kerajaan Mandura. Raden Garbanata terkesan atas
kebaikan hati Prabu Basudewa dan ia pun bersumpah tidak akan mengganggu Kerajaan
Mandura lagi.
Prabu Basudewa senang mendengarnya. Ia pun mempersilakan Raden Garbanata
untuk menjadi raja Paranggubarja, menggantikan kakaknya yang telah meninggal. Raden
Garbanata berterima kasih, dan sejak saat itu ia pun memakai gelar Prabu Garbanata. Ia
juga mengganti nama Kerajaan Paranggubarja menjadi Kerajaan Garbaruci, untuk
mengenang mendiang kakaknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BIMA BUNGKUS
Kisah ini menceritakan Raden Bima putra kedua Prabu Pandu keluar dari dalam
bungkus berkat bantuan Gajah Sena yang dikirim para dewa. Gajah Sena kemudian
bersatu jiwa raga dengan Raden Bima, sehingga Pandawa nomor dua tersebut kemudian
dikenal dengan nama Raden Bimasena.
Kisah ini saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan pentas pagelaran wayang
kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.
Kediri, 03 Juli 2016
Heri Purwanto

Raden Bima keluar dari dalam bungkus

RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA DITUGASI MENJEMPUT RADEN


BIMA
Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang
dihadiri Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi
Krepa, dan Arya Suman. Mereka sedang membicarakan putra kedua Prabu Pandu, yaitu
Raden Bima yang sejak lahir ke dunia berada dalam bungkus dan diletakkan di Hutan
Mandalasana. Tak terasa kini sudah memasuki tahun keempat belas sejak peristiwa
kelahiran tersebut terjadi.
Hari demi hari Prabu Pandu menunggui kapan kiranya Pandawa nomor dua tersebut
dapat keluar dari dalam selaput yang selama ini membungkusnya. Sebenarnya ia sudah
beberapa kali mencoba untuk membuka bungkus tersebut. Namun, tiada satu pun senjata
yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima.
Hingga akhirnya, tadi malam Prabu Pandu mendapat petunjuk dewa bahwa putra
keduanya itu akan segera keluar dari dalam bungkus. Ia pun berniat pergi ke Hutan
Mandalasana untuk menyaksikan detik-detik keluarnya Raden Bima dan menjemputnya
pulang ke istana.
Arya Suman satria Plasajenar maju menyampaikan usulan, bahwa akan lebih baik jika
Prabu Pandu tetap berada di istana untuk mempersiapkan upacara penyambutan Raden
Bima. Urusan menjemput kepulangan Raden Bima cukup diserahkan kepada para
punggawa saja. Dalam hal ini ia siap melaksanakan tugas penjemputan tersebut. Adipati
Dretarastra membenarkan usulan Arya Suman dan ia pun ikut menyarankan agar Prabu
Pandu menugasi salah seorang di sini untuk pergi ke Hutan Mandalasana.
Prabu Pandu menimbang-nimbang usulan Arya Suman dan Adipati Dretarastra
tersebut. Ia akhirnya menyerahkan tugas penjemputan tersebut kepada adiknya, yaitu
KITAB WAYANG PURWA

Raden Yamawidura dengan ditemani Patih Gandamana. Bagaimanapun juga tugas


menjemput kedatangan sang putra kedua akan lebih baik diserahkan kepada anggota
keluarga, bukan kepada punggawa biasa.
Menerima tugas tersebut, Raden Yamawidura dan Patih Gandamana menyatakan
sanggup. Mereka lalu mohon pamit meninggalkan istana. Setelah dirasa cukup, Prabu
Pandu pun membubarkan pertemuan. Ia kemudian masuk ke dalam kedaton di mana Dewi
Kunti dan Dewi Madrim telah menunggu di gapura.

ARYA SUMAN MENDAHULUI KEPERGIAN RADEN YAMAWIDURA


Arya Suman merasa kesal karena Prabu Pandu tidak memercayai dirinya untuk
melaksanakan tugas menjemput kepulangan Raden Bima. Sebenarnya, ia sudah
merencanakan pembunuhan terhadap putra dalam bungkus tersebut, karena ia yakin
bahwa Pandawa nomor dua ini akan menjadi batu sandungan bagi kemuliaan anak-anak
Adipati Dretarastra, atau yang disebut para Kurawa.
Karena tidak mendapat izin dari Prabu Pandu, maka Arya Suman pun menjalankan
rencana kedua, yaitu mengirim pasukan dari Kerajaan Gandaradesa yang dipimpin adiknya,
bernama Aryaprabu Sarabasanta untuk membunuh Raden Bima bungkus. Adapun adiknya
yang lain, yaitu Aryaprabu Anggajaksa ditugasi untuk menghambat perjalanan Raden
Yamawidura dan Patih Gandamana agar tidak mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.
Begitu mendapat perintah dari sang kakak, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu
Sarabasanta segera membagi pasukan Gandaradesa menjadi dua. Pasukan yang pertama
berangkat bersama Aryaprabu Sarabasanta menuju ke Hutan Mandalasana, sedangkan
pasukan yang kedua bersama Aryaprabu Anggajaksa menghadang perjalanan Raden
Yamawidura dan Patih Gandamana.
Setelah kedua adiknya berangkat, Arya Suman lantas mengajak kedua
keponakannya, yaitu Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk mengamati dari
kejauhan. Kurawa nomor satu dan nomor dua itu pun bertanya mengapa sepupu mereka,
yaitu Raden Bima harus dibunuh. Arya Suman menjawab bahwa putra Prabu Pandu dalam
bungkus tersebut harus disingkirkan kerena bisa menjadi penghalang bagi Raden
Suyudana untuk mendapatkan takhta Kerajaan Hastina. Sejak kecil, para Kurawa terutama
Raden Suyudana memang telah dihasut Arya Suman untuk selalu membenci putra-putra
Prabu Pandu, serta menganggap mereka sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Setelah mendapat penjelasan demikian, Raden Dursasana hanya tertawa-tawa
sedangkan Raden Suyudana tampak masih bimbang. Arya Suman tidak mau membuang-
buang waktu. Ia pun memerintahkan kedua keponakannya itu untuk segera naik kuda, lalu
mereka pun bersama-sama mengikuti pasukan Gandaradesa yang menuju Hutan
Mandalasana.

ARYAPRABU ANGGAJAKSA MENGHADANG RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH


GANDAMANA
Aryaprabu Anggajaksa bersama pasukannya mengenakan topeng supaya tidak
dikenali oleh Raden Yamawidura dan Patih Gandamana. Mereka pun menghadang
perjalanan kedua orang itu agar tidak dapat mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.
Karena dihadang secara tiba-tiba oleh kawanan manusia bertopeng, Patih
Gandamana dan Raden Yamawidura segera membela diri. Patih Gandamana seorang diri
bertarung melawan para prajurit Gandaradesa, sedangkan Raden Yamawidura
menghadapi Aryaprabu Anggajaksa.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah bertempur agak lama, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura akhirnya
berhasil memukul mundur pasukan dari Gandaradesa tersebut. Setelah pihak musuh
melarikan diri, Raden Yamawidura pun mengajak Patih Gandamana melanjutkan
perjalanan.

ARYAPRABU SARABASANTA DITERJANG SI BUNGKUS


Sementara itu, Aryaprabu Sarabasanta dan pasukannya telah sampai di Hutan
Mandalasana. Mereka melihat si bungkus tampak mengembang dan mengempis seperti
sedang bernapas, sambil sesekali terdengar suara menggeram seperti singa dari dalam
benda itu. Tanpa banyak bicara, mereka pun segera menghujani si bungkus dengan
berbagai macam senjata.
Namun demikian, tidak ada satu pun senjata mereka yang mampu merobek selaput
pembungkus Raden Bima. Justru sebaliknya, Raden Bima bungkus tiba-tiba bergerak
menggelinding menghantam orang-orang Gandaradesa suruhan Arya Suman tersebut.
Aryaprabu Sarabasanta beserta pasukannya kelabakan menghadapi terjangan si
bungkus. Mereka kalang kabut berhamburan, bagaikan dihantam batu besar yang
menggelinding ke sana kemari. Tidak hanya itu, si bungkus ternyata mampu mengeluarkan
angin topan yang membuat orang-orang Gandaradesa itu terhempas jauh keluar dari Hutan
Mandalasana.
Arya Suman, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana merasa ngeri melihat
pemandangan ini. Mereka pun bergegas pergi dan menunda rencana membunuh Raden
Bima sampai kelak jika sudah keluar dari bungkusnya saja.

BATARA BAYU DAN GAJAH SENA MENDAPAT TUGAS MERUWAT SI BUNGKUS


Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Batara Narada sedang
membahas tentang Pandawa nomor dua, yaitu Raden Bima yang sudah saatnya keluar dari
dalam bungkus. Sudah empat belas tahun lamanya Raden Bima bertapa di dalam bungkus
dan kini ia akan keluar menjadi kesatria berkekuatan dahsyat yang lahir untuk membela
kebenaran. Batara Guru lalu memanggil Batara Bayu dan kendaraannya yang berwujud
gajah, bernama Gajah Sena untuk menghadap.
Setelah keduanya hadir, Batara Guru pun menyampaikan perintahnya. Batara Bayu
mendapat tugas untuk masuk ke dalam bungkus dan memberikan pakaian lengkap kepada
Raden Bima. Nanti jika sudah selesai, maka Gajah Sena ditugasi untuk merobek selaput
pembungkus Raden Bima. Hal itu karena di muka bumi hanya gading milik Gajah Sena saja
yang mampu merobek bungkus tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun
mempersilakan keduanya berangkat. Keduanya lalu mohon diri untuk melaksanakan tugas
tersebut.

BATARA BAYU MEMBERIKAN PAKAIAN KEPADA RADEN BIMA


Batara Bayu dan Gajah Sena telah sampai di Hutan Mandalasana. Dengan kekuatan
gaibnya, Batara Bayu pun masuk menyusup ke dalam bungkus dan menemui Raden Bima.
Ia memperkenalkan diri sebagai ayah angkat Raden Bima, serta menjelaskan bahwa orang
tua kandungnya berada di Kerajaan Hastina, bernama Prabu Pandu Dewanata dan Dewi
Kunti.
Raden Bima bertanya kapan dirinya akan keluar dari dalam bungkus untuk melihat
dunia luas. Batara Bayu menjelaskan bahwa sebentar lagi akan ada Gajah Sena yang
datang untuk merobek bungkusnya. Namun sebelum itu, Batara Bayu akan memberikan
pakaian lengkap terlebih dulu kepada Raden Bima. Pakaian tersebut berupa Pupuk Mas
KITAB WAYANG PURWA

Jarot Asem, Anting Panunggul Manik Warih, Sumping Pudak Sinumpet, Kain Poleng Bang
Bintulu Aji, Gelang Candrakirana, Kelatbahu Cepok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde
Bara.
Setelah Raden Bima mengenakan semua pakaian tersebut, Batara Bayu segera
keluar dari dalam bungkus dan memberi isyarat kepada Gajah Sena, lalu ia pun terbang ke
angkasa.

GAJAH SENA MEROBEK BUNGKUS RADEN BIMA


Begitu menerima isyarat dari Batara Bayu, Gajah Sena segera maju dan mulai
berusaha membuka bungkus Raden Bima. Ia menginjak-injak bungkus tersebut dan juga
membelitnya dengan belalai. Hingga akhirnya, kedua gadingnya pun menembus dan
merobek bungkus Raden Bima.
Begitu pembungkusnya terbuka, Raden Bima langsung keluar dan berdiri tegak di
hadapan Gajah Sena. Sungguh Gajah Sena merasa kagum melihat Raden Bima yang baru
berusia empat belas tahun namun bertubuh tinggi besar melebihi orang dewasa. Tiba-tiba
ia teringat ucapan Batara Guru bahwa Raden Bima terlahir menjadi pria perkasa yang
senantiasa membela kebenaran. Hal itu menyebabkan terlintas keinginannya untuk bersatu
jiwa raga dengan pemuda tersebut.
Maka, Gajah Sena pun segera maju menyerang Raden Bima untuk memancing
amarahnya. Raden Bima yang terkejut karena diserang secara tiba-tiba segera membela
diri. Ia pun bergulat menghadapi gajah kahyangan tersebut. Setelah bertarung cukup lama,
akhirnya Raden Bima berhasil mematahkan kedua gading di mulut Gajah Sena. Begitu
gadingnya patah, Gajah Sena langsung musnah dan berubah menjadi cahaya, kemudian
masuk ke dalam tubuh Raden Bima. Tidak hanya itu, kedua gading milik Gajah Sena pun
bersatu pula di dalam jempol tangan kiri dan kanan Raden Bima, membentuk semacam
kuku yang sangat tajam.

RADEN BIMA BERTEMU RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA


Tidak lama kemudian Raden Yamawidura dan Patih Gandamana datang di Hutan
Mandalasana. Raden Bima langsung menyerang mereka karena mengira keduanya adalah
teman Gajah Sena. Patih Gandamana maju menghadapinya. Keduanya pun bergulat sama-
sama kuat tidak ada yang kalah. Dalam hati Patih Gandamana merasa heran mengapa ada
anak muda yang begitu perkasa dan mampu menyamai kekuatannya.
Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada dan Batara Bayu yang melerai mereka.
Raden Bima yang mengenali Batara Bayu segera menghentikan perkelahian, begitu pula
dengan Patih Gandamana. Batara Narada pun memperkenalkan Raden Bima adalah putra
kedua Prabu Pandu yang telah keluar dari dalam bungkusnya. Raden Yamawidura dan
Patih Gandamana sangat gembira mendengar itu. Mereka pun bergantian memeluk sang
keponakan.
Batara Narada juga berpesan kepada Raden Bima apabila ingin bertemu dengan
kedua orang tua kandungnya, maka harus mengikuti Raden Yamawidura dan Patih
Gandamana pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Bima pun menurut. Setelah berkata
demikian, Batara Narada memungut selaput bekas pembungkus tubuh Raden Bima yang
berserakan di tanah, lalu membawanya terbang menuju ke Kadipaten Banakeling.
Setelah Batara Narada pergi, Batara Bayu pun berpesan kepada Raden Bima bahwa
sepasang gading milik Gajah Sena yang kini bersatu di kedua jempol tangannya dapat
menjadi pusaka yang ampuh. Apabila Raden Bima berkehendak, maka kedua kuku jempol
tersebut dapat memanjang sampai satu jengkal dan dapat digunakan untuk membunuh
KITAB WAYANG PURWA

musuh. Sepasang kuku pusaka tersebut hendaknya diberi nama Kuku Pancanaka. Selain
Raden Bima, ada putra angkat Batara Bayu lainnya yang juga memiliki Kuku Pancanaka,
bernama Kapi Anoman. Batara Bayu meramalkan bahwa suatu saat nanti Raden Bima pasti
dapat bertemu dengan tokoh wanara bernama Kapi Anoman tersebut.
Batara Bayu melihat Gajah Sena kini telah bersatu jiwa raga dengan Raden Bima.
Maka, ia pun memberikan nama baru kepada putra angkatnya itu, Raden Bimasena.
Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke kahyangan. Raden Yamawidura,
Patih Gandamana, dan Raden Bimasena memberikan penghormatan, lalu mereka kembali
ke Kerajaan Hastina.

BATARA NARADA MENEMUI ADIPATI SAPWANI DAN DEWI DRATA


Sementara itu, Batara Narada telah mendarat di Kadipaten Banakeling, yang masih
termasuk bawahan Kerajaan Hastina. Kadipaten Banakeling sendiri dipimpin oleh raja tua
bernama Adipati Sapwani yang semasa muda dulu pernah menyerang Kerajaan Hastina
dan ditaklukkan oleh Resiwara Bisma. Sudah puluhan tahun lamanya Adipati Sapwani
menikah dengan Dewi Drata namun tidak juga dikaruniai keturunan. Mereka pun tekun
bertapa di Gunung Gihacala untuk memohon kemurahan dewata agar bisa segera
mendapatkan putra.
Batara Narada yang telah hadir di Gunung Gihacala segera membangunkan suami
istri yang sedang bertapa tersebut. Adipati Sapwani dan Dewi Drata membuka mata
kemudian menyembah hormat.
Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah
mengabulkan permohonan Adipati Sapwani dan Dewi Drata untuk mendapatkan putra.
Sebagai sarananya, Batara Narada menyerahkan selaput pembungkus Raden Bima
kepada Adipati Sapwani agar direndam di dalam Tirta Kaskaya selama tujuh hari tujuh
malam. Adapun Tirta Kaskaya adalah air hujan yang pertama kali turun dan ditampung
dalam sebuah wadah. Setelah itu, air rendaman tersebut harus diminum Adipati Sapwani
dan Dewi Drata sebelum melakukan hubungan badan.
Batara Narada berkata bahwa Tirta Kaskaya bekas rendaman selaput pembungkus
Raden Bima berkhasiat menyuburkan benih Adipati Sapwani dan Dewi Drata. Kelak Dewi
Drata akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Batara Narada berjanji akan datang lagi untuk
“menjedi” bayi tersebut sehingga tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Putra yang
dibesarkan dalam waktu singkat itu kelak hendaknya diberi nama Raden Jayadrata.
Adipati Sapwani dan Dewi Drata berterima kasih atas sarana yang diberikan dewata
kepada mereka. Namun, mereka merasa heran mengapa putra mereka kelak jika lahir harus
dijedi supaya bisa menjadi dewasa dalam waktu singkat? Batara Narada pun menjawab
bahwa Raden Jayadrata ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Dursilawati, yaitu satu-satunya
Kurawa yang berkelamin wanita. Saat ini Dewi Dursilawati sudah berusia empat belas
tahun, sehingga Raden Jayadrata kelak jika sudah lahir harus dijedi menjadi dewasa dalam
waktu sekejap, agar bisa serasi dengan Dewi Dursilawati.
Mendengar penjelasan demikian, Adipati Sapwani dan Dewi Drata merasa lega.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang kembali ke kahyangan.

RADEN BIMASENA BERTEMU KEDUA SAUDARANYA


Sementara itu di Kerajaan Hastina, Raden Puntadewa dan Raden Permadi, yaitu putra
pertama dan ketiga Prabu Pandu telah mendengar kabar bahwa hari ini Raden Yamawidura
dan Patih Gandamana pergi ke Hutan Mandalasana untuk menjemput kepulangan saudara
KITAB WAYANG PURWA

mereka. Keduanya merasa gembira dan memutuskan untuk menyusul ke hutan. Mereka
sengaja tidak memberi tahu sang ayah karena pasti akan dilarang jika pergi ke sana.
Namun di tengah jalan, Raden Puntadewa dan Raden Permadi dihadang Arya Suman
bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Karena rencananya untuk membunuh
Raden Bima telah gagal, Arya Suman pun memerintahkan Raden Suyudana dan Raden
Dursasana untuk memukuli Raden Puntadewa dan Raden Permadi sebagai pelampiasan.
Mendapat perintah demikian, Raden Suyudana dan Raden Dursasana segera maju
menyerang kedua Pandawa itu.
Raden Permadi berusaha membela diri, sedangkan Raden Puntadewa
mempersilakan jika Raden Suyudana dan Raden Dursasana ingin memukul dirinya. Ia rela
tidak melawan apabila itu memang bisa membuat kedua sepupunya tersebut merasa
bahagia.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul pemuda bertubuh tinggi besar yang langsung
menerjang Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Pemuda tinggi besar itu tidak lain
adalah Raden Bimasena yang langsung menghajar mereka. Karena merasa kewalahan,
Raden Suyudana dan Raden Dursasana pun memilih kabur, dengan diikuti Arya Suman,
paman mereka.
Raden Puntadewa dan Raden Permadi berterima kasih atas pertolongan Raden
Bimasena. Raden Yamawidura pun menjelaskan bahwa Raden Bimasena ini adalah
saudara mereka yang nomor dua, yang baru saja keluar dari dalam bungkus. Raden
Puntadewa dan Raden Permadi terharu bahagia, lalu mereka pun berangkulan dengan
Raden Bimasena.
Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pun memperkenalkan kedua pangeran
remaja itu kepada Raden Bimasena. Raden Puntadewa yang kini berusia enam belas tahun
adalah kakak sulung Raden Bimasena, sedangkan Raden Arjuna atau Raden Permadi yang
kini berusia dua belas tahun adalah adiknya. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan
perjalanan pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Puntadewa pun meminta kepada mereka
semua untuk tidak menceritakan perbuatan Raden Suyudana dan Raden Dursasana tadi
kepada keluarga di istana.

PRABU PANDU MENYAMBUT KEPULANGAN PUTRA KEDUANYA


Demikianlah, Raden Yamawidura dan rombongannya telah sampai di istana Kerajaan
Hastina. Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan segenap anggota keluarga lainnya menyambut
kedatangan Raden Bimasena dengan penuh perasaan haru dan bahagia.
Prabu Pandu kagum melihat putra keduanya itu bertubuh tinggi besar dan memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat. Ia teringat dewata pernah berpesan bahwa penempatan
Raden Bima bungkus di tengah Hutan Mandalasana bukanlah sebagai pembuangan,
melainkan sebagai sarana bagi Pandawa nomor dua tersebut untuk melakukan tapa brata
selama empat belas tahun. Teringat pada hal itu, maka Prabu Pandu pun memberikan nama
tambahan untuk Raden Bimasena, yaitu Raden Bratasena.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


Catatan : kisah Bima Bungkus ini menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun
Suryasengkala 679 yang ditandai dengan sengkalan “trusthaning wiku angraras barakan”, atau
bertepatan dengan tahun Candrasengakala 699 dengan ditandai sengkalan “rudra mukar angayak
langit”. Menurut versi ini, kisah Bima Bungkus terjadi hanya beberapa hari saja setelah Bima Lahir,
bahkan sebelum Kurawa Lahir di tahun yang sama. Namun, menurut versi Ki Anom Suroto, kisah
Bima Bungkus terjadi belasan tahun setelah Bima Lahir.
KITAB WAYANG PURWA

KANGSA TAKON BAPA


Kisah ini menceritakan awal mula Raden Kangsa diterima sebagai putra Prabu
Basudewa di Kerajaan Mandura, serta kisah awal mula Prabu Jarasanda mendapatkan
takhta Kerajaan Magada dengan jalan membunuh ayahnya sendiri yang bernama Prabu
Wrehadrata.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan sumber
kitab Mahabharata karya Resi Wyasa.
Kediri, 05 Juli 2016
Heri Purwanto

Raden Kangsa Dewa

JAKA MARUTA MENCARI TAHU SIAPA ORANG TUANYA


Pendeta raksasa Resi Anggawangsa di Gunung Rawisrengga sedang dihadap murid
sekaligus anak asuhnya yang bernama Jaka Maruta. Hari itu Jaka Maruta telah berusia tiga
belas tahun tetapi badannya gagah perkasa seperti pemuda umur dua puluh tahunan.
Semua ilmu kesaktian yang diajarkan oleh Resi Anggawangsa pun telah tuntas dipelajari
olehnya.
Hari itu Jaka Maruta memberanikan diri untuk bertanya kepada sang guru tentang
siapa sebenarnya orang tua yang telah melahirkannya. Resi Anggawangsa pun bercerita
bahwa belasan tahun yang lalu ada seorang raja raksasa bernama Prabu Gorawangsa dari
Kerajaan Guagra yang jatuh cinta kepada Dewi Mahirah, istri Prabu Basudewa di Kerajaan
Mandura. Prabu Gorawangsa lalu menyamar menjadi Prabu Basudewa palsu dan
mendatangi Dewi Mahirah, sehingga Dewi Mahirah pun mengandung olehnya. Dari
kandungan tersebut lahirlah Jaka Maruta.
Mendengar itu, Jaka Maruta pun menyimpulkan bahwa ayah dan ibunya adalah Prabu
Gorawangsa dan Dewi Mahirah sehingga ia pun mohon pamit untuk berangkat menemui
mereka. Namun, Resi Anggawangsa melarangnya, karena Prabu Gorawangsa telah lama
meninggal di tangan Aryaprabu Rukma, adik kandung Prabu Basudewa, sedangkan Dewi
Mahirah juga telah meninggal di dalam hutan karena dihukum buang oleh Prabu Basudewa.
Mendengar itu, Jaka Maruta sangat marah dan ingin menggempur Kerajaan Mandura
untuk membalas dendam. Resi Anggawangsa melarang muridnya tersebut berbuat nekat.
Bagaimanapun juga ia hanya seorang diri tentu tidak akan sanggup menghadapi Prabu
Basudewa beserta seluruh pasukannya. Alangkah baiknya, Jaka Maruta pergi ke Kerajaan
KITAB WAYANG PURWA

Guagra untuk meminta bantuan kepada pamannya yang bernama Patih Suratimantra di
sana.

NYAI JARA MENGUNJUNGI RESI ANGGAWANGSA BERSAMA ANAK ASUHNYA


Tidak lama kemudian datanglah seorang raksasi bernama Nyai Jara yang tidak lain
adalah adik kandung Resi Anggawangsa. Nyai Jara ini datang berkunjung ke Gunung
Rawisrengga dengan ditemani seorang pemuda bertubuh tinggi besar yang merupakan
anak asuhnya, bernama Jaka Slewah.
Resi Anggawangsa yang sudah lama tidak bertemu adiknya itu merasa sangat rindu,
sekaligus ia penasaran tentang asal usul Jaka Slewah. Nyai Jara pun bercerita bahwa
dirinya menemukan Jaka Slewah sekitar dua puluh tahun yang lalu. Saat itu di tengah hutan,
ia melihat Prabu Wrehadrata raja Magada sedang membuang dua potong bayi laki-laki.
Setelah Prabu Wrehadrata pergi, Nyai Jara pun mendatangi dua potong bayi tersebut dan
memungutnya. Sungguh ajaib, begitu dipungut oleh Nyai Jara dan diangkat ke atas, tiba-
tiba dua potong bayi tersebut bersatu dan menjadi seorang bayi laki-laki yang utuh. Nyai
Jara merasa sayang kepada bayi laki-laki tersebut dan berniat untuk mengasuhnya. Karena
bayi laki-laki itu berasal dari dua potong yang disatukan, dan garis pemersatunya masih
membekas, maka Nyai Jara pun memberinya nama, Jaka Slewah.
Kini, Jaka Slewah telah berusia dua puluh tahun dan telah mempelajari semua ilmu
kesaktian yang diajarkan oleh ibu asuhnya. Ia pun berniat ingin pergi ke Kerajaan Magada
untuk membalas perbuatan Prabu Wrehadrata yang telah membuangnya di hutan sejak
bayi. Namun, Nyai Jara tidak tega jika putra asuhnya itu pergi sendiri. Maka, ia pun
mengajak Jaka Slewah pergi ke Gunung Rawisrengga untuk meminta bantuan kepada sang
kakak, yaitu Resi Anggawangsa.
Demikianlah kisah tentang asal usul Jaka Slewah. Mengetahui niat kedatangan Nyai
Jara adalah untuk meminta bantuan kepadanya, Resi Anggawangsa mengaku keberatan.
Ia merasa dirinya sudah tua, sudah tidak mampu lagi untuk pergi berperang. Namun, jika
Jaka Slewah ingin meminta bantuan, maka ia boleh meminta tolong kepada muridnya yang
bernama Jaka Maruta. Kebetulan Jaka Maruta adalah keponakan Patih Suratimantra dari
Kerajaan Guagra. Tentunya pasukan raksasa dari Guagra dapat dimanfaatkan untuk
membantu perjuangan Jaka Slewah melawan Prabu Wrehadrata. Namun demikian, jika
Jaka Slewah sudah berhasil membalaskan dendamnya, maka ia harus ganti membantu
Jaka Maruta menyerang Prabu Basudewa raja Mandura.
Jaka Slewah dan Nyai Jara menyetujui persyaratan dari Resi Anggawangsa. Setelah
dirasa cukup, mereka berempat pun berangkat menuju Kerajaan Guagra.

JAKA MARUTA BERTEMU PATIH SURATIMANTRA


Resi Anggawangsa, Nyai Jara, Jaka Slewah, dan Jaka Maruta telah sampai di
Kerajaan Guagra. Tampak di sana Patih Suratimantra sedang memimpin pertemuan yang
dihadiri oleh segenap pasukan raksasa. Melihat kedatangan Resi Anggawangsa, Patih
Suratimantra seketika teringat peristiwa tiga belas tahun yang lalu. Ketika itu ia hendak
menguburkan jasad Dewi Mahirah yang telah meninggal di tengah hutan, namun tiba-tiba
Resi Anggawangsa datang dan mengeluarkan bayi laki-laki dari dalam jenazah tersebut.
Patih Suratimantra pun menyambut Resi Anggawangsa dan rombongannya, lalu
bertanya tentang keadaan putra yang dilahirkan Dewi Mahirah dulu. Resi Anggawangsa
segera memperkenalkan bahwa Jaka Maruta di sampingnya adalah putra Dewi Mahirah
yang kini telah tumbuh dewasa, meskipun usianya baru tiga belas tahun. Patih Suratimantra
sangat bahagia dan langsung memeluk Jaka Maruta. Ia berkata bahwa sejak meninggalnya
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Gorawangsa, takhta Kerajaan Guagra dibiarkan kosong, karena hanya Jaka Maruta
saja yang boleh mendudukinya. Kini ia pun mempersilakan Jaka Maruta menjadi raja
Guagra dengan memakai gelar Prabu Kangsa Dewa, yaitu nama pemberiannya saat lahir
dulu. Nama tersebut adalah singkatan dari nama Gorawangsa dan Basudewa. Maksudnya
ialah, Raden Kangsa adalah putra Prabu Gorawangsa yang menyamar sebagai Prabu
Basudewa.
Jaka Maruta terharu melihat kebaikan Patih Suratimantra kepada dirinya. Namun, ia
menolak menduduki takhta Kerajaan Guagra sebelum bisa membalas dendam kepada
Prabu Basudewa sekeluarga. Patih Suratimantra menyatakan siap membantu. Namun,
Jaka Maruta menyarankan agar Patih Suratimantra terlebih dulu membantu sahabatnya
yang bernama Jaka Slewah untuk menyerang Kerajaan Magada.
Karena Jaka Maruta yang meminta, maka Patih Suratimantra langsung menyatakan
setuju. Ia segera mengumpulkan pasukan Guagra untuk bersiap menyerang Kerajaan
Magada. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa dan Nyai Jara pun mohon pamit kembali
ke Gunung Rawisrengga.

RIWAYAT PRABU WREHADRATA RAJA MAGADA


Kerajaan Magada memiliki ibu kota bernama Giribajra, tempat Prabu Wrehadrata
bertakhta. Prabu Wrehadrata ini adalah putra sulung Prabu Wasupati, raja Wirata terdahulu.
Saat itu Prabu Wasupati mendapatkan petunjuk dewata bahwa Raden Wrehadrata akan
menurunkan raja angkara murka yang ingin menguasai dunia. Mendengar ramalan
tersebut, Raden Wrehadrata merasa prihatin dan menyerahkan jabatannya sebagai putra
mahkota kepada sang adik, yaitu Raden Durgandana. Raden Wrehadrata berniat keluar
dari wilayah Kerajaan Wirata untuk selamanya agar ramalan dewata tersebut tidak pernah
terjadi. Prabu Wasupati terharu melihat ketulusan putra sulungnya itu, dan ia pun
memberikan Hutan Magada di kaki Gunung Cetiyaka kepada Raden Wrehadrata untuk
dibuka menjadi kerajaan baru.
Demikianlah, Raden Wrehadrata membuka Hutan Magada menjadi sebuah negeri
baru bernama Kerajaan Magada. Ia pun mengangkat diri sendiri sebagai raja di sana,
bergelar Prabu Wrehadrata. Karena letak Kerajaan Magada berada di kaki Gunung
Cetiyaka, maka ibu kota negeri baru tersebut pun diberi nama Giribajra. Sesuai janjinya,
Prabu Wrehadrata tidak pernah datang lagi ke istana Wirata. Maka, ketika Prabu Wasupati
meninggal dunia dan Raden Durgandana menggantikannya sebagai raja yang baru,
bergelar Prabu Matsyapati, sama sekali Prabu Wrehadrata tidak hadir di Wirata, melainkan
hanya mengirim doa dari kejauhan.
Prabu Wrehadrata memiliki dua orang permaisuri yang bernama Dewi Wikasi dan
Dewi Warnasi. Keduanya bersedih karena sudah lama dinikahi Prabu Wrehadrata namun
belum juga memiliki putra. Prabu Wrehadrata lalu bertapa di sanggar pemujaan selama
berbulan-bulan supaya bisa memiliki keturunan. Hingga pada suatu hari Batara Narada
turun dari kahyangan dan menyerahkan sebutir buah Mangga Pertanggajiwa sebagai
sarana untuknya mendapatkan putra.
Karena rasa keadilannya, Prabu Wrehadrata pun membelah mangga tersebut menjadi
dua. Yang setengah untuk Dewi Wikasi, dan yang setengah lagi untuk Dewi Warnasi.
Setelah itu, Prabu Wrehadrata pun berhubungan badan dengan kedua istrinya, hingga
keduanya sama-sama mengandung. Sungguh ajaib, setelah sembilan bulan berlalu, kedua
istri tersebut melahirkan bayi laki-laki yang hanya setengah. Dewi Wikasi melahirkan
potongan kiri, sedangkan Dewi Warnasi melahirkan potongan sebelah kanan. Keduanya
pun menjerit ngeri ketakutan melihat apa yang telah mereka lahirkan sendiri.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Wrehadrata merasa sangat sedih. Ia pun membuang dua potongan bayi
tersebut ke hutan. Kedua potongan bayi itulah yang kemudian dipungut oleh Nyai Jara dan
disatukan menjadi bayi laki-laki utuh, bernama Jaka Slewah.

KEMATIAN PRABU WREHADRATA


Ketika Prabu Wrehadrata sedang memikirkan peristiwa dua puluh tahun silam
tersebut, tiba-tiba datang Patih Jayakalana yang mengabarkan bahwa Kerajaan Magada
hari ini diserang musuh dari Kerajaan Guagra. Mendengar itu, Prabu Wrehadrata segera
mempersiapkan diri. Ia pun memimpin langsung pasukan Magada menghadapi serangan
mendadak ini.
Pertempuran sengit pun terjadi antara kedua belah pihak. Jaka Slewah bertarung
menghadapi Prabu Wrehadrata. Ia pun memperkenalkan diri sebagai dua potongan bayi
yang dulu dibuang Prabu Wrehadrata dan kini telah bersatu di bawah asuhan Nyai Jara.
Mengetahui siapa yang menjadi lawannya, Prabu Wrehadrata langsung membuang senjata.
Ia pun menyatakan ikhlas jika Jaka Slewah ingin merebut takhta Kerajaan Magada dari
tangannya.
Namun, Jaka Slewah sudah gelap mata karena hatinya dipenuhi oleh dendam. Ia pun
mencekik Prabu Wrehadrata hingga sekarat. Tidak hanya itu, kedua tangannya lalu
bergerak mengupas kulit ayahnya itu hidup-hidup. Prabu Wrehadrata akhirnya meninggal
perlahan-lahan dalam penderitaan di tangan putranya sendiri.
Melihat rajanya tewas mengenaskan, Patih Jayakalana memilih kabur melarikan diri.
Maka, Kerajaan Magada pun resmi jatuh ke tangan Jaka Slewah.

JAKA SLEWAH MENJADI PRABU JARASANDA


Jaka Slewah, Jaka Maruta, dan Patih Suratimantra berpesta merayakan kemenangan
mereka. Kedua istri Prabu Wrehadrata, yaitu Dewi Wikasi dan Dewi Warnasi memilih bunuh
diri menyusul sang suami. Jaka Slewah tidak peduli. Ia bahkan memerintahkan para prajurit
untuk membuang jasad kedua ibu kandungnya itu ke hutan agar menjadi makanan binatang
buas.
Jaka Slewah kini menduduki takhta Kerajaan Magada. Ia pun memakai gelar Prabu
Jarasanda, untuk menghormati sang ibu asuh yang telah meyatukan kedua potongan
tubuhnya, yaitu Nyai Jara. Sementara itu, Jaka Maruta juga mengganti namanya menjadi
Raden Kangsa, untuk mengingat ayahnya, yaitu Prabu Gorawangsa.
Prabu Jarasanda masih saja belum puas telah membunuh Prabu Wrehadrata. Ia pun
memerintahkan para prajurit untuk mengubah kulit ayahnya itu menjadi tambur dan
meletakkannya di puncak Gunung Cetiyaka.

PRABU PANDU MENGALAHKAN PRABU JARASANDA


Sementara itu, Patih Jayakalana yang berhasil meloloskan diri dari Kerajaan Magada
akhirnya sampai di Kerajaan Hastina. Ia menghadap Prabu Pandu Dewanata dan
menyampaikan berita tentang gugurnya Prabu Wrehadrata. Prabu Pandu sangat prihatin
dan mengajak Patih Gandamana untuk menghukum Jaka Slewah dan para pengikutnya,
karena bagaimanapun juga Kerajaan Magada adalah sekutu Kerajaan Hastina.
Demikianlah, Prabu Pandu, Patih Gandamana, dan pasukan Hastina telah sampai di
Kerajaan Magada. Prabu Jarasanda, Raden Kangsa, dan Patih Suratimantra segera
mengerahkan pasukan menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih
Gandamana berhasil meringkus Patih Suratimantra, sedangkan Prabu Pandu berhasil
mengalahkan Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa menggunakan Aji Pangrupak Jagad.
KITAB WAYANG PURWA

Kini, tubuh Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa dibenamkan di dalam tanah oleh
Prabu Pandu hingga sebatas dada. Prabu Jarasanda menangis memohon ampun. Ia
mengaku salah telah membunuh ayahnya sendiri karena dibutakan oleh dendam sejak
kecil. Namun demikian, kini dirinya telah bertobat ingin menebus dosa besar tersebut.
Dasar watak Prabu Pandu yang mudah kasihan, ia pun mengangkat tubuh Prabu
Jarasanda dan Raden Kangsa dari dalam tanah. Prabu Jarasanda lalu berlutut menyembah
Prabu Pandu memohon pengampunan dan ia pun berjanji tidak akan pernah mengganggu
Kerajaan Hastina seumur hidupnya. Prabu Pandu menerima janji tersebut. Ia pun
mempersilakan Prabu Jarasanda tetap menjadi raja Magada, karena bagaimanapun juga
Prabu Jarasanda adalah ahli waris sah Prabu Wrehadrata.
Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu dan Patih Gandamana pun membawa pasukan
kembali ke Kerajaan Hastina. Patih Jayakalana dan sebagian prajurit Magada yang tidak
mau mengabdi kepada Prabu Jarasanda memutuskan untuk ikut bergabung mengabdi
kepada Prabu Pandu Dewanata.

PRABU JARASANDA MENYUSUN RENCANA UNTUK RADEN KANGSA


Setelah Prabu Pandu pergi, Raden Kangsa bertanya mengapa Prabu Jarasanda sudi
berlutut menyembah Prabu Pandu. Prabu Jarasanda pun menjelaskan bahwa dirinya hanya
berpura-pura saja. Untuk menghadapi musuh sakti seperti Prabu Pandu tidak cukup hanya
mengandalkan kekuatan, tetapi harus bisa pula mengandalkan tipu muslihat. Ternyata
dugaan Prabu Jarasanda benar. Prabu Pandu meskipun sakti dan perkasa namun mudah
merasa kasihan dan mudah diperdaya, bahkan merestui dirinya tetap menjadi raja Magada.
Patih Suratimantra pun menjelaskan bahwa Prabu Pandu adalah adik ipar Prabu
Basudewa raja Mandura, yaitu suami dari Dewi Kunti. Mendengar itu, Raden Kangsa
merasa gentar. Jika dirinya meneruskan niat menyerang Kerajaan Mandura, tentu Prabu
Pandu akan datang untuk membantu Prabu Basudewa. Dengan demikian, niatnya untuk
membalas dendam akan hancur berantakan.
Prabu Jarasanda menyarankan agar Raden Kangsa menggunakan tipu muslihat saja
untuk bisa mengalahkan Prabu Basudewa. Caranya, Raden Kangsa jangan mengaku
sebagai putra Prabu Gorawangsa, tetapi mengakulah sebagai putra Prabu Basudewa.
Kemudian Patih Suratimantra hendaknya datang menyerang Kerajaan Mandura dengan
alasan ingin membalas kematian Prabu Gorawangsa. Saat itulah Raden Kangsa harus
tampil sebagai pahlawan dengan cara menaklukkan Patih Suratimantra.
Raden Kangsa dan Patih Suratimantra menimbang-nimbang usulan Prabu Jarasanda.
Mereka lalu menyatakan setuju. Patih Suratimantra pun menjelaskan tentang anggota
keluarga Prabu Basudewa. Bahwa selain Dewi Kunti, masih ada dua adik Prabu Basudewa
yang lainnya, yaitu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Aryaprabu Rukma berwatak
cerdik dan pandai, sedangkan Arya Ugrasena adalah yang paling sakti di antara mereka,
namun mudah tersinggung dan kurang teliti.
Mendengar itu, Prabu Jarasanda pun menyarankan agar Raden Kangsa masuk ke
dalam istana Mandura melalui Arya Ugrasena saja. Ia lantas menyusun rencana dan
mengajarkan beberapa tipu muslihat kepada Raden Kangsa sebelum berangkat.

RADEN KANGSA MENGALAHKAN ARYA UGRASENA


Sesuai rencana yang disusun Prabu Jarasanda, maka Raden Kangsa pun masuk ke
Kerajaan Mandura melalui Kesatrian Lesanpura. Begitu bertemu dengan Arya Ugrasena, ia
langsung mengaku sebagai putra Dewi Mahirah yang dilahirkan di tengah hutan. Karena
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Mahirah adalah istri Prabu Basudewa, maka Raden Kangsa pun mengaku sebagai
putra Prabu Basudewa pula.
Arya Ugrasena tidak percaya begitu saja. Raden Kangsa pun menantang pamannya
itu berkelahi untuk membuktikan ucapannya. Keduanya lalu bertanding satu lawan satu.
Dalam pertandingan itu Arya Ugrasena kalah dan mengakui kehebatan Raden Kangsa.
Namun, Raden Kangsa telah diajari Prabu Jarasanda cara bertutur kata manis, sehingga
tidak sampai mempermalukan Arya Ugrasena di hadapan para prajurit Lesanpura. Arya
Ugrasena terkesan mendengar bujuk rayu Raden Kangsa, dan ia pun mengajak pemuda
itu menemui Prabu Basudewa di istana.

RADEN KANGSA MENEMUI PRABU BASUDEWA


Prabu Basudewa di istana Mandura menerima kedatangan Arya Ugrasena dan Raden
Kangsa. Hadir pula di sana Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita. Dalam pertemuan itu,
Arya Ugrasena memperkenalkan Raden Kangsa adalah putra sulung Prabu Basudewa
yang lahir di tengah hutan dari rahim Dewi Mahirah. Kini Dewi Mahirah telah meninggal dan
berwasiat agar Raden Kangsa menemui ayahnya di istana Mandura.
Aryaprabu Rukma membantah keterangan tersebut. Ia meminta Prabu Basudewa
agar tidak mudah percaya, karena Dewi Mahirah telah berselingkuh dengan Prabu
Basudewa palsu, penjelmaan Prabu Gorawangsa. Bisa jadi, Raden Kangsa adalah anak
hasil perselingkuhan tersebut. Mendengar itu, Raden Kangsa pura-pura mengeluh dan
meratap sedih karena dirinya tidak dipercaya. Ia menyatakan lebih baik bunuh diri menyusul
ibunya daripada ditolak oleh Prabu Basudewa.
Arya Ugrasena yang telah terperdaya segera membela Raden Kangsa. Ia pun
menyatakan di hadapan semua orang, jika Prabu Basudewa tidak mau mengakui Raden
Kangsa sebagai putra, maka biarlah dirinya saja yang menjadi ayah angkat bagi pemuda
tersebut. Raden Kangsa pun berlutut menyembah kaki Arya Ugrasena dan memanggil ayah
kepadanya. Ia benar-benar telah menguasai seni tipu muslihat sesuai yang telah diajarkan
Prabu Jarasanda.

RADEN KANGSA PURA-PURA MENAKLUKKAN PATIH SURATIMANTRA


Setelah rencana pertama berjalan, Prabu Jarasanda pun mengerahkan rencana
kedua, yaitu mengirim Patih Suratimantra dan pasukan Guagra untuk pura-pura menyerang
Kerajaan Mandura. Demikianlah, saat Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena berdebat
untuk meyakinkan Prabu Basudewa, tiba-tiba datang serangan pasukan raksasa dari
Kerajaan Guagra tersebut.
Arya Ugrasena selaku panglima perang Kerajaan Mandura segera menyiagakan
pasukan untuk menghadang mereka. Pertempuran sengit pun meletus. Arya Ugrasena
tampak terdesak menghadapi kekuatan Patih Suratimantra. Melihat ayah angkatnya
kewalahan, Raden Kangsa segera turun tangan membantu. Ia bertarung dan bergulat
melawan Patih Suratimantra. Sesuai rencana, Patih Suratimantra pun pura-pura kalah.
Raden Kangsa lalu meringkus raksasa tersebut dan menghadapkannya kepada Prabu
Basudewa.

PRABU BASUDEWA MENERIMA RADEN KANGSA SEBAGAI PUTRANYA


Prabu Basudewa bertanya mengapa Patih Suratimantra datang menyerang Kerajaan
Mandura. Patih Suratimantra menjawab bahwa dirinya ingin membalas kematian kakaknya,
yaitu Prabu Gorawangsa tiga belas tahun silam. Namun, kini ia merasa gagal dan memohon
ampun karena ternyata Prabu Basudewa memiliki seorang jagoan hebat bernama Raden
Kangsa.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basudewa merasa serbasalah. Di satu sisi ia belum percaya kalau Raden
Kangsa adalah anak kandungnya, namun di sisi lain ia merasa gentar dan ngeri melihat
kesaktian pemuda gagah berusia tiga belas tahun tersebut. Akhirnya, ia pun mengampuni
Patih Suratimantra dan mengakui Raden Kangsa sebagai putra.
Patih Suratimantra berterima kasih atas kebaikan hati Prabu Basudewa. Ia lalu mohon
pamit pulang ke Kerajaan Guagra dan berjanji tidak akan pernah mengganggu Kerajaan
Mandura lagi.
Setelah pasukan raksasa itu pergi, Prabu Basudewa pun menghadiahkan Kadipaten
Sengkapura sebagai tempat tinggal Raden Kangsa. Raden Kangsa sangat berterima kasih
dan mohon pamit untuk mulai memimpin daerah tersebut.
Setelah Raden Kangsa pergi, Aryaprabu Rukma langsung membuka pembicaraan. Ia
mengingatkan Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena tentang ramalan Batara Narada tiga
belas tahun yang lalu. Saat itu Batara Narada memerintahkan Prabu Basudewa untuk
menyembunyikan putra-putrinya yang baru lahir, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana,
dan Dewi Bratajaya di Desa Widarakandang agar mereka dididik dan ditempa menjadi
pribadi-pribadi yang tangguh, sekaligus untuk menghindari ancaman munculnya putra hasil
perselingkuhan Prabu Gorawangsa dan Dewi Mahirah. Aryaprabu Rukma yakin bahwa
Raden Kangsa adalah putra yang diramalkan oleh Batara Narada tersebut.
Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena terkejut mendengarnya. Mereka mengaku
benar-benar lupa terhadap ramalan itu. Apalagi melihat kesaktian Raden Kangsa dalam
meringkus Patih Suratimantra telah membuat mereka kagum sekaligus ngeri. Namun,
Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena sudah terlanjur mengakui Raden Kangsa sebagai
putra, tentunya tidak mungkin ucapan tersebut ditarik kembali. Satu-satunya jalan bagi
mereka hanyalah berdoa semoga Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya
yang kini diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi selalu mendapatkan perlindungan dari
dewata dan kelak mampu mengatasi masalah ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : kisah Raden Kangsa diterima Prabu Basudewa ini terdapat dalam Pustakaraja Purwa karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita dan disebutkan terjadi pada tahun Suryasengkala 691 yang
ditandai dengan sengkalan “rupa rodra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 712 yang
ditandai dengan sengkalan “paksa anunggal paksi”. Sedangkan pertemuan Raden Kangsa dan
Prabu Jarasanda adalah pengembangan dari saya, berdasarkan cerita dalam kitab Mahabharata.
KITAB WAYANG PURWA

GANDAMANA LUWENG
Kisah ini menceritakan upaya licik Arya Suman dalam menyingkirkan Patih
Gandamana dan merebut kedudukannya sebagai menteri utama Kerajaan Hastina. Arya
Suman memang berhasil mewujudkan keinginannya namun ia harus menderita cacat
buruk rupa dan namanya pun diganti menjadi Patih Sangkuni.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas Ki Anom Suroto yang saya padukan
dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, 12 Juli 2016
Heri Purwanto

Arya Suman menjadi Patih Sangkuni

PRABU PANDU MENERIMA SURAT DARI PRABU TREMBOKO


Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh
Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan
Arya Suman. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang Kerajaan Pringgadani yang
telah menjalin persahabatan dengan Kerajaan Hastina, serta Prabu Tremboko secara
pribadi telah menjadi murid sekaligus adik angkat Prabu Pandu.
Arya Suman pun menyela bicara, bahwa putra sulung Prabu Tremboko yang bernama
Raden Arimba baru saja datang ke Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat dari
ayahnya. Akan tetapi, raksasa muda tersebut tidak berani masuk istana untuk menghadap
Prabu Pandu dan memilih berhenti di luar. Kebetulan waktu itu Arya Suman lewat dan
menanyakan ada keperluan apa. Raden Arimba segera menyerahkan surat yang ia bawa
dan buru-buru pulang ke Kerajaan Pringgadani.
Arya Suman lalu menyampaikan surat tersebut kepada Prabu Pandu. Prabu Pandu
menerima dan membacanya dengan seksama. Betapa terkejut Prabu Pandu karena surat
itu berisi pernyataan sikap dari Prabu Tremboko yang ingin memutuskan persahabatan
dengan Kerajaan Hastina. Bahkan, raja raksasa itu juga menyatakan siap untuk berperang
dengan Kerajaan Hastina kapan saja.
Prabu Pandu heran mengapa Prabu Tremboko tiba-tiba berubah sikap seperti itu.
Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari berkata bahwa bagaimanapun juga Prabu Tremboko
adalah kaum raksasa yang suka berbuat kejam. Prabu Pandu sendiri yang salah karena
terlalu mudah percaya, padahal jelas-jelas Prabu Tremboko adalah keturunan Prabu
Kuramba, yaitu pendiri Kerajaan Pringgadani yang dulu tewas di tangan Resi Manumanasa.
KITAB WAYANG PURWA

Kini Prabu Tremboko telah mempelajari ilmu kesaktian Prabu Pandu, dan ternyata itu justru
digunakan untuk melawan Kerajaan Hastina sendiri.
Sementara itu, Raden Yamawidura meminta agar Prabu Pandu jangan terlalu
gegabah memercayai isi surat dari Prabu Tremboko tersebut. Alangkah baiknya Prabu
Pandu mengirimkan duta untuk menyelidiki apakah benar Prabu Tremboko berniat
memberontak atau tidak. Prabu Pandu menyetujui usulan adiknya tersebut. Ia pun
memerintahkan Patih Gandamana untuk pergi ke Kerajaan Pringgadani dan bertanya
langsung atas hal ini kepada Prabu Tremboko.

DEWI MADRIM MENGUNDANG BATARA ASWAN DAN BATARA ASWIN


Prabu Pandu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton, di mana kedua
istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim telah menunggu. Dalam kesempatan itu Prabu
Pandu meminta kepada Dewi Madrim untuk mematangkan benih yang ada dalam
kandungannya, dengan mengundang dewa dari kahyangan.
Belasan tahun yang lalu Prabu Pandu mendapat kutukan dari Resi Kindama bahwa ia
akan mendapat celaka apabila bersetubuh dengan istrinya. Kutukan tersebut membuat
Prabu Pandu sangat prihatin, karena itu berarti seumur hidup ia tidak akan memiliki
keturunan. Untungnya, Resi Druwasa datang membawa sarana berupa Mangga
Pertanggajiwa yang dagingnya dipotong menjadi lima bagian. Resi Druwasa lalu menanam
saripati benih Prabu Pandu dalam potongan daging mangga itu dan menyerahkannya
kepada Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Dewi Kunti menelan tiga potong, sedangkan Dewi
Madrim menelan dua potong.
Dewi Kunti kemudian mengerahkan Aji Kunta Wekasing Rahsa Cipta Tunggal Tanpa
Lawan untuk mengundang Batara Darma. Kepada dewa keadilan tersebut, Dewi Kunti
meminta agar benih Prabu Pandu di dalam perutnya disatukan dengan benih miliknya di
dalam rahim. Batara Darma pun mengabulkan permintaan tersebut. Dengan kuasanya, ia
mampu menyatukan benih Prabu Pandu dengan Dewi Kunti menjadi bayi bernama Raden
Puntadewa. Dengan demikian, Prabu Pandu berhasil memiliki putra tanpa harus menyentuh
istrinya.
Dua tahun kemudian, Dewi Kunti mengundang Batara Bayu untuk menyatukan benih
kedua di dalam perutnya. Benih kedua itu pun disatukan dengan benih di dalam rahimnya
menjadi bayi perkasa bernama Raden Bima yang lahir dalam keadaan terbungkus. Setahun
berikutnya, Dewi Kunti mengundang Batara Indra untuk mematangkan benih ketiga. Benih
Prabu Pandu yang ketiga tersebut disatukan dengan benih dalam rahim Dewi Kunti
sehingga lahirlah Raden Arjuna. Setelah Raden Arjuna berusia dua belas tahun, barulah
Raden Bima keluar dari bungkusnya, berkat bantuan Gajah Sena dari kahyangan.
Kini tiba saatnya Prabu Pandu meminta Dewi Madrim untuk mematangkan dua benih
di dalam rahimnya. Selama ini Dewi Madrim selalu menunda-nunda karena ia sudah
terlanjur sayang kepada Raden Puntadewa yang dianggapnya sebagai anak sendiri. Ia takut
jika memiliki anak kandung, maka rasa kasihnya kepada Raden Puntadewa akan
berkurang.
Prabu Pandu pun menjelaskan bahwa Raden Puntadewa kini telah berusia tujuh belas
tahun, maka sudah saatnya bagi dia untuk belajar dewasa. Jika terus-menerus dalam
asuhan Dewi Madrim, tentu hal ini kurang bagus bagi perkembangan jiwanya. Dewi Kunti
pun ikut bicara. Ia berterima kasih atas segala perhatian Dewi Madrim kepada Raden
Puntadewa selama ini. Ia pun berjanji apabila Dewi Madrim memiliki putra, maka Dewi Kunti
akan menyayangi mereka melebihi anak kandung sendiri.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Madrim akhirnya setuju untuk mematangkan kedua benih di dalam perutnya.
Meskipun dua potong daging Mangga Pertangga Jiwa sudah tujuh belas tahun tertanam di
dalam perutnya namun sama sekali tidak rusak ataupun ikut keluar bersama kotoran.
Setelah mempelajari mantra Aji Kunta Wekasing Rahsa dari Dewi Kunti, ia pun segera
bersamadi mengundang dua orang dewa sekaligus, yaitu dewa kembar tabib kahyangan,
bernama Batara Aswan dan Batara Aswin.
Sepasang dewa kembar itu pun turun menemui Dewi Madrim. Dewi Madrim meminta
kepada mereka agar kedua benih Prabu Pandu yang tertanam dalam perutnya bisa
disatukan dengan benih miliknya di dalam rahim sehingga menjadi janin kembar. Namun,
ia meminta agar janin kembar tersebut dibiarkan matang secara wajar selama sembilan
bulan, bukan matang secara singkat dalam waktu sekejap. Batara Aswan dan Batara Aswin
mengabulkan permintaan itu. Dengan kekuasaan mereka, seketika Dewi Madrim pun
mengandung anak kembar. Setelah dirasa cukup, kedua dewa itu lalu undur diri kembali ke
kahyangan.

ARYA SUMAN MENDAHULUI PATIH GANDAMANA


Sementara itu, Arya Suman yang tadi menyerahkan surat dari Prabu Tremboko
kepada Prabu Pandu tampak keluar dari istana dalam keadaan kecewa karena rencananya
gagal. Ia pun memanggil dua keponakan tersayangnya, yaitu Raden Suyudana dan Raden
Dursasana (Kurawa nomor satu dan dua). Kepada mereka, Arya Suman bercerita bahwa
surat dari Prabu Tremboko tadi sebenarnya adalah surat palsu. Surat yang asli berisi
permintaan maaf Prabu Tremboko yang sudah beberapa bulan tidak bisa menghadap ke
Kerajaan Hastina, karena istrinya baru saja melahirkan seorang putra bernama Raden
Kalabendana. Namun, Arya Suman menakut-nakuti Raden Arimba si pembawa surat,
bahwa hari ini Prabu Pandu sedang marah-marah kepada para menteri dan punggawa.
Karena Raden Arimba percaya dan merasa gentar, ia pun menitipkan surat dari ayahnya
itu kepada Arya Suman. Demikianlah, Arya Suman diam-diam mengubah isi surat tersebut
seolah-olah Prabu Tremboko hendak menantang perang Kerajaan Hastina.
Raden Suyudana dan Raden Dursasana ngeri mengetahui perbuatan paman mereka
yang berani mengubah surat dari raja Pringgadani. Arya Suman berkata bahwa ini semua
ia lakukan adalah demi untuk membuka jalan bagi Raden Suyudana agar bisa mewarisi
takhta Kerajaan Hastina. Meskipun rencananya mengadu domba Prabu Pandu dan Prabu
Tremboko gagal, namun kini ia mendapat peluang untuk menyingkirkan Patih Gandamana.
Dalam sekejap otaknya melahirkan rencana kedua, yaitu pergi ke Kerajaan Pringgadani
mendahului Patih Gandamana untuk menghasut Prabu Tremboko. Raden Suyudana dan
Raden Dursasana diajak serta, sekaligus untuk mengajari mereka ilmu tipu muslihat demi
mencapai tujuan.

ARYA SUMAN MENGHASUT PRABU TREMBOKO


Prabu Tremboko di Kerajaan Pringgadani dihadap putra-putrinya, yaitu Dewi Arimbi,
Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa.
Mereka sedang membicarakan Raden Kalabendana yang kini telah berusia dua bulan, serta
Raden Arimba yang diutus pergi ke Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat berisi
permintaan maaf Prabu Tremboko kepada Prabu Pandu.
Tidak lama kemudian Raden Arimba datang dan melaporkan bahwa surat tersebut
telah dititipkan kepada Arya Suman yang mengaku sebagai adik Prabu Pandu. Ini karena
Arya Suman bercerita bahwa Prabu Pandu sedang marah-marah kepada para menteri,
sehingga Raden Arimba merasa takut jika langsung menghadap kepadanya.
KITAB WAYANG PURWA

Baru saja Raden Arimba selesai bercerita, tiba-tiba Arya Suman datang bersama
Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Arya Suman memperkenalkan dirinya kepada
Prabu Tremboko sebagai adik Prabu Pandu. Ia lalu mengabarkan bahwa Prabu Pandu
bertambah marah setelah membaca surat tadi, bahkan merobek-robek surat tersebut.
Prabu Pandu telah menuduh Prabu Tremboko bersikap kekanak-kanakan, karena tidak
mau menghadap hanya demi untuk merayakan kelahiran anaknya. Kini, Prabu Pandu
memerintahkan Patih Gandamana untuk menjemput paksa Prabu Tremboko yang dianggap
telah membangkang.
Prabu Tremboko merasa heran mengapa Prabu Pandu marah dan merobek-robek
suratnya yang berisi permintaan maaf tersebut. Arya Suman pun menjelaskan bahwa akhir-
akhir ini sikap Prabu Pandu berubah menjadi pemarah karena sering mendapat hasutan
dari Patih Gandamana. Arya Suman mengaku telah berusaha membela Prabu Tremboko di
hadapan Prabu Pandu, namun Patih Gandamana terlalu pandai bicara dan berhasil
meyakinkan Prabu Pandu bahwa Prabu Tremboko berniat memberontak.
Mendengar itu, Prabu Tremboko sangat marah. Ia berterima kasih kepada Arya
Suman yang peduli kepada dirinya. Raden Arimba lalu diperintahkan untuk memimpin
pasukan raksasa menghadang Patih Gandamana.

PATIH GANDAMANA TERJEBAK DI DALAM SUMUR UPAS


Raden Arimba beserta pasukan raksasa Pringgadani berangkat menghadang Patih
Gandamana yang berjalan seorang diri tanpa pengawal. Tanpa banyak bicara, para raksasa
itu langsung menyerang Patih Gandamana. Karena diserang tiba-tiba, Patih Gandamana
pun berusaha membela diri. Tadinya ia hanya bertahan tanpa membalas. Namun, karena
dikeroyok terus-menerus, akhirnya kesabaran Patih Gandamana habis juga. Ia pun
mengerahkan ilmu kesaktian untuk melawan para raksasa itu, membuat mereka kewalahan
dan mundur.
Raden Arimba ditemui Arya Suman yang mengatakan bahwa untuk mengalahkan
Patih Gandamana harus menggunakan tipu muslihat. Ia pun menjelaskan bahwa di
perbatasan Kerajaan Pringgadani terdapat sebuah sumur beracun yang dikenal dengan
nama Sumur Upas. Arya Suman lalu mengajarkan bagaimana caranya menjebak Patih
Gandamana agar masuk ke dalam sumur tersebut.
Setelah mendapat petunjuk dari Arya Suman, Raden Arimba segera maju kembali. Ia
berteriak-teriak menantang dan mengejek Patih Gandamana. Pada dasarnya Patih
Gandamana memang pemarah. Begitu mendengar ejekan tersebut, ia langsung
mengerahkan Aji Blabak Pengantol-antol untuk menerjang Raden Arimba. Sesuai rencana,
Raden Arimba pun berlari ke arah Sumur Upas. Patih Gandamana melompat sambil
mengerahkan ilmu kesaktiannya. Dalam beberapa lompatan ia sudah mendekati Raden
Arimba. Namun, begitu melompat untuk yang terakhir, Raden Arimba berhasil menghindar,
dan Patih Gandamana pun tercebur masuk ke dalam Sumur Upas.
Begitu melihat Patih Gandamana sudah masuk ke dalam perangkap, Arya Suman
segera memerintahkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk menceburkan batu-
batu besar ke dalam sumur. Raden Arimba dan adik-adiknya ikut membantu. Dalam waktu
sekejap Sumur Upas pun berubah menjadi semacam bukit yang kokoh karena tertimbun
oleh bebatuan. Arya Suman yakin Patih Gandamana pasti tewas terkena gas beracun di
dalam sumur tersebut. Andaikan Patih Gandamana selamat dari gas beracun, tetap saja ia
mati tertimpa bebatuan yang ditimbunkan ke dalam sumur tadi.
Raden Arimba berterima kasih atas bantuan Arya Suman. Ia pun menawarkan jamuan
makan kepada satria dari Plasajenar tersebut. Namun, Arya Suman menolak. Ia mohon
KITAB WAYANG PURWA

pamit hendak pulang ke Kerajaan Hastina untuk merebut kedudukan patih. Ia berjanji
apabila menjadi patih maka hubungan Kerajaan Hastina dan Pringgadani akan pulih
kembali seperti sediakala. Setelah berkata demikian, Arya Suman dan dua keponakannya
pun berangkat meninggalkan tempat itu.

RADEN YAMAWIDURA BERUSAHA MENOLONG PATIH GANDAMANA


Tanpa sepengetahuan Arya Suman, ternyata diam-diam Raden Yamawidura bersama
dua keponakannya, yaitu Raden Bratasena dan Raden Permadi, serta para panakawan
mengintai apa yang baru saja terjadi. Raden Bratasena sangat marah melihat perbuatan
Arya Suman dan berniat ingin mengejarnya. Namun, Raden Yamawidura melarang karena
saat ini yang paling penting adalah bagaimana menolong Patih Gandamana keluar dari
dalam Sumur Upas.
Raden Yamawidura sejak awal memang sudah curiga Arya Suman pasti mengubah
surat dari Prabu Tremboko. Namun, karena belum memiliki bukti, ia tidak dapat
membongkar kejahatan Arya Suman. Selain itu, Arya Suman juga selalu dibela oleh Adipati
Dretarastra dan Dewi Gendari, membuat Raden Yamawidura harus mencari cara yang lain.
Maka, diam-diam Raden Yamawidura pun pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk
memperingatkan Patih Gandamana agar berhati-hati. Namun, kedatangannya terlambat
karena ia melihat Patih Gandamana sudah tercebur ke dalam Sumur Upas dan ditimbun
bebatuan oleh para raksasa dan para Kurawa.

PATIH GANDAMANA DITOLONG RESI GUNABANTALA


Raden Yamawidura berjalan mendekati Sumur Upas yang kini telah sepi. Ia
memerintahkan Raden Bratasena yang perkasa untuk membongkar bebatuan yang
menutup mulut sumur tersebut. Namun tiba-tiba, muncul seorang pendeta tua melarang
Raden Bratasena untuk turun tangan karena itu sangat berbahaya.
Pendeta tua itu memperkenalkan dirinya bernama Resi Gunabantala dari Padepokan
Arga Kumelun. Ia menjelaskan bahwa Sumur Upas sangat beracun. Apabila Raden
Bratasena membongkar bebatuan untuk menolong Patih Gandamana, maka bisa-bisa
dirinya akan ikut menjadi korban karena menghirup gas beracun di dalam sumur. Resi
Gunabantala pun menawarkan diri untuk membantu mengeluarkan Patih Gandamana,
tetapi ia ingin Raden Yamawidura berjanji memenuhi permintaannya.
Raden Yamawidura menyanggupi permintaan Resi Gunabantala apabila benar-benar
mampu menyelamatkan sahabatnya. Resi Gunabantala merasa senang lalu ia pun
mengubah wujudnya menjadi seekor landak berwarna putih. Dengan cekatan landak putih
tersebut menggali tanah dan menerobos masuk ke dalam sumur, tanpa harus membongkar
tumpukan batu di atasnya. Beberapa saat kemudian, si landak putih sudah keluar lagi ke
permukaan sambil menyeret tubuh Patih Gandamana.
Landak putih lalu kembali ke wujud Resi Gunabantala. Pendeta tua itu membaca
mantra sambil menekan dada Patih Gandamana yang pingsan karena menghirup gas
beracun, serta terluka oleh tumpukan batu. Perlahan-lahan Patih Gandamana pun bangun
seperti sediakala. Ia sangat berterima kasih atas pertolongan Resi Gunabantala dan Raden
Yamawidura.
Raden Yamawidura terharu melihat sahabatnya selamat dari malapetaka. Ia pun
menceritakan bahwa ini semua adalah ulah Arya Suman yang telah menghasut Kerajaan
Pringgadani untuk memerangi Patih Gandamana. Mendengar itu, Patih Gandamana sangat
marah dan ingin membalas perbuatan Arya Suman. Raden Yamawidura pun bersedia
mendampinginya pulang ke Hastina untuk melapor kepada Prabu Pandu.
KITAB WAYANG PURWA

Akan tetapi, Resi Gunabantala menagih janji Raden Yamawidura di awal tadi. Raden
Yamawidura pun bertanya apa yang menjadi permintaan sang pendeta tua dan ia siap
mengabulkannya. Resi Gunabantala menjelaskan bahwa ia memiliki seorang putri bernama
Endang Sinduwati yang bermimpi menikah dengan Raden Yamawidura. Resi Gunabantala
sangat ingin mewujudkan mimpi putrinya tersebut bagaimanapun caranya.
Raden Yamawidura menjelaskan bahwa dirinya sudah mempunyai istri bernama Dewi
Padmarini, putri Adipati Dipacandra dari Pagombakan. Dari perkawinan itu pun telah lahir
seorang putra bernama Raden Sanjaya yang saat ini masih kecil. Resi Gunabantala
menjawab tidak masalah jika Raden Yamawidura memiliki istri lebih dari satu. Ia rela jika
putrinya dimadu asalkan impian tersebut dapat terwujudkan.
Raden Yamawidura lalu meminta pendapat Kyai Semar tentang masalah ini. Kyai
Semar pun menyarankan agar Raden Yamawidura sebagai kesatria hendaknya menepati
janji yang telah diucapkannya tadi. Raden Yamawidura akhirnya menurut. Ia pun bersedia
menikahi Endang Sinduwati, putri Resi Gunabantala.
Maka, rombongan lalu dibagi menjadi dua. Patih Gandamana bersama Raden
Bratasena pulang ke Kerajaan Hastina, sedangkan Raden Yamawidura, Raden Permadi,
dan para panakawan mengikuti Resi Gunabantala menuju Padepokan Arga Kumelun, di
mana Endang Sinduwati telah menunggu.

ARYA SUMAN MENJADI PATIH KERAJAAN HASTINA


Sementara itu, Arya Suman bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana telah
sampai di hadapan Prabu Pandu Dewanata. Hadir pula Adipati Dretarastra dan Dewi
Gendari dalam pertemuan itu. Arya Suman pun bercerita bahwa ia baru saja pergi ke
Kerajaan Pringgadani karena hatinya tidak tega melihat Patih Gandamana berangkat
seorang diri tanpa pengawal. Dalam hal ini Arya Suman meminta maaf kepada Prabu Pandu
karena bersikap lancang menyusul Patih Gandamana tanpa perintah.
Arya Suman lalu menjelaskan bahwa saat ia datang ke Pringgadani ternyata Patih
Gandamana sedang berselisih dengan Prabu Tremboko dan anak-anaknya. Arya Suman
berniat membantu, tetapi Patih Gandamana justru memaki dirinya dengan kata-kata pedas,
bahwa ia datang hanya untuk mencari muka dan ingin kelihatan berjasa di hadapan Prabu
Pandu. Arya Suman merasa prihatin atas tuduhan Patih Gandamana tersebut sehingga ia
tidak berani lagi menawarkan bantuan.
Maka, Arya Suman pun hanya bisa menonton saat Patih Gandamana bertempur
seorang diri melawan para raksasa Pringgadani. Hingga akhirnya Patih Gandamana
terperosok masuk ke dalam Sumur Upas dan ditimbun secara keji oleh Raden Arimba dan
adik-adiknya. Kini Patih Gandamana telah tewas. Arya Suman berusaha mengeluarkan
jasadnya tetapi jumlah musuh terlalu banyak sehingga ia terpaksa pulang untuk melapor
kepada Prabu Pandu.
Prabu Pandu sangat prihatin mengetahui nasib buruk yang menimpa Patih
Gandamana. Adipati Dretarastra juga mengaku prihatin tetapi bagaimanapun juga ini
adalah karma yang diterima Patih Gandamana karena dia telah memaki Arya Suman
sebagai tukang cari muka, padahal Arya Suman tulus ingin membantunya. Dewi Gendari
menambahkan bahwa Prabu Pandu harus segera menunjuk orang lain untuk menggantikan
kedudukan Patih Gandamana sebagai menteri utama Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu menjawab bahwa untuk mengangkat patih yang baru, ia ingin berunding
lebih dulu dengan Resiwara Bisma yang kini jarang datang ke istana. Adipati Dretarastra
menjawab itu terlalu lama karena Resiwara Bisma saat ini sedang bertapa di Padepokan
Talkanda. Lagipula keadaan Hastina sedang genting karena setiap saat Prabu Tremboko
KITAB WAYANG PURWA

bisa datang menyerang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu harus segera mengangkat patih
yang baru.
Prabu Pandu mengikuti saran sang kakak. Ia pun meminta pertimbangan siapa
punggawa yang bisa dilantik sebagai patih, apakah Arya Banduwangka, Arya Bargawa,
ataukah Arya Bilawa. Adipati Dretarastra menolak nama-nama itu karena mereka semua
adalah punggawa tua. Saat ini Kerajaan Hastina membutuhkan seorang tokoh muda yang
pandai dan cekatan karena keadaan sedang darurat. Maka, calon yang paling tepat
hanyalah Arya Suman.
Arya Suman mengaku keberatan karena Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya
Bilawa sudah lama mengabdi di Kerajaan Hastina sehingga mereka lebih pantas menjadi
patih dibanding dirinya. Meskipun mulutnya berkata demikian, namun dalam hati ia
membaca mantra sihir untuk memengaruhi pikiran Prabu Pandu agar mengabulkan usulan
Adipati Dretarastra. Pengaruh mantra sihir tersebut membuat Prabu Pandu terlena dan
akhirnya ia pun menyetujui pengangkatan Arya Suman sebagai patih. Ia lalu menerbitkan
surat keputusan dan memerintahkan Arya Suman untuk mengumumkannya kepada seluruh
menteri dan punggawa.

PATIH GANDAMANA KEMBALI KE KERAJAAN HASTINA


Setelah Arya Suman pergi sambil membawa surat keputusan pengangkatannya, tiba-
tiba Patih Gandamana datang bersama Raden Bratasena. Prabu Pandu, Adipati
Dretarastra, dan Dewi Gendari terkejut mengetahui ternyata Patih Gandamana masih hidup,
padahal Arya Suman sudah terlanjur diangkat sebagai patih.
Patih Gandamana bercerita bahwa dirinya telah dijebak Arya Suman sehingga masuk
ke dalam perangkap. Untungnya Raden Yamawidura datang menolong dirinya. Adipati
Dretarastra dan Dewi Gendari tidak percaya hal itu dan menuduh Patih Gandamana pasti
memfitnah adik mereka. Raden Bratasena pun bersaksi bahwa ucapan Patih Gandamana
benar adanya. Namun, Adipati Dretarastra menolak karena Raden Bratasena masih di
bawah umur, sehingga kesaksiannya tidak berlaku menurut ketentuan hukum negara.
Prabu Pandu memutuskan untuk mengadakan persidangan antara Patih Gandamana
dan Arya Suman, dengan menghadirkan Raden Yamawidura sebagai saksi. Karena Raden
Yamawidura masih belum datang, maka Patih Gandamana dipersilakan untuk menunggu
di rumah terlebih dulu. Patih Gandamana menurut dan ia pun mohon pamit kembali ke
kepatihan.

PATIH GANDAMANA MENGHAJAR ARYA SUMAN


Sementara itu, Arya Suman telah berada di kepatihan tempat tinggal Patih
Gandamana. Di sana ia bertemu istri Patih Gandamana yang bernama Dewi Setyarini. Ia
menjelaskan bahwa Patih Gandamana telah tewas di Kerajaan Pringgadani dan dirinya baru
saja diangkat oleh Prabu Pandu sebagai patih yang baru. Maka, kepatihan pun resmi
menjadi tempat tinggalnya. Dewi Setyarini tidak perlu keluar dari kepatihan karena Arya
Suman berniat ingin menjadikannya sebagai istri.
Dewi Setyarini menangis sedih. Ia menolak menjadi istri Arya Suman dan memilih lebih
baik tinggal di dekat kuburan suaminya. Arya Suman tersinggung dan berniat memerkosa
Dewi Setyarini untuk melampiaskan nafsunya. Dewi Setyarini ketakutan. Ia pun memilih
bunuh diri menyusul suami daripada dinodai oleh Arya Suman yang culas dan licik itu.
Tiba-tiba Patih Gandamana datang. Betapa hatinya berduka melihat istrinya telah
tewas bunuh diri. Sebaliknya, Arya Suman juga sangat terkejut dan ketakutan karena
saingannya ternyata masih hidup. Ketika ia hendak kabur, Patih Gandamana lebih dulu
KITAB WAYANG PURWA

meringkusnya. Kedua tangan Patih Gandamana langsung bekerja menghajar tubuh Arya
Suman tanpa ampun.
Arya Suman berusaha melawan, tetapi Patih Gandamana terlalu kuat untuknya. Ia
berniat membaca mantra sihir namun pikirannya tidak tenang sehingga hafalannya kacau
balau. Akibat pukulan dan tendangan Patih Gandamana, wujud Arya Suman kini berubah.
Ia tidak lagi tampan seperti semula, tetapi berubah menjadi buruk rupa, yaitu mulutnya
robek, matanya agak melotot, dan punggungnya menjadi bongkok.
Raden Suyudana dan Raden Dursasana yang menunggu di luar mendengar suara
jeritan paman mereka. Keduanya segera masuk dan menyambar tubuh Arya Suman lalu
menggotongnya menuju tempat Prabu Pandu.

PRABU PANDU MENGHUKUM BUANG PATIH GANDAMANA


Prabu Pandu, Adipati Dretarastra, dan Dewi Gendari terkejut saat Raden Suyudana
dan Raden Dursasana datang menggotong Arya Suman yang sudah berubah wujud
menjadi jelek. Tidak lama kemudian Patih Gandamana datang pula sambil menggendong
jasad istrinya.
Arya Suman merintih-rintih memohon keadilan Prabu Pandu agar Patih Gandamana
dihukum berat karena telah menganiaya dirinya. Patih Gandamana mengakui kesalahannya
dan ia siap menerima segala hukuman. Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari pun
mengusulkan agar Patih Gandamana dijatuhi hukuman mati.
Prabu Pandu menimbang-nimbang masalah ini. Ia menyatakan Patih Gandamana
bersalah karena berani main hakim sendiri, yaitu menganiaya Arya Suman hingga berubah
wujud. Namun, melihat jasad Dewi Setyarini, Prabu Pandu merasa maklum. Maka, ia tidak
menjatuhkan hukuman mati kepada Patih Gandamana, tetapi mencopot jabatannya
sebagai patih dan menetapkan hukuman buang kepadanya. Mulai saat ini dan untuk
selamanya, Raden Gandamana tidak boleh lagi menginjakkan kaki di wilayah Kerajaan
Hastina.
Raden Gandamana menerima keputusan tersebut. Ia pun mohon pamit kepada Prabu
Pandu dan yang lainnya. Tidak lupa ia berdoa semoga Prabu Pandu tetap dalam lindungan
Yang Mahakuasa dari segala pengaruh buruk manusia berhati serigala namun bermulut
manis. Usai berkata demikian, ia lalu pergi sambil menggendong jasad istrinya keluar dari
istana.
Raden Bratasena muncul dan berusaha mencegah Raden Gandamana pergi. Raden
Gandamana memeluk Pandawa nomor dua itu kemudian berpamitan, bahwa ia berniat
pulang ke negeri asalnya, yaitu Kerajaan Pancala. Ia berharap semoga kelak bisa bertemu
lagi dengan Raden Bratasena di lain waktu.

ARYA SUMAN MENJADI PATIH SANGKUNI


Setelah Raden Gandamana pergi, Prabu Pandu pun memeriksa keadaan Arya
Suman. Dengan merintih-rintih, Arya Suman mengaku salah telah menyebabkan Dewi
Setyarini bunuh diri. Padahal, niatnya baik yaitu ingin merawat janda Raden Gandamana.
Namun, Dewi Setyarini ternyata bersikap angkuh, yaitu lebih baik mati menyusul suaminya
daripada menikah lagi.
Karena Prabu Pandu masih berada dalam pengaruh mantra sihir Arya Suman, ia pun
percaya pada keterangan palsu tersebut. Ia memerintahkan Raden Suyudana dan Raden
Dursasana untuk memanggil tabib agar segera mengobati luka-luka Arya Suman. Mungkin
luka-luka itu bisa sembuh, tetapi wujud Arya Suman tidak akan kembali tampan seperti dulu
lagi. Maka, sebagai peringatan atas peristiwa ini, Prabu Pandu pun mengganti nama Arya
KITAB WAYANG PURWA

Suman menjadi Patih Sangkuni. Adapun nama Sangkuni berasal dari kata “saka” dan “uni”,
artinya “dari ucapan”. Maksudnya ialah, Patih Sangkuni berubah wujud menjadi buruk rupa
adalah karena ucapannya sendiri, yang melaporkan kematian Patih Gandamana padahal
orangnya masih hidup.
Patih Sangkuni pun menerima keputusan tersebut. Ia pura-pura bertobat di hadapan
Prabu Pandu dan berjanji akan menjadi patih yang baik dan membawa kemajuan bagi
Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Gandamana Luweng ini tidak terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa versi Surakarta,
sehingga Raden Ngabehi Ranggawarsita pun tidak membuat perkiraan angka tahun kejadiannya.
KITAB WAYANG PURWA

PERANG PAMUKSA
Kisah ini menceritakan Prabu Pandu berusaha memenuhi idaman Dewi Madrim yang
ingin bertamasya mengendarai Lembu Andini. Kisah dilanjutkan dengan perang besar
antara Kerajaan Hastina melawan Kerajaan Pringgadani yang disebut dengan istilah
Perang Pamuksa. Dalam perang ini Prabu Tremboko tewas, sedangkan Prabu Pandu
terluka di paha, dan kelak ini menjadi penyebab kematiannya.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan rekaman pentas Ki Manteb
Soedharsono dan pentas Ki Purbo Asmoro, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 15 Juli 2016
Heri Purwanto

Prabu Tremboko melawan Prabu Pandu

DEWI MADRIM MENGIDAM NAIK LEMBU ANDINI


Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh
Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, Resi Krepa, dan Patih Sangkuni. Dalam pertemuan itu
mereka membahas tentang hubungan antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani
yang belum juga membaik, bahkan semakin memburuk. Patih Sangkuni bahkan melaporkan
tentang para prajurit perbatasan yang sering terlibat bentrokan dengan para raksasa
Pringgadani yang berusaha menyerang masuk ke wilayah Hastina.
Selain permasalahan dengan Kerajaan Pringgadani, Prabu Pandu juga sedang pusing
memikirkan istri keduanya, yaitu Dewi Madrim yang sedang mengandung lima bulan. Akhir-
akhir ini, Dewi Madrim sering merengek meminta hal yang sangat aneh, yaitu ia ingin
bertamasya bersama Prabu Pandu dengan mengendarai Lembu Andini. Padahal, semua
orang tahu bahwa Lembu Andini adalah sapi kahyangan, kendaraan pribadi Batara Guru
sang raja dewa.
Demikianlah, Prabu Pandu merasa bingung mengatasi masalah ini. Pada saat
Kerajaan Hastina sedang sibuk menghadapi perselisihan dengan Kerajaan Pringgadani,
KITAB WAYANG PURWA

tiba-tiba saja Dewi Madrim meminta hal yang aneh seperti itu. Dalam hal ini Prabu Pandu
merasa bimbang mana yang lebih baik harus didulukan.
Dewi Gandari tiba-tiba menyela pembicaraan. Ia mengatakan bahwa Dewi Madrim kali
ini sedang mengidam. Sebagai sesama perempuan, ia dapat merasakan betapa sedihnya
apabila suami tidak dapat mewujudkan idaman istri yang sedang mengandung. Sebenarnya
istri yang mengidam itu bukan ingin menyusahkan suami, tetapi ingin lebih diperhatikan.
Mungkin selama ini Prabu Pandu terlalu sibuk memikirkan urusan negara, sehingga lupa
memerhatikan Dewi Madrim. Bagaimanapun juga Dewi Madrim sedang mengandung calon
penerus silsilah Kerajaan Hastina. Untuk itu, tiada salahnya apabila Prabu Pandu
meluangkan waktu untuk mengusahakan permintaan Dewi Madrim yang aneh itu, sebagai
bukti tanda cinta suami terhadap istri.
Adipati Dretarastra membenarkan ucapan istrinya. Ia menyarankan agar Prabu Pandu
segera naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini barang sehari
kepada Batara Guru. Adipati Dretarastra berusaha meyakinkan bahwa di masa kecilnya
dulu, Prabu Pandu pernah berjasa terhadap para dewa, yaitu menumpas Prabu Nagapaya
yang menyerang kahyangan. Apabila Prabu Pandu meminjam Lembu Andini barang sehari,
tentu Batara Guru akan mengizinkan dengan suka rela.
Prabu Pandu masih saja ragu-ragu. Ia takut Batara Guru akan murka jika kendaraan
pribadinya dipinjam untuk bertamasya. Lalu, bagaimana pula dengan permasalahan
menghadapi Kerajaan Pringgadani? Bukankah ini sama artinya menghindari urusan negara
dan lebih mementingkan urusan keluarga? Sebagai raja yang bijaksana, tentunya lebih baik
Prabu Pandu mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga.
Patih Sangkuni pun ikut bicara. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa gunanya seorang
raja mengangkat para menteri dan punggawa jika mereka tidak bisa menangani persoalan.
Sudah sewajarnya apabila seorang raja menugasi bawahannya untuk menyelesaikan
masalah. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani cukup diserahkan kepada dirinya dan
para punggawa, sedangkan urusan Dewi Madrim mengidam hanya bisa dipenuhi oleh
Prabu Pandu seorang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu adalah suami, maka tidak
mungkin urusan mewujudkan idaman istri diserahkan pada orang lain.
Prabu Pandu terdiam. Ia merasa Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, dan Patih
Sangkuni sudah satu suara menyarankan agar dirinya mengutamakan permintaan Dewi
Madrim. Sebenarnya ia ingin meminta pendapat lain sebagai penyeimbang, tetapi yang ada
di situ hanya Resi Krepa, yaitu kepala pendeta yang pendiam dan jarang bicara. Raden
Yamawidura yang bijaksana saat ini masih berada di Padepokan Arga Kumelun, sedangkan
Resiwara Bisma sang sesepuh kerajaan masih bertapa di Padepokan Talkanda.
Prabu Pandu akhirnya memantapkan hati untuk menerima saran dari Adipati
Dretarastra bertiga. Ia pun mohon restu kepada sang kakak semoga berhasil meminjam
Lembu Andini kepada Batara Guru. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani sepenuhnya
diserahkan kepada Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga Patih Sangkuni harus bisa
mengusahakan perdamaian. Namun, jika pihak Pringgadani masih juga bersikeras ingin
berperang, maka pasukan Hastina sama sekali tidak boleh gentar.
Patih Sangkuni menerima tugas tersebut dan berusaha meyakinkan bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Prabu Pandu merasa lega. Ia pun membubarkan pertemuan dan masuk
ke dalam kedaton.

PRABU PANDU PAMIT KEPADA KEDUA ISTRINYA


Prabu Pandu lalu bertemu Dewi Kunti dan Dewi Madrim yang menunggu di depan
gapura kedaton. Mereka telah siap dengan air bunga dalam jambangan untuk membasuh
KITAB WAYANG PURWA

kaki sang suami. Dalam kesempatan itu Prabu Pandu berpamitan kepada dua istrinya itu
untuk segera naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini kepada Batara
Guru.
Dewi Madrim sangat senang mengetahui idamannya akan segera terwujud.
Sebaliknya, Dewi Kunti justru terlihat gugup dan gelisah. Ia mengaku telah bermimpi melihat
Prabu Pandu mengenakan pakaian serba putih naik perahu di tengah lautan. Tiba-tiba
muncul badai ganas yang membuat perahu tersebut terbalik dan Prabu Pandu pun
tenggelam tergulung ombak.
Dewi Madrim menjadi bimbang setelah mendengar cerita Dewi Kunti. Ia pun meminta
agar sang suami mengurungkan niat untuk naik ke kahyangan. Ia mengaku rela apabila
idamannya tidak jadi diwujudkan. Namun, Prabu Pandu menolak hal itu. Ia telah
memantapkan hati untuk meminjam Lembu Andini dan bagaimanapun juga harus dapat
diwujudkan. Mengenai mimpi Dewi Kunti semoga itu hanyalah hiasan tidur yang tidak
memiliki makna. Namun, apabila benar dirinya harus menjadi korban juga tidak masalah.
Prabu Pandu justru merasa bangga jika bisa berkorban untuk keluarga daripada diam
berpangku tangan tanpa berusaha sama sekali.
Dewi Kunti tidak berani bicara lagi. Ia hanya bisa berdoa agar usaha Prabu Pandu
membawa hasil, dan juga agar sang suami selalu mendapat perlindungan dari Yang
Mahakuasa. Prabu Pandu merasa senang. Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba
Dewi Madrim merengek minta diizinkan ikut. Ia masih khawatir mendengar cerita Dewi
Kunti. Apabila nanti Batara Guru sudi meminjamkan Lembu Andini, maka Prabu Pandu dan
dirinya bisa langsung segera pergi bertamasya. Namun, apabila Batara Guru menolak dan
menghukum Prabu Pandu, maka Dewi Madrim bersedia untuk ikut dihukum bersama.
Prabu Pandu dan Dewi Kunti menasihati Dewi Madrim agar tetap tinggal di istana.
Namun, Dewi Madrim menangis dan menuduh mereka tidak sayang kepadanya. Prabu
Pandu akhirnya luluh. Ia pun mengizinkan Dewi Madrim ikut serta bersama dirinya naik ke
Kahyangan Jonggringsalaka. Prabu Pandu juga berpesan agar Dewi Kunti menunggu di
istana dengan tenang karena semuanya pasti baik-baik saja.

PATIH SANGKUNI MENGADU DOMBA HASTINA DAN PRINGGADANI


Sementara itu, para Kurawa yang dipimpin Raden Suyudana dan Raden Dursasana
telah menunggu di luar istana. Begitu melihat Patih Sangkuni keluar, mereka segera maju
menghadap sang paman. Patih Sangkuni tampak tersenyum senang karena usahanya akan
segera berhasil. Tidak lama kemudian hadir pula kedua adiknya, yaitu Aryaprabu
Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Kerajaan Gandaradesa.
Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta menyampaikan laporan kepada
sang kakak bahwa usaha untuk mengadu domba Kerajaan Hastina dan Pringgadani telah
berjalan baik sesuai rencana. Sejak peristiwa Patih Gandamana dikeroyok para raksasa
Pringgadani dan diceburkan ke dalam Sumur Upas, hubungan antara kedua negara
semakin renggang. Prabu Pandu sudah mengusahakan perdamaian, namun Patih
Sangkuni justru memperkeruh keadaan.
Tanpa sepengetahuan Prabu Pandu, diam-diam Patih Sangkuni memerintahkan
kedua adiknya untuk menyusup ke Kerajaan Pringgadani. Aryaprabu Anggajaksa dan
Aryaprabu Sarabasanta pun mengerahkan pasukan untuk mengacau desa-desa pinggiran
Pringgadani. Mereka merampok, memerkosa, dan menyebarkan minuman keras atau
candu untuk meracuni pikiran rakyat Pringgadani. Pasukan ronda yang dikirim Prabu
Tremboko berhasil menangkap orang-orang Gandaradesa itu. Namun, saat tertangkap
KITAB WAYANG PURWA

mereka mengaku sebagai orang-orang Hastina yang sengaja disusupkan oleh Prabu Pandu
demi merusak Kerajaan Pringgadani dari dalam.
Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta melaporkan pula bahwa Prabu
Tremboko sekeluarga telah berhasil dibakar amarahnya. Mereka pun berubah sikap dari
yang dulu memuja Prabu Pandu, sekarang menjadi sangat benci kepadanya. Mereka
menuduh Prabu Pandu seorang raja yang tampan parasnya tetapi busuk hatinya. Tidak
hanya itu, bahkan Prabu Tremboko telah memerintahkan putra sulungnya, yaitu Raden
Arimba untuk menyerang Kerajaan Hastina secara besar-besaran.
Patih Sangkuni sangat senang mendengar laporan dari kedua adiknya. Ia pun telah
menyusun siasat untuk menyingkirkan Prabu Pandu. Ia berhasil membujuk Adipati
Dretarastra dan Dewi Gandari supaya ikut mendesak Prabu Pandu agar naik ke Kahyangan
Jonggringsalaka meminjam Lembu Andini, dan tidak perlu mengurusi Prabu Tremboko.
Patih Sangkuni yakin Batara Guru pasti murka dan menghukum mati Prabu Pandu karena
hal ini. Jika Prabu Pandu mati, maka takhta Kerajaan Hastina akan kembali pada yang
berhak, yaitu Adipati Dretarastra selaku putra sulung Bagawan Abyasa.
Tiba-tiba datang Arya Bargawa yang melaporkan bahwa pasukan raksasa Pringgadani
yang dipimpin oleh Raden Arimba telah datang menyerang dan memasuki wilayah Kerajaan
Hastina. Patih Sangkuni menerima laporan itu dan berbalik memberikan perintah kepada
sang senapati Arya Banduwangka agar memimpin langsung pasukan garis depan untuk
menghadapi para raksasa tersebut. Arya Bargawa dan Arya Bilawa diperintah pula sebagai
senapati pengapit kanan dan kiri. Arya Bargawa menerima perintah tersebut lalu berangkat
menemui Arya Banduwangka dan Arya Bilawa.
Raden Suyudana bertanya apakah dirinya boleh ikut berperang membela negara.
Patih Sangkuni berkata bahwa para Kurawa tidak perlu ikut berperang, tapi cukup menonton
dari kejauhan saja. Jika Arya Banduwangka menang, maka Patih Sangkuni akan ikut
mendapat nama baik. Tetapi, jika Arya Banduwangka gugur, maka Patih Sangkuni akan
kehilangan saingan. Syukur-syukur jika Arya Bargawa dan Arya Bilawa juga ikut tewas
bersama dengannya.

GUGURNYA ARYA BANDUWANGKA


Arya Bargawa telah sampai di tempat Arya Banduwangka yang sedang bersiaga
bersama Arya Biawa. Tiga punggawa tua itu sudah menduga Patih Sangkuni tidak mungkin
berani ikut perang di garis depan, melainkan hanya main perintah saja. Arya Banduwangka
yakin bahwa Patih Sangkuni menginginkan kematiannya. Namun, ia sama sekali tidak takut
jika harus mati demi membela negara. Yang ia takutkan hanya satu, yaitu pengaruh jahat
Patih Sangkuni semakin besar dan membahayakan keselamatan Prabu Pandu sekeluarga.
Tidak lama kemudian terdengar suara ribut bahwa pasukan raksasa dari Pringgadani
sudah semakin dekat. Arya Banduwangka pun memerintahkan pasukan Hastina untuk maju
menghadapi serangan tersebut. Maka, terjadilah pertempuran sengit. Kedua pihak saling
serang, saling berusaha mengalahkan lawan.
Arya Banduwangka yang sudah mengabdi di Hastina sejak zaman Prabu Kresna
Dwipayana semakin hari semakin kesal melihat sepak terjang Patih Sangkuni yang
berusaha merusak ketentraman negara. Ia pun melampiaskan kekesalannya dengan
mengamuk menggempur para raksasa itu. Raden Arimba kewalahan menghadapi senapati
tua tersebut. Ia tidak mengira ternyata selain Patih Gandamana yang telah dipecat,
Kerajaan Hastina masih memiliki jago yang sedemikian hebat. Ditambah lagi dengan Arya
Bargawa dan Arya Bilawa yang sama-sama berbadan tinggi besar juga memiliki kekuatan
setara dengan para raksasa.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arimba lalu memerintahkan adik-adiknya, yaitu Raden Brajadenta, Raden


Brajamusti, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa untuk bersama-sama
mengeroyok Arya Banduwangka. Menghadapi serangan para raksasa itu, Arya
Banduwangka mulai kewalahan. Berangsur-angsur ia kehabisan tenaga dan akhirnya
lengah, sehingga tewas di tangan para raksasa itu.
Melihat sang senapati telah gugur, Arya Bargawa dan Arya Bilawa segera mengambil
alih pimpinan dan bersama menggempur para raksasa Pringgadani. Raden Arimba merasa
cukup untuk hari ini. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur ke perkemahan
menghindari amukan Arya Bargawa dan Arya Bilawa.

PRABU PANDU MEMINJAM LEMBU ANDINI KEPADA BATARA GURU


Sementara itu, Prabu Pandu dan Dewi Madrim telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka. Dewi Madrim menunggu di lapangan Repatkepanasan, sedangkan Prabu
Pandu masuk sendiri untuk menghadap Batara Guru.
Batara Guru tampak duduk di Balai Marcukunda dihadap Batara Narada dan segenap
para dewa. Prabu Pandu datang dan menyembah hormat lalu mengutarakan keinginannya
untuk meminjam Lembu Andini sebagai kendaraan bertamasya bersama Dewi Madrim yang
sedang mengidam. Prabu Pandu begitu yakin bahwa Batara Guru pasti sangat tersinggung
mendegar keinginannya itu. Maka, ia pun berjanji kelak jika meninggal dunia, biarlah rohnya
ditempatkan di dasar Kawah Candradimuka.
Batara Guru dan para dewa terkejut mendengar ucapan Prabu Pandu. Sungguh
Batara Guru tidak mengira kalau Prabu Pandu akan berjanji demikian. Padahal, ia sama
sekali tidak keberatan apabila raja Hastina tersebut meminjam Lembu Andini untuk
memenuhi idaman istri, mengingat jasa Prabu Pandu yang begitu besar di masa lalu.
Batara Guru pun memberi perintah kepada Lembu Andini untuk menjadi kendaraan
Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama sehari penuh. Lembu Andini mematuhi lalu ia pun
berjalan mendekati Prabu Pandu. Karena permintaannya dikabulkan, Prabu Pandu merasa
senang. Ia menyembah kepada Batara Guru dan para dewa kemudian langsung naik ke
punggung Lembu Andini dan mengendarainya keluar menuju Kori Selamatangkep.
Batara Guru dan para dewa tertegun melihat sikap Prabu Pandu yang kehilangan tata
krama. Bahkan, ada beberapa dewa yang mengusulkan agar Prabu Pandu segera dicabut
nyawanya sebagai balasan atas kekurangajaran ini. Namun demikian, rasa sayang Batara
Guru terhadap Prabu Pandu terlalu besar. Ia pun memerintahkan Batara Yamadipati agar
pergi bersama istrinya, yaitu Batari Komini, untuk mengawasi Prabu Pandu dari kejauhan.
Batara Guru khawatir dalam acara tamasya nanti, Prabu Pandu dan Dewi Madrim lupa diri
sehingga melanggar kutukan Resi Kindama di masa lalu.
Begitu mendapat perintah, Batara Yamadipati segera mohon pamit berangkat
menemui istrinya untuk kemudian bersama-sama mengikuti perjalanan Prabu Pandu.

PRABU PANDU DAN DEWI MADRIM DIINGATKAN OLEH BATARA YAMADIPATI DAN
BATARI KOMINI
Prabu Pandu dan Dewi Madrim telah duduk di atas punggung Lembu Andini. Bersama-
sama mereka melanglang buana, menikmati keindahan alam dari atas langit. Tiba-tiba di
bawah terlihat sebuah taman bunga alami yang membentang di kaki Gunung
Madusakawan. Dewi Madrim sangat terkesan dan ingin bermain di taman tersebut. Lembu
Andini menurut dan segera mendarat di sana.
Prabu Pandu dan Dewi Madrim lalu berjalan kaki menyusuri taman indah itu. Bunga-
bunga yang tumbuh secara alami tampak bermekaran, disertai suara burung bersahut-
KITAB WAYANG PURWA

sahutan menambah indahnya suasana. Mereka berdua merasa betah berada di situ
sehingga tanpa sadar matahari pun telah bergeser ke ufuk barat.
Sinar matahari senja yang menerpa tubuh Dewi Madrim membuat parasnya terlihat
semakin cantik. Prabu Pandu menjadi terlena. Perlahan ia memeluk tubuh istri keduanya
itu dan mengajaknya bermesraan. Dewi Madrim sendiri juga sedang terlena. Selama
menikah ia sama sekali belum pernah merasakan nikmatnya hubungan suami istri, karena
Prabu Pandu terlanjur mendapat kutukan dari Resi Kindama. Janin yang kini dikandungnya
memang berasal dari benih sang suami, tetapi ditanam di dalam perutnya dengan bantuan
Resi Druwasa dan dimatangkan oleh dewa kembar Batara Aswan dan Batara Aswin.
Belum sempat Prabu Pandu membuka pakaian, tiba-tiba muncul sepasang kijang
yang saling kejar-kejaran, kemudian bermesraan di hadapan mereka. Prabu Pandu dan
Dewi Madrim tersinggung karena merasa disindir. Dewi Madrim pun meminta Prabu Pandu
agar membunuh kedua kijang itu sekaligus menjadikan mereka sebagai makanan di malam
nanti. Prabu Pandu segera melepaskan panah dan seketika mengenai kedua kijang
tersebut.
Begitu terkena panah, kedua kijang itu langsung musnah dan berubah wujud menjadi
Batara Yamadipati dan Batari Komini. Batara Yamadipati menjelaskan bahwa dirinya diutus
Batara Guru untuk mengawasi Prabu Pandu dan Dewi Madrim agar jangan sampai lupa diri
sehingga melanggar kutukan Resi Kindama. Dahulu kala Resi Kindama dan Rara Dremi
tewas saat bermesraan dalam wujud sepasang kijang karena dipanah oleh Prabu Pandu.
Resi Kindama pun mengutuk kelak apabila Prabu Pandu bermesraan dengan istrinya, maka
ia akan mendapatkan celaka. Untuk itulah, tujuan Batara Yamadipati dan Batari Komini
mengubah wujud menjadi sepasang kijang adalah untuk mengingatkan Prabu Pandu akan
peristiwa tersebut.
Prabu Pandu bukannya berterima kasih, tetapi justru meminta Batara Yamadipati dan
Batari Komini segera pulang ke kahyangan. Ia sama sekali tidak butuh diawasi dan dibuntuti
seperti penjahat. Batara Yamadipati tersinggung dan berkata bahwa mungkin memang
sudah tiba saatnya Prabu Pandu menyelesaikan tugas-tugas di dunia. Ia pun berkata bahwa
kelak dirinya sendiri yang akan menjemput roh Prabu Pandu. Selesai berkata demikian,
Batara Yamadipati lalu mengajak istrinya pergi meninggalkan tempat itu.

PRABU PANDU MENYURUH LEMBU ANDINI PULANG SENDIRI


Prabu Pandu merasa kesal karena dirinya diawasi dari belakang oleh Batara
Yamadipati seperti penjahat. Rasa kesalnya pun meluap menjadi nafsu birahi saat melihat
Dewi Madrim. Keduanya sudah sama-sama lupa diri. Mereka pun melakukan hubungan
badan di dalam taman bunga tersebut hingga sama-sama merasa puas. Tiba-tiba halilintar
menyambar di angkasa. Prabu Pandu tertegun dan merasa kutukan Resi Kindama akan
segera menjadi kenyataan.
Prabu Pandu dan Dewi Madrim segera berpakaian dan kemudian kembali ke tempat
Lembu Andini yang menunggu di luar taman. Prabu Pandu berkata bahwa matahari sudah
terbenam, alangkah baiknya jika Lembu Andini pulang sendiri ke tempat Batara Guru.
Karena hari sudah senja, ia merasa sudah tidak berhak lagi duduk di atas punggung sapi
kahyangan tersebut.
Lembu Andini tersinggung dan menyebut Prabu Pandu tidak tahu sopan santun
karena menyuruh dirinya pulang begitu saja. Namun, Prabu Pandu sudah terlanjur kesal
kepada Batara Guru yang memerintahkan Batara Yamadipati untuk mengawasi dirinya. Ia
bersikukuh tidak mau mengantarkan Lembu Andini pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka.
KITAB WAYANG PURWA

Lembu Andini menyebut Prabu Pandu kekanak-kanakan, lalu ia pun melesat terbang ke
angkasa.
Setelah Lembu Andini pergi, Prabu Pandu segera menggendong Dewi Madrim dan
berlari menuju Kerajaan Hastina menggunakan Aji Sepi Angin.

RADEN PUNTADEWA DAN RADEN BRATASENA MENJEMPUT PULANG RADEN


YAMAWIDURA
Sementara itu, Raden Yamawidura (adik Prabu Pandu) sudah lima bulan berada di
tempat istri barunya, yaitu Endang Sinduwati, putri Resi Gunabantala di Padepokan Arga
Kumelun. Pada hari itu datang berkunjung dua keponakannya, yaitu Raden Puntadewa dan
Raden Bratasena.
Kedua putra Prabu Pandu tersebut mengabarkan bahwa Kerajaan Hastina saat ini
sedang kacau. Patih Gandamana telah dipecat dan dipulangkan ke Kerajaan Pancala. Arya
Suman pun dilantik sebagai patih yang baru, bergelar Patih Sangkuni dan ia berhasil
memengaruhi Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari untuk berkuasa di istana. Prabu Pandu
tidak bisa memusatkan pikirannya dengan tenang karena Dewi Madrim juga sedang
mengidam ingin naik Lembu Andini. Ditambah lagi, Kerajaan Hastina kini sedang berperang
dengan Kerajaan Pringgadani.
Raden Puntadewa pun meminta sang paman agar segera kembali ke Hastina,
mendampingi ayahnya menata negara. Raden Yamawidura sangat prihatin atas hal ini. Ia
pun meminta izin kepada Resi Gunabantala dan Endang Sinduwati agar diperbolehkan
kembali ke istana. Endang Sinduwati sangat sedih. Sebenarnya ia ingin saat melahirkan
nanti, sang suami berada di sisinya. Adapun kandungannya saat ini baru berusia empat
bulan, berarti masih lima bulan lagi ia ingin bersama Raden Yamawidura.
Resi Gunabantala menasihati putrinya bahwa Raden Yamawidura bukan hanya
suami, tetapi juga jaksa agung Kerajaan Hastina yang memiliki tugas dan tanggung jawab
besar terhadap negara. Mengenai kelak jika sudah tiba saatnya melahirkan, tentu Raden
Yamawidura bisa datang kembali ke Padepokan Arga Kumelun. Untuk saat ini Kerajaan
Hastina sedang kacau, maka alangkah baiknya Raden Yamawidura kembali ke istana untuk
membantu Prabu Pandu.
Endang Sinduwati akhirnya bisa memaklumi. Ia pun merelakan Raden Yamawidura
apabila ingin pulang ke Hastina. Raden Yamawidura berterima kasih. Ia lalu berpesan
apabila Endang Sinduwati melahirkan bayi laki-laki, hendaknya diberi nama Raden Yuyutsu.
Adapun putra pertama Raden Yamawidura yang lahir dari Dewi Padmarini, putri Adipati
Dipacandra di Pagombakan, diberi nama Raden Sanjaya dan kini telah dewasa.

RADEN YAMAWIDURA BERTEMU RESIWARA BISMA DAN RADEN PERMADI


Raden Yamawidura, Raden Puntadewa, dan Raden Bratasena telah meninggalkan
Padepokan Arga Kumelun menuju Kerajaan Hastina. Di tengah jalan mereka dihadang para
raksasa yang mengaku dari Kerajaan Pringgadani. Raden Bratasena pun maju untuk
menghadapi mereka. Tiba-tiba datang pula Resiwara Bisma dan Raden Permadi di tempat
itu. Raden Permadi segera terjun membantu sang kakak menumpas para raksasa tersebut.
Setelah para raksasa binasa, Raden Yamawidura menyembah hormat kepada
Resiwara Bisma dan saling bertanya kabar. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden
Permadi dan para panakawan telah datang ke Padepokan Talkanda untuk melaporkan
keadaan Kerajaan Hastina yang kini semakin kacau. Selain itu, Kerajaan Hastina juga
sedang berperang dengan Kerajaan Pringgadani, dan ini sepertinya hasil adu domba Patih
KITAB WAYANG PURWA

Sangkuni. Mendengar itu, Resiwara Bisma merasa prihatin dan segera menuju Kerajaan
Hastina bersama Raden Permadi dan para panakawan.
Kebetulan Resiwara Bisma berjumpa rombongan Raden Yamawidura. Karena tujuan
yang sama, mereka pun bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju istana.

PRABU TREMBOKO MENYERANG KERAJAAN HASTINA


Prabu Tremboko raja Pringgadani telah datang di perkemahan anak-anaknya. Ia pun
mengumumkan bahwa hari ini Kerajaan Pringgadani akan bertempur habis-habisan dengan
pihak Hastina. Raden Arimba dan adik-adiknya, serta segenap para raksasa bersorak
gembira. Mereka pun maju bersama-sama, menggempur Kerajaan Hastina.
Arya Bargawa dan Arya Bilawa yang bersiaga di garis depan segera menyambut
serangan itu. Maka, pertempuran kembali meletus. Prabu Tremboko mengamuk menumpas
pasukan Hastina. Arya Bargawa pun gugur di tangan raja raksasa tersebut.

KEMATIAN PRABU TREMBOKO


Pada saat itulah Prabu Pandu datang sambil menggendong Dewi Madrim. Ia segera
memerintahkan Arya Bilawa untuk mengamankan istrinya ke dalam istana. Arya Bilawa
sebenarnya masih ingin berperang mengadu nyawa, namun karena Prabu Pandu
memaksa, ia tidak berani membantah lagi. Segera ia pun mengantarkan Dewi Madrim
masuk ke dalam istana Hastina.
Prabu Pandu lalu menantang Prabu Tremboko berperang tanding satu lawan satu,
dan biarlah para prajurit kedua pihak menjadi penonton. Prabu Tremboko setuju. Ia
mengaku sadar bahwa perang yang terjadi kali ini adalah akibat adu domba dari pihak yang
tidak menyukai persahabatan Kerajaan Hastina dan Pringgadani. Namun, semuanya sudah
kepalang tanggung. Prabu Tremboko dan pasukannya sudah terlanjur menjebak Patih
Gandamana, serta menewaskan Arya Banduwangka dan Arya Bargawa. Kini antara dirinya
dengan Prabu Pandu sebaiknya bertanding sampai mati salah satu. Jika yang mati Prabu
Tremboko anggap saja ada guru “nyuwargakake” murid. Sebaliknya, jika Prabu Pandu yang
tewas, anggap saja ada murid “nyuwargakake” gurunya.
Prabu Pandu bersedia. Mereka lalu mulai bertanding. Para punggawa dan prajurit dari
kedua pihak tegang menyaksikan raja mereka bertarung. Prabu Pandu tampak
bersenjatakan Keris Pulanggeni, sedangkan Prabu Tremboko bersenjatakan Keris
Kalanadah.
Prabu Pandu yang lebih lincah dan cekatan berhasil menikam dada Prabu Tremboko.
Raja raksasa itu pun roboh di tanah bersimbah darah. Prabu Pandu tersenyum senang
karena mengira kutukan Resi Kindama tidak berlaku atas dirinya. Ia telah bersetubuh
dengan Dewi Madrim tetapi sama sekali tidak mendapatkan celaka, bahkan berhasil
merobohkan Prabu Tremboko.
Karena pikirannya takabur, Prabu Pandu menjadi lengah. Tiba-tiba saja Prabu
Tremboko bangkit kembali dan menancapkan Keris Kalanadah di paha kanan Prabu Pandu.
Setelah itu, Prabu Tremboko pun tewas mengembuskan napas terakhirnya. Jasadnya
terlihat musnah seperti asap. Melihat sang ayah tewas, Raden Arimba segera
memerintahkan pasukan untuk pulang ke Kerajaan Pringgadani.

PRABU PANDU DIBAWA MASUK KE ISTANA


Rombongan Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura baru datang di tempat itu.
Raden Bratasena sangat gugup melihat ayahnya terluka berlumuran darah. Ia langsung
menggendong tubuh Prabu Pandu dan membawanya masuk ke dalam istana.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim menangis melihat
Prabu Pandu terluka setelah bertarung melawan Prabu Tremboko. Patih Sangkuni juga ikut
pura-pura sedih. Ia pun menangis tapi dalam hati tertawa-tawa karena yakin ajal Prabu
Pandu akan segera tiba. Dengan demikian, dirinya bisa berkuasa penuh di Kerajaan
Hastina, mengendalikan para Kurawa.
Resiwara Bisma perlahan-lahan mencabut Keris Kalanadah yang masih menancap di
paha kanan Prabu Pandu, lalu menyerahkannya kepada Raden Permadi untuk disimpan.
Begitu pula dengan Keris Pulanggeni yang masih berlumuran darah Prabu Tremboko juga
diserahkan kepada Pandawa nomor tiga tersebut.
Prabu Pandu tersenyum dan sama sekali tidak takut jika dirinya harus meninggal,
karena ini mungkin menjadi penebus atas dosa-dosanya. Namun, Resiwara Bisma dan
Raden Yamawidura tidak mau menyerah. Mereka pun memanggil para tabib agar segera
mengobati luka sang raja.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Serat Pustakaraja Purwa versi Surakarta mengisahkan bahwa Prabu Pandu jatuh sakit setelah
memanah kijang penjelmaan Batara Yamadipati. Kisah ini oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita
diberi angka tahun Suryasengkala 689 yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana angraras
kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu kaswareng
wiyat”. Sementara itu, menurut kisah-kisah pedalangan, Prabu Pandu terluka akibat perang
melawan Prabu Tremboko. Maka, dalam tulisan di atas, saya pun menggabungkan keduanya
menjadi satu cerita.
KITAB WAYANG PURWA

PANDU BANJUT
Kisah ini menceritakan kematian Prabu Pandu, di mana ia menepati janjinya untuk
masuk ke dalam Kawah Candradimuka. Dewi Madrim yang telah melahirkan Raden
Nakula dan Raden Sadewa juga ikut bunuh diri menemani sang suami.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan Serat Pustakaraja Purwa
(Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, serta rekaman pentas Ki Manteb
Soedharsono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 23 Juli 2016
Heri Purwanto

Prabu Pandu Dewanata

PRABU PANDU MERASA SAKITNYA BERTAMBAH PARAH


Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina sakit parah setelah bertempur melawan
Prabu Tremboko dalam Perang Pamuksa. Dalam perang itu, Prabu Tremboko roboh
tertusuk Keris Pulanggeni milik
Prabu Pandu. Ketika Prabu Pandu merasa dirinya sudah menang, tiba-tiba pahanya
ditusuk Prabu Tremboko menggunakan Keris Kalanadah. Setelah itu, Prabu Tremboko pun
meninggal dengan jasad musnah, sedangkan Prabu Pandu terluka parah dan jatuh sakit.
Sudah dua bulan lamanya Prabu Pandu menderita sakit sekujur badan. Sudah
sedemikian banyak para tabib, dukun, resi, pendeta yang diundang untuk mengobati
lukanya tetapi sama sekali tidak membawa hasil. Bahkan, Prabu Pandu merasa sakitnya
bertambah parah dan mungkin dalam beberapa hari lagi dirinya akan meninggal dunia.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandu pun teringat kutukan Resi Kindama belasan tahun yang lalu. Saat itu
Resi Kindama dan Rara Dremi bermesraan dalam wujud sepasang kijang di Hutan
Pramuwana. Kebetulan Prabu Pandu dan kedua istrinya sedang berburu. Atas permintaan
Dewi Madrim, Prabu Pandu pun memanah kedua kijang tersebut. Akibatnya, Resi Kindama
dan Rara Dremi pun tewas. Sebelum meninggal, Resi Kindama sempat mengutuk sang raja
Hastina kelak akan mendapat celaka apabila bersetubuh dengan istrinya.
Kutukan tersebut membuat Prabu Pandu khawatir dirinya tidak bisa memiliki
keturunan. Untungnya, Resi Druwasa muncul membawa sarana sehingga Prabu Pandu
dapat menanam benihnya dalam rahim Dewi Kunti dan Dewi Madrim tanpa harus
bersentuhan. Atas berkat para dewa, yaitu Batara Darma, Batara Bayu, dan Batara Indra,
ketiga benih dalam rahim Dewi Kunti dapat lahir ke dunia dan kini mereka semua telah
tumbuh remaja, yaitu Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi. Adapun
benih dalam rahim Dewi Madrim saat ini telah berkembang menjadi janin kembar, berkat
bantuan Batara Aswan dan Batara Aswin.
Setelah berhasil menahan nafsu birahi selama belasan tahun, akhirnya Prabu Pandu
tergoda juga melihat paras cantik Dewi Madrim saat mereka bertamasya mengendarai
Lembu Andini. Prabu Pandu pun bermesraan dengan istrinya yang sedang hamil itu di
sebuah taman bunga di kaki gunung. Akibatnya, kutukan Resi Kindama menjadi kenyataan.
Prabu Pandu mendapat celaka saat bertarung melawan Prabu Tremboko yang terhitung
masih muridnya sendiri.
Teringat pada kutukan itu, Prabu Pandu merasa sia-sia atas semua pengobatan pada
dirinya saat ini. Ia pun mengumpulkan segenap anggota keluarga, yaitu Resiwara Bisma
dari Talkanda, Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari dari Gajahoya, Raden Yamawidura
dari Pagombakan, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Resi Krepa dari Timpurusa. Tidak
ketinggalan Dewi Kunti, Dewi Madrim, Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden
Permadi juga hadir. Dalam pertemuan yang diadakan di kamar tidur itu, Prabu Pandu
menyampaikan bahwa ajalnya sudah dekat. Ia ingin mengembalikan mandat sebagai raja
Hastina kepada Resiwara Bisma.
Resiwara Bisma terharu mendengar penuturan sang keponakan. Jika memang Prabu
Pandu sudah tidak sanggup lagi menjadi raja, maka Resiwara Bisma akan menyerahkan
takhta kepada Raden Puntadewa. Akan tetapi, Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia
berpendapat bahwa Raden Puntadewa belum bisa menjadi raja karena masih belum
menamatkan pendidikan. Selama ini para Pandawa dan Kurawa telah belajar ilmu tata
negara dan ilmu agama kepada Resi Krepa. Memang Raden Puntadewa adalah murid Resi
Krepa yang terbaik dan terpandai. Namun, ia sama sekali belum mempelajari ilmu perang.
Raden Bratasena membantah Patih Sangkuni. Meskipun belum mempelajari ilmu
perang, namun dirinya memiliki bakat kesaktian dan kekuatan sejak lahir. Ia siap melindungi
kakaknya sebagai raja Hastina dari segala ancaman bahaya. Patih Sangkuni menjawab
bahwa berkelahi itu tidak sama dengan berperang. Meskipun Raden Bratasena memiliki
bakat kesaktian dan kekuatan sejak lahir, namun ia sama sekali belum paham tentang
siasat perang, tentang formasi perang, tentang tata cara memimpin pasukan dan
sebagainya. Seorang raja yang hanya mengandalkan kekuatan satu orang akan mudah
dikalahkan oleh musuh yang memiliki para prajurit terlatih.
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura yang biasanya beda pendapat dengan Patih
Sangkuni kali ini merasa setuju. Mereka pun memutuskan bahwa para Pandawa dan
Kurawa harus menamatkan pelajaran ilmu perang terlebih dulu, barulah Raden Puntadewa
bisa duduk di atas takhta Kerajaan Hastina. Untuk sementara, Adipati Dretarastra akan
diangkat sebagai raja wakil yang menjalankan pemerintahan selama para putra belum
dinyatakan lulus.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandu merasa lega atas keputusan tersebut. Ia ingin sebelum meninggal
sempat berpamitan kepada sang ayah, yaitu Bagawan Abyasa di Padepokan Saptaarga.
Raden Bratasena mengajukan diri untuk menjemput sang kakek, karena tidak mungkin jika
ayahnya yang dibawa ke sana. Raden Permadi dan para panakawan pun siap menemani.
Mereka lalu mohon pamit berangkat menuju Gunung Saptaarga.

PRABU SUKSARA DIHASUT PATIH BAKASURA UNTUK MENYERANG HASTINA


Tersebutlah Prabu Suksara, raja raksasa dari Kerajaan Ekacakra. Dahulu kala ia
berpangkat patih dan mengabdi kepada Prabu Dawaka, raja Ekacakra yang sebelumnya.
Saat itu Prabu Dawaka jatuh cinta kepada Dewi Ambika dan Dewi Ambalika, yaitu
permaisuri Prabu Citrawirya raja Hastina. Patih Suksara pun diperintah untuk merebut
mereka berdua, namun ia pulang dengan membawa kegagalan. Prabu Dawaka marah dan
berangkat bersama gurunya yang bernama Danghyang Anala. Dalam usaha menculik Dewi
Ambika dan Dewi Ambalika di Kerajaan Hastina, Danghyang Anala berhasil menewaskan
Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya. Namun, ia sendiri tewas di tangan Raden Bisma.
Adapun Prabu Dawaka kemudian tewas di tangan Resi Abyasa.
Raden Bisma dan Resi Abyasa mengampuni Patih Suksara yang tertangkap, lalu
mempersilakannya pulang ke Ekacakra. Raden Bisma lalu menyerahkan takhta Hastina
kepada Resi Abyasa, sedangkan dirinya menjadi pendeta bergelar Resiwara Bisma di
Talkanda. Resi Abyasa pun menjadi raja bergelar Prabu Kresna Dwipayana, serta menikahi
kedua janda Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Dari perkawinan itu
lahirlah Adipati Dretarastra, Prabu Pandu, dan Raden Yamawidura.
Sementara itu, Patih Suksara menjadi raja di Ekacakra, bergelar Prabu Suksara. Pada
suatu hari ia menerima kedatangan seorang pangeran raksasa bernama Raden Bakasura
yang mengaku berasal dari Kerajaan Pringgadani dan merupakan adik Prabu Tremboko.
Raden Bakasura kecewa karena Prabu Tremboko bersahabat dengan Prabu Pandu,
padahal leluhur mereka yaitu Prabu Kuramba pendiri Kerajaan Pringgadani telah tewas di
tangan leluhur Prabu Pandu yang bernama Resi Manumanasa, pendiri Padepokan
Saptaarga.
Karena Raden Bakasura pandai bicara, Prabu Suksara pun mengangkatnya sebagai
patih Kerajaan Ekacakra. Kini terdengar kabar bahwa Prabu Tremboko telah tewas di
tangan Prabu Pandu dalam Perang Pamuksa. Patih Bakasura sangat prihatin dan berduka.
Ia pun meminta izin kepada Prabu Suksara untuk menggempur Kerajaan Hastina demi
membalaskan kematian kakaknya.
Prabu Suksara menolak karena dirinya bisa menjadi raja Ekacakra adalah berkat
kemurahan hati Resiwara Bisma dan Bagawan Abyasa. Patih Bakasura terus-menerus
menghasut sang raja agar menuruti keinginannya. Ia mengatakan bahwa Kerajaan Hastina
adalah negeri paling besar pada zaman ini. Prabu Pandu sedang sakit keras sehingga ini
adalah kesempatan emas untuk menaklukkan negeri tersebut. Mengenai Resiwara Bisma
tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena orang itu sudah tua dan lebih banyak menyepi di
Padepokan Talkanda.
Prabu Suksara lama-lama tergoda oleh rayuan Patih Bakasura. Ia membayangkan
dengan menaklukkan Kerajaan Hastina, maka Kerajaan Ekacakra akan menjadi negeri
paling besar dan paling disegani. Berpikir demikian, Prabu Suksara pun memerintahkan
Patih Bakasura untuk menyerang lebih dulu dengan pasukan secukupnya dari arah utara.
Saat nanti pasukan Ekacakra dan Hastina sibuk bertempur, barulah Prabu Suksara
menyerang dari arah selatan. Dengan demikian, Kerajaan Hastina akan jatuh ke tangan
mereka.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Bakasura sangat gembira. Ia lalu mohon pamit berangkat mendahului serangan.

RADEN BRATASENA DAN RADEN PERMADI MENGHADAPI PATIH BAKASURA


Pasukan Ekacakra yang dipimpin Patih Bakasura telah mencapai wilayah Kerajaan
Hastina dari arah utara. Mereka bertemu Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para
panakawan yang sedang menuju ke Gunung Saptaarga. Mengetahui negerinya diserang,
Raden Bratasena dan Raden Permadi segera memberikan perlawanan. Maka, terjadilah
pertempuran di antara kedua pihak.
Benar apa yang dikatakan Patih Sangkuni, bahwa meskipun Raden Bratasena dan
Raden Permadi memiliki bakat kesaktian sejak kecil, namun bertarung tidak sama dengan
berperang. Mereka berdua berusaha menahan serangan pasukan raksasa tersebut, namun
akhirnya kewalahan juga karena tidak memahami gelar formasi perang.
Melihat itu, Kyai Semar segera berlari secepat kilat kembali ke Kerajaan Hastina,
melapor kepada sang senapati Arya Bilawa. Menerima laporan tersebut, Arya Bilawa segera
membawa pasukan untuk membantu Raden Bratasena dan Raden Permadi. Dengan
datangnya bala bantuan, keadaan menjadi terbalik. Kini ganti Patih Bakasura yang merasa
terdesak. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Raden Bratasena dan Raden Permadi berterima kasih atas bantuan Arya Bilawa. Kini
mereka menyadari betapa pentingnya mempelajari ilmu perang. Keduanya lalu melanjutkan
perjalanan ke Gunung Saptaarga bersama para panakawan.

BATARA GURU HENDAK MENGHUKUM PRABU PANDU


Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru sedang memimpin
pertemuan para dewa yang dihadiri Batara Narada, Batara Indra, Batara Yamadipati, Batara
Kamajaya, Batara Aswan, dan Batara Aswin. Mereka membahas tentang Prabu Pandu yang
sakit parah dan mungkin sebentar lagi akan meninggal dunia.
Batara Indra mengingatkan kepada Batara Guru tentang dosa-dosa Prabu Pandu,
antara lain berani memakai gelar Dewanata, yang bermakna “raja dewa”. Itu artinya ia
berani menyamai kekuasaan Batara Guru selaku raja para dewa. Apalagi Prabu Pandu juga
berani membangun istana Hastina hingga menyerupai kahyangan. Ini adalah dosa besar
yang harus mendapatkan hukuman setimpal, yaitu diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka.
Mendengar itu, Batara Kamajaya menyela. Ia mengingatkan Batara Indra bahwa yang
memberi nama Dewanata kepada Prabu Pandu justru Batara Indra sendiri. Dulu ketika
Kahyangan Suralaya diserang Prabu Nagapaya, para dewa mengalami kekalahan. Raden
Pandu yang masih berusia tujuh tahun pun dijemput dan dijadikan sebagai jago kahyangan.
Prabu Nagaya berhasil ditumpas. Atas jasanya itu, Batara Guru menganugerahkan minyak
ajaib Lenga Tala kepada Raden Pandu, sedangkan Batara Indra memberikan anugerah
nama Dewanata kepadanya.
Nama “Dewanata” itu sama maknanya dengan “Surapati” yaitu gelar Batara Indra
sendiri. Sedangkan, Batara Guru bergelar “Jagatnata” tentu saja berbeda dengan
“Dewanata”. Jadi, menurut Batara Kamajaya, gelar Pandu Dewanata sama sekali tidak
bermaksud menyamai Batara Guru, tetapi menyamai Batara Indra. Itu artinya, yang merasa
tersinggung adalah Batara Indra sendiri. Dulu Batara Indra menganugerahkan gelar
Dewanata, tetapi mengapa kini mempermasalahkannya? Sungguh aneh.
Batara Indra marah merasa didesak oleh Batara Kamajaya. Kedua dewa itu pun
bertengkar dan buru-buru dipisah oleh Batara Narada. Batara Guru menjelaskan bahwa
memang sudah tiba saatnya hari kematian Prabu Pandu. Mengenai hukuman terhadap
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandu memang harus dijalankan, tetapi bukan karena kesalahannya memakai nama
Dewanata, atau membangun istana seperti kahyangan. Batara Guru mengingatkan Batara
Kamajaya bahwa Prabu Pandu pernah meminjam Lembu Andini dan berjanji dirinya rela
dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka sebagai ganti. Itu artinya, Prabu Pandu
mendapat hukuman adalah untuk memenuhi ucapannya sendiri.
Batara Kamajaya terdiam tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu
memerintahkan Batara Yamadipati untuk menjemput roh Prabu Pandu dan membawanya
ke Gunung Jamurdipa. Batara Yamadipati menyatakan siap dan mohon pamit menjalankan
perintah.
Setelah pertemuan bubar, Batara Kamajaya mengajak Batara Aswan dan Batara
Aswin untuk membantu Prabu Pandu. Jika memang ajal Prabu Pandu sudah ditentukan,
mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Namun setidaknya, mereka akan mengusahakan
bagaimana caranya agar Prabu Pandu bisa meninggal dengan tenang. Setelah
bermusyawarah, mereka lalu membagi tugas. Batara Kamajaya pergi ke Gunung
Saptaarga, sedangkan Batara Aswan dan Batara Aswin pergi ke Kerajaan Hastina.

BATARA KAMAJAYA MENJADIKAN RADEN PERMADI SEBAGAI ADIK ANGKAT


Batara Kamajaya sampai di Gunung Saptaarga. Di sana telah berkumpul Bagawan
Abyasa, Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan, yang semuanya bersiap-
siap hendak berangkat menuju Kerajaan Hastina. Terlebih dulu Batara Kamajaya
menyembah hormat kepada Kyai Semar yang merupakan penjelmaan ayah kandungnya,
yaitu Batara Ismaya (kakak Batara Guru).
Batara Kamajaya mengabarkan bahwa Batara Guru telah mengutus Batara
Yamadipati untuk menjemput roh Prabu Pandu dan memasukkannya ke dalam Kawah
Candradimuka. Untuk itu, Batara Kamajaya datang lebih dulu ke Gunung Saptaarga agar
bisa segera membawa Bagawan Abyasa menemui Prabu Pandu sesuai keinginannya.
Raden Permadi tampak sangat sedih dan menangis haru ingin cepat-cepat bertemu
ayahnya. Batara Kamajaya prihatin melihatnya. Ia teringat bahwa semua putra Prabu Pandu
memiliki dewa pembimbing. Jika Raden Puntadewa dibimbing Batara Darma, Raden
Bratasena dibimbing Batara Bayu, maka Raden Permadi seharusnya dibimbing Batara
Indra. Namun sayangnya, Batara Indra iri hati pada nama besar Prabu Pandu yang
dihormati para raja di segenap penjuru. Untuk itulah, Batara Kamajaya mengajukan diri
sebagai pembimbing Raden Permadi, jika memang Batara Indra lepas tangan terhadap
Pandawa nomor tiga tersebut.
Raden Permadi berterima kasih atas kemurahan Batara Kamajaya. Namun demikian,
Batara Kamajaya melarangnya memanggil dengan sebutan kedewaan. Raden Permadi
bahkan diizinkan untuk memanggil kakak saja kepadanya. Demikianlah, sejak saat itu
antara Batara Kamajaya dan Raden Permadi terjalin persaudaraan sebagai kakak dan adik.
Setelah dirasa cukup, Batara Kamajaya lalu mempersilakan Bagawan Abyasa, Raden
Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan untuk masuk ke dalam jubahnya. Dengan
kekuasaannya, Batara Kamajaya pun membawa mereka semua terbang secepat kilat
menuju Kerajaan Hastina.

LAHIRNYA RADEN NAKULA DAN RADEN SADEWA


Sementara itu, Batara Yamadipati telah sampai di Kerajaan Hastina dan menemui
Prabu Pandu. Ia menyampaikan berita bahwa sudah tiba saatnya Prabu Pandu
meninggalkan dunia fana dan memenuhi janji, yaitu masuk ke dalam Kawah Candradimuka.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandu meminta kelonggaran untuk berangkat setelah Dewi Madrim melahirkan,
serta menunggu kedatangan Raden Bratasena dan Raden Permadi yang menjemput
Bagawan Abyasa. Batara Yamadipati bersedia menunggu, namun hanya dalam batas
waktu sehari ini saja, yaitu sebelum matahari terbenam.
Tidak lama kemudian, Batara Aswan dan Batara Aswin turun dari kahyangan dan
memberi tahu Prabu Pandu bahwa mereka siap membantu agar Dewi Madrim segera
melahirkan. Prabu Pandu bahagia dan sangat berterima kasih kepada sepasang dewa
kembar tersebut.
Batara Aswan dan Batara Aswin lalu menemui Dewi Madrim. Dengan kekuasaan
mereka, janin dalam rahim Dewi Madrim pun dimatangkan dalam waktu singkat. Pada hari
itu pula, Dewi Madrim melahirkan bayi kembar laki-laki. Tidak hanya itu, kedua bayi tersebut
juga diubah menjadi anak-anak usia sepuluh tahun, agar tidak selisih terlalu jauh dengan
ketiga kakak mereka. Adapun Raden Puntadewa saat ini berusia tujuh belas tahun, Raden
Bratasena berusia lima belas tahun, sedangkan Raden Permadi berusia tiga belas tahun.
Batara Aswan dan Batara Aswin lalu menyerahkan kedua anak kembar itu kepada
Prabu Pandu. Prabu Pandu yang masih lemah hanya bisa memeluk mereka sambil
berbaring, lalu memberikan nama Raden Nakula dan Raden Sadewa.

BATARA YAMADIPATI MENJEMPUT ROH PRABU PANDU


Tidak lama kemudian datang pula Batara Kamajaya di hadapan Prabu Pandu. Ia lalu
membuka jubahnya dan keluarlah Bagawan Abyasa, Raden Bratasena, Raden Permadi,
serta para panakawan. Karena tugasnya telah selesai, Batara Kamajaya pun mengajak
Batara Aswan dan Batara Aswin kembali ke kahyangan.
Sepeninggal ketiga dewa tersebut, Prabu Pandu berpamitan kepada seluruh anggota
keluarganya. Ia menitipkan istri dan anak-anaknya kepada Adipati Dretarastra, kemudian
menghembuskan napas yang terakhir. Jasad Prabu Pandu pun musnah dari pandangan,
sedangkan rohnya dibawa pergi oleh Batara Yamadipati.

DEWI MADRIM BUNUH DIRI MENYUSUL PRABU PANDU


Dewi Madrim terkejut mengetahui sang suami telah meninggal dan rohnya dibawa
pergi Batara Yamadipati. Ia pun merasa berdosa karena menjadi penyebab kematian Prabu
Pandu. Belasan tahun yang lalu dirinya telah meminta sang suami untuk memanah
sepasang kijang yang sedang bermesraan di Hutan Pramuwana, sehingga Prabu Pandu
pun mendapat kutukan dari Resi Kindama. Beberapa waktu yang lalu ia juga tidak mampu
melawan godaan birahi sehingga melayani hasrat Prabu Pandu yang ingin bersetubuh
dengannya. Akibatnya, kutukan Resi Kindama pun menjadi kenyataan, yaitu Prabu Pandu
mengalami celaka saat berperang melawan Prabu Tremboko.
Dewi Madrim teringat pula bahwa demi dirinya yang mengidam ingin naik Lembu
Andini, sang suami telah berjanji kepada Batara Guru bahwa kelak setelah meninggal ia
rela masuk ke dalam Kawah Candradimuka. Dewi Madrim yakin bahwa Batara Yamadipati
saat ini membawa roh Prabu Pandu ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk memenuhi janji
tersebut. Karena merasa sangat berdosa kepada sang suami, Dewi Madrim pun mengambil
keris dan menusuk dadanya sendiri. Sebelum meninggal, ia sempat berpesan kepada Dewi
Kunti agar sudi merawat si kembar yang baru saja dilahirkannya, karena dirinya ingin
menemani roh Prabu Pandu masuk ke dalam Kawah Candradimuka.
Dewi Kunti dan semua hadirin pun terkejut melihat Dewi Madrim telah roboh meninggal
dunia. Raden Bratasena sangat geram mendengar bahwa para dewa akan memasukkan
roh Prabu Pandu ke dalam Kawah Candradimuka. Ia pun berlari mengejar dengan diikuti
KITAB WAYANG PURWA

Raden Puntadewa dan Raden Permadi. Bagawan Abyasa segera meminta Kyai Semar agar
melindungi mereka. Kyai Semar langsung melesat menyusul ketiga Pandawa tersebut.

ROH PRABU PANDU DAN ROH DEWI MADRIM MASUK KE DALAM KAWAH
CANDRADIMUKA
Batara Yamadipati bersama roh Prabu Pandu telah sampai di puncak Gunung
Jamurdipa, di mana Batara Guru dan Batara Narada telah menunggu. Tidak lama kemudian
datang pula roh Dewi Madrim yang menyatakan ingin menemani sang suami menjalani
hukuman. Batara Guru menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Prabu Pandu
memenuhi janjinya.
Roh Prabu Pandu menurut. Ia pun mencebur ke dalam Kawah Candradimuka
bersama roh Dewi Madrim, melalui mulut Gunung Jamurdipa. Begitu keduanya mencebur,
seketika Gunung Jamurdipa pun menyemburkan api yang menyala-nyala dan berkobar
mengerikan.
Tidak lama kemudian datang pula Kyai Semar bersama tiga Pandawa. Kyai Semar
meminta Batara Guru agar membebaskan roh Prabu Pandu. Namun, Batara Guru menolak
karena ini semua bukanlah hukuman darinya, melainkan Prabu Pandu yang ingin memenuhi
janji untuk menghukum dirinya sendiri.
Raden Bratasena tidak sabar dan ingin mencebur menyusul sang ayah. Namun, Kyai
Semar lebih dulu mencebur ke dalam kawah. Ia mengheningkan cipta membuat gejolak
kawah menjadi lebih tenang.
Setelah suasana kawah tidak terasa panas lagi, Kyai Semar pun mempersilakan para
Pandawa jika ingin mencebur.

PRABU PANDU MENASIHATI ANAK-ANAKNYA AGAR PULANG


Raden Bratasena segera mendahului mencebur, disusul Raden Puntadewa dan
Raden Permadi. Mereka bertiga lalu menyelam ke dasar dan berhasil menemukan roh
Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Ketiganya pun menyatakan ingin tetap di dasar kawah
menemani sang ayah dan ibu.
Prabu Pandu terharu melihat ketulusan anak-anaknya. Ia meminta agar Raden
Puntadewa mengajak kedua adiknya pulang ke Hastina. Ia juga berpesan agar para
Pandawa selalu hidup dengan memegang teguh nilai-nilai kebenaran. Meskipun dirinya
berada di dalam Kawah Candradimuka, tetapi jika para Pandawa selalu berbuat kebajikan
dan berguna bagi dunia seisinya, maka Prabu Pandu merasa seperti tinggal di surga.
Sebaliknya, meskipun Prabu Pandu tinggal di surga, tetapi jika anak-anaknya berbuat
kerusakan di dunia, maka itu rasanya sama seperti tinggal di dasar neraka.
Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi berjanji untuk selalu
mematuhi nasihat sang ayah, dan akan menyampaikan hal ini kepada si kembar pula.
Mereka lalu menyembah hormat kepada roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim kemudian
kembali ke permukaan mulut Gunung Jamurdipa.

RADEN BRATASENA BERSUMPAH AKAN MENGENTAS AYAH DAN IBUNYA


Setelah ketiga Pandawa keluar dari Kawah Candradimuka, Kyai Semar segera
mengembalikan suasana menjadi panas bergejolak. Raden Puntadewa lalu mohon pamit
kepada Batara Guru dan Batara Narada yang masih menunggu di tepi mulut Gunung
Jamurdipa. Sebelum pergi, Raden Bratasena lebih dulu bertanya sampai kapan ayah dan
ibunya menjalani hukuman di dasar kawah.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru menjawab tidak tahu, karena Prabu Pandu sendiri yang berjanji jika
dirinya mati maka rohnya bersedia masuk ke dalam Kawah Candradimuka tanpa menyebut
sampai kapan batas waktunya. Sementara itu, Dewi Madrim sendiri dengan sukarela
menemani Prabu Pandu tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
Mendengar itu, Raden Bratasena pun bersumpah bahwa kelak dirinya akan
mengentas roh ayah dan ibunya dari dasar Kawah Candradimuka, kemudian memberikan
tempat terbaik di Swargaloka. Setelah bersumpah demikian, ia lantas mohon pamit kembali
ke Hastina bersama yang lain.

KERAJAAN HASTINA DISERANG PRABU SUKSARA


Ketiga Pandawa dan Kyai Semar telah sampai di Kerajaan Hastina. Kedatangan
mereka bersamaan dengan datangnya serangan dari Kerajaan Ekacakra yang dipimpin
langsung oleh Prabu Suksara. Patih Bakasura dan pasukannya yang mengalami kekalahan
juga telah bergabung dengan pasukan tersebut.
Senapati Arya Bilawa memimpin pasukan Hastina menghadapi serangan tersebut. Ia
bertarung melawan Prabu Suksara namun tubuhnya tertangkap lalu dibanting keras
membentur tembok kerajaan.
Sungguh ajaib, tubuh Arya Bilawa yang tinggi besar itu tiba-tiba berubah menjadi
seorang manusia cebol.
Raden Bratasena maju menyerang Prabu Suksara. Terjadilah pertarungan satu lawan
satu di antara mereka. Dalam pertarungan tersebut, Kuku Pancanaka di tangan Raden
Bratasena berhasil menembus dada Prabu Suksara. Raja raksasa itu pun tewas seketika.
Melihat rajanya terbunuh, pasukan Ekacakra menjadi kocar-kacir. Patih Bakasura
segera memerintahkan mereka untuk mundur, meninggalkan Kerajaan Hastina.
ARYA BILAWA MENGUNDURKAN DIRI DARI JABATAN SENAPATI
Raden Bratasena sangat prihatin melihat wujud Arya Bilawa yang kini menjadi
manusia cebol akibat sihir Prabu Suksara. Arya Bilawa menjelaskan bahwa ini bukan akibat
sihir, tetapi sebenarnya memang dirinya sejak awal terlahir cebol.
Arya Bilawa memiliki nama asli Jaka Bilawa, yang awalnya bekerja sebagai tukang
kuda di Kerajaan Hastina. Ia memiliki kakak perempuan bernama Ken Bila yang bekerja
sebagai dayang pengasuh Prabu Pandu semasa kecil. Jaka Bilawa ingin sekali menjadi
punggawa namun diolok-olok karena tubuhnya yang cebol. Namun demikian, Bagawan
Abyasa yang saat itu masih bergelar Prabu Kresna Dwipayana sangat murah hati dan
mampu melihat bakat kesaktian yang dimiliki Jaka Bilawa. Ia pun meruwat tubuh Jaka
Bilawa menjadi tinggi besar dan menerimanya sebagai punggawa. Kini, akibat berperang
melawan Prabu Suksara, tubuhnya pun kembali menjadi cebol seperti sediakala.
Raden Bratasena prihatin dan berniat ingin meminta sang kakek untuk kembali
meruwat Arya Bilawa menjadi tinggi besar. Arya Bilawa menolak karena ia sendiri merasa
sudah tua dan ingin mengundurkan diri dari jabatan senapati Kerajaan Hastina. Ia merasa
sudah tidak punya teman lagi setelah Prabu Pandu meninggal, Patih Gandamana dipecat,
serta Arya Banduwangka dan Arya Bargawa gugur dalam Perang Pamuksa. Ia sendiri
merasa tidak cocok dengan Patih Sangkuni yang kini menguasai jajaran menteri dan
punggawa kerajaan. Oleh sebab itu, Arya Bilawa berniat lebih baik pulang saja ke desa dan
menyepi sebagai petapa.
Raden Bratasena terharu melihat pengorbanan Arya Bilawa. Ia pun meminta izin agar
diperbolehkan memakai nama Bilawa sebagai nama tambahan untuk dirinya. Arya Bilawa
KITAB WAYANG PURWA

mempersilakan dan justru dirinya merasa bangga apabila namanya dipakai oleh Raden
Bratasena.
Demikianlah, setelah masa berkabung atas kematian Prabu Pandu dan Dewi Madrim
usai, Arya Bilawa pun berpamitan kepada Adipati Dretarastra untuk selanjutnya tinggal di
desa mengisi hari tua.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Peristiwa Pandu Banjut menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja
Purwa diberi angka tahun Suryasengkala 689 yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana
angraras kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu
kaswareng wiyat”. Mengenai pertempuran melawan Prabu Suksara adalah tambahan dari saya
untuk pengembangan cerita sekaligus sebagai prolog untuk lakon Bima Bumbu kelak.
KITAB WAYANG PURWA

DANGHYANG KUMBAYANA
Kisah ini menceritakan perjalanan Bambang Kumbayana ke Tanah Jawa, kelahiran
Bambang Aswatama, dan bagaimana wujud Bambang Kumbayana berubah menjadi
buruk rupa dan berganti nama menjadi Danghyang Druna. Kisah diakhiri dengan
pengangkatan Danghyang Druna menjadi guru ilmu perang bagi para Pandawa dan
Kurawa, setelah menengahi mereka saat berebut Lenga Tala.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, serta rekaman pentas Ki Nartosabdo, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 30 Juli 2016
Heri Purwanto

RESI BARADWAJA MENGUSIR BAMBANG KUMBAYANA DARI PADEPOKAN


Tersebutlah seorang pendeta di negeri Atasangin, bernama Resi Baradwaja,
pemimpin Padepokan Girijembangan. Dahulu kala, Resi Baradwaja ini mengabdi pada
kakak sepupunya yang bernama Prabu Drupara di Kerajaan Duhyapura. Pada suatu hari
Kerajaan Duhyapura hancur diserang Prabu Bahlika raja Sewandapura (kakak kandung
Prabu Santanu raja Hastina). Prabu Drupara gugur dalam pertempuran itu, namun putranya
yang masih bayi bernama Raden Sucitra berhasil diselamatkan oleh Resi Baradwaja.
Resi Baradwaja menggendong bayi Raden Sucitra sambil menuntun istrinya yang
sedang mengandung, bernama Dewi Padmayoni untuk mengungsi ke negeri Atasangin.
Dalam perjalanan itu Dewi Padmayoni jatuh sakit dan melahirkan janin yang belum
sempurna. Setelah melahirkan, ia pun meninggal dunia.
Setelah menguburkan istrinya, Resi Baradwaja memasukkan janin tadi ke dalam
periuk lalu melanjutkan perjalanan sambil membaca mantra. Dengan demikian, bayi Raden
Sucitra digendong di tangan kanan, sedangkan periuk berisi janin putranya digendong di
tangan kiri. Sungguh ajaib, begitu sampai di negeri Atasangin, janin dalam periuk tersebut
KITAB WAYANG PURWA

telah berubah menjadi bayi sempurna. Resi Baradwaja sangat senang dan memberi nama
putranya itu, Bambang Kumbayana. Kumba artinya “periuk”, dan Ayana artinya “perjalanan”.
Raden Sucitra dan Bambang Kumbayana pun ia besarkan bersama-sama di Padepokan
Girijembangan.
Kini Bambang Kumbayana telah berusia empat puluh tahun namun belum juga
menikah. Ia lebih suka bersenang-senang, menggoda gadis desa, dan juga merampok
rombongan para pedagang. Berita ini terdengar oleh Resi Baradwaja. Ia pun memarahi
Bambang Kumbayana dan memerintahkannya untuk segera menikah dan berumah tangga
secara baik-baik. Namun, Bambang Kumbayana menolak. Ia hanya mau menikah dengan
bidadari atau putri raja, bukan dengan anak pendeta seperti keinginan sang ayah.
Resi Baradwaja semakin marah dan mengusir putranya itu. Bambang Kumbayana pun
pergi seketika meninggalkan Padepokan Girijembangan.

PUTUT JAYAMARUTA MENGEJAR BAMBANG KUMBAYANA


Setelah Bambang Kumbayana pergi, kemarahan Resi Baradwaja mulai reda. Ia pun
memanggil pimpinan para cantrik, bernama Putut Jayamaruta untuk menghadap. Resi
Baradwaja memerintahkan Putut Jayamaruta untuk mengejar Bambang Kumbayana dan
memberikan ujian kepadanya. Apabila Bambang Kumbayana berhasil lolos dari kejaran
Putut Jayamaruta dan kawan-kawan, maka Resi Baradwaja merestui putranya itu untuk
hidup mandiri meraih cita-citanya.
Putut Jayamaruta dan para cantrik lainnya segera berangkat melaksanakan perintah.
Mereka mengejar Bambang Kumbayana dan berhasil menghadangnya. Putut Jayamaruta
mengajak Bambang Kumbayana pulang dan mengabarkan bahwa sang ayah telah
menyesal dan reda kemarahannya. Namun, Bambang Kumbayana paham kalau dirinya
sedang diuji. Ia pun menolak dan memilih melanjutkan perjalanan. Sesuai perintah, Putut
Jayamaruta dan yang lain segera menyerang Bambang Kumbayana. Terpaksa Bambang
Kumbayana pun bertarung menghadapi murid-murid ayahnya itu.
Bagaimanapun juga ilmu kesaktian Bambang Kumbayana masih berada di atas Putut
Jayamaruta dan kawan-kawan. Dalam pertempuran itu ia berhasil meloloskan diri dan
menghilang masuk hutan. Putut Jayamaruta dan yang lain tidak bisa menemukannya dan
akhirnya kembali ke padepokan untuk melapor kepada Resi Baradwaja.

BAMBANG KUMBAYANA MENUNGGANG KUDA SEMBRANI


Setelah lolos dari kejaran murid-murid ayahnya, Bambang Kumbayana pun
melanjutkan perjalanan. Ia bertekad ingin menyusul saudara angkatnya, yaitu Raden
Sucitra yang beberapa tahun lalu pergi ke Tanah Jawa. Namun sayangnya, begitu sampai
di tepi pantai, Bambang Kumbayana tidak tahu bagaimana caranya agar bisa menyeberangi
lautan.
Bambang Kumbayana yang sudah sangat rindu kepada Raden Sucitra pun
bersumpah, barangsiapa bisa menyeberangkan dirinya ke Tanah Jawa, maka apabila laki-
laki akan dijadikan sebagai saudara dan apabila perempuan akan dijadikan sebagai istri.
Setelah bersumpah demikian, tiba-tiba di hadapannya muncul seekor kuda sembrani
bersayap putih bersih yang mengangguk-angguk seolah siap membantu dirinya
menyeberang.
Bambang Kumbayana sangat kagum karena seumur hidup baru kali ini melihat ada
seekor kuda yang memiliki sayap. Ia pun segera naik ke punggung kuda tersebut dan
memerintahkannya untuk terbang menyeberangi lautan menuju ke Tanah Jawa.
KITAB WAYANG PURWA

Perjalanan menyeberangi lautan itu memakan waktu berhari-hari. Bambang


Kumbayana merasa letih dan tertidur di atas punggung kuda sembrani tersebut. Dalam
tidurnya ia mimpi bertemu seorang wanita yang mengaku bernama Dewi Krepi. Bambang
Kumbayana jatuh cinta kepadanya dan bersetubuh dengan wanita itu. Karena
persetubuhan ini terjadi di alam mimpi, maka air mani Bambang Kumbayana pun jatuh
tercebur ke dalam laut.
Si kuda sembrani menyadari bahwa Bambang Kumbayana telah mengalami mimpi
basah. Ia pun turun ke laut untuk berenang mengejar air mani tersebut yang telah
bercampur ombak. Setelah air mani itu masuk ke dalam alat kelaminnya, si kuda sembrani
lalu terbang kembali ke angkasa melanjutkan perjalanan.

KUDA SEMBRANI KEMBALI KE WUJUD BIDADARI


Sesampainya di Tanah Jawa, Bambang Kumbayana terbangun dari tidur. Ia mendarat
dan berterima kasih atas bantuan si kuda sembrani. Namun, kuda sembrani itu tidak mau
pergi dan menunjukkan perutnya yang telah membesar. Bambang Kumbayana terkejut dan
menyadari kalau kuda tersebut telah mengandung anaknya akibat mimpi basah di atas
lautan. Ia menyesal karena terlanjur bersumpah barangsiapa bisa menyeberangkan dirinya
akan dijadikan sebagai saudara apabila laki-laki, dan dijadikan istri apabila perempuan.
Setelah bersumpah demikian, tiba-tiba muncul seekor kuda sembrani di hadapannya.
Tanpa pikir panjang ia langsung menaiki punggung kuda tersebut yang ternyata berkelamin
betina.
Bambang Kumbayana membayangkan Raden Sucitra pasti akan mengejek dirinya
apabila menikahi seekor kuda betina. Tanpa pikir panjang lagi, ia pun menikam perut si
kuda sembrani menggunakan keris. Tujuannya adalah untuk membunuh si kuda sekaligus
janin yang dikandung dalam perutnya. Sungguh ajaib, dari dalam perut si kuda sembrani
yang robek itu keluar janin manusia, bukan janin kuda.
Si kuda sembrani pun tewas dan bangkainya musnah menjadi asap. Tiba-tiba asap
tersebut berubah menjadi wanita cantik jelita yang mengaku seorang bidadari bernama
Batari Wilotama.

LAHIRNYA BAMBANG ASWATAMA


Batari Wilotama segera memungut janin yang tadi keluar dari dalam perutnya. Janin
itu dipeluk dan lambat laun berubah menjadi bayi sempurna berkat kekuasaannya.
Bambang Kumbayana sangat kagum melihat pemandangan itu dan bertanya tentang asal-
usul Batari Wilotama mengapa berubah menjadi seekor kuda sembrani.
Batari Wilotama pun bercerita bahwa ia memiliki sahabat di kahyangan bernama Batari
Janapadi. Dahulu kala Batari Janapadi pernah berubah menjadi kuda sembrani gara-gara
menelan permata Mustika Aswandari. Batari Wilotama tertarik mendengar cerita itu dan
membayangkan betapa nikmat jika terbang ke sana kemari dalam wujud kuda, yang tentu
berbeda rasanya dibanding terbang dalam wujud bidadari.
Batari Wilotama diam-diam mencuri Mustika Aswandari. Tiba-tiba Batara Janapada
(ayah Batari Janapadi) memergokinya. Batari Wilotama langsung menelan permata itu dan
seketika wujudnya pun berubah menjadi seekor kuda betina yang memiliki sayap. Batari
Wilotama memohon ampun atas kelancangannya dan ingin dikembalikan menjadi bidadari.
Namun, Batara Janapada tidak mampu menolongnya. Karena Batari Wilotama telah
menelan Mustika Aswandari tanpa izin, maka ia akan berwujud kuda sembrani selamanya,
kecuali jika dirinya bisa melahirkan seorang anak manusia.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, Batari Wilotama pun menjalani kutukan sebagai kuda sembrani selama
bertahun-tahun, hingga akhirnya ia bertemu Bambang Kumbayana. Maka, ketika Bambang
Kumbayana mimpi basah dan air maninya tumpah ke laut, Batari Wilotama nekat
mengejarnya supaya ia bisa hamil dan melahirkan anak manusia. Kini, putra Bambang
Kumbayana tersebut telah lahir. Batari Wilotama pun berpesan bahwa bayi laki-laki ini
memiliki pertumbuhan yang cepat seperti anak kuda. Oleh sebab itu, hendaknya ia diberi
nama Bambang Aswatama. Aswa artinya “kuda”, sedangkan Tama adalah singkatan dari
nama “Wilotama”.
Setelah berpesan demikian, Batari Wilotama lalu terbang ke kahyangan untuk
mengembalikan Mustika Aswandari kepada Batara Janapada. Bambang Kumbayana
memandangnya dengan penuh penyesalan, karena jika tadi dibicarakan baik-baik tentu
dirinya dapat memperistri seorang bidadari.
Demikianlah, apa yang diucapkan Batari Wilotama sebelum berpisah menjadi
kenyataan. Pertumbuhan Bambang Aswatama sungguh cepat seperti anak kuda. Dalam
waktu singkat bayi itu sudah bisa berjalan dan berlari-lari, membuat Bambang Kumbayana
merasa terhibur karena memiliki teman dalam perjalanan. Ia sama sekali tidak menyesal
memiliki anak tanpa istri, bahkan perasaannya kepada Bambang Aswatama kini sangat
sayang luar biasa.

BAMBANG KUMBAYANA BERTEMU DEWI KREPI DAN RESI KREPA


Perjalanan Bambang Kumbayana telah sampai di sebuah tempat yang dipenuhi bunga
angsoka liar berwarna lima macam. Ia merasa nyaman dan memutuskan untuk beristirahat
di tempat itu. Bambang Aswatama sendiri tampak kehausan, karena sejak dilahirkan belum
sempat minum susu sama sekali.
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang berteriak meminta tolong. Bambang
Kumbayana segera mendatangi arah suara. Ternayata ada seorang pendeta yang
seumuran dirinya sedang bergulat dengan seekor ular besar. Bambang Kumbayana pun
melepaskan panah membantu si pendeta yang tepat mengenai kepala ular tersebut.
Sungguh ajaib, ular besar itu musnah dan berubah menjadi seorang wanita. Yang lebih
mengejutkan lagi, si pendeta laki-laki memanggil wanita itu dengan sebutan kakak dan
mereka pun saling berpelukan.
Pendeta laki-laki itu berterima kasih kepada Bambang Kumbayana. Ia mengaku
bernama Resi Krepa yang bekerja sebagai kepala brahmana di Kerajaan Hastina. Adapun
kakaknya bernama Dewi Krepi dari Kerajaan Timpurusa. Resi Krepa sendiri baru tahu kalau
ular besar yang telah menyerangnya tadi ternyata penjelmaan sang kakak. Di sisi lain,
Bambang Kumbayana sangat terkejut karena Dewi Krepi inilah yang bersetubuh dengannya
di alam mimpi sehingga menyebabkan dirinya mimpi basah.

BAMBANG KUMBAYANA MENIKAH DENGAN DEWI KREPI


Tidak lama kemudian datang pula Prabu Purunggaji raja Timpurusa bersama
keponakannya, yaitu Raden Carya. Prabu Purunggaji ini adalah ayah kandung Dewi Krepi
dan Resi Krepa. Ia pun berterima kasih kepada Bambang Kumbayana yang telah
menemukan putrinya yang lama hilang.
Prabu Purunggaji bercerita bahwa Dewi Krepi hendak dijodohkan dengan Raden
Carya. Adapun Raden Carya adalah putra Prabu Paruwa raja Malawa, yaitu kakak kandung
Prabu Purunggaji yang sudah lama meninggal. Akan tetapi, Dewi Krepi menolak karena ia
hanya mencintai Bambang Kumbayana yang pernah ditemuinya di alam mimpi. Prabu
Purunggaji marah dan memaksa Dewi Krepi untuk melupakan Bambang Kumbayana dan
KITAB WAYANG PURWA

memilih Raden Carya saja. Akan tetapi, Dewi Krepi memilih kabur meninggalkan istana
Timpurusa. Prabu Purunggaji sangat prihatin akan nasib putrinya itu. Ia pun mengirim surat
kepada Resi Krepa di Kerajaan Hastina agar membantu mencari keberadaan Dewi Krepi.
Dewi Krepi ganti menceritakan pengalamannya. Setelah melarikan diri dari istana, ia
bertemu dengan ibu kandungnya di tengah jalan, yaitu Batari Janapadi (sahabat Batari
Wilotama yang juga pernah menjadi kuda sembrani). Dahulu kala Batari Janapadi
meninggalkan Dewi Krepi dan Resi Krepa setelah mereka lahir untuk kembali ke
kahyangan. Dewi Krepi dan Resi Krepa semasa bayi diasuh oleh Ken Yoni di tengah hutan.
Setelah Ken Yoni meninggal, kedua bayi tersebut ditemukan dan dirawat oleh Bagawan
Santanu dan Resi Bisma di Kerajaan Hastina. Belasan tahun kemudian, Dewi Krepi dan
Resi Krepa bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu Purunggaji. Dewi Krepi lalu ikut
ayahnya tinggal di Kerajaan Timpurusa, sedangkan Resi Krepa tetap tinggal di Kerajaan
Hastina untuk bekerja sebagai kepala brahmana.
Dewi Krepi selalu menolak untuk dinikahkan sehingga ia menjadi perawan tua. Itu
karena hatinya sudah terlanjur jatuh cinta kepada Bambang Kumbayana yang ditemuinya
berkali-kali di alam mimpi. Hingga pada akhirnya, Dewi Krepi memilih kabur dari istana
karena terus-menerus dipaksa oleh Prabu Purunggaji untuk menikah dengan Raden Carya.
Dalam perjalanannya itu, ia pun bertemu sang ibu, yaitu Batari Janapadi.
Batari Janapadi sangat prihatin melihat nasib putrinya. Ia pun membantu Dewi Krepi
apabila ingin bertemu Bambang Kumbayana. Syaratnya, Dewi Krepi harus bersedia diubah
wujudnya menjadi ular besar dan harus mau menyerang adiknya sendiri, yaitu Resi Krepa.
Dewi Krepi menurut. Maka, Batari Janapadi pun mengubah wujud putrinya itu menjadi ular
besar. Ular tersebut merayap ke sana kemari hingga akhirnya bertemu dengan Resi Krepa.
Ia pun menyerang sang adik, hingga akhirnya diruwat oleh Bambang Kumbayana menjadi
manusia seperti sediakala.
Prabu Purunggaji terharu mendengar perjuangan putrinya. Karena Dewi Krepi telah
berhasil menemukan Bambang Kumbayana, maka ia tidak akan memaksa lagi. Ia pun
merestui apabila Dewi Krepi menjadi istri Bambang Kumbayana. Sebaliknya, Bambang
Kumbayana pun bersedia menikahi Dewi Krepi karena ia juga membutuhkan ibu untuk
anaknya yang bernama Bambang Aswatama. Dewi Krepi yang melihat si kecil Bambang
Aswatama langsung tumbuh sifat keibuannya. Ia pun menggendong anak laki-laki tersebut
dan menyusuinya. Sungguh ajaib, air susu Dewi Krepi langsung keluar meskipun dirinya
tidak ikut melahirkan.
Raden Carya yang gagal menikah dengan Dewi Krepi justru merasa senang. Ia pun
berterus terang kepada Prabu Purunggaji bahwa dirinya diam-diam telah menjalin
hubungan dengan Dewi Paruti, putri Resi Luda, yaitu kepala brahmana Kerajaan
Timpurusa. Prabu Purunggaji merasa bersalah telah memaksa Raden Carya dan Dewi
Krepi menikah, karena ternyata masing-masing telah mencintai orang lain. Maka, Prabu
Purunggaji pun berjanji apabila nanti kembali ke Timpurusa akan segera menikahkan Raden
Carya dengan Dewi Paruti.
Prabu Purunggaji lalu bertanya apakah Resi Krepa tidak ingin menikah juga. Resi
Krepa menjawab bahwa ia pernah bersumpah untuk mengikuti jalan hidup Resiwara Bisma
yang telah membimbingnya sejak kecil. Oleh sebab itu, ia pun bertekad untuk hidup wahdat,
yaitu tidak menikah seumur hidup, sama seperti yang dilakukan oleh Resiwara Bisma. Ia
juga menegaskan bahwa dirinya akan tetap mengabdi di Kerajaan Hastina, dan
mempersilakan Raden Carya saja yang diangkat sebagai ahli waris Kerajaan Timpurusa.
Prabu Purunggaji bangga terhadap niat baik Resi Krepa. Ia lalu mengajak Bambang
Kumbayana untuk tinggal di istana Timpurusa. Namun, Bambang Kumbayana menolak
KITAB WAYANG PURWA

karena dirinya sudah merasa nyaman dan ingin membangun rumah di taman bunga
angsoka lima warna ini. Dewi Krepi juga memilih untuk menemani sang suami dan menolak
ikut pulang ke istana. Prabu Purunggaji memaklumi. Ia pun memerintahkan para prajurit
untuk membangun padepokan sebagai tempat tinggal Bambang Kumbayana dan Dewi
Krepi di tempat itu.
Demikianlah, padepokan dekat taman bunga angsoka lima warna telah berdiri,
sebagai tempat tinggal Bambang Kumbayana dan Dewi Krepi. Bambang Kumbayana lalu
mengganti gelarnya menjadi Danghyang Kumbayana, dan memberi nama padepokannya
itu dengan sebutan Padepokan Sokalima.

DANGHYANG KUMBAYANA MENDENGAR BERITA TENTANG RADEN SUCITRA


Padepokan Sokalima terletak di perbatasan Kerajaan Hastina dan Pancala. Resi
Krepa bercerita bahwa Kerajaan Hastina dipimpin Prabu Pandu yang baru saja meninggal,
sedangkan Kerajaan Pancala dipimpin Prabu Drupada. Dahulu kala Prabu Drupada juga
pernah mengabdi kepada Prabu Pandu, dan nama aslinya adalah Raden Sucitra dari negeri
Atasangin.
Danghyang Kumbayana sangat terkejut mendengar cerita adik iparnya itu. Ia pun
teringat bahwa tujuannya pergi ke Tanah Jawa adalah untuk mencari Raden Sucitra,
sahabatnya sejak kecil. Mereka dulu sama-sama berlajar kepada Resi Baradwaja, tidur
bersama dalam satu tikar, makan bersama dalam satu piring. Jika Raden Sucitra
mendapatkan sesuatu pasti dibagi dua dengan Bambang Kumbayana. Sebaliknya, jika
Bambang Kumbayana mendapatkan sesuatu, pasti dibagi dua pula dengan Raden Sucitra.
Mendegar Raden Sucitra telah menjadi raja Pancala, Danghyang Kumbayana merasa
tertarik untuk mengunjunginya. Lagipula Bambang Aswatama sudah semakin besar dan air
susu Dewi Krepi juga sudah tidak keluar lagi. Maka itu, Danghyang Kumbayana pun berniat
pergi ke istana Pancala untuk meminta seekor sapi perah kepada Prabu Drupada.

DANGHYANG KUMBAYANA DIHAJAR ARYA GANDAMANA


Danghyang Kumbayana pergi ke istana Pancala seorang diri, meninggalkan Dewi
Krepi dan Bambang Aswatama di Padepokan Sokalima. Saat itu Prabu Drupada sedang
memimpin pertemuan yang dihadiri para menteri dan punggawa, antara lain Arya
Gandamana dan Patih Drestaketu. Tiba-tiba saja Danghyang Kumbayana menyelonong
masuk dan tertawa gembira melihat sahabatnya duduk di atas takhta.
Danghyang Kumbayana pun memanggil Prabu Drupada dengan sebutan “Kakang
Sucitra”, dan langsung meminta seekor sapi perah untuk anaknya yang masih kecil. Ia
bersenda gurau seolah-olah masih berada di negeri Atasangin, tanpa peduli kepada para
menteri dan punggawa yang hadir di situ. Prabu Drupada merasa malu dan ia pun
menjawab akan memberikan seratus sapi sebagai sedekah dan mempersilakan Danghyang
Kumbayana untuk segera pulang. Danghyang Kumbayana merasa sangat terhina melihat
sikap sahabatnya itu. Ia pun memaki-maki Prabu Drupada telah mengkhianati persahabatan
di masa lampau.
Arya Gandamana marah mendengar ada orang berani memaki-maki kakak iparnya. Ia
pun menyambar tubuh Danghyang Kumbayana dan menyeretnya keluar istana. Arya
Gandamana lalu menghajar Danghyang Kumbayana tanpa memberikan kesempatan untuk
membalas. Prabu Drupada keluar istana melerai mereka, namun sudah terlambat. Wujud
Danghyang Kumbayana kini telah berubah menjadi buruk rupa. Matanya berubah sipit dan
sulit dibuka lebar, serta hidungnya menjadi bengkok seperti paruh burung. Lengannya yang
sebelah pun dibuat bengkok pula.
KITAB WAYANG PURWA

Apa yang pernah dilakukan Arya Gandamana terhadap Patih Sangkuni, kini
dilakukannya kepada Danghyang Kumbayana. Arya Gandamana masih menyimpan
dendam karena diusir dari Kerajaan Hastina akibat fitnah Patih Sangkuni. Ketika Perang
Pamuksa meletus, ia hanya bisa berdoa dari jauh tanpa bisa membantu Prabu Pandu
menghadapi Prabu Tremboko. Kematian Prabu Pandu membuat Arya Gandamana semakin
kesal terhadap Patih Sangkuni. Maka, begitu Danghyang Kumbayana datang ke istana
Pancala dan berbuat kurang ajar, Arya Gandamana pun sekilas teringat Patih Sangkuni dan
langsung melampiaskan kemarahan kepadanya.
Prabu Drupada meminta maaf kepada Danghyang Kumbayana atas perbuatan Arya
Gandamana yang melampaui batas. Danghyang Kumbayana menolak permintaan maaf
tersebut. Ia kesal mengapa Prabu Drupada tidak melerai dari awal sehingga wujudnya tidak
sampai rusak seperti ini. Ia berkata bahwa dirinya bisa saja membalas perbuatan Arya
Gandamana saat ini juga. Namun, ia bersumpah bahwa kelak murid-muridnya yang akan
datang untuk membalas Arya Gandamana sekaligus Prabu Drupada. Hal ini tentu akan lebih
memalukan daripada ia sendiri yang membalas.
Arya Gandamana kembali marah dan hendak membunuh Danghyang Kumbayana.
Namun, Prabu Drupada buru-buru mencegahnya dan mengatakan ucapan Danghyang
Kumbayana jangan diambil hati. Sementara itu, Danghyang Kumbayana telah bangkit dan
berjalan tertatih-tatih pulang ke Padepokan Sokalima, dengan menyimpan dendam kesumat
di dalam hati.

DANGHYANG KUMBAYANA MENJADI MURID BATARA RAMAPARASU


Dewi Krepi menyambut kedatangan sang suami dengan perasaan duka mendalam.
Namun, Danghyang Kumbayana tidak mau masuk ke dalam padepokan, tetapi memilih
duduk bertapa di bawah pohon. Siang malam ia bertapa tanpa makan dan minum, hingga
akhirnya datang seorang dewa bertubuh tinggi besar membangunkannya. Dewa tersebut
adalah Batara Ramaparasu.
Danghyang Kumbayana bangun dan menyembah hormat kepadanya. Batara
Ramaparasu menyampaikan pesan dari Batara Guru, bahwa tapa brata Danghyang
Kumbayana telah diterima. Mulai saat ini Danghyang Kumbayana diganti nama menjadi
Danghyang Druna, dan ia mendapat tugas dari dewa untuk mendidik para Pandawa dan
Kurawa di Kerajaan Hastina. Tugas dari dewata ini merupakan ujian bagi Danghyang Druna.
Apabila ia berhasil, maka namanya akan dipuji sepanjang masa. Sebaliknya jika ia gagal,
maka namanya akan dicela sepanjang sejarah.
Danghyang Druna sangat berterima kasih atas kemurahan dewata pada dirinya. Maka,
sejak hari itu ia pun berguru kepada Batara Ramaparasu. Pada dasarnya Danghyang Druna
sudah mempelajari banyak ilmu dari sang ayah, yaitu Resi Baradwaja. Maka, kedatangan
Batara Ramaparasu hanya sekadar untuk menyempurnakan ilmunya saja.
Setelah tiga bulan lamanya, Batara Ramaparasu menyatakan Danghyang Druna lulus
dan ia pun pamit kembali ke kahyangan.

ADIPATI DRETARASTRA MEMBUANG PARA PANDAWA


Sementara itu, Kerajaan Hastina sedang dilanda wabah penyakit. Adipati Dretarastra
selaku raja wakil sudah mengusahakan banyak hal untuk mengatasinya namun wabah tidak
juga mereda. Raden Yamawidura mengatakan bahwa wabah ini terjadi karena sikap Adipati
Dretarastra yang menghukum buang para Pandawa dan Dewi Kunti demi membela para
Kurawa. Namun, Adipati Dretarastra tidak percaya dan merasa perbuatannya membuang
para Pandawa sudah adil.
KITAB WAYANG PURWA

Tiba-tiba datanglah Bagawan Abyasa dari Padepokan Saptaarga menemui Adipati


Dretarastra. Ia telah mendengar kabar tentang wabah penyakit yang melanda Kerajaan
Hastina sekaligus ingin bertanya mengapa para Pandawa dan Dewi Kunti sampai dibuang
dari istana setelah Prabu Pandu meninggal.
Adipati Dretarastra pun bercerita bahwa Raden Bratasena telah berkelahi dengan para
Kurawa. Patih Sangkuni buru-buru menyela ikut bicara. Ia menceritakan kepada Bagawan
Abyasa bahwa hari itu Raden Dursasana dan adik-adiknya sedang memanen buah mangga
di kebun istana. Raden Bratasena tiba-tiba datang ingin meminta bagian. Raden Dursasana
memintanya bersabar sampai para Kurawa selesai memanen. Karena Raden Bratasena
memiliki tubuh yang tinggi besar, Raden Dursasana melarangnya ikut memanjat pohon.
Namun, Raden Bratasena tidak sabar dan menggoyang semua pohon. Akibatnya, para
Kurawa yang sedang memetik mangga di atas ikut berjatuhan ke tanah.
Raden Suyudana datang dan menasihati Raden Bratasena bahwa perbuatannya
sangat keterlaluan. Raden Bratasena tidak terima dan menyerang Raden Suyudana,
sehingga terjadilah perkelahian di antara mereka. Raden Suyudana selaku saudara yang
silsilahnya lebih tua akhirnya mengalah. Namun, Raden Bratasena tidak tahu diri dan
menghajar Raden Suyudana hingga babak belur. Inilah yang membuat Adipati Dretarastra
menjatuhkan hukuman terhadap Raden Bratasena. Sebenarnya, Adipati Dretarastra tidak
bermaksud membuang Raden Bratasena, tetapi hanya memintanya untuk merenung di
Hutan Pramuwana. Akan tetapi, Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya ikut pergi menemani
Raden Bratasena, sehingga seolah-olah tersiar kabar burung bahwa Adipati Dretarastra
membuang mereka dari istana.
Raden Yamawidura membantah bahwa cerita Patih Sangkuni sama sekali tidak benar.
Awal mulanya ialah Raden Dursasana dan adik-adiknya asyik memakan buah mangga di
atas pohon. Raden Bratasena datang dan meminta diberi secukupnya. Raden Dursasana
mengatakan bahwa Raden Bratasena tidak perlu memanjat karena para Kurawa akan
melemparkan bagian untuknya. Raden Bratasena cukup mengambil apa saja yang jatuh
dari pohon. Ternyata Raden Dursasana dan adik-adiknya melemparkan biji dan kulit
mangga kepada Raden Bratasena, bukan buah yang utuh.
Sebenarnya Raden Bratasena masih bersabar. Namun, Raden Dursasana
memintanya agar mengemis. Para Kurawa juga mengungkit soal almarhum Prabu Pandu
pernah tinggal di hutan, pasti mengetahui bagaimana caranya mengemis. Penghinaan ini
membuat Raden Bratasena marah dan menggoyang semua pohon sehingga para Kurawa
pun berjatuhan. Ia berkata bahwa dirinya hanya mengambil apa yang jatuh dari pohon, dan
ternyata yang jatuh adalah para Kurawa. Maka, ia pun menyambar para sepupunya itu dan
memukuli mereka semua. Raden Suyudana datang membela adik-adiknya. Dalam
perkelahian itu, Raden Suyudana sama sekali tidak mengalah sebagaimana cerita Patih
Sangkuni tadi. Justru Raden Suyudana berkelahi dengan senjata, sedangkan Raden
Bratasena menghadapinya dengan tangan kosong.
Bagawan Abyasa menampung cerita Patih Sangkuni dan Raden Yamawidura. Ia lalu
berkata kepada Adipati Dretarastra agar berbuat adil. Bagaimanapun juga Prabu Pandu
telah menitipkan istri dan anak-anaknya untuk dirawat Adipati Dretarastra. Apabila terjadi
pertengkaran antara para Pandawa dan Kurawa, janganlah Adipati Dretarastra berat
sebelah, tetapi harus mendengarkan penjelasan dari kedua pihak. Mengenai wabah
penyakit yang melanda Kerajaan Hastina, Bagawan Abyasa telah mendapatkan petunjuk
dari dewa bahwa ini adalah teguran untuk Adipati Dretarastra agar bersikap lebih adil dan
bijaksana dalam memutuskan perkara.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Dretarastra menyesali perbuatannya. Ia pun mengutus Raden Yamawidura


agar pergi ke Hutan Pramuwana untuk menjemput pulang Dewi Kunti dan para Pandawa.
Raden Yamawidura segera berangkat menjalankan perintah.
Bagawan Abyasa senang melihatnya. Ia lalu berkata bahwa sebelum meninggal,
Prabu Pandu sempat menitipkan beberapa pusaka kepadanya untuk disimpan di Gunung
Saptaarga. Pusaka-pusaka yang berwujud senjata sebaiknya diserahkan nanti saja apabila
para Pandawa sudah menamatkan pelajaran ilmu perang. Adapun pusaka yang berwujud
minyak ajaib Lenga Tala, hendaknya diserahkan saat ini juga.
Bagawan Abyasa menjelaskan khasiat Lenga Tala apabila dioleskan ke sekujur tubuh
akan membuat si pemakai menjadi manusia berkulit kebal seumur hidupnya. Setelah
berkata demikian, ia lalu menyerahkan cupu berisi Lenga Tala kepada Adipati Dretarastra,
kemudian pulang ke Gunung Saptaarga.

PATIH SANGKUNI MENGHASUT PARA KURAWA UNTUK MEREBUT LENGA TALA


Para Pandawa dan Dewi Kunti telah dijemput Raden Yamawidura kembali ke istana.
Adipati Dretarastra meminta maaf kepada mereka dan memberikan tempat tinggal berupa
bangunan indah di dekat Taman Kadilengleng. Berangsur-angsur wabah penyakit yang
melanda Kerajaan Hastina pun reda. Para penduduk yang jatuh sakit mulai sehat kembali.
Patih Sangkuni memberi tahu para Kurawa bahwa Adipati Dretarastra hendak
memberikan Lenga Tala kepada para Pandawa. Hal ini sangat berbahaya karena akan
membuat anak-anak Prabu Pandu itu menjadi manusia kebal tidak mempan senjata. Oleh
sebab itu, para Kurawa harus bisa menggagalkannya dan merebut Lenga Tala agar jangan
sampai jatuh ke tangan para Pandawa.
Mendengar itu, Raden Suyudana, Raden Dursasana, Raden Surtayu, Raden
Kartawarma, dan para Kurawa lainnya segera menghadap sang ayah. Hanya Raden
Durmagati yang tidak mau ikut karena bagaimanapun juga Lenga Tala adalah warisan
Prabu Pandu untuk para Pandawa. Menurutnya, para Kurawa sama sekali tidak berhak ikut
campur ingin memilikinya.

PATIH SANGKUNI MENUMPAHKAN LENGA TALA


Adipati Dretarastra telah memanggil para Pandawa untuk acara serah-terima Lenga
Tala. Tiba-tiba Raden Suyudana dan adik-adiknya datang mencegah. Mereka meminta
Lenga Tala harus dibagi rata, karena khasiat minyak tersebut dapat membuat si pemakai
menjadi manusia kebal tak mempan senjata. Bagaimanapun juga para pangeran di
Kerajaan Hastina tidak hanya Pandawa Lima saja. Apabila Kerajaan Hastina berperang
melawan negara lain, bisa-bisa hanya para Pandawa yang hidup, sedangkan para Kurawa
tewas terkena senjata.
Adipati Dretarastra agak bimbang mendengar penuturan putra sulungnya yang dirasa
masuk akal. Sementara itu, Raden Puntadewa menangis setelah mendengar tentang
khasiat Lenga Tala. Andai saja ayahnya dulu menggunakan Lenga Tala, tentu ia tidak akan
terluka oleh senjata Prabu Tremboko. Karena Prabu Pandu semasa hidupnya tidak pernah
menggunakan Lenga Tala, maka Raden Puntadewa juga tidak mau menggunakan minyak
tersebut. Terserah jika para Kurawa ingin memilikinya.
Raden Bratasena tidak setuju pada kakak sulungnya. Bagaimanapun juga Lenga Tala
adalah anugerah dewa yang didapat Prabu Pandu setelah menumpas Prabu Nagapaya,
maka hanya para Pandawa yang berhak mewarisinya. Soal nanti dipakai atau tidak, itu
urusan para Pandawa. Raden Suyudana tidak setuju, karena itu berarti menyia-nyiakan
anugerah kahyangan, yang sama saja seperti menghina para dewa.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Dretarastra melerai pertengkaran Raden Bratasena dan Raden Suyudana. Ia


pun memutuskan untuk membuang jauh-jauh cupu berisi Lenga Tala. Terserah nanti siapa
yang menemukan itulah yang berhak memilikinya. Mungkin ini adalah keputusan yang
paling adil. Usai berkata demikian, ia lalu memerintahkan para Pandawa dan Kurawa agar
keluar istana dan bersiap-siap mengejar ke mana cupu Lenga Tala melayang.
Setelah para Pandawa dan Kuwara pergi, Adipati Dretarastra bersiap-siap
melemparkan cupu berisi Lenga Tala tersebut. Tiba-tiba Patih Sangkuni datang dan
menabraknya. Cupu tersebut jatuh dan isinya tergenang di lantai. Patih Sangkuni meminta
maaf lalu menyerahkan cupu sekaligus tutupnya kepada Adipati Dretarastra.
Adipati Dretarastra mengetahui maksud perbuatan Patih Sangkuni. Ia pun berkata
agar Patih Sangkuni membagi Lenga Tala yang tumpah itu dengan para Kurawa. Setelah
berpesan demikian, ia lalu melemparkan cupu kosong tersebut sekuat tenaga. Pada
dasarnya Adipati Dretarastra seorang sakti berkekuatan perkasa meskipun menderita
tunanetra. Cupu tersebut pun terlempar sangat jauh hingga keluar istana, entah di mana
jatuhnya nanti.
Setelah Adipati Dretarastra pergi, Patih Sangkuni mengkhianati amanah darinya. Ia
lalu bertelanjang bulat dan bergulung-gulung di lantai, sehingga Lenga Tala pun meresap
ke sekujur kulitnya, kecuali bagian mulut dan dubur. Setelah Lenga Tala habis tak bersisa,
Patih Sangkuni kembali berpakaian. Ia merasa puas karena mulai saat ini dirinya menjadi
manusia kebal tidak mempan senjata. Namun, kesaktian ini akan disembunyikannya,
kecuali jika nanti benar-benar dibutuhkan.

DANGHYANG DRUNA MEMAMERKAN KESAKTIANNYA DI HADAPAN PARA PANGERAN


Cupu yang dilemparkan Adipati Dretarastra tadi telah melayang di udara
meninggalkan istana. Para Kurawa berlarian mengejarnya, begitu pula dengan Raden
Bratasena dan Raden Permadi. Sementara itu, Raden Puntadewa berjalan paling belakang
sambil menggandeng Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Raden Suyudana memerintahkan adik-adiknya untuk menghadang para Pandawa.
Para Kurawa mematuhi. Mereka pun mengeroyok Raden Bratasena dan Raden Permadi
agar Lenga Tala jatuh ke tangan Raden Suyudana saja. Maka, terjadilah perkelahian di
antara mereka. Namun sayangnya, cupu tersebut ternyata jatuh tercebur ke dalam sebuah
sumur kering di luar istana.
Para Pandawa dan Kurawa menghentikan perkelahian dan beramai-ramai
mendatangi sumur tersebut. Mereka berebut ingin turun ke bawah untuk mengambil cupu,
tetapi tiba-tiba muncul Danghyang Druna mencegah mereka.
Tanpa banyak bicara, Danghyang Druna lalu melemparkan beberapa batang ilalang
satu persatu ke dasar sumur. Sungguh ajaib, ilalang yang pertama langsung menancap
pada cupu, sedangkan ujung ilalang yang kedua menancap pada pangkal ilalang pertama,
lalu ujung ilalang yang ketiga menancap pada pangkal ilalang yang kedua, demikian
seterusnya hingga membentuk seutas tali panjang.
Danghyang Druna lalu menarik rangkaian ilalang tersebut ke atas, sehingga cupu pun
berhasil diambil. Namun, alangkah terkejutnya mereka semua karena cupu tersebut telah
kosong melompong. Para pangeran itu mengira Lenga Tala pasti tercecer di jalan dan
mereka pun berniat mencarinya. Hanya Raden Permadi seorang yang terkagum-kagum
melihat kesaktian Danghyang Druna. Ia pun berlutut menyembah dan meminta agar
diterima sebagai murid. Melihat sikap Raden Permadi, para Pandawa yang lainnya serta
para Kurawa ikut berlutut menyembah pula. Mereka merasa lebih baik menjadi murid
KITAB WAYANG PURWA

Danghyang Druna yang sakti daripada ribut mencari Lenga Tala yang mungkin saja sudah
hilang meresap ke dalam tanah.

ADIPATI DRETARASTRA MENERIMA DANGHYANG DRUNA BEKERJA


Adipati Dretarastra telah mendapat laporan bahwa ada seorang pendeta buruk rupa
tetapi sangat sakti yang mampu menarik cupu dari dasar sumur hanya menggunakan
rangkaian ilalang. Ia pun bergegas menemui pendeta itu dengan diantarkan oleh Raden
Sanjaya (putra Raden Yamawidura).
Danghyang Druna pun memperkenalkan dirinya kepada Adipati Dretarastra, bahwa ia
adalah kakak ipar Resi Krepa, kepala brahmana Kerajaan Hastina. Ia mengaku mendapat
cerita dari Resi Krepa bahwa Kerajaan Hastina sedang membutuhkan pengajar ilmu perang
untuk para Pandawa dan Kurawa. Untuk itulah ia datang ke istana demi memenuhi
kebutuhan tersebut.
Raden Permadi memohon kepada Adipati Dretarastra agar menerima Danghyang
Druna bekerja di Kerajaan Hastina. Raden Suyudana tidak mau kalah. Ia juga memohon
agar sang ayah menerima pendeta tersebut bekerja. Adipati Dretarastra setuju. Ia pun
menerima Danghyang Druna sebagai guru ilmu perang bagi para Pandawa dan Kurawa.
Danghyang Druna berterima kasih kepada Adipati Dretarastra. Dalam hati ia merasa
gembira, karena para Pandawa dan Kurawa akan menjadi sarana baginya untuk membalas
dendam kepada Prabu Drupada dan Arya Gandamana.

Danghyang Kumbayana menjadi Danghyang Druna

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Kisah Bambang Kumbayana meninggalkan ayahnya, kelahiran putranya, serta perkawinannya
dengan Dewi Krepi dalam Serat Pustakaraja Purwa versi Raden Ngabehi Ranggawarsita diberi
angka tahun Suryasengkala 683 yang ditandai dengan sengkalan “Gunaning brahmana angraras
kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 704 yang ditandai dengan sengkalan “Yoga musna
kaswareng wiyat”.
Sedangkan kisah Arya Gandamana menghajar Danghyang Kumbayana, hingga pertemuan
Danghyang Druna dengan para Pandawa dan Kurawa terjadi pada tahun Suryasengkala 690
yang ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning barakan” atau tahun Candrasengkala 711
yang ditandai dengan sengkalan “Rupa janma kaswareng wiyat”.
KITAB WAYANG PURWA

PENDADARAN SISWA SOKALIMA


Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Kurawa telah menyelesaikan pendidikannya
kepada Danghyang Druna dan mereka pun dipertandingkan di hadapan seluruh rakyat
Kerajaan Hastina. Puncak dari pertandingan ini adalah pertarungan antara Raden
Permadi melawan Raden Suryaputra yang tidak lain adalah kakak sulungnya sendiri,
yaitu putra Dewi Kunti dengan Batara Surya, sewaktu belum menikah dengan Prabu
Pandu.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, serta beberapa bagian saya ambil dari serial Suryaputra Karna, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 08 Agustus 2016
Heri Purwanto

Raden Suryaputra melawan Raden Permadi

DANGHYANG DRUNA MELAPORKAN KELULUSAN PARA PANDAWA DAN KURAWA


Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh
Resiwara Bisma, Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, dan Resi Krepa. Hadir
pula Danghyang Druna yang melaporkan bahwa hari ini telah genap lima tahun para
Pandawa dan Kurawa berguru ilmu perang kepadanya di Padepokan Sokalima. Semua ilmu
telah diajarkan olehnya, meliputi seni menggunakan senjata, ilmu memimpin pasukan, ilmu
mengatur siasat perang, serta bagaimana caranya merusak formasi barisan perang.
Danghyang Druna bercerita bahwa di antara murid-muridnya, Raden Permadi (Arjuna)
adalah yang paling pandai dan berbakat, terutama dalam bidang panahan. Tidak hanya
siang hari, bahkan di malam hari sekalipun ia rajin berlatih panah dalam kegelapan. Pernah
suatu hari Danghyang Druna pura-pura diserang buaya di sungai. Para pangeran berlomba-
lomba hendak menolong, namun hanya Raden Permadi yang dengan sigap dan cekatan
mengambil busur dan panah untuk membidik si buaya. Pernah pula Danghyang Druna
menguji kemahiran memanah para murid dengan membidik sasaran berupa boneka burung
di puncak pohon. Hanya Raden Permadi seorang yang berhasil mengenai sasaran, yaitu
panahnya bisa menembus mata boneka burung tersebut tanpa menjatuhkannya dari pohon.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Dretarastra kecewa karena Danghyang Druna selalu memuji-muji Raden


Permadi, bukannya Raden Suyudana putranya. Menyadari hal itu, Resiwara Bisma
mengusulkan agar Danghyang Druna mengadakan sebuah acara pertunjukan terbuka.
Dalam acara itu, para Pandawa dan Kurawa harus memperlihatkan hasil pendidikannya di
hadapan seluruh rakyat Kerajaan Hastina. Setelah acara selesai, barulah dapat ditentukan
siapa murid terbaik di antara para pangeran tersebut.
Patih Sangkuni mendukung usulan Resiwara Bisma. Danghyang Druna tidak perlu
tergesa-gesa mengumumkan Raden Permadi sebagai lulusan terbaik jika belum
memperlihatkan kemahirannya di depan umum. Pertunjukan ini tentunya sangat
bermanfaat, karena rakyat dapat menyaksikan kehebatan para pangeran, sehingga bisa
ikut bangga melihat para Pandawa dan Kurawa memiliki kemampuan untuk melindungi
Kerajaan Hastina. Tidak hanya itu, Patih Sangkuni juga mengusulkan agar Adipati
Dretarastra mengundang para raja negara tetangga untuk ikut menyaksikan pertunjukan ini,
sehingga mereka akan semakin segan dan tidak berani macam-macam terhadap Kerajaan
Hastina.
Adipati Dretarastra senang mendengar usulan ini. Ia pun menunjuk Patih Sangkuni
untuk mengurusi segala keperluan, mulai dari mempersiapkan panggung, menyebar
undangan, hingga menyusun urutan siapa pangeran yang akan tampil. Patih Sangkuni
berterima kasih dan siap melaksanakan tugas. Ia pun mengusulkan agar acara tersebut
dilaksanakan di Tegal Kurusetra, yaitu sebidang tanah lapang yang sangat luas di pinggiran
Kerajaan Hastina, yang mampu menampung jutaan orang. Patih Sangkuni juga
mengusulkan agar acara nanti bukan sekadar pertunjukan belaka, tetapi harus bersifat
pertandingan. Barangsiapa yang menjadi juara, maka dia yang pantas dilantik sebagai
pangeran mahkota Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura menolak usulan Patih Sangkuni. Kedudukan
sebagai pangeran mahkota tidak dapat ditentukan melalui pertandingan adu kemahiran.
Bagaimanapun juga yang berhak menjadi ahli waris takhta adalah Raden Puntadewa,
selaku putra sulung mendiang Prabu Pandu Dewanata.
Dewi Gandari ikut bicara mendukung Patih Sangkuni. Jika memang putra sulung yang
berhak menjadi raja, mengapa dulu bukan suaminya yang dilantik? Memang benar, Adipati
Dretarastra menderita cacat tunanetra, tetapi keseratus putranya tidaklah demikian. Itu
berarti, para Kurawa pun memiliki hak yang sama dengan para Pandawa, karena Kerajaan
Hastina bukan milik Prabu Pandu seorang, tetapi juga milik Adipati Dretarastra. Jika bukan
karena Adipati Dretarastra rela melepaskan haknya sebagai putra sulung, mana mungkin
Prabu Pandu bisa menjadi raja Hastina?
Patih Sangkuni menambahkan, beberapa tahun yang lalu saat para Pandawa dan
Kurawa berguru ilmu agama dan tata negara kepada Resi Krepa, memang Raden
Puntadewa dinyatakan sebagai murid yang terpandai. Namun, menjadi raja Hastina tidak
cukup hanya mengandalkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga harus memiliki kemahiran
dalam pertempuran. Raja yang tidak mahir melindungi negaranya akan kehilangan wibawa,
baik itu di hadapan kawan maupun lawan. Jika memang Raden Puntadewa berhak atas
takhta, maka dalam pertunjukan nanti ia harus mampu meyakinkan rakyat Hastina bahwa
dirinya memang pantas menjadi raja yang bisa melindungi segenap wilayah negaranya.
Adipati Dretarastra dalam hati memuji kepandaian Patih Sangkuni yang selalu
berusaha menciptakan peluang bagi Raden Suyudana. Membayangkan bahwa putranya
nanti akan tampil sebagai pemenang, ia pun menyetujui usulan Patih Sangkuni. Ia lalu
mengumumkan bahwa Patih Sangkuni telah diserahi tugas ini, maka segala keputusan
Patih Sangkuni harus dipatuhi semuanya.
KITAB WAYANG PURWA

Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak bisa membantah lagi. Mereka pun
setuju jika pertunjukan nanti diubah menjadi perlombaan. Akan tetapi, yang menjadi juri
dalam menentukan pemenang haruslah Danghyang Druna, bukan Patih Sangkuni. Adipati
Dretarastra setuju. Ia lalu meminta Danghyang Druna untuk menyusun peraturan
pertandingan.
Danghyang Druna mengusulkan bahwa dalam pertandingan nanti hendaknya menjadi
pertandingan persaudaraan, dan para pangeran tidak boleh saling melukai. Siapa yang
menang cukup dilihat dari seberapa lama ia mampu bertahan di atas panggung. Sebaliknya,
barangsiapa yang menyebabkan pihak lawan berdarah, maka ia akan dinyatakan gugur.
Demkikianlah, Adipati Dretarastra telah menetapkan Danghyang Druna sebagai juri
dan Patih Sangkuni sebagai panitia acara. Resiwara Bisma meminta Patih Sangkuni harus
adil dalam menentukan urutan siapa pangeran yang akan tampil. Patih Sangkuni pun
menyanggupi, bahwa nanti pangeran yang tampil akan ditentukan berdasarkan undian.
Karena semuanya telah sepakat, Adipati Dretarastra menetapkan tujuh hari lagi acara
pertandingan ini akan diadakan. Danghyang Druna diperintahkan untuk mempersiapkan
para pangeran, sedangkan Patih Sangkuni diperintahkan untuk mempersiapkan segala
sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Setelah dirasa cukup, pertemuan pun dibubarkan.

RADEYA MENYELESAIKAN PENDIDIKANNYA PADA BATARA RAMAPARASU


Tersebutlah seorang pemuda bernama Radeya yang berguru kepada Batara
Ramaparasu di Hutan Jatiraga selama lima tahun. Hari itu Batara Ramaparasu menyatakan
kelulusannya dan mempersilakan Radeya pulang ke tempat asalnya, yaitu Desa
Petapralaya. Radeya ini adalah putra Kyai Adirata, yaitu kusir kereta Adipati Dretarastra,
sedangkan ibunya bernama Nyai Rada.
Radeya berterima kasih kepada Batara Ramaparasu yang telah berkenan mendidik
seorang pemuda miskin seperti dirinya. Memang dirinya putra seorang kusir kereta, tetapi
sejak kecil bercita-cita ingin menjadi pelindung Kerajaan Hastina. Ketika terdengar kabar
bahwa para Pandawa dan Kurawa berguru kepada Danghyang Druna, Radeya pun ikut
pergi ke Padepokan Sokalima dan memohon supaya diterima sebagai murid pula.
Akan tetapi, Danghyang Druna menolak Radeya karena ia hanya bersedia mengajar
para pangeran Hastina saja. Radeya pun bertanya mengapa putra Danghyang Druna yang
bernama Bambang Aswatama juga ikut belajar, bukankah dia bukan Pandawa, juga bukan
Kurawa? Danghyang Druna tersinggung dan mengusir Radeya. Atas penghinaan itu,
Radeya pun bersumpah bahwa dirinya pasti bisa berguru kepada orang yang telah
mengajar Danghyang Druna.
Radeya lalu pergi ke Hutan Jatiraga untuk bertapa. Selama berhari-hari ia bersamadi
tanpa makan, tanpa minum, hingga akhirnya datang Batara Ramaparasu membangunkan
dirinya. Batara Ramaparasu berkata bahwa dewata telah menerima tapa brata Radeya yang
bercita-cita ingin berguru kepada orang yang pernah mendidik Danghyang Druna. Maka,
Batara Guru pun mengirim Batara Ramaparasu untuk mengajari Radeya. Batara
Ramaparasu memang pernah menjadi guru Danghyang Druna, bahkan juga pernah
mengajar Resiwara Bisma saat masih bernama Raden Dewabrata.
Demikianlah, selama lima tahun Radeya berguru segala macam ilmu perang kepada
Batara Ramaparasu, terutama ilmu memanah. Hari itu ia dinyatakan lulus dan dipersilakan
pulang ke Desa Petapralaya. Sebelum berpamitan, tiba-tiba datang seorang pemuda
bernama Adimanggala, yang merupakan adik angkat Radeya.
KITAB WAYANG PURWA

Radeya dan Adimanggala sama-sama bukan anak kandung Kyai Adirata dan Nyai
Rada. Radeya semasa bayi diperoleh Kyai Adirata dari pemberian Resi Druwasa,
sedangkan Adimanggala adalah pemberian Buyut Antyagopa dari Desa Widarakandang.
Adimanggala sangat bahagia bisa bertemu kakaknya. Ia bangga melihat Radeya telah
mewujudkan cita-cita yaitu bisa belajar kepada Batara Ramaparasu. Ia juga mengatakan
bahwa tidak lama lagi Danghyang Druna akan mengadakan pertunjukan adu kemahiran
antara para muridnya di Tegal Kurusetra.
Radeya sangat tertarik ingin menghadiri acara tersebut. Ia pun memohon restu kepada
Batara Ramaparasu semoga nanti bisa mempermalukan Danghyang Druna yang telah
menghina dirinya. Ia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa Radeya si putra kusir
kini menjadi pemanah terbaik di dunia.
Batara Ramaparasu tidak suka melihat sifat sombong Radeya. Ia pun mengutuk
Radeya jika terus-menerus bersikap angkuh dan sombong seperti itu, maka semua ilmu
kesaktian yang telah diajarkan olehnya akan lenyap dari ingatan pada saat paling
dibutuhkan.
Radeya memohon ampun kepada sang guru. Namun, Batara Ramaparasu tidak dapat
mencabut kutukannya. Ia hanya menasihati Radeya agar menjadi manusia dermawan
sebagai penyeimbang sifatnya yang angkuh. Radeya mematuhi dan bersumpah tidak akan
menolak siapa pun yang meminta sedekah kepadanya.
Batara Ramaparasu merestui Radeya semoga namanya dikenang sepanjang masa.
Ia lalu terbang meninggalkan Hutan Jatiraga, kembali ke kahyangan.

RADEYA BERTARUNG MELAWAN PASUKAN SENGKAPURA


Radeya dan Adimanggala keluar dari Hutan Jatiraga menuju Tegal Kurusetra untuk
menonton pertandingan para Pandawa dan Kurawa. Di tengah jalan mereka bertemu
pasukan raksasa dari Sengkapura yang dipimpin Ditya Danuka. Para raksasa itu ditugasi
Adipati Kangsa untuk menyelidiki keberadaan putra-putri Prabu Basudewa raja Mandura.
Ditya Danuka bertanya kepada Radeya dan Adimanggala apa pernah melihat dua
pemuda, yang satu berkulit putih bule, dan yang satu lagi berkulit hitam legam. Radeya
menjawab dengan seenaknya, membuat para raksasa itu marah dan menyerangnya.
Radeya memang sengaja memancing amarah para raksasa itu karena ingin mencoba
ilmu kesaktian yang ia peroleh dari Batara Ramaparasu. Demikianlah, dalam pertempuran
itu Radeya dan Adimanggala berhasil menumpas habis para prajurit raksasa tersebut, dan
juga menewaskan Ditya Danuka.

RARA IRENG INGIN MENONTON PERTANDINGAN PARA PANGERAN


Pemuda berkulit bule dan hitam legam yang dicari-cari oleh Adipati Kangsa adalah
Kakrasana dan Narayana, yaitu putra Prabu Basudewa yang sejak kecil dititipkan kepada
Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi di Desa Widarakandang. Kini mereka telah tubuh
menjadi remaja berusia delapan belas tahun (sebaya dengan Raden Permadi). Kakrasana
rajin bekerja di sawah membantu Buyut Antyagopa, sedangkan Narayana lebih suka
berkelana bersama Udawa, kakak sulungnya.
Pada suatu hari, Narayana dan Udawa pulang ke rumah dan mengabarkan bahwa di
Kerajaan Hastina sebentar lagi akan diadakan sebuah acara pertunjukan ilmu kesaktian
antara para Kurawa dan Pandawa, yaitu para pangeran yang baru saja menamatkan
pendidikannya kepada Danghyang Druna di Padepokan Sokalima.
KITAB WAYANG PURWA

Adik perempuan Narayana yang bernama Rara Ireng merengek ingin menonton acara
itu. Narayana lalu meminta izin kepada Buyut Antyagopa agar Rara Ireng diperbolehkan ikut
pergi ke Tegal Kurusetra. Buyut Antyagopa mengizinkan tetapi Kakrasana juga harus ikut
pergi untuk menjaga keselamatan Rara Ireng.
Demikianlah, Narayana, Kakrasana, Udawa, dan Rara Ireng berangkat menuju Tegal
Kurusetra, sedangkan adik bungsu mereka yang bernama Rara Sati tetap tinggal di Desa
Widarakandang.

ACARA PERTANDINGAN DI TEGAL KURUSETRA : RADEN BIMA MELAWAN PARA


KURAWA
Hari yang ditentukan akhirnya tiba. Tegal Kurusetra yang luas dan lapang telah
dipenuhi rakyat Hastina yang ingin menonton pertandingan antara para Pandawa dan
Kurawa. Narayana dan saudara-saudaranya menyusup di antara para penonton, berbaur
dengan rakyat Hastina. Tampak para tamu dan undangan dari berbagai negara sahabat
telah duduk di depan panggung, antara lain Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Salya dari
Mandaraka, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Gandaradesa, serta
Prabu Jarasanda dari Magada. Hanya Prabu Drupada dari Pancala yang tidak hadir,
sedangkan Prabu Basudewa dari Mandura diwakili putranya, yaitu Adipati Kangsa beserta
Patih Suratimantra.
Danghyang Druna berdiri di atas panggung mengumumkan peraturan pertandingan.
Murid-muridnya nanti akan bertanding satu lawan satu secara bergiliran, hingga diperoleh
siapa murid terbaik yang bertahan paling akhir. Namun demikian, pertandingan ini adalah
pertandingan persaudaraan. Untuk menentukan yang kalah cukup dilihat siapa yang
terlempar dari panggung lebih dulu, atau siapa yang menyatakan menyerah kalah. Tidak
boleh ada yang melukai di pertandingan ini. Barangsiapa yang menyebabkan pihak lawan
mengeluarkan darah akan dinyatakan gugur.
Setelah dirasa cukup, Danghyang Druna lalu mempersilakan Patih Sangkuni untuk
melempar undian. Dari lemparan tersebut, keluar nama Raden Bima Bratasena (Pandawa
nomor dua) dan Raden Dursasana (Kurawa nomor dua).
Kedua pangeran itu naik ke panggung dan mulai bertanding. Mereka berdua kini telah
berusia dua puluh tahun. Pertandingan pertama ini dimenangkan oleh Raden Bratasena
yang berhasil melempar Raden Dursasana keluar panggung.
Patih Sangkuni kembali melempar undian untuk siapa yang tampil di pertandingan
kedua. Ternyata nama Raden Bratasena kembali muncul dan kali ini melawan Raden
Surtayu. Setelah mengalahkan Raden Surtayu, nama Raden Bratasena kembali muncul
dan ia harus melawan Raden Durmagati. Setelah itu, namanya kembali muncul untuk
melawan Raden Citraksa, kemudian melawan Raden Citraksi, demikian seterusnya. Entah
mengapa nama Raden Bratasena selalu muncul ketika Patih Sangkuni melempar undian.
Raden Yamawidura menuduh Patih Sangkuni curang ingin membuat Raden
Bratasena kehabisan tenaga. Patih Sangkuni pun mempersilakan Raden Yamawidura
untuk memeriksa peralatan undiannya. Sebaliknya, Raden Bratasena justru senang selalu
tampil di atas panggung karena bisa menjadi sarana baginya untuk menghajar para Kurawa.

RADEN BRATASENA MELAWAN RADEN SUYUDANA


Satu persatu para Kurawa dinyatakan kalah. Ada yang terlempar dari panggung, ada
pula yang menyerah kalah kepada Raden Bratasena. Kini yang tersisa dari mereka hanya
tinggal Raden Suyudana dan Raden Kartawarma. Rencana pertama Patih Sangkuni untuk
menguras tenaga Raden Bratasena dan menyingkirkannya dari panggung telah gagal.
KITAB WAYANG PURWA

Tampak olehnya, Raden Bratasena masih segar bugar dan bersemangat melanjutkan
pertandingan.
Patih Sangkuni kembali melempar undian. Kali ini nama Raden Bratasena kembali
muncul bersama nama Raden Suyudana, Kurawa nomor satu. Sebelum naik ke panggung,
Raden Suyudana telah mendapat pesan dari Patih Sangkuni agar memancing amarah
Raden Bratasena.
Demikianlah, Raden Suyudana pun bertarung melawan Raden Bratasena. Tidak
hanya tangannya yang memainkan senjata gada, mulutnya juga ikut bicara mengejek. Ia
menyebut para Pandawa adalah hasil perselingkuhan Dewi Kunti dengan para dewa,
karena Prabu Pandu telah mendapat kutukan tidak bisa memiliki anak selamanya.
Raden Bratasena terpancing amarahnya. Ia memukul mulut Raden Suyudana hingga
mengeluarkan darah. Para Kurawa yang lain tidak terima dan beramai-ramai naik ke
panggung untuk mengeroyok Raden Bratasena. Pertandingan kini menjadi kacau balau,
bukan lagi satu lawan satu.
Sementara itu, Kakrasana yang menonton di antara warga Hastina tidak terima dan
segera melompat naik ke atas panggung. Para hadirin heran melihat ada pemuda desa
berkulit bule tiba-tiba membantu Raden Bratasena menghadapi para Kurawa sambil
mulutnya memaki-maki dengan kasar.
Udawa, Narayana, dan Rara Ireng ikut naik ke panggung untuk melerai. Udawa
memegangi tubuh Kakrasana, sedangkan Narayana meminta maaf kepada Adipati
Dretarastra atas ulah kakaknya itu. Adipati Dretarastra tidak terima ada rakyat jelata berani
memukul anak-anaknya. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk menangkap mereka.
Narayana segera mengajak Udawa, Kakrasana, dan Rara Ireng turun panggung lalu tiba-
tiba tubuh mereka menghilang entah ke mana. Para prajurit mencari ke mana-mana tetapi
tidak berhasil menemukan keempat remaja tersebut.

ADIPATI KANGSA MEMBURU NARAYANA DAN SAUDARA-SAUDARANYA


Adipati Kangsa yang duduk di antara para tamu undangan terkejut saat tadi melihat
ada pemuda berkulit bule naik ke panggung untuk membantu Raden Bratasena, yang
kemudian dilerai oleh pemuda berkulit hitam legam. Ia yakin mereka adalah Kakrasana dan
Narayana yang selama ini ia cari untuk dilenyapkan. Itu karena Adipati Kangsa telah
mendapat petunjuk dari gurunya, yaitu Resi Anggawangsa bahwa dirinya kelak akan mati
di tangan pemuda berkulit bule dan hitam, yang merupakan putra-putra Prabu Basudewa.
Adipati Kangsa tidak tertarik lagi untuk menyaksikan pertandingan para Pandawa dan
Kurawa. Ia mengajak Patih Suratimantra mencari Kakrasana dan Narayana yang tadi
menghilang dari pandangan. Adipati Kangsa berniat membunuh mereka, sekaligus
menikahi gadis berkulit hitam manis yang menawan hati, yang tadi ikut naik ke panggung
bersama Narayana dan Udawa, yaitu Rara Ireng.

RADEN PERMADI MENGALAHKAN RADEN PUNTADEWA


Danghyang Druna menyatakan Raden Bratasena gugur tidak boleh melanjutkan
pertandingan karena telah menyebabkan mulut Raden Suyudana berdarah. Ini sesuai
dengan rencana Patih Sangkuni. Karena para Kurawa tidak berhasil menguras tenaga
Raden Bratasena, maka siasat pun diubah, yaitu memancing kemarahannya agar
dikeluarkan dari pertandingan.
Patih Sangkuni lalu melemparkan undian. Kali ini yang muncul adalah nama Raden
Permadi (Pandawa nomor tiga), melawan Raden Kartawarma (Kurawa nomor lima puluh).
KITAB WAYANG PURWA

Keduanya pun bertanding di atas panggung. Dengan cekatan Raden Permadi berhasil
mengalahkan Raden Kartawarma dan membuat sepupunya itu jatuh keluar panggung.
Patih Sangkuni kembali melempar undian. Kali ini nama Raden Permadi kembali
muncul, sedangkan lawannya adalah Raden Pinten atau Nakula (Pandawa nomor empat).
Sesuai perkiraan Patih Sangkuni, Raden Pinten menyerah kalah tanpa bertanding karena
tidak mau melawan kakak sendiri.
Patih Sangkuni kembali melempar undian. Lagi-lagi nama Raden Permadi muncul,
dan yang menjadi lawannya adalah Raden Tangsen atau Sadewa (Pandawa nomor lima).
Sama seperti sebelumnya, Raden Tangsen pun menyerah kalah karena tidak mau
bertarung melawan kakak sendiri.
Nama yang tersisa kini tinggal tiga orang, yaitu Raden Suyudana, Raden Puntadewa,
dan Raden Permadi. Sejak tadi Patih Sangkuni selalu bermain ilmu sihir untuk mengatur
jalannya pertandingan. Ia menyihir supaya nama Raden Bratasena selalu muncul, dan kini
mengatur nama Raden Permadi supaya muncul pula. Adapun yang dimunculkan sebagai
lawannya kali ini adalah Raden Puntadewa (Pandawa nomor satu).
Raden Puntadewa dan Raden Permadi telah berhadapan di atas panggung. Patih
Sangkuni menyindir Raden Permadi sebaiknya bersikap hormat kepada saudara tua seperti
si kembar tadi. Raden Puntadewa terkenal tidak punya pengalaman bertarung. Tentunya
tidak pantas jika Raden Permadi mempermalukan kakaknya itu di hadapan banyak orang.
Raden Puntadewa melarang Raden Permadi termakan hasutan Patih Sangkuni.
Bagaimanapun juga Raden Permadi harus bertanding secara adil melawan dirinya.
Meskipun Raden Puntadewa tidak pernah bertarung, bukan berarti ia tidak bisa bertarung.
Di antara murid-murid Padepokan Sokalima, Raden Puntadewa adalah yang paling pandai
melempar lembing. Hari ini ia akan melemparkan lembing-lembingnya kepada Raden
Permadi. Jika nanti Raden Permadi mampu mengalahkannya, itu bukan berarti seorang
adik mempermalukan kakaknya, tetapi hendaknya dipahami lain, yaitu seorang adik
membuat kakaknya bangga.
Raden Permadi merasa mantap setelah mendengar nasihat kakaknya. Raden
Puntadewa lalu melemparkan lembing-lembingnya ke arah Raden Permadi. Satu persatu
lembing-lembing itu dapat ditangkis oleh panah-panah Raden Permadi. Setelah melihat
lembing kakaknya habis, Raden Permadi pun menghujani Raden Puntadewa dengan
ratusan panah. Para hadirin merasa kagum karena panah-panah itu sama sekali tidak
melukai Raden Puntadewa, tetapi tersusun rapi membentuk sebuah kursi.
Raden Permadi lalu menyembah Raden Puntadewa dan mempersilakannya untuk
duduk di atas kursi panah tersebut. Raden Puntadewa pun duduk sambil mengumumkan
bahwa dirinya dengan bangga menyatakan kalah di tangan sang adik.
Para hadirin seketika bersorak memuji kehebatan Raden Permadi yang berhasil
mengalahkan Raden Puntadewa tanpa mempermalukan kakaknya itu. Sebaliknya, Patih
Sangkuni sangat kecewa karena sejak awal ia berharap Raden Permadi yang menyerah
kalah kepada kakaknya, sehingga Raden Puntadewa yang maju ke pertandingan
selanjutnya melawan Raden Suyudana. Ia membayangkan Raden Suyudana yang perkasa
pasti dapat dengan mudah mengalahkan Raden Puntadewa di hadapan banyak orang.

RADEN PERMADI DITETAPKAN SEBAGAI PEMANAH TERBAIK DI DUNIA


Kini pangeran yang tersisa hanya tinggal Raden Permadi dan Raden Suyudana saja.
Tanpa diundi keduanya pun naik ke atas panggung untuk bertanding. Begitu Danghyang
KITAB WAYANG PURWA

Druna memberikan aba-aba, Raden Suyudana segera menyerang lebih dulu menggunakan
senjata gada.
Raden Permadi menggunakan busur sebagai senjata untuk menghadapinya. Setelah
agak lama bertarung, ia pun berniat mengalahkan lawan. Sambil membaca mantra, Raden
Permadi melepaskan panah ke angkasa. Tidak lama kemudian tiba-tiba muncul angin
kencang menggulung dan mengurung tubuh Raden Suyudana.
Danghyang Druna bersorak memuji Raden Permadi sebagai muridnya yang terbaik.
Bahkan, ia berpendapat bahwa kehebatan memanah Raden Permadi sudah melampaui
dirinya. Ia pun mengumumkan kepada semua orang bahwa Raden Permadi adalah
pemanah terbaik di dunia.

RADEYA MENANTANG RADEN PERMADI


Tiba-tiba dari kalangan penonton muncul seorang pemuda yang langsung naik ke atas
panggung untuk membebaskan Raden Suyudana. Pemuda itu melepaskan panah
bermantra yang mampu mengeluarkan angin panas yang melenyapkan angin dingin yang
menggulung Raden Suyudana.
Semua orang terkagum-kagum melihat kehebatan pemuda itu dalam menggunakan
panah. Pemuda itu mengaku keberatan jika Danghyang Druna mengumumkan Raden
Permadi sebagai pemanah terbaik di dunia. Di hadapan semua orang, ia pun menantang
Raden Permadi bertanding adu panah untuk menentukan siapa yang lebih baik di antara
mereka.

RADEYA BERSUMPAH SETIA KEPADA RADEN SUYUDANA


Danghyang Druna lalu bertanya siapa nama dan asal-usul si pemuda penantang.
Pemuda itu hanya diam saja tidak menjawab. Tiba-tiba muncul Kyai Adirata naik ke atas
panggung dan memanggilnya dengan nama Radeya. Kyai Adirata mengumumkan bahwa
Radeya adalah putranya, dan ia memohon maaf atas kelancangan Radeya yang berani
menantang Raden Permadi.
Danghyang Druna berkata bahwa dalam tata tertib peperangan, senapati hanya boleh
melawan senapati, raja melawan raja, pangeran melawan pangeran. Radeya adalah anak
seorang kusir kereta, tentunya tidak sederajat bila bertanding melawan Raden Permadi.
Maka itu, lebih baik ia pulang saja ke Desa Petapralaya.
Raden Bratasena yang berada di luar panggung ikut bersuara. Ia menyebut Radeya
tidak pantas melawan adiknya, dan menyuruh Kyai Adirata untuk menasihati anaknya itu
agar mengerti sopan santun. Raden Puntadewa segera menegur Raden Bratasena bahwa
dirinya sendiri juga harus belajar sopan santun. Raden Bratasena pun terdiam, tidak berani
membantah.
Radeya sangat kecewa. Ketika ia hendak pulang bersama ayahnya, tiba-tiba Raden
Suyudana mencegahnya. Raden Suyudana lalu berkata kepada Adipati Dretarastra agar
menjadikan Petapralaya sebagai kadipaten, serta mengangkat Kyai Adirata sebagai adipati.
Dengan demikian, Radeya bisa mendapat gelar Raden, sehingga sederajat dengan Raden
Permadi.
Adipati Dretarastra yang selalu menuruti keinginan putranya segera mengabulkan
permintaan itu. Ia pun mengumumkan bahwa mulai hari ini, Desa Petapralaya diubah
menjadi Kadipaten Petapralaya, sedangkan Kyai Adirata diangkat sebagai adipati, dan
Radeya boleh memakai gelar raden.
KITAB WAYANG PURWA

Kyai Adirata dan Radeya merasa gugup dan tidak berani menerima anugerah itu.
Radeya mengaku datang ke situ adalah untuk bertanding, bukan mencari hadiah. Namun,
Raden Suyudana berusaha meyakinkan mereka bahwa anugerah tersebut bukan hadiah,
melainkan sebagai bentuk rasa terima kasih. Tadi ketika tubuhnya digulung oleh angin
dingin ciptaan Raden Permadi, hanya Radeya seorang yang bisa membebaskan dirinya
dengan mengirimkan angin panas. Kini sebagai balasan, Raden Suyudana pun
mengangkat Radeya sebagai saudara, dan seluruh Kurawa akan memanggil kakak
kepadanya.
Radeya sangat terharu melihat kebaikan Raden Suyudana. Ia pun bersumpah bahwa
seumur hidup akan selalu setia melindungi dan mengawal Raden Suyudana. Keduanya lalu
berpelukan dengan disambut tepuk tangan Patih Sangkuni dan para Kurawa.
Sementara itu, Raden Yamawidura menggugat Adipati Dretarastra yang terlalu mudah
mengangkat seorang adipati tanpa pertimbangan matang. Selain itu, sang kakak juga
bersikap mendua. Tadi ketika ada pemuda bule naik panggung membantu Pandawa,
Adipati Dretarastra langsung memerintahkan para prajurit untuk menangkapnya.
Sebaliknya, ketika muncul Radeya membantu Kurawa, justru Adipati Dretarastra
memberikan anugerah kepadanya.
Adipati Dretarastra menjawab bahwa Kyai Adirata sudah lama mengabdi kepada
Kerajaan Hastina, maka sudah sepantasnya ia mendapatkan kenaikan pangkat. Keputusan
pun sudah ditetapkan, tidak bisa diubah-ubah begitu saja, karena ini akan berpengaruh
pada wibawa Adipati Dretarastra sebagai raja wakil di Hastina.

DEWI KUNTI PINGSAN MENYADARI RADEYA ADALAH PUTRANYA


Danghyang Druna lalu mempersilakan Raden Permadi bertanding melawan Radeya.
Kyai Adirata dan Raden Suyudana kemudian turun panggung. Sebelum pergi, Kyai Adirata
berkata bahwa Radeya saat bayi dilahirkan pada pagi hari, sehingga diberi nama
Suryaputra. Alangkah baiknya kalau sekarang kembali memakai nama tersebut. Radeya
menurut. Ia pun memakai nama Raden Suryaputra untuk menghadapi Raden Permadi.
Pertarungan dimulai. Keduanya saling melepaskan panah ke arah lawan. Para
penonton terkagum-kagum melihat kehebatan mereka. Tidak ada yang menang, juga tidak
ada yang kalah. Keduanya tampak seimbang. Hingga akhirnya matahari pun terbenam di
ufuk barat. Danghyang Druna menabuh bende tanda pertandingan harus diakhiri. Padahal,
Raden Permadi terlanjur melepaskan panah terakhirnya. Panah itu melesat ke arah Raden
Suryaputra. Karena Danghyang Druna telah menabuh bende, Raden Suryaputra pun tidak
berusaha menangkis. Ia menerima panah terakhir itu dengan dadanya. Sungguh ajaib,
panah tersebut patah jadi dua saat membentur dada Raden Suryaputra.
Dewi Kunti yang menonton di samping Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari sangat
terkejut melihat dada Raden Suryaputra bersinar seperti matahari saat menerima panah
Raden Permadi. Ia juga melihat Raden Suryaputra memakai anting-anting berbentuk
matahari. Seketika ia pun teringat pada bayi yang dilahirkannya sebelum menikah dulu. Bayi
laki-laki itu mengenakan baju zirah di dalam kulit yang disebut Suryakawaca, serta anting-
anting Suryakundala, yang semuanya adalah pemberian Batara Surya. Seketika Dewi Kunti
pun jatuh pingsan karena menyadari bahwa Raden Suryaputra adalah putra sulungnya yang
terpisah sejak bayi, yaitu dibawa pergi oleh Resi Druwasa.
Melihat sang ibu jatuh pingsan, Raden Bratasena segera menggendongnya
meninggalkan tempat itu, dengan diikuti Raden Puntadewa dan si kembar. Sementara itu,
Raden Permadi dan Raden Suryaputra masih berada di atas panggung. Mereka saling
berjanji akan melanjutkan pertarungan kelak di kemudian hari. Para Kurawa lalu
KITAB WAYANG PURWA

berdatangan naik ke atas panggung. Mereka menjunjung tubuh Raden Suryaputra dan
mengelu-elukannya bagaikan seorang pahlawan pemenang pertandingan.

DANGHYANG DRUNA DIANGKAT SEBAGAI KEPALA PUJANGGA KERAJAAN


HASTINA
Acara pertandingan telah usai. Danghyang Druna mengembalikan mandat sebagai
guru para pangeran kepada Adipati Dretarastra. Tugas-tugasnya mengajar kini telah
selesai. Namun, Patih Sangkuni melarangnya pulang begitu saja. Patih Sangkuni lalu
memohon kepada Adipati Dretarastra untuk memberikan kedudukan kepada Danghyang
Druna, agar menjadi bagian dari keluarga besar Kerajaan Hastina.
Adipati Dretarastra masih kecewa karena bukan putranya yang ditetapkan sebagai
murid terbaik. Namun, Patih Sangkuni meminta kakak iparnya itu agar jangan mudah
berpikiran pendek. Manusia sakti seperti Danghyang Druna harus dijaga agar tetap setia
kepada Kerajaan Hastina. Apabila Danghyang Druna sampai pindah ke negara lain
tentunya akan sangat berbahaya.
Adipati Dretarastra merasa ucapan Patih Sangkuni masuk akal. Maka, ia pun
mengumumkan bahwa tugas Danghyang Druna sebagai guru para Pandawa dan Kurawa
memang telah selesai. Mulai hari ini, Danghyang Druna diberi kedudukan baru sebagai
kepala pujangga Kerajaan Hastina, bergelar Resi Druna. Adipati Dretarastra juga berjanji
akan mengucurkan dana pembangunan Padepokan Sokalima menjadi lebih besar, dan
Resi Druna diizinkan menerima murid dari berbagai negara. Sebagai syarat, para murid itu
harus bersedia menjadi sekutu Kerajaan Hastina.
Danghyang Druna menerima keputusan Adipati Dretarastra dengan senang hati. Ia
pun berterima kasih dan bersumpah akan selalu setia kepada Kerajaan Hastina. Dalam hati
ia merasa senang karena ini bisa menjadi jalan baginya untuk membalas dendam kepada
Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Kisah pertunjukan kemahiran antara para Pandawa dan Kurawa ini menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 691 yang
ditandai dengan sengkalan “Rupa Rudra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 712 yang
ditandai dengan sengkalan “Paksa hanunggal paksi”.
KITAB WAYANG PURWA

DRUPADA RANGKET
Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Kurawa mendapat tugas dari Resi Druna
untuk menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Tugas ini berhasil dipenuhi
oleh para Pandawa, sehingga Resi Druna dapat berkuasa atas setengah wilayah
Kerajaan Pancala. Kisah dilanjutkan dengan kelahiran Dewi Drupadi, Dewi Srikandi,
dan Raden Drestajumena.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan
dengan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 Agustus 2016
Heri Purwanto

Resi Druna membalas penghinaan Prabu Drupada

RESI DRUNA MEMINTA PARA PANDAWA DAN KURAWA MENANGKAP PRABU


DRUPADA
Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh
Resiwara Bisma, Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, dan Resi Krepa. Hadir
pula Danghyang Druna yang telah resmi diangkat sebagai kepala pujangga istana, bergelar
Resi Druna. Hari itu mereka membahas tentang hasil pertandingan antara para Pandawa
dan Kurawa di Tegal Kurusetra kemarin, di mana Raden Permadi (Arjuna) dinyatakan
sebagai pemenang. Resiwara Bisma mengusulkan agar Adipati Dretarastra melantik Raden
Permadi sebagai pangeran mahkota, sesuai dengan apa yang telah disepakati di awal.
Patih Sangkuni menyatakan tidak setuju. Dalam pertandingan terakhir, Raden
Suyudana belum menyerah kalah, juga belum terlempar keluar dari panggung, tetapi Resi
Druna sudah buru-buru mengumumkan Raden Permadi sebagai murid terbaiknya.
Untunglah waktu itu tiba-tiba muncul Raden Suryaputra (Radeya) yang membebaskan
Raden Suyudana dan mewakilinya melawan Raden Permadi. Namun, ketika belum jelas
siapa yang menang dan siapa yang kalah, hari sudah terlanjur senja sehingga pertandingan
harus dihentikan. Patih Sangkuni pun mengusulkan agar diadakan pertandingan ulang
antara Raden Permadi dan Raden Suyudana, untuk menentukan siapa yang pantas
menjadi putra mahkota.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Druna menyela. Ia setuju diadakan ujian ulang antara para Pandawa dan Kurawa.
Akan tetapi, ujian tersebut bukan pertandingan satu lawan satu di atas panggung seperti
kemarin, melainkan dalam bentuk perlombaan menangkap musuh. Resi Druna memiliki
musuh bernama Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala. Barangsiapa
bisa menangkap mereka berdua, maka dia yang pantas diangkat sebagai pangeran
mahkota Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak setuju karena itu berarti akan terjadi
perang antara Kerajaan Hastina dan Pancala. Padahal, kedua negara telah bersahabat
lama sejak zaman Prabu Santanu dan Prabu Gandabayu. Jika para Pandawa dan Kurawa
menyerang Pancala, maka itu akan merusak hubungan baik antara kedua pihak.
Patih Sangkuni yang memiliki dendam pribadi dengan Arya Gandamana segera
mendukung Resi Druna. Ia meminta agar Adipati Dretarastra menyetujui peperangan
tersebut. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Kurawa telah belajar ilmu perang selama
lima tahun. Untuk apa hasil belajar mereka jika tidak digunakan untuk berperang? Ujian
kemarin berupa pertandingan antarsaudara, sehingga ada beberapa orang yang sengaja
mengalah kepada lawan karena merasa segan. Namun, ujian kali ini adalah ujian yang
sesungguhnya. Dengan demikian, akan terlihat siapa yang benar-benar telah menyerap
ilmu yang diajarkan Resi Druna.
Raden Yamawidura mengakui bahwa ilmu perang memang digunakan untuk
berperang melawan musuh, tetapi bukan untuk memerangi negara sahabat seperti Pancala.
Patih Sangkuni menjawab keberatan jika Kerajaan Pancala masih dianggap sebagai
sahabat. Dalam acara pertandingan di Tegal Kurusetra kemarin, pihak Hastina telah
mengundang semua negara sahabat. Prabu Matsyapati dari Wirata hadir, Prabu Salya dari
Mandraka hadir, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Gandaradesa
hadir, begitu pula Prabu Jarasanda dari Magada juga hadir. Prabu Basudewa dari Mandura
memang tidak hadir, tetapi diwakili putranya yang bernama Adipati Kangsa. Hari itu semua
negara sahabat hadir memenuhi undangan Adipati Dretarastra, kecuali Prabu Drupada dan
Arya Gandamana yang sama sekali tidak kelihatan, juga tidak menyampaikan permohonan
maaf. Itu artinya, mereka benar-benar ingin memutuskan hubungan persahabatan antara
Pancala dan Hastina.
Raden Yamawidura bertanya apakah Patih Sangkuni selaku panitia acara benar-benar
mengundang Prabu Drupada atau tidak. Patih Sangkuni menjawab bahwa dirinya benar-
benar mengundang Prabu Drupada, tetapi surat undangannya justru dirobek-robek oleh
Arya Gandamana. Ia bersumpah apabila ceritanya ini bohong, biarlah kelak dirinya mati
mengenaskan. Dewi Gandari ikut bicara mendukung adiknya. Jika benar Arya Gandamana
telah merobek-robek surat undangan tersebut, itu berarti sama dengan menghina wibawa
Kerajaan Hastina.
Adipati Dretarastra telah termakan bujukan Patih Sangkuni dan Dewi Gandari. Ia pun
memutuskan bahwa para Kurawa dan Pandawa boleh menyerang Kerajaan Pancala untuk
menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Karena raja telah memutuskan
demikian, Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak bisa menentang lagi. Mereka
hanya bisa terdiam melihat Adipati Dretarastra kini semakin jatuh ke dalam pengaruh orang-
orang Gandaradesa.
Adipati Dretarastra lalu memanggil para Pandawa dan Kurawa untuk menghadap.
Para Pandawa diwakili Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi,
sedangkan para Kurawa diwakili Raden Suyudana, Raden Dursasana, dan Raden
Kartawarma. Mereka diperintahkan berangkat ke Kerajaan Pancala untuk menangkap
Prabu Drupada dan Arya Gandamana, serta menyerahkan keduanya kepada Resi Druna.
KITAB WAYANG PURWA

Barangsiapa yang berhasil melakukan tugas ini akan dilantik sebagai pangeran mahkota
Kerajaan Hastina.
Raden Permadi memohon izin bicara. Ia berkata bahwa Pandawa Lima adalah satu
kesatuan yang tidak ada persaingan di antara saudara dalam urusan takhta. Jika nanti
Prabu Drupada dan Arya Gandamana tertangkap oleh para Pandawa, maka yang harus
dilantik sebagai pangeran mahkota adalah Raden Puntadewa.
Raden Suyudana menanggapi bahwa yang memenangkan ujian ini nanti adalah para
Kurawa, bukan para Pandawa. Apalagi para Kurawa kini telah memiliki seorang saudara
angkat bernama Raden Suryaputra yang merupakan pemanah paling hebat di dunia. Sudah
pasti ia sanggup membantu menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana.
Resi Druna menjelaskan bahwa ujian kali ini hanya berlaku untuk murid-muridnya saja.
Jika para Kurawa berhasil menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana dengan
bantuan Raden Suryaputra, maka kemenangan mereka dianggap gagal. Raden Suyudana
marah dan tidak mau berangkat jika saudara angkatnya tidak diizinkan ikut. Namun, Patih
Sangkuni berusaha menyabarkannya. Ia berhasil meyakinkan Raden Suyudana untuk
berperang dengan kemampuan sendiri dan membuat Adipati Dretarastra bangga. Raden
Suyudana yang selalu menuruti Patih Sangkuni segera terdiam dan menyetujui ucapan
sang paman.
Demikianlah, karena para Pandawa dan Kurawa telah menerima tugas tersebut,
Adipati Dretarastra pun menunjuk Resi Druna sebagai pemimpin mereka, sekaligus untuk
memastikan keselamatan para pangeran tersebut. Resi Druna menerima tugas ini dengan
senang hati. Setelah dirasa cukup, Adipati Dretarastra pun membubarkan pertemuan.

PATIH SANGKUNI BERSAHABAT DENGAN RESI DRUNA


Di luar istana, Resi Druna berterima kasih kepada Patih Sangkuni yang telah banyak
membantunya dalam membujuk Adipati Dretarastra, sehingga mengizinkan para pangeran
menyerang Kerajaan Pancala. Patih Sangkuni menjelaskan bahwa dirinya juga menyimpan
dendam kepada Arya Gandamana. Karena mereka memiliki musuh yang sama, Patih
Sangkuni pun mengajak Resi Druna untuk menjalin persahabatan. Mulai hari ini ia akan
memanggil Resi Druna dengan sebutan “kakang”, supaya lebih akrab.
Patih Sangkuni mengajak Resi Druna untuk membantu melancarkan jalan bagi Raden
Suyudana agar berhasil menjadi pangeran mahkota. Jika hal itu bisa terjadi, maka Resi
Druna pasti akan hidup lebih sejahtera dan bergelimang kekayaan. Resi Druna menjawab
bahwa cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam kepada Prabu Drupada dan Arya
Gandamana. Soal nanti menjadi orang kaya atau tidak, bukan masalah baginya. Lagipula
ia sangat segan terhadap Resiwara Bisma yang lebih mendukung para Pandawa.
Patih Sangkuni mempersilakan Resi Druna jika ingin hidup biasa-biasa saja, tapi
bagaimana dengan putranya yang bernama Bambang Aswatama? Patih Sangkuni pun
bercerita, bahwa Raden Suyudana berteman baik dengan Bambang Aswatama sejak masih
belajar di Padepokan Sokalima. Pernah suatu hari Bambang Aswatama berkata bahwa
dirinya ingin bekerja sebagai pejabat istana dan hidup lebih sejahtera. Oleh sebab itu, Patih
Sangkuni baru saja mengangkat Bambang Aswatama sebagai juru tulis di tempat
tinggalnya, yaitu Kepatihan Plasajenar, dan ini pun telah mendapat persetujuan Adipati
Dretarastra.
Resi Druna sangat senang karena Patih Sangkuni telah memberikan jalan kemuliaan
bagi putranya. Ia berterima kasih dan bersedia menjalin persahabatan dengan sang patih.
Keduanya lalu bersalaman, kemudian Resi Druna mohon pamit untuk mempersiapkan
segala keperluan sebelum berangkat menyerang Kerajaan Pancala.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah Resi Druna pergi, Raden Suyudana datang mendekati Patih Sangkuni. Ia
bertanya mengapa tadi di dalam istana, sang paman ikut mendukung Resi Druna yang
melarang Raden Suryaputra untuk pergi berperang di pihak Kurawa. Patih Sangkuni
menjawab bahwa dirinya harus bisa mengambil simpati Resi Druna. Apabila Raden
Suyudana bersikeras mengajak sahabatnya itu, maka Resi Druna pasti merasa tidak
senang. Untuk itu, Patih Sangkuni pun berusaha mendukungnya, dengan maksud agar Resi
Druna menjadi sekutu para Kurawa. Untuk bisa menjadi raja Hastina, Raden Suyudana
harus bisa bersekutu dengan Resi Druna, dan tidak cukup hanya mengandalkan Raden
Suryaputra saja.
Raden Suyudana dapat memahami siasat Patih Sangkuni. Ia berterima kasih telah
diingatkan dan mohon pamit berangkat menuju Kerajaan Pancala. Patih Sangkuni merestui
semoga pihak Kurawa mendapat kemenangan.

PRABU DRUPADA DAN ARYA GANDAMANA MENANGKAP PARA KURAWA


Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala telah menerima surat
tantangan dari Resi Druna. Mereka pun berangkat menuju perbatasan dengan dikawal Patih
Drestaketu dan pasukan Pancala untuk menghadang serangan tersebut.
Sementara itu, Resi Druna dan murid-muridnya telah bersiaga di perbatasan Kerajaan
Hastina dan Pancala. Resi Druna yang telah bersahabat dengan Patih Sangkuni kini
mencari cara agar Raden Suyudana bisa memenangkan perlombaan. Ia pun membagi
pertempuran menjadi dua babak. Para Kurawa diperintahkan untuk maju lebih dulu
menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Jika para Kurawa gagal, barulah para
Pandawa maju di babak kedua.
Raden Bratasena tidak setuju karena pertempuran dua babak sama artinya dengan
menempatkan para Pandawa sebagai pemain cadangan saja. Jika para Kurawa berhasil
mengalahkan musuh dalam babak pertama, maka hilang sudah kesempatan para Pandawa
untuk berlaga. Akan tetapi, Raden Puntadewa dengan penuh percaya diri mempersilakan
para Kurawa maju lebih dulu. Karena sang kakak sulung sudah memutuskan demikian,
Raden Bratasena dan yang lainnya pun mematuhi tanpa membantah lagi.
Demikianlah, Raden Suyudana dan adik-adiknya mendapat kesempatan pertama
untuk menggempur barisan Pancala yang sudah bersiaga. Pertempuran pun meletus di
antara mereka. Banyak prajurit Pancala yang tewas menjadi korban amukan para Kurawa.
Namun, tidak sedikit pula para Kurawa yang tertangkap oleh Arya Gandamana. Prabu
Drupada sendiri telah memerintahkan jangan sampai ada pangeran Hastina yang terbunuh,
cukup ditangkap hidup-hidup saja.
Raden Suyudana melihat satu persatu adiknya telah tertangkap oleh Arya Gandamana
yang perkasa. Ia sendiri bertarung melawan Prabu Drupada. Meskipun tubuhnya lebih
gagah, tetapi Raden Suyudana masih kalah pengalaman jika dibandingkan dengan sang
raja Pancala. Apalagi pikirannya sedang terpecah karena cemas melihat adik-adiknya
tertangkap. Akhirnya ia pun lengah dan terkena pukulan Prabu Drupada. Patih Drestaketu
segera maju dan mengikat tubuh Raden Suyudana.

PARA PANDAWA MENEMUI PRABU DRUPADA DAN ARYA GANDAMANA


Resi Druna kecewa melihat para Kurawa telah gagal. Ia lalu memerintahkan para
Pandawa untuk maju menghadapi pihak Pancala. Para Pandawa pun mohon restu
kemudian berangkat menjalankan tugas.
Raden Puntadewa dan adik-adiknya berjalan kaki menemui Prabu Drupada dan Arya
Gandamana. Mereka berlima menyembah hormat dan memanggil “paman” kepada kedua
KITAB WAYANG PURWA

orang itu. Prabu Drupada dan Arya Gandamana yang sangat menghormati mendiang Prabu
Pandu tak kuasa menahan haru. Mereka pun memeluk para Pandawa satu persatu
bagaikan anak sendiri.
Raden Puntadewa menjelaskan bahwa kedatangan mereka kali ini sungguh
serbasalah. Di satu sisi para Pandawa sangat menghormati Prabu Pandu dan Arya
Gandamana yang merupakan sahabat baik ayah mereka, namun di sisi lain mereka tidak
mampu menolak perintah guru. Raden Puntadewa tidak tahu harus berbuat bagaimana,
apakah tetap maju menghadapi orang tua sendiri, ataukah mundur tanpa melakukan
perlawanan.
Prabu Drupada menasihati para Pandawa bahwa guru adalah orang tua kedua.
Perintah guru sama nilainya dengan perintah orang tua. Prabu Drupada dan Arya
Gandamana pun menyatakan siap jika harus berperang melawan para Pandawa. Dalam
pertempuran nanti tidak ada paman, tidak ada keponakan, yang ada hanyalah mana lawan,
mana kawan. Para Pandawa harus menjalankan darma sebagai murid yang berbakti, dan
itu pasti akan membuat ayah mereka bangga di alam baka.

PRABU DRUPADA MENYERAH KALAH TERHADAP PARA PANDAWA


Para Pandawa menerima nasihat Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Raden
Puntadewa lalu berkata bahwa pertempuran ini terjadi karena dendam Resi Druna terhadap
Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Untuk menghindari jatuh korban lebih banyak,
sebaiknya Patih Drestaketu dan para prajurit Pancala tidak perlu melibatkan diri. Cukup
Prabu Drupada dan Arya Gandamana saja yang bertanding melawan dua dari lima
Pandawa. Prabu Drupada setuju dan memuji kebijaksanaan Raden Puntadewa. Ia pun
memerintahkan Patih Drestaketu dan para prajurit untuk menonton di belakang saja.
Raden Bratasena dan Raden Permadi meminta izin kepada Raden Puntadewa untuk
maju lebih dulu menghadapi Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Jika mereka nanti kalah,
barulah sang kakak sulung yang maju untuk bertanding. Raden Puntadewa berkata bahwa
Pandawa Lima adalah satu kesatuan. Jika Raden Bratasena dan Raden Permadi kalah,
maka dirinya akan ikut mengaku kalah pula.
Setelah mendapat restu dari sang kakak, Raden Bratasena dan Raden Permadi pun
maju ke depan. Prabu Drupada menasihati kedua keponakannya itu agar bertanding
dengan sungguh-sungguh, jangan ada rasa segan sama sekali, karena ia dan Arya
Gandamana pun tidak akan bersikap segan pada mereka. Untuk sementara lupakan
hubungan persaudaraan, dan anggaplah ini pertarungan antara musuh bebuyutan.
Pertandingan pun dimulai. Raden Bratasena menghadapi Arya Gandamana,
sedangkan Raden Permadi menghadapi Prabu Drupada. Kedua pertarungan itu
berlangsung seru dan menegangkan. Setelah matahari condong ke arah barat barulah
Prabu Drupada dapat dipukul jatuh oleh Raden Permadi. Ia pun menyatakan kalah dan
bersedia dihadapkan kepada Resi Druna.
Sementara itu, Arya Gandamana dan Raden Bratasena masih bertarung imbang, tidak
ada yang menang ataupun kalah. Karena melihat Prabu Drupada telah mengaku kalah,
Arya Gandamana pun menghentikan pertandingan dan ikut mengaku kalah.
Prabu Drupada memerintahkan Patih Drestaketu untuk membebaskan para Kurawa.
Ia lalu menyerahkan diri kepada Raden Puntadewa agar diikat sebagai bukti kemenangan
para Pandawa. Raden Puntadewa menolak, namun Prabu Drupada terus memaksa. Mau
tidak mau, Raden Puntadewa pun mengikat tangan Prabu Drupada dan juga tangan Arya
Gandamana menggunakan selendang.
KITAB WAYANG PURWA

RESI DRUNA MENGAMBIL SETENGAH WILAYAH KERAJAAN PANCALA


Resi Druna sangat gembira melihat para Pandawa berhasil membawa Prabu Drupada
dan Arya Gandamana dalam keadaan terikat. Di belakang mereka tampak para Kurawa
berjalan dengan wajah tertunduk malu. Resi Druna lalu memerintahkan para Pandawa agar
Prabu Drupada dan Arya Gandamana digiring ke istana Pancala.
Sesampainya di istana Pancala, Resi Druna segera duduk di atas takhta dengan sikap
angkuh. Ia memerintahkan agar ikatan Prabu Drupada dan Arya Gandamana dibuka. Arya
Gandamana ingin maju menghajar Resi Druna, tapi dicegah Prabu Drupada.
Bagaimanapun juga mereka telah mengaku kalah sehingga tidak pantas jika menjilat ludah
sendiri.
Resi Druna bercerita kepada murid-muridnya bahwa sejak kecil dirinya dan Prabu
Drupada diasuh dan dididik oleh Resi Baradwaja di negeri Atasangin. Saat itu Resi Druna
masih bernama Bambang Kumbayana, sedangkan Prabu Drupada masih bernama Raden
Sucitra. Mereka berdua bersahabat bagaikan saudara kandung yang selalu bersama dan
selalu berbagi. Mereka tidur di tikar yang sama, makan pun menggunakan piring yang sama.
Pada suatu hari Raden Sucitra pamit pergi ke Tanah Jawa untuk mendapatkan
kembali haknya sebagai putra Prabu Drupara raja Duhyapura. Konon setelah Kerajaan
Duhyapura runtuh diserang Prabu Bahlika raja Siwandapura, seluruh harta pusaka dapat
diselamatkan oleh Patih Suganda. Kemudian Patih Suganda membangun Kerajaan
Pancala dan menjadi raja, bergelar Prabu Gandabayu. Berkat bantuan Prabu Pandu, Raden
Sucitra berhasil menjadi menantu Prabu Gandabayu, sekaligus menjadi raja Pancala yang
selanjutnya, bergelar Prabu Drupada.
Belasan tahun kemudian, Bambang Kumbayana menyusul ke Tanah Jawa untuk
mencari Raden Sucitra. Sungguh bahagia perasaan Bambang Kumbayana melihat
sahabatnya telah duduk di atas takhta sebagai raja. Ia teringat bahwa sebelum berangkat
mengembara, Raden Sucitra pernah berjanji akan membagi dua setiap kemuliaan yang
berhasil didapatkannya. Namun demikian, Bambang Kumbayana mengaku tidak ingin
menagih janji itu, melainkan hanya meminta hadiah seekor sapi perah saja untuk anaknya
yang bernama Bambang Aswatama.
Akan tetapi, Prabu Drupada dengan angkuh menyuruh Bambang Kumbayana pulang
dan dirinya sanggup memberikan sedekah berupa seratus ekor sapi. Hal ini membuat
Bambang Kumbayana tersinggung. Ia datang untuk meminta hadiah, bukan meminta
sedekah. Ia pun memaki Prabu Drupada sebagai sahabat yang tidak tahu diri, melupakan
perjanjian di masa lampau. Arya Gandamana yang tidak tahu-menahu duduk persoalannya
tiba-tiba saja menyerang Bambang Kumbayana dan membuatnya menjadi buruk rupa.
Demikianlah, Resi Druna bercerita tentang awal mula permusuhannya dengan Prabu
Drupada dan Arya Gandamana. Itu semua terjadi karena Prabu Drupada mengingkari janji
yang pernah diucapkannya sendiri. Hari ini Resi Druna telah mewujudkan sumpahnya, yaitu
memiliki murid yang bisa mengalahkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Tidak hanya
itu, ia juga berhasil merebut takhta Kerajaan Pancala.
Namun demikian, Resi Druna mengaku tidak akan pernah lupa terhadap janji lama.
Oleh sebab itu, dengan sikap angkuh ia memberikan setengah dari wilayah Kerajaan
Pancala kepada Prabu Drupada. Mulai hari ini, Prabu Drupada dan keluarganya tidak boleh
lagi tinggal di istana Pancala yang terletak di utara, tetapi harus pindah ke bagian selatan.
Prabu Drupada merasa sangat terhina, tetapi sebagai pihak yang kalah ia hanya bisa
menerima nasib. Ia lalu pergi meninggalkan istana Pancala bersama istrinya, yaitu Dewi
Gandawati, serta Arya Gandamana dan Patih Drestaketu.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU DRUPADA MEMBANGUN KERAJAAN CEMPALAREJA


Demikianlah, mulai hari itu Kerajaan Pancala terbagi menjadi dua. Resi Druna
berkuasa di bagian utara, namun ia tidak mau tinggal di istana dan merasa lebih nyaman
hidup di Padepokan Sokalima. Sementara itu, Prabu Drupada berkuasa di bagian selatan,
dan membangun istana baru di Desa Cempala. Sejak saat itu, Kerajaan Pancala Selatan
dikenal pula dengan sebutan Kerajaan Cempalareja.
Sejak peristiwa kekalahannya, Prabu Drupada selalu dirundung duka. Ia menyesal
tidak mampu menjaga warisan sang mertua dengan baik, sehingga setengah dari wilayah
Kerajaan Pancala kini menjadi milik Resi Druna. Ia juga merasa iri melihat Resi Druna
memiliki seorang putra dan seratus lima murid, yang semuanya patuh dan tunduk terhadap
perintahnya. Sementara itu, ia sendiri tidak memiliki anak sama sekali karena Dewi
Gandawati mandul.
Dewi Gandawati yang mengetahui kesedihan sang suami mengaku rela jika Prabu
Drupada menikah lagi. Namun, Prabu Drupada menolak karena tidak ingin menduakan
cintanya kepada istrinya itu. Ia lalu memutuskan untuk pergi bertapa saja, agar bisa memiliki
putra yang bisa membalaskan sakit hatinya kepada Resi Druna, tanpa harus menikah lagi.

KELAHIRAN DEWI DRUPADI, DEWI SRIKANDI, DAN RADEN DRESTAJUMENA


Prabu Drupada pun mulai bertapa di Hutan Jatirokeh dengan ditemani Patih
Drestaketu. Untuk sementara, pemerintahan di istana diwakili oleh Arya Gandamana.
Setelah empat puluh hari bersamadi, tiba-tiba datang dua orang pendeta kembar
membangunkan Prabu Drupada. Kedua pendeta itu bernama Resi Yodya dan Resi
Upayodya.
Prabu Drupada memberi hormat kepada mereka. Kedua pendeta kembar itu mengaku
telah mendapat petunjuk dari Batara Guru agar membantu Prabu Drupada mendapatkan
keturunan. Prabu Drupada merasa senang dan berterima kasih atas hal ini.
Resi Yodya dan Resi Upayodya lalu mengadakan sesaji api. Mereka duduk bersila
membaca mantra sambil menghadap api unggun yang menyala berkobar-kobar. Api
unggun itu kemudian menyerap saripati benih dari tubuh Prabu Drupada. Atas izin Yang
Mahakuasa, tiba-tiba dari dalam kobaran api muncul seorang gadis cantik berusia sekitar
dua puluh tahun.
Prabu Drupada menyambut gadis cantik itu yang tidak lain berasal dari saripati
benihnya sendiri. Ia pun memberikan nama yang mirip dengan dirinya, yaitu Dewi Drupadi.
Namun demikian, ia masih belum puas jika hanya memiliki seorang putri saja. Ia pun
meminta Resi Yodya dan Resi Upayodya agar melanjutkan sesaji.
Kedua resi itu kembali membaca mantra. Api unggun pun berkobar lagi dan menyerap
saripati benih Prabu Drupada. Tidak lama kemudian muncul seorang gadis berusia sekitar
delapan belas tahun yang keluar dari dalam kobaran api. Resi Yodya menjelaskan bahwa
putri yang kedua ini bersifat seperti laki-laki dan kelak akan menjadi seorang perwira
tangguh.
Prabu Drupada menerima gadis itu sebagai putri keduanya. Karena ia bersifat “kandi”,
maka gadis itu pun diberi nama Dewi Srikandi. Namun demikian, Prabu Drupada masih
belum puas. Ia ingin memiliki anak lagi yang benar-benar laki-laki, bukannya wanita yang
bersifat kelaki-lakian.
Resi Yodya dan Resi Upayodya kembali membaca mantra. Api unggun pun berkobar
lagi dan menyerap saripati benih Prabu Drupada. Kali ini dari dalam kobaran api keluar
seorang pemuda tampan berusia sekitar enam belas tahun.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Drupada sangat senang karena akhirnya bisa memiliki seorang anak laki-laki.
Ia pun memberi nama putranya itu Raden Drestajumena, sebagai penghormatan untuk
Patih Drestaketu yang selama ini setia melayani dan menjaga dirinya bertapa.
Demikianlah, Resi Yodya dan Resi Upayodya lalu mohon pamit kepada Prabu
Drupada. Dalam sekejap mereka berdua pun menghilang dalam lebatnya hutan.

RADEN DRESTAJUMENA MENJADI MURID RESI DRUNA


Prabu Drupada dan keluarga barunya telah kembali ke istana Pancala. Dewi
Gandawati dan Arya Gandamana menyambut kedatangan mereka dengan perasaan haru
dan bahagia. Hari itu Arya Gandamana ingin meminta izin kepada Prabu Drupada untuk
membalas dendam kepada Resi Druna. Namun, Prabu Drupada melarangnya pergi. Ia
menjelaskan bahwa Resi Druna telah mempermalukan dirinya menggunakan para murid,
maka ia akan membalas dendam dengan cara yang sama.
Untuk itu, Prabu Drupada pun berniat menjadikan Raden Drestajumena sebagai murid
Resi Druna. Kelak, setelah Raden Drestajumena pandai, Prabu Drupada akan menjadikan
putra bungsunya itu sebagai musuh Resi Druna. Dengan demikian, Resi Druna akan
mengalami penghinaan karena dikalahkan oleh muridnya sendiri.
Demikianlah, Prabu Drupada lalu mengantarkan Raden Drestajumena ke Padepokan
Sokalima. Resi Druna menyambut kedatangan mereka dengan perasaan gembira. Prabu
Drupada pura-pura mengajak Resi Druna kembali bersahabat seperti dulu lagi. Resi Druna
sangat senang dan berangkulan dengan Prabu Drupada.
Karena hubungan mereka sudah kembali baik, Prabu Drupada pun meminta Resi
Druna agar bersedia menerima putranya yang bernama Raden Drestajumena sebagai
murid. Resi Druna mengabulkan permintaan itu dengan senang hati. Lagipula Adipati
Dretarastra sudah mengizinkan Padepokan Sokalima menjadi tempat pendidikan umum,
yaitu Resi Druna boleh menerima murid lain setelah para Pandawa dan Kurawa lulus.
Namun demikian, Adipati Dretarastra mengajukan syarat bahwa semua murid Padepokan
Sokalima harus bersedia menjadi sekutu Kerajaan Hastina.
Prabu Drupada menyatakan setuju. Ia berjanji bahwa Kerajaan Pancala Selatan
bersedia menjadi sekutu Kerajaan Hastina seperti dulu lagi. Akan tetapi, apabila kelak
terjadi sebuah peristiwa yang menghina wibawa Pancala, maka persekutuan ini dinyatakan
batal. Resi Druna setuju. Maka, sejak hari itu Raden Drestajumena pun resmi menjadi murid
Resi Druna.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah para Pandawa dan Kurawa menyerang Kerajaan Pancala ini menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 690 yang
ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning barakan”, atau tahun Candrasengkala 711 yang
ditandai dengan sengkalan “Rupa janma saswareng wiyat”.
KITAB WAYANG PURWA

BALE SIGALA-GALA
Kisah ini menceritakan Prabu Jalasengara raja Pringgala menyerang Kerajaan Hastina,
yang dilanjutkan dengan peristiwa pembakaran Balai Sigala-gala yang dilakukan Patih
Sangkuni dan para Kurawa untuk membunuh para Pandawa dan Dewi Kunti.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan
dengan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 21 Agustus 2016
Heri Purwanto

Raden Bratasena dan Raden Puntadewa

RADEN PUNTADEWA DILANTIK SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA


Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh
Resiwara Bisma, Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi
Krepa. Hari itu mereka membahas tentang keberhasilan para Pandawa dalam menangkap
Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala. Kini, setengah dari wilayah
Kerajaan Pancala telah menjadi milik Resi Druna yang disatukan dengan Padepokan
Sokalima. Sementara itu, Prabu Drupada pindah ke Pancala bagian selatan dan mendirikan
negara baru bernama Kerajaan Cempalareja.
Sesuai dengan kesepakatan di awal, barangsiapa bisa menangkap Prabu Drupada
dan Arya Gandamana, berhak menjadi ahli waris takhta Kerajaan Hastina. Maka, pada hari
itu Adipati Dretarastra dengan berat hati melantik Raden Puntadewa sebagai pangeran
mahkota. Dalam hati ia sangat kecewa karena bukan putra-putranya yang berhasil
menaklukkan Kerajaan Pancala.

PRABU JALASENGARA MENANTANG RAJA HASTINA


Setelah upacara pelantikan selesai, tiba-tiba Raden Suyudana datang menghadap
untuk menyampaikan surat yang dikirim Prabu Jalasengara, raja negeri Pringgala. Raden
Yamawidura mewakili Adipati Dretarastra menerima surat itu dan membaca isinya yang
KITAB WAYANG PURWA

ternyata berisi tantangan untuk raja Hastina. Dalam surat tersebut Prabu Jalasengara ingin
menjadikan Hastina sebagai negeri jajahan Pringgala, baik itu secara damai ataupun
dipaksa dengan cara kekerasan.
Adipati Dretarastra marah mendengar isi surat tersebut. Ia pun memerintahkan Patih
Sangkuni untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi musuh dari Kerajaan Pringgala
tersebut. Raden Suyudana mengajukan diri sebagai senapati demi melindungi negara.
Namun, Patih Sangkuni mengusulkan agar Raden Puntadewa saja yang memimpin
pertempuran. Tentu ini menjadi kesempatan baginya sebagai calon raja untuk membuktikan
apakah mampu melindungi Kerajaan Hastina.
Raden Yamawidura melarang Raden Puntadewa pergi berperang karena ia paham
Patih Sangkuni pasti berniat mencelakakan keponakannya itu. Namun, Patih Sangkuni
menuduh Raden Yamawidura berburuk sangka kepadanya. Ia berpendapat bahwa seorang
calon raja harus bisa melindungi negara dari ancaman musuh, bukannya malah enak-
enakan tinggal di istana minta dilindungi.
Raden Yamawidura berkata bahwa Raden Puntadewa tidak perlu membuktikan diri
lagi, karena dia sudah terbukti mampu menaklukkan Kerajaan Pancala beberapa waktu
yang lalu. Patih Sangkuni menjawab memang benar Raden Puntadewa berhasil
menaklukkan Kerajaan Pancala, tetapi yang ia pimpin saat itu hanyalah adik-adiknya yang
berjumlah empat orang saja. Kali ini jelas beda, karena ia harus membuktikan diri apakah
mampu memimpin bala tentara yang berjumlah ribuan orang.
Raden Puntadewa menyetujui pendapat Patih Sangkuni. Ia lalu meminta Adipati
Dretarastra agar menunjuk dirinya sebagai senapati menghadapi Prabu Jalasengara.
Adipati Dretarastra setuju. Raden Puntadewa pun diangkat sebagai senapati, sedangkan
Raden Suyudana sebagai wakilnya. Setelah mendapat restu, mereka berdua segera keluar
mempersiapkan pasukan.

PATIH SANGKUNI MERENCANAKAN KEMATIAN PARA PANDAWA


Setelah Adipati Dretarastra membubarkan pertemuan, Patih Sangkuni didampingi
Bambang Aswatama (putra Resi Druna) menemui para Kurawa yang menunggu di paseban
luar. Raden Suyudana bertanya mengapa tadi Patih Sangkuni mencegah dirinya menjadi
senapati, tetapi justru mengusulkan Raden Puntadewa saja yang memimpin pasukan.
Bukankah ini justru memberi peluang kepada para Pandawa untuk semakin disukai rakyat
apabila mereka nanti berhasil memenangkan pertempuran?
Patih Sangkuni menjelaskan bahwa mata-matanya telah menyelidiki siapa itu Prabu
Jalasengara dari Pringgala. Konon Prabu Jalasengara memiliki kesaktian tinggi dan banyak
mengalahkan raja-raja lain di seberang lautan. Kini ia berniat menaklukkan Kerajaan
Hastina yang merupakan negeri terbesar di Tanah Jawa. Patih Sangkuni merasa ini adalah
kesempatan untuk menyingkirkan Raden Puntadewa beserta para Pandawa lainnya.
Mereka berlima pasti menemui ajal di tangan Prabu Jalasengara. Dengan demikian, Raden
Suyudana memiliki peluang besar untuk dilantik sebagai pangeran mahkota yang baru.
Raden Durmagati tidak yakin para Pandawa akan binasa di tangan Prabu
Jalasengara. Justru ia berpendapat raja Pringgala itulah yang akan tewas di Kerajaan
Hastina. Patih Sangkuni menjawab bahwa itu hanyalah rencana pertamanya saja. Jika
sampai para Pandawa berhasil mengalahkan Prabu Jalasengara, ia mengaku masih
memiliki rencana kedua yang saat ini belum bisa dibicarakan.
Raden Suyudana dapat menerima penjelasan sang paman. Ia lalu memerintahkan
adik-adiknya, yaitu Raden Dursasana, Raden Surtayu, Raden Durmagati, Raden
KITAB WAYANG PURWA

Kartawarma, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi untuk menyiagakan pasukan, pura-pura
berada di bawah perintah Raden Puntadewa.

PARA PANDAWA MENUMPAS PASUKAN PRINGGALA


Sementara itu, Prabu Jalasengara telah mengerahkan pasukan Pringgala untuk
menyerang, dengan didampingi Patih Purotama dan Tumenggung Purocana. Tidak lama
kemudian mereka pun berhadapan dengan pasukan Hastina yang dipimpin oleh Raden
Puntadewa.
Raden Bratasena (Bima) dan Raden Permadi (Arjuna) meminta izin kepada Raden
Puntadewa untuk maju ke garis depan. Raden Puntadewa merestui kedua adiknya itu.
Raden Bratasena lalu menyerang Prabu Jalasengara, sedangkan Raden Permadi
menyerang Patih Purotama.
Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Raden Permadi berhasil
menewaskan Patih Purotama, sedangkan Raden Bratasena masih sibuk bertarung
melawan Prabu Jalasengara. Ternyata Prabu Jalasengara memang memiliki kesaktian
tinggi, sehingga tidak percuma ia berani menantang Kerajaan Hastina. Setelah matahari
condong ke barat, barulah Raden Bratasena berhasil membunuh raja dari Pringgala
tersebut dengan susah payah.

PATIH SANGKUNI BERENCANA MEMBAKAR PARA PANDAWA


Sementara itu, Tumenggung Purocana ketakutan melihat raja dan patihnya tewas. Ia
berniat melarikan diri tetapi tertangkap oleh Raden Suyudana dan Raden Dursasana.
Kepada kedua Kurawa itu ia memohon ampun dan meminta agar dirinya jangan dibunuh.
Patih Sangkuni muncul dan bertanya apa keuntungannya jika Tumenggung Purocana
diampuni. Tumenggung Purocana menjawab bahwa dirinya ahli dalam membuat bangunan
istana dari bahan apa saja. Ia berjanji akan membangun sebuah istana dari emas permata
untuk Raden Suyudana.
Patih Sangkuni tidak tertarik pada istana emas permata. Ia berjanji akan mengampuni
Tumenggung Purocana apabila mampu membangun sebuah istana dari bahan-bahan yang
mudah terbakar di daerah Waranawata, sebelah selatan ibukota Kerajaan Hastina.
Tumenggung Purocana menjawab sanggup dan segera mohon pamit untuk melaksanakan
tugas tersebut, di bawah pengawasan Raden Dursasana.
Patih Sangkuni lalu berkata kepada Raden Suyudana agar mulai hari ini pura-pura
bersikap baik kepada Raden Puntadewa. Atas kemenangan terhadap Prabu Jalasengara
tadi, Raden Suyudana hendaknya menghadiahkan istana buatan Tumenggung Purocana
kepada para Pandawa. Begitu menghuni istana tersebut, para Pandawa akan dibakar
hidup-hidup di dalamnya seolah mereka mati kecelakaan. Dengan demikian, para Kurawa
dapat berkuasa di Kerajaan Hastina tanpa harus dipersalahkan oleh Resiwara Bisma dan
Raden Yamawidura.
Raden Suyudana bertanya bagaimana dengan Dewi Kunti yang selalu menemani
anak-anaknya. Apabila para Pandawa dibakar di dalam istana Waranawata, bisa-bisa Dewi
Kunti juga ikut terbakar. Dalam hal ini Raden Suyudana merasa tidak tega karena Dewi
Kunti selalu menyayangi para Kurawa tidak beda dengan para Pandawa. Patih Sangkuni
menjawab Dewi Kunti memang sangat baik dan welas asih. Untuk itu, lebih baik dia ikut
mati bersama para Pandawa daripada hidup menderita karena berpisah dengan anak-
anaknya. Jika sampai Dewi Kunti hidup sendiri tentu akan sangat menderita dan bisa-bisa
menyusul bunuh diri.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Suyudana akhirnya dapat menerima siasat sang paman yang keji itu. Ia pun
berjanji akan menyimpan rapat-rapat rahasia ini sampai kelak waktunya tiba.

RADEN SUYUDANA MEMPERSEMBAHKAN ISTANA UNTUK PARA PANDAWA


Satu bulan kemudian Raden Dursasana mengirim laporan kepada Patih Sangkuni dan
Raden Suyudana bahwa Tumenggung Purocana telah selesai membangun istana di
Waranawata. Istana itu terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar, antara lain kayu
kering, lilin, sendawa, damarsela, belerang, dan juga minyak gala-gala. Tumenggung
Purocana menyebut istana buatannya itu dengan nama Balai Sigala-gala.
Patih Sangkuni memuji kehebatan Tumenggung Purocana yang mampu
menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Ia pun membalas laporan Raden
Dursasana agar Tumenggung Purocana tetap ditahan di Waranawata jangan boleh pergi
dulu. Patih Sangkuni berjanji akan memberikan hadiah yang lebih besar setelah para
Pandawa tewas.
Patih Sangkuni lalu memberi tahu Raden Suyudana bahwa rencana jahatnya sudah
bisa dilaksanakan. Raden Suyudana segera berangkat menemui Raden Puntadewa.
Setelah bertemu sepupunya itu, Raden Suyudana pura-pura meminta maaf karena selama
ini para Kurawa sering berlaku jahat kepada para Pandawa. Kini ia sadar bahwa takhta
Kerajaan Hastina memang hak milik Raden Puntadewa. Ia berjanji mulai hari ini semua
Kurawa akan patuh terhadap perintah Raden Puntadewa. Sebagai bukti ketulusan hatinya,
Raden Suyudana pun mempersembahkan sebuah istana indah di Waranawata sebagai
tempat para Pandawa dan Dewi Kunti bertamasya.
Raden Puntadewa berterima kasih atas niat baik Raden Suyudana namun ia tidak
dapat menerima pemberian istana tersebut. Raden Suyudana terus mendesak dengan
mengatakan bahwa pemandangan di Kota Waranawata sangat indah. Para Pandawa sudah
berjasa menaklukkan Prabu Drupada, Arya Gandamana, dan Prabu Jalasengara sehingga
pantas mendapatkan libur beberapa hari untuk bertamasya dan beristirahat di istana
Waranawata. Jika sampai Raden Puntadewa menolak pemberian ini maka itu akan sangat
mengecewakan Raden Suyudana yang sudah berniat tulus ingin memperbaiki hubungan.
Raden Puntadewa yang pada dasarnya selalu berprasangka baik akhirnya menerima
pemberian istana itu tanpa curiga sedikit pun. Ia bersedia menempati istana di Waranawata
tersebut dan balik mengundang Raden Suyudana untuk ikut tamasya bersama. Raden
Suyudana setuju dan menentukan pada bulan purnama nanti dirinya akan menemani para
Pandawa dan Dewi Kunti pergi ke Waranawata.

RADEN PUNTADEWA MENANGKAP PESAN RAHASIA DARI RADEN YAMAWIDURA


Raden Yamawidura telah mendengar berita bahwa Raden Suyudana tiba-tiba berubah
baik kepada para Pandawa dan mempersembahkan hadiah berupa istana di Waranawata.
Karena curiga, ia pun mengirimkan pembantunya yang bernama Arya Jayasemedi untuk
tugas rahasia menyelidiki istana tersebut. Setelah mengamati dengan seksama tanpa
ketahuan, Arya Jayasemedi segera mengirim laporan kepada Raden Yamawidura bahwa
istana di Waranawata itu terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Raden Yamawidura menyimpulkan bahwa Raden Suyudana berniat membakar para
Pandawa dan Dewi Kunti. Sayang sekali, Raden Puntadewa sudah terlanjur menerima
hadiah tersebut, sehingga Raden Yamawidura tidak dapat membatalkannya. Namun
demikian, pada hari ketika para Pandawa dan Dewi Kunti berpamitan kepada Adipati
Dretarastra sekeluarga, Raden Yamawidura sempat menyampaikan pesan rahasia, yaitu
tentang hewan tikus yang mampu menyelamatkan diri dengan memasuki lorong bawah
KITAB WAYANG PURWA

tanah apabila terjadi kebakaran rumah. Para Pandawa tidak memahami maksud perkataan
Raden Yamawidura itu, kecuali Raden Puntadewa. Diam-diam Raden Puntadewa dapat
membaca pesan dari sang paman, bahwa para Kurawa berniat membakar istana
Waranawata.

RADEN YAMAWIDURA MEMINTA BANTUAN RESI GUNABANTALA


Setelah para Pandawa dan Dewi Kunti berangkat menuju Kota Waranawata, diam-
diam Raden Yamawidura pergi pula ditemani para panakawan menuju tempat tinggal
mertuanya, yaitu Resi Gunabantala di Padepokan Argakumelun. Kepada sang mertua,
Raden Yamawidura menceritakan tentang rencana para Kurawa yang ingin membakar para
Pandawa dan ibu mereka di istana Waranawata. Untuk itu, ia pun memohon kepada Resi
Gunabantala agar menyelamatkan para Pandawa dan Dewi Kunti sebagaimana dulu
mertuanya itu pernah menyelamatkan Arya Gandamana saat dijebak Arya Suman (Patih
Sangkuni) di dalam sumur upas.
Resi Gunabantala menyanggupi permintaan sang menantu. Ia pun mengheningkan
cipta dan seketika wujudnya berubah menjadi seekor landak putih. Dengan cekatan hewan
landak tersebut segera menggali terowongan bawah tanah menuju ke arah istana
Waranawata berada.

TUMENGGUNG PUROCANA MENYEMBUNYIKAN JANDA BERANAK LIMA


Sementara itu di istana Waranawata, Tumenggung Purocana didatangi janda miskin
bernama Nyai Bilasa yang meminta sedekah. Janda miskin tersebut memiliki lima anak laki-
laki yang ikut mengemis bersamanya. Meskipun seorang gelandangan, namun Nyai Bilasa
memiliki paras cantik dan berkulit hitam manis, membuat Tumenggung Purocana tertarik
kepadanya.
Tumenggung Purocana pun berterus terang ingin menikahi Nyai Bilasa setelah dirinya
mendapat hadiah dari Patih Sangkuni kelak. Ia lalu menyuruh janda miskin itu bersama
kelima anaknya untuk bersembunyi di dapur istana. Mereka boleh makan dan minum
sepuasnya, tetapi jangan sampai ketahuan para Kurawa dan Patih Sangkuni. Nyai Bilasa
dengan senang hati bersedia menjadi istri Tumenggung Purocana. Dalam hati ia
membayangkan bahwa sebentar lagi derajatnya akan meningkat luar biasa, dari seorang
pengemis menjadi istri pejabat.

PATIH SANGKUNI MENGAJAK PARA PANDAWA BERPESTA


Para Pandawa dan Dewi Kunti ditemani Patih Sangkuni dan Raden Suyudana telah
tiba di istana Waranawata. Mereka disambut Raden Dursasana dan Tumenggung Purocana
yang telah berada di situ sejak awal pembangunan. Melihat keindahan istana yang dibangun
Tumenggung Purocana hanya dalam waktu satu bulan tersebut membuat mereka merasa
sangat takjub.
Malam harinya, Patih Sangkuni mengajak para Pandawa berpesta pora. Ia
menghadirkan para penari serta berbagai macam makanan dan minuman untuk menjamu
para Pandawa, sebagai hadiah atas kemenangan mereka menumpas Prabu Jalasengara.
Dewi Kunti tidak menyukai acara tersebut dan memilih masuk ke kamar dengan ditemani si
kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Patih Sangkuni lalu mengajak Raden Puntadewa bermain dadu untuk menikmati
indahnya malam. Raden Puntadewa mengaku tidak bisa sama sekali. Patih Sangkuni
sanggup mengajarinya. Pada dasarnya Raden Puntadewa sangat cerdas, sehingga hanya
belajar sebentar saja ia langsung paham.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni memulai permainan dadu sambil mengajak minum-minuman keras.


Raden Puntadewa bersedia bermain, namun memilih minuman jenis lain yang tidak
memabukkan. Raden Bratasena dan Raden Permadi juga demikian.
Demikianlah, Patih Sangkuni didampingi Raden Suyudana dan Raden Dursasana
bermain dadu melawan Raden Puntadewa yang didampingi Raden Bratasena dan Raden
Permadi. Mereka bermain sampai beberapa putaran sambil menikmati makanan dan
minuman. Setelah lewat tengah malam, para Pandawa belum juga mengantuk, justru Raden
Suyudana dan Raden Dursasana yang mulai mabuk akibat pengaruh minuman keras.
Patih Sangkuni gelisah karena rencana membakar istana Waranawata bisa gagal jika
para Pandawa tidak segera tidur. Raden Puntadewa menyadari kegelisahan Patih Sangkuni
itu. Ia pun pura-pura mengantuk. Merasa mendapat peluang, Patih Sangkuni segera
menyudahi permainan dan mempersilakan para Pandawa untuk beristirahat di kamar.

PEMBAKARAN BALAI SIGALA-GALA


Setelah ketiga Pandawa masuk ke kamar, Patih Sangkuni dengan susah payah
membangunkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Mereka bertiga lalu keluar istana
dan memulai pembakaran. Pada dasarnya istana Waranawata terbuat dari bahan-bahan
yang mudah terbakar, sehingga dalam sekejap saja api sudah membumbung tinggi dan
berkobar menyala-nyala.
Tumenggung Purocana datang menemui Patih Sangkuni untuk menagih bayaran.
Patih Sangkuni menjawab bahwa bayaran Tumenggung Purocana ada di dalam istana. Ia
lalu memberi isyarat kepada Raden Dursasana. Tanpa ampun, Raden Dursasana pun
menangkap Tumenggung Purocana, kemudian melemparkan tubuhnya ke dalam kobaran
api.
Demikianlah, Patih Sangkuni telah melenyapkan saksi mata pembakaran Balai Sigala-
Gala seolah-olah dia ikut mati terbakar bersama para Pandawa dan Dewi Kunti.

LANDAK PUTIH MENYELAMATKAN PARA PANDAWA DAN DEWI KUNTI


Ketika masuk ke dalam kamar tadi, Raden Puntadewa segera membangunkan Dewi
Kunti dan si kembar agar mereka bersiaga. Begitu kebakaran terjadi, Raden Bratasena yang
perkasa langsung menyambar ibu dan saudara-saudaranya untuk menyelamatkan diri.
Dewi Kunti dipangul di pundak, Raden Puntadewa dan Raden Permadi digendong
menggunakan lengan kanan, sedangkan si kembar digendong menggunakan lengan kiri.
Raden Bratasena lalu berlari ke sana kemari dan sesekali melompat menghindari puing-
puing bangunan yang berjatuhan karena dimakan api.
Api berkobar semakin besar. Si kembar mulai menangis ketakutan, sedangkan Raden
Puntadewa tetap berdoa dengan penuh keyakinan bahwa bantuan yang dikirim Raden
Yamawidura pasti segera datang. Benar juga, ketika jalan keluar sudah buntu dan hawa
semakin panas, tiba-tiba muncul seekor landak putih yang bisa berbicara dari dalam tanah.
Raden Bratasena teringat bahwa landak putih ini dulu pernah menolong Arya Gandamana
saat terkubur di dalam sumur upas. Tanpa pikir panjang ia pun mengikuti landak putih
tersebut terjun ke dalam terowongan bawah tanah sambil tetap menggendong ibu dan
keempat saudaranya.
Pagi harinya, Balai Sigala-gala tinggal puing-puingnya saja. Patih Sangkuni, Raden
Suyudana, dan Raden Dursasana menemukan mayat Tumenggung Purocana telah hangus
menjadi arang. Mereka juga menemukan mayat seorang wanita dan lima laki-laki yang telah
rusak dan tidak dapat dikenali lagi, berserakan di ruang dapur. Raden Suyudana dan Raden
Dursasana pun bersorak-sorak karena yakin itu adalah mayat Dewi Kunti dan para
KITAB WAYANG PURWA

Pandawa. Namun demikian, Patih Sangkuni menyuruh mereka pura-pura bersedih jika nanti
melapor kepada Adipati Dretarastra di istana. Mereka harus mengarang cerita bahwa
kebakaran ini terjadi akibat Raden Bratasena ceroboh menyenggol lampu minyak sehingga
jatuh dan membakar dinding istana.

DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA MENOLAK PULANG KE HASTINA


Sementara itu, Raden Bratasena (sambil menggendong ibu dan saudara-saudaranya)
masih berlari menelusuri terowongan bawah tanah mengikuti si landak putih. Setelah berlari
lumayan jauh, mereka akhirnya sampai di permukaan, di mana Raden Yamawidura dan
para panakawan telah menunggu.
Raden Yamawidura terharu dan bersyukur melihat kakak ipar dan para keponakannya
selamat dari kebakaran. Namun demikian, Dewi Kunti menolak saat diajak kembali ke
Kerajaan Hastina. Dewi Kunti adalah janda Prabu Pandu tetapi hidupnya dianiaya oleh
Adipati Dretarastra sekeluarga. Meskipun Raden Yamawidura berniat menuntut keadilan
untuk menghukum para Kurawa, tetap saja Adipati Dretarastra akan membela anak-
anaknya itu. Maka, Dewi Kunti lebih baik mengajak para Pandawa hidup berkelana daripada
tinggal di istana dengan perasaan tersiksa. Para Pandawa pun menyetujui keinginan sang
ibu. Mereka menolak ikut sang paman pulang ke istana Hastina.
Raden Yamawidura dapat memahami perasaan kakak iparnya. Ia merasa ada baiknya
para Pandawa pergi berkelana karena ini akan menambah pengalaman hidup bagi mereka.
Untuk sementara ini, biarlah para Kurawa berpesta pora mengira para Pandawa dan Dewi
Kunti telah meninggal dunia.
Dewi Kunti dan para Pandawa lalu berpamitan kepada Resi Gunabantala dan Raden
Yamawidura. Tidak lupa mereka berterima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan.
Raden Yamawidura lalu meminta Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong agar
menemani kepergian para Pandawa dan Dewi Kunti. Para panakawan itu mematuhi dan
ikut pergi berkelana bersama mereka.

PERKAWINAN RADEN BRATASENA DENGAN DEWI NAGAGINI


Dewi Kunti dan para Pandawa kini memulai hidup sebagai pengembara. Di tengah
jalan tiba-tiba mereka merasa dunia seperti berputar kencang dan tahu-tahu tubuh mereka
sudah berada di dalam sebuah istana megah. Di dalam istana itu tampak seorang dewa
yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Kyai Semar mengenali dewa tersebut tidak lain adalah Batara Anantaboga, sedangkan
istana megah yang menjadi tempat tinggalnya adalah Kahyangan Saptapratala. Batara
Anantaboga meminta maaf telah membawa mereka semua masuk ke dalam istananya yang
terletak di bawah tanah menggunakan Aji Pameling. Ini semua karena permintaan putrinya
yang bernama Dewi Nagagini. Tadi malam Dewi Nagagini bermimpi menikah dengan Raden
Bratasena dan ketika bangun, ia mohon pamit kepada sang ayah untuk pergi mencari
pangeran gagah tersebut. Namun, Batara Anantaboga melarang putrinya itu pergi dan ia
sanggup mendatangkan Raden Bratasena beserta seluruh keluarganya di Kahyangan
Saptapratala.
Melihat Dewi Nagagini yang cantik jelita ingin menjadi istrinya, Raden Bratasena
merasa tidak keberatan. Namun, ia segan kepada sang kakak sulung, yaitu Raden
Puntadewa jika dirinya menikah lebih dulu. Raden Puntadewa menjawab tidak masalah jika
Raden Bratasena mendahului dirinya berumah tangga. Kelahiran atau perjodohan sudah
menjadi suratan takdir Sang Pencipta. Seseorang yang lahir lebih dulu belum tentu bertemu
jodohnya lebih dulu. Jika ada seorang adik sudah dianggap mampu dan siap untuk berumah
KITAB WAYANG PURWA

tangga, maka sang kakak sebaiknya mendukung, bukannya menghalangi dengan berbagai
macam alasan.
Batara Anantaboga memuji sifat luhur Raden Puntadewa. Ia lalu menikahkan Raden
Bratasena dan Dewi Nagagini dengan upacara sederhana di Kahyangan Saptapratala.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Prabu Jalasengara menyerang Kerajaan Hastina, pembakaran Balai Sigala-gala, serta
perkawinan Raden Bratasena dengan Dewi Nagagini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan
sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai
dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.
KITAB WAYANG PURWA

BIMA BOTHOK
Kisah ini menceritakan pelantikan Raden Suyudana sebagai pangeran mahkota
Kerajaan Hastina, bergelar Raden Kurupati. Juga dikisahkan awal mula Raden
Yamawidura menjadi adipati di Pagombakan. Kisah pun ditutup dengan pertarungan
antara Raden Bratasena dengan raja raksasa pemakan daging manusia, yaitu Prabu
Baka raja Ekacakra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 Agustus 2016
Heri Purwanto

Raden Bratasena menyamar sebagai Wasi Balawa

RADEN SUYUDANA DILANTIK SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA


Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Raden
Yamawidura, Resi Druna, Resi Krepa, Patih Sangkuni, Dewi Gandari, dan juga Raden
Suyudana. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang para Pandawa dan Dewi Kunti
yang dinyatakan meninggal dalam kebakaran di istana Waranawata. Adipati Dretarastra
dalam hati merasa sedih bercampur senang. Ia sedih karena kehilangan lima keponakan
dan adik ipar, namun juga senang karena anaknya memiliki peluang untuk menjadi raja di
Hastina.
Satu-satunya orang yang mengetahui bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti masih
hidup hanyalah Raden Yamawidura. Namun, ia terlanjur berjanji akan menyimpan rahasia
ini karena Dewi Kunti sudah tidak ingin kembali ke Kerajaan Hastina. Itulah sebabnya ia
tidak memberi tahu siapa pun, termasuk kepada Resiwara Bisma. Sejak peristiwa kematian
para Pandawa dan Dewi Kunti diumumkan, Resiwara Bisma sangat berduka dan
mengurung diri dalam Padepokan Talkanda. Ia pun bersamadi dalam kamar gelap tanpa
penerangan sama sekali, seolah tiada semangat untuk melihat matahari lagi.
Dalam pertemuan di istana Hastina tersebut, Patih Sangkuni mengusulkan agar
Adipati Dretarastra segera mengangkat pangeran mahkota yang baru untuk menggantikan
Raden Puntadewa yang telah meninggal. Bagaimanapun juga Adipati Dretarastra hanyalah
raja wakil yang menggantikan mendiang Prabu Pandu untuk sementara. Sesuai perjanjian,
Adipati Dretarastra harus menyerahkan takhta Kerajaan Hastina kepada putra Prabu Pandu
apabila sudah dianggap mampu. Namun sayang sekali, putra kandung Prabu Pandu telah
meninggal semuanya. Mengingat dulu Prabu Pandu pernah mengakui Raden Suyudana
sebagai putra angkat, maka tiada salahnya kalau Raden Suyudana yang dilantik sebagai
putra mahkota Kerajaan Hastina.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Yamawidura sudah menduga bahwa Patih Sangkuni pasti mengajukan usul
demikian. Hampir saja ia mengatakan bahwa para Pandawa masih hidup, namun segera
diurungkannya. Ia lalu mengalihkan pembicaraan dan membahas soal kebakaran istana di
Waranawata. Ia bertanya mengapa yang meninggal di istana itu hanya tujuh orang saja,
yaitu Dewi Kunti, para Pandawa, dan Tumenggung Purocana. Mengapa para pelayan dan
prajurit penjaga sama sekali tidak ada yang menjadi korban? Mengapa Patih Sangkuni,
Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang juga berada di sana bisa selamat dan tidak
berusaha menyelamatkan para Pandawa dan Dewi Kunti? Apakah mungkin kebakaran ini
sudah direncanakan dan jumlah korbannya pun sudah ditentukan?
Raden Suyudana gemetar karena Raden Yamawidura mencurigai perbuatannya.
Namun, Patih Sangkuni segera menanggapi dengan tenang. Pertama, mengapa yang
meninggal hanya Dewi Kunti dan para Pandawa? Itu karena mereka terlalu letih dan
kenyang setelah berpesta pora merayakan kemenangan melawan Prabu Jalasengara dari
Pringgala. Mereka pun tertidur pulas di kamar masing-masing. Api yang membakar istana
berasal dari kamar tidur Raden Bratasena. Patih Sangkuni menduga Raden Bratasena tidak
sengaja menyenggol lampu minyak sehingga tumpah dan apinya membakar kamar. Karena
kamar tidur Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya saling bersebelahan, maka dalam
sekejap saja mereka berenam pun menjadi korban tanpa sempat menyelamatkan diri.
Mengenai pertanyaan Raden Yamawidura mengapa para pelayan yang tewas hanya
Tumenggung Purocana saja, Patih Sangkuni menjawab bahwa saat itu semua pelayan
belum ada yang tidur. Mereka sibuk membersihkan segala macam peralatan pesta. Ketika
kebakaran terjadi, para pelayan itu berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri masing-
masing. Hanya Tumenggung Purocana seorang yang berjiwa kesatria, dengan gagah
berani berusaha membangunkan para Pandawa dan Dewi Kunti. Sayang sekali, ia jatuh
tertimpa puing-puing bangunan sehingga ikut meninggal menjadi korban.
Mengenai Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang selamat dari
kebakaran itu adalah karena kamar mereka berada di pinggir istana. Bagaimanapun juga
pesta kemarin adalah untuk menjamu para Pandawa yang baru saja menang perang. Itu
sebabnya, para Pandawa mendapat kamar mewah di tengah istana, sedangkan mereka
bertiga menempati kamar di pinggiran. Dalam kebakaran kemarin, Patih Sangkuni dan dua
keponakannya juga mengalami luka-luka. Patih Sangkuni lalu menunjukkan lengannya
yang melepuh karena terjilat api.
Raden Yamawidura meragukan isi cerita Patih Sangkuni. Ia menduga bahwa
kebakaran kemarin telah direncanakan untuk membunuh para Pandawa dan Dewi Kunti.
Para pelayan di sana semuanya selamat karena mereka adalah orang-orang Gandaradesa
yang menyamar sebagai pelayan Hastina. Tumenggung Purocana ikut tewas bukan karena
ia bertindak kesatria ingin menolong para Pandawa dan Dewi Kunti, melainkan karena
memang sengaja dibunuh oleh Patih Sangkuni demi untuk melenyapkan saksi mata.
Tumenggung Purocana adalah bekas pengikut Prabu Jalasengara yang memiliki keahlian
membangun istana dari bahan apa saja. Ia ditangkap Patih Sangkuni dan diperintahkan
untuk membangun istana dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Setelah tugasnya
selesai, ia pun dibunuh pula seolah ikut menjadi korban kebakaran. Adapun soal kulit Patih
Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang melepuh, itu bukan karena
mereka ikut terjilat api, tetapi karena mereka sengaja menyulut diri sendiri.
Dewi Gandari marah mendengar Raden Yamawidura menuduh adik dan anak-
anaknya telah merencanakan kematian para Pandawa dan Dewi Kunti. Ia menuduh Raden
Yamawidura hanya mengarang cerita tanpa bukti. Ia tidak terima jika Patih Sangkuni, Raden
Suyudana, dan Raden Dursasana dituduh telah membunuh saudara-saudara mereka. Ini
sama saja dengan penghinaan terhadap keluarga Adipati Dretarastra.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Yamawidura menjawab bahwa dirinya hanya ingin mengutarakan kebenaran,


sedangkan Dewi Gandari membabi buta membela adik dan kedua putranya karena
didorong rasa kekeluargaan. Ia menyebut Dewi Gandari terlalu banyak tinggal di dalam
istana, sehingga tidak tahu bagaimana cara Patih Sangkuni mendidik para Kurawa.
Adipati Dretarastra yang pada dasarnya selalu memanjakan para Kurawa juga tidak
terima jika Raden Yamawidura menuduh tanpa bukti. Hampir saja Raden Yamawidura
mengatakan kalau para Pandawa dan Dewi Kunti masih hidup, namun segera ditahannya.
Ia hanya diam dan tidak melanjutkan pembicaraan.
Adipati Dretarastra tidak mau membuang-buang waktu. Ia segera mengumumkan
bahwa mulai hari ini Raden Suyudana dilantik menjadi pangeran mahkota Kerajaan Hastina,
dengan gelar Raden Kurupati. Semua orang memberikan ucapan selamat, kecuali Raden
Yamawidura.
Setelah upacara pelantikan selesai, Patih Sangkuni mengusulkan agar Adipati
Dretarastra juga melantik Raden Yamawidura menjadi adipati Pagombakan yang baru. Tiga
bulan yang lalu Adipati Dipacandra meninggal dunia, sehingga Kadipaten Pagombakan
kosong tanpa pemimpin. Mengingat Raden Yamawidura adalah menantu Adipati
Dipacandra, maka tiada salahnya jika ia menggantikan sang mertua sebagai adipati di
Pagombakan.
Adipati Dretarastra menyetujui usulan Patih Sangkuni. Ia pun melantik Raden
Yamawidura sebagai adipati Pagombakan. Ia memerintahkan adik bungsunya itu agar
memimpin negeri Pagombakan dengan sebaik-baiknya, dan tidak perlu menghadap ke
istana Hastina apabila tidak mendapat panggilan. Raden Yamawidura menerima keputusan
ini dan ia memahami bahwa Patih Sangkuni telah menjalankan siasat untuk menyingkirkan
dirinya dari lingkaran istana.

ADIPATI YAMAWIDURA MENGIRIM PATIH JAYASEMEDI UNTUK MENYELIDIKI PARA


PANDAWA
Adipati Yamawidura memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Padmarini putri Adipati
Dipacandra, dan Dewi Sinduwati putri Resi Gunabantala (Landak Seta). Dari Dewi
Padmarini lahir Raden Sanjaya yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu pribadi Adipati
Dretarastra, sedangkan dari Dewi Sinduwati lahir Raden Yuyutsu.
Kini Adipati Yamawidura telah resmi menjadi pemimpin Kadipaten Pagombakan
menggantikan sang ayah mertua yang telah meninggal. Adapun yang mendampinginya
sebagai patih kadipaten adalah Arya Jayasemedi, yaitu putra Patih Jayayatna (patih
Kerajaan Hastina zaman Prabu Kresna Dwipayana).
Lewat satu bulan setelah pelantikan, Adipati Yamawidura memerintahkan Patih
Jayasemedi untuk pergi mencari keberadaan para Pandawa dan Dewi Kunti. Patih
Jayasemedi hanya ditugasi untuk mengamati mereka dari kejauhan saja, jangan sampai
menampakkan diri. Patih Jayasemedi menyanggupi dan segera mohon pamit menjalankan
tugas.

PATIH JAYASEMEDI BERTARUNG MELAWAN PARA RAKSASA DARI EKACAKRA


Patih Jayasemedi berjalan seorang diri menuju Kota Waranawata. Sesampainya di
sana ia lantas bersamadi di puing-puing bekas istana Balai Sigala-gala. Setelah bersamadi
agak lama, ia pun bermimpi melihat bayangan bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti akan
muncul di Kerajaan Ekacakra.
Patih Jayasemedi segera terbangun dan bergegas menuju ke negeri tersebut dengan
menyamar sebagai pedagang keris. Di tengah jalan, ia melihat ada beberapa warga yang
KITAB WAYANG PURWA

berlarian meminta tolong karena dikejar-kejar para raksasa. Patih Jayasemedi segera turun
tangan membantu. Ia menghadang para raksasa itu dan bertempur melawan mereka.
Setelah beberapa lama, akhirnya Patih Jayasemedi berhasil menumpas habis para raksasa
tersebut yang berjumlah sepuluh orang.
Patih Jayasemedi lalu bertanya kepada warga yang dikejar-kejar raksasa tadi.
Ternyata mereka adalah penduduk Ekacakra yang mengungsi ke Waranawata karena
hendak dimangsa oleh raja mereka sendiri yang bernama Prabu Baka. Patih Jayasemedi
pun teringat beberapa tahun yang lalu raja Ekacakra bernama Prabu Suksara pernah
menyerang Kerajaan Hastina ketika Prabu Pandu sedang sakit keras menjelang ajal. Prabu
Suksara akhirnya tewas di tangan para Pandawa, sedangkan patihnya yang bernama Patih
Bakasura melarikan diri. Warga Ekacakra membenarkan berita itu, bahwa setelah Prabu
Suksara tewas, Kerajaan Ekacakra pun dipimpin oleh Patih Bakasura yang bergelar Prabu
Baka.
Patih Jayasemedi heran mengapa Prabu Baka berubah menjadi raja yang suka
memakan daging rakyatnya sendiri. Ia pun mempersilakan warga Ekacakra itu mengungsi
ke Kota Waranawata untuk sementara, sampai keadaan negeri mereka aman kembali.
Setelah berkata demikian ia lantas pergi melanjutkan perjalanan.

PARA PANDAWA MENINGGALKAN KAHYANGAN SAPTAPRATALA


Sementara itu, para Pandawa, Dewi Kunti, dan empat panakawan telah tiga puluh lima
hari tinggal di Kahyangan Saptapratala. Mereka berniat untuk pergi melanjutkan
pengembaraan mencari pengalaman hidup. Dewi Nagagini keberatan karena dirinya masih
ingin ditemani Raden Bratasena yang telah resmi menjadi suaminya. Namun, Batara
Anantaboga menasihati putrinya itu bahwa kini sudah saatnya sang suami melanjutkan
perjalanan bersama keluarganya. Perjalanan ini sangat berguna untuk membangun
kepribadian para Pandawa.
Raden Bratasena berjanji kepada Dewi Nagagini bahwa kelak jika para Pandawa telah
mendapatkan kejayaan, maka ia akan datang untuk mengunjungi istrinya itu. Lagipula
Raden Bratasena belum mau menyentuh Dewi Nagagini sebelum kakak sulungnya, yaitu
Raden Puntadewa menikah. Dewi Nagagini memegang janji suaminya itu dan berharap
para Pandawa berhasil melalui masa pengembaraan mereka dengan selamat.
Batara Anantaboga kemudian mengajarkan beberapa macam ilmu kesaktian kepada
para Pandawa, serta menasihati mereka agar menyamar sebagai kaum pendeta. Tujuannya
ialah, agar mereka tidak sampai ketahuan oleh mata-mata para Kurawa. Dengan
kesaktiannya, Batara Anantaboga pun menumbuhkan kumis dan jenggot pada wajah para
Pandawa untuk keperluan menyamar, sehingga mereka kini terlihat lebih tua daripada
sebelumnya.
Demikianlah, para Pandawa, Dewi Kunti, dan para panakawan telah meninggalkan
Kahyangan Saptapratala. Dengan bantuan Batara Anantaboga, dalam sekejap mata tahu-
tahu mereka sudah kembali ke permukaan tanah, di dekat Sumur Ganggadaka.

PARA PANDAWA MENYAMAR SEBAGAI PENDETA


Sesuai nasihat Batara Anantaboga, para Pandawa yang kini berwajah berewok mulai
menyamar sebagai kaum pendeta. Raden Puntadewa memakai nama Wasi Kangka, Raden
Bratasena memakai nama Wasi Balawa, Raden Permadi memakai nama Wasi Parta,
Raden Nakula memakai nama Wasi Pinten, dan Raden Sadewa memakai nama Wasi
Tangsen. Adapun Dewi Kunti memakai nama Endang Rini.
KITAB WAYANG PURWA

Dalam perjalanan keluar masuk hutan dan desa, Dewi Kunti melihat wajah si kembar
pucat menahan lapar. Namun demikian, Raden Nakula dan Raden Sadewa berlagak tegar,
tidak mau diajak beristirahat dan juga tidak mau mengakui bahwa perut mereka sedang
lapar. Dewi Kunti khawatir kalau-kalau mereka jatuh pingsan di tengah jalan. Ia pun
mengajak putra-putranya beristirahat di bawah pohon rindang.
Dewi Kunti sangat prihatin melihat si kembar yang gemetar karena lapar. Ia berniat
memotong rambutnya yang panjang untuk ditukar dengan makanan. Mendengar itu, Raden
Bratasena dan Raden Permadi segera mencegahnya. Mereka pun mohon pamit untuk
berangkat mencari makanan.

RADEN PERMADI BERTEMU PASANGAN SUAMI ISTRI YANG TIDAK AKUR


Raden Bratasena dan Raden Permadi lalu berpencar. Raden Permadi berjalan ke arah
utara dan bertemu seorang wanita cantik sedang mencuci baju di sungai seorang diri. Dasar
sifat Raden Permadi yang sangat mengagumi kecantikan, ia pun mendekati wanita itu dan
menepuk punggungnya. Si wanita terkejut dan menoleh. Seketika wanita itu ketakutan
melihat ada laki-laki yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya, dengan wajah tampan
tetapi berewok. Wanita itu pun menjerit ketakutan sambil berlari meninggalkan sungai
tersebut.
Si wanita berlari masuk rumah dan langsung memeluk suaminya. Si suami terheran-
heran mengapa sang istri tiba-tiba pulang sambil menangis. Wanita itu mengaku dirinya
baru saja ditepuk laki-laki tak dikenal di sungai. Sang suami marah-marah ada laki-laki yang
berani menyentuh istrinya. Ia pun berniat melabrak laki-laki itu, tetapi minta bekal kepada
sang istri berupa tumpeng nasi, lengkap dengan lauk pauk dan sayur mayur.
Laki-laki itu lalu membawa tumpeng buatan istrinya menuju sungai. Sungguh aneh,
begitu bertemu dengan Raden Permadi ia tidak marah ataupun melabrak, tetapi justru
berterima kasih dengan senyum ramah. Laki-laki itu mengaku bernama Buyut Sagotra,
pemimpin Desa Medang Suruhan. Adapun wanita yang mencuci di sungai tadi adalah
istrinya yang bernama Rara Winihan. Mereka berdua sudah tiga bulan menikah tetapi Rara
Winihan sama sekali tidak mencintai Buyut Sagotra. Selama ini Rara Winihan tidak pernah
mau disentuh oleh sang suami, juga tidak pernah mau tidur bersama. Akan tetapi, gara-
gara Raden Permadi menepuk pundak Rara Winihan membuat wanita itu lari ketakutan dan
pulang memeluk Buyut Sagotra. Demikianlah, Buyut Sagotra tadi hanya pura-pura marah
dan ingin melabrak Raden Permadi, padahal sebenarnya ia sangat berterima kasih
kepadanya.
Sebagai bentuk terima kasih, Buyut Sagotra pun menyerahkan tumpeng nasi yang ia
bawa kepada Raden Permadi yang saat itu mengaku bernama Wasi Parta. Raden Permadi
menerima tumpeng nasi tersebut dengan senang hati, lalu mohon pamit kembali ke tempat
ibu dan saudara-saudaranya beristirahat.

RADEN BRATASENA BERTEMU RESI IJRAPA DI DESA MANAHILAN


Sementara itu, Raden Bratasena berjalan ke arah selatan dan memasuki Desa
Manahilan. Kepala desa tersebut seorang pendeta tua, bernama Resi Ijrapa yang memiliki
istri bernama Nyai Ruminta. Raden Bratasena heran melihat suami-istri tersebut sedang
bertangis-tangisan. Ia pun bertanya ada masalah apa yang sedang menimpa mereka.
Resi Ijrapa terkejut melihat seorang pendeta bertubuh tinggi besar tiba-tiba hadir di
rumahnya, dan mengaku bernama Wasi Balawa. Ia pun mengawali cerita, yaitu tentang
Desa Manahilan yang merupakan bagian dari Kerajaan Ekacakra. Adapun raja Ekacakra
bernama Prabu Baka, yang berwujud raksasa dan gemar makan daging manusia. Pada
KITAB WAYANG PURWA

mulanya ada seorang juru masak istana Ekacakra yang tanpa sengaja memotong jarinya
sendiri hingga jatuh tercebur ke dalam masakan. Ketika masakan tersebut dihidangkan
kepada Prabu Baka, tanpa sengaja jari yang putus tadi termakan olehnya. Prabu Baka
merasa senang dan sejak saat itu ia menjadi gemar memakan daging manusia.
Pada mulanya, Prabu Baka menyantap para penjahat yang berada di dalam penjara.
Juga ditetapkan, barangsiapa melanggar hukum di wilayah Ekacakra, maka akan mendapat
hukuman menjadi mangsa Prabu Baka. Lama-lama para penjahat di penjara habis, dan juga
para penduduk tidak ada yang berani melanggar hukum karena takut dimangsa Prabu Baka.
Padahal, Prabu Baka sendiri semakin ketagihan memakan daging manusia.
Akhirnya, Prabu Baka pun menetapkan peraturan aneh, yaitu para kepala desa harus
bergiliran menyediakan penduduknya sebagai makanan tiap tiga hari sekali. Barangsiapa
yang terpilih menjadi mangsa Prabu Baka harus melumuri tubuhnya dengan bumbu botok
dan datang ke istana Ekacakra dengan mengendarai pedati berisi nasi dan sayur, yang
ditarik oleh dua ekor kerbau. Semua itu akan dilahap habis oleh Prabu Baka, termasuk dua
ekor kerbau dan penduduk yang bernasib malang tadi.
Hari ini Desa Manahilan mendapat giliran menyediakan makanan untuk Prabu Baka.
Sayang sekali, penduduk Manahilan sudah banyak yang mengungsi ke negeri tetangga,
dan yang tersisa hanya tinggal orang-orang tua dan anak kecil. Sudah pasti Prabu Baka
akan marah besar jika Desa Manahilan mengirim makanan seperti mereka.
Karena tidak ada lagi penduduk yang bisa dijadikan korban, maka putra Resi Ijrapa
yang bernama Bambang Rawan pun mengajukan diri menadi mangsa Prabu Baka. Pemuda
itu telah berangkat dengan mengendarai pedati menuju istana Ekacakra. Inilah yang
membuat Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta bertangis-tangisan. Mendengar cerita tersebut,
Raden Bratasena segera pergi menyusul Bambang Rawan.

RADEN BRATASENA MEMBUNUH PRABU BAKA


Raden Bratasena yang berlangkah lebar berhasil menyusul pedati yang dikendarai
putra Resi Ijrapa. Bambang Rawan sangat heran tiba-tiba ada pendeta tinggi besar
menghadang perjalanannya. Raden Bratasena pun bercerita bahwa dirinya baru saja
bertemu Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta, serta mendengar cerita tentang Prabu Baka dari
mereka. Untuk itu, Raden Bratasena datang menghadang untuk menggantikan Bambang
Rawan sebagai santapan Prabu Baka.
Bambang Rawan keberatan karena tidak sepantasnya merepotkan tamu. Namun,
Raden Bratasena tetap memaksa. Ia mengambil bumbu botok di dalam pedati dan
membalurkannya ke sekujur tubuh. Bambang Rawan tidak dapat membantah lagi. Ia pun
penasaran dan ingin melihat seperti apa kehebatan Raden Bratasena yang berani merebut
pedatinya.
Demikianlah, Raden Bratasena dan Bambang Rawan telah sampai di istana Ekacakra.
Prabu Baka keluar untuk menyambut mangsanya. Namun, betapa ia marah melihat pedati
tersebut telah kosong karena semua makanan dan minuman di dalamnya dihabiskan oleh
Raden Bratasena.
Prabu Baka melihat Raden Bratasena bertubuh tinggi besar, pasti memiliki daging
yang banyak. Sebaliknya, Raden Bratasena justru memaki Prabu Baka sebagai raja yang
tidak tahu diri. Seorang raja seharusnya melindungi rakyatnya, bukan malah mengancam
dan menyebarkan kengerian di hati rakyat.
Prabu Baka semakin marah dan ia pun menyerang Raden Bratasena. Tidak lama
kemudian terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Setelah beberapa lama, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Baka akhirnya tewas terkena Kuku Pancanaka di tangan Raden Bratasena. Raja raksasa
itu roboh dengan perut robek dan usus terburai keluar.
Bambang Rawan kagum melihat kehebatan Raden Bratasena. Mereka lalu bersama-
sama pulang ke Desa Manahilan.

RESI IJRAPA BERSUMPAH UNTUK DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA


Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta menyambut kedatangan Raden Bratasena dan
Bambang Rawan dengan perasaan haru dan bahagia. Mereka mengaku tidak memiliki harta
kekayaan untuk membalas kebaikan Raden Bratasena yang telah menyelamatkan seluruh
penduduk Kerajaan Ekacakra. Raden Bratasena tidak meminta uang, tetapi meminta
tumpeng nasi beserta lauk pauk dan sayur mayur untuk adik-adiknya yang sedang lapar.
Mendengar itu, Resi Ijrapa, Nyai Ruminta, dan Bambang Rawan segera masuk ke dapur
untuk menyiapkan permintaan tersebut.
Setelah tumpeng matang, Raden Bratasena segera membawanya kembali ke tempat
sang ibu dan para saudara menunggu. Kedatangannya tepat bersamaan dengan datangnya
Raden Permadi yang juga membawa tumpeng. Dewi Kunti mencium bau wangi pada
tumpeng yang dibawa Raden Bratasena, sedangkan tumpeng yang dibawa Raden Permadi
agak amis. Dewi Kunti dapat menebak bahwa tumpeng yang didapat Raden Bratasena
berasal dari jasa baik mengadu nyawa menyelamatkan hidup banyak orang, sedangkan
tumpeng yang dibawa Raden Permadi berasal dari hasil main-main dan bercanda.
Raden Permadi mengakui kebenaran ucapan sang ibu. Karena malu, ia berniat
membuang tumpeng yang dibawanya itu. Namun, para panakawan segera meminta
tumpeng tersebut untuk mereka makan, daripada dibuang-buang begitu saja. Demikianlah,
Dewi Kunti dan para Pandawa lalu memakan tumpeng yang dibawa Raden Bratasena,
sedangkan para panakawan memakan tumpeng yang dibawa Raden Permadi.
Tidak lama kemudian muncullah Resi Ijrapa, Nyai Ruminta, dan Bambang Rawan
menyembah Dewi Kunti dan para Pandawa. Mereka memohon maaf karena telah
menguping pembicaraan tadi sehingga kini mereka tahu bahwa Dewi Kunti dan para
Pandawa adalah keluarga mendiang Prabu Pandu yang sedang menyamar sebagai para
pendeta.
Dewi Kunti meminta Resi Ijrapa dan anak-istrinya agar tidak membocorkan
keberadaan dirinya dan para Pandawa. Resi Ijrapa, Nyai Ruminta, dan Bambang Rawan
menyanggupi. Tidak hanya itu, Resi Ijrapa juga bersumpah bahwa dirinya sekeluarga
bersedia menjadi tumbal kemenangan para Pandawa jika kelak sampai berperang melawan
para Kurawa. Dewi Kunti terharu mendengarnya dan berharap semoga tidak sampai terjadi
perang antara para Pandawa dan Kurawa.
Demikianlah, Resi Ijrapa lalu memohon agar Dewi Kunti dan para Pandawa sudi
beristirahat barang semalam di rumahnya. Dewi Kunti setuju. Mereka lalu bersama-sama
berjalan menuju Desa Manahilan.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
CATATAN : Kisah Raden Bratasena mengalahkan Prabu Baka menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam
Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan sengkalan
“Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan
sengkalan “Geni sawukir sirna”.
KITAB WAYANG PURWA

KANGSA ADU JAGO


Kisah ini menceritakan Adipati Kangsa merebut takhta Kerajaan Mandura dan
mengadakan pertandingan Adu Jago manusia, yang berakhir dengan kematiannya di
tangan Kakrasana dan Narayana. Juga diceritakan awal mula Kakrasana dan
Narayana mendapatkan senjata pusaka dari kahyangan, antara lain Nanggala dan
Cakra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, serta rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Hari Bawono, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 11 September 2016
Heri Purwanto

ADIPATI KANGSA MEMBERONTAK KEPADA PRABU BASUDEWA


Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura memimpin pertemuan yang dihadiri kedua
adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dari Kumbina dan Arya Ugrasena dari Lesanpura, serta
para menteri dan punggawa yang dikepalai Patih Saragupita. Mereka membahas tindak-
tanduk Adipati Kangsa yang makin hari makin mencurigakan, seolah hendak menciptakan
permusuhan. Aryaprabu Rukma mengingatkan bahwa bagaimanapun juga Adipati Kangsa
bukanlah putra kandung Prabu Basudewa, melainkan putra hasil perselingkuhan Dewi
Mahera dengan Prabu Gorawangsa raja Guagra, sehingga sangat mungkin apabila ia
melakukan pemberontakan demi membalas kematian ayah dan ibunya.
Tiba-tiba orang yang sedang mereka bicarakan, yaitu Adipati Kangsa, hadir dalam
pertemuan itu. Ia datang untuk meminta izin kepada Prabu Basudewa agar diperbolehkan
menyerang Desa Widarakandang. Menurut laporan para teliksandi, di desa tersebut ada
seorang pemuda berkulit bule bernama Kakrasana anak Buyut Antyagopa, yang berani
menanam pohon beringin kurung kembar di halaman rumah orang tuanya dan membangun
tembok menyerupai benteng. Selain itu, dia juga memelihara gajah seperti layaknya
seorang raja. Adipati Kangsa menyebut ini adalah tindakan makar dan harus mendapat
hukuman berat.
Prabu Basudewa tidak setuju apabila Adipati Kangsa menyerang Desa
Widarakandang. Untuk mengatasi hal ini cukup dengan mengirim Patih Saragupita ke sana
supaya memberikan teguran kepada pemuda bernama Kakrasana itu. Adipati Kangsa
menjawab bahwa ia sebenarnya sudah tahu kalau Kakrasana adalah putra kandung Prabu
Basudewa yang disembunyikan di Desa Widarakandang. Selain Kakrasana si bule, masih
ada adik-adiknya yang bernama Narayana dan Rara Ireng pula. Itulah sebabnya Prabu
Basudewa menolak memberikan izin untuk menyerang Desa Widarakandang.
Adipati Kangsa lalu berkata, jika dirinya tidak diizinkan menyerang Desa
Widarakandang, maka lebih baik menyerang Kerajaan Mandura saja. Prabu Basudewa
terkejut mendengar tantangan tersebut. Sementara itu, Arya Ugrasena yang sudah
memuncak amarahnya segera melabrak Adipati Kangsa keluar istana.

ADIPATI KANGSA MEMENJARAKAN PRABU BASUDEWA DAN ARYA UGRASENA


Sesampainya di luar istana, Arya Ugrasena melihat Adipati Kangsa dan Patih
Suratimantra telah bersiaga dengan membawa pasukan yang sangat besar. Ia heran
mengapa Kadipaten Sengkapura memiliki prajurit sedemikian banyaknya. Andaikan
digabung dengan prajurit Guagra pun jumlahnya tetap tidak mungkin sebanyak itu.
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian terdengar suara Adipati Kangsa memberi aba-aba kepada
pasukannya untuk menyerang. Arya Ugrasena dan Patih Saragupita mengerahkan pasukan
untuk menghadapinya. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Prabu Basudewa
dan Aryaprabu Rukma ikut terjun pula ke medan tempur. Mereka sama sekali tidak siap
menghadapi pemberontakan Adipati Kangsa yang serbamendadak ini.
Adipati Kangsa bersenjatakan sebuah gada besar pemberian gurunya, yaitu Resi
Anggawangsa. Gada besar tersebut bernama Lohitamuka yang diayun-ayunkan ke sana
kemari, menewaskan banyak punggawa Mandura. Adipati Kangsa lalu memukulkan gada
besar tersebut kepada Arya Ugrasena dan Prabu Basudewa. Namun, pukulan ini tidaklah
keras, sehingga mereka berdua tidak tewas, melainkan hanya jatuh terguling di atas tanah.
Sementara itu, Patih Suratimantra juga berhasil menangkap Aryaprabu Rukma dan
Patih Saragupita. Melihat para pemimpin mereka tertawan, pasukan Mandura menjadi
kocar-kacir dan banyak yang menyerah takluk kepada pihak Sengkapura.

ADIPATI KANGSA MEMASUKKAN PRABU BASUDEWA DAN ARYA UGRASENA KE


DALAM PENJARA
Adipati Kangsa kini berkuasa atas Kerajaan Mandura, dan mengganti gelarnya
menjadi Prabu Kangsadewa. Ia mengumumkan bahwa tujuh hari lagi akan menggelar
pertunjukan adu jago di alun-alun ibu kota. Namun, jago yang bertanding bukan berwujud
ayam, melainkan berwujud manusia. Dalam acara tersebut, kedua pemuda dari Desa
Widarakandang, yaitu Kakrasana dan Narayana harus bertanding melawan jago-jago
raksasa dari Kadipaten Sengkapura. Prabu Basudewa mau tidak mau harus tega
menyaksikan anak-anaknya itu mati mengenaskan di atas panggung. Apabila kedua
pemuda tersebut tidak hadir, maka Prabu Basudewa yang harus disembelih di hadapan
rakyatnya sendiri.
Prabu Basudewa sangat marah dan meminta Prabu Kangsadewa agar menyembelih
dirinya saat ini juga. Namun, Prabu Kangsadewa menolak karena itu terlalu enak untuk
Prabu Basudewa. Bagaimanapun juga Prabu Basudewa telah membuang ibunya, yaitu
Dewi Mahera di tengah hutan. Oleh sebab itu, Prabu Basudewa harus merasakan sakitnya
hidup dalam penjara selama tujuh hari tujuh malam sebagai balasan. Tentunya ini lebih
menyiksa daripada langsung dibunuh sekarang. Prabu Kangsadewa juga mengikat tangan
Prabu Basudewa dengan rantai untuk mencegahnya agar tidak bunuh diri di dalam penjara.
Mendengar niat jahat tersebut, Arya Ugrasena memaki Prabu Kangsadewa sebagai
anak kurang ajar dan tidak tahu diri. Ia juga menyesal telah menjadikan Prabu Kangsadewa
sebagai anak angkat. Mulai saat ini ia tidak rela lagi jika Adipati Kangsa memanggilnya
sebagai ayah.
Prabu Kangsadewa menjawab bahwa dirinya memang sudah tidak sudi lagi
memanggil “ayah” kepada Prabu Basudewa dan “ayah angkat” kepada Arya Ugrasena,
karena sudah sejak lama ia tahu bahwa ayah kandungnya yang asli bernama Prabu
Gorawangsa dari Kerajaan Guagra. Namun, karena Arya Ugrasena selama ini telah
bersikap baik kepadanya, maka Prabu Kangsadewa mengizinkan kesatria dari Lesanpura
itu untuk menemani Prabu Basudewa tinggal di dalam penjara. Selain itu, kedua tangan
Arya Ugrasena juga harus diikat dengan rantai seperti Prabu Basudewa.
Mengenai Aryaprabu Rukma yang dulu telah membunuh Prabu Gorawangsa,
seharusnya mendapat hukuman paling berat dari Prabu Kangsadewa. Namun demikian,
Prabu Kangsadewa tetap berterima kasih kepadanya karena dulu tidak membunuh Dewi
Mahera. Saat itu Prabu Basudewa memerintahkan Aryaprabu Rukma agar membunuh Dewi
Mahera yang baru saja disetubuhi Prabu Gorawangsa. Akan tetapi, Aryaprabu Rukma tidak
KITAB WAYANG PURWA

tega dan hanya meninggalkan Dewi Mahera di tengah hutan. Andai saja dulu Aryaprabu
Rukma bersedia membunuh Dewi Mahera, sudah pasti Prabu Kangsadewa tidak akan
pernah lahir ke dunia.
Mengingat jasa Aryaprabu Rukma tersebut, Prabu Kangsadewa tidak
memenjarakannya, tetapi memerintahkan ia untuk pergi ke Desa Widarakandang
menjemput Kakrasana dan Narayana, agar tujuh hari lagi bisa bertanding di alun-alun ibu
kota Mandura. Aryaprabu Rukma menerima tugas tersebut sambil pikirannya mencari akal
agar bisa lolos. Bagaimanapun juga ia yakin Prabu Kangsadewa cepat atau lambat pasti
akan membunuhnya demi membalaskan kematian Prabu Gorawangsa. Aryaprabu Rukma
lalu berangkat ke Widarakandang dengan dikawal pasukan raksasa yang dipimpin Ditya
Kalanasura. Selain itu, Ditya Kalanasura juga diperintahkan untuk membawa Rara Ireng ke
istana agar bisa dikawini Prabu Kangsadewa. Mendengar itu, Prabu Basudewa semakin
marah dan mengutuk Prabu Kangsadewa agar segera mendapat hukuman dari Yang
Mahakuasa.

PRABU KANGSADEWA BERTERIMA KASIH KEPADA PRABU JARASANDA


Setelah memasukkan Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena ke dalam penjara, Prabu
Kangsadewa pergi ke pinggiran ibu kota Mandura untuk menemui sahabatnya, yaitu Prabu
Jarasanda raja Magada yang menunggu di perkemahan. Dalam pertemuan itu, Prabu
Kangsadewa berterima kasih atas segala bantuan Prabu Jarasanda sehingga dirinya
berhasil menaklukkan Kerajaan Mandura.
Demikianlah, orang yang telah menyusun dan mengatur pemberontakan Prabu
Kangsadewa ini tidak lain adalah Prabu Jarasanda tersebut. Namun demikian, Prabu
Jarasanda tidak bersedia ikut berperang karena dirinya dulu pernah dikalahkan Prabu
Pandu dan dipaksa bersumpah untuk tidak akan mengganggu Kerajaan Hastina.
Bagaimanapun juga Kerajaan Mandura adalah sekutu Kerajaan Hastina, sehingga Prabu
Jarasanda tidak berani menampakkan dirinya bersama Prabu Kangsadewa, melainkan
hanya bermain di balik layar. Tidak hanya itu, ia juga meminjamkan pasukan Magada untuk
membantu pemberontakan Prabu Kangsadewa, tetapi mengenakan seragam prajurit
Sengkapura.
Kini, Prabu Kangsadewa telah menduduki takhta Kerajaan Mandura. Prabu Jarasanda
mengucapkan selamat kepada sahabatnya itu, lalu ia pun mohon pamit pulang ke Giribajra,
ibu kota Kerajaan Magada.

ARYAPRABU RUKMA MENEMUI BUYUT ANTYAGOPA DAN NYAI SAGOPI


Sementera itu di Desa Widarakandang, Buyut Antyagopa bersama Nyai Sagopi
sedang membahas kelima anak mereka, yaitu Udawa, Kakrasana, Narayana, Rara Ireng,
dan Rara Sati. Kelima anak tersebut memiliki perilaku yang berbeda-beda. Narayana gemar
berkelana dengan ditemani Udawa. Setiap kali pulang ke rumah selalu saja ia berceramah
menasihati ayahnya sendiri seperti layaknya orang tua. Adapun anak nomor dua, yaitu
Kakrasana rajin bekerja di sawah, berangkat pagi pulang petang. Ia seorang pemuda yang
rajin bekerja tetapi mudah marah. Yang paling aneh adalah Kakrasana menanam pohon
beringin kurung kembar di halaman rumah seperti layaknya alun-alun, membangun tembok
seperti benteng, serta memelihara gajah. Jika hal ini sampai terdengar oleh Prabu
Basudewa, tentu Buyut Antyagopa akan mendapat peringatan keras. Sementara itu, Rara
Ireng menjadi kembang desa, sering menyebabkan para pemuda saling berkelahi
memperebutkan dirinya. Adapun si bungsu Rara Sati gemar menunggang kuda seperti laki-
laki, tidak peduli jadi bahan pembicaraan tetangga.
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian datanglah Aryaprabu Rukma yang dikawal Ditya Kalanasura dan
pasukannya. Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi menyambut kedatangan mereka dengan
penuh hormat. Aryaprabu Rukma menyampaikan undangan Prabu Kangsadewa kepada
Kakrasana dan Narayana agar hadir ke istana Mandura untuk mengikuti pertandingan Adu
Jago yang akan digelar tujuh hari lagi. Ia juga menyampaikan niat Prabu Kangsadewa yang
ingin mengambil Rara Ireng sebagai istri.
Aryaprabu Rukma kemudian bertanya di manakah Kakrasana dan Narayana saat ini
berada. Buyut Antyagopa menjawab bahwa Narayana masih berkelana, sedangkan
Kakrasana ada di sawah. Jika ingin Kakrasana datang, maka Aryaprabu Rukma hendaknya
pura-pura memukuli Buyut Antyagopa.
Aryaprabu Rukma menuruti saran tersebut. Ia pun pura-pura marah menuduh Buyut
Antyagopa berbuat makar karena berani menanam pohon beringin kurung kembar,
membangun benteng, dan memelihara gajah, sehingga meniru istana Mandura. Ia lalu
memukuli orang tua itu sambil memaki-maki. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda bule
melabrak Aryaprabu Rukma. Pemuda bule itu tidak lain adalah Kakrasana yang marah-
marah karena ayahnya dipukuli.
Ditya Kalanasura segera memerintahkan pasukannya untuk menangkap Kakrasana.
Pertempuran pun terjadi. Meskipun seorang pemuda desa, namun Kakrasana memiliki
bakat kesaktian sejak lahir. Dengan cekatan ia mampu menghadapi para prajurit raksasa
tersebut. Suasana yang berubah kacau ini dimanfaatkan oleh Aryaprabu Rukma untuk
meloloskan diri. Sementara itu, Buyut Antyagopa sempat menyuruh Nyai Sagopi agar pergi
menyelamatkan Rara Ireng dan Rara Sati.
Ditya Kalanasura ngeri melihat ketangkasan Kakrasana dalam menghadapi
pasukannya. Ia pun menangkap Buyut Anytagopa sebagai sandera untuk memaksa
Kakrasana agar menyerah dan menurut dibawa ke istana Mandura. Namun, Buyut
Antyagopa tidak takut mati. Ia justru menusuk dadanya sendiri menggunakan keris.
Kakrasana sangat terkejut melihat ayahnya roboh berlumur darah. Hatinya marah
bercampur sedih. Buyut Antyagopa dengan sisa-sisa tenaga memintanya pergi mencari
pusaka kahyangan untuk melawan Prabu Kangsadewa tujuh hari lagi. Meskipun Kakrasana
memiliki bakat kesaktian sejak lahir, namun itu tidak cukup untuk mengalahkan Prabu
Kangsadewa beserta seluruh pasukannya. Setelah berkata demikian, Buyut Antyagopa pun
meninggal dunia. Kakrasana segera melesat pergi memenuhi wasiat terakhir ayahnya itu.
Ditya Kalanasura memerintahkan sebagian prajurit raksasa untuk mengejar
Kakrasana dan sebagian lagi untuk mencari Aryaprabu Rukma. Ia sendiri mencari Rara
Ireng yang telah kabur bersama Nyai Sagopi dan Rara Sati.

NARAYANA MENDAPAT PUSAKA DARI RESI PADMANABA


Narayana, si pemuda berkulit hitam saat itu sedang berguru kepada Resi Padmanaba
di Padepokan Utarayana. Setelah semua ilmu tuntas diberikan, Resi Padmanaba pun
berniat memberikan tiga jenis pusaka kepada muridnya itu. Pusaka yang pertama berwujud
cakram, bernama Cakra Sudarsana. Barangsiapa terkena senjata ini pasti akan tewas
meskipun ia seorang yang sangat sakti. Namun demikian, senjata ini hanya bisa digunakan
untuk membunuh manusia yang berdosa saja. Resi Padmanaba lalu menanam Cakra
Sudarsana di dada Narayana. Jika ingin menggunakannya, Narayana tinggal mengusap
dadanya sambil mengheningkan cipta, maka senjata tersebut akan keluar melalui tangan.
Senjata yang kedua berupa bunga ajaib, bernama Kembang Wijayakusuma.
Kegunaan bunga ini adalah untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Namun demikian,
Narayana tidak boleh sembarangan dalam menggunakannya. Jika orang yang mati itu
KITAB WAYANG PURWA

dianggap belum menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia, maka dia boleh untuk dihidupkan
kembali. Tetapi, jika orang itu dirasa sudah layak untuk kembali ke alam baka, maka
Narayana sama sekali tidak boleh untuk menghidupkannya kembali. Narayana mematuhi
pesan tersebut. Resi Padmanaba lalu menanam bunga ajaib itu ke dalam ubun-ubun
muridnya. Jika Narayana ingin menggunakannya, maka tinggal mengusap rambut sambil
mengheningkan cipta, maka Kembang Wijayakusuma akan keluar melalui mulut.
Senjata yang ketiga berupa panah yang berukuran sangat kecil, setara dengan sehelai
rambut. Senjata tersebut bernama Panah Kesawa. Kegunaannya adalah untuk
mengerahkan Aji Balasrewu. Resi Padmanaba menanam Panah Kesawa itu di punggung
Narayana. Dalam keadaan terdesak, Narayana boleh meraba punggungnya sambil
mengheningkan cipta, maka dalam sekejap dirinya pasti akan berubah menjadi raksasa
tinggi besar.
Demikianlah, Resi Padmanaba telah memberikan tiga jenis senjata pusaka kepada
Narayana. Ia lalu bercerita bahwa sejatinya Narayana bukan anak kandung Buyut
Antyagopa dan Nyai Sagopi, melainkan putra Prabu Basudewa raja Mandura. Konon Prabu
Basudewa memiliki empat orang istri. Istri pertama bernama Dewi Mahera yang dibuang ke
hutan karena disetubuhi Prabu Gorawangsa raja Guagra, hingga melahirkan Adipati
Kangsa. Istri kedua bernama Dewi Rohini, melahirkan Kakrasana. Istri ketiga bernama Dewi
Dewaki, melahirkan Narayana. Adapun Dewi Dewaki meninggal setelah melahirkan,
sehingga Narayana sewaktu bayi disusui oleh Dewi Rohini. Sementara itu, istri keempat
Prabu Basudewa bernama Dewi Badraini, melahirkan Dewi Sumbadra, alias Rara Ireng.
Narayana terkejut mengetahui siapa ia yang sebenarnya. Resi Padmanaba kemudian
bercerita tentang asal-usulnya yang merupakan keturunan Batara Wisnu. Adapun Batara
Wisnu kini telah lahir ke dunia sebagai Narayana dan Raden Arjuna (Permadi). Sebelum
menitis, Batara Wisnu sempat menitipkan pusaka Cakra Sudarsana, Kembang
Wijayakusuma, dan Panah Kesawa kepada Resi Padmanaba agar kelak diberikan kepada
Narayana setelah dewasa. Kini tugas tersebut telah dilaksanakan. Resi Padmanaba pun
berniat meninggalkan dunia fana dan meminta agar Narayana yang mengantarkan
kepergian rohnya.
Narayana mematuhi wasiat sang guru. Ia lalu bersamadi mengheningkan cipta. Dari
dahinya memancar setitik api yang kemudian membakar tubuh Resi Padmanaba menjadi
abu. Roh Resi Padmanaba pun melesat ke angkasa, kembali ke alam baka.
Narayana lalu mengajak Udawa yang sejak tadi menunggu di luar untuk pergi
meninggalkan padepokan. Sepeninggal mereka berdua, Padepokan Utarayana menjadi
sepi tidak berpenghuni. Warga sekitar padepokan menduga-duga bahwa Resi Padmanaba
telah meninggal dunia karena dibunuh muridnya sendiri yang bernama Narayana.

KAKRASANA MENERIMA PUSAKA DARI BATARA BRAHMA


Sementara itu, Kakrasana si pemuda berkulit bule telah berhasil menumpas habis para
raksasa Sengkapura yang mengejarnya. Sesuai wasiat Buyut Antyagopa sebelum
meninggal, ia pun pergi bertapa di puncak Gunung Rewataka. Setelah tujuh hari berlalu,
tiba-tiba turun seorang dewa dari angkasa, yaitu Batara Brahma yang membangunkan
Kakrasana agar mengakhiri pertapaannya. Kakrasana pun membuka mata dan
menyembah penuh hormat kepada dewa tersebut.
Batara Brahma menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah berkenan
menerima pertapaan Kakrasana. Sebagai anugerah, Kakrasana mendapat tiga jenis
pusaka. Pusaka yang pertama berwujud seperti bajak sawah, bernama Nanggala. Barang
KITAB WAYANG PURWA

siapa terkena senjata ini pasti akan terbakar tubuhnya menjadi arang. Batara Brahma lalu
menanam Senjata Nanggala tersebut di tangan kanan Kakrasana.
Pusaka yang kedua berwujud seperti alu penumbuk padi, bernama Gada Alugora.
Pusaka tersebut ditanam di ubun-ubun Kakrasana. Sejak saat itu Kakrasana mendapat
julukan baru, yaitu Halayuda, yang artinya “berperang menggunakan alu”.
Pusaka yang ketiga berupa ilmu kesaktian, bernama Aji Balarama. Dengan memiliki
ajian ini, maka Kakrasana akan memiliki daya tahan setara dengan para dewa. Ia menjadi
orang yang tahan lapar, tahan kantuk, dan tidak mudah letih. Meskipun bertempur melawan
banyak orang, ia tidak akan pernah kehabisan tenaga. Kakrasana kuat tidak makan selama
berhari-hari dan mampu menyerap panas matahari sebagai tenaga tubuhnya.
Setelah menyerahkan ketiga pusaka tersebut, Batara Brahma pun menjelaskan asal-
usul Kakrasana, yang sebenarnya adalah putra Prabu Basudewa, sama seperti Narayana
dan Rara Ireng. Adapun Prabu Basudewa saat ini sedang disekap oleh Prabu Kangsadewa
di dalam penjara. Maka, Batara Brahma memerintahkan Kakrasana agar pergi ke ibu kota
Mandura untuk membebaskannya. Setelah berpesan demikian, Batara Brahma lalu terbang
kembali ke kahyangan.

RARA IRENG BERTEMU WASI PARTA


Sementara itu, Rara Ireng berhasil menyelamatkan diri bersama Nyai Sagopi dan Rara
Sati. Mereka bertiga berboncengan naik kuda yang dikendalikan oleh Rara Sati. Ditya
Kalanasura tidak putus asa mengejar mereka bertiga. Ketika hampir tertangkap, Rara Ireng
berhasil merayu Ditya Kalanasura menggunakan ilmu gendam pengasihan seperti yang
pernah diajarkan Narayana kepadanya. Karena terkena pengaruh ilmu tersebut, Ditya
Kalanasura menjadi lupa diri dan ia pun jatuh cinta kepada Rara Ireng. Melihat pohon seperti
gadis itu dan ia pun merayunya seperti orang gila. Kesempatan ini segera dimanfaatkan
Rara Sati untuk memacu kembali kudanya, membawa pergi Nyai Sagopi dan Rara Ireng.
Setelah Rara Ireng pergi, pengaruh ilmu gendam menjadi luntur. Kesadaran Ditya
Kalanasura kembali dan ia pun bergegas mengejar. Demikianlah seterusnya, selalu terjadi
kejar-kejaran antara mereka hingga tujuh hari pun terlewati.
Pada hari ketujuh tersebut, kuda yang dikendarai Rara Sati hampir saja menabrak
seorang pendeta muda berparas tampan dan berwajah berewok, yang diiringi empat orang
panakawan. Pendeta tampan tersebut tidak lain adalah Raden Permadi yang sedang dalam
penyamaran memakai nama Wasi Parta, sedangkan keempat panakawan adalah Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Tidak lama kemudian, Ditya Kalanasura muncul mengejar Rara Ireng. Tanpa banyak
bicara, Wasi Parta segera maju menghadapi raksasa tersebut untuk melindungi ketiga
perempuan yang sedang dikejar-kejar itu. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara
mereka. Kesempatan ini segera dimanfaatkan Rara Sati untuk kembali memacu kuda
meloloskan diri dari Ditya Kalanasura.

WASI PARTA MATI DAN HIDUP KEMBALI


Belum jauh Rara Sati memacu kudanya, tiba-tiba di tengah jalan tampak Kakrasana
sedang berjalan kaki. Rara Sati, Rara Ireng, dan Nyai Sagopi segera turun dari kuda dan
menangis haru di hadapan pemuda bule tersebut. Demikian pula dengan Kakrasana juga
sangat bersyukur bisa bertemu lagi dengan mereka. Rara Ireng lalu bercerita bahwa selama
tujuh hari ini dirinya dikejar-kejar oleh orang yang hendak menangkapnya. Tidak lama
kemudian, Wasi Parta muncul setelah dirinya berhasil menewaskan Ditya Kalanasura.
Tanpa pikir panjang, Kakrasana langsung memukulnya menggunakan Gada Alugora.
KITAB WAYANG PURWA

Karena dipukul secara mendadak, Wasi Parta tidak sempat melawan sehingga ia pun jatuh
tersungkur dan kehilangan nyawa.
Rara Ireng, Rara Sati, dan Nyai Sagopi menjerit keras melihat Kakrasana membunuh
pendeta muda itu. Rara Ireng menjelaskan bahwa Wasi Parta bukan orang yang mengejar-
ngejar dirinya, melainkan justru telah menolongnya menghadapi si pengejar itu. Kakrasana
menyesal telah terburu nafsu. Ia merasa berdosa karena membunuh orang yang justru
berusaha melindungi adiknya.
Sungguh kebetulan, tiba-tiba muncul pula Narayana dan Udawa. Nyai Sagopi dan
yang lain terharu bahagia karena kini mereka satu keluarga bisa berkumpul kembali, kecuali
Buyut Antyagopa. Narayana menjelaskan bahwa Buyut Antyagopa sudah meninggal dunia.
Setelah turun dari Gunung Utarayana, ia dan Udawa pulang ke Desa Widarakandang dan
mendapati Buyut Antyagopa sudah tidak bernyawa dan di sekitarnya banyak dijumpai mayat
para prajurit Sengkapura. Kakrasana menjelaskan bahwa dirinya memang melihat sendiri
Buyut Antyagopa memilih bunuh diri daripada menjadi tawanan Ditya Kalanasura. Namun,
ia tidak sempat menguburkan jasad ayah asuhnya itu karena dikejar-kejar oleh para prajurit
Sengkapura. Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati menangis mendengar nasib yang
menimpa Buyut Antyagopa tersebut.
Rara Ireng lalu bercerita bahwa Kakrasana baru saja membunuh Wasi Parta, padahal
Wasi Parta telah menolongnya dari kejaran Ditya Kalanasura. Narayana segera
mengheningkan cipta dan mengeluarkan Kembang Wijayakusuma. Begitu bunga pusaka
tersebut diletakkan di atas kepala Wasi Parta, seketika pendeta muda itu pun hidup kembali
seperti bangun dari tidur. Luka di kepalanya akibat pukulan Gada Alugora seketika tertutup
dan tidak lagi mengeluarkan darah.
Kakrasana dan yang lain takjub melihat keampuhan Kembang Wijayakusuma yang
bisa menghidupkan orang mati. Kakrasana lalu meminta maaf karena dirinya terburu nafsu
mengira Wasi Parta adalah orang yang telah mengejar-ngejar Rara Ireng. Narayana yang
kini menguasai ilmu kawaskitan pemberian Resi Padmanaba dapat mengetahui bahwa
Wasi Parta tidak lain adalah Raden Permadi, Pandawa nomor tiga, putra Dewi Kunti yang
sedang menyamar. Narayana menjelaskan pula bahwa Resi Padmanaba telah bercerita
bahwa dirinya bukan anak kandung Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi, melainkan putra
Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura. Kakrasana juga mengetahui hal itu dari Batara
Brahma. Karena Prabu Basudewa adalah kakak kandung Dewi Kunti, itu berarti Raden
Permadi adalah sepupu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng. Nyai Sagopi pun
membenarkan hal itu.
Kakrasana bercerita pula bahwa dirinya baru saja turun dari Gunung Rewataka dan
kini hendak menuju Kerajaan Mandura untuk membebaskan Prabu Basudewa dari
cengkeraman Prabu Kangsadewa. Narayana dan Udawa pun berniat demikian. Kabarnya
hari ini Prabu Kangsadewa hendak mengadakan pertunjukan Adu Jago di alun-alun ibu
kota. Dalam pertunjukan itu, Prabu Basudewa rencananya akan dibunuh di depan rakyatnya
sendiri. Oleh sebab itu, Kakrasana dan Narayana pun berangkat lebih dulu sebelum
terlambat, sedangkan Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati berjalan di belakang bersama
Raden Permadi, Udawa, dan para panakawan.

ARYAPRABU RUKMA MENDAPAT BANTUAN RADEN BRATASENA


Sementara itu, Aryaprabu Rukma yang berhasil meloloskan diri dari Desa
Widarakandang selama tujuh hari ini bersembunyi di Gunung Saptaarga, meminta
perlindungan Bagawan Abyasa. Hari itu datang pula Raden Bratasena (yang menyamar
sebagai Wasi Balawa) mengunjungi sang kakek dan bercerita tentang perbuatan para
Kurawa dan Patih Sangkuni yang telah membakar Balai Sigala-gala. Raden Bratasena
KITAB WAYANG PURWA

mengabarkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya kini masih hidup dan sedang menyamar
sebagai para pendeta. Bagawan Abyasa bersyukur mendengar kelima cucu dan
menantunya selamat dari peristiwa kebakaran tersebut.
Raden Bratasena lalu bercerita bahwa kedatangannya ke Gunung Saptaarga adalah
untuk meminta petunjuk tentang keberadaan adiknya, yaitu Raden Permadi yang pergi
tanpa pamit. Awal mulanya, Dewi Kunti memerintahkan Raden Bratasena dan Raden
Permadi berpencar mencari makanan untuk si kembar. Keduanya masing-masing kembali
dengan membawa tumpeng lengkap dengan lauknya. Namun, Dewi Kunti memilih tumpeng
yang dibawa Raden Bratasena karena diperoleh dari hasil mengadu nyawa, sedangkan
tumpeng yang dibawa Raden Permadi ditolak karena diperoleh dari hasil menggoda istri
orang. Sejak kejadian itu Raden Permadi menjadi murung dan akhirnya pergi berkelana
tanpa pamit bersama para panakawan.
Bagawan Abyasa memberikan petunjuk bahwa Raden Bratasena bisa bertemu
dengan adiknya itu apabila ia mau membantu Aryaprabu Rukma menyelamatkan Prabu
Basudewa. Raden Bratasena menyatakan bersedia. Bagawan Abyasa pun
memperkenalkannya dengan Aryaprabu Rukma yang tidak lain adalah adik Dewi Kunti atau
pamannya sendiri. Aryaprabu Rukma sangat senang bisa berjumpa dengan keponakannya
itu. Mereka lalu mohon pamit berangkat bersama menuju Kerajaan Mandura.

WASI BALAWA MENANTANG PATIH SURATIMANTRA


Di alun-alun ibu kota Mandura kini telah berdiri sebuah panggung besar. Segenap
rakyat Mandura pun berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Adu Jago yang akan digelar
di hari itu. Prabu Kangsadewa berdiri di atas panggung bersama Prabu Basudewa dan Arya
Ugrasena yang masih terikat rantai. Prabu Kangsadewa mengumumkan bahwa hari ini
Patih Suratimantra akan bertindak sebagai jago menghadapi pemuda berkulit bule dan
hitam bernama Kakrasana dan Narayana dari Desa Widarakandang. Apabila kedua
pemuda itu tidak muncul, maka Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena akan disembelih di
hadapan banyak orang.
Tiba-tiba datanglah Aryaprabu Rukma dan Wasi Balawa (nama samaran Raden
Bratasena) yang langsung naik ke atas panggung. Aryaprabu Rukma berkata bahwa dirinya
gagal menemukan Kakrasana dan Narayana. Sebagai gantinya, ia membawa seorang
pendeta muda bertubuh tinggi besar sebagai lawan Patih Suratimantra. Apabila jagonya ini
kalah, maka Aryaprabu Rukma bersedia ikut disembelih bersama Prabu Basudewa dan
Arya Ugrasena. Akan tetapi, jika jagonya menang, maka Prabu Kangsadewa harus dihukum
mati di hadapan segenap rakyat Mandura.
Prabu Kangsadewa menolak tantangan tersebut. Dalam hal ini dirinya merasa lebih
berkuasa dan lebih berhak menentukan aturan, bukannya Aryaprabu Rukma. Wasi Balawa
mengejek Prabu Kangsadewa berjiwa pengecut, hanya berani berteriak-teriak menakuti
rakyat, padahal tidak punya nyali. Jangankan melawan Patih Suratimantra, bahkan Wasi
Balawa mengaku sanggup jika Prabu Kangsadewa ikut maju mengeroyoknya.
Prabu Kangsadewa termakan ejekan Wasi Balawa. Ia marah-marah dan
memerintahkan Patih Suratimantra untuk melayani tantangan tersebut. Rakyat pun
bersorak-sorai. Mereka berharap Wasi Balawa mampu menyelamatkan nasib Kerajaan
Mandura dari cengkeraman Prabu Kangsadewa.

KEMATIAN PATIH SURATIMANTRA DAN PRABU KANGSADEWA


Pertandingan Adu Jago pun dimulai. Patih Suratimantra bertarung melawan Wasi
Balawa di atas panggung. Meskipun masih muda, namun Wasi Balawa memiliki
KITAB WAYANG PURWA

pengalaman bertarung lumayan banyak, antara lain pernah menghadapi Prabu Suksara,
Arya Gandamana, Prabu Jalasengara, dan Prabu Baka. Maka, ia pun mampu mengimbangi
kesaktian dan kekuatan Patih Suratimantra.
Sebaliknya, Patih Suratimantra merasa heran melihat ada seorang pendeta muda
yang ternyata sulit sekali dikalahkan. Setelah bertarung cukup lama, Patih Suratimantra
akhirnya terdesak kalah. Wasi Balawa berhasil menangkap tubuhnya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi hendak dibanting ke lantai panggung.
Ketika tubuhnya diangkat tinggi itulah, Patih Suratimantra sempat melihat dua pemuda
berkulit bule dan hitam baru saja datang dan menyelinap di antara para penonton. Patih
Suratimantra pun meronta sehingga dirinya berhasil bebas dari cengkeraman Wasi Balawa.
Patih raksasa itu lalu melompat ke arah Kakrasana dan Narayana, hendak menangkap
mereka berdua.
Kakrasana dengan cekatan membaca mantra dan mengeluarkan Gada Alugora.
Begitu Patih Suratimantra mendekat, ia langsung menghantam kepalanya menggunakan
gada berwujud alu tersebut. Seketika Patih Suratimantra pun tewas dengan kepala pecah.
Prabu Kangsadewa terkejut melihat pamannya tewas dibunuh pemuda bule. Ia pun
menyerang Kakrasana dengan membawa Gada Lohitamuka. Maka, terjadilah pertarungan
adu gada antara Prabu Kangsadewa dan Kakrasana. Ketika mereka saling tangkis, Gada
Alugora dan Gada Lohitamuka sama-sama terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah. Prabu
Kangsadewa dan Kakrasana melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong. Kali ini
Prabu Kangsadewa lebih unggul dan ia berhasil meringkus Kakrasana dan mencekik
lehernya menggunakan tangan kanan.
Narayana maju berusaha menolong kakaknya. Namun, Prabu Kangsadewa dengan
cekatan meringkusnya pula. Kedua pemuda itu kini sama-sama berada dalam cengkeraman
Prabu Kangsadewa. Kakrasana dicekik menggunakan tangan kanan, sedangkan Narayana
dicekik menggunakan tangan kiri. Wasi Balawa dan Aryaprabu Rukma berusaha menolong
namun mereka dikeroyok para raksasa Sengkapura.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Rara Ireng bersama Wasi Parta. Rara Ireng segera
mengerahkan ilmu gendam pengasihan, membuat Prabu Kangsadewa terlena dan kurang
waspada. Karena lengah melihat kecantikan gadis itu, Prabu Kangsadewa tidak menyadari
kalau Wasi Parta telah melepaskan panah yang meluncur dan menancap tepat di dadanya.
Prabu Kangsadewa pun kesakitan dan membuat cengkeramannya menjadi kendur.
Kakrasana dan Narayana berhasil lolos dari cekikan lawan. Mereka pun segera
mengeluarkan pusaka masing-masing. Dari tangan Narayana muncul senjata Cakra
Sudarsana yang melesat memenggal kepala Prabu Kangsadewa. Pada saat yang sama,
senjata Nanggala di tangan Kakrasana juga menghantam perut Prabu Kangsadewa hingga
terbakar menjadi arang.
Melihat sang raja telah binasa, para prajurit Sengkapura pun berhamburan. Ada yang
menyerah takluk dan ada pula yang melarikan diri.

RADEN BRATASENA MENDAPATKAN GADA RUJAKPOLO


Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita telah membuka rantai yang mengikat Prabu
Basudewa dan Arya Ugrasena. Prabu Basudewa segera memeluk Kakrasana, Narayana,
dan Rara Ireng, serta mengumumkan kepada segenap rakyat yang menyaksikan bahwa
mereka bertiga adalah anak-anaknya yang sejak kecil dititipkan pada Buyut Antyagopa dan
Nyai Sagopi di Desa Widarakandang. Prabu Basudewa juga berterima kasih kepada Wasi
KITAB WAYANG PURWA

Balawa dan Wasi Parta yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, putra-putra Dewi
Kunti.
Kakrasana lalu memungut Gada Alugora miliknya yang masih tergeletak di tanah sejak
pertarungan tadi. Adapun Gada Lohitamuka milik Prabu Kangsadewa juga masih tergeletak
karena tidak ada seorang pun yang mampu memindahkannya. Prabu Basudewa lalu
memerintahkan Wasi Balawa untuk mengangkat gada besar tersebut. Wasi Balawa
menyanggupi. Dengan penuh hormat, ia pun memegang Gada Lohitamuka dan berhasil
mengangkatnya. Prabu Basudewa kagum dan mempersilakan Wasi Balawa untuk memiliki
gada besar tersebut. Wasi Balawa bersedia. Ia lalu mengganti nama Gada Lohitamuka
menjadi Gada Rujakpolo.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI RAJA


Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Basudewa kembali menduduki takhta
Kerajaan Mandura. Ia mengangkat Kakrasana sebagai pangeran mahkota, sedangkan
Hutan Banjarpatoman diserahkan kepada Narayana supaya dibuka menjadi puri kasatrian.
Prabu Basudewa juga menetapkan kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dan Arya
Ugrasena menjadi raja yang merdeka, tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura. Mulai
hari ini, Aryaprabu Rukma dilantik sebagai raja Kumbina, bergelar Prabu Bismaka,
sedangkan Arya Ugrasena dilantik sebagai raja Lesanpura, bergelar Prabu Satyajit.
Setelah upacara pelantikan selesai, Wasi Balawa dan Wasi Parta beserta para
panakawan mohon pamit kembali ke tempat ibu dan saudara-saudara mereka yang saat ini
masih tinggal di wilayah Kerajaan Ekacakra.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Kisah kematian Prabu Kangsa menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja
Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra
angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir
sirna”.

Kakrasana Narayana
KITAB WAYANG PURWA

SAYEMBARA DRUPADI
Kisah ini menceritakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi, putri sulung Prabu
Drupada. Sayembara berupa adu keterampilan memanah, serta pertandingan melawan
Arya Gandamana. Dalam sayembara ini Arya Gandamana gugur dan sempat
mewariskan ilmunya kepada para Pandawa. Adapun Dewi Drupadi akhirnya menjadi
istri Raden Puntadewa.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, serta rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo dan Ki
Manteb Soedharsono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 September 2016
Heri Purwanto

Dewi Drupadi

PARA RAJA DAN PANGERAN BERKUMPUL MELAMAR DEWI DRUPADI


Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) sedang memimpin
pertemuan, dihadap Arya Gandamana (adik ipar), Raden Drestajumena (putra mahkota),
dan Patih Drestaketu (menteri utama). Hari itu mereka membahas tentang para raja dan
pangeran dari berbagai negeri yang berkumpul di luar istana dengan maksud dan tujuan
sama, yaitu melamar Dewi Drupadi, putri sulung Prabu Drupada yang terkenal
kecantikannya.
Prabu Drupada merasa bingung menentukan pilihan. Apabila ia menerima pinangan
salah satu dari mereka, maka yang lainnya pasti akan tersinggung dan tidak terima.
Dikhawatirkan mereka akan bersatu menggempur Kerajaan Cempalareja untuk
melampiaskan kekesalan.
Raden Drestajumena mengusulkan kepada sang ayah agar mengadakan sayembara
untuk menentukan siapa yang berhak menjadi suami kakaknya. Adapun bentuk sayembara
itu adalah perlombaan adu keterampilan memanah. Selama berguru kepada Resi Druna di
Padepokan Sokalima, ilmu memanah adalah pelajaran yang paling ia sukai, sehingga ketika
membicarakan bentuk sayembara, maka yang pertama muncul dalam pikirannya adalah
sayembara memanah.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Drestajumena mengusulkan agar dalam sayembara memanah nanti, busur


yang digunakan adalah Busur Gandiwa, warisan turun-temurun Kerajaan Duhyapura. Busur
pusaka ini sangat berat dan seolah bisa memilih siapa orang yang boleh mengangkatnya.
Dulu ketika Kerajaan Duhyapura hancur diserang Prabu Bahlika dari Siwandapura, Busur
Gandiwa berhasil diselamatkan oleh Patih Suganda (yang kemudian bergelar Prabu
Gandabayu, raja Pancala pertama). Konon saat itu Patih Suganda membutuhkan seratus
orang prajurit untuk mengangkut busur pusaka tersebut.
Mengenai sasaran yang harus dipanah dalam sayembara tersebut adalah sehelai
rambut milik Dewi Drupadi yang diikat tinggi di atas tiang. Si pemanah juga tidak boleh
melihat langsung kepada sasaran, tetapi harus melalui cermin. Prabu Drupada merasa
persyaratan sayembara yang diusulkan putranya ini terlalu sulit. Jangankan membidik
sasaran yang sangat kecil tersebut melalui cermin, sedangkan mengangkat Busur Gandiwa
saja belum tentu ada raja dan pangeran yang mampu melakukannya.
Arya Gandamana tidak setuju dengan ucapan Prabu Drupada. Menurutnya, ada
seorang kesatria yang mampu membidik sasaran sulit tersebut, yaitu Raden Arjuna
(Permadi), putra Prabu Pandu. Menurut berita yang beredar, Raden Arjuna telah tewas
dalam peristiwa kebakaran di Waranawata. Namun demikian, Arya Gandamana tetap yakin
keponakannya itu pasti masih hidup sampai sekarang.
Prabu Drupada sendiri tidak yakin apa mungkin para Pandawa bisa selamat dari
peristiwa kebakaran tersebut. Namun, ia mengembalikan semuanya kepada Sang Pencipta.
Jika memang para Pandawa masih hidup, semoga salah satu dari mereka bisa menjadi
suami dari putrinya.
Setelah berpikir demikian, Prabu Drupada pun membubarkan pertemuan dan ia
memerintahkan Raden Drestajumena dan Patih Drestaketu untuk mempersiapkan
sayembara.

SAYEMBARA MEMANAH UNTUK DEWI DRUPADI DIMULAI


Raden Drestajumena dibantu Patih Drestaketu telah mendirikan tiang setinggi tujuh
puluh depa, yang di puncaknya terikat sehelai rambut milik Dewi Drupadi. Para raja dan
pangeran dari berbagai negara berkumpul di dekat tempat itu, sedangkan Prabu Drupada,
Dewi Gandawati, Arya Gandamana, Dewi Drupadi, dan Dewi Srikandi menonton dari
kejauhan.
Raden Drestajumena mengumumkan tata cara sayembara. Barangsiapa mampu
memanah sehelai rambut di atas tiang tinggi tersebut sambil memandang cermin
menggunakan Busur Gandiwa, maka ia berhak memperistri Dewi Drupadi, kakak
sulungnya. Busur Gandiwa pun telah disiapkan di dekat tiang, yang mana untuk
mengangkutnya tadi dibutuhkan seratus orang prajurit.
Peserta yang pertama kali maju adalah Adipati Jayadrata dari Banakeling. Ia berusaha
mengangkat Busur Gandiwa dengan sekuat tenaga tetapi gagal. Dengan perasaan malu, ia
pun pulang meninggalkan tempat itu, kembali ke negerinya.
Peserta yang kedua adalah Prabu Jarasanda raja Magada. Dengan langkah sombong
penuh percaya diri ia berusaha mengangkat Busur Gandiwa. Akan tetapi, semakin ia
mengerahkan tenaga, busur itu terasa semakin berat. Dengan wajah merah menahan malu,
ia pun undur diri kembali ke negerinya.
Peserta yang ketiga adalah Prabu Salya raja Mandraka. Ia berkata bahwa dirinya
mengikuti sayembara bukan untuk memperistri Dewi Drupadi, tetapi untuk menjadikannya
sebagai menantu. Prabu Drupada dari kejauhan mempersilakan sahabatnya itu untuk
KITAB WAYANG PURWA

mencoba. Prabu Salya pun mengerahkan Aji Candabirawa untuk mengerahkan para
raksasa ganas dari dalam dirinya agar turut membantu mengangkat Busur Gandiwa. Namun
demikian, semakin mereka berusaha, busur pusaka itu terasa semakin berat. Prabu Salya
akhirnya menyerah. Ia memasukkan kembali para raksasa Candabirawa ke dalam
tubuhnya, kemudian mohon pamit pulang ke Kerajaan Mandraka.

DEWI DRUPADI MENGHINA RADEN SURYAPUTRA


Setelah Adipati Jayadrata, Prabu Jarasanda, dan Prabu Salya pulang meninggalkan
tempat sayembara, para raja dan pangeran lainnya merasa gentar untuk mencoba.
Perwakilan dari Kerajaan Hastina, yaitu Raden Kurupati (Suyudana) datang bersama adik-
adiknya (para Kurawa), serta Patih Sangkuni dan Raden Suryaputra. Raden Kurupati
merasa sayembara ini terlalu sulit untuknya dan ia tidak mau menjadi bahan tertawaan para
hadirin. Raden Suryaputra lalu berbisik kepada sahabatnya itu bahwa dirinya yang akan
maju mewakili untuk mendapatkan Dewi Drupadi. Raden Kurupati merasa senang dan ia
pun mempersilakan Raden Suryaputra untuk mencoba.
Raden Suryaputra melangkah maju mendekati Busur Gandiwa. Meskipun biasanya ia
bersikap angkuh dan sombong, namun hari itu ia memandang Busur Gandiwa dengan
penuh penghormatan. Setelah menyembah tiga kali, ia lantas mengangkat busur pusaka
tersebut. Sungguh ajaib, Busur Gandiwa seolah merelakan dirinya diangkat oleh Raden
Suryaputra. Jika orang lain merasa Busur Gandiwa sangat berat, maka Raden Suryaputra
merasa busur pusaka ini sangat ringan dan juga lentur.
Para hadirin pun bersorak-sorak memuji Raden Suryaputra anak Adipati Adirata
sebagai calon pemenang. Tiba-tiba Dewi Drupadi melangkah maju menghampiri Raden
Suryaputra yang sudah bersiap hendak membidik sasaran melalui cermin. Ia mendapat
firasat bahwa pemuda ini bukanlah jodohnya. Maka, dengan segala cara ia pun berusaha
menggagalkan Raden Suryaputra. Dengan suara lembut tetapi keras, Dewi Drupadi berkata
bahwa ia tidak mau menjadi istri dari putra seorang kusir kereta.
Raden Suryaputra sangat tersinggung mendengarnya. Prabu Drupada menyusul
putrinya dan mengatakan bahwa Kyai Adirata ayah Raden Suryaputra bukan lagi seorang
kusir kereta, tetapi sudah diangkat menjadi adipati di Petapralaya. Namun, Dewi Drupadi
tetap tidak bersedia jika Raden Suryaputra melanjutkan sayembara. Ia menganggap Raden
Suryaputra hanyalah seorang “kere munggah bale”. Meskipun kini Raden Suryaputra
menjadi anak seorang adipati, namun itu adalah pemberian Raden Kurupati. Yang namanya
kaum sudra tetap berjiwa buruh, meskipun memakai baju bangsawan.
Raden Suryaputra semakin marah mendengar penghinaan Dewi Drupadi. Ia
meletakkan Busur Gandiwa, lalu berkata semoga suatu hari nanti Dewi Drupadi
mendapatkan pembalasan, yaitu dihina di depan umum. Ia berharap semoga dirinya
panjang umur dan bisa menyaksikan penghinaan atas Dewi Drupadi tersebut. Setelah
mengutuk demikian, Raden Suryaputra lalu pergi meninggalkan Kerajaan Cempalareja,
sedangkan Dewi Drupadi mundur sambil menangis.

ARYA GANDAMANA MENGADAKAN SAYEMBARA TANDING


Raden Kurupati marah atas penghinaan Dewi Drupadi terhadap sahabatnya. Kini
Raden Suryaputra yang menjadi andalannya telah pulang ke Petapralaya. Ia pun maju dan
berbicara lantang di hadapan para hadirin, bahwa sayembara ini adalah sayembara
mustahil. Prabu Drupada tidak berniat mencari menantu, tetapi berniat ingin
mempermalukan para raja dan pangeran dari berbagai negara.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni maju dan meminta maaf kepada Prabu Drupada atas kelancangan
Raden Kurupati. Ia mencoba meluruskan maksud keponakannya itu dengan mengatakan
bahwa Prabu Drupada sudah berniat baik yaitu mencari calon suami untuk Dewi Drupadi
melalui sayembara. Akan tetapi, mengapa harus dibatasi yang pandai memanah saja?
Sebenarnya Prabu Drupada ingin mencari menantu ataukah ingin mencari pemanah jitu?
Di dunia ini hanya ada dua kesatria yang ahli panah, yaitu Raden Suryaputra dan Raden
Arjuna. Raden Suryaputra sudah terlanjur pulang karena dihina, sedangkan Raden Arjuna
sudah meninggal dunia. Apakah Prabu Drupada rela melihat Dewi Drupadi menjadi
perawan tua karena tidak ada lagi raja dan pangeran yang sanggup menyelesaikan
sayembara? Apa tidak sebaiknya sayembara ini diubah menjadi yang lebih umum saja,
misalnya melalui pertandingan adu kesaktian? Bukankah jenis senjata para kesatria di dunia
ini ada bermacam-macam, mengapa harus terbatas pada panah saja?
Arya Gandamana yang sejak dulu membenci Patih Sangkuni segera menanggapi,
bahwa dirinya siap menjadi jago jika memang sayembara panah diubah menjadi sayembara
tanding. Ia pun memohon kepada Prabu Drupada agar diizinkan untuk mewujudkan hal itu,
sama seperti dulu ia pernah mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan suami
kakaknya, yaitu Dewi Gandawati. Prabu Drupada mengizinkan Arya Gandamana untuk
menggelar sayembara tanding tersebut, karena dalam hati ia juga merasa khawatir jika
putrinya menjadi perawan tua karena sayembara yang digelar Raden Drestajumena terlalu
sulit.
Arya Gandamana kemudian berkata kepada para hadirin bahwa mulai saat ini
sayembara panah diubah menjadi sayembara tanding. Barangsiapa bisa mengalahkan
dirinya, maka ia berhak memboyong Dewi Drupadi, keponakannya. Terserah para pelamar
boleh menggunakan senjata jenis apa, Arya Gandamana siap menghadapi dengan tangan
kosong.
Raden Kurupati yang sejak tadi memendam kekesalan karena sahabatnya dihina,
segera maju untuk menantang Arya Gandamana. Mereka berdua pun bertanding satu lawan
satu. Selang agak lama Raden Kurupati terdesak dan segera mengambil senjata gada.
Namun demikian, Arya Gandamana tetap unggul. Sampai akhirnya tubuh Raden Kurupati
berhasil dilemparkannya dengan sekuat tenaga, hingga jatuh di hutan luar kota.
Patih Sangkuni segera memerintahkan Raden Dursasana untuk maju melawan Arya
Gandamana. Sama seperti kakaknya, Raden Dursasana juga kalah dan tubuhnya dilempar
ke luar kota. Merasa tidak puas, Patih Sangkuni segera memerintahkan para Kurawa
lainnya, seperti Raden Kartawarma, Raden Surtayu, Raden Durmuka, Raden Durjaya,
Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi untuk maju mengeroyok Arya
Gandamana. Namun sedikit pun Arya Gandamana tidak gentar. Dengan mengerahkan Aji
Bandung Bandawasa, ia melemparkan semua pangeran Hastina itu jauh-jauh
meninggalkan gelanggang sayembara.
Para raja dan pangeran lainnya, termasuk Patih Sangkuni ngeri melihat kekuatan Arya
Gandamana. Mereka pun membubarkan diri, meninggalkan tempat tersebut dan menyusul
ke mana jatuhnya para Kurawa. Seketika suasana kini berubah menjadi sepi, sungguh
berbeda dengan sebelumnya.

PARA PANDAWA DAN DEWI KUNTI BERTEMU RESI DOMYA


Sementara itu, para Pandawa dan Dewi Kunti telah meninggalkan Kerajaan Ekacakra
dan melanjutkan perjalanan mereka mengembara. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan
Resi Domya yang merupakan sahabat sekaligus murid Bagawan Abyasa.
KITAB WAYANG PURWA

Meskipun kelima Pandawa dan Dewi Kunti menyamar sebagai kaum brahmana,
namun Resi Domya dapat mengenali mereka. Resi Domya pun berkata bahwa dirinya baru
saja pulang dari Padepokan Saptaarga menemui Bagawan Abyasa. Dalam pertemuan itu,
Bagawan Abyasa bercerita bahwa semasa hidupnya, Prabu Pandu (ayah para Pandawa)
pernah membantu Arya Sucitra memenangkan sayembara tanding mengalahkan Arya
Gandamana sehingga bisa memperistri Dewi Gandawati. Kemudian Arya Sucitra mewarisi
takhta Kerajaan Pancala dan bergelar Prabu Drupada. Atas keberhasilannya itu, ia berniat
semoga kelak bisa berbesan dengan Prabu Pandu. Menurut ramalan Bagawan Abyasa, kini
sudah saatnya putri Prabu Drupada menjadi istri salah satu dari para Pandawa.
Sungguh kebetulan, Resi Domya mendengar kabar bahwa Prabu Drupada
mengadakan sayembara untuk mencari calon suami Dewi Drupadi. Untuk itu, ia pun
meminta izin kepada Dewi Kunti agar boleh mengajak para Pandawa mengikuti sayembara
tersebut.
Dewi Kunti mengaku dirinya pernah mendengar cerita mendiang Prabu Pandu bahwa
Prabu Drupada ingin berbesan dengan mereka. Maka, Dewi Kunti pun mengizinkan Resi
Domya berangkat lebih dulu bersama Raden Puntadewa, Raden Bratasena (Bima), dan
Raden Permadi (Arjuna).
Demikianlah, Resi Domya pun mohon pamit dan segera berangkat menuju Kerajaan
Cempalareja bersama tiga Pandawa itu, dan juga panakawan Petruk dan Bagong. Adapun
Dewi Kunti berjalan di belakang bersama si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa,
serta panakawan Kyai Semar dan Nala Gareng.

ARYA GANDAMANA MENGHADAPI RADEN KAKRASANA


Pada saat yang sama, Prabu Basudewa raja Mandura juga memerintahkan kedua
putranya, yaitu Raden Kakrasana dan Raden Narayana agar mengikuti sayembara di
Cempalareja. Mereka pun berangkat dengan disertai Dewi Bratajaya (Rara Ireng) dan juga
Arya Udawa. Dalam perjalanan menuju ke sana, Raden Narayana mengaku malas
mengikuti sayembara tersebut karena ia yakin Dewi Drupadi bukanlah jodohnya.
Sebaliknya, Raden Kakrasana tidak peduli perempuan itu menjadi jodohnya atau tidak, yang
penting perintah orang tua harus segera dilaksanakan.
Rombongan Raden Kakrasana itu akhirnya tiba di Kerajaan Cempalareja. Mereka pun
memperkenalkan diri sebagai utusan Prabu Basudewa. Prabu Drupada menyambut mereka
dengan ramah dan mempersilakan untuk mengikuti sayembara tanding, melawan Arya
Gandamana.
Raden Kakrasana maju ke gelanggang, berhadapan dengan Arya Gandamana.
Keduanya bertanding tangan kosong saling mengadu kesaktian. Arya Gandamana merasa
lawannya kali ini sungguh perkasa, jelas berbeda dibanding para Kurawa tadi. Raden
Kakrasana sendiri mengerahkan Aji Balarama yang membuat tubuhnya lebih kuat dan tidak
mudah letih. Tenaganya seperti tidak pernah habis, membuat Arya Gandamana lama-lama
terdesak kewalahan.
Arya Gandamana segera mengimbangi dengan mengerahkan Aji Bandung
Bandawasa dan Aji Blabak Pangantol-antol sekaligus. Raden Kakrasana yang merasa
sudah menang menjadi lengah. Tubuhnya pun terlempar jauh oleh kekuatan Arya
Gandamana. Raden Narayana, Dewi Bratajaya, dan Arya Udawa segera menyusul ke mana
jatuhnya saudara mereka itu.
Raden Narayana lalu menemukan Raden Kakrasana terjepit di antara dua bongkah
batu besar, di luar ibu kota Cempalareja. Raden Kakrasana tampak merintih kesakitan minta
ditolong. Raden Narayana lalu meraba kedua batu besar itu menggunakan Aji Balasrewu.
KITAB WAYANG PURWA

Sungguh ajaib, hanya dengan diraba saja kedua batu besar itu langsung hancur menjadi
abu.
Raden Kakrasana berterima kasih dan memuji kesaktian adiknya. Andai Raden
Narayana bersedia mengikuti sayembara, pasti ia mampu mengalahkan Arya Gandamana.
Namun, Raden Narayana tetap menolak karena ia yakin Dewi Drupadi bukan jodohnya.
Raden Kakrasana menjadi bimbang apakah dirinya perlu melanjutkan sayembara itu sesuai
perintah orang tua ataukah tidak. Raden Narayana menyarankan agar sang kakak memiliki
pendirian sendiri. Mematuhi perintah orang tua adalah kewajiban. Tetapi kalau perintah itu
tidak selaras dengan ketentuan Sang Pencipta apakah harus tetap dijalankan?
Raden Narayana menyarankan lebih baik Raden Kakrasana pergi bertapa ke Gunung
Rewataka, menyempurnakan ilmu dan menyerahkan diri kepada takdir Tuhan. Urusan
jodoh dan rejeki kelak pasti akan terbuka jalan apabila Raden Kakrasana mau berusaha
memperbaiki dirinya.
Raden Kakrasana menerima saran sang adik. Ia balik bertanya ke mana Raden
Narayana akan pergi. Raden Narayana berkata bahwa tadi malam ia mimpi mendapat
perintah dewa agar berziarah ke makam kakek dan neneknya, yaitu Prabu Kuntiboja dan
Dewi Bandondari di Astana Gandamadana. Setelah berziarah, hendaknya Raden Narayana
juga berguru kepada juru kunci astana, yaitu Kapi Jembawan. Raden Kakrasana heran
mengapa Raden Narayana harus berguru kepada kera tua macam dia. Raden Narayana
menjawab bahwa Kapi Jembawan bukan sekadar kera biasa, tetapi ia adalah mantan
pengikut Prabu Sri Rama di zaman dahulu, dan juga penasihat Prabu Sugriwa, raja bangsa
Wanara. Raden Narayana berpesan kepada Raden Kakrasana agar jangan mudah
merendahkan orang lain hanya karena melihat wujud luarnya saja.
Demikianlah, Raden Kakrasasana dan Raden Narayana pun berpisah. Raden
Kakrasana mengganti nama menjadi Wasi Jaladara dan berangkat menuju Gunung
Rewataka bersama Dewi Bratajaya, sedangkan Raden Narayana berangkat menuju Astana
Gandamadana bersama Arya Udawa.

ARYA GANDAMANA BERTANDING MELAWAN WASI BALAWA


Sementara itu, Arya Gandamana masih berdiri di gelanggang menunggu Raden
Kakrasana yang tak kunjung kembali untuk melanjutkan pertandingan melawan dirinya.
Bukannya pemuda bule yang muncul, tetapi empat orang pendeta yang tampak berjalan
memasuki alun-alun Cempalareja menghadap Prabu Drupada.
Pendeta yang paling tua bernama Resi Domya, sedangkan tiga yang muda bernama
Dwija Kangka, Wasi Balawa, dan Wasi Parta. Mereka memohon kepada Prabu Drupada
agar diizinkan mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Prabu Drupada
tersinggung melihat ada kaum pendeta miskin berani melamar putrinya. Ia pun mengusir
Resi Domya beserta ketiga muridnya itu dengan kasar.
Arya Gandamana sekilas dapat mengenali bahwa ketiga pendeta muda itu adalah
para Pandawa yang sedang menyamar. Ia pun meminta Prabu Drupada agar bersabar dan
jangan terburu nafsu menilai orang dari wujud luarnya. Siapa tahu ketiga pendeta ini
memang dikirim dewata untuk memenangkan Dewi Drupadi. Mendengar itu, amarah Prabu
Drupada reda dan ia pun mengizinkan mereka mengikuti sayembara. Namun demikian,
dalam hati ia berharap mereka segera kalah dalam waktu singkat.
Arya Gandamana kemudian berkata kepada Wasi Balawa agar dia saja yang
mengikuti sayembara tanding. Wasi Balawa segera naik ke atas gelanggang. Arya
Gandamana pun berbisik bahwa ia sudah tahu kalau Wasi Balawa adalah penyamaran
Raden Bratasena. Ia pun berkata bahwa dirinya akan bertanding pura-pura kalah supaya
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Drupadi bisa menjadi istri salah satu Pandawa. Wasi Balawa menolak dengan tegas.
Ia tidak mau diperlakukan istimewa. Pertandingan ini haruslah dilakukan dengan sungguh-
sungguh, bukan main-main.
Arya Gandamana bangga melihat sikap tegas keponakannya itu. Ia pun memulai
pertandingan. Keduanya segera bertarung tanpa senjata. Prabu Drupada sekeluarga
menonton dari jauh dan merasa kagum melihat ada seorang pendeta muda yang sanggup
mengimbangi kekuatan Arya Gandamana.
Demikianlah, pertarungan antara Arya Gandamana dan Wasi Balawa berlangsung
cukup lama. Hingga akhirnya Arya Gandamana lengah dan tubuhnya jatuh terkena
tendangan Wasi Balawa. Arya Gandamana merasa malu dan segera mengerahkan Aji
Bandung Bandawasa disertai Aji Blabak Pangantol-antol. Ketika lengah, Wasi Balawa pun
tertangkap dan diapit menggunakan ketiak.
Wasi Balawa merasa sesak kehabisan napas. Ia merintih menyebut nama
keluarganya satu persatu, mulai dari Ibu Kunti, kakak sulung, serta ketiga adiknya. Ia juga
menyebut nama Bapak Pandu dan Ibu Madrim yang sudah berada di alam baka.
Mendengar nama Prabu Pandu disebut, seketika perasaan Arya Gandamana menjadi sedih
dan tubuhnya pun gemetar.
Merasa ada peluang, Wasi Balawa segera meronta sekuat tenaga. Tanpa sadar, Kuku
Pancanaka di ibu jarinya pun memanjang dan menusuk dada Arya Gandamana hingga
tembus ke punggung. Arya Gandamana pun roboh bersimbah darah.

ARYA GANDAMANA MEWARISKAN ILMUNYA


Wasi Balawa menangis memeluk Arya Gandamana sambil meminta maaf karena tidak
sengaja telah melukai pamannya itu. Dwija Kangka dan Wasi Parta ikut mendekat
menghampiri mereka, begitu pula dengan Prabu Drupada sekeluarga segera meninggalkan
tempat duduk mereka masing-masing untuk melihat keadaan Arya Gandamana.
Arya Gandamana sama sekali tidak menyalahkan Wasi Balawa. Ia pun bercerita
kepada Prabu Drupada bahwa dulu dirinya pernah bertemu dengan pendeta tua sakti
bernama Resi Druwasa. Dalam pertemuan itu Resi Druwasa meramalkan bahwa suatu hari
Arya Gandamana akan meninggal di tangan putra Prabu Pandu. Namun demikian, ia akan
terlahir kembali sebagai putra dari putra Prabu Pandu tersebut. Hari ini ramalan itu menjadi
kenyataan. Arya Gandamana pun mengumumkan bahwa Wasi Balawa adalah penyamaran
Raden Bratasena, Dwija Kangka adalah penyamaran Raden Puntadewa, sedangkan Wasi
Parta adalah penyamaran Raden Permadi.
Prabu Drupada tergetar hatinya melihat para Pandawa masih hidup dan selamat dari
kebakaran di Kota Waranawata. Perasaannya sedih bercampur gembira, yaitu sedih karena
Arya Gandamana sebentar lagi meninggal dunia dan gembira karena cita-citanya berbesan
dengan mendiang Prabu Pandu dapat terlaksana.
Arya Gandamana sendiri merasa ajalnya sudah dekat. Ia lalu mengheningkan cipta
dan memindahkan ilmu kesaktiannya, yaitu Aji Bandung Bandawasa dan Aji Blabak
Pangantol-antol kepada Raden Bratasena. Setelah itu ia memindahkan kalung pusaka
Robyong Mustikarawis kepada Raden Puntadewa. Apabila Raden Puntadewa meraba
kalung tersebut, maka seketika ia akan berubah menjadi raksasa tinggi besar berwarna
putih. Yang terakhir, Arya Gandamana memindahkan Aji Saipi Angin kepada Raden
Permadi. Daya kekuatan ajian tersebut adalah membuat Raden Permadi bisa bergerak
cepat melebihi kecepatan angin.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Gandamana lalu berpesan bahwa kelak ia akan terlahir kembali ke dunia, menitis
kepada putra Raden Bratasena. Setelah berkata demikian, ia pun meninggal dunia dengan
senyum bahagia. Tubuhnya kemudian musnah bagaikan asap.

RADEN PERMADI MENUNTASKAN SAYEMBARA PANAH


Setelah Arya Gandamana meninggal, suasana menjadi hening. Tiba-tiba Raden
Drestajumena berkata lantang bahwa ia tidak percaya kalau ketiga pendeta muda miskin di
hadapannya adalah para Pandawa. Semasa hidupnya, Arya Gandamana selalu memuji-
muji Prabu Pandu dan kelima putranya. Selain itu, Resi Druna juga selalu memuji nama
Raden Arjuna Permadi sebagai pemanah terhebat di dunia. Raden Drestajumena risih
mendengar pujian-pujian tersebut. Baginya, Raden Arjuna adalah musuh besar, karena
pernah menangkap ayahnya dan menyebabkan Kerajaan Pancala terbelah menjadi dua.
Prabu Drupada melarang Raden Drestajumena membenci para Pandawa karena
mereka hanya menjalankan tugas dari Resi Druna, guru mereka. Lagipula soal Kerajaan
Pancala terbelah menjadi dua itu pun sudah suratan takdir karena ulah Prabu Drupada
sendiri yang mengingkari janji persahabatan dengan Resi Druna.
Raden Drestajumena tetap kukuh pada pendiriannya. Ia masih belum percaya kalau
ketiga pendeta muda itu adalah para Pandawa dan ia merasa khawatir jangan-jangan
pamannya mewariskan ilmu kepada orang yang salah. Untuk membuktikannya, ia pun
menantang Wasi Parta apakah sanggup menuntaskan sayembara panah yang ia gelar. Jika
Wasi Parta bisa membuktikan bahwa dirinya adalah Raden Arjuna si pemanah jitu, barulah
ia rela kakaknya diboyong para Pandawa.
Wasi Parta maju menerima tantangan Raden Drestajumena. Ia lalu menyembah
hormat kepada Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, kemudian melangkah mendekati
Busur Gandiwa. Dengan sikap santun penuh hormat, Wasi Parta menyembah busur pusaka
tersebut tiga kali kemudian mengangkatnya. Raden Drestajumena heran melihat Wasi Parta
sanggup mengangkat busur berat tersebut dengan mudah, seolah terasa ringan.
Wasi Parta lalu membidik sasaran berupa rambut yang diikat di ujung tiang dengan
cara melihat cermin. Setelah yakin, ia pun melepaskan panah dan secepat kilat panah itu
melesat mengenai sasaran. Panah itu kemudian jatuh di depan Raden Drestajumena, di
mana pada ujungnya telah tertancap sehelai rambut milik Dewi Drupadi.
Raden Drestajumena kagum bukan kepalang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana
panah yang dilepaskan Wasi Parta memotong rambut yang diikat di atas tiang dan
membawanya turun ke tanah tanpa terpisah. Dengan perasaan kagum ia pun menghormat
kepada Wasi Parta dan mengakuinya sebagai Raden Permadi.

RADEN PUNTADEWA MENJADI CALON SUAMI DEWI DRUPADI


Sayembara meminang Dewi Drupadi dinyatakan usai. Prabu Drupada lalu bertanya
siapa di antara Raden Bratasena dan Raden Permadi yang akan menjadi suami putrinya.
Raden Permadi menjawab bahwa dirinya tidak akan menikah apabila kakak sulungnya
belum menikah. Raden Bratasena juga menjawab demikian, bahwa ia mengikuti sayembara
adalah untuk mencarikan istri Raden Puntadewa, kakak sulungnya. Mendengar itu, Raden
Puntadewa menolak. Ia merasa Raden Bratasena dan Raden Permadi lebih berhak
menikahi Dewi Drupadi karena merekalah yang telah memenangkan sayembara.
Pada saat itulah Dewi Kunti datang bersama si kembar serta panakawan Kyai Semar
dan Nala Gareng. Prabu Drupada dan Dewi Gandawati segera memberi hormat kepada
Dewi Kunti dan bersyukur karena janda Prabu Pandu itu masih sehat dan selamat dari
kebakaran Balai Sigala-gala.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Kunti menasihati Raden Puntadewa agar menerima Dewi Drupadi sebagai
istrinya. Dahulu ketika Prabu Drupada naik takhta di Kerajaan Pancala pernah berniat ingin
berbesan dengan Prabu Pandu. Kini niat itu menjadi kenyataan. Dewi Drupadi adalah putri
sulung Prabu Drupada, tentunya tepat jika menikah dengan putra sulung Prabu Pandu, yaitu
Raden Puntadewa. Lagipula Raden Bratasena sudah menikah dengan Dewi Nagagini
namun ia bersumpah tidak akan menyentuh istrinya selama sang kakak belum menikah.
Jika Raden Puntadewa menolak menikah dengan Dewi Drupadi, maka Raden Bratasena
tidak akan memiliki anak. Raden Bratasena pun membenarkan hal itu. Jika ia tidak memiliki
anak, maka Paman Gandamana tidak akan lahir kembali ke dunia.
Raden Puntadewa masih keberatan. Ia menyarankan agar Raden Permadi saja yang
menikahi Dewi Drupadi. Namun, Raden Permadi menolak karena ia pernah berjanji tidak
akan menikah jika kedua kakaknya belum menikah. Raden Puntadewa tetap keberatan
karena bukan dirinya yang memenangkan sayembara, sehingga ia merasa tidak berhak
mengambil hadiahnya.
Dewi Kunti bercerita bahwa sayembara diwakili orang lain itu adalah hal yang wajar
dalam tradisi para kesatria. Semasa muda Resiwara Bisma pernah memenangkan
sayembara di Kerajaan Giyantipura mewakili Prabu Citrawirya, adiknya. Prabu Arjuna
Sasrabahu raja Mahespati di zaman dulu juga pernah diwakili Bambang Sumantri saat
memboyong Dewi Citrawati putri Magada. Begitu pula dengan Arya Ugrasena juga pernah
mewakili Prabu Basudewa dalam memenangkan Dewi Dewaki.
Raden Puntadewa seorang yang berwatak lembut tapi teguh pendirian. Dewi Kunti
menyadari hal itu. Ia pun bertanya apakah Raden Puntadewa sanggup menjadi anak yang
berbakti kepada orang tua yang tinggal satu-satunya ini? Raden Puntadewa menjawab
sanggup. Dewi Kunti lalu berkata bahwa seorang anak yang berbakti tentu menjalankan
perintah orang tuanya tanpa membantah. Untuk itu, Dewi Kunti pun memerintahkan Raden
Puntadewa agar menikah dengan Dewi Drupadi. Kali ini Raden Puntadewa tidak dapat
membantah lagi. Ia akhirnya menurut dan menyatakan bersedia memenuhi perintah
tersebut.
Prabu Drupada lega mendengarnya. Ia pun memerintahkan Dewi Drupadi untuk
mengalungkan rangkaian bunga ke leher Raden Puntadewa. Dewi Drupadi mematuhi. Tadi
ketika menyaksikan Raden Permadi berhasil menuntaskan sayembara panah, Dewi
Drupadi hanya merasa kagum tetapi dalam hati tidak yakin kalau pemuda itu yang akan
menjadi jodohnya. Entah mengapa hatinya justru lebih tertarik kepada Raden Puntadewa
yang berdiri tenang di pinggir gelanggang. Tak disangka, sulung para Pandawa itulah yang
kini menjadi calon suaminya.

PARA KURAWA HENDAK MEREBUT DEWI DRUPADI


Sementara itu, Raden Kurupati dan para Kurawa lainnya belum pulang ke Hastina
setelah tadi mereka kalah melawan Arya Gandamana. Raden Kurupati merasa malu jika
pulang dengan tangan hampa. Ketika terdengar kabar bahwa Arya Gandamana telah
meninggal dan kini Dewi Drupadi menjadi istri seorang pendeta muda, hatinya bertambah
kesal. Ia pun mengajak adik-adiknya untuk menyerang Kerajaan Cempalareja dan merebut
Dewi Drupadi.
Raden Bratasena yang masih menyamar sebagai Wasi Balawa segera menghadapi
serangan para Kurawa itu. Ia mencabut tiang bekas peralatan sayembara untuk digunakan
sebagai senjata. Para Kurawa kocar-kacir terkena pukulan tiang di tangan Wasi Balawa itu.
Mereka pun kabur melarikan diri, kembali ke Kerajaan Hastina.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA MEMBUKA PENYAMARAN


Pada hari yang ditentukan diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Puntadewa
dan Dewi Drupadi. Pada hari itu, Dewi Kunti tidak lagi menyamar sebagai pendeta wanita
bernama Nyai Rini, tetapi sudah memakai pakaian ratu janda. Begitu pula dengan para
Pandawa juga sudah mencukur kumis dan janggut mereka dan kini mengenakan busana
pangeran.
Setelah upacara selesai, Prabu Drupada meminta Dewi Kunti dan para Pandawa
untuk tetap tinggal di Kerajaan Cempalareja daripada pulang ke Hastina. Dewi Kunti
bersedia namun untuk sementara saja. Apabila waktunya tiba, mereka akan mohon diri
memboyong Dewi Drupadi ke Gunung Saptaarga, menghadap Bagawan Abyasa.
Prabu Drupada memaklumi hal itu. Kelak jika Dewi Kunti dan para Pandawa
berpamitan, ia berjanji akan menyerahkan Busur Gandiwa sebagai kenang-kenangan.
Busur Gandiwa ini tentunya akan lebih berguna jika berada di tangan Raden Permadi,
daripada disimpan begitu saja dalam istana Cempalareja. Lagipula Raden Permadi telah
memenangkan sayembara memanah tetapi tidak mengambil hadiahnya. Maka, Busur
Gandiwa boleh menjadi hadiah pengganti sekaligus sebagai tanda persahabatan antara
Prabu Drupada dengan ahli waris Prabu Pandu. Raden Permadi berterima kasih atas
kebaikan Prabu Drupada. Ia pun berjanji akan menggunakan Busur Gandiwa dengan
sebaik-baiknya, jika kelak benar menjadi miliknya.

Arya Gandamana

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah sayembara memanah dan gugurnya Arya Gandamana menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 693 yang
ditandai dengan sengkalan “Gunaning Rudra angebahaken wiyat”, atau tahun Candrasengkala
714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA

BANGUN KALI SARAYU


Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Dewi Kunti kembali ke Kerajaan Hastina
setelah memenangkan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Karena Raden
Kurupati menolak mengembalikan kedudukannya sebagai putra mahkota kepada Raden
Puntadewa, maka diadakanlah sayembara di antara mereka, yaitu memetik buah jambu
lima warna, menimbang kedua pihak dengan traju, serta menggali sungai yang
menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan buku
Ensiklopedi Wayang Purwa karya Raden Rio Sudibyoprono, serta beberapa artikel
tentang legenda Sungai Serayu dan Tuk Bima Lukar.
Kediri, 22 September 2016
Heri Purwanto

PARA PANDAWA DIUNDANG PULANG KE KERAJAAN HASTINA


Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) memimpin pertemuan
yang dihadiri Raden Drestajumena (putra mahkota), Patih Drestaketu (menteri utama), serta
para menteri dan punggawa. Hadir pula Dewi Kunti dan para Pandawa dalam pertemuan
tersebut. Hari itu Dewi Kunti mohon pamit kepada Prabu Drupada untuk memboyong Dewi
Drupadi yang sudah resmi menjadi istri Raden Puntadewa untuk pindah ke Gunung
Saptaarga, tinggal bersama Bagawan Abyasa.
Prabu Drupada dalam hati merasa keberatan. Ia pernah mengalami bagaimana
susahnya hidup di padepokan Resi Baradwaja semasa muda dulu. Untuk itu, ia pun
menawarkan untuk membangun sebuah istana sebagai tempat tinggal para Pandawa dan
Dewi Drupadi. Akan tetapi, Raden Puntadewa menolak dengan halus penawaran tersebut.
Dewi Kunti juga mengatakan bahwa ia ingin melihat putra-putranya mendapat kemuliaan
dari hasil bekerja keras, bukan hasil pemberian mertua.
Tiba-tiba datanglah Adipati Yamawidura dari Pagombakan yang segera disambut
ramah oleh Prabu Drupada. Para Pandawa sangat terharu dan satu persatu berpelukan
dengan paman mereka itu. Adipati Yamawidura menjelaskan bahwa kedatangannya bukan
untuk keperluan pribadi, melainkan diutus Prabu Dretarastra untuk menjemput pulang Dewi
Kunti dan para Pandawa, sekaligus sang menantu Dewi Drupadi.
Adipati Yamawidura bercerita bahwa sejak mendengar kabar tentang kebakaran
istana Waranawata, Resiwara Bisma memutuskan untuk bertapa dalam kamar gelap di
Padepokan Talkanda. Adipati Yamawidura yang mengetahui bahwa para Pandawa dan ibu
mereka masih hidup tidak berani menceritakan yang sebenarnya, karena terlanjur berjanji
kepada Dewi Kunti untuk merahasiakan hal ini. Hingga pada akhirnya, Batara Narada turun
dari kahyangan untuk membangunkan tapa Resiwara Bisma. Batara Narada menjelaskan
KITAB WAYANG PURWA

bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti masih hidup, bahkan kini telah memenangkan
sayembara di Kerajaan Cempalareja.
Setelah mendapat keterangan dari Batara Narada tersebut, Resiwara Bisma segera
meninggalkan Padepokan Talkanda untuk menemui Prabu Dretarastra di istana Hastina.
Resiwara Bisma sangat marah atas ulah para Kurawa yang mencoba membunuh para
Pandawa dan ibu mereka melalui pembakaran Balai Sigala-gala. Untuk itu, Prabu
Dretarastra mau tidak mau harus segera mengundang mereka semua pulang. Prabu
Dretarastra yang ketakutan segera memerintahkan Adipati Yamawidura untuk menjemput
para Pandawa dan Dewi Kunti di Kerajaan Cempalareja.
Demikianlah, Adipati Yamawidura mengakhiri ceritanya. Kini semua orang telah
mengetahui bahwa Dewi Kunti dan para Pandawa masih hidup dan juga selamat dari
peristiwa kebakaran di Waranawata. Untuk itu, Adipati Yamawidura memohon agar Dewi
Kunti dan para Pandawa sudi ikut bersamanya pulang ke Kerajaan Hastina.
Dewi Kunti agak keberatan karena teringat bagaimana Patih Sangkuni dan para
Kurawa berusaha mencelakakan putra-putranya. Sebenarnya ia lebih suka tinggal di
Gunung Saptaarga daripada pulang ke Kerajaan Hastina. Adipati Yamawidura berjanji
bahwa Resiwara Bisma dan dirinya akan selalu melindungi keselamatan para Pandawa.
Mengenai tempat tinggal, ia mempersilakan Dewi Kunti dan para Pandawa untuk tinggal di
Kadipaten Pagombakan jika memang tidak berkenan tinggal di istana Hastina.
Dewi Kunti akhirnya bersedia mengikuti ajakan Adipati Yamawidura, dengan syarat
harus singgah dulu ke Gunung Saptaarga untuk meminta restu Bagawan Abyasa. Adipati
Yamawidura menyanggupi. Setelah dirasa cukup, Prabu Drupada pun membubarkan
pertemuan untuk selanjutnya mempersiapkan upacara pelepasan Dewi Kunti dan para
putra.

PARA PANDAWA MENINGGALKAN KERAJAAN CEMPALAREJA


Esok harinya, Dewi Kunti, para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para panakawan mohon
pamit kepada Prabu Drupada dan Dewi Gandawati. Dewi Kunti berterima kasih atas segala
kebaikan yang diberikan Prabu Drupada sekeluarga kepada dirinya dan para putra. Prabu
Drupada menjawab bahwa itu sudah kewajibannya memuliakan Dewi Kunti dan para
Pandawa yang merupakan anggota keluarga Prabu Pandu, tokoh yang paling ia hormati di
dunia.
Prabu Drupada dan Dewi Gandawati kemudian memberikan beberapa nasihat rumah
tangga kepada putri mereka, yaitu Dewi Drupadi. Sementara itu, para Pandawa juga
berpamitan kepada kedua adik Dewi Drupadi, yaitu Dewi Srikandi dan Raden
Drestajumena. Diam-diam antara Dewi Srikandi dan Raden Permadi ada rasa saling
menyukai. Akan tetapi, mereka sama-sama tidak berani mengungkapkan, hanya dipendam
dalam hati.
Setelah persiapan dirasa cukup, rombongan tersebut pun berangkat meninggalkan
Kerajaan Cempalareja, dengan dikawal Patih Drestaketu sampai perbatasan.

ROMBONGAN PANDAWA DIHADANG MUSUH YANG DIKIRIM PATIH SANGKUNI


Para Kurawa dan Patih Sangkuni di Kerajaan Hastina sangat kesal mendengar berita
bahwa para Pandawa masih hidup dan juga selamat dari kebakaran di Waranawata.
Bahkan, mereka juga berhasil memenangkan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi.
Raden Kurupati (Suyudana) pun berniat menggempur Kerajaan Cempalareja untuk
membunuh kelima Pandawa, namun dicegah oleh Patih Sangkuni.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni melarang para Kurawa turun tangan secara langsung karena beberapa
waktu yang lalu mereka sudah kalah bertempur menghadapi Raden Bratasena seorang diri
yang hanya bersenjata tiang. Mengenai hal ini, Patih Sangkuni telah mempersiapkan
rencana, yaitu mengirim surat kepada para raja yang dulu melamar Dewi Drupadi agar
mereka menghadang dan membunuh para Pandawa di tengah jalan.
Demikianlah, para raja yang telah menerima surat dari Patih Sangkuni tersebut
bergerak bersama-sama untuk menghadang perjalanan para Pandawa dan rombongannya.
Mereka dipimpin oleh Prabu Suradenta dari Kerajaan Bataputih. Menyadari hal itu, Adipati
Yamawidura segera memerintahkan Patih Jayasemedi untuk melawan mereka.
Patih Jayasemedi dan para prajurit Pagombakan maju menghadapi serangan para
raja itu. Namun, mereka terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Raden
Bratasena dan Raden Permadi segera turun tangan. Kali ini para raja itu banyak yang tewas
dan sebagian lagi melarikan diri.

BAGAWAN ABYASA MENYERAHKAN PUSAKA KEPADA PARA PANDAWA


Sesuai rencana, rombongan para Pandawa pun singgah ke Gunung Saptaarga. Satu
persatu mereka menyembah hormat kepada Bagawan Abyasa. Dewi Kunti juga
memperkenalkan Dewi Drupadi selaku menantu baru di keluarga mendiang Prabu Pandu.
Bagawan Abyasa pun memberikan restu kepadanya.
Dalam pertemuan itu, Dewi Kunti menyampaikan maksud bahwa mulai hari ini ia dan
putra-putranya akan kembali ke Kerajaan Hastina. Ia berharap semoga putra-putranya
dapat memperoleh hak atas takhta warisan Prabu Pandu. Bagawan Abyasa sebagai kakek
tidak memihak Pandawa, juga tidak memihak Kurawa. Ia hanya memberi nasihat supaya
para Pandawa selalu waspada terhadap tipu muslihat Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga
Patih Sangkuni adalah titisan Resi Dwapara yang bercita-cita ingin menghancurkan
keturunan Resi Satrukem.
Bagawan Abyasa kemudian bercerita tentang beberapa pusaka yang diwariskan
secara turun-temurun di keluarga Saptaarga, yaitu Pustaka Jamus Kalimahusada, Payung
Tunggulnaga, Tombak Karawelang, Panah Sarotama, dan Panah Ardadadali. Kelima
pusaka ini awalnya diperoleh Resi Manumanasa setelah mengalahkan musuh Kahyangan
Suralaya bernama Prabu Kalimantara bersamaan dengan lahirnya Resi Satrukem. Setelah
Resi Manumanasa dan Resi Satrukem wafat, kelima pusaka tersebut diwarisi sang cucu,
yaitu Resi Parasara. Kemudian Resi Parasara mewariskannya kepada sang putra, yaitu
Bagawan Abyasa. Ketika Prabu Pandu dewasa dan menjadi raja Hastina, Bagawan Abyasa
pun menyerahkan kelima pusaka itu kepadanya. Namun kemudian, Prabu Pandu
meninggal dunia dan ia sempat mengembalikan pusaka-pusaka itu kepada Bagawan
Abyasa.
Bagawan Abyasa kemudian mendapat petunjuk dari dewata, bahwa kelima pusaka
tersebut hendaknya diserahkan kepada Pandawa nomor satu dan tiga, karena merekalah
yang mampu merawat dan menggunakannya dengan baik. Maka, pada kesempatan itu,
Bagawan Abyasa pun menyerahkan Jamus Kalimahusada, Tombak Karawelang, dan
Payung Tunggulnaga kepada Raden Puntadewa, sedangkan Panah Sarotama dan Panah
Ardadadali diserahkan kepada Raden Permadi. Kedua cucunya itu maju dan menerima
pusaka-pusaka tersebut dengan penuh hormat. Mereka berjanji akan merawat dan
menggunakannya dalam kebaikan.
Demikianlah, setelah mendapatkan restu dari Bagawan Abyasa, para Pandawa
beserta Dewi Kunti, Adipati Yamawidura, Dewi Drupadi, Patih Jayasemedi, dan para
panakawan mohon pamit melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Hastina.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN KURUPATI MENOLAK MELEPASKAN JABATANNYA


Rombongan para Pandawa akhirnya sampai juga di Kerajaan Hastina. Prabu
Dretarastra, Dewi Gandari, Resiwara Bisma, Resi Druna, dan Resi Krepa menyambut
mereka dengan perasaan haru dan bahagia. Patih Sangkuni dan para Kurawa juga ikut
pura-pura bergembira menyambut kedatangan mereka. Hanya Raden Kurupati satu-
satunya yang tidak muncul dengan alasan sedang kurang enak badan.
Beberapa hari kemudian, Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura mempertanyakan
tentang kedudukan putra mahkota Kerajaan Hastina kepada Prabu Dretarastra. Dulu
setelah para Pandawa berhasil menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana atas
perintah Resi Druna, kedudukan putra mahkota pun diserahkan kepada Raden Puntadewa.
Namun kemudian, terjadi peristiwa kebakaran yang menghancurkan Balai Sigala-gala, di
mana para Pandawa dinyatakan meninggal. Untuk mengisi kekosongan, Prabu Dretarastra
segera mengangkat Raden Suyudana sebagai putra mahkota yang baru, bergelar Raden
Kurupati. Akan tetapi, para Pandawa ternyata masih hidup. Itu artinya Raden Kurupati harus
rela mengembalikan kedudukannya kepada Raden Puntadewa.
Patih Sangkuni menyela bahwa sabda seorang raja tidak boleh digonta-ganti begitu
saja. Jika Prabu Dretarastra sudah menetapkan Raden Kurupati sebagai putra mahkota,
maka itu tidak boleh diganggu gugat. Mengenai para Pandawa yang ternyata masih hidup,
ini hal yang perlu disyukuri namun bukan berarti mereka bisa mendapatkan kembali hak
mereka.
Adipati Yamawidura menjawab ucapan Patih Sangkuni. Ia mengungkit soal kebakaran
Balai Sigala-gala apakah murni kecelakaan ataukah memang sengaja dibakar untuk
membunuh para Pandawa dan Dewi Kunti. Maka itu, ia memohon izin kepada Prabu
Dretarastra untuk mengumpulkan barang bukti dan menyelidiki kebenaran peristiwa
tersebut. Jika memang terbukti Raden Kurupati terlibat dalam upaya pembunuhan para
Pandawa, maka ia harus mendapat hukuman pidana dan dicopot kedudukannya sebagai
putra mahkota.
Raden Kurupati dan Patih Sangkuni gemetar mendengar ucapan Adipati Yamawidura.
Namun tiba-tiba, Raden Puntadewa berkata bahwa ia tidak ingin lagi mengungkit-ungkit
soal kebakaran di Kota Waranawata. Ia menyatakan kebakaran tersebut adalah murni
kecelakaan dan tidak perlu mencari bukti apakah para Kurawa terlibat di dalamnya atau
tidak. Raden Puntadewa berharap setelah para Pandawa dan Kurawa dapat berkumpul
kembali, semoga kedua pihak tetap rukun seperti sebelum terjadi kebakaran.
Raden Bratasena menyela pembicaraan kakaknya. Ia mengatakan boleh saja Raden
Puntadewa memaafkan para pelaku pembakaran Balai Sigala-gala. Akan tetapi, soal
kedudukan sebagai putra mahkota sama sekali pihak Pandawa tidak boleh mengalah.
Raden Puntadewa memperoleh jabatan tersebut bukan karena warisan Bapak Pandu,
tetapi berkat perjuangan menaklukkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan
Pancala. Raden Puntadewa boleh mengampuni para Kurawa, tetapi jangan pernah
melupakan perjuangan adik-adiknya waktu itu.

RESI DRUNA MENGADAKAN SAYEMBARA UNTUK MURID-MURIDNYA


Prabu Dretarastra merasa bimbang karena dalam hati ia tidak rela jika jabatan putra
mahkota sampai lepas dari putranya, namun di sisi lain ia juga tidak tega berbuat tidak adil
kepada para Pandawa.
Patih Sangkuni tiba-tiba menyela. Pertama ia berterima kasih atas kebaikan hati
Raden Puntadewa yang tidak menyalahkan para Kurawa atas kebakaran di Waranawata.
Mengenai siapa yang berhak menduduki jabatan putra mahkota hendaknya dilakukan
KITAB WAYANG PURWA

pemilihan ulang. Jika Prabu Dretarastra mencopot jabatan ini dari Raden Kurupati, maka
dunia akan mencatat raja Hastina sebagai orang yang suka mengubah-ubah keputusan.
Namun jika jabatan itu tidak dikembalikan kepada Raden Puntadewa, tentunya dunia pun
akan menilai Prabu Dretarastra sebagai raja yang tidak adil. Maka, demi menjaga nama
baik Prabu Dretarastra, sebaiknya untuk hal ini dilakukan pemilihan ulang. Sebagai pihak
yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah hendaknya bukan dari anggota
keluarga Hastina, melainkan guru para Pandawa dan Kurawa, yaitu Resi Druna.
Prabu Dretarastra setuju pada usulan Patih Sangkuni. Sebelum Resiwara Bisma dan
Adipati Yamawidura sempat menanggapi, ia buru-buru menetapkan keputusan bahwa Resi
Druna ditunjuk untuk menengahi permasalahan putra mahkota. Resi Druna adalah orang
luar, bukan anggota keluarga Kerajaan Hastina, sehingga keputusannya bisa adil tanpa
memihak. Selain itu, Resi Druna juga merupakan guru para Pandawa dan Kurawa. Seorang
guru sama derajatnya dengan ayah atau ibu, sehingga keputusannya akan dihormati kedua
pihak.
Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura sebenarnya kurang setuju jika diadakan
pemilihan ulang. Namun karena Prabu Dretarastra sudah menetapkan demikian, mereka
tidak dapat membantah lagi. Mereka berharap semoga Resi Druna bisa memberikan
keputusan yang adil. Rupanya Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura belum tahu kalau
Resi Druna telah menjalin persahabatan dengan Patih Sangkuni. Selain itu, Bambang
Aswatama putra Resi Druna juga bekerja di Kepatihan Plasajenar sebagai juru tulis Patih
Sangkuni. Tentunya hal ini membuat Resi Druna merasa tertekan dan kurang bisa bersikap
adil.

SAYEMBARA MENGUNDUH JAMBU LIMA WARNA


Demikianlah, Resi Druna telah ditunjuk sebagai penengah persoalan putra mahkota.
Ia segera bertanya kepada para Pandawa dan Kurawa apakah mereka siap jika diadakan
sayembara untuk memilih ulang siapa yang berhak menduduki jabatan putra mahkota.
Raden Puntadewa dan Raden Kurupati mewakili kedua pihak sama-sama menjawab siap.
Resi Druna pun berkata bahwa di tengah Hutan Jatiraga terdapat sebatang pohon jambu
yang berbuah lima warna, yaitu putih, hitam, kuning, merah, dan hijau. Barangsiapa bisa
mengunduh kelima buah jambu tersebut, maka ia berhak menduduki jabatan putra mahkota
Kerajaan Hastina.
Begitu mendengar perintah tersebut, para Kurawa langsung berangkat menuju Hutan
Jatiraga, sedangkan para Pandawa lebih dulu meminta restu kepada Resiwara Bisma,
Prabu Dretarastra, Resi Druna, Resi Krepa, dan Adipati Yamawidura. Baru setelah itu,
mereka pun berangkat menyusul para Kurawa.
Para Kurawa telah menemukan pohon jambu di tengah Hutan Jatiraga yang buahnya
bersinar menyilaukan. Mereka pun beramai-ramai memanjat pohon tersebut. Tiba-tiba dari
dedaunan pohon jambu muncul asap beracun yang membuat para Kurawa jatuh pingsan
tak sadarkan diri.
Para Pandawa datang menyusul dan menemukan para sepupu mereka telah
tergeletak di tanah. Raden Puntadewa segera mengajak adik-adiknya berlutut memberi
hormat kepada pohon jambu ajaib itu. Melihat sikap santun para Pandawa, tiba-tiba dari
atas pohon jambu muncul sesosok makhluk halus yang mengaku bernama Gandarwa
Maya. Ia mempersilakan para Pandawa untuk mengunduh jambu lima warna. Raden
Puntadewa berterima kasih kepada gandarwa tersebut.
Begitu mendapat izin, Raden Bratasena segera maju memeluk pohon jambu yang
tinggi menjulang. Raden Permadi lalu memanjat pundak Raden Bratasena. Kemudian
KITAB WAYANG PURWA

Raden Nakula memanjat pundak Raden Permadi. Yang paling atas adalah Raden Sadewa
memanjat pundak Raden Nakula. Ia kemudian memetik jambu lima warna dan turun ke
tanah untuk mempersembahkannya kepada Raden Puntadewa.
Raden Puntadewa berterima kasih atas kerjasama adik-adiknya. Gandarwa Maya lalu
menjelaskan bahwa kelima jambu tersebut sebenarnya adalah Permata Pancamaya.
Permata warna putih bisa mengeluarkan air banjir, permata hitam bisa mengeluarkan
gempa, permata kuning bisa mengeluarkan angin topan, permata merah bisa mengeluarkan
api, dan permata hijau bisa mengeluarkan hewan melata.
Raden Puntadewa sekali lagi berterima kasih kepada Gandarwa Maya. Namun, ia juga
memohon agar para Kurawa disembuhkan dari pingsan mereka. Gandarwa Maya memuji
kebaikan Raden Puntadewa. Ia lalu menghembuskan angin yang membuat Raden Kurupati
dan adik-adiknya bebas dari pengaruh asap beracun.

RESI DRUNA MENIMBANG PARA PANDAWA DAN KURAWA


Gandarwa Maya telah menghilang dari pandangan ketika Resi Druna dan Patih
Sangkuni datang. Raden Puntadewa segera mempersembahkan Permata Pancamaya
kepada Resi Druna. Raden Kurupati buru-buru menyela bahwa sebenarnya para Kurawa
yang berhasil mengunduh kelima jambu tersebut namun direbut secara licik oleh para
Pandawa.
Patih Sangkuni berkedip memberi isyarat kepada Resi Druna agar mengulang
sayembara. Resi Druna merasa bimbang karena jelas-jelas para Pandawa yang menang,
namun ia takut Patih Sangkuni sakit hati dan mencelakakan Bambang Aswatama, putranya.
Maka, Resi Druna lalu bersamadi, mencipta sebilah papan baja yang sangat panjang dan
dipasang pada salah satu dahan pohon jambu tersebut. Para Kurawa dan para Pandawa
akan ditimbang menggunakan papan itu sebagai traju. Pihak mana yang lebih berat akan
dinyatakan sebagai pemenang.
Para Kurawa segera menaiki salah satu sisi papan baja dan menantang para Pandawa
untuk menaiki sisi yang lain. Raden Puntadewa, Raden Permadi, dan si kembar pun menaiki
ujung papan yang satunya sambil mengerahkan kesaktian masing-masing. Sungguh aneh,
seratus orang ditimbang dengan empat orang ternyata hasilnya seimbang.
Raden Bratasena naik paling akhir ke atas traju sambil mengerahkan Aji Blabak
Pangantol-antol warisan Arya Gandamana. Dengan kekuatan penuh ia menghentak sisi
papan baja di mana keempat saudaranya berkumpul. Hentakan yang sangat keras itu
membuat para Kurawa terpental dari timbangan dan tubuh mereka pun berhamburan ke
mana-mana.

SAYEMBARA MENGGALI SUNGAI TEMBUS KE SAMUDERA


Patih Sangkuni segera mengumpulkan para keponakannya yang berhamburan akibat
hentakan Raden Bratasena tadi. Ternyata yang terkumpul hanya setengah saja, sedangkan
yang lima puluh orang menghilang entah ke mana. Raden Kurupati mencari adik-adiknya
itu ke mana-mana namun belum bertemu juga. Para Kurawa yang hilang itu ialah Raden
Bogadenta, Raden Bomawikata, Raden Wikataboma, Raden Surtayuda, Raden Anuwinda,
Raden Naranurwinda, Raden Wersaya, Raden Gardapati, dan banyak lagi yang lainnya.
Para Kurawa yang tersisa kembali menghadap Resi Druna untuk meminta agar
sayembara diulang. Resi Druna yang mendapat tekanan batin dari Patih Sangkuni segera
mengumumkan sayembara baru, yaitu para Pandawa dan Kurawa harus bisa membuat
sungai yang bersumber dari Pegunungan Dihyang dan bermuara di Laut Selatan. Adapun
KITAB WAYANG PURWA

Pegunungan Dihyang ini dahulu kala pernah menjadi tempat Empu Sangkala (Batara
Ajisaka) bertapa sebelum menumbali Tanah Jawa.
Raden Kurupati dan adik-adiknya segera mengambil perkakas seperti cangkul dan
beliung. Mereka pergi ke Pegunungan Dihyang dan mencari sumber air. Setelah bertemu,
sumber air itu lalu digali beramai-ramai dan diarahkan ke selatan membentuk sungai.

PARA PANDAWA MENDAPAT PETUNJUK DEWA


Lain dengan para Kurawa yang mengandalkan otot untuk menggali tanah, para
Pandawa memilih cara kebatinan. Mereka bertapa di kaki sebuah gunung di Pegunungan
Dihyang, memohon petunjuk dewata. Tidak lama kemudian Batara Narada pun turun
membangunkan mereka.
Batara Narada lalu mengajarkan kepada para Pandawa cara menggali sungai secara
ajaib. Raden Permadi diperintahkan untuk melepaskan Panah Sarotama sebagai penggali
tanah, sedangkan Raden Bratasena hendaknya melepas pakaian dan kencing mengikuti
galian Panah Sarotama. Adapun para Pandawa lainnya diajari cara membaca mantra agar
air kencing Raden Bratasena berubah menjadi air bersih.
Setelah mengajarkan semuanya, Batara Narada pun terbang kembali ke kahyangan.

PARA PANDAWA MENGGALI SUNGAI


Sesuai dengan apa yang telah diajarkan dewata, Raden Bratasena pun bertelanjang
dan bersiap untuk kencing. Untuk mengenang peristiwa itu, tempat di mana Raden
Bratasena pertama kali kencing diberi nama Tuk Bima Lukar oleh Raden Puntadewa.
Raden Permadi lalu membentangkan Busur Gandiwa dan melepaskan Panah
Sarotama. Panah pusaka itu menancap di tanah kemudian bergerak ke arah selatan seperti
menggali membentuk jalur sungai. Raden Bratasena lalu kencing mengisi galian tersebut,
sedangkan Raden Puntadewa dan si kembar membaca mantra. Sungguh ajaib, air kencing
Raden Bratasena tidak pernah habis dan seketika berubah menjadi air bersih berkat
pengaruh mantra tersebut.
Demikianlah kerja sama para Pandawa. Panah Sarotama bergerak menggali di depan.
Setiap kali panah tersebut berhenti, Raden Permadi segera memungutnya dan
menembakkannya kembali. Raden Bratasena berjalan telanjang sambil mengencingi jalur
sungai yang digali Raden Permadi. Adapun Raden Puntadewa dan si kembar berjalan
paling belakang sambil membaca mantra untuk memurnikan air kencing tersebut supaya
berubah menjadi air jernih.

PARA PANDAWA BERTEMU DEWI URANGAYU


Tidak terasa, Panah Sarotama telah menggali tanah sampai ke pesisir Laut Selatan.
Tiba-tiba panah tersebut terhenti karena membentur tubuh seekor udang betina yang
sedang bertapa. Para Pandawa heran melihatnya. Udang tersebut lalu berubah menjadi
seorang wanita cantik yang mengaku bernama Dewi Urangayu, putri Batara Mintuna dari
Kahyangan Kisiknarmada.
Raden Bratasena yang telanjang segera bersembunyi di balik punggung saudara-
saudaranya sambil menutupi kemaluan. Dewi Urangayu tersipu malu kemudian
memalingkan muka. Ia mengaku sengaja bertapa di tepi pantai karena mendapat petunjuk
dewata bahwa di situlah ia akan bertemu dengan jodohnya yang bertubuh tinggi besar.
Jodoh tersebut tidak lain adalah Raden Bratasena.
KITAB WAYANG PURWA

Petunjuk dewata itu kini menjadi kenyataan. Dewi Urangayu pun meminta kepada
Raden Bratasena agar bersedia menikah dengannya. Raden Bratasena mengaku sudah
memiliki seorang istri bernama Dewi Nagagini, putri Batara Anantaboga. Dewi Urangayu
menjawab tidak keberatan jika dirinya dimadu. Raden Bratasena akhirnya menyatakan
sanggup menikahi Dewi Urangayu, tetapi kelak jika kakaknya, yaitu Raden Puntadewa
sudah menjadi raja.
Dewi Urangayu memegang janji Raden Bratasena. Ia lalu membaca mantra, membuat
Panah Sarotama tiba-tiba kembali bergerak melanjutkan penggalian hingga akhirnya
bersatu dengan samudera. Demikianlah, para Pandawa telah berhasil menggali sebuah
sungai yang menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Karena tugasnya
telah selesai, Raden Bratasena pun kembali berpakaian dan sekarang ia berani
memandang Dewi Urangayu.

RESI DRUNA MENETAPKAN PEMENANG SAYEMBARA


Resi Druna dan Patih Sangkuni datang bersama para Kurawa. Resi Druna telah
memeriksa hasil kerja para Pandawa dan Kurawa. Ternyata sungai buatan para Pandawa
yang berhasil menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Sementara itu,
sungai buatan para Kurawa tidak menuju ke laut melainkan justru menyatu dengan sungai
buatan para Pandawa.
Dengan demikian, Resi Druna pun menetapkan pihak Pandawa sebagai pemenang
sayembara dan berhak atas takhta Kerajaan Hastina. Mendengar itu, Raden Kurupati jatuh
pingsan dan segera digotong adik-adiknya beserta Patih Sangkuni kembali ke istana.
Setelah para Kurawa dan Patih Sangkuni pergi, Resi Druna bertanya siapa perempuan
cantik yang bersama para Pandawa. Dewi Urangayu pun memperkenalkan dirinya sebagai
putri Batara Mintuna dari Kahyangan Kisiknarmada. Raden Puntadewa juga menceritakan
bagaimana awal mula para Pandawa bertemu Dewi Urangayu yang bertapa di pesisir
pantai, yaitu ketika Panah Sarotama membentur tubuhnya yang berwujud udang.
Mendengar cerita itu, Resi Druna pun memberi nama sungai buatan para Pandawa,
yaitu Kali Sarayu, yang bermakna “bertemunya Panah Sarotama dengan Dewi Urangayu”.
Sementara, itu sungai buatan para Kurawa diberi nama Kali Kelawing, karena gagal
mencapai lautan dan justru menyatu ujungnya dengan Kali Sarayu.
Resi Druna pun berpesan kepada para Pandawa agar jangan sekali-kali terkena air
Kali Kelawing, karena sungai tersebut digali para Kurawa dengan perasaan penuh dendam.
Hawa jahat yang memancar dari hati mereka telah menyatu dengan air sungai itu, yang bisa
membuat para Pandawa bernasib sial apabila sampai mencebur ke dalamnya. Para
Pandawa berterima kasih dan menyanggupi nasihat sang guru.
Demikianlah, Kali Kelawing tersebut kelak terkenal pula dengan nama Kali Cingcing
Goling.

PARA PANDAWA MENDAPAT PERMATA PANCAMAYA


Dewi Urangayu kemudian mohon pamit kepada Resi Druna dan para Pandawa. Ia
memegang janji Raden Bratasena yang bersedia menikahinya setelah nanti Raden
Puntadewa dilantik sebagai raja. Raden Bratasena bersumpah tidak akan melupakan
janjinya itu. Para Pandawa lainnya juga siap menjadi saksi atas janji Raden Bratasena
tersebut. Dengan perasaan lega, Dewi Urangayu lalu pergi meninggalkan tempat itu,
kembali ke padepokan ayahnya.
Setelah Dewi Urangayu pergi, Resi Druna menyerahkan Permata Pancamaya kepada
para Pandawa sebagai hadiah atas kemenangan mereka. Permata putih diberikan kepada
KITAB WAYANG PURWA

Raden Puntadewa, permata hitam diberikan kepada Raden Bratasena, permata kuning
diberikan kepada Raden Permadi, permata merah diberikan kepada Raden Nakula,
sedangkan permata hijau diberikan kepada Raden Sadewa. Kelima Pandawa berterima
kasih atas kemurahan hati sang guru. Mereka lalu bersama-sama kembali ke istana Hastina
untuk melapor kepada Prabu Dretarastra dan Resiwara Bisma.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah sayembara mengunduh jambu, menimbang berat, serta menggali sungai ini menurut Raden
Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 690
yang ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning barakan”, atau tahun Candrasengkala 711
yang ditandai dengan sengkalan “Rupa janma saswareng wiyat”.
KITAB WAYANG PURWA

BABAD WANAMARTA
Kisah ini menceritakan Resiwara Bisma mengizinkan Prabu Dretarastra membagi
Kerajaan Hastina menjadi dua. Para Pandawa mendapat bagian Hutan Wanamarta
yang kemudian dibuka menjadi negara baru, bernama Kerajaan Amarta, yang beribukota
di Indraprasta.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari rekaman pertunjukan wayang kulit
dengan dalang Ki Manteb Soedharsono, yang saya padukan dengan kitab Mahabharata,
dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 01 Oktober 2016
Heri Purwanto

PRABU DRETARASTRA MEMBAGI KERAJAAN HASTINA MENJADI DUA


Prabu Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Adipati
Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Dalam pertemuan itu Prabu
Dretarastra membicarakan hasil kunjungannya ke Padepokan Talkanda untuk meminta
petunjuk Resiwara Bisma mengenai perselisihan para Pandawa dan Kurawa atas takhta
Hastina.
Awal mula perselisihan ini adalah karena para Pandawa dan Dewi Kunti dilaporkan
tewas dalam kebakaran di istana Waranawata. Prabu Dretarastra pun melantik Raden
Suyudana sebagai putra mahkota yang baru, bergelar Raden Kurupati, yaitu untuk
menggantikan Raden Puntadewa. Tak disangka, ternyata para Pandawa masih hidup dan
pulang ke Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Dewi Drupadi. Karena
Raden Puntadewa masih hidup, maka Raden Kurupati harus rela mengembalikan
jabatannya. Namun, Raden Kurupati menolak. Akhirnya diadakanlah sayembara untuk
menentukan siapa yang lebih berhak menjadi putra mahkota di antara mereka. Sayembara
ini dipimpin oleh Resi Druna, meliputi lomba mengunduh jambu lima warna, lomba
menimbang pihak mana yang lebih berat, serta lomba menggali sungai yang
menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Sungai yang digali para
Pandawa bernama Kali Sarayu sesuai dengan permintaan Resi Druna, sedangkan sungai
yang digali para Kurawa bernama Cingcing Guling gagal mencapai Laut Selatan.
Resi Druna mengumumkan bahwa para Pandawa telah memenangkan semua
sayembara yang ia adakan. Dengan demikian, Raden Puntadewa lebih berhak menjadi
putra mahkota daripada Raden Kurupati. Keputusan Resi Druna ini membuat Raden
Kurupati pingsan dan jatuh sakit. Jika beberapa hari yang lalu ia hanya pura-pura sakit saat
para Pandawa kembali ke Hastina membawa Dewi Drupadi, maka kali ini ia benar-benar
sakit. Sakitnya semakin hari semakin bertambah parah, dan ia tidak mau meminum obat
yang diberikan para dukun istana.
Prabu Dretarastra pun pergi ke Padepokan Talkanda untuk menghadap Resiwara
Bisma dan menyampaikan hal itu. Ia menceritakan tentang sakit putranya yang semakin
hari semakin parah. Raden Kurupati adalah putra kesayangan Prabu Dretarastra. Jika
sampai ia meninggal karena penyakitnya, maka Prabu Dretarastra merasa tidak punya
semangat hidup lagi. Ia memilih lebih baik mati daripada kehilangan Raden Kurupati.
Resiwara Bisma sudah bosan mendengar berita perselisihan antara para Pandawa
dan Kurawa. Sejak dulu ia memang sudah mendengar ramalan dari Bagawan Abyasa,
bahwa suatu hari nanti akan meletus perang besar bernama Bratayuda antara para
Pandawa melawan Kurawa. Membayangkan hal itu, Resiwara Bisma merasa ngeri. Ia tidak
ingin negeri Hastina menjadi ajang pertempuran cucu-cucunya. Maka, dengan berat hati
dan sangat terpaksa, ia pun mengizinkan Prabu Dretarastra membagi dua wilayah Kerajaan
KITAB WAYANG PURWA

Hastina. Mungkin ini adalah jalan yang paling baik untuk mencegah Perang Bratayuda agar
jangan sampai meletus.
Demikianlah, Prabu Dretarastra menceritakan hasil pertemuannya dengan Resiwara
Bisma di Padepokan Talkanda. Adipati Yamawidura merasa sayang jika Kerajaan Hastina
dibagi dua. Namun, jika Resiwara Bisma sudah memutuskan demikian tentunya ini disertai
dengan pertimbangan masak. Kini yang menjadi permasalahan ialah wilayah mana yang
diserahkan untuk para Kurawa, dan wilayah mana yang diserahkan kepada para Pandawa.
Patih Sangkuni mengusulkan bahwa di bagian timur wilayah Kerajaan Hastina
terdapat hutan belantara yang sangat luas, bernama Hutan Wanamarta. Jika memang
Resiwara Bisma mengizinkan Kerajaan Hastina dibagi dua, maka tinggal serahkan saja
Hutan Wanamarta kepada para Pandawa. Biarlah mereka membuka hutan tersebut menjadi
permukiman dan membangun istana baru di sana sebagai tempat tinggal mereka.
Adipati Yamawidura tidak terima atas usulan Patih Sangkuni. Hutan Wanamarta
luasnya hanya seperempat dari seluruh wilayah Hastina. Lagipula Raden Puntadewa lebih
dulu dilantik sebagai putra mahkota daripada Raden Kurupati. Seharusnya para Kurawa
yang mendapat bagian Hutan Wanamarta, bukan para Pandawa.
Patih Sangkuni menjawab bahwa Resiwara Bisma hanya menyarankan agar wilayah
Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua, tetapi tidak mengatakan apakah pembagian itu sama
besar atau tidak. Jadi, tidak ada keharusan bahwa para Pandawa harus mendapat setengah
Kerajaan Hastina. Pembagian yang adil itu bukan sama rata sama rasa, tetapi disesuaikan
dengan kadar dan ukurannya. Kurawa berjumlah seratus orang, sedangkan Pandawa
hanya lima orang. Jika para Pandawa mendapat Hutan Wanamarta yang luasnya hanya
seperempat dari seluruh wilayah Kerajaan Hastina, maka itu sudah lebih dari cukup untuk
mereka.
Adipati Yamawidura tetap merasa curiga jangan-jangan Patih Sangkuni
merencanakan pembunuhan para Pandawa dengan cara mengirim mereka untuk
membabat Hutan Wanamarta. Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang berani
memasuki hutan tersebut karena terkenal angker dan gawat. Konon kabarnya di sana
terdapat bangsa jin yang tidak segan-segan membunuh siapa saja yang berani memasuki
Hutan Wanamarta.
Patih Sangkuni menyebut Adipati Yamawidura terlalu percaya pada cerita “gugon
tuhon” yang belum tentu benar. Sama sekali dirinya tidak ada maksud ingin mencelakakan
para Pandawa. Mengenai hal ini biarlah Raden Puntadewa saja yang memilih, apakah
bersedia membuka Hutan Wanamarta ataukah bersikukuh ingin menduduki takhta Kerajaan
Hastina.

RADEN PUNTADEWA MEMILIH HUTAN WANAMARTA


Prabu Dretrastra lagi-lagi termakan mulut manis Patih Sangkuni. Ia pun memanggil
Raden Puntadewa untuk menghadap. Sengaja Prabu Dretarastra memanggil Raden
Puntadewa seorang diri tanpa disertai adik-adiknya. Ia tahu bahwa keponakannya ini berhati
lembut dan berpikiran polos, sehingga tidak mungkin menolak jika diperintahkan untuk
membuka Hutan Wanamarta. Lain halnya dengan Raden Bratasena dan Raden Arjuna yang
mudah merasa curiga.
Raden Puntadewa kini telah datang menghadap Prabu Dretarastra tanpa disertai adik-
adiknya. Prabu Dretarastra lalu bercerita tentang sakitnya Raden Kurupati yang semakin
hari semakin parah karena takut kehilangan jabatannya sebagai putra mahkota. Prabu
Dretarastra juga telah meminta petunjuk kepada Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda
KITAB WAYANG PURWA

mengenai perselisiahan antara para Pandawa dan Kurawa. Akhirnya, Resiwara Bisma pun
mengizinkan Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua.
Raden Puntadewa merasa sayang jika negeri kelahirannya dibagi menjadi dua. Jika
memang menjadi calon raja bisa membuat Raden Kurupati sehat kembali, maka biarlah
dirinya saja yang mengalah. Raden Puntadewa bersedia melepaskan jabatannya sebagai
putra mahkota dan siap mengabdi sebagai bawahan Raden Kurupati.
Prabu Dretarastra terharu mendengar kebaikan hati keponakannya itu. Ia melarang
Raden Puntadewa mengalah karena dirinya tidak ingin dicatat sejarah sebagai seorang raja
yang tidak adil, yang lebih mementingkan putra daripada keponakan. Bagaimanapun juga
Resiwara Bisma sudah menyarankan agar Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua, maka
saran tersebut harus dilaksanakan. Tentunya ini semua demi perdamaian antara para
Kurawa dan Pandawa.
Prabu Dretarastra lalu berkata bahwa salah satu pihak akan mendapat Hutan
Wanamarta, sedangkan pihak yang satunya akan mendapat sisanya, termasuk ibukota
Hastina. Jika Raden Puntadewa memilih Hutan Wanamarta, maka para Pandawa
dipersilakan untuk membangun istana baru di sana. Tetapi jika Raden Puntadewa memilih
menduduki takhta Hastina, maka Prabu Dretarastra dan para Kurawa yang akan pindah ke
Hutan Wanamarta.
Raden Puntadewa dengan tegas memilih Hutan Wanamarta. Ia tidak tega kalau
sampai Prabu Dretarastra yang pindah ke Hutan Wanamarta bersama para Kurawa, apalagi
Raden Kurupati sedang sakit keras. Jelas-jelas sepupunya itu sakit karena takut kehilangan
takhta Hastina, maka biarlah ia tetap tinggal di Hastina. Raden Puntadewa tidak terlalu
memikirkan soal takhta. Jika memang kepergiannya ke Hutan Wanamarta bisa membuat
Raden Kurupati sehat kembali, maka ia akan sangat bersyukur.
Adipati Yamawidura menyarankan agar Raden Puntadewa berpikir kembali. Hutan
Wanamarta sangat angker dan gawat. Banyak orang hilang tidak kembali lagi karena berani
masuk ke dalamnya. Konon di sana terdapat kerajaan jin yang mana penduduknya tidak
segan-segan membunuh bangsa manusia.
Raden Puntadewa menjawab bahwa hidup dan mati sudah bagian dari suratan takdir.
Jika memang para Pandawa sampai mati saat membuka Hutan Wanamarta, biarlah mereka
tercatat mati dalam menjalankan tugas mulia. Mengapa dikatakan tugas mulia? Karena para
Pandawa membuka Hutan Wanamarta untuk tujuan perdamaian, yaitu menghindari perang
saudara melawan Kurawa. Mati mulia di Hutan Wanamarta akan jauh lebih baik daripada
hidup nista membiarkan saudaranya meninggal dalam kesedihan.
Karena Raden Puntadewa sudah memutuskan demikian, maka Prabu Dretarastra pun
mengeluarkan surat ketetapan bahwa mulai hari ini Hutan Wanamarta resmi menjadi milik
para Pandawa, dan bukan lagi bagian dari Kerajaan Hastina. Setelah dirasa cukup, Prabu
Dretarastra lalu membubarkan pertemuan.

PARA PANDAWA BERUNDING SEBELUM MEMBUKA HUTAN WANAMARTA


Adipati Yamawidura keluar istana bersama Raden Puntadewa menemui para
Pandawa lainnya yang menunggu beserta Dewi Kunti dan Dewi Drupadi. Kepada mereka,
Adipati Yamawidura menceritakan tentang keputusan Prabu Dretarastra yang membagi dua
Kerajaan Hastina, di mana Raden Puntadewa memilih Hutan Wanamarta sebagai tempat
para Pandawa membangun istana baru.
Raden Bratasena kecewa pada pilihan kakaknya. Seharusnya bukan para Pandawa
yang membuka Hutan Wanamarta, tetapi biarlah para Kurawa saja. Mereka telah
KITAB WAYANG PURWA

merencanakan pembunuhan para Pandawa melalui Balai Sigala-gala, dan kini mereka
berniat jahat lagi melalui Hutan Wanamarta. Para Pandawa sudah terlalu banyak mengalah.
Jika diberi izin, maka Raden Bratasena berniat mengangkat senjata untuk menggempur
para Kurawa dan mengusir mereka dari Kerajaan Hastina yang merupakan warisan Prabu
Pandu, ayah para Pandawa.
Raden Puntadewa menolak rencana Raden Bratasena. Kerajaan Hastina bukan milik
Prabu Pandu saja, tetapi milik banyak orang. Jika adiknya itu ingin memberontak, maka
harus siap berhadapan dengan Resiwara Bisma, Resi Druna, Adipati Yamawidura, Resi
Krepa, dan penduduk satu negara. Namun, sebelum menghadapi mereka, Raden
Bratasena harus menghadapi Raden Puntadewa terlebih dulu. Raden Puntadewa tidak
ingin meletus perang saudara antara para Pandawa dan Kurawa. Ia juga tidak ingin melihat
Raden Kurupati meninggal karena sakit yang tak kunjung sembuh. Soal Balai Sigala-gala
tidak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga para Kurawa adalah saudara. Mereka
berbuat khilaf seperti itu adalah karena hasutan Patih Sangkuni.
Raden Bratasena tetap tidak bisa menerima. Jika memang Kerajaan Hastina boleh
dibagi dua, maka ukurannya harus sama besar, sama luas. Hutan Wanamarta hanya
seperempat dari luas seluruh Kerajaan Hastina. Ini namanya tidak adil. Untuk itu, Raden
Bratasena berniat menuntut keadilan kepada Prabu Dretarastra.
Raden Puntadewa balik bertanya apa makna keadilan. Apakah adil itu sama rata,
sama rasa? Itu hanyalah keadilan semu. Adil itu hendaknya ditentukan dari kadar dan
ukuran. Para Kurawa berjumlah seratus orang, belum ditambah Prabu Dretarastra dan Dewi
Gandari, serta Adipati Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Belum
lagi ditambah dengan Resiwara Bisma yang pernah bersumpah seumur hidup akan selalu
setia melindungi Kerajaan Hastina. Sebaliknya, para Pandawa hanya lima orang ditambah
Dewi Kunti, mengapa meminta wilayah yang sama luasnya dengan para Kurawa? Besar
atau kecil semuanya harus disyukuri, karena rasa syukur akan berbuah pada kebahagiaan.
Meskipun wilayah Hutan Wanamarta lebih kecil, tetapi jika para Pandawa pandai bersyukur
tentu Yang Mahakuasa akan memberikan anugerah lebih besar daripada Kerajaan Hastina.
Raden Bratasena terdiam tidak membantah lagi. Adipati Yamawidura berkata bahwa
tadi di dalam istana Patih Sangkuni juga berkata demikian. Bedanya, Patih Sangkuni
berkata dengan mulut manis yang disertai niat jahat ingin menyingkirkan para Pandawa,
sedangkan Raden Puntadewa berkata dengan hati tulus penuh kebaikan. Kini Adipati
Yamawidura dapat menerima alasan mengapa Raden Puntadewa lebih memilih Hutan
Wanamarta daripada mempertahankan Kerajaan Hastina.
Raden Puntadewa lalu bertanya kepada Raden Permadi dan si kembar apakah
mereka juga menolak Hutan Wanamarta. Raden Permadi menjawab bahwa tadinya ia
sependapat dengan Raden Bratasena. Tetapi, kini hatinya telah terbuka dan dapat
menerima penjelasan sang kakak sulung. Sementara itu, Raden Nakula dan Raden Sadewa
menjawab sejak kecil mereka sudah menganggap Raden Puntadewa sebagai pengganti
ayah. Apa pun yang diputuskan sang kakak sulung, mereka siap mematuhi dan
melaksanakan. Dewi Kunti sebagai ibu pun hanya bisa merestui dan berdoa semoga
perjuangan para Pandawa dalam membuka Hutan Wanamarta mendapat perlindungan
Yang Mahakuasa. Ia yakin putra sulungnya telah menentukan pilihan yang tepat.
Kini para Pandawa sudah sepakat. Adipati Yamawidura menawarkan bantuan, yaitu
Patih Jayasemedi dan para prajurit Pagombakan akan ikut membantu membuka Hutan
Wanamarta dan membangun istana untuk para Pandawa. Raden Bratasena menolak.
Untuk membuka hutan tersebut cukup para Pandawa saja yang berangkat. Biarlah ini
menjadi bagian dari perjuangan di masa muda, yang berbuah keberkahan di hari tua.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah berkata demikian, Raden Bratasena mengangkat tubuh ibunya di atas kepala
untuk memohon restu. Dewi Kunti merestui putra keduanya itu. Setelah mendapat restu,
Raden Bratasena pun menurunkan Dewi Kunti secara perlahan lalu mohon pamit berangkat
lebih dulu ke Hutan Wanamarta.
Adipati Yamawidura memuji watak kesatria Raden Bratasena. Meskipun tadi
membantah kakaknya dengan gencar, tetapi kini justru berangkat paling dulu untuk bekerja.
Sungguh ia berbeda dengan kebanyakan orang yang ogah-ogahan apabila hal itu bukan
menjadi pilihannya. Raden Puntadewa menjawab demikianlah watak para Pandawa.
Berdebat dan saling bantah di antara saudara sudah menjadi hal wajar di antara mereka.
Akan tetapi, jika keputusan sudah diambil maka mereka berlima pun bersatu padu bahu-
membahu untuk mewujudkannya.
Raden Puntadewa lalu bertanya kepada Dewi Drupadi apakah bersedia dipulangkan
ke Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) selama para Pandawa bekerja membuka
hutan. Hutan Wanamarta terkenal sangat angker dan berbahaya, sehingga Raden
Puntadewa tidak tega bila istrinya itu mendapat celaka di sana. Dewi Drupadi menjawab
jangankan memasuki Hutan Wanamarta, bahkan memasuki neraka paling dasar pun ia
tidak takut asalkan bisa selalu melayani sang suami. Raden Puntadewa menjawab tempat
seorang istri setia bukanlah neraka, tetapi surga yang penuh kemuliaan. Ia pun berterima
kasih atas keikhlasan istrinya itu yang rela hidup bersusah payah bersama dirinya dan
meninggalkan segala kemewahan di istana Cempalareja.
Demikianlah, para Pandawa empat dan Dewi Kunti, serta Dewi Drupadi lalu
berpamitan kepada Adipati Yamawidura. Mereka pun berangkat menuju Hutan Wanamarta
menyusul Raden Bratasena yang sudah berangkat lebih dulu.

RADEN BRATASENA MEMBABAT HUTAN WANAMARTA


Raden Bratasena telah memasuki Hutan Wanamarta. Dengan tangan kosong ia
menjebol pepohonan. Dengan Kuku Pancanaka ia membabat semak belukar. Entah sudah
berapa banyak pohon yang tumbang oleh kekuatannya. Seperti tidak kenal lelah ia
menumbangkan semua pohon yang ditemui di hadapannya.
Hewan-hewan penghuni hutan pun berhamburan karena takut. Sebagian ada yang
nekat menyerang Raden Bratasena, antara lain macan, gajah, banteng, naga, serta
serigala. Raden Bratasena mengamuk menghadapi hewan-hewan liar tersebut. Tiba-tiba
terdengar suara Raden Puntadewa memanggil dan ia pun segera pergi meninggalkan
hewan-hewan liar itu.
Raden Puntadewa saat itu telah mendirikan perkemahan di pinggiran hutan untuk
Dewi Kunti dan Dewi Drupadi. Mereka menunggu di sana dengan dijaga si kembar,
sedangkan Raden Puntadewa dan Raden Permadi masuk ke dalam hutan bersama para
panakawan. Mereka sempat melihat Raden Bratasena bertarung melawan hewan-hewan
liar. Raden Puntadewa pun memanggil adiknya itu agar menghentikan perkelahian, dan
Raden Bratasena menurut.
Raden Puntadewa bertanya mengapa Raden Bratasena berkelahi dengan kawanan
binatang hutan. Raden Bratasena menjawab bahwa hewan-hewan itu telah mengganggu
pekerjaannya. Raden Puntadewa berkata justru Raden Bratasena yang telah mengganggu
ketentraman mereka. Ia lalu menasihati adiknya agar jangan membabi buta dalam
menebang hutan. Jangan sampai seluruh Hutan Wanamarta dibabat habis, tetapi
secukupnya saja. Hutan sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Pepohonan
dapat menjadi daerah resapan air hujan sehingga kelak kerajaan yang dibangun para
Pandawa akan bebas dari banjir. Hutan juga menyediakan sumber air bagi manusia. Selain
KITAB WAYANG PURWA

itu, Raden Bratasena juga tidak boleh sembarangan membunuh hewan. Mereka adalah
penduduk asli Hutan Wanamarta. Jika seluruh Hutan Wanamarta dibuka menjadi
permukiman, maka hewan-hewan itu akan kehilangan tempat tinggal dan akhirnya
menyerang perkampungan penduduk.
Raden Puntadewa lalu membagi tugas. Raden Bratasena bertugas membuka hutan
sebelah kiri, sedangkan Raden Permadi membuka hutan sebelah kanan. Mengenai hewan-
hewan liar akan ditangani sendiri oleh Raden Puntadewa. Raden Bratasena dan Raden
Permadi menyanggupi lalu mereka pun berangkat melaksanakan tugas.
Setelah kedua adiknya pergi, Raden Puntadewa lalu bersamadi mengheningkan cipta.
Hewan-hewan liar berdatangan hendak menyerangnya. Namun, begitu mendekati Raden
Puntadewa, seketika hewan-hewan itu berubah menjadi jinak dan duduk manis
mengelilinginya. Raden Puntadewa lalu bangun dan menggiring hewan-hewan liar itu untuk
pindah ke wilayah hutan yang tidak dibabat, agar kelak mereka tidak sampai mengganggu
permukiman penduduk.

RADEN BRATASENA MENGHADAPI KAUM JIN


Di dalam Hutan Wanamarta memang terdapat sebuah kerajaan tak kasat mata yang
dihuni kaum jin dan gandarwa, bernama Kerajaan Mertani. Pemimpin kerajaan tersebut
bernama Prabu Jin Yudistira yang memiliki empat orang adik, bernama Jin Dandunwacana,
Jin Dananjaya, Jin Tripala, dan Jin Grantika. Pujangga kerajaan ini bernama Gandarwa
Anggaraparna, sedangkan menteri utamanya bernama Patih Jin Damdarat.
Mendengar adanya berita bahwa para Pandawa membuka Hutan Wanamarta, Prabu
Jin Yudistira segera mengirim pasukan untuk menggagalkan mereka. Jin Dandunwacana
dan Jin Dananjaya berangkat untuk menaklukkan Raden Bratasena, sedangkan Gandarwa
Anggaraparna dan Patih Jin Damdarat menghadapi Raden Permadi.
Raden Bratasena terkejut tiba-tiba dirinya diserang kawanan makhluk halus. Namun,
sejak awal ia sudah bersiap karena memang demikian berita yang beredar di masyarakat
tentang keangkeran Hutan Wanamarta. Pertempuran pun terjadi. Satu persatu para prajurit
jin dan gandarwa Mertani dapat dipukul mundur olehnya, meskipun mereka kadang terlihat,
kadang menghilang.
Jin Dandunwacana lalu maju menyerang Raden Bratasena. Keduanya tampak
seimbang karena sama-sama bertubuh tinggi besar. Hingga pada akhirnya, Jin
Dandunwacana lengah dan tubuhnya diinjak oleh Raden Bratasena. Namun kemudian
tubuh Jin Dandunwacana menghilang dari pandangan. Ketika Raden Bratasena
menggeram menantang lawannya agar muncul kembali, tiba-tiba Jin Dananjaya
melepaskan panah sakti dari belakang. Panah sakti itu mampu meledak dan melepaskan
asap beracun yang menyelubungi tubuh Raden Bratasena, membuatnya menjadi lemas
tidak berdaya.
Setelah mengalahkan musuhnya, Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya lalu
melanjutkan perjalanan untuk meringkus Pandawa lainnya.

GANDARWA ANGGARAPARNA TAKLUK KEPADA KYAI SEMAR


Sementara itu, Gandarwa Anggaraparna dan Patih Jin Damdarat menyerang Raden
Permadi yang membuka hutan di sisi lain. Jin Damdarat berhasil dipukul mundur oleh
Pandawa nomor tiga tersebut. Melihat rekannya kalah, Gandarwa Anggaraparna segera
melepaskan pusaka Jalasutra, yang langsung memerangkap tubuh Raden Permadi. Ketika
hendak meringkus lawannya itu, tiba-tiba Gandarwa Anggaraparna dihadang panakawan
Kyai Semar.
KITAB WAYANG PURWA

Gandarwa Anggaraparna marah dan hendak menyerang Kyai Semar. Namun, Kyai
Semar memanggilnya dengan nama Batara Citrarata. Gandarwa Anggaraparna terkejut
mendengar Kyai Semar menyebut nama aslinya, karena ia sebenarnya memang
penjelmaan Batara Citrarata, salah satu putra Batara Indra. Seketika Gandarwa
Anggaraparna merasa lemas tak berdaya begitu berhadapan dengan wibawa Kyai Semar.
Gandarwa Anggaraparna lalu kembali ke wujud aslinya, yaitu Batara Citrarata
tersebut. Ia bercerita dirinya memang ditugasi sang ayah untuk menunggu Hutan
Wanamarta. Beberapa waktu yang lalu Batara Indra pernah iri hati terhadap Prabu Pandu
yang memiliki nama besar di dunia. Batara Indra pun membujuk Batara Guru agar mencabut
nyawa Prabu Pandu dan memasukkannya ke dalam Kawah Candradimuka atas dosa-
dosanya berani meminjam Lembu Andini. Namun, setelah Prabu Pandu benar-benar
diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, Batara Indra merasa
sangat menyesal. Sebagai penebus kesalahannya, ia pun berniat membangun sebuah
istana untuk para Pandawa. Tentunya istana ini bukan istana palsu semacam Balai Sigala-
gala, tetapi istana yang sangat indah bagaikan kahyangan.
Batara Indra membangun istana indah bernama Indraprasta di dalam Hutan
Wanamarta, karena ia mendapat ramalan bahwa kelak para Pandawa akan berjodoh
dengan hutan tersebut. Nama Indraprasta sendiri berasal dari kata Inda Para Asta, yang
bermakna seperdelapan keindahan kahyangan Batara Indra. Istana tersebut lalu dijaga oleh
lima jin bersaudara yang merupakan abdi Batara Indra, bernama Jin Yudistira, Jin
Dandunwacana, Jin Dananjaya, Jin Tripala, dan Jin Grantika. Kelak mereka harus
menyerahkan istana Indraprasta kepada para Pandawa.
Namun demikian, Batara Indra merasa kurang percaya dan khawatir jangan-jangan
kelima jin itu melanggar perintah. Maka, ia pun mengirim putranya, yaitu Batara Citrarata
agar menyamar sebagai Gandarwa Anggaraparna dan bekerja sebagai penasihat kelima
jin tersebut. Kini, Kyai Semar telah membongkar penyamaran Gandarwa Anggaraparna
sehingga tidak ada gunanya lagi kembali ke tempat para jin itu.
Batara Citrarata lalu membebaskan Raden Permadi dari jerat pusakanya. Setelah
Raden Permadi menyembah memberi hormat, Batara Citrarata pun menghadiahkan
beberapa pusaka untuk menghadapi kaum jin dan gandarwa, yaitu Lisah Pranawa, Sela
Timpuru, dan Oyod Bayura. Lisah Pranawa adalah minyak untuk diusapkan ke mata agar
bisa melihat bangsa jin dan gandarwa dengan jelas. Sela Timpuru berwujud batu, untuk
diusapkan ke tubuh agar sembuh dari pengaruh sihir bangsa jin. Adapun Oyod Bayura
berwujud akar yang lurus seperti lidi, untuk melumpuhkan kaum jin dan gandarwa.
Raden Permadi berterima kasih menerima ketiga pusaka tersebut. Batara Citrarata
pun undur diri kembali ke kahyangan.
Sementara itu, Patih Jin Damdarat terkejut mengetahui jati diri Gandarwa
Anggaraparna yang sebenarnya. Ia pun kembali ke tempat Prabu Jin Yudistira untuk
melaporkan hal itu.

DEWI ARIMBI MENJALANI TAPA RAME


Prabu Tremboko raja Pringgadani terdahulu, yang tewas melawan Prabu Pandu dalam
Perang Pamuksa, memiliki tujuh orang anak yang semua berwujud raksasa seperti dirinya.
Putra yang paling tua bernama Raden Arimba, menggantikannya sebagai raja Pringgadani.
Anak nomor dua bernama Dewi Arimbi, kemudian Raden Brajadenta, Raden Brajamusti,
Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana.
Pada suatu hari Dewi Arimbi mengeluh kepada kakaknya, mengapa kaum raksasa
selalu dianggap sebagai sampah dunia, musuh manusia. Ia heran melihat persahabatan
KITAB WAYANG PURWA

sang ayah dengan Prabu Pandu mengapa berakhir dengan peperangan, sehingga sejarah
pun mencatat Prabu Tremboko sebagai seorang pemberontak terhadap guru dan
pengkhianat terhadap sahabat. Prabu Arimba menjawab bahwa peperangan itu terjadi
karena fitnah dan hasutan Arya Suman yang sekarang bergelar Patih Sangkuni. Tokoh
itulah yang mengadu domba ayah mereka dengan Prabu Pandu.
Dewi Arimbi berkata meskipun Perang Pamuksa terjadi akibat hasutan pihak lain, tetap
saja ini menjadi catatan hitam bagi sejarah Kerajaan Pringgadani. Untuk itu, Dewi Arimbi
berniat menebus kesalahan ayahnya dengan cara berbuat baik. Ia ingin menjalani tapa
rame, membantu siapa saja yang kesusahan tanpa pandang bulu. Ia berharap semoga hasil
tapanya ini menjadi sarana kemuliaan bagi Kerajaan Pringgadani seisinya.
Prabu Arimba melarang adiknya memiliki niat demikian. Jika hanya ingin memuliakan
Kerajaan Pringgadani, cukup dengan berperang menaklukkan banyak negara, maka nama
baik Prabu Tremboko akan pulih. Dewi Arimbi tidak setuju karena hal itu akan semakin
merusak citra kaum raksasa. Ia tetap akan melakukan tapa rame, berbuat baik menolong
siapa saja yang kesusahan. Karena perdebatan mereka tidak mencapai kesepakatan, Dewi
Arimbi akhirnya memilih pergi tanpa pamit dari istana untuk mewujudkan niatnya.

RADEN BRATASENA DIBEBASKAN DEWI ARIMBI


Demikianlah kisah Dewi Arimbi yang berkelana melakukan tapa rame, membantu
siapa saja yang kesusahan. Ada banyak orang yang berterima kasih kepadanya, namun
tidak sedikit pula yang lari ketakutan melihat wujudnya. Ketika melewati Hutan Wanamarta,
ia mendengar suara ribut-ribut pohon ditebang. Raksasi itu pun penasaran dan masuk ke
dalam hutan tersebut.
Sesampainya di dalam hutan, Dewi Arimbi melihat asap tebal menyelubungi
seseorang yang menggeram kesakitan. Dewi Arimbi bertanya siapa orang yang terjebak di
dalam asap tersebut. Orang itu menjawab dirinya adalah Raden Bratasena dari Kerajaan
Hastina yang terjebak oleh asap beracun yang dilepaskan para jin. Kini ia menjadi buta dan
tidak berdaya. Mungkin ajalnya tidak akan lama lagi. Ia pun meminta tolong agar dibebaskan
dari asap beracun tersebut.
Dewi Arimbi teringat bahwa ayahnya gugur di tangan raja Hastina. Namun, karena
sudah bertekad menjalani tapa rame, maka ia tidak peduli orang yang berada di dalam asap
tersebut berasal dari Kerajaan Hastina atau bukan. Raksasa wanita itu lalu mengheningkan
cipta mengerahkan kesaktian. Dari tubuhnya muncul angin besar yang berhembus
membuyarkan asap yang menyelubungi badan Raden Bratasena.
Raden Bratasena kini dapat melihat lagi. Tiba-tiba ia terkejut mengetahui wujud Dewi
Arimbi yang menyeramkan. Ia pun merasa jijik dan lari meninggalkan raksasi itu begitu saja.
Dewi Arimbi tersinggung melihat sikap Raden Bratasena yang tidak sopan, dan ia pun
mengejar pemuda gagah tersebut.

DEWI ARIMBI BERUBAH MENJADI PEREMPUAN CANTIK


Dewi Arimbi yang berlari mengejar Raden Bratasena akhirnya bertemu Dewi Kunti
yang ditemani Raden Puntadewa meninjau pembukaan Hutan Wanamarta. Dewi Arimbi
bertanya dengan sopan kepada mereka apakah mengetahui ada seorang pemuda tinggi
besar lewat di tempat itu. Dewi Kunti terkesan melihat ada seorang raksasi tetapi memiliki
sopan santun seperti itu. Dewi Kunti pun menjawab bahwa pemuda tinggi besar itu adalah
putranya yang nomor dua, sedangkan dirinya adalah janda mendiang Prabu Pandu raja
Hastina terdahulu.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Arimbi pun menyembah hormat kepada Dewi Kunti dan memperkenalkan dirinya
sebagai anak nomor dua mendiang Prabu Tremboko raja Pringgadani. Dewi Kunti terharu
dan memeluk Dewi Arimbi bagaikan anak sendiri, mengingat Prabu Tremboko adalah murid
sekaligus sahabat suaminya. Ia lalu bertanya mengapa Dewi Arimbi mengejar-ngejar Raden
Bratasena, putranya.
Dewi Arimbi bercerita bahwa dirinya sedang menjalani tapa rame, membantu siapa
saja yang kesusahan. Ketika melewati Hutan Wanamarta, ia heran mendengar suara
pepohonan dirobohkan. Ia pun masuk ke dalam hutan dan menjumpai Raden Bratasena
sedang lumpuh tak berdaya karena terkena serangan asap beracun pihak musuh. Dewi
Arimbi pun membebaskannya dari asap beracun tersebut. Tapi, Raden Bratasena terkejut
dan langsung kabur begitu saja. Dewi Arimbi mengejar untuk menanyai apa maksud Raden
Bratasena bersikap demikian. Padahal, ia sama sekali tidak memiliki pamrih kepada Raden
Bratasena.
Dewi Kunti terkesan mendengar cerita Dewi Arimbi. Meskipun wujudnya
menyeramkan, namun di mata Dewi Kunti sosok Dewi Arimbi adalah gadis yang cantik
hatinya dan semoga cantik pula wajahnya. Demikianlah ucapan Dewi Kunti mendapat izin
Yang Mahakuasa. Seketika wujud Dewi Arimbi pun berubah menjadi seorang gadis yang
cantik jelita.
Tidak lama kemudian Raden Bratasena muncul dan bercerita bahwa dirinya dikejar-
kejar raksasi menyeramkan yang suka kepadanya. Dewi Kunti berkata bahwa raksasi itu
kini ada di dekatnya. Raden Bratasena tidak percaya karena yang ada di situ adalah gadis
cantik yang mengaku bernama Dewi Arimbi. Dewi Kunti menjelaskan bahwa Dewi Arimbi
inilah raksasi yang tadi menolong dirinya dari asap beracun yang dilepaskan para jin.
Raden Bratasena terkesan melihat Dewi Arimbi. Ia pun berterima kasih dan meminta
maaf karena tadi telah bersikap kurang sopan kepadanya. Raden Puntadewa lalu berkata
bahwa dulu Prabu Pandu dan Prabu Tremboko adalah sahabat baik, namun persahabatan
mereka akhirnya putus akibat Perang Pamuksa. Kini alangkah baiknya kalau persahabatan
dua negara itu disambung kembali melalui perkawinan antara Raden Bratasena dengan
Dewi Arimbi. Demikian usulan Raden Puntadewa.
Raden Bratasena merasa tidak keberatan jika dirinya menikah dengan Dewi Arimbi.
Sebaliknya, Dewi Arimbi juga tidak keberatan. Akan tetapi, sungguh nista apabila seorang
kesatria tidak menuntaskan pekerjaannya dan lebih mendahulukan urusan perkawinan.
Raden Bratasena tersinggung mendengar ucapan Dewi Arimbi itu dan segera melesat pergi
entah ke mana.

RADEN BRATASENA DIOBATI RADEN PERMADI


Di tengah jalan Raden Bratasena bertemu Raden Permadi bersama para panakawan.
Kyai Semar bertanya mengapa Raden Bratasena tampak gelisah dan berjalan tak tentu
arah. Raden Bratasena lalu menceritakan semua pengalamannya dari awal hingga akhir,
yaitu saat Dewi Arimbi menghina dirinya. Kyai Semar berkata bahwa itu bukan penghinaan,
melainkan justru Dewi Arimbi ingin menyemangati dan menjaga nama baik Raden
Bratasena.
Berkat penjelasan Kyai Semar, Raden Bratasena kini memahami apa maksud
perkataan Dewi Arimbi tadi. Ia pun bersemangat ingin melanjutkan pembukaan Hutan
Wanamarta, tetapi tubuhnya masih lemas akibat pengaruh asap beracun yang dilepaskan
Jin Dananjaya tadi. Raden Permadi pun berkata bahwa dirinya baru saja mendapatkan tiga
jenis pusaka dari Batara Citrarata, salah satunya adalah Sela Timpuru.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Permadi lalu mengusapkan batu ajaib Sela Timpuru ke sekujur tubuh kakaknya
itu. Seketika Raden Bratasena merasa segar kembali. Ia pun berteriak menantang Jin
Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk melanjutkan pertempuran tadi.

RADEN BRATASENA DAN RADEN PERMADI MENGALAHKAN PARA JIN


Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya pun muncul begitu mendengar tantangan
Raden Bratasena. Kini Raden Bratasena dan Raden Permadi dapat melihat wujud mereka
dengan jelas berkat khasiat Lisah Pranawa. Tanpa banyak bicara lagi, Raden Bratasena
langsung menyerang Jin Dandunwacana, sedangkan Raden Permadi menghadapi Jin
Dananjaya.
Dengan berbekal senjata Oyod Bayura, Raden Permadi berhasil melumpuhkan Jin
Dananjaya. Melihat itu, Jin Dandunwacana merasa ngeri dan segera menyambar tubuh
adiknya, kemudian pergi meninggalkan pertarungan melawan Raden Bratasena.
Di tengah jalan, Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya bertemu Prabu Jin Yudistira,
Jin Tripala, dan Jin Grantika. Jin Dandunwacana mengajak kakak sulungnya untuk
melabrak dan membunuh para Pandawa. Prabu Jin Yudistira menjawab itu tidak perlu
karena para Pandawa memang ditakdirkan untuk memiliki Hutan Wanamarta beserta isinya,
yaitu Kerajaan Indraprasta.
Beberapa waktu yang lalu Batara Indra telah membangun Istana Indraprasta untuk
menebus kesalahannya terhadap Prabu Pandu. Istana Indraprasta ini dititipkan kepada Jin
Yudistira bersaudara agar kelak diserahkan kepada para Pandawa. Memang tadi Prabu Jin
Yudistira mengutus Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk menggagalkan usaha para
Pandawa membuka hutan. Padahal, itu ia lakukan hanya untuk menguji apakah mereka
benar-benar putra Prabu Pandu seperti yang diceritakan Batara Indra atau bukan.
Kini semuanya telah terbukti. Prabu Jin Yudistira merasa pertempuran tidak perlu lagi
untuk diteruskan. Ia pun mengajak keempat adiknya untuk menemui para Pandawa.

PARA JIN MENYERAHKAN KERAJAAN MERTANI KEPADA PARA PANDAWA


Kelima jin itu akhirnya bertemu dengan para Pandawa. Setelah saling
memperkenalkan diri, Prabu Jin Yudistira menyatakan niatnya ingin menyerahkan Kerajaan
Mertani kepada Raden Puntadewa bersaudara. Prabu Jin Yudistira bercerita bahwa dulu
Batara Indra telah membangun istana Indraprasta di dalam Hutan Wanamarta sebagai
hadiah untuk para Pandawa. Istana tersebut untuk sementara dijaga oleh kelima jin, di mana
Jin Yudistira boleh menjadi raja memimpin istana tersebut, dan menyamarkan namanya
menjadi Kerajaan Mertani.
Prabu Jin Yudistira meminta maaf telah mengirim kedua adiknya, yaitu Jin
Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk menyerang Raden Bratasena dan Raden
Permadi, padahal itu semua hanyalah ujian darinya untuk membuktikan apakah mereka
benar-benar para Pandawa atau bukan.
Kini semuanya telah jelas. Prabu Jin Yudistira dan keempat adiknya pun mohon pamit
kembali ke alam halus. Para Pandawa terharu melepas kepergian mereka. Sebagai kenang-
kenangan, Raden Puntadewa meminta izin memakai nama Yudistira sebagai nama lain
dirinya. Prabu Jin Yudistira pun mengizinkan dengan senang hati.
Setelah kelima jin itu kembali ke alam gaib, tiba-tiba muncul sebuah istana indah di
hadapan mereka. Istana tersebut adalah Indraprasta yang selama ini tertutup dan
disembunyikan di alam gaib oleh Prabu Jin Yudistira. Tidak hanya itu, orang-orang yang
dulu hilang saat memasuki Hutan Wanamarta juga dimunculkan kembali. Rupanya mereka
tidak dibunuh oleh para jin tetapi dijadikan sebagai warga penghuni Kerajaan Mertani.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, Para Pandawa pun memasuki istana Indraprasta bersama Dewi Kunti,
Dewi Drupadi, Dewi Arimbi, dan para panakawan. Mereka kagum melihat keindahan istana
tersebut.

PRABU ARIMBA MENYERANG INDRAPRASTA


Ketika para Pandawa melihat-lihat isi istana Indraprasta, tiba-tiba terdengar suara
raksasa memanggil-manggil Dewi Arimbi di luar. Raden Bratasena segera keluar menemui
raksasa itu yang ternyata adalah Prabu Arimba, raja Pringgadani.
Prabu Arimba meminta supaya Dewi Arimbi diserahkan kepadanya. Raden Bratasena
menolak menyerahkan calon istrinya itu. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Pertarungan itu sangat dahsyat di mana Raden Bratasena agak kewalahan menghadapi
kekuatan Prabu Arimba.
Dewi Arimbi maju melerai pertarungan tersebut. Ia lalu berbicara empat mata dengan
Prabu Arimba. Meskipun adiknya telah berubah wujud menjadi cantik jelita, namun ikatan
batin di antara mereka membuat Prabu Arimba masih dapat mengenali Dewi Arimbi.
Dewi Arimbi mengaku dirinya kini telah jatuh cinta kepada Raden Bratasena. Jika
memang ini dianggap sebagai dosa oleh Prabu Arimba, maka ia rela untuk dihukum mati.
Karena bagaimanapun juga Raden Bratasena adalah putra Prabu Pandu, yaitu orang yang
telah membunuh Prabu Tremboko, ayah mereka. Namun, Dewi Arimbi melarang Prabu
Arimba menyakiti Raden Bratasena.
Prabu Arimba terharu mendengar penuturan adiknya. Ia berkata bahwa dirinya tidak
akan menghalangi hubungan asmara antara Dewi Arimbi dengan Raden Bratasena. Justru
sebaliknya, ia ingin mengadakan sayembara tanding untuk memuliakan nama Raden
Bratasena. Soal Perang Pamuksa sama sekali Prabu Arimba tidak ingin mengungkitnya
lagi. Ia sudah ikhlas ayah mereka gugur dalam perang itu dan tidak mau melampiaskan
dendam kepada putra-putra Prabu Pandu.
Dewi Arimbi terharu memeluk Prabu Arimba, kemudian mundur dan mempersilakan
Raden Bratasena kembali bertarung melawan kakaknya itu. Prabu Arimba pun menjelaskan
bahwa dirinya ingin mengadakan sayembara tanding, yaitu Raden Bratasena harus bisa
mengalahkan dirinya terlebih dulu jika ingin menikah dengan Dewi Arimbi. Raden Bratasena
menyanggupi. Keduanya pun kembali bertarung satu lawan satu.

KEMATIAN PRABU ARIMBA


Dewi Arimbi gugup menyaksikan pertarungan tersebut. Ia melihat kakaknya lebih kuat
dan lebih perkasa daripada Raden Bratasena. Prabu Arimba paham bahwa Raden
Bratasena bertarung tidak sepenuh hati karena ada perasaan segan kepadanya. Maka, ia
pun meringkus tubuh lawannya itu dan memeluknya erat-erat hingga Raden Bratasena
merasa sesak napas.
Sambil tetap memeluk tubuh lawannya, Prabu Arimba berkata bahwa dirinya tidak bisa
mati jika tubuhnya tidak dibenturkan batang pohon aren. Sekarang pilihannya tinggal dua,
dibunuh atau membunuh. Jika Raden Bratasena tetap merasa segan dan tidak mau
melawan, maka ia akan mati kehabisan napas.
Raden Bratasena merasa sesak dan tidak tahan lagi. Ia pun mengerahkan Aji
Bandung Bandawasa sehingga kekuatannya meningkat pesat. Begitu meronta ia berhasil
membebaskan diri dari pelukan Prabu Arimba dan berbalik menangkap tubuh raja raksasa
itu. Begitu melihat ada sebatang pohon aren berdiri di dekat istana Indraprasta, Prabu
Arimba pun dibawa ke sana. Dengan sekuat tenaga, Raden Bratasena lalu membenturkan
KITAB WAYANG PURWA

tubuh Prabu Arimba pada batang pohon aren tersebut. Seketika Prabu Arimba pun lemas
tak berdaya kehilangan tenaga.
Raden Bratasena meminta maaf kepada Prabu Arimba karena terpaksa berbuat
demikian. Prabu Arimba menjawab ia tidak perlu meminta maaf karena ini semua sudah
diniatkan. Prabu Arimba ingin memuliakan nama Raden Bratasena yang berhasil menikahi
adiknya melalui sayembara tanding, bukan karena dijodohkan begitu saja. Ia rela berkorban
nyawa demi kebahagiaan dan kemuliaan Dewi Arimbi, adiknya yang paling disayang, yang
lahir pada hari yang sama dengannya.
Dewi Arimbi datang sambil menangis memeluk Prabu Arimba. Datang pula adik-adik
mereka yang lain, yaitu Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden
Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana, yang sejak tadi menonton dari kejauhan. Mereka
menyatakan ikhlas atas kekalahan Prabu Arimba dan berjanji tidak akan menyimpan
dendam kepada Raden Bratasena.
Prabu Arimba sendiri merasa ajalnya sudah dekat. Ia meminta Raden Bratasena sudi
menggantikannya sebagai raja Pringgadani. Raden Bratasena menolak karena adik-adik
Prabu Arimba jauh lebih berhak. Prabu Arimba berkata untuk sementara Kerajaan
Pringgadani biarlah dipimpin Dewi Arimbi. Kelak jika sudah lahir putra hasil perkawinan
adiknya itu dengan Raden Bratasena, maka biarlah dia yang menjadi raja Pringgadani.
Raden Brajadenta dan yang lain menyatakan setuju pada keputusan Prabu Arimba tersebut.
Demikianlah, Prabu Arimba pun meninggal dunia. Sebelum nyawanya putus, ia
sempat memberikan kenang-kenangan berupa nama julukan untuk Raden Bratasena, yaitu
Wrekodara. Itu karena Raden Bratasena bertarung dengan buas bagaikan seekor serigala.
Raden Bratasena berterima kasih dan berjanji akan memakai nama Wrekodara kelak
setelah memiliki putra dari Dewi Arimbi.

RADEN PUNTADEWA DIPAKSA ADIK-ADIKNYA MENJADI RAJA


Hutan Wanamarta kini telah dibuka menjadi sebuah negara baru, dan sebagian lagi
masih tetap tertutup pepohonan untuk kelangsungan hidup penduduknya. Raden
Puntadewa mengganti nama Kerajaan Mertani menjadi Amarta, dan menetapkan
Indraprasta sebagai ibukotanya. Adipati Yamawidura datang pula untuk meninjau dan
memberi selamat atas keberhasilan para Pandawa tersebut.
Raden Puntadewa lalu meminta Raden Bratasena menjadi raja Amarta karena selama
ini adiknya itu yang lebih banyak bekerja keras membabat Hutan Wanamarta dan
mengubahnya menjadi permukiman. Raden Bratasena menolak karena ia bekerja keras
bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kejayaan para Pandawa. Ia sama sekali tidak
memiliki pamrih untuk menduduki takhta dan menjadi raja.
Raden Bratasena menambahkan bahwa selama ini Raden Puntadewa sudah menjadi
kakak yang baik, sudah bertindak sebagai pengganti ayah. Selama ini Raden Puntadewa
sudah terbukti cakap dalam memimpin adik-adiknya, maka kini saatnya ia menjadi
pemimpin negara, memimpin seluruh rakyat. Raden Permadi, Raden Nakula, dan Raden
Sadewa juga ikut memohon agar Raden Puntadewa sudi menjadi raja. Karena Raden
Puntadewa tetap menolak, maka Raden Permadi dan si kembar pun berlutut dan mereka
tidak mau bangun jika Raden Puntadewa tidak menerima takhta. Hanya Raden Bratasena
seorang yang tidak bisa berlutut, tetapi wajahnya tampak tulus memohon kakaknya itu agar
sudi duduk di atas takhta.
Adipati Yamawidura heran melihat sikap Raden Puntadewa yang tidak tertarik pada
kedudukan, sungguh berbeda dengan kebanyakan orang. Dewi Kunti pun ikut bicara dan
meminta putra sulungnya itu mengabulkan permohonan adik-adiknya. Raden Puntadewa
KITAB WAYANG PURWA

terharu dan kemudian memeluk keempat adiknya sambil berkata dirinya bersedia menjadi
raja Amarta.
Semua orang kini merasa lega. Adipati Yamawidura lalu meminta Raden Puntadewa
agar mempersiapkan diri. Kelak jika sudah mendapat hari yang baik maka keponakannya
itu bisa dilantik sebagai raja negeri Amarta, yang bukan lagi menjadi bagian Kerajaan
Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah para Pandawa mendapat Hutan Wanamarta (dari Prabu Matsyapati, bukan Prabu
Dretarastra) menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi
pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”,
atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
Sedangkan kematian Prabu Irimba menurut versi itu terjadi pada tahun Suryasengkala 692 yang
ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713
yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.
KITAB WAYANG PURWA

PUNTADEWA JUMENENG NATA


Kisah ini menceritakan pelantikan Raden Puntadewa sebagai raja Amarta, yang mana
sebelumnya ia diculik oleh Prabu Wisapati penjelmaan Batara Wsiwakarma. Juga
dikisahkan Dewi Nagagini dan Dewi Urangayu mengagih janji kepada Raden
Bratasena.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kitab
Mahabharata karya Resi Wyasa dan juga Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya
Ki Trsituti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Oktober 2016
Heri Purwanto

Prabu Puntadewa / Yudistira

ADIPATI YAMAWIDURA MELAPORKAN KEBERHASILAN PARA PANDAWA


MEMBUKA HUTAN
Prabu Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Adipati
Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Dalam pertemuan itu Adipati
Yamawidura melaporkan tentang para Pandawa yang telah berhasil membuka sebagian
Hutan Wanamarta menjadi permukiman baru, yang diberi nama Kerajaan Amarta, dengan
ibukota bernama Indraprasta. Memang benar di sana terdapat negeri bangsa jin yang
bernama Kerajaan Mertani. Namun, para jin itu telah berhasil ditundukkan oleh Raden
Puntadewa dan adik-adiknya.
Dalam pertemuan itu, Adipati Yamawidura juga menyampaikan undangan dari Raden
Puntadewa yang mengharap kehadiran Prabu Dreatarastra dan para sesepuh lainnya pada
upacara pelantikan dirinya sebagai raja, yang akan digelar tujuh hari lagi.
Patih Sangkuni menyela pembicaraan. Ia menyebut para Pandawa tidak punya sopan
santun karena tidak datang sendiri untuk mengundang Prabu Dretarastra yang sudah
seperti ayah bagi mereka. Yang lebih lucu lagi, para Pandawa justru menyuruh paman
mereka untuk menyampaikan undangan itu. Demikian Patih Sangkuni menyindir Adipati
Yamawidura.
Adipati Yamawidura menjelaskan bahwa para Pandawa hari ini masih sibuk menata
kota Indraprasta dan mempersiapkan segala sarana dan prasarana untuk pelantikan Raden
KITAB WAYANG PURWA

Puntadewa. Mengenai undangan ke negara Hastina, justru Adipati Yamawidura sendiri


yang menawarkan bantuan, bukan para Pandawa yang menyuruh dirinya.
Prabu Dretarastra senang mendengarnya. Meskipun pada awalnya ia termakan
hasutan Patih Sangkuni agar mencelakakan para Pandawa dengan cara menugasi mereka
untuk membuka Hutan Wanamarta yang angker. Akan tetapi, bagaimanapun juga rasa
kebapakan dalam diri Prabu Dretarastra tetaplah ada. Ia kini merasa bahagia mendengar
lima keponakannya itu berhasil mendirikan negara baru di sana.
Berpikir demikian, Prabu Dretarastra pun menjawab bahwa dirinya siap untuk datang
ke Indraprasta tujuh hari lagi demi memberikan restu atas pelantikan Raden Puntadewa.
Setelah dirasa cukup, Prabu Dretarastra lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke
dalam, di mana Dewi Gandari telah menunggu di gapura.

PATIH SANGKUNI MENEMUI RADEN KURUPATI


Setelah pertemuan bubar, Patih Sangkuni didampingi Raden Dursasana dan
Bambang Aswatama pergi ke Kadipaten Anom untuk menjenguk Raden Kurupati
(Suyudana). Hari itu Raden Kurupati sudah lumayan sembuh dari sakitnya sejak mendengar
berita bahwa ia tetap menjadi putra mahkota Kerajaan Hastina, sedangkan saingannya,
yaitu Raden Puntadewa bersedia menerima Hutan Wanamarta. Raden Kurupati berharap
para Pandawa tewas dibunuh para jin saat membuka hutan angker tersebut.
Raden Kurupati pun menyambut kedatangan rombongan Patih Sangkuni dan bertanya
apakah para Pandawa sudah mati di Hutan Wanamarta. Patih Sangkuni menjawab para
Pandawa tidak mati, tapi justru berhasil membangun negara baru bernama Amarta, dengan
ibukota bernama Indraprasta. Para jin penguasa Kerajaan Mertani justru tunduk dan
menyerah kalah pada mereka.
Raden Kurupati sangat terkejut dan marah. Patih Sangkuni khawatir keponakannya itu
kembali sakit dan ia pun berusaha menyabarkannya. Raden Dursasana menyarankan agar
sang kakak mensyukuri apa yang ada. Wilayah yang diterima para Pandawa hanya
seperempat dari keseluruhan Kerajaan Hastina, sedangkan para Kurawa masih menguasai
sisanya yang tiga perempat bagian.
Raden Kurupati semakin marah dan hampir memukul adik kesayangannya itu.
Beruntung, Patih Sangkuni berhasil menenangkan hatinya. Patih Sangkuni mengaku dirinya
telah mendapat laporan tentang Prabu Jin Yudistira yang sudah menyerah kalah kepada
Raden Puntadewa itu. Mata-mata Patih Sangkuni telah mengirimkan laporan bahwa Prabu
Jin Yudistira memiliki sahabat berwujud raja raksasa bernama Prabu Wisapati dari Kerajaan
Guawindu. Dalam hal ini Patih Sangkuni berniat menghasut Prabu Wisapati agar
membalaskan kekalahan Prabu Jin Yudistira dengan cara menyerang Kerajaan Amarta.
Raden Kurupati setuju pada rencana pamannya. Ia ingin ikut serta pergi ke Kerajaan
Guawindu bersama Patih Sangkuni. Meskipun kesehatannya belum pulih benar, namun ia
merasa tidak ada obat di dunia ini yang bisa menyembuhkannya kecuali kehancuran para
Pandawa. Patih Sangkuni mengamati keponakannya itu dan setelah yakin Raden Kurupati
sudah cukup sehat, ia pun bersedia mengajaknya serta.
Demikianlah, Patih Sangkuni lalu berangkat menuju Kerajaan Guawindu dengan
ditemani Raden Kurupati, Raden Dursasana, dan Bambang Aswatama.

PATIH SANGKUNI MENGHASUT PRABU WISAPATI


Prabu Wisapati adalah raja raksasa dari Kerajaan Guawindu. Ia menerima kedatangan
Patih Sangkuni beserta para keponakan dan menanyakan apa keperluan mereka. Patih
KITAB WAYANG PURWA

Sangkuni memperkenalkan diri dan menceritakan tentang kelima Pandawa yang hari ini
telah berhasil membuka Hutan Wanamarta serta mendirikan Kerajaan Amarta di sana.
Prabu Wisapati menjawab dirinya tidak memiliki urusan dengan para Pandawa. Biar
saja mereka membangun kerajaan di sana, ia tidak peduli. Patih Sangkuni berkata bahwa
para Pandawa membangun Kerajaan Amarta di atas puing-puing Kerajaan Mertani yang
dipimpin Prabu Jin Yudistira. Bahkan, prabu jin Yudistira dan keempat adiknya telah
ditumpas oleh para Pandawa. Apakah Prabu Wisapati diam saja mengetahui sahabatnya
dimusnahkan oleh Raden Puntadewa bersaudara? Demikian Patih Sangkuni bertanya.
Prabu Wisapati sangat marah mendengar hasutan Patih Sangkuni. Ia pun
memerintahkan Patih Mayasura untuk berangkat menggempur Kerajaan Amarta dan
menangkap Raden Puntadewa hidup-hidup untuk dibawa ke Guawindu. Ia ingin tangannya
sendiri yang menghukum mati Pandawa tertua itu. Patih Sangkuni dan Raden Kurupati pun
tersenyum senang melihat kemarahan Prabu Wisapati.

PATIH MAYASURA MENCULIK RADEN PUNTADEWA


Raden Puntadewa di Kerajaan Amarta sedang mempersiapkan pelantikan dirinya
sebagai raja. Dalam persiapan itu, para Kadang Braja dari Kerajaan Pringgadani ikut
membantu. Mereka adalah Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan,
Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana. Sejak kakak mereka, yaitu Prabu Arimba
meninggal, para Kadang Braja belum pulang ke Pringgadani. Mereka tetap tinggal di
Indraprasta untuk menemani kakak kedua mereka, yaitu Dewi Arimbi yang menikah dengan
Raden Bratasena.
Setelah pernikahan kakak mereka selesai, para Kadang Braja bekerja sama dengan
para Pandawa membangun kota Indraprasta menjadi lebih besar. Mereka bahu membahu
membangun perumahan untuk penduduk, membangun jalan raya, alun-alun, serta taman
kota. Mereka bekerja tanpa pamrih, hanya demi untuk memperbaiki hubungan antara
keluarga Prabu Pandu dan Prabu Tremboko yang sempat putus.
Raden Permadi (Arjuna) adalah satu-satunya yang tidak berada di Indraprasta, karena
mendapat tugas untuk mengundang Prabu Matsyapati di Wirata, Resiwara Bisma di
Talkanda, Bagawan Abyasa di Saptaarga, Prabu Salya di Mandraka, Prabu Basudewa di
Mandura, dan Prabu Drupada di Pancala untuk menghadiri upacara pelantikan. Hal itu
karena Raden Permadi menguasai Aji Seipi Angin yang membuatnya bisa bergerak secepat
angin menuju ke berbagai tempat, sehingga dirinya yang diutus untuk menyebarkan
undangan.
Tiba-tiba terdengar suara amuk pasukan raksasa datang menyerang kota Indraprasta.
Pasukan raksasa itu berasal dari Kerajaan Guawindu yang dipimpin oleh Patih Mayasura.
Mereka langsung menyerbu dan merusak pembangunan yang sedang dikerjakan oleh para
Pandawa dan Kadang Braja.
Raden Brajadenta segera memerintahkan adik-adiknya untuk menghadapi serangan
mendadak itu. Raden Bratasena dan si kembar ikut terjun ke pertempuran. Patih Mayasura
tidak menyangka para Pandawa dibantu para raksasa Pringgadani, sehingga pihaknya pun
terdesak dan banyak prajuritnya yang tewas.
Patih Mayasura yang menguasai ilmu sihir kemudian menyelinap masuk ke dalam
istana Indraprasta. Saat itu Raden Puntadewa sedang duduk membaca kitab suci. Tanpa
banyak bicara, Patih Mayasura segera menyambar Pandawa tertua itu dan membawanya
kabur menuju Kerajaan Guawindu.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Drupadi terkejut melihat suaminya diculik orang. Ia segera keluar istana untuk
memberi tahu Raden Bratasena. Merasa kecolongan, Raden Bratasena pun
memerintahkan si kembar untuk pergi menyusul Raden Permadi, sedangkan dirinya berniat
mengejar si penculik. Ia juga meminta Raden Brajadenta dan adik-adiknya untuk tetap
berjaga di kota Indraprasta.
Dewi Arimbi mendengar suaminya akan berangkat ke Guawindu. Ia pun meminta
diajak serta. Raden Bratasena merasa keberatan istrinya ikut. Namun, Dewi Arimbi lebih
dulu melesat pergi. Raden Bratasena tidak dapat mencegah lagi dan ia pun segera
menyusul di belakang istrinya itu.

RADEN PERMADI MENYUSUL KE GUAWINDU


Sementara itu, Raden Permadi didampingi para panakawan telah melaksanakan tugas
dengan baik yaitu mengundang para sesepuh di berbagai tempat untuk menghadiri
pelantikan Raden Puntadewa. Terakhir ia mengunjungi Bagawan Abyasa di Gunung
Saptaarga, sekaligus untuk menjemput sang kakek pergi bersama ke Indraprasta.
Tiba-tiba datang pula Raden Nakula dan Raden Sadewa yang melaporkan bahwa
Raden Puntadewa telah hilang diculik musuh dari Kerajaan Guawindu. Tadinya Raden
Nakula bingung harus ke mana menyusul Raden Permadi. Namun, Raden Sadewa yang
memiliki perasaan tajam mendapat firasat bahwa kakak ketiganya itu berada di Gunung
Saptaarga. Benar juga, ternyata Raden Permadi memang berada di gunung tersebut.
Raden Permadi terkejut mendengar laporan si kembar. Ia pun meminta kedua adiknya
pergi menemani sang kakek ke Indraprasta, sedangkan dirinya berniat mengejar si penculik.
Bagawan Abyasa memberikan petunjuk bahwa Kerajaan Guawindu terletak di sebelah
utara. Raden Permadi berterima kasih kemudian mohon pamit berangkat bersama para
panakawan.

DEWI ARIMBI DISERANG DEWI NAGAGINI


Sementara itu, Raden Bratasena dan Dewi Arimbi masih dalam pengejaran memburu
Patih Mayasura yang membawa Raden Puntadewa. Tiba-tiba di tengah jalan muncul seekor
naga yang langsung menyambar Dewi Arimbi. Raden Bratasena terkejut dan segera
mengejar naga itu.
Dewi Arimbi yang tidak menduga dirinya tiba-tiba disambar seekor naga segera
berubah wujud menjadi raksasa wanita untuk melawan. Maka, terjadilah pertarungan di
antara mereka, yaitu pertarungan antara naga melawan raksasi. Raden Bratasena tertegun
mendengar naga tersebut bisa berbicara dan ia pun yakin kalau sang naga pasti penjelmaan
Dewi Nagagini, istri pertamanya.
Tidak lama kemudian muncul seorang wanita dan laki-laki, yang tidak lain adalah Dewi
Urangayu dan ayahnya, yaitu Batara Mintuna. Dewi Urangayu datang untuk menagih janji
Raden Bratasena saat pembangunan Kali Sarayu dulu. Saat itu Raden Bratasena berjanji
akan menikahi Dewi Urangayu apabila kakaknya, yaitu Raden Puntadewa telah berhasil
menjadi raja. Kini, Dewi Urangayu pun mengajak ayahnya pergi ke Kerajaan Amarta untuk
menagih janji tersebut.
Raden Bratasena menjawab dirinya tidak pernah lupa akan hal itu. Memang benar
para Pandawa telah berhasil membuka Hutan Wanamarta dan mendirikan Kerajaan
Amarta. Namun, sampai hari ini Raden Puntadewa belum dilantik sebagai raja, sehingga
Raden Bratasena belum bisa memenuhi janjinya kepada Dewi Urangayu. Saat ini kedua
istrinya justru bertarung. Ia pun meminta bantuan kepada Dewi Urangayu agar
mendamaikan mereka.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Urangayu menyanggupi. Ia lalu mengheningkan cipta dan dari kepalanya tiba-
tiba muncul sepasang sungut yang melambai-lambai seperti sungut seekor udang. Dewi
Urangayu kemudian maju dan menyabetkan kedua sungutnya. Yang satu mengenai naga,
dan yang satu lagi mengenai raksasi. Seketika keduanya pun jatuh terduduk dan sama-
sama kembali ke wujud asal yang cantik jelita. Si naga berubah wujud menjadi Dewi
Nagagini, sedangkan si raksasi menjadi Dewi Arimbi.

KETIGA ISTRI RADEN BRATASENA MENJADI SAUDARA


Raden Bratasena dan Dewi Urangayu mendatangi Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi.
Raden Bratasena bertanya mengapa Dewi Nagagini menyerang Dewi Arimbi secara tiba-
tiba. Dewi Nagagini menjawab dengan ketus. Ia mengingatkan Raden Bratasena bahwa
dulu mereka menikah di Kahyangan Saptapratala setelah peristiwa Balai Sigala-gala. Saat
itu Raden Bratasena berkata bahwa mereka hanya menikah tapi belum bisa melakukan
hubungan badan. Itu karena Raden Bratasena merasa bersalah telah melangkahi Raden
Puntadewa yang belum menikah. Maka, Raden Bratasena pun bersumpah tidak akan
menyentuh Dewi Nagagini apabila Raden Puntadewa belum memiliki istri.
Dewi Nagagini menerima keputusan suaminya tersebut. Ia rela ditinggal pergi Raden
Bratasena yang melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Ekacakra. Hingga pada suatu hari
Dewi Nagagini mendengar berita bahwa Raden Puntadewa telah menikah dengan Dewi
Drupadi putri Kerajaan Pancala Selatan. Dewi Nagagini merasa senang bahwa itu berarti
sebentar lagi sang suami pasti datang untuk menjenguknya. Namun, hari demi hari Raden
Bratasena tak kunjung tiba. Sebagai seorang wanita dewasa, Dewi Nagagini mengharapkan
bisa segera memiliki anak. Maka, ia pun nekat menyusul Raden Bratasena ke Indraprasta.
Namun, di tengah jalan ia justru melihat suaminya sedang berjalan dengan wanita lain.
Karena terbakar rasa cemburu, Dewi Nagagini pun berubah menjadi naga dan menyambar
Dewi Arimbi seperti kejadian tadi.
Dewi Arimbi terkejut mendengarnya. Ia pun meminta maaf kepada Dewi Nagagini
bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud merebut suami orang. Saat menikah, ia sama
sekali tidak tahu kalau Raden Bratasena sudah mempunyai istri. Andai saja saat itu ia tahu
kalau Raden Bratasena sudah menikah, tentu ia akan memohon kepada suaminya itu agar
lebih dulu meminta izin kepada Dewi Nagagini selaku istri pertama. Andaikan Dewi Nagagini
tidak mengizinkan, tentu Dewi Arimbi menolak dinikahi Raden Bratasena.
Dewi Arimbi kemudian menyentuh lutut Dewi Nagagini dan meminta maaf kepadanya
dengan penuh sopan santun. Dewi Nagagini luluh hatinya. Ia ganti meminta maaf karena
tadi telah cemburu dan menyambar tubuh Dewi Arimbi tanpa peringatan. Kedua wanita itu
lalu berpelukan dan melupakan perkelahian tadi.
Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi lalu bertanya siapa wanita yang baru saja datang dan
melerai perkelahian mereka. Dewi Urangayu pun memperkenalkan dirinya sebagai calon
istri Raden Bratasena yang ketiga. Ia bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu para
Pandawa dan Kurawa berlomba menggali sungai yang menghubungkan Pegunungan
Dihyang dengan Laut Selatan. Pada saat itulah ia pertama kali bertemu Raden Bratasena
di mana dirinya membantu menghubungkan sungai buatan para Pandawa dengan
samudera. Raden Bratasena pun berjanji akan menikahi Dewi Urangayu setelah Raden
Puntadewa resmi dilantik menjadi raja.
Dewi Arimbi menggerutu menyebut Raden Bratasena sebagai laki-laki yang suka
mengumbar janji. Kini Dewi Nagagini datang karena ingin mempunyai anak, sedangkan
Dewi Urangayu datang untuk minta dinikahi. Sementara itu, Dewi Nagagini yang tadi
cemburu kini justru tertawa senang. Sebagai istri pertama ia mengizinkan Raden Bratasena
KITAB WAYANG PURWA

menikah lagi. Dengan demikian ia mempunyai dua orang adik, yaitu Dewi Arimbi dan Dewi
Urangayu.
Raden Bratasena berterima kasih atas kerelaan Dewi Nagagini. Ia pun berjanji akan
menjadi suami yang adil dan berusaha mendidik anak-anak dari ketiga istrinya itu agar kelak
selalu rukun seperti saudara kandung.

RADEN PERMADI DAN RADEN BRATASENA MEMBURU PENCULIK RADEN


PUNTADEWA
Raden Permadi dan para panakawan akhirnya tiba juga di tempat itu. Raden
Bratasena pun mengajaknya untuk pergi bersama menuju Kerajaan Guawindu, merebut
kembali sang kakak sulung. Ia lalu meminta Kyai Semar dan Nala Gareng agar
mengantarkan Batara Mintuna, Dewi Nagagini, Dewi Arimbi, dan Dewi Urangayu pulang ke
Indraprasta. Cukup dirinya dan Raden Permadi saja yang mengejar si penculik.
Demikianlah, Kyai Semar berhasil membujuk Dewi Arimbi agar kembali ke kota
Indraprasta bersama yang lain dan tidak lagi menyertai Raden Bratasena mengejar
penculik. Ia lalu mempersilakan Batara Mintuna dan Dewi Urangayu, serta Dewi Nagagini
agar ikut bersamanya menuju Kerajaan Amarta.
Setelah mereka pergi, Raden Bratasena dan Raden Permadi pun berangkat menuju
Guawindu di sebelah utara bersama panakawan Petruk dan Bagong.

ISTANA GUAWINDU DILENGKAPI DENGAN PERANGKAP SIHIR


Raden Bratasena dan Raden Permadi bersama kedua panakawan telah berhasil
menemukan istana Guawindu. Dari luar terlihat seperti gua seram, namun di dalamnya
tampak indah luar biasa. Ketika Raden Bratasena menginjak permadani yang terbentang di
lorong, tiba-tiba permadani itu berubah menjadi kolam air. Untungnya ia dengan sigap
melompat mundur sehingga tidak sampai tercebur ke dalamnya.
Raden Permadi yakin istana Guawindu ini penuh dengan perangkap sihir. Ia pun
mengoleskan minyak ajaib Lisah Pranawa pemberian Batara Citrarata (Gandarwa
Anggaraparna) di pelupuk matanya. Berkat minyak tersebut, Raden Permadi dapat melihat
keadaan yang sebenarnya. Permadani indah yang terhampar kini terlihat aslinya, yaitu
kolam air, sedangkan jurang berisi api yang menyala-nyala justru merupakan jalanan yang
sesungguhnya. Begitu pula dengan jebakan-jebakan yang lain, semuanya kini terlihat
dengan jelas.
Raden Permadi pun berjalan paling depan, sedangkan Raden Bratasena dan para
panakawan mengikuti di belakangnya.

MENAKLUKKAN PRABU WISAPATI DAN PATIH MAYASURA


Raden Bratasena dan Raden Permadi telah sampai di hadapan Prabu Wisapati dan
Patih Mayasura. Kedua raksasa itu terkejut mereka bisa melewati perangkap sihir.
Terjadilah pertarungan di antara mereka. Selang agak lama, Raden Bratasena berhasil
meringkus Prabu Wisapati, sedangkan Raden Arjuna yang bersenjatakan Oyod Bayura
mampu menangkal sihir Patih Mayasura dan menangkap raksasa itu.
Petruk dan Bagong telah berhasil menemukan di mana Raden Puntadewa
disembunyikan. Raden Puntadewa lalu memerintahkan Raden Bratasena agar melepaskan
Prabu Wisapati. Raden Bratasena menolak karena itu akan sangat berbahaya. Namun,
Raden Puntadewa memintanya untuk tidak membantah, karena ia sudah tahu kalau Prabu
Wisapati adalah penjelmaan seorang dewa, bernama Batara Wiswakarma.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Wisapati gembira mengetahui Raden Puntadewa dapat menebak jati dirinya. Ia
lalu bercerita bahwa dirinya memang penjelmaan dewa ahli bangunan bernama Batara
Wiswakarma. Dahulu kala pernah terjadi perang antara Batara Indra melawan Batara Kala.
Dalam perang itu Batara Wiswakarma memihak Batara Kala. Akhirnya, Batara Kala dapat
dikalahkan oleh Batara Wisnu yang memihak Batara Indra, sedangkan Batara Wiswakarma
tertangkap dan dikutuk menjadi raksasa. Batara Wiswakarma memohon ampun dan minta
agar dibebaskan dari kutukan. Batara Wisnu menjawab tidak bisa. Batara Wiswakarma
harus menjalani hukumannya dan kelak akan ada kesatria sulung dari lima bersaudara yang
bisa mengembalikan dirinya menjadi dewa. Batara Wiswakarma menerima hal itu dan ia
pun berganti nama menjadi Prabu Wisapati.
Demikianlah kisah hidup Prabu Wisapati. Ia mendengar kabar bahwa sahabatnya
yang bernama Prabu Jin Yudistira telah dikalahkan oleh Raden Puntadewa. Maka, ini bisa
menjadi sarana baginya untuk bisa bertemu dengan sulung para Pandawa itu. Kini
siasatnya telah berhasil. Ia pun meminta kepada Raden Puntadewa agar membebaskannya
dari kutukan Batara Wisnu.
Raden Puntadewa sendiri selama diculik Patih Mayasura sempat berdoa memohon
petunjuk Yang Mahakuasa. Tiba-tiba muncul Batara Darma yang berbisik di telinganya
tanpa diketahui oleh Patih Mayasura. Batara Darma menceritakan siapa jati diri Prabu
Wisapati dan bagaimana cara menyembuhkannya dari kutukan. Demikianlah, Raden
Puntadewa pun menerapkan apa yang telah diajarkan Batara Darma tadi. Ia menempelkan
Pustaka Jamus Kalimahusada pemberian Bagawan Abyasa ke dahi Prabu Wisapati sambil
membaca mantra. Tiba-tiba Prabu Wisapati berubah wujud, tidak lagi seorang raksasa
melainkan kembali menjadi dewa bernama Batara Wiswakarma.

BATARA WISWAKARMA DAN PATIH MAYASURA MEMBANTU PARA PANDAWA


MEMBANGUN ISTANA
Batara Wiswakarma berterima kasih atas bantuan Raden Puntadewa dan ia pun
menawarkan hadiah kepadanya. Raden Puntadewa menjawab dirinya tidak memiliki pamrih
apa-apa dan mempersilakan Batara Wiswakarma pulang ke kahyangan. Namun, Batara
Wiswakarma tetap memaksa ingin memberikan hadiah. Maka, Raden Puntadewa pun
meminta agar keempat adiknya dibuatkan istana masing-masing di samping istana
Indraprasta. Batara Wiswakarma menyanggupi dengan senang hati.
Sementara itu, Patih Mayasura yang masih ditawan oleh Raden Permadi juga
memohon untuk dibebaskan. Raden Permadi bersedia membebaskannya namun dengan
satu syarat, yaitu ia ingin Patih Mayasura membuatkan berbagai hiasan sihir di dalam istana
Indraprasta seperti yang ada di istana Guawindu. Raden Permadi ingin istana Indraprasta
memiliki hamparan permadani padahal sebenarnya kolam air, atau jurang berisi api
menyala-nyala, padahal sebenarnya jalanan yang bisa dilewati. Patih Mayasura mengaku
sanggup dan siap melakukannya dengan senang hati. Sementara itu, Raden Bratasena
menggerutu menyebut adiknya mempunyai keinginan aneh.
Demikianlah, dalam sekejap mata Batara Wiswakarma telah mengembalikan Raden
Puntadewa dan kedua adiknya ke istana Indraprasta. Patih Mayasura lalu bekerja
memperindah Indraprasta dengan menambahkan hiasan-hiasan sihir, serta membuatkan
balairung yang sangat luas dan dapat menampung ribuan orang, tanpa harus melebarkan
bangunan istana.
Sementara itu, Batara Wiswakarma dengan kesaktian dewatanya mampu bekerja
cepat membangun empat istana di sekeliling Indraprasta. Keempat istana itu
dipersembahkan untuk keempat adik Raden Puntadewa. Istana untuk Raden Bratasena
diberi nama Jodipati atau Unggulpawenang, istana untuk Raden Permadi diberi nama
KITAB WAYANG PURWA

Madukara, istana untuk Raden Nakula diberi nama Sawojajar, sedangkan istana untuk
Raden Sadewa diberi nama Baweratalun.
Para Pandawa kagum melihat cara kerja mereka berdua. Setelah semuanya selesai,
Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura pun mohon pamit meninggalkan Kerajaan Amarta.

PELANTIKAN RADEN PUNTADEWA SEBAGAI RAJA AMARTA


Hari pelantikan akhirnya tiba. Para tamu dan undangan dari berbagai negara telah
hadir, antara lain Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Dretarastra dari Hastina, Prabu
Basudewa dari Mandura, Prabu Salya dari Mandraka, Prabu Drupada dari Pancala Selatan,
dan Adipati Yamawidura dari Pagombakan. Hadir pula para pendeta seperti Resiwara
Bisma, Bagawan Abyasa, Resi Druna, dan Resi Krepa.
Hari itu Raden Puntadewa resmi dilantik menjadi raja Amarta, yang merdeka tidak
berada di bawah Kerajaan Hastina. Ia memakai gelar Prabu Puntadewa Yudistira. Prabu
Matsyapati pun mempersilakan Prabu Puntadewa untuk memakai mahkota seperti raja
pada umunya. Prabu Puntadewa mengaku dirinya tetap memakai gelung keling saja seperti
sediakala, sebagai penghormatan untuk sang ibu yang telah menggelung rambutnya sejak
kecil. Justru ia ingin berpenampilan sederhana meskipun telah menjadi raja. Ia bahkan
melepas semua gelang dan kelatbahu, hanya menyisakan Kalung Robyong saja, karena itu
warisan dari Arya Gandamana.
Dewi Kunti sangat terharu dan bahagia mendengar ucapan putranya itu. Ia berharap
di dalam hati andai saja putra sulungnya, yaitu Karna Basusena juga ikut hadir di
Indraprasta ini, alangkah bahagia perasaannya.

PERKAWINAN RADEN BRATASENA DENGAN DEWI URANGAYU


Prabu Puntadewa telah dilantik menjadi raja, sehingga tiba saatnya Raden Bratasena
menepati janjinya untuk menikahi Dewi Urangayu. Esok harinya Dewi Kunti dan Batara
Mintuna pun menggelar hajat pernikahan tersebut. Para tamu dan undangan memberikan
ucapan selamat dan doa restu semoga mereka dikaruniai putra yang sakti, jujur, dan pandai.
Malam harinya, Raden Bratasena mewujudkan janjinya kepada Dewi Nagagini. Dulu
ia pernah bersumpah tidak akan menyentuh istri pertamanya itu sebelum Raden Puntadewa
menikah. Malam ini, ia pun berolah asmara dengan Dewi Nagagini. Sungguh berbeda
dengan kebanyakan orang, Raden Bratasena melakukannya dengan cara mengayun-
ayunkan tubuh Dewi Nagagini ke depan dan belakang dengan satu tangan (oncat-ancit).
Anehnya, Dewi Nagagini merasa sangat puas dan bahagia diperlakukan seperti itu.
Setelah mengandung benih suaminya, Dewi Nagagini pun mohon pamit kembali ke
Kahyangan Saptapratala.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Dewi Nagagini menyusul Raden Bratasena ke Amarta dan para Kadang Braja membantu
para Pandawa menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi
pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”,
atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA

WASI JALADARA
Kisah ini menceritakan Raden Kakrasana (kelak bergelar Prabu Baladewa) menjadi
pendeta muda di Gunung Rewataka, memakai nama Wasi Jaladara, yang kemudian
bertemu dengan jodohnya, yaitu Dewi Erawati putri Prabu Salya.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman
pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdho dan ki Manteb Soedharsono,
dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 15 Oktober 2016
Heri Purwanto

Wasi Jaladara

PATIH SANGKUNI MELAMAR DEWI ERAWATI UNTUK RADEN KURUPATI


Prabu Salya di Kerajaan Mandraka yang dahulu menikah dengan Dewi Setyawati
(Pujawati) putri Resi Bagaspati, telah dikaruniai lima orang anak. Anak yang pertama
sampai ketiga semuanya perempuan, masing-masing bernama Dewi Erawati, Dewi
Srutikanti, dan Dewi Banuwati. Anak yang keempat berwujud kesatria gagah tapi berwajah
raksasa, bernama Raden Burisrawa. Ia jarang sekali tinggal di istana karena malu pada
wujudnya dan lebih suka menyepi di pinggiran kota. Adapun putra bungsu Prabu Salya
bernama Raden Rukmarata yang berwajah tampan, mirip dengan Prabu Salya semasa
muda (saat masih bernama Raden Narasoma).
Hari itu Prabu Salya sedang dirundung duka karena putri sulungnya, yaitu Dewi
Erawati menghilang entah ke mana. Raden Rukmarata dan Patih Tuhayata sudah
mengerahkan pasukan untuk mencari ke segala penjuru, tetapi Dewi Erawati seolah
menghilang bagaikan asap. Tidak diketahui ke mana perginya, tidak diketahui pula siapa
yang telah menculiknya.
Ketika Prabu Salya sedang memimpin pertemuan untuk meminta laporan Raden
Rukmarata dan Patih Tuhayata, tiba-tiba datang Patih Sangkuni dari Kerajaan Hastina yang
membawa surat berisi ajakan Prabu Dretarastra untuk berbesan. Dalam surat itu tertulis
bahwa putra sulung Prabu Dretarastra yang bernama Raden Kurupati telah tiba saatnya
untuk naik takhta. Namun sebelum itu, Raden Kurupati harus memiliki seorang istri sebagai
permaisuri terlebih dahulu. Prabu Dretarastra merasa hanya putri Prabu Salya yang pantas
menjadi pendamping hidup Raden Kurupati. Untuk itu, Prabu Dretarastra pun meminang
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Erawati sebagai menantu, sekaligus untuk mempererat persaudaraan antara Kerajaan
Hastina dengan Kerajaan Mandraka.
Prabu Salya sangat senang jika putrinya menjadi istri pangeran Hastina. Akan tetapi,
sayang sekali saat ini Dewi Erawati menghilang dari istana. Tidak ada seorang pun yang
tahu ke mana perginya. Hanya saja, Prabu Salya agak curiga kepada seorang pendeta
muda bernama Wasi Jaladara dari Gunung Rewataka.
Patih Sangkuni pun bertanya siapa itu Wasi Jaladara. Prabu Salya menjawab
beberapa hari yang lalu Wasi Jaladara datang ke istana Mandraka untuk melamar Dewi
Erawati. Melihat wujud Wasi Jaladara yang kumal dan berpakaian compang-camping,
Prabu Salya tidak berkenan menerima lamarannya. Wasi Jaladara pun kembali ke Gunung
Rewataka dengan tangan hampa. Setelah kejadian itu tiba-tiba Dewi Erawati menghilang
dari istana.
Patih Sangkuni menduga Wasi Jaladara adalah pelaku penculikan Dewi Erawati. Ia
yakin Wasi Jaladara tentu sakit hati karena lamarannya ditolak dan nekat menculik Dewi
Erawati. Prabu Salya juga menduga demikian. Namun, Patih Tuhayata yang sudah
mengintai Gunung Rewataka dan tidak menemukan tanda-tanda bahwa Dewi Erawati
berada di tangan Wasi Jaladara.
Patih Sangkuni bertanya mengapa Patih Tuhayata hanya mengintai? Mengapa tidak
langsung menggeledah saja? Prabu Salya tidak berani memberikan perintah, karena
Gunung Rewataka terletak di luar wilayah Kerajaan Mandraka. Mendengar itu, Patih
Sangkuni menyatakan sanggup menyerbu dan menggeledah Gunung Rewataka. Ia dan
para Kurawa siap untuk mengobrak-abrik tempat tinggal Wasi Jaladara tersebut demi
menemukan Dewi Erawati.
Prabu Salya mempersilakan apabila Patih Sangkuni mempunyai rencana seperti itu.
Ia hanya berharap putri sulungnya bisa kembali dengan selamat. Sejak kemarin Prabu
Salya sudah memiliki niat akan menikahkan Dewi Erawati dengan pria yang berhasil
menemukannya, atau mepersaudarakannya apabila yang menemukan seorang wanita.
Syukur apabila Raden Kurupati berhasil menemukan Dewi Erawati, tentu mereka bisa
menjadi suami-istri.
Patih Sangkuni berkata bahwa Raden Kurupati pasti bisa menemukan Dewi Erawati.
Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke tempat para Kurawa menunggu.

RADEN PERMADI MENGHADAP PRABU SALYA


Setelah Patih Sangkuni meninggalkan istana Mandraka, tiba-tiba datang Pandawa
nomor tiga, yaitu Raden Permadi (Arjuna) menghadap Prabu Salya. Beberapa waktu yang
lalu Prabu Salya menghadiri pelantikan Raden Puntadewa sebagai raja Amarta, sehingga
ia pun mengenali para Pandawa satu persatu. Maka, begitu melihat Raden Permadi datang,
Prabu Salya pun menyambutnya dengan ramah dan memeluknya seperti anak sendiri.
Raden Permadi menyampaikan maksud kedatangannya adalah karena diutus Prabu
Puntadewa untuk mencari hilangnya Raden Bratasena yang pergi dari Kerajaan Amarta
tanpa pamit. Menurut petunjuk yang diberikan Bagawan Abyasa, Raden Permadi dapat
menemukan kakak keduanya itu apabila membantu kerepotan Prabu Salya di Kerajaan
Mandraka.
Prabu Salya pun berterus terang bahwa saat ini Kerajaan Mandraka sedang
menghadapi masalah yang sama dengan Kerajaan Amarta. Jika Kerajaan Amarta
kehilangan Raden Bratasena, maka Kerajaan Mandraka kehilangan Dewi Erawati.
Mendengar itu, Raden Permadi pun berkata dirinya sanggup mencari hilangnya Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Erawati karena itu akan menjadi sarana baginya untuk bisa menemukan Raden Bratasena.
Prabu Salya berterima kasih dan memberikan petunjuk agar Raden Permadi pergi ke
Gunung Rewataka saja, karena kemungkinan besar Dewi Erawati disekap Wasi Jaladara di
sana. Raden Permadi mengiakan, kemudian ia mohon pamit berangkat meninggalkan
istana Mandraka.
Setelah Raden Permadi pergi, tiba-tiba Prabu Salya merasa bimbang karena itu berarti
akan terjadi persaingan dengan Raden Kurupati. Setelah ditimbang-timbang, Prabu Salya
merasa akan lebih baik jika Raden Kurupati dan Raden Permadi sama-sama dijadikan
menantu. Raden Kurupati biarlah berjodoh dengan Dewi Erawati, sedangkan Raden
Permadi akan dinikahkan dengan putri Prabu Salya yang lain.
Untuk itu, Prabu Salya pun memanggil Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati. Mereka
berdua ditugasi untuk bergantian memikat Raden Permadi agar mengurungkan niat mencari
Dewi Erawati. Mereka harus mengusahakan agar Raden Permadi tidak jadi berangkat dan
memilih salah satu dari mereka, sehingga Dewi Erawati bisa menjadi istri Raden Kurupati.
Dewi Srutikanti keberatan menjalankan perintah sang ayah. Ia menolak jika harus
menawarkan diri seperti wanita yang tidak berharga. Prabu Salya tersinggung mendengar
ucapan putri keduanya itu. Ia marah karena dibantah putrinya dan berkata dirinya bisa
berumur pendek karena memiliki anak yang berani melawan orang tua. Mendengar itu, Dewi
Srutikanti terpaksa menyanggupi perintah tersebut.
Dewi Banuwati juga menyanggupi karena takut kehilangan ayah. Prabu Salya bangga
mendengar perkataan putri ketiganya. Ia lalu memerintahkan Dewi Srutikanti dan Dewi
Banuwati untuk menyusul Raden Permadi dan mencegahnya sebelum pergi jauh.

RADEN PERMADI MENOLAK DEWI SRUTIKANTI DAN MENERIMA DEWI BANUWATI


Sementara itu, Raden Permadi bersama para panakawan hampir saja melewati
gerbang istana ketika Dewi Srutikanti memanggilnya agar berhenti. Dewi Srutikanti lalu
memperkenalkan dirinya sebagai kakak sepupu yang ingin menjamu Raden Permadi. Ia
meminta Raden Permadi agar singgah ke tempatnya barang sebentar untuk sekadar makan
dan minum, atau berganti pakaian yang lebih bagus. Raden Permadi menolak karena ia
harus segera berangkat mencari hilangnya Dewi Erawati. Tidak pantas seorang kesatria
menunda-nunda pekerjaan penting demi mendahulukan makan dan minum. Dewi Srutikanti
merasa terhina atas penolakan itu dan memilih pergi.
Ketika Raden Permadi hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ia dihentikan oleh
Dewi Banuwati yang juga mengundangnya untuk singgah. Lain dengan sang kakak yang
mengundang dengan setengah hati, rupanya Dewi Banuwati benar-benar jatuh cinta
kepada Raden Permadi yang tampan rupawan. Maka, undangan dan ajakannya pun
dilakukan dengan sepenuh hati. Raden Permadi sendiri juga terpikat pada Dewi Banuwati
yang meskipun terlihat galak tetapi sikapnya tulus. Lama-lama ia tidak kuasa menolak dan
akhirnya mengikuti ajakan tersebut.
Demikianlah, Raden Permadi makan dan minum dilayani Dewi Banuwati hingga
akhirnya mereka pun berkasih-kasihan di dalam kaputren. Tiba-tiba Dewi Srutikanti
memergoki mereka berdua dan marah-marah karena sikap Raden Permadi yang tidak
terpuji. Dewi Banuwati memohon kepada sang kakak untuk tidak melaporkan hal ini kepada
ayah mereka. Dewi Srutikanti menyanggupi, tetapi ia meminta Raden Permadi untuk segera
pergi. Ia juga mengutuk Pandawa nomor tiga itu akan mengalami nasib sial. Jika lapar tidak
bertemu makanan, jika haus tidak bertemu air.
Raden Permadi pun pergi meninggalkan kaputren tempat tinggal Dewi Banuwati
dengan perasaan kesal terhadap Dewi Srutikanti.
KITAB WAYANG PURWA

ASAL USUL WASI JALADARA


Gunung Rewataka memang bukan berada di wilayah Kerajaan Mandraka, tetapi
terletak di perbatasan Kerajaan Mandura dan Hastina. Di puncak gunung kecil tersebut
berdiri sebuah padepokan yang dipimpin oleh seorang pendeta muda berkulit bule, bernama
Wasi Jaladara. Ia tidak lain adalah Raden Kakrasana, putra mahkota Kerajaan Mandura.
Beberapa waktu yang lalu Prabu Basudewa memerintahkan kedua putranya, yaitu
Raden Kakrasana dan Raden Narayana untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi
Drupadi di Kerajaan Pancala Selatan. Dalam sayembara itu, Raden Narayana hanya
menjadi penonton karena sejak awal dia tahu kalau Dewi Drupadi bukan jodohnya. Maka,
yang masuk gelanggang menghadapi Arya Gandamana adalah Raden Kakrasana. Tidak
peduli Dewi Drupadi jodohnya atau bukan, yang jelas Raden Kakrasana merasa
berkewajiban untuk melaksanakan perintah orang tua.
Dalam pertandingan itu Raden Kakrasana kalah. Ia tidak pulang ke Mandura
melainkan pergi bertapa ke Gunung Rewataka untuk memperdalam ilmu, dengan ditemani
adiknya, yaitu Dewi Sumbadra. Raden Kakrasana memakai nama Wasi Jaladara,
sedangkan Dewi Sumbadra memakai nama Endang Bratajaya. Sementara itu, Raden
Narayana juga tidak pulang. Dengan ditemani Arya Udawa, ia pergi ke Gunung
Gandamadana untuk berguru kepada Resi Jembawan.
Setelah sekian lama bertapa, Wasi Jaladara mendapat petunjuk Batara Brahma agar
pergi ke Kerajaan Mandraka untuk melamar Dewi Erawati. Meskipun usia Dewi Erawati
beberapa tahun lebih tua daripada Wasi Jaladara, namun mereka ditakdirkan berjodoh.
Maka, berangkatlah pendeta muda itu ke istana Mandraka. Akan tetapi, lamaran tersebut
ditolak Prabu Salya karena memandang Wasi Jaldara sebagai pendeta miskin. Wasi
Jaladara yang pemarah merasa sangat kesal, namun segera ingat kalau dirinya pasti
sedang diuji oleh para dewa. Maka, ia pun pulang ke Gunung Rewataka dengan tangan
hampa.
Dalam perjalanan pulang tersebut, Wasi Jaladara bertemu dengan sepupunya, yaitu
Raden Bratasena. Mereka berdua sudah saling kenal sejak peristiwa Kangsa Adu Jago.
Raden Bratasena berkata bahwa dirinya baru saja menikah dengan Dewi Urangayu, tapi
mendapat petunjuk dari Batara Bayu agar berguru ilmu gada kepada Raden Kakrasana
yang kini bergelar Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara merasa aneh jika Raden Bratasena ingin berguru kepadanya. Dulu
Wasi Jaladara pernah dikalahkan Arya Gandamana, sedangkan Raden Bratasena justru
telah mengalahkan Arya Gandamana. Raden Bratasena menjawab dirinya mengalahkan
Arya Gandamana karena tidak sengaja. Saat itu ia sudah kehabisan napas karena diapit
oleh lengan Arya Gandamana yang perkasa. Merasa ajalnya segera tiba, Raden Bratasena
merintih menyebut nama ayahnya yang telah tiada, yaitu Prabu Pandu. Mendengar nama
Prabu Pandu disebut, Arya Gandamana merasa terharu sehingga cengkeramannya
menjadi kendur. Saat itulah tanpa sengaja Kuku Pancanaka di tangan Raden Bratasena
memanjang dan menusuk dada Arya Gandamana.
Raden Bratasena juga berkata bahwa petunjuk dewa tidak mungkin salah. Ia
mendengar Batara Bayu memuji Wasi Jaladara adalah pemain gada terbaik saat ini. Jika
dulu Wasi Jaladara kalah melawan Arya Gandamana itu karena mereka bertanding dengan
tangan kosong. Andaikan bertanding menggunakan gada, belum tentu Arya Gandamana
bisa mengalahkan Wasi Jaladara. Lagipula Arya Gandamana pernah berguru kepada
Batara Bayu, sehingga Batara Bayu paham benar sejauh apa kemampuan muridnya
tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Wasi Jaladara merasa bangga mendengar pujian Batara Bayu namun ia buru-buru
sadar diri, bahwa pujian bisa jadi merupakan ujian dewata. Maka, ia pun menerima Raden
Bratasena sebagai murid dan berharap ini bisa menjadi bagian dari pertapaannya.

PARA KURAWA MENYERANG GUNUNG REWATAKA


Demikianlah, Raden Bratasena sudah satu bulan lamanya berguru ilmu gada kepada
Wasi Jaladara ketika tiba-tiba Patih Sangkuni dan para Kurawa datang ke Gunung
Rewataka. Raden Kurupati bertanya dengan kasar di mana Wasi Jaladara
menyembunyikan Dewi Erawati. Wasi Jaladara tidak tahu menahu. Ia bahkan baru tahu
kalau Dewi Erawati hilang diculik orang.
Patih Sangkuni berkata bahwa Wasi Jaladara pasti menculik Dewi Erawati karena
kesal lamarannya ditolak Prabu Salya. Raden Kurupati pun memerintahkan adik-adiknya
untuk menggeledah padepokan tempat tinggal Wasi Jaladara. Raden Bratasena segera
maju menghalangi karena itu berarti melanggar kehormatan gurunya.
Tiba-tiba Endang Bratajaya muncul karena mendengar suara ribut-ribut. Raden
Kurupati segera memerintahkan Raden Dursasana supaya menangkap gadis itu untuk
dijadikan tawanan. Kelak Endang Bratajaya akan dibebaskan apabila Wasi Jaladara
bersedia menyerahkan Dewi Erawati.
Raden Dursasana maju menjalankan perintah. Melihat adiknya hendak ditangkap,
Wasi Jaladara tidak bisa menahan sabar lagi. Ia pun menendang Raden Dursasana dan
mengamankan Endang Bratajaya.
Para Kurawa maju hendak mengejar Wasi Jaladara. Raden Bratasena segera
menghalangi. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Seorang diri Raden Bratasena
menghadapi keroyokan para sepupunya itu. Wasi Jaladara yang telah menyembunyikan
Endang Bratajaya segera ikut terjun ke dalam pertempuran. Dengan cekatan ia merebut
gada milik Raden Kartawarma dan menggunakannya untuk menghajar para Kurawa.
Kini Raden Bratasena melihat sendiri bagaimana kepandaian gurunya dalam
memainkan gada. Ia merasa petunjuk Batara Bayu telah terbukti kebenarannya. Patih
Sangkuni yang melihat para keponakannya babak belur segera memerintahkan mereka
semua untuk mundur meninggalkan Gunung Rewataka.

RADEN KARTAPIYOGA SANG PENCULIK DEWI ERAWATI


Dewi Erawati, yaitu putri sulung Prabu Salya sesungguhnya diculik oleh Raden
Kartapiyoga, putra Prabu Kurandageni, raja raksasa dari Kerajaan Tirtakadasar. Adapun
Kerajaan Tirtakadasar terletak di dasar Sungai Jaladenta. Hal ini karena Prabu Kurandageni
memiliki pusaka Mustika Maniyara dan Mustika Manindrah yang berkhasiat mampu
mencipta istana di dalam air tetapi suasananya sama persis seperti di atas daratan.
Hari itu Raden Kartapiyoga menghadap ayah dan ibunya. Ia menceritakan bahwa
Dewi Erawati yang disekap dalam taman sari akhirnya bersedia menjadi istrinya, tetapi
dengan syarat harus dimadu dengan Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati. Prabu
Kurandageni heran mengapa Dewi Erawati meminta syarat seperti itu. Jangan-jangan ini
hanyalah jebakan. Raden Kartapiyoga tidak peduli. Ia telah berhasil menculik Dewi Erawati
dari istana Mandraka, tentunya tidak sulit pula untuk menculik kedua adiknya.
Dewi Tapayati (ibu Raden Kartapiyoga) menasihati putranya agar mengembalikan
Dewi Erawati kepada Prabu Salya. Seharusnya Raden Kartapiyoga melamar Dewi Erawati
secara baik-baik, bukan dengan cara menculik seperti ini. Prabu Kurandageni membantah
istrinya. Ia mengingatkan bahwa Prabu Salya telah berdosa besar kepada Resi Bagaspati
sehingga pantas mendapat hukuman seperti ini.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Tapayati adalah putri Prabu Bagaskara, raja raksasa dari Kerajaan Nusabelah.
Setelah Prabu Bagaskara ditinggal istrinya yang bernama Dewi Satapi, ia memutuskan
untuk menikah lagi dengan melamar Dewi Trilaksmi, istri Prabu Gandabayu raja Pancala.
Tentu saja lamaran itu ditolak dan terjadilah perang di antara dua negara. Prabu Bagaskara
akhirnya tewas di tangan Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan adiknya
yang bernama Resi Bagaspati menyerah kalah dan berteman dengan Prabu Mandrapati,
sekutu Prabu Gandabayu.
Setelah ayahnya tewas, Dewi Tapayati dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa, menteri
utama Kerajaan Nusabelah. Mereka lalu menikah dan membangun istana di dasar Sungai
Jaladenta, bernama Kerajaan Tirtakadasar. Patih Kurandayaksa pun menjadi raja, bergelar
Prabu Kurandageni. Nama itu dipakai sebagai pengingat bahwa ia berhasil menaklukkan
air. Dari perkawinan tersebut lahirlah Raden Kartapiyoga.
Sementara itu, Resi Bagaspati adik Prabu Bagaskara kabarnya telah meninggal
dibunuh menantunya sendiri yang bernama Raden Narasoma, putra Prabu Mandrapati.
Kemudian Raden Narasoma menjadi raja Mandraka, bergelar Prabu Salya. Itulah sebabnya
Prabu Kurandageni merestui Raden Kartapiyoga menculik Dewi Erawati, tentunya agar
Prabu Salya menderita siksa batin, dan ini menjadi sarana balas dendam atas kematian
Resi Bagaspati.
Dewi Tapayati tetap saja tidak tega karena istri Prabu Salya, atau ibu Dewi Erawati
adalah sepupunya, yaitu Dewi Pujawati. Sejak kecil Dewi Tapayati dan Dewi Pujawati
adalah kawan sepermainan. Siang dan malam mereka selalu bersama bagaikan saudara
kandung, hingga akhirnya terpisah sejak peristiwa meninggalnya Prabu Bagaskara. Dewi
Tapayati bisa membayangkan pasti saat ini Dewi Pujawati sedang bersedih karena putri
sulungnya hilang diculik orang. Ia tidak tega apabila sepupunya itu sampai kehilangan dua
orang putri lagi.
Prabu Kurandageni tidak peduli. Ia mengancam akan memukul Dewi Tapayati apabila
istrinya itu masih saja membela keluarga Prabu Salya. Raden Kartapiyoga juga ikut memaki
ibunya yang lebih peduli pada anak orang lain dan menentang keinginan anak sendiri.
Sungguh sedih perasaan Dewi Tapayati karena dimaki putranya dan ia pun memilih diam
tidak berkata lagi.
Raden Kartapiyoga kemudian mohon pamit untuk kembali menyusup ke istana
Mandraka. Prabu Kurandageni merestui putranya itu dan memerintahkan Patih Kalaparda
untuk membawa sejumlah prajurit raksasa membantu menjaga Raden Kartapiyoga dari
kejauhan.

RADEN PERMADI KELELAHAN SETELAH MENUMPAS PARA RAKSASA


Sementara itu, Raden Permadi dan para panakawan sedang dalam perjalanan
mencari Dewi Erawati menuju Gunung Rewataka sesuai perkiraan Prabu Salya.
Sesampainya di dekat gunung tersebut, mereka bertemu Patih Kalaparda dan para prajurit
raksasa Tirtakadasar yang ketinggalan jauh saat mengikuti Raden Kartapiyoga. Patih
Kalaparda tanpa banyak bertanya langsung menyerang Raden Permadi karena yakin
pemuda tampan ini pasti mata-mata yang dikirim Prabu Salya.
Maka, terjadilah pertempuran di antara mereka. Raden Permadi seorang diri mampu
menumpas habis para prajurit raksasa tersebut. Hanya Patih Kalaparda seorang yang bisa
melarikan diri. Namun demikian, Raden Permadi tiba-tiba merasa sangat letih seperti
kehabisan tenaga.
Kyai Semar berkata mungkin ini adalah kutukan Dewi Srutikanti yang menjadi
kenyataan. Raden Permadi marah dan tidak percaya pada hal itu. Dengan sikap agak kasar
KITAB WAYANG PURWA

ia menyuruh Kyai Semar segera pergi mencari makanan, bukannya malah menakut-nakuti
dengan kutukan segala.

PARA PANAKAWAN MENJADI PENGAMEN


Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong berangkat mencari makanan. Mereka
mendaki Gunung Rewataka dan melihat ada padepokan di puncaknya. Endang Bratajaya
saat itu sedang memasak. Kyai Semar dan anak-anaknya pun mengamen (mbarang jantur)
untuk mendapatkan makanan. Mereka menyanyi dan menari di hadapan Endang Bratajaya.
Merasa terhibur, Endang Bratajaya pun memberikan nasi lengkap dengan lauk pauk
kepada Kyai Semar. Namun, ia masih ingin dihibur lagi. Kyai Semar pun bermain sulap. Ia
menyulap seutas tali menjadi seekor ular. Endang Bratajaya ketakutan dan lari ke dalam
padepokan. Para panakawan segera pergi meninggalkan tempat itu.
Di tengah jalan, Kyai Semar mengacak-acak makanan pemberian Endang Bratajaya.
Nasi dan lauk pauk itu dicampur dengan lumpur dan juga diludahi. Ketika sampai di hadapan
Raden Permadi, makanan itu pun diserahkan. Raden Permadi sangat marah begitu melihat
bentuk makanan tersebut sudah mirip dengan muntahan anjing. Ia pun menghunus keris
kemudian naik ke Gunung Rewataka untuk melabrak si pemberi makanan.

RADEN PERMADI BERTEMU WASI JALADARA


Raden Permadi telah berada di puncak Gunung Rewataka dan melabrak Endang
Bratajaya. Merasa dirinya terancam, Endang Bratajaya pun menjerit minta tolong. Wasi
Jaladara dan Raden Bratasena segera muncul. Wasi Jaladara melindungi adiknya,
sedangkan Raden Bratasena meringkus Raden Permadi. Sungguh gembira Raden Permadi
bisa bertemu dengan kakaknya. Seketika amarahnya pun sirna.
Raden Bratasena berkata kepada adiknya bahwa ia pergi meninggalkan Kerajaan
Amarta adalah untuk menjalankan petunjuk Batara Bayu, yang memerintahkannya berguru
ilmu gada kepada Wasi Jaladara. Adapun Wasi Jaladara dan Endang Bratajaya ini
sesungguhnya masih sepupu para Pandawa. Mereka tidak lain adalah Raden Kakrasana
dan Dewi Sumbadra, yaitu putra dan putri Prabu Basudewa, kakak Dewi Kunti. Raden
Permadi seketika teringat peristiwa Kangsa Adu Jago beberapa waktu yang lalu, di mana ia
pernah berjumpa dengan mereka. Dengan penuh penyesalan, Raden Permadi pun
meminta maaf telah berbuat kasar kepada Endang Bratajaya.
Wasi Jaladara bertanya mengapa Raden Permadi tiba-tiba datang melabrak adiknya.
Kyai Semar mengaku dirinyalah yang merancang keributan ini. Ia sengaja mengadu domba
Raden Permadi dan Endang Bratajaya. Pertama, karena Kyai Semar ingin menyadarkan
Raden Permadi yang berbuat khilaf, lebih menuruti hawa nafsu daripada mengakui
kesalahan. Sungguh tidak pantas Raden Permadi sebagai kesatria berdarah Saptaarga
tetapi mudah lapar, mudah mengeluh, dan juga menolak nasihat baik dari Kyai Semar. Yang
kedua, Kyai Semar sengaja ingin mempertemukan Raden Permadi dengan saudara-
saudaranya dengan cara demikian.
Raden Permadi merasa bersalah tadi telah menolak nasihat Kyai Semar dengan
kasar. Kini ia pun mengakui telah bernasib sial sebagai balasan atas sikapnya yang
menyakiti perasaan Dewi Srutikanti. Namun, bagaimanapun juga ia telah berjanji kepada
Prabu Salya untuk membantu mencari hilangnya Dewi Erawati. Janji tersebut mau tidak
mau harus dipenuhi.
Wasi Jaladara berkata bahwa Dewi Erawati adalah jodohnya, demikian menurut
petunjuk Batara Brahma. Namun, lamarannya telah ditolak Prabu Salya yang melihat dirinya
hanya seorang pendeta muda yang miskin. Kyai Semar menasihati Wasi Jaladara agar
KITAB WAYANG PURWA

jangan mudah putus asa. Justru inilah saatnya untuk berbuat jasa kepada Prabu Salya
sekaligus membuktikan bahwa dirinya memang jodoh yang tepat untuk Dewi Erawati.
Wasi Jaladara menerima nasihat Kyai Semar. Ia pun mengajak Raden Permadi dan
Raden Bratasena untuk bersama menemukan Dewi Erawati. Namun syaratnya, mereka
berdua tidak boleh membuka jati diri Wasi Jaladara yang sesungguhnya. Keduanya pun
setuju. Mereka bertiga lalu berangkat bersama Petruk dan Bagong, sedangkan Endang
Bratajaya tetap di padepokan bersama Kyai Semar dan Nala Gareng.

WASI JALADARA MENGHADAP PRABU SALYA


Raden Permadi kembali ke istana Mandraka bersama Wasi Jaladara dan Raden
Bratasena. Prabu Salya marah melihat Wasi Jaladara berani muncul lagi padahal beberapa
waktu yang lalu lamarannya sudah ditolak. Atau jangan-jangan Wasi Jaladara memang
penculik Dewi Erawati yang sebenarnya dan sekarang datang untuk menyerahkan diri?
Wasi Jaladara menjawab dirinya berani datang ke Mandraka adalah untuk
membersihkan tuduhan. Prabu Salya berkata jika memang Wasi Jaladara tidak bersalah
harusnya bisa menangkap penculik yang sebenarnya. Wasi Jaladara menjawab sanggup
dan ia bersumpah akan menemukan Dewi Erawati sebelum matahari terbit besok. Prabu
Salya semakin marah dan menuduh Wasi Jaladara lancang. Ia pun menyuruh pendeta
muda itu segera berangkat. Wasi Jaladara menjawab dirinya tidak perlu berangkat karena
tadi malam ia mimpi bertemu Dewi Erawati yang mengatakan bahwa si penculik akan
datang lagi ke istana Mandraka. Prabu Salya tidak peduli bagaimana caranya Wasi Jaladara
mengembalikan putrinya. Jika besok pagi sampai gagal, maka Wasi Jaladara akan
dipenggal kepalanya. Wasi Jaladara menjawab siap.

WASI JALADARA MENGEJAR RADEN KARTAPIYOGA


Malam itu Raden Kartapiyoga masuk menyusup ke dalam istana Mandraka untuk
menculik Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati. Ia mengerahkan Aji Sirep untuk membuat seisi
istana tertidur pulas. Sungguh tidak disangka ternyata ada tiga orang yang tidak mempan
terkena sirep, karena mereka telah bersiaga sejak awal. Ketiga orang itu adalah Wasi
Jaladara, Raden Bratasena, dan Raden Permadi.
Raden Kartapiyoga ketakutan dan segera melarikan diri. Tanpa membuang waktu,
Wasi Jaladara dan kedua sepupunya segera mengejar. Kejar-kejaran itu berlangsung
sampai mendekati Sungai Jaladenta. Raden Kartapiyoga pun terjun ke sungai dan
menyelam ke dalam air.
Wasi Jaladara segera mengerahkan Aji Balarama yang membuat kekuatannya
meningkat pesat. Dengan ilmu tersebut ia mampu menahan napas lebih lama di dalam air.
Sambil menarik tangan Raden Bratasena dan Raden Permadi, ia pun terjun ke dalam
sungai mengejar Raden Kartapiyoga.
Di dasar sungai tersebut, Wasi Jaladara dan kedua sepupunya melihat istana megah.
Sungguh aneh, kini mereka tidak perlu menahan napas lagi karena suasana di dalam istana
sama persis seperti di atas daratan. Tiba-tiba mereka melihat Raden Kartapiyoga
menghadang, kali ini ditemani oleh Patih Kalaparda dan para prajurit raksasa.

KEMATIAN RADEN KARTAPIYOGA DAN PRABU KURANDAGENI


Pertempuran pun terjadi. Wasi Jaladara melawan Raden Kartapiyoga, sedangkan
kedua sepupunya melawan pasukan raksasa. Raden Kartapiyoga akhirnya tewas terkena
Gada Alugora, sedangkan Patih Kalaparda tewas di tangan Raden Bratasena.
KITAB WAYANG PURWA

Wasi Jaladara lalu melemparkan mayat Raden Kartapiyoga ke dalam istana. Prabu
Kurandageni marah melihat anaknya tewas. Ia pun mengamuk menyerang Wasi Jaladara.
Pertarungan terjadi di antara mereka. Tubuh Wasi Jaladara tertangkap dan hendak ditelan
masuk ke dalam mulut Prabu Kurandageni yang menganga lebar.
Namun, Wasi Jaladara dengan sigap mengerahkan Senjata Nanggala. Senjata
tersebut digunakan untuk memukul rongga mulut Prabu Kurandageni. Seketika Prabu
Kurandageni pun tewas dengan kepala meledak.

DEWI ERAWATI DAN DEWI TAPAYATI DIBAWA KE MANDRAKA


Wasi Jaladara kemudian melihat seorang raksasi muncul, yaitu Dewi Tapayati yang
mengaku sebagai istri Prabu Kurandageni. Ketika Dewi Tapayati hendak ditangkap, tiba-
tiba muncul pula Dewi Erawati mencegah Wasi Jaladara. Dewi Erawati berterima kasih telah
ditolong, namun ia meminta agar Dewi Tapayati jangan disakiti. Wasi Jaladara menurut.
Kedua wanita itu lalu dibawa naik ke daratan, kembali ke Kerajaan Mandraka.
Prabu Salya dan Dewi Setyawati menyambut kepulangan Dewi Erawati dengan
perasaan haru. Dewi Setyawati lalu memeluk Dewi Tapayati yang tidak lain adalah kakak
sepupunya sendiri. Mereka terpisah lama sejak meninggalnya Prabu Bagaskara yang dulu
menyerang Kerajaan Pancala. Hari itu Dewi Tapayati baru tahu kalau sepupunya telah
berganti nama, dari Dewi Pujawati menjadi Dewi Setyawati.
Prabu Salya meminta maaf karena Prabu Kurandageni dan Raden Kartapiyoga tewas
terbunuh dalam upaya penyelamatan putri sulungnya. Dewi Tapayati menjawab ia sudah
ikhlas. Suami dan putranya telah menerima karma akibat perbuatan mereka sendiri. Ia
sudah sering menasihati mereka, namun mereka justru berbalik mengancam dirinya.
Dewi Erawati ikut bicara. Selama dalam tawanan Raden Kartapiyoga, ia selalu
mendapat perlindungan Dewi Tapayati. Andai saja tidak ada Dewi Tapayati, mungkin Raden
Kartapiyoga sudah melampiaskan nafsu jahatnya kepada Dewi Erawati. Terharu Prabu
Salya dan Dewi Setyawati mendengarnya. Mereka pun berterima kasih dan meminta Dewi
Tapayati untuk tetap tinggal di istana Mandraka.

DEWI TAPAYATI DIRUWAT MENJADI CANTIK


Dewi Tapayati lalu menyerahkan kedua pusaka peninggalan suaminya, yaitu Mustika
Maniyara dan Mustika Manindrah kepada Prabu Salya. Dewi Tapayati berkata bahwa kedua
permata itu bisa digunakan untuk pengruwatan juga. Prabu Salya paham. Ia lalu meletakkan
kedua permata tersebut di atas kepala Dewi Tapayati sambil membaca mantra. Beberapa
saat kemudian, wujud Dewi Tapayati pun berubah menjadi cantik, tidak lagi berparas
raksasi.
Dewi Tapayati berterima kasih atas pengruwatan yang dilakukan Prabu Salya. Ia juga
berterima kasih diizinkan tetap tinggal di Kerajaan Mandraka, karena itu berarti ia bisa
berkumpul lagi dengan Dewi Setyawati yang sangat disayanginya. Namun, sebagai
penghormatan untuk suami dan anaknya yang telah meninggal, Dewi Tapayati meminta
agar dirinya dijadikan pelayan saja, jangan dijadikan sebagai kakak Dewi Setyawati.
Prabu Salya menghormati keinginan Dewi Tapayati. Ia pun mengizinkan wanita itu
menjadi pelayan istrinya, dan namanya pun diganti menjadi Nyai Sugandini.
Prabu Salya kemudian berkata kepada Wasi Jaladara bahwa ia berterima kasih atas
bantuannya menyelamatkan Dewi Erawati. Jika dulu lamaran Wasi Jaladara pernah ditolak,
maka kini Prabu Salya mengizinkan pendeta muda itu menjadi menantunya. Namun,
mengenai hari pernikahan akan diberi tahu lebih lanjut.
KITAB WAYANG PURWA

Wasi Jaladara berterima kasih, kemudian mohon pamit kembali ke Gunung Rewataka
bersama Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah pertemuan Wasi Jaladara dan Dewi Erawati ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan
sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”, atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan
sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA

BALADEWA RABI
Kisah ini menceritakan Wasi Jaladara alias Raden Kakrasana menjadi jago dewa untuk
menumpas Prabu Nagaprasanta dan pasukannya. Berkat kemenangan itu, ia mendapat
bantuan Batara Indra untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Prabu Salya demi
memperistri Dewi Erawati. Kisah ditutup dengan pelantikan Raden Kakrasana sebagai
raja Mandura, bergelar Prabu Baladewa.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman
pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Oktober 2016
Heri Purwanto

Prabu Baladewa

PRABU SALYA MENGAJUKAN SYARAT UNTUK PERNIKAHAN DEWI ERAWATI


Prabu Salya di Kerajaan Mandraka memimpin pertemuan yang dihadiri putra
bungsunya, yaitu Raden Rukmarata, beserta para menteri dan punggawa yang dikepalai
Patih Tuhayata. Dalam pertemuan itu Prabu Salya membicarakan tentang kekecewaannya,
yaitu bukan para Kurawa yang berhasil menemukan hilangnya Dewi Erawati, melainkan
Wasi Jaladara dari Gunung Rewataka. Padahal, Prabu Salya berharap putri sulungnya bisa
menjadi istri Raden Kurupati, yang merupakan calon pemimpin Kerajaan Hastina, bukannya
menjadi istri seorang pendeta miskin semacam Wasi Jaladara.
Raden Rukmarata sependapat dengan sang ayah. Ia juga merasa sayang jika kakak
sulungnya sampai menikah dengan seorang pendeta miskin. Ia tidak tega membayangkan
Dewi Erawati hidup kekurangan di puncak Gunung Rewataka bersama Wasi Jaladara.
Patih Tuhayata ikut menyampaikan pendapat. Ia berkata bahwa Prabu Salya sudah
terlanjur bersumpah, barangsiapa bisa menemukan hilangnya Dewi Erawati, maka akan
mendapat hadiah, yaitu jika laki-laki akan dinikahkan dengan sang putri, dan jika perempuan
akan dipersaudarakan dengannya. Meskipun Prabu Salya mengharapkan Raden Kurupati
yang memenangkan sayembara, namun dewata berkehendak lain. Itu artinya Dewi Erawati
memang ditakdirkan berjodoh dengan Wasi Jaladara. Patih Tuhayata menyarankan agar
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Salya tetap menepati sabda seorang raja. Soal nanti Dewi Erawati hidup bahagia
atau tidak, itu semua di luar kuasa manusia.
Prabu Salya tersinggung mendengar ucapan Patih Tuhayata. Namun, jika dipikir-pikir
memang ada benarnya juga. Bagaimanapun sabda seorang raja harus dipenuhi meskipun
bertentangan dengan perasaan. Raden Rukmarata yang memahami isi hati sang ayah
akhirnya menemukan cara untuk menggagalkan pernikahan kakaknya. Ia pun mengusulkan
agar Wasi Jaladara diberi syarat yang berat, yang harus dipenuhi saat upacara pernikahan
nanti.
Raden Rukmarata berkata bahwa untuk menikahi Dewi Erawati, Wasi Jaladara harus
bisa menyediakan “patah manten sakembaran”, yaitu dua orang gadis perawan yang
berwajah mirip sebagai pendamping pengantin. Syarat yang kedua adalah pasangan
pengantin harus dipayungi “kembar mayang” yang terbuat dari Kayu Dewandaru dan Kayu
Jayandaru, berasal dari Kahyangan Suralaya, dengan diiringi empat puluh bidadari. Syarat
yang ketiga adalah Wasi Jaladara harus bisa menyediakan “waranggana cantik”, yang
pandai menyanyikan segala jenis lagu.
Prabu Salya tertarik pada usulan putranya tersebut dan menyetujuinya. Ia pun
mengutus Raden Rukmarata dan Patih Tuhayata untuk menyampaikan persyaratan ini
kepada Wasi Jaladara di Gunung Rewataka. Ia juga menentukan hari Buda Manis minggu
depan adalah hari pernikahan, di mana Wasi Jaladara harus sudah bisa memenuhi semua
persyaratan tersebut.

PRABU NAGAPRASANTA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Nagaprasanta dari Kerajaan
Renggabumi. Suatu hari terbesit niat di hatinya untuk menikah dengan salah satu bidadari
kahyangan bernama Batari Gagarmayang. Ia pun berangkat bersama Patih Yudakoti untuk
mewujudkan keinginannya.
Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya dengan tegas menolak lamaran
tersebut. Prabu Nagaprasanta marah dan memerintahkan pasukannya untuk merebut
Batari Gagarmayang dengan cara paksa. Batara Indra pun mengerahkan pasukan
dorandara untuk menghadapi serangan ini. Pertempuran pun terjadi. Prabu Nagaprasanta
mengubah wujudnya menjadi seekor naga besar yang mengamuk menyembur-nyemburkan
bisa panas, sedangkan Patih Yudakoti dapat berubah wujud menjadi seekor gajah yang
kebal segala jenis senjata.
Batara Indra dan para jawata terdesak menghadapi kesaktian Prabu Nagaprasanta
dan Patih Yudakoti. Mereka pun mundur ke dalam kahyangan dan menutup rapat-rapat
gerbang Kori Selamatangkep. Batara Indra lalu mengheningkan cipta memohon petunjuk
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka.
Tidak lama kemudian, Batara Narada datang membawa pesan dari Batara Guru,
bahwa yang bisa mengalahkan Prabu Nagaprasanta dan Patih Yudakoti adalah Raden
Kakrasana, putra mahkota Kerajaan Mandura yang saat ini menjadi pendeta muda di
Gunung Rewataka, bergelar Wasi Jaladara. Setelah memberikan petunjuk demikian, Batara
Narada lalu berangkat untuk menjemput pemuda itu.

RADEN KURUPATI MENJADI MURID WASI JALADARA


Beberapa hari yang lalu para Kurawa dan Patih Sangkuni pernah menyerang Gunung
Rewataka karena menduga Wasi Jaladara menculik Dewi Erawati. Dalam serangan itu
mereka dapat dipukul mundur oleh Wasi Jaladara dan Raden Bratasena. Kemudian
terdengar pula kabar bahwa Wasi Jaladara dibantu Raden Bratasena dan Raden Permadi
KITAB WAYANG PURWA

berhasil membunuh Prabu Kurandageni dan Raden Kartapiyoga, serta memulangkan Dewi
Erawati yang disekap oleh mereka. Hal ini membuat para Kurawa semakin kesal.
Raden Kurupati selaku pemimpin para Kurawa berniat menyerang Gunung Rewataka
sekali lagi, namun dicegah oleh Patih Sangkuni. Dalam hal ini Patih Sangkuni meminta
Raden Kurupati untuk berpikir sebaliknya. Patih Sangkuni mengatakan bahwa Raden
Kurupati adalah calon raja Hastina, maka sebaiknya belajar bagaimana caranya mencari
sekutu, bukannya mencari musuh. Wasi Jaladara seorang sakti dan berilmu tinggi,
seharusnya dijadikan sebagai sekutu, bukannya dijadikan sebagai musuh. Saat ini Raden
Bratasena dari pihak Pandawa sudah lebih dulu berguru ilmu gada kepadanya, maka Raden
Kurupati jangan mau kalah. Patih Sangkuni menyarankan agar keponakannya itu juga
berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara, serta harus bisa memikat hatinya agar mau
menjadi sekutu para Kurawa.
Raden Kurupati sebenarnya malas jika harus berguru kepada mantan musuhnya.
Namun, membayangkan dirinya kelak menjadi raja Hastina memiliki para pelindung yang
sakti seperti Resiwara Bisma, Resi Druna, Raden Suryaputra, dan ditambah dengan Wasi
Jaladara, tentu para Pandawa dapat dihancurkan dengan mudah. Maka, berangkatlah
Raden Kurupati melaksanakan nasihat sang paman menuju Gunung Rewataka.
Demikianlah, Raden Kurupati kini telah menghadap Wasi Jaladara yang didampingi
Raden Bratasena. Ia meminta maaf karena beberapa hari yang lalu telah menyerang
Gunung Rewataka bersama adik-adiknya. Sekarang Raden Kurupati mengagumi kesaktian
dan kekuatan Wasi Jaladara dan ia memohon agar diterima sebagai murid.
Raden Bratasena yang sudah hafal watak para Kurawa langsung menaruh curiga,
jangan-jangan Raden Kurupati menyimpan maksud lain. Namun, Wasi Jaladara melarang
Raden Bratasena berburuk sangka. Pada dasarnya Wasi Jaladara berhati lembut dan
pemaaf, meskipun dari luar terlihat galak dan mudah marah. Dengan senang hati ia pun
menerima Raden Kurupati sebagai murid, dan bisa belajar bersama-sama dengan Raden
Bratasena.

RADEN RUKMARATA MENYAMPAIKAN PESAN KEPADA WASI JALADARA


Wasi Jaladara kemudian menerima kedatangan Raden Rukmarata dan Patih
Tuhayata dari Kerajaan Mandraka. Raden Rukmarata menyampaikan pesan dari ayahnya
bahwa hari pernikahan antara Wasi Jaladara dengan Dewi Erawati sudah ditentukan, yaitu
hari Buda Manis minggu depan. Itu artinya ada waktu tujuh hari bagi Wasi Jaladara untuk
mempersiapkan diri. Dalam upacara pernikahan tersebut, Wasi Jaladara harus sanggup
untuk menyediakan: 1) Sepasang gadis perawan berwajah mirip sebagai “patah manten”.
2) Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru sebagai “kembar mayang”, yang diiringkan oleh
para bidadari berjumlah empat puluh. 3) Seorang “waranggana” cantik sebagai penyanyi
yang harus bisa menembangkan berbagai jenis lagu.
Demikianlah syarat yang diajukan oleh Prabu Salya. Setelah berkata demikian, Raden
Rukmarata pun mohon pamit dengan ditemani Patih Tuhayata.
Sepeninggal mereka berdua, Wasi Jaladara termangu-mangu karena syarat tersebut
terlalu berat baginya. Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada dari kahyangan.
Batara Narada menasihati Wasi Jaladara untuk tidak perlu memikirkan persyaratan yang
diajukan Prabu Salya. Orang baik yang suka menolong pasti mendapat jalan keluar bagi
setiap permasalahan. Hari ini Batara Indra meminta pertolongan Wasi Jaladara untuk
menjadi jago para dewa menumpas musuh bernama Prabu Nagaprasanta dari Kerajaan
Renggabumi. Wasi Jaladara menyatakan sanggup membantu. Batara Narada pun
KITAB WAYANG PURWA

mengajaknya pergi ke kahyangan. Raden Bratasena dan Raden Kurupati juga ikut
menyertai.

RADEN PERMADI DIUBAH MENJADI WARANGGANA CANTIK


Sementara itu, Raden Permadi (Arjuna) sedang berjalan bersama para panakawan
Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Pada awalnya ia ditugasi sang kakak
sulung, yaitu Prabu Puntadewa untuk mencari hilangnya Raden Bratasena. Raden Permadi
lalu pergi ke Kerajaan Mandraka di mana ia bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Banuwati.
Kemudian Raden Permadi pergi ke Gunung Rewataka di mana ia bertemu Endang
Bratajaya alias Dewi Sumbadra yang tidak kalah cantik dibanding Dewi Banuwati. Kali ini
Raden Permadi merasa bimbang. Dalam hati ia merindukan kedua-duanya, namun tidak
mungkin memilih mereka semua.
Tiba-tiba muncul seorang raja raksasa bernama Prabu Rajasengkala dari Kerajaan
Batarewata. Raksasa itu bertanya kepada Raden Permadi di mana letak Gunung Rewataka.
Raden Permadi bertanya mengapa Prabu Rajasengakala ingin pergi ke sana. Prabu
Rajasengkala menjawab bahwa ia ingin membalas kematian adiknya, yang bernama Prabu
Kurandageni, yang tewas di tangan Wasi Jaladara. Raden Permadi berkata bahwa Wasi
Jaladara adalah sepupunya, dan dirinya juga ikut serta membantu mengalahkan Prabu
Kurandageni. Oleh sebab itu, sebelum Prabu Rajasengkala pergi membalas Wasi Jaladara,
maka harus bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu.
Prabu Rajasengkala sangat marah dan ia pun menyerang Raden Permadi. Terjadilah
pertempuran di antara mereka. Dalam pertarungan itu Raden Permadi unggul. Ketika ia
hendak membunuh Prabu Rajasengkala, tiba-tiba muncul Batari Durga menghalangi.
Batari Durga meminta Raden Permadi untuk tidak membunuh Prabu Rajasengkala
yang merupakan pengikutnya. Sebagai tebusan, Batari Durga mempersilakan Raden
Permadi untuk mengajukan permintaan kepadanya. Raden Permadi berkata bahwa hari ini
dirinya sedang bimbang menentukan pilihan, karena jatuh cinta kepada dua perempuan
sekaligus, yaitu Dewi Banuwati dan Dewi Sumbadra. Ia merasa rindu ingin bertemu mereka,
tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
Batari Durga memaklumi permasalahan kaum muda tentu tidak jauh dari urusan
asmara. Ia pun meramalkan bahwa di antara dua wanita itu yang kelak berjodoh dengan
Raden Permadi adalah Dewi Sumbadra, bukan Dewi Banuwati. Maka, sebagai tebusan
untuk nyawa Prabu Rajasengkala, Batari Durga siap membantu Raden Permadi untuk bisa
bertemu dengan Dewi Sumbadra.
Raden Permadi berterima kasih lalu melepaskan Prabu Rajasengkala. Batari Durga
pun bercerita bahwa Prabu Salya telah mengajukan syarat kepada Wasi Jaladara agar bisa
dipenuhi saat hari pernikahan nanti. Salah satu syaratnya adalah menyediakan seorang
waranggana cantik yang pandai menyanyikan berbagai jenis lagu. Batari Durga mengetahui
bahwa Raden Permadi sangat mencintai seni budaya dan pandai menyanyikan bermacam-
macam lagu. Maka, sekarang hanya tinggal merias wujudnya saja. Batari Durga pun
mengerahkan kekuasaannya dan seketika Raden Permadi berubah wujud menjadi seorang
wanita cantik.
Batari Durga lalu berkata bahwa dengan wujud wanita, Raden Permadi bisa
membantu Wasi Jaladara memenuhi persyaratan yang diajukan Prabu Salya, sekaligus bisa
mendekati Dewi Sumbadra alias Endang Bratajaya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan,
Batari Durga juga meminta para panakawan untuk berdandan seperti wanita. Kyai Semar
setuju. Setelah dirasa cukup, Batari Durga pun pergi bersama Prabu Rajasengkala.
KITAB WAYANG PURWA

WASI JALADARA MENUMPAS PRABU NAGAPRASANTA


Wasi Jaladara bersama Raden Bratasena dan Raden Kurupati telah tiba di Kahyangan
Suralaya. Mereka pun berperang menghadapi Prabu Nagaprasanta bersama pasukannya
yang mengepung di luar Kori Selamatangkep. Pertempuran sengit terjadi. Banyak prajurit
raksasa tewas di tangan Raden Kurupati dan Raden Bratasena.
Wasi Jaladara sendiri bertarung menghadapi naga penjelmaan Prabu Nagaprasanta.
Dengan senjata Nanggala ia memukul naga tersebut hingga pecah kepalanya. Melihat
rajanya tewas, Patih Yudakoti segera membaca mantra dan ia pun menjelma menjadi gajah
yang sangat ganas. Wasi Jaladara segera mengerahkan Aji Balarama untuk bisa
mengimbangi kekuatan Patih Yudakoti. Raden Bratasena dan Raden Kurupati hanya bisa
menonton dari jauh dan memuji kehebatan guru mereka dalam menghadapi musuh.
Pertarungan berlangsung semakin seru. Belalai gajah penjelmaan Patih Yudakoti
membelit tubuh Wasi Jaladara. Pendeta muda itu merasa sesak kehabisan napas. Namun,
tangannya sempat menarik lidah si gajah hingga putus. Patih Yudakoti pun jatuh terkulai
kehilangan daya. Karena lidahnya telah putus, ia tidak bisa lagi membaca mantra untuk
kembali ke wujud manusia.
Sejak kecil Wasi Jaladara sangat menyukai hewan gajah dan ia pernah memelihara
beberapa ekor ketika masih tinggal di Desa Widarakandang. Melihat gajah penjelmaan
Patih Yudakoti terkulai tak berdaya dan berlinang air mata, ia menjadi tidak tega. Wasi
Jaladara pun memeluk gajah tersebut dan berbisik di telinganya. Wasi Jaladara
mengatakan bahwa Gajah Yudakoti tidak akan dibunuh seperti Prabu Nagaprasanta.
Bahkan, Wasi Jaladara berniat mengajak gajah itu ikut dengannya. Gajah Yudakoti
mengangguk-angguk senang dan bersikap jinak kepada Wasi Jaladara. Wasi Jaladara pun
segera naik ke punggungnya sebagai tanda kemenangan.
Batara Indra berterima kasih atas bantuan Wasi Jaladara dan kedua muridnya dalam
menumpas musuh kahyangan. Sebagai hadiah, Batara Indra pun menyerahkan
seperangkat busana raja serta kendaraan berwujud seekor gajah putih, bernama Gajah
Puspadenta. Gajah putih ini merupakan anak Gajah Erawana, yaitu kendaraan Batara Indra.
Gajah Puspadenta hendaknya menjadi kendaraan Wasi Jaladara saat berwisata atau
mengunjungi seseorang, sedangkan Gajah Yudakoti hendaknya menjadi kendaraan saat
pergi berperang.
Wasi Jaladara berterima kasih namun tidak berani menerima anugerah Batara Indra.
Ia mengembalikan hadiah tersebut dan meminta izin agar diperbolehkan meminjam Kayu
Dewandaru dan Kayu Jayandaru, serta empat puluh orang bidadari sebagai pengiring.
Batara Indra berkata bahwa Wasi Jaladara tidak perlu mengembalikan Gajah Puspadenta
dan seperangkat busana raja darinya. Mengenai Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru,
serta pengiring bidadari akan dipinjamkan secara cuma-cuma kepada Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara sangat berterima kasih atas kebaikan Batara Indra kepadanya. Kini
tinggal dua syarat lain, yaitu menyediakan patah manten kembar dan waranggana cantik.
Batara Indra berkata Wasi Jaladara tidak perlu cemas. Orang yang berhati baik pasti akan
mendapatkan jalan. Kedua syarat tersebut pasti akan tersedia di Gunung Rewataka,
demikian Batara Indra meramalkan.
Wasi Jaladara pun bertukar pakaian dengan busana raja pemberian Batara Indra. Kini
ia terlihat gagah perkasa dan penuh wibawa. Sebagai pengingat atas jasanya menumpas
musuh dewa, maka Batara Narada pun memberikan nama baru untuknya, yaitu Raden
Baladewa.
KITAB WAYANG PURWA

Wasi Jaladara berterima kasih sekali lagi. Ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung
Rewataka bersama Raden Bratasena dan Raden Kurupati, dengan membawa serta Gajah
Yudakoti, Gajah Puspadenta, Kayu Dewandaru, Kayu Jayandaru, serta empat puluh
bidadari pengiring.

WASI JALADARA MEMENUHI SEMUA PERSYARATAN


Endang Bratajaya (Dewi Sumbadra) di Gunung Rewataka menyambut kepulangan
Wasi Jaladara dengan sukacita. Di tempat itu sudah menunggu pula kakaknya yang lain,
yaitu Raden Narayana beserta Arya Udawa. Wasi Jaladara yang sudah lama tidak bertemu
Raden Narayana segera berpelukan dan saling bertanya kabar.
Raden Narayana sejak peristiwa Sayembara Drupadi memilih pergi ke Gunung
Gandamadana untuk berguru kepada Resi Jembawan. Pada suatu malam ia bermimpi
mendengar suara gaib agar mengajak putri Resi Jembawan yang bernama Endang
Jembawati untuk pergi ke Gunung Rewataka. Raden Narayana pun melaksanakan perintah
tersebut. Kini ia telah datang bersama Endang Jembawati sekaligus bersama kedua orang
tuanya, yaitu Resi Jembawan dan Dewi Trijata.
Wasi Jaladara kagum melihat wajah Endang Jembawati yang sangat mirip dengan
Endang Bratajaya. Ia pun berterima kasih kepada Raden Narayana karena ini berarti salah
satu syarat yang diajukan Prabu Salya dapat dipenuhi, yaitu menyediakan patah manten
dua orang gadis perawan yang berwajah kembar. Resi Jembawan berkata bahwa putrinya
memang mirip dengan Endang Bratajaya karena menurut petunjuk dewa, Endang
Jembawati adalah titisan Batari Sri Laksmi, sedangkan Endang Bratajaya adalah titisan
Batari Sri Wedawati. Keduanya adalah istri Batara Wisnu.
Kini tinggal syarat terakhir yang belum terpenuhi, yaitu menyediakan seorang
waranggana cantik yang pandai menyanyi segala jenis lagu. Sungguh kebetulan, di luar
padepokan tiba-tiba terdengar suara wanita sedang mengamen. Wasi Jaladara segera
keluar dan melihat ada seorang waranggana cantik sedang bernyanyi diiringi empat orang
wanita berwajah jelek menabuh alat musik sederhana. Wasi Jaladara sangat senang dan
bertanya siapa nama waranggana itu. Si waranggana pun memperkenalkan dirinya
bernama Endang Werdiningsih, seorang pengamen keliling. Tanpa banyak bicara Wasi
Jaladara langsung mengajak pengamen cantik itu menjadi pengiringnya saat upacara
pernikahan nanti di Kerajaan Mandraka. Endang Werdiningsih yang tidak lain adalah
penjelmaan Raden Permadi segera menyanggupi, karena ini bisa menjadi sarana baginya
untuk mendekati Endang Bratajaya.

PERNIKAHAN WASI JALADARA DENGAN DEWI ERAWATI


Demikianlah, pada hari Buda Manis seperti yang telah ditentukan, rombongan
pengantin Wasi Jaladara pun tiba di istana Mandraka. Prabu Salya sama sekali tidak
menyangka bahwa pendeta miskin yang diremehkannya itu ternyata mampu memenuhi
persyaratan berat yang ia ajukan. Sang permaisuri Dewi Setyawati meminta Prabu Salya
untuk tunduk pada takdir dewata. Jika memang Wasi Jaladara sudah ditakdirkan menjadi
jodoh Dewi Erawati, maka Prabu Salya selaku orang tua hanya bisa memberikan restu.
Rombongan dari Gunung Rewataka itu tampak megah. Wasi Jaladara mengenakan
busana raja pemberian Batara Indra, duduk di atas punggung Gajah Puspadenta. Di
belakangnya tampak Endang Jembawati memegang Kayu Dewandaru, dan Endang
Bratajaya memegang Kayu Jayandaru. Di belakang mereka adalah empat puluh orang
bidadari yang semuanya cantik jelita. Kemudian menyusul Endang Werdiningsih menyanyi
di sepanjang jalan diiringi empat panakawan yang menyamar wanita. Rombongan paling
KITAB WAYANG PURWA

belakang adalah Raden Narayana, Raden Kurupati, Raden Bratasena, Resi Jembawan,
Dewi Trijata, dan Arya Udawa.
Prabu Salya heran melihat Raden Kurupati juga ikut serta mengiring Wasi Jaladara,
padahal beberapa hari yang lalu mereka bersaing memperebutkan Dewi Erawati. Raden
Kurupati pun menjawab bahwa dirinya telah menjadi murid Wasi Jaladara dalam bidang
ilmu gada. Raden Kurupati juga menjelaskan bahwa Wasi Jaladara sesungguhnya adalah
putra mahkota Kerajaan Mandura, yang memiliki nama asli Raden Kakrasana.
Prabu Salya terkejut dan sangat malu karena selama ini ia memandang rendah
terhadap Wasi Jaladara yang dikiranya hanya seorang pendeta miskin biasa. Padahal,
pemuda ini ternyata seorang calon raja, putra sahabatnya yaitu Prabu Basudewa. Prabu
Salya pun maju menyambut calon menantunya itu dan memeluknya, untuk kemudian
dinikahkan dengan Dewi Erawati. Mulai hari ini Prabu Salya meminta Wasi Jaladara kembali
memakai nama Raden Kakrasana, tidak perlu lagi menyamar sebagai pendeta miskin
berpakaian compang-camping.

PENYAMARAN ENDANG WERDININGSIH TERBONGKAR


Malam itu, Endang Werdiningsih menyusup ke dalam kamar tidur Endang Bratajaya.
Mula-mula mereka hanya bercakap-cakap, namun kemudian tangan Endang Werdiningsih
berani menyentuh kulit Endang Bratajaya. Merasa risih, Endang Bratajaya pun menghindar.
Namun, Endang Werdiningsih semakin mendekat dan mencoba memegang tubuh gadis itu.
Endang Bratajaya pun memaki dan mendorong Endang Werdiningsih ke belakang. Endang
Werdiningsih roboh dan seketika wujudnya kembali menjadi Raden Permadi.
Endang Bratajaya ketakutan ada laki-laki menyusup ke dalam kamarnya. Ia pun
menjerit minta tolong. Raden Kakrasana segera datang dan meringkus Raden Permadi.
Prabu Salya dan Raden Narayana juga muncul. Endang Bratajaya menceritakan bahwa
Endang Werdiningsih ternyata bukan wanita asli, tetapi penjelmaan Raden Permadi yang
ingin menggodanya.
Raden Kakrasana meminta maaf kepada Prabu Salya bahwa ia telah tertipu oleh
penyamaran Raden Permadi. Ia mengaku sama sekali tidak tahu kalau Endang
Werdiningsih ternyata wanita jadi-jadian. Itu artinya persyaratan nomor tiga tidak terpenuhi.
Prabu Salya merasa bingung memutuskan. Syarat nomor tiga yaitu menyediakan
waranggana cantik ternyata gagal dipenuhi, tetapi Raden Kakrasana sudah terlanjur
menikah dengan putrinya.
Raden Narayana tersenyum menengahi. Sejak awal ia sudah curiga bahwa Endang
Werdiningsih bukan perempuan asli, melainkan laki-laki yang sedang menyamar. Namun,
syarat nomor tiga yang diajukan Prabu Salya juga tidak jelas. Jika syarat menyediakan
“patah manten” berupa dua orang gadis perawan yang berwajah kembar jelas mudah
dipahami. Akan tetapi, syarat yang ketiga hanya menyebutkan “waranggana cantik” saja. Di
situ tidak dijelaskan apakah waranggana itu seroang wanita asli atau wanita jadi-jadian,
yang penting cantik. Itu saja.
Prabu Salya tertawa mendengar pembelaan Raden Narayana. Endang Werdiningsih
memang cantik dan pandai menyanyi, itu sudah cukup untuk memenuhi persyaratan nomor
tiga. Jika ternyata si waranggana ini kembali ke wujud asli, apa boleh buat? Itu bukan bagian
dari persyaratan. Prabu Salya pun meminta Raden Kakrasana untuk memaafkan Pandawa
nomor tiga tersebut.
Raden Kakrasana mematuhi perintah sang mertua. Raden Permadi dibebaskan dan
pemuda itu pun meminta maaf kepada semua orang yang ada di tempat itu.
KITAB WAYANG PURWA

ARYA PRAGOTA MENJEMPUT PULANG RADEN KAKRASANA


Lima hari kemudian, muncul Arya Pragota, punggawa Kerajaan Mandura yang datang
untuk menjemput pulang Raden Kakrasana dan Raden Narayana. Arya Pragota ini adalah
putra Patih Saragupita, atau keponakan Nyai Sagopi. Ia menjelaskan bahwa Prabu
Basudewa berniat mengundurkan diri menjadi brahmana dan menyerahkan takhta Mandura
kepada Raden Kakrasana.
Prabu Salya bertanya mengapa Raden Kakrasana menikah tapi tidak mengabari
orang tua. Raden Kakrasana menjelaskan bahwa dulu dirinya diutus Prabu Basudewa untuk
mengikuti sayembara di Kerajaan Pancala Selatan untuk memperebutkan Dewi Drupadi.
Namun, dalam sayembara itu Raden Kakrasana dikalahkan Arya Gandamana. Sejak
kekalahan itu, Raden Kakrasana bersumpah tidak akan pulang ke Mandura jika tidak
bersama dengan jodoh sejatinya. Kini ia telah menikah dengan Dewi Erawati, sehingga
sudah pantas baginya untuk pulang menghadap orang tua di istana Mandura.
Arya Pragota membenarkan hal itu. Ia memang diutus Prabu Basudewa untuk mencari
keberadaan Raden Kakrasana. Namun, Arya Pragota tidak tahu harus mencari ke mana.
Hingga akhirnya, ia pun mendengar kabar bahwa sang pangeran mahkota telah menikah
dengan putri sulung Prabu Salya di Kerajaan Mandraka.

RADEN KAKRASANA MENJADI RAJA MANDURA


Singkat cerita, Raden Kakrasana bersama Dewi Erawati telah tiba di istana Mandura,
menghadap Prabu Basudewa dan segenap anggota keluarga. Prabu Salya dan Dewi
Setyawati ikut mengantarkan, begitu pula Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan yang lainnya.
Prabu Basudewa merasa bahagia dan bangga melihat keberhasilan putranya dalam
menemukan jodoh yang sejati, serta menumpas musuh kahyangan bernama Prabu
Nagaprasanta. Kini tiba baginya untuk menyerahkan takhta kepada Raden Kakrasana.
Pada hari yang dianggap baik, Raden Kakrasana pun dilantik sebagai raja Mandura yang
baru, bergelar Prabu Baladewa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah perkawinan Wasi Jaladara dan Dewi Erawati ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 694 yang ditandai dengan
sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan
sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
KITAB WAYANG PURWA

SETYAKI LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Raden Setyaki yang kelak menjadi sekutu penting para
Pandawa dalam Perang Bratayuda. Bahkan, Raden Setyaki adalah pembunuh musuh
paling banyak nomor tiga setelah Raden Bimasena dan Raden Arjuna dalam perang
besar tersebut. Dalam kisah ini, saya mencoba menyajikan asal mula Raden Setyaki
memiliki nama Yuyudana, Tambakyuda, Singamulangjaya, dan Wresniwira.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 28 Oktober 2016
Heri Purwanto

Yuyudana / Setyaki

DEWI WRESINI INGIN MENGENDARAI HARIMAU PUTIH


Prabu Setyajit (Ugrasena) di Kerajaan Lesanpura dihadap para menteri dan punggawa
yang dipimpin Patih Setyabasa. Hari itu mereka membicarakan keadaan sang permaisuri,
yaitu Dewi Wresini yang sedang mengandung untuk kedua kalinya. Anak pertama Prabu
Setyajit seorang perempuan yang kini telah tumbuh remaja, bernama Dewi Setyaboma.
Setelah belasan tahun berselang, tiba-tiba Dewi Wresini mengandung lagi dan kini hampir
memasuki usia tujuh bulan.
Untuk itulah, Prabu Setyajit mengundang keponakan-keponakannya, yaitu Prabu
Baladewa dan Raden Narayana dari Kerajaan Mandura, serta Prabu Puntadewa dan Raden
Bratasena dari Kerajaan Amarta. Mereka berempat diundang untuk menyaksikan upacara
siraman yang akan digelar beberapa hari lagi. Keempat keponakan tersebut telah hadir dan
mereka memberikan ucapan selamat kepada Prabu Setyajit.
Tiba-tiba muncul Dewi Wresini dalam pertemuan dengan didampingi Dewi Setyaboma.
Ia berkata kepada sang suami agar dicarikan seekor harimau putih yang bisa berbicara
seperti manusia. Dewi Wresini ingin menunggangi harimau putih tersebut sebagai
kendaraan saat upacara siraman nanti. Prabu Setyajit terkejut mendengar sang permaisuri
mempunyai permintaan aneh seperti itu. Menurut berita, harimau putih hanya ada di tanah
seberang, dan itu pun belum tentu bisa berbicara seperti manusia.
Prabu Puntadewa berkata kepada sang paman agar tidak berkecil hati dan tetap
berprasangka baik. Jika Dewi Wresini memiliki permintaan aneh semacam itu, mungkin si
bayi yang dikandung adalah calon manusia istimewa yang lain daripada yang lain. Raden
Narayana membenarkan ucapan Prabu Puntadewa. Dalam hal ini Prabu Setyajit tidak perlu
khawatir, karena keempat keponakan siap membantu menemukan keberadaan harimau
putih tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Setyajit berterima kasih lalu bertanya bagaimana caranya. Raden Narayana
menjawab dirinya mendapatkan firasat bahwa harimau putih yang bisa berbicara akan
muncul di Hutan Minangsraya. Di sanalah nanti hendaknya dipasang grogol, atau
perangkap macan.
Mendengar penuturan keponakannya yang terkenal waskita itu, Prabu Setyajit segera
memerintahkan Patih Setyabasa untuk memasang grogol di Hutan Minangsraya. Prabu
Baladewa, Prabu Puntadewa, Raden Narayana, dan Raden Bratasena bersedia ikut
menyertai.

PRABU TAMBAKYUDA INGIN MEREBUT DEWI WRESINI


Tersebutlah seorang raja gagah perkasa dari Kerajaan Swalabumi yang bernama
Prabu Tambakyuda. Beberapa hari yang lalu ia mimpi bertemu dengan wanita cantik
bernama Dewi Wresini yang membuatnya tergila-gila. Karena mimpinya itu Prabu
Tambakyuda berhasrat ingin menikahi Dewi Wresini. Ia pun memanggil panakawan Kyai
Togog dan Bilung untuk meminta keterangan dari mereka.
Kyai Togog bercerita bahwa Dewi Wresini awalnya adalah bidadari kahyangan yang
kini menjadi istri Prabu Setyajit raja Lesanpura. Saat itu Prabu Setyajit masih muda dan
bernama Arya Ugrasena. Adapun sebab-musababnya mengapa ia dapat memperistri
bidadari adalah karena jasanya berhasil menumpas musuh para dewa yang bernama Prabu
Garbaruci dari Kerajaan Paranggubarja.
Prabu Tambakyuda semakin bersemangat mendengar cerita Kyai Togog. Apalagi saat
mengetahui bahwa Dewi Wresini dulunya seorang bidadari, pasti dia akan selalu cantik dan
awet muda selamanya. Maka, Prabu Tambakyuda pun memutuskan untuk merebut Dewi
Wresini dari tangan Prabu Setyajit.
Kyai Togog dan Bilung menasihati sang raja bahwa merebut istri orang bukanlah
perbuatan baik. Prabu Tambakyuda tidak peduli. Ukuran hidupnya bukan baik atau buruk,
tapi puas atau kecewa. Setelah berkata demikian, ia lalu memerintahkan Patih
Singamulangjaya untuk berangkat membawa pasukan menyerbu Kerajaan Lesanpura.

PASUKAN SWALABUMI DIPUKUL MUNDUR DI HUTAN MINANGSRAYA


Patih Singamulangjaya telah berangkat memimpin pasukan Swalabumi melaksanakan
perintah sang raja. Mereka melewati Hutan Minangsraya tempat Patih Setyabasa
memasang grogol. Begitu mendengar bahwa pasukan dari Swalabumi tersebut berniat jahat
ingin merebut Dewi Wresini, Patih Setyabasa segera mengerahkan pasukan Lesanpura
untuk menghalangi.
Pertempuran pun terjadi antara kedua pihak. Prabu Baladewa, Raden Bratasena,
Patih Pragota, Arya Prabawa, dan Arya Udawa ikut terjun membantu Patih Setyabasa.
Pasukan Swalabumi kocar-kacir dihantam mereka. Para prajurit yang masih hidup
berhamburan meninggalkan Hutan Minangsraya.
Patih Singamulangjaya memerintahkan sisa-sisa prajuritnya itu agar pulang ke
Swalabumi. Ia sendiri berniat merebut Dewi Wresini dengan memakai cara gelap, yaitu
melalui penculikan, bukan pertempuran.
Setelah pasukannya pulang, Patih Singamulangjaya pun mengendap-endap
menguping pembicaan Prabu Baladewa dengan Patih Setyabasa, yang sedang
memperbaiki grogol rusak akibat pertempuran tadi. Kini Patih Singamulangjaya mengetahui
bahwa Dewi Wresini sedang mengidam ingin mengendarai seekor harimau putih yang bisa
berbicara saat upacara siraman tujuh bulanan nanti. Mendengar itu, Patih Singamulangjaya
pun mundur untuk menyusun rencana penculikan.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN PERMADI MENANGKAP HARIMAU PUTIH


Raden Permadi (Arjuna) disertai para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk,
dan Bagong sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Lesanpura untuk ikut menyaksikan
upacara siraman Dewi Wresini. Di tengah jalan mereka bertemu para raksasa pengikut
Patih Singamulangjaya. Terjadilah pertarungan yang berakhir dengan kematian para
raksasa tersebut.
Sementara itu, Patih Singamulangjaya masih mengintai di pinggiran Hutan
Minangsraya. Ia kemudian mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya. Seketika
wujudnya pun berubah menjadi seekor harimau putih. Dengan wujud inilah ia berniat
menculik Dewi Wresini untuk dipersembahkan kepada Prabu Tambakyuda.
Harimau putih itu lalu memasuki hutan dan memperlihatkan dirinya di hadapan Patih
Setyabasa sambil berteriak-teriak menggunakan bahasa manusia. Patih Setyabasa sangat
gembira melihat hewan yang diinginkan sang permaisuri telah muncul. Ia pun segera
memerintahkan para prajurit untuk menggiring harimau tersebut agar masuk ke dalam
grogol. Si harimau pura-pura melawan. Banyak prajurit yang terluka oleh cakaran dan
terkamannya.
Pada saat itulah Raden Permadi dan para panakawan datang. Patih Setyabasa
menyambut mereka dan menceritakan bahwa harimau putih ini harus ditangkap hidup-hidup
untuk dipersembahkan kepada Dewi Wresini. Raden Permadi segera turun tangan
membantu. Harimau putih penjelmaan Patih Singamulangjaya itu merasa bangga jika
dirinya dapat ditangkap oleh kesatria tampan yang baru datang ini, daripada ditangkap oleh
prajurit rendahan dari Lesanpura. Maka, ia pun pura-pura mengalah saat dipegang Raden
Permadi.
Patih Setyabasa berterima kasih kepada Raden Permadi yang berhasil menjinakkan
harimau putih tersebut. Mereka lalu bersama-sama meninggalkan Hutan Minangsraya,
kembali ke Kerajaan Lesanpura.

HARIMAU PUTIH MENCULIK DEWI WRESINI


Prabu Setyajit di Kerajaan Lesanpura dihadap Prabu Baladewa, Raden Narayana,
Prabu Puntadewa, dan Raden Bratasena. Mereka sedang membicarakan persiapan
upacara siraman Dewi Wresini. Tidak lama kemudian datanglah Patih Setyabasa bersama
Raden Permadi yang menggiring seekor harimau putih. Patih Setyabasa pun menceritakan
semuanya dari awal, hingga pada akhirnya harimau ini berhasil dijinakkan oleh Raden
Permadi.
Prabu Setyajit berterima kasih atas bantuan keponakannya tersebut. Kini semua
keperluan upacara siraman telah tersedia. Prabu Setyajit pun membawa harimau putih itu
masuk ke dalam kedaton dengan disertai para keponakan.
Dewi Wresini menyambut gembira kedatangan sang suami yang berhasil mewujudkan
keinginannya. Prabu Setyajit berkata bahwa harimau putih ini telah jinak dan bisa dijadikan
kendaraan. Si harimau pun mendekam manja seperti kucing dan mempersilakan Dewi
Wresini untuk naik ke atas punggungnya.
Perlahan-lahan Dewi Wresini duduk di atas punggung harimau putih tersebut. Tiba-
tiba si harimau bangkit dan melesat pergi membawa kabur Dewi Wresini. Prabu Setyajit dan
yang lain terperanjat kaget. Mereka tidak menyangka harimau putih tadi hanya pura-pura
jinak, padahal sebenarnya masih liar dan kini menculik Dewi Wresini.
Prabu Setyajit marah-marah menuduh Raden Permadi berniat jahat dan pura-pura
menjinakkan harimau putih tadi. Raden Bratasena meminta adiknya itu berterus terang saja.
KITAB WAYANG PURWA

Jika memang Raden Permadi berniat demikian, maka Raden Bratasena sendiri yang akan
menghukumnya. Namun, jika Raden Permadi tidak bersalah, maka Raden Bratasena akan
membelanya sekuat tenaga. Raden Permadi menjawab dirinya tidak tahu-menahu soal ini.
Ia hanya kebetulan lewat di Hutan Minangsraya dan melihat Patih Setyabasa dan para
prajurit Lesanpura sedang sibuk menghadapi seekor harimau putih, itu saja.
Raden Narayana berusaha menengahi. Ia menyarankan agar Raden Permadi
memulihkan nama baiknya dengan cara menangkap kembali harimau putih tersebut, serta
membawa pulang Dewi Wresini. Raden Permadi menyatakan sanggup, lalu ia pun melesat
mengejar si harimau putih.

PRABU YUYUDANA MENCARI WADAH PENITISAN


Tersebutlah seorang raja bangsa kepiting bernama Prabu Yuyudana yang sedang
bertapa di tepi samudera. Setelah sekian lama bertapa, ia pun didatangi Batara Narada
yang menanyakan apa keperluannya. Prabu Yuyudana menjawab bahwa dirinya ingin
diterima sebagai pelayan Batara Wisnu, yaitu dewa yang menjadi pujaannya.
Batara Narada berkata bahwa Batara Wisnu saat ini tidak berada di Kahyangan
Utarasegara, melainkan telah lahir ke dunia sebagai Raden Narayana. Jika memang Prabu
Yuyudana memiliki niat luhur ingin mengabdi kepada Batara Wisnu, maka hendaknya ia
pun terlahir sebagai manusia pula dan mengabdi kepada Raden Narayana.
Menurut ramalan dewata, Raden Narayana kelak akan menjadi raja di negara
Dwarawati dan memiliki senapati yang masih sepupunya sendiri, yaitu putra Prabu Setyajit
yang kini masih berada dalam kandungan. Jika memang Prabu Yuyudana ingin mengabdi
kepada Batara Wisnu, maka hendaknya ia menitis ke dalam rahim istri Prabu Setyajit agar
kelak terlahir sebagai senapati Raden Narayana tersebut.
Prabu Yuyudana gembira mendengarnya. Ia merasa sangat bahagia apabila
keinginannya terwujud bisa mengabdi pada titisan Batara Wisnu. Batara Narada pun siap
membantunya agar bisa menitis kepada kesatria yang masih dalam kandungan tersebut.
Prabu Yuyudana lalu mengheningkan cipta. Rohnya pun lepas meninggalkan jasad.
Batara Narada lalu membawa roh Prabu Yuyudana itu menuju Hutan Minangsraya, tempat
di mana Patih Singamulangjaya menyembunyikan Dewi Wresini.

PATIH SINGAMULANGJAYA MEMAKSA DEWI WRESINI MELAHIRKAN LEBIH AWAL


Si harimau putih memang membawa Dewi Wresini bersembunyi di Hutan
Minangsraya. Harimau putih itu telah kembali ke wujud manusia, yaitu Patih
Singamulangjaya. Ia melihat Dewi Wresini gemetar ketakutan dengan memegangi perut.
Patih Singamulangjaya yakin Prabu Tambakyuda pasti hanya menginginkan Dewi Wresini
saja, tanpa disertai anak dalam kandungannya. Maka, ia pun berniat memaksa Dewi
Wresini agar menggugurkan kandungannya itu sekarang juga.
Pada saat itulah Batara Narada datang bersama roh Prabu Yuyudana tanpa
memperlihatkan diri. Batara Narada kemudian memasukkan roh tersebut ke dalam rahim
Dewi Wresini, sehingga bersatu dengan janin yang sedang dikandungnya.
Sementara itu, Patih Singamulangjaya mulai memukuli perut Dewi Wresini untuk
menggugurkan kandungannya. Awalnya Dewi Wresini menangis kesakitan. Namun, setelah
roh Prabu Yuyudana masuk ke dalam rahimnya, ia menjadi lebih kuat dan tidak merintih
lagi. Perlahan-lahan bayi yang dikandungnya pun keluar akibat pukulan Patih
Singamulangjaya. Bayi tersebut berkelamin laki-laki, dan Dewi Wresini melahirkannya tanpa
merasa sakit sedikit pun berkat perlindungan dari roh Prabu Yuyudana.
KITAB WAYANG PURWA

PATIH SINGAMULANGJAYA BERSATU DALAM DIRI RADEN YUYUDANA


Setelah si bayi lahir, Batara Narada pun menampakkan diri di hadapan Patih
Singamulangjaya dan Dewi Wresini. Ia berkata bahwa Patih Singamulangjaya boleh
membawa Dewi Wresini kepada Prabu Tambakyuda di Kerajaan Swalabumi tetapi tidak
boleh meninggalkan si bayi begitu saja dalam hutan. Maka, Patih Singamulangjaya harus
membunuh bayi itu terlebih dulu. Dewi Wresini menangis ingin melindungi putranya, namun
Batara Narada mencegah dan berkata bahwa si bayi bisa melindungi dirinya sendiri.
Patih Singamulangjaya menyanggupi. Ia lalu memukul tubuh si bayi. Tak disangka kulit
bayi ini ternyata keras seperti kepiting. Patih Singamulangjaya lalu mengangkat bayi itu dan
membantingnya. Anehnya, bayi yang sudah kemasukan roh Prabu Yuyudana itu tidak mati
tapi justru bisa merangkak dan berjalan.
Patih Singamulangjaya semakin heran dan penasaran. Ia menghajar, memukul,
menendang, membanting, namun si bayi justru bertambah besar dan semakin kuat. Bayi itu
kemudian dilemparkannya jauh-jauh dan ketika jatuh ke tanah sudah berubah wujud
menjadi seorang pemuda berkumis tebal.
Batara Narada mendatangi pemuda itu dan memberinya pakaian. Dewi Wresini
mendekat pula dengan perasaan haru. Pemuda itu bertanya siapa jati dirinya. Batara
Narada pun menjelaskan bahwa Dewi Wresini adalah ibu kandungnya, sedangkan ayahnya
bernama Prabu Setyajit raja Lesanpura. Batara Narada lalu memberi nama pemuda itu,
Raden Yuyudana.
Patih Singamulangjaya datang dengan perasaan heran melihat si bayi kini telah
tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Batara Narada pun berkata pada Raden Yuyudana,
bahwa laki-laki tersebut berniat menculik ibunya. Raden Yuyudana pun maju menghadapi
Patih Singamulangjaya. Keduanya lalu bertarung sengit. Lama-lama Patih Singamulangjaya
terdesak dan kepalanya pecah dibenturkan batang pohon.
Roh Patih Singamulangjaya perlahan keluar meninggalkan jasadnya, kemudian
masuk dan bersatu ke dalam diri Raden Yuyudana. Batara Narada berkata Raden
Yuyudana tidak perlu takut. Roh Patih Singamulangjaya tidak akan memengaruhi
pikirannya, hanya bersemayam di tubuh sebagai penambah kekuatan saja. Setelah berkata
demikian, Batara Narada pun undur diri kembali ke kahyangan.

RADEN YUYUDANA KEMBALI KE LESANPURA


Dewi Wresini sangat bahagia memeluk putranya tersebut yang tumbuh dewasa dalam
waktu singkat. Ia lalu mengajak Raden Yuyudana kembali ke Kerajaan Lesanpura menemui
Prabu Setyajit. Tiba-tiba muncul Raden Permadi bersama para panakawan. Raden Permadi
mengira Raden Yuyudana adalah orang yang menjelma sebagai harimau putih. Sebaliknya,
Raden Yuyudana mengira Raden Permadi adalah kawan Patih Singamulangjaya yang
hendak membalas dendam.
Dewi Wresini buru-buru melerai mereka berdua. Ia menjelaskan bahwa mereka adalah
saudara sepupu, bukan musuh. Dewi Wresini menyuruh Raden Yuyudana memanggil
kakak kepada Raden Permadi. Sebaliknya kepada Raden Permadi, ia pun bercerita bahwa
Raden Yuyudana merupakan putranya, yang tumbuh dewasa dalam waktu singkat akibat
dihajar Patih Singamulangjaya.
Raden Permadi terkesan mendengar cerita sang bibi. Ia pun memeluk Raden
Yuyudana dan bersama-sama pulang ke Kerajaan Lesanpura.
Sesampainya di Lesanpura, Prabu Setyajit menyambut kedatangan mereka. Dewi
Wresini pun menceritakan semua pengalamannya dari awal sampai akhir, yaitu tentang
KITAB WAYANG PURWA

penculikan dirinya oleh Patih Singamulangjaya, hingga putranya yang lahir dan langsung
tumbuh dewasa berkat perlindungan dewata. Prabu Setyajit agak ragu mendengar
penuturan istrinya. Ia merasa cerita ini sangat aneh dan tidak masuk akal.

PRABU TAMBAKYUDA DIKALAHKAN RADEN YUYUDANA


Tiba-tiba Patih Setyabasa datang melaporkan bahwa Prabu Tambakyuda raja
Swalabumi datang menyerang Kerajaan Lesanpura untuk merebut Dewi Wresini. Prabu
Setyajit terkejut dan sangat marah. Ia kemudian berkata bahwa Raden Yuyudana akan
diakui sebagai anak apabila mampu mengalahkan Prabu Tambakyuda. Raden Yuyudana
menyatakan sanggup dan segera berangkat menuju medan pertempuran. Raden Permadi
pun mengikuti dari belakang.
Di medan pertempuran, Prabu Tambakyuda mengamuk membunuh banyak prajurit
Lesanpura dengan bersenjatakan gada berwarna kuning, bernama Gada Wesikuning.
Raden Yuyudana pun tampil menghadapinya. Pertarungan sengit terjadi. Prabu
Tambakyuda heran melihat ada seorang pemuda berkulit kebal dan keras. Gada Wesi
Kuning pun selalu mental bila membentur kulit Raden Yuyudana.
Terkesan oleh kekuatan lawannya membuat Prabu Tambakyuda lengah. Raden
Yuyudana pun berhasil merebut Gada Wesikuning dan memukulkannya tepat pada kepala
raja tersebut. Prabu Tambakyuda tewas seketika terkena senjatanya sendiri. Rohnya keluar
meninggalkan jasad dan bersatu ke dalam diri Raden Yuyudana, menjadi penambah
kekuatannya.
Pasukan Swalabumi berhamburan melihat sang raja tewas. Sebagian dari mereka
mati menghadapi amukan Raden Bratasena, dan sebagian lagi menyerah kalah.

RADEN YUYUDANA MENDAPAT NAMA SETYAKI


Serangan dari Kerajaan Swalabumi telah dapat dihancurkan. Prabu Setyajit pun
menepati janjinya, yaitu mengakui Raden Yuyudana sebagai putra. Raden Narayana juga
mengatakan bahwa wujud Raden Yuyudana sangat mirip dengan Prabu Setyajit semasa
muda, yaitu saat masih bernama Arya Ugrasena, sehingga tidak perlu lagi ada keraguan
untuk tidak menerimanya.
Demikianlah, mulai hari itu negeri Swalabumi menjadi daerah bawahan Kerajaan
Lesanpura, di mana Raden Yuyudana sebagai pemimpin di sana, dengan tetap memakai
nama Arya Tambakyuda atau Arya Singamulangjaya. Selain itu, Raden Yuyudana juga
mendapat nama baru, yaitu Raden Setyaki, sebagai tanda pengakuan dari Prabu Setyajit
bahwa ia telah diterima sebagai putra. Dan yang terakhir, ia juga mendapat julukan, Sang
Wresniwira, yang bermakna “putra Dewi Wresini yang perwira”.
Prabu Setyajit juga meminta maaf kepada Raden Permadi yang telah dituduh berbuat
jahat kepada Dewi Wresini. Untuk itu, Raden Permadi diminta tinggal beberapa bulan di
Kerajaan Lesanpura untuk menjadi pembimbing Raden Setyaki dalam mengendalikan
bakat kesaktiannya yang alamiah.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Kisah kelahiran Raden Setyaki ini tidak terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa versi Raden
Ngabehi Ranggawarsita, sehingga tidak ada keterangan tahun tentang kejadiannya. Mengenai
kisah bahwa Raden Setyaki pernah berguru kepada Raden Arjuna, saya dapatkan dari sumber
kitab Mahabharata dan saya olah seperlunya.
KITAB WAYANG PURWA

NARAYANA BEGAL
Kisah ini menceritakan petualangan Raden Narayana sebagai berandal budiman yang
merampok harta para pejabat korup untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kisah
saya sambung dengan kelahiran Raden Supala yang kelak memusuhi Prabu Kresna, serta
perkawinan Raden Narayana dengan Endang Jembawati.
Kisah ini saya olah dari sumber Mahabharata, Serat Pustakaraja Purwa, serta blog
lakon Wayang Jombor, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 05 November 2016
Heri Purwanto

PRABU BALADEWA MEMARAHI RADEN NARAYANA YANG SUKA MERAMPOK


Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura dihadap kedua adiknya, yaitu Raden Narayana
dan Dewi Sumbadra, serta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Pragota, Arya
Prabawa, dan Arya Udawa. Dalam pertemuan itu Prabu Baladewa membicarakan tentang
kekecewaannya terhadap Raden Narayana. Akhir-akhir ini sering terdengar laporan tentang
adanya begal bernama Brandal Guwenda yang suka merampok para pejabat penarik pajak.
Entah sudah berapa banyak uang setoran untuk kas negara Mandura yang hilang direbut
begal tersebut. Namun, sungguh mengejutkan ketika Brandal Guwenda berhasil ditangkap,
ternyata ia tidak lain adalah Raden Narayana sendiri.
Prabu Baladewa marah-marah menuduh Raden Narayana telah mengacaukan
pemerintahannya dengan bertindak sebagai begal. Raden Narayana dituduh telah
merugikan negara dan pantas mendapatkan pidana. Seorang pangeran adik raja yang
seharusnya menjadi pengayom rakyat justru menjadi pencuri dan pembuat kekacauan yang
meresahkan masyarakat. Dana pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan
telah direbutnya untuk berfoya-foya sendiri.
Raden Narayana menjawab bahwa dirinya memang telah menjadi begal, tapi sama
sekali bukan untuk tujuan berfoya-foya. Tadi ketika para prajurit Mandura datang
menangkapnya, ia pura-pura mengalah. Memang ia sengaja membiarkan dirinya tertangkap
agar Prabu Baladewa bisa bertanya langsung apa yang menjadi tujuannya dalam
merampok setoran pajak. Yang jelas ia tidak pernah merampok untuk mencari keuntungan
pribadi.
Prabu Baladewa mempersilakan adiknya itu untuk melanjutkan bicara. Raden
Narayana pun berkata bahwa selama ini ia hanya merampok para pejabat korup yang
gemar menindas rakyat. Masyarakat sama sekali tidak resah, tapi justru berterima kasih
atas perbuatannya. Raden Narayana ganti menasihati kakaknya agar menjadi raja yang
bijaksana, yang mau turun langsung ke tengah-tengah masyarakat demi mendengar keluh
kesah mereka. Alangkah baiknya Prabu Baladewa tidak hanya mengandalkan laporan dari
bawahan saja. Menurut penilaiannya, sang kakak terlalu percaya pada laporan para pejabat
di daerah tanpa pernah melihat langsung bagaimana kinerja mereka. Lain halnya dengan
Raden Narayana yang sering berkelana menyamar dan menyusup ke lapisan bawah,
sehingga telah melihat sendiri bagaimana para pejabat di daerah menarik pajak melebihi
ketentuan.
Raden Narayana berkata bahwa yang ia rampok bukan pajak negara, tetapi harta milik
rakyat jelata yang dirampas para pejabat busuk. Para pejabat di daerah menarik pajak
melebihi ketentuan yang ditetapkan Prabu Baladewa. Sebagian harta tersebut masuk
kantong pribadi, sedangkan sebagian lagi disetorkan ke kas negara. Raden Narayana muak
melihat ulah para pejabat korup tersebut. Ia mengaku telah merampok mereka dan
membagi-bagikan harta yang mereka bawa kepada rakyat miskin. Raden Narayana merasa
KITAB WAYANG PURWA

tidak pernah merugikan rakyat jelata, tetapi justru melindungi mereka dari para pejabat
rakus dan kaum lintah darat.
Prabu Baladewa terkejut dan segera bertanya kepada Patih Pragota mengapa di
daerah masih banyak pejabat yang tidak jujur dan berhati busuk. Atau jangan-jangan di
pusat justru pejabat yang seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi? Patih Pragota
menjawab bahwa mereka itu adalah para pejabat yang dulu diangkat oleh mendiang Adipati
Kangsa. Saat itu pengaruh dan kekuasaan Adipati Kangsa jauh lebih besar daripada Prabu
Basudewa. Banyak pejabat yang diangkat olehnya dan ditempatkan di lahan-lahan basah.
Para pejabat itu rata-rata bersikap rakus dan gemar menindas rakyat. Mereka juga pandai
menjilat dan mencari muka di hadapan Adipati Kangsa dengan memberikan berbagai
hadiah sogokan kepadanya.
Prabu Baladewa marah-marah menuduh Patih Pragota tidak becus bekerja. Patih
Pragota diberi waktu sepuluh hari untuk merombak susunan kementerian dan memecat
para pejabat yang korup. Jika tidak selesai, maka Patih Pragota sendiri yang akan
mendapat hukuman berat. Patih Pragota pun menjelaskan bahwa jaringan para pejabat
korup yang dulu menghamba kepada Adipati Kangsa begitu luas. Namun, ia berjanji akan
segera melakukan perombakan dan siap untuk mempertaruhkan nyawa demi menghadapi
jaringan tersebut.
Prabu Baladewa kini berterima kasih kepada Raden Narayana yang telah
mengingatkan dirinya. Mulai hari ini Raden Narayana tidak perlu merampok lagi. Prabu
Baladewa berjanji dirinya sendiri yang akan turun ke bawah untuk mengetahui penderitaan
rakyat. Berapa besarnya pajak yang pantas ditarik akan ditinjau ulang. Tentunya, pajak yang
dibayarkan tersebut harus berdampak nyata pada pembangunan dan penciptaan rasa
aman di tengah masyarakat.

RADEN NARAYANA MENINGGALKAN ISTANA MANDURA


Prabu Baladewa kemudian membahas tentang sang ayah, yaitu Bagawan Basudewa
yang telah meninggal dunia dan dimakamkan di Astana Gandamadana. Ia mengingatkan
bahwa sebelum meninggal, Bagawan Basudewa sempat berwasiat agar Raden Narayana
segera menikah dan berumah tangga secara baik-baik. Dengan menikah, maka akan ada
wanita di sisi Raden Narayana yang siap melayani dan mencegah dirinya berkelana tanpa
tujuan.
Prabu Baladewa berkata bahwa ia masih memiliki dua orang adik ipar, yaitu Dewi
Srutikanti dan Dewi Banuwati di Kerajaan Mandraka. Raden Narayana dipersilakan memilih
salah satu dari mereka sebagai istri, dan Prabu Baladewa siap untuk melamarkan. Raden
Narayana menjawab tidak bersedia karena kedua putri Prabu Salya tersebut bukanlah
jodohnya. Ia hanya mau menikah dengan perempuan yang benar-benar ditakdirkan menjadi
pendamping hidupnya.
Prabu Baladewa paham bahwa Raden Narayana pasti telah jatuh cinta kepada
Endang Jembawati, putri Resi Jembawan. Dulu ketika Prabu Baladewa bertapa di Gunung
Rewataka sebagai Wasi Jaladara, Raden Narayana tinggal di Astana Gandamadana untuk
berguru kepada Resi Jembawan. Dalam kegiatan berguru tersebut, telah terjalin kisah cinta
antara Raden Narayana dengan anak perempuan gurunya. Prabu Baladewa pun
mengingatkan Raden Narayana agar mencari istri yang sederajat. Endang Jembawati
hanyalah gadis desa biasa, putri seorang juru kunci pemakaman. Akan lebih baik jika Raden
Narayana menuruti anjuran Prabu Baladewa, yaitu menikah dengan Dewi Srutikanti atau
Dewi Banuwati.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Narayana tersinggung mendengar kekasihnya dihina. Ia berkata bahwa


Endang Jembawati bukanlah gadis desa biasa, tetapi seorang wanita utama yang memiliki
kepribadian luhur. Ia juga menyebut Endang Jembawati adalah titisan Batari Srilaksmi yang
lahir ke dunia sebagai pendamping titisan Batara Wisnu. Prabu Baladewa sama sekali tidak
percaya hal itu. Mana mungkin gadis desa anak seorang pendeta wanara bisa menjadi
titisan bidadari? Ia menduga itu mungkin hanya alasan Raden Narayana saja. Raden
Narayana semakin tersinggung dan akhirnya pergi meninggalkan istana.
Dewi Sumbadra maju untuk menyabarkan Prabu Baladewa. Ia berkata bahwa sikap
kakaknya tersebut terlalu berlebihan. Dalam urusan asmara tidak sepantasnya melihat
perbedaan derajat. Lagipula Endang Jembawati pernah berjasa menjadi pemegang Kayu
Dewandaru saat pernikahan Prabu Baladewa dengan Dewi Erawati dulu. Selain itu, Prabu
Baladewa saat masih menyamar sebagai Wasi Jaladara juga pernah diremehkan oleh
Prabu Salya karena dianggap tidak sederajat dengan Dewi Erawati. Anehnya, mengapa kini
justru Prabu Baladewa sendiri yang bersikap seperti Prabu Salya, yaitu memandang
Endang Jembawati tidak sederajat dengan Raden Narayana?
Mendengar penuturan adik bungsunya, Prabu Baladewa pun tertegun merasa telah
berbuat khilaf. Dewi Sumbadra dan Arya Udawa segera diperintahkan untuk merayu dan
mengajak pulang Raden Narayana. Prabu Baladewa berjanji akan merestui pernikahan
Raden Narayana dengan Endang Jembawati. Dewi Sumbadra dan Arya Udawa pun mohon
pamit melaksanakan tugas.
Prabu Baladewa lalu membubarkan pertemuan. Patih Pragota dan Arya Prabawa
diperintahkan untuk segera merombak dewan kementrian dan para pejabat Kerajaan
Mandura dari sisa-sisa pengikut Adpati Kangsa yang korup. Patih Pragota dan Arya
Prabawa pun menjawab siap melaksanakan tugas.

RADEN NARAYANA KEMBALI MENJADI BEGAL


Sementara itu, Raden Narayana yang telah berjalan meninggalkan Kerajaan Mandura
dapat disusul oleh Dewi Sumbadra dan Arya Udawa. Mereka berdua mengabarkan bahwa
Prabu Baladewa telah luluh amarahnya dan kini meminta Raden Narayana untuk pulang ke
istana. Prabu Baladewa berjanji akan membantu menikahkan Raden Narayana dengan
Endang Jembawati. Namun, Raden Narayana menolak. Ia bersedia pulang ke Mandura
apabila sudah berhasil menikahi Endang Jembawati dengan usahanya sendiri.
Dewi Sumbadra dan Arya Udawa yang ditugasi Prabu Baladewa untuk membawa
pulang Raden Narayana akhirnya memutuskan untuk menemani perjalanannya menuju
Astana Gandamadana. Tiba-tiba di tengah jalan mereka melihat rombongan laki-laki dan
perempuan membawa perbekalan seperti sedang mengungsi. Raden Narayana menanyai
orang-orang itu yang ternyata bukan penduduk Mandura, melainkan pengungsi dari
Kerajaan Cedi.
Para pengungsi itu bercerita bahwa raja mereka yang bernama Prabu Darmagosa
telah bertindak sewenang-wenang, yaitu menaikkan pajak yang mencekik. Jika rakyat tidak
mampu membayar, maka para prajurit istana boleh menyiksa mereka sampai mati. Merasa
tidak tahan, para penduduk itu pun mengungsi ke negara lain, yang salah satunya adalah
Kerajaan Mandura.
Raden Narayana berkata bahwa apa yang terjadi di Kerajaan Cedi ternyata sama
persis dengan di Kerajaan Mandura. Bedanya, jika di Kerajaan Cedi, Prabu Darmagosa
sendiri yang menindas rakyatnya, maka di Kerajaan Mandura, Prabu Baladewa tidak tahu-
menahu jika di lapisan bawah terdapat banyak pejabat korup sisa-sisa pengikut Adipati
Kangsa.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Narayana memutuskan pergi ke Kerajaan Cedi untuk memberi pelajaran


kepada para penindas rakyat di sana. Dewi Sumbadra dan Arya Udawa bertanya mengapa
harus ikut campur urusan negara lain. Raden Narayana menjawab bahwa ini bukan soal
ikut campur, tapi ini soal perlindungan terhadap rakyat Mandura. Jika penduduk Cedi
semakin banyak yang mengungsi ke Mandura maka akan timbul permasalahan baru. Adat
budaya yang berbeda serta ketersediaan bahan pangan bisa menjadi hal-hal yang
merugikan bagi rakyat Mandura asli. Sebaliknya, menolak para pengungsi yang memohon
perlindungan juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu, Raden
Narayana pun berniat pergi ke Kerajaan Cedi untuk memberikan pelajaran kepada Prabu
Darmagosa agar memperbaiki pemerintahannya.
Demikianlah, Raden Narayana, Arya Udawa, dan Dewi Sumbadra bersama-sama
pergi ke Kerajaan Cedi. Sesampainya di sana mereka melihat rombongan tentara
mengangkut bahan makanan dan harta benda yang baru saja mereka rampas dari rakyat
jelata. Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh Patih Kridajaya. Raden Narayana dan
Arya Udawa segera memakai cadar dan menghadang rombongan itu. Rombongan tersebut
berhenti dan Patih Kridajaya pun bertanya siapa mereka. Raden Narayana mengaku
bernama Brandal Guwenda yang ingin meminta harta benda yang diangkut oleh pasukan
tersebut. Para prajurit Cedi itu tertawa karena ada dua orang begal berani menantang satu
pasukan istana. Patih Kridajaya pun memerintahkan para prajuritnya untuk maju
menghabisi dua begal tersebut.
Pertempuran terjadi. Banyak prajurit Cedi yang tewas di tangan Raden Narayana dan
Arya Udawa. Hanya tinggal Patih Kridajaya saja yang tersisa. Tiba-tiba ia melihat Dewi
Sumbadra di kejauhan dan segera melesat untuk menyambar gadis tersebut. Dewi
Sumbadra pun dibawa lari oleh Patih Kridajaya untuk dijadikan sebagai tawanan. Raden
Narayana segera mengejar dan meminta Arya Udawa tetap tinggal untuk membagi-bagikan
harta benda yang diangkut para prajurit tadi kepada rakyat yang menderita.

RADEN NARAYANA MERUWAT BAYI SUPALA


Patih Kridajaya membawa Dewi Sumbadra masuk ke dalam istana untuk dihadapkan
kepada Prabu Darmagosa. Saat itu Prabu Darmagosa sedang duduk bersama istrinya yang
bernama Dewi Srutawati, sambil memangku putra mereka yang masih bayi, bernama
Raden Supala.
Patih Kridajaya melapor bahwa para prajurit yang ditugasi menarik pajak dari rakyat
telah ditumpas oleh kawanan begal bercadar, yang pemimpinnya bernama Brandal
Guwenda. Namun, Patih Kridajaya berhasil menangkap dan membawa seorang gadis
cantik yang diduga sebagai anggota kawanan begal tersebut. Prabu Darmagosa bertanya
berapa jumlah begal yang telah menghabisi prajuritnya. Patih Kridajaya menjawab hanya
dua orang saja. Prabu Darmagosa pun marah-marah dan memaki Patih Kridajaya tidak
becus bekerja. Hanya melawan dua orang saja tidak mampu hingga kehilangan banyak
prajurit.
Pada saat itulah Raden Narayana datang dan meminta Dewi Sumbadra dikembalikan.
Seketika Prabu Darmagosa terperanjat melihat wujud Raden Narayana yang hitam legam,
atau istilahnya hitam cemani. Sikap Prabu Darmagosa yang kasar pun berubah menjadi
lunak dan penuh sopan santun saat menghadapi pemuda tersebut.
Prabu Darmagosa memerintahkan Patih Kridajaya untuk membebaskan Dewi
Sumbadra. Setelah itu, ia meminta Raden Narayana menggendong bayi Raden Supala.
Raden Narayana pun menerima bayi tersebut dan terkejut melihat wujudnya. Bayi Raden
Supala ini memiliki mata tiga, lengan tiga, dan kaki tiga. Prabu Darmagosa berkata bahwa
putranya memang terlahir cacat. Itulah sebabnya ia menjadi kalap dan menindas rakyat
KITAB WAYANG PURWA

Cedi sebagai pelampiasan. Namun, tadi malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa
bahwa akan datang seorang pemuda berkulit hitam cemani yang bisa meruwat Raden
Supala menjadi normal.
Raden Narayana prihatin mendengar permasalahan Prabu Darmagosa yang memiliki
putra cacat. Ia pun mengheningkan cipta sambil memangku Raden Supala. Seketika mata
ketiga, lengan ketiga, dan kaki ketiga pada bayi itu lepas dan jatuh ke lantai. Tidak hanya
itu, si bayi tiba-tiba berubah menjadi dewasa dalam waktu singkat. Kini Raden Supala telah
menjadi seorang pemuda gagah perkasa dan berwujud normal.
Prabu Darmagosa dan Dewi Srutawati terkesan dan sangat gembira. Namun, tiba-tiba
Prabu Darmagosa menghunus pedang hendak menebas leher Raden Narayana. Anehnya,
ketika pedang tersebut hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba tubuh Prabu Darmagosa
gemetar dan ia pun jatuh lemas di atas lantai. Melihat itu, Raden Supala dan Patih Kridajaya
segera ikut menyerang Raden Narayana. Namun, mereka berdua juga jatuh lemas
kehilangan daya menghadapi kesaktian Raden Narayana. Dewi Srutawati buru-buru ikut
berlutut memohon Raden Narayana agar mengampuni mereka bertiga.
Raden Narayana bertanya mengapa Prabu Darmagosa ingin membunuhnya, padahal
ia telah membantu meruwat Raden Supala. Prabu Darmagosa menjawab bahwa tadi malam
ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa akan datang seorang pemuda berkulit hitam
cemani yang mampu meruwat putranya menjadi manusia normal. Akan tetapi, kelak
putranya akan tewas di tangan pemuda hitam ini. Itulah sebabnya, Prabu Darmagosa
berniat membunuh Raden Narayana, yaitu dengan maksud ingin menggagalkan ramalan
dewata tersebut.
Raden Narayana berkata jika ia mau, maka hari ini juga ia dapat menghabisi Prabu
Darmagosa sekeluarga. Namun, jika Prabu Darmagosa mati lantas siapa yang akan
menebus dosa kepada rakyat Cedi? Oleh sebab itu, Raden Narayana pun bersedia
mengampuni Prabu Darmagosa. Mengenai nasib Raden Supala, ia berjanji tidak akan
membunuhnya tanpa sebab yang jelas. Dewi Srutawati sebagai ibu pun memohon agar
Raden Narayana bersedia mengampuni putranya meskipun berbuat kesalahan besar.
Raden Narayana mengabulkan permohonan tersebut. Ia pun berjanji akan selalu
memaafkan Raden Supala apabila kelak berbuat salah kepadanya, tetapi hanya sampai
batas seratus kali saja. Jika Raden Supala berbuat salah melebihi seratus kali, maka Raden
Narayana terpaksa menghabisi nyawanya. Dewi Srutawati pun menerima syarat tersebut.
Raden Narayana kemudian membebaskan Prabu Darmagosa, Raden Supala, dan
Patih Kridajaya sehingga mereka mampu berdiri kembali. Prabu Darmagosa berjanji akan
menebus dosa-dosanya kepada rakyat dan tidak akan menindas mereka lagi. Jika sampai
ia melanggar janji, maka Raden Narayana boleh mengambil nyawanya sewaktu-waktu.
Selain itu, ia juga memohon Raden Narayana agar sudi tinggal di istana Cedi untuk menjadi
guru pembimbing bagi Raden Supala. Ia ingin putranya itu menjadi manusia yang baik,
sehingga tidak mungkin berbuat salah kepada Raden Narayana.
Raden Narayana bersedia menjadi pembimbing Raden Supala. Namun, ia masih ada
urusan penting di Gunung Gandamadana. Kelak setelah urusan tersebut selesai, maka ia
akan kembali lagi untuk membimbing Raden Supala barang satu atau dua bulan.
Setelah dirasa cukup, Raden Narayana dan Dewi Sumbadra pun mohon pamit
meninggalkan istana Cedi. Prabu Darmagosa sekeluarga melepas kepergian mereka.

RADEN NARAYANA BERTEMU RADEN PERMADI DAN RADEN SETYAKI


Raden Narayana, Dewi Sumbadra, dan Arya Udawa kembali melanjutkan perjalanan
menuju Gunung Gandamadana. Di tengah jalan mereka bertemu sang panengah Pandawa,
KITAB WAYANG PURWA

yaitu Raden Permadi bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong. Ikut pula bersama mereka Raden Setyaki, putra Prabu Setyajit dari Kerajaan
Lesanpura.
Raden Narayana dan Raden Permadi pun saling bertanya kabar. Raden Permadi
sendiri sedang mendapat tugas untuk membimbing Raden Setyaki yang baru lahir dan tiba-
tiba langsung berubah dewasa sekitar satu bulan yang lalu. Raden Setyaki ini memiliki bakat
kesaktian alami, mengingat dirinya adalah titisan Prabu Yuyudana, Prabu Tambakyuda, dan
Patih Singamulangjaya. Oleh sebab itu, Prabu Setyajit menugasi Raden Permadi untuk
membimbing putranya tersebut agar dapat mengendalikan kesaktiannya dengan baik,
sehingga tidak salah jalan. Selama satu bulan ini Raden Arjuna telah mengajarkan cara
samadi yang benar, cara mengendalikan kekuatan, ilmu keprajuritan, dan ilmu mengatur
siasat perang. Selain itu, Kyai Semar juga banyak memberikan nasihat dan petuah luhur
kepada Raden Setyaki. Setelah satu bulan berlalu, Raden Permadi pun meminta izin
kepada Prabu Setyajit untuk mengajak Raden Setyaki berkelana, berguru pada
pengalaman.
Raden Narayana memuji Raden Permadi yang telah berhasil menjadi guru yang baik,
meskipun usianya masih muda. Ia bercerita bahwa dirinya juga memiliki calon murid
bernama Raden Supala di Kerajaan Cedi. Mendengar itu, Arya Udawa bergurau
menanggapi kira-kira murid siapa yang kelak menjadi manusia baik, apakah murid Raden
Narayana, ataukah murid Raden Permadi?
Raden Narayana tidak mau berpanjang lebar. Ia berniat melanjutkan perjalanan ke
Gunung Gandamadana untuk melamar kekasihnya, yaitu Endang Jembawati putri Resi
Jembawan. Raden Permadi mohon izin ikut serta, sekaligus untuk mencarikan pengalaman
bagi Raden Setyaki. Raden Narayana mempersilakan dengan senang hati. Mereka lalu
berangkat bersama-sama.

ENDANG JEMBAWATI DICULIK ORANG


Rombongan Raden Narayana telah sampai di Gunung Gandamadana. Mereka heran
melihat Resi Jembawan dan Dewi Trijata sedang bertangis-tangisan. Setelah ditanya,
kedua suami-istri itu pun menjawab bahwa putri mereka, yaitu Endang Jembawati telah
hilang diculik orang.
Resi Jembawan bercerita kemarin telah datang seorang raja bernama Prabu
Wahudaya dari Kerajaan Sriwedari yang ingin melamar Endang Jembawati sebagai istrinya.
Resi Jembawan yang mengetahui bahwa putrinya telah jatuh cinta kepada Raden Narayana
segera menolak lamaran tersebut. Prabu Wahudaya membujuk dengan memamerkan harta
benda dan emas permata, namun Resi Jembawan tetap teguh pendirian. Ia hanya ingin
menikahkan Endang Jembawati dengan kekasihnya seorang, yaitu Raden Narayana. Prabu
Wahudaya marah dan memukul Resi Jembawan secara tiba-tiba. Resi Jembawan yang
sudah sangat tua kurang waspada, sehingga ia jatuh pingsan oleh pukulan tersebut.
Ketika Resi Jembawan siuman, ia melihat istrinya menangis dan bercerita bahwa
Prabu Wahudaya telah merebut paksa Endang Jembawati dan membawanya kabur. Resi
Jembawan berusaha mengejar tetapi sia-sia. Prabu Wahudaya kini telah pergi jauh
meninggalkan Gunung Gandamadana.
Raden Narayana terharu mendengar penuturan Resi Jembawan yang berusaha
mempertahankan Endang Jembawati demi dirinya. Ia pun bersumpah akan merebut
kembali Endang Jembawati dan menjadikannya sebagai istri. Kyai Semar kebetulan pernah
pergi ke Kerajaan Sriwedari yang terletak di tanah seberang. Negeri tersebut dipimpin oleh
keturunan Prabu Arjuna Sasrabahu yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman kuno.
KITAB WAYANG PURWA

Kyai Semar bercerita, Prabu Arjuna Sasrabahu memiliki putra bernama Prabu Rurya.
Prabu Rurya digantikan putranya yang bernama Prabu Partawirya. Prabu Partawirya inilah
yang memindahkan Kerajaan Mahespati ke Sriwedari. Kemudian Prabu Partawirya
digantikan putranya yang bernama Prabu Partanadi. Prabu Partanadi digantikan putranya
yang bernama Prabu Sandela. Kemudian Prabu Sandela digantikan putranya yang
bernama Prabu Partawijaya. Prabu Partawijaya ini memindahkan Kerajaan Sriwedari ke
Gujulaha. Ia tidak lain adalah mertua Batara Sakri, yaitu leluhur para Pandawa.
Prabu Partawijaya kemudian meninggal dan digantikan putra bungsunya, yang
bergelar Prabu Partana. Pusat kerajaan kembali dipindah ke Sriwedari, karena istana
Gujulaha hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Siwandapura. Prabu Partana kemudian
digantikan putranya yang bergelar Prabu Partayadnya. Kemudian Prabu Partayadnya
digantikan putranya yang bergelar Prabu Dasabahu. Pada zaman pemerintahan Prabu
Dasabahu inilah Kyai Semar pernah pergi ke Kerajaan Sriwedari untuk menemani ayah
para Pandawa semasa muda, yaitu Raden Pandu Dewayana. Saat itu Kerajaan Sriwedari
diserang wabah penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Prabu Dasabahu
mendapat wangsit bahwa wabah tersebut akan reda apabila dipasangi tumbal oleh putra
kedua raja Hastina yang kala itu masih dijabat Prabu Kresna Dwipayana.
Kyai Semar menduga Prabu Wahudaya ini adalah putra Prabu Dasabahu. Saat Kyai
Semar mengunjungi Kerajaan Sriwedari kala itu, Prabu Dasabahu telah ditinggal mati
istrinya yang bernama Dewi Panitra. Justru Dewi Panitra itulah yang menjadi roh penasaran
dan mengganggu rakyat Sriwedari. Kyai Semar menduga Prabu Dasabahu pasti menikah
lagi setelah negerinya tenang, dan dari perkawinan kedua itulah lahir Prabu Wahudaya.
Raden Narayana berterima kasih atas petunjuk Kyai Semar. Ia lalu berkata pada
Raden Permadi bahwa dirinya akan berperang melawan Prabu Wahudaya yang terhitung
masih kerabat keluarga Saptaarga. Raden Permadi tidak keberatan, bahkan dirinya siap
membantu untuk menggempur Kerajaan Sriwedari. Raden Narayana gembira lalu ia pun
mohon pamit kepada Resi Jembawan dan Dewi Trijata, sambil menitipkan Dewi Sumbadra
agar tetap menunggu di Astana Gandamadana.
Setelah persiapan cukup, Raden Narayana pun berangkat ditemani Raden Permadi,
Raden Setyaki, dan Arya Udawa dengan Kyai Semar sebagai penunjuk arah.

RADEN NARAYANA MENYAMAR SEBAGAI SINGA YANG BISA BERBICARA


Rombongan Raden Narayana telah sampai di Kerajaan Sriwedari dan menyusup
masuk ke dalam istana. Raden Narayana berniat ingin menyelidiki isi hati Endang
Jembawati terlebih dulu. Jika memang Endang Jembawati telah mengkhianati cintanya,
maka tiada guna ia bersusah payah melabrak Prabu Wahudaya.
Demikianlah, Raden Narayana lalu mengheningkan cipta dan seketika wujudnya
berubah menjadi seekor singa berambut lebat. Dengan cekatan ia melompat masuk
melewati tembok dan seketika telah masuk ke dalam sebuah taman yang sangat indah.
Taman inilah yang terkenal dengan sebutan Taman Sriwedari.
Dahulu kala Prabu Arjuna Sasrabahu raja Mahespati menikah dengan Dewi Citrawati
putri Kerajaan Manggada. Sang permaisuri meminta agar Taman Sriwedari yang terletak di
Gunung Utarayana dipindahkan ke dekat istana Mahespati tanpa ada daun dan bunganya
yang rontok. Permintaan sulit itu akhirnya bisa diwujudkan oleh sepupu Prabu Arjuna
Sasrabahu yang bernama Bambang Sumantri, dengan bantuan adiknya yang buruk rupa,
bernama Bambang Sukasrana. Kisah tersebut telah menjadi legenda tentang pengorbanan
Bambang Sukasrana demi kakaknya meraih kejayaan.
KITAB WAYANG PURWA

Singa penjelmaan Raden Narayana sempat terkesima menyaksikan keindahan


Taman Sriwedari. Tiba-tiba terdengar jeritan para dayang istana dan sesaat kemudian para
prajurit berdatangan menyerang dirinya. Sang singa pun mengamuk membunuh banyak
prajurit. Sebagian dari mereka kocar-kacir mencari selamat.

ENDANG JEMBAWATI MENGUTARAKAN ISI HATINYA


Di dalam taman itu sang singa bertemu Endang Jembawati yang tidak takut sedikit
pun, bahkan menghampirinya dengan tenang. Sang singa mengaum dan mengeram
menunjukkan taringnya yang tajam, tapi Endang Jembawati tetap melangkah tanpa takut.
Endang Jembawati berkata dirinya justru ingin mati saat ini juga diterkam singa tersebut.
Singa itu pun bertanya mengapa gadis cantik jelita calon istri Prabu Wahudaya ingin
mati? Endang Jembawati terkejut ada singa bisa berbicara. Ia pun menjawab bahwa dirinya
lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sang singa pun
bertanya siapa laki-laki yang mengisi hati Endang Jembawati itu. Endang Jembawati malu
untuk berterus terang. Sang singa mendesaknya. Ia berkata lebih baik Endang Jembawati
mengutarakan isi hatinya agar lega sebelum mati menjadi mangsanya.
Endang Jembawati menjawab bahwa laki-laki yang ia cintai adalah Raden Narayana
yang pernah berguru kepada ayahnya di Gunung Gandamadana. Sang singa berkata
bahwa dirinya pernah mendengar sepak terjang Raden Narayana yang berandalan, suka
merampok, mencuri, berzinah, mabuk-mabukan, dan segala perbuatan jahat lainnya.
Endang Jembawati menjawab dirinya juga pernah mendengar hal itu. Namun, ia mengenal
dengan baik siapa itu Raden Narayana. Jika merampok dan mencuri, hasilnya diserahkan
semua kepada rakyat jelata tanpa kecuali. Raden Narayana sebenarnya tidak merampok,
tetapi merebut kembali harta milik rakyat yang dirampas para pejabat korup. Apabila Raden
Narayana berzinah dan mabuk-mabukan, itu pun bukan untuk menuruti hawa nafsu, tetapi
justru untuk mengendalikan hawa nafsu sampai pada titik jenuh demi untuk mencapai
pencerahan rohani. Mungkin hal ini terdengar aneh bagi masyarakat umum, namun Endang
Jembawati menghormati keyakinan yang dianut Raden Narayana.
Sang singa berkata bahwa Endang Jembawati memang lebih baik mati daripada
menjadi istri Raden Narayana yang suka mengumbar nafsu seperti itu. Raden Narayana
adalah orang sesat yang kelak pasti masuk neraka. Endang Jembawati tentu akan
menderita apabila menjadi istrinya kelak. Endang Jembawati menjawab dirinya tidak pernah
meragukan Raden Narayana. Baginya, Raden Narayana tidak pernah mengumbar nafsu,
tetapi justru sedang berusaha mencapai pencerahan. Endang Jembawati yakin tidak lama
lagi Raden Narayana pasti akan mencapai tingkatan itu dan menjadi manusia yang arif
bijaksana.
Endang Jembawati menjelaskan bahwa jalan menuju pencerahan itu bermacam-
macam. Siapa yang melakukan dengan sungguh-sungguh dengan tujuan mendekatkan diri
kepada Yang Mahakuasa, tentu akan mendapatkan jalan kebenaran. Tidak sepantasnya
manusia memaksakan satu keyakinan sambil menghina keyakinan yang dianut manusia
lainnya. Alangkah baiknya setiap manusia saling menghormati antara jalan yang satu
dengan yang lainnya, dan tidak saling menuduh sesat. Apabila Raden Narayana dianggap
sebagai penjahat yang mengacaukan tatanan masyarakat, maka biarlah aparat penegak
hukum saja yang menjatuhkan pidana kepadanya. Masyarakat awam tidak perlu ikut main
hakim sendiri.
Endang Jembawati telah mengutarakan isi hatinya. Sekarang ia pasrah jika sang singa
hendak memangsanya. Ia akan membawa cintanya kepada Raden Narayana menuju alam
baka. Sang singa gemetar meneteskan air mata. Seketika itu ia pun berubah wujud, kembali
menjadi Raden Narayana. Endang Jembawati langsung lemas dan hampir saja jatuh
KITAB WAYANG PURWA

pingsan karena sang kekasih tiba-tiba muncul di hadapannya. Raden Narayana segera
memeluknya sambil berkata bahwa ia kini mendapat pencerahan justru berkat keikhlasan
hati Endang Jembawati kepadanya. Raden Narayana pun bersumpah setelah menikah
dengan Endang Jembawati, ia akan berhenti melakukan segala bentuk perbuatan ma lima,
baik itu mencuri, merampok, berjudi, berzinah, atau mabuk-mabukan.

KEMATIAN PRABU WAHUDAYA


Tiba-tiba kebahagiaan pasangan kekasih itu terganggu oleh munculnya Prabu
Wahudaya. Dengan penuh amarah, Prabu Wahudaya mengamuk menyerang Raden
Narayana. Pertarungan pun terjadi di antara mereka. Raden Narayana lari ke luar agar tidak
merusak keindahan taman. Di luar ternyata telah terjadi pertempuran pula antara Raden
Permadi, Raden Setyaki, dan Arya Udawa melawan para prajurit Sriwedari. Pertempuran
itu akhirnya berhenti ketika Raden Narayana berhasil membunuh Prabu Wahudaya.
Tidak lama kemudian muncul seorang pendeta yang menggendong bayi kecil.
Pendeta itu bernama Resi Jayakusuma, yang langsung terkejut melihat Raden Permadi dan
segera memanggilnya sebagai Raden Pandu Dewayana. Kyai Semar segera menjelaskan
bahwa pemuda tampan yang ada di dekatnya ini bukan Raden Pandu Dewayana,
melainkan putranya yang bernama Raden Permadi. Adapun Raden Pandu telah meninggal
dunia setelah sempat menjadi raja Hastina. Resi Jayakusuma menangis mengetahui Prabu
Pandu telah wafat. Adapun Resi Jayakusuma ini dulunya menjabat sebagai patih pada
masa pemerintahan Prabu Dasabahu.
Resi Jayakusuma bercerita bahwa Prabu Wahudaya sebenarnya tidak sungguh-
sungguh ingin menikahi Endang Jembawati. Beberapa waktu yang lalu, istri Prabu
Wahudaya meninggal dunia setelah melahirkan. Prabu Wahudaya sangat sedih dan
kehilangan gairah hidup. Ia ingin sekali mati menyusul istrinya, namun enggan memilih cara
nista. Prabu Wahudaya tiba-tiba teringat dirinya adalah keturunan Prabu Arjuna Sasrabahu
yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman kuno. Alangkah bahagia jika ternyata ia bisa
mati di tangan titisan Batara Wisnu di zaman sekarang. Dewata pun memberikan petunjuk
bahwa Batara Wisnu telah menitis kepada Raden Narayana dari Kerajaan Mandura. Untuk
itu, Prabu Wahudaya hendaknya menculik kekasih Raden Narayana yang bernama Endang
Jembawati di Gunung Gandamadana karena ini bisa menjadi penyebab kematiannya.
Raden Narayana terharu mendengar penuturan Resi Jayakusuma. Ia lalu bertanya
siapakah bayi yang digendong pendeta tersebut. Resi Jayakusuma menjawab bayi ini
adalah putra Prabu Wahudaya yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan tersebut. Prabu
Wahudaya telah memberi nama putranya ini Raden Arjunapati, sesuai nama leluhurnya,
yaitu Prabu Arjuna Sasrabahu.
Kyai Semar berkata sungguh kebetulan putra Prabu Wahudaya bernama Raden
Arjunapati, karena Raden Permadi putra Prabu Pandu yang hadir hari ini juga memiliki nama
asli Raden Arjuna. Resi Jayakusuma gembira mendengarnya. Melihat bayi itu, Raden
Narayana terharu. Ia pun meminta Resi Jayakusuma agar merawat bayi tersebut dengan
baik. Kelak setelah Raden Arjunapati dewasa, Raden Narayana bersedia menjadi gurunya.
Resi Jayakusuma bersyukur dan sangat bangga apabila anak asuhnya ini bisa menjadi
murid titisan Batara Wisnu.

PERNIKAHAN RADEN NARAYANA DAN ENDANG JEMBAWATI


Raden Narayana telah membawa pulang Endang Jembawati ke Gunung
Gandamadana. Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Dewi Sumbadra menyambut mereka
dengan perasaan haru bahagia.
KITAB WAYANG PURWA

Maka, pada hari yang dianggap baik, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara
Raden Narayana dan Endang Jembawati. Upacara ini sangat sederhana dan ala kadarnya.
Tidak lupa Raden Narayana dan Endang Jembawati pun berdoa di depan makam para
leluhur yang berjajar di Astana Gandamadana tersebut, yaitu Prabu Kuntiboja, Dewi
Bandondari, Prabu Basudewa, dan Dewi Dewaki. Mereka berdoa semoga kakek, nenek,
ayah, dan ibu yang dimakamkan di situ mendapat kebahagiaan di alam baka.
Tidak lama kemudian muncullah Prabu Baladewa dan Patih Pragota. Prabu Baladewa
gelisah menunggu Raden Narayana tak kunjung pulang, serta Dewi Sumbadra dan Arya
Udawa yang ditugasi untuk menjemput pun tak kunjung kembali. Prabu Baladewa
memutuskan untuk menyusul dan hatinya bahagia melihat sang adik telah resmi menikah
dengan kekasih pilihan hatinya.
Raden Narayana dan Prabu Baladewa pun saling berpelukan, bermaaf-maafan.
Raden Narayana telah mendapatkan pencerahan berkat penuturan Endang Jembawati saat
disekap dalam Taman Sriwedari. Kini ia berjanji tidak akan melakukan segala perbuatan
keji lagi. Prabu Baladewa terharu dan mengajaknya pulang ke istana Mandura. Namun,
Raden Narayana menolak. Ia meminta sang kakak harus tetap menegakkan hukum
untuknya yang telah melakukan perampokan terhadap pejabat negara.
Prabu Baladewa berkata Raden Narayana tidak perlu dihukum karena perampokan
tersebut bertujuan untuk menghukum para pejabat korup. Para pejabat itu kini telah dipecat
dan mendapat hukuman setimpal berkat kerja cepat Patih Pragota. Raden Narayana
senang mendengarnya. Namun, Prabu Baladewa tidak boleh pilih kasih. Janganlah karena
adik seorang raja, dirinya lantas menjadi sosok yang kebal hukum.
Prabu Baladewa merasa bimbang. Akhirnya dengan berat hati ia pun memutuskan
untuk menghukum buang Raden Narayana ke Hutan Banjarpatoman. Di hutan itu silakan
Raden Narayana membangun tempat tinggal untuk hidup berumah tangga dengan Endang
Jembawati. Raden Narayana menerima keputusan tersebut.
Maka, pada hari yang ditentukan, Raden Narayana dan Endang Jembawati pun
mohon pamit kepada Resi Jembawan sekeluarga untuk mulai tinggal di Hutan
Banjarpatoman. Meskipun ini adalah hukuman buang, namun mereka menjalaninya dengan
ikhlas dan penuh kebahagiaan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah perkawinan Raden Narayana dan Endang Jembawati menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 694 yang
ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang
ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”. Sementara itu, kisah Raden Supala
berguru kepada Raden Narayana, serta Raden Setyaki berguru kepada Raden Arjuna saya ambil
dari kitab Mahabharata.
KITAB WAYANG PURWA

SURYAPUTRA MALING
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Suryaputra Radeya dengan Dewi Srutikanti.
Juga dikisahkan bagaimana Raden Suryaputra menumpas pemberontakan Adipati
Kalakarna. Atas jasanya, ia pun diangkat menjadi adipati di Awangga, bergelar Adipati
Karna Basusena.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, serta pagelaran wayang orang
di TVRI, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 November 2016
Heri Purwanto

Raden Suryaputra menjadi Adipati Karna

KADIPATEN PETAPRALAYA DISERBU PASUKAN AWANGGA


Kadipaten Petapralaya awalnya hanya sebuah desa di pinggiran Kerajaan Hastina
yang penduduknya rata-rata bekerja sebagai kusir dan pembuat kereta. Kepala desa ini
bernama Kyai Adirata, yang menjadi kusir pribadi Prabu Dretarastra. Kereta-kereta buatan
penduduk Petapralaya banyak digunakan para bangsawan dan pejabat kerajaan, baik itu
kereta untuk perang maupun kereta pelesiran. Tidak hanya itu, kereta-kereta tersebut juga
banyak dijual sampai ke mancanegara.
Putra sulung Kyai Adirata yang bernama Radeya ternyata tidak menyukai pekerjaan
sebagai kusir, tetapi lebih suka belajar ilmu perang. Ia pergi bertapa dan mendapatkan
berbagai ilmu kesaktian dari Batara Ramaparasu. Ketika kembali ke Kerajaan Hastina,
ternyata saat itu sedang diadakan pertandingan antara para Kurawa dan Pandawa setelah
mereka menempuh pendidikan dari Danghyang Druna di Padepokan Sokalima. Dalam
puncak pertandingan tersebut, Danghyang Druna mengumumkan bahwa Raden Permadi
(Arjuna) adalah murid terbaiknya, bahkan Raden Permadi disebut-sebut sebagai pemanah
terbaik di dunia. Saat itulah Radeya muncul di antara para penonton dan menantang Raden
Permadi bertanding adu panah untuk membuktikan pujian Danghyang Druna.
Begitu Radeya memperkenalkan jati dirinya sebagai anak kusir, Danghyang Druna
dan Resi Krepa langsung melarangnya bertanding karena tidak sederajat dengan Raden
Permadi. Banyak orang ikut mengolok-olok Radeya dan menyuruhnya minggir dari
gelanggang. Saat itulah Raden Suyudana tampil sebagai pembela. Raden Suyudana
mengusulkan kepada ayahnya (Prabu Dretarastra) agar mengangkat Kyai Adirata sebagai
raja kecil, dan menjadikan Desa Petapralaya sebagai kadipaten baru. Prabu Dretarastra
pun mengabulkan permintaan putra kesayangannya itu. Kyai Adirata segera dilantik
menjadi Adipati Adirata, sehingga Radeya berhak menyandang gelar Raden, dan
KITAB WAYANG PURWA

membuatnya boleh bertanding dengan Raden Permadi. Radeya pun mengganti namanya
menjadi Raden Suryaputra, yaitu nama pemberian Kyai Adirata saat ia masih bayi.
Demikianlah kisah Adipati Adirata diangkat menjadi raja bawahan Hastina, dan juga
awal mula persahabatan antara Raden Suyudana dengan Raden Suryaputra. Beberapa
bulan yang lalu Raden Suryaputra juga pernah membantu Raden Suyudana mengikuti
sayembara di Kerajaan Pancala Selatan untuk memperebutkan Dewi Drupadi. Namun,
Dewi Drupadi menolak Raden Suryaputra saat hampir saja memenangkan sayembara.
Hari ini Adipati Adirata sedang berduka karena putra sulungnya itu menghilang entah
ke mana. Ia pun berunding dengan sang istri, yaitu Dewi Rada, serta para putra yang lain,
bernama Arya Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata. Mereka membicarakan
ke mana perginya Raden Suryaputra tetapi tidak seorang pun yang bisa memberikan
jawaban. Adipati Adirata menegur istrinya yang mungkin telah bersikap kasar kepada sang
putra. Namun, Dewi Rada menjawab selama ini ia selalu sayang, bahkan memanjakan
Raden Suryaputra melebihi batas.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Arya Adimanggala segera memeriksa dan
ternyata telah terjadi pertempuran antara para prajurit Kadipaten Petapralaya melawan
pasukan raksasa dari Kadipaten Awangga. Mendengar itu, Adipati Adirata sangat marah
dan terkejut. Petapralaya dan Awangga adalah sama-sama kadipaten bawahan Hastina,
mengapa kini terlibat pertempuran?

ADIPATI ADIRATA MENJADI TAWANAN ADIPATI KALAKARNA


Adipati Adirata dan putra-putranya segera terjun ke medan tempur. Pasukan Awangga
tampak dipimpin langsung oleh raja mereka, yaitu Adipati Kalakarna dan juga Patih
Kalamandra. Pertempuran sengit pun terjadi. Adipati Adirata dan Arya Jayarata tertangkap
oleh musuh, sedangkan Arya Adimanggala dan Arya Druwajaya berhasil meloloskan diri
bersama ibu mereka, Dewi Rada.
Adipati Adirata bertanya mengapa Adipati Kalakarna menyerang Petapralaya, padahal
masih sama-sama negeri bawahan Hastina. Adipati Kalakarna menjawab dirinya sudah
muak menjadi raja bawahan. Ia berkata bahwa Awangga tidak sama dengan Petapralaya.
Jika Petapralaya dulunya adalah desa yang dinaikkan derajatnya menjadi kadipaten, maka
sebaliknya, Awangga dulunya adalah kerajaan yang diturunkan derajatnya menjadi
kadipaten.
Adipati Kalakarna menceritakan bahwa dulu ayahnya bernama Prabu Rudraksa telah
tewas di tangan Prabu Pandu Dewanata. Saat itu Raden Kalakarna masih muda dan pura-
pura menyerah, memasang sikap manis, sehingga mendapat pengampunan dari Prabu
Pandu. Kerajaan Awangga pun menjadi bawahan Hastina dan diturunkan derajatnya
menjadi kadipaten, sedangkan Raden Kalakarna diangkat sebagai adipati.
Kini Adipati Kalakarna berniat memberontak untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Hastina. Ia pun menaklukkan beberapa kadipaten di sekitar Awangga, dan tentunya
Petapralaya termasuk di antaranya. Adipati Adirata menasihati Adipati Kalakarna bahwa
memberontak kepada Kerajaan Hastina sama saja dengan bunuh diri. Adipati Kalakarna
menjawab tidak peduli. Di Kerajaan Hastina sudah tidak ada lagi yang ia takuti. Prabu Pandu
sudah meninggal dan Resiwara Bisma sudah menyepi di pertapaan. Para Kurawa hanyalah
kumpulan pemuda yang tidak bermutu, yang tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan
para raksasa Awangga di bawah pimpinannya.
Adipati Kalakarna pun mengumumkan bahwa mulai hari ini dirinya memakai gelar
Prabu Kalakarna. Ia lalu memerintahkan Patih Kalamandra untuk menyekap Adipati Adirata
dan Arya Jayarata sebagai tawanan di dalam penjara.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU KALAKARNA INGIN MENIKAHI DEWI SRUTIKANTI PUTRI MANDRAKA


Setelah mengangkat dirinya sendiri sebagai raja, Prabu Kalakarna pun memanggil
pengasuhnya, yang bernama Emban Kidanganti. Pengasuh raksasi itu menghadap dan
menanyakan ada keperluan apa. Prabu Kalakarna menjawab bahwa dirinya kini telah
menjadi raja, tentunya membutuhkan seorang permaisuri yang sederajat. Tadi malam
sebelum berangkat menyerang Petapralaya, Prabu Kalakarna mimpi bertemu seorang putri
cantik yang lembut perangainya. Putri dalam mimpinya itu mengaku bernama Dewi
Srutikanti, putri kedua Prabu Salya raja Mandraka. Setelah bangun dari tidur, Prabu
Kalakarna merasa jatuh cinta dan ingin menikah dengannya. Untuk itu, Emban Kidanganti
diperintahkan untuk pergi ke Mandraka menculik gadis tersebut.
Emban Kidanganti menjawab sanggup. Ia pun berangkat melaksanakan tugas dengan
ditemani sejumlah prajurit raksasa.
Sementara itu, Dewi Rada yang berhasil lolos dari Petapralaya bersama kedua
putranya segera membagi tugas. Ia memerintahkan Arya Adimanggala untuk pergi mencari
hilangnya Raden Suryaputra, sedangkan dirinya bersama Arya Druwajaya akan pergi ke
Kerajaan Hastina untuk melapor kepada Prabu Dretarastra.

RADEN SURYAPUTRA MENDAPAT PETUNJUK DARI BATARA SURYA


Raden Suryaputra yang sedang dicari-cari saat ini rupanya sedang bertapa di Hutan
Jatirokeh. Setelah berhari-hari mengheningkan cipta, tanpa makan atau minum, tiba-tiba
muncul Batara Surya membangunkannya. Raden Suryaputra pun membuka mata dan
segera menyembah memberi hormat kepada dewa tersebut.
Batara Surya bertanya ada keperluan apa Raden Suryaputra bertapa di tengah hutan.
Pertapaannya telah membuat kahyangan menjadi panas dan gerah. Raden Suryaputra pun
menjawab bahwa beberapa hari ini pikirannya sedang kalut. Ia pernah bermimpi mendengar
suara yang mengatakan bahwa Adipati Adirata dan Dewi Rada bukanlah orang tua
kandungnya, tetapi mereka hanyalah orang tua asuh. Begitu terbangun dari tidur, Raden
Suryaputra segera bertanya kepada mereka apa benar demikian. Adipati Adirata dan Dewi
Rada langsung menjawab itu tidak benar. Namun, dari raut muka kedua orang tua itu terlihat
bahwa mereka sedang berbohong.
Karena penasaran ingin membuktikan kebenaran mimpi tersebut, Raden Suryaputra
pun pergi bertapa meninggalkan Kadipaten Petapralaya. Ia berharap ada dewa yang sudi
turun untuk menceritakan tentang asal usulnya apakah benar putra kandung Adipati Adirata
dan Dewi Rada, ataukah hanya anak angkat belaka.
Batara Surya terdiam sejenak lalu berkata Raden Suryaputra memang bukan putra
Adipati Adirata dan Dewi Rada. Saat itu mereka berdua masih bernama Kyai Adirata dan
Nyai Rada, kepala Desa Petapralaya. Mereka berdua mandul, tidak bisa memiliki keturunan.
Pada suatu hari mereka didatangi seorang pendeta tua bernama Resi Druwasa yang
menggendong bayi laki-laki. Resi Druwasa menyerahkan bayi laki-laki itu dan mengatakan
bahwa dia adalah putra Batara Surya.
Kyai Adirata pun menerima bayi tersebut dengan senang hati, dan memberinya nama
Suryaputra. Namun, Nyai Rada takut nama ini sangat mencolok sehingga menimbulkan
kecurigaan warga. Maka, Suryaputra pun diberi nama panggilan yang lebih sederhana, yaitu
Radeya. Demikianlah, bayi tersebut kini telah tumbuh dewasa menjadi pemuda tangguh
yang bisa menaikkan derajat orang tua asuhnya. Setelah Kyai Adirata diangkat sebagai
adipati di Petapralaya, Radeya pun memakai nama kecilnya, yaitu Raden Suryaputra.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar cerita tersebut, Raden Suryaputra tertegun karena baru tahu kalau dirinya
adalah putra seorang dewa. Ia pun menyembah Batara Surya dan memanggil ayah
kepadanya. Kemudian ia bertanya siapa ibu kandung yang telah melahirkannya ke dunia.
Batara Surya pun menjawab dengan malu-malu bahwa ini adalah peristiwa aib di masa lalu,
namun terpaksa Raden Suryaputra harus mengetahuinya.
Pada saat itu Resi Druwasa memiliki murid perempuan bernama Dewi Prita dari
Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun mengajari putri tersebut ilmu pemanggil dewa,
bernama Aji Kunta Wekasing Rasa. Pada suatu pagi, Dewi Prita membaca mantra ilmu
tersebut sambil mandi, dengan membayangkan Batara Surya. Batara Surya pun datang dan
bertanya ada keperluan apa. Dewi Prita merasa malu dan menjawab dia hanya ingin
mencoba saja. Batara Surya marah karena ilmu pemanggil dewa digunakan untuk main-
main. Namun, nafsu marahnya berubah menjadi nafsu birahi saat melihat Dewi Prita sedang
telanjang. Karena tak kuasa menahan hasrat, Batara Surya pun menyetubuhi putri tersebut
hingga hamil.
Beberapa bulan kemudian, Dewi Prita melahirkan bayi laki-laki dengan dibantu Resi
Druwasa. Batara Surya pun datang lagi untuk mengembalikan keperawanan Dewi Prita.
Batara Surya juga memberikan pusaka kepada si bayi berupa Anting Suryakundala dan
baju zirah Suryakawaca yang melekat pada tubuhnya. Bayi laki-laki itu pun diberi nama
Karna Basusena, karena telinganya memakai anting dan dadanya memakai baju zirah.
Menurut ramalan dewata, bayi Karna Basusena akan menjadi manusia istimewa yang
dikenang sepanjang masa apabila diasuh Kyai Adirata dan Nyai Rada di Desa Petapralaya.
Maka, Resi Druwasa pun membawa bayi tersebut dan menyerahkannya kepada mereka
sesuai petunjuk Batara Surya. Kyai Adirata dan Nyai Rada yang mandul dengan senang
hati menerima bayi tersebut, yang kemudian diberi nama Suryaputra (putra Surya) atau
Radeya (anak Rada).
Raden Suryaputra terharu mendengar cerita tersebut. Selama ini Adipati Adirata dan
Dewi Rada telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang bagaikan putra kandung
sendiri. Akan tetapi, yang menjadi pikirannya adalah mengapa mereka bisa memiliki tiga
putra lagi, padahal Batara Surya menyebut mereka berdua mandul.
Batara Surya pun berkata bahwa Arya Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya
Jayarata juga bukan putra kandung Adipati Adirata dan Dewi Rada. Dulu ketika Kyai Adirata
dan Nyai Rada hendak menanam ari-ari dan tali pusar Radeya, tiba-tiba datang pendeta
bernama Resi Radi, yang merupakan ayah kandung Nyai Rada sendiri. Resi Radi ini juga
seorang pendeta sakti yang mampu mengubah ari-ari dan tali pusar tersebut menjadi dua
orang bayi, yang diberi nama Druwajaya dan Jayarata.
Sementara itu, Arya Adimanggala sebenarnya adalah putra kandung Arya Ugrasena
yang kini menjadi raja Lesanpura, bergelar Prabu Setyajit. Saat itu Arya Ugrasena
melakukan hubungan gelap dengan Nyai Sagopi, istri Buyut Antyagopa dari Desa
Widarakandang. Dari hubungan tersebut lahir seorang bayi kali-laki. Atas petunjuk dewa,
Buyut Antyagopa pun menyerahkan bayi itu kepada Kyai Adirata di Desa Petapralaya,
karena bayi tersebut ditakdirkan menjadi pendamping petualangan Raden Suryaputra. Kyai
Adirata pun memberi nama bayi itu mirip dengannya, yaitu Adimanggala.
Batara Surya menjelaskan pula bahwa Arya Ugrasena adalah adik kandung Dewi
Prita. Itu artinya, Arya Adimanggala sesungguhnya masih saudara sepupu Raden
Suryaputra. Raden Suryaputra semakin penasaran. Ia pun bertanya di mana ibu
kandungnya, yaitu Dewi Prita saat ini berada. Batara Surya diam tidak menjawab. Raden
Suryaputra pun memohon untuk diberi tahu. Batara Surya akhirnya berkata bahwa Dewi
Prita adalah nama lain Dewi Kunti, yaitu ibu para Pandawa di Kerajaan Amarta.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Suryaputra terkejut bukan main. Dulu saat acara Pendadaran Siswa Sokalima,
dirinya bertanding melawan Raden Permadi yang ternyata adiknya sendiri. Sungguh ia
merasa nasibnya telah dipermainkan para dewa. Ia merasa kelahirannya di dunia adalah
kelahiran yang tidak diharapkan, buah dari hubungan di luar nikah. Ia merasa menjadi
pendosa sejak lahir. Batara Surya menasihatinya bahwa tidak ada manusia yang terlahir
hina. Jika memang kedua orang tuanya berbuat zina, maka si bayi tetaplah suci, tidak boleh
disangkut-pautkan dengan dosa orang tuanya itu.
Raden Suryaputra meminta maaf telah berkata kasar kepada Batara Surya.
Sebaliknya, Batara Surya juga telah mempersiapkan sebuah hadiah kepada putranya itu
sebagai penebus kesalahannya di masa lalu. Dengan kekuasaannya, Batara Surya pun
menghadirkan seperangkat kereta pusaka buatan para dewa, bernama Kereta Jatisura
sebagai kendaraan pribadi putranya tersebut. Raden Suryaputra berterima kasih dan
menerima kereta pusaka itu dengan rasa syukur. Batara Surya menceritakan bahwa Kereta
Jatisura ini dulu pernah dipinjamkan kepada Prabu Sri Rama saat berperang melawan
Prabu Rahwana dalam peristiwa Brubuh Akengka di zaman kuno. Mendengar itu, Raden
Suryaputra sangat bangga dan kembali berterima kasih kepada Batara Surya.
Batara Surya kemudian memberi petunjuk agar Raden Suryaputra menikahi
perempuan yang ditakdirkan menjadi jodohnya. Perempuan itu bernama Dewi Srutikanti,
putri kedua Prabu Salya di Kerajaan Mandraka. Setelah memberikan petunjuk demikian,
Batara Surya pun melesat terbang kembali ke kahyangan.
Raden Suryaputra menyembah hormat kepada sang ayah yang telah musnah. Ia lalu
menaiki Kereta Jatisura dan mengendarainya menuju Kerajaan Mandraka.

RADEN PERMADI MENGUNJUNGI BAGAWAN ABYASA


Sementara itu, Raden Permadi dan Raden Setyaki masih berkelana bersama dengan
ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka singgah
di Gunung Saptaarga mengunjungi Bagawan Abyasa. Kepada sang kakek, Raden Permadi
memperkenalkan Raden Setyaki, yaitu sepupunya yang baru lahir dan langsung tumbuh
dewasa dalam sekejap. Raden Setyaki ini memiliki bakat kesaktian alamiah karena ia
adalah titisan Prabu Yuyudana, Prabu Tambakyuda, dan Patih Singamulangjaya. Prabu
Setyajit raja Lesanpura khawatir putranya itu salah jalan dan tidak bisa mengendalikan
kesaktiannya dengan baik, sehingga ia pun menugasi Raden Permadi agar menjadi
pembimbing bagi Raden Setyaki.
Bagawan Abyasa terkesan mendengar cerita sang cucu dan ia pun memberikan restu
kepada Raden Setyaki agar kelak selalu berada di jalan kebenaran, menjadi kesatria
berbudi luhur yang melawan kejahatan. Jika memang Raden Setyaki ingin bertambah
pengalaman, Bagawan Abyasa menyarankan agar Raden Permadi mengajaknya pergi ke
Kerajaan Mandraka. Bagawan Abyasa meramalkan akan terjadi peristiwa besar di sana.
Bahkan, saat ini para Pandawa lainnya telah berkumpul di sana untuk menyaksikan upacara
pernikahan antara Dewi Srutikanti dengan Raden Kurupati (Suyudana), calon raja Hastina.
Raden Permadi terkejut mendengar berita itu. Ia sudah terlalu lama berkelana
sehingga baru mengetahui kalau kedua sepupunya itu hendak menikah. Maka, ia dan
Raden Setyaki pun mohon pamit kepada Bagawan Abyasa untuk menuju ke negeri
Mandraka tersebut.
Dalam perjalanan menuju ke sana, Raden Permadi dan Raden Setyaki berjumpa para
prajurit raksasa yang mengawal kepergian Emban Kidanganti. Karena salah paham,
terjadilah pertempuran di antara mereka. Semua raksasa itu tewas, sedangkan Emban
Kidanganti berhasil meloloskan diri.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI SRUTIKANTI MEMINTA DICULIK RADEN SURYAPUTRA


Raden Suryaputra yang mengendarai Kereta Jatisura telah sampai di Kerajaan
Mandraka. Ia merasa penasaran pada gadis bernama Dewi Srutikanti sebagaimana yang
diceritakan oleh Batara Surya. Diam-diam, Raden Suryaputra pun menyusup masuk ke
dalam kaputren. Setelah mengamati dengan seksama, ia akhirnya berhasil menemukan
gadis tersebut. Dewi Srutikanti berparas cantik dan lembut, namun terlihat murung dan
duduk seorang diri. Raden Suryaputra seketika jatuh cinta melihatnya. Ia pun
menampakkan diri dengan menyanyikan beberapa tembang asmara. Mula-mula Dewi
Srutikanti terkejut ada laki-laki berani masuk ke dalam kaputren. Namun, begitu melihat
sosok Raden Suryaputra, seketika hatinya merasa tenteram dan semangatnya bergelora.
Entah mengapa, Raden Suryaputra dan Dewi Srutikanti merasa langsung akrab meski
baru kali ini mereka bertemu. Keduanya pun bercakap-cakap saling memperkenalkan diri,
hingga akhirnya sama-sama mengutarakan perasaan cinta masing-masing. Raden
Suryaputra lalu bertanya mengapa Dewi Srutikanti tampak murung. Dewi Srutikanti pun
menjawab bahwa hatinya gelisah karena hendak dinikahkan dengan laki-laki yang tidak ia
cintai.
Raden Suryaputra bertanya siapakah laki-laki yang hendak menikahi kekasihnya. Ia
bertekad akan memberinya pelajaran agar membatalkan perjodohan dengan Dewi
Srutikanti. Dewi Srutikanti menjawab, laki-laki yang menjadi calon suaminya adalah Raden
Kurupati, raja muda Kerajaan Hastina.
Seketika Raden Suryaputra gemetar mendengar nama itu disebut. Raden Kurupati
(Suyudana) adalah sahabat terbaik dalam hidupnya. Raden Kurupati tidak hanya
memberikan kedudukan kepada ayahnya, yaitu Kyai Adirata sehingga bisa menjadi adipati
Petapralaya, tetapi juga telah mengangkat saudara dengannya. Raden Suryaputra merasa
bimbang. Di satu sisi ia teranjur jatuh cinta kepada Dewi Srutikanti, namun di sisi lain ia tidak
mungkin mengkhianati persahabatan dengan Raden Kurupati.
Dewi Srutikanti kembali bersedih karena kekasihnya ternyata memiliki ikatan dengan
Raden Kurupati. Gadis itu merasa putus asa. Ia pun meminta Raden Suryaputra agar
membawanya lari meninggalkan Kerajaan Mandraka. Jika Raden Suryaputra tidak berani,
ia berkata lebih baik bunuh diri saja daripada menikah dengan Raden Kurupati yang tidak
dicintainya. Raden Suryaputra semakin bimbang. Setelah teringat pada ucapan Batara
Surya, ia pun menyanggupi untuk membawa lari Dewi Srutikanti. Jika memang berjodoh
biarlah berjodoh dengan gadis tersebut, namun bila tidak berjodoh biarlah ia mati di tangan
Raden Kurupati yang dikhianatinya.
Demikianlah, Raden Suryaputra pun menggandeng Dewi Srutikanti untuk dibawa
kabur. Tiba-tiba Dewi Banuwati dan Raden Rukmarata masuk ke dalam kaputren. Mereka
datang untuk menjemput sang kakak agar segera memulai upacara siraman. Melihat ada
pemuda tampan hendak menculik kakak mereka, Raden Rukmarata segera bertindak,
sedangkan Dewi Banuwati menjerit memanggil para prajurit.
Raden Suryaputra dengan cekatan meringkus Raden Rukmarata. Tangannya lalu
bekerja cepat menghujani para prajurit Mandraka dengan panah. Raden Suryaputra tidak
berniat untuk melukai ataupun membunuh, namun hanya mengurung mereka dengan hujan
panah saja. Dewi Srutikanti merasa kagum dan semakin yakin untuk hidup bersama
kekasihnya itu.

RADEN PERMADI DICURIGAI SEBAGAI PENCULIK DEWI SRUTIKANTI


Saat itu Prabu Salya sedang menerima kedatangan Prabu Baladewa dan Dewi
Erawati dari Kerajaan Mandura, serta Prabu Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Nakula, dan
KITAB WAYANG PURWA

Raden Sadewa dari Kerajaan Amarta. Adapun Raden Bratasena tidak ikut hadir karena
bertugas menjaga negara, sedangkan Raden Narayana juga masih menjalani hukuman
pengasingan di Hutan Bajarpatoman karena perbuatannya menjadi begal tempo hari.
Tidak lama kemudian, datanglah rombongan pengantin pria dari Kerajaan Hastina,
yaitu Raden Kurupati yang diiringi Patih Sangkuni dan para Kurawa lainnya. Prabu Salya
menyambut mereka dengan ramah. Kedua pihak sama-sama berharap, melalui perkawinan
ini, hubungan kekeluargaan antara Hastina dan Mandraka akan semakin erat.
Tiba-tiba Raden Rukmarata dan Dewi Banuwati datang menghadap untuk melaporkan
bahwa sang pengantin wanita, yaitu Dewi Srutikanti telah hilang diculik orang. Raden
Rukmarata berkata bahwa si penculik adalah Raden Permadi, sedangkan Dewi Banuwati
berkata bukan. Mereka berdua lalu bertengkar sendiri. Raden Rukmarata berkata si
penculik berwajah tampan dan pandai memanah. Di dunia ini siapa lagi kesatria tampan
yang pandai memanah selain Raden Permadi? Dewi Banuwati bersikeras menjawab bukan.
Ia mengaku mengenal dengan baik sosok Raden Permadi sehingga yakin kalau si penculik
bukan dia. Hampir saja Dewi Banuwati kelepasan bicara bahwa Raden Permadi adalah
kekasihnya sehingga ia kenal betul bagaimana paras badannya.
Raden Kurupati termakan ucapan Raden Rukmarata. Ia sangat marah mendengar
calon istrinya diculik sepupu sendiri. Sambil masih mengenakan pakaian pengantin, Raden
Kurupati pun berlari mengejar si penculik. Para Kurawa lainnya segera ikut mengejar sang
kakak sulung.
Sungguh kebetulan Raden Permadi dan Raden Setyaki beserta para panakawan telah
sampai di istana Mandraka. Tanpa bertanya lebih dulu, Raden Kurupati langsung
menyerang mereka. Para Kurawa yang lain pun ikut menyerang. Maka, terjadilah
pertempuran sengit. Meskipun hanya dua orang, namun Raden Permadi dan Raden Setyaki
tetap mampu bertahan dan tidak bisa ditaklukkan oleh para Kurawa tersebut.
Pada saat itulah muncul Prabu Salya, Prabu Puntadewa, dan Prabu Baladewa melerai
mereka. Raden Permadi segera menghentikan pertempuran dan menyembah memberi
hormat. Raden Kurupati marah-marah meminta Raden Permadi agar dihukum berat karena
berani menculik calon istrinya. Raden Permadi mengaku tidak tahu-menahu soal ini karena
ia sendiri baru datang. Kyai Semar dan Raden Setyaki pun bersaksi bahwa mereka selalu
bersama-sama sehingga tidak mungkin Raden Permadi menculik Dewi Srutikanti.
Sebaliknya, Raden Rukmarata bersaksi bahwa ia melihat penculik kakaknya adalah
kesatria tampan yang mahir memanah. Di dunia ini siapa lagi kesatria tampan yang mahir
memanah selain Raden Permadi? Mendengar itu, Kyai Semar pun menjelaskan bahwa dulu
saat acara pendadaran murid-murid Padepokan Sokalima, ada seorang kesatria tampan
yang mahir memanah berani menantang Raden Permadi di atas gelanggang. Raden
Permadi pun teringat bahwa kesatria tersebut pasti Raden Suryaputra alias Radeya. Ia pun
mohon pamit kepada Prabu Salya untuk menangkap si penculik yang sebenarnya. Setelah
berkata demikian, ia langsung melesat pergi dengan ditemani Raden Setyaki.

PERTARUNGAN RADEN SURYAPUTRA DENGAN RADEN PERMADI


Raden Suryaputra yang membawa lari Dewi Srutikanti dapat disusul oleh Raden
Permadi dan Raden Setyaki. Raden Suryaputra pun berbalik melawan mereka. Pada saat
yang sama Arya Adimanggala muncul pula. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Suryaputra bertarung melawan Raden Permadi, sedangkan Arya Adimanggala
bertarung melawan Raden Setyaki.
Setelah bertarung cukup lama, akhirnya Raden Setyaki berhasil meringkus Arya
Adimanggala. Sementara itu, Raden Suryaputra dan Raden Permadi masih bertarung
KITAB WAYANG PURWA

dengan bersenjata keris. Pada suatu serangan, keris Raden Permadi berhasil menyerempet
pelipis Raden Suryaputra. Dengan cekatan ia lalu meringkus lawannya tersebut dan
menodongkan kerisnya di leher Raden Suryaputra.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Batara Narada turun dari kahyangan. Ia melerai
Raden Permadi dan Raden Suryaputra agar menghentikan pertarungan karena mereka
sesungguhnya masih saudara sendiri. Raden Permadi heran mendengarnya. Batara
Narada pun menceritakan peristiwa lahirnya Raden Suryaputra yang berasal dari rahim
Dewi Kunti, ibu para Pandawa. Raden Permadi mendengar dengan seksama cerita tersebut
dari awal sampai akhir. Hatinya tergetar karena orang yang selama ini dianggapnya sebagai
musuh ternyata masih kakak sendiri. Perlahan-lahan ia pun menyembah Raden Suryaputra
dan meminta maaf kepadanya. Raden Suryaputra balas memeluk adiknya itu dan mereka
saling bermaaf-maafan.
Batara Narada juga melerai Raden Setyaki dan Arya Adimanggala serta menjelaskan
bahwa mereka juga masih saudara. Raden Setyaki adalah putra Prabu Setyajit dengan
Dewi Wresini, sedangkan Arya Adimanggala adalah putra Prabu Setyajit juga saat masih
bernama Arya Ugrasena, dari hasil hubungan gelap dengan Nyai Sagopi. Sejak bayi, Arya
Adimanggala diserahkan oleh Buyut Antyagopa kepada Kyai Adirata karena memang
begitulah petunjuk dari dewata yang harus dijalankan. Mendengar penuturan tersebut,
Raden Setyaki dan Arya Adimanggala pun saling berpelukan dan bermaaf-maafan pula.
Batara Narada lalu mengatakan bahwa Dewi Srutikanti ditakdirkan berjodoh dengan
Raden Suryaputra. Untuk itu, Raden Permadi tidak perlu menghalangi hubungan di antara
mereka. Batara Narada lalu memberikan busana raja kepada Raden Suryaputra, berupa
praba dan mahkota berbentuk topong, bernama Mahkota Bukasri, lengkap dengan Jamang
Kinantipa untuk menutupi pelipis yang tergores oleh keris Raden Permadi tadi. Dengan
memakai busana raja tersebut, Raden Suryaputra terlihat lebih tampan dan berwibawa.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke kahyangan.

RADEN KURUPATI LEBIH MENGUTAMAKAN PERSAHABATAN


Setelah Batara Narada pergi, muncullah Raden Kurupati bersama Patih Sangkuni dan
Raden Dursasana. Raden Suryaputra segera meminta maaf atas perbuatannya berani
menculik Dewi Srutikanti, calon istri sahabatnya sendiri. Patih Sangkuni dan Raden
Dursasana segera memanas-manasi Raden Kurupati bahwa perbuatan Raden Suryaputra
ini sungguh keterlaluan. Ini bagaikan peribahasa air susu dibalas air tuba, atau dikasih hati
merebut jantung. Raden Kurupati telah mengangkat derajat Raden Suryaputra, namun
Raden Suryaputra membalas dengan penghinaan semacam ini. Mendengar ucapan Patih
Sangkuni itu, Raden Suryaputra pun siap menyerahkan lehernya untuk dipenggal Raden
Kurupati.
Raden Kurupati terdiam lama. Ia merasa sangat bimbang. Di satu sisi ia malu jika batal
menikah dengan Dewi Srutikanti. Itu artinya hubungan persekutuan antara dirinya dengan
Prabu Salya pun gagal terwujud. Namun, di sisi lain, jika ia menghukum Raden Suryaputra,
itu berarti dirinya akan kehilangan seorang pelindung perkasa, yang mampu menandingi
kesaktian Raden Permadi di pihak Pandawa.
Dengan berat hati, Raden Kurupati akhirnya memutuskan untuk mengampuni Raden
Suryaputra. Ia berkata sejak dulu dirinya sudah menganggap Raden Suryaputra sebagai
saudara tua. Jika memang Raden Suryaputra dan Dewi Srutikanti saling mencintai, maka
Raden Kurupati akan merestui perkawinan mereka. Ia berkata bahwa dirinya lebih
mengutamakan persahabatan daripada soal asmara. Ia mengakui pernikahannya dengan
Dewi Srutikanti juga tidak tulus dari hati, tetapi hanya merupakan pernikahan politik untuk
lebih mendekatkan hubungan Kerajaan Hastina dengan Mandraka. Lagipula Raden
KITAB WAYANG PURWA

Suryaputra adalah bagian dari Kerajaan Hastina, dan ini berarti keluarga Prabu Dretarastra
tetap mendapat menantu.
Patih Sangkuni dan Raden Permadi memuji keputusan yang diambil Raden Kurupati.
Sementara itu, Raden Suryaputra sangat terharu dan ia pun bersumpah tidak akan pernah
lagi mengkhianati Raden Kurupati untuk selamanya. Ia berjanji akan siap sedia
menyumbangkan jiwa dan raganya demi kemuliaan Raden Kurupati. Keduanya lalu
berpelukan dengan perasaan haru.

DEWI SRUTIKANTI DICULIK EMBAN KIDANGANTI


Arya Adimanggala kemudian menyela bicara. Ia melaporkan kepada Raden Kurupati
dan Raden Suryaputra bahwa Kadipaten Petapralaya telah diserang musuh, yaitu Adipati
Kalakarna dari Awangga. Tidak hanya itu, sejumlah kadipaten juga banyak yang jatuh ke
tangan raja raksasa tersebut. Bahkan, Adipati Kalakarna telah mengumumkan bahwa
dirinya kini adalah raja yang bergelar Prabu Kalakarna, yang merdeka dan tidak lagi berada
di bawah perintah Kerajaan Hastina.
Raden Kurupati sangat marah dan berniat menumpas pemberontakan Prabu
Kalakarna tersebut. Namun, Patih Sangkuni buru-buru mencegahnya dengan mengatakan
bahwa tadi ada orang yang baru saja bersumpah setia hendak mengabdikan jiwa raganya
kepada Raden Kurupati. Kini tiba saatnya untuk menagih janji yang telah diucapkan
tersebut.
Raden Suryaputra merasa dirinya telah disindir. Ia pun menyanggupi akan menumpas
pemberontakan Prabu Kalakarna. Namun, tiba-tiba terdengar suara jeritan Dewi Srutikanti
meminta tolong. Semuanya pun menoleh ke arah Kereta Jatisura. Saat itu Dewi Srutikanti
masih menunggu di atas kereta dan tiba-tiba muncul Emban Kidanganti menyambar
tubuhnya. Emban raksasi itu pun menculik dan membawa kabur Dewi Srutikanti.
Raden Suryaputra hendak mengejar, namun ia sudah terlanjur berjanji akan
menggempur Prabu Kalakarna. Melihat sang kakak sedang bingung, Raden Permadi
segera berkata sebaiknya Raden Suryaputra tetap menggempur Prabu Kalakarna saja.
Urusan merebut Dewi Srutikanti biarlah ia yang menangani. Usai berkata demikian, Raden
Permadi langsung melesat pergi dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, mengejar Emban
Kidanganti.
Raden Suryaputra merasa lega. Ia lalu naik Kereta Jatisura di mana Arya Adimangga
sebagai kusir. Kereta tersebut pun melaju kencang menuju Kadipaten Petapralaya.

RADEN SURYAPUTRA MENUMPAS PRABU KALAKARNA


Sesampainya di sana, Raden Suryaputra melihat Prabu Kalakarna dan pasukannya
telah bersiaga hendak menyerang Kerajaan Hastina. Raden Suryaputra pun turun dari
kereta menantang raja raksasa itu perang tanding satu lawan satu. Prabu Kalakarna panas
hatinya mendengar tantangan Raden Suryaputra yang berlagak angkuh. Mereka pun
bertarung di hadapan para prajurit Awangga.
Sementara itu, Patih Kalamandra juga bertanding melawan Arya Adimanggala.
Selama ini Arya Adimanggala telah banyak berguru ilmu keprajuritan pada Raden
Suryaputra. Maka, dalam pertandingan itu ia mampu mengimbangi kekuatan Patih
Kalamandra. Bahkan, patih raksasa itu akhirnya tewas di tangan pemuda tersebut.
Melihat patihnya tewas, Prabu Kalakarna semakin marah dan menyerang Raden
Suryaputra dengan gencar. Karena dibakar amarah, ia menjadi lengah. Raden Suryaputra
pun berhasil melepaskan panah yang memenggal kepala raja raksasa tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Para prajurit Awangga ketakutan melihat raja dan patih mereka telah gugur. Mereka
pun serentak menyatakan takluk kepada Raden Suryaputra dan Arya Adimanggala. Raden
Suryaputra mengumumkan bahwa mereka semua boleh pulang ke Kadipaten Awangga dan
harus bersumpah setia kepada Kerajaan Hastina. Para prajurit tersebut menyatakan
bersedia, kemudian mereka pun pulang dengan hati lega.
Raden Suryaputra lalu membebaskan Adipati Adirata dan Arya Jayarata dari dalam
penjara. Keduanya sangat terharu dan bangga melihat penampilan Raden Suryaputra yang
kini mengenakan busana raja pemberian dewa. Arya Adimanggala juga melaporkan bahwa
sang ibu, yaitu Dewi Rada bersama Arya Druwajaya saat ini telah berlindung di Kerajaan
Hastina. Setelah dirasa cukup, mereka berempat lalu bersama-sama kembali ke tempat
Raden Kurupati.

PERKAWINAN RADEN SURYAPUTRA DAN DEWI SRUTIKANTI


Raden Suryaputra dan rombongan telah kembali ke hadapan Raden Kurupati dan
Patih Sangkuni dengan membawa kepala Prabu Kalakarna. Pada saat yang sama, Raden
Permadi juga telah berhasil merebut Dewi Srutikanti dan menewaskan Emban Kidanganti.
Raden Kurupati menyambut dengan gembira. Mereka semua lalu kembali ke Kerajaan
Mandraka untuk menghadap Prabu Salya.
Sesampainya di istana, Raden Kurupati segera menyampaikan semuanya. Dengan
tegas ia menyatakan rela jika Dewi Srutikanti menikah dengan Raden Suryaputra, karena
selama ini Raden Suryaputra telah dianggap sebagai saudara tua bagi para Kurawa. Tidak
hanya itu, Raden Kurupati pun mengangkat Raden Suryaputra sebagai adipati baru di
Awangga. Mengenai surat keputusan akan segera dimintakan kepada Prabu Dretarastra,
ayahnya. Raden Suryaputra semakin terharu melihat kebaikan Raden Kurupati dan sekali
lagi ia pun bersumpah akan selalu setia kepadanya.
Prabu Salya menghormati keputusan Raden Kurupati. Maka, pada hari yang
ditentukan diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Suryaputra dengan Dewi
Srutikanti. Prabu Baladewa dan Prabu Puntadewa turut menjadi saksi atas pernikahan ini
dan mereka ikut memuji keikhlasan hati Raden Kurupati.
Setelah upacara pernikahan selesai, Raden Kurupati memboyong pasangan
pengantin tersebut menuju Kerajaan Hastina untuk mengikuti upacara ngunduh mantu.
Sesampainya di sana, ia menjelaskan semuanya dan meminta Prabu Dretarastra agar
mengukuhkan Raden Suryaputra sebagai adipati Awangga yang baru. Prabu Dretarastra
menyetujui keinginan putranya itu dan juga berterima kasih atas keberhasilan Raden
Suryaputra menumpas pemberontakan Prabu Kalakarna.
Demikianlah, Raden Suryaputra pun dilantik sebagai adipati di Awangga
menggantikan Prabu Kalakarna, sedangkan Adipati Adirata kembali memimpin Kadipaten
Petapralaya. Sebagai adipati yang baru, Raden Suryaputra pun memakai nama aslinya
sesuai penjelasan Batara Surya, yaitu Adipati Karna Basusena. Adapun Arya Adimanggala
diangkat sebagai patih, memimpin para punggawa Awangga.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Kisah perkawinan Raden Radeya dengan Dewi Srutikanti menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 694 yang
ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang
ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”. Sementara itu, kisah Raden Setyaki
berguru kepada Raden Arjuna saya ambil dari kitab Mahabharata.
KITAB WAYANG PURWA

NARAYANA KEMBANG
Kisah ini menceritakan perkawinan kedua Raden Narayana dengan sepupunya, yaitu
Dewi Rukmini. Dalam kisah ini saya mencoba membuat pendekatan bahwa semua istri
Raden Narayana (kelak bergelar Prabu Kresna) adalah titisan para istri Batara Wisnu.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, serta
rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 November 2016
Heri Purwanto

Raden Narayana

DEWI JEMBAWATI MINTA DIMADU DENGAN DEWI RUKMINI DAN DEWI SETYABOMA
Raden Narayana sudah tiga bulan ini menjalani pengasingan di Hutan Banjarpatoman
bersama sang istri, yaitu Dewi Jembawati. Hukuman tersebut dijatuhkan oleh Prabu
Baladewa atas perbuatan Raden Narayana yang mengacau keamanan di wilayah Kerajaan
Mandura sebagai begal. Meskipun Prabu Baladewa paham bahwa adiknya menjadi begal
untuk merampok para pejabat korup sisa-sisa pengikut Adipati Kangsa dan membagi-
bagikan harta jarahannya kepada rakyat miskin, namun hukum negara harus tetap
ditegakkan. Untuk itu, Prabu Baladewa dengan terpaksa menjatuhkan hukuman buang
kepada sang adik agar menjadi contoh bagi segenap penduduk Kerajaan Mandura.
Demikianlah, Raden Narayana menjalani hukuman buang tersebut bersama Dewi
Jembawati yang setia menemaninya. Hingga pada suatu malam, Dewi Jembawati mimpi
dirinya berada dalam wujud asli, yaitu Batari Srilaksmi, di mana ia bertemu dengan adik dan
sepupunya, yang bernama Batari Srilaksmita dan Batari Sri Satyawarna. Ketiga bidadari
tersebut adalah cucu Sanghyang Pancaresi yang semuanya dinikahi Batara Wisnu.
Batari Srilaksmi dan Batari Srilaksmita adalah putri Batara Wiksmaka. Mereka memiliki
adik laki-laki bernama Batara Laksmanasadu. Dulu di zaman kuno Batara Wisnu menitis
kepada Prabu Sri Rama, Batara Laksmanasadu menitis kepada Raden Lesmana,
sedangkan Batari Srilaksmi bersama Batari Sri Wedawati menitis kepada Rakyanwara
Sinta. Kini Batara Wisnu menitis belah kepada Raden Narayana dan Raden Permadi,
sedangkan Batara Laksmanasadu menitis kepada Prabu Baladewa dan Raden Permadi
juga, serta Batari Srilaksmi menitis kepada Dewi Jembawati. Adapun Batari Srilaksmita juga
ikut menyusul lahir ke dunia dengan menitis kepada Dewi Rukmini, putri Prabu Bismaka di
Kerajaan Kumbina.
KITAB WAYANG PURWA

Madu yang kedua bernama Batari Sri Satyawarna adalah putri Batara Satya. Karena
Batara Satya adalah adik Batara Wiksmaka, maka Batari Sri Satyawarna adalah sepupu
Batari Srilaksmi, Batari Srilaksmita, dan Batara Laksmanasadu. Saat ini Batari Sri
Satyawarna juga telah lahir ke dunia dengan menitis kepada Dewi Setyaboma, putri Prabu
Setyajit di Kerajaan Lesanpura.
Dalam mimpi tersebut, Batari Srilaksmita dan Batari Sri Satyawarna mengaku ingin
berkumpul kembali dengan Batara Wisnu dan Batari Srilaksmi seperti dulu saat masih
berada di Kahyangan Utarasegara. Maka, begitu terbangun dari tidurnya, Dewi Jembawati
segera meminta Raden Narayana agar menikah lagi, mencarikan madu untuknya. Ia
meminta agar sang suami menikahi kedua sepupunya, yaitu Dewi Rukmini dan Dewi
Setyaboma.
Raden Narayana merasa heran karena pada umumnya perempuan menolak dimadu,
tetapi Dewi Jembawati justru ingin suaminya menikah lagi dengan dua perempuan
sekaligus. Dewi Jembawati menjawab Raden Narayana sebaiknya tidak perlu menutup-
nutupi lagi, bahwa sesungguhnya Raden Narayana sudah mengetahui kalau Dewi Rukmini
dan Dewi Setyaboma adalah jodohnya.
Raden Narayana tersenyum membenarkan, bahwa sejak lama ia memang sudah tahu
kalau kedua sepupunya itu adalah titisan kedua istrinya di kahyangan. Namun, ia menunggu
izin dari Dewi Jembawati sebagai titisan Batari Srilaksmi, yang merupakan istri tertua. Jika
memang Dewi Jembawati sudah mengizinkan demikian, maka Raden Narayana akan
mengatur siasat untuk bisa menikahi Dewi Rukmini terlebih dahulu, baru kemudian Dewi
Setyaboma.

DEWI SUMBADRA MENGUNJUNGI HUTAN BANJARPATOMAN


Tidak lama kemudian, datanglah adik Raden Narayana, yaitu Dewi Sumbadra yang
diantar Arya Udawa. Dewi Sumbadra ini juga titisan bidadari, yaitu Batari Sri Wedawati.
Namun, ia ditakdirkan menjadi jodoh Raden Permadi, yaitu titisan setengah Batara Wisnu
yang lain, bukan sebagai jodoh Raden Narayana.
Dewi Sumbadra datang untuk mengabarkan bahwa hari ini sang kakak sulung, yaitu
Prabu Baladewa beserta permaisuri Dewi Erawati telah berangkat menuju Kerajaan
Kumbina untuk menghadiri undangan sang paman, yaitu Prabu Bismaka. Prabu Baladewa
diundang sebagai saksi pernikahan Dewi Rukmini yang dilamar banyak raja dan pengeran.
Selain mengundang Prabu Baladewa, kabarnya Prabu Bismaka juga mengundang
keponakan yang lain, yaitu Prabu Puntadewa dan Raden Bratasena dari Kerajaan Amarta.
Adapun paman yang lain, yaitu Prabu Setyajit raja Lesanpura juga diundang hadir.
Dewi Sumbadra bercerita bahwa banyak raja dan pangeran melamar Dewi Rukmini
sebagai istri. Prabu Bismaka merasa bingung menentukan pilihan. Demi mengatasi
masalah itu, Raden Rukmaka adik Dewi Rukmini mengadakan sayembara tanding.
Barangsiapa bisa mengalahkan dirinya, maka orang itu berhak menikah dengan sang
kakak.
Raden Narayana menanggapi bahwa Raden Rukmaka memang memiliki kesaktian
tinggi, namun sayang orangnya sangat sombong dan angkuh. Orang yang sombong seperti
dia mudah ditemukan celah kelemahannya, sehingga sayembara tanding untuk
mendapatkan Dewi Rukmini dapat dimenangkan oleh siapa saja yang bisa jadi bukan
jodohnya.
Raden Narayana pun menemukan akal. Ia menitip pesan kepada Dewi Sumbadra agar
disampaikan kepada Dewi Rukmini. Jika nanti ada orang yang bisa mengalahkan Raden
Rukmaka, maka Dewi Rukmini jangan langsung mau menjadi istrinya. Orang itu terlebih
KITAB WAYANG PURWA

dahulu harus bisa menjelaskan makna “sejatining lanang lan sejatining wadon” (sejatinya
laki-laki dan sejatinya perempuan). Jika orang itu mampu, barulah dia boleh memperistri
Dewi Rukmini. Demikian pesan Raden Narayana.
Dewi Sumbadra menerima tugas tersebut dan segera mohon pamit dengan diantarkan
Arya Udawa.

PRABUANOM JAKAPITANA HENDAK MENIKAHKAN RESI DRUNA


Sementara itu, Raden Kurupati yang beberapa waktu lalu gagal menikah dengan Dewi
Srutikanti, kini telah melamar putri Prabu Salya yang lain, yaitu Dewi Banuwati. Namun,
Dewi Banuwati selalu menunda-nunda dalam menerima pinangan tersebut, dengan alasan
masih ingin menyelesaikan kain rimong batik yang ditulisnya sendiri.
Sambil menunggu Dewi Banuwati menyatakan bersedia menikah, Raden Kurupati pun
mendesak sang ayah agar mewariskan takhta Hastina kepadanya. Berkat bujukan Patih
Sangkuni, akhirnya Prabu Dretarastra pun mengumumkan putra sulungnya tersebut
sebagai raja muda. Maka, bersamaan dengan pelantikan Adipati Karna menjadi pemimpin
Awangga, Prabu Dretarastra pun melantik pula Raden Kurupati sebagai raja muda di
Hastina, bergelar Prabuanom Jakapitana. Setelah pelantikan tersebut, Prabu Dretarastra
dan Dewi Gandari kembali menetap di kota lama, yaitu Gajahoya.
Demikianlah, Prabuanom Jakapitana kini menduduki takhta Kerajaan Hastina sebagai
raja muda. Kelak setelah menikah dengan Dewi Banuwati, barulah ia dilantik sebagai raja
sepenuhnya. Berita tentang sayembara tanding di Kerajaan Kumbina yang memperebutkan
Dewi Rukmini pun sampai juga di Kerajaan Hastina. Patih Sangkuni menyarankan agar
Prabuanom Jakapitana mengikuti sayembara tersebut. Namun, sang keponakan menolak
karena sudah terlanjur meminang Dewi Banuwati. Jika, Prabuanom Jakapitana menikah
dengan Dewi Rukmini, maka Prabu Salya akan kecewa dan memutuskan hubungan
persekutuan dengan Kerajaan Hastina.
Patih Sangkuni menemukan akal untuk bisa memenangkan tiga persekutuan
sekaligus, yaitu menjadikan Resi Druna sebagai suami Dewi Rukmini. Pernikahan ini akan
semakin mengikat Resi Druna sebagai pelindung Kerajaan Hastina, begitu pula Prabu
Bismaka akan langsung menjadi sekutu para Kurawa. Selain itu, Prabuanom Jakapitana
juga tetap bisa menjaga hubungan baik dengan Prabu Salya di Mandraka.
Prabuanom Jakapitana setuju pada usulan Patih Sangkuni. Maka, Resi Druna pun
diundang hadir dari Padepokan Sokalima. Setelah sang guru datang, Prabuanom
Jakapitana menyampaikan maksudnya agar Resi Druna meminang Dewi Rukmini, putri
Kerajaan Kumbina. Soal sayembara tanding melawan Raden Rukmaka, cukup para Kurawa
saja yang maju. Pernikahan ini merupakan bukti kecintaan Prabuanom Jakapitana kepada
sang guru yang telah mendidiknya dengan baik. Patih Sangkuni juga ikut membujuk Resi
Druna agar menerima permintaan tersebut, karena Dewi Krepi (istri Resi Druna) sudah
meninggal. Resi Druna masih cukup pantas apabila menikah lagi dengan perempuan lain
yang jauh lebih muda darinya.
Resi Druna merasa tersanjung. Sebenarnya ia paham bahwa Prabuanom Jakapitana
ingin mengikat kesetiaannya agar tetap menjadi pelindung Kerajaan Hastina. Namun, di sisi
lain ia juga merindukan kehadiran seorang istri setelah Dewi Krepi meninggal. Resi Druna
memang seorang pendeta tua sakti dan berwawasan luas, di balik sikapnya yang lucu dan
suka bercanda. Namun bagaimanapun juga, ia tetaplah laki-laki yang punya gairah pada
wanita cantik apalagi masih muda. Maka, begitu mendengar Prabuanom Jakapitana
memintanya untuk meminang Dewi Rukmini yang seumuran dengan anaknya, ia langsung
KITAB WAYANG PURWA

menyatakan bersedia. Prabuanom Jakapitana dan Patih Sangkuni pun gembira dan segera
mempersiapkan rombongan untuk berangkat menuju Kerajaan Kumbina.

RESI DRUNA MENGALAHKAN RADEN RUKMAKA


Prabu Bismaka raja Kumbina adalah adik kandung Prabu Basudewa dan Dewi Kunti.
Sewaktu muda ia bernama Aryaprabu Rukma, yang menikah dengan bidadari bernama
Batari Arumbini. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu perempuan dan laki-laki.
Yang perempuan bernama Dewi Rukmini, sedangkan yang laki-laki diberi nama Raden
Rukmaka.
Berita kecantikan Dewi Rukmini tersebar ke mana-mana. Banyak raja dan pangeran
datang untuk meminangnya. Raden Rukmaka yang berwatak sombong memanfaatkan hal
ini untuk memamerkan ilmu kesaktiannya. Ia pun mengadakan sayembara tanding,
barangsiapa mampu mengalahkan dirinya, maka orang itu boleh memperistri kakaknya.
Sayembara pun digelar di atas gelanggang. Prabu Bismaka, Dewi Arumbini, dan Dewi
Rukmini menyaksikan dari bangku utama. Para raja undangan, antara lain Prabu Setyajit
dari Lesanpura, Prabu Baladewa dari Mandura, dan Prabu Puntadewa dari Amarta juga ikut
sebagai saksi dengan pendamping masing-masing.
Raden Rukmaka tampak bertarung dengan lincah di atas gelanggang. Satu persatu
raja dan pangeran dikalahkannya, dan tidak sedikit pula yang dibuat malu di depan umum.
Hingga akhirnya rombongan dari Kerajaan Hastina pun datang, dengan mendaftarkan Resi
Druna sebagai pelamar Dewi Rukmini.
Raden Dursasana maju sebagai wakil sang guru untuk menghadapi Raden Rukmaka.
Perang tanding seru terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya Raden Dursasana pun
terdesak mundur. Raden Rukmaka lalu menantang para Kurawa yang lain. Raden Srutayu
pun maju namun ia juga kalah seperti kakaknya. Begitu pula dengan Raden Kartawarma,
Raden Durmuka, Raden Durjaya, Raden Durmagati, Raden Citraksa, Raden Citraksi, dan
juga Bambang Aswatama putra Resi Druna, semuanya kalah melawan Raden Rukmaka.
Adipati Karna menawarkan diri kepada Prabuanom Jakapitana untuk maju
menghadapi kesombongan Raden Rukmaka. Namun, Resi Druna tidak setuju karena
Adipati Karna berwajah tampan. Ia takut Dewi Rukmini justru jatuh cinta kepada adipati
Awangga tersebut, dan bukan kepada dirinya.
Usai berkata demikian, Resi Druna segera naik ke atas gelanggang menantang Raden
Rukmaka. Raden Rukmaka pun tertawa mengejeknya sebagai tua-tua keladi, orang tua
yang tidak tahu diri, menginginkan perempuan yang lebih pantas menjadi anaknya. Melihat
sikap putranya, Prabu Bismaka segera turun ke gelanggang untuk menasihati Raden
Rukmaka agar menghormati Resi Druna yang merupakan guru banyak kesatria. Namun,
Raden Rukmaka tidak peduli pada teguran sang ayah. Ia tetap mengejek Resi Druna
sebagai guru yang gagal, karena terbukti para Kurawa tidak ada yang becus melawan
dirinya. Mendengar itu, hampir saja Raden Bratasena maju untuk melabrak Raden
Rukmaka, tetapi dapat dicegah oleh Prabu Puntadewa.
Resi Druna sambil bercanda menanggapi ejekan Raden Rukmaka. Ia ganti mengejek
Raden Rukmaka sebagai kesatria bau kencur yang hanya bisa membual padahal tidak
punya kepandaian apa-apa. Resi Druna berkata pula bahwa Raden Rukmaka dapat ia
kalahkan hanya dengan satu tangan. Orang yang sombong seperti Raden Rukmaka sangat
mudah tersinggung dan ia pun langsung maju menyerang Resi Druna. Namun, hanya dalam
sekali pukul, pemuda itu langsung jatuh tersungkur dan pingsan di bawah kaki lawannya.
Para Kurawa bersorak gembira memuji kemenangan guru mereka.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI RUKMINI MEMINTA RESI DRUNA MENJELASKAN MAKNA SEJATINYA LAKI-


LAKI DAN PEREMPUAN
Prabu Bismaka menyambut kemenangan Resi Druna meski dalam hati kurang suka
memiliki menantu pendeta tua buruk rupa macam dia. Sungguh kebetulan, Dewi Rukmini
berkata bahwa ia mempunyai sayembara sendiri di luar sayembara tanding yang digelar
adiknya, yaitu Resi Druna harus bisa menjelaskan makna sejatinya laki-laki dan sejatinya
perempuan. Jika Resi Druna berhasil, barulah Dewi Rukmini bersedia menjadi istrinya.
Prabuanom Jakapitana marah-marah menuduh Prabu Bismaka ingkar janji dan
mempermainkan gurunya. Prabu Bismaka menjawab hal semacam ini wajar dan pernah
terjadi di zaman kuno, di mana Prabu Sumali raja Alengka mencarikan jodoh untuk putrinya
dengan mengadakan sayembara tanding melawan Arya Jambumangli, namun sang putri
yang bernama Dewi Sukesi juga memiliki sayembara sendiri, yaitu ingin mendapat pelajaran
Aji Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Resi Druna menasihati Prabuanom Jakapitana agar bersabar, karena ia sanggup
memenuhi permintaan Dewi Rukmini tersebut. Resi Druna kemudian berkata bahwa yang
dimaksud dengan laki-laki sejati adalah pria yang mampu memenuhi kewajibannya, yaitu
“ngayomi, ngayemi, ngayani”. Maksudnya ialah, laki-laki tersebut mampu melindungi
pasangannya, mampu menenteramkan hati pasangannya, dan mampu mencukupi
kebutuhan pasangannya. Ketiga syarat tersebut ada pada Resi Druna. Sementara itu,
makna dari perempuan sejati ada pada diri Dewi Rukmini, yang cantik lahir maupun
batinnya. Seorang wanita disebut sempurna tidak cukup hanya berparas cantik dan
menyenangkan saat dipandang, tetapi dia juga harus memiliki watak sabar, ikhlas dalam
melayani pasangan, serta baik budi pekertinya. Kecantikan lahir saja tidak cukup, tetapi
harus ditunjang pula dengan kecantikan batin.
Prabu Bismaka bertanya kepada para saksi apakah jawaban Resi Druna sudah benar.
Prabu Setyajit, Prabu Baladewa, Prabu Puntadewa, dan Raden Bratasena menjawab
benar. Mendengar itu, Dewi Rukmini gemetar dan segera lari masuk ke dalam kaputren.
Prabu Bismaka pun mengajak para tamu untuk beristirahat menikmati hidangan. Namun,
Resi Druna tidak tertarik dan lebih suka mengejar Dewi Rukmini untuk dapat memikat
hatinya.

RADEN NARAYANA MENEMUI DEWI RUKMINI


Dewi Rukmini masuk ke dalam kaputren di mana Dewi Sumbadra telah menunggu.
Kepada sepupunya itu, ia marah-marah merasa telah dijerumuskan. Dewi Sumbadra tadi
datang dan langsung masuk ke kaputren menemui Dewi Rukmini untuk menyampaikan
pesan dari Raden Narayana. Pesan tersebut berbunyi Dewi Rukmini harus meminta sang
pemenang sayembara tanding untuk menjelaskan makna sejatinya pria dan sejatinya
perempuan. Ternyata pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah oleh Resi Druna.
Padahal, jelas-jelas Dewi Rukmini mencintai Raden Narayana dan berharap kakak
sepupunya itulah yang datang untuk memenangkan sayembara. Tak disangka, kini ia harus
menjadi istri seorang pendeta tua buruk rupa bernama Resi Druna.
Dewi Sumbadra menjelaskan bahwa kakaknya tidak mungkin salah memberikan
pesan. Ia pun berusaha menghibur Dewi Rukmini, tetapi sepupunya itu terlanjur kesal dan
tidak mau bicara. Pada saat itulah Raden Narayana muncul sambil menembangkan lagu-
lagu asmara. Ia meminta Dewi Sumbadra pergi untuk memberikan kesempatan baginya
menghibur Dewi Rukmini. Sang adik pun menurut. Setelah Dewi Sumbadra pergi, barulah
Raden Narayana merayu Dewi Rukmini agar mau berbicara dengannya.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Rukmini akhirnya luluh hatinya melihat sikap Raden Narayana yang tulus
mencintainya. Namun, ia tetap marah menuduh Raden Narayana telah menjerumuskan
dirinya sehingga kini menjadi calon istri Resi Druna. Raden Narayana menjawab hal itu tidak
benar. Resi Druna belum berhasil menerjemahkan kata sejatinya laki-laki dan sejatinya
perempuan. Memang jawaban Resi Druna benar, tetapi tidak tepat sasaran. Yang
ditanyakan adalah makna “sejatinya laki-laki dan sejatinya perempuan”, tetapi Resi Druna
menafsirkan makna “laki-laki sejati dan perempuan sejati”. Jelas ini tidak sesuai.
Dewi Rukmini bertanya bagaimana jawaban yang paling benar. Raden Narayana
menjawab nanti akan ia jelaskan di hadapan banyak orang. Teka teki ini adalah
karangannya. Ini adalah soal penggunaan bahasa, sehingga hanya dirinya yang
mengetahui jawaban paling benar, sedangkan orang lain hanya bisa memberikan tafsir.
Tafsir orang lain bisa bermacam-macam sesuai tingkat pemahaman mereka, tetapi jawaban
yang paling benar ada di tangan Raden Narayana sebagai pembuat teka-teki.
Pada saat itulah Resi Druna muncul untuk merayu Dewi Rukmini. Raden Narayana
segera bersembunyi sambil menyentuh ujung Panah Kesawa dan membaca mantra Aji
Balasrewu. Seketika wujud Raden Narayana pun berubah menjadi seorang raksasa berkulit
hitam legam. Ia meraung membuat Resi Druna terkejut dan lari tunggang langgang
meninggalkan kaputren.

RAKSASA HITAM MENCULIK DEWI RUKMINI


Raksasa hitam penjelmaan Raden Narayana itu segera menggenggam tubuh Dewi
Rukmini dan membawanya kabur. Para Kurawa mencoba menghalangi namun mereka
semua dibuat kocar-kacir oleh amukan si raksasa. Raden Bratasena ikut menghadang.
Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka yang membuat taman sari istana Kumbina
rusak porak-poranda. Raksasa hitam tersebut akhirnya mampu meloloskan diri sambil tetap
menggenggam tubuh Dewi Rukmini.
Si raksasa hitam kemudian dihadang Prabu Puntadewa. Dengan menggunakan kata-
kata lembut penuh kasih, Prabu Puntadewa membuat raksasa itu gemetar dan kembali ke
wujud Raden Narayana. Dengan cekatan, Raden Narayana segera menyambar tubuh Dewi
Rukmini dan pergi menghindari Pandawa nomor satu tersebut.

PARA KURAWA BERUSAHA MEMFITNAH PARA PANDAWA


Prabuanom Jakapitana dan Patih Sangkuni melihat taman sari Kerajaan Kumbina
porak-poranda akibat amukan Raden Bratasena saat bertarung melawan si raksasa hitam.
Mereka segera mengadukan hal ini kepada Prabu Bismaka agar meminta ganti rugi yang
semahal-mahalnya kepada Prabu Puntadewa. Prabu Bismaka paham mereka berniat
memojokkan pihak Pandawa. Maka, dengan santai Prabu Bismaka pun menanggapi bahwa
ia memang sudah bosan melihat taman tersebut yang dianggap sudah kuno, dan berniat
ingin merombaknya. Jika sekarang Raden Bratasena telah merusaknya, itu berarti Prabu
Bismaka tidak perlu bersusah payah mengerahkan orang-orangnya untuk membongkar
taman tersebut, sehingga tinggal ditanami saja.
Prabuanom Jakapitana merasa malu karena usahanya gagal. Namun, Patih Sangkuni
masih mempunyai bahan fitnah yang lain. Ia berusaha meyakinkan Prabu Bismaka bahwa
raksasa hitam yang menculik Dewi Rukmini adalah penjelmaan Raden Permadi si Pandawa
nomor tiga. Dulu saat upacara perkawinan Prabu Baladewa dengan Dewi Erawati di
Kerajaan Mandraka, Raden Permadi menjelma sebagai wanita bernama Endang
Wrediningsih dan menipu banyak orang. Jika sekarang ia menjelma sebagai raksasa hitam,
apa susahnya?
KITAB WAYANG PURWA

Sungguh kebetulan, Raden Permadi datang di istana Kumbina bersama Raden


Setyaki dan para panakawan. Mereka baru saja mendengar kabar bahwa Prabu Bismaka
hendak menikahkan Dewi Rukmini, sehingga memutuskan untuk pergi berkunjung.
Mendengar penuturan Patih Sangkuni tersebut, Prabu Bismaka segera bertanya apa benar
Raden Permadi telah menculik putrinya dengan menyamar sebagai raksasa hitam. Raden
Bratasena ikut mendesak, jika benar adiknya itu adalah pelaku penculikan, maka ia sendiri
yang akan memberikan hukuman. Tetapi jika salah, maka Raden Permadi harus bisa
membersihkan namanya dari segala tuduhan dengan cara menangkap si pelaku yang
sesungguhnya.
Tanpa banyak bicara, Raden Permadi segera menyembah hormat kemudian melesat
pergi mengejar si penculik.

RADEN PERMADI MENANGKAP RADEN NARAYANA PALSU YANG TERCIPTA DARI


BUNGA MELATI
Dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, Raden Permadi berhasil menyusul Raden
Narayana yang menggandeng Dewi Rukmini. Keduanya pun berhadap-hadapan saling
bersiaga. Raden Permadi merasa bimbang karena harus bertarung melawan sepupu yang
sangat ia hormati. Sebaliknya, Raden Narayana juga merasa sayang. Ia pun meminta
kepada Raden Permadi untuk bertanya pada hati nurani, apakah Dewi Rukmini adalah
jodoh untuknya, ataukah jodoh Resi Druna.
Raden Permadi semakin bimbang. Di satu sisi ia mendukung Raden Narayana
menikahi Dewi Rukmini karena menurut firasatnya, mereka berdua memang berjodoh.
Namun, di sisi lain ia harus menjalankan tugas menangkap Raden Narayana demi
membersihkan nama baiknya dari segala fitnah.
Raden Narayana memahami perasaan Raden Permadi. Ia lalu memungut sekuntum
bunga melati yang mengiasi telinganya. Dengan membaca mantra sakti, Raden Narayana
pun mengubah bunga melati tersebut menjadi sosok yang sangat mirip dengannya. Raden
Permadi lalu dimintanya untuk menyerahkan Raden Narayana palsu tersebut kepada Prabu
Bismaka, sedangkan Dewi Rukmini diminta untuk ikut serta. Dewi Rukmini tidak ingin
kembali ke istana, namun Raden Narayana meyakinkannya bahwa ia tetap mengawasi
tanpa menampakkan diri.

RADEN NARAYANA PALSU DIHUKUM MATI


Demikianlah, Raden Permadi telah membawa Raden Narayana palsu beserta Dewi
Rukmini ke hadapan Prabu Bismaka, sedangkan Raden Narayana yang asli mengikuti di
belakang dengan mengerahkan Aji Panglimunan sehingga tidak terlihat oleh semua orang.
Prabuanom Jakapitana, Patih Sangkuni, dan Resi Druna mendesak Prabu Bismaka
untuk menghukum mati Raden Narayana dengan cara dibakar hidup-hidup. Prabu Bismaka
sendiri merasa bimbang. Di satu sisi ia menyukai Raden Narayana, namun di sisi lain ia
harus menegakkan keadilan karena keponakannya itu telah menculik anak gadisnya. Pada
saat itulah Raden Narayana yang asli berbisik di telinga Prabu Bismaka agar menuruti
permintaan Prabuanom Jakapitana, karena sosok yang dihadapkan Raden Permadi
hanyalah tiruan dirinya.
Prabu Bismaka merasa lega. Ia pun menjatuhkan hukuman mati kepada Raden
Narayana palsu. Raden Dursasana dan Raden Kartawarma segera menyeret tubuh Raden
Narayana ke tengah alun-alun dan membakarnya hidup-hidup. Api pun berkobar menyala-
nyala. Setelah padam, jasad Raden Narayana tidak terlihat, yang tampak hanya sekuntum
bunga melati saja.
KITAB WAYANG PURWA

PARA KURAWA PULANG KE HASTINA


Patih Sangkuni menghasut Prabuanom Jakapitana bahwa kejadian ini adalah
rekayasa. Rupanya Prabu Bismaka sudah tahu kalau Raden Narayana yang dibakar tadi
hanyalah penjelmaan kembang melati saja. Prabuanom Jakapitana pun marah-marah
menuduh Prabu Bismaka berbuat tidak adil. Para Kurawa yang lain ikut mengamuk
menuntut keadilan. Melihat pamannya didesak, Raden Bratasena segera maju menerjang
para Kurawa tersebut.
Raden Setyaki ikut maju membantu Raden Bratasena. Pertempuran seru pun terjadi.
Prabuanom Jakapitana membawa gada hendak mengamuk di istana Kumbina. Raden
Bratasena pun mengimbangi dengan membawa gada pula.
Melihat itu, Patih Pragota segera masuk ke dalam istana melapor kepada rajanya.
Mendengar laporan tersebut, Prabu Baladewa sangat marah karena adiknya dihukum mati
di tengah alun-alun. Ia pun keluar dan melabrak para Kurawa. Melihat yang muncul adalah
Prabu Baladewa, Prabuanom Jakapitana merasa segan dan memerintahkan
rombongannya untuk pulang ke Hastina.

RADEN NARAYANA MENJELASKAN MAKNA SEJATINYA LAKI-LAKI DAN


PEREMPUAN
Prabu Baladewa marah-marah menuntut keadilan kepada Prabu Bismaka yang telah
menghukum mati Raden Narayana. Pada saat itulah Raden Narayana yang asli muncul
menampakkan diri dan menjelaskan bahwa yang dibunuh tadi hanyalah tiruan dirinya saja.
Prabu Baladewa seketika luluh dan segera memeluk adiknya itu.
Prabu Bismaka berkata bahwa ia sebenarnya senang jika Raden Narayana menjadi
menantunya, sehingga tidak perlu susah payah melakukan penculikan seperti tadi. Raden
Narayana meminta maaf karena dirinya kini berstatus sebagai orang hukuman, sehingga
tidak berani mengikuti sayembara secara terang-terangan. Mendengar itu, Prabu Baladewa
pun menetapkan bahwa mulai hari ini sang adik dinyatakan bebas dan tidak lagi menjadi
orang buangan.
Raden Narayana berterima kasih. Sebagai orang merdeka, kini ia berhak mengikuti
sayembara menafsirkan makna sejatinya laki-laki dan perempuan. Dengan disaksikan para
hadirin, Raden Narayana pun berkata bahwa apa yang diutarakan Resi Druna tadi memang
sudah benar tetapi kurang tepat. Yang disampaikan Resi Druna adalah makna “laki-laki
sejati dan perempuan sejati”, bukan makna “sejatinya laki-laki dan sejatinya perempuan”.
Menurut Raden Narayana, sejatinya laki-laki dan perempuan adalah pasangan hidup,
kawan hidup. Laki-laki dan perempuan memiliki sifat dan bentuk tubuh yang berbeda,
namun hendaknya itu untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menguasai. Laki-laki
adalah pemimpin rumah tangga, dan perempuan adalah pendamping laki-laki. Laki-laki
tidak berada di atas perempuan, sedangkan perempuan tidak berada di bawah laki-laki.
Itulah sebabnya ada dongeng yang mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang
rusuk laki-laki, bukan tulang kaki, juga bukan tulang kepala. Makna dari dongeng ini ialah,
wanita diciptakan sebagai pendamping pria, bukan sebagai budak yang diinjak-injak, juga
bukan sebagai majikan yang dijunjung tinggi.
Selama ini ada budaya yang menganggap wanita sebagai pelayan laki-laki. Wanita
harus siap melayani laki-laki kapan saja, karena ini adalah pintu surga bagi kaum wanita.
Selama ini wanita hanya dianggap sebagai “kanca wingking”, atau “kaum pengikut”. Wanita
hanya dianggap sebagai ladang untuk bertanam. Laki-laki dengan sesuka hati bertanam di
mana-mana. Di sana bertanam, di sini bertanam. Setelah si anak lahir, dengan seenaknya
laki-laki menyerahkan pendidikan kepada istrinya. Laki-laki berdalih bahwa dirinya sudah
KITAB WAYANG PURWA

sibuk mencari nafkah, sehingga pendidikan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab
perempuan. Demikianlah wanita hanya dianggap sebagai pelayan pria saja. Padahal,
wanita adalah ibu bagi kaum pria. Laki-laki berasal dari rahim perempuan. Merendahkan
derajat kaum wanita sama artinya dengan merendahkan derajat seorang ibu.
Raden Narayana menegaskan, pelayanan harus datang dari dua arah. Jika pria ingin
wanita selalu siap melayaninya, maka ia juga harus selalu siap melayani wanita. Laki-laki
tidak boleh ingin menang sendiri. Dunia ini diciptakan bukan untuk kaum laki-laki saja, tapi
untuk semua pihak. Kebahagiaan akan tercipta apabila kedua pihak saling melayani dan
tidak saling menuntut untuk dilayani. Demikianlah, sejatinya laki-laki dan sejatinya
perempuan diciptakan untuk berbeda, sama-sama tidak sempurna, tetapi justru dari situ
mereka bisa saling melengkapi, sehingga terjalin kerja sama yang indah untuk terciptanya
kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang. Itulah kebahagiaan yang sejati, bukan
kebahagiaan semu.

RADEN RUKMAKA MENANTANG RADEN NARAYANA


Prabu Bismaka dan para hadirin lainnya bertepuk tangan memuji penjabaran Raden
Narayana. Hanya satu orang yang tidak ikut bergembira, yaitu Raden Rukmaka. Ia berkata
bahwa Raden Narayana boleh menjadi suami bagi kakaknya, tetapi terlebih dahulu harus
bisa mengalahkan dirinya. Sejak awal ia sudah mengadakan sayembara tanding, dan
sayembara inilah yang harus dimenangkan secara jantan, bukannya ceramah panjang lebar
seperti tadi.
Raden Narayana pun menerima tantangan Raden Rukmaka. Jika tadi Raden
Rukmaka dikalahkan Resi Druna hanya dengan satu tangan, maka Raden Narayana
sanggup mengalahkannya tanpa menggunakan tangan dan kaki. Raden Rukmaka yang
sombong langsung merasa tersinggung. Ia pun mengajak Raden Narayana naik ke atas
gelanggang. Sesampainya di sana, ia langsung menyerang sepupunya itu. Namun, begitu
pukulannya hampir mendarat satu jengkal di atas kepala Raden Narayana, tiba-tiba
tubuhnya gemetar dan ia pun jatuh terkulai tak berdaya.
Prabu Bismaka meminta putranya untuk menyerah kalah saja daripada
mempermalukan diri seperti itu. Raden Rukmaka menurut. Ia pun meminta maaf dan
mengaku kalah. Raden Narayana menerima pengakuannya dan ia pun membebaskan
sepupunya itu sehingga bisa bangkit kembali.

PERKAWINAN RADEN NARAYANA DENGAN DEWI RUKMINI


Pada hari yang ditentukan, Prabu Bismaka menggelar upacara pernikahan antara
Raden Narayana dengan Dewi Rukmini. Dewi Jembawati sang istri pertama ikut hadir dan
meminta Dewi Rukmini untuk tinggal bersama di Hutan Banjarpatoman. Namun, Prabu
Baladewa mengatakan bahwa Raden Narayana sudah bukan lagi orang hukuman,
sehingga mereka boleh tinggal di istana Mandura.
Setelah upacara selesai, Prabu Setyajit menemui Raden Permadi untuk berterima
kasih kepadanya karena selama ini telah menjadi guru pembimbing bagi Raden Setyaki.
Raden Permadi pun menjawab ini sudah menjadi kewajibannya sebagai saudara tua yang
lahir lebih dulu. Pada hari itu, Prabu Setyajit ingin mengajak Raden Setyaki pulang ke istana
Lesanpura, setelah beberapa bulan putranya itu pergi berkelana.
Raden Permadi dan Raden Setyaki pun saling mengucapkan salam perpisahan
setelah beberapa bulan ini mereka selalu bersama. Raden Permadi mempersilakan Raden
Setyaki bebas berkunjung kapan saja ke negeri Amarta. Sebaliknya, Raden Setyaki berjanji
KITAB WAYANG PURWA

akan selalu membantu para Pandawa apabila menghadapi masalah apa saja. Demikianlah,
keduanya pun berpisah dan kembali menuju negeri masing-masing.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah perkawinan Raden Narayana dengan Dewi Rukmini menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 696 yang
ditandai dengan sengkalan “Hoyaging gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717
yang ditandai dengan sengkalan “Swaraning janma gora”.
KITAB WAYANG PURWA

NARAYANA KRIDHA
Kisah ini menceritakan perkawinan ketiga Raden Narayana dengan sepupunya, yaitu
Dewi Setyaboma, serta bagaimana awal mula ia mendapatkan takhta Kerajaan
Dwarawati, dan menjadi raja bergelar Prabu Batara Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Nartosabdo, serta pentas Ki Hari Bawonocarito, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 25 November 2016
Heri Purwanto

SILSILAH PRABU KUNJARAKRESNA DAN PRABU YUDAKALA KRESNA


Tersebutlah dua raja raksasa kakak beradik yang sama-sama berkulit hitam. Sang
kakak bernama Prabu Kunjarakresna dari Kerajaan Dwarawatiprawa, sedangkan si adik
bernama Prabu Yudakala Kresna dari Kerajaan Dwarakawestri. Pada suatu hari kedua
raksasa ini memanggil panakawan Kyai Togog dan Bilung, untuk bertanya apakah benar
mereka masih keturunan Batara Wisnu.
Kyai Togog pun bercerita, dahulu kala setelah menumpas Prabu Watugunung raja
Gilingwesi, Batara Wisnu diangkat menjadi raja Medangkamulan, bergelar Prabu Wisnupati.
Salah seorang putranya yang bernama Batara Arnapurna dihasut Batara Kala sehingga
memberontak. Prabu Wisnupati marah dan mengutuk Batara Arnapurna menjadi raksasa,
bergelar Resi Sudramurti. Kemudian Resi Sudramurti menikah dengan Dewi Mastura, putri
Resi Turila. Dari perkawinan itu lahirlah tiga orang putra yang semuanya berwujud raksasa,
bernama Ditya Simparawan, Ditya Triwinggati, dan Ditya Wisnungkara.
Ditya Wisnungkara si bungsu adalah titisan Batara Wisnu sendiri yang akhirnya
meruwat Resi Sudramurti kembali menjadi dewa. Ditya Wisnungkara lalu mengabdi kepada
Prabu Danapati raja Lokapala sebagai brahmana. Ia akhirnya meninggal di tangan Prabu
Rahwana raja Alengka saat peristiwa Lokapala Bedah.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Wisnungkara meninggalkan seorang putra bernama Ditya Mayangkara, yang


mengabdi kepada Prabu Pulaswa raja Medangkumuwung, cucu Batara Kala. Ditya
Mayangkara ini meninggal dihukum mati Prabu Pulaswa karena gagal menangkap Dewi Sri
dan Raden Sadana, putra Prabu Sri Mahapunggung raja Purwacarita.
Ditya Mayangkara meninggalkan seorang putra yang setelah dewasa berhasil
mendirikan negara Dwarawatiprawa, bergelar Prabu Kalakresna. Kemudian Prabu
Kalakresna digantikan putranya yang bernama Prabu Mangkara. Setelah tua, Prabu
Mangkara menjadi pendeta dan menyerahkan takhta kepada putranya yang bernama Prabu
Kunjanakresna. Kerajaan Dwarawatiprawa kemudian dipindahkan ke Tirtakadasar.
Kerajaan Tirtakadasar akhirnya runtuh oleh serangan Resi Sakra, yang juga keturunan
Batara Wisnu. Bagawan Mangkara tewas dalam serangan itu, sedangkan Prabu
Kunjanakresna melarikan diri dan diambil menantu oleh Prabu Kalakanda raja
Manimantaka, sehingga bisa menjadi raja di sana.
Prabu Kunjanakresna dan pasukan Manimantaka menyerang Kahyangan Suralaya
dan akhirnya tewas di tangan Bambang Sakri, kesatria dari Gunung Saptaarga yang saat
itu masih berusia lima belas tahun. Kerajaan Manimantaka lalu diwarisi adik ipar Prabu
Kunjanakresna, yaitu Patih Hiranyaka. Tokoh bernama Prabu Hiranyaka ini kemudian tewas
di tangan Prabu Basukiswara saat menyerang Kerajaan Wirata. Kerajaan Manimantaka lalu
diwarisi menantunya yang bernama Prabu Mityakarda, dan diganti nama menjadi Kerajaan
Ima-imantaka. Sementara itu, menantu Prabu Hiranyaka yang lain, yaitu Prabu
Mercukalakresna, yang juga putra Prabu Kunjanakresna, membangun kembali Kerajaan
Dwarawatiprawa.
Prabu Mercukalakresna ini digantikan putranya yang bernama Prabu Kresnapujangga.
Kemudian Prabu Kresnapujangga digantikan Prabu Gorakresna sebagai raja
Dwarawatiprawa. Lalu Prabu Gorakresna digantikan putranya yang bernama Prabu
Kresnadanawa. Prabu Kresnadanawa memiliki tiga orang putra bernama Prabu
Kunjarakresna, Prabu Yudakala Kresna, yang keduanya berwujud raksasa hitam, serta
Ditya Kunjanawresa yang berwujud raksasa berkepala kuda.
Prabu Kunjarakresna menjadi raja Dwarawatiprawa, Prabu Yudakala Kresna menjadi
raja Dwarakawestri, sedangkan Ditya Kunjanawresa menjadi senapati mereka. Demikianlah
Kyai Togog menceritakan silsilah leluhur mereka bertiga.

PRABU KUNJARAKRESNA INGIN MEMPERISTRI BIDADARI


Prabu Kunjarakresna berterima kasih atas penuturan Kyai Togog. Kini jelas sudah
bahwa dirinya memang benar keturunan Batara Wisnu, sehingga pantas apabila ia memiliki
permaisuri bidadari kahyangan sebagai pendamping. Maka, ia pun memutuskan untuk
melamar Batari Wilotama ke Kahyangan Suralaya.
Kyai Togog menasihati Prabu Kunjarakresna agar tidak perlu meniru nasib leluhurnya,
yaitu Prabu Kunjanakresna yang dulu pernah tewas di kahyangan karena menginginkan
Batari Supraba. Prabu Kunjarakresna marah-marah menolak nasihat tersebut. Ia merasa
ilmu kesaktiannya jauh lebih tinggi daripada leluhurnya, sehingga tidak perlu takut
menghadapi para dewa. Seperti biasa, Kyai Togog dan Bilung pun hanya terdiam karena
raja mereka lebih menuruti hawa nafsu daripada nasihat baik.
Prabu Kunjarakresna lalu bersiap hendak pergi ke Kahyangan Suralaya, namun
dicegah sang adik. Prabu Yudakala Kresna menawarkan diri biar ia saja yang berangkat
melamar Batari Wilotama. Ini merupakan darma bakti seorang adik kepada kakaknya. Prabu
Kunjarakresna berterima kasih. Ia pun merestui adiknya itu semoga mendapat hasil.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, Prabu Yudakala Kresna pun berangkat menuju Kahyangan Suralaya


dengan ditemani Ditya Kunjanawresa dan pasukan raksasa Dwarakawestri.

PRABU BALADEWA MENGUNDANG DEWI SETYABOMA DAN RADEN SETYAKI


Sementara itu di Kerajaan Mandura, Prabu Baladewa dihadap kedua adiknya, yaitu
Raden Narayana dan Dewi Bratajaya. Hadir pula Patih Pragota dan Arya Prabawa dalam
pertemuan tersebut. Hari itu Prabu Baladewa tidak membahas tentang masalah
pemerintahan, tetapi membahas rencana Raden Narayana yang ingin menikahi sepupunya,
yaitu Dewi Setyaboma putri Prabu Setyajit.
Prabu Baladewa bertanya mengapa Raden Narayana ingin menikah lagi, padahal
sudah memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini. Raden Narayana
menjawab bahwa ia ingin menikahi Dewi Setyaboma bukan lantaran untuk menuruti hawa
nafsu, melainkan demi menggenapkan pendamping hidup yang telah ditakdirkan menjadi
jodohnya.
Raden Narayana pun bercerita bahwa dirinya adalah titisan Batara Wisnu yang lahir
ke dunia untuk menumpas angkara murka. Ketiga istrinya di Kahyangan Utarasagara juga
ikut lahir sebagai manusia, yaitu Batari Srilaksmi menjadi Dewi Jembawati, Batari
Srilaksmita menjadi Dewi Rukmini, sedangkan Batari Sri Setyawarna menjadi Dewi
Setyaboma. Raden Narayana ingin menikah dengan tiga perempuan tersebut sama sekali
bukan karena mengumbar nafsu, tetapi untuk mengumpulkan ketiga jodohnya,
sebagaimana yang pernah mereka rencanakan saat berada di kahyangan dulu.
Prabu Baladewa setengah percaya, setengah tidak. Raden Narayana pun
menjelaskan bahwa Prabu Baladewa juga titisan dewa, yaitu Batara Basuki dan setengah
Batara Laksmanasadu. Bedanya, Raden Narayana masih ingat kehidupan di kahyangan,
sedangkan Prabu Baladewa sama sekali tidak ingat.
Prabu Baladewa tidak mau berpikir rumit. Yang ia tahu saat ini dirinya adalah raja
Mandura, bukan dewa. Yang ia tahu saat ini Raden Narayana meminta bantuan kepadanya
untuk bisa menikah dengan Dewi Setyaboma, itu saja. Prabu Baladewa pun telah mengirim
Arya Udawa pergi ke Lesanpura, mengundang Dewi Setyaboma agar hadir ke istana
Mandura. Arya Udawa diperintahkan untuk menyampaikan kabar palsu bahwa sang
permaisuri Dewi Erawati sedang sakit dan merindukan Dewi Setyaboma.
Raden Narayana berterima kasih atas bantuan sang kakak yang terpaksa mengarang
cerita palsu dengan mengorbankan istri sendiri, yaitu tidak sakit tapi dikatakan sakit. Prabu
Baladewa menyerahkan semuanya kepada Raden Narayana jika nanti Dewi Setyaboma
telah datang. Bantuan darinya sudah cukup sampai di sini saja. Ia tidak mau berbohong
lebih banyak lagi.
Dewi Bratajaya mendapat akal sebaiknya Raden Narayana menyamar sebagai Dewi
Erawati dan tidur di kamar permasuri. Raden Narayana menyetujui hal itu. Prabu Baladewa
pun mengizinkan dan mempersilakan sang adik untuk menempati kamar istrinya. Raden
Narayana berterima kasih lalu masuk ke dalam untuk menjalankan rencana.
Tidak lama kemudian datanglah Arya Udawa dengan disertai Dewi Setyaboma dan
Raden Setyaki. Arya Udawa melaporkan bahwa Prabu Setyajit di Lesanpura mengizinkan
Dewi Setyaboma untuk menjenguk Dewi Erawati, tetapi hanya satu hari saja, karena harus
segera pulang untuk menjawab lamaran Resi Druna. Beberapa hari yang lalu, Prabu Setyajit
menerima kunjungan Patih Sangkuni yang melamar Dewi Setyaboma sebagai calon istri
Resi Druna. Prabu Setyajit tidak langsung menerima tetapi menyerahkan keputusan kepada
Dewi Setyaboma. Dewi Setyaboma menjawab akan memberikan keputusan tujuh hari lagi.
KITAB WAYANG PURWA

Kini waktu tujuh hari tersebut hampir habis, sehingga Prabu Setyajit melarang Dewi
Setyaboma terlalu lama berada di istana Mandura.
Prabu Baladewa terkejut mendengar berita itu. Rupanya Resi Druna yang batal
menikah dengan Dewi Rukmini, kini ganti mengincar Dewi Setyaboma. Bagaimanapun juga
hal ini harus digagalkan. Maka, Prabu Baladewa segera mempersilakan Dewi Setyaboma
masuk ke dalam kamar untuk menjenguk Dewi Erawati yang sedang sakit dan merindukan
dirinya. Ketika Raden Setyaki hendak ikut masuk, Prabu Baladewa mencegah dengan
alasan ia ingin menjamu adik sepupunya itu dengan minuman khas Kerajaan Mandura.

PRABU BALADEWA MEMBUAT RADEN SETYAKI MABUK


Setelah Dewi Setyaboma masuk ke dalam dengan diantarkan Dewi Bratajaya, Prabu
Baladewa pun membubarkan pertemuan. Kini hanya tinggal dirinya bersama Raden
Setyaki, serta Patih Pragota yang diminta untuk melayani. Patih Pargota pun
menghidangkan beberapa guci minuman khas negeri Mandura. Prabu Baladewa berkata
minuman ini sangat lezat dan tidak memabukkan. Ia pun mengajak Raden Setyaki minum
bersama.
Raden Setyaki tanpa curiga meneguk minuman tersebut. Baru beberapa cangkir ia
sudah mulai pusing. Prabu Baladewa sendiri mengerahkan Aji Balarama sehingga dirinya
tetap tegar tidak terpengaruh oleh khasiat minuman keras tersebut. Ia memang sengaja
meracik minuman yang berkadar tinggi untuk mengalihkan perhatian Raden Setyaki dari
Dewi Setyaboma.
Raden Setyaki akhirnya sadar dirinya telah ditipu. Ia pun mengheningkan cipta untuk
memusnahkan pengaruh minuman keras di dalam darahnya. Setelah bugar kembali, Raden
Setyaki memaksa masuk ke dalam untuk memeriksa kakaknya. Prabu Baladewa
menghalangi. Raden Setyaki pun mengamuk tetapi dapat diringkus oleh Prabu Baladewa.
Namun, Raden Setyaki sungguh gesit dan tangkas. Ketika Prabu Baladewa lengah, ia
berhasil lolos dan menerobos masuk menuju kamar Dewi Erawati.

DEWI SETYABOMA MENGUNGKAPKAN PERASAANNYA


Sementara itu, Dewi Bratajaya telah mengantarkan Dewi Setyaboma menemui Dewi
Erawati palsu di dalam kamar. Dewi Erawati palsu itu pun gembira melihat Dewi Setyaboma
dan seketika sembuh dari sakitnya. Ia berkata bahwa di antara para sepupu, Dewi
Setyaboma adalah yang paling ia sayangi. Selama beberapa hari ini ia jatuh sakit dan tidak
ada tabib yang mampu mengobati, kecuali kehadiran Dewi Setyaboma.
Dewi Setyaboma bersyukur sang kakak telah sembuh tetapi ia tidak bisa lama-lama
tinggal di istana Mandura karena harus menjawab lamaran Resi Druna dari Padepokan
Sokalima. Beberapa waktu yang lalu, Resi Druna gagal menikah dengan Dewi Rukmini.
Sebagai gantinya, pendeta tua itu pun melamar dirinya sebagai istri.
Dewi Erawati palsu bertanya apakah Dewi Setyaboma bersedia menjadi istri Resi
Druna. Dewi Setyaboma menjawab tidak tahu. Ia hanya patuh kepada perintah orang tua.
Dewi Erawati lalu bertanya apakah Prabu Setyajit sudah menerima lamaran tersebut. Dewi
Setyaboma menjawab sang ayah belum menentukan keputusan.
Dewi Erawati palsu pun berkata bahwa tujuan Resi Druna ingin menikahi Dewi
Setyaboma hanyalah siasat politik Prabuanom Jakapitana untuk mencari sekutu saja. Prabu
Setyajit pasti menyadari hal ini, sehingga tidak segera menerima pinangan tersebut. Dewi
Erawati menayarankan agar Dewi Setyaboma menolak lamaran itu dan menerima laki-laki
lain yang juga menaruh hati kepadanya.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Setyaboma heran dan bertanya siapakah laki-laki itu. Dewi Erawati menjawab
orang itu adalah Raden Narayana, adik iparnya. Dewi Setyaboma semakin heran karena
Raden Narayana baru saja menikah dengan Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini, mengapa
ingin menikah lagi dengannya? Dewi Erawati berkata bahwa Raden Narayana adalah titisan
Batara Wisnu, sehingga mengetahui siapa saja wanita yang menjadi jodohnya. Raden
Narayana ingin beristri tiga bukan untuk mengumbar nafsu, tetapi untuk menggenapi
takdirnya.
Dewi Erawati palsu lalu bertanya apakah Dewi Setyaboma memilih Resi Druna
ataukah Raden Narayana. Dewi Setyaboma merasa malu untuk menjawab. Dewi Erawati
pun memberi isyarat agar Dewi Bratajaya keluar kamar. Dewi Bratajaya yang biasanya
manja kini menurut tanpa membantah, karena ia sudah tahu rencana yang disusun
kakaknya.
Setelah Dewi Bratajaya keluar, Dewi Setyaboma pun berterus terang bahwa sejak
lama ia memang sudah menyukai Raden Narayana. Dulu ketika ayahnya dipenjara oleh
Adipati Kangsa, Raden Narayana yang tampil sebagai pahlawan untuk membebaskannya.
Sejak peristiwa itulah Dewi Setyaboma merasa kagum kepada kakak sepupunya itu. Rasa
kagum tersebut berubah menjadi cinta. Namun sayang, Raden Narayana justru menikah
dengan orang lain, dan membuat Dewi Setyaboma merasa harapannya telah pupus untuk
selamanya.
Dewi Erawati palsu berkata bahwa Raden Narayana juga menyukai Dewi Setyaboma
dan ingin menjadikannya sebagai istri. Dewi Setyaboma merasa senang mendengarnya,
namun tetap tidak berani menerima karena segan terhadap Dewi Jembawati dan Dewi
Rukmini. Dewi Erawati tersenyum dan segera memanggil Dewi Bratajaya yang masih
menunggu di luar kamar.
Dewi Bratajaya pun membuka pintu dan ternyata ia sudah bersama Dewi Jembawati
dan Dewi Rukmini. Dewi Setyaboma terkejut dan segera menyembah hormat kepada
mereka. Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini berkata bahwa mereka ikhlas jika Raden
Narayana menikah lagi dengan Dewi Setyaboma. Pernikahan ini bukan untuk mengumbar
nafsu, tetapi untuk mengumpulkan para titisan istri Batara Wisnu yang terpencar di tiga
tempat. Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini merasa senang jika bisa berkumpul kembali
dengan Dewi Setyaboma, seperti dahulu saat mereka masih berada di Kahyangan
Utarasegara.
Dewi Setyaboma gemetar karena hatinya bahagia. Ketika ia menoleh ternyata Dewi
Erawati palsu sudah lenyap dan berubah kembali ke wujud Raden Narayana. Raden
Narayana pun berterus terang ingin meminangnya. Dewi Setyaboma marah merasa
dipermainkan. Wajahnya merah padam menahan malu. Namun, dalam hati ia sangat
bahagia atas lamaran tersebut. Ia pun meminta Raden Narayana datang ke Kerajaan
Lesanpura secara baik-baik jika ingin melamar dirinya, bukan dengan cara tipu muslihat
seperti ini.
Pada saat itulah Raden Setyaki muncul dan marah-marah karena kakaknya
dipermainkan. Raden Narayana dengan tenang menjawab bahwa dirinya mencintai Dewi
Setyaboma dan ingin menikah dengannya. Raden Setyaki menjawab terus terang bahwa ia
juga senang jika Raden Narayana bisa menjadi iparnya. Namun, Resi Druna juga telah
meminang kakaknya. Karena sekarang ada dua calon, maka Raden Setyaki berniat
mengadakan sayembara tanding sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh Raden
Rukmaka di Kerajaan Kumbina. Ia berharap Raden Narayana bisa mengalahkan dirinya
dalam sayembara nanti, sehingga berhak atas Dewi Setyaboma.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Setyaboma setuju pada usulan adiknya. Mereka berdua lalu mohon pamit
kembali ke Kerajaan Lesanpura.

ROMBONGAN DEWI SETYABOMA BERTEMU ROMBONGAN PRABU YUDAKALA KRESNA


Prabu Baladewa memerintahkan Arya Udawa untuk mengantar kepulangan Dewi
Setyaboma dan Raden Setyaki. Di tengah jalan, mereka bertemu rombongan pasukan
Prabu Yudakala Kresna yang sedang dalam perjalanan menuju ke Kahyangan Suralaya
untuk meminang Batari Wilotama.
Dasar watak para raksasa yang berangasan, mereka pun menyerang rombongan
Dewi Setyaboma tersebut. Dengan cekatan Raden Setyaki menghadapi serangan itu demi
melindungi sang kakak. Arya Udawa pun tidak ketinggalan. Mereka berdua bahu-membahu
mempertahankan diri dari serangan para raksasa Dwarakawestri.
Ditya Kunjanawresa, adik Prabu Yudakala Kresna pun maju. Raksasa berkepala kuda
itu mengamuk hebat. Arya Udawa menyarankan agar Raden Setyaki menghindar saja
karena jumlah musuh jauh lebih banyak dan keselamatan Dewi Setyaboma jauh lebih
penting. Raden Setyaki setuju. Ia pun masuk ke dalam kereta menemani kakaknya,
sedangkan Arya Udawa bertindak sebagai kusir dan memacu kereta tersebut sekencang-
kencangnya menuju Kerajaan Lesanpura.
Prabu Yudakala Kresna sekilas melihat paras cantik Dewi Setyaboma di atas kereta.
Ia pun terkesima dan jatuh cinta kepada gadis itu. Ingin sekali ia mengejar Dewi Setyaboma,
tetapi sudah terlanjur mengemban tugas dari Prabu Kunjarakresna untuk melamar Batari
Wilotama. Maka, ia pun memanggil pelayannya yang berwujud raksasi, bernama Emban
Cantikawredi.
Emban Cantikawredi datang menghadap. Prabu Yudakala Kresna pun
memerintahkannya untuk merebut Dewi Setyaboma yang ada di dalam kereta tadi. Emban
Cantikawredi merasa gentar pada kesaktian Raden Setyaki dan Arya Udawa. Namun, ia
berjanji akan membuntuti mereka dan nanti apabila Dewi Setyaboma sedang sendirian
barulah ia menculik gadis tersebut untuk dibawa ke hadapan Prabu Yudakala Kresna.
Setelah berkata demikian, Emban Cantikawredi pun mohon pamit dan melesat pergi
mengejar kereta yang dikendarai Arya Udawa.

RADEN SETYAKI MENGGELAR SAYEMBARA TANDING


Dewi Setyaboma telah kembali ke Kerajaan Lesanpura dan Raden Setyaki pun telah
mengutarakan niatnya untuk menggelar sayembara tanding terhadap siapa saja yang ingin
menikahi kakaknya. Prabu Setyajit merestui karena ini bisa menjadi langkah yang adil bagi
Resi Druna ataupun Raden Narayana. Maka, Prabu Setyajit pun mengutus Patih Setyabasa
untuk menyampaikan hal ini kepada Prabuanom Jakapitana di Hastina dan Prabu Baladewa
di Mandura.
Setelah menerima kabar tersebut, Prabuanom Jakapitana, Patih Sangkuni, dan para
Kurawa lainnya segera berangkat mengiringi Resi Druna menuju Kerajaan Lesanpura.
Sesampainya di sana, gelanggang sudah didirikan. Raden Setyaki berdiri menantang Resi
Druna jika ingin menikah dengan kakaknya. Raden Dursasana pun maju mewakili gurunya.
Pertandingan dimulai. Raden Setyaki meskipun bertubuh kecil namun mampu mengalahkan
Raden Dursasana yang berbadan tinggi besar dalam beberapa kali gebrakan.
Satu persatu para Kurawa naik ke atas gelanggang, antara lain Raden Srutayu, Raden
Kartawarma, Raden Durjaya, Raden Durmuka, Raden Durmagati untuk menandingi Raden
Setyaki. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang mampu mengalahkan pemuda
bertubuh kecil tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN PERMADI MEWAKILI RESI DRUNA


Raden Permadi bersama para panakawan datang berkunjung ke Kerajaan Lesanpura
karena mendengar berita bahwa Raden Setyaki mengadakan sayembara. Resi Druna
menyambut murid kesayangannya itu dan bertanya apakah Raden Permadi juga ingin
melamar Dewi Setyaboma. Raden Permadi menjawab tidak, dan ia datang hanya untuk
menonton muridnya bertanding saja.
Resi Druna gembira mendengar Raden Setyaki ternyata murid Raden Permadi. Ia pun
meminta Raden Permadi untuk mewakilinya mengikuti sayembara tanding. Raden Permadi
merasa rikuh jika harus bertanding melawan Raden Setyaki, tetapi ia tidak bisa membantah
perintah sang guru. Maka, Raden Permadi pun naik ke atas gelanggang menantang Raden
Setyaki.
Raden Setyaki terkejut melihat gurunya yang datang dan berniat mewakili Resi Druna.
Raden Setyaki pun pura-pura letih dan meminta waktu sebentar untuk beristirahat. Ia lalu
turun panggung dan melesat pergi mencari Raden Narayana.
Saat itu Raden Narayana baru datang bersama Prabu Baladewa dan rombongan dari
Mandura. Raden Setyaki menyambut mereka dan bercerita bahwa rencananya kacau
karena Raden Permadi tampil mewakili Resi Druna. Karena harus melawan gurunya sendiri,
Raden Setyaki merasa perlu untuk meminjam pusaka Kembang Wijayakusuma milik Raden
Narayana.
Raden Narayana mengizinkan. Ia pun mengeluarkan Kembang Wijayakusuma dan
meletakkannya di dalam jamang (hiasan kepala) milik Raden Setyaki. Raden Setyaki
berterima kasih dan segera kembali ke atas gelanggang.
Pertarungan pun dimulai. Raden Setyaki meminta Raden Permadi menyerangnya
dengan sungguh-sungguh, dan tidak perlu merasa segan karena mereka dulu pernah
berkelana bersama sebagai murid dan guru. Raden Permadi menyanggupi. Keduanya pun
bertarung seru. Setiap kali Raden Setyaki terluka oleh pukulan Raden Permadi, ia langsung
sembuh berkat pengaruh Kembang Wijayakusuma. Setiap kali kulitnya robek dan
mengeluarkan darah, seketika langsung menutup kembali seperti sediakala.
Raden Permadi heran sejak kapan Raden Setyaki menguasai Aji Rawarontek. Karena
lengah, Raden Setyaki berhasil mendorong Raden Permadi hingga jatuh keluar panggung.
Raden Permadi pun mengaku kalah.
Melihat jagonya kalah, Resi Druna merasa kecewa dan mengajak Prabuanom
Jakapitana pulang ke Kerajaan Hastina. Prabuanom Jakapitana mengusulkan untuk
merebut Dewi Setyaboma secara paksa saja. Namun, Resi Druna menolak. Ia merasa
ikhlas jika kali ini harus gagal lagi memiliki seorang istri muda yang cantik.

RADEN NARAYANA MENGALAHKAN RADEN SETYAKI


Raden Narayana kemudian naik ke atas panggung untuk menantang Raden Setyaki.
Lebih dulu ia meminta agar Kembang Wijayakusuma dikembalikan kepadanya. Raden
Setyaki menolak mengembalikan bunga ajaib tersebut. Raden Narayana marah menuduh
Raden Setyaki “melik nggendong lali”, ingin menguasai barang yang bukan miliknya. Raden
Setyaki menjawab tidak demikian. Ia hanya ingin berbuat adil. Jika tadi Raden Permadi
melawan dirinya dalam keadaan membawa Kembang Wijayakusuma, maka Raden
Narayana pun harus demikian. Bukankah mereka berdua sama-sama titisan Batara Wisnu?
Raden Narayana tersenyum memahami maksud Raden Setyaki yang ternyata ingin
memuliakan dirinya. Ia pun mempersilakan sepupunya itu untuk bertanding dengan
membawa Kembang Wijayakusuma. Keduanya lalu bertarung. Sama seperti tadi, Raden
KITAB WAYANG PURWA

Setyaki tidak bisa dikalahkan karena setiap kali terluka akan langsung sembuh berkat
pengaruh Kembang Wijayakusuma.
Raden Narayana lama-lama terdesak. Jika sampai ia jatuh keluar panggung maka
rencananya untuk menikahi Dewi Setyaboma bisa gagal. Untuk mengalahkan Kembang
Wijayakusuma, maka Panah Kesawa harus digunakan. Raden Narayana pun menyentuh
ujung panah pusaka tersebut sambil membaca mantra Aji Balasrewu. Seketika ia pun
bertriwikrama menjadi raksasa tinggi besar. Kakinya lalu bergerak menginjak punggung
Raden Setyaki.
Raden Setyaki jatuh tengkurap tidak berdaya karena diinjak raksasa penjelmaan
Raden Narayana. Ia lalu mengaku kalah. Seketika raksasa tersebut pun sirna dan kembali
ke wujud Raden Narayana. Raden Setyaki lalu mengembalikan Kembang Wijayakusuma
dan mengumumkan bahwa Raden Narayana adalah pemenang sayembara.

DEWI SETYABOMA DICULIK EMBAN CANTIKAWREDI


Prabu Setyajit turun menyambut kemenangan Raden Narayana. Ia pun
mengumumkan bahwa Dewi Setyaboma akan dinikahkan dengan keponakannya itu. Tiba-
tiba sang permaisuri Dewi Wresini muncul dan melaporkan bahwa putri mereka hilang
diculik orang. Dewi Wresini tadi sempat melihat penculik Dewi Setyaboma berwujud raksasi
mengerikan yang bisa terbang di angkasa.
Raden Narayana bersiap hendak mengejar penculik calon istrinya itu. Namun, tiba-
tiba muncul Batara Narada yang turun dari kahyangan menghentikan langkahnya. Semua
orang pun menyembah hormat kepada dewa tersebut. Batara Narada mengabarkan bahwa
penculik Dewi Setyaboma bernama Emban Cantikawredi yang diutus oleh Prabu Yudakala
Kresna, raja Dwarakawestri. Adapun Prabu Yudakala Kresna saat ini sedang mengepung
Kahyangan Suralaya, memaksa Batara Indra menyerahkan Batari Wilotama sebagai istri
kakaknya, yang bernama Prabu Kunjarakresna, raja Dwarawatiprawa.
Batara Narada menjelaskan bahwa Prabu Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna
adalah keturunan Batara Wisnu. Menurut petunjuk Batara Guru, yang bisa mengalahkan
mereka hanyalah titisan Batara Wisnu, yaitu Raden Narayana. Oleh sebab itu, Raden
Narayana pun diminta bersedia menjadi jago kahyangan menumpas para raksasa tersebut,
sekaligus untuk merebut kembali Dewi Setyaboma. Raden Narayana menjawab sanggup.
Batara Narada pun membawanya pergi ke kahyangan, di mana Raden Permadi dan Raden
Setyaki ikut serta.

RADEN NARAYANA MENUMPAS PRABU YUDAKALA KRESNA


Prabu Yudakala Kresna dan Ditya Kunjanawresa telah menyampaikan surat lamaran
kepada Batara Indra untuk meminang Batari Wilotama. Batara Indra dengan tegas menolak
lamaran tersebut. Kedua raksasa itu marah dan mengamuk di Kahyangan Suralaya. Batara
Indra segera mengerahkan pasukan Dorandara namun tidak ada yang mampu
mengalahkan kedua raksasa tersebut. Terpaksa Batara Indra menutup rapat-rapat gerbang
Kori Selamatangkep. Prabu Yudakala Kresna pun memerintahkan pasukannya untuk tetap
mengepung di luar kahyangan.
Saat itu Emban Cantikawredi telah datang di perkemahan dengan membawa serta
Dewi Setyaboma. Prabu Yudakala Kresna sangat senang dan merayunya dengan berbagai
kata-kata manis. Dewi Setyaboma dengan tegas menolak keinginan raja raksasa itu untuk
menikahinya. Ia mengaku lebih baik mati daripada menjadi istri Prabu Yudakala Kresna.
Pada saat itulah Raden Narayana muncul di luar perkemahan dan menantang Prabu
Yudakala Kresna. Prabu Yudakala Kresna marah dan keluar menyambut tantangan
KITAB WAYANG PURWA

tersebut. Perang tanding di antara mereka pun terjadi. Ditya Kunjanawresa ikut menyerang
dan segera disambut oleh Raden Setyaki. Sementara itu, Raden Permadi menghadapi
Emban Cantikawredi untuk membebaskan Dewi Setyaboma.
Sesuai ramalan Batara Guru, Prabu Yudakala Kresna akhirnya tewas terkena senjata
Cakra Sudarsana yang dilepaskan Raden Narayana. Emban Cantikawredi juga mati di
tangan Raden Permadi. Melihat pihaknya kalah, Ditya Kunjanawresa memilih kabur
melarikan diri. Pasukan Dwarakawestri pun kocar-kacir dan ikut kabur bersama sang
senapati.

RADEN NARAYANA MENDAPATKAN KERETA JALADARA


Batara Indra muncul dari dalam kahyangan, berterima kasih atas bantuan Raden
Narayana dan kawan-kawan. Sebagai hadiah, Raden Narayana pun mendapatkan
seperangkat kereta pusaka bernama Kereta Jaladara yang merupakan hasil karya Batara
Ramayadi dan Batara Anggajali. Kereta pusaka ini terbuat dari besi pilihan yang tidak dapat
berkarat, dan ditarik oleh empat ekor kuda dewa yang berwarna hitam, putih, merah, dan
kuning.
Kuda hitam berasal dari belahan bumi utara, bernama Ciptawalaha yang mampu
amblas ke dalam bumi membawa seluruh rombongan. Kuda putih berasal dari belahan bumi
timur, bernama Sunyasekti, mampu berjalan di atas air membawa seluruh rombongan. Kuda
merah berasal dari belahan bumi selatan, bernama Abrapuspa, memiliki kemampuan
berjalan di dalam kobaran api membawa seluruh rombongan. Sedangkan kuda kuning
berasal dari belahan bumi barat, bernama Sukanta, mampu terbang di angkasa membawa
semua rombongan.
Batara Indra juga memberikan pusaka berwujud bende bernama Pancajanya. Jika alat
musik tersebut ditabuh satu kali akan mendatangkan gempa yang membuat musuh menjadi
kocar-kacir. Ditabuh dua kali akan mendatangkan api yang berkobar, membuat musuh
kepanasan dan terbakar. Ditabuh tiga kali akan mendatangkan angin badai yang
menghancurkan barisan musuh. Ditabuh empat kali akan mendatangkan hujan lebat yang
membuat semangat musuh luntur. Ditabuh lima kali akan membuat langit menjadi gelap
gulita, membuat musuh terganggu penglihatannya.
Pusaka yang terakhir, Batara Indra memberikan seperangkat busana raja kepada
Raden Narayana. Raden Permadi pun mendandani Raden Narayana dengan busana
tersebut, sehingga kini sang sepupu tampil dengan wajah lebih tampan dan berwibawa.
Melihat penampilan Raden Narayana yang tampak agung dan berwibawa bagaikan dewa,
Batara Indra pun memberikan gelar baru untuknya, yaitu Batara Kresna, yang artinya “dewa
berkulit hitam”.
Setelah dirasa cukup, Batara Kresna pun mohon pamit untuk melaksanakan tugas
kedua, yaitu menumpas Prabu Kunjarakresna di Kerajaan Dwarawatiprawa. Batara Kresna
dan Raden Permadi pun naik di atas Kereta Jaladara, dengan Raden Setyaki bertindak
sebagai kusir. Adapun Dewi Setyaboma diantar Batara Narada pulang ke Kerajaan
Lesanpura untuk mempersiapkan pernikahannya.

BATARA KRESNA MENUMPAS PRABU KUNJARAKRESNA


Ditya Kunjanawresa telah tiba di Kerajaan Dwarawatiprawa menghadap kakak
sulungnya, yaitu Prabu Kunjarakresna. Ia melaporkan perihal Prabu Yudakala Kresna yang
tewas di tangan jago kahyangan bernama Raden Narayana. Prabu Kunjarakresna sangat
marah mendengarnya. Ia pun bersiap menyerang Kahyangan Suralaya untuk membalaskan
kematian adiknya.
KITAB WAYANG PURWA

Namun, Raden Narayana alias Batara Kresna lebih dulu tiba di Kerajaan
Dwarawatiprawa. Ia segera menabuh Bende Pancajanya, mendatangkan gempa bumi yang
membuat Prabu Kunjarakresna dan Ditya Kunjanawresa merasa pusing kehilangan daya.
Kedua raksasa itu lalu mengheningkan cipta sesaat untuk melawan pengaruh gaib kedua
pusaka tersebut. Begitu tenaganya pulih, Prabu Kunjarakresna langsung maju menyambar
Batara Kresna.
Pertarungan sengit pun terjadi. Batara Kresna dapat menilai bahwa Prabu
Kunjarakresna lebih sakti daripada Prabu Yudakala Kresna. Maka, untuk mengimbanginya,
ia pun membaca mantra Aji Balasrewu dan bertriwikrama menjadi raksasa pula.
Pertarungan kedua raksasa itu sungguh mengerikan. Setelah agak lama, barulah raksasa
penjelmaan Batara Kresna berhasil menewaskan Prabu Kunjarakresna.
Melihat kakak sulungnya tewas, Ditya Kunjanawresa pun melarikan diri. Ia membawa
semua prajurit raksasa Kerajaan Dwarawatiprawa dan Dwarakawestri untuk kelak
membalas dendam kepada Batara Kresna.

PERKAWINAN BATARA KRESNA DAN DEWI SETYABOMA


Batara Kresna dan Raden Permadi kembali menaiki Kereta Jaladara yang dikendarai
Raden Setyaki menuju Kerajaan Lesanpura. Sesampainya di sana, mereka disambut Prabu
Setyajit dan segenap para hadirin. Prabu Baladewa sangat bangga dan memuji
keberhasilan adiknya sebagai jago kahyangan. Prabu Puntadewa dan Raden Bratasena
juga baru datang dari Kerajaan Amarta dan ikut memberikan pujian.
Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Batara Kresna
dan Dewi Setyaboma. Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini ikut hadir mendampingi. Dengan
demikian, lengkap sudah ketiga titisan istri Batara Wisnu berkumpul bersama, yaitu Batari
Srilaksmi, Batari Srilaksmita, dan Batari Sri Setyawarna.

BATARA KRESNA MENJADI RAJA DWARAWATI


Batara Narada dan Batara Indra juga ikut menghadiri pernikahan itu dengan diiringi
para bidadari kahyangan. Peristiwa ini sangat meriah dan mengagumkan. Setelah upacara
berakhir, Batara Narada menyampaikan keputusan Batara Guru bahwa Batara Kresna alias
Raden Narayana ditetapkan menjadi raja Dwarawatiprawa dan Dwarakawestri sekaligus.
Kedua kerajaan tersebut kini kosong setelah kematian Prabu Kunjarakresna dan Prabu
Yudakala Kresna. Raden Narayana selaku pemenang perang mendapat hak untuk
menduduki takhta kedua negara tersebut.
Raden Narayana berterima kasih atas kepercayaan dewata kepadanya. Ia pun
menerima tugas tersebut dengan rendah hati. Kerajaan Dwarawatiprawa dan Kerajaan
Dwarakawestri lalu digabung menjadi satu dengan sebutan Kerajaan Dwarawati. Raden
Narayana pun dilantik sebagai raja, dengan gelar Prabu Kresna Wasudewa.
Setelah resmi menjadi raja, Prabu Kresna Wasudewa pun melantik sahabatnya dalam
berkelana, yaitu Arya Udawa sebagai menteri utama, bergelar Patih Udawa. Raden Setyaki
juga meminta izin kepada ayahnya agar diperbolehkan mengabdi di Kerajaan Dwarawati
untuk mengikuti Dewi Setyaboma yang diboyong ke sana. Prabu Setyajit menimbang-
nimbang bahwa Kerajaan Dwarawati memang jauh lebih besar daripada Kerajaan
Lesanpura, sehingga tenaga putranya pasti lebih dibutuhkan di sana. Lagipula, Prabu
Setyajit masih ingat bahwa putra bungsunya itu adalah titisan Prabu Yuyudana yang dulu
bertapa ingin mengabdi kepada Batara Wisnu. Jika kini Batara Wisnu telah menitis kepada
Prabu Kresna, maka tidak ada halangan bagi Raden Setyaki untuk mengabdi kepadanya.
KITAB WAYANG PURWA

Maka, Prabu Setyajit pun mengizinkan Raden Setyaki mengabdi kepada Prabu
Kresna, sekaligus mengikuti Dewi Setyaboma yang diboyong ke Kerajaan Dwarawati. Prabu
Kresna menerima pengabdian Raden Setyaki dengan senang hati karena sebagai raja yang
baru pasti ia membutuhkan bantuan pemuda terampil dan sakti semacam iparnya tersebut.
Maka, Raden Setyaki pun diangkat sebagai panglima angkatan perang Dwarawati, dengan
bergelar Arya Setyaki.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Raden Narayana menumpas Prabu Kunjarakresna menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 695 yang ditandai dengan
sengkalan “Yaksa rudra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 716 yang ditandai dengan
sengkalan “Angrasa tunggal wangsa”. Sedangkan perkawinan Raden Narayana dengan Dewi
Setyaboma dan kematian Prabu Yudakala Kresna terjadi pada tahun Suryasengkala 696 yang
ditandai dengan sengkalan “Hoyaging gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717
yang ditandai dengan sengkalan “Swaraning janma gora”.
KITAB WAYANG PURWA

WAHYU PURBASEJATI
Kisah ini menceritakan roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menitis kepada Prabu
Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Arjuna. Juga dikisahkan awal mula kemunculan
Kapi Anoman, pahlawan bangsa wanara dari zaman kuno yang kemudian mengabdi
kepada Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan catatan yang saya dapatkan dari rubrik
Pedhalangan di Majalah Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 01 Desember 2016
Heri Purwanto

KAPI ANOMAN MENDAPAT TUGAS MENGEJAR ROH PRABU RAHWANA


Prabu Rahwana Dasamuka adalah raja raksasa dari Kerajaan Alengka yang terletak
di Pulau Sailan. Ia merupakan keturunan Prabu Hiranyakasipu yang pada zaman dahulu
tewas di tangan Batara Wisnu dalam wujud Sang Narasinga. Semasa hidupnya, Prabu
Rahwana sangat pandai dan alim. Ia pemuja Batara Guru yang taat dan juga ahli dalam
menghafal kitab suci. Namun sayangnya, kepandaian dan kealimannya itu telah membuat
Prabu Rahwana menjadi lupa diri. Merasa sudah pasti masuk surga, ia pun bertindak
sewenang-wenang, mengumbar angkara murka, serta memaksakan kehendaknya
terhadap semua orang. Hingga pada puncaknya, ia menculik Rakyanwara Sinta, istri Raden
Sri Rama di Hutan Dandaka.
Raden Sri Rama lalu bekerja sama dengan Prabu Sugriwa raja bangsa wanara di
Kerajaan Guakiskenda untuk merebut kembali sang istri. Dalam puncak pertempuran di
Kerajaan Alengka, Raden Sri Rama berkali-kali menewaskan Prabu Rahwana, tetapi raja
raksasa tersebut selalu dapat hidup kembali berkat pengaruh Aji Pancasunya. Hingga
KITAB WAYANG PURWA

akhirnya, ketika Raden Sri Rama berhasil merobohkan Prabu Rahwana untuk yang
kesekian kalinya, tiba-tiba Kapi Anoman (senapati andalan Prabu Sugriwa) nekat
membantu. Wanara berbulu putih itu mengangkat Gunung Ungrungan dan menindihkannya
pada tubuh Prabu Rahwana.
Karena tubuhnya tertindih Gunung Ungrungan, Prabu Rahwana tidak dapat bangun
kembali, meskipun Aji Pancasunya masih bekerja. Di lain pihak, Raden Sri Rama
tersinggung karena Kapi Anoman membantu tanpa diperintah. Sebagai hukuman, Kapi
Anoman diwajibkan menjaga Gunung Ungrungan, jangan sampai roh Prabu Rahwana
keluar dan berbuat kekacauan di dunia. Kapi Anoman pun mematuhi perintah tersebut.
Setelah peristiwa Brubuh Alengka, Raden Sri Rama memboyong Rakyanwara Sinta
kembali ke Kerajaan Ayodya. Ia lalu membangun Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka
dan menjadi raja bergelar Prabu Ramawijaya. Kelak keturunannya yang kedelapan
bernama Raden Surasena mendirikan Kerajaan Mandura dan bergelar Prabu Kuntiboja. Ia
merupakan kakek dari Prabu Baladewa, Prabu Kresna, Dewi Bratajaya, dan juga para
Pandawa.
Sementara itu, Kapi Anoman dikaruniai umur panjang dan tubuh yang kuat, meskipun
terlihat tua renta. Ia bertapa di Gunung Ungrungan menjaga roh Prabu Rahwana agar tidak
keluar mengacau dunia. Pada suatu hari turunlah Batara Narada dari kahyangan yang
memberi tahu bahwa roh Prabu Rahwana telah meloloskan diri, meninggalkan penjara gaib
Gunung Ungrungan. Kapi Anoman merasa sangat berdosa karena lalai dalam menjalankan
tugas. Ia pun meminta petunjuk Batara Narada agar diberi tahu ke mana perginya roh
penjahat besar tersebut.
Batara Narada berkata bahwa roh Prabu Rahwana kini pergi untuk mewujudkan
keinginan lamanya, yaitu menikahi Rakyanwara Sinta yang merupakan titisan Batari Sri
Wedawati. Karena Rakyanwara Sinta sudah lama meninggal dunia, maka roh Prabu
Rahwana pun mencari titisan Batari Sri Wedawati yang hidup di zaman sekarang, yaitu Dewi
Bratajaya. Menurut penglihatan Batara Narada, roh Prabu Rahwana kini telah berganti
nama menjadi Prabu Godayitma, dan mendirikan kerajaan gaib bernama
Tawanggantungan di Tanah Jawa. Ia pun telah mengumpulkan roh Patih Prahasta
(pamannya) dan roh Raden Indrajit (putranya) untuk menjalankan rencana menculik Dewi
Bratajaya.
Kapi Anoman berterima kasih atas petunjuk Batara Narada. Ia pun mohon restu agar
bisa menangkap kembali roh Prabu Rahwana tersebut. Batara Narada merestui dan
memberikan pusaka berupa rantai gaib untuk mengikat roh Prabu Rahwana dan para
pengikutnya. Ia juga berpesan agar kelak Kapi Anoman tidak perlu lagi kembali ke Gunung
Ungrungan di Pulau Sailan, tetapi sebaiknya mengabdi kepada Prabu Kresna Wasudewa
raja Dwarawati, yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman sekarang.
Kapi Anoman sekali lagi berterima kasih dan sangat bersyukur apabila bisa kembali
mengabdi pada titisan Batara Wisnu. Batara Narada lalu memberikan petunjuk, yaitu jika
ingin bertemu dengan Prabu Kresna, maka Kapi Anoman harus mencarinya di Gunung
Gandamadana. Setelah berkata demikian, ia pun undur diri kembali ke kahyangan.

PRABU BALADEWA MENGUNJUNGI KERAJAAN DWARAWATI


Prabu Baladewa raja Mandura ditemani adik bungsu, yaitu Dewi Bratajaya, beserta
Patih Pragota dan Arya Prabawa datang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Mereka pun
disambut oleh Prabu Kresna Wasudewa beserta ketiga istri, Arya Setyaki, dan Patih Udawa.
Prabu Baladewa terkagum-kagum memuji betapa megah Kerajaan Dwarawati yang
dipimpin adiknya. Beberapa waktu yang lalu atas perintah dewata, Prabu Kresna
KITAB WAYANG PURWA

Wasudewa berhasil menumpas Prabu Kunjarakresna raja Dwarawatiprawa dan Prabu


Yudakala Kresna raja Dwarakawestri, kemudian menggabungkan kedua negeri mereka
menjadi satu. Itulah sebabnya Kerajaan Dwarawati sangat besar, bahkan jauh lebih besar
daripada Kerajaan Mandura yang merupakan tanah kelahiran Prabu Kresna Wasudewa.
Prabu Kresna menyebut Prabu Baladewa terlalu memuji. Ia sendiri merasa belum
mampu menata Kerajaan Dwarawati dengan baik. Untungnya ada Arya Setyaki dan Patih
Udawa yang giat membantu tanpa kenal waktu, sehingga pekerjaan terasa menjadi lebih
ringan.
Prabu Baladewa kemudian bercerita masalah lain. Beberapa waktu yang lalu, ia mimpi
bertemu seorang laki-laki yang mengaku sebagai kakeknya, bernama Prabu Kuntiboja.
Dalam mimpi tersebut, Prabu Kuntiboja mengabarkan bahwa dewata hendak menurunkan
anugerah berupa Wahyu Purbasejati kepada cucunya yang laki-laki. Untuk itu, hendaknya
Prabu Baladewa mengajak Prabu Kresna bertapa di Gunung Gandamadana, karena di
sanalah wahyu tersebut akan diturunkan.
Prabu Kresna menanggapi, bahwa dirinya juga mimpi demikian. Roh Prabu Kuntiboja
telah datang kepadanya dan mengabarkan bahwa dewata akan menurunkan Wahyu
Purbasejati di Gunung Gandamadana kepada keturunan Mandura yang laki-laki. Maka,
tidak perlu membuang waktu lagi, Prabu Kresna pun mengajak Prabu Baladewa berangkat
hari ini juga ke sana.
Prabu Baladewa sebenarnya agak sangsi karena di puncak Gunung Gandamadana
terdapat astana pemakaman para leluhur, yaitu Prabu Kuntiboja, Dewi Bandodari, Prabu
Basudewa, dan Dewi Dewaki. Menurut pendapat kaum agama, berdoa meminta kepada
leluhur yang telah wafat atau menyembah kuburan adalah perbuatan yang tidak bisa
dibenarkan, karena itu sama seperti menduakan Sang Pencipta. Rasanya aneh, mengapa
wahyu harus diturunkan di kuburan, bukannya di tempat lain yang lebih mulia?
Prabu Kresna tersenyum menanggapi kakaknya. Baginya, kuburan adalah tempat
mulia, tempat keramat, yang tidak kalah baik jika dibandingkan dengan tempat suci lainnya.
Tujuan kedatangan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa adalah untuk memuliakan para
leluhur, dan bukan untuk meminta berkah dari mereka. Berdoa meminta sesuatu kepada
kuburan memang bukan perbuatan yang benar, tetapi mendoakan mereka yang berada di
dalam kubur itulah yang sebaiknya dilakukan.
Prabu Baladewa kembali berkata bahwa, mendoakan leluhur memang perbuatan yang
baik, tetapi mengapa harus mengunjungi kuburan? Bukankah berdoa itu bisa dilakukan di
mana saja dan tidak harus pergi ke makam? Prabu Kresna menjawab, memang benar
mendoakan leluhur bisa dilakukan di mana saja. Namun, mendoakan mereka di depan
kuburan dapat membuat pikiran lebih hening, lebih terpusat, serta membuat kita lebih ingat
pada kematian. Dengan mengunjungi kuburan, maka diharapkan manusia tidak lagi terlalu
mengumbar nafsu keduniawian.
Prabu Baladewa dapat menerima penjelasan Prabu Kresna. Padahal dirinya adalah
mantan pendeta, namun pemahamannya masih kalah mendalam jika dibandingkan dengan
sang adik yang mantan begal. Kini ia pun mantap untuk melaksanakan petunjuk dari sang
kakek, yaitu bertapa di Gunung Gandamadana bersama Prabu Kresna.
Dewi Bratajaya merengek ingin ikut diajak bertapa. Prabu Baladewa dengan tegas
melarang dan menyuruh adik bungsunya itu agar tetap menunggu di Kerajaan Dwarawati
saja, bersama ketiga istri Prabu Kresna, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi
Setyaboma. Wahyu Purbasejati ini hanya diturunkan kepada cucu Prabu Kuntiboja yang
laki-laki saja, sehingga tidak ada gunanya apabila Dewi Bratajaya ikut serta.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah persiapan cukup, Prabu Kresna pun berangkat hanya berdua saja dengan
Prabu Baladewa saja. Arya Setyaki ditugasi untuk menjaga Kerajaan Dwarawati bersama
Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa. Rupanya Prabu Kresna telah mendapat
firasat akan terjadi gangguan di negerinya.

DITYA KUNJANAWRESA BERGABUNG DENGAN PRABU GODAYITMA


Ditya Kunjanawresa adalah raksasa berkepala kuda yang merupakan adik Prabu
Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna. Setelah kedua kakaknya tewas di tangan
Raden Narayana, ia pun kabur dan bertapa di Gunung Mregapati bersama para raksasa
pengikutnya.
Pada suatu hari Prabu Godayitma (roh Prabu Rahwana) bersama Patih Prahastayitma
(roh Patih Prahasta) dan Raden Begakumara (roh Raden Indrajit) datang ke Gunung
Mregapati. Ditya Kunjanawresa marah dan menyerang Prabu Godayitma karena menurut
dongeng yang pernah ia dengar, leluhurnya yang bernama Resi Wisnungkara mati di tangan
Prabu Rahwana saat peristiwa Bedah Lokapala. Namun, dengan cekatan Prabu Godayitma
dapat meringkus raksasa berkepala kuda tersebut dan membuatnya minta ampun.
Prabu Godayitma berkata bahwa meskipun ia sudah menjadi hantu, tetapi masih
mampu membunuh Ditya Kunjanawresa dengan mudah. Masalah dendam lama tidak perlu
diungkit-ungkit lagi. Resi Wisnungkara sudah tua saat terbunuh, dan Prabu Rahwana
kemudian mendapat balasan, yaitu dikalahkan titisan Batara Wisnu yang lain, yaitu Prabu
Arjuna Sasrabahu dari Mahespati. Bahkan pada akhirnya, Prabu Rahwana mati pula di
tangan titisan Batara Wisnu selanjutnya, yang bernama Prabu Sri Rama.
Prabu Godayitma berkata bahwa yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya
agar Ditya Kunjanawresa dapat membalas kematian Prabu Kunjarakresna dan Prabu
Yudakala Kresna. Ditya Kunjanawresa heran mengapa Prabu Godayitma mengetahui kalau
dirinya menyimpan dendam kepada Prabu Kresna Wasudewa. Namun, ia kemudian
memaklumi bahwa Prabu Godayitma adalah makhluk halus yang tak terika ruang dan waktu
sehingga pengetahuannya lebih banyak daripada makhluk hidup.
Ditya Kunjanawresa sebenarnya sudah tidak ingin lagi melawan Prabu Kresna. Dirinya
adalah keturunan Batara Wisnu, sedangkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu.
Beberapa hari ini Ditya Kunjanawresa mendapat kesadaran bahwa dendam tidak perlu
dibalas, biarlah waktu yang menguburnya. Apalagi melawan Prabu Kresna, itu rasanya
sama seperti melawan leluhur sendiri.
Mendengar itu, Prabu Godayitma pun berusaha menghasut Ditya Kunjanawresa agar
membangkitkan kembali rasa dendamnya kepada Prabu Kresna. Ia berkata bahwa Prabu
Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna mungkin memang pantas mati akibat perbuatan
mereka sendiri yang menyerang Kahyangan Suralaya. Akan tetapi, tindakan Raden
Narayana yang mengangkangi takhta Kerajaan Dwarawati dengan gelar Prabu Kresna, itu
yang tidak dapat dibenarkan. Kerajaan Dwarawati adalah tanah kelahiran Ditya
Kunjanawresa. Maka, Ditya Kunjanawresa harus dapat merebutnya kembali. Untuk itu,
Prabu Godayitma menyatakan sanggup mengerahkan pasukan hantu pengikutnya untuk
membantu Ditya Kunjanawresa.
Ditya Kunjanawresa heran dan bertanya ada urusan apa sehingga Prabu Godayitma
dendam terhadap Kerajaan Dwarawati. Prabu Godayitma berterus terang bahwa ia dulu
mati karena merebut istri Prabu Sri Rama yang bernama Rakyanwara Sinta. Adapun
Rakyanwara Sinta adalah titisan Batari Sri Wedawati. Setelah Rakyanwara Sinta meninggal,
konon kabarnya Batari Sri Wedawati menitis pada keturunannya yang bernama Dewi
Bratajaya dari Kerajaan Mandura.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Godayitma berkali-kali berusaha menculik Dewi Bratajaya tetapi selalu


terhalang oleh kesaktian Prabu Baladewa. Kini ia mendengar kabar bahwa Dewi Bratajaya
bersama kakaknya itu sedang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Maka, Prabu Godayitma
pun mengajak Ditya Kunjanawresa untuk bekerja sama. Ia akan mengerahkan pasukan
Tawanggantungan untuk membantu Ditya Kunjanawresa mengacau Kerajaan Dwarawati.
Nanti jika Prabu Baladewa dan Prabu Kresna lengah, maka putranya yang bernama Raden
Begakumara akan menyusup masuk ke dalam istana untuk menculik Dewi Bratajaya.
Ditya Kunjanawresa masih merasa segan karena Prabu Kresna adalah titisan Batara
Wisnu, leluhurnya sendiri. Prabu Godayitma menjawab itu hanya dongeng palsu yang
dikarang Prabu Kresna. Ia pun berusaha meyakinkan Ditya Kunjanawresa bahwa titisan
Batara Wisnu harusnya berjodoh dengan titisan Batari Sri Wedawati. Karena Batari Sri
Wedawati menitis kepada Dewi Bratajaya, maka tidak mungkin Batara Wisnu menitis pada
kakaknya yang bernama Prabu Kresna.
Ditya Kunjanawresa akhirnya termakan hasutan Prabu Godayitma. Ia pun setuju
mereka bekerja sama menyerang Kerajaan Dwarawati. Maka, Prabu Godayitma pun
memerintahkan Patih Prahastayitma dan Raden Begakumara untuk mempersiapkan
pasukan hantu agar bergabung dengan pasukan raksasa pengikut Ditya Kunjanawresa.
Bersama-sama mereka lalu bergerak menuju ibu kota Dwarawati, kecuali Prabu Godayitma
yang pulang ke Kerajaan Tawanggantungan dengan penuh keyakinan pasti menang.

PERTEMPURAN DI KERAJAAN DWARAWATI


Pasukan gabungan dari Mregapati dan Tawanggantungan telah sampai di batas ibu
kota Dwarawati. Mereka membuat kekacauan dan kerusakan di pedesaan. Para raksasa
merampok dan memerkosa warga, sedangkan para hantu menakut-nakuti penduduk.
Mereka sengaja ingin memancing Prabu Baladewa dan Prabu Kresna agar keluar
meninggalkan istana.
Saat itu kedua raja kakak beradik telah pergi ke Gunung Gandamadana. Maka, yang
keluar menghadapi para pengacau tersebut adalah Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih
Pragota, dan Arya Prabawa. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Arya Setyaki heran
melihat musuh sedemikian banyak, ada yang berwujud raksasa dan ada yang berwujud
hantu. Beruntung dulu Raden Permadi telah mengajari dirinya bagaimana cara berperang
melawan makhluk halus. Demikian pula Patih Udawa juga pernah belajar kepada Prabu
Kresna saat sama-sama berkelana dulu. Maka, mereka pun dapat menahan serangan
pasukan musuh tersebut.
Patih Prahastayitma bertarung melawan Patih Pragota sambil menantang nama Prabu
Kresna dan Prabu Baladewa. Patih Pragota dengan polos menjawab bahwa kedua raja
tersebut sudah pergi ke Gunung Gandamadana. Mendengar itu, Patih Prahastayitma
segera mundur dan memberi tahu Raden Begakumara, bahwa ini adalah kesempatan baik
untuk menyusup ke dalam istana Dwarawati dan menculik Dewi Bratajaya. Raden
Begakumara pun mohon pamit dan melesat pergi melaksanakan perintah.
Patih Prahastayitma lalu mengajak Ditya Kunjanawresa untuk pura-pura kalah dan
kembali ke Gunung Mregapati. Namun, Ditya Kunjanawresa menolak karena tujuannya
untuk membalas kematian Prabu Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna belum
tercapai. Jika memang Raden Begakumara berhasil menculik Dewi Bratajaya, maka itu
berarti keinginan Prabu Godayitma saja yang terpenuhi, sedangkan keinginan Ditya
Kunjanawresa belum tuntas. Oleh sebab itu, kerja sama harus tetap dilanjutkan. Ditya
Kunjanawresa pun mengajak Patih Prahastayitma untuk menyerang Gunung
Gandamadana, membunuh Prabu Kresna Wasudewa.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Prahastayitma merasa ucapan Ditya Kunjanawresa ada benarnya. Kerja sama
ini memang harus menguntungkan kedua pihak. Maka, ia pun bersedia menemani raksasa
berkepala kuda itu menyerang Gunung Gandamadana. Patih Prahastayitma lalu
meninggalkan sebagian pasukan raksasa dan hantu untuk tetap mengacau Kerajaan
Dwarawati agar membuat sibuk Arya Setyaki dan kawan-kawan, sedangkan pasukan yang
lain dibawa untuk membantu Ditya Kunjanawresa menyerang Gunung Gandamadana.

RADEN PERMADI BERANGKAT MENUJU GUNUNG GANDAMADANA


Sementara itu, Raden Permadi (Arjuna) sang Panengah Pandawa belum pulang ke
Kerajaan Amarta sejak menghadiri perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Setyaboma
beberapa waktu yang lalu. Dasar sifatnya senang berkelana, ia pun pergi mengunjungi
berbagai tempat, hingga akhirnya bertemu saudara angkatnya, yaitu Batara Kamajaya
beserta Batari Ratih.
Batara Kamajaya memberi tahu Raden Permadi bahwa dewata akan menurunkan
Wahyu Purbasejati kepada cucu Prabu Kuntiboja di Gunung Gandamadana. Untuk itu,
Raden Permadi hendaknya segera berangkat meraih wahyu tersebut, karena saat ini Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna juga sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Setelah
berkata demikian, Batara Kamajaya dan Batari Ratih pun undur diri kembali ke Kahyangan
Cakrakembang.
Raden Permadi dan para panakawan segera berangkat. Di tengah jalan mereka
bertemu beberapa prajurit raksasa pengikut Ditya Kunjanawresa yang terpisah dari
rombongan. Terjadilah pertempuran di antara mereka, di mana Raden Permadi berhasil
menumpas semua raksasa tersebut.

BATARA GURU MEMPERSIAPKAN WAHYU PURBASEJATI DAN WAHDAT


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada beserta roh Prabu
Sri Rama dan roh Raden Lesmana. Mereka membahas tentang rencana turunnya Wahyu
Purbasejati kepada cucu Prabu Kuntiboja di Gunung Gandamadana. Wahyu tersebut tidak
lain adalah penjelmaan roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana berdua.
Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana semasa hidupnya adalah putra nomor satu dan
tiga Prabu Dasarata raja Ayodya. Mereka berdua adalah titisan Batara Wisnu dan Batara
Laksmanasadu yang turun ke dunia untuk menumpas angkara murka Prabu Rahwana raja
Alengka, keturunan Prabu Hiranyakasipu. Setelah tugasnya selesai, Prabu Sri Rama pun
membangun Kerajaan Pancawati dan hidup bahagia di sana. Dunia kembali damai dan
tenteram. Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu pun meninggalkan raga Prabu Sri Rama
dan Raden Lesmana untuk kembali ke kahyangan. Adapun Prabu Sri Rama dan Raden
Lesmana kemudian bertapa hingga akhir hayat mereka di tepi Sungai Gangga.
Atas jasa-jasa mereka selama hidup di dunia, Batara Guru pun mengistimewakan roh
Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menjadi Wahyu Purba dan Wahyu Sejati. Mereka
berdua boleh hidup kembali ke dunia dalam raga keturunan mereka untuk menumpas
angkara murka. Adapun keturunan yang terpilih ialah Prabu Kresna raja Dwarawati sebagai
wadah Wahyu Purba, dan Raden Permadi kesatria Madukara sebagai wadah Wahyu Sejati.
Roh Prabu Rama terpaksa menolak keputusan Batara Guru tersebut. Dulu semasa
hidup, ia banyak berhutang budi kepada Raden Lesmana. Ketika sang istri, yaitu
Rakyanwara Sinta hilang diculik Prabu Rahwana, saat itu Prabu Sri Rama yang masih
bernama Raden Ramabadra sempat linglung, tidak dapat menguasai diri. Raden Lesmana
dengan sabar dan setia mendampingi serta melindungi dirinya dari segala marabahaya.
Raden Lesmana menghalau binatang buas yang hendak memangsa Raden Ramabadra,
KITAB WAYANG PURWA

menyingkirkan onak dan duri, bahkan berdiri di depan kakaknya itu saat hujan badai
menerjang. Ketika Raden Ramabadra sadar dari linglung, ia pun berterima kasih banyak
kepada Raden Lesmana dan berjanji kelak jika lahir kembali, ia ingin menjadi adik,
sedangkan Raden Lesmana biarlah menjadi kakak, agar bisa ganti melayani.
Demikianlah, roh Prabu Sri Rama kini memohon kepada Batara Guru agar diizinkan
menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden Lesmana biarlah menitis kepada Prabu
Baladewa saja, bukan kepada Raden Permadi. Dengan demikian, ia bisa menepati janjinya
seperti yang telah diucapkan dulu.
Batara Guru lalu berunding dengan Batara Narada. Semasa hidupnya, Raden
Lesmana tidak pernah menikah, sedangkan Raden Permadi diramalkan kelak mempunyai
banyak istri di mana-mana. Namun, dewata telah menetapkan bahwa Wahyu Sejati harus
turun kepada Pandawa nomor tiga tersebut, dan ini tidak mungkin dibatalkan. Sebagai jalan
tengah, Batara Guru pun memerintahkan roh Raden Lesmana untuk membelah menjadi
dua. Yang setengah hendaknya menitis kepada Prabu Baladewa sebagai Wahyu Wahdat,
sedangkan yang setengah tetap menitis kepada Raden Permadi sebagai Wahyu Sejati.
Roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menerima keputusan tersebut dengan
senang hati. Roh Raden Lesmana lalu membelah menjadi dua. Mereka kemudian mohon
pamit dan pergi bersama-sama menuju Gunung Gandamadana.

RADEN BRATASENA BERTEMU KAPI ANOMAN


Raden Bratasena sang Panenggak Pandawa saat ini sedang dalam perjalanan
mencari Raden Permadi yang sudah lama tidak pulang ke Amarta. Di tengah jalan ia
bertemu seekor kera tua berbulu putih yang mengenakan pakaian mirip dengannya, yaitu
kain Dodot Poleng Bang Bintulu Aji, Sumping Pudak Sinumpet, Pupuk Mas Rineka Jaroting
Asem, Kelatbahu Cepok Manggis, Gelang Candrakirana, dan Peningset Cindebara.
Raden Bratasena bertanya dengan logatnya yang khas dari mana Kapi Anoman
mendapatkan pakaian tersebut. Kapi Anoman tersinggung karena mengira Raden
Bratasena seorang pemuda yang tidak punya sopan santun, sehingga ia pun menjawab
dengan sesuka hati bahwa semua pakaian ini berasal dari bapaknya. Raden Bratasena pun
memaksa Kapi Anoman untuk melepaskan pakaian itu karena tidak pantas dikenakan oleh
seekor kera. Kapi Anoman semakin tersinggung dan menantang Raden Bratasena apakah
bisa memaksanya melepas pakaian. Keduanya pun bertarung, saling banting dan tendang.
Keduanya seolah mempunyai kesaktian yang seimbang, meskipun yang satu sudah tua dan
yang satunya masih muda serta gagah.
Raden Bratasena akhirnya menghentikan pertarungan karena teringat sesuatu. Ia
ingat dahulu Batara Bayu pernah bercerita bahwa di zaman kuno ada seorang putra
angkatnya yang menjadi pahlawan besar dalam perang melawan Prabu Rahwana raja
Alengka. Putra angkat Batara Bayu itu berwujud wanara putih, bernama Kapi Anoman.
Raden Bratasena sangat mengagumi kisah kepahlawanan Kapi Anoman dan
membayangkan pasti orangnya gagah perkasa seperti dirinya.
Kapi Anoman tertawa dan menjawab bahwa dirinya adalah pahlawan yang dikagumi
Raden Bratasena tersebut. Raden Bratasena tidak percaya karena Kapi Anoman hidup di
zaman kuno, pasti orangnya sudah meninggal. Lagipula Kapi Anoman adalah pahlawan
besar yang namanya dikenang sepanjang masa, tentu tubuhnya gagah perkasa, bukannya
tua renta seperti ini. Kapi Anoman kembali tertawa dan kemudian mengheningkan cipta.
Seketika tubuhnya pun berubah ukuran menjadi tinggi besar, jauh lebih besar daripada
Raden Bratasena.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Bratasena merinding dan merasa ngeri. Ia kini percaya bahwa sosok kera putih
di hadapannya adalah benar-benar Kapi Anoman, pahlawan pujaannya. Kapi Anoman pun
kembali ke wujud asal dan segera memeluk Raden Bratasena. Ia meminta maaf atas
pertarungan tadi. Meskipun usianya sudah tua, tapi ternyata sifatnya masih berangasan dan
mudah tersinggung oleh ucapan kaum muda.
Raden Bratasena sungguh kagum bercampur heran, ternyata Kapi Anoman masih
hidup meskipun peristiwa Brubuh Alengka sudah berlalu ratusan tahun. Kapi Anoman
menjawab dirinya memang mendapat anugerah panjang umur dari dewata karena ditugasi
menjaga roh Prabu Rahwana yang dipenjara di Gunung Ungrungan. Sayang sekali, dirinya
sempat lengah, sehingga roh Prabu Rahwana itu berhasil kabur dan kini menjadi raja di
Tawanggantungan, bergelar Prabu Godayitma.
Kapi Anoman mendapat petunjuk dari dewata bahwa untuk menangkap kembali Prabu
Godayitma, dirinya harus pergi ke Gunung Gandamadana. Namun sayang, ia tidak
mengetahui di mana letak gunung tersebut berada. Raden Bratasena menjawab bahwa
Gunung Gandamadana adalah tempat kakeknya yang bernama Prabu Kuntiboja
dimakamkan. Kebetulan juru kunci astana di gunung tersebut juga berwujud wanara tua,
bernama Resi Jembawan.
Kapi Anoman sangat terkejut mendengar nama itu disebut. Ia berkata bahwa dahulu
kala dirinya mengabdi sebagai senapati Kerajaan Guakiskenda yang dipimpin pamannya,
bernama Prabu Sugriwa. Adapun Kapi Jembawan bertindak sebagai penasihat pamannya
tersebut. Sungguh tidak disangka ternyata Kapi Jembawan juga dikaruniai umur panjang
dan kini menjadi pendeta di Gunung Gandamadana. Kapi Anoman tidak sabar lagi dan
mengajak Raden Bratasena untuk mengantarkannya pergi ke gunung tersebut. Raden
Bratasena dengan senang hati memenuhi ajakan Kapi Anoman yang kini dipanggilnya
sebagai kakak. Mereka berdua pun bergegas pergi ke sana dengan mengerahkan kesaktian
yang sama-sama pernah mereka pelajari dari Batara Bayu.

PRABU KRESNA, PRABU BALADEWA, DAN RADEN PERMADI MENDAPAT WAHYU


Sementara itu, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa telah berada di Astana
Gandamadana, di mana mereka bertapa di depan makam Prabu Kuntiboja, sang leluhur
pendiri Kerajaan Mandura. Tiba-tiba dari langit muncul tiga titik cahaya, di mana yang satu
masuk ke dalam tubuh Prabu Kresna, yang satunya masuk ke dalam tubuh Prabu
Baladewa, dan yang satu lagi masuk ke balik cungkup makam.
Batara Narada pun turun dari kahyangan untuk membangunkan Prabu Kresna dan
Prabu Baladewa, serta mengabarkan bahwa Wahyu Purbasejati telah diterima oleh mereka.
Tidak hanya itu, ada satu lagi orang yang mendapatkan wahyu selain mereka berdua. Prabu
Baladewa heran karena sejak tadi hanya dirinya dan Prabu Kresna saja yang bertapa di
dalam astana. Resi Jembawan yang menunggu di luar jelas tidak mungkin mendapatkan
wahyu.
Prabu Kresna berkata bahwa sejak tadi ia sudah mengetahui ada orang ketiga yang
menyusup di dalam astana. Namun, karena orang itu bertujuan baik, Prabu Kresna sengaja
tidak menegurnya. Orang ketiga itu adalah Raden Permadi yang datang lebih dulu dan
bersembunyi di balik cungkup.
Karena namanya disebut, Raden Permadi pun keluar perlahan dan menyembah
Batara Narada, Prabu Kresna, dan Prabu Baladewa. Karena semua kini telah lengkap,
Batara Narada pun menjelaskan makna Wahyu Purbasejati kepada mereka.
Wahyu Purba adalah penjelmaan roh Prabu Sri Ramawijaya, leluhur Prabu Kuntiboja,
yang juga pahlawan di zaman kuno. Makna dari purba adalah asal usul, yang bisa juga
KITAB WAYANG PURWA

ditafsirkan sebagai perencanaan, pengaturan siasat, ataupun perumusan tindakan. Wahyu


Purba ini menitis kepada Prabu Kresna, sebagai sosok manusia yang memiliki kecerdasan
tinggi, dan juga titisan Batara Wisnu sebagai pemelihara ketertiban dunia. Prabu Kresna
mendapat wewenang untuk merencanakan dan mengatur siasat bagaimana agar angkara
murka dapat musnah dari muka bumi.
Wahyu Sejati adalah penjelmaan setengah roh Raden Lesmana, adik Prabu Sri Rama.
Sejati artinya kebenaran yang nyata, kebenaran yang sebenarnya. Wahyu Sejati ini menitis
kepada Raden Permadi sebagai kesatria lambang kebenaran. Raden Permadi ditakdirkan
menjadi kesatria penumpas angkara murka, pembela kebenaran yang sejati, bukan
kebenaran semu berdasarkan tafsir masing-masing orang.
Wahyu Wahdat adalah penjelmaan setengah roh Raden Lesmana juga. Wahdat
artinya tunggal, tidak mendua. Wahyu Wahdat ini menitis kepada Prabu Baladewa yang
bersifat tidak mendua, tidak memihak. Prabu Baladewa adalah lambang kebenaran dari
Tuhan Yang Mahatunggal. Kebenaran Tuhan sifatnya satu, tidak mendua. Kebenaran
adalah satu, dan tafsir atas kebenaran bisa jadi bermacam-macam. Seringkali banyak orang
saling bunuh dengan mengaku sedang membela kebenaran. Padahal sebenarnya, yang
mereka bela bukanlah kebenaran, tetapi tafsir atas kebenaran sesuai pemahaman masing-
masing.
Semasa hidupnya, Raden Lesmana telah menjalani hidup wahdat, yaitu tidak menikah
seumur hidup, serta mampu mematikan nafsu birahinya. Karena Wahyu Wahdat telah
menitis kepada Prabu Baladewa, maka mulai hari ini Prabu Baladewa tidak lagi memiliki
nafsu birahi terhadap wanita, sama seperti Raden Lesmana. Dengan demikian, Prabu
Baladewa akan tetap teguh memegang kebenaran tunggal, dan tidak akan mendua.
Prabu Baladewa senang bercampur sedih. Ia senang karena telah mendapatkan
wahyu, sekaligus sedih karena jika tidak memiliki nafsu birahi, maka itu berarti akan
mengecewakan istrinya, yaitu Dewi Erawati. Batara Narada menjawab bahwa
penjelasannya belum selesai. Ia berkata, Prabu Baladewa tidak akan memiliki nafsu birahi
kepada wanita lain, sedangkan kepada Dewi Erawati, nafsu birahi tetap ada, namun hanya
dapat digunakan sebagaimana mestinya, tidak diumbar sepanjang waktu. Mendengar itu,
Prabu Baladewa bersyukur dan meminta maaf telah menyela pembicaraan Batara Narada
tadi.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke Kahyangan
Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.

KAPI ANOMAN MERINGKUS DITYA KUNJANAWRESA


Resi Jembawan tiba-tiba datang menemui Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden
Permadi untuk mengabarkan bahwa di luar Astana Gandamadana saat ini sedang terjadi
pertempuran antara pasukan raksasa melawan dua orang kesatria. Prabu Kresna, Prabu
Baladewa, dan Raden Permadi segera keluar untuk memeriksa.
Sesampainya di luar, mereka melihat Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma
sedang bertempur melawan Kapi Anoman dan Raden Bratasena. Ditya Kunjanawresa yang
berwujud raksasa kepala kuda dapat ditaklukkan oleh Kapi Anoman, sedangkan Patih
Prahastayitma yang berwujud hantu dapat diringkus oleh Raden Bratasena yang
memanfaatkan khasiat Minyak Pranawa.
Ditya Kunjanawresa menyerah kalah dan menyatakan siap dihukum mati. Prabu
Kresna mengamati bahwa sesungguhnya raksasa ini berwatak polos dan tidak jahat. Ia
hanya terbawa oleh dosa kedua kakaknya yang serakah, serta termakan hasutan Prabu
Godayitma. Maka, Prabu Kresna pun mengampuni Ditya Kunjanawresa dan
KITAB WAYANG PURWA

mempersilakannya untuk pulang ke Gunung Mregapati sebagai pendeta di sana. Prabu


Kresna berjanji akan melindungi Ditya Kunjanawresa karena Gunung Mregapati masih
termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati.
Ditya Kunjanawresa sangat terharu karena orang yang ia benci ternyata baik hati dan
mau memaafkan perbuatannya. Ia menyesal telah menuruti hasutan Prabu Godayitma yang
hanya memanfaatkan dirinya untuk menculik Dewi Bratajaya. Maka, Ditya Kunjanawresa
pun bersumpah dirinya tidak akan lagi mengganggu Prabu Kresna sekeluarga. Tidak hanya
itu, ia mengaku takut pada kesaktian Kapi Anoman dan bersumpah mulai hari ini bangsa
kuda akan selalu tunduk kepada bangsa kera. Barangsiapa ingin memelihara kuda
sebaiknya juga memelihara kera untuk membantu menjinakkannya.
Setelah mendapatkan Wahyu Purba, kecerdasan Prabu Kresna meningkat pesat. Ia
dapat mengenali Patih Prahastayitma meskipun baru kali ini bertemu. Patih Prahastayitma
pun ditanyai mengapa Prabu Godayitma menghasut Ditya Kunjanawresa untuk menyerang
Kerajaan Dwarawati. Patih Prahastayitma pada dasarnya berwatak jujur. Ia pun berterus
terang bahwa serangan terhadap Kerajaan Dwarawati hanyalah pancingan belaka demi
mengalihkan perhatian Arya Setyaki dan kawan-kawan. Saat mereka sibuk bertempur,
Raden Begakumara menyusup masuk ke dalam istana untuk menculik Dewi Bratajaya yang
merupakan titisan Batari Sri Wedawati. Dewi Bratajaya kini telah dibawa oleh Raden
Begakumara menuju Kerajaan Tawanggantungan untuk diperistri Prabu Godayitma.
Mendengar itu, Prabu Kresna segera berkata kepada Kapi Anoman dan Raden
Permadi untuk menangkap Prabu Godayitma dan merebut kembali Dewi Bratajaya.
Keduanya pun mohon pamit menjalankan perintah.

KAPI ANOMAN MENANGKAP PRABU GODAYITMA


Raden Permadi segera mengerahkan Aji Penggandan untuk merasakan bau tubuh
Dewi Bratajaya. Setelah ketemu, ia kemudian melesat sambil mengerahkan Aji Seipi Angin
menuju ke arah datangnya bau. Kapi Anoman pun mengikuti dari belakang dengan
mengerahkan ilmu melompatnya yang dahsyat bagaikan terbang. Hingga akhirnya, mereka
melihat Raden Begakumara sedang melayang terbang menuju Kerajaan
Tawanggantungan.
Raden Permadi segera mengerahkan Aji Ngragasukma agar dapat merebut Dewi
Bratajaya tanpa sepengetahuan Raden Begakumara yang berwujud hantu. Dengan
cekatan, ia mengeluarkan Dewi Bratajaya yang disimpan secara gaib di dalam kancing
gelung Raden Begakumara, serta menggantinya dengan Kapi Anoman. Raden Permadi lalu
kembali ke wujud fisik dan membawa Dewi Baratajaya menuju Gunung Gandamadana.
Demikianlah, Raden Begakumara telah tiba di hadapan Prabu Godayitma. Begitu ia
membuka kancing gelungnya, tiba-tiba yang keluar bukan Dewi Bratajaya, melainkan Kapi
Anoman, musuh lama mereka. Karena tidak siap, Prabu Godayitma dan Raden
Begakumara dapat diringkus dengan mudah oleh Kapi Anoman dan diikat menggunakan
rantai gaib pemberian Batara Narada. Keduanya lalu diseret menuju Gunung
Gandamadana sambil mulut mereka memaki-maki sepanjang jalan.

KAPI ANOMAN MENJADI PENDETA DI GUNUNG KENDALI


Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Raden Bratasena, Raden Permadi, dan Dewi
Bratajaya menyambut kedatangan Kapi Anoman dengan sukacita. Resi Jembawan dan
Dewi Trijata juga muncul dan ikut berbahagia. Kapi Anoman menghormat kepada mereka
dengan perasaan haru. Sudah ratusan tahun mereka berpisah dan kini bisa bertemu
kembali dalam suasana bahagia.
KITAB WAYANG PURWA

Kapi Anoman berkata bahwa dirinya ingin mengabdi kepada Prabu Kresna, dan tidak
mau pulang ke Gunung Ungrungan di Pulau Sailan. Prabu Kresna mengabulkan
permohonan itu. Ia menyarankan hendaknya Kapi Anoman membangun penjara baru untuk
Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma di Gunung Kendali, yang
masih termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna juga memerintahkan Kapi
Anoman untuk menjadi pendeta demi melunturkan sisa-sisa watak beringasnya sebagai
mantan jagoan Gunung Suwelagiri.
Kapi Anoman mematuhi dan mohon petunjuk di mana letak Gunung Kendali berada.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa Gunung Kendali tercipta dari pusaka Brahmakadali milik
Bambang Sakri, yaitu leluhur para Pandawa. Setelah Bambang Sakri gugur di tangan Prabu
Murtija, pusaka Brahmakadali berubah menjadi gunung, dan diberi nama Gunung Kendali
oleh masyarakat sekitar.
Prabu Kresna lalu memungut sebatang lidi (sada) dan melemparkannya ke arah timur.
Kapi Anoman diperintah untuk mengikuti lidi tersebut. Di mana lidi itu jatuh, maka di situlah
Gunung Kendali berada. Kapi Anoman mematuhi dan segera pergi sambil menyeret Prabu
Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma. Raden Bratasena pun bergegas
mengikuti dari belakang.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Kapi Anoman dan Raden Bratasena
melihat lidi tersebut menancap di bebatuan sebuah gunung kecil. Mereka yakin pasti
gunung tersebut yang bernama Gunung Kendali. Kapi Anoman dibantu Raden Bratasena
pun membangun penjara gaib untuk mengurung Prabu Godayitma, Raden Begakumara,
dan Patih Prahastayitma.
Setelah semuanya beres, Kapi Anoman lalu memulai kehidupannya sebagai pendeta,
dengan bergelar Resi Kapiwara Anoman. Dengan disaksikan Raden Bratasena, ia pun
memberi nama padepokannya, yaitu Kendalisada, yang bermakna Gunung Kendali
tertancap lidi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Wahyu Purbasejati tidak terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa. Adapun kisah Kapi
Anoman meringkus Ditya Kunjanawresa terdapat dalam naskah tersebut, yang menurut Raden
Ngabehi Ranggawarsita terjadi bersamaan dengan pernikahan Prabu Kresna dan Dewi
Setyaboma, yaitu pada tahun Suryasengkala 696 yang ditandai dengan sengkalan “Hoyaging
gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717 yang ditandai dengan sengkalan
“Swaraning janma gora”.
KITAB WAYANG PURWA

GATUTKACA LAHIR
Kisah ini menceritakan lahirnya kesatria gagah perkasa yang namanya terkenal
sepanjang masa, yaitu Raden Gatutkaca putra Raden Bimasena. Juga dikisahkan awal
mula bertemunya Raden Arjuna dengan Endang Manuhara yang kelak dari perkawinan
mereka lahir seorang putri bernama Endang Pregiwa. Putri inilah yang nantinya
menjadi jodoh Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Manteb Soedharsono, dan juga Ki Anom Suroto, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 09 Desember 2016
Heri Purwanto

Raden Gatutkaca

PRABU KALAPRACONA INGIN MENIKAHI BIDADARI BATARI SUPRABA


Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Kalapracona dari Kerajaan
Kiskandapura. Pada suatu malam ia mimpi bertemu bidadari paling cantik di Kahyangan
Suralaya, bernama Batari Supraba.
Setelah bangun dari mimpinya, Prabu Kalapracona pun dilanda kasmaran dan ingin
menjadikan bidadari tersebut sebagai istrinya.
Prabu Kalapracona segera menyampaikan niatnya kepada Patih Sekiputantra bahwa
dirinya akan pergi ke Kahyangan Suralaya untuk melamar Batari Supraba. Patih
Sekiputantra berkata bahwa tidak pantas jika rajanya yang berangkat sendiri ke sana.
Sebagai menteri utama Kiskandapura, ia menawarkan diri untuk mewakili Prabu
Kalapracona melamar bidadari tersebut kepada Batara Indra. Prabu Kalapracona setuju
dan melepas keberangkatan Patih Sekiputantra. Ia pun berpesan entah bagaimana caranya
Patih Sekiputantra harus bisa membawa pulang Batari Supraba, baik dengan cara halus
ataupun dengan cara paksa.
Demikianlah, Patih Sekiputantra pun berangkat menuju Kahyangan Suralaya dengan
didampingi Ditya Abiriwi dan Ditya Wrahandana, beserta pasukan raksasa secukupnya.

BATARA INDRA MEMBICARAKAN KELAHIRAN RADEN TETUKA


Batara Indra di Kahyangan Suralaya dihadap para dewata, antara lain Batara
Wrehaspati, Batara Citranggada, Batara Citrasena, Batara Citrarata, dan Batara
KITAB WAYANG PURWA

Arjunawangsa. Dalam pertemuan itu hadir pula Batara Narada yang mendapat tugas dari
Batara Guru di Kahyangan Jonggringslaka untuk menyerahkan pusaka kepada Raden
Permadi yang sedang bertapa di Hutan Jatirokeh.
Batara Indra membenarkan bahwa putra angkatnya, yaitu Raden Permadi memang
sedang bertapa di Hutan Jatirokeh memohon anugerah dewata. Kesatria Panengah
Pandawa itu meminta diberi pusaka kahyangan untuk memotong tali pusar keponakannya
yang bernama Raden Tetuka, yang sudah setahun ini belum juga putus. Betapa tekun
Raden Permadi bertapa, membuat Kahyangan Suralaya dilanda hawa panas. Para bidadari
pun merasa gerah dan kehausan, sehingga banyak di antara mereka yang meratap-ratap
minta tolong.
Batara Indra bercerita bahwa setahun yang lalu Dewi Arimbi istri Raden Bratasena
melahirkan seorang bayi berwajah tampan tapi memiliki taring. Bayi tersebut diberi nama
Raden Tetuka yang merupakan titisan Arya Gandamana, kesatria tangguh dari Kerajaan
Pancala yang dulu gugur dalam peristiwa Sayembara Dewi Drupadi. Pada saat kelahiran
bayi tersebut, Dewi Drupadi ditugasi Prabu Puntadewa untuk memotong tali pusarnya tetapi
gagal. Entah mengapa, tali pusar tersebut sangat ulet dan keras, tidak bisa diputus. Raden
Nakula dan Raden Sadewa mencoba membantu tetapi gagal pula. Raden Bratasena
terpaksa menggunakan Kuku Pancanaka yang terkenal tajam luar biasa, namun juga tidak
berhasil memotong tali pusar putranya.
Setahun kini telah berlalu dan si bayi Raden Tetuka tetap terhubung dengan ari-arinya.
Karena didorong rasa prihatin, Raden Permadi pun pergi bertapa memohon kepada dewata
agar diberi pusaka yang mampu memotong tali pusar keponakannya. Itulah sebabnya
Batara Indra pun mengirim permohonan kepada Batara Guru di Kahyangan
Jonggringsalaka agar memberikan pusaka yang diinginkan Raden Permadi. Batara Guru
pun mengabulkan permohonan tersebut. Batara Narada lalu diutus pergi untuk
menyerahkan pusaka berupa Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu kepada
Pandawa nomor tiga tersebut.
Batara Indra gembira mendengar hal itu. Ia pun berniat mendampingi Batara Narada
untuk menyerahkan kedua pusaka tersebut kepada Raden Permadi di Hutan Jatirokeh.

BATARA INDRA MENOLAK LAMARAN PATIH SEKIPUTANTRA


Belum sempat Batara Indra berangkat bersama Batara Narada, tiba-tiba datang Patih
Sekiputantra dari Kerajaan Kiskandapura yang menyampaikan surat lamaran Prabu
Kalapracona terhadap Batari Supraba. Batara Indra membaca surat tersebut dan merobek-
robeknya. Dengan tegas ia katakan bahwa selamanya bangsa raksasa tidak pantas
mempunyai istri bidadari. Ia pun memerintahkan Patih Sekiputantra agar segera pulang ke
negaranya dan menyarankan Prabu Kalapracona untuk menikahi sesama bangsa raksasi
saja.
Patih Sekiputantra menjawab bahwa dirinya telah mendapatkan wewenang dari
rajanya untuk merebut paksa Batari Supraba apabila tidak dapat dilamar secara baik-baik.
Batara Indra semakin marah dan memerintahkan Patih Sekiputantra menunggu di lapangan
Repatkepanasan jika memang ingin mencoba kekuatan pasukan Dorandara.
Demikianlah, Patih Sekiputantra pun keluar dan bersiaga dengan kedua
pendampingnya, yaitu Ditya Abiriwi dan Ditya Wrahandana. Batara Citranggada dan Batara
Citrasena keluar menghadapi mereka dengan membawa pasukan Dorandara. Pertempuran
pun terjadi. Tidak disangka kekuatan pihak raksasa sungguh dahsyat. Mereka mampu
mendesak mundur para dewa hingga berlindung di balik gerbang Kori Selamatangkep.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada merasa tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda. Ia pun pergi
meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk pergi menuju hutan di mana Raden Permadi
bertapa. Adapun Batara Indra dan para dewa lainnya tetap tinggal di Kahyangan Suralaya
untuk menjaga keamanan dari para raksasa pengacau tersebut.

BATARA SURYA MEMBANTU ADIPATI KARNA MENIPU BATARA NARADA


Hutan Jatirokeh sangat luas dan lebat, di mana Raden Permadi sedang bertapa tekun
di dalamnya. Ternyata di sisi lain hutan ini juga sedang bertapa seorang kesatria sakti, yaitu
Adipati Karna dari Awangga. Kedua kesatria tersebut sama-sama bertapa dan saling tidak
mengetahui keberadaan satu sama lain.
Batara Surya telah mendengar kabar bahwa Batara Narada mendapat tugas dari
Batara Guru untuk menganugerahkan pusaka Kuntadruwasa dan Wijayadanu kepada
Raden Permadi. Ia pun membangunkan Adipati Karna dan mengajak putranya itu untuk
bermuslihat merebut kedua pusaka tersebut agar tidak sampai jatuh ke tangan Raden
Permadi.
Adipati Karna merasa ikhlas jika memang dewata lebih memilih adiknya sebagai
penerima kedua pusaka itu. Ia pun memutuskan lebih baik pulang saja ke Kadipaten
Awangga, tidak perlu meneruskan bertapa. Batara Surya menasihati putranya untuk tidak
mudah menyerah. Ia menyarankan agar Adipati Karna merebut kedua pusaka tersebut
menggunakan tipu muslihat. Adipati Karna menolak dengan halus. Namun, karena ayahnya
terus-menerus mendesak, ia akhirnya bersedia menjalankan siasat yang disusun Batara
Surya.
Batara Surya lalu mengerahkan kekuasaannya untuk meredupkan cahaya matahari.
Karena suasana tiba-tiba berubah menjadi remang-remang, Batara Narada yang terbang di
angkasa pun salah jalan. Ia tersesat tidak dapat membedakan di mana tempat Raden
Permadi bertapa, sehingga justru mendatangi Adipati Karna.

BATARA NARADA MENYERAHKAN KEDUA PUSAKA KEPADA ADIPATI KARNA


Saat itu Adipati Karna bertapa dengan mengenakan busana kesatria, bukan busana
raja. Dengan demikian, penampilannya pun sama persis seperti Raden Permadi. Ditambah
lagi dengan suasana yang kini remang-remang, membuat Batara Narada mengira Adipati
Karna benar-benar Raden Permadi.
Sesuai rencana, Adipati Karna pun berpura-pura bahwa dirinya adalah Raden
Permadi. Batara Narada menjelaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan
anugerah Batara Guru berupa pusaka Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu kepada
sang Pandawa nomor tiga. Adipati Karna pun menerima kedua pusaka tersebut dengan
senang hati.
Batara Narada lalu menjelaskan bahwa Kuntadruwasa adalah panah yang sangat
ampuh, dan sama ampuhnya dengan panah Guhyawijaya milik Prabu Sri Rama di zaman
kuno. Kunta sendiri bermakna “tombak”, sedangkan Druwasa bermakna “Kilatan Yang
Mahakuasa”. Adipati Karna pun mengamat-amati Panah Kuntadruwasa yang memang
berukuran panjang seperti tombak dan berkilat-kilat memancarkan cahaya.
Batara Narada menjelaskan bagaimana cara menggunakan Kuntadruwasa yang
panjang seperti tombak, tentu tidak dapat ditembakkan menggunakan busur biasa. Oleh
sebab itu, menembakkan Kuntadruwasa harus menggunakan busur pusaka pula, yang
bernama Wijayadanu. Adapun kata wijaya bermakna “kemenangan”, sedangkan danu
bermakna “busur”. Kuntadruwasa dan Wijayadanu adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Karna berterima kasih atas kebaikan Batara Narada, sehingga dirinya kini bisa
mengimbangi kesaktian Raden Permadi yang memiliki busur pusaka Gandiwa, yang
didapatkannya dari sayembara Dewi Drupadi dulu. Batara Narada heran mendengar Raden
Permadi di hadapannya berbicara tentang Raden Permadi pula. Akhirnya, ia pun sadar
bahwa dirinya telah salah menyerahkan pusaka. Kesatria yang sejak tadi diajaknya bicara
ternyata bukan Raden Permadi, melainkan Adipati Karna yang memang keduanya berwajah
mirip.
Batara Narada pun meminta Adipati Karna untuk mengembalikan Kuntadruwasa dan
Wijayadanu kepada dirinya, agar bisa diserahkan kepada Raden Permadi yang lebih
berhak. Adipati Karna menolak karena itu justru mencoreng nama baik dewata. Orang akan
menuduh dewata sebagai kaum yang plin-plan, suka mengubah-ubah keputusan. Alangkah
lucunya jika dewata memberikan anugerah kepada seseorang dan memintanya kembali
karena salah kirim.
Batara Narada merasa dipermalukan atas sindiran Adipati Karna. Ia pun melesat pergi
meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari di mana Raden Permadi yang sesungguhnya
berada.

BATARA NARADA MENEMUI RADEN PERMADI


Batara Narada menelusuri Hutan Jatirokeh dan menemukan Raden Permadi sedang
bertapa di bawah pohon besar. Ia pun membangunkan kesatria tersebut dan mengabarkan
bahwa pusaka Kuntadruwasa dan Wijayadanu yang seharusnya menjadi haknya justru
direbut dengan cara licik oleh Adipati Karna.
Raden Permadi menjawab ikhlas jika memang Adipati Karna memperoleh kedua
pusaka tersebut. Bukankah dulu Batara Narada sendiri yang memperkenalkan mereka
berdua sebagai adik dan kakak beda ayah, yaitu saat peristiwa Alap-Alapan Dewi
Srutikanti? Lagipula yang diinginkan Raden Permadi bukan panah dan busur, melainkan
Kayu Kastubamulya untuk memotong tali pusar keponakannya.
Raden Permadi bercerita bahwa Raden Tetuka sejak lahir hingga sekarang berusia
satu tahun belum terpisah dengan ari-arinya. Tali pusar milik Raden Tetuka sangat ulet dan
kuat, tidak dapat dipotong menggunakan segala jenis senjata. Menurut petunjuk Bagawan
Abyasa di Padepokan Saptaarga, tali pusar Raden Tetuka hanya bisa dipotong
menggunakan Kayu Kastubamulya yang tumbuh di kahyangan. Itulah sebabnya Raden
Permadi pun bertapa memohon dewata agar menganugerahkan kayu jenis tersebut
kepadanya.
Batara Narada menjawab bahwa ini sungguh kebetulan karena warangka yang
membungkus ujung Panah Kuntadruwasa terbuat dari Kayu Kastubamulya. Mendengar itu,
Raden Permadi langsung mohon pamit mengejar Adipati Karna.

RADEN PERMADI MEREBUT WARANGKA PANAH KUNTADRUWASA


Raden Permadi mengerahkan Aji Seipi Angin dan berhasil mengejar Adipati Karna
yang mengendarai Kereta Jatisura. Adipati Karna pun turun dari kereta dan menyambut
adiknya itu. Raden Permadi berterus terang bahwa kedatangannya adalah untuk meminta
warangka pembungkus panah Kuntadruwasa.
Adipati Karna menjawab bahwa ia tidak dapat menyerahkan warangka tersebut karena
sangat tidak mungkin jika panah pusakanya tidak memiliki pembungkus. Panah
Kuntadruwasa dan warangkanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Raden
Permadi pun menjelaskan bahwa warangka panah Kuntadruwasa terbuat dari Kayu
Kastubamulya, dan benda ini dapat digunakan untuk memotong tali pusar Raden Tetuka,
KITAB WAYANG PURWA

putra Raden Bratasena. Raden Permadi memohon Adipati Karna agar sudi mengasihani
nasib Raden Tetuka yang masih terhitung keponakannya sendiri.
Adipati Karna menjawab tidak peduli. Ia masih ingat bagaimana Raden Bratasena
dengan kasar dan tanpa tata krama pernah menghina dirinya di depan orang banyak. Dulu
saat peristiwa Pendadaran Murid-Murid Sokalima, Raden Bratasena itulah yang paling
lantang menghina dirinya sebagai anak kusir. Jika kini Raden Bratasena memiliki anak
cacat, maka itu adalah karma buruk yang harus ia terima.
Raden Permadi hilang kesabaran. Ia pun menyerang Adipati Karna untuk merebut
warangka Panah Kuntadruwasa dengan kekerasan. Kedua kesatria itu lalu bertarung seru.
Di antara mereka tidak terlihat siapa yang menang ataupun kalah. Adipati Karna akhirnya
memasang Kuntadruwasa pada busur Wijayadanu untuk mengancam lawan. Namun, ia
sengaja tidak melepas warangka pembungkus ujung panah pusaka tersebut karena
memang tidak berniat membunuh Raden Permadi, melainkan hanya menakut-nakuti
adiknya saja.
Raden Permadi bukannya takut tetapi justru menerjang maju merampas Panah
Kuntadruwasa. Adipati Karna pun menarik panah pusakanya mundur, sedangkan Raden
Permadi menggenggam warangkanya. Akibatnya, kedua benda itu pun berpisah. Adipati
Karna tetap mendapatkan Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu, sedangkan Raden
Permadi mendapatkan warangka pembungkusnya saja.
Adipati Karna lalu pergi memacu Kereta Jatisura. Sementara itu, Batara Narada
datang menemui Raden Permadi. Ia mengatakan mungkin memang sudah takdir bahwa
Kuntadruwasa dan Wijayadanu harus menjadi milik Adipati Karna. Namun, ia meyakinkan
Raden Permadi bahwa warangka pusaka tersebut benar-benar terbuat dari Kayu
Kastubamulya yang dapat digunakan untuk memotong tali pusar Raden Tetuka.
Setelah berkata demikian, Batara Narada berniat kembali ke Kahyangan Suralaya
untuk membantu Batara Indra menghadapi para pengacau dari Kerajaan Kiskandapura
yang dipimpin Patih Sekiputantra. Raden Permadi prihatin mendengar berita itu. Ia pun
berjanji setelah memotong tali pusar Raden Tetuka, maka dirinya akan menyusul pergi ke
Kahyangan Suralaya untuk ikut berperang membantu para dewa. Batara Narada senang
mendengarnya dan berharap Raden Permadi dapat segera menumpas para raksasa.

RADEN PERMADI MEMOTONG TALI PUSAR RADEN TETUKA


Raden Permadi telah tiba di Kesatrian Jodipati, yaitu tempat tinggal Raden Bratasena
di Kerajaan Amarta. Tampak si bayi Raden Tetuka digendong ibunya, yaitu Dewi Arimbi.
Hadir pula di tempat itu Prabu Puntadewa, Prabu Kresna, Prabu Baladewa, serta si kembar
Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Raden Permadi melaporkan hasil pertapaannya, di mana ia berhasil mendapatkan
Kayu Kastubamulya dalam bentuk warangka pembungkus Panah Kuntadruwasa. Menurut
keterangan dari Batara Narada, warangka tersebut mampu digunakan untuk memotong tali
pusar Raden Tetuka.
Raden Bratasena pun mengizinkan Raden Permadi untuk mencoba. Raden Permadi
lalu maju dan mengiris tali pusar Raden Tetuka. Sungguh ajaib, tali pusar tersebut langsung
putus terkena Kayu Kastubamulya, padahal selama ini tidak ada senjata tajam yang mampu
memotongnya. Dan yang lebih ajaib lagi, warangka kayu tersebut langsung musnah dan
bersatu di dalam tubuh si bayi.
Raden Bratasena marah-marah mengira telah terjadi sesuatu yang buruk pada
putranya. Prabu Kresna segera menasihati sepupunya itu agar bersabar. Warangka Kayu
KITAB WAYANG PURWA

Kastubamulya tidak mencelakai Raden Tetuka, tetapi justru menjadi penambah


kekuatannya. Hanya saja, Raden Tetuka jangan sampai bertarung melawan pemilik pusaka
Kuntadruwasa, karena itu akan menjadi penyebab kematiannya. Pusaka Kuntadruwasa
bisa jadi akan memburu Raden Tetuka untuk bersatu kembali dengan warangkanya.
Setelah Raden Bratasena tenang kembali, Raden Permadi pun mohon pamit pergi ke
Kahyangan Suralaya untuk membantu kesulitan yang dihadapi Batara Indra.

RADEN PERMADI MENJADI JAGO KAHYANGAN


Raden Permadi ditemani para panakawan telah sampai di Kahyangan Suralaya di
mana ia langsung bertarung menghadapi pasukan raksasa yang mengepung para dewa.
Satu persatu para raksasa itu tewas bergelimpangan terkena panah-panah yang dilepaskan
Sang Panengah Pandawa.
Ditya Abiriwi dan Ditya Wrahandana maju menyerang Raden Permadi. Kedua senapati
raksasa itu sangat sakti dan kuat, namun tidak berdaya menghadapi Pandawa nomor tiga
tersebut. Akhirnya, mereka pun tewas pula dengan kepala terpenggal oleh panah Raden
Permadi.
Patih Sekiputantra maju menghadapi Raden Permadi. Pertarungan sengit pun terjadi
di antara mereka. Kali ini giliran Raden Permadi yang terdesak. Patih Sekiputantra
mengerahkan Aji Gelap Sayuta yang membuat tubuh Raden Permadi terlempar jauh,
sejauh-jauhnya.
Melihat sang majikan terlempar, para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk,
dan Bagong pun segera pergi mencari ke mana jatuhnya Raden Permadi.

RADEN PERMADI DITEMUKAN ENDANG MANUHARA


Tersebutlah seorang pendeta tua bernama Resi Sidikwacana di Padepokan
Andongsumawi. Ia memiliki seorang putri bernama Endang Manuhara yang cantik jelita. Si
gadis bercerita bahwa tadi malam dirinya mimpi bertemu dengan seorang kesatria tampan
rupawan, bernama Raden Permadi. Ingin sekali Endang Manuhara mengabdi pada kesatria
tersebut.
Sungguh pucuk dicinta ulam tiba, Raden Permadi yang dimimpikan Endang Manuhara
tiba-tiba melayang jatuh dari angkasa dan dapat ditangkap oleh Resi Sidikwacana. Kesatria
tampan itu tampak pingsan dan menderita luka-luka. Endang Manuhara gembira bercampur
prihatin melihatnya. Ia pun meminta kepada sang ayah untuk mengobati luka-luka Raden
Permadi hingga sembuh.
Resi Sidikwacana yang berwatak welas asih pun mengabulkan keinginan putri
tunggalnya itu. Ia lalu menggendong tubuh Raden Permadi yang masih pingsan dan
membawanya masuk ke dalam Padepokan Andongsumawi. Bersama dengan putrinya,
mereka pun bersama-sama merawat luka-luka Raden Permadi hingga pulih seperti
sediakala.

BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA


Sementara itu, Batara Guru dari Kahyangan Jonggringsalaka datang mengunjungi
putranya, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya. Batara Guru telah mengetahui adanya
pasukan raksasa dari Kerajaan Kiskandapura yang mengacau kahyangan untuk merebut
Batari Supraba. Maka, ia pun datang untuk memberikan pertolongan kepada Batara Indra.
Batara Indra dan Batara Narada menceritakan bahwa mereka telah meminta bantuan
Raden Permadi untuk menjadi jago para dewa. Namun, Panengah Pandawa tersebut kalah
KITAB WAYANG PURWA

melawan Patih Sekiputantra dan tubuhnya terlempar jauh entah ke mana. Batara Guru
menjelaskan bahwa jago yang dapat mengalahkan Patih Sekiputantra sekaligus Prabu
Kalapracona bukanlah Raden Permadi, melainkan keponakannya yang baru saja terpisah
dari ari-arinya, yaitu Raden Tetuka.
Mendengar itu, Batara Narada segera mohon pamit berangkat menuju Kesatrian
Jodipati.

RADEN TETUKA MENJADI JAGO KAHYANGAN


Raden Bratasena dan Dewi Arimbi di Kesatrian Jodipati sedang menggelar acara
syukuran atas terputusnya tali pusar Raden Tetuka, sambil menunggu kepulangan Raden
Permadi dari tugasnya sebagai jago kahyangan. Dalam acara syukuran tersebut, Raden
Bratasena mengganti namanya menjadi Raden Wrekodara, sesuai janjinya kepada
mendiang Prabu Arimba dulu.
Batara Narada yang datang tanpa menampakkan diri segera menyambar tubuh Raden
Tetuka yang berada dalam gendongan Dewi Arimbi. Raden Wrekodara heran melihat
putranya melayang sendiri dan melesat dengan cepat di angkasa. Prabu Kresna yang
berpenglihatan tajam dapat mengetahui bahwa si bayi telah direbut oleh Batara Narada.
Maka, ia pun mengajak Prabu Baladewa dan Raden Wrekodara untuk mengejar ke
kahyangan.
Batara Narada telah sampai di hadapan Patih Sekiputantra. Ia berkata bahwa Batari
Supraba akan diserahkan sebagai istri Prabu Kalapracona apabila Patih Sekiputantra dapat
membunuh bayi dalam gendongannya. Patih Sekiputantra tertawa menuduh para dewa
sedang bercanda. Batara Narada menjawab dirinya tidak bercanda. Ia pun meletakkan bayi
Raden Tetuka di tanah dan mempersilakan Patih Sekiputantra untuk membunuhnya.
Patih Sekiputantra maju dengan lagak meremehkan campur kasihan. Ia memukul
Raden Tetuka dengan satu tangan, namun bayi tersebut hanya diam tak terluka sedikit pun.
Patih Sekiputantra heran dan menyerangnya kembali. Akan tetapi, semakin diserang, tubuh
Raden Tetuka justru semakin kuat dan kini ia bisa berjalan dengan lancar. Patih
Sekiputantra semakin penasaran dan tidak berani meremehkan lagi. Raden Tetuka pun
ditangkap, diinjak, ditendang, dan dibanting, namun sedikit pun tidak terluka. Bukannya
mati, bayi tersebut kini justru bisa berlari dan melompat-lompat dengan lincah.
Patih Sekiputantra lalu berkata pada Batara Narada agar membesarkan bayi tersebut
menjadi dewasa dalam sekejap. Ia merasa malu bertarung melawan seorang bayi mungil,
karena jika menang tidak membanggakan, tapi jika kalah sangat memalukan.

RADEN TETUKA MENJADI DEWASA DALAM SEKEJAP


Batara Narada pun menggendong Raden Tetuka dan membawanya ke hadapan
Batara Guru yang menonton di kejauhan bersama para dewa lainnya. Batara Guru telah
mendengar permintaan Patih Sekiputantra dan ia segera memerintahkan Batara Narada
untuk menceburkan bayi Raden Tetuka ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung
Jamurdipa. Kemudian, para dewa yang lain hendaknya ikut menceburkan berbagai pusaka
agar bersatu dengan tubuh si bayi.
Batara Narada segera menjalankan perintah. Ia melemparkan tubuh Raden Tetuka ke
dalam Kawah Candradimuka. Seketika kawah tersebut meluap dan berkobar-kobar. Para
dewa satu persatu menceburkan senjata pusaka mereka ke dalam kawah. Ada yang
menceburkan panah, tombak, gada, pedang, dan banyak lagi yang lainnya.
Api pun menyala berkobar-kobar pada permukaan Kawah Candradimuka. Tidak lama
kemudian muncul seorang pemuda berbadan gagah yang keluar ke permukaan.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, Raden Tetuka kini telah tumbuh menjadi dewasa dalam waktu singkat.
Berbagai senjata pusaka yang dilempar para dewa tadi telah menyatu ke dalam tubuhnya,
membuat dirinya bertambah kuat serta perkasa.
Batara Guru menyambut kedatangan Raden Tetuka dan memberinya nama baru, yaitu
Raden Gatutkaca. Gatut berasal dari kata “gatot” yang artinya “ulet”, sedangkan kaca
maksudnya adalah “cermin”. Maka, nama Gatutkaca mengandung makna “manusia yang
ulet dan perkasa sebagai cermin teladan bagi kaum muda”.
Para dewa yang lain memuji keindahan nama baru Raden Tetuka. Mereka pun
bergantian memberikan restu kemenangan terhadap pemuda tersebut.

PATIH SEKIPUTANTRA TEWAS DIGIGIT RADEN GATUTKACA


Raden Gatutkaca kini maju ke medan laga menghadapi Patih Sekiputantra untuk
melanjutkan pertandingan. Patih Sekiputantra merasa senang dan kini ia tidak perlu segan
lagi membunuh lawan. Keduanya lalu bertarung dengan disaksikan para dewa. Mereka
bertanding seru, saling pukul dan saling tendang. Apa pun yang dilakukan Patih
Sekiputantra pasti ditirukan oleh Raden Gatutkaca.
Patih Sekiputantra lama-lama merasa terdesak. Pukulan dan tendangannya tidak ada
yang mampu melukai Raden Gatutkaca. Karena kehabisan akal, Patih Sekiputantra pun
menggigit leher pemuda itu dengan menggunakan gigi taringnya yang runcing. Raden
Gatutkaca kesakitan dan meronta. Begitu lolos ia ganti menggigit leher Patih Sekiputantra.
Sungguh keras gigitan tersebut, hingga membuat Patih Sekiputantra tewas dengan leher
hampir putus.
Pada saat itulah Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Wrekodara tiba di
Kahyangan Suralaya. Batara Narada menyambut mereka dan memperkenalkan Raden
Gatutkaca adalah putra Raden Wrekodara sendiri, yaitu Raden Tetuka yang kini telah
tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Raden Wrekodara sangat senang bercampur haru.
Ia pun memeluk putranya itu dengan penuh rasa bangga.
Prabu Kresna merasa risih melihat cara bertarung Raden Gatutkaca yang menggigit
musuh seperti bangsa raksasa. Ia pun maju sambil menghunus senjata Cakra untuk
kemudian memotong semua gigi taring pada mulut Raden Gatutkaca. Kini tanpa gigi taring,
Raden Gatutkaca terlihat tampan dan gagah sempurna.

RADEN GATUTKACA MENDAPATKAN PAKAIAN PUSAKA


Atas kemenangannya menghadapi Patih Sekiputantra, Raden Gatutkaca pun
mendapat anugerah dari Batara Guru berupa seperangkat pakaian pusaka. Yang pertama
bernama Caping Basunanda, melekat di kepala. Daya kekuatannya ialah membuat Raden
Gatutkaca tidak panas terkena sorot matahari dan juga tidak basah terkena guyuran air
hujan. Busana yang kedua bernama Kotang Antarakusuma yang melekat di dada. Daya
kekuatannya ialah membuat Raden Gatutkaca mampu terbang di angkasa, bergerak
secepat kilat, dan menerjang sedahsyat guntur. Kotang Antarakusuma juga membuat dada
Raden Gatutkaca bersinar terang namun tidak menyilaukan. Busana yang terakhir bernama
Kasut Padakacarma yang melekat di kedua kaki. Daya kekuatannya ialah membuat Raden
Gatutkaca mampu terbang di atas tempat sangar dan angker tanpa harus takut jatuh atau
terkena balak oleh daya gaib tempat tersebut. Adapun Kasut Padakacarma ini tercipta dari
selongsong bekas kulit Batara Anantaboga.
Tiba-tiba terdengar suara raksasa mengamuk berteriak-teriak meratapi kematian Patih
Sekiputantra. Ternyata raksasa yang baru datang itu adalah Prabu Kalapracona yang
KITAB WAYANG PURWA

menyusul ke Suralaya karena tidak sabar ingin segera menikahi Batari Supraba. Melihat
pasukannya telah tertumpas, ia pun mengamuk merusak bangunan kahyangan.

KEMATIAN PRABU KALAPRACONA


Batara Guru segera memerintahkan Raden Gatutkaca untuk menghadapi raja raksasa
dari Kiskandapura tersebut. Raden Gatutkaca mohon restu kemudian maju melaksanakan
perintah. Ia melesat terbang di angkasa kemudian menerjang Prabu Kalapracona. Sang
raja raksasa pun menyambutnya dengan garang. Mereka lalu terlibat pertarungan yang
sangat seru satu sama lain.
Patih Kalapracona heran melihat lawannya seorang pemuda gagah, namun memiliki
kekuatan layaknya seorang raksasa. Tubuhnya ulet dan keras, bagaikan memiliki otot
kawat, tulang besi, dan kulit tembaga. Prabu Kalapracona lama-lama merasa terdesak.
Pemuda yang menjadi lawannya itu terbang mengitarinya dengan cepat dan berkali-kali
mendaratkan tendangan di wajahnya.
Raden Gatutkaca teringat dirinya kini tidak lagi memiliki taring sebagai senjata. Maka,
ia pun mendarat di pundak Prabu Kalapracona untuk mengakhiri nyawa raja raksasa
tersebut. Kedua tangannya lalu bekerja dengan cekatan. Satu menjambak, satunya lagi
menarik dagu, sedangkan kedua kakinya menjejak pundak lawan. Dalam sekejap kepala
Prabu Kalapracona pun terlepas dari tubuhnya.

BATARA GURU MENJANJIKAN HADIAH UNTUK RADEN GATUTKACA


Para dewa dan bidadari bersorak-sorak memuji kemenangan Raden Gatutkaca.
Batara Guru tampak sangat bangga melihat kehebatan putra Raden Wrekodara tersebut.
Karena terlalu bangga, ia pun mengumumkan bahwa kelak Raden Gatutkaca akan dijadikan
sebagai raja kahyangan selama satu hari. Para dewa lainnya terkejut namun kemudian ikut
bersaksi atas janji Batara Guru itu.
Raden Wrekodara lalu bertanya di mana kini adiknya berada. Batara Guru
menceritakan bahwa Raden Permadi terlempar oleh kesaktian Patih Sekiputantra dan
tubuhnya melayang hingga jatuh di Padepokan Andongsumawi. Raden Wrekodara tidak
perlu khawatir karena Raden Permadi saat ini berada dalam perawatan pemimpin
padepokan tersebut yang bernama Resi Sidikwacana. Batara Guru juga meramalkan kelak
putri Resi Sidikwacana yang bernama Endang Manuhara akan menjadi istri Raden Permadi,
dan dari perkawinan itu akan lahir seorang anak perempuan yang setelah dewasa menjadi
jodoh Raden Gatutkaca.
Raden Wrekodara lega mendengarnya. Ia lalu mohon pamit kepada para dewa untuk
membawa Raden Gatutkaca pulang kembali ke Kesatrian Jodipati, bersama-sama dengan
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
CATATAN : Kisah lahirnya Raden Tetuka terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa, yang menurut Raden
Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun Suryasengkala 703 yang ditandai dengan sengkalan
“Uninga barakaning pandhita”, atau tahun Candrasengkala 724 yang ditandai dengan sengkalan
“Catur nembah ing resi”. Adapun kisah Raden Tetuka diubah dewasa menjadi Raden Gatutkaca
terjadi pada tahun Suryasengkala 704 yang ditandai dengan sengkalan “Catur sutaning resi”, atau
tahun Candrasengkala 725 yang ditandai dengan sengkalan “Rekasan mesat ing wukir”.
Prabu Kalapracona dalam Serat Pustakaraja Purwa disebut dengan nama Prabu Purasana,
sedangkan Patih Sekiputantra disebut dengan nama Patih Kasipumantra. Adapun dari
perkawinan Raden Permadi dan Endang Manuhara kelak mendapat anak perempuan bernama
Endang Pregiwa yang menjadi jodoh Raden Gatutkaca.
KITAB WAYANG PURWA

DURYUDANA RABI
Kisah ini menceritakan perkawinan Prabuanom Jakapitana alias Prabu Duryudana,
pemimpin para Kurawa, dengan Dewi Banuwati, putri Prabu Salya.
Kisah ini saya olah dari rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo,
yang dipadukan dengan hasil diskusi dengan Ki Rudy Wiratama, yang mendapat
pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 Desember 2016
Heri Purwanto

Prabu Duryudana / Jakapitana

DUA SYARAT PERKAWINAN YANG DIAJUKAN DEWI BANUWATI


Prabuanom Jakapitana di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Resi
Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta
adik-adiknya yang dikepalai Arya Dursasana dan Arya Kartawarma. Hadir pula kedua orang
tua para Kurawa, yaitu Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari dari Kadipaten Gajahoya.
Adipati Dretarastra menanyakan rencana perkawinan antara Prabuanom Jakapitana
dengan Dewi Banuwati yang sudah tertunda cukup lama. Sekitar tujuh bulan yang lalu,
setelah Prabuanom Jakapitana gagal menikah dengan Dewi Srutikanti, Patih Sangkuni pun
pergi ke Kerajaan Mandraka menemui Prabu Salya untuk melamar Dewi Banuwati. Prabu
Salya dengan senang hati menerima lamaran itu karena sudah dua kali dirinya gagal
berbesan dengan Adipati Dretarastra. Akam tetapi, sebagai orang tua, ia juga menyerahkan
keputusan sepenuhnya kepada Dewi Banuwati kapan sang putri siap untuk menikah.
Dewi Banuwati tidak berani menolak, tapi juga tidak langsung menerima. Ia mohon
diberi waktu untuk menyelesaikan kain rimong batik buatannya terlebih dahulu, barulah
kemudian menentukan tanggal perkawinan dengan Prabuanom Jakapitana. Kini, peristiwa
KITAB WAYANG PURWA

itu sudah berlalu tujuh bulan. Sungguh janggal rasanya membuat batik yang tidak terlalu
lebar, tapi memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
Adipati Dretarastra prihatin atas nasib putranya yang tiga kali gagal menikah, dan
sekarang untuk yang keempat digantung sampai tujuh bulan. Kegagalan yang pertama ialah
saat melamar Dewi Drupadi, ternyata tidak mampu mengalahkan sayembara Arya
Gandamana. Yang kedua saat melamar Dewi Erawati, ternyata tidak mampu pula
memenangkan sayembara menemukan hilangnya sang putri. Adapun yang berhasil
memenangkannya adalah Wasi Jaladara yang kini bergelar Prabu Baladewa. Kegagalan
yang ketiga adalah saat melamar Dewi Srutikanti, ternyata si mempelai wanita diculik oleh
Raden Suryaputra yang kini menjadi Adipati Karna.
Mendengar namanya disinggung, Adipati Karna segera ikut bicara. Ia menyatakan
siap pergi ke Kerajaan Mandraka untuk meminta sang mertua, yaitu Prabu Salya agar
segera menetapkan hari pernikahan. Ia berjanji tidak akan pulang sebelum mendapat
kepastian dari Prabu Salya dan Dewi Banuwati.
Belum selesai Adipati Karna bicara, tiba-tiba datang putra bungsu Prabu Salya, yaitu
Raden Rukmarata yang membawa surat dari ayahnya. Prabuanom Jakapitana menerima
surat tersebut dan membaca isinya. Ternyata surat itu berisi bahwa, Prabu Salya telah
menentukan tanggal pernikahan, namun Dewi Banuwati mengajukan dua buah syarat.
Syarat yang pertama ialah Prabuanom Jakapitana harus menyediakan perias tampan tanpa
cacat untuk mendandani Dewi Banuwati, dan syarat yang kedua ialah kedua mempelai
harus diarak keliling ibu kota Mandraka dengan mengendarai seekor gajah putih yang
dikemudikan srati (pawang) wanita.
Prabuanom Jakapitana sangat kesal dan membanting surat tersebut ke lantai. Ia
marah-marah merasa telah dipermainkan. Sudah tujuh bulan menunggu jawaban ternyata
hasilnya dipersulit seperti ini. Adipati Dretarastra berusaha menyabarkan putra sulungnya
itu dan menasihati bahwa, menjadi seorang raja harus bisa mengendalikan amarah, apalagi
di hadapan tamu. Prabuanom Jakapitana harus bersikap selayaknya laki-laki sejati yang
pantang menolak permintaan calon istri, bukannya marah-marah seperti tadi.
Patih Sangkuni pun memungut surat tersebut dan mengatakan kepada Raden
Rukmarata bahwa Prabuanom Jakapitana menerima kedua syarat yang diajukan Dewi
Banuwati. Raden Rukmarata merasa ketakutan dan segera mohon pamit kembali ke
Mandraka untuk melaporkan hasil penugasannya kepada sang ayah.
Setelah Raden Rukmarata pergi, Adipati Karna segera maju menghibur Prabuanom
Jakapitana. Mengingat dulu dirinya bisa menikah dengan Dewi Srutikanti adalah berkat
keikhlasan hati Prabuanom Jakapitana, maka kini tiba saatnya ia harus membalas budi.
Adipati Karna menyatakan sanggup untuk mewujudkan kedua syarat tersebut. Menurut
pengamatannya, di dunia ini laki-laki tampan tanpa cacat yang mahir dalam seni merias
pengantin hanyalah adiknya, yaitu Raden Permadi (Arjuna). Untuk itu, ia berniat pergi ke
Kerajaan Amarta menjemput adiknya tersebut, kemudian pergi bersama mencari gajah
putih berpawang wanita.
Prabuanom Jakapitana bersyukur dan melepas kepergian Adipati Karna dengan
penuh pengharapan. Adipati Karna lalu berangkat dengan ditemani Patih Adimanggala.

PRABU JAYALENGKARA INGIN MENIKAHI DEWI BANUWATI


Tersebutlah seorang raja muda yang gagah perkasa, bernama Prabu Jayalengkara
dari Kerajaan Nrancangpura. Pada suatu malam ia mimpi bertemu Dewi Banuwati dan jatuh
cinta kepadanya. Setelah bangun tidur, Prabu Jayalengkara pun dilanda sakit asmara dan
berniat menikahi putri ketiga Prabu Salya tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Maka, berangkatlah Prabu Jayalengkara bersama pasukan Nrancangpura menuju


Kerajaan Mandraka. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Adipati Karna dan Patih
Adimanggala yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Amarta. Terjadilah pertikaian
di antara mereka yang berlanjut dengan pertempuran.
Sementara itu, Prabu Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Wrekodara, Raden Nakula,
dan Raden Sadewa, serta para panakawan sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan
Mandraka. Mereka mendapat undangan dari Prabu Salya yang akan menikahkan Dewi
Banuwati. Melihat Adipati Karna dan Patih Adimanggala bertempur melawan Prabu
Jayalengkara beserta pasukannya yang jauh lebih banyak, Prabu Puntadewa segera
memerintahkan Raden Wrekodara untuk membantu.
Raden Wrekodara merasa berat hati karena teringat kejadian sebulan yang lalu, yaitu
Adipati Karna menolak meminjamkan warangka Panah Kuntadruwasa untuk memotong tali
pusar Raden Gatutkaca, sehingga terpaksa Raden Permadi merebutnya dengan cara
kekerasan. Prabu Puntadewa menasihati adiknya agar jangan suka menaruh dendam,
apalagi Adipati Karna adalah kakak tertua para Pandawa. Jika memang Raden Wrekodara
menolak membantu, maka Prabu Puntadewa sendiri yang akan turun berperang.
Tanpa membantah lagi, Raden Wrekodara pun menerjang barisan prajurit
Nrancangpura. Prabu Jayalengkara terdesak kewalahan dan pasukannya kocar-kacir. Ia
pun memerintahkan para prajurit untuk mundur meninggalkan pertempuran.

PRABU PUNTADEWA MENCERITAKAN KEBERADAAN RADEN PERMADI


Adipati Karna berterima kasih atas bantuan Raden Wrekodara dan ia pun
menghampiri Prabu Puntadewa untuk menyampaikan salam hormat. Prabu Puntadewa
tidak berani menerima penghormatan Adipati Karna karena mereka sesungguhnya adik dan
kakak. Bahkan, Prabu Puntadewa meminta agar Adipati Karna cukup memanggil dirinya
sebagai “adik” saja, dan bukan sebagai “raja”.
Adipati Karna menceritakan bahwa Dewi Banuwati telah mengajukan dua syarat
kepada Prabuanom Jakapitana, yaitu ingin disediakan perias tampan tanpa cacat, serta
ingin diarak keliling ibu kota mengendarai seekor gajah putih yang dikemudikan pawang
wanita. Oleh sebab itu, Adipati Karna berniat pergi ke Kerajaan Amarta untuk meminta
bantuan Raden Permadi memenuhi syarat nomor satu tersebut.
Prabu Puntadewa menjelaskan bahwa sebulan yang lalu adiknya itu dibawa ke
Kahyangan Suralaya untuk menumpas musuh para dewa. Dalam pertempuran itu, Raden
Permadi terlempar sejauh-jauhnya oleh Aji Gelap Sayuta yang dikerahkan Patih
Sekiputantra. Menurut penglihatan Batara Guru, Raden Permadi jatuh di Padepokan
Andongsumawi dan dirawat oleh Resi Sidikwacana dan Endang Manuhara. Dengan kata
lain, sudah sebulan ini Raden Permadi belum pulang ke Kerajaan Amarta.
Adipati Karna berterima kasih atas keterangan Prabu Puntadewa. Mereka lalu
berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Adipati Karna dan Patih Adimanggala
bergegas mencari Padepokan Andongsumawi, sedangkan Prabu Puntadewa dan adik-
adiknya menuju Kerajaan Mandraka. Adapun para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong diperintahkan Prabu Puntadewa agar menyertai Adipati Karna mencari
Raden Permadi.

ADIPATI KARNA MENEMUKAN RADEN PERMADI


Raden Permadi (Arjuna) yang dicari-cari saat ini memang berada di Padepokan
Andongsumawi bersama Endang Manuhara yang telah menjadi istrinya. Awal mulanya
Endang Manuhara mimpi bertemu kesatria tampan, Sang Panengah Pandawa. Ketika
KITAB WAYANG PURWA

terbangun dari tidurnya, gadis itu pun berterus terang kepada sang ayah, yaitu Resi
Sidikwacana, bahwa ia ingin mengabdi pada kesatria dalam mimpinya tersebut. Sungguh
beruntung, Raden Permadi tiba-tiba jatuh dari angkasa dalam keadaan pingsan. Rupanya
ia kalah perang melawan Patih Sekiputantra dan tubuhnya terlempar dari kahyangan. Resi
Sidikwacana pun merawat dan mengobati Raden Permadi sampai sembuh. Setelah sang
pangeran pulih kembali, Resi Sidikwacana berterus terang bahwa putrinya ingin mengabdi
kepada Raden Permadi.
Raden Permadi paham bahwa Endang Manuhara ingin menjadi istrinya. Ia mengakui
gadis tersebut memang sangat cantik dan menawan. Namun, Raden Permadi sejak kecil
sudah dijodohkan dengan sepupunya, yaitu Dewi Bratajaya, dan ia pun berterus terang soal
itu. Endang Manuhara tampak kecewa dan ia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang
gadis desa biasa, tentu tidak sebanding dengan Dewi Bratajaya yang putri raja. Raden
Permadi tidak sampai hati dan ia pun menerima Endang Manuhara sebagai istri, tetapi istri
paminggir, bukan istri padmi.
Endang Manuhara berterima kasih atas kesediaan Raden Permadi menerima dirinya.
Ia tidak keberatan menjadi istri paminggir asalkan tetap bisa melayani sang pangeran.
Sebagai istri paminggir, maka dirinya tidak akan diboyong ke Kerajaan Amarta, atau
tepatnya ke Kesatrian Madukara, tetapi tetap tinggal di padepokan bersama sang ayah.
Demikianlah, Raden Permadi dan Endang Manuhara kini telah resmi menjadi suami-
istri. Ketika mereka sedang duduk berdua, tiba-tiba datang Adipati Karna dan Patih
Adimanggala beserta para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Sungguh bahagia perasaan mereka yang telah bersusah payah mencari di mana
Padepokan Andongsumawi berada, akhirnya bisa bertemu juga.
Pertama-tama Adipati Karna meminta maaf atas kejadian di Hutan Jatirokeh sebulan
yang lalu, di mana ia bersikap picik tidak mau meminjamkan warangka Panah
Kuntadruwasa untuk memotong tali pusar Raden Tetuka. Raden Permadi menjawab hal itu
tidak perlu diungkit-ungkit lagi, karena yang penting saat ini sang keponakan sudah terpisah
dengan ari-arinya.
Adipati Karna lalu bercerita bahwa kedatangannya adalah untuk meminta bantuan
Raden Permadi memenuhi syarat yang diajukan Dewi Banuwati kepada Prabuanom
Jakapitana, yaitu menyediakan perias pengantin yang tampan tanpa cacat. Adipati Karna
memuji bahwa di dunia ini manusia tampan sempurna yang menguasai ilmu merias
pengantin hanyalah Raden Permadi seorang.
Raden Permadi gemetar mendengarnya. Dalam hati ia masih menyimpan rasa cinta
terhadap Dewi Banuwati, namun kini sang kekasih akan menikah dengan orang lain, yaitu
sepupunya sendiri. Raden Permadi merasa gelisah bercampur kesal, namun akhirnya ia
mengabulkan permintaan Adipati Karna. Ia merasa ini adalah kesempatan baginya untuk
bisa bertemu dengan Dewi Banuwati dan bertanya tentang isi hati sang putri.
Raden Permadi dan Adipati Karna lalu berpamitan kepada Resi Sidikwacana dan
Endang Manuhara untuk pergi mencari syarat kedua, yaitu gajah putih berpawang wanita.
Resi Sidikwacana berkata bahwa dirinya mempunyai kawan lama seorang gandarwa
wanita, bernama Nyai Clekutana yang tinggal di Hutan Pringgabaya. Nyai Clekutana ini
mempunyai seorang anak perempuan berwujud gandarwi pula, bernama Mirahdinebak.
Putrinya itulah yang memiliki piaraan seekor gajah putih, bernama Gajah Murdaningkung.
Resi Sidikwacana lalu menulis surat pengantar untuk diberikan kepada Nyai
Clekutana. Adipati Karna dengan senang hati menerima surat tersebut dan berterima kasih
atas bantuan sang pendeta. Ia dan Raden Permadi lalu mohon pamit menuju Hutan
Pringgabaya. Khusus kepada Endang Manuhara, Raden Permadi berjanji bahwa dirinya
KITAB WAYANG PURWA

akan datang lagi suatu saat nanti. Endang Manuhara berterima kasih dan melepas
kepergian suaminya itu dengan doa keberhasilan.

ADIPATI KARNA MENDAPATKAN GAJAH PUTIH BERPAWANG WANITA


Adipati Karna, Raden Permadi, serta Patih Adimanggala dan para panakawan telah
sampai di Hutan Pringgabaya. Berkat khasiat Minyak Pranawa milik Raden Permadi, Adipati
Karna kini dapat melihat alam gaib di dalam hutan tersebut. Akhirnya, mereka berhasil pula
menemukan tempat tinggal Nyai Clekutana dan Mirahdinebak.
Nyai Clekutana membaca surat pengantar yang ditulis Resi Sidikwacana dan ia pun
mempersilakan jika memang Adipati Karna hendak meminjam Gajah Murdaningkung
lengkap dengan pawangnya, yaitu Mirahdinebak sendiri. Adipati Karna berterima kasih,
namun Mirahdinebak ternyata mengajukan syarat. Adipati Karna pun bertanya apa
syaratnya. Apabila Mirahdinebak menginginkan nyawa Prabuanom Jakapitana, maka ia rela
sebagai penggantinya.
Mirahdinebak menjawab dirinya bukanlah makhluk halus yang gemar membunuh
manusia. Apa yang menjadi syaratnya, nanti akan ia sampaikan sendiri di hadapan
Prabuanom Jakapitana. Adipati Karna setuju. Mereka lalu berpamitan kepada Nyai
Clekutana dan bersama-sama pergi menuju Kerajaan Hastina.

MIRAHDINEBAK TIDUR DENGAN PRABUANOM JAKAPITANA


Singkat cerita, Adipati Karna dan rombongannya telah sampai di Kerajaan Hastina.
Prabuanom Jakapitana sangat bahagia dan berterima kasih, karena sahabatnya telah
pulang dengan keberhasilan, yaitu membawa perias tampan tanpa cacat, serta gajah putih
lengkap dengan pawang wanita. Dalam hal ini Mirahdinebak sengaja menampakkan diri
dalam wujud badan jasmani, agar bisa dilihat semua orang.
Mirahdinebak berkata bahwa dirinya bersedia menyerahkan Gajah Murdaningkung
kepada Prabuanom Jakapitana untuk selamanya, bukan hanya meminjamkan, tetapi
dengan satu syarat. Namun, syarat itu hanya bisa disampaikan secara empat mata saja,
tidak di depan orang lain. Adipati Karna keberatan jika Mirahdinebak ingin bicara berdua
dengan Prabuanom Jakapitana, karena khawatir keselamatan sang raja muda terancam.
Mirahdinebak meyakinkan Adipati Karna bahwa dirinya bukan hantu haus darah, sehingga
tidak perlu takut Prabuanom Jakapitana mendapat celaka.
Prabuanom Jakapitana akhirnya bersedia membawa Mirahdinebak masuk ke dalam
kamar bedua saja. Sesampainya di dalam, Mirahdinebak berkata terus terang bahwa ia
ingin bersetubuh dengan Prabuanom Jakapitana sebagai syarat memiliki Gajah
Murdaningkung. Prabuanom Jakapitana terkejut dan merasa jijik melihat wujud
Mirahdinebak yang buruk rupa dan berbadan besar. Ia tidak sanggup jika harus tidur dengan
wanita seperti dia.
Mirahdinebak merayu, bahwa bersetubuh dengannya akan mendatangkan dua
keuntungan, yaitu Prabuanom Jakapitana bisa menikahi Dewi Banuwati dan juga dapat
memiliki Gajah Murdaningkung untuk selamanya. Ia pun menjelaskan bahwa Gajah
Murdaningkung bukan binatang sembarangan, tetapi memiliki kekuatan dan kekebalan
tubuh di atas rata-rata gajah lainnya, sehingga sangat baik jika digunakan Prabuanom
Jakapitana untuk berperang menaklukkan musuh.
Prabuanom Jakapitana menimbang-nimbang, akhirnya ia pun bersedia tidur dengan
Mirahdinebak. Mereka berdua lalu memulai persetubuhan, di mana Prabuanom Jakapitana
memejamkan mata rapat-rapat karena jijik melihat wujud Mirahdinebak. Setelah gandarwa
wanita itu puas, barulah mereka mengakhiri permainan dan keluar dari kamar.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU SALYA MENYAMBUT KEDATANGAN PENGANTIN PRIA


Prabu Salya di Kerajaan Mandraka telah mempersiapkan pernikahan Dewi Banuwati
dengan dibantu para putra, yaitu Raden Burisrawa dan Raden Rukmarata. Saat itu para
keponakan dan menantu telah berdatangan, antara lain Prabu Baladewa dari Mandura
bersama Dewi Erawati, juga Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Puntadewa dari Amarta,
beserta Dewi Drupadi, Raden Wrekodara, dan si kembar.
Dewi Bratajaya sejak peristiwa turunnya Wahyu Purbasejati tidak lagi pulang ke
Kerajaan Mandura, tetapi menetap di Kerajaan Dwarawati, berkumpul bersama ketiga
kakak iparnya (Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma). Dalam acara
pernikahan Dewi Banuwati kali ini, Dewi Bratajaya ikut datang bersama Prabu Kresna,
dengan mengenakan kain rimong batik buatannya sendiri yang disampirkan di kedua
pundak.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara iring-iringan pengantin pria dari Kerajaan
Hastina. Prabuanom Jakapitana tampak begitu gagah mengendarai seekor gajah putih
berukuran tinggi besar, yang dikemudikan Mirahdinebak. Di belakang Gajah
Murdaningkung tampak Adipati Karna naik Kereta Jatisura bersama sang istri, yaitu Dewi
Srutikanti. Disusul kemudian iring-iringan Patih Sangkuni, Resi Druna, para Kurawa, dan
juga Raden Permadi beserta para panakawan.
Prabu Salya menyambut kedatangan calon menantunya dengan sukacita. Karena
kedua syarat sudah terpenuhi, maka tidak ada lagi alasan bagi Dewi Banuwati untuk
menunda-nunda pernikahannya. Dewi Banuwati sendiri tampak salah tingkah karena
Raden Permadi yang dirindukannya kini hadir di istana Mandraka.
Dewi Bratajaya yang telah dijodohkan dengan Raden Permadi sejak kecil melihat ada
gelagat yang tidak beres di antara mereka. Ia pun menyindir-nyindir Dewi Banuwati dengan
lagak dan gayanya yang polos tanpa dosa. Prabu Baladewa merasa malu atas ulah adiknya
itu, dan ia pun segera membawa Dewi Bratajaya pergi menghindar.

DEWI BANUWATI MENGUTARAKAN ISI HATINYA KEPADA RADEN PERMADI


Dewi Banuwati lalu mengajak Raden Permadi masuk ke dalam kamar untuk memulai
periasan. Prabuanom Jakapitana hendak mengikuti tetapi ditolak Dewi Banuwati, dengan
alasan sudah menjadi tradisi bahwa pengantin laki-laki tidak boleh melihat calon istrinya
dirias. Jika itu dilanggar, maka perkawinan mereka bisa gagal di tegah jalan. Prabuanom
Jakapitana percaya. Ia merasa lebih baik menunggu di luar kamar daripada perkawinan kali
ini sampai gagal.
Di dalam kamar hanya ada Dewi Banuwati berdua dengan Raden Permadi. Dewi
Banuwati mengajak Raden Permadi bicara namun tidak ditanggapi. Dewi Banuwati
menangis sedih karena harus menikah dengan orang lain, sedangkan sang kekasih tidak
mau bicara lagi dengannya. Raden Permadi akhirnya menjawab bahwa dirinya kesal
bercampur cemburu atas pernikahan Dewi Banuwati dengan Prabuanom Jakapitana.
Dewi Banuwati mengingatkan Raden Permadi sejak kecil sudah dijodohkan dengan
Dewi Bratajaya, sehingga tidak perlu lagi memikirkan dirinya. Raden Permadi membenarkan
hal itu, namun bagaimanapun juga ia tetap tidak dapat melupakan rasa cintanya kepada
Dewi Banuwati. Andai saja diizinkan, Raden Permadi ingin mengamuk hingga mati
dikeroyok para Kurawa, daripada menyaksikan Dewi Banuwati menikah dengan orang lain.
Dewi Banuwati terharu. Ia bercerita bahwa dirinya pun menyimpan rasa cinta yang
begitu besar terhadap Raden Permadi. Ketika Prabuanom Jakapitana gagal menikah
dengan Dewi Srutikanti dan kemudian mengajukan lamaran atas dirinya, saat itu sang ayah
KITAB WAYANG PURWA

langsung menerima. Namun, Dewi Banuwati berusaha mengulur waktu dengan alasan ingin
menyelesaikan karyanya yang berupa kain rimong batik. Setiap kali kain tersebut hampir
selesai, Dewi Banuwati selalu merobek dan membuangnya, kemudian memulai lagi dari
awal. Demikianlah ia berusaha mengulur waktu. Sampai akhirnya, ia mendapat teguran dari
ayah dan ibu karena telah menggantung perasaan Prabuanom Jakapitana selama
berbulan-bulan.
Saat itu Dewi Banuwati teringat ayahnya pernah bercerita bahwa dewata menakdirkan
anak-anak Adipati Dretarastra menjadi musuh anak-anak Prabu Pandu. Suatu hari nanti
akan meletus sebuah perang besar bernama Perang Bratayuda di antara mereka.
Menyadari hal itu, Dewi Banuwati pun menyatakan bersedia menikah dengan Prabuanom
Jakapitana. Melalui pernikahan ini, ia dapat mengorek rahasia kelemahan Kurawa dan para
pelindungnya untuk disampaikan kepada Raden Permadi. Dewi Banuwati bersumpah ini
semua ia lakukan demi kemenangan para Pandawa, meskipun harus berkorban
menyerahkan tubuh kepada Prabuanom Jakapitana.
Raden Permadi terharu dan tak mampu menahan air mata. Dewi Banuwati lalu
menyerahkan kain rimong batik buatannya sebagai kenang-kenangan. Mereka berdua
menangis dan saling berpelukan erat. Masing-masing tak kuasa lagi menahan perasaan,
hingga sama-sama terlena oleh godaan nafsu birahi. Raden Permadi lalu menggendong
tubuh Dewi Banuwati dan menidurkannya di atas ranjang.

PRABUANOM JAKAPITANA MELABRAK RADEN PERMADI DAN DEWI BANUWATI


Sementara itu, Prabuanom Jakapitana menunggu di luar dengan perasaan gelisah.
Patih Sangkuni datang dan berbisik bahwa ia baru saja diberi tahu Raden Rukmarata
tentang hubungan asmara antara Dewi Banuwati dengan Raden Permadi. Dahulu kala
ketika Dewi Erawati hilang diculik Raden Kartapiyoga, saat itu Raden Permadi datang ke
istana Mandraka untuk pertama kalinya. Prabu Salya berharap Raden Permadi bisa menjadi
menantunya, dan ia pun memerintahkan Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati untuk memikat
sang pangeran. Dewi Srutikanti tidak setuju dengan keputusan ayahnya dan ia pun memikat
Raden Permadi dengan setengah hati. Raden Permadi dapat melihat ketidaktulusan Dewi
Srutikanti dan ia pun menolak undangannya secara halus. Giliran Dewi Banuwati, Raden
Permadi benar-benar terpikat. Meskipun Dewi Banuwati terlihat galak dan ceplas-ceplos,
tetapi perasaannya tulus. Konon sejak itulah terjalin kisah cinta antara mereka berdua.
Prabuanom Jakapitana terbakar amarahnya mendengar cerita itu. Ia pun menggedor
pintu kamar Dewi Banuwati yang ternyata dikunci dari dalam. Perasaan marah, cemburu,
dan gelisah semakin memuncak. Dengan sekuat tenaga, ia lalu menendang pintu kamar
tersebut hingga jebol. Sungguh terkejut Prabuanom Jakapitana saat melihat pemandangan
di dalam kamar, yaitu Raden Permadi sedang sibuk merias Dewi Banuwati.
Prabuanom Jakapitana merasa curiga mengapa sejak tadi acara merias belum juga
selesai. Dewi Banuwati menjawab bahwa merias pengantin tentu tidak sama seperti dandan
biasa. Menjadi pengantin adalah peristiwa penting seumur hidup, maka harus dirias dengan
hati-hati dan ketelitian tinggi. Ia merasa sangat kecewa pada ketidaksabaran calon
suaminya hingga sampai menjebolkan pintu kamarnya.
Prabuanom Jakapitana menjawab dirinya didorong rasa cemburu karena takut
kehilangan Dewi Banuwati. Ia pun bertanya terus terang apakah Dewi Banuwati berbuat
zina dengan Raden Permadi? Jika benar demikian, Prabuanom Jakapitana akan sangat
kecewa karena calon istrinya ternyata sudah tidak perawan.
Dewi Banuwati marah-marah dikatai demikian. Ia menyebut kaum laki-laki selalu ingin
menang sendiri. Jika menikah, laki-laki meminta istri yang perawan, padahal dirinya belum
KITAB WAYANG PURWA

tentu masih perjaka. Dewi Banuwati pun menantang Prabuanom Jakapitana untuk sama-
sama bersumpah bahwa mereka masing-masing belum pernah melakukan zina, apakah
berani?
Prabuanom Jakapitana terdiam tidak berani menjawab karena dirinya memang sudah
tidak perjaka sejak bersetubuh dengan Mirahdinebak. Maka, ia lalu keluar kamar dan
mempersilakan Raden Permadi untuk melanjutkan merias Dewi Banuwati.
Sesampainya di luar, Prabuanom Jakapitana ditanyai Patih Sangkuni bagaimana
keadaan di dalam kamar. Prabuanom Jakapitana menjawab tidak terjadi apa-apa. Ia tidak
ingin mengganggu Dewi Banuwati lagi karena takut perkawinannya akan gagal seperti yang
sudah-sudah.

PERKAWINAN PRABUANOM JAKAPITANA DENGAN DEWI BANUWATI


Tepat tengah hari, Prabu Salya menggelar upacara pernikahan antara Prabuanom
Jakapitana dan Dewi Banuwati. Upacara ini disusul dengan pesta yang sangat meriah.
Banyak sekali tamu undangan yang hadir dari berbagai negeri sahabat. Prabuanom
Jakapitana kemudian membawa Dewi Banuwati berkeliling ibu kota Mandraka dengan
mengendarai Gajah Murdaningkung yang dikemudikan Mirahdinebak.
Raden Permadi merasa sedih karena mengetahui Dewi Banuwati hanya pura-pura
tersenyum gembira saat duduk di punggung Gajah Murdaningkung. Namun, perasaan
sedihnya kemudian sirna saat pandangan matanya tertuju pada Dewi Bratajaya yang duduk
di kursi tamu bersama Dewi Erawati. Raden Permadi heran mengapa dirinya bisa mencintai
banyak wanita lebih dari satu secara sekaligus. Ia sangat mencintai Dewi Banuwati, namun
kepada Dewi Bratajaya juga perasaannya demikian mendalam. Bahkan, kepada Endang
Manuhara yang ditinggalkan di Padepokan Andongsumawi pun Raden Permadi merasa
sangat sayang.
Raden Permadi merasa namanya sangat sesuai dengan sifatnya. Nama Perma
bermakna “kasih sayang”, sedangkan Adi artinya “berlebih”. Raden Permadi memang
memiliki kasih sayang yang berlebih dan melimpah ruah, sehingga ia bisa mencintai banyak
wanita dalam waktu bersamaan, tanpa mengurangi rasa sayangnya antara yang satu
dengan lainnya.

PRABU JAYALENGKARA MENCURI KAIN RIMONG BATIK


Malam itu para tamu telah tidur di kamar masing-masing. Prabu Jayalengkara
menyusup masuk ke dalam istana Mandraka dengan niat ingin menculik Dewi Banuwati
yang diimpikannya. Namun, ia salah masuk kamar di mana Dewi Bratajaya sedang
beristirahat. Prabu Jayalengkara terpikat pada kecantikan gadis itu dan seketika merasa
bimbang. Ia seolah lupa pada niatnya untuk menikahi Dewi Banuwati dan merasa lebih baik
menculik Dewi Bratajaya saja.
Perlahan tangan Prabu Jayalengkara menggerayang hendak membungkam mulut
Dewi Bratajaya. Tiba-tiba Dewi Bratajaya terbangun dan menjerit keras. Prabu
Jayalengkara ketakutan dan segera kabur melarikan diri. Tanpa sadar, tangannya tak
sengaja menarik kain rimong batik yang tersampir di pundak Dewi Bratajaya.
Prabu Baladewa dan Prabu Kresna terkejut mendengar jeritan sang adik dan buru-
buru masuk ke dalam kamar. Dewi Bratajaya mengadu bahwa baru saja ada maling masuk
ke dalam kamarnya dan mencuri kain rimong batik miliknya. Prabu Baladewa berkata
biarlah kain itu hilang yang penting Dewi Bratajaya baik-baik saja. Dewi Bratajaya menangis
dan merengek ingin kainnya kembali. Kain rimong batik tersebut adalah hasil karyanya yang
sangat ia banggakan, mana mungkin dibiarkan hilang begitu saja?
KITAB WAYANG PURWA

RADEN PERMADI DITUDUH SEBAGAI PENCURI RIMONG BATIK


Tiba-tiba Raden Permadi datang karena mendengar suara ribut-ribut. Dewi Bratajaya
melihat kain rimong batik tersampir di pundak sepupunya itu dan ia pun menuduh Raden
Permadi sebagai pencurinya. Prabu Baladewa meminta Raden Permadi mengembalikan
kain tersebut. Raden Permadi heran tiba-tiba dituduh demikian. Karena kain rimong batik
ini kenang-kenangan dari Dewi Banuwati, maka ia menolak untuk menyerahkannya. Dewi
Bratajaya pun menangis dan membuat Prabu Baladewa semakin marah.
Prabu Baladewa hendak merebut paksa kain rimong batik tersebut dari tangan Raden
Permadi. Raden Wrekodara tiba-tiba muncul membela adiknya. Prabu Kresna segera
melerai dan berkata biarlah Dewi Banuwati yang menjadi hakim dalam perselisihan ini.
Sungguh kebetulan Dewi Banuwati keluar kamar meninggalkan Prabuanom
Jakapitana yang tertidur pulas. Datang pula kedua adiknya, yaitu Raden Burisrawa dan
Raden Rukmarata yang juga mendengar suara ribut-ribut. Prabu Baladewa lalu bertanya
apakah benar kain rimong batik yang dipakai Raden Permadi adalah pemberian Dewi
Banuwati. Dewi Banuwati menjawab benar. Ia lalu menunjukkan tanda tangannya di pojok
kain tersebut.

RADEN PERMADI MENGALAHKAN SI PENCURI


Dewi Bratajaya merasa sangat malu. Sungguh kebetulan motif kain rimong batik
buatannya sama persis dengan buatan Dewi Banuwati, sehingga ia salah paham dan
menuduh Raden Permadi. Ia pun bersumpah, barangsiapa bisa mengembalikan kain
miliknya yang hilang, maka orang itu akan menjadi suaminya. Ia tidak peduli meskipun sejak
kecil sudah dijodohkan dengan seseorang.
Raden Burisrawa yang diam-diam jatuh cinta kepada Dewi Bratajaya segera melesat
pergi mengejar si pencuri. Raden Permadi tidak mau kalah. Ia pun ikut mengejar karena
tidak ingin perjodohannya dengan Dewi Bratajaya sampai batal.
Raden Burisrawa lebih dulu berhasil menemukan Prabu Jayalengkara. Terjadilah
pertarungan di antara mereka. Raden Burisrawa kalah dan jatuh pingsan terkena tendangan
raja tersebut. Raden Permadi maju menerjang. Ia bertarung sengit melawan Prabu
Jayalengkara. Keduanya sama-sama bersenjata keris, hingga akhirnya keris milik Raden
Permadi berhasil merobek perut Prabu Jayalengkara.
Setelah musuhnya tewas, Raden Permadi pun memungut kain rimong batik dan
membawanya kembali ke istana. Dewi Bratajaya menerima kain tersebut dengan senang
hati dan kini ia dapat tersenyum kembali.

PRABUANOM JAKAPITANA BERGANTI NAMA MENJADI PRABU DURYUDANA


Tiba saatnya Prabuanom Jakapitana memboyong Dewi Banuwati untuk tinggal di
istana Kerajaan Hastina. Sesampainya di sana, mereka disambut oleh Adipati Dretarastra
dan Dewi Gandari dengan pesta meriah. Kini, Prabuanom Jakapitana telah memiliki
seorang permaisuri dan sudah pantas baginya untuk menjadi raja secara penuh, bukan lagi
sebagai raja muda.
Maka, Resiwara Bisma pun datang dari Padepokan Talkanda untuk melantik
Prabuanom Jakapitana menjadi raja penuh di Kerajaan Hastina. Jika dulu sewaktu kecil
Prabuanom Jakapitana diberi nama Raden Suyudana yang bermakna “petarung terbaik”,
maka kini ia pun mengganti namanya menjadi Prabu Duryudana, yang bermakna “petarung
tak terkalahkan”. Maksudnya ialah, seorang petarung terbaik bisa jadi pernah kalah,
sedangkan petarung yang tak terkalahkan sudah pasti dia yang terbaik. Demikianlah, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Duryudana ingin menghibur diri sendiri melalui nama barunya, karena ia sering kalah dalam
persaingan melawan para Pandawa.
Sementara itu, Mirahdinebak pamit pulang ke Hutan Pringgabaya tanpa disertai gajah
putih peliharaannya. Sesuai janjinya, ia pun menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk
selamanya menjadi milik Prabu Duryudana. Kini ia pulang sendiri dalam keadaan hamil,
mengandung benih Prabu Duryudana, akibat persetubuhan mereka beberapa waktu yang
lalu.

Dewi Banuwati

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah perkawinan Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati dalam Serat Pustakaraja Purwa karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi bersamaan dengan perkawinan Adipati Karna dan Dewi
Srutikanti, yaitu pada tahun Suryasengakala 694 yang ditandai dengan sengkalan “Muka
angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan sengkalan “Janma
kaswareng barakan”. Adapun dalam pedalangan, kedua kisah tersebut tidak terjadi dalam waktu
yang sama.
KITAB WAYANG PURWA

JAYADRATA RABI
Kisah ini menceritakan perkawinan Adipati Jayadrata dengan Dewi Dursilawati, satu-
satunya anggota Kurawa yang perempuan. Kelak Adipati Jayadrata akan menjadi
sekutu penting Prabu Duryudana dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 24 Desember 2016
Heri Purwanto

Adipati Jayadrata

DEWI DRUPADI TELAH MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI


Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap Arya Wrekodara beserta si kembar
Raden Nakula dan Raden Sadewa. Hadir pula Prabu Kresna Wasudewa dari Kerajaan
Dwarawati yang datang berkunjung dengan ditemani Arya Setyaki. Kedatangan Prabu
Kresna adalah untuk menengok permaisuri Kerajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi yang baru
saja melahirkan bayi laki-laki.
Prabu Kresna juga bertanya di mana keberadaan Raden Permadi (Arjuna), mengapa
tidak terlihat dalam pertemuan? Prabu Puntadewa menjawab bahwa adiknya tersebut
belum pulang ke Kerajaan Amarta sejak pernikahan Prabu Duryudana dengan Dewi
Banuwati. Arya Wrekodara ikut bicara menanggapi, bahwa antara Raden Permadi dengan
Dewi Banuwati memang ada hubungan asmara. Perkawinan antara Dewi Banuwati dengan
Prabu Duryudana jelas membuat adiknya itu sakit hati dan memilih pergi berkelana tidak
jelas entah ke mana.
Prabu Puntadewa teringat bahwa Raden Permadi dan Dewi Bratajaya sudah
dijodohkan sejak kecil. Saat itu mendiang Prabu Basudewa bersumpah dengan disaksikan
Prabu Pandu dan Dewi Kunti, bahwa kelak Raden Permadi dan Dewi Bratajaya jika sudah
KITAB WAYANG PURWA

sama-sama dewasa hendaknya menjadi suami-istri, demi mempererat hubungan


kekeluargaan antara Wangsa Saptaarga dengan Wangsa Kuntiboja. Untuk itu, Prabu
Puntadewa pun mengusulkan agar pernikahan antara Raden Permadi dan Dewi Bratajaya
segera dilaksanakan secepatnya, dan semoga ini bisa menjadi sarana bagi adiknya untuk
melupakan Dewi Banuwati.
Prabu Kresna kurang setuju jika mereka berdua disegerakan menikah. Meskipun
Raden Permadi dan Dewi Bratajaya sudah dijodohkan sejak kecil, namun alangkah baiknya
mereka menikah atas kemauan bersama, bukan atas dorongan orang tua. Lagipula Prabu
Kresna kurang berkenan apabila Raden Permadi menikah dengan Dewi Bratajaya hanya
untuk melupakan cintanya kepada Dewi Banuwati. Itu berarti adiknya hanya dijadikan
sebagai pelarian belaka, bukan dinikahi karena tulus hati.
Oleh sebab itu, Prabu Kresna menyarankan agar perkawinan antara Raden Permadi
dan Dewi Bratajaya dilaksanakan nanti saja apabila keduanya sudah benar-benar siap lahir
dan batin.

ADIPATI JAYADRATA MELAMAR DEWI DRUPADI


Ketika Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna masih bercakap-cakap, tiba-tiba datang
pemimpin Kadipaten Banakeling dari Tanah Sindu, bernama Adipati Jayadrata. Ia datang
untuk menyampaikan keinginannya, yaitu memperistri Dewi Drupadi. Dulu ketika Prabu
Drupada menggelar sayembara memanah untuk memperebutkan Dewi Drupadi, Adipati
Jayadrata gagal karena tidak kuat mengangkat Busur Gandiwa yang menjadi syarat
sayembara. Ia kemudian pulang dengan perasaan malu.
Namun, di tengah jalan Adipati Jayadrata mendengar berita bahwa Prabu Drupada
mengubah sayembara tidak lagi adu ketangkasan memanah, tetapi menjadi sayembara
tanding melawan Arya Gandamana. Adipati Jayadrata pun buru-buru kembali ke Kerajaan
Pancala Selatan untuk menantang Arya Gandamana. Akan tetapi, sesampainya di sana
ternyata Arya Gandamana telah gugur, dan Dewi Drupadi diboyong para Pandawa.
Peristiwa tersebut sudah berlalu hampir dua tahun, tetapi perasaan kecewa Adipati
Jayadrata belum juga sembuh. Apalagi wajah cantik Dewi Drupadi saat menonton
sayembara di tepi gelanggang, selalu membayang-bayangi pikiran adipati dari Banakeling
tersebut. Maka, hari ini Adipati Jayadrata pun memberanikan diri datang ke istana
Indraprasta, meminta kepada Prabu Puntadewa untuk menceraikan Dewi Drupadi agar
kemudian bisa menjadi istrinya.
Prabu Puntadewa yang selalu berprasangka baik menjawab tidak masalah jika ia
harus melepaskan Dewi Drupadi. Jangankan istri, sedangkan nyawa saja ia berikan apabila
ada orang yang meminta secara baik-baik. Akan tetapi, pernikahan antara dirinya dengan
Dewi Drupadi bukanlah murni atas usahanya sendiri, melainkan berkat kerja keras Arya
Wrekodara dalam mengalahkan Arya Gandamana. Maka, apabila Adipati Jayadrata ingin
menikahi Dewi Drupadi, sebaiknya serah terima dilakukan dengan Arya Wrekodara, bukan
dengan dirinya.
Adipati Jayadrata merasa senang dan segera bertanya kepada Arya Wrekodara kapan
kiranya serah terima Dewi Drupadi bisa dilaksanakan. Arya Wrekodara menjawab hari ini
juga, tetapi tidak di dalam istana Indraprasta, melainkan di tengah alun alun. Ia meminta
serah terima disaksikan oleh para prajurit Banakeling yang berbadan kekar dengan senjata
lengkap. Adipati Jayadrata merasa heran mengapa ada syarat semacam itu. Arya
Wrekodara pun meyakinkan bahwa adat tradisi di Kerajaan Amarta memang demikian
adanya. Adipati Jayadrata merasa maklum kemudian keluar mempersiapkan diri.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU KRESNA MEMBERI NAMA PUTRA PRABU PUNTADEWA


Setelah Adipati Jayadrata keluar, Prabu Puntadewa segera membubarkan pertemuan
dan menyerahkan segala urusan keamanan kepada Arya Wrekodara. Ia meminta jangan
sampai ada pertumpahan darah karena Adipati Jayadrata ini merupakan raja bawahan
sekaligus kawan baik Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Jika sampai Adipati Jayadrata
tewas, bisa-bisa ini menjadi alasan Prabu Duryudana untuk memerangi Kerajaan Amarta.
Arya Wrekodara mengatakan dirinya tidak takut pada Kurawa. Prabu Puntadewa menjawab
ini bukan masalah takut atau berani, tetapi perang akan membawa kerugian bagi rakyat
jelata. Bagaimanapun juga Perang Bratayuda harus dihindari, meskipun sudah diramalkan
oleh para dewa.
Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Puntadewa pun mengajak Prabu Kresna
masuk ke dalam kedaton untuk menengok Dewi Drupadi dan bayinya. Sesampainya di
dalam, Prabu Kresna sangat gembira melihat keponakan barunya yang tampan dan mungil,
dalam gendongan Dewi Drupadi.
Prabu Kresna segera menggendong bayi tersebut dan bertanya siapa namanya.
Prabu Puntadewa menjawab belum ada dan meminta agar Prabu Kresna saja yang
memberi nama. Prabu Kresna menyanggupi. Ia berkata bahwa Dewi Drupadi berasal dari
Kerajaan Pancala, sehingga dijuluki pula sebagai Dewi Pancali. Oleh karena itu, akan
sangat pantas apabila putranya diberi nama Raden Pancawala.
Prabu Puntadewa dan Dewi Drupadi menyambut baik nama pemberian Prabu Kresna
atas putra mereka. Keduanya lalu mengajak Prabu Kresna menikmati perjamuan. Prabu
Kresna menjawab soal perjamuan bisa ditunda nanti apabila Arya Wrekodara telah berhasil
mengatasi Adipati Jayadrata. Selain itu, Prabu Kresna juga ingin mencari keberadaan
Raden Permadi dan mengajaknya pulang ke Amarta.

ARYA WREKODARA MENAKLUKKAN ADIPATI JAYADRATA


Arya Wrekodara didampingi Arya Setyaki dan Raden Gatutkaca telah berhadapan
dengan Adipati Jayadrata di alun alun. Adipati Jayadrata telah menyiapkan pasukan
Banakeling dengan senjata lengkap dan ia pun meminta agar Dewi Drupadi segera
diserahkan kepadanya. Arya Wrekodara menjawab, kakak iparnya itu pasti diserahkan
tetapi Adipati Jayadrata harus membayar tebusan, yaitu meninggalkan kepalanya di
Kerajaan Amarta.
Adipati Jayadrata marah dan memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Arya
Wrekodara menghadapi dengan mengerahkan pasukan Amarta pula. Pertempuran sengit
pun terjadi. Arya Setyaki dan Raden Gatutkaca ikut membantu mengatasi musuh. Adipati
Jayadrata akhirnya kalah dalam pertarungan melawan Arya Wrekodara. Sebenarnya Arya
Wrekodara ingin membunuh adipati Banakeling tersebut tetapi teringat pada pesan sang
kakak sulung, sehingga hanya menghajarnya hingga babak belur saja.
Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada melerai Arya Wrekodara yang menyiksa
Adipati Jayadrata. Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa buru-buru keluar istana untuk
menyembah hormat kepada dewa tersebut. Batara Narada datang untuk menjelaskan
bahwa antara Arya Wrekodara dan Adipati Jayadrata sesungguhnya masih bersaudara.
Dahulu ketika lahir ke dunia, tubuh Arya Wrekodara terbungkus oleh selaput keras yang
terbuat dari air ketubannya sendiri. Tidak ada satu senjata pun yang dapat merobek
bungkus tersebut. Setelah empat belas tahun berlalu, bungkus itu akhirnya dapat dipecah
oleh Gajah Sena yang dikirim para dewa. Selaput pembungkus itu lalu dibawa Batara
Narada ke Kadipaten Banakeling untuk diserahkan kepada Adipati Sapwani dan Dewi Drata
KITAB WAYANG PURWA

yang bertapa ingin memiliki putra. Demikianlah, Adipati Jayadrata sesungguhnya berasal
dari selaput pembungkus Arya Wrekodara tersebut.
Mendengar penjelasan dari Batara Narada, Arya Wrekodara pun berpelukan dengan
Adipati Jayadrata dan meminta maaf karena tadi telah menghajarnya. Batara Narada lalu
mengatakan bahwa Adipati Jayadrata jangan lagi menginginkan Dewi Drupadi, karena sang
dewi bukanlah jodohnya. Adapun jodoh Adipati Jayadrata yang sebenarnya adalah satu-
satunya putri dalam keluarga Kurawa, yaitu Dewi Dursilawati. Untuk itu, Adipati Jayadrata
dipersilakan pergi ke Kerajaan Hastina jika ingin memiliki istri, bukannya menyerang
Kerajaan Amarta.
Adipati Jayadrata berterima kasih atas petunjuk yang diberikan Batara Narada. Ia pun
meminta maaf kepada Prabu Puntadewa dan yang lain, kemudian undur diri meninggalkan
Kerajaan Amarta. Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Kresna mengajak Arya
Wrekodara pergi mencari hilangnya Raden Permadi. Prabu Puntadewa pun melepas
kepergian mereka dengan harapan semoga sang adik bisa segera ditemukan.

PRABU DURYUDANA MENERIMA LAMARAN ADIPATI JAYADRATA


Adipati Jayadrata telah sampai di istana Kerajaan Hastina dan menghadap Prabu
Duryudana. Ia berterus terang menyampaikan niatnya ingin menikah dengan Dewi
Dursilawati. Prabu Duryudana yang sudah lama berteman dengan Adipati Jayadrata
langsung menerima lamaran itu. Ia merasa senang apabila adiknya bisa menjadi istri adipati
Banakeling tersebut.
Akan tetapi, Dewi Dursilawati saat ini tidak berada di dalam istana karena hilang diculik
seekor gajah putih. Adipati Jayadrata heran mengapa bisa terjadi demikian. Prabu
Duryudana pun bercerita bahwa saat dirinya menikah dengan Dewi Banuwati beberapa
waktu yang lalu, ia mendapatkan seekor gajah putih bernama Gajah Murdaningkung dari
Hutan Pringgabaya sebagai syarat perkawinan. Pagi tadi Dewi Dursilawati merengek ingin
mencoba bagaimana rasanya mengendarai gajah putih tersebut. Arya Dursasana pun
menuntun Gajah Murdaningkung dan menyerahkannya kepada sang adik. Begitu Dewi
Dursilawati menaiki punggung si gajah putih, tiba-tiba hewan tersebut bisa berbicara.
Ternyata dia bukan Gajah Murdaningkung, melainkan penjelmaan seorang musuh yang
ingin membalas dendam kepada Prabu Duryudana. Segera gajah putih itu pun berlari pergi
dengan membawa Dewi Dursilawati di atas pungungnya.
Arya Dursasana sangat ketakutan dan segera memeriksa ke kandang, ternyata Gajah
Murdaningkung yang asli masih ada. Ia pun mohon pamit kepada Prabu Duryudana untuk
mengejar perginya si gajah putih palsu dan merebut kembali Dewi Dursilawati. Arya
Kartawarma, Arya Srutayu, Arya Durmagati, dan para Kurawa lainnya ikut pergi menemani
sang kakak kedua.
Demikianlah, Prabu Duryudana mengakhiri ceritanya. Ia dengan senang hati
menerima Adipati Jayadrata sebagai adik ipar, tetapi sayang sekali Dewi Dursilawati saat
ini hilang dibawa lari seekor gajah putih. Mendengar itu, Adipati Jayadrata pun mohon pamit
untuk menyusul Arya Dursasana dan yang lain demi merebut kembali calon istrinya.

RADEN PERMADI BERGURU KEPADA RESI MITREYA


Sementara itu, Raden Permadi dan para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong sedang berada di padepokan milik Resi Mitreya yang terletak di
Gunung Mestri. Resi Mitreya ini adalah suami dari Nyai Basusi, sedangkan Nyai Basusi
adalah putri mendiang Resi Basusara, yaitu patih Kerajaan Hastina pada masa
pemerintahan Prabu Santanu.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah perkawinan Prabu Duryudana dengan Dewi Banuwati di Kerajaan Mandraka,


Raden Permadi tidak pulang ke Kerajaan Amarta, tetapi pergi berkelana hingga sampai ke
Gunung Mestri. Di gunung inilah ia bertemu Resi Mitreya yang sedang sibuk menghadapi
gangguan para raksasa hutan. Raden Permadi pun turun tangan membantu menumpas
para raksasa tersebut. Resi Mitreya berterima kasih atas bantuan Sang Panengah
Pandawa. Sejak itulah Raden Permadi tinggal di Gunung Mestri dan berguru sejumlah ilmu
pengetahuan baru kepada Resi Mitreya.
Hari itu tiba-tiba Raden Permadi mendengar suara jeritan seorang perempuan yang
samar-samar ia kenali. Raden Permadi dan Resi Mitreya segera memeriksa dan ternyata
Dewi Dursilawati sedang duduk di atas punggung seekor gajah putih yang berlari kencang.

RADEN PERMADI MENOLONG DEWI DURSILAWATI


Raden Permadi segera melesat menerjang si gajah putih dan menyambar tubuh
sepupunya. Dewi Dursilawati pun berhasil diturunkan dari punggung hewan tersebut. Gajah
putih itu sangat marah dan menubruk Raden Permadi. Terjadilah perkelahian di antara
mereka. Raden Permadi terdesak oleh kekuatan si gajah putih. Ia lalu mengheningkan cipta
mengerahkan ilmu Angin Garuda, membuat si gajah putih terhempas jauh entah ke mana.
Dewi Dursilawati berterima kasih banyak atas bantuan Raden Permadi. Ia pun
bercerita dari awal hingga akhir. Pada mulanya ia merengek ingin merasakan seperti apa
duduk di atas punggung Gajah Murdaningkung. Atas izin Prabu Duryudana, Arya
Dursasana pun pergi ke kandang dan mengambil gajah tersebut. Tak disangka, yang ia
ambil justru Gajah Murdaningkung palsu. Begitu Dewi Dursilawati menaikinya, gajah putih
tersebut langsung berontak dan membawanya kabur. Di sepanjang jalan, si gajah putih
merayu Dewi Dursilawati dengan mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah penjelmaan
Prabu Jayasengara dari Kerajaan Tirtakandaka. Tujuan utamanya menculik Dewi
Dursilawati adalah untuk membalas kematian Prabu Jayalengkara raja Nrancangpura yang
merupakan adik kandung Prabu Jayasengara. Adapun kematian Prabu Jayalengkara terjadi
di Kerajaan Mandraka ketika ia berusaha menculik Dewi Banuwati beberapa waktu yang
lalu.
Demikianlah, Prabu Jayasengara menjelma sebagai Gajah Murdaningkung palsu
untuk menculik Dewi Dursilawati agar Prabu Duryudana sakit hati, tetapi ia justru benar-
benar jatuh cinta kepada perempuan Kurawa tersebut. Hingga akhirnya Raden Permadi dan
Resi Mitreya muncul membebaskan sang putri. Dewi Dursilawati pun sangat berterima kasih
atas pertolongan mereka.

RADEN PERMADI DIKEROYOK PARA KURAWA


Raden Permadi dan Resi Mitreya lalu mengantarkan Dewi Dursilawati pulang ke
Kerajaan Hastina. Di tengah jalan mereka bertemu Arya Dursasana dan para Kurawa
lainnya yang sedang mengejar si gajah putih untuk merebut adik mereka. Arya Dursasana
pun menuduh Raden Permadi telah menjelma sebagai gajah putih untuk menculik Dewi
Dursilawati. Ia juga menyebut Resi Mitreya pasti guru baru Raden Permadi yang telah
mengajarkan bagaimana caranya menjelma menjadi binatang.
Dewi Dursilawati menjelaskan kepada sang kakak bahwa Raden Permadi dan Resi
Mitreya justru telah menolong dirinya dan mengusir si gajah putih. Arya Dursasana tidak
percaya dan menuduh Dewi Dursilawati telah terkena pengaruh sihir Resi Mitreya sehingga
membela Raden Permadi. Arya Dursasana lalu memerintahkan adik-adiknya untuk
mengeroyok kedua orang itu. Keduanya pun membela diri. Terjadilah pertempuran di mana
para Kurawa tidak mampu mengalahkan Resi Mitreya dan Raden Permadi.
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian datanglah Adipati Jayadrata bersama pasukan Banakeling.


Mereka segera membantu para Kurawa untuk menangkap Raden Permadi dan Resi
Mitreya. Namun, bala bantuan yang baru datang ini juga dibuat porak poranda oleh hujan
panah yang dilepaskan Raden Permadi. Arya Dursasana, Adipati Jayadrata, dan yang lain
akhirnya memutuskan mundur untuk melapor kepada Prabu Duryudana.

RADEN PERMADI DAN RESI MITREYA DIMASUKKAN KE DALAM PENJARA


Arya Dursasana dan Adipati Jayadrata telah kembali ke hadapan Prabu Duryudana di
istana Hastina. Arya Dursasana pun melaporkan bahwa penculik Dewi Dursilawati yang
berwujud gajah putih ternyata penjelmaan Raden Permadi. Patih Sangkuni menanggapi
bahwa hal ini sangat masuk akal karena si gajah putih mengaku ingin membalas dendam
kepada Prabu Duryudana, dan tentunya ini berkaitan dengan soal Dewi Banuwati. Prabu
Duryudana sangat marah karena hasutan Patih Sangkuni, dan ia pun memercayai laporan
Arya Dursasana.
Resi Druna adalah yang tidak percaya pada laporan tersebut karena ia tahu Raden
Permadi tidak memiliki ilmu mengubah wujud menjadi binatang. Arya Dursasana menjawab
saat ini Raden Permadi sudah memiliki guru baru bernama Resi Mitreya. Ia yakin pasti
pendeta tua itulah yang telah mengajarkan cara berubah wujud menjadi gajah putih.
Patih Sangkuni memanas-manasi Resi Druna bahwa dulu Raden Permadi pernah
dibangga-banggakan sebagai murid terbaik Padepokan Sokalima, ternyata sekarang
mendua dan berguru kepada orang lain. Celakanya, sang guru baru ternyata jauh lebih sakti
daripada guru yang lama. Ia yakin pasti sebentar lagi Raden Permadi akan menjadi murid
durhaka yang berani melawan Resi Druna.
Resi Druna sangat kesal mendengar hasutan Patih Sangkuni. Tidak lama kemudian
Raden Permadi dan Resi Mitreya pun datang bersama Dewi Dursilawati. Prabu Duryudana
menyambut dengan marah-marah dan memerintahkan agar mereka berdua dijebloskan ke
dalam penjara. Dewi Dursilawati menjelaskan bahwa semua ini salah paham, dan penculik
yang sebenarnya adalah Prabu Jayasengara, raja Tirtakandaka. Orang itulah yang
menjelma sebagai gajah putih dan membawa dirinya kabur. Justru Raden Permadi yang
telah membebaskan dirinya dan mengalahkan Prabu Jayasengara.
Prabu Duryudana tidak percaya, bahkan ganti memarahi Dewi Dursilawati. Ia
menuduh adiknya itu telah jatuh cinta kepada Raden Permadi sehingga membela
sedemikian rupa. Ia melarang Dewi Dursilawati berhubungan dengan Raden Permadi,
karena harus segera menikah dengan Adipati Jayadrata dan ini tidak boleh dibantah.
Dewi Dursilawati menjawab dirinya sama sekali tidak jatuh cinta kepada Raden
Permadi yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri. Ini semua bukan soal asmara, tetapi
soal keadilan. Ia tidak keberatan menikah dengan Adipati Jayadrata jika memang ini
menjadi keputusan sang kakak sulung. Akan tetapi, ia ingin menuntut keadilan untuk Raden
Permadi dan Resi Mitreya yang menjadi korban fitnah.
Prabu Duryudana marah-marah hendak memukul Dewi Dursilawati. Pada saat itulah
Dewi Banuwati muncul dan segera membawa Dewi Dursilawati masuk ke dalam.
Resi Druna kemudian bertanya kepada Raden Permadi apakah dirinya masih
dianggap sebagai guru. Jika masih, maka Raden Permadi tidak boleh melawan saat
diperintahkan untuk masuk penjara. Raden Permadi menyatakan bahwa dirinya selalu
menganggap Resi Druna sebagai guru utama dan ia pun siap apabila dijebloskan ke dalam
penjara. Maka, para Kurawa segera menangkap Raden Permadi dan membawanya menuju
penjara. Melihat itu, Resi Mitreya dan para panakawan pun menyerahkan diri untuk ikut
ditangkap masuk penjara demi menemani Raden Permadi.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU JAYASENGARA MENYERANG KERAJAAN HASTINA


Prabu Duryudana telah menetapkan hari perkawinan antara Dewi Dursilawati dengan
Adipati Jayadrata. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Namun, sang pengantin wanita
masih mengurung diri di dalam kamar. Ia menolak menikah dengan laki-laki pilihan kakak
sulungnya apabila Raden Permadi belum dibebaskan.
Ketika para tamu mulai berdatangan, tiba-tiba muncul seekor gajah putih yang diikuti
pasukan hewan berbagai jenis sedemikian banyaknya menyerang Kerajaan Hastina. Gajah
putih tersebut tidak lain adalah penjelmaan Prabu Jayasengara yang datang bersama
segenap pasukan Tirtakandaka untuk membalas kekalahannya tempo hari.
Prabu Duryudana dan para Kurawa pun kalang kabut karena mendapat serangan
mendadak dari pasukan binatang tersebut. Persiapan pernikahan menjadi porak poranda.
Dewi Banuwati segera berlari ke penjara dan memaksa prajurit penjaga untuk
mengeluarkan Raden Permadi dan Resi Mitreya.
Begitu dirinya bebas, Raden Permadi segera terjun menghadapi amukan si gajah
putih. Ia melepaskan panah bermantra yang membuat gajah putih itu kembali ke wujud
aslinya, yaitu Prabu Jayasengara. Begitu pula dengan hewan-hewan lainnya, semuanya
telah kembali ke wujud manusia berkat Aji Pengabaran yang dikerahkan Resi Mitreya.
Raden Permadi lalu bertarung melawan Prabu Jayasengara. Dalam wujud manusia,
kekuatan Prabu Jayasengara berkurang banyak. Tidak lama kemudian, ia pun tewas
terkena tikaman Keris Pulanggeni milik Raden Permadi.
Para prajurit Tirtakandaka mengamuk atas kematian raja mereka dan maju
mengeroyok Raden Permadi. Pada saat itulah datang Arya Wrekodara dan Prabu Kresna
yang sedang dalam perjalanan mencari adik mereka. Arya Wrekodara segera membantu
Raden Permadi menerjang para prajurit Tirtakandaka tersebut. Mereka pun kocar-kacir
akibat amukan sang Panenggak Pandawa. Sebagian tewas di tempat, dan sebagian lagi
kabur melarikan diri.

RESI MITREYA MENGUTUK ARYA DURSASANA


Prabu Duryudana meminta maaf kepada Raden Permadi dan Resi Mitreya karena
dirinya terburu nafsu telah memercayai laporan palsu Arya Dursasana. Raden Permadi bisa
memaafkan, tetapi Resi Mitreya terlanjur marah atas fitnah yang diucapkan Kurawa nomor
dua tersebut. Resi Mitreya pun mengutuk Arya Dursasana yang tidak dapat mengenali
kebenaran, maka kelak akan mati dalam wujud yang susah dikenali. Setelah mengutuk
demikian, Resi Mitreya pun bergegas pulang ke Gunung Mestri.
Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Permadi juga mohon pamit kepada Prabu
Duryudana untuk kembali ke Kerajaan Amarta. Prabu Duryudana menahan mereka agar
tinggal sementara waktu demi menyaksikan pernikahan Adipati Jayadrata dengan Dewi
Dursilawati.
Demikianlah, karena Raden Permadi telah dipulihkan nama baiknya, Dewi Dursilawati
pun bersedia keluar kamar untuk menikah dengan Adipati Jayadrata. Upacara pernikahan
yang seharusnya berlangsung meriah, kini dilaksanakan secara sederhana saja, karena
segala persiapan telah rusak akibat serangan mendadak pasukan binatang tadi.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Dursilawati

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah perkawinan Adipati Jayadrata dan Dewi Dursilawati dalam Serat Pustakaraja Purwa
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun Suryasengakala 695 yang ditandai
dengan sengkalan “Yaksa Rudra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 716 yang ditandai
dengan sengkalan “Angrasa tunggal wangsa”.
KITAB WAYANG PURWA

DEWA RUCI
Kisah ini menceritakan perjalanan Arya Wrekodara dalam mencari air kehidupan Tirta
Pawitrasari Mahening Suci atas perintah Resi Druna, hingga akhirnya ia bisa bertemu
dan berguru kepada jati dirinya sendiri, yaitu Dewa Ruci di tengah Samudera
Minangkalbu.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Babad Ila-ila, yang dipadukan dengan rekaman
pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dan juga Ki Manteb
Soedharsono, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 31 Desember 2016
Heri Purwanto

Arya Bimasena dibelit Naga Nemburnawa.

PRABU DURYUDANA MEMINTA RESI DRUNA MEMBUNUH ARYA WREKODARA


Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati
Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta adik-adiknya, yaitu para Kurawa
yang dipimpin Arya Dursasana dan Raden Kartawarma.
Dalam pertemuan itu, Prabu Duryudana membahas tentang kutukan Resi Mitreya
terhadap Arya Dursasana beberapa hari yang lalu, saat Dewi Dursilawati menikah dengan
Adipati Jayadrata. Dalam kemarahannya, Resi Mitreya mengutuk Arya Dursasana yang
tidak dapat mengenali kebenaran, maka kelak ia akan mati dalam keadaan sulit dikenali.
Kutukan tersebut sangat mengganggu pikiran Prabu Duryudana, bahkan sampai terbawa
mimpi. Dalam mimpinya itu, Prabu Duryudana melihat sebuah perang besar bernama
Perang Bratayuda. Perang saudara ini sesuai dengan ramalan Bagawan Abyasa dahulu
kala, yaitu perang antara keturunan Adipati Dretarastra melawan keturunan Prabu Pandu
Dewanata. Dalam perang tersebut, Prabu Duryudana melihat Arya Dursasana dibunuh Arya
Wrekodara secara kejam. Tubuhnya dicabik-cabik hingga mayatnya tidak dapat dikenali
lagi. Prabu Duryudana juga melihat Arya Wrekodara membantai para Kurawa lainnya
hingga tidak tersisa seorang pun.
Mimpi buruk yang dialami Prabu Duryudana terjadi berkali-kali selama beberapa
malam. Sejak kecil hubungan antara Prabu Duryudana dengan Arya Wrekodara memang
kurang baik. Keduanya sering berkelahi, bahkan Prabu Duryudana pernah mencoba
membunuh Arya Wrekodara beserta para Pandawa lainnya melalui peristiwa Balai
Sigalagala. Namun demikian, mereka berdua akhirnya bisa rukun dan berdamai ketika
KITAB WAYANG PURWA

sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa) di Gunung
Rewataka.
Kini akibat mimpi buruk tersebut, Prabu Duryudana kembali membenci Arya
Wrekodara. Ia sangat takut mimpinya menjadi kenyataan. Ia khawatir ramalan tentang
Perang Bratayuda benar-benar terjadi, dan Arya Wrekodara pun membunuh Arya
Dursasana sesuai kutukan Resi Mitreya.
Untuk itu, Prabu Duryudana berniat meminta Resi Druna agar membunuh Arya
Wrekodara. Bagaimanapun juga Resi Druna adalah guru para Pandawa dan Kurawa,
sehingga sudah pasti memahami kelemahan setiap murid-muridnya.
Resi Druna terkejut mendapat perintah demikian. Ia merasa keberatan karena dirinya
adalah pendeta, bukan algojo pencabut nyawa. Dirinya juga seorang guru, bukan jagal
manusia. Apalagi membunuh Arya Wrekodara yang merupakan murid sendiri, jelas itu tidak
mungkin.
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia mengingatkan dahulu kala Resi Druna bisa
mendapatkan pangkat dan derajat, serta segala kemewahan hidup dari Adipati Dretarastra.
Hingga Resi Druna pun pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan
Hastina dan mematuhi segala perintah yang diberikan raja Hastina. Saat ini yang duduk di
atas takhta adalah Prabu Duryudana, putra Adipati Dretarastra, tentunya sumpah yang dulu
diucapkan tetap berlaku. Apalagi Prabu Duryudana jauh lebih dermawan daripada ayahnya.
Prabu Duryudana telah mengucurkan dana besar-besaran untuk pembangunan Padepokan
Sokalima menjadi lebih megah dan lebih besar. Prabu Duryudana juga mendirikan dan
memimpin sebuah yayasan untuk lebih mengembangkan Padepokan Sokalima. Kini Resi
Druna memiliki banyak sekali murid golongan raja dan pangeran yang berasal dari berbagai
kerajaan, itu pun berkat pemasaran gencar yang dilakukan para Kurawa.
Resi Druna mengakui dirinya kini telah menjadi orang terpandang yang kaya raya dan
berkedudukan tinggi, itu semua berkat sokongan Prabu Duryudana. Ia pun bersumpah akan
selalu setia kepada Kerajaan Hastina dan tidak akan pernah mengkhianati Prabu
Duryudana. Meskipun dulu Prabu Duryudana adalah muridnya, tetapi kini telah menjadi raja
yang harus ia sembah. Akan tetapi, perintah untuk membunuh Arya Wrekodara tetap saja
Resi Druna berat hati untuk melakukannya.
Patih Sangkuni mengatakan, Resi Druna tidak perlu membunuh secara langsung,
melainkan cukup menjerumuskan Arya Wrekodara saja. Sebagai guru tentunya ada banyak
cara untuk memerintahkan muridnya melakukan sesuatu, dan si murid pasti akan
mewujudkannya meskipun itu sangat berbahaya.

RESI DRUNA MEMERINTAHKAN ARYA WREKODARA MENCARI KAYU GUNG


SUSUHING ANGIN
Resi Druna merenung sesaat kemudian menyanggupi usulan Patih Sangkuni.
Kebetulan saat pernikahan Adipati Jayadrata dan Dewi Dursilawati beberapa hari yang lalu,
Arya Wrekodara datang bersama Prabu Kresna untuk menjemput pulang Raden Permadi.
Pada saat itu Arya Wrekodara sempat mengutarakan perasaannya kepada Resi Druna.
Arya Wrekodara berkata dirinya kagum kepada Raden Permadi yang memiliki banyak guru.
Sebagai saudara yang lebih muda, ternyata Raden Permadi memiliki kesaktian yang lebih
beraneka ragam daripada dirinya, apalagi saat itu sang adik baru saja berguru kepada Resi
Mitreya, seorang pendeta sepuh berilmu tinggi dari Gunung Mestri.
Resi Druna lalu bertanya apakah Arya Wrekodara iri kepada adiknya itu. Arya
Wrekodara menjawab tidak iri sama sekali. Yang ia inginkan bukan menambah berbagai
macam ilmu kesaktian, tetapi ingin belajar ilmu kesempurnaan hidup. Ia ingin belajar ilmu
KITAB WAYANG PURWA

Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Ia ingin memahami dan bukan sekadar
mengetahui tentang hidup ini dari mana, untuk apa, dan setelah berakhir hendak ke mana.
Resi Druna yang saat itu sedang sakit hati karena Raden Premadi berguru kepada
Resi Mitreya langsung menjawab sanggup mengajari Arya Wrekodara, tetapi tidak di hari
itu. Kelak apabila Arya Wrekodara sudah siap lahir batin, maka ia boleh datang ke
Padepokan Sokalima untuk mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi tersebut. Arya
Wrekodara merasa senang dan berjanji dirinya pasti akan segera datang.
Demikianlah Resi Druna mengakhiri ceritanya. Ia pun berniat memanfaatkan Arya
Wrekodara yang ingin berguru untuk menjerumuskan Pandawa nomor dua tersebut.
Sungguh kebetulan, tidak lama kemudian Arya Wrekodara benar-benar datang di istana
Hastina.
Prabu Duryudana menyambut ramah kedatangan adik sepupunya itu dan bertanya
ada keperluan apa tiba-tiba datang ke Kerajaan Hastina. Arya Wrekodara menjawab bahwa
sesungguhnya ia telah pergi ke Padepokan Sokalima untuk menemui Resi Druna. Akan
tetapi, menurut para janggan dan cantrik di sana, Resi Druna telah pergi ke Kerajaan
Hastina untuk mengunjungi Prabu Duryudana. Arya Wrekodara merasa tidak sabar
menunggu sang guru pulang, dan memutuskan untuk pergi menyusul.
Kini Arya Wrekodara telah bertemu Resi Druna dan menyatakan dirinya telah siap lahir
batin menerima pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari sang guru. Resi Druna
menjawab dirinya bersedia memberikan wejangan di Padepokan Sokalima, tetapi Arya
Wrekodara harus lebih dulu membuktikan kesiapannya. Untuk menerima ilmu Sangkan
Paraning Dumadi, Arya Wrekodara harus dapat memenuhi syarat-syaratnya, yaitu
menyerahkan Kayu Gung Susuhing Angin terlebih dahulu. Kayu ajaib ini konon hanya
tumbuh di puncak Gunung Candramuka, tepatnya di dalam Gua Sigrangga.
Arya Wrekodara menjawab sanggup. Ia pun mohon pamit pergi mencari kayu tersebut.
Prabu Duryudana pura-pura merasa berat hati melepas kepergian sepupunya itu. Ia
memeluk Arya Wrekodara dan memberikan restu kepadanya semoga berhasil. Ia juga
menawarkan bala bantuan sebagai pengawal. Namun, Arya Wrekodara menolak itu semua
karena ini adalah urusan pribadinya dan ia tidak ingin merepotkan orang lain. Setelah
berkata demikian, Arya Wrekodara pun berangkat meninggalkan Kerajaan Hastina.
Setelah Arya Wrekodara pergi, Patih Sangkuni bertanya kepada Resi Druna mengapa
menyuruhnya pergi ke Gunung Candramuka. Resi Druna menjawab bahwa Kayu Gung
Susuhing Angin itu sesungguhnya tidak ada. Semua ini hanyalah akal-akalan dirinya saja.
Ia pernah mendengar kabar, bahwa Gunung Candramuka adalah tempat yang angker
mengerikan. Di sana terdapat Gua Sigrangga yang dihuni sepasang raksasa bengis, yang
gemar memangsa daging manusia. Kedua raksasa itu konon sangat perkasa dan juga
kejam. Jika Arya Wrekodara pergi ke sana dan bertemu dengan kedua raksasa tersebut,
maka itu sama artinya dengan mengantar nyawa.
Patih Sangkuni gembira mendengarnya. Ia bertanya apakah Arya Wrekodara pasti
mati jika berhadapan dengan kedua raksasa itu? Resi Druna menjawab belum tentu. Lahir
atau mati adalah suratan takdir, bukan dirinya yang menentukan. Manusia hanya bisa
merencanakan, dan semua hasilnya terserah Yang Mahakuasa. Yang jelas, ia sudah
menjalankan tugas untuk menjerumuskan Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Prabu Duryudana merasa bimbang. Ia lalu memerintahkan Raden
Kartawarma untuk mengawasi Arya Wrekodara dari kejauhan. Apabila Arya Wrekodara
tidak tewas melawan kedua raksasa itu, maka Raden Kartawarma harus cepat-cepat pulang
untuk melapor, agar Resi Druna dapat segera menyiapkan rencana kedua. Raden
Kartawarma menyanggupi dan segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.
KITAB WAYANG PURWA

ARYA WREKODARA MENGHADAPI DUA RAKSASA


Arya Wrekodara telah sampai di Gunung Candramuka. Ia menemukan Gua Sigrangga
dan memasukinya untuk mencari keberadaan Kayu Gung Susuhing Angin. Gua tersebut
ternyata dihuni dua raksasa bertubuh besar menyeramkan. Mereka pun marah dan
menyerang Arya Wrekodara.
Raksasa yang tua bernama Ditya Rukmuka, sedangkan yang muda bernama Ditya
Rukmakala. Mereka berebut ingin menangkap dan memangsa tubuh Arya Wrekodara
sebagai santapan. Namun, Arya Wrekodara dapat dengan tangkas menandingi keganasan
mereka. Mula-mula Ditya Rukmuka dapat dibunuh. Perutnya robek terkena Kuku
Pancanaka di tangan Arya Wrekodara. Anehnya, begitu Ditya Rukmakala melangkahi
mayatnya, seketika Ditya Rukmuka pun bangkit kembali. Kemudian ketika Ditya Rukmakala
yang tewas terkena tendangan Arya Wrekodara, ia pun hidup kembali setelah dilangkahi
Ditya Rukmuka.
Arya Wrekodara merasa kewalahan menghadapi kedua raksasa tersebut. Dalam
keadaan letih, ia mengheningkan cipta menenangkan diri. Sungguh aneh, begitu Arya
Wrekodara mengheningkan cipta justru kedua lawannya menjadi limbung dan
sempoyongan. Arya Wrekodara pun menjambak rambut mereka dan membenturkan kepala
keduanya hingga pecah. Kedua raksasa itu pun tewas dan tidak bisa bangkit kembali.

ARYA WREKODARA MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA INDRA DAN BATARA


BAYU
Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala telah terbunuh. Mayat mereka tiba-tiba musnah
menjadi asap dan berubah menjadi dua orang dewa. Ditya Rukmuka menjadi Batara Indra,
sedangkan Ditya Rukmakala menjadi Batara Bayu. Kedua dewa itu berterima kasih karena
Arya Wrekodara telah meruwat mereka sehingga bisa kembali menjadi dewa.
Arya Wrekodara bertanya mengapa Batara Indra dan Batara Bayu berubah wujud
menjadi raksasa kembar. Batara Bayu bercerita bahwa pada suatu hari Batara Guru
mengadakan pertemuan di Kahyangan Jonggringsalaka. Pada saat itu Batari Wilotama
ditugasi menari menghibur para dewa yang hadir. Batara Indra dan Batara Bayu datang
terlambat. Batara Indra lalu meminta Batara Bayu agar mengerahkan angin kencang agar
mendorong tubuh mereka berdua sehingga bisa tiba di Kahyangan Jonggringsalaka lebih
cepat. Batara Bayu menyanggupi. Ia pun mengerahkan angin dan seketika dirinya dan
Batara Indra pun sampai di hadapan Batara Guru. Sialnya, angin tersebut juga ikut meniup
tubuh Batari Wilotama yang sedang menari. Akibatnya, pakaian Batari Wilotama menjadi
tersingkap dan membuat Batara Guru sangat marah kepada Batara Bayu dan Batara Indra.
Itulah sebabnya mereka menjadi raksasa kembar adalah karena kutukan yang diucapkan
Batara Guru.
Kini kedua dewa itu berterima kasih kepada Arya Wrekodara karena telah
membebaskan diri mereka dari kutukan. Arya Wrekodara balik bertanya di mana kira-kira ia
bisa menemukan Kayu Gung Susuhing Angin. Batara Indra menjawab Kayu Gung Susuhing
Angin bukan berwujud seperti kayu pada umumnya, melainkan itu adalah bahasa
perlambang. Kayu Gung bermakna “kayu besar”, sesungguhnya adalah kiasan untuk raga
manusia, sedangkan Susuhing Angin bermakna “rumah angin”. Maka, makna dari Kayu
Gung Susuhing Angin adalah manusia yang merupakan tempat keluar masuknya angin atau
disebut napas. Napas yang masuk membawa udara bersih, kemudian diedarkan ke seluruh
bagian tubuh, dan keluar membawa udara kotor.
Arya Wrekodara bertanya apakah gurunya telah berbohong dengan menugasi dirinya
mencari benda yang tidak pernah ada. Batara Bayu menjawab sama sekali tidak. Tugas
KITAB WAYANG PURWA

yang diberikan Resi Druna bukanlah kebohongan, melainkan sebuah teka-teki. Kayu Gung
Susuhing Angin bukan berwujud benda, tetapi berwujud pelajaran. Gunung Candramuka,
Gua Sigrangga, Ditya Rukmuka, Ditya Rukmakala, Batara Indra, dan Batara Bayu,
semuanya mengandung hikmah pelajaran. Mengenai makna dari pelajaran tersebut kelak
Arya Wrekodara akan menemukannya sendiri, apabila bersungguh-sungguh. Untuk itu, jika
Resi Druna memberikan tugas selanjutnya, maka jangan sampai Arya Wrekodara
menolaknya.
Arya Wrekodara pun menyanggupi saran Batara Bayu tersebut. Sebagai ungkapan
terima kasih, Batara Indra pun memberikan hadiah berupa Cincin Druwenda Mustika Manik
Candrama. Khasiat dari cincin tersebut adalah bisa melindungi keselamatan Arya
Wrekodara apabila tercebur di dalam air. Arya Wrekodara menerima hadiah tersebut
dengan rendah hati dan mengenakannya di jari. Setelah dirasa cukup, Batara Bayu dan
Batara Indra undur diri kembali ke kahyangan.

RESI DRUNA MENUGASI ARYA WREKODARA MENCARI AIR KEHIDUPAN


Raden Kartawarma telah melapor kepada Prabu Duryudana bahwa Arya Wrekodara
tidak mati dibunuh kedua raksasa penunggu Gunung Candramuka, tetapi justru berhasil
menewaskan mereka. Prabu Duryudana sangat kesal dan meminta Resi Druna menyusun
rencana kedua untuk menyingkirkan sepupunya itu.
Tidak lama kemudian, Arya Wrekodara pun muncul dan langsung menghadap Resi
Druna. Ia menceritakan pengalamannya di Gunung Candramuka, di mana ia tidak
menjumpai Kayu Gung Susuhing Angin di sana, tetapi bertemu dua raksasa yang akhirnya
teruwat menjadi dewa, yaitu Batara Indra dan Batara Bayu. Resi Druna menjawab mereka
berdua itulah yang dimaksud dengan Kayu Gung Susuhing Angin. Dengan kata lain, Arya
Wrekodara dianggap telah lulus memenuhi syarat pertama.
Arya Wrekodara lalu bertanya apakah dirinya sudah bisa mulai belajar ilmu Sangkan
Paraning Dumadi. Resi Druna menjawab belum, karena masih ada satu syarat lagi, yaitu
Arya Wrekodara harus dapat menemukan air kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci
yang terletak di Samudera Minangkalbu. Arya Wrekodara pun bertanya di mana letak
samudera tersebut. Resi Druna menjawab, Minangkalbu artinya meminang hati. Arya
Wrekodara silakan bertanya kepada hatinya sendiri di mana letak samudera tersebut. Jika
ia yakin ke arah utara, silakan mencebur ke laut utara, dan jika mantap ke selatan, silakan
mencebur ke laut selatan.
Teringat pada pesan Batara Bayu, Arya Wrekodara pun menyatakan sanggup. Ia lalu
mohon pamit berangkat melaksanakan tugas kedua tersebut.

ARYA WREKODARA BERPAMITAN KEPADA SAUDARA-SAUDARANYA


Arya Wrekodara merasa tugas mencari Tirta Pawitrasari jauh lebih berat daripada
mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Maka, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dulu
ke Kerajaan Amarta untuk mohon pamit dan meminta doa restu kepada ibu dan empat
saudaranya.
Dewi Kunti, Prabu Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Permadi, serta si kembar Raden
Nakula dan Raden Sadewa menyambut kepulangan Arya Wrekodara. Kepada mereka, Arya
Wrekodara bercerita tentang niatnya untuk belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi
Lepasing Budi kepada Resi Druna, dengan syarat harus bisa menemukan air kehidupan
Tirta Pawitrasari Mahening Suci di Samudera Minangkalbu.
Prabu Puntadewa dan yang lain terkejut. Dewi Kunti segera meminta agar Arya
Wrekodara membatalkan niatnya. Namun, Arya Wrekodara menolak karena sudah terlanjur
KITAB WAYANG PURWA

menyanggupi. Raden Permadi menanggapi bahwa ia yakin Resi Druna pasti telah didesak
Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan sang kakak kedua. Prabu
Puntadewa membenarkan hal itu. Ia pun mengingatkan bahwa dulu Prabu Duryudana
semasa muda dibantu Patih Sangkuni pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap
para Pandawa beserta Dewi Kunti dalam peristiwa Balai Sigalagala.
Arya Wrekodara berkata bahwa dulu Prabu Puntadewa pernah berpesan agar jangan
lagi mengungkit-ungkit soal Balai Sigalagala, tapi mengapa sekarang justru melanggarnya
perkataannya sendiri? Apalagi ketika Prabu Duryudana dan Arya Wrekodara sama-sama
berguru kepada Wasi Jaladara, saat itu Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan
mengumumkan bahwa Prabu Duryudana (saat itu masih bernama Raden Kurupati) telah
bertobat dan ingin memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Untuk itu, para Pandawa
tidak boleh lagi menganggap Kurawa sebagai musuh. Sungguh mengherankan, mengapa
sekarang tiba-tiba Prabu Puntadewa menaruh prasangka buruk, menduga Prabu
Duryudana pasti telah mendesak Resi Druna untuk mencelakakan dirinya?
Dewi Kunti sangat sedih karena Arya Wrekodara tetap bersikeras ingin pergi
mencebur samudera. Karena terlalu sedih, wanita itu pun jatuh pingsan. Sang menantu,
Dewi Drupadi segera memapah tubuhnya masuk ke dalam kedaton.
Raden Nakula dan Raden Sadewa ganti ikut bicara. Mereka memeluk lengan Arya
Wrekodara kiri dan kanan, meminta agar sang kakak kedua jangan pergi. Mereka menangis
meratapi nasib sebagai anak yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati ayah dan ibu.
Mereka menganggap Arya Wrekodara adalah pelindung mereka selama ini. Arya
Wrekodara tidak hanya berperan sebagai ayah, tapi juga berperan sebagai ibu bagi mereka.
Dulu saat kecil, Arya Wrekodara sering menggendong keduanya ke sana kemari. Juga
apabila tidak ada sang kakak kedua, mungkin mereka sudah mati dilalap kobaran api dalam
peristiawa Balai Sigalagala. Raden Nakula dan Raden Sadewa menganggap Arya
Wrekodara sudah seperti pengganti orang tua bagi mereka.
Arya Wrekodara merasa bimbang untuk melangkah. Namun, kuatnya niat untuk
mengetahui seluk-beluk ilmu Sangkan Paraning Dumadi membuatnya menjadi nekat. Ia pun
mengibaskan tangan si kembar, lalu mengangkat tubuh Prabu Puntadewa. Ia berkata
dirinya bersifat kaku, tidak bisa membungkuk atau berjongkok. Untuk itu, ia pun menjunjung
tubuh si kakak sulung dan meminta restu kepadanya. Jika niatnya tulus dan suci, ia meminta
restu supaya berhasil meraih cita-cita. Namun, jika niatnya bengkok, maka relakanlah
dirinya tewas tenggelam atau mati dimangsa ikan hiu.
Prabu Puntadewa melihat semangat adiknya begitu kokoh. Ia pun merestui Arya
Wrekodara semoga berhasil meraih cita-cita. Arya Wrekodara lalu menurunkan sang kakak
sulung kemudian mohon pamit berangkat menuju Samudera Minangkalbu. Para Pandawa
yang lain melepas kepergiannya dengan isak tangis. Prabu Puntadewa pun mengajak
mereka masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk berdoa bersama kepada Yang
Mahakuasa, memohon yang terbaik untuk saudara mereka nomor dua tersebut.

ARYA WREKODARA DIHADANG RESI ANOMAN


Arya Wrekodara berusaha memantapkan hati. Ia menuruti bisikan kalbunya agar
berjalan menuju arah selatan. Di tengah jalan tiba-tiba dirinya berjumpa dengan sang kakak
angkat, yaitu Resi Anoman, sesama Kadang Tunggal Bayu yang tinggal di Padepokan
Kendalisada.
Resi Anoman bertanya apa tujuan Arya Wrekodara berjalan ke selatan. Arya
Wrekodara menjelaskan semuanya dari awal, yaitu ia ingin berguru ilmu Sangkan Paraning
Dumadi kepada Resi Druna. Resi Anoman tampak kecewa dan meminta sang adik agar
KITAB WAYANG PURWA

kembali. Apa gunanya berguru kepada Resi Druna? Resi Druna itu guru ilmu perang, bukan
guru ilmu kebatinan. Jika Arya Wrekodara ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi
sebaiknya bertanya kepada Bagawan Abyasa atau Resiwara Bisma. Mereka berdua jauh
lebih paham daripada Resi Druna. Apalagi Resi Druna terkenal sebagai pendeta mata
duitan yang hidupnya melacurkan diri kepada Prabu Duryudana, muridnya sendiri yang
kaya raya.
Arya Wrekodara merasa kecewa dua hal kepada Resi Anoman. Kecewa yang pertama
ialah Resi Anoman telah menghina gurunya yang sangat ia hormati. Resi Anoman terlalu
menilai orang dari luarnya saja. Yang kedua, Resi Anoman sebagai seorang pendeta
ternyata pikirannya belum tenang, hatinya belum hening, masih suka membanding-
bandingkan antara orang yang satu dengan lainnya. Harusnya seorang pendeta itu lebih
teduh pandangannya, lebih arif pikirannya, dan lebih luhur budi pekertinya. Menghakimi
Resi Druna suka melacurkan diri jelas karena didorong perasaan amarah semata, bukan
hasil dari pemikiran bijaksana dilandasi hati yang jernih.
Resi Anoman tersinggung atas ucapan adiknya. Ia pun menyerang Arya Wrekodara
untuk memaksanya kembali. Arya Wrekodara menghadapi serangan itu. Keduanya lalu
berkelahi. Arya Wrekodara berpikir jika dirinya melayani sang kakak angkat, maka cita-
citanya pasti akan tertunda. Maka, dengan cekatan Arya Wrekodara pun berhasil
meloloskan diri dari pertarungan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Samudera
Minangkalbu.
Resi Anoman tersenyum melihat kepergian adiknya. Ia berkata dirinya tadi hanyalah
ingin mencoba keteguhan tekad Arya Wrekodara saja. Melihat semangat yang kuat serta
niat yang lurus dari adiknya tersebut, ia pun berdoa semoga Arya Wrekodara mendapat
keberhasilan meraih cita-cita dan selalu dilindungi Tuhan Yang Mahakuasa.

ARYA WEKODARA MENCEBUR SAMUDERA MELAWAN NAGA NEMBURNAWA


Arya Wrekodara telah sampai di tepi laut selatan. Tampak ombak bergulung-gulung
membuat hatinya bergetar. Sejak kecil dirinya kurang pandai berenang, namun kini terlanjur
menyanggupi untuk mencebur samudera, mencari keberadaan air kehidupan Tirta
Pawitrasari Mahening Suci. Pikirannya pun berbisik sebaiknya pulang saja dan meminta
Resi Druna memberikan tugas lainnya yang tidak berhubungan dengan air.
Tiba-tiba di atas kepala Arya Wrekodara tampak seekor burung gagak dan seekor
burung patukbawang sedang terbang berputar-putar. Arya Wrekodara seolah-olah bisa
mendengar mereka berbicara tentang kematian. Mereka berkata bahwa hidup atau mati
ada di tangan Sang Pencipta. Mencebur ke dalam lautan bisa jadi tetap selamat, sedangkan
tidur di rumah bisa jadi tidak bangun lagi untuk selamanya. Arya Wrekodara merasa
tersindir. Sebagai kesatria ternyata ia kalah pemikiran dibanding dua ekor burung kecil.
Dengan membulatkan tekad, ia pun melompat sejauh-jauhnya, dan tubuhnya pun mencebur
ke dalam lautan.
Ternyata benar, Yang Mahakuasa memberikan perlindungan kepadanya. Cincin
Druwenda Mustika Manik Candrama pemberian Batara Indra dan Batara Bayu telah
membuat tubuh Arya Wrekodara mengambang. Ia pun berjalan dengan kaki di dalam air
menuju ke tengah. Semakin lama, makin ke tengah menuruti bisikan kalbunya.
Tiba-tiba muncul sesosok makhluk berwujud besar dan panjang menyambar
tubuhnya. Makhluk tersebut berwujud naga yang langsung membelitnya mulai kaki hingga
leher. Arya Wrekodara pun meronta-ronta. Namun, semakin meronta, belitan sang naga
justru semakin erat. Ketika mulut si naga hendak mencaplok kepalanya, Arya Wrekodara
KITAB WAYANG PURWA

sempat menangkap dan menusuk mulut tersebut menggunakan Kuku Pancanaka. Naga itu
pun mati dan bangkainya musnah dari pandangan.

ARYA WREKODARA BERTEMU DEWA RUCI


Setelah sang naga lenyap, tubuh Arya Wrekodara digulung ombak besar. Ombak
tersebut membuat dirinya semakin menengah. Arya Wrekodara tidak lagi melawan saat
tubuhnya terombang-ambing bagaikan buih di lautan. Ia berserah diri sepenuhnya kepada
Tuhan Yang Mahakuasa ke mana dirinya akan dibawa. Ia sudah tidak merasakan apa-apa
lagi, bagaikan “mati sajeroning urip, urip sajeroning mati”.
Pada saat mencapai puncak penyerahan diri itulah, Arya Wrekodara tiba-tiba
dibangunkan oleh suara seseorang. Ketika membuka mata tiba-tiba ia melihat perwujudan
yang sama persis seperti dirinya, tetapi ukuran tubuhnya kecil seukuran anak-anak. Orang
itu mengaku bernama Dewa Ruci.
Dewa Ruci berkata bahwa Tirta Pawitrasari Mahening Suci yang dicari Arya
Wrekodara ada pada dirinya. Arya Wrekodara heran mengapa orang itu bisa mengetahui
isi hatinya. Tidak hanya itu, Dewa Ruci ternyata bisa menjelaskan riwayat perjalanan Arya
Wrekodara dari awal, lengkap dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Mula-mula Arya Wrekodara pergi mencari Kayu Gung Susuhing Angin di Gunung
Candramuka, tepatnya di Gua Sigrangga. Kayu Gung Susuhing Angin adalah kiasan dari
manusia, yaitu tempat keluar-masuknya udara. Gunung Candramuka adalah perlambang
dari wajah yang indah, sedangkan Gua Sigrangga adalah perlambang dari tubuh yang
menawan. Ditambah dengan Ditya Rukmuka adalah kiasan untuk keindahan muka,
sedangkan Ditya Rukmakala adalah kiasan untuk keindahan perhiasan.
Wajah yang indah, tubuh yang menawan, ditambah dengan berdandan dan memakai
perhiasan pula, baik itu bagi kaum pria ataupun wanita adalah hal yang wajar. Karena,
penampilan yang baik akan membuat orang lain lebih menghormati. Akan tetapi, ada
kalanya manusia lebih mementingkan penampilan fisik daripada keindahan batin. Seringkali
manusia lupa diri, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memperbaiki jasmani
daripada rohani. Itulah sebabnya, setelah pertarungan berakhir, yang muncul adalah Batara
Indra dan Batara Bayu. Batara Indra adalah kiasan untuk panca indra, sedangkan Batara
Bayu adalah kiasan untuk napas. Peristiwa di Gunung Candramuka adalah kiasan bahwa
Arya Wrekodara telah mampu menundukkan godaan panca indra untuk memperindah
penampilan, serta mengatur olah napas untuk mengendalikan pikiran yang liar.
Selanjutnya, Arya Wrekodara dicegah saudara-saudaranya, yaitu Prabu Puntadewa,
Raden Arjuna, Raden Nakula, Raden Sadewa, ditambah dengan Resi Anoman. Mereka
adalah perlambang saudara gaib manusia, yaitu yang disebut “sedulur papat lima pancer”.
Yang empat adalah kawah, ari-ari, getih, dan puser. Mereka adalah empat saudara yang
ikut lahir bersama bayi melalui “marga ina” atau kelamin ibu. Secara fisik keempat saudara
ini telah mati, tetapi secara rohani mereka selalu menjaga si bayi siang dan malam.
Keempat Pandawa pada mulanya mencegah dan menghalangi, namun kemudian
mereka bersama memasuki sanggar pemujaan untuk mendoakan keselamatan Arya
Wrekodara. Demikianlah kiasan dari sedulur papat yang selalu memerhatikan keselamatan
si manusia, tetapi jika manusia membulatkan tekad menempuh bahaya, maka keempatnya
akan tetap melindungi dan mengusahakan keselamatannya.
Sementara itu, Resi Anoman adalah kiasan dari sedulur pancer, yaitu Marmati, yang
disebut juga Ratu Jalu-Ratu Estri. Adapun Marmati ini tidak lahir melalui marga ina, tetapi
lahir melalui debaran dada sang ibu ketika hendak melahirkan. Marmati bersemayam di
dalam kalbu manusia, memberikan petunjuk siang dan malam. Umumnya manusia
KITAB WAYANG PURWA

menyebutnya sebagai hati nurani, sedangkan kaum negeri seberang menyebutnya sebagai
malaikat penjaga. Orang-orang yang menuruti hawa nafsu dalam menjalani kehidupan
disebut sebagai kaum angkara murka, yaitu orang-orang yang tidak mau mendengar suara
hati nurani. Mereka lebih suka mengumbar keinginan apa yang terlihat oleh panca indra.
Kaum seberang lautan menyebutnya dengan istilah godaan setan.
Selanjutnya, Arya Wrekodara mencebur ke tengah laut dan diserang seekor naga.
Sesungguhnya naga tadi bernama Naga Nemburnawa, yang merupakan kiasan dari hawa
nafsu pribadi manusia. Hawa nafsu sifatnya seperti ular yang mengikat dan membelit jiwa
manusia agar mengikuti kemauannya. Manusia yang menuruti hawa nafsu diibaratkan
seperti dibelit, diseret, dan dicaplok ular kepalanya. Itulah sebabnya legenda di Timur
Tengah mengisahkan iblis mengambil wujud ular saat menggoda Adam dan Hawa agar
melakukan dosa pertama. Bukan berarti ular adalah lambang keburukan, tetapi ular adalah
lambang nafsu yang mematuk dan membelit manusia.
Nemburnawa artinya sembilan lubang. Sembilan lubang inilah yang hendaknya dijaga
dengan baik oleh manusia agar tidak semakin terjerumus ke dalam lembah nafsu
keduniawian. Kesembilan lubang tersebut adalah dua mata, dua telinga, dua hidung, satu
mulut, satu kemaluan, dan satu pembuangan. Dalam peristiwa tadi Arya Wrekodara berhasil
mengalahkan Naga Nemburnawa menggunakan Kuku Pancanaka, ini merupakan
perlambang seorang manusia yang telah mengheningkan cipta, menggenggam tekad,
berhasil membebaskan dirinya dari belitan hawa nafsu.
Selanjutnya, Arya Wrekodara terombang-ambing digulung ombak. Tanpa melawan ia
berserah diri. Demikianlah hendaknya manusia. Setelah mampu memerangi hawa nafsu,
hendaknya bersikap rendah hati di hadapan sesama makhluk, dan berserah diri di hadapan
Sang Pencipta. Adakalanya seseorang merasa bangga setelah berhasil menundukkan
nafsunya. Tanpa ia sadari bahwa perasaan bangga itu justru membuatnya terbelit oleh
nafsu yang lain.
Manusia yang sempurna justru yang bersikap rendah hati di hadapan sesama, dan
berserah diri di hadapan Sang Pencipta. Kemudian tubuh Arya Wrekodara yang terombang-
ambing digulung ombak tetapi tidak tenggelam adalah perlambang manusia yang tetap
tenang menghadapi pasang surut kehidupan, tetapi tidak sampai tenggelam, baik itu di
dalam suka ataupun duka.

ARYA WREKODARA MENDAPAT WEJANGAN DI DALAM DIRI SANG DEWA RUCI


Dewa Ruci lalu berkata kepada Arya Wrekodara agar memasuki tubuhnya melalui
telinga kiri apabila ingin mendapatkan Tirta Pawitrasari Mahening Suci. Arya Wrekodara
merasa bimbang. Mana mungkin tubuhnya yang tinggi besar mampu memasuki tubuh Dewa
Ruci yang kecil mungil seperti itu? Dewa Ruci menjawab, jangankan hanya seorang
Wrekodara, sedangkan bumi, langit, bahkan seluruh alam semesta pun bisa muat di dalam
tubuh Dewa Ruci.
Arya Wrekodara baru sadar dengan siapa dirinya kini sedang berhadapan. Ia tidak
berani lagi berkaacak pinggang, melainkan menyembah penuh hormat dan menggunakan
bahasa halus sehalus-halusnya. Padahal, selama ini ia selalu berdiri tegak dan berkacak
pinggang jika berhadapan dengan siapa saja, bahkan di depan Batara Guru sekalipun.
Arya Wrekodara pun berserah diri sepenuhnya. Dengan tenang ia memasuki telinga
kiri Dewa Ruci. Sungguh ajaib, keadaan di dalam tubuh Dewa Ruci ternyata luas sekali,
bagaikan tanpa batas. Arya Wrekodara sama sekali tidak dapat membedakan mana utara,
mana selatan, mana barat, mana timur. Suasana di dalam pun terang tetapi tidak
KITAB WAYANG PURWA

menyilaukan. Tidak ada matahari, tidak ada rembulan, juga tidak ada pelita. Hawa di sana
pun tidak panas, juga tidak dingin. Benar-benar menentramkan hati.
Terdengar kemudian suara Dewa Ruci membimbing Arya Wrekodara. Mula-mula Arya
Wrekodara melihat pemandangan samudera luas tanpa tepi. Dewa Ruci pun berkata bahwa
itu adalah gambaran “wahananing tyas pribadi”. Itulah wujud perlambang luasnya kalbu
manusia. Namun, karena manusia lebih menuruti hawa nafsu, mereka pun banyak yang
berpikiran sempit, atau istilahnya berhati kecil.
Arya Wrekodara kemudian melihat pemandangan cahaya samar-samar. Dewa Ruci
menjelaskan bahwa itu adalah Pancamaya yang merupakan “wahananing jantung” atau
sejatinya kalbu. Sifatnya sebagai pemuka, bersemayam di dalam cipta, dan mengendalikan
indra penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, dan peraba.
Arya Wrekodara lalu melihat cahaya empat macam, yaitu hitam, merah, kuning, dan
putih. Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing budi”, yang mewujudkan nafsu empat
perkara. Cahaya hitam adalah kiasan untuk nafsu badaniah, yaitu membuat manusia
merasa lapar, dahaga, letih, dan mengantuk. Cahaya merah adalah nafsu angkara,
membuat manusia ingin meraih cita-cita derajat lebih tinggi. Cahaya kuning adalah kiasan
nafsu keinginan. Nafsu ini mendorong manusia untuk meraih kegembiraan, baik itu melalui
birahi, maupun melalui kegemaran mengumpulkan barang kesukaan, ataupun menikmati
hiburan lainnya. Cahaya putih adalah perlambang nafsu pemujaan. Nafsu ini mendorong
manusia untuk ingin berbuat baik, ataupun ingin bersembahyang dan beribadah. Keempat
nafsu tersebut ibaratnya menjadi bahan bakar bagi manusia, tetapi harus dikendalikan
dengan baik dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi
racun bagi kehidupan.
Arya Wrekodara kemudian melihat cahaya yang menyala seperti api, namun
memancarkan sinar tujuh warna, yaitu hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, dan jingga.
Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing Pangeran” atau “cahyaning pramana”.
Kedelapan sinar itu merupakan perlambang dari kuasa penciptaan. Sinar hitam
menunjukkan “nisthaning cipta”, sinar merah menunjukkan “dhustaning cipta”, sinar kuning
menunjukkan “doraning cipta”, sinar putih menunjukkan “setyaning cipta”, sinar hijau
menunjukkan “sentosaning cipta”, sinar biru menunjukkan “sembadaning cipta”, dan sinar
jingga menunjukkan “owah-gingsiring cipta”.
Arya Wrekodara lalu melihat wujud seperti tawon gumana, jernih cahayanya. Dewa
Ruci menjelaskan itu adalah perlambang “pramananing sukma”, meliputi jagad besar dan
jagad kecil, yang sumber kehidupannya dari “pramananing rasa”.
Arya Wrekodara kemudian melihat wujud seperti boneka gading yang jika diamati
seperti bertahtakan mutiara. Wujudnya bersinar terang benderang. Dewa Ruci menyebut
itulah yang dinamakan “pramananing rahsa” yang berkuasa atas “purba wasesa” terhadap
alam seisinya, mendapat hidup dari Sang Hyang Atma.
Terakhir Arya Wrekodara melihat wujud sifat tunggal, bukan laki-laki juga bukan
perempuan. Tidak bertempat juga tidak bertakhta. Tanpa rupa dan tanpa warna. Cahayanya
gilang-gemilang tanpa bayangan. Dewa Ruci menyebut itu adalah “Atma Gaib, Sipat Sejati”.
Dialah yang kuasa mengatur alam semesta, bertempat di dalam “Sang Urip”.
Arya Wrekodara merasa nyaman tinggal di dalam diri Sang Dewa Ruci. Ingin rasanya
ia selamanya tinggal di sana. Dewa Ruci berkata bahwa belum saatnya Arya Wrekodara
menyatu dengan diri-Nya. Masih banyak yang harus ia lakukan di alam nyata. Untuk itu,
Arya Wrekodara harus kembali ke dunia untuk menyebarkan kasih sayang di antara sesama
makhluk, tanpa melihat perbedaan dari jenis apa, suku apa, bangsa apa, agama apa,
ataupun golongan apa pun juga.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Wrekodara menurut. Ia pun keluar melalui telinga kanan Dewa Ruci. Sungguh
ajaib, saat keluar rambutnya telah digelung, tidak lagi terurai seperti tadi. Dewa Ruci kini
juga berwujud sama persis seperti dirinya, karena Dewa Ruci memang perwujudan jati
dirinya sendiri.
Dewa Ruci menjelaskan mengapa kini Arya Wrekodara memakai gelung minangkara,
adalah perlambang agar ia selalu rendah hati dan berserah diri. Gelung minangkara
berwujud rendah di depan, tinggi di belakang, atau kecil di depan, besar di belakang.
Meskipun Arya Wrekodara telah mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi, pernah
merasakan Manunggaling Kawula Gusti, namun hendaknya tetap rendah hati, tidak
menunjukkan keberhasilannya di depan umum. Arya Wrekodara tidak boleh tinggi hati, juga
tidak boleh pamer kepandaian. Hendaknya Arya Wrekodara tetap menjadi manusia sejati,
yaitu rendah hati di hadapan sesama, dan berserah diri di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah, Dewa Ruci telah menjelaskan semuanya. Ia berpesan agar Arya
Wrekodara selalu menghormati Resi Druna yang merupakan gurunya di alam nyata. Tanpa
perintah dari Resi Druna, tidak mungkin Arya Wrekodara dapat bertemu dengan Dewa Ruci.
Usai berkata demikian, ia pun menghilang menjadi seberkas cahaya dan masuk ke dalam
diri Arya Wrekodara.

RESI DRUNA MENYUSUL ARYA WREKODARA


Raden Permadi sangat mengkhawatirkan keselamatan kakak keduanya. Ia pun
bergegas menuju Kerajaan Hastina dan di tengah jalan bertemu Resi Druna yang hendak
pulang ke Padepokan Sokalima. Dengan isak tangis, Raden Permadi meminta sang guru
bertanggung jawab apabila Arya Wrekodara tidak kembali ke daratan. Resi Druna harus
menyusul mencebur ke dalam samudera.
Resi Druna kecewa di dalam hati karena dulu pernah membangga-banggakan Raden
Permadi sebagai murid terbaiknya. Tak disangka, sang murid justru meminta dirinya
mencebur ke laut. Akan tetapi, jika dipikir-pikir memang Resi Druna adalah penyebab
terjerumusnya Arya Wrekodara. Ia pun berkata jika lewat tengah hari Arya Wrekodara belum
juga kembali, maka dirinya bersedia mencebur samudera untuk menyusul muridnya itu.
Akhirnya, matahari pun mulai condong ke barat. Resi Druna bergegas menuju ke
lautan dengan diikuti Raden Permadi. Begitu sampai di tepi pantai, ia langsung melompat
untuk mencebur ke air. Tiba-tiba Arya Wrekodara muncul dari dalam lautan dan langsung
menangkap tubuh sang guru.
Arya Wrekodara menggendong tubuh Resi Druna naik ke daratan dan disambut haru
oleh Raden Permadi. Arya Wrekodara mengaku dirinya telah mendapatkan air Tirta
Pawitrasari Mahening Suci, tetapi tidak berwujud benda, melainkan berwujud pengalaman
rohani bersama Dewa Ruci. Ia sangat berterima kasih kepada Resi Druna yang telah
memberikan petunjuk kepadanya.
Resi Druna salah tingkah. Awalnya ia ditugasi menjerumuskan muridnya itu tapi
ternyata sang murid justru mendapatkan anugerah yang tak ternilai harganya. Resi Druna
pun merasa ikut bahagia. Ia mengajak Arya Wrekodara dan Raden Permadi untuk berdoa
bersama, memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena semuanya
kini berakhir dengan baik.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Bimasena awal berjumpa Dewa Ruci.

Arya Bimasena setelah keluar dari dalam tubuh Dewa Ruci.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BIMA RACUN
Kisah ini menceritakan Prabu Duryudana menjamu Arya Wrekodara dengan hidangan
beracun. Namun, Arya Wrekodara bukannya mati tetapi justru meningkat pesat
kekuatannya, yaitu setara dengan seratus gajah.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, yang dipadukan
dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 09 Januari 2017
Heri Purwanto

Bondan Paksajandu

PRABU DURYUDANA HENDAK MERACUN ARYA WREKODARA


Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan dihadap Resi Druna dari
Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta para Kurawa
lainnya yang dipimpin Arya Dursasana. Dalam pertemuan itu Prabu Duryudana membahas
kegagalan Resi Druna dalam upaya menjerumuskan Arya Wrekodara agar tewas. Mula-
mula Resi Druna memerintahkan Arya Wrekodara untuk mencari Kayu Gung Susuhing
Angin di Gunung Candramuka dengan harapan agar Pandawa nomor dua itu mati dibunuh
Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala. Namun, bukannya mati, Arya Wrekodara justru
berhasil meruwat kedua raksasa itu kembali ke wujud dewa, yaitu Batara Indra dan Batara
Bayu. Bahkan, Arya Wrekodara juga mendapat hadiah cincin pusaka Sesotya Druwenda
Mustika Manik Candrama dari mereka.
Rencana kedua, Resi Druna memerintahkan Arya Wrekodara agar mencebur ke
dalam Samudera Minangkalbu untuk mencari air kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening
Suci. Namun, bukannya mati, Arya Wrekodara justru berjumpa dengan guru sejatinya, yaitu
Dewa Ruci, dan mendapat pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Sejatining Urip
darinya. Itu berarti, Resi Druna telah gagal menjerumuskan Arya Wrekodara ke dalam maut,
dan sebaliknya justru membuat Panenggak Pandawa itu meraih apa yang menjadi cita-
citanya.
Prabu Duryudana sangat kecewa pada Resi Druna. Oleh sebab itu, ia telah menyusun
rencana lain bersama Patih Sangkuni, yaitu membunuh Arya Wrekodara melalui perjamuan
beracun. Patih Sangkuni sudah menyiapkan racun darubeksi yang ganas tiada tara dan
dicampur dengan makanan untuk Arya Wrekodara. Prabu Duryudana juga telah mengutus
KITAB WAYANG PURWA

Raden Kartawarma pergi ke Kerajaan Amarta, tepatnya di Kesatrian Jodipati untuk


menjemput Arya Wrekodara. Alasannya ialah, Prabu Duryudana mengundang Arya
Wrekodara untuk menggelar acara syukuran karena sepupunya itu telah berhasil
mendapatkan ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci. Arya Wrekodara seorang
yang gemar makan, pasti tidak akan menolak undangan perjamuan macam ini.
Mendengar itu, Adipati Karna menyela ikut bicara. Ia sama sekali tidak setuju jika
Prabu Duryudana menggunakan cara licik untuk membunuh Arya Wrekodara. Meskipun
Arya Wrekodara adalah adik tirinya, namun apabila Prabu Duryudana memerintahkan agar
ia pergi menggempur Kesatrian Jodipati, pasti dirinya akan berangkat tanpa ragu. Sungguh
Adipati Karna sangat menyayangkan nama baik Prabu Duryudana akan tercemar, bahwa
raja Hastina yang perkasa telah membunuh Arya Wrekodara menggunakan racun.
Prabu Duryudana menjadi bimbang. Ia lalu meminta pendapat Patih Sangkuni. Sang
paman pun menjawab bahwa dirinya tidak meragukan kesaktian Adipati Karna. Namun,
perang secara terbuka sangat merugikan, karena akan banyak menghabiskan biaya. Belum
lagi berapa nantinya jumlah prajurit yang terbunuh, itu juga perlu diperhitungkan.
Prabu Duryudana merasa mantap setelah mendengar penjelasan Patih Sangkuni. Ia
pun memutuskan akan tetap membunuh Arya Wrekodara melalui perjamuan beracun.
Pembunuhan dengan cara seperti ini jauh lebih menguntungkan daripada melalui
peperangan.
Karena tekad Prabu Duryudana sudah bulat, Adipati Karna pun mohon pamit pulang
ke Kadipaten Awangga. Ia tidak mau sejarah mencatat namanya terlibat dalam acara
perjamuan beracun tersebut. Usai berkata demikian, ia lalu bergegas keluar istana.
Resi Druna juga berpikiran sama. Arya Wrekodara adalah muridnya. Ia akan sangat
bangga apabila melihat muridnya itu gugur dalam pertempuran. Sebaliknya, ia akan sangat
menyesal apabila melihat Arya Wrekodara mati karena diracun. Oleh sebab itu, Resi Druna
juga mohon pamit pulang ke Padepokan Sokalima.
Setelah Adipati Karna dan Resi Druna pergi, Prabu Duryudana segera memerintahkan
dua orang Kurawa untuk mengawasi mereka. Raden Surtayu ditugasi untuk mengikuti
Adipati Karna dari belakang, sedangkan Raden Durmuka diperintahkan untuk mengawasi
Resi Druna. Mereka harus memastikan bahwa kedua orang itu tidak berbelok ke Kerajaan
Amarta dan membocorkan rencana Prabu Duryudana kepada para Pandawa. Kedua
Kurawa itu pun menyatakan siap dan mohon pamit berangkat menjalankan tugas.
Patih Sangkuni lalu berkata bahwa dirinya juga akan bersembunyi tidak ikut
menghadiri perjamuan. Dahulu kala dia pernah berusaha membunuh para Pandawa melalui
peristiwa kebakaran Balai Sigala-gala. Maka, apabila dirinya muncul dalam acara
perjamuan nanti, Arya Wrekodara pasti akan menaruh curiga sehingga tidak bersedia
memakan hidangan. Prabu Duryudana setuju dan mempersilakan Patih Sangkuni jika ingin
bersembunyi.
Setelah Patih Sangkuni pergi, Raden Kartawarma pun datang bersama Arya
Wrekodara. Prabu Duryudana menyambut Pandawa nomor dua itu dan memeluknya
dengan ramah. Ia mengucapkan selamat atas keberhasilan Arya Wrekodara mempelajari
ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci. Untuk itu, ia telah menyiapkan pesta
syukuran di sebuah pesanggrahan dekat hutan wisata Pramanakoti.
Arya Wrekodara terharu atas kebaikan hati Prabu Duryudana. Ia tidak menyangka
bahwa dulu mereka sering bertengkar dan berkelahi, tetapi kini justru menjadi teman baik.
Prabu Duryudana menjawab dirinya menyesal dulu sering berbuat jahat kepada para
Pandawa. Sejak sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa
KITAB WAYANG PURWA

muda) di Gunung Rewataka, sejak itulah Prabu Duryudana ingin melupakan permusuhan
dengan Arya Wrekodara.
Prabu Duryudana lalu mengajak Arya Wrekodara segera berangkat menuju
Pesanggrahan Pramanakoti. Prabu Duryudana lebih dulu meminta Arya Wrekodara agar
meninggalkan pusakanya, yaitu Gada Rujakpolo di istana Hastina saja, karena tidak pantas
rasanya jika pergi ke acara perjamuan sambil membawa senjata. Arya Wrekodara setuju
karena Prabu Duryudana dan para Kurawa lainnya juga tidak ada yang membawa senjata.
Maka, ia pun menyandarkan Gada Rujakpolo di bawah pohon beringin yang berdiri di
tengah alun alun Kerajaan Hastina.

PRABU DURYUDANA MENJAMU ARYA WREKODARA DENGAN HIDANGAN


BERACUN
Prabu Duryudana dan Arya Wrekodara telah sampai di Pesanggrahan Pramanakoti,
di mana hidangan beraneka macam telah tersedia. Arya Wrekodara heran dan bertanya
mengapa dirinya tidak melihat Patih Sangkuni yang biasanya selalu bersama para Kurawa.
Prabu Duryudana menjawab Patih Sangkuni menolak hadir karena dirinya tidak setuju pada
acara perjamuan ini. Menurut Patih Sangkuni, seharusnya para Pandawa itu dimusuhi,
bukannya diajak berteman. Namun, Prabu Duryudana tidak peduli dan tetap mengadakan
pesta syukuran demi memberikan penghormatan atas keberhasilan Arya Wrekodara.
Prabu Duryudana mengaku sangat malu jika teringat peristiwa beberapa tahun yang
lalu. Saat itu ia termakan hasutan Patih Sangkuni untuk membakar para Pandawa di dalam
Balai Sigala-gala. Sungguh dirinya merasa sangat menyesal karena melakukan kejahatan
besar seperti itu. Kini ia sadar bahwa Kurawa dan Pandawa bukan musuh, melainkan masih
sama-sama cucu Bagawan Abyasa. Tentunya sangat tidak pantas apabila sesama saudara
saling bunuh. Apalagi kedua pihak sudah sama-sama sepakat membagi dua Kerajaan
Hastina, di mana para Pandawa mendapatkan Hutan Wanamarta yang kini telah dibuka
menjadi Kerajaan Amarta. Arya Wrekodara berkata soal Balai Sigala-gala tidak perlu
diungkit-ungkit lagi. Yang lalu biarlah berlalu. Yang terpenting saat ini adalah kedua pihak
sudah rukun dan tidak berselisih lagi. Arya Wrekodara juga bersyukur Prabu Duryudana
telah menyadari kejahatan Patih Sangkuni. Akan lebih baik apabila Patih Sangkuni dipecat
saja dan dipulangkan ke Kerajaan Gandaradesa untuk selamanya. Prabu Duryudana
menjawab soal pemecatan adalah urusan mudah. Yang penting saat ini ia ingin mengajak
Arya Wrekodara berpesta menikmati hidangan yang sudah tersedia.
Demikianlah, Arya Wrekodara mulai memakan hidangan sambil mendengarkan
alunan musik gamelan. Dalam sekejap, racun darubeksi dalam hidangan tersebut langsung
bekerja. Seketika Arya Wrekodara merasa pusing dan matanya berkunang-kunang.
Akhirnya, ia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri.

ARYA WREKODARA DICEBURKAN KE DALAM SUMUR JALATUNDA


Prabu Duryudana memerintahkan Arya Dursasana untuk membunuh Arya Wrekodara
yang masih pingsan dan belum juga mati. Arya Dursasana segera mengayunkan
pedangnya beberapa kali namun tidak mempan melukai kulit Arya Wrekodara yang ulet dan
keras. Prabu Duryudana lalu memerintahkan agar Arya Wrekodara langsung dikubur saja,
biar nanti mati sendiri di dalam tanah.
Arya Dursasana tidak setuju. Daripada susah payah menggali kuburan, akan lebih baik
jika tubuh Arya Wrekodara dibuang ke dalam Sumur Jalatunda yang letaknya tidak jauh dari
pesanggrahan. Konon menurut kabar, Sumur Jalatunda ini sangat menyeramkan karena
dihuni ribuan ular berbisa. Jadi, apabila racun darubeksi tidak bisa menewaskan Arya
Wrekodara, maka racun ular-ular itulah yang akan membuat nyawanya melayang.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana setuju. Namun, ia teringat bahwa Arya Wrekodara tidak dapat
tenggelam saat kemarin mencebur ke dalam Samudera Minangkalbu. Oleh sebab itu, Prabu
Duryudana pun memerintahkan para Kurawa agar mengikat tangan dan kaki Arya
Wrekodara serta memberinya pemberat berupa bandul-bandul bebatuan. Dengan
demikian, tubuh Arya Wrekodara pasti tenggelam dan tidak mengambang di air sumur.
Demikianlah, perintah Prabu Duryudana pun dilaksanakan. Arya Dursasana beserta
adik-adiknya menggotong tubuh Arya Wrekodara yang sudah diikat dan dipasangi batu
pemberat. Tubuh tinggi besar itu lalu dilemparkan masuk ke dalam Sumur Jalatunda yang
sangat dalam tiada tara.

MUNCULNYA DUA RAKSASA MENGAMUK PARA KURAWA


Prabu Duryudana dan adik-adiknya lalu pulang ke istana. Sesampainya di sana,
mereka melihat Gada Rujakpolo milik Arya Wrekodara masih tersandar di alun alun. Prabu
Duryudana ingin sekali memiliki gada pusaka warisan Adipati Kangsa tersebut. Ia pun
memerintahkan Arya Dursasana untuk mengangkat dan memindahkan Gada Rujakpolo ke
dalam gedung pusaka Hastina.
Arya Dursasana mendatangi gada tersebut dan mencoba mengangkatnya tetapi
ternyata begitu berat. Ia berusaha sekuat tenaga, namun semakin diangkat, Gada
Rujakpolo terasa makin berat. Prabu Duryudana ingin mencoba sendiri namun ternyata ia
juga tidak mampu mengangkat gada tersebut. Para Kurawa yang lain lalu bersama-sama
hendak menggotong Gada Rujakpolo, namun gada tersebut tidak bergerak sama sekali.
Sungguh tidak disangka, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul dua raksasa
siluman yang mengamuk menerjang para Kurawa. Kedua raksasa itu mengaku bernama
Ditya Sanggabumi dan Ditya Sanggalangit. Mereka berdua seolah menjaga Gada
Rujakpolo agar jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Para Kurawa pun
kocar-kacir berhamburan karena tidak mampu menghadapi amukan kedua raksasa
tersebut. Prabu Duryudana akhirnya mengajak adik-adiknya mundur daripada jatuh korban
jiwa.
Begitu para Kurawa masuk ke dalam istana dan tidak lagi mendekati Gada Rujakpolo,
kedua raksasa itu pun tiba-tiba lenyap dari pandangan.

ARYA WREKODARA BERTEMU BATARA BASUKI


Sementara itu, Arya Wrekodara yang diceburkan ke dalam Sumur Jalatunda dalam
keadaan pingsan dan terikat langsung tenggelam di dalam air, karena tubuhnya diberi
bandul-bandul batu pemberat. Sumur tersebut memang dihuni kawanan ular berbisa. Begitu
melihat ada sesosok tubuh yang tercebur ke dalam air, kawanan ular tersebut langsung
meluncur mematuk dan menggigit Arya Wrekodara. Bisa di mulut mereka pun masuk ke
dalam aliran darah pada tubuh Pandawa nomor dua tersebut.
Sungguh di luar dugaan, Arya Wrekodara tidak mati melainkan justru bangun dari
pingsan. Rupanya bisa milik para ular berlawanan sifat dengan racun darubeksi yang telah
ditelan Arya Wrekodara. Demikianlah, racun dilawan dengan racun justru menjadi tawar.
Arya Wrekodara pun berontak memutus ikatan pada tubuhnya dan bertarung melawan
kawanan ular yang menyerangnya itu. Ular-ular tersebut kewalahan dan meluncur pergi
untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba muncul seorang dewa menghentikan pertempuran di antara mereka. Dewa
tersebut tidak lain adalah Batara Basuki yang juga sesembahan para ular penghuni sumur.
Arya Wrekodara sendiri agak bimbang apa benar dewa di hadapannya adalah Batara
KITAB WAYANG PURWA

Basuki, karena cerita yang pernah ia dengar mengatakan bahwa Batara Basuki telah
menitis kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura.
Batara Basuki menjelaskan bahwa dirinya telah meninggalkan tubuh Prabu Baladewa
untuk sementara waktu karena mendapat tugas dari Batara Guru agar menyerahkan
anugerah pusaka kepada Arya Wrekodara. Pusaka tersebut berwujud air kekuatan,
bernama Tirta Manik Rasakunda. Pusaka ini disimpan oleh Batara Basuki sehingga dewa
lain tidak berhak untuk menyerahkannya. Barangsiapa mampu menghabiskan air tersebut
dalam satu kendi tanpa sisa, maka kekuatannya akan meningkat menjadi setara dengan
sepuluh ekor gajah.
Batara Basuki lalu menyerahkan satu kendi kepada Arya Wrekodara. Dengan tenang
Arya Wrekodara menerima kendi itu dan meneguk isinya sampai habis. Batara Basuki
merasa kagum bercampur senang. Ia pun menyerahkan kendi kedua yang isinya langsung
habis pula ditenggak oleh Arya Wrekodara. Begitu pula kendi ketiga, keempat, hingga
akhirnya kendi kesepuluh pun isinya habis semua, masuk ke dalam perut Arya Wrekodara.
Batara Basuki kagum atas kemampuan Arya Wrekodara meneguk habis Tirta Manik
Rasakunda sampai sepuluh kendi berturut-turut. Padahal, air pusaka ini rasanya sangat
pahit melebihi jamu yang paling pahit. Kini air di dalam sepuluh kendi itu telah berpindah ke
dalam perut Arya Wrekodara. Itu artinya, kekuatan Sang Panenggak Pandawa telah
meningkat setara dengan seratus ekor gajah. Batara Basuki pun menasihati Arya
Wrekodara agar selalu menjaga diri dalam kebenaran, dan tidak menggunakan
kekuatannya untuk berbuat jahat.

ARYA WREKODARA BERUBAH MENJADI ANAK KECIL


Arya Wrekodara berterima kasih atas kebaikan dewata menganugerahkan Tirta Manik
Rasakunda kepada dirinya. Di sisi lain ia sangat kecewa terhadap Prabu Duryudana yang
telah mengkhianati persaudaraan. Memang sejak kecil antara Arya Wrekodara dan Prabu
Duryudana sulit rukun dan lebih sering berkelahi. Hingga pada akhirnya, mereka berdua
bisa berdamai juga setelah sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu
Baladewa muda) di Gunung Rewataka. Sejak peristiwa itulah, hubungan antara mereka
berdua membaik dan tidak lagi bermusuhan.
Tak disangka, Prabu Duryudana kini mengkhianati persaudaraan dengan meracuni
makanan Arya Wrekodara. Tanpa rasa curiga sedikit pun, Arya Wrekodara melahap
makanan yang dihidangkan tadi sehingga terkena racun. Untung saja, ia digigit kawanan
ular berbisa di dalam sumur. Berkat kejadian itu, racun darubeksi dalam tubuhnya pun
menjadi tawar.
Dalam hal ini Arya Wrekodara merasa heran, mengapa dirinya yang telah berhasil
bertemu dengan Dewa Ruci dan menerima pelajaran ilmu tertinggi darinya, ternyata masih
juga bisa tertipu oleh muslihat Prabu Duryudana? Mengapa diriya yang pernah mengalami
Manunggaling Kawula Gusti ternyata masih bisa mendapat celaka juga?
Batara Basuki menjawab bahwa selama Arya Wrekodara masih berwujud manusia,
atau selama masih memiliki kulit dan daging, maka ia tidak akan bisa terhindar dari sifat
lupa, sial, marah, dan rusak. Meskipun seseorang memiliki ilmu setinggi langit, baik itu ilmu
duniawi ataupun ilmu agama, tetap saja tidak akan luput dari cobaan Tuhan Yang
Mahakuasa. Ilmu pengetahuan agama dan duniawi memang berguna untuk meraih
keselamatan hidup, namun bukan berarti menjamin hidup pasti selamat. Selamat atau
tidaknya seseorang bukan tergantung dari berapa banyak ilmu yang ia hafalkan, tetapi
tergantung pada sebaik apa ia mengamalkan ilmunya itu. Sekali lagi, keselamatan hidup
KITAB WAYANG PURWA

bukan ditentukan oleh hafalan ilmu, tetapi ditentukan oleh apakah ilmu tersebut sudah
diamalkan dengan cara yang benar.
Arya Wrekodara memahami perkataan Batara Basuki, bahwa menguasai ilmu tertinggi
tidak menjamin keselamatannya. Pepatah mengatakan, “ngelmu iku kelakone kanthi laku”,
atau “ilmu itu dapat berguna apabila diamalkan”. Selain itu, memiliki ilmu setinggi langit saja
tidak cukup, melainkan harus tetap disertai watak “eling lan waspada” di setiap saat. Dengan
demikian, barulah Arya Wrekodara dapat meraih keselamatan yang sejati, bukan
keselamatan yang sifatnya semu.
Setelah semuanya jelas, Arya Wrekodara pun berniat kembali ke permukaan untuk
membalas dendam kepada Prabu Duryudana dan para Kurawa. Batara Basuki berkata
bahwa membalas dendam hanya akan melahirkan masalah baru. Hidup itu bukan soal
balas-membalas, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk tetap tegar
meskipun dihantam permasalahan. Oleh sebab itu, Batara Basuki menyarankan agar Arya
Wrekodara “memberi pelajaran” kepada para Kurawa, bukannya “membalas dendam”.
Membalas dendam dengan memberi pelajaran adalah dua hal yang berbeda. Membalas
dendam bertujuan untuk menyakiti, sedangkan memberi pelajaran bertujuan untuk
membangkitkan pemahaman agar si pelaku tidak mengulangi dosa-dosanya.
Arya Wrekodara bertanya bagaimana caranya memberikan pelajaran untuk para
Kurawa. Batara Basuki tidak menjawab, melainkan membelit tubuh kesatria gagah itu
dengan kencang sambil mengerahkan kesaktiannya. Sungguh ajaib, begitu Batara Basuki
membuka belitannya, tubuh Arya Wrekodara kini berubah menjadi seorang anak kecil.
Melalui tubuh kecil inilah hendaknya ia memberikan pelajaran kepada Prabu Duryudana
dan adik-adiknya.
Arya Wrekodara bertanya mengapa dirinya harus diubah dalam wujud anak kecil jika
hanya untuk memberi pelajaran kepada para Kurawa. Batara Basuki menjawab dengan
wujud tersebut Arya Wrekodara tidak akan dikenali dan ia dapat masuk ke wilayah Kerajaan
Hastina tanpa menimbulkan kecurigaan. Selain itu, anak kecil adalah perlambang
kepolosan, perlambang kejujuran. Prabu Duryudana yang bersifat serakah, munafik, dan
penuh kepalsuan akan lebih malu jika dikalahkan seorang anak kecil.
Arya Wrekodara dapat memahami. Batara Basuki pun memberikan nama samaran
untuknya, yaitu Bondan Paksajandu. Setelah dirasa cukup, Batara Basuki dan Arya
Wrekodara bersama-sama naik ke atas permukaan sumur. Batara Basuki menuju Kerajaan
Mandura untuk kembali menyatu dengan Prabu Baladewa, sedangkan Arya Wrekodara
alias Bondan Paksajandu menuju Kerajaan Hastina untuk memberi pelajaran kepada para
Kurawa.

RADEN PERMADI MENYAMAR SEBAGAI JAKA DULIT


Sementara itu, di ibu kota Hastina telah berdiri sebuah pasar baru. Dewi Dursilawati
adik bungsu para Kurawa berjalan-jalan dengan suaminya, yaitu Adipati Jayadrata dari
Banakeling di dalam pasar tersebut. Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah lapak
penjual kapur sirih milik seorang pemuda bernama Jaka Dulit.
Jaka Dulit memiliki empat orang pembantu yang melayani para pembeli. Ketika Dewi
Dursilawati memilih kapur sirih yang diinginkannya, para pembantu itu mempersilakan untuk
langsung masuk ke dalam lapak saja. Dewi Dursilawati pun menurut dan masuk ke dalam.
Ketika Adipati Jayadrata hendak ikut masuk, para pembantu itu menghalangi dan
mengajaknya bercakap-cakap sambil bercanda.
Di dalam lapak, Dewi Dursilawati bertemu Jaka Dulit. Pemuda itu berbisik dan
mengaku terus terang bahwa dirinya adalah samaran Raden Permadi, Sang Panengah
KITAB WAYANG PURWA

Pandawa. Dewi Dursilawati gembira bertemu dengan sepupunya itu, namun ia dilarang
bersuara keras. Raden Permadi sengaja menyamar sebagai Jaka Dulit adalah untuk
mencari hiangnya sang kakak kedua, yaitu Arya Wrekodara.
Raden Permadi mendengar kabar bahwa, Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati
dijemput oleh Raden Kartawarma yang membawa undangan dari Prabu Duryudana untuk
pesta bersama. Raden Permadi merasa curiga dan berangkat menyusul ke Kerajaan
Hastina untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi. Ia merasa aneh karena tumben Prabu
Duryudana mengundang kakaknya untuk berpesta. Karena takut menimbulkan kecurigaan,
Raden Permadi pun menyamar sebagai penjual kapur sirih bernama Jaka Dulit, sedangkan
para panakawan menjadi pembantunya. Sungguh kebetulan Dewi Dursilawati pergi
berbelanja di pasar, sehingga Raden Permadi bisa mencari keterangan darinya.
Dewi Dursilawati yang berwatak polos dan jujur pun berterus terang bahwa dirinya
sempat mendengar dari sang suami bahwa Prabu Duryudana telah mengundang Arya
Wrekodara untuk dijamu dengan makanan dan minuman serbalezat di Pesanggrahan
Pramanakoti. Namun, kemudian Arya Wrekodara jatuh pingsan dan digotong entah ke
mana. Hanya itu saja yang diketahui Dewi Dursilawati.
Tiba-tiba Adipati Jayadrata melabrak masuk. Ia menuduh Jaka Dulit sedang merayu
istrinya. Dewi Dursilawati menjelaskan bahwa mereka berdua hanya bercakap-cakap saja.
Adipati Jayadrata tetap tidak terima karena istrinya bercakap-cakap dengan pria tak dikenal.
Dewi Dursilawati hampir saja mengatakan jati diri Jaka Dulit adalah Raden Permadi, namun
Jaka Dulit buru-buru menarik lengannya.
Adipati Jayadrata bertambah marah dan menyerang Jaka Dulit. Keduanya lalu
bertarung seru di luar lapak. Jaka Dulit unggul dan dapat mengalahkan lawan. Adipati
Jayadrata merasa malu dan ia pun bergegas pulang ke istana dengan menggandeng Dewi
Dursilawati.

BONDAN PAKSAJANDU MENGANGKAT GADA RUJAKPOLO


Sementara itu, Bondan Paksajandu telah sampai di alun alun Kerajaan Hastina. Prabu
Duryudana heran melihat ada anak kecil yang berkacak pinggang di hadapannya. Anak
kecil itu berkata bahwa dirinya mendengar berita tentang Prabu Duryudana yang ingin
memindahkan gada besar peninggalan Arya Wrekodara untuk dimasukkan ke dalam
gedung pusaka. Oleh sebab itu, dirinya datang untuk mewujudkan hal itu.
Prabu Duryudana tertawa melihat lagak anak kecil tersebut. Ia pun mempersilakan jika
Bondan Paksajandu ingin mencoba mengangkat Gada Rujakpolo. Bondan Paksajandu
menjawab sanggup tetapi ia meminta diberi hadiah. Prabu Duryudana pun menjawab
seenaknya, yaitu apabila Bondan Paksajandu bisa memindahkan Gada Rujakpolo ke dalam
gedung pusaka, maka ia akan diangkat sebagai putra mahkota Kerajaan Hastina.
Bondan Paksajandu pun berjalan dengan angkuh menghampiri Gada Rujakpolo.
Dengan satu tangan, ia berhasil mengangkat gada besar itu dan membuat Prabu
Duryudana beserta seluruh Kurawa lainnya terbelalak takjub.
Begitu Gada Rujakpolo terangkat, tiba-tiba muncul dua raksasa siluman menyerang
Bondan Paksajandu, yaitu Ditya Sanggabumi dan Ditya Sanggalangit. Bondan Paksajandu
menghadapi kedua raksasa itu dengan lincah sambil mengayun-ayunkan gada di
tangannya. Begitu terpukul oleh Gada Rujakpolo, seketika sosok Ditya Sanggabumi dan
Ditya Sanggalangit pun musnah. Kedua raksasa itu lalu berubah wujud menjadi Batara Bayu
dan Batara Indra.
KITAB WAYANG PURWA

Kedua dewa tersebut menemui Bondan Paksajandu dan mereka mengetahui kalau
anak kecil tersebut adalah penjelmaan Arya Wrekodara setelah mereka saling bertarung.
Bondan Paksajandu bertanya mengapa mereka berubah wujud menjadi raksasa, apakah
terkena kutukan lagi seperti dulu saat menjadi Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala. Batara
Indra dan Batara Bayu menjawab tidak demikian. Dulu mereka menjadi raksasa karena
melakukan kesalahan di kahyangan sehingga dikutuk oleh Batara Guru. Kali ini mereka
menjadi raksasa atas kemauan sendiri, yaitu didorong rasa prihatin melihat Prabu
Duryudana meracuni Arya Wrekodara serta ingin menguasai Gada Rujakpolo.
Batara Bayu dan Batara Indra berpesan agar Bondan Paksajandu berhati-hati dan
selalu menjaga kewaspadaan. Usai berkata demikian, mereka pun undur diri kembali ke
kahyangan.

PRABU DURYUDANA DIKEJAR-KEJAR BONDAN PAKSAJANDU


Usai mengalahkan kedua raksasa, Bondan Paksajandu datang menemui Prabu
Duryudana untuk menagih janji. Prabu Duryudana tergagap-gagap dan menjawab bahwa
ucapannya tadi, yaitu hendak mengangkat Bondan Paksajandu sebagai pangeran mahkota
di Kerajaan Hastina, hanyalah gurauan belaka. Ia hanya bercanda dan tidak sungguh-
sungguh. Bondan Paksajandu marah dan mengancam akan memukul Prabu Duryudana
menggunakan Gada Rujakpolo.
Prabu Duryudana memerintahkan para Kurawa untuk menangkap Bondan
Paksajandu. Arya Dursasana dan yang lain pun maju menyerang, namun mereka semua
dibuat kalang kabut oleh ayunan Gada Rujakpolo. Bondan Paksajandu lalu menyerang
Prabu Duryudana sambil mengacungkan gada ke arahnya. Prabu Duryudana ketakutan dan
melarikan diri tak tentu arah.
Prabu Duryudana yang dikejar-kejar Bondan Paksajandu akhirnya masuk ke dalam
pasar baru Hastina. Bondan Paksajandu pun mengamuk mengobrak-abrik pasar tersebut.
Banyak lapak dan kedai yang hancur serta barang dagangan yang rusak. Para pedagang
dan pembeli pun berhamburan ke sana kemari menghindari amukan anak kecil berkekuatan
seratus gajah tersebut.

BONDAN PAKSAJANDU BERTARUNG MELAWAN JAKA DULIT


Prabu Duryudana akhirnya bersembunyi di dalam lapak milik Jaka Dulit. Raja Hastina
yang kaya raya dan berkuasa itu mengemis minta perlindungan pada Jaka Dulit, si pemuda
penjual kapur sirih. Bondan Paksajandu masih terus mengejar dan merusak lapak tersebut.
Kapur sirih dan barang dagangan lainnya berceceran di tanah. Jaka Dulit marah dan
menghadapinya. Mereka berdua lalu terlibat pertarungan seru.
Tidak lama kemudian tiba-tiba datang Prabu Puntadewa beserta si kembar Raden
Nakula dan Raden Sadewa di pasar tersebut. Prabu Duryudana terkejut dan bertanya ada
keperluan apa mereka datang ke Kerajaan Hastina. Prabu Puntadewa menjawab dirinya
datang untuk mencari kedua adiknya yang hilang, yaitu Arya Wrekodara dan Raden
Permadi. Menurut petunjuk dewa yang diterimanya saat bersamadi, kedua adik tersebut
dapat ditemukan apabila Prabu Puntadewa mendatangi pasar baru Kerajaan Hastina.
Prabu Puntadewa yang kini telah datang di pasar baru menyaksikan pertarungan seru
antara seorang pemuda penjual kapur sirih melawan anak kecil yang bersenjatakan Gada
Rujakpolo. Prabu Puntadewa segera memungut kapur sirih yang berceceran di tanah dan
membaca mantra, kemudian melemparkannya ke arah mereka yang sedang bertarung itu.
Begitu terkena lemparan kapur sirih tersebut, seketika tubuh Bondan Paksajandu pun
KITAB WAYANG PURWA

berubah besar dan kembali menjadi Arya Wrekodara, sedangka Jaka Dulit kembali menjadi
Raden Permadi.
Setelah mengetahui siapa yang sedang dihadapi, Arya Wrekodara dan Raden
Permadi pun menghentikan pertarungan dan saling berpelukan.

PRABU DURYUDANA DAN PATIH SANGKUNI SALING MENYALAHKAN


Setelah keadaan tenang, Patih Sangkuni datang mengunjungi pasar baru yang telah
porak-poranda itu. Prabu Duryudana marah-marah menyebut rencana sang paman gagal
total karena Arya Wrekodara ternyata masih hidup, bahkan kini jauh lebih perkasa daripada
sebelumnya. Patih Sangkuni membela diri. Ia menjelaskan bahwa rencananya adalah
meracun Arya Wrekodara, itu saja. Sayang sekali, Prabu Duryudana justru membuat
rencana tambahan, yaitu menceburkan tubuh Arya Wrekodara ke dalam Sumur Jalatunda.
Andai saja tadi Arya Wrekodara setelah diracun langsung dikubur dalam tanah tentu tidak
akan seperti ini jadinya.
Prabu Duryudana tidak bisa menjawab. Ia lalu melampiaskan kemarahannya kepada
Arya Wrekodara yang telah merusak pasar baru dan menuntut ganti rugi. Arya Wrekodara
menjawab dirinya bersedia membayar ganti rugi, tetapi Prabu Duryudana juga harus mau
menghabiskan sisa makanan beracun yang dihidangkannya tadi. Mendengar itu, Prabu
Duryudana langsung diam dengan wajah merah menahan malu.
Prabu Puntadewa menengahi dan meminta mereka untuk tidak melanjutkan
pertengkaran. Ia berkata bahwa dirinya bersedia membayar ganti rugi serta mengirimkan
para prajurit Amarta untuk membangun kembali pasar baru Hastina. Arya Wrekodara
bertanya mengapa sang kakak repot-repot menyusahkan diri seperti itu. Ini semua
kesalahan Prabu Duryudana dan biarlah dia sendiri yang menanggung akibatnya. Prabu
Puntadewa menjawab tidak masalah ia membayar ganti rugi dan memperbaiki pasar baru
Hastina, yang terpenting adiknya selamat. Uang bisa dicari, sedangkan persaudaraan tak
ternilai harganya. Niatnya membayar ganti rugi adalah sebagai ungkapan rasa syukur
karena Arya Wrekodara tetap selamat dan senantiasa dalam perlindungan Yang
Mahakuasa, bahkan kini jauh lebih perkasa daripada sebelumnya.
Usai berkata demikian, Prabu Puntadewa pun pamit pulang kepada Prabu Duryudana,
kembali ke Kerajaan Amarta bersama para Pandawa lainnya dan juga para panakawan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PARTA KRAMA
Kisah ini menceritakan perkawinan antara Raden Permadi (Arjuna) dengan Dewi
Bratajaya (Sumbadra). Perkawinan tersebut dapat terlaksana apabila segala
persyaratan yang diajukan Prabu Baladewa dapat terpenuhi. Dari perkawinan ini kelak
akan lahir seorang putra yang terkenal sepanjang masa, yaitu Raden Abimanyu.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan artikel pedhalangan pada Majalah Panjebar
Semangat, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 14 Januari 2017
Heri Purwanto

Raden Arjuna pengantin

PRABU BALADEWA INGIN MENIKAHKAN DEWI BRATAJAYA DENGAN RADEN


BURISRAWA
Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati dihadap para menteri dan punggawa
yang dipimpin oleh Arya Setyaki dan Patih Udawa. Dalam pertemuan itu datang pula sang
kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Prabu Kresna menyambut
kedatangan kakaknya itu dan mereka saling bertanya kabar antara satu sama lain.
Prabu Baladewa juga menanyakan kabar sang adik bungsu, yaitu Dewi Bratajaya.
Sejak peristiwa turunnya Wahyu Purbasejati, Dewi Bratajaya tidak lagi pulang ke Kerajaan
Mandura tetapi menetap di istana Dwarawati, tepatnya di Taman Banoncinawi. Prabu
Baladewa bertanya kapan kiranya adik bungsunya itu dinikahkan, karena usianya sudah
cukup pantas untuk berumah tangga. Jika memang belum ada calon suami yang cocok,
maka Prabu Baladewa siap untuk mencarikan jodoh.
Prabu Kresna mengingatkan sang kakak bahwa adik mereka sudah memiliki calon
suami, yaitu Raden Permadi, kesatria Pandawa. Dulu ketika keduanya sama-sama lahir,
mendiang Prabu Basudewa pernah bersumpah agar mereka kelak dinikahkan setelah
dewasa. Sumpah tersebut disaksikan oleh Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti. Oleh
sebab itu, Prabu Kresna menyarankan Prabu Baladewa tidak perlu bersusah payah mencari
jodoh untuk adik mereka, tetapi cukup menanyakan kesiapan Raden Permadi di Kerajaan
Amarta saja.
Prabu Baladewa berkata terus terang bahwa ia sebenarnya keberatan jika Dewi
Bratajaya menikah dengan Raden Permadi. Ia bimbang apakah Raden Permadi benar-
benar mencintai adiknya, ataukah mereka menikah hanya karena perjodohan semata. Apa
gunanya menikah jika tidak dilandasi rasa cinta yang sejati? Prabu Baladewa mengaku
KITAB WAYANG PURWA

pernah mendengar kabar kurang sedap dari adik iparnya, yaitu Raden Rukmarata, bahwa
Raden Permadi pernah menjalin hubungan asmara dengan Dewi Banuwati. Terus terang
Prabu Baladewa tidak suka jika Dewi Bratajaya menikah dengan laki-laki yang hatinya
mendua, mencintai perempuan lain.
Prabu Kresna menjawab soal itu tidak perlu dibahas. Wajar kiranya apabila Raden
Permadi dan Dewi Banuwati pernah menjalin hubungan asmara saat mereka masih sama-
sama sendiri. Kini Dewi Banuwati telah menikah dengan Prabu Duryudana, sehingga tidak
sepantasnya apabila hubungan asmaranya dengan Raden Permadi di masa lalu diungkit-
ungkit kembali.
Prabu Baladewa berkata ia tetap saja tidak suka jika Raden Permadi menikahi
adiknya. Perempuan yang dicintai Raden Permadi adalah Dewi Banuwati, yang kini telah
menikah dengan orang lain. Itu artinya, jika Raden Permadi menikah dengan Dewi
Bratajaya, bisa jadi itu hanya untuk pelampiasan rasa sakit hati belaka. Jauh lebih baik
apabila Dewi Bratajaya dinikahkan dengan laki-laki yang benar-benar tulus mencintainya.
Laki-laki itu tidak lain adalah adik ipar Prabu Baladewa sendiri, yaitu Raden Burisrawa,
kesatria Cindekembang di Kerajaan Mandraka. Sudah lama Raden Burisrawa memendam
cinta kepada Dewi Bratajaya, hingga akhirnya ia pun memohon kepada Prabu Baladewa
agar dibantu meminang gadis pujaannya itu.
Prabu Baladewa menegaskan, Raden Burisrawa jauh lebih pantas menjadi suami
Dewi Bratajaya daripada Raden permadi. Lagipula Raden Burisrawa adalah putra mahkota
Kerajaan Mandraka yang kelak akan naik takhta menggantikan Prabu Salya. Lain halnya
dengan Raden Permadi yang bukan siapa-siapa, hanya seorang pangeran biasa, adik raja
Amarta.
Prabu Kresna tidak berani memutuskan. Semuanya terserah Dewi Bratajaya yang
menjalani. Entah siapa yang dipilih, apakah Raden Permadi ataukah Raden Burisrawa.
DEWI KUNTI MEMINANG DEWI BRATAJAYA UNTUK RADEN PERMADI
Ketika Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sibuk membahas calon suami sang adik
bungsu, tiba-tiba datang bibi mereka, yaitu Dewi Kunti Talibrata, ibu para Pandawa. Dewi
Kunti datang disertai cucunya yang perkasa, yaitu Raden Gatutkaca putra Arya Wrekodara.
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa pun menyambut mereka dengan ramah dan juga saling
menanyakan kabar para Pandawa di Kerajaan Amarta.
Dewi Kunti menyampaikan maksud tujuan kedatangannya, yaitu ingin menanyakan
kepastian tentang pernikahan antara Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya. Sekitar dua
puluh tiga tahun yang lalu, Dewi Kunti dan Dewi Badrahini melahirkan pada waktu yang
bersamaan. Dewi Kunti melahirkan Raden Permadi, sedangkan Dewi Badrahini melahirkan
Dewi Bratajaya. Prabu Basudewa pun menggendong keponakannya yang baru lahir itu di
lengan kanan, dan putrinya di lengan kiri. Disaksikan Prabu Pandu, suami Dewi Kunti, Prabu
Basudewa bersumpah kelak Raden Permadi dan Dewi Bratajaya setelah dewasa harus
menjadi suami-istri.
Kini Prabu Basudewa telah meninggal, tetapi sumpahnya masih tetap berlaku. Hari ini
Dewi Kunti datang ke Kerajaan Dwarawati untuk mewujudkan sumpah kakaknya tersebut.
Jika dulu Prabu Basudewa menjodohkan Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya secara
lisan, maka kini Dewi Kunti bermaksud mengikat hubungan di antara mereka melalui
pinangan resmi. Dewi Kunti pun membawa berbagai hasil bumi Kerajaan Amarta sebagai
hadiah untuk calon menantunya.
Prabu Kresna hendak menerima pinangan dari bibinya itu, namun buru-buru dicegah
oleh Prabu Baladewa. Memang benar Dewi Bratajaya tinggal di Taman Banoncinawi, dalam
KITAB WAYANG PURWA

wilayah Kerajaan Dwarawati yang dipimpin Prabu Kresna. Akan tetapi, putra sulung Prabu
Basudewa tetaplah Prabu Baladewa. Karena sang ayah sudah meninggal, maka yang
berhak menjadi wali mempelai perempuan adalah Prabu Baladewa. Oleh sebab itu, hanya
Prabu Baladewa yang berhak menerima atau menolak segala pinangan yang ditujukan
kepada Dewi Bratajaya.
Prabu Baladewa sendiri merasa bimbang di dalam hati. Di satu sisi ia berniat
menikahkan Dewi Bratajaya dengan Raden Burisrawa, namun di sisi lain ia tidak berani
menolak pinangan sang bibi. Maka, ia pun pura-pura mengajukan syarat-syarat berat. Prabu
Baladewa berkata bahwa, Dewi Bratajaya akan menikah dengan laki-laki yang mampu
memenuhi persyaratan darinya, yaitu:

kawin, yang mana masing-masing harus dikendarai oleh seorang bidadari sebagai
pengiring pengantin. Dengan demikian, jumlah bidadari yang harus didatangkan adalah 144
orang juga.

mempelai.

seseorang yang berjalan di depan pengantin sebagai pembuka jalan.


anti harus duduk di pelaminan yang digelar di dalam balai
kencana asaka domas, atau balai emas bertiang delapan ratus.

Kayu Jayandaru yang berasal dari kahyangan.


alah, para tamu dan undangan harus dihibur menggunakan
Gamelan Lokananta yang bersuara di awang-awang, dan ditabuh oleh para dewa.

Dewi Kunti paham bahwa Prabu Baladewa sengaja ingin mempersulit putranya.
Namun, sebagai seorang ibu yang berjiwa tegar, pantang baginya untuk menyerah begitu
saja. Ia pun menyanggupi semua persyaratan yang diajukan keponakannya. Setelah dirasa
cukup, ia pamit undur diri kembali ke Kerajaan Amarta dengan diiringi Raden Gatutkaca.
Setelah bibi mereka pergi, Prabu Baladewa pun melanjutkan pembicaraannya dengan
Prabu Kresna. Ia meminta agar Dewi Bratajaya segera dinikahkan dengan Raden
Burisrawa. Prabu Kresna menolak karena Prabu Baladewa terlanjur berjanji bahwa Dewi
Bratajaya akan dinikahkan dengan laki-laki yang mampu mewujudkan berbagai persyaratan
tadi. Prabu Baladewa menjelaskan, soal persyaratan tadi hanya berlaku untuk Raden
Permadi saja. Prabu Kresna menjawab tidak demikian, karena tadi Prabu Baladewa sama
sekali tidak menyebut nama Raden Permadi. Itu artinya, persyaratan ini berlaku untuk siapa
saja yang ingin menikah dengan Dewi Bratajaya.
Prabu Baladewa tidak bisa membantah lagi. Sejak dulu ia memang tidak pernah
menang jika berdebat melawan adiknya itu. Maka, ia pun pamit undur diri untuk memberi
tahu Raden Burisrawa mengenai persyaratan tadi. Prabu Kresna mempersilakan, namun
lebih dulu ia ingin menjamu Prabu Baladewa makan bersama di Sasana Andrawina. Prabu
Baladewa menolak. Urusan perjamuan bisa ditunda nanti sekaligus dengan pesta
pernikahan Dewi Bratajaya saja. Setelah berkata demikian, Prabu Baladewa pun pamit
keluar meninggalkan istana.
PRABU BALADEWA MEMBERI TAHU PATIH SANGKUNI DAN PARA KURAWA
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Baladewa meninggalkan istana Dwarawati menuju ke sebuah perkemahan. Di


sana para Kurawa dan Patih Sangkuni telah menunggu. Raden Burisrawa juga tampak
bersama orang-orang dari Kerajaan Hastina tersebut. Mereka segera menyambut
kedatangan Prabu Baladewa dan ramai-ramai bertanya apakah lamaran untuk Dewi
Bratajaya diterima.
Raden Burisrawa adalah putra Prabu Salya raja Mandraka. Ia memiliki tiga orang
kakak perempuan, yaitu Dewi Erawati (istri Prabu Baladewa), Dewi Srutikanti (istri Adipati
Karna), dan Dewi Banuwati (istri Prabu Duryudana). Selain itu, ia juga memiliki seorang adik
laki-laki bernama Raden Rukmarata. Pada saat upacara pernikahan Prabu Baladewa
dengan Dewi Erawati, sepasang gadis yang ditugasi menjadi pembawa kembar mayang
adalah Dewi Bratajaya dengan Dewi Jembawati (kemudian menjadi istri Prabu Kresna).
Sejak peristiwa itulah Raden Burisrawa jatuh cinta kepada Dewi Bratajaya. Perasaan itu
dipendam sekian lama, hingga akhirnya diungkapkannya kepada Dewi Banuwati saat
berkunjung ke Kerajaan Hastina.
Dewi Banuwati lalu bercerita kepada suaminya tentang keinginan Raden Burisrawa
menikahi Dewi Bratajaya. Prabu Duryudana pun berkirim surat kepada Prabu Baladewa
agar dibantu mengatasi hal ini, mengingat raja Mandura tersebut adalah kakak Dewi
Bratajaya. Prabu Baladewa lalu datang ke Hastina, kemudian berangkat bersama-sama
Patih Sangkuni dan para Kurawa menyampaikan lamaran ke Kerajaan Dwarawati.
Kini Patih Sangkuni, Raden Burisrawa, dan para Kurawa yang menunggu di
perkemahan telah menyambut kedatangan Prabu Baladewa. Mereka bertanya apakah
Prabu Kresna mengizinkan Dewi Bratajaya menjadi istri Raden Burisrawa. Prabu Baladewa
menjawab belum bisa, karena kedatangannya tadi bersamaan dengan Dewi Kunti. Untuk
menggagalkan rencana pernikahan Dewi Bratajaya dengan Raden Permadi, maka Prabu
Baladewa pun menyampaikan syarat sebagaimana yang tadi ia sampaikan kepada Dewi
Kunti. Syarat ini juga berlaku untuk Raden Burisrawa. Para Kurawa terkejut, terutama Patih
Sangkuni yang menganggap Prabu Baladewa telah salah mengambil langkah.
Prabu Baladewa sudah terlanjur menetapkan demikian dan tidak mungkin menarik
kembali ucapannya. Sekarang keputusan tinggal di tangan Raden Burisrawa apakah
mundur atau tetap maju berjuang mewujudkan syarat-sayarat tersebut. Raden Burisrawa
yang sudah cinta berat kepada Dewi Bratajaya menyatakan maju. Karena keputusan sudah
diambil, mau tidak mau Patih Sangkuni dan para Kurawa pun ikut mendampingi. Mereka
lalu mohon pamit kepada Prabu Baladewa untuk berangkat memenuhi syarat-syarat sulit
tersebut.
PATIH SANGKUNI INGIN MENCULIK DEWI KUNTI
Raden Burisrawa ditemani Patih Sangkuni dan para Kurawa telah jauh berjalan
meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Di tengah jalan mereka melihat kereta yang membawa
Dewi Kunti sedang menuju Kerajaan Amarta. Patih Sangkuni pun mengajak para Kurawa
menghadang ibu para Pandawa tersebut dan menangkapnya sebagai tawanan. Dengan
demikian, Dewi Kunti tidak mungkin bisa memberi tahu para Pandawa tentang syarat-syarat
yang diajukan Prabu Baladewa. Jika para Pandawa tidak tahu apa saja yang disyaratkan,
maka itu berarti Raden Burisrawa akan kehilangan saingan.
Para Kurawa lainnya setuju pada rencana sang paman, kecuali Raden Durmagati
yang berwatak polos dan lugu. Raden Durmagati berkata jika Raden Burisrawa ingin
menikahi Dewi Bratajaya, maka dia harus mendapatkannya dengan cara jantan.
Melenyapkan saingan dengan cara demikian akan menunjukkan kalau Raden Burisrawa
kurang percaya diri. Lagipula Raden Durmagati paham bahwa Patih Sangkuni sudah lama
KITAB WAYANG PURWA

memendam cinta kepada Dewi Kunti, yaitu sejak pamannya itu gagal mengikuti sayembara
pilih di Kerajaan Mandura.
Patih Sangkuni berkata apa salahnya jika ia ingin menikahi Dewi Kunti yang sudah
lama ditinggal mati Prabu Pandu itu? Lagipula jika dirinya bisa menjadi ayah tiri para
Pandawa, maka kelima bersaudara itu tidak akan berani berbuat macam-macam kepada
para Kurawa. Itu artinya, Perang Bratayuda dapat dihindari.
Arya Dursasana yang setuju pada rencana sang paman segera memerintahkan adik-
adiknya untuk menangkap dan menawan Dewi Kunti tanpa perlu berdebat lebih lama lagi.
Para Kurawa itu pun maju bersama-sama mempercepat langkah. Mereka tidak mengira jika
Raden Gatutkaca sejak tadi mengawasi sang nenek dari angkasa. Begitu melihat Dewi
Kunti dalam bahaya, Raden Gatutkaca segera meluncur menerjang para Kurawa tersebut.
Arya Dursasana dan adik-adiknya terkejut ada seorang pemuda gagah menerjang
mereka dari angkasa. Mereka lebih terkejut lagi karena pemuda itu ternyata masih
keponakan sendiri, yaitu putra Arya Wrekodara. Memang sejak dilahirkan dan dibesarkan
di Kawah Candradimuka, baru kali ini Raden Gatutkaca berjumpa para Kurawa.
Arya Dursasana menyuruh Raden Gatutkaca lebih baik mundur saja, karena sayang
jika para Kurawa harus membunuh keponakan sendiri. Raden Gatutkaca tidak peduli.
Dirinya telah ditugasi untuk mengawal Dewi Kunti dan ia tidak akan membiarkan neneknya
diganggu orang. Para Kurawa lalu beramai-ramai menyerang Raden Gatutkaca.
Pertempuran pun terjadi. Raden Gatutkaca dengan lincah dan tangkas menghajar para
sepupu ayahnya itu hingga mereka jatuh bangun di tanah. Namun, jumlah musuh terlalu
banyak. Dewi Kunti menyarankan agar Raden Gatutkaca menghindar saja, karena ada
urusan yang jauh lebih penting daripada berkelahi dengan para Kurawa. Raden Gatutkaca
menurut. Ia lalu menggendong tubuh sang nenek dan membawanya terbang meninggalkan
pertempuran, untuk kemudian menuju Kerajaan Amarta.
BAGAWAN ABYASA HADIR DI KERAJAAN AMARTA
Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap ketiga adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Permadi, dan Raden Nakula. Kemudian datang pula Raden Sadewa bersama para
panakawan yang ditugasi menjemput sang kakek dari Gunung Saptaarga, yaitu Bagawan
Abyasa.
Prabu Puntadewa sengaja mendatangkan Bagawan Abyasa ke istana Indraprasta
untuk menjadi pinisepuh dalam acara perkawinan Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya,
mengingat ayah para Pandawa, yaitu Prabu Pandu telah lama meninggal dunia. Bagawan
Abyasa senang mendengar rencana pernikahan tersebut karena ini akan mewujudkan apa
yang menjadi cita-cita mendiang Prabu Basudewa.
Tidak lama kemudian datanglah Dewi Kunti dan Raden Gatutkaca yang turun dari
angkasa. Dewi Kunti menyembah sang mertua, kemudian menceritakan hasil kunjungannya
ke Kerajaan Dwarawati. Ia menguraikan satu persatu syarat yang diajukan Prabu Baladewa.
Mendengar itu, Arya Wrekodara merasa geram dan menuduh Prabu Baladewa sengaja
mempersulit niat baik para Pandawa. Prabu Puntadewa melarang adiknya berburuk
sangka. Ia menganggap sesulit apa pun tantangan justru bisa menjadi sarana bagi
kemuliaan para Pandawa, khususnya Raden Permadi.
Arya Wrekodara lalu bertanya pada Raden Permadi apakah adiknya itu sungguh-
sungguh mencintai Dewi Bratajaya, ataukah hanya sekadar untuk memenuhi wasiat Prabu
Basudewa saja. Raden Permadi menjawab dirinya sudah lama mencintai Dewi Bratajaya
tulus dari hati, bukan semata karena dijodohkan. Arya Wrekodara berkata jika memang
KITAB WAYANG PURWA

demikian, maka dirinya sanggup membantu mewujudkan apa saja yang menjadi syarat
Prabu Baladewa.
Bagawan Abyasa lalu membagi tugas. Raden Permadi hendaknya pergi ke
Kahyangan Suralaya menghadap Batara Indra untuk mewujudkan persyaratan yang
berkaitan dengan Balai Kencana Asaka Domas, Kayu Jayandaru dan Kayu Dewandaru,
serta para pengiring bidadari. Adapun syarat pengadaan gamelan Lokananta hendaknya
Raden Permadi meminta bantuan Batara Kamajaya di Kahyangan Cakrakembang.
Untuk memenuhi syarat cucuk lampah kera putih dan kereta kencana yang bisa
melayang, Bagawan Abyasa menugasi Arya Wrekodara meminta bantuan kakak
angkatnya, yaitu Resi Anoman di Padepokan Kendalisada. Adapun syarat pengadaan
Mahisa Danu Pancal Panggung, hendaknya pergi ke Hutan Krendawahana menemui Ditya
Dadungawuk. Mendengar itu, Raden Gatutkaca memohon izin agar dirinya saja yang
ditugasi ke sana. Ia ingin sekali membantu Raden Permadi mewujudkan pernikahan, karena
sang paman selama ini juga sangat baik kepadanya.
Bagawan Abyasa juga menugasi Raden Nakula dan Raden Sadewa untuk
mempersiapkan segala keperluan iring-iring pengantin, sedangkan Prabu Puntadewa
hendaknya membantu kelancaran usaha adiknya dengan puja sesaji dan memanjatkan doa
di sanggar pemujaan. Setelah semua tugas terbagi, Prabu Puntadewa pun mempersilakan
Raden Permadi, Arya Wrekodara, dan Raden Gatutkaca berangkat menuju ke arah tujuan
masing-masing.
ARYA WREKODARA MEMINTA RESI ANOMAN MENJADI CUCUK LAMPAH
Arya Wrekodara telah sampai di Padepokan Kendalisada yang terletak di Gunung
Kundalini. Ia menemui sang kakak angkat, yaitu Resi Anoman dan berterus terang atas apa
yang menjadi maksud kedatangannya. Tanpa banyak membantah, Resi Anoman menjawab
sanggup jika dirinya harus menjadi cucuk lampah perkawinan Raden Permadi. Arya
Wrekodara bertanya apakah Resi Anoman tidak malu, sebagai mantan jagoan Gunung
Suwelagiri zaman perang Brubuh Alengka, kini harus menari di hadapan banyak orang.
Resi Anoman menjawab tidak sama sekali. Memang dulu dirinya seorang jagoan di masa
muda. Namun, kini ia sudah tua dan harus lebih banyak bersifat rendah hati. Justru dengan
cara menjadi cucuk lampah dan ditonton banyak orang inilah dirinya bisa mengikis nafsu
kesombongan dan keangkuhan di masa muda.
Arya Wrekodara berterima kasih, lalu bertanya bagaimana caranya mendapatkan
kereta kencana yang bisa melayang di angkasa. Resi Anoman bercerita bahwa kereta
tersebut saat ini berada di Kerajaan Singgela, yaitu bernama Kereta Puspaka. Dahulu kala,
Kereta Puspaka adalah milik Prabu Danapati raja Lokapala. Setelah Kerajaan Lokapala
runtuh diserang Prabu Rahwana, Kerata Puspaka pun dirampas dan dibawa ke Kerajaan
Alengka. Setelah Prabu Rahwana gugur dalam peristiwa Brubuh Alengka, Kereta Puspaka
digunakan untuk memboyong Prabu Sri Rama dan Rakyanwara Sinta pulang ke Kerajaan
Ayodya. Setelah itu, Kereta Puspaka disimpan di Kerajaan Singgela, yaitu kelanjutan
Kerajaan Alengka.
Arya Wrekodara merasa senang mendengarnya. Ia pun meminta bantuan Resi
Anoman agar diantar menuju ke negeri Singgela tersebut. Resi Anoman menyanggupi
dengan senang hati. Keduanya lalu berangkat meninggalkan Gunung Kundalini menuju ke
sana.
RADEN PERMADI MENEMUI BATARA INDRA DAN BATARA KAMAJAYA
Sementara itu, Raden Permadi didampingi para panakawan telah sampai di
Kahyangan Cakrakembang, menghadap Batara Kamajaya. Ia menyembah hormat dan
KITAB WAYANG PURWA

menyampaikan apa yang menjadi maksud kedatangannya, hendak meminjam Gamelan


Lokananta lengkap dengan penabuhnya, yaitu para dewa kahyangan.
Batara Kamajaya menyatakan bersedia membantu, mengingat Raden Permadi adalah
adik angkatnya. Akan tetapi, Gamelan Lokananta sesungguhnya adalah milik Batara Indra,
pemimpin para dewata. Batara Kamajaya sendiri hanyalah pengelola gamelan pusaka
tersebut sekaligus sebagai kepala karawitan. Maka, ia pun mengajak Raden Permadi
bersama-sama menghadap Batara Indra untuk meminta izin darinya.
Batara Indra di Kahyangan Suralaya telah menerima kedatangan Batara Kamajaya
dan Raden Permadi. Batara Kamajaya pun mengutarakan niat adik angkatnya meminjam
Gamelan Lokananta lengkap dengan para penabuhnya untuk acara pernikahan dengan
Dewi Bratajaya. Batara Indra tanpa keberatan langsung mengabulkan permintaan tersebut.
Raden Permadi lalu berkata bahwa ia juga ingin meminjam Balai Kencana Asaka
Domas, Kayu Jayandaru dan Kayu Dewandaru sebagai kembar wayang, serta 144 orang
bidadari sebagai pengiring pengantin. Batara Indra tertawa dan menyebut Raden Permadi
itu ibarat diberi hati meminta jantung. Namun, ia sama sekali tidak marah mengingat Raden
Permadi adalah putra angkatnya. Segala permintaan tersebut dianggap hanyalah
permintaan kecil yang mudah untuk dikabulkan.
Raden Permadi sangat berterima kasih telah diberi kemudahan oleh Batara Indra dan
Batara Kamajaya. Batara Indra menjawab ini bukanlah kemudahan pemberian dewa, tetapi
merupakan buah karma dari perbuatan baik Raden Permadi sendiri dan juga buah dari
perbuatan baik para leluhurnya di masa lampau. Raden Permadi dan para leluhurnya
banyak bertapa dan berkelana membantu orang, menolong mereka yang kesusahan.
Segala perbuatan baik mereka yang tak terhitung kini berbuah menjadi kemudahan dalam
mewujudkan cita-cita. Itu sebabnya apabila ada orang yang memiliki cita-cita, maka tidak
cukup jika hanya berdoa dan berusaha saja, tetapi juga perlu dilengkapi dengan beramal
baik menolong sesama. Karena dengan menolong sesama, maka itu akan menjadi sarana
baginya mendapatkan kemudahan dari Yang Mahakuasa, ataupun kemudahan itu kelak
diraih oleh anak-cucunya.
Raden Permadi berterima kasih atas nasihat Batara Indra. Ia lalu mohon pamit undur
diri kembali ke Kerajaan Amarta.
ARYA WREKODARA MENDAPATKAN KERETA PUSPAKA
Arya Wrekodara dan Resi Anoman telah sampai di Kerajaan Singgela, menghadap
Prabu Bisawarna yang merupakan raja di sana. Prabu Bisawarna ini adalah putra Prabu
Palguna, sedangkan Prabu Palguna adalah putra Prabu Bisaka. Adapun Prabu Bisaka
adalah putra Prabu Dentawilukrama, yang semasa muda juga bernama Raden Bisawarna.
Prabu Dentawilukrama ini adalah putra Prabu Wibisana, yaitu adik Prabu Rahwana yang
memihak kepada Prabu Sri Rama.
Resi Anoman disambut ramah oleh Prabu Bisawarna bagaikan pahlawan legenda.
Sudah sejak lama Prabu Bisawarna mendapat cerita turun-temurun dari leluhurnya tentang
kehebatan Resi Anoman dalam perang melawan Prabu Rahwana di zaman kuno. Suatu
kehormatan bagi Prabu Bisawarna kini bisa bertemu secara langsung dengan Resi Anoman
yang namanya harum tersebut.
Resi Anoman merasa tersanjung dan takut menjadi sombong. Ia buru-buru
memperkenalkan Arya Wrekodara yang hendak meminjam Kereta Puspaka peninggalan
Prabu Rahwana. Prabu Bisawarna agak bimbang karena kereta tersebut adalah kereta
keramat yang tidak sembarang orang boleh menaikinya. Ia sendiri takut terkena balak
apabila melanggarnya.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Wrekodara menjawab bahwa yang hendak menaiki Kereta Puspaka bukan
sembarang orang, melainkan adiknya yang bernama Raden Permadi, pemanah terbaik di
zaman ini, putra Prabu Pandu raja Hastina yang terkemuka di zamannya.
Prabu Bisawarna terkejut mendengar nama Prabu Pandu disebut. Seketika ia teringat
bahwa dulu Kerajaan Singgela pernah diserang kawanan hewan gaib penjelmaan para
arwah penasaran yang dipimpin roh kakeknya sendiri, bernama Bagawan Amisana. Saat
itu yang menjadi raja Singgela masih Prabu Palguna, sedangkan Prabu Bisawarna sendiri
masih kecil. Prabu Palguna kemudian mendapat bantuan Raden Pandu, seorang kesatria
muda dari Hastina sehingga Kerajaan Singgela bisa aman kembali. Jika benar Raden
Permadi yang hendak menikah adalah putra Raden Pandu, maka Prabu Bisawarna
bersedia meminjamkan Kereta Puspaka kepadanya tanpa pikir-pikir lagi.
Arya Wrekodara tidak menyangka ayahnya semasa muda pernah membantu
permasalahan di Kerajaan Singgela. Sungguh ia semakin bangga terlahir sebagai putra
Prabu Pandu Dewanata. Prabu Bisawarna sendiri kemudian masuk ke ruang pusaka untuk
mengadakan puja sesaji. Setelah yakin mendapat izin dari arwah para leluhur, ia pun
mengeluarkan Kereta Puspaka dan menyerahkannya kepada Arya Wrekodara.
Arya Wrekodara berterima kasih kepada Prabu Bisawarna, lalu bersama-sama Resi
Anoman mohon pamit membawa kereta tersebut menuju Kerajaan Amarta.
RADEN GATUTKACA BERTARUNG DENGAN DITYA DADUNGAWUK
Sementara itu, Raden Gatutkaca yang ditugasi mencari Mahisa Danu Pancal
Panggung telah sampai di Hutan Krendawahana. Ia melihat ratusan ekor kerbau warna
hitam bertanduk panjang seperti busur dengan kaki belang putih sedang merumput. Di
dekat kawanan kerbau tersebut tampak sang penggembala yang berwujud raksasa,
bernama Ditya Dadungawuk.
Raden Gatutkaca berterus terang meminta Ditya Dadungawuk memberikan 144 ekor
Mahisa Danu kepadanya untuk dibawa sebagai mas kawin pernikahan Raden Permadi.
Ditya Dadungawuk menolak. Majikannya telah berpesan bahwa kawanan kerbau ini hanya
boleh diberikan untuk kepentingan seseorang bernama Raden Parta, bukan yang lain.
Raden Gatutkaca pun memaksa akan menggiring sendiri kerbau sejumlah yang
dibutuhkannya. Ditya Dadungawuk marah dan menyerangnya. Maka, terjadilah pertarungan
seru di antara mereka.
Ditya Dadungawuk lama-lama terdesak menghadapi kekuatan Raden Gatutkaca,
namun ia tetap pantang menyerah. Sungguh luar biasa perjuangannya dalam menjaga
ternak milik majikannya. Pada saat itulah sang majikan datang. Ia tidak lain adalah Batara
Indra, pemimpin Kahyangan Suralaya.
Ditya Dadungawuk pun mengadukan ulah Raden Gatutkaca yang hendak merampas
Mahisa Danu untuk keperluan mas kawin Raden Permadi. Batara Indra tidak marah, justru
mempersilakannya. Ditya Dadungawuk heran, bukankah Batara Indra berpesan bahwa
Mahisa Danu hanya boleh diberikan untuk kepentingan Raden Parta saja? Batara Indra
menjawab, Raden Parta dan Raden Permadi adalah dua orang yang sama. Keduanya
sama-sama julukan untuk Raden Arjuna, pangeran nomor tiga dari Pandawa Lima, yang
juga putra angkat Batara Indra. Parta artinya adalah “putra Prita”, yaitu nama lain Dewi
Kunti, sedangkan Permadi artinya seseroang dengan “kasih sayang yang berlebih”.
Ditya Dadungawuk kini telah paham. Ia tidak lagi menghalangi Raden Gatutkaca jika
hendak menggiring kerbau danu tersebut. Batara Indra pun mempersilakan Raden
Gatutkaca untuk menggiring sejumlah yang diinginkannya. Raden Gatutkaca menjawab ia
hanya butuh 144 ekor saja. Batara Indra mempersilakannya agar mengambil beberapa ekor
KITAB WAYANG PURWA

tambahan untuk dimiliki secara pribadi. Namun, Raden Gatutkaca menolak. Ia ditugasi
mengambil 144 ekor saja, dan tidak mau mengambil lebih dari itu. Batara Indra memuji
kejujuran Raden Gatutkaca dan mempersilakan Ditya Dadungawuk untuk menemaninya
menggiring kawanan kerbau tersebut meninggalkan Hutan Krendawahana.
PARA KURAWA HENDAK MEREBUT MAHISA DANU
Raden Gatutkaca dan Ditya Dadungawuk pun berangkat menggiring 144 ekor Mahisa
Danu menuju Kerajaan Amarta. Di tengah jalan mereka dihadang Patih Sangkuni dan para
Kurawa yang hendak merampas kerbau-kerbau itu. Raden Gatutkaca berpesan kepada
Ditya Dadungawuk agar tetap menjaga kawanan kerbau, sedangkan dirinya meluncur
menerjang barisan para Kurawa.
Sekali lagi para Kurawa dibuat kocar-kacir oleh amukan Raden Gatutkaca seorang diri
yang kali ini lebih nekat daripada pertempuran sebelumnya. Patih Sangkuni merasa
terdesak dan segera memerintahkan para keponakannya untuk mundur.
RADEN PERMADI TIBA DI KERAJAAN DWARAWATI
Demikianlah, seluruh persyaratan kini telah lengkap. Prabu Puntadewa bersyukur dan
segera memberangkatkan rombongan pengantin menuju Kerajaan Dwarawati. Prabu
Kresna dan segenap keluarga besar Kerajaan Dwarawati menyambut kedatangan mereka
dengan perasaan bahagia. Keberhasilan Raden Permadi ini menjadi bukti bahwa ia
memang jodoh yang tepat untuk Dewi Bratajaya, sesuai harapan mendiang Prabu
Basudewa.
Rombongan pengantin dari Kerajaan Amarta itu tampak begitu megah. Raden
Permadi duduk di atas Kereta Puspaka yang melayang tidak menyentuh tanah. Tampak di
depannya Resi Anoman sebagai cucuk lampah menari dengan anggun dan sesekali
diselingi gerakan jenaka. Di belakang terlihat 144 ekor Mahisa Danu Pancal Panggung yang
digiring oleh Ditya Dadungawuk. Pada masing-masing punggung setiap kerbau duduk pula
seorang bidadari sebagai pengiring pengantin.
Balai Kencana Asaka Domas juga telah terpasang di halaman istana Dwarawati. Para
tamu dan undangan pun dipersilakan duduk di dalam balai tersebut. Mereka menikmati
indahnya alunan musik Gamelan Lokananta yang bergema di awang-awang, ditabuh para
dewata dengan arahan Batara Kamajaya.
PRABU BALADEWA HENDAK MEMBUNUH RADEN PERMADI
Namun, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut merusak suasana. Rupanya Prabu
Baladewa datang diiringi Raden Burisrawa, Patih Sangkuni, dan para Kurawa. Raja
Mandura itu marah-marah menuduh Raden Permadi telah berbuat curang, yaitu merebut
segala persyaratan yang sebenarnya dikumpulkan para Kurawa.
Prabu Baladewa bercerita kepada Prabu Kresna dengan suara meledak-ledak.
Menurut laporan Patih Sangkuni, para Kurawa sudah bersusah payah mengumpulkan
segala persyaratan perkawinan untuk Raden Burisrawa, tetapi di tengah jalan direbut pihak
Pandawa. Kini, Prabu Baladewa datang untuk menghukum Raden Permadi atas
kejahatannya itu. Sekejap kemudian, pusaka Nanggala pun keluar dari telapak tangannya,
siap untuk dipukulkan ke arah Raden Permadi.
Melihat itu, Dewi Bratajaya segera melangkah maju dan berlutut di hadapan Prabu
Baladewa. Ia berkata jika sang kakak ingin menghukum mati calon suaminya, maka biarlah
dirinya saja yang menggantikan. Raden Permadi juga melangkah maju dan ikut berlutut di
hadapan Prabu Baladewa. Jika Dewi Bratajaya bersedia mati untuknya, maka ia juga rela
mati untuk calon istrinya itu.
KITAB WAYANG PURWA

Melihat keduanya berlutut menyerahkan hidup mati, perasaan Prabu Baladewa


terharu. Tubuhnya gemetar dan Nanggala pun lepas dari genggaman. Hati nuraninya kini
berkata bahwa Patih Sangkuni dan para Kurawa telah berbohong. Ia kemudian memeluk
Raden Permadi dan Dewi Bratajaya kemudian membawa mereka masuk ke dalam Balai
Kencana Asaka Domas.
PERNIKAHAN RADEN PERMADI DAN DEWI BRATAJAYA
Patih Sangkuni merasa malu kebohongannya telah terbongkar. Ia pun memerintahkan
para Kurawa untuk mundur, kembali ke Kerajaan Hastina. Sementara itu, si mempelai gagal
yaitu Raden Burisrawa menolak ikut pulang. Betapa rasa cintanya kepada Dewi Bratajaya
begitu dalam. Ia pun mengamuk sejadi-jadinya demi melampiaskan kekesalan hati. Arya
Setyaki segera bertindak. Dengan cekatan ia meringkus Raden Burisrawa dan
mengamankannya ke luar ibu kota Dwarawati.
Setelah keadaan aman kembali, upacara pernikahan antara Raden Permadi dan Dewi
Bratajaya pun dilangsungkan. Prabu Baladewa bertindak sebagai wali dan memangku
kedua mempelai itu di atas pelaminan. Raden Permadi dipangku di paha kanan, dan Dewi
Bratajaya dipangku di paha kiri. Prabu Baladewa lalu bertanya kepada Patih Pragota
apakah kedua pengantin sudah serasi dan seimbang. Patih Pragota menjawab mereka
berdua sungguh sangat serasi. Yang laki-laki tampan dan lembut, sedangkan yang
perempuan cantik dan anggun. Bahkan, menurut Patih Pragota, mereka berdua adalah
pasangan paling serasi dan paling indah yang pernah dijumpainya seumur hidup.
Prabu Baladewa lalu meminta maaf atas sikapnya yang kasar, berusaha memisahkan
Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya. Ia menyesal telah mengajukan persyaratan yang
serbasulit untuk menggagalkan perkawinan ini, namun ternyata semua bisa diwujudkan
dengan baik oleh Raden Permadi.
Prabu Kresna menyela bahwa Prabu Baladewa tidak perlu meminta maaf. Justru
persyaratan yang serbasulit itu telah membuktikan betapa Raden Permadi sungguh-
sungguh mencintai Dewi Bratajaya. Lagipula, meskipun Prabu Baladewa mengajukan
persyaratan secara spontan tanpa direncanakan, tapi ternyata semuanya mengandung
filosofi yang mendalam.
Prabu Kresna menjelaskan tentang Resi Anoman sebagai cucuk lampah. Cucuk
lampah artinya pembuka jalan, sedangkan Resi Anoman berwujud wanara putih. Putih
adalah lambang kesucian. Itu artinya pernikahan ini dibuka dan diawali dengan tujuan suci,
bukan demi memuaskan nafsu birahi semata.
Kereta Puspaka yang bisa melayang di angkasa adalah perlambang dari keluhuran
budi. Sedangkan Balai Kencana Asaka Domas yang artinya balai emas bertiang delapan
ratus, ini merupakan lambang kokohnya rumah tangga. Meskipun kelak akan ada berbagai
cobaan dan ujian melanda, namun rumah tangga Raden Permadi dan Dewi Bratajaya akan
tetap kokoh bagaikan disangga ratusan tiang.
Mahisa Danu Pancal Panggung yang berarti kerbau bertanduk busur berkaki belang
putih, sebagai lambang untuk keturunan mereka. Kelak Raden Permadi dan Dewi Bratajaya
akan melahirkan seorang kesatria yang tangkas dengan dilambangkan tanduk busur, dan
selalu teguh menapak di jalan kebenaran, dengan dilambangkan kaki belang putih. Adapun
bidadari sebagai pengiring melambangkan kesaktian dan kewibawaan. Kelak keturunan
Raden Permadi dan Dewi Bratajaya akan beranak-pinak dan semuanya menjadi orang-
orang sakti yang namanya harum di sepanjang zaman. Adapun jumlah 144 juga bukan
jumlah sembarangan, karena angka satu ditambah empat, ditambah empat lagi, akan
berjumlah sembilan, yaitu angka sempurna, yang melambangkan sempurnanya
perkawinan.
KITAB WAYANG PURWA

Yang terakhir adalah Gamelan Lokananta melambangkan keserasian dan


keharmonisan. Gamelan itu indah karena suara antara yang satu dengan yang lainnya
saling melengkapi, tidak ada yang saling menonjolkan diri. Hubungan suami istri antara
Raden Permadi dan Dewi Bratajaya hendaknya seperti gamelan yang selalu serasi dan
seimbang, serta harmonis berirama. Di antara mereka tidak ada yang saling menonjolkan
diri, keduanya akan saling melengkapi satu sama lain.
Mendengar penjelasan Prabu Kresna itu, Prabu Baladewa pun merasa sangat
bangga. Ia tidak menyangka segala persyaratan yang diajukannya secara spontan tanpa
rencana, ternyata mengandung makna perlambang sedemikian luasnya.
Prabu Puntadewa kemudian ikut bicara. Kini Raden Permadi dan Dewi Bratajaya telah
menikah. Keduanya sudah sama-sama dewasa, sebaiknya menggunakan nama asli
pemberian orang tua, bukan nama panggilan semasa kanak-kanak. Dulu sewaktu
dilahirkan, Raden Permadi diberi nama Raden Arjuna, sedangkan Dewi Bratajaya diberi
nama Dewi Sumbadra. Mulai hari ini hendaknya mereka kembali menggunakan nama-nama
tersebut.
Kedua mempelai pun mematuhi saran Prabu Puntadewa. Prabu Kresna lalu mengajak
Prabu Baladewa dan para Pandawa menikmati perjamuan, sambil memuji syukur atas
segala karunia yang dilimpahkan Sang Pencipta sehingga upacara pernikahan ini dapat
terselenggara dengan baik.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya
Kisah perkawinan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra ini menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengkala 702 yang
ditandai dengan sengkalan “Hanembah barakaning wiku”, atau tahun Candrasengkala 723
yang ditandai dengan sengkalan “Guna paksa kaswareng wiyat”.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Kuntulsinanten
Kisah ini menceritakan seorang putri bernama Dewi Kuntulsinanten yang menjadi
rebutan para raja karena memiliki Wahyu Purbalaras. Kisah ini juga menceritakan awal mula
Raden Tambakganggeng menjadi patih Kerajaan Amarta, serta awal mula pertemuan Arya
Wrekodara dengan para putra Slagahima, yaitu Raden Gagakbaka, Raden
Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden Jangetkinatelon. Juga diceritakan
asal usul Prabu Kalasrenggi, raja raksasa yang kelak muncul di dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber buku Kempalan Balungan Lampahan Wayang Kult
Purwa karya Ki Suratno Guno Wiharjo, sedangkan untuk silsilah Prabu Jatagimbal saya
mengambil sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 28 Januari 2017
Heri Purwanto

Sayembara para putra Slagahima.


PRABU DURYUDANA MENDAPAT TEGURAN DARI RESIWARA BISMA
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati
Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma dari
Tirtatinalang selaku juru panitisastra. Dalam pertemuan itu hadir pula sesepuh kerajaan,
yaitu Resiwara Bisma dari Talkanda. Prabu Duryudana menyambut kedatangan sang kakek
dan berkata dengan bangga bahwa ia telah berhasil menjadikan Kerajaan Hastina jauh lebih
besar dan disegani daripada saat dipimpin Prabu Pandu Dewanata.
Resiwara Bisma mengucapkan selamat atas keberhasilan Prabu Duryudana
mendapatkan pujian dari mancanegara. Namun sayangnya, kebesaran dan ketenaran
Kerajaan Hastina tidak sebanding dengan apa yang terjadi di dalam. Resiwara Bisma
melihat sendiri hampir dua pertiga rakyat Hastina hidupnya berada di bawah garis
kemiskinan. Banyak kaum muda yang tidak memiliki pekerjaan layak, banyak anak-anak
yang tidak mampu mengenyam pendidikan dengan baik, serta banyak pula warga
KITAB WAYANG PURWA

masyarakat yang apabila jatuh sakit tidak mendapatkan pengobatan secara memadai,
sehingga angka kematian cukup besar.
Mendengar itu, Prabu Duryudana segera menuduh Patih Sangkuni telah
menyampaikan laporan palsu bahwa keadaan rakyat baik-baik saja. Berarti selama ini Patih
Sangkuni hanya menyampaikan laporan yang baik-baik saja, yaitu “asal raja senang”. Patih
Sangkuni pun menyangkal tuduhan itu. Ia menjawab bahwa dirinya beserta segenap jajaran
para menteri telah berusaha keras mewujudkan kemakmuran di Kerajaan Hastina. Siang
malam ia selalu bekerja keras untuk memajukan pembangunan di segala bidang. Namun,
apalah artinya pembangunan jika tidak diimbangi dengan jaminan keamanan yang
memadai? Masih banyak ancaman kejahatan yang menghantui masyarakat. Pencuri dan
perampok berkeliaran. Begal pun ada di mana-mana, membuat rakyat senantiasa resah
dan gelisah, sehingga tidak dapat menikmati hasil pembangunan yang sudah diupayakan
Patih Sangkuni.
Prabu Duryudana lalu bertanya kepada Adipati Karna selaku kepala angkatan
bersenjata tentang kebenaran laporan itu. Adipati Karna pun membela diri dengan
mengatakan bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga keamanan Kerajaan
Hastina. Bahkan, dalam sehari-hari dirinya lebih banyak berada di Hastina daripada di
Awangga. Itu semua karena sedemikian besar rasa tanggung jawabnya terhadap
keamanan negara. Namun, apabila masih saja terdapat angka kejahatan yang cukup tinggi,
maka itu bukan melulu kesalahan pihak aparat keamanan, tetapi karena adanya
kesenjangan ekonomi di masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Para pejabat Hastina beserta anak dan istrinya hidup berfoya-foya, pamer kekayaan,
sedangkan rakyat jelata serba kekurangan. Jika terjadi kesenjangan ekonomi macam
demikian, dapat dipastikan kejahatan akan muncul di mana-mana meskipun aparat
keamanan sudah disediakan.
Prabu Duryudana kemudian bertanya kepada Resi Druna selaku pimpinan pujangga
Kerajaan Hastina yang seharusnya bertanggung jawab atas pembangunan moral para
pejabat. Perilaku korupsi, memupuk kekayaan pribadi, dan juga kegemaran berfoya-foya
seharusnya dapat dihindari apabila Resi Druna memperbanyak acara siraman rohani
kepada para pejabat. Resi Druna pun menjawab bahwa dirinya sudah berusaha keras,
namun godaan dari luar yang datang jauh lebih banyak. Barang-barang buatan luar negeri
masuk tanpa terkendali membuat para pejabat dan orang-orang kaya Hastina tidak dapat
mengendalikan nafsunya untuk berbelanja. Mereka menganggap barang buatan luar negeri
jauh lebih berkelas daripada buatan dalam negeri. Mereka pun berlomba-lomba belanja,
terutama para istri pejabat yang selalu ingin tampil mewah. Perilaku para istri semacam
inilah yang membuat para pejabat Hastina banyak yang menyalahgunakan jabatannya
untuk memperkaya diri sendiri. Meskipun Resi Druna sudah berusaha mengadakan acara
siraman rohani seminggu sekali namun tidak berguna jika godaan dari luar datangnya
bertubi-tubi. Patih Sangkuni selaku perdana menteri adalah orang yang paling bertanggung
jawab dalam membuat kebijakan untuk membatasi masuknya barang-barang dari luar
negeri tersebut.
RESIWARA BISMA MENGABARKAN TENTANG DEWI KUNTULSINANTEN
Resiwara Bisma tersenyum melihat Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Resi Druna
ribut sendiri saling menyalahkan tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Menurutnya, ini
semua adalah tanggung jawab Prabu Duryudana selaku pemimpin mereka. Prabu
Duryudana seharusnya bisa mengatur para bawahannya supaya bekerja benar. Resiwara
Bisma terpaksa membandingkan dengan pemerintahan Prabu Pandu dulu, di mana para
menteri dan punggawa seperti Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka
bahu-membahu saling bekerja sama, bukannya saling menyalahkan kawan.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana sangat tersinggung dan malu karena dirinya dibandingkan dengan
mendiang Prabu Pandu, yaitu ayah para Pandawa yang sangat dibencinya. Patih Sangkuni
segera menanggapi bahwa Prabu Pandu bisa seperti itu karena sebelumnya telah
mendapatkan wahyu kepemimpinan. Lain halnya dengan Prabu Duryudana yang setiap hari
sibuk memikirkan negara, sehingga tidak sempat bertapa atau berkelana untuk mencari
wahyu.
Resiwara Bisma menyebut Patih Sangkuni terlalu mencari-cari alasan. Jika memang
wahyu kepemimpinan yang dijadikan ukuran, maka tiada salahnya jika Prabu Duryudana
mencoba mendapatkannya. Prabu Duryudana boleh pergi berkelana dalam beberapa hari
untuk mencari wahyu kepemimpinan, jika memang itu bisa menjadikannya lebih percaya
diri dalam memimpin negara. Resiwara Bisma menambahkan, dalam memimpin rakyat
memang tidak cukup hanya mengandalkan kepandaian dan kegagahan tubuh, tetapi juga
harus diimbangi dengan kekuatan batin yang tebal. Oleh sebab itu, seorang raja harus mau
menjalani laku prihatin dan banyak-banyak berpuasa atau bertapa, bukan melulu hidup
nyaman di dalam istana saja.
Prabu Duryudana berkata yakin bahwa dirinya pasti mampu memimpin negara dengan
lebih baik daripada Prabu Pandu apabila memiliki wahyu kepemimpinan. Namun, ia tidak
tahu di mana wahyu tersebut bisa diperolehnya. Resiwara Bisma menjawab dirinya telah
mendapat kabar bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Purbalaras kepada Dewi
Kuntulsinanten, putri sulung Prabu Janinraja dari Kerajaan Slagahima. Oleh karena itu,
Prabu Duryudana tidak perlu susah payah pergi berkelana atau bertapa. Asalkan ia bisa
menikahi dan memboyong Dewi Kuntulsinanten, maka Wahyu Purbalaras dengan
sendirinya akan berpindah menjadi milik Kerajaan Hastina. Apabila terjadi demikian, maka
Prabu Duryudana akan menjadi raja yang lebih berwibawa, sedangkan Kerajaan Hastina
akan menjadi negeri yang lebih makmur pula.
Prabu Duryudana sangat senang mendengarnya. Ia menganggap hal ini terlalu mudah
karena tidak perlu bertapa, melainkan cukup menikah dengan seorang perempuan saja. Ia
yakin lamarannya pasti diterima karena ia seorang raja yang gagah dan kaya raya. Namun,
ia sendiri ragu seperti apa wujud Dewi Kuntulsinanten itu, apakah cantik jelita ataukah buruk
rupa? Kalau ternyata Dewi Kuntulsinanten berwajah jelek, apakah boleh Patih Sangkuni
saja yang menikah dengannya?
Resiwara Bisma heran mengapa Prabu Duryudana bertanya demikian. Sebenarnya
Prabu Duryudana ingin mencari wahyu atau hanya ingin bersenang-senang memuaskan
nafsu? Prabu Duryudana pun menjawab dirinya sangat ingin mendapatkan Wahyu
Purbalaras, tetapi jika Dewi Kuntulsinanten berwajah cantik tentunya akan lebih
membangkitkan semangat perjuangan. Resiwara Bisma berkata bahwa ia sendiri tidak tahu
seperti apa paras Dewi Kuntulsinanten. Namun menurut kabar, putri Slagahima tersebut
berkulit putih bersih seperti burung bangau yang disiram santan. Tentu tidak dapat
dibayangkan seperti apa putihnya, sudah dilambangkan seperti burung bangau masih
disiram santan pula.
Prabu Duryudana sangat tertarik mendengarnya. Ia membayangkan Dewi
Kuntulsinanten pastilah sangat cantik dan berkulit putih mulus tanpa cela. Maka, ia pun
bersemangat mengajak Patih Sangkuni dan Adipati Karna untuk berangkat hari itu juga
menuju Kerajaan Slagahima. Setelah dirasa cukup, Resiwara Bisma undur diri, pamit
pulang ke Padepokan Talkanda, sedangkan Resi Druna pamit pulang ke Padepokan
Sokalima.
PRABU DURYUDANA BERPAMITAN KEPADA DEWI BANUWATI
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan Adipati Karna
telah bersiaga di luar bersama para Kurawa untuk menunggu perintah berangkat. Prabu
Duryudana sendiri menemui sang permaisuri Dewi Banuwati untuk berpamitan. Ia mohon
pamit hendak melamar Dewi Kuntulsinanten di Kerajaan Slagahima karena putri tersebut
akan menerima Wahyu Purbalaras yang sangat penting bagi kemakmuran Kerajaan
Hastina.
Dewi Banuwati langsung marah-marah karena saat itu dirinya sedang mengandung,
tetapi suaminya justru ingin menikah lagi. Prabu Duryudana berusaha merayu dengan
segala macam cara namun Dewi Banuwati tetap saja kesal. Hal ini membuat Prabu
Duryudana merasa segan untuk berangkat. Namun, begitu membayangkan Dewi
Kuntulsinanten yang berkulit putih mulus, semangatnya kembali bangkit. Setelah dirayu
dengan susah payah, Dewi Banuwati akhirnya merelakan kepergian sang suami. Namun,
ia hanya merelakan kepergiannya tanpa mendoakan keberhasilannya.
Prabu Duryudana menjawab itu saja sudah cukup. Ia lalu buru-buru keluar istana di
mana rombongan telah menunggu. Mereka pun bersama-sama pergi menuju Kerajaan
Slagahima.
SAYEMBARA TANDING PARA PUTRA SLAGAHIMA
Kerajaan Slagahima atau yang disebut juga Kerajaan Gendingkapitu dipimpin seorang
raja bernama Prabu Janinraja Dewajumanten, atau yang disebut juga Prabu Wimanadewa.
Raja ini memiliki sembilan orang anak, yaitu Dewi Kuntulsinanten, Raden Gagakbaka,
Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok, Raden Podangbinorehan, Raden
Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden
Menjanganketawang.
Dewi Kuntulsinanten sang putri sulung berwajah cantik jelita, dengan kulit putih bersih
seperti kapas pula. Itulah sebabnya banyak raja dan pangeran berdatangan dari berbagai
penjuru untuk melamarnya. Apalagi tersiar pula kabar bahwa barangsiapa bisa menikahi
Dewi Kuntulsinanten, maka dengan sendirinya akan mendapatkan Wahyu Purbalaras yang
bisa membuatnya lebih berwibawa dalam memimpin negara.
Prabu Janinraja sendiri sedang gundah gulana karena putri sulungnya itu menghilang
entah ke mana. Dewi Kuntulsinanten hanya berkata bahwa ia ingin bertapa menjemput
turunnya Wahyu Purbalaras, tetapi tidak mengatakan ke mana hendak pergi. Padahal, para
raja dan pangeran sudah banyak berkumpul di luar istana. Andai saja Dewi Kuntulsinanten
ada, tentu sayembara pilih bisa segera dilaksanakan.
Melihat kegelisahan sang ayah, Raden Gagakbaka pun mengusulkan agar diadakan
sayembara tanding saja. Kedelapan putra itulah yang nantinya tampil sebagai senapati
dalam sayembara tersebut. Barangsiapa bisa mengalahkan mereka, maka ia berhak
memperistri sang kakak sulung. Raden Dandangminangsi dan yang lain sepakat
mendukung usulan tersebut. Karena semuanya telah setuju, maka Prabu Janinraja akhirnya
mengizinkan para putra untuk mengadakan sayembara.
Demikianlah, sayembara tanding pun digelar di alun alun Kerajaan Slagahima. Raden
Dandangminangsi yang tampil paling awal menantang para pelamar. Satu persatu para
pelamar itu dibuat jatuh dari panggung oleh pangeran berkulit hitam legam tersebut. Hingga
akhirnya ketika Raden Dandangminangsi letih kehabisan tenaga, Raden Gagakbaka maju
menggantikan. Demikianlah seterusnya. Satu persatu para putra Slagahima maju
bergantian menguji kehebatan para pelamar kakak sulung mereka.
Para raja dan pangeran itu akhirnya pulang semua karena tidak ada yang mampu
mengalahkan para putra Slagahima. Pada saat itulah rombongan Prabu Duryudana
KITAB WAYANG PURWA

bersama para Kurawa tiba di arena sayembara. Arya Dursasana segera maju menantang
Raden Gagakbaka. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Raden Kartawarma
maju membantu, dan segera dihadapi Raden Dandangminangsi. Raden Surtayu maju pula
dan berhadapan dengan Raden Dandanggaok. Sementara itu Adipati Jayadrata
berhadapan melawan Raden Podangbinorehan, serta Bambang Aswatama menghadapi
Raden Jangetkinatelon. Dalam pertarungan itu, pihak Hastina kalah dan terlempar semua
keluar panggung.
Melihat para Kurawa gagal memenangkan sayembara, Adipati Karna segera naik ke
atas panggung menantang para putra Slagahima. Dengan lagak angkuh ia menantang
kedelapan pangeran itu agar maju sekaligus melawan dirinya. Raden Gagakbaka dan
saudara-saudaranya pun menanggapi tantangan tersebut. Pertempuran satu lawan
delapan terjadi dan berlangsung seru. Adipati Karna terlanjur meremehkan lawan-
lawannya. Karena terlalu yakin pada kesaktiannya sendiri, ia menjadi lengah. Mahkota
topong Bukasri yang ia pakai pun jatuh terkena pukulan Raden Gagakbaka, sehingga
terlihatlah kepalanya yang pitak menjadi bahan tertawaan para penonton. Bagian kepala
Adipati Karna yang pitak itu tidak lain adalah bekas luka tergores keris Raden Arjuna
sewaktu mereka bertarung di Kerajaan Mandraka dahulu.
Adipati Karna sangat malu karena aibnya terbuka dan memilih turun panggung
memperbaiki penampilan. Prabu Duryudana kemudian maju dengan memanggul Gada
Singabrong mengamuk menghadapi para putra Slagahima. Pertarungan sengit pun terjadi
di antara mereka. Namun, saat itu matahari mulai terbenam di ufuk barat. Prabu Janinraja
segera menghentikan sayembara untuk dilanjutkan besok. Prabu Duryudana merasa belum
kalah dan berjanji akan datang lagi untuk mengikuti sayembara ini. Ia kemudian mengajak
rombongannya pergi mendirikan perkemahan di luar ibu kota Slagahima.
DEWI JATASINI JATUH CINTA KEPADA RADEN ARJUNA
Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Jatagimbal dari Kerajaan
Selamangleng. Pada suatu hari ia memanggil kedua panakawannya, bernama Kyai Togog
dan Bilung Sarahita untuk bertanya tentang silsilah leluhurnya. Kyai Togog pun bercerita
bahwa Prabu Jatagimbal sesungguhnya masih keturunan Ditya Jatasura dari zaman kuno,
yaitu raksasa berbadan kerbau yang merupakan adik Prabu Mahesasura raja Guakiskenda.
Pada zaman itu, Prabu Mahesasura pernah mengutus Patih Lembusura menyerang
Kahyangan Suralaya karena lamarannya terhadap Batari Tara ditolak para dewa. Namun,
Patih Lembusura akhirnya tewas melawan jago kahyangan yang bernama Kapi Subali dan
Kapi Sugriwa. Setelah itu, kedua jago tersebut menyerang Kerajaan Guakiskenda. Seorang
diri Kapi Subali berhasil menewaskan Prabu Mahesasura yang berwujud raksasa berkepala
kerbau, sekaligus Ditya Jatasura yang berwujud kerbau berkepala raksasa.
Ditya Jatasura meninggalkan seorang putra bernama Ditya Purusandaka. Putranya itu
lalu pergi berkelana meninggalkan Kerajaan Guakiskenda yang diduduki Kapi Subali dan
Kapi Sugriwa. Ditya Purusandaka kemudian memiliki dua orang anak bernama Ditya
Purusangkara dan Dewi Suhestri.
Ditya Purusangkara lalu berputra Prabu Jatasarana yang mendirikan Kerajaan
Selamangleng, sedangkan Dewi Suhestri menjadi istri seorang pendeta bernama Resi
Kandiyana.
Prabu Jatasarana memiliki dua orang putra dan dua orang putri. Putra yang tertua
bernama Prabu Jatasura, mendirikan Kerajaan Pageralun dan memiliki tiga orang anak,
bernama Ditya Lembusa, Ditya Lembusana, dan Ditya Swalembana. Adapun putra Prabu
Jatasarana yang kedua tidak lain adalah Prabu Jatagimbal sendiri, yang mewarisi Kerajaan
Selamangleng.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Jatagimbal memiliki dua orang adik perempuan bernama Dewi Jatawati dan
Dewi Jatasini. Dewi Jatawati telah menikah dengan Prabu Kirmira, raja Kerajaan Ekacakra,
putra Prabu Baka. Adapun Dewi Jatasini si bungsu saat ini menghilang dari kerajaan. Konon
menurut laporan para emban pengasuh, Dewi Jatasini jatuh cinta kepada pangeran tampan
yang ia temui dalam mimpi. Pangeran tampan tersebut tidak lain adalah Raden Arjuna,
kesatria Panengah Pandawa.
Kyai Togog dan Bilung menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang seorang kesatria
yang sangat tampan tiada cela. Tidak hanya tampan wajah, namun Raden Arjuna juga
memiliki kesaktian yang sangat tinggi, serta merupakan lulusan terbaik Padepokan
Sokalima. Kabar terbaru yang diterima, Raden Arjuna baru saja menikah dengan Dewi
Sumbadra dari Kerajaan Dwarawati. Merekaa berdua adalah pasangan yang sangat serasi.
Raden Arjuna disebut sebagai laki-laki paling tampan di dunia, sedangkan Dewi Sumbadra
adalah perempuan paling cantik tiada banding.
Prabu Jatagimbal tertarik mendengar cerita para panakawan. Ia menjadi penasaran
ingin tahu seperti apa cantiknya Dewi Sumbadra tersebut. Maka, ia pun berencana hendak
pergi mencari hilangnya Dewi Jatasini, sekaligus ingin memaksa Raden Arjuna agar
bersedia menikahi adiknya itu. Jika Raden Arjuna menikah dengan Dewi Jatasini, maka
Dewi Sumbadra akan menjadi janda dan dinikahi pula oleh Prabu Jatagimbal. Demikianlah
rencana Prabu Jatagimbal dan ia pun kemudian berangkat seorang diri tanpa membawa
teman.
DEWI JATASINI MENEMUI DEWI SUMBADRA
Sementara itu, sang raksasi Dewi Jatasini telah memasuki Kesatrian Madukara dan
menemui Dewi Sumbadra yang duduk di Taman Maduganda. Para abdi taman pun menjerit-
jerit ketakutan, tapi Dewi Sumbadra tetap tenang dan menyambut kedatangan raksasi itu
dengan ramah.
Dewi Jatasini terkesan melihat sikap tenang Dewi Sumbadra yang tidak takut pada
dirinya. Dengan berterus terang ia pun mengatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada
Raden Arjuna dan ingin sekali menjadi istrinya. Maka, langkah pertama yang harus ia
tempuh adalah membunuh Dewi Sumbadra selaku pesaing.
Dewi Sumbadra menjawab dirinya sama sekali tidak takut mati. Ia balik bertanya
apabila dirinya mati apakah Raden Arjuna akan langsung menerima cinta Dewi Jatasini,
ataukah justru akan sangat marah dan membalas dendam? Dewi Jatasini bingung
menjawabnya. Ia lalu bertanya bagaimana sebaiknya yang ia lakukan. Padahal tadinya ia
ingin membunuh Dewi Sumbadra, namun kini justru meminta saran kepada wanita itu.
Dewi Sumbadra kemudian mengheningkan cipta membaca mantra seperti yang
pernah diajarkan oleh kakaknya, yaitu Prabu Kresna Wasudewa. Sambil membaca mantra,
tangannya mengusap sekujur tubuh Dewi Jatasini. Seketika wujud Dewi Jatasini pun
berubah menjadi sama persis seperti dirinya.
Dewi Jatasini bertanya mengapa dirinya diubah menjadi Dewi Sumbadra palsu. Dewi
Sumbadra asli pun menjawab bahwa ia ingin menguji kesetiaan suaminya. Saat ini Raden
Arjuna sedang pergi berkelana untuk mencari turunnya Wahyu Purbalaras. Maka, Dewi
Sumbadra palsu hendaknya pergi menyusul dan menggodanya. Apabila Raden Arjuna
bersedia melayani Dewi Sumbadra palsu, maka Dewi Sumbadra yang asli akan mengalah
dan memilih bunuh diri. Sebaliknya, jika Raden Arjuna tidak menanggapi, maka Dewi
Jatasini tidak boleh memaksa lagi dan harus pulang ke negerinya dengan hati ikhlas. Dewi
Jatasini harus membuang jauh-jauh pikiran ingin menjadi istri Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Jatasini alias Dewi Sumbadra palsu menyatakan setuju. Ia pun mohon pamit dan
segera pergi berangkat menyusul Raden Arjuna. Ia berharap dirinya bisa menjadi
pemenang dalam taruhan ini.
RADEN ARJUNA MENOLAK DEWI SUMBADRA PALSU
Raden Arjuna sendiri sedang pergi berkelana dengan ditemani para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Rupanya ia telah mendengar kabar bahwa
Wahyu Purbalaras akan turun kepada Dewi Kuntulsinanten yang kini sedang bertapa di
tengah laut, dekat negeri Slagahima. Oleh sebab itu, ia pun berniat pergi ke sana untuk
memboyong putri sekaligus wahyu tersebut agar bisa menjadi milik Kerajaan Amarta.
Tak disangka Raden Arjuna tiba-tiba dihentikan oleh istrinya, yaitu Dewi Sumbadra.
Istrinya itu mengaku sangat rindu, karena sebagai pengantin baru bukannya ditemani justru
ditinggal pergi berkelana sendirian. Raden Arjuna heran karena tadi ia sudah berpamitan
mengapa kini dipermasalahkan? Ia pun dengan tegas menolak diajak pulang karena
perjalanan yang ia lakukan ini adalah demi kepentingan negara.
Dewi Sumbadra pun merayu Raden Arjuna bahwa dirinya ingin berhubungan badan
saat ini juga, dan setelah itu sang suami boleh melanjutkan perjalanannya. Dewi Sumbadra
mengaku ingin segera mempunyai anak sebagai temannya di kala kesepian. Demikianlah
ia merayu dan bermanja-manja di hadapan sang suami. Namun, hal ini justru membuat
Raden Arjuna curiga karena ada gelagat yang kurang beres. Meskipun wajah wanita yang
merayunya ini sama persis dengan istrinya, tetapi sekilas bau keringat mereka berbeda.
Raden Arjuna dapat menyimpulkan bahwa yang ada di hadapannya adalah Dewi Sumbadra
palsu. Secepat kilat ia pun berlari menghindar untuk menguji keaslian wanita itu. Sesuai
dugaan, Dewi Sumbadra palsu mengejarnya dengan langkah cepat pula.
DEWI SUMBADRA PALSU BERTEMU RADEN ARJUNA PALSU
Raden Arjuna yang berlari menghindari Dewi Sumbadra palsu akhirnya bertemu
dengan Prabu Jatagimbal yang sedang mencari Dewi Jatasini. Prabu Jatagimbal kagum
melihat ada laki-laki sangat tampan berdiri di depannya, dan ia pun bertanya apakah benar
yang sedang dihadapinya adalah Raden Arjuna. Laki-laki tampan itu menjawab benar
dirinya memang Raden Arjuna. Prabu Jatagimbal pun berkata terus terang bahwa ia ingin
menikahkan Raden Arjuna dengan adiknya, serta menjadikan Dewi Sumbadra sebagai
istrinya. Jika Raden Arjuna menolak, maka Prabu Jatagimbal mengancam akan langsung
membunuhnya.
Raden Arjuna menjawab tidak perlu bunuh-membunuh untuk merebut istrinya. Ia
merasa telah kecewa menikah dengan Dewi Sumbadra karena ternyata sang istri memiliki
nafsu birahi yang sangat besar. Padahal, Raden Arjuna masih ingin bersenang-senang di
luar, berkelana ke mana ia suka, tetapi istrinya itu selalu saja mengikuti dan ingin mengajak
berhubungan badan tanpa kenal waktu. Terus terang, Raden Arjuna mengaku tidak kuat
melayani nafsu birahi istrinya yang menggebu-gebu. Maka, Prabu Jatagimbal pun
dipersilakan jika ingin menikahi Dewi Sumbadra sekarang juga.
Prabu Jatagimbal semakin kasmaran begitu mendengar Dewi Sumbadra ternyata
memiliki nafsu birahi yang sangat besar. Ia pun meminta Raden Arjuna menyerahkan
istrinya itu kepadanya jika memang sudah tidak sanggup melayani. Raden Arjuna berterima
kasih dan segera membaca mantra lalu mengubah wujud Prabu Jatagimbal menjadi sama
persis dengannya. Prabu Jatagimbal bertanya mengapa wujudnya harus diubah segala.
Raden Arjuna pun menjawab bahwa Dewi Sumbadra saat ini sedang kasmaran dengan
dirinya. Oleh sebab itu, jika Prabu Jatagimbal ingin berhubungan badan dengannya, maka
harus menggunakan wujud yang sama persis dengan Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Jatagimbal dapat memahami hal itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara
Dewi Sumbadra palsu memanggil-manggil. Raden Arjuna asli segera pergi, sedangkan
Raden Arjuna palsu keluar menghampiri. Dewi Sumbadra palsu itu merengek manja
mengapa dirinya ditinggalkan. Raden Arjuna palsu menjawab sebenarnya ia juga rindu
kepada sang istri tetapi malu jika dilihat para panakawan. Keduanya sama-sama gemetar
tidak kuasa lagi menahan diri. Mereka pun pergi mencari gubuk asmara untuk
melampiaskan nafsu masing-masing.
DEWI KUNTULSINANTEN MENERIMA WAHYU PURBALARAS
Sementara itu, Dewi Kuntulsinanten sang putri Slagahima sedang bertapa di atas
ombak samudera. Sudah berhari-hari ia melakukan tapa brata hingga sekujur tubuhnya pun
dipenuhi tanaman ganggang yang begitu lebat menjalar ke sana kemari. Justru berkat
tanaman gangang itulah, tubuh Dewi Kuntulsinanten selalu mengambang tanpa tenggelam,
meskipun dihantam deburan ombak yang bergulung-gulung.
Sudah empat puluh hari lamanya Dewi Kuntulsinanten bertapa. Tiba-tiba dari angkasa
muncul seberkas sinar yang merasuk ke dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian datang pula
Batara Narada membangunkan tapa gadis tersebut.
Dewi Kuntulsinanten membuka mata dan segera menyembah Batara Narada. Batara
Narada menjelaskan bahwa sang putri tidak perlu lagi melanjutkan tapa karena Wahyu
Purbalaras baru saja masuk ke dalam dirinya dalam wujud seberkas sinar. Namun
demikian, Wahyu Purbalaras ini bukan menjadi hak milik Kerajaan Slagahima, tetapi
ditakdirkan menjadi milik negara lain. Oleh sebab itu, Dewi Kuntulsinanten harus rela
bersatu jiwa raga dengan raja yang dianggapnya cocok memiliki wahyu tersebut.
Dewi Kuntulsinanten pasrah jika memang itu yang menjadi ketetapan dewata. Karena
sang putri telah sepakat, maka Batara Narada pun memisahkan badan jasmani dan rohani
Dewi Kuntulsinanten. Mulai saat ini Dewi Kuntulsinanten hanya berbadan rohani saja,
sedangkan badan jasmaninya disatukan dengan tanaman ganggang yang tadi menjalar di
sekujur tubuhnya. Demikianlah, Batara Narada pun mengubah badan jasmani Dewi
Kuntulsinanten sekaligus tanaman ganggang yang menutupinya menjadi seorang laki-laki,
yang diberi nama Raden Tambakganggeng.
Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Tambakganggeng adalah wujud jasmani
Dewi Kuntulsinanten yang mewarisi kecerdasan pikirannya dan kebaikan hatinya. Kelak
meraka pun akan selalu bersama. Raden Tambakganggeng akan mengabdi kepada raja
yang menjadi titisan Dewi Kuntulsinanten. Usai berkata demikian, Batara Narada pun
kembali ke kahyangan.
RADEN ARJUNA DITOLAK DEWI KUNTULSINANTEN
Setelah Batara Narada pergi, Dewi Kuntulsinanten dan Raden Tambakganggeng
segera naik ke daratan. Mereka bertemu Raden Arjuna bersama para panakawan yang
menjemput di pantai. Raden Arjuna heran melihat ada seorang wanita cantik tetapi
tubuhnya tembus pandang seperti cahaya. Wanita itu pun menjawab bahwa dirinya
bernama Dewi Kuntulsinanten dari Kerajaan Slagahima. Raden Arjuna merasa kebetulan
dan ia pun berterus terang ingin melamar sang putri untuk diboyong ke Kerajaan Amarta.
Dewi Kuntulsinanten memaklumi Raden Arjuna pasti telah mendengar berita tentang
Wahyu Purbalaras yang jatuh kepadanya. Ia pun bersedia diboyong Raden Arjuna apabila
sang pangeran memang pantas menjadi tempatnya menitis. Raden Arjuna lalu berdiam
mengheningkan cipta, sedangkan Dewi Kuntulsinanten masuk menyatu ke dalam dirinya.
Akan tetapi, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten sudah tidak kuat dan segera
keluar dari dalam tubuh Raden Arjuna. Ia berkata bahwa Raden Arjuna bukan sosok yang
KITAB WAYANG PURWA

ia cari karena masih diliputi watak mudah marah, dan tidak segan-segan menipu orang lain.
Raden Arjuna terperanjat menyadari bahwa dirinya memang baru saja menipu Prabu
Jatagimbal.
Raden Arjuna merasa ikhlas jika dirinya gagal memboyong Wahyu Purbalaras.
Namun, ia penasaran ingin tahu siapa kiranya orang yang menjadi pilihan Dewi
Kuntulsinanten. Maka, ia pun ikut menyertai putri tersebut pulang ke Kerajaan Slagahima.
RADEN ARJUNA MEMBUNUH PRABU JATAGIMBAL
Sementara itu, Raden Arjuna palsu dan Dewi Sumbadra palsu sedang sibuk
melampiaskan nafsu birahi masing-masing di dalam sebuah gubuk asmara. Ketika
mencapai puncak, tiba-tiba penyamaran Raden Arjuna palsu buyar dan wujudnya pun
kembali menjadi Prabu Jatagimbal. Dewi Sumbadra palsu menjerit kaget dan wujudnya pun
kembali menjadi Dewi Jatasini.
Prabu Jatagimbal dan Dewi Jatasini sangat malu bercampur sedih karena mereka
ternyata telah melakukan hubungan badan dengan saudara sendiri. Dewi Jatasini hampir
saja bunuh diri namun dapat dicegah sang kakak. Prabu Jatagimbal berkata bahwa ini
semua adalah kesalahan Raden Arjuna yang telah menipu dirinya. Maka, ia pun berangkat
untuk melabrak kesatria Pandawa tersebut demi melampiaskan sakit hati.
Raden Arjuna saat itu sedang menemani Dewi Kuntulsinanten dalam perjalanan
pulang menuju Kerajaan Slagahima. Prabu Jatagimbal berhasil menyusul dan langsung
menyerang Raden Arjuna. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Prabu Jatagimbal yang
dibakar amarah menjadi kurang teliti dan kurang waspada. Akibatnya, keris Raden Arjuna
pun berhasil merobek perutnya dan membuat raja raksasa dari Selamangleng itu tewas
kehilangan nyawa.
Dewi Jatasini yang mengintai dari kejauhan sangat berduka melihat kematian
kakaknya. Rasa cintanya kepada Raden Arjuna berubah menjadi benci. Ia pun bersumpah
akan membesarkan anak hasil persetubuhannya dengan sang kakak agar kelak membalas
dendam kepada Panengah Pandawa tersebut. Untuk sementara ini, ia berniat pergi
mengungsi kepada kakak sulungnya, yaitu Prabu Jatasura di Kerajaan Pageralun untuk
meminta perlindungan. (Kelak putra hasil hubungan Dewi Jatasini dengan Prabu Jatagimbal
akan lahir dan diberi nama Prabu Kalasrenggi).
RADEN WREKODARA MENGALAHKAN PARA PUTRA SLAGAHIMA
Pagi itu Prabu Janinraja di Kerajaan Slagahima menerima kunjungan tiga orang raja,
yaitu Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Puntadewa dari Amarta, dan Prabu Baladewa
dari Mandura. Ketiga raja tersebut juga mengajukan lamaran untuk meminang Dewi
Kuntulsinanten. Prabu Janinraja menjelaskan bahwa putri sulungnya masih belum kembali
dari bertapa menjemput turunnya Wahyu Purbalaras. Namun demikian, ia telah menetapkan
barangsiapa bisa mengalahkan putra-putranya dalam sayembara tanding, maka orang itu
berhak melamar Dewi Kuntulsinanten.
Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan ketiga raja segera mengajukan diri
bahwa ia yang akan bertanding di dalam sayembara. Jika dirinya menang, maka Dewi
Kuntulsinanten boleh memilih salah satu di antara ketiga raja yang datang bersamanya.
Usai berkata demikian, sang Panenggak Pandawa itu pun segera naik ke atas panggung.
Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, dan adik-adik mereka segera naik ke
panggung pula. Pertandingan pun dimulai. Satu persatu para putra Slagahima itu
menyerang Arya Wrekodara, namun tidak satu pun dari mereka yang mampu
mengalahkannya. Arya Wrekodara begitu tangkas dan perkasa, tidak mudah dirobohkan.
Sebaliknya, ia justru mampu mendesak kedelapan lawannya. Kedelapan putra Slagahima
KITAB WAYANG PURWA

itu pun maju bersama-sama mengerubut Arya Wrekodara. Tanpa gentar sedikit pun, Arya
Wrekodara segera mengangkat Gada Rujakpolo dan menghantamkannya ke arah lawan-
lawannya itu.
Sungguh ajaib, Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok,
Raden Podangbinorehan, Raden Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden
Cecakandon, dan Raden Menjanganketawang tidak mati terkena pukulan gada tersebut,
tetapi tubuh mereka menyusut menjadi lebih kecil daripada semula. Sebaliknya, Gada
Rujakpolo di tangan Arya Wrekodara menjadi lebih besar setelah menghantam kedelapan
pangeran tersebut. Menyadari kehebatan lawan, Raden Gagakbaka mewakili saudara-
saudaranya pun mengaku kalah dan menyatakan Arya Wrekodara sebagai pemenang
sayembara.
DEWI KUNTULSINANTEN MEMERIKSA ISI HATI KEEMPAT RAJA
Bersamaan dengan itu, Dewi Kuntulsinanten telah tiba di istana Slagahima beserta
Raden Arjuna dan Raden Tambakganggeng. Ia menghadap sang ayah, Prabu Janinraja,
untuk menyampaikan berita bahwa dirinya telah menerima Wahyu Purbalaras. Namun
demikian, di sisi lain ia harus bersedia kehilangan badan jasmaninya sehingga kini hanya
tinggal berbadan rohani saja. Adapun badan jasmani Dewi Kuntulsinanten tersebut kini telah
menjelma sebagai laki-laki bernama Raden Tambakganggeng, yang hendaknya diakui pula
sebagai putra Slagahima.
Prabu Janinraja terharu dan berusaha memeluk putri sulungnya yang kini tubuhnya
remang-remang tidak dapat diraba. Ia juga memeluk Raden Tambakganggeng yang mulai
hari ini dianggap sebagai putra kesepuluh. Setelah itu, Prabu Janinraja menceritakan
semuanya dari awal hingga akhir kepada Dewi Kuntulsinanten. Kini, sayembara tanding
telah dimenangkan oleh Arya Wrekodara yang bertindak sebagai senapati bagi ketiga raja.
Untuk selanjutnya, silakan Dewi Kuntulsinanten memilih siapa dari ketiga raja tersebut yang
ia terima sebagai suami penitisan.
Tiba-tiba Prabu Duryudana datang marah-marah menantang para putra Slagahima. Ia
berkata bahwa pertandingan kemarin belum selesai karena terhalang matahari terbenam.
Kini ia datang untuk meminta pertandingan dilanjutkan dan kemenangan Arya Wrekodara
dianggap batal.
Prabu Puntadewa berusaha menyabarkan Prabu Duryudana agar tidak perlu marah-
marah seperti itu. Sayembara hanyalah soal permainan. Kalah atau menang tidak penting.
Sekarang keputusan ada di tangan Dewi Kuntulsinanten. Biarlah sang putri memilih salah
satu di antara empat raja, bukan hanya tiga seperti disebutkan di awal tadi.
Prabu Duryudana luluh hatinya. Ia pun ikut berbaris bersama Prabu Kresna, Prabu
Baladewa, dan Prabu Puntadewa. Dewi Kuntulsinanten mohon izin untuk memeriksa hati
nurani keempat raja tersebut. Prabu Duryudana yang datang sejak kemarin meminta
diperiksa paling awal. Dewi Kuntulsinanten setuju. Ia kemudian masuk ke dalam diri raja
Hastina itu untuk memeriksa kalbunya. Namun, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten
sudah keluar lagi. Ia berkata jiwa Prabu Duryudana terlalu panas. Hatinya penuh dengan
rasa iri dan dengki, serta wataknya serakah ingin menang sendiri, membuat Dewi
Kuntulsinanten tidak dapat menerimanya sebagai suami penitisan.
Dewi Kuntulsinanten lalu masuk ke dalam diri Prabu Baladewa untuk memeriksa kalbu
raja Mandura tersebut. Sama seperti tadi, hanya sebentar saja ia langsung keluar. Wanita
itu berkata bahwa Prabu Baladewa berhati lembut tetapi sikapnya kasar, berwatak mudah
kasihan tetapi gampang marah. Seorang raja yang berwatak semacam itu cenderung
mudah dihasut dan diperdaya oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Kuntulsinanten kemudian masuk ke dalam diri Prabu Kresna. Sama seperti
sebelumnya, wanita itu pun keluar karena merasa tidak cocok dengan sifat sang raja
Dwarawati. Menurut pengamatannya, Prabu Kresna memang seorang yang berbudi luhur,
juga sangat cerdas dan bijaksana. Akan tetapi, sifatnya kurang jujur dan suka menghalalkan
segala cara demi meraih kemenangan. Ia tidak segan-segan berbohong jika memang itu
dianggap bermanfaat. Hal ini ternyata kurang disukai oleh Dewi Kuntulsinanten.
Yang terakhir, Dewi Kuntulsinanten masuk ke dalam diri Prabu Puntadewa. Kali ini ia
merasa sangat nyaman dan cocok terhadap isi kalbu sang raja Amarta. Menurut
pengamatannya, Prabu Puntadewa seorang jujur dan adil, mengutamakan kebenaran
dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan. Prabu Puntadewa juga berani berkorban
demi kebahagiaan banyak orang, serta merelakan penderitaan untuk ia tanggung sendiri.
Dewi Kuntulsinanten pun menerima Prabu Puntadewa sebagai suaminya, namun
pernikahan mereka adalah pernikahan secara batin. Untuk selamanya, roh Dewi
Kuntulsinanten menyatu di dalam diri Prabu Puntadewa dan tidak akan keluar lagi.
Demikianlah, Dewi Kuntulsinanten yang berkulit putih kini bersatu jiwa dengan Prabu
Puntadewa yang berdarah putih.
PARA PUTRA SLAGAHIMA MENJADI PATIH AMARTA DAN JODIPATI
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa mengucapkan selamat atas terpilihnya sepupu
mereka. Dulu mereka telah mendapatkan Wahyu Purbasejati, sehingga sudah sepantasnya
jika Wahyu Purbalaras kini menjadi milik Prabu Puntadewa. Sebaliknya, Prabu Duryudana
marah-marah dan mengamuk ingin memaksa Dewi Kuntulsinanten agar keluar dari dalam
diri Prabu Puntadewa. Melihat itu, Arya Wrekodara segera bertindak menendang keluar
sepupunya tersebut.
Prabu Duryudana pun memanggil para Kurawa agar membantu. Arya Dursasana,
Raden Kartawarma, Adipati Jayadrata, dan yang lain segera maju. Arya Wrekodara segera
menendang mereka satu persatu hingga semuanya lari tunggang langgang meninggalkan
Kerajaan Slagahima.
Keadaan kini tenang kembali. Prabu Janinraja menerima takdir Yang Mahakuasa
bahwa putri sulungnya harus bersatu jiwa dengan Prabu Puntadewa. Tidak hanya itu,
Raden Tambakganggeng juga memohon izin agar diperbolehkan mengabdi kepada Prabu
Puntadewa, agar dirinya selalu dekat dengan Dewi Kuntulsinanten. Prabu Janinraja pun
mengizinkannya. Prabu Puntadewa lalu mengangkat Raden Tambakganggeng sebagai
patih Kerajaan Amarta. Selama ini sejak pertama kali berdiri, Kerajaan Amarta belum
memiliki seorang patih karena Prabu Puntadewa merangkap jabatan, di mana ia menangani
langsung segala urusan pemerintahan negerinya.
Sementara itu, Raden Gagakbaka dan adik-adiknya juga ingin mengabdi kepada Arya
Wrekodara yang telah berhasil mengalahkan mereka dalam sayembara. Prabu Janinraja
pun mengizinkan putra-putranya itu apabila ingin ikut pindah ke Kerajaan Amarta, tepatnya
di Kesatrian Jodipati. Namun, sebagian harus tetap tinggal di Kerajaan Slagahima. Tidak
baik jika negara sampai kosong karena para pangerannya lebih memilih hidup di luar negeri.
Demikianlah, kedelapan putra Prabu Janinraja pun dibagi menjadi dua kelompok.
Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden
Jangetkinatelon mengabdi kepada Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati, sedangkan Raden
Dandanggaok, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden
Menjanganketawang tetap tinggal di Kerajaan Slagahima bersama ayah mereka.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

Lesmana Mandrakumara Lahir


Kisah ini menceritakan kelahiran Raden Lesmana Mandrakumara, yaitu putra Prabu
Duryudana yang diselundupkan Raden Arjuna ke dalam Kerajaan Hastina kepada Dewi
Banuwati. Adapun bayi yang dilahirkan Dewi Banuwati sebenarnya berkelamin perempuan,
dan oleh Raden Arjuna dititipkan kepada istrinya yang bernama Endang Manuhara, untuk
diasuh dan diberi nama Endang Pregiwati, serta dipersaudarakan dengan Endang Pregiwa
yang lebih dulu lahir.
Kelak Raden Lesmana Mandrakumara menjadi musuh para putra Pandawa, terutama
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari hasil diskusi dengan Ki Rudy Wiratama, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 06 Februari 2017
Heri Purwanto

Wujud Raden Lesmana Mandrakumara setelah dewasa.


PRABU DURYUDANA MENCURIGAI KEHAMILAN DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap para menteri dan punggawa, sedang
membicarakan kehamilan sang permaisuri Dewi Banuwati, yang saat ini sudah mencapai
usia sembilan bulan. Namun sejujurnya, Prabu Duryudana merasa ada yang mengganjal
dalam hati tentang kehamilan istrinya itu.
Patih Sangkuni yakin arah pembicaraan Prabu Duryudana pasti menjurus ke masalah
pribadi. Ia merasa tidak pantas jika persoalan aib rumah tangga sang raja sampai didengar
oleh banyak orang. Untuk itu, Patih Sangkuni segera membubarkan para menteri dan
punggawa lainnya agar mereka segera keluar meninggalkan balai penghadapan. Kini yang
tertinggal hanyalah orang-orang kepercayaan Prabu Duryudana saja yang masih
menghadap, yaitu Resi Druna, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan Raden Kartawarma.
Prabu Duryudana pun melanjutkan pembicaraan. Sejak awal menikah ia sudah
mendengar desas-desus tentang hubungan asmara antara Dewi Banuwati dengan Raden
KITAB WAYANG PURWA

Arjuna. Desas-desus ini semakin diperkuat dengan permintaan aneh Dewi Banuwati, yaitu
ingin dicarikan juru rias pengantin yang tampan sempurna tanpa cacat. Siapa lagi yang
dimaksud kalau bukan Raden Arjuna si Panengah Pandawa itu?
Prabu Duryudana juga pernah mendengar cerita bagaimana caranya membedakan
wanita yang masih perawan atau tidak. Wanita jika masih perawan pasti mengeluarkan
darah saat bersetubuh pertama kali. Padahal, saat malam pertama perkawinan mereka,
ternyata darah tersebut tidak keluar dari kemaluan Dewi Banuwati. Hal ini membuat Prabu
Duryudana curiga jangan-jangan istrinya itu memang pernah berbuat zina dengan Raden
Arjuna sebelum menikah dengannya. Itulah sebabnya, ia pun ragu apakah bayi yang
dikandung Dewi Banuwati kali ini benar-benar anaknya atau bukan.
Resi Druna menasihati Prabu Duryudana agar jangan mudah menuduh istri berbuat
zina jika tidak memiliki bukti yang cukup. Tuduhan yang keliru hanya akan merusak
keharmonisan rumah tangga belaka. Tidak hanya itu, menuduh Dewi Banuwati tanpa bukti
juga akan merusak hubungan baik antara Kerajaan Hastina dengan Kerajaan Mandraka.
Maka, Prabu Duryudana sebaiknya tidak buru-buru mencurigai istri hanya karena tidak
mengeluarkan darah di malam pertama.
Adipati Karna membenarkan ucapan Resi Druna. Soal mengeluarkan darah atau tidak
itu tidak boleh digunakan sebagai acuan. Setiap perempuan memiliki riwayat tubuh yang
berbeda-beda. Ada perempuan yang sewaktu muda pernah kecelakaan terjatuh dari kuda
atau kereta, sehingga bisa saja merusak bagian dalam kelaminnya. Atau ada juga
perempuan yang bagian dalam kelaminnya berukuran tebal, sehingga tidak mudah koyak
dan mengeluarkan darah saat berhubungan badan dengan suaminya pertama kali. Oleh
sebab itu, suami jangan mudah termakan mitos soal darah perawan, karena itu hanya akan
menjadi beban yang merugikan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Suami dan istri
lebih baik saling percaya daripada saling menaruh curiga.
Patih Sangkuni berpendapat lain. Prabu Duryudana bukan hanya seorang suami
biasa, tetapi juga seorang raja besar. Apa jadinya jika permaisuri seorang raja agung
ternyata pernah berbuat zina sebelum menikah? Soal dugaan Dewi Banuwati mengandung
anak orang lain itu perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi ini menyangkut soal penerus takhta
Kerajaan Hastina pula. Kalau benar bayi yang dikandung Dewi Banuwati adalah putra
Raden Arjuna, maka hal ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna adalah anggota
Pandawa. Apabila benar demikian, maka si bayi akan menjadi musuh dalam selimut bagi
para Kurawa.
Prabu Duryudana menjadi bimbang. Di satu sisi ia menerima nasihat Resi Druna dan
Adipati Karna, namun di sisi lain ia juga percaya pada ucapan Patih Sangkuni. Setelah
ditimbang-timbang, akhirnya ia pun mengambil jalan tengah. Apabila bayi yang dilahirkan
Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka Prabu Duryudana bersedia mengakuinya sebagai
putra. Namun, apabila bayi yang lahir berkelamin perempuan, maka ia akan mengusir Dewi
Banuwati beserta anaknya itu dari Kerajaan Hastina.
PRABU MANDRAJAYA HENDAK MEREBUT DEWI BANUWATI
Usai Prabu Duryudana mengucapkan sumpah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki
datang menghadap. Laki-laki itu bernama Patih Mandradenta dari Kerajaan Saroja.
Kedatangannya ialah untuk menyampaikan sepucuk surat dari rajanya yang bernama Prabu
Mandrajaya. Prabu Duryudana pun menerima surat itu dan membaca isinya.
Dalam surat tersebut Prabu Mandrajaya menceritakan asal usulnya. Dahulu kala
tersebutlah Kerajaan Mandrapura di tanah seberang yang dipimpin oleh Prabu Barandana.
Pada suatu hari Kerajaan Mandrapura hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Kerajaan
Siwandapura. Prabu Barandana pun tewas dalam serangan tersebut. Kedua putra Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Barandana yang bernama Raden Kardana dan Raden Karjaya terpencar menyelamatkan
diri masing-masing. Raden Kardana lalu mengabdi kepada Prabu Basukiswara di Kerajaan
Wirata dan mendapatkan sebidang tanah di Hutan Keling. Raden Kardana lalu membabat
hutan tersebut menjadi negara baru, yang diberi nama Kerajaan Mandraka. Ia pun menjadi
raja pertama, bergelar Prabu Mandrakusuma. Adapun Prabu Salya yang memerintah
Kerajaan Mandraka saat ini adalah keturunan dari Prabu Mandrakusuma tersebut.
Sementara itu, adik Raden Kardana yang bernama Raden Karjaya juga berkelana
tetapi tidak menjadi raja, melainkan hidup berbaur dengan rakyat jelata. Setelah turun-
temurun barulah ada seorang keturunannya yang berhasil mendirikan sebuah negara baru
bernama Kerajaan Saroja. Keturunannya itu tidak lain adalah Prabu Mandrajaya yang kini
berkirim surat kepada Prabu Duryudana.
Prabu Mandrajaya berniat mempersatukan dua cabang keturunan Prabu Barandana
dengan cara melamar putri Prabu Salya di Mandraka. Sayang sekali, ketiga putri Prabu
Salya sudah menikah semua. Prabu Mandrajaya tidak mau menyerah begitu saja. Di antara
ketiga putri tersebut yang paling menarik perhatiannya adalah Dewi Banuwati yang telah
menikah dengan Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Untuk itulah, Prabu Mandrajaya
pun berkirim surat agar Prabu Duryudana menceraikan Dewi Banuwati dan menyerahkan
jandanya itu sebagai permaisuri Kerajaan Saroja.
Prabu Duryudana tersinggung membaca surat tersebut. Ia pun membanting dan
memaki Patih Mandradenta bahwa Dewi Banuwati tidak akan pernah diserahkan kepada
siapa pun. Patih Mandradenta menjawab dirinya sudah mendapat wewenang dari Prabu
Mandrajaya, apabila Prabu Duryudana menolak menyerahkan istrinya, maka harus direbut
melalui peperangan. Mendengar ini, Adipati Karna segera menanggapi bahwa dirinyalah
yang akan melayani tantangan pihak Kerajaan Saroja. Untuk itu, Patih Mandradenta diminta
menunggu di luar dengan mempersiapkan seluruh pasukannya. Patih Mandradenta setuju
dan segera pamit undur diri kembali ke induk pasukannya.
Setelah Patih Mandradenta keluar, Resi Druna menggoda Prabu Duryudana dengan
bertanya mengapa Dewi Banuwati tidak diserahkan saja, bukankah tadi sang permaisuri
sudah dicurigai pernah berbuat serong? Prabu Duryudana menjawab bahwa Dewi Banuwati
adalah permaisurinya. Bagaimanapun juga ini menyangkut wibawanya sebagai raja. Jika
sampai istrinya direbut orang, maka wibawanya akan ikut jatuh pula di mata rakyat. Resi
Druna senang mendengar jawaban ini. Ia pun berdoa semoga pihak Hastina mampu
mengalahkan tantangan Kerajaan Saroja.
PRABU DURYUDANA MENEMUI DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Ia lalu masuk ke dalam kedaton
menemui sang permaisuri Dewi Banuwati yang hari ini telah memasuki usia kandungan
sembilan bulan, dan mungkin akan segera melahirkan. Tampak pula Dewi Srutikanti (istri
Adipati Karna) berjaga menemani di sisi Dewi Banuwati.
Melihat Prabu Duryudana datang, Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti segera
menyambut ramah. Prabu Duryudana tampak bermuka masam. Ia pun bercerita bahwa
dirinya baru saja menerima surat dari seorang raja bernama Prabu Mandrajaya di Kerajaan
Saroja. Surat itu berisi permintaan Prabu Mandrajaya agar Prabu Duryudana menyerahkan
Dewi Banuwati kepadanya. Tujuan Prabu Mandrajaya ingin menikahi Dewi Banuwati adalah
untuk mempererat tali kekeluargaan antara sesama cabang keturunan mendiang Prabu
Barandana raja Mandrapura.
Dewi Banuwati sangat marah mendengar berita itu. Ia merasa lebih baik mati daripada
Prabu Duryudana menyerahkan dirinya kepada laki-laki lain. Prabu Duryudana pun
bertanya apakah ucapan istrinya itu tulus dari hati ataukah hanya manis di bibir saja? Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Banuwati pun ditanyai apabila dirinya diserahkan kepada laki-laki lain, dan laki-laki itu
adalah Raden Arjuna lantas bagaimana sikapnya, menolak atau tidak?
Dewi Banuwati pucat pasi tidak bisa menjawab. Dewi Srutikanti segera membela
adiknya dengan menyebut pertanyaan Prabu Duryudana sangatlah tidak pantas. Prabu
Duryudana pun berterus terang bahwa dirinya baru saja mengambil keputusan. Apabila bayi
yang dilahirkan Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai
putra. Sebaliknya, jika Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan, maka itu pastilah anak
Raden Arjuna. Jika benar itu yang terjadi, maka Prabu Duryudana tidak segan-segan
mengusir Dewi Banuwati keluar dari Kerajaan Hastina beserta anaknya sekaligus.
Dewi Banuwati tergetar mendengar keputusan Prabu Duryudana tersebut. Ia pun jatuh
lemas dan segera dipapah Dewi Srutikanti masuk ke dalam. Dewi Srutikanti pun menyesali
ucapan Prabu Duryudana yang melampaui batas. Sebagai suami bukannya menenangkan
perasaan istri yang sedang hamil tua, tetapi justru bersikap kasar seperti itu. Prabu
Duryudana merasa serbasalah. Ia pun pamit keluar ingin menonton Adipati Karna
menghancurkan musuh dari Kerajaan Saroja. Soal bagaimana nanti Dewi Banuwati
melahirkan, biarlah Dewi Srutikanti saja yang mendampingi. Usai berkata demikian, ia pun
bergegas keluar meninggalkan kedaton.
DEWI BANUWATI MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN
Dewi Srutikanti lalu memapah adiknya masuk ke dalam kamar. Dewi Banuwati merasa
dirinya akan segera melahirkan. Menyadari hal itu, Dewi Srutikanti khawatir ucapan Prabu
Duryudana menjadi kenyataan. Maka, ia pun seorang diri membantu Dewi Banuwati
melahirkan tanpa perlu memanggil bidan atau dayang istana. Ternyata benar, Dewi
Banuwati hari itu melahrkan seorang bayi perempuan.
Dewi Banuwati menangis sambil bercerita kepada sang kakak bahwa dirinya memang
pernah berselingkuh dengan Raden Arjuna, yaitu ketika menjelang pernikahan dulu. Saat
itu dirinya dirias di dalam kamar oleh Raden Arjuna hanya berdua saja. Mereka sama-sama
terlena sehingga melakukan hubungan badan. Tak disangka, persetubuhan tersebut
membuat Dewi Banuwati mengandung hingga akhirnya kini melahirkan anak perempuan.
Dewi Srutikanti sangat kesal mendengar ulah adiknya yang sangat memalukan.
Namun, bagaimanapun juga ia tidak rela jika Dewi Banuwati sampai diusir dari Kerajaan
Hastina. Ini semua adalah tanggung jawab Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti
pun menggendong bayi perempuan tersebut keluar melalui pintu belakang istana. Dewi
Banuwati menangis sedih karena harus berpisah dengan putrinya yang baru lahir, hingga
akhirnya ia pun jatuh pingsan.
ADIPATI KARNA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN SAROJA
Sementara itu, Adipati Karna bersama pasukan Hastina telah berhadap-hadapan
dengan musuh dari Kerajaan Saroja yang dipimpin Patih Mandradenta. Tidak lama
kemudian, kedua pihak saling menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi. Adipati Karna
dibantu Patih Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata berhasil memukul mundur
pasukan musuh tersebut.
Prabu Duryudana sangat senang melihat kemenangan kakak iparnya. Namun, ia tidak
mau berhenti sampai di sini saja. Ia ingin peperangan tetap dilanjutkan, yaitu Kerajaan
Saroja harus ditaklukkan menjadi jajahan Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana ingin melihat
seperti apa wajah Prabu Mandrajaya yang berani lancang hendak merebut istrinya.
Usai berkata demikian, Prabu Duryudana pun naik ke punggung Gajah
Murdaningkung kemudian mengajak Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap pasukan
Hastina untuk berangkat menggempur Kerajaan Saroja.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI SRUTIKANTI BERTEMU RADEN ARJUNA


Karena Prabu Duryudana sudah berangkat menyerang Kerajaan Saroja, Dewi
Srutikanti pun dapat leluasa menyelinap keluar meninggalkan istana Kerajaan Hastina
sambil menggendong bayi perempuan yang baru saja dilahirkan adiknya. Belum seberapa
jauh kepergiannya, tiba-tiba ia melihat Raden Arjuna bersama para panakawan sedang
berjalan menuju ibu kota Hastina.
Dewi Srutikanti pun bertanya ada keperluan apa Raden Arjuna hendak berkunjung ke
Kerajaan Hastina. Raden Arjuna mengaku tadi malam ia bermimpi melihat Dewi Banuwati
disiksa Prabu Duryudana karena melahirkan bayi perempuan. Itulah sebabnya dirinya
hendak datang ke istana Hastina untuk menolong Dewi Banuwati.
Dewi Srutikanti membenarkan mimpi tersebut bahwa Dewi Banuwati memang baru
saja melahirkan seorang bayi perempuan. Namun, alangkah baiknya untuk selanjutnya
Raden Arjuna jangan lagi mengganggu kehidupan rumah tangga adiknya dan Prabu
Duryudana. Jika sampai Raden Arjuna muncul di Kerajaan Hastina, maka rumah tangga
mereka bisa hancur berantakan. Dewi Srutikanti menasihati agar Raden Arjuna melupakan
kisah cintanya dengan Dewi Banuwati untuk selamanya, apalagi mereka masing-masing
sudah sama-sama menikah.
Kyai Semar membenarkan ucapan Dewi Srutikanti. Di sepanjang jalan tadi dirinya
sudah banyak menasihati Raden Arjuna tetapi sama sekali tidak ditanggapi. Kini Dewi
Srutikanti juga menasihati demikian, alangkah baiknya Raden Arjuna mengurungkan
niatnya ingin menemui Dewi Banuwati.
Dewi Srutikanti lalu menyerahkan bayi perempuan yang ada di gendongannya kepada
Raden Arjuna. Ia berkata bahwa bayi tersebut adalah putri hasil hubungan Dewi Banuwati
dengan Raden Arjuna sesaat sebelum adiknya itu menikah dengan Prabu Duryudana. Ia
juga menceritakan Prabu Duryudana baru saja bersumpah akan mengakui anak apabila
Dewi Banuwati melahirkan bayi laki-laki. Sebaliknya, jika yang lahir perempuan, maka Dewi
Banuwati akan diusir dari Kerajaan Hastina. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti pun membawa
lari bayi perempuan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban Raden Arjuna.
Raden Arjuna berkata dirinya pasti akan bertanggung jawab, jangan sampai Dewi
Banuwati menderita sebagaimana yang ia lihat dalam mimpi. Ia pun menerima bayi
perempuan tersebut dan meminta Dewi Srutikanti agar segera pulang menjaga Dewi
Banuwati. Ia berjanji akan mengamankan bayi perempuan ini, serta mencarikan ganti
seorang bayi laki-laki untuk diselundupkan ke dalam Kerajaan Hastina.
Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun menyuruh para panakawan agar pulang
saja ke Kerajaan Amarta, sedangkan ia sendirian melesat pergi dengan mengerahkan Aji
Seipi Angin, sambil menggendong putrinya yang baru lahir tersebut.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN BAYINYA KEPADA ENDANG MANUHARA
Raden Arjuna teringat bahwa dirinya memiliki seorang istri paminggir yang tinggal di
Padepokan Andongsumawi, yaitu Endang Manuhara putri Resi Sidiwacana. Mereka
pertama kali bertemu saat Raden Arjuna terlempar oleh kesaktian Patih Sekiputantra dalam
pertempuran di Kahyangan Suralaya dulu. Saat itu Raden Arjuna jatuh pingsan dan dirawat
sampai sembuh oleh Resi Sidiwacana dan Endang Manuhara. Kemudian Raden Arjuna pun
menikah dengan gadis itu dan untuk sementara waktu tinggal di Padepokan
Andongsumawi. Hingga pada suatu hari, Adipati Karna datang menjemput Raden Arjuna
untuk menjadi juru rias pengantin Dewi Banuwati di Kerajaan Mandraka. Ketika Raden
Arjuna pergi meninggalkan Padepokan Andongsumawi, saat itu Endang Manuhara sedang
mengandung usia tiga bulan.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna yakin saat ini istrinya tersebut pasti sudah melahirkan. Ia pun bergegas
menuju Padepokan Andongsumawi dan berhasil sampai di sana. Dilihatnya Endang
Manuhara sedang berdiri di depan bangunan padepokan sambil menggendong seorang
bayi perempuan pula.
Raden Arjuna pun disambut hangat oleh istrinya itu. Endang Manuhara segera
memperkenalkan bayi yang ia gendong merupakan putri hasil perkawinan mereka. Bayi
perempuan tersebut telah diberi nama Endang Pregiwa oleh kakeknya. Raden Arjuna
sangat terharu memandang anak pertamanya. Ia pun menggendong bayi tersebut sekaligus
dengan bayi perempuan yang ia bawa, masing-masing di lengan kanan dan kiri.
Endang Manuhara lalu bertanya siapa bayi perempuan yang satunya lagi. Raden
Arjuna menjawab malu-malu bahwa ini adalah putrinya sendiri yang dilahirkan oleh Dewi
Banuwati. Endang Manuhara heran mendengarnya. Ia masih ingat dulu Adipati Karna
datang menjemput suaminya untuk menjadi juru rias Dewi Banuwati yang akan menikah
dengan Prabu Duryudana. Namun, mengapa sekarang justru Dewi Banuwati melahirkan
anak perempuan Raden Arjuna?
Raden Arjuna pun menjelaskan bahwa sebelum dijodohkan dengan Prabu Duryudana,
Dewi Banuwati pernah menjalin hubungan asmara dengannya. Menjelang upacara
pernikahannya, Dewi Banuwati sengaja meminta disediakan seorang juru rias yang tampan
tanpa cacat. Maksudnya ialah, agar Prabu Duryudana menghadirkan Raden Arjuna
kepadanya. Rupa-rupanya Dewi Banuwati ingin berpamitan dengan kekasihnya tersebut.
Demikianlah, Raden Arjuna dan Dewi Banuwati pun hanya berdua di dalam kamar.
Dalam pertemuan itu Dewi Banuwati mengutarakan isi hatinya hingga membuat Raden
Arjuna terharu. Mereka pun saling menangis sedih hingga akhirnya sama-sama terlena oleh
nafsu. Begitulah ceritanya, Dewi Banuwati akhirnya melakukan hubungan badan dengan
Raden Arjuna sesaat sebelum menikah dengan Prabu Duryudana.
Akibat hubungan tersebut, Dewi Banuwati pun mengandung hingga akhirnya kini
melahirkan. Rupa-rupanya Prabu Duryudana merasa curiga apakah benar bayi tersebut
adalah anaknya atau bukan. Maka, ia pun mengambil jalan tengah. Apabila yang lahir bayi
laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai putra. Namun, jika yang lahir bayi
perempuan, maka ia akan mengusir Dewi Banuwati karena yakin pasti bayi tersebut adalah
anak hasil perselingkuhan istrinya dengan Raden Arjuna.
Sudah menjadi takdir dewata ternyata bayi yang lahir memang perempuan. Dewi
Srutikanti kakak kandung Dewi Banuwati pun menyelamatkan bayi tersebut dan meminta
Raden Arjuna agar bertanggung jawab, jangan sampai adiknya diusir dari Kerajaan Hastina.
Raden Arjuna menerima bayi tersebut dan berniat menitipkannya kepada Endang
Manuhara di Padepokan Andongsumawi.
Mendengar itu, Endang Manuhara sangat kesal karena dirinya dijadikan sebagai
tempat penitipan belaka. Sang suami berbuat selingkuh dengan wanita lain, namun ia yang
harus ikut bertanggung jawab pula. Endang Manuhara merasa berat jika harus mengasuh
anak hasil perselingkuhan mereka. Namun, tiba-tiba si bayi putri Dewi Banuwati menangis
karena lapar. Seketika sifat keibuan Endang Manuhara pun tergugah. Ia segera mengambil
bayi perempuan tersebut dari tangan Raden Arjuna dan menyusuinya.
Bayi perempuan tersebut langsung diam dan meneguk air susu Endang Manuhara
dengan lahap. Melihat wajah si bayi yang polos dan cantik, Endang Manuhara yang tadinya
kesal berubah menjadi senang, seolah dirinya kini memiliki dua orang anak sekaligus. Ia
pun bersedia merawat bayi tersebut dan menjadikannya sebagai adik Endang Pregiwa.
Endang Manuhara lalu memberi nama putri barunya itu, Endang Pregiwati.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna setuju dan juga sangat bahagia atas ketulusan hati sang istri. Kini ia
merasa lega karena masalah pertama sudah teratasi. Sekarang tinggal masalah kedua,
yaitu mencari bayi laki-laki untuk diserahkan kepada Dewi Banuwati. Endang Manuhara
seketika teringat bahwa sang ayah, yaitu Resi Sidiwacana hari ini sedang mengunjungi
kawan lamanya, yaitu Nyai Clekutana di Hutan Pringgabaya. Konon kabarnya, putri Nyai
Clekutana yang bernama Mirahdinebak baru saja melahirkan bayi laki-laki tanpa ayah.
Mendengar itu, Raden Arjuna segera mohon pamit kepada sang istri untuk kemudian
bergegas menuju Hutan Pringgabaya.
RADEN ARJUNA MEMINTA ANAK MIRAHDINEBAK
Dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, Raden Arjuna pun sampai di tempat tinggal
Nyai Clekutana dalam waktu singkat. Bagaimanapun juga ia pernah datang ke tempat itu
bersama Adipati Karna untuk mencari seekor gajah putih sebagai syarat pernikahan Prabu
Duryudana. Itulah sebabnya, Raden Arjuna dapat langsung menemukan rumah Nyai
Clekutana. Tampak di sana Mirahdinebak sedang menggendong seorang bayi laki-laki.
Resi Sidiwacana juga masih berada di tempat itu untuk mengucapkan selamat atas
kelahiran cucu sahabatnya.
Resi Sidiwacana bertanya ada keperluan apa menantunya datang menyusul. Raden
Arjuna berterus terang menceritakan Prabu Duryudana telah mencurigai istrinya, yaitu Dewi
Banuwati berbuat selingkuh. Prabu Duryudana pun bersumpah jika istrinya melahirkan bayi
perempuan maka akan diusir kedua-duanya dari Kerajaan Hastina, namun jika melahirkan
bayi laki-laki maka akan diakui sebagai anak. Sungguh kebetulan yang lahir adalah
perempuan. Maka, Raden Arjuna pun mengambil dan menitipkan bayi itu agar diasuh oleh
Endang Manuhara yang baru saja melahirkan Endang Pregiwa. Bayi tersebut telah diterima
oleh Endang Manuhara dan diberi nama Endang Pregiwati.
Kini kedatangan Raden Arjuna ke Hutan Pringgabaya adalah untuk meminta bayi laki-
laki yang baru saja dilahirkan oleh Mirahdinebak. Bayi tersebut rencananya akan diserahkan
kepada Dewi Banuwati agar diakui sebagai anak Prabu Duryudana. Nyai Clekutana merasa
permintaan ini sangat aneh dan ia tidak rela jika cucunya harus dibawa oleh Raden Arjuna.
Mirahdinebak sendiri tergetar mendengarnya. Selama ini ia menjaga rahasia siapa
sebenarnya ayah dari bayi yang ia lahirkan tersebut. Hari ini ia terpaksa bercerita kepada
Nyai Clekutana dan Resi Sidiwacana bahwa bayinya adalah putra Prabu Duryudana raja
Hastina. Awal mulanya ialah Prabu Duryudana handak meminjam gajah putih peliharaan
Mirahdinebak sebagai syarat pernikahannya dengan Dewi Banuwati. Mirahdinebak
bersedia menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk menjadi milik Prabu Duryudana
selamanya, asalkan mereka bersetubuh terlebih dahulu. Prabu Duryudana menerima syarat
tersebut. Demikianlah awal mula mengapa Mirahdinebak dapat mengandung anak Prabu
Duryudana.
Raden Arjuna merasa kesal mendengarnya, karena Prabu Duryudana menuduh Dewi
Banuwati berselingkuh, padahal dirinya sendiri juga berhubungan badan dengan
Mirahdinebak. Raden Arjuna lalu memohon agar Mirahdinebak bersedia menyerahkan bayi
laki-laki itu kepadanya demi menyelamatkan nasib Dewi Banuwati.
Sebagai seorang ibu, Mirahdinebak sebenarnya sangat sayang kepada putranya.
Namun, sebagai sesama wanita, ia merasa kasihan pada nasib Dewi Banuwati. Setelah
ditimbang-timbang, ia akhirnya merelakan Raden Arjuna membawa putranya untuk
diserahkan kepada Dewi Banuwati. Lagipula putranya itu adalah anak kandung Prabu
Duryudana, tentunya lebih baik jika mendapat penghidupan yang layak di dalam istana
bersama ayahnya.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna sangat berterima kasih dan menggendong bayi laki-laki tersebut. Ia lalu
mohon pamit kepada Nyai Clekutana dan Mirahdinebak, begitu pula Resi Sidiwacana juga
berpamitan kepada ibu dan anak tersebut. Mereka lalu pergi ke tujuan masing-masing.
Raden Arjuna menuju Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Sidiwacana pulang ke Padepokan
Andongsumawi.
RESI DRUNA MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA
Sementara itu di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa sedang dihadap Arya
Wrekodara, si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng
dan para panakawan. Tiba-tiba datang Resi Druna menemui mereka. Prabu Puntadewa
pun menyambut kedatangan sang guru dan bertanya ada keperluan apa. Resi Druna
berkata bahwa Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap Kurawa
telah pergi menyerang Kerajaan Saroja menghadapi Prabu Mandrajaya yang berniat
merebut Dewi Banuwati. Namun, dalam peperangan itu mereka jatuh ke dalam perangkap
musuh yang dipasang secara licik. Kini, Prabu Duryudana, Adipati Karna, dan Patih
Sangkuni menjadi tawanan Prabu Mandrajaya.
Resi Druna yang mengawasi dari kejauhan segera pergi untuk meminta bantuan.
Untuk itulah ia sengaja datang ke istana Indraprasta untuk meminta pertolongan Prabu
Puntadewa dan saudara-saudaranya agar bersedia membebaskan Prabu Duryudana dan
yang lain.
Arya Wrekodara menanggapi bahwa itu semua adalah akibat ulah Prabu Duryudana
sendiri. Prabu Duryudana terlalu sombong menyerang Kerajaan Saroja. Kesombongannya
itulah yang membuat dirinya celaka. Selain itu Prabu Duryudana juga sering berbuat licik
kepada para Pandawa, maka pantas jika hari ini mendapat balasan setimpal dari Prabu
Mandrajaya yang sama-sama licik. Oleh sebab itu, ia menyatakan tidak sudi pergi
membantu.
Prabu Puntadewa menasihati Arya Wrekodara agar jangan bersikap demikian.
Bagaimanapun juga Kerajaan Hastina adalah tanah air dan kampung halaman para
Pandawa. Saat ini raja Hastina sedang kesusahan, sudah seharusnya para Pandawa turun
tangan membantu. Apabila Prabu Duryudana tidak dibebaskan, Kerajaan Hastina akan
menjadi kacau karena tidak memiliki pemimpin. Keributan bisa terjadi di mana-mana, dan
yang paling menderita sudah pasti rakyat jelata.
Arya Wrekodara menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia membantu
membebaskan Prabu Duryudana dan kawan-kawan. Ia kemudian mohon pamit kepada
sang kakak sulung, lalu berangkat bersama Resi Druna. Para panakawan yang tadi
diperintahkan pulang oleh Raden Arjuna, kini ikut berangkat pula menyertai Arya Wrekodara
menuju Kerajaan Saroja.
ARYA WREKODARA MENGALAHKAN PRABU MANDRAJAYA
Arya Wrekodara dan Resi Druna telah sampai di Kerajaan Saroja. Prabu Mandrajaya
pun keluar menghadapi mereka. Resi Druna menantang raja tersebut untuk menghadapi
muridnya yang baru datang ini. Jika Prabu Mandrajaya kalah, maka Prabu Duryudana dan
semua pengikutnya harus dibebaskan. Namun, apabila Arya Wrekodara yang kalah, maka
Prabu Mandrajaya berhak mendapatkan Dewi Banuwati lengkap dengan seluruh Kerajaan
Hastina.
Prabu Mandrajaya sepakat. Ia lalu mengangkat gada untuk melayani tantangan Arya
Wrekodara. Di lain pihak, Arya Wrekodara juga sudah siap dengan senjata Gada Rujakpolo
di tangan. Mereka pun maju dan saling menyerang. Pertarungan sengit pun terjadi.
KITAB WAYANG PURWA

Sungguh dahsyat perkelahian mereka hingga banyak bangunan istana Saroja yang rusak
terkena pukulan gada.
Prabu Mandrajaya akhirnya lengah karena melihat istanya rusak dihantam gada Arya
Wrekodara. Akibatnya, Gada Rujuakpolo pun mendarat di kepalanya. Prabu Mandrajaya
roboh seketika. Ia bersumpah sukmanya akan menyatu dengan putra Prabu Duryudana,
agar selalu menjadi musuh anak-anak para Pandawa. Usai berkata demikian, Prabu
Mandrajaya pun meninggal dunia. Rohnya keluar meninggalkan raga naik ke angkasa
dalam wujud seberkas sinar.
Resi Druna pun bergegas membebaskan Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih
Sangkuni, dan para Kurawa lainnya dari dalam penjara. Prabu Duryudana sangat malu
karena dirinya dibebaskan oleh Arya Wrekodara yang selama ini dianggapnya sebagai
musuh. Namun, Resi Druna menasihati sang raja agar menenangkan diri. Yang terpenting
saat ini Kerajaan Saroja sudah menjadi taklukan Kerajaan Hastina dan itu berarti wilayah
Kerajaan Hastina menjadi jauh lebih luas lagi.
Prabu Duryudana merasa senang. Ia lalu mengajak Arya Wrekodara ikut kembali ke
Kerajaan Hastina di mana ia berniat menjamu sepupunya itu sebagai ungkapan terima
kasih. Resi Druna meminta Arya Wrekodara memenuhi undangan tersebut dan tidak perlu
khawatir karena dirinya yang akan menjamin para Kurawa tidak akan berbuat jahat. Arya
Wrekodara menyatakan bersedia. Ia sama sekali tidak takut Prabu Duryudana meracuni
makanannya, karena sejak meminum air pusaka Tirtamanik Rasakunda pemberian Batara
Basuki, dirinya kini menjadi kebal terhadap segala jenis racun.
Demikianlah, Prabu Duryudana bersama seluruh rombongan kemudian pulang ke
Kerajaan Hastina dengan penuh kegembiraan.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN ANAK MIRAHDINEBAK KEPADA DEWI
BANUWATI
Sementara itu, Raden Arjuna telah menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan
Hastina dan menemui Dewi Srutikanti. Saat itu Dewi Banuwati telah bangun dari pingsan
dan bertanya bagaimana keadaan putrinya. Raden Arjuna menjawab bahwa sang putri kecil
baik-baik saja, dan kini berada dalam asuhan istrinya yang bernama Endang Manuhara.
Dewi Banuwati sangat bersyukur dan berterima kasih atas segala bantuan Raden Arjuna.
Dewi Srutikanti berkata tidak perlu berterima kasih, karena bagaimanapun juga Raden
Arjuna adalah ayah kandung si bayi. Raden Arjuna sudah berbuat, maka harus ikut
bertanggung jawab. Demikianlah, sejak dulu Dewi Srutikanti memang tidak pernah suka
kepada Raden Arjuna, sungguh berbeda dengan para wanita kebanyakan.
Dewi Srutikanti lalu bertanya, siapa bayi laki-laki yang digendong Raden Arjuna
sekarang. Raden Arjuna menjawab, bayi laki-laki ini adalah putra kandung Prabu
Duryudana sendiri. Dahulu ketika hendak menikah, Dewi Banuwati mengajukan syarat agar
Prabu Duryudana menyediakan seekor gajah putih dengan pawang wanita sebagai
kendaraan pengantin. Prabu Duryudana berhasil mendapatkan Gajah Murdaningkung,
tetapi syaratnya harus mau berhubungan badan lebih dulu dengan si pawang yang bernama
Mirahdinebak. Demikianlah, bayi laki-laki ini adalah buah dari persetubuhan mereka.
Dewi Banuwati menerima bayi laki-laki itu sambil menggerutu, bahwa Prabu
Duryudana telah menuduhnya sudah tidak perawan saat menikah, padahal suaminya itu
ternyata juga tidak perjaka saat menikah dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar. Ternyata rombongan Prabu Duryudana
telah tiba di Kerajaan Hastina dan mendapat sambutan meriah atas kemenangannya
mengalahkan Prabu Mandrajaya. Menyadari hal itu, Raden Arjuna segera mohon pamit
KITAB WAYANG PURWA

untuk menghindar jangan sampai dirinya ketahuan masuk ke dalam kedaton. Dewi
Banuwati merasa berat untuk melepas kepergian mantan kekasihnya itu. Namun, Dewi
Srutikanti dengan tegas mengatakan bahwa Raden Arjuna sudah berjanji untuk tidak lagi
mengganggu rumah tangga Dewi Banuwati dan Prabu Duryudana. Janji tersebut harus
dipegang teguh. Raden Arjuna menjawab dirinya tidak akan melanggar janji ini. Namun
kelak, jika Prabu Duryudana sudah meninggal, maka ia akan datang untuk menjemput dan
memboyong Dewi Banuwati.
Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun melesat pergi meninggalkan istana
Kerajaan Hastina.
PRABU DURYUDANA MENGAKUI RADEN LESMANA SEBAGAI PUTRA
Prabu Duryudana dan rombongan telah memasuki istana dan mereka pun disambut
Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti. Prabu Duryudana langsung bertanya apakah Dewi
Banuwati melahirkan bayi laki-laki atau perempuan. Dewi Banuwati menyerahkan bayi yang
ia gendong untuk diperiksa sendiri oleh Prabu Duryudana. Prabu Duryudana pun menerima
bayi itu dan alangkah bahagia dirinya setelah melihat kelamin si bayi ternyata laki-laki.
Patih Sangkuni menanggapi dengan sinis agar Prabu Duryudana jangan buru-buru
senang dulu. Bisa jadi Dewi Banuwati melahirkan bayi perempuan namun kemudian ditukar
dengan bayi laki-laki anak orang lain. Mendengar itu, Dewi Banuwati segera mempersilakan
Patih Sangkuni untuk melihat langsung, wajah bayi tersebut mirip siapa, apakah mirip Prabu
Duryudana ataukah mirip orang lain?
Patih Sangkuni maju dan memeriksa. Alangkah terkejut dirinya ternyata wajah si bayi
memang sangat mirip dengan Prabu Duryudana. Kini ia tidak ragu lagi dan menyarankan
agar Prabu Duryudana menerima bayi tersebut sebagai putra.
Prabu Duryudana sangat bahagia setelah mendapat kepastian dari sang paman. Ia
pun menggendong bayi tersebut dengan penuh kegembiraan. Ia juga meminta maaf karena
selama ini telah mencurigai Dewi Banuwati. Mulai hari ini ia berjanji akan selalu sayang
kepada istrinya itu dan bersumpah tidak akan menikah lagi untuk selamanya, juga tidak
akan mengambil selir sama sekali. Dewi Banuwati merasa sangat bahagia mendengarnya,
dan ia pun menoleh kepada Dewi Srutikanti dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan itu menyarankan agar Prabu Duryudana
segera memberi nama putranya. Prabu Duryudana merasa bingung tidak tahu harus
memberi nama apa karena selama ini ia yakin Dewi Banuwati pasti berselingkuh dan
melahirkan anak perempuan. Untuk itu, ia menyerahkan kepada sang istri, terserah putra
mereka akan diberi nama siapa.
Dewi Banuwati pun berkata bahwa di zaman kuno ada seorang kesatria sakti bernama
Raden Lesmana yang selalu melindungi Prabu Sri Rama. Kesatria ini sangat hebat dan juga
seorang pemanah jitu. Bahkan, Prabu Sri Rama yang merupakan titisan Batara Wisnu pun
merasa banyak berhutang budi kepadanya. Oleh sebab itu, Dewi Banuwati mengusulkan
agar si bayi diberi nama Raden Lesmana saja. Prabu Duryudana merasa senang
mendengarnya dan menerima nama tersebut sebagai nama putranya.
Patih Sangkuni tiba-tiba teringat sesuatu dan segera menyela. Ia mengatakan bahwa
menurut dongeng yang pernah ia dengar, Raden Lesmana berwajah sangat tampan dan
juga pandai memanah. Jangan-jangan Dewi Banuwati memilih nama itu karena terbayang-
bayang Raden Arjuna yang juga berwajah tampan dan mahir memanah. Mendengar
hasutan sang paman, Prabu Duryudana menjadi bimbang dan bertanya kepada Dewi
Banuwati apa benar memiliki niat demikian.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Banuwati merasa bingung hendak menjawab apa. Dalam hati ia membenarkan,
bahwa dirinya memilih nama Raden Lesmana karena kesatria tersebut memang tokoh di
zaman kuno yang kepandaian dan wajahnya mengingatkan pada Raden Arjuna, mantan
kekasihnya.
Kyai Semar yang ikut mendampingi Arya Wrekodara segera menengahi. Ia berkata
bahwa Raden Lesmana memang mirip Raden Arjuna dalam hal ketampanan dan
kepandaian memanah. Namun, keduanya berbeda sifat. Raden Lesmana tidak menikah
seumur hidup, sedangkan Raden Arjuna sudah memiliki dua orang istri, yaitu istri paminggir
bernama Endang Manuhara, dan istri padmi bernama Dewi Sumbadra. Maka, tidak
sepantasnya Prabu Duryudana mencurigai Dewi Banuwati hanya karena masalah nama.
Lagipula Prabu Duryudana seorang raja besar. Apa yang sudah diputuskan olehnya tidak
baik jika dicabut kembali.
Mengingat usia Kyai Semar yang sudah ratusan tahun dan juga memiliki wawasan
luas, Prabu Duryudana pun mererima saran darinya. Lagipula ia sudah terlanjur suka pada
nama Raden Lesmana yang dianggapnya sangat bagus, sehingga tidak perlu diganti lagi.
Maka, ia pun menetapkan putranya tetap memakai nama ini, dengan harapan kelak si bayi
akan tumbuh menjadi seorang kesatria hebat seperti adik Prabu Sri Rama tersebut.
ROH PRABU MANDRAJAYA MENITIS KEPADA RADEN LESMANA
Ketika Prabu Duryudana sedang bergembira menggendong putranya, tiba-tiba dari
angkasa melayang turun seberkas sinar yang langsung masuk dan bersatu pada diri Raden
Lesmana. Seketika mata Raden Lesmana menjadi lebih lebar dan melotot, serta raut
wajahnya menjadi tampak bodoh, kadang tertawa sendiri, kadang menangis sendiri.
Menyaksikan hal itu, Resi Druna segera teringat sesuatu. Ia pun bercerita bahwa
sebelum meninggal, Prabu Mandrajaya bersumpah dirinya akan menitis kepada putra Prabu
Duryudana. Maka, seberkas sinar tadi pastilah roh Prabu Mandrajaya tersebut yang datang
untuk memenuhi ucapannya.
Prabu Duryudana merasa gemetar. Itu berarti putranya adalah titisan musuh. Resi
Druna menasihati sang raja agar tidak perlu takut. Prabu Mandrajaya kini terlahir kembali
sebagai Raden Lesmana bukan berarti menjadi musuh, tetapi bisa jadi ini menjadi sarana
baginya untuk menebus dosa. Jika sewaktu hidupnya, Prabu Mandrajaya pernah
menangkap dan memenjarakan Prabu Duryudana, maka kini ia menitis menjadi putra yang
selalu melayani dan menyembah kaki Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana merasa senang mendengar bekas musuhnya kelak akan
menyembah kakinya sebagai putra. Maka, ia pun menambah nama putranya menjadi
Raden Lesmana Mandrakumara, yang memiliki arti yaitu, Raden Lesmana titisan roh Prabu
Mandra.
Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar, ternyata Patih Mandradenta
datang membawa pasukan Saroja untuk melakukan bela pati, yaitu ingin bertempur sampai
mati menyusul Prabu Mandrajaya. Arya Wrekodara segera keluar dan menaklukkan
pasukan dari Kerajaan Saroja tersebut. Patih Mandradenta tidak dibunuh, melainkan
ditangkap dan dihadapkan kepada Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana yang hari ini sedang berbahagia atas kelahiran putranya, tidak mau
menjatuhkan hukuman mati kepada pasukan Saroja. Ia pun mengampuni Patih
Mandradenta dan memerintahkannya untuk membangun kembali istana Kerajaan Saroja,
dan mengganti namanya menjadi Sarojabinangun. Artinya ialah, Kerajaan Saroja yang
dibangun kembali. Kelak Sarojabinangun hendaknya menjadi tempat tinggal putranya
KITAB WAYANG PURWA

setelah dewasa, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara. Patih Mandradenta mematuhi dan
berterima kasih atas kemurahan hati Prabu Duryudana kepadanya.
Demikianlah, Prabu Duryudana pun berpesta tujuh hari - tujuh malam merayakan
kelahiran putranya. Arya Wrekodara yang ikut dijamu sebagai pahlawan selalu bersikap
waspada dan berhati-hati, jangan-jangan para Kurawa berbuat licik kepadanya. Setelah
dirasa cukup, ia pun pamit pulang ke Kerajaan Amarta bersama para panakawan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

UDAWA SAYEMBARA
Kisah ini menceritakan tentang Patih Udawa yang mengadakan sayembara tanding
untuk memperebutkan adiknya, yaitu Niken Larasati. Sayembara ini akhirnya
dimenangkan oleh Dewi Sumbadra yang menyerahkan Niken Larasati kepada Raden
Arjuna. Kelak dari perkawinan mereka lahir seorang putra yang diberi nama Raden
Bratalaras.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo yang saya padukan dengan rubrik pedhalangan di Majalah Panjebar
Semangat, disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 Februari 2017
Heri Purwanto

Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Patih
Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan Raden Kartawarma dari
Tirtatinalang. Di paseban luar, para Kurawa yang dipimpin Arya Dursasana satria
Banjarjunut juga telah duduk bersiaga menunggu perintah. Hari itu Prabu Duryudana
tampak menerima pula kedatangan Prabu Baladewa, sang kakak ipar dari Kerajaan
Mandura.
Prabu Baladewa telah menerima surat dari Prabu Duryudana yang mengabarkan
tentang adik ipar mereka, yaitu Raden Burisrawa, yang saat ini sedang sakit dan tinggal di
Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana bercerita bahwa sejak gagal menikah dengan Dewi
Wara Sumbadra, Raden Burisrawa tidak pernah lagi pulang ke Kerajaan Mandraka,
melainkan pergi berkelana tak tentu arah seperti orang gila. Hingga akhirnya pada suatu
hari ia ditemukan di jalan oleh para Kurawa. Raden Burisrawa ditawari hendak diantarkan
pulang ke Mandraka tetapi menolak. Ia memilih lebih baik tinggal di Kerajaan Hastina
bersama kakaknya, yaitu Dewi Banuwati.
Sesampainya di istana Hastina, Raden Burisrawa selalu saja menyebut-nyebut nama
Dewi Sumbadra. Dewi Banuwati menasihatinya agar melupakan wanita itu karena sudah
menjadi istri Raden Arjuna. Nasihat tersebut justru membuat Raden Burisrawa semakin
kurang waras dan tubuhnya ikut sakit pula.
Prabu Duryudana melihat sumber penyakit adik iparnya itu berhubungan dengan Dewi
Sumbadra. Maka, ia pun berkirim surat kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura yang
merupakan kakak sulung Dewi Sumbadra, agar segera datang ke Kerajaan Hastina untuk
menjenguk dan membantu mengupayakan kesembuhan Raden Burisrawa.

PRABU BALADEWA BERNIAT MELAMARKAN NIKEN LARASATI UNTUK RADEN


BURISRAWA
Prabu Baladewa kini telah datang dan ia merasa prihatin atas keadaan Raden
Burisrawa. Prabu Duryudana pun mengajaknya masuk ke dalam kedaton. Kedua raja itu
masuk bersama-sama hingga mereka sampai di kamar tempat Raden Burisrawa sedang
tidur dengan ditunggui Dewi Banuwati.
Melihat kedua raja itu datang, Dewi Banuwati segera menyambut mereka dan juga
membangunkan adiknya. Raden Burisrawa bangun tetapi tidak memberi hormat, melainkan
bicara tak keruan dengan menyebut-nyebut nama Dewi Sumbadra yang gagal ia nikahi.
Prabu Baladewa menasihati Raden Burisrawa agar melupakan Dewi Sumbadra. Ia
juga bersedia mengantarkan adik iparnya itu pulang ke Kerajaan Mandraka. Namun, Raden
Burisrawa menolak karena sejak awal dirinya tidak suka tinggal di dalam istana. Meskipun
KITAB WAYANG PURWA

sang ayah, yaitu Prabu Salya telah membuatkan kesatrian bernama Madyapura untuknya,
namun Raden Burisrawa lebih suka tinggal di dalam hutan. Hal itu karena ia memiliki wajah
raksasa, mirip seperti mendiang kakeknya, yaitu Resi Bagaspati. Mulutnya yang bertaring
sering menjadi bahan pembicaraan para abdi, sehingga membuat Raden Burisrawa tidak
betah tinggal di kesatrian dan lebih senang hidup di hutan. Sehari-hari ia pun berlatih tarung
melawan segala macam binatang buas.
Hingga pada suatu hari Raden Burisrawa dipanggil ke istana untuk menyaksikan
upacara pernikahan kakak sulungnya, yaitu Dewi Erawati dengan Prabu Baladewa. Saat
itulah pertama kalinya ia melihat Dewi Sumbadra yang bertindak sebagai patah
sakembaran, memegang kembar mayang bersama Dewi Jembawati, mengiringi kedua
mempelai. Seketika Raden Burisrawa pun jatuh cinta, tetapi dipendam dalam hati karena
kurang percaya diri pada wajahnya yang buruk rupa. Pertemuan kedua adalah saat Dewi
Sumbadra hadir menyaksikan upacara pernikahan Dewi Banuwati dengan Prabu
Duryudana, saat itulah Raden Burisrawa berani menunjukkan perasaannya kepada Dewi
Sumbadra.

Patih Udawa

PRABU BALADEWA MENJENGUK RADEN BURISRAWA YANG SAKIT DI HASTINA


Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Patih
Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan Raden Kartawarma dari
Tirtatinalang. Di paseban luar, para Kurawa yang dipimpin Arya Dursasana satria
Banjarjunut juga telah duduk bersiaga menunggu perintah. Hari itu Prabu Duryudana
tampak menerima pula kedatangan Prabu Baladewa, sang kakak ipar dari Kerajaan
Mandura.
Prabu Baladewa telah menerima surat dari Prabu Duryudana yang mengabarkan
tentang adik ipar mereka, yaitu Raden Burisrawa, yang saat ini sedang sakit dan tinggal di
Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana bercerita bahwa sejak gagal menikah dengan Dewi
Wara Sumbadra, Raden Burisrawa tidak pernah lagi pulang ke Kerajaan Mandraka,
melainkan pergi berkelana tak tentu arah seperti orang gila. Hingga akhirnya pada suatu
hari ia ditemukan di jalan oleh para Kurawa. Raden Burisrawa ditawari hendak diantarkan
KITAB WAYANG PURWA

pulang ke Mandraka tetapi menolak. Ia memilih lebih baik tinggal di Kerajaan Hastina
bersama kakaknya, yaitu Dewi Banuwati.
Sesampainya di istana Hastina, Raden Burisrawa selalu saja menyebut-nyebut nama
Dewi Sumbadra. Dewi Banuwati menasihatinya agar melupakan wanita itu karena sudah
menjadi istri Raden Arjuna. Nasihat tersebut justru membuat Raden Burisrawa semakin
kurang waras dan tubuhnya ikut sakit pula.
Prabu Duryudana melihat sumber penyakit adik iparnya itu berhubungan dengan Dewi
Sumbadra. Maka, ia pun berkirim surat kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura yang
merupakan kakak sulung Dewi Sumbadra, agar segera datang ke Kerajaan Hastina untuk
menjenguk dan membantu mengupayakan kesembuhan Raden Burisrawa.

PRABU BALADEWA BERNIAT MELAMARKAN NIKEN LARASATI UNTUK RADEN


BURISRAWA
Prabu Baladewa kini telah datang dan ia merasa prihatin atas keadaan Raden
Burisrawa. Prabu Duryudana pun mengajaknya masuk ke dalam kedaton. Kedua raja itu
masuk bersama-sama hingga mereka sampai di kamar tempat Raden Burisrawa sedang
tidur dengan ditunggui Dewi Banuwati.
Melihat kedua raja itu datang, Dewi Banuwati segera menyambut mereka dan juga
membangunkan adiknya. Raden Burisrawa bangun tetapi tidak memberi hormat, melainkan
bicara tak keruan dengan menyebut-nyebut nama Dewi Sumbadra yang gagal ia nikahi.
Prabu Baladewa menasihati Raden Burisrawa agar melupakan Dewi Sumbadra. Ia
juga bersedia mengantarkan adik iparnya itu pulang ke Kerajaan Mandraka. Namun, Raden
Burisrawa menolak karena sejak awal dirinya tidak suka tinggal di dalam istana. Meskipun
sang ayah, yaitu Prabu Salya telah membuatkan kesatrian bernama Madyapura untuknya,
namun Raden Burisrawa lebih suka tinggal di dalam hutan. Hal itu karena ia memiliki wajah
raksasa, mirip seperti mendiang kakeknya, yaitu Resi Bagaspati. Mulutnya yang bertaring
sering menjadi bahan pembicaraan para abdi, sehingga membuat Raden Burisrawa tidak
betah tinggal di kesatrian dan lebih senang hidup di hutan. Sehari-hari ia pun berlatih tarung
melawan segala macam binatang buas.
Hingga pada suatu hari Raden Burisrawa dipanggil ke istana untuk menyaksikan
upacara pernikahan kakak sulungnya, yaitu Dewi Erawati dengan Prabu Baladewa. Saat
itulah pertama kalinya ia melihat Dewi Sumbadra yang bertindak sebagai patah
sakembaran, memegang kembar mayang bersama Dewi Jembawati, mengiringi kedua
mempelai. Seketika Raden Burisrawa pun jatuh cinta, tetapi dipendam dalam hati karena
kurang percaya diri pada wajahnya yang buruk rupa. Pertemuan kedua adalah saat Dewi
Sumbadra hadir menyaksikan upacara pernikahan Dewi Banuwati dengan Prabu
Duryudana, saat itulah Raden Burisrawa berani menunjukkan perasaannya kepada Dewi
Sumbadra.
Sayang sekali, Dewi Sumbadra sejak kecil sudah dijodohkan dengan sepupunya, yaitu
Raden Arjuna dari keluarga Pandawa. Maka, Raden Burisrawa pun meminta tolong kepada
Prabu Baladewa agar membantu dirinya. Prabu Baladewa yang segan terhadap mertuanya
(Prabu Salya), terpaksa mencari cara agar perjodohan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra
bisa dibatalkan. Ia pun mengajukan berbagai macam syarat berat, namun semuanya
ternyata bisa diwujudkan oleh Raden Arjuna. Prabu Baladewa tidak bisa berbuat apa-apa
lagi, melainkan ikut memberikan restu kepada kedua pengantin tersebut. Hal itulah yang
membuat Raden Burisrawa sakit hati. Ia pun mengamuk mengacau pesta, namun dirinya
dapat diringkus oleh Arya Setyaki dan diserahkan kepada Raden Gatutkaca. Kemudian
KITAB WAYANG PURWA

Raden Gatutkaca mengangkat tubuh Raden Burisrawa ke angkasa dan menjatuhkannya di


dalam hutan agar tidak membuat kekacauan lagi.
Demikianlah kisah sedih Raden Burisrawa yang membuatnya enggan pulang ke
Kerajaan Mandraka. Selama berbulan-bulan ini dirinya berkelana tak tentu arah, hingga
akhirnya ditemukan oleh para Kurawa dan dibawa ke istana Kerajaan Hastina.
Prabu Baladewa mendengar semua keluhan Raden Burisrawa dengan seksama dan
berkata bahwa dirinya sudah berusaha keras untuk menggagalkan lamaran Raden Arjuna.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Raden Arjuna berhasil mewujudkan semua
persyaratan berat yang diajukan, dan itu berarti dewata memang menghendakinya sebagai
jodoh Dewi Sumbadra. Oleh sebab itu, Prabu Baladewa menyarankan agar Raden
Burisrawa menikah dengan wanita lain saja, karena hanya dengan cara itulah kenangan
pada Dewi Sumbadra dapat terhapus dari pikiran.
Dewi Banuwati mendukung nasihat yang diucapkan Prabu Baladewa. Ia berkata
bahwa tidak ada gunanya memikirkan kekasih yang sudah menikah dengan orang lain.
Apabila Raden Burisrawa menikah dengan wanita lain, maka dengan sendirinya bayangan
Dewi Sumbadra akan terhapus dari ingatan. Raden Burisrawa pasti akan terhibur oleh cinta
dan perhatian yang diberikan oleh istrinya kelak.
Prabu Duryudana senang mendengar ucapan Dewi Banuwati. Ia pun bertanya apakah
dirinya sudah bisa menggantikan sosok Raden Arjuna yang dulu pernah ada dalam pikiran
Dewi Banuwati. Dewi Banuwati pun menjawab dengan ketus bahwa hal seperti itu tidak
pantas ditanyakan. Dirinya sudah sah menjadi istri Prabu Duryudana, lantas untuk apa lagi
memikirkan Raden Arjuna segala?
Prabu Duryudana semakin gembira mendengar jawaban istrinya. Ia pun ikut
menasihati Raden Burisrawa untuk segera menikah dengan wanita lain agar bisa
melupakan sosok Dewi Sumbadra. Raden Burisrawa menimbang-nimbang saran tersebut
dan akhirnya ia bersedia mencoba. Namun, ia mengajukan syarat bahwa wanita tersebut
harus sama cantiknya dengan Dewi Sumbadra, dan juga memiliki latar belakang kehidupan
yang sama pula.
Prabu Baladewa menjawab di dunia ini ada seorang perempuan yang memenuhi
syarat Raden Burisrawa. Ia berkata bahwa semasa kecil dirinya bersama Prabu Kresna dan
Dewi Sumbadra tinggal di Desa Widarakandang dalam asuhan Buyut Antyagopa dan Nyai
Sagopi. Kedua pasangan tersebut juga memiliki dua orang anak, yaitu Patih Udawa dan
Niken Larasati.
Meskipun hanya seorang gadis desa, namun Niken Larasati berwajah sangat cantik,
tidak kalah dengan Dewi Sumbadra. Mereka dulu sama-sama dibesarkan di Desa
Widarakandang bagaikan saudara kandung. Saat masih kecil, Dewi Sumbadra bernama
Rara Ireng, sedangkan Niken Larasati bernama Rara Sati. Memang ada desas-desus
bahwa Niken Larasati bukanlah putri kandung Buyut Antyagopa, melainkan hasil hubungan
Nyai Sagopi dengan salah seorang sentana Kerajaan Mandura. Namun, Prabu Baladewa
tidak mau membahas soal itu. Yang paling penting baginya ialah, Niken Larasati adalah
wanita yang sangat tepat untuk menggantikan sosok Dewi Sumbadra dari dalam pikiran
Raden Burisrawa. Mereka sama-sama cantik dan juga memiliki latar belakang yang sama
persis, yaitu sama-sama hidup dalam asuhan Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi.
Raden Burisrawa masih ragu-ragu dan ia pun bertanya apa saja yang menjadi
kelebihan Niken Larasati. Prabu Baladewa menjelaskan bahwa Niken Larasati tidak hanya
pandai dalam urusan mengelola rumah tangga, tetapi juga gemar mempelajari ilmu
keprajuritan, antara lain menunggang kuda dan berlatih panah. Mendengar itu, Raden
Burisrawa merasa tertarik. Ia membayangkan kelak jika dirinya sudah menikah dengan
KITAB WAYANG PURWA

Niken Larasati, tentu mereka bisa mengisi hari-hari dengan berlatih tanding bersama. Tanpa
pikir lagi, ia pun menyatakan bersedia menikah dengan gadis tersebut.
Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati segera memohon kepada Prabu Baladewa agar
membantu melamarkan Niken Larasati untuk menjadi istri Raden Burisrawa. Prabu
Baladewa berkata bahwa Niken Larasati telah diboyong Dewi Sumbadra untuk
menemaninya tinggal di Kesatrian Madukara, karena Raden Arjuna sering pergi berkelana.
Namun, berita terbaru mengatakan, Patih Udawa telah menjemput pulang Niken Larasati
ke Desa Widarakandang untuk dicarikan suami. Bahkan, Patih Udawa juga telah membagi-
bagikan selebaran di mana-mana bahwa ia mengadakan sayembara tanding demi
memperebutkan adiknya tersebut.
Prabu Duryudana merasa yakin bahwa Patih Udawa tentu segan bila berhadapan
dengan Prabu Baladewa, dan Niken Larasati pasti akan langsung diserahkan tanpa perlu
bertanding segala. Prabu Baladewa pun berharap demikian. Ia lalu mohon pamit kepada
Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati untuk berangkat ke Desa Widarakandang saat itu
juga.

PRABU KRESNA MENGUNJUNGI DESA WIDARAKANDANG


Sementara itu di Desa Widarakandang, Nyai Sagopi sedang menegur putranya, yaitu
Patih Udawa yang sudah cukup lama tidak menghadap ke Kerajaan Dwarawati dan
melalaikan tugasnya sebagai menteri utama. Selain itu, Patih Udawa juga sibuk
membangun sebuah gelanggang tanding, di mana sebelumnya ia telah membagi-bagikan
banyak selebaran yang ditempel di pepohonan ataupun di tempat-tempat keramaian.
Selebaran itu berbunyi: Barangsiapa bisa mengalahkan dirinya dalam sayembara tanding,
maka berhak memboyong adiknya yang bernama Niken Larasati sebagai istri.
Nyai Sagopi merasa perbuatan Patih Udawa terlalu berlebihan. Niken Larasati
hanyalah gadis desa biasa, mengapa harus dibuatkan sayembara seperti layaknya seorang
putri raja segala? Bukankah hal ini hanya akan menjadi bahan tertawaan banyak orang?
Patih Udawa tidak setuju pada ibunya karena Niken Larasati bukanlah seorang gadis
desa biasa. Ia mengaku sudah tahu kalau adiknya itu bukan anak kandung Buyut
Antyagopa, melainkan buah perbuatan Prabu Bismaka raja Kumbina (saat masih bernama
Aryaprabu Rukma) kepada Nyai Sagopi. Sekarang Buyut Antyagopa sudah meninggal,
sedangkan Prabu Bismaka juga dilarang oleh dewata untuk mengakui Niken Larasati
sebagai anaknya. Oleh sebab itu, mau tidak mau Patih Udawa harus bertindak sebagai wali
bagi adiknya tersebut. Sudah menjadi tradisi bahwa seorang kakak harus mencarikan jodoh
yang tepat bagi adiknya. Maka, sayembara tanding adalah salah satu cara untuk
mewujudkan hal itu.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba datang Prabu Kresna Wasudewa didampingi Arya
Setyaki dari Kerajaan Dwarawati. Nyai Sagopi dan Patih Udawa segera menyambut hormat
kedatangan mereka. Setelah saling bertanya kabar, Prabu Kresna langsung memberikan
teguran kepada Patih Udawa karena sudah cukup lama melalaikan tugasnya sebagai
menteri utama Kerajaan Dwarawati. Sudah satu bulan ini Patih Udawa tidak hadir di balai
penghadapan, juga tidak hadir memimpin para menteri dan punggawa untuk menjalankan
roda pemerintahan. Apabila tetap demikian, maka Prabu Kresna tidak segan-segan
menjatuhkan hukuman setimpal kepadanya.
Patih Udawa memohon ampun dan menjawab terus terang bahwa dirinya masih sibuk
memikirkan nasib sang adik, yaitu Niken Larasati. Kelima putra-putri yang diasuh Buyut
Antyagopa dan Nyai Sagopi kini telah dewasa semua, dan empat di antaranya sudah
mendapatkan derajat tinggi. Patih Udawa yang paling tua menjadi menteri utama di
KITAB WAYANG PURWA

Kerajaan Dwarawati; Kakrasana telah mewarisi takhta Kerajaan Mandura dengan bergelar
Prabu Baladewa; Narayana telah menjadi raja di Kerajaan Dwarawati dengan bergelar
Prabu Kresna Wasudewa; sedangkan Rara ireng kini bernama Dewi Wara Sumbadra telah
menjadi istri padmi satria Panengah Pandawa di Madukara, yaitu Raden Arjuna. Hanya si
bungsu Niken Larasati yang belum mendapatkan derajat layak, melainkan hanya menjadi
pelayan di Kesatrian Madukara saja. Patih Udawa merasa prihatin dan memberanikan diri
untuk menjemput pulang adiknya itu untuk dicarikan jodoh yang pantas, entah itu seorang
pangeran ataupun raja sekalian.
Prabu Kresna memuji niat baik Patih Udawa. Namun, sebagai seorang raja ia harus
tegas terhadap patihnya yang lalai menjalankan kewajiban. Maka, Prabu Kresna pun
mengizinkan Patih Udawa mengambil cuti untuk mengadakan sayembara mencari jodoh
bagi Niken Larasati, tetapi hanya satu hari ini saja. Apabila nanti matahari telah terbenam
tetapi tidak ada jodoh yang dianggap cocok, maka Patih Udawa harus rela Niken Larasati
menjadi perawan tua.

PRABU BALADEWA MENGIKUTI SAYEMBARA TANDING


Tidak lama kemudian terdengar suara Prabu Baladewa datang dari kejauhan. Prabu
Kresna merasa segan jika dirinya sampai terlihat oleh sang kakak. Maka, ia pun
bersembunyi di dalam rumah bersama Arya Setyaki. Begitu Prabu Baladewa datang, Nyai
Sagopi dan Patih Udawa segera menyambut dengan penuh hormat.
Prabu Baladewa datang hanya bertiga didampingi Patih Pragota dan Arya Prabawa.
Kedua pendamping tersebut adalah keponakan Nyai Sagopi juga, karena mereka putra
Patih Saragupita (patih Kerajaan Mandura zaman Prabu Basudewa) yang merupakan kakak
kandung Nyai Sagopi.
Prabu Baladewa mengaku hendak melamar Niken Larasati. Patih Udawa pun berkata
jika memang sang raja Mandura ingin menikahi adiknya, maka harus mengikuti sayembara
tanding terlebih dulu. Prabu Baladewa marah-marah dan menjelaskan bahwa ia melamar
Niken Larasati untuk Raden Burisrawa, bukannya untuk diri sendiri. Patih Udawa pun
bertanya mengapa Raden Burisrawa tidak datang secara langsung. Prabu Baladewa
menjawab adik iparnya itu sedang sakit, sehingga dirinya yang bertindak sebagai jago
mengikuti sayembara tanding. Patih Udawa akhirnya mempersilakan Prabu Baladewa untuk
segera naik ke atas gelanggang.
Prabu Baladewa dan Patih Udawa kini telah berhadapan di atas panggung. Banyak
orang berdatangan dari segala arah untuk menyaksikan mereka bertanding. Keduanya pun
bertarung mengerahkan kesaktian masing-masing. Patih Udawa memang perkasa, tetapi ia
jelas bukan tandingan Prabu Baladewa yang jauh lebih sakti dan berpengalaman. Merasa
terdesak, Patih Udawa pun minta izin turun minum barang sejenak.
Setelah Prabu Baladewa mempersilakan, Patih Udawa segera masuk ke dalam rumah
menemui Prabu Kresna yang sedang bersembunyi. Ia berterus terang ingin meminjam
pusaka dari rajanya itu. Prabu Kresna bertanya mengapa Patih Udawa tidak menyerah
kalah saja kepada Prabu Baladewa. Patih Udawa menjawab dirinya sedang mencarikan
jodoh yang tepat untuk Niken Larasati. Andaikan Prabu Baladewa bertanding untuk diri
sendiri, tentu Patih Udawa akan mengaku kalah. Namun, Prabu Baladewa ternyata
bertanding untuk Raden Burisrawa, jelas ia tidak tega jika adiknya sampai diperistri oleh
pangeran kurang waras tersebut.
Prabu Kresna menjawab jelas tidak mungkin Prabu Baladewa bertanding untuk diri
sendiri karena kakaknya itu pernah bersumpah hanya akan memiliki satu orang istri saja,
yaitu Dewi Erawati. Lagipula Prabu Baladewa dan Prabu Kresna sudah menganggap Niken
KITAB WAYANG PURWA

Larasati seperti adik kandung sendiri. Patih Udawa pun memanfaatkan ucapan itu. Jika
benar Niken Larasati dianggap sebagai adik kandung, maka Prabu Kresna juga harus ikut
melindungi. Untuk itu, Patih Udawa pun meminta Prabu Kresna meminjamkan Senjata
Cakra sebagai sarana mengalahkan Prabu Baladewa.
Prabu Kresna tertawa geli karena Senjata Cakra tidak boleh digunakan sembarangan.
Ia pun meminjamkan senjata yang lain, yaitu Keris Gandawisa, namun dengan syarat, Patih
Udawa tidak boleh menyombongkan diri dan tidak boleh menggores kulit Prabu Baladewa.
Patih Udawa setuju dan segera menerima keris pusaka tersebut.
Dengan bersenjata keris, Patih Udawa kembali ke gelanggang menghadapi Prabu
Baladewa. Keduanya pun melanjutkan pertandingan. Prabu Baladewa agak meremehkan
senjata Patih Udawa sehingga dirinya pun lengah. Sesuai pesan Prabu Kresna, maka Patih
Udawa tidak mengarahkan kerisnya ke kulit Prabu Baladewa, melainkan ke arah kain
kampuh yang dipakai raja Mandura tersebut. Seketika kain itu pun robek dan paha Prabu
Baladewa terlihat oleh para penonton. Prabu Baladewa merasa sangat malu dan segera
melarikan diri meninggalkan gelanggang. Patih Pragota dan Arya Prabawa segera
mengikuti kepergian raja mereka.

PATIH SANGKUNI MENGAMBIL PATIH UDAWA SEBAGAI MENANTU


Pertandingan antara Prabu Baladewa dan Patih Udawa tersebut juga disaksikan oleh
Patih Sangkuni dan para Kurawa yang mengintai dari kejauhan. Rupanya Prabu Duryudana
diam-diam memerintahkan mereka agar mengawasi keberangkatan Prabu Baladewa dan
memberikan bantuan seperlunya apabila sang raja Mandura gagal memboyong Niken
Larasati. Maka, begitu melihat Prabu Baladewa meninggalkan gelanggang, Patih Sangkuni
segera memerintahkan para keponakannya untuk maju menyerang Patih Udawa.
Begitu mendapat perintah, Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Raden Surtayu,
Raden Durmagati, Raden Durmuka, Raden Durjaya, Raden Citraksa, Raden Citraksi, serta
Adipati Jayadrata dan Bambang Aswatama segera naik ke atas gelanggang dan langsung
mengeroyok Patih Udawa. Melihat ulah para Kurawa yang licik, Arya Setyaki segera maju
membantu. Maka, terjadilah pertempuran seru di atas panggung, bukan lagi pertandingan
satu lawan satu seperti tadi.
Berkat bantuan Arya Setyaki, Patih Udawa dapat meloloskan diri dari kepungan para
Kurawa dan melesat cepat menyerang Patih Sangkuni yang menyaksikan di bawah
panggung. Patih Sangkuni tidak sempat menghindar dan tubuhnya dapat diringkus oleh
Patih Udawa. Ia pun meronta-ronta meminta tolong para keponakan, tetapi cengkeraman
Patih Udawa semakin erat. Akhirnya ia tidak lagi meminta tolong, tetapi memerintahkan para
Kurawa untuk mundur kembali ke Kerajaan Hastina.
Patih Udawa belum juga melepaskan cengkeramannya kepada Patih Sangkuni. Hari
itu ia ingin sekali memberi pelajaran untuk patih Kerajaan Hastina yang terkenal licik
tersebut. Sebaliknya, Patih Sangkuni sendiri sedang berpikir keras untuk menyelamatkan
diri. Ia pun mengajak Patih Udawa berdamai. Ia berjanji akan menyerahkan putrinya yang
bernama Dewi Antiwati, apabila dirinya dibebaskan.
Patih Udawa menolak tawaran Patih Sangkuni yang dianggapnya sebagai penyuapan.
Lagipula anak Patih Sangkuni pasti berwajah jelek seperti ayahnya. Patih Sangkuni berkata
dirinya berwajah jelek itu karena dihajar Patih Gandamana zaman pemerintahan Prabu
Pandu dulu, jadi bukan karena bawaan lahir. Ia pun bersumpah bahwa putrinya yang
bernama Dewi Antiwati berwajah cantik dan sangat serasi jika bersanding dengan Patih
Udawa yang gagah perkasa. Apa gunanya Patih Udawa mencarikan suami untuk adiknya,
kalau dirinya sendiri belum menikah?
KITAB WAYANG PURWA

Patih Udawa merasa ucapan Patih Sangkuni ada benarnya juga. Ia berusaha
mencarikan jodoh untuk Niken Larasati, padahal ia sendiri belum mempunyai istri. Maka, ia
pun melepaskan cengkeramannya dan membebaskan Patih Sangkuni tetapi menegaskan
bahwa ini semua bukan karena suap. Patih Sangkuni pun berterima kasih dan berjanji akan
segera pulang ke Plasajenar untuk menjemput Dewi Antiwati. Patih Udawa agak tidak
percaya karena Patih Sangkuni terkenal sangat licik. Namun, Patih Sangkuni menegaskan
bahwa dirinya kali ini tidak berbohong. Ia sudah menyaksikan dan mengalami sendiri seperti
apa kekuatan Patih Udawa dan tentunya ia akan sangat senang jika menjadikannya sebagai
menantu.
Demikianlah, Patih Sangkuni pun dibebaskan dan segera pamit pulang ke Plasajenar.
Dalam hati ia berharap jika Patih Udawa menjadi menantunya, maka Prabu Kresna dan
Kerajaan Dwarawati akan ikut pula menjadi sekutu Prabu Duryudana dan para Kurawa.

RADEN ARJUNA JATUH SAKIT SETELAH DITINGGAL NIKEN LARASATI


Sementara itu di Kerajaan Amarta, tepatnya di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna
sedang sakit dengan ditunggui sang istri, Dewi Wara Sumbadra. Para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong juga ikut hadir menjenguk. Dewi Sumbadra sudah
berusaha memanggil tabib, mecarikan obat, namun sang suami tetap saja sakit, tidak
kunjung sembuh.
Dewi Sumbadra mengingat-ingat Raden Arjuna mulai jatuh sakit adalah sejak Niken
Larasati dijemput pulang oleh Patih Udawa. Awal mula Niken Larasati tinggal di Kesatrian
Madukara ialah karena Dewi Sumbadra merasa sering kesepian ditinggal Raden Arjuna
yang gemar berkelana. Oleh sebab itu, Dewi Sumbadra pun meminta izin agar boleh
mengajak Niken Larasati tinggal bersama di Madukara sebagai kawan. Mereka berdua dulu
dibesarkan bersama-sama di Desa Widarakandang saat masih bernama Rara Ireng dan
Rara Sati, dan kini tetap saling merindukan. Raden Arjuna mengizinkan dan sejak itulah
Niken Larasati tinggal di Madukara sebagai kawan Dewi Sumbadra, sekaligus menjadi
pimpinan para pelayan.
Niken Larasati ternyata pandai memasak dan membuat Raden Arjuna lebih betah
tinggal di rumah. Sejak saat itu Raden Arjuna tidak mau makan jika bukan Niken Larasati
yang memasak untuknya. Selain itu, Niken Larasati juga berbakat dalam ilmu keprajuritan
dan pandai merawat kuda, membuat Raden Arjuna semakin sayang kepadanya. Ingin
rasanya Raden Arjuna menjadikan Niken Larasati sebagai istri muda, namun ia tidak berani
bicara kepada Dewi Sumbadra, hanya memendam perasaannya di dalam hati saja. Hingga
akhirnya, Patih Udawa datang dari Kerajaan Dwarawati untuk menjemput Niken Larasati
agar pulang ke Desa Widarakandang. Dengan berat hati, Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra melepaskan kepergian mereka. Sejak itulah Raden Arjuna jatuh sakit karena
memendam perasaan. Ia juga tidak mau makan karena rindu pada masakan Niken Larasati
yang lezat.
Para panakawan hari itu datang menjenguk. Kyai Semar bercerita bahwa dirinya
mendengar berita tentang Patih Udawa yang menggelar sayembara tanding, barangsiapa
bisa mengalahkan dirinya, maka berhak memboyong Niken Larasati sebagai istri.
Mendengar itu, Raden Arjuna seketika bersemangat dan ia pun bangkit dari tidurnya. Rasa
sakit yang dideritanya beberapa hari ini seolah terlupakan begitu saja. Dewi Sumbadra baru
paham apa penyebab sakit suaminya, ternyata karena memendam cinta kepada Niken
Larasati. Raden Arjuna dengan malu-malu mengakui hal itu, bahwa dirinya memang jatuh
hati kepada gadis dari Desa Widarakandang tersebut, dan ingin menjadikannya sebagai istri
muda.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sumbadra menimbang-nimbang sejenak dan akhirnya ia pun mengizinkan


suaminya menikah lagi. Niken Larasati adalah kawan sepermainannya sejak kecil, dan
sudah seperti adik kandung baginya. Bahkan, ada cerita rahasia bahwa Niken Larasati
sesungguhnya bukan anak kandung Buyut Antyagopa, melainkan hasil hubungan gelap
antara Nyai Sagopi dengan Prabu Bismaka saat masih bernama Aryaprabu Rukma. Itu
artinya, Niken Larasati bukan orang lain, tetapi masih sepupu Dewi Sumbadra dan Raden
Arjuna juga.
Raden Arjuna berterima kasih atas kerelaan hati Dewi Sumbadra. Ia pun mohon pamit
dan melesat pergi dengan mengerahkan Aji Seipi Angin. Namun, Dewi Sumbadra tiba-tiba
mendapat firasat yang kurang baik. Ia pun mengajak para panakawan untuk menyusul sang
suami ke Desa Widarakandang.

DEWI BANUWATI MEMINTA PERTOLONGAN RADEN ARJUNA


Raden Arjuna yang sedang dalam perjalanan tiba-tiba melihat seorang wanita yang
tidak asing baginya sedang diganggu laki-laki. Wanita itu tidak lain adalah Dewi Banuwati,
mantan kekasihnya sendiri yang kini menjadi istri Prabu Duryudana. Tanpa berpikir lagi,
Raden Arjuna pun melabrak laki-laki yang berani mengganggu tersebut. Laki-laki itu
bernama Prabu Brawirasembada dari Kerajaan Parangsumirat. Setelah bertanding cukup
lama melawan Raden Arjuna, laki-laki tersebut merasa terdesak dan akhirnya kabur
melarikan diri.
Dewi Banuwati berterima kasih atas pertolongan Raden Arjuna. Tadinya ia hendak
pergi ke Kesatrian Madukara namun di tengah jalan bertemu Prabu Brawirasembada yang
sedang berjalan sendiri tanpa pengawal. Raja tersebut bertanya ke mana arah jalan menuju
Desa Widarakandang, karena dirinya tertarik ingin mengikuti sayembara tanding
memperebutkan Niken Larasati. Dewi Banuwati tidak mau menjawab. Tiba-tiba Prabu
Brawirasembada hendak berbuat kurang ajar, namun untungnya Raden Arjuna datang
menolong.
Raden Arjuna lalu bertanya ada keperluan apa Dewi Banuwati hendak berkunjung ke
Kesatrian Madukara. Apakah baru bertengkar dengan Prabu Duryudana sehingga ingin
meminta cerai? Jika benar demikian, dirinya bersedia menampung dan memberikan
perlindungan. Dewi Banuwati berkata Raden Arjuna jangan salah paham, jangan pula
terbawa perasaan. Hubungan asmara di antara mereka biarlah menjadi masa lalu, jangan
sampai dihidupkan kembali. Raden Arjuna pun meminta maaf karena telah salah paham. Ia
lalu bertanya apa sebenarnya yang menjadi keperluan Dewi Banuwati. Apa pun itu, dirinya
berjanji siap untuk membantu sekuat tenaga.
Dewi Banuwati berkata bahwa adiknya, yaitu Raden Burisrawa, jatuh sakit karena
gagal menikah dengan Dewi Sumbadra. Prabu Baladewa pun datang menawarkan Niken
Larasati sebagai gantinya. Apabila Raden Burisrawa menikah dengannya, maka perasaan
rindu kepada Dewi Sumbadra pasti akan hilang dengan sendirinya. Prabu Baladewa lalu
berangkat ke Desa Widarakandang, namun kabarnya ia kalah bertanding melawan Patih
Udawa.
Dewi Banuwati yang sangat kasihan melihat penyakit Raden Burisrawa pun mengajak
Prabu Duryudana untuk meminta pertolongan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra. Menurut
kabar, Niken Larasati pernah bekerja sebagai kepala pelayan di Kesatrian Madukara
sebelum dijemput pulang oleh Patih Udawa. Maka, apabila Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra yang dimintai bantuan untuk melamar Niken Larasati sebagai istri Raden
Burisrawa, pasti langsung dikabulkan oleh Patih Udawa. Prabu Duryudana menolak saran
tersebut karena cemburu jika Dewi Banuwati sampai berkunjung ke tempat Raden Arjuna.
Karena sang suami menolak, maka Dewi Banuwati pun berangkat sendiri tanpa pamit.
KITAB WAYANG PURWA

Kini Dewi Banuwati telah bertemu Raden Arjuna di jalan. Ia pun memohon bantuan
agar Raden Arjuna pergi ke Desa Widarakandang melamar Niken Larasati untuk adiknya.
Seketika Raden Arjuna merasa gemetar. Sejak awal ia sudah berniat hendak mengikuti
sayembara tanding untuk dirinya sendiri, namun sekarang Dewi Banuwati justru meminta
pertolongan kepadanya. Karena tadi Raden Arjuna terlanjur berjanji akan membantu sekuat
tenaga apa pun yang menjadi keperluan Dewi Banuwati, mau tidak mau ia harus menepati
hal itu. Maka dengan berat hati, Raden Arjuna akhirnya menyatakan bersedia untuk
melamarkan Niken Larasati sebagai istri Raden Burisrawa.
Tiba-tiba Prabu Duryudana datang menyusul sambil marah-marah menuduh istrinya
berbuat serong dengan Raden Arjuna. Dewi Banuwati pun membela diri dengan berkata
ketus bahwa Raden Arjuna justru baru saja menyelamatkan dirinya dari gangguan laki-laki
jahat bernama Prabu Brawirasembada. Prabu Duryudana balik bertanya mengapa istrinya
itu pergi sendirian sehingga diganggu orang jahat. Dewi Banuwati balas memaki karena
suaminya tidak mau mengantar, maka ia pun pergi sendirian. Demikianlah, pasangan
suami-istri itu pun bertengkar di tengah jalan.
Raden Arjuna teringat dirinya tidak boleh terlalu mencampuri urusan rumah tangga
mereka. Maka, ia pun mohon pamit dan melesat pergi menuju Desa Widarakandang.

RADEN ARJUNA BERTANDING MELAWAN PATIH UDAWA


Patih Udawa di Desa Widarakandang menyambut kedatangan Raden Arjuna dengan
ramah. Raden Arjuna pun berterus terang bahwa dirinya hendak mengikuti sayembara
tanding demi memperebutkan Niken Larasati. Patih Udawa dengan senang hati
mempersilakan, bahkan ia berharap kalah sehingga adiknya bisa menjadi istri Raden
Arjuna. Namun, Raden Arjuna berkata dirinya hanya menjadi wakil bagi Raden Burisrawa
saja. Jika dirinya menang, maka Niken Larasati akan diserahkan kepada sepupunya
tersebut.
Patih Udawa merasa terkejut dan sangat kecewa. Ia pun mempersilakan Raden Arjuna
untuk menyerang. Keduanya lalu bertanding di atas panggung. Pertarungan sengit pun
terjadi. Lama-lama Patih Udawa terdesak oleh kesaktian Raden Arjuna. Namun, dirinya
pantang menyerah karena tidak rela jika adiknya sampai menjadi istri kesatria buruk rupa
yang sakit jiwa bernama Raden Burisrawa.
Sama seperti tadi saat melawan Prabu Baladewa, lagi-lagi Patih Udawa meminta izin
turun minum. Ia lalu masuk ke dalam rumah dan menemui Prabu Kresna yang masih
bersembunyi di sana. Kepada Prabu Kresna, ia meminta izin meminjam Keris Gandawisa
lagi. Namun, Prabu Kresna keberatan karena Keris Gandawisa adalah hadiah pemberian
Raden Arjuna sebagai tali persahabatan di antara mereka. Jika Patih Udawa bertanding
menggunakan keris tersebut, maka Raden Arjuna akan langsung paham kalau Prabu
Kresna diam-diam memberikan bantuan.
Patih Udawa kecewa dan ia berniat untuk bertanding sampai mati daripada melihat
adiknya bersanding dengan Raden Burisrawa. Prabu Kresna merasa tidak tega
mendengarnya. Ia pun menyelipkan Kembang Wijayakusuma di balik pakaian patihnya itu
dan menyuruhnya kembali maju untuk mengalahkan Raden Arjuna.
Demikianlah, Patih Udawa kembali naik ke atas panggung menghadapi Raden Arjuna.
Keduanya pun melanjutkan pertandingan. Kali ini Patih Udawa berbekal Kembang
Wijayakusuma, membuat badannya tidak bisa terluka. Setiap kali tubuhnya terkena pukulan
Raden Arjuna, seketika langsung sembuh kembali. Lama-lama Raden Arjuna merasa letih
dan ia pun lengah. Patih Udawa segera meringkusnya dengan sekuat tenaga.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna merasa sesak tidak bisa bernapas karena dipeluk erat oleh Patih
Udawa. Ia teringat dirinya sudah membantu Dewi Banuwati sekuat tenaga dan ternyata
Patih Udawa memang sulit dikalahkan. Karena merasa sudah memenuhi janji, maka ia pun
menyatakan kalah dalam pertandingan ini.

DEWI SUMBADRA MENGALAHKAN PATIH UDAWA


Setelah Raden Arjuna mengaku kalah, Patih Udawa pun masuk ke dalam rumah untuk
mengembalikan Kembang Wijayakusuma kepada Prabu Kresna. Saat itu matahari sudah
hampir terbenam dan Niken Larasati belum juga bertemu jodohnya. Patih Udawa memohon
kepada Prabu Kresna agar cutinya diperpanjang, tetapi Prabu Kresna menolak. Besok Patih
Udawa harus kembali bertugas di Kerajaan Dwarawati dan biarlah Niken Larasati menjadi
perawan tua selamanya.
Tiba-tiba terdengar suara Dewi Sumbadra datang bersama para panakawan
memanggil Patih Udawa agar segera keluar. Patih Udawa pun bergegas menemui dan
menyambut mereka dengan ramah. Dewi Sumbadra berkata bahwa dirinya hendak
mengikuti sayembara tanding untuk memperebutkan Niken Larasati. Patih Udawa heran
dan bertanya apakah Dewi Sumbadra benar ingin menikahi adiknya? Dewi Sumbadra
menjelaskan bahwa dirinya adalah masih normal dan tidak berkelakuan menyimpang.
Tujuannya mengikuti sayembara adalah untuk mewakili Raden Arjuna, suaminya sendiri.
Raden Arjuna yang masih berada di tempat itu sangat terkejut mendengarnya. Ia
melarang Dewi Sumbadra mengikuti sayembara karena dirinya saja kalah bertanding
melawan Patih Udawa. Dewi Sumbadra pun menjawab ia dibesarkan bersama Patih Udawa
sejak kecil tentunya sudah paham kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Melihat Dewi Sumbadra tidak main-main, Patih Udawa pun mempersilakannya naik ke
atas panggung. Keduanya kini saling berhadap-hadapan. Dewi Sumbadra segera melepas
anting-anting di telinganya sambil membaca mantra Aji Pengabaran seperti yang dulu
pernah diajarkan Prabu Kresna kepadanya. Setelah itu, anting-anting tersebut pun
dilemparkan dan tepat mengenai dahi Patih Udawa. Seketika Patih Udawa merasa gemetar
dan tubuhnya jatuh terduduk, tidak bisa bangun lagi. Prabu Kresna keluar dari rumah dan
menyuruh Patih Udawa bangkit, jangan pura-pura kalah. Patih Udawa menjawab dirinya
tidak pura-pura, melainkan benar-benar kehilangan daya akibat serangan Dewi Sumbadra.
Prabu Kresna pun bertanya apakah pemenang sayembara sudah bisa ditentukan. Patih
Udawa menjawab bahwa sayembara ini telah dimenangkan Dewi Sumbadra, dan oleh
sebab itu Raden Arjuna berhak memboyong Niken Larasati sebagai istri.
Raden Arjuna sangat gembira mendengarnya dan segera berterima kasih kepada
Dewi Sumbadra. Selama ini ia mengira istrinya itu seorang wanita lemah yang tidak memiliki
kekuatan apa-apa. Tak disangka, ternyata Dewi Sumbadra menyimpan banyak kesaktian
berkat bimbingan Prabu Kresna di masa lalu.
Demikianlah, karena pemenang sayembara telah ditentukan, maka Prabu Kresna pun
membaca mantra penolak untuk menyembuhkan Patih Udawa. Seketika Patih Udawa
kembali bertenaga dan segera bangkit untuk mengucapkan selamat kepada Dewi
Sumbadra dan Raden Arjuna.

RADEN ARJUNA MENYELAMATKAN NIKEN LARASATI DARI PENCULIKAN


Tiba-tiba Nyai Sagopi muncul sambil menangis meminta tolong. Ia berkata bahwa
Niken Larasati baru saja diculik seorang laki-laki yang bernama Prabu Brawirasembada.
Raden Arjuna teringat bahwa laki-laki itu adalah yang tadi telah mengganggu perjalanan
Dewi Banuwati. Dewi Sumbadra pun berkata bahwa dirinya sudah membantu
KITAB WAYANG PURWA

memenangkan sayembara, kini saatnya Raden Arjuna berjuang sendiri menolong calon
istrinya. Raden Arjuna menyanggupi. Ia pun segera melesat mengerahkan Aji Seipi Angin
untuk mengejar si penculik.
Dengan kecepatan kilat, Raden Arjuna berhasil menyusul dan menghadang Prabu
Brawirasembada yang memanggul tubuh Niken Larasati. Keduanya lalu bertarung seru.
Raden Arjuna berhasil merebut Niken Larasati dan menewaskan Prabu Brawirasembada
menggunakan Keris Pulanggeni.

NIKEN LARASATI MENJADI ISTRI PADMI RADEN ARJUNA


Raden Arjuna dan Niken Larasati telah kembali ke rumah Nyai Sagopi. Prabu Kresna,
Patih Udawa, dan yang lain bersyukur karena semua masalah telah teratasi. Kini Patih
Udawa bisa kembali lagi bertugas di Kerajaan Dwarawati, sedangkan Niken Larasati juga
telah mendapatkan suami yang terbaik, sesuai harapan kakaknya.
Dewi Sumbadra juga terlihat senang jika dirinya dimadu dengan Niken Larasati, yang
mana sejak kecil mereka telah dibesarkan bersama-sama bagaikan saudara kandung.
Bahkan, Dewi Sumbadra meminta agar Raden Arjuna menjadikan Niken Larasati sebagai
istri padmi seperti dirinya, bukan sekadar istri paminggir. Maka, sebagai istri padmi, Niken
Larasati bisa tinggal di Kesatrian Madukara setiap hari, bukan tinggal di kampung halaman
seperti Endang Manuhara.
Demikianlah, hari itu juga Raden Arjuna dan Niken Larasati diresmikan sebagai suami-
istri dengan upacara pernikahan yang sederhana. Lima hari kemudian, Raden Arjuna
memboyong istri barunya itu pindah ke Kesatrian Madukara.

Niken Larasati

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SRIKANDI MEGURU MANAH


Kisah ini menceritakan tentang Dewi Srikandi putri Prabu Drupada yang berguru
memanah kepada Raden Arjuna. Hubungan mereka berubah menjadi kekasih namun
dipisahkan oleh Dewi Drupadi. Dewi Srikandi pun kembali ke negerinya dan berusaha
menaikkan harga diri melalui peperangan melawan Prabu Jungkungmardeya yang
menginginkannya.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang orang Sekar Budaya
Nusantara, yang saya padukan dengan rubrik pedhalangan di Majalah Panjebar
Semangat, serta buku Srikandi Berguru Memanah karya Sunardi D.M. dengan disertai
pengembangan seperlunya.
Kediri, 25 Februari 2017
Heri Purwanto

Dewi Srikandi

DEWI SRIKANDI MENGHILANG DARI ISTANA


Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) dihadap para menteri dan
punggawa, antara lain Raden Drestajumena (putra mahkota), Patih Drestaketu, Arya
Yudamanyu, dan Arya Utamayuda. Mereka sedang membicarakan putri raja nomor dua,
yaitu Dewi Srikandi yang sudah tiga bulan ini menghilang entah ke mana.
Prabu Drupada teringat kisah masa lalu, di mana pernikahannya dengan sang
permaisuri Dewi Gandawati tidak dikaruniai anak sama sekali. Hingga pada suatu hari
Kerajaan Pancala diserang musuh lama Prabu Drupada, yaitu Resi Druna bersama murid-
muridnya. Prabu Drupada dan Arya Gandamana (adik iparnya) kalah di tangan Raden
Arjuna dan Raden Bimasena. Resi Druna pun merebut kekuasaan atas Kerajaan Pancala
dan membaginya menjadi dua. Wilayah bagian utara termasuk istana lama menjadi milik
Resi Druna, sedangkan wilayah selatan diserahkan pada Prabu Drupada. Sejak saat itu,
Prabu Drupada sekeluarga pindah ke selatan dan membangun ibu kota baru di Desa
Cempala. Oleh sebab itulah, Kerajaan Pancala Selatan pun dikenal pula dengan nama
Kerajaan Cempalareja.
Prabu Drupada merasa iri pada Resi Druna yang memiliki seorang putra dan seratus
lima murid yang selalu patuh pada perintahnya. Karena Dewi Gandawati mandul, Prabu
Drupada pun pergi bertapa agar bisa memiliki keturunan. Setelah sekian lama bertapa,
muncul dua orang pendeta bernama Resi Yodya dan Resi Upayodya yang dikirim dewata
untuk membantu kesulitan Prabu Drupada. Kedua pendeta itu lalu mengadakan sesaji api,
yang mana kobaran api tersebut mampu menghisap benih dari dalam tubuh Prabu Drupada.
KITAB WAYANG PURWA

Dari kobaran api itulah, muncul seorang gadis remaja yang diberi nama Dewi Drupadi.
Prabu Drupada belum puas dan meminta upacara dilanjutkan. Tak lama kemudian
muncullah seorang gadis yang bersifat kelaki-lakian, diberi nama Dewi Srikandi. Prabu
Drupada masih belum puas juga dan meminta sesaji tetap dilanjutkan agar mendapatkan
anak yang benar-benar laki-laki. Akhirnya, muncul seorang pemuda dari dalam kobaran api
yang diberi nama Raden Drestajumena.
Demikianlah awal mulanya Prabu Drupada memiliki tiga orang anak. Yang tertua Dewi
Drupadi telah menjadi istri Prabu Puntadewa raja Amarta, melalui sayembara yang
mereggut nyawa Arya Gandamana. Sekarang tiba saatnya Prabu Drupada memikirkan putri
keduanya, yaitu Dewi Srikandi yang sudah waktunya untuk menikah. Namun, Dewi Srikandi
tidak tertarik berumah tangga. Sifatnya yang kelaki-lakian membuatnya lebih suka berlatih
perang-perangan daripada mempelajari bagaimana caranya menjadi calon istri yang baik.
Prabu Drupada sengaja membangun sebuah taman yang sangat indah bernama
Taman Maherakaca sebagai tempat tinggal Dewi Srikandi, dengan harapan semoga
putrinya itu berubah sifat menjadi perempuan sejati. Namun, taman indah tersebut justru
digunakan Dewi Srikandi sebagai tempat berlatih memanah dan ilmu keprajuritan lainnya.
Dewi Srikandi juga pernah berkata bahwa dirinya iri kepada sang adik, yaitu Raden
Drestajumena yang pernah berguru ilmu perang kepada Resi Druna. Namun, hal itu justru
membuat Prabu Drupada marah dan menyuruhnya untuk melupakan semua keinginannya
menjadi wanita petarung.
Sejak kejadian itu Dewi Srikandi tiba-tiba menghilang entah ke mana. Prabu Drupada
sangat menyesal telah memarahi putri keduanya itu. Patih Drestaketu segera menyebarkan
orang-orangnya untuk mencari ke segala penjuru, namun Dewi Srikandi tidak juga dapat
ditemukan. Tak terasa kini sudah tiga bulan lamanya sang putri menghilang dan tidak
diketahui keberadaannya.

Prabu Drupada

PRABU DRUPADA MENDAPAT SURAT LAMARAN DARI KERAJAAN


PARANGGUBARJA
Ketika Patih Drestaketu sedang menyampaikan laporan tentang pencarian Dewi
Srikandi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertampang seram memasuki balai
penghadapan. Laki-laki itu mengaku bernama Patih Jayasudarga dari Kerajaan
Paranggubarja di tanah seberang. Dengan sikap angkuh, ia pun menyampaikan surat dari
rajanya yang bernama Prabu Jungkungmardeya kepada Prabu Drupada.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Drupada membaca surat itu yang berisi keinginan Prabu Jungkungmardeya
untuk memperistri Dewi Srikandi. Melalui suratnya, Prabu Jungkungmardeya juga
memamerkan bahwa dirinya seorang raja yang masih muda, tampan, sakti, dan juga kaya
raya. Ia berharap Prabu Drupada menerima lamarannya, karena dirinya tidak ingin jika Dewi
Srikandi terpaksa direbut melalui peperangan.
Raden Drestajumena sang putra mahkota sangat tersinggung mendengar isi surat
yang dibaca ayahnya. Ia pun bertanya apa benar sosok Prabu Jungkungmardeya sama
seperti apa yang tertulis dalam surat tersebut, atau jangan-jangan wajahnya sama
menyeramkan seperti patih yang sekarang datang. Patih Jayasudarga menjawab isi surat
tersebut sangat benar. Pada mulanya, Patih Jayasudarga adalah raja Paranggubarja yang
sebenarnya. Hingga suatu hari datang seorang pemuda bernama Bambang Jungkung yang
menantangnya bertanding. Prabu Jayasudarga kalah dan terpaksa menyerahkan takhta
kerajaannya kepada pemuda itu. Bambang Jungkung pun menjadi raja baru di
Paranggubarja, bergelar Prabu Jungkungmardeya. Adapun Prabu Jayasudarga kemudian
diturunkan pangkatnya menjadi patih.
Patih Jayasudarga bercerita bahwa Prabu Jungkungmardeya tidak hanya sakti, tetapi
juga tampan dan masih muda. Raden Drestajumena tidak peduli. Ia berkata bahwa hari ini
Dewi Srikandi sedang menghilang entah ke mana. Andaikan telah ditemukan, tetap saja ia
tidak rela jika kakaknya itu menikah dengan seorang raja sombong semacam Prabu
Jungkungmardeya. Patih Jayasudarga berkata bahwa dirinya telah diberi wewenang oleh
rajanya untuk membawa Dewi Srikandi, baik itu melalui cara sopan, ataupun cara kasar.
Raden Drestajumena pun mempersilakannya untuk menunggu di luar, lengkap dengan
segenap pasukan dari Paranggubarja, apabila memang ingin menempuh cara kasar.
Patih Jayasudarga pun undur diri meninggalkan pertemuan. Prabu Drupada segera
menegur putranya yang bertindak gegabah, menantang Patih Jayasudarga beserta
pasukannya. Jika perang sampai terjadi, maka yang menjadi korban pastilah para prajurit
rendahan dan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa. Raden Drestajumena mohon maaf atas
sikapnya yang lancang. Namun, ia tidak rela apabila kakak keduanya menjadi istri seorang
raja sombong. Bagaimanapun juga lamaran ini harus ditolak. Lagipula ini adalah
kesempatan bagi Raden Drestajumena untuk menguji hasil bergurunya kepada Resi Druna
beberapa tahun yang lalu. Ia pun mohon restu kepada sang ayah untuk berangkat
menghadapi tantangan Patih Jayasudarga tersebut.

Patih Drestaketu
KITAB WAYANG PURWA

PERTEMPURAN ANTARA PIHAK CEMPALAREJA MELAWAN PARANGGUBARJA


Patih Jayasudarga telah kembali ke induk pasukannya dan kemudian mereka bersiaga
di alun alun Kerajaan Cempalareja. Tidak lama kemudian Raden Drestajumena datang
bersama pasukannya. Pertempuran pun terjadi antara kedua pihak. Setelah agak lama,
Raden Drestajumena akhirnya terdesak dan dapat dikalahkan oleh Patih Jayasudarga.
Melihat putranya dalam bahaya, Prabu Drupada segera melerai kedua pihak yang
sedang berperang. Ia berkata kepada Patih Jayasudarga agar membawa pasukannya
beristirahat di Kesatrian Mandirajajar, yaitu bekas kediaman mendiang Arya Gandamana.
Ia berjanji apabila Dewi Srikandi telah ditemukan, maka urusan pernikahan bisa dibicarakan
lagi. Patih Jayasudarga terkesan dengan sikap bijak Prabu Drupada. Ia pun mohon pamit
mundur dan membawa pasukannya menuju ke arah Mandirajajar dengan dipandu Patih
Drestaketu.
Sepeninggal orang-orang Paranggubarja, Raden Drestajumena bertanya kepada
sang ayah mengapa pertempuran tadi dihentikan, padahal dirinya belum kalah. Prabu
Drupada pun menasihati putranya itu yang mudah sekali menyebut Prabu
Jungkungmardeya sebagai raja sombong, padahal ia sendiri tidak kalah sombong. Dalam
peperangan tadi, Raden Drestajumena bersikap terlalu meremehkan lawan, sehingga
menjadi kurang waspada dan dapat dikalahkan oleh Patih Jayasudarga yang lebih
berpengalaman.
Raden Drestajumena mengakui bahwa dirinya memang takabur. Andai saja tadi ia
lebih waspada, tentu segala ilmu pelajaran dari Resi Druna dapat dikerahkan dengan
sebaik-baiknya. Prabu Drupada pun memaklumi bahwa putranya itu memang baru pertama
kali ini terjun dalam pertempuran, sehingga masih kurang pengalaman. Namun, ia
mendapat firasat bahwa suatu saat nanti nama Raden Drestajumena pasti tercatat dalam
sejarah sebagai seorang panglima besar yang ahli dalam memimpin pertempuran.
Prabu Drupada lalu memerintahkan Raden Drestajumena agar berangkat ke Gunung
Saptaarga untuk meminta petunjuk kepada Bagawan Abyasa, di mana kiranya Dewi
Srikandi berada. Raden Drestajumena menerima tugas tersebut dan segera mohon pamit
saat itu juga.
Setelah Raden Drestajumena berangkat, Prabu Drupada pun menulis surat kepada
putri sulungnya, yaitu Dewi Drupadi perihal menghilangnya Dewi Srikandi. Prabu Drupada
kemudian memerintahkan Arya Yudamanyu untuk membawa surat tersebut menuju
Kerajaan Amarta.

Patih Jayasudarga
KITAB WAYANG PURWA

DEWI SRIKANDI BERGURU PANAH KEPADA RADEN ARJUNA


Dewi Srikandi yang dicari-cari oleh keluarganya ternyata sudah tiga bulan ini berada
di Kesatrian Madukara, tepatnya di dalam Taman Maduganda, yaitu sedang berguru ilmu
memanah kepada Raden Arjuna.
Awal mulanya ialah peristiwa sayembara memperebutkan Dewi Drupadi beberapa
tahun yang lalu, di mana Dewi Srikandi menyaksikan sang paman Arya Gandamana gugur
di tangan Wasi Balawa, yaitu penyamaran Arya Wrekodara, sang Panenggak Pandawa.
Saat itu Raden Drestajumena tidak terima kakaknya berjodoh dengan pendeta miskin,
sehingga menantang para Pandawa untuk mengikuti sayembara yang ia adakan, yaitu
memanah sehelai rambut di puncak tiang. Sayembara tersebut pun dapat dimenangkan
pula oleh Wasi Parta, yang ternyata penyamaran Raden Arjuna. Maka, Dewi Drupadi
kemudian diserahkan kepada para Pandawa, dan menjadi istri Raden Puntadewa, sang
Pandawa tertua.
Sejak itulah tertanam dalam benak Dewi Srikandi bahwa Raden Arjuna adalah
pemanah terbaik di dunia. Pada dasarnya Dewi Srikandi bersifat kelaki-lakian yang lebih
suka bermain perang-perangan daripada berlatih menari atau membuat batik. Dalam
hatinya ia ingin sekali berguru ilmu panah kepada Pandawa nomor tiga tersebut, tetapi
hatinya malu bercampur takut, dan tidak tahu bagaimana caranya harus memulai. Baru
setelah mendapat marah dari ayahnya untuk tidak lagi bermain perang-perangan, Dewi
Srikandi pun membulatkan tekad untuk pergi tanpa pamit menuju Kerajaan Amarta.
Sesampainya di sana, ia langsung masuk ke dalam Kesatrian Madukara dan bertemu
dengan Raden Arjuna.
Tak disangka, Raden Arjuna menyambut ramah kedatangan Dewi Srikandi dan
bersedia menerimanya sebagai murid. Mereka pun meminta izin kepada Dewi Sumbadra
selaku istri padmi tertua untuk berlatih di dalam Taman Maduganda. Dewi Sumbadra tanpa
membantah langsung mengizinkan mereka. Ia pun memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada sang suami untuk mengajar dan melatih Dewi Srikandi segala hal yang
berkaitan dengan ilmu perang.
Demikianlah, tak terasa Dewi Srikandi sudah tiga bulan lamanya berada di Kesatrian
Madukara untuk berguru kepada Raden Arjuna. Segala macam ilmu keprajuritan telah ia
pelajari, terutama seni memanah. Berbagai sasaran sudah ia coba, mulai dari memanah
telur ayam, telur puyuh, buah ranti, bahkan sampai sehelai rambut sekalipun. Betapa lembut
dan sabar Raden Arjuna dalam membimbing Dewi Srikandi membuat gadis itu sangat
terkesan kepadanya. Seumur hidup Dewi Srikandi selalu bersikap kelaki-lakian, namun
sejak berada di dekat Raden Arjuna, ia berubah menjadi layaknya wanita yang sedang
dimabuk asmara. Ia kini berubah menjadi perempuan yang memerhatikan penampilan, suka
berdandan, memakai wangi-wangian, serta cara berjalannya pun ditata menjadi lebih
anggun dan berirama.
Sebaliknya, Raden Arjuna diam-diam juga menaruh hati kepada Dewi Srikandi. Rasa
cinta pun tumbuh bersemi di antara mereka karena selalu bersama. Jika dulu pada awalnya
Raden Arjuna mengarahkan Dewi Srikandi hanya melalui lisan, namun kini ia tidak segan-
segan menyentuh tangan gadis itu sambil memeluk dari belakang. Tidak jarang Raden
Arjuna menempelkan pipinya pada pipi Dewi Srikandi dengan alasan untuk mengarahkan
pandangan mata gadis itu agar lebih lurus menuju sasaran. Tentu saja jantung Dewi
Srikandi berdebar kencang dan keringatnya pun bercucuran. Hingga ia pun membayangkan
betapa bahagia seandainya bisa menjadi istri muda kesatria Panengah Pandawa tersebut.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Raden Arjuna akhirnya berterus terang menyatakan
perasaannya bahwa ia telah jatuh cinta kepada Dewi Srikandi dan ingin menikah
KITAB WAYANG PURWA

dengannya. Dewi Srikandi sangat bahagia dan ia pun menyatakan bersedia, namun
tentunya harus meminta izin terlebih dahulu kepada Dewi Sumbadra dan Niken Larasati.

Raden Arjuna

DEWI DRUPADI MEMERGOKI DEWI SRIKANDI BERMESRAAN DENGAN RADEN


ARJUNA
Sang permaisuri Kerajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi menerima kedatangan Arya
Yudamanyu yang membawa surat dari ayahnya, yaitu Prabu Drupada. Dalam surat itu
tertulis bahwa Dewi Srikandi telah menghilang tiga bulan lamanya dan hingga kini belum
juga ditemukan. Dewi Drupadi yang berpikiran cerdas segera menghubungkan peristiwa ini
dengan Raden Arjuna yang sudah tiga bulan tidak pernah hadir menghadap Prabu
Puntadewa. Apalagi Dewi Drupadi ingat bahwa Dewi Srikandi dari dulu gemar bermain
perang-perangan dan menaruh iri kepada Raden Drestajumena yang pernah berguru
kepada Resi Druna. Ia pun menduga adiknya itu pasti menghilang dari istana karena ingin
berguru kepada Raden Arjuna, yang merupakan pemanah terbaik murid Resi Druna.
Maka, Dewi Drupadi pun bergegas menuju Kesatrian Madukara dan melihat para
panakawan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berjaga di luar Taman Maduganda.
Para panakawan itu segera menghalang-halangi Dewi Drupadi dengan alasan Raden
Arjuna sedang bertapa di dalam taman dan tidak ingin diganggu. Hal ini membuat Dewi
Drupadi semakin curiga. Ia pun nekat menerobos taman dan melihat Dewi Srikandi sedang
berpelukan mesra dengan Raden Arjuna. Ia pun marah-marah melabrak mereka.
Tangannya bergerak menampar pipi dan menjambak rambut Dewi Srikandi. Raden Arjuna
sangat malu dan segera lari menghindar, meninggalkan Taman Maduganda.
Dewi Srikandi jatuh terduduk sambil menangis sedih bercampur malu. Dewi Drupadi
pun memaki-maki adiknya itu sebagai wanita murahan yang hendak merebut suami orang.
Pada saat itulah Dewi Sumbadra dan Niken Larasati datang untuk melerai. Dewi Drupadi
memberi tahu mereka bahwa Raden Arjuna telah berselingkuh dengan Dewi Srikandi.
Namun, Dewi Sumbadra dengan lembut menolong Dewi Srikandi bangkit sambil berkata
bahwa ia sudah tahu semuanya. Dirinya sudah mengetahui bahwa hubungan guru dan
murid di antara Raden Arjuna dan Dewi Srikandi telah berubah menjadi pasangan kekasih.
Namun sayangnya, mereka belum juga berterus terang soal ini kepada Dewi Sumbadra.
Andaikan mereka berterus terang untuk menikah, pasti Dewi Sumbadra memberikan izin.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Drupadi heran mengapa Dewi Sumbadra tidak marah melihat suaminya
mencintai wanita lain. Dewi Sumbadra pun menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang
dikaruniai Tuhan memiliki kasih sayang melimpah ruah, sehingga pantas saat masih remaja
dijuluki sebagai Sang Permadi. Seorang laki-laki yang memiliki kasih sayang berlebih
sangat wajar apabila mencintai wanita lebih dari satu. Dewi Sumbadra pun yakin, andaikata
Raden Arjuna menikah lagi, cintanya kepada para istri yang lain tidak akan pernah
berkurang.
Dewi Srikandi yang mendapat pembelaan dari Dewi Sumbadra justru merasa sangat
malu. Ia pun meronta dan lari meninggalkan Kesatrian Madukara sambil menangis berlinang
air mata. Dewi Drupadi berusaha mengejar, namun adiknya itu sudah menghilang entah ke
mana.

Dewi Drupadi

DEWI SRIKANDI MENDERITA GANGGUAN JIWA


Dewi Srikandi telah berlari jauh meninggalkan Kerajaan Amarta. Ia sangat marah
bercampur sedih, karena laki-laki yang ia cintai ternyata mencari selamat sendiri saat dirinya
dilabrak sang kakak sulung. Perasaan sedih yang mendalam membuat pikiran Dewi
Srikandi agak terganggu. Kadang-kadang ia bicara tak keruan, menantang-nantang,
menjerit-jerit, kadang pula menangis tanpa sebab.
Dewi Srikandi yang kini menderita sakit jiwa terus berjalan tak tentu arah. Namun
demikian, penampilannya yang lusuh dan rambutnya yang acak-acakan sama sekali tidak
mengurangi kecantikannya. Kadang muncul beberapa laki-laki yang berniat jahat
kepadanya, namun dengan cekatan Dewi Srikandi dapat meringkus mereka sambil tertawa
riang.
Hingga akhirnya, Raden Drestajumena muncul dan menemukan kakaknya itu.
Rupanya Raden Drestajumena telah mendapat petunjuk dari Bagawan Abyasa di Gunung
Saptaarga agar berjalan lurus ke arah barat apabila ingin bertemu dengan Dewi Srikandi.
Dewi Srikandi marah-marah dan mengamuk karena tidak mengenali adiknya. Raden
Drestajumena terkejut namun dengan cekatan berhasil meringkus kakaknya itu. Berangsur-
angsur, ingatan Dewi Srikandi akhirnya pulih kembali. Ia pun menangis memeluk adiknya
dan bersedia dibawa pulang ke Kerajaan Pancala Selatan.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Drestajumena

PRABU JUNGKUNGMARDEYA TEWAS MELAWAN DEWI SRIKANDI


Prabu Drupada di Kerajaan Pancala Selatan sangat bahagia karena putri keduanya
berhasil ditemukan. Ia pun meminta maaf karena telah memarahi Dewi Srikandi yang
menyebabkan putrinya itu kabur dari istana. Mulai saat ini, Prabu Drupada mengizinkan
apabila Dewi Srikandi ingin lebih mendalami seni memanah dan ilmu keprajuritan lainnya.
Tidak lama kemudian datang pula Patih Jayasudarga bersama rajanya yang masih
muda dan tampan, yaitu Prabu Jungkungmardeya dari Paranggubarja. Prabu
Jungkungmardeya berkata bahwa dirinya tidak sabar menunggu laporan dari Patih
Jayasudarga. Karena didesak oleh perasaan ingin segera menikahi Dewi Srikandi, Prabu
Jungkungmardeya pun berangkat menyusul ke Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan).
Patih Jayasudarga yang beberapa hari ini tinggal di Kesatrian Mandirajajar segera
menyambut kedatangan rajanya itu. Mereka lalu bersama-sama menghadap Prabu
Drupada untuk menanyakan bagaimana keputusan yang diambil, apakah lamaran terhadap
Dewi Srikandi diterima ataukah ditolak.
Prabu Drupada berkata bahwa yang hendak menjalani rumah tangga adalah Dewi
Srikandi, maka biarlah putrinya itu yang memberikan jawaban. Adapun Dewi Srikandi sendiri
baru saja ditemukan setelah menghilang dari istana tiga bulan lamanya. Prabu Drupada pun
mempersilakan putri keduanya itu untuk menjawab lamaran Prabu Jungkungmardeya.
Dewi Srikandi mengamati sosok raja yang melamar dirinya ternyata memang tampan
dan masih muda. Namun, sayang sekali lagaknya sombong dan angkuh, sangat berbeda
dengan Raden Arjuna yang lembut dan sederhana. Meskipun hatinya kecewa, namun Dewi
Srikandi masih menyimpan cinta yang mendalam terhadap kesatria dari Madukara tersebut.
Maka, ia pun berkata kepada Prabu Jungkungmardeya, apabila ingin menikah dengannya
harus bertanding terlebih dahulu. Apabila Dewi Srikandi dapat dikalahkan, maka ia bersedia
menjadi istri raja Paranggubarja tersebut.
Prabu Jungkungmardeya tertawa meremehkan. Ia pun menerima tantangan Dewi
Srikandi dan berniat ingin mempermalukan wanita pujaannya itu. Keduanya lalu bertanding
di halaman istana. Prabu Jungkungmardeya bertarung sambil merayu genit. Sesekali
tangannya berhasil mencolek dagu Dewi Srikandi, membuat gadis itu semakin benci
kepadanya.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Srikandi merasa jika bertarung adu kekuatan jelas dirinya tidak mungkin menang
melawan Prabu Jungkungmardeya yang perkasa dan lebih berpengalaman. Maka, ia pun
menantang lawannya itu bertanding adu panah. Mereka berdua harus sama-sama
melepaskan panah ke arah masing-masing. Prabu Jungkungmardeya keberatan karena hal
ini sangat berbahaya dan bisa-bisa Dewi Srikandi terluka nantinya. Namun, Dewi Srikandi
terus memaksa sambil mengejek Prabu Jungkungmardeya pengecut, sehingga membuat
lawannya itu tersinggung dan menerima tantangannya.
Maka, Prabu Jungkungmardeya pun melepaskan panah ke arah Dewi Srikandi,
sedangkan Dewi Srikandi melepaskan panah ke arah Prabu Jungkungmardeya.
Demikianlah, kedua panah itu sama-sama meluncur dan akhirnya bertemu di udara.
Sungguh luar biasa hasil pelajaran yang diberikan Raden Arjuna. Anak panah yang
dilepaskan oleh Dewi Srikandi begitu dahsyat dan berhasil membelah panah lawan menjadi
dua. Kemudian, panah itu terus meluncur hingga menancap di leher Prabu
Jungkungmardeya.
Prabu Jungkungmardeya melotot tidak percaya. Sekejap kemudian, ia pun roboh
kehilangan nyawa. Patih Jayasudarga terkejut melihat pemandangan ini. Ia pun segera
pergi sambil mengancam akan melakukan balas dendam atas kematian rajanya.

Prabu Jungkungmardeya

DEWI SUMBADRA BERANGKAT MELAMAR DEWI SRIKANDI


Sementara itu, Raden Arjuna jatuh sakit sejak peristiwa kepergian Dewi Srikandi
meninggalkan Kesatrian Madukara. Para Pandawa lainnya datang menjenguk dan
memberikan penghiburan. Prabu Puntadewa berjanji akan memberikan seperangkat
gamelan baru asalkan adiknya itu bisa segera sembuh. Arya Wrekodara berjanji akan
memberikan sebilah keris baru, begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa
berjanji akan memberikan pakaian baru untuk Raden Arjuna. Namun, Raden Arjuna tetap
saja terkulai lemah di atas ranjang.
Dewi Sumbadra yang memahami suami segera berjanji akan meminang calon istri
baru dari Kerajaan Cempalareja asalkan Raden Arjuna segera pulih. Mendengar itu, Raden
Arjuna membuka mata dan segera bangun dari tempat tidur. Dewi Sumbadra tersenyum
dan segera mengajak Niken Larasati berangkat membawa segala perlengkapan lamaran.
Raden Arjuna didampingi Raden Gatutkaca dan para panakawan pun berjalan di belakang
mereka.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Wara Sumbadra

DEWI SRIKANDI MENGAJUKAN SYARAT


Singkat cerita, rombongan yang dipimpin Dewi Sumbadra telah sampai di istana
Cempalareja dan langsung menghadap Prabu Drupada dan Dewi Gandawati. Dewi
Sumbadra berterus terang bahwa dirinya ingin melamar Dewi Srikandi menjadi madu, yaitu
sebagai istri muda Raden Arjuna, suaminya sendiri.
Prabu Drupada sangat terkejut mendengar lamaran aneh ini. Biasanya wanita akan
marah-marah apabila suaminya menikah lagi, tetapi Dewi Sumbadra justru mencarikan istri
baru untuk Raden Arjuna. Dewi Sumbadra menjawab dirinya sudah mengenal bagaimana
watak suaminya. Raden Arjuna mendapat karunia Tuhan memiliki kasih sayang yang
berlimpah. Suaminya itu mampu mencintai istri baru tanpa mengurangi sedikit pun kasih
sayangnya terhadap istri yang lama.
Prabu Drupada tertawa senang bercampur heran. Ia pun mempersilakan Dewi
Srikandi untuk menjawab lamaran tersebut. Dewi Srikandi dalam hati sangat mencintai
Raden Arjuna. Namun, ia menjawab ketus bahwa Raden Arjuna adalah laki-laki yang tidak
bertanggung jawab dan memikirkan keselamatan diri sendiri. Saat dirinya dilabrak dan
dicaci-maki oleh Dewi Drupadi, Raden Arjuna justru kabur tanpa melakukan pembelaan.
Dewi Srikandi menyatakan dirinya tidak butuh laki-laki. Ia merasa mampu melindungi
diri sendiri, bahkan Prabu Jungkungmardeya yang sakti saja tewas di tangannya. Dewi
Sumbadra pun menasihati agar Dewi Srikandi jangan takabur. Sehebat-hebatnya
perempuan tetap saja butuh kasih sayang laki-laki. Perempuan tidak dapat hidup sendiri,
demikian pula dengan laki-laki. Keduanya saling membutuhkan. Kini Raden Arjuna datang
bersama dirinya ke istana Cempalareja adalah untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Dewi Srikandi merasa bimbang hendak menerima atau menolak. Namun, dirinya
teringat caci maki sang kakak sulung yang menyebutnya sebagai wanita murahan. Maka,
demi untuk menaikkan harga diri, ia pun menantang Dewi Sumbadra untuk memenuhi
syarat yang diajukannya. Ia menyatakan bersedia menikah asalkan ada perempuan lain
yang bisa mengalahkan dirinya.
Sungguh tak disangka, Dewi Sumbadra menjawab bersedia. Ia berkata bahwa di dunia
ini wanita petarung bukan hanya Dewi Srikandi seorang, karena adiknya yang sekaligus
menjadi madunya juga seorang prajurit terlatih. Usai berkata demikian, Dewi Sumbadra pun
mempersilakan Niken Larasati untuk maju melayani tantangan Dewi Srikandi.
KITAB WAYANG PURWA

PERTARUNGAN NIKEN LARASATI DENGAN DEWI SRIKANDI


Niken Larasati dan Dewi Srikandi kini telah berhadap-hadapan di halaman istana.
Keduanya pun mulai bertarung dengan disaksikan banyak orang, antara lain Prabu
Drupada, Dewi Gandawati, Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, Raden Drestajumena, dan
Raden Gatutkaca.
Meskipun hanya tiga bulan Dewi Srikandi berlatih pada Raden Arjuna, namun
keterampilannya bertarung sungguh luar biasa. Ia mampu membuat Niken Larasati terdesak
oleh serangannya yang gencar. Namun, Niken Larasati adalah murid Prabu Kresna saat
masih bernama Raden Narayana dulu. Meskipun terdesak, ia tetap pantang menyerah
dengan semangat membara demi kemenangan Dewi Sumbadra. Pertahanannya sangat
kuat, membuat Dewi Srikandi lama-lama merasa lelah juga.
Dewi Srikandi menghentikan pertarungan dan ganti menantang Niken Larasati adu
keterampilan memanah. Prabu Drupada meminta kepada putrinya itu agar jangan sampai
jatuh korban seperti Prabu Jungkungmardeya. Maka, yang menjadi sasaran hendaknya
bukan tubuh lawan, tetapi sebutir telur burung pipit yang diletakkan di atas tiang. Dewi
Srikandi setuju dan segera meminta Raden Drestajumena untuk membuatkan sasaran
tersebut.
Dewi Srikandi mendapat giliran pertama membidik. Dengan perasaan takabur karena
telah berhasil menewaskan Prabu Jungkungmardeya, ia pun melepaskan panahnya dan
tepat mengenai telur burung pipit tersebut, hingga terpental dan jatuh di tanah. Para
penonton pun bersorak memuji kehebatan Dewi Srikandi.
Ketika giliran Niken Larasati membidik, Raden Arjuna pun berbisik kepada istrinya itu
agar jangan sampai menjatuhkan telur dari tiang. Niken Larasati paham dan segera
membidik dengan tenang. Ia pun mengheningkan cipta, memohon kepada dewata agar
mendapat kemenangan untuk Dewi Sumbadra, dan juga demi kebahagiaan sang suami.
Setelah hatinya mantap, Niken Larasati pun melepaskan panahnya. Anak panah itu
melesat dan tepat menancap pada telur burung pipit di atas tiang tersebut. Telur itu tetap
berada pada tempatnya, tidak goyah sedikit pun, hanya isinya yang menetes ke tanah.
Sungguh kagum para hadirin menyaksikan keterampilan Niken Larasati dalam
memanah. Dewi Srikandi berkali-kali memuji sekaligus merasa malu karena merasa dirinya
adalah satu-satunya wanita yang pandai bertarung dan memanah. Ia lalu memeluk Niken
Larasati dan mengakui kekalahannya di hadapan semua orang.
RESI DEWANGKARA MEMBAKAR TAMAN MAHERAKACA
Tiba-tiba Patih Drestaketu datang melapor bahwa Patih Jayasudarga dan pasukan
Paranggubarja datang kembali untuk mengacau Kerajaan Cempalareja. Kali ini mereka
datang bersama seorang pendeta sakti bernama Resi Dewangkara. Kedatangan mereka
adalah untuk membalas kematian Prabu Jungkungmardeya di tangan Dewi Srikandi tempo
hari.
Raden Arjuna dan Raden Gatutkaca segera mohon izin untuk menghadapi serangan
tersebut. Mereka lalu bahu-membahu bersama pasukan Cempalareja melawan gempuran
musuh. Resi Dewangkara ternyata ayah kandung sekaligus guru Prabu Jungkungmardeya.
Dahulu kala Prabu Jungkungmardeya memiliki nama asli Bambang Jungkung, hanya
seorang pemuda gunung biasa. Berkat pendidikan keras dari ayahnya, ia mampu
mengalahkan Prabu Jayasudarga dan merebut takhta Kerajaan Paranggubarja.
Prabu Jayasudarga yang telah turun pangkat menjadi patih, hari ini akhirnya tewas di
tangan Raden Gatutkaca. Kepalanya ditarik putus dan dilemparkan ke arah pasukan
KITAB WAYANG PURWA

Paranggubarja. Para prajurit pun berhamburan melihat pemimpin mereka gugur. Sementara
itu, Resi Dewangkara masih bertarung melawan Raden Arjuna. Meskipun kesaktiannya di
atas Prabu Jungkungmardeya, tetapi menghadapi Raden Arjuna jelas tidak mudah.
Keduanya pun bertarung sengit berusaha saling menjatuhkan. Hingga pada suatu
kesempatan, Keris Pulanggeni di tangan Raden Arjuna berhasil merobek perut Resi
Dewangkara.
Resi Dewangkara pun terluka parah. Menjelang ajal ia sempat mengheningkan cipta
sambil membaca mantra. Seketika tubuhnya pun musnah dan berubah menjadi seberkas
cahaya seukuran kunang-kunang. Cahaya tersebut melesat kencang dan jatuh di dalam
Taman Maherakaca. Seketika taman indah itu pun terbakar hebat.

DEWI SRIKANDI MENGADAKAN SAYEMBARA MEMBANGUN TAMAN


Patih Drestaketu dan para prajurit segera berjuang memadamkan kebakaran. Tidak
lama kemudian api pun telah padam. Namun, Taman Maherakaca kini hanya tinggal puing-
puing belaka. Segala macam tanaman indah dan pepohonan asri telah berubah menjadi
arang dan abu mengenaskan.
Dewi Srikandi sangat sedih melihat keadaan taman tersebut. Taman Maherakaca dulu
dibangun sang ayah khusus untuk dirinya. Waktu itu Prabu Drupada prihatin melihat Dewi
Srikandi yang bersifat kelaki-lakian, sehingga ia pun membangun taman indah sebagai
tempat putrinya belajar cara menjadi perempuan yang anggun. Namun tetap saja, Dewi
Srikandi menggunakan Taman Maherakaca sebagai tempat untuk berlatih perang-
perangan.
Kini Dewi Srikandi sangat berduka melihat taman miliknya telah hangus terbakar.
Karena terbawa amarah, ia pun bersumpah tidak ingin menikah, kecuali dengan laki-laki
yang mampu memperbaiki Taman Maherakaca hanya dalam waktu semalam saja. Raden
Arjuna terkejut mendengar sumpah tersebut. Ia pun mohon pamit kepada Prabu Drupada
dan bergegas pergi mencari sarana untuk mewujudkan syarat yang diajukan Dewi Srikandi
itu.
Prabu Drupada sebenarnya senang jika Dewi Srikandi menjadi istri Raden Arjuna,
namun putrinya sudah terlanjur bersumpah demikian. Maka, ia tidak dapat berbuat apa-apa
lagi selain memberikan doa restu semoga semuanya berjalan lancar. Setelah dirasa cukup,
Dewi Sumbadra didampingi Niken Larasati dan Raden Gatutkaca pun mohon pamit kembali
ke Kerajaan Amarta, sedangkan panakawan Kyai Semar beserta anak-anaknya berangkat
menyusul kepergian Raden Arjuna.

Para panakawan Raden Arjuna

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BANGUN TAMAN MAHERAKACA


Kisah ini menceritakan tentang sayembara membangun kembali Taman Maherakaca
dalam waktu semalam untuk memperebutkan Dewi Srikandi putri Prabu Drupada.
Sayembara ini diikuti oleh Resi Druna dan Raden Arjuna, serta dikisahkan pula tetang
kematian Raden Supali, adik Prabu Supala.
Pada umumnya sayembara ini dimenangkan oleh Raden Arjuna. Namun, dalam kisah
kali ini saya menceritakan Raden Arjuna mengikuti sayembara tersebut dalam
penyamarannya sebagai Tumenggung Cakranegara.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo, yang saya padukan dengan naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo dan naskah Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 6 Maret 2017
Heri Purwanto

RADEN ARJUNA MENGHILANG DARI KESATRIAN MADUKARA


Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap kedua adik kembarnya, yaitu Raden
Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca. Hadir
pula dua sepupu para Pandawa, yaitu Prabu Kresna Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati
dan Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Kedua raja itu datang ke istana Indraprasta
untuk sekalian mengajak Prabu Puntadewa pergi bersama menuju Kerajaan Cempalareja.
Rupanya mereka telah mendapatkan undangan dari Prabu Drupada untuk mengikuti
sayembara membangun Taman Maherakaca yang telah hangus terbakar oleh perbuatan
Resi Dewangkara beberapa waktu yang lalu.
Prabu Puntadewa menjelaskan dirinya juga mendapat undangan serupa dari sang
mertua. Ia bercerita bahwa pada mulanya Dewi Srikandi pergi tanpa pamit untuk berguru
ilmu panah kepada Raden Arjuna di Kesatrian Madukara. Setelah lulus, ia pun kembali ke
KITAB WAYANG PURWA

Cempalareja dan berhasil menewaskan Prabu Jungkungmardeya, yaitu raja Paranggubarja


yang hendak melamarnya. Di saat yang sama, Raden Arjuna pun jatuh cinta kepada Dewi
Srikandi dan bermaksud meminangnya pula. Dewi Srikandi lalu mengajukan syarat bahwa
dirinya bersedia menikah asalkan ada petarung wanita lain yang bisa mengalahkannya.
Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra pun mengajukan Niken Larasati untuk bertanding
melawan Dewi Srikandi.
Dalam pertarungan tersebut, Dewi Srikandi kalah. Namun, belum sempat ia menerima
lamaran Raden Arjuna, tiba-tiba datang Resi Dewangkara dan Patih Jayasudarga
mengamuk untuk membalaskan kematian Prabu Jungkungmardeya. Patih Jayasudarga
akhirnya tewas di tangan Raden Gatutkaca, sedangkan Resi Dewangkara tewas di tangan
Raden Arjuna. Namun, sebelum nyawanya putus, Resi Dewangkara sempat mengerahkan
kesaktiannya untuk membakar Taman Maherakaca sampai hangus menjadi abu.
Dewi Srikandi sangat sedih melihat taman yang dulu dibangun sang ayah khusus
untuknya kini telah terbakar habis. Ia pun bersumpah hanya bersedia menikah dengan
orang yang bisa membangun kembali Taman Maherakaca sama persis seperti sediakala
dalam waktu semalam. Mendengar sumpah tersebut, Raden Arjuna segera pergi bersama
para panakawan untuk mencari sarana demi mewujudkannya.
Demikianlah Prabu Puntadewa bercerita. Karena belum juga mendapat kabar dari
Raden Arjuna, maka ia pun mengirim adik nomor dua, yaitu Arya Wrekodara untuk pergi
mencari. Namun sekarang, Arya Wrekodara justru ikut menghilang pula dan tidak diketahui
kabarnya.
Prabu Kresna berkata bahwa dirinya dan juga Prabu Baladewa mendapat undangan
dari Prabu Drupada untuk ikut mewujudkan sumpah Dewi Srikandi. Namun, mereka berdua
tidak berminat mengikuti sayembara tersebut, melainkan hanya ingin menyaksikan saja.
Maka, kedua raja itu pun berangkat bersama menuju Kerajaan Cempalareja, tetapi lebih
dahulu singgah ke Amarta untuk sekalian mengajak serta Prabu Puntadewa dan para
Pandawa lainnya. Mengenai hilangnya Raden Arjuna dan Arya Wrekodara, Prabu Kresna
yakin mereka berdua tetap dalam lindungan dewata dan pasti muncul di Kerajaan
Cempalareja. Oleh sebab itu, sebaiknya Prabu Puntadewa menunggu kedua adiknya itu di
sana.
Prabu Puntadewa menerima saran Prabu Kresna dan Prabu Baladewa. Ketika hendak
membubarkan pertemuan, tiba-tiba sang permaisuri Dewi Drupadi muncul dan memohon
untuk diajak ikut serta. Prabu Puntadewa menyarankan agar nanti saja apabila sayembara
telah selesai dan pemenangnya ditentukan, barulah istrinya itu menyusul untuk menghadiri
upacara pernikahan Dewi Srikandi. Namun, Dewi Drupadi menolak. Ia mohon izin ikut
sekarang juga karena ingin meminta maaf kepada Dewi Srikandi atas perlakuan kasarnya
di Kesatrian Madukara tempo hari. Mendengar alasan sang istri, Prabu Puntadewa akhirnya
bersedia mengajak Dewi Drupadi ikut serta.
Demikianlah, Prabu Puntadewa pun membubarkan pertemuan. Raden Gatutkaca
diajak serta mendampingi kepergiannya menuju Kerajaan Cempalareja, sedangkan si
kembar dan Patih Tambakganggeng tetap tinggal untuk menjaga keamanan istana
Indraprasta.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Puntadewa

RADEN SUPALI HENDAK MENCULIK DEWI SRIKANDI


Sementara itu di Kerajaan Cedi, Prabu Supala dihadap adiknya yang bernama Raden
Supali. Prabu Supala ini tidak lain adalah putra Prabu Darmagosa dan Dewi Srutawati yang
dulu dilahirkan dalam keadaan cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga lengan, dan tiga kaki. Ia
baru bisa menjadi bayi normal setelah diruwat oleh Prabu Kresna saat masih bernama
Raden Narayana. Tidak hanya itu, bayi Prabu Supala juga berubah menjadi dewasa dalam
waktu sekejap dan menjadi murid Raden Narayana. Adapun sang adik, yaitu Raden Supali
tercipta dari ari-ari Prabu Supala.
Kini Prabu Supala telah duduk di atas takhta Kerajaan Cedi menggantikan ayahnya
yang telah meninggal. Ia pun menjalin persahabatan dengan Prabu Jarasanda raja Magada.
Pada suatu hari Prabu Jarasanda berniat melamar Dewi Rukmini putri Prabu Bismaka di
Kerajaan Kumbina untuk menjadi istri Prabu Supala. Namun sayang sekali, mereka
terlambat karena Dewi Rukmini telah resmi menjadi istri Raden Narayana (Prabu Kresna).
Hal ini membuat Prabu Supala membenci gurunya itu dan semakin erat bersahabat dengan
Prabu Jarasanda yang juga menyimpan dendam atas kematian Prabu Kangsa beberapa
tahun silam.
Prabu Supala kali ini dihadap Raden Supali yang merengek ingin dinikahkan dengan
Dewi Srikandi, putri Kerajaan Cempalareja. Prabu Supala pun berkata bahwa dirinya
mendengar kabar tentang Dewi Srikandi yang mengadakan sayembara, yaitu bersedia
menikah hanya dengan orang yang bisa memulihkan Taman Maherakaca yang sudah
hangus dalam waktu semalam. Sayembara sulit semacam itu mana mungkin bisa
diwujudkan oleh Raden Supali? Maka, sebaiknya Raden Supali mengurungkan niatnya
untuk memperistri Dewi Srikandi daripada mendapat malu seperti yang dulu pernah dialami
Prabu Supala saat terlambat meminang Dewi Rukmini.
Raden Supali tidak peduli. Ia sudah bertekad bulat ingin memperistri Dewi Srikandi.
Dirinya memang tidak memiliki kesaktian sihir untuk memperbaiki Taman Maherakaca
dalam waktu semalam, namun ia memiliki Aji Sirep yang dapat digunakan untuk menculik
Dewi Srikandi. Usai berkata demikian, Raden Supali pun melesat pergi meninggalkan
istana.
Prabu Supala khawatir atas nasib adiknya. Ia lalu memerintahkan Patih Indrawaka
untuk menyusul kepergian Raden Supali dengan membawa pasukan secukupnya.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Supala

PASUKAN CEDI BERTEMPUR DENGAN PASUKAN AMARTA


Patih Indrawaka dan pasukannya pun berangkat melaksanakan tugas. Di tengah jalan
mereka bertemu dengan rombongan Prabu Puntadewa, Prabu Kresna, dan Prabu
Baladewa yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Cempalareja. Sikap kasar Patih
Indrawaka telah membuat tersinggung Arya Setyaki yang berada di barisan paling depan.
Terjadilah pertikaian di antara mereka yang berlanjut dengan pertempuran. Jumlah
rombongan dari Kerajaan Amarta memang lebih sedikit, namun ada Arya Setyaki dan
Raden Gatutkaca di sana yang membuat pasukan Kerajaan Cedi porak-poranda.
Patih Indrawaka yang merasa terdesak akhirnya menarik mundur pasukannya.
Mereka pun mencari jalan lain untuk menghindari rombongan dari Kerajaan Amarta
tersebut.

RESI DRUNA MENGIKUTI SAYEMBARA MEMBANGUN TAMAN


Sementara itu di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana dihadap Resi Druna dan Patih
Sangkuni. Mereka membahas tentang berita sayembara membangun Taman Maherakaca
dalam waktu semalam di Kerajaan Cempalareja. Prabu Duryudana memohon kepada Resi
Druna agar mengikuti sayembara tersebut karena ia yakin pada kesaktian sang guru.
Apabila Resi Druna berhasil memperistri Dewi Srikandi, maka Kerajaan Hastina akan
mendapat banyak keuntungan.
Keuntungan pertama, Prabu Drupada raja Cempalareja beserta Raden Drestajumena
akan menjadi sekutu para Kurawa. Kedua, Dewi Srikandi yang pandai memanah dan
mampu menewaskan Prabu Jungkungmardeya bisa menjadi kepala prajurit wanita di
Kerajaan Hastina. Ketiga, Resi Druna bisa mendapatkan seorang istri cantik dan bisa
memperbaiki hubungan pertemanan dengan Prabu Drupada.
Resi Druna sangat tertarik mendengarnya. Ia pun menyatakan bersedia dan segera
berangkat menuju Cempalareja dengan ditemani Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana

RADEN ARJUNA MENDAPAT PUSAKA DARI BATARA KAMAJAYA DAN BATARI


RATIH
Raden Arjuna yang lama menghilang dari Kesatrian Madukara ternyata sedang
bertapa di Hutan Jatirokeh untuk mendapatkan pusaka dari dewata sebagai sarana
memperbaiki Taman Maherakaca. Tiba-tiba saja dirinya diserang oleh sepasang raksasa
suami-istri yang sedang mencari mangsa.
Raden Arjuna pun bertarung menghadapi raksasa dan raksasi itu. Selang agak lama
barulah ia berhasil menewaskan mereka. Sungguh ajaib, mayat kedua lawannya itu musnah
dan berubah menjadi Batara Kamajaya dan Batari Ratih. Raden Arjuna pun menyembah
hormat kepada mereka berdua.
Batara Kamajaya yang menganggap Raden Arjuna sebagai adik angkat pun
menjelaskan bahwa dirinya diutus Batara Guru untuk menyerahkan pusaka Candusakti dan
Mustikaning Sri sebagai sarana untuk memperbaiki Taman Maherakaca. Batara Kamajaya
juga mengabarkan bahwa Raden Arjuna harus bersaing melawan gurunya sendiri, yaitu
Resi Druna yang saat ini sudah berangkat untuk mengikuti sayembara di Kerajaan
Cempalareja tersebut. Usai memberikan restu, Batara Kamajaya dan Batari Ratih segera
undur diri kembali ke Kahyangan Cakrakembang.

Batara Kamajaya
KITAB WAYANG PURWA

RADEN ARJUNA DAN ARYA WREKODARA MENYAMAR SEBAGAI TUMENGGUNG


Raden Arjuna termangu-mangu mendengar berita bahwa sang guru juga mengikuti
sayembara membangun Taman Maherakaca. Ia menjadi bimbang apakah harus tetap
melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Cempalareja, ataukah cukup sampai di sini saja.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba Arya Wrekodara datang dan bergembira karena akhirnya
dapat menemukan adiknya yang lama hilang tersebut.
Arya Wrekodara berkata bahwa dirinya diutus sang kakak sulung (Prabu Puntadewa)
untuk mencari hilangnya Raden Arjuna. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya ia dapat
menemukan sang adik di dalam Hutan Jatirokeh bersama para panakawan.
Raden Arjuna berkata bahwa dirinya bertapa untuk memohon anugerah dewata
sebagai sarana memperbaiki Taman Maherakaca. Tapa brata tersebut diterima, di mana
Batara Kamajaya dan Batari Ratih turun menyerahkan pusaka Candusakti dan Mustikaning
Sri kepadanya. Namun, kedua dewa-dewi itu juga mengabarkan bahwa Resi Druna telah
berangkat untuk mengikuti sayembara di Kerajaan Cempalareja. Hal inilah yang membuat
Raden Arjuna bimbang.
Arya Wrekodara bertanya mengapa adiknya itu bimbang. Raden Arjuna pun menjawab
bahwa ia sangat segan bersaing dengan guru sendiri, yang selama ini telah berjasa besar
mengajarkan banyak ilmu kepadanya. Sungguh memalukan apabila seorang murid harus
bersaing dengan gurunya sendiri demi memperebutkan perempuan. Apa mungkin
sebaiknya Raden Arjuna berhenti sampai di sini saja?
Arya Wrekodara menasihati Raden Arjuna agar jangan hanya melihat perasaan sendiri
tetapi juga harus membayangkan bagaimana perasaan Dewi Srikandi. Jika memang Dewi
Srikandi mencintai Raden Arjuna, mengapa pula harus ragu untuk bersaing dengan Resi
Druna. Apabila sampai Resi Druna yang menang, kira-kira bagaimana perasaan Dewi
Srikandi bersanding dengan seorang pria tua buruk rupa? Lagipula dewata telah
menurunkan dua pusaka, itu berarti Raden Arjuna mendapat restu dari Kahyangan untuk
berjodoh dengan Dewi Srikandi.
Raden Arjuna senang mendengar dorongan semangat dari kakaknya, namun ia masih
bimbang dalam dua hal. Pertama, ia segan bersaing dengan guru sendiri, dan yang kedua,
ia ragu apakah Dewi Srikandi benar-benar masih mencintainya setelah peristiwa tempo hari.
Saat itu, Dewi Drupadi datang ke Kesatrian Madukara melabrak Dewi Srikandi, sedangkan
Raden Arjuna merasa malu dan segera lari bersembunyi. Ia ragu jangan-jangan
perbuatannya itu telah melunturkan perasaan cinta Dewi Srikandi kepadanya.
Mendengar itu, Kyai Semar menyarankan agar Raden Arjuna menyamar saja saat
mengikuti sayembara nanti. Dengan demikian, Resi Druna tidak akan malu karena
dikalahkan oleh orang lain, bukan oleh murid sendiri. Selain itu, Raden Arjuna dalam wujud
samaran juga bisa mencari tahu apakah Dewi Srikandi masih mencintainya atau tidak.
Apabila Raden Arjuna tampil dalam wujud asli, tentunya akan sangat malu jika ditolak oleh
Dewi Srikandi.
Arya Wrekodara mendukung saran Kyai Semar dan ia bersedia ikut menyertai sang
adik menyamar. Raden Arjuna menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia mengganti
penampilan. Raden Arjuna pun memakai nama samaran Tumenggung Cakranegara,
sedangkan Arya Wrekodara memakai nama Tumenggung Sindulaga. Adapun para
panakawan juga ikut menyamar pula. Kyai Semar mengganti nama menjadi Kyai Sidanaya,
Nala Gareng memakai nama Sidamaju, Petruk memakai nama Sidarame, sedangkan
Bagong memakai nama Sidamurah. Mereka berenam lalu berangkat menuju Kerajaan
Cempalareja.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna

DEWI DRUPADI MEMINTA MAAF KEPADA DEWI SRIKANDI


Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) telah menerima
kedatangan Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, dan juga Dewi Drupadi. Ia
bertanya apakah ketiga raja berniat mengikuti sayembara memperbaiki Taman
Maherakaca. Prabu Kresna yang mewakili bicara menjelaskan bahwa mereka datang hanya
sebagai penonton saja, yaitu ingin menyaksikan siapa kira-kira manusia sakti yang mampu
mewujudkan sumpah Dewi Srikandi.
Dalam kesempatan itu, Dewi Drupadi pun berkata bahwa dirinya ingin meminta maaf
atas perbuatan kasarnya kepada Dewi Srikandi tempo hari. Prabu Drupada senang
mendengarnya dan segera memanggil Dewi Srikandi agar keluar. Dewi Srikandi pun datang
dan segera disambut Dewi Drupadi dengan berlinang air mata. Dewi Drupadi di hadapan
semua orang berkata bahwa dirinya menyesal telah melabrak dan juga memukul adiknya
sendiri di Taman Maduganda. Ia sungguh-sungguh ingin meminta maaf kepada adiknya itu
dengan disaksikan para hadirin saat ini juga.
Dewi Srikandi hanya terdiam, dan ini membuat Dewi Drupadi semakin sedih. Dewi
Drupadi pun bersumpah semoga kelak dirinya ganti dipermalukan di depan umum, sama
seperti saat ia menjambak dan menampar sang adik di hadapan Raden Arjuna tempo hari.
Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar pertanda dewata menyaksikan sumpah Dewi
Drupadi. Dewi Srikandi pun gemetar ketakutan. Ia lalu memeluk kakak sulungnya itu erat-
erat. Sambil menangis ia berkata bahwa dirinya telah memaafkan perbuatan kasar sang
kakak dan tidak perlu bersumpah seperti itu.
Sambil tetap berangkulan, Dewi Srikandi kemudian mengajak Dewi Drupadi masuk ke
dalam untuk meninjau Taman Maherakaca yang telah hangus menjadi puing-puing.

RESI DRUNA MELAMAR DEWI SRIKANDI


Tidak lama kemudian Resi Druna pun datang dengan didampingi Prabu Duryudana
dan Patih Sangkuni. Prabu Drupada menyambut mereka dengan ramah. Resi Druna
berterus terang bahwa dirinya berniat melamar Dewi Srikandi sebagai istri. Apabila Prabu
Drupada mengabulkan, maka ini dapat memperbaiki pertikaian di antara mereka pada masa
yang lalu.
Belasan tahun silam Resi Druna pernah mengalami penghinaan yang dilakukan oleh
Arya Gandamana, adik ipar Prabu Drupada. Tubuhnya disiksa dari yang semula tampan
menjadi buruk rupa. Setelah diterima bekerja sebagai guru para Kurawa dan Pandawa, Resi
KITAB WAYANG PURWA

Druna pun membalas penghinaan tersebut dengan cara mengirim murid-muridnya untuk
menyerang Kerajaan Pancala. Akhirnya, Prabu Drupada dapat diringkus oleh Raden
Arjuna, sedangkan Arya Gandamana mengaku kalah kepada Raden Bimasena
(Wrekodara). Berkat kemenangan murid-muridnya itulah, Resi Druna dapat menguasai
Kerajaan Pancala. Ia lalu membagi kerajaan ini menjadi dua, yaitu bagian utara untuk
dirinya, sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Prabu Drupada. Maka, Prabu
Drupada pun membangun istana baru di Pancala Selatan, yang diberi nama Kerajaan
Cempalareja.
Resi Druna kini datang untuk memperbaiki hubungan tersebut. Apabila dirinya bisa
menikah dengan Dewi Srikandi, maka ia berjanji akan mengembalikan wilayah Pancala
Utara, sehingga Prabu Drupada bisa kembali memimpin Kerajaan Pancala secara utuh
seperti sediakala. Untuk itu, ia menyarankan sebaiknya sayembara membangun Taman
Maherkaca dibatalkan saja. Prabu Drupada lebih baik langsung menerima lamaran Resi
Druna dan sekaligus menerima wilayah Pancala Utara tanpa perlu bersusah payah segala.
Prabu Drupada merasa bimbang mendengar tawaran Resi Druna. Namun, ia sadar
sebagai seorang raja tidak boleh seenaknya mengubah-ubah keputusan. Ia juga telah
berjanji akan mendukung penuh sumpah putrinya yang ingin memperbaiki harga diri. Maka,
ia pun berkata bahwa dirinya sudah puas hanya memimpin wilayah Pancala Selatan saja.
Mengenai lamaran Resi Druna kepada Dewi Srikandi, tetap harus melalui sayembara
membangun Taman Maherakaca.
Resi Druna, Prabu Duryudana, dan Patih Sangkuni kecewa mendengar keputusan
Prabu Drupada. Resi Druna lalu meminta izin untuk melihat Taman Maherakaca. Prabu
Drupada pun mempersilakannya dan memerintahkan Raden Drestajumena untuk ikut
mengantar.

RESI DRUNA MENCOBA MEMPERBAIKI TAMAN MAHERAKACA


Sesampainya di dalam, Resi Druna melihat Taman Maherakaca sudah hangus
menjadi puing-puing, serta kolam-kolam pun surut airnya. Di sana ia melihat Dewi Srikandi
dan Dewi Drupadi sedang meninjau taman rusak tersebut. Kedua perempuan itu
menyembah memberi hormat, kemudian segera pergi meninggalkan tempat itu.
Resi Druna lalu bersamadi mengheningkan cipta memohon bantuan dewata. Namun,
perasaannya selalu gelisah karena terbayang-bayang wajah Dewi Srikandi yang baru saja
dilihatnya. Berkali-kali Resi Druna mengulang samadi, namun tetap saja bayangan Dewi
Srikandi yang muncul di dalam benaknya. Hingga akhirnya ia pun tertidur di dalam
samadinya yang entah sudah diulangi berapa kali.
Prabu Drupada datang meninjau dan membangunkan Resi Druna yang ketiduran.
Resi Druna geragapan dan segera berkata bahwa dirinya telah bersamadi untuk
memperbaiki Taman Maherakaca secara gaib. Ia yakin besok pagi taman rusak tersebut
pasti pulih kembali seperti sediakala.
Prabu Drupada bimbang apakah benar demikian. Namun, biarlah waktu saja yang
menjawabnya. Ia lalu mempersilakan Resi Druna beserta rombongan dari Kerajaan Hastina
untuk beristirahat di kamar tamu yang telah disediakan karena malam semakin larut.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Druna

TUMENGGUNG CAKRANEGARA MELAMAR DEWI SRIKANDI


Setelah Resi Druna dan rombongan pergi beristirahat, Prabu Drupada menerima
kedatangan Tumenggung Cakranegara, Tumenggung Sindulaga, dan para panakawan.
Tumenggung Cakranegara memperkenalkan dirinya dan juga Tumenggung Sindulaga
adalah dua perwira dari Kerajaan Parangteja di seberang lautan yang mendengar kabar
bahwa Prabu Drupada raja Cempalareja mengadakan sayembara untuk memperebutkan
Dewi Srikandi. Untuk itu, ia pun berniat mengikuti sayembara tersebut.
Prabu Drupada berkata bahwa sayembara ini sangat sulit, yaitu memperbaiki Taman
Maherakaca yang sudah rusak parah agar kembali pulih seperti sediakala hanya dalam
waktu semalam saja. Tumenggung Cakranegara menjawab sanggup. Prabu Drupada lalu
meminta pendapat ketiga raja karena dirinya merasa bimbang ada dua perwira yang tidak
jelas asal usulnya ingin mengikuti sayembara.
Prabu Kresna yang berpandangan tajam dapat mengenali siapa sebenarnya
Tumenggung Cakranegara dan Tumenggung Sindulaga, yang tidak lain adalah
penyamaran Raden Arjuna dan Arya Wrekodara. Ia lalu berkata kepada Prabu Drupada
agar mempersilakan mereka mengikuti sayembara, karena jodoh Dewi Srikandi bisa saja
berasal dari tempat yang tidak terduga. Mendengar itu, Prabu Drupada pun setuju dan
mempersilakan mereka berdua untuk masuk ke dalam taman.
Tumenggung Cakranegara segera masuk menuju Taman Maherakaca dengan diantar
Raden Drestajumena, sedangkan Tumenggung Sindulaga dan para panakawan menunggu
di luar. Sesampainya di sana, Tumenggung Cakranegara lalu mengeluarkan pusaka
pemberian dewata berupa Candusakti dan Mustikaning Sri. Kemampuan pusaka
Candusakti adalah mampu memperbaiki tembok yang roboh menjadi tegak kembali, serta
kolam yang kering menjadi kembali berisi air jernih. Ikan-ikan yang tadinya mati pun kembali
hidup dan berenang-renang di dalam kolam. Sementara itu, pusaka Mustikaning Sri mampu
membuat tanah kembali gembur, serta tanaman yang hangus kembali tumbuh subur dan
berbunga lebat.
Raden Drestajumena takjub melihat kehebatan Tumenggung Cakranegara dalam
memperbaiki Taman Maherakaca dalam waktu singkat. Ia pun hendak berlari memberi tahu
sang ayah tetapi tiba-tiba matanya sangat mengantuk seperti terkena ilmu sirep. Tanpa
sadar Raden Drestajumena pun jatuh tertidur dengan bersandar di sebatang pohon.
Melihat itu, Tumenggung Cakranegara yakin pasti ada yang tidak beres. Ia pun segera
mengheningkan cipta sambil membaca mantra penangkal sirep agar dirinya tetap terjaga.
KITAB WAYANG PURWA

Tumenggung Sindulaga

RADEN SUPALI MENCURI SENJATA NANGGALA


Saat itu Raden Supali dari Kerajaan Cedi telah menyusup masuk ke dalam istana
Cempalareja untuk menculik Dewi Srikandi. Terlebih dahulu ia mengerahkan Aji Sirep untuk
membuat semua penghuni istana tertidur pulas. Satu persatu kamar dibukanya, mulai dari
kamar tidur Prabu Drupada, Prabu Duryudana, Resi Druna, Patih Sangkuni, Prabu
Puntadewa, dan yang paling menarik perhatiannya adalah kamar tidur yang berisi Prabu
Baladewa.
Malam itu Prabu Baladewa tertidur pulas akibat pengaruh ilmu sirep Raden Supali.
Dalam tidurnya itu, Prabu Baladewa mimpi bertarung melawan Prabu Kangsa yang hidup
kembali. Ia pun mengigau dan membaca mantra untuk mengeluarkan senjata Nanggala.
Akibatnya, senjata tersebut benar-benar keluar dari tangan Prabu Baladewa di alam nyata.
Raden Supali terkejut melihat ada pusaka keluar dari tangan Prabu Baladewa yang
sedang tidur. Ia pun segera mengambil pusaka tersebut dan membawanya pergi keluar
kamar.

Prabu Baladewa

TUMENGGUNG CAKRANEGARA MEMBUNUH RADEN SUPALI


Raden Supali lalu tersesat ke dalam Taman Maherakaca di mana ia melihat Raden
Drestajumena tertidur pulas dengan bersandar pada sebatang pohon, sedangkan
Tumenggung Cakranegara sedang sibuk membersihkan rumput liar. Raden Supali heran
KITAB WAYANG PURWA

melihat Tumenggung Cakranegara tidak tertidur oleh ilmu sirepnya. Ia pun segera bertanya
dan dijawab oleh Tumenggung Cakranegara yang mengaku sebagai juru taman di
Maherakaca, bernama Saramba. Raden Supali lalu bertanya di mana kamar Dewi Srikandi
karena ia ingin menculik putri tersebut. Apabila Tumenggung Cakranegara bersedia
menunjukkan, maka akan mendapat hadiah banyak uang darinya.
Tumenggung Cakranegara berkata dirinya tidak meminta hadiah berupa uang tetapi
meminta pusaka yang dibawa Raden Supali. Raden Supali heran mengapa seorang juru
taman meminta hadiah pusaka segala. Tumenggung Cakranegara pun menjawab bahwa
Dewi Srikandi adalah calon istri Raden Arjuna yang sangat sakti. Apabila ketahuan bahwa
dirinya membantu Raden Supali menculik Dewi Srikandi, tentu Raden Arjuna akan marah
besar dan membunuhnya. Oleh sebab itu, Tumenggung Cakranegara membutuhkan
pusaka ampuh untuk menghadapi kesatria Pandawa tersebut.
Raden Supali menimbang-nimbang mana yang lebih penting, apakah Dewi Srikandi
ataukah pusaka yang baru saja dicurinya. Akhirnya, ia pun menyerahkan senjata Nanggala
kepada Tumenggung Cakranegara yang dikiranya juru taman biasa. Tumenggung
Cakranegara menerima pusaka tersebut dan langsung menggunakannya untuk memukul
dada Raden Supali. Seketika Raden Supali pun roboh dan kehilangan nyawa.

Tumenggung Cakranegara

DEWI SRIKANDI MENGAJUKAN SYARAT KEPADA TUMENGGUNG CAKRANEGARA


Begitu Raden Supali terbunuh, pengaruh ilmu sirepnya langsung pudar seketika. Satu
persatu penghuni istana Cempalareja pun terbangun dari tidurnya. Mereka lalu datang ke
Taman Maherakaca dan kagum melihat semuanya telah pulih kembali, terutama Prabu
Drupada dan Dewi Srikandi.
Raden Drestajumena bersaksi bahwa Tumenggung Cakranegara adalah orang yang
berhasil memenangkan sayembara ini. Dewi Srikandi agak kecewa karena sang pemenang
ternyata bukan Raden Arjuna yang ia rindukan, tetapi seorang laki-laki yang tidak jelas asal
usulnya. Ia pun mengajukan syarat kepada Tumenggung Cakranegara bahwa kelak saat
upacara pernikahan harus bisa menyediakan dua orang patah pengantin yang masing-
masing berwajah tampan bersemu cantik. Semua orang terkejut mendengar permintaan ini.
Namun, Tumenggung Cakranegara menyanggupi hal itu tanpa membantah.
Tiba-tiba Prabu Baladewa datang dengan marah-marah, menuduh Tumenggung
Cakranegara telah mencuri pusaka Nanggala dari tangannya. Tumenggung Cakranegara
menjelaskan bahwa yang mencuri bukan dirinya, melainkan Raden Supali yang saat ini
KITAB WAYANG PURWA

telah menjadi mayat. Raden Supali ini juga yang telah mengerahkan Aji Sirep untuk
membius seisi istana Cempalareja.
Prabu Baladewa masih saja marah-marah tidak percaya dan berniat menghajar
Tumenggung Cakranegara. Melihat adiknya dalam bahaya, Tumenggung Sindulaga segera
melindungi dan menantang Prabu Baladewa untuk menghadapi dirinya saja. Prabu Kresna
pun muncul melerai mereka berdua. Ia berkata bahwa dirinya tadi hanya pura-pura tidur
saat Raden Supali mengerahkan Aji Sirep. Ia pun membuntuti pangeran dari Cedi tersebut
dan menyaksikan sendiri bahwa pencuri senjata Nanggala memang benar Raden Supali.
Adapun Tumenggung Cakranegara justru telah berhasil merebutnya kembali.
Prabu Baladewa langsung reda kemarahannya setelah mendengar kesaksian dari
sang adik. Ia pun menerima Senjata Nanggala yang disodorkan Tumenggung Cakranegara
sambil berterima kasih. Tumenggung Sindulaga kemudian mengangkat mayat Raden
Supali dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah Kerajaan Cedi.

Dewi Srikandi

PRABU SUPALA MENYERANG KERAJAAN CEMPALAREJA


Sementara itu, Prabu Supala sangat khawatir pada keselamatan adiknya. Ia pun
berangkat menuju Kerajaan Cempalareja dan berhasil menyusul Patih Indrawaka beserta
pasukannya. Di tengah jalan, mereka melihat mayat Raden Supali jatuh dari langit. Prabu
Supala sangat marah bercampur sedih. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk segera
menggempur Kerajaan Cempalareja.
Di lain pihak, Prabu Drupada telah mendapat laporan bahwa Prabu Supala dan
pasukannya datang menyerang untuk membalas kematian Raden Supali. Mendengar itu,
Tumenggung Sindulaga dan Tumenggung Cakranegara segera mohon pamit untuk
menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Cedi yang berjumlah banyak
tersebut porak-poranda oleh amukan dua orang saja. Prabu Supala akhirnya dapat
diringkus oleh Tumenggung Cakranegara, sedangkan Patih Indrawaka diringkus oleh
Tumenggung Sindulaga.
Kedua orang Cedi itu lalu dihadapkan kepada Prabu Drupada. Prabu Kresna datang
dan meminta agar mereka dibebaskan saja, karena Prabu Supala dulu pernah menjadi
muridnya. Mendengar saran tersebut, Prabu Drupada pun mengabulkan. Ia lalu
mempersilakan Prabu Supala dan Patih Indrawaka agar segera pulang kembali ke Kerajaan
Cedi.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Supala dengan lagak angkuh berkata kepada Prabu Kresna bahwa dirinya tidak
akan berterima kasih, melainkan justru memaki gurunya itu sebagai begal, maling,
perampok, penipu, tukang sihir, dan segala jenis makian kasar lainnya. Prabu Baladewa
sangat marah mendengar adiknya dihina dan hendak melabrak Prabu Supala, namun
segera dicegah oleh Prabu Kresna.
Setelah Prabu Supala dan pasukannya pergi, barulah Prabu Kresna menceritakan
semuanya. Dahulu kala Prabu Supala dilahirkan dalam keadaan cacat dan bisa berubah
menjadi normal setelah diruwat oleh dirinya yang saat itu masih bernama Raden Narayana.
Prabu Darmagosa raja Cedi kala itu pun bercerita bahwa dewata telah memberikan
petunjuk, yaitu ciri-ciri orang yang bisa meruwat putranya adalah berkulit hitam cemani,
sekaligus juga menjadi pembunuh putranya tersebut kelak. Oleh sebab itu, Prabu
Darmagosa dan Dewi Srutawati pun memohon kepada Raden Narayana agar tidak
membunuh Raden Supala, serta menjadikannya sebagai murid. Raden Narayana bersedia,
namun Raden Supala hanya diberi kesempatan seratus kali berbuat salah. Lebih dari itu,
maka Raden Narayana alias Prabu Kresna terpaksa harus menggenapi takdir, yaitu
membunuh muridnya sendiri.
Setelah Raden Supala berguru kepada Prabu Kresna, ia lalu naik takhta menggantikan
Prabu Darmagosa yang meninggal dunia. Ia juga menjalin persahabatan dengan Prabu
Jarasanda yang menyimpan dendam kepada Prabu Kresna dan Prabu Baladewa atas
kematian Prabu Kangsa. Sejak itulah Prabu Jarasanda menghasut Prabu Supala agar
membenci dan memusuhi gurunya sendiri. Ditambah lagi rasa cemburu karena Dewi
Rukmini telah menjadi istri Prabu Kresna, membuat kebencian Prabu Supala semakin
berkobar. Maka, begitu ada kesempatan, Prabu Supala pun memaki Prabu Kresna dengan
segala kata-kata kasar seperti tadi. Prabu Kresna sepertinya diam tidak membalas, padahal
dalam hati ia menghitung. Ternyata makian tadi jumlahnya tidak sampai seratus, sehingga
ia pun mengampuni bekas muridnya itu.
Prabu Baladewa kagum melihat kesabaran Prabu Kresna. Andai saja dirinya yang
dimaki seperti tadi, mungkin nyawa Prabu Supala sudah melayang saat itu juga.

Prabu Kresna

PARA KURAWA MENGAMUK HENDAK MEREBUT DEWI SRIKANDI


Resi Druna yang baru bangun dari tidur terkejut melihat Taman Maherakaca sudah
pulih kembali dan ia pun berkata bahwa ini semua adalah hasil samadinya tadi malam.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Drupada pun menjelaskan bahwa yang berhasil memperbaiki Taman Maherakaca
adalah Tumenggung Cakranegara dengan disaksikan Raden Drestajumena. Resi Druna
sangat marah dan bersikeras bahwa ini adalah hasil kerjanya. Ia juga menyebut Raden
Drestajumena sebagai murid durhaka karena lebih membela orang lain daripada membela
guru sendiri. Raden Drestajumena menjawab dirinya hanya membela kebenaran, tidak
peduli harus berhadapan dengan guru atau siapa pun juga.
Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni ikut marah dan segera memerintahkan para
Kurawa untuk menculik Dewi Srikandi. Mendengar itu, Tumenggung Sindulaga segera maju
melabrak para Kurawa. Seorang diri ia bertanding dengan tangkas dan membuat para
Kurawa berhamburan meninggalkan Kerajaan Cempalareja.
Resi Druna pun maju menghadapi Tumenggung Sindulaga yang merupakan
penyamaran Arya Wrekodara. Karena merasa segan bertarung dengan guru sendiri,
Tumenggung Sindulaga memilih mundur. Resi Druna pun mengamuk merusak Taman
Maherakaca, sedangkan para hadirin banyak yang segan kepadanya. Akhirnya, Arya
Setyaki yang maju menghadapi Resi Druna yang sedang kalap tersebut. Dengan cekatan,
kesatria berbadan kecil itu pun berhasil meringkus pendeta itu dan membawanya keluar
dari istana Cempalareja.

Arya Setyaki

TUMENGGUNG CAKRANEGARA DAN TUMENGGUNG SINDULAGA MENDAPAT


KEDUDUKAN
Taman Maherakaca yang telah dirusak oleh Resi Druna kembali diperbaiki
Tumenggung Cakranegara dengan menggunakan pusaka Candusakti dan Mustikaning Sri.
Kali ini Prabu Drupada, Dewi Srikandi, dan para hadirin lainnya dapat menyaksikan secara
langsung kehebatan Tumenggung Cakranegara. Namun demikian, Dewi Srikandi masih
kecewa karena bukan Raden Arjuna yang memenangkan sayembara. Ia pun berkata bahwa
syarat yang diucapkannya tadi masih tetap berlaku. Ia berharap Tumenggung Cakranegara
gagal mewujudkan itu sehingga batal pula menikah dengannya.
Prabu Kresna mendekati Tumenggung Cakranegara dan berbisik kepadanya
mengapa tidak segera membuka penyamaran. Tumenggung Cakranegara menjawab
bahwa dirinya akan membuka penyamaran apabila nanti sudah mengetahui isi hati Dewi
Srikandi yang sebenarnya.
Demikianlah, Prabu Drupada pun mengadakan pesta syukuran atas pulihnya Taman
Maherakaca. Soal pernikahan dengan Dewi Srikandi akan dilaksanakan nanti, yaitu apabila
Tumenggung Cakranegara sudah memenuhi syarat mampu menyediakan patah
KITAB WAYANG PURWA

sakembaran berupa dua orang pemuda yang berparas tampan bersemu cantik. Namun
demikian, Prabu Drupada juga mempunyai hadiah tersendiri untuk Tumenggung
Cakranegara dan Tumenggung Sindulaga atas kemenangan mereka mengalahkan musuh
dari Kerajaan Cedi. Kedua bersaudara itu pun diangkat sebagai punggawa Kerajaan
Cempalareja, dan masing-masing mendapat hadiah sebidang tanah. Tumenggung
Sindulaga mendapat tanah lungguh di Puger Tengah, sedangkan Tumenggung
Cakranegara mendapat tanah lungguh di Warubinatur.

Prabu Drupada

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

CAKRANEGARA - MADUBRANGTA
Kisah ini menceritakan tentang kelanjutan Raden Arjuna dalam wujud Tumenggung
Cakranegara yang berusaha mewujudkan syarat Dewi Srikandi, yaitu menyediakan
patah sakembaran berupa dua pemuda berwajah tampan bersemu cantik. Syarat tersebut
dapat terpenuhi setelah Tumenggung Cakranegara berjumpa Bambang Madubrangta
dan Bambang Brangtakusuma.
Kisah ini saya olah dari sumber rangkuman balungan naskah Pakem Ringgit Purwa
koleksi Museum Sonobudoyo, dengan disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 11 Maret 2017
Heri Purwanto

PRABU BALADEWA INGIN MEMBOYONG DEWI SUMBADRA DARI KESATRIAN


MADUKARA
Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan, dengan
dihadap Arya Setyaki dan Patih Udawa. Hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari
Kerajaan Mandura yang ingin mengajak berunding tentang nasib adik bungsu mereka, yaitu
Dewi Sumbadra. Terus terang Prabu Baladewa merasa prihatin karena pernikahan Dewi
Sumbadra dengan Raden Arjuna dianggapnya kurang bahagia. Sejak kecil keduanya
memang sudah dijodohkan oleh mendiang Prabu Basudewa. Namun tak disangka, setelah
dewasa Raden Arjuna bersifat mata keranjang yang mudah terpikat pada perempuan lain.
Meskipun telah menikah dengan Dewi Sumbadra, ternyata Raden Arjuna juga menikahi
Niken Larasati, saudara sepupu mereka sendiri. Tidak hanya itu, konon Raden Arjuna juga
memiliki istri simpanan bernama Endang Manuhara, putri Resi Sidiwacana di Padepokan
Andongsumawi.
Paling tidak, Raden Arjuna telah mempunyai tiga orang istri, belum ditambah dengan
yang tidak diketahui. Namun demikian, masih saja ia serakah ingin menikah dengan Dewi
Srikandi pula. Kali ini Prabu Baladewa sudah hilang kesabarannya. Ia sangat tersinggung
saat mendengar kabar bahwa Raden Arjuna menyuruh Dewi Sumbadra untuk melamar
Dewi Srikandi. Ini sudah keterlaluan. Ketika Dewi Sumbadra dimadu dengan Niken Larasati,
Prabu Baladewa masih bisa menerima karena mereka berdua adalah teman sejak kecil dan
juga masih saudara sepupu. Saat Raden Arjuna menikahi Endang Manuhara, Prabu
Baladewa juga masih bisa menerima karena hanya sebagai istri paminggir yang tidak
diboyong ke Kesatrian Madukara. Lain halnya dengan Dewi Srikandi yang merupakan putri
Prabu Drupada. Jelas-jelas gadis itu berguru ilmu memanah kepada Raden Arjuna tetapi
hendak dinikahi pula. Ia menyebut Raden Arjuna sebagai guru hidung belang yang ingin
memangsa muridnya sendiri.
Atas pertimbangan demikian, Prabu Baladewa pun berniat mengajak Prabu Kresna
untuk bersama-sama menjemput pulang Dewi Sumbadra agar kembali tinggal di Kerajaan
Dwarawati, daripada terus-menerus diperlakukan demikian oleh suaminya. Ia yakin Raden
Arjuna tidak akan pernah berhenti dalam mencari istri baru, dan ia pun tidak mau adik
bungsunya menderita karena selalu bertambah madu setiap waktu. Oleh sebab itu, Prabu
Baladewa berniat menceraikan Dewi Sumbadra dengan Raden Arjuna, dan setelah itu
menikahkannya dengan Raden Burisrawa, adik iparnya sendiri.
Prabu Kresna dengan tenang menjawab semua perkataan Prabu Baladewa yang
berapi-api. Pertama, Dewi Sumbadra melamar Dewi Srikandi sebagai madu bukan atas
permintaan Raden Arjuna, tetapi atas kemauan Dewi Sumbadra sendiri. Kedua, Raden
Arjuna memang dikaruniai dewata memiliki kasih sayang melimpah sesuai dengan nama
KITAB WAYANG PURWA

julukannya, yaitu Sang Permadi. Anugerah dewata tersebut membuat Raden Arjuna mampu
mencintai banyak perempuan sekaligus secara adil dan merata, tanpa pilih kasih. Yang
ketiga, pemenang sayembara membangun Taman Maherakaca bukan Raden Arjuna,
melainkan Tumenggung Cakranegara. Itu artinya, Dewi Srikandi batal menjadi madu Dewi
Sumbadra. Dan yang terakhir, saat ini Dewi Sumbadra pun menghilang dari Kesatrian
Madukara bersama Niken Larasati tanpa kabar yang jelas di mana keberadaannya. Dengan
demikian, apabila Prabu Baladewa hendak menjemput pulang Dewi Sumbadra maka tidak
akan bertemu siapa-siapa.
Prabu Baladewa terkejut mendengar adik bungsunya telah hilang. Ia marah-marah
dan menuduh Prabu Kresna berbohong untuk melindungi Dewi Sumbadra. Namun, Arya
Setyaki dan Patih Udawa ikut bersumpah bahwa ucapan raja mereka benar. Mereka berkata
bahwa Dewi Sumbadra dan Niken Larasati benar-benar telah hilang meninggalkan
Kesatrian Madukara, sama seperti hilangnya Raden Arjuna dan Arya Wrekodara.
Prabu Baladewa pun reda kemarahannya. Ia kemudian pamit undur diri untuk kembali
ke Desa Pamutihan di wilayah perbatasan Kerajaan Cempalareja, di mana Prabu
Duryudana dan para Kurawa sedang berkemah di sana. Rupanya Prabu Duryudana tidak
terima atas keputusan Prabu Drupada yang menetapkan Tumenggung Cakranegara
sebagai pemenang sayembara memperbaiki Taman Maherakaca, dan bukannya memilih
Resi Druna. Itulah sebabnya ia bersama para Kurawa dan juga sejumlah raja sekutu
menduduki Desa Pamutihan untuk mengancam perbatasan Kerajaan Cempalareja. Prabu
Baladewa pun berpesan, nanti apabila Dewi Sumbadra sudah ditemukan, hendaknya Prabu
Kresna langsung membawanya menuju desa tersebut.
Demikianlah, Prabu Baladewa undur diri meninggalkan istana Dwarawati. Prabu
Kresna termangu-mangu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi. Ia pun membubarkan
pertemuan dan memutuskan pergi ke Kerajaan Amarta untuk menemui Prabu Puntadewa
di sana.

Prabu Kresna

PRABU DRUPADA MENGIRIM TUMENGGUNG SINDULAGA UNTUK MEMBEBASKAN


DESA PAMUTIHAN
Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) dihadap para menteri dan
punggawa, yaitu Raden Drestajumena, Patih Drestaketu, dan Arya Utamayuda. Hadir pula
KITAB WAYANG PURWA

bupati Puger Tengah, yaitu Tumenggung Sindulaga dalam pertemuan tersebut. Prabu
Drupada bertanya bagaimana persiapan perkawinan antara Tumenggung Cakranegara
dengan Dewi Srikandi, apakah segala persyaratan sudah dipenuhi? Tumenggung
Sindulaga menjawab bahwa adiknya saat ini sudah tidak berada di Warubinatur karena
sedang berusaha mewujudkan keinginan Dewi Srikandi, yaitu menyediakan sepasang
patah pengantin sakembaran yang berwajah tampan semu cantik.
Beberapa hari yang lalu Tumenggung Cakranegara telah memenangkan sayembara
membangun kembali Taman Maherakaca yang hangus dibakar Resi Dewangkara, yaitu
ayah sekaligus guru Prabu Jungkungmardeya. Karena memenangkan sayembara tersebut,
maka ia berhak mendapatkan Dewi Srikandi sebagai calon istri. Namun, Dewi Srikandi
dalam hati merasa kecewa karena sang pemenang bukan Raden Arjuna. Ia lalu
mengajukan syarat, bahwa Tumenggung Cakranegara harus mampu menghadirkan dua
orang patah sakembaran yang berwajah tampan bersemu cantik. Jika tidak, maka
pernikahan tersebut lebih baik dibatalkan saja.
Demikianlah, Tumenggung Sindulaga melaporkan tentang adiknya yang sudah
beberapa hari ini belum kembali ke Warubinatur karena pergi berkelana untuk mewujudkan
keinginan Dewi Srikandi. Namun demikian, ia yakin sang adik pasti berhasil memenuhi
syarat tersebut. Untuk itu, Tumenggung Sindulaga ganti meminta Prabu Drupada agar
segera mempersiapkan upacara pernikahan antara Tumenggung Cakranegara dengan
Dewi Srikandi.
Tiba-tiba datang punggawa Arya Yudamanyu melaporkan bahwa para Kurawa
bersama beberapa raja sekutu telah berkemah di Desa Pamutihan. Mereka tidak hanya
sekadar berkemah, tetapi juga membuat kekacauan di sana. Harta benda milik rakyat
dirampok dan dijarah, juga tidak sedikit kaum perempuan yang menjadi korban kejahatan
para Kurawa. Sepertinya mereka tidak terima karena Prabu Drupada menetapkan
Tumenggung Cakranegara sebagai pemenang sayembara, bukannya Resi Druna.
Mendengar laporan tersebut, Prabu Drupada merasa prihatin. Ia khawatir jangan-
jangan peristiwa masa lalu terulang kembali. Saat itu Kerajaan Pancala diserang oleh Resi
Druna bersama para muridnya, sehingga harus terbelah menjadi dua, yaitu utara dan
selatan. Prabu Drupada pun mendapat Pancala bagian selatan dan mendirikan Kerajaan
Cempalareja di sana.
Untuk peristiwa kali ini, Prabu Drupada memutuskan untuk mendahului menyerang,
yaitu dengan mengirim Tumenggung Sindulaga sebagai pemimpin pasukan. Tumenggung
Sindulaga menjawab sanggup. Ia lalu berangkat dengan diiringi pasukan Cempalareja
secukupnya.

PRABU DURYUDANA MENGIRIM LIMA KURAWA MENCARI PATAH SAKEMBARAN


Sementara itu di Desa Pamutihan, Prabu Duryudana dihadap Patih Sangkuni dan para
Kurawa beserta sejumlah raja sekutu. Mereka membahas tentang Resi Druna yang sangat
kecewa karena gagal menikah dengan Dewi Srikandi. Saat ini Resi Druna memilih pulang
ke Padepokan Sokalima dan tidak mau lagi menghadap ke Kerajaan Hastina sebelum rasa
malunya terobati.
Patih Sangkuni melaporkan hasil pengintaian mata-matanya, bahwa Dewi Srikandi
pun kurang suka kepada Tumenggung Cakranegara yang telah memenangkan sayembara.
Kabarnya, Dewi Srikandi mengajukan syarat agar Tumenggung Cakranegara mencarikan
patah sakembaran berupa dua orang pemuda berwajah tampan semu cantik. Jika gagal,
maka Dewi Srikandi meminta agar pernikahan mereka dibatalkan saja.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana senang mendengarnya dan menganggap ini adalah kesempatan


untuk mengobati rasa malu Resi Druna. Maka, ia pun memerintahkan lima orang adiknya,
yaitu Raden Kartawarma, Raden Durmuka, Raden Durjaya, Raden Durprakempa, dan
Raden Carucitra untuk segera berangkat mencari dua orang pemuda yang menjadi syarat
Dewi Srikandi tersebut.

Patih Sangkuni

PATIH PRAGOTA GUGUR DALAM PERTEMPURAN


Tumenggung Sindulaga didampingi Arya Yudamanyu dan Arya Utamayuda telah
sampai di Desa Pamutihan untuk memukul mundur pasukan Kurawa dan para raja sekutu.
Pertempuran sengit pun terjadi. Para Kurawa merasa terdesak menghadapi kesaktian
Tumenggung Sindulaga yang juga memiliki kekuatan luar biasa. Mereka kocar-kacir
meninggalkan Desa Pamutihan, termasuk pula dengan Prabu Duryudana dan para
sekutunya.
Melihat kekalahan ini, Patih Sangkuni segera memerintahkan Patih Pragota dan Arya
Prabawa untuk ikut membantu. Patih Pragota merasa keberatan karena dirinya hanya
menerima perintah dari Prabu Baladewa saja, dan saat ini rajanya itu sedang berkunjung
ke Kerajaan Dwarawati. Patih Sangkuni kecewa dan mengungkit-ungkit bahwa Patih
Pragota dan Arya Prabawa sejak kemarin ikut bergabung bersama para Kurawa, ikut makan
dan tidur di perkemahan para Kurawa, tetapi sama sekali tidak mau keluar keringat. Itu
istilahnya sama dengan penumpang gelap yang tidak tahu diri.
Patih Pragota tersinggung mendengar ejekan Patih Sangkuni. Ia pun maju ke medan
perang dan langsung menghadapi Tumenggung Sindulaga sambil mengacungkan senjata.
Tumenggung Sindulaga yang merupakan penyamaran Arya Wrekodara merasa tidak tega
jika harus berhadapan dengan Patih Pragota yang bersifat jujur dan baik hati, meskipun dari
luar terlihat ugal-ugalan dan suka bercanda.
Melihat lawannya hanya bertahan, Patih Pragota justru makin bersemangat
menyerang. Lama-lama Tumenggung Sindulaga habis kesabarannya. Ia pun memukul satu
kali ke arah kepala Patih Pragota. Pukulan tersebut ringan tetapi keras, membuat Patih
Pragota langsung roboh kehilangan nyawa. Menyaksikan sang kakak terbunuh, Arya
Prabawa segera merebut jasadnya dan mundur menyelamatkan diri.
Tumenggung Sindulaga menyesal karena tanpa sengaja membunuh Patih Pragota. Ia
pun mengobrak-abrik perkemahan para Kurawa dan kemudian mundur membawa pasukan
Cempalareja kembali ke istana.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU KRESNA MENJEMPUT PRABU PUNTADEWA MENUJU KERAJAAN


CEMPALAREJA
Sementara itu, Prabu Kresna telah sampai di Kerajaan Amarta menemui Prabu
Puntadewa yang saat itu sedang memimpin pertemuan yang dihadiri si kembar Raden
Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca.
Prabu Kresna menyampaikan kabar bahwa saat ini Prabu Baladewa telah bergabung
dengan Prabu Duryudana dan para Kurawa di Desa Pamutihan untuk menyerang Kerajaan
Cempalareja, demi merebut Dewi Srikandi sebagai istri Resi Druna. Prabu Puntadewa
merasa prihatin mendengar hal itu. Sudah jelas-jelas Tumenggung Cakranegara yang
memenangkan sayembara memperbaiki Taman Maherakaca, masih juga para Kurawa tidak
mau mengakuinya.
Prabu Puntadewa sendiri sedang menunggu kabar keberadaan kedua adiknya yang
masih menghilang, yaitu Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Mereka berdua sudah lama
meninggalkan Kerajaan Amarta tanpa diketahui keberadaannya, kini ditambah pula dengan
hilangnya kedua istri Raden Arjuna, yaitu Dewi Sumbadra dan Niken Larasati. Atas kejadian
ini, Prabu Puntadewa merasa sangat sedih dan berharap agar mereka berempat dapat
segera ditemukan.
Prabu Kresna mendapat firasat bahwa keempat adik yang menghilang itu akan segera
muncul di Kerajaan Cempalareja. Untuk itu, ia pun mengajak Prabu Puntadewa pergi
bersama-sama menuju ke sana. Prabu Puntadewa gembira mendengarnya. Ia pun
mengajak serta sang permaisuri Dewi Drupadi dan juga si kembar, untuk berangkat
bersama dengan Prabu Kresna.

DEWI SUMBADRA DAN NIKEN LARASATI MENYAMAR SEBAGAI LAKI-LAKI


Dewi Sumbadra dan Niken Larasati saat ini sedang dalam perjalanan mencari
keberadaan sang suami, yaitu Raden Arjuna yang sudah lama menghilang tanpa diketahui
kabar keberadaannya. Mereka berdua berjalan menuruti kehendak hati karena tidak tahu
arah mana yang harus dituju. Hingga pada akhirnya Batara Narada turun dari angkasa
menghentikan langkah kedua perempuan tersebut.
Dewi Sumbadra dan Niken Larasati segera menyembah hormat kepadanya. Batara
Narada pun bertanya ada keperluan apa mereka berdua berjalan tidak tentu arah. Dewi
Sumbadra berkata bahwa dewata di kahyangan pasti sudah mengetahui apa yang menjadi
niat mereka. Batara Narada senang mendengarnya dan berkata bahwa dirinya memang
diutus Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka untuk membantu mereka berdua
menemukan Raden Arjuna.
Batara Narada menjelaskan bahwa Dewi Sumbadra dan Niken Larasati bisa bertemu
dengan suami mereka asalkan berdandan sebagai laki-laki. Untuk itu, Batara Narada pun
mengerahkan kesaktiannya dan seketika kedua perempuan tersebut berubah menjadi laki-
laki berwajah tampan semu cantik.
Keduanya kemudian diberi nama baru. Dewi Sumbadra diganti namanya menjadi
Bambang Madubrangta, sedangkan Niken Larasati diganti namanya menjadi Bambang
Brangtakusuma.
Batara Narada berpesan agar mereka membantu kesulitan seorang bupati bernama
Tumenggung Cakranegara, karena hal ini akan menjadi sarana bagi mereka untuk bisa
menemukan Raden Arjuna. Setelah dirasa cukup, dewa tersebut pun undur diri kembali ke
kahyangan.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada

TUMENGGUNG CAKRANEGARA BERTEMU DUA PEMUDA TAMPAN


Bambang Madubrangta dan Bambang Brangtakusuma kemudian melanjutkan
perjalanan. Mereka pun bertemu dengan lima orang Kurawa yang ditugasi Prabu
Duryudana untuk mencari dua pemuda tampan sebagai patah sakembaran Resi Druna,
yaitu Raden Kartawarma, Raden Carucitra, Raden Durmuka, Raden Durprakempa, dan
Raden Durjaya. Maka, begitu melihat Bambang Madubrangta dan Bambang
Brangtakusuma, mereka langsung menyergap hendak membawa keduanya menuju Desa
Pamutihan.
Bambang Madubrangta dan Bambang Brangtakusuma membela diri menghadapi
serangan tersebut. Pertarungan pun terjadi di antara mereka. Tiba-tiba muncul seorang
bupati yang diiringi empat abdi lewat di tempat itu. Bupati tersebut tidak lain adalah
Tumenggung Cakranegara yang langsung membantu mengalahkan kelima Kurawa.
Menyadari kehebatan sang bupati, Raden Kartawarma pun mengajak saudara-saudaranya
untuk mundur menyelamatkan diri.
Tumenggung Cakranegara sangat terkesan melihat paras Bambang Madubrangta dan
Bambang Brangtakusuma yang sama-sama berwajah tampan semu cantik. Kiranya mereka
berdua adalah para pemuda yang bisa memenuhi persyaratan Dewi Srikandi. Maka,
Tumenggung Cakranegara pun berterus terang ingin mengajak keduanya untuk menuju
Kerajaan Cempalareja, sebagai patah sakembaran atas pernikahannya dengan Dewi
Srikandi.
Bambang Madubrangta dan Bambang Brangtakusuma teringat pesan Batara Narada
dan mereka pun menjawab bersedia. Tumenggung Cakranegara sangat senang dan segera
mengajak mereka pergi ke Warubinatur.
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Madubrangta

DEWI SRIKANDI MENGUTARAKAN ISI HATINYA


Demikianlah, Tumenggung Cakranegara telah memenuhi persyaratan yang diajukan
Dewi Srikandi. Ia pun berangkat menuju Kerajaan Cempalareja dengan mengenakan
busana pengantin, disertai para pengiring, yaitu Tumenggung Sindulaga, Kyai Sidanaya,
Sidamaju, Sidarame, dan Sidamurah. Tentu saja tidak ketinggalan kedua patah
sakembaran, yaitu Bambang Madubrangta dan Bambang Brangtakusuma.
Prabu Drupada sekeluarga menyambut kedatangan pengantin pria dengan upacara
pernikahan yang telah dipersiapkan. Tumenggung Cakranegara dan Dewi Srikandi pun
dipertemukan dalam pelaminan. Setelah resmi menjadi suami istri, tiba-tiba Dewi Srikandi
masuk ke dalam istana dengan wajah kecewa. Tumenggung Cakranegara pun bergegas
menyusul istrinya itu.
Sesampainya di dalam kamar Dewi Srikandi menangis karena ia gagal menikah
dengan kekasih pujaan hatinya. Ia pun memaki nama Raden Arjuna sebagai laki-laki
pengecut yang tidak bisa memperjuangkan cinta mereka. Tidak lama kemudian
Tumenggung Cakranegara datang dan merayu Dewi Srikandi agar jangan menangis lagi.
Tidak ada gunanya ia meratapi seorang laki-laki pengecut bernama Raden Arjuna. Dewi
Srikandi marah mendengarnya dan mengancam akan bunuh diri apabila Tumenggung
Cakranegara mendekat.
Tumenggung Cakranegara pun bertanya mengapa Dewi Srikandi menjadi selemah itu,
hingga mengancam akan bunuh diri segala. Bukankah dulu Dewi Srikandi pernah begitu
tangguh menewaskan Prabu Jungkungmardeya dalam sebuah pertandingan, tapi mengapa
sekarang berubah menjadi wanita yang mudah putus asa? Dewi Srikandi melarang
Tumenggung Cakranegara ikut campur urusannya.
Meskipun mereka telah resmi menjadi suami istri, namun jangan harap Tumenggung
Cakranegara mampu mendapatkan perhatian Dewi Srikandi.
Tumenggung Cakranegara bertanya apakah Dewi Srikandi benar-benar tulus
mencintai Raden Arjuna. Dewi Srikandi menjawab memang benar demikian. Tumenggung
Cakranegara berkata bahwa Raden Arjuna seorang pengecut yang lari dari tanggung jawab.
Dulu saat Dewi Srikandi dilabrak Dewi Drupadi di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna justru
bersembunyi mengamankan diri karena malu. Hal ini pun sudah diketahui oleh Tumenggung
Cakranegara.
Dewi Srikandi menjawab bahwa soal itu ia sudah memaafkan, karena Raden Arjuna
dengan itikad baik telah datang ke Kerajaan Cempalareja untuk mengajukan lamaran.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna juga telah menunjukkan keberaniannya dengan bertempur melawan Resi
Dewangkara. Namun, sayang sekali Taman Maherakaca hangus terbakar akibat
pertempuran itu. Dewi Srikandi sangat prihatin dan tanpa pikir panjang langsung bersumpah
tidak akan menikah kecuali dengan orang yang bisa memperbaiki Taman Maherakaca
dalam waktu semalam.
Mendengar cerita itu, Tumenggung Cakranegara menasihati Dewi Srikandi agar untuk
selanjutnya jangan lagi bertindak gegabah, mengucapkan sumpah tanpa dipikir lebih dulu.
Untung saja ia bisa memperbaiki Taman Maherakaca dalam waktu semalam. Jika tidak,
mungkin Dewi Srikandi akan menjadi perawan tua selamanya.
Dewi Srikandi tidak peduli. Ia berkata bahwa dirinya bisa saja menikah dengan
Tumenggung Cakranegara sebagai pemenang sayembara, tetapi dalam hati tetap
mencintai Raden Arjuna. Jika Tumenggung Cakranegara memaksanya untuk melayani,
maka Dewi Srikandi memilih lebih baik mati bunuh diri saja.

BAMBANG MADUBRANGTA MENYERANG TUMENGGUNG CAKRANEGARA


Tumenggung Cakranegara senang mendengar ucapan Dewi Srikandi tersebut.
Namun tiba-tiba muncul Bambang Madubrangta menyerang dirinya. Tumenggung
Cakranegara terkejut dan segera membela diri. Mereka lalu bertarung seru di hadapan Dewi
Srikandi.
Bambang Brangtakusuma datang pula untuk membantu Bambang Madubrangta.
Pertarungan satu lawan dua ini berlangsung semakin sengit. Akhirnya, penyamaran mereka
pun buyar. Tumenggung Cakranegara berubah menjadi Raden Arjuna, sedangkan
Bambang Madubrangta berubah menjadi Dewi Sumbadra, dan Bambang Brangtakusuma
berubah menjadi Niken Larasati.
Dewi Srikandi terkejut bercampur malu karena Tumenggung Cakranegara yang
dibencinya ternyata penjelmaan Raden Arjuna. Ia pun bertanya mengapa Raden Arjuna
harus bersusah payah menyamar hanya demi untuk mengikuti sayembara. Raden Arjuna
menjawab dirinya sengaja menyamar karena segan terhadap Resi Druna yang juga
mengikuti sayembara. Alasan kedua, Raden Arjuna masih ragu apakah Dewi Srikandi
benar-benar mencintainya atau tidak. Dengan cara menyamar sebagai Tumenggung
Cakranegara, maka Raden Arjuna dapat mendengar semua curahan isi hati Dewi Srikandi
secara langsung dan bukan melalui mulut orang lain.
Mendengar itu, Dewi Srikandi merasa sangat malu dan meminta maaf karena telah
bersikap kasar kepada Raden Arjuna tadi. Andai saja ia tahu siapa jati diri Tumenggung
Cakranegara yang sebenarnya, maka ia tidak perlu mengajukan syarat untuk dicarikan
patah sakembaran segala. Raden Arjuna pun menjawab justru dengan mewujudkan syarat
tersebut, ia dapat menunjukkan bahwa dirinya bersungguh-sungguh ingin menikahi Dewi
Srikandi.
Raden Arjuna lalu bertanya mengapa tadi Dewi Sumbadra dan Niken Larasati tiba-tiba
menyerangnya dalam wujud laki-laki. Dewi Sumbadra menjawab bahwa ia sejak awal sudah
curiga pada sosok Tumenggung Cakranegara. Mungkin orang lain bisa ditipu, tetapi Dewi
Sumbadra tidaklah demikian. Ia mengaku sudah hafal segala sikap dan tindak-tanduk sang
suami. Maka, ia pun dapat mengenali Raden Arjuna meskipun dalam wujud penyamaran
sebagai Tumenggung Cakranegara.
Mengenai serangan tadi, Dewi Sumbadra meminta maaf karena dirinya kasihan
melihat Dewi Srikandi yang mengancam hendak bunuh diri, sedangkan Tumenggung
Cakranegara tidak juga mengakui jati dirinya. Oleh sebab itu, Dewi Sumbadra pun
menyerang Tumenggung Cakranegara demi untuk membongkar penyamarannya.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Srikandi sangat terharu melihat kasih sayang Dewi Sumbadra kepada dirinya.
Dewi Sumbadra pun berkata bahwa ia tidak menganggap Dewi Srikandi sebagai madu,
tetapi menganggapnya sebagai adik. Hal ini justru membuat Dewi Srikandi semakin terharu.
Ia pun bersumpah seumur hidup akan menjadi pelayan Dewi Sumbadra.

PRABU BALADEWA BERTEMPUR MELAWAN TUMENGGUNG SINDULAGA


Saat itu di halaman istana Cempalareja muncul Prabu Baladewa yang mengamuk dan
marah-marah atas kematian Patih Pragota. Tumenggung Sindulaga pun maju
menghadapinya. Keduanya bertarung sengit hingga sama-sama terluka. Tumenggung
Sindulaga terkena pukulan Senjata Nanggala, sedangkan Prabu Baladewa tertusuk kuku
tangan Tumenggung Sindulaga yang tiba-tiba berubah panjang dan tajam. Akhirnya,
mereka pun sama-sama roboh tak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, Prabu Kresna datang bersama Prabu Puntadewa dan
rombongan dari Kerajaan Amarta. Melihat Prabu Baladewa dan Tumenggung Sindulaga
sama-sama pingsan, ia segera mengeluarkan Kembang Wijayakusuma untuk
menyembuhkan mereka berdua. Demikianlah, Prabu Baladewa dan Tumenggung
Sindulaga pun pulih kembali seperti sediakala. Prabu Baladewa kembali marah-marah
karena teringat pada kematian Patih Pragota. Tumenggung Sindulaga pun menjawab
dirinya tidak sengaja membunuh, dan itu semua karena Patih Pragota yang terus-menerus
mendesaknya hingga habis kesabaran.
Prabu Kresna lalu memanggil Arya Prabawa yang menggendong jasad Patih Pragota.
Dengan menggunakan Kembang Wijayakusuma, ia pun menghidupkan kembali patih
Kerajaan Mandura tersebut karena memang belum saatnya ajal tiba. Melihat Patih Pragota
hidup kembali, Prabu Baladewa sangat gembira. Namun, ia belum puas dan ingin
melanjutkan pertarungan melawan Tumenggung Sindulaga.
Tiba-tiba Dewi Srikandi muncul bersama Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, dan juga
Niken Larasati. Melihat adiknya sudah membuka penyamaran, Tumenggung Sindulaga pun
segera kembali ke wujud Arya Wrekodara. Prabu Baladewa sangat terkejut melihatnya dan
meminta maaf karena pandangannya kurang jeli sehingga tidak mengenali saudara sendiri.
Ia pun memeluk Arya Wrekodara dan meminta maaf atas semua kesalahpahaman tadi.

Tumenggung Sindulaga

DEWI SRIKANDI DINIKAHKAN DENGAN RADEN ARJUNA


Prabu Drupada dan yang lain sangat senang begitu mengetahui ternyata Tumenggung
Cakranegara adalah penjelmaan Raden Arjuna. Itu berarti pemenang sayembara
KITAB WAYANG PURWA

membangun Taman Maherakaca beberapa hari yang lalu adalah Raden Arjuna sendiri,
sehingga ia berhak menjadi suami Dewi Srikandi.
Maka, Prabu Drupada pun mengadakan upacara pernikahan ulang antara Dewi
Srikandi dengan Raden Arjuna, dan bukannya dengan Tumenggung Cakranegara
sebagaimana tadi telah disahkan. Upacara pernikahan tersebut dilanjutkan dengan pesta
meriah di istana Cempalareja selama beberapa hari. Setelah itu, Raden Arjuna pun
memboyong Dewi Srikandi sebagai istri padmi nomor tiga di Kesatrian Madukara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SAMBA LAHIR
Kisah ini menceritakan tentang lahirnya Raden Samba Wisnubrata, yaitu putra Prabu
Kresna dan Dewi Jembawati yang kelak menjadi pangeran mahkota Kerajaan
Dwarawati. Juga diceritakan asal mula Kesatrian Paranggaruda menjadi tempat
tinggal Raden Samba.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 18 Maret 2017
Heri Purwanto

Raden Samba Wisnubrata

DEWI JEMBAWATI DUA KALI MELAHIRKAN BAYI BERBULU KERA


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan, dengan
dihadap Arya Setyaki dan Patih Udawa. Hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari
Kerajaan Mandura yang diiringi Patih Pragota dan Arya Prabawa. Hari itu Prabu Kresna
sedang membicarakan istri nomor dua dan tiga, yaitu Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma
yang sama-sama mengandung usia sembilan bulan. Ia berharap kedua istrinya itu
melahirkan bayi berwujud normal, karena istri yang pertama, yaitu Dewi Jembawati telah
dua kali melahirkan, dan semuanya berwujud bayi laki-laki berbulu lebat seperti kera.
Dewi Jembawati adalah putri kandung Resi Jembawan dan Dewi Trijata yang
keduanya tinggal di Astana Gandamadana. Dewi Jembawati sendiri berparas cantik seperti
ibunya. Prabu Kresna menikah dengan istri pertamanya itu ketika ia masih bernama Raden
Narayana. Dari perkawinan tersebut telah lahir seorang putra berwajah tampan, tetapi
sekujur tubuhnya berbulu lebat dan memiliki ekor seperti kera. Rupanya bayi tersebut
mewarisi wujud Resi Jembawan yang seorang pendeta bangsa wanara. Prabu Kresna pun
memberi nama putra pertamanya itu Raden Gunadewa. Resi Jembawan dapat membaca
pikiran menantunya yang malu memiliki putra berwujud demikian. Maka, ia pun mengambil
bayi Raden Gunadewa untuk dibesarkan di Astana Gandamadana daripada menjadi bahan
pembicaraan di lingkungan istana.
Dua tahun berlalu setelah kejadian itu, Dewi Jembawati pun melahirkan lagi untuk
yang kedua kalinya. Kali ini yang lahir seorang bayi laki-laki juga dengan sekujur tubuh
berbulu lebat mirip kera, tetapi tidak memiliki ekor seperti kakaknya. Dewi Jembawati
merasa malu sudah dua kali melahirkan selalu saja berwujud demikian. Padahal, sewaktu
dirinya mengandung, Prabu Kresna pernah berjanji kelak setelah putra keduanya itu lahir,
ia akan ditetapkan sebagai pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Dewi Jembawati
KITAB WAYANG PURWA

merasa malu karena gagal memberikan putra yang berwujud sempurna untuk suaminya.
Diam-diam ia pun membawa putra keduanya itu pergi menuju Astana Gandamadana untuk
tinggal di sana daripada menjadi bahan ejekan penghuni istana.
Demikianlah Prabu Kresna bercerita kepada Prabu Baladewa tentang kepergian Dewi
Jembawati yang sudah dua bulan ini meninggalkan istana Dwarawati untuk tinggal bersama
kedua orang tuanya, yaitu Resi Jembawan dan Dewi Trijata di Astana Gandamadana. Prabu
Kresna merasa serbasalah. Dalam hati ia ingin menjemput pulang istri tertuanya itu, tetapi
Dewi Jembawati pasti akan sangat malu apabila kedua putranya menjadi bahan
pembicaraan penghuni istana atau penduduk ibu kota.
Prabu Baladewa merasa maklum atas apa yang menimpa rumah tangga adiknya.
Sebenarnya mudah saja bagi Prabu Baladewa untuk menasihati Prabu Kresna agar tetap
tabah dalam menghadapi cobaan hidup, atau menyarankan agar sang adik mencari hikmah
di balik setiap musibah. Yang namanya rumah tangga, baik atau buruk harus diterima.
Jangan hanya mau merasakan yang baik-baik saja, tetapi yang buruk pun harus dijalani
juga dengan lapang dada. Namun demikian, Prabu Baladewa tidak berani menasihati
seperti itu, karena andai saja ia yang mendapatkan cobaan hidup seperti ini, kemungkinan
besar akan lebih marah dan bersedih daripada Prabu Kresna.
Prabu Baladewa pun bertanya apakah Prabu Kresna sudah mencoba meruwat kedua
putranya menggunakan Kembang Wijayakusuma. Bukankah dulu Prabu Kresna semasa
muda pernah meruwat bayi Prabu Supala yang bermata tiga, berlengan tiga, dan berkaki
tiga, lantas mengapa sekarang tidak mencoba meruwat kedua putranya sendiri? Prabu
Kresna menjawab ia sudah mencoba meruwat mereka tetapi rupanya dewata tidak
mengizinkan hal itu terjadi. Keduanya pun tetap saja berbulu lebat seperti kera.

PRABU KILATMAKA DARI PARANGGARUDA MELAMAR DEWI JEMBAWATI


Ketika Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang membahas tentang Dewi
Jembawati dan putranya, tiba-tiba datang seorang tamu bernama Patih Kilatwarna dari
Kerajaan Paranggaruda. Laki-laki tersebut datang untuk menyampaikan surat dari rajanya
yang bernama Prabu Kilatmaka. Prabu Kresna menerima surat itu dan membaca isinya,
ternyata berisi lamaran Prabu Kilatmaka terhadap Dewi Jembawati. Dalam surat tersebut,
Prabu Kilatmaka berterus terang meminta Prabu Kresna agar menceraikan Dewi
Jembawati. Sebagai gantinya, ia berjanji akan memberikan sejumlah wanita cantik beserta
emas permata sebanyak-banyaknya kepada Prabu Kresna.
Prabu Baladewa sangat marah begitu mendengar isi surat dari Prabu Kilatmaka
tersebut. Ia pun menolak lamaran itu dan menyuruh Patih Kilatwarna segera pulang. Patih
Kilatwarna berkata bahwa dirinya sudah mendapat wewenang sepenuhnya dari Prabu
Kilatmaka untuk merebut Dewi Jembawati, baik itu melalui cara halus ataupun kasar.
Lagipula Prabu Baladewa bukan suami Dewi Jembawati, mengapa pula ikut campur
menolak lamaran Prabu Kilatmaka segala?
Prabu Baladewa semakin murka dan melabrak Patih Kilatwarna keluar dari istana.
Prabu Kresna merasa prihatin di saat satu masalah belum selesai, tiba-tiba muncul satu
masalah baru. Ia pun membubarkan pertemuan dan memerintahkan Arya Setyaki beserta
Patih Udawa agar membantu Prabu Baladewa menghadapi serangan musuh.

PRABU BALADEWA MEMBUNUH PATIH KILATWARNA


Patih Kilatwarna keluar dari istana Dwarawati dan segera mempersiapkan pasukannya
untuk berperang. Prabu Baladewa pun menghadapinya dengan mengerahkan pasukan
KITAB WAYANG PURWA

Dwarawati, di mana di dalamnya terdapat Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan
Arya Prabawa.
Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Paranggaruda dapat dihancurkan oleh pihak
Dwarawati. Bahkan, Patih Kilatwarna sendiri tewas di tangan Prabu Baladewa. Melihat
pemimpinnya terbunuh, pasukan Paranggaruda menjadi berantakan. Ditya Kilatyaksa
segera menarik mundur para prajurit yang masih hidup untuk kembali ke Kerajaan
Paranggaruda, melapor kepada raja mereka, yaitu Prabu Kilatmaka.
Prabu Baladewa dengan angkuh mengejek kekuatan pihak Paranggaruda yang
ternyata tidak sebanding dengan kesombongan Patih Kilatwarna. Prabu Kresna muncul dan
berterima kasih atas bantuan kakaknya itu dalam menjaga keamanan Kerajaan Dwarawati.
Namun, ia juga mengingatkan Prabu Baladewa untuk tidak takabur dan hendaknya tetap
waspada terhadap segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Kedua raja kakak beradik
itu kemudian masuk ke dalam istana, di mana Prabu Kresna menjamu Prabu Baladewa
untuk merayakan kemenangannya.

RADEN ARJUNA MENEMUI DEWI JEMBAWATI


Sementara itu, Raden Arjuna diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong datang berkunjung ke Astana Gandamadana untuk menjenguk Dewi
Jembawati bersama bayinya. Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Dewi Jembawati pun
menyambut kedatangan Pandawa nomor tiga itu dengan penuh sukacita. Tampak Dewi
Trijata sedang memangku Raden Gunadewa, sedangkan Dewi Jembawati menggendong
putra keduanya.
Raden Arjuna mengaku dirinya telah mendengar kabar tentang Dewi Jembawati yang
pergi meninggalkan istana Dwarawati karena malu sudah dua kali melahirkan selalu saja
berwujud bayi penuh bulu seperti kera. Hal ini membuat Raden Arjuna sangat prihatin dan
ingin sekali membantu kesusahan kakak iparnya tersebut. Ia pun meminta petunjuk kepada
Bagawan Abyasa di Padepokan Saptaarga. Menurut sang kakek, yang bisa meruwat putra
Dewi Jembawati menjadi bayi nomal adalah Batara Sambu di Kahyangan Suwelagringging,
dengan menggunakan air pusaka Mustika Tirtakencana.
Berbekal petunjuk tersebut, Raden Arjuna pun datang ke Astana Gandamadana agar
diizinkan membawa kedua putra Dewi Jembawati naik ke Kahyangan Suwelagringging.
Dewi Jembawati terharu mendengar niat baik Raden Arjuna. Ia lalu berunding dengan ayah
dan ibunya mengenai hal ini. Resi Jembawan menyarankan agar putra yang nomor dua
saja yang diserahkan kepada Raden Arjuna, karena dialah yang dijanjikan Prabu Kresna
menjadi pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Adapun putra yang pertama, yaitu Raden
Gunadewa, biarlah tetap berbulu seperti ini. Resi Jembawan sudah sangat tua dan kelak
jika sudah meninggal, ia ingin cucunya itu yang mewarisi jabatan sebagai juru kunci Astana
Gandamadana sekaligus menjadi pendeta pula. Apabila Raden Gunadewa juga diruwat,
maka dikhawatirkan ia akan lebih betah tinggal di istana Dwarawati daripada di Astana
Gandamadana.
Raden Arjuna dapat memahami maksud baik Resi Jembawan. Ia lalu menggendong
putra kedua Dewi Jembawati lalu mohon pamit berangkat menuju Kahyangan
Suwelagringging dengan ditemani para panakawan.

BATARA SAMBU MERUWAT PUTRA DEWI JEMBAWATI


Atas petunjuk Kyai Semar, Raden Arjuna dapat mencapai Kahyangan
Suwelagringging tempat Batara Sambu bersemayam. Batara Sambu ini tidak lain adalah
KITAB WAYANG PURWA

putra sulung Batara Guru sang raja dewa. Ia menyambut kedatangan Raden Arjuna dan
bertanya ada keperluan apa menemui dirinya.
Raden Arjuna berkata bahwa ia datang untuk memohon bantuan Batara Sambu agar
meruwat bayi yang ada dalam gendongannya. Bayi tersebut adalah putra kedua Prabu
Kresna dan Dewi Jembawati, yang terlahir dengan tubuh tertutup bulu lebat seperti kera.
Menurut petunjuk kakeknya di Padepokan Saptaarga, bayi tersebut hanya bisa diruwat
dengan air pusaka Mustika Tirtakencana milik Batara Sambu.
Batara Sambu meraih bayi tersebut dan menggendongnya dengan hati-hati. Prabu
Kresna adalah titisan Batara Wisnu, sedangkan Batara Wisnu adalah adik kandung Batara
Sambu yang nomor lima. Maka, bayi tersebut bisa dibilang masih keponakannya sendiri.
Batara Sambu pun mengambil Mustika Tirtakencana dan mengusapkannya ke sekujur
tubuh si bayi. Sungguh ajaib, seketika seluruh bulu kera yang tumbuh pada kulit si bayi pun
rontok berjatuhan di lantai. Kini yang terlihat adalah sosok bayi tampan rupawan yang
berkulit keemasan.
Batara Sambu lalu mengembalikan si bayi kepada Raden Arjuna dan berpesan agar
segera membawanya pulang ke Kerajaan Dwarawati karena takdir lain menunggu di sana.
Raden Arjuna menerima keponakannya itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas
pertolongan Batara Sambu. Ia lalu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suwelagringging
untuk kembali ke Astana Gandamadana.

Batara Sambu

DEWI JEMBAWATI MEMBERI NAMA PUTRANYA RADEN SAMBA


Raden Arjuna dan para panakawan telah kembali ke Astana Gandamadana di mana
Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Dewi Jembawati menunggu sejak tadi. Melihat
kedatangan mereka, Dewi Jembawati yang paling gembira menyambut dan ia sangat
terkejut melihat putranya kini telah berubah menjadi tampan sempurna, tidak lagi berbulu
lebat seperti sediakala.
Resi Jembawan dan Dewi Trijata sudah tentu ikut bahagia melihat cucu mereka telah
diruwat oleh Batara Sambu. Sebagai tanda terima kasih, Dewi Jembawati pun mengusulkan
agar putranya itu diberi nama Raden Samba saja, sesuai dengan nama dewa yang telah
meruwatnya. Resi Jembawan setuju dan sebaiknya itu nanti dibicarakan langsung dengan
Prabu Kresna.
Raden Arjuna lalu menyampaikan pesan Batara Sambu bahwa si bayi Raden Samba
harus segera dibawa pulang ke Kerajaan Dwarawati karena takdir lain sedang menunggu
di sana. Dewi Jembawati menurut. Ia pun menggendong bayi Raden Samba untuk
KITAB WAYANG PURWA

kemudian berangkat meninggalkan Astana Gandamadana. Resi Jembawan ikut serta


mendampingi, sedangkan Dewi Trijata tetap tinggal bersama Raden Gunadewa.

Dewi Jembawati

PRABU KILATMAKA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI


Sementara itu, Prabu Kilatmaka raja Paranggaruda mendapat laporan dari Ditya
Kilatyaksa, bahwa Patih Kilatwarna telah gugur melawan pasukan Kerajaan Dwarawati
dalam usahanya merebut Dewi Jembawati. Prabu Kilatmaka sangat marah mendengar
laporan tersebut. Ia pun memimpin langsung pasukan Paranggaruda untuk berangkat
menggempur Kerajaan Dwarawati.
Singkat cerita, pasukan dari Paranggaruda itu telah sampai di tujuan. Prabu Baladewa
kembali memimpin pasukan Dwarawati menghadapi serangan tersebut. Pertempuran
sengit kembali terjadi. Prabu Baladewa yang tadinya meremehkan kekuatan Kerajaan
Paranggaruda kini dibuat terdesak kewalahan oleh kesaktian Prabu Kilatmaka. Hingga
akhirnya, tubuh Prabu Baladewa tiba-tiba menjadi lemas tak berdaya saat terkena air ludah
Prabu Kilatmaka.
Melihat kakak sepupunya kalah, Arya Setyaki segera maju menyerang Prabu
Kilatmaka. Keduanya pun bertarung sengit. Sama seperti nasib Prabu Baladewa, Arya
Setyaki akhirnya roboh pula kehilangan tenaga karena terkena air ludah Prabu Kilatmaka.

RADEN SAMBA MENGALAHKAN PRABU KILATMAKA


Prabu Kresna terkejut melihat Prabu Baladewa dan Arya Setyaki telah roboh tak
berdaya menghadapi kesaktian musuh. Ketika ia berniat untuk maju sendiri melawan Prabu
Kilatmaka, tiba-tiba terlihat rombongan Raden Arjuna datang, di mana terdapat Dewi
Jembawati dan Resi Jembawan di dalamnya. Dewi Jembawati pun memperkenalkan bayi
tampan yang ada pada gendongannya sebagai putra kedua mereka yang kemarin masih
berbulu lebat seperti kera. Putra kedua itu kini telah diberi nama Raden Samba, karena
diruwat oleh Batara Sambu.
Prabu Kresna senang melihatnya. Namun, ia tidak mau mengakui begitu saja apabila
si bayi Raden Samba tidak dapat membuktikannya. Ia pun memerintahkan Raden Arjuna
agar membawa Raden Samba terjun ke medan laga untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.
Dewi Jembawati heran mendengarnya dan memohon kepada Prabu Kresna untuk tidak
mencelakakan putra mereka. Prabu Kresna menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak
mempunyai niat hendak mencelakakan anak sendiri. Ia hanya ingin Raden Samba
membuktikan diri sebagai putra raja Dwarawati.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna dapat memahami niat Prabu Kresna. Ia pun mengambil Raden Samba
dari gendongan Dewi Jembawati lalu melesat pergi menghadapi Prabu Kilatmaka.
Sesampainya di sana, Raden Arjuna segera menantang raja Paranggaruda itu di mana ia
sendiri mengajukan Raden Samba.
Prabu Kilatmaka marah merasa dipermainkan. Ia pun meludahi Raden Arjuna namun
air ludahnya itu mengenai Raden Samba. Sungguh ajaib, bukannya lemas kehilangan
tenaga, tubuh Raden Samba justru berubah menjadi anak-anak yang bisa berlari-lari ke
sana kemari. Prabu Kilatmaka heran tidak percaya. Ia pun meludahi Raden Samba sekali
lagi, dan kali ini tubuh Raden Samba berubah menjadi pemuda remaja dalam waktu
seketika.
Raden Samba segera balas menyerang Prabu Kilatmaka. Dasar cucu Resi
Jembawan, ia pun berkelahi seperti monyet yang melompat ke sana kemari dan juga
menggigit telinga Prabu Kilatmaka. Prabu Kilatmaka merasa risih dan berusaha menangkap
Raden Samba. Namun, Raden Samba semakin lincah dan sesekali berhasil memukul atau
menendang raja Paranggaruda tersebut.
Prabu Kresna yang melihat dari kejauhan segera memanggil Raden Samba untuk
meninggalkan musuhnya barang sejenak. Raden Arjuna pun menggandeng keponakannya
itu untuk menghadap. Prabu Kresna merasa senang melihat kelincahan Raden Samba.
Namun, ia tidak suka putranya berkelahi seperti seekor kera. Maka, ia pun meminjamkan
Senjata Cakra kepada Raden Samba sebagai bekal untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.
Raden Samba menerima senjata tersebut dan kembali maju menghadapi Prabu
Kilatmaka. Begitu jarak mereka tidak terlalu jauh, Raden Samba segera melemparkan
Senjata Cakra yang tepat mengenai leher Prabu Kilatmaka. Seketika Prabu Kilatmaka pun
tewas dengan leher putus.
Melihat rajanya terbunuh, Ditya Kilatyaksa marah dan memimpin pasukannya untuk
melakukan bela pati, yaitu bertempur sampai mati melawan pasukan Dwarawati.
Pertempuran sengit kembali terjadi. Akhirnya, Ditya Kilatyaksa pun tewas terkena panah
Raden Arjuna.

Resi Jembawan

PRABU KRESNA MENGANGKAT RADEN SAMBA SEBAGAI PUTRA MAHKOTA


Prabu Kresna telah mengobati Prabu Baladewa dan Arya Setyaki dengan
menggunakan Kembang Wijayakusuma. Mereka lalu bersama-sama memuji kemenangan
Raden Samba. Karena Raden Samba mampu menggunakan Senjata Cakra dengan baik,
Prabu Kresna pun memberikan nama tambahan untuknya, menjadi Raden Samba
KITAB WAYANG PURWA

Wisnubrata. Hal ini karena Senjata Cakra adalah pusaka milik Batara Wisnu yang kemudian
terlahir sebagai Prabu Kresna.
Sesuai janjinya, Prabu Kresna pun mengangkat Raden Samba sebagai putra mahkota
Kerajaan Dwarawati. Adapun Kerajaan Paranggaruda yang kini telah kosong karena raja
dan seluruh pasukannya tewas, menjadi negeri bawahan Dwarawati. Prabu Kresna pun
mengubah Kerajaan Paranggaruda menjadi kesatrian sebagai tempat tinggal Raden
Samba. Sejak saat itu, Raden Samba pun mendapat nama baru pula, yaitu Raden Kusuma
Kilatmaka.
Prabu Kresna lalu mengadakan pesta syukuran untuk merayakan pelantikan Raden
Samba Wisnubrata sebagai putra mahkota. Bersamaan dengan itu, Dewi Rukmini dan Dewi
Setyaboma masing-masing melahirkan bayi laki-laki pula yang membuat Kerajaan
Dwarawati semakin berbahagia. Prabu Kresna pun memberikan nama Raden Partajumena
untuk putranya yang lahir dari Dewi Rukmini, serta Raden Setyaka untuk putranya yang
lahir dari Dewi Setyaboma.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG DEWAKASIMPAR
Kisah ini menceritakan tentang Kyai Semar yang berubah menjadi tampan, bernama
Bambang Dewakasimpar. Juga dikisahkan awal mula Raden Arjuna memanggil
“kakang” kepada Kyai Semar dan juga perkawinan antara dirinya dengan Dewi
Sulastri, yang kelak melahirkan Raden Sumitra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra yang dipadukan dengan ringkasan pentas Wayang Orang Panca Budaya
(Bantul), dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 25 Maret 2017
Heri Purwanto

Bambang Dewakasimpar

PRABU TEJABIRAWA MELAMAR DEWI SUTIRAGEN


Tersebutlah sebuah negeri bernama Kerajaan Pulorajapeti yang dipimpin raja
bernama Prabu Sasrasudarma. Raja ini memiliki tiga orang anak bernama Dewi Sutiragen,
Raden Sucitra, dan Dewi Sulastri yang ketiganya sudah sama-sama dewasa. Pada suatu
hari datang seorang raja bernama Prabu Tejabirawa dari Kerajaan Bandakasapta yang ingin
meminang Dewi Sutiragen sebagai istrinya. Dewi Sutiragen yang tidak menyukai tingkah
laku Prabu Tejabirawa menolak lamaran tersebut. Penolakan ini membuat Prabu
Tejabirawa marah dan mengepung Kerajaan Pulorajapeti.
Prabu Sasrasudarma beserta Raden Sucitra segera memimpin pasukan untuk
menghadapi pengepungan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Tejabirawa dan
juga adiknya yang bernama Patih Sarabirawa ternyata sangat sakti. Prabu Sasrasudarma
dan Raden Sucitra terdesak menghadapi kekuatan mereka. Melihat ayah dan adiknya
hampir kalah, Dewi Sutiragen pun mendatangi medan perang untuk melerai yang sedang
bertempur.
Dewi Sutiragen berkata bahwa dirinya bersedia menerima lamaran Prabu Tejabirawa
namun dengan syarat harus dibuatkan jalan raya yang lurus tanpa berbelok, yang
menghubungkan Kerajaan Pulorajapeti dengan Kerajaan Bandakasapta. Prabu Tejabirawa
menerima syarat tersebut dan segera mohon pamit berangkat untuk mewujudkannya.
Setelah Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa pergi, Prabu Sasrasudarma bertanya
apakah Dewi Sutiragen benar-benar bersedia menikah dengan Prabu Tejabirawa apabila
jalan lurus tersebut dapat diwujudkan. Dewi Sutiragen menjawab dirinya terpaksa menerima
pinangan Prabu Tejabirawa, meskipun tidak menyukai raja sombong tersebut. Biarlah
KITAB WAYANG PURWA

dirinya saja yang menderita, asalkan bukan Prabu Sasrasudarma dan juga anggota
keluarga lainnya yang menjadi korban.
Prabu Sasrasudarma terharu mendengar jawaban putri sulungnya. Ia segera
mengutus Raden Sucitra agar pergi mencari bala bantuan untuk membebaskan Kerajaan
Pulorajapeti dari ancaman Prabu Tejabirawa. Ia paham Dewi Sutiragen hanya mencari-cari
alasan untuk menolak lamaran raja tersebut. Maka, apabila Prabu Tejabirawa dan Patih
Sarabirawa kembali menyerang Kerajaan Pulorajapeti karena kecewa, Prabu
Sasrasudarma sudah mempunyai jago untuk menghadapi mereka.
Raden Sucitra mematuhi perintah sang ayah dan segera mohon pamit melaksanakan
tugas.
Sementara itu, Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa mengerahkan kesaktian
mereka untuk membangun jalan raya lurus yang membentang dari istana Kerajaan
Pulorajapeti menuju Kerajaan Bandakasapta. Sungguh luar biasa kesaktian kakak beradik
ini. Mereka membangun jalan dengan menggunakan ilmu sihir. Apabila melewati sungai
atau lautan, mereka membangun jembatan; dan apabila melewati gunung atau bukit,
mereka pun menggali gua sehingga jalan tersebut benar-benar lurus tanpa berbelok.
Adapun para prajurit Bandakasapta berjalan di depan mereka, untuk menggusur rumah
penduduk ataupun menghabisi siapa saja yang dianggap menghalangi jalur jalan raya
tersebut.

Prabu Tejabirawa

PRABU PUNTADEWA MENDAPAT LAPORAN TENTANG PRABU TEJABIRAWA YANG


MEMBANGUN JALAN
Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta memimpin pertemuan dengan dihadap adik-
adiknya, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Mereka
sedang membicarakan tentang Kyai Semar yang akhir-akhir ini lebih banyak mengurung diri
di dalam rumahnya di Desa Karangkadempel. Meskipun Kyai Semar hanyalah seorang
rakyat jelata biasa, namun Prabu Puntadewa sangat sayang dan hormat kepadanya. Kyai
Semar sudah mengabdi sebagai pengasuh anak-cucu Resi Manumanasa secara turun-
temurun hingga para Pandawa. Kyai Semar juga dianggap sebagai lambang suara rakyat
kecil, di mana segala ucapan dan keluhannya selalu didengar dan dilaksanakan oleh Prabu
Puntadewa.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna menyebut sang kakak sulung terlalu berlebihan dalam memerhatikan
Kyai Semar. Menurutnya, Kyai Semar adalah titisan Batara Ismaya (kakak Batara Guru)
sehingga tidak perlu dikhawatirkan keadaannya. Justru sebaliknya, Kyai Semar-lah yang
harus memerhatikan para majikan. Raden Arjuna menyebut Kyai Semar mungkin hanya
letih karena terlalu sering mengikuti dirinya berkelana dan sekarang ingin berlibur
mengambil cuti untuk beberapa waktu.
Ketika perundingan sedang berlangsung, tiba-tiba Patih Tambakganggeng datang
menghadap. Ia melaporkan tentang adanya sejumlah prajurit raksasa dari Kerajaan
Bandakasapta, yang dipimpin Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa, telah memasuki
wilayah Kerajaan Amarta, tepatnya di Desa Karangkadempel. Kedatangan mereka adalah
untuk membangun sebuah jalan raya lurus tanpa berbelok. Para prajurit Bandakasapta
sibuk menggusur dan mengusir para penduduk desa, sedangkan Prabu Tejabirawa dan
Patih Sarabirawa menciptakan jalan raya dengan menggunakan ilmu sihir mereka.
Mendengar laporan itu, Prabu Puntadewa segera memerintahkan Arya Wrekodara
dan Raden Arjuna untuk mengambil tindakan demi melindungi rakyat. Keduanya pun mohon
pamit berangkat, dengan didampingi Patih Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca.

Prabu Puntadewa

PRABU TEJABIRAWA MENGHASUT RADEN ARJUNA AGAR BERGABUNG


DENGANNYA
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna bersama pasukan Amarta telah sampai di Desa
Karangkadempel. Mereka segera menghalau para prajurit Bandakasapta yang sedang
melakukan penggusuran. Pertempuran pun terjadi. Para prajurit Bandakasapta itu dapat
dipukul mundur oleh pihak Amarta.
Prabu Tejabirawa mendapat akal untuk memecah kekuatan pasukan Amarta. Ia pun
mendekati Raden Arjuna dan pura-pura mengajak berteman. Raden Arjuna curiga dan
hendak meringkus raja tersebut. Namun, Prabu Tejabirawa dengan cekatan mengungkit
soal Dewi Banuwati, mantan kekasih Sang Panengah Pandawa tersebut. Raden Arjuna
terkejut dan bertanya dari mana Prabu Tejabirawa tahu soal dirinya pernah memiliki
hubungan dengan Dewi Banuwati di masa lalu.
Prabu Tejabirawa menjawab hal itu tidak penting, karena yang paling penting adalah
bagaimana caranya Raden Arjuna bisa mendapatkan Dewi Banuwati. Raden Arjuna merasa
bimbang karena dalam hati ia memang masih mencintai sepupunya itu yang kini telah
KITAB WAYANG PURWA

menjadi istri Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Prabu Tejabirawa menjawab itu soal
mudah. Membangun jalan raya yang lurus dari Kerajaan Pulorajapeti saja bisa ia lakukan,
apalagi hanya soal merebut Dewi Banuwati dari tangan Prabu Duryudana. Prabu
Tejabirawa berjanji akan menyihir pikiran Prabu Duryudana agar membenci dan
menceraikan istrinya itu, sehingga Raden Arjuna bisa menikahinya.
Raden Arjuna tertarik dan bertanya apa yang bisa ia lakukan sebagai imbal balik.
Prabu Tejabirawa pun berkata bahwa ia meminta bantuan Raden Arjuna untuk memukul
mundur pasukan Amarta dan mengusir Kyai Semar dari rumahnya karena akan dilalui jalan
raya yang ia dibangun. Raden Arjuna setuju. Ia pun melepaskan panah ke udara sambil
membaca mantra. Tiba-tiba muncul angin topan yang menderu dan menerbangkan para
prajurit Amarta meninggalkan Desa Karangkadempel.
Arya Wrekodara heran melihat adiknya yang tiba-tiba berubah pikiran dan kini menjadi
teman Prabu Tejabirawa. Ia mencoba melawan namun tubuhnya ikut terlempar oleh angin
topan yang dikerahkan Raden Arjuna tersebut.

Arya Wrekodara

KYAI SEMAR MENINGGALKAN DESA KARANGKADEMPEL


Setelah pasukan Amarta berhamburan diterjang angin, Raden Arjuna lalu masuk ke
rumah Kyai Semar untuk memintanya segera pergi. Ia berkata bahwa rumah Kyai Semar
akan digusur karena dilewati jalur jalan raya yang sedang dibangun Prabu Tejabirawa untuk
menghubungkan Kerajaan Pulorajapeti dengan Kerajaan Bandakasapta.
Saat itu Kyai Semar sedang duduk termenung memikirkan istrinya yang telah lama
hilang, yaitu Dewi Kanastren. Ia pun heran melihat Raden Arjuna tiba-tiba datang membela
orang asing. Ia menasihati Raden Arjuna agar kembali pada tugasnya sebagai kesatria,
yaitu melindungi seluruh rakyat dan setiap jengkal wilayah Kerajaan Amarta, bukannya
justru membela musuh yang ingin merusak negaranya. Raden Arjuna tidak peduli dan tetap
meminta Kyai Semar pergi. Ia berjanji akan memberikan desa lain sebagai tempat tinggal
asalkan Kyai Semar bersedia pergi dari Desa Karangkadempel. Kyai Semar berkata bahwa
ia tidak butuh desa yang baru, melainkan hanya ingin Raden Arjuna kembali ke jalan yang
benar, tidak lagi membela musuh yang hendak menginjak-injak kedaulatan Kerajaan
Amarta.
Raden Arjuna marah dan menakut-nakuti Kyai Semar menggunakan panah yang siap
dilepaskan. Ia berkata bahwa dirinya telah memiliki segalanya, yaitu wajah yang tampan,
ilmu kesaktian yang tinggi, beberapa istri yang cantik serta rukun, serta kekayaan yang
cukup. Ia merasa sudah tidak perlu memiliki pengasuh segala. Dirinya sudah dewasa,
KITAB WAYANG PURWA

sudah tidak membutuhkan saran dan nasihat dari Kyai Semar yang hanya seorang rakyat
jelata.
Kyai Semar prihatin melihat perlakuan Raden Arjuna kepadanya. Ia merasa sangat
sedih karena ucapannya sudah tidak lagi didengar oleh majikan yang paling ia sayangi itu.
Kyai Semar pun mengheningkan cipta kemudian tubuhnya melesat terbang ke angkasa.
Raden Arjuna penasaran dan segera mengejar ke mana pengasuhnya itu pergi.
Setelah Kyai Semar dan Raden Arjuna meninggalkan Desa Karangkadempel, Prabu
Tejabirawa segera memerintahkan para prajuritnya untuk melanjutkan pembongkaran
rumah. Nala Gareng, Petruk, dan Bagong berusaha menghalangi tetapi jumlah pasukan
Bandakasapta terlalu banyak. Ketiga panakawan itu pun kabur melarikan diri.
Para prajurit Bandakasapta beramai-ramai hendak merobohkan rumah Kyai Semar
tetapi gagal. Padahal, rumah tersebut hanyalah gubuk kayu biasa tetapi ternyata sulit sekali
dirobohkan.

Kyai Semar

KYAI SEMAR DIUBAH MENJADI TAMPAN


Kyai Semar melesat terbang hingga sampai di Kahyangan Awang-Awang Kumitir,
tempat leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang bersemayam. Sanghyang
Padawenang pun menyambut putranya itu dan bertanya mengapa tiba-tiba datang
berkunjung ke kahyangan. Kyai Semar menjawab bahwa dirinya sudah jenuh menjadi
pengasuh para Pandawa. Ucapannya tidak lagi didengarkan dan ia kini merasa telah
tersisih. Rupanya Raden Arjuna hanya menganggap para panakawan sebagai penghibur
belaka, bukannya sebagai pengasuh yang bisa memberikan nasihat-nasihat kebaikan.
Sanghyang Padawenang menasihati Kyai Semar agar jangan mudah berputus asa.
Dulu ketiga putra telah diatur pembagian perannya. Batara Guru si bungsu bertugas
memimpin kahyangan sebagai raja para dewa. Batara Antaga bertugas sebagai pengasuh
kaum raksasa dengan nama Kyai Togog, untuk mengarahkan mereka ke jalan yang benar.
Sementara itu, Batara Ismaya sebagai Kyai Semar bertugas membimbing kaum kesatria
agar tidak jatuh ke dalam kesesatan.
Sanghyang Padawenang mengingatkan Kyai Semar bahwa para Pandawa ditakdirkan
menjadi para kesatria pembela kebenaran yang kelak berperan penting dalam menumpas
angkara murka di muka bumi. Jika saat ini Raden Arjuna berbuat khilaf, maka sudah menjadi
tugas Kyai Semar untuk mengembalikannya ke jalan yang benar. Justru apabila Raden
Arjuna dibiarkan tetap khilaf, maka hal ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna memiliki
KITAB WAYANG PURWA

kesaktian luar biasa, jangan sampai ia disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Kyai Semar memahami maksud Sanghyang Padawenang. Ia pun meminta wujudnya
diubah menjadi kesatria tampan demi untuk menyadarkan Raden Arjuna. Ia ingin Raden
Arjuna sadar dari kesombongan bahwa ada yang lebih tampan dan sakti daripada dirinya.
Sanghyang Padawenang mengabulkan permintaan putranya itu. Wujud Kyai Semar pun
diubah menjadi kesatria tampan, dan diberi nama Bambang Dewakasimpar. Makna dari
nama itu ialah, dewa yang tersisih.
Bambang Dewakasimpar alias Kyai Semar berterima kasih atas bantuan Sanghyang
Padawenang. Ia lalu mohon restu dan segera pamit undur diri meninggalkan Kahyangan
Awang-Awang Kumitir.

Sanghyang Wenang

BAMBANG DEWAKASIMPAR MENAKLUKKAN RADEN ARJUNA


Bambang Dewakasimpar telah turun kembali ke dunia di mana ia bertemu Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong yang berlarian tak tentu arah. Ia pun bertanya mengapa
mereka bertiga kabur meninggalkan Kerajaan Amarta. Ketiga panakawan itu heran dari
mana Bambang Dewakasimpar tahu bahwa mereka berasal dari Kerajaan Amarta. Tidak
hanya itu, Bambang Dewakasimpar juga berkata bahwa mereka bertiga mulai sekarang
tidak perlu lagi mengabdi kepada para Pandawa, tetapi lebih baik mengabdi kepada dirinya
saja.
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong berunding lalu mereka pun sepakat menjadikan
Bambang Dewakasimpar sebagai majikan yang baru. Tidak lama kemudian Raden Arjuna
datang untuk mencari Kyai Semar. Ia heran bercampur marah melihat ketiga panakawan
kini mengabdi pada majikan baru yang tidak dikenal dan tidak jelas asal usulnya.
Petruk mewakili saudara-saudaranya menjawab bahwa terserah mereka mau
mengabdi pada siapa. Salah sendiri Raden Arjuna lebih suka menuruti hawa nafsu, tidak
KITAB WAYANG PURWA

lagi menghargai para panakawan. Para panakawan diperlakukan hanya sebagai penghibur
belaka, sebagai benda yang tidak punya perasaan. Kini ada Bambang Dewakasimpar yang
tidak kalah tampan dibanding Raden Arjuna bersedia melindungi mereka, tentunya mereka
pun dengan senang hati mengabdi kepadanya.
Raden Arjuna marah dan menantang Bambang Dewakasimpar bertarung. Apa
gunanya memiliki wajah tampan tapi kalau tidak memiliki kesaktian yang cukup. Bambang
Dewakasimpar pun menerima tantangan itu. Mereka lalu bertarung sengit disaksikan ketiga
panakawan. Raden Arjuna terkejut melihat kesaktian lawannya. Lama-lama ia merasa
terdesak dan akhirnya mengaku kalah.
Bambang Dewakasimpar menasihati Raden Arjuna agar jangan bersikap sombong
merasa paling tampan, paling sakti, paling kuat, paling pintar, paling terhormat, karena di
atas langit masih ada langit. Raden Arjuna mohon maaf telah berbuat khilaf karena didorong
hawa nafsu. Ia pun bersedia mengabdi kepada Bambang Dewakasimpar. Bambang
Dewakasimpar menerima pengabdian Raden Arjuna dan menjadikannya sebagai
panakawan, bersaudara dengan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Arjuna merasa sangat malu. Namun, sebagai pihak yang kalah ia tidak dapat
membantah dan mau tidak mau harus menerima keputusan Bambang Dewakasimpar
dengan lapang dada.

BAMBANG DEWAKASIMPAR BERTEMU RADEN SUCITRA


Bambang Dewakasimpar dan para panakawan melanjutkan perjalanan. Mereka lalu
bertemu Raden Sucitra, putra Prabu Sasrasudarma yang ditugasi mencari jago untuk
menghadapi Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa. Bambang Dewakasimpar bertanya
mengapa kedua orang itu harus dikalahkan.
Raden Sucitra pun menceritakan semua dari awal hingga akhir, sampai pada cerita
tentang kakaknya yang bernama Dewi Sutiragen mengajukan syarat kepada Prabu
Tejabirawa agar dibuatkan jalan lurus yang menghubungkan Kerajaan Pulorajapeti dan
Kerajaan Bandakasapta.
Bambang Dewakasimpar mendengar dengan seksama dan ia pun bersedia menjadi
jago Kerajaan Pulorajapeti menghadapi Prabu Tejabirawa. Namun, ia meminta imbalan
Dewi Sutiragen harus menjadi istrinya. Raden Sucitra tidak berani memutuskan, tetapi jika
memang Bambang Dewakasimpar mampu mengalahkan Prabu Tejabirawa, maka ia akan
membantu meminta ayahnya untuk mengabulkan hal itu.
Bambang Dewakasimpar menyanggupi. Mereka lalu berangkat bersama-sama
menuju tempat Prabu Tejabirawa dan pasukannya yang masih tertahan di Desa
Karangkadempel.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Sucitra

BAMBANG DEWAKASIMPAR MENGALAHKAN PRABU TEJABIRAWA


Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa masih sibuk berusaha merobohkan rumah
Kyai Semar di Desa Karangkadempel. Tidak lama kemudian Bambang Dewa Kasimpar
datang menantang mereka. Terjadilah pertempuran di mana Prabu Tejabirawa dan Patih
Sarabirawa tidak mampu mengatasi kesaktian Bambang Dewakasimpar. Mereka pun
bertempur dengan sengit hingga wujud masing-masing berubah. Bambang Dewakasimpar
kembali menjadi Kyai Semar, sedangkan Prabu Tejabirawa berubah menjadi Kyai Togog,
dan Patih Sarabirawa menjadi Bilung Sarahita.
Kyai Semar bertanya mengapa Kyai Togog (kakaknya) menyamar sebagai raja
segala. Kyai Togog pun berkata bahwa dirinya sudah bosan menjadi pengasuh para
raksasa. Mereka lebih suka menuruti hawa nafsu, menolak segala nasihat dan petuah yang
ia berikan. Kyai Togog merasa tidak ada gunanya lagi punya suara tetapi tidak didengarkan.
Lebih baik menjadi raja saja, biar bisa merasakan bagaimana nikmatnya memerintah,
bukannya diperintah orang. Ia juga menyebut Kyai Semar jauh lebih bagus nasibnya karena
mengasuh kaum kesatria. Mereka adalah ahli tapa yang cinta pada kebenaran, bukannya
mengumbar nafsu pribadi seperti kaum raksasa.
Kyai Semar berkata bahwa Kyai Togog hanyalah iri tanpa mengetahui yang
sebenarnya terjadi. Menjadi pamong para kesatria jauh lebih sulit karena yang diasuh
adalah para ahli tapa, dan itu berarti Kyai Semar harus lebih rajin bertapa pula. Yang diasuh
ahli puasa, maka Kyai Semar harus rajin berpuasa pula demi menjadi contoh bagi mereka,
sehingga nasihatnya tidak dianggap sebagai nasihat semu. Kyai Togog jauh lebih bagus
nasibnya karena yang diasuh para raksasa. Apabila tidak dapat dibina maka tinggal
dibinasakan saja.
Kyai Togog merasa ucapan adiknya ada benarnya juga. Selama ini ia kesal karena
nasihat-nasihatnya tidak didengar oleh kaum raksasa. Ia pun mengubah diri menjadi raja
supaya bisa memerintah, bukan lagi diperintah. Namun, ternyata menjadi raja tidak seperti
yang ia bayangkan. Tanggung jawabnya sangat besar dan kerjanya siang malam. Lebih
baik menjadi panakawan saja, menyuarakan kebaikan meskipun tidak didengar.
Kyai Semar menjelaskan bahwa Kyai Togog tidak perlu berkecil hati karena memang
demikianlah tugasnya di muka bumi. Kyai Togog adalah simbol hati nurani yang selalu
berbisik tentang kebaikan. Itulah sebabnya Kyai Togog bisa berada di mana-mana. Kadang
ia mengasuh raja ini, kadang ia muncul untuk mengasuh raja yang lain. Demikianlah, setiap
manusia walaupun seorang penjahat sekalipun pasti memiliki hati nurani. Hanya saja, suara
KITAB WAYANG PURWA

hati nurani para penjahat seringkali tidak didengar. Orang yang pertama kali berbuat jahat
pasti ada rasa penyesalan. Namun, semakin sering ia berbuat jahat, semakin kebal
perasaannya, karena memang ia sudah tidak bisa lagi mendengar bisikan hati nuraninya.
Sama seperti nasib Kyai Togog. Semakin jahat raja raksasa yang diasuhnya, maka semakin
kebal pula mereka terhadap nasihat kebaikan.
Kyai Togog dapat menerima penjelasan adiknya. Ia lalu mohon pamit untuk kemudian
pergi meninggalkan Desa Karangkadempel bersama Bilung Sarahita.

Kyai Togog

KYAI SEMAR MELAMAR DEWI SUTIRAGEN


Raden Arjuna sangat terkejut melihat wujud asli Bambang Dewakasimpar ternyata
adalah penjelmaan Kyai Semar. Ia pun meminta maaf tadi telah berbuat kasar kepada
pamongnya itu, karena terdorong oleh nafsu ingin memiliki Dewi Banuwati seperti yang
dijanjikan Prabu Tejabirawa kepadanya. Ia berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan
kasarnya dan bersedia mendengaran nasihat-nasihat dari Kyai Semar.
Kyai Semar berkata bahwa tiada gunanya Raden Arjuna menginginkan Dewi Banuwati
yang sudah bersuami. Di dunia ini masih banyak perempuan cantik yang masih gadis dan
belum terikat oleh orang lain. Ia lalu bertanya kepada Raden Sucitra tentang perjanjian di
awal tadi, yaitu menyerahkan Dewi Sutiragen kepadanya. Raden Sucitra agak ragu-ragu
karena wujud asli Bambang Dewakasimpar yang tampan ternyata adalah Kyai Semar yang
buruk rupa. Namun, karena sudah terlanjur berjanji, mau tidak mau ia pun mengantarkan
Kyai Semar menuju Kerajaan Pulorajapeti.
Sesampainya di hadapan Prabu Sasrasudarma, Raden Sucitra bercerita panjang lebar
tentang kehebatan Bambang Dewakasimpar dalam mengalahkan Prabu Tejabirawa dan
Patih Sasrabirawa. Kini Bambang Dewakasimpar telah kembali ke wujud aslinya, yaitu Kyai
Semar dan ia pun datang ke Pulorajapeti untuk meminta Dewi Sutiragen sebagai imbalan.
Prabu Sasrasudarma marah-marah menyebut Kyai Semar sebagai manusia lancang
yang tidak melihat dirinya seperti apa. Kyai Semar hanyalah seorang tua bertubuh bulat
gemuk, berwajah jelek, dan juga dari kalangan rakyat jelata tetapi berani malamar putrinya.
Kyai Semar pun bertanya yang hendak menjalani rumah tangga itu Prabu Sasrasudarma
ataukah Dewi Sutiragen? Lamaran Kyai Semar ini ditujukan kepada Dewi Sutiragen, maka
biarlah dia saja yang menjawab bersedia atau tidak.
Prabu Sasrasudarma pun memanggil Dewi Sutiragen untuk menanyainya apakah
bersedia menjadi istri Kyai Semar atau tidak. Sungguh di luar dugaan, ternyata putrinya itu
menjawab bersedia dengan senang hati. Kyai Semar senang mendengarnya. Ia pun berkata
KITAB WAYANG PURWA

kepada Prabu Sasrasudarma bahwa Dewi Sutiragen adalah penjelmaan Dewi Kanastren,
yaitu istrinya yang telah lama hilang.
Prabu Sasrasudarma merasa sangat malu dan ia pun mengakui bahwa Dewi
Sutiragen memang bukan putri kandungnya, tetapi putri angkat yang dipersaudarakan
dengan kedua anaknya yang lain, yaitu Raden Sucitra dan Dewi Sulastri. Dewi Sutiragen
pun berkata bahwa dirinya memang benar memiliki nama asli Dewi Kanastren, istri Kyai
Semar yang sudah lama menghilang dari Desa Karangkadempel.

Prabu Sasrasudarma

RADEN ARJUNA MENIKAHI DEWI SULASTRI


Dewi Kanastren mohon pamit kepada Prabu Sasrasudarma dan ia berterima kasih
banyak atas segala kasih sayang yang diberikan oleh ayah angkatnya itu selama ini. Prabu
Sasrasudarma merasa sangat kehilangan, begitu pula dengan Raden Sucitra dan Dewi
Sulastri yang selama ini telah menganggap Dewi Kanastren sebagai kakak kandung. Dewi
Sulastri bahkan menangis dan ingin diajak serta apabila Dewi Kanastren pulang ke Desa
Karangkadempel. Ia ingin agar selalu berada di dekat kakaknya tersebut.
Dewi Kanastren mendapat akal. Ia pun mengusulkan agar Dewi Sulastri menjadi istri
Raden Arjuna saja. Dengan cara demikian, maka adiknya itu bisa selalu berada dekat
dengannya, karena Desa Karangkadempel dan Kasatrian Madukara sama-sama berada di
dalam wilayah Kerajaan Amarta.
Melihat wajah Dewi Sulastri yang cantik jelita, Raden Arjuna pun menyatakan setuju
pada usulan Dewi Kanastren tersebut. Maka, ia segera melamar gadis itu kepada ayahnya.
Prabu Sasrasudarma sudah sering mendengar berita tentang kehebatan Raden Arjuna
namun baru kali ini bisa bertemu dengannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia pun
merestui Raden Arjuna menjadi suami putri bungsunya.
Demikianlah, Prabu Sasrasudarma mengadakan upacara pernikahan antara Raden
Arjuna dengan Dewi Sulastri. Setelah satu bulan berlalu, Raden Arjuna memboyong Dewi
Sulastri menuju Kesatrian Madukara. Raden Sucitra yang tidak bisa jauh dengan adiknya
juga menyatakan ikut serta dan ingin mengabdi di Kesatrian Madukara. Raden Arjuna pun
menerima pengabdian kakak iparnya itu dan menjadikannya sebagai patih.
Karena Raden Arjuna telah menikah dengan Dewi Sulastri yang merupakan adik
angkat Dewi Kanastren, maka mulai hari itu ia pun memanggil Kyai Semar dengan sebutan
“kakang”.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

GARENG DADI RATU


Kisah ini menceritakan tentang Nala Gareng yang menjadi raja bernama Prabu
Pandupragolamanik dengan dukungan Dewi Sumbadra demi menyadarkan Raden
Arjuna yang berbuat khilaf. Juga dikisahkan awal mula panakawan Petruk menjadi
calon menantu Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas wayang orang Sekar Budaya Nusantara,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 08 April 2017
Heri Purwanto

Nala Gareng.

PRABU KRESNA DAN PRABU BALADEWA HENDAK BERKUNJUNG KE MADUKARA


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan yang dihadap
para menteri dan punggawa, antara lain Raden Samba (putra mahkota) serta Arya Setyaki
dan Patih Udawa. Hadir pula Prabu Baladewa yang datang berkunjung dari Kerajaan
Mandura. Kedua raja tersebut membicarakan tentang adik bungsu mereka, yaitu Dewi Wara
Sumbadra yang saat ini usia kandungannya hampir mencapai tujuh bulan. Raden Arjuna
konon telah mempersiapkan upacara siraman untuk istrinya tersebut. Kedua raja sama-
sama mendapatkan undangan ke Madukara, sehingga Prabu Baladewa sengaja singgah
ke istana Dwarawati untuk mengajak Prabu Kresna berangkat bersama.
Prabu Kresna dengan senang hati bersedia berangkat bersama Prabu Baladewa.
Namun, ada satu hal yang mengganjal pikiran, yaitu Dewi Sumbadra kini sedang mengidam
ingin dicarikan ikan waderbang sisik kencana, yaitu ikan wader berwarna merah yang
bersisik keemasan. Demikianlah kabar yang ia terima dari Raden Sadewa (bungsu
Pandawa) saat menyampaikan undangan dari Kesatrian Madukara. Raden Sadewa
sekaligus juga bertanya apakah Prabu Kresna pernah mendengar soal ikan ajaib tersebut.
Prabu Kresna menjawab sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini.
Prabu Baladewa terkejut bercampur heran mendengar berita tersebut. Ia menganggap
Dewi Sumbadra terlalu aneh permintaannya dan ini jelas menyusahkan suami. Di dunia ini
mana ada ikan waderbang sisik kencana segala? Prabu Kresna berkata bahwa sesuatu
yang tidak pernah dijumpai belum tentu tidak ada. Dunia ini begitu luas dan tidak seluruhnya
pernah dijelajahi manusia. Bisa saja di suatu tempat entah di mana, ikan ajaib tersebut
menampakkan diri.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Baladewa membenarkan ucapan adiknya. Ia lalu mengajak Prabu Kresna untuk
segera berangkat menuju Kesatrian Madukara. Prabu Kresna pun membubarkan
pertemuan. Ia mengajak Arya Setyaki ikut serta, sedangkan Patih Udawa dan Raden
Samba ditugasi untuk menjaga negara.

PRABU PANDUPRAGOLA JATUH CINTA KEPADA DEWI SUMBADRA


Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Pandupragola di Kerajaan
Paranggumiwang. Raja ini bertubuh gagah perkasa namun belum memiliki istri. Pada suatu
malam ia mimpi bertemu Dewi Sumbadra dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ketika
bangun dari tidur segera ia memanggil panakawan Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk
mencari tahu tentang siapa sebenarnya Dewi Sumbadra tersebut.
Kyai Togog pun bercerita bahwa Dewi Sumbadra adalah adik Prabu Baladewa raja
Mandura dan juga adik Prabu Kresna raja Dwarawati. Saat ini Dewi Sumbadra sudah
menjadi istri Raden Arjuna, kesatria Panengah Pandawa yang tinggal di Kesatrian
Madukara, wilayah Kerajaan Amarta. Oleh sebab itu, apabila Prabu Pandupragola ingin
menikah dengan Dewi Sumbadra lebih baik dibatalkan saja.
Prabu Pandupragola tidak peduli meskipun Dewi Sumbadra sudah bersuami. Ia
berniat membunuh Raden Arjuna dan merebut wanita pujaannya itu. Kyai Togog menasihati
Prabu Pandupragola agar jangan gegabah, karena Raden Arjuna adalah kesatria sakti pilih
tanding, dan menghadapinya sama saja dengan mencari mati. Tidak hanya itu, Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna juga tidak mungkin tinggal diam apabila adik mereka diganggu
orang.
Prabu Pandupragola agak gentar juga mendengarnya. Namun, ia membulatkan tekat
tidak ingin menikah jika tidak dengan Dewi Sumbadra. Usai berkata demikian, ia pun
berangkat untuk menyerang Kesatrian Madukara dengan ditemani Patih Jayadenda beserta
segenap pasukan Paranggumiwang.

PRABU PANDUPRAGOLA MENCULIK DEWI SUMBADRA


Prabu Pandupragola dan pasukannya telah bergerak mendekati perbatasan Kerajaan
Amarta. Mereka bertemu rombongan dari Kerajaan Dwarawati yang hendak menuju
Kesatrian Madukara pula. Arya Setyaki yang mengetahui niat jahat Prabu Pandupragola
segera bertempur menghadapi mereka. Sungguh kebetulan Arya Wrekodara dan Raden
Gatutkaca juga sedang melintas untuk meronda perbatasan. Mereka segera
menggabungkan diri dengan pihak Dwarawati dan berhasil memukul mundur pasukan
Paranggumiwang.
Prabu Pandupragola merasa ngeri melihat kehebatan orang-orang Amarta dan
Dwarawati. Ia pun meloloskan diri dan berhasil menyusup masuk ke dalam Kesatrian
Madukara. Setelah mengintai dan mengamati dengan seksama, akhirnya ia pun berhasil
menemukan Dewi Sumbadra yang sedang duduk ditemani ketiga madunya, yaitu Dewi
Srikandi, Niken Larasati, dan Dewi Sulastri. Tanpa membuang waktu, Prabu Pandupragola
pun menerjang masuk dan segera menyambar tubuh Dewi Sumbadra.
Dewi Srikandi, Niken Larasati, dan juga Patih Sucitra segera mengejar si penculik.
Namun, Prabu Pandupragola mengerahkan Aji Panglimunan sehingga para pengejarnya
tidak dapat melihat di mana ia berada.

RADEN ARJUNA MENDAPATKAN PUSAKA JALASUTRA TAMPANG KENCANA


Sementara itu, Raden Arjuna ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong sedang menghadap sang kakek di Padepokan Gunung Saptaarga,
KITAB WAYANG PURWA

yaitu Bagawan Abyasa. Raden Arjuna menceritakan persoalan yang ia hadapi, yaitu Dewi
Sumbadra ingin memakan daging ikan waderbang sisik kencana sebelum upacara siraman
atas dirinya. Untuk itulah, Raden Arjuna datang ke Gunung Saptaarga guna meminta
petunjuk kepada sang kakek di mana ikan ajaib tersebut dapat ditemukan.
Bagawan Abyasa seumur hidup belum pernah mendengar ada ikan bernama
waderbang sisik kencana. Namun, ia juga tidak berani menuduh Dewi Sumbadra
mengarang cerita. Karena tidak tega melihat cucunya yang dilanda kebingungan, Bagawan
Abyasa pun meminjamkan pusaka berwujud jaring ikan, bernama Jalasutra Tampang
Kencana, yang bermakna: jala terbuat dari sutra dengan pemberat berupa emas. Bagawan
Abyasa berkata bahwa jala pusaka ini lain daripada jala biasa. Nanti saat bertemu sungai,
Raden Arjuna tinggal melemparkan jala tersebut ke air dan jala pusaka ini seolah punya
mata sehingga bisa bergerak sendiri memerangkap ikan. Namun demikian, Bagawan
Abyasa berpesan jala pusaka tersebut jangan sampai rusak, karena hanya bisa diperbaiki
dengan mengorbankan nyawa orang yang telah merusakkannya. Raden Arjuna merasa
ngeri mendengarnya dan ia pun memberanikan diri menerima jala pusaka tersebut.

Bagawan Abyasa.

DEWI SUMBADRA MEMERDAYA PRABU PANDUPRAGOLA


Di lain tempat, Prabu Pandupragola telah berhasil membawa kabur Dewi Sumbadra
dan lolos dari kejaran orang-orang Madukara. Di tengah hutan, ia pun menurunkan Dewi
Sumbadra dari gendongan dan berkata terus terang bahwa dirinya jatuh cinta kepada istri
Raden Arjuna tersebut. Dewi Sumbadra berusaha tetap tenang sambil memeras otak.
Apabila ia melawan dan menolak cinta Prabu Pandupragola, maka raja tersebut justru akan
berbuat jahat kepada dirinya. Tentu saja Dewi Sumbadra takut janin dalam kandungannya
yang akan menjadi korban.
Prabu Pandupragola berusaha merayu Dewi Sumbadra dengan memamerkan bahwa
dirinya adalah raja besar dari Kerajaan Paranggumiwang. Ia juga memamerkan
kesaktiannya untuk menakut-nakuti wanita itu. Namun, Dewi Sumbadra bukan wanita
sembarangan yang mudah untuk ditakut-takuti. Dengan tenang ia berkata bahwa dirinya
sama sekali tidak tertarik pada harta kekayaan dan juga ilmu kesaktian. Yang ia inginkan
hanyalah memakan daging ikan waderbang sisik kencana, itu saja. Apabila Prabu
Pandupragola mampu menemukan ikan tersebut, maka Dewi Sumbadra bersedia menjadi
istrinya.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandupragola sangat senang mendengarnya. Kebetulan di dekat tempat itu


terdapat sebuah sungai. Ia pun bersedia menyelam ke dalam sungai tersebut demi untuk
mencari ikan yang diinginkan Dewi Sumbadra. Namun, Dewi Sumbadra tidak boleh kabur
melarikan diri. Dewi Sumbadra setuju dan ia berjanji tidak akan pergi dari tempatnya kini
berada. Jika Prabu Pandupragola tidak percaya, maka ia boleh mengikat kedua tangan dan
kaki Dewi Sumbadra.
Prabu Pandupragola bagaikan terkena ilmu guna-guna, sehingga percaya begitu saja
pada ucapan Dewi Sumbadra. Ia lalu melepas seluruh pakaiannya sampai yang tersisa
hanya selembar cawat saja. Dengan penuh percaya diri, Prabu Pandupragola pun
mencebur ke dalam sungai dan menyelam melawan arus untuk mencari ikan waderbang
sisik kencana.

NALA GARENG DITUDUH MERUSAKKAN JALA PUSAKA


Sementara itu, di sungai yang sama dengan yang diselami Prabu Pandupragola,
tampak Raden Arjuna dan para panakawan sedang sibuk mencari ikan yang sama pula.
Berkali-kali Raden Arjuna melemparkan jala pusaka ke dalam air, namun yang terjaring
hanyalah ikan-ikan biasa. Para panakawan menerima ikan-ikan tersebut dengan senang
hati untuk bekal makan siang mereka.
Lama-lama Raden Arjuna merasa letih. Ia menyerahkan Jalasutra Tampang Kencana
kepada para panakawan agar melanjutkan usaha mencari ikan waderbang sisik kencana,
sedangkan dirinya pergi beristirahat. Kyai Semar pun menyerahkan jala pusaka tersebut
kepada Petruk karena dirinya ikut pergi menemani Raden Arjuna.
Petruk ketakutan karena teringat pada pesan Bagawan Abyasa bahwa Jalasutra
Tampang Kencana apabila rusak hanya bisa diperbaiki dengan mengorbankan nyawa
orang yang merusakkannya. Mereka lalu mengadakan undian siapa yang sebaiknya
melemparkan jala tersebut ke dalam air. Setelah diundi, ternyata Petruk mendapat giliran
pertama, Bagong kedua, dan Nala Gareng ketiga.
Demikianlah, Petruk pun melemparkan Jalasutra Tampang Kencana ke dalam sungai.
Selang beberapa saat ia menarik jala tersebut ke atas dan ternyata yang terjaring tetaplah
ikan-ikan biasa. Karena jala tersebut baik-baik saja, Petruk pun lega dan menyerahkannya
kepada Bagong.
Bagong yang mendapat giliran kedua segera melemparkan jala pusaka ke dalam air
dan ketika ditarik ternyata tidak mendapatkan apa-apa. Dengan perasaan lega, Bagong lalu
menyerahkan jala pusaka kepada Nala Gareng.
Kini tiba giliran Nala Gareng melemparkan Jalasutra Tampang Kencana. Tepat pada
saat itulah Prabu Pandupragola yang sedang menyelam lewat di sungai dekat mereka.
Akibatnya, tubuh Prabu Pandupragola pun terperangkap ke dalam jaring. Ia meronta-ronta
dan jala tersebut justru semakin kencang menjerat dirinya. Akhirnya, Prabu Pandupragola
mengerahkan kesaktiannya dan jala pusaka itu pun robek sehingga ia bisa meloloskan diri.
Nala Gareng tidak tahu kalau lemparannya tadi sempat menjerat seseorang yang
sedang menyelam. Ia hanya merasa Jalasutra Tampang Kencana bertambah berat seperti
sedang menjerat seekor ikan besar. Perlahan ia menarik jala pusaka itu ke atas dan ternyata
jala tersebut telah robek menganga lebar.

NALA GARENG MENENGGELAMKAN DIRI KE DALAM SUNGAI


Nala Gareng pun ketakutan karena jala pusaka itu robek saat berada di tangannya.
Petruk dan Bagong ikut ngeri karena itu berarti kakak mereka harus menebus dengan
nyawa. Tidak lama kemudian Raden Arjuna dan Kyai Semar datang. Raden Arjuna
KITAB WAYANG PURWA

langsung marah-marah dan menuduh Nala Gareng berbuat ceroboh hingga merusakkan
Jalasutra Tampang Kencana. Bagaimanapun juga jala pusaka ini harus bisa diperbaiki, dan
itu artinya Nala Gareng harus mengorbankan nyawa.
Nala Gareng menangis ketakutan dan memohon ampun. Petruk dan Bagong hanya
bisa bingung tidak tahu harus berbuat apa. Begitu pula dengan Kyai Semar juga tidak bisa
membela dirinya. Raden Arjuna terpaksa harus menjalankan hukuman, meskipun dalam
hati merasa tidak tega terhadap Nala Gareng.
Nala Gareng merasa tidak ada jalan lain lagi. Ia sangat sedih karena nyawanya
ternyata tidak lebih berharga daripada selembar jala ikan. Dengan perasaan putus asa, ia
pun melompat terjun ke dalam sungai. Dalam sekejap tubuhnya langsung lenyap terseret
arus sungai yang deras.
Raden Arjuna kemudian memeriksa Jalasutra Tampang Kencana ternyata tetap rusak
dan tidak berubah menjadi baik. Itu artinya, nyawa Nala Gareng tidak dapat menebusnya.
Raden Arjuna merasa sedih dan menyesal karena ternyata Nala Gareng bukanlah orang
yang merusakkan jala pusaka tersebut. Namun, semuanya sudah terlambat. Nala Gareng
sudah hanyut terbawa arus, entah di mana jasadnya bisa ditemukan.

NALA GARENG DITEMUKAN DEWI SUMBADRA


Nala Gareng sebenarnya belum mati. Tubuhnya hanyut terseret arus hingga akhirnya
tersangkut di antara batu-batuan kali. Kebetulan Dewi Sumbadra berada di dekat situ dan
melihatnya. Ia hendak terjun ke air namun takut kandungannya bermasalah. Maka, ia hanya
memanggil-manggil Nala Gareng dari tepi sungai untuk memastikan panakawan tersebut
masih hidup atau sudah meninggal. Mendengar suara sang majikan perempuan memanggil
dirinya, Nala Gareng pun bangun dari pingsan dan segera merangkak naik ke daratan.
Dewi Sumbadra bertanya apa sebabnya Nala Gareng bisa hanyut terbawa arus
sungai. Sungguh beruntung tubuhnya tersangkut di antara bebatuan kali sehingga Dewi
Sumbadra bisa menemukannya. Jika tidak, mungkin ia sudah hanyut entah ke mana. Nala
Gareng pun menyembah hormat dan berterima kasih kepada sang majikan wanita, lalu
menceritakan semuanya dari awal sampai akhir, yaitu ia sengaja menceburkan diri ke dalam
sungai karena dituduh Raden Arjuna merusakkan pusaka Jalasutra Tampang Kencana.
Dewi Sumbadra kesal mendengar perbuatan suaminya yang menjatuhkan hukuman
kepada Nala Gareng tanpa menyelidiki kesalahannya terlebih dulu. Tiba-tiba ia mempunyai
rencana ingin menyadarkan suaminya. Nala Gareng lalu diperintahkan untuk mengenakan
pakaian milik Prabu Pandupragola yang ditinggalkan pemiliknya di tepi sungai. Nala Gareng
pun dengan senang hati mengenakan pakaian tersebut. Dewi Sumbadra kemudian merias
Nala Gareng sehingga wajahnya sulit dikenali lagi.
Tiba-tiba Prabu Pandupragola muncul dari dalam sungai naik ke daratan. Ia marah-
marah meminta Nala Gareng mengembalikan pakaiannya. Nala Gareng pun balik menuduh
Prabu Pandupragola sebagai orang gila yang hanya memakai cawat tetapi mengaku
sebagai raja segala. Dewi Sumbadra juga pura-pura tidak kenal dan ikut menuduh Prabu
Pandupragola sebagai orang gila dan menyebut Nala Gareng sebagai Prabu Pandupragola
yang asli.
Prabu Pandupragola marah dan menyerang Nala Gareng. Dengan cekatan Nala
Gareng pun menghadapi serangan tersebut. Setelah bertarung agak lama, Prabu
Pandupragola akhirnya terdesak dan tubuhnya jatuh tercebur ke dalam sungai.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Pandupragola.

NALA GARENG MENJADI RAJA PARANGGUMIWANG


Setelah tubuh Prabu Pandupragola hanyut terbawa arus sungai, Dewi Sumbadra dan
Nala Gareng bertemu dengan Patih Jayadenda beserta sisa-sisa pasukan
Paranggumiwang. Karena tidak mengenali Nala Gareng yang mengenakan pakaian
rajanya, Patih Jayadenda pun menyembah kepadanya dan menyebutnya sebagai Prabu
Pandupragola. Ia bersyukur ternyata rajanya masih hidup setelah mereka terpisah saat
bertempur melawan rombongan dari Kerajaan Dwarawati tadi.
Sesuai rencana di awal tadi, Nala Gareng pun mengaku sebagai Prabu Pandupragola
dan berkata bahwa dirinya memang masih hidup, bahkan berhasil menculik Dewi
Sumbadra. Tidak hanya itu, Nala Gareng juga mengumumkan bahwa nama gelarnya kini
ditambahi menjadi Prabu Pandupragolamanik, karena tubuhnya menjadi lebih mungil
daripada semula. Ia berkata bahwa dirinya belum puas jika hanya mendapatkan Dewi
Sumbadra saja, karena kini yang ia inginkan adalah menaklukkan Kerajaan Amarta.
Demikianlah, Prabu Pandupragolamanik alias Nala Gareng lalu mengajak Patih
Jayadenda dan pasukan Paranggumiwang untuk menyerbu negeri tersebut. Patih
Jayadenda merasa gentar karena tadi ia sudah melihat sendiri seperti apa kesaktian Arya
Wrekodara, Raden Gatutkaca, dan Arya Setyaki. Namun, Prabu Pandupragolamanik terus
mendesak dan meyakinkan Patih Jayadenda bahwa kali ini ia akan mengerahkan
kemampuannya yang asli untuk menaklukkan Pandawa Lima beserta para sekutunya
tersebut.
Tanpa membuang waktu lagi, Prabu Pandupragolamanik pun memerintahkan Patih
Jayadenda dan para prajurit Paranggumiwang untuk mengikutinya.

Prabu Pandupragolamanik.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU PANDUPRAGOLAMANIK MENYERANG KERAJAAN AMARTA


Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta menerima kedatangan Prabu Kresna dan Prabu
Baladewa beserta rombongan. Ia berkata bahwa upacara siraman untuk Dewi Sumbadra
terancam batal karena saat ini adik iparnya tersebut telah hilang diculik orang, sebagaimana
yang dilaporkan Dewi Srikandi. Prabu Kresna mengatakan tidak perlu mencari Dewi
Sumbadra karena ia mendapat firasat bahwa adik bungsunya itu akan segera kembali ke
Kerajaan Amarta.
Tidak lama kemudian datang pula Raden Arjuna bersama Kyai Semar, Petruk, dan
Bagong. Sambil meratap sedih, Raden Arjuna mengaku telah berbuat kejam menghukum
mati Nala Gareng tanpa penyelidikan lebih mendalam. Kini Nala Gareng telah meninggal
dan jasadnya hanyut di sungai tanpa diketahui keberadaannya.
Tiba-tiba Patih Tambakganggeng datang melapor bahwa Prabu Pandupragolamanik
bersama pasukan Paranggumiwang telah datang menyerang Kerajaan Amarta. Mendengar
itu, Arya Wrekodara segera keluar dan memimpin pasukan untuk menghadapinya.
Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Arya Wrekodara yang gagah perkasa
ternyata tidak mampu menghadapi Prabu Pandupragolamanik yang kecil mungil, bahkan
berhasil dipukul mundur. Raden Gatutkaca, Arya Setyaki, bahkan Prabu Baladewa juga
kalah melawan raja Paranggumiwang tersebut.
Raden Arjuna kemudian maju menghadapi Prabu Pandupragolamanik. Sungguh
terkejut hatinya melihat Dewi Sumbadra ternyata berada di belakang raja bertubuh mungil
tersebut. Anehnya, Dewi Sumbadra tidak bersedia kembali kepada Raden Arjuna dan lebih
memilih Prabu Pandupragolamanik sebagai suaminya. Raden Arjuna marah dan
menyerang raja itu. Keduanya lalu bertarung seru. Namun sama seperti yang lain, Raden
Arjuna juga kalah dan dapat dipukul mundur oleh Prabu Pandupragolamanik.

PETRUK MENGHADAPI PRABU PANDUPRAGOLAMANIK


Prabu Puntadewa prihatin melihat pihak Amarta terdesak menghadapi kesaktian
Prabu Pandupragolamanik. Ia lalu meminta petunjuk kepada Prabu Kresna untuk mengatasi
masalah ini. Prabu Kresna mengamati dengan seksama lalu memanggil panakawan Petruk
dan memerintahkannya maju menghadapi Prabu Pandupragolamanik.
Petruk keberatan dengan tugas ini karena Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan yang
lain saja kalah melawan raja tersebut, apalagi dirinya. Prabu Kresna merayu Petruk agar
tetap maju dan ia berjanji akan memberikan hadiah apa saja kepada panakawan tersebut.
Petruk pun bersedia maju perang asalkan diberi hadiah berupa anak ayam cemani. Prabu
Kresna paham maksud perkataan Petruk. Ayam cemani adalah kiasan untuk dirinya yang
berkulit hitam legam. Dengan kata lain, Petruk meminta putrinya sebagai istri.
Prabu Kresna pun berjanji akan mengabulkan permintaan tersebut. Ia berkata bahwa
dirinya mempunyai anak perempuan bernama Dewi Prantawati yang lahir dari selir dan saat
ini masih kecil. Kelak jika sudah dewasa, Dewi Prantawati akan dinikahkan dengan Petruk.
Namun syaratnya, Petruk harus bisa mengalahkan Prabu Pandupragolamanik terlebih dulu.
Jika tidak, maka perjanjian batal.
Petruk sangat gembira mendengarnya. Ia pun maju menyerang Prabu
Pandupragolamanik. Keduanya bertarung sengit namun dengan diselingi menyanyi dan
menari jenaka. Demikianlah, Petruk akhirnya berhasil membongkar wujud asli Prabu
Pandupragolamanik yang tidak lain adalah penyamaran Nala Gareng, kakaknya sendiri.
KITAB WAYANG PURWA

Petruk Kantongbolong.

RADEN ARJUNA MEMINTA MAAF KEPADA NALA GARENG


Melihat Prabu Pandupragolamanik telah kembali ke wujud asalnya, Raden Arjuna
segera maju dan meminta maaf kepada Nala Gareng atas perbuatannya yang terburu nafsu
tadi. Nala Gareng dengan lapang dada memaafkan majikannya itu, karena ia paham Raden
Arjuna sedang banyak pikiran karena Dewi Sumbadra mengidam sesuatu hal yang di luar
nalar.
Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, dan yang lain ikut mengerumuni
Nala Gareng dan Dewi Sumbadra. Prabu Kresna pun bertanya apa maksud Dewi Sumbadra
meminta ikan waderbang sisik kencana yang di dunia ini tidak pernah ada. Dewi Sumbadra
pun menjawab bahwa ia hanya ingin menguji cinta kasih sang suami. Selama ini dirinya
mengandung tetapi Raden Arjuna lebih suka berkelana menuruti kehendak hati, bahkan
yang terakhir membawa pulang istri baru bernama Dewi Sulastri. Sama sekali Dewi
Sumbadra tidak cemburu kepada Dewi Sulastri, hanya saja ia ingin lebih diperhatikan
karena dalam rahimnya terdapat janin yang kelak menjadi masa depan Raden Arjuna.
Oleh sebab itu, Dewi Sumbadra pun pura-pura mengidam minta dicarikan ikan
waderbang sisik kencana. Tak disangka, Raden Arjuna benar-benar berangkat untuk
mewujudkan keinginan palsunya itu. Hingga akhirnya, Raden Arjuna menghukum mati Nala
Gareng karena merusakkan Jalasutra Tampang Kencana, pertanda bahwa permintaan
Dewi Sumbadra dianggap benar-benar penting olehnya.
Kini di hadapan semua orang, Dewi Sumbadra pun meminta maaf telah menyusahkan
sang suami atas permintaan palsunya. Sebaliknya, Raden Arjuna juga meminta maaf
karena selama Dewi Sumbadra mengandung, dirinya memang kurang perhatian dan lebih
suka mencari hiburan sendiri.

RADEN ARJUNA MENEWASKAN PRABU PANDUPRAGOLA


Tidak lama kemudian Prabu Pandupragola yang asli datang untuk menantang Raden
Arjuna bertarung demi memperebutkan Dewi Sumbadra. Rupanya ia berhasil
menyelamatkan diri saat tadi tubuhnya tercebur ke dalam sungai akibat bertarung melawan
Nala Gareng. Melihat rajanya yang asli datang, Patih Jayadenda segera menggabungkan
diri dan ia merasa tertipu karena raja yang didukungnya tadi ternyata penyamaran Nala
Gareng.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sumbadra berkata kepada Raden Arjuna bahwa bukan Nala Gareng yang
merusakkan Jalasutra Tampang Kencana, tetapi Prabu Pandupragola. Itu semua karena ia
telah menyuruh raja tersebut menyelam ke dalam sungai untuk mencari ikan waderbang
sisik kencana. Kemungkinan besar Prabu Pandupragola terperangkap ke dalam jala pusaka
yang sedang dibentangkan Nala Gareng dan memberontak hingga jala itu pun robek.
Mendengar itu, Raden Arjuna segera maju menerima tantangan Prabu Pandupragola.
Keduanya lalu bertanding di halaman istana Kerajaan Amarta. Dalam pertarungan tersebut,
Prabu Pandupragola akhirnya tewas tertusuk Keris Pulanggeni milik Raden Arjuna.
Sungguh ajaib, begitu Prabu Pandupragola terbunuh, Jalasutra Tampang Kencana
yang robek seketika pulih kembali seperti sedikala. Ternyata benar apa yang dikatakan
Bagawan Abyasa, bahwa jala pusaka tersebut apabila rusak, maka hanya bisa diperbaiki
dengan mengorbankan nyawa orang yang telah merusakkannya.
Melihat rajanya tewas, Patih Jayadenda segera mengamuk untuk melakukan bela pati.
Namun, ia akhirnya tewas pula di tangan Raden Gatutkaca.

RADEN ARJUNA MENGADAKAN UPACARA SIRAMAN UNTUK DEWI SUMBADRA


Demikianlah, suasana Kerajaan Amarta kini telah aman kembali. Raden Arjuna pun
melangsungkan upacara siraman untuk Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara, dengan
disaksikan Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, beserta para Pandawa
lainnya. Ketiga istri padmi Raden Arjuna yang lain, yaitu Dewi Srikandi, Dewi Sulastri, dan
Niken Larasati bertugas mempersiapkan segala keperluan upacara.
Setelah upacara siraman selesai, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa pun menginap
selama beberapa hari di Kesatrian Madukara, kemudian mereka mohon pamit pulang
kembali ke negeri masing-masing dengan perasaan penuh sukacita.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : lakon Gareng Dadi Ratu ini sebenarnya hasil modifikasi dari lakon wayang gedog : Bancak Dadi
Ratu, di mana dikisahkan Dewi Galuh Candrakirana mengidam ikan waderbang sisik kencana
kepada Raden Panji Asmarabangun. Bancak yang menjadi raja akhirnya dapat dibongkar
penyamarannya oleh Doyok, sesama panakawan. Saya sendiri kurang tahu siapa dalang pertama
yang telah mengubah lakon ini menjadi lakon wayang purwa : Gareng Dadi Ratu. Namun
demikian, lakon ini dapat diletakkan sebelum lakon Abimanyu Lahir, karena mengisahkan Dewi
Sumbadra sedang mengandung.
KITAB WAYANG PURWA

ABIMANYU LAHIR
Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Raden Abimanyu atau yang disebut juga
Raden Angkawijaya, yaitu putra pasangan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra. Juga
dikisahkan bagaimana Raden Abimanyu menjadi putra angkat Arya Wrekodara dan
dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari sumber buku Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio
Sudibyoprono yang dipadukan dengan artikel dalam rubrik pedhalangan di Majalah
Panjebar Semangat, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 14 April 2017
Heri Purwanto

Raden Abimanyu kelak setelah dewasa.

ARYA WREKODARA MENGHILANG DARI KERAJAAN AMARTA


Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap kedua adik kembarnya, yaitu Raden
Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng. Hadir pula kedua kakak sepupu
sesama raja, yaitu Prabu Kresna Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati dan Prabu Baladewa
dari Kerajaan Mandura.
Hari itu Prabu Kresna dan Prabu Baladewa datang untuk mengunjungi adik bungsu
mereka, yaitu Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara. Kedua raja tersebut mendapat kabar
bahwa adik mereka telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Prabu Puntadewa
membenarkan hal itu dan mengatakan bahwa keponakannya memang baru saja lahir,
sehingga Raden Arjuna tidak dapat hadir dalam pertemuan kali ini karena harus menunggui
sang istri.
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa bahagia mendengar berita tersebut. Namun,
mereka heran melihat raut muka Prabu Puntadewa tampak murung, seperti tidak ikut
bahagia. Mereka pun bertanya ada masalah apa, apakah bayi yang dilahirkan Dewi
Sumbadra tidak sempurna?
Prabu Puntadewa menjelaskan bahwa dirinya sedih bukan soal Dewi Sumbadra
melahirkan, tetapi karena memikirkan adik nomor dua, yaitu Arya Wrekodara yang sudah
beberapa pekan ini meninggalkan Kesatrian Jodipati. Dewi Arimbi dan Raden Gatutkaca
juga tidak mengetahui di mana keberadaannya. Itulah yang menyebabkan Prabu
Puntadewa kurang bergembira dan ia meminta petunjuk kepada Prabu Kresna dan Prabu
Baladewa mengenai hal ini.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna tidak dapat memberikan keterangan pasti di mana Arya Wrekodara kini
berada. Namun, ia yakin sepupunya itu pasti sedang berusaha meraih cita-cita mulia dan
tetap berada dalam perlindungan dewata. Untuk itu, Prabu Kresna berjanji nanti setelah
menjenguk Dewi Sumbadra dan bayinya, ia akan pergi membantu mencari ke mana
hilangnya Arya Wrekodara.

PRABU JAYAMURCITA MENYERANG KERAJAAN AMARTA


Ketika Prabu Puntadewa hendak mengajak kedua sepupunya pergi ke Kesatrian
Madukara untuk menengok bayi, tiba-tiba Raden Gatutkaca datang melaporkan bahwa
Kerajaan Amarta saat ini diserang musuh dari Kerajaan Plangkawati. Menurut keterangan
yang ia peroleh saat meronda di perbatasan, raja Plangkawati yang bernama Prabu
Jayamurcita datang ingin merebut Dewi Sumbadra untuk dijadikannya sebagai istri.
Prabu Baladewa marah mendengar berita ini. Ia pun berkata bahwa Prabu Puntadewa
tidak perlu khawatir, karena urusan Prabu Jayamurcita biarlah dirinya saja yang menangani.
Usai berkata demikian, Prabu Baladewa pun mohon pamit keluar untuk menghadapi
serangan raja Plangkawati tersebut.
Prabu Puntadewa melepas kepergian Prabu Baladewa dan mendoakan
kemenangannya. Ia lalu membubarkan pertemuan dan mengajak Prabu Kresna menuju
Kesatrian Madukara untuk menengok bayi.

RADEN ARJUNA MEMBERI NAMA PUTRANYA RADEN ANGKAWIJAYA


Raden Arjuna di Kesatrian Madukara mendampingi istrinya, yaitu Dewi Sumbadra
yang baru saja melahirkan bayi laki-laki. Ketiga istri padmi lainnya, yaitu Dewi Srikandi,
Niken Larasati, dan Dewi Sulastri ikut menemani pula di samping.
Tidak lama kemudian Prabu Puntadewa datang bersama Prabu Kresna. Raden Arjuna
dan Dewi Sumbadra sangat gembira menyambut kedatangan sang raja Dwarawati, serta
menanyakan pula mengapa Prabu Baladewa tidak ikut serta. Prabu Kresna menjelaskan
bahwa saat ini Prabu Baladewa sedang memimpin perang menghadapi serangan Prabu
Jayamurcita raja Plangkawati yang ingin menyerang Kerajaan Amarta.
Prabu Kresna lalu meminta bayi laki-laki dari tangan Dewi Sumbadra untuk
digendongnya. Ia pun bertanya bayi ini apa sudah diberi nama. Raden Arjuna menjawab
putranya belum memiliki panggilan tetapi ia sudah mempersiapkan sebuah nama dan
hendaknya Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna menjadi saksi. Hari itu Raden Arjuna
mengumumkan bahwa putranya diberi nama Raden Angkawijaya.
Prabu Kresna senang mendengar nama tersebut sangat indah dan gagah. Ia berjanji
kelak apabila Raden Angkawijaya telah dewasa akan diangkat sebagai murid. Tidak lupa ia
juga memberikan beberapa nasihat untuk Dewi Sumbadra tentang bagaimana caranya
menjadi seorang ibu yang baik. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna pun mohon pamit untuk
pergi mencari hilangnya Arya Wrekodara, sesuai janjinya kepada Prabu Puntadewa tadi.

PRABU BALADEWA TERTANGKAP MUSUH


Sementara itu, Prabu Baladewa telah memimpin pasukan Amarta untuk menghadapi
serangan Prabu Jayamurcita dari Kerajaan Plangkawati. Arya Setyaki dari Kerajaan
Dwarawati, serta Patih Pragota dan Arya Prabawa dari Kerajaan Mandura ikut bergabung
dalam pasukan tersebut.
Pasukan Amarta lalu bergerak menghadang pasukan Plangkawati yang sudah mulai
memasuki wilayah Kota Indraprasta. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak.
Mereka saling serang dan berusaha saling mengalahkan pihak lawan. Prabu Jayamurcita
KITAB WAYANG PURWA

memimpin langsung serangan tersebut. Prabu Baladewa maju menghadapinya. Mereka


bertarung seru dan berusaha saling mengalahkan. Tak disangka, Prabu Jayamurcita
ternyata sangat lincah dan cekatan. Prabu Baladewa yang terlalu meremehkan lawan
sempat lengah dan dapat diringkus oleh raja Plangkawati tersebut.
Prabu Jayamurcita lalu menjadikan Prabu Baladewa sebagai tawanan. Ia mengatakan
kepada Arya Setyaki dan orang-orang Amarta lainnya agar segera melaporkan hal ini
kepada Prabu Puntadewa. Ia memberikan batas waktu selama tiga hari agar Prabu
Puntadewa menyerahkan Dewi Sumbadra kepadanya. Jika tidak, maka Prabu Jayamurcita
yang akan mengirimkan kepala Prabu Baladewa ke istana Amarta.
Arya Setyaki yang mengkhawatirkan keselamatan Prabu Baladewa segera menarik
mundur pasukan Amarta untuk kembali ke istana dan melapor kepada Prabu Puntadewa.

PRABU DURYUDANA KEHILANGAN ARYA DURSASANA


Sementara itu, Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna, Adipati
Karna, dan Patih Sangkuni. Mereka sedang membicarakan tentang pangeran Kurawa
nomor dua, yaitu Arya Dursasana yang sudah beberapa pekan ini menghilang
meninggalkan Kesatrian Banjarjunut. Prabu Duryudana sangat prihatin dan
mengkhawatirkan keselamatan adiknya itu yang selama ini selalu hidup nyaman di istana,
makan dan tidur, juga bersenang-senang. Meskipun sifat Arya Dursasana ugal-ugalan,
tetapi Prabu Duryudana sangat menyayanginya melebihi adik-adik yang lain.
Resi Druna berkata bahwa beberapa waktu yang lalu dirinya pernah menegur Arya
Dursasana yang suka bermalas-malasan dan hidup nyaman. Arya Dursasana selalu
menyombongkan diri bahwa jika di pihak Pandawa ada Arya Wrekodara, maka di pihak
Kurawa ada dirinya. Resi Druna menegur Arya Dursasana yang hanya menyombongkan
diri tanpa bukti nyata. Arya Wrekodara memiliki banyak pengalaman dan keberhasilan,
antara lain pernah membunuh Prabu Jalasengara, Prabu Baka, Prabu Arimba, Arya
Gandamana, hingga pernah mengarungi samudera luas dan bertemu Dewa Ruci. Di lain
pihak, Arya Dursasana sama sekali tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Sehari-
hari hanya bersenang-senang dan foya-foya menghambur-hamburkan uang, mana bisa
dibandingkan dengan Arya Wrekodara?
Prabu Duryudana mendengar dengan seksama dan kini ia yakin bahwa adik keduanya
meninggalkan istana karena tersinggung pada ucapan Resi Druna. Ia pun menyalahkan
Resi Druna sebagai orang yang menyebabkan hilangnya Arya Dursasana. Maka sebagai
penebus kesalahan ini, Resi Druna harus pergi mencari dan menemukan keberadaan Arya
Dursasana.
Meskipun Resi Druna adalah guru para Kurawa, namun ia juga seorang pegawai di
Kerajaan Hastina. Sebagai pegawai, ia patuh terhadap perintah Raja. Karena Prabu
Duryudana sudah memerintahkan demikian, Resi Druna hanya bisa mematuhi. Patih
Sangkuni dan beberapa orang Kurawa pun diperintahkan untuk mendampingi kepergian
Resi Druna.

ARYA DURSASANA BERTAPA UNTUK MERAIH TURUNNYA WAHYU PANUNTUN


Pangeran Kurawa nomor dua, yaitu Arya Dursasana saat ini sedang bertapa di dalam
Hutan Krendawahana untuk menanti turunnya Wahyu Cahyaningrat, yang disebut juga
Wahyu Hidayat atau Wahyu Panuntun.
Arya Dursasana memang sakit hati atas ucapan Resi Druna tempo hari, sehingga ia
pun pergi meninggalkan Kesatrian Banjarjunut untuk pergi bertapa. Dalam tapanya itu, ia
mendapat petunjuk dari Batari Durga bahwa dewata akan menurunkan wahyu yang disebut
KITAB WAYANG PURWA

Wahyu Cahyaningrat. Barangsiapa mendapatkan wahyu ini, maka dirinya akan


menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Demikianlah, hari demi hari Arya Dursasana pun bertapa dengan tekun hingga pada
akhirnya seberkas cahaya masuk ke dalam dirinya. Tidak lama kemudian, Batara Narada
turun dari angkasa untuk membangunkannya. Arya Dursasana pun membuka mata dan
segera menyembah hormat kepada dewa tersebut.
Batara Narada menjelaskan bahwa Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah turun dan
masuk ke dalam diri Arya Dursasana. Namun, wahyu ini menetap atau pindah ke orang lain,
semuanya tergantung usaha Arya Dursasana sendiri. Selama empat puluh hari, Arya
Dursasana tidak boleh menyentuh wanita, juga tidak boleh memegang bayi. Arya
Dursasana mematuhi nasihat tersebut dan segera mohon pamit kembali ke Kerajaan
Hastina sambil menari-nari kegirangan.

Arya Dursasana

WAHYU PANUNTUN MENINGGALKAN ARYA DURSASANA


Batara Narada mengamati tingkah laku Arya Dursasana dan segera memanggil
bidadari bernama Batari Wilotama untuk mengujinya. Batari Wilotama mematuhi dan segera
menyamar menjadi gadis desa cantik jelita yang sengaja lewat di depan Arya Dursasana.
Gadis itu menangis dan mengaku tersesat di hutan, meminta tolong untuk diantar pulang.
Arya Dursasana terkesima melihat gadis desa yang cantik jelita tersebut. Ia melupakan
nasihat Batara Narada dan justru berusaha merayu gadis tersebut. Gadis itu menolak dan
melarikan diri, membuat Arya Dursasana semakin penasaran dan bernafsu mengejarnya.
Dengan kekuatan penuh ia pun menubruk gadis desa itu demi melampiaskan nafsu
birahinya.
Arya Dursasana memeluk dan menciumi gadis tersebut dengan penuh hasrat. Ketika
membuka mata, si gadis sudah tidak ada dan yang ia peluk ternyata sebatang pohon asam.
Seketika tubuhnya terasa panas dan Wahyu Panuntun pun keluar serta kembali ke
angkasa. Arya Dursasana merasa sangat menyesal dan jatuh terduduk meratapi diri.

WAHYU PANUNTUN BERPINDAH KEPADA ARYA WREKODARA


Pada saat yang sama, Arya Wrekodara sedang bertapa pula di sisi lain Hutan
Krendawahana. Begitu tekun ia bertapa hingga seberkas cahaya masuk ke dalam dirinya
pun ia tidak merasa. Batara Narada kemudian datang dan membangunkan Arya Wrekodara.
Kesatria Pandawa nomor dua itu membuka mata dan segera mengucapkan salam. Batara
Narada memaklumi sifat Arya Wrekodara yang tidak pernah menyembah kepada siapa pun
KITAB WAYANG PURWA

selain kepada Dewa Ruci. Maka, ia menerima salam Arya Wrekodara dan menjelaskan
bahwa Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah diterima olehnya.
Arya Wrekodara bersyukur atas kemurahan para dewa yang telah memilihnya
menerima wahyu tersebut. Batara Narada pun bercerita bahwa sebenarnya Wahyu
Cahyaningrat Panuntun telah memasuki tubuh Arya Dursasana namun tidak betah dan kini
berpindah kepadanya. Namun, Batara Narada merasa penasaran mengapa Arya
Wrekodara yang memiliki pendirian kuat kini mencari wahyu untuk menjadi pemimpin?
Bukankah dulu Arya Wrekodara menolak menjadi raja saat para Pandawa membuka Hutan
Wanamarta dan menyerahkan takhta Kerajaan Amarta kepada Prabu Puntadewa saja?
Apakah sekarang Arya Wrekodara ingin melanggar ucapannya sendiri? Apakah setelah
mendapatkan Wahyu Cahyaningrat Panuntun, Arya Wrekodara akan memberontak dan
merebut takhta dari kakaknya?
Arya Wrekodara menjawab dirinya tetap memegang ucapannya itu, bahwa ia sama
sekali tidak ingin menjadi raja Amarta. Namun, pada suatu hari ia mendengar sang kakak
sulung, yaitu Prabu Puntadewa berbicara bahwa putranya yang bernama Raden Pancawala
diramalkan dewa tidak akan menjadi raja. Prabu Puntadewa pun menerima takdir tersebut
dan berharap semoga kelak yang menjadi raja menggantikan dirinya adalah keturunan Arya
Wrekodara ataupun keturunan Raden Arjuna.
Arya Wrekodara merasa prihatin mendengar ucapan sang kakak. Maka, ia pun diam-
diam pergi bertapa untuk mencari wahyu kepemimpinan agar keturunannya dapat menjadi
raja-raja Tanah Jawa. Jadi, tujuannya mencari wahyu bukan karena dirinya gila kedudukan
ingin merebut takhta, tetapi demi untuk mewujudkan keinginan Prabu Puntadewa.
Batara Narada senang mendengarnya. Itu pertanda Arya Wrekodara masih teguh
memegang ucapan. Ia lalu menasihati agar Arya Wrekodara selama empat puluh hari ini
jangan menyentuh wanita ataupun memegang bayi. Arya Wrekodara mematuhi dan tetap
berdiri menunggu Batara Narada pergi lebih dulu. Batara Narada senang melihat
kesopanannya yang sangat berbeda dengan Arya Dursasana tadi, yang menari-nari
kegirangan lupa diri. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang ke angkasa, kembali
ke kahyangan.

ARYA WREKODARA MELUPAKAN PANTANGAN


Setelah Batara Narada pergi, Batari Wilotama kembali muncul untuk menggoda
dengan menyamar sebagai gadis desa yang tersesat. Dengan kecantikannya ia mencoba
menarik hati Arya Wrekodara agar melanggar pantangan. Arya Wrekodara tidak tertarik dan
dengan mantap tetap melangkah pergi. Karena terus-menerus didesak, ia pun membongkar
tipuan Batari Wilotama. Ia berkata mana ada gadis desa yang sehari-hari mengaku mencari
kayu bakar dan buah-buahan di hutan tetapi kulit kaki dan tangannya putih mulus seperti
bidadari? Batari Wilotama sangat malu penyamarannya diketahui, lalu ia pun kembali ke
kahyangan menyusul Batara Narada.
Arya Wrekodara kembali melangkah meninggalkan Hutan Krendawahana. Dalam
perjalanan pulang ia berjumpa Prabu Kresna yang sedang mencari keberadaannya.
Keduanya sangat gembira dan saling bertanya kabar. Arya Wrekodara bercerita bahwa
dirinya baru saja mendapatkan Wahyu Cahyaningrat Panuntun, yang dikenal juga dengan
nama Wahyu Hidayat. Prabu Kresna mengucapkan selamat, kemudian berkata bahwa Dewi
Sumbadra di Kesatrian Madukara juga baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki. Sungguh
gembira perasaan Arya Wrekodara mendengarnya. Ia sangat bahagia karena
keponakannya baru saja lahir. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun berlari kencang dan
melompat secepat angin agar bisa segera sampai di Kerajaan Amarta.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna mendapat firasat yang kurang baik. Ia pun melesat pergi mengejar Arya
Wrekodara.

Batari Wilotama

ARYA WREKODARA MENYUSUI BAYI ANGKAWIJAYA


Dengan kecepatan melompatnya yang dahsyat dan sangat cepat bagaikan angin,
dalam sekejap Arya Wrekodara sudah sampai di Kesatrian Madukara, menemui Raden
Arjuna dan Dewi Sumbadra yang sedang menggendong bayi Angkawijaya. Arya Wrekodara
disambut hangat oleh pasangan tersebut. Melihat keponakannya sangat tampan, ia pun
ingin menggendongnya. Tanpa ragu, Dewi Sumbadra segera menyerahkan putranya itu
kepada Arya Wrekodara.
Begitu berada dalam gendongan Arya Wrekodara, tiba-tiba si bayi Angkawijaya
langsung menghisap puting dadanya. Arya Wrekodara merasa geli tetapi tidak dapat
melepaskan hisapan si bayi. Sungguh ajaib, dari puting dada tersebut tiba-tiba memancar
keluar air susu yang seketika masuk ke dalam mulut Raden Angkawijaya. Arya Wrekodara
merasa gemetar dan teringat pada pantangan yang disampaikan Batara Narada tadi.
Namun, semuanya kini telah terlambat. Air susu yang dihisap Raden Angkawijaya dari
puting dadanya itu tidak lain adalah penjelmaan Wahyu Panuntun yang kini telah berpindah
masuk ke dalam tubuh si bayi.
Bayi Angkawijaya sendiri tidak mau melepaskan hisapannya. Ia terus menghisap dan
tubuhnya semakin lama semakin besar. Kini, ia pun berubah menjadi anak kecil berusia
lima tahun. Setelah air susu dihisap habis, barulah ia melepaskan mulutnya dari puting dada
Arya Wrekodara.

ARYA WREKODARA INGIN MENJADIKAN BAYI ANGKAWIJAYA SEBAGAI ANAK


Arya Wrekodara sangat kecewa dan segera mengembalikan Raden Angkawijaya
kepada orang tuanya. Ia telah melanggar pantangan yang tadi disampaikan Batara Narada.
Kini Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah berpindah kepada Raden Angkawijaya. Ia pun
berterus terang ingin mengambil anak laki-laki tersebut sebagai putra angkat, yang
dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca. Namun, Raden Arjuna menolak. Ia berkata
baru kali ini memiliki anak laki-laki dan ingin menyayanginya sepenuh hati. Sebelumnya ia
memang telah memiliki anak, tetapi semuanya berkelamin perempuan, yaitu Endang
Pregiwa dan Endang Pregiwati yang saat ini berada dalam asuhan Endang Manuhara di
Padepokan Andongsumawi.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Wrekodara mendesak berkali-kali namun Raden Arjuna tetap saja menolak.
Dengan sangat kecewa ia pun melangkah pergi untuk kembali ke Kesatrian Jodipati. Pada
saat itulah Prabu Kresna datang setelah tadi tertinggal di belakang Arya Wrekodara. Ia
heran melihat bayi yang baru dilahirkan adiknya, kini tiba-tiba sudah tumbuh menjadi anak
kecil berusia lima tahun. Raden Arjuna pun menceritakan semuanya dan ia justru
disalahkan Prabu Kresna karena menghalangi keinginan Arya Wrekodara.
Prabu Kresna lalu menjelaskan bahwa Arya Wrekodara telah bersusah payah bertapa
demi meraih Wahyu Cahyaningrat Panuntun. Namun, karena kurang berhati-hati ia
melanggar pantangan dan wahyu tersebut kini berpindah kepada si bayi Angkawijaya.
Raden Arjuna prihatin mendengar apa yang dialami kakak keduanya. Ia dapat
membayangkan betapa kecewa hati Arya Wrekodara. Kini ia pun dapat memahami
mengapa kakaknya ingin mengambil Raden Angkawijaya sebagai anak angkat. Ia merasa
putranya telah mendapat keberuntungan besar dan tidak ada salahnya apabila memanggil
ayah pula kepada Arya Wrekodara.

ARYA WREKODARA MEMBERI NAMA ABIMANYU KEPADA RADEN ANGKAWIJAYA


Raden Arjuna dengan ditemani Dewi Sumbadra menggendong Raden Angkawijaya
menyusul Arya Wrekodara. Saat itu Arya Wrekodara berdiri termangu-mangu di halaman
Kesatrian Jodipati. Raden Gatutkaca datang kepadanya untuk melapor bahwa Prabu
Baladewa kini berada di tangan musuh. Namun, Arya Wrekodara seperti tidak peduli dan
pikirannya melayang ke tempat lain.
Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra datang meminta maaf. Mereka pun dengan tulus
menyerahkan Raden Angkawijaya sebagai putra angkat Arya Wrekodara. Namun, Arya
Wrekodara sudah terlanjur sakit hati. Ia menolak dan tidak sudi menerima belas kasihan
Raden Arjuna dan istrinya. Tadi saat dirinya meminta, Raden Arjuna keberatan. Kini saat ia
sudah pulang, adiknya itu justru datang dan menawarkan apa yang tadi telah ditolak. Dalam
hal ini Arya Wrekodara merasa dirinya telah dipermainkan.
Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra pun membawa putra mereka kembali ke Madukara
dengan perasaan kecewa. Namun, baru melangkah sebentar, tiba-tiba Raden Angkawijaya
menangis keras. Tangisannya ini sangat keras dan tidak dapat berhenti. Dewi Sumbadra
dan Raden Arjuna berusaha menghentikan tangisnya, namun suara putra mereka itu justru
semakin keras.
Arya Wrekodara bergegas menyusul dan merebut Raden Angkawijaya lalu
menggendongnya. Seketika Raden Angkawijaya pun terdiam dan tidak lagi menangis. Arya
Wrekodara lalu berkata kepada Raden Arjuna beserta istri bahwa ia bersedia menerima
Raden Angkawijaya sebagai putra angkat. Ia juga berkata kepada Raden Gatutkaca agar
memperlakukan Raden Angkawijaya seperti adik kandung, bukan sebagai sepupu. Raden
Gatutkaca dengan senang hati menyatakan bersedia.
Raden Arjuna lalu mempersilakan Arya Wrekodara untuk memberikan nama baru
kepada Raden Angkawijaya. Arya Wrekodara berkata bahwa putra mereka ini biarlah tetap
memakai nama Angkawijaya saat masih kecil. Namun, kelak sesudah dewasa hendaknya
dipanggil dengan nama Raden Abimanyu, yaitu dari kata “bima” dan “banyu” (air). Nama ini
sebagai pengingat bahwa semasa kecil Raden Angkawijaya pernah meminum air susu dari
puting dada Sang Bima (nama asli Arya Wrekodara).
Usai berkata demikian, Arya Wrekodara pun menyerahkan perhiasan Garuda Mungkur
yang dulu ia pakai di kepala sebelum bertemu Dewa Ruci. Ia berkata kelak jika sudah
dewasa hendaknya Raden Angkawijaya memakai Garuda Mungkur miliknya ini di kepala
dan mengurai rambut seperti dirinya saat masih bernama Raden Bratasena dulu.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Bratasena atau Arya Wrekodara muda

ARYA WREKODARA MEMBAWA RADEN ANGKAWIJAYA MENGHADAPI PRABU


JAYAMURCITA
Ketika hubungan antara Arya Wrekodara dan Raden Arjuna sudah kembali baik, Prabu
Kresna dan Prabu Puntadewa muncul untuk menyampaikan kabar bahwa Prabu Baladewa
kini masih berada di tangan musuh. Raden Gatutkaca berkata bahwa tadi ia sudah
menyampaikan hal ini kepada ayahnya, namun tidak ditanggapi sama sekali. Kali ini pikiran
Arya Wrekodara sudah tidak mengembara lagi. Ia pun bersiaga hendak menyerbu
peremahan Prabu Jayamurcita dan membebaskan Prabu Baladewa, namun dicegah oleh
Prabu Kresna.
Prabu Kresna berkata bahwa Arya Wrekodara bukanlah tandingan Prabu Jayamurcita.
Prabu Kresna yang berpandangan tajam dapat mengetahui siapa sebenarnya Prabu
Jayamurcita, namun biarlah Raden Angkawijaya saja yang membongkar penyamarannya.
Arya Wrekodara heran mengapa Raden Angkawijaya yang masih kecil dihadapkan dengan
Prabu Jayamurcita, bukankah ini sama saja dengan mengantarkan nyawa?
Prabu Kresna mengingatkan Arya Wrekodara dan para Pandawa lainnya, bahwa ayah
mereka, yaitu mendiang Prabu Pandu pernah menjadi jago kahyangan menumpas Prabu
Nagapaya pada saat usianya masih tujuh tahun. Bahkan, yang lebih kuno lagi yaitu Resi
Satrukem semasa bayi pernah dilemparkan Resi Manumanasa (ayahnya) untuk
mengalahkan Prabu Kalimantara beserta seluruh pasukannya.
Arya Wrekodara dapat menangkap maksud Prabu Kresna. Ia pun menggendong
Raden Angkawijaya maju perang. Ia tidak peduli meskipun Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra merasa keberatan.

Prabu Jayamurcita
KITAB WAYANG PURWA

PRABU JAYAMURCITA MENYATU DENGAN RADEN ANGKAWIJAYA


Arya Wrekodara dan Raden Angkawijaya kini telah berhadapan dengan Prabu
Jayamurcita. Arya Wrekodara menantang Prabu Jayamurcita bertarung dengan anak kecil
yang ada dalam gendongannya. Apabila Prabu Jayamurcita kalah, maka Prabu Baladewa
harus dibebaskan. Namun apabila Prabu Jayamurcita menang, maka Dewi Sumbadra akan
diserahkan kepadanya.
Prabu Jayamurcita merasa dipermainkan dan ia menolak bertarung melawan anak
kecil. Arya Wrekodara pun mengejeknya sebagai pengecut. Prabu Jayamurcita marah dan
menerima tantangan tersebut. Arya Wrekodara segera meletakkan putra angkatnya di tanah
dan mempersilakan mereka bertarung. Raden Angkawijaya yang kini telah berusia lima
tahun pun berlari dengan lincah penuh rasa gembira. Prabu Jayamurcita berusaha
menangkapnya tetapi selalu gagal. Hingga akhirnya ia dapat memukul anak kecil itu dengan
setengah tenaga. Namun, Raden Angkawijaya tetap tegar tidak bersuara. Prabu
Jayamurcita penasaran dan kembali memukul beberapa kali. Meskipun demikian, Raden
Angkawijaya tetap saja tegar seperti tidak kesakitan sama sekali.
Raden Arjuna datang menyusul untuk melihat keadaan putranya. Arya Wrekodara
bercerita bahwa Raden Angkawijaya benar-benar memiliki bakat kesaktian sejak lahir, yaitu
daya tahan tubuhnya tinggi dan kuat menahan rasa sakit. Namun demikian, Raden Arjuna
tidak tega melihat putranya dipukuli musuh. Ia ingin pertarungan ini segera diakhiri. Arya
Wrekodara pun meminjam Keris Pulanggeni miliknya untuk kemudian diserahkan kepada
Raden Angkawijaya.
Kini Raden Angkawijaya telah memegang keris pusaka milik ayahnya dan maju
menyerang Prabu Jayamurcita. Karena kurang berhati-hati, lutut Prabu Jayamurcita pun
tergores dan membuatnya jatuh terduduk. Prabu Jayamurcita bukannya marah tetapi justru
tersenyum senang. Ia lalu mengheningkan cipta dan seketika tubuhnya musnah menjadi
dewa berparas tampan.
Prabu Kresna datang dan mengatakan dewa tersebut pastilah putra Batara Candra
yang bernama Batara Warcas. Sang dewa mengangguk dan memperkenalkan dirinya
memang bernama Batara Warcas. Ia telah berbuat salah kepada ayahnya dan harus
menjalani hukuman yaitu hidup sebagai manusia biasa. Batara Warcas menerima hukuman
itu dan memohon petunjuk dirinya harus bersatu dengan manusia yang mana. Batara
Candra pun menyarankan agar ia menitis kepada putra Raden Arjuna yang baru lahir.
Itulah sebabnya Batara Warcas lalu menyamar sebagai raja bernama Prabu
Jayamurcita dan membuka hutan menjadi sebuah negara bernama Kerajaan Plangkawati.
Ia pun mencari-cari alasan yaitu pura-pura ingin merebut Dewi Sumbadra, padahal hanya
ingin melihat seperti apa putra Raden Arjuna yang baru lahir itu.

Batara Candra
KITAB WAYANG PURWA

Kini tiada keraguan lagi bagi Batara Warcas. Ia pun menyerahkan Kerajaan
Plangkawati menjadi bawahan Kerajaan Amarta, kemudian mohon pamit dan segera masuk
ke dalam diri Raden Angkawijaya, bersatu jiwa raga dengannya.

ARYA WREKODARA MENGUSIR PARA KURAWA YANG HENDAK MEREBUT WAHYU


PANUNTUN
Tidak lama kemudian Arya Dursasana bersama para Kurawa lainnya datang untuk
merebut Wahyu Cahyaningrat Panuntun dari tangan Arya Wrekodara. Pertempuran seru
pun terjadi. Arya Wrekodara seorang diri mampu memukul mundur para sepupunya itu.
Mereka semua pulang kembali ke Kerajaan Hastina, kecuali Resi Druna yang tetap tinggal
untuk memberikan selamat atas kelahiran Raden Angkawijaya.
Kini semuanya telah berakhir bahagia. Prabu Baladewa pun telah dibebaskan dan
bersama-sama para Pandawa serta Prabu Kresna mengadakan syukuran atas
keberhasilan Raden Angkawijaya mengatasi bahaya yang melanda Kerajaan Amarta.
Prabu Puntadewa pun menetapkan negeri Plangkawati mulai kini menjadi kesatrian tempat
tinggal Raden Angkawijaya atau Abimanyu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa tokoh Abhimanyu adalah titisan dewa bernama
Varcas, putra Soma. Oleh sebab itu, saya pun mengambil kisah tersebut dan memadukannya
dengan cerita umum di pedhalangan. Saya mengisahkan Prabu Jayamurcita adalah penyamaran
Batara Warcas, dan tentunya ini akan berbeda dengan lakon-lakon wayang yang sudah umum di
masyarakat.
KITAB WAYANG PURWA

PALGUNA - PALGUNADI
Kisah ini menceritakan tentang pertarungan antara Raden Arjuna alias Palguna
melawan Prabu Ekalaya alias Palgunadi, sesama murid Resi Druna. Juga dikisahkan
tentang kesetiaan Dewi Angraeni yang memilih bunuh diri menyusul suaminya,
daripada menjadi istri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita) yang dipadukan dengan sumber dari kitab Mahabharata karya
Resi Wyasa, serta sumber dari pentas Wayang Orang di TVRI, dengan pengembangan
seperlunya.
Kediri, 23 April 2017
Heri Purwanto

Prabu Palgunadi dan Raden Palguna.

RESI DRUNA MEMILIKI MURID BERNAMA PRABU PALGUNADI


Resi Druna di Padepokan Sokalima dihadap putranya, yaitu Bambang Aswatama
bersama para cantrik dan jejanggan. Hadir pula dalam pertemuan itu, seorang wanita cantik
bernama Dewi Angraeni yang merupakan istri Prabu Palgunadi, yaitu murid Resi Druna
yang menjadi raja di Negeri Paranggelung.
Dewi Angraeni awal mulanya ikut menemani Prabu Palgunadi yang berkunjung ke
Padepokan Sokalima untuk mendapat pelajaran baru dari Resi Druna. Namun, karena ada
suatu masalah penting di Kerajaan Paranggelung, Prabu Palgunadi terpaksa mohon pamit
pulang lebih dulu dan menitipkan istrinya kepada Resi Druna untuk sementara waktu.
Resi Druna melihat Dewi Angraeni sudah beberapa hari ini merasa jenuh dan
merindukan suaminya. Ia pun mencoba menghibur wanita itu dengan menceritakan
bagaimana awal mula Prabu Palgunadi bisa menjadi murid Padepokan Sokalima.
Belasan tahun yang lalu Resi Druna diterima bekerja di Kerajaan Hastina. Prabu
Dretarastra menugasinya sebagai guru ilmu perang bagi para Pandawa dan Kurawa yang
saat itu masih remaja. Di antara murid-muridnya, Raden Arjuna adalah yang paling berbakat
dalam ilmu memanah. Siang malam ia berlatih tak kenal waktu, hingga bisa membidik
sasaran dengan tepat meskipun di dalam suasana gelap.
Pada suatu hari anjing piaraan milik Raden Suyudana (Prabu Duryudana semasa
muda) diserang orang. Mulut anjing itu disumpal dengan tujuh batang anak panah, tetapi si
anjing tidak terluka sama sekali. Resi Druna dan semua muridnya merasa heran sekaligus
kagum, siapa orangnya yang bisa memanah sehebat itu. Mereka lalu bersama-sama
menelusuri jejak si anjing dan menemukan seorang remaja sedang berlatih panah di
hadapan patung mirip Resi Druna.
KITAB WAYANG PURWA

Remaja itu bernama Raden Ekalaya, putra Prabu Hiranyadanu dari Kerajaan
Paranggelung. Ia pun menyembah hormat kepada Resi Druna kemudian bercerita tentang
asal usulnya. Beberapa waktu yang lalu ia mendengar kabar bahwa di Kerajaan Hastina,
tepatnya di Padepokan Sokalima ada seorang guru sakti bernama Resi Druna. Ia ingin
sekali belajar ilmu panah kepadanya. Namun, ketika sampai di Padepokan Sokalima, Raden
Ekalaya tidak berani menampakkan diri. Ia hanya mengintai dari jauh dan melihat Resi
Druna menolak seorang pemuda bernama Radeya (yaitu Adipati Karna semasa muda) yang
juga ingin menjadi muridnya. Resi Druna berkata bahwa Prabu Dretarastra telah
menugaskan dirinya untuk menjadi guru para Pandawa dan Kurawa saja, tidak boleh
menerima murid lain, kecuali putranya yang bernama Bambang Aswatama. Radeya pun
diusir pergi dari Padepokan Sokalima dan disuruh belajar menjadi kusir kereta saja seperti
ayahnya (Kyai Adirata). Radeya sangat tersinggung dan bersumpah dirinya pasti bisa
menjadi murid orang yang pernah mengajari Resi Druna ilmu kesaktian.
Raden Ekalaya yang mengintai dari jauh menjadi berkecil hati dan tidak berani
menemui Resi Druna. Ia sangat takut diusir seperti Radeya tadi. Ia pun tinggal di hutan dan
membuat patung dari tanah liat yang berbentuk persis seperti Resi Druna. Setiap pagi ia
bersamadi dan menghormat di hadapan patung tersebut. Ia membayangkan patung
buatannya itu adalah benar-benar Resi Druna yang hadir memberikan pelajaran
kepadanya.
Setelah berbulan-bulan Raden Ekalaya berguru kepada patung Resi Druna, ia pun
mendapatkan kepandaian memanah yang luar biasa. Meskipun hanya menghormat kepada
patung, namun karena kesungguhan hati Raden Ekalaya, membuat ia lebih pandai
memanah dibandingkan para Pandawa dan Kurawa yang belajar langsung kepada Resi
Druna. Hingga tadi pagi ketika sedang berlatih, tiba-tiba muncul anjing milik Raden
Suyudana yang menggonggong hendak menyerang dirinya. Raden Ekalaya pun
menembakkan panah tujuh kali yang semuanya tepat menyumpal mulut si anjing tanpa
melukainya sedikit pun.
Resi Druna sangat terkesan melihat ketulusan Raden Ekalaya dan ingin
menjadikannya sebagai murid yang sesungguhnya. Namun, ia melihat wajah Raden Arjuna
tampak iri dan malu. Seketika Resi Druna pun teringat bahwa Prabu Dretarastra melarang
dirinya menerima murid selain para Pandawa, Kurawa, dan Bambang Aswatama. Selain itu,
ia juga sudah terlanjur berjanji akan menjadikan Raden Arjuna sebagai pemanah terbaik di
dunia. Maka, ia pun merasa bersalah jika ada murid lain yang kepandaian memanahnya
melebihi Raden Arjuna.
Resi Druna lalu berkata kepada Raden Ekalaya bahwa meskipun hanya belajar
kepada patung yang mirip dengannya, namun itu sama artinya Raden Ekalaya telah belajar
kepada Resi Druna. Oleh sebab itu, Resi Druna berhak meminta pembayaran sebagaimana
lazimnya seorang guru meminta bayaran dari muridnya. Raden Ekalaya pun menyatakan
siap memberikan apa saja yang diminta Resi Druna.
Akan tetapi, yang diminta Resi Druna sebagai pembayaran ternyata sangat aneh, yaitu
ia meminta ibu jari tangan kanan Raden Ekalaya. Semua yang hadir pun terkejut
mendengarnya, terutama Raden Ekalaya. Namun karena sudah terlanjur berjanji, Raden
Ekalaya dengan mantap memotong ibu jari tangan kanannya menggunakan pisau belati.
Raden Arjuna sadar Resi Druna lebih mengasihi dirinya daripada Raden Ekalaya.
Tujuan Resi Druna meminta Raden Ekalaya memotong ibu jari tangan kanan adalah supaya
ilmu memanahnya menjadi berkurang dan Raden Arjuna tetap menjadi pemanah yang
terbaik. Raden Arjuna tidak suka diperlakukan istimewa seperti ini dan ia pun meminta Resi
Druna agar tetap menerima Raden Ekalaya sebagai murid resmi. Namun, Resi Druna tidak
bisa melanggar janjinya kepada Prabu Dretarastra. Ia hanya bisa berjanji kelak apabila
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Dretarastra sudah mengizinkan dirinya menerima murid baru dari luar Kerajaan
Hastina, maka Raden Ekalaya boleh datang lagi ke Padepokan Sokalima.
Karena Raden Arjuna tidak suka diperlakukan istimewa dan ingin bersaing secara
sehat dengan Raden Ejalaya, maka Resi Druna pun memberikan pusaka sebagai pengganti
ibu jari Raden Ekalaya yang telah putus. Pusaka tersebut berwujud cincin, bernama Sesotya
Manik Ampal yang hendaknya dipakai di jari kelingking kanan Raden Ekalaya. Meskipun
jari tangan Raden Ekalaya tinggal sembilan, namun dengan memakai cincin pusaka
tersebut, ia tetap bisa memanah dengan baik seolah masih memiliki sepuluh jari. Raden
Ekalaya sangat berterima kasih dan bersumpah akan menjaga cincin pemberian Resi Druna
itu bagaikan nyawa.
Sebelum berpisah, Resi Druna lebih dulu mempersaudarakan Raden Arjuna dengan
Raden Ekalaya. Karena Raden Arjuna memiliki nama julukan Raden Palguna (yang lahir di
bulan Palguna), maka Raden Ekalaya pun diberi nama baru, Raden Palgunadi, dan
dijadikan sebagai adiknya.
Demikianlah kisah awal mula pertemuan Resi Druna dengan Raden Ekalaya. Setelah
Prabu Hiranyadanu meninggal dunia, Raden Ekalaya pun menjadi raja di Paranggelung
dengan memakai nama Prabu Palgunadi sebagai gelarnya. Ia juga mendengar kabar bahwa
para Pandawa dan Kurawa sudah lulus dari Padepokan Sokalima, dan Resi Druna juga
sudah mendapat izin dari Prabu Dretarastra untuk menerima murid-murid baru dari luar
Hastina. Oleh sebab itu, Prabu Palgunadi pun datang lagi ke Padepokan Sokalima dan
menjadi murid resmi Resi Druna, sebagaimana Raden Drestajumena putra Prabu Drupada
yang telah lebih dulu berguru ke sana.

DEWI ANGRAENI MOHON PAMIT PULANG KE PARANGGELUNG


Dewi Angraeni terkesan mendengar kisah masa lalu Prabu Palgunadi dan kini ia baru
tahu mengapa suaminya itu hanya memiliki sembilan jari. Selama ini Prabu Palgunadi tidak
pernah bercerita bahwa ibu jari kanannya telah dipotong sebagai pembayaran untuk Resi
Druna. Sikap kesatria Prabu Palgunadi ini membuat Dewi Angraeni semakin cinta
kepadanya. Karena perasaan rindu tidak tertahan lagi, Dewi Angraeni pun mohon pamit
ingin menyusul suaminya pulang ke Kerajaan Paranggelung.
Resi Druna keberatan dan melarang Dewi Angraeni pergi, karena Prabu Palgunadi
hanya pulang sebentar untuk menyelesaikan urusan di negerinya. Setelah urusan tersebut
selesai, maka ia pasti datang kembali ke Padepokan Sokalima. Namun, Dewi Angraeni
tetap bersikeras ingin menyusul suaminya pulang. Rasa rindunya sudah tak tertahankan
dan Resi Druna tidak dapat menghalanginya lagi. Akhirnya, Resi Druna pun memberikan
izin, sekaligus juga memerintahkan Bambang Aswatama untuk mengawal kepulangan Dewi
Angraeni.

Dewi Angraeni.
KITAB WAYANG PURWA

PATIH SANGKUNI MENEMUI RESI DRUNA


Setelah Dewi Angraeni dan Bambang Aswatama pergi, tiba-tiba datang dua orang
tamu dari Kerajaan Hastina, yaitu Patih Sangkuni dan Arya Dursasana. Kedatangan mereka
adalah untuk menyampaikan teguran Prabu Duryudana terhadap Resi Druna yang sudah
beberapa waktu ini tidak datang menghadap ke istana. Resi Druna menjawab dirinya tidak
bisa datang karena masih sibuk mengajarkan berbagai macam ilmu perang kepada Prabu
Palgunadi raja Paranggelung.
Patih Sangkuni berkata dirinya sudah mendengar soal itu, bahwa Resi Druna telah
menerima Prabu Palgunadi sebagai murid resmi. Ia juga tahu tentang Prabu Palgunadi yang
tidak lain adalah Raden Ekalaya, yang semasa remaja pernah mendapatkan kepandaian
memanah hanya dengan memuja patung Resi Druna. Patih Sangkuni pun mengingatkan
Resi Druna tentang perjanjian dahulu, bahwa Prabu Dretarastra mengizinkan Padepokan
Sokalima menerima murid dari luar Kerajaan Hastina, tetapi dengan syarat para murid itu
harus menjadi sekutu para Kurawa. Resi Druna menjawab dirinya tidak lupa pada perjanjian
tersebut dan mengatakan bahwa Prabu Palgunadi pun telah bersumpah setia akan selalu
tunduk terhadap perintah Prabu Duryudana.
Patih Sangkuni senang mendengarnya. Ia pun berkata bahwa Prabu Duryudana
mempunyai niat ingin menjadikan Prabu Palgunadi sebagai panglima perang kedua di
Kerajaan Hastina, berdampingan dengan Adipati Karna. Sebenarnya ini adalah usulan Patih
Sangkuni agar Prabu Palgunadi dijadikan sebagai jago utama menghadapi Raden Arjuna,
karena meskipun di Kerajaan Hastina terdapat pemanah hebat bernama Adipati Karna,
tetapi Patih Sangkuni sejak awal kurang suka kepadanya. Apalagi sekarang Adipati Karna
sudah mengetahui bahwa para Pandawa adalah adik-adiknya sendiri. Patih Sangkuni
khawatir jangan-jangan suatu saat nanti ia membelot tidak lagi mengabdi kepada Kerajaan
Hastina, tetapi menyeberang untuk bergabung dengan musuh di Kerajaan Amarta. Hal
inilah yang membuat Patih Sangkuni semakin tidak suka kepadanya.
Prabu Duryudana menerima usulan tersebut. Ia lalu memerintahkan Patih Sangkuni
dan para Kurawa untuk menjemput Prabu Palgunadi di Padepokan Sokalima agar bersama-
sama hadir di Kerajaan Hastina. Resi Druna menjawab sudah terlambat, karena Prabu
Palgunadi kini sudah pulang ke Kerajaan Paranggelung. Tidak hanya itu, bahkan
permaisurinya yang bernama Dewi Angraeni juga telah menyusul dengan diantar Bambang
Aswatama.
Patih Sangkuni tidak merasa terlambat. Begitu mendengar nama Dewi Angraeni, ia
pun mendapatkan akal untuk mengadu domba antara Prabu Palgunadi dengan Raden
Arjuna. Setelah berpikir demikian, ia lantas mohon pamit pergi meninggalkan Padepokan
Sokalima bersama seluruh rombongannya.

BAMBANG ASWATAMA MERAYU DEWI ANGRAENI


Dalam perjalanan pulangnya, Dewi Angraeni mengendarai kereta dengan dikawal
sedikit prajurit, sedangkan Bambang Aswatama menunggang kuda di depannya. Ketika
mereka melewati jalanan sepi, tiba-tiba Bambang Aswatama menghadang dan
menghentikan laju kereta. Ia lalu turun dari kuda dan langsung menyelinap masuk ke dalam
kereta untuk menemui Dewi Angraeni.
Dewi Angraeni terkejut melihat perubahan sikap Bambang Aswatama yang tadinya
sopan kini menjadi kurang ajar. Bambang Aswatama berterus terang bahwa dirinya diam-
diam menyukai Dewi Angraeni dan memintanya untuk meninggalkan sang suami. Ia berkata
bahwa meskipun dirinya bukan raja seperti Prabu Palgunadi, tetapi ia memiliki tanah yang
sangat luas, yaitu setengah dari wilayah Kerajaan Pancala. Dulu para Pandawa telah
KITAB WAYANG PURWA

memenangkan perang melawan Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Akibatnya,


Kerajaan Pancala pun jatuh ke tangan Resi Druna dan kemudian dibagi menjadi dua.
Wilayah Pancala sebelah selatan dikembalikan kepada Prabu Drupada sekeluarga,
sedangkan wilayah Pancala sebelah utara diserahkan kepada Bambang Aswatama.
Dengan demikian, meskipun Bambang Aswatama bukan raja, tetapi kekayaannya
melimpah dan tanahnya luas, melebihi apa yang dimiliki Prabu Palgunadi yang hanya
seorang raja kecil.
Dewi Angraeni sama sekali tidak tertarik mendengar rayuan Bambang Aswatama. Ia
pun turun dari kereta dan berteriak minta tolong. Akan tetapi, Bambang Aswatama dengan
cekatan membunuh kusir kereta dan seluruh prajurit pengawal Dewi Angraeni yang
jumlahnya tidak banyak.

Bambang Aswatama.

PATIH SUKARMA BERPERANG MENGHADAPI PARA KURAWA


Dewi Angraeni berlari ketakutan sekencang-kencangnya. Sungguh beruntung ia
bertemu dengan sekelompok prajurit dari Kerajaan Paranggelung yang dipimpin oleh Patih
Sukarma, bawahan suaminya. Dewi Angraeni pun menangis meminta tolong dan juga
bertanya mengapa Patih Sukarma bisa berada di tempat ini.
Patih Sukarma pun bercerita bahwa Prabu Palgunadi telah kembali ke Kerajaan
Paranggelung untuk menyelesaikan urusan negara. Karena urusan ini sulit ditinggalkan, ia
menjadi bingung bagaimana caranya menjemput pulang sang istri. Menyadari hal itu, Patih
Sukarma pun menawarkan diri untuk berangkat menjemput Dewi Angraeni. Tak disangka
di tengah jalan ia sudah bertemu dengan permaisuri rajanya tersebut yang sepertinya
sedang dikejar-kejar orang jahat.
Dewi Angraeni pun bercerita bahwa dirinya digoda dan dirayu oleh Bambang
Aswatama, putra Resi Druna. Bahkan kusir kereta dan para prajurit pengawal sudah tewas
semua di tangannya. Ketika Dewi Angraeni belum selesai bercerita, tiba-tiba Bambang
Aswatama datang dan berniat memaksanya agar ikut. Patih Sukarma marah melihat
majikannya diperlakukan kasar dan ia pun maju menghadapi Bambang Aswatama.
Maka, terjadilah pertarungan antara Patih Sukarma dengan Bambang Aswatama.
Keduanya saling serang dan berusaha saling menjatuhkan lawan. Tidak lama kemudian
datang pula Patih Sangkuni dan para Kurawa yang langsung bertempur membantu
Bambang Aswatama melawan pasukan Paranggelung. Pertempuran sengit pun terjadi di
tempat itu. Patih Sangkuni memberikan perintah agar semua orang Paranggelung ditumpas
habis jangan ada sisa sama sekali.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, dalam pertempuran ini para Kurawa berhasil membunuh habis semua
prajurit Paranggelung, termasuk Patih Sukarma pun gugur di tangan Bambang Aswatama.
Dewi Angraeni merasa ngeri bercampur sedih. Ia segera melanjutkan pelarian tanpa berani
menoleh ke belakang.

Patih Sukarma.

DEWI ANGRAENI BERTEMU RADEN ARJUNA


Dewi Angraeni yang berlari kencang akhirnya bertemu Raden Arjuna yang sedang
berkelana dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong. Tidak lama kemudian datang Patih Sangkuni, Bambang Aswatama, dan para
Kurawa mengejar. Mereka meminta agar Dewi Angraeni diserahkan. Mendengar itu, sikap
kesatria Raden Arjuna pun bangkit. Ia menantang apabila mereka ingin merebut Dewi
Angraeni, maka harus bisa membunuhnya terlebih dahulu.
Mendengar tantangan tersebut, para Kurawa maju menyerang Raden Arjuna.
Pertempuran sengit pun terjadi di antara mereka. Meskipun seorang diri, namun Raden
Arjuna tetap tidak teralahkan, karena ia memang murid terbaik Resi Druna. Sementara itu,
Patih Sangkuni mendapatkan akal bahwa pertempuran ini tidak perlu dilanjutkan. Ia merasa
Dewi Angraeni sudah jatuh ke tangan Raden Arjuna dan sebentar lagi suaminya pasti
murka. Setelah berpikir demikian, ia pun segera memerintahkan para Kurawa untuk
mundur, tidak perlu lagi mengeroyok Raden Arjuna.
Demikianlah, orang-orang Hastina itu telah mundur. Namun, Patih Sangkuni lalu
mengajak Arya Dursasana dan Bambang Aswatama untuk memutar jalan dan kemudian
pergi menuju Kerajaan Paranggelung untuk menghasut Prabu Palgunadi.

RADEN ARJUNA JATUH CINTA KEPADA DEWI ANGRAENI


Dewi Angraeni merasa lega melihat para pengejar telah pergi. Ia segera berterima
kasih kepada Raden Arjuna dan juga memperkenalkan diri kepadanya. Raden Arjuna
terkejut saat mengetahui ternyata Dewi Angraeni adalah istri Prabu Palgunadi yang
merupakan adik angkatnya. Ia berkata bahwa dirinya dulu dipersaudarakan dengan Raden
Ekalaya yang mendapat nama baru Raden Palgunadi, sehingga mirip dengan julukannya,
yaitu Raden Palguna. Demikianlah, Raden Arjuna mengaku sebagai saudara tua Prabu
Palgunadi, dan itu berarti Dewi Angraeni adalah adik iparnya.
Dewi Angraeni senang mendengarnya dan ia mohon pamit untuk melanjutkan
perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung. Raden Arjuna tidak tega melihat adik iparnya
KITAB WAYANG PURWA

berjalan sendiri dan ia pun menawarkan bantuan untuk mengantar perjalanan Dewi
Angraeni.
Begitulah, mereka lalu berjalan bersama-sama. Dalam perjalanan itu, diam-diam
Raden Arjuna mengamati dan memuji kecantikan Dewi Angraeni. Meskipun Raden Arjuna
telah memiliki beberapa istri, namun kecantikan Dewi Angraeni sangat khas dan tidak ada
duanya. Karena tidak dapat memendam perasaan, mulutnya pun memuji kecantikan Dewi
Angraeni. Ia juga berkata, andai saja mereka bertemu lebih dulu, tentu bukan Prabu
Palgunadi yang menjadi suami Dewi Angraeni.
Dewi Angraeni merasa serbasalah. Dalam hati ia mengakui wajah dan paras Raden
Arjuna jauh lebih tampan daripada suaminya. Namun, cintanya kepada Prabu Palgunadi
begitu mendalam dan ia justru merasa takut mendengar pujian Raden Arjuna itu. Kyai
Semar memahami sikap Dewi Angraeni yang setia pada suami. Ia pun pura-pura menasihati
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong agar menjadi laki-laki yang selalu menjaga norma.
Sesungguhnya wajar apabila laki-laki menyukai perempuan. Akan tetapi, yang wajib diingat
adalah apabila si perempuan sudah memiliki suami, maka jangan pernah menginginkannya.
Jika diteruskan, itu istilahnya disebut merusak pagar hayu. Lebih baik mencari yang masih
perawan atau yang sudah janda, daripada mengganggu istri orang lain.
Raden Arjuna paham dirinya sedang disindir. Maka, ia pun tidak berani lagi memuji
Dewi Angraeni dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung.

PATIH SANGKUNI MENGHASUT PRABU PALGUNADI


Sementara itu, Patih Sangkuni ditemani Arya Dursasana dan Bambang Aswatama
meninggalkan para Kurawa lainnya untuk bergerak cepat mendahului Dewi Angraeni
menuju Kerajaan Paranggelung. Sesampainya di sana, mereka segera menemui Prabu
Palgunadi. Bambang Aswatama yang saling kenal dengan Prabu Palgunadi segera
memperkenalkan kedua rekannya. Mengetahui bahwa Patih Sangkuni dan Arya Dursasana
adalah orang-orang dekat Prabu Duryudana, Prabu Palgunadi pun menyembah hormat
kepada mereka.
Patih Sangkuni berkata bahwa kedatangannya ke Kerajaan Paranggelung adalah
untuk menyampaikan keputusan Prabu Duryudana yang mengangkat Prabu Palgunadi
sebagai panglima perang Kerajaan Hastina, berdampingan dengan Adipati Karna. Jadi,
bukan sekadar menjadi sekutu biasa. Mendengar keputusan itu, Prabu Palgunadi merasa
tersanjung dan berterima kasih atas kemurahan hati Prabu Duryudana.
Namun, Patih Sangkuni berkata sebaiknya Prabu Palgunadi jangan senang dulu,
karena di tengah jalan tadi ia melihat Dewi Angraeni digoda oleh Raden Arjuna. Prabu
Palgunadi terkejut dan sangat marah mendengarnya. Ia pun meminta Patih Sangkuni
bercerita secara rinci apa yang terjadi pada istrinya. Patih Sangkuni lalu memerintahkan
kepada Bambang Aswatama untuk menceritakan kejadian tadi.
Sebelum masuk ke istana, Bambang Aswatama sudah diajari Patih Sangkuni untuk
berbohong kepada Prabu Palgunadi. Maka, Bambang Aswatama pun bercerita panjang
lebar dirinya ditugasi sang ayah untuk mengawal kepulangan Dewi Angraeni yang ingin
menyusul Prabu Palgunadi. Namun, di tengah jalan mereka bertemu Raden Arjuna. Semua
orang tahu Raden Arjuna bersifat mata keranjang. Begitu melihat Dewi Angraeni yang cantik
jelita, ia pun menggodanya. Bambang Aswatama berusaha melindungi tetapi ia kalah dan
terdesak.
Kemudian muncul pula Patih Sukarma beserta para prajurit Paranggelung yang
ditugasi Prabu Palgunadi untuk menjemput pulang Dewi Angraeni. Namun, tanpa ampun
Raden Arjuna menumpas habis mereka semua. Prabu Palgunadi sangat terkejut
KITAB WAYANG PURWA

mendengar patih dan para prajuritnya tewas dibunuh Raden Arjuna. Amarahnya semakin
membara bagaikan api yang berkobar-kobar.
Patih Sangkuni senang melihat Prabu Palgunadi mulai membenci Raden Arjuna.
Bambang Aswatama melanjutkan bercerita. Ia berkata bahwa Raden Arjuna lalu menarik
tangan Dewi Angraeni dan membawanya kabur. Bambang Aswatama mencoba mengejar
tetapi Raden Arjuna jauh lebih sakti. Hingga akhirnya ia pun bertemu Patih Sangkuni dan
Arya Dursasana yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung. Mereka
bertiga lalu sepakat mengadukan hal ini kepada Prabu Palgunadi.
Prabu Palgunadi sangat marah. Ia tidak menyangka Raden Arjuna yang sudah
dipersaudarakan dengannya tega berbuat hina seperti ini. Patih Sangkuni kembali
memanas-manasi, bahwa di dunia ini hanya ada dua orang pemanah sakti yang bisa
membunuh Raden Arjuna, yaitu Adipati Karna dan Prabu Palgunadi. Terus terang Patih
Sangkuni tidak percaya kepada Adipati Karna karena dia dan Raden Arjuna sama-sama
putra Dewi Kunti, hanya berlainan ayah. Oleh sebab itu, Patih Sangkuni menaruh
kepercayaan besar pada Prabu Palgunadi. Apabila Raden Arjuna berhasil dibunuh, maka
kedudukan Prabu Palgunadi di mata Prabu Duryudana akan melebihi Adipati Karna.
Prabu Palgunadi tidak peduli soal kedudukan. Ia hanya ingin merebut istrinya kembali.
Dengan segera ia pun berangkat mencari keberadaan Raden Arjuna dan Dewi Angraeni.
Patih Sangkuni senang berhasil mengadu domba mereka. Ia pun mengajak Arya Dursasana
dan Bambang Aswatama untuk menyaksikan bagaimana Sang Panengah Pandawa
menemui ajal.

PERTARUNGAN RADEN PALGUNA DAN PRABU PALGUNADI


Prabu Palgunadi tidak perlu jauh-jauh mencari karena Raden Arjuna dan Dewi
Angraeni ternyata sudah memasuki wilayah Kerajaan Paranggelung. Ia langsung melabrak
Raden Arjuna sebagai laki-laki hidung belang yang suka merayu istri orang, bahkan
terhadap istri saudara sendiri. Raden Arjuna marah, namun berusaha menahan diri. Dewi
Angraeni heran melihat suaminya tiba-tiba bersikap kasar seperti itu. Ia pun berusaha
menyabarkan Prabu Palgunadi dan menjelaskan bahwa ini semua hanya salah paham.
Prabu Palgunadi tersinggung melihat istrinya membela musuh. Ia pun berkata bahwa
Raden Arjuna telah membunuh Patih Sukarma dan ini berarti menghina kehormatan
Kerajaan Paranggelung. Dewi Angraeni menjawab bahwa yang membunuh Patih Sukarma
bukan Raden Arjuna, tetapi Bambang Aswatama dan para Kurawa. Bahkan, Raden Arjuna
justru berjasa besar telah menolong dirinya dari tangan orang-orang jahat itu.
Prabu Palgunadi tidak percaya karena dirinya telah diangkat Prabu Duryudana
sebagai panglima perang Kerajaan Hastina, sehingga tidak mungkin para Kurawa
membunuh Patih Sukarma. Lagipula selama ini Prabu Palgunadi telah mengenal baik
Bambang Aswatama yang sopan dan pendiam, sehingga tidak mungkin bersikap kurang
ajar kepada istrinya. Lain halnya dengan Raden Arjuna yang terkenal suka menikah berkali-
kali. Mendengar pembelaan istrinya terhadap musuh, ia menjadi yakin bahwa Dewi
Angraeni telah terkena sihir guna-guna sehingga membela Raden Arjuna secara membabi
buta.
Raden Arjuna marah melihat Prabu Palgunadi berkata kasar kepada istri sendiri. Ia
pun berterus terang dirinya memang mengagumi kecantikan Dewi Angraeni. Namun, ia
sadar wanita tersebut adalah istri Prabu Palgunadi, dan itu berarti Dewi Angraeni terhitung
sebagai adik iparnya. Maka, perasaannya kepada Dewi Angraeni hanya sekadar kagum
dan memuji saja, tidak lebih dari itu.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Palgunadi yang sudah dibutakan oleh amarah sama sekali tidak percaya.
Kejadian ini membuat kenangan masa lalunya bangkit, yaitu saat ia harus memotong ibu
jari tangan sendiri gara-gara Resi Druna pilih kasih lebih menyayangi Raden Arjuna. Maka,
hari itu Prabu Palgunadi pun menantang Raden Arjuna bertanding untuk membuktikan siapa
di antara mereka yang merupakan murid terbaik Padepokan Sokalima.
Raden Arjuna sebenarnya enggan menghadapi saudara sendiri. Namun, sebagai
kesatria ia merasa tidak pantas jika menolak tantangan. Maka, ia pun menerima tantangan
tersebut. Keduanya lalu bertanding. Mereka sama-sama sakti dan terampil. Patih Sangkuni,
Arya Dursasana, dan Bambang Aswatama mengintai dari kejauhan dan berharap Prabu
Palgunadi berhasil membunuh Raden Palguna (Arjuna).
Setelah bertarung adu keris tanpa ada yang menang ataupun kalah, Raden Arjuna
dan Prabu Palgunadi ganti bertanding saling memanah. Sungguh indah dan menengangkan
pertarungan di antara mereka. Keduanya saling melepas panah ke arah lawan. Entah
berapa kali panah mereka saling bertabrakan di udara. Raden Arjuna sangat heran
mengapa Prabu Palgunadi yang hanya berjari sembilan mampu memanah dengan sangat
jitu dan dahsyat. Karena lengah memikirkan kehebatan musuh, tanpa sadar ia pun terluka.
Sebatang anak panah Prabu Palgunadi menyerempet di pundaknya.
Begitu lawannya terluka, Prabu Palgunadi semakin gencar menyerang. Ia melepaskan
panah bertubi-tubi kepada Raden Arjuna. Kali ini Raden Arjuna tidak dapat menghindar lagi
dan pasti mati di tangan adik seperguruannya itu. Namun, tiba-tiba muncul sesosok
bayangan hitam berkelebat menyambar tubuhnya dan membawa ia pergi meninggalkan
tempat pertandingan.

PRABU KRESNA MENYARANKAN RADEN ARJUNA AGAR MELENYAPKAN PRABU


PALGUNADI
Bayangan hitam yang menyambar tubuh Raden Arjuna dan membawanya kabur itu
ternyata kakak ipar sendiri, yaitu Prabu Kresna. Setelah keduanya jauh meninggalkan
Kerajaan Paranggelung, Raden Arjuna pun mengucapkan terima kasih, tetapi sebenarnya
ia lebih suka mati secara kesatria daripada melarikan diri secara pengecut. Prabu Kresna
menjawab bahwa jika mati melawan Prabu Palgunadi, maka Raden Arjuna bukan mati
secara kesatria tetapi mati konyol sebagai korban fitnah Patih Sangkuni.
Prabu Kresna pun bercerita bahwa dirinya mendapat firasat buruk menimpa Raden
Arjuna. Ia pun berangkat ke Kerajaan Amarta untuk menemui adik sepupu sekaligus ipar
yang paling ia sayangi tersebut. Namun, yang ia cari ternyata tidak ada. Prabu Puntadewa
mengatakan bahwa, Raden Arjuna saat ini sedang menuju Padepokan Sokalima untuk
berlatih bersama Prabu Palgunadi. Prabu Kresna segera pergi menyusul, tetapi hati
nuraninya berbisik agar ia pergi ke Paranggelung saja. Ternyata ia datang tepat waktu, di
mana Raden Arjuna sedang terdesak kewalahan menghadapi Prabu Palgunadi, sedangkan
Patih Sangkuni menonton dari jauh sambil bertepuk tangan.
Raden Arjuna sama sekali tidak tahu kalau Patih Sangkuni ternyata ada di balik ini
semua. Prabu Kresna pun berkata bahwa Prabu Palgunadi sifatnya gegabah dan mudah
dihasut. Apabila dibiarkan hidup, maka di kemudian hari akan kembali dihasut oleh Patih
Sangkuni. Orang sakti yang ceroboh seperti dia harus dilenyapkan daripada kelak
mendatangkan masalah, demikian keputusan Prabu Kresna.
Raden Arjuna ragu-ragu mendengarnya. Namun, apa yang disampaikan Prabu Kresna
ada benarnya juga. Lebih baik Prabu Palgunadi dibunuh sekarang daripada kelak
membahayakan para Pandawa. Akan tetapi, adik seperguruannya itu sangat sakti dan sulit
untuk dikalahkan. Prabu Kresna pun menyarankan agar Raden Arjuna meminta petunjuk
KITAB WAYANG PURWA

kepada Resi Druna, yaitu orang yang telah membuat Prabu Palgunadi menjadi sedemikian
hebat.
Raden Arjuna paham dan segera melesat pergi menggunakan Aji Seipi Angin menuju
Padepokan Sokalima.

RESI DRUNA MENGORBANKAN NYAWA PRABU PALGUNADI


Dalam waktu singkat, Raden Arjuna telah sampai di hadapan Resi Druna. Ia datang
dengan menghunus keris dan meminta sang guru agar menusuk dadanya menggunakan
senjata tersebut. Ia berkata lebih baik mati daripada kalah di tangan adik seperguruan
sendiri. Raden Arjuna pun berkata hidupnya sungguh mengecewakan karena memiliki guru
yang tidak adil. Bagaimana mungkin seorang Palgunadi yang berjari sembilan dapat
mengalahkan dirinya yang berjari utuh.
Resi Druna bertanya mengapa kedua muridnya saling serang. Raden Arjuna pun
menceritakan semuanya, mulai dari bagaimana ia menolong Dewi Angraeni dari kejaran
Bambang Aswatama dan para Kurawa, hingga akhirnya justru dirinya yang difitnah
menggoda istri Prabu Palgunadi tersebut.
Resi Druna tertegun mendengarnya. Ia berkata bahwa di dunia ini ada dua orang yang
paling ia sayangi, yaitu Bambang Aswatama dan Raden Arjuna. Kepada Raden Arjuna ia
bersikap tegas, sehingga muridnya tersebut berhasil menjadi pemanah terbaik. Adapun
kepada Bambang Aswatama, ia justru banyak memanjakan, sehingga putranya itu menjadi
pemuda yang kurang ajar, apalagi sekarang banyak bergaul dengan para Kurawa.
Karena kasih sayangnya kepada Raden Arjuna sangat besar, maka ia pun ikhlas jika
harus kehilangan murid bernama Prabu Palgunadi. Ia berkata bahwa kedua muridnya
tersebut sama-sama telah mendapat pusaka darinya. Resi Druna pernah memberikan
Panah Sangkali kepada Raden Arjuna, sedangkan Prabu Palgunadi memperoleh Cincin
Mustika Ampal darinya. Cincin pusaka inilah yang membuat Prabu Palgunadi tetap terampil
dalam memanah meskipun jarinya tinggal sembilan. Maka, jika ingin menang, Resi Druna
menyarankan agar Raden Arjuna menggunakan Panah Sangkali untuk memotong jari
Prabu Palgunadi yang mengenakan cincin pusaka tersebut.
Raden Arjuna berterima kasih atas petunjuk Resi Druna dan segera mohon pamit
kembali ke Kerajaan Paranggelung. Resi Druna merasa hatinya tidak tenang. Ia pun segera
menyusul kepergian muridnya tersebut.

Prabu Palgunadi.
KITAB WAYANG PURWA

KEMATIAN PRABU PALGUNADI


Raden Arjuna yang mengerahkan Aji Seipi Angin dalam waktu singkat sudah kembali
ke hadapan Prabu Palgunadi. Ia pun menantang adik seperguruannya itu kembali
bertarung. Prabu Palgunadi senang dan mempersilakan Raden Arjuna maju jika memang
ingin mati. Keduanya kembali bertanding adu panah. Kali ini gerakan Raden Arjuna sungguh
cepat dan Panah Sangkali meluncur dahsyat menerjang tangan lawan.
Prabu Palgunadi sama sekali tidak mengira tangan kanannya menjadi sasaran panah
lawan. Karena tidak sempat menghindar, jari kelingkingnya yang mengenakan Cincin
Mustika Ampal pun putus terkena Panah Sangkali. Seketika Prabu Palgunadi merasa lemas
dan ia pun jatuh di tanah. Hal ini karena ia dulu telah bersumpah untuk merawat dan
menjaga cincin pusaka pemberian Resi Druna bagaikan nyawa. Kini cincin itu telah terpisah
dari tubuhnya, membuat ia merasa terguncang dan jantungnya berhenti. Akhirnya Prabu
Palgunadi pun meninggal dunia.
Raden Arjuna terkejut, begitu pula Patih Sangkuni dan yang lain. Dewi Angraeni
menangis dan memeluk jasad suaminya. Tidak lama kemudian Resi Druna datang pula dan
ia sangat terkejut melihat Prabu Palgunadi telah tewas. Tanpa banyak bicara, ia lalu
memungut potongan jari kelingking muridnya itu di tanah. Ia berusaha melepaskan Cincin
Mustika Ampal namun cincin tersebut seolah sudah menyatu dengan jari kelingking. Resi
Druna lalu menempelkan kelingking bercincin itu ke tangan Raden Arjuna sambil kemudian
membaca mantra. Sungguh ajaib, jari sekaligus cincin pusaka tersebut langsung menyatu
dengan tangan Raden Arjuna, berjajar bersama jari-jari yang lain. Maka, mulai saat ini
Raden Arjuna pun memiliki jari tangan berjumlah sebelas, sekaligus mewarisi Cincin
Mustika Ampal.

Raden Arjuna menghibur Dewi Angraeni.

DEWI ANGRAENI BUNUH DIRI


Patih Sangkuni merasa kecewa pada hasil akhir pertandingan ini. Ia pun mengajak
Arya Dursasana dan Bambang Aswatama pulang ke Kerajaan Hastina. Resi Druna
pikirannya kalut karena telah berbuat tidak adil pada Prabu Palgunadi. Ketika hendak
melangkah pulang menuju Padepokan Sokalima, tiba-tiba terdengar suara arwah Prabu
Palgunadi bergema di angkasa, yang mengatakan bahwa Resi Druna seorang guru yang
pilih kasih, mengorbankan murid yang satu karena lebih menyayangi murid yang lain. Roh
Prabu Palgunadi berkata kelak Resi Druna akan mendapat karma, yaitu mati di tangan
muridnya sendiri; seorang murid yang lahir dari api kebencian orang tuanya. Saat itulah roh
Prabu Palgunadi akan datang untuk menjemput kematian Resi Druna.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Druna ngeri mendengarnya. Ia pun berlari pulang menuju Sokalima sambil
mengucapkan sebutannya berkali-kali (kelak murid yang membunuh Resi Druna adalah
Raden Drestajumena, putra Prabu Drupada).
Sementara itu, Dewi Angraeni yang juga mendengar suara roh suaminya segera
memanggil-manggil minta diajak serta ke alam baka. Raden Arjuna berusaha menghibur
hatinya. Karena Dewi Angraeni telah menjadi janda, maka ia pun mengajak wanita itu ikut
pulang ke Kesatrian Madukara dan menetap di sana bersama Dewi Sumbadra, Dewi
Srikandi, dan yang lainnya. Namun, Dewi Angraeni tidak bersedia. Meskipun Prabu
Palgunadi bersikap kasar kepadanya sebelum meninggal, namun ia sama sekali tidak
marah. Ia mengerti bahwa suaminya itu hanya salah paham akibat mendengar fitnah dari
Patih Sangkuni yang jahat.
Raden Arjuna kembali membujuk Dewi Angraeni agar ikut dengannya setelah
memakamkan Prabu Palgunadi. Ia berjanji akan menjadi suami baru yang baik untuk Dewi
Angraeni. Ia berjanji akan selalu menyayangi Dewi Angraeni sepanjang masa. Namun, Dewi
Angraeni tetap teguh pada pendirian. Cintanya kepada sang suami begitu dalam. Ia pun
mengucapkan selamat tinggal pada Raden Arjuna lalu mengambil keris milik Prabu
Palgunadi yang terselip di pinggang, dan kemudian menusuk dadanya sendiri. Darah pun
menyembur keluar dan Dewi Angraeni roboh terkulai di atas jasad sang suami.
Raden Arjuna sangat terkejut dan menyesal tidak sempat mencegah hal itu. Kini Dewi
Angraeni telah meninggal dunia karena bunuh diri di hadapannya. Ia pun menangis dan
membaca mantra untuk menyempurnakan jasad suami-istri tersebut. Seketika muncul
seberkas api yang langsung membakar habis jasad Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni
tanpa sisa.
Tidak lama kemudian Prabu Kresna dan para panakawan pun datang. Mereka lalu
mengajak Raden Arjuna bersama-sama pulang ke Kerajaan Amarta. Namun, Raden Arjuna
menolak. Ia memilih pergi berkelana untuk melakukan tapa ngrame, yang mana pahalanya
akan dipersembahkan untuk arwah Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni di alam baka.
Prabu Kresna pun merestui jika memang itu yang menjadi keinginan Raden Arjuna, dan
semoga adik iparnya itu mendapatkan keberhasilan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan adanya tokoh bernama Ekalavya yang memotong ibu
jarinya sendiri karena diminta oleh Resi Drona, yang takut kepandaiannya menyaingi Arjuna.
Tokoh bernama Ekalavya tersebut akhirnya bergabung dengan Jarasandha raja Magadha, dan
akhirnya ia mati di tangan Sri Krishna. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa, khususnya dalam
Serat Pustakaraja Purwa dikisahkan bahwa tokoh Ekalaya bernama Palgunadi, namun muncul
hanya sekali, yaitu saat para Pandawa sudah dewasa dan sudah tinggal di Kerajaan Amarta. Oleh
sebab itu, saya pun menggabungkan kedua sumber tersebut menjadi satu, sebagaimana yang saya
tulis di atas.
Adapun menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa, kisah Raden
Arjuna menewaskan Prabu Palgunadi dan kisah Dewi Angraeni bunuh diri terjadi pada tahun
Suryasengkala 706 yang ditandai dengan sengkalan Angraos Kamuksaning Resi, atau tahun
Candrasengkala 727 yang ditandai dengan sengkalan Pandita Nembah ing Swara.
KITAB WAYANG PURWA

SAYEMBARA TASIKMADU
Kisah ini menceritakan tentang perjalanan Raden Arjuna dengan tujuan tapa ngrame
untuk menebus dosa kepada Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni. Dalam
pengembaraannya ini ia menikah dengan Endang Ulupi yang kelak melahirkan
Bambang Irawan, serta Dewi Gandawati yang kelak melahirkan Raden Gandakusuma.
Kisah ini saya olah dari sumber Naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 29 April 2017
Heri Purwanto

PRABU DURYUDANA MEMBAHAS SAYEMBARA DI KERAJAAN TASIKMADU


Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati
Karna dari Awangga, dan Patih Sangkuni dari Plasajenar. Para Kurawa pun ikut menghadap
dengan dipimpin Arya Dursasana dan Raden Kartawarma. Hari itu mereka membahas
tentang undangan sayembara tanding di Kerajaan Tasikmadu, di mana Prabu Gandasena
hendak mencarikan jodoh untuk putrinya.
Kerajaan Tasikmadu terletak di tanah seberang. Prabu Gandasena yang merupakan
raja negeri tersebut memiliki dua orang anak, bernama Dewi Gandawati dan Raden
Citraganda. Dewi Gandawati konon kabarnya memiliki wajah yang sangat cantik dan
banyak digandrungi oleh para raja-kesatria dari berbagai negeri. Tidak sedikit dari mereka
yang mencoba meminang gadis tersebut, membuat Prabu Gandasena bingung
menentukan pilihan hendak menerima lamaran yang mana. Oleh sebab itu, putranya yang
bernama Raden Citraganda pun mengajukan diri mengadakan sayembara tanding.
Barangsiapa bisa mengalahkan dirinya, maka orang itu berhak mempersunting Dewi
Gandawati.
Raden Citraganda ternyata memang sangat sakti. Di antara para pelamar itu tidak ada
satu pun yang bisa mengalahkan dirinya. Karena khawatir putrinya menjadi perawan tua,
Prabu Gandasena pun menyebarkan undangan lebih banyak lagi, hingga salah satunya
sampai di Kerajaan Hastina.
Arya Dursasana kesatria Banjarjunut tertarik ingin mengikuti sayembara ini. Ia pun
mohon pamit kepada sang kakak untuk berangkat menuju Kerajaan Tasikmadu. Prabu
Duryudana merasa tidak tega apabila adik kesayangannya itu bertanding sendiri melawan
Raden Citraganda. Maka, ia pun memerintahkan adik iparnya yang menjadi penguasa
Banakeling, yaitu Adipati Jayadrata (suami Dewi Dursilawati) untuk menjadi jago
menghadapi Raden Citraganda. Adipati Jayadrata menyanggupi dan segera mohon restu
demi keberhasilan tugas tersebut.
Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Ia masuk ke
dalam kedaton untuk mendoakan keberhasilan Adipati Jayadrata dan Arya Dursasana.
Sang permaisuri Dewi Banuwati sudah menunggu di gapura. Mereka kemudian makan
bersama dan setelah itu masuk ke sanggar pemujaan. Prabu Duryudana mencoba
bersamadi berkali-kali tetapi tidak pernah bisa hening. Akhirnya, ia merasa kesal dan
mengajak Dewi Banuwati pindah ke kamar tidur untuk melakukan kegiatan lainnya.

RADEN CITRAGANDA MENGALAHKAN PARA KURAWA


Prabu Gandasena di Kerajaan Tasikmadu sedang dihadap Raden Citraganda dan
Patih Sukendra. Mereka membicarakan tentang sayembara tanding memperebutkan Dewi
Gandawati yang sampai saat ini belum ada pemenangnya. Prabu Gandasena takut apabila
KITAB WAYANG PURWA

terus-terusan seperti ini, maka bisa-bisa Dewi Gandawati akan menjadi perawan tua yang
tidak menikah selamanya. Raden Citraganda menghibur ayahnya, bahwa ia hanyalah
manusia biasa, tentunya di atas langit masih ada langit. Jikalau dewata sudah berkehendak
menentukan jodoh Dewi Gandawati, maka dirinya pasti akan kalah di tangan orang itu.
Prabu Gandasena merasa ragu apa benar ada orang yang bisa mengalahkan Raden
Citraganda, kecuali guru putranya itu yang bernama Bagawan Wilawuk dari Padepokan
Pringcendani.
Tidak lama kemudian datanglah rombongan para Kurawa yang dipimpin Arya
Dursasana dan Adipati Jayadrata. Mereka menyampaikan maksud kedatangan, yaitu ingin
melamar Dewi Gandawati. Adipati Jayadrata selaku juru bicara mengatakan bahwa
Kerajaan Hastina adalah negeri paling besar saat ini, di mana suatu kehormatan bagi Prabu
Gandasena apabila dapat menjadi mertua Arya Dursasana. Kapan lagi ada kesempatan
langka semacam ini? Oleh sebab itu, Adipati Jayadrata meminta kepada Prabu Gandasena
agar menyerahkan Dewi Gandawati secara baik-baik, tidak perlu melalui sayembara tanding
menghadapi Raden Citraganda segala.
Raden Citraganda menanggapi ucapan Adipati Jayadrata. Jangan karena Kerajaan
Hastina besar dan agung lantas seenaknya merendahkan pihak lain. Ia pun mempersilakan
Adipati Jayadrata dan para Kurawa naik ke atas panggung sayembara apabila benar-benar
ingin memboyong Dewi Gandawati.
Adipati Jayadrata menerima tantangan tersebut. Ia dan Raden Citraganda sama-sama
naik ke gelanggang dan mulai bertanding. Keduanya bertarung sengit. Adipati Jayadrata
tidak menyangka lawannya sedemikian tangguh. Lama-lama ia pun terdesak dan terlempar
dari gelanggang. Melihat jagonya kalah, Arya Dursasana segera maju menggantikan. Ia
menyerang Raden Citraganda dengan gencar. Namun, Raden Citraganda dapat
mengalahkannya pula.
Raden Kartawarma, Raden Srutayu, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden
Durmagati, Raden Durjaya, Raden Durmuka, Raden Wiwingsati, dan para Kurawa lainnya,
serta Bambang Aswatama serentak maju mengeroyok Raden Citraganda. Namun, Raden
Citraganda sudah menamatkan pelajarannya dari Bagawan Wilawuk. Bagaikan singa ia
mengamuk menerjang para Kurawa tersebut. Dengan mengerahkan aji Angin Garuda, ia
pun menghempaskan semua musuhnya hingga terlempar jauh meninggalkan Kerajaan
Tasikmadu.

Adipati Jayadrata.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN ARJUNA MENOLONG RESI JAYAWILAPA


Sementara itu, Raden Arjuna masih berkelana dengan didampingi para panakawan
Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Kematian Prabu Palgunadi dan Dewi
Angraeni membuat Pandawa nomor tiga itu merasa bersalah. Ia pun menjalani tapa
ngrame, yaitu berkelana sambil menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan,
sedangkan pahalanya ia persembahkan kepada arwah suami-istri tersebut.
Entah sudah berapa orang yang ditolong Raden Arjuna dalam perjalanannya, bahkan
mungkin bukan hanya manusia saja. Siapa pun yang dilanda kesulitan, meskipun binatang,
raksasa, bahkan gandarwa sekalipun, Raden Arjuna pasti akan memberikan pertolongan.
Semakin banyak ia menolong orang, semakin banyak pula pahala yang ia kumpulkan untuk
menebus dosa terhadap Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni.
Tiba-tiba di tengah jalan, Raden Arjuna melihat seorang gadis berlari ke arahnya
sambil menangis. Gadis itu berpenampilan sederhana, tetapi wajahnya cantik. Ia memohon
bantuan kepada Raden Arjuna untuk menolong ayahnya yang sedang dikeroyok musuh
berjumlah banyak.
Gadis itu bernama Endang Ulupi. Raden Arjuna menyanggupi menolong, dan ia pun
berjalan mengikuti di belakang. Hingga akhirnya, mereka pun sampai di tempat
pertempuran. Tampak seekor singa berkelahi dengan seekor naga, sedangkan di sekeliling
mereka sekumpulan prajurit mengacung-acungkan senjata seolah ikut mengancam hendak
menusuk tubuh si naga.
Endang Ulupi berkata bahwa naga tersebut adalah penjelmaan ayahnya yang
bernama Resi Jayawilapa. Ayahnya adalah murid Batara Anantaboga, sehingga memiliki
kemampuan mengubah wujud menjadi ular naga. Adapun singa yang berkelahi dengannya
adalah penjelmaan Prabu Singalodra yang hendak menculik Endang Ulupi.
Raden Arjuna melihat naga penjelmaan Resi Jayawilapa mulai terdesak karena
terkepung banyak senjata. Ia pun maju menyerang sang singa. Keduanya bertarung sengit.
Meskipun berpenampilan lembut, tetapi Raden Arjuna jika bertarung sangat tangkas dan
cekatan. Dengan bersenjata Keris Pulanggeni, ia berhasil merobek perut singa tersebut.
Singa itu akhirnya tewas dan kembali ke wujud Prabu Singalodra.
Melihat rajanya terbunuh, Patih Jayalodra memimpin pasukan menyerang Raden
Arjuna. Namun, mereka semua menemui ajal terkena hujan panah yang ditembakkan Sang
Panengah Pandawa, kecuali Patih Jayalodra yang hanya terluka. Raden Arjuna lalu
menanyai Patih Jayalodra, apa maksudnya hendak menculik gadis desa bernama Endang
Ulupi segala. Patih Jayalodra berkata bahwa sebenarnya Prabu Singalodra hendak pergi
ke Kerajaan Tasikmadu untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Gandawati,
namun di tengah jalan bertemu Endang Ulupi yang sedang mengambil air di telaga. Prabu
Singalodra tertarik dan hendak berbuat jahat kepada Endang Ulupi. Namun, Endang Ulupi
sempat berteriak sehingga ayahnya pun datang menolong dengan mengambil wujud seekor
naga.
Raden Arjuna terkesima mendengar uraian Patih Jayalodra. Mengingat dirinya sedang
menjalani tapa ngrame, maka ia pun mengampuni nyawa Patih Jayalodra dan
membiarkannya pergi. Patih Jayalodra berterima kasih berkali-kali dan kemudian mohon
pamit meninggalkan tempat itu, kembali ke Kerajaan Guapura.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Jayawilapa.

RADEN ARJUNA MENIKAH DENGAN ENDANG ULUPI


Resi Jayawilapa telah kembali ke wujud manusia dan berterima kasih banyak atas
bantuan Raden Arjuna. Ia pun mengundang kesatria tampan itu untuk singgah di tempat
tinggalnya yang bernama Padepokan Yasarata. Raden Arjuna pun menerima ajakan
tersebut dengan senang hati.
Sesampainya di Yasarata, Endang Ulupi segera memasak dan menyediakan
hidangan untuk Raden Arjuna beserta para panakawan. Resi Jayawilapa sangat ramah
kepada mereka. Raden Arjuna menjelaskan bahwa ia dan Resi Jayawilapa terhitung masih
satu keluarga, karena kakaknya yang bernama Arya Wrekodara adalah menantu Batara
Anantaboga, sedangkan Batara Anantaboga adalah guru dari Resi Jayawilapa.
Resi Jayawilapa melihat Endang Ulupi tersipu malu saat menghidangkan makanan
dan minuman untuk Raden Arjuna. Ia pun memahami putrinya itu telah dewasa dan sudah
saatnya untuk menikah. Maka, dengan memberanikan diri, Resi Jayawilapa menyampaikan
niatnya untuk mempersembahkan Endang Ulupi sebagai istri Raden Arjuna.
Sifat Raden Arjuna pada dasarnya sangat menyukai keindahan. Melihat paras Endang
Ulupi yang cantik dan sikapnya lembut alami, tentu saja ia merasa senang. Namun, dirinya
sedang menjalani tapa ngrame, sehingga merasa tidak pantas apabila menikah di tengah
jalan. Dengan sangat berat hati, ia pun menolak tawaran Resi Jayawilapa tersebut.
Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada mendatangi mereka. Resi Jayawilapa,
Raden Arjuna, dan Endang Ulupi segera menyembah hormat. Batara Narada pun menerima
penghormatan mereka dan ia menjelaskan tujuannya turun ke Padepokan Yasarata. Ia
berkata bahwa Endang Ulupi sudah ditakdirkan dewata kelak akan melahirkan putra Raden
Arjuna. Putra tersebut sangat pemberani dan tangguh, mewarisi kesaktian kakeknya, dan
juga namanya akan dikenang sepanjang masa, sejajar dengan Raden Abimanyu, putra
sulung Raden Arjuna.
Yang kedua, Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Arjuna sudah bisa mengakhiri
tapa ngrame-nya. Pahala yang ia kumpulkan telah mengangkat arwah Prabu Palgunadi dan
Dewi Angraeni. Kedua suami-istri yang mati penasaran itu kini mendapat tempat yang lebih
nyaman di alam baka, tentunya berkat pengorbanan Raden Arjuna. Namun, Prabu
Palgunadi telah bersumpah tidak akan naik ke swargajati apabila tidak bersama dengan roh
KITAB WAYANG PURWA

Resi Druna. Oleh sebab itu, dewata hanya menempatkannya di swarga pangrantunan, yaitu
tempat peristirahatan sementara bagi para roh yang masih terikat dengan kenangan
duniawi.
Batara Narada lalu menjelaskan soal dewata yang akan memberikan pahala atas kerja
keras Raden Arjuna dalam membantu mengangkat arwah Prabu Palgunadi dan Dewi
Angraeni. Beberapa hari yang lalu, Raden Arjuna mengalami cinta tak terbalas terhadap
Dewi Angraeni. Kini, dewata pun menggariskan nasib Raden Arjuna akan menikah lagi
dengan seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan Dewi Angraeni. Perempuan itu
bernama Dewi Gandawati, putri Prabu Gandasena yang kini sedang diperebutkan oleh para
raja dan kesatria dari berbagai negara. Untuk bisa menikahinya, maka Raden Arjuna harus
dapat memenangkan sayembara tanding melawan Raden Citraganda, adik Dewi
Gandawati. Usai memberikan petunjuk demikian, Batara Narada segera undur diri, kembali
ke kahyangan.

ENDANG ULUPI MEMBERIKAN SEMANGAT UNTUK RADEN ARJUNA


Singkat cerita, Raden Arjuna telah menikah dengan Endang Ulupi dan sudah lima hari
tinggal di Padepokan Yasarata. Suatu hari Endang Ulupi bertanya mengapa Raden Arjuna
tidak berangkat ke Kerajaan Tasikmadu untuk mengikuti sayembara memenangkan Dewi
Gandawati. Raden Arjuna menjawab dirinya masih bimbang. Pertama, ia dan Endang Ulupi
masih pengantin baru, rasanya janggal jika harus menikah lagi dengan perempuan lain.
Yang kedua, Dewi Gandawati berwajah mirip dengan Dewi Angraeni, tentunya ini membuat
Raden Arjuna merasa di hatinya ada ganjalan. Jika ia menikah dengan perempuan itu, maka
seolah hanya sebagai pelarian belaka atas kegagalannya menikahi Dewi Angraeni tempo
hari.
Endang Ulupi menghibur suaminya agar jangan berpikir seperti itu. Soal pertama, ia
menyadari dirinya hanyalah seorang istri paminggir, bukan sebagai istri padmi. Cepat atau
lambat Raden Arjuna pasti akan meninggalkannya di padepokan karena harus kembali ke
Kerajaan Amarta. Oleh sebab itu, Raden Arjuna tidak perlu segan jika harus pergi sekarang
dan menikah lagi dengan Dewi Gandawati, karena bagaimanapun juga ini sudah menjadi
ketentuan dewata. Endang Ulupi merasa ikhlas, yang penting namanya tercatat dalam
sejarah sebagai istri Raden Arjuna, dan kelak jika putranya lahir diakui sebagai keturunan
Pandawa, baginya ini sudah sangat membahagiakan.
Yang kedua, soal Dewi Gandawati janganlah disamakan dengan Dewi Angraeni.
Mereka berbeda orang. Meskipun wajahnya sama, tetapi hati dan pikirannya jelas beda.
Endang Ulupi menyarankan agar Raden Arjuna menganggap ini sebagai anugerah dewata,
bukannya sebagai beban. Suaminya itu telah berkelana menjalani tapa ngrame demi
menebus dosa kepada Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni, maka tidak salah apabila
dewata memberikan anugerah berupa seorang istri yang berwajah mirip dengan Dewi
Agraeni.
Raden Arjuna tertegun mendengar penjelasan Endang Ulupi yang sederhana tetapi
mendalam. Ia merasa bangga menjadikannya sebagai istri. Sayang sekali, ia sudah terlanjur
berjanji hanya memiliki empat orang istri padmi, yaitu Dewi Sumbadra, Dewi Srikandi, Niken
Larasati, dan Dewi Sulastri, sehingga tidak dapat membawa Endang Ulupi tinggal di
Kesatrian Madukara. Ia hanya bisa berjanji kelak apabila kandungan Endang Ulupi sudah
mencapai usia tujuh bulan, maka ia akan datang lagi ke Padepokan Yasarata untuk
menungguinya sampai melahirkan. Endang Ulupi berterima kasih dan berharap semoga
sang suami memegang teguh janji tersebut.
Demikianlah, Raden Arjuna dan para panakawan pun mohon pamit kepada Resi
Jayawilapa dan Endang Ulupi untuk melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Tasikmadu.
KITAB WAYANG PURWA

Endang Ulupi.

RADEN ARJUNA BERTANDING MELAWAN RADEN CITRAGANDA


Setelah berlayar menyeberangi lautan, Raden Arjuna akhirnya tiba di pulau tempat
Kerajaan Tasikmadu berada. Ia pun menghadap Prabu Gandasena dan memperkenalkan
diri, serta menyampaikan niat ingin mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Gandawati.
Prabu Gandasena sangat kagum dan menaruh hormat karena sudah lama mendengar
nama besar para Pandawa yang terkenal di mana-mana. Ingin sekali ia menikahkan
putrinya dengan Raden Arjuna tanpa harus melalui sayembara, namun ini jelas melanggar
keputusan yang sudah ia tetapkan.
Raden Arjuna melihat Dewi Gandawati dan Raden Citranggada duduk di samping
Prabu Gandasena. Sungguh takjub perasaannya melihat wujud Dewi Gandawati yang
benar-benar mirip dengan mendiang Dewi Angraeni, seolah mereka saudara kembar.
Raden Citraganda melihat Raden Arjuna memandang kakaknya tanpa berkedip, segera
mengingatkan bahwa untuk memperistri Dewi Gandawati maka harus mengalahkan dirinya
terlebih dahulu. Raden Arjuna tersadar dari lamunan dan segera menerima tantangan
tersebut.
Raden Arjuna kini telah berhadapan dengan Raden Citraganda di atas panggung.
Mereka lalu bertarung mengadu kesaktian. Raden Citraganda terkejut melihat Raden Arjuna
bisa mengimbangi kemampuannya. Setiap kali ia mengeluarkan ilmu kesaktian, selalu saja
Raden Arjuna mengeluarkan ilmu yang sama pula.
Prabu Gandasena melihat kedua pihak saling mengadu kesaktian yang sama, tetapi
Raden Arjuna tampaknya lebih berpengalaman. Setelah bertarung cukup lama, Raden
Citraganda akhirnya dapat diringkus oleh lawan dan dibanting keluar dari gelanggang.
Segala kesombongan pemuda itu lenyap seketika. Ia tertunduk malu dan mengaku kalah
kepada Raden Arjuna.
Namun demikian, Raden Citraganda masih penasaran dan ia pun bertanya mengapa
Raden Arjuna dapat mengeluarkan ilmu kesaktian yang sama persis dengan dirinya. Raden
Arjuna menjawab bahwa ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Citraganda adalah hasil
pengajaran Bagawan Wilawuk dari Padepokan Pringcendani. Adapun Raden Arjuna
semasa muda, saat masih bernama Raden Permadi, juga pernah berguru kepada pendeta
tersebut, bahkan menikah dengan putrinya yang bernama Dewi Jimambang.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Citraganda sangat terkejut. Ia buru-buru menyembah kepada Raden Arjuna


dan memanggilnya sebagai kakak seperguruan. Prabu Gandasena gembira melihat
sayembara tanding yang diadakan putranya telah berakhir dengan hasil yang baik. Maka,
ia pun menetapkan putrinya, yaitu Dewi Gandawati sebagai istri Raden Arjuna.
Demikianlah, pada hari yang dianggap baik, Raden Arjuna pun menikah dengan Dewi
Gandawati di istana Tasikmadu. Pernikahan tersebut bagaikan mimpi, di mana Raden
Arjuna seolah-olah menikah dengan Dewi Angraeni. Namun, ia teringat pada nasihat
Endang Ulupi agar melupakan bayangan Dewi Angraeni dan menganggap Dewi Gandawati
adalah Dewi Gandawati, bukan orang lain.

Raden Citraganda.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan tentang Arjuna yang pergi berkelana meninggalkan
Indraprasta sebagai hukuman karena memergoki Yudhistira sedang berkasih-kasihan dengan
Draupadi. Dalam pengembaraannya itu, Arjuna menikah dengan Ulupi putri Naga Korawya yang
kelak melahirkan Irawan, serta menikah dengan Citranggada putri Kerajaan Manipura, yang
kelak melahirkan Babruwahana.
Dalam pewayangan Jawa, perempuan yang dinikahi Arjuna setelah Ulupi bernama Gandawati,
sedangkan Citranggada dikisahkan sebagai seorang laki-laki. Konon wajah Gandawati sangat
mirip dengan Angraeni, sehingga saya pun meletakkan lakon ini sesudah lakon Palguna –
Palgunadi. Lagipula kisah Arjuna membuang diri karena memergoki kakaknya sedang olah asmara
juga tidak terdapat dalam pewayangan.
Akan tetapi, karena nama Citranggada sendiri sudah terlanjur identik dengan adik Resi Bisma
yang mati muda, maka dalam kisah yang saya sajikan di atas, namanya saya ubah menjadi
Citraganda. Tentunya juga agar lebih selaras dengan saudarinya yang bernama Gandawati.
Mengenai hubungan Citraganda dengan Bagawan Wilawuk sebagai murid dan guru adalah kreasi
tambahkan dari saya, karena kisah ini nantinya akan menjadi dasar bagi lakon Gandawardaya –
Gandakusuma yang kelak semoga bisa saya sajikan dengan baik.
KITAB WAYANG PURWA

SUMBADRA LARUNG
Kisah ini menceritakan tentang Raden Burisrawa yang tergila-gila kepada Dewi
Sumbadra dan menyusup masuk ke dalam Kesatrian Madukara. Ulahnya membuat
Dewi Sumbadra tewas dan jasadnya pun dilarung oleh pihak Pandawa. Jasad Dewi
Sumbadra kemudian dihidupkan kembali oleh Raden Antareja yang sedang dalam
perjalanan mencari ayahnya, yaitu Arya Wrekodara.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
yang dipadukan dengan novel Sumbadra Larung karya Sunardi DM, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 Mei 2017
Heri Purwanto

Dewi Sumbadra - Raden Gatutkaca - Raden Antareja.

PRABU DURYUDANA MENGERAHKAN PARA KURAWA UNTUK MENCARI RADEN


BURISRAWA
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati
Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma selaku juru
panitisastra. Di paseban luar, para Kurawa duduk menunggu perintah, dengan Arya
Dursasana sebagai pemimpin.
Hari itu Prabu Duryudana juga menerima kedatangan adik iparnya, yaitu Raden
Rukmarata, putra bungsu Prabu Salya dari Kerajaan Mandraka. Raden Rukmarata berkata
bahwa ia diutus sang ayah untuk mencari kakak nomor empatnya, yaitu Raden Burisrawa
yang sudah setahun ini tidak pulang ke Kesatrian Madyapura. Raden Burisrawa sendiri
memang jarang menghadap ke istana Mandraka karena malu dengan wajahnya yang mirip
raksasa. Ia juga jarang pulang ke Kesatrian Madyapura dan lebih suka tinggal di hutan untuk
berlatih tanding melawan berbagai macam binatang buas. Akan tetapi, sudah setahun ini
keberadaannya tidak diketahui, yaitu sejak gagal menikah dengan Dewi Sumbadra. Baik itu
di Kesatrian Madyapura ataupun di hutan tempatnya biasa berlatih, Raden Burisrawa tidak
ditemukan di sana.
Prabu Salya yang merasa khawatir atas keselamatan putra keempatnya itu segera
mengutus Raden Rukmarata untuk pergi mencari. Raden Rukmarata pun berangkat
melaksanakan tugas. Namun, karena ia sendiri biasa hidup nyaman di dalam istana
Mandraka, perjalanan mencari Raden Burisrawa terasa sangat berat baginya. Karena tidak
tahu harus mencari ke mana, Raden Rukmarata pun pergi menghadap Prabu Duryudana
untuk meminta petunjuk, mungkin kakak iparnya itu mengetahui kabar keberadaan Raden
Burisrawa.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana menjawab dirinya terakhir melihat Raden Burisrawa adalah saat
Patih Udawa mengadakan sayembara untuk memperebutkan Niken Larasati beberapa
bulan yang lalu. Saat itu Raden Burisrawa sedang patah hati karena gagal menikah dengan
Dewi Sumbadra. Ia pun luntang-lantung di jalanan dan menderita sakit jiwa. Hingga akhirnya
para Kurawa menemukannya pingsan di tepi hutan dan segera dibawa pulang ke Kerajaan
Hastina.
Atas usul Prabu Baladewa kala itu, Raden Burisrawa harus dinikahkan dengan Niken
Larasati, adik Patih Udawa agar bisa segera melupakan Dewi Sumbadra yang sudah
diperistri Raden Arjuna. Namun, rencana tersebut gagal karena Prabu Baladewa tidak dapat
memenangkan sayembara tanding melawan Patih Udawa. Justru sayembara di Desa
Widarakandang itu akhirnya dimenangkan oleh Dewi Sumbadra sendiri, dan Niken Larasati
pun diserahkan kepada Raden Arjuna. Karena dua kali menderita kegagalan, Raden
Burisrawa semakin parah keadaannya dan ia pun memilih kabur meninggalkan Kerajaan
Hastina. Prabu Duryudana mengira adik iparnya itu pulang ke Kesatrian Madyapura,
sehingga tidak memerintahkan orang untuk menyusul.
Raden Rukmarata menjelaskan bahwa Raden Burisrawa sudah setahun ini tidak
pernah pulang ke Kesatrian Madyapura, apalagi ke istana Mandraka. Itulah sebabnya ia
datang ke Kerajaan Hastina untuk meminta bantuan Prabu Duryudana mengatasi masalah
ini. Prabu Duryudana menyanggupi permintaan adik iparnya tersebut. Ia sendiri merasa
bersalah karena sudah dua kali gagal membantu Raden Burisrawa menikah.
Karena kesepakatan sudah diambil, Prabu Duryudana pun meminta Adipati Karna dan
Patih Sangkuni beserta para Kurawa untuk berangkat mencari Raden Burisrawa. Setelah
dianggap cukup, ia lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.

KISAH RADEN ANTAREJA PUTRA DEWI NAGAGINI


Di lain tempat, yaitu di Kahyangan Saptapratala, Batara Anantaboga sedang dihadap
Dewi Nagagini (putrinya) dan juga Raden Antareja (cucunya). Hari itu Raden Antareja
mendesak ibunya agar mengatakan siapakah ayah kandungnya. Selama ini Dewi Nagagini
memang tidak pernah bercerita dan kini ia tidak tahan lagi karena terus-menerus didesak.
Maka, Dewi Nagagini pun mengajak Raden Antareja untuk meminta petunjuk kepada Batara
Anantaboga.
Batara Anantaboga bertanya mengapa Raden Antareja ingin mengetahui ayah
kandungnya, dan apa yang akan ia lakukan setelah tahu. Raden Antareja menjawab sudah
sewajarnya seorang anak ingin mengetahui siapa orang yang telah mengukir jiwa raganya.
Jika sudah tahu siapa orangnya, sudah tentu Raden Antareja akan datang dan menyembah
kepadanya.
Batara Anantaboga berkata untuk apa Raden Antareja ingin mencari ayahnya jika
memang orang itu sama sekali tidak pernah memikirkan dirinya. Bukankah lebih baik Raden
Antareja tinggal nyaman di istana Jangkarbumi yang dulu ia dapatkan setelah mengalahkan
Prabu Nagabaginda? Batara Anantaboga pun mengingatkan bahwa waktu itu Raden
Antareja masih bayi saat Prabu Nagabaginda datang menyerang Kahyangan Saptapratala
untuk merebut Dewi Nagagini. Batara Anantaboga lalu menggendong bayi Raden Antareja
dan melumuri sekujur tubuh cucunya itu dengan air liur. Sungguh ajaib, Raden Antareja
tiba-tiba tumbuh menjadi dewasa dan dengan gagah berani menumpas Prabu Nagabaginda
beserta seluruh pasukannya. Istana milik Prabu Nagabaginda yang bernama Jangkarbumi
pun kosong dan sejak saat itu menjadi tempat tinggal Raden Antareja.
Raden Antareja tidak pernah melupakan peristiwa itu. Ia merasa senang telah memiliki
istana sendiri di Jangkarbumi, namun tetap saja siang malam selalu merindukan kasih
KITAB WAYANG PURWA

sayang seorang ayah. Hari ini ia tidak tahan lagi dan mendesak ibunya supaya menjelaskan
siapa ayah kandungnya dan di mana keberadaannya.
Dewi Nagagini sebenarnya takut jika Raden Antareja mengetahui tentang ayahnya,
sehingga putranya itu akan pergi dan tidak kembali lagi ke Kahyangan Saptapratala ataupun
istana Jangkarbumi. Raden Antareja berkata dirinya tidak mungkin seperti itu. Meskipun ia
sudah mengetahui siapa ayah kandungnya, ia akan tetap pulang untuk menemui ibu dan
kakeknya di kahyangan.
Batara Anantaboga merasa memang sudah waktunya Raden Antareja mengetahui
soal ini. Ia pun bercerita bahwa ayah kandung dari cucunya itu adalah Raden Bratasena
yang tinggal di Kesatrian Jodipati. Mungkin karena kesibukannya sebagai sentana Kerajaan
Amarta, membuat Raden Bratasena tidak sempat lagi berkunjung ke Kahyangan
Saptapratala. Dewi Nagagini membenarkan hal itu. Selama ini ia tidak pernah merasa
kesepian meskipun tidak pernah ditengok Raden Bratasena, karena ia menyadari suaminya
itu adalah milik negara, bukan miliknya secara pribadi.
Raden Antareja terkesan mendengar kisah tentang ayahnya. Ia pun mohon restu
kepada kakek dan ibunya untuk berangkat menemui sang ayah di Kesatrian Jodipati.
Setelah bertemu, ia pasti akan kembali lagi ke Kahyangan Saptapratala dan Kesatrian
Jangkarbumi. Batara Anantaboga merestui namun tidak tega melepaskan sang cucu begitu
saja. Ia lalu memberikan tiga jenis pusaka kepada Raden Antareja. Pusaka yang pertama
adalah selongsong sisik naga milik Batara Anantaboga. Dulu saat berganti kulit, Batara
Anantaboga tidak membuang kulit bekasnya begitu saja, tetapi membentuknya menjadi
semacam baju rompi. Baju rompi itu kini diberikan kepada Raden Antareja dan seolah
menyatu dengan kulit cucunya itu. Dari kejauhan, Raden Antareja akan terlihat seperti
seorang pemuda yang kulitnya bersisik naga. Keistimewaan pusaka rompi sisik naga ini
dapat membuat Raden Antareja kebal terhadap segala macam jenis senjata.
Pusaka yang kedua adalah berupa mantra ilmu kesaktian bernama Aji Kawastrawam.
Dengan menggunakan ilmu ini, Raden Antareja dapat mengubah wujudnya menjadi apa
saja yang ia kehendaki. Adapun pusaka yang ketiga adalah cupu berisi air kehidupan Tirta
Mustikabumi. Khasiat dari air ini dapat menyembuhkan luka dan juga menghidupkan orang
mati yang belum tiba ajalnya. Batara Anantaboga yakin ketiga pusaka yang ia berikan pasti
bermanfaat bagi cucunya yang masih miskin pengalaman itu.
Raden Antareja sangat berterima kasih atas semua pusaka pemberian sang kakek. Ia
lalu mohon restu kepada Batara Anantaboga dan Dewi Nagagini, juga kepada sang nenek,
yaitu Dewi Supreti, kemudian berangkat menuju Kerajaan Amarta.

Batara Anantaboga.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN ANTAREJA TERLIBAT BENTROK DENGAN PARA KURAWA


Raden Antareja yang sudah naik ke daratan segera mencari jalan menuju Kerajaan
Amarta. Namun, ia masih bingung tidak tahu arah ke mana yang harus dituju. Tidak lama
kemudian ia melihat rombongan para Kurawa dari Kerajaan Hastina yang sedang dalam
perjalanan mencari Raden Burisrawa. Yang paling depan dari rombongan tersebut adalah
Raden Kartawarma dan Bambang Aswatama. Mereka memandang dengan jijik wujud
Raden Antareja yang gagah dan tampan tetapi kulitnya bersisik seperti ular. Mereka pun
bertanya dengan nada kasar kepada Raden Antareja apakah pernah melihat orang dengan
ciri-ciri Raden Burisrawa.
Raden Antareja menjawab tidak tahu dan ia balik bertanya apakah Raden Kartawarma
dan Bambang Aswatama mengetahui jalan menuju Kerajaan Amarta, karena ia ingin
menghadap ayahnya yang bernama Raden Bratasena. Mengetahui bahwa Raden Antareja
adalah putra Raden Bratasena, seketika Raden Kartawarma menjadi geram dan
menyerangnya. Sudah sejak kecil para Kurawa sering kalah berkelahi melawan Pandawa
nomor dua tersebut, dan kini Raden Kartawarma berniat melampiaskan dendamnya kepada
Raden Antareja. Karena diserang mendadak, Raden Antareja pun membela diri dan segera
terlibat pertempuran melawan Raden Kartawarma dan Bambang Aswatama.
Meskipun masih muda, Raden Antareja memiliki kesaktian tinggi, bahkan pernah
menumpas Prabu Nagabaginda raja Jangkarbumi beserta seluruh pasukannya. Dengan
cekatan ia mampu memukul mundur Raden Kartawarma dan Bambang Aswatama. Melihat
kedua rekannya dikalahkan seorang pemuda bersisik, Arya Dursasana, Raden Durjaya,
Raden Durmuka, Raden Srutayu, Raden Durmagati, Raden Citraksa, Raden Citraksi, dan
juga Adipati Jayadrata pun maju membantu. Namun, mereka semua tidak ada yang mampu
mengalahkan Raden Antareja. Tidak ada satu pun senjata mereka yang dapat menembus
rompi sisik naga yang dikenakan pemuda tersebut. Selain itu, Raden Antareja juga mampu
amblas ke dalam tanah dan muncul lagi di tempat lain untuk mempermainkan para Kurawa.
Melihat para Kurawa dibuat kocar-kacir oleh seorang pemuda, Adipati Karna segera
maju menghadapi. Kali ini Raden Antareja menemukan lawan yang tangguh. Adipati Karna
sendiri merasa dirinya tidak mungkin menang jika bertarung mengandalkan kekuatan, maka
ia pun melepaskan panah yang sudah diberi mantra. Panah tersebut mengeluarkan angin
kencang yang membuat tubuh Raden Antareja terlempar jauh entah ke mana.

Adipati Karna.

RADEN BURISRAWA MENYUSUP KE DALAM KESATRIAN MADUKARA


Sementara itu, Raden Burisrawa yang dicari-cari para Kurawa ternyata telah berada
di luar tembok Kesatrian Madukara. Sejak gagal menikah dengan Niken Larasati, ia memilih
KITAB WAYANG PURWA

kabur dari Kerajaan Hastina dan kembali menderita sakit asmara terkenang Dewi
Sumbadra. Akhirnya, ia pun tersesat masuk ke dalam Hutan Krendawahana dan menjadi
pengikut Batari Durga.
Kini Raden Burisrawa mendapat tambahan kesaktian dari Batari Durga dan ia mampu
memasuki Kesatrian Madukara tanpa ketahuan. Saat itu Raden Arjuna masih berada di
Kerajaan Tasikmadu, sedangkan keempat istri padminya berada di dalam Kesatrian
Madukara. Raden Burisrawa melihat Dewi Sumbadra duduk sendiri di Taman Maduganda,
Dewi Srikandi sedang melatih para prajurit wanita, Dewi Sulastri sedang mengasuh Raden
Angkawijaya, sedangkan Niken Larasati memimpin para abdi memasak di dapur seperti
biasa.
Merasa ada kesempatan, Raden Burisrawa segera masuk ke Taman Maduganda
mendekati Dewi Sumbadra. Ia segera mengungkapkan isi hatinya yang masih memendam
cinta meskipun sudah setahun ini Dewi Sumbadra resmi menikah dengan Raden Arjuna.
Dewi Sumbadra terkejut dan meminta Raden Burisrawa keluar dari kesatrian. Namun,
Raden Burisrawa justru semakin gencar merayu dan ingin mengajak Dewi Sumbadra lari
bersamanya. Dewi Sumbadra menolak dan hendak pergi ke tempat Dewi Srikandi berlatih.
Namun, Raden Burisrawa segera menghadang sambil menakut-nakuti wanita itu
menggunakan sebilah keris di tangan. Ia mengancam hendak menggores wajah Dewi
Sumbadra agar Raden Arjuna tidak suka lagi dan menceraikannya. Dewi Sumbadra merasa
terdesak dan memilih lebih baik mati daripada wajahnya dirusak. Ia pun maju menerjang
keris di tangan Raden Burisrawa tersebut.
Demikianlah, semuanya terjadi begitu cepat. Dewi Sumbadra meninggal dunia
seketika karena menabrak keris yang dipegang Raden Burisrawa. Raden Burisrawa sendiri
tidak menyangka wanita yang dicintainya itu ternyata sedemikian nekat.

Raden Burisrawa

RADEN BURISRAWA MELARIKAN DIRI DARI KESATRIAN MADUKARA


Tidak lama kemudian Dewi Srikandi datang karena mendengar suara jeritan Dewi
Sumbadra. Raden Burisrawa segera bersembunyi di balik pepohonan taman. Dewi Srikandi
menjerit sedih bercampur marah melihat Dewi Sumbadra telah tergeletak tak bernyawa. Ia
pun mencari si pembunuh ke segala penjuru tetapi tidak menemukan. Sambil memasang
panah pada busur, Dewi Srikandi bersiap membidik jika sampai si pelaku ditemukan.
Raden Burisrawa tanpa sengaja menginjak ranting kering, membuat Dewi Srikandi
curiga dan bertanya itu siapa. Raden Burisrawa dari persembunyian menjawab bahwa
dirinya Raden Arjuna. Dewi Srikandi berkata mengapa suaranya mirip Patih Sucitra. Raden
KITAB WAYANG PURWA

Burisrawa pun menjawab bahwa dirinya memang Patih Sucitra. Dewi Srikandi berkata lagi
mengapa suaranya lebih mirip Patih Surata. Raden Burisrawa menjawab dirinya adalah
Patih Surata, bukan Patih Sucitra. Dewi Srikandi semakin curiga dan berkata mengapa
suaranya mirip Raden Gatutkaca. Raden Burisrawa segera meralat bahwa dirinya memang
Raden Gatutkaca. Pada saat itulah Dewi Srikandi maju menerjang dan melepaskan panah
ke arah suara Raden Burisrawa. Namun, Raden Burisrawa lebih dulu menghindar. Ia
sempat mengeluarkan Aji Panglimunan seperti yang diajarkan Batari Durga, sehingga
tubuhnya tidak dapat terlihat oleh Dewi Srikandi.

RADEN BURISRAWA MELARIKAN DIRI DARI KESATRIAN MADUKARA


Tidak lama kemudian Dewi Srikandi datang karena mendengar suara jeritan Dewi
Sumbadra. Raden Burisrawa segera bersembunyi di balik pepohonan taman. Dewi Srikandi
menjerit sedih bercampur marah melihat Dewi Sumbadra telah tergeletak tak bernyawa. Ia
pun mencari si pembunuh ke segala penjuru tetapi tidak menemukan. Sambil memasang
panah pada busur, Dewi Srikandi bersiap membidik jika sampai si pelaku ditemukan.
Raden Burisrawa tanpa sengaja menginjak ranting kering, membuat Dewi Srikandi
curiga dan bertanya itu siapa. Raden Burisrawa dari persembunyian menjawab bahwa
dirinya Raden Arjuna. Dewi Srikandi berkata mengapa suaranya mirip Patih Sucitra. Raden
Burisrawa pun menjawab bahwa dirinya memang Patih Sucitra. Dewi Srikandi berkata lagi
mengapa suaranya lebih mirip Patih Surata. Raden Burisrawa menjawab dirinya adalah
Patih Surata, bukan Patih Sucitra. Dewi Srikandi semakin curiga dan berkata mengapa
suaranya mirip Raden Gatutkaca. Raden Burisrawa segera meralat bahwa dirinya memang
Raden Gatutkaca. Pada saat itulah Dewi Srikandi maju menerjang dan melepaskan panah
ke arah suara Raden Burisrawa. Namun, Raden Burisrawa lebih dulu menghindar. Ia
sempat mengeluarkan Aji Panglimunan seperti yang diajarkan Batari Durga, sehingga
tubuhnya tidak dapat terlihat oleh Dewi Srikandi.

Dewi Srikandi.

RADEN ARJUNA PULANG KE KESATRIAN MADUKARA


Sementara itu, Raden Arjuna sedang dalam perjalanan pulang dari Kerajaan
Tasikmadu, setelah ia tinggal di sana selama tiga bulan bersama istri barunya, yaitu Dewi
Gandawati. Setelah Dewi Gandawati mengandung, barulah Raden Arjuna mohon pamit
kembali ke Kesatrian Madukara.
Sepanjang perjalanan, Raden Arjuna merasa hatinya waswas seperti ada peristiwa
buruk yang sedang terjadi. Para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong
berusaha menghibur, namun Raden Arjuna tetap saja gelisah. Entah mengapa ia ingin
KITAB WAYANG PURWA

menangis tanpa sebab. Karena semakin gelisah, Raden Arjuna pun mengajak para
panakawan mempercepat langkah.
Sesampainya di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna sangat terkejut menyaksikan istri
padmi pertamanya, yaitu Dewi Sumbadra telah meninggal dunia dan menjadi layatan
banyak orang. Keempat Pandawa lainnya telah berkumpul dengan pakaian berkabung,
begitu pula kedua kakak iparnya, yaitu Prabu Kresna dari Dwarawati dan Prabu Baladewa
dari Mandura. Prabu Baladewa yang biasanya galak dan pemarah, hari itu menangis
meraung-raung, sedangkan Prabu Kresna tampak lebih tenang.
Dewi Srikandi melapor kepada sang suami, bahwa Dewi Sumbadra meninggal karena
dibunuh orang tak dikenal. Para Pandawa tidak berani melakukan upacara pemakaman
sebelum Raden Arjuna tiba. Mendengar itu, Raden Arjuna gugup dan segera meminta
bantuan Prabu Kresna untuk menghidupkan kembali Dewi Sumbadra menggunakan
Kembang Wijayakusuma.
Prabu Kresna menjawab Kembang Wijayakusuma tidak mampu menghidupkan orang
mati yang benar-benar sudah ajal. Namun, karena Raden Arjuna mendesak, terpaksa Prabu
Kresna mengeluarkan bunga ajaib tersebut dan melewatkannya di atas jasad Dewi
Sumbadra. Namun demikian, ia sengaja tidak membaca mantra karena memiliki rencana
lain.

Raden Arjuna.

JASAD DEWI SUMBADRA DILARUNG DI SUNGAI JAMUNA


Melihat Kembang Wijayakusuma tidak mampu menghidupkan kembali Dewi
Sumbadra (karena Prabu Kresna memang tidak membaca mantra), seketika tubuh Raden
Arjuna lemas lunglai kehilangan daya. Si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa segera
memapah kakak mereka tersebut. Namun, Raden Arjuna berusaha tegar menguasai diri.
Bagaimanapun juga, istrinya yang meninggal harus segera dimakamkan.
Prabu Kresna mencegah dengan alasan tadi malam ia mimpi bertemu roh Dewi
Sumbadra. Ia berkata bahwa Dewi Sumbadra berpesan agar jasadnya jangan dimakamkan,
tetapi meminta dilarung saja di sungai hingga terbawa arus dan bersatu dengan samudera
luas.
Raden Arjuna semakin sedih mendengarnya. Namun, karena sang istri sudah
berwasiat demikian, ia pun harus mewujudkannya. Raden Arjuna lalu meminta tukang kayu
untuk membuatkan perahu yang indah sebagai wahana bagi jasad istrinya menuju lautan.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah perahu siap, Raden Arjuna memimpin upacara pelepasan jasad Dewi
Sumbadra. Dengan berlinang air mata, ia mendorong perahu indah tersebut hingga terbawa
arus di Sungai Jamuna.
Ketika upacara berlangsung, Prabu Kresna diam-diam berbisik kepada Raden
Gatutkaca untuk mengawasi perahu yang berisi jasad Dewi Sumbadra itu dari angkasa.
Prabu Kresna berkata bahwa dirinya berbohong telah mimpi bertemu roh Dewi Sumbadra.
Ia sengaja melarung jasad adiknya dengan tujuan untuk menangkap si pelaku pembunuhan.
Raden Gatutkaca paham maksud Prabu Kresna dan segera melesat terbang ke angkasa
untuk mengawal jasad sang bibi.

Dewi Sumbadra.

RADEN ANTAREJA MENEMUKAN PERAHU DEWI SUMBADRA


Sementara itu, Raden Antareja yang terlempar oleh panah sakti Adipati Karna jatuh di
tepi Sungai Jamuna. Setelah sadar dari pingsan, ia melihat ada perahu indah mengambang
dengan penumpang seorang wanita cantik sedang tidur. Karena penasaran, Raden
Antareja segera terjun ke sungai dan berenang mendekati perahu tersebut. Setelah dekat,
ia baru sadar ternyata perempuan itu tidak tidur, melainkan sudah meninggal. Tiba-tiba hati
nuraninya tergerak dan ia pun memercikkan air ajaib Tirta Mustikabumi ke jasad Dewi
Sumbadra tersebut.
Tiba-tiba dari angkasa meluncur turun Raden Gatutkaca menyambar tubuh Raden
Antareja dan membawanya terbang ke udara. Raden Antareja berontak dan jatuh ke tanah.
Ia lalu bertanya mengapa dirinya diserang tiba-tiba. Raden Gatutkaca menjawab ia sedang
menjalankan tugas untuk menangkap pelaku pembunuhan bibinya. Raden Antareja tidak
tahu-menahu dan segera membela diri. Kedua pemuda itu pun bertarung. Mereka sama-
sama gagah, sama-sama kuat, dan sama-sama sakti. Yang satu bisa terbang di angkasa,
yang satu lagi bisa amblas ke dalam bumi. Kadang-kadang Raden Gatutkaca memainkan
tubuh Raden Antareja di udara, kadang-kadang Raden Antareja yang menarik tubuh Raden
Gatutkaca masuk ke dalam tanah.
Pada saat itulah tiba-tiba Dewi Sumbadra datang melerai mereka. Raden Gatutkaca
terkejut bercampur gembira melihat bibinya hidup kembali. Raden Antareja berkata bahwa
Dewi Sumbadra hidup kembali karena Tirta Mustikabumi pemberian Batara Anantaboga
yang telah dipercikkan ke tubuhnya.

RADEN ANTAREJA BERTEMU SAUDARANYA


Dewi Sumbadra berterima kasih atas bantuan Raden Antareja dan bertanya mengapa
ia dan Raden Gatutkaca berkelahi. Raden Gatutkaca menjawab dirinya mendapat tugas
KITAB WAYANG PURWA

dari Prabu Kresna untuk menangkap pelaku pembunuhan sang bibi. Karena gerak-gerik
Raden Antareja mencurigakan, maka Raden Gatutkaca pun berniat menangkapnya untuk
dihadapkan kepada Prabu Kresna.
Dewi Sumbadra menjawab bahwa dirinya mati karena didesak Raden Burisrawa, jadi
bukan Raden Antareja pelakunya. Raden Gatutkaca segera meminta maaf dan berterima
kasih atas bantuan Raden Antareja kepada bibinya. Raden Antareja sendiri menjawab
bahwa ini semua sudah takdir karena seakan-akan hati nuraninya berbisik menyuruh agar
ia mencebur ke sungai dan menghidupkan kembali jasad Dewi Sumbadra.
Dewi Sumbadra lalu bertanya tentang asal usul Raden Antareja, mengapa bisa
memiliki air ajaib pemberian Batara Anantaboga. Raden Antareja menjawab bahwa dirinya
adalah cucu Batara Anantaboga, atau putra Dewi Nagagini. Perjalanannya kali ini adalah
ingin menemui ayah kandungnya yang bernama Raden Bratasena.
Dewi Sumbadra berkata bahwa Raden Bratasena adalah nama Arya Wrekodara
semasa muda, sedangkan Arya Wrekodara adalah ayah dari Raden Gatutkaca. Dengan
kata lain, Raden Antareja dan Raden Gatutkaca adalah saudara sendiri, yaitu satu ayah lain
ibu.
Raden Gatutkaca sangat gembira mendengarnya dan segera menyembah memberi
hormat kepada Raden Antareja yang dipanggilnya sebagai kakak. Raden Antareja merasa
salah tingkah. Dewi Sumbadra menjelaskan bahwa memang sudah sepantasnya Raden
Gatutkaca menjadi adik Raden Antareja, karena ibunya, yaitu Dewi Arimbi pun memanggil
kakak kepada Dewi Nagagini.
Raden Antareja tidak ragu lagi. Ia pun memeluk Raden Gatutkaca dan memanggilnya
sebagai adik. Dewi Sumbadra lalu mengajak kedua keponakannya itu pulang ke Kesatrian
Madukara. Namun, Raden Gatutkaca menolak karena ia masih mengemban tugas dari
Prabu Kresna untuk menangkap pelaku pembunuhan sang bibi.

RADEN ANTAREJA MENJEBAK RADEN BURISRAWA


Raden Antareja mendapat akal untuk menjebak Raden Burisrawa. Ia mengerahkan Aji
Kawastrawam dan mengubah wujudnya menjadi mirip Dewi Sumbadra. Ia lalu naik perahu
dan menyanyi menembangkan lagu-lagu dengan suara merdu. Sementara itu, Dewi
Sumbadra yang asli bersama Raden Gatutkaca mengintai di balik pepohonan.
Raden Burisrawa yang merasa bersalah atas kematian Dewi Sumbadra saat itu
sedang duduk termenung di dalam hutan. Tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian Dewi
Sumbadra dari arah Sungai Jamuna. Ia segera berlari mendekat dan melihat Dewi
Sumbadra sedang menyanyi di atas perahu. Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat ke
sungai dan naik ke atas perahu tersebut.
Dewi Sumbadra palsu menyambut Raden Burisrawa dengan ramah. Raden Burisrawa
meminta maaf atas ulahnya tempo hari dan kini ia senang karena Dewi Sumbadra ternyata
masih hidup. Dewi Sumbadra palsu itu berkata bahwa para Pandawa mengira ia sudah mati
dan melarung jasadnya di sungai. Namun entah mengapa, tiba-tiba ia hidup lagi.
Raden Burisrawa berkata Dewi Sumbadra tidak perlu kembali ke Kerajaan Amarta
karena orang-orang di sana mengiranya sudah mati. Akan lebih baik jika Dewi Sumbadra
ikut dengannya ke Kesatrian Madyapura. Dewi Sumbadra menjawab bersedia, tetapi ia
tidak suka melihat penampilan Raden Burisrawa yang acak-acakan seperti orang gila. Ia
lebih dulu ingin mendandani Raden Burisrawa sebelum diboyong ke Kesatrian Madyapura.
Raden Burisrawa yang sudah mabuk kepayang menyatakan patuh tanpa membantah.
Ia lalu duduk di hadapan Dewi Sumbadra. Dewi Sumbadra palsu itu pun merapikan
KITAB WAYANG PURWA

rambutnya. Pada saat Raden Burisrawa lengah, Dewi Sumbadra palsu tiba-tiba menampar
pipinya. Raden Burisrawa kaget dan bertanya mengapa ia ditampar. Dewi Sumbadra palsu
menjawab ada nyamuk besar hinggap di pipi Raden Burisrawa. Tidak lama kemudian Dewi
Sumbadra pun memukul kepala Raden Burisrawa. Raden Burisrawa terkejut dan bertanya
mengapa dipukul. Dewi Sumbadra palsu pun menjawab di kepala Raden Burisrawa ada
serangga bersarang.
Demikianlah, berkali-kali Raden Burisrawa dipukul oleh Dewi Sumbadra palsu. Lama-
lama ia merasa curiga mengapa tangan Dewi Sumbadra berat dan mantap. Ketika menoleh
ternyata Dewi Sumbadra palsu sudah kembali ke wujud Raden Antareja. Raden Burisrawa
terkejut dan sebelum ia menyadari, Raden Antareja sudah menghajarnya.
Raden Burisrawa berusaha kabur meninggalkan perahu, namun ia disambar Raden
Gatutkaca dari angkasa dan dijatuhkan di tanah. Raden Gatutkaca ganti menghajarnya,
kemudian melemparkan tubuh Raden Burisrawa ke arah sang kakak. Raden Antareja
menangkap Raden Burisrawa dan memukulinya. Setelah puas, ia melemparkan tubuh pria
itu ke arah Raden Gatutkaca. Kedua kakak beradik itu pun bergantian menghajar Raden
Burisrawa hingga babak belur.

Raden Antareja muda.

RADEN ARJUNA GEMBIRA MENGETAHUI ISTRINYA HIDUP KEMBALI


Tidak lama kemudian Prabu Kresna datang bersama Prabu Baladewa, Raden Arjuna,
dan Arya Wrekodara. Mereka terkejut melihat Raden Burisrawa dihajar kiri-kanan oleh
Raden Gatutkaca dan seorang pemuda berkulit sisik. Yang lebih mengherankan lagi,
ternyata Dewi Sumbadra masih hidup dan menyambut kedatangan mereka.
Prabu Baladewa marah-marah bercampur gembira. Ia marah karena adik iparnya
dihajar dua pemuda, dan gembira karena Dewi Sumbadra hidup kembali. Raden Arjuna pun
memeluk istrinya dan merasa sangat bahagia. Prabu Kresna sendiri heran mengapa Dewi
Sumbadra bisa hidup kembali padahal dirinya datang dengan niat hendak menghidupkan
adiknya itu menggunakan Kembang Wijayakusuma.
Rupanya Prabu Kresna telah membuka rahasia bahwa tadi ia hanya pura-pura tidak
bisa menghidupkan Dewi Sumbadra. Ia berkata bahwa dirinya sengaja melarung Dewi
Sumbadra untuk menjebak pelaku pembunuhan muncul menampakkan diri. Merasa sudah
tiba waktunya, ia pun berangkat menyusul bersama Prabu Baladewa dan kedua Pandawa.
Ternyata sudah ada orang lain yang menghidupkan Dewi Sumbadra.
Dewi Sumbadra pun menjelaskan bahwa Raden Burisrawa adalah orang yang
mengganggunya hingga ia terpaksa kehilangan nyawa. Adapun orang yang telah
KITAB WAYANG PURWA

menghidupkan dirinya adalah si pemuda bersisik yang bernama Raden Antareja, yaitu putra
Arya Wrekodara sendiri yang lahir dari Dewi Nagagini.
Arya Wrekodara sangat senang melihat Raden Antareja. Tadinya ia mengira hanya
memiliki satu orang putra saja, yaitu Raden Gatutkaca. Tak disangka, ternyata Dewi
Nagagini juga melahirkan anak laki-laki untuknya. Begitu mendapat penjelasan dari Dewi
Sumbadra, Raden Antareja langsung menyembah Arya Wrekodara. Keduanya pun saling
berpelukan melepas rindu.

ADIPATI KARNA MEMINTAKAN MAAF UNTUK RADEN BURISRAWA


Tidak lama kemudian datanglah para Kurawa mengamuk menuntut Raden Burisrawa
dibebaskan. Arya Wrekodara marah dan menerjang mereka untuk melampiaskan
kekesalan. Terjadilah pertempuran di mana para Kurawa berhamburan terkena pukulan dan
tendangan Arya Wrekodara.
Adipati Karna maju dan mengajak Arya Wrekodara bicara baik-baik. Sebagai saudara
tua para Pandawa, ia meminta agar Raden Burisrawa diserahkan kepadanya. Arya
Wrekodara menceritakan semuanya, yaitu Raden Burisrawa telah membunuh Dewi
Sumbadra. Untungnya ajal Dewi Sumbadra belum tiba, sehingga masih dapat dihidupkan
kembali oleh putra sulungnya yang baru datang.
Adipati Karna segera menemui Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra untuk memintakan
maaf atas kesalahan Raden Burisrawa. Raden Arjuna saat ini sedang berbahagia karena
istrinya hidup kembali sehingga langsung memaafkan Raden Burisrawa tanpa berpikir
panjang. Dewi Sumbadra juga memberikan maaf tetapi dengan syarat Raden Burisrawa
tidak boleh mengganggunya lagi. Prabu Baladewa yang dulu pernah mendukung Raden
Burisrawa juga meminta hal yang sama. Jika sampai terdengar berita bahwa Dewi
Sumbadra diganggu lagi, maka ia sendiri yang akan menghajar Raden Burisrawa.
Adipati Karna berterima kasih lalu membawa Raden Burisrawa yang sudah babak
belur pulang bersama para Kurawa. Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Kresna pun
mengajak Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra pulang ke Kesatrian Madukara untuk
mengadakan syukuran. Demikian pula Arya Wrekodara mengajak Raden Antareja bersama
Raden Gatutkaca ikut serta ke Kesatrian Jodipati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Sumbadra Larung ini dikenal pula dengan judul Antasena Takon Bapa. Adapun Antasena
menurut pakem pewayangan Surakarta adalah nama Raden Antareja semasa muda. Wujud
wayangnya memakai lungsen grudan dengan rambut urai. Seiring waktu, pakem Surakarta terkena
pengaruh pakem Yogyakarta, di mana tokoh Antasena dan Antareja kemudian dikisahkan sebagai
dua orang yang berbeda.
Dalam hal ini, blog saya mengikuti pakem pewayangan populer, di mana kelak cerita Antasena
Takon Bapa akan saya munculkan dalam lakon tersendiri, dan tokohnya pun berbeda dengan
Raden Antareja. Itulah sebabnya dalam kisah di atas, Raden Antareja sejak awal sudah memakai
nama Antareja, karena tokoh Antasena kelak ada sendiri. Namun demikian, saya tetap
menampilkan ilustrasi Antareja berambut urai, yang mana Antareja berambut gelung kelak akan
saya tampilkan di lakon selanjutnya.
KITAB WAYANG PURWA

IRAWAN LAHIR
Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Bambang Irawan, yaitu putra Raden Arjuna
dengan Dewi Ulupi. Juga dikisahkan awal mula Raden Antareja menggelung rambut
dan menjadi murid Resi Jayawilapa.
Kisah ini saya olah dari sumber rangkuman balungan Pakem Ringgit Purwa koleksi
Museum Sonobudoyo, dengan disertai pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 Mei 2017
Heri Purwanto

Bambang Irawan kelak setelah dewasa.

PARA PANDAWA HENDAK MENGHADIRI UPACARA SIRAMAN DEWI ULUPI


Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap para adik, yaitu Arya Wrekodara
kesatria Jodipati, si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih
Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca. Hadir pula dalam pertemuan itu Prabu Kresna
Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati yang datang berkunjung bersama Arya Setyaki.
Hari itu Prabu Puntadewa membicarakan tentang adik nomor tiga, yaitu Raden Arjuna
yang telah pergi ke Padepokan Yasarata untuk menjenguk istrinya yang bernama Dewi
Ulupi, putri Resi Jayawilapa. Menurut keterangan Raden Arjuna, usia kandungan Dewi Ulupi
telah mencapai tujuh bulan, sehingga tiba waktunya untuk mengadakan upacara siraman
baginya.
Dalam kesempatan itu, Raden Sadewa mohon izin ikut bicara bahwa ia mendapat
firasat kelak bayi yang dilahirkan Dewi Ulupi akan tumbuh menjadi kesatria yang namanya
dikenang sepanjang masa. Prabu Kresna tertarik mendengarnya. Ia pun mendapat firasat
yang sama sehingga sengaja datang ke Kerajaan Amarta untuk mengajak Prabu
Puntadewa ikut menghadiri upacara siraman Dewi Ulupi tersebut. Prabu Puntadewa
menyatakan bersedia. Mereka lalu berangkat bersama-sama dengan didampingi Arya
Wrekodara, Arya Setyaki, dan Raden Gatutkaca, sedangkan si kembar Raden Nakula dan
Raden Sadewa tetap tinggal di istana menjaga kerajaan bersama Patih Tambakganggeng.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa.

PRABU NILAWARNA JATUH CINTA KEPADA DEWI ULUPI


Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Nilawarna dari Kerajaan Parangsotya. Raja
ini masih muda dan tampan namun belum memiliki istri. Pada suatu malam ia mimpi
bertemu perempuan cantik berpenampilan sederhana, bernama Dewi Ulupi dari Padepokan
Yasarata. Prabu Nilawarna pun jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadikan perempuan itu
sebagai permaisuri.
Begitu terbangun dari tidur, Prabu Nilawarna segera memanggil abdi panakawan, yaitu
Kyai Togog dan Bilung Sarahita. Kepada mereka berdua, ia bercerita tentang mimpi tadi
malam dan menyatakan ingin menikahi gadis bernama Dewi Ulupi tersebut. Meskipun
seorang gadis desa yang sederhana, namun Dewi Ulupi memiliki kecantikan istimewa yang
tidak kalah jika dibandingkan dengan putri raja yang tinggal di istana.
Kyai Togog yang berwawasan luas mengatakan bahwa Dewi Ulupi sudah bukan gadis
lagi, karena telah menjadi istri Raden Arjuna, kesatria Panengah Pandawa. Bahkan,
perempuan itu kini telah mengandung dan tiba waktunya untuk mengadakan upacara
siraman baginya. Kyai Togog dan Bilung menyarankan agar Prabu Nilawarna mencari
perempuan lain saja apabila hendak dijadikan sebagai permaisuri, karena mengganggu istri
Raden Arjuna sama artinya dengan mencari mati. Kyai Togog lalu menceritakan tentang
sepak terjang Raden Arjuna dan juga saudara-saudaranya, yang mana mereka disebut
Pandawa Lima.
Prabu Nilawarna tidak percaya pada cerita Kyai Togog. Ia tetap saja nekat ingin
merebut Dewi Ulupi dan membawanya tinggal di Kerajaan Parangsotya. Ia lalu
memerintahkan Patih Kalabandoga untuk berangkat menyerang Padepokan Yasarata
dengan membawa pasukan secukupnya.

Prabu Nilawarna.
KITAB WAYANG PURWA

PATIH KALABANDOGA BENTROK DENGAN ROMBONGAN DARI AMARTA


Patih Kalabandoga dan pasukan Parangsotya telah berangkat menuju Padepokan
Yasarata. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan Amarta.
Arya Setyaki yang berada di ujung barisan bertanya ada keperluan apa mereka
menanyakan jalan menuju Yasarata. Patih Kalabandoga menjawab dengan lugas bahwa
dirinya hendak merebut Dewi Ulupi. Mendengar rencana jahat itu, Arya Setyaki segera
mengerahkan pasukan Amarta untuk menggempur mereka.
Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Parangsotya kocar-kacir digempur pasukan
Amarta. Patih Kalabandoga dapat meloloskan diri. Ia tidak berani pulang ke rajanya karena
takut mendapatkan hukuman. Maka, ia pun memilih nekat pergi menuju Padepokan
Yasarata seorang diri. Ia lalu berlari sekencang-kencangnya dengan tujuan menculik Dewi
Ulupi pada malam hari.

RADEN ANTAREJA INGIN MENJADI PUNGGAWA SEPERTI RADEN GATUTKACA


Sementara itu di Kahyangan Saptapratala, Batara Anantaboga dan Dewi Nagagini
menerima kunjungan Raden Antareja dari Kesatrian Jangkarbumi. Dalam pertemuan itu,
Raden Antareja mengutarakan kekesalan hatinya karena saat bertemu dengan sang ayah
tempo hari, yaitu Arya Wrekodara, dirinya hanya diperlakukan sebagai tamu. Dalam hati ia
merasa iri dengan adiknya, yaitu Raden Gatutkaca yang sudah lebih dulu mengabdi di
Kerajaan Amarta sebagai punggawa pemimpin para prajurit. Ingin rasanya ia ikut mengabdi
sebagai punggawa pula, tetapi Prabu Puntadewa sepertinya belum memberikan izin
menerima pegawai baru.
Batara Anantaboga dapat memahami kekecewaan cucunya. Ia pun menjelaskan
bahwa berbakti kepada negara tidak harus menjadi punggawa kerajaan, tetapi bisa melalui
cara lain. Taat membayar pajak, bekerja sebaik-baiknya sesuai bidang keterampilan, serta
ikut menjaga nama baik negara, itu juga merupakan bentuk pengabdian. Selain itu, Batara
Anantaboga juga mengetahui bahwa Raden Antareja memiliki watak mudah marah dan
cenderung gegabah. Mungkin itulah yang membuat Prabu Puntadewa tidak menerimanya
menjadi punggawa. Maka, Batara Anantaboga pun menyarankan agar cucunya itu pergi
mencari guru terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengabdi sebagai punggawa
kerajaan yang terikat segala macam aturan ketat.
Raden Antareja merasa heran, bukankah sejak kecil ia sudah berguru kepada sang
kakek, mengapa harus mencari guru yang lain lagi? Batara Anantaboga menjawab dirinya
tidak dapat menjadi guru yang baik bagi Raden Antareja karena hubungan mereka adalah
kakek dan cucu, tentu ada perasaan memanjakan dan tidak dapat sepenuh hati
memberikan pelajaran kehidupan. Selain itu, ia juga terikat tugas sebagai dewa pelindung
bumi sehingga sulit menyisihkan waktu untuk mengajari sang cucu.
Batara Anantaboga menjelaskan bahwa ia memiliki saudara angkat yang juga pernah
berguru kepadanya, bernama Resi Jayawilapa dari Padepokan Yasarata. Saudara
angkatnya itulah yang kiranya dapat menjadi guru terbaik bagi Raden Antareja. Sifat-sifat
Raden Antareja yang buruk, antara lain mudah iri, mudah marah, dan gegabah semoga
dapat terkikis selama berguru kepada Resi Jayawilapa di Padepokan Yasarata.
Raden Antareja merasa berat hati meninggalkan Kahyangan Saptapratala tetapi
karena ini perintah sang kakek, maka ia hanya bisa mematuhi. Setelah memohon restu
kepada Batara Anantaboga, Dewi Supreti, dan Dewi Nagagini, ia pun berangkat menuju
Padepokan Yasarata.
KITAB WAYANG PURWA

PATIH KALABANDOGA MENCULIK DEWI ULUPI


Di Padepokan Yasarata hari sudah larut malam. Patih Kalabandoga seorang diri
datang ke sana setelah pasukannya hancur akibat kalah perang melawan rombongan dari
Kerajaan Amarta tadi. Ia pun mengerahkan Aji Sirep dan kemudian menyusup masuk
mencari kamar tidur Dewi Ulupi.
Sungguh hebat kekuatan Aji Sirep yang dikerahkan Patih Kalabandoga sehingga
seluruh penghuni Padepokan Yasarata pun tertidur pulas. Setelah mencari ke sana-kemari,
akhirnya Patih Kalabandoga berhasil menemukan Dewi Ulupi sedang tidur bersama Raden
Arjuna. Ia pun maju hendak menarik tubuh wanita itu tetapi pagar gaib yang dipasang Raden
Arjuna sebelum tidur membuatnya jatuh terduduk. Sebanyak tiga kali Patih Kalabandoga
berusaha meraih Dewi Ulupi, maka sebanyak tiga kali pula ia jatuh terduduk di lantai.
Patih Kalabandoga paham apa yang telah membuatnya terlempar jatuh. Ia pun
berlutut menyembah tempat tidur Dewi Ulupi dan Raden Arjuna untuk menawarkan
pengaruh pagar gaib yang ada di situ. Begitu pagar gaib terbuka, ia langsung menggendong
tubuh Dewi Ulupi dan memasukkannya ke dalam sebuah kendaga. Secepat kilat Patih
Kalabandoga lalu pergi membawa kendaga itu meninggalkan Padepokan Yasarata.

Patih Kalabandoga.

RADEN BURISRAWA MENGHADANG PATIH KALABANDOGA


Sementera itu, Raden Burisrawa sedang berkelana seorang diri meninggalkan
Kesatrian Madyapura. Dalam hati ia masih menyimpan dendam karena gagal menculik
Dewi Sumbadra tempo hari. Akibatnya, ia pun menjadi bulan-bulanan, dihajar dari kiri dan
kanan oleh Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Meskipun Raden Arjuna telah
memaafkan perbuatannya, namun hatinya masih menyimpan dendam karena sejak
peristiwa tersebut ia tidak boleh lagi mendekati Dewi Sumbadra. Bahkan, Prabu Baladewa
yang selama ini selalu mendukungnya ternyata juga ikut marah dan melarangnya datang
lagi ke Kesatrian Madukara.
Hari itu Raden Burisrawa mendengar kabar bahwa Raden Arjuna memiliki istri
paminggir bernama Dewi Ulupi yang sedang mengandung dan tinggal di Padepokan
Yasarata. Ia pun berniat membalas dendam dengan cara menculik Dewi Ulupi dan
menggugurkan kandungannya.
Sungguh kebetulan, di tengah jalan Raden Burisrawa berpapasan dengan Patih
Kalabandoga yang sedang membawa kendaga. Ia pun menghentikannya dan bertanya apa
isi kendaga tersebut. Karena wajah Raden Burisrawa yang mirip raksasa membuat Patih
Kalabandoga mengiranya sebagai teman sendiri. Dasar watak Patih Kalabandoga juga
KITAB WAYANG PURWA

lugas, membuatnya langsung berterus terang bahwa kendaga tersebut berisi Dewi Ulupi
yang akan dipersembahkan kepada Prabu Nilawarna di Kerajaan Parangsotya.
Raden Burisrawa senang mendengarnya dan ia pun menyerang Patih Kalabandoga
untuk merebut kendaga itu. Patih Kalabandoga terkejut dan membela diri. Keduanya lalu
bertarung sengit. Dalam pertarungan itu Raden Burisrawa unggul. Ia pun menghabisi nyawa
Patih Kalabandoga dan melemparkan mayatnya ke dasar jurang.

DEWI ULUPI DITOLONG RADEN ANTAREJA


Raden Burisrawa lalu membuka tutup kendaga dan melihat Dewi Ulupi terbangun dari
pingsan dalam keadaan terkejut. Ia pun memaksa wanita itu untuk menggugurkan
kandungannya demi melampiaskan dendam kepada Raden Arjuna. Dewi Ulupi ketakutan
dan mencoba kabur. Raden Burisrawa pun mengejarnya sambil menari dan tertawa-tawa.
Semakin Dewi Ulupi takut, ia justru semakin senang. Ia sengaja tidak langsung menangkap
wanita itu tetapi ingin mempermainkannya terlebih dahulu seperti kucing hendak
menangkap tikus.
Dewi Ulupi yang lari tak tentu arah akhirnya terperosok jatuh ke dalam jurang.
Tubuhnya melayang turun dan pasti tewas jika terbentur tanah. Namun, pertolongan tiba-
tiba muncul di saat genting. Raden Antareja yang sedang menuju Padepokan Yasarata
kebetulan lewat dan langsung menyambar tubuh Dewi Ulupi. Perlahan-lahan ia membawa
wanita hamil itu naik ke atas dan mendudukkannya di bawah pohon rawan.
Raden Burisrawa yang mengejar Dewi Ulupi terkejut melihat Raden Antareja tiba-tiba
muncul. Seketika ia pun teringat peristiwa tempo hari saat pemuda bersisik naga itu
menghajar dirinya dalam wujud Dewi Sumbadra palsu di atas perahu. Raden Antareja
sendiri juga melihat Raden Burisrawa. Pemuda itu pun segera menyerang ke arahnya.
Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka berdua. Raden Burisrawa lagi-lagi kalah dan
memilih kabur meninggalkan tempat itu.

DEWI ULUPI MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI


Setelah keadaan aman, Raden Antareja mendatangi Dewi Ulupi yang masih
ketakutan. Tiba-tiba datang pula Raden Arjuna bersama sang mertua, yaitu Resi
Jayawilapa. Mereka berdua telah terbebas dari pengaruh Aji Sirep dan langsung berangkat
mencari hilangnya Dewi Ulupi. Sesampainya di tempat itu, Raden Arjuna terkejut melihat
Raden Antareja bersama Dewi Ulupi, dan ia langsung menuduh keponakannya itulah si
pelaku penculikan. Namun, Dewi Ulupi segera melerai dan menjelaskan justru Raden
Antareja adalah pahlawan yang telah menolong dirinya dari penjahat yang sebenarnya.
Raden Arjuna meminta maaf karena telah berburuk sangka kepada Raden Antareja.
Ia lalu mengajak sang istri pulang kembali ke Padepokan Yasarata. Akan tetapi, Dewi Ulupi
tiba-tiba merintih kesakitan. Rupanya peristiwa dirinya diculik membuat kandungannya
bermasalah. Usia kandungannya saat itu masih tujuh bulan tetapi sepertinya si janin hendak
keluar sekarang. Resi Jayawilapa segera maju menolong putrinya itu melahirkan. Sambil
membaca mantra, Resi Jayawilapa meraba perut Dewi Ulupi tiga kali dan putrinya itu
langsung melahirkan tanpa kesakitan.
Resi Jayawilapa kemudian menyerahkan bayi dalam gendongannya kepada Raden
Arjuna. Bayi tersebut berkelamin laki-laki dan berwajah tampan, sangat mirip dengan Raden
Arjuna. Raden Arjuna merasa bahagia tetapi ia belum mempersiapkan nama, karena tidak
mengira putranya akan lahir sekarang. Resi Jayawilapa pun mengusulkan, karena si bayi
dilahirkan di bawah pohon rawan, maka sebaiknya ia diberi nama Bambang Irawan. Raden
Arjuna setuju dan menetapkan nama ini sebagai nama putranya yang baru lahir tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN ANTAREJA DIGELUNG RAMBUTNYA OLEH RESI JAYAWILAPA


Raden Antareja kagum melihat kesaktian Resi Jayawilapa saat menolong Dewi Ulupi
melahirkan. Hanya dengan mengelus perut putrinya itu tiga kali, si bayi Bambang Irawan
langsung keluar ke dunia. Kini ia pun yakin bahwa kakeknya tidak salah tunjuk orang. Ia
pun berterus terang mengatakan bahwa dirinya diutus Batara Anantaboga agar berguru
kepada Resi Jayawilapa. Tadinya ia berniat menantang Resi Jayawilapa bertarung untuk
mengukur ilmu kesaktiannya. Namun, ia merasa tidak perlu lagi berbuat seperti itu karena
sekarang tekadnya sudah bulat ingin berguru kepada pendeta tersebut.
Resi Jayawilapa senang mendengarnya. Ia menjelaskan bahwa Batara Anantaboga
adalah saudara angkatnya dan sekaligus pernah menjadi gurunya pula. Karena Batara
Anantaboga sudah berpesan demikian, Resi Jayawilapa pun menerima Raden Antareja
dengan senang hati. Akan tetapi, ia juga menjelaskan bahwa soal kesaktian tentu saja
Batara Anantaboga masih jauh di atasnya. Dirinya hanyalah seorang pendeta tua yang
menyepi tinggal di desa, itu saja.
Raden Antareja menyatakan dirinya sudah yakin terhadap Resi Jayawilapa dan ia
sudah membulatkan tekad untuk ikut tinggal di Padepokan Yasarata, berguru segala
macam ilmu kehidupan kepada sang pendeta. Resi Jayawilapa menerima permohonan
tersebut. Ia pun menggelung rambut panjang Raden Antareja menjadi bulat, sebagai
perlambang kebulatan tekadnya.
Raden Arjuna bertindak sebagai saksi. Ia ikut senang bahwa keponakannya berguru
kepada mertuanya. Mereka lalu bersama-sama pulang kembali ke Padepokan Yasarata.

Raden Antareja sebelum dan sesudah gelung.

RADEN ARJUNA MENGALAHKAN PRABU NILAWARNA


Sesampainya di Padepokan Yasarata, ternyata rombongan dari Kerajaan Amarta
sudah lebih dulu tiba di sana. Upacara siraman tujuh bulanan yang sudah dipersiapkan itu
pun kini berubah menjadi upacara syukuran atas kelahiran Bambang Irawan. Prabu
Puntadewa, Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan anggota rombongan lainnya ikut
berbahagia atas kelahiran bayi tampan tersebut dan ramai-ramai memberikan berkah restu
kepadanya.
Tiba-tiba datang pula Prabu Nilawarna raja Parangsotya yang berteriak-teriak meminta
Raden Arjuna agar menyerahkan Dewi Ulupi. Raden Arjuna pun keluar menghadapinya.
Keduanya lalu bertarung di halaman Padepokan Yasarata untuk memperebutkan Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Ulupi. Setelah bertarung agak lama, akhirnya Prabu Nilawarna tewas tertusuk Keris
Pulanggeni milik Raden Arjuna.
Setelah keadaan tenang kembali, para Pandawa pun melanjutkan upacara syukuran.
Hari itu Raden Antareja dan Bambang Irawan dipersaudarakan. Raden Antareja tidak lagi
menganggap Bambang Irawan sebagai sepupu, tetapi menjadikannya sebagai adik
kandung. Bahkan, ia juga memanggil ibu kepada Dewi Ulupi. Sejak saat itu pula Raden
Antareja tinggal di Padepokan Yasarata untuk berguru ilmu kehidupan kepada Resi
Jayawilapa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Bambang Irawan adalah tokoh yang terdapat dalam kitab Mahabharata dengan nama Iravan,
sedangkan Raden Antareja adalah tokoh asli ciptaan pujangga Jawa. Menurut naskah
Mahabharata, ibu dari Iravan juga bernama Ulupi, tetapi kakeknya bernama Naga Koravya.
Sementara itu, nama raja Parangsotya menurut naskah Sonobudoyo adalah Prabu Ekawarna.
Karena khawatir rancu dengan Batara Ekawarna, yaitu kakek dari Prabu Boma Narakasura,
maka saya pun mengubah namanya menjadi Prabu Nilawarna dalam lakon yang saya sajikan di
atas.
KITAB WAYANG PURWA

ABIMANYU KEREM
Kisah ini menceritakan tentang para Pandawa yang kehilangan sejumlah pusaka, serta
Dewi Sumbadra juga hilang diculik orang. Raden Abimanyu yang masih kecil jatuh ke
sungai ketika hendak mencari ayah dan ibunya, di mana Raden Gatutkaca tidak dapat
terbang menolong karena dirinya pun kehilangan Kotang Antrakusuma.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan lakon wayang versi Jombor, yang dipadukan
dengan lakon wayang dari blog abimanyu kerem, dengan disertai pengembangan
seperlunya.
Kediri, 23 Mei 2017
Heri Purwanto

Raden Abimanyu muda

LIMA PUSAKA AMARTA DAN DEWI SUMBADRA HILANG DICULIK ORANG


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati dihadap Raden Samba Wisnubrata
(putra mahkota), Arya Setyaki (adik ipar), dan juga Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari
Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa. Kedatangan Prabu Baladewa adalah karena
menerima surat undangan dari Prabu Kresna yang isinya ingin membicarakan sesuatu hal
yang penting.
Prabu Baladewa pun bertanya ada hal penting apa yang ingin dibicarakan Prabu
Kresna sampai harus mengundang dirinya datang dari Kerajaan Mandura. Prabu Kresna
bercerita bahwa beberapa hari yang lalu bungsu para Pandawa, yaitu Raden Sadewa baru
saja datang dari Kerajaan Amarta untuk menyampaikan surat kepadanya. Surat tersebut
ditulis Prabu Puntadewa yang isinya mengabarkan bahwa saat ini Kerajaan Amarta sedang
mengalami musibah. Musibah yang pertama ialah gedung pusaka Kerajaan Amarta dibobol
pencuri dan lima macam pusaka negara hilang, antara lain Tombak Karawelang, Payung
Tunggulnaga, Gada Rujakpolo, Keris Pulanggeni, dan Kotang Antrakusuma. Kemudian
disusul pula datangnya musibah yang kedua, yaitu Dewi Sumbadra hilang diculik orang dan
sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. Itulah yang membuat para Pandawa
sangat terpukul dan mereka mengirim surat ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk
kepada Prabu Kresna.
Prabu Baladewa terkejut mendengar kedua berita tersebut. Ia merasa heran mengapa
ada maling yang begitu hebat berani menyusup masuk ke istana Amarta dan membobol
gedung pusaka. Ia mengibaratkan mencuri di kediaman para Pandawa sama seperti
memasuki kandang macan. Yang lebih mengherankan lagi mengapa Kotang Antrakusuma
yang setiap hari melekat di tubuh Raden Gatutkaca juga bisa ikut menghilang.
Prabu Kresna tidak bisa memberikan jawaban. Sepertinya ada yang aneh dengan
hilangnya kelima pusaka Kerajaan Amarta tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN PRETIWANGGANA MELAMAR DEWI SUMBADRA


Ketika Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang sibuk berunding, tiba-tiba muncul
seorang pangeran tampan datang menghadap. Prabu Kresna mengenali pangeran tersebut
tidak lain adalah adik iparnya sendiri yang bernama Raden Pretiwanggana.
Prabu Baladewa heran dan bertanya Raden Pretiwanggana ini adik ipar dari istri yang
mana. Bukankah Prabu Kresna hanya memiliki tiga orang permaisuri, yaitu Dewi
Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma saja? Dewi Jembawati tidak memiliki
saudara, Dewi Rukmini memiliki adik bernama Raden Rukmaka, sedangkan Dewi
Setyaboma memiliki adik bernama Arya Setyaki. Selain mereka tidak ada lagi. Ataukah
mungkin Raden Pretiwanggana ini saudara dari salah satu selir Prabu Kresna? Kalau
saudara dari selir apakah masih bisa disebut ipar?
Prabu Kresna bercerita bahwa dirinya adalah titisan Batara Wisnu. Sewaktu di
kahyangan, Batara Wisnu memiliki banyak istri, antara lain Dewi Sri Laksmi, Dewi Sri
Laksmita, Dewi Sri Setyawarna, dan Dewi Pretiwi. Ketika Batara Wisnu terlahir ke dunia
menjadi Prabu Kresna, para istri tersebut ikut menitis pula. Dewi Sri Laksmi menitis menjadi
Dewi Jembawati, Dewi Sri Laksmita menjadi Dewi Rukmini, dan Dewi Sri Setyawarna
menjadi Dewi Setyaboma. Adapun Dewi Pretiwi tidak ikut menitis, melainkan kembali tinggal
bersama orang tuanya, yaitu Batara Nagaraja Ekawarna di Kahyangan Ekapratala.
Ketika Prabu Kresna masih muda dan bernama Raden Narayana, ia pernah berkelana
sampai ke kahyangan tersebut dan bertemu kembali dengan Dewi Pretiwi. Batara Nagaraja
menikahkan mereka berdua, atau istilah lebih tepatnya adalah “bangun nikah”, yaitu Dewi
Pretiwi dinikahkan kembali dengan Batara Wisnu, tetapi dalam wujud Raden Narayana. Dari
situ pula Raden Narayana berkenalan dengan Raden Pretiwanggana, adik Dewi Pretiwi.
Prabu Baladewa paham dan ia baru tahu kalau Prabu Kresna pernah menikah dengan
Dewi Pretiwi, sebelum menikahi Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma.
Prabu Krena membenarkan hal itu, namun Dewi Pretiwi tetap tinggal bersama ayahnya,
tidak tinggal di Kerajaan Dwarawati sebagai permaisuri.
Raden Pretiwanggana memberi hormat kepada Prabu Baladewa. Ia kemudian
menyampaikan maksud kedatangannya. Yang pertama, ia mengabarkan bahwa Dewi
Pretiwi telah melahirkan dua orang anak, satu laki-laki, satu perempuan. Yang laki-laki diberi
nama Raden Sitija, dan yang perempuan diberi nama Dewi Sitisundari. Prabu Kresna
menyambut gembira berita itu dan berkata apabila mereka sudah dewasa silakan
berkunjung ke Kerajaan Dwarawati.
Raden Pretiwanggana kemudian menyampaikan maksud yang kedua, yaitu ia ingin
mempererat persaudaraan dengan Prabu Kresna melalui perkawinan. Ia mendengar Prabu
Kresna memiliki adik perempuan yang cantik jelita bernama Dewi Sumbadra. Oleh sebab
itu, ia pun datang untuk melamar putri tersebut sebagai istrinya. Dengan demikian,
hubungan persaudaraan antara dirinya dengan Prabu Kresna menjadi semakin erat.
Prabu Kresna menjawab ia tidak dapat menerima lamaran Raden Pretiwanggana
karena Dewi Sumbadra sudah menjadi istri Raden Arjuna, kesatria panengah Pandawa.
Raden Pretiwanggana berkata dirinya sudah mengetahui berita itu, bahkan ia juga tahu
kalau Dewi Sumbadra dan Raden Arjuna telah memiliki seorang putra bernama Raden
Abimanyu atau Raden Angkawijaya. Namun demikian, Raden Pretiwanggana tidak putus
harapan karena ia tahu Raden Arjuna seorang mata keranjang yang memiliki banyak istri.
Mana mungkin Dewi Sumbadra bahagia bersanding dengan laki-laki semacam itu?
Prabu Baladewa marah dan berkata Raden Pretiwanggana tidak sepantasnya
mengurusi rumah tangga orang lain, apalagi itu adalah rumah tangga adik bungsunya.
KITAB WAYANG PURWA

Meskipun orang luar melihat Dewi Sumbadra dimadu oleh Raden Arjuna dengan banyak
perempuan lain, tetapi ia tahu adiknya hidup bahagia. Raden Pretiwanggana menjawab hal
itu belum tentu. Terbukti saat ini Dewi Sumbadra hilang diculik orang dan Raden Arjuna
tidak berangkat mencari. Itu artinya, Raden Arjuna tidak sepenuh hati mencintai Dewi
Sumbadra. Perkawinan seperti itu apa bagusnya dipertahankan?
Prabu Baladewa hampir saja termakan ucapan Raden Pretiwanggana dan ia turut
membenarkan bahwa Raden Arjuna tidak sepenuh hati mencintai adik bungsunya. Prabu
Kresna berkata bahwa Raden Arjuna tidak seperti itu. Ia mendengar dari penuturan Raden
Sadewa, bahwa Raden Arjuna sudah berangkat mencari Dewi Sumbadra dengan ditemani
Dewi Srikandi.
Raden Pretiwanggana tertawa mengejek bahwa Raden Arjuna sungguh manusia tidak
berbudi, yaitu pergi mencari istri yang hilang dengan ditemani istrinya yang lain. Itu namanya
bukan mencari Dewi Sumbadra, tetapi pergi tamasya, bersenang-senang sendiri. Prabu
Kresna tersinggung mendengar Raden Arjuna dihina seperti itu. Ia pun mempersilakan
Raden Pretiwanggana sebaiknya pulang saja, daripada membuat kekacauan di Dwarawati.
Raden Pretiwanggana bersedia pergi, tetapi ia pergi untuk mencari Dewi Sumbadra,
bukannya pulang ke Kahyangan Ekapratala. Apabila ia berhasil menemukan Dewi
Sumbadra, maka Prabu Kresna dan Prabu Baladewa harus bersedia menceraikan adik
mereka itu dengan Raden Arjuna. Setelah menjadi janda, Dewi Sumbadra harus diizinkan
menjadi istrinya.
Prabu Baladewa mempersilakan apabila Raden Pretiwanggana mempunyai niat
demikian. Dewata yang akan menentukan takdir apakah Dewi Sumbadra tetap menjadi istri
Raden Arjuna ataukah menjadi janda dan menikah dengan Raden Pretiwanggana.
Raden Pretiwanggana yakin dirinya pasti menang. Ia pun mohon pamit berangkat
meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Setelah adik iparnya itu pergi, Prabu Kresna pun
membubarkan pertemuan. Ia mengajak Prabu Baladewa berangkat menuju Kerajaan
Amarta untuk membantu kesulitan yang sedang dialami para Pandawa.

Raden Pretiwanggana.

DEWI SUMBADRA BERADA DALAM TAWANAN PRABU TUNGGULWIJAYA


Tersebutlah seorang raja gagah bernama Prabu Tunggulwijaya dari Kerajaan
Nrancangakik. Ia memiliki menteri utama bernama Patih Karawijaya, serta para senapati
bernama Arya Pulangjiwa, Arya Lukitapala, dan Arya Kusumantara. Hari itu Prabu
Tunggulwijaya sedang menemui wanita yang ia tawan, yaitu Dewi Sumbadra. Sudah
beberapa hari ini dirinya berhasil menculik istri Raden Arjuna tersebut, tetapi si wanita selalu
saja menolak ketika akan dinikahi.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sumbadra sendiri merasa terdesak. Jika terus-terusan menolak, bisa-bisa Prabu
Tunggulwijaya marah dan berbuat jahat kepadanya. Maka, untuk mengulur waktu sampai
pertolongan tiba, ia pura-pura menerima lamaran Prabu Tunggulwijaya tetapi dengan
syarat, yaitu dirinya minta dicarikan sebuah mainan yang tidak membosankan seumur
hidup.
Prabu Tunggulwijaya merasa syarat yang diajukan Dewi Sumbadra ini agak kekanak-
kanakan, tetapi ia paham bahwa wanita tersebut memang sejak kecil dimanja oleh
keluarganya sehingga wajar jika memiliki permintaan seperti itu. Maka, Prabu
Tunggulwijaya pun memerintahkan Patih Karawijaya dan yang lain agar berangkat mencari
benda tersebut.

PASUKAN NRANCANGAKIK BENTROK DENGAN PASUKAN DWARAWATI


Demikianlah, Patih Karawijaya pun memimpin pasukan Nrancangakik berangkat
mencari benda yang diinginkan Dewi Sumbadra. Di tengah jalan mereka berpapasan
dengan pasukan Dwarawati yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Amarta. Arya
Setyaki yang berada di ujung barisan terlibat kesalahpahaman dengan Patih Karawijaya
sehingga mengakibatkan meletus pertempuran di antara kedua pihak.
Arya Setyaki melihat kekuatan lawan sungguh dahsyat. Bahkan, senapati musuh yang
bernama Arya Kusumantara ternyata bisa terbang di angkasa seperti burung. Lama-lama
Arya Setyaki mundur karena terdesak. Prabu Baladewa pun maju dan mengamuk, tetapi ia
sendiri juga terdesak menghadapi kepungan Patih Karawijaya, Arya Pulangjiwa, Arya
Lukitapala, dan Arya Kusumantara.
Prabu Kresna yang menyaksikan pertempuran melihat ada hal yang tidak beres. Ia
pun turun dari Kereta Jaladara dan maju sambil menghunus Senjata Cakra. Prabu
Baladewa tidak ketinggalan, ikut mengeluarkan Senjata Nanggala. Melihat kedua pusaka
tersebut, Patih Karawijaya merasa gentar dan segera memerintahkan pasukannya untuk
mundur mencari jalan lain.
Setelah merasa aman dan jauh dari musuh, Patih Karawijaya lalu membagi
rombongan menjadi dua. Dirinya bersama Arya Kusumantara mencari mainan yang
diinginkan Dewi Sumbadra ke arah barat, sedangkan Arya Pulangjiwa dan Arya Lukitapala
mencari ke arah timur.

RADEN ARJUNA DAN DEWI SRIKANDI BERTEMU RADEN PRETIWANGGANA


Di lain tempat, Raden Arjuna sedang berkelana mencari Dewi Sumbadra dengan
ditemani Dewi Srikandi dan para panakawan. Raden Arjuna sendiri sedang sakit sejak
kehilangan Keris Pulanggeni. Namun, ia memaksakan diri berjalan tertatih-tatih demi
mencari Dewi Sumbadra yang hilang diculik orang.
Perjalanan mereka akhirnya terhenti karena bertemu Raden Pretiwanggana yang juga
sedang mencari Dewi Sumbadra. Raden Pretiwanggana melihat Raden Arjuna sedang sakit
dan ini menjadi kesempatan baik baginya. Ia berniat membunuh kesatria tersebut untuk
melenyapkan saingan, sehingga pemenang sayembara menemukan Dewi Sumbadra
sudah pasti tinggal dirinya.
Maka, Raden Pretiwanggana pun menantang Raden Arjuna bertarung. Dewi Srikandi
maju menggantikan suaminya bertanding. Raden Pretiwanggana tertawa mengejek Raden
Arjuna sebagai pengecut yang bersembunyi di bawah ketiak istrinya. Ia menyebut Raden
Arjuna mencari Dewi Sumbadra hanya alasan yang dibuat-buat, padahal yang sebenarnya
ialah ingin mengajak Dewi Srikandi pergi bertamasya.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Srikandi marah dituduh demikian. Ia menjelaskan bahwa suaminya berangkat


sendiri mencari Dewi Sumbadra yang hilang. Karena tidak tega, ia pun pergi menyusul untuk
mengawal. Jadi, tidak benar jika Raden Arjuna mengajak dirinya bertamasya, karena yang
benar ialah dirinya sendiri yang berniat menyusul.
Raden Arjuna meminta Dewi Srikandi minggir dan tidak perlu menjelaskan panjang
lebar pada musuh yang berniat jahat. Namun, Dewi Srikandi sudah berniat melindungi
Raden Arjuna. Ia pun maju menyerang Raden Pretiwanggana mendahului suaminya.
Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Raden Pretiwanggana melepaskan panah
untuk melukai Raden Arjuna, tetapi Dewi Srikandi balas memanah untuk mematahkan
panah-panah tersebut. Raden Arjuna sambil menonton juga memberikan petunjuk kepada
Dewi Srikandi bagaimana caranya mengalahkan Raden Pretiwanggana.
Raden Pretiwanggana merasa jera, baru menghadapi Dewi Srikandi saja ia sudah
terdesak, apalagi menghadapi Raden Arjuna. Karena berpikir demikian, ia pun lengah dan
kakinya terluka oleh panah Dewi Srikandi. Raden Pretiwanggana sangat malu dan memilih
kabur. Raden Arjuna melarang istrinya mengejar karena bagaimanapun juga Raden
Pretiwanggana adalah adik ipar Prabu Kresna, sebaiknya jangan dibunuh.

DEWI SRIKANDI MENYAMAR SEBAGAI KLETING BINATUR


Setelah menyaksikan pertarungan dan memberikan petunjuk kepada istrinya dalam
melawan musuh, Raden Arjuna merasa letih dan tidak kuat untuk berjalan lagi. Dewi
Srikandi mengajaknya lebih baik pulang saja ke Kesatrian Madukara daripada menderita
dalam perjalanan. Raden Arjuna menolak pulang sebelum Dewi Sumbadra ditemukan. Ia
hanya merasa lapar tetapi sayangnya perbekalan sudah habis. Dewi Srikandi tanggap atas
keluhan sang suami. Ia pun berangkat mencari makan dan menitipkan Raden Arjuna
kepada Kyai Semar dan Nala Gareng.
Dewi Srikandi berjalan ditemani Petruk dan Bagong untuk mencari makanan tetapi
tidak juga bertemu. Mereka lalu menyamar menjadi pengamen keliling, di mana Dewi
Srikandi memakai nama samaran Kleting Binatur. Ketiganya berniat menjual suara untuk
ditukar dengan makanan dan minuman secukupnya.
Demikianlah, Dewi Srikandi alias Kleting Binatur mengamen menyanyikan lagu-lagu
indah sedangkan Petruk dan Bagong menabuh alat musik sambil menari. Mereka
mengamen dari rumah ke rumah untuk mendapatkan uang. Setelah terkumpul, uang
tersebut akan dibelikan makanan untuk Raden Arjuna. Namun kemudian, mereka berjumpa
dengan Arya Pulangjiwa dan Arya Lukitapala. Melihat Kleting Binatur memiliki suara merdu
dan pandai bernyanyi, keduanya berniat membawa pengamen itu ke Kerajaan
Nrancangakik sebagai mainan yang tidak membosankan untuk Dewi Sumbadra.
Kleting Binatur tersinggung karena dirinya hendak dijadikan sebagai mainan. Arya
Pulangjiwa terpaksa bercerita, bahwa raja mereka yang bernama Prabu Tunggulwijaya
berusaha mewujudkan permintaan calon istrinya, yaitu ingin dicarikan mainan yang tidak
membosankan seumur hidup. Calon istri Prabu Tunggulwijaya tersebut sangat cantik tiada
tanding sehingga semua orang Nrancangakik rela bersusah payah mewujudkan
keinginannya.
Kleting Binatur curiga jangan-jangan calon istri Prabu Tunggulwijaya tersebut adalah
Dewi Sumbadra yang hilang diculik. Berpikir demikian, ia pun bersedia dibawa ke
Nrancangakik asalkan Arya Pulangjiwa memberikan sejumlah uang untuk membelikan
suaminya makan. Arya Pulangjiwa setuju. Setelah menerima uang tersebut, Kleting Binatur
menyerahkannya kepada Petruk dan Bagong agar berangkat membelikan makanan untuk
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna, sedangkan dirinya mengikuti kepergian Arya Pulangjiwa dan Arya Lukitapala
menuju Kerajaan Nrancangakik.

RADEN ABIMANYU TENGGELAM DI SUNGAI


Sementara itu, Raden Abimanyu yang masih berusia tujuh tahun menangis karena
ditinggal pergi ayah dan ibunya. Raden Gatutkaca yang ditugasi mengasuh tidak tahan
mendengar tangisannya. Ia pun menggendong sepupunya itu untuk diajak pergi menyusul
Raden Arjuna.
Raden Gatutkaca yang kehilangan pusaka Kotang Antrakusuma terpaksa menempuh
jalur darat sehingga perjalanannya menjadi lebih lambat. Ketika mereka sampai di atas
jembatan sempit yang melintasi Sungai Jamuna, Raden Abimanyu melonjak-lonjak dalam
gendongan. Raden Gatutkaca menjadi kurang goyah dan kakinya pun terpeleset. Sesaat
kemudian, mereka berdua pun tercebur ke dalam sungai yang arusnya deras.
Raden Gatutkaca segera berenang menepi, tetapi ia terkejut Raden Abimanyu sudah
hilang dari gendongan. Adik sepupunya itu telah tenggelam dan hanyut dibawa arus sungai.
Raden Gatutkaca pun menangis meratapi keteledorannya. Ia berlari menyusuri tepi sungai
menuju ke hilir untuk mencari Raden Abimanyu sambil mengeluh.
Setelah berjalan cukup lama mengikuti aliran sungai, Raden Gatutkaca akhirnya
bertemu Raden Arjuna yang baru saja pulih setelah makan. Raden Gatutkaca pun
menceritakan semua pengalaman buruk kehilangan Raden Abimanyu dari awal hingga
akhir dan dirinya siap menerima hukuman. Raden Arjuna merasa lemas mendengar berita
itu. Ia hendak ikut mengejar arus air tetapi dilarang Kyai Semar. Rupanya Kyai Semar
mendapat firasat bahwa Raden Abimanyu sudah ada yang menyelamatkan. Alangkah
baiknya mereka menyusul Dewi Srikandi ke Kerajaan Nrancangakik saja.
Raden Arjuna setuju dan ia pun berangkat bersama Raden Gatutkaca, Petruk, dan
Bagong menuju ke negeri tersebut. Adapun Kyai Semar dan Nala Gareng kembali ke
Kerajaan Amarta untuk melapor kepada Prabu Puntadewa.

RADEN ABIMANYU DIBAWA KE KERAJAAN NRANCANGAKIK


Raden Abimanyu yang hanyut terbawa arus sungai telah ditemukan oleh Patih
Karawijaya dan Arya Kusumantara. Saat itu Patih Karawijaya dan rombongan sedang
melewati Sungai Jamuna dan mereka melihat ada anak kecil hanyut terbawa arus. Patih
Karawijaya segera memerintahkan Arya Kusumantara untuk menolong. Dengan
mengandalkan kemampuan terbangnya, Arya Kusumantara berhasil mengentaskan Raden
Abimanyu dari sungai.
Patih Karawijaya memeriksa Raden Abimanyu ternyata masih hidup. Setelah diobati,
anak itu pun sadar dari pingsan. Patih Karawijaya dan Arya Kusumantara melihat Raden
Abimanyu berwajah tampan dan menyenangkan, mungkin bisa digunakan untuk memenuhi
permintaan Dewi Sumbadra. Keduanya pun sepakat membawa anak itu pulang ke Kerajaan
Nrancangakik.

DEWI SUMBADRA MENERIMA KLETING BINATUR DAN RADEN ABIMANYU


Prabu Tunggulwijaya di Kerajaan Nrancangakik telah menerima kedatangan Patih
Karawijaya dan Arya Kusumantara yang membawa Raden Abimanyu, serta Arya
Pulangjiwa dan Arya Lukitapala yang membawa Kleting Binatur. Masing-masing kelompok
membanggakan apa yang mereka bawa pasti sesuai dengan keinginan Dewi Sumbadra.
Prabu Tunggulwijaya tidak dapat menentukan pilihan, melainkan membawa Kleting
Binatur dan Raden Abimanyu ke tempat Dewi Sumbadra. Keduanya pun diserahkan kepada
KITAB WAYANG PURWA

wanita yang ia sekap itu bahwa mereka adalah mainan yang tidak akan membosankan
seumur hidup. Dewi Sumbadra sangat senang melihat Raden Abimanyu dan segera
menggendong putra kandungnya itu. Saat melihat Kleting Binatur pun ia merasa suka.
Maka, keduanya diterima dan sesuai dengan keinginan Dewi Sumbadra.
Prabu Tunggulwijaya gembira dan menagih janji Dewi Sumbadra untuk menerima
pinangannya. Dewi Sumbadra berusaha mengulur waktu lagi. Ia pura-pura bersedia
menjadi istri Prabu Tunggulwijaya apabila bisa mengalahkan suaminya, yaitu Raden Arjuna.
Prabu Tunggulwijaya sama sekali tidak takut dan menyatakan bersedia. Sungguh
kebetulan, tiba-tiba Arya Kusumantara datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar
istana ada dua orang musuh datang menantang, yaitu Raden Arjuna dan Raden Gatutkaca.
Prabu Tunggulwijaya merasa senang karena tidak perlu susah payah menyerang Kerajaan
Amarta. Ia pun bergegas keluar untuk menghadapi tantangan tersebut.
Setelah Prabu Tunggulwijaya pergi, Kleting Binatur membuka penyamaran, bahwa ia
sesungguhnya adalah Dewi Srikandi. Dewi Sumbadra sangat gembira dan segera memeluk
madunya tersebut. Dewi Srikandi lalu menggandeng tangan Dewi Sumbadra dan
mengajaknya pergi melarikan diri.

PARA PANDAWA MENYERANG KERAJAAN NRANCANGAKIK


Raden Arjuna dan Raden Gatutkaca sudah berada di halaman istana Kerajaan
Nrancangakik dan menantang Prabu Tunggulwijaya. Arya Pulangjiwa dan Arya
Kusumantara segera maju menghadapi mereka. Terjadilah pertempuran seru. Raden
Arjuna yang belum sepenuhnya pulih dari sakit agak terdesak menghadapi gempuran Arya
Pulangjiwa, sedangkan Raden Gatutkaca yang tidak dapat terbang harus menjadi bulan-
bulanan Arya Kusumantara yang menyerangnya dari udara.
Untunglah bantuan tiba pada waktunya. Kyai Semar telah datang bersama Prabu
Puntadewa, Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Arya Wrekodara, dan Arya Setyaki. Arya
Wrekodara segera maju menghadapi Arya Lukitapala yang juga berbadan tinggi besar
seperti dirinya, sedangkan Arya Setyaki menghadapi Patih Karawijaya.
Pertempuran tersebut berlangsung sengit dan tampaknya pihak Kerajaan Amarta
mulai terdesak. Prabu Kresna teringat dirinya pernah menakut-nakuti pasukan
Nrancangakik menggunakan Senjata Cakra dan Nanggala. Ia pun menceritakan hal itu
kepada Prabu Puntadewa. Tampaknya Prabu Puntadewa pun mencurigai siapa
sebenarnya Prabu Tunggulwijaya dan pasukannya. Perlahan ia maju ke medan perang
sambil memegang pusaka Jamus Kalimahusada.
Prabu Tunggulwijaya maju menyerang Prabu Puntadewa. Sambil membaca mantra,
Prabu Puntadewa pun melemparkan Jamus Kalimahusada ke arah Prabu Tunggulwijaya.
Sungguh ajaib, begitu terkena pusaka tersebut, tubuh Prabu Tunggulwijaya musnah dan
kembali ke wujud aslinya, yaitu Payung Tunggulnaga, pusaka Kerajaan Amarta yang hilang
dicuri orang.
Jamus Kalimahusada kembali melayang dan menghantam Patih Karawijaya. Seketika
wujud Patih Karawijaya pun kembali menjadi Tombak Karawelang. Kemudian berturut-turut
Jamus Kalimahusada menghantam Arya Pulangjiwa, Arya Lukitapala, dan Arya
Kusumantara, yang mana ketiganya berubah pula menjadi Keris Pulanggeni, Gada
Rujakpolo, dan Kotang Antrakusuma.

DEWI SUMBADRA KEMBALI KEPADA RADEN ARJUNA


Prabu Puntadewa gembira melihat kelima pusaka Kerajaan Amarta yang hilang kini
telah kembali lagi. Prabu Kresna menjelaskan sebenarnya tidak ada pencuri yang
KITAB WAYANG PURWA

membobol gedung pusaka istana Indraprasta, tetapi kelima senjata itulah yang meloloskan
diri. Namun mengapa bisa demikian, Prabu Kresna tidak dapat menjelaskan.
Kyai Semar menyela ikut bicara. Sepertinya kelima pusaka tersebut sudah saatnya
dicuci dan disucikan tetapi para Pandawa lalai dalam melakukannya. Itulah sebabnya
mereka lolos dari istana dengan tujuan untuk mengingatkan para majikan. Prabu
Puntadewa membenarkan hal itu tetapi ia ragu apakah kegiatan mensucikan pusaka tidak
termasuk perbuatan yang menyekutukan Tuhan. Kyai Semar menjawab, semua perbuatan
tergantung niatnya. Niat baik atau buruk ada di hati pelakunya, bukan menurut pandangan
orang lain. Apabila kegiatan mensucikan pusaka diniati sebagai bentuk perawatan, yaitu
demi membersihkan pusaka dari pengaruh buruk, tentunya hal itu bukanlah dosa.
Mensucikan pusaka hendaknya diniati sebagai bentuk penghormatan terhadap harta
benda, bukan penyembahan dan pemujaan terhadap sesuatu yang dianggap lebih tinggi
dari pemiliknya. Selain itu juga sebagai ungkapan puji syukur atas karunia Tuhan kepada
kita, sehingga tidak selalu harus dikait-kaitkan dengan dosa mempersekutukan Tuhan.
Prabu Puntadewa dapat memahami penjelasan Kyai Semar. Tidak lama kemudian
Dewi Srikandi muncul pula sambil menggandeng Dewi Sumbadra dan menggendong
Raden Abimanyu. Raden Arjuna gembira menyambut mereka bertiga. Kerajaan
Nrancangakik pun lenyap dari pandangan. Prabu Puntadewa lalu mengajak semuanya
kembali ke Kerajaan Amarta untuk mengadakan syukuran.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Menurut balungan naskah pedalangan versi Jombor, Dewi Sumbadra hilang diculik Prabu
Jayadimurti dan Patih Jayapudenda, sedangkan menurut versi lain yang saya baca, Dewi
Sumbadra tidak hilang diculik tetapi sengaja meloloskan diri dan menjadi raja bernama Prabu
Jayabadra, dengan didampingi pusaka-pusaka Kerajaan Amarta yang berubah menjadi manusia.
Saya sengaja menggabungkan kedua sumber tersebut, sehingga jadilah seperti tulisan di atas.
KITAB WAYANG PURWA

ARJUNA TUMBAL
Kisah ini menceritakan tentang Raden Arjuna yang hendak dijadikan tumbal oleh Prabu
Suryaasmara, raja Parangkencana. Juga diceritakan kelahiran dua putra Raden Arjuna,
yaitu Raden Sumitra dan Raden Bratalaras, serta awal mula Raden Arjuna bertemu
Endang Pamegatsih, yang kelak melahirkan Bambang Pamegattresna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang disusun oleh
Ki Tristuti Suryasaputra, dengan perubahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 1 Juni 2017
Heri Purwanto

Raden Arjuna.

PRABU KRESNA DAN PRABU BALADEWA HENDAK MENGUNJUNGI KESATRIAN


MADUKARA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata
(putra mahkota), Arya Setyaki (adik ipar), dan juga Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari
Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang
undangan dari Kesatrian Madukara di Kerajaan Amarta, bahwa Raden Arjuna hendak
mengadakan upacara siraman untuk kedua istrinya yang sama-sama mengandung usia
tujuh bulan, yaitu Dewi Sulastri dan Niken Larasati.
Prabu Baladewa yang juga mendapat undangan berniat mengajak Prabu Kresna
berangkat bersama. Prabu Kresna bersedia dan mengajak Arya Setyaki ikut mengawal
kepergian mereka, serta memerintahkan Patih Udawa dan Raden Samba agar tetap tinggal
menjaga istana. Patih Udawa memohon agar diizinkan ikut serta, karena Niken Larasati
adalah adiknya. Bagaimanapun juga ia ingin menghadiri upacara siraman bagi adiknya
tersebut di Kesatrian Madukara.
Prabu Kresna memaklumi dan mengabulkan permintaan Patih Udawa. Setelah dirasa
cukup, ia pun membubarkan pertemuan untuk kemudian berangkat bersama-sama dengan
Prabu Baladewa menuju Kesatrian Madukara di Kerajaan Amarta.

PRABU SURYAASMARA HENDAK MENUMBALKAN RADEN ARJUNA


Tersebutlah seorang raja muda dan tampan bernama Prabu Suryaasmara dari
Kerajaan Parangkencana. Saat itu ia sedang memikirkan negaranya yang dilanda wabah
penyakit dan menewaskan sejumlah penduduk. Prabu Suryaasmara pun meminta petunjuk
kepada gurunya yang bernama Resi Indrajala untuk mengatasi musibah ini. Setelah
mengheningkan cipta, Resi Indrajala mendapatkan petunjuk dari dewa, bahwa Kerajaan
Parangkencana dapat terbebas dari wabah penyakit apabila ditumbali darah kesatria
Panengah Pandawa yang bernama Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Suryaasmara merasa bimbang mendengar ramalan tersebut. Namun, karena


tidak tega melihat rakyatnya yang pagi jatuh sakit, sore meninggal dunia, atau sore jatuh
sakit, pagi meninggal dunia, ia pun terpaksa menerima saran ini. Prabu Suryaasmara lalu
memanggil patihnya yang berwujud raksasa, bernama Patih Kalagambira untuk
menghadirkan Raden Arjuna ke Kerajaan Parangkencana.
Setelah menerima penjelasan dengan seksama, Patih Kalagambira segera mohon
pamit kepada Prabu Suryaasmara dan Resi Indrajala. Ia kemudian berangkat dengan
membawa pasukan secukupnya menuju Kerajaan Amarta.

Prabu Suryaasmara.

PASUKAN PARANGKENCANA BENTROK DENGAN PASUKAN DWARAWATI


Patih Kalagambira dan pasukannya telah berangkat meninggalkan Kerajaan
Parangkencana. Di tengah jalan mereka bertemu rombongan dari Kerajaan Dwarawati yang
dipimpin Arya Setyaki dan Patih Udawa di garis depan. Setelah mengetahui Patih
Kalagambira memiliki niat buruk terhadap Raden Arjuna, segera Arya Setyaki dan Patih
Udawa berusaha menghalangi. Akibatnya, terjadilah pertempuran antara pasukan
Dwarawati melawan pasukan Parangkencana tersebut.
Patih Kalagambira terdesak menghadapi kesaktian orang-orang Dwarawati.
Pasukannya pun berantakan. Terpaksa ia memerintahkan para prajurit yang masih hidup
untuk mundur. Karena sudah menyanggupi perintah dari rajanya, mau tidak mau Patih
Kalagambira pun berangkat seorang diri menuju Kerajaan Amarta untuk menculik Raden
Arjuna.

UPACARA SIRAMAN DEWI SULASTRI DAN NIKEN LARASATI


Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna menerima kunjungan para saudara, yaitu Prabu
Puntadewa, Arya Wrekodara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Rombongan dari
Kerajaan Dwarawati, yaitu Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Arya Setyaki, dan Patih Udawa
juga telah tiba di sana dan mengucapkan selamat.
Sesuai agenda yang telah disusun, Raden Arjuna pun memulai upacara siraman untuk
kedua istri, yaitu Dewi Sumitra dan Niken Larasati yang sama-sama mengandung. Setelah
upacara selesai, Prabu Kresna berpesan agar Raden Arjuna jangan sampai lengah, karena
ia mendapat firasat akan terjadi sesuatu yang buruk di Kesatrian Madukara. Hal ini berkaitan
dengan apa yang baru saja dialami rombongan dari Dwarawati, yang bentrok melawan
pasukan Parangkencana.

PATIH KALAGAMBIRA MENCULIK RADEN ARJUNA


Malam harinya, Patih Kalagambira menyusup masuk ke dalam Kesatrian Madukara
dengan mengerahkan Aji Panglimunan, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu
melihat kedatangannya. Ia juga mengerahkan Aji Sirep, sehingga seluruh penghuni
KITAB WAYANG PURWA

Kesatrian Madukara tertidur lelap. Patih Kalagambira berhasil menemukan kamar tidur
Raden Arjuna dan segera menyambar pangeran tersebut untuk dibawa pergi.
Patih Kalagambira sudah berlari sangat jauh sambil menggendong Raden Arjuna.
Tiba-tiba Raden Arjuna terbangun dari tidur dan langsung menendang kepala penculiknya
itu. Patih Kalagambira terkejut dan melepaskan pangeran tersebut. Keduanya lalu
berhadap-hadapan hendak bertarung. Raden Arjuna lebih dulu bertanya mengapa dirinya
diculik dan hendak dibawa ke mana. Patih Kalagambira menjawab ia mengemban tugas
dari rajanya yang bernama Prabu Suryaasmara, yang ingin membebaskan Kerajaan
Parangkencana dari wabah penyakit dengan cara menyembelih Raden Arjuna dan
mengalirkan darahnya di sana.
Tentu saja Raden Arjuna menolak dirinya hendak dijadikan tumbal. Patih Kalagambira
pun berusaha meringkusnya dengan jalan kekerasan. Mereka lalu bertarung satu lawan
satu di tempat sepi tersebut. Patih Kalagambira sebenarnya tidak mampu mengalahkan
kesaktian Raden Arjuna, tetapi ia sudah bertekad bulat hendak membawa pangeran ini ke
hadapan rajanya.
Setelah bertarung cukup lama, Raden Arjuna akhirnya dapat merobohkan Patih
Kalagambira. Namun, menjelang ajal tiba, Patih Kalagambira sempat bangkit kembali dan
menggigit pundak Raden Arjuna. Keduanya lalu sama-sama roboh. Patih Kalagambira
tewas kehilangan nyawa, sedangkan Raden Arjuna pingsan karena terkena racun pada gigi
taring lawan.

Patih Kalagambira.

RADEN ARJUNA DIRAWAT RESI PAMINTAJATI DAN ENDANG PAMEGATSIH


Tidak lama kemudian di tempat itu tiba-tiba muncul seorang pendeta bernama Resi
Pamintajati. Pendeta ini sebenarnya hendak pergi ke Kesatrian Madukara untuk memenuhi
permohonan putrinya. Melihat Raden Arjuna tergeletak di tanah dan memiliki ciri-ciri sesuai
dengan penjelasan putrinya, ia pun segera membalut luka pangeran itu. Setelah darah tidak
lagi keluar, Resi Pamintajati pun menggendong tubuh Raden Arjuna dan membawanya
pulang ke Padepokan Argabinatur yang terletak di wilayah Kadipaten Tunggarana.
Sesampainya di sana, Resi Pamintajati disambut putrinya yang bernama Endang
Pamegatsih. Sang putri terkejut melihat pangeran impiannya sedang pingsan karena
terluka. Rupa-rupanya tadi malam Endang Pamegatsih mimpi menjadi istri Raden Arjuna
dan ketika bangun ia merengek kepada ayahnya supaya dipertemukan dengan pangeran
tampan tersebut. Resi Pamintajati menjelaskan bahwa menurut kabar yang beredar, Raden
Arjuna sudah memiliki banyak istri. Namun, Endang Pamegatsih tidak peduli karena ia
bersedia meskipun dijadikan istri paminggir. Resi Pamintajati yang sangat menyayangi
putrinya tidak kuasa menolak dan memutuskan untuk berangkat mencari Raden Arjuna.
Namun, belum sampai di Kesatrian Madukara ia sudah menemukan pangeran tersebut
tergeletak pingsan setelah bertarung melawan Patih Kalagambira.
KITAB WAYANG PURWA

Endang Pamegatsih meminta sang ayah agar mengobati Raden Arjuna. Resi
Pamintajati bersedia dan segera melaksanakan keinginan putrinya. Rupa-rupanya gigi
taring Patih Kalagambira mengandung racun ganas dan Resi Pamintajati harus membuat
ramuan obat untuk menawarkan pengaruh racun tersebut. Setelah dirawat tiga hari, barulah
Raden Arjuna sadar dari pingsan tetapi kekuatannya belum pulih.
Endang Pamegatsih setiap hari merawat dan melayani keperluan Raden Arjuna
hingga sang pangeran benar-benar sehat. Raden Arjuna pun berterima kasih dan mohon
pamit hendak kembali ke Kesatrian Madukara. Resi Pamintajati mencegah dan berterus
terang bahwa ia ingin melamar Raden Arjuna untuk menjadi suami Endang Pamegatsih.
Raden Arjuna menjawab dirinya sudah memiliki banyak istri dan hanya bisa menjadikan
Endang Pamegatsih sebagai istri paminggir yang tidak dibawa ke Kesatrian Madukara,
melainkan tetap tinggal di Padepokan Argabinatur. Resi Pamintajati menjawab putrinya
bersedia dan sejak awal sudah memutuskan demikian.
Raden Arjuna sendiri terkesan melihat Endang Pamegatsih yang sudah beberapa hari
ini merawat dirinya dengan penuh kesabaran. Maka, ia pun bersedia mejadikan gadis itu
sebagai istri paminggir. Resi Pamintajati gembira dan segera menikahkan mereka berdua
secara sederhana.
Setelah dua bulan lamanya tinggal di Padepokan Argabinatur, tiba-tiba Raden Arjuna
teringat pada Dewi Sulastri dan Niken Larasati yang saat ini usia kandungan mereka pasti
sudah mencapai sembilan bulan dan tiba waktunya untuk melahirkan. Ia pun mohon pamit
kepada Resi Pamintajati dan Endang Pamegatsih. Saat itu Endang Pamegatsih sedang
hamil muda. Raden Arjuna berpesan kepada istri barunya tersebut, bahwa kelak jika
melahirkan anak laki-laki, hendaknya diberi nama Bambang Pamegattresna.
Usai berpesan demikian, Raden Arjuna segera berangkat meninggalkan Padepokan
Argabinatur menuju Kesatrian Madukara.

Resi Pamintajati.

PRABU SURYAASMARA MENYERANG KESATRIAN MADUKARA


Sudah dua bulan lamanya Prabu Suryaasmara menunggu kedatangan Patih
Kalagambira membawa pulang Raden Arjuna, tetapi yang ditunggu tak juga kunjung tiba.
Karena prihatin melihat rakyatnya semakin banyak yang jatuh sakit dan meninggal, ia pun
berangkat sendiri memimpin pasukan Parangkencana untuk menyerang Kesatrian
Madukara dan membawa paksa Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Begitu sampai di tujuan, Prabu Suryaasmara dan pasukannya segera berhadapan


dengan bala tentara Kerajaan Amarta yang dipimpin Arya Wrekodara, Raden Gatutkaca,
dan Patih Tambakganggeng.
Pertempuran sengit pun terjadi. Sungguh kebetulan, Raden Arjuna yang dicari-cari
juga telah tiba dan langsung terjun menghadapi Prabu Suryaasmara.
Prabu Suryaasmara lama-lama terdesak menghadapi kesaktian pihak lawan dan ia
pun dapat diringkus oleh Raden Arjuna. Namun kemudian, gurunya yang bernama Resi
Indrajala datang menyusul untuk memintakan pengampunan baginya.

KELAHIRAN RADEN SUMITRA


Prabu Puntadewa bertanya mengapa Prabu Suryaasmara mengirim orang untuk
menculik adiknya. Resi Indrajala pun menjelaskan bahwa Kerajaan Parangkencana saat ini
sedang dilanda wabah penyakit dan menurut petunjuk dewa, hanya bisa diobati dengan
pengorbanan darah Raden Arjuna. Itulah sebabnya, Prabu Suryaasmara mengirim Patih
Kalagambira untuk membawa Raden Arjuna.
Raden Arjuna bercerita bahwa dirinya menolak jika harus disembelih dan darahnya
ditumpahkan untuk membasahi bumi Parangkencana. Itulah sebabnya ia terpaksa
membunuh Patih Kalagambira di tengah jalan. Namun, ia sendiri terluka parah dan baru
bisa sembuh setelah dirawat Resi Pamintajati dan putrinya di Padepokan Argabinatur
selama dua bulan.
Mendengar itu, Prabu Puntadewa menyatakan bersedia menggantikan Raden Arjuna
untuk mengorbankan diri apabila hal ini dapat membebaskan Kerajaan Parangkencana dari
wabah penyakit dan menyelamatkan nyawa rakyat di sana. Ia tidak peduli dirinya memiliki
hubungan dengan Kerajaan Parangkencana atau tidak, karena baginya menolong orang
tidak perlu membeda-bedakan ini dan itu. Mendengar kakak sulungnya berkata demikian,
Raden Arjuna terharu dan ia pun menyatakan bersedia disembelih demi kebaikan Kerajaan
Parangkencana.
Resi Indrajala berkata bahwa telah terjadi kesalahpahaman di sini. Petunjuk dewa
yang ia terima bukanlah mengorbankan nyawa Raden Arjuna, tetapi hanya pengorbanan
darah saja. Rupanya Patih Kalagambira telah salah memahami perintah sehingga berakibat
pada kematiannya sendiri. Para Pandawa lega mendengar penjelasan Resi Indrajala dan
segera membebaskan Prabu Suryaasmara.
Prabu Suryaasmara menyatakan berterima kasih atas kesediaan Raden Arjuna
membantu kesulitan Kerajaan Parangkencana. Ia pun menyatakan diri mulai sekarang
bersedia menjadi bawahan Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa menjawab tidak perlu
demikian. Prabu Suryaasmara hendaknya menjadi kawan sederajat saja, tidak perlu
menjadi bawahan segala.
Tiba-tiba Dewi Srikandi datang melapor bahwa Dewi Sulastri baru saja melahirkan
seorang bayi laki-laki. Para Pandawa gembira mendengarnya. Raden Arjuna pun memberi
nama putranya itu, Raden Sumitra, yang bermakna “teman yang baik”. Maksudnya ialah
sebagai pengingat, bahwa kelahiran bayi tersebut bersamaan dengan Prabu Suryaasmara
berubah dari seorang musuh menjadi teman.

RADEN ARJUNA MENGORBANKAN DARAHNYA UNTUK KESEMBUHAN KERAJAAN


PARANGKENCANA
Singkat cerita, Prabu Suryaasmara dan Resi Indrajala telah kembali ke Kerajaan
Parangkencana bersama para Pandawa. Resi Indrajala lalu mengadakan upacara
pengorbanan darah Raden Arjuna di alun alun. Setelah doa dan mantra dibacakan, Raden
KITAB WAYANG PURWA

Arjuna pun mengiris lengannya sendiri. Darah mengucur membasahi bumi Kerajaan
Parangkencana. Setelah dirasa cukup, Resi Indrajala lalu membalut luka kesatria Pandawa
nomor tiga tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.
Prabu Suryaasmara juga berterima kasih kepada Raden Arjuna dan para Pandawa
lainnya. Ia berdoa semoga kelak memiliki anak perempuan agar bisa berjodoh dengan
Raden Sumitra, yaitu putra Raden Arjuna yang baru lahir. Prabu Puntadewa dan adik-
adiknya pun berharap semoga hal itu bisa terjadi.

NIKEN LARASATI MENJADI IBU UNTUK RADEN SUMITRA DAN RADEN


BRATALARAS
Setelah menginap tiga hari di istana Parangkencana, para Pandawa mohon pamit
kembali ke Kerajaan Amarta. Sesampainya di sana, mereka disambut Dewi Srikandi yang
mengabarkan bahwa Niken Larasati juga baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki. Raden
Arjuna sangat gembira dan memberi nama putranya itu, Raden Bratalaras. Nama “brata”
artinya “tindakan luhur”, sedangkan “laras” maksudnya adalah “selaras”. Hal ini sebagai
pengingat, bahwa kelahiran Raden Bratalaras bersamaan dengan Raden Arjuna melakukan
tindakan luhur di Kerajaan Parangkencana yang selaras dengan kehendak dewa.
Dewi Srikandi juga menceritakan bahwa air susu Dewi Sulastri tidak keluar, sehingga
Raden Sumitra selama tiga hari ini terserang penyakit kuning karena lapar. Untungnya,
Niken Larasati telah melahirkan Raden Bratalaras dan air susunya juga lancar. Niken
Larasati menyatakan bersedia menjadi ibu susu bagi Raden Sumitra. Dewi Sulastri sangat
bahagia dan memohon Niken Larasati agar sudi menganggap Raden Sumitra sebagai putra
kandung sendiri. Niken Larasati sama sekali tidak keberatan dan mengajak Dewi Sulastri
untuk membesarkan putra mereka bersama-sama.
Karena menyusui dua bayi sekaligus, maka tersiarlah kabar bahwa Niken Larasati
melahirkan dua orang anak, yaitu Raden Sumitra dan Raden Bratalaras.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Menurut Serat Pustakaraja Purwa versi Ngasinan, diceritakan bahwa Prabu Suryaasmara berniat
menumbalkan Raden Arjuna untuk menumbuhkan cinta di hati istrinya. Saya sengaja mengubah
cerita penumbalan tersebut menjadi urusan wabah penyakit, bukan urusan rumah tangga. Selain
itu, diceritakan pula dalam naskah tersebut bahwa pendeta yang menolong Raden Arjuna bernama
Resi Nirmawacana dan putrinya bernama Endang Nirmalawati. Saya pun mengubahnya menjadi
Resi Pamintajati dan Endang Pamegatsih, yang kelak melahirkan Bambang Pamegattresna.
Mengapa demikian? Karena Endang Nirmalawati hanyalah tokoh figuran yang sekali tampil,
sedangkan Bambang Pamegattresna kelak muncul di lakon Kikis Tunggarana. Saya berniat
menciptakan benang merah agar lakon tersebut dapat terhubung dengan lakon di atas.
Kemudian untuk Raden Sumitra, menurut beberapa sumber adalah putra Niken Larasati,
sedangkan saya mengikuti tulisan Sunardi DM, bahwa Raden Sumitra adalah putra Dewi
Sulastri. Untuk menjembatani kedua versi tersebut, maka saya kisahkan bahwa Niken Larasati
menjadi ibu susu bagi Raden Sumitra. Dengan demikian, Raden Sumitra memiliki dua orang ibu,
yaitu Niken Larasati dan Dewi Sulastri. Supaya masuk akal, maka saya harus menceritakan pula
bahwa di saat yang sama Niken Larasati juga melahirkan Raden Bratalaras.
Adapun dalam kitab Mahabharata, tokoh Sumitra bukanlah putra Arjuna, melainkan kusir kereta
Abhimanyu yang gugur bersama sang majikan dalam Perang Bharatayudha. Rupa-rupanya para
pujangga Jawa “menaikkan derajat” Sumitra bukan hanya sebagai pelayan, tetapi menjadi saudara
Abimanyu pula.
KITAB WAYANG PURWA

JAKA PENGALASAN
Kisah ini menceritakan tentang Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu yang diculik
musuh dan disembunyikan di dalam hutan, lalu mereka diganti oleh Dewi Juwitaningrat
dan Raden Senggoto yang menyamar dan masuk ke dalam Kesatrian Madukara. Raden
Abimanyu kemudian tumbuh menjadi remaja bernama Jaka Pengalasan yang akhirnya
berhasil bertemu kembali dengan ayahnya.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang
disusun Ki Tristuti Suryasaputra, dengan disertai penambahan dan pengembangan
seperlunya.
Kediri, 06 Juni 2017
Heri Purwanto

Raden Abimanyu menjadi Jaka Pengalasan.

RADEN ABIMANYU BERUBAH MENJADI RAKSASA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata
(putra mahkota), Arya Setyaki (adik ipar), dan juga Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari
Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang
kabar berita dari Kesatrian Madukara, bahwa Dewi Sumbadra kini mempunyai kegemaran
baru, yaitu suka memakan daging mentah, sedangkan Raden Abimanyu berubah wujud
menjadi bocah raksasa.
Prabu Baladewa heran dan bertanya mengapa bisa demikian. Prabu Kresna sendiri
kurang tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. Konon kisahnya berawal saat Raden Arjuna
diculik Patih Kalagambira dari Kerajaan Parangkencana. Raden Arjuna berontak dan
berhasil menewaskan penculiknya, tetapi ia sendiri terluka dan jatuh pingsan. Setelah
ditolong dan dirawat oleh Resi Pamintajati dan Endang Pamegatsih di Padepokan
Argabinatur, ia pun pulih kembali dan kemudian pulang ke Kesatrian Madukara. Saat itu
Kerajaan Amarta sedang menghadapi serangan Prabu Suryaasmara dari Kerajaan
Parangkencana. Setelah tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, Raden Arjuna pun
bersedia dibawa ke Parangkencana untuk mengorbankan darahnya. Rupanya negeri yang
dipimpin Prabu Suryaasmara sedang dilanda wabah penyakit, dan menurut petunjuk
dewata hanya bisa dipulihkan dengan tetesan darah kesatria Panengah Pandawa tersebut.
Demikianlah, ketika Raden Arjuna kembali ke Kesatrian Madukara setelah
mengorbankan darahnya, tiba-tiba Raden Abimanyu sudah berubah paras menjadi bocah
raksasa, sedangkan Dewi Sumbadra sudah memiliki kegemaran baru, yaitu suka memakan
daging mentah.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Baladewa semakin heran dan mengajak Prabu Kresna untuk mengunjungi adik
bungsu mereka itu. Semoga saja kedatangan mereka dapat membantu memulihkan Dewi
Sumbadra dan Raden Abimanyu menjadi seperti sediakala. Prabu Kresna setuju dan
kemudian membubarkan pertemuan.
Prabu Kresna lalu masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan kepada ketiga
permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma. Setelah itu ia
berangkat bersama Prabu Baladewa dan Arya Setyaki menuju Kerajaan Amarta.

Arya Setyaki, Prabu Baladewa, Raden Samba, dan Prabu Kresna.

RESI KALASWARA DAN PATIH KALAMARGANGSA MENCARI PRABU


KALAMARDEWA.
Tersebutlah negeri para raksasa bernama Kerajaan Guaseluman, yang rajanya
bernama Prabu Kalamardewa. Selama beberapa hari ini sang raja menghilang dari istana,
sehingga urusan negara untuk sementara ditangani Patih Kalamargangsa.
Hari itu guru dari Prabu Kalamardewa yang bernama Resi Kalaswara datang
berkunjung untuk menanyakan keberadaan muridnya tersebut. Patih Kalamargangsa
menyembah dan bercerita bahwa sudah beberapa hari ini Prabu Kalamardewa menghilang
dari istana. Awalnya ialah Prabu Kalamardewa mendapat pengaduan dari adiknya yang
bernama Dewi Juwitaningrat, yang kehilangan suami karena dibunuh orang. Adapun suami
Dewi Juwitaningrat ini tidak lain adalah Patih Kalagambira yang mengabdi di Kerajaan
Parangkencana.
Patih Kalamargangsa menyaksikan bagaimana Dewi Juwitaningrat meminta kepada
Prabu Kalamardewa agar membalas kematian suaminya yang mati dibunuh Raden Arjuna.
Prabu Kalamardewa bersedia dan hendak berangkat menyerang tempat tinggal si
pembunuh tersebut. Akan tetapi, Dewi Juwitaningrat mempunyai rencana lain. Ia
mendengar kabar bahwa Raden Arjuna sangat tampan tiada banding dan memiliki istri
kesayangan bernama Dewi Sumbadra. Dewi Juwitaningrat meminta Prabu Kalamardewa
untuk menculik wanita tersebut sekaligus beserta putranya yang bernama Raden Abimanyu.
Dewi Juwitaningrat kemudian berniat menyamar sebagai Dewi Sumbadra palsu dan
menyusup masuk ke dalam Kesatrian Madukara bersama putranya yang telah yatim,
bernama Raden Senggoto. Dengan demikian, Raden Arjuna tanpa sadar akan menebus
kematian Patih Kalamargangsa dengan cara menafkahi istri dan anaknya itu.
Demikianlah yang diketahui Patih Kalamargangsa. Setelah Prabu Kalamardewa dan
Dewi Juwitaningrat pergi menuju Kesatrian Madukara, keduanya tidak terdengar lagi
beritanya. Resi Kalaswara merasa waswas atas keselamatan muridnya itu dan mengajak
Patih Kalamargangsa berangkat menyusul ke sana.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Juwitaningrat.

PASUKAN GUASELUMAN BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN DWARAWATI


Setelah mengambil keputusan demikian, Resi Kalaswara dan Patih Kalamargangsa
pun berangkat menuju Kesatrian Madukara dengan membawa pasukan secukupnya. Di
tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan Dwarawati. Arya
Setyaki yang berada di ujung barisan curiga mengetahui niat Patih Kalamargangsa hendak
mendatangi Kesatrian Madukara. Maka, terjadilah pertempuran di antara mereka.
Resi Kalaswara melihat Patih Kalamargangsa terdesak menghadapi ketangkasan
Arya Setyaki. Pasukan Guaseluman juga kocar-kacir digempur pasukan Dwarawati. Resi
Kalaswara pun maju mengerahkan kesaktiannya. Arya Setyaki ganti terdesak dan meminta
pertolongan Prabu Baladewa. Prabu Baladewa turun dari punggung Gajah Puspadenta
menghadapi Resi Kalaswara. Keduanya bertarung seimbang. Karena lengah, Prabu
Baladewa terkena sihir lawan dan terdesak mundur.
Melihat itu, Prabu Kresna akhirnya maju dan melumpuhkan ilmu kesaktian Resi
Kalaswara. Akhirnya, Resi Kalaswara dan Patih Kalamargangsa pun terhempas angin
topan yang keluar dari bunyi tetabuhan Gong Pancajanya. Tubuh mereka terbawa angin
dan jatuh entah di mana.

Resi Kalaswara.

PRABU KRESNA MENASIHATI RADEN ARJUNA AGAR BERSABAR


Rombongan Kerajaan Dwarawati kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai di
Kesatrian Madukara. Tampak Raden Arjuna didampingi Dewi Sumbadra (palsu) bersama
para Pandawa lainnya menyambut kedatangan mereka. Raden Arjuna tertunduk lesu
KITAB WAYANG PURWA

karena setelah pulang dari Kerajaan Parangkencana membantu kesulitan Prabu


Suryaasmara, tiba-tiba saja Dewi Sumbadra sudah berubah kegemaran, sedangkan Raden
Abimanyu berubah wujud menjadi bocah raksasa.
Dewi Sumbadra lalu memanggil Raden Abimanyu agar keluar menemui Prabu Kresna,
Prabu Baladewa, dan Arya Setyaki. Melihat wujud sang keponakan saat ini, mereka bertiga
terkejut heran. Prabu Baladewa dan Arya Setyaki merasa jijik, sedangkan Prabu Kresna
tampak mengamati dengan seksama. Rupanya Prabu Kresna mendapat firasat bahwa
keduanya adalah Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu palsu. Akan tetapi, ia tidak boleh
membongkar penyamaran mereka, karena hati nuraninya berbisik bahwa Dewi Sumbadra
dan Raden Abimanyu yang asli saat ini baik-baik saja, dan mereka memang harus menjalani
nasib buruk untuk memperkuat jiwa dan raga.
Maka, Prabu Kresna pun menasihati Raden Arjuna agar tetap tabah dan sabar
menjalani cobaan ini. Apabila adik iparnya itu tetap tabah, maka dewata akan memberikan
berkah yang lebih besar kepadanya. Arya Wrekodara menyela ikut bicara, bahwa yang
memberikan nama Abimanyu untuk putra Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra adalah dirinya.
Kini saat melihat wujud sang keponakan yang juga telah menjadi putra angkatnya itu
berubah menjadi jelek, ia merasa sayang jika nama Abimanyu tetap digunakan. Oleh sebab
itu, ia meminta agar nama tersebut dilepas dan hendaknya diganti dengan nama yang lain.
Dewi Sumbadra palsu merasa senang mendengar usulan Arya Wrekodara yang
sesuai dengan keinginannya. Ia pun mengusulkan agar Raden Abimanyu mulai saat ini
diganti namanya menjadi Raden Senggoto saja. Arya Wrekodara setuju, begitu pula dengan
Prabu Kresna. Karena kedua kakaknya mendukung usulan tersebut, maka Raden Arjuna
pun bersedia memakai nama itu untuk putranya yang telah berubah wujud. Rupa-rupanya
ia tidak tahu kalau Raden Senggoto adalah nama asli putra Dewi Juwitaningrat (Dewi
Sumbadra palsu) dengan mendiang Patih Kalagambira.

Raden Senggoto.

DEWI SUMBADRA DISELAMATKAN RADEN BURISRAWA


Sementara itu, Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu yang asli saat ini sedang
disekap Prabu Kalamardewa di Hutan Krendawahana. Prabu Kalamardewa bercerita
bahwa ia hanya membantu adiknya yang bernama Dewi Juwitaningrat untuk membalas
kematian Patih Kalagambira, yaitu suami dari adiknya tersebut, yang mati dibunuh Raden
Arjuna. Dewi Juwitaningrat sudah didandani menjadi Dewi Sumbadra palsu dan masuk ke
dalam Kesatrian Madukara bersama putranya yang bernama Raden Senggoto. Dengan
demikian, Raden Arjuna tanpa sadar akan menghidupi janda dan anak dari orang yang telah
ia bunuh.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sumbadra marah mengetahui rencana jahat Prabu Kalamardewa. Melihat


perempuan itu marah dan bertambah cantik, Prabu Kalamardewa pun terpikat dan hendak
berbuat jahat kepadanya. Ia mengancam akan membunuh Raden Abimanyu apabila Dewi
Sumbadra tidak menuruti nafsunya.
Dewi Sumbadra merasa serbasalah. Ia pun berteriak meminta tolong, namun Prabu
Kalamardewa mengejek bahwa tempat mereka berada saat ini adalah hutan belantara yang
lebat, dan tentunya tidak seorang pun akan mendengar jeritannya.
Akan tetapi, Prabu Kalamardewa salah perhitungan. Tiba-tiba saja muncul Raden
Burisrawa menyerang dirinya. Rupanya Prabu Kalamardewa tidak tahu jika Hutan
Krendawahana adalah wilayah kekuasaan Batari Durga. Begitu mengetahui Dewi
Sumbadra disekap di dalam hutan tersebut, Batari Durga segera memberi tahu Raden
Burisrawa yang sudah lama menjadi muridnya. Teringat pada cinta lamanya, Raden
Burisrawa pun berangkat untuk menyelamatkan sang kekasih.
Maka, terjadilah pertarungan antara Raden Burisrawa melawan Prabu Kalamardewa.
Setelah bertarung agak lama, Raden Burisrawa yang kini bertambah sakti berkat bimbingan
Batari Durga akhirnya berhasil menewaskan raja raksasa dari Guaseluman tersebut.

DEWI SUMBADRA DIRAWAT RESI MANDARASA


Setelah Prabu Kalamardewa terbunuh, Raden Burisrawa terkejut karena Dewi
Sumbadra dan Raden Abimanyu sudah tidak ada. Rupanya ibu dan anak itu telah melarikan
diri dan berusaha keluar dari Hutan Krendawahana. Dewi Sumbadra paham apabila Raden
Burisrawa berhasil merebut dirinya dari tangan Prabu Kalamardewa, itu sama saja dengan
lolos dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.
Dewi Sumbadra yang menggendong Raden Abimanyu berlari tak tentu arah. Di
belakangnya Raden Burisrawa tampak mengejar tanpa lelah. Samar-samar di depan terlihat
dua orang sedang berjalan. Dewi Sumbadra pun berteriak meminta tolong. Kedua orang di
depannya itu segera membantu. Yang satu seorang pendeta tua, dan yang satunya seorang
pemuda gagah. Si pemuda segera menerjang maju ke arah Raden Burisrawa. Keduanya
pun berkelahi seru, hingga akhirnya Raden Burisrawa kalah dan melarikan diri jauh-jauh.
Kedua penolong tersebut memperkenalkan diri. Sang pendeta tua mengaku bernama
Resi Mandarasa dari Padepokan Argapudya, sedangkan yang muda adalah muridnya,
bernama Putut Aribawa. Dewi Sumbadra juga memperkenalkan dirinya. Terus terang ia
merasa heran mengapa wujud Putut Aribawa sangat mirip dengan keponakannya yang
bernama Raden Gatutkaca.
Resi Mandarasa pun bercerita bahwa Putut Aribawa memang ia ciptakan dari ari-ari
Raden Gatutkaca. Saat itu ketika Raden Gatutkaca masih kecil, tali pusarnya dipotong oleh
Raden Arjuna menggunakan warangka pusaka Kuntadruwasa. Ari-ari milik Raden
Gatutkaca itu kemudian dihanyutkan di sungai oleh Arya Wrekodara dan Dewi Arimbi.
Kebetulan Resi Mandarasa sedang bertapa di tepi sungai dan memungut ari-ari tersebut. Ia
lalu mendengar suara dari langit bahwa ari-ari ini adalah milik kesatria sakti bernama Raden
Gatutkaca yang saat itu sedang menjadi jago kahyangan menghadapi Prabu Kalapracona
dan Patih Sekiputantra. Atas izin dewata, Resi Mandarasa pun mengubah ari-ari tersebut
menjadi seorang pemuda gagah, diberi nama Putut Aribawa.
Dewi Sumbadra terkesan mendengar cerita Resi Mandarasa. Sebenarnya ia ingin
diantarkan pulang ke Kesatrian Madukara, tetapi kemudian berubah pikiran. Dewi
Sumbadra merasa ada baiknya jika Raden Abimanyu dibesarkan di tengah hutan daripada
hidup dalam kemewahan di istana. Kelak jika dewata mengizinkan, maka ia dan putranya
pasti dapat berkumpul kembali dengan Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Mandarasa kagum pada niat baik Dewi Sumbadra. Ia pun menawarkan tempat
menginap untuk wanita itu dan juga Raden Abimanyu. Dewi Sumbadra berterima kasih dan
merasa sangat beruntung. Mulai hari itu, Resi Mandarasa pun mengangkat Dewi Sumbadra
sebagai putrinya, dengan diberi nama samaran Endang Cahyaningsih, sedangkan Raden
Abimanyu dijadikan sebagai cucu, dengan nama samaran Jaka Pengalasan.

JAKA PENGALASAN DAN PUTUT ARIBAWA MENYABUNG AYAM DENGAN RADEN


SENGGOTO
Tidak terasa sudah lima tahun lamanya Endang Cahyaningsih tinggal di Padepokan
Argapudya. Jaka Pengalasan pun kini telah berusia tiga belas tahun. Pada suatu hari ia
merasa bosan tinggal di padepokan dan mengajak Putut Aribawa berjalan-jalan ke kota
sambil membawa ayam jago kesayangannya. Putut Aribawa tidak berani tetapi juga tidak
kuasa menolak ajakan adik angkatnya tersebut. Mereka lalu bersama-sama berangkat
tanpa meminta izin terlebih dulu kepada Resi Mandarasa dan Endang Cahyaningsih.
Perjalanan Jaka Pengalasan dan Putut Aribawa akhirnya sampai di pasar Kerajaan
Amarta. Di tempat itu mereka melihat sejumlah laki-laki sedang menyabung ayam. Tampak
salah satunya adalah Raden Senggoto yang disebut-sebut sebagai putra Raden Arjuna.
Dalam acara aduan itu, ayam jago milik Raden Senggoto selalu unggul mengalahkan lawan-
lawannya.
Raden Senggoto kemudian melihat Jaka Pengalasan juga membawa seekor ayam
jago. Ia pun menantang remaja tersebut untuk menyabung ayam mereka. Jaka Pengalasan
menolak karena ayamnya bukan untuk diadu. Raden Senggoto memaksa dan mengejek
Jaka Pengalasan sebagai pengecut. Jaka Pengalasan tersinggung dan akhirnya menerima
tantangan itu. Kedua ayam mereka pun diadu, dengan disaksikan orang-orang di pasar
yang bersorak-sorak ramai.
Maka, terjadilah pertarungan seru antara ayam Jaka Pengalasan melawan ayam
Raden Senggoto. Selang agak lama, ayam milik Raden Senggoto pun tewas kehabisan
darah karena terluka oleh paruh, cakar, dan taji lawan. Raden Senggoto marah dan
menangkap ayam milik Jaka Pengalasan, lalu menggigit lehernya hingga mati. Tidak hanya
itu, Raden Senggoto juga berniat menggigit Jaka Pengalasan untuk melampiaskan
kekesalan.
Putut Aribawa segera maju melindungi adik angkatnya. Ia pun menempeleng wajah
Raden Senggoto hingga raksasa muda itu jatuh dan tewas seketika.

Putut Aribawa.

RADEN GATUTKACA BERSATU DENGAN PUTUT ARIBAWA


Orang-orang di pasar pun bubar ketakutan melihat putra Raden Arjuna terbunuh.
Kebetulan Raden Gatutkaca sedang meronda keamanan dan lewat di tempat itu. Melihat
KITAB WAYANG PURWA

sepupunya tewas, ia segera maju menyerang Putut Aribawa. Keduanya pun terlibat
pertarungan sengit.
Raden Gatutkaca heran melihat sosok Putut Aribawa yang mirip dengan dirinya.
Mereka bertarung sengit, sama-sama gagah, sama-sama kuat dan perkasa. Namun, karena
Raden Gatutkaca bisa terbang, lama-lama Putut Aribawa pun terdesak kalah dan akhirnya
roboh tak berdaya. Tenaganya habis dan sepertinya ia tidak dapat hidup lebih lama lagi.
Menjelang ajal tiba, Putut Aribawa bertanya siapa nama pemuda yang berhasil
mengalahkannya. Raden Gatutkaca pun memperkenalkan dirinya. Putut Aribawa terkejut
mendengar nama itu dan berkata bahwa sesungguhnya mereka masih bersaudara. Putut
Aribawa menjelaskan bahwa ia tercipta dari ari-ari Raden Gatutkaca sendiri yang
dihanyutkan di sungai, dan ditemukan oleh Resi Mandarasa.
Raden Gatutkaca antara percaya dan tidak percaya mendengarnya. Putut Aribawa
lalu bercerita tentang Raden Senggoto yang baru saja tewas sebenarnya bukan putra
Raden Arjuna, tetapi anak musuh yang disusupkan ke dalam Kesatrian Madukara. Adapun
Raden Abimanyu yang asli adalah Jaka Pengalasan yang ada bersamanya. Raden
Gatutkaca mengamat-amati wujud Jaka Pengalasan ternyata memang mirip dengan Raden
Abimanyu yang sejak kecil sering ia temani bermain. Maka, ia pun mulai percaya pada
ucapan Putut Aribawa tadi. Namun, Putut Aribawa sendiri sudah semakin lemah. Raden
Gatutkaca merasa bersalah pada saudaranya itu dan berniat memeluknya. Akan tetapi,
ketika tubuh mereka berpadu, tiba-tiba Putut Aribawa musnah menjadi asap dan terhisap
masuk ke dalam dada Raden Gatutkaca.
Raden Gatutkaca bangkit berdiri dan merasa tenaganya menjadi lebih besar. Rupa-
rupanya Putut Aribawa telah bersatu jiwa raga dengannya dan membuat kekuatannya
meningkat beberapa kali lipat dibanding sebelumnya. Ia sangat terharu dan berterima kasih
atas pengorbanan saudaranya tersebut.

Raden Gatutkaca.

RADEN ARJUNA BERTEMU DEWI SUMBADRA YANG ASLI


Raden Gatutkaca lalu menghampiri Jaka Pengalasan dan memeluk adik sepupunya
itu dengan penuh kerinduan. Tidak lama kemudian Raden Arjuna datang karena mendapat
laporan bahwa putranya telah tewas dibunuh orang. Ia pun bertanya kepada Raden
Gatutkaca siapa orangnya yang berani membunuh Raden Senggoto. Raden Gatutkaca
memasang badan bahwa yang membunuh Raden Senggoto adalah dirinya. Namun, ia juga
menjelaskan bahwa sesungguhnya bocah raksasa tersebut bukanlah putra Raden Arjuna,
melainkan anak musuh yang disusupkan masuk ke dalam Kesatrian Madukara. Ia juga
KITAB WAYANG PURWA

menjelaskan bahwa putra Raden Arjuna yang sebenarnya adalah Jaka Pengalasan, yang
sekarang ada di dekatnya.
Raden Arjuna terkejut dan marah mendapat jawaban demikian. Ia pun mengeluarkan
panah Sarotama dan berniat membunuh Raden Gatutkaca dan Jaka Pengalasan untuk
menegakkan keadilan. Raden Gatutkaca gentar harus berhadapan dengan paman sendiri.
Maka, ia pun menyambar tubuh Jaka Pengalasan untuk dibawa terbang jauh. Raden Arjuna
tidak mau menyerah dan segera mengejar mereka berdua menggunakan Aji Seipi Angin.
Raden Gatutkaca terbang di angkasa sambil meminta petunjuk Jaka Pengalasan, di
mana tempat tinggal Dewi Sumbadra saat ini. Akhirnya, mereka pun sampai di Padepokan
Argapudya. Resi Mandarasa dan Endang Cahyaningsih terkejut melihat Jaka Pengalasan
pulang bersama Raden Gatutkaca, dan kemudian muncul pula Raden Arjuna mengejar
mereka.
Resi Mandarasa mencoba menyabarkan Raden Arjuna dan menjelaskan duduk
perkara yang sebenarnya. Namun, Raden Arjuna sudah terbakar amarah dan berniat
mengamuk mengobrak-abrik isi padepokan. Endang Cahyaningsih maju sambil memanggil
Raden Arjuna dengan sebutan “bapakne kulup”. Raden Arjuna terkejut karena hanya Dewi
Sumbadra yang selalu memanggilnya demikian. Di antara mereka ada panggilan sayang,
yaitu “bapakne kulup” dan “ibune kulup”. Raden Arjuna merasa heran mengapa Endang
Cahyaningsih bisa mengetahui panggilan itu, sedangkan Dewi Sumbadra yang tinggal di
Kesatrian Madukara sudah lama tidak memanggilnya demikian.
Resi Mandarasa pun menjelaskan bahwa Endang Cahyaningsih sesungguhnya
adalah Dewi Sumbadra yang asli, begitu pula dengan Jaka Pengalasan adalah Raden
Abimanyu yang asli. Adapun Dewi Sumbadra yang saat ini berada di Kesatrian Madukara
adalah penyamaran Dewi Juwitaningrat, yaitu istri Patih Kalagambira yang ingin membalas
dendam atas kematian suaminya. Adapun Raden Senggoto juga bukan putra Raden Arjuna,
melainkan putra Patih Kalagambira dan Dewi Juwitaningrat.
Raden Arjuna terharu bercampur malu, dan segera memeluk Endang Cahyaningsih
bersama Jaka Pengalasan. Ia bertanya mengapa Dewi Sumbadra tidak muncul sejak dulu
untuk membongkar penyamaran Dewi Juwitaningrat. Dewi Sumbadra menjawab dirinya
sengaja bersembunyi di Padepokan Argapudya agar Raden Arjuna bisa menebus dosa
karena telah membunuh Patih Kalagambira dengan cara merawat janda dan anaknya. Jika
dewata sudah menganggap dosa tersebut lunas, pastilah Raden Arjuna akan dipertemukan
kembali dengan Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu yang asli. Lagipula, penyamaran
Raden Abimanyu menjadi Jaka Pengalasan juga ada himahnya, yaitu membuatnya menjadi
lebih tangguh dan mandiri, jauh lebih baik daripada hidup nyaman di dalam Kesatrian
Madukara yang penuh kenikmatan.
Raden Arjuna terharu mendengar ketulusan istrinya. Ia lalu mohon pamit kepada Resi
Mandarasa dan berterima kasih banyak atas segala pertolongannya selama ini. Raden
Gatutkaca juga mohon pamit dan meminta maaf karena Putut Aribawa sudah tidak ada lagi
di dunia, karena sudah bersatu jiwa raga dengan dirinya. Resi Mandarasa menjawab
memang sebaiknya begitu, karena Putut Aribawa tercipta dari ari-ari Raden Gatutkaca,
sehingga wajar jika kini kembali bersatu dengannya.
Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, Raden Abimanyu, dan Raden Gatutkaca telah kembali
ke Kesatrian Madukara. Kedatangan mereka pun disambut Dewi Srikandi, Dewi Sulastri,
dan Niken Larasati. Ketiga wanita itu heran melihat Dewi Sumbadra datang bersama Raden
Arjuna, sedangkan di dapur juga ada Dewi Sumbadra satu lagi sedang lahap menyantap
daging mentah. Raden Arjuna pun menjelaskan bahwa yang di dapur adalah Dewi
Sumbadra palsu, yaitu penyamaran Dewi Juwitaningrat.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Srikandi tanggap dan segera pergi ke dapur untuk menyeret Dewi Sumbadra
palsu. Dewi Sumbadra palsu terkejut menyadari penyamarannya telah terbongkar. Ia pun
kembali ke wujud raksasi dan menyerang Dewi Srikandi. Kedua wanita itu lalu bertarung
sengit. Dewi Srikandi yang sudah bersiaga dapat memenangkan pertarungan. Dengan
panahnya yang ampuh, ia pun berhasil menewaskan Dewi Juwitaningrat.
Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, dan si kembar Raden Nakula-Raden Sadewa
datang setelah mendengar keributan di Kesatrian Madukara. Mereka ikut bersyukur dan
bersuka cita karena masalah yang dihadapi Raden Arjuna telah teratasi. Raden Arjuna pun
mengadakan pesta syukuran untuk menyambut kepulangan Dewi Sumbadra dan Raden
Abimanyu yang kini telah tumbuh menjadi remaja tangguh.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Menurut naskah Serat Pustakaraja Purwa versi Ngasinan, lakon di atas adalah alternatif kisah
kelahiran Raden Abimanyu. Lakon ini sebenarnya diadaptasi dari cerita rakyat berjudul
Cindelaras. Dikisahkan bahwa Raden Abimanyu lahir di hutan, dan ari-arinya diubah menjadi
pemuda pengasuh bernama Putut Aribawa.
Karena saya telah menceritakan kelahiran Raden Abimanyu dalam cerita Wahyu Panuntun, maka
cerita Jaka Pengalasan pun saya ubah menjadi kelanjutan lakon Sumitra Lahir. Saya kisahkan
bahwa Dewi Juwitaningrat adalah wanita raksasa yang membalas dendam atas kematian Patih
Kalagambira. Adapun Putut Aribawa saya ubah ceritanya menjadi ari ari Raden Gatutkaca,
sehingga cerita ini dapat pula menjadi sambungan lakon Gatutkaca Lahir.
KITAB WAYANG PURWA

UDAWA WARIS
Kisah ini menceritakan tentang usaha Patih Udawa membangun Desa Widarakandang
menjadi Kepatihan. Niatnya ini mendapat halangan dari Prabu Baladewa, yang juga
telah dihasut oleh Patih Sangkuni.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Manteb Soedharsono, yang dipadukan dengan rekaman pentas wayang orang Sekar
Budaya Nusantara, dengan disertai penambahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 Juni 2017
Heri Purwanto

PATIH UDAWA MEMINTA IZIN MENDIRIKAN KEPATIHAN


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata
(putra mahkota) dan Arya Setyaki (adik ipar). Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura,
yaitu Prabu Baladewa. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang Patih Udawa yang
sudah dua bulan ini tidak hadir di istana untuk menjalankan tugas-tugasnya.
Prabu Baladewa mengaku sudah mendengar berita ini. Tujuan kedatangannya dari
Kerajaan Mandura adalah untuk menasihati Prabu Kresna agar memberikan sanksi kepada
Patih Udawa yang telah melalaikan kewajiban sebagai menteri utama. Prabu Kresna
diminta untuk menegakkan keadilan agar kesalahan Patih Udawa tidak diulangi para
menteri dan punggawa lainnya. Jangan sampai ada kasak-kusuk di belakang, bahwa Prabu
Kresna pilih kasih, hanya karena Patih Udawa kawan sepermainan sejak kecil lantas tidak
dihukum meskipun alpa dalam bertugas.
Tidak lama kemudian datanglah Nyai Sagopi dari Desa Widarakandang, yang
merupakan ibu asuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa saat mereka kecil sampai menjadi
remaja. Kedua raja itu pun menyambut sang ibu asuh dengan ramah dan penuh suasana
kerinduan. Nyai Sagopi datang untuk menyampaikan permohonan maaf putranya, yaitu
KITAB WAYANG PURWA

Patih Udawa yang sudah dua bulan ini pulang kampung dan melalaikan tugasnya sebagai
patih di Kerajaan Dwarawati. Yang kedua, ia menyampaikan selembar surat yang ditulis
putranya itu kepada Prabu Kresna.
Prabu Kresna menerima surat dari tangan Nyai Sagopi dan membaca isinya. Setelah
membaca, ia hanya diam tidak bersuara. Prabu Baladewa penasaran dan mengambil surat
tersebut. Begitu membaca isinya, ia langsung marah-marah dan mencaci-maki dengan
perkataan kasar. Rupanya surat tersebut berisi permohonan Patih Udawa untuk
membangun Desa Widarakandang menjadi Kepatihan. Prabu Baladewa pun marah besar
karena Desa Widarakandang adalah termasuk wilayah Kerajaan Mandura, dan itu berarti
Patih Udawa telah lancang melangkahi dirinya. Kemarahan Prabu Baladewa itu pun
dilampiaskannya kepada Nyai Sagopi yang dianggap tidak becus mendidik anak. Nyai
Sagopi ketakutan dan segera mohon pamit kembali ke Desa Widarakandang.
Prabu Baladewa masih marah meskipun Nyai Sagopi sudah pergi. Ia berkata Prabu
Kresna tidak perlu menghukum Patih Udawa, karena ia sendiri yang akan turun tangan.
Usai berkata demikian, Prabu Baladewa pun mohon pamit meninggalkan Kerajaan
Dwarawati menuju Desa Widarakandang pula.
Prabu Kresna termangu-mangu melihat kejadian ini. Ia khawatir akan terjadi perang
saudara antara Prabu Baladewa dengan Patih Udawa. Maka, Arya Setyaki pun diutus agar
berangkat mendahului Prabu Baladewa, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan
buruk. Ia sendiri membubarkan pertemuan, lalu masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan
kepada para permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma.

PRABU BALADEWA DIHASUT PATIH SANGKUNI AGAR MEMBUNUH PATIH UDAWA


Prabu Baladewa telah meninggalkan istana Dwarawati bersama Patih Pragota dan
Arya Prabawa. Di tengah jalan mereka berjumpa rombongan dari Kerajaan Hastina, yaitu
Patih Sangkuni dan para Kurawa, antara lain Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Raden
Srutayu, Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi. Selain mereka, terdapat
pula Adipati Karna, Patih Adimanggala, Adipati Jayadrata, dan Bambang Aswatama dalam
rombongan.
Prabu Baladewa bertanya ada perlu apa Patih Sangkuni dan rombongan datang
menemui dirinya. Patih Sangkuni berkata bahwa dirinya sudah mendengar berita tentang
Patih Udawa yang mangkir dari pekerjaannya sebagai menteri utama Kerajaan Dwarawati.
Prabu Baladewa heran dan bertanya dari mana Patih Sangkuni tahu urusan dalam negeri
Kerajaan Dwarawati. Patih Sangkuni pun menjawab bahwa ia tahu hal ini dari putrinya yang
telah menjadi istri Patih Udawa, yaitu Dewi Antiwati.
Patih Sangkuni menambahkan bahwa Patih Udawa tidak hanya mangkir, tetapi juga
sedang menyusun rencana makar terhadap Kerajaan Mandura. Prabu Baladewa tidak
percaya karena ia tahu watak Patih Udawa yang polos, tentu tidak mungkin mempunyai niat
memberontak. Patih Sangkuni pun memanas-manasi Prabu Baladewa dengan mengungkit
kisah lama tentang Prabu Basudewa. Ia berkata bahwa Patih Udawa sering mengeluh
kepada Dewi Antiwati bahwa dirinya sebagai putra sulung Prabu Basudewa tetapi
diperlakukan tidak adil. Meskipun Patih Udawa adalah anak hasil hubungan gelap antara
mendiang Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, tetapi ia merasa berhak atas takhta
Kerajaan Mandura. Bahkan, ia pernah berkata kepada istrinya itu, bahwa sebenarnya
dirinya lebih pantas menjadi raja Mandura daripada Prabu Baladewa.
Prabu Baladewa marah besar mendengar ucapan Patih Sangkuni. Ia paham bahwa
Patih Udawa memang putra sulung ayahnya, tetapi sama sekali tidak berhak atas takhta
Kerajaan Mandura. Hal itu karena Patih Udawa adalah anak hasil hubungan gelap antara
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Basudewa semasa muda dengan Nyai Sagopi yang saat itu masih bernama Ken
Yasoda. Akan tetapi, cerita ini sangat dirahasiakan karena dianggap sebagai aib Kerajaan
Mandura. Ia merasa Patih Udawa telah bertindak lancang berani menceritakan hal ini
kepada istrinya, sehingga akhirnya bocor pula kepada Patih Sangkuni.
Maka, Prabu Baladewa pun semakin bulat tekadnya ingin menghukum Patih Udawa
yang seberat-beratnya. Patih Sangkuni menyatakan para Kurawa sanggup membantu. Hal
ini karena Patih Udawa telah menjadi kakak ipar Raden Arjuna. Ia yakin menantunya itu
berani makar karena mendapat dukungan para Pandawa. Oleh sebab itu, para Kurawa
sebagai musuh Pandawa tidak akan tinggal diam dan siap membantu Prabu Baladewa.
Prabu Baladewa heran mengapa Patih Sangkuni membenci Patih Udawa yang
merupakan menantunya sendiri. Patih Sangkuni menjawab dirinya menyimpan dendam
sejak dulu, yaitu saat Patih Udawa mengadakan sayembara untuk memperebutkan Niken
Larasati. Saat itu para Kurawa menderita kekalahan dan Patih Sangkuni tertangkap lalu
dipermalukan di atas panggung oleh Patih Udawa. Demi menjaga nama baik, Patih
Sangkuni terpaksa menyerahkan putrinya, yaitu Dewi Antiwati kepada Patih Udawa untuk
dijadikan istri. Namun demikian, sejak saat itu ia menyimpan dendam dan ingin
melenyapkan Patih Udawa.
Prabu Baladewa menerima penjelasan Patih Sangkuni. Ia lalu mengutus Patih Pragota
untuk mendahului pergi ke Widarakandang. Patih Pragota ditugasi untuk memanggil Patih
Udawa agar menghadap kepada Prabu Baladewa. Namun, apabila orang itu
membangkang, maka Patih Pragota boleh menggunakan kekerasan untuk memaksanya.
Patih Pragota merasa berat jika harus berkelahi dengan sepupu sendiri. Namun, ia tidak
berani menolak perintah. Dengan sangat terpaksa, ia pun mohon pamit berangkat
melaksanakan tugas.

PERTEMPURAN DI DESA WIDARAKANDANG


Di Desa Widarakandang, Patih Udawa sedang duduk berdua dengan Dewi Antiwati.
Tiba-tiba Nyai Sagopi datang dan langsung marah-marah kepada Patih Udawa. Nyai Sagopi
seorang buta huruf yang merasa dipermainkan anak sendiri. Tadinya ia mengira surat yang
ia bawa untuk Prabu Kresna berisi permohonan izin memperpanjang cuti. Tak disangka
ternyata isinya adalah permohonan izin untuk mendirikan kepatihan di Desa
Widarakandang. Akibatnya, Nyai Sagopi pun menjadi sasaran amarah Prabu Baladewa
yang kebetulan hadir di istana Dwarawati.
Patih Udawa heran mengapa Prabu Baladewa tidak setuju dan marah-marah
mendengar dirinya hendak membangun kepatihan. Namun, ia tidak peduli. Yang berhak
memberikan izin membangun kepatihan adalah Prabu Kresna, bukan Prabu Baladewa.
Tekadnya sudah bulat. Siapa pun yang menentang rencananya akan ia hadapi, meskipun
saudara sendiri.
Tidak lama kemudian, Patih Pragota pun datang. Ia menyampaikan pesan dari Prabu
Baladewa untuk Patih Udawa agar membatalkan niat membangun kepatihan. Patih Pragota
adalah putra mendiang Patih Saragupita, sedangkan Patih Saragupita adalah kakak
kandung Nyai Sagopi. Dengan demikian, Patih Udawa adalah adik sepupu Patih Pragota.
Namun demikian, Patih Udawa terlanjur bersumpah akan menghadapi siapa saja yang
berniat menghalangi niatnya. Ia pun meminta Patih Pragota kembali ke rajanya. Soal
membangun kepatihan bukanlah urusan Prabu Baladewa, demikian ia berpesan.
Patih Pragota yang sudah diberi wewenang segera memaksa Patih Udawa untuk
meminta maaf kepada Prabu Baladewa. Patih Udawa pun menghadapi tentangan tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Keduanya lalu bertarung tanpa memikirkan hubungan saudara. Dalam pertarungan itu,
Patih Pragota terdesak dan dahinya tergores ujung keris milik Patih Udawa.
Patih Udawa sengaja tidak melukai kakak sepupunya, melainkan hanya menakut-
nakuti saja. Patih Pragota pun merasa gentar dan segera mundur untuk melapor kepada
Prabu Baladewa. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Patih Sangkuni segera
mengerahkan para Kurawa untuk mengeroyok Patih Udawa.
Pada saat itulah Arya Setyaki muncul dari persembunyian. Sejak tadi ia mengintai
percakapan Patih Udawa dan Patih Pragota. Begitu melihat para Kurawa datang untuk ikut
campur, ia segera maju menghadapi mereka. Maka, terjadilah pertempuran seru di halaman
rumah Nyai Sagopi tersebut. Patih Udawa dan Arya Setyaki bekerja sama dan berhasil
memukul mundur Arya Dursasana beserta saudara-saudaranya.

Patih Pragota.

PRABU KRESNA MENYURUH PATIH UDAWA PERGI KE KESATRIAN MADUKARA


Prabu Baladewa marah besar melihat ulah Patih Udawa yang dinilai kurang ajar.
Menurut pengetahuannya, Desa Widarakandang adalah tanah wilayah Kerajaan Mandura,
sehingga tidak bisa seenaknya Patih Udawa mendirikan kepatihan di situ. Tiba-tiba Prabu
Kresna datang menyabarkannya. Raja Dwarawati itu berkata bahwa Patih Udawa adalah
bawahannya, maka biarlah ia sendiri yang menjatuhkan hukuman.
Usai berkata demikian, Prabu Kresna pun mendatangi Patih Udawa dan Arya Setyaki.
Ia bertanya apakah sudah bulat tekad Patih Udawa untuk membangun kepatihan di
Widarakandang. Patih Udawa menjawab dirinya sudah bertekad demikian, meskipun harus
mati akan tetap dilaksanakan. Prabu Kresna berkata bahwa tanah Widarakandang masih
sengketa. Oleh sebab itu, hendaknya Patih Udawa menghadap Prabu Matsyapati di
Kerajaan Wirata untuk meminta keterangan. Bagaimanapun juga Prabu Matsyapati adalah
sesepuh para raja Tanah Jawa yang memiliki pusaka bernama Kitab Pustakaraja. Seluruh
kerajaan beserta perubahan wilayahnya secara langsung tercatat dalam kitab ajaib
pemberian Batara Indra tersebut.
Patih Udawa merasa rendah diri jika harus menghadap langsung kepada Prabu
Matsyapati. Maka, ia pun meminta Prabu Kresna agar mendampingi keberangkatannya
menuju Kerajaan Wirata. Prabu Kresna keberatan karena takut menyakiti perasaan Prabu
Baladewa. Ia pun menyarankan agar Patih Udawa meminta bantuan adik iparnya saja, yaitu
Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Udawa menerima saran tersebut. Ia lalu mohon pamit berangkat menuju
Kesatrian Madukara. Prabu Kresna kemudian memerintahkan Arya Setyaki untuk
melindungi Nyai Sagopi, sedangkan dirinya mengamati persengketaan ini dari kejauhan.
Sementara itu, Prabu Baladewa telah mengetahui bahwa Patih Udawa melarikan diri
dari Desa Widarakandang. Ia pun bergegas mengejar dengan mengendarai Gajah
Puspadenta. Setelah Prabu Baladewa pergi, Patih Sangkuni segera memasuki rumah Nyai
Sagopi untuk menjemput pulang Dewi Antiwati. Bagaimanapun juga ia ingin putrinya itu
bercerai dengan Patih Udawa yang tidak disukainya.

Nyai Sagopi

PATIH ADIMANGGALA BERUSAHA MENANGKAP PATIH UDAWA


Patih Udawa telah berjalan jauh dan akhirnya memasuki Desa Karangkadempel yang
berada di wilayah Kerajaan Amarta. Tiba-tiba ia disusul Patih Adimanggala, yaitu bawahan
Adipati Karna yang tadi hanya menonton saat para Kurawa mengeroyok Patih Udawa dan
Arya Setyaki di Desa Widarakandang. Setelah Prabu Baladewa berangkat naik gajah, Patih
Adimanggala pun meminta izin kepada Adipati Karna untuk ikut mengejar Patih Udawa.
Adipati Karna mengizinkan karena jika Patih Adimanggala berhasil menangkap Patih
Udawa, maka hubungannya dengan Prabu Baladewa menjadi lebih akrab.
Patih Udawa bertanya ada keperluan apa Patih Adimanggala mengejar dirinya. Patih
Adimanggala berkata bahwa ia ingin menangkap Patih Udawa dan menyerahkannya
kepada Prabu Baladewa. Jika berhasil, maka Patih Adimanggala pasti akan mendapatkan
banyak hadiah dari raja Mandura tersebut dan juga pujian dari Adipati Karna.
Patih Udawa berkata bahwa Patih Adimanggala ternyata sama liciknya dengan sang
majikan, yaitu Adipati Karna. Padahal jelas-jelas Adipati Karna sudah mengetahui bahwa
para Pandawa adalah adik-adiknya, tetapi tetap saja mengabdi kepada Prabu Duryudana.
Apalagi yang diinginkannya kalau bukan kedudukan dan kemewahan duniawi? Patih Udawa
sangat benci melihat manusia licik seperti itu.
Patih Adimanggala tersinggung mendengar majikannya dihina. Ia pun maju
menyerang Patih Udawa. Keduanya lalu bertarung seru. Kesaktian mereka seimbang,
sama-sama kuat, sama-sama perkasa. Hingga akhirnya tiba-tiba muncul Kyai Semar dan
ketiga panakawan lainnya melerai pertarungan keduanya.
Kyai Semar bertanya mengapa Patih Udawa dan Patih Adimanggala berkelahi di
wilayah Kerajaan Amarta. Patih Udawa pun bercerita bahwa dirinya hendak menghadap
Raden Arjuna tapi tiba-tiba diserang Patih Adimanggala. Kyai Semar lalu bertanya mengapa
Patih Adimanggala ingin mencelakai saudara sendiri. Patih Adimanggala heran dan
bertanya bagaimana bisa Patih Udawa adalah saudaranya.
KITAB WAYANG PURWA

Kyai Semar lalu bercerita bahwa Nyai Sagopi semasa muda bernama Niken Yasoda,
berparas sangat cantik dan bekerja sebagai penyanyi di Kerajaan Mandura. Mendiang
Prabu Basudewa pernah jatuh hati kepadanya, dan mereka pun melakukan hubungan
asmara, hingga menyebabkan Niken Yasoda mengandung. Prabu Basudewa lalu
menyerahkan Niken Yasoda kepada tukang kuda istana yang bernama Kyai Antyagopa dan
menyuruh mereka tinggal di Desa Widarakandang untuk menyembunyikan aib. Sejak saat
itulah Niken Yasoda diganti namanya menjadi Nyai Sagopi, dan ia pun melahirkan anak
hasil hubungan dengan Prabu Basudewa yang kelak setelah dewasa menjadi Patih Udawa.
Meskipun tinggal di desa, kecantikan Nyai Sagopi tidak berkurang. Diam-diam, adik
Prabu Basudewa yaitu Aryaprabu Rukma datang menemuinya. Mereka lalu berhubungan
dan lahirlah Niken Larasati. Kemudian datang pula adik bungsu Prabu Basudewa, yaitu Arya
Ugrasena yang juga merayu Nyai Sagopi. Dari hubungan tersebut lahir pula seorang bayi
laki-laki.
Buyut Antyagopa seorang tua yang lemah syahwat. Ia mengetahui istrinya yang muda
dan cantik berselingkuh dengan dua pangeran istana namun tidak berani menghentikan
mereka. Maka, ia pun melapor kepada Prabu Basudewa tentang ulah kedua pangeran
tersebut. Prabu Basudewa marah besar dan memerintahkan kedua adiknya untuk menikah
dengan wanita lain. Aryaprabu Rukma lalu menikah dengan Dewi Rumbini yang kelak
melahirkan Dewi Rukmini dan Raden Rukmaka, sedangkan Arya Ugrasena menikah
dengan Dewi Wresini yang kelak melahirkan Dewi Setyaboma dan Arya Setyaki.
Sementara itu, bayi laki-laki yang dilahirkan Nyai Sagopi dari hasil hubungan dengan
Arya Ugrasena kemudian dibawa pergi oleh Buyut Antyagopa. Hal ini karena Buyut
Antyagopa mendapat wangsit dari dewata agar bayi tersebut dikeluarkan dari Desa
Widarakandang dan diserahkan kepada Kyai Adirata di Kerajaan Hastina. Menurut dewata,
bayi tersebut ditakdirkan mendapat kemuliaan apabila berada dalam asuhan pria tersebut.
Kyai Adirata tinggal di Desa Petapralaya dan bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan
Hastina. Ia menyambut baik kedatangan Buyut Antyagopa dan menerima bayi laki-laki
tersebut sebagai anak angkat. Karena diasuh oleh Kyai Adirata, maka bayi itu diberi nama
Adimanggala, dan dipersaudarakan dengan anak-anaknya yang lain, yaitu Radeya,
Druwajaya, dan Jayarata. Kelak Radeya berhasil menjadi adipati di Awangga, bergelar
Adipati Karna, dan Adimanggala pun diangkat sebagai patihnya.
Mendengar cerita Kyai Semar tersebut, Patih Adimanggala terharu dan merasa
bersalah telah menyerang saudara sendiri demi mendapatkan pujian atasan. Ia pun
meminta maaf kepada Patih Udawa dan kemudian buru-buru pergi meninggalkan tempat
itu.

Patih Adimanggala.
KITAB WAYANG PURWA

PATIH UDAWA DIUSIR RADEN ARJUNA


Kyai Semar lalu bertanya ada keperluan apa Patih Udawa ingin menemui Raden
Arjuna. Patih Udawa pun bercerita bahwa dirinya bersengketa dengan Prabu Baladewa
mengenai hak kepemilikan Desa Widarakandang. Prabu Kresna menyarankan kepadanya
untuk meminta keadilan kepada Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata. Namun, Patih Udawa
malu dan merasa rendah diri, sehingga datang ke Kerajaan Amarta untuk meminta bantuan
Raden Arjuna agar mendampingi.
Kyai Semar memahami permasalahan yang dihadapi Patih Udawa. Ia pun mengajak
pria tersebut untuk menemui Raden Arjuna di Kesatrian Madukara.
Sesampainya di sana, Patih Udawa segera menyampaikan salam hormat kepada
Raden Arjuna dan para istri, lalu menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi. Raden
Arjuna merasa keberatan jika dirinya harus mendampingi Patih Udawa untuk menghadap
Prabu Matsyapati. Dalam hal ini ia merasa segan terhadap Prabu Baladewa. Patih Udawa
kecewa dan memohon Raden Arjuna agar bersedia membantu dirinya. Namun, Raden
Arjuna tetap saja menyalahkan Patih Udawa dan mengusir kakak iparnya itu dari Kesatrian
Madukara.
Niken Larasati berlari mengejar kakaknya yang putus asa, sedangkan Dewi Sumbadra
marah atas tindakan kasar sang suami. Ia berkata bahwa sejak kecil Patih Udawa sudah
dianggapnya sebagai kakak sulung. Saat masih kecil, Dewi Sumbadra sering digendong
dan dilindungi oleh Patih Udawa dari segala bahaya. Ia tidak dapat melupakan jasa dan
menyatakan siap membantu mendampingi kakaknya itu meminta keadilan kepada Prabu
Matsyapati.

RADEN ARJUNA MENYABARKAN PRABU BALADEWA


Dewi Sumbadra kemudian pergi menyusul Patih Udawa, dan bersama-sama pergi
menuju Kerajaan Wirata. Raden Arjuna kecewa melihat Dewi Sumbadra berbuat lancang di
hadapannya. Namun, Kyai Semar berhasil meredam kemarahannya. Justru Raden Arjuna
seharusnya bangga memiliki istri yang tegas dan mengingat jasa orang lain seperti Dewi
Sumbadra, bukannya malah kecewa.
Tiba-tiba Prabu Baladewa datang dan marah-marah meminta Raden Arjuna untuk
tidak melindungi Patih Udawa yang menjadi buronan baginya. Raden Arjuna berusaha
menyabarkan kakak iparnya itu. Ia berkata bahwa saat ini Patih Udawa dan Dewi Sumbadra
telah pergi ke Kerajaan Wirata untuk meminta Prabu Matsyapati menengahi persengketaan
atas tanah Widarakandang. Sebagai seorang raja agung, hendaknya Prabu Baladewa
mengutamakan jalur hukum, bukannya memaksa orang dengan menggunakan kekerasan.
Prabu Baladewa merasa ucapan Raden Arjuna ada benarnya. Ia pun mengajak adik
iparnya itu untuk pergi menyusul ke Kerajaan Wirata.

PRABU MATSYAPATI MENENGAHI PERSENGKETAAN DESA WIDARAKANDANG


Di Kerajaan Wirata, Prabu Matsyapati dihadap ketiga putranya, yaitu Arya Seta, Arya
Utara, dan Arya Wratsangka. Hadir pula Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, dan Arya
Wrekodara yang berniat menjadi saksi dalam sidang pengadilan sengketa antara Prabu
Baladewa dan Patih Udawa.
Patih Udawa datang menghadap dengan didampingi Dewi Sumbadra. Sebagai juru
bicara, Dewi Sumbadra memintakan keadilan untuk kakaknya tersebut kepada Prabu
Matsyapati. Yang terakhir tiba adalah Prabu Baladewa dengan ditemani Raden Arjuna dan
para panakawan.
KITAB WAYANG PURWA

Kedua pihak yang bersengketa pun saling berebut benar. Menurut Prabu Baladewa,
Desa Widarakandang adalah wilayah Kerajaan Mandura, sehingga Patih Udawa tidak dapat
seenaknya mendirikan kepatihan di sana. Sementara itu, Patih Udawa menjelaskan bahwa
mendiang Prabu Basudewa telah menyerahkan Desa Widarakandang sepenuhnya kepada
mendiang Buyut Antyagopa, dan tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura. Namun,
saat ditanyai soal bukti hitam di atas putih, Patih Udawa mengaku tidak memiliki.
Prabu Matsyapati merasa perlu untuk membuka Kitab Pustakaraja. Kitab ini
merupakan pusaka pemberian Batara Indra yang berisi daftar kerajaan yang ada di Tanah
Jawa, lengkap dengan batas-batas wilayahnya. Apabila ada suatu negara yang mengalami
perubahan wilayah, maka secara ajaib naskah dalam Kitab Pustakaraja juga ikut berubah
dengan sendirinya.
Setelah Arya Seta mengambilkan kitab tersebut, Prabu Matsyapati segera membaca
bab Kerajaan Mandura. Dalam kitab itu terdapat tulisan, Prabu Basudewa berterima kasih
atas jasa Buyut Antyagopa mengasuh anak-anaknya, yaitu Raden Kakrasana, Raden
Narayana, dan Dewi Bratajaya. Atas jasanya itu, Prabu Basudewa pun membebaskan Desa
Widarakandang tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura, dan bebas menentukan
nasibnya sendiri.
Prabu Baladewa malu mendengar keterangan tersebut. Ia masih tidak dapat mengakui
kemenangan Patih Udawa atas sengketa. Maka, ia lalu menantang Patih Udawa bertanding
di halaman istana Wirata. Apabila Patih Udawa mampu menangkis pukulan Senjata
Nanggala, maka ia bersedia melepaskan Desa Widarakandang.
Usai berkata demikian, Prabu Baladewa segera memohon izin kepada Prabu
Matsyapati untuk kemudian keluar dari istana Wirata. Patih Udawa menerima tantangan
tersebut dan kemudian ikut keluar setelah menghormat pada semua hadirin.

Prabu Matsyapati.

PRABU BALADEWA MENERIMA PATIH UDAWA SEBAGAI KAKAK


Prabu Baladewa dan Patih Udawa kini telah berhadap-hadapan di halaman istana.
Mereka berdua lalu bertarung. Patih Udawa sebenarnya kalah sakti dan terdesak
menghadapi kekuatan lawan. Namun, tekad dan semangatnya membara, membuat ia
mampu bertahan menghadapi gempuran Prabu Baladewa.
Dulu saat sayembara memperebutkan Niken Larasati, mereka berdua pernah
bertanding di mana Prabu Baladewa mewakili Raden Burisrawa. Saat itu, Patih Udawa
unggul karena meminjam Kembang Wijayakusuma milik Prabu Kresna. Kali ini ia sudah
bertekad untuk berjuang sampai mati, sehingga sama sekali tidak meminjam bunga pusaka
tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Baladewa tampaknya sudah gelap mata. Ia pun menghunus Senjata Nanggala
untuk dipukulkan ke tubuh Patih Udawa. Namun, dengan cekatan Patih Udawa mencabut
keris pusakanya dan digunakan untuk menangkis senjata tersebut.
Prabu Baladewa heran melihat Patih Udawa memiliki keris ampuh yang mampu
menangkis pukulan Nanggala. Patih Udawa menjelaskan bahwa pusakanya ini bernama
Keris Blabar, pemberian sang ibu, yaitu Nyai Sagopi.
Tidak lama kemudian, Nyai Sagopi datang dengan dikawal Arya Setyaki. Prabu
Baladewa segera bertanya bagaimana awal mulanya Keris Blabar bisa berada di Desa
Widarakandang. Nyai Sagopi pun bercerita bahwa keris tersebut dulu adalah milik Prabu
Basudewa yang dihadiahkan kepada Buyut Antyagopa bersamaan dengan pembebasan
Desa Widarakandang. Ketika Buyut Antyagopa meninggal, Keris Blabar pun diwarisi oleh
Nyai Sagopi yang kemudian diserahkan kepada Patih Udawa.
Prabu Baladewa termangu-mangu. Ia teringat sebelum meninggal ayahnya pernah
berwasiat agar dirinya jangan pernah menyakiti orang yang memiliki Keris Blabar. Rupanya
Prabu Basudewa sudah mengetahui bahwa Keris Blabar telah diwarisi oleh Udawa yang
merupakan anaknya sendiri dari hasil hubungan gelap. Namun demikian, ia tidak berani
berterus terang, hanya berwasiat seperti itu kepada Prabu Baladewa.
Dewi Sumbadra ikut mendekat dan berusaha mengungkit kisah masa lalu di hadapan
Prabu Baladewa. Dahulu kala mereka semua diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi di
Desa Widarakandang. Patih Udawa merupakan anak tertua yang selalu melindungi adik-
adiknya. Prabu Baladewa yang saat itu masih bernama Kakrasana, jika bertani selalu
Udawa yang menemani. Namun, Kakrasana cenderung pemarah dan jika tidak enak hati
selalu melampiaskannya kepada Udawa. Meskipun demikian, Udawa muda tidak pernah
marah, tetapi tetap sayang kepada semua adiknya.
Teringat pada cerita itu, hati Prabu Baladewa luluh dan kemarahannya reda. Ia segera
memeluk Patih Udawa dan meminta maaf atas segala sikap kasarnya selama ini. Mulai
sekarang, ia mengakui Patih Udawa sebagai kakak tertua dan memanggil “kakang”
kepadanya. Patih Udawa terharu dan berterima kasih kepada raja Mandura tersebut.

DEWI ANTIWATI MEMILIH TETAP BERSAMA SUAMI


Tiba-tiba datang istri Patih Udawa yang bernama Dewi Antiwati dalam keadaan
terburu-buru. Patih Udawa bertanya apa yang sedang terjadi kepadanya. Istrinya itu
menjawab ia sedang dikejar-kejar ayahnya sendiri, yaitu Patih Sangkuni beserta para
Kurawa. Rupanya Patih Sangkuni ingin Dewi Antiwati ikut pulang ke Plasajenar dan bercerai
dengan Patih Udawa.
Patih Udawa bertanya mengapa Dewi Antiwati tidak menuruti permintaan ayahnya
saja. Kini ia sudah tahu kalau Dewi Antiwati adalah orang yang telah menceritakan rencana
pembangunan kepatihan kepada Patih Sangkuni. Dewi Antiwati menjawab memang benar
demikian. Namun, ia bermaksud baik ingin meminta restu kepada Patih Sangkuni. Tak
disangka, ayahnya justru memelintir berita ini menjadi fitnah bahwa Patih Udawa hendak
memberontak kepada Kerajaan Mandura. Fitnah palsu inilah yang membuat Prabu
Baladewa marah dan menggempur Desa Widarakandang.
Kini Dewi Antiwati meminta maaf dan berjanji tidak akan bercerita apa-apa lagi kepada
ayahnya. Ia bersumpah mulai sekarang, susah senang dalam berumah tangga akan
disimpan sendiri, tidak perlu sampai orang lain tahu. Patih Udawa terharu melihat ketulusan
istrinya, dan ia pun menerima permohonan maaf Dewi Antiwati.
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian Patih Sangkuni dan para Kurawa datang untuk menjemput
pulang Dewi Antiwati. Namun, Dewi Antiwati menyatakan diri tetap ikut suami. Para Kurawa
segera maju untuk menyeret sepupu mereka itu. Melihat ini, Arya Wrekodara segera maju
menghadapi. Ia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tetapi juga tidak
suka melihat para Kurawa berbuat onar di Kerajaan Wirata, apalagi berniat menindas
seorang perempuan. Seorang diri ia berhasil memukul mundur para sepupunya itu kembali
ke Kerajaan Hastina.
Prabu Matsyapati bersyukur keadaan telah tenang kembali, dan yang paling utama
ialah tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara Prabu Baladewa dengan Patih Udawa.
Ia lalu mengajak semua hadirin untuk makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur
kepada dewata.

Patih Udawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Udawa Waris di atas menurut penjelasan Ki Manteb Soedharsono bukanlah Patih Udawa
menuntut warisan, tetapi kata Waris di sini maksudnya ialah “kerabat”, yaitu Patih Udawa
bertemu dengan kerabat-kerabatnya dan mendapat pengakuan dari mereka. Mengenai Dewi
Antiwati yang menjadi sumber berita bagi Patih Sangkuni adalah tambahan dari saya untuk
memperkaya dramatisasi cerita.
KITAB WAYANG PURWA

WAHYU MAKUTARAMA
Kisah ini menceritakan tentang Prabu Kresna yang menyamar sebagai Bagawan
Kesawasidi, menurunkan ajaran Astabrata kepada Raden Arjuna. Ajaran Astabrata
ini merupakan ilmu kepemimpinan peninggalan Prabu Sri Rama di zaman kuno,
sehingga ilmu ini disebut juga dengan nama Wahyu Makutarama.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo yang dipadukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, disertai
penambahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 23 Juni 2017
Heri Purwanto

PRABU DURYUDANA MENGUTUS ADIPATI KARNA MENCARI MAHKOTA SRI RAMA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana sedang dihadap Resi Druna dari Sokalima,
Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma dari
Tirtatinalang. Di paseban luar, para Kurawa lainnya juga tampak duduk berjajar menunggu
perintah, antara lain Arya Dursasana, Raden Durmagati, Raden Srutayu, Raden Citraksa,
Raden Citraksi, serta Adipati Jayadrata dan Bambang Aswatama.
Hari itu Prabu Duryudana bercerita bahwa tadi malam ia bermimpi mendengar suara,
barangsiapa bisa mendapatkan Mahkota Sri Rama, maka dirinya akan menjadi raja agung
yang disegani, baik itu oleh kawan maupun lawan. Negara yang dipimpinnya pun bisa
menjadi negeri yang besar dan berjaya di seluruh dunia. Namun, Prabu Duryudana tidak
KITAB WAYANG PURWA

tahu mimpi ini benar atau salah, serta ia juga tidak tahu siapa orang yang bernama Sri Rama
tersebut.
Resi Druna pun bercerita bahwa Prabu Sri Rama adalah raja agung titisan Batara
Wisnu yang hidup di zaman kuno. Konon ia berhasil menewaskan raja raksasa yang sangat
sakti dan berkuasa saat itu, bernama Prabu Rahwana Dasamuka dari Kerajaan Alengka.
Sebenarnya Prabu Sri Rama adalah putra mahkota Kerajaan Ayodya. Namun, ia merelakan
hak atas takhta kepada adiknya yang bergelar Prabu Barata, sedangkan dirinya sendiri
membangun negara baru bernama Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka, hidup bersama
bangsa wanara.
Prabu Duryudana tertarik mendengarnya dan semakin berminat ingin mendapatkan
Mahkota Sri Rama tersebut, demi kejayaan diri pribadi dan juga keagungan Kerajaan
Hastina. Namun, ia sama sekali tidak tahu di mana mahkota itu bisa diperoleh. Resi Druna
menjawab dirinya juga mendapatkan wangsit dari dewata tentang berita ini, tetapi yang ia
dengar adalah Wahyu Makutarama, bukannya Mahkota Sri Rama. Adapun wahyu tersebut
akan turun ke dunia melalui Bagawan Kesawasidi yang tinggal di Gunung Kutarunggu.
Prabu Duryudana bimbang mendengarnya. Ia tidak tahu mana yang benar, apakah
Mahkota Sri Rama, ataukah Wahyu Makutarama yang akan turun ke dunia. Resi Druna
menyarankan agar Prabu Duryudana berangkat ke Gunung Kutarunggu untuk memastikan
hal itu. Namun, Prabu Duryudana seorang tinggi hati yang penuh rasa gengsi. Ia merasa
dirinya seorang raja besar yang kaya raya, tentunya tidak pantas jika datang meminta-minta
kepada seorang pendeta tidak dikenal.
Adipati Karna memahami watak adik iparnya. Ia pun menawarkan diri untuk mewakili
Prabu Duryudana pergi ke Gunung Kutarunggu. Apabila yang terdapat di sana adalah
Mahkota Sri Rama, maka ia akan meminta secara baik-baik, jika perlu membelinya dengan
harga yang pantas. Akan tetapi, jika yang di sana adalah Wahyu Makutarama, maka ia
bersedia memboyong Bagawan Kesawasidi agar menurunkannya langsung kepada Prabu
Duryudana.
Prabu Duryudana gembira mendengarnya. Ia pun memberikan wewenang penuh
kepada sang kakak ipar untuk berbuat kekerasan apabila Bagawan Kesawasidi menolak
menyerahkan apa yang ia minta. Adipati Karna berterima kasih atas kepercayaan ini, dan
ia pun mohon pamit melaksanakan tugas. Prabu Duryudana lalu memerintahkan Patih
Sangkuni dan para Kurawa untuk mengawal kepergian Adipati Karna, sedangkan Resi
Druna ditugasi untuk membantu doa di sanggar pemujaan. Setelah dirasa cukup, Prabu
Duryudana pun membubarkan pertemuan.

BAGAWAN KESAWASIDI DIHADAP PARA MURID KADANG BAYU


Sementara itu di Gunung Kutarunggu, sang pendeta Bagawan Kesawasidi dihadap
para murid yang kesemuanya adalah Kadang Tunggal Bayu, yaitu Resi Mainaka, Ditya
Jajagwreka, Gajah Setubanda, Naga Kowara, Garuda Mahambira, Macan Palguna, dan
Resi Anoman. Bagawan Kesawasidi bertanya apa alasan mereka ingin berguru kepadanya,
padahal keenam orang itu adalah murid Batara Bayu.
Resi Mainaka selaku yang paling tua bercerita bahwa mereka telah mendapat perintah
langsung dari Batara Bayu agar berguru kepada Bagawan Kesawasidi di Gunung
Kutarunggu. Maka, mereka pun pergi meninggalkan tempat tinggal masing-masing dan
akhirnya bertemu di tempat ini. Di antara Kadang Tunggal Bayu tersebut, hanya Arya
Wrekodara saja yang tidak mendapat perintah untuk berguru, mungkin karena ia sudah
mendapatkan ilmu kasampurnan sejati dari Dewa Ruci.
KITAB WAYANG PURWA

Bagawan Kesawasidi lalu bertanya ilmu apa yang mereka inginkan dari dirinya. Resi
Mainaka menjawab ingin menjadi orang yang lebih arif dan bijaksana; Ditya Jajagwreka
menjawab ingin diubah menjadi tampan rupawan; Gajah Setubanda ingin tubuhnya
bertambah jauh lebih kuat lagi; Naga Kowara ingin memiliki umur panjang supaya bisa
melihat berbagai macam pergantian zaman; Garuda Mahambira ingin bertambah kaya raya
agar bisa bersedekah tanpa batas; sedangkan Macan Palguna ingin bertambah sakti
mandraguna.
Resi Anoman yang menjawab terakhir justru paling berbeda dengan yang lain, yaitu ia
memohon agar Bagawan Kesawasidi mengajarkan kepadanya jalan menuju kematian.
Bagawan Kesawasidi heran dan bertanya mengapa Resi Anoman meminta seperti itu. Resi
Anoman menjawab dirinya sudah tua dan merasa jenuh hidup di dunia ini. Ia rindu ingin
bertemu dengan sanak saudaranya yang sudah lebih dulu meninggal, antara lain Resi
Subali, Narpati Sugriwa, Patih Anila, Kapi Jaya Anggada, Kapi Sweda, Kapi Anggeni, Kapi
Menda, Kapi Pramujabahu, dan sebagainya. Bahkan, Resi Jembawan yang berumur
panjang seperti dirinya pun baru saja meninggal dunia dan ini membuat Resi Anoman
merasa iri.
Bagawan Kesawasidi bercerita bahwa keinginan para murid dapat terpenuhi,
tergantung bagaimana niat dan kesungguhan mereka masing-masing dalam belajar.
Khusus untuk Resi Anoman, meskipun dirinya sudah menjadi pendeta, namun jiwanya
tetaplah kesatria. Untuk seorang kesatria, maka kematian yang paling utama adalah gugur
di medan perang membela kebenaran dan keadilan. Resi Anoman gembira mendengarnya
dan berharap semoga itu bisa menjadi kenyataan.
Usai memberikan nasihat panjang lebar, Bagawan Kesawasidi berniat masuk ke
dalam sanggar pemujaan untuk bersamadi. Ia meminta Resi Mainaka dan adik-adiknya agar
berjaga di luar padepokan, jangan sampai ada siapa pun yang mengganggu samadinya.
Ketujuh murid itu pun mematuhi dan siap melaksanakan tugas.

Bagawan Kesawasidi.

PARA KURAWA MENYERANG PADEPOKAN KUTARUNGGU


Setelah Bagawan Kesawasidi masuk ke dalam sanggar pemujaan, tiba-tiba datang
rombongan dari Kerajaan Hastina yang dipimpin Adipati Karna dan Patih Sangkuni. Kedua
orang itu disambut Resi Mainaka dan ditanyai apa yang menjadi keperluan mereka. Adipati
Karna selaku kepala rombongan berkata bahwa ia diutus Prabu Duryudana untuk meminta
Bagawan Kesawasidi menyerahkan Mahkota Sri Rama.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Mainaka menjawab dirinya tidak pernah mendengar sang guru memiliki benda
semacam itu. Adipati Karna ganti bertanya, jika begitu apakah Bagawan Kesawasidi
menyimpan Wahyu Makutarama. Resi Mainaka menjawab memang benar demikian, tetapi
saat ini sang guru sedang bersamadi dan tidak boleh diganggu. Adipati Karna tersinggung
melihat sikap Resi Mainaka yang dianggapnya menghalangi. Ia pun memaksa ingin masuk
untuk bertemu langsung dengan Bagawan Kesawasidi. Resi Mainaka mencegah karena
gurunya sudah berpesan agar para murid berjaga jangan sampai ada pihak yang
mengganggu samadinya.
Karena terus-menerus dihalangi, Adipati Karna pun berkata bahwa dirinya sudah
diberi wewenang Prabu Duryudana untuk memboyong Bagawan Kesawasidi secara paksa
dengan menggunakan kekerasan. Mendengar itu, Resi Anoman segera maju menerjang
Adipati Karna dan rombongannya. Ditya Jajagwreka, Garuda Mahambira, Naga Kowara,
Macan Palguna, dan Gajah Setubanda ikut maju membantu Resi Anoman, sedangkan Resi
Mainaka yang paling tua dipersilakan untuk duduk mengamati dari kejauhan.
Maka, terjadilah pertempuran antara para Kurawa melawan Kadang Tunggal Bayu
tersebut. Meskipun sudah lanjut usia, namun Resi Anoman adalah mantan senapati para
wanara saat mengabdi kepada Prabu Sri Rama dulu. Meskipun kekuatan tubuhnya sudah
menurun, tetapi kesaktiannya justru makin bertambah. Apalagi dengan ditambah amukan
Ditya Jajagwreka dan yang lain, membuat para Kurawa kalang kabut berhamburan.
Adipati Karna marah dan terpaksa melepaskan panah pusakanya yang bernama
Kuntadruwasa untuk menumpas para Kadang Tunggal Bayu. Panah pusaka ini berukuran
besar seperti lembing, dan hanya bisa dilepaskan menggunakan Busur Wijayadanu. Begitu
Panah Kuntadruwasa melesat, para Kadang Tunggal Bayu merasa gentar dan berusaha
menghindar. Hanya Resi Anoman satu-satunya yang berani maju menghadang. Dengan
mengerahkan Aji Maundri, Resi Anoman menangkap panah pusaka tersebut saat masih
melesat di udara, kemudian membawanya terbang bersembunyi di balik awan.
Melihat pusaka andalannya ditangkap lawan, Adipati Karna merasa lemas dan putus
asa. Ia pun menarik mundur pasukan Hastina dan mengajak mereka untuk mengepung kaki
Gunung Kutarunggu.

Adipati Karna.

BAGAWAN WIBISANA DIDATANGI ROH ARYA KUMBAKARNA


Tersebutlah seorang pendeta yang sudah berusia ratusan tahun, bernama Bagawan
Wibisana di Padepokan Cindramanik. Ia merupakan adik bungsu Prabu Rahwana
Dasamuka di zaman kuno. Dulu ketika terjadi perang di Kerajaan Alengka, Bagawan
Wibisana masih bernama Raden Gunawan Kuntawibisana dan memilih untuk bergabung
KITAB WAYANG PURWA

dengan Prabu Sri Rama. Setelah Prabu Rahwana gugur, Raden Gunawan pun dilantik
menjadi raja Alengka yang baru, bergelar Prabu Wibisana. Demi menjauhkan rakyatnya dari
pengaruh buruk Kerajaan Alengka, maka ia pun memindahkan ibu kota negara ke
Parangkuntara, yang kemudian diberi nama Kerajaan Singgelapura.
Setelah menjadi raja cukup lama, Prabu Wibisana lalu mengundurkan diri dan
menyerahkan takhta kepada putranya yang bernama Raden Bisawarna, bergelar Prabu
Dentawilukrama. Prabu Wibisana pun menjadi pendeta di Gunung Cindramanik. Bertahun-
tahun kemudian, Kerajaan Singgelapura sudah berganti-ganti raja, tetapi Bagawan
Wibisana masih diberi umur panjang.
Hari ini Bagawan Wibisana sedang duduk di sanggar pemujaan. Tiba-tiba ia melihat
sesosok bayangan tinggi besar yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak,
mendatangi dirinya. Ia mengenali bayangan tersebut tidak lain adalah roh kakaknya sendiri,
yaitu Arya Kumbakarna. Semasa hidupnya dulu, Prabu Rahwana memiliki tiga orang adik,
yaitu Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Arya Kumbakarna
dan Dewi Sarpakenaka ikut gugur dalam perang di Kerajaan Alengka. Dalam perang
tersebut, Arya Kumbakarna berniat membela tanah air dari serangan musuh, bukan demi
membela kakaknya yang angkara murka. Namun, entah mengapa sampai kini ia sulit masuk
ke alam Swargaloka seperti yang pernah ia cita-citakan dulu. Yang terjadi justru sebaliknya,
sampai sekarang ia masih menjadi roh gentayangan yang tersesat di dunia fana. Padahal,
dulu ia mempunyai keyakinan apabila gugur dalam pertempuran, maka roh akan masuk
surga dan dilayani para bidadari.
Bagawan Wibisana menjelaskan bahwa Arya Kumbakarna sampai kini menjadi roh
gentayangan adalah karena semasa hidup hatinya mendua. Meskipun Arya Kumbakarna
berperang demi negara, berniat membela tanah air, tetapi tindakannya itu justru melawan
Kebenaran. Prabu Sri Rama adalah titisan Batara Wisnu yang turun ke dunia untuk
membasmi angkara murka Prabu Rahwana. Arya Kumbakarna jelas-jelas mengetahui hal
itu tetapi memilih tidur tanpa menentukan sikap yang pasti. Hingga akhirnya, ketika perang
besar meletus, ia pun dibangunkan Prabu Rahwana dari tidur panjangnya untuk dijadikan
senapati. Saat itu Arya Kumbakarna sudah menolak, tetapi Prabu Rahwana bersikap licik,
menyandera kedua putranya yang bernama Raden Kumbakumba dan Raden
Aswanikumba. Hal itulah yang membuat Arya Kumbakarna bimbang dan akhirnya bersedia
menjadi senapati.
Maka, Arya Kumbakarna pun maju perang dengan hati mendua. Meskipun di bibir ia
mengaku berperang demi membela negara, tetapi dalam hati ia berperang demi
keselamatan anak-anaknya. Meskipun bersemboyan tidak membela Prabu Rahwana, tetap
saja tangan Arya Kumbakarna berlumuran darah para wanara yang berjuang melawan
angkara murka. Hingga akhirnya, ia pun gugur di tangan Prabu Sri Rama dan menjadi roh
gentayangan karena tidak dapat memasuki alam Kaswargan.
Arya Kumbakarna ngeri mendengar penjelasan tersebut dan menyadari
kekeliruannya. Ia pun meminta bantuan kepada sang adik agar membebaskan dirinya dari
ketersesatan duniawi. Bagawan Wibisana menjawab ia hanya bisa membantu menunjukkan
jalan bagi sang kakak untuk menyempurnakan diri, bukannya membukakan pintu
Swargaloka. Menurut wangsit yang ia terima, di zaman ini hidup lima kesatria Pandawa
yang selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Kelak mereka akan
membersihkan angkara murka dari muka bumi melalui Perang Bratayuda. Hendaknya Arya
Kumbakarna bersatu jiwa dengan Pandawa nomor dua, yang bernama Arya Wrekodara.
Inilah jalan untuk menebus dosa semasa hidup dulu. Dengan cara ini, Arya Kumbakarna
akan ikut berjuang menumpas angkara murka, sehingga kelak bisa naik ke Swargaloka
KITAB WAYANG PURWA

bersama-sama dengan Arya Wrekodara. Itulah jalan pembebasan yang harus ditempuh
sang kakak untuk bisa lepas dari ketersesatan duniawi.
Arya Kumbakarna gembira mendengar penjelasan sang adik dan bersiap berangkat
mencari Arya Wrekodara. Bagawan Wibisana memberi saran agar Arya Kumbakarna
mencegat dan menantang perang Arya Wrekodara saat melewati Hutan Duryasa. Adapun
ciri-ciri Arya Wrekodara adalah berbadan tinggi besar, dan memakai busana mirip Resi
Anoman, yaitu sang wanara putih yang dulu pernah membakar Kerajaan Alengka. Arya
Kumbakarna menerima saran tersebut dan segera mohon pamit berangkat saat ini juga.

Arya Kumbakarna.

BAGAWAN WIBISANA MENINGGALKAN DUNIA FANA


Setelah roh sang kakak pergi, Bagawan Wibisana merasa hidupnya tidak lama lagi.
Aliran darahnya mulai melambat, kadang ada, kadang tiada. Hati nuraninya berbisik bahwa
semua tugasnya di dunia telah selesai. Maka, untuk bisa menjemput kematian secara
sempurna, Bagawan Wibisana pun bersamadi mengheningkan cipta, melepaskan segala
macam keterikatan duniawi. Dari tubuhnya tiba-tiba memancar keluar empat macam
cahaya, yaitu cahaya merah, hitam, kuning, dan putih. Keempat cahaya ini merupakan
perwujudan empat hawa nafsu yang selama ini membantunya dalam menjalani kehidupan.
Keempat hawa nafsu tersebut mengambil wujud raksasa, yang masing-masing
bernama Ditya Rekta, Ditya Kresna, Ditya Pita, dan Ditya Seta. Mereka bertanya mengapa
diri mereka disingkirkan, tidak diajak ikut serta naik ke Swargaloka. Padahal, selama ini
mereka menjadi daya pendorong dan sumber semangat bagi Bagawan Wibisana dalam
menjalani kehidupan. Rasa suka, duka, marah, cinta, benci, lapar, dahaga, kantuk, dan
bangga, juga semangat hidup, semuanya berasal dari keempat hawa nafsu tersebut.
Bagawan Wibisana seorang suci, selama ini selalu berpegang teguh pada hati nurani
sehingga bisa mengendalikan hawa nafsu, bukannya dikendalikan oleh hawa nafsu seperti
pada kebanyakan manusia lainnya. Jika raga ibarat kereta, maka keempat nafsu adalah
kuda penariknya. Bagawan Wibisana selama hidup mampu menjadikan pikiran sebagai
kusir yang baik, yang mematuhi perintah hati nurani, sehingga pikiran mampu mengarahkan
kuda di jalan yang benar.
Bagawan Wibisana pun menjelaskan bahwa mereka bukannya disingkirkan, tetapi
hendaknya mencari sarana pengruwatan. Keempat nafsu tersebut adalah peranti raga,
bukan peranti roh. Raga asalnya dari alam, maka harus kembali ke alam dengan cara
dikubur ataupun dibakar. Sedangkan hawa nafsu juga hendaknya bisa kembali ke alam
melalui pengruwatan. Bagawan Wibisana tidak ingin dirinya mati seperti Arya Kumbakarna,
yang rohnya masih diselimuti hawa nafsu.
KITAB WAYANG PURWA

Keempat raksasa perwujudan hawa nafsu itu pun bertanya siapa kiranya yang bisa
meruwat mereka. Bagawan Wibisana menyarankan agar mereka berempat pergi ke Hutan
Duryasa untuk menemui kesatria Panengah Pandawa yang bernama Raden Arjuna, yang
merupakan titisan setengah Batara Wisnu. Dialah orangnya yang bisa meruwat keempat
raksasa tersebut. Keempat raksasa itu gembira mendengarnya dan segera mohon pamit
meninggalkan Padepokan Cindramanik.
Kini tinggal Bagawan Wibisana seorang diri. Ia lalu mengheningkan cipta, bersamadi
melarutkan diri dalam kuasa Semesta. Tidak lama kemudian, tubuhnya pun musnah
menjadi debu, kembali ke alam, sedangkan sukmanya melesat naik ke awang-awang,
memasuki Swargaloka.

Gunawan Wibisana.

RADEN ARJUNA MERUWAT KEEMPAT RAKSASA


Demikianlah, keempat raksasa penjelmaan hawa nafsu Bagawan Wibisana pun
sampai di Hutan Duryasa dan melihat Raden Arjuna sedang berjalan diiringi keempat
panakawan: Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat raksasa itu pun
menghadang dan minta supaya diri mereka diruwat agar bisa kembali menjadi bagian alam
semesta. Raden Arjuna menolak dan mengatakan tidak sanggup. Keempat raksasa itu
serentak menyerang bersama untuk memancing tindakan Raden Arjuna.
Maka, terjadilah pertempuran di mana Raden Arjuna seorang diri dikeroyok keempat
raksasa tersebut. Setiap kali salah satu raksasa terbunuh, tiba-tiba saja hidup kembali,
seolah mereka tidak bisa mati.
Melihat itu, Kyai Semar pun maju memberikan nasihat. Ia menjelaskan bahwa
keempat raksasa ini adalah makhluk halus, maka harus dilawan dengan cara halus pula.
Raden Arjuna paham. Ia pun meletakkan senjata dan mengheningkan cipta, mengatur
pernafasan. Segala nafsu keinginan dilupakan, yang ada hanya tinggal perasaan syukur
dan ikhlas, larut dalam kehendak Tuhan. Dari tubuhnya kemudian muncul cahaya yang
membakar keempat raksasa tersebut. Keempat raksasa itu lalu musnah tanpa sisa, kembali
menjadi bagian alam semesta.
Setelah musuh dapat dikalahkan, Raden Arjuna pun melanjutkan perjalanan bersama
para panakawan. Tempat yang ia tuju adalah Padepokan Gunung Kutarunggu untuk meraih
anugerah dewata, bernama Wahyu Makutarama.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI SUMBADRA DIDANDANI MENJADI LAKI-LAKI


Sementara itu, istri utama Raden Arjuna, yaitu Dewi Sumbadra sedang dalam
perjalanan mencari ke mana suaminya pergi. Tiba-tiba dari angkasa melayang turun Batara
Narada menghentikan langkah kakinya.
Batara Narada merasa kasihan melihat Dewi Sumbadra berjalan seorang diri tanpa
pengawal untuk mencari Raden Arjuna. Namun, Dewi Sumbadra tidak suka dikasihani dan
menjawab dengan gaya polos tidak peduli. Batara Narada merasa serbasalah sebagai dewa
dirinya diperlakukan demikian. Namun, ia sadar bahwa perempuan ini bukanlah wanita
sembarangan. Akhirnya, dengan susah payah, ia berhasil meyakinkan Dewi Sumbadra agar
bersedia didandani menjadi pria. Dalam wujud wanita, Dewi Sumbadra akan mudah menjadi
sasaran laki-laki jahat yang ingin mengganggu. Namun, dalam wujud laki-laki, dirinya akan
lebih aman berjalan seorang diri tanpa pengawal.
Dewi Sumbadra akhirnya bersedia. Batara Narada pun mengerahkan kesaktiannya,
dan dalam sekejap wujud Dewi Sumbadra langsung berubah menjadi laki-laki. Ia pun diberi
nama baru, yaitu Bambang Sintawaka. Setelah dirasa cukup, Batara Narada undur diri
kembali ke Kahyangan Sidik Pangudaludal, sedangkan Bambang Sintawaka melanjutkan
perjalanannya.

RADEN ARJUNA TIBA DI GUNUNG KUTARUNGGU


Raden Arjuna yang berjalan diiringi para panakawan akhirnya tiba di Gunung
Kutarunggu. Dengan mengerahkan Aji Panglimunan, mereka berhasil melewati para
Kurawa yang mengepung di kaki gunung.
Resi Anoman yang mengenali mereka segera datang menyambut dengan penuh
tatakrama. Raden Arjuna berkata bahwa dirinya ingin bertemu dan berguru kepada
Bagawan Kesawasidi. Resi Anoman pun menjelaskan bahwa sang guru saat ini sedang
bersamadi dan tidak dapat diganggu. Ternyata Raden Arjuna bersedia duduk menunggu di
depan padepokan. Resi Anoman terkesan mendengarnya. Ternyata sikap Raden Arjuna
sangat sopan, tidak seperti Adipati Karna dan para Kurawa yang mengandalkan kekerasan.
Demikianlah, sudah tiga hari lamanya Raden Arjuna duduk dengan sabar di depan
Padepokan Kutarunggu. Pada hari itu Bagawan Kesawasidi mengakhiri samadi dan keluar
dari sanggar pemujaan. Resi Anoman juga ikut menghadap dan menceritakan segala yang
terjadi selama Bagawan Kesawasidi bersamadi tiga-hari tiga-malam. Ia bercerita bahwa
Adipati Karna dan para Kurawa memaksa untuk bertemu hingga terjadilah pertempuran.
Dalam pertempuran itu, Resi Anoman berhasil merebut Panah Kuntadruwasa dan kini
hendak ia persembahkan kepada Bagawan Kesawasidi.
Bagawan Kesawasidi menolak persembahan Resi Anoman karena ia tidak
membutuhkan senjata. Resi Anoman pun meminta Bagawan Kesawasidi agar
menyerahkan pusaka tersebut kepada Raden Arjuna saja. Namun, Bagawan Kesawasidi
tetap keberatan karena itu sama artinya dengan merendahkan sifat kesatria Raden Arjuna.
Jika sampai pusaka tersebut diserahkan, Raden Arjuna pasti akan menolak, karena
Kuntadruwasa diperoleh dengan cara merampas milik musuh.
Resi Anoman merasa serbasalah. Ia tidak dapat menyerahkan Panah Kuntadruwasa
kepada Bagawan Kesawasidi, namun juga malu jika mengembalikannya kepada Adipati
Karna. Bagawan Kesawasidi memahami perasaan muridnya itu. Ia pun mempersilakan jika
Resi Anoman menitipkan pusaka itu kepadanya, kelak biar ia yang mengembalikannya
kepada Adipati Karna. Resi Anoman merasa gembira lalu menyerahkan panah pusaka
tersebut kepada sang guru.
KITAB WAYANG PURWA

Bagawan Kesawasidi lalu menyebutkan kesalahan Resi Anoman yang kedua, yaitu
ucapannya tidak sesuai dengan perbuatan. Bukankah tadi Resi Anoman memohon ingin
ditunjukkan jalan kematian. Namun, ketika Panah Kuntadruwasa ditembakkan, mengapa ia
menangkap dengan tangan, bukannya menerima dengan dada? Karena Resi Anoman
sudah menyia-nyiakan peluang menjemput ajal secara kesatria, maka ia harus menunda
kematiannya sendiri hingga seratus tahun ke depan. Resi Anoman harus tetap hidup di
dunia selama satu abad lagi, hingga tiba waktunya ia menjemput ajal setelah menikahkan
keturunan keenam Raden Arjuna.
Resi Anoman sangat menyesal namun semuanya telah terjadi. Ia pun berterima kasih
atas petunjuk sang guru, kemudian memperkenalkan Raden Arjuna yang ada di
belakangnya. Setelah itu, Resi Anoman mohon pamit keluar untuk berkumpul bersama
Kadang Tunggal Bayu lainnya.

Resi Anoman.

BAGAWAN KESAWASIDI MENURUNKAN WAHYU MAKUTARAMA KEPADA RADEN


ARJUNA
Setelah saling berkenalan, Bagawan Kesawasidi pun menjelaskan bahwa dirinya
memang mendapat wangsit agar menurunkan Wahyu Makutarama kepada Raden Arjuna.
Sesungguhnya wahyu ini berbentuk pelajaran ilmu kepemimpinan bernama Astabrata, yang
dulu pernah diajarkan Prabu Sri Rama saat melantik Prabu Wibisana menjadi raja
Singgelapura. Asta artinya “delapan”, sedangkan brata artinya “tindakan”. Maksudnya ialah,
ilmu kepemimpinan ini meneladani tindakan delapan jenis benda alam.
Setelah Raden Arjuna menyatakan siap, Bagawan Kesawasidi pun memulai
pengajarannya. Pertama, sebagai seorang pemimpin, Raden Arjuna hendaknya
meneladani tindakan matahari. Matahari memancarkan panas dan cahaya menerangi bumi,
menjadi sumber kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Sebaliknya, matahari
menghisap air laut secara perlahan-lahan tanpa terasa. Demikianlah hendaknya seorang
pemimpin harus bisa menjadi sumber semangat bagi rakyatnya. Pemimpin yang baik selalu
memerhatikan kebutuhan rakyat, menjadi sumber kekuatan bagi rakyat, namun jika menarik
pajak tidak sampai membuat rakyat merasa terbebani.
Teladan yang kedua ialah rembulan, yaitu benda langit yang menjadi sumber
penerangan di waktu malam. Meskipun terang, tetapi cahaya rembulan tidak menyilaukan
mata. Bentuknya juga berubah-ubah sehingga tidak membosankan. Justru bentuk yang
berubah-ubah ini bisa digunakan manusia untuk menciptakan penanggalan. Demikian
hendaknya seorang pemimpin harus dapat menjadi penerang bagi rakyatnya di saat dilanda
kegelapan. Pemimpin harus bisa memberikan penghiburan di saat rakyatnya dilanda
musibah, bukannya justru menakut-nakuti dengan berbagai macam ancaman. Pemimpin
KITAB WAYANG PURWA

yang baik harus tampak menyenangkan di hadapan rakyat, sehingga rakyat pun menaruh
hormat dengan sendirinya, bukan karena takut. Pemimpin boleh mengubah-ubah
keputusan, asalkan itu demi kesejahteraan rakyat, bukan demi ego diri sendiri. Karena di
dunia ini tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Teladan yang ketiga ialah bintang yang bertaburan di angkasa. Gugusan bintang
dapat menjadi pedoman untuk menentukan arah dan juga pergantian musim. Selain itu,
bintang juga menjadi penghias angkasa di waktu malam. Demikianlah hendaknya seorang
pemimpin harus bisa menjadi pedoman kebaikan bagi rakyatnya. Seorang pemimpin harus
bisa menjadi teladan serta menjadi penentu arah kebijakan bagi rakyatnya. Selain itu,
pemimpin juga harus bisa menata keindahan negerinya. Pembangunan bukan hanya soal
bagaimana mendirikan bangunan, tetapi juga bagaimana cara mengatur dan menata
kegunaan dan keindahan dari tiap bangunan agar tidak saling tumpang tindih acak-acakan.
Teladan yang keempat ialah bumi, yang bersifat kokoh dan suci. Selain itu, bumi juga
bersifat adil. Apa yang ditanam, itulah yang dipanen. Demikianlah hendaknya seorang
pemimpin harus bisa kokoh hatinya, tidak mudah putus asa, tidak mudah dihasut, selalu
bersemangat pula. Selain itu, seorang pemimpin juga harus mempunyai watak suci, artinya
mampu menjaga kehormatan diri sendiri. Pemimpin yang baik tidak mudah dibeli dengan
harta suap demi kepentingan segelintir para penjilat. Pemimpin yang mudah goyah dan
tidak kokoh, juga yang tidak dapat menjaga kehormatan dirinya, maka sudah pasti ia akan
kehilangan rasa hormat dari rakyatnya. Selain itu, pemimpin juga harus berwatak adil,
mampu memberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang diusahakan rakyatnya.
Pemimpin harus memberikan anugerah sesuai kadar jasa rakyatnya masing-masing,
jangan sampai menimbulkan iri hati karena ada rakyat yang berprestasi tetapi merasa tidak
dihargai.
Teladan yang kelima ialah awan mega, yang bersifat menyeramkan, tetapi membawa
kesejukan dan air hujan. Awan mega ini hubungannya dengan matahari. Jika matahari
terlalu panas, maka awan mega bersifat menutupi. Jika matahari menghisap air laut, maka
awan mega yang menyebarkannya dalam bentuk hujan. Demikianlah seorang pemimpin
harus tampak menyeramkan seperti awan, tetapi membawa kesejukan dan juga
memberikan perlindungan. Menyeramkan di sini bukan berarti memasang wajah kejam dan
beringas, tetapi hendaknya bisa menjaga wibawa di hadapan rakyat ataupun di hadapan
luar negeri. Seorang pemimpin yang baik dan berwibawa akan dihormati oleh rakyatnya
sendiri dan juga dibanggakan di hadapan luar negeri. Namun demikian, di balik wibawanya,
sang pemimpin juga harus bisa memberikan kesejukan dan perlindungan kepada
rakyatnya. Jangan sampai Raden Arjuna menjadi pemimpin yang hanya bisa menakut-
nakuti rakyatnya, tetapi tidak dapat memberikan perlindungan. Itu namanya omong kosong.
Teladan yang keenam adalah angin. Sifat dari angin selalu bergerak mengisi ruang
yang kosong. Selain itu, angin juga menyebarkan awan yang berisi kumpulan uap air ke
segala arah untuk kemudian dicairkan menjadi tetesan hujan. Demikianlah hendaknya
Raden Arjuna menjadi pemimpin tidak boleh membeda-bedakan rakyatnya. Seorang
pemimpin harus bisa merangkul semua rakyatnya dari berbagai kalangan dan berbagai
lapisan masyarakat, meskipun rakyatnya itu suka atau tidak suka. Dengan selalu berada
dekat dengan rakyat, maka kemakmuran negara akan lebih mudah untuk dicapai. Selain
itu, pemimpin harus pula bisa menyebarkan hasil penarikan pajak untuk biaya
pembangunan secara merata. Pembangunan tidak boleh hanya dilakukan di kota-kota
tertentu saja, tetapi rakyat yang hidup di pelosok juga harus ikut merasakan nikmatnya
pembangunan. Demikianlah watak dari angin yang selalu mengisi ruang yang kosong.
Teladan yang ketujuh adalah api. Sifat dari api adalah membakar tanpa pandang bulu.
Ada istilahnya, api kecil jadi sahabat, api besar jadi penjahat. Api kecil di sini maksudnya
KITAB WAYANG PURWA

ialah, Raden Arjuna harus dapat meneladani sifat api dalam upaya menegakkan hukum
negara. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Penegakan hukum yang baik akan menambah wibawa pemimpin, dan juga memberikan
rasa aman dan nyaman bagi rakyat. Kepastian jaminan hukum juga dapat mengundang
negara luar untuk ikut menanamkan modal di dalam negeri, tentunya demi kemakmuran
rakyat pula. Adapun yang dimaksud dengan api besar ialah, seorang pemimpin harus
bersikap jahat terhadap serangan pihak luar yang mengancam kedamaian negara. Seorang
pemimpin harus berwatak api dalam mengobar dan membakar musuh yang datang
menyerang.
Teladan yang kedelapan ialah air. Sifat dari air adalah menyegarkan sekaligus sabar.
Air yang menetes sedikit demi sedikit mampu menciptakan lubang pada batu karang. Selain
itu, air jika sudah berkumpul akan menjadi samudera luas yang menampung semua benda
yang masuk kepadanya. Demikianlah hendaknya Raden Arjuna meneladani sifat air.
Seorang pemimpin harus bisa berwatak sabar, tidak grusa-grusu, tidak terburu nafsu.
Adakalanya mengalir ke bawah, ada kalanya menyembur ke atas, sesuai kebutuhan.
Seorang pemimpin harus memiliki hati yang luas seperti samudera, yaitu harus bersedia
menerima apa saja dari rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya mengharapkan
pujian saja, tetapi harus siap apabila dikritik oleh rakyatnya sendiri. Karena kritikan
sesungguhnya adalah nasihat yang disampaikan dengan cara kasar namun bisa menjadi
pedoman untuk melakukan perbaikan.
Demikianlah penjabaran isi ajaran Astabrata. Raden Arjuna bertanya mengapa dirinya
yang mendapatkan ajaran ini, bukannya sang kakak sulung, yaitu Prabu Puntadewa.
Bagawan Kesawasidi menjawab, itu karena keturunan Prabu Puntadewa akan terhenti
setelah Perang Bratayuda, sedangkan keturunan Raden Arjuna akan terus berlanjut dan
menjadi pewaris takhta. Raden Arjuna memang tidak menjadi raja, tetapi kelak
keturunannya yang akan menjadi raja-raja Tanah Jawa. Hendaknya Raden Arjuna kelak
mewariskan ilmu Astabrata ini kepada keturunannya yang berhasil menjadi raja,
menggantikan Prabu Puntadewa.
Raden Arjuna bersyukur mendengarnya. Bagawan Kesawasidi lalu meminta tolong
kepadanya untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna, yang tiga
hari lalu telah dirampas oleh Resi Anoman dalam peperangan. Raden Arjuna bersedia. Ia
kemudian berterima kasih kepada Bagawan Kesawasidi dan mohon pamit meninggalkan
Gunung Kutarunggu.
Setelah Raden Arjuna pergi, Bagawan Kesawasidi pun kembali ke wujud aslinya, yaitu
Prabu Kresna Wasudewa, raja Dwarawati. Demikianlah yang terjadi. Beberapa waktu yang
lalu Prabu Kresna mimpi bertemu mendiang gurunya, yaitu Resi Padmanaba yang
memerintahkan dirinya untuk mengajarkan ilmu Astabrata kepada Raden Arjuna. Ilmu
kepemimpinan ini dulu diperoleh Prabu Kresna saat masih bernama Raden Narayana, yang
berguru kepada Resi Padmanaba, yaitu keturunan Batara Wisnu.

RADEN ARJUNA BERTEMU ADIPATI KARNA


Raden Arjuna dan para panakawan yang sudah meninggalkan Padepokan
Kutarunggu bertemu dengan Adipati Karna bersama Patih Sangkuni dan para Kurawa yang
masih mengepung di kaki gunung. Saat naik tadi Raden Arjuna sengaja menyelinap, tetapi
kini sewaktu turun gunung ia menampakkan diri karena mendapat tugas untuk
mengembalikan Panah Kuntadruwasa pula.
Adipati Karna dan Raden Arjuna pun saling bertukar salam. Kemudian Raden Arjuna
menyerahkan Panah Kuntadruwasa kepada kakak tirinya itu. Adipati Karna heran dan
bertanya mengapa pusakanya bisa berada pada sang adik, padahal beberapa hari yang
KITAB WAYANG PURWA

lalu direbut oleh Resi Anoman. Raden Arjuna pun bercerita apa adanya mulai awal hingga
akhir, di mana ia telah mendapatkan Wahyu Makutarama, serta mendapat titipan dari
Bagawan Kesawasidi untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna.
Adipati Karna sangat bahagia mendapatkan pusakanya kembali. Ia berterima kasih
kepada Raden Arjuna dan juga mengucapkan selamat atas keberhasilan sang adik
mendapatkan Wahyu Makutarama. Raden Arjuna lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan
pulang menuju Kesatrian Madukara. Adipati Karna mempersilakan dan mereka pun
berpisah.
Setelah Raden Arjuna pergi, tiba-tiba Patih Sangkuni menyindir Adipati Karna telah
melupakan tugasnya hanya karena terhalang rasa persaudaraan. Seharusnya tadi Adipati
Karna tidak membiarkan Raden Arjuna pergi, tetapi merebut Wahyu Makutarama untuk
diserahkan kepada Prabu Duryudana. Adipati Karna termakan hasutan Patih Sangkuni. Ia
pun berangkat mengejar Raden Arjuna.
Raden Arjuna terkejut melihat Adipati karna datang menyusul dan meminta agar
Wahyu Makutarama diserahkan kepadanya. Tentu saja Raden Arjuna tidak bisa
melakukannya, karena Wahyu Makutarama bukanlah barang yang bisa dipindah-
pindahkan. Adipati Karna tidak percaya dan ia bersedia membayar berapa pun yang diminta
adiknya. Raden Arjuna menjawab dirinya bukan pedagang dan tidak dapat
memperjualbelikan wahyu. Adipati Karna lalu meminta diberi setengah bagian saja, jika
memang Raden Arjuna tidak dapat melepaskan semuanya. Ucapan ini langsung menjadi
bahan tertawaan para panakawan, karena wahyu bukanlah makanan yang bisa dibagi
menjadi dua.
Adipati Karna tersinggung dan menggunakan kekerasan untuk merebut Wahyu
Makutarama. Raden Arjuna terpaksa menghadapi kakaknya itu. Setelah mengalami banyak
kejadian sulit, ilmu kesaktian Raden Arjuna maju pesat. Adipati Karna terdesak kalah. Ketika
hendak menggunakan Panah Kuntadruwasa, ia pun teringat bahwa panah pusakanya itu
baru saja dikembalikan oleh Raden Arjuna. Bagaimanapun juga Adipati Karna masih
memegang nilai-nilai kesatria, tentunya sangat nista apabila ia membalas kebaikan sang
adik dengan menembakkan Panah Kuntadruwasa kepadanya. Karena berpikir demikian, ia
pun memilih mundur meninggalkan Raden Arjuna.

RADEN ARJUNA BERTANDING DENGAN BAMBANG SINTAWAKA


Adipati Karna kemudian bertemu Bambang Sintawaka yang mengaku sedang mencari
Raden Arjuna karena ada dendam pribadi. Adipati Karna merasa kebetulan dan segera
meminta tolong kepada pemuda itu agar melawan Raden Arjuna. Ia bersedia memberikan
hadiah besar apabila Bambang Sintawaka mampu mengalahkan Raden Arjuna untuknya.
Bambang Sintawaka bersedia dengan senang hati. Adipati Karna lalu menunjukkan
tempatnya dan pemuda itu pun maju menyerang Raden Arjuna.
Raden Arjuna terkejut karena tiba-tiba muncul pemuda tampan menyerang dirinya.
Mereka lalu bertarung sengit. Meskipun penampilannya sudah berubah, namun bau badan
Dewi Sumbadra sempat tercium oleh Raden Arjuna. Maka, ia pun sadar bahwa Bambang
Sintawaka tidak lain adalah penjelmaan istrinya sendiri.
Raden Arjuna lantas menghentikan pertarungan dan menggunakan jurus rayuan untuk
meluluhkan hati Bambang Sintawaka. Dari kejauhan, Adipati Karna merasa heran, mengira
Raden Arjuna sudah menderita kelainan karena merayu sesama laki-laki. Terdengar pula
olehnya, Raden Arjuna memanggil lawan dengan sebutan “ibune kulup”, membuat
Bambang Sintawaka tidak dapat bertahan lagi. Penyamarannya pun terbongkar, dan ia
kembali ke wujud Dewi Sumbadra.
KITAB WAYANG PURWA

Namun demikian, Dewi Sumbadra tidak sudi disentuh suaminya. Ia merasa disia-
siakan, sering ditinggal berkelana sendiri. Raden Arjuna paham istrinya itu hanya berpura-
pura dan sedang ingin dimanja. Maka, ia pun menambah jurus rayuan segala macam
kepada Dewi Sumbadra.
Pada saat itulah Prabu Kresna muncul. Dewi Sumbadra kembali berpura-pura
meminta kepada kakaknya itu agar mengurus perceraian antara dirinya dengan Raden
Arjuna. Prabu Kresna tertawa tidak menanggapi dengan serius karena sudah hafal sifat
adiknya. Ia pun menasihati Raden Arjuna agar lebih pandai membagi waktu antara
melakukan tugas sebagai kesatria, dan juga tugas sebagai kepala rumah tangga.
Sementara itu, Adipati Karna yang masih mengintai merasa kecewa melihat Prabu
Kresna muncul. Patih Sangkuni datang menyusul dan kembali menghasut agar Adipati
Karna maju untuk merebut Wahyu Makutarama. Adipati Karna tidak bersedia, karena di
dunia ini ia sangat segan dan takut kepada Prabu Kresna. Untuk itu, ia memilih lebih baik
mundur dan melaporkan apa adanya kepada Prabu Duryudana. Patih Sangkuni merasa
tidak punya pilihan lain dan ia pun ikut mundur bersama Adipati Karna selaku kepala
rombongan.

ARYA KUMBAKARNA BERSATU JIWA RAGA DENGAN ARYA WREKODARA


Arya Wrekodara yang sedang dalam perjalanan melewati Hutan Duryasa tiba-tiba
bertemu sesosok raksasa tinggi besar yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak.
Raksasa tersebut mengaku bernama Arya Kumbakarna yang ingin menantang Arya
Wrekodara bertarung. Arya Wrekodara tidak mau melayani tantangan tersebut karena
merasa tidak ada dendam dengan Arya Kumbakarna yang tidak ia kenal sama sekali.
Arya Kumbakarna tidak mau membuang-buang kesempatan. Ia pun lebih dulu maju
menyerang. Karena diserang secara tiba-tiba, Arya Wrekodara terpaksa menghadapi.
Keduanya berkelahi, sama-sama mengadu kekuatan. Namun, yang satunya berbadan
kasar, yang satunya berbadan halus, tentu saja Arya Wrekodara merasa kewalahan
menghadapi Arya Kumbakarna.
Pada saat itulah Prabu Kresna muncul bersama Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, dan
juga para panakawan. Prabu Kresna lalu memberikan petunjuk bagaimana cara
mengalahkan roh gentayangan. Arya Wrekodara paham dan segera mengheningkan cipta
sambil membaca mantra pengruwatan. Seketika wujud Arya Kumbakarna pun musnah,
berubah menjadi asap, kemudian merasuk ke dalam dada Arya Wrekodara.
Karena dirinya dirasuki arwah raksasa, Arya Wrekodara merasa ngeri. Kyai Semar
yang berwawasan luas segera menjelaskan bahwa Arya Kumbakarna bukan raksasa
sembarangan, melainkan adik Prabu Rahwana raja Alengka di zaman kuno. Berbeda
dengan kakaknya yang angkara murka, Arya Kumbakarna bersifat luhur budi dan
menjunjung tinggi watak kesatria. Namun demikian, karena terlibat menghalangi perjuangan
Prabu Sri Rama dalam menumpas angkara murka, Arya Kumbakarna menjadi roh
gentayangan dan tidak dapat memasuki Swargaloka. Oleh sebab itu, ia pun memilih lebur
menjadi satu jiwa dengan Arya Wrekodara, agar kelak bisa bersama-sama memasuki alam
kaswargan.
Arya Wrekodara takut Arya Kumbakarna memengaruhi pikirannya. Kyai Semar
mengatakan tidak perlu takut, karena persatuan ini hanyalah menambah kekuatan dan
kesaktian Arya Wrekodara saja, bukan memengaruhi jiwanya. Arya Wrekodara paham dan
merasa kekuatannya memang bertambah besar setelah roh Arya Kumbakarna bersatu
dengan dirinya.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna lalu bertanya ada keperluan apa Arya Wrekodara berjalan seorang diri.
Arya Wrekodara menjawab bahwa dirinya diutus Prabu Puntadewa sang kakak sulung
untuk mencari Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra yang menghilang dari Kesatrian
Madukara. Karena tidak berhasil menemukannya, ia pun pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk
meminta petunjuk. Akan tetapi, ternyata Prabu Kresna juga sudah lama menghilang dari
istana. Ketiga permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma justru
ganti meminta tolong agar Arya Wrekodara membantu mencarikan di mana keberadaan
suami mereka itu. Tak disangka, ketiga orang yang ia cari ternyata berjalan bersama di
Hutan Duryasa ini.
Kyai Semar dan Raden Arjuna sebenarnya sudah menyadari bahwa Prabu Kresna
menghilang dari Kerajaan Dwarawati adalah untuk menyamar sebagai Bagawan
Kesawasidi dan membuka padepokan di Gunung Kutarunggu. Namun, mereka merasa
tidak perlu membuka hal ini. Tampak Prabu Kresna berterima kasih atas perhatian Arya
Wrekodara, lalu mereka pun bersama-sama pulang ke Kerajaan Dwarawati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Prabu Sri Rama, Prabu Rahwana, Arya Kumbakarna, Raden Wibisana, dan Resi Anoman
semasa muda kelak akan saya sajikan sendiri dalam Seri Ramayana.
KITAB WAYANG PURWA

NAKULA - SADEWA RABI


Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Raden Nakula dengan Dewi Suyati dari
Kerajaan Awu-awulangit, serta perkawinan Raden Sadewa dengan Dewi Rasawulan
dari Kerajaan Selamirah.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pedhalangan Ringgit Purwa yang disusun oleh Sri
Mangkunagara VII dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 08 Juli 2017
Heri Purwanto

Raden Nakula dan Raden Sadewa.

PRABU PUNTADEWA MEMINTA PETUNJUK PRABU KRESNA ATAS HILANGNYA SI


KEMBAR
Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap kedua adik, yaitu Arya Wrekodara dari
Kesatrian Jodipati dan Raden Arjuna dari Kesatrian Madukara, serta Patih
Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca. Hadir pula sang kakak sepupu dari Kerajaan
Dwarawati, yaitu Prabu Kresna Wasudewa yang ditemani Arya Setyaki.
Prabu Kresna sengaja datang ke istana Indraprasta setelah menerima surat yang
dikirimkan Prabu Puntadewa. Surat tersebut berisi kabar bahwa si kembar Raden Nakula
dan Raden Sadewa telah menghilang dari Kerajaan Amarta bersama para panakawan. Arya
Wrekodara dan Raden Arjuna sudah berusaha mencari tetapi tidak berhasil menemukan
mereka. Oleh sebab itu, Prabu Puntadewa pun mengundang kehadiran Prabu Kresna untuk
meminta petunjuk mengenai keberadaan kedua adik tersebut. Apalagi selama beberapa
hari ini sang ibu selalu menangis memikirkan nasib mereka, karena dalam pandangan Dewi
Kunti, si kembar selalu tampak masih seperti anak-anak.
Prabu Kresna berkata bahwa Raden Nakula dan Raden Sadewa sudah dewasa, maka
sudah pantas jika memiliki pasangan hidup. Melihat ketiga kakaknya sudah menikah dan
memiliki keturunan, tentunya mereka pun menginginkan demikian. Oleh sebab itu, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Kresna sangat yakin bahwa si kembar menghilang dari Kerajaan Amarta adalah untuk
mencari di mana jodoh mereka berada.
Prabu Puntadewa merasa ucapan Prabu Kresna masuk akal. Ia lalu bertanya di mana
kira-kira Raden Nakula dan Raden Sadewa dapat bertemu jodoh masing-masing. Prabu
Kresna menjawab, menurut penerawangannya, si kembar akan mendapat istri di Kerajaan
Selamirah. Ada kabar beredar bahwa, raja Selamirah yang bernama Prabu Rasadewa
sedang mengadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putrinya yang bernama Dewi
Rasawulan. Sayembara tersebut bukan berupa sayembara tanding, tetapi sayembara
menjawab pertanyaan Dewi Rasawulan. Barangsiapa mampu menerjemahkan makna cinta
sejati, maka orang itulah yang akan diterima sebagai suami.
Prabu Puntadewa dan yang lain tertarik mendengarnya. Mereka pun bertanya siapa
di antara Raden Nakula dan Raden Sadewa yang kira-kira bisa memenangkan sayembara
tersebut. Prabu Kresna tidak berani mendahului takdir, maka ia hanya menjawab, sebaiknya
mereka berangkat untuk menyusul ke sana.
Karena sudah mendapatkan titik terang, Prabu Puntadewa pun mengajak Prabu
Kresna untuk berangkat bersama menuju Kerajaan Selamirah. Arya Wrekodara, Arya
Setyaki, dan Raden Gatutkaca diminta untuk ikut mengawal, sedangkan Raden Arjuna dan
Patih Tambakganggeng ditugasi menjaga keamanan istana. Prabu Kresna sangat setuju
apabila Raden Arjuna menunggu istana, karena jika berangkat ke sana, bisa-bisa ia justru
ikut memasuki sayembara. Raden Arjuna tersipu malu dan bersedia mematuhi perintah
sang kakak sulung.
Setelah dirasa cukup, Prabu Puntadewa pun membubarkan pertemuan, kemudian
masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan terlebih dahulu kepada sang permaisuri Dewi
Drupadi, dan juga sang ibu Dewi Kunti.

PRABU BRAJAWIJAYA BERANGKAT MENGIKUTI SAYEMBARA DI KERAJAAN


SELAMIRAH
Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Brajawijaya dari Kerajaan Selabentar yang
masih muda dan perkasa. Hari itu ia mendapat surat undangan dari Kerajaan Selamirah
untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Rasawulan. Prabu Brajawijaya
penasaran membayangkan putri yang bernama Dewi Rasawulan pastilah sangat cantik,
hingga membuat sayembara aneh berupa tanya jawab tentang cinta. Berpikir demikian
membuatnya merasa tertarik mengikuti sayembara, apalagi nama kerajaan mereka hampir
mirip, Prabu Brajawijaya pun berkhayal jangan-jangan mereka ditakdirkan berjodoh.
Prabu Brajawijaya lalu berangkat dengan membawa pasukan secukupnya. Di tengah
jalan, mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan Amarta. Arya Setyaki yang
berada di ujung barisan terlibat salah paham dengan Prabu Brajawijaya. Maka, terjadilah
pertempuran di antara kedua pihak. Arya Setyaki, Arya Wrekodara, dan Raden Gatutkaca
hanya bertiga tetapi berhasil memukul mundur pasukan dari Selabentar tersebut.
Prabu Brajawijaya gentar melihat pasukannya terdesak. Ia pun memutuskan untuk
menghindar dan mencari jalan lain menuju Kerajaan Selamirah. Pasukannya diperintahkan
untuk pulang, sedangkan ia sendiri berjalan cepat menuju negeri tersebut.
Sementara itu, Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa juga telah mengajak rombongan
untuk melanjutkan perjalanan.

RADEN NAKULA DAN RADEN SADEWA MENDAPAT PETUNJUK DEWA


Si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa yang sedang dicari-cari saat ini ternyata
bertapa di dalam Gua Paminta, di tengah Hutan Pringgabaya. Para panakawan Kyai Semar,
KITAB WAYANG PURWA

Nala Gareng, Petruk, dan Bagong tampak berjaga di luar gua sambil bermain-main
menghilangkan kejenuhan.
Tiba-tiba dari angkasa turun seberkas cahaya masuk ke dalam gua. Cahaya tersebut
kemudian menjelma menjadi sepasang dewa kembar, yaitu Batara Aswan dan Batara
Aswin. Kedua dewa tersebut masing-masing adalah ayah angkat Raden Nakula dan Raden
Sadewa, yang dahulu pernah menolong Dewi Madrim saat melahirkan mereka.
Raden Nakula dan Raden Sadewa pun membuka mata lalu menyembah hormat pada
kedua dewa tersebut. Batara Aswan dan Batara Aswin sengaja datang untuk mengabulkan
apa yang menjadi permintaan mereka. Kedua kesatria kembar tersebut tidak meminta apa-
apa, hanya memohon petunjuk siapakah kiranya yang menjadi jodoh mereka. Batara Aswin
bertanya balik mengapa mereka harus bertapa hanya demi untuk meminta jodoh. Raden
Nakula dan Raden Sadewa adalah dua pangeran dari Kerajaan Amarta yang berwajah
tampan. Jika mereka ingin menikah tinggal tunjuk saja, mau pilih perempuan mana, sudah
pasti akan diterima.
Raden Nakula menjawab, ia dan saudara kembarnya bertapa bukan untuk meminta
jodoh, tetapi mohon petunjuk siapa dan di mana jodoh sejati mereka berada. Batara Aswan
berkata, untuk apa bertanya soal jodoh segala. Mereka berdua tinggal melamar perempuan
mana yang diinginkan, maka perempuan itu pasti akan menjadi istri mereka. Raden Sadewa
menjawab, yang mereka cari adalah pasangan jiwa, bukan sekadar istri. Mencari istri
mudah, namun apakah yang dinikahi benar-benar pasangan jiwa atau bukan, itu yang sulit.
Batara Aswin heran mendengarnya dan ia pun bertanya apa bedanya istri dengan
pasangan jiwa. Raden Sadewa mohon maaf lalu menjawab bahwa pengertian istri dengan
pasangan jiwa tentu berbeda. Manusia dapat menikah dengan siapa saja, tetapi belum tentu
yang ia nikahi adalah pasangan jiwanya yang sejati. Yang dimaksud dengan istri adalah
seseorang yang sudah sah dinikahi, sedangkan pasangan jiwa adalah seseorang yang bisa
membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan juga lebih matang. Pasangan jiwa
adalah orang yang selalu siap mendampingi dalam suka maupun duka, memberi selamat
di saat jaya, atau memberi semangat di saat jatuh.
Ada sebagian orang yang menikah hanya karena menuruti hawa nafsu belaka,
sehingga yang dicari hanyalah lawan jenis yang cantik jelita, ataupun yang kaya raya. Ada
pula yang menikah karena tidak kuat pada tekanan masyarakat, karena takut dibilang tidak
laku, sehingga yang penting menikah dengan siapa saja, tanpa berpikir bagaimana kelak
masa depan mereka. Akibatnya, banyak kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia,
karena yang dinikahi bukan pasangan jiwa yang sejati. Bahkan, banyak pula rumah tangga
yang berantakan dan harus berakhir dengan perceraian. Jika sudah begitu, apa gunanya
menikah kalau hanya untuk membuat sakit hati?
Batara Aswan dan Batara Aswin terkesan mendengar jawaban si kembar. Mereka pun
berkata bahwa pertanyaan tadi hanyalah ujian belaka. Tujuan kedua dewa tersebut turun
dari kahyangan adalah untuk memberikan petunjuk kepada Raden Nakula dan Raden
Sadewa, di mana mereka bisa bertemu dengan pasangan jiwa masing-masing. Raden
Sadewa dapat bertemu dengan jodohnya apabila mengikuti sayembara yang diadakan
Dewi Rasawulan di Kerajaan Selamirah. Sayembara tersebut ialah menjawab pertanyaan
putri tersebut tentang apa makna dari cinta sejati.
Batara Aswin lalu memerintahkan Raden Nakula agar mengawal kepergian Raden
Sadewa. Apabila Raden Nakula bisa menyisihkan ego sebagai kakak, dan bersedia
melindungi adiknya itu dengan tulus ikhlas, maka ia pun akan bertemu dengan pasangan
jiwanya pula di Kerajaan Selamirah. Raden Nakula menjawab bersedia. Soal menjadi
pengawal adiknya, ia merasa tidak keberatan sama sekali. Sejak kecil ia pun sudah
KITAB WAYANG PURWA

menyadari kalau Raden Sadewa jauh lebih pandai dibanding dirinya. Maka, ia merasa
adiknya itu jauh lebih pantas dalam mengikuti sayembara dibanding dirinya.
Raden Sadewa keberatan disebut lebih pandai dibanding kakaknya. Mereka berdua
saudara kembar, dilahirkan dari rahim yang sama, tentunya memiliki kemampuan yang
sama pula. Raden Nakula menjawab tidaklah demikian. Meskipun mereka kembar, tetapi
Raden Sadewa lebih rajin membaca dan menambah wawasan. Adapun Raden Nakula
mengaku dirinya pemalas dan lebih suka menghabiskan waktu untuk bermain-main
bersama hewan peliharaan.
Batara Aswan dan Batara Aswin melarang mereka berdebat saling mengalah.
Keduanya memiliki kelebihan masing-masing, jadi tidak perlu bersaing siapa yang lebih
bodoh. Kedua dewa itu pun memerintahkan mereka untuk segera berangkat menuju
Kerajaan Selamirah. Raden Nakula dan Raden Sadewa mohon doa restu, kemudian
berangkat disertai para panakawan.

Batara Aswan - Batara Aswin.

RADEN NAKULA MENGALAHKAN PRABU BRAJAWIJAYA


Raden Nakula dan Raden Sadewa beserta rombongan telah meninggalkan Hutan
Pringgabaya. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan Prabu Brajawijaya yang mencari
jalan lain untuk menghindari rombongan dari Kerajaan Amarta. Begitu mengetahui ternyata
kesatria kembar yang ada di hadapannya juga orang Amarta, seketika amarah Prabu
Brajawijaya pun bangkit. Lebih-lebih lagi ketika mengetahui bahwa Raden Sadewa hendak
mengikuti sayembara di Kerajaan Selamirah, raja tersebut pun semakin marah dan berniat
membunuh mereka.
Prabu Brajawijaya pun menyerang Raden Sadewa untuk mengurangi saingan. Raden
Nakula yang sudah bersumpah untuk menjadi pengawal adiknya segera maju menghalangi.
Ia pun bertarung melawan raja tersebut. Keduanya bertarung sengit di tempat sepi itu.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Brajawijaya yang sudah berniat membunuh justru terdesak, bahkan akhirnya ia tewas
terkena kerisnya sendiri, berkat keterampilan tangan Raden Nakula yang cekatan.
Setelah musuh mati akibat ulahnya sendiri, Raden Nakula pun mengajak rombongan
melanjutkan perjalanan.

Prabu Brajawijaya.

PRABU DURYUDANA MENGIRIM ARYA DURSASANA MENGIKUTI SAYEMBARA DI


KERAJAAN SELAMIRAH
Sementara itu di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana dihadap Patih Sangkuni dan
Arya Dursasana. Hari itu Arya Dursasana memohon izin untuk pergi ke Kerajaan Selamirah,
mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Rasawulan. Prabu Duryudana telah
mendengar berita tersebut dan berharap adiknya bisa memenangkan sayembara.
Bagaimanapun juga Arya Dursasana sudah menjadi perjaka tua. Sudah berkali-kali adik
nomor duanya itu melamar perempuan tetapi selalu saja kandas di tengah jalan.
Patih Sangkuni berkata bahwa sayembara memperebutkan Dewi Rasawulan berupa
tanya jawab, yaitu barangsiapa mampu menjelaskan tentang makna cinta sejati, maka
dialah yang bisa menjadi suami gadis tersebut. Prabu Duryudana merasa sayembara ini
aneh, bukannya sayembara tanding seperti yang sudah sering ada. Namun, ia sangat yakin
segalanya bisa dibeli. Arya Dursasana pun diberinya bekal emas permata banyak sekali.
Hendaknya emas permata itu diserahkan kepada Dewi Rasawulan sehingga tidak perlu lagi
ada sayembara tanya jawab segala. Di dunia ini mana mungkin ada perempuan yang bisa
menolak emas permata? Arya Dursasana berterima kasih kepada sang kakak lalu
berangkat bersama Patih Sangkuni dan para Kurawa lainnya.

RADEN INDRAKERATA HENDAK MENGIKUTI SAYEMBARA DI KERAJAAN


SELAMIRAH
Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Kridamarkata dari Kerajaan Awu-awulangit.
Ia memiliki dua orang anak, yaitu laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki bernama Raden
Indrakerata, sedangkan yang perempuan bernama Dewi Suyati. Hari itu Raden Indrakerata
mohon doa restu kepada sang ayah untuk pergi mengikuti sayembara di Kerajaan
Selamirah, memperebutkan Dewi Rasawulan.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kridamarkata memberikan restunya. Ketika Raden Indrakerata hendak


berangkat, ternyata Dewi Suyati minta diizinkan ikut serta. Ia penasaran ingin melihat
bagaimana kakaknya memenangkan sayembara dan memboyong calon istri. Raden
Indrakerata yang sangat menyayangi adiknya tidak kuasa menolak. Ia pun mengajak serta
Dewi Suyati dan bersama-sama pergi dengan mengendarai satu kereta.

ARYA DURSASANA GAGAL MEMENANGKAN DEWI RASAWULAN


Di Kerajaan Selamirah, Prabu Rasadewa menerima kedatangan Patih Sangkuni
bersama para Kurawa. Patih Sangkuni sebagai pimpinan rombongan hari itu mengajukan
lamaran terhadap Dewi Rasawulan sebagai calon istri Arya Dursasana. Patih Sangkuni
berkata bahwa keponakannya ini adalah pangeran nomor dua di Kerajaan Hastina, dan
merupakan adik kesayangan Prabu Duryudana, raja paling kaya di dunia saat ini. Apa pun
yang diminta Arya Dursasana, pasti dikabulkan oleh Prabu Duryudana. Maka dari itu, bisa
menjadi istri Arya Dursasana merupakan keberuntungan istimewa bagi Dewi Rasawulan.
Kesempatan langka seperti ini jangan sampai disia-siakan. Hendaknya sayembara tanya
jawab soal cinta dibatalkan saja, dan Dewi Rasawulan segera memilih Arya Dursasana
sebagai suami.
Prabu Rasadewa berkata dirinya sebagai orang tua hanyalah merestui apa yang
menjadi keinginan anak. Ia lalu menawarkan apa yang disampaikan Patih Sangkuni tadi
kepada Dewi Rasawulan. Sudah banyak pelamar yang kecewa dan pulang dengan tangan
hampa, karena gagal menjawab pertanyaan putrinya. Alangkah baiknya, lamaran Arya
Dursasana ini langsung diterima saja, tanpa perlu melalui sayembara segala. Namun, Dewi
Rasawulan tetap pada pendiriannya, yaitu hanya bersedia menikah dengan orang yang bisa
menerjemahkan apa yang dimaksud dengan cinta sejati. Tidak peduli siapa pun itu, meski
dia seorang rakyat jelata yang miskin papa, asalkan berhasil pasti diterima sebagai suami
Dewi Rasawulan. Apabila Arya Dursasana tidak berani mengikuti sayembara dan lebih suka
menggunakan uang, itu artinya ia tidak sedang mencari istri, tetapi hendak membeli istri.
Arya Dursasana tersinggung mendengar ucapan Dewi Rasawulan dan ia pun maju
mengikuti sayembara. Dewi Rasawulan bertanya kepadanya, apa makna dari cinta sejati.
Arya Dursasana menjawab, cinta adalah perasaan suka terhadap lawan jenis. Rasa suka
ini harus diperjuangkan untuk bisa memilikinya. Siapa pun yang jadi penghalang harus
dilibas, jika perlu dilenyapkan. Cinta hanya bisa disebut cinta apabila dimenangkan.
Dewi Suyati kurang berkenan terhadap jawaban Arya Dursasana. Ia pun menolak
lamaran kesatria dari Banjarjunut tersebut. Arya Dursasana kecewa dan keluar
meninggalkan istana Selamirah, diikuti Patih Sangkuni dan yang lain.

RADEN SADEWA MENJAWAB PERTANYAAN DEWI RASAWULAN


Setelah rombongan dari Kerajaan Hastina pergi, datanglah si kembar Raden Nakula
dan Raden Sadewa menghadap Prabu Rasadewa. Raden Nakula menyampaikan maksud
kedatangan mereka adalah untuk mengikuti sayembara, di mana adiknya, yaitu Raden
Sadewa yang akan menjawab pertanyaan Dewi Rasawulan. Prabu Rasadewa segera
menyampaikan hal ini kepada putrinya, namun Dewi Rasawulan seolah sudah bisa
menebak bahwa memang Raden Sadewa yang akan melamar dirinya, bukan Raden
Nakula.
Dewi Rasawulan mengamati kedua pangeran yang baru datang tersebut. Keduanya
kembar dan sama persis. Hanya saja, Raden Nakula lebih rapi dalam berdandan dibanding
Raden Sadewa yang penampilannya biasa saja. Namun demikian, wajah Raden Sadewa
tampak lebih tenang dan bercahaya, pertanda ilmunya lebih mendalam dibandingkan
saudara kembarnya tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Rasawulan pun mempersilakan Raden Sadewa menjawab pertanyaannya, yaitu


apa yang dimaksud dengan cinta sejati. Raden Sadewa menjawab cinta adalah berkah
pemberian Tuhan Yang Mahakuasa agar makhluk hidup di dunia, khususnya manusia,
memiliki semangat untuk meneruskan kelestarian jenisnya. Cinta juga menjadi sumber
semangat bagi manusia untuk bekerja dan berkarya. Namun, sayangnya banyak yang
menyalahpahami makna cinta. Banyak yang tidak bisa membedakan cinta dengan nafsu.
Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Cinta adalah perasaan ingin memberi, sedangkan
nafsu adalah perasaan ingin menguasai.
Itulah sebabnya ada istilah cinta sejati, yang berbeda dengan cinta bersyarat. Cinta
yang dilandasi nafsu akan melahirkan cinta bersyarat, yaitu perasaan ingin memberi disertai
ingin menerima. Aku memberi apa, aku mendapatkan apa. Sementara itu, cinta sejati hanya
ingin memberi dan memberi. Dalam cinta sejati tidak ada lagi kata “aku”, karena yang ada
di hati hanyalah kebahagiaan sang kekasih belaka. Apa yang menjadi kebahagiaan
kekasihnya, itulah yang menjadi kebahagiaannya. Cinta bersyarat sifatnya mengekang jiwa,
sedangkan cinta sejati justru memerdekakan jiwa.
Dewi Rasawulan tertarik mendengar penuturan Raden Sadewa yang berbeda dengan
para pelamar sebelumnya. Ia pun bertanya apa yang mendasari munculnya cinta sejati.
Raden Sadewa menjawab, cinta sejati tumbuh dari lubuk hati, bukan karena harta, juga
bukan karena rupa. Seperti dalam syair berbunyi “gagaraning wong akrami, dudu bandha,
dudu rupa, amung hati pawitane,” begitulah datangnya cinta sejati. Adakalanya terhadap
seseorang yang wajahnya biasa-biasa saja, bahkan tubuhnya tidak sempurna, namun
entah mengapa tumbuh cinta kepada orang itu. Ada istilah, “Bukan cantik yang membuat
orang jatuh cinta, tetapi cinta yang membuat sang kekasih terlihat cantik”. Demikianlah,
makna cinta sejati menurut Raden Sadewa.
Dewi Rasawulan semakin penasaran, mengapa seseorang bisa jatuh cinta terhadap
kekasihnya yang tidak tampan, tidak cantik, juga tidak kaya. Apa mungkin cinta bisa tumbuh
begitu saja tanpa sebab? Apa mungkin cinta bisa tumbuh begitu saja tanpa alasan? Apa
mungkin di dunia ini ada akibat tanpa didahului sebab?
Prabu Rasadewa dan Raden Nakula merasa pertanyaan Dewi Rasawulan kali ini
sangat sulit dijawab. Mereka berdua merasa sayang apabila Raden Sadewa sampai gagal
di tahap ini. Namun, Raden Sadewa tampak tenang dan menjawab, segala sesuatu di dunia
ini terikat hukum sebab-akibat. Ada akibat, pasti ada sebab. Cinta sejati yang tumbuh dalam
hati pun ada sebabnya, tidak mungkin tumbuh begitu saja tanpa sebab.
Dewi Rasawulan bingung atas jawaban ini, karena di awal tadi Raden Sadewa berkata
bahwa cinta sejati bukan disebabkan karena wajah cantik ataupun harta melimpah, tetapi
karena tumbuh karena dorongan hati. Namun, mengapa kini Raden Sadewa berkata bahwa
cinta sejati pun datang karena sebab? Bukankah ini namanya mengingkari ucapan sendiri?
Raden Sadewa menjawab, setiap manusia ditakdirkan memiliki pasangan jiwa.
Sebelum manusia dilahirkan ke dunia, setiap roh sudah ditentukan pasangannya. Namun,
ketika sudah berada di dunia, manusia diberi kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya.
Yang sering terjadi ialah, manusia lebih menuruti hawa nafsu daripada mengikuti bisikan
hati nurani. Adakalanya manusia mati-matian mengejar lawan jenis yang bukan pasangan
jiwanya, hanya karena tertarik pada paras yang cantik ataupun harta yang melimpah.
Meskipun pasangan jiwa sudah ditentukan di alam roh, namun ketika hidup di dunia,
manusia diberi kebebasan untuk memilih, apakah memilih menuruti hawa nafsu, ataukah
memilih mengikuti hati nurani. Semakin manusia mengumbar hawa nafsu, maka semakin
sulit pula baginya untuk mendengar suara kalbu.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Rasawulan bertanya apa sekarang ini masih ada orang yang bisa mendengar
suara kalbunya. Raden Sadewa menjawab ada, contohnya adalah Dewi Rasawulan sendiri.
Sejak awal Dewi Rasawulan sudah tahu kalau Raden Sadewa adalah pasangan jiwanya,
namun tetap mengajukan syarat harus bisa memenangkan sayembara terlebih dahulu,
demi membuktikan apakah benar laki-laki ini adalah jodoh pilihan Tuhan untuknya atau
bukan.
Seketika tubuh Dewi Rasawulan gemetar karena Raden Sadewa dapat menebak isi
hatinya. Memang sejak awal ia sudah terkesan kepada pangeran tersebut. Raden Nakula
dan Raden Sadewa kembar sama persis, tetapi pandangan Dewi Rasawulan selalu tertuju
pada Raden Sadewa saja. Meskipun Raden Nakula berdandan rapi dan lebih menjaga
penampilan, namun hati nurani Dewi Rasawulan selalu berbisik bahwa Raden Sadewa
adalah jodoh sejatinya. Bahkan, sebelum Raden Nakula mengutarakan maksud
kedatangan mereka, bahwa Raden Sadewa yang akan mengikuti sayembara, Dewi
Rasawulan sudah lebih dulu dapat menebak hal itu.
Prabu Rasadewa melihat Dewi Rasawulan tersipu malu, dan ia pun paham bahwa
putrinya itu telah menentukan pilihan. Maka, ia segera menetapkan Raden Sadewa sebagai
pemenang sayembara dan diumumkan sebagai calon menantunya.

Raden Sadewa

RADEN INDRAKERATA HENDAK MEREBUT DEWI RASAWULAN


Raden Nakula mengucapkan selamat atas keberhasilan adiknya dalam
memenangkan sayembara. Raden Sadewa sendiri merasa segan, karena dirinya lebih
muda tetapi lebih dulu mendapatkan jodoh dibanding sang kakak. Raden Nakula menjawab
dirinya sama sekali tidak iri pada keberhasilan Raden Sadewa. Justru ia sangat senang
karena adiknya itu mendapatkan jodoh terbaik, yaitu bertemu dengan pasangan jiwa sejati.
Prabu Rasadewa senang melihat ketulusan hati Raden Nakula. Andai saja ia memiliki
seorang anak perempuan lagi, pasti dijodohkan dengan saudara kembar Raden Sadewa
tersebut. Kyai Semar teringat pesan Batara Aswan dan Batara Aswin. Maka, ia pun berbisik
kepada Raden Sadewa, semoga Raden Nakula tetap tulus ikhlas selamanya, maka
jodohnya sebentar lagi akan datang.
Tidak lama kemudian datanglah Raden Indrakerata bersama Dewi Suyati menghadap
Prabu Rasadewa. Raden Indrakerata mohon izin mengikuti sayembara, namun Prabu
Rasadewa berkata bahwa sayembara sudah ditutup dan putrinya sudah menentukan
pilihan. Raden Indrakerata kecewa apalagi melihat Raden Sadewa si pemenang sayembara
ternyata berbadan kecil, tidak lebih gagah daripada dirinya.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Indrakerata pun menantang Raden Sadewa untuk bertanding secara jantan. Ia
menyindir Raden Sadewa adalah laki-laki, maka harus bisa menunjukkan kejantanan,
jangan hanya pandai bicara merayu perempuan saja. Raden Nakula tidak ingin
kebahagiaan adiknya terganggu. Ia pun maju mewakili Raden Sadewa untuk bertarung
dengan Raden Indrakerata. Raden Sadewa keberatan karena tantangan tersebut ditujukan
kepada dirinya. Namun, Raden Nakula tetap maju ke depan, karena ia sudah berjanji
kepada Batara Aswan dan Batara Aswin menjadi pengawal Raden Sadewa.
Raden Nakula lalu menjawab tantangan Raden Indrakerata bahwa dirinya yang akan
bertanding mewakili sang adik. Ia berkata bahwa Raden Sadewa jauh lebih sakti daripada
dirinya, sehingga tidak perlu repot-repot turun tangan hanya untuk melawan manusia
sombong macam Raden Indrakerata.
Raden Indrakerata tersinggung dan menarik Raden Nakula keluar istana. Keduanya
lalu bertarung di halaman. Raden Nakula sudah bersumpah akan selalu melindungi adiknya
sehingga ia pun bertanding sekuat tenaga. Karena sudah diniatkan demikian, kekuatannya
menjadi berlipat ganda. Raden Indrakerata akhirnya terdesak dan roboh di tanah. Melihat
kakaknya kalah, Dewi Suyati segera maju untuk memohon kepada Raden Nakula agar
mengampuni nyawa Raden Indrakerata.
Ketika mata Raden Nakula dan Dewi Suyati saling berpandangan, tiba-tiba hati
masing-masing terasa bergetar. Raden Indrakerata pun menyadari hal itu. Perasaannya
kepada Raden Nakula seketika berubah menjadi persaudaraan. Ia lalu berkata bahwa
dirinya akan sangat bahagia apabila Raden Nakula berjodoh dengan Dewi Suyati.
Mendengar kakaknya berterus terang, Dewi Suyati tersipu malu, sedangkan Raden Nakula
mengangguk setuju.
Raden Sadewa datang mendekat dan memeluk Raden Nakula. Ia mengatakan bahwa
kakaknya itu telah lulus ujian sehingga dapat bertemu jodoh sejati, yaitu Dewi Suyati. Hal
ini sesuai dengan apa yang tadi disampaikan oleh Batara Aswan dan Batara Aswin. Raden
Sadewa pun bersumpah semoga kelak ganti anaknya yang selalu melayani anak Raden
Nakula.
Demikianlah, suasana permusuhan kini berubah menjadi persaudaraan. Raden
Indrakerata mohon pamit pulang lebih dulu ke Kerajaan Awu-awulangit untuk
menyampaikan hal ini kepada sang ayah, yaitu Prabu Kridamarkata agar mempersiapkan
upacara pernikahan bagi Raden Nakula dengan Dewi Suyati.

Raden Nakula.
KITAB WAYANG PURWA

ARYA WREKODARA MENGUSIR PARA KURAWA DARI KERAJAAN SELAMIRAH


Sementara itu, Patih Sangkuni dan para Kurawa masih berkemah di luar ibu kota
Kerajaan Selamirah. Begitu mendengar sayembara Dewi Rasawulan dimenangkan oleh
Raden Sadewa, seketika para Kurawa menjadi gempar. Andai saja yang memenangkan
adalah orang lain, mungkin mereka tidak terlalu peduli. Namun, karena yang menang adalah
anggota Pandawa, mereka menjadi marah besar. Arya Dursasana pun mengajak adik-
adiknya menggempur Kerajaan Selamirah, merebut Dewi Rasawulan.
Kedatangan para Kurawa bersamaan dengan datangnya rombongan Prabu Kresna
dan Prabu Puntadewa. Arya Wrekodara, Arya Setyaki, dan Raden Gatutkaca segera tampil
menghadang Arya Dursasana dan para saudara. Pertempuran berlangsung singkat, di
mana para Kurawa berhamburan karena diterjang tiga kesatria tersebut.
Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa mengucapkan
selamat kepada Raden Nakula dan Raden Sadewa atas keberhasilan mereka menemukan
jodoh yang sejati. Prabu Rasadewa pun menyambut kedua raja tersebut, lalu mengadakan
perjamuan dan pesta syukuran atas terselesaikannya sayembara Dewi Rasawulan ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah pernikahan Raden Nakula dan Raden Sadewa sebenarnya adalah dua lakon yang berbeda.
Saya sengaja menggabungkan kedua lakon tersebut menjadi satu judul untuk lebih mendramatisasi
cerita, terutama untuk mengisahkan kedekatan hubungan antara Raden Nakula dan Raden
Sadewa.
KITAB WAYANG PURWA

SETYAKI KEMBAR
Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Setyajit raja Lesanpura
melawan Prabu Garbanata raja Garbaruci. Peperangan tersebut berakhir dengan
perkawinan antara Arya Setyaki dengan Dewi Garbarini. Juga dikisahkan bagaimana
Raden Burisrawa menyamar menjadi Arya Setyaki palsu untuk merebut pusaka
Nagabanda dari kahyangan.
Kisah ini saya olah dari pentas wayang kulit dengan lakon Setyaki Kembar yang
dibawakan oleh Ki Manteb Soedharsono, yang saya gabungkan dengan kisah Setyaki
Rabi menurut versi Ensiklopedia Wayang Purwa tulisan Rio Sudibyoprono, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 15 Juli 2017
Heri Purwanto

Arya Setyaki.

PRABU SETYAJIT MENDAPAT TANTANGAN DARI PRABU GARBANATA


Di Kerajaan Lesanpura, Prabu Setyajit dihadap Patih Setyabasa beserta para menteri
dan punggawa lainnya. Dalam pertemuan itu mereka membicarakan putri dan putra sang
raja, yaitu Dewi Setyaboma dan Arya Setyaki. Dewi Setyaboma sudah menikah dengan
Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati. Dari perkawinan tersebut sudah lahir pula
seorang putra yang diberi nama Raden Setyaka. Sementara itu, Arya Setyaki yang
merupakan putra mahkota Kerajaan Lesanpura lebih memilih tinggal di Kerajaan Dwarawati
sebagai panglima angkatan perang di sana. Sampai saat ini ia belum juga menikah padahal
secara usia sudah cukup dewasa.
Ketika sedang berunding membicarakan putranya tersebut, tiba-tiba datang seorang
laki-laki yang mengaku bernama Patih Saradenta, utusan Prabu Garbanata dari Kerajaan
Garbaruci. Kedatangan Patih Saradenta ini adalah untuk menyerahkan surat dari rajanya
kepada Prabu Setyajit.
Prabu Setyajit menerima surat tersebut dan membaca isinya. Dalam surat itu Prabu
Garbanata mengaku sebagai adik dari Prabu Garbaruci raja Paranggubarja yang dahulu
tewas di tangan Prabu Setyajit saat memperebutkan Dewi Wresini. Prabu Setyajit seketika
teringat peristiwa masa lalu, saat dirinya masih muda dan bernama Arya Ugrasena.
Bersama dengan sang kakak, yaitu Aryaprabu Rukma (yang saat ini sudah menjadi raja
Kumbina bergelar Prabu Bismaka), mereka berdua mendapat tugas menjadi jago
KITAB WAYANG PURWA

kahyangan menghadapi serangan dua orang saudara seperguruan, bernama Prabu


Sasradewa raja Guamiring yang ingin menikahi Batari Arumbini, serta Prabu Garbaruci raja
Paranggubarja yang ingin menikahi Batari Wresini. Pada mulanya Aryaprabu Rukma dan
Arya Ugrasena kalah menghadapi kedua raja tersebut. Namun, setelah mendapatkan
pinjaman pusaka dari sang kakak ipar, yaitu Prabu Pandu Dewanata (ayah para Pandawa),
mereka pun berhasil memenangkan pertempuran dan menewaskan Prabu Sasradewa
beserta Prabu Garbaruci.
Ketika Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena memboyong kedua bidadari Batari
Arumbini dan Batari Wresini ke Kerajaan Mandura sebagai istri mereka, saat itu datang
serangan dari Kerajaan Paranggubarja yang dipimpin adik kandung Prabu Garbaruci,
bernama Raden Garbanata. Dalam pertempuran itu, Raden Garbanata berhasil dikalahkan
oleh Prabu Pandu. Karena merasa iba, Prabu Basudewa (raja Mandura saat itu) pun
mengampuni dan mempersilakannya pulang ke Kerajaan Paraggubarja.
Demikianlah, Prabu Setyajit terkenang peristiwa yang sudah berlalu lebih dari dua
puluh tahun tersebut. Saat ini Prabu Basudewa dan Prabu Pandu sudah sama-sama
meninggal. Prabu Setyajit menganggap urusan dendam lama Prabu Garbanata adalah
murni tanggung jawabnya sendiri. Maka, ia pun menjawab tantangan tersebut dan
mempersilakan Patih Saradenta untuk melapor kepada rajanya.
Setelah Patih Saradenta undur diri, Prabu Setyajit berunding dengan Patih Setyabasa
mengenai rencana peperangan ini. Patih Setyabasa mengusulkan agar sang raja
memanggil pulang Arya Setyaki di Kerajaan Dwarawati agar membantu mengalahkan Prabu
Garbanata. Prabu Setyajit merasa tidak perlu seperti itu. Ia yakin pada kekuatan sendiri. Ia
dulu pernah mengalahkan Prabu Garbaruci, tentu tidak akan sulit mengalahkan adiknya.
Patih Setyabasa ingat Prabu Setyajit dulu bisa membunuh Prabu Garbaruci adalah
karena meminjam pusaka milik Prabu Pandu, tetapi ia tidak berani membantah rajanya. Ia
pun mohon izin keluar untuk mempersiapkan pasukan Lesanpura. Prabu Setyajit
mempersilakan, lalu membubarkan pertemuan untuk mempersiapkan diri pula.

PRABU GARBANATA MENERIMA LAPORAN PATIH SARADENTA


Sementara itu di perkemahan pasukan Garbaruci, Prabu Garbanata menerima
kedatangan Patih Saradenta yang telah kembali dari tugasnya mengantar surat tantangan
kepada Prabu Setyajit. Begitu mendengar laporan bahwa pihak lawan menerima tantangan
darinya, ia pun merasa senang karena membayangkan bisa segera membalaskan kematian
sang kakak, yaitu Prabu Garbaruci di masa lalu.
Patih Saradenta merasa ikut senang. Namun, ia kurang paham tentang peristiwa apa
yang terjadi di masa lalu hingga Prabu Garbanata bisa menaruh dendam kepada Prabu
Setyajit. Patih Saradenta sendiri belum lama mengabdi kepada Prabu Garbanata sehingga
tidak mengetahui apa saja yang terjadi di zaman dulu.
Prabu Garbanata pun bercerita bahwa ia memiliki kakak kandung bernama Prabu
Garbaruci, raja Paranggubarja. Kakaknya itu memiliki saudara seperguruan bernama Prabu
Sasradewa dari Kerajaan Guamiring. Pada suatu hari mereka pergi bersama ke Kahyangan
Suralaya untuk melamar bidadari Batari Arumbini dan Batari Wresini. Namun, keduanya
tewas di tangan dua jago kahyangan kakak beradik dari Kerajaan Mandura. Prabu
Sasradewa tewas di tangan Aryaprabu Rukma, sedangkan Prabu Garbaruci tewas di
tangan Arya Ugrasena.
Raden Garbanata yang saat itu masih muda belia berangkat menyerang Kerajaan
Mandura untuk membalas kematian kakaknya. Saat itu di sana sedang diadakan
pernikahan ganda antara Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta Arya Ugrasena
KITAB WAYANG PURWA

dengan Batari Wresini. Raden Garbanata pun kalah di tangan Prabu Pandu dan mendapat
pengampunan Prabu Basudewa.
Raden Garbanata kemudian pulang ke Kerajaan Paranggubarja untuk menggantikan
takhta kakaknya yang telah meninggal. Namun, ia dikhianati punggawanya sendiri yang
bernama Arya Jayasudarga. Raden Garbanata kalah dan melarikan diri ke padepokan
ayahnya, yang bernama Resi Garbasumanda. Adapun Arya Jayasudarga lalu menjadi raja
Paranggubarja, bergelar Prabu Jayasudarga.
Resi Garbasumanda berwatak sabar dan welas asih. Ia menasihati Raden Garbanata
untuk melupakan dendam dan hidup tenang di desa. Untuk sementara waktu, Raden
Garbanata mematuhi ayahnya. Ia hidup berumah tangga dengan seorang gadis desa
bernama Niken Danasari, dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Dewi Garbarini.
Belasan tahun kemudian, Resi Garbasumanda meninggal dunia karena sakit. Setelah
kematian sang ayah, tiba-tiba Raden Garbanata mendengar kabar bahwa Kerajaan
Paranggubarja telah kosong tanpa memiliki raja. Ia pun meninggalkan padepokan dan
mendatangi negeri lamanya tersebut. Ternyata Prabu Jayasudarga telah mendapatkan
hukum karma, yaitu ia dikalahkan oleh seorang pemuda gunung bernama Bambang
Jungkung, putra Resi Dewangkara. Bambang Jungkung kemudian menduduki takhta
Kerajaan Paranggubarja, dengan bergelar Prabu Jungkungmardeya, sedangkan Prabu
Jayasudarga diturunkan pangkatnya menjadi patih.
Selanjutnya, Prabu Jungkungmardeya dikisahkan tewas di tangan Dewi Srikandi, putri
Kerajaan Cempalareja yang ia inginkan sebagai calon istri. Resi Dewangkara dan Patih
Jayasudarga pun berangkat membalas dendam, tetapi mereka juga tewas di tangan Raden
Arjuna dan Raden Gatutkaca. Namun, sebelum tewas, Resi Dewangkara sempat
membakar hangus Taman Maherakaca. Raden Arjuna berhasil memenangkan sayembara
memperbaiki taman tersebut dan ia pun berhak menikah dengan Dewi Srikandi.
Demikianlah kisah yang didengar Raden Garbanata. Ia merasa senang dapat kembali
mendapatkan haknya sebagai ahli waris Kerajaan Paranggubarja tanpa perlu bersusah
payah mengusir si pengkhianat Prabu Jayasudarga, ataupun Prabu Jungkungmardeya si
pemuda gunung. Raden Garbanata lalu menjadi raja, bergelar Prabu Garbanata,
sedangkan Kerajaan Paranggubarja diganti nama menjadi Kerajaan Garbaruci, demi
mengenang kakak kandungnya tersayang. Di antara para punggawa yang ia percaya, Arya
Saradenta pun dipilihnya untuk menduduki jabatan sebagai patih.
Demikianlah kisah masa lalu Prabu Garbanata. Setelah mendapatkan kembali
kekuasaan atas takhta, segala nasihat mendiang Resi Garbasumanda seolah menguap
begitu saja. Dendam lamanya kepada Prabu Setyajit alias Arya Ugrasena bangkit kembali.
Kini, ia pun mengirim surat tantangan kepada raja Lesanpura tersebut untuk menyelesaikan
hutang nyawa atas kakaknya.
Patih Saradenta merasa bersemangat membantu kemenangan rajanya. Ia pun mohon
izin untuk mempersiapkan pasukan menggempur istana Kerajaan Lesanpura.

PRABU SETYAJIT KALAH DI TANGAN PRABU GARBANATA


Prabu Garbanata dan Patih Saradenta telah berangkat memimpin pasukan Garbaruci.
Mereka disambut Prabu Setyajit dan Patih Setyabasa yang juga sudah bersiaga dengan
pasukan Lesanpura. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Mula-mula pihak
Lesanpura berhasil mendesak mundur barisan Garbaruci. Ketika kemenangan sudah di
depan mata, tiba-tiba Prabu Garbanata mengubah siasat, yaitu menantang Prabu Setyajit
bertanding satu lawan satu.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Setyajit menerima tantangan tersebut. Sebagai mantan panglima perang


Kerajaan Mandura, ia tidak pernah takut kepada musuh. Namun, Prabu Garbanata sendiri
selama menyepi di padepokan Resi Garbasumanda selalu melatih diri dan mengasah ilmu
kesaktiannya. Sebaliknya, Prabu Setyajit sudah semakin berumur dan jarang berolah raga.
Lama-lama ia terdesak dan berhasil diringkus oleh Prabu Garbanata.
Prabu Garbanata bahagia karena pembunuh kakaknya kini telah tertunduk di bawah
kakinya. Prabu Setyajit tidak takut mati. Ia yakin putranya yang bernama Arya Setyaki akan
segera datang untuk membalas kematiannya. Mendengar itu, Prabu Garbanata menjadi
penasaran. Ia menunda kematian Prabu Setyajit karena lebih dulu ingin membunuh Arya
Setyaki tersebut. Apabila Prabu Setyajit menyaksikan sendiri bagaimana putranya dibunuh,
tentunya ini jauh lebih menyakitkan daripada dirinya sendiri yang mati.
Prabu Setyajit merasa Prabu Garbanata terlalu sombong karena meremehkan
kesaktian putranya. Prabu Garbanata tidak peduli dan ingin Arya Setyaki segera dihadirkan
di hadapannya. Karena sudah diputuskan demikian, Prabu Setyajit pun meminta tolong
kepada Patih Setyabasa untuk pergi ke Kerajaan Dwarawati, menjemput pulang Arya
Setyaki. Patih Setyabasa merasa gembira karena ini sesuai dengan keinginannya sejak
awal. Maka, ia pun segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.

PRABU KRESNA DAN PARA PANDAWA MENCARI HILANGNYA ARYA SETYAKI


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap adik-adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Hadir pula sang kakak sepupu dari
Kerajaan Dwarawati, yaitu Prabu Kresna Wasudewa yang membawa kabar bahwa Arya
Setyaki telah menghilang dari Kesatrian Swalabumi dan sudah lama tidak datang
menghadap.
Prabu Puntadewa prihatin mendengar berita tersebut dan berharap Arya Setyaki
dalam keadaan baik-baik saja. Tidak lama kemudian, Patih Setyabasa datang menghadap.
Prabu Kresna dan para Pandawa terkejut mengapa ia bisa sampai di Kerajaan Amarta.
Patih Setyabasa pun menceritakan peristiwa yang terjadi di Kerajaan Lesanpura, bahwa
saat ini Prabu Setyajit telah jatuh ke tangan musuh lama bernama Prabu Garbanata.
Kemudian Prabu Garbanata ingin menantang Arya Setyaki bertarung dan membunuhnya di
hadapan Prabu Setyajit. Untuk itulah, Patih Setyabasa pun ditugasi pergi ke Kerajaan
Dwarawati menjemput Arya Setyaki. Namun, di sana ia tidak bertemu dengan orang yang
dicari. Menurut keterangan Patih Udawa, sudah beberapa pekan ini Arya Setyaki
menghilang dari Kesatrian Swalabumi.
Patih Setyabasa lalu bertanya di mana Prabu Kresna berada. Patih Udawa berkata
bahwa rajanya sedang berkunjung ke Kerajaan Amarta. Tanpa membuang waktu, Patih
Setyabasa pun pergi menyusul untuk meminta bantuan menyelamatkan nyawa Prabu
Setyajit.
Prabu Kresna dan para Pandawa merasa sedih atas keadaan yang menimpa paman
mereka. Namun, Prabu Kresna meramalkan hanya Arya Setyaki yang bisa mengalahkan
Prabu Garbanata. Untuk itu, ia tidak bersedia membantu membebaskan Prabu Setyajit yang
juga mertuanya sendiri tersebut, tetapi bersedia membantu mencari hilangnya Arya Setyaki
sampai ketemu.
Patih Setyabasa merasa gembira dan bersiap ikut menemani. Namun, Prabu Kresna
melarang dan menyuruhnya untuk beristirahat dan menunggu di Kerajaan Amarta. Biarlah
ia saja yang berangkat mencari dengan ditemani Arya Wrekodara dan Raden Arjuna
beserta para panakawan. Setelah memutuskan demikian, Prabu Kresna pun berpamitan
kepada Prabu Puntadewa, kemudian berangkat bersama kedua Pandawa tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

BATARI DURGA MENGUBAH RADEN BURISRAWA MENJADI ARYA SETYAKI PALSU


Sementara itu, Raden Burisrawa kesatria Madyapura sedang menghadap gurunya,
yaitu Batari Durga di Kahyangan Setragandamayit. Hari itu Batari Durga mendapat kabar
bahwa dewata hendak menurunkan pusaka Nagabanda kepada Arya Setyaki yang saat ini
sedang bertapa di Hutan Minangsraya.
Raden Burisrawa kesal mendengarnya. Dulu saat pesta pernikahan Raden Arjuna
dengan Dewi Sumbadra, dirinya mengamuk karena cemburu. Namun, ia dapat diringkus
oleh Arya Setyaki dan diserahkan kepada Raden Gatutkaca untuk dibuang jauh. Raden
Gatutkaca lalu membawa terbang tubuh Raden Burisrawa dan membuangnya jatuh di
tengah hutan. Sejak saat itulah Raden Burisrawa menyimpan dendam kepada Arya Setyaki
dan ingin membalas perbuatannya.
Raden Burisrawa khawatir jika Arya Setyaki mendapatkan pusaka Nagabanda, maka
kesaktiannya akan bertambah dan sudah pasti akan lebih kuat darinya. Raden Burisrawa
pun meminta petunjuk kepada Batari Durga bagaimana caranya agar ia dapat
menggagalkan rencana dewata menganugerahkan pusaka tersebut kepada Arya Setyaki.
Batari Durga mendapat bocoran bahwa Batara Guru akan menugasi Batara Narada
untuk menyerahkan pusaka Nagabanda kepada Arya Setyaki. Ia pun teringat peristiwa saat
Raden Gatutkaca lahir dulu. Saat itu Batara Narada salah memberikan pusaka
Kuntadruwasa dan Wijayadanu kepada Adipati Karna yang berdandan mirip Raden Arjuna.
Maka, Batari Durga pun berniat menggunakan cara yang sama. Ia hendak mengubah wujud
Raden Burisrawa menjadi sama persis dengan Arya Setyaki untuk mengelabui pandangan
Batara Narada.
Raden Burisrawa gembira mendengarnya. Ia pun menurut saat wujudnya tiba-tiba
diubah Batari Durga menjadi lebih kecil, dan wajahnya kemudian diubah pula menjadi sama
persis dengan Arya Setyaki. Setelah dirasa cukup, Batari Durga pun memerintahkan Raden
Burisrawa atau Arya Setyaki palsu untuk segera berangkat menuju Hutan Minangsraya.

BATARA NARADA SALAH MEMBERIKAN PUSAKA NAGABANDA KEPADA ARYA


SETYAKI PALSU
Sementara itu, Batara Narada telah berangkat melaksanakan tugas dari Batara Guru
untuk menurunkan pusaka Nagabanda kepada Arya Setyaki yang sedang bertapa di Hutan
Minangsraya. Ia melayang terbang dan melihat dari kejauhan Arya Setyaki sedang duduk
bersamadi di bawah pohon besar.
Batara Narada segera membangunkan Arya Setyaki dan mengatakan bahwa Batara
Guru telah mengabulkan permintaannya yang ingin memiliki pusaka dari kahyangan.
Pusaka tersebut berupa cambuk dari baja, bernama Nagabanda. Arya Setyaki dengan
senang hati menerima pusaka tersebut kemudian mohon pamit kembali ke Kesatrian
Swalabumi.
Batara Narada termangu-mangu dan merasa ada yang tidak beres. Ia lalu terbang ke
angkasa dan melihat ada Arya Setyaki lain sedang duduk bersamadi di atas batu datar.
Batara Narada segera turun dan membangunkannya untuk bertanya mengapa ia masih
bertapa lagi padahal sudah memperoleh pusaka Nagabanda. Arya Setyaki bangun dan
menyembah. Ia berkata bahwa dirinya belum pernah menerima pusaka Nagabanda. Sudah
beberapa hari ini ia bertapa ingin seperti Prabu Kresna dan Prabu Baladewa yang memiliki
pusaka dari kahyangan. Sebagai panglima angkatan perang Kerajaan Dwarawati, Arya
Setyaki merasa penting jika memiliki pusaka andalan buatan para dewa, di samping Gada
Wesikuning yang dulu ia peroleh setelah mengalahkan Prabu Tambakyuda dan Patih
Singamulangjaya dari Kerajaan Swalabumi.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada merasa heran dan kini ia yakin peristiwa masa lalu terulang lagi, di
mana ia salah memberikan pusaka kepada Adipati Karna, padahal seharusnya untuk Raden
Arjuna. Untuk lebih meyakinkan lagi, ia pun meminta Arya Setyaki di hadapannya agar
membuktikan diri apakah asli atau palsu. Arya Setyaki bersedia dan segera mengeluarkan
Gada Wesikuning dari telapak tangan. Gada tersebut berukuran kecil seperti jarum yang
secara ajaib tiba-tiba berubah menjadi besar dan panjang, bahkan lebih tinggi daripada
tubuh Arya Setyaki.
Batara Narada kini yakin bahwa pusaka Nagabanda telah salah diberikan kepada Arya
Setyaki palsu. Mendengar ada orang lain yang menyamar sebagai dirinya, Arya Setyaki
segera mohon pamit untuk mengejar orang itu dan merebut pusaka Nagabanda dari
tangannya.

ARYA SETYAKI KEMBAR SALING BERTARUNG


Arya Setyaki asli akhirnya berhasil mengejar Arya Setyaki palsu. Mereka pun
bertarung seru sama-sama mengaku sebagai yang asli. Arya Setyaki yang satu memegang
Gada Wesikuning, sedangkan yang satu lagi memegang pusaka Nagabanda. Ketika kedua
senjata itu beradu, tiba-tiba Nagabanda melilit erat Gada Wesikuning dan keduanya sama-
sama terlempar ke udara.
Tepat pada saat itu Prabu Kresna bersama kedua Pandawa dan para panakawan
kebetulan lewat. Prabu Kresna segera melesat terbang ke udara untuk menyambar Gada
Wesikuning dan Nagabanda. Kedua senjata pusaka itu kini menjadi satu tidak terpisahkan.
Cambuk Nagabanda melilit pada Gada Wesikunimg seperti seekor ular melilit pada dahan
pohon. Bentuk Gada Wesikuning menjadi lebih indah sekaligus juga menjadi lebih ampuh.
Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna gembira bertemu Arya Setyaki
yang mereka cari-cari, tetapi sekaligus juga bingung karena sepupu mereka itu kini berubah
menjadi dua. Batara Narada muncul dan menceritakan bahwa ada orang lain yang
menyamar sebagai Arya Setyaki untuk merebut pusaka Nagabanda pemberian dewa.
Batara Narada pun menjelaskan bahwa Arya Setyaki yang asli memegang Gada
Wesikuning, sedangkan yang palsu memegang Nagabanda.
Arya Wrekodara menjawab, ciri-ciri seperti itu sudah tidak berlaku karena kedua
pusaka terlempar ke udara dan sekarang sudah menjadi satu. Kini kedua Arya Setyaki
sama-sama sudah tidak memegang senjata dan mereka masih bertarung dengan tangan
kosong. Batara Narada menjadi ikut bingung dan tidak dapat membedakan mana di antara
mereka yang asli ataupun palsu. Dalam hal ini ia merasa malu kepada Raden Arjuna karena
peristiwa masa lalu terulang kembali saat menyerahkan Kuntadruwasa dan Wijayadanu
kepada Adipati Karna.

ARYA SETYAKI MENDAPAT NAMA JULUKAN BIMAKUNTING


Prabu Kresna lalu melerai kedua Arya Setyaki yang bertarung sengit. Keduanya
segera berhenti dan menyembah penuh hormat. Prabu Kresna pun berunding dengan Arya
Wrekodara bagaimana caranya membongkar penyamaran Arya Setyaki yang palsu. Arya
Wrekodara mendapat akal, yaitu dengan cara memukul mereka menggunakan Gada
Rujakpolo. Barangsiapa yang begitu dipukul langsung berubah wujud, maka itu berarti ia
adalah Arya Setyaki palsu.
Arya Setyaki yang berdiri di belakang langsung menjawab setuju, sedangkan yang di
depan agak ragu-ragu. Arya Wrekodara mulai curiga namun harus mendapatkan bukti
nyata. Ia pun mengangkat Gada Rujakpolo yang berukuran sangat besar kemudian
memukulkannya kepada Arya Setyaki yang berdiri di depan. Arya Setyaki tersebut menjerit
KITAB WAYANG PURWA

kesakitan lalu berubah wujud menjadi Raden Burisrawa. Dengan tubuh terluka ia pun
melarikan diri kembali ke tempat Batari Durga untuk meminta perlindungan.
Batara Narada senang melihatnya. Ia pun meminta Prabu Kresna agar menyerahkan
Gada Wesikuning dan Nagabanda kepada Arya Setyaki yang satu lagi. Arya Wrekodara
tidak setuju karena kedua-duanya harus sama-sama dipukul demi membuktikan
keasliannya. Batara Narada keberatan karena yang palsu sudah terbongkar, untuk apa
yang asli harus menderita pula. Arya Wrekodara berkata bahwa Arya Setyaki yang tinggal
satu ini pun harus membuktikan keasliannya, jangan-jangan ia juga samaran orang lain.
Arya Setyaki menjawab dirinya bersedia. Dengan penuh keyakinan ia meminta Arya
Wrekodara untuk segera memukulkan Gada Rujakpolo kepadanya. Arya Wrekodara
menuruti. Ia pun mengayunkan gada besar tersebut hingga tepat memukul kepala Arya
Setyaki. Akan tetapi, sedikit pun Arya Setyaki tidak goyah dan tidak terluka. Ini berarti ia
telah membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar yang asli.
Sesuai kesepakatan, Prabu Kresna pun menyerahkan Gada Wesikuning yang sudah
terlilit oleh Nagabanda kepada Arya Setyaki. Kini Gada Wesikuning juga boleh disebut
dengan nama Gada Nagabanda. Arya Wrekodara mengucapkan selamat dan memberikan
julukan baru kepada Arya Setyaki yang telah membuktikan dirinya kebal terhadap pukulan
Gada Rujakpolo. Julukan baru tersebut adalah Sang Bimakunting, yang bermakna “Bima
bertubuh kecil”. Maksudnya ialah, Arya Wrekodara merupakan "Bima Besar", sedangkan
Arya Setyaki adalah "Bima Kecil".
Raden Arjuna dan para panakawan juga bergantian mengucapkan selamat. Batara
Narada merasa tugasnya telah selesai. Ia pun terbang kembali ke kahyangan dan tidak
perlu malu lagi karena salah menyerahkan pusaka kepada orang yang tidak berhak.

ARYA SETYAKI MENGALAHKAN PRABU GARBANATA


Sementara itu di Kerajaan Lesanpura, Prabu Garbanata telah memenjarakan Prabu
Setyajit. Tiba-tiba anak dan istrinya datang menyusul. Anak perempuan tersebut sudah
berusia remaja dan berwajah cantik, bernama Dewi Garbarini. Ia datang bersama ibunya,
yaitu Dewi Danasari untuk memohon kepada sang ayah agar menyudahi perang dan
mebebaskan Prabu Setyajit. Dendam dibalas dengan dendam hanya akan seperti lingkaran
yang berputar-putar tiada habisnya. Demikianlah nasihat Resi Garbasumanda sebelum
wafat dulu.
Prabu Garbanata termenung mendengar ucapan anak dan istrinya. Selama ini ia
menyimpan dendam membara kepada Prabu Setyajit. Namun, begitu berhasil mengalahkan
musuhnya itu, ternyata ia tidak merasa lega seperti yang ia bayangkan dulu. Apa yang
diinginkan begitu dalam, ketika hal itu bisa diraih ternyata rasanya hanya begitu saja.
Melihat Prabu Setyajit meringkuk di penjara, dalam hati Prabu Garbanata tumbuh perasaan
iba. Apalagi kini ia sudah menyadari bahwa kakaknya, yaitu Prabu Garbaruci mati akibat
ulahnya sendiri. Kakaknya itu berani menyerang kahyangan dan mati di tangan jago para
dewa, sesungguhnya ini tidak perlu disesali.
Tiba-tiba di luar istana terdengar suara teriakan menantang. Prabu Garbanata pun
keluar menghadapi. Ternyata Arya Setyaki telah datang. Ia mendengar cerita dari Prabu
Kresna bahwa ayahnya kini menjadi tawanan Prabu Garbanata. Maka, ia pun bergegas
pergi mendatangi Kerajaan Lesanpura untuk membebaskan Prabu Setyajit.
Prabu Garbanata merasa tertarik jika ia menyiksa Arya Setyaki di hadapan Prabu
Setyajit. Maka, ia pun memerintahkan Patih Saradenta untuk menghadirkan raja Lesanpura
tersebut agar menjadi saksi pertarungan antara dirinya degan Arya Setyaki. Tampak pula
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna datang untuk menyaksikan pertarungan
ini.
Prabu Setyajit telah hadir dengan tangan terikat. Prabu Garbanata dan Arya Setyaki
pun memulai pertarungan. Dengan senjata Gada Nagabanda, Arya Setyaki menyerang
Prabu Garbanata. Keduanya pun bertarung sengit. Prabu Garbanata lama-lama menyukai
ketangkasan lawannya dan tidak lagi memiliki rasa benci kepada Arya Setyaki. Hingga
akhirnya, gada yang ada di tangannya pun hancur remuk dihantam Gada Nagabanda.
Disusul kemudian pundak kanannya terkena pukulan gada. Prabu Garbanata jatuh terduduk
di tanah menahan sakit.

ARYA SETYAKI MENIKAH DENGAN DEWI GARBARINI


Melihat ayahnya kalah, Dewi Garbarini berlari maju dan menghalangi di depan Arya
Setyaki. Ia memohon agar Prabu Garbanata diampuni, dan biarlah ia saja yang dihukum
mati menggantikan ayahnya itu. Melihat sorot mata Dewi Garbarini yang berserah diri
membuat tangan Arya Setyaki gemetar. Entah mengapa Gada Nagabanda pun terlepas
dari genggaman dan jatuh ke tanah.
Prabu Garbanata kembali teringat kepada nasihat-nasihat mendiang Resi
Garbasumanda yang penuh cinta kasih dan hendaknya melupakan semua dendam. Kini ia
mengaku kalah kepada Arya Setyaki dan melepaskan ikatan Prabu Setyajit. Prabu
Garbanata pun menyerahkan dirinya, di mana ia siap dibunuh karena lancang berani
menyerang Kerajaan Lesanpura.
Prabu Setyajit sendiri juga telah hilang kemarahannya begitu melihat kemenangan
Arya Setyaki. Ia pun menawarkan bagaimana kalau permusuhan ini diubah menjadi
persaudaraan. Ia menyaksikan putranya gemetar memandang Dewi Garbarini. Bagaimana
jika mereka berdua dinikahkan saja. Dengan demikian, Kerajaan Lesanpura dan Kerajaan
Garbaruci kini bisa menjadi keluarga, tidak perlu lagi melanjutkan permusuhan.
Prabu Garbanata terharu mendengar ucapan Prabu Setyajit yang memaafkan dirinya.
Kedua raja itu kemudian berpelukan menjadi teman. Mereka lalu menanyai Arya Setyaki
dan Dewi Garbarini apakah bersedia untuk dinikahkan. Arya Setyaki menjawab bersedia,
sedangkan Dewi Garbarini tersipu malu. Kedua raja pun tertawa lepas, sedangkan Prabu
Kresna dan kedua Pandawa segera mengucapkan selamat.
Demikianlah kisah permusuhan antara Prabu Setyajit dengan Prabu Garbanata telah
berakhir dan berubah menjadi persaudaraan. Pada hari yang dianggap baik,
dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Arya Setyaki dan Dewi Garbarini. Kedua
negara, yaitu Lesanpura dan Garbaruci dapat dikatakan sama-sama menang, tidak ada
yang kalah. Adapun kemenangan dapat dilambangkan dengan angka sembilan, yang dalam
bahasa Jawa disebut “sanga”. Oleh sebab itu, Arya Setyaki pun berjanji apabila kelak Dewi
Garbarini melahirkan anak laki-laki, maka akan diberi nama Raden Sangasanga demi
mengenang peristiwa ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


CATATAN : Lakon Setyaki Kembar adalah ciptaan Ki Manteb Soedharsono yang mengisahkan Arya Setyaki
mendapatkan Gada Wesikuning. Karena soal Gada Wesikuning sudah saya kisahkan di lakon
Setyaki Lahir, maka di lakon ini saya ubah menjadi perebutan pusaka Nagabanda. Lakon ini juga
saya gabungkan dengan kisah Setyaki Rabi. Adapun hubungan antara Prabu Garbanata dengan
Prabu Jungkungmardeya dan Patih Jayasudarga dalam lakon Srikandi Maguru Manah adalah
tambahan dari saya, untuk menciptakan jalinan antara lakon yang satu dengan lainnya.
KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG KANDIHAWA
Kisah ini menceritakan tentang Dewi Srikandi bertukar kelamin dengan Resi
Stunakarna yang merupakan penyamaran Raden Arjuna. Berkat pertukaran itu, Dewi
Srikandi bisa menjadi ayah dari Raden Nirbita, yang kelak menjadi Prabu
Niwatakawaca, yaitu raja raksasa musuh para dewa.
Kisah ini saya olah dari Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang disusun oleh Ki
Tristuti Suryasaputra, yang dipadukan dengan Kumpulan Pakem Ringgit Purwa
Surakarta yang disusun oleh Ki Rudy Wiratama, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, 22 Juli 2017
Heri Purwanto

BATARA NARADA MENDANDANI DEWI SRIKANDI MENJADI MIRIP LAKI-LAKI


Di Kesatrian Madukara, Dewi Srikandi sedang prihatin karena Raden Arjuna kembali
menghilang tanpa kabar. Di antara keempat istri padmi Sang Panengah Pandawa, memang
hanya Dewi Srikandi saja yang belum memiliki putra. Tentu hal ini membuatnya khawatir
kalau sampai sang suami kehilangan rasa cinta terhadap dirinya. Apalagi kali ini Raden
Arjuna pergi tanpa pamit, membuat Dewi Srikandi merasa gelisah jangan-jangan suaminya
itu hendak menikah lagi dengan perempuan lain dan semakin melupakan dirinya.
Maka, Dewi Srikandi pun berpamitan kepada Dewi Sumbadra, Dewi Sulastri, dan
Niken Larasati untuk berangkat menyusul kepergian Raden Arjuna. Seorang diri ia berjalan
tak tentu arah, hanya mengandalkan naluri belaka. Dalam hati ia ingin segera bertemu sang
KITAB WAYANG PURWA

suami dan mengajaknya pulang ke Kesatrian Madukara, jangan sampai menikah lagi untuk
yang kesekian kalinya.
Di tengah jalan, tiba-tiba Dewi Srikandi dihentikan oleh Batara Narada yang turun dari
angkasa. Dewi Srikandi menyembah hormat dan memohon petunjuk di mana kiranya ia
dapat berjumpa dengan Raden Arjuna. Batara Narada berkata bahwa dewata mengizinkan
Dewi Srikandi berjumpa dengan Raden Arjuna apabila ia menyamar sebagai laki-laki dan
pergi ke Kerajaan Ima-imantaka.
Dewi Srikandi gembira mendengarnya dan mematuhi petunjuk Batara Narada. Dulu
Batara Narada pernah mendandani Dewi Sumbadra menjadi mirip laki-laki bernama
Bambang Sintawaka saat menyusul kepergian Raden Arjuna yang mencari turunnya Wahyu
Makutarama. Kini giliran Dewi Srikandi yang didandani menjadi mirip laki-laki. Setelah
penampilannya berubah, Dewi Srikandi pun diberi nama Bambang Kandihawa.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada kembali ke kahyangan, sedangkan Bambang
Kandihawa bergegas melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Ima-imantaka.

Batara Narada.

PRABU JAYASUDIKYA MENOLAK LAMARAN PRABU KALASARANA


Kerajaan Ima-imantaka saat itu dipimpin oleh Prabu Jayasudikya sebagai rajanya.
Pada zaman dahulu kerajaan ini bernama Manimantaka, didirikan oleh Prabu Kalakanda,
yang merupakan keturunan Batara Kala. Setelah Prabu Kalakanda meninggal, takhta
Kerajaan Manimantaka diwarisi oleh keponakan istrinya yang bernama Prabu
Kunjanakresna. Adapun Prabu Kunjanakresna ini adalah pelarian dari Kerajaan
Tirtakadasar, setelah ia dikalahkan oleh Resi Sakra, murid Resi Manumanasa.
Prabu Kunjanakresna kemudian menyerang Kahyangan Suralaya karena ingin
memperistri bidadari. Namun, ia gugur di tangan Bambang Sakri, yaitu cucu Resi
Manumanasa yang juga leluhur para Pandawa. Sejak saat itu takhta Kerajaan Manimantaka
diduduki oleh adik iparnya yang juga putra Prabu Kalakanda, bernama Prabu Hiranyaka.
Adapun adik tiri Prabu Hiranyaka menjadi pendeta di Padepokan Ima-ima, bergelar Resi
Martikawata.
Prabu Hiranyaka kemudian tewas dalam pertempuran melawan Prabu Basukiswara
raja Wirata, sedangkan Resi Martikawata menyerah takluk. Prabu Basukiswara pun
mengampuninya, dan menyerahkan Kerajaan Manimantaka kepada Ditya Mityakarda, yaitu
putra Resi Martikawata.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Mityakarda lalu menggabungkan Kerajaan Manimantaka dengan Padepokan


Ima-ima menjadi satu, bernama Kerajaan Ima-imantaka. Setelah memerintah puluhan
tahun, ia pun digantikan putranya yang bergelar Prabu Nilakawaca. Kemudian Prabu
Nilakawaca digantikan putranya yang bernama Raden Dike, bergelar Prabu Jayasudikya.
Prabu Jayasudikya adalah raja Ima-imantaka saat ini. Meskipun wujudnya raksasa
seperti para leluhur, namun ia memiliki seorang istri cantik bernama Dewi Nitiswara. Dari
perkawinan itu telah lahir dua orang anak, yaitu Raden Durnita dan Dewi Durniti yang
tampan dan cantik seperti ibunya. Pada suatu hari, Prabu Jayasudikya menerima surat dari
Prabu Kalasarana, seorang raja raksasa di Kerajaan Lokasagara. Surat tersebut berisi
lamaran di mana Prabu Kalasarana ingin menikahi Dewi Durniti.
Prabu Jayasudikya lalu berunding dengan Raden Durnita mengenai lamaran ini.
Raden Durnita bersikeras agar sang ayah menolak lamaran tersebut karena ia tidak ingin
adiknya mempunyai suami dari jenis raksasa. Prabu Jayasudikya tersinggung ucapan
putranya karena ia sendiri juga berwujud raksasa. Raden Durnita mohon ampun bukan
berniat ingin menyakiti perasaan sang ayah, tetapi ia hanya ingin adiknya hidup bahagia
dengan mendapatkan suami yang sepadan.
Akhirnya, ayah dan anak itu pun mengambil keputusan, bahwa Raden Durnita akan
menantang Prabu Kalasarana bertanding satu lawan satu. Apabila raja raksasa tersebut
unggul, maka Raden Durnita bersedia merelakan Dewi Durniti menjadi istri Prabu
Kalasarana. Namun, apabila Prabu Kalasarana kalah, maka ia harus pulang kembali ke
Kerajaan Lokasagara.

Prabu Jayasudikya

PRABU KALASARANA DIKALAHKAN BAMBANG KANDIHAWA


Demikianlah, Raden Durnita telah keluar dari istana Ima-imantaka untuk menantang
Prabu Kalasarana bertarung satu lawan satu. Raden Durnita berkata bahwa ia akan
menyerahkan Dewi Durniti asalkan Prabu Kalasarana dapat mengalahkan dirinya. Prabu
Kalasarana senang mendengarnya. Mereka lalu bertarung di halaman istana dengan
disaksikan kedua pihak, yaitu pasukan Ima-imantaka dan Lokasegara.
Setelah bertarung cukup lama, Raden Durnita akhirnya terdesak menghadapi Prabu
Kalasarana yang jauh lebih perkasa daripada dirinya. Namun, ia pantang menyerah dan
berniat membunuh Prabu Kalasarana. Rupanya dalam hati Raden Durnita tumbuh
perasaan cinta kepada adiknya sendiri dan ia tidak rela jika Dewi Durniti menikah dengan
orang lain. Prabu Kalasarana merasa ada yang tidak beres karena serangan Raden Durnita
bukan lagi untuk menentukan menang atau kalah, tetapi sudah menjadi pertarungan hidup
KITAB WAYANG PURWA

atau mati. Maka, ia pun mengimbangi dan mengerahkan kesaktian yang lebih dahsyat.
Akibatnya, Raden Durnita pun tewas di tangan raja raksasa tersebut.
Prabu Jayasudikya terkejut melihat putranya gugur. Ia pun membatalkan perjanjian
dan mengerahkan pasukan Ima-imantaka untuk menyerbu pasukan Lokasagara. Prabu
Kalasarana marah melihat Prabu Jayasudikya mengingkari janji. Ia mengerahkan
pasukannya pula sehingga terjadilah pertempuran di antara kedua pihak.
Pada saat itulah Bambang Kandihawa datang. Sesuai petunjuk Batara Narada, ia
langsung bergabung membantu Prabu Jayasudikya. Dalam pertempuran itu, Bambang
Kandihawa berhasil menewaskan Prabu Kalasarana dengan panah-panahnya. Melihat
sang raja gugur, pasukan Lokasagara menjadi kocar-kacir. Ada yang tewas dibunuh
pasukan Ima-imantaka, ada yang menyerah, dan ada pula yang kabur melarikan diri.

BAMBANG KANDIHAWA DINIKAHKAN DENGAN DEWI DURNITI


lalu bertanya ada keperluan apa pemuda tersebut mendatangi Kerajaan Ima-
imantaka. Bambang Kandihawa menjawab dengan sopan bahwa ia ingin mengabdi sebagai
prajurit di kerajaan tersebut. Prabu Jayasudikya tertarik melihat sikap sopan Bambang
Kandihawa. Karena sudah kehilangan putra, maka dalam hati pun muncul keinginan untuk
mengambil pemuda tersebut sebagai pengganti Raden Durnita.
Supaya hubungan menjadi lebih erat, Prabu Jayasudikya pun menanyai Dewi Durniti
dan Bambang Kandihawa apakah mereka bersedia menjadi suami-istri. Dewi Durniti tersipu
malu melihat pemuda tersebut berwajah tampan dan juga pandai memanah. Ia pun
menjawab bersedia. Prabu Jayasudikya senang mendengar jawaban putrinya dan ia
langsung menentapkan Bambang Kandihawa sebagai menantu. Bambang Kandihawa
bingung hendak menjawab apa, karena dirinya adalah Dewi Srikandi yang sedang
menyamar. Namun, demi bisa bertemu Raden Arjuna, terpaksa ia menjawab bersedia pula.
Demikianlah, Bambang Kandihawa pun resmi menikah dengan Dewi Durniti.
Pernikahan tersebut berlangsung sederhana karena Prabu Jayasudikya sedang dalam
suasana berkabung atas meninggalnya Raden Durnita.

Bambang Kandihawa.

PRABU JAYASUDIKYA MENGUSIR BAMBANG KANDIHAWA


Malam harinya, Dewi Durniti menyerahkan jiwa raga kepada Bambang Kandihawa.
Namun, Bambang Kandihawa menolak dengan berbagai macam alasan. Ia juga tidak
bersedia membuka pakaian sama-sekali. Dewi Durniti kecewa dan pura-pura tidur. Ketika
suaminya ikut terlelap, Dewi Durniti pun bangun dan merobek pakaian Bambang
KITAB WAYANG PURWA

Kandihawa. Alangkah terkejut perasaan Dewi Durniti saat mengetahui ternyata suaminya
itu juga berkelamin perempuan.
Dewi Durniti pun menangis dan melapor kepada ayahnya. Prabu Jayasudikya marah-
marah menuduh Bambang Kandihawa telah mempermainkan keluarganya. Bambang
Kandihawa bingung hendak menjawab bagaimana. Prabu Jayasudikya sendiri tidak butuh
penjelasan. Ia pun mengerahkan segenap kekuatannya, lalu melemparkan tubuh Bambang
Kandihawa sejauh-jauhnya.

BAMBANG KANDIHAWA BERTUKAR KELAMIN DENGAN RESI STUNAKARNA


Tubuh Bambang Kandihawa yang melayang di udara akhirnya jatuh di pinggir
Kerajaan Ima-imantaka, tepatnya di lereng Gunung Amintuna. Di gunung tersebut hidup
seorang petapa raksasa yang bernama Resi Stunakarna. Karena tinggal di Gunung
Amintuna, ia sering pula dipanggil dengan sebutan Resi Mintuna.
Melihat Bambang Kandihawa jatuh dari langit, Resi Stunakarna segera menolong dan
mengobati lukanya. Mula-mula Bambang Kandihawa takut melihat paras pendeta tersebut
yang berwujud raksasa, namun kemudian ia lega karena Resi Stunakarna ternyata sangat
ramah dan berhati lembut welas asih.
Setelah lukanya sembuh, Bambang Kandihawa pun berterima kasih atas pertolongan
sang petapa raksasa. Resi Stunakarna bertanya bagaimana ceritanya Bambang Kandihawa
bisa terlempar di udara dan jatuh di Gunung Amintuna. Bambang Kandihawa pun bercerita
dari awal hingga akhir, bahwa ia sebenarnya bukan laki-laki asli, melainkan seorang wanita
yang menyamar sebagai laki-laki. Sebenarnya Bambang Kandihawa tidak memiliki niat
untuk menikahi Dewi Durniti, tetapi penghinaan Prabu Jayasudikya membuatnya sakit hati
teramat sangat. Bagaimanapun juga penghinaan ini harus dapat ia balas.
Resi Stunakarna menasihati Bambang Kandihawa agar jangan membalas dendam
berdasarkan kebencian. Jika memang harus membalas penghinaan, maka balaslah
menggunakan kasih sayang. Bambang Kandihawa heran dan berkata bahwa dirinya tidak
mungkin bisa mengasihi Dewi Durniti karena mereka sama-sama perempuan. Resi
Stunakarna berkata bahwa ia akan mengubah Bambang Kandihawa menjadi laki-laki yang
sesungguhnya, yaitu dengan cara meminjamkan alat kelaminnya kepada Bambang
Kandihawa. Dengan demikian, Prabu Jayasudikya sekeluarga tidak akan bisa menghina
dirinya lagi.
Bambang Kandihawa merasa penasaran apa mungkin di dunia bisa terjadi hal
demikian. Akhirnya, ia pun menjawab bersedia meskipun masih ragu-ragu. Resi Stunakarna
lalu memintanya untuk menutup mata. Ketika Bambang Kandihawa sudah terpejam, Resi
Stunakarna membaca mantra sakti. Setelah beberapa saat, mereka lalu sama-sama
membuka mata. Bambang Kandihawa meraba kelaminnya ternyata sudah berubah menjadi
laki-laki. Kini, ia benar-benar menjadi seorang laki-laki tulen, bukan lagi wanita yang
menyamar sebagai laki-laki.
Resi Stunakarna berkata bahwa mereka berdua bertukar kelamin hanya untuk
sementara. Kelak jika Bambang Kandihawa sudah membalas sakit hatinya, maka kelamin
mereka harus ditukar kembali. Bambang Kandihawa mematuhi dan berterima kasih atas
bantuan Resi Stunakarna. Ia lalu mohon pamit untuk kembali ke istana Ima-imantaka.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Stunakarna Amintuna.

BAMBANG KANDIHAWA MENEMUI DEWI DURNITI


Malam harinya, Bambang Kandihawa menyusup masuk ke dalam kamar tidur Dewi
Durniti. Melihat suaminya datang, Dewi Durniti terkejut dan hendak berteriak, namun segera
ditutup mulutnya oleh Bambang Kandihawa. Akan tetapi, meskipun kelaminnya sudah
berubah, pikiran Bambang Kandihawa masih tetap seorang perempuan. Setelah
membungkam mulut Dewi Durniti, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Pada saat itulah roh penasaran Raden Durnita datang dan merasuki tubuh Bambang
Kandihawa. Semasa hidupnya, Raden Durnita jatuh cinta kepada adiknya sendiri, dan kini
ia hendak menggunakan tubuh Bambang Kandihawa untuk melampiaskan hasrat yang
terpendam. Karena pikirannya sudah kerasukan, Bambang Kandihawa tidak ragu-ragu lagi
untuk membuka pakaiannya sendiri hingga telanjang bulat. Dewi Durniti terkejut melihat
suaminya kini telah berubah menjadi laki-laki tulen, bukan lagi berkelamin perempuan
seperti kemarin.
Dewi Durniti sebenarnya telah jatuh cinta kepada Bambang Kandihawa sejak
pandangan pertama. Namun, kemarin ia sempat kecewa karena sang suami ternyata
seorang wanita yang menyamar. Kini suaminya itu telah berubah menjadi laki-laki sejati,
membuat Dewi Durniti merasa malu bercampur bahagia. Ia pun ikut membuka pakaian pula
dan menikmati malam pertama yang tertunda bersama Bambang Kandihawa.

PRABU JAYASUDIKYA MENERIMA KEMBALI BAMBANG KANDIHAWA


Pagi harinya, Dewi Durniti mengajak Bambang Kandihawa menghadap sang ayah.
Prabu Jayasudikya marah-marah menyebut Bambang Kandihawa tidak tahu malu berani
datang kembali untuk menipu keluarganya. Namun, Dewi Durniti segera menengahi dan
bercerita bahwa semuanya itu hanyalah salah paham belaka. Ia pun bersumpah bahwa
suaminya kini telah menjadi laki-laki yang sesungguhnya.
Bambang Kanidhawa juga meminta maaf kepada Prabu Jayasudikya karena tadi
malam berani menyusup dan menginap di kamar Dewi Durniti. Namun, ia masih terikat tali
perkawinan dengan istrinya itu, sehingga Prabu Jayasudikya hendaknya sudi memberikan
pengampunan.
Prabu Jayasudikya melihat wajah putrinya merona merah, pertanda tadi malam benar-
benar mengalami peristiwa bahagia. Maka, kemarahannya pun luluh dan ia menyatakan
bersedia menerima kembali Bambang Kandihawa sebagai anggota keluarga Kerajaan Ima-
imantaka. Dewi Durniti dan Bambang Kandihawa sangat gembira dan berterima kasih atas
kemurahan hati sang ayah.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI DURNITI MENINGGAL SETELAH MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI


Demikianlah, Bambang Kandihawa dan Dewi Durniti pun hidup berumah tangga
dengan perasaan bahagia. Setelah berganti kelamin menjadi laki-laki dan dirasuki roh
Raden Durnita, kini Bambang Kandihawa bagaikan lupa diri bahwa ia sebenarnya adalah
Dewi Srikandi yang sedang menyamar. Ia juga telah lupa pada tujuan awal, yaitu mencari
hilangnya Raden Arjuna. Apalagi Prabu Jayasudikya akhirnya memutuskan untuk menjadi
pendeta bergelar Bagawan Gunadarma, dan menyerahkan takhta Kerajaan Ima-imantaka
kepada Bambang Kandihawa. Hal ini membuat Bambang Kandihawa semakin terikat
dengan keluarga istrinya tersebut, dan lupa untuk mengembalikan kelamin kepada Resi
Stunakarna.
Dewi Durniti sendiri telah mengandung dari hasil perkawinannya dengan Prabu
Kandihawa. Sehari-hari mereka saling mengasihi dan hidup berbahagia. Namun,
kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat. Pada saat melahirkan putra mereka, Dewi
Durniti meninggal dunia karena kehilangan banyak darah.
Prabu Kandihawa sangat berduka. Ketika Dewi Durniti meninggal, maka roh Raden
Durnita ikut keluar meninggalkan tubuh suaminya. Sementara itu, bayi yang baru saja lahir
tersebut menangis keras karena haus dan lapar. Prabu Kandihawa berusaha mencarikan
ibu susu tetapi si bayi selalu menolak apabila digendong wanita lain. Akhirnya Prabu
Kandihawa merasa putus asa. Ia pun menusuk jarinya sendiri dan meminumkan darahnya
ke mulut si bayi.
Sungguh ajaib, begitu menelan darah ayahnya, tubuh bayi itu berangsur-angsur
berubah menjadi dewasa dalam waktu singkat. Kini ia telah tumbuh menjadi seorang
pemuda berbadan gagah. Bagawan Gunadarma yang datang berkunjung ikut merasa heran
atas peristiwa ajaib ini. Namun, ia juga bersyukur karena cucunya telah tumbuh dewasa
dalam waktu sekejap, dan ini bisa menjadi pengobat kerinduannya karena ditinggal mati
Raden Durnita dan Dewi Durniti.
Demikianlah, Prabu Kandihawa dan Bagawan Gunadarma pun menyambut pemuda
tersebut sebagai anggota baru keluarga Ima-imantaka. Bagawan Gunadarma memberi
nama cucunya itu, Raden Nirbita. Prabu Kandihawa yang telah ditinggal pergi roh Raden
Durnita kini kembali ingat bahwa ia adalah Dewi Srikandi yang sedang menyamar. Namun,
melihat sosok Raden Nirbita, rasa keibuannya pun tergugah. Maka, ia memutuskan untuk
tetap tinggal di istana Ima-imantaka demi mengasuh Raden Nirbita sebagai ayah sekaligus
sebagai ibu pula.

Raden Nirbita.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN NIRBITA MELAMAR DEWI SUMBADRA UNTUK AYAHNYA


Sementara itu di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap ketiga adik, yaitu Arya
Wrekodara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Hadir pula sang kakak sepupu, yaitu Prabu
Kresna Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati. Dalam pertemuan itu mereka membahas
tentang Raden Arjuna yang sudah satu tahun ini menghilang dari Kesatrian Madukara. Sang
istri Dewi Srikandi berangkat mencari namun ikut menghilang pula tanpa diketahui
keberadaannya. Arya Wrekodara dan si kembar sudah mencari ke mana-mana tetapi
sampai saat ini belum juga berhasil menemukan mereka berdua.
Di tengah-tengah percakapan, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mengaku
bernama Raden Nirbita, putra Prabu Kandihawa raja Ima-imantaka. Pemuda itu
menyampaikan surat dari ayahnya yang berisi pinangan, di mana Prabu Kandihawa ingin
menikahi Dewi Sumbadra yang kabarnya sudah menjadi janda.
Arya Wrekodara marah dan menyuruh Raden Nirbita pulang ke negaranya karena
Dewi Sumbadra masih sah menjadi istri adiknya. Akan tetapi, Prabu Puntadewa
berpendapat lain. Raden Arjuna sudah satu tahun meninggalkan keluarga tanpa kabar
berita, juga tidak pernah memberikan nafkah lahir batin kepada istri-istrinya. Secara hukum
Dewi Sumbadra bisa dinyatakan telah bercerai dengan suaminya tersebut. Namun,
mengenai hal ini Prabu Puntadewa menyerahkan keputusan kepada Prabu Kresna selaku
wali Dewi Sumbadra.
Prabu Kresna mengamati sosok Raden Nirbita dan ia pun merasa curiga. Setelah
mendapatkan gagasan, ia lantas berkata bahwa lamaran Prabu Kandihawa terhadap
adiknya akan diterima, asalkan dengan syarat harus bisa menyediakan Kayu Klepu
Dewandaru yang tumbuh di Kahyangan Suralaya.
Raden Nirbita menerima keputusan tersebut dan segera mohon pamit meninggalkan
Kerajaan Amarta. Setelah pemuda itu pergi, Arya Wrekodara bertanya mengapa Prabu
Kresna mengajukan syarat demikian, seolah-olah Dewi Sumbadra sekarang sudah benar-
benar menjadi janda. Prabu Kresna menjawab ini hanya siasat belaka. Ia mendapat firasat
bahwa pemuda bernama Raden Nirbita tersebut akan menjadi sarana bagi kemunculan
Raden Arjuna dan Dewi Srikandi yang telah lama hilang.
Setelah mengutarakan niatnya, Prabu Kresna pun mohon pamit kepada Prabu
Puntadewa untuk kemudian mengajak Arya Wrekodara mengawasi gerak-gerik Raden
Nirbita dari kejauhan.

RADEN NIRBITA KEHILANGAN SEBELAH MATA DAN DIKUTUK BATARI SUPRABA


MENJADI RAKSASA
Raden Nirbita yang sangat mematuhi perintah ayahnya tidak berani pulang ke
Kerajaan Ima-imantaka dengan tangan hampa. Ia pun naik ke Kahyangan Suralaya
bersama kedua pengawalnya yang berwujud raksasa, yaitu Ditya Jayasaramba dan Ditya
Jayaprakosa. Mereka takut jika meminta Kayu Klepu Dewandaru secara terus terang
kepada Batara Indra belum tentu diizinkan. Maka, Raden Nirbita pun memutuskan untuk
mencurinya saja.
Demikianlah, mereka bertiga lantas menyusup masuk ke dalam Kahyangan Suralaya
dan akhirnya menemukan taman indah tempat para bidadari bersemayam. Tamansari
tersebut dipagar dengan tembok tinggi dan tebal. Namun, Raden Nirbita mampu melubangi
tembok itu untuk mengintip ke dalam. Ia pun terkejut dan seketika jatuh cinta menyaksikan
kecantikan pemimpin para bidadari tersebut, yang bernama Batari Supraba.
KITAB WAYANG PURWA

Saat itu Batari Supraba dan adik-adiknya sedang mandi. Mereka adalah Batari
Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irim-irim, dan Batari
Tunjungbiru. Begitu menyadari ada yang sedang mengintip, Batari Supraba segera
mengajak mereka semua berpakaian. Batari Supraba lalu mendekati lubang tembok dan
menusukkan kancip, yaitu semacam pisau kecil untuk mengiris buah.
Raden Nirbita yang sedang terkesima mengintip kecantikan Batari Supraba tidak
menyadari datangnya bahaya. Ia tidak sempat lagi menghindar, sehingga matanya tertusuk
kancip tersebut. Mata yang tertusuk itu pun terluka parah dan Raden Nirbita kini mengalami
buta sebelah.
Karena sangat marah, Raden Nirbita meraung dan menjebol tembok taman. Bersama
Ditya Jayasaramba dan Ditya Jayaprakosa, ia mengamuk hendak menangkap Batari
Supraba dan para bidadari lainnya. Batari Supraba tidak gentar dan ia dengan tegas
menyebut Raden Nirbita sebagai seorang pemuda lancang yang tidak tahu sopan santun.
Mungkin karena memiliki dua pengawal berwujud raksasa, maka pantas jika kelakuannya
pun mirip kaum raksasa.
Ucapan Batari Supraba tersebut ternyata mengandung kutukan. Seketika wujud
Raden Nirbita pun berubah menjadi raksasa tinggi besar, dengan mata picak sebelah. Ia
semakin marah dan mengamuk hendak menangkap Batari Supraba.
Pada saat itulah Batara Indra datang didampingi Batara Bayu dan para dewa lainnya.
Melihat amukan Raden Nirbita, Batara Bayu segera turun tangan. Dengan kekuasaannya
ia pun mengerahkan angin dahsyat yang menggulung tubuh Raden Nirbita dan
menerbangkannya jauh-jauh meninggalkan kahyangan. Tubuh Raden Nirbita itu melayang
di angkasa, hingga akhirnya jatuh tercebur ke dalam lautan luas.
Ditya Jayasaramba dan Ditya Jayaprakosa ketakutan mengira sang pengeran telah
tewas. Mereka pun memilih kabur melarikan diri meninggalkan Kahyangan Suralaya. Di
tengah jalan mereka bertemu Prabu Kandihawa dan Bagawan Gunadarma yang sedang
dalam perjalanan menyusul kepergian Raden Nirbita. Kedua raksasa itu pun melaporkan
apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir, yaitu bagaimana Prabu Kresna mengajukan
syarat untuk mendapatkan Dewi Sumbadra, sampai dengan bagaimana Raden Nirbita
dikutuk menjadi raksasa dan tubuhnya dilemparkan para dewa hingga mati tenggelam di
dasar laut.
Prabu Kandihawa dan Bagawan Gunadarma sangat marah mendengarnya. Mereka
pun bergegas menyerang Kahyangan Suralaya untuk membalas perbuatan para dewa
terhadap Raden Nirbita.

Batari Supraba.
KITAB WAYANG PURWA

BATARA NARADA MEMINTA RESI STUNAKARNA MENJADI JAGO KAHYANGAN


Di Padepokan Gunung Amintuna, sang pendeta raksasa Resi Stunakarna sedang
bersamadi. Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada membangunkannya. Resi
Stunakarna pun membuka mata dan menyembah hormat kepada dewa tersebut.
Batara Narada lalu bercerita kepada Resi Stunakarna bahwa Kahyangan Suralaya
sedang dalam ancaman musuh. Ada seorang pangeran bernama Raden Nirbita berani
menyusup ke sana dan berbuat onar. Meskipun dapat disingkirkan, namun sekarang ayah
dan kakeknya yang bernama Prabu Kandihawa dan Bagawan Gunadarma datang
menyerang. Menurut petunjuk Batara Guru, yang dapat mengalahkan kedua orang itu
hanyalah Resi Stunakarna dari Padepokan Gunung Amintuna.
Resi Stunakarna heran mengapa dirinya yang harus menghadapi kedua orang itu,
bukankah ia hanya seorang pendeta gunung, bukan kesatria sakti? Batara Narada berkata
Resi Stunakarna sebaiknya tidak perlu berpura-pura lagi, karena ia sudah tahu bahwa
pendeta raksasa tersebut tidak lain adalah penyamaran Raden Arjuna yang sudah setahun
lebih menghilang dari Kerajaan Amarta.
Resi Stunakarna terkejut dan merasa malu. Penyamarannya kini sudah terbongkar,
maka ia pun kembali ke wujud Raden Arjuna. Sudah setahun lebih ia meninggalkan
Kerajaan Amarta untuk bertapa dalam wujud pendeta raksasa. Selama ini ia dikenal sebagai
manusia berwajah tampan rupawan, sehingga ia pun ingin mencoba bagaimana rasanya
jika memiliki wajah buruk rupa. Namun, kemudian datang Bambang Kandihawa yang kala
itu baru saja diusir Prabu Jayasudikya. Raden Arjuna pun merasa kasihan dan bertukar
kelamin dengannya.
Demikianlah, Raden Arjuna yang kini telah membuka penyamaran namun tetap
berkelamin wanita akhirnya memutuskan untuk bersedia menjadi jago para dewa. Ia lalu
berangkat bersama Batara Narada menuju Kahyangan Suralaya.

PRABU KANDIHAWA KEMBALI MENJADI DEWI SRIKANDI


Di Kahyangan Suralaya, Prabu Kandihawa masih mengamuk menghadapi pasukan
Dorandara. Tiba-tiba Raden Arjuna muncul menghadang dan segera menghujaninya
dengan anak panah. Prabu Kandihawa sibuk menangkis hujan anak panah tersebut
sehingga membuat dirinya menjadi lengah. Kesempatan ini segera dimanfaatkan Raden
Arjuna untuk membaca mantra. Beberapa saat kemudian, kelamin mereka pun kembali
bertukar seperti sediakala. Raden Arjuna kini kembali berkelamin laki-laki, sedangkan Prabu
Kandihawa kembali berkelamin perempuan.
Setelah kembali menjadi wanita, Prabu Kandihawa seolah terbangun dari mimpi. Sejak
merawat dan mengasuh Raden Nirbita, ia bagaikan orang mabuk yang hilang ingatan.
Suatu hari alam pikiran bawah sadarnya berkata bahwa wanita tercantik di dunia adalah
Dewi Sumbadra, maka ia pun berhasrat ingin menikahi istri utama Raden Arjuna tersebut.
Rupa-rupanya hasrat birahi yang membara ini juga muncul karena ia memakai kelamin milik
Raden Arjuna, dan ternyata ia tidak mampu untuk mengendalikan.
Prabu Kandihawa kini telah mendapatkan kesadarannya kembali. Sekarang ia telah
ingat bahwa dirinya adalah Dewi Srikandi yang sedang menyamar, dan lawannya adalah
suami sendiri. Namun, untuk menguji cinta Raden Arjuna, terpaksa ia pura-pura tidak
mengenali suaminya itu dan tetap menantang melanjutkan pertempuran.
Raden Arjuna sendiri telah mendapatkan kembali kejantanannya. Namun, ia tahu
kalau Prabu Kandihawa adalah samaran Dewi Srikandi. Maka, ia tidak menempuh jalan
kekerasan, melainkan maju sambil mengucapkan kata-kata rayuan berbunga-bunga. Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Kandihawa pun luluh dan terlena mendengarnya. Segala penyamaran yang ada pada
dirinya pun luntur, dan ia kembali ke wujud perempuan. Raden Arjuna segera merangkul
istrinya itu dan keduanya pun berpelukan mesra saling melepas rindu.
Melihat menantunya berubah wujud menjadi perempuan, Bagawan Gunadarma
marah merasa dipermainkan. Sifat raksasanya muncul dan ia pun menyerang Raden
Arjuna. Batara Narada datang mendekat dan berbisik di telinga Raden Arjuna agar
menyempurnakan kematian pendeta raksasa tersebut. Bagawan Gunadarma alias Prabu
Jayasudikya sebenarnya tidak jahat, namun tugasnya di dunia telah selesai dan sudah
waktunya ia untuk memasuki alam baka.
Raden Arjuna mematuhi dan segera melepaskan Panah Sarotama sambil membaca
mantra penyempurnaan. Panah tersebut melesat dan menancap di dahi Bagawan
Gunadarma. Seketika pendeta raksasa itu pun roboh dan meninggal dunia. Jasadnya
musnah seperti asap dan rohnya melayang masuk ke alam baka.

Raden Nirbita setelah picak.

PRABU KRESNA DAN ARYA WREKODARA MENJEMPUT PULANG RADEN ARJUNA


DAN DEWI SRIKANDI
Ditya Jayasaramba dan Ditya Jayaprakosa menyerah dan mohon ampun kepada para
dewa. Batara Guru muncul dan mengampuni mereka berdua. Keduanya pun dipersilakan
untuk pulang ke Kerajaan Ima-imantaka. Kedua raksasa itu bingung karena kini mereka
sudah tidak memiliki raja. Batara Guru berkata bahwa Raden Nirbita belum mati. Di dasar
lautan ia akan mendapat ilmu kesaktian dan muncul kembali ke permukaan sebagai raksasa
yang perkasa. Kelak dialah yang akan menjadi raja Ima-imantaka, dengan memakai gelar
Prabu Niwatakawaca. Ditya Jayasaramba dan Ditya Jayaprakosa hendaknya mengabdi
kepada raja tersebut dan menjadi pengasuhnya. Untuk itulah, Batara Guru pun mengganti
nama mereka menjadi Ditya Mamangmurka dan Ditya Mamangdana. Kedua raksasa itu
sangat berterima kasih. Mereka lalu menyembah dan mohon pamit meninggalkan
Kahyangan Suralaya.
Setelah para raksasa pergi, Prabu Kresna dan Arya Wrekodara muncul dari
persembunyian. Sejak awal mereka telah menyaksikan bagaimana kisah ini berlangsung.
Raden Arjuna dan Dewi Srikandi pun mengucapkan salam menyambut mereka berdua.
Prabu Kresna bertanya mengapa Raden Arjuna pergi meninggalkan Kesatrian
Madukara sampai setahun lebih. Raden Arjuna menjawab bahwa dirinya sengaja
menyamar sebagai pendeta raksasa supaya bisa mengetahui bagaimana rasanya memiliki
wajah buruk rupa. Namun kemudian, Dewi Srikandi muncul dalam wujud Prabu Kandihawa
KITAB WAYANG PURWA

yang baru saja dihina dan diusir Prabu Jayasudikya. Merasa kasihan, Raden Arjuna alias
Resi Stunakarna pun meminjamkan kelaminnya untuk ditukar dengan kelamin perempuan
Prabu Kandihawa. Namun, Prabu Kandihawa lalu hilang ingatan sehingga tidak
mengembalikan kelaminnya itu hingga setahun lamanya.
Prabu Kresna bertanya mengapa Raden Arjuna tidak mendatangi Prabu Kandihawa
dan merebut kembali kelaminnya. Raden Arjuna menjawab ini adalah suratan takdir.
Selama ini ia sering menikah di sana-sini dengan banyak wanita. Mungkin Yang Kuasa
mengharuskannya memiliki kelamin wanita selama setahun untuk mengajarkan kepadanya
bagaimana rasanya menjadi wanita. Itulah sebabnya Raden Arjuna tidak menemui Prabu
Kandihawa untuk meminta kelaminnya kembali. Ia juga tidak pulang ke Kesatrian Madukara
karena tidak mungkin menemui para para istri dengan berkelamin perempuan.
Kini Raden Arjuna dan Dewi Srikandi sudah sama-sama pulih seperti sediakala.
Mereka pun bersama-sama Prabu Kresna dan Arya Wrekodara mohon pamit kepada Batara
Guru dan para dewa lainnya, untuk kembali ke Kerajaan Amarta.

Prabu Kresna.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Menurut versi balungan lakon yang disusun Ki Tristuti Suryasaputra, tokoh Raden Durnita tidak
tewas di awal, tetapi meninggal di akhir cerita bersama Prabu Jayasudikya. Saya sengaja
mengubah cerita menjadi kisah seorang kakak yang mencintai adiknya sendiri dan rohnya
penasaran hingga merasuki pikiran Prabu Kandihawa alias Dewi Srikandi. Dengan demikian,
saya menepis pandangan bahwa Dewi Srikandi seorang biseksual, karena ia bersetubuh dengan
Dewi Durniti bukan karena niatnya sendiri, melainkan karena sedang kerasukan roh penasaran
Raden Durnita. Dengan demikian saya juga menciptakan alasan mengapa Raden Nirbita alias
Prabu Niwatakawaca terlahir angkara murka, adalah karena hubungan incest antara Dewi
Durniti dengan roh Raden Durnita yang meminjam tubuh Dewi Srikandi dan kelamin Raden
Arjuna. Soal Raden Nirbita meminum darah Prabu Kandihawa dan berubah menjadi dewasa itu
juga tambahan dari saya agar lebih dramatis.
KITAB WAYANG PURWA

KISAH
PANDAWA
DAN
PARA
PUTRA
KITAB WAYANG PURWA

SITIJA TAKON BAPA


Kisah ini menceritakan tentang perjalanan Raden Sitija dan Dewi Sitisundari, dua anak
Batari Pretiwi yang mencari ayah mereka, yaitu Batara Wisnu dalam diri Prabu Kresna.
Raden Sitija berhasil mengalahkan Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura sehingga
berhasil menjadi raja Surateleng-Prajatisa, bergelar Prabu Boma Narakasura.
Kisah ini saya olah dari sumber rubrik pedhalangan Majalah panjebar Semangat, yang
saya padukan dengan hasil diskusi bersama Ki Rudy Wiratama, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, Agustus 2017
Heri Purwanto

Prabu Boma Sitija.

RADEN SITIJA MEMINTA IZIN INGIN BERTEMU AYAHNYA


Di Kahyangan Ekapratala, Batara Nagaraja Ekawarna dihadap putrinya, yaitu Batari
Pretiwi, serta kedua cucunya, yaitu Raden Sitija dan Dewi Sitisundari. Hari itu Batari Pretiwi
menyampaikan niat kedua anaknya tersebut yang mohon izin ingin meninggalkan
kahyangan untuk bertemu ayah mereka di dunia fana.
Karena didesak terus-menerus, Batari Pretiwi akhirnya menceritakan bahwa ayah
kandung Raden Sitija dan Dewi Sitisundari adalah Batara Wisnu dari Kahyangan
Utarasagara. Akan tetapi, saat ini Batara Wisnu sedang tidak berada di kahyangan tersebut,
karena sudah menitis dan terlahir sebagai manusia, bernama Prabu Kresna di Kerajaan
Dwarawati.
Raden Sitija sudah bertekad bulat ingin menemui ayahnya, maka ia pun mohon pamit
kepada sang kakek dan juga ibu untuk pergi ke Kerajaan Dwarawati. Batara Ekawarna
menjelaskan bahwa apabila Raden Sitija meninggalkan Kahyangan Ekapratala, maka
cucunya itu tidak akan menjadi dewa lagi, tetapi akan menjadi manusia biasa yang tidak
luput dari penyakit, tua, dan mati. Namun, apabila tetap berada di Kahyangan Ekapratala,
Raden Sitija akan menjadi sebangsa dewa yang hidup abadi dan terhindar dari penyakit.
Raden Sitija menimbang-nimbang dan ia tetap memilih untuk pergi menemui ayahnya.
Dewi Sitisundari juga mohon izin ikut serta bersama kakaknya, karena ia pun rindu ingin
bertemu sang ayah. Oleh sebab kedua cucunya memaksa demikian, Batara Ekawarna
terpaksa mengabulkan. Ia pun mengeluarkan pusaka Cangkok Wijayamulya. Pusaka ini
adalah pasangan Kembang Wijayakusuma yang saat ini berada di tangan Prabu Kresna.
KITAB WAYANG PURWA

Dahulu kala Cangkok Wijayamulya dipersembahkan Batara Wisnu sebagai maskawin saat
menikahi Batari Pretiwi. Dengan menunjukkan cangkok tersebut, maka Prabu Kresna pasti
akan mengakui Raden Sitija dan Dewi Sitisundari sebagai anaknya.
Raden Sitija dan Dewi Sitisundari berterima kasih kepada sang kakek dan ibu. Mereka
lalu mohon pamit berangkat meninggalkan Kahyangan Ekapratala, menuju Kerajaan
Dwarawati.

Batari Pretiwi.

PRABU KRESNA MENDAPAT TANTANGAN DARI PRABU NARAKASURA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata
(putra mahkota) dari Kesatrian Paranggaruda, Arya Setyaki (ipar) dari Kesatrian Swalabumi,
dan Patih Udawa dari Widarakandang. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang
adanya surat tantangan yang dikirimkan oleh Prabu Narakasura raja Prajatisa kepada Prabu
Kresna. Dalam surat tersebut, tertulis bahwa Prabu Narakasura berniat melamar permaisuri
nomor dua Kerajaan Dwarawati yang bernama Dewi Rukmini. Apabila lamarannya ditolak,
maka Prabu Narakasura mengancam akan menghancurkan Prabu Kresna beserta seluruh
negeri yang ia pimpin. Adapun saat ini Prabu Narakasura beserta pasukannya sudah
berkemah di pinggiran ibu kota Kerajaan Dwarawati.
Arya Setyaki marah mendengar isi surat tersebut. Ia menyebut Prabu Narakasura tidak
tahu diri, berani menantang raja titisan Batara Wisnu. Namun, Prabu Kresna sendiri sangat
percaya pada takdir. Meskipun dirinya memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi, tetapi
apabila tidak ditakdirkan bisa mengalahkan Prabu Narakasura, maka ia tidak akan mau
melayani tantangan tersebut. Prabu Kresna sama sekali tidak khawatir meskipun diejek
sebagai pengecut yang tidak punya nyali. Baginya, ejekan semacam itu bukanlah sesuatu
yang penting.
Pada saat itulah datang Raden Sitija dan Dewi Sitisundari menghadap dan
menyembah Prabu Kresna. Keduanya memperkenalkan diri sebagai kakak-beradik putra
Batara Wisnu dan Batari Pretiwi. Hari ini mereka datang untuk bertemu dan menyembah
sang ayah yang telah menitis dan terlahir sebagai Prabu Kresna. Dengan kata lain,
keduanya ingin diakui sebagai putra dan putri raja Dwarawati tersebut. Sebagai bukti,
Raden Sitija pun menunjukkan Cangkok Wijayamulya kepada Prabu Kresna.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna menerima Cangkok Wijayamulya dan mengamati keasliannya. Ia lalu


menyerahkan pusaka tersebut kepada Raden Sitija agar dikembalikan kepada Batari
Pretiwi. Prabu Kresna pun berkata bahwa ia bersedia mengakui keduanya sebagai putra
dan putri, akan tetapi mereka tidak berhak disebut sebagai ahli waris Kerajaan Dwarawati.
Hal itu karena mereka bukanlah darah daging Prabu Kresna, melainkan putra Batara Wisnu.
Adapun takhta Kerajaan Dwarawati sudah ditetapkan kelak akan diwariskan kepada Raden
Samba Wisnubrata.
Raden Sitija dan Dewi Sitisundari menjawab bahwa mereka tidak butuh hak milik atas
Kerajaan Dwarawati, melainkan hanya butuh pengakuan sebagai putra dan putri Prabu
Kresna, itu saja. Prabu Kresna berkata, saat ini ia sedang ada masalah dan belum bisa
mengakui mereka, meskipun kakak beradik itu membawa bukti berupa Cangkok
Wijayamulya.
Raden Sitija memahami maksud perkataan Prabu Kresna. Ia pun berjanji siap
membantu mengatasi kesulitan tersebut. Prabu Kresna menjawab bahwa Kerajaan
Dwarawati saat ini baru saja menerima tantangan musuh bernama Prabu Narakasura dari
Kerajaan Prajatisa. Asalkan musuh tersebut dapat dihalau pergi, maka Prabu Kresna pasti
akan mengakui Raden Sitija dan Dewi Sitisundari sebagai putra dan putri.
Raden Sitija menjawab dirinya bersedia menghadapi Prabu Narakasura. Dewi
Sitisundari tidak ingin ditinggal, maka ia pun ikut mohon pamit bersama sang kakak menuju
tempat Prabu Narakasura berkemah. Setelah keduanya pergi, perasaan kebapakan Prabu
Kresna tergugah. Ia tidak tega jika mereka berdua sampai dikeroyok pasukan Kerajaan
Prajatisa. Maka, Arya Setyaki pun diperintahkan untuk membawa pasukan Dwarawati
membantu Raden Sitija dan Dewi Sitisundari. Dengan senang hati Arya Setyaki menjawab
bersedia, lalu ia pun keluar mempersiapkan pasukan.
Prabu Kresna merasa bahaya di Kerajaan Dwarawati sudah ada jalan keluarnya. Ia
lalu membubarkan pertemuan dan memerintahkan Patih Udawa serta Raden Samba untuk
tetap bersiaga menjaga segala kemungkinan yang terjadi.

Prabu Kresna.

ARYA SETYAKI DAN PASUKAN DWARAWATI MEMBANTU RADEN SITIJA


Raden Sitija dan Dewi Sitisundari telah berada di luar istana. Sejak kecil Raden Sitija
sudah banyak berlatih ilmu kesaktian dan ilmu peperangan, tentu lain dengan Dewi
Sitisundari yang sehari-hari lebih sering belajar ilmu kewanitaan. Maka, Raden Sitija pun
KITAB WAYANG PURWA

menyuruh adiknya itu untuk menunggu di kejauhan, biarlah ia sendiri yang berperang
melawan Prabu Narakasura.
Dewi Sitisundari menolak. Sejak dari Kahyangan Ekapratala mereka selalu bersama,
maka terhadap tugas dari sang ayah pun harus dijalani bersama pula. Meskipun dirinya
tidak dapat berperang, tetapi Dewi Sitisundari siap apabila nyawanya harus dikorbankan
demi kemenangan sang kakak. Raden Sitija terharu dan tidak kuasa menolak keinginan
adik tersayangnya itu. Ia pun mengheningkan cipta dan membaca mantra, lalu memasukkan
tubuh Dewi Sitisundari ke dalam cincin yang ia kenakan di jari. Dengan demikian, mereka
berdua bisa tetap bersama dalam perang menghadapi musuh.
Arya Setyaki kemudian datang membawa pasukan Dwarawati dan mengatakan bahwa
ia ditugasi Prabu Kresna untuk membantu Raden Sitija. Mendengar itu, Raden Sitija
mempersilakan jika Arya Setyaki hendak menghadapi pasukan Prajatisa. Akan tetapi, untuk
melawan Prabu Narakasura biarlah ia sendiri yang bertindak. Arya Setyaki tidak keberatan.
Mereka lalu bersama-sama berangkat menuju perkemahan Prabu Narakasura.

PERTEMPURAN RADEN SITIJA MELAWAN PRABU NARAKASURA


Sementara itu di perkemahan tepi ibu kota Kerajaan Dwarawati, Prabu Narakasura
dihadap panakawan Kyai Togog dan Bilung. Mereka membahas tentang rencana
penyerangan Kerajaan Dwarawati apabila lamaran terhadap Dewi Rukmini sampai ditolak.
Kyai Togog dan Bilung menasihati Prabu Narakasura agar melupakan hal itu karena
merusak rumah tangga orang lain adalah perbuatan nista. Apalagi yang ingin direbut adalah
istri Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu. Tentunya hal ini sama saja dengan mengundang
kematian. Prabu Narakasura tidak peduli pada nasihat para panakawan. Ia tetap pada
pendiriannya untuk menikahi Dewi Rukmini dan syukur apabila dapat merebut Kerajaan
Dwarawati pula.
Tiba-tiba terdengar suara Raden Sitija di luar perkemahan menantang Prabu
Narakasura untuk berperang. Prabu Narakasura terkejut dan segera keluar. Ternyata pihak
Dwarawati sudah datang dan menyatakan bahwa lamarannya terhadap Dewi Rukmini
ditolak. Prabu Narakasura marah dan mengerahkan pasukannya untuk melawan pasukan
tersebut.
Maka, terjadilah pertempuran ramai antara kedua pihak. Arya Setyaki memimpin
pasukan Dwarawati menghadapi pasukan Prajatisa, sedangkan Raden Sitija bertarung
melawan Prabu Narakasura. Keduanya bertarung sengit saling berusaha menjatuhkan.
Prabu Narakasura tidak menduga Kerajaan Dwarawati memiliki jago yang sedemikian
tangguh. Apalagi ada Dewi Sitisundari di dalam cincin membuat pukulan tangan Raden
Sitija terasa makin mantap dan ampuh. Setelah berperang cukup lama, Prabu Narakasura
akhirnya terdesak dan membawa pasukannya yang masih hidup untuk mundur
meninggalkan Kerajaan Dwarawati.
Setelah musuh pergi, Prabu Kresna datang mengucapkan selamat atas kemenangan
Raden Sitija. Kini tiada lagi halangan baginya untuk mengakui Raden Sitija dan Dewi
Sitisundari sebagai anak. Ia pun mempersiapkan pesta penyambutan untuk mereka berdua.
Akan tetapi, Raden Sitija menolak memasuki istana Dwarawati untuk saat ini. Ia masih ingat
atas ucapan Prabu Kresna tadi yang mengatakan bahwa Raden Sitija dan Dewi Sitisundari
tidak memiliki hak waris atas Kerajaan Dwarawati. Maka, ia hendak membuktikan bahwa
dirinya sanggup untuk mencari kemuliaan sendiri tanpa harus tinggal di Kerajaan
Dwarawati. Usai berkata demikian, Raden Sitija pun berangkat mengejar Prabu Narakasura
untuk merebut takhta Kerajaan Prajatisa.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Narakasura.

RADEN SITIJA MENCOBA KEAMPUHAN CANGKOK WIJAYAMULYA


Perjalanan Raden Sitija yang membawa serta Dewi Sitisundari di dalam cincin telah
memasuki wilayah Kerajaan Prajatisa. Di sebuah desa di pinggiran ibu kota, ia melihat ada
sesajen yang diletakkan di depan sebuah punden keramat. Sesajen tersebut berupa
ingkung burung merpati yang diletakkan di dalam ancak, yaitu sejenis wadah yang terbuat
dari anyaman bambu. Di samping ancak tersebut tampak pula sebuah layah (cobek besar)
yang di atasnya terdapat ikan bakar.
Raden Sitija penasaran seperti apa keampuhan Cangkok Wijayamulya. Maka, ia pun
mengeluarkan pusaka itu dan menggerak-gerakkannya di atas sesajen tersebut sambil
membaca mantra. Sungguh ajaib, begitu terkena khasiat Cangkok Wijayamulya, seketika
keempat benda sesajen tersebut berubah menjadi empat raksasa yang menakutkan.
Keempat raksasa itu segera menyembah Raden Sitija dan mengakuinya sebagai majikan.
Raden Sitija menerima pengabdian mereka. Raksasa yang tercipta dari layah diberi
nama Ditya Yayahgriwa. Raksasa yang tercipta dari ancak diberi nama Ditya Ancakogra.
Raksasa yang tercipta dari ingkung burung dara diberi nama Ditya Mahodara. Sedangkan
raksasa yang tercipta dari ikan bakar diberi nama Ditya Amisunda.

Raden Sitija.

PERTARUNGAN DUA BURUNG RAKSASA KAKAK BERADIK


Raden Sitija dan keempat raksasa melanjutkan perjalanan mengejar Prabu
Narakasura. Di tengah jalan mereka melihat ada dua ekor burung raksasa sedang berkelahi
KITAB WAYANG PURWA

di udara. Burung yang satu tampak terdesak kalah dan meminta perlindungan kepada
Raden Sitija.
Burung yang kalah itu mengaku bernama Paksi Wilmuna. Ia memohon kepada Raden
Sitija agar dibantu mengalahkan musuhnya yang bernama Paksi Wildata. Jika Raden Sitija
bersedia membantu kesulitannya, maka ia bersedia seumur hidup mengabdi sebagai
kendaraan pemuda tersebut.
Raden Sitija tertarik melihat sosok Paksi Wilmuna yang perkasa. Ia pun berjanji untuk
membantu melawan Paksi Wildata. Melihat ada seorang pemuda yang tiba-tiba maju
menyerang dirinya, Paksi Wildata terkejut dan bertanya mengapa ada orang luar ikut
campur urusan mereka dua bersaudara.
Paksi Wilmuna dan Paksi Wildata ternyata dua bersaudara yang menetas pada hari
yang sama. Mereka pun saling berebut siapa yang lebih tua. Perselisihan ini terjadi
bertahun-tahun hingga akhirnya mereka pun berkelahi untuk menentukan siapa dari mereka
yang lebih berhak dipanggil kakak. Dalam pertarungan kali ini, Paksi Wilmuna terdesak
kalah dan meminta perlindungan Raden Sitija.
Raden Sitija baru tahu kalau kedua burung tersebut ternyata bersaudara. Namun,
karena sudah terlanjur berjanji kepada Paksi Wilmuna, terpaksa ia tetap maju menghadapi
Paksi Wildata. Keduanya lalu bertarung seru. Raden Sitija berkelahi atas nama Paksi
Wilmuna, sedikit demi sedikit berhasil membuat Paksi Wildata terdesak kalah. Hingga
akhirnya, Raden Sitija berhasil menangkap tubuh burung raksasa itu dan melemparkannya
jauh-jauh ke angkasa.

BATARA NARADA MEMINTA RADEN SITIJA MENJADI JAGO KAHYANGAN


Tubuh Paksi Wildata melayang di udara karena terlempar oleh kekuatan Raden Sitija.
Tiba-tiba ia menabrak seorang pemuda gagah yang sedang terbang di angkasa. Pemuda
itu tidak lain adalah Raden Gatutkaca sang kesatria Pringgadani yang sedang melanglang
buana untuk mencari tambahan pengalaman. Dengan cekatan, ia pun menangkap tubuh
burung raksasa itu lalu menurunkannya ke daratan.
Paksi Wildata berterima kasih atas pertolongan Raden Gatutkaca. Raden Sitija datang
mengejar dan bertanya ada perlu apa Raden Gatutkaca ikut campur pertarungannya
dengan Paksi Wildata. Raden Gatutkaca tidak ingin ikut campur, tetapi ia tidak suka melihat
ada orang yang suka menganiaya hewan. Ia pun menantang Raden Sitija apabila ingin
bertarung, maka bertarunglah dengan lawan yang sebanding, bukan dengan binatang yang
sudah tidak berdaya.
Raden Sitija menanggapi tantangan Raden Gatutkaca dengan senang hati. Keduanya
lalu bertarung satu lawan satu. Mereka sama-sama sakti dan tangguh, sulit menentukan
siapa yang menang atau kalah. Hingga akhirnya muncul Batara Narada turun dari angkasa
melerai perkelahian mereka.
Kedua pemuda itu berhenti bertarung dan serentak menyembah sang dewa. Batara
Narada menjelaskan bahwa mereka sebenarnya masih saudara sendiri. Raden Sitija adalah
putra Batara Wisnu yang saat ini sudah menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden
Gatutkaca adalah putra Arya Wrekodara. Adapun Prabu Kresna dan Arya Wrekodara
adalah saudara sepupu, sama-sama cucu Prabu Kuntiboja, pendiri Kerajaan Mandura.
Setelah diperkenalkan demikian, Raden Sitija dan Raden Gatutkaca pun saling
berpelukan melupakan permusuhan tadi. Keduanya juga menjalin persaudaraan seperti
ayah-ayah mereka. Raden Sitija sebagai kakak, dan Raden Gatutkaca sebagai adik.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada lalu menjelaskan tujuan kedatangannya, yaitu hendak menjadikan


Raden Sitija sebagai jago Kahyangan Suralaya menghadapi musuh para dewa, bernama
Prabu Bomantara raja Surateleng. Adapun raja tersebut saat ini sudah mengepung
kahyangan untuk merebut kekuasaan Batara Indra, raja para jawata. Raden Sitija menjawab
bersedia. Soal mengejar Prabu Narakasura dapat ditunda lain waktu. Batara Narada pun
berkata bahwa Prabu Narakasura adalah saudara seperguruan Prabu Bomantara, dan saat
ini mereka telah bergabung mengepung Kahyangan Suralaya. Oleh sebab itu, apabila
Raden Sitija mengejar Prabu Narakasura ke istana Prajatisa tentunya akan sia-sia belaka.
Raden Sitija gembira mendengarnya. Ini artinya sekali bertindak membuahkan dua
hasil. Raden Gatutkaca meminta agar dijadikan jago pula, tetapi dicegah Batara Narada.
Dulu Raden Gatutkaca pernah menjadi jago para dewa melawan Prabu Kalapracona, maka
kini giliran Raden Sitija yang mendapat tugas seperti itu. Setelah dirasa cukup, Batara
Narada pun terbang menuju Kahyangan Suralaya, dengan diikuti Raden Sitija yang
mengendarai Paksi Wilmuna. Adapun keempat raksasa Ditya Yayahgriwa, Ditya
Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda mengikuti majikan mereka dengan
menempuh lewat jalur darat.
Setelah semuanya pergi, tinggallah Raden Gatutkaca dan Paksi Wildata berdua. Paksi
Wildata kagum melihat kesaktian dan kekuatan Raden Gatutkaca saat bertarung
menghadapi Raden Sitija tadi. Ia pun memohon agar diterima mengabdi sebagai kendaraan
kesatria muda tersebut. Raden Gatutkaca menjawab dirinya bisa terbang sehingga tidak
membutuhkan kendaraan. Namun demikian, ia bersedia menerima Paksi Wildata sebagai
kawan, bukan sebagai kendaraan.
Paksi Wildata sangat gembira. Ia pun berjanji apabila Raden Gatutkaca membutuhkan
bantuan cukup bersuit nyaring saja, maka dirinya pasti akan datang. Raden Gatutkaca
menerima saran tersebut. Keduanya lalu berpisah, kembali ke tempat tinggal masing-
masing.

RADEN SITIJA BERPERANG MELAWAN PRABU BOMANTARA


Sementara itu di luar Kahyangan Suralaya, Prabu Bomantara raja Surateleng dihadap
Patih Pancadnyana dan para punggawa lainnya. Ia juga menerima kedatangan sang adik
seperguruan, yaitu Prabu Narakasura raja Prajatisa yang baru saja kalah perang melawan
Kerajaan Dwarawati. Prabu Bomantara marah atas tindakan Prabu Narakasura yang
kemarin menolak membantu dirinya menyerang Kahyangan Suralaya, karena lebih
mementingkan urusan pribadi hendak merebut Dewi Rukmini, istri Prabu Kresna. Kini,
setelah gagal mewujudkan keinginannya, barulah adiknya itu menyusul ke Kahyangan
Suralaya.
Prabu Narakasura meminta maaf atas sikapnya yang mementingkan diri sendiri dan
menolak membantu kakak seperguruan. Kini ia sadar bahwa menginginkan istri raja
Dwarawati sama saja dengan mencari penyakit. Apalagi ternyata Prabu Kresna memiliki
jago yang perkasa, bernama Raden Sitija yang sangat sakti, dan berhasil membuatnya
terdesak melarikan diri.
Tiba-tiba di luar perkemahan terdengar suara Raden Sitija menantang perang. Prabu
Narakasura gemetar dan menjelaskan bahwa pemuda di luar itulah yang telah mengalahkan
dirinya. Prabu Bomantara merasa penasaran. Ia pun keluar menjawab tantangan Raden
Sitija. Keduanya lalu bertarung satu lawan satu dengan disaksikan ribuan prajurit raksasa.
Ternyata Prabu Bomantara jauh lebih sakti daripada Prabu Narakasura. Raden Sitija
lama-lama terdesak dan akhirnya tewas di tangan lawannya tersebut. Melihat majikannya
KITAB WAYANG PURWA

gugur, Paksi Wilmuna segera menyambar jasad Raden Sitija dan membawanya pergi ke
tempat para dewa yang menonton di kejauhan.

Prabu Bomantara.

RADEN SITIJA MENDAPATKAN KEKUATAN BARU


Batara Narada memeriksa jasad Raden Sitija dan menemukan Cangkok Wijayamulya
di dalam pakaiannya. Begitu terkena khasiat pusaka tersebut, Raden Sitija pun hidup
kembali dan hendak melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, Batara Narada mencegahnya.
Saat itu Batara Narada teringat pada Raden Gatutkaca yang dulu pernah dijedi di dalam
Kawah Candradimuka saat berperang melawan Patih Sekiputantra. Setelah keluar dari
kawah, Raden Gatutkaca tumbuh sebagai sosok pemuda perkasa yang kekuatannya luar
biasa. Maka, ia pun berniat menggunakan cara yang sama untuk memberikan kekuatan
baru kepada Raden Sitija.
Raden Sitija tidak keberatan. Ia pun berjalan diiringi para dewa kemudian
menceburkan diri ke dalam Kawah Candradimuka. Kawah yang terletak di puncak Gunung
Jamurdipa itu bergolak hebat. Para dewa ramai-ramai melemparkan pusaka ampuh ke
dalam kawah, seperti dulu saat menjedi Raden Gatutkaca. Pusaka-pusaka itu melebur dan
bersatu dalam diri Raden Sitija. Kini Raden Sitija seolah mendapatkan kekuatan baru. Ia
pun keluar dari dalam Kawah Candradimuka dengan wujud lebih gagah dan perkasa
daripada sebelumnya.
Batara Narada menyambut Raden Sitija dan mengucapkan selamat atas
keberhasilannya mendapatkan kekuatan baru. Tiba-tiba terdengar suara perempuan
menangis. Raden Sitija teringat kalau Dewi Sitisundari masih disimpan di dalam cincinnya.
Ia pun segera membaca mantra dan mengeluarkan adiknya itu yang kini terlihat lemas
setelah ikut masuk ke dalam Kawah Candradimuka.
Raden Sitija meminta maaf karena terlalu bersemangat mencebur ke dalam kawah
hingga lupa kepada Dewi Sitisundari yang bersemayam di dalam cincinnya. Batara Aswan
dan Batara Aswin segera maju untuk mengobati gadis tersebut. Dalam sekejap, Dewi
Sitisundari pulih kembali. Namun sayang, rahimnya sudah terlanjur rusak dan tidak dapat
disembuhkan lagi. Hawa panas Kawah Candradimuka telah menyebabkan Dewi Sitisundari
menjadi mandul untuk selamanya. Dewi Sitisundari berduka namun ia merasa ini sudah
suratan takdir dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sitisundari.

RADEN SITIJA KEMBALI BERPERANG MELAWAN MUSUH


Melihat adiknya bersikap tenang tidak meratapi nasib, Raden Sitija pun kembali maju
perang dengan penuh semangat. Prabu Bomantara heran melihat musuhnya hidup kembali.
Tanpa banyak bicara ia segera menyerang pemuda itu. Mereka kembali bertarung sengit
melebihi pertarungan sebelumnya. Kali ini tubuh Raden Sitija telah berubah menjadi lebih
gagah dan perkasa, sehingga seimbang dengan Prabu Bomantara.
Prabu Bomantara sendiri merasa lawannya jauh lebih kuat dibanding tadi. Ia pun
terdesak kehabisan tenaga dan lehernya berhasil dicengkeram Raden Sitija. Melihat kakak
seperguruannya telah kalah dan berada di tangan musuh, Prabu Narakasura melompat
maju untuk membantu. Namun, ia lengah dan ikut tertangkap pula. Leher Prabu Bomantara
dicengkeram Raden Sitija menggunakan tangan kanan, sedangkan leher Prabu Narakasura
dicengkeram menggunakan tangan kiri. Kedua raja itu lalu dibenturkan satu sama lain
sekuat tenaga. Prabu Bomatara dan Prabu Narakasura pun tewas dengan kepala masing-
masing pecah berantakan.
Namun demikian, roh kedua raja itu masih pantang menyerah. Mereka merasuki tubuh
Raden Sitija untuk mengendalikan pikiran pemuda itu. Begitu kerasukan roh Prabu
Bomantara dan Prabu Narakasura, seketika tumbuh sepasang gigi taring di mulut Raden
Sitija. Roh Prabu Bomantara menjelma menjadi taring sebelah kanan, sedangkan roh Prabu
Narakasura menjelma menjadi taring sebelah kiri.

RADEN SITIJA MENJADI RAJA SURATELENG-PRAJATISA


Batara Narada, Batara Indra, dan para dewa lainnya menyambut kemenangan Raden
Sitija dan mengucapkan selamat kepada pemuda itu. Sebagai hadiah, Raden Sitija pun
berhak menjadi raja menduduki Kerajaan Surateleng dan Prajatisa sekaligus. Batara Indra
juga memberikan harta kekayaan yang melimpah untuk pembangunan di kedua negara
tersebut.
Tiba-tiba keempat raksasa pengikut Raden Sitija datang dengan menghadapkan
seorang raksasa yang sudah menyerahkan diri. Raksasa itu adalah Patih Pancadnyana,
pengikut utama Prabu Bomantara.
Raden Sitija menerima pengabdian Patih Pancadnyana dan menetapkannya sebagai
patih di Kerajaan Surateleng seperti sediakala. Adapun para pengikut Raden Sitija, yaitu
Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda dijadikan sebagai
punggawa. Raden Sitija kemudian dilantik para dewa menjadi raja. Tiba-tiba roh Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Bomantara dan Prabu Narakasura berbisik di dalam pikirannya agar ia tetap menggunakan
nama mereka sebagai gelar. Raden Sitija terpengaruh bisikan itu. Maka, ia pun menetapkan
dirinya bergelar Prabu Boma Narakasura.

Patih Pancadnyana.

ASAL USUL KERAJAAN TRAJUTRESNA


Kerajaan Surateleng dan Kerajaan Prajatisa terletak bersebelahan dan kini disatukan
di bawah pemerintahan Prabu Boma Narakasura. Namun demikian, Prabu Boma tetap saja
merasa iri mendengar kebesaran Kerajaan Dwarawati. Ia pun berniat menukar negeri yang
ia pimpin dengan negara yang dipimpin ayahnya tersebut.
Dewi Sitisundari prihatin melihat sifat kakaknya sudah berubah. Jika dulu Raden Sitija
seorang kakak yang lembut dan baik hati, namun kini setelah menjadi raja berubah menjadi
angkara murka dan dipenuhi watak serakah. Seorang diri Dewi Sitisundari pergi ke Kerajaan
Dwarawati. Sesampainya di sana ia menceritakan itu semua kepada Prabu Kresna.
Tidak lama kemudian, Prabu Boma Narakasura datang pula menghadap Prabu
Kresna. Ia berkata bahwa dirinya telah terbukti berhasil mendapatkan kemuliaan dan
kedudukan dengan perjuangan sendiri, tanpa harus menunggu warisan Kerajaan
Dwarawati. Akan tetapi, kini muncul niatnya untuk menukar Kerajaan Surateleng-Prajatisa
dengan Dwarawati.
Prabu Kresna bertanya, untuk apa kedua negeri tersebut ditukar, bukankah Kerajaan
Surateleng-Prajatisa lebih luas ukurannya karena merupakan gabungan dua negara? Prabu
Boma tidak percaya dan mengatakan bahwa ia mendapat cerita dari Patih Pancadnyana,
bahwa Kerajaan Dwarawati dulunya juga gabungan dari dua negara, yaitu Dwarawatiprawa
dan Dwarakawestri.
Prabu Kresna tersenyum dan berkata bahwa ia akan membuktikan ucapannya. Ia lalu
melepaskan Senjata Cakra untuk terbang sendiri, berkeliling mengitari batas-batas
Kerajaan Dwarawati. Setelah empat jam, barulah senjata tersebut kembali ke tangannya.
Prabu Kresna, Prabu Boma, dan Dewi Sitisundari lalu pergi ke Kerajaan Surateleng-
Prajatisa untuk mengukur luas negara tersebut. Prabu Kresna kembali melepas Senjata
Cakra agar terbang berkeliling mengitari batas-batas kedua negara ini. Setelah lima jam,
barulah senjata tersebut kembali kepadanya. Hal ini membuktikan bahwa wilayah Kerajaan
Surateleng-Prajatisa memang benar lebih luas daripada Kerajaan Dwarawati.
Prabu Boma merasa puas dan gembira. Kini ia merasa mantap menduduki takhta
Kerajaan Surateleng-Prajatisa. Prabu Kresna merasa nama kerajaan tersebut terlalu
KITAB WAYANG PURWA

panjang dan sebaiknya diganti menjadi yang lebih sederhana. Prabu Boma memohon
kepada sang ayah agar sudi membantu mencarikan nama. Prabu Kresna berkata bahwa
Senjata Cakra tadi telah dilepaskan untuk mengukur dan menimbang mana yang lebih luas
di antara kedua negara, dan penimbangan ini didasari oleh rasa cinta ayah kepada anaknya.
Karena istilah lain untuk timbangan adalah “traju”, dan istilah untuk cinta adalah “tresna”,
maka sebaiknya Kerajaan Surateleng-Prajatisa diganti nama menjadi Kerajaan Trajutresna.
Prabu Boma senang mendengarnya dan merasa nama ini sangat indah. Ia pun
mengajak Dewi Sitisundari pulang ke istana. Namun, Dewi Sitisundari menolak ikut karena
sifat sang kakak sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Ia memohon kepada sang ayah agar
diizinkan tinggal di Kerajaan Dwarawati saja. Prabu Boma mempersilakan jika sang adik
ingin demikian. Karena Prabu Boma tidak keberatan, maka Prabu Kresna pun menerima
Dewi Sitisundari tinggal di Kerajaan Dwarawati bersama putra-putrinya yang lain.

Prabu Boma Narakasura.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Hubungan antara Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura sebagai saudara seperguruan adalah
tambahan dari saya. Begitu pula dengan kisah Prabu Narakasura melamar Dewi Rukmini juga
tambahan dari saya.
KITAB WAYANG PURWA

ABIMANYU RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Abimanyu dengan Dewi
Sitisundari. Perkawinan ini kelak menjadi perkawinan sehidup semati di antara mereka
berdua. Juga dikisahkan awal mula Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati dewasa
bertemu dengan ayah mereka, yaitu Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber pentas Wayang Orang Sekar Budaya Nusantara, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 22 Agustus 2017
Heri Purwanto

Raden Abimanyu.

PRABU BALADEWA MELAMAR DEWI SITISUNDARI UNTUK RADEN LESMANA


MANDRAKUMARA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata
(putra mahkota) dari Paranggaruda, Arya Setyaki (ipar) dari Swalabumi, dan Patih Udawa
dari Widarakandang. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa
yang didampingi Patih Sangkuni dari Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna menyambut kedua tamu agung tersebut. Setelah saling bertanya kabar,
ia lalu menanyakan apa yang menjadi keperluan mereka, mungkin ada masalah yang
penting, ataukah hanya kunjungan persaudaraan belaka. Juga bagaimana ceritanya Prabu
Baladewa bisa datang bersama Patih Sangkuni.
Prabu Baladewa bercerita bahwa Patih Sangkuni lebih dulu datang ke Kerajaan
Mandura bersama para Kurawa. Dalam kunjungan itu, Patih Sangkuni menyampaikan niat
Prabu Duryudana yang ingin berbesan dengan Prabu Kresna. Menurut kabar yang beredar,
Prabu Kresna baru saja menerima dua orang anak dari Kahyangan Ekapratala, laki-laki dan
perempuan. Yang laki-laki bernama Raden Sitija, kini telah menjadi raja Trajutresna
bergelar Prabu Boma Narakasura; dan yang perempuan bernama Dewi Sitisundari, kini
tinggal di kaputren Kerajaan Dwarawati. Kabar kecantikan Dewi Sitisundari telah tersebar
hingga sampai di Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana sangat tertarik dan ingin menjadikan
Dewi Sitisundari sebagai menantu. Sudah lama Prabu Duryudana ingin menjalin hubungan
persaudaraan dengan Prabu Kresna, dan mungkin pernikahan antara Raden Lesmana
Mandrakumara dan Dewi Sitisundari adalah cara yang paling tepat untuk mewujudkan itu.
KITAB WAYANG PURWA

Akan tetapi, Prabu Duryudana agak segan karena Prabu Kresna lebih akrab dengan
para Pandawa daripada dengan para Kurawa. Oleh sebab itu, Patih Sangkuni pun diutus
pergi ke Kerajaan Mandura untuk meminta bantuan Prabu Baladewa dalam menyampaikan
lamaran ini ke Kerajaan Dwarawati. Sudah tentu Prabu Baladewa sangat mendukung
rencana Prabu Duryudana yang ingin berbesan dengan Prabu Kresna tersebut. Maka,
kedatangannya kali ini adalah untuk mendampingi Patih Sangkuni meminang Dewi
Sitisundari sebagai calon istri Raden Lesmana Mandrakumara.
Setelah Prabu Baladewa menyampaikan maksud kedatangannya, ganti Patih
Sangkuni yang menyambung bicara. Ia memuji-muji Raden Lesmana adalah putra mahkota
Kerajaan Hastina yang merupakan kerajaan paling kaya di dunia saat ini. Ia menyebut
Raden Lesmana adalah sosok pemuda ideal yang tampan, gagah perkasa, pandai, dan
tegas dalam bertindak, sudah pasti serasi dengan Dewi Sitisundari yang cantik jelita. Prabu
Kresna lalu bertanya kepada Prabu Baladewa apakah benar demikian. Prabu Baladewa
menjawab dirinya belum pernah bertemu dengan putra Prabu Duryudana itu, sehingga tidak
tahu seperti apa paras dan kepribadiannya. Namun, jika Patih Sangkuni memuji demikian,
tentunya Raden Lesmana Mandrakumara memang serasi dengan Dewi Sitisundari.
Prabu Kresna mengaku agak sulit memutuskan, karena sudah terlanjur menerima
lamaran dari Kesatrian Madukara. Sekitar satu bulan yang lalu, Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra telah datang ke Dwarawati untuk meminang Dewi Sitisundari sebagai calon istri
Raden Abimanyu yang kini telah beranjak dewasa. Prabu Kresna menerima lamaran
tersebut tetapi belum menentukan kapan tanggal yang tepat untuk melangsungkan
pernikahan di antara putra-putri mereka. Kini datang pula lamaran dari Prabu Duryudana.
Dalam hati Prabu Kresna paham bahwa Prabu Duryudana hanya basa-basi saja, karena
tujuan Raden Lesmana dinikahkan dengan Dewi Sitisundari hanya supaya Kerajaan
Dwarawati bisa menjadi sekutu Kerajaan Hastina. Akan tetapi, Prabu Kresna tidak mungkin
menolak lamaran ini begitu saja.
Prabu Baladewa terlihat kurang senang mendengar Dewi Sitisundari telah
dipertunangkan dengan Raden Abimanyu. Ia pun berkata bahwa pertunangan tersebut
sebaiknya dibatalkan saja. Dalam segala hal, Raden Lesmana Mandrakumara jauh lebih
sempurna daripada Raden Abimanyu.
Bagaimanapun juga Raden Lesmana adalah calon raja Hastina, dan itu berarti Dewi
Sitisundari akan ikut terangkat derajatnya sebagai calon permaisuri pula.

PRABU BALADEWA MENGADAKAN SAYEMBARA UNTUK DEWI SITISUNDARI


Ketika Prabu Kresna belum dapat menentukan keputusan, tiba-tiba di Kerajaan
Dwarawati datang lagi dua orang tamu, yaitu Patih Surata dan Patih Sucitra. Keduanya
adalah patih di Kesatrian Madukara yang diutus Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra untuk
menindaklanjuti tentang pertunangan antara putra-putri kedua pihak. Setelah
menyampaikan sembah hormat, Patih Surata dan Patih Sucitra menyampaikan pesan dari
atasan mereka, mengenai kapan kiranya upacara pernikahan antara Raden Abimanyu dan
Dewi Sitisundari dapat dilaksanakan. Saat ini pihak mempelai pria sudah siap, tinggal
menunggu hari baik dari pihak mempelai perempuan saja.
Mendengar itu, Prabu Baladewa menukas ikut bicara. Ia berkata bahwa pertunangan
antara Raden Abimanyu dengan Dewi Sitisundari dibatalkan secara sepihak, karena
mempelai perempuan akan dinikahkan dengan Raden Lesmana Mandrakumara, putra
mahkota Kerajaan Hastina. Patih Surata mohon maaf dan berkata tidak bisa seperti itu.
Yang berhak mengambil keputusan adalah Prabu Kresna, bukannya Prabu Baladewa.
Lagipula Prabu Kresna sudah menerima lamaran dari Kesatrian Madukara, maka tidak bisa
semudah itu dibatalkan dan dialihkan ke pihak lain. Prabu Baladewa berkata dirinya adalah
KITAB WAYANG PURWA

kakak Prabu Kresna. Masalah siapa yang menjadi jodoh Dewi Sitisundari, ia berhak ikut
memutuskan. Oleh sebab itu, kedua patih Madukara tersebut sebaiknya pulang saja dan
melapor kepada majikan mereka. Patih Surata berkata dirinya tidak akan pulang, kecuali
Prabu Kresna sendiri yang menyuruh mereka pulang.
Patih Sucitra melarang Patih Surata untuk bicara lebih banyak karena akan semakin
memancing kemarahan Prabu Baladewa. Ia lalu berkata bahwa sudah nasib Raden
Abimanyu lamarannya ditolak dan dialihkan kepada pemuda lain yang lebih kaya raya. Patih
Sucitra berusaha menyindir Prabu Baladewa dengan mengatakan, bahwa dulu Raden
Arjuna banyak membantu orang mendapatkan jodohnya, antara lain pernah membantu
Prabu Puntadewa mendapatkan Dewi Drupadi, membantu Prabu Duryudana mencarikan
syarat gajah putih untuk Dewi Banuwati, bahkan pernah pula membantu Prabu Baladewa
mendapatkan Dewi Erawati.
Ucapan Patih Sucitra dengan telak mengenai lubuk hati Prabu Baladewa. Seketika ia
pun teringat peristiwa masa lalu saat dirinya dibantu Raden Arjuna mengejar penjahat
bernama Raden Kartapiyoga yang menculik Dewi Erawati. Juga ketika Prabu Salya
mengajukan syarat sulit untuk menggagalkan pertunangan Prabu Baladewa (yang kala itu
masih bernama Wasi Jaladara) dengan Dewi Erawati, namun Raden Arjuna dengan tulus
memberikan bantuan. Saat itu Raden Arjuna bahkan menyamar sebagai wanita bernama
Endang Wardiningsih untuk membantu Prabu Baladewa memenuhi persyaratan yang
diajukan Prabu Salya.
Prabu Baladewa kini merasa serbasalah. Jika ia menghalangi pernikahan antara
Raden Abimanyu dengan Dewi Sitisundari, maka itu membuatnya seolah melupakan jasa
Raden Arjuna di masa lalu. Namun, jika tidak menggagalkannya, maka itu berarti ia
mengingkari permohonan Prabu Duryudana. Setelah merenung sejenak, Prabu Baladewa
akhirnya mendapat akal. Ia berkata bahwa Dewi Sitisundari akan menikah dengan orang
yang dapat menghadirkan patah sakembaran, yaitu dua orang gadis desa berwajah kembar,
tetapi mereka bukan saudara kembar. Raden Abimanyu harus dapat mewujudkan syarat
tersebut tanpa bantuan Raden Arjuna, sedangkan Raden Lesmana Mandrakumara juga
harus dapat mewujudkannya tanpa bantuan Prabu Duryudana.
Prabu Kresna merasa keputusan Prabu Baladewa ini cukup adil, maka ia pun setuju.
Apabila Raden Abimanyu dapat mendatangkan apa yang disyaratkan Prabu Baladewa,
maka ia akan dinikahkan dengan Dewi Sitisundari saat itu juga. Hal ini pun berlaku untuk
Raden Lesmana Mandrakumara. Karena Prabu Kresna selaku ayah mempelai perempuan
sudah menetapkan demikian, Patih Surata dan Patih Sucitra segera mohon pamit untuk
kembali ke Kesatrian Madukara.
Patih Sangkuni merasa kecewa karena Prabu Baladewa berubah pikiran di tengah
jalan. Namun, karena sudah diputuskan demikian, terpaksa ia pun ikut mematuhi. Ia lalu
keluar menemui para Kurawa yang menunggu di halaman istana.
Prabu Kresna lalu mengajak Prabu Baladewa masuk ke dalam puri untuk makan
bersama dengan ketiga permaisuri. Sementara itu, Arya Setyaki dan Patih Udawa ditugasi
untuk menjaga keamanan dan mengambil tindakan yang dianggap perlu jika sampai terjadi
sesuatu hal yang kurang baik.

PARA KURAWA HENDAK MENCELAKAI PATIH SURATA DAN PATIH SUCITRA


Patih Sangkuni telah kembali ke tempat para Kurawa menunggu. Mereka antara lain
Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Raden Durmagati, Raden Surtayu, Raden Citraksa,
Raden Citraksi, Raden Durmuka, Raden Durjaya, serta Adipati Jayadrata dan Bambang
Aswatama. Patih Sangkuni pun menyampaikan kekecewaannya, karena Prabu Baladewa
KITAB WAYANG PURWA

yang dikira bisa membantu menjadi mak-comblang pertunangan Raden Lesmana


Mandrakumara dengan Dewi Sitisundari ternyata berubah pikiran di tengah jalan. Tiba-tiba
saja Prabu Baladewa mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua pelamar, yaitu
harus menyediakan patah sakembaran dua gadis cantik dari desa yang sama persis tetapi
bukan saudara kembar.
Arya Dursasana heran mendengar syarat semacam ini, tetapi menurutnya ini bukanlah
syarat yang sulit. Tinggal datangi saja sebuah desa, lalu kumpulkan para gadisnya, ambil
dua orang yang wajahnya mirip, beres sudah. Patih Sangkuni berkata hal itu bisa saja
dilakukan, tetapi yang paling penting saat ini adalah menangkap Patih Surata dan Patih
Sucitra agar mereka tidak sampai pulang ke Madukara dan melapor kepada Raden Arjuna.
Jika mereka berdua tidak sampai melapor, maka Raden Arjuna tidak akan mengetahui
persyaratan yang diajukan Prabu Baladewa. Dengan demikian, Raden Lesmana
Mandrakumara akan kehilangan pesaing.
Raden Durmagati yang lugu tetapi bijak berkata hal itu tidak perlu dilakukan. Jika ingin
berhasil, maka Raden Lesmana Mandrakumara hendaknya fokus pada tujuan, bukannya
malah mengurusi pesaing. Namun, Raden Durmagati hanya seorang diri yang berpendapat
demikian, sedangkan para Kurawa lainnya mendukung rencana Patih Sangkuni. Karena
sudah diputuskan demikian, rombongan dari Kerajaan Hastina itu pun berangkat mengejar
Patih Surata dan Patih Sucitra.

ARYA SETYAKI DAN PATIH UDAWA MENGHALANGI PARA KURAWA


Patih Surata dan Patih Sucitra yang sedang dalam perjalanan pulang menuju
Kesatrian Madukara berhasil dikejar oleh rombongan Patih Sangkuni. Tanpa banyak bicara,
para Kurawa pun menyergap mereka. Kedua patih Madukara itu berusaha melawan, namun
jumlah musuh terlalu banyak. Lama-lama mereka terdesak juga dan hampir tertangkap oleh
para Kurawa.
Pada saat itulah muncul Arya Setyaki dan Patih Udawa yang segera membantu Patih
Surata dan Patih Sucitra. Sejak awal mereka sudah curiga melihat gelagat Patih Sangkuni
dan para Kurawa. Keduanya lalu mengikuti dan ternyata rombongan dari Hastina itu benar-
benar hendak mencelakai kedua utusan Raden Arjuna.
Patih Sangkuni yang merupakan mertua Patih Udawa melarang menantunya itu ikut
campur. Patih Udawa menjawab dirinya saat ini bertindak bukan sebagai menantu lawan
mertua, tetapi sebagai patih Dwarawati yang sedang menjalankan tugas menjaga
keamanan negeri. Karena para Kurawa memulai kerusuhan di wilayah Kerajaan Dwarawati,
maka dirinya tidak segan-segan menindak tegas, meskipun harus melawan mertua sendiri.
Arya Dursasana tidak sabaran. Ia pun menyerang Patih Udawa, tetapi Arya Setyaki
maju menghadapinya. Para Kurawa lainnya ikut maju pula. Patih Udawa, Patih Surata, dan
Patih Sucitra segera menghadang mereka. Demikianlah, terjadilah pertempuran di dekat
ibu kota Kerajaan Dwarawati tersebut. Hingga akhirnya muncul Prabu Baladewa marah-
marah melerai mereka.
Patih Udawa dengan tenang menceritakan duduk perkaranya, bahwa rombongan dari
Hastina berniat mencelakai kedua utusan Madukara. Patih Sangkuni tidak dapat
membantah hal itu. Prabu Baladewa meminta kedua pihak untuk berlomba secara adil.
Patih Surata dan Patih Sucitra pun dipersilakan untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Kedua patih itu berterima kasih lalu bergegas menuju Kesatrian Madukara.
Prabu Baladewa lalu berkata kepada Patih Sangkuni, apabila para Kurawa kembali
mengganggu kedua patih tersebut, maka Raden Lesmana Mandrakumara dinyatakan kalah
KITAB WAYANG PURWA

dalam perlombaan ini. Patih Sangkuni mengiakan, lalu ia dan para Kurawa mohon pamit
memulai pencarian terhadap dua gadis patah sakembaran.

RESI SIDIWACANA MELEPAS KEPERGIAN KEDUA CUCUNYA


Sementara itu di Padepokan Andongsumawi, Resi Sidiwacana dihadap kedua
cucunya yang telah tumbuh dewasa, yaitu Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati. Kedua
gadis itu baru saja ditinggal mati oleh ibu mereka, yaitu Endang Manuhara.
Seratus hari yang lalu Endang Manuhara meninggal dunia karena sakit. Sebelum
meninggal, ia sempat bercerita kepada Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati, bahwa ayah
mereka adalah Raden Arjuna, pangeran nomor tiga di antara Pandawa Lima. Tempat
tinggal ayah mereka itu berada di Kesatrian Madukara, yang termasuk wilayah Kerajaan
Amarta.
Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati yang telah kehilangan sosok ibu, kini sepakat
hendak mencari ayah mereka. Resi Sidiwacana berusaha mencegah, tetapi kedua gadis itu
bersikeras ingin pergi ke Kesatrian Madukara. Terpaksa ia pun mengizinkan mereka
berangkat. Akan tetapi, ia tidak tega jika melepas kedua cucunya itu pergi berdua saja.
Karena usianya sendiri sudah tua dan juga sakit-sakitan, Resi Sidiwacana tidak dapat
menemani mereka berangkat. Ia terpaksa memanggil pembantunya yang bernama Cantrik
Janaloka untuk mengawal kepergian dua cucunya itu.
Cantrik Janaloka berbadan kurus dan buruk rupa, tetapi penuh semangat. Ia mengaku
siap menjadi pengawal kedua gadis tersebut. Ia bahkan bersumpah akan mengantarkan
Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati hingga berhasil bertemu dengan ayah mereka. Jika
sampai Cantrik Janaloka berubah pikiran di tengah jalan, biarlah ia tertimpa kemalangan
dan mati dikeroyok orang.
Resi Sidiwacana percaya kepada Cantrik Janaloka dan tidak meminta pembantunya
itu sampai bersumpah demikian. Namun, karena si cantrik sudah terlanjur bersumpah, maka
hal ini tidak dapat ditarik kembali. Ia hanya berharap semoga tidak terjadi apa-apa dalam
perjalanan mereka.
Setelah mendapat bekal perjalanan dari sang kakek, Endang Pregiwa dan Endang
Pregiwati pun mohon pamit dan mohon restu semoga mereka dapat bertemu dengan sang
ayah di Kesatrian Madukara.

Endang Pregiwa & Endang Pregiwati.

RADEN ABIMANYU MEMINTA BANTUAN RADEN GATUTKACA


Di Kerajaan Pringgadani, Prabustri Arimbi bersama putranya, yaitu Raden Gatutkaca,
menerima kedatangan Raden Abimanyu yang disertai para panakawan Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong. Prabustri Arimbi menyambut keponakannya itu dan
KITAB WAYANG PURWA

menanyakan apa yang menjadi keperluannya. Raden Abimanyu bercerita dengan wajah
sedih, bahwa Patih Surata dan Patih Sucitra baru saja tiba dari Kerajaan Dwarawati dan
menyampaikan keputusan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa, tentang persyaratan untuk
menikahi Dewi Sitisundari. Padahal, dulu waktu ayah-ibunya (Raden Arjuna dan Dewi
Sumbadra) mengajukan pinangan, jelas-jelas Prabu Kresna sudah menerima, hanya belum
menentukan tanggalnya saja. Namun kini, Prabu Baladewa datang pula untuk
menyampaikan lamaran untuk Raden Lesmana Mandrakumara, membuat Prabu Kresna
bimbang dan terpaksa mengajukan syarat.
Prabustri Arimbi bertanya, syarat apa yang diminta Prabu Kresna. Raden Abimanyu
berkata bahwa syarat ini sebenarnya diusulkan oleh Prabu Baladewa, yaitu calon mempelai
pria harus dapat menghadirkan patah sakembaran berupa sepasang gadis desa berwajah
mirip, tetapi bukan saudara kembar. Dalam pencarian tersebut, Raden Abimanyu tidak
boleh dibantu Raden Arjuna, sedangkan Raden Lesmana Mandrakumara tidak boleh
dibantu Prabu Duryudana. Itulah sebabnya Raden Abimanyu datang ke Kerajaan
Pringgadani, yaitu untuk meminta bantuan Raden Gatutkaca.
Sejak kecil Raden Abimanyu sudah dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca
bagaikan adik dan kakak kandung. Mendengar keluhan adiknya itu, Raden Gatutkaca
langsung menyatakan sanggup membantu. Ia pun mohon izin kepada sang ibu agar boleh
menyertai perjalanan Raden Abimanyu. Tentu saja Prabustri Arimbi mengizinkan. Ia juga
mendoakan semoga mereka berdua dapat mewujudkan persyaratan yang diajukan Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna tersebut.

CANTRIK JANALOKA MELANGGAR JANJI


Sementara itu, Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati telah jauh meninggalkan
Padepokan Andongsumawi. Mereka menyusuri jalan menuju Kerajaan Amarta. Tiba-tiba di
tempat sepi, Cantrik janaloka meminta kedua gadis itu untuk beristirahat sejenak.
Cantrik Janaloka kemudian menggoda Endang Pregiwa dengan kata-kata manis. Ia
merayu gadis itu dengan mengatakan bahwa sudah beberapa hari ini ia memendam
perasaan kepada Endang Pregiwa. Dulu awal mula Cantrik Janaloka diterima di Padepokan
Andongsumawi, saat itu Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati masih kecil. Ia belum
memiliki perasaan apa-apa. Kini, kedua gadis itu sudah tumbuh dewasa, diam-diam ada
perasaan suka di hati Cantrik Janaloka, terutama kepada Endang Pregiwa yang lebih
dewasa.
Endang Pregiwa menjawab dirinya tidak dapat menerima cinta Cantrik Janaloka,
karena sejak kecil ia sudah menganggap pria tersebut sebagai paman. Sejak kecil dirinya
dan juga Endang Pregiwati sudah biasa bermanja-manja kepada Cantrik Janaloka karena
menganggapnya sebagai paman sendiri, tidak lebih dari itu. Maka, jika sekarang Cantrik
Janaloka mengutarakan isi hatinya, sudah tentu Endang Pregiwa sulit menerima.
Cantrik Janaloka merasa malu bercampur marah. Karena perasaan sukanya sudah
memuncak, ia pun berniat menggunakan kekerasan. Ia merasa saat ini sudah jauh dari
Padepokan Andongsumawi dan tidak perlu takut lagi kepada Resi Sidiwacana. Endang
Pregiwa mengingatkan bahwa tadi Cantrik Janaloka sudah bersumpah akan mengantar
dirinya dan sang adik hingga sampai di Kesatrian Madukara. Jika melanggar sumpah, maka
ia akan tertimpa musibah.
Cantrik Janaloka tidak peduli. Ia tetap bersikeras ingin memerkosa Endang Pregiwa,
sekaligus dengan Endang Pregiwati juga. Tiba-tiba ada dahan pohon patah menimpa
kepalanya. Cantrik Janaloka pun jatuh tersungkur di tanah. Kesempatan ini segera
digunakan Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati untuk melarikan diri.
KITAB WAYANG PURWA

Cantrik Janaloka bangun dan merasa ngeri apakah sumpahnya menjadi kenyataan?
Ia lalu meminum air di dalam kendi yang dibawa dari padepokan, tetapi tiba-tiba saja kendi
itu pecah sendiri dan isinya tumpah semua. Cantrik Janaloka semakin ngeri. Namun, sudah
kepalang tanggung. Ia sudah terlanjur melanggar sumpah, maka biar sekalian saja ia
berdosa. Ibarat peribahasa sudah terlanjur basah, lebih baik mencebur sekalian. Maka,
Cantrik Janaloka pun nekat mengejar Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.

Cantrik Janaloka

ENDANG PREGIWA DAN ENDANG PREGIWATI BERJUMPA PARA KURAWA


Cantrik Janaloka berlari kencang mengejar kedua gadis tersebut. Endang Pregiwa dan
Endang Pregiwati memakai kain jarik, sehingga langkah kaki mereka tidak dapat lebar.
Dalam sekejap saja, mereka sudah tersusul oleh Cantrik Janaloka. Kedua gadis itu pun
ditangkap dan diseret hendak diperkosa di dalam semak-semak.
Sungguh kebetulan, Patih Sangkuni dan para Kurawa lewat di tempat itu. Mereka baru
saja mengobrak-abrik sepuluh desa, tetapi tidak berhasil menemukan dua gadis berwajah
mirip yang bukan saudara kembar. Namun, mereka tidak mau pulang dengan tangan
hampa. Arya Dursasana dan adik-adiknya pun menculik beberapa gadis cantik untuk
dijadikan sebagai selir pemuas nafsu mereka.
Patih Sangkuni melihat dua gadis yang diseret Cantrik Janaloka berwajah mirip. Ia pun
memerintahkan Arya Dursasana dan yang lain untuk merebut mereka. Arya Dursasana dan
adik-adiknya segera bertindak. Mereka pun beramai-ramai menyerang Cantrik Janaloka.
Cantrik Janaloka terkejut dan berusaha membela diri. Namun, ia hanya sendirian
melawan para Kurawa sebanyak itu. Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Raden Surtayu,
dan para Kurawa lainnya ramai-ramai memukuli pria kurus itu hingga tewas mengenaskan.
Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati menangisi kematian Cantrik Janaloka.
Meskipun laki-laki itu hendak berbuat jahat kepada mereka, namun sejak kecil mereka
sudah menganggapnya sebagai paman sendiri. Patih Sangkuni lalu bertanya kepada dua
gadis itu, apakah mereka saudara kembar. Endang Pregiwa menjawab tidak. Ia dan Endang
Pregiwati adalah kakak beradik beda usia satu tahun, namun sejak kecil diberi pakaian yang
sama oleh mendiang ibu mereka, sehingga terlihat seperti anak kembar.
Patih Sangkuni gembira mendengarnya dan ini berarti mereka berdua adalah syarat
yang tepat sesuai keinginan Prabu Baladewa. Kedua gadis itu pun hendak dibawa ke
Kerajaan Hastina. Endang Pregiwa menolak, karena tujuannya adalah pergi ke Kerajaan
Amarta, menemui ayah mereka, yaitu Raden Arjuna. Patih Sangkuni tidak peduli. Soal
KITAB WAYANG PURWA

mencari ayah dapat ditunda nanti kalau Raden Lesmana Mandrakumara sudah menikah
dengan Dewi Sitisundari.
Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati bersikeras ingin berontak, tetapi tangan
mereka kemudian ditangkap dan diseret oleh Arya Dursasana.

ENDANG PREGIWA DAN ENDANG PREGIWATI DITOLONG RADEN GATUTKACA


Pada saat itulah muncul Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca bersama para
panakawan. Melihat dua perempuan diseret-seret oleh para Kurawa, Raden Gatutkaca
segera maju membantu. Raden Gatutkaca pun mengamuk sambil terbang menendang dan
menerjang dari udara. Para Kurawa kelabakan menghadapinya. Raden Gatutkaca sendiri
tidak ingin melukai para sepupu ayahnya itu, karena yang ia inginkan hanya membebaskan
dua gadis yang ditangkap mereka. Begitu berhasil merebut Endang Pregiwa dan Endang
Pregiwati, Raden Gatutkaca segera membawa keduanya terbang menjauh. Raden
Abimanyu dan para panakawan pun bergegas mengikuti.
Setelah jauh meninggalkan para Kurawa, Raden Gatutkaca dan Raden Abimanyu
segera menanyai asal usul Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati, mengapa bisa sampai
tertangkap oleh para Kurawa. Endang Pregiwa pun bercerita bahwa ia dan adiknya berasal
dari Padepokan Andongsumawi, sedang menuju Kerajaan Amarta untuk mencari ayah
mereka. Namun, di tengah jalan mereka ditangkap para Kurawa dan hendak dibawa paksa
menuju Kerajaan Hastina. Raden Abimanyu berkata bahwa dirinya juga berasal dari
Kerajaan Amarta, mungkin ia bisa membantu mencarikan ayah kedua gadis tersebut.
Endang Pregiwa pun bercerita bahwa ayahnya adalah Raden Arjuna, sedangkan ibunya
baru saja meninggal, bernama Endang Manuhara.
Raden Abimanyu terkejut mendengarnya, karena ayah kedua gadis itu ternyata sama
dengan ayahnya. Ia lalu bertanya kepada Raden Gatutkaca yang lebih tua darinya, apakah
benar ayahnya pernah menikah dengan wanita bernama Endang Manuhara. Namun,
Raden Gatutkaca tidak menjawab karena sedang melamun memandangi Endang Pregiwa.
Raden Abimanyu lalu bertanya kepada Kyai Semar dan panakawan lainnya soal ini. Kyai
Semar membenarkan bahwa, sebelum Raden Arjuna menikah dengan Dewi Sumbadra (ibu
Raden Abimanyu), ia lebih dulu pernah menikah dengan seorang perempuan desa bernama
Endang Manuhara. Dengan demikian, Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati adalah kakak
tiri Raden Abimanyu, yaitu sama ayah, beda ibu.
Raden Abimanyu sangat gembira dan mengajak Endang Pregiwa dan Endang
Pregiwati untuk pergi bersama menuju Kesatrian Madukara. Ia juga mengajak Raden
Gatutkaca untuk segera pulang, sebelum para Kurawa datang mengejar. Raden Gatutkaca
sendiri masih melamun memandang Endang Pregiwa dengan tatapan terkesima. Endang
Pregiwa sendiri tampak tersipu malu. Raden Abimanyu tertawa menyadari bahwa kedua
kakaknya itu ternyata saling menyimpan rasa.
Endang Pregiwa pun berterima kasih kepada Raden Gatutkaca karena tadi telah
dibebaskan dari para Kurawa. Raden Gatutkaca menjawab dengan gugup sambil
tangannya meremas-remas hidung Nala Gareng karena gemas. Endang Pregiwa sendiri
juga diam-diam menaruh hati kepada sepupunya yang gagah itu, tetapi tidak mungkin
mengungkapkannya lebih dahulu.

ENDANG PREGIWA DAN ENDANG PREGIWATI MENJADI PATAH SAKEMBARAN


Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca telah menghadapkan Endang Pregiwa dan
Endang Pregiwati kepada Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara. Raden
Arjuna sangat terharu melihat kedua putrinya itu telah dewasa. Ia juga berduka mendengar
KITAB WAYANG PURWA

berita meninggalnya Endang Manuhara. Dalam hati ia berterima kasih atas usaha istri
paminggirnya itu yang telah merawat kedua putrinya hingga menjadi sebesar ini.
Dewi Sumbadra menasihati agar Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati jangan terlalu
bersedih karena ia bersedia menjadi ibu untuk mereka. Ia berjanji akan memperlakukan
kedua gadis tersebut sebagai anak sendiri, tidak ubahnya seperti Raden Abimanyu. Endang
Pregiwa dan Endang Pregiwati sangat bahagia karena mereka diterima dengan baik di
Kesatrian Madukara.
Melihat kedua putrinya berwajah mirip namun bukan saudara kembar, Raden Arjuna
merasa gembira, karena mereka berdua sesuai untuk memenuhi persyaratan Prabu
Baladewa. Maka, Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati pun dijadikan sebagai patah
sakembaran untuk mengiringi Raden Abimanyu menjadi pengantin.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA BERANGKAT MENUJU KERAJAAN


DWARAWATI
Sementara itu di Kerajaan Hastina, Raden Lesmana Mandrakumara merengek
meminta ayah dan ibunya untuk segera mengantarkan dirinya menjadi pengantin ke
Kerajaan Dwarawati. Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati menasihati putra mereka itu
agar bersabar menunggu kabar dari Patih Sangkuni. Namun, Raden Lesmana
Mandrakumara tidak sabaran. Ia yakin Eyang Patih Sangkuni pasti berhasil mendapatkan
dua gadis desa patah sakembaran yang disyaratkan Prabu Baladewa.
Karena terlalu memanjakan putranya, Prabu Duryudana akhirnya menuruti permintaan
tersebut. Ia pun mendandani Raden Lesmana Mandrakumara dengan busana pengantin,
lalu berangkat bersama Dewi Banuwati menuju Kerajaan Dwarawati.
Sungguh kebetulan, mereka bertiga bertemu rombongan Patih Sangkuni di tengah
jalan. Karena takut dianggap gagal, Patih Sangkuni pun bercerita bahwa mereka
sebenarnya sudah mendapatkan dua gadis desa sebagai patah sakembaran, tetapi diculik
Raden Gatutkaca dan Raden Abimanyu. Prabu Duryudana marah dan segera
mempercepat perjalanan untuk melaporkan hal ini kepada Prabu Baladewa dan Prabu
Kresna.

RADEN ABIMANYU DINIKAHKAN DENGAN DEWI SITISUNDARI


Rombongan pengantin dari Kesatrian Madukara telah sampai di Kerajaan Dwarawati.
Prabu Kresna menyambut mereka dengan sukacita, sedangkan Prabu Baladewa merasa
agak malu karena Raden Lesmana Mandrakumara yang ia jagokan justru kalah dalam
persaingan ini. Namun, sebagai raja besar, mau tidak mau ia harus menepati ucapannya
sendiri. Melihat Raden Abimanyu membawa dua orang patah sakembaran yang berwajah
mirip tetapi bukan saudara kembar, maka Prabu Baladewa pun merestui keponakannya itu
menikah dengan Dewi Sitisundari.
Demikianlah, Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari pun resmi menikah. Para tamu
dan undangan berdatangan untuk menyampaikan doa restu kepada mempelai berdua.
Namun, tiba-tiba Prabu Duryudana dan para Kurawa datang mengacau. Prabu Duryudana
mengatakan bahwa kedua gadis patah sakembaran, yaitu Endang Pregiwa dan Endang
Pregiwati sebenarnya sudah didapatkan Patih Sangkuni, tetapi direbut oleh Raden
Gatutkaca.
Prabu Baladewa merasa bimbang, namun Prabu Kresna dengan tegas mengatakan
bahwa Raden Abimanyu yang datang membawa kedua gadis itu, dan keduanya juga
tampak bersenang hati tanpa ada keterpaksaan sama sekali. Endang Pregiwa dan Endang
Pregiwati pun membenarkan hal itu, bahwa Patih Sangkuni dan para Kurawa justru yang
KITAB WAYANG PURWA

menyeret mereka secara paksa untuk dibawa ke Kerajaan Hastina. Untungnya, muncul
Raden Gatutkaca yang menyelamatkan mereka dan membawanya pergi bersama Raden
Abimanyu.
Prabu Duryudana merasa malu. Ia lalu pulang bersama Dewi Banuwati sambil
memberi isyarat kepada Arya Dursasana dan yang lain agar mengacaukan pesta
pernikahan Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari. Arya Dursasana, Raden Kartawarma,
Raden Surtayu, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Bambang Aswatama, Adipati Jayadrata
segera bertindak. Mereka merusak apa yang ada di hadapan mereka. Arya Wrekodara,
Arya Setyaki, Patih Udawa, dan Raden Gatutkaca segera maju menghadapi mereka.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA MENCULIK ENDANG PREGIWA DAN ENDANG


PREGIWATI
Dalam kekacauan itu, Raden Lesmana Mandrakumara menyelinap dan menyeret
patah sakembaran Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati. Kedua gadis itu dibawanya
kabur sebagai ganti kekecewaan karena gagal menikahi Dewi Sitisundari. Dewi Banuwati
yang melihat ulah putranya itu segera mengejar untuk menghentikannya.
Raden Lesmana Mandrakumara marah-marah karena sang ibu mengganggu
kesenangannya. Dewi Banuwati lalu bertanya dari mana asal usul kedua gadis tersebut.
Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati pun memperkenalkan diri mereka sebagai putra
Raden Arjuna dan Endang Manuhara dari Padepokan Andongsumawi. Dewi Banuwati
seketika gemetar melihat sosok Endang Pregiwati. Ia teringat bahwa dirinya dulu melahirkan
bayi perempuan. Saat itu Prabu Duryudana sedang cemburu dan menuduh Dewi Banuwati
berbuat serong jika yang lahir bayi perempuan. Maka, bayi tersebut pun dibawa pergi Raden
Arjuna dan dititipkan kepada Endang Manuhara agar dibesarkan bersama Endang Pregiwa.
Kemudian Raden Arjuna mengambil bayi laki-laki anak Nini Mirahdinebak untuk diserahkan
kepada Dewi Banuwati. Bayi laki-laki itu lalu ditunjukkan kepada Prabu Duryudana dan
diberi nama Raden Lesmana Mandrakumara.
Dewi Banuwati mengamati Endang Pregiwati dan yakin bahwa gadis itu adalah putri
kandungnya yang selama ini diasuh Endang Manuhara. Tanpa basa basi ia pun memeluk
Endang Pregiwati dan melarang keras Raden Lesmana Mandrakumara untuk
mengganggunya. Jika Raden Lesmana Mandrakumara ingin menikahi Endang Pregiwa
dipersilakan, tetapi jika Endang Pregiwati sama sekali tidak boleh.
Raden Lesmana Mandrakumara heran melihat sikap ibunya. Namun, ia tidak ambil
pusing dan segera menyeret pergi Endang Pregiwa. Pada saat itulah Raden Gatutkaca
datang mengejar dan segera menerjang Raden Lesmana Mandrakumara. Ia lalu menghajar
pangeran manja itu hingga babak belur dan kemudian membawa pergi Endang Pregiwa.
Dari jauh Prabu Baladewa menyaksikan hal itu dan kini ia baru tahu kalau yang bernama
Raden Lesmana Mandrakumara ternyata tidak gagah dan tampan seperti yang diceritakan
Patih Sangkuni kemarin.
Sementara itu, Prabu Duryudana muncul dan bertanya mengapa Dewi Banuwati
menggandeng tangan Endang Pregiwati. Dewi Banuwati bingung hendak menjawab apa.
Untungnya Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra datang menjemput Endang Pregiwati. Dewi
Banuwati pun dengan berat hati melepaskan putri kandungnya itu untuk pergi bersama
mereka, daripada Prabu Duryudana semakin curiga kepadanya.
Prabu Duryudana marah melihat Raden Lesmana Mandrakumara babak belur dan
para Kurawa juga kalang kabut diterjang Arya Wrekodara dan Arya Setyaki. Merasa gagal,
ia pun memerintahkan mereka semua untuk pulang kembali ke Kerajaan Hastina.
KITAB WAYANG PURWA

Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Kresna pun melanjutkan pesta pernikahan
putrinya. Prabu Baladewa meminta maaf karena pada awalnya berniat menggagalkan
pernikahan tersebut, namun kini ia sadar bahwa Raden Abimanyu adalah jodoh terbaik
untuk Dewi Sitisundari. Semuanya pun berbahagia, terutama Raden Gatutkaca dan Endang
Pregiwa yang keduanya telah saling jatuh cinta sejak pandangan pertama.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam Serat Pustakaraja Purwa dikisahkan, Raden Arjuna berjumpa Endang Manuhara
bersamaan dengan peristiwa Raden Gatutkaca lahir. Kisah tersebut terjadi sesudah Raden Arjuna
menikah dengan Dewi Sumbadra. Namun, blog saya mengikuti alur pedalangan pada umumnya,
di mana Raden Gatutkaca lahir terjadi sebelum Raden Arjuna menikah dengan Dewi Sumbadra.
Dengan demikian, maka saya mengisahkan bahwa Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati
usianya lebih tua daripada Raden Abimanyu.
KITAB WAYANG PURWA

GATUTKACA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Gatutkaca putra Arya
Wrekodara dengan Endang Pregiwa putri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari dongeng yang disampaikan orang tua saya, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 31 Agustus 2017
Heri Purwanto

Raden Gatutkaca.

PRABU DURYUDANA HENDAK MENIKAHKAN RADEN LESMANA MANDRAKUMARA


DENGAN ENDANG PREGIWA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dengan dihadap
Danghyang Druna dari Padepokan Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni
dari Plasajenar, dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Hari itu Prabu Duryudana
membicarakan tentang Raden Lesmana Mandrakumara, putranya yang jatuh cinta kepada
Endang Pregiwa, putri Raden Arjuna.
Beberapa bulan yang lalu, Raden Abimanyu dan Raden Lesmana Mandrakumara
bersaing memperebutkan Dewi Sitisundari, putri Prabu Kresna di Kerajaan Dwarawati.
Persaingan tersebut dimenangkan oleh Raden Abimanyu yang berhasil mendapatkan dua
gadis desa yang berwajah mirip tetapi bukan saudara kembar sebagai syarat pernikahan.
Mereka adalah Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati yang ternyata adalah putri Raden
Arjuna dengan Endang Manuhara.
Karena kalah dalam persaingan, Raden Lesmana Mandrakumara sangat kecewa,
tetapi perhatiannya kemudian beralih kepada Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati. Ia
pun meminta kepada Prabu Duryudana untuk melamarkan salah satu dari mereka. Dewi
Banuwati menyarankan agar Endang Pregiwa saja yang dilamar, jangan Endang Pregiwati.
Prabu Duryudana setuju pada usulan sang istri. Akan tetapi, kemudian terdengar kabar
bahwa Endang Pregiwa akan menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Raden Gatutkaca,
putra Arya Wrekodara. Bahkan, Prabu Duryudana juga mendapat undangan atas
pernikahan tersebut yang akan diselenggarakan bulan depan.
Prabu Duryudana merasa sedih melihat putranya kecewa untuk yang kedua kalinya.
Oleh sebab itu, ia pun meminta tolong kepada Danghyang Druna untuk mengatasi masalah
ini. Raden Arjuna adalah murid kesayangan Danghyang Druna, dan sebaliknya Pandawa
nomor tiga itu pun sangat hormat dan patuh kepada gurunya tersebut. Maka, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Duryudana ingin memohon bantuan kepada Danghyang Druna agar pergi ke Kesatrian
Madukara, meminta Raden Arjuna membatalkan pertunangan putrinya dengan Raden
Gatutkaca.
Danghyang Druna berkata dirinya agak keberatan jika harus melakukan hal itu, karena
memisahkan dua insan yang saling jatuh cinta adalah perbuatan tidak benar. Alangkah
baiknya Raden Lesmana Mandrakumara mencari perempuan lain saja daripada
menginginkan Endang Pregiwa. Raden Gatutkaca dan Endang Pregiwa hendak dinikahkan
adalah karena mereka saling mencintai dan ini sudah terlihat sejak mereka pertama
bertemu.
Patih Sangkuni ikut bicara. Mungkin benar Endang Pregiwa dan Raden Gatutkaca
saling jatuh cinta sejak mereka pertama bertemu menjelang pernikahan Raden Abimanyu
dan Dewi Sitisundari beberapa bulan lalu. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dipikirkan
daripada mengurusi soal percintaan muda-mudi tersebut.
Danghyang Druna bertanya perkara penting apakah yang dimaksud Patih Sangkuni
itu. Patih Sangkuni bercerita bahwa dulu Bagawan Abyasa meramalkan kelak antara
keturunan Adipati Dretarastra yaitu para Kurawa, dan keturunan Prabu Pandu yaitu para
Pandawa akan saling bertempur dalam sebuah perang besar mahadahsyat bernama
Perang Bratayuda. Namun, itu semua hanyalah ramalan. Terjadi atau tidak, bisa
diusahakan sejak dini. Apabila Danghyang Druna berhasil menyingkirkan Raden Gatutkaca
dan kemudian menyatukan Raden Lesmana Mandrakumara dan Endang Pregiwa, maka
hubungan antara pihak Kurawa dan Pandawa menjadi lebih dekat. Tentunya hal ini bisa
menjadi sarana untuk mencegah terjadinya Perang Bratayuda.
Danghyang Druna terkesan mendengar uraian Patih Sangkuni. Ia sendiri selama ini
selalu ngeri dan takut apabila membayangkan tentang ramalan Perang Bratayuda.
Danghyang Druna adalah guru dari para Kurawa dan Pandawa. Membayangkan murid-
muridnya saling berperang dan saling bunuh sudah pasti membuat ia merinding dan
berharap hal itu jangan sampai terjadi. Kini, mendengar saran dari Patih Sangkuni
membuatnya bersemangat dan akhirnya ia pun setuju apabila Raden Lesmana
Mandrakumara menikah dengan Endang Pregiwa.
Prabu Duryudana merasa senang. Ia meminta Danghyang Druna entah bagaimana
caranya harus bisa membatalkan perkawinan Endang Pregiwa dengan Raden Gatutkaca,
lalu menggantikannya dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Danghyang Druna
menjawab sanggup. Ia siap meskipun harus menggunakan ilmu hitam, asalkan bisa
menggagalkan Perang Bratayuda. Prabu Duryudana merasa gembira dan berharap sang
guru berhasil mewujudkan keinginannya. Setelah dirasa cukup, ia pun membubarkan
pertemuan dan melepas keberangkatan Danghyang Druna dengan penghormatan.

PATIH SANGKUNI MEMPERSIAPKAN PARA KURAWA UNTUK MENGAWAL


DANGHYANG DRUNA
Setelah Prabu Duryudana membubarkan pertemuan, Patih Sangkuni pun keluar istana
menemui para Kurawa di paseban luar. Arya Dursasana, Raden Srutayu, Raden
Kartawarma, Raden Durmagati, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Durjaya, Raden
Durmuka, dan sudara-saudara mereka yang lain, serta Adipati Jayadrata dan Bambang
Aswatama menyambut sang paman dan bertanya ada tugas apa dari Prabu Duryudana.
Patih Sangkuni menjelaskan bahwa Prabu Duryudana menghendaki Danghyang
Druna agar melamar Endang Pregiwa untuk Raden Lesmana Mandrakumara. Arya
Dursasana heran karena berita yang tersebar bahwa Endang Pregiwa akan menikah
dengan Raden Gatutkaca, bahkan Kerajaan Hastina juga sudah mendapat undangan pula.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni membenarkan hal itu, namun karena Raden Lesmana Mandrakumara
sudah cinta mati kepada Endang Pregiwa, maka Prabu Duryudana pun meminta
Danghyang Druna agar membatalkan pernikahan Raden Gatutkaca dengan putri Raden
Arjuna tersebut.
Raden Durmagati yang berwatak polos menyarankan agar Prabu Duryudana mencari
calon menantu yang lain saja, jangan mengganggu gadis yang sudah bertunangan dengan
pemuda lain. Patih Sangkuni berkata perkawinan Raden Lesmana Mandrakumara dengan
Endang Pregiwa ini akan menguntungkan pihak Hastina, karena dapat mencegah terjadinya
Perang Bratayuda. Selain itu, Raden Arjuna akan terikat kekeluargaan dengan para
Kurawa. Jika Kerajaan Hastina memiliki musuh, maka Panengah Pandawa tersebut bisa
diandalkan untuk membantu. Tadinya Danghyang Druna juga tidak setuju jika membatalkan
pertunangan Raden Gatutkaca dengan Endang Pregiwa. Namun, setelah mengetahui
bahwa ada banyak keuntungan di balik ini semua, maka ia pun bersedia menjadi duta
pelamar bagi Raden Lesmana Mandrakumara.
Arya Dursasana dan adik-adiknya lalu bertanya apa yang bisa mereka bantu. Patih
Sangkuni mengatakan bahwa, para Kurawa hendaknya mengawal keberangkatan
Danghyang Druna menuju Kesatrian Madukara. Besoknya, Prabu Duryudana dan Dewi
Banuwati akan menyusul dengan mengiring Raden Lesmana Mandrakumara sebagai calon
pengantin.
Demikianlah, Patih Sangkuni lalu membubarkan pertemuan. Para Kurawa segera
menyiapkan pasukan melaksanakan tugas mengawal keberangkatan Danghyang Druna.

ARYA SETYAKI MENJEMPUT RESI ANOMAN DI PADEPOKAN KENDALISADA


Di Padepokan Kendalisada, Resi Anoman menerima kunjungan Arya Setyaki dari
Kesatrian Swalabumi. Setelah saling bertanya kabar, Arya Setyaki pun berkata bahwa
dirinya hendak pergi ke Kesatrian Jodipati, untuk menghadiri perkawinan Raden Gatutkaca
dengan Endang Pregiwa.
Resi Anoman bertanya mengapa harus berangkat sekarang, bukankah perkawinan
tersebut akan dilaksanakan bulan depan? Arya Setyaki menjawab bahwa
keberangkatannya kali ini adalah karena perintah dari sang kakak ipar, yaitu Prabu Kresna
di Dwarawati. Menurut firasat Prabu Kresna, akan terjadi hal kurang baik yang akan
mengganggu kelangsungan pernikahan tersebut. Itulah sebabnya Prabu Kresna
memerintahkan Arya Setyaki untuk berangkat terlebih dulu dan membantu Arya Wrekodara
mengatasi masalah yang akan terjadi itu. Resi Anoman juga diperintahkan untuk ikut
membantu. Itulah sebabnya, Arya Setyaki pun singgah di Padepokan Kendalisada untuk
sekalian menjemput Resi Anoman agar berangkat bersama menuju ke sana.
Begitu mendengar ini adalah perintah Prabu Kresna, Resi Anoman segera
menyatakan sanggup. Ia dan Arya Setyaki pun segera keluar dari padepokan untuk
berangkat bersama.

RESI ANOMAN DAN ARYA SETYAKI BENTROK DENGAN PARA KURAWA


Dalam perjalanan menuju Kerajaan Amarta, Resi Anoman dan Arya Setyaki bertemu
dengan rombongan Danghyang Druna. Dari percakapan para Kurawa, mereka berdua pun
mengetahui bahwa Danghyang Druna bertujuan untuk menggagalkan perkawinan antara
Raden Gatutkaca dengan Endang Pregiwa. Arya Setyaki yang mudah panas segera
menghadang mereka. Resi Anoman hendak mencegah namun sudah terlambat. Arya
Setyaki sudah terlibat pertarungan melawan para Kurawa.
KITAB WAYANG PURWA

Resi Anoman ikut membantu kesatria dari Swalabumi tersebut. Pertempuran sengit
pun terjadi. Karena jumlah musuh terlalu banyak, Resi Anoman mengajak Arya Setyaki
mundur untuk segera melaporkan hal ini kepada Arya Wrekodara dan Raden Gatutkaca di
Kesatrian Jodipati.

Resi Anoman

DANGHYANG DRUNA MENGGUNA-GUNAI RADEN ARJUNA


Rombongan para Kurawa akhirnya sampai di Kesatrian Madukara. Raden Arjuna
menyambut kedatangan mereka, terutama kepada sang guru, yaitu Danghyang Druna
selaku kepala rombongan. Setelah saling bertanya kabar, Danghyang Druna pun berterus
terang bahwa maksud kedatangannya ialah untuk melamar Endang Pregiwa sebagai calon
istri Raden Lesmana Mandrakumara. Patih Sangkuni maju menyerahkan berbagai macam
emas permata dan pakaian indah sebagai tanda ikatan antara kedua muda-mudi tersebut.
Raden Arjuna merasa serbasalah, karena Endang Pregiwa sudah terlanjur
dipertunangkan dengan Raden Gatutkaca, sepupunya sendiri. Undangan pun sudah
disebar, bahwa bulan depan mereka berdua akan menikah. Danghyang Druna tidak kurang
akal. Ia sudah bertekad untuk menggagalkan Perang Bratayuda, maka perkawinan antara
Raden Lesmana Mandrakumara dengan Endang Pregiwa harus berhasil. Oleh sebab itu, ia
pun menggunakan segela macam cara, termasuk cara licik, yaitu mengguna-gunai Raden
Arjuna.
Danghyang Druna lalu menyerahkan minuman legen aren yang ia bawa dari
Padepokan Sokalima khusus untuk Raden Arjuna. Di dalam minuman tersebut terdapat
serbuk ramu-ramuan yang sudah diberi mantra. Raden Arjuna tanpa curiga menerima legen
tersebut dan meminumnya dengan gembira. Seketika ia menjadi pusing dan pikirannya pun
bingung. Danghyang Druna bertanya apakah lamaran Raden Lesmana Mandrakumara
diterima. Raden Arjuna sudah tidak dapat berpikir jernih gara-gara minuman tersebut. Ia
pun menerima lamaran Raden Lesmana Mandrakumara untuk Endang Pregiwa dan mereka
berdua akan dinikahkan besok. Danghyang Druna dan Patih Sangkuni senang melihat
rencana mereka berhasil.
Raden Arjuna lalu memanggil putranya, yaitu Raden Abimanyu untuk ditugasi pergi ke
Kesatrian Jodipati. Raden Abimanyu diperintahkan untuk mengembalikan barang-barang
lamaran Raden Gatutkaca, karena Endang Pregiwa akan dinikahkan dengan Raden
Lesmana Mandrakumara besok. Raden Abimanyu heran mengapa ayahnya bisa berubah
keputusan begitu mendadak. Raden Arjuna marah karena Raden Abimanyu banyak
bertanya. Karena takut melihat mata ayahnya berwarna merah, Raden Abimanyu pun buru-
buru pamit melaksanakan tugas.
KITAB WAYANG PURWA

Danghyang Druna

ARYA WREKODARA MENGUSIR RADEN GATUTKACA


Di Kesatrian Jodipati, Arya Wrekodara bersama Prabustri Arimbi dan Raden
Gatutkaca menerima kedatangan Raden Abimanyu. Dengan gugup dan penuh ketakutan,
Raden Abimanyu mengembalikan semua barang-barang tanda ikatan yang diberikan
Raden Gatutkaca kepada Endang Pregiwa. Raden Abimanyu lalu berkata bahwa kakak
perempuannya itu besok akan dinikahkan dengan Raden Lesmana Mandrakumara.
Arya Wrekodara, Raden Gatutkaca, dan Prabustri Arimbi terkejut. Bukannya marah
kepada Raden Arjuna, justru Arya Wrekodara melampiaskan kekesalannya kepada Raden
Gatutkaca. Ia memarahi putranya itu sebagai pemuda malas yang jarang bertapa, jarang
berpuasa, kurang prihatin, sehingga cita-citanya kandas di tengah jalan. Raden Gatutkaca
bersedih karena pernikahannya dibatalkan secara sepihak oleh sang paman Raden Arjuna,
kini ayahnya pun memarahi seperti itu.
Prabustri Arimbi berusaha membela putranya, namun Arya Wrekodara semakin
marah. Pandawa nomor dua itu mengusir Raden Gatutkaca yang dianggap
mempermalukan keluarga. Raden Gatutkaca pun melesat keluar dengan mata berkaca-
kaca. Raden Abimanyu yang ketakutan segera ikut pergi menyusul sepupunya tersebut.
Tidak lama kemudian Resi Anoman dan Arya Setyaki datang. Mereka menyampaikan
pesan dari Prabu Kresna agar Arya Wrekodara berhati-hati karena ada pihak yang hendak
menggagalkan pernikahan Raden Gatutkaca dengan Endang Pregiwa. Prabustri Arimbi
menangis dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Resi Anoman menegur Arya
Wrekodara mengapa terburu nafsu mengusir putra sendiri, bukannya membantu mengatasi
masalah yang sedang dialaminya. Arya Wrekodara marah karena Resi Anoman dan Arya
Setyaki ikut campur urusan keluarganya. Keduanya pun diusir pula dari Kesatrian Jodipati.

RADEN GATUTKACA HENDAK BUNUH DIRI


Raden Abimanyu dan para panakawan mengejar Raden Gatutkaca tetapi tertinggal
jauh. Raden Gatutkaca terbang di angkasa tanpa tujuan dengan kecepatan tinggi. Ia merasa
patah hati karena sang kekasih akan menikah dengan orang lain, ditambah lagi ayahnya
juga tidak mau membantu. Karena sakit hatinya bertambah besar, ia pun memutuskan untuk
bunuh diri saja daripada hidup menanggung malu.
Maka, Raden Gatutkaca pun menabrak pohon dengan sekuat tenaga. Namun,
bukannya mati, justru pohon tersebut yang tumbang. Ia lalu terbang ke atas, kemudian
menjatuhkan diri ke bawah, menimpa sebongkah batu besar. Namun, lagi-lagi ia tidak mati
KITAB WAYANG PURWA

tetapi batu besar tersebut yang hancur berantakan. Tidak kehabisan akal, Raden Gatutkaca
menceburkan diri ke dalam sungai. Namun, pusaka Kotang Antrakusuma yang ia pakai
membuat tubuhnya menjadi ringan dan mengambang sendiri ke permukaan.
Raden Gatutkaca bingung entah bagaimana caranya bisa bunuh diri. Ia lalu memukuli
tubuhnya sendiri hingga babak belur. Tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa.
Ternyata yang datang adalah Prabu Kresna Wasudewa. Prabu Kresna mengejek Raden
Gatutkaca sebagai kesatria yang cengeng karena bunuh diri hanya karena putus cinta.
Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik daripada Endang Pregiwa. Raden
Gatutkaca menjawab ini bukan soal kecantikan, tetapi soal cinta. Perempuan yang ia cintai
hanyalah Endang Pregiwa seorang, mana mungkin bisa digantikan gadis lain.
Prabu Kresna bertanya apakah Raden Gatutkaca sudah memastikan Endang Pregiwa
lebih mencintai Raden Lesmana Mandrakumara daripada dirinya. Jika memang Endang
Pregiwa lebih mencintai Raden Lesmana, maka Raden Gatutkaca sebaiknya merelakan
saja. Percuma bunuh diri membela kekasih yang sudah tidak menaruh cinta. Namun, jika
Endang Pregiwa lebih mencintai Raden Gatutkaca, maka bunuh diri juga tidak ada gunanya,
bahkan justru rugi besar. Sebagai seorang kesatria dan juga calon raja Pringgadani, tidak
sepantasnya Raden Gatutkaca terburu nafsu, tetapi harus mengumpulkan data terlebih
dahulu sebelum bertindak.
Raden Gatutkaca baru sadar kalau dirinya berbuat keliru. Namun, apa gunanya jika
Endang Pregiwa lebih mencintainya, tetap saja besok menikah dengan pria lain. Prabu
Kresna berkata jadi laki-laki jangan mudah menyerah. Jika memang sang kekasih sudah
dijodohkan dengan orang lain, maka lebih baik diculik saja, seperti dulu Prabu Kresna
pernah menculik Dewi Rukmini dari Kerajaan Kumbina.
Raden Gatutkaca merasa mendapat semangat baru. Kebetulan Raden Abimanyu
datang, disusul kemudian Resi Anoman dan Arya Setyaki datang pula. Ketiganya
menghibur Raden Gatutkaca agar jangan mudah menyerah karena mereka siap membantu
menggagalkan perkawinan Endang Pregiwa dengan Raden Lesmana Mandrakumara.
Prabu Kresna senang mendengarnya. Ia lalu mengatur siasat yang harus dijalankan
oleh keempat orang tersebut.

RADEN ABIMANYU MEMASUKKAN RADEN GATUTKACA KE DALAM TAMAN


MADUGANDA
Malam harinya, Raden Abimanyu kembali ke Kesatrian Madukara. Ia melapor kepada
Raden Arjuna bahwa tugas untuk memulangkan barang-barang pertunangan kepada
Raden Gatutkaca sudah dilaksanakan. Sekarang ia mohon izin untuk bertemu sang kakak,
yaitu Endang Pregiwa. Raden Arjuna berkata, Endang Pregiwa saat ini sedang dipingit di
Taman Maduganda dan dijaga Endang Pregiwati seorang. Siapa pun tidak boleh menemui
calon pengantin tersebut. Raden Abimanyu berkata dirinya adalah adik dari Endang
Pregiwa, bukan orang lain, mengapa tidak boleh bertemu? Raden Arjuna marah dan hendak
memukul putranya itu karena berani membantah. Pada saat itulah Dewi Sumbadra muncul
melindungi putranya. Ia mengizinkan Raden Abimanyu masuk ke dalam Taman Maduganda
dan marah kepada Raden Arjuna yang bertindak kasar terhadap putra sendiri.
Berkat perlindungan sang ibu, Raden Abimanyu berhasil masuk ke dalam Taman
Maduganda. Di sana ia melihat Endang Pregiwa menangis dan dihibur Endang Pregiwati di
sampingnya. Raden Abimanyu lalu membaca mantra dan dari cincinnya pun keluar Raden
Gatutkaca.
Endang Pregiwa gembira melihat sang kekasih datang, tetapi pura-pura tidak peduli.
Raden Abimanyu lalu mengajak Endang Pregiwati pergi menjauh, supaya mereka berdua
KITAB WAYANG PURWA

leluasa untuk saling mengutarakan isi hati. Setelah keadaan sepi, Raden Gatutkaca
bertanya apakah Endang Pregiwa mencintainya. Endang Pregiwa takut pada sang ayah,
maka ia terpaksa berbohong bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Raden Lesmana
Mandrakumara dan besok akan menjadi istrinya. Raden Gatutkaca sedih mendengarnya.
Ia pun mohon pamit hendak bunuh diri membenturkan kepala ke arah tembok taman.
Endang Pregiwa terkejut dan segera memeluk tubuh Raden Gatutkaca dari belakang. Ia
minta maaf telah berbohong supaya Raden Gatutkaca melupakannya dan mencari wanita
lain saja. Tak disangka, cinta Raden Gatutkaca begitu mendalam dan rela bunuh diri
daripada patah hati.
Raden Gatutkaca senang mendengarnya. Ia pun mengajak Endang Pregiwa kabur
meninggalkan Kesatrian Madukara untuk menikah dan hidup di desa terpencil berdua.
Endang Pregiwa bersedia ikut asalkan mereka tidak berpisah lagi. Jika nanti Raden
Gatutkaca sampai tertangkap sang ayah dan dihukum mati, Endang Pregiwa rela ikut mati.
Kedua kekasih itu telah bersatu hati. Raden Gatutkaca lalu menggendong tubuh Endang
Pregiwa dan membawanya terbang ke angkasa.
Setelah keduanya pergi, Raden Abimanyu dan Endang Pregiwati muncul. Endang
Pregiwati menangis melihat kakaknya telah diculik dan ia takut dimarahi sang ayah. Raden
Abimanyu berbisik di telinga kakaknya itu agar jangan bersedih karena ini sudah menjadi
bagian dari siasat Prabu Kresna. Raden Abimanyu lalu membaca mantra. Dari cincinnya
keluar Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati palsu. Ia kemudian membaca mantra lagi
dan memasukkan Endang Pregiwati yang asli ke dalam cincin.
Endang Pregiwa palsu adalah penjelmaan Resi Anoman, sedangkan Endang
Pregiwati palsu adalah penjelmaan Arya Setyaki. Mereka berdua telah didandani Prabu
Kresna untuk mengacaukan perkawinan Raden Lesmana Mandrakumara besok pagi.

PERNIKAHAN RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DENGAN ENDANG PREGIWA


PALSU
Esok harinya, Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati datang bersama calon mempelai,
yaitu Raden Lesmana Mandrakumara. Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra menyambut
mereka. Raden Arjuna dan Dewi Banuwati beramah tamah dengan akrab, membuat Prabu
Duryudana dan Dewi Sumbadra cemburu dan segera menengahi mereka. Prabu
Puntadewa, Dewi Drupadi, dan si kembar Raden Nakula-Raden Sadewa juga ikut hadir
memberikan restu kepada kedua mempelai. Hanya Arya Wrekodara seorang satu-satunya
Pandawa yang tidak datang.
Pada jam yang telah ditentukan, Raden Lesmana Mandrakumara dan Endang Pregiwa
pun dinikahkan. Setelah upacara selesai, Raden Lesmana langsung menggendong Endang
Pregiwa masuk kamar. Dewi Sumbadra tidak suka pada kelakuan menantunya itu dan ia
pun menyindir-nyindir Dewi Banuwati tidak dapat mendidik putra dengan baik.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DIPERMAINKAN ENDANG PREGIWA DAN


ENDANG PREGIWATI PALSU
Begitu sampai di dalam kamar, Raden Lesmana Mandrakumara langsung mengajak
Endang Pregiwa bersetubuh. Namun, Endang Pregiwa menjawab dirinya ingin memijat
suaminya terlebih dulu. Raden Lesmana pun gembira dan segera tengkurap di ranjang.
Endang Pregiwa mulai memijat. Raden Lesmana merasa ada yang aneh karena bukannya
nyaman tetapi justru sakit yang ia rasakan. Ketika ia menoleh, ternyata yang memijat
punggungnya adalah Resi Anoman sambil menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang
tajam. Raden Lesmana pun dijambak rambutnya dan dibanting berkali-kali di lantai.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Lesmana Mandrakumara ketakutan dan lari keluar kamar. Di luar ia bertemu
Endang Pregiwati yang bertanya dengan lembut apa yang baru saja terjadi. Raden
Lesmana terpesona pada adik iparnya itu dan berniat kurang ajar kepadanya. Namun,
Endang Pregiwati balas memukul. Meskipun pukulannya pelan, tetapi tangan gadis ini
terasa begitu mantap, membuat pandangan Raden Lesmana terasa berkunang-kunang.
Raden Lesmana menangis meminta perkawinan dibatalkan dan ingin pulang ke
Hastina. Patih Sangkuni dan Danghyang Druna datang menolong. Endang Pregiwati palsu
pun kembali ke wujud asalnya, yaitu Arya Setyaki, sedangkan Endang Pregiwa palsu telah
berubah menjadi Resi Anoman. Patih Sangkuni dan Danghyang Druna pun dipukuli oleh
mereka berdua hingga memilih kabur mengamankan diri.
Prabu Duryudana marah-marah dan menuduh Raden Arjuna telah berniat
mempermalukan keluarganya. Raden Arjuna kesal dan segera melabrak Resi Anoman dan
Arya Setyaki. Kedua orang itu pun tunduk tidak melawan sama sekali. Keduanya diringkus
Raden Arjuna, kemudian diikat dan dihadapkan kepada Prabu Duryudana.
Raden Abimanyu dan Endang Pregiwati yang asli segera datang menghadap. Mereka
mengaku ikut bertanggung jawab atas hilangnya Endang Pregiwa dan memohon agar ikut
dihukum pula. Raden Arjuna semakin marah dan menampar pipi putra dan putrinya itu.

PARA KURAWA MENGEJAR RADEN GATUTKACA


Pada saat itulah Prabu Kresna datang menampakkan diri. Ia berkata Raden Arjuna
percuma menghukum Resi Anoman, Arya Setyaki, Raden Abimanyu, dan Endang
Pregiwati, karena penjahat yang sebenarnya bukanlah mereka, tetapi Raden Gatutkaca
yang telah menculik Endang Pregiwa. Mendengar itu, Prabu Duryudana segera
memerintahkan adik-adiknya untuk mengejar si penculik tersebut.
Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Adipati Jayadrata, dan yang lain pun bergegas
memburu Raden Gatutkaca. Akhirnya, mereka melihat Raden Gatutkaca berdiri di tengah
jalan, seolah mengakui bahwa dirinya menantang mereka. Para Kurawa pun ramai-ramai
menyerang pemuda itu. Terjadilah pertempuran sengit. Setelah mengetahui bahwa Endang
Pregiwa hanya mencintai dirinya seorang, Raden Gatutkaca seolah mendapat semangat
baru. Ia pun bertarung dengan gagah berani, seorang diri mampu membuat para Kurawa
itu berhamburan melarikan diri.
Tiba-tiba Raden Arjuna datang melabrak Raden Gatutkaca. Melihat yang datang
adalah sang paman yang juga calon mertua, Raden Gatutkaca langsung berlutut
menyerahkan diri. Raden Arjuna pun menghajarnya. Ia memukuli keponakannya itu dan
mengancam akan membunuhnya.

PRABU KRESNA MENGADU DOMBA RADEN ARJUNA DAN ARYA WREKODARA


Prabu Kresna paham Raden Arjuna masih dalam pengaruh guna-guna Danghyang
Druna. Ia pun melesat terbang dan dalam sekejap sudah tiba di hadapan Arya Wrekodara.
Kepada Pandawa nomor dua itu ia bercerita bahwa Raden Gatutkaca tertangkap Raden
Arjuna karena menculik Endang Pregiwa dan sebentar lagi dihukum mati. Arya Wrekodara
menjawab tidak peduli. Jika memang anaknya bersalah dan dihukum mati, itu sudah
sepantasnya. Bahkan bila perlu, orang yang mengajari Raden Gatutkaca menculik Endang
Pregiwa harus ikut dihukum pula.
Prabu Kresna tersenyum melihat sikap kaku Arya Wrekodara. Ia lalu berkata bahwa
Raden Arjuna memaki Raden Gatutkaca sebagai anak kurang ajar, pasti orang tuanya juga
kurang ajar. Raden Arjuna juga berkata, Arya Wrekodara adalah manusia bodoh yang
hanya bisa membuat anak tetapi tidak dapat mendidik anak dengan benar. Mendengar itu,
KITAB WAYANG PURWA

amarah Arya Wrekodara bangkit. Ia pun melangkah lebar menuju tempat putranya
ditangkap.
Sesampainya di sana, ia melihat Raden Arjuna menghunus Keris Kalanadah hendak
membunuh Raden Gatutkaca. Endang Pregiwa muncul pula dan ikut berlutut di samping
sang kekasih. Arya Wrekodara marah melihat Raden Arjuna sudah gelap mata tidak dapat
membedakan baik dan buruk. Ia pun mengangkat Gada Rujakpolo untuk menangkis Keris
Kalanadah di tangan Raden Arjuna.
Raden Arjuna marah dan menyerang Arya Wrekodara. Kedua bersaudara itu lalu
bertarung sengit. Yang satu bersenjata keris, dan yang satu bersenjata gada besar. Namun,
Raden Arjuna sedang dalam pengaruh guna-guna sehingga tidak dapat berpikir jernih.
Suatu ketika ia lengah dan kepalanya pun terkena pukulan Gada Rujakpolo.
Pukulan gada pusaka itu membuat kesadaran Raden Arjuna pulih setengah bagian.
Melihat ayahnya terluka, Endang Pregiwa segera lari mendekat dan menangis di lutut
Raden Arjuna. Tetesan air mata putrinya membasahi kaki Raden Arjuna, membuat
kesadarannya pun pulih sepenuhnya.

PRABU KRESNA MENGADU DOMBA RADEN ARJUNA DAN ARYA WREKODARA


Prabu Kresna paham Raden Arjuna masih dalam pengaruh guna-guna Danghyang
Druna. Ia pun melesat terbang dan dalam sekejap sudah tiba di hadapan Arya Wrekodara.
Kepada Pandawa nomor dua itu ia bercerita bahwa Raden Gatutkaca tertangkap Raden
Arjuna karena menculik Endang Pregiwa dan sebentar lagi dihukum mati. Arya Wrekodara
menjawab tidak peduli. Jika memang anaknya bersalah dan dihukum mati, itu sudah
sepantasnya. Bahkan bila perlu, orang yang mengajari Raden Gatutkaca menculik Endang
Pregiwa harus ikut dihukum pula.
Prabu Kresna tersenyum melihat sikap kaku Arya Wrekodara. Ia lalu berkata bahwa
Raden Arjuna memaki Raden Gatutkaca sebagai anak kurang ajar, pasti orang tuanya juga
kurang ajar. Raden Arjuna juga berkata, Arya Wrekodara adalah manusia bodoh yang
hanya bisa membuat anak tetapi tidak dapat mendidik anak dengan benar. Mendengar itu,
amarah Arya Wrekodara bangkit. Ia pun melangkah lebar menuju tempat putranya
ditangkap.
Sesampainya di sana, ia melihat Raden Arjuna menghunus Keris Kalanadah hendak
membunuh Raden Gatutkaca. Endang Pregiwa muncul pula dan ikut berlutut di samping
sang kekasih. Arya Wrekodara marah melihat Raden Arjuna sudah gelap mata tidak dapat
membedakan baik dan buruk. Ia pun mengangkat Gada Rujakpolo untuk menangkis Keris
Kalanadah di tangan Raden Arjuna.
Raden Arjuna marah dan menyerang Arya Wrekodara. Kedua bersaudara itu lalu
bertarung sengit. Yang satu bersenjata keris, dan yang satu bersenjata gada besar. Namun,
Raden Arjuna sedang dalam pengaruh guna-guna sehingga tidak dapat berpikir jernih.
Suatu ketika ia lengah dan kepalanya pun terkena pukulan Gada Rujakpolo.
Pukulan gada pusaka itu membuat kesadaran Raden Arjuna pulih setengah bagian.
Melihat ayahnya terluka, Endang Pregiwa segera lari mendekat dan menangis di lutut
Raden Arjuna. Tetesan air mata putrinya membasahi kaki Raden Arjuna, membuat
kesadarannya pun pulih sepenuhnya.

RADEN GATUTKACA MENIKAH DENGAN ENDANG PREGIWA


Prabu Kresna meminta Arya Wrekodara tidak perlu melanjutkan pertarungan karena
Raden Arjuna telah terbebas dari guna-guna Danghyang Druna. Tampak Raden Arjuna
KITAB WAYANG PURWA

menangis memeluk Raden Gatutkaca dan Endang Pregiwa, serta meminta maaf kepada
mereka berdua.
Arya Wrekodara berkata tidak bisa semudah itu meminta maaf. Raden Arjuna sudah
memukuli Raden Gatutkaca, maka Arya Wrekodara akan balas memukuli Raden Abimanyu.
Dengan demikian urusan menjadi impas. Raden Arjuna berkata sang kakak boleh meminta
apa saja kepadanya, asalkan tidak balas memukuli putranya. Mendengar itu, Arya
Wrekodara pun meminta Raden Arjuna menyerahkan Keris Kalanadah kepada Raden
Gatutkaca, karena keris tersebut sesungguhnya adalah pusaka Kerajaan Pringgadani.
Raden Arjuna terkenang peristiwa lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Saat itu Prabu
Pandu berperang melawan Prabu Tremboko. Prabu Tremboko tewas terkena Keris
Pulanggeni milik Prabu Pandu, sedangkan Prabu Pandu terluka pahanya oleh tusukan Keris
Kalanadah milik Prabu Tremboko. Resiwara Bisma pun mencabut Keris Kalanadah dan
Keris Pulanggeni lalu menyerahkan keduanya kepada Raden Arjuna yang saat itu masih
remaja. Setelah dirawat beberapa hari, Prabu Pandu akhirnya meninggal pula.
Raden Arjuna menyadari bahwa Keris Kalanadah memang milik Prabu Tremboko,
sehingga wajar bila diserahkan kepada ahli warisnya, yaitu Raden Gatutkaca. Maka,
dengan menyerahkan keris pusaka tersebut, ini berarti Raden Arjuna telah merestui Raden
Gatutkaca menikah dengan Endang Pregiwa.
Prabu Duryudana dan para Kurawa marah melihat perubahan sikap Raden Arjuna.
Namun, Dewi Banuwati meminta urusan ini tidak perlu diperpanjang dan sebaiknya mereka
pulang saja ke Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana tidak berani membantah istrinya. Ia pun
mengajak adik-adiknya pulang meninggalkan Kesatrian Madukara.
Prabu Kresna dan para Pandawa bersyukur karena Raden Gatutkaca dan Endang
Pregiwa telah lulus uji dan membuktikan keteguhan cinta mereka. Kedua muda-mudi yang
berbahagia itu pun dinikahkan dengan upacara yang meriah.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Resi Anoman menyamar sebagai Endang Pregiwa dan Arya Setyaki menyamar sebagai
Endang Pregiwati adalah tambahan dari saya untuk memperkaya jalinan cerita.
KITAB WAYANG PURWA

WAHYU CAKRANINGRAT
Kisah ini menceritakan tentang usaha Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Samba,
dan Raden Abimanyu dalam usaha menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat.
Perlombaan ini dimenangkan oleh Raden Abimanyu, sehingga dialah kelak yang bisa
menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Kisah ini saya olah dari beberapa pertunjukan wayang kulit dengan lakon yang sama,
yang dimainkan oleh dalang Ki Manteb Soedharsono, Ki Warseno Slenk, dan juga Ki
Rudy Gareng, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 September 2017
Heri Purwanto

Raden Abimanyu.

PRABU DURYUDANA MEMBAHAS TENTANG WAHYU CAKRANINGRAT


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dengan dihadap
Danghyang Druna dari Padepokan Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni
dari Plasajenar, dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Hari itu Prabu Duryudana
membicarakan tentang mimpi yang ia terima bahwa dewata akan menurunkan Wahyu
Cakraningrat. Namun, ia sendiri belum tahu apa yang dimaksud dengan wahyu tersebut
dan juga di mana akan diturunkan. Oleh sebab itu, ia pun meminta petunjuk dari sang guru,
yaitu Danghyang Druna.
Danghyang Druna menjawab dirinya juga mendapat wangsit dari dewata saat
bersamadi di sanggar pemujaan Padepokan Sokalima kemarin. Wangsit tersebut
mengatakan, dewata akan menurunkan Wahyu Cakraningrat di Hutan Krendayana.
Barangsiapa bisa mendapatkan wahyu tersebut, maka kelak ia akan menurunkan raja-raja
Tanah Jawa. Namun demikian, Wahyu Cakraningrat ini khusus diperuntukkan bagi para
pangeran.
Prabu Duryudana terkejut mendengarnya. Jika demikian, ini berarti yang harus
menjemput turunnya wahyu tersebut adalah Raden Lesmana Mandrakumara. Dalam hal ini
ia merasa ragu apakah putranya yang manja itu mampu mendapatkan Wahyu Cakraningrat
di Hutan Krendayana.
Danghyang Druna berkata hal ini harus menjadi bahan pelajaran bagi Raden Lesmana
Mandrakumara agar tidak melulu hidup nyaman di dalam istana. Dulu sewaktu perebutan
Wahyu Makutarama, pihak Hastina mengalami kegagalan, di mana yang berhasil
mendapatkannya adalah Raden Arjuna dari pihak Amarta. Untuk kali ini, Kerajaan Hastina
tidak boleh gagal lagi. Danghyang Druna sendiri yang akan membimbing Raden Lesmana
KITAB WAYANG PURWA

Mandrakumara untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Urusan menjemput turunnya


wahyu haruslah melibatkan dirinya, bukan orang lain yang tidak memiliki keahlian.
Adipati Karna tersinggung karena yang dulu ditugasi menjemput turunnya Wahyu
Makutarama adalah dirinya. Ia tidak terima dan mengajukan diri sebagai pembimbing Raden
Lesmana Mandrakumara ke Hutan Krendayana. Ia bertekad kali ini harus bisa
mengusahakan keberhasilan Raden Lesmana dalam meraih Wahyu Cakraningrat sebagai
penebus kegagalan di masa lalu. Ia pun balas menyindir Danghyang Druna yang gagal
merekayasa kematian Arya Wrekodara di Samudera Minangkalbu. Bukannya mati, Arya
Wrekodara justru mendapatkan ilmu kasampurnan dari Dewa Ruci.
Prabu Duryudana berusaha menengahi Danghyang Druna dan Adipati Karna yang
saling sindir. Ia mengakui dirinya dulu telah salah memberikan tugas. Danghyang Druna
yang seorang guru ditugasi merancang kematian Arya Wrekodara, sedangkan Adipati
Karna yang seorang senapati justru ditugasi menjemput turunnya Wahyu Makutarama.
Maka itu, untuk meraih Wahyu Cakraningrat kali ini, ia tidak ingin salah menugasi orang.
Danghyang Druna sebagai guru besar ditugasi untuk membimbing Raden Lesmana
bersamadi, sedangkan Adipati Karna sebagai senapati ditugasi mengamankan Hutan
Krendayana agar tidak ada orang lain yang ikut masuk dan menjadi pesaing putranya dalam
meraih Wahyu Cakraningrat.
Danghyang Druna dan Adipati Karna puas mendengar keputusan Prabu Duryudana
yang tidak berat sebelah. Prabu Duryudana lalu menugasi Patih Sangkuni untuk memanggil
Raden Lesmana Mandrakumara dari Kesatrian Sarojabinangun agar ikut hadir menerima
perintah.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DIPERINTAHKAN UNTUK MENJEMPUT


WAHYU CAKRANINGRAT
Selang agak lama, Patih Sangkuni kembali menghadap dengan disertai Raden
Lesmana Mandrakumara. Dengan lagak manja, Raden Lesmana bertanya mengapa dirinya
dipanggil, padahal biasanya dibiarkan bermalas-malasan di kesatrian. Prabu Duryudana
berkata bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Cakraningrat untuk para pangeran. Ia
berharap putranya yang mendapatkan wahyu tersebut. Oleh sebab itu, Raden Lesmana
Mandrakumara diperintahkan untuk pergi bertapa di Hutan Krendayana.
Raden Lesmana menolak. Ia berkata bahwa ayahnya seorang raja yang sangat
berkuasa, mengapa tidak bisa memerintahkan dewata agar menurunkan Wahyu
Cakraningrat di Kesatrian Sarojabinangun saja? Mengapa pula dirinya yang pangeran
mahkota kerajaan besar harus bersusah payah menjemput wahyu tersebut di tengah hutan
seperti orang rendahan?
Prabu Duryudana menasihati Raden Lesmana agar jangan menjadi pangeran yang
cengeng. Dirinya semasa muda pun menghabiskan waktu di Padepokan Sokalima, hidup
sebagai pelajar yang menjalani segala kesusahan, bukannya bermalas-malasan di dalam
istana. Prabu Duryudana tidak mau tahu, ia ingin Raden Lesmana harus berangkat saat ini
juga bersama Danghyang Druna ke Hutan Krendayana dan harus pulang membawa Wahyu
Cakraningrat.
Raden Lesmana Mandrakumara kecewa melihat perubahan sikap ayahnya yang
biasanya memanjakan, kini menjadi tegas dan keras. Danghyang Druna dan Patih Sangkuni
pun menghibur pemuda itu agar mematuhi perintah sang ayah. Jika sekarang Raden
Lesmana Mandrakumara hanya bermalas-malasan di istana, maka ia akan menyesal di
kemudian hari. Hendaknya ia jangan mau kalah dengan para putra Pandawa yang gemar
berkelana dan mencari pengalaman di luar.
KITAB WAYANG PURWA

Begitu mendengar tentang para putra Pandawa disebut, seketika Raden Lesmana
teringat pada dendamnya kepada Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca yang
menyebabkan dirinya gagal menikah tempo hari. Maka, ia pun menyatakan sanggup pergi
bertapa ke Hutan Krendayana. Prabu Duryudana dan para hadirin lainnya senang
mendengar keputusan tersebut.
Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana membubarkan pertemuan. Danghyang Druna
mohon pamit berangkat mendampingi Raden Lesmana Mandrakumara, dengan dikawal
Adipati Karna, Patih Sangkuni, Arya Dursasana, Raden Kartawarma, dan para Kurawa
lainnya.

RADEN SAMBA BERANGKAT KE HUTAN KRENDAYANA BERSAMA ARYA SETYAKI


Sementara itu, Raden Samba Wisnubrata, putra Prabu Kresna sedang berjalan
seorang diri meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Ia dikejar oleh sang paman, yaitu Arya
Setyaki yang menanyakan ke mana arah tujuannya. Raden Samba berkata bahwa ia sangat
kecewa kepada sang ayah yang pilih kasih. Tadi pagi Prabu Kresna bercerita baru saja
mendapat petunjuk dewata bahwa di Hutan Krendayana akan diturunkan Wahyu
Cakraningrat untuk para pangeran muda. Barangsiapa mampu mendapatkan wahyu
tersebut, maka kelak ia akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Prabu Kresna berkata
bahwa ia akan pergi ke Kesatrian Plangkawati untuk menyampaikan berita ini kepada
Raden Abimanyu agar berangkat menjemput wahyu tersebut. Hal inilah yang membuat
Raden Samba kesal dan merasa disisihkan.
Arya Setyaki berusaha menghibur Raden Samba dengan mengatakan bahwa Prabu
Kresna seorang waskita yang mampu meramalkan masa depan. Soal mengapa ia ingin
agar Raden Abimanyu yang berangkat tentu ada alasan kuat di balik semua ini. Namun,
Raden Samba tetap tidak terima. Ia merasa ayahnya lebih sayang kepada keponakan
sekaligus menantu, daripada putra kandung sendiri. Oleh sebab itu, ia pun kabur dari istana
Dwarawati untuk mendahului pergi ke Hutan Krendayana. Ia bertekad harus bisa
mendapatkan Wahyu Cakraningrat sebelum Raden Abimanyu pergi ke sana.
Arya Setyaki berkata tidak sebaiknya Raden Samba pergi tanpa restu orang tua. Akan
lebih baik jika Raden Samba pulang ke Dwarawati, mungkin kelak ada wahyu lain yang
cocok untuknya. Raden Samba tidak peduli dan memilih tetap berangkat, meskipun tanpa
restu orang tua. Ia bertekad ingin mendapatkan Wahyu Cakraningrat, bukan wahyu yang
lain. Arya Setyaki tidak dapat menghalangi lagi. Ia pun berterus terang bahwa Prabu Kresna
sebelum berangkat ke Kesatrian Plangkawati telah memerintahkan dirinya untuk
menjemput pulang Raden Samba yang kabur dari istana. Apabila Raden Samba menolak
pulang, maka Arya Setyaki diperintahkan untuk mengawal dan membimbingnya.
Raden Samba terharu mendengar sang ayah ternyata memerhatikan dirinya. Karena
Arya Setyaki mendapat perintah demikian, Raden Samba pun mengajak pamannya itu
untuk segera berangkat ke Hutan Krendayana, jangan menunda-nunda lagi.

ARYA SETYAKI BENTROK DENGAN PARA KURAWA


Raden Samba dan Arya Setyaki telah sampai di tepi Hutan Krendayana. Mereka
melihat para Kurawa membuat pagar betis menjaga sekeliling hutan. Raden Kartawarma
yang melihat Arya Setyaki dan Raden Samba datang segera menghentikan mereka. Ia
berkata bahwa Hutan Krendayana sudah dijaga para Kurawa dan tidak seorang pun yang
boleh masuk, kecuali Raden Lesmana Mandrakumara beserta Danghyang Druna dan Patih
Sangkuni. Arya Setyaki marah karena Hutan Krendayana bukan milik Kerajaan Hastina,
juga tidak termasuk wilayah negara mana pun. Siapa saja boleh masuk ke dalamnya.
KITAB WAYANG PURWA

Namun, Raden Kartawarma tetap bersikeras meminta Raden Samba dan Arya Setyaki agar
pulang saja ke Dwarawati.
Arya Setyaki yang sudah bertekad melindungi keponakannya segera bertindak. Ia pun
melabrak Raden Kartawarma agar membuka jalan. Para Kurawa yang lain segera maju
untuk melawannya. Pertempuran pun terjadi. Seorang diri Arya Setyaki menghadapi para
pangeran dari Hastina tersebut, yang juga ditambah Adipati Jayadrata dan Bambang
Aswatama. Dengan lincah dan cekatan ia berhasil mengatasi mereka semua.
Adipati Karna yang memimpin pengamanan Hutan Krendayana akhirnya turun tangan.
Kali ini Arya Setyaki mulai terdesak kalah. Namun, tekadnya demi melindungi Raden Samba
membuat kekuatannya bertambah. Dengan bersenjatakan Gada Wesikuning di tangan, ia
menangkis semua panah yang dilepaskan Adipati Karna. Begitu ada kesempatan, Arya
Setyaki pun menerobos masuk ke dalam Hutan Krendayana sambil menarik tangan Raden
Samba. Adipati Karna hendak mengejar, namun sudah kehilangan jejak. Arya Setyaki dan
Raden Samba sudah lenyap ditelan gelapnya hutan. Adipati Karna akhirnya menghentikan
pengejaran karena ia tidak ingin mengganggu Raden Lesmana Mandrakumara yang
sedang bertapa. Selain itu, ia juga tidak berani melepaskan panah sembarangan karena
takut melukai Raden Samba yang merupakan putra Prabu Kresna, yaitu orang yang paling
ia segani.

PRABU KRESNA MEMERINTAHKAN RADEN ABIMANYU BERTAPA


Sementara itu, Prabu Kresna Wasudewa telah sampai di Kesatrian Plangkawati,
tempat tinggal suami-istri Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari. Hadir pula di tempat itu
para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Setelah mendapat
penghormatan dan balas memberikan restu, Prabu Kresna pun memerintahkan Raden
Abimanyu agar pergi bertapa ke Hutan Krendayana, menjemput turunnya Wahyu
Cakraningrat. Barangsiapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menurunkan raja-
raja Tanah Jawa.
Raden Abimanyu bertanya apakah Prabu Kresna juga memerintahkan putra-putranya,
yaitu Raden Samba, Raden Partajumena, dan Raden Setyaka untuk menjemput Wahyu
Cakraningrat. Jika memang demikian, Raden Abimanyu tidak perlu berangkat, biarlah raja-
raja Tanah Jawa diturunkan dari galur Kerajaan Dwarawati saja, bukan dari dirinya.
Prabu Kresna berkata bahwa ia tidak memerintahkan putra-putranya untuk menjemput
wahyu tersebut, karena ia melihat mereka tidak mampu menjadi wadah bagi Wahyu
Cakraningrat. Raden Partajumena dan Raden Setyaka menurut, namun Raden Samba
membantah serta kabur dari istana. Prabu Kresna sudah memerintahkan Arya Setyaki untuk
mengejar dan mendampinginya.
Menurut ramalan Prabu Kresna, orang yang kuat menjadi wadah bersemayamnya
Wahyu Cakraningrat adalah Raden Abimanyu, dan itulah sebabnya ia datang ke Kesatrian
Plangkawati. Dewi Sitisundari ikut membesarkan semangat Raden Abimanyu agar
mematuhi perintah sang ayah. Raden Abimanyu akhirnya menjawab bersedia. Ia pun
berpamitan kepada Prabu Kresna dan Dewi Sitisundari, lalu berangkat bersama para
panakawan menuju Hutan Krendayana.

RADEN ABIMANYU DIBANTU RADEN GATUTKACA MENYUSUP KE DALAM HUTAN


KRENDAYANA
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, Raden Abimanyu dan para
panakawan akhirnya sampai di dekat Hutan Krendayana. Mereka melihat para Kurawa
dipimpin Adipati Karna berjaga di sekeliling hutan seolah tidak mengizinkan siapa pun
KITAB WAYANG PURWA

masuk ke dalamnya. Raden Abimanyu tidak tahu bagaimana caranya masuk hutan tanpa
terlihat oleh mereka.
Pada saat itulah Raden Gatutkaca datang. Ia mengaku telah diberi tahu Dewi
Sitisundari tentang keberangkatan Raden Abimanyu menuju Hutan Krendayana. Merasa
tidak tega, Raden Gatutkaca pun pergi menyusul. Ia tidak ingin bersaing memperebutkan
Wahyu Cakraningrat dengan adiknya itu, melainkan hanya ingin menjaga dan
membantunya menghadapi kesulitan.
Raden Abimanyu berterima kasih dan ia berkata ingin masuk ke dalam Hutan
Krendayana tanpa terlihat oleh para Kurawa. Raden Gatutkaca segera mendapat akal. Ia
pun menggendong tubuh Raden Abimanyu dan membawanya terbang tinggi ke angkasa.
Di langit luas mereka bersembunyi di balik awan. Hingga begitu ada kesempatan, mereka
pun meluncur turun dan mendarat di dalam Hutan Krendayana tanpa ada seorang pun
Kurawa yang melihat.

BATARA GURU MEMERINTAHKAN WAHYU CAKRANINGRAT DAN WAHYU WIDAYAT


TURUN
Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru menerima kedatangan Batara Narada
beserta Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Widayat. Wahyu Cakraningrat mengambil wujud
seorang laki-laki, sedangkan Wahyu Widayat mengambil wujud seorang perempuan. Batara
Guru memerintahkan mereka berdua untuk turun ke dunia, karena sudah tiba saatnya bagi
keduanya untuk bersemayam ke dalam tubuh pangeran dan putri yang berjodoh, yang kelak
menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Batara Guru menjelaskan bahwa saat ini di Hutan Krendayana sedang bertapa tiga
orang kesatria. Mereka adalah Raden Lesmana Mandrakumara dari Kerajaan Hastina,
Raden Samba Wisnubrata dari Kerajaan Dwarawati, dan Raden Abimanyu dari Kerajaan
Amarta. Ketiganya bertapa di tempat yang terpisah. Hendaknya Wahyu Cakraningrat dan
Wahyu Widayat lebih dulu menguji mereka untuk menentukan siapa yang paling mampu
menjadi tempat bersemayam. Kedua wahyu itu pun mematuhi, kemudian berangkat menuju
Hutan Krendayana.

Batara Guru.

WAHYU CAKRANINGRAT MENGUJI RADEN LESMANA MANDRAKUMARA


Sesampainya di Hutan Krendayana, Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Widayat lebih
dulu mendatangi tempat Raden Lesmana Mandrakumara bertapa. Wahyu Cakraningrat lalu
KITAB WAYANG PURWA

mengubah wujudnya menjadi seekor harimau besar yang menyeramkan. Ia mengendap-


endap mendatangi Raden Lesmana yang sedang duduk bersamadi di bawah pohon.
Begitu sampai di dekat pangeran tersebut, harimau penjelmaan Wahyu Cakraningrat
segera mengaum keras. Raden Lesmana Mandrakumara kaget dan membuka mata. Ia
langsung ketakutan begitu melihat ada seekor harimau besar siap menerkam tubuhnya.
Pada dasarnya Raden Lesmana Mandrakumara terbiasa hidup nyaman di istana, sehingga
ia pun segera meloncat dan lari sekencang-kencangnya meninggalkan harimau tersebut.
Raden Lesmana berlari ke arah Danghyang Druna dan Patih Sangkuni yang
menunggu di kejauhan. Ia minta tolong agar dibebaskan dari harimau yang mengejar
dirinya. Kedua orang tua itu berkata tidak ada harimau. Raden Lesmana pasti sedang diuji
oleh harimau jadi-jadian. Itu artinya, Wahyu Cakraningrat akan segera turun kepadanya.
Patih Sangkuni menyarankan agar cucunya itu kembali melanjutkan bertapa. Namun,
Raden Lesmana sudah sangat ketakutan. Ia meminta lebih baik pulang saja, persetan
dengan urusan Wahyu Cakraningrat segala.
Danghyang Druna juga merasa percuma jika Raden Lesmana melanjutkan bertapa.
Kesempatan mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidak datang dua kali. Maka, ia pun
memutuskan untuk mengabulkan keinginan pangeran manja tersebut, yaitu kembali ke
Kerajaan Hastina.

WAHYU CAKRANINGRAT MENGUJI RADEN SAMBA


Wahyu Cakraningrat kemudian bergerak menguji peserta kedua, yaitu Raden Samba
dari Kerajaan Dwarawati. Ia melihat pangeran itu bertapa duduk di atas sebongkah batu
datar. Wahyu Cakraningrat pun mengubah wujudnya menjadi seekor ular besar. Ia
mengibas-ngibaskan ekornya ke tubuh Raden Samba, namun Raden Samba tidak
membuka mata sama sekali dan tetap tekun bertapa.
Ular naga itu semakin ganas membelit tubuh Raden Samba dan membantingnya ke
sana kemari. Mulutnya menganga lebar hendak mencaplok kepala Raden Samba, namun
Raden Samba tetap teguh tidak takut sama sekali. Ular naga itu merasa puas. Tubuhnya
yang panjang musnah dan berubah menjadi cahaya, lalu masuk merasuk ke dalam tubuh
pangeran tersebut.
Arya Setyaki yang menyaksikan dari jauh segera datang membangunkan Raden
Samba. Raden Samba membuka mata dan melihat tubuhnya acak-acakan. Arya Setyaki
memberikan selamat karena keponakannya itu telah mendapatkan Wahyu Cakraningrat.
Raden Samba merasa senang bercampur bangga. Ia pun berkata bahwa ramalan ayahnya
ternyata meleset. Ternyata dirinya yang mampu menjadi wadah bersemayamnya Wahyu
Cakraningrat. Arya Setyaki menasihati keponakannya agar jangan gegabah, apalagi
memandang rendah ayah sendiri.

Raden Samba.
KITAB WAYANG PURWA

WAHYU WIDAYAT MENGUJI RADEN SAMBA


Wahyu Widayat melihat Wahyu Cakraningrat telah bersemayam di dalam tubuh Raden
Samba. Ia pun berniat menguji apakah Raden Samba adalah wadah yang tepat atau tidak.
Maka, Wahyu Widayat pun mengubah wujudnya menjadi seorang gadis desa yang sangat
cantik, lalu berjalan mendekati Raden Samba dan Arya Setyaki.
Gadis cantik itu mengucap salam, lalu berkata bahwa dirinya tersesat di dalam hutan
dan mohon dibantu untuk diantar pulang. Raden Samba tampak tertarik, sedangkan Arya
Setyaki merasa curiga. Arya Setyaki lalu menawarkan dirinya saja yang mengantar gadis
itu pulang, namun Raden Samba justru melarang sang paman ikut campur.
Arya Setyaki menasihati Raden Samba agar berhati-hati karena setelah mendapatkan
Wahyu Cakraningrat bukan berarti ujian telah berhenti. Raden Samba justru marah-marah
dan memaki Arya Setyaki cerewet hendak mengganggu kesenangannya. Dirinya telah
mendapat Wahyu Cakraningrat maka wajar jika sekarang menjadi orang terpandang. Selain
itu wajahnya juga tampan, maka tidak heran jika banyak perempuan ingin mendekatinya.
Arya Setyaki teringgung atas ucapan keponakannya itu. Ia pun membenarkan Prabu
Kresna mengapa memilih Raden Abimanyu saja yang pergi menjemput Wahyu
Cakraningrat. Karena tidak dihargai, ia pun pergi meninggalkan Raden Samba dan gadis
cantik itu.
Setelah sang paman pergi, Raden Samba merasa leluasa merayu si gadis. Ia berkata
gadis itu tidak perlu pulang, tetapi sebaiknya ikut dirinya ke Kerajaan Dwarawati. Ia
menyombongkan diri sebagai putra mahkota Kerajaan besar yang kelak menggantikan
ayahnya sebagai raja. Jika si gadis bersedia menjadi istrinya, maka kelak tentu akan
menjadi permaisuri kerajaan pula.
Gadis itu merasa risih melihat sikap genit Raden Samba. Ia pun melangkah pergi,
namun Raden Samba mengejar. Raden Samba lalu menghalangi gadis itu dan berniat
memaksanya. Si gadis tiba-tiba berubah wujud menjadi makhluk mengerikan. Raden
Samba terkejut dan jatuh terduduk. Pada saat itulah Wahyu Cakraningrat keluar dari
tubuhnya, dan ia pun jatuh pingsan.
Arya Setyaki yang teringat pada tanggung jawabnya segera kembali ke tempat Raden
Samba. Betapa terkejut ia menjumpai sang keponakan sudah tergeletak pingsan. Namun,
ia juga bersyukur semoga ini menjadi pelajaran tersendiri bagi Raden Samba agar kelak
lebih berhati-hati. Arya Setyaki lalu menggendong tubuh keponakannya itu dan
membawanya pulang meninggalkan Hutan Krendayana.

WAHYU CAKRANINGRAT MENDATANGI RADEN ABIMANYU


Wahyu Cakraningrat yang sudah keluar dari tubuh Raden Samba kini mendatangi
peserta ketiga, yaitu Raden Abimanyu. Ia menyamar sebagai seekor gajah liar yang
merusak lingkungan di sekitar pemuda itu bertapa. Pohon-pohon tumbang dan batu-batuan
hancur, namun sedikit pun Raden Abimanyu tidak goyah dan tetap bersamadi.
Gajah liar itu lalu mengulurkan belalainya dan membelit tubuh Raden Abimanyu, lalu
tubuh pemuda itu pun diangkat tinggi-tinggi. Namun, Raden Abimanyu tetap tenang dalam
samadi. Gajah liar itu lalu berhenti dan mengembalikan Raden Abimanyu ke tempat semula.
Tubuhnya kemudian musnah dan berubah menjadi cahaya, lalu masuk ke dalam tubuh
pemuda tersebut.
Raden Gatutkaca dan Kyai Semar keluar dari persembunyian untuk membangunkan
Raden Abimanyu. Raden Abimanyu membuka mata dan melihat kedua kawannya itu
mengucapkan selamat atas keberhasilannya mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Hampir
KITAB WAYANG PURWA

saja tadi Raden Gatutkaca maju menolong Raden Abimanyu saat diserang gajah liar,
namun untungnya dicegah Kyai Semar yang baru datang.
Kyai Semar bercerita bahwa ia baru bisa memasuki Hutan Krendayana setelah
rombongan para Kurawa kembali ke Kerajaan Hastina. Saat itu ia melihat Raden Abimanyu
sedang bersamadi dan diserang seekor gajah liar. Raden Gatutkaca hendak membantu,
namun dicegah Kyai Semar. Rupanya Kyai Semar paham bahwa gajah tersebut adalah
makhluk jadi-jadian yang hendak menguji kesungguhan Raden Abimanyu.
Kyai Semar lalu menasihati bahwa ujian belum selesai. Meskipun Wahyu Cakraningrat
telah bersemayam dalam diri Raden Abimanyu, namun ia tidak boleh lengah. Selama empat
puluh hari ini akan tetap ada ujian-ujian yang bisa datang sewaktu-waktu.

WAHYU WIDAYAT MENGUJI RADEN ABIMANYU


Sama seperti yang dilakukan terhadap Raden Samba, Wahyu Widayat pun datang
menguji Raden Abimanyu dalam wujud seorang gadis cantik yang mengaku tersesat. Ia
memohon bantuan kepada Raden Abimanyu agar diantar pulang ke rumah. Raden
Abimanyu meminta maaf, dirinya tidak dapat mengabulkan permohonan gadis tersebut. Ia
merasa sungguh aneh ada gadis cantik yang tiba-tiba muncul di dalam hutan lebat. Bisa
datang, mengapa tidak bisa pulang?
Si gadis terus merengek. Jika ia tidak diantar pulang, lebih baik ia ikut mengabdi
sebagai pelayan Raden Abimanyu saja. Ia mengaku bersedia melakukan apa saja untuk
pangeran dari Plangkawati tersebut. Raden Abimanyu menjawab dirinya sudah memiliki
empat orang panakawan dan tidak membutuhkan pelayan lagi. Jika memang gadis itu ingin
pulang, biarlah salah satu panakawannya saja yang mengantarkan. Usai berkata demikian,
Raden Abimanyu pun melangkah pergi ditemani Raden Gatutkaca dan Kyai Semar.
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong lalu mengundi siapa yang harus mengantar pulang
si gadis. Nala Gareng memberikan semua uangnya kepada Petruk dan Bagong karena dia
yang paling bersemangat ingin mengantar pulang gadis itu. Kedua adiknya pun sepakat.
Dengan senang hati, Nala Gareng lalu mengantar pulang gadis tersebut.
Setelah berjalan agak jauh, Nala Gareng mulai merayu si gadis dengan bermacam-
macam kata-kata manis. Tiba-tiba gadis itu menoleh dan wajahnya tampak mengerikan.
Nala Gareng lari ketakutan karena merasa bertemu hantu perempuan. Ia pun kembali ke
tempat Petruk dan Bagong.
Si gadis lalu kembali ke wujud Wahyu Widayat. Ia berkata bahwa Wahyu Cakraningrat
sudah tepat memilih Raden Abimanyu sebagai tempat bersemayam. Maka, dirinya berniat
hendak bersemayam pula ke dalam tubuh istri pangeran tersebut, yaitu Dewi Sitisundari.
Namun, Batara Narada tiba-tiba datang mencegahnya.
Batara Narada menjelaskan bahwa Dewi Sitisundari ditakdirkan mandul. Menurut
ramalan dewata, Raden Abimanyu kelak akan menikah lagi dengan Dewi Utari putri Prabu
Matsyapati di Kerajaan Wirata. Gadis itulah yang sebaiknya menjadi tempat Wahyu Widayat
bersemayam. Wahyu Widayat berterima kasih atas petunjuk Batara Narada. Maka, ia pun
berangkat menuju Kerajaan Wirata.

PRABU KRESNA DAN ARYA WREKODARA MENJEMPUT ROMBONGAN RADEN


ABIMANYU
Prabu Kresna raja Dwarawati dan Arya Wrekodara dari Jodipati telah berangkat
bersama menuju Hutan Krendayana untuk menjemput pulang Raden Abimanyu. Di tengah
jalan mereka berjumpa Arya Setyaki yang memapah Raden Samba. Arya Setyaki pun
menceritakan semua peristiwa yang dialami mereka berdua. Raden Samba yang sudah
KITAB WAYANG PURWA

siuman dari pingsan pun mohon maaf kepada Prabu Kresna karena ia sempat
berprasangka buruk kepada ayahnya itu.
Cakraningrat. Namun demikian, ia merasa bangga karena Raden Samba sudah mau
berjuang untuk meraih wahyu tersebut, dan tidak lagi melulu hidup santai di Kesatrian
Paranggaruda. Prabu Kresna pun meramalkan kelak jika keturunan Raden Abimanyu
menjadi raja, maka keturunan Raden Samba akan menjadi patih yang mendampinginya.
Prabu Kresna lalu mengajak rombongan melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian
melihat ada pertempuran di mana Raden Gatutkaca dikeroyok para Kurawa. Arya
Wrekodara dan Arya Setyaki segera maju membantu mengusir Arya Dursasana dan adik-
adiknya itu. Begitu keduanya turun tangan, para Kurawa pun berhamburan pulang ke
Hastina dengan babak belur.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca berterima kasih. Mereka bercerita bahwa
Wahyu Cakraningrat sudah berhasil didapatkan, namun di tengah jalan Arya Dursasana
dan adik-adiknya berusaha merebut. Rupanya mereka tidak ikut Danghyang Druna dan
Raden Lesmana Mandrakumara pulang ke Hastina, melainkan menunggu di dekat Hutan
Krendayana untuk melampiaskan sakit hati kepada Raden Abimanyu.
Prabu Kresna bersyukur atas keberhasilan Raden Abimanyu, dan ini juga berkat
bimbingan Kyai Semar dan pengawalan Raden Gatutkaca. Mereka berdua ikut berjasa
besar. Prabu Kresna lalu mengajak rombongan tersebut untuk kembali ke Kerajaan Amarta,
melapor kepada Prabu Puntadewa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

GATUTKACA RANTE
Kisah ini menceritakan tentang usaha Raden Lesmana Mandrakumara menggagalkan
perkawinan Raden Pancawala dan Dewi Pregiwati, serta memfitnah Raden Gatutkaca
sebagai bentuk balas dendam atas kegagalannya menikahi Dewi Pregiwa.
Kisah ini saya olah dari pertunjukan wayang kulit yang dimainkan oleh dalang Ki
Soenarjo, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 September 2017
Heri Purwanto

Raden Gatutkaca

PRABU DURYUDANA MEMBAHAS TENTANG UNDANGAN PRABU PUNTADEWA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri
Danghyang Druna dari Padepokan Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni
dari Plasajenar, dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Hari itu Prabu Duryudana
membicarakan bahwa beberapa hari yang lalu ia menerima surat undangan dari Prabu
Puntadewa di Kerajaan Amarta. Dalam surat itu disebutkan tentang Prabu Puntadewa yang
hendak berbesan dengan Raden Arjuna, melalui pernikahan antara Raden Pancawala
dengan Dewi Pregiwati.
Prabu Duryudana sebenarnya malas menghadiri undangan tersebut, karena sudah
tiga kali putranya, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara kalah bersaing dengan putra-putra
Pandawa. Yang pertama, Raden Lesmana kalah dengan Raden Abimanyu saat
memperebutkan Dewi Sitisundari. Yang kedua, Raden Lesmana kalah dengan Raden
Gatutkaca saat memperebutkan Dewi Pregiwa. Dan yang ketiga, putranya itu kalah lagi
dengan Raden Abimanyu saat memperebutkan Wahyu Cakraningrat. Rasa malu karena
putranya selalu kalah bersaing membuat Prabu Duryudana enggan bertemu para Pandawa.
Akan tetapi, Prabu Duryudana mengatakan bahwa permaisurinya, yaitu Dewi
Banuwati ingin sekali menghadiri pernikahan Raden Pancawala dengan Dewi Pregiwati
tersebut. Prabu Duryudana sudah berusaha menolak tetapi sang istri tetap saja memaksa.
Hingga akhirnya, Prabu Duryudana mengabulkan permintaan Dewi Banuwati, bahwa
mereka akan berangkat menghadiri pernikahan di Kerajaan Amarta tersebut.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA KABUR DARI KERAJAAN HASTINA


Ketika Prabu Duryudana sedang membahas persiapan menghadiri acara pernikahan
itu, tiba-tiba Raden Lesmana Mandrakumara datang bersama Dewi Banuwati. Raden
Lesmana tampak sedang menangis merengek-rengek, sedangkan Dewi Banuwati tampak
KITAB WAYANG PURWA

sangat marah. Prabu Duryudana pun bertanya apakah mereka sedang bertengkar. Raden
Lesmana menjawab ibunya sudah tidak sayang lagi kepadanya. Saat ia meminta dinikahkan
dengan Dewi Pregiwati, bukannya mendukung, Dewi Banuwati justru marah-marah.
Prabu Duryudana menegur Dewi Banuwati mengapa memarahi Raden Lesmana
hingga menangis seperti itu. Dewi Banuwati menjawab, Dewi Pregiwati sudah hendak
dinikahkan dengan Raden Pancawala, mengapa pula harus diganggu segala. Gadis lain
masih banyak, mengapa juga harus mengganngu calon istri orang lain?
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia mengatakan bahwa mengapa baru sekarang
Dewi Banuwati menghalangi niat Raden Lesmana Mandrakumara merebut calon istri orang
lain. Bukankah beberapa waktu yang lalu Raden Lesmana juga mengganggu pertunangan
Raden Abimanyu dengan Dewi Sitisundari, serta pertunangan Raden Gatutkaca dengan
Dewi Pregiwa? Mengapa waktu itu Dewi Banuwati diam saja? Mengapa sekarang begitu
marah ingin menghalangi niat putranya yang hendak merebut Dew Pregiwati? Memangnya
ada hubungan apa antara Dewi Banuwati dengan Dewi Pregiwati, serta mengapa Raden
Lesmana Mandrakumara tidak boleh menikahi gadis itu?
Dewi Banuwati tidak bisa menjawab. Ia paham Patih Sangkuni sedang mencurigai
Dewi Pregiwati adalah anak hasil hubungannya dengan Raden Arjuna. Maka, ia pun
menjawab bahwa tujuannya mencegah Raden Lesmana adalah supaya tidak mendapat
malu untuk yang kesekian kalinya. Lebih baik mencari perempuan lain yang belum terikat
pertunangan dengan siapa pun, daripada memalukan orang tua.
Raden Lesmana menjawab, bahwa sebelum janur kuning melengkung masih ada
kesempatan baginya untuk mendapatkan sang gadis idaman. Patih Sangkuni
membenarkan ucapan cucunya itu. Namun, Dewi Banuwati berkata, keputusan ada di
tangan Prabu Duryudana. Jika sang suami mendukung keinginan putranya, maka ia akan
meminta cerai dan pulang ke Kerajaan Mandraka.
Prabu Duryudana terkejut mendengar ancaman istrinya. Ia berpikir jika sampai
bercerai dengan permaisuri, tentu dirinya sebagai seorang raja besar akan mendapat malu
luar biasa. Maka, ia pun menjawab tidak akan menuruti keinginan Raden Lesmana
Mandrakumara untuk menikahi Dewi Pregiwati. Raden Lesmana sangat kecewa
mendengar keputusan ayahnya. Ia pun menyatakan pergi meninggalkan Kerajaan Hastina.
Usai berkata demikian, pangeran manja itu lantas kabur meninggalkan pertemuan.
Dewi Banuwati berterima kasih atas keputusan Prabu Duryudana yang kali ini tidak
menuruti keinginan Raden Lesmana. Ia lalu mengajak sang suami untuk bersiap-siap pergi
ke Kerajaan Amarta menghadiri undangan perkawinan Raden Pancawala dan Dewi
Pregiwati. Patih Sangkuni menyindir Dewi Banuwati yang ingin buru-buru bertemu Raden
Arjuna, hingga tidak peduli dengan putranya sendiri yang kabur meninggalkan istana.
Mendengar sindiran itu, Prabu Duryudana pun meminta tolong Adipati Karna agar
menyusul kepergian Raden Lesmana dan membawa putranya itu kembali. Adipati Karna
menyanggupi dan segera berangkat melaksanakan tugas. Prabu Duryudana kemudian
membubarkan pertemuan dan mengajak Danghyang Druna, Patih Sangkuni serta para
Kurawa untuk bersiap menuju Kerajaan Amarta.

ADIPATI KARNA MENGEJAR RADEN LESMANA MANDRAKUMARA


Adipati Karna keluar dari istana dan disambut oleh Patih Adimanggala. Ia bertanya
kepada sang patih apakah melihat ke mana perginya Raden Lesmana Mandrakumara. Patih
Adimanggala menjawab ia tadi melihat Raden Lesmana memacu kuda sekencang-
kencangnya ke arah utara. Adipati Karna pun mengajak Patih Adimanggala untuk menyusul
pemuda itu, karena ini adalah tugas dari Prabu Duryudana.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Lesmana sendiri tidak memiliki pengalaman keluar istana, kecuali beberapa
waktu yang lalu ikut berlomba menjemput Wahyu Cakraningrat di Hutan Krendayana. Maka,
dalam keadaan putus asa karena tidak didukung ayahnya untuk menikah, yang terpikir
dalam benaknya hanyalah Hutan Krendayana. Ia pun memacu kudanya menuju ke arah
hutan tersebut.
Adipati Karna dan Patih Adimanggala dalam pengejaran melihat Raden Lesmana
memasuki Hutan Krendayana. Mereka pun bergegas mengikuti. Hingga akhirnya, mereka
dapat menghadang Raden Lesmana dan mengajaknya kembali ke istana. Raden Lesmana
menolak dibawa pulang. Ia lebih baik mati bunuh diri dimakan binatang buas daripada
pulang ke istana bertemu orang tua yang tidak sayang kepadanya. Adipati Karna berusaha
membujuk keponakannya itu tetapi Raden Lesmana tetap menolak pulang. Adipati Karna
terpaksa menggunakan kekerasan. Ia pun meringkus Raden Lesmana dan membawanya
dengan paksa.

RADEN LESAMANA MANDRAKUMARA DICULIK RADEN BURISRAWA


Raden Lesmana Mandrakumara yang sudah berada di tangan Adipati Karna berteriak-
teriak minta tolong. Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang raja yang mengaku bernama
Prabu Wirambadewa. Bersama pasukannya, ia menyerang Adipati Karna dan Patih
Adimanggala.
Adipati Karna dan Patih Adimanggala pun membela diri menghadapi mereka. Maka
terjadilah pertempuran, di mana Adipati Karna yang hanya berdua menghadapi seorang
raja bersama pasukannya. Meskipun demikian, Adipati Karna dan Patih Adimanggala tetap
mampu mengatasi mereka. Prabu Wirambadewa merasa terdesak dan berteriak meminta
bantuan pasukan makhluk halus.
Tiba-tiba datanglah sepasukan makhluk halus yang dipimpin raja siluman bernama Ki
Jaramaya. Mereka ikut mengerubut Adipati Karna dan Patih Adimanggala. Kedua orang itu
pun kewalahan. Adipati Karna menggunakan panah sakti yang sudah dimantrai untuk
mengusir kumpulan makhluk halus tersebut. Ki Jaramaya ketakutan dan menarik mundur
pasukannya. Adipati Karna lalu menoleh ke arah Raden Lemana Mandrakumara dan
melihat pemuda itu telah dibawa kabur oleh adik iparnya sendiri, yaitu Raden Burisrawa
yang ternyata berada di dalam pasukan Prabu Wirambadewa.
Musuh telah mundur dan suasana kembali sepi. Adipati Karna dan Patih Adimanggala
mengejar semakin masuk ke dalam Hutan Krendayana namun tidak membawa hasil.
Meskipun demikian, Adipati Karna merasa sedikit tenang karena Raden Lesmana ada di
tangan Raden Burisrawa yang merupakan pamannya sendiri.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DIBAWA KE KAHYANGAN BATARI DURGA


Di Kahyangan Setragandamayit, Batari Durga menerima kedatangan Prabu
Wirambadewa, Ki Jaramaya, dan Raden Burisrawa yang membawa serta Raden Lesmana
Mandrakumara. Sudah lama Raden Burisrawa berguru kepada Batari Durga dan kali ini ia
memperkenalkan Raden Lesmana sebagai keponakannya, yaitu putra dari Dewi Banuwati,
kakaknya yang nomor tiga. Raden Burisrawa pun bercerita bahwa di jalan tadi ia melihat
Raden Lesmana ditangkap Adipati Karna dan diringkus hendak dibawa pulang. Raden
Burisrawa tidak tahu ada masalah apa di antara mereka, namun ia ingin sekali menolong
keponakannya itu.
Raden Burisrawa hendak maju menyerang, tetapi ia takut pada kesaktian Adipati
Karna yang merupakan kakak iparnya pula (istri Adipati Karna adalah Dewi Srutikanti, kakak
nomor dua Raden Burisrawa). Untungnya Prabu Wirambadewa kebetulan lewat bersama
KITAB WAYANG PURWA

pasukannya. Prabu Wirambadewa ini adalah putra Batari Durga yang hendak pergi
menghadap ibunya di Kahyangan Setragandamayit. Raden Burisrawa pun meminta
bantuan agar Prabu Wirambadewa yang turun tangan menolong keponakannya. Prabu
Wirambadewa dan pasukannya lalu maju menyerang Adipati Karna dan Patih Adimanggala.
Ternyata kedua orang itu sangat kuat dan sulit dikalahkan. Untungnya Prabu Wirambadewa
mendapat bantuan dari Ki Jaramaya, yaitu kepala makhluk halus pengikut Batari Durga.
Raden Lesmana Mandrakumara ketakutan saat diperkenalkan dengan Batari Durga
yang berwajah menyeramkan. Namun, setelah tahu kalau Batari Durga ini adalah guru dari
Raden Burisrawa, ia menjadi agak berani. Ia pun meminta perlindungan dari dewi berparas
raksasi tersebut dari kejaran Adipati Karna. Ia ingin mengabdi di Kahyangan
Setragandamayit seperti pamannya.
Batari Durga dengan senang hati bersedia menerima Raden Lesmana Mandrakumara
sebagai murid dan mengajarinya ilmu kesaktian, namun dengan syarat kelak setelah
meninggal, roh Raden Lesmana harus menjadi bagian dari pasukan makhluk halus pengikut
Kahyangan Setragandamayit. Raden Lesmana meminta pertimbangan pamannya soal ini.
Raden Burisrawa menjawab tidak masalah, yang penting bisa membalas sakit hati, itu yang
paling penting. Mendengar itu, Raden Lesmana pun setuju dan menyatakan sanggup
menerima syarat Batari Durga.
Batari Durga senang melihat kesungguhan hati Raden Lesmana. Ia pun bertanya ilmu
kesaktian apa yang ingin dimiliki Raden Lesmana untuk membalas dendam. Raden
Lesmana menjawab dirinya ingin bisa menghilang tidak terlihat orang lain dan mampu
membuat orang lain tertidur lelap. Batari Durga mengabulkannya. Raden Lesmana
Mandrakumara pun diberi Aji Panglimunan dan Aji Sirep, tetapi hanya bisa digunakan
selama sehari semalam saja. Raden Lesmana berterima kasih dan mohon pamit pergi ke
Kerajaan Amarta untuk mengacau perkawinan Raden Pancawala dan Dewi Pregiwati.
Raden Burisrawa tidak tega keponakannya berangkat sendiri. Ia lalu mohon pamit
kepada Batari Durga untuk mengawasi Raden Lesmana Mandrakumara dari jauh bersama
Prabu Wirambadewa.

Batari Durga.

PERNIKAHAN RADEN PANCAWALA DAN DEWI PREGIWATI


Sementara itu di Kerajaan Amarta, tepatnya di Kesatrian Madukara sedang diadakan
upacara pernikahan antara Raden Pancawala putra Prabu Puntadewa dengan Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Pregiwati putri Raden Arjuna. Para tamu yang hadir antara lain seluruh Pandawa Lima
beserta anak dan istri masing-masing, Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Baladewa dari
Mandura, Prabu Duryudana beserta Dewi Banuwati, Patih Sangkuni, dan para Kurawa dari
Kerajaan Hastina.
Setelah upacara selesai, kedua mempelai pun meminta restu kepada para sesepuh.
Pada saat meminta restu kepada Dewi Banuwati, Dewi Pregiwati dipeluk dan didoakan
secara panjang lebar. Patih Sangkuni menyindir mengapa dengan anak orang lain begitu
sayang, sedangkan anak sendiri ditelantarkan. Jangan-jangan sewaktu lahir dulu Dewi
Pregiwati dan Raden Lesmana Mandrakumara adalah anak-anak yang ditukar. Dewi
Banuwati marah mendengar sindiran Patih Sangkuni dan keluar istana daripada timbul
pertengkaran. Prabu Duryudana segera ikut keluar menyusul istrinya itu.

Raden Pancawala.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA MELAKUKAN PEMBUNUHAN


Malam harinya, Raden Lesmana Mandrakumara tiba di Kesatrian Madukara. Ia
mengerahkan Aji Panglimunan sehingga tidak terlihat oleh semua orang. Kemudian, ia
mengerahkan Aji Sirep yang membuat seluruh penghuni Kesatrian Madukara tertidur
nyenyak.
Pengaruh Aji Sirep yang diajarkan Batari Durga telah bekerja. Raden Gatutkaca yang
bertugas menjaga keamanan tampak tertidur sambil berdiri. Raden Lesmana pun
mendatanginya dan mencabut Keris Kalanadah yang terselip di pinggang sepupunya itu.
Maksud hati Raden Lesmana hendak menikamkan keris pusaka tersebut ke dada Raden
Gatutkaca namun dibatalkannya. Rupanya ia mendapatkan ide lain. Keris Kalanadah akan
digunakan untuk melakukan kejahatan fitnah.
Raden Lesmana lalu membawa Keris Kalanadah menuju kamar pengantin. Setelah
ketemu, ia pun membuka pintunya dan masuk ke dalam. Tampak Raden Pancawala dan
Dewi Pregiwati sedang tidur bersama. Raden Lesmana Mandrakumara tertawa mengejek
karena kedua mempelai itu belum sempat menikmati malam pertama namun sudah tertidur
lelap akibat Aji Sirep yang ia kerahkan.
Raden Lesmana lalu mendekati ranjang dan menikam dada Raden Pancawala
menggunakan Keris Kalanadah. Dewi Pregiwati pun terbangun ketika darah sang suami
membasahi tubuhnya. Ia menjerit ketakutan dan berteriak minta tolong. Raden Lesmana
KITAB WAYANG PURWA

terkejut namun ia sadar dirinya tidak terlihat karena sedang menggunakan Aji Panglimunan.
Maka, dengan mengendap-endap, ia pun keluar meninggalkan kamar pengantin tersebut.

RADEN GATUTKACA TERKENA FITNAH


Para Pandawa dan para tamu lainnya terbangun dan segera masuk ke kamar
pengantin. Mereka terkejut melihat Dewi Pregiwati menangis sambil memeluk Raden
Pancawala yang telah tewas. Raden Arjuna menanyai putrinya apa yang telah terjadi. Dewi
Pregiwati menjawab ketika masuk ke dalam kamar bersama Raden Pancawala, mereka
berdua sangat mengantuk dan langsung tertidur pulas. Tiba-tiba Dewi Pregiwati merasa
tubuhnya basah dan terbangun dari tidur. Tahu-tahu suaminya sudah tewas tertusuk keris.
Prabu Baladewa mengamati keris yang menancap di dada Raden Pancawala adalah
Keris Kalanadah milik Raden Arjuna. Ia pun marah-marah dan menuduh Raden Arjuna telah
membunuh menantunya sendiri. Raden Arjuna berkata bahwa Keris Kalanadah sudah
bukan lagi menjadi miliknya, tetapi telah ia serahkan kepada Raden Gatutkaca, karena keris
pusaka tersebut dulunya adalah milik Prabu Tremboko yang tertinggal di kaki Prabu Pandu
saat Perang Pamuksa. Prabu Kresna membenarkan hal itu karena ia sendiri menjadi saksi
saat Raden Arjuna menyerahkan Keris Kalanadah kepada Raden Gatutkaca beberapa
waktu yang lalu.
Prabu Baladewa berkata, itu artinya pelaku pembunuhan Raden Pancawala adalah
Raden Gatutkaca. Arya Wrekodara sangat marah mendengarnya. Ia pun melompat keluar
kamar untuk melabrak putranya tersebut.
Sementara itu, Prabu Puntadewa terlihat tetap tenang meskipun putranya tewas.
Dalam hati ia yakin ajal Raden Pancawala belum sekarang saatnya. Maka, ia pun meminta
tolong kepada Prabu Kresna agar menghidupkan kembali putranya menggunakan
Kembang Wijayakusuma.
Prabu Kresna mengabulkan permintaan sang sepupu. Ia pun mengeluarkan bunga
pusaka tersebut dan melewatkannya di atas jasad Raden Pancawala sambil membaca
mantra. Seketika Raden Pancawala pun hidup kembali pertanda ajalnya memang bukan
sekarang.

RADEN GATUTKACA DIJATUHI HUKUMAN BUANG


Arya Wrekodara yang dibakar amarah telah menemukan Raden Gatutkaca yang tidur
dalam keadaan berdiri. Ia pun membangunkan putranya itu dan langsung menghajarnya.
Raden Gatutkaca terkejut tetapi tidak berani melawan ayah sendiri. Ia hanya menurut saat
tubuhnya dipukul dan ditendang oleh Arya Wrekodara.
Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, Raden Arjuna, dan yang lain
datang melerai. Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni ikut datang pula. Prabu Puntadewa
berkata Raden Gatutkaca tidak perlu dianiaya karena Raden Pancawala sudah dihidupkan
kembali oleh Prabu Kresna. Raden Gatutkaca tidak tahu menahu soal pembunuhan
tersebut. Ia pun mohon izin untuk menyelidiki kasus ini dan berjanji akan menangkap pelaku
yang sebenarnya.
Prabu Duryudana berkata barang bukti sudah jelas, yaitu Keris Kalanadah tertancap
di dada Raden Pancawala. Itu artinya Raden Gatutkaca adalah pelaku pembunuhan, tidak
ada yang lain. Raden Gatutkaca menjawab ada orang yang mengerahkan sirep dan
membuatnya tertidur, lalu orang itu mencuri keris pusaka di pinggangnya. Patih Sangkuni
berkata itu hanya alasan pelaku kejahatan yang tertangkap. Ada-ada saja alasan yang
disampaikan, entah itu difitnah, entah itu direkayasa, entah itu dizhalimi, ada bermacam-
macam alasan.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Puntadewa mengatakan masalah ini tidak perlu diperpanjang karena putranya
sudah hidup kembali. Prabu Duryudana tidak sependapat. Raden Gatutkaca sudah
melakukan dosa pembunuhan terhadap sepupu sendiri, maka ini harus diusut tuntas.
Hukum harus ditegakkan. Prabu Puntadewa terkenal sebagai raja yang adil, jangan sampai
ada yang memaki di belakang bahwa hukum di Kerajaan Amarta hanya berlaku untuk rakyat
jelata saja. Patih Sangkuni ikut menambahi, ikut mendesak Prabu Puntadewa agar
menjatuhkan hukuman kepada Raden Gatutkaca, jangan pandang bulu meskipun terhadap
keponakan sendiri.
Arya Wrekodara berkata bahwa dirinyalah yang akan menghukum mati anaknya
sendiri. Usai berkata demikian, ia pun berniat menusuk dada Raden Gatutkaca
menggunakan Kuku Pancanaka, namun tangannya dipegang Prabu Kresna. Biarlah Prabu
Puntadewa yang memutuskan, jangan main hakim sendiri.
Prabu Puntadewa pun menimbang-nimbang hukuman apa yang pantas untuk Raden
Gatutkaca. Mengingat putranya sudah hidup kembali, maka Raden Gatutkaca tidak
dihukum mati, melainkan dihukum buang di tengah hutan. Patih Sangkuni berkata bahwa
hal itu terlalu berbahaya mengingat Raden Gatutkaca sangat sakti. Ia mengusulkan agar
tubuh Raden Gatutkaca diikat menggunakan rantai baja di bawah pohon besar, sehingga
tangannya tidak bisa lagi digunakan untuk membunuh orang.
Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya setuju. Maka, Raden Gatutkaca pun
dibawa ke hutan untuk menjalani hukuman buang, kemudian diikat menggunakan rantai
baja di bawah sebatang pohon besar.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA HENDAK MENGGANGGU DEWI PREGIWA


Dewi Pregiwa yang mendengar berita bahwa suaminya dihukum buang segera pergi
menyusul dengan membawa bekal makanan. Raden Gatutkaca terharu menyambut
kedatangan istrinya itu dan bertanya apakah Dewi Pregiwa tidak curiga kepadanya. Dewi
Pregiwa menjawab ia yakin sang suami sedang difitnah orang. Cepat atau lambat, si pelaku
yang sebenarnya pasti akan tertangkap.
Setelah Raden Gatutkaca makan kenyang disuapi sang istri, barulah Dewi Pregiwa
sadar kalau dirinya tidak membawa air minum. Maka, ia pun mohon pamit kepada suaminya
untuk mengambil air di sungai terdekat. Dewi Pregiwa lalu berjalan sendiri meninggalkan
Raden Gatutkaca. Ia tidak sadar kalau Raden Lesmana Mandrakumara diam-diam
mengikuti dari belakang sambil mengerahkan Aji Setelah agak jauh dari Raden Gatutkaca,
barulah Raden Lesmana menampakkan diri di hadapan Dewi Pregiwa. Dewi Pregiwa
terkejut melihat kemunculannya. Raden Lesmana pun merayu dengan kata-kata manis agar
Dewi Pregiwa ikut dengannya daripada menunggui suami yang menjalani hukuman. Ia
menyebut Raden Gatutkaca bukan suami setia karena diam-diam menyukai Dewi Pregiwati
dan membunuh Raden Pancawala. Namun, Dewi Pregiwa tidak percaya. Ia yakin ada orang
lain yang memfitnah suaminya.
Raden Lesmana hilang kesabaran dan berniat memerkosa Dewi Pregiwa. Ia juga
mengatakan bahwa dirinyalah yang telah memfitnah Raden Gatutkaca. Dewi Pregiwa
terkejut dan menjerit minta tolong. Mendengar suara istrinya dalam bahaya, Raden
Gatutkaca sangat marah. Kekuatannya meningkat dan ia pun mampu memutus rantai baja
yang mengikat tubuhnya menjadi hancur berkeping-keping. Setelah terbebas dari belenggu,
Ia lalu melesat terbang ke arah suara istrinya. Di sana ia melihat Raden Lesmana
Mandrakumara hendak berbuat jahat kepada Dewi Pregiwa.
Raden Gatutkaca segera menghajar Raden Lesmana. Tubuh Raden Lesmana dipukul
dan ditendang hingga babak belur. Raden Lesmana hendak melawan namun ia sadar
KITAB WAYANG PURWA

dirinya kalah kuat dan kalah perkasa. Maka, ia kembali mengerahkan Aji Panglimunan
sehingga tubuhnya tidak terlihat oleh lawan.
Raden Gatutkaca dan Dewi Pregiwa heran melihat wujud Raden Lesmana yang
menghilang dari pandangan. Tiba-tiba Raden Gatutkaca merasa seperti ada yang memukul
dari belakang. Ketika ia hendak membalas, Raden Lesmana sudah pergi menjauh.

RADEN ABIMANYU DAN PARA PANAKAWAN MEMBANTU RADEN GATUTKACA


Raden Lesmana Mandrakumara berkali-kali memukul Raden Gatutkaca kemudian
menghindar atau tiarap, sehingga Raden Gatutkaca tidak dapat membalas. Raden
Gatutkaca memaki sepupunya itu sebagai pengecut, tetapi Raden Lesmana diam tidak
menjawab. Meskipun cengeng, tetapi Raden Lesmana memiliki bakat licik mewarisi
ayahnya.
Tiba-tiba Raden Abimanyu datang bersama para panakawan. Kyai Semar dapat
membaca apa yang sedang terjadi. Ia pun memerintahkan ketiga anaknya untuk mencari
dan menyembelih binatang yang memiliki darah. Kebetulan ada seekor babi hutan lewat.
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong segera menangkap dan menyembelih hewan tersebut,
kemudian atas perintah Kyai Semar, mereka menyiramkan darahnya ke arah orang yang
memukul Raden Gatutkaca.
Begitu tersiram darah babi hutan, wujud Raden Lesmana menjadi terbentuk samar-
samar. Aji Panglimunan sudah tidak dapat digunakan lagi. Raden Gatutkaca gembira dan
segera meringkus musuhnya itu. Raden Lesmana berteriak minta tolong, memanggil-
manggil nama pamannya.
Raden Burisrawa dan Prabu Wirambadewa datang membantu. Raden Gatutkaca dan
Raden Abimanyu maju menghadapi mereka, sedangkan Raden Lesmana diikat para
panakawan. Menghadapi dua kesatria muda tersebut, Raden Burisrawa dan Prabu
Wirambadewa terdesak kewalahan, kemudian kabur melarikan diri.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DIBAWA PULANG ORANG TUANYA


Raden Gatutkaca, Dewi Pregiwa, Raden Abimanyu, dan para panakawan membawa
Raden Lesmana Mandrakumara yang terikat dan berlumuran darah kembali ke Kerajaan
Amarta. Para Pandawa, Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu Duryudana terkejut
melihat pemandangan ini. Prabu Duryudana marah-marah melihat anaknya berlumuran
darah. Ia menuduh Raden Gatutkaca telah meninggalkan tempat hukuman dan kembali
berbuat jahat dengan menyiksa putranya.
Raden Abimanyu menjelaskan bahwa itu bukan darah Raden Lesmana, melainkan
darah babi hutan yang disiramkan kepadanya. Kyai Semar menambahkan bahwa pelaku
pembunuhan Raden Pancawala adalah Raden Lesmana yang mendapat kesaktian dari
Batari Durga. Prabu Duryudana tidak percaya anaknya bisa berbuat seperti itu, namun
Raden Lesmana yang miskin pengalaman tidak dapat berbohong. Ia mengakui bahwa
dirinya memang telah membunuh Raden Pancawala dan memfitnah Raden Gatutkaca.
Prabu Duryudana sangat malu dan ia pun memohon kepada Prabu Puntadewa agar
mengampuni putranya. Arya Wrekodara tidak terima dan meminta agar hukum ditegakkan.
Prabu Duryudana pun meminta maaf karena putranya telah memfitnah Raden Gatutkaca,
putra Arya Wrekodara. Akan tetapi, Arya Wrekodara tidak mau memaafkan karena ia hampir
saja membunuh anaknya sendiri gara-gara kejahatan fitnah Raden Lesmana.
Prabu Puntadewa pun menengahi. Ia berkata bahwa hukuman tidak akan dijatuhkan
apabila Raden Gatutkaca dan Raden Pancawala ikhlas memaafkan Raden Lesmana
Mandrakumara. Raden Gatutkaca terdiam. Namun, melihat keadaan Raden Lesmana yang
KITAB WAYANG PURWA

sudah babak belur terkena pukulannya sewaktu di hutan tadi, ia menjadi kasihan. Maka,
Raden Gatutkaca pun menyatakan ia telah memaafkan Raden Lesmana.
Raden Pancawala dan Dewi Pregiwati juga dihadirkan dalam persidangan itu.
Sepasang pengantin baru tersebut juga memaafkan Raden Lesmana, dengan syarat Raden
Lesmana seumur hidup tidak boleh lagi mengganggu Dewi Pregiwa, Dewi Pregiwati, dan
Dewi Sitisundari. Raden Lesmana menyanggupi. Ia berkata bahwa perempuan lain masih
banyak dan ia tidak akan mengganggu ketiga wanita tersebut.
Dewi Banuwati datang dan meminta maaf atas perbuatan putranya yang memalukan.
Ia lalu mengajak Raden Lesmana dan Prabu Duryudana kembali ke Kerajaan Hastina.
Prabu Puntadewa pun menyatakan hukuman buang atas Raden Gatutkaca sudah
tidak berlaku lagi. Ia lalu mengadakan pesta syukuran atas terselesaikannya masalah fitnah
ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

IRAWAN MALING
Kisah ini menceritakan kemunculan Bambang Irawan, putra Raden Arjuna, yang
menjadi pencuri di Kerajaan Hastina, dengan ditemani Raden Antareja. Karena ulah
mereka, Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca pun menjadi tersangka akibat fitnah
para Kurawa.
Kisah ini saya olah dari keterangan Ki Rudy Wiratama, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, Oktober 2017
Heri Purwanto

Bambang Irawan.

PRABU DURYUDANA MEMBAHAS TENTANG PENCURIAN DI KERAJAAN HASTINA


Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan dihadap Danghyang
Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, dan
Raden Kartawarma dari Tirtatinalang.
Mereka membahas tentang adanya peristwa pencurian yang beberapa kali melanda
ibu kota Kerajaan Hastina. Si pencuri berani mendatangi tempat tinggal para Kurawa dan
juga para pejabat kerajaan untuk diambil harta bendanya. Pencuri ini sangat lihai dan sulit
ditangkap. Ia bahkan berani meninggalkan tulisan di dinding rumah yang dicurinya, di mana
tulisan itu berbunyi: Bambang Jaganala.
Patih Sangkuni berkata bahwa selama lima belas hari ini ada belasan rumah dan
kesatrian yang didatangi pencuri tersebut. Para Kurawa yang melapor telah kehilangan
harta benda, antara lain Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Surtayu, Raden Durjaya,
Raden Durmuka, dan Raden Durmagati, semuanya sudah didatangi Bambang Jaganala
yang meninggalkan tulisan di dinding.
Prabu Duryudana marah-marah atas kejadian ini. Ia kecewa pada para pejabat yang
dianggap tidak becus menjaga keamanan ibu kota. Patih Sangkuni melimpahkan kesalahan
pada Adipati Karna selaku panglima angkatan perang, yang bertanggung jawab
membawahi para prajurit Kerajaan Hastina. Maka, urusan keamanan negara menjadi tugas
Adipati Karna. Adipati Karna tidak terima dan menyanggah tuduhan Patih Sangkuni. Dirinya
memang panglima angkatan perang, tetapi tugasnya adalah mempertahankan negara dari
ancaman musuh. Pasukan yang ia bawahi hanyalah tentara angkatan darat dan angkatan
laut saja. Adapun urusan keamanan adalah tanggung jawab pasukan bayangkara, dan itu
berada di bawah kendali Patih Sangkuni.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana semakin marah. Bukannya mau mengakui kesalahan, tetapi para
pejabatnya justru saling menyalahkan satu dengan yang lain. Jika terus-terusan seperti ini,
maka masalah tidak akan selesai bahkan bertambah rumit. Adipati Karna teringat dirinya
telah bersumpah setia kepada Prabu Duryudana, maka ia akhirnya menyanggupi untuk
menangkap pencuri tersebut. Prabu Duryudana senang mendengarnya dan ia pun
menugasi kakak iparnya itu untuk meringkus Bambang Jaganala hidup atau mati.

PRABU DURYUDANA MENERIMA KUNJUNGAN RAJA NGRANCANGKENCANA


Tidak lama kemudian, datang seorang raja yang mengaku bernama Prabu
Jayasentika dari Kerajaan Ngrancangkencana. Ia datang ke Kerajaan Hastina karena
mendengar berita bahwa Prabu Duryudana mempunyai seorang putri yang cantik, bernama
Dewi Lesmanawati. Prabu Jayasentika pun tertarik dan ingin menjadikannya sebagai
permaisuri.
Prabu Duryudana menjawab dirinya memang memiliki dua orang anak. Yang pertama
laki-laki, bernama Raden Lesmana Mandrakumara, sedangkan yang bungsu perempuan
bernama Dewi Lesmanawati. Menurut Prabu Duryudana, Dewi Lesmanawati baru saja
menginjak usia remaja. Tentunya belum pantas jika menikah sekarang. Oleh sebab itu,
Prabu Duryudana belum dapat menerima pinangan Prabu Jayasentika.
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Alangkah baiknya Prabu Jayasentika diberi
kesempatan untuk membuktikan kesungguhan hatinya. Beberapa hari ini ibu kota Kerajaan
Hastina didatangi pencuri bernama Bambang Jaganala. Jika Prabu Jayasentika benar-
benar ingin menjadi anggota keluarga Kerajaan Hastina, maka ia harus bisa menangkap
pencuri bernama Bambang Jaganala itu, hidup atau mati.
Prabu Duryudana tertarik pada usulan Patih Sangkuni. Ia pun berjanji akan menerima
Prabu Jayasentika sebagai menantu asalkan bisa meringkus pencuri bernama Bambang
Jaganala tersebut. Mendengar itu, Adipati Karna merasa tidak dihargai. Bukankah tadi
Prabu Duryudana sudah setuju menugasi dirinya yang menangkap Bambang Jaganala, lalu
mengapa sekarang dialihkan kepada orang lain? Merasa disisihkan, Adipati Karna pun
mohon pamit pulang ke Kadipaten Awangga.
Prabu Duryudana hafal watak Adipati Karna yang mudah tersinggung tetapi tidak
mungkin mengkhianati dirinya. Maka, ia tetap menugasi Prabu Jayasentika untuk mulai
memburu si pencuri lihai bernama Bambang Jaganala tersebut. Setelah dirasa cukup,
pertemuan hari itu pun dibubarkan.

BAMBANG JAGANALA DAN PUTUT JAYABADRA MERENCANAKAN PENCURIAN DI


ISTANA HASTINA
Si pencuri yang bernama Bambang Jaganala ternyata masih muda belia dan berwajah
tampan. Ia memiliki kakak angkat bernama Putut Jayabadra yang berbadan gagah perkasa.
Malam ini Bambang Jaganala berniat melakukan pencurian langsung di istana tempat
tinggal Prabu Duryudana, bukan lagi di tempat para pangeran Kurawa seperti kemarin-
kemarin.
Putut Jayabadra bertanya apakah tidak sebaiknya Bambang Jaganala berhenti
mencuri saja, karena melakukan pencurian di istana Prabu Duryudana tentu sangat
berbahaya. Penjagaan di istana sudah pasti lebih ketat daripada di kesatrian. Namun,
Bambang Jaganala tidak peduli. Prabu Duryudana sudah sering bertindak jahat menindas
rakyat, menarik pajak dengan sewenang-wenang, menjebloskan orang ke dalam penjara
sesuka hati, maka kini saatnya untuk membalaskan dendam mereka. Bambang Jaganala
merasa belum puas jika belum merampok harta kekayaan raja Kurawa tersebut untuk
KITAB WAYANG PURWA

dibagi-bagikan kepada rakyat jelata yang selama ini sudah banyak menderita. Kerajaan
Hastina adalah negeri besar, tetapi yang kaya raya adalah para bangsawan dan pejabatnya
saja, sedangkan rakyat jelata di pedesaan hidup melarat.
Putut Jayabadra tidak dapat membantah keinginan Bambang Jaganala. Sejak
berangkat meninggalkan padepokan, ia sudah berjanji kepada gurunya yang juga kakek
Bambang Jaganala, bahwa ia akan selalu menjaga keselamatan adik angkatnya tersebut.
Maka, setelah keduanya sepakat, mereka pun berangkat menyusup ke dalam istana
Kerajaan Hastina malam itu juga.

BAMBANG JAGANALA MERAYU DEWI LESMANAWATI


Putut Jayabadra memiliki kesaktian mampu amblas ke dalam bumi dan membuat
lubang bawah tanah. Begitu muncul di permukaan, ia dan Bambang Jaganala sudah berada
di dalam kaputren. Tampak Dewi Lesmanawati sedang duduk sendiri. Gadis yang baru saja
beranjak remaja tersebut berwajah cantik seperti ibunya, yaitu Dewi Banuwati. Bambang
Jaganala tertarik melihatnya. Ia lalu mendekat dan merayu gadis itu.
Dewi Lesmanawati yang tidak mempunyai pengalaman soal asmara seketika jatuh
cinta melihat Bambang Jaganala yang tampan rupawan. Bambang Jaganala pun semakin
gencar dalam merayu, membuat Putut Jayabadra kesal karena adik angkatnya itu
melupakan tujuan awal.
Bambang Jaganala meminta Putut Jayabadra pergi lebih dulu untuk mengambil harta
kekayaan Kerajaan Hastina, dan nanti ia akan menyusul setelah urusan dengan Dewi
Lesmanawati selesai. Putut Jayabadra pun kembali membuat lubang bawah tanah dan
meninggalkan kaputren melalui lubang tersebut.
Setelah kakaknya pergi, Bambang Jaganala kembali menggoda Dewi Lesmanawati
dengan segala bujuk rayunya. Dewi Lesmanawati semakin terlena dan ia pun menyerahkan
jiwa raganya kepada pemuda tampan yang baru saja dikenalnya tersebut. Keduanya lalu
masuk ke dalam kamar melampiaskan hasrat masing-masing.

PARA KURAWA MENGEPUNG DUA PENYUSUP


Sementara itu, Putut Jayabadra telah memasuki ruang penyimpanan harta benda milik
Prabu Duryudana. Ia pun mengambil perhiasan dan emas permata untuk kemudian
dimasukkan ke dalam kantong yang sudah dipersiapkan. Tiba-tiba ia dipergoki Raden
Kartawarma yang sedang meronda bersama Bambang Aswatama. Putut Jayabadra pun
membela diri saat hendak ditangkap. Maka, terjadilah pertempuran di depan ruang
penyimpanan harta tersebut. Meskipun hanya sendiri namun Putut Jayabadra dengan
tangkas mampu menghadapi mereka semua.
Para Kurawa lainnya berdatangan ikut mengeroyok Putut Jayabadra. Lama-lama
Putut Jayabadra terdesak kewalahan. Namun, tiba-tiba Bambang Jaganala datang
membantu. Ia melepas hewan-hewan peliharaan Prabu Duryudana, termasuk Gajah
Murdaningkung untuk mengacau para Kurawa.
Dengan adanya gajah, kuda, macan, dan sebagainya yang berlarian ke sana kemari,
membuat para Kurawa berhamburan ke segala arah. Putut Jayabadra dan Bambang
Jaganala kemudian melompat ke atas punggung Gajah Murdaningkung dan mengendarai
hewan tersebut untuk kabur meninggalkan istana Kerajaan Hastina sambil membawa harta
curian mereka.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Kartawarma

PATIH SANGKUNI MEMBUAT LAPORAN PALSU


Prabu Duryudana datang ke tempat kejadian dan marah-marah melihat penjagaan di
istana begitu kendor sehingga Bambang Jaganala dapat menyusup dan kabur sesuka hati.
Prabu Jayasentika juga ikut datang dan bertanya apa yang baru saja terjadi. Prabu
Duryudana marah kepadanya yang tadi menyatakan sanggup menangkap Bambang
Jaganala. Prabu Jayasentika merasa malu dan segera mohon pamit mengejar pencuri
tersebut.
Prabu Duryudana lalu menanyai para Kurawa tentang ciri-ciri Bambang Jaganala.
Raden Kartawarma menjawab, pencurinya ada dua orang. Bambang Jaganala berwajah
tampan dan agak kurus, sedangkan temannya berbadan gagah, bernama Putut Jayabadra.
Patih Sangkuni yang juga hadir merasa malu karena dimarahi Prabu Duryudana. Ia pun
mengarang laporan palsu dengan mengatakan bahwa tadi ia sempat melihat sosok kedua
maling tersebut. Ia yakin, Bambang Jaganala adalah Raden Abimanyu yang sedang
menyamar, sedangkan Putut Jayabadra adalah penyamaran Raden Gatutkaca.
Prabu Duryudana semakin marah karena yang berani mencuri di istananya ternyata
para putra Pandawa. Ia lalu memerintahkan Patih Sangkuni untuk melaporkan hal ini
kepada Prabu Puntadewa, agar kedua pemuda itu dihukum berat oleh orang tuanya sendiri.
Patih Sangkuni senang menerima perintah tersebut. Ia pun bergegas pergi menuju
Kerajaan Amarta dengan ditemani para Kurawa.

PATIH SANGKUNI MELAPOR KEPADA PRABU PUNTADEWA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap adik-adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Hadir pula Prabu Kresna Wasudewa yang berkunjung
dari Kerajaan Dwarawati. Tiba-tiba Patih Sangkuni datang dengan tergesa-gesa. Setelah
saling memberi salam, Patih Sangkuni pun bercerita bahwa Kerajaan Hastina baru saja
didatangi dua orang pencuri. Kedua pencuri ini telah membawa kabur emas permata dan
juga Gajah Murdaningkung milik Prabu Duryudana. Menurut keterangan para Kurawa yang
memergoki kejadian tersebut, kedua pencuri ini yang satu berwajah mirip Raden Abimanyu,
dan yang satu lagi berwajah mirip Raden Gatutkaca.
Arya Wrekodara terkejut mendengarnya. Ia segera mohon diri keluar istana, lalu
kembali lagi dengan membawa serta Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca. Kedua
pemuda itu pun dihadapkan kepada Prabu Puntadewa agar mengakui perbuatan mereka.
Raden Arjuna juga ikut hadir di belakang mereka.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca tidak tahu-menahu ada masalah apa yang
sedang menimpa diri mereka. Prabu Puntadewa pun bertanya apakah benar mereka berdua
baru saja mencuri di Kerajaan Hastina. Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca serentak
KITAB WAYANG PURWA

menjawab tidak. Raden Arjuna membenarkan hal itu karena sejak tadi mereka berdua
mengunjungi dirinya di Kesatrian Madukara.
Patih Sangkuni menyindir di dunia ini mana ada maling yang mengaku. Semua pelaku
kejahatan yang tertangkap rata-rata mengarang cerita untuk menutupi perbuatan mereka.
Lagipula Raden Arjuna sudah pasti melindungi kesalahan putra dan menantunya. Boleh
dikatakan Raden Arjuna telah bersekongkol dengan kedua pencuri tersebut. Patih Sangkuni
meminta Prabu Puntadewa untuk tidak mudah percaya begitu saja pada ucapan mereka
bertiga.
Arya Wrekodara marah dan berkata Patih Sangkuni tidak perlu ikut campur
memengaruhi keputusan kakaknya. Jika memang benar Raden Abimanyu dan Raden
Gatutkaca bersalah, maka Arya Wrekodara sendiri yang akan menghukum mereka dengan
berat. Tapi jika tidak terbukti, maka Kerajaan Hastina harus meminta maaf atas fitnah ini.
Prabu Puntadewa lalu meminta pertimbangan Prabu Kresna. Prabu Kresna
menjawab, Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca harus bisa membuktikan bahwa diri
mereka tidak bersalah. Jika mereka dapat menangkap kedua pencuri tersebut, maka
keduanya akan terbebas dari jerat hukum. Selama tidak mampu menangkap kedua pencuri
itu, maka mereka berdua tidak boleh pulang ke Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa setuju
dan menetapkan keputusan demikian supaya dijalankan oleh kedua keponakannya
tersebut.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca terkejut mendengar keputusan ini. Mereka
yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba saja harus membersihkan diri dari tuduhan fitnah. Arya
Wrekodara menasihati keduanya agar jangan mengeluh. Sebagai kesatria, mereka harus
siap menjalankan tugas apa pun itu. Segala peristiwa yang terjadi jangan dianggap sebagai
kesulitan, tetapi hendaknya dianggap sebagai sarana untuk mendewasakan diri dan
menambah pengalaman hidup.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca menerima nasihat tersebut dengan sukacita.
Raden Arjuna juga menambahkan, bahwa kedua pencuri tersebut pasti orang sakti karena
bisa menyusup ke dalam istana Kerajaan Hastina dengan mudah. Oleh sebab itu, Raden
Arjuna berniat meminjamkan panah pusaka Sarotama kepada Raden Abimanyu sebagi
senjata untuk meringkus Bambang Jaganala dan Putut Jayabadra.
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca berterima kasih. Mereka lalu mohon pamit
untuk berangkat menangkap kedua pencuri itu. Setelah mereka pergi, Patih Sangkuni
mohon pamit pula kembali ke Kerajaan Hastina, sedangkan Prabu Kresna mengajak Arya
Wrekodara dan Raden Arjuna mengawasi kedua putra mereka dari kejauhan.

BAMBANG JAGANALA DAN PUTUT JAYABADRA MEMBAGI-BAGIKAN HARTA


CURIAN
Sementara itu, Bambang Jaganala dan Putut Jayabadra telah melarikan diri
meninggalkan Kerajaan Hastina dengan mengendarai Gajah Murdaningkung. Mereka
melewati desa-desa miskin dan membagi-bagikan emas permata yang telah mereka curi.
Para penduduk pun berterima kasih dan banyak memuju-muji kedua pemuda tersebut.
Setelah harta benda mereka bagi-bagikan, Putut Jayabadra lalu mengajak Bambang
Jaganala untuk pergi ke Kerajaan Amarta mencari ayah mereka. Namun, Bambang
Jaganala masih belum puas. Ia masih ingin berbuat lebih banyak jasa sebagai bekal untuk
bertemu sang ayah. Oleh sebab itu, ia mengajak kakak angkatnya itu untuk kembali
mencuri. Namun, Putut Jayabadra tidak setuju atas usulan ini.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Antareja.

PRABU JAYASENTIKA BERTARUNG MENGHADAPI BAMBANG JAGANALA


Ketika Putut Jayabadra dan Bambang Jaganala sedang sibuk berdebat apakah harus
mencuri lagi atau tidak, tiba-tiba muncul Prabu Jayasentika dan pasukannya mengepung
mereka. Prabu Jayasentika mengatakan dirinya telah mendapat mandat dari Prabu
Duryudana untuk meringkus kedua pencuri dan membawa pulang Gajah Murdaningkung.
Apabila berhasil, maka ia bisa menikahi Dewi Lesmanawati, putri Prabu Duryudana.
Bambang Jaganala tertawa mengatakan bahwa Dewi Lesmanawati sudah tidur
dengannya sehingga Prabu Jayasentika hanya tinggal mendapat sisa belaka. Prabu
Jayasentika marah dan menyerang Bambang Jaganala. Keduanya lalu bertarung sengit
satu lawan satu. Sementara itu, Putut Jayabadra seorang diri bertempur melawan pasukan
Kerajaan Ngrancangkencana.
Prabu Jayasentika dan Bambang Jaganala saling mengadu kesaktian. Selang agak
lama, mereka baru sadar kalau ilmu kesaktian yang mereka gunakan ternyata sama persis.
Prabu Jayasentika mengerahkan ilmu apa, dapat diimbangi Bambang Jaganala dengan
ilmu yang sama pula.
Prabu Jayasentika lalu bertanya ada hubungan apa antara Bambang Jaganala dengan
Resi Jayawilapa di Padepokan Yasarata. Bambang Jaganala menjawab, Resi Jayawilapa
adalah kakeknya. Prabu Jayasentika lalu bertanya lagi, ada hubungan apa antara Bambang
Jaganala dengan Endang Ulupi. Bambang Jaganala menjawab, Endang Ulupi adalah ibu
kandungnya.
Mendengar jawaban tersebut, Prabu Jayasentika langsung luluh dan membuang
senjatanya. Ia berkata bahwa Bambang Jaganala adalah keponakannya sendiri, karena ia
adalah adik kandung Endang Ulupi. Bambang Jaganala agak bimbang. Ia berkata bahwa
ibunya memang pernah bercerita memiliki adik yang sudah lama pergi meninggalkan
padepokan, tetapi nama adiknya itu adalah Bambang Ratnasentika, bukan Prabu
Jayasentika.
Prabu Jayasentika menjawab nama aslinya memang Bambang Ratnasentika. Dahulu
kala ia pernah berselisih paham dengan ayahnya sendiri, yaitu Resi Jayawilapa sehingga
memutuskan kabur meninggalkan Padepokan Yasarata. Saat itu kakaknya, yaitu Endang
Ulupi masih belum menikah. Bambang Ratnasentika pun pergi berkelana sendiri. Berkat
usaha dan kerja kerasnya, ia berhasil mendirikan negara kecil bernama Kerajaan
Ngrancangkencana. Bambang Ratnasentika sebenarnya rindu pada ayah dan kakaknya itu,
namun ia malu untuk pulang ke Padepokan Yasarata. Yang bisa ia lakukan hanyalah
mengganti nama menjadi Prabu Jayasentika, agar mirip dengan nama Resi Jayawilapa.
Mendengar itu, Bambang Jaganala pun maju dan memeluk Prabu Jayasentika. Putut
Jayabadra dan para prajurit Ngrancangkencana heran dan seketika berhenti bertempur
untuk kemudian mendekati mereka. Bambang Jaganala pun menjelaskan kepada Putut
KITAB WAYANG PURWA

Jayabadra bahwa Prabu Jayasentika ternyata adalah pamannya sendiri yang sudah lama
meninggalkan padepokan.
Bambang Jaganala lalu bercerita bahwa nama aslinya adalah Bambang Irawan,
sedangkan ayahnya bernama Raden Arjuna dari keluarga Pandawa. Ia lalu
memperkenalkan kakak angkatnya, yaitu Putut Jayabadra, murid Resi Jayawilapa yang
mempunyai nama asli Raden Antareja. Kakak angkatnya ini adalah putra kesatria Pandawa
yang nomor dua, yaitu Arya Wekodara. Bambang Irawan dan Raden Antareja berniat
membuat jasa sebelum menemui ayah-ayah mereka, yaitu dengan cara mencuri harta
benda Kerajaan Hastina dan membagi-bagikannya kepada rakyat miskin.
Prabu Jayasentika merestui keponakannya semoga berhasil dan diterima menjadi
bagian dari keluarga Pandawa. Ia lalu berkata soal Dewi Lesmanawati tidak perlu dibahas
lagi. Ia tidak mungkin bersaing dengan keponakan sendiri. Prabu Jayasentika pun memilih
pulang ke Kerajaan Ngrancangkencana dan membatalkan pinangannya terhadap putri
Kerajaan Hastina tersebut. Ia mengundang Bambang Irawan dan Raden Antareja agar ikut
dengannya pergi ke Ngrancangkencana.
Bambang Irawan berterima kasih atas keputusan pamannya. Ia berjanji kelak akan
pergi berkunjung ke Ngrancangkencana setelah bisa bertemu ayahnya. Usai berkata
demikian, mereka pun berpisah. Prabu Jayasentika dan pasukannya kembali ke negeri
mereka, sedangkan Bambang Irawan dan Raden Antareja melanjutkan perjalanan.

Prabu Jayasentika

PERTEMPURAN PARA PUTRA PANDAWA


Tiba-tiba muncul Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca menghadang Bambang
Irawan dan Raden Antareja. Antara Raden Gatutkaca dan Raden Antareja sudah saling
kenal sejak peristiwa Dewi Sumbadra dilarung dulu. Raden Gatutkaca pun memperkenalkan
kakak sulungnya itu kepada Raden Abimanyu.
Raden Abimanyu lalu bertanya apa benar yang bernama Bambang Jaganala adalah
Raden Antareja. Jika benar, maka sungguh terpaksa ia harus menangkap kakak sepupunya
itu untuk membersihkan nama baiknya yang tercemar. Bambang Irawan menyahut, yang
bernama Bambang Jaganala adalah dirinya. Jika Raden Abimanyu ingin menangkap, maka
silakan saja maju, ia sama sekali tidak takut.
Raden Abimanyu tersinggung melihat sikap angkuh Bambang Irawan. Ia pun berkata,
perbuatan Bambang Irawan telah mencemarkan nama baiknya dan juga Raden Gatutkaca.
Ia pun bertekad untuk meringkus Bambang Irawan dan menyerahkannya kepada Prabu
Duryudana, sehingga nama baiknya dan juga Raden Gatutkaca dapat dipulihkan.
Raden Antareja maju memasang badan. Jika Raden Abimanyu berniat menangkap
Bambang Irawan, maka lebih dulu harus berhadapan dengannya. Raden Gatutkaca
bertanya mengapa kakaknya melindungi pencuri? Raden Antareja menjawab, dirinya sudah
KITAB WAYANG PURWA

bersumpah untuk selalu melindungi Bambang Irawan yang sudah seperti adiknya sendiri.
Raden Gatutkaca berkata, jika Bambang Irawan dianggap adik, berarti Raden Antareja
sudah tidak menganggapnya sebagai adik.
Raden Antareja serbasalah. Namun, sebagai laki-laki ia pantang mengingkari janji.
Dirinya siap sedia memasang badan melindungi Bambang Irawan dan tidak segan-segan
berkelahi apabila Raden Gatutkaca membantu Raden Abimanyu. Peristiwa saat mereka
pertama bertemu dulu kiranya dapat terulang kembali.
Karena kedua pihak tidak ada yang saling mengalah, maka mereka pun serentak maju
saling menyerang. Bambang Irawan bertarung menghadapi Raden Abimanyu, sedangkan
Raden Antareja menghadapi Raden Gatutkaca. Sungguh pertarungan yang seimbang, di
mana masing-masing saling mengerahkan kesaktian untuk menjatuhkan lawan.

BAMBANG IRAWAN DAN RADEN ANTAREJA MENINGGALKAN AYAH-AYAH


MEREKA
Prabu Kresna bersama Arya Wrekodara dan Raden Arjuna tiba di tempat itu. Mereka
melihat Raden Gatutkaca dan Raden Antareja bertarung seimbang, tidak ada yang menang,
juga tidak ada yang kalah. Terkadang Raden Gatutkaca membawa tubuh Raden Antareja
terbang di udara, terkadang Raden Antareja yang menarik tubuh Raden Gatutkaca amblas
ke dalam tanah.
Di sisi lain, Raden Abimanyu bertarung melawan seorang pemuda yang wajahnya
mirip Raden Arjuna. Prabu Kresna yakin pemuda inilah yang menamakan dirinya Bambang
Jaganala. Tiba-tiba pemuda itu melepaskan panah pusaka Ardadedali ke arah Raden
Abimanyu. Sebaliknya, Raden Abimanyu pun melepaskan panah Sarotama untuk
mengimbanginya. Prabu Kresna terkejut dan khawatir keduanya sama-sama terluka. Maka,
dengan kecepatan tinggi, ia pun melesat terbang dan menangkap kedua panah pusaka
tersebut dengan kedua tangannya.
Prabu Kresna lalu memanggil Raden Arjuna dan menyerahkan kedua panah itu
kepadanya. Sementara itu, Arya Wrekodara telah melerai pertarungan Raden Gatutkaca
dan Raden Antareja. Prabu Kresna lalu menanyai Raden Arjuna perihal kedua panah
pusaka tersebut. Kalau panah Sarotama jelas tadi dipinjamkan kepada Raden Abimanyu
untuk menangkap pencuri. Namun, panah Ardadedali mengapa bisa berada di tangan
Bambang Jaganala? Apakah pemuda itu telah mencuri di Kesatrian Madukara?
Raden Arjuna menjawab panah Ardadedali memang salah satu pusakanya, yaitu
pemberian sang kakek Bagawan Abyasa. Ia masih ingat, panah Ardadedali dulu ia titipkan
kepada istrinya yang bernama Endang Ulupi di Padepokan Yasarata. Saat itu Endang Ulupi
melahirkan seorang putra yang diberi nama Bambang Irawan. Raden Antareja menjadi
saksi atas peristiwa itu. Selama beberapa hari Raden Arjuna tinggal di padepokan
menunggui anak dan istrinya. Hingga akhirnya ia pun memutuskan kembali ke Kerajaan
Amarta. Sebelum berangkat, Raden Arjuna sempat menitipkan panah Ardadedali kepada
Endang Ulupi. Kelak jika Bambang Irawan sudah dewasa dan ingin bertemu dengannya,
panah itu hendaknya dibawa sebagai tanda pengenal.
Prabu Kresna lalu bertanya kepada pemuda yang menjadi lawan Raden Abimanyu
apa benar ia bernama Bambang Irawan. Pemuda itu menjawab dirinya memang Bambang
Irawan, putra Raden Arjuna dan Endang Ulupi. Prabu Kresna lalu bertanya, mengapa ia
menyamar sebagai pencuri bernama Bambang Jaganala dan membuat onar di Kerajaan
Hastina.
Bambang Irawan menjawab dirinya ingin berbuat jasa. Ia kasihan melihat rakyat jelata
menderita karena ditarik pajak tinggi, sedangkan harta negara dihambur-hamburkan para
KITAB WAYANG PURWA

Kurawa untuk berfoya-foya. Itulah sebabnya, ia pun mencuri harta benda dari rumah para
Kurawa dan membagi-bagikannya kepada rakyat miskin di pelosok negeri.
Prabu Kresna berkata apa yang menjadi niat Bambang Irawan baik, namun caranya
yang salah. Mencuri untuk bersedekah adalah dua kegiatan yang saling bertolak belakang.
Bisa diibaratkan mandi menggunakan air kencing, apa mungkin itu bisa terjadi? Arya
Wrekodara menyela ikut bicara, bukankah dulu semasa muda Prabu Kresna juga pernah
menjadi begal yang meresahkan masyarakat? Prabu Kresna mengiyakan dirinya memang
pernah menjadi begal. Namun, itu dulu saat ia masih muda dan belum tahu mana yang baik,
mana yang buruk. Kini ia menyadari hal itu adalah keliru, sehingga tidak sebaiknya ditiru
oleh para putra ataupun keponakannya.
Raden Arjuna merasa malu atas perbuatan Bambang Irawan. Ia menjawab dirinya
tidak butuh jasa semacam itu. Bambang Irawan pun dipersilakan pulang saja ke Padepokan
Yasarata, tidak perlu lagi datang ke Kesatrian Madukara. Cukup begini saja pertemuan
mereka.
Bambang Irawan merasa sedih niat baiknya ternyata tidak diterima sang ayah. Ia pun
bergegas pergi dengan hati kecewa. Raden Antareja ikut sedih melihat saudaranya seperti
itu. Arya Wrekodara bertanya apakah putra sulungnya itu ikut pergi dengannya ataukah ikut
Bambang Irawan. Raden Antareja menjawab dirinya sudah berjanji, susah-senang akan
selalu melindungi adik angkatnya tersebut. Mendengar jawaban itu, Arya Wrekodara pun
mempersilakan jika Raden Antareja ikut pergi bersama Bambang Irawan.

RADEN ARJUNA MENGEMBALIKAN GAJAH MURDANINGKUNG KEPADA PATIH


SANGKUNI
Tidak lama kemudian, Patih Sangkuni bersama para Kurawa datang mengepung
Prabu Kresna, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Gatutkaca, dan Raden Abimanyu.
Mereka melihat Gajah Murdaningkung ada bersama orang-orang itu, maka jelas sudah
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca adalah dua pencuri yang selama ini mengacau
Kerajaan Hastina. Para Kurawa pun berniat menyeret mereka ke hadapan Prabu
Duryudana agar dijatuhi hukuman berat.
Arya Wrekodara tidak terima atas tuduhan para Kurawa tersebut. Ia lalu maju
menerjang mereka sebagai pelampiasan atas kekesalannya terhadap ulah Raden Antareja.
Dalam waktu singkat, para Kurawa pun berhamburan dan babak belur ditendang serta
dipukuli Arya Wrekodara.
Patih Sangkuni ketakutan hendak kabur, namun dihadang Raden Arjuna. Raden
Arjuna berkata, Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca bukanlah pencuri. Soal Gajah
Murdaningkung, ia sendiri yang akan mengembalikannya kepada Prabu Duryudana. Patih
Sangkuni ketakutan dan menjawab itu tidak perlu. Biarlah dirinya saja yang membawa
pulang Gajah Murdaningkung dan urusan ini dianggap beres. Raden Arjuna pun berkata,
jika demikian, maka Patih Sangkuni dan para Kurawa tidak boleh lagi mengungkit-ungkit
soal Bambang Jaganala.
Patih Sangkuni berjanji mulai sekarang urusan pencurian Bambang Jaganala
dianggap beres. Ia dan para Kurawa kemudian mohon pamit pulang ke Kerajaan Hastina
dengan tertatih-tatih sambil menuntun Gajah Murdaningkung.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PRABU GAMBIRANOM
Kisah ini menceritakan Bambang Irawan, putra Raden Arjuna, yang menjadi raja di
Kerajaan Ngrancangkencana, dengan ditemani Raden Antareja. Juga diceritakan Prabu
Kresna menjodohkan Bambang Irawan dengan putrinya yang bernama Dewi Titisari.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) yang disusun Ki
Tristuti Suryosaputro yang dipadukan dengan hasil diskusi bersama Ki Rudy Wiratama,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 Oktober 2017
Heri Purwanto

Prabu Gambiranom.

PRABU KRESNA MENDAPAT SURAT LAMARAN DARI PRABU GAMBIRANOM


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan yang dihadiri
sang putra mahkota Raden Samba Wisnubrata dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari
Swalabumi, dan Patih Udawa dari Widarakandang. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan
Mandura, yaitu Prabu Baladewa beserta Patih Pragota dan Arya Prabawa.
Ketika kedua raja kakak-beradik tersebut saling bertanya kabar, tiba-tiba muncul
seorang laki-laki yang mengaku berasal dari Kerajaan Ngrancangkencana, bernama Patih
Jayasentika. Laki-laki itu datang untuk menyampaikan surat dari rajanya yang bernama
Prabu Gambiranom kepada Prabu Kresna.
Prabu Kresna menerima surat itu dan membaca isinya. Dalam surat tersebut Prabu
Gambiranom memperkenalkan dirinya sebagai raja Ngrancangkencana yang masih muda
belia dan belum memiliki permaisuri. Untuk itu, ia bermaksud meminang putri Prabu Kresna
yang bernama Dewi Sitisundari sebagai istri.
Prabu Kresna lalu bertanya kepada Patih Jayasentika bagaimana rupa dan kesaktian
Prabu Gambiranom tersebut. Patih Jayasentika berkata bahwa Prabu Gambiranom
memang benar masih muda belia namun sangat sakti. Dengan kesaktiannya itu, Prabu
Gambiranom telah merebut takhta Kerajaan Ngrancangkencana dari tangan Patih
Jayasentika.
Prabu Baladewa ikut bertanya bagaimana bisa demikian. Patih Jayasentika bercerita
bahwa raja Ngrancangkencana yang sesungguhnya adalah dirinya. Namun, tiba-tiba suatu
hari datang dua pemuda bernama Gambiranom dan Nagasembada yang menantang dirinya
bertarung. Prabu Jayasentika kalah dalam pertarungan tersebut dan merelakan takhta
KITAB WAYANG PURWA

Kerajaan Ngrancangkencana diduduki oleh Gambiranom, sedangkan dirinya diturunkan


pangkat menjadi patih.
Prabu Kresna berkata bahwa putrinya yang bernama Dewi Sitisundari telah menjadi
istri keponakannya sendiri, yaitu Raden Abimanyu putra Raden Arjuna. Oleh sebab itu,
Prabu Kresna tidak dapat menerima lamaran dari Prabu Gambiranom tersebut. Patih
Jayasentika berkata dirinya tidak berani pulang ke Ngrancangkencana kalau tidak
membawa serta Dewi Sitisundari. Prabu Baladewa menyela, bahwa Patih Jayasentika tidak
perlu takut kepada Prabu Gambiranom. Justru apabila Patih Jayasentika bersedia menjadi
sekutu Kerajaan Dwarawati dan Mandura, maka Prabu Baladewa bersedia membantunya
merebut kembali takhta Kerajaan Ngrancangkencana dari tangan raja muda itu.
Patih Jayasentika menjawab tidak berani. Ia telah berhutang budi kepada Prabu
Gambiranom, sehingga tidak bersedia untuk mengkhianati rajanya tersebut. Meskipun
pangkatnya diturunkan, namun Patih Jayasentika bersyukur karena Prabu Gambiranom
ternyata memimpin Kerajaan Ngrancangkencana dengan adil dan bijaksana, sehingga
rakyatnya pun makmur. Oleh karena itu, maka Patih Jayasentika tidak berani pulang apabila
tidak bersama Dewi Sitisundari. Jika pihak Kerajaan Dwarawati menghalangi, maka Patih
Jayasentika terpaksa menggunakan kekerasan karena sudah diberi wewenang penuh oleh
Prabu Gambiranom.
Prabu Baladewa marah mendengar jawaban Patih Jayasentika. Ia berkata bahwa
Prabu Kresna adalah adiknya, maka dirinya berhak ikut campur dalam masalah ini. Jika
Patih Jayasentika ingin menggunakan kekerasan, maka dirinya yang akan menghadapi.
Bila perlu, silakan Prabu Gambiranom yang datang sekaligus, maka ia yang akan memberi
pelajaran kepada raja muda yang sombong itu.
Patih Jayasentika menerima tantangan Prabu Baladewa, kemudian pamit undur diri
kembali ke pasukannya. Prabu Baladewa lalu pamit pula kepada Prabu Kresna untuk
memukul mundur pasukan Ngrancangkencana. Prabu Kresna berterima kasih atas bantuan
sang kakak. Ia lalu memerintahkan Arya Setyaki dan Patih Udawa untuk ikut mendampingi
Prabu Baladewa.

PERTEMPURAN PRABU BALADEWA MELAWAN PASUKAN NGRANCANGKENCANA


Prabu Baladewa bersama Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya
Prabawa membawa pasukan gabungan Dwarawati dan Mandura menyerang pihak lawan
yang telah bersiaga siap tempur. Patih Jayasentika bersama pasukan Ngrancangkencana
menyambut serangan tersebut. Pertempuran pun meletus. Patih Jayasentika dan
pasukannya bukan lawan Prabu Baladewa. Mereka pun terdesak mundur hingga ke
perbatasan Kerajaan Dwarawati.
Pada saat itulah Prabu Gambiranom dan saudaranya yang bernama Arya
Nagasembada datang membantu Patih Jayasentika. Mereka juga datang bersama para
prajurit perempuan yang disebut Pasukan Ladrangmungkung. Para prajurit wanita ini
semua hasil didikan Prabu Gambiranom yang juga bertindak sebagai pengawal pribadinya.
Dengan kedatangan mereka, pertempuran menjadi seimbang. Arya Nagasembada
bertempur melawan Prabu Baladewa. Dalam pertarungan tersebut, Prabu Baladewa terlalu
meremehkan lawan yang masih muda sehingga ia lengah dan dadanya pun terluka oleh
semburan bisa dari mulut Arya Nagasembada.
Melihat kakak sepupunya pingsan dan terluka, Arya Setyaki segera menggendong
Prabu Baladewa dan memerintahkan pasukan untuk mundur kembali ke ibu kota.
Sesampainya di istana, Arya Setyaki melapor kepada Prabu Kresna tentang kekalahan
mereka. Prabu Kresna lalu mengobati luka Prabu Baladewa menggunakan Kembang
KITAB WAYANG PURWA

Wijayakusuma. Prabu Baladewa pun sembuh seketika dan marah-marah ingin kembali
berperang melawan Arya Nagasembada. Prabu Kresna melarang kakaknya maju perang
karena Prabu Baladewa tidak ditakdirkan untuk mengalahkan Prabu Gambiranom beserta
pasukannya.
Prabu Baladewa pun meminta Prabu Kresna saja yang maju perang membunuh Prabu
Gambiranom dan Arya Nagasembada, bukankah adiknya itu titisan Batara Wisnu?
Bukankah Prabu Kresna tinggal melepaskan Senjata Cakra untuk memenggal kepala Prabu
Gambiranom dan Arya Nagasembada?
Prabu Kresna menjawab dirinya memang titisan Batara Wisnu tetapi tugasnya adalah
menjaga ketertiban dunia, bukan membunuh orang. Senjata Cakra pun tidak boleh
digunakan sembarangan.
Menurut ramalan Prabu Kresna, yang bisa mengalahkan Prabu Gambiranom dan Arya
Nagasembada adalah para Pandawa. Oleh sebab itu, ia pun memerintahkan Raden Samba
untuk meminta bantuan ke Kerajaan Amarta. Raden Samba menyembah sang ayah, lalu
berangkat melaksanakan tugas.

RADEN SAMBA MEMBERI TAHU RADEN ABIMANYU TENTANG PRABU


GAMBIRANOM
Ketika menuju Kerajaan Amarta, Raden Samba bertemu Raden Abimanyu di tengah
jalan yang sedang mengembara bersama para panakawan, Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong. Setelah saling bertukar salam, Raden Samba pun bercerita kepada
adik iparnya itu bahwa Kerajaan Dwarawati telah kedatangan musuh bernama Prabu
Gambiranom dari Kerajaan Ngrancangkencana. Musuh yang satu ini sangat sakti, bahkan
Prabu Baladewa dapat dikalahkan dan terluka oleh mereka. Itulah sebabnya Prabu Kresna
mengutus Raden Samba untuk meminta bantuan kepada para Pandawa di Kerajaan
Amarta.
Raden Abimanyu bertanya apa yang menjadi penyebab Prabu Gambiranom
menyerang Kerajaan Dwarawati. Raden Samba menjawab bahwa raja Ngrancangkencana
tersebut ingin meminang Dewi Sitisundari sebagai istri. Mendengar itu, Raden Abimanyu
tersulut amarahnya. Ia berkata bahwa perang ini adalah tanggung jawabnya, karena
menyangkut Dewi Sitisundari yang sudah menjadi istrinya. Oleh sebab itu, Raden Samba
tidak perlu merepotkan para Pandawa, cukup dirinya saja yang berangkat menghabisi
Prabu Gambiranom.
Usai berkata demikian, Raden Abimanyu pun berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.
Raden Samba dan para panakawan tidak tega. Mereka lalu bersama-sama menyusul
kepergian Raden Abimanyu.

Raden Samba Wisnubrata


KITAB WAYANG PURWA

PRABU GAMBIRANOM MENANGKAP RADEN ABIMANYU


Dengan berjalan tergesa-gesa, Raden Abimanyu akhirnya memasuki perbatasan
Kerajaan Dwarawati. Tiba-tiba ia disergap pasukan wanita Ladrangmungkung yang
dipimpin Patih Jayasentika. Karena Raden Abimanyu lengah, ia pun dapat ditangkap
menggunakan jala sutra, lalu diikat dan dihadapkan kepada Prabu Gambiranom.
Raden Samba dan para panakawan yang menyaksikan dari kejauhan terkejut melihat
Raden Abimanyu dapat ditangkap Prabu Gambiranom. Raden Samba ingin menolong,
namun dicegah Kyai Semar karena itu sama saja dengan mengantarkan nyawa. Kyai Semar
menyarankan agar Raden Samba kembali pada perintah ayahnya, yaitu meminta bantuan
para Pandawa.
Raden Samba menerima saran Kyai Semar. Mereka lalu bersama-sama pergi menuju
Kerajaan Amarta.

DEWI ULUPI INGIN MENYUSUL BAMBANG IRAWAN


Di Padepokan Yasarata, Resi Jayawilapa dihadap Dewi Ulupi. Mereka membicarakan
tentang Bambang Irawan yang sudah lama pergi meninggalkan padepokan bersama Raden
Antareja, namun sampai sekarang belum ada kabarnya. Dewi Ulupi merasa rindu kepada
putranya itu. Meskipun Bambang Irawan sangat nakal, tetapi sebagai seorang ibu, Dewi
Ulupi tetap tidak tega jika putranya mendapat kesulitan di jalan.
Oleh sebab itu, Dewi Ulupi pun mohon pamit ingin menyusul Bambang Irawan ke
Kerajaan Amarta. Resi Jayawilapa memahami perasaan putrinya. Namun, ia mendapat
firasat bahwa cucunya itu tidak berada di Kerajaan Amarta, melainkan berada di Kerajaan
Dwarawati. Untuk itu, Resi Jayawilapa pun mengajak Dewi Ulupi untuk berangkat menuju
negeri tersebut. Tidak lupa mereka pun membawa serta pusaka Daun Kastuba untuk
berjaga-jaga. Khasiat daun ini adalah dapat menyembuhkan segala macam penyakit,
bahkan menghidupkan kembali orang yang mati sebelum waktunya.

RADEN SAMBA MELAPOR KEPADA PARA PANDAWA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap adik-adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan
Raden Gatutkaca. Tidak lama kemudian Raden Samba datang menghadap bersama para
panakawan. Mereka melaporkan tentang Raden Abimanyu yang ditangkap Prabu
Gambiranom di perbatasan Kerajaan Dwarawati.
Prabu Puntadewa bertanya siapakah sebenarnya Prabu Gambiranom itu. Raden
Samba pun bercerita bahwa raja tersebut datang ke Kerajaan Dwarawati untuk meminang
Dewi Sitisundari. Karena Prabu Kresna mengatakan bahwa Dewi Sitisundari sudah menikah
dengan Raden Abimanyu, utusan Prabu Gambiranom tidak terima dan mengepung
Kerajaan Dwarawati. Prabu Baladewa yang kebetulan berkunjung ikut berperang melawan
mereka tetapi lengah dan terluka oleh semburan bisa kawan Prabu Gambiranom yang
bernama Arya Nagasembada.
Prabu Kresna lalu memerintahkan Raden Samba untuk meminta bantuan para
Pandawa. Namun, di tengah jalan ia bertemu Raden Abimanyu. Mendengar apa yang terjadi
di Kerajaan Dwarawati dan juga menyangkut nama istrinya, Raden Abimanyu tidak terima
dan berangkat menyerang Prabu Gambiranom. Namun, Prabu Gambiranom dapat
meringkus dan menawan Raden Abimanyu.
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna marah mendengar berita itu. Arya Wrekodara
menyalahkan Prabu Kresna sebagai titisan Batara Wisnu mengapa tidak becus mengatasi
musuh yang menyerang Kerajaan Dwarawati. Prabu Puntadewa melarang adiknya
KITAB WAYANG PURWA

menghina Prabu Kresna. Prabu Puntadewa memahami watak Prabu Kresna yang sangat
percaya pada karma dan takdir. Apabila Prabu Kresna tidak ditakdirkan mengalahkan
seseorang, maka ia tidak akan pernah mau berperang melawan orang itu. Jika Prabu
Kresna mengutus Raden Samba untuk meminta bantuan para Pandawa, itu berarti memang
para Pandawa yang diramalkan bisa mengalahkan Prabu Gambiranom dan pasukannya.
Arya Wrekodara menerima penjelasan tersebut. Ia ganti memarahi Raden Samba
yang tidak teguh dalam menjalankan tugas, sehingga Raden Abimanyu jatuh ke tangan
musuh. Raden Samba memohon ampun karena dia memang bersalah tidak berani
mencegah Raden Abimanyu berangkat ke Kerajaan Dwarawati.
Arya Wrekodara lalu menyatakan sanggup mengatasi Prabu Gambiranom. Ia pun
meminta restu Prabu Puntadewa untuk berperang melawan musuh dari Ngrancangkencana
tersebut. Prabu Puntadewa merestui lalu memerintahkan Raden Arjuna dan Raden
Gatutkaca agar ikut berangkat pula.

RADEN ARJUNA MENGHADAPI PRABU GAMBIRANOM


Raden Arjuna, Arya Wrekodara, Raden Gatutkaca, dan Raden Samba telah sampai di
tempat perkemahan Prabu Gambiranom. Mereka meminta Prabu Gambiranom untuk
membebaskan Raden Abimanyu. Prabu Gambiranom bersedia membebaskan Raden
Abimanyu, asalkan ditukar dengan Dewi Sitisundari.
Raden Gatutkaca tidak terima mendengar jawaban itu dan segera maju menyerang
lebih dulu. Ia segera disambut Arya Nagasembada dan dalam sekejap mereka berdua pun
terlibat pertarungan. Patih Jayasentika dan pasukan Ngrancangkencana maju pula dan
berhadapan dengan Arya Wrekodara.
Prabu Gambiranom dan Raden Arjuna kemudian terlibat pertarungan pula. Keduanya
tampak seimbang dan sama-sama kuat. Namun, Raden Arjuna jauh lebih berpengalaman
daripada Prabu Gambiranom yang masih muda belia. Ia berhasil menemukan celah
kelemahan lawannya itu dan membuat Prabu Gambiranom terdesak kewalahan.
Prabu Gambiranom lalu memerintahkan pasukan Ladrangmungkung untuk
mengepung Raden Arjuna. Para prajurit wanita itu pun membidikkan panah masing-masing
ke arah Raden Arjuna. Sudah menjadi watak Raden Arjuna yang tidak tega melukai
perempuan, apalagi pasukan Ladrangmungkung ini rata-rata berwajah cantik. Bukannya
menyerang mereka, Raden Arjuna justru merayu para prajurit wanita itu. Para prajurit
perempuan tersebut gemetar sehingga beberapa di antara mereka tak sengaja melepaskan
panah. Raden Arjuna tidak sempat menghindar dan ia pun roboh di tanah terkena panah-
panah itu.

DEWI ULUPI MELERAI PERTEMPURAN


Di sisi lain, Arya Wrekodara berhasil meringkus Patih Jayasentika dan mengalahkan
semua pasukannya. Sementara itu, Raden Gatutkaca dan Arya Nagasembada masih
bertarung sengit tanpa diketahui siapa yang menang, siapa yang kalah. Raden Gatutkaca
yang gesit mampu menghindari semua bisa yang disemburkan oleh Arya Nagasembada.
Namun, tiba-tiba mereka melihat Raden Arjuna roboh di tanah terkena sejumlah anak panah
yang dilepaskan pasukan Ladrangmungkung, membuat pertempuran pun terhenti sejenak.
Pada saat itulah Dewi Ulupi datang bersama Resi Jayawilapa. Mereka terkejut melihat
Raden Arjuna sudah tidak bernapas lagi dan jantungnya berhenti. Dewi Ulupi segera
mengeluarkan pusaka Daun Kastuba untuk diusapkan ke luka-luka suaminya itu. Seketika
Raden Arjuna hidup kembali dan pulih seperti sediakala.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Ulupi lalu menantang Prabu Gambiranom. Jika ingin melukai, maka melukai
dirinya saja, jangan melukai ayah sendiri. Prabu Gambiranom gemetar mendengar
tantangan itu. Seketika penyamarannya pun terbongkar. Ia tidak lain adalah penjelmaan
Bambang Irawan, putra Dewi Ulupi sendiri dengan Raden Arjuna.
Melihat ibunya yang datang, Bambang Irawan segera berlutut dan menyembah kaki
Dewi Ulupi. Ia juga memohon maaf kepada Raden Arjuna karena telah menyebabkan
ayahnya itu terluka dan mati suri.

BAMBANG IRAWAN DAN RADEN ANTAREJA DITERIMA PARA PANDAWA


Melihat Prabu Gambiranom telah membuka penyamaran dan kembali menjadi
Bambang Irawan, Arya Wrekodara segera mendatangi Arya Nagasembada dan
memerintahkannya untuk membuka penyamaran pula. Arya Nagasembada sangat malu
dan ia pun kembali menjadi Raden Antareja. Arya Wrekodara marah menuduh anak
sulungnya itu berniat buruk ingin mengacau kedamaian. Ketika Arya Wrekodara hendak
memukul Raden Antareja, tiba-tiba datang Prabu Kresna dan Prabu Baladewa melerai.
Raden Antareja mohon ampun pada Arya Wrekodara atas kesalahannya membantu
Bambang Irawan menyamar sebagai Prabu Gambiranom. Prabu Kresna lalu bertanya
mengapa Bambang Irawan menciptakan masalah ini? Apakah ia memang benar-benar
ingin memperistri Dewi Sitisundari? Apakah ia tidak tahu kalau Dewi Sitisundari sudah
menjadi istri Raden Abimanyu?
Bambang Irawan menjawab dirinya sama sekali tidak berniat menikahi Dewi
Sitisundari. Lamaran yang ia kirimkan melalui Patih Jayasentika hanyalah alasan belaka
untuk menciptakan masalah. Terus terang, Bambang Irawan kecewa karena usahanya ingin
menyenangkan para Pandawa melalui kegiatan mencuri di Kerajaan Hastina beberapa
bulan yang lalu ternyata tidak dianggap. Bahkan, ia justru diusir Raden Arjuna tidak boleh
datang ke Kesatrian Madukara. Saat itu ia merasa iri kepada Raden Abimanyu yang selalu
berada di sisi sang ayah. Maka, ia pun membuat masalah dengan menyamar sebagai Prabu
Gambiranom dan pura-pura melamar Dewi Sitisundari, istri Raden Abimanyu. Kebetulan
pamannya yang bernama Prabu Jayasentika menjadi raja di Ngrancangkencana, sehingga
ia pun bisa meminjam takhta untuk sementara.
Arya Wrekodara lalu bertanya apakah Raden Antareja juga merasa iri kepada Raden
Gatutkaca, sama seperti Bambang Irawan yang iri kepada Raden Abimanyu? Raden
Antareja menjawab jujur bahwa ia memang iri kepada Raden Gatutkaca yang bisa
mengabdi sebagai punggawa di Kerajaan Amarta, sedangkan dirinya tidak diterima. Itulah
sebabnya, ia mendukung rencana Bambang Irawan untuk pura-pura berperang dengan
Kerajaan Dwarawati hanya demi untuk memamerkan kesaktiannya kepada Prabu Kresna
dan para Pandawa. Tujuannya hanya satu, ia ingin diterima sebagai punggawa Kerajaan
Amarta.
Prabu Baladewa yang pernah terluka oleh semburan bisa Raden Antareja sama sekali
tidak merasa dendam, melainkan justru bangga melihat kesaktian keponakannya itu. Maka,
ia pun ikut membujuk Arya Wrekodara agar menerima Raden Antareja mengabdi sebagai
punggawa sama seperti Raden Gatutkaca. Raden Gatutkaca juga ikut senang apabila
Raden Antareja menjadi punggawa seperti dirinya, sehingga mereka bisa bekerja sama
saling membantu. Ia tidak ingin sang kakak menyimpan iri kepadanya, karena rasa iri bisa
tumbuh menjadi dengki, dan akhirnya menimbulkan kebencian antarsaudara. Raden
Antareja meminta maaf dan berjanji tidak akan pernah dengki kepada adiknya itu.
Arya Wrekodara melihat keinginan Raden Antareja tulus, maka ia pun berjanji akan
membantu membujuk Prabu Puntadewa agar menerima pengabdian putra sulungnya itu.
KITAB WAYANG PURWA

Mendengar janji ayahnya, Raden Antareja sangat berterima kasih dan berlutut mencium
kaki Arya Wrekodara.
Sementara itu, Raden Arjuna masih marah atas kenakalan Bambang Irawan yang
berani menyerang Kerajaan Dwarawati dan juga menawan kakaknya sendiri. Bambang
Irawan pun memerintahkan pasukan Ladrangmungkung untuk membebaskan Raden
Abimanyu. Setelah Raden Abimanyu muncul, Bambang Irawan segera meminta maaf
karena telah berlaku kurang ajar terhadap kakak sendiri. Ia sama sekali tidak ingin
mengganggu Dewi Sitisundari, melainkan hanya ingin memamerkan kesaktian saja. Raden
Abimanyu pun memaafkan. Kedua saudara itu lalu saling berpelukan.
Prabu Kresna menasihati Raden Arjuna agar jangan terlalu menyalahkan Bambang
Irawan. Ia hanyalah anak muda yang merindukan kasih sayang seorang ayah. Alangkah
baiknya jika Raden Arjuna berlaku adil, jangan hanya menyayangi Raden Abimanyu saja,
tetapi juga harus menyayangi Bambang Irawan dan anak-anak yang lain pula. Raden Arjuna
sadar atas kekeliruannya. Ia pun memeluk Bambang Irawan dan memaafkan semua
kesalahan putranya itu. Ia juga meminta maaf karena telah mengusir Bambang Irawan
tempo hari.

PRABU KRESNA MENJODOHKAN BAMBANG IRAWAN DENGAN PUTRINYA YANG


LAIN
Setelah Raden Arjuna dan Bambang Irawan berdamai, Patih Jayasentika maju dan
menyembah kaki Resi Jayawilapa, serta memberi hormat kepada Dewi Ulupi. Resi
Jayawilapa mengenali putranya itu yang tidak lain adalah Bambang Ratnasentika, yang
sudah lama pergi meninggalkan Padepokan Yasarata. Melihat putranya itu menghaturkan
sembah untuknya, hati Resi Jayawilapa diliputi rasa haru dan ia pun memeluk Patih
Jayasentika dengan erat. Segala persoalan antara mereka di masa lalu telah luluh di hari
itu.
Bambang Irawan berterima kasih atas bantuan Patih Jayasentika selama ini. Ia pun
mengembalikan takhta Kerajaan Ngrancangkencana yang ia pinjam dari pamannya
tersebut. Maka, sejak saat itu Patih Jayasentika kembali bergelar Prabu Jayasentika.
Prabu Kresna senang masalah ini telah selesai. Terus terang ia senang melihat
kenakalan Bambang Irawan, karena itu mengingatkan pada kenakalannya di masa muda
dulu. Prabu Kresna pun berkenan untuk mengambil Bambang Irawan sebagai menantu.
Biarlah pemuda nakal menjadi menantu mertua nakal. Ia bercerita bahwa istri yang nomor
dua, yaitu Dewi Rukmini memiliki seorang putri yang tidak kalah cantik dibanding Dewi
Sitisundari. Putri Prabu Kresna yang hendak dijodohkan dengan Bambang Irawan itu
bernama Dewi Titisari.
Bambang Irawan dan juga Raden Arjuna berterima kasih atas perjodohan tersebut.
Prabu Kresna lalu mengajak mereka semua untuk bersama-sama mengadakan pesta
syukuran di Kerajaan Dwarawati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

IRAWAN RABI
Kisah ini menceritakan perkawinan Bambang Irawan putra Raden Arjuna, dengan
Dewi Titisari putri Prabu Kresna, yang hampir saja digagalkan oleh Prabu Baladewa
yang dimintai tolong Prabu Duryudana.
Kisah ini saya olah dari sumber buku tuntunan pedhalangan lakon Irawan Rabi yang
disusun Ki Redisuta, yang dipadukan dengan catatan balungan lakon Irawan Rabi versi
Jombor, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 November 2017
Heri Purwanto

Bambang Irawan

PRABU BALADEWA HENDAK MEMBATALKAN PERKAWINAN DEWI TITISARI DAN


BAMBANG IRAWAN
Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan yang dihadiri
sang putra mahkota Raden Samba Wisnubrata dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari
Swalabumi, dan Patih Udawa dari Widarakandang. Dalam pertemuan itu mereka
membahas tentang persiapan pernikahan putri Prabu Kresna yang lahir dari Dewi Rukmini,
yaitu Dewi Titisari, yang telah dijodohkan dengan Bambang Irawan, putra Raden Arjuna dan
Dewi Ulupi.
Tidak lama kemudian, datanglah Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Prabu
Kresna menyambut kedatangan kakaknya itu dengan penuh penghormatan. Setelah saling
bertanya kabar, Prabu Baladewa pun menyampaikan maksudnya, yaitu ingin melamar Dewi
Titisari untuk dinikahkan dengan keponakannya di Kerajaan Hastina, yaitu Raden Lesmana
Mandrakumara putra Prabu Duryudana.
Prabu Kresna berkata bahwa Dewi Titisari sudah dijodohkan dengan Bambang Irawan
dan tiga minggu lagi mereka akan dinikahkan. Bahkan, Prabu Baladewa sendiri menjadi
saksi saat mereka berdua dijodohkan, yaitu ketika Bambang Irawan melepaskan
penyamarannya sebagai Prabu Gambiranom tempo hari.
Prabu Baladewa menjawab benar dirinya memang menyaksikan perjodohan tersebut.
Namun, kemudian ia menerima permohonan dari Prabu Duryudana yang ingin menjalin
persaudaraan dengan Kerajaan Dwarawati. Beberapa waktu yang lalu niat baik Prabu
Duryudana gagal karena Raden Lesmana Mandrakumara batal menikah dengan Dewi
Sitisundari. Mengingat Prabu Kresna masih memiliki putri yang tidak kalah cantiknya
bernama Dewi Titisari, maka Prabu Duryudana pun berniat melanjutkan rencana
persaudaraan antara Kerajaan Hastina dan Dwarawati. Semoga kali ini Raden Lesmana
Mandrakumara dan Dewi Titisari bisa terlaksana menikah, sehingga kedua negara bisa
menjadi saudara.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Baladewa berusaha meyakinkan Prabu Kresna bahwa menikahkan Dewi Titisari
dengan Raden Lesmana Mandrakumara jauh lebih menguntungkan daripada dengan
Bambang Irawan. Mengapa demikian? Karena, Raden Lesmana Mandrakumara adalah
putra mahkota yang kelak menggantikan ayahnya sebagai raja di Kerajaan Hastina, yaitu
negara paling kaya di dunia saat ini. Sebaliknya, Bambang Irawan hanyalah pemuda desa
biasa. Meskipun ayahnya adalah pangeran dari Keluarga Pandawa, namun Bambang
Irawan bukan siapa-siapa. Pemuda ini lebih suka tinggal di Padepokan Yasarata daripada
menjadi sentana Kerajaan Amarta. Apakah Prabu Kresna tidak sayang apabila Dewi Titisari
hidup menderita di pegunungan?
Prabu Kresna berkata, dirinya sudah terikat perjanjian dengan Raden Arjuna sehingga
tidak mungkin membatalkan perjodohan begitu saja. Prabu Baladewa tersinggung karena
dirinya sebagai saudara tua merasa tidak dianggap. Soal perjodohan Dewi Titisari dan
Bambang Irawan bisa dibatalkan secara sepihak. Apabila Raden Arjuna dan para Pandawa
lainnya tidak terima, maka Prabu Baladewa sendiri yang akan menghadapi mereka. Prabu
Kresna tidak perlu khawatir memikirkan itu.
Prabu Kresna termenung. Ia paham bagaimana watak kakaknya yang mudah marah,
tetapi juga mudah luluh. Jika ia terus membantah, maka Prabu Baladewa akan semakin
keras. Pada dasarnya, Prabu Kresna percaya bahwa jodoh manusia adalah takdir yang
sudah ditentukan Yang Mahakuasa. Jika memang Dewi Titisari dan Bambang Irawan
ditakdirkan berjodoh, maka tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan mereka. Berpikir
demikian, Prabu Kresna pun menyetujui permintaan Prabu Baladewa. Ia bersedia
membatalkan perkawinan antara kedua muda-mudi tersebut. Dalam hati ia ingin menguji
apakah benar mereka berdua berjodoh atau tidak.
Prabu Baladewa senang mendengar keputusan sang adik. Maka, ia pun mohon pamit
berangkat menuju Kerajaan Hastina untuk menyampaikan hal ini kepada Prabu Duryudana
di sana. Mengenai persiapan pernikahan Dewi Titisari tidak perlu diubah. Yang diubah
hanyalah pengantin laki-lakinya saja.
Setelah Prabu Baladewa pergi, Prabu Kresna memerintahkan Raden Samba untuk
memberi tahu Raden Arjuna tentang pembatalan sepihak rencana perkawinan Bambang
Irawan dan Dewi Titisari. Raden Samba merasa sayang jika adiknya harus menikah dengan
Raden Lesmana Mandrakumara yang bodoh dan manja itu. Bambang Irawan jauh lebih
tampan, lebih sakti, dan lebih berwibawa daripada saingannya. Prabu Kresna melarang
putranya itu membantah. Soal perjodohan Dewi Titisari, dirinya lebih paham daripada siapa
pun.
Raden Samba akhirnya bersedia melaksanakan perintah. Setelah dirasa cukup, Prabu
Kresna pun membubarkan pertemuan. Arya Setyaki dan Patih Udawa diperintahkan untuk
menjaga keamanan negara dari kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin mengacau
ketentraman.

PRABU BARANJANA JATUH CINTA KEPADA DEWI TITISARI


Tersebutlah seorang raja raksasa dari Kerajaan Jongbiraji yang bernama Prabu
Baranjana. Pada suatu malam ia mimpi bertemu seorang putri yang sangat cantik dan baru
tumbuh dewasa, bernama Dewi Titisari. Ia pun jatuh cinta kepada putri tersebut dan ingin
menjadikannya sebagai istri. Begitu terbangun, Prabu Baranjana segera meminta
keterangan kepada panakawan Kyai Togog dan Bilung Sarahita.
Kyai Togog yang berwawasan luas bercerita bahwa gadis yang bernama Dewi Titisari
itu adalah putri Prabu Kresna raja Dwarawati. Konon kabarnya, gadis tersebut hendak
KITAB WAYANG PURWA

dinikahkan dengan Bambang Irawan putra Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Kyai Togog
menyarankan agar Prabu Baranjana mencari calon istri yang lain saja.
Bilung menambahkan, sebaiknya Prabu Baranjana jangan mencari masalah dengan
keluarga Pandawa. Bambang Irawan adalah putra Raden Arjuna, sedangkan Raden Arjuna
adalah murid terbaik Danghyang Druna dari Padepokan Sokalima. Kakak Raden Arjuna
yang bernama Arya Wrekodara juga kesatria perkasa yang tiada tandingan di dunia ini, dan
konon memiliki kekuatan setara tujuh puluh gajah. Mencari masalah dengan keluarga
Pandawa sama artinya dengan mencari mati.
Prabu Baranjana kecewa mendengarnya. Ia lalu meminta pendapat Nyai Layarmega,
yaitu raksasi yang mengasuh dirinya sejak kecil. Nyai Layarmega menjawab selama janur
kuning belum melengkung, Dewi Titisari bebas menjadi istri siapa saja. Prabu Baranjana
tidak perlu khawatir, dirinya siap membantu sekuat tenaga. Patih Kalamingkalpa ikut
mendukung pendapat Nyai Layarmega. Ia siap menggempur Kerajaan Dwarawati apabila
Prabu Kresna tidak bersedia menyerahkan Dewi Titisari.
Prabu Baranjana gembira mendapat dukungan dari Nyai Layarmega dan Patih
Minangkalpa. Karena tekadnya sudah bulat, Prabu Baranjana pun memerintahkan Patih
Kalamingkalpa membawa pasukan raksasa Jongbiraji untuk menyerang Kerajaan
Dwarawati dan merebut Dewi Titisari.

Prabu Baranjana

PERTEMPURAN PASUKAN JONGBIRAJI MELAWAN PASUKAN DWARAWATI


Patih Kalamingkalpa dan pasukannya telah berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.
Sesampainya di sana mereka bertemu Arya Setyaki dan Patih Udawa yang sedang
meronda di perbatasan. Patih Kalamingkalpa bersikap kasar meminta Dewi Titisari untuk
diboyong sebagai calon istri Prabu Baranjana. Jika permintaan ini ditolak, maka Kerajaan
Dwarawati akan dihancurkan.
Arya Setyaki yang mudah marah segera menjawab tantangan tersebut. Silakan jika
Patih Kalamingkalpa ingin menghancurkan Kerajaan Dwarawati, namun terlebih dulu harus
mengalahkan dirinya. Maka, meletuslah pertempuran antara kedua pihak.
Setelah bertempur agak lama, Patih Kalamingkalpa dan pasukannya merasa terdesak
menghadapi kekuatan pihak Dwarawati. Mereka pun memutuskan untuk mundur kembali
ke Jongbiraji.

BAMBANG IRAWAN MEMINTA RESTU KAKEKNYA


Sementara itu, sang calon pengantin Bambang Irawan bersama para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berkunjung ke Padepokan Yasarata.
Dalam kunjungannya itu, Bambang Irawan bermaksud menjemput sang kakek, yaitu Resi
KITAB WAYANG PURWA

Jayawilapa untuk menghadiri pernikahannya dengan Dewi Titisari di Kerajaan Dwarawati.


Adapun ibunya, yaitu Dewi Ulupi sudah lama tinggal di Kesatrian Madukara.
Resi Jayawilapa menjawab ia tidak dapat ikut pergi ke Madukara karena usianya
sudah tua dan juga kesehatannya kurang baik. Maka, yang bisa ia berikan kepada Bambang
Irawan hanyalah doa restu, semoga pernikahan cucunya itu bisa terlaksana dengan baik,
juga kelak rumah tangganya dengan Dewi Titisari bisa berjalan tenteram, lancar, dan juga
mendapat keturunan yang sempurna. Resi Jayawilapa lalu memberikan nasihat-nasihat
dalam menjalani rumah tangga, bagaimana yang seharusnya dilakukan Bambang Irawan
sebagai kepala keluarga, apa saja tanggung jawabnya sebagai suami dan juga sebagai
ayah.
Bambang Irawan menerima nasihat dari sang kakek dengan khidmat. Resi Jayawilapa
lalu bertanya di mana Raden Antareja saat ini berada, bukankah dulu selalu bersama
Bambang Irawan? Bambang Irawan pun menjawab bahwa kakak angkatnya tersebut telah
diterima menjadi punggawa Kerajaan Amarta. Resi Jayawilapa bertanya apakah Bambang
Irawan juga ingin menjadi punggawa seperti Raden Antareja. Bambang Irawan menjawab,
setelah menikah nanti ia ingin tinggal di desa saja, membangun daerah kelahiran. Jika
semua orang berkumpul di kota, lantas siapa yang akan membangun desa? Untuk itu,
Bambang Irawan tidak ingin tinggal di ibu kota Indraprasta. Namun demikian, apabila negara
membutuhkan tenaganya, maka ia siap berangkat kapan saja.
Resi Jayawilapa bangga mendengar rencana cucunya itu. Ia pun menitipkan Bambang
Irawan kepada Kyai Semar agar diasuh dengan sebaik-baiknya. Kyai Semar menyanggupi
dengan senang hati. Setelah dirasa cukup, Bambang Irawan pun mohon pamit kembali ke
Kesatrian Madukara.
Dalam perjalanan pulang, Bambang Irawan berjumpa punggawa Kerajaan Jongbiraji
yang bernama Ditya Pradaksa. Punggawa ini terpisah dari induk pasukan Patih
Kalamingkalpa. Begitu tahu kalau pemuda yang ia temui bernama Bambang Irawan, Ditya
Pradaksa merasa ada kesempatan untuk berbuat jasa kepada rajanya. Maka, ia pun berniat
membunuh Bambang Irawan dan menyerahkan kepalanya kepada Prabu Baranjana. Akan
tetapi, Bambang Irawan bukan pemuda sembarangan. Dalam pertarungan itu justru ia yang
berhasil menewaskan Ditya Pradaksa.

RADEN ARJUNA MENERIMA KABAR DARI RADEN SAMBA


Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna sedang duduk bersama para istri, yaitu Dewi
Sumbadra, Dewi Srikandi, Dewi Ulupi, membahas rencana persiapan perkawinan Bambang
Irawan dengan Dewi Titisari. Tiba-tiba datanglah Raden Samba dari Kerajaan Dwarawati.
Setelah menyampaikan sembah hormat, Raden Samba menyampaikan pesan dari
ayahnya, bahwa perjodohan antara Bambang Irawan dengan Dewi Titisari dibatalkan
secara sepihak, karena pengantin wanita akan dinikahkan dengan Raden Lesmana
Mandrakumara putra Kerajaan Hastina.
Raden Arjuna dan para istri terkejut, terutama Dewi Ulupi yang langsung jatuh pingsan
dan digotong Dewi Sumbadra masuk ke dalam. Dewi Srikandi ikut bingung dan menggerutu
tidak jelas. Namun, Raden Arjuna hanya tersenyum dan mempersilakan Raden Samba
pulang. Raden Samba ketakutan melihat wajah Raden Arjuna yang tetap berwibawa
meskipun menerima kabar tidak baik. Ia pun buru-buru menyembah dan bergegas pergi
meninggalkan Kesatrian Madukara.
Raden Arjuna lalu meminta Dewi Srikandi memanggil Raden Abimanyu dan Dewi
Sitisundari yang sudah beberapa hari ini berada di Madukara. Dewi Srikandi mematuhi dan
segera pergi. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi bersama pasangan tersebut. Raden
KITAB WAYANG PURWA

Arjuna bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Raden Abimanyu menjawab dirinya dan
Dewi Sitisundari sedang tidur siang, tiba-tiba dipanggil Dewi Srikandi agar menghadap.
Raden Arjuna menyindir memang enak jadi anak muda; orang tua yang bekerja keras, anak
yang menikmati hasilnya. Usai berkata demikian, ia lalu menyatakan bahwa mulai saat ini
Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari harus bercerai. Dewi Sitisundari harus pulang ke
Kerajaan Dwarawati hari ini juga.
Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari terkejut luar biasa, lebih-lebih Dewi Srikandi
yang ikut berteriak-teriak karena heran atas keputusan suaminya tersebut. Namun, Raden
Arjuna tidak peduli. Jika Prabu Kresna bisa memutuskan secara sepihak, maka dirinya pun
bisa memutuskan secara sepihak. Mendengar itu, Dewi Sitisundari segera pamit pergi
sambil berlinang air mata. Raden Abimanyu ingin mencegah istrinya, tetapi ia juga takut
kepada sang ayah. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Raden Abimanyu menjadi hilang
kesadaran dan jatuh pingsan, kemudian dipapah Dewi Srikandi masuk ke dalam.

RADEN ARJUNA MEMERINTAHKAN BAMBANG IRAWAN KE DWARAWATI


Tidak lama kemudian, Raden Arjuna menerima kedatangan Bambang Irawan bersama
para panakawan. Bambang Irawan menyampaikan berita bahwa Resi Jayawilapa tidak
dapat hadir dalam pernikahannya, hanya dapat memberikan doa restu dari jauh saja. Raden
Arjuna menjawab, pernikahan telah dibatalkan secara sepihak oleh Prabu Kresna. Maka, ia
pun membalas dengan cara menceraikan Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari secara
sepihak pula.
Bambang Irawan terkejut dan sedih karena batal menikah. Raden Arjuna lalu berkata
agar Bambang Irawan menyusul Dewi Sitisundari untuk mengantarkannya pulang ke
Kerajaan Dwarawati. Ia juga mengucapkan pesan agar disampaikan kepada Dewi
Sitisundari, bahwa dirinya memiliki keris baru dari besi istimewa yang belum memiliki
warangka. Keris ini hanya cocok apabila disarungkan ke dalam warangka yang terbuat dari
kayu cendanasari encok kembang kendit putih, yang hanya dimiliki oleh Prabu Kresna.
Yang kedua, Bambang Irawan harus mematuhi semua perintah Dewi Sitisundari
sesampainya di Dwarawati nanti. Bambang Irawan menerima perintah tersebut, lalu ia
mohon pamit berangkat bersama para panakawan.
Setelah melangkah agak cepat, Bambang Irawan berhasil menyusul Dewi Sitisundari
yang berjalan sendiri sambil menangis. Bambang Irawan menyampaikan semua pesan
Raden Arjuna kepada kakak iparnya tersebut dari awal hingga akhir. Mendengar itu,
seketika Dewi Sitisundari berhenti menangis dan berubah menjadi tersenyum. Kini ia paham
bahwa dirinya sengaja diusir pulang ke Dwarawati adalah untuk menjadi dalang pernikahan
Bambang Irawan dan Dewi Titisari.
Dewi Sitisundari kembali bersemangat. Ia pun mengatur siasat, bahwa nanti Bambang
Irawan dan para panakawan hendaknya langsung menyusup masuk ke dalam Taman
Banoncinawi, tidak perlu lewat istana depan. Bambang Irawan mematuhi perintah sang
kakak ipar, sesuai dengan apa yang dipesankan ayahnya tadi.

DEWI SITISUNDARI MENGHADAP PRABU KRESNA


Dewi Sitisundari dan Bambang Irawan telah sampai di istana Dwarawati, kemudian
mereka berpencar. Dewi Sitisundari masuk melalui pintu depan istana, sedangkan
Bambang Irawan dan para panakawan menyusup melalui pintu belakang. Dewi Sitisundari
menghadap Prabu Kresna dan berkata bahwa dirinya telah dipaksa bercerai dengan Raden
Abimanyu dan diusir pulang ke Dwarawati oleh Raden Arjuna. Dewi Sitisundari juga
bercerita bahwa Raden Arjuna mempunyai besi bagus yang kini sudah ditempa menjadi
keris, dan untuk warangkanya ia meminta kepada Prabu Kresna agar memberikan kayu
KITAB WAYANG PURWA

cendanasari encok kembang kendit putih. Prabu Kresna tersenyum mendengar pesan
tersebut dan mempersilakan Dewi Sitisundari masuk untuk beristirahat.
Tidak lama kemudian Prabu Baladewa datang bersama rombongan dari Kerajaan
Hastina, antara lain Prabu Duryudana, Patih Sangkuni, serta Raden Lesmana
Mandrakumara yang sudah mengenakan busana pengantin lengkap. Prabu Kresna
menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan untuk beristirahat terlebih dulu di
wisma tamu. Mengenai pernikahan antara Raden Lesmana dengan Dewi Titisari akan
dibahas nanti. Para tamu itu pun senang dan bergegas menuju wisma tamu, kecuali Raden
Lesmana yang penasaran ingin melihat seperti apa wajah calon istrinya.

DEWI SITISUNDARI MENGATUR PERTEMUAN BAMBANG IRAWAN DAN DEWI


TITISARI
Sementara itu, Dewi Sitisundari telah berada di Taman Banoncinawi menemui Dewi
Titisari. Keduanya lalu berbincang-bincang mengenai rencana pernikahan besok. Dewi
Titisari mengaku kecewa karena perjodohannya dengan Bambang Irawan dibatalkan, dan
diganti dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Dewi Sitisundari bertanya apakah adiknya
itu pernah bertemu Bambang Irawan dan Raden Lesmana sehingga bisa membandingkan
mereka segala?
Dewi Titisari menjawab dirinya belum pernah bertemu mereka berdua, tetapi hati
nuraninya yakin, bahwa Bambang Irawan adalah jodoh terbaiknya, bukan Raden Lemana
Mandrakumara. Dewi Titisari telah jatuh cinta kepada sepupunya itu padahal belum pernah
bertemu sama sekali. Dewi Sitisundari berkata apabila Bambang Irawan ternyata ada di sini
lantas bagaimana. Dewi Titisari menjawab tidak mungkin. Dewi Sitisundari pun memanggil
Bambang Irawan agar keluar dari persembunyian.
Melihat sang kekasih muncul, Dewi Titisari terkejut bercampur malu. Sebaliknya,
Bambang Irawan juga merasa gugup, padahal biasanya ia sangat pandai merayu
perempuan, mewarisi sifat ayahnya. Karena semakin malu, Dewi Titisari pun lari
meninggalkan tempat itu. Dewi Sitisundari lalu menyuruh Bambang Irawan agar mengejar.
Setelah keduanya pergi, Dewi Sitisundari memanggil panakawan Petruk agar
menyamar sebagai hantu dan menakut-nakuti Dewi Titisari. Petruk pun mengambil lumpur
dan mendandani wajahnya agar terlihat seram. Ia kemudian pergi menghadang Dewi
Titisari. Melihat wujud Petruk, Dewi Titisari menjerit ketakutan. Tanpa sadar, ia pun berbalik
dan memeluk Bambang Irawan. Keduanya lalu sama-sama tersenyum dan saling
terpesona. Bambang Irawan lalu menggendong Dewi Titisari dan membawanya duduk
berdua di dalam bangsal.

Petruk.

RADEN ANTAREJA DAN RADEN GATUTKACA MELARIKAN KEDUA MEMPELAI


Tidak lama kemudian, tiba-tiba muncul Raden Antareja dari dalam tanah yang
kemudian disusul Raden Gatutkaca. Dewi Sitisundari terkejut melihat mereka berdua dan
KITAB WAYANG PURWA

bertanya mengapa datang kemari. Raden Gatutkaca menjawab, mereka berdua diutus
Prabu Puntadewa untuk menjemput Bambang Irawan. Rupanya berita perceraian Dewi
Sitisundari dan Raden Abimanyu telah terdengar oleh Prabu Puntadewa, dan ia
mengkhawatirkan keselamatan Bambang Irawan yang memasuki Kerajaan Dwarawati.
Dewi Sitisundari berkata Bambang Irawan dalam keadaan baik-baik saja, silakan jika
hendak dijemput pulang. Bambang Irawan dan Dewi Titisari datang karena mendengar
percakapan tersebut. Bambang Irawan lalu menjawab, dirinya bersedia dibawa pulang ke
Kerajaan Amarta apabila bersama-sama dengan Dewi Titisari. Dewi Titisari juga menjawab
demikian, bahwa ia tidak ingin berpisah dengan Bambang Irawan. Karena keduanya sudah
seiya-sekata, Dewi Sitisundari pun mempersilakan apabila Dewi Titisari ikut bersama
Bambang Irawan.
Tiba-tiba Raden Gatutkaca mencium bau raksasa datang mendekat. Ia pun
mempersilakan Raden Antareja agar pergi dulu bersama Bambang Irawan, Dewi Titisari,
dan para panakawan. Mereka lalu pergi memasuki terowongan bawah tanah yang sudah
ditembus Raden Antareja, sedangkan Dewi Sitisundari kembali ke istana depan.

RADEN GATUTKACA MENGHADAPI PATIH KALAMINGKALPA


Raksasa yang datang ke Taman Banoncinawi adalah Patih Kalamingkalpa bersama
Emban Layarmega. Ketika pasukannya dihancurkan Arya Setyaki dan Patih Udawa, Patih
Kalamingkalpa berniat pulang ke Kerajaan Jongbiraji. Di tengah jalan ia bertemu Emban
Layarmega yang ditugasi Prabu Baranjana untuk menculik Dewi Titisari. Keduanya lalu
bersama-sama menyusup masuk ke dalam istana Dwarawati.
Sesampainya di Taman Banoncinawi, keduanya pun dihadang Raden Gatutkaca.
Mereka bertanya di mana Dewi Titisari berada. Raden Gatutkaca menjawab, Dewi Titisari
akan menikah dengan adiknya di Kerajaan Amarta. Patih Kalamingkalpa marah dan hendak
menyerang Raden Gatutkaca. Namun, Raden Gatutkaca lebih cepat. Kedua tangannya
menarik kepala Patih Kalamingkalpa hingga lepas dari badan. Emban Layarmega ngeri
ketakutan dan segera melarikan diri.
Tidak lama kemudian, Raden Lesmana Mandrakumara datang dengan tujuan
menggoda Dewi Titisari. Raden Gatutkaca segera melemparkan kepala Patih
Kalamingkalpa ke arahnya, lalu ia terbang meninggalkan tempat itu. Raden Lesmana yang
tiba-tiba kejatuhan kepala raksasa menjerit ketakutan dan berlari mengadu kepada
ayahnya. Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni segera pergi ke Taman Banoncinawi,
namun sudah tidak ada apa-apa di sana. Mereka lalu bertanya kepada Prabu Kresna dan
Prabu Baladewa.
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa muncul memeriksa keadaan. Mereka lalu
memanggil Dewi Sitisundari dan bertanya di mana Dewi Titisari berada. Dewi Sitisundari
pun berkata bahwa adiknya hilang diculik dua raksasa, namun yang satu sudah mati
dibunuh juru taman.
Patih Sangkuni memeriksa mayat raksasa yang terpenggal itu. Ia meragukan juru
taman Kerajaan Dwarawati mana mungkin bisa membunuh raksasa hingga seperti ini.
Dilihat dari kondisi mayat yang terpenggal secara tidak rata, sepertinya kepala si raksasa
ditarik secara paksa hingga putus lehernya.
Juru taman menarik leher angsa hingga putus juga belum tentu bisa, apalagi leher
raksasa. Yang mempunyai kebiasaan membunuh lawan seperti ini jelas hanya Raden
Gatutkaca seorang. Dengan kata lain, orang yang menculik Dewi Titisari adalah Raden
Gatutkaca.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana marah merasa dipermainkan. Ia menyebut penjagaan di Kerajaan


Dwarawati sangat longgar sehingga penculik bisa keluar masuk seenaknya. Prabu
Baladewa tidak terima adiknya disindir seperti itu. Ia pun mohon pamit berangkat mengejar
ke Kerajaan Amarta untuk merebut kembali Dewi Titisari. Prabu Duryudana, Patih Sangkuni,
Raden Lesmana, dan para Kurawa ikut mengejar.
Prabu Kresna lalu bertanya pada Dewi Sitisundari apa yang telah terjadi di Taman
Banoncinawi. Dewi Sitisundari berkata bahwa sang ayah pasti sudah tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Prabu Kresna tersenyum lalu mengajak Dewi Sitisundari pergi menyusul
Prabu Baladewa dan orang-orang Hastina.

PRABU BALADEWA MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA


Raden Antareja dan Raden Gatutkaca telah sampai di Kerajaan Amarta bersama Dewi
Titisari dan Bambang Irawan. Arya Wrekodara menyambut mereka dan menyuruh kedua
pengantin bersembunyi di dalam istana. Raden Antareja dan Raden Gatutkaca kemudian
disuruh berbohong apabila pihak Dwarawati datang mengejar. Mereka tidak boleh mengaku
telah menculik Dewi Titisari.
Tidak lama kemudian, Prabu Baladewa datang sambil marah-marah menyebut Raden
Gatutkaca telah menculik Dewi Titisari. Arya Wrekodara bertanya apa benar demikian.
Raden Gatutkaca menggeleng. Ia lalu bertanya kepada Raden Antareja apa benar putra
sulungnya itu yang menculik Dewi Titisari. Raden Antareja juga menggeleng. Arya
Wrekodara lalu menyuruh kedua anaknya itu masuk dan ia berkata kepada Prabu Baladewa
bahwa mereka tidak menculik.
Prabu Baladewa semakin marah karena merasa dipermainkan. Mana ada maling yang
mengaku hanya dengan pertanyaan sederhana seperti itu? Ia lalu mengangkat senjata
Alugora untuk memaksa kedua pemuda tadi agar mengakui perbuatan mereka. Arya
Wrekodara mengangkat Gada Rujakpolo untuk menandingi. Mereka lalu bertarung. Gada
Rujakpolo dan Senjata Alugora sama-sama terlempar saat berbenturan. Arya Wrekodara
lalu menangkap tubuh Prabu Baladewa dan melemparkannya ke udara, lalu ditangkap,
kemudian dilemparkan lagi, dan ditangkap, begitu seterusnya.

PRABU KRESNA MERESTUI BAMBANG IRAWAN DAN DEWI TITISARI


Prabu Kresna datang membawa Senjata Cakra untuk mengancam Arya Wrekodara
agar melepaskan Prabu Baladewa. Sungguh tidak sopan mempermainkan saudara tua
seperti itu. Arya Wrekodara menurunkan Prabu Baladewa di tanah, lalu mundur
meninggalkan Prabu Kresna.
Prabu Kresna berteriak menantang para Pandawa, namun tidak seorang pun yang
maju. Raden Abimanyu tiba-tiba datang dan berlutut di hadapannya. Ia berkata lebih baik
mati daripada melihat orang tuanya saling bertarung satu sama lain. Pada dasarnya Prabu
Kresna sangat menyayangi Raden Abimanyu sehingga ia pun luluh melihat sikap
menantunya itu. Senjata Cakra pun dimasukkan kembali.
Begitu Senjata Cakra dimasukkan, Raden Arjuna segera muncul menyapa Prabu
Kresna. Ia berkata tidak sepantasnya mereka saling bertarung sesama saudara. Ada
masalah sebaiknya dibicarakan bersama. Prabu Kresna berkata justru yang membuat
masalah adalah Raden Arjuna karena telah menceraikan Raden Abimanyu dan Dewi
Sitisundari secara sepihak. Raden Arjuna berkata sebaiknya Dewi Sitisundari dipanggil saja
untuk dimintai keterangan.
Prabu Kresna lalu memanggil Dewi Sitisundari yang menunggu di kereta. Dewi
Sitisundari pun datang menghadap. Prabu Kresna lalu bertanya apa benar ia telah dipaksa
KITAB WAYANG PURWA

untuk bercerai dan disuruh pulang ke Dwarawati. Dewi Sitisundari menjawab tidak benar.
Raden Arjuna tidak memaksanya bercerai, dan ia pulang ke Dwarawati juga atas
kehendaknya sendiri.
Prabu Kresna tertawa mendengarnya. Selama ini ia sering mengakali orang, namun
hari ini justru diakali oleh anaknya sendiri. Ia pun memuji Raden Arjuna yang berhasil
menyusun siasat untuk mempersatukan Bambang Irawan dengan Dewi Titisari. Sekarang
ia ingin merestui kedua mempelai tersebut.
Tidak lama kemudian, Bambang Irawan dan Dewi Titisari muncul dari dalam istana
dengan diantarkan Prabu Puntadewa. Kedua pengantin itu lalu berlutut menyembah Prabu
Kresna. Prabu Kresna terharu dan merestui mereka berdua.
Prabu Baladewa datang sambil marah-marah dan berkata ia tidak setuju apabila Dewi
Titisari menjadi istri pemuda kampung seperti Bambang Irawan. Justru lebih baik apabila
keponakannya itu menjadi istri Raden Lesmana Mandrakumara yang calon raja Hastina.
Dewi Titisari menyembah dan berkata ia sudah jatuh cinta kepada Bambang Irawan dan
rela hidup di mana saja. Jika Bambang Irawan memutuskan tinggal di desa, maka ia pun
dengan senang hati akan ikut mendampingi. Prabu Baladewa berkata, kampung itu sepi
dan lebih baik tinggal di ibu kota Hastina yang ramai dan semuanya serbaada. Dewi Titisari
menjawab, jika semua orang tinggal di kota, lantas siapa yang akan membangun desa?
Segala bahan makanan yang ada di kota juga berasal dari desa. Tidak sepantasnya orang
kota memandang remeh orang desa. Jika orang desa berhenti bekerja, lantas orang kota
mau makan apa?
Prabu Baladewa termenung mendengar jawaban keponakannya. Dari marah, ia
berubah menjadi gembira. Begitulah watak raja Mandura tersebut yang mudah marah
sekaligus mudah luluh. Maka, ia pun merestui Bambang Irawan dan Dewi Titisari menjadi
suami istri. Ia juga berharap, semoga mereka berdua bisa menjadi teladan bagi para
pemuda agar membangun desa kelahiran, tidak melulu berbondong-bondong memenuhi
kota.
Sementara itu, Prabu Baranjana meninggalkan istana Jongbiraji karena tidak sabar
menunggu Emban Layarmega dan Patih Kalamingkalpa. Di tengah jalan ia bertemu Emban
Layarmega yang melaporkan bahwa Patih Kalamingkalpa telah tewas dibunuh Raden
Gatutkaca, utusan Kerajaan Amarta, sedangkan dirinya berhasil kabur melarikan diri.
Menurut kabar, Dewi Titisari juga telah diculik Raden Gatutkaca dan dibawa menuju
Kerajaan Amarta. Prabu Baranjana sangat marah mendengarnya. Ia pun berangkat
menyerang negeri tersebut.
Sesampainya di ibu kota Indraprasta, Prabu Baranjana segera mengamuk membuat
keributan. Raden Antareja berkata kepada Raden Gatutkaca yang tadi telah membunuh
Patih Kalamingkalpa, bahwa raja raksasa yang ini adalah bagiannya. Usai berkata
demikian, Raden Antareja segera maju menghadapi Prabu Baranjana. Keduanya bertarung
sengit. Tidak sampai lama, Prabu Baranjana akhirnya tewas terkena semburan bisa dari
mulut Raden Antareja.
Sementara itu, Emban Layarmega juga tewas terkena panah Dewi Srikandi. Para
Pandawa pun bergembira. Prabu Puntadewa mengundang para Kurawa agar ikut
menghadiri pernikahan Bambang Irawan dan Dewi Titisari. Prabu Duryudana marah-marah,
menolak undangan tersebut. Lagi-lagi ia mendapat malu dan segera pulang kembali ke
Kerajaan Hastina bersama Raden Lesmana Mandrakumara yang menangis dan merengek-
rengek. Patih Sangkuni memerintahkan Arya Dursasana dan adik-adiknya untuk membuat
keributan. Namun, mereka semua dapat diusir oleh Arya Wrekodara.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

ANTASENA TAKON BAPA


Kisah ini menceritakan kemunculan Raden Antasena, yaitu putra Arya Wrekodara yang
lahir dari Dewi Urangayu, yang saya gabungkan pula dengan kisah perkawinan Raden
Antareja dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa.
Kisah ini saya olah dari sumber buku Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio
Sudibyoprono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, November 2017
Heri Purwanto

Raden Antasena.

BATARA BARUNA DISERANG MUSUH BERNAMA PRABU MINALODRA


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru sedang memimpin pertemuan para dewa
yang dihadiri Batara Narada, Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Indra,
dan Batara Panyarikan. Dalam pertemuan tersebut mereka membicarakan adanya gara-
gara di alam manusia, yaitu putra Arya Wrekodara yang lahir dari Dewi Urangayu, sudah
berusia dua puluh tahun tetapi masih berwujud bayi. Batara Guru meramalkan bayi tersebut
kelak akan menjadi kesatria pembela kebenaran yang memiliki kesaktian luar biasa, serta
menjadi lambang kejujuran.
Tidak lama kemudian datanglah Batara Baruna yang melaporkan adanya musuh
menyerang Kahyangan Dasarsamodra. Batara Baruna adalah dewa yang bertugas
memimpin dan mengatur para binatang di dalam lautan. Tiba-tiba ia diserang seorang raja
raksasa bersisik ikan bernama Prabu Minalodra yang bermaksud merebut kedudukannya
tersebut. Tentu saja Batara Baruna melawan karena memimpin lautan adalah amanah yang
diberikan Batara Guru kepadanya. Tak disangka, Prabu Minalodra ternyata begitu perkasa.
Raja raksasa itu mampu mengalahkan dan mengusir Batara Baruna dari Kahyangan
Dasarsamodra.
Batara Baruna pun datang ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk memohon bantuan
Batara Guru agar menghukum Prabu Minalodra beserta pasukannya. Batara Guru
menerima laporan tersebut dan segera mengirim Batara Sambu, Batara Brahma, Batara
Bayu, dan Batara Indra untuk menumpas Prabu Minalodra. Batara Sambu dan adik-adiknya
mematuhi dan segera mohon pamit menjalankan tugas.

PARA DEWA BERTEMPUR MELAWAN PRABU MINALODRA


Prabu Minalodra berwujud raksasa dengan kulit dipenuhi sisik, di mana ia dapat hidup
di dalam air dan berbicara dengan berbagai macam hewan laut. Dengan berbekal
kemampuan tersebut, ia bertekad merebut kedudukan Batara Baruna sebagai penguasa
bawah laut. Usahanya pun berhasil. Prabu Minalodra berhasil mengalahkan Batara Baruna
dan mengusirnya pergi dari Kahyangan Dasarsamodra.
Kini Batara Baruna telah kembali lagi dengan membawa bala bantuan dari Kahyangan
Jonggringsalaka. Mereka adalah putra-putra Batara Guru, yaitu Batara Sambu, Batara
KITAB WAYANG PURWA

Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu. Keempatnya segera mengepung Prabu Minalodra
dan memaksanya untuk menyerahkan diri. Prabu Minalodra sama sekali tidak takut. Ia pun
menghadapi keempat dewa tersebut bersama pasukannya yang setia.
Maka, terjadilah pertempuran antara keempat dewa melawan Prabu Minalodra dan
pasukannya. Para dewa tidak menyangka ternyata Prabu Minalodra begitu tangguh dan
perkasa. Mereka merasa kesulitan menghadapi raja raksasa tersebut. Merasa tidak
mungkin menang, Batara Sambu pun mengajak adik-adiknya untuk mundur kembali ke
Kahyangan Jonggringsalaka.

BATARA GURU MEMERINTAHKAN BATARA NARADA MENJEMPUT JAGO KAHYANGAN


Berita kekalahan para dewa telah terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan
Jonggringsalaka. Raja para dewa itu lalu mengheningkan cipta untuk melihat masa depan.
Setelah mendapatkan jawaban, ia pun menyampaikannya kepada Batara Narada yang
bersiap menunggu perintah.
Batara Guru berkata bahwa jago kahyangan yang bisa mengalahkan Prabu Minalodra
adalah Raden Antasena, putra Arya Wrekodara yang lahir dari Dewi Urangayu di
Padepokan Kisiknarmada. Batara Narada heran karena Raden Antasena yang dimaksud
itu adalah si bayi berusia dua puluh tahun yang tadi dibicarakan bersama. Batara Guru
menjawab memang bayi tersebut yang ia lihat di masa depan mampu menumpas Prabu
Minalodra. Ini bukan pertama kalinya dewata menjadikan bayi sebagai jago kahyangan.
Bukankah dulu sewaktu Raden Gatutkaca masih bayi juga dijadikan jago untuk menumpas
Prabu Kalapracona dan Patih Sekiputantra?
Batara Narada menerima petunjuk tersebut. Ia kemudian mohon pamit menuju
Padepokan Kisiknarmada untuk menjemput si bayi Raden Antasena.

BATARA NARADA MENCULIK RADEN ANTASENA


Di Padepokan Kisiknarmada, Resi Mintuna sedang menghibur putrinya, yaitu Dewi
Urangayu yang setiap hari selalu bersedih menangisi keadaan putranya. Sudah dua puluh
tahun lamanya Raden Antasena lahir ke dunia tetapi sampai hari ini masih juga berwujud
bayi. Sebenarnya Dewi Urangayu ingin melaporkan hal itu kepada sang suami di Kesatrian
Jodipati, tetapi ia takut Arya Wrekodara tidak mau mengakui anaknya yang menderita
kelainan tersebut.
Resi Mintuna selalu menghibur putrinya bahwa apa yang dialami Raden Antasena
pasti mengandung hikmah pelajaran, dan ia yakin tidak lama lagi cucunya tersebut akan
mendapat pertolongan dari dewata. Lagipula Raden Antasena ini bayi yang unik. Sejak
dilahirkan, setiap hari selalu menangis dan hanya bisa diam apabila sudah direndam di
dalam air laut. Demikianlah, setiap hari selama dua puluh tahun ini si bayi Raden Antasena
selalu direndam di dalam air laut mulai matahari terbit hingga terbenam baru dientas
kembali.
Pagi itu Raden Antasena kembali menangis keras, pertanda ia ingin direndam di dalam
air laut. Seperti kebiasaan di hari-hari sebelumnya, Dewi Urangayu pun membawanya
menuju pantai dengan diantar Resi Mintuna. Sesampainya di sana, Raden Antasena segera
direndam di dalam air laut dan ia tidak lagi menangis seperti tadi.
Tidak lama kemudian Batara Narada datang di pantai tersebut tanpa memperlihatkan
diri. Ia mengamati bayi Raden Antasena yang sedang berdiam diri di dalam air laut, lalu
mengambilnya dan melesat pergi menuju Kahyangan Dasarsamodra. Dewi Urangayu
terkejut dan menjerit karena putranya mendadak lenyap. Namun, Resi Mintuna
KITAB WAYANG PURWA

berpenglihatan tajam. Ia dapat melihat kelebat Batara Narada dan segera pergi
mengejarnya.

RADEN ANTASENA BERTARUNG MELAWAN PRABU MINALODRA


Prabu Minalodra di Kahyangan Dasarsamodra sedang berpesta merayakan
kemenangannya memukul mundur para dewa putra Batara Guru. Tiba-tiba terdengar suara
Batara Narada berteriak memanggil-manggil di luar istana. Prabu Minalodra marah dan
keluar untuk menghadapinya.
Batara Narada berkata Prabu Minalodra jangan gembira dulu. Para dewa bukannya
kalah, tetapi sengaja mengalah karena melawan makhluk dunia harus menggunakan jago
sesama makhluk dunia pula. Prabu Minalodra bertanya apakah Batara Narada datang
membawa jago tersebut. Batara Narada pun menunjukkan bayi laki-laki yang ada di
gendongannya. Meskipun masih bayi, namun ia sudah berusia dua puluh tahun.
Prabu Minalodra tertawa menyebut Batara Narada sedang bercanda. Mana ada
manusia sudah berusia dua puluh tahun tetapi masih berwujud bayi? Batara Narada berkata
Prabu Minalodra tidak usah mengejek kalau hanya untuk menutupi rasa takutnya. Prabu
Minalodra tersinggung dan segera menyerang Batara Narada. Batara Narada pun
melemparkan bayi dalam gendongannya ke arah kepala Prabu Minalodra.
Tubuh si bayi Raden Antasena membentur kepala Prabu Minalodra hingga
membuatnya merasa pusing. Anehnya, Raden Antasena tidak mati, tetapi tumbuh menjadi
anak kecil yang sudah bisa berjalan. Prabu Minalodra merasa heran. Ia pun memukul dan
menendang tubuh Raden Antasena. Sungguh ajaib, semakin dipukul tubuh Raden
Antasena semakin bertambah besar, hingga akhirnya menjadi pemuda dewasa sesuai
dengan usianya yang sudah dua puluh tahun.
Prabu Minalodra semakin penasaran. Ia pun mengamuk menyerang Raden Antasena.
Raden Antasena melawan sebisanya. Ia memiliki kesaktian alamiah yang dengan
sendirinya dapat menghadapi semua serangan Prabu Minalodra. Hingga akhirnya, Prabu
Minalodra pun tewas kehilangan nyawa. Jasadnya musnah, dan seluruh kesaktiannya
berpindah ke dalam diri Raden Antasena.

BATARA BARUNA MENGANGKAT RADEN ANTASENA SEBAGAI CUCU


Raden Antasena terlihat kebingunan dan Batara Narada pun mendatangi untuk
menjelaskan siapa dirinya. Tidak lama kemudian datanglah Resi Mintuna. Batara Narada
meminta maaf karena telah meminjam Raden Antasena untuk dijadikan sebagai jago para
dewa. Resi Mintuna justru berterima kasih, karena cucunya kini telah tumbuh dewasa berkat
bertarung melawan Prabu Minalodra tadi.
Raden Antasena pun memberi salam kepada Resi Mintuna. Meskipun selama dua
puluh tahun ini ia berwujud bayi, namun dirinya dapat mengenali wajah kakek dan ibunya.
Resi Mintuna merasa senang dan memeluk cucunya tersebut. Ketika hendak dibawa pulang
ke Padepokan Kisiknarmada, tiba-tiba Batara Guru datang bersama Batara Baruna.
Batara Guru berterima kasih atas bantuan Resi Mintuna dan Raden Antasena dalam
mengalahkan Prabu Minalodra. Sebagai ungkapan terima kasih, Batara Guru pun
memberikan hadiah kepada Raden Antasena berupa Cupu Madusena yang berisi air
kehidupan Tirtamarta Kamandanu. Batara Guru juga mengangkat Resi Mintuna sebagai
dewa pelindung ikan air tawar, berdampingan dengan Batara Baruna yang merupakan dewa
pelindung ikan air laut. Resi Mintuna merasa tidak pantas karena ia tidak membantu apa-
apa. Namun, Batara Guru sudah memutuskan demikian, karena ia menilai tapa brata Resi
KITAB WAYANG PURWA

Mintuna selama ini sudah mencapai derajat dewa. Maka, sejak hari itu Resi Mintuna boleh
disebut dengan gelar Batara Mintuna.
Batara Baruna juga berterima kasih karena bisa kembali bertakhta di Kahyangan
Dasarsamodra. Ia pun mengangkat Batara Mintuna sebagai saudara, dan menjadikan
Raden Antasena sebagai cucu. Maka, sejak hari itu Raden Antasena pun disebut pula
sebagai cucu Batara Baruna.

RADEN ANTASENA INGIN MENCARI AYAHNYA


Batara Guru menjelaskan bahwa selama dua puluh tahun ini, Raden Antasena dalam
wujud bayi selalu menangis minta direndam di dalam air laut mulai pagi hingga senja.
Kelihatannya ini seperti berendam biasa, tetapi sesungguhnya apa yang dilakukan Raden
Antasena adalah tapa brata keras, di mana ia menyerap intisari kekuatan air agar merasuk
ke dalam dirinya. Hal ini membuat Raden Antasena menjadi manusia sakti alamiah yang
tidak terkalahkan. Selain itu, meskipun kini sudah berubah menjadi pria dewasa, namun
sifat-sifat bayi yang polos dan lugu tetap terbawa, membuat Raden Antasena menjadi
pribadi yang jujur apa adanya, tidak bisa berpura-pura, juga tidak mengenal basa-basi
duniawi.
Batara Mintuna bersyukur atas suratan takdir yang dialami cucunya. Kelainan yang
dialami Raden Antasena ternyata mengandung hikmah yang sedemikian besar. Ia pun
mohon pamit untuk mengajak Raden Antasena pulang ke Padepokan Kisiknarmada.
Namun, Raden Antasena menolak. Kini dirinya sudah bukan bayi lagi yang ke sana kemari
dalam gendongan ibu. Sebagai seorang anak, tentunya ia ingin bertemu dengan ayah
kandungnya. Meskipun selama ini berwujud bayi, namun ia dapat mendengar percakapan
ibu dan kakeknya, bahwa ayah kandungnya bernama Arya Wrekodara dari Kesatrian
Jodipati di Kerajaan Amarta. Untuk itu, Raden Antasena pun mohon pamit ingin bertemu
dengan kesatria Pandawa nomor dua tersebut. Kelak apabila ia sudah bertemu dengan
Arya Wrekodara, barulah dirinya pulang ke Padepokan Kisiknarmada untuk berkumpul
kembali dengan sang ibu, yaitu Dewi Urangayu.
Batara Mintuna dapat mengerti perasaan cucunya itu, demikian pula Batara Guru,
Batara Narada, dan Batara Baruna. Setelah mendapatkan petunjuk tentang arah mana yang
harus ditempuh untuk menuju Kerajaan Amarta, Raden Antasena pun mohon pamit
berangkat ke sana.

PRABU KRESNA MENDAPAT LAPORAN TENTANG HILANGNYA PARA PANDAWA


Sementara itu di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa sedang memimpin
pertemuan yang dihadiri Raden Samba, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Tiba-tiba datanglah
Raden Abimanyu dengan wajah tegang seperti ada masalah besar. Dalam kunjungannya
itu, Raden Abimanyu melapor bahwa kelima Pandawa telah hilang diculik orang.
Awal mulanya ialah, Kerajaan Amarta diserang musuh dari Kerajaan Girikadasar yang
dipimpin Prabu Ganggatrimuka, yang ingin menangkap kelima Pandawa untuk dijadikan
tumbal bagi keselamatan negaranya. Dalam pertempuran itu, pasukan Girikadasar dapat
dipukul mundur oleh Arya Wrekodara dan kedua putranya, yaitu Raden Antareja dan Raden
Gatutkaca. Namun, pada malam harinya tiba-tiba Pandawa Lima lenyap dari istana. Para
putra Pandawa menduga mereka pasti diculik oleh Prabu Ganggatrimuka dengan
menggunakan Aji Sirep.
Prabu Kresna menerima laporan tersebut dan kemudian mengheningkan cipta
memohon petunjuk dewata. Sesaat kemudian ia membuka mata dan menjelaskan bahwa
memang benar Pandawa Lima saat ini berada dalam penjara Kerajaan Girikadasar sebagai
KITAB WAYANG PURWA

tawanan Prabu Ganggatrimuka. Bulan purnama besok, mereka berlima akan disembelih
sebagai tumbal bagi keselamatan negara.
Raden Abimanyu ngeri mendengarnya. Ia pun memohon bantuan Prabu Kresna agar
sudi menolong para Pandawa. Prabu Kresna menjawab dirinya tidak ditakdirkan untuk
melawan Prabu Ganggatrimuka dan membebaskan para Pandawa. Menurut
penerawangannya, yang bisa membebaskan Pandawa Lima adalah putra Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Raden Abimanyu merasa mendapat pencerahan. Ia segera mohon
pamit kepada Prabu Kresna untuk melaporkan hal ini kepada saudara-saudaranya yang
lain. Setelah Raden Abimanyu pergi, Prabu Kresna merasa penasaran dan segera
mengikutinya dari belakang secara diam-diam.

RADEN ANTASENA MELERAI KEDUA KAKAKNYA


Raden Abimanyu kembali ke perbatasan di mana saudara-saudaranya telah
menunggu, yaitu Raden Pancawala, Raden Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Bratalaras,
dan Raden Sumitra. Ia segera menyampaikan petunjuk yang telah diberikan Prabu Kresna,
bahwa yang bisa mengalahkan Prabu Ganggatrimuka dan membebaskan para Pandawa
adalah putra Arya Wrekodara. Raden Pancawala gembira mendengarnya dan segera
menyerahkan kepemimpinan kepada Raden Antareja atau Raden Gatutkaca.
Raden Antareja selaku putra sulung Arya Wrekodara, merasa dirinya lebih berhak
menjadi pemimpin upaya penyelamatan para Pandawa. Raden Gatutkaca menentang hal
itu. Petunjuk dari Prabu Kresna menyebut tentang putra Arya Wrekodara, dan ini tidak
terbatas pada anak sulung saja. Meskipun usia Raden Antareja lebih tua, tetapi Raden
Gatutkaca lebih dulu menjadi punggawa Kerajaan Amarta. Dengan kata lain, pengalaman
berperang Raden Gatutkaca jauh lebih banyak daripada kakaknya itu.
Raden Antareja tidak mau mengalah, begitu pula dengan Raden Gatutkaca. Keduanya
sama-sama berebut siapa yang berhak menjadi pemimpin penyelamatan para Pandawa.
Sudah beberapa kali kakak beradik ini terlibat pertarungan tetapi belum bisa menentukan
siapa yang menang, siapa yang kalah. Kali ini mereka kembali bertarung, demi untuk
menentukan siapa yang lebih berhak menjadi pemimpin rombongan.
Raden Pancawala, Raden Abimanyu, Raden Bratalaras, dan Raden Sumitra berusaha
melerai kedua sepupu mereka itu, namun keduanya sudah bertarung sengit, berusaha
saling mengalahkan. Kadang-kadang Raden Antareja menarik tubuh Raden Gatutkaca
masuk ke dalam tanah, kadang-kadang Raden Gatutkaca menyambar tubuh Raden
Antareja naik ke angkasa, seperti pertarungan yang sudah-sudah.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Raden Antasena menerjang mereka. Dari kepalanya
muncul sepasang sungut udang yang memanjang, dan masing-masing menyengat tubuh
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Begitu tersengat sungut di kepala Raden Antasena
tersebut, kedua bersaudara itu langsung jatuh terduduk dengan tubuh lemas. Keduanya
tidak menyangka ada seorang pemuda berwajah lugu yang bisa menghentikan pertarungan
mereka. Raden Antareja dan Raden Gatutkaca ingin bangkit berdiri tetapi kaki mereka
terasa lemas tidak bertenaga sama sekali.
Raden Antasena berkata, sungguh memalukan dua punggawa Kerajaan Amarta yang
masih kakak beradik harus bertarung sendiri hanya demi memperebutkan kedudukan
sebagai pemimpin. Apa untungnya mereka menjadi pemimpin jika harus melukai saudara
sendiri? Apa gunanya memamerkan jasa di hadapan para Pandawa, jika harus menginjak
saudara sendiri? Bukankah lebih baik mereka menyisihkan ego dan meraih kemenangan
dengan cara bekerja sama, bukan dengan cara bersaing saling menjatuhkan?
KITAB WAYANG PURWA

Raden Antareja dan Raden Gatutkaca merasa malu mendengarnya. Raden Gatutkaca
lalu mempersilakan Raden Antareja saja yang menjadi pemimpin pasukan. Namun, Raden
Antareja menolak karena Raden Gatutkaca jauh lebih berpengalaman sebagai punggawa
daripada dirinya. Kedua bersaudara itu kembali bertengkar, tapi kali ini mereka saling
berebut kalah, bukan saling berebut menang.
Raden Antasena tertawa melihat keduanya. Berdiri saja mereka tidak sanggup tapi
hendak menyelamatkan para Pandawa. Urusan memimpin pasukan biarlah dirinya saja
yang memimpin.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca tidak terima karena ada pemuda polos
berwajah bodoh hendak memimpin mereka. Namun, mengingat kesaktian Raden Antasena
yang bisa melumpuhkan mereka hanya dengan sekali sengat, keduanya merasa gentar
untuk membantah.

RADEN ANTASENA MENJADI PEMIMPIN UPAYA PEMBEBASAN PARA PANDAWA


Pada saat itulah Prabu Kresna muncul menampakkan diri. Sejak tadi ia mengintai
pertarungan antara Raden Antareja dan Raden Gatutkaca, hingga kemunculan Raden
Antasena yang berhasil melumpuhkan mereka hanya dengan sekali sengat. Prabu Kresna
lalu mengamat-amati penampilan Raden Antasena dan ia pun menebak bahwa pemuda itu
adalah putra Arya Wrekodara. Raden Antareja, Raden Gatutkaca, dan yang lain terkejut
tidak percaya pada keterangan tersebut.
Prabu Kresna pun menjelaskan bahwa Arya Wrekodara memiliki tiga orang istri. Yang
pertama adalah Dewi Nagagini, yaitu ibu Raden Antareja; yang kedua adalah Dewi Arimbi,
yaitu ibu Raden Gatutkaca. Adapun istri yang ketiga bernama Dewi Urangayu, dan tentunya
wanita itulah yang melahirkan Raden Antasena.
Raden Antasena membenarkan, bahwa dirinya memang putra Arya Wrekodara yang
lahir dari Dewi Urangayu. Tadinya ia menuju Kerajaan Amarta namun ternyata di sana tidak
bertemu para Pandawa. Raden Antasena lalu ditangkap Patih Tambakganggeng yang
sedang meronda karena dikira penyusup yang hendak berbuat onar. Namun, dirinya justru
berbalik meringkus patih Kerajaan Amarta tersebut. Dari keterangan Patih
Tambakganggeng, ternyata Pandawa Lima hilang diculik Prabu Ganggatrimuka, dan saat
ini para putra mereka telah berangkat untuk upaya penyelamatan. Raden Antasena lalu
membebaskan Patih Tambakganggeng dan bergegas menyusul hingga akhirnya melihat
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca sedang berkelahi.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca saling pandang kemudian berusaha bangkit
untuk memeluk Raden Antasena. Namun, kaki mereka masih lemas tiada tenaga sama
sekali untuk berdiri. Raden Antasena tertawa dan kemudian kembali menyengat kedua
kakaknya tersebut. Begitu tersengat untuk yang kedua kalinya, seketika tenaga Raden
Antareja dan Raden Gatutkaca kembali pulih. Mereka berdua lalu bersamaan memeluk
Raden Antasena. Keduanya juga setuju biarlah Raden Antasena saja yang memimpin
perjuangan membebaskan para Pandawa.
Raden Pancawala, Raden Abimanyu, dan yang lain pun mendukung Raden Antasena
sebagai pemimpin perjalanan. Karena semuanya sudah sepakat, Raden Antasena pun
meminta restu kepada Prabu Kresna, lalu berangkat bersama saudara-saudaranya tersebut
menuju Kerajaan Girikadasar.
PRABU GANGGATRIMUKA MENERIMA KUNJUNGAN KAKAKNYA
Sementara itu di Kerajaan Girikadasar, Prabu Ganggatrimuka menerima kunjungan
kakaknya yang bernama Prabu Ganggapranawa dari Kerajaan Tawingnarmada. Prabu
Ganggapranawa tampak datang bersama putri kandungnya yang bernama Dewi Ganggi.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah saling memberi salam, Prabu Ganggapranawa pun bertanya apakah benar
Prabu Ganggatrimuka telah menyekap Pandawa Lima. Prabu Ganggatrimuka
membenarkan hal itu. Ia memang telah menculik para Pandawa menggunakan Aji Sirep
dan menyekap mereka di dalam Konggedah. Hal ini karena Kerajaan Girikadasar sedang
dilanda wabah, dan menurut petunjuk dari Batara Kala yang disembah Prabu
Ganggatrimuka, bahwa wabah tersebut akan sirna apabila Pandawa Lima disekap dan
disembelih sebagai korban.
Prabu Ganggapranawa merasa prihatin mendengarnya. Sejak awal ia tidak pernah
setuju adiknya itu memuja Batara Kala yang mengajarkan agama sesat. Lebih baik Prabu
Ganggatrimuka kembali ke jalan yang benar, dan membebaskan para Pandawa dari
sekapan. Prabu Ganggatrimuka tidak terima. Ia tetap bersikeras mengorbankan nyawa para
Pandawa dan mempersembahkan darahnya kepada Batara Kala.
Tiba-tiba seorang punggawa masuk dan melaporkan tentang putra-putra Pandawa
yang menyerang Kerajaan Girikadasar. Prabu Ganggatrimuka marah dan segera keluar
menghadapi serangan tersebut.

RADEN ANTASENA MEMBEBASKAN PARA PANDAWA


Sesungguhnya serangan para putra Pandawa itu hanyalah pancingan belaka. Raden
Antasena telah menyusun siasat untuk membebaskan para Pandawa. Ia menugasi Raden
Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Abimanyu, Raden Bratalaras, dan Raden Sumitra untuk
membuat kekacauan agar Prabu Ganggatrimuka keluar menghadapi mereka. Sementara
itu, Raden Antasena dan Raden Pancawala menyusup melalui istana belakang untuk
mencari di mana para Pandawa disekap. Setelah mencari sekian lama, mereka akhirnya
melihat Pandawa Lima sedang dikurung dalam sebuah gedung kaca yang sangat tebal.
Kelimanya pun tampak terbaring lemas karena kehabisan udara.
Raden Antasena mengheningkan cipta mengumpulkan kekuatan. Sepasang
sungutnya kembali memanjang dan menyengat gedung kaca tersebut. Gedung kaca ini
adalah pusaka Prabu Ganggatrimuka yang bernama Konggedah. Tidak ada satu pun
senjata yang bisa memecahkannya. Namun, begitu tersengat oleh sungut Raden Antasena,
gedung kaca tersebut menjadi hancur berkeping-keping.
Raden Antasena dan Raden Pancawala menggotong keluar para Pandawa yang
sudah lemas tak sadarkan diri. Raden Antasena lalu membuka Cupu Madusena dan
memercikkan air di dalamnya ke tubuh Pandawa Lima. Seketika para Pandawa pun
membuka mata. Raden Pancawala sangat gembira dan memperkenalkan Raden Antasena
kepada mereka.
Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan berterima kasih atas pertolongan Raden
Antasena. Namun, Arya Wrekodara tidak bisa mengakui anaknya begitu saja. Ia bersedia
menerima Raden Antasena sebagai putra asalkan bisa mengalahkan Prabu
Ganggatrimuka. Mendengar itu, Raden Antasena segera mohon pamit menuju ke tempat
pertempuran.

PRABU GANGGATRIMUKA DIKALAHKAN RADEN ANTASENA


Sementara itu, Prabu Ganggatrimuka dan pasukannya sedang bertempur melawan
Raden Antareja, Raden Gatutkaca, dan yang lain. Prabu Ganggatrimuka sendiri sangat kuat
dan sulit dikalahkan. Raden Antareja dan saudara-saudaranya sudah mengerahkan segala
cara, namun tidak juga berhasil mengalahkan raja Girikadasar tersebut.
Pada saat itulah Raden Antasena muncul. Dengan sekali pukul ia berhasil membuat
Prabu Ganggatrimuka roboh dengan kepala pecah. Raden Antareja, Raden Gatutkaca, dan
KITAB WAYANG PURWA

yang lain kagum melihat kesaktian Raden Antasena yang luar biasa itu. Dari luar terlihat
lugu dan polos, dengan wajah bodoh, namun ternyata menyimpan kehebatan yang
mengagumkan.
Prabu Ganggapranawa tidak terima melihat adiknya tewas. Ia pun maju menyerang
para putra Pandawa tersebut. Raden Antareja segera maju menghadapi. Setelah bertarung
cukup lama, ia akhirnya berhasil mendesak raja tersebut. Prabu Ganggapranawa terkena
pukulannya dan roboh di tanah. Ketika Raden Antareja hendak memukulnya lagi, tiba-tiba
Dewi Ganggi muncul menghalangi.
Dewi Ganggi memohon agar ayahnya diampuni. Sebagai ganti, biarlah dirinya saja
yang dihukum mati oleh Raden Antareja. Namun, ia juga menjelaskan bahwa ayahnya sama
sekali tidak terlibat kejahatan Prabu Ganggatrimuka. Dalam hal ini Prabu Ganggapranawa
justru menasihati Prabu Ganggatrimuka agar membebaskan para Pandawa, namun
adiknya itu tetap bersikeras memuja Batara Kala.
Raden Antareja gemetar melihat kecantikan Dewi Ganggi. Rupanya ia telah jatuh cinta
pada pandangan pertama. Prabu Kresna dan para Pandawa muncul. Prabu
Ganggapranawa pun bangkit dan meminta maaf atas dosa-dosa adiknya yang kini telah
tewas. Prabu Puntadewa mewakili para Pandawa menerima maaf tersebut dan mengajak
Prabu Ganggapranawa duduk bersama.
Raden Arjuna yang banyak berpengalaman dalam urusan cinta dapat melihat bahwa
Raden Antareja telah jatuh cinta kepada Dewi Ganggi. Ia pun meminta Arya Wrekodara
agar berbesan dengan Prabu Ganggapranawa. Arya Wrekodara setuju, mengingat Raden
Gatutkaca sudah lebih dulu menikah, maka sangat pantas apabila Raden Antareja selaku
putra sulung juga mendapatkan istri.
Mendengar itu, Prabu Ganggapranawa sangat bahagia karena dirinya bisa berbesan
dengan para Pandawa. Ia pun menanyai Dewi Ganggi apakah bersedia menjadi istri Raden
Antareja. Dewi Ganggi hanya tertunduk malu. Mereka semua pun tertawa gembira.
Suasana permusuhan kini berubah menjadi persaudaraan.
Arya Wrekodara adalah yang paling merasa gembira, karena para Pandawa termasuk
dirinya telah lolos dari maut, sekaligus mendapat seorang menantu pula. Dan yang lebih
utama, ia kini bertemu dengan putra ketiganya, yaitu Raden Antasena. Prabu Puntadewa
sekali lagi berterima kasih atas pertolongan Raden Antasena yang telah memimpin upaya
penyelamatan atas dirinya dan para Pandawa lainnya dengan sangat baik. Mereka semua
lalu kembali ke Kerajaan Amarta untuk mengadakan syukuran, sekaligus menyusun
rencana pernikahan Raden Antareja dengan Dewi Ganggi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah di atas sebenarnya adalah gabungan lakon Antasena Lahir dan Antasena Takon Bapa yang
saya jadikan satu. Mengenai kisah Raden Antasena sudah berusia dua puluh tahun tetapi masih
berwujud bayi adalah karangan saya, sebagai benang merah untuk mengisahkan asal mula Raden
Antasena memiliki watak polos dan jujur seperti anak kecil. Adapun Prabu Ganggapranawa
bersaudara dengan Prabu Ganggatrimuka juga tambahan dari saya, dengan maksud untuk
menyisipkan kisah pernikahan Raden Antareja dengan Dewi Ganggi.
KITAB WAYANG PURWA

WISANGGENI LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Wisanggeni, yaitu putra Raden Arjuna yang
lahir dari Batari Dresanala, putri Batara Brahma. Bambang Wisanggeni ini adalah
putra Pandawa yang sangat istimewa, tidak terkalahkan karena adakalanya menjadi
tempat Sanghyang Padawenang bersemayam.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari dongeng bapak yang saya padukan
dengan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 Desember 2017
Heri Purwanto

Bambang Wisanggeni.

BATARA BRAHMA TELAH MENGAMBIL RADEN ARJUNA SEBAGAI MENANTU


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru sedang memimpin pertemuan para dewa
yang dihadiri Batara Narada, Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Indra,
dan Batara Panyarikan. Dalam pertemuan itu Batara Guru bertanya kepada Batara Brahma
mengapa cukup lama tidak datang menghadap. Batara Brahma menjelaskan bahwa ia baru
saja menikahkan putrinya yang bernama Batari Dresanala dengan Pandawa nomor tiga,
yaitu Raden Arjuna.
Batara Guru bertanya bagaimana ceritanya Raden Arjuna bisa menikah dengan
bidadari. Jasa apa yang telah ia perbuat sehingga bisa menjadi suami Batari Dresanala.
Batara Brahma pun bercerita, awalnya ia mempunyai murid bernama Prabu Setaketu dari
Kerajaan Selapura. Prabu Setaketu ini dari luar tampak sangat berbakti dan mematuhi
segala petunjuk yang diberikan Batara Brahma, namun di dalam hati menyimpan maksud
lain. Hingga pada suatu hari Prabu Setaketu menunjukkan watak aslinya. Ia berkhianat
menjebak Batara Brahma masuk ke dalam perangkapnya. Rupanya Prabu Setaketu adalah
pemuja Batara Kala yang ingin menyenangkan dewa sesembahannya itu. Batara Brahma
sendiri berhasil meloloskan diri namun kesaktiannya banyak berkurang karena perangkap
Prabu Setaketu. Dalam pelariannya itu, Batara Brahma bertemu Raden Arjuna yang sedang
berkelana. Ia pun meminta bantuan Pandawa nomor tiga tersebut untuk menghadapi Prabu
Setaketu.
Raden Arjuna menyanggupi. Ia lalu menghadang Prabu Setaketu yang datang
mengejar Batara Brahma. Mereka berdua lalu bertarung sengit. Setelah lama bertanding,
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna berhasil menewaskan Prabu Setaketu. Batara Brahma sangat berterima
kasih. Sebagai ungkapan syukur, ia pun menikahkan Raden Arjuna dengan putrinya yang
bernama Batari Dresanala. Demikianlah kisahnya mengapa Batara Brahma lama tidak
menghadap ke Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memaklumi dan ia pun merestui
perkawinan Raden Arjuna dengan Batari Dresanala, semoga kelak mendapat keturunan
manusia utama yang memiliki kesaktian istimewa.

Batara Guru.

BATARI DURGA MELAMAR BATARI DRESANALA UNTUK PRABU DEWASRANI


Ketika para dewa sedang mengucapkan selamat kepada Batara Brahma yang
mendapatkan menantu baru, tiba-tiba Batari Durga datang bersama putranya yang
bernama Prabu Dewasrani, raja Tunggulmalaya. Batari Durga datang menghadap Batara
Guru untuk menyampaikan maksud Prabu Dewasrani yang ingin menikah dengan Batari
Dresanala. Untuk itu, ia pun memohon kepada Batara Guru agar merestui perjodohan
mereka.
Batara Guru berkata bahwa keinginan Prabu Dewasrani tersebut sudah terlambat
karena Batari Dresanala telah menikah dengan Panengah Pandawa, yaitu Raden Arjuna.
Untuk itu, ia menyarankan agar Prabu Dewasrani memilih bidadari yang lain saja sebagai
istri. Prabu Dewasrani menolak karena ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Batari
Dresanala dan tidak bersedia jika diganti dengan bidadari lainnya.
Batari Durga pun membela putranya. Ia bertanya mengapa Batara Guru lebih
mendukung Raden Arjuna yang bukan siapa-siapa, dan mengorbankan keinginan putra
sendiri. Batari Durga mengingatkan suaminya itu adalah raja para dewa, tentunya memiliki
kuasa tanpa batas. Batara Guru bahkan berhak untuk menceraikan Batari Dresanala
dengan Raden Arjuna, lalu menikahkannya dengan Prabu Dewasrani.
Batara Narada menyela ikut bicara. Ia mengingatkan bahwa memisahkan dua orang
yang sudah menikah bukanlah perbuatan terpuji. Batara Guru adalah raja para dewa,
tentunya harus tetap berbuat adil dan bijaksana, bukan justru berbuat seenaknya. Batari
Dresanala sudah menikah dengan Raden Arjuna, dan mereka tidak boleh dipisahkan begitu
saja.
KITAB WAYANG PURWA

Batari Durga memotong pembicaraan Batara Narada dan ia semakin gencar merayu
Batara Guru. Sambil menangis-nangis ia berkata bahwa Batara Guru sudah melupakan
kewajiban sebagai ayah. Sejak kecil Prabu Dewasrani berada dalam asuhan Batari Durga
tanpa sekali pun Batara Guru menjenguk atau menujukkan tanggung jawabnya sebagai
ayah. Dalam hal ini Batari Durga tidak menyesal. Yang ia sesali hanyalah Batara Guru rela
melihat anaknya patah hati padahal bisa memberikan bantuan dengan mengandalkan
kekuasaannya.
Bujuk rayu Batari Durga telah menyentuh perasaan Batara Guru. Ia pun memutuskan
akan membantu Prabu Dewasrani mendapatkan Batari Dresanala. Batara Brahma lalu
diperintah untuk menceraikan Batari Dresanala dengan Raden Arjuna. Apabila Batari
Dresanala sudah terlanjur mengandung, maka janin dalam rahimnya harus digugurkan.
Batara Brahma terkejut mendengar perintah itu. Ia pun memohon agar Batara Guru
tidak memberikan tugas berat seperti ini. Namun, Batara Guru justru marah karena tugas
ringan seperti itu disebut berat. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengabulkan keinginan
Prabu Dewasrani, maka Batara Brahma tidak perlu mengarang-ngarang alasan segala. Ia
memerintahkan Batara Brahma agar secepatnya mengusir Raden Arjuna dari Kahyangan
Daksinageni dan menyerahkan Batari Dresanala kepada Prabu Dewasrani. Jika tidak, maka
Batara Guru sendiri yang akan bertindak. Batara Brahma tidak berani membantah lagi. Ia
pun mohon pamit meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka. Batari Durga berterima kasih
kepada sang suami, lalu mohon pamit pula untuk mengikuti Batara Brahma bersama Prabu
Dewasrani.
Sepeninggal mereka, Batara Narada mengaku sangat kecewa melihat Batara Guru
yang termakan bujuk rayu Batari Durga, sehingga bersikap tidak adil kepada Raden Arjuna
dan Batari Dresanala. Batara Guru tidak peduli dan memaki Batara Narada yang terlalu
banyak mencampuri urusan rumah tangganya. Batara Brahma adalah putra Batara Guru,
dan Batari Dresanala adalah cucunya. Maka, Batara Guru merasa berhak menikahkan
Batari Dresanala dengan laki-laki yang ia kehendaki. Apabila Batara Narada berani
menentang, maka ia tidak segan-segan memecat sepupunya itu dari jabatan kamituwa
Kahyangan Jonggringsalaka.
Batara Narada menjawab dirinya tidak takut dipecat. Bahkan, ia sendiri yang
menyatakan mundur dan melepaskan jabatan daripada melayani raja dewa yang tidak adil.
Usai berkata demikian, Batara Narada pun pergi meninggalkan pertemuan.
Batara Guru mencurigai Batara Narada akan melakukan pemberontakan. Maka, ia pun
memerintahkan Batara Sambu, Batara Bayu, dan para putranya yang lain agar mengejar
dan menangkap Batara Narada. Apabila Batara Narada bersedia meminta maaf, maka ia
bisa kembali memperoleh jabatannya sebagai kamituwa Kahyangan Jonggringsalaka.
Namun, apabila Batara Narada melawan, maka putra-putranya diberi wewenang untuk
berbuat kasar seperlunya. Batara Sambu dan yang lain merasa perintah ini sangat berat,
namun mereka tidak berani membantah.

BATARA NARADA DILINDUNGI PARA PUTRA BATARA ISMAYA


Batara Narada yang bergegas meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka tiba-tiba
dikejar oleh putra-putra Batara Ismaya, antara lain Batara Kamajaya, Batara Surya, Batara
Yamadipati, dan Batara Temburu. Para dewa itu bertanya mengapa Batara Narada
meninggalkan pertemuan dengan wajah marah. Batara Narada pun menjelaskan dari awal
hingga akhir, terutama soal ketidakadilan Batara Guru terhadap Raden Arjuna, karena
termakan bujuk rayu Batari Durga.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Kamajaya dan saudara-saudaranya ikut kesal mendengar cerita tersebut.


Mereka lalu menyatakan ikut bergabung dengan Batara Narada, meskipun harus
kehilangan jabatan. Batara Narada senang mendengarnya. Hari ini ia berniat melaporkan
ketidakadilan Batara Guru pada leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang di
Kahyangan Awang-awang Kumitir. Para putra Batara Ismaya tersebut diminta untuk ikut
menemani.
Tiba-tiba Batara Sambu, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Asmara, Batara Cakra,
dan Batara Mahadewa datang membawa pasukan dorandara untuk mengepung Batara
Narada dan kawan-kawan. Mereka membawa perintah Batara Guru agar menangkap
Batara Narada. Apabila Batara Narada bersedia meminta maaf, maka mereka akan berbuat
sopan. Namun, apabila Batara Narada melawan, mereka pun terpaksa menggunakan
kekerasan.
Batara Narada semakin marah mendengar hal itu. Batara Kamajaya pun meminta
Batara Narada tidak perlu mendengarkan mereka. Jika para putra Batara Guru
menggunakan kekerasan, maka putra-putra Batara Ismaya siap menghadapi. Batara
Sambu marah mendengarnya dan memerintahkan pasukan dorandar untuk maju
menyerang.
Demikianlah, perang saudara antara para dewa pun terjadi. Batara Narada merasa
berhutang budi kepada para putra Batara Ismaya. Dengan berat hati ia pun meloloskan diri
untuk pergi ke Kahyangan Awang-awang Kumitir. Sementara itu, Batara Kamajaya dan para
saudara bertempur sekuat tenaga melawan para putra Batara Guru dan pasukannya,
hingga akhirnya mereka semua tertangkap karena jumlah lawan jauh lebih banyak.

Batara Kamajaya

BATARA NARADA MENGHADAP SANGHYANG PADAWENANG


Batara Narada yang terbang secepat kilat akhirnya sampai di Kahyangan Awang-
awang Kumitir. Di sana ia menghadap Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa. Kepada
Sanghyang Padawenang, Batara Narada melaporkan apa yang terjadi di Kahyangan
Jonggringsalaka, yaitu bagaimana Batara Guru menyalahgunakan kekuasaan dengan lebih
mementingkan urusan pribadi. Akibat bujuk rayu Batari Durga, Batara Guru tega berlaku
kurang adil kepada Raden Arjuna dan Batari Dresanala dengan cara menceraikan mereka
berdua yang sudah resmi menikah.
KITAB WAYANG PURWA

Sanghyang Padawenang menerima laporan Batara Narada. Ia lalu bertanya apa yang
telah dilakukan Batara Narada sebagai kamituwa kahyangan, apakah sudah berusaha
menasihati Batara Guru untuk bertindak benar? Batara Narada tidak berani menjawab
karena takut menyombongkan diri. Sanghyang Padawenang tentunya dapat melihat sendiri
apa yang telah terjadi dengan pandangan saktinya. Sanghyang Padawenang
membenarkan hal itu bahwa dirinya memang dapat melihat Batara Guru telah berbuat tidak
adil.
Sanghyang Padawenang lalu berkata bahwa Batari Dresanala saat ini telah
mengandung putra Raden Arjuna. Melalui janin dalam perut bidadari tersebut, ia berniat
memberikan hukuman atas kesalahan Batara Guru. Ia pun memerintahkan Batara Narada
untuk mengawasi bayi itu apabila sudah lahir, sedangkan dirinya sendiri yang akan
melindungi si bayi. Batara Narada gembira mendengarnya dan berterima kasih atas
bantuan Sanghyang Padawenang yang sudi turun gunung. Kedua dewa itu lalu berangkat
menuju Kahyangan Daksinageni.

Sanghyang Padawenang

BATARA BRAHMA MENCERAIKAN RADEN ARJUNA DAN BATARI DRESANALA


Sementara itu, Batara Brahma telah sampai di tempat tinggalnya, yaitu Kahyangan
Daksinageni. Batari Dresanala dan Raden Arjuna menyambut kedatangannya. Batara
Brahma tampak gugup. Namun, demi menjalankan perintah Batara Guru, ia terpaksa
berbohong bahwa Raden Arjuna harus segera pulang ke Kerajaan Amarta, karena Batari
Dresanala diminta Batara Guru untuk menjadi pelengkap barisan bidadari Kahyangan
Jonggringsalaka yang jumlahnya sakethi kurang sawiji atau 99.999 orang.
Raden Arjuna merasa curiga namun dipendamnya dalam hati. Ia lalu mohon pamit
kepada Batara Brahma dan Batari Dresanala untuk pergi meninggalkan Kahyangan
Daksinageni. Batari Dresanala tidak tega melepas kepergian sang suami, namun ayahnya
tampak memaksa agar mereka segera berpisah. Dengan berat hati akhirnya Batari
Dresanala pun mempersilakan Raden Arjuna pergi.
Sepeninggal Raden Arjuna, barulah Batara Brahma berterus terang bahwa Batara
Guru menghendaki Batari Dresanala bercerai dengan suaminya itu, karena akan dinikahkan
dengan Prabu Dewasrani raja Tunggulmalaya. Batari Dresanala tidak bersedia karena
cintanya hanya untuk Raden Arjuna seorang.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Brahma membujuk putrinya itu bahwa Prabu Dewasrani jauh lebih pantas
sebagai suami daripada Raden Arjuna. Prabu Dewasrani seorang raja yang belum menikah,
sedangkan Raden Arjuna hanyalah pangeran biasa tetapi sudah mempunyai banyak istri.
Apa gunanya dimadu dengan sedemikian banyak perempuan? Bukankah lebih baik
putrinya itu menjadi permaisuri tunggal seorang raja muda yang tampan rupawan bernama
Prabu Dewasrani?
Batari Dresanala menjawab hatinya sudah tertambat kepada Raden Arjuna.
Jangankan menjadi istri yang dimadu dengan banyak wanita, sedangkan menjadi pelayan
Raden Arjuna pun ia bersedia. Apa gunanya ia menjadi permaisuri raja Tunggulmalaya
tetapi hatinya selalu merindukan suami pertama? Lagipula, dalam rahimnya telah
bersemayam janin buah cinta antara dirinya dengan Raden Arjuna.

Batara Brahma

BATARA BRAHMA MEMAKSA BATARI DRESANALA MELAHIRKAN DINI


Batara Brahma marah mendengar jawaban putrinya itu. Ia menyebut putrinya sebagai
bidadari bodoh yang tak tahu diuntung. Ia pun memukul Batari Dresanala hingga jatuh
pingsan. Melihat putrinya roboh tak sadarkan diri, Batara Brahma menyesal namun sudah
kepalang tanggung. Tugasnya harus dilaksanakan sampai tuntas. Ia berniat mengeluarkan
secara paksa janin dalam kandungan putrinya tersebut.
Pada saat itulah Sanghyang Padawenang datang tanpa menampakkan diri. Ia segera
masuk menyusup ke dalam rahim Batari Dresanala. Sementara itu, Batara Brahma tampak
mengheningkan cipta sambil meraba perut putrinya. Ia lalu mengerahkan kesaktian untuk
menggugurkan kandungan Batari Dresanala. Namun, si janin bukannya mati tetapi justru
bertambah besar karena mendapat perlindungan dari Sanghyang Padawenang. Semakin
Batara Brahma memaksa janin itu keluar, ukuran si janin justru semakin bertambah besar.
Dalam sekejap usia kandungan Batari Dresanala sudah sama dengan kandungan berusia
sembilan bulan yang siap dilahirkan.
Batara Brahma heran dan menduga pasti ada dewa lain yang berusaha menggagalkan
rencananya. Namun, ia sama sekali tidak menduga bahwa Sanghyang Padawenang yang
turun langsung melindungi janin putrinya. Bagaimanapun juga ilmu kesaktian Sanghyang
Padawenang jauh di atas Batara Brahma, sehingga Batara Brahma tidak dapat merasakan
kehadirannya.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Brahma tidak peduli entah siapa dewa yang ikut campur. Ia pun memijat perut
putrinya agar janin yang sudah matang itu keluar. Kali ini Sanghyang Padawenang ikut
mendorong sehingga bayi tersebut pun keluar dari rahim Batari Dresanala. Batara Brahma
lalu memungut bayi tersebut yang ternyata berkelamin laki-laki. Ia melihat cucunya itu
sangat tampan hingga membuat hatinya bergetar tidak tega untuk membunuhnya.
Pada saat itulah Batari Durga datang bersama Prabu Dewasrani. Mereka berdua
datang untuk menjemput dan memboyong Batari Dresanala. Batara Brahma tidak berani
menolak. Ia pun mempersilakan apabila putrinya dibawa pergi. Prabu Dewasrani berterima
kasih lalu mengangkat tubuh Batari Dresanala yang masih pingsan dan pergi meninggalkan
Kahyangan Daksinageni bersama ibunya.

Batara Narada.

BAYI PUTRA BATARI DRESANALA TUMBUH DEWASA DALAM SEKEJAP


Setelah Batari Durga dan Prabu Dewasrani pergi membawa putrinya, Batara Brahma
kembali bimbang memandang si bayi yang ada dalam gendongannya. Menurut perintah
Batara Guru, bayi tersebut harus dibunuh. Akan tetapi, Batara Brahma tidak tega jika harus
mengambil nyawa cucunya yang tampan tersebut. Berkali-kali ia mencoba mencekik leher
si bayi namun diurungkan di tengah jalan.
Setelah berpikir keras sambil meneteskan air mata, Batara Brahma akhirnya teringat
peristiwa dua puluh tahun silam. Kala itu kahyangan diserang Patih Sekiputantra utusan
Prabu Kalapracona yang melamar Batari Supraba. Para dewa mengambil anak Arya
Wrekodara yang masih bayi dan Teringat pada peristiwa tersebut, Batara Brahma seolah
mendapat gagasan. Ia pun membawa cucunya ke Gunung Jamurdipa, di mana Kawah
Candradimuka berada. Ia berkata kepada si bayi, apabila nasibnya sama seperti Raden
Gatutkaca, maka cucunya itu akan tetap hidup dan keluar dari Kawah Candradimuka
dengan selamat. Namun, apabila tidak selamat, maka Batara Brahma meminta maaf
terpaksa membunuh cucunya sendiri. Usai berkata demikian, Batara Brahma pun
melemparkan bayi dalam gendongannya ke arah Kawah Candradimuka.
Sanghyang Padawenang yang masih mengawasi diam-diam ikut terjun ke dalam
kawah dan kemudian bersatu ke dalam diri si bayi. Berkat kekuasaan Sanghyang
Padawenang, bayi itu tidak mati di dalam kawah, tetapi tubuhnya berkembang menjadi
seorang pemuda belia. Kawah Candradimuka tersebut kemudian menyala berkobar-kobar.
Apinya membumbung tinggi hingga ke langit luas. Dari dalam kobaran api tersebut keluarlah
seorang remaja yang langsung melompat menerjang Batara Brahma.
Batara Brahma jatuh terjengkang. Ia heran bercampur gembira karena cucunya
ternyata selamat dan tumbuh dewasa seperti yang dulu dialami Raden Gatutkaca. Namun,
ia kemudian teringat pada perintah Batara Guru. Mau tidak mau ia terpaksa harus
KITAB WAYANG PURWA

membunuh cucunya tersebut. Akan tetapi, pemuda yang dihadapinya sudah mendapat
kesaktian dari Sanghyang Padawenang. Batara Brahma pun tidak dapat mengalahkannya,
justru ia yang dibuat lari tunggang langgang karena terdesak oleh remaja tersebut.

Batari Dresanala

BATARA NARADA MEMBERI NAMA ANAK DEWI DRESANALA


Batara Narada yang mengintai dari jauh kagum menyaksikan wujud si pemuda yang
berbadan kurus tetapi tampan dan penuh keberanian. Mata pemuda itu tampak berkilat-kilat
seperti api yang menyala. Wajahnya pun kemerah-merahan, penuh dengan semangat
keberanian.
Melihat Batara Narada mendekat, pemuda itu bersiap-siap hendak menyerangnya.
Namun, Batara Narada berhasil menyabarkannya dengan cara mengaku sebagai kakek si
pemuda. Pemuda itu lalu bertanya siapa ia yang sebenarnya. Batara Narada menjawab,
bahwa pemuda itu adalah putra Raden Arjuna dengan Batari Dresanala. Sekarang ia sudah
dewasa, maka pantas apabila memiliki nama penggilan. Karena pemuda itu tampak penuh
semangat seperti api yang berkobar-kobar, maka Batara Narada pun memberinya nama,
Bambang Wisanggeni.
Pemuda itu senang mendengar nama pemberian Batara Narada untuknya. Mulai hari
itu, ia pun memakai nama Bambang Wisanggeni.

Bambang Wisanggeni.

BAMBANG WISANGGENI MELAWAN PARA PUTRA BATARA GURU


Tiba-tiba para putra Batara Guru datang mengepung Batara Narada dan Bambang
Wisanggeni. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Bayu, Batara Indra, Batara Asmara,
Batara Cakra, dan Batara Mahadewa yang membawa pasukan dorandara. Mereka berniat
KITAB WAYANG PURWA

menangkap Batara Narada sekaligus membunuh cucu Batara Brahma sesuai perintah
Batara Guru.
Melihat itu, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni agar
meminta mereka mengembalikan ayah dan ibunya. Apabila para dewa itu menolak, maka
Bambang Wisanggeni boleh memukuli mereka. Bambang Wisanggeni yang mengira Batara
Narada benar-benar kakeknya segera bertindak mematuhi perintah tersebut. Ia pun
meminta kepada para dewa itu agar mengembalikan ayah dan ibunya. Para dewa tersebut
tidak tahu-menahu. Tanpa banyak bicara, Bambang Wisanggeni pun menerjang ke arah
mereka.
Batara Sambu dan adik-adiknya tidak menyangka si pemuda begitu berani. Mereka
berusaha menangkap pemuda itu, namun Bambang Wisanggeni ternyata begitu gesit dan
lincah. Tidak seorang pun dewa yang berhasil menangkapnya. Sebaliknya, justru Bambang
Wisanggeni yang beberapa kali berhasil melayangkan pukulan dan tendangan ke arah para
dewa tersebut.
Batara Sambu merasa malu dicundangi anak remaja tak dikenal. Karena semakin
terdesak, ia pun mengajak adik-adiknya mundur, kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Melihat pihak lawan mundur, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni
agar mengejar mereka. Karena para dewa itu tidak dapat mengembalikan ayah dan ibunya,
maka Bambang Wisanggeni sebaiknya bertanya kepada raja para dewa yang bernama
Batara Guru. Bambang Wisanggeni pun bertanya seperti apa ciri-ciri raja para dewa
tersebut. Batara Narada menjawab, raja para dewa memiliki empat lengan.
Bambang Wisanggeni menyanggupi. Ia lalu melesat terbang mengejar para dewa
yang kabur tadi.

BAMBANG WISANGGENI MENGEJAR BATARA GURU


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru menerima Batara Brahma yang
menghadap dan melaporkan bahwa ia telah menceraikan Raden Arjuna dan Batari
Dresanala, namun tidak berhasil membunuh anak mereka. Begitu si bayi yang dilahirkan
Batari Dresanala diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka, bukannya mati tetapi justru
tumbuh menjadi remaja yang sangat sakti. Batara Brahma tidak mampu menghadapinya
dan memilih kabur melarikan diri.
Batara Guru tidak percaya mendengar laporan itu. Ia menuduh Batara Brahma
mengarang alasan karena tidak tega membunuh cucu sendiri. Tiba-tiba Batara Sambu,
Batara Bayu, dan yang lain datang menghadap dalam keadaan babak belur. Mereka
melapor baru saja dikalahkan oleh seorang anak remaja berbadan kurus tetapi sangat sakti.
Pemuda itu konon bernama Bambang Wisanggeni.
Batara Guru termangu-mangu. Kali ini ia tidak bisa lagi untuk tidak percaya. Ia yakin
ada dewa sepuh yang melindungi Bambang Wisanggeni. Batara Sambu menjawab dewa
itu pastilah Batara Narada. Batara Guru menjawab tidak mungkin, karena menurut
firasatnya, dewa pelindung itu tentunya lebih sepuh dibanding Batara Narada. Seketika
Batara Guru pun gemetar karena yakin bahwa dewa yang melindungi Bambang Wisanggeni
pastilah ayahnya, yaitu Sanghyang Padawenang. Berpikir demikian, Batara Guru merasa
takut sekaligus malu. Ia pun memilih kabur daripada bertemu Sanghyang Padawenang.
Tak disangka, Bambang Wisanggeni sudah berada di tempat itu. Sesuai pesan Batara
Narada, Bambang Wisanggeni pun meminta Batara Guru agar mengembalikan ayah dan
ibunya. Batara Guru tidak menjawab, tetapi kabur dan bersembunyi di balik awan. Namun,
Bambang Wisanggeni sudah berada di sampingnya dan bertanya di mana ayah ibunya
berada.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru terkejut dan meluncur ke bawah untuk bersembunyi di dalam lautan. Akan
tetapi, Bambang Wisanggeni mampu menyusul pula ke dalam lautan. Batara Guru kembali
kabur dan bersembunyi di dalam gunung. Bambang Wisanggeni datang dan mengangkat
gunung tersebut. Batara Guru semakin ketakutan. Ia merasa perlu meminta bantuan para
Pandawa dan segera terbang menuju Kerajaan Amarta.

BATARA GURU MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap para adik, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Arjuna, Raden Nakula, Raden Sadewa, serta para putra, yaitu Raden Pancawala,
Raden Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Antasena, dan Raden Abimanyu. Hadir pula
Prabu Kresna Wasudewa yang datang berkunjung dari Kerajaan Dwarawati.
Dalam pertemuan itu, Prabu Kresna bertanya kepada Raden Arjuna mengapa lama
tidak terlihat. Raden Arjuna menjawab, dirinya beberapa bulan yang lalu dimintai tolong
Batara Brahma untuk mengalahkan musuhnya yang bernama Prabu Setaketu dari Kerajaan
Selapura. Setelah Raden Arjuna menang, Batara Brahma sangat berterima kasih dan
menyerahkan putrinya yang bernama Batari Dresanala sebagai istri Panengah Pandawa
tersebut. Prabu Kresna memuji Raden Arjuna, apabila berkelana pasti mendapat istri baru.
Tiba-tiba Batara Guru datang. Para Pandawa dan hadirin lainnya segera menyembah,
kecuali Arya Wrekodara dan Raden Antasena yang hanya memberi salam, sesuai watak
mereka yang apa adanya. Batara Guru berkata dirinya sedang dalam kesulitan karena ada
pemuda yang mengacau di Kahyangan Jonggringsalaka. Pemuda ini bukan pemuda
sembarangan tetapi ada semacam kekuatan gaib berdiri di belakangnya. Itulah sebabnya
Batara Guru datang ke Kerajaan Amarta adalah untuk meminta bantuan para Pandawa agar
meringkus pengacau tersebut.
Prabu Puntadewa prihatin mendengarnya dan segera memerintahkan Arya
Wrekodara untuk segera bertindak. Arya Wrekodara merasa aneh apa sebabnya remaja itu
mengacau Kahyangan Jonggringsalaka, mengapa Batara Guru tidak menjelaskan di awal?
Prabu Puntadewa menegur Arya Wrekodara agar menjaga sopan santun. Jika tidak mau
berangkat, maka dirinya sendiri yang akan menghadapi pengacau tersebut. Arya
Wrekodara yang seumur hidup tidak berani membantah kakak sulungnya itu segera terdiam
dan siap menjalankan perintah.

BAMBANG WISANGGENI MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA


Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Patih Tambakganggeng datang melapor
bahwa ada anak muda kurus tetapi sangat sakti mengamuk di halaman istana, mencari
Batara Guru. Prabu Puntadewa mengulangi perintah agar Arya Wrekodara segera
bertindak. Arya Wrekodara pun berangkat disertai ketiga putranya.
Sesampainya di luar, Arya Wrekodara segera menangkap Bambang Wisanggeni.
Namun, pemuda itu dengan lincah meloloskan diri dan balas memukul. Meskipun Bambang
Wisanggeni berbadan kurus tetapi pukulannya sangat mantap, dan tepat mengenai titik
kelemahan Arya Wrekodara yang terletak di pelipis kanan. Arya Wrekodara merasa pusing
dan mundur ke belakang.
Raden Antareja tidak terima ayahnya disakiti dan segera maju menyerang Bambang
Wisanggeni. Namun, ia juga tidak mampu mengalahkan pemuda tersebut. Raden Antareja
menyembur Bambang Wisanggeni menggunakan ludah berbisa, namun justru berbalik
mengenai dirinya sendiri.
Raden Gatutkaca maju menyerang. Ia terbang ke angkasa lalu menukik ke bawah
untuk menyambar tubuh Bambang Wisanggeni. Akan tetapi, ia ternyata tidak mampu
KITAB WAYANG PURWA

mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni yang jauh lebih kecil darinya itu. Raden Gatutkaca
berusaha sekuat tenaga mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni tetapi pemuda itu sedikit
pun tidak bergerak. Bahkan, Bambang Wisanggeni justru balik menangkap tangan Raden
Gatutkaca dan membanting tubuh lawannya itu ke tanah.
Bambang Wisanggeni melihat Arya Wrekodara dan kedua putranya telah kalah. Kini
tinggal putra ketiga yang masih berdiri, bernama Raden Antasena. Bambang Wisanggeni
mendatanginya dan bertanya apa mau bertarung seperti yang lain. Raden Antasena hanya
tertawa dan berkata dirinya tidak sama seperti ayah dan kedua kakaknya. Raden Antasena
tidak mau melaksanakan perintah raja secara membabi buta. Untuk itu, ia merasa perlu
menyaring terlebih dulu, apakah perintah tersebut benar atau tidak. Meskipun Prabu
Puntadewa seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, tetapi tetap saja ia seorang
manusia yang bisa berbuat khilaf.
Raden Antasena lalu bertanya mengapa Bambang Wisanggeni mengacau Kahyangan
Jonggringsalaka. Bambang Wisanggeni berkata ia ingin mencari ayah dan ibunya. Menurut
keterangan dari kakeknya, raja dewa berlengan empat mengetahui keberadaan kedua
orang tuanya itu. Namun, dewa berlengan empat yang bernama Batara Guru itu tidak mau
menjawab dan memilih kabur, membuat Bambang Wisanggeni terpaksa mengejar ke mana
pun ia pergi.
Raden Antasena lalu bertanya siapa nama ayah dan ibu Bambang Wisanggeni,
barangkali ia bisa membantu. Pemuda itu menjawab, ayahnya bernama Raden Arjuna,
sedangkan ibunya bernama Batari Dresanala. Raden Antasena gembira dan berkata bahwa
Raden Arjuna adalah pamannya, dan itu berarti Bambang Wisanggeni adalah adik
sepupunya. Ia lalu menggandeng tangan Bambang Wisanggeni dan mengajaknya masuk
ke dalam istana Indraprasta.

BAMBANG WISANGGENI BERTEMU RADEN ARJUNA


Di dalam istana, Prabu Kresna sedang mengobati luka-luka Arya Wrekodara, Raden
Antareja, dan Raden Gatutkaca. Raden Antasena kemudian datang bersama Bambang
Wisanggeni. Prabu Puntadewa segera menanyai pemuda itu, mengapa mengamuk
mengejar Batara Guru. Bambang Wisanggeni pun bercerita, bahwa ia disuruh kakeknya
yang bernama Batara Narada untuk menanyakan perihal kedua orang tuanya kepada raja
dewa yang berlengan empat. Raden Antasena lalu menambahkan, bahwa Bambang
Wisanggeni adalah putra Raden Arjuna dan Batari Dresanala.
Batara Guru menyela bahwa Batara Narada bukanlah kakek Bambang Wisanggeni,
tetapi yang benar dirinyalah kakek buyut pemuda itu. Pada saat itulah Batara Narada datang
dan mengatakan bahwa Batara Guru tidak layak disebut sebagai kakek buyut karena
memerintahkan untuk membunuh cicitnya sendiri.
Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa segera menengahi kedua dewa yang sedang
berselisih itu. Batara Narada lalu menceritakan semua dari awal hingga akhir, bahwa Batara
Guru terkena bujuk rayu Batari Durga hingga tega memisahkan Raden Arjuna dan Batari
Dresanala, serta memerintahkan pembunuhan terhadap Bambang Wisanggeni.
Kyai Semar hadir pula karena mendengar ribut-ribut di istana Indraprasta. Sebagai
kakak kandung Batara Guru, ia ikut menegur adiknya itu karena telah berbuat tidak adil,
melakukan khilaf, memisahkan sepasang suami-istri yang saling mencintai, demi
memenangkan kepentingan anaknya yang bernama Prabu Dewasrani.
Batara Guru tertunduk lesu dan menyadari kekeliruannya. Sebagai raja dewa ia telah
berbuat salah, mementingkan urusan pribadi dan melanggar hak orang lain. Ia pun meminta
KITAB WAYANG PURWA

maaf kepada semua yang ada di situ, terutama kepada Raden Arjuna dan Bambang
Wisanggeni.
Melihat Batara Guru telah meminta maaf secaara tulus, Sanghyang Padawenang pun
keluar dari tubuh Bambang Wisanggeni. Semua orang segera menghaturkan sembah
kepada leluhur para dewa tersebut. Sanghyang Padawenang berkata bahwa Bambang
Wisanggeni adalah lambang pemberontak, maksudnya di sini adalah pemberontak yang
memperjuangkan keadilan karena penguasa yang seharusnya mengayomi justru berbuat
tidak adil. Apabila Batara Guru kembali berbuat lalim dan melanggar hukum keadilan, maka
Sanghyang Padawenang akan kembali menitis kepada Bambang Wisanggeni demi
menegakkan kebenaran.
Usai berkata demikian, Sanghyang Padawenang pun musnah dari pandangan. Batara
Guru sekali lagi meminta maaf kepada Batara Narada dan juga para Pandawa. Sebaliknya,
Batara Narada juga meminta maaf karena berani memberontak kepada Batara Guru. Kedua
dewa itu lalu saling berpelukan dan melupakan dendam di antara mereka.
Batara Guru kemudian berkata pada Raden Arjuna bahwa Batari Dresanala berada di
Kerajaan Tunggulmalaya, yaitu negeri yang dipimpin Prabu Dewasrani, putranya. Usai
berkata demikian, ia dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Raden Arjuna prihatin sekaligus bahagia melihat nasib putranya yang lahir dari Batari
Dresanala kini telah tumbuh dewasa dalam sekejap. Ia pun memeluk Bambang Wisanggeni
dan mengajak pemuda itu bersama-sama menuju Kerajaan Tunggulmalaya.

RADEN ARJUNA MEMBEBASKAN BATARI DRESANALA


Di Kerajaan Tunggulmalaya, Prabu Dewasrani tampak sibuk merayu Batari Dresanala
agar bersedia menjadi istrinya. Namun, Batari Dresanala selalu menolak dengan segala
alasan. Merasa tidak sabar lagi, Prabu Dewasrani pun berusaha memaksa dan memerkosa
Batari Dresanala. Ia begitu berani bertindak demikian karena merasa mendapat dukungan
dari Batara Guru.
Tiba-tiba muncul Raden Arjuna menerjang Prabu Dewasrani. Keduanya lalu bertarung
seru, sementara Bambang Wisanggeni menolong Batari Dresanala. Meskipun Bambang
Wisanggeni sudah dewasa, namun naluri keibuan Batari Dresanala dapat mengenali kalau
pemuda itu adalah putra kandungnya. Ia pun menangis dan memeluk Bambang Wisanggeni
dengan erat.
Sementara itu, Prabu Dewasrani terluka parah menghadapi kesaktian Raden Arjuna.
Batari Durga datang dan mengamuk atas keadaan putranya itu. Karena Batari Durga turun
tangan, Kyai Semar pun maju menghadapi. Batari Durga merasa segan karena tidak pernah
menang melawan kakak iparnya tersebut. Ia pun memilih kabur dengan menggendong
tubuh Prabu Dewasrani.
Raden Arjuna bersyukur bisa berkumpul kembali dengan Batari Dresanala, apalagi
sekarang putra mereka telah lahir dan tumbuh dewasa. Mereka lalu bersama-sama pulang
ke Kerajaan Amarta dengan disertai para panakawan. Di tengah jalan tiba-tiba muncul
Batara Brahma yang meminta maaf karena telah berbuat jahat kepada mereka. Itu semua
ia lakukan karena takut melanggar perintah Batara Guru. Sungguh beruntung, mereka
semua baik-baik saja karena mendapat perlindungan Yang Mahakuasa.
Raden Arjuna, Batari Dresanala, dan Bambang Wisanggeni berkata hal ini tidak perlu
dipermasalahkan. Yang terpenting semuanya telah berakhir dengan bahagia. Batara
Brahma bersyukur mendengarnya. Ia pun ikut menyertai kepergian mereka menuju
Kerajaan Amarta.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Dewasrani.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam kisah di atas, saya memunculkan peran Sanghyang Padawenang sebagai sosok pelindung
Bambang Wisanggeni sejak awal.
KITAB WAYANG PURWA

GANDAWARDAYA
Kisah ini menceritakan kemunculan Raden Gandawardaya dan Raden Gandakusuma,
yaitu putra Raden Arjuna yang lahir dari Dewi Jimambang dan Dewi Gandawati.
Kisah ini adalah kelanjutan dari lakon Sayembara Tasikmadu.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Ngasinan) yang disusun oleh Ki Tristuti Suryasaputra, yang dipadukan dengan tulisan
R. Subalidinata, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, Januari 2018
Heri Purwanto

BAMBANG GANDAWARDAYA DITIPU PATIH SANGKUNI


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana dihadap Patih Sangkuni dari Plasajenar,
Danghyang Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, serta Raden Kartawarma
dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu, Patih Sangkuni melaporkan bahwa, ia dan para
Kurawa baru saja bertemu seorang pemuda bernama Bambang Gandawardaya. Para
Kurawa mengira pemuda ini adalah mata-mata musuh dan mereka pun berusaha
menangkapnya. Namun, pemuda bernama Bambang Gandawardaya itu ternyata sangat
sakti dan mampu mengatasi para Kurawa.
Patih Sangkuni lalu bertanya apa yang menjadi tujuan Bambang Gandawardaya
memasuki wilayah Kerajaan Hastina. Bambang Gandawardaya menjawab ia sedang
mencari ayah kandungnya yang bernama Raden Premadi. Patih Sangkuni bertanya apakah
Bambang Gandawardaya sudah tahu seperti apa wajah ayahnya itu. Bambang
Gandawardaya menjawab dirinya sejak masih dalam kandungan sudah ditinggal pergi oleh
ayahnya, sehingga tidak pernah tahu seperti apa wajah orang yang bernama Raden
Premadi. Mendengar itu, akal licik Patih Sangkuni segera bekerja. Ia pun berkata bahwa
Raden Premadi sudah menjadi raja di Kerajaan Hastina, bergelar Prabu Duryudana. Ia lalu
mengajak Bambang Gandawardaya untuk menghadap ke istana.
Demikianlah Patih Sangkuni bercerita. Ia berkata Bambang Gandawardaya saat ini
sudah berada di paseban luar bersama para Kurawa. Hendaknya Prabu Duryudana pura-
pura memiliki nama asli Raden Premadi dan menerimanya sebagai putra. Danghyang
Druna dan Adipati Karna tidak setuju mendengar usulan Patih Sangkuni tersebut. Alangkah
baiknya berterus terang saja kepada Bambang Gandawardaya, bahwa Raden Premadi
adalah nama kecil Raden Arjuna yang saat ini berada di Kesatrian Madukara, wilayah
Kerajaan Amarta.
Patih Sangkuni menjelaskan bahwa ini adalah kesempatan untuk mengadu domba
antara para Pandawa dengan keturunan mereka. Bambang Gandawardaya ini sangat sakti,
dan kesaktiannya dapat dimanfaatkan untuk menyerang Kerajaan Amarta. Apabila para
Pandawa kalah, maka ini adalah keuntungan bagi pihak Kurawa. Sebaliknya, apabila
Bambang Gandawardaya yang tewas, maka para Kurawa juga tidak dirugikan sama sekali.
Adipati Karna merasa cara ini licik dan tidak kesatria. Namun, Patih Sangkuni menjawab
bahwa perang itu tidak melulu menggunakan otot dan senjata, tetapi juga harus
menggunakan akal dan siasat. Tidak peduli disebut licik atau jantan, yang penting hasil
akhirnya adalah menang dan mengalahkan musuh.
Prabu Duryudana senang mendengar rencana Patih Sangkuni. Ia pun menyetujui
siasat tersebut dan melarang Danghyang Druna serta Adipati Karna untuk
membocorkannya kepada Bambang Gandawardaya.
KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG GANDAWARDAYA DITUGASI MEMBUNUH PARA PANDAWA


Karena Prabu Duryudana sudah setuju, Patih Sangkuni pun keluar untuk menjemput
Bambang Gandawardaya dan mengajaknya masuk. Prabu Duryudana menyambut pemuda
itu dan mengakuinya sebagai putra. Ia juga berkata bahwa dulu semasa masih muda, ia
memiliki nama Raden Premadi.
Bambang Gandawardaya merasa bimbang. Ia berkata bahwa ibunya pernah bercerita
tentang ciri-ciri Raden Premadi, yaitu berwajah tampan dan berbadan sedang, tidak gemuk
juga tidak kurus. Namun, mengapa Prabu Duryudana bertubuh gemuk dan tinggi besar?
Prabu Duryudana menjawab, bahwa laki-laki setelah melewati usia empat puluh pada
umumnya berubah menjadi gemuk. Yang terpenting adalah wajahnya tetap tampan sesuai
ciri-ciri yang diceritakan ibu Bambang Gandawardaya.
Bambang Gandawardaya lalu bertanya apakah ibunya masih sering diingat oleh Prabu
Duryudana? Prabu Duryudana langsung menjawab bahwa dirinya selalu ingat pada istrinya
tersebut. Bambang Gandawardaya segera bertanya siapakah nama ibunya. Prabu
Duryudana seketika bingung, karena pemuda ini ternyata sedang menjebaknya.
Patih Sangkuni tidak kurang akal. Ia pun berkata bohong, bahwa Prabu Duryudana
seorang raja agung yang memiliki banyak istri dan selir di mana-mana. Sudah tentu Prabu
Duryudana lupa jika harus merinci satu persatu siapa saja wanita yang pernah ia nikahi.
Oleh sebab itu, Bambang Gandawardaya sebaiknya yang lebih dulu menceritakan asal
usulnya. Lagipula sungguh tidak sopan bila Bambang Gandawardaya main tebak-tebakan
dengan ayah sendiri.
Bambang Gandawardaya terbujuk ucapan Patih Sangkuni yang lembut dan
meyakinkan. Ia pun berterus terang bahwa ibunya adalah Dewi Jimambang, putri dari
Bagawan Wilawuk di Padepokan Pringcendani. Ibunya itu pernah bercerita bahwa ayah
kandung Bambang Gandawardaya adalah Raden Premadi dari Kerajaan Hastina. Itulah
sebabnya, Bambang Gandawardaya hari ini datang untuk bisa bertemu ayahnya. Tak
disangka, ayahnya kini telah menjadi raja, bergelar Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana berkata dirinya tidak pernah lupa kepada Dewi Jimambang. Sayang
sekali ia masih memiliki urusan besar yang sampai saat ini belum beres. Andai urusan itu
terselesaikan, maka ia pasti akan pergi ke Padepokan Pringcendani untuk menjemput Dewi
Jimambang. Bambang Gandawardaya pun bertanya urusan apa kiranya yang begitu
memberatkan Prabu Duryudana. Sebagai anak, tentu ia ingin berbakti membantu
mengatasi masalah tersebut.
Prabu Duryudana berkata bahwa ia memiliki dua orang musuh bernama Arya
Wrekodara dan Raden Arjuna yang tinggal di Kerajaan Amarta. Andai saja Bambang
Gandawardaya bisa membantu meringkus atau membunuh mereka, tentu Prabu
Duryudana akan sangat berterima kasih. Mendengar itu, Bambang Gandawardaya
langsung menyatakan bersedia. Ia pun mohon restu untuk berangkat menyerang Kerajaan
Amarta. Prabu Duryudana sangat senang mendengarnya dan ia pun menerima Bambang
Gandawardaya sebagai pangeran di Kerajaan Hastina. Mulai saat itu, Bambang
Gandawardaya boleh disebut dengan nama Raden Gandawardaya.
Raden Gandawardaya berterima kasih atas kebaikan Prabu Duryudana. Sebelum
berangkat, ia berniat menitipkan istrinya di Kerajaan Hastina. Pemuda itu lalu
mengheningkan cipta membaca mantra. Tiba-tiba dari cincinnya keluar asap yang berubah
menjadi seorang perempuan cantik. Perempuan itu adalah istri Raden Gandawardaya yang
bernama Dewi Grantangsasi. Tadi ketika dikepung para Kurawa, ia sengaja
menyembunyikan istrinya itu di dalam cincin demi keamanan. Kini setelah bertemu Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Duryudana, maka Dewi Grantangsasi hendak dititipkan kepadanya dan tentu akan lebih
aman jika tinggal di dalam Kerajaan Hastina.
Prabu Duryudana tidak keberatan. Ia berkata memiliki dua orang anak bernama Raden
Lesmana Mandrakumara dan Dewi Lesmanawati. Biarlah Dewi Grantangsasi tinggal
bersama kedua iparnya tersebut di dalam istana.
Raden Gandawardaya berterima kasih. Ia lalu pamit kepada istrinya untuk pergi
menyerang Kerajaan Amarta. Dewi Grantangsasi meminta diajak serta. Namun, Raden
Gandawardaya keberatan karena lawan yang dihadapi sangat kuat, sehingga lebih aman
apabila istrinya itu tinggal di istana Kerajaan Hastina. Lagipula jika Dewi Grantangsasi ikut
serta, maka perhatian Raden Gandawardaya akan terbagi dan ia tidak dapat berperang
dengan sepenuh hati.
Dewi Grantangsasi dapat memahami maksud suaminya. Ia hanya bisa melepas
kepergian Raden Gandawardaya dengan disertai doa kemenangan. Prabu Duryudana pun
memerintahkan Patih Sangkuni agar mengawal kepergian pemuda itu bersama para
Kurawa. Setelah dirasa cukup, ia lalu membubarkan pertemuan dan membawa Dewi
Grantangsasi masuk ke dalam istana.

RADEN GANDAWARDAYA MENYERANG KERAJAAN AMARTA


Di tapal batas Kerajaan Amarta, Arya Wrekodara sedang berlatih perang bersama
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Ia melatih kedua putranya itu bagaimana cara
memimpin pasukan besar, cara menyusun formasi barisan, dan juga bagaimana caranya
menembus barisan lawan.
Tiba-tiba Raden Gandawardaya datang bersama para Kurawa menyerang mereka.
Arya Wrekodara dan kedua putranya terkejut karena pihak Kerajaan Hastina tiba-tiba
datang menyerang tanpa sebab apa pun. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata para
Kurawa memiliki jago seorang pemuda yang begitu sakti. Pertempuran pun meletus.
Setelah bertarung cukup lama, Arya Wrekodara, Raden Antareja, dan Raden Gatutkaca
akhirnya lumpuh terkena Aji Pedut Wisa yang dikerahkan Raden Gandawardaya.
Raden Gandawardaya pun menyerahkan ketiga lawannya itu kepada para Kurawa
untuk dibawa ke hadapan Prabu Duryudana. Seorang diri ia lalu melanjutkan perjalanan
untuk mencari musuh yang kedua, yaitu Raden Arjuna.

RADEN GANDAKUSUMA BERPAMITAN KEPADA IBU DAN KAKEKNYA


Di Kerajaan Tasikmadu, Prabu Gandasena dihadap putri dan cucunya, yaitu Dewi
Gandawati dan Raden Gandakusuma. Belasan tahun yang lalu, Prabu Gandasena
mengadakan sayembara untuk memperebutkan Dewi Gandawati, yaitu melalui
pertandingan melawan putra bungsunya yang bernama Raden Citraganda. Dalam
sayembara itu, Raden Citraganda berhasil dikalahkan oleh Raden Arjuna dari keluarga
Pandawa.
Raden Arjuna pun menikah dengan Dewi Gandawati yang berwajah mirip Dewi
Angraeni (istri Prabu Palgunadi yang bunuh diri setelah menolak cinta Raden Arjuna).
Setelah Dewi Gandawati mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki, Raden Arjuna
pun pamit kembali ke Kerajaan Amarta. Putranya itu diberi nama Raden Gandakusuma.
Raden Gandakusuma diasuh dan dibesarkan sang paman, yaitu Raden Citraganda.
Semua kasih sayang Raden Citraganda tercurah pada keponakannya itu. Namun, setelah
Raden Gandakusuma tumbuh remaja, Raden Citraganda meninggal dunia karena sakit.
Raden Gandakusuma sangat kehilangan sosok paman yang selama ini sudah seperti
ayahnya itu. Hal ini membuatnya rindu kepada sosok ayah kandungnya. Maka, ia pun
KITAB WAYANG PURWA

memberanikan diri untuk bertanya kepada sang ibu tentang siapa dan di mana ayah
kandungnya berada.
Dewi Gandawati sebenarnya keberatan apabila Raden Gandakusuma meninggalkan
Kerajaan Tasikmadu. Namun, Raden Gandakusuma berhasil meyakinkan ibunya bahwa ia
hanya ingin bertemu dengan sang ayah saja, dan setelah itu kembali lagi ke Kerajaan
Tasikmadu. Mendengar itu, Dewi Gandawati pun bercerita bahwa ayah kandung Raden
Gandakusuma adalah kesatria Panengah Pandawa dari Kerajaan Amarta, yang bernama
Raden Arjuna. Mendengar kisah tersebut, semakin mantab hati Raden Gandakusuma untuk
bisa bertemu dengannya.
Maka, di hari itu Raden Gandakusuma pun berpamitan kepada Prabu Gandasena dan
Dewi Gandawati untuk berangkat ke Kerajaan Amarta. Prabu Gandasena dan Dewi
Gandawati tidak bisa mencegah dan hanya bisa memberikan restu kepada pemuda yang
penuh semangat tersebut.

RADEN LESMANA MANDRAKUMARA MERAYU DEWI GRANTANGSASI


Sementara itu di Kerajaan Hastina, Dewi Grantangsasi istri Raden Gandawardaya
sedang duduk di puri tamu, menunggu kepulangan suaminya. Tiba-tiba datang sang
pangeran mahkota, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara mendekati dirinya. Tidak sekadar
mendekati, namun pemuda cengeng itu juga berani menggoda macam-macam.
Dewi Grantangsasi merasa risih karena Raden Lesmana Mandrakumara berani
merayu ipar sendiri. Raden Lesmana yang polos dan manja berkata terus terang bahwa
Raden Gandawardaya sudah dibohongi ayahnya. Prabu Duryudana dan Raden Premadi
bukanlah orang yang sama, atau dengan kata lain, Raden Gandawardaya bukanlah putra
Prabu Duryudana, sehingga bukan pula saudara Raden Lesmana Mandrakumara.
Dewi Grantangsasi terkejut mendengarnya. Ternyata suaminya telah ditipu Prabu
Duryudana dan Patih Sangkuni. Melihat Dewi Grantangsasi bimbang dan ketakutan, Raden
Lesmana Mandrakumara semakin gencar merayu. Ia mendesak perempuan itu agar
bersedia menikah dengannya yang kaya raya dan juga calon raja. Ia juga menyarankan
agar Dewi Grantangsasi meninggalkan suami yang miskin macam Raden Gandawardaya
itu.
Dewi Grantangsasi menolak permintaan Raden Lesmana. Hal ini membuat Raden
Lesmana marah dan berniat memerkosa perempuan itu. Dewi Grantangsasi berusaha
menghindar sambil membaca mantra aji sirep yang pernah diajarkan suaminya. Begitu
terkena ajian tersebut, Raden Lesmana langsung jatuh tak sadarkan diri. Kesempatan ini
segera digunakan Dewi Grantangsasi untuk meloloskan diri dari Kerajaan Hastina.
Ilmu sirep yang dipelajari Dewi Grantangsasi belumlah sempurna. Dalam waktu
sebentar, Raden Lesmana Mandrakumara sudah bangun dari tidur. Namun, ia kebingungan
karena perempuan yang hendak diperkosanya sudah kabur. Dengan merengek manja, ia
lalu pergi melapor kepada sang ayah, yaitu Prabu Duryudana.

RADEN GANDAWARDAYA MENGHADAPI RADEN ARJUNA


Sementara itu, Raden Gandawardaya yang telah mengalahkan Arya Wrekodara dan
kedua anaknya kini bertemu dengan Raden Arjuna. Begitu mengetahui bahwa Raden
Gandawardaya adalah utusan Kerajaan Hastina yang hendak menangkap dirinya, Raden
Arjuna pun marah dan menerima tantangan pemuda tersebut.
Maka, terjadilah pertarungan antara mereka berdua. Raden Arjuna pada mulanya
meremehkan kemampuan Raden Gandawardaya yang jauh lebih muda darinya. Karena
sifat meremehkan itulah, ia menjadi lengah dan terdesak oleh kesaktian lawan. Hingga
KITAB WAYANG PURWA

akhirnya, Raden Gandawardaya mengerahkan Aji Pedut Wisa ke arahnya. Raden Arjuna
terkejut dan hampir saja lumpuh terkena asap beracun milik lawan. Namun, dengan Aji Saipi
Angin ia berhasil meloloskan diri.
Raden Arjuna yang mundur dari pertarungan kemudian bertemu Prabu Kresna yang
datang dari Kerajaan Dwarawati untuk mengunjungi para Pandawa. Raden Arjuna pun
melaporkan adanya musuh yang menyerang dirinya dan sudah berhasil menangkap Arya
Wrekodara, Raden Antareja, dan Raden Gatutkaca. Terus terang Raden Arjuna kalah dan
ingin meminta bantuan kepada Prabu Kresna. Namun, Prabu Kresna menolak turun tangan.
Ia berkata bahwa dirinya tidak ditakdirkan untuk menghadapi pemuda bernama Raden
Gandawardaya itu.
Usai berkata demikian, Prabu Kresna lalu mengajak Raden Arjuna pergi mencari jago
yang dapat digunakan untuk menghadapi utusan para Kurawa tersebut.

RADEN GANDAKUSUMA MENGHADAPI RADEN GANDAWARDAYA


Dalam perjalanan mencari jago, Prabu Kresna dan Raden Arjuna berjumpa Raden
Gandakusuma yang memperkenalkan dirinya berasal dari Kerajaan Tasikmadu. Betapa
terkejut hati Raden Arjuna begitu mengetahui ternyata pemuda ini adalah putranya sendiri
yang lahir dari Dewi Gandawati. Namun, Prabu Kresna dengan tegas berkata, Raden
Gandakusuma akan diakui sebagai putra Pandawa apabila mampu mengalahkan Raden
Gandawardaya.
Mendengar syarat tersebut, Raden Gandakusuma segera bertindak. Ia bergegas maju
dan bertemu Raden Gandawardaya yang sedang mengejar Raden Arjuna. Kedua pemuda
itu lalu saling memperkenalkan diri. Raden Gandakusuma berkata bahwa dirinyalah yang
akan menghalangi Raden Gandawardaya apabila masih ingin menangkap Raden Arjuna.
Raden Gandawardaya marah dan menyerangnya. Kedua pemuda itu lalu terlibat
pertarungan sengit.
Raden Gandawardaya terkejut melihat Raden Gandakusuma begitu cekatan dan
mampu mengimbangi dirinya. Tidak hanya itu, ilmu kesaktian Raden Gandakusuma
ternyata sangat mirip dengan yang ia pelajari. Ketika Raden Gandawardaya mengerahkan
Aji Pedut Wisa, ternyata Raden Gandakusuma juga mampu mengerahkan ilmu yang sama.
Raden Gandawardaya pun terheran-heran, dari mana asalnya Raden Gandakusuma
bisa menguasai Aji Pedut Wisa. Karena melamun, Raden Gandawardaya menjadi lengah
sesaat dan Raden Gandakusuma pun bertindak cepat meringkus tubuhnya.
Raden Gandakusuma menghadapkan Raden Gandawardaya kepada Prabu Kresna
dan Raden Arjuna. Raden Gandawardaya yang sudah kalah meminta dirinya dihukum mati
saja. Prabu Kresna berkata soal hukuman mati urusan mudah, yang penting ia lebih dulu
ingin mengetahui dari mana asal usul Raden Gandawardaya.
Raden Gandawardaya pun bercerita bahwa dirinya adalah putra Raden Premadi
dengan Dewi Jimambang. Ayahnya berasal dari Kerajaan Hastina, dan ibunya adalah putri
Bagawan Wilawuk dari Padepokan Pringcendani. Prabu Kresna bertanya apakah Raden
Gandawardaya sudah mengetahui wajah ayah kandungnya itu. Raden Gandawardaya
menjawab dirinya telah bertemu Raden Premadi yang kini menjadi raja di Kerajaan Hastina,
bergelar Prabu Duryudana.
Prabu Kresna tersenyum dan berkata bahwa Raden Premadi bukanlah nama lain
Prabu Duryudana, melainkan nama Raden Arjuna sewaktu muda. Dengan kata lain, orang
yang hendak ditangkap Raden Gandawardaya adalah ayahnya sendiri. Raden
Gandawardaya tidak percaya. Ia menuduh Prabu Kresna berbohong untuk menipu dirinya.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN GANDAWARDAYA DIDATANGI BAGAWAN WILAWUK


Raden Gandawardaya masih bersikeras ingin dihukum mati daripada malu bertemu
Prabu Duryudana dengan membawa kekalahan. Namun, sebelum mati ia ingin bertanya
lebih dulu kepada Raden Gandakusuma mengapa bisa mengerahkan Aji Pedut Wisa. Ia
tidak ingin mati penasaran karena dikalahkan oleh musuh yang memiliki ilmu kesaktian
sama persis dengan dirinya.
Raden Gandakusuma menjawab sejak kecil ia diasuh dan dididik oleh pamannya yang
bernama Raden Citraganda. Termasuk Aji Pedut Wisa juga ia pelajari dari pamannya itu.
Namun, kini sang paman telah meninggal dan ia pun pergi mencari ayah kandungnya, yaitu
Raden Arjuna.
Raden Gandawardaya lalu bertanya dari mana almarhum Raden Citraganda
mempelajari Aji Pedut Wisa. Raden Gandakusuma menjawab, pamannya itu pernah
bercerita bahwa ia memiliki guru bernama Bagawan Wilawuk dari Padepokan Pringcendani.
Raden Arjuna membenarkan hal itu. Ia berkata bahwa dulu Raden Citraganda memang
pernah berguru kepada Bagawan Wilawuk.
Tiba-tiba orang yang bernama Bagawan Wilawuk datang. Raden Arjuna segera
menyembah hormat kepada mertuanya itu. Raden Gandawardaya heran melihat sikap
Raden Arjuna dan ia pun bertanya kepada sang kakek bagaimana cerita yang sebenarnya.
Bagawan Wilawuk berkata bahwa Raden Premadi yang dicari-cari Raden
Gandawardaya adalah Raden Arjuna yang ada di depannya kini. Raden Gandawardaya
bertanya mengapa tidak sejak awal Bagawan Wilawuk menceritakan hal ini, sehingga
dirinya tidak sampai tersesat salah jalan. Bagawan Wilawuk meminta maaf karena ia sendiri
juga tidak mengetahui kalau Raden Premadi kini telah berganti nama menjadi Raden
Arjuna.
Tiba-tiba datang pula Dewi Grantangsasi yang menceritakan bahwa Prabu Duryudana
bukanlah ayah kandung Raden Gandawardaya. Itulah sebabnya Dewi Grantangsasi
memilih kabur meninggalkan Kerajaan Hastina. Raden Gandawardaya menangis penuh
penyesalan setelah mendengar penjelasan dari kakek dan istrinya. Ia pun menyembah kaki
Raden Arjuna memohon maaf atas segala kelancangannya tadi.

RADEN GANDAWARDAYA MEMBEBASKAN ARYA WREKODARA


Raden Arjuna membangunkan Raden Gandawardaya yang bersujud di hadapannya.
Namun, Prabu Kresna mencegah mereka berpelukan. Dengan tegas Prabu Kresna berkata
bahwa hukuman mati harus tetap dilaksanakan. Raden Gandawardaya terkejut namun ia
pasrah menyerahkan lehernya untuk dipenggal. Prabu Kresna lalu berkata bahwa hukuman
mati bisa dihapuskan asalkan Raden Gandawardaya mampu membebaskan Arya
Wrekodara dan kedua putranya.
Mendengar itu, Raden Gandawardaya segera bergegas mengejar para Kurawa.
Raden Gandakusuma tidak mau ketinggalan. Ia pun ikut mengejar di belakang kakaknya.
Kedua pemuda itu akhirnya berhasil menyusul Patih Sangkuni dan para Kurawa yang
sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina dengan membawa ketiga
tawanan.
Di sepanjang jalan, para Kurawa memukuli Arya Wrekodara, Raden Antareja, dan
Raden Gatutkaca yang masih lemas karena pengaruh Aji Pedut Wisa. Tiba-tiba muncul
Raden Gandawardaya dan Raden Gandakusuma menghadang mereka. Kedua pemuda itu
bersama-sama mengerahkan ilmu penawar Aji Pedut Wisa. Seketika Arya Wrekodara dan
kedua putranya pun pulih kembali dan segera berontak membebaskan diri dari ikatan.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni dan para Kurawa terkejut ketakutan. Namun, dalam sekejap mereka
sudah dihajar dan dipukuli Arya Wrekodara beserta kedua putranya. Dalam keadaan babak
belur, mereka pun memilih lari meninggalkan tempat itu menuju Kerajaan Hastina.
Arya Wrekodara yang masih marah berniat membalas perbuatan Raden
Gandawardaya. Namun, Prabu Kresna dan Raden Arjuna datang mencegahnya. Prabu
Kresna lalu memperkenalkan siapa sebenarnya Raden Gandawardaya dan kini semua
kesalahpahaman telah berakhir.
Raden Arjuna maju memeluk Raden Gandawardaya dan Raden Gandakusuma
dengan perasaan haru. Dewi Grantangsasi juga ikut gembira melihat sang suami telah
berkumpul dengan ayah dan saudaranya yang asli. Ia bercerita bahwa dirinya memiliki
saudari kembar bernama Dewi Grantangsari yang semoga bisa berjodoh dengan Raden
Gandakusuma. Raden Arjuna senang mendengarnya dan merestui hal itu. Ia lalu mengajak
mereka bertiga dan juga Bagawan Wilawuk untuk singgah di istana Indraprasta, bertemu
dengan para Pandawa lainnya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Ada dua versi yang pernah saya baca mengenai ibu kandung Gandawardaya dan Gandakusuma.
Versi pertama, mereka adalah anak Gandawati, sedangkan versi kedua adalah anak Jimambang.
Saya pun memilih jalan tengah, di mana Gandawardaya saya ceritakan sebagai anak Jimambang,
sedangkan Gandakusuma adalah anak Gandawati. Cerita pun saya kembangkan dengan
mengisahkan bahwa Citraganda adalah murid Bagawan Wilawuk.
KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG DANASALIRA
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Dewi Lesmanawati putri Prabu
Duryudana dengan Raden Warsakusuma putra Adipati Karna. Perkawinan ini sempat
kacau oleh munculnya Bambang Danasalira putra Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Ngasinan) yang disusun oleh Ki Tristuti Suryasaputra, yang dipadukan dengan tulisan
R. Subalidinata, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 26 Januari 2018
Heri Purwanto

RENCANA PERNIKAHAN DEWI LESMANAWATI DENGAN RADEN WARSAKUSUMA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana dihadap Patih Sangkuni dari Plasajenar,
Danghyang Druna dari Sokalima, serta Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam
pertemuan itu mereka membahas tentang rencana Prabu Duryudana berbesan dengan
Adipati Karna, yaitu melalui pernikahan antara Dewi Lesmanawati putri Kerajaan Hastina
dengan Raden Warsakusuma putra Kadipaten Awangga yang tinggal dua hari lagi.
Patih Sangkuni bertanya apakah tidak sebaiknya Prabu Duryudana menimbang-
nimbang dulu rencana perkawinan tersebut. Bagaimanapun juga, Dewi Lesmanawati
adalah putri seorang raja agung, penguasa Kerajaan Hastina, apakah pantas jika menjadi
istri seorang anak adipati atau raja bawahan? Bukankah sebaiknya Dewi Lesmanawati
dinikahkan dengan putra mahkota kerajaan lain yang sederajat?
Prabu Duryudana menjawab, Adipati Karna bukan adipati sembarangan, tetapi
sahabat karibnya sejak masih sama-sama remaja. Selain itu, mereka juga sama-sama
menantu Prabu Salya raja Mandraka. Istri Adipati Karna yang bernama Dewi Srutikanti
adalah kakak kandung Dewi Banuwati, istri Prabu Duryudana. Selain itu, Adipati Karna juga
memiliki banyak jasa sebagai panglima angkatan perang Kerajaan Hastina.
Danghyang Druna ikut menanggapi, bahwa perkawinan itu jangan dilihat dari
perbedaan derajat ataupun pangkat. Yang terpenting adalah Raden Warsakusuma dan
Dewi Lesmanawati saling mencintai dan menyayangi. Itu jauh lebih utama daripada Dewi
Lesmanawati menikah dengan pangeran kaya raya tetapi tidak ada cinta di antara mereka.
Patih Sangkuni dalam hati sebenarnya kurang suka terhadap Adipati Karna. Namun,
ia tidak dapat membantah keputusan Prabu Duryudana yang didukung Danghyang Druna.
Ia paham bagaimana eratnya persahabatan antara mereka berdua (Prabu Duryudana dan
Adipati Karna) yang melebihi saudara kandung.
Tiba-tiba sang permaisuri Dewi Banuwati datang bersama Dewi Lesmanawati si calon
mempelai. Ibu dan anak itu memohon maaf berani menghadap Prabu Duryudana tanpa
mendapat perintah. Prabu Duryudana pun bertanya ada keperluan apa istri dan anaknya itu
datang menghadap. Dewi Banuwati berkata bahwa sudah beberapa hari ini Dewi
Lesmanawati sering melamun padahal hendak dinikahkan. Ia pun bertanya apa yang
sedang dipikirkan putrinya itu, apakah tidak suka jika dinikahkan dengan Raden
Warsakusuma? Dewi Lesmanawati menjawab, dirinya mengenal Raden Warsakusuma
sejak masih sama-sama kecil dan tidak keberatan jika menikah dengan sepupunya itu. Akan
tetapi, ia berkhayal alangkah indahnya jika bisa duduk bersanding di dalam Balai Kencana
Asaka Domas seperti saat Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra dulu menikah.
Prabu Duryudana terkejut bercampur cemburu mendengar nama Raden Arjuna
disebut. Ia bertanya dari mana Dewi Lesmanawati tahu soal pernikahan Raden Arjuna
dengan Dewi Sumbadra yang terjadi sebelum putrinya itu lahir. Dewi Lesmanawati
KITAB WAYANG PURWA

menjawab dirinya mendengar kisah itu dari Dewi Banuwati. Menurut cerita sang ibu,
pernikahan antara Raden Arjuna dengan Dewi Sumbadra dulu sangat indah dan megah.
Kedua mempelai duduk bersanding di dalam Balai Kencana Asaka Domas disaksikan para
tamu undangan dari berbagai negara, sungguh serasi, indah dipandang mata, sekaligus
membuat iri.
Dewi Lesmanawati pun berkata bahwa dirinya sebagai anak seorang raja agung dari
kerajaan terbesar di dunia tentu sangat pantas jika menikah di dalam Balai Kencana Asaka
Domas seperti yang pernah dialami Dewi Sumbadra. Untuk itu, ia pun memohon kepada
sang ayah agar menyediakan apa yang diinginkannya tersebut.
Patih Sangkuni merasa ini adalah kesempatan untuk menggagalkan perbesanan
antara Prabu Duryudana dengan Adipati Karna. Maka, ia pun ikut bicara. Dulu pihak
mempelai pria, yaitu keluarga Raden Arjuna yang berusaha menyediakan Balai Kencana
Asaka Domas. Sekarang pun seharusnya demikian, yaitu keluarga Raden Warsakusuma
yang harus menyediakan benda pusaka tersebut. Dengan demikian, Prabu Duryudana
dapat mengukur sebesar apa niat Raden Warsakusuma ingin menikahi Dewi Lesmanawati.
Prabu Duryudana termenung, tidak tega melihat putri kesayangannya merengek. Di
samping itu ucapan Patih Sangkuni juga terdengar masuk akal. Setelah menimbang-
nimbang sejenak, ia pun memerintahkan Patih Sangkuni untuk menyampaikan permintaan
Dewi Lesmanawati tersebut kepada Adipati Karna di Awangga.

PRABU KALAWERDATA JATUH CINTA KEPADA DEWI LESMANAWATI


Tersebutlah seorang raja raksasa dari Kerajaan Paranggumiwang yang bernama
Prabu Kalawerdata. Hari itu ia memanggil panakawan Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk
dimintai keterangan tentang mimpi yang baru saja dialaminya. Tadi malam Prabu
Kalawerdata mimpi bertemu seorang gadis muda yang sangat cantik bernama Dewi
Lesmanawati. Seketika raja raksasa itu pun jatuh cinta dan ketika bangun dari tidur ingin
mewujudkan mimpinya. Untuk itulah ia memanggil kedua panakawan tersebut untuk
dimintai keterangan tentang siapa itu Dewi Lesmanawati.
Kyai Togog yang berkata bahwa Dewi Lesmanawati adalah putri Prabu Duryudana
dengan Dewi Banuwati di Kerajaan Hastina. Adapun Kerajaan Hastina adalah negeri
terbesar dan terkaya di dunia untuk saat ini. Prabu Kalawerdata tertarik mendengarnya. Ia
pun memanggil Patih Pradaksa untuk diperintahkan pergi ke Kerajaan Hastina, meminang
Dewi Lesmanawati. Apabila Prabu Duryudana tidak bersedia menyerahkan, maka Patih
Pradaksa boleh merebut putrinya itu dengan menggunakan kekerasan.
Patih Pradaksa menerima perintah tersebut dan segera berangkat dengan disertai
bala tentara Kerajaan Paranggumiwang.

ROMBONGAN PATIH PRADAKSA BERTEMU ROMBONGAN PARA PANDAWA


Sementara itu, Dewi Kunti dan para Pandawa sedang dalam perjalanan menuju
Kadipaten Awangga untuk memenuhi undangan Adipati Karna. Selama ini, Dewi Kunti
selalu menyesali peristiwa masa lalu, di mana ia membuang Adipati Karna semasa bayi.
Maka, begitu mendapat undangan dari putra sulungnya tersebut, ia pun segera bergegas
ingin memberikan restu.
Dewi Kunti berangkat menuju Kadipaten Awangga dengan disertai Prabu Puntadewa,
Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna, serta Raden Antareja sebagai pemimpin para prajurit
pengawal. Adapun si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa mendapat tugas untuk
berjaga di istana Indraprasta selama mereka pergi.
KITAB WAYANG PURWA

Dalam perjalanan itu, rombogan Dewi Kunti bertemu Patih Pradaksa dan pasukan
Paranggumiwang. Begitu mengetahui bahwa niat para raksasa itu hendak merebut calon
mempelai wanita, Raden Antareja segera memerintahkan pasukan Amarta untuk
menghadang mereka. Maka terjadilah pertempuran di antara kedua pihak. Tidak sampai
lama, Patih Pradaksa merasa terdesak dan membawa pasukannya mundur kembali ke
Paranggumiwang.

BAMBANG SAPTARENGGA INGIN MENGHADAP AYAHNYA


Tersebutlah sebuah padepokan bernama Gardapasatya yang dipimpin Resi
Jatiwaskita. Pendeta tua itu memiliki seorang cucu yang masih remaja, bernama Bambang
Saptarengga. Pada suatu hari cucunya itu bertanya tentang siapa ayah dan ibunya,
mengapa sejak kecil ia hanya tinggal bersama sang kakek saja.
Resi Jatiwaskita pun bercerita bahwa ayah Bambang Saptarengga bernama Raden
Arjuna, Panengah Pandawa dari Kesatrian Madukara di Kerajaan Amarta. Raden Arjuna
dulu pernah berguru kepada Resi Jatiwaskita dan kemudian menikahi putri gurunya itu yang
bernama Endang Renggawati. Dari perkawinan itu, lahirlah seorang putra laki-laki, namun
Endang Renggawati meninggal saat melahirkan. Raden Arjuna sangat sedih dan mohon
pamit kepada Resi Jatiwaskita untuk kembali ke Kerajaan Amarta. Sebelum pergi, ia sempat
memberi nama putranya yang baru lahir itu, Bambang Saptarengga, dan menitipkannya
kepada Resi Jatiwaskita agar dirawat hingga dewasa.
Bambang Saptarengga termangu-mangu mendengar kisah hidupnya. Ia berterima
kasih kepada sang kakek yang telah mengasuh dan membesarkannya sejak bayi. Kini ia
pun berkeinginan pergi ke Kesatrian Madukara untuk menghadap Raden Arjuna. Ia berjanji
nanti setelah menyembah ayah kandungnya tersebut, ia akan kembali lagi ke Padepokan
Gardapasatya untuk ganti merawat sang kakek yang telah lanjut usia.
Resi Jatiwaskita merestui cucunya itu semoga apa yang diinginkan menjadi
kenyataan. Bambang Saptarengga pun mohon pamit lalu berangkat meninggalkan
padepokan.

BAMBANG SAPTARENGGA TERSESAT KE KERAJAAN PRINGGADANI


Sementara itu di Kerajaan Pringgadani, Rajaputri Dewi Arimbi dihadap putranya, yaitu
Raden Gatutkaca. Hari itu Raden Gatutkaca mohon pamit kepada sang ibu untuk diizinkan
menyusul para Pandawa ke Kadipaten Awangga. Ia ingin sekali menyaksikan perkawinan
kedua sepupunya, yaitu Raden Warsakusuma dan Dewi Lesmanawati. Namun, Dewi Arimbi
merasa berat melepas putranya tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di halaman istana. Raden Gatutkaca segera
keluar dan melihat para prajurit Pringgadani sedang bertempur melawan seorang pemuda
tampan. Raden Gatutkaca melesat menangkap pemuda itu dan menanyai apa alasannya
mengacau di Kerajaan Pringgadani.
Pemuda itu adalah Bambang Saptarengga. Ia menjawab dirinya tersesat ketika
hendak menuju Kerajaan Amarta. Bukannya ditolong, ia justru dikeroyok para prajurit
raksasa karena dikira penyusup. Raden Gatutkaca pun bertanya ada perlu apa Bambang
Saptarengga hendak pergi ke Kerajaan Amarta. Pemuda itu menjawab, ia ingin
menghaturkan sembah bakti kepada ayah kandungnya yang bernama Raden Arjuna.
Dewi Arimbi keluar dari istana dan mengamati sosok Bambang Saptarengga yang
memang mirip dengan Raden Arjuna. Ia yakin pemuda ini tidak berbohong tentang ayah
kandungnya. Raden Gatutkaca mematuhi perkataan ibunya dan ia pun membubarkan para
prajurit raksasa yang masih mengepung Bambang Saptarengga.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Arimbi lalu mengajak Bambang Saptarengga masuk ke dalam istana


Pringgadani. Ia memperkenalkan dirinya sebagai istri Arya Wrekodara, yaitu kakak kandung
Raden Arjuna. Bambang Saptarengga menyembah uwaknya itu dan ia ganti menceritakan
asal usulnya, juga tentang ibunya yang sudah meninggal dunia saat melahirkan dirinya.
Dewi Arimbi kasihan melihat Bambang Saptarengga yang tidak pernah merasakan kasih
sayang seorang ibu sejak kecil. Maka, mulai saat itu Bambang Saptarengga boleh
memanggil ibu kepadanya, dan menganggap Arya Gatutkaca sebagai kakak kandung.
Bambang Saptarengga sangat terharu dan menyembah mereka berdua dengan penuh
hormat.
Dewi Arimbi lalu berniat memberikan nama baru untuk Bambang Saptarengga yang
telah menjadi anak angkatnya. Bambang Saptarengga bersedia dan berjanji akan memakai
nama pemberian sang ibu angkat. Dewi Arimbi berpikir sejenak, lalu memberikan nama
Bambang Danasalira, agar mirip dengan nama Dananjaya, yaitu julukan Raden Arjuna.
Bambang Saptarengga sangat berterima kasih dan mulai hari itu ia akan memakai nama
Bambang Danasalira tersebut.
Bambang Danasalira lalu mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan
Amarta. Dewi Arimbi berkata tidak perlu ia melakukan itu, karena Raden Arjuna dan para
Pandawa lainnya saat ini sedang berada di Kadipaten Awangga untuk menghadiri
pernikahan putra Adipati Karna. Sebaiknya Bambang Danasalira menunggu saja di
Kerajaan Pringgadani sampai mereka kembali.
Mendengar itu, Raden Gatutkaca kembali mohon pamit kepada Dewi Arimbi untuk
berangkat ke Kadipaten Awangga. Dewi Arimbi pun mengizinkan dan meminta Raden
Gatutkaca agar mengabarkan perihal kedatangan Bambang Danaslira kepada Raden
Arjuna. Raden Gatutkaca menyanggupi dan segera melesat terbang ke angkasa. Bambang
Danasalira terkagum-kagum menyaksikan kakak angkatnya ternyata bisa terbang tanpa
sayap.

RADEN GATUTKACA DIPERINTAHKAN MENCARI BALAI KENCANA ASAKA DOMAS


Di Kadipaten Awangga, Adipati Karna menerima kedatangan Dewi Kunti, Prabu
Puntadewa, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, serta Raden Antareja. Setelah Adipati Karna
menyembah Dewi Kunti, dan para Pandawa menyembah dirinya, tiba-tiba datang pula Patih
Sangkuni menyampaikan pesan dari Prabu Duryudana. Besok pagi adalah hari pernikahan
Raden Warsakusuma dengan Dewi Lesmanawati. Tiba-tiba saja calon mempelai wanita
ingin pernikahannya nanti diadakan di dalam Balai Kencana Asaka Domas seperti yang dulu
digunakan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra. Prabu Duryudana menerima usulan putrinya
itu dan meminta Patih Sangkuni untuk menyampaikan hal ini kepada Adipati Karna.
Patih Sangkuni menambahkan, apabila Adipati Karna tidak dapat memenuhi keinginan
calon menantunya, maka perkawinan Raden Warsakusuma dan Dewi Lesmanawati
sebaiknya dibatalkan saja. Adipati Karna tersinggung mendengarnya dan ia berkata pasti
dirinya bisa mewujudkan permintaan tersebut. Patih Sangkuni gentar mendengar ucapan
Adipati Karna dan segera pamit kembali ke Kerajaan Hastina.
Setelah Patih Sangkuni pergi, Adipati Karna lalu berunding dengan para Pandawa. Ia
sama sekali tidak menyangka Prabu Duryudana yang sudah bersahabat lama dengannya
bisa mengajukan permintaan sesulit ini. Prabu Puntadewa berkata sebaiknya Adipati Karna
jangan berprasangka buruk kepada Prabu Duryudana. Wajar jika seorang raja besar
memiliki keinginan yang besar pula. Balai Kencana Asaka Domas saat ini disimpan Prabu
Bisawarna di Kerajaan Singgela dan hendaknya Arya Wrekodara berangkat untuk
meminjamnya seperti dulu. Arya Wrekodara menjawab dirinya siap membantu.
KITAB WAYANG PURWA

Namun, Kerajaan Singgela letaknya sangat jauh di seberang lautan. Ia khawatir tidak
dapat kembali ke Kadipaten Awangga tepat waktu.
Tiba-tiba Raden Gatutkaca datang menghadap. Arya Wrekodara merasa ini sangat
kebetulan. Ia pun memerintahkan putra keduanya itu untuk segera terbang ke Kerajaan
Singgela meminjam Balai Kencana Asaka Domas kepada Prabu Bisawarna. Besok pagi,
benda pusaka itu harus sudah terpasang di Kerajaan Hastina. Raden Gatutkaca tidak berani
bicara lagi. Ia segera mohon pamit lalu berangkat terbang secepat kilat menuju arah yang
digambarkan ayahnya. Pesan dari ibunya agar melaporkan kedatangan Bambang
Danasalira kepada Raden Arjuna terpaksa ditunda dulu.

BAMBANG DANASALIRA TERSESAT KE KERAJAAN HASTINA


Bambang Danasalira merasa jenuh menunggu di Kerajaan Pringgadani. Ia penasaran
sekali ingin bertemu ayahnya di Kadipaten Awangga. Namun, Dewi Arimbi selalu melarang
dan memintanya untuk menunggu saja, tidak perlu menyusul ke sana. Bambang Danasalira
mematuhi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuan ibu angkatnya itu, ia pun kabur
meninggalkan istana Pringgadani.
Dasar sudah nasib Bambang Danasalira lagi-lagi tersesat jalan. Bukannya sampai di
Kadipaten Awangga, ia justru masuk ke dalam istana Kerajaan Hastina. Dengan
kesaktiannya, ia berhasil menyusup ke dalam Taman Kadilengeng dan melihat Dewi
Lesmanawati sedang duduk sendirian. Besok pagi gadis itu akan menikah dan ia pun
dipingit oleh keluarganya.
Bambang Danasalira tertarik melihat kecantikan Dewi Lesmanawati. Dasar putra
Raden Arjuna, ia pun mewarisi kepandaian ayahnya dalam memikat perempuan. Dengan
kata-kata manis ia berhasil membuat Dewi Lesmanawati terpesona. Kedua muda mudi itu
lalu berkasih-kasihan di dalam bangsal kaputren.

BAMBANG DANASALIRA DIKEROYOK PARA KURAWA


Tiba-tiba ada beberapa dayang yang memergoki Bambang Danasalira sedang merayu
Dewi Lesmanawati. Mereka pun melapor kepada Prabu Duryudana. Betapa marah raja
Hastina itu dan ia lalu memerintahkan para Kurawa untuk menangkap penyusup yang telah
menggoda putrinya tersebut.
Arya Dursasana dan adik-adiknya segera berangkat untuk meringkus si penyusup.
Sesampainya di kaputren, mereka segera mengepung Bambang Danasalira dan bertanya
dari mana asal usul pemuda itu. Bambang Danasalira menjawab terus terang bahwa dirinya
adalah putra Raden Arjuna dengan Endang Renggawati. Para Kurawa marah-marah karena
pihak Pandawa ada di balik kejadian ini. Mereka pun maju mengeroyok Bambang
Danasalira, namun pemuda itu dengan lincah dapat meloloskan diri.
Arya Dursasana dan adik-adiknya segera mengejar Bambang Danasalira, kecuali
Raden Surtayu yang diperintahkan untuk melaporkan hal ini kepada Adipati Karna yang
sedang bersama para Pandawa di Kadipaten Awangga.

RADEN GATUTKACA DISERANG RESI ANOMAN


Sementara itu, Raden Gatutkaca telah bertemu Prabu Bisawarna raja Singgela untuk
meminjam Balai Kencana Asaka Domas peninggalan Prabu Sri Rama di zaman kuno. Prabu
Bisawarna mengizinkannya mengingat Prabu Pandu (ayah para Pandawa) dulu pernah
berjasa kepada Kerajaan Singgela. Raden Gatutkaca sangat berterima kasih. Dengan
kekuatannya, ia lalu mengangkat Balai Kencana Asaka Domas yang sangat besar tersebut
KITAB WAYANG PURWA

di atas pundaknya, lalu terbang menuju Kerajaan Hastina. Prabu Bisawarna berdecak
kagum menyaksikan kekuatan tenaga cucu Prabu Pandu tersebut.
Raden Gatutkaca terbang menyeberangi lautan sambil memanggul Balai Kencana
Asaka Domas. Kebetulan Resi Anoman juga sedang terbang di angkasa. Ia melihat ada
orang memanggul balai pusaka peninggalan majikannya terdahulu, yaitu Prabu Sri Rama.
Resi Anoman mengira ada penjahat yang telah mencuri benda itu. Kebetulan saat itu tengah
malam sehingga wajah Raden Gatutkaca tidak terlihat jelas. Dengan segenap kekuatan,
Resi Anoman pun melabrak Raden Gatutkaca untuk merebut Balai Kencana Asaka Domas.
Raden Gatutkaca tidak menduga adanya serangan mendadak. Pegangannya terlepas
dan Balai Kencana Asaka Domas pun jatuh tenggelam ke dasar lautan. Ia lalu bertarung
menghadapi penyerangnya tersebut. Namun, mereka lalu mengenali suara masing-masing
dan segera menghentikan perkelahian.
Resi Anoman sangat menyesal dan meminta maaf karena terburu nafsu. Raden
Gatutkaca tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia merasa telah gagal melaksanakan tugas dan
segera melesat terbang ke Kadipaten Awangga untuk menerima hukuman. Resi Anoman
merasa bersalah dan diam-diam mengikuti keponakannya itu dari belakang.

BAMBANG DANASALIRA DIHUKUM MATI


Pagi itu, Adipati Karna dan rombongan telah meninggalkan Kadipaten Awangga untuk
mengiring keberangkatan calon pengantin pria. Di tengah jalan mereka bertemu Raden
Surtayu yang melaporkan bahwa telah terjadi kekacauan di Kerajaan Hastina, di mana ada
seorang pemuda yang berani menyusup ke dalam kaputren untuk menggoda Dewi
Lesmanawati. Pemuda itu bernama Bambang Danasalira yang mengaku sebagai putra
Raden Arjuna dengan Endang Renggawati. Sampai sekarang, pemuda itu belum
tertangkap dan masih buron.
Adipati Karna sangat marah dan menuduh Raden Arjuna mengacau rencana
pernikahan putranya. Raden Arjuna menjawab dirinya tidak punya anak bernama Bambang
Danasalira. Yang ia ingat, anak Endang Renggawati diberi nama Bambang Saptarengga.
Adipati Karna pun meminta Raden Arjuna membuktikan ucapannya dengan menangkap
pemuda itu. Raden Arjuna menyanggupi dan segera melesat pergi mengejar si penyusup.
Sudah suratan takdir, Raden Arjuna langsung bertemu Bambang Danasalira. Begitu
mengetahui nama pria yang hendak menangkapnya itu, Bambang Danasalira segera
berlutut menyembah dan memanggil ayah kepada Raden Arjuna. Namun, Raden Arjuna
tidak percaya dan menuduh Bambang Danasalira mengaku-ngaku sebagai keturunan
Pandawa. Ia pun tetap menangkap pemuda itu dan menghadapkannya kepada Adipati
Karna.
Adipati Karna senang melihat keberhasilan Raden Arjuna. Mereka lalu bersama-sama
menuju Kerajaan Hastina dengan membawa Bambang Danasalira dalam keadaan terikat.
Sesampainya di Kerajaan Hastina, rombongan dari Awangga itu pun disambut Prabu
Duryudana. Melihat Bambang Danasalira sudah tertangkap, Prabu Duryudana segera
menanyai asal usul pemuda itu. Bambang Danasalira mengaku dirinya benar-benar putra
Raden Arjuna. Namun, Raden Arjuna menjawab tidak memiliki anak bernama Danasalira.
Adipati Karna hilang kesabaran dan ia pun menikam dada pemuda itu hingga tewas.
Pada saat Bambang Danasalira roboh bersimbah darah, tiba-tiba Raden Arjuna
merasa gemetar. Jangan-jangan pemuda itu adalah benar putranya. Namun, semuanya
sudah terlambat karena Bambang Danasalira telah tewas.
KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG DANASALIRA DIHIDUPKAN KEMBALI


Sesuai pesan Adipati Karna kemarin, Raden Gatutkaca dari Kerajaan Singgela
langsung menuju Kerajaan Hastina. Sesampainya di sana ia terkejut melihat Bambang
Danasalira telah tewas. Ia pun menangis dan segera menggendong jasad adik angkatnya
itu kemudian dibawanya terbang pulang menuju Pringgadani. Di tengah jalan ia bertemu
Resi Anoman yang mengikuti dari belakang karena merasa bersalah.
Resi Anoman segera mengeluarkan daun pusaka peninggalan Prabu Sri Rama yang
bernama Daun Mahasandilata. Daun ajaib ini berkhasiat mampu menyembuhkan segala
macam penyakit dan luka, bahkan mampu menghidupkan orang mati sebelum ajal.
Begitu ditempeli Daun Mahasandilata, seketika luka pada dada Bambang Danasalira
tertutup dan ia pun hidup kembali. Tidak lama kemudian datang pula Raden Arjuna yang
menyusul karena curiga melihat Raden Gatutkaca menangis sambil menggendong jasad
Bambang Danasalira. Raden Gatutkaca pun menceritakan semuanya dari awal hingga
akhir, bahwa Bambang Danasalira memang memiliki nama asli Bambang Saptarengga.
Raden Arjuna menyesal telah meringkus anaknya sendiri. Ia pun memeluk Bambang
Danasalira dan berterima kasih kepada Resi Anoman karena telah menghidupkan kembali
putranya. Raden Gatutkaca meminta maaf karena gagal membawa Balai Kencana Asaka
Domas. Raden Arjuna menjawab hal itu tidak perlu dihiraukan. Terus terang ia sakit hati
kepada Adipati Karna yang menghukum mati Bambang Danasalira tanpa proses
pengadilan.
Karena terdorong rasa sakit hatinya tersebut, Raden Arjuna pun tidak mau
menyaksikan perkawinan Raden Warsakusuma dengan Dewi Lesmanawati. Ia lebih suka
mengajak Raden Gatutkaca, Resi Anoman, dan Bambang Danasalira untuk pulang ke
Kesatrian Madukara.

KERAJAAN HASTINA DISERANG PRABU KALAWERDATA


Sementara itu, Prabu Duryudana dihasut Patih Sangkuni agar membatalkan
pernikahan Raden Warsakusuma dan Dewi Lesmanawati karena kekacauan yang
disebabkan Bambang Danasalira, dan juga karena Adipati Karna gagal mewujudkan Balai
Kencana Asaka Domas. Adipati Karna merasa kecewa namun tidak dapat menentang
keputusan tersebut.
Tiba-tiba Raden Kartawarma datang melapor bahwa Kerajaan Hastina diserang
musuh dari Kerajaan Paranggumiwang yang dipimpin langsung oleh Prabu Kalawerdata.
Tujuan raja raksasa ini adalah hendak merebut paksa Dewi Lesmanawati. Tidak seorang
pun Kurawa yang mampu mengalahkannya. Mendengar itu, Prabu Duryudana segera
keluar istana untuk melihat seperti apa wujud raja raksasa yang berani menyerang
negaranya.
Sesampainya di halaman, Prabu Duryudana melihat para Kurawa banyak yang terluka
oleh amukan Prabu Kalawerdata. Prabu Duryudana segera maju, namun ia terdesak oleh
kekuatan raja raksasa tersebut. Hingga akhirnya Prabu Duryudana dapat tertangkap dan
hendak digigit lehernya oleh Prabu Kalawerdata.
Menyaksikan hal itu, Adipati Karna tidak dapat berpangku tangan. Meskipun ia kecewa
karena anaknya gagal menikah, namun hati nuraninya sebagai panglima perang Kerajaan
Hastina terpanggil untuk menyelamatkan nyawa sang raja yang dalam bahaya. Maka, ia
segera melepaskan panah yang tepat menembus jantung Prabu Kalawerdata. Raja raksasa
itu pun roboh dan tewas seketika.
KITAB WAYANG PURWA

Menyaksikan rajanya gugur, Patih Pradaksa mengamuk untuk melakukan bela pati. Ia
menggempur para Kurawa yang sedang bersorak-sorak memuji kemenangan Adipati
Karna. Melihat itu, Prabu Puntadewa segera memerintahkan Arya Wrekodara untuk
membantu. Tanpa banyak bicara, Arya Wrekoda pun maju dan membunuh Patih Pradaksa
dalam waktu singkat.

PERKAWINAN RADEN WARSAKUSUMA DAN DEWI LESMANAWATI


Prabu Duryudana sangat berterima kasih karena nyawanya telah diselamatkan oleh
Adipati Karna. Sebagai ungkapan rasa syukur, ia tidak jadi membatalkan perkawinan antara
Raden Warsakusuma dengan Dewi Lesmanawati. Patih Sangkuni bertanya apakah
perkawinan ini bisa dilakukan, karena pihak mempelai pria gagal mewujudkan Balai
Kencana Asaka Domas? Prabu Duryudana menjawab, nyawanya telah diselamatkan
Adipati Karna, dan sangat pantas apabila ia menyerahkan putrinya sebagai menantu
Kadipaten Awangga. Patih Sangkuni bertanya apakah Prabu Duryudana tidak malu jika
digunjingkan orang banyak sebagai raja plin-plan yang tidak menepati ucapan. Prabu
Duryudana menjawab tidak peduli. Ini bukan pertama kalinya ia melanggar ucapan. Kalau
sekarang melanggar ucapan sekali lagi rasanya tidak ada masalah baginya.
Demikianlah keputusan Prabu Duryudana sudah bulat. Ia pun menikahkan Dewi
Lesmanawati dengan Raden Warsakusuma tanpa harus menggunakan Balai Kencana
Asaka Domas. Dewi Lesmanawati merasa sangat kecewa, tetapi ia tidak berani membantah
keputusan sang ayah.
Setelah upacara pernikahan usai, Dewi Kunti, Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, dan
Raden Antareja pun pamit kembali ke Kerajaan Amarta.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BRATALARAS RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Bratalaras putra Raden
Arjuna dengan Dewi Karnawati putri Adipati Karna.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber tulisan di forum Kaskus, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 10 Februari 2018
Heri Purwanto

Raden Bratalaras

RADEN BRATALARAS INGIN MENIKAH DENGAN DEWI KARNAWATI


Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna dihadap putranya yang lahir dari Niken Larasati,
yaitu Raden Bratalaras. Hadir pula para panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong. Dalam penghadapan itu, Raden Bratalaras menyampaikan
keinginannya kepada sang ayah, yaitu ia ingin menikah dengan putri bungsu Adipati Karna
di Awangga, yang bernama Dewi Karnawati.
Raden Arjuna terkejut mendengar itu. Seketika ia langsung menolak mentah-mentah
keinginan putranya. Menurut pendapatnya, Raden Bratalaras boleh menikah dengan siapa
saja, tetapi jangan dengan anak Adipati Karna. Alasannya ialah, Adipati Karna selaku kakak
tertua para Pandawa justru lebih suka berdiri di pihak musuh, yaitu bersahabat dengan para
Kurawa. Yang kedua, Raden Arjuna masih sakit hati pada peristiwa beberapa bulan yang
lalu, yaitu putranya yang bernama Bambang Danasalira dibunuh tanpa pengadilan oleh
Adipati Karna. Meskipun Bambang Danasalira telah dihidupkan kembali oleh Resi Anoman,
namun sakit hati Raden Arjuna sampai sekarang belum sirna.
Raden Bratalaras sangat kecewa keinginannya ditolak sang ayah. Kyai Semar selaku
pamong pun menyela ikut bicara. Ia bertanya apakah Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati
saling mencintai. Raden Bratalaras menjawab ya. Ia bercerita bahwa dirinya pertama kali
berkenalan dengan Dewi Karnawati adalah pada saat menghadiri perkawinan Raden
Warsakusuma dengan Dewi Lesmanawati beberapa bulan lalu. Waktu itu Raden Bratalaras
berniat menyusul para Pandawa ke Awangga. Tak disangka Raden Arjuna ternyata sudah
pulang lebih dulu bersama Raden Gatutkaca dan Bambang Danasalira. Raden Bratalaras
hanya bertemu Dewi Kunti, Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, dan Raden Antareja di
sana. Namun demikian, ada hikmah lain dari kehadirannya, yaitu ia bisa berkenalan dengan
Dewi Karnawati, putri bungsu Adipati Karna.
Perkenalan itu pun berlanjut dengan hubungan asmara di mana Raden Bratalaras dan
Dewi Karnawati sama-sama saling mencintai. Sudah beberapa kali Raden Bratalaras diam-
diam pergi ke Kadipaten Awangga untuk menemui kekasihnya. Untung saja pertemuan itu
tidak sampai ketahuan Adipati Karna ataupun putra-putranya.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna justru semakin marah mendengar cerita itu. Ia menyatakan tidak sudi
berbesan dengan Adipati Karna. Ia juga melarang keras Raden Bratalaras untuk pergi lagi
ke Kadipaten Awangga. Kyai Semar menasihati Raden Arjuna agar jangan terbawa amarah.
Janganlah hanya karena sakit hati lantas mengorbankan perasaan anak. Apabila Raden
Bratalaras dan Dewi Karnawati memang benar saling mencintai, maka lebih baik mereka
disatukan dalam perkawinan, bukannya malah dipisahkan.
Raden Arjuna tetap kukuh tidak sudi merestui niat Raden Bratalaras. Kyai Semar pun
bertanya, apakah Raden Bratalaras tetap ingin menikah dengan Dewi Karnawati? Raden
Bratalaras mengangguk. Raden Arjuna marah dan mengusir Raden Bratalaras pergi dari
Kesatrian Madukara. Kyai Semar dengan tegas menyatakan Raden Bratalaras berada
dalam perlindungannya. Mereka pun pergi semua meninggalkan Raden Arjuna.

PRABU BALADEWA DAN PETRUK MELAMAR DEWI KARNAWATI


Di Kadipaten Awangga, Adipati Karna duduk dihadap kedua putranya, yaitu Raden
Warsasena dan Raden Warsakusuma, serta Patih Adimanggala, Arya Druwa, dan Arya
Jayarata. Tidak lama kemudian datanglah rombongan dari Kerajaan Hastina yang dipimpin
Prabu Baladewa, Danghyang Druna, dan Patih Sangkuni. Adipati Karna pun menyambut
mereka dengan penuh penghormatan.
Prabu Baladewa mengatakan bahwa dirinya datang mewakili Prabu Duryudana untuk
meminang Dewi Karnawati sebagai istri Raden Lesmana Mandrakumara. Beberapa bulan
yang lalu Dewi Lesmanawati dan Raden Warsakusuma sudah dinikahkan. Hubungan
persaudaraan antara Adipati Karna dengan Prabu Duryudana tentu akan lebih erat lagi
apabila Raden Lesmana pun dinikahkan dengan Dewi Karnawati.
Belum sempat Adipati Karna menjawab, tiba-tiba datang panakawan Petruk membawa
hasil bumi berupa palawija dan buah-buahan. Petruk pun menyembah hormat kepada tuan
rumah dan para tamu, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu ingin
meminang Dewi Karnawati sebagai calon istri Raden Bratalaras. Prabu Baladewa marah-
marah mendengar itu. Ia berkata bahwa Dewi Karnawati sudah menjadi calon istri Raden
Lesmana Mandrakumara, maka sebaiknya Petruk pulang saja. Raden Bratalaras suruh saja
mencari istri yang lain.
Petruk balik bertanya apakah Adipati Karna sudah mengabulkan lamaran pihak
Kerajaan Hastina. Prabu Baladewa menjawab belum, tetapi ia tahu Adipati Karna pasti akan
menerima pinangan dari Prabu Duryudana, yang merupakan sahabat karibnya dan juga
sesama menantu Prabu Salya. Petruk berkata, tidak ada jaminan Adipati Karna pasti
menerima. Yang hendak menjalani rumah tangga bukan Adipati Karna dan Prabu
Baladewa, tetapi Dewi Karnawati. Karena kep Prabu Baladewa marah-marah ada hak apa
Petruk berani memerintah Adipati Karna. Petruk balik bertanya ada hak apa Prabu
Baladewa berani marah-marah di Kadipaten Awangga. Prabu Baladewa menjawab dirinya
adalah raja, maka berhak memarahi rakyat jelata semacam Petruk. Petruk pun membela
diri. Prabu Baladewa memang raja tetapi jika berada di Kerajaan Mandura. Petruk memang
rakyat jelata apabila berada di Kerajaan Amarta. Namun, apabila berada di Kadipaten
Awangga, maka kedudukan mereka sama-sama menjadi tamu yang diutus untuk melamar
putri sang tuan rumah.
Prabu Baladewa semakin marah karena derajatnya disamakan dengan Petruk. Ia pun
kehilangan kesabaran dan menarik tubuh Petruk keluar istana.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni hanya tertawa melihat ulah Prabu Baladewa
yang terbawa amarah hanya demi melayani Petruk. Mereka lalu bertanya kepada Adipati
Karna apakah lamaran Prabu Duryudana bisa diterima. Adipati Karna menjawab belum
KITAB WAYANG PURWA

bisa. Meskipun dirinya bersahabat akrab dengan Prabu Duryudana, namun urusan
pernikahan harus meminta kesediaan putrinya terlebih dulu. Yang kedua, Adipati Karna
hanya bisa menjawab lamaran kepada Prabu Baladewa, karena dialah yang diutus Prabu
Duryudana, bukan kepada Danghyang Druna dan Patih Sangkuni.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni tersinggung mendengarnya. Mereka pun
segera keluar menyusul Prabu Baladewa. Adipati Karna lalu memerintahkan Raden
Warsasena dan Raden Warsakusuma untuk bersiaga apabila terjadi keributan, sedangkan
dirinya masuk ke dalam untuk menanyai Dewi Karnawati. utusan belum diambil, maka
sebaiknya Adipati Karna memanggil Dewi Karnawati saja untuk disuruh memilih antara
Raden Lesmana Mandrakumara, ataukah Raden Bratalaras?
Prabu Baladewa marah-marah ada hak apa Petruk berani memerintah Adipati Karna.
Petruk balik bertanya ada hak apa Prabu Baladewa berani marah-marah di Kadipaten
Awangga. Prabu Baladewa menjawab dirinya adalah raja, maka berhak memarahi rakyat
jelata semacam Petruk. Petruk pun membela diri. Prabu Baladewa memang raja tetapi jika
berada di Kerajaan Mandura. Petruk memang rakyat jelata apabila berada di Kerajaan
Amarta. Namun, apabila berada di Kadipaten Awangga, maka kedudukan mereka sama-
sama menjadi tamu yang diutus untuk melamar putri sang tuan rumah.
Prabu Baladewa semakin marah karena derajatnya disamakan dengan Petruk. Ia pun
kehilangan kesabaran dan menarik tubuh Petruk keluar istana.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni hanya tertawa melihat ulah Prabu Baladewa
yang terbawa amarah hanya demi melayani Petruk. Mereka lalu bertanya kepada Adipati
Karna apakah lamaran Prabu Duryudana bisa diterima. Adipati Karna menjawab belum
bisa. Meskipun dirinya bersahabat akrab dengan Prabu Duryudana, namun urusan
pernikahan harus meminta kesediaan putrinya terlebih dulu. Yang kedua, Adipati Karna
hanya bisa menjawab lamaran kepada Prabu Baladewa, karena dialah yang diutus Prabu
Duryudana, bukan kepada Danghyang Druna dan Patih Sangkuni.
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni tersinggung mendengarnya. Mereka pun
segera keluar menyusul Prabu Baladewa. Adipati Karna lalu memerintahkan Raden
Warsasena dan Raden Warsakusuma untuk bersiaga apabila terjadi keributan, sedangkan
dirinya masuk ke dalam untuk menanyai Dewi Karnawati.

DEWI KARNAWATI MENGADAKAN SAYEMBARA


Sementara itu di halaman kadipaten, para Kurawa melihat Prabu Baladewa berselisih
dengan Petruk. Mereka segera ikut mengepung si panakawan. Tiba-tiba muncul pula putra-
putra Arya Wrekodara, yaitu Raden Antareja, Raden Gatutkaca, dan Raden Antasena.
Rupanya mereka bertiga mendapat tugas dari Kyai Semar untuk menjaga Petruk.
Maka, terjadilah perkelahian antara para Kurawa melawan ketiga pemuda itu. Putra-
putra Arya Wrekodara tersebut bukanlah pemuda sembarangan. Jelas para Kurawa tidak
akan mampu mengalahkan mereka. Melihat itu, Prabu Baladewa pun maju dan mengamuk.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca mundur karena merasa segan kepada sang uwak.
Tinggal Raden Antasena yang berdiri mencegat Prabu Baladewa. Namun demikian, Raden
Antasena sama sekali tidak membalas sewaktu Prabu Baladewa memukuli dirinya.
Sebaliknya, Prabu Baladewa justru merasa tangannya sakit sendiri karena memukuli
pemuda itu.
Adipati Karna akhirnya muncul melerai kedua pihak yang sedang bertempur. Di
sampingnya tampak seorang gadis cantik, yang tidak lain adalah Dewi Karnawati. Prabu
Baladewa dan Petruk sama-sama bertanya, siapa di antara mereka yang diterima
pinangannya. Adipati Karna pun bercerita bahwa ia baru saja bertanya kepada putrinya,
KITAB WAYANG PURWA

siapa yang akan dipilih. Dewi Karnawati merasa bimbang. Di satu sisi, ia lebih mencintai
Raden Bratalaras, namun di sisi lain ia merasa tidak enak dengan keluarga Prabu
Duryudana yang selama ini selalu baik kepadanya.
Oleh sebab itu, Dewi Karnawati pun memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu
mengadakan sayembara. Patih Sangkuni menyindir ada anak seorang adipati berlagak
seperti putri raja besar, mengadakan sayembara segala. Petruk balas menyindir Patih
Sangkuni bahwa pihak Kurawa itu sudah berkali-kali kalah sayembara, sehingga kini mudah
gentar kalau mendengar kata “sayembara”. Patih Sangkuni terdiam tidak bicara lagi.
Prabu Baladewa bertanya, apa kiranya isi sayembara tersebut. Dewi Karnawati
dengan malu-malu menjawab, ia sudah lama kagum mendengar kisah tentang tajamnya
Kuku Pancanaka milik sang paman, yaitu Arya Wrekodara. Oleh sebab itu, ia pun ingin saat
menikah nanti, rambut sinomnya di dahi dicukur dan dirapikan memakai kuku pusaka
tersebut.
Prabu Baladewa dan Petruk sama-sama menyanggupi. Mereka segera mohon pamit
kembali ke kubu masing-masing.

ARYA WREKODARA MENYANGGUPI PERMINTAAN PRABU BALADEWA


Di Kesatrian Jodipati, Arya Wrekodara duduk dihadap Patih Gagakbaka dan Patih
Dandangminangsi. Tiba-tiba datang Prabu Baladewa, Danghyang Druna, dan Patih
Sangkuni. Setelah saling memberi salam dan bertanya kabar, Prabu Baladewa pun
menyampaikan maksud dan tujuannya, yaitu ingin meminta pertolongan Arya Wrekodara.
Arya Wrekodara bersedia membantu asalkan dirinya sanggup. Prabu Baladewa pun
bercerita bahwa dirinya mewakili Prabu Duryudana melamar Dewi Karnawati sebagai calon
istri Raden Lesmana Mandrakumara. Arya Wrekodara menjawab, jika ingin melamar Dewi
Karnawati tempatnya di Kadipaten Awangga, bukan di Kesatrian Jodipati. Prabu Baladewa
meminta agar ucapannya jangan dipotong dulu. Ia lalu menceritakan semuanya bahwa
Petruk juga datang melamar, yaitu mewakili Raden Bratalaras. Karena bingung memilih,
Dewi Karnawati akhirnya mengadakan sayembara ingin dirapikan rambut sinomnya
menggunakan Kuku Pancanaka.
Arya Wrekodara merasa keberatan jika dirinya harus mencukur rambut sinom Dewi
Karnawati. Ia merasa sebagai kesatria petarung, bukannya tukang cukur. Prabu Baladewa
berusaha membujuk Arya Wrekodara, namun sepupunya itu bersikukuh menolak.
Danghyang Druna ikut bicara. Ia berusaha membujuk Arya Wrekodara agar bersedia
menjadi perias Dewi Karnawati. Arya Wrekodara tetap saja keberatan. Patih Sangkuni pun
menyindirnya. Jelas-jelas Arya Wrekodara pernah menjadi murid Danghyang Druna dan
Prabu Baladewa, namun kini berani menolak perintah kedua gurunya tersebut. Padahal,
kedudukan guru sama seperti orangtua. Melanggar perintah guru itu sama saja melanggar
perintah ayah dan ibu.
Arya Wrekodara termakan ucapan Patih Sangkuni. Setelah diam sejenak, ia akhirnya
menyatakan setuju menjadi tukang rias pengantin wanita. Prabu Baladewa dan Danghyang
Druna pun berterima kasih kepadanya.
Tiba-tiba datanglah Raden Bratalaras dan Raden Gatutkaca. Keduanya menyembah
Arya Wrekodara dan menyampaikan maksud ingin meminta bantuan untuk merias Dewi
Karnawati. Patih Sangkuni menyela, bahwa sudah terlambat mereka datang karena Arya
Wrekodara sudah menyatakan bersedia membantu pihak Raden Lesmana Mandrakumara.
Selain itu, Arya Wrekodara juga belum tentu bersedia mengabulkan permintaan anak-anak
macam mereka. Lain halnya jika yang meminta adalah Danghyang Druna dan Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Baladewa yang merupakan kedua gurunya, sudah tentu Arya Wrekodara tidak akan
menolak.
Raden Gatutkaca bertanya kepada ayahnya apakah benar demikian. Arya Wrekodara
menjawab benar, bahwa dirinya sudah terlanjur menyanggupi permintaan Prabu Baladewa
dan Danghyang Druna. Ia pun menyarankan agar Raden Bratalaras mencari calon istri yang
lain saja. Usai berkata demikian, Arya Wrekodara lalu ikut rombongan Prabu Baladewa
menuju Kerajaan Hastina.

BAMBANG WISANGGENI MUNCUL MEMBANTU RADEN BRATALARAS


Setelah orang-orang itu pergi, Raden Bratalaras jatuh terduduk di lantai. Ia merasa
putus asa karena gagal menikah dengan kekasihnya. Raden Gatutkaca berusaha
menghibur adik sepupunya itu namun tidak berhasil. Raden Bratalaras sudah kehilangan
semangat untuk memperjuangkan cintanya.
Raden Antareja dan Raden Antasena ikut masuk dan bertanya apa yang terjadi.
Raden Gatutkaca menjelaskan semuanya, bahwa ayah mereka sudah terlanjur
mengabulkan permintaan Prabu Baladewa dan Danghyang Druna. Itulah sebabnya kini
Raden Bratalaras merasa putus asa dan kehilangan semangat.
Raden Antareja berniat mengejar rombongan Kerajaan Hastina dan merebut ayahnya.
Raden Antasena berkata itu rencana konyol karena ayah mereka bukanlah benda yang bisa
direbut ke sana kemari. Raden Antareja balas bertanya bagaimana caranya membantu
kesulitan Raden Bratalaras. Raden Antasena menjawab tidak tahu, tetapi sepupunya yang
sangat cerdas pasti tahu. Usai berkata demikian, ia lalu mengheningkan cipta mengerahkan
Aji Pameling sambil menyebut nama Bambang Wisanggeni (putra Raden Arjuna dengan
Dewi Dresanala).
Seketika Bambang Wisanggeni pun hadir di hadapan mereka. Setelah saling memberi
salam, Raden Antasena menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Bambang
Wisanggeni berkata kalau begitu hal ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ia menyarankan agar
saudara-saudaranya itu segera kembali ke Desa Karangkadempel untuk mempersiapkan
pernikahan Raden Bratalaras, sedangkan dirinya akan menghadirkan Resi Anoman ke
sana.
Raden Antareja bertanya ada urusan apa Resi Anoman dihadirkan? Bambang
Wisanggeni menjawab nanti juga mereka akan tahu. Ia lalu mengheningkan cipta dan
mengerahkan Aji Pameling, sambil mengubah suaranya menjadi mirip suara Kyai Semar
untuk memanggil Resi Anoman agar segera datang ke Desa Karangkadempel.
Usai melakukan itu, Bambang Wisanggeni pun mengajak yang lain untuk segera
menuju ke tempat Kyai Semar.

PETRUK DIDANDANI MENJADI ARYA WREKODARA


Di Desa Karangkadempel, Kyai Semar dihadap Nala Gareng dan Bagong. Tidak lama
kemudian Petruk datang melaporkan apa yang ia alami di Kadipaten Awangga.
Bahwasanya pinangan Raden Bratalaras belum dapat diterima karena Raden Lesmana
Mandrakumara juga mengajukan lamaran terhadap Dewi Karnawati. Oleh sebab itu, Dewi
Karnawati pun mengadakan sayembara, barangsiapa bisa menghadirkan Arya Wrekodara
untuk mencukur rambut sinom Dewi Karnawati menggunakan Kuku Pancanaka, maka
dialah yang akan menjadi menantu Adipati Karna. Raden Bratalaras bersama ketiga
sepupunya segera melaju ke Kesatrian Jodipati, sedangkan Petruk pulang melapor ke
Karangkadempel.
KITAB WAYANG PURWA

Tiba-tiba Resi Anoman datang menghadap Kyai Semar. Setelah memberi salam, ia
bertanya ada keperluan apa Kyai Semar memanggil dirinya. Kyai Semar tidak merasa
mengerahkan Aji Pameling. Resi Anoman menduga pasti ada yang main-main dengannya.
Kyai Semar memintanya bersabar dulu karena ia mempunyai firasat bahwa orang itu
sebentar lagi akan datang.
Benar juga ucapan Kyai Semar. Tidak lama kemudian Bambang Wisanggeni datang
beserta rombongan Raden Bratalaras. Ia mengaku dirinya memang telah mengerahkan Aji
Pameling dengan pura-pura menirukan suara Kyai Semar. Ia tahu bahwa meskipun Resi
Anoman seorang pendeta, namun sejak dulu sangat menghormati Kyai Semar yang
penjelmaan dewa. Jika Bambang Wisanggeni menggunakan suara asli, belum tentu Resi
Anoman bersedia datang. Tetapi jika menggunakan suara Kyai Semar, sudah pasti pendeta
wanara itu bergegas datang.
Resi Anoman bertanya ada perlu apa Bambang Wisanggeni mendatangkan dirinya
dengan meniru suara Kyai Semar segala. Bambang Wisanggeni pun menceritakan apa
yang dialami Raden Bratalaras, yaitu hendak menikah dengan Dewi Karnawati di mana si
pengantin wanita mengajukan syarat ingin dicukur rambut sinomnya oleh Arya Wrekodara
menggunakan Kuku Pancanaka. Akan tetapi, Arya Wrekodara sudah terlanjur mengabulkan
permintaan untuk membantu pihak Raden Lesmana Mandrakumara. Itulah sebabnya,
Bambang Wisanggeni menghadirkan Resi Anoman adalah untuk meminjam Kuku
Pancanaka. Kuku tersebut akan dipasangnya di tangan Petruk yang akan didandani
sebagai Arya Wrekodara palsu.
Resi Anoman terkejut mendengar rencana Bambang Wisanggeni yang aneh itu. Akan
tetapi, meskipun sudah menjadi pendeta tetap saja sifat dasarnya adalah kera. Sebagai
kera, Resi Anoman memiliki watak nakal dan suka iseng. Ia penasaran ingin tahu seperti
apa cara Bambang Wisanggeni mengerjai Adipati Karna dan para Kurawa. Maka, Resi
Anoman pun menyatakan sanggup untuk meminjamkan Kuku Pancanaka di jarinya kepada
Petruk. Namun demikian, setelah sehari semalam, kuku tersebut akan kembali sendiri ke
jari Resi Anoman.
Bambang Wisanggeni tidak keberatan karena waktu 24 jam sudah cukup untuk
memenangkan kakaknya (Raden Bratalaras). Ia lalu memerintahkan Petruk untuk bersiap.
Petruk tidak berani karena takut mendapat marah Arya Wrekodara yang asli. Bambang
Wisanggeni berjanji dirinya yang akan bertanggung jawab soal ini. Petruk akhirnya bersedia.
Bambang Wisanggeni pun mengerahkan kesaktiannya dan mengubah wujud Petruk
menjadi sama persis dengan Arya Wrekodara. Resi Anoman lalu mengheningkan cipta pula
dan Kuku Pancanaka di jarinya seketika berpindah ke tangan Arya Wrekodara palsu
tersebut.
Setelah semuanya selesai, Bambang Wisanggeni meminta Kyai Semar untuk segera
mengiringkan Raden Bratalaras sebagai pengantin, sedangkan dirinya akan berusaha
mengganggu perjalanan rombongan Kerajaan Hastina agar mereka terlambat datang di
Kadipaten Awangga. Raden Bratalaras sangat berterima kasih kepada Bambang
Wisanggeni, adiknya lain ibu tersebut. Bambang Wisanggeni menjawab tidak perlu seperti
itu karena sesama saudara wajib untuk saling membantu.

BAMBANG WISANGGENI MENGGANGGU ROMBONGAN KERAJAAN HASTINA


Sementara itu, Prabu Baladewa, Danghyang Druna, Patih Sangkuni, dan Arya
Wrekodara telah sampai di Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana menyambut mereka
dengan gembira. Ia lalu mengajak mereka semua untuk langsung bergerak menuju
Kadipaten Awangga, mengiringkan calon pengantin Raden Lesmana Mandrakumara.
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Wisanggeni yang berniat menghambat perjalanan mereka segera


mengubah wujud menjadi raksasa tinggi besar, dengan memakai nama Ditya Waharu. Ia
menghadang rombongan dari Kerajaan Hastina tersebut di tengah jalan. Para Kurawa
beramai-ramai maju mengeroyoknya, namun semuanya dibuat kalang kabut oleh Ditya
Waharu. Arya Wrekodara ikut maju menghadapinya. Namun, dengan lincah raksasa itu
berhasil menghindar dan menculik Raden Lesmana.
Raden Lesmana meraung-raung minta tolong. Arya Wrekodara segera mengejar
raksasa itu. Rombongan pengantin dari Kerajaan Hastina menjadi kacau balau. Ditya
Waharu merasa sudah cukup menghambat laju mereka. Ia pun meletakkan tubuh Raden
Lesmana dan mengikatnya di sebatang pohon besar, kemudian pergi sendiri. Jika ia mau,
ia bisa menyembunyikan Raden Lesmana untuk selamanya. Namun, biarlah sepupunya itu
mudah ditemukan agar rombongan Prabu Duryudana tetap berangkat ke Kadipaten
Awangga untuk menyaksikan Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati duduk di pelaminan.
Itu lebih seru.
Arya Wrekodara akhirnya berhasil menemukan Raden Lesmana dan
membebaskannya. Ia lalu membawa keponakannya itu kembali ke tempat Prabu
Duryudana menunggu.

ADIPATI KARNA MENERIMA RADEN BRATALARAS


Di Kadipaten Awangga, Adipati Karna beserta keluarga menerima kedatangan Kyai
Semar yang memimpin rombongan pengantin pria, Raden Bratalaras. Setelah saling
mengucapkan salam, Kyai Semar lalu meminta Arya Wrekodara (palsu) untuk mulai
mencukur rambut sinom di dahi Dewi Karnawati.
Arya Wrekodara pun maju dan meminta izin kepada Adipati Karna. Setelah
mendapatkan izin, ia mulai bekerja. Dengan teliti dan seksama, ia mencukur rambut sinom
di dahi Dewi Karnawati. Setelah selesai, ia pun menyerahkan kembali gadis tersebut kepada
Adipati Karna.
Adipati Karna melihat wajah putrinya berseri-seri sangat bahagia. Ia pun ikut merasa
senang dan mengumumkan bahwa pemenang sayembara adalah Raden Bratalaras.
Dengan demikian, Raden Bratalaras hari ini juga bisa menikah dengan Dewi Karnawati.

ARYA WREKODARA MENGEJAR KEMBARAN PALSUNYA


Ketika Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati duduk bersanding di pelaminan sebagai
sepasang pengantin, tiba-tiba datang rombongan pengantin dari Kerajaan Hastina. Raden
Lesmana menangis merengek-rengek melihat calon istrinya lagi-lagi bersanding dengan
pria lain. Prabu Duryudana pun marah-marah menuduh Adipati Karna mengingkari janji.
Adipati Karna merasa tidak bersalah karena jelas-jelas tadi putrinya telah dirias oleh Arya
Wrekodara menggunakan Kuku Pancanaka. Itu artinya, pihak Raden Bratalaras yang
memenangkan sayembara.
Arya Wrekodara maju dan bertanya siapa yang berani memalsukan dirinya. Kyai
Semar menjawab bahwa tidak ada yang memalsukannya, justru dia sendiri yang palsu. Arya
Wrekodara marah dan menyerang Arya Wrekodara palsu yang berdiri di belakang Kyai
Semar. Arya Wrekodara palsu berniat melawan, tetapi Kuku Pancanaka di jarinya tiba-tiba
lepas dan melayang sendiri menuju ke arah Resi Anoman yang menunggu di
persembunyian. Rupanya waktu 24 jam sudah habis.
Arya Wrekodara palsu yang diperankan Petruk itu pun ketakutan dan berusaha kabur.
Ia berteriak menagih janji Bambang Wisanggeni yang berjanji akan melindunginya.
Bambang Wisanggeni tiba-tiba muncul dan segera mengembalikan wujud Arya Wrekodara
KITAB WAYANG PURWA

palsu menjadi Petruk. Arya Wrekodara asli datang dan kehilangan jejak. Ia bingung mencari
ke mana hilangnya Arya Wrekodara palsu. Yang ia lihat hanyalah Bambang Wisanggeni
dan Petruk serius bermain catur.
Arya Wrekodara marah merasa dipermainkan. Ia pun melampiaskan kemarahannya
kepada sang pengantin berdua. Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati segera turun dari
pelaminan dan berlutut di hadapan Arya Wrekodara. Raden Bratalaras berkata dirinya siap
dibunuh apabila itu bisa meredakan kemarahan sang uwak. Dewi Karnawati pun ikut
suaminya, sehidup semati mereka bersama.
Tiba-tiba Raden Arjuna datang di tempat itu. Ia segera menyuruh kedua pengantin
untuk bangun dan biarlah dirinya saja yang menggantikan mati. Rupanya Raden Arjuna
telah menyesali perbuatannya yang lebih mementingkan gengsi, hingga mengorbankan
kebahagiaan putranya sendiri. Arya Wrekodara bertanya mengapa adiknya berkata
demikian. Raden Arjuna menjawab dirinya bersalah telah menuruti hawa nafsu, hingga
menolak untuk merestui hubungan Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati.
Arya Wrekodara gemetar karena teringat bahwa dulu percintaannya dengan Dewi
Arimbi pun ditentang oleh mendiang Prabu Arimba. Karena nasibnya dengan Raden
Bratalaras sama-sama tidak direstui, maka ia merasa tidak sepantasnya marah-marah
seperti ini. Raden Arjuna pun disuruhnya bangun kembali. Ia lalu memberikan restu kepada
Raden Bratalaras dan Dewi Karnawati.
Raden Arjuna pun telah bangkit dan memeluk Raden Bratalaras. Ia meminta maaf atas
sikapnya yang kasar dan sama sekali tidak membantu pernikahan putranya itu. Raden
Bratalaras terharu dan berkata bahwa kedatangan ayahnya pada saat yang genting seperti
ini sudah sangat istimewa baginya.

ADIPATI KARNA MENOLAK RADEN BRATALARAS


Tiba-tiba Adipati Karna datang dengan marah-marah karena merasa dipermainkan. Ia
menyatakan perkawinan Raden Bratalaras dan putrinya batal karena yang mencukur
rambut sinom Dewi Karnawati adalah Arya Wrekodara palsu. Dewi Karnawati menolak
keputusan sang ayah. Ia berkata bahwa dirinya dan Raden Bratalaras sama-sama saling
mencintai. Apabila mereka dipaksa harus bercerai, maka lebih baik Dewi Karnawati mati
bunuh diri.
Adipati Karna tertegun, merasa ini adalah balasan dari Yang Mahakuasa karena dulu
pernikahannya dengan sang istri, yaitu Dewi Srutikanti juga tidak mendapat restu dari Prabu
Salya. Maka, ia lalu berkata kepada Dewi Karnawati bahwa putrinya itu boleh melanjutkan
rumah tangga dengan Raden Bratalaras. Namun, apabila kelak Perang Bratayuda yang
ditetapkan para dewa menjadi kenyataan, maka Adipati Karna tidak akan segan-segan
untuk membunuh menantunya sendiri.
Mendengar ancaman itu, Raden Arjuna membalas perkataan bahwa ia juga tidak akan
segan-segan membunuh Adipati Karna apabila kakaknya itu tetap memihak para Kurawa.
Adipati Karna menerima tantangan tersebut dan segera kembali ke tempat Prabu
Duryudana.
Raden Arjuna lalu berterima kasih kepada Kyai Semar dan Bambang Wisanggeni yang
sudah banyak berjasa atas pernikahan Raden Bratalaras dengan Dewi Karnawati. Ia lalu
mengajak mereka semua untuk mengadakan pesta syukuran di Kesatrian Madukara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

SUMITRA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Sumitra putra Raden Arjuna
dengan Dewi Asmarawati putri Prabu Suryaasmara. Perkawinan ini merupakan
penggenapan atas cita-cita Prabu Suryaasmara dalam lakon Arjuna Tumbal.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 22 Februari 2018
Heri Purwanto

Sumitra

RENCANA PERNIKAHAN RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DENGAN DEWI


ASMARAWATI
Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana menerima penghadapan Danghyang Druna
dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, dan Raden
Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang putra
mahkota, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara satria Sarojabinangun yang telah gagal
menikah dengan Dewi Karnawati, sekarang ingin menikah dengan Dewi Asmarawati, putri
Prabu Suryaasmara dari Kerajaan Parangkencana.
Adipati Karna meminta maaf atas kegagalan pernikahan antara putrinya dengan
Raden Lesmana tersebut. Kegagalan itu dikarenakan Raden Bratalaras putra Raden Arjuna
telah memenangkan sayembara, sehingga berhak memboyong Dewi Karnawati. Patih
Sangkuni menyahut, bahwa kemenangan Raden Bratalaras terjadi karena kelicikan
Bambang Wisanggeni yang menghadirkan Arya Wrekodara palsu. Harusnya Adipati Karna
bisa membatalkan perkawinan itu dan menolak kemenangan Raden Bratalaras. Danghyang
Druna menyela ikut bicara, bahwa tidak perlu menyebut Bambang Wisanggeni licik, karena
Patih Sangkuni jauh lebih banyak berbuat licik terhadap para Pandawa daripada dia.
Prabu Duryudana tidak senang perihal kegagalan putranya diungkit-ungkit. Sekarang
yang lebih penting adalah bagaimana caranya mendapatkan Dewi Asmarawati. Adipati
Karna mengajukan diri biar dia saja yang pergi melamar ke Kerajaan Parangkencana. Prabu
Duryudana menyetujui. Namun, ia juga memerintahkan Danghyang Druna beserta Patih
Sangkuni agar ikut berangkat mendampingi.
Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Patih
Sangkuni segera memberikan perintah kepada Arya Dursasana, Raden Surtayu, Raden
Durmagati, beserta para Kurawa lainnya agar bersiap menyertai perjalanan ke Kerajaan
Parangkencana.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI ASMARAWATI MENDAPAT LAMARAN DARI DUA PIHAK


Prabu Suryaasmara di Kerajaan Parangkencana beserta gurunya yang bernama Resi
Indrajala menerima kedatangan rombongan dari Kerajaan Hastina. Adipati Karna,
Danghyang Druna, dan Patih Sangkuni pun memperkenalkan diri mereka masing-masing.
Kemudian Adipati Karna selaku juru bicara menyampaikan maksud kedatangan mereka,
yaitu hendak melamar Dewi Asmarawati sebagai calon istri Raden Lesmana
Mandrakumara, putra mahkota Kerajaan Hastina.
Prabu Suryaasmara sudah lama mendengar nama besar Prabu Duryudana yang
merupakan raja paling kaya di dunia saat ini. Sudah tentu ia mendapat kehormatan besar
jika bisa berbesan dengannya. Akan tetapi, Prabu Suryaasmara terlanjur berhutang budi
kepada Raden Arjuna sang Panengah Pandawa. Dahulu kala, Kerajaan Parangkencana
pernah diserang wabah penyakit. Berkat pengorbanan tetesan darah Raden Arjuna, wabah
penyakit tersebut bisa musnah dari bumi Parangkencana. Saat itu kebetulan istri Raden
Arjuna yang bernama Dewi Sulastri melahirkan bayi laki-laki bernama Raden Sumitra.
Prabu Suryaasmara pun bercita-cita apabila memiliki anak perempuan, semoga kelak bisa
berjodoh dengan Raden Sumitra tersebut. Ternyata benar, istrinya kemudian melahirkan
anak perempuan yang diberi nama Dewi Asmarawati.
Itulah sebabnya kini Prabu Suryaasmara merasa berat hati untuk menerima pinangan
Kerajaan Hastina, karena sudah terlanjur berjanji kepada Raden Arjuna. Patih Sangkuni
menyela ikut bicara. Ia berkata bahwa Prabu Suryaasmara dulu berkata “semoga” anaknya
bisa berjodoh dengan Raden Sumitra. Kata “semoga” adalah pengharapan, bukan
perjanjian. Itu artinya, Prabu Suryaasmara tidak bisa dianggap telah berjanji. Jika Dewi
Asmarawati dinikahkan dengan Raden Lesmana Mandrakumara, maka tidak akan ada janji
yang dilanggar, karena memang Prabu Suryaasmara tidak pernah berjanji.
Prabu Suryaasmara merasa ucapan Patih Sangkuni ada benarnya. Namun, ia ingin
meminta pertimbangan Resi Indrajala terlebih dahulu soal hal ini. Belum sempat gurunya
itu menjawab, tiba-tiba muncul Raden Antareja dan Raden Gatutkaca menghadap. Kedua
putra Arya Wrekodara itu menyembah Prabu Suryaasmara, dan memperkenalkan diri
mereka sebagai utusan Raden Arjuna untuk menanyakan kelanjutan perjodohan antara
Raden Sumitra dengan putri Kerajaan Parangkencana. Rupanya Raden Arjuna telah
mendengar berita bahwa Prabu Suryaasmara memiliki seorang putri bernama Dewi
Asmarawati.
Adipati Karna menukas dengan mengatakan bahwa Dewi Asmarawati hendak
dinikahkan dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Untuk itu, sebaiknya Raden Sumitra
mencari perempuan lain saja. Raden Antareja menjawab, Dewi Asmarawati sudah
dijodohkan dengan sepupunya sejak belum dilahirkan. Maka, sebaiknya Raden Lesmana
Mandrakumara saja yang mencari perempuan lain. Patih Sangkuni ikut bicara, bahwa Prabu
Suryaasmara tidak pernah berjanji demikian, melainkan saat itu hanya berkata jika kelak
memiliki anak perempuan “semoga” bisa berjodoh dengan Raden Sumitra yang baru lahir.
Kata “semoga” jelas tidak bisa dianggap sebagai perjanjian.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca jelas kalah jika adu bicara dengan Patih
Sangkuni yang licik. Mereka tidak mau berdebat dan meminta agar Prabu Suryaasmara
saja yang mengambil keputusan, lamaran pihak mana yang akan diterima.
Prabu Suryaasmara kembali bertanya kepada Resi Indrajala mengenai keputusan apa
yang harus ia ambil. Resi Indrajala berkata bahwa kedua pihak sama-sama benar. Dahulu
kala Prabu Suryaasmara bisa dikatakan berjanji, namun bisa juga dikatakan tidak berjanji.
Untuk itu, agar tidak menyakiti perasaan salah satu pihak, maka sebaiknya diadakan
sayembara saja.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Suryaasmara berpikir sejenak, lalu berkata bahwa ia menerima nasihat Resi
Indrajala untuk mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat mewujudkan apa saja
persyaratan darinya, maka orang itulah yang berhak menjadi suami Dewi Asmarawati.
Persyaratan itu adalah: pengantin pria harus menunggang Kuda Ciptawalaha dan dipayungi
menggunakan Payung Tunggulnaga saat mendatangi Kerajaan Parangkencana; kedua,
pernikahan harus dilaksanakan di dalam Balai Sasanamulya yang dihadiri seratus bidadari.
Demikianlah isi sayembara Prabu Suryaasmara.
Adipati Karna dan Raden Antareja sama-sama menyatakan sanggup. Mereka lalu
undur diri meninggalkan Kerajaan Parangkencana.

PARA KURAWA HENDAK MENYINGKIRKAN SAINGAN


Sesampainya di luar, Adipati Karna, Danghyang Druna, dan Patih Sangkuni berunding
bagaimana caranya memenangkan sayembara, karena pengalaman sebelumnya selalu
saja pihak Pandawa yang unggul. Patih Sangkuni mengusulkan agar Adipati Karna
berangkat ke Kerajaan Dwarawati untuk meminjam Kuda Ciptawalaha kepada Prabu
Kresna Wasudewa, sedangkan Danghyang Druna pergi ke Kerajaan Amarta untuk
meminjam Payung Tunggulnaga kepada Prabu Puntadewa. Adapun Patih Sangkuni dan
para Kurawa akan menghambat perjalanan pulang Raden Antareja dan Raden Gatutkaca
demi mengurangi saingan. Setelah dicapai kata sepakat, ketiga orang itu pun pergi
berpencar.
Patih Sangkuni segera memerintahkan para Kurawa, antara lain Arya Dursasana,
Raden Kartawarma, Raden Surtayu, Raden Durjaya, Raden Durmuka, Raden Durmagati,
Raden Citraksa, Raden Citraksi, ditambah pula dengan Adipati Jayadrata dan Bambang
Aswatama untuk pergi menyergap Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Tujuannya ialah,
agar kedua pemuda itu terlambat menyampaikan berita kepada Raden Arjuna dan Raden
Sumitra. Dengan demikian, saingan Raden Lesmana Mandrakumara bisa berkurang.
Para Kurawa itu segera berangkat melaksanakan tugas. Mereka menemukan Raden
Antareja beserta Raden Gatutkaca dan segera mengeroyok kedua pemuda itu. Namun,
keduanya bukanlah pemuda sembarangan. Mereka pun melayani serangan para Kurawa
dengan mudah. Para Kurawa dibuat babak belur dan berguling-guling di tanah. Namun,
Raden Gatutkaca akhirnya menyadari apa yang menjadi tujuan para Kurawa menghadang
mereka. Ia pun mengajak Raden Antareja untuk segera pergi, tidak perlu melayani serangan
para Kurawa itu.

DANGHYANG DRUNA MEMINJAM PAYUNG TUNGGULNAGA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa memimpin pertemuan yang dihadiri adik-
adiknya, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Tidak
lama kemudian datanglah Danghyang Druna di istana Indraprasta. Prabu Puntadewa dan
yang lain segera memberikan penghormatan kepada guru mereka itu.
Danghyang Druna lalu menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk
meminjam Payung Tunggulnaga sebagai syarat pernikahan Raden Lesmana
Mandrakumara. Prabu Puntadewa dengan senang hati langsung meminjamkan payung
pusaka tersebut. Danghyang Druna menerima payung itu dan segera pamit pulang ke
Kerajaan Hastina.
Tiba-tiba datanglah Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Kedua pemuda itu
melaporkan hasil kunjungan mereka ke Kerajaan Parangkencana kepada Raden Arjuna,
serta apa saja persyaratan yang diajukan Prabu Suryaasmara, yang salah satunya adalah
KITAB WAYANG PURWA

Payung Tunggulnaga. Prabu Puntadewa meminta maaf karena Payung Tunggulnaga sudah
terlanjur dibawa Danghyang Druna.
Raden Arjuna terdiam sejenak, kemudian berkata dirinya tidak akan merebut Payung
Tunggulnaga dari tangan sang guru. Ia merasa kesal pada Prabu Suryaasmara yang telah
mengingkari janji dan sekarang justru mempersulit putranya dengan mengajukan
persyaratan aneh-aneh. Oleh sebab itu, Raden Antareja dan Raden Gatutkaca
diperintahkan untuk memberi tahu Raden Sumitra bahwa pernikahan dengan Dewi
Asmarawati tidak usah dilanjutkan.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca saling pandang lalu mohon pamit keluar istana
untuk mencari Raden Sumitra.

KYAI SEMAR MEMBAGI TUGAS UNTUK MEMENANGKAN RADEN SUMITRA


Raden Antareja dan Raden Gatutkaca berhasil menemukan Raden Sumitra yang baru
saja pulang dari Padepokan Saptaarga, meminta restu kepada sang kakek buyut, yaitu
Bagawan Abyasa. Para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong ikut
menyertai kepergiannya. Raden Antareja segera menceritakan hasil kunjungannya
bersama Raden Gatutkaca ke Kerajaan Parangkencana, juga apa saja persyaratan yang
diajukan Prabu Suryaasmara. Akan tetapi, Payung Tunggulnaga sudah lebih dulu dibawa
Danghyang Druna, sedangkan Raden Arjuna tidak bersedia merebutnya. Bahkan, Raden
Arjuna telah memerintahkan agar pernikahan Raden Sumitra dengan Dewi Asmarawati
dibatalkan saja.
Raden Sumitra merasa putus asa. Kyai Semar berkata dirinya bersedia membantu
asalkan Raden Sumitra benar-benar mencintai Dewi Asmarawati. Raden Sumitra berkata
dirinya benar-benar ingin menikah dengan putri Prabu Suryaasmara tersebut. Sejak kecil ia
sudah mendengar cerita bahwa dirinya sudah mempunyai calon istri apabila Prabu
Suryaasmara memiliki anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, Raden Sumitra merasa
penasaran dan diam-diam menyusup ke dalam Kerajaan Parangkencana. Ia akhirnya
bertemu dengan Dewi Asmarawati dan sama-sama saling jatuh cinta.
Mendengar itu, Kyai Semar merasa mantap dan segera membagi tugas. Ia bersama
Raden Sumitra akan naik ke kahyangan untuk mendapatkan Balai Sasanamulya dan
seratus bidadari. Adapun Raden Antareja ditugasi mendapatkan Kuda Ciptawalaha,
sedangkan Raden Gatutkaca dan para panakawan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong
ditugasi merebut Payung Tunggulnaga dari tangan Danghyang Druna.
Setelah rencana disusun matang, ketiga kelompok itu lalu berpisah melaksanakan
tugas masing-masing.

RADEN ANTAREJA MENDAPATKAN KUDA CIPTAWALAHA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa menerima kedatangan Adipati
Karna. Setelah memberi hormat dan bertanya kabar, Adipati Karna pun menyampaikan
maksud kedatangannya, yaitu ingin meminjam Kuda Ciptawalaha sebagai persyaratan
Raden Lesmana Mandrakumara menikahi Dewi Asmarawati, putri Prabu Suryaasmara di
Kerajaan Parangkencana.
Prabu Kresna teringat bahwa Prabu Suryaasmara dulu pernah bercita-cita ingin
memiliki anak perempuan agar bisa berbesan dengan Raden Arjuna yang telah berjasa
mengorbankan tetesan darahnya demi keselamatan negeri Parangkencana. Jika yang
menikahi Dewi Asmarawati adalah Raden Lesmana, maka artinya Prabu Suryaasmara akan
melanggar ucapannya sendiri.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna pun mendapat firasat bahwa sebentar lagi utusan pihak Raden Arjuna
akan datang pula. Maka, ia tidak segera menjawab permohonan Adipati Karna, melainkan
berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kabar Kerajaan Hastina, Kadipaten
Awangga, dan juga kabar para Kurawa satu persatu. Adipati Karna merasa kesal, namun
sejak dulu ia segan kepada Prabu Kresna sehingga tidak berani memaksa. Akhirnya yang
ditunggu-tunggu pun tiba. Raden Antareja datang dengan tujuan yang sama, yaitu
meminjam Kuda Ciptawalaha untuk kendaraan Raden Sumitra menikahi Dewi Asmarawati.
Adipati Karna tidak terima karena dirinya lebih dulu datang, maka ia yang lebih berhak
atas kuda tersebut. Prabu Kresna berkata dirinya belum memberikan jawaban, sehingga
belum jelas siapa yang berhak meminjam kudanya itu. Ia pun menjelaskan bahwa Kuda
Ciptawalaha adalah salah satu di antara empat kuda pusaka penarik Kereta Jaladara. Kuda
Ciptawalaha ini larinya sangat kencang melebihi kuda-kuda lainnya. Untuk itu, Adipati Karna
dan Raden Antareja silakan berlomba. Barangsiapa mampu menangkap Ciptawalaha,
maka dia yang berhak meminjam kuda tersebut.
Adipati Karna menjawab tidak masalah. Ia adalah putra Adipati Adirata yang
merupakan raja dari para kusir kereta. Sejak kecil Adipati Karna dididik cara menjinakkan
kuda dan cara mengendalikan kereta, sehingga mengejar dan menangkap Kuda
Ciptawalaha bukanlah hal sulit baginya. Usai berkata demikian, ia pun keluar istana untuk
bersiaga. Raden Antareja juga ikut keluar, disertai Prabu Kresna.
Prabu Kresna lalu memanggil Kuda Ciptawalaha. Kuda berbulu hitam legam itu datang
menemui majikannya. Prabu Kresna segera memerintahkan kuda itu untuk berlari
sekencang-kencangnya dan baru boleh berhenti apabila salah satu dari Adipati Karna atau
Raden Antareja bisa menangkapnya. Kuda Ciptawalaha seolah mengerti bahasa manusia.
Ia pun segera berlari meninggalkan Prabu Kresna.
Melihat Kuda Ciptawalaha sudah berlari, Adipati Karna dan Raden Antareja segera
mengejar. Meskipun usianya lebih tua, tetapi tubuh Adipati Karna lebih kecil dan lebih lincah
daripada Raden Antareja. Dengan mengerahkan segenap ilmu kesaktianya, ia mampu
berlari sangat cepat dan hampir menyentuh ekor Kuda Ciptawalaha. Namun, Kuda
Ciptawalaha dapat meningkatkan laju kecepatannya. Adipati Karna tidak kurang akal. Ia
pun melepaskan ratusan panah yang mengurung Kuda Ciptawalaha seperti kerangkeng.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan tiba-tiba Kuda Ciptawalaha amblas masuk ke
dalam bumi. Empat ekor kuda pusaka milik Prabu Kresna memang memiliki kemampuan
sendiri-sendiri. Kuda Ciptawalaha mampu amblas ke dalam bumi, Kuda Abrapuspa mampu
masuk ke dalam kobaran api, Kuda Sunyasakti mampu menyelam ke dalam air, dan Kuda
Sukanta mampu terbang di angkasa. Perhitungan Kyai Semar sungguh tepat, yaitu
mengutus Raden Antareja yang memiliki kesaktian sama dengan Kuda Ciptawalaha.
Melihat Kuda Ciptawalaha lolos dari kurungan panah, Raden Antareja merasa gembira
dan segera ikut amblas ke dalam bumi pula. Kuda Ciptawalaha tidak menyangka bahwa
salah satu pengejarnya ini memiliki kemampuan yang sama seperti dirinya. Raden Antareja
pun mengerahkan segenap kecepatannya hingga akhirnya mampu memeluk leher Kuda
Ciptawalaha dan membawanya kembali ke atas permukaan tanah.
Adipati Karna marah melihat Raden Antareja sudah duduk di atas punggung Kuda
Ciptawalaha. Ia pun melepaskan panah untuk memisahkan mereka. Namun, Raden
Antareja kembali mengajak Kuda Ciptawalaha untuk amblas bumi menghindari serangan
Adipati Karna. Keduanya melaju kencang di dalam tanah menuju arah Kerajaan Amarta.
Adipati Karna kini kehilangan jejak. Namun, ia kemudian teringat bahwa dirinya juga
memiliki kuda berwarna hitam legam bernama Ciptalanagati. Meskipun tidak dapat amblas
ke dalam bumi, namun wujud Kuda Ciptalanagati sangat mirip dengan Kuda Ciptawalaha.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Suryaasmara tentu tidak akan dapat membedakan mereka. Berpikir demikian, Adipati
Karna pun bergegas pulang ke Kadipaten Awangga.

RADEN GATUTKACA MEREBUT PAYUNG TUNGGULNAGA


Sementara itu, Danghyang Druna sedang dalam perjalanan pulang ke Kerajaan
Hastina dengan membawa Payung Tunggulnaga. Di tengah jalan ia bertemu tiga orang
pengamen. Dua di antaranya menabuh musik, sedangkan yang satu lagi seorang penyanyi
wanita. Danghyang Druna tertarik dan meminta dinyanyikan lagu. Penyanyi itu pun melayani
permintaan Danghyang Druna. Apa pun lagu yang diminta pasti dinyanyikannya.
Danghyang Druna terlena dan berusaha merayu si penyanyi wanita agar ikut
dengannya pergi ke Padepokan Sokalima. Penyanyi itu menolak dengan malu-malu.
Danghyang Druna semakin terbuai dan lengah. Pada saat itulah Raden Gatutkaca muncul
secara tiba-tiba dan menyambar Payung Tunggulnaga, untuk kemudian dibawanya terbang
ke angkasa.
Danghyang Druna berteriak-teriak kecolongan. Ketiga pengamen di hadapannya pun
membubarkan diri. Si penyanyi wanita berubah menjadi Petruk, sedangkan dua pemusik
berubah menjadi Nala Gareng dan Bagong. Mereka segera berlari kencang meninggalkan
Danghyang Druna yang menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan makanan.

KYAI SEMAR DAN RADEN SUMITRA MENGHADAP SANGHYANG PADAWENANG


Sementara itu, Kyai Semar mengajak Raden Sumitra naik ke Kahyangan Awang-
Awang Kumitir menghadap Sanghyang Padawenang. Kyai Semar menyampaikan
maksudnya ingin meminjam pusaka orang tuanya itu yang bernama Cupumanik Tirta
Bulayat. Keampuhan cupu tersebut adalah dapat menciptakan apa yang dikehendaki si
pemegang. Dengan menggunakannya, Kyai Semar berniat untuk menciptakan Balai
Sasanamulya dan seratus bidadari pengiring.
Sanghyang Padawenang memahami apa tujuan Kyai Semar yaitu ingin membantu
pernikahan Raden Sumitra dengan Dewi Asmarawati. Dalam hal ini Sanghyang
Padawenang mengizinkan Cupumanik Tirta Bulayat untuk dipinjam Kyai Semar, karena
memang Raden Sumitra ditakdirkan berjodoh dengan Dewi Asmarawati. Namun, setelah
pernikahan selesai, Kyai Semar harus segera mengembalikan benda pusaka tersebut
kepada Sanghyang Padawenang.
Kyai Semar menyanggupi. Ia berjanji setelah pernikahan selesai, maka Cupumanik
Tirta Bulayat akan ia kembalikan dengan segera. Sanghyang Padawenang percaya pada
ucapan Kyai Semar. Ia lantas mengeluarkan cupu pusaka tersebut dan menyerahkannya
kepada Kyai Semar.
Kyai Semar menerima Cupumanik Tirta Bulayat kemudian mohon pamit meninggalkan
kahyangan bersama Raden Sumitra.

PERKAWINAN RADEN SUMITRA DENGAN DEWI ASMARAWATI


Demikianlah, segala persiapan kini telah terkumpul. Kyai Semar beserta para
panakawan lainnya, serta Raden Antareja dan Raden Gatutkaca mengiring keberangkatan
Raden Sumitra menuju Kerajaan Parangkencana. Sesampainya di sana, mereka disambut
Prabu Suryaasmara sekeluarga. Tampak Raden Sumitra duduk di atas kuda hitam legam
bernama Ciptawalaha, dengan Payung Tunggulnaga dipegang oleh Raden Gatutkaca di
belakangnya.
Prabu Suryaasmara gembira apabila Raden Sumitra yang berhasil memenangkan
sayembara, karena itu berarti keinginannya bisa berbesan dengan Raden Arjuna dapat
KITAB WAYANG PURWA

terwujud. Ia lalu menanyakan tentang persyaratan lain, yaitu Balai Sasanamulya dan
bidadari pengiring. Kyai Semar lalu membuka Cupumanik Tirta Bulayat. Sambil membaca
mantra ia memercikkan air ajaib dalam cupu tersebut ke arah halaman istana
Parangkencana. Seketika muncullah sebuah balai indah dan megah bagaikan turun dari
kahyangan.
Ketika Kyai Semar hendak menciptakan seratus bidadari dengan cara yang sama,
tiba-tiba terdengar suara mencegah dirinya. Itu adalah suara Raden Arjuna yang datang
bersama para Pandawa lainnya, serta seratus bidadari kahyangan di belakang mereka.
Raden Sumitra terharu melihat ayahnya datang. Raden Arjuna berkata bahwa ia
hanya pura-pura tidak mau ikut campur pernikahan putranya itu karena ingin melihat seperti
apa usaha Raden Sumitra. Diam-diam, Raden Arjuna naik ke Kahyangan Suralaya
menghadap Batara Indra untuk diizinkan meminjam seratus bidadari sebagai pengiring
perkawinan putranya tersebut.
Raden Sumitra menangis haru dan menyembah kaki ayahnya. Raden Arjuna
membangunkannya dan memberikan restu semoga rumah tangga Raden Sumitra dan Dewi
Asmarawati bisa berjalan dengan sebaik-baiknya.
Kini semuanya telah terpenuhi. Prabu Suryaasmara pun menikahkan putrinya dengan
Raden Sumitra. Kedua mempelai lalu duduk di atas pelaminan yang sudah terpasang di
Balai Sasanamulya. Para bidadari berbaris rapi menyambut para tamu sahabat Prabu
Suryaasmara dan juga segenap rakyat Parangkencana. Suasana sungguh indah dan
meriah.

PRABU DURYUDANA KEMBALI MENDAPAT MALU


Tidak lama kemudian, datanglah rombongan dari Kerajaan Hastina. Tampak Raden
Lesmana Mandrakumara naik kuda hitam legam yang mirip sekali dengan Kuda
Ciptawalaha. Di belakangnya juga terlihat Bambang Aswatama membawa payung emas
berkilauan. Kemudian Prabu Duryudana bersama para Kurawa ada di belakang mereka,
dengan diiringi para wanita cantik.
Prabu Duryudana berkata pada Prabu Suryaasmara bahwa semua persyaratan sudah
ia penuhi, maka seharusnya Dewi Asmarawati dinikahkan dengan Raden Lesmana,
bukannya dengan Raden Sumitra. Prabu Suryaasmara berkata Raden Sumitra sudah
memenuhi semua persyaratan. Maka, Dewi Asmarawati pun dinikahkan dengannya.
Prabu Duryudana tidak percaya. Ia menuduh Raden Sumitra telah memalsukan Kuda
Ciptawalaha. Prabu Suryaasmara menjawab justru kuda yang dinaiki Raden Lesmana
adalah yang palsu. Untuk membuktikannya, lebih baik kedua kuda itu diadu, mana yang
bisa amblas ke dalam bumi, maka itulah Kuda Ciptawalaha yang sebenarnya.
Raden Sumitra lalu turun dari pelaminan dan naik di atas Kuda Ciptawalaha. Ia
memerintahkan kuda tersebut agar masuk ke dalam tanah. Dengan mudah, kuda hitam itu
pun amblas ke dalam bumi sambil membawa Raden Sumitra di punggungnya. Tidak lama
kemudian mereka sudah muncul kembali di atas tanah, yang mana Raden Sumitra tampak
baik-baik saja. Prabu Duryudana terkejut melihatnya. Ia sudah tahu kalau kuda yang
dikendarai Raden Lesmana adalah Kuda Ciptalanagati. Namun, ia tidak menyangka kalau
Prabu Suryaasmara ternyata bisa membedakan, mana yang palsu, mana yang asli.
Prabu Suryaasmara lalu menyebut bahwa payung emas yang dipegang Bambang
Aswatama memang indah berkilauan jika dibandingkan dengan payung yang dipegang
Raden Gatutkaca. Meskipun payung yang dipegang Raden Gatutkaca sudah tua dan kuno,
tetapi tampak indah berwibawa, membuat gentar siapa pun yang melihatnya. Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Suryaasmara pun mengatakan dengan tegas bahwa Payung Tunggulnaga yang dipegang
Bambang Aswatama adalah palsu. Prabu Duryudana kembali merasa malu tipuannya
terbongkar.
Kemudian Prabu Suryaasmara menyebut para bidadari yang dibawa Prabu
Duryudana memang cantik-cantik, tetapi mereka tidak bersinar seperti para bidadari yang
dibawa Raden Arjuna. Maka, Prabu Suryaasmara pun menyimpulkan bahwa para bidadari
dari Kerajaan Hastina itu adalah perempuan biasa yang ia dandani biar lebih cantik.
Prabu Duryudana merasa semakin malu. Ia mengajak Raden Lesmana yang
merengek-rengek untuk segera pulang saja ke negeri Hastina. Patih Sangkuni ingin
menyenangkan hati rajanya. Para Kurawa pun diperintahkan untuk membuat kekacauan
dan merebut paksa Dewi Asmarawati. Namun, mereka semua dapat dipukul mundur oleh
Arya Wrekodara dan kedua anaknya.
Demikianlah, rombongan dari Hastina itu pun berhamburan terbirit-birit meninggalkan
Kerajaan Parangkencana. Prabu Suryaasmara merasa senang dan melanjutkan pesta
pernikahan. Prabu Puntadewa memberikan selamat kepadanya karena telah berhasil
mewujudkan cita-cita ingin berbesan dengan Raden Arjuna.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ENDRASEKTI - SUGATAWATI
Kisah ini menceritakan kemunculan Endang Sugatawati putri Raden Arjuna yang kelak
menjadi istri Raden Samba putra Prabu Kresna dan melahirkan Patih Dwara.
Kisah ini saya olah dari sumber media sosial Kaskus dan beberapa blog wayang lainnya,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 10 Maret 2018
Heri Purwanto

Raden Arjuna menjadi raja Bulukatiga.

PRABU KRESNA DAN PRABU BALADEWA MEMBAHAS HILANGNYA RADEN


ARJUNA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap putra mahkota Raden
Samba Wisnubrata, beserta Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari
Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa yang datang berkunjung untuk menanyakan arti
mimpinya. Prabu Baladewa bercerita bahwa tadi malam ia mimpi melihat Kesatrian
Madukara diselubungi kabut tebal. Karena khawatir pada keselamatan Raden Arjuna dan
Dewi Sumbadra, ia pun bergegas pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk menanyakan arti
mimpi tersebut kepada Prabu Kresna.
Prabu Kresna menjawab, beberapa hari yang lalu memang Raden Nakula dan Raden
Sadewa datang dari Kerajaan Amarta, membawa kabar bahwa Raden Arjuna sudah dua
bulan lamanya menghilang dari Kesatrian Madukara, yaitu setelah menikahkan Raden
Sumitra dengan Dewi Asmarawati putri Prabu Suryaasmara. Konon setelah memboyong
menantu barunya ke Kesatrian Madukara, Raden Arjuna tiba-tiba saja menghilang tanpa
pamit. Para istri dan para putra tidak seorang pun yang mengetahui kepergiannya.
Prabu Baladewa menyela. Ia berpendapat bahwa Raden Arjuna menghilang dari
Kesatrian Madukara bukanlah sesuatu yang baru. Sudah berkali-lali sepupunya itu pergi
tanpa pamit, tahu-tahu pulang sudah membawa pusaka baru, memperoleh wahyu, bahkan
sering juga mendapat istri baru.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna menjawab memang benar demikian. Namun, kali ini adik mereka, yaitu
Dewi Sumbadra mendapat firasat buruk atas kepergian sang suami. Dewi Sumbadra
mendapat firasat bahwa Raden Arjuna mendapat kecelakaan dalam perjalanan, sehingga
ia pun mengutus Raden Nakula dan Raden Sadewa untuk pergi ke Dwarawati, meminta
petunjuk di manakah keberadaan suaminya itu.
Waktu itu Prabu Kresna mengheningkan cipta sejenak dan mengatakan kepada si
kembar bahwa Raden Arjuna tidak perlu dicari, karena tidak lama lagi ia akan pulang sendiri.
Setelah mendapat petunjuk demikian, Raden Nakula dan Raden Sadewa pun bergegas
pulang untuk melapor kepada Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara.

DEWI SUMBADRA DAN RADEN GATUTKACA MENGUNGSI KE KERAJAAN


DWARAWATI
Ketika Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang membicarakan tentang hilangnya
Raden Arjuna, tiba-tiba datang adik mereka, yaitu Dewi Sumbadra bersama Raden
Gatutkaca. Kedua orang itu tampak tergesa-gesa seperti baru dikejar musuh. Prabu Kresna
dan Prabu Baladewa pun bertanya, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dewi Sumbadra menjawab, ramalan Prabu Kresna memang benar bahwa Raden
Arjuna tidak perlu dicari karena sebentar lagi akan pulang sendiri. Akan tetapi, suaminya itu
bukan pulang sebagai keluarga, melainkan sebagai musuh. Raden Arjuna kini telah menjadi
raja di Kerajaan Bulukatiga, dengan gelar Prabu Janaka. Ia datang ke Kerajaan Amarta
menagih takhta kepada Prabu Puntadewa. Prabu Janaka berkata bahwa dirinya dulu telah
mendapatkan Wahyu Makutarama, sehingga merasa lebih berhak menjadi raja daripada
Prabu Puntadewa.
Prabu Puntadewa yang welas asih tidak keberatan jika takhta Kerajaan Amarta diminta
Prabu Janaka. Ia pun dengan sukarela menyerahkan kedudukannya sebagai raja, dan
meminta kepada Arya Wrekodara serta si kembar untuk tidak mempersulit Prabu Janaka.
Sampai di situ ketiga adiknya masih bisa menerima. Namun, Prabu Janaka ternyata berbuat
lancang menjebloskan Prabu Puntadewa ke dalam penjara, hal inilah yang membuat Arya
Wrekodara dan lainnya marah besar.
Dewi Sumbadra menceritakan bagaimana Arya Wrekodara bertarung melawan Prabu
Janaka. Sungguh aneh, baru pergi dua bulan tiba-tiba saja kesaktian Prabu Janaka sudah
meningkat puluhan kali lipat. Dalam pertarungan itu Arya Wrekodara terdesak kalah dan
dijebloskan pula ke dalam penjara. Dewi Sumbadra kemudian datang untuk meminta Prabu
Janaka agar membebaskan Prabu Puntadewa dan Arya Wrekodara. Namun, Prabu Janaka
memukul Dewi Sumbadra dan menyuruhnya pergi. Dewi Sumbadra heran melihat suaminya
berubah menjadi kasar. Padahal, sejak menikah dahulu hingga sekarang, baru kali ini ia
merasakan pukulan Raden Arjuna.
Prabu Janaka lalu menangkap si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, juga
Raden Antareja, Raden Raden Abimanyu, Raden Bratalaras, dan Raden Sumitra, yang
semuanya tidak bisa mengalahkan kesaktiannya. Prabu Janaka pun memasukkan mereka
semua ke dalam penjara. Saat itu hanya tinggal Raden Gatutkaca yang tersisa. Karena
tidak mampu menghadapi kesaktian pamannya itu, ia terpaksa pergi dengan membawa
serta Dewi Sumbadra.
Mendengar cerita itu, Prabu Baladewa marah sekali. Ia pun mohon pamit kepada
Prabu Kresna untuk berangkat menghukum Prabu Janaka. Ia menyebut Raden Arjuna pasti
sudah mengalami gangguan jiwa sehingga berani berbuat lancang seperti itu. Prabu Kresna
meminta kakaknya bersabar, karena ia merasa ada misteri di balik semua ini. Namun,
KITAB WAYANG PURWA

amarah Prabu Baladewa terlanjur memuncak. Ia tidak dapat disabarkan lagi dan segera
bergegas meninggalkan istana Dwarawati mencari Prabu Janaka.
Prabu Kresna termangu-mangu melihatnya. Ia pun memerintahkan Arya Setyaki untuk
membantu Prabu Baladewa. Raden Gatutkaca juga ikut serta. Prabu Kresna lalu
membubarkan pertemuan dan membawa Dewi Sumbadra masuk ke dalam Taman
Banoncinawi.

PRABU JANAKA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI


Sementara itu, Prabu Janaka alias Raden Arjuna telah berangkat meninggalkan
Kerajaan Amarta untuk mengejar larinya Dewi Sumbadra dan Arya Wrekodara. Yang ikut
bersamanya adalah Patih Tegalelana bersama pasukan Kerajaan Bulukatiga. Patih
Tegalelana ini adalah mantan raja Bulukatiga yang direbut kedudukannya oleh Raden
Arjuna, lalu jabatannya diturunkan menjadi patih. Selain itu, Patih Tambakganggeng dan
pasukan Amarta juga dipaksa tunduk dan bergabung di bawah perintah Prabu Janaka.
Prabu Baladewa didampingi Arya Setyaki dan Raden Gatutkaca datang menghadang
mereka. Prabu Baladewa memaki Raden Arjuna hilang ingatan, mengalami gangguan jiwa,
dan sebagainya. Prabu Janaka balik menyebut Prabu Baladewa sebagai raja yang tidak
punya sopan santun, karena bertemu sesama raja tidak memberi salam, tetapi justru
melabrak tanpa sebab.
Prabu Baladewa semakin marah. Ia pun maju menyerang Prabu Janaka. Pasukan
masing-masing ikut maju pula. Maka, terjadilah pertempuran antara kedua pihak. Setelah
bertempur agak lama, Prabu Baladewa barulah menyadari kebenaran ucapan Dewi
Sumbadra, bahwa setelah menghilang dua bulan, kesaktian Raden Arjuna meningkat pesat
berkali-kali lipat.
Raden Gatutkaca dan Arya Setyaki maju membantu Prabu Baladewa. Prabu Janaka
sama sekali tidak gentar. Tiba-tiba saja ia berubah wujud menjadi raksasa tinggi besar
seperti gunung. Prabu Baladewa, Raden Gatutkaca, dan Arya Setyaki tidak mampu
menghadapi kekuatannya. Mereka bertiga pun dilemparkan kembali ke arah Kerajaan
Dwarawati.

RESI ENDRASEKTI SAKIT PARAH DAN MENGUTUS PUTRINYA MENCARI OBAT


Tersebutlah di Gunung Indragiri ada seorang pendeta bernama Resi Endrasekti yang
sedang sakit keras. Ia berkata kepada putrinya yang bernama Endang Sugatawati, bahwa
penyakitnya ini bisa sembuh apabila memakan jenang madumangsa buatan Dewi
Sumbadra, istri Raden Arjuna di Kesatrian Madukara. Untuk itu, Resi Endrasekti pun
memberikan bungkusan berisi ketan hitam mentah kepada Endang Sugatawati agar
diserahkan kepada Dewi Sumbadra tersebut.
Endang Sugatawati berkata dirinya tidak tahu di mana letak Kesatrian Madukara, dan
bagaimana caranya bisa bertemu dengan Dewi Sumbadra. Resi Endrasekti menerangkan
bahwa Endang Sugatawati hendaknya pergi ke Desa Karangkadempel menemui Kyai
Semar dan meminta kepadanya agar diantarkan menemui Dewi Sumbadra. Bilang saja
bahwa Endang Sugatawati adalah putri Resi Endrasekti, pasti Kyai Semar bersedia
membantu. Endang Sugatawati mematuhi perintah ayahnya, lalu ia pun berangkat dengan
membawa bungkusan tersebut.

DEWI SUMBADRA PINGSAN MENERIMA BUNGKUSAN DARI ENDANG SUGATAWATI


Endang Sugatawati berangkat menuju Desa Karangkadempel hingga akhirnya bisa
bertemu Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Begitu mengetahui bahwa Endang
KITAB WAYANG PURWA

Sugatawati adalah anak Resi Endrasekti, Kyai Semar langsung mengatakan dirinya siap
membantu. Mereka lalu berangkat bersama-sama menuju Kerajaan Dwarawati, karena
Dewi Sumbadra sudah mengungsi ke sana sejak Kerajaan Amarta direbut oleh Prabu
Janaka dari Kerajaan Bulukatiga.
Sesampainya di Kerajaan Dwarawati, Kyai Semar dan Endang Sugatawati langsung
masuk ke Taman Banoncinawi. Dewi Sumbadra yang duduk ditemani para dayang segera
menyambut mereka. Ia pun bertanya apakah Kyai Semar membawa kabar terbaru tentang
keadaan Kerajaan Amarta. Kyai Semar menjawab, dirinya datang ke Dwarawati untuk
mengantar putri Resi Endrasekti yang bernama Endang Sugatawati.
Endang Sugatawati maju mendekat dan menceritakan bahwa ayahnya sedang sakit
keras. Menurut petunjuk dewata, Resi Endrasekti bisa sembuh apabila memakan jenang
madumangsa buatan Dewi Sumbadra. Itulah sebabnya, Endang Sugatawati datang
menghadap Dewi Sumbadra adalah untuk menyerahkan sebungkus ketan hitam sebagai
bahan pembuatan jenang madumangsa tersebut.
Dewi Sumbadra merasa tidak kenal pada Resi Endrasekti. Namun, karena penasaran
ia pun menerima bungkusan itu dan melihat isinya. Sungguh terkejut perasaan Dewi
Sumbadra karena yang ada di dalam bungkusan itu ternyata bukan ketan hitam, melainkan
pakaian milik Raden Arjuna. Seketika badan Dewi Sumbadra gemetar dan ia pun jatuh
pingsan tak sadarkan diri.

PRABU BALADEWA MELAMPIASKAN KEMARAHAN PADA ENDANG SUGATAWATI


Prabu Baladewa yang kalah perang melawan Prabu Janaka akhirnya kembali ke
Kerajaan Dwarawati. Ia terkejut melihat para dayang bertangisan dan mengatakan bahwa
Dewi Sumbadra jatuh pingsan setelah menerima bungkusan dari seorang perempuan
bernama Endang Sugatawati.
Prabu Baladewa yang baru saja kalah perang itu pun semakin bertambah marah. Ia
lalu mendatangi Endang Sugatawati dan menuduhnya sebagai mata-mata yang dikirim
Prabu Janaka untuk membunuh Dewi Sumbadra. Endang Sugatawati mengaku tidak
mengenal Prabu Janaka. Namun, Prabu Baladewa tidak peduli. Ia yang sudah gelap mata
langsung memukul kepala Endang Sugatawati. Seketika gadis itu pun roboh di tanah
kehilangan nyawa.
Kyai Semar hendak mencegah namun terlambat. Gadis yang diantarkannya kini telah
tewas di tangan Prabu Baladewa. Tidak lama kemudian Prabu Kresna muncul didampingi
Raden Samba. Mereka terkejut melihat Dewi Sumbadra pingsan dan ada pula mayat
seorang gadis muda tergeletak dikelilingi para panakawan.

ENDANG SUGATAWATI DIHIDUPKAN KEMBALI OLEH PRABU KRESNA


Prabu Kresna pun bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Kyai Semar
menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Perlahan-lahan Dewi Sumbadra bangun
dari pingsan dan terkejut melihat Endang Sugatawati telah meninggal. Prabu Baladewa juga
menyesal telah bertindak ceroboh dan terburu-buru karena tidak dapat mengendalikan
amarah, sehingga menyebabkan tewasnya seorang gadis remaja.
Raden Samba merasa berduka melihat nasib Endang Sugatawati. Ia pun memohon
kepada sang ayah agar menghidupkan gadis itu kembali. Prabu Kresna lalu mengangkat
Kembang Wijayakusuma dan membaca mantra di atas kepala Endang Sugatawati. Seketika
gadis itu pun hidup kembali seperti bangun dari tidur. Prabu Kresna berkata bahwa ajal
Endang Sugatawati memang belum saatnya, sehingga masih bisa dihidupkan kembali
menggunakan Kembang Wijayakusuma.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Sumbadra lalu bertanya apa yang harus ia lakukan saat ini. Prabu Kresna
menjawab, sebaiknya Dewi Sumbadra memasak jenang madumangsa dan menyerahkan
makanan itu secara langsung kepada Resi Endrasekti. Ia yakin bahwa Resi Endrasekti
itulah yang bisa mengalahkan Prabu Janaka dan membebaskan Prabu Puntadewa beserta
para Pandawa lainnya.
Dewi Sumbadra mematuhi. Ia lalu masuk ke dapur. Prabu Kresna melihat Raden
Samba menyukai Endang Sugatawati. Maka, ia pun menugasi putranya itu agar menjaga
dan menemani si gadis di dalam Taman Banoncinawi. Raden Samba mematuhi perintah
ayahnya dengan senang hati.

RESI ENDRASEKTI SEMBUH DARI SAKITNYA


Jenang madumangsa telah matang. Karena Kerajaan Dwarawati masih dalam
keadaan perang melawan Prabu Janaka dan pasukannya, maka Prabu Kresna ikut
berangkat mengawal Dewi Sumbadra menuju Gunung Indragiri untuk menyerahkan jenang
tersebut kepada Resi Endrasekti. Sesampainya di sana, mereka melihat Resi Endrasekti
yang sudah tua terbaring lemah tidak berdaya. Pendeta itu tersenyum gembira melihat
Prabu Kresna dan Dewi Sumbadra datang ke tempatnya.
Prabu Kresna berkata bahwa Dewi Sumbadra telah memasak jenang madumangsa
menggunakan tangannya sendiri untuk mengobati penyakit Resi Endrasekti. Dewi
Sumbadra lalu maju dan menyuapi Resi Endrasekti. Begitu memakan jenang tersebut, Resi
Endrasekti merasa tubuhnya segar dan juga pulih dari sakitnya.
Kini Resi Endrasekti telah sembuh dan bisa bangkit berdiri. Ia berterima kasih kepada
Prabu Kresna dan berterus terang ingin meminang Dewi Sumbadra sebagai istri, untuk
menggantikan ibu Endang Sugatawati yang sudah meninggal. Prabu Kresna menyebut Resi
Endrasekti sebagai orang tua tidak tahu diri, ibarat “diberi hati meminta jantung”. Namun,
rumah tangga Dewi Sumbadra dengan Raden Arjuna memang sedang ada masalah, dan
kemungkinan mereka akan bercerai. Saat ini Raden Arjuna sedang mengalami gangguan
jiwa dan menjadi raja di Bulukatiga, bergelar Prabu Janaka. Apabila Resi Endrasekti dapat
mengalahkan Prabu Janaka, maka lamarannya terhadap Dewi Sumbadra pasti dikabulkan
Prabu Kresna.
Resi Endrasekti menyanggupi tantangan tersebut. Ia pun berangkat menuju tempat di
mana Prabu Janaka dan pasukannya sedang berkemah.

RESI ENDRASEKTI MENGHADAPI PRABU JANAKA


Resi Endrasekti bersama Prabu Kresna dan Dewi Sumbadra telah sampai di hadapan
Prabu Janaka dan pasukannya yang berkemah di luar ibu kota Kerajaan Dwarawati. Mereka
pun saling menantang. Prabu Janaka minta istrinya dikembalikan, sedangkan Resi
Endrasekti memperkenalkan dirinya sebagai calon suami Dewi Sumbadra yang baru.
Prabu Janaka marah dan maju menyerang Resi Endrasekti. Keduanya lalu terlibat
pertarungan seru. Mereka sama-sama lincah, sama-sama kuat, dan sama-sama terampil
memainkan senjata. Hingga akhirnya kedua orang itu pun saling melepas panah. Panah-
panah mereka saling bertabrakan di udara membuat kagum para prajurit yang
menyaksikan.
Prabu Janaka lalu melepas panah yang disertai mantra, begitu pula dengan Resi
Endrasekti. Panah-panah mereka saling mengenai sasaran masing-masing. Panah
bermantra yang ditembakkan Resi Endrasekti mengenai dada Prabu Janaka. Seketika
wujud Prabu Janaka musnah dan berubah menjadi Batara Kala. Rupanya selama ini yang
memerangi Kerajaan Amarta dan Kerajaan Dwarawati adalah Raden Arjuna palsu.
KITAB WAYANG PURWA

Sementara itu, panah yang dilepaskan Prabu Janaka juga mengenai tubuh Resi
Endrasekti. Seketika wujud Resi Endrasekti pun musnah dan berubah menjadi Raden
Arjuna yang asli. Melihat rencananya menaklukkan Kerajaan Dwarawati telah gagal, Batara
Kala pun terbang ke udara, kembali ke Kahyangan Selamangumpeng.

PRABU PUNTADEWA DIBEBASKAN DARI PENJARA


Pasukan gabungan yang mengepung Kerajaan Dwarawati kebingungan melihat raja
mereka telah musnah. Kesempatan ini dimanfaatkan Patih Tambakganggeng untuk segera
kembali ke Kerajaan Amarta, membebaskan Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, dan yang
lain dari dalam penjara.
Sementara itu, Patih Tegalelana maju mengamuk membela sang raja. Raden Arjuna
dengan cekatan mengalahkan dan meringkusnya. Patih Tegalelana pun mohon ampun dan
mulai hari ini ingin mengabdi kepada Raden Arjuna. Ia menjelaskan bahwa dirinya adalah
raja Bulukatiga yang asli, namun telah dikalahkan oleh Raden Arjuna palsu, kemudian
diturunkan jabatannya menjadi patih.
Raden Arjuna asli merasa kasihan pada Patih Tegalelana. Ia pun mempersilakan
orang itu untuk kembali menjadi raja Bulukatiga, namun jangan pernah lagi mengganggu
Kerajaan Amarta. Patih Tegalelana menjawab dirinya tidak mungkin berani. Karena
mendapat pengampunan, ia pun kembali memakai nama Prabu Tegalelana dan mohon
pamit bersama pasukannya untuk pulang ke Kerajaan Bulukatiga.
Prabu Kresna lalu mengajak Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra kembali ke Kerajaan
Dwarawati. Prabu Baladewa, Arya Setyaki, Raden Gatutkaca, dan juga Raden Samba serta
Endang Sugatawati menyambut mereka dengan gembira. Tidak lama kemudian datang
pula Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, dan si kembar yang telah dibebaskan oleh Patih
Tambakganggeng dari dalam penjara.

RADEN ARJUNA MENCERITAKAN PENGALAMANNYA


Di hadapan semua orang, Raden Arjuna pun menceritakan pengalamannya. Setelah
menikahkan Raden Sumitra dengan Dewi Asmarawati dua bulan yang lalu, tiba-tiba ia
mimpi melihat salah satu istrinya yang bernama Endang Saptarini sedang sakit keras. Maka,
diam-diam Raden Arjuna pun pergi tanpa pamit menuju Gunung Indragiri, tempat tinggal
istrinya itu.
Dahulu kala Raden Arjuna memang pernah berkelana dan belajar kepada Resi
Indrasukma di Gunung Indragiri tersebut. Kemudian, Raden Arjuna menikahi putri sang guru
yang bernama Endang Saptarini. Ketika istrinya itu mengandung, Raden Arjuna mohon
pamit kembali ke Kerajaan Amarta. Kini ia kembali ke Gunung Indragiri dan melihat Endang
Saptarini sedang sakit, seperti yang tergambar dalam mimpinya. Adapun Resi Indrasukma
sudah lama meninggal.
Endang Saptarini pun memperkenalkan putri mereka yang kini telah tumbuh remaja,
bernama Endang Sugatawati. Endang Saptarini merasa ajalnya segera tiba. Ia pun
menitipkan Endang Sugatawati kepada Raden Arjuna agar dicarikan jodoh yang tepat.
Raden Arjuna menyanggupi dan berkata agar istrinya itu percaya kepadanya.
Demikianlah, Endang Saptarini pun meninggal dunia dengan tenang. Setelah
memakamkan istrinya itu, Raden Arjuna tinggal di Gunung Indragiri selama empat puluh
hari. Setelah itu, ia mengajak Endang Sugatawati untuk pindah ke Kesatrian Madukara.
Namun, di tengah jalan mereka bertemu Batara Kala yang mempunyai niat jahat. Raden
Arjuna diserang secara mendadak menggunakan ilmu sihir sehingga jatuh sakit dan
wajahnya berubah menjadi tua. Endang Sugatawati lalu memapah ayahnya kembali ke
KITAB WAYANG PURWA

Gunung Indragiri. Karena wajahnya berubah tua akibat ilmu sihir Batara Kala, maka Raden
Arjuna pun mengganti namanya menjadi Resi Endrasekti.
Sementara itu, Batara Kala mengubah wujudnya menjadi Raden Arjuna palsu, lalu
pergi menaklukkan Kerajaan Bulukatiga dan melorot rajanya yang bernama Prabu
Tegalelana menjadi patih. Raden Arjuna palsu kemudian menjadi raja di sana, bergelar
Prabu Janaka. Ia lalu pergi menyerang Kerajaan Amarta dan Kerajaan Dwarawati
sebagaimana yang telah diketahui bersama.
Prabu Kresna dan yang lain bersyukur segala persoalan telah selesai. Mengenai jodoh
untuk Endang Sugatawati sesuai wasiat mendiang ibunya sebelum meninggal, maka lebih
baik Raden Samba saja yang memenuhi hal itu. Sepertinya Raden Samba dan Endang
Sugatawati bisa menjadi pasangan yang serasi. Raden Arjuna tidak keberatan. Ia pun
menerima lamaran Prabu Kresna tersebut dengan senang hati. Semua orang gembira
mendengarnya dan ikut merayakan perjodohan ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Untuk kisah pertemuan Raden Arjuna dengan ibu Endang Sugatawati adalah tambahan dari
saya. Serta kisah Prabu Tegalelana yang diturunkan menjadi patih juga tambahan dari saya,
dengan tujuan supaya nanti bisa menyambung dengan lakon Pramusinta-Rayungwulan.
KITAB WAYANG PURWA

SAMBA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Samba putra Prabu Kresna
dengan Dewi Sugatawati putri Raden Arjuna. Perkawinan ini kelak melahirkan Patih
Dwara yang menjadi patih pada era pemerintahan Prabu Parikesit.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 27 Maret 2018
Heri Purwanto

Raden Samba Wisnubrata

PRABU KRESNA HENDAK MENIKAHKAN RADEN SAMBA DENGAN DEWI


SUGATAWATI
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap putra mahkota Raden
Samba Wisnubrata, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan
Mandura, yaitu Prabu Baladewa yang datang berkunjung. Dalam pertemuan itu, Prabu
Kresna berniat menikahkan Raden Samba dengan putri Raden Arjuna di Kesatrian
Madukara yang bernama Dewi Sugatawati.
Di antara para putra Prabu Kresna, yang paling disayang dan dimanjakan adalah
Raden Samba tersebut. Karena terlalu dimanjakan itulah, Raden Samba tumbuh menjadi
pemuda yang suka bertindak sesuka hati. Umurnya sudah matang tetapi belum ingin
menikah. Sehari-hari ia lebih suka bermain-main dengan para gundik di Kesatrian
Paranggaruda. Padahal, para sepupunya seperti Raden Pancawala, Raden Abimanyu,
Raden Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Sumitra, sudah menikah semua. Namun
demikian, sejak berkenalan dengan Dewi Sugatawati beberapa waktu yang lalu, sikap
Raden Samba berubah menjadi lebih dewasa dan menyatakan siap berumah tangga.
Prabu Baladewa juga ikut menasihati keponakannya itu, bahwa rumah tangga bukan
sekadar ajang melampiaskan nafsu. Istri bukan sekadar teman tidur, tetapi merupakan
teman hidup untuk dimintai pertimbangan dalam menyelesaikan masalah. Rumah tangga
adalah ujian bagi Raden Samba untuk menjadi calon pemimpin. Kelak, Raden Samba
adalah calon raja Dwarawati apabila ayahnya sudah turun takhta. Sebagai pemimpin
negara, maka terlebih dahulu harus bisa membuktikan diri dengan cara memimpin rumah
tangga.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Samba mematuhi nasihat kedua orang tuanya itu tanpa berani membantah.
Prabu Baladewa lalu berkata kepada Prabu Kresna bahwa urusan melamar Dewi
Sugatawati ke Madukara biarlah dirinya saja yang berangkat. Prabu Kresna berterima kasih
dan menawari Prabu Baladewa untuk makan terlebih dulu. Namun, Prabu Baladewa
menolak. Ia berkata urusan makan bisa dilakukan nanti saja. Yang penting saat ini adalah
pergi meminang Dewi Sugatawati sebelum keduluan orang lain.
Prabu Kresna pun mengantar kepergian Prabu Baladewa hingga ke halaman istana.
Ia juga memerintahkan Arya Setyaki agar ikut menemani keberangkatan kakaknya itu
menuju Kesatrian Madukara.

PRABU KALADURGANGSA INGIN MENIKAHI DEWI SUGATAWATI


Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Kaladurgangsa dari Kerajaan
Garbapura. Pada suatu malam ia mimpi bertemu seorang putri cantik bernama Dewi
Sugatawati. Setelah bangun dari tidurnya, ia pun memanggil panakawan Kyai Togog dan
Bilung Sarahita untuk meminta keterangan pada mereka.
Kyai Togog yang berwawasan luas menceritakan bahwa Dewi Sugatawati adalah putri
Raden Arjuna, kesatria Panengah Pandawa yang tinggal di Kesatrian Madukara, masuk
wilayah Kerajaan Amarta. Raden Arjuna ini adalah sosok pria sempurna di masa kini. Kaum
laki-laki membicarakan kesaktian dan kepandaiannya, sedangkan kaum perempuan
membicarakan ketampanannya.
Prabu Kaladurgangsa tertarik mendengarnya. Dewi Sugatawati yang ia temui dalam
mimpi berwajah cantik jelita, tentunya wajar karena ayahnya juga tampan rupawan. Karena
tekadnya sudah bulat, Prabu Kaladurgangsa pun memerintahkan Patih Kalagora untuk
pergi melamar Dewi Sugatawati kepada Raden Arjuna. Apabila Raden Arjuna tidak
mengizinkan, maka Patih Kalagora boleh menggunakan kekerasan. Patih Kalagora
mematuhi dan segera mohon pamit melaksanakan perintah.

PASUKAN DWARAWATI BENTROK DENGAN PASUKAN GARBAPURA


Pasukan Garbapura yang dipimpin Patih Kalagora pun berangkat menuju Kesatrian
Madukara. Di tengah jalan mereka bertemu rombongan dari Kerajaan Dwarawati. Ketika
mengetahui bahwa tujuan kedua pihak tersebut adalah sama-sama hendak melamar Dewi
Sugatawati, maka mereka pun saling menyerang dan terjadilah bentrokan.
Patih Kalagora maju mengamuk membuat Arya Setyaki terdesak. Melihat itu, Prabu
Baladewa turun dari Gajah Puspadenta dan ikut bertempur. Patih Kalagora pun terdesak
kalah dan terpaksa mundur kembali ke Kerajaan .
Setelah pihak musuh tercerai berai, Prabu Baladewa dan rombongan pun melanjutkan
perjalanan menuju Kesatrian Madukara.

PRABU BALADEWA DAN DANGHYANG DRUNA MELAMAR DEWI SUGATAWATI


Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna menerima kunjungan Danghyang Druna dan
Patih Sangkuni yang keduanya mengemban amanat dari Prabu Duryudana di Kerajaan
Hastina untuk melamar Dewi Sugatawati sebagai calon istri Raden Lesmana
Mandrakumara. Raden Arjuna merasa bimbang handak menjawab karena ia tahu Dewi
Sugatawati sudah diinginkan Prabu Kresna untuk menjadi calon istri Raden Samba. Namun,
apabila menolak juga Raden Arjuna merasa segan karena yang mengajukan lamaran
adalah gurunya sendiri, yaitu Danghyang Druna.
Raden Arjuna semakin bertambah bingung ketika Prabu Baladewa datang pula untuk
melamar Dewi Sugatawati sebagai istri Raden Samba. Patih Sangkuni menyarankan agar
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna tidak perlu bingung, karena rombongan dari Kerajaan Hastina yang datang
lebih dulu, sehingga lebih berhak jika lamaran mereka yang diterima. Lagipula Prabu
Baladewa juga biasanya melamar gadis untuk calon istri Raden Lesmana Mandrakumara.
Maka, apabila Raden Arjuna menerima lamaran pihak Hastina, maka Prabu Baladewa pasti
tidak akan keberatan.
Prabu Baladewa marah mendengar ucapan Patih Sangkuni. Memang benar biasanya
ia melamar gadis untuk calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Akan tetapi, kali ini yang
memberikan mandat kepadanya bukan Prabu Duryudana, melainkan Prabu Kresna. Maka,
pertanggungjawabannya kali ini adalah kepada Kerajaan Dwarawati, bukan kepada
Kerajaan Hastina. Bagaimanapun juga tugas harus dilaksanakan dengan baik. Memang
benar Raden Lesmana ataupun Raden Samba, kedua-duanya adalah keponakan. Namun,
Prabu Baladewa saat ini bertindak sebagai wakil Prabu Kresna, bukan sebagai wakil Prabu
Duryudana.
Raden Arjuna melerai perdebatan Prabu Baladewa dan Patih Sangkuni. Ia lalu
memanggil Dewi Sugatawati agar menentukan pilihan. Dewi Sugatawati pun datang
menghadap. Ia menyembah hormat kepada semua yang hadir. Raden Arjuna lalu
menceritakan semua kepada putrinya itu, bahwa telah datang dua lamaran dari Kerajaan
Hastina. Dewi Sugatawati menjawab, meskipun dirinya sudah saling kenal dengan Raden
Samba, namun ia tidak tahu apakah sepupunya itu benar-benar mencintainya atau tidak.
Patih Sangkuni menyela, kalau begitu dengan Raden Lesmana saja. Dewi Sugatawati
menjawab, apalagi dengan Raden Lesmana, ia sama sekali belum tahu orangnya.
Dewi Sugatawati lalu berkata, bahwa ia ingin menguji lebih dulu sedalam apa
kesungguhan mereka berdua. Maka, ia pun mengadakan sayembara, yaitu Raden Samba
dan Raden Lesmana harus pergi mencari dan menangkap kijang kencana berkaki merah
untuk menjadi binatang peliharaannya. Kedua pangeran itu harus menangkap kijang
tersebut dengan tangan mereka sendiri, tidak boleh diwakili orang lain.
Prabu Baladewa menyatakan sanggup memenuhi keinginan Dewi Sugatawati. Melihat
pihak lawan sudah menyanggupi, mau tidak mau Danghyang Druna dan Patih Sangkuni
pun demikian pula. Kedua rombongan itu lalu mohon pamit kembali ke negara masing-
masing.

RADEN SAMBA MEMINTA PETUNJUK RESI JEMBAWAN


Prabu Baladewa telah kembali ke Kerajaan Dwarawati dan menyampaikan apa yang
menjadi sayembara Dewi Sugatawati. Raden Samba termangu-mangu mendengarnya dan
ia merasa persyaratan tersebut berat sekali. Di dunia ini mana ada hewan yang berwujud
kijang kencana berkaki merah?
Prabu Kresna menasihati putranya itu agar menjadi kesatria yang tangguh, tidak
mudah putus asa sebelum mencoba. Ia lalu menyarankan agar Raden Samba meminta
petunjuk sang kakek, yaitu Resi Jembawan di Astana Gandamadana. Resi Jembawan
seorang pendeta berwujud wanara, tentunya lebih mengetahui seluk beluk dunia hewan
yang aneh-aneh sekalipun.
Raden Samba merasa mendapat pencerahan. Ia pun mengajak Arya Setyaki untuk
menemaninya mencari kijang tersebut. Namun, Prabu Baladewa mengingatkan bahwa
sayembara Dewi Sugatawati harus ditempuh sendiri, tidak boleh melibatkan orang lain.
Raden Samba tidak berani membantah. Ia pun mohon restu kemudian berangkat menuju
Astana Gandamadana.
Sesampainya di Astana Gandamadana, Raden Samba segera menghadap sang
kakek, yaitu Resi Jembawan, beserta kakak kandungnya, yaitu Raden Gunadewa. Resi
KITAB WAYANG PURWA

Jembawan yang sudah berusia ratusan tahun itu sedang mendidik Raden Gunadewa agar
kelak bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai juru kunci Astana Gandamadana, tempat
pemakaman para leluhur Kerajaan Mandura dan Dwarawati.
Raden Samba pun menceritakan apa yang menjadi permintaan calon istrinya, yaitu
ingin dibawakan seekor kijang kencana berkaki merah. Resi Jembawan berkata bahwa di
dunia ini hanya ada satu hewan kijang kencana berkaki merah seperti itu, dan hewan
tersebut berkeliaran di kaki Gunung Untarayana sebelah barat. Namun, kijang kencana ini
tidak dapat ditangkap dengan cara kasar, melainkan harus dengan cara yang lembut.
Raden Samba berterima kasih kepada sang kakek, lalu mohon restu berangkat
menuju ke gunung tersebut.

RADEN SAMBA MENANGKAP KIJANG KENCANA BERKAKI MERAH


Singkat cerita, Raden Samba telah tiba di kaki Gunung Untarayana sebelah barat.
Setelah menyusuri jalur yang diceritakan Resi Jembawan, ia akhirnya melihat gerak-gerik
seekor kijang berbulu emas, berkaki merah. Raden Samba sempat terpukau tak percaya
menyaksikan di dunia ini ternyata ada binatang sejenis itu. Ia lalu melompat menyergap,
namun si kijang ternyata lincah dan gesit, mampu menghindar dari tangkapannya.
Raden Samba lalu berlari mengejar kijang kencana berkaki merah itu. Namun,
semakin dikejar, kijang kencana tersebut justru semakin kencang larinya. Raden Samba
lalu teringat pada pesan kakeknya agar jangan menangkap kijang ini menggunakan
kekerasan. Ia pun berhenti mengejar dan duduk di atas batuan gunung.
Raden Samba lalu bernyanyi, melagukan tembang-tembang indah dengan suaranya
yang merdu. Sungguh ajaib, kijang kencana itu berhenti berlari. Ia lalu berjalan mendekat
seolah tertarik pada lagu yang dinyanyikan Raden Samba.
Raden Samba memang putra Prabu Kresna yang paling dimanja, sehingga ia suka
hidup santai dan bersenang-senang. Maka, Raden Samba pun pandai bernyanyi segala
macam jenis lagu. Sedangkan putra-putra Prabu Kresna yang lain memiliki kegemaran
masing-masing. Raden Gunadewa yang berbulu lebat seperti wanara lebih suka hidup
menyepi di Gunung Gandamadana memperdalam ilmu agama kepada Resi Jembawan;
Raden Partajumena lebih suka berkelana meninggalkan istana, mengasah ilmu kesaktian
seperti Prabu Kresna di masa muda; sedangkan si bungsu Raden Setyaka lebih suka
membaca kitab-kitab ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, Prabu Kresna yang memiliki
kepandaian bermacam-macam ternyata tidak ada satu pun putranya yang mewarisi secara
keseluruhan. Raden Gunadewa hanya mewarisi kebijaksanaannya, Raden Partajumena
mewarisi kesaktiannya, Raden Setyaka mewarisi kecerdasannya, sedangkan Raden
Samba mewarisi keluwesan dan pesonanya.
Kini kijang kencana berkaki merah telah semakin dekat dengan tempat Raden Samba
duduk. Ia tampak begitu penasaran ingin mendengar setiap bait lagu yang dinyanyikan
Raden Samba. Di lain pihak, Raden Samba terus menyanyi dengan penuh semangat,
sambil dalam hati membaca mantra yang diajarkan Resi Jembawan. Tangannya lalu
bergerak membelai kepala kijang tersebut. Seketika kijang itu pun tunduk dan berubah
menjadi jinak, tidak liar lagi seperti sebelumnya.
Raden Samba tertawa senang, lalu merangkul leher kijang kencana tersebut dan
mengajaknya pergi menuju Kerajaan Dwarawati.

PRABU BOMA NARAKASURA MERASA IRI PADA RADEN SAMBA


Sementara itu di Kerajaan Trajutresna, Prabu Boma Narakasura duduk di takhta
dengan dihadap Patih Pancadnyana, Ditya Yayahgriwa, dan Ditya Ancakogra. Hari itu
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Boma baru saja mendengar kabar bahwa Prabu Kresna hendak menikahkan Raden
Samba dengan Dewi Sugatawati putri Raden Arjuna. Terus terang Prabu Boma merasa iri
kepada Raden Samba yang selalu diperhatikan sang ayah. Dulu ketika Prabu Boma masih
bernama Raden Sitija dan datang pertama kali ke Kerajaan Dwarawati, saat itu Prabu
Kresna dengan tegas mengatakan bahwa takhta Kerajaan Dwarawati sudah menjadi hak
Raden Samba. Sehingga, apabila Raden Sitija hendak mencari kemuliaan, maka harus
berusaha sendiri. Raden Sitija tidak masalah diperlakukan seperti itu, karena baginya yang
terpenting adalah mendapat pengakuan sebagai anak Prabu Kresna, bukan mendapat
warisan Kerajaan Dwarawati.
Kala itu Raden Sitija akhirnya mampu mengalahkan Prabu Bomantara raja Surateleng
dan Prabu Narakasura raja Prajatisa. Ia lalu menggabungkan kedua negara mereka menjadi
satu, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Trajutresna. Ia pun menjadi raja di gabungan
dua negara tersebut dengan gelar Prabu Boma Narakasura.
Patih Pancadnyana mendengar curahan hati rajanya dengan seksama. Prabu Boma
melanjutkan ceritanya, bahwa ia tidak iri apabila Raden Samba kelak menjadi raja
Dwarawati, karena ia sudah memiliki Kerajaan Trajutresna yang diperoleh dari hasil
usahanya sendiri, bukan dari warisan orang tua. Namun, yang membuatnya iri adalah Prabu
Kresna mencarikan jodoh untuk Raden Samba, sedangkan untuknya tidak sama sekali.
Sebagai putra yang lebih tua, harusnya ia yang lebih dulu dinikahkan, bukannya Raden
Samba.
Patih Pancadnyana berkata bahwa soal jodoh, Prabu Boma tidak perlu khawatir, juga
tidak perlu iri pada Raden Samba. Ia memiliki keponakan yang cantik jelita, bernama Dewi
Agnyanawati, putra kakaknya, yaitu Prabu Krentagnyana di Kerajaan Giyantipura. Prabu
Boma keberatan, karena Patih Pancadnyana berwujud raksasa, pasti keponakannya juga
berparas raksasi. Patih Pancadnyana berkata bahwa keponakannya yang bernama Dewi
Agnyanawati itu sangat cantik, karena ibunya dari golongan manusia, bukan dari golongan
raksasi. Begitu bersemangat Patih Pancadnyana menceritakan tentang kecantikan
keponakannya yang bernama Dewi Agyanawati, membuat Prabu Boma merasa tertarik dan
berniat kapan-kapan akan berkunjung ke Kerajaan Giyantipura.
Sekarang, Prabu Boma lebih dulu ingin pergi ke Kesatrian Madukara, menyaksikan
perkawinan antara Raden Samba dengan Dewi Sugatawati. Patih Pancadnyana pun ikut
menemani.

RADEN SAMBA DIKEROYOK PARA KURAWA


Sementara itu, Raden Samba dalam perjalanan kembali ke Kerajaan Dwarawati
sambil menuntun kijang kencana berkaki merah yang sudah jinak kepadanya. Di tengah
jalan, tiba-tiba ia dihadang Patih Sangkuni bersama para Kurawa. Mereka berniat merebut
kijang kencana itu dari tangan Raden Samba untuk diserahkan kepada Raden Lesmana
Mandrakumara.
Raden Samba menuduh para Kurawa berbuat curang, karena menurut ketentuan
sayembara, antara dirinya dan Raden Lesmana harus berusaha sendiri menangkap kijang
kencana berkaki merah, tanpa boleh dibantu orang lain. Patih Sangkuni menjawab persetan
dengan peraturan itu. Raden Arjuna dan Dewi Sugatawati tidak akan tahu kijang kencana
ditangkap oleh siapa. Yang paling penting saat pernikahan nanti adalah Raden Lesmana
menuntun kijang kencana berkaki merah.
Patih Sangkuni lalu memerintahkan para Kurawa untuk maju merebut kijang kencana.
Raden Samba berusaha mencegah, namun ia jelas bukan tandingan para Kurawa, apalagi
dengan jumlah sebanyak itu. Kijang kencana pun melompat ke sana kemari berusaha
KITAB WAYANG PURWA

menghindar. Para Kurawa berusaha menangkapnya tetapi tidak ada satu pun yang mampu
menandingi kelincahan hewan itu.
Para Kurawa sebagian mengeroyok Raden Samba, dan sebagian lagi berusaha
mengepung kijang kencana berkaki merah. Kijang tersebut berusaha melawan mati-matian,
daripada ditangkap oleh mereka. Pada saat itulah tiba-tiba muncul Arya Setyaki dan Patih
Udawa datang membantu. Mereka langsung terjun menghalau para Kurawa yang berani
mengganggu Raden Samba dan kijang tersebut.
Para Kurawa tidak menyangka kalau Raden Samba memperoleh bala bantuan.
Karena terdesak oleh kesaktian dua orang itu, Patih Sangkuni pun memerintahkan para
keponakannya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Hastina.
Raden Samba berterima kasih atas bantuan Arya Setyaki dan Patih Udawa yang
datang tepat pada waktunya. Ia bertanya mengapa mereka menyusul, bukankah peraturan
sayembara mengatakan, kijang kencana berkaki merah harus ditangkap olehnya sendiri,
tidak boleh dibantu orang lain. Arya Setyaki menjawab memang benar demikian. Raden
Samba memang harus menangkap kijang kencana sendiri. Namun, jika membantu
mengusir para pengacau, bukan membantu menangkap kijang, jelas tidak melanggar
peraturan. Prabu Kresna mendapat firasat pihak Hastina pasti berbuat curang, maka ia pun
mengutus Arya Setyaki dan Patih Udawa untuk menyusul dan melindungi putra
kesayangannya.
Raden Samba terkesan mendengar perhatian sang ayah kepadanya. Ia pun berterima
kasih kepada Arya Setyaki dan Patih Udawa, lalu menuntun kijang kencana melanjutkan
perjalanan pulang bersama mereka.

DEWI SUGATAWATI DICULIK PRABU KALADURGANGSA


Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna dan para Pandawa lainnya menerima
kedatangan rombongan pengantin pria dari Kerajaan Dwarawati. Tampak Raden Samba
menuntun kijang kencana berkaki merah, diiringi Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Dewi
Jembawati, Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa.
Tiba-tiba Dewi Sumbadra muncul dan melaporkan bahwa pengantin perempuan, Dewi
Sugatawati hilang diculik orang. Menurut kesaksian para dayang, ada seorang raja raksasa
menyusup ke dalam Taman Maduganda dan berhasil menculik Dewi Sugatawati.
Raden Samba terkejut bercampur marah. Ia pun mengajak Arya Setyaki mengejar
penculik itu. Raden Gatutkaca juga ikut pergi membantu.
Raja raksasa yang menculik Dewi Sugatawati tidak lain adalah Prabu Kaladurgangsa.
Setelah mendapat laporan tentang kekalahan Patih Kalagora, ia pun berangkat sendiri
menculik Dewi Sugatawati di Kesatrian Madukara. Kini usahanya berhasil. Ia membawa
Dewi Sugatawati yang meronta-ronta menuju Kerajaan Garbapura.
Namun, di tengah jalan ia bertemu Prabu Boma dan Patih Pancadnyana yang sedang
dalam perjalanan menuju Kesatrian Madukara. Prabu Boma segera melesat menerjang
Prabu Kaladurgangsa. Pertarungan sengit pun terjadi. Dewi Sugatawati diletakkan di tanah
agar bisa lebih leluasa. Namun demikian, tetap saja Prabu Kaladurgangsa kalah dan
akhirnya tewas di tangan Prabu Boma.
Raden Samba, Arya Setyaki, dan Raden Gatutkaca tiba di tempat itu. Mereka
menuduh Prabu Boma sebagai penculik Dewi Sugatawati. Namun, Dewi Sugatawati
menjelaskan bahwa Prabu Boma justru telah menolong dirinya terbebas dari penculik yang
sebenarnya. Ia pun menunjukkan mayat Prabu Kaladurgangsa yang merupakan pelaku
penculikan atas dirinya.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Samba segera meminta maaf kepada Prabu Boma. Mereka lalu bersama-sama
kembali menuju Kesatrian Madukara.

PERKAWINAN RADEN SAMBA DENGAN DEWI SUGATAWATI


Para Pandawa beserta Prabu Kresna dan Prabu Baladewa menyambut kembalinya
Dewi Sugatawati bersama Raden Samba, Prabu Boma, dan juga yang lain. Dewi
Sugatawati melihat persyaratan kijang kencana berkaki merah telah terpenuhi, dan ia juga
dapat mengetahui bahwa hewan tersebut benar-benar ditangkap sendiri oleh Raden
Samba.
Prabu Baladewa bertanya dari mana Dewi Sugatawati tahu kalau kijang tersebut
ditangkap sendiri oleh Raden Samba, bukankah bisa saja memakai bantuan orang lain?
Dewi Sugatawati menjawab, dirinya pertama kali tahu tentang kijang kencana berkaki merah
adalah dari dongeng kakeknya. Kakeknya bercerita bahwa, kijang kencana berkaki merah
ini adalah hewan liar yang sulit ditangkap. Namun, jika ada manusia yang bisa
menangkapnya, maka ia akan selalu bersikap jinak kepada orang itu. Dewi Sugatawati kini
melihat sendiri bahwa kijang kencana berkaki merah tampak selalu berada di dekat Raden
Samba, pertanda Raden Samba adalah orang yang telah menangkapnya dengan tangan
sendiri.
Prabu Baladewa memuji kepandaian gadis itu. Andai saja pihak Kurawa tadi berhasil
merebut kijang kencana berkaki merah, tetap saja mereka tidak mampu membohongi Dewi
Sugatawati. Kini segalanya telah terpenuhi. Raden Arjuna pun meresmikan pernikahan
antara Raden Samba dengan Dewi Sugatawati. Semua orang ikut berbahagia
merayakannya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG PRAMUSINTA
Kisah ini menceritakan tentang Bambang Pramusinta yang dikirim Prabu Tegalelana
agar mati di tangan Raden Arjuna. Namun, bukannya tewas, ia justru diterima sebagai
anggota keluarga Pandawa.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas wayang kulit dengan dalang Ki Anom
Suroto, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, April 2018
Heri Purwanto

Bambang Pramusinta

PRABU TEGALELANA JATUH CINTA PADA ISTRI PEGAWAINYA


Prabu Tegalelana adalah raja Bulukatiga yang dulu pernah ditaklukkan Raden Arjuna
palsu penjelmaan Batara Kala. Raden Arjuna palsu itu lalu menduduki Kerajaan Bulukatiga,
sedangkan Prabu Tegalelana diturunkan jabatannya menjadi patih. Kemudian Raden
Arjuna palsu yang memakai gelar Prabu Janaka menyerang Kerajaan Amarta dan Kerajaan
Dwarawati, namun ia dapat dikalahkan oleh Resi Endrasekti, yaitu penjelmaan Raden
Arjuna yang asli. Setelah Prabu Janaka kembali ke kahyangan sebagai Batara Kala, Raden
Arjuna pun mengampuni Patih Tegalelana dan mengizinkannya kembali menjadi raja di
Bulukatiga.
Hari ini Prabu Tegalelana duduk memimpin pertemuan yang dihadiri adiknya, yaitu
Raden Tegamurti, dan juga Patih Kuntalabahu. Pertemuan itu tidak membahas tentang
kenegaraan, tetapi membicarakan masalah pribadi yang dialami Prabu Tegalelana sendiri.
Dua bulan yang lalu, Prabu Tegalelana sewaktu pulang dari Kerajaan Dwarawati, yaitu
setelah mendapat pengampunan dari Prabu Kresna dan Raden Arjuna, di tengah jalan
dihadang seekor harimau liar. Para prajurit yang kelelahan tidak ada yang mampu
mengatasi harimau tersebut. Bahkan, hampir saja harimau itu menerkam Prabu Tegalelana.
Beruntung saat itu muncul seorang pemuda yang menolong Prabu Tegalelana
menaklukkan harimau tersebut. Harimau itu kabur melarikan diri setelah beberapa kali
dibanting si pemuda. Prabu Tegalelana pun berterima kasih kepadanya. Pemuda itu
memperkenalkan dirinya bernama Bambang Pramusinta dari Desa Pandansurat. Sebagai
ungkapan rasa syukur, Prabu Tegalelana menerima Bambang Pramusinta bekerja sebagai
punggawa Kerajaan Bulukatiga.
KITAB WAYANG PURWA

Esok harinya, Bambang Pramusinta datang ke istana Bulukatiga bersama istrinya


dengan membawa palawija hasil bumi Pandansurat. Rupanya istri Bambang Pramusinta
yang bernama Endang Rayungwulan ikut datang ke istana untuk berterima kasih kepada
Prabu Tegalelana, karena suaminya diterima bekerja setelah cukup lama menjadi
pengangguran. Menyaksikan paras Endang Rayungwulan yang cantik jelita, seketika Prabu
Tegalelana terkesima. Sejak kejadian itu, ia menjadi susah tidur karena terbayang-bayang
wajah istri Bambang Pramusinta tersebut. Dua bulan lamanya Prabu Tegalelana
memendam perasaan ini, hingga sekarang ia tidak mampu lagi untuk tidak
menceritakannya.
Raden Tegamurti mendengar penuturan kakaknya dengan seksama. Ia dapat
menyimpulkan bahwa Prabu Tegalelana telah jatuh cinta kepada istri Bambang Pramusinta.
Ia pun bertanya kepada kakaknya mengapa tidak menggunakan kekuasaan saja untuk
menceraikan mereka dan mengambil Endang Rayungwulan ke istana? Prabu Tegalelana
menjawab, jika ia menggunakan kekuasaan untuk merebut Endang Rayungwulan, maka
Bambang Pramusinta akan benci kepadanya. Terus terang, Prabu Tegalelana gentar
menyaksikan kesaktian Bambang Pramusinta yang begitu terampil membanting seekor
harimau berkali-kali tanpa membunuh binatang tersebut.
Raden Tegamurti mengusulkan, untuk menghadapi orang sakti maka gunakanlah
orang sakti lainnya. Prabu Tegalelana pun teringat pada Raden Arjuna yang pernah
mengalahkannya. Ia yakin Raden Arjuna pasti bisa mengalahkan Bambang Pramusinta.
Namun, ia tidak tahu bagaimana caranya meminta bantuan kepada Panengah Pandawa
tersebut.
Raden Tegamurti berkata bahwa ia pernah mendengar tentang sepak terjang Raden
Arjuna. Konon, selain sakti mandraguna, Raden Arjuna juga terkenal menyukai kecantikan
wanita. Jumlah istri Raden Arjuna di Kesatrian Madukara saja ada empat orang, yaitu Dewi
Sumbadra, Dewi Srikandi, Dewi Larasati, dan Dewi Sulastri. Itu belum ditambah istri-istri
lainnya yang tersebar di banyak tempat, misalnya Dewi Ulupi, Dewi Gandawati, Dewi
Manuhara, Dewi Jimambang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, cara untuk memancing
Raden Arjuna agar bersedia membunuh Bambang Pramusinta adalah dengan cara
menawarkan perempuan kepadanya.
Prabu Tegalelana memuji kepandaian Raden Tegamurti. Ia lalu bertanya siapakah
perempuan yang akan ditawarkan kepada Raden Arjuna. Raden Tegamurti menjawab,
siapa lagi kalau bukan adik bungsu mereka, yaitu Dewi Tegawati? Jika Dewi Tegawati
ditawarkan kepada Raden Arjuna, maka Prabu Tegalelana akan memperoleh dua
keuntungan. Pertama, Prabu Tegalelana akan menjadi kakak ipar Raden Arjuna yang
perkasa. Kedua, Bambang Pramusinta akan mati dan itu artinya Prabu Tegalelana dapat
menikahi Endang Rayungwulan.
Prabu Tegalelana menimbang-nimbang perkataan adiknya. Tanpa butuh waktu lama,
ia pun menjawab setuju mengikuti rencana tersebut.

BAMBANG PRAMUSINTA DIUTUS MENGANTAR SURAT KE KESATRIAN MADUKARA


Karena sang kakak sudah setuju, Raden Tegamurti pun melaksanakan rencananya.
Ia menulis surat yang isinya Prabu Tegalelana meminta bantuan Raden Arjuna untuk
membunuh si pembawa surat, karena si pembawa surat ini adalah punggawa durhaka yang
sangat sakti, hendak merebut takhta Kerajaan Bulukatiga. Padahal, jelas-jelas Kerajaan
Bulukatiga berada di bawah perlindungan Raden Arjuna. Apabila Raden Arjuna berkenan
menghukum mati si pembawa surat, maka Prabu Tegalelana ingin menjalin persaudaraan
dengan memberikan adiknya yang bernama Dewi Tegawati.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Tegalelana menandatangani surat tersebut, kemudian memerintahkan Patih


Kuntalabahu untuk memanggil Bambang Pramusinta agar menghadap. Patih Kuntalabahu
pun keluar istana dan memanggil Bambang Pramusinta yang sedang memeriksa
kelengkapan prajurit.
Bambang Pramusinta segera datang menghadap Prabu Tegalelana. Prabu
Tegalelana pun memerintahkannya untuk mengantarkan surat kepada Raden Arjuna di
Kesatrian Madukara, wilayah Kerajaan Amarta. Surat tersebut terbungkus rapat dengan
segel stempel Kerajaan Bulukatiga. Apabila Bambang Pramusinta berani membuka
pembungkus surat, maka hukuman mati menunggu dirinya.
Bambang Pramusinta menjawab dirinya tidak mungkin berani membuka surat
tersebut. Ia pun menerima surat itu, lalu mohon pamit melaksanakan tugas.
Setelah Bambang Pramusinta pergi, Prabu Tegalelana merasa yakin pemuda itu pasti
akan binasa. Kini rasa rindunya bangkit dan ia ingin sekali bisa segera bertemu Endang
Rayungwulan. Raden Tegamurti mencoba menyabarkan kakaknya itu agar menunggu
kepastian berita tewasnya Bambang Pramusinta terlebih dulu. Namun, Prabu Tegalelana
tidak bisa menahan diri lagi. Ia pun bergegas meninggalkan istana Bulukatiga menuju Desa
Pandansurat.

PRABU TEGALELANA MERAYU ENDANG RAYUNGWULAN


Di Desa Pandansurat, Endang Rayungwulan dihadap adiknya yang bernama
Bambang Sabekti, serta istri adiknya yang bernama Endang Pramuwati. Adapun Endang
Pramuwati tidak lain adalah adik kandung Bambang Pramusinta. Dalam kesempatan itu,
Endang Rayungwulan bercerita bahwa tadi malam ia bermimpi melihat sang suami, yaitu
Bambang Pramusinta berjalan seorang diri di tengah kegelapan, lalu ada seekor serigala
besar menerkam tubuhnya dari belakang. Endang Rayungwulan lalu terbangun dari
tidurnya gara-gara mimpi buruk tersebut. Endang Pramuwati dan Bambang Sabekti
menghibur kakak mereka agar jangan terlalu memikirkan mimpinya. Mimpi hanyalah bunga
tidur belaka, yang terpenting adalah mendoakan Bambang Pramusinta agar selalu
mendapat perlindungan Yang Mahakuasa dalam bekerja mencari nafkah untuk keluarga.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Tegalelana di tempat itu. Endang Rayungwulan
yang pernah bertemu sekali segera menyembah kepada rajanya tersebut. Ia juga
memperkenalkan kedua adiknya dan memerintahkan mereka untuk menyembah Prabu
Tegalelana. Endang Rayungwulan kemudian bertanya ada keperluan apa Prabu
Tegalelana datang ke rumahnya yang sederhana, apakah ada masalah menimpa suaminya
saat bekerja? Prabu Tegalelana menjawab bahwa sebuah musibah telah menimpa
Bambang Pramusinta. Ada seorang musuh dari Kerajaan Amarta bernama Raden Arjuna
telah datang menyerang Kerajaan Bulukatiga. Bambang Pramusinta dengan gagah berani
menghadapi musuh tersebut, namun ia gugur dalam pertempuran.
Endang Rayungwulan menangis tidak percaya kalau suaminya meninggal. Endang
Pramuwati dan Bambang Sabekti ikut berduka. Mereka memohon kepada Prabu
Tegalelana agar ditunjukkan jasad Bambang Pramusinta. Prabu Tegalelana tentu saja tidak
bisa menunjukkannya. Pada dasarnya ia memang tidak pandai berbohong, sehingga sorot
matanya terlihat ragu-ragu.
Bambang Sabekti yang waspada mulai menaruh curiga. Ia bertanya apa benar kakak
iparnya telah meninggal? Prabu Tegalelana menjawab belum tahu, tapi sepertinya sebentar
lagi akan mati di tangan Raden Arjuna. Bambang Sabekti semakin curiga dan mendesak
Prabu Tegalelana untuk menceritakan yang sebenarnya. Prabu Tegalelana tersinggung
dirinya sebagai raja tetapi didesak seperti itu oleh rakyat jelata. Ia pun marah-marah dan
KITAB WAYANG PURWA

berkata terus terang bahwa dirinya sengaja mengirim Bambang Pramusinta untuk mati, agar
Endang Rayungwulan menjadi janda dan bisa ia nikahi.
Endang Rayungwulan sangat terkejut mendengar rajanya berkata demikian. Ia pun
memohon agar Prabu Tegalelana jangan punya pikiran buruk seperti itu. Prabu Tegalelana
tidak peduli, dan ia justru balik merayu Endang Rayungwulan agar sudi menjadi istrinya.
Terus terang ia merasa kasihan melihat Endang Rayungwulan yang cantik jelita tetapi hidup
miskin di pedesaan. Bukankah sebaiknya ikut dengannya saja tinggal di istana?
Bambang Sabekti tidak terima kakak iparnya diperlakukan seperti itu. Ia pun
menendang tubuh Prabu Tegalelana hingga terpental keluar rumah.

BAMBANG SABEKTI DIKEROYOK PASUKAN BULUKATIGA


Prabu Tegalelana tidak menduga Bambang Pramusinta memiliki seorang adik ipar
yang perkasa. Tadinya ia mengira cukup hanya dengan mengirim Bambang Pramusinta
menjemput kematian, maka dirinya bisa memboyong Endang Rayungwulan. Tak disangka,
masih ada Bambang Sabekti yang menjadi penghalang niat buruknya.
Prabu Tegalelana pun menyerang Bambang Sabekti. Namun, Bambang Sabekti
bukan pemuda sembarangan. Dengan cekatan, ia menghadapi serangan rajanya itu.
Mereka pun bertarung sengit. Prabu Tegalelana merasa dirinya bukan tandingan pemuda
itu. Dalam waktu singkat ia sudah terdesak dan babak belur terkena pukulan Bambang
Sabekti.
Tiba-tiba bantuan pun datang. Raden Tegamurti dan Patih Kuntalabahu tiba dengan
membawa pasukan Bulukatiga. Mereka langsung mengeroyok Bambang Sabekti. Meskipun
sakti dan cekatan, namun Bambang Sabekti tidak mampu menghadapi lawan sebanyak itu.
Akhirnya, ia pun tewas dengan banyak luka tusukan di tubuhnya.
Prabu Tegalelana berterima kasih adiknya datang tepat waktu. Raden Tegamurti
berkata kakaknya terlalu terburu nafsu. Harusnya nanti saja datang ke Desa Pandansurat
setelah Bambang Pramusinta benar-benar mati. Dengan demikian, Endang Rayungwulan
tidak akan menolak, dan pasti bersedia diboyong ke istana dengan sukarela.
Tidak lama kemudian datanglah Endang Rayungwulan dan Endang Pramuwati
menangisi jasad Bambang Sabekti. Raden Tegamurti memuji kecantikan mereka berdua
dan merasa wajar jika kakaknya tidak sabaran. Sekarang semuanya sudah kepalang
tanggung, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Prabu Tegalelana pun menarik tubuh
Endang Rayungwulan dan memasukkannya ke dalam kereta, sedangkan Raden Tegamurti
membawa Endang Pramuwati.

BAMBANG PRAMUSINTA TIBA DI KESATRIAN MADUKARA


Sementara itu, perjalanan Bambang Pramusinta telah sampai di wilayah Kerajaan
Amarta. Ia melewati Desa Karangkadempel dan berjumpa para panakawan Kyai Semar,
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Kepada mereka, Bambang Pramusinta bertanya arah
jalan menuju Kesatrian Madukara. Ia mengaku hendak mengantarkan surat dari rajanya
yang bernama Prabu Tegalelana kepada Raden Arjuna.
Kyai Semar ingat bahwa Raden Arjuna pernah menaklukkan Prabu Tegalelana
beberapa waktu yang lalu. Maka, tanpa curiga ia dan anak-anaknya pun mengantar
Bambang Pramusinta menuju Kesatrian Madukara.
Sesampainya di sana, Kyai Semar segera melapor kepada Raden Arjuna bahwa ada
utusan dari Kerajaan Bulukatiga hendak mengantarkan surat. Raden Arjuna pun menemui
Bambang Pramusinta dan menerima surat yang dibawa pemuda itu. Sungguh terkejut
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna membaca isinya, bahwa Prabu Tegalelana menyebut Bambang Pramusinta
adalah punggawa durhaka yang hendak merebut takhta Kerajaan Bulukatiga darinya. Tidak
hanya itu, Prabu Tegalelana sudah berkata bahwa ia memiliki pelindung bernama Raden
Arjuna, namun Bambang Pramusinta tidak peduli dan mengatakan dirinya tidak takut pada
orang yang bernama Raden Arjuna tersebut. Surat itu juga menyebutkan bahwa, Prabu
Tegalelana ingin menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Tegawati kepada Raden
Arjuna apabila ia dibantu membunuh punggawa durhaka bernama Bambang Pramusinta
tersebut.
Wajah Raden Arjuna menjadi merah padam setelah membaca surat tersebut.
Beberapa waktu yang lalu Prabu Tegalelana telah ia kalahkan dan telah memohon ampun
kepadanya. Maka, apabila ada orang lain yang berani mengganggu Prabu Tegalelana, itu
berarti tidak memandang kepada dirinya. Tanpa banyak bicara, ia pun menampar pipi
Bambang Pramusinta dan merobek-robek surat di tangannya.
Bambang Pramusinta jatuh terpelanting karena tidak menduga akan ditampar seperti
itu. Raden Arjuna maju hendak membunuhnya. Bambang Pramusinta pun melawan sekuat
tenaga. Dalam waktu singkat, keduanya segera terlibat pertarungan sengit.
Kyai Semar curiga dan memungut serpihan surat yang berserakan di bawah lalu
menggabungkannya kembali. Setelah membaca isinya, ia tidak percaya begitu saja dan
meminta Raden Arjuna untuk memeriksa Bambang Pramusinta terlebih dulu. Namun,
Raden Arjuna justru menyuruh Kyai Semar diam, tidak perlu ikut campur.
Kyai Semar menduga Raden Arjuna gelap mata karena tergoda iming-iming Prabu
Tegalelana yang akan menyerahkan Dewi Tegawati. Maka, ia pun mengajak anak-anaknya
untuk bersorak-sorak memberi semangat kepada Bambang Pramusinta.
Raden Arjuna tersinggung dan semakin keras menyerang Bambang Pramusinta.
Sebenarnya kesaktian Bambang Pramusinta masih di bawah Raden Arjuna. Namun, karena
ia mendapat semangat dari para panakawan, dan ditambah lagi Raden Arjuna bertarung
membabi buta karena dibakar amarah, membuatnya bisa mengimbangi kesatria Pandawa
tersebut.
Raden Arjuna lama-lama kewalahan menghadapi ketangkasan Bambang Pramusinta.
Karena sudah gelap mata, ia pun melepas panah pusaka Ardadedali ke arah lawannya itu.
Kyai Semar melihat ini sangat berbahaya. Maka, ia pun berdiri menghalangi di depan
Bambang Pramusinta. Begitu panah Ardadedali menyentuh kulit Kyai Semar seketika
mental dan terlempar jauh ke udara.

PRABU KRESNA MENEMUI BAMBANG PRAMUSINTA


Panah Ardadedali terlempar sangat jauh akibat kesaktian Kyai Semar, hingga akhirnya
jatuh di istana Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna heran melihat pusaka milik Raden Arjuna
tiba-tiba jatuh di hadapannya. Jangan-jangan ada musuh sakti datang menyerang, demikian
pikirnya. Ia pun memungut panah pusaka tersebut lalu terbang menuju Kesatrian Madukara
dengan mengendarai Kereta Jaladara.
Sesampainya di Kesatrian Madukara, Prabu Kresna melihat para panakawan sedang
bersama seorang pemuda asing. Ia pun bertanya di mana Raden Arjuna berada. Kyai
Semar menjawab, Raden Arjuna melarikan diri karena kalah bertarung melawan Bambang
Pramusinta. Prabu Kresna bertanya ada masalah apa di antara mereka. Kyai Semar pun
menunjukkan surat Prabu Tegalelana yang sudah ia sambung kembali. Prabu Kresna
membaca isinya dan tersenyum menyadari watak Raden Arjuna yang tergoda iming-iming
hadiah wanita cantik.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna lalu mengajak Bambang Pramusinta dan para panakawan mengejar
Raden Arjuna yang tentunya meminta bantuan para Pandawa lainnya di istana Indraprasta.

BAMBANG PRAMUSINTA BERJUMPA AYAHNYA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap Arya Wrekodara dan si kembar Raden
Nakula-Raden Sadewa. Tidak lama kemudian datanglah Raden Arjuna yang meminta
bantuan karena Kesatrian Madukara diserang musuh sakti dari Kerajaan Bulukatiga. Arya
Wrekodara marah dan hendak melabrak musuh tersebut.
Tiba-tiba Prabu Kresna datang bersama Bambang Pramusinta dan para panakawan.
Ia melarang Arya Wrekodara bertindak gegabah karena tidak ada hadiahnya. Arya
Wrekodara bertanya hadiah apa yang dimaksud. Prabu Kresna berkata, jika bisa
membunuh Bambang Pramusinta, maka Raden Arjuna akan mendapatkan Dewi Tegawati,
adik Prabu Tegalelana. Mendengar itu, Raden Arjuna tertunduk malu.
Prabu Kresna lalu memanggil Raden Nakula dan menyuruhnya berdiri di sebelah
Bambang Pramusinta. Raden Nakula menurut dan semua orang pun terkejut karena
mereka ternyata berwajah mirip. Prabu Kresna lalu berkata, bahwa Bambang Pramusinta
bisa jadi adalah putra Raden Nakula sendiri.
Raden Nakula pun bertanya siapa nama ibu Bambang Pramusinta. Bambang
Pramusinta menjawab, ibunya bernama Dewi Suyati, namun sudah meninggal saat
melahirkan dirinya. Dengan begitu, ia tidak tahu-menahu siapa nama ayah kandungnya.
Raden Nakula terharu dan ia berkata bahwa dirinyalah ayah kandung Bambang Pramusinta.
Bambang Pramusinta heran mengapa ayah dan ibunya bisa berpisah? Mengapa pula
Raden Nakula tidak pernah mencari anak dan istrinya? Raden Nakula berkata bahwa
dirinya sudah berusaha mencari, namun nasib Dewi Suyati tidak jelas kabarnya seperti
ditelan bumi.
Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan untuk menjelaskan masalah ini.
Para Pandawa dan yang lain segera memberi hormat kepadanya. Batara Narada pun
bercerita, sekitar dua puluh tahun yang lalu Raden Sadewa memenangkan sayembara di
Kerajaan Selamirah, sehingga bisa menikah dengan putri Prabu Rasadewa yang bernama
Dewi Rasawulan. Tidak lama kemudian datang pula Raden Indrakerata dari Kerajaan Awu-
awulangit yang hendak mengikuti sayembara tetapi sudah terlambat. Ia mengamuk hendak
merebut Dewi Rasawulan, tetapi dapat dikalahkan oleh Raden Nakula. Sebagai tanda
takluk, Raden Indrakerata pun menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Suyati sebagai
istri Raden Nakula.
Raden Nakula dan Raden Sadewa lalu memboyong istri masing-masing ke Kerajaan
Amarta. Dewi Suyati dan Dewi Rasawulan pun mengandung bersamaan. Ketika
kandungannya hendak berusia tujuh bulan, Dewi Suyati dan Dewi Rasawulan sepakat ingin
upacara siraman dilakukan di negara asal masing-masing. Raden Nakula dan Raden
Sadewa menuruti mereka. Raden Nakula mengantar Dewi Suyati ke Kerajaan Awu-
awulangit, sedangkan Raden Sadewa mengantar Dewi Rasawulan ke Kerajaan Selamirah.
Setelah upacara siraman, si kembar pun kembali ke Kerajaan Amarta, sedangkan istri
mereka tetap di negara masing-masing hingga kelak melahirkan.
Tiba-tiba bencana pun terjadi. Kerajaan Awu-awulangit diserang Prabu Bomantara
raja Surateleng. Prabu Kridamarkata dan Raden Indrakerata gugur mempertahankan
negara, sedangkan Dewi Suyati yang sudah hamil tua pergi mengungsi ke tempat Dewi
Rasawulan di Kerajaan Selamirah. Sesampainya di sana, Dewi Suyati melahirkan Raden
Pramusinta dan Dewi Pramuwati, kemudian meninggal dunia karena letih.
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Rasawulan juga melahirkan dua anak yang diberi nama Dewi Rayungwulan dan
Raden Sabekti. Tiba-tiba Prabu Bomantara datang menyerang Kerajaan Selamirah untuk
dijadikan negeri jajahan. Prabu Rasadewa menghadapi dengan sekuat tenaga, namun
akhirnya gugur pula di tangan raja Surateleng tersebut. Dewi Rasawulan hendak mengungsi
ke Kerajaan Amarta dengan membawa keempat bayi, namun ketika melewati Desa
Pandasurat, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Raden Pramusinta, Dewi Pramuwati, Dewi Rayungwulan, dan Raden Sabekti yang
masih bayi pun diasuh warga Desa Pandansurat hingga mereka dewasa seperti sekarang
ini. Demikianlah, Batara Narada mengakhiri cerita.
Raden Nakula dan Raden Sadewa terharu mendengar kisah hidup anak-istri mereka.
Keduanya memang mendengar bahwa Kerajaan Selamirah dan Kerajaan Awu-awulangit
sudah hancur diserang Prabu Bomantara. Kemudian, Prabu Bomantara juga tewas di
tangan Raden Sitija putra Prabu Kresna. Raden Nakula dan Raden Sadewa pergi berkelana
mencari anak dan istri masing-masing, namun tidak pernah berhasil menemukan
keberadaan mereka. Raden Nakula pun bertanya mengapa Batara Narada tidak dari dulu
menceritakan bahwa anak-anak mereka berada di Desa Pandansurat? Batara Narada
menjawab, memang sudah suratan takdir bahwa Bambang Pramusinta dan yang lain harus
hidup mandiri di desa. Kelak jika sudah tiba waktunya, yaitu saat ini, Batara Narada pun
turun menjelaskan semuanya.
Karena tugasnya telah selesai, Batara Narada undur diri kembali ke kahyangan.

BAMBANG PRAMUSINTA MENYERANG PRABU TEGALELANA


Prabu Kresna lalu bertanya apa kesalahan Bambang Pramusinta sehingga dituduh
durhaka oleh Prabu Tegalelana dan diusahakan kematiannya seperti ini. Bambang
Pramusinta menjawab dirinya tidak pernah membantah raja. Selama bekerja, ia selalu taat
pada aturan dan berusaha selalu menyenangkan hati Prabu Tegalelana.
Raden Sadewa yang cerdas segera mendapat firasat bahwa Prabu Tegalelana ingin
Bambang Pramusinta mati adalah supaya Endang Rayungwulan menjadi janda. Bambang
Pramusinta terkejut dan buru-buru ingin kembali ke Desa Pandansurat. Prabu Kresna
segera mengajaknya naik Kereta Jaladara agar bisa lebih cepat. Raden Arjuna pun ikut
serta.
Sesampainya di Desa Pandansurat, Bambang Pramusinta melihat Bambang Sabekti
telah meninggal dunia dengan dikerumuni warga sekitar. Prabu Kresna segera
mengeluarkan Kembang Wijayakusuma sambil membaca mantra. Seketika Bambang
Sabekti pun hidup kembali, pertanda ajalnya memang bukan hari ini.
Bambang Sabekti lalu menceritakan apa yang telah terjadi, yaitu Prabu Tegalelana
datang merayu Endang Rayungwulan agar mau menjadi istrinya. Bambang Sabekti
berusaha mencegah, namun ia tewas dikeroyok Raden Tegamurti dan Patih Kuntalabahu.
Kini, Endang Rayungwulan dan Endang Pramuwati pasti sudah dibawa ke istana
Bulukatiga.
Bambang Pramusinta sangat marah. Ia pun bergegas menyerang Kerajaan
Bulukatiga. Prabu Tegalelana terkejut melihat Bambang Pramusinta masih hidup. Melihat
Raden Arjuna juga ada di situ, ia segera memohon perlindungan. Namun, Raden Arjuna
menolak. Ia berkata bahwa Bambang Pramusinta adalah keponakannya sendiri, dan ia tidak
sudi melindungi kelicikan Prabu Tegalelana.
Prabu Tegalelana merasa sudah terdesak. Ia pun maju menyerang Bambang
Pramusinta sekuat tenaga. Namun, kesaktian Bambang Pramusinta jelas berada di
KITAB WAYANG PURWA

atasnya. Maka, Prabu Tegalelana pun tewas di tangan pemuda itu. Melihat rajanya
terbunuh, Patih Kuntalabahu maju menyerang. Namun, ia juga menemui ajal di tangan
Bambang Pramusinta.
Sementara itu, Bambang Sabekti masuk ke dalam istana dan melihat Raden
Tegamurti sedang merayu Endang Pramuwati. Namun, Endang Pramuwati selalu menolak
dan mengancam akan bunuh diri jika terus dipaksa. Bambang Sabekti marah dan segera
menyerang Raden Tegamurti. Keduanya lalu bertarung sengit. Raden Tegamurti akhirnya
tewas pula di tangan lawannya itu.
Endang Pramuwati terharu bahagia melihat suaminya hidup kembali. Mereka lalu
bergandengan tangan mencari Endang Rayungwulan berada.

BAMBANG PRAMUSINTA MENJADI RAJA BULUKATIGA


Bambang Pramusinta mencari keberadaan istrinya dan akhirnya ia melihat Endang
Rayungwulan sedang bersama Dewi Tegawati. Endang Rayungwulan menangis bahagia
melihat suaminya selamat dan mereka pun saling berpelukan.
Prabu Kresna dan Raden Arjuna datang menanyakan apa saja yang telah terjadi. Dewi
Tegawati menangis memohon ampun atas kejahatan dua kakaknya. Sebagai sesama
perempuan, ia tidak tega melihat nasib Endang Rayungwulan dan Endang Pramuwati.
Maka, Dewi Tegawati pun berusaha melindungi mereka sekuat tenaga. Ia meminta kedua
kakaknya bersabar jangan buru-buru menikahi Endang Rayungwulan dan Endang
Pramuwati apabila belum ada kejelasan nasib Bambang Pramusinta.
Bambang Pramusinta berterima kasih atas kebaikan hati Dewi Tegawati yang telah
melindungi istri dan adiknya. Ia lalu mohon pamit pulang ke Desa Pandansurat, namun Dewi
Tegawati mencegahnya. Sekarang kedua kakaknya telah tewas, sehingga dirinya yang
menjadi ahli waris Kerajaan Bulukatiga. Namun, ia merasa tidak sanggup memimpin
negara, dan meminta Bambang Pramusinta saja yang mewakilinya sebagai raja. Bambang
Pramusinta merasa keberatan, namun Dewi Tegawati terus memaksa, karena kasihan
rakyat Bulukatiga apabila tidak ada yang memimpin.
Bambang Pramusinta akhirnya mengabulkan keinginan Dewi Tegawati. Ia menjawab
bersedia menjadi raja wakil di Kerajaan Bulukatiga. Dewi Tegawati merasa lega dan ia pun
menyatakan hendak hidup menyepi sebagai pendeta untuk menebus dosa kedua kakaknya.
Prabu Kresna tersenyum dan menyindir Raden Arjuna yang gagal mendapat hadiah. Raden
Arjuna tertunduk malu dan meminta agar masalah ini jangan pernah diungkit-ungkit lagi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah Bambang Pramusinta ini saya susun sebagai satu rangkaian dengan kisah Endang
Sugatawati. Mengenai kisah Prabu Bomantara menyerang Kerajaan Awu-awulangit dan
Selamirah, serta kebaikan Dewi Tegawati adalah tambahan dari saya.
KITAB WAYANG PURWA

PARTAJUMENA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Raden Partajumena putra Prabu Kresna
dengan Dewi Kusumadewati putri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo yang dirangkum oleh Ki Rudy Wiratama, dengan disertai pengembangan
seperlunya.
Kediri, 20 April 2018
Heri Purwanto

Raden Partajumena

PRABU KRESNA HENDAK MENIKAHKAN RADEN PARTAJUMENA


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati sedang memimpin pertemuan dan
menerima kedatangan sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Dalam
pertemuan itu, Prabu Kresna membahas tentang rencana menikahkan Raden Partajumena
dengan Dewi Kusumadewati, putri Raden Arjuna di Kesatrian Madukara.
Raden Partajumena adalah putra Prabu Kresna yang lahir dari Dewi Rukmini. Ia jarang
tinggal di istana Dwarawati karena lebih suka berkelana mencari ilmu kesaktian, mirip
seperti ayahnya semasa muda dulu, yaitu saat masih bernama Raden Narayana. Di antara
para putra Prabu Kresna, Raden Partajumena adalah yang paling sakti. Meskipun demikian,
ia sama sekali tidak tertarik untuk memanfaatkan kesaktiannya demi mendapatkan
kedudukan sebagai putra mahkota. Lagipula, Raden Partajumena sangat menghormati
keputusan sang ayah yang telah menetapkan kakaknya, yaitu Raden Samba sebagai calon
raja Dwarawati kelak.
Prabu Kresna merasa sudah cukup Raden Partajumena berkelana mencari
pengalaman. Kini tiba waktunya bagi putranya itu untuk mengabdikan ilmu demi
kepentingan negara. Untuk itu, Prabu Kresna pun berniat menikahkan Raden Partajumena
dengan putri Raden Arjuna yang bernama Dewi Kusumadewati. Dengan memiliki istri, maka
kehidupan Raden Partajumena diharapkan bisa lebih baik dan lebih dewasa dalam bersikap
karena adanya pendamping hidup.
Prabu Baladewa menyetujui rencana Prabu Kresna tersebut. Ia pun menawarkan diri
untuk menjadi pelamar ke Kesatrian Madukara. Prabu Kresna berterima kasih dan
mengajak Prabu Baladewa untuk makan bersama terlebih dahulu. Namun, Prabu Baladewa
menolak karena urusan makan bisa dilakukan nanti apabila sudah selesai urusan
perjodohan.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah dirasa cukup, Prabu Baladewa pamit berangkat menuju Kesatrian Madukara
di Kerajaan Amarta. Prabu Kresna pun memerintahkan Arya Setyaki agar ikut menemani
perjalanan sang kakak.

PRABU KLANAWASESA INGIN MENIKAHI DEWI KUSUMADEWATI


Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Klanawasesa dari Kerajaan Simbarmanyura.
Hari itu ia memanggil panakawan Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk dimintai keterangan
tentang mimpinya. Semalam Prabu Klanawasesa mimpi bertemu seorang gadis cantik
bernama Dewi Kusumadewati. Gadis itu mengaku sebagai putri Raden Arjuna di Kesatrian
Madukara. Prabu Klanawasesa seketika jatuh cinta kepada gadis dalam mimpinya tersebut,
dan bertanya kepada Kyai Togog di mana letak Kesatrian Madukara.
Kyai Togog pun bercerita bahwa Kesatrian Madukara berada di wilayah Kerajaan
Amarta. Raden Arjuna sendiri adalah kesatria nomor tiga dari Pandawa Lima yang
termasyhur namanya. Jika gadis bernama Dewi Kusumadewati yang ditemui Prabu
Klanawasesa dalam mimpi berparas cantik, hal itu sangat wajar karena Raden Arjuna
sendiri juga terkenal sebagai manusia paling tampan di muka bumi.
Prabu Klanawasesa semakin tertarik mendengarnya. Ia pun membulatkan tekad untuk
menikahi Dewi Kusumadewati. Apabila Raden Arjuna tidak mengabulkan lamarannya,
maka Kesatrian Madukara akan ia hancurkan rata dengan tanah. Kyai Togog dan Bilung
menasihati Prabu Klanawasesa agar jangan bertindak gegabah, karena para Pandawa
bukanlah manusia sembarangan. Jika Prabu Klanawasesa hendak mencari perkara dengan
Raden Arjuna, maka itu namanya mencari mati. Prabu Klanawasesa tidak gentar sama
sekali. Ia pun menyiapkan pasukan dan berangkat menuju Kerajaan Amarta.

PASUKAN SIMBARMANYURA BENTROK DENGAN ROMBONGAN DARI DWARAWATI


Prabu Klanawasesa dan pasukannya telah meninggalkan Kerajaan Simbarmanyura
menuju Kesatrian Madukara di Kerajaan Amarta. Di tengah jalan, mereka berpapasan
dengan rombongan dari Kerajaan Dwarawati, di mana Arya Setyaki berada paling depan.
Setelah mengetahui bahwa tujuan Prabu Klanawasesa hendak melamar Dewi
Kusumadewati, Arya Setyaki pun berusaha menggagalkannya. Maka, terjadilah
pertempuran antara kedua rombongan tersebut.
Meskipun jumlah pasukan Simbarmanyura lebih banyak, namun Arya Setyaki mampu
memporak-porandakan mereka. Prabu Klanawasesa marah melihat pasukannya diobrak-
abrik. Ia pun maju menyerang Arya Setyaki. Kali ini ganti Arya Setyaki yang terdesak.
Melihat itu, Prabu Baladewa segera turun dari punggung Gajah Puspadenta dan bertarung
menghadapi Prabu Klanawasesa.
Prabu Klanawasesa terdesak menghadapi serangan Prabu Baladewa yang khas
disertai makian menggelegar. Ia pun memerintahkan pasukannya yang tersisa untuk
mundur kembali ke Kerajaan Simbarmanyura, sedangkan ia sendiri melanjutkan perjalanan
menuju Kesatrian Madukara untuk menculik Dewi Kusumadewati.

DANGHYANG DRUNA MELAMAR DEWI KUSUMADEWATI UNTUK RADEN LESMANA


MANDRAKUMARA
Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna menerima kedatangan gurunya, yaitu
Danghyang Druna yang ditemani Patih Sangkuni. Keduanya datang atas perintah Prabu
Duryudana di Kerajaan Hastina yang ingin menikahkan putra mahkota Raden Lesmana
Mandrakumara dengan Dewi Kusumadewati. Danghyang Druna berharap Raden Arjuna
menerima lamaran tersebut sehingga para Pandawa dan Kurawa bisa mempererat
persaudaraan.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Arjuna belum menjawab, tiba-tiba datang Prabu Baladewa bersama Arya
Setyaki. Sama seperti rombongan dari Kerajaan Hastina, Prabu Baladewa pun datang untuk
menyampaikan lamaran Prabu Kresna terhadap Dewi Kusumadewati sebagai calon istri
Raden Partajumena.
Danghyang Druna menyela, bahwa yang pertama datang melamar adalah pihaknya,
maka seharusnya lamaran mereka yang diterima. Prabu Baladewa berkata, lamaran pihak
Hastina belum mendapat jawaban dari sang tuan rumah, itu artinya orang lain masih
mempunyai kesempatan yang sama. Patih Sangkuni menyindir, sejak dulu Prabu Baladewa
selalu melamarkan anak orang lain, kadang anak Prabu Duryudana, kadang anak Prabu
Kresna, tetapi anak sendiri belum dinikahkan. Prabu Baladewa semakin marah dan memaki
Patih Sangkuni tidak perlu mencampuri urusan rumah tangganya.
Raden Arjuna melerai pertengkaran mereka sebelum berubah menjadi perkelahian. Ia
pun memanggil putrinya yang menjadi rebutan, yaitu Dewi Kusumadewati. Gadis itu disuruh
memilih, lamaran pihak mana yang akan diterima, apakah menjadi istri Raden Lesmana
Mandrakumara, ataukah menjadi istri Raden Partajumena? Dewi Kusumadewati tidak dapat
menjawab sekarang. Ia bercerita bahwa dirinya sejak kecil suka belajar menabuh gamelan,
maka kelak jika menikah ingin rasanya pernikahannya diiringi alunan musik gamelan
Lokananta milik Kahyangan Suralaya.
Patih Sangkuni menyebut Dewi Kusumadewati anak kecil yang suka berkhayal. Ia
menjanjikan gamelan milik Kerajaan Hastina juga merdu, tidak kalah dengan milik
Kahyangan Suralaya. Di lain pihak, Prabu Baladewa menyatakan pihak Kerajaan Dwarawati
siap mewujudkan syarat tersebut. Dulu sewaktu Raden Arjuna melamar Dewi Sumbadra,
dirinya telah mengajukan syarat-syarat berat.
Sekarang jika pihak Madukara yang mengajukan syarat seperti itu, ia siap menerima.
Usai berkata, Prabu Baladewa dan Arya Setyaki pun pamit kembali ke Kerajaan Dwarawati.
Karena sudah diputuskan demikian, Danghyang Druna ikut pamit pula, dengan disertai
Patih Sangkuni.

PRABU KRESNA MEMERINTAHKAN RADEN PARTAJUMENA MEMINTA BANTUAN


KYAI SEMAR
Prabu Baladewa dan rombongan telah kembali ke Kerajaan Dwarawati dan
menceritakan apa yang menjadi syarat pihak mempelai wanita. Prabu Kresna
menyampaikan hal itu kepada Raden Partajumena dan memerintahkannya untuk
menyerahkan hidup mati kepada Kyai Semar. Raden Partajumena mematuhi dan segera
mohon pamit menuju Desa Karangkadempel.
Sesampainya di sana, Raden Partajumena segera menemui Kyai Semar dan
menyerahkan hidup mati kepadanya. Kyai Semar tanggap dan mengetahui pasti Prabu
Kresna yang memerintahkan demikain. Ia lalu bertanya ada masalah apa yang sedang
dihadapi Raden Partajumena. Raden Partajumena pun menceritakan tentang persyaratan
yang diajukan calon istrinya, yaitu Dewi Kusumadewati. Persyaratan tersebut ialah harus
dapat menyediakan Gamelan Lokananta dari Kahyangan Suralaya. Kyai Semar berkata, ini
hanya masalah kecil. Ia menyatakan bersedia mengantar Raden Partajumena naik ke
kahyangan.

DANGHYANG DRUNA MEMINTA BANTUAN BATARI WILOTAMA


Sementara itu, Danghyang Druna juga sedang mencari cara bagaimana bisa
mewujudkan Gamelan Lokananta yang diminta Dewi Kusumadewati. Ia lalu duduk bersila
KITAB WAYANG PURWA

di bawah pohon, memohon petunjuk dewata. Tiba-tiba datang seorang bidadari turun dari
langit, yaitu Batari Wilotama.
Dahulu kala Batari Wilotama pernah mengalami kutukan sehingga berubah menjadi
kuda sembrani. Saat itu Danghyang Druna masih bernama Bambang Kumbayana, sedang
dalam perjalanan menuju Tanah Jawa mencari sahabatnya yang bernama Raden Sucitra.
Bambang Kumbayana terhalang lautan dan ia pun dihampiri si kuda sembrani penjelmaan
Batari Wilotama.
Bambang Kumbayana lalu menunggangi punggung kuda itu yang ternyata mampu
terbang di angkasa. Ketika sedang berada di punggung kuda, Bambang Kumbayana tertidur
dan mimpi bertemu Dewi Krepi hingga menyebabkan mimpi basah. Air maninya jatuh ke
laut dan disambar oleh si kuda sembrani. Sesampainya di Tanah Jawa, kuda sembrani itu
hamil dan tidak mau berpisah dengan Bambang Kumbayana. Hingga akhirnya, ia pun
melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Bambang Aswatama.
Bambang Kumbayana malu diejek orang karena mempunyai anak dari seekor kuda,
sehingga ia pun menusuk kuda sembrani tersebut. Sungguh ajaib, si kuda sembrani
berubah wujud menjadi Batari Wilotama yang kemudian kembali ke kahyangan. Bambang
Kumbayana lalu melanjutkan perjalanan dan berjumpa dengan gadis dalam mimpinya, yaitu
Dewi Krepi yang bersedia menjadi istrinya. Dewi Krepi pun mengasuh Bambang Aswatama
bagaikan anak kandungnya sendiri.
Kini, Batari Wilotama datang lagi di hadapan Danghyang Druna. Ia datang untuk
membalas jasa karena dulu telah dibebaskan dari kutukan. Danghyang Druna pun meminta
bantuan agar dipinjamkan Gamelan Lokananta dari Kahyangan Suralaya. Batari Wilotama
bersedia lalu ia pun segera melesat terbang ke sana.

RADEN PARTAJUMENA MENDAPATKAN GAMELAN LOKANANTA


Raden Partajumena didampingi Kyai Semar dan para panakawan lainnya, yaitu Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong telah sampai di Kahyangan Suralaya. Batara Indra menerima
kedatangan mereka. Raden Partajumena menyembah hormat kepada Batara Indra,
sedangkan Batara Indra menyembah kepada Kyai Semar yang merupakan penjelmaan
Batara Ismaya, kakak dari ayahnya (Batara Guru).
Kyai Semar pun berterus terang bahwa kedatangan mereka ialah untuk meminjam
Gamelan Lokananta sebagai syarat pernikahan Raden Partajumena dengan Dewi
Kusumadewati. Konon gamelan ini dapat berbunyi sendiri dan suaranya menggema di
angkasa. Batara Indra berkata ia bersedia meminjamkan Gamelan Lokananta, namun
setelah hajatan pernikahan selesai, harus segera dikembalikan ke Kahyangan Suralaya.
Kyai Semar dan Raden Partajumena menyatakan bersedia.
Batara Indra lalu memasukkan Gamelan Lokananta tersebut ke dalam sebuah
kendaga (peti) pusaka. Gamelan yang jumlahnya seperangkat itu secara ajaib bisa masuk
ke dalam sebuah kotak kecil yang kemudian diserahkan kepada Raden Partajumena.
Batara Indra berpesan agar Raden Partajumena berhati-hati karena para Kurawa pasti ingin
merebut peti tersebut.
Raden Partajumena berterima kasih atas kemurahan hati Batara Indra. Ia dan para
panakawan lalu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya.

RADEN PARTAJUMENA DIHADANG RAKSASA


Dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Dwarawati, tiba-tiba Raden Partajumena
dan para panakawan dihadang raksasa yang mengaku bernama Ditya Wilasura. Raksasa
itu berusaha merebut kotak yang dibawa Raden Partajumena. Namun, Raden Partajumena
KITAB WAYANG PURWA

bukanlah pemuda sembarangan. Ia dengan cekatan mampu mengatasi raksasa itu dan
membunuhnya.
Akan tetapi, Ditya Wilasura seolah memiliki nyawa rangkap. Begitu dibunuh, ia bisa
hidup kembali dan menyerang Raden Partajumena. Berkali-kali Raden Partajumena
membunuhnya, namun raksasa itu selalu dapat hidup kembali.
Kyai Semar melihat ada yang tidak beres. Ia pun menghampiri raksasa tersebut dan
mengerahkan kentut saktinya. Raksasa itu muntah-muntah dan berubah kembali ke wujud
asal, yaitu Batari Wilotama. Karena takut kepada Kyai Semar, Batari Wilotama pun melesat
pergi ke tempat Danghyang Druna.

PARA KURAWA MENGEROYOK RADEN PARTAJUMENA


Batari Wilotama telah tiba di hadapan Danghyang Druna dan melaporkan
kegagalannya. Ia menceritakan bahwa Gamelan Lokananta sudah didapatkan Raden
Partajumena, namun ada Kyai Semar di samping pemuda itu. Terus terang Batari Wilotama
tidak berani jika berhadapan dengan Kyai Semar. Usai meminta maaf, bidadari itu pun
terbang kembali ke kahyangan.
Danghyang Druna merasa kecewa. Ia segera memberi tahu Patih Sangkuni tentang
kegagalan Batari Wilotama. Patih Sangkuni lalu memerintahkan para Kurawa untuk
mengeroyok Raden Partajumena dan merebut kotak berisi Gamelan Lokananta yang
dibawa pemuda itu.
Arya Dursasana, Raden Surtayu, Raden Kartawarma, Raden Durmagati, dan para
Kurawa lainnya, serta Adipati Jayadrata dan Bambang Aswatama segera pergi
menghadang Raden Partajumena dan para panakawan. Mereka mengira Raden
Partajumena seorang pemuda manja seperti Raden Samba yang selalu mengandalkan
Arya Setyaki. Kebetulan Arya Setyaki tidak ada di situ, sehingga tidak ada yang perlu
dikhawatirkan oleh para Kurawa.
Namun, para Kurawa salah menduga. Raden Partajumena bukanlah seorang pemuda
manja yang suka hidup nyaman di istana, melainkan gemar berkelana dan memiliki banyak
pengalaman. Dengan cekatan ia mampu mengatasi para Kurawa meskipun dikeroyok dari
segala arah. Kesaktian Raden Partajumena tidak berbeda seperti Prabu Kresna di masa
muda dulu. Justru Arya Dursasana dan adik-adiknya yang dibuat kacau balau karena terlalu
meremehkan lawan. Mereka pun berhamburan menyelamatkan diri, kembali ke Kerajaan
Hastina.

PERKAWINAN RADEN PARTAJUMENA DAN DEWI KUSUMADEWATI


Raden Arjuna di Kesatrian Madukara telah mendapat kabar bahwa Gamelan
Lokananta berhasil disediakan oleh pihak Kerajaan Dwarawati. Dengan senang hati ia pun
memberi tahu para Pandawa lainnya dan juga para putra untuk bersama-sama
mempersiapkan upacara pernikahan antara Dewi Kusumadewati dengan Raden
Partajumena.
Pada hari yang telah ditentukan, rombongan pengantin pria datang dari Kerajaan
Dwarawati. Raden Partajumena terlihat tampan dalam busana pengantin, sangat serasi
dengan Dewi Kusumadewati yang cantik jelita. Keduanya pun dinikahkan, dengan diiringi
alunan suara Gamelan Lokananta yang berkumandang di awang-awang.
Para Pandawa sibuk menerima para tamu, sehingga tidak menyadari ada penyusup
yang berbaur di antara para hadirin. Penyusup itu adalah Prabu Klanawasesa raja
Simbarmanyura yang hendak menculik Dewi Kusumadewati. Akan tetapi, pandangan
matanya kemudian tertuju pada Dewi Pregiwa yang sibuk mengatur keluar-masuknya
KITAB WAYANG PURWA

hidangan. Prabu Klanawasesa menjadi berubah pikiran. Ia tidak lagi berniat menculik Dewi
Kusumadewati, tetapi ganti menyambar Dewi Pregiwa.
Para dayang pun menjerit-jerit karena Dewi Pregiwa diculik orang. Hal itu terdengar
olah Raden Gatutkaca. Segera Raden Gatutkaca pun terbang mengejar penculik istrinya.
Dalam sekejap Prabu Klanawasesa dapat tersusul. Prabu Klanawasesa tidak menyangka
ada manusia yang bisa terbang mengejar dirinya. Raden Gatutkaca tanpa banyak bicara
langsung melabrak raja Simbarmanyura tersebut.
Pertarungan sengit pun terjadi. Prabu Klanawasesa sebenarnya cukup sakti, namun
tidak mampu menandingi kesaktian Raden Gatutkaca. Akhirnya ia pun tewas dengan kepala
dicopot oleh lawannya itu. Raden Gatutkaca lalu memeluk Dewi Pregiwa dan membawa
istrinya itu kembali ke tempat pesta pernikahan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Mengenai Prabu Klanawasesa dan juga raksasa penjelmaan Batari Wilotama dalam kisah di atas
adalah tambahan dari saya.
KITAB WAYANG PURWA

WISATA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Raden Wisata putra Prabu Baladewa
dengan Dewi Nilawati putri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber balungan naskah Pakem Ringgit Purwa koleksi Museum
Sonobudoyo yang dirangkum oleh Ki Rudy Wiratama, dengan disertai pengembangan
seperlunya.
Kediri, 05 Mei 2018
Heri Purwanto

Raden Wisata

PRABU BALADEWA MEMINTA BANTUAN PRABU KRESNA UNTUK PERNIKAHAN


RADEN WISATA
Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati sedang memimpin pertemuan yang
dihadiri Raden Samba Wisnubrata, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Tiba-tiba datanglah
sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura bersama putra sulungnya, yaitu
Raden Wisata. Dalam kunjungannya itu, Prabu Baladewa hendak meminta tolong kepada
Prabu Kresna untuk membantu kelancaran pernikahan Raden Wisata.
Prabu Baladewa bercerita bahwa dulu saat melamar Dewi Kusumadewati putri Raden
Arjuna sebagai calon istri Raden Partajumena, ia sempat dihina Patih Sangkuni. Dirinya
disebut seperti pesuruh, kadang disuruh Prabu Duryudana melamarkan putra Kerajaan
Hastina, kadang disuruh Prabu Kresna melamarkan putra Kerajaan Dwarawati. Padahal,
Prabu Baladewa sendiri mempunyai dua putra, yaitu Raden Wisata dan Raden Wilmuka,
tetapi sama sekali tidak pernah bertindak untuk mereka.
Prabu Baladewa tersinggung atas ucapan Patih Sangkuni tersebut. Maka, setelah
pernikahan Raden Partajumena dengan Dewi Kusumadewati, Prabu Baladewa pun datang
lagi ke Kesatrian Madukara untuk melamar putri Raden Arjuna yang lain, yaitu yang
bernama Dewi Nilawati, sebagai calon istri Raden Wisata. Namun, lagi-lagi Prabu Baladewa
datang bersamaan dengan Patih Sangkuni yang juga melamar Dewi Nilawati untuk menjadi
calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Raden Arjuna kembali bimbang dan tidak tahu
harus menerima lamaran dari pihak yang mana. Akhirnya, diadakanlah sayembara,
barangsiapa bisa mendatangkan Payung Garuda Nglayang, maka dialah yang akan
menjadi suami Dewi Nilawati.
Oleh sebab itulah, Prabu Baladewa dan Raden Wisata tidak langsung pulang ke
Kerajaan Mandura, melainkan singgah dulu ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk
kepada Prabu Kresna tentang apa itu yang disebut Payung Garuda Nglayang.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna menjawab dirinya juga tidak pernah mendengar ada payung bernama
Garuda Nglayang. Namun, hal-hal yang berkenaan dengan dunia binatang tiada orang yang
pengetahuannya melebihi Resi Jembawan, yaitu mertua Prabu Kresna yang menjadi juru
kunci Astana Gandamadana. Sepertinya hanya dia seorang yang mengetahui adanya
Payung Garuda Nglayang.
Prabu Kresna lalu memanggil Raden Partajumena dan memerintahkan putranya itu
untuk pergi ke Astana Gandamadana, meminta petunjuk Resi Jembawan mengenai Payung
Garuda Nglayang. Prabu Baladewa pun memerintahkan Raden Wisata untuk ikut pergi
menemani Raden Partajumena.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna pun membubarkan pertemuan. Ia mengajak
Prabu Baladewa bersama-sama masuk ke sanggar pemujaan untuk meminta restu Yang
Mahakuasa agar pernikahan Raden Wisata mendapatkan kelancaran.

PRABU KALADURGAMA JATUH CINTA KEPADA DEWI NILAWATI


Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Kaladurgama yang memimpin
Kerajaan Timbultaunan. Ia memiliki seorang adik yang menjabat sebagai patih, bernama
Patih Durgamakala, serta seorang pengasuh kesayangan bernama Emban
Durgamarungsit. Pada suatu hari ia memanggil kedua orang kepercayaannya itu untuk
membicarakan mimpinya tadi malam.
Prabu Kaladurgama bercerita bahwa tadi malam ia mimpi bertemu seorang gadis yang
sangat cantik, bernama Dewi Nilawati dari Kesatrian Madukara, masuk wilayah Kerajaan
Amarta. Prabu Kaladurgama terbangun dari tidur dan tidak dapat melupakan gadis dalam
mimpinya itu. Ia pun bertanya kepada Patih Durgamakala dan Emban Durgamarungsit di
mana letak Kerajaan Amarta tersebut.
Patih Durgamakala tidak dapat menjawab karena wawasannya kurang luas. Emban
Durgamarungsit kebetulan mengetahui bahwa Kerajaan Amarta adalah negeri yang dihuni
lima bersaudara para Pandawa. Rajanya bernama Prabu Puntadewa. Adapun Kesatrian
Madukara adalah tempat tinggal Pandawa nomor tiga, yaitu Raden Arjuna. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Dewi Nilawati dalam mimpi Prabu Kaladurgama itu
adalah putri Raden Arjuna.
Prabu Kaladurgama semakin senang dan merasa tidak sabar. Ia pun memerintahkan
Patih Durgamakala dan Emban Durgamarungsit untuk berangkat melamar Dewi Nilawati.
Apabila tidak diberikan, maka sebaiknya direbut dengan menggunakan kekerasan saja.
Patih Durgamakala dan Dewi Nilawati pun mohon pamit melaksanakan perintah.

PASUKAN TIMBULTAUNAN BENTROK DENGAN RADEN WISATA DAN RADEN


PARTAJUMENA
Patih Durgamakala dan Emban Durgamarungsit memimpin pasukan raksasa
meninggalkan wilayah Kerajaan Timbultaunan. Di tengah jalan mereka bertemu Raden
Wisata dan Raden Partajumena. Patih Durgamakala bertanya ke mana arah jalan menuju
Kesatrian Madukara. Raden Wisata bertanya balik ada perlu apa mereka hendak ke sana.
Patih Durgamakala menjawab hendak merebut Dewi Nilawati. Raden Wisata marah karena
Dewi Nilawati adalah calon istrinya. Ia pun menantang Patih Durgamakala harus
melangkahi mayatnya dulu sebelum pergi ke Kesatrian Madukara.
Patih Durgamakala melayani tantangan itu. Pertempuran pun terjadi. Raden Wisata
dan Raden Partajumena hanya dua orang tetapi mampu memukul mundur pasukan raksasa
tersebut. Patih Durgamakala dan Emban Durgamarungsit terpaksa melarikan diri.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah jauh dari kedua lawannya, Emban Durgamarungsit dan Patih Durgamakala
pun berunding. Mereka memutuskan untuk mengurungkan niat menyerang Kesatrian
Madukara. Emban Durgamarungsit akan berangkat sendiri menuju ke sana untuk menculik
Dewi Nilawati, sedangkan Patih Durgamakala sebaiknya pulang saja ke Kerajaan
Timbultaunan melapor kepada Prabu Kaladurgama.

KAPI JEMBAWAN MEMBERI PETUNJUK KEPADA RADEN WISATA DAN RADEN


PARTAJUMENA
Sementara itu, Raden Wisata dan Raden Partajumena telah sampai di Gunung
Gandamadana, menghadap Resi Jembawan. Saat itu Resi Jembawan sedang
mengajarkan ilmu kebatinan kepada cucunya, yaitu Raden Gunadewa. Resi Jembawan
menyambut mereka lalu bertanya ada keperluan apa datang ke Astana Gandamadana.
Raden Partajumena menjawab, dirinya diutus sang ayah untuk menemani Raden
Wisata mencari di mana keberadaan Payung Garuda Nglayang. Payung ini menjadi syarat
untuk Raden Wisata mempersunting Dewi Nilawati, putri Raden Arjuna. Prabu Kresna
berkata bahwa di dunia ini yang memiliki wawasan luas mengenai hal-hal yang menyangkut
dunia binatang adalah Resi Jembawan. Maka, Raden Wisata dan Raden Partajumena pun
berangkat ke Astana Gandamadana untuk meminta petunjuk tentang hal itu.
Resi Jembawan berkata Prabu Kresna terlalu memuji dirinya yang sudah tua renta
menunggu mati. Mengenai Payung Garuda Nglayang, yang ia tahu adalah milik Garuda
Sampati. Saat ini Garuda Sampati sedang bertapa menempati bekas pertapaan Resi
Kesawasidi di Gunung Kutarunggu. Hendaknya Raden Wisata dan Raden Partajumena
meminta kepadanya di sana.
Raden Wisata dan Raden Partajumena berterima kasih, lalu mohon pamit berangkat
ke Gunung Kutarunggu.
Rupanya kedua pemuda itu tidak mengetahui bahwa Patih Sangkuni diam-diam
mengikuti perjalanan mereka. Patih Sangkuni juga menguping pembicaraan mereka
dengan Resi Jembawan. Maka, begitu mengetahui di mana keberadaan Payung Garuda
Nglayang, Patih Sangkuni pun buru-buru turun gunung untuk memberi tahu para Kurawa
yang menunggu di bawah. Bersama-sama mereka lalu berangkat menuju tempat Garuda
Sampati bertapa.

PATIH SANGKUNI DAN PARA KURAWA MENDATANGI GARUDA SAMPATI


Di Gunung Kutarunggu, Garuda Sampati bersamadi seorang diri. Tidak lama
kemudian ia terbangun karena kedatangan Patih Sangkuni dan para Kurawa. Mereka
menyampaikan maksud kedatangan, yaitu ingin meminta Payung Garuda Nglayang.
Garuda Sampati menjawab, jika ingin meminta payung miliknya maka harus melewati ujian
terlebih dulu.
Patih Sangkuni menjawab tidak perlu diuji, cukup sebutkan saja berapa harga yang
harus dibayar untuk membeli Payung Garuda Nglayang. Garuda Sampati menjawab, dirinya
sudah tua, sudah berumur ratusan tahun, sudah tidak lagi tertarik pada harta benda. Ia
bersikeras para Kurawa harus melalui ujian darinya, jika ingin mendapatkan Payung Garuda
Nglayang. Patih Sangkuni dan para Kurawa akhirnya menjawab bersedia.
Garuda Sampati lalu mengepakkan sayapnya berkali-kali. Patih Sangkuni dan para
Kurawa tertawa mengejek karena Garuda Sampati adalah burung gundul yang tidak
memiliki bulu. Akan tetapi, tiba-tiba angin topan muncul menderu dari kepakan sayap
garuda tersebut. Patih Sangkuni dan para Kurawa tidak mampu bertahan dan tubuh mereka
pun melayang terbang meninggalkan Gunung Kutarunggu.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN WISATA DAN RADEN PARTAJUMENA MENDATANGI GARUDA SAMPATI


Setelah Patih Sangkuni dan para Kurawa terempas jauh, Raden Wisata dan Raden
Partajumena datang menghadap Garuda Sampati. Mereka menyembah hormat dan
memohon untuk dapat dipinjami Payung Garuda Nglayang. Sikap kedua pemuda ini sopan
penuh tata krama tidak seperti rombongan yang tadi, membuat Garuda Sampati merasa
senang. Namun, ujian tetap harus dilaksanakan jika ingin mendapatkan Payung Garuda
Nglayang.
Raden Wisata dan Raden Partajumena menjawab siap. Garuda Sampati pun
mengepakkan sayapnya yang polos tanpa bulu. Angin besar menderu menerjang mereka.
Namun, kedua pemuda itu menyambut dengan cara berdiri tegak sambil mengheningkan
cipta. Semakin kuat kepakan sayap Garuda Sampati, semakin kuat pula kaki mereka
menapak di tanah.
Garuda Sampati menghentikan kepakan sayapnya dan mempersilakan Raden Wisata
untuk mengambil sendiri Payung Garuda Nglayang yang ada di belakangnya. Raden Wisata
meminta izin lalu mengangkat payung tersebut. Ternyata Payung Garuda Nglayang terbuat
dari bulu tubuh Garuda Sampati sendiri yang indah dan berwarna-warni.
Garuda Sampati bercerita, pada zaman dahulu ia bersahabat dengan Resi
Rawatmeja, adik Prabu Banaputra di Kerajaan Ayodya. Pada suatu hari Prabu Rahwana
raja Alengka datang menyerang Kerajaan Ayodya untuk merebut Dewi Kosalya, istri Resi
Rawatmeja. Prabu Banaputra dan Resi Rawatmeja gugur di tangan raja raksasa tersebut.
Garuda Sampati berusaha melindungi Dewi Kosalya, namun ia dikalahkan pula oleh Prabu
Rahwana. Dengan kejam, Prabu Rahwana mencabuti semua bulu di tubuh Garuda Sampati
hingga gundul.
Garuda Sampati lalu memberikan selembar bulunya yang tersisa kepada Dewi
Kosalya dan berpesan kepada wanita itu agar pergi meminta perlindungan adiknya yang
bernama Garuda Jatayu. Adapun Garuda Jatayu saat itu sedang bersama kawannya yang
bernama Raden Dasarata. Dengan mengayuh selembar bulu milik Garuda Sampati, Dewi
Kosalya dapat berlari kencang hingga sampai ke hadapan Raden Dasarata dan Garuda
Jatayu. Kelak Dewi Kosalya dan Raden Dasarata akhirnya menikah, hingga kemudian
melahirkan seorang putra yang termahsyur namanya, yaitu Prabu Sri Rama.
Sementara itu, Garuda Sampati memunguti bulu-bulunya yang berserakan di tanah,
lalu merangkainya menjadi sebuah payung, yang diberi nama Payung Garuda Nglayang.
Ternyata Yang Mahakuasa memberinya umur panjang, sama seperti umur Resi Jembawan
di Astana Gandamadana yang dulu juga pernah mengabdi kepada Prabu Sri Rama.
Raden Wisata dan Raden Partajumena terkesan mendengar cerita Garuda Sampati.
Mereka lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Dwarawati. Mengenai Payung Garuda
Nglayang akan dikembalikan apabila upacara pernikahan antara Raden Wisata dengan
Dewi Nilawati telah selesai.

RADEN WISATA DAN RADEN PARTAJUMENA DIHADANG PARA KURAWA


Raden Wisata dan Raden Partajumena telah jauh meninggalkan Gunung Kutarunggu.
Tiba-tiba mereka dihadang Patih Sangkuni dan para Kurawa di tengah jalan, yang berniat
merebut Payung Garuda Nglayang. Sudah tentu Raden Wisata tidak sudi menyerahkannya.
Arya Dursasana segera mengerahkan adik-adiknya untuk merebut payung tersebut secara
paksa.
Raden Wisata dan Raden Partajumena pun membela diri dari serangan mereka.
Raden Partajumena dulu memang pernah mengalahkan para Kurawa saat bersaing
KITAB WAYANG PURWA

mencari Gamelan Lokananta. Namun, para Kurawa yang datang hari ini jauh lebih banyak,
dan langsung mengeroyok mereka. Karena terdesak, Raden Partajumena pun meminjam
Payung Garuda Nglayang dari tangan Raden Wisata, lalu mengibas-ngibaskannya,
menghasilkan angin besar yang menderu-deru.
Patih Sangkuni dan para Kurawa tidak menyangka Payung Garuda Nglayang dapat
mengeluarkan kekuatan seperti itu. Lagi-lagi mereka pun terhempas terbang hingga jauh
sekali meninggalkan tempat itu.

DEWI NILAWATI HILANG DICULIK ORANG


Raden Arjuna di Kesatrian Madukara telah mendengar berita bahwa Payung Garuda
Nglayang berhasil didapatkan Raden Wisata. Maka, ia pun mengundang para Pandawa
lainnya untuk bersama-sama mempersiapkan upacara pernikahan Dewi Nilawati.
Pada hari yang ditentukan, rombongan pengantin pria dari Kerajaan Mandura pun tiba.
Raden Wisata mengenakan busana pengantin terlihat gagah, dengan dipayungi Raden
Partajumena menggunakan Payung Garuda Nglayang. Tampak pula Prabu Kresna, Prabu
Baladewa, Raden Samba, Arya Setyaki, dengan istri masing-masing berada di belakang
mereka. Raden Arjuna selaku tuan rumah menyambut kedatangan mereka dengan hangat.
Tiba-tiba ibu mempelai wanita, yaitu Dewi Adiningsih muncul sambil menangis. Ia
melaporkan bahwa anak gadisnya telah hilang diculik seorang raksasi. Prabu Baladewa
marah-marah menuduh Raden Arjuna melakukan rekayasa hendak menggagalkan
perjodohan ini. Namun, Raden Arjuna membantah karena ia juga baru tahu kalau Dewi
Nilawati hilang diculik orang.
Prabu Kresna lalu memercayakan urusan ini kepada Raden Partajumena. Raden
Partajumena segera mengheningkan cipta mengerahkan Aji Panggandan. Penciumannya
meningkat tajam dan ia dapat merasakan adanya bau raksasi sedang berlari menuju arah
barat. Mendengar itu, Raden Wisata segera melepas busana pengantin dan melesat pergi
ke barat untuk mengejar penculik calon istrinya tersebut. Raden Partajumena pun mengikuti
sepupunya itu dari belakang.
Penculik Dewi Nilawati tidak lain adalah Emban Durgamarungsit. Ia membawa gadis
tersebut kepada Prabu Kaladurgama yang menunggu di perbatasan Kerajaan Amarta.
Melihat mereka datang, Prabu Kaladurgama menyambut dengan gembira. Dewi Nilawati
ketakutan dan meronta minta dibebaskan. Pada saat itulah Raden Wisata dan Raden
Partajumena muncul melabrak Prabu Kaladurgama. Dalam pertarungan tersebut, Prabu
Kaladurgama tewas di tangan Raden Wisata.
Patih Durgamakala dan Emban Durgamarungsit tidak terima atas kematian raja
mereka. Keduanya pun maju menyerang. Raden Wisata segera melindungi Dewi Nilawati,
sedangkan Raden Partajumena berhasil menewaskan kedua lawannya tersebut.
Keadaan kini telah aman. Dewi Nilawati berterima kasih atas pertolongan calon
suaminya. Raden Wisata dan Raden Partajumena pun mengantarnya kembali ke Kesatrian
Madukara. Sesampainya di sana, mereka disambut Raden Arjuna, Prabu Baladewa, dan
para hadirin lainnya. Raden Wisata dan Dewi Nilawati lalu dinikahkan di bawah kemegahan
Payung Garuda Nglayang.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
CATATAN : Perubahan yang saya lakukan dari naskah aslinya adalah mengganti peran Raden Danuasmara
dengan Raden Partajumena. Selain itu, jika di naskah aslinya yang disebut Payung Garuda
Nglayang adalah Garuda Sampati sendiri, maka di sini saya mengubahnya menjadi payung yang
terbuat dari bulu tubuh Garuda Sampati.
KITAB WAYANG PURWA

PETRUK NAGIH JANJI


Kisah ini menceritakan tentang usaha Petruk menagih janji Prabu Kresna yang dulu
pernah menyanggupi Dewi Prantawati sebagai calon istrinya. Janji tersebut diucapkan
saat Petruk mengatasi serangan Prabu Pandupragolamanik penjelmaan Nala Gareng.
Kisah ini saya olah dari sumber tayangan wayang orang di TVRI dengan sedikit
perubahan seperlunya.
Kediri, 12 Mei 2018
Heri Purwanto

Petruk Kantongbolong

PRABU BALADEWA MELAMAR DEWI PRANTAWATI UNTUK RADEN LESMANA


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati sedang memimpin pertemuan yang
dihadiri Raden Samba Wisnubrata, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Tiba-tiba datanglah
sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Prabu Kresna dan yang lain pun
bergantian menyampaikan salam penghormatan kepadanya.
Prabu Baladewa berkata, kedatangannya kali ini adalah untuk melamar putri Prabu
Kresna sebagai calon istri Raden Lesmana Mandrakumara, putra Prabu Duryudana di
Kerajaan Hastina. Beberapa waktu yang lalu hubungan antara Prabu Baladewa dan Prabu
Duryudana sempat renggang dikarenakan dua hal. Yang pertama, ketika Prabu Baladewa
melamar Dewi Kusumadewati untuk Raden Partajumena yang harus bersaing dengan
Danghyang Druna yang juga melamar untuk Raden Lesmana. Yang kedua, ketika Prabu
Baladewa menikahkan Raden Wisata dengan Dewi Nilawati, juga harus bersaing dengan
pihak Kerajaan Hastina. Bahkan, Raden Wisata putranya itu sempat bentrok dengan para
Kurawa yang hendak merebut Payung Garuda Nglayang.
Kali ini Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana sama-sama ingin memperbaiki
hubungan. Maka, Prabu Baladewa pun bersedia mencarikan jodoh untuk Raden Lesmana
Mandrakumara. Karena ia tidak mempunyai anak perempuan, maka Raden Lesmana
hendak dinikahkan dengan keponakannya saja.
Prabu Kresna berkata bahwa anak perempuannya yang belum menikah saat ini tinggal
satu orang saja, yaitu Dewi Prantawati. Prabu Baladewa langsung menyatakan melamar
gadis tersebut sebagai calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Prabu Kresna merasa
ragu-ragu karena Dewi Prantawati pernah dijodohkan dengan seseorang. Namun, karena
Prabu Baladewa terus mendesak, terpaksa ia menerima lamaran ini.
KITAB WAYANG PURWA

PETRUK MENAGIH JANJI YANG PERNAH DIUCAPKAN PRABU KRESNA


Tidak lama kemudian datanglah panakawan Petruk menghadap Prabu Kresna dengan
membawa segala macam hasil bumi dan palawija. Prabu Kresna pun bertanya ada
keperluan apa ia datang ke Kerajaan Dwarawati. Apakah para Pandawa diserang musuh
sakti hingga tidak dapat meninggalkan Kerajaan Amarta dan terpaksa mengirim panakawan
untuk meminta bantuan? Ataukah ada masalah berat lainnya? Petruk pun menjawab
kedatangannya tidak ada hubungan dengan para Pandawa. Tujuannya datang ke Kerajaan
Dwarawati adalah untuk menagih janji Prabu Kresna dulu.
Petruk lalu bercerita peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu, saat Dewi Sumbadra
belum melahirkan Raden Abimanyu, saat itu terjadi kekacauan di Kerajaan Amarta karena
serangan Prabu Pandupragolamanik. Para Pandawa tidak mampu mengalahkan musuh
tersebut, sehingga Prabu Kresna meminta dirinya saja yang maju perang. Petruk merasa
keberatan karena ia hanya seorang panakawan, mana mungkin mampu mengatasi amukan
Prabu Pandupragolamanik? Namun, Prabu Kresna terus memaksa dan berusaha
meyakinkan bahwa hanya dirinya seorang yang mampu mengalahkan Prabu
Pandupragolamanik. Bahkan, Prabu Kresna saat itu sampai berjanji akan mengabulkan apa
saja yang diminta Petruk asalkan bisa mengalahkan Prabu Pandupragolamanik. Petruk
menjawab, dirinya hanya meminta anak ayam cemani. Prabu Kresna paham bahwa Petruk
meminta anak perempuannya untuk dijadikan istri. Prabu Kresna pun menyanggupi akan
mengabulkan permintaan Petruk. Saat itu, Prabu Kresna baru memiliki satu anak
perempuan bernama Dewi Prantawati yang masih kecil. Ia pun berjanji kelak apabila sudah
dewasa, maka Dewi Prantawati akan diserahkan kepada Petruk supaya diambil sebagai
istri.
Petruk kemudian maju perang dan berhasil mengalahkan Prabu Pandupragolamanik
yang ternyata penyamaran Nala Gareng, saudaranya sendiri sesama panakawan. Adapun
penyebab Nala Gareng menyamar sebagai Prabu Pandupragolamanik adalah karena
kesalahpahaman Raden Arjuna, yang menuduh dirinya telah merusakkan Jala Sutra
Tampang Kencana milik Bagawan Abyasa. Tahun demi tahun berlalu. Dewi Prantawati kini
telah tumbuh dewasa. Selain dirinya, Prabu Kresna telah mendapatkan anak-anak
perempuan lagi, antara lain Dewi Sitisundari yang dinikahkan dengan Raden Abimanyu,
serta Dewi Titisari yang dinikahkan dengan Bambang Irawan. Dewi Prantawati yang usianya
lebih tua ternyata belum juga menikah, sedangkan adik-adiknya yang perempuan semua
telah menikah. Petruk menduga itu karena sejak kecil Dewi Prantawati sudah dijodohkan
dengan dirinya.
Akan tetapi, lama menunggu tetap saja tidak ada kabar dari Prabu Kresna apakah
perjodohan tersebut bisa dilanjutkan atau tidak. Akhirnya, hari ini Petruk memberanikan diri
datang melamar, menagih janji Prabu Kresna yang sudah terucap lama itu.
Prabu Kresna hanya diam tidak menjawab. Hatinya bimbang. Di satu sisi, ia tidak tega
putrinya menjadi istri Raden Lesmana Mandrakumara yang bodoh dan manja, namun ia
sendiri sudah terlanjur menerima lamaran Prabu Baladewa. Di sisi lain, ia juga tidak rela
Dewi Prantawati menjadi istri Petruk yang hanya seorang rakyat jelata, bukan dari golongan
bangsawan atau paling tidak anak brahmana. Itulah sebabnya selama ini Prabu Kresna
selalu menunda-nunda perkawinan antara Dewi Prantawati dengan Petruk adalah karena
terdorong oleh rasa bimbangnya tersebut, meskipun ia sendiri sudah terlanjur berjanji.
Prabu Kresna akhirnya menjawab, bahwa ia sudah terlanjur menerima pinangan
Prabu Baladewa yang hendak menjadikan Dewi Prantawati sebagai calon istri Raden
Lesmana Mandrakumara. Petruk terkejut. Ia tidak menduga Prabu Kresna yang bijaksana
ternyata bisa mengingkari janji yang telah diucapkannya sendiri. Ia pun mengingatkan
bahwa janji adalah hutang. Prabu Kresna sendiri yang berjanji akan menyerahkan Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Prantawati sesudah dewasa kepada Petruk. Namun, janji itu justru dilanggar sendiri karena
Dewi Prantawati saat ini hendak dinikahkan dengan orang lain.
Prabu Baladewa marah menyebut Petruk kurang ajar berani menasihati raja. Petruk
berkata, Prabu Baladewa adalah tamu juga, jadi tidak perlu merasa lebih tinggi daripada
tamu lainnya. Prabu Baladewa semakin marah dan menyeret Petruk keluar dari istana.
Prabu Kresna termenung bimbang. Ia lalu membubarkan pertemuan dan
memerintahkan Arya Setyaki untuk menjaga keamanan Kerajaan Dwarawati. Barangsiapa
yang berbuat kekacauan sebaiknya ditindak saja. Arya Setyaki menyanggupi. Prabu Kresna
lalu masuk ke dalam kedaton.

PARA KURAWA HENDAK MEMBUNUH PETRUK


Prabu Baladewa yang menyeret Petruk segera melemparkan tubuhnya ke tengah
alun-alun. Patih Sangkuni dan para Kurawa yang menunggu di luar segera mendatangi
Prabu Baladewa dan menanyakan apa yang telah terjadi. Prabu Baladewa menjawab,
Prabu Kresna telah mengabulkan lamaran Kerajaan Hastina. Itu artinya, Raden Lesmana
Mandrakumara bisa menikah dengan Dewi Prantawati. Namun, tiba-tiba Petruk datang
menagih janji karena dulu sewaktu masih kecil, Dewi Prantawati sudah dijodohkan
dengannya.
Patih Sangkuni ikut kesal mendengar cerita tersebut. Ia pun mengajak para Kurawa
untuk mengusir Petruk dari Kerajaan Dwarawati. Apabila Petruk tetap membangkang, maka
lebih baik dibunuh saja. Arya Dursasana dan adik-adiknya segera mengikuti Patih Sangkuni.
Sementara itu, Petruk jatuh terguling-guling di tanah. Tiba-tiba muncul Raden Antareja
dan Raden Gatutkaca mendatanginya. Petruk bertanya mengapa kedua putra Arya
Wrekodara itu ada di Dwarawati. Raden Gatutkaca menjawab, pada mulanya ia dan Raden
Antareja pergi ke Desa Karangkadempel mengunjungi Kyai Semar. Meskipun Kyai Semar
hanya seorang panakawan, namun kedua pemuda itu paham bahwa ia adalah penjelmaan
Batara Ismaya. Maka, mereka pun sering mengunjungi Kyai Semar untuk meminta nasihat
dan petuah darinya.
Namun, saat itu Kyai Semar sedang bersedih karena Petruk nekad pergi ke Kerajaan
Dwarawati untuk menagih janji Prabu Kresna. Kyai Semar khawatir terjadi bencana
menimpa diri Petruk. Tanpa disuruh, Raden Antareja dan Raden Gatutkaca segera pergi
menyusul ke Kerajaan Dwarawati. Firasat Kyai Semar terbukti nyata, karena kedua pemuda
itu melihat Petruk terguling di tanah setelah tubuhnya dilempar oleh Prabu Baladewa.
Petruk berterima kasih atas perhatian Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Ia pun
bercerita ternyata Prabu Kresna ingkar janji, tidak bersedia menikahkan dirinya dengan
Dewi Prantawati, justru menerima pinangan Raden Lesmana Mandrakumara. Petruk
merasa rendah diri, sebagai orang miskin dirinya telah dihina seperti ini. Raden Antareja
dan Raden Gatutkaca merasa prihatin dan bersedia membantu Petruk.
Tidak lama kemudian Patih Sangkuni dan para Kurawa datang. Mereka mengancam
Petruk dan menyuruhnya pergi jauh, tidak perlu lagi mengharapkan Dewi Prantawati karena
sebentar lagi gadis itu akan menikah dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Petruk
menjawab tidak peduli karena yakin Dewi Prantawati pasti lebih memilih dirinya daripada
menikah dengan Raden Lesmana yang dungu.
Patih Sangkuni marah dan memerintahkan para Kurawa menghukum Petruk. Raden
Antareja dan Raden Gatutkaca segera menghalangi. Pertempuran pun terjadi. Para Kurawa
jelas tidak mampu mengatasi kedua pemuda tersebut, sedangkan Patih Sangkuni juga
sibuk dipermainkan Petruk.
KITAB WAYANG PURWA

Melihat kekacauan ini, Prabu Baladewa maju melabrak Raden Antareja dan Raden
Gatutkaca. Kedua pemuda itu gentar karena ayah mereka sewaktu muda pernah berguru
kepada Prabu Baladewa saat masih bernama Wasi Jaladara. Mereka pun mundur
menghindar dan meminta maaf kepada Petruk. Petruk sendiri memilih kabur daripada
berhadapan dengan Prabu Baladewa. Untuk sementara ia mundur, mencari cara untuk
menggagalkan pernikahan Raden Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Prantawati.

PETRUK DITOLAK RADEN ARJUNA


Petruk telah jauh meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Di tengah jalan ia melihat kedua
saudaranya, yaitu Nala Gareng dan Bagong sedang bercanda menghibur Raden Arjuna. Ia
lalu ikut bergabung bersama mereka. Raden Arjuna pun bertanya mengapa Petruk pergi
sendiri meninggalkan Desa Karangkadempel.
Petruk menjawab, dirinya pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk menagih janji Prabu
Kresna yang dulu pernah menjodohkan dirinya dengan Dewi Prantawati. Kini Dewi
Prantawati sudah dewasa, tetapi justru hendak dinikahkan dengan Raden Lesmana
Mandrakumara, bukan dengan dirinya. Petruk pun memohon bantuan Raden Arjuna agar
ikut mengingatkan Prabu Kresna, bahwa janji adalah hutang, hendaknya bisa ditepati.
Raden Arjuna menolak permintaan Petruk. Ia menyebut Petruk sebagai rakyat jelata
tidak tahu diri, berani menagih janji kepada raja. Petruk menjawab, raja adalah pemimpin.
Jika pemimpinnya mengingkari janji, bagaimana rakyat bisa tetap percaya kepada
pemimpin? Dalam urusan janji, tidak ada perbedaan tinggi rendah jabatan. Dewa sekalipun
kalau mengingkari janji juga akan jatuh martabatnya.
Raden Arjuna semakin marah dan mencabut keris untuk mengancam Petruk agar
mengurungkan niatnya menagih janji kepada Prabu Kresna. Petruk kecewa karena
majikannya ternyata tidak mendukung. Ia pun bergegas pergi meninggalkan tempat itu.

PETRUK MENDAPAT BANTUAN DARI AYAH KANDUNGNYA


Petruk yang melarikan diri akhirnya tersesat masuk ke Hutan Wanapringga. Hutan
tersebut terkenal angker, banyak dihuni segala macam hantu dan makhluk halus. Namun,
Petruk tidak takut sama sekali. Baginya lebih baik mati dimangsa hantu daripada gagal
meraih cita-cita.
Demikianlah, Petruk pun duduk di atas sebongkah batu besar di bawah pohon yang
rimbun. Berbagai macam hantu datang mengganggunya. Dasar sifat Petruk yang jenaka,
bukannya takut tetapi justru mengajak mereka bercanda. Tidak lama kemudian, muncul
sosok tinggi besar yang tidak lain adalah ayah kandung Petruk sendiri, yaitu Gandarwaraja
Swala.
Petruk aslinya juga seorang gandarwa, bernama Gandarwa Supatra. Saat masih
berwujud gandarwa, ia sangat nakal susah diatur. Gandarwaraja Swala lalu meminta
bantuan Kyai Semar untuk menjinakkan putranya itu. Kyai Semar berhasil memperbaiki
watak Gandarwa Supatra dan mengubah wujudnya menjadi manusia jenaka, dengan nama
baru Petruk. Gandarwaraja Swala pun merelakan Petruk menjadi anak angkat Kyai Semar.
Kini Gandarwaraja Swala datang menemui Petruk dan bertanya mengapa anaknya itu
terlihat sedih. Petruk pun menyembah ayahnya dan menceritakan kisah yang ia alami dari
awal hingga akhir. Gandarwaraja Swala merasa prihatin dan bertanya apakah Petruk benar-
benar mencintai Dewi Prantawati. Petruk menjawab, ini bukan sekadar urusan asmara,
tetapi urusan menyelamatkan pemimpin dari dosa melanggar janji. Gandarwaraja Swala
senang mendengarnya dan bersedia membantu Petruk. Ia pun mengubah wujud Petruk
KITAB WAYANG PURWA

menjadi kesatria dengan nama Bambang Sukma-nglembara. Tidak hanya itu,


Gandarwaraja Swala juga memberikan tambahan ilmu kesaktian kepada Petruk.
Petruk berterima kasih atas bantuan ayahnya. Ia pun mohon restu dan mohon pamit
untuk menggagalkan perkawinan Dewi Prantawati dengan Raden Lesmana Mandrakumara.

PRABU KRESNA MENERIMA KEDATANGAN ROMBONGAN DARI HASTINA


Prabu Kresna dan Prabu Baladewa di Kerajaan Dwarawati menerima kedatangan
rombongan pengantin dari Kerajaan Hastina yang dipimpin langsung oleh Prabu
Duryudana. Setelah saling memberi hormat, Raden Lesmana Mandrakumara bertanya
seperti apa wajah Dewi Prantawati, apakah sama cantiknya dengan Dewi Sitisundari dan
Dewi Titisari? Jika Dewi Prantawati berwajah jelek, lebih baik tak perlu menikahinya. Raden
Samba putra Prabu Kresna menyindir Raden Lesmana, sudah gagal menikah berkali-kali
masih saja sombong.
Prabu Kresna tidak mau memperpanjang urusan. Ia pun memerintahkan Raden
Samba untuk mengantar Raden Lesmana menemui Dewi Prantawati agar dapat melihat
langsung calon istrinya cantik atau tidak. Kedua pemuda itu pun bergegas masuk menuju
kaputren.

BAMBANG SUKMA-NGLEMBARA MENCULIK DEWI PRANTAWATI


Sementara itu, Petruk yang telah berganti nama menjadi Bambang Sukma-nglembara
berhasil menyusup masuk ke dalam Keraton Dwarawati. Ia bersembunyi di balik tembok
kaputren dan melihat Dewi Prantawati sedang duduk sendiri melamun entah memikirkan
apa. Segera Bambang Sukma-nglembara bernyanyi, melantunkan tembang-tembang
asmara dengan suaranya yang merdu mendayu.
Dewi Prantawati tampak menikmati alunan suara tersebut. Ketika lagu telah habis, ia
baru sadar ada laki-laki berani menyusup ke dalam kaputren. Ia pun memanggil si penyanyi
tersebut agar menampakkan diri. Bambang Sukma-nglembara pun muncul di hadapan Dewi
Prantawati.
Dewi Prantawati bertanya asal-usul Bambang Sukma-nglembara dari mana, mengapa
bisa masuk ke dalam kaputren. Bambang Sukma-nglembara berkata bahwa ia berasal dari
Hutan Wanapringga yang tertarik mendengar kabar kecantikan Dewi Prantawati. Namun,
Dewi Prantawati ternyata telah dijodohkan dengan Raden Lesmana, sungguh membuat hati
kecewa.
Bambang Sukma-nglembara pun menjelaskan bahwa Raden Lesmana bukanlah laki-
laki yang baik, melainkan hanya seorang anak manja yang suka mengandalkan kekayaan
orang tua. Alangkah baiknya jika Dewi Prantawati menjadi istrinya saja, tentu ia akan
bernyanyi setiap hari untuk gadis tersebut.
Dewi Prantawati pada dasarnya sudah mendengar penuturan Raden Samba tentang
keadaan Raden Lesmana. Sebenarnya ia ingin menolak perjodohan ini tetapi takut kepada
sang ayah. Kali ini muncul Bambang Sukma-nglembara yang menawan hati, membuatnya
semakin yakin untuk menolak Raden Lesmana Mandrakumara.
Maka, Dewi Prantawati pun berkata kepada Bambang Sukma-nglembara agar dirinya
dibawa pergi saja, sehingga tidak jadi menikah dengan Raden Lesmana. Bambang Sukma-
nglembara setuju. Namun, tiba-tiba Raden Lesmana datang bersama Raden Samba.
Bambang Sukma-nglembara pun mengejek Raden Lesmana dan mempermainkannya.
Raden Samba ikut bersorak di belakang, menertawakan tingkah konyol Raden Lesmana.
Namun kemudian, ia sadar ternyata ada penyusup masuk ke dalam kaputren. Ia pun buru-
buru pergi melapor kepada Prabu Kresna.
KITAB WAYANG PURWA

Bambang Sukma-nglembara tidak mau membuang-buang waktu. Ia segera


memasukkan Dewi Prantawati secara ajaib ke dalam cincin, menendang Raden Lesmana
hingga jatuh terjengkang, kemudian kabur meninggalkan kaputren.

PRABU BALADEWA DAN PARA KURAWA MENGEJAR BAMBANG SUKMA-


NGLEMBARA
Prabu Kresna telah menerima laporan Raden Samba tentang adanya penyusup berani
masuk ke dalam kaputren. Prabu Baladewa marah-marah dan mendatangi kaputren, namun
yang ada di sana hanyalah Raden Lesmana sedang terguling di tanah dengan wajah
meringis semakin terlihat jelek. Prabu Baladewa pun bergegas mengejar si pencuri yang
meculik keponakannya. Prabu Duryudana juga memerintahkan Patih Sangkuni dan para
Kurawa untuk ikut mengejar.
Bambang Sukma-nglembara berhenti di perbatasan ibu kota Dwarawati. Ia pun
bertarung menghadapi para Kurawa yang datang mengejar. Gandarwaraja Swala tidak
hanya mengubah wujud Petruk menjadi kesatria, tetapi juga membekalinya dengan ilmu
kesaktian. Para Kuarwa pun dibuat porak-poranda dan babak belur menghadapai kesaktian
Bambang Sukma-nglembara.
Prabu Baladewa maju sambil memaki-maki sesuai ciri khasnya. Bambang Sukma-
nglembara menghadapinya dengan ikut memaki pula. Prabu Baladewa merasa risih ada
yang mengembari cara bertarungnya. Karena pikirannya kesal dan tidak dapat bertarung
dengan baik, lama-lama ia pun terdesak mundur.
Prabu Baladewa kemudian bertemu Raden Arjuna yang sedang dalam perjalanan
menuju Kerajaan Dwarawati bersama Nala Gareng dan Bagong. Tujuannya ialah ingin
menyaksikan pernikahan Raden Lesmana dan Dewi Prantawati. Prabu Baladewa memberi
tahu Raden Arjuna bahwa pengantin wanita hilang diculik pemuda bernama Bambang
Sukma-nglembara. Raden Arjuna pun bergegas mengejar penculik tersebut.
Bambang Sukma-nglembara bersiaga menghadapi Raden Arjuna. Karena masih
kesal pada majikannya itu, ia pun bertarung tanpa segan-segan lagi. Berkat kesaktian yang
diberikan Gandarwaraja Swala, Bambang Sukma-nglembara dapat meringkus Raden
Arjuna. Prabu Baladewa dan Patih Sangkuni maju untuk menolong, tapi mereka ikut
tertangkap pula.
Bambang Sukma-nglembara kemudian menangkap Nala Gareng dan Bagong. Kedua
panakawan itu pun dipaksa mulai saat ini harus bekerja menjadi pelayannya.

BAMBANG SUKMA-NGLEMBARA KEMBALI MENJADI PETRUK


Prabu Kresna mengawasi pertempuran dari jauh dan dapat menebak jati diri Bambang
Sukma-nglembara. Ia lalu melesat terbang dan secepat kilat sudah mendarat di Desa
Karangkadempel, menemui Kyai Semar. Prabu Kresna pun meminta maaf kepada Kyai
Semar karena telah mengingkari janjinya kepada Petruk. Kini Kerajaan Dwarawati diserang
pengacau bernama Bambang Sukma-nglembara yang telah menculik anak gadisnya, yaitu
Dewi Prantawati.
Kyai Semar memahami maksud ucapan Prabu Kresna. Ia pun berjalan kaki menuju
Kerajaan Dwarawati. Meskipun hanya berjalan santai, namun kecepatan langkah Kyai
Semar tidak dapat ditandingi Prabu Kresna. Akhirnya, mereka sampai di tempat Bambang
Sukma-nglembara menangkap lawan-lawannya.
Kyai Semar maju menghadapi Bambang Sukma-nglembara dan menyuruhnya untuk
menyerah. Bambang Sukma-nglembara tertawa menolak dan meminta agar Kyai Semar
saja yang ikut dengannya. Kyai Semar tidak banyak bicara. Ia memegang kuncung di kepala
KITAB WAYANG PURWA

lalu mengusapkan tangannya ke wajah Bambang Sukma-nglembara. Seketika wujud


Bambang Sukma-nglembara pun kembali menjadi Petruk, sedangkan Dewi Prantawati
keluar dari cincin di tangannya.

DEWI PRANTAWATI TETAP MEMILIH PETRUK


Kyai Semar memarahi Petruk yang bertindak di luar batas, berani meringkus Prabu
Baladewa, Raden Arjuna, dan Patih Sangkuni. Petruk meminta maaf. Ini semua karena
Prabu Kresna yang mengingkari janji, dan mereka bertiga juga ikut bersalah karena
mendukung perkawinan Dewi Prantawati dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Itu
artinya, mereka ikut mendukung Prabu Kresna berbuat dosa.
Kyai Semar berkata bahwa Prabu Kresna sudah menyadari kesalahannya. Prabu
Kresna pun meminta maaf kepada Petruk karena mengingkari janji yang diucapkannya
sendiri. Sejujurnya ia memang malu memiliki menantu seorang panakawan. Akibatnya,
Dewi Prantawati yang menjadi korban, yaitu menjadi perawan tua, sedangkan saudari-
saudarinya yang lain telah menikah semua. Itu karena Prabu Kresna selalu menunda-nunda
pernikahan Dewi Prantawati dengan Petruk.
Petruk pun meminta maaf atas ulahnya membuat kekacauan di Kerajaan Dwarawati.
Ia terpaksa melakukan ini semua adalah untuk menyelamatkan nama baik Prabu Kresna.
Sebagai raja agung titisan Batara Wisnu, Prabu Kresna tidak sepantasnya melanggar
ucapannya sendiri. Maka, sebelum Dewi Prantawati dinikahkan dengan orang lain, Petruk
pun lebih dulu menculiknya, sehingga Prabu Kresna dapat terhindar dari dosa.
Prabu Kresna berterima kasih atas perhatian Petruk. Meskipun dirinya titisan Batara
Wisnu, tetapi sebagai manusia tetap saja bisa berbuat khilaf. Namun, anaknya sudah
terlanjur jatuh cinta kepada Bambang Sukma-nglembara, apakah mau menikah dengan
Petruk? Petruk pun bertanya kepada Dewi Prantawati apakah bersedia menikah
dengannya. Jika Dewi Prantawati tidak sudi memiliki suami yang buruk rupa seperti dirinya,
maka silakan saja menikah dengan orang lain, ia tidak akan mengganggu lagi.
Dewi Prantawati tidak menjawab, tetapi meminta Petruk menyanyikan sebuah lagu
untuknya. Petruk pun menembangkan lagu seperti yang ia nyanyikan di kaputren tadi. Dewi
Prantawati terhanyut mendengar suaranya. Ia lalu berkata kepada sang ayah, bahwa dirinya
jatuh cinta kepada Bambang Sukma-nglembara adalah karena mendengar suara yang
merdu. Meskipun Bambang Sukma-nglembara sudah tidak ada lagi, dan sudah kembali ke
wujud Petruk, namun suaranya tidak berubah. Asalkan bisa mendengar suara merdu Petruk
setiap saat, Dewi Prantawati akan merasa sangat bahagia.
Petruk gembira mendengar ucapan itu, pertanda Dewi Prantawati bersedia menjadi
istrinya. Ia pun memanggil Prabu Kresna sebagai ayah mertua, dan membebaskan Prabu
Baladewa, Raden Arjuna, juga Patih Sangkuni. Prabu Baladewa dan Raden Arjuna sudah
melihat sendiri betapa tulus perasaan Dewi Prantawati. Maka, mereka pun ikut merestui
Petruk menjadi menantu Kerajaan Dwarawati dan meminta maaf tadi telah berusaha
menggagalkan usahanya menagih janji. Sementara itu, Patih Sangkuni dan para Kurawa
kembali ke tempat Prabu Duryudana dan Raden Lesmana. Sungguh besar rasa malu yang
diderita Prabu Duryudana karena anaknya lagi-lagi kalah bersaing, dan yang lebih parah,
kali ini kalah bersaing melawan panakawan. Mereka pun bergegas pulang ke Kerajaan
Hastina.
Prabu Kresna kini telah mantap menyerahkan Dewi Prantawati kepada Petruk.
Keduanya lalu dinikahkan di istana Kerajaan Dwarawati dengan perayaan yang meriah.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
KITAB WAYANG PURWA

WAHYU TOPENG WAJA


Kisah ini menceritakan tentang pengangkatan Raden Gatutkaca sebagai senapati
Kerajaan Amarta, di mana ia mendapat saingan Prabu Boma Narakasura. Dalam kisah
ini, Raden Gatutkaca mendapatkan wahyu senapati yang terkandung dalam pusaka
Topeng Waja.
Kisah ini saya olah dari dongeng yang dituturkan oleh ayah saya berdasarkan
pengalaman menonton wayang, dengan sedikit perubahan seperlunya.
Kediri, 21 Juli 2018
Heri Purwanto

Arya Gatutkaca

PRABU BOMA NARAKASURA INGIN MENJADI SENAPATI AMARTA


Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan yang dihadiri
putra mahkota Raden Samba dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari Swalabumi, dan Patih
Udawa dari Widarakandang. Hadir pula Prabu Boma Narakasura dari Kerajaan Trajutresna
bersama kakeknya, yaitu Batara Nagaraja Ekawarna dari Kahyangan Ekapratala.
Dalam kunjungan itu, Batara Ekawarna menanyakan apa benar berita yang ia dengar
bahwa Arya Wrekodara yang selama ini merangkap jabatan sebagai jaksa agung sekaligus
senapati Kerajaan Amarta hendak melepaskan salah satu jabatannya? Konon jabatan
senapati akan diserahkan kepada putra yang nomor dua, yaitu Raden Gatutkaca,
sedangkan Arya Wrekodara sepenuhnya hendak memusatkan pikiran sebagai jaksa agung
saja. Prabu Kresna menjawab memang benar demikian.
Batara Ekawarna merasa agak kecewa mendengar berita itu. Mengapa jabatan
senapati harus diwariskan kepada anak, mengapa tidak memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk mengabdi kepada negara? Terus terang dalam hal ini ada orang lain yang
tidak kalah pantasnya jika menjadi senapati Kerajaan Amarta selain Raden Gatutkaca.
Orang itu adalah Prabu Boma Narakasura.
Prabu Kresna bertanya, Prabu Boma sudah menjadi raja Trajutresna, mengapa masih
juga ingin menjadi senapati di negara lain? Prabu Boma menjawab, ia ingin
mendarmabaktikan hidupnya kepada para paman di Kerajaan Amarta. Selama ini ayahnya
yang telah menjadi raja Dwarawati juga menjadi pamong atau penasihat Kerajaan Amarta.
Alangkah baiknya jika dirinya selaku putra Prabu Kresna juga ikut ambil bagian membantu
para Pandawa. Selain itu, ia juga pernah mendengar ramalan bahwa kelak akan terjadi
KITAB WAYANG PURWA

Perang Bratayuda antara para Kurawa melawan para Pandawa. Apabila sekarang dirinya
bisa menjadi senapati Kerajaan Amarta, maka kelak apabila perang tersebut benar-benar
meletus, dirinya bisa ikut membantu para Pandawa menumpas angkara murka para
Kurawa.
Prabu Kresna senang mendengar cita-cita luhur putranya itu. Namun, ia berkata
bahwa pemilihan Raden Gatutkaca sebagai senapati menggantikan Arya Wrekodara bukan
semata-mata soal anak menggantikan ayah, tetapi semua itu melalui proses perundingan
yang panjang. Lagipula Prabu Boma bukan anggota keluarga Pandawa, maka sebaiknya
tidak usah memiliki keinginan menjadi senapati Kerajaan Amarta.
Batara Ekawarna menjawab pendapat menantunya itu. Para Pandawa adalah
lambang kebenaran. Mereka adalah para kesatria penegak keadilan. Apabila ada orang
yang ingin ikut mendukung perjuangan mereka apakah perlu dilihat lebih dulu orang itu
memiliki hubungan kekeluargaan dengan para Pandawa atau tidak? Dalam
memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang terpenting adalah berani atau tidak, bukan
soal ada hubungan darah atau tidak.
Prabu Kresna merasa pendapat sang mertua ada benarnya juga. Hatinya kini mulai
bimbang apakah mendukung pelantikan Raden Gatutkaca sebagai senapati baru, ataukah
mengusulkan Prabu Boma saja yang menduduki jabatan tersebut. Setelah menimbang-
nimbang, ia pun berkata bahwa keinginan Prabu Boma untuk menjadi senapati para
Pandawa tidak ada salahnya. Namun, sangat baik jika putranya itu mendapatkan wahyu
senapati yang akan diturunkan oleh dewata. Konon kabarnya, para dewa hendak
menurunkan wahyu senapati dalam bentuk pusaka Topeng Waja kepada Raden Gatutkaca
selaku calon senapati Kerajaan Amarta. Apabila Prabu Boma bisa mendapatkan Topeng
Waja tersebut, maka Prabu Kresna bersedia membantu mengusulkannya untuk menjadi
senapati para Pandawa.
Batara Ekawarna dan Prabu Boma bersyukur mendengar keputusan Prabu Kresna
tersebut. Namun, ada pepatah mengatakan, “anak polah, bapa kepradah” sehingga Batara
Ekawarna pun meminta bantuan Prabu Kresna bagaimana caranya agar Prabu Boma bisa
mendapatkan wahyu pusaka tersebut. Selama ini Prabu Boma tidak pernah merepotkan
ayahnya. Bahkan, menjadi raja Trajutresna juga karena usahanya sendiri, tanpa sedikit pun
meminta bantuan Prabu Kresna.
Prabu Kresna merenung. Selama ini dia memang lebih menyayangi Raden Samba
daripada para putra yang lain. Apalagi terhadap Prabu Boma seolah tidak pernah ia
perhatikan. Bagaimana Prabu Boma bisa menjadi raja Trajutresna dan juga mencari
permaisuri, sama sekali dirinya sebagai orang tua tidak pernah memberikan bantuan. Untuk
menebus kesalahannya itu, Prabu Kresna akhirnya bersedia membantu Prabu Boma untuk
mendapatkan Wahyu Topeng Waja.

RADEN SADEWA DATANG UNTUK MENJEMPUT PRABU KRESNA


Tidak lama kemudian, tiba-tiba Pandawa nomor lima, yaitu Raden Sadewa datang
menghadap. Setelah menyembah hormat kepada Prabu Kresna dan Batara Ekawarna,
serta menerima penghormatan dari yang lain, ia pun menyampaikan maksud
kedatangannya ke Kerajaan Dwarawati. Raden Sadewa bercerita bahwa Raden Gatutkaca
yang sedianya akan dilantik sebagai senapati baru Kerajaan Amarta, saat ini telah jatuh
sakit. Tidak ada tabib atau dukun yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Untuk itu,
Prabu Puntadewa pun mengutus Raden Sadewa pergi ke Kerajaan Dwarawati menjemput
Prabu Kresna. Harapannya ialah, Prabu Kresna datang memberikan restu, sehingga Raden
Gatutkaca bisa sembuh dari penyakitnya.
KITAB WAYANG PURWA

Teringat pada kesanggupan sang ayah kepada dirinya, Prabu Boma pun menyela
ucapan Raden Sadewa. Ia berkata bahwa Prabu Kresna untuk sementara ini tidak dapat
datang ke Kerajaan Amarta karena ada urusan yang lebih penting yang harus diselesaikan.
Raden Sadewa menjawab dirinya datang untuk menjemput Prabu Kresna, maka biarlah
Prabu Kresna yang menyatakan bersedia atau tidak. Prabu Boma takut ayahnya menjawab
bersedia, maka ia pun berkata bahwa dirinya kini menjadi juru bicara Kerajaan Dwarawati.
Mewakili Prabu Kresna, ia berkata bahwa ayahnya tidak bersedia hadir di Kerajaan Amarta.
Raden Sadewa semakin kesal melihat tingkah Prabu Boma. Ia bertanya kepada Prabu
Kresna apa benar sekarang di Kerajaan Dwarawati ada jabatan juru bicara segala? Prabu
Kresna hanya diam tersenyum. Raden Sadewa semakin kesal karena melihat sikap Prabu
Kresna yang seolah mendukung tingkah anaknya. Prabu Boma juga takut Prabu Kresna
menjawab bersedia. Maka, ia segera menantang Raden Sadewa apabila keberatan dengan
adanya jabatan juru bicara ini, maka silakan menghadapi dirinya di alun-alun istana.
Raden Sadewa sebenarnya tidak ada urusan dengan Prabu Boma. Namun, tingkah
laku keponakannya itu sudah melebihi batas kesabaran. Maka, ia pun keluar melayani
tantangan Prabu Boma.
Setelah Raden Sadewa keluar, Prabu Kresna menegur Prabu Boma. Sejak tadi ia
diam bukan karena merestui perbuatan putranya itu, tetapi karena tidak ingin membuat malu
Prabu Boma di hadapan Raden Sadewa. Prabu Kresna menyuruh Prabu Boma meminta
maaf kepada Raden Sadewa atas sikap kasarnya tadi. Namun, Prabu Boma menolak dan
ia pun keluar istana untuk menghadapi pamannya tersebut.
Prabu Kresna merasa prihatin, namun membiarkan Prabu Boma biarlah mendapatkan
pengalaman terlebih dulu. Ia lalu memerintahkan Arya Setyaki untuk berjaga-jaga, jangan
sampai ada pihak yang terluka atau bahkan terbunuh. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna
membubarkan pertemuan dan mempersilakan Batara Ekawarna masuk meninjau istana.

PRABU BOMA MENGHADAPI RADEN ANTAREJA


Raden Sadewa yang keluar dari istana Dwarawati disambut keponakan yang
menyertainya, yaitu Raden Antareja. Putra sulung Arya Wrekodara itu bertanya bagaimana
jawaban Prabu Kresna, apakah bersedia diajak serta ke Kerajaan Amarta. Raden Sadewa
menjawab, hari ini sikap Prabu Kresna mencurigakan, hanya diam saja tidak mau
menjawab. Justru Prabu Boma yang mewakili ayahnya itu menjawab tidak bisa memenuhi
undangan Kerajaan Amarta. Raden Sadewa menduga Prabu Kresna sudah berada dalam
pengaruh putranya itu, dan juga pengaruh Batara Ekawarna, mertuanya.
Tidak lama kemudian Prabu Boma pun muncul bersama para punggawa raksasanya,
antara lain Patih Pancadnyana, Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, dan Ditya Mahodara.
Prabu Boma melanjutkan perkataannya di dalam istana tadi, bahwa Raden Sadewa harus
bisa mengalahkannya dulu apabila ingin membawa serta Prabu Kresna.
Raden Antareja maju mewakili Raden Sadewa. Ia berkata bahwa pamannya itu tidak
perlu merendahkan diri bertarung dengan Prabu Boma. Jika Prabu Boma menyatakan diri
sebagai wakil Prabu Kresna, maka Raden Antareja menyatakan diri sebagai wakil Raden
Sadewa. Prabu Boma dengan senang hati menerima tantangan sepupunya itu. Keduanya
pun bertarung di alun-alun Kerajaan Dwarawati.
Pertarungan antara Raden Antareja dan Prabu Boma berlangsung sengit. Keduanya
sama-sama putra bidadari yang memiliki kesaktian yang seimbang. Prabu Boma lama-lama
merasa letih dan tidak ada gunanya membuang tenaga menghadapi Raden Antareja,
karena saingan beratnya adalah Raden Gatutkaca. Maka, ia pun menghentikan
pertarungan dan mengajak Raden Antareja berunding.
KITAB WAYANG PURWA

Dengan kata-kata manis, Prabu Boma pura-pura kasihan kepada Raden Antareja
yang usianya lebih tua daripada Raden Gatutkaca, tetapi harus rela menjadi bawahan
adiknya itu. Raden Antareja menjawab, tidak masalah dirinya menjadi bawahan, karena
Raden Gatutkaca memang lebih dulu bergabung dengan angkatan bersenjata Kerajaan
Amarta daripada dirinya. Prabu Boma berkata, ini bukan soal siapa yang lebih dulu menjadi
punggawa, tetapi siapa yang lebih memiliki jasa atau prestasi. Meskipun Raden Antareja
kalah lama menjadi punggawa, namun soal jasa terhadap negara belum tentu kalah
dibanding Raden Gatutkaca.
Raden Antareja termenung karena kata-kata Prabu Boma tepat merasuk ke dalam
lubuk hatinya. Ia menjadi bimbang dan hampir saja terpengaruh. Namun, ia segera
mengeraskan tekad dan kembali menantang Prabu Boma melanjutkan pertarungan. Tiba-
tiba Prabu Kresna dan Batara Ekawarna datang melerai mereka.
Melihat itu, Raden Sadewa segera maju ikut mendekat. Prabu Kresna berkata bahwa
tidak ada gunanya bertarung sesama saudara. Mengenai undangan ke Kerajaan Amarta,
dirinya tidak bisa datang hari ini karena sudah berjanji hendak membantu Batara Ekawarna
menyelesaikan masalah di Kahyangan Ekapratala. Besok pagi baru ia bisa pergi ke
Kerajaan Amarta memenuhi undangan para Pandawa.
Karena Prabu Kresna telah memutuskan demikian, Raden Sadewa merasa tidak perlu
lagi membuang waktu. Ia pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Amarta bersama Raden
Antareja.
Setelah keduanya pergi, Prabu Kresna ganti menegur Prabu Boma. Ia merasa tidak
suka dengan sikap Prabu Boma yang bertindak kasar kepada Raden Sadewa.
Bagaimanapun juga Raden Sadewa terhitung sebagai paman sehingga Prabu Boma wajib
hormat kepadanya. Lagipula Prabu Boma ingin menjadi senapati Kerajaan Amarta, maka
harusnya bisa mengambil hati para Pandawa, bukannya justru memusuhi mereka.
Prabu Boma merasa bersalah dan meminta petunjuk ayahnya. Prabu Kresna
menjawab, dirinya bersedia membantu Prabu Boma mendapatkan wahyu senapati, asalkan
putranya itu bersedia memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Prabu Boma
berterima kasih dan menyatakan bersedia. Mereka lalu berpisah. Prabu Kresna berangkat
bersama Batara Ekawarna menuju Kahyangan Jonggringsalaka, sedangkan Prabu Boma
berangkat menuju Kerajaan Amarta.

RADEN SADEWA BERTEMU BAMBANG WISANGGENI DAN RADEN ANTASENA


Raden Sadewa dan Raden Antareja sedang dalam perjalanan kembali ke Kerajaan
Amarta. Sepanjang jalan Raden Sadewa mengeluh soal sikap Prabu Kresna yang
mencurigakan. Baru kali ini Prabu Kresna menunda kedatangan ke Kerajaan Amarta.
Padahal, biasanya ia selalu siap sedia dan langsung berangkat apabila mendapat undangan
dari para Pandawa.
Raden Antareja hanya diam tidak menjawab perkataan pamannya. Raden Sadewa
heran melihat sikap Raden Antareja yang ikut-ikutan berubah menjadi aneh. Ia pun bertanya
apa saja yang dibicarakan Prabu Boma sehingga membuat Raden Antareja berubah
menjadi pendiam. Raden Antareja menjawab tidak ada masalah apa-apa.
Pada saat itulah tiba-tiba di jalan mereka bertemu Bambang Wisanggeni dan Raden
Antasena. Setelah menerima penghormatan dari kedua keponakannya itu, Raden Sadewa
pun bertanya mereka hendak pergi ke mana. Bambang Wisanggeni menjawab dirinya
bersama Raden Antasena hendak berkunjung ke Kerajaan Amarta untuk menyaksikan
serah terima jabatan senapati kerajaan dari Arya Wrekodara kepada Raden Gatutkaca.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Sadewa bercerita bahwa saat ini Raden Gatutkaca sedang sakit. Meskipun
demikian, upacara pelantikan tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disusun. Yang
lebih mengherankan ialah sikap Prabu Kresna yang menunda hadir ke Kerajaan Amarta
karena menerima kunjungan Prabu Boma dan Batara Ekawarna. Raden Sadewa pun
menceritakan semuanya mulai awal hingga akhir tentang penugasannya ke Kerajaan
Dwarawati.
Bambang Wisanggeni yang cerdas dapat menebak bahwa Prabu Boma mengincar
jabatan senapati Kerajaan Amarta. Tidak hanya itu, Prabu Kresna juga berniat
menggagalkan Raden Gatutkaca menerima wahyu senapati. Hal ini tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Bambang Wisanggeni pun mohon pamit untuk berangkat mengejar Prabu
Kresna. Raden Antasena tentu saja ikut serta.
Sepeninggal kedua pemuda itu, Raden Sadewa mengajak Raden Antareja
melanjutkan perjalanan. Namun, Raden Antareja mengaku tidak bisa menghadiri upacara
pelantikan Raden Gatutkaca. Ia merasa sedang tidak enak badan. Tanpa menunggu
jawaban Raden Sadewa, tiba-tiba Raden Antareja melesat pergi menuju tempat tinggalnya
di Kesatrian Jangkarbumi.
Raden Sadewa merasa sikap Raden Antareja berubah menjadi aneh setelah
bertarung dengan Prabu Boma. Namun, ia merasa yang lebih penting adalah melapor
kepada Prabu Puntadewa perihal kegagalannya membawa serta Prabu Kresna. Maka, ia
pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Amarta seorang diri.

PRABU KRESNA MEREBUT TOPENG WAJA


Sementara itu, Prabu Kresna dan Batara Ekawarna naik ke Kahyangan
Jonggringsalaka menghadap Batara Guru yang didampingi Batara Narada. Setelah
menghaturkan sembah, Prabu Kresna menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu ingin
menanyakan perihal rencana dewata hendak menurunkan wahyu senapati. Batara Guru
menjawab memang benar demikian. Wahyu senapati yang akan diturunkan berupa pusaka
Topeng Waja. Rencananya, pusaka Topeng Waja ini akan diserahkan kepada Raden
Gatutkaca.
Prabu Kresna berkata bahwa Raden Gatutkaca saat ini sedang sakit keras. Itu
sebabnya ia yang datang menjemput Topeng Waja untuk segera diserahkan pada
keponakannya itu. Dengan memakai Topeng Waja, maka Raden Gatutkaca pasti akan
segera sembuh dari penyakitnya. Mendengar itu, Batara Guru prihatin dan segera
menyerahkan Topeng Waja kepada Prabu Kresna. Setelah menerima pusaka tersebut,
Prabu Kresna berterima kasih dan pamit undur diri bersama Batara Ekawarna.
Sepeninggal mereka berdua, Batara Narada curiga merasa ada yang aneh. Ia
menduga Prabu Kresna pasti hendak menyerahkan Topeng Waja kepada Prabu Boma yang
sepertinya juga mengincar kedudukan senapati Kerajaan Amarta. Batara Guru baru sadar
dirinya telah melakukan kesalahan. Ia heran mengapa tadi dengan mudahnya menyerahkan
Topeng Waja kepada Prabu Kresna. Batara Narada menduga ketika tadi Prabu Kresna
mengajukan permohonan meminta Topeng Waja, pasti Batara Ekawarna membaca mantra
yang membuat Batara Guru terlena dan mematuhi ucapan Prabu Kresna.
Batara Guru merasa malu dan bertanya mengapa tadi Batara Narada tidak
mengingatkan dirinya. Batara Narada berkata bahwa dirinya juga ikut terkena pengaruh
mantra Batara Ekawarna. Batara Guru pun memerintahkan Batara Narada untuk mengejar
Prabu Kresna dan Batara Ekawarna demi merebut kembali Topeng Waja. Namun, Batara
Narada tidak bersedia karena Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu. Apabila bertarung
dengannya jelas Batara Narada sulit menang.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru mendapat akal. Ia pun memanggil Batara Ramayadi dan


memerintahkannya untuk membuat Topeng Prunggu sebagai tandingan Topeng Waja.
Kelak jika kedua topeng itu didekatkan, maka wahyu senapati akan berpindah ke dalam
Topeng Prunggu. Batara Ramayadi menerima perintah dan segera melaksanakan tugas.

BAMBANG WISANGGENI MENGHADANG PRABU KRESNA


Prabu Kresna dan Batara Ekawarna yang telah meninggalkan Kahyangan
Jonggringsalaka tiba-tiba dihadang Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena. Kedua
pemuda itu tanpa basa-basi langsung meminta Prabu Kresna menyerahkan Topeng Waja
karena itu adalah hak Raden Gatutkaca.
Prabu Kresna menjawab dirinya tidak tahu-menahu soal Topeng Waja. Bambang
Wisanggeni meminta Prabu Kresna tidak perlu menyembunyikan hal ini, karena lebih baik
berterus terang saja. Topeng Waja hendak diturunkan dewata kepada Raden Gatutkaca,
maka sebaiknya diserahkan kepada yang berhak menerima.
Batara Ekawarna marah melihat sikap Bambang Wisanggeni yang kurang ajar kepada
orang tua. Ia pun maju hendak menghukum pemuda itu. Namun, Raden Antasena dengan
cekatan melindungi sepupunya. Ia dan Batara Ekawarna lalu terlibat pertarungan.
Prabu Kresna merasa tidak perlu menutup-nutupi lagi. Ia pun menantang Bambang
Wisanggeni agar merebut Topeng Waja dari tangannya. Bambang Wisanggeni merasa
tidak perlu segan lagi karena sudah dipersilakan demikian. Maka, ia pun maju menyerang
Prabu Kresna.
Prabu Kresna dan Bambang Wisanggeni bertarung sengit. Selama ini Prabu Kresna
sering mendengar kepandaian dan kesaktian Bambang Wisanggeni, namun ia tidak
menyangka bahwa putra Raden Arjuna yang satu ini ternyata memiliki kesaktian yang
setara dengan dirinya. Bahkan, Bambang Wisanggeni akhirnya berhasil merebut Topeng
Waja dari tangan Prabu Kresna.
Prabu Kresna bergerak cepat memukul tangan Bambang Wisanggeni. Seketika
Topeng Waja pun melayang jauh entah ke mana. Melihat itu, Bambang Wisanggeni segera
mengejar. Raden Antasena pun meninggalkan Batara Ekawarna dan ikut mengejar.

PRABU BOMA NARAKASURA MENJENGUK RADEN GATUTKACA


Sementara itu di Kesatrian Jodipati, Arya Wrekodara sedang memangku Raden
Gatutkaca yang sakit tak sadarkan diri. Sang istri, yaitu Dewi Arimbi duduk di sampingnya
dengan perasaan sedih karena putra mereka belum juga mendapatkan obat. Para Pandawa
lainnya, yaitu Prabu Puntadewa, Raden Arjuna, dan si kembar Raden Nakula-Raden
Sadewa juga hadir. Prabu Puntadewa meminta Arya Wrekodara dan Dewi Arimbi agar
bersabar, karena tidak lama lagi Prabu Kresna akan hadir membawa obat, sebagaimana
yang dilaporkan Raden Sadewa.
Tidak lama kemudian, datanglah Prabu Boma Narakasura di tempat itu. Prabu Boma
menyembah hormat kepada para Pandawa dan Dewi Arimbi, kemudian menyampaikan
permohonan maaf karena sang ayah, yaitu Prabu Kresna masih belum bisa datang ke
Kerajaan Amarta. Juga ia meminta maaf kepada Raden Sadewa karena kemarin telah
berbuat kasar sewaktu berada di Kerajaan Dwarawati. Raden Sadewa pun menerima
permintaan maaf tersebut.
Prabu Boma lalu mendekati Raden Gatutkaca untuk mengungkapkan simpatinya. Ia
berkata sungguh sayang calon senapati Kerajaan Amarta menderita sakit seperti ini. Apa
tidak sebaiknya mencari calon lain yang lebih sehat? Bukankah masih ada Raden Antareja,
Raden Antasena, Raden Abimanyu, Raden Sumitra, dan para putra Pandawa lainnya? Atau
KITAB WAYANG PURWA

jika mereka tidak bersedia, apa tidak sebaiknya mencari calon dari luar Kerajaan Amarta
saja?
Raden Gatutkaca yang terbaring tak berdaya di pangkuan ayahnya dapat mendengar
suara Prabu Boma. Ingin sekali ia bangkit namun tidak memiliki tenaga sama sekali.
Terdengar Prabu Boma kembali melanjutkan perkataannya yang berisi sindiran-sindiran
pedas untuk dirinya. Raden Gatutkaca semakin kesal dan merasa lebih baik mati daripada
tidak mendapatkan kesembuhan.
Tampak Prabu Boma berkata bahwa ia ingin Raden Gatutkaca segera sembuh agar
mereka bisa berlatih tanding bersama, serta bermain perang-perangan lagi seperti dulu.
Tiba-tiba dari angkasa melayang turun Topeng Waja yang kemudian melesat memasuki
Kesatrian Jodipati dan langsung menempel di wajah Raden Gatutkaca.

PERTANDINGAN RADEN GATUTKACA DENGAN PRABU BOMA NARAKASURA


Begitu Topeng Waja terpasang di wajahnya, seketika Raden Gatutkaca mendapatkan
kesembuhan. Ia pun bangkit dan menendang tubuh Prabu Boma. Keduanya lalu terlibat
pertarungan yang berlanjut di halaman depan. Prabu Puntadewa hendak melerai mereka,
namun Arya Wrekodara tidak setuju. Biarlah Prabu Boma mendapat pelajaran atas
mulutnya yang lancang. Tidak lama kemudian hadir pula Bambang Wisanggeni dan Raden
Antasena yang melaporkan bahwa Topeng Waja yang terpasang di wajah Raden Gatutkaca
mengandung wahyu senapati.
Sementara itu, Prabu Boma dan Raden Gatutkaca sudah berada di halaman Kesatrian
Jodipati. Mereka bertarung seru saling mengadu kesaktian. Lama-lama Prabu Boma
terdesak oleh keperkasaan Raden Gatutkaca. Ketika terlempar ke belakang, tubuhnya
ditangkap oleh Prabu Kresna dan Batara Ekawarna yang baru tiba di tempat itu.
Prabu Boma marah-marah terhadap ayah dan kakeknya, karena mereka gagal
mendapatkan Topeng Waja yang kini justru terpasang secara alamiah di wajah musuhnya.
Prabu Kresna menjawab, dirinya berdua sudah berusaha tetapi mungkin memang Topeng
Waja adalah hak Raden Gatutkaca. Alangkah baiknya Prabu Boma mengundurkan diri saja
dari persaingan ini.
Prabu Boma semakin marah dan menuduh ayahnya tidak tulus dalam membantu
keinginan anak. Ia tidak peduli Topeng Waja milik siapa. Jika dirinya gagal memiliki, maka
orang lain pun tidak boleh memiliki. Mendegar cucunya berkata demikian, Batara Ekawarna
merasa iba. Ia pun meminjamkan alas kakinya yang juga pusaka ampuh, bernama
Gamparan Kencana. Alas kaki pusaka itu hendaknya dilemparkan ke wajah Raden
Gatutkaca yang memakai topeng.

RADEN GATUTKACA RUSAK WAJAHNYA


Prabu Boma menerima pusaka Gamparan Kencana dengan senang hati. Ia lalu
kembali bertanding dan melemparkan sepasang alas kaki milik kakeknya itu ke wajah
Raden Gatutkaca dari jarak dekat. Serangan ini begitu cepat, bahkan Raden Gatutkaca
tidak mampu menghindarinya. Gamparan Kencana dan Topeng Waja sama-sama pecah
dan melukai wajah Raden Gatutkaca.
Arya Wrekodara marah melihat wajah putranya rusak parah terkena pecahan Topeng
Waja dan Gamparan Kencana. Pada saat itulah Batara Narada datang membawa Topeng
Prunggu buatan Batara Ramayadi yang baru saja jadi. Ketika Topeng Waja hancur, wahyu
senapati pun keluar dari tubuh Raden Gatutkaca. Batara Narada segera menangkap dan
memasukkan wahyu senapati tersebut ke dalam Topeng Prunggu lalu memasangkannya
ke wajah Raden Gatutkaca yang terluka.
KITAB WAYANG PURWA

Sungguh ajaib, wajah Raden Gatutkaca langsung sembuh dan Topeng Prunggu pun
menyatu dengan kulitnya, membuat wajah Raden Gatutkaca kini terlihat lebih tampan
daripada sebelumnya.
Melihat itu, Prabu Boma semakin kesal. Ia pun mengajak kakeknya pulang kembali ke
Kerajaan Trajutresna, meninggalkan Prabu Kresna seorang diri.

RADEN GATUTKACA DILANTIK MENJADI SENAPATI KERAJAAN AMARTA


Prabu Kresna maju dan meminta maaf kepada para Pandawa karena berusaha
menggagalkan Raden Gatutkaca mendapatkan Wahyu Topeng Waja. Ini semua karena
dirinya sebagai orang tua tidak tega jika tidak membantu mewujudkan keinginan anak. Arya
Wrekodara tidak menyalahkan Prabu Kresna, karena wajar apabila seorang ayah
membantu anaknya meraih cita-cita.
Meskipun demikian, Batara Narada tetap menyalahkan Prabu Kresna yang telah
menipu Batara Guru demi membantu Prabu Boma. Sebagai hukuman, maka kelak Prabu
Kresna akan menjadi orang yang mencabut nyawa putranya sendiri, yaitu Prabu Boma
tersebut. Kehilangan anak sangat menyakitkan, apalagi jika si anak mati di tangan ayahnya
sendiri. Prabu Kresna tidak membantah dan dirinya ikhlas menerima takdir tersebut.
Batara Narada lalu memungut pecahan Topeng Waja dan Gamparan Kencana.
Benda-benda itu akan dibawa ke kahyangan untuk dilebur Batara Ramayadi sebagai bahan
membuat Anjang-Anjang Kencana. Kelak Prabu Boma hanya bisa mati untuk selamanya
apabila jasadnya diletakkan di atas Anjang-Anjang Kencana tersebut. Usai berkata
demikian, Batara Narada melesat kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Keadaan kini telah tenang kembali. Arya Wrekodara yang selama ini merangkap
jabatan sebagai jaksa agung sekaligus senapati Kerajaan Amarta, mulai hari ini
menyerahkan jabatan senapati kepada Raden Gatutkaca. Prabu Puntadewa lalu melantik
Raden Gatutkaca dan memberinya gelar Arya Gatutkaca.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

ANTAREJA MBALELA
Kisah ini menceritakan tentang pemberontakan Raden Antareja yang tidak setuju atas
pengangkatan Raden Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan Amarta.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Anom Suroto, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 04 Agustus 2018
Heri Purwanto

Raden Antareja kroda

PATIH SANGKUNI BERNIAT MENGHASUT RADEN ANTAREJA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri para
menteri dan punggawa, antara lain Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan
Raden Kartawarma. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang negara saingan, yaitu
Kerajaan Amarta yang sekarang memiliki senapati baru, yaitu Arya Gatutkaca.
Patih Sangkuni bercerita bahwa tiga bulan yang lalu dirinya telah menghasut Prabu
Boma Narakasura agar merebut jabatan senapati tersebut. Apabila Prabu Boma berhasil
menduduki jabatan sebagai senapati Kerajaan Amarta, maka kelak saat meletus Perang
Bratayuda, tentu ia akan menggiring pasukan Pandawa untuk berbalik memihak Kurawa.
Dengan demikian, para Pandawa akan kehilangan kekuatan karena bala tentaranya berada
di bawah kendali Prabu Boma Narakasura.
Akan tetapi, dalam usahanya tersebut Prabu Boma dikalahkan Arya Gatutkaca yang
menerima anugerah dewata berupa Wahyu Topeng Waja. Meskipun demikian, Prabu Boma
sempat melapor kepada Patih Sangkuni tentang dirinya yang mencoba memanas-manasi
Raden Antareja agar membenci pengangkatan Arya Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan
Amarta.
Prabu Duryudana senang mendengar cerita itu. Meskipun Prabu Boma gagal
mendapatkan kedudukan senapati Kerajaan Amarta, namun masih ada Raden Antareja
sebagai bahan untuk menggerogoti kekuatan para Pandawa. Patih Sangkuni merasa ini
sudah saatnya menambah hasutan terhadap Raden Antareja agar memberontak kepada
Kerajaan Amarta. Apabila terjadi perang antara Raden Antareja melawan Arya Gatutkaca,
KITAB WAYANG PURWA

maka para Kurawa yang akan mendapat keuntungan. Tidak peduli siapa yang mati, apakah
Raden Antareja, ataukah Arya Gatutkaca, tetap saja pihak Pandawa yang rugi. Syukur-
syukur apabila keduanya mati bersama, tentu itu lebih baik.
Prabu Duryudana semakin senang mendengar rencana ini. Patih Sangkuni pun mohon
pamit berangkat ke Kesatrian Jangkarbumi dengan ditemani para Kurawa.

PATIH SANGKUNI MENGHASUT RADEN ANTAREJA


Di Kesatrian Jangkarbumi, Raden Antareja menerima kunjungan adik sepupu yang
paling dikasihinya, yaitu Bambang Irawan. Belum sempat mereka bertanya kabar melepas
rindu, tiba-tiba Patih Sangkuni datang pula. Raden Antareja dan Bambang Irawan pun
menyembah hormat kepadanya.
Patih Sangkuni berkata bahwa ia mendapat kabar tentang pengangkatan Raden
Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan Amarta yang baru, menggantikan Arya Wrekodara
yang kini lebih fokus menangani urusan pengadilan. Selain itu, ada pula berita lain yang ia
dengar, bahwa Raden Antareja tidak menghadiri pelantikan adiknya tersebut. Patih
Sangkuni pun bertanya mengapa bisa demikian?
Raden Antareja menjawab, ini masalah pribadi yang tidak perlu orang lain tahu.
Lagipula mengapa Patih Sangkuni bisa tahu jika dirinya tidak ikut menghadiri upacara
pelantikan Raden Gatutkaca? Patih Sangkuni menjawab, berita absennya Raden Antareja
sudah tersebar luas dan menjadi bahan pembicaraan rakyat ibu kota Indraprasta, hingga
tersebar pula ke mancanegara. Banyak sekali yang menyayangkan pelantikan ini. Orang-
orang Indraprasta umumnya lebih setuju apabila Raden Antareja yang menjadi senapati
Kerajaan Amarta, bukan Raden Gatutkaca.
Raden Antareja menjawab, itu semua hanya salah paham. Pelantikan Raden
Gatutkaca sudah melalui banyak pertimbangan para sesepuh. Meskipun usia Raden
Antareja lebih tua, namun Raden Gatutkaca lebih dulu mengabdi sebagai punggawa di
Kerajaan Amarta. Itu artinya, pengalaman adiknya tersebut jauh lebih banyak dibanding
dirinya.
Patih Sangkuni berkata, siapa yang lebih dulu menjadi punggawa bukan ukuran untuk
menetapkan siapa yang lebih berhak naik pangkat. Kenaikan pangkat di Kerajaan Amarta
sepertinya berbeda dengan kenaikan pangkat di Kerajaan Hastina. Apabila di Kerajaan
Hastina, kenaikan pangkat ditentukan oleh prestasi dan seberapa besar jasa terhadap
negara. Jadi, bukan hanya ditentukan oleh siapa yang lebih dulu menjadi punggawa. Dulu
ketika Patih Gandamana diberhentikan dari jabatannya, Prabu Pandu menunjuk Arya
Suman sebagai patih yang baru. Padahal, saat itu ada Arya Banduwangka, Arya Bargawa,
dan Arya Bilawa yang lebih dulu mengabdi sebagai punggawa sebelum Arya Suman.
Raden Antareja tersentuh hatinya mendengar penuturan Patih Sangkuni. Namun, ia
berusaha tegar bahwa dirinya mengikuti keputusan para Pandawa, terutama harus
mematuhi sang ayah pula, yaitu Arya Wrekodara. Patih Sangkuni menjawab, patuh kepada
orang tua itu wajib hukumnya, tetapi jangan membabi buta. Perlu dilihat dulu, perintah orang
tua seperti apa, apakah sudah adil atau belum? Apalagi sudah banyak yang tahu bahwa
Raden Gatutkaca adalah putra kesayangan Arya Wrekodara. Raden Gatutkaca adalah
satu-satunya anak yang ditunggui Arya Wrekodara saat lahir, sedangkan kelahiran Raden
Antareja dan Raden Antasena sama sekali tidak diperhatikan.
Raden Antareja membenarkan ucapan Patih Sangkuni. Ia merasa dirinya memang
diperlakukan kurang adil dibanding Raden Gatutkaca yang selalu diperhatikan sang ayah.
Namun, ia sama sekali tidak bisa melawan ketidakadilan ini. Patih Sangkuni berkata, Raden
KITAB WAYANG PURWA

Antareja jangan berkecil hati. Dirinya dan para Kurawa siap memberikan bantuan kepada
Raden Antareja agar bisa merebut jabatan senapati Kerajaan Amarta.

RADEN ANTASENA MENGUNJUNGI RADEN ANTAREJA


Ketika Raden Antareja sedang mendengarkan penuturan Patih Sangkuni, tiba-tiba
datang adik bungsunya, yaitu Raden Antasena. Setelah saling beramah tamah, Raden
Antasena pun menyampaikan maksud kedatangannya berkunjung ke Kesatrian
Jangkarbumi adalah untuk menengok keadaan kakak sulungnya itu.
Tiga bulan yang lalu saat Raden Gatutkaca dilantik menjadi senapati, hanya Raden
Antareja yang tidak hadir menyaksikan. Raden Sadewa adalah orang yang terakhir bertemu
Raden Antareja, yang mengawal dirinya saat menjadi duta ke Kerajaan Dwarawati
menjemput Prabu Kresna. Raden Sadewa menjelaskan, Raden Antareja merasa kurang
enak badan setelah bertanding melawan Prabu Boma Narakasura. Itu sebabnya ia pamit
pulang ke Kesatrian Jangkarbumi, tidak ikut menghadiri upacara pelantikan di Kerajaan
Amarta.
Hari demi hari berlalu. Sudah tiga bulan Raden Antareja tidak pernah lagi menghadiri
pertemuan di Kerajaan Amarta. Raden Antasena merasa cemas dan ia pun datang ke
Kesatrian Jangkarbumi untuk menjenguk kakak sulungnya itu. Namun, ternyata ia melihat
Raden Antareja baik-baik saja dan menerima kunjungan tamu agung dari Kerajaan Hastina.
Raden Antasena pun mengabarkan bahwa Raden Gatutkaca saat ini sudah menjadi
senapati Kerajaan Amarta dengan gelar Arya Gatutkaca. Alangkah baiknya jika Raden
Antareja datang untuk mengucapkan selamat kepadanya.
Raden Antareja menolak saran Raden Antasena. Ia merasa tidak ada gunanya
mengucapkan selamat kepada Arya Gatutkaca, karena itu sama artinya dengan
mendukung ketidakadilan. Raden Antasena kini paham Raden Antareja tidak pernah
menghadap ke Kerajaan Amarta adalah karena sakit hati. Ia pun bertanya bagian mana
yang tidak adil menurut kakaknya itu.
Raden Antareja menjawab, dirinya lebih tua secara usia. Soal kesaktian pun tidak
kalah dibanding Arya Gatutkaca. Berkali-kali mereka bertanding hasilnya selalu imbang.
Pengangkatan Arya Gatutkaca sebagai senapati tentu saja membuat ia kecewa. Ini semua
karena ayah mereka, yaitu Arya Wrekodara yang pilih kasih. Sejak bayi, Arya Gatutkaca
selalu ditunggui sang ayah, sedangkan Raden Antareja dan Raden Antasena diumbar tidak
diperhatikan.
Raden Antasena menjawab, dirinya sama sekali tidak merasa diperlakukan tidak adil.
Soal ayah mereka lebih dekat dengan Arya Gatutkaca dianggap wajar. Itu karena jarak
Kerajaan Pringgadani dan Amarta tidak jauh. Lagipula sejak menikah dengan Arya
Wrekodara, Dewi Arimbi setia mengikuti tinggal di Kesatrian Jodipati. Maka, pantas jika
kelahiran Arya Gatutkaca ditunggui sang ayah. Lain halnya dengan Dewi Nagagini dan Dewi
Urangayu yang tinggal bersama ayah masing-masing. Wajar jika Raden Antareja dan
Raden Antasena tidak ditunggui Arya Wrekodara saat kelahiran mereka. Raden Antasena
merasa ini bukan suatu masalah besar.
Raden Antareja kurang setuju. Baginya, ini adalah masalah penting. Arya Wrekodara
ayah mereka kini menjabat sebagai jaksa agung Kerajaan Amarta. Sebagai jaksa agung
wajib hukumnya bertindak adil. Namun, ternyata sikap Arya Wrekodara pilih kasih. Arya
Gatutkaca lebih disayang daripada anak-anak yang lain. Perjalanan karier Arya Gatutkaca
lebih mulus dan lancar dibanding Raden Antareja apalagi Raden Antasena yang diumbar
menjadi anak jalanan.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Antasena menjawab tidak benar demikian. Arya Gatutkaca meskipun lebih
muda daripada Raden Antareja, namun ia lebih dulu menjadi punggawa, sehingga memiliki
pengalaman dan jasa lebih banyak. Ia tidak setuju jika ayah mereka disebut tidak adil.
Raden Antasena ingin mengajak Raden Antareja pergi ke Kesatrian Jodipati untuk meminta
maaf kepada Arya Wrekodara atas tuduhan ini.
Patih Sangkuni ikut bicara, namun ia dimaki Raden Antasena sebagai penghasut. Ia
yakin kakak sulungnya memiliki pikiran seperti ini pasti karena hasutan Patih Sangkuni yang
licik. Patih Sangkuni menjawab dirinya hanya menegaskan saja. Soal ketidakadilan yang
dirasakan Raden Antareja sudah tertanam di hati sebelum dirinya datang ke Jangkarbumi.
Raden Antareja memarahi Raden Antasena yang bersikap tidak sopan kepada
tamunya. Ia pun menjawab tegas bahwa dirinya tidak bersedia meminta maaf ke Kesatrian
Jodipati menemui sang ayah. Raden Antasena menjawab tidak masalah kakaknya bersikap
demikian. Urusan ini biarlah ayah mereka yang menyelesaikan. Usai berkata demikian,
Raden Antasena pun mohon pamit meninggalkan Kesatrian Jangkarbumi.
Setelah Raden Antasena pergi, Patih Sangkuni memberi tahu Raden Antareja agar
mencegah adik bungsunya itu jangan sampai pulang ke Kesatrian Jodipati. Jika rencana
pemberontakan Raden Antareja bocor, maka pihak Kerajaan Amarta akan bersiap siaga.
Untuk itu, lebih baik Raden Antasena ditangkap hidup atau mati sebelum mencapai
Kerajaan Amarta ataupun Kesatrian Jodipati.
Raden Antareja menerima saran Patih Sangkuni. Karena ambisinya yang besar, ia
pun melupakan rasa persaudaraan. Ia bertanya kepada Bambang Irawan pilih ikut
bersamanya ataukah bergabung dengan para Pandawa. Bambang Irawan sejak kecil sudah
akrab lahir batin dengan Raden Antareja. Maka, ia pun menyatakan ikut mendukung
pemberontakan kakaknya itu. Raden Antareja senang dan memerintahkan Bambang
Irawan agar menangkap Raden Antasena.

RADEN ANTASENA MELOLOSKAN DIRI DARI JANGKARBUMI


Bambang Irawan berangkat bersama para Kurawa mengejar Raden Antasena. Begitu
bertemu yang dicari, para Kurawa segera mengepung pemuda itu. Raden Antasena tentu
saja menolak dibawa kembali ke Kesatrian Jangkarbumi. Para Kurawa yang terdiri atas Arya
Dursasana, Raden Kartawarma, Raden Srutayu, Raden Srutayuda, dan yang lain maju
mengeroyok Raden Antasena. Namun, tidak seorang pun dari mereka yang mampu
mengalahkan pemuda itu. Justru merekalah yang dibuat kocar-kacir menghadapi kesaktian
Raden Antasena yang tersembunyi di balik sikap polosnya.
Bambang Irawan yang mengemban amanat dari Raden Antareja segera maju
menyerang Raden Antasena. Karena yang bertindak adalah sepupu sendiri, Raden
Antasena pun tidak melawan. Sambil menghindar, ia menasihati Bambang Irawan agar
tidak ikut-ikutan memberontak seperti Raden Antareja. Bambang Irawan tidak peduli. Yang
ia tahu hanyalah Raden Antareja dan dirinya sudah bersaudara akrab sejak kecil. Apa yang
menjadi cita-cita Raden Antareja, menjadi cita-citanya pula.
Karena tidak dapat mengalahkan Raden Antasena, Bambang Irawan pun menghunus
keris dan menyerang sepupunya itu. Raden Antasena sedih karena Bambang Irawan
melupakan persaudaraan di antara mereka. Ia pun menangkis serangan keris tersebut dan
tanpa sengaja memukul dada Bambang Irawan hingga jatuh pingsan.
Melihat adik kesayangannya tak sadarkan diri, Raden Antareja marah dan menyerang
Raden Antasena. Raden Antasena semakin sedih karena persaudaraan mereka dianggap
sudah tidak berlaku. Raden Antareja menjawab, yang namanya saudara adalah yang saling
mendukung. Bambang Irawan adalah satu-satunya saudara karena sudah menyatakan
KITAB WAYANG PURWA

dukungan terhadap dirinya. Raden Antasena yang telah memukul Bambang Irawan pun
ditantang untuk memukul dirinya.
Raden Antasena menolak. Ia berkata bahwa tadi tangannya memukul Bambang
Irawan adalah karena tidak sengaja. Jika Raden Antareja hendak membalas, maka ia
bersedia menerima pukulan tanpa melawan sedikit pun. Raden Antareja pun memukul
Raden Antasena dengan keras. Raden Antasena hanya tersenyum tanpa bergerak. Raden
Antareja tersinggung merasa disepelekan. Kemarahannya memuncak dan matanya pun
memerah. Tidak lama kemudian wajah Raden Antareja berubah menjadi naga dengan lidah
menjulur mengerikan.
Raden Antasena terkejut melihat perubahan wujud kakaknya. Ia segera melompat
jauh, meloloskan diri karena menduga kakaknya itu sudah kerasukan setan.

RADEN ABIMANYU MENCARI HILANGNYA ARYA GATUTKACA


Sementara itu, Raden Abimanyu dan para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong sedang berjalan untuk mencari hilangnya Arya Gatutkaca yang
meninggalkan Kerajaan Amarta tanpa pamit. Dalam perjalanannya itu, mereka bertemu
Raden Antareja dan para Kurawa yang mengejar Raden Antasena.
Raden Abimanyu pun menyapa Raden Antareja dengan penuh hormat. Namun,
Raden Antareja menjawab dengan ketus karena hasutan Patih Sangkuni yang
mengingatkan dirinya, bahwa Raden Abimanyu adalah sepupu kesayangan Arya
Gatutkaca. Para Pandawa semuanya pilih kasih. Arya Wrekodara lebih menyayangi Arya
Gatutkaca dibanding Raden Antareja, sama seperti Raden Arjuna pun lebih menyayangi
Raden Abimanyu daripada Bambang Irawan.
Mendengar hasutan itu, Raden Antareja kembali mengamuk dengan wajah berubah
mirip naga. Raden Abimanyu pun diserangnya tiba-tiba. Raden Abimanyu berusaha
membela diri. Keduanya lalu bertarung sengit, hingga akhirnya Raden Abimanyu terluka
oleh bisa yang disemburkan Raden Antareja. Untungnya Raden Antasena muncul dan
langsung menyambar tubuh sepupunya itu.
Raden Antasena membawa lari tubuh Raden Abimanyu dan berhasil lolos dari kejaran
Raden Antareja bersama para Kurawa.

ARYA GATUTKACA BERGURU KEPADA BATARA GURITNA


Arya Gatutkaca yang dicari-cari sudah satu bulan ini berguru kepada Batara Guritna
di tepi samudera utara. Sebagai senapati baru di Kerajaan Amarta ia merasa ilmunya masih
kurang sehingga memutuskan untuk pergi bertapa, dan akhirnya didatangi dewa tersebut.
Batara Guritna adalah putra Batara Tantra, sedangkan Batara Tantra adalah putra Batara
Sumarma, dan Batara Sumarma adalah putra Batara Bayu.
Meskipun seorang dewa, namun Batara Guritna dahulu kala pernah berguru kepada
leluhur para Pandawa, yaitu Resi Manumanasa, sang pendiri Padepokan Saptaarga. Kini ia
pun mewariskan ilmu yang ia dapatkan itu kepada keturunan ketujuh Resi Manumanasa,
yaitu Arya Gatutkaca. Meskipun hanya satu bulan, namun Arya Gatutkaca sudah menyerap
hampir semua ilmu yang diajarkan Batara Guritna kepadanya.
Tiba-tiba Raden Antasena menemukan tempat itu. Ia datang sambil menggendong
tubuh Raden Abimanyu yang terluka parah. Arya Gatutkaca sangat terkejut dan marah
melihat adik sepupu kesayangannya mengalami nasib seperti ini. Ia bertanya kepada Raden
Antasena siapa yang telah melukai Raden Abimanyu. Raden Antasena pun bercerita apa
adanya, bahwa kakak mereka, yaitu Raden Antareja telah hilang kesadaran karena hasutan
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni. Kini Raden Antareja berniat memberontak untuk merebut kedudukan
senapati Kerajaan Amarta.
Arya Gatutkaca marah mendengarnya. Ia tidak keberatan jika jabatannya sebagai
senapati diambil Raden Antareja. Yang membuatnya marah adalah mengapa Raden
Antareja melupakan persaudaraan hingga melukai Raden Abimanyu hingga seperti ini.
Batara Guritna pun memeriksa luka Raden Abimanyu. Sambil membaca mantra ia
mengusap dada pemuda itu. Sungguh ajaib, luka Raden Abimanyu sembuh seketika dan ia
pun siuman dari pingsan. Arya Gatutkaca memeluk sepupunya itu dan berterima kasih atas
pertolongan Batara Guritna.
Arya Gatutkaca kemudian mohon pamit kepada Batara Guritna untuk kembali ke
Kerajaan Amarta. Sebagai senapati angkatan bersenjata, ia merasa ini adalah
kewajibannya untuk memadamkan pemberontakan Raden Antareja. Batara Guritna
merestui dan ikut mendoakan semoga muridnya itu meraih kemenangan.
Setelah Arya Gatutkaca dan kedua saudaranya pergi, Batara Guritna tiba-tiba
didatangi Batara Narada yang turun dari kahyangan. Batara Guritna pun menyembah
hormat kepadanya. Batara Narada berkata bahwa ia membawa perintah dari Batara Guru,
yaitu Batara Guritna ditugaskan untuk menitis kepada Arya Gatutkaca sebagai penambah
kesaktian dan kebijaksanaan pemuda tersebut. Kelak jika sudah meletus Perang
Bratayuda, maka Batara Guritna boleh kembali lagi ke kahyangan.
Batara Guritna menerima perintah dengan senang hati. Ia pun mohon pamit menyusul
Arya Gatutkaca menuju Kerajaan Amarta.

BATARA NARADA MENEMUI RESI ANOMAN


Setelah Batara Guritna pergi, Batara Narada melanjutkan perjalanan menuju
Padepokan Kendalisada di Gunung Kundalini. Di padepokan tersebut bersemayam pendeta
wanara putih yang ternama di zaman kuno, yaitu Resi Anoman.
Melihat Batara Narada datang, Resi Anoman pun menyembah hormat. Batara Narada
mengingatkan apa yang menjadi tugas Resi Anoman di Gunung Kundalini. Resi Anoman
menjawab dirinya tidak lupa, yaitu menjaga penjara gaib yang berisi roh Prabu Rahwana.
Batara Narada pun berkata bahwa Resi Anoman telah lalai dalam tugasnya, sehingga roh
Prabu Rahwana berhasil meloloskan diri.
Resi Anoman tidak percaya. Ia pun pergi memeriksa penjara gaib yang berada di
bawah Gunung Kundalini. Ternyata benar, roh Prabu Rahwana sudah tidak ada di sana. Ia
sangat menyesal dan kecewa pada diri sendiri yang telah lengah. Batara Narada menghibur
Resi Anoman jangan berkecil hati. Ia pun memberikan petunjuk bahwa roh Prabu Rahwana
saat ini sedang mengamuk di Kerajaan Amarta. Resi Anoman berterima kasih. Ia lalu mohon
pamit berangkat menangkap kembali roh raja angkara murka tersebut.

RADEN ANTAREJA MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA


Sementara itu di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap para adik, yaitu Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Mereka juga menerima
kunjungan Prabu Kresna dari Kerajaan Dwarawati yang mendengar kabar tentang
hilangnya Arya Gatutkaca. Raden Abimanyu berangkat mencari namun belum kembali pula
membawa hasil.
Tiba-tiba datang para panakawan melaporkan Raden Antareja yang menginginkan
jabatan senapati. Raden Antareja tampaknya sudah lupa diri hingga tega melukai Raden
KITAB WAYANG PURWA

Abimanyu menggunakan semburan bisa. Entah bagaimana nasib Raden Abimanyu saat ini,
para panakawan tidak mengetahui karena dibawa kabur Raden Antasena.
Arya Wrekodara marah mendengar laporan itu. Tiba-tiba di luar istana terdengar suara
ribut-ribut, rupanya Raden Antareja telah datang dan mengamuk menghadapi para prajurit
dan punggawa. Patih Tambakganggeng, Arya Andakasumilir, Patih Gagakbaka, Arya
Dandangminangsi, Arya Podangbinorehan, Patih Sucitra, Patih Surata, tidak ada seorang
pun yang mampu mengatasi amukan Raden Antareja.
Arya Wrekodara maju menghadang putra sulungnya itu. Ia memarahi Raden Antareja
yang sudah gila karena membuat keributan di negeri sendiri. Raden Antareja menjawab,
dirinya menjadi gila adalah karena sikap ayahnya yang pilih kasih, lebih menyayangi Arya
Gatutkaca dibanding para putra yang lain. Arya Wrekodara marah dituduh demikian. Ia
berniat memukul Raden Antareja, namun Arya Gatutkaca tiba-tiba muncul melerai.

PERTARUNGAN ARYA GATUTKACA DAN RADEN ANTAREJA


Arya Gatutkaca memohon kepada Arya Wrekodara agar mundur, biar dirinya saja
yang memadamkan pemberontakan Raden Antareja. Raden Antareja bertanya apakah
Arya Gatutkaca hendak membalas dendam karena dirinya telah melukai Raden Abimanyu?
Arya Gatutkaca menjawab, dirinya tidak perlu membalas dendam karena Raden Abimanyu
telah sembuh berkat pertolongan Batara Guritna. Oleh sebab itu, tidak ada lagi yang perlu
dipersoalkan.
Tidak lama kemudian, Raden Abimanyu pun datang bersama Raden Antasena. Raden
Antareja melihat sepupunya itu baik-baik saja pertanda sudah sembuh dari semburan bisa
miliknya. Arya Gatutkaca lalu berkata, apabila Raden Antareja memang menginginkan
kedudukan sebagai senapati Kerajaan Amarta, maka dirinya ikhlas menyerahkan jabatan
tersebut. Sebagai sesama putra Pandawa sungguh memalukan apabila bertarung hanya
demi memperebutkan jabatan.
Raden Antareja marah merasa direndahkan. Ia tidak butuh belas kasihan Arya
Gatutkaca. Yang ingin ia tunjukkan adalah, orang-orang harus melihat bahwa dirinya lebih
pantas dan lebih berhak menduduki jabatan senapati dibanding adiknya itu. Untuk itu,
mereka berdua harus bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih sakti. Arya Gatutkaca
menjawab, menjadi senapati tidak cukup hanya bermodalkan kesaktian, tetapi juga perlu
memiliki kebijaksanaan.
Raden Antareja marah merasa dinasihati dan ia pun menyerang adiknya itu. Arya
Gatutkaca menghindar tanpa membalas. Raden Antareja semakin kesal dan semakin
gencar menyerang. Karena Arya Gatutkaca terus-menerus menghindar, maka ia pun
berbalik dan berniat menyerang Raden Abimanyu. Melihat itu, Arya Gatutkaca bergerak
mencegah. Kali ini ia tidak dapat menghindar terus, namun perlu untuk membalas demi
melindungi adik sepupunya.
Maka, terjadilah pertarungan sengit antara dua bersaudara tersebut. Kesaktian yang
baru dipelajari dari Batara Guritna kini digunakan Arya Gatutkaca untuk melawan Raden
Antareja. Setelah bertarung cukup lama, Raden Antareja akhirnya terdesak mundur. Ia pun
melakukan kroda dan seketika wajahnya berubah menjadi seperti naga dengan lidah
menjulur mengerikan. Dalam wujud tersebut, kekuatan Raden Antareja meningkat sepuluh
kali lipat dibanding sebelumnya.
Kali ini ganti Arya Gatutkaca yang terdesak oleh kesaktian sang kakak. Semakin lama
serangan Raden Antareja semakin dahsyat. Berkali-kali ia menyemburkan bisa, namun
masih dapat dihindari Arya Gatutkaca yang bergerak dengan cepat. Meskipun demikian,
lama-lama Arya Gatutkaca merasa letih juga dan bisa-bisa kehabisan tenaga.
KITAB WAYANG PURWA

Pada saat itulah Batara Guritna datang dan ia melihat muridnya dalam bahaya. Sesuai
petunjuk Batara Narada, ia pun masuk ke dalam tubuh Arya Gatutkaca, menyatu jiwa raga
dengan muridnya itu. Seketika Arya Gatutkaca seperti mendapat kekuatan baru. Ia pun
balas mengimbangi Raden Antareja dengan melakukan kroda pula. Dari punggung Arya
Gatutkaca tiba-tiba muncul sepasang sayap yang membentang lebar.
Arya Gatutkaca dan Raden Antareja kembali melanjutkan pertarungan. Yang satu
bersayap seperti garuda, dan yang satu berwajah naga dengan mulut menyemburkan bisa.
Pertarungan ini sungguh dahsyat dan mengerikan, bagaikan seekor burung elang bergulat
melawan ular besar. Prabu Kresna dan para Pandawa sampai terheran-heran melihat
perubahan wujud mereka berdua.
Lama-lama Raden Antareja terdesak menghadapi kesaktian Arya Gatutkaca. Sesaat
ia lengah dan berhasil diringkus Arya Gatutkaca. Pada saat itulah Resi Anoman muncul dan
tangannya ikut menjambak rambut Raden Antareja. Mulutnya komat-kamit membaca
mantra. Raden Antareja merasa kesakitan dan dari mulutnya keluar asap yang berubah
menjadi sosok raja raksasa menyeramkan. Ia adalah roh Prabu Rahwana.
Resi Anoman dengan cekatan menghajar roh Prabu Rahwana yang telah kabur dari
penjara gaib Gunung Kundalini dan selama ini merasuki pikiran Raden Antareja. Roh Prabu
Rahwana kewalahan dan akhirnya berhasil ditangkap Resi Anoman untuk kemudian dibawa
pulang ke Padepokan Kendalisada.

RADEN ANTAREJA MEMINTA HUKUMAN


Setelah roh Prabu Rahwana keluar dari tubuhnya, Raden Antareja merasa lemas tak
berdaya. Wajahnya kini kembali seperti sediakala, tidak lagi seperti naga. Arya Gatutkaca
pun kembali ke wujud semula, tidak lagi bersayap seperti garuda. Ia lalu memeluk kakaknya
itu dan meminta maaf atas pertarungan yang keras tadi. Raden Antareja balas memeluk
dan meminta maaf atas kejahatannya memberontak pada negara.
Prabu Kresna dan para Pandawa mendatangi Arya Gatutkaca dan Raden Antareja.
Melihat itu, Patih Sangkuni dan para Kurawa merasa kecewa. Mereka lalu berhamburan
karena diterjang Arya Wrekodara sebagai pelampiasan rasa kesal.
Setelah keadaan tenang, Prabu Puntadewa pun menawarkan jabatan wakil senapati
kepada Raden Antareja. Namun, Raden Antareja menolak jabatan itu. Dirinya sungguh
sangat malu telah melakukan pemberontakan seperti ini, dan menyebabkan banyak orang
terluka. Jika memang jabatan wakil senapati perlu ada, biarlah Raden Abimanyu saja yang
lebih pantas mendudukinya.
Para Pandawa senang melihat Raden Antareja telah menyesali perbuatannya. Mereka
pun tidak menjatuhkan hukuman karena pemberontakan itu terjadi karena Raden Antareja
dirasuki roh Prabu Rahwana dan juga karena mendapat hasutan Patih Sangkuni. Namun
demikian, Raden Antareja tetap merasa bersalah dan minta dijatuhi hukuman. Arya
Wrekodara selaku jaksa agung mengusulkan agar Raden Antareja dihukum berpuasa untuk
menghilangkan pengaruh buruk dalam pikirannya. Prabu Puntadewa setuju dan
memutuskan Raden Antareja harus berpuasa selama seratus hari dan dilarang keluar
meninggalkan Kesatrian Jangkarbumi. Raden Antareja pun menerima hukuman itu dengan
senang hati, demi untuk menebus kejahatannya pada negara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

GATUTKACA JUMENENG RATU


Kisah ini menceritakan tentang pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja Pringgadani,
yang diwarnai dengan pemberontakan pamannya, yaitu Adipati Brajadenta.
Kisah ini saya olah dari sumber pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Manteb
Soedharsono, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 30 Agustus 2018
Heri Purwanto

Arya Gatutkaca setelah dimahkotai.

PATIH SANGKUNI BERNIAT MENGHASUT ADIPATI BRAJADENTA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri para
menteri dan punggawa, antara lain Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan
Raden Kartawarma. Dalam pertemuan itu, mereka membahas tentang kegagalan Patih
Sangkuni dalam mengadu domba putra-putra Pandawa, yaitu antara Arya Gatutkaca
dengan Raden Antareja. Awalnya Raden Antareja terhasut untuk memberontak kepada
Kerajaan Amarta, namun pada akhirnya ia bertobat dan mengakui kesalahannya.
Patih Sangkuni berkata dirinya masih mempunyai rencana lain untuk mengacaukan
perdamaian di dalam tubuh para Pandawa. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Arya
Gatutkaca akan dilantik menjadi raja Pringgadani mewarisi takhta dari ibunya, yaitu Dewi
Arimbi. Rencana pelantikan inilah yang akan dimanfaatkan Patih Sangkuni untuk
menghasut adik Dewi Arimbi, yaitu Adipati Brajadenta di Kadipaten Glagahtinunu agar
memberontak kepada Kerajaan Pringgadani.
Prabu Duryudana dapat membaca rencana Patih Sangkuni. Selama ini Kerajaan
Amarta bersahabat baik dengan Kerajaan Pringgadani. Apabila Kerajaan Pringgadani
dilanda perang saudara, maka akan berakibat buruk pula kepada Kerajaan Amarta. Maka,
Prabu Duryudana pun mendukung rencana adu domba ini.
Karena telah diputuskan demikian, Patih Sangkuni pun mohon pamit berangkat
menuju Kadipaten Glagahtinunu dengan diiringi para Kurawa, antara lain Arya Dursasana,
Raden Kartawarma, Raden Durmagati, dan yang lainnya.

PATIH SANGKUNI MENGHASUT ADIPATI BRAJADENTA


Patih Sangkuni dan para Kurawa telah sampai di Kadipaten Glagahtinunu. Mereka pun
disambut sang tuan rumah Adipati Brajadenta dengan penuh hormat. Sungguh
mengherankan Patih Sangkuni tiba-tiba saja datang berkunjung, membuat Adipati
Brajadenta bertanya ada pesan apa yang hendak ia sampaikan.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Sangkuni menjawab, dirinya diutus Prabu Duryudana untuk menyampaikan


salam persahabatan, baik itu secara pribadi antara para Kurawa dan Kadang Braja, juga
antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Dahulu kala pada masa pemerintahan
Prabu Pandu dan Prabu Tremboko telah terjalin persahabatan antara kedua negara
tersebut. Namun, karena sikap Prabu Pandu yang terhasut oleh fitnah Patih Gandamana,
membuat persahabatan itu pun putus. Kini Prabu Duryudana berniat menjalin kembali
persahabatan antara Kerajaan Hastina dan Pringgadani.
Adipati Brajadenta berkata bahwa Patih Sangkuni salah alamat karena dirinya bukan
raja Pringgadani. Prabu Tremboko meninggalkan tujuh orang anak, yaitu Raden Arimba,
Dewi Arimbi, Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden
Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana. Raden Arimba menggantikan ayah mereka menjadi
raja, bergelar Prabu Arimba. Pada suatu hari, Prabu Arimba tewas dalam pertarungan
melawan Raden Bratasena. Sebelum meninggal, Prabu Arimba sempat menyerahkan
takhta Pringgadani kepada musuh yang telah mengalahkannya itu. Namun, Raden
Bratasena menolak menjadi raja. Prabu Arimba akhirnya mewariskan Kerajaan Pringgadani
kepada Dewi Arimbi yang menjadi istri Raden Bratasena.
Patih Sangkuni mengaku sudah mengetahui cerita tersebut. Ia juga tahu bahwa Dewi
Arimbi adalah rajaputri pengganti Prabu Arimba. Namun, Dewi Arimbi lebih sering tinggal di
tempat suaminya, yaitu di Kesatrian Unggulpawenang daripada memimpin Kerajaan
Pringgadani. Dalam keseharian, roda pemerintahan Kerajaan Pringgadani dijalankan oleh
Raden Brajadenta yang juga berkedudukan sebagai adipati di Glagahtinunu. Itulah
sebabnya, Prabu Duryudana mengutus Patih Sangkuni menemui Adipati Brajadenta.
Menurut pandangan Prabu Duryudana, pemimpin sejati Kerajaan Pringgadani adalah
Adipati Brajadenta, bukan Dewi Arimbi.
Adipati Brajadenta tidak berani menerima pujian tersebut. Selama ini ia hanya
menjalankan tugas mewakili Dewi Arimbi saja. Dewi Arimbi adalah raja Pringgadani yang
sesungguhnya, bukan dirinya. Patih Sangkuni memuji Adipati Brajadenta sebagai sosok
bijaksana yang suka merendah. Jelas-jelas Adipati Brajadenta lebih paham soal Kerajaan
Pringgadani, tetapi tidak mau menonjolkan diri. Dewi Arimbi jelas tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan dirinya. Dewi Arimbi hanyalah sosok perempuan lemah dengan
segala keterbatasannya, sedangkan Adipati Brajadenta adalah laki-laki perkasa yang
mampu mengatur Kerajaan Pringgadani dan juga Kadipaten Glagahtinunu secara
sekaligus.
Adipati Brajadenta mulai termakan hasutan Patih Sangkuni. Ia pun berterus terang
bahwa dalam hatinya ada perasaan kesal kepada kakaknya, yaitu Dewi Arimbi. Jelas-jelas
Prabu Tremboko, ayah mereka gugur di tangan Prabu Pandu, tetapi Dewi Arimbi justru jatuh
cinta dan menikah dengan Raden Bratasena, atau Arya Wrekodara. Kemudian, Arya
Wrekodara juga membunuh Prabu Arimba. Itu artinya dendam turun-temurun ini semakin
mendalam.
Adipati Brajadenta juga heran mengapa Prabu Arimba sebelum wafat merestui Dewi
Arimbi sebagai raja Pringgadani. Bukankah Dewi Arimbi telah menjadi pengkhianat karena
menikah dengan musuh? Namun, kala itu Adipati Brajadenta tidak berani menentang.
Lagipula adik-adiknya semua mendukung pengangkatan Dewi Arimbi sebagai raja yang
baru.
Patih Sangkuni menjawab, andai saja dulu dirinya dan Adipati Brajadenta sudah saling
kenal, tentu mereka bisa berteman dan bersama-sama menghadapi Arya Wrekodara dan
para Pandawa lainnya. Namun, tidak ada kata terlambat dalam bersekutu. Apabila Adipati
Brajadenta ingin menjadi raja Pringgadani, maka para Kurawa dan seluruh bala tentara
Kerajaan Hastina siap membantu.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Brajadenta masih bimbang, karena menurut kabar yang ia terima, Dewi Arimbi
berniat mewariskan takhta Kerajaan Pringgadani kepada putranya, yaitu Arya Gatutkaca.
Patih Sangkuni pura-pura terkejut mendengar berita itu. Ia berkata bahwa ini semua pasti
ulah licik para Pandawa. Arya Gatutkaca memiliki darah campuran, yaitu perpaduan antara
keluarga Pandawa dengan keluarga Pringgadani. Dengan menjadikan Arya Gatutkaca
sebagai raja, itu artinya para Pandawa hendak menjajah Kerajaan Pringgadani secara tidak
langsung.

RADEN BRAJAMUSTI MENGUNJUNGI ADIPATI BRAJADENTA


Ketika Adipati Brajadenta mulai terhasut oleh ucapan Patih Sangkuni, tiba-tiba datang
adiknya yang bernama Raden Brajamusti. Patih Sangkuni terkejut melihatnya karena wajah
Raden Brajamusti sangat mirip dengan Adipati Brajadenta bagaikan saudara kembar.
Raden Brajamusti memberi hormat kepada Adipati Brajadenta dan para hadirin
lainnya, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu menjemput kakaknya itu
untuk hadir di pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja Pringgadani yang baru. Tidak hanya
itu, ia juga menyampaikan keputusan para Pandawa yang memilih Adipati Brajadenta
sebagai patih mendampingi Arya Gatutkaca.
Adipati Brajadenta bukannya senang tetapi justru marah-marah menyebut para
Pandawa sudah terlalu banyak mencampuri urusan Kerajaan Pringgadani. Soal siapa yang
menjadi patih, ada hak apa mereka ikut mengatur segala?
Raden Brajamusti terkejut melihat kakaknya marah seperti itu. Ia pun menjelaskan
bahwa soal pemilihan patih adalah usulan Arya Gatutkaca, yang mana usulan tersebut
disetujui para Pandawa. Bagaimanapun juga, selama Dewi Arimbi menjadi rajaputri di
Pringgadani, Adipati Brajadenta yang bertindak sebagai wakil sehari-hari.
Adipati Brajadenta bertanya apakah Raden Brajamusti sudah lupa bahwa ayah para
Pandawa, yaitu Prabu Pandu Dewanata telah membunuh Prabu Tremboko, ayah mereka.
Selain itu, Arya Wrekodara sang Pandawa kedua juga membunuh Prabu Arimba, kakak
mereka. Para Kadang Braja harusnya menagih hutang nyawa ini, bukannya justru tunduk
pada segala keputusan para Pandawa.
Raden Brajamusti mulai paham bahwa Adipati Brajadenta pasti telah termakan
hasutan Patih Sangkuni. Ia pun mengingatkan kakaknya itu tentang sumpah yang mereka
ucapkan dulu di depan jasad kakak mereka. Saat itu Prabu Arimba gugur di tangan Raden
Bratasena yang kelak bergelar Arya Wrekodara. Sebelum meninggal, Prabu Arimba sempat
meminta Raden Bratasena untuk menduduki takhta Kerajaan Pringgadani yang ia
tinggalkan. Namun, Raden Bratasena menolak tawaran itu. Prabu Arimba pun menunjuk
Dewi Arimbi sebagai pengganti dirinya. Para adik yang lain, yaitu Raden Brajadenta, Raden
Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana, semuanya
menyatakan setuju pada keputusan tersebut. Mereka juga bersumpah akan selalu
mematuhi para Pandawa serta menjadikan Raden Bratasena sebagai saudara tertua
pengganti Prabu Arimba.
Adipati Brajadenta mengaku tidak pernah lupa pada janji tersebut. Namun, kini ia telah
sadar bahwa para Pandawa sudah melanggar batas wewenang mereka. Pemilihan raja dan
patih adalah urusan rumah tangga Kerajaan Pringgadani, bukan urusan mereka. Lagipula
ia tidak setuju jika Arya Gatutkaca yang menjadi raja Pringgadani, karena keponakan
mereka tersebut berdarah campuran. Menjadikan Arya Gatutkaca sebagai raja adalah
siasat Pandawa untuk menjajah Kerajaan Pringgadani secara tidak langsung.
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia membujuk Raden Brajamusti agar ikut
menentang pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja Pringgadani. Menurutnya, Kadang
KITAB WAYANG PURWA

Braja harusnya bersatu menggagalkan penjajahan para Pandawa atas negeri mereka.
Raden Brajamusti menjawab, jika para Pandawa tidak boleh mencampuri urusan Kerajaan
Pringgadani, mengapa pula Patih Sangkuni dan para Kurawa ikut campur urusan ini? Ia
menyebut Patih Sangkuni hanyalah ingin menghasut Adipati Brajadenta untuk
memberontak dan kemudian menjadikan Kerajaan Pringgadani sebagai bawahan Kerajaan
Hastina.
Adipati Brajadenta memarahi Raden Brajamusti yang berani memaki tamunya. Raden
Brajamusti meminta maaf dan menegaskan sekali lagi apakah kakaknya itu bersedia ikut
dirinya pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk dilantik sebagai patih? Adipati Brajadenta
menolak dengan tegas. Ia bersedia datang ke sana apabila yang menjadi raja bukan Arya
Gatutkaca.
Mendengar jawaban itu, Raden Brajamusti merasa tidak ada gunanya berlama-lama
lagi. Ia pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Pringgadani.
Setelah Raden Brajamusti pergi, Patih Sangkuni memberi saran agar Adipati
Brajadenta menangkap adiknya tersebut. Syukur apabila Raden Brajamusti bisa ditarik
bergabung dengan dirinya. Apabila tidak bersedia, lebih baik disingkirkan daripada menjadi
penambah kekuatan pihak Pandawa. Adipati Brajadenta setuju dan segera memimpin
pasukan mengejar Raden Brajamusti. Para Kurawa pun ikut serta.

PARA KURAWA GAGAL MENANGKAP RADEN BRAJAMUSTI


Raden Brajamusti yang meninggalkan Kadipaten Glagahtinunu bertemu Raden
Antareja dan Raden Antasena di tengah jalan. Kedua pemuda itu sedang dalam perjalanan
menuju Kerajaan Pringgadani untuk menyaksikan pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja.
Mereka pun memberi hormat kepada Raden Brajamusti.
Raden Brajamusti bercerita bahwa dirinya ditugasi Dewi Arimbi dan para Pandawa
untuk menjemput Adipati Brajadenta yang sedianya hendak dijadikan sebagai calon patih
mendampingi Arya Gatutkaca. Namun, kakaknya itu telah terkena hasutan Patih Sangkuni
untuk memberontak.
Tidak lama kemudian datanglah Adipati Brajadenta bersama pasukan Glagahtinunu
dan para Kurawa mengejar Raden Brajamusti. Raden Antareja yang pernah memberontak
karena dihasut Patih Sangkuni tidak ingin kejadian itu terulang lagi dan menimpa Adipati
Brajadenta. Ia pun maju menerjang para Kurawa. Raden Antasena ikut membantu
kakaknya. Pertempuran pun meletus.
Adipati Brajadenta marah melihat kedua pemuda itu memukul mundur pasukannya. Ia
pun maju menghadapi mereka. Raden Antareja terdesak dan bertanya kepada Raden
Brajamusti bagaimana caranya mengalahkan Adipati Brajadenta. Raden Brajamusti tidak
menjawab, melainkan mengajak Raden Antareja dan Raden Antasena untuk mundur saja,
tidak perlu buang-buang tenaga menghadapi Adipati Brajadenta. Raden Antareja dan
Raden Antasena heran, namun tidak berani membantah ucapan sang paman.

ARYA GATUTKACA BERZIARAH KE CANDI MAKAM PRABU TREMBOKO


Sementara itu, Arya Gatutkaca yang menjadi bahan pembicaraan saat ini sedang
berziarah ke candi makam kakeknya, yaitu Prabu Tremboko. Dalam kunjungannya itu, ia
memohon restu kepada sang kakek agar diizinkan menduduki takhta Kerajaan Pringgadani,
memimpin seluruh rakyat.
Tiba-tiba muncul penampakan sosok raksasa besar di hadapan Arya Gatutkaca.
Sosok tersebut tidak lain adalah roh Prabu Tremboko yang sengaja datang untuk merestui
Arya Gatutkaca. Seumur hidup baru kali ini Arya Gatutkaca melihat wajah kakeknya,
KITAB WAYANG PURWA

meskipun tampak samar-samar antara ada dan tiada. Ia pun segera menyembah kaki sang
kakek dengan perasaan haru.
Setelah memberikan restu kepada cucunya itu, roh Prabu Tremboko pun bercerita
tentang dirinya di zaman dulu pernah berguru kepada Prabu Pandu Dewanata, kakek Arya
Gatutkaca dari pihak ayah. Saat itu Prabu Tremboko mendapat ilmu kesaktian berupa Aji
Brajadenta dan Aji Brajamusti. Akibat belajar ilmu tersebut, tiba-tiba dari paha kiri dan kanan
Prabu Tremboko keluar dua bayi raksasa. Prabu Tremboko pun menjadikan mereka
sebagai putra yang diberi nama Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti.
Kini cucu Prabu Pandu akan dilantik menjadi raja Pringgadani. Itu artinya usia Raden
Brajadenta dan Raden Brajamusti tidak akan lama lagi. Mereka akan segera musnah,
kembali menjadi ilmu kesaktian yang bersatu dalam diri Arya Gatutkaca selaku cucu Prabu
Pandu.
Arya Gatutkaca prihatin mendengarnya. Ia tidak ingin menjadi raja daripada
kehilangan kedua pamannya tersebut. Prabu Tremboko menegur cucunya itu. Meskipun
Arya Gatutkaca menolak menjadi raja tetap saja Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti
akan mati. Tidak ada manusia yang hidup abadi. Mati sekarang atau besok apa bedanya?
Justru apabila Arya Gatutkaca menolak menjadi raja, maka yang kasihan adalah rakyat
jelata yang tidak mempunyai seorang pemimpin yang cakap.
Arya Gatutkaca mencoba memantapkan hati. Prabu Tremboko berpesan kepada
cucunya itu agar segera pulang ke Kerajaan Pringgadani, karena di sana para sesepuh
sudah berdatangan untuk menyaksikan upacara pelantikannya. Usai berkata demikian, roh
Prabu Tremboko pun musnah dari pandangan.
Arya Gatutkaca menyembah menghormati makam kakeknya, kemudian ia pergi
melesat ke angkasa.

PELANTIKAN ARYA GATUTKACA MENJADI RAJA PRINGGADANI


Di Kerajaan Pringgadani, Dewi Arimbi didampingi tiga adiknya, yaitu Raden
Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana menyambut kehadiran para
tamu dari berbagai negeri, antara lain Pandawa Lima dari Kerajaan Amarta, Prabu Kresna
dari Kerajaan Dwarawati, Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura, serta sesepuh para raja
Tanah Jawa, yaitu Prabu Matsyapati dari Kerajaan Wirata.
Tidak lama kemudian, datanglah Arya Gatutkaca yang segera menyembah hormat
kepada mereka semua. Ia mengaku baru saja berziarah ke candi makam Prabu Tremboko
sebelum menerima kehormatan dilantik sebagai raja Pringgadani. Para hadirin senang
mendengarnya dan mereka pun memulai upacara pelantikan tersebut.
Prabu Matsyapati selaku raja tertua pun memimpin upacara. Arya Gatutkaca resmi
dinobatkan sebagai raja Pringgadani, bergelar Prabu Purubaya. Namun, ia meminta tetap
dipanggil dengan nama Arya Gatutkaca saja karena merangkap jabatan pula sebagai
senapati Kerajaan Amarta. Nama panggilan Prabu Purubaya hanyalah dipakai untuk urusan
resmi Kerajaan Pringgadani saja.

ADIPATI BRAJADENTA MENGAMUK DI ISTANA PRINGGADANI


Tiba-tiba datanglah Raden Brajamusti yang melaporkan bahwa dirinya gagal
membawa serta Adipati Brajadenta. Ia juga berkata bahwa Adipati Brajadenta menolak
kedudukan sebagai patih dan berniat memberontak karena hasutan Patih Sangkuni.
Mendengar itu, Prabu Baladewa marah-marah karena selalu saja Patih Sangkuni
menyebarkan fitnah. Mula-mula Prabu Boma Narakasura dihasut, kemudian Raden
Antareja, dan sekarang ganti Adipati Brajadenta yang menjadi sasaran.
KITAB WAYANG PURWA

Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar. Rupanya Adipati Brajadenta
dengan bala tentaranya telah tiba dan membuat kekacauan di wilayah Kerajaan
Pringgadani. Raden Brajalamatan dan Raden Brajawikalpa segera memimpin pasukan
menghadapi serangan itu. Namun, mereka terdesak mundur oleh kesaktian sang kakak
yang perkasa.
Dewi Arimbi marah besar melihat ulah Adipati Brajadenta. Ia pun mengambil wujud
aslinya yang seorang raksasi untuk mengamuk menyerang Adipati Brajadenta. Adipati
Brajadenta menghindari serangan sambil mulutnya menuduh Dewi Arimbi telah menjual
negara, menjadi budak para Pandawa. Mendengar tuduhan itu, Dewi Arimbi semakin marah
dan menyerang Adipati Brajadenta dengan gencar.
Adipati Brajadenta jelas lebih sakti dan lebih berpengalaman dalam pertempuran
dibanding Dewi Arimbi. Meskipun tidak pernah menyerang dengan ganas, namun ia sudah
berhasil membuat Dewi Arimbi terdesak kewalahan.

ARYA GATUTKACA MENGHADAPI ADIPATI BRAJADENTA


Melihat keadaan Dewi Arimbi yang terdesak namun berusaha sekuat tenaga untuk
bertahan, Prabu Kresna pun mendatangi Arya Wrekodara untuk menyampaikan hal itu.
Prabu Kresna memanas-manasi Arya Wrekodara apakah tidak sayang pada istri? Melihat
istri kewalahan menghadapi musuh, apakah Arya Wrekodara tidak ingin membantu?
Arya Wrekodara menjawab, yang dihadapi Dewi Arimbi bukan musuh, tetapi adiknya
sendiri. Pertempuran ini adalah soal perebutan warisan negara antara dua orang saudara.
Arya Wrekodara tidak ingin terlibat dalam masalah warisan semacam ini.
Prabu Kresna bertanya apakah Arya Wrekodara tidak ingin membantu istri
memenangkan haknya? Arya Wrekodara menjawab tidak mau ikut campur soal warisan.
Jika nanti Dewi Arimbi mati dalam pertarungan ini, maka Arya Wrekodara pun
merelakannya.
Prabu Kresna tersenyum senang mendengar jawaban Arya Wrekodara. Ia lalu
berjalan menghampiri Arya Gatutkaca. Kepada pemuda itu ia berkata bahwa betapa besar
pengorbanan Dewi Arimbi untuk memuliakan putranya. Namun, mengapa Arya Gatutkaca
hanya diam berpangku tangan melihat ibunya bertarung menghadapi pemberontak?
Arya Gatutkaca menjawab dirinya bimbang karena harus menghadapi paman sendiri.
Prabu Kresna berkata bahwa, Adipati Brajadenta saat ini bukan lagi seorang paman, tetapi
sudah menjadi musuh negara. Ini adalah ujian pertama yang harus dihadapi Arya Gatutkaca
sebagai raja Pringgadani yang baru dilantik.
Arya Gatutkaca memantapkan hati, lalu maju menerjang Adipati Brajadenta untuk
memberikan kesempatan kepada Dewi Arimbi agar bisa mundur ke belakang. Setelah
ibunya selamat, Arya Gatutkaca pun menyembah Adipati Brajadenta dan meminta maaf
atas serangannya tadi. Ia juga berkata bahwa dirinya ikhlas menyerahkan takhta Kerajaan
Pringgadani asalkan sang paman menghentikan perbuatannya merusak negara sendiri.
Adipati Brajadenta justru marah mendengarnya. Ia tidak sudi menerima belas kasihan
Arya Gatutkaca. Yang ia inginkan hanyalah menunjukkan kepada rakyat Pringgadani bahwa
dirinya lebih pantas menjadi raja daripada yang lain. Maka, ia pun menantang Arya
Gatutkaca untuk bertanding menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih layak memimpin
negara.
Usai berkata demikian, Adipati Brajadenta pun menyerang Arya Gatutkaca.
Pertarungan pun terjadi. Arya Gatutkaca hanya menghindar dan sesekali menangkis
serangan pamannya, tanpa membalas sama sekali. Hal itu membuat dirinya lama-lama
KITAB WAYANG PURWA

terdesak. Hingga akhirnya, Adipati Brajadenta mengerahkan Aji Gelap Sakethi membuat
tubuh Arya Gatutkaca terlempar ke udara.

AKHIR RIWAYAT DUA RAKSASA KEMBAR


Raden Brajamusti melompat menyambar tubuh Arya Gatutkaca dan membawanya
mendarat di tanah. Dewi Arimbi dan yang lain pun mengerumuni Arya Gatutkaca dan
bertanya mengapa tidak membalas serangan Adipati Brajadenta. Arya Gatutkaca berkata
bahwa saat berziarah ke makam Prabu Tremboko, ia didatangi roh kakeknya itu yang
mengatakan bahwa apabila keturunan Prabu Pandu menjadi raja Pringgadani, maka itu
berarti kehidupan Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti akan segera berakhir. Karena
teringat hal itulah, Arya Gatutkaca tidak ingin bertarung menghadapi pamannya tersebut.
Mendengar itu, Raden Brajamusti tersenyum dan berkata bahwa dirinya memang
sudah mengetahui tentang hal ini. Tadinya ia mengira akan mati karena sakit mendadak,
tidak tahunya sekarang harus mati karena menghadapi pemberontakan kakak sendiri.
Namun, Raden Brajamusti tidak takut mati. Sebagai kesatria, mati perang jauh lebih mulia
daripada mati merana di atas tempat tidur.
Arya Gatutkaca tidak rela kehilangan paman-pamannya. Ia menyatakan lebih baik
tidak menjadi raja daripada berpisah dengan mereka. Raden Brajamusti menjawab, semua
manusia asalnya tiada akan kembali pada ketiadaan. Dahulu kala tidak ada manusia
bernama Brajamusti, maka apabila besok pun tidak ada, apa anehnya? Justru apabila Arya
Gatutkaca menolak menjadi raja, maka yang paling rugi adalah rakyat Pringgadani.
Daripada rakyat Pringgadani kehilangan pemimpin hebat, tentu lebih lebih baik kehilangan
dua raksasa Brajadenta dan Brajamusti.
Dewi Arimbi menyela berkata, dirinya tidak tega melihat kedua adiknya bertarung dan
saling bunuh. Raden Brajamusti menjawab, seumur hidup Adipati Brajadenta tidak pernah
mau bertarung dengan dirinya, karena apabila mereka bertarung pasti akan mati bersama.
Oleh sebab itu, cara yang paling tepat untuk mengalahkan kakaknya itu ialah dengan
menyusup ke dalam tangan kiri Arya Gatutkaca.
Tanpa menunggu izin Arya Gatutkaca, Raden Brajamusti pun masuk menyusup ke
dalam tangan kiri keponakannya itu. Prabu Kresna yang telah melihat semuanya segera
menyuruh Arya Gatutkaca maju menantang kembali Adipati Brajadenta. Ia membesarkan
hati Arya Gatutkaca bahwa ini bukanlah pembunuhan seorang paman oleh keponakannya,
tetapi kisah seorang keponakan yang mengantarkan sang paman menjemput takdirnya.
Arya Gatutkaca pun maju kembali. Ia menantang Adipati Brajadenta melanjutkan
pertarungan. Adipati Brajadenta kembali menyerang Arya Gatutkaca dengan gencar. Arya
Gatutkaca hanya menangkis dengan tangan kanan karena hatinya masih bimbang jika
harus kehilangan kedua paman. Namun, lama-lama serangan Adipati Brajadenta semakin
dahsyat, membuat Arya Gatutkaca terdesak hebat. Pada saat-saat genting itulah, Arya
Gatutkaca menggerakkan tangan kiri sambil memejamkan mata. Tangan kirinya itu tepat
menghantam dada Adipati Brajadenta. Seketika Adipati Brajadenta pun roboh kehilangan
nyawa, dan dari tangan kiri Arya Gatutkaca keluar pula sosok Raden Brajamusti yang juga
telah tewas.

WASIAT TERAKHIR ADIPATI BRAJADENTA


Arya Gatutkaca menangis di samping jasad kedua pamannya. Tiba-tiba ia melihat roh
Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti berdiri di hadapannya. Roh Adipati Brajadenta
menghibur Arya Gatutkaca agar jangan bersedih hati. Ia berkata, dirinya sudah lama
KITAB WAYANG PURWA

mendengar ramalan bahwa ajalnya akan tiba apabila keturunan Prabu Pandu menjadi raja
Pringgadani.
Adipati Brajadenta sama sekali tidak takut pada ramalan itu. Namun, ia juga tidak ingin
mati karena sakit mendadak. Lebih baik ia mengadakan pemberontakan, sekaligus menjadi
ujian pertama Arya Gatutkaca sebagai raja. Kebetulan pula Patih Sangkuni datang
menghasut, maka ini bisa menjadi alasan Adipati Brajadenta untuk mengantarkan nyawa.
Adipati Brajadenta juga mengetahui kalau Raden Brajamusti telah menyusup di tangan
kiri Arya Gatutkaca. Itulah sebabnya, dalam pertarungan tadi ia selalu memaksa Arya
Gatutkaca agar menggunakan tangan kirinya. Begitu tangan kiri yang mengandung Raden
Brajamusti digunakan, seketika Adipati Brajadenta pun tewas menjemput takdirnya.
Arya Gatutkaca memohon maaf telah menjadi penyebab kematian kedua pamannya.
Adipati Brajadenta menjawab, tidak ada yang perlu disesalkan. Dahulu kala Prabu Pandu
mengajarikan ilmu kesaktian Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti kepada Prabu Tremboko.
Ada keajaiban alam di mana kedua ajian tersebut berubah menjadi raksasa kembar yang
diambil sebagai putra oleh Prabu Tremboko. Kini sudah saatnya mereka kembali ke asal,
yaitu bergabung dalam tubuh keturunan Prabu Pandu sebagai ilmu kesaktian.
Usai berkata demikian, roh Adipati Brajadenta pun masuk ke dalam tangan kanan Arya
Gatutkaca, sedangkan roh Raden Brajamusti masuk ke dalam tangan kirinya. Arya
Gatutkaca terharu, dan merasa kekuatan kedua tangannya meningkat pesat.

RADEN BRAJALAMATAN MENJADI PATIH BARU


Arya Gatutkaca lalu mendatangi ketiga pamannya yang lain, yaitu Raden
Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana. Karena Adipati Brajadenta
telah gugur, maka jabatan patih Kerajaan Pringgadani diserahkan kepada Raden
Brajalamatan, yang mulai saat ini diberi gelar Patih Prabakesa. Adapun Raden Brajawikalpa
ditunjuk menggantikan tugas Raden Brajamusti sebagai kepala angkatan perang Kerajaan
Pringgadani. Raden Brajawikalpa diberi nama gelar Arya Prabagati. Sementara itu, Raden
Kalabendana diangkat sebagai kepala urusan rumah tangga Keraton Pringgadani. Ketiga
pamannya itu pun menerima perintah dengan penuh tanggung jawab.
Patih Prabakesa dan Arya Prabagati lalu menggempur Patih Sangkuni dan para
Kurawa. Orang-orang Hastina itu terdesak mundur dan kembali ke negara mereka.
Setelah suasana tenang kembali, Arya Gatutkaca pun memimpin pemakaman jasad
Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti dengan diiringi upacara kenegaraan yang
disaksikan para Pandawa dan hadirin lainnya.

Adipati Brajadenta

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

KIKIS TUNGGARANA
Kisah ini menceritakan tentang perang antara Prabu Boma Narakasura melawan Prabu
Arya Gatutkaca yang memperebutkan Kadipaten Tunggarana, yang akhirnya dapat
didamaikan oleh Bambang Pamegat-tresna putra Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber ilustrasi kalender Rokok Grendhel, dengan perubahan
seperlunya.
Kediri, 19 Oktober 2018
Heri Purwanto

Bambang Pamegat-tresna menengahi Prabu Boma dan Arya Gatutkaca

PRABU BOMA NARAKASURA BERNIAT MENGHUKUM ADIPATI KAHANA


Di Kerajaan Trajutiksna, Prabu Boma Narakasura memimpin pertemuan dihadap para
menteri dan punggawa raksasa, antara lain Patih Pancadnyana, Ditya Yayahgriwa, Ditya
Mahudara, Ditya Amisunda, dan Ditya Ancakugra. Dalam pertemuan itu, Prabu Boma
menanyakan alasan mengapa Adipati Kahana dari Kadipaten Tunggarana tidak pernah lagi
datang menghadap kepadanya.
Patih Pancadnyana melaporkan hasil penyelidikan mata-matanya yang melihat Adipati
Kahana pergi ke Kerajaan Pringgadani, menghadap Prabu Arya Gatutkaca. Besar
kemungkinan, Adipati Kahana ingin melepaskan Kadipaten Tunggarana dari kekuasaan
Kerajaan Trajutiksna dan bergabung dengan Kerajaan Pringgadani.
Prabu Boma yang memiliki dendam pribadi terhadap Arya Gatutkaca seketika marah
besar mendengar berita ini. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak apabila benar Adipati
Kahana lebih memilih menjadi bawahan Kerajaan Pringgadani daripada Kerajaan
Trajutiksna. Maka, ia pun mengutus Ditya Yayahgriwa pergi ke Tunggarana untuk
menangkap Adipati Kahana dan menyeretnya ke istana Trajutiksna. Ditya Yayahgriwa
menjawab bersedia, dan segera berangkat melaksanakan tugas.

ADIPATI KAHANA MENGUNJUNGI KERAJAAN PRINGGADANI


Adipati Kahana yang dicari-cari saat itu tidak berada di Kadipaten Tunggarana,
melainkan sedang berkunjung ke Kerajaan Pringgadani dengan ditemani Resi
Sumberkatong. Prabu Arya Gatutkaca didampingi para paman, yaitu Patih Prabakesa
(Brajalamatan), Raden Prabagati (Brajawikalpa), dan Raden Kalabendana menyambut dan
menerima kedatangan mereka.
Beberapa waktu yang lalu, Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong sudah berkunjung
ke Pringgadani, namun tidak bertemu Arya Gatutkaca karena sedang berada di Kerajaan
Amarta. Kali ini ia datang lagi untuk yang kedua kalinya dan bertemu dengan raja
Pringgadani tersebut.
Adipati Kahana pun menyampaikan kegelisahan hatinya yang tidak betah menjadi
bawahan Kerajaan Trajutiksna. Kepemimpinan Prabu Boma Narakasura ia rasakan
KITAB WAYANG PURWA

sewenang-wenang dan terlalu menindas Kadipaten Tunggarana. Setiap saat wilayah


Tunggarana yang subur diperas untuk diangkut hasil buminya ke ibu kota Trajutiksna.
Pembayaran pajak dan upeti Kadipaten Tunggarana jauh lebih besar dibanding kadipaten-
kadipaten lainnya. Bahkan, Prabu Boma mengumumkan kenaikan pajak dan upeti yang
harus dibayar Kadipaten Tunggarana dalam setahun bisa tiga kali. Jika ini dituruti, rakyat
Tunggarana akan semakin miskin karena hasil jerih payah mereka lebih banyak yang
diangkut ke ibu kota daripada untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Arya Gatutkaca menjawab, dirinya merasa prihatin atas keadaan Tunggarana. Namun,
ia merasa serbasalah jika ikut campur urusan Kadipaten Tunggarana yang masuk ke dalam
wilayah Kerajaan Trajutiksna. Resi Sumberkatong menyela ikut bicara. Ia bercerita bahwa
dahulu kala Kadipaten Tunggarana adalah bawahan Kerajaan Pringgadani, bukan berada
di bawah Kerajaan Trajutiksna.
Resi Sumberkatong saat itu menjabat sebagai patih Kadipaten Tunggarana,
mendampingi Adipati Kalapustaka. Adapun Kerajaan Pringgadani masih di bawah
kepemimpinan Prabu Arimba. Setelah Prabu Arimba meninggal, Kerajaan Pringgadani
dipimpin oleh Dewi Arimbi. Namun, karena Dewi Arimbi telah menikah dengan Arya
Wrekodara dari keluarga Pandawa, maka ia lebih banyak tinggal di Kesatrian
Unggulpawenang bersama suami daripada tinggal di Kerajaan Pringgadani. Adapun tugas
memimpin Kerajaan Pringgadani sehari-hari diwakili oleh adiknya, yaitu Adipati Brajadenta
dari Kadipaten Glagahtinunu.
Rupanya Adipati Brajadenta terlalu sibuk membagi waktu antara memimpin Kerajaan
Pringgadani dan mengatur Kadipaten Glagahtinunu, sehingga ia tidak mampu
mempertahankan Kadipaten Tunggarana ketika diserang Prabu Bomantara dari Kerajaan
Surateleng. Adipati Kalapustaka gugur dalam serangan itu, dan Kadipaten Tunggarana
resmi menjadi jajahan Kerajaan Surateleng. Putra Adipati Kalapustaka pun dijadikan
sebagai bawahan Prabu Bomantara, yaitu Adipati Kahana, sedangkan Patih Sumberkatong
dijadikan sebagai pendeta, bergelar Resi Sumberkatong.
Beberapa tahun berlalu, Prabu Bomantara gugur di tangan Raden Sitija, yang
kemudian menduduki Kerajaan Surateleng dengan gelar Prabu Boma Narakasura.
Kemudian Kerajaan Surateleng diganti nama menjadi Kerajaan Trajutiksna, dan Adipati
Kahana pun menjadi bawahan Prabu Boma Narakasura.
Demikianlah sejarah Kadipaten Tunggarana yang awalnya merupakan bawahan
Kerajaan Pringgadani, kini berganti menjadi bawahan Kerajaan Trajutiksna. Adipati Kahana
dan Resi Sumberkatong sepakat ingin Kadipaten Tunggarana kembali menjadi bawahan
Kerajaan Pringgadani, yaitu setelah mereka mendengar kabar bahwa Arya Gatutkaca putra
Dewi Arimbi naik takhta dan memimpin dengan bijaksana, meskipun masih usia muda.
Arya Gatutkaca terdiam tidak menanggapi pujian Resi Sumberkatong. Ia lalu meminta
pertimbangan kepada Patih Prabakesa, Raden Prabagati, dan Raden Kalabendana. Ketiga
pamannya itu meminta Arya Gatutkaca untuk tidak buru-buru mengabulkan permohonan
Adipati Kahana, karena ini menyangkut wibawa negara lain, yaitu Kerajaan Trajutiksna.
Arya Gatutkaca harus pula memikirkan perasaan Prabu Boma Narakasura. Jangan sampai
urusan Kadipaten Tunggarana membuat hubungan antara para orang tua, yaitu Prabu
Kresna dan para Pandawa menjadi rusak.

DITYA YAYAHGRIWA HENDAK MENYERET ADIPATI KAHANA


Belum sempat Arya Gatutkaca menjawab permohonan Adipati Kahana, tiba-tiba
datang Ditya Yayahgriwa menghadap. Setelah memberi salam, ia pun berkata bahwa
dirinya diutus Prabu Boma Narakasura untuk menangkap Adipati Kahana dan
KITAB WAYANG PURWA

membawanya ke Kerajaan Trajutiksna. Mula-mula ia datang ke Kadipaten Tunggarana


tetapi Adipati Kahana tidak ada di sana. Maka, ia pun bergegas menyusul ke Kerajaan
Pringgadani dan ternyata benar bisa menemukan orang yang dicarinya itu.
Arya Gatutkaca bertanya mengapa Adipati Kahana harus ditangkap dan dihadapkan
kepada Prabu Boma Narakasura. Ditya Yayayhgriwa menjelaskan bahwa Adipati Kahana
berniat memberontak dan ingin melepaskan diri sebagai bawahan Kerajaan Trajutiksna. Ini
adalah kesalahan besar yang harus mendapatkan hukuman berat.
Arya Gatutkaca berkata kepada Adipati Kahana agar pulang dan mematuhi panggilan
Prabu Boma. Namun, Adipati Kahana menolak. Ia berkata dirinya pasti dihukum mati oleh
Prabu Boma Narakasura jika datang ke istana Trajutiksna. Apabila dirinya mati, maka rakyat
Tunggarana akan kehilangan pemimpin dan semakin ditindas oleh Prabu Boma. Maka, ia
pun memohon perlindungan kepada Arya Gatutkaca atas masalah ini.
Ditya Yayahgriwa marah melihat Adipati Kahana memohon perlindungan kepada raja
Pringgadani. Ia pun berniat menjambak Adipati Kahana dan menyeretnya keluar. Patih
Prabakesa maju menangkis tangan Ditya Yayahgriwa. Ia berkata bahwa Adipati Kahana
adalah tamu Kerajaan Pringgadani, maka memperlakukannya dengan kasar sama artinya
menghina wibawa Kerajaan Pringgadani. Ditya Yayahgriwa semakin marah dan meminta
Arya Gatutkaca menegur Patih Prabakesa yang ikut campur.
Arya Gatutkaca menjawab, memang benar Adipati Kahana saat ini menjadi tamu
Kerajaan Pringgadani, maka tidak boleh diperlakukan semena-mena di hadapannya. Ia
mempersilakan Ditya Yayahgriwa agar pulang lebih dulu. Nanti, dia sendiri yang akan
mengantarkan Adipati Kahana menghadap Prabu Boma Narakasura.
Ditya Yayahgriwa tertawa tidak percaya. Ia menyebut dirinya bukan anak kecil yang
mudah dibohongi. Ia ditugasi Prabu Boma untuk menangkap Adipati Kahana, dan itu harus
dilaksanakan. Apabila Arya Gatutkaca berniat melindungi Adipati Kahana demi supaya bisa
mengangkangi bumi Tunggarana yang subur, maka itu artinya Kerajaan Pringgadani harus
siap berperang melawan Kerajaan Trajutiksna.
Patih Prabakesa tidak terima mendengar Ditya Yayahgriwa berkata kasar terhadap
Arya Gatutkaca. Ia pun maju dan menendang tubuh Ditya Yayahgirwa hingga terpental
keluar istana.
Ditya Yayahgriwa terguling di depan istana Kerajaan Pringgadani. Para raksasa
Trajutiksna lainnya, yaitu Ditya Amisunda, Ditya Mahodara, dan Ditya Ancakugra segera
maju menolong. Mereka bersama-sama mengamuk membuat keributan menantang para
raksasa Pringgadani. Patih Prabakesa dan Raden Prabagati memimpin pasukan
Pringgadani menghadapi mereka. Pertempuran pun terjadi. Para raksasa Trajutiksna
akhirnya terdesak dan kabur meninggalkan tempat itu.

PRABU BOMA NARAKASURA BERANGKAT MENGEPUNG KERAJAAN PRINGGADANI


Prabu Boma Narakasura sedang duduk di istana Trajutiksna dihadap Patih
Pancadnyana. Tiba-tiba Ditya Yayahgriwa datang melapor bahwa dirinya gagal menangkap
Adipati Kahana yang kini ternyata berada di Kerajaan Pringgadani bersama Resi
Sumberkatong. Rupa-rupanya Prabu Arya Gatutkaca dan para raksasa Pringgadani berniat
mengukuhi Kadipaten Tunggarana.
Prabu Boma Narakasura marah mendengar berita ini. Namun, ia juga senang karena
memiliki alasan untuk menggempur Kerajaan Pringgadani. Bagaimanapun juga Prabu
Boma masih menyimpan dendam atas peristiwa Wahyu Topeng Waja tempo hari. Kini
adalah saat yang tepat untuk membalas sakit hatinya kepada Arya Gatutkaca.
KITAB WAYANG PURWA

Maka, Prabu Boma pun mengajak Patih Pancadnyana menyiapkan pasukan


Trajutiksna, lalu berangkat menyerang Kerajaan Pringgadani.

KYAI SEMAR MENJEMPUT BAMBANG PAMEGAT-TRESNA


Di Padepokan Argabinatur, Resi Pamintajati sedang menerima kedatangan para
panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Setelah saling memberi
salam, Resi Pamintajati pun menanyakan apa keperluan Kyai Semar dan anak-anaknya
datang ke Padepokan Argabinatur. Kyai Semar bercerita bahwa saat ini Prabu Boma
Narakasura bersama pasukan Trajutiksna sedang mengepung Kerajaan Pringgadani
karena memperebutkan Kadipaten Tunggarana. Menurut wangsit yang diterima Kyai
Semar, ada seorang putra Raden Arjuna dari wilayah Tunggarana yang dapat
mendamaikan perselisihan tersebut.
Kyai Semar teringat peristiwa dua puluh tahun yang lalu, saat Raden Arjuna diculik
Patih Kalagambira untuk diserahkan kepada Prabu Suryaasmara sebagai tumbal Kerajaan
Parangkencana. Waktu itu Raden Arjuna berhasil menewaskan Patih Kalagambira, namun
ia sendiri pingsan karena gigitan raksasa tersebut. Raden Arjuna lalu ditemukan oleh Resi
Pamintajati dan dirawat di Padepokan Argabinatur. Setelah sembuh, Raden Arjuna pun
dinikahkan dengan putri Resi Pamintajati yang bernama Endang Pamegatsih.
Resi Pamintajati membenarkan hal itu. Ia mengatakan bahwa dari perkawinan tersebut
telah lahir seorang putra yang diberi nama Bambang Pamegat-tresna. Kyai Semar senang
mendengarnya. Padepokan Argabinatur terletak di wilayah Kadipaten Tunggarana, dan itu
artinya Bambang Pamegat-tresna adalah pemuda yang diramalkan bisa melerai
peperangan antara Prabu Boma Narakasura dan Prabu Arya Gatutkaca.
Resi Pamintajati pun memanggil Endang Pamegatsih dan Bambang Pamegat-tresna
serta menceritakan semuanya kepada anak dan cucunya itu. Bambang Pamegat-tresna
bertanya apakah dia bisa bertemu ayah kandungnya jika mengikuti Kyai Semar ke Kerajaan
Pringgadani. Kyai Semar menjawab bisa. Apabila Bambang Pamegat-tresna bersedia ikut
dengannya ke Kerajaan Pringgadani, maka pemuda itu akan bisa bertemu dengan Raden
Arjuna.
Bambang Pamegat-tresna sangat gembira. Ia pun mohon pamit kepada ibu dan
kakeknya. Endang Pamegatsih merasa berat untuk melepas kepergian putranya itu.
Namun, Resi Pamintajati membesarkan hati putrinya, bahwa keberangkatan Bambang
Pamegat-tresna adalah demi kedamaian negara. Seharusnya Endang Pamegatsih sebagai
ibu memberikan doa restu, bukannya menghalangi kebaikan yang hendak dilakukan anak.
Endang Pamegatsih dapat menerima penjelasan ayahnya. Ia pun memberikan
restunya kepada Bambang Pamegat-tresna semoga bisa mendamaikan perselisihan antara
Prabu Boma Narakasura dan Prabu Arya Gatutkaca. Setelah menyembah kakek dan
ibunya, Bambang Pamegat-tresna pun berangkat bersama Kyai Semar dan para
panakawan lainnya.

PRABU BOMA NARAKASURA MENGGEMPUR IBU KOTA PRINGGADANI


Prabu Boma Narakasura dan pasukannya telah tiga hari lamanya mengepung
Kerajaan Pringgadani, menuntut agar Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong diserahkan
kepadanya. Namun, Arya Gatutkaca sama sekali tidak menanggapi tuntutan tersebut.
Prabu Boma menganggap Arya Gatutkaca memilih jalan perang. Maka, ia pun
memerintahkan Patih Pancadnyana dan para punggawa raksasa Trajutiksna untuk segera
menggempur ibu kota Kerajaan Pringgadani.
KITAB WAYANG PURWA

Di lain pihak, Patih Prabakesa dan Raden Prabagati telah bersiaga menghadapi
serangan tersebut. Perang pun terjadi. Kedua pihak sama-sama terdiri atas pasukan
raksasa yang tentunya memiliki cara bertempur ganas dan mengerikan. Bedanya ialah, para
raksasa Pringgadani tidak memiliki gigi taring karena sudah peraturan negara harus
meratakan gigi sejak kecil.
Sementara itu, Prabu Boma terbang mengendarai Garuda Wilmuna mencari
keberadaan Arya Gatutkaca. Namun, ia sama sekali tidak melihat musuh bebuyutannya
tersebut. Dengan penuh amarah, ia pun menyerang Patih Prabakesa dan Raden Prabagati.
Kedua raksasa itu pun terluka oleh kesaktiannya. Namun, mereka dapat diselamatkan oleh
Raden Kalabendana dan dibawa masuk ke dalam istana Pringgadani.

PRABU KRESNA MENENGAHI KEDUA PIHAK YANG BERTEMPUR


Kedua pihak yang ramai bertempur tidak menyadari kedatangan Prabu Kresna dari
Kerajaan Dwarawati beserta dua orang Pandawa, yaitu Arya Wrekodara dan Raden Arjuna.
Ketiga orang itu langsung masuk ke dalam istana Pringgadani di mana Arya Gatutkaca
sudah bersiap-siap hendak turun ke medan tempur.
Melihat ketiga orang tuanya datang, Arya Gatutkaca pun menunda keberangkatan dan
menyembah kepada mereka. Prabu Kresna menjelaskan bahwa kedatangannya bersama
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna adalah untuk menengahi perselisihan antara Kerajaan
Pringgadani dan Kerajaan Trajutiksna. Arya Gatutkaca menjelaskan bahwa dirinya sama
sekali tidak berniat untuk mengukuhi ataupun merebut Kadipaten Tunggarana. Namun,
karena Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong telah menjadi tamunya, maka ia sebagai
tuan rumah harus memberikan perlindungan kepada tamu.
Tiba-tiba Raden Kalabendana datang dengan membawa Patih Prabakesa dan Raden
Prabagati yang terluka akibat serangan Prabu Boma. Arya Gatutkaca marah hendak keluar,
namun Prabu Boma sudah lebih dulu masuk ke istana untuk menantangnya berperang.
Prabu Kresna melerai mereka dan meminta permasalahan ini diselesaikan secara
kekeluargaan. Bagaimanapun juga antara Prabu Boma dan Arya Gatutkaca masih terhitung
saudara, sehingga tidak pantas jika saling berperang apalagi melukai. Prabu Boma
menjawab ketus, dirinya tidak setuju masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Ia
sudah kehilangan rasa percaya kepada Prabu Kresna sejak peristiwa rebutan Topeng Waja
dahulu. Menurutnya, urusan Kadipaten Tunggarana harus diselesaikan melalui perang,
bukan melalui perundingan. Jika melalui perundingan, ia yakin dirinya pasti menjadi pihak
yang dikalahkan.
Prabu Kresna tidak menyangka Prabu Boma ternyata sudah tidak percaya lagi
kepadanya. Ia lalu bertanya kepada Arya Wrekodara dan Raden Arjuna mengenai
bagaimana baiknya persoalan ini. Arya Wrekodara menjawab, silakan saja kalau mereka
hendak menyelesaikan masalah Kadipaten Tunggarana secara laki-laki. Raden Arjuna
menambahkan, boleh saja berperang tetapi jangan sampai jatuh korban.
Prabu Kresna pun memutuskan bahwa permasalahan Kadipaten Tunggarana harus
diselesaikan oleh Arya Gatutkaca dan Prabu Boma saja, tidak perlu melibatkan para prajurit.
Arya Gatutkaca setuju karena ia tidak ingin jatuh korban lebih banyak. Prabu Boma tidak
ada pilihan lain, maka ia pun menyatakan setuju pula.

BAMBANG PAMEGAT-TRESNA MELERAI PERTARUNGAN


Prabu Boma Narakasura dan Arya Gatutkaca telah berada di halaman istana dan
keduanya mulai bertarung. Patih Prabakesa dan Patih Pancadnyana memimpin pasukan
KITAB WAYANG PURWA

masing-masing mengelilingi arena pertarungan. Tampak kedua raja itu bertarung dengan
seimbang, sama-sama sakti dan sama-sama perkasa.
Ketika pertarungan sedang seru-serunya, tiba-tiba muncul Bambang Pamegat-tresna
dan para panakawan menghadap Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna.
Pemuda itu menyembah dan mengaku sebagai putra Raden Arjuna yang dilahirkan oleh
Endang Pamegatsih, putri Resi Pamintajati. Prabu Kresna menjawab, tidak semudah itu
mengaku sebagai anak Pandawa. Bambang Pamegat-tresna harus bisa menyelesaikan
urusan Kadipaten Tunggarana. Bambang Pamegat-tresna menyatakan sanggup, apalagi
Padepokan Argabinatur tempat ia dilahirkan masih termasuk wilayah Tunggarana, sehingga
sudah menjadi kewajibannya pula untuk memelihara perdamaian di negeri sendiri. Usai
berkata demikian, Bambang Pamegat-tresna menyembah lalu melesat ke arena
pertarungan.
Sementara itu, Prabu Boma dan Arya Gatutkaca masih sibuk bertarung dan berusaha
saling menjatuhkan. Ketika keduanya sama-sama memukul, tiba-tiba Bambang Pamegat-
tresna hadir di antara mereka. Pukulan Prabu Boma ditangkap dengan tangan kanan,
sedangkan pukulan Arya Gatutkaca ditangkap dengan tangan kiri. Para hadirin yang
menonton terkejut, terutama kedua raja yang sedang bertarung tersebut. Mereka tidak
menyangka, ada anak muda kurus yang mampu menangkap pukulan dahsyat Prabu Boma
dan Arya Gatutkaca.
Bambang Pamegat-tresna melepaskan tangkapannya dan meminta maaf telah
menengahi pertarungan. Ia pun memperkenalkan diri sebagai pemuda dari Padepokan
Argabinatur, sehingga termasuk warga Kadipaten Tunggarana. Prabu Boma tidak peduli
dan ia marah-marah karena pertarungannya dihentikan. Ia pun meminta Bambang
Pamegat-tresna agar menyingkir.
Bambang Pamegat-tresna berkata, dirinya telah diberi mandat oleh Prabu Kresna
untuk menyelesaikan persoalan Kadipaten Tunggarana. Prabu Boma tidak mau tahu.
Apabila Bambang Pamegat-tresna tidak menyingkir, maka pemuda itu akan dibunuh lebih
dulu sebelum Arya Gatutkaca. Namun, Bambang Pamegat-tresna tidak takut pada ancaman
tersebut. Ia balik menantang apabila dirinya mampu menahan tiga pukulan Prabu Boma,
maka Prabu Boma harus bersedia mengikuti keputusannya.
Prabu Boma tersinggung ditantang pemuda kurus seperti ini. Namun, karena usianya
lebih tua tentunya malu jika menolak tantangan Bambang Pamegat-tresna. Maka, ia pun
bersedia melepaskan tiga pukulan ke arah pemuda itu. Bambang Pamegat-tresna bersiaga
dan mempersilakan Prabu Boma untuk menyerang.
Prabu Boma pun memukul dada Bambang Pamegat-tresna dengan setengah tenaga.
Pemuda itu mampu menahannya sambil tersenyum. Prabu Boma melepaskan pukulan
kedua dengan lebih keras. Bambang Pamegat-tresna masih mampu menahannya, hanya
saja ia tampak mundur dua langkah. Pada pukulan ketiga Prabu Boma mengerahkan
tenaga penuh tanpa belas kasihan lagi. Bambang Pamegat-tresna pun terpental oleh
pukulan tersebut. Namun, pemuda itu tampak bangkit kembali dan berjalan sempoyongan
menghampiri Prabu Boma.

BAMBANG PAMEGAT-TRESNA MENGGELAR ACARA PENENTUAN PENDAPAT


RAKYAT
Prabu Boma Narakasura terkesan melihat kekuatan Bambang Pamegat-tresna yang
mampu menerima tiga pukulannya tanpa terluka. Ia pun mengaku kalah dan mempersilakan
Bambang Pamegat-tresna untuk mengatur urusan Kadipaten Tunggarana. Arya Gatutkaca
juga demikian. Ia mempersilakan Bambang Pamegat-tresna menyelesaikan persoalan ini.
KITAB WAYANG PURWA

Sejak awal ia tidak tertarik untuk merebut Kadipaten Tunggarana. Yang ia lakukan selama
ini hanyalah membela diri karena diserang Kerajaan Trajutiksna.
Bambang Pamegat-tresna lalu bertanya kepada Adipati Kahana dan Resi
Sumberkatong apakah rencana bergabung dengan Kerajaan Pringgadani adalah keinginan
mereka pribadi, ataukah keinginan rakyat Tunggarana. Adipati Kahana menjawab, itu
adalah keinginan dirinya sendiri karena dahulu kala Tunggarana adalah kadipaten di bawah
Kerajaan Pringgadani, namun kemudian direbut oleh Kerajaan Surateleng atau Trajutiksna.
Mendengar itu, Bambang Pamegat-tresna pun memutuskan untuk mengadakan acara
Penentuan Pendapat Rakyat atau disingkat Pepera. Mengenai nasib Kadipaten
Tunggarana hendak bergabung dengan Kerajaan Pringgadani ataukah tetap di bawah
Kerajaan Trajutiksna biarlah rakyat sendiri yang bersuara, bukannya para pejabat yang
menentukan. Caranya ialah, sebanyak tiga ratus kepala desa yang berada di bawah
Kadipaten Tunggarana hendaknya mengadakan musyawarah bersama warga masing-
masing. Hasil dari musyawarah tersebut barulah dilaporkan kepada Adipati Kahana.
Adipati Kahana menyetujui rencana ini. Ia pun kembali ke Tunggarana dengan
ditemani Bambang Pamegat-tresna, Ditya Mahudara, dan Raden Kalabendana sebagai
panitia. Mereka bekerja mengumpulkan pendapat para kepala desa yang bermusyawarah
dengan warga masing-masing. Tujuh hari kemudian, mereka menghadap Prabu Kresna
untuk melaporkan bahwa hampir delapan puluh persen warga Tunggarana menyatakan
ingin bergabung kembali dengan Kerajaan Pringgadani.
Prabu Kresna lalu menyampaikan hal itu kepada Prabu Boma dan Arya Gatutkaca.
Prabu Boma merasa kecewa, namun ia sudah terlanjur berjanji akan mengikuti keputusan
yang diajukan Bambang Pamegat-tresna, sehingga mau tidak mau harus mengakhiri
peperangan dengan Kerajaan Pringgadani. Sebaliknya, Arya Gatutkaca yang sejak awal
tidak berniat mengukuhi Kadipaten Tunggarana terpaksa menerima keputusan ini. Namun,
ia juga memberi hak otonomi luas kepada Adipati Kahana untuk mengatur wilayah
Tunggarana. Mengenai pajak dan upeti yang harus dibayar diturunkan dan dipersilakan
untuk biaya pembangunan di Kadipaten Tunggarana.
Prabu Kresna berterima kasih atas kerja keras Bambang Pamegat-tresna dalam
menyelesaikan urusan Kadipaten Tunggarana. Raden Arjuna merasa bangga dan
mengakui pemuda itu sebagai putra Kesatrian Madukara. Arya Gatutkaca baru tahu kalau
Bambang Pamegat-tresna adalah sepupunya sendiri. Ia pun memeluk sepupunya itu dan
memberikan jamuan terbaik kepadanya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PURWAGANTI TAKON BAPA


Kisah ini menceritakan tentang Bambang Purwaganti yang mencari ayahnya, yaitu Resi
Anoman. Dikisahkan pula tentang Raden Nakula yang mencari hilangnya Raden
Sadewa beserta Jamus Kalimahusada.
Kisah ini saya olah dari sumber rubrik Pedhalangan di Majalah Panjebar Semangat,
yang dipadukan dengan keterangan pada Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio
Sudibyoprono, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 26 Oktober 2018
Heri Purwanto

Bambang Purwaganti saat memakai wujud wanara

PRABU KRESNA MENDAPAT SURAT TANTANGAN DARI KERAJAAN PURWANTARA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan yang dihadiri
sang putra mahkota Raden Samba Wisnubrata, sang senapati Arya Setyaki, serta menteri
utama Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa.
Kedatangan Prabu Baladewa adalah karena mendapat surat undangan dari Prabu
Kresna, di mana surat tersebut berisi tentang adanya hal penting yang sedang menimpa
Kerajaan Dwarawati. Prabu Baladewa pun memacu Gajah Puspadenta dengan didampingi
Patih Pragota dan Arya Prabawa. Kini ia telah sampai di hadapan Prabu Kresna dan
menanyakan ada masalah apa yang sedang dihadapi Kerajaan Dwarawati.
Prabu Kresna menjawab, tujuh hari yang lalu dirinya menerima kiriman surat dari
seorang bernama Prabu Dewakusuma di Kerajaan Purwantara. Dalam surat itu disebutkan
bahwa Prabu Dewakusuma ingin meminta pusaka Kerajaan Dwarawati yang bernama
Cakra Sudarsana. Prabu Kresna diminta untuk menyiapkannya, dan kelak setelah tujuh hari
akan datang utusan Prabu Dewakusuma yang mengambil pusaka itu. Apabila Prabu Kresna
menolak menyerahkan Senjata Cakra, maka Prabu Dewakusuma tidak segan-segan untuk
menggempur Kerajaan Dwarawati dan meratakannya dengan tanah.
Prabu Baladewa sangat marah dan terkejut mendengar isi surat itu. Ia menyebut
Prabu Dewakusuma sungguh lancang berani menantang Kerajaan Dwarawati. Cakra
Sudarsana adalah lambang Kerajaan Dwarawati. Meminta senjata Cakra sama artinya
Prabu Dewakusuma meminta Prabu Kresna menyerahkan kedaulatan Kerajaan Dwarawati
kepadanya. Namun demikian, Prabu Baladewa heran mengapa Prabu Kresna tidak
KITAB WAYANG PURWA

langsung menghajar Kerajaan Purwantara. Mengapa pula harus meminta pendapat darinya
terlebuh dahulu?
Prabu Kresna menjawab, dirinya adalah titisan Batara Wisnu, sehingga tidak boleh
sembarangan berperang. Prabu Kresna terikat aturan bahwa ia hanya boleh berperang
melawan musuh yang benar-benar boleh dilawan. Itu sebabnya ia pun mengundang Prabu
Baladewa, karena ia yakin kakaknya itu memiliki cara untuk mengatasi Prabu Dewakusuma.
Prabu Baladewa menyebut Prabu Kresna terlalu banyak adat. Sejak kecil mereka
hidup bersama tentunya saling mengetahui sifat masing-masing. Prabu Baladewa sifatnya
terbuka. Jika ada musuh ya dilawan, cukup begitu saja. Maka, jika nanti pasukan Kerajaan
Purwantara datang menyerang, ia siap untuk menghadapi mereka. Prabu Kresna tidak perlu
khawatir soal ini.

PATIH DASAGRIWA MENAGIH SENJATA CAKRA


Tidak lama kemudian, datanglah utusan dari Kerajaan Purwantara menghadap Prabu
Kresna. Utusan tersebut berwujud wanara berbadan tinggi besar, mengaku bernama Patih
Dasagriwa. Ia diutus Prabu Dewakusuma untuk mengambil senjata Cakra Sudarsana,
karena tujuh hari yang lalu rajanya itu telah berkirim surat meminta Prabu Kresna agar
menyiapkan pusaka tersebut. Kini tentunya senjata Cakra sudah disiapkan dan Patih
Dasagriwa hanya tinggal mengambil saja.
Prabu Baladewa maju menengahi. Ia mengaku dirinya telah mendapat mandat dari
Prabu Kresna untuk mewakili serah terima senjata Cakra. Namun, sebelum menerima
senjata Cakra, Patih Dasagriwa harus kuat menerima senjata Nanggala miliknya terlebih
dulu. Patih Dasagriwa paham Prabu Baladewa telah menantangnya berperang. Maka, ia
pun mempersilakan Prabu Baladewa bertempur di luar apabila hendak menjajal
kesaktiannya.
Prabu Baladewa semakin marah melihat ada wanara begitu sombong di hadapannya.
Maka, ia pun mohon pamit kepada Prabu Kresna menghadapi Patih Dasagriwa dan
pasukannya. Prabu Kresna menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada sang kakak. Ia
juga memerintahkan Arya Setyaki dan Patih Udawa untuk ikut mendampingi Prabu
Baladewa.

PRABU KRESNA MENINGGALKAN KERAJAAN DWARAWATI


Sesampainya di luar istana, kedua pihak pun berhadap-hadapan. Maka, terjadilah
pertempuran di mana pasukan Dwarawati bertempur melawan pasukan Purwantara. Prabu
Baladewa bertarung menghadapi Patih Dasagriwa. Tak disangka, Patih Dasagriwa ternyata
sangat sakti tidak bisa dilukai menggunakan senjata Nanggala. Bahkan sebaliknya, justru
Prabu Baladewa yang dapat diringkus dan ditangkap oleh Patih Dasagriwa.
Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa serentak menyerang
Patih Dasagriwa untuk membebaskan Prabu Baladewa. Namun, mereka semua juga ikut
tertangkap dan menjadi tawanan pasukan Purwantara.
Melihat kekalahan ada di pihaknya, Raden Samba segera mundur untuk melapor
kepada Prabu Kresna. Tak disangka, ayahnya itu justru memilih untuk mengungsi. Raden
Samba bertanya mengapa Patih Dasagriwa tidak dilawan saja, bukankah ayahnya itu titisan
Batara Wisnu? Prabu Kresna menjawab, Batara Wisnu yang bersemayam di dalam dirinya
tidak mengizinkan untuk berperang melawan Patih Dasagriwa. Raden Samba bertanya
apakah ayahnya itu tidak malu jika sampai dicemooh orang lain sebagai raja pengecut.
Prabu Kresna menjawab, untuk apa takut pada perkataan orang? Manusia memiliki jiwa
dan pikiran sendiri, tidak perlu bergantung pada penilaian orang.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Samba tidak berani membantah lagi. Prabu Kresna lalu berangkat mengungsi.
Ia berpesan apabila Patih Dasagriwa bertanya, tolong dijawab saja bahwa ia pergi
mengungsi ke Kerajaan Amarta. Patih Dasagriwa hendaknya dipersilakan untuk mengejar
ke sana. Raden Samba heran mengapa tempat pengungsian harus diberi tahukan kepada
musuh? Namun, ia tidak berani membantah dan hanya bisa mematuhi perintah itu saja.
Demikianlah, Prabu Kresna pun berangkat meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Tidak
lama kemudian Patih Dasagriwa datang mencarinya. Sesuai pesan tadi, Raden Samba pun
memberi tahu Patih Dasagriwa bahwa ayahnya telah pergi mengungsi ke Kerajaan Amarta.
Apabila Patih Dasagriwa masih ingin merebut senjata Cakra, silakan untuk mengejar ke
sana.
Patih Dasagriwa melihat wajah Raden Samba tampak berkata jujur. Ia pun
memerintahkan seorang punggawa untuk pergi melapor kepada Prabu Dewakusuma di
Kerajaan Purwantara, sedangkan dirinya berangkat mengejar Prabu Kresna.

BAMBANG PURWAGANTI INGIN MENCARI AYAHNYA


Tersebutlah seorang pendeta bernama Resi Purwapada, pemimpin Padepokan
Andongcinawi. Ia memiliki satu orang putri bernama Endang Purwati. Adapun Endang
Purwati juga memiliki anak laki-laki yang bernama Bambang Purwaganti.
Usia Bambang Purwaganti sudah hampir tiga puluh tahun, tetapi ia sama sekali belum
pernah bertemu dengan ayah kandungnya. Ia pun bertanya kepada sang ibu, namun ibunya
tidak pernah mau menceritakan yang sebenarnya. Karena terus-menerus didesak, akhirnya
Endang Purwati melaporkan hal ini kepada Resi Purwapada.
Resi Purwapada merasa memang sudah saatnya Bambang Purwaganti mengetahui
siapa ayah kandungnya. Ia lalu bertanya kepada cucunya itu, apakah tidak malu apabila
memiliki ayah bukan dari golongan manusia. Bambang Purwaganti menjawab, dirinya tidak
akan pernah malu apa pun wujud ayahnya. Meskipun ayahnya berwujud raksasa
menyeramkan, tetap saja ia ingin datang menyembah, sebagai wujud syukur dan
darmabakti seorang anak kepada orang tua yang telah mengukir jiwa raganya.
Resi Purwapada senang mendengar jawaban cucunya itu. Ia pun bercerita bahwa
sekitar tiga puluh tahun lalu ada seekor wanara tua berbulu putih bersih datang dari
seberang lautan. Wanara tersebut bernama Kapi Anoman yang datang ke Pulau Jawa untuk
mengejar roh Prabu Rahwana. Semasa hidupnya, Prabu Rahwana adalah raja angkara
murka yang akhirnya dapat dikalahkan oleh Prabu Sri Rama, titisan Batara Wisnu. Agar
tidak bangkit kembali, mayat Prabu Rahwana pun ditindih Kapi Anoman menggunakan
Gunung Ungrungan.
Ratusan tahun berlalu, tiba-tiba roh Prabu Rahwana berhasil meloloskan diri dari
penjara gaib Gunung Ungrungan. Menurut petunjuk dewata, roh Prabu Rahwana kabur ke
arah Pulau Jawa untuk mencari titisan Dewi Wedawati yang bersemayam dalam diri Dewi
Sumbadra. Selain itu, di Pulau Jawa juga ada titisan Batara Wisnu dalam wujud Prabu
Kresna raja Dwarawati, serta Saudara Tunggal Bayu Kapi Anoman yang bernama Arya
Wrekodara di Kerajaan Amarta.
Kapi Anoman pun membulatkan tekad untuk mengejar roh Prabu Rahwana ke Pulau
Jawa, sekaligus ingin berjumpa dengan Arya Wrekodara dan ingin pula mengabdi kepada
Prabu Kresna. Namun, karena usianya sudah sangat tua, ia pun kelelahan saat
menyeberangi lautan hingga akhirnya jatuh pingsan ketika sampai di Pulau Jawa.
Untungnya, Kapi Anoman ditemukan Resi Purwapada dan Endang Purwati. Kedua ayah
dan anak itu pun merawatnya sampai sembuh.
KITAB WAYANG PURWA

Rupanya, kebersamaan setiap hari membuat Kapi Anoman dan Endang Purwati saling
tertarik. Cinta memang tidak mengenal jarak usia, juga tidak mengenal perbedaan wujud.
Resi Purwapada yang bijaksana juga merestui hubungan mereka. Maka, Kapi Anoman dan
Endang Purwati dinikahkan secara sederhana di Padepokan Andongcinawi.
Akan tetapi, Kapi Anoman kemudian sadar bahwa dirinya sedang mengemban tugas
untuk mengejar dan menangkap roh Prabu Rahwana. Diam-diam ia pun pergi tanpa pamit
meninggalkan Padepokan Andongcinawi. Ia sama sekali tidak tahu kalau Endang Purwati
sedang mengandung putranya. Hingga akhirnya, Endang Purwati pun melahirkan seorang
putra yang diberi nama Bambang Purwaganti.
Demikianlah kisah yang disampaikan Resi Purwapada. Kini Bambang Purwaganti
telah mengetahui siapa ayah kandungnya. Ia merasa bangga ternyata ayahnya bukan orang
sembarangan. Meskipun berwujud wanara, Kapi Anoman seorang pembela kebenaran,
musuh kaum angkara murka. Ia pun bertekad bulat ingin bertemu dengan ayahnya tersebut.
Endang Purwati tidak bisa mencegah keinginan putranya. Ia hanya bisa memberikan
restu semoga Bambang Purwaganti dapat mewujudkan keinginannya. Resi Purwapada pun
memberikan petunjuk, apabila Bambang Purwaganti ingin bertemu Kapi Anoman, maka
hendaknya pergi mencari Prabu Kresna di Kerajaan Dwarawati, atau mencari Arya
Wrekodara di Kerajaan Amarta. Selain itu, Resi Purwapada juga mengajarkan sebuah
mantra kepada cucunya itu untuk pertahanan diri apabila bertemu musuh sakti. Bambang
Purwaganti berterima kasih, lalu ia pun mohon pamit meninggalkan Padepokan
Andongcinawi.

PRABU KRESNA BERTEMU RADEN NAKULA DAN ARYA GATUTKACA


Sementara itu, Prabu Kresna yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Amarta
bertemu rombongan Raden Nakula di tengah jalan. Tampak Raden Nakula berjalan
ditemani Arya Gatutkaca dan para panakawan. Mereka pun saling bertanya kabar. Ternyata
tujuan Raden Nakula adalah hendak pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk menanyakan
perihal hilangnya Raden Sadewa, saudara kembarnya.
Raden Nakula bercerita sekitar dua bulan yang lalu Raden Sadewa meminjam pusaka
Jamus Kalimahusada kepada Prabu Puntadewa untuk membaca isinya sampai tamat.
Prabu Puntadewa pun meminjamkannya, karena ia tahu watak Raden Sadewa yang gemar
belajar. Namun, ketika pusaka berwujud kitab itu berada di tangan Raden Sadewa, tiba-tiba
saja melayang dengan cepat meninggalkan istana Kerajaan Amarta.
Raden Sadewa merasa bersalah telah menghilangkan Jamus Kalimahusada. Ia pun
mohon pamit kepada Prabu Puntadewa untuk mengejar terbangnya pusaka tersebut. Hari
demi hari berlalu, ternyata Raden Sadewa ikut menghilang dan tidak pernah mengirimkan
kabar. Prabu Puntadewa mengerahkan para punggawa untuk mencari namun tidak berhasil
mendapatkan petunjuk. Raden Nakula yang merasa cemas memutuskan untuk melapor
kepada Prabu Kresna. Prabu Puntadewa setuju dan memerintahkan Arya Gatutkaca dan
para panakawan agar ikut menemani.
Mendengar kisah tersebut, Prabu Kresna mengheningkan cipta sejenak dan kemudian
berkata bahwa Raden Sadewa tidak perlu dicari karena sebentar lagi ia akan muncul di
Kerajaan Amarta. Raden Nakula merasa penasaran. Ia kemudian bertanya kepada Prabu
Kresna mengapa berjalan kaki sendirian. Prabu Kresna pun menceritakan tentang
peperangan yang dialami Kerajaan Dwarawati melawan serangan Kerajaan Purwantara
dari awal hingga akhir.
Mendengar itu, Arya Gatutkaca tergerak hatinya ingin membantu. Namun, Prabu
Kresna melarangnya karena ia bukan lawan Patih Dasagriwa. Arya Gatutkaca semakin
KITAB WAYANG PURWA

dilarang justru semakin penasaran. Ia pun mohon pamit dan melesat terbang ke arah Patih
Dasagriwa yang telah muncul mengejar Prabu Kresna.
Patih Dasagriwa dengan tangkas menghadapi serangan Arya Gatutkaca. Pertarungan
sengit pun terjadi. Arya Gatutkaca merasa lawannya ini benar-benar tangguh. Ia tidak
mampu mengalahkan Patih Dasagriwa. Sebaliknya, justru Patih Dasagriwa yang berhasil
meringkusnya dan menjadikan Arya Gatutkaca sebagai tawanan seperti Prabu Baladewa,
Arya Setyaki, dan yang lain.
Melihat itu, Prabu Kresna segera menarik lengan Raden Nakula dan membawanya
terbang menuju Kerajaan Amarta.

PRABU KRESNA TIBA DI KERAJAAN AMARTA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa duduk dihadap Arya Wrekodara, Raden
Arjuna, dan Patih Tambakganggeng. Mereka lalu menyambut kedatangan Prabu Kresna
dan Raden Nakula yang tampak terburu-buru seperti dikejar musuh. Prabu Kresna pun
menceritakan semua yang terjadi di mana Kerajaan Dwarawati diserang utusan Prabu
Dewakusuma raja Purwantara bernama Patih Dasagriwa, yang ingin merebut senjata
Cakra. Ia juga menceritakan bahwa Prabu Baladewa, Arya Setyaki, Patih Udawa, dan juga
Arya Gatutkaca saat ini sudah menjadi tawanan musuh.
Arya Wrekodara marah mendengar putranya ikut tertangkap. Ia bertanya mengapa
Prabu Kresna sebagai titisan Batara Wisnu tidak memberikan perlawanan? Prabu Kresna
menjawab, justru karena dirinya adalah titisan Batara Wisnu maka semuanya harus serba
berhati-hati. Prabu Kresna tidak akan berperang apabila Batara Wisnu yang bersemayam
dalam dirinya tidak mengizinkan untuk berperang.
Arya Wrekodara menjawab, apabila Batara Wisnu tidak mengizinkan Prabu Kresna
berperang, maka biarlah dirinya saja yang menghadapi Patih Dasagriwa. Prabu Kresna
melarang, karena ia mendapat firasat sebentar lagi orang yang bisa menghadapi Patih
Dasagriwa akan segera tiba.

BAMBANG PURWAGANTI MENERIMA SYARAT PRABU KRESNA


Tidak lama kemudian datanglah Bambang Purwaganti menghadap Prabu Puntadewa.
Setelah memperkenalkan diri, ia pun bertanya apakah bisa berjumpa Arya Wrekodara? Arya
Wrekodara balik bertanya mengapa Bambang Purwaganti ingin bertemu dengan dirinya.
Bambang Purwaganti pun memperkenalkan diri sebagai putra Kapi Anoman yang lahir
dari Endang Purwati, putri Resi Purwapada dari Padepokan Andongcinawi. Menurut
petunjuk kakeknya, jika ingin bertemu Kapi Anoman maka hendaknya bertanya kepada
Prabu Kresna raja Dwarawati atau kepada Arya Wrekodara di Kerajaan Amarta. Karena
jarak Kerajaan Amarta lebih dekat dari Padepokan Andongcinawi, maka ia pun memilih
menuju ke sana daripada ke Kerajaan Dwarawati.
Arya Wrekodara menjawab memang benar bahwa Kapi Anoman adalah kakaknya
sesama Kadang Tunggal Bayu. Namun, sekarang kakaknya itu sudah menjadi pendeta di
Padepokan Kendalisada di Gunung Kundalini, bergelar Resi Kapiwara Anoman. Prabu
Kresna menyela, apabila Bambang Purwaganti ingin bertemu ayahnya, maka ia bisa
mendatangkan Resi Anoman saat ini juga. Namun ada syaratnya, yaitu Bambang
Purwaganti harus bisa mengalahkan Patih Dasagriwa terlebih dahulu.
Bambang Purwaganti menyanggupi. Ia pun bertanya di mana orang yang bernama
Patih Dasagriwa itu. Tiba-tiba di luar terdengar suara gaduh. Rupanya Patih Dasagriwa
sudah datang untuk mengejar Prabu Kresna dan kini ia bertempur melawan para prajurit
Amarta.
KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG PURWAGANTI MELAWAN PATIH DASAGRIWA


Bambang Purwaganti pun keluar mendatangi Patih Dasagriwa. Ia berkata apabila
Patih Dasagriwa ingin menangkap Prabu Kresna, maka ia harus mengalahkan dirinya
terlebih dulu. Patih Dasagriwa tertawa mengejek karena Prabu Baladewa, Arya Setyaki, dan
Arya Gatutkaca saja dapat ia kalahkan, apalagi seorang pemuda tak dikenal macam
Bambang Purwaganti apa susahnya. Usai berkata demikian, ia pun melesat menerjang
pemuda itu dengan kecepatan tinggi.
Bambang Purwaganti cekatan menghadapi serangan Patih Dasagriwa. Pertarungan
sengit pun terjadi di antara mereka. Lama-lama Bambang Purwaganti terdesak oleh
kesaktian Patih Dasagriwa. Ketika sudah hampir kalah, tiba-tiba ia teringat pada mantra
yang diajarkan sang kakek. Maka, dibacalah mantra tersebut dalam hati. Tiba-tiba sekujur
tubuh Bambang Purwaganti berubah menjadi seekor wanara berbulu putih yang mirip sekali
dengan Resi Anoman semasa muda dulu.
Bambang Purwaganti pun bangkit menyerang Patih Dasagriwa. Kini keduanya tampak
seimbang, sama-sama wanara; yang satu gagah, yang satu tangkas. Lama-lama Patih
Dasagriwa terdesak kalah. Tubuhnya ditangkap Bambang Purwaganti dan dibanting ke
tanah. Seketika wujud Patih Dasagriwa pun musnah dan berubah menjadi pusaka Jamus
Kalimahusada.

BAMBANG PURWAGANTI BERTEMU AYAHNYA


Prabu Puntadewa maju memungut Jamus Kalimahusada. Ia berterima kasih kepada
Bambang Purwaganti yang telah berhasil menemukan kembali pusaka Kerajaan Amarta
yang hilang tersebut. Kini tinggal Raden Sadewa yang belum ditemukan. Padahal, Raden
Sadewa berniat mencari hilangnya Jamus Kalimahusada, namun justru ia sendiri juga ikut
menghilang.
Sesuai janjinya, Prabu Kresna pun mengheningkan cipta mengerahkan Aji Pameling.
Seketika datanglah Resi Anoman di hadapan Prabu Kresna akibat terkena daya sakti ajian
tersebut. Ia pun bertanya ada tugas apa sehingga dirinya didatangkan ke Kerajaan Amarta.
Prabu Kresna memberi tahu Resi Anoman bahwa wanara putih yang mirip dirinya tersebut
adalah Bambang Purwaganti yang lahir dari Endang Purwati. Resi Anoman tidak
menyangka perkawinannya dengan Endang Purwati telah membuahkan putra. Saat
menikah dulu, Resi Anoman sudah berusia sangat tua dan ia mengira tidak mungkin bisa
punya anak lagi. Itulah sebabnya, ia pergi meninggalkan Padepokan Andongcinawi tanpa
mengetahui kalau istrinya sedang mengandung.
Bambang Purwaganti pun maju menyembah Resi Anoman. Resi Anoman menyambut
putranya itu dan memeluknya erat. Prabu Kresna berterima kasih atas bantuan Bambang
Purwaganti dan mempersilakannya untuk pergi bersama sang ayah. Resi Anoman pun
mohon pamit dan membawa Bambang Purwaganti pulang ke Padepokan Andongcinawi
untuk menemui Resi Purwapada dan Endang Purwati.

PRABU DEWAKUSUMA MENYERANG KERAJAAN AMARTA


Kedaan masih belum tenang. Kini Prabu Dewakusuma yang datang menyerang
Kerajaan Amarta karena sebelumnya telah mendapat laporan dari punggawa yang dikirim
Patih Dasagriwa. Arya Wrekodara pun bertanya kepada Prabu Kresna, kali ini siapa yang
bisa mengatasi Prabu Dewakusuma sedangkan Bambang Purwaganti sudah pergi bersama
ayahnya. Prabu Kresna tersenyum dan memberi isyarat kepada Raden Nakula untuk maju
perang. Arya Wrekodara heran mengapa adiknya itu yang diperintah untuk maju, karena
KITAB WAYANG PURWA

selama ini si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa sangat sedikit dalam pengalaman
bertempur.
Prabu Kresna menjawab, ini adalah perintah Batara Wisnu yang ada di dalam dirinya.
Raden Nakula tidak banyak bicara. Ia pun maju menghadapi amukan Prabu Dewakusuma.
Pertempuran terjadi di antara mereka. Raden Nakula bertarung imbang melawan Prabu
Dewakusuma. Namun, lama-lama ia terdesak mundur oleh kesaktian lawannya tersebut.

Patih Dasagriwa

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Saya mencoba untuk menciptakan hubungan antara lakon di atas dengan Wahyu Purbasejati.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU TUGUWASESA
Kisah ini menceritakan tentang Arya Wrekodara yang menyamar sebagai raja bernama
Prabu Tuguwasesa di Kerajaan Gilingwesi dan juga memerangi para Kurawa di
Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Purwabharata karya Ki
Mardibudhi, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 10 November 2018
Heri Purwanto

Prabu Tuguwasesa.

RESIWARA BISMA MENCERITAKAN SEJARAH KERAJAAN GILINGWESI


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri
Danghyang Druna dari Sokalima, Patih Sangkuni dari Plasajenar, dan Raden Kartawarma
dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara Bisma
dari Padepokan Talkanda. Kedatangan Resiwara Bisma adalah untuk menanyakan
kebenaran berita yang ia terima, bahwa Prabu Duryudana telah mengirim Adipati Karna
untuk menaklukkan Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Duryudana membenarkan hal itu. Terus terang ia merasa kesal mendengar
kabar bahwa raja Gilingwesi memiliki nama yang mirip dengannya, yaitu Prabu Yudana.
Adapun Prabu Yudana ini baru saja naik takhta menggantikan ayahnya yang telah
meninggal, bernama Prabu Sudana. Karena tidak terima ada raja yang namanya mirip
dengannya, Prabu Duryudana pun mengirim Adipati Karna untuk menaklukkan Prabu
Yudana dan menjadikan Kerajaan Gilingwesi sebagai jajahan Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma menyayangkan ulah Prabu Duryudana yang menyerang Kerajaan
Gilingwesi hanya karena masalah sepele seperti ini. Hanya karena nama yang mirip,
mengapa harus mengorbankan nyawa para prajurit? Andai saja Prabu Duryudana
mengetahui sejarah Kerajaan Gilingwesi, tentu penyerangan ini tidak akan terjadi. Resiwara
Bisma mengatakan bahwa Kerajaan Gilingwesi sesungguhnya adalah negeri luluhur para
Kurawa dan Pandawa. Itu artinya, menyerang Kerajaan Gilingwesi sama dengan
menyerang leluhur sendiri.
Prabu Duryudana tidak paham dan memohon diberi tahu selengkapnya tentang
sejarah Kerajaan Gilingwesi. Resiwara Bisma pun bercerita, bahwa Kerajaan Gilingwesi
awalnya bernama Kerajaan Medang-gili, didirikan oleh Sri Maharaja Sunda yang
KITAB WAYANG PURWA

merupakan penjelmaan Batara Brahma. Kemudian ketika Batara Brahma turun ke dunia
untuk yang kedua kalinya dengan nama Sri Maharaja Budawaka, nama Kerajaan Medang-
gili pun diubah menjadi Kerajaan Gilingaya. Konon setelah itu Kerajaan Gilingaya pernah
dipimpin oleh Sri Maharaja Dewahesa yang merupakan penjelmaan Batara Rudra, yaitu
kakak Batara Guru. Hingga akhirnya ada keturunan Batara Rudra bernama Prabu
Watugunung yang memimpin negeri tersebut dan mengganti namanya menjadi Kerajaan
Gilingwesi.
Pada masa kepemimpinan Prabu Watugunung inilah, Kerajaan Gilingwesi mengalami
masa kejayaan dan menjadi kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Kebesarannya membuat
Prabu Watugunung lupa diri dan disusupi watak angkara murka. Ia akhirnya tewas dihukum
mati Batara Wisnu. Setelah peristiwa itu, Kerajaan Gilingwesi kembali dipimpin Batara
Brahma untuk yang ketiga kalinya, dengan gelar Prabu Brahmaraja.
Batara Brahma kemudian digantikan putranya yang bernama Raden Brahmanisita,
bergelar Prabu Brahmanaraja. Lalu Prabu Brahmanaraja digantikan putranya yang
bernama Prabu Tritrusta. Setelah itu, Prabu Tritrusta digantikan putranya yang bernama
Prabu Parikenan. Prabu Parikenan ini adalah ayah dari Resi Manumanasa, yang
merupakan pendiri Padepokan Saptaarga, atau leluhur para Pandawa dan Kurawa.
Prabu Duryudana bertanya, mengapa Resi Manumanasa tidak menjadi raja Gilingwesi
menggantikan ayahnya. Resiwara Bisma menjawab, Resi Manumanasa sejak kecil menjadi
putra angkat Prabu Basupati raja Wirata, dan lebih suka menjadi pendeta daripada menjadi
raja. Adapun Prabu Parikenan meninggal karena perang saudara melawan iparnya sendiri,
yaitu Prabu Srikala raja Medang-kamulan. Prabu Srikala ini tidak lain adalah leluhur Dewi
Gandari dan Patih Sangkuni.
Setelah Prabu Parikenan meninggal, Kerajaan Gilingwesi kosong selama bertahun-
tahun. Hingga akhirnya raja Wirata yang bernama Prabu Basukiswara (cucu Prabu
Basupati) memberikan negeri tersebut kepada seorang punggawa yang berjasa untuk
menjadi raja di sana. Punggawa itu bergelar Prabu Danadewa, yang merupakan leluhur dari
Prabu Yudana yang saat ini bertakhta.
Prabu Duryudana menerima penjelasan Resiwara Bisma dengan seksama. Ia baru
paham ternyata Kerajaan Gilingwesi masih memiliki sangkut-paut dengan dirinya. Hal ini
justru membuat Prabu Duryudana semakin yakin bahwa tindakannya menaklukkan
Kerajaan Gilingwesi sudah benar. Prabu Parikenan adalah leluhurnya dari pihak ayah,
sedangkan Prabu Srikala adalah leluhurnya dari pihak ibu. Oleh sebab itu, ia merasa lebih
berhak menjadi penguasa Kerajaan Gilingwesi daripada Prabu Yudana.
Patih Sangkuni membenarkan ucapan Prabu Duryudana. Kerajaan Gilingwesi saat ini
hanyalah sebuah negara kecil, namun dahulu kala pernah menjadi negara adikuasa saat
dipimpin Prabu Watugunung. Oleh sebab itu, dengan kalahnya Kerajaan Gilingwesi dan
menjadi jajahan Kerajaan Hastina, maka wibawa Prabu Duryudana tentu semakin besar
dan tentunya semakin disegani pihak kawan maupun lawan.
Resiwara Bisma kecewa melihat sikap Prabu Duryudana yang hanya menuruti nafsu
keserakahan diri sendiri, apalagi ditambah hasutan Patih Sangkuni. Ia pun pamit undur diri
kembali ke Padepokan Talkanda.

KERAJAAN HASTINA GANTI DISERANG KERAJAAN GILINGWESI


Tidak lama kemudian tiba-tiba muncul seorang pria yang mengaku bernama Raden
Antawasesa menghadap Prabu Duryudana. Ia mengaku sebagai putra Prabu Tuguwasesa
raja Gilingwesi yang diutus ayahnya itu untuk menurunkan Prabu Duryudana dari takhta
KITAB WAYANG PURWA

Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana heran mendengar penuturan laki-laki itu. Yang ia tahu
raja Gilingwesi bernama Prabu Yudana, dan itu pun sudah dikalahkan Adipati Karna.
Raden Antawasesa menjawab memang benar demikian. Raja Gilingwesi bernama
Prabu Yudana memang telah dikalahkan Adipati Karna utusan Prabu Duryudana. Namun,
Prabu Yudana berhasil melarikan diri ke hutan hingga akhirnya bertemu Prabu Tuguwasesa
dan Raden Antawasesa. Kedua orang itu bersedia memberikan bantuan kepada Prabu
Yudana. Raden Antawasesa lalu berangkat mengalahkan Adipati Karna dan
memasukkannya ke dalam penjara. Kerajaan Gilingwesi pun kembali ke tangan Prabu
Yudana. Namun, Prabu Yudana menyerahkan takhta kepada Prabu Tuguwasesa,
sedangkan dirinya ikhlas turun jabatan menjadi patih.
Prabu Duryudana marah bercampur tidak percaya. Ia tidak yakin Adipati Karna telah
dikalahkan dan Kerajaan Gilingwesi telah direbut Prabu Tuguwasesa. Raden Antawasesa
berkata ayahnya tidak hanya merebut Kerajaan Gilingwesi, namun sebentar lagi juga akan
merebut Kerajaan Hastina. Adapun Prabu Tuguwasesa saat ini sudah menunggu di luar
bersama Patih Yudana.
Prabu Duryudana semakin marah dan mengusir Raden Antawasesa pergi. Raden
Antawasesa pun melangkah keluar dan menantang Prabu Duryudana untuk bertempur di
alun-alun.

PRABU TUGUWASESA MEREBUT KERAJAAN HASTINA


Prabu Duryudana memerintahkan Patih Sangkuni dan para Kurawa untuk menghadapi
serangan Kerajaan Gilingwesi. Perang pun terjadi antara kedua pihak. Raden Antawasesa
ternyata sangat sakti. Seorang diri ia mampu menangkap semua Kurawa, antara lain Arya
Dursasana, Raden Srutayu, Raden Durmagati, Raden Kartawarma, termasuk pula Adipati
Jayadrata dan Bambang Aswatama semua menjadi tawanannya. Melihat adik-adiknya
tertangkap, Prabu Duryudana segera ikut maju perang. Prabu Tuguwasesa pun
menghadapinya. Ternyata yang bernama Prabu Tuguwasesa memiliki tubuh tinggi besar
dan juga kekuatannya sangat dahsyat. Setelah bertarung cukup lama, Prabu Duryudana
dibuat babak belur dan jatuh terjungkal. Patih Sangkuni yang berusaha menolong pun dapat
diringkus oleh Raden Antawasesa yang cekatan.
Melihat pihaknya sudah kalah, Prabu Duryudana memilih kabur melarikan diri.
Sementara itu, Danghyang Druna mohon ampun dan menyerahkan diri kepada Prabu
Tuguwasesa. Ia bersedia menerima hukuman apa saja dari raja Gilingwesi tersebut.
Namun, Prabu Tuguwasesa justru memperlakukannya dengan hormat. Ia menyatakan
hendak mengangkat Danghyang Druna sebagai pendeta agung Kerajaan Gilingwesi.
Danghyang Druna terkejut namun tidak berani membantah. Ia pun mematuhi keputusan
Prabu Tuguwasesa itu.
Prabu Tuguwasesa beserta Patih Yudana dan Danghyang Druna pun kembali ke
Kerajaan Gilingwesi, sedangkan Raden Antawasesa dipersilakan untuk menghukum Patih
Sangkuni si tukang hasut. Raden Antawasesa dengan senang hati melakukannya. Ia pun
menelanjangi Patih Sangkuni dan mengaraknya keliling ibu kota Kerajaan Hastina, menjadi
tontonan segenap rakyat.

PRABU DURYUDANA MEMINTA BANTUAN KEPADA PRABU BALADEWA


Sementara itu di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa sedang menerima
kunjungan sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Tiba-tiba datang pula
Prabu Duryudana dengan pakaian acak-acakan menemui mereka. Ia bercerita bahwa
Kerajaan Hastina kini telah direbut musuh bernama Prabu Tuguwasesa dari Kerajaan
KITAB WAYANG PURWA

Gilingwesi. Karena kalah perang, Prabu Duryudana pun pergi ke Kerajaan Mandura untuk
meminta bantuan Prabu Baladewa. Akan tetapi, menurut kabar dari Dewi Erawati, ternyata
Prabu Baladewa sedang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Maka, berangkatlah Prabu
Duryudana menyusul Prabu Baladewa ke sana.
Prabu Baladewa sangat marah mendengar penuturan Prabu Duryudana. Tanpa pikir
panjang ia pun bergegas pergi mencari keberadaan Prabu Tuguwasesa. Prabu Duryudana
merasa gembira dan ia pun mengikuti kepergian kakak iparnya tersebut.
Tidak lama kemudian muncul Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca menghadap
Prabu Kresna. Mereka datang untuk meminta petunjuk atas hilangnya tiga dari lima
Pandawa. Mula-mula Prabu Puntadewa dan Raden Arjuna menghilang, lalu disusul
kemudian Arya Wrekodara juga ikut menghilang. Untuk sementara ini, Kerajaan Amarta
dipimpin oleh Raden Nakula dan Raden Sadewa. Mereka memerintahkan Raden Abimanyu
dan Arya Gatutkaca untuk pergi mencari ketiga Pandawa tersebut. Raden Abimanyu dan
Arya Gatutkaca segera pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk kepada Prabu
Kresna.
Prabu Kresna mengheningkan cipta sejenak, lalu ia mengajak Raden Abimanyu dan
Arya Gatutkaca untuk menyusul kepergian Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana.
Rupanya ia mendapat petunjuk bahwa hilangnya ketiga Pandawa tersebut ada
hubungannya dengan kemunculan Prabu Tuguwasesa yang kini memimpin Kerajaan
Gilingwesi.

PRABU BALADEWA MENGHADAPI PRABU TUGUWASESA


Sementara itu, Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana yang hendak melabrak Prabu
Tuguwasesa di Kerajaan Hastina, ternyata bertemu dengan orang itu di tengah jalan. Prabu
Tuguwasesa tampak sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Gilingwesi bersama Patih
Yudana dan Danghyang Druna.
Prabu Duryudana bertanya mengapa Prabu Tuguwasesa meninggalkan Kerajaan
Hastina. Prabu Tuguwasesa menjawab, mulai sekarang keadaan terbalik. Kerajaan
Gilingwesi tidak lagi menjadi jajahan Kerajaan Hastina, tetapi justru Kerajaan Hastina yang
menjadi bawahan Kerajaan Gilingwesi. Prabu Duryudana dilorot jabatannya menjadi
adipati, dan setiap tahun harus menyerahkan upeti kepada Prabu Tuguwasesa.
Prabu Baladewa sangat marah mendengar ucapan tersebut. Ia pun maju menantang
Prabu Tuguwasesa karena dirinya kini menjadi wakil Prabu Duryudana dalam
menyelesaikan masalah ini. Prabu Tuguwasesa mengejek Prabu Baladewa yang
merupakan saudara tua tetapi menjadi pesuruh adik iparnya. Prabu Baladewa semakin
marah dan ia pun menerjang Prabu Tuguwasesa. Maka, terjadilah pertarungan di antara
mereka. Namun, Prabu Tuguwasesa terlihat hanya menangkis dan menghindar, sama
sekali tidak menyerang. Padahal sewaktu di Kerajaan Hastina, ia telah menghajar Prabu
Duryudana hingga jatuh terjungkal mencium tanah.
Meskipun pihak lawan tidak pernah balas menyerang, tetap saja Prabu Baladewa
kesulitan mengalahkan Prabu Tuguwasesa. Karena habis kesabaran, Prabu Baladewa
akhirnya mengeluarkan senjata Nanggala untuk membunuh Prabu Tuguwasesa. Pada saat
itulah Raden Antawasesa muncul dan langsung menangkap ujung Nanggala. Dengan
kekuatannya, ia menghentakkan senjata itu hingga membuat Prabu Baladewa terjungkal
dan jatuh pingsan. Raden Antawasesa lalu mengikat Prabu Baladewa sebagai tawanan,
sekaligus dengan Patih Sangkuni dan para Kurawa yang dimuatnya dalam pedati besar.
Pada saat itulah Prabu Kresna datang bersama Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca.
Melihat ulah Raden Antawasesa yang menyekap Prabu Baladewa, Arya Gatutkaca hendak
KITAB WAYANG PURWA

maju menolong. Namun, Prabu Kresna segera mencegahnya. Arya Gatutkaca dan Raden
Abimanyu tidak boleh bertindak apabila tidak ada perintah darinya.
Raden Antawasesa tampak menantang Prabu Duryudana apabila ingin
membebaskan para tawanan hendaknya datang menyerahkan diri ke Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Tuguwasesa diam saja pertanda ia mendukung ucapan putranya itu. Prabu
Duryudana meminta bantuan kepada Prabu Kresna, namun Prabu Kresna justru
mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.

PRABU KRESNA MENOLAK MEMBANTU PRABU DURYUDANA


Prabu Duryudana terpaksa mengikuti Prabu Kresna yang melangkah pergi bersama
Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca. Prabu Duryudana bertanya apakah Prabu Kresna
tidak malu disebut pengecut karena tidak berani menghadapi Prabu Tuguwasesa dan
Raden Antawasesa. Prabu Kresna menjawab dirinya santai saja disebut pengecut. Kalau
memang ia ditakdirkan bukan menjadi lawan Prabu Tuguwasesa dan Raden Antawasesa,
maka tidak ada gunanya bertarung dengan mereka.
Prabu Duryudana merasa gagal menghasut Prabu Kresna. Ia lalu memohon kepada
Prabu Kresna agar sudi membantunya mengalahkan Prabu Tuguwasesa. Namun, Prabu
Kresna dengan tegas menolak permohonan itu karena dirinya tidak ditakdirkan menjadi
lawan Prabu Tuguwasesa. Prabu Duryudana lalu bertanya, siapakah orang yang menjadi
lawan Prabu Tuguwasesa? Prabu Kresna menjawab, apabila ingin mengetahui siapa
orangnya, maka Prabu Duryudana harus mengikuti perjalanannya tanpa membantah. Prabu
Duryudana yang merasa tidak punya pilihan lain terpaksa mematuhi.

PRABU KRESNA BERTEMU BAGAWAN DARMAJATI


Prabu Kresna, Prabu Duryudana, Raden Abimanyu, dan Arya Gatutkaca berjalan
lumayan jauh hingga akhirnya bertemu seorang pendeta dan pengikutnya. Pendeta itu
bernama Bagawan Darmajati, sedangkan pengikutnya bernama Putut Panjangjiwa. Setelah
saling memberi salam, Prabu Kresna pun berterus terang meminta bantuan Bagawan
Darmajati untuk mengalahkan Prabu Tuguwasesa yang telah mengusir Prabu Duryudana
dari Kerajaan Hastina.
Bagawan Darmajati berkata, Prabu Duryudana dahulu bisa menjadi raja di Hastina
karena menggunakan cara licik, yaitu membakar para Pandawa di dalam Balai Sigala-gala.
Meskipun para Pandawa selamat dan tidak menaruh dendam, namun hukum karma tetap
berlaku. Kini giliran Prabu Duryudana yang harus merasakan bagaimana terusir dari
negaranya sendiri.
Prabu Duryudana tertunduk malu. Ia pun mengancam hendak bunuh diri daripada
dipermalukan oleh Prabu Tuguwasesa seperti ini. Bagawan Darmajati yang berwatak welas
asih tidak mungkin membiarkan kematian di depan mata. Maka, ia pun menyanggupi
permintaan Prabu Kresna untuk mengalahkan Prabu Tuguwasesa.

PRABU TUGUWASESA MENGHADAPI PARA PENANTANGNYA


Singkat cerita, rombongan Prabu Kresna telah sampai di Kerajaan Gilingwesi. Prabu
Tuguwasesa, Patih Yudana, dan Raden Antawasesa segera keluar menghadapi mereka.
Prabu Kresna berkata, dirinya telah mendapatkan jago untuk menghadapi Prabu
Tuguwasesa. Jago tersebut adalah Bagawan Darmajati dan Putut Panjangjiwa yang berdiri
di belakangnya. Apabila kedua jago ini menang, maka Prabu Tuguwasesa harus
membebaskan semua tawanan dan memerdekakan Kerajaan Hastina dari penjajahan
Kerajaan Gilingwesi.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Tuguwasesa sepakat, namun ia kecewa karena kedua jago yang dibawa Prabu
Kresna hanyalah para laki-laki kurus, mana bisa mengalahkan dirinya yang gagah perkasa?
Bagawan Darmajati pun memberi isyarat agar Putut Panjangjiwa maju lebih dulu. Putut
Panjangjiwa mematuhi dan segera menantang Prabu Tuguwasesa bertanding.
Raden Antawasesa berkata, sebelum menghadapi ayahnya, maka Putut Panjangjiwa
harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu. Melihat itu, Prabu Kresna segera memberi
isyarat kepada Arya Gatutkaca untuk bertindak. Arya Gatutkaca sudah lama menunggu
perintah ini. Dengan senang hati ia pun terbang menyambar Raden Antawasesa agar tidak
mengganggu jalannya pertandingan.
Prabu Tuguwasesa sendiri telah menerima tantangan Putut Panjangjiwa. Keduanya
lalu memulai pertandingan. Mereka pun bertarung sengit, saling menyerang dan saling
berusaha menjatuhkan lawan. Meskipun berbadan kurus, namun Putut Panjangjiwa dapat
bergerak gesit seperti angin untuk mengimbangi kekuatan Prabu Tuguwasesa yang
bertubuh tinggi besar.

RADEN ANTAWASESA KEMBALI KE WUJUD ASAL


Sementara itu, Arya Gatutkaca tampak terdesak menghadapi kesaktian Raden
Antawasesa yang ternyata sulit dikalahkan. Serangan-serangannya yang dahsyat dapat
ditangkis semua oleh lawannya itu. Hingga akhirnya, Arya Gatutkaca dapat dipukul mundur
oleh serangan balasan dari Raden Antawasesa.
Pada saat Arya Gatutkaca mundur untuk mengambil napas, tiba-tiba muncul kakak
sulungnya, yaitu Raden Antareja di tempat itu. Rupanya Raden Antareja juga mendapatkan
perintah dari Raden Nakula dan Raden Sadewa untuk pergi mencari hilangnya ketiga
Pandawa. Raden Antareja pun meminta petunjuk kakeknya, yaitu Batara Anantaboga di
Kahyangan Saptapratala. Ternyata Batara Anantaboga mengatakan bahwa ketiga
Pandawa akan muncul di Kerajaan Gilingwesi.
Raden Antareja pun tiba di wilayah Kerajaan Gilingwesi dan melihat Arya Gatutkaca
sedang terengah-engah seperti baru saja kalah bertarung. Sebaliknya, Arya Gatutkaca
merasa sangat gembira karena bala bantuan telah datang. Ia pun menemukan akal dan
segera berbisik kepada Raden Antareja tentang bagaimana cara untuk mengalahkan
musuhnya yang bernama Raden Antawasesa. Raden Antareja menimbang-nimbang, lalu
ia pun setuju menjalankan rencana tersebut.
Maka, dengan penuh semangat, Arya Gatutkaca terbang menemui Raden
Antawasesa untuk melanjutkan pertarungan. Keduanya kembali terlibat baku hantam
dengan sengitnya. Kali ini Arya Gatutkaca lebih percaya diri karena ada Raden Antareja
yang siap membantu. Serangannya pun lebih gencar daripada tadi. Namun, serangan kali
ini hanyalah pancingan belaka. Ketika Raden Antawasesa lengah, Arya Gatutkaca melesat
terbang ke angkasa, sedangkan dari dalam tanah tiba-tiba menyembul keluar Raden
Antareja yang langsung menyemburkan bisa panas ke arah dada Raden Antawasesa.
Raden Antawasesa tidak menduga mendapat serangan mendadak dari dalam tanah.
Ia pun tidak sempat menghindar, sehingga dadanya terkena semburan bisa Raden
Antareja. Akibat semburan tersebut, tiba-tiba wujud Raden Antawasesa musnah dan
berubah menjadi Raden Antasena.
Raden Antareja dan Arya Gatutkaca heran melihat pihak lawan ternyata adik mereka
sendiri. Kini mereka pun maklum mengapa Raden Antawasesa mampu mengalahkan Prabu
Baladewa, Adipati Karna, dan juga para Kurawa. Hal itu karena Raden Antawasesa adalah
penjelmaan Raden Antasena yang memang memiliki kesaktian luar biasa.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Antasena pun meminta maaf atas pertarungan tadi. Pada dasarnya ia tidak
memiliki dendam dan hanya ingin mengajak Arya Gatutkaca main-main. Arya Gatutkaca
memaafkan adiknya itu dan mereka lalu bersama-sama menemui Prabu Kresna.

PRABU TUGUWASESA KEMBALI KE WUJUD ASAL


Sementara itu, Prabu Tuguwasesa masih bertanding melawan Putut Panjangjiwa.
Setelah bertarung cukup lama akhirnya Prabu Tuguwasesa dapat menangkap tubuh
lawannya itu dan melemparkannya hingga membentur pohon beringin di alun-alun Kerajaan
Gilingwesi. Begitu membentur pohon tersebut, wujud Putut Panjangjiwa tiba-tiba musnah
dan berubah menjadi Raden Arjuna.
Bagawan Darmajati lega melihat Raden Arjuna tidak terluka. Ia kemudian maju
menghadapi Prabu Tuguwasesa. Prabu Tuguwasesa pun menantangnya bertarung satu
lawan satu. Namun, Bagawan Darmajati berkata tidak semua masalah bisa diselesaikan
dengan kekerasan. Usai berkata demikian, Bagawan Darmajati segera membuka jubah dan
ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Prabu Puntadewa.
Melihat kenyataan ini, Prabu Tuguwasesa segera ikut membuka pakaian. Ternyata ia
adalah penjelmaan Arya Wrekodara. Keduanya lalu berpelukan erat, sedangkan Prabu
Kresna tampak tersenyum-senyum seolah sudah mengetahui akan berakhir seperti ini.

KERAJAAN GILINGWESI MENJADI BAWAHAN KERAJAAN AMARTA


Arya Wrekodara menyatakan dirinya bersedia membebaskan semua tawanan asalkan
Prabu Duryudana berjanji tidak akan mengganggu Kerajaan Gilingwesi untuk selamanya.
Tanpa banyak membantah, Prabu Duryudana menyatakan setuju, yang penting dirinya bisa
kembali menjadi raja sepenuhnya di Kerajaan Hastina. Karena kesepakatan sudah
ditandatangani, Raden Antasena pun membuka pintu penjara dan mengeluarkan semua
tawanan, yaitu Prabu Baladewa, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan juga para Kurawa.
Patih Yudana meminta Arya Wrekodara untuk tetap menjadi raja di Gilingwesi. Namun,
Arya Wrekodara secara tegas menolak dan tetap mengembalikan takhta kepada Patih
Yudana. Maka, Patih Yudana pun kembali bergelar Prabu Yudana, sedangkan jabatan patih
kembali diisi Patih Raksaka.
Prabu Yudana merasa dirinya hanyalah seorang raja lemah yang tidak mampu berdiri
sendiri. Mulai saat itu, ia pun menyatakan Kerajaan Giingwesi adalah bawahan Kerajaan
Amarta. Prabu Puntadewa menolak menjadi atasan negara lain, namun Prabu Yudana terus
mendesaknya. Akhirnya, Prabu Puntadewa setuju menjadi pelindung Kerajaan Gilingwesi,
namun demikian Prabu Yudana tetap diberi hak penuh untuk mengatur negaranya sendiri.
Prabu Yudana berterima kasih dan berjanji akan memberikan upeti setiap tahun kepada
Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa menjawab, soal upeti sedikit saja, yang penting
pembangunan di Kerajaan Gilingwesi harus diutamakan. Bagaimanapun juga Kerajaan
Gilingwesi adalah negeri leluhur para Pandawa, sehingga Prabu Puntadewa sangat
berterima kasih apabila Prabu Yudana dapat memimpin dengan bijaksana. Prabu Yudana
menyatakan sanggup dan ia pun mengadakan jamuan untuk semua tamunya itu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam Serat Purwabharata tidak disebutkan adanya tokoh bernama Raden Antawasesa. Adapun
Raden Antawasesa saya tambahkan dalam kisah di atas berdasarkan umumnya yang berlaku di
pedalangan.
KITAB WAYANG PURWA

DEWA AMRAL
Kisah ini menceritakan tentang Prabu Puntadewa yang berubah wujud menjadi raksasa
untuk menyelamatkan adik-adiknya di Kawah Candradimuka.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber rekaman wayang kulit dengan
dalang Ki Nartosabdo, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 08 Desember 2018
Heri Purwanto

Brahala putih Dewa Amral

PRABU BALADEWA BERMIMPI BURUK TENTANG PRABU PUNTADEWA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan yang dihadiri
Raden Samba Wisnubrata dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari Swalabumi, dan Patih
Udawa dari Widarakandang.
Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa yang hanya
didampingi Patih Pragota. Dalam kunjungannya itu, Prabu Baladewa berkata bahwa dirinya
baru saja mimpi buruk tentang Prabu Puntadewa, pemimpin para Pandawa.
Dalam mimpinya tersebut, Prabu Baladewa melihat Prabu Puntadewa berjalan kaki
mengenakan pakaian serbaputih. Kemudian datang angin kencang yang menerbangkan
tubuhnya. Prabu Baladewa lalu terbangun dari tidur dan tidak mengetahui bagaimana nasib
Prabu Puntadewa selanjutnya. Mengingat adiknya sangat cerdas dan mampu menafsir
mimpi, Prabu Baladewa pun datang ke Kerajaan Dwarawati untuk menanyakan arti
mimpinya itu kepada Prabu Kresna.
Prabu Kresna termenung sejenak, kemudian ia berkata bahwa dirinya harus segera
berangkat ke Kerajaan Amarta karena ada hal buruk yang akan menimpa Prabu Puntadewa
dan para Pandawa lainnya. Prabu Baladewa tidak ingin ketinggalan. Mereka pun bersama-
sama berangkat dengan disertai Arya Setyaki dan Patih Pragota.

PRABU DEWASRANI IRI HATI KEPADA PRABU PUNTADEWA


Sementara itu di Kahyangan Dandangmangore, Batari Durga menerima kedatangan
putranya, yaitu Prabu Dewasrani dari Kerajaan Nusarukmi. Dalam kunjungannya itu, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Dewasrani bertanya kepada ibunya mengapa dirinya diberi nama dengan unsur kata
“dewa”. Batari Durga menjawab, itu karena Prabu Dewasrani adalah putra dewa, yaitu
Batara Guru, sehingga boleh memakai nama dengan unsur kata “dewa”.
Prabu Dewasrani lalu bertanya mengapa Prabu Puntadewa memakai nama yang
mengandung unsur “dewa”, apakah ia memang putra salah satu dewa? Batari Durga
menjawab, Prabu Puntadewa adalah putra Prabu Pandu Dewanata yang mendapat nama
dengan unsur kata “dewa” dari ayahnya itu. Adapun Prabu Pandu boleh menyandang gelar
Dewanata adalah karena pernah berjasa membunuh musuh kahyangan yang bernama
Prabu Nagapaya.
Prabu Dewasrani berterus terang bahwa dirinya kesal mendengar ada orang lain yang
memiliki nama dengan unsur kata “dewa” seperti dirinya, dan orang itu menjadi raja pula.
Apalagi, ayah Prabu Puntadewa bahkan bernama Prabu Pandu Dewanata, yang artinya
“raja dewa”. Nama ini jelas menyamai Batara Guru yang memiliki gelar Sanghyang
Jagadnata, ataupun menyamai Batara Indra yang memiliki gelar Sanghyang Suranata.
Batari Durga berkata bahwa roh Prabu Pandu Dewanata sudah mendapat hukuman
dari Batara Guru, yaitu dikurung dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, istri
keduanya. Prabu Dewasrani tidak puas karena Prabu Puntadewa harusnya juga dihukum
karena memakai nama dengan unsur kata “dewa” padahal bukan anak dewa. Apabila Prabu
Puntadewa tidak dicopot dari kedudukannya sebagai raja dan juga tidak dihukum, maka
Prabu Dewasrani memilih lebih baik bunuh diri saja.
Batari Durga sangat memanjakan Prabu Dewasrani. Ia pun menuruti keinginan
putranya itu dan segera berangkat bersama menuju Kahyangan Jonggringsalaka untuk
menghadap Batara Guru.

ROMBONGAN DARI KERAJAAN DWARAWATI TERHALANG PERJALANANNYA


Batari Durga dan Prabu Dewasrani berangkat dikawal pasukan Nusarukmi yang terdiri
atas para raksasa, beserta para pengikut Kahyangan Dandangmangore yang berwujud
kaum makhluk halus. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan
Dwarawati. Dasar watak para raksasa yang suka mencari keributan, mereka pun
mengganggu rombongan tersebut.
Arya Setyaki yang berada paling depan segera menghadapi para raksasa itu.
Pertempuran pun terjadi. Batari Durga tidak mau melibatkan diri. Ia pun membawa Prabu
Dewasrani terbang secepat kilat menuju Kahyangan Jonggringsalaka, sedangkan pasukan
mereka dipimpin Jin Jaramaya sibuk bertempur melawan orang-orang Dwarawati.

BATARI DURGA MENGADU KEPADA BATARA GURU


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada, Batara Indra,
dan Batara Yamadipati. Tidak lama kemudian datanglah Batari Durga dan Prabu
Dewasrani. Batari Durga menangis meminta Batara Guru mencegah putranya bunuh diri.
Batara Guru bertanya mengapa Prabu Dewasrani ingin bunuh diri. Batari Durga pun
menjawab bahwa ini semua karena Prabu Puntadewa memakai unsur nama “dewa”. Unsur
nama “dewa” hanya boleh dipakai oleh putra dewa saja, seperti Prabu Dewasrani. Namun,
jika ada manusia biasa, apalagi seorang raja seperti Prabu Puntadewa memakai nama
“dewa”, maka lebih baik Prabu Dewasrani bunuh diri saja.
Batara Guru tidak tahan menyaksikan ratapan Batari Durga. Ia pun memutuskan
bahwa Prabu Puntadewa harus melepas takhta Kerajaan Amarta dan juga melepas nama
“dewa”. Apabila menolak, maka ia harus diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Tugas
ini diserahkan kepada Batara Narada untuk pergi ke Kerajaan Amarta.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Narada heran mengapa Batara Guru begitu mudah menuruti permintaan yang
tidak masuk akal ini? Mengapa hanya karena bernama “dewa” lantas Prabu Puntadewa
harus dihukum mati diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka segala? Bukankah ada
orang lain yang juga bernama “dewa”, misalnya Prabu Baladewa ataupun Raden Sadewa?
Apakah mereka semua juga harus dihukum mati?
Batara Guru tidak menjawab. Keputusannya hanya berlaku untuk Prabu Puntadewa
saja, tidak ada urusan dengan yang lainnya. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah Batara
Narada bersedia menjalankan perintah atau tidak? Batara Narada menjawab, sebagai
bawahan maka dirinya tidak dapat menolak perintah ini. Ia hanya berusaha memberikan
saran yang baik, syukur-syukur apabila diterima. Namun demikian, semua keputusan tetap
berada di tangan Batara Guru sebagai pemimpin kahyangan. Usai berkata demikian, Batara
Narada pun pamit undur diri menuju Kerajaan Amarta.

BATARA NARADA MENJEMPUT PRABU PUNTADEWA


Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap keempat adiknya, yaitu Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Ketika sedang membahas
masalah negara, tiba-tiba datang Batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa pun
bergantian menghaturkan sembah kepadanya.
Batara Narada berkata bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan perintah
Batara Guru. Perintah tersebut ialah Prabu Puntadewa harus mengganti nama yang tidak
boleh mengandung unsur kata “dewa”, dan juga harus melepaskan takhta Kerajaan Amarta.
Jika menolak, maka ia akan dihukum mati dengan cara diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka.
Prabu Puntadewa menjawab, nama yang ia pakai adalah pemberian orang tua,
sehingga jika dilepas harus minta izin dulu kepada mereka. Yang kedua, dirinya menjadi
raja adalah karena dipaksa keempat adiknya. Oleh sebab itu, jika diminta turun takhta, maka
harus keempat adiknya itu yang mengizinkan.
Arya Wrekodara pun maju sebagai juru bicara keempat Pandawa. Dengan tegas ia
menolak kakak sulungnya turun takhta. Menurutnya, Prabu Puntadewa adalah raja yang
adil dan bijaksana, memakmurkan negara, dan memimpin rakyat Amarta bagaikan anak
sendiri. Apabila Prabu Puntadewa turun takhta mengikuti perintah Batara Guru, maka rakyat
akan kehilangan pemimpin sejati dan ini adalah bencana bagi Kerajaan Amarta. Untuk
urusan nama, yang memberikan nama “Puntadewa” adalah Prabu Pandu, ayah para
Pandawa. Dengan demikian, Prabu Puntadewa tidak akan bisa melepas namanya, karena
Prabu Pandu sudah lama meninggal dunia. Itu artinya tidak akan ada lagi yang bisa
memberikan izin penggantian nama tersebut.
Batara Narada merasa serbasalah. Di satu sisi ia setuju dengan ucapan Arya
Wrekodara, namun di sisi lain ia harus menjalankan perintah atasan, yaitu menjemput Prabu
Puntadewa dan menceburkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Arya Wrekodara
menyadari kegelisahan Batara Narada. Ia berkata bahwa nyawa Prabu Puntadewa terlalu
berharga untuk dikorbankan. Sebagai gantinya, ia dan para Pandawa yang lain bersedia
diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden
Sadewa sepakat mendukung pernyataan Arya Wrekodara.
Batara Narada terharu melihat semangat para Pandawa yang tidak takut mati demi
rakyat Amarta. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya lalu mohon pamit kepada Prabu
Puntadewa. Dengan berlinang air mata, Prabu Puntadewa memeluk mereka satu persatu.
Keempat adiknya itu lalu pergi bersama Batara Narada. Prabu Puntadewa pun berjalan
mengantarkan sampai ke ambang pintu.
KITAB WAYANG PURWA

DEWI KUNTI MENEGUR PRABU PUNTADEWA


Tiba-tiba Dewi Kunti muncul karena mendapat firasat buruk. Ia pun bertanya mengapa
Prabu Puntadewa sendirian saja. Prabu Puntadewa menceritakan dari awal hingga akhir
mulai kedatangan Batara Narada, hingga bagaimana keempat adiknya bersedia dibawa ke
kahyangan untuk menggantikan dirinya menjalani hukuman mati di Kawah Candradimuka.
Dewi Kunti terkejut mendengar cerita itu. Ia menegur Prabu Puntadewa sebagai kakak
sulung tidak becus melindungi saudara. Bahkan, Prabu Puntadewa bersenang hati tetap
menjadi raja dengan mengorbankan nyawa keempat adiknya. Dewi Kunti menyesal telah
melahirkan Prabu Puntadewa ke dunia. Ia pun menagih air susu yang telah ia berikan dulu,
lebih baik dikembalikan saja.
Prabu Puntadewa lemas gemetar mendengar ucapan ibunya. Jantungnya berdebar
kencang dan ia pun memijat dada sendiri. Tanpa sengaja, tangan Prabu Puntadewa
menyentuh pusaka Kalung Robyong Mustikarawis warisan Arya Gandamana yang melekat
di dadanya. Menyentuh kalung itu dengan disertai perasaan hati yang terdesak membuat
wujud Prabu Puntadewa seketika berubah menjadi raksasa tinggi besar berkulit putih
bersih.
Dewi Kunti semakin marah dan menuduh Prabu Puntadewa hendak berbuat durhaka
kepadanya. Prabu Puntadewa menolak tuduhan itu. Dengan wujud raksasa ini ia akan
mengacau Kahyangan Jonggringsalaka agar keempat adiknya dibebaskan. Usai
berpamitan kepada sang ibu, ia pun berangkat meninggalkan istana.

PRABU KRESNA MENYUSUL KE KAHYANGAN


Sementara itu, perjalanan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa yang terhalang
pertempuran melawan pasukan Nusarukmi membuat kedatangan mereka menjadi
terlambat. Mereka baru sampai di Kerajaan Amarta ketika para Pandawa sudah pergi dan
hanya bertemu Dewi Kunti menangis sendirian. Mereka lalu bertanya ada kejadian apa yang
menimpa Kerajaan Amarta.
Dewi Kunti semakin marah atas pertanyaan dua keponakannya itu. Ia menuduh Prabu
Kresna tidak menjalankan tugasnya sebagai pamong para Pandawa dengan baik. Kini
keempat Pandawa dibawa ke kahyangan untuk dihukum mati, tetapi Prabu Kresna justru
bertanya ada masalah apa. Kalau tidak punya pengetahuan yang cukup, untuk apa
menyombongkan diri sebagai titisan Batara Wisnu segala?
Prabu Kresna tersenyum tidak marah atas tuduhan sang bibi. Ia pun meraba
rambutnya, menyentuh Panah Kesawa sambil membaca mantra Balasrewu. Seketika
tubuhnya pun berubah menjadi raksasa berkulit hitam legam. Ia lalu mohon pamit kepada
Dewi Kunti untuk menyusul para Pandawa. Prabu Baladewa pun diminta agar tetap tinggal
untuk menjaga Dewi Kunti dan Kerajaan Amarta.

KEEMPAT PANDAWA DICEBURKAN KE DALAM KAWAH CANDRADIMUKA


Sementara itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka. Batara Guru bertanya mengapa bukan Prabu Puntadewa yang dibawa
menghadap kepadanya. Arya Wrekodara menjawab, nyawa kakak sulungnya terlalu
berharga jika harus dikorbankan demi suatu hal yang tidak masuk akal. Sebagai pengganti,
ia dan ketiga adiknya rela mengorbankan nyawa diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka.
Batara Guru lalu bertanya kepada Batari Durga apakah nyawa keempat Pandawa bisa
untuk menebus kesalahan Prabu Puntadewa. Batari Durga berpikir bahwa ini adalah
kesempatan untuk menyingkirkan para Pandawa. Jika keempat adiknya sudah tewas, maka
KITAB WAYANG PURWA

tidak sulit untuk menyingkirkan Prabu Puntadewa. Berpikir demikian, Batari Durga pun
menyatakan setuju untuk menceburkan keempat Pandawa itu ke dalam Kawah
Candradimuka sebagai ganti Prabu Puntadewa. Dalam hati ia berpikir kelak akan mencari
cara lain untuk mencelakai sulung Pandawa tersebut.
Maka, Batara Guru pun memerintahkan Batara Yamadipati untuk melaksanakan
tugas. Batara Yamadipati segera menggiring Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden
Nakula, dan Raden Sadewa menuju ke Gunung Jamurdipa. Sesampainya di sana, ia
menceburkan keempat Pandawa tersebut ke dalam Kawah Candradimuka.
Arya Wrekodara dan ketiga adiknya tidak takut mati. Mereka pun langsung tenggelam
ke dasar kawah. Sungguh ajaib, air kawah yang mendidih itu terasa sejuk oleh mereka.
Tiba-tiba mereka sudah tiba di hadapan dua orang yang duduk di dasar Kawah
Candradimuka. Kedua orang itu tidak lain adalah ayah para Pandawa, yaitu Prabu Pandu
beserta ibu si kembar, yaitu Dewi Madrim, yang masing-masing sudah berbadan rohani.
Arya Wrekodara terharu dan segera memeluk roh Prabu Pandu, sedangkan Raden
Arjuna bersimpuh memeluk kaki ayahnya itu. Dewi Madrim juga tampak dipeluk kanan-kiri
oleh Raden Nakula dan Raden Sadewa. Selang agak lama, Prabu Pandu lalu bertanya
tentang kabar anak-anaknya itu. Arya Wrekodara menceritakan bahwa mereka lima
bersaudara sudah mendirikan Kerajaan Amarta. Sebaliknya, ia pun bertanya bagaimana
kabar Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama bersemayam di Kawah Candradimuka.
Dahulu kala ketika Dewi Madrim sedang mengandung Raden Nakula dan Raden
Sadewa, tiba-tiba terbesit keinginannya untuk bertamasya di atas kendaraan Batara Guru,
yaitu Lembu Andini. Prabu Pandu pun naik ke kahyangan meminjam lembu tersebut dengan
disertai sumpah bahwa kelak setelah meninggal ia rela tidak naik ke surga, tetapi rohnya
ditahan saja di dalam Kawah Candradimuka. Batara Guru mengizinkan Lembu Andini
dipinjam secara cuma-cuma, tetapi para dewa lainnya menganggap hal ini sebagai
kelancangan. Mereka pun menuntut agar Prabu Pandu benar-benar diceburkan ke dalam
Kawah Candradimuka sesuai keinginannya.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Pandu berperang melawan raja raksasa dari
Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu Tremboko. Dalam perang itu Prabu Tremboko tewas,
tetapi ia sempat melukai paha Prabu Pandu. Akibat luka tersebut, Prabu Pandu menderita
sakit beberapa bulan lamanya. Hingga akhirnya Batara Yamadipati datang untuk
menjemput kematiannya.
Prabu Pandu meminta waktu kepada Batara Yamadipati agar Dewi Madrim melahirkan
lebih dulu. Ternyata Dewi Madrim melahirkan sepasang bayi kembar. Sesuai janjinya, maka
roh Prabu Pandu pun dicabut dan dibawa Batara Yamadipati. Melihat itu, Dewi Madrim
merasa bersalah dan ikut meninggal pula. Rohnya kemudian ikut pergi menyertai sang
suami.
Demikianlah, awal mula mengapa roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim bersemayam di
dalam Kawah Candradimuka. Arya Wrekodara merasa heran mengapa ia dan adik-adiknya
tidak merasa panas saat diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu
menjawab, Kawah Candradimuka bukanlah kawah sembarangan. Barangsiapa memiliki
hati yang baik dan tulus, maka ia tidak akan mati apabila diceburkan ke dalam kawah
tersebut. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya pun bersyukur karena mereka bukan
termasuk golongan berhati jahat.
Keempat Pandawa itu kemudian merasa prihatin melihat keadaan Prabu Pandu dan
Dewi Madrim yang hidup menderita di dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu
menjawab, ia dan Dewi Madrim sama sekali tidak merasa menderita karena mereka sering
mendengar nama baik para Pandawa dalam membela kebenaran dan keadilan. Sebaliknya,
KITAB WAYANG PURWA

meskipun Prabu Pandu dan Dewi Madrim tinggal di Swargaloka, tetapi jika mendengar
berita para Pandawa berbuat kejahatan di dunia, maka itu rasanya seperti tinggal di neraka.

DEWA AMRAL MENGAMUK DI KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA


Sementara itu, raksasa putih penjelmaan Prabu Puntadewa telah sampai di
Kahyangan Jonggringsalaka dan membuat kekacauan di sana. Ia mengaku bernama Dewa
Amral dan menantang para dewa untuk menyerahkan takhta kahyangan kepada dirinya.
Para dewa pun maju menyerang namun tiada satu pun yang dapat mengalahkan raksasa
putih tersebut. Bahkan, mereka justru yang dibuat kalang kabut menghadapi amukan Dewa
Amral.
Batara Narada segera melaporkan kekacauan ini kepada Batara Guru. Batara Guru
pun memerintahkan Batara Narada untuk mencari jago yang bisa mengatasi Dewa Amral.
Batara Narada mohon pamit berangkat melaksanakan tugas. Di tengah jalan ia bertemu
raksasa berkulit hitam legam, yang mengaku bernama Ditya Kesawamanik. Batara Narada
pun menjanjikan istri bidadari apabila Ditya Kesawamanik mampu menumpas Dewa Amral.
Ditya Kesawamanik menjawab bersedia. Mereka lalu berangkat menuju tempat Dewa Amral
mengamuk merusak bangunan kahyangan.
Sesampainya di sana, Ditya Kesawamanik segera maju mendekati Dewa Amral.
Kedua raksasa itu berhadapan tetapi tidak saling menyerang. Ada rasa segan di dalam hati
masing-masing. Setelah saling mengenal, Ditya Kesawamanik pun paham bahwa Dewa
Amral adalah penjelmaan Prabu Puntadewa, sedangkan Prabu Puntadewa paham bahwa
Ditya Kesawamanik adalah penjelmaan Prabu Kresna.
Ditya Kesawamanik lalu berbisik kepada Dewa Amral tentang apa yang menjadi
rencananya. Dewa Amral setuju. Mereka lalu bersatu mengamuk di kahyangan. Mereka
merusak bangunan dan segala benda kedewaan yang mereka temui.

DEWA AMRAL MEMBEBASKAN PARA PANDAWA


Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik bergerak menuju ke Gunung Jamurdipa. Para
dewa dan pasukan dorandara masih mengejar mereka. Ditya Kesawamanik menghadang
para dewa tersebut, sedangkan Dewa Amral mencebur ke dalam Kawah Candradimuka.
Sesampainya di dasar kawah, Dewa Amral melihat keempat adiknya sedang bersama
sepasang pria dan wanita. Dewa Amral pun terharu saat mengenali mereka adalah orang
tuanya sendiri, yaitu Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Ia lalu bersimpuh menyembah mereka
berdua.
Prabu Pandu memeluk Dewa Amral dan memintanya untuk membawa keempat
Pandawa pergi, karena tugas mereka di dunia masih banyak. Dewa Amral segera
menggendong Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa, lalu
berenang naik ke permukaan Kawah Candradimuka. Sesampainya di atas, ia segera
mengamuk membantu Ditya Kesawamanik memukul mundur para dewa yang mengepung.

BATARA NARADA MENCARI JAGO


Kahyangan Jonggringsalaka kembali kacau oleh amukan sepasang raksasa hitam-
putih. Batara Guru memberi tahu Batara Narada bahwa yang bisa mengalahkan Dewa
Amral dan Ditya Kesawamanik adalah permaisuri Keraajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi.
Mendengar petunjuk tersebut, Batara Narada segera mohon pamit berangkat ke sana.
Dewi Drupadi saat itu sedang menerima kedatangan Raden Abimanyu dan Arya
Gatutkaca disertai para panakawan. Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada turun
dari angkasa. Batara Narada bercerita bahwa Kahyangan Jonggringsalaka saat ini sedang
KITAB WAYANG PURWA

dikacau oleh dua raksasa berwarna hitam dan putih. Hanya Dewi Drupadi seorang yang
bisa mengalahkan mereka. Dewi Drupadi heran mengapa dirinya yang harus menjadi jago
kahyangan. Mengapa tidak para Pandawa saja? Batara Narada menjawab, para Pandawa
saat ini telah menjadi tawanan kedua raksasa itu. Mendengar berita tersebut, Dewi Drupadi
langsung bersemangat dan ia pun berangkat disertai Batara Narada. Raden Abimanyu,
Arya Gatutkaca, dan para panakawan ikut menyertai di belakang.
Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Dewi Drupadi segera menantang Dewa
Amral dan Ditya Kesawamanik. Seumur hidup Dewi Drupadi tidak pernah bertarung.
Namun, demi untuk menyelamatkan para Pandawa, ia sama sekali tidak takut mati.
Sebaliknya, Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik hanya saling pandang tidak tahu harus
berbuat apa. Mereka serbasalah karena tidak mungkin melayani tantangan Dewi Drupadi.
Merasa sudah saatnya untuk membuka samaran, kedua raksasa itu pun kembali ke wujud
semula, yaitu Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna.
Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan si kembar keluar dari persembunyian. Dewi
Drupadi kini telah tahu duduk permasalahannya. Ia bersyukur tidak terjadi hal buruk
menimpa para Pandawa.

ARYA WREKODARA PERGI BERTAPA


Tiba-tiba muncul Prabu Dewasrani dan Batari Durga yang merasa kecewa karena
rencana mereka gagal. Prabu Dewasrani marah dan mengerahkan pasukannya untuk
mengeroyok para Pandawa. Raden Arjuna bergerak cepat menghadapi raja Nusarukmi
tersebut. Dalam pertarungan itu, Prabu Dewasrani tewas terkena kerisnya sendiri.
Batari Durga marah melihat putranya tewas. Ia pun mengamuk mengerahkan pasukan
makhluk halus. Kyai Semar yang tiba bersama Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca
segera menghadapi mereka. Dengan mengerahkan kentut saktinya, para makhluk halus itu
berhamburan pergi. Batari Durga pun dapat diringkus oleh Kyai Semar dengan cara ditindih
tubuhnya.
Batari Durga menangis memohon ampun. Kyai Semar bersedia melepaskannya,
asalkan Batari Durga tidak lagi mempermasalahkan soal nama Prabu Puntadewa. Batari
Durga berjanji akan mematuhi Kyai Semar, namun ia juga meminta supaya putranya
dihidupkan kembali. Karena Batari Durga sudah berjanji demikian, Prabu Kresna pun
melangkah maju dan berhasil menghidupkan kembali Prabu Dewasrani menggunakan
Kembang Wijayakusuma.
Setelah Prabu Dewasrani hidup kembali, Batari Durga pun mohon pamit membawa
pulang putranya itu kembali ke Kahyangan Dandangmangore.
Prabu Kresna lalu mengajak para Pandawa dan Dewi Drupadi kembali ke Kerajaan
Amarta. Namun, Arya Wrekodara menolak. Ia merasa prihatin atas nasib Prabu Pandu dan
Dewi Madrim yang masih disekap di dalam Kawah Candradimuka. Sebagai anak yang
pernah mendapatkan ilmu sejati Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci, ia merasa
berkewajiban untuk mengentas ayah dan ibunya itu dari Kawah Candradimuka dan
memindahkannya ke tempat yang lebih baik. Untuk itu, Arya Wrekodara mohon pamit
melakukan tapa ngrame dengan mendirikan tempat pengobatan di Gunung Argakelasa.
Prabu Puntadewa merestui. Mereka lalu berpisah. Arya Wrekodara berangkat ditemani Arya
Gatutkaca, sedangkan Prabu Puntadewa, Prabu Kresna dan yang lain kembali ke Kerajaan
Amarta.
KITAB WAYANG PURWA

Brahala hitam Ditya Kesawamanik

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam rekaman pentas Ki Nartosabdo yang menjadi sumber rujukan saya, tidak ada adegan para
Pandawa bertemu Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Adegan tersebut sengaja saya tambahkan
untuk dramatisasi cerita, sekaligus untuk menjadi pembuka bagi lakon selanjutnya, yaitu
Bagawan Bimasuci.
KITAB WAYANG PURWA

BIMASUCI
Kisah ini menceritakan tentang Arya Wrekodara yang menjadi brahmana bergelar
Bagawan Bimasuci di Gunung Argakelasa.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman wayang kulit dengan dalang Ki Manteb
Soedharsono, yang dipadukan dengan kisah dalam kitab Sanghyang Nawaruci karya
Mpu Syiwamurti, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 05 Januari 2019
Heri Purwanto

Bagawan Bimasuci

PRABU DURYUDANA MENDENGAR KABAR ARYA WREKODARA BERTAPA DI


WILAYAHNYA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang
Druna dari Sokalima, Patih Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan
Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu, Patih Sangkuni melaporkan
bahwa Arya Wrekodara saat ini berani menduduki Gunung Argakelasa dan mendirikan
padepokan di sana, sedangkan dirinya menjadi brahmana, bergelar Bagawan Bimasuci.
Setiap hari Bagawan Bimasuci mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penduduk sekitar,
serta memberikan pengobatan secara cuma-cuma kepada mereka yang membutuhkan.
Yang membuat kesal ialah, Gunung Argakelasa yang diduduki Bagawan Bimasuci
merupakan wilayah Kerajaan Hastina. Itu artinya, Bagawan Bimasuci sengaja ingin mencari
keributan terhadap Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana marah mendengar laporan itu. Gunung Argakelasa adalah wilayah
Kerajaan Hastina. Menduduki gunung tersebut tanpa izin dan juga membangun padepokan
di sana jelas perbuatan melanggar hukum. Prabu Duryudana berniat menjatuhkan hukuman
kepada Bagawan Bimasuci alias Arya Wrekodara.
Danghyang Druna menyela ikut bicara. Ia mengingatkan bahwa Arya Wrekodara
adalah putra Prabu Pandu, raja Hastina terdahulu. Itu artinya, Arya Wrekodara juga memiliki
hak atas setiap jengkal wilayah Kerajaan Hastina. Lagipula yang dilakukan Arya Wrekodara
KITAB WAYANG PURWA

juga baik, yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan dan memberikan pengobatan cuma-cuma
kepada masyarakat sekitar yang merupakan warga negara Hastina juga. Itu artinya, Arya
Wrekodara ikut berjasa terhadap Kerajaan Hastina.
Patih Sangkuni berkata, Danghyang Druna hendak melepaskan diri dari tanggung
jawab, padahal ini semua adalah kesalahan Danghyang Druna juga. Dahulu kala,
Danghyang Druna ditugasi untuk membunuh Arya Wrekodara dengan cara menipunya
untuk mencebur ke dalam Samudra Minangkalbu, mencari air kehidupan Tirta Pawitra
Mahening Suci. Bukannya mati, Arya Wrekodara justru bertemu Dewa Ruci dan
mendapatkan ilmu sejati sangkan paraning dumadi. Sekarang Arya Wrekodara mendirikan
padepokan dan mengajarkan ilmu sejati tersebut. Jika dihitung-hitung, sumber masalah ini
jelas berasal dari Danghyang Druna yang gagal membunuh Arya Wrekodara.
Danghyang Druna menjawab, dirinya sudah mengusahakan kematian Arya
Wrekodara sesuai apa yang diperintahkan Prabu Duryudana. Namun, soal hidup atau mati
manusia adalah wewenang mutlak Tuhan Yang Mahakuasa. Apabila Arya Wrekodara
ternyata masih hidup sampai sekarang, itu berarti Tuhan belum mengizinkannya untuk mati.
Prabu Duryudana yang termakan ucapan Patih Sangkuni meminta Danghyang Druna
untuk tidak membantah lagi. Persoalan ini harus diselesaikan oleh Danghyang Druna.
Bagaimanapun juga, Danghyang Druna harus bisa menutup Padepokan Argakelasa dan
mengusir Arya Wrekodara agar kembali ke Kerajaan Amarta.
Danghyang Druna tidak dapat menolak perintah. Ia pun mohon pamit berangkat ke
Gunung Argakelasa. Prabu Duryudana lalu memerintahkan agar Patih Sangkuni, Adipati
Karna, dan para Kurawa ikut mengawal keberangkatan Danghyang Druna.

RESI ANOMAN MENGUNJUNGI BAGAWAN BIMASUCI


Di Gunung Argakelasa, Bagawan Bimasuci menerima kedatangan pendeta wanara
putih dari Padepokan Kendalisada, yaitu Resi Kapiwara Anoman. Dalam kunjungannya itu,
Resi Anoman bertanya apa tujuan Arya Wrekodara mendirikan padepokan di Gunung
Argakelasa. Bagawan Bimasuci berkata, di sini tidak adak ada Arya Wrekodara, yang ada
Bagawan Bimasuci.
Resi Anoman menjawab, Bagawan Bimasuci dan Arya Wrekodara adalah orang yang
sama. Mau dipanggil apa pun tetap saja orangnya sama. Tidak berbeda dengan dirinya
yang bisa dipanggil dengan nama Anoman, Senggana, Maruti, Ramandayapati, ataupun
Anjanisuta, tetap saja orangnya sama. Bagawan Bimasuci menjawab, soal nama tentu
tergantung pula pada wujudnya. Sama-sama udara, apabila keluar masuk hidung disebut
napas, kalau dahsyat di lautan disebut badai, kalau dahsyat di darat disebut topan, kalau
sepoi-sepoi disebut samirana, dan sebagainya. Demikian pula, nama Arya Wrekodara
hanya dipakai apabila ia sedang menjadi kesatria di Kerajaan Amarta. Lain halnya saat ini
ia berada di Gunung Argakelasa sebagai brahmana, maka namanya adalah Bagawan
Bimasuci.
Resi Anoman lalu bertanya, mengapa Bagawan Bimasuci meninggalkan
kewajibannya sebagai kesatria yang harusnya membela negara. Bagawan Bimasuci balik
bertanya, mengapa Resi Anoman menjadi pendeta, bukankah dulu juga pernah menjadi
kesatria? Resi Anoman menjawab, dirinya sekarang sudah tua. Orang yang sudah tua
pantas-pantas saja menjadi pendeta. Lain halnya dengan Arya Wrekodara. Masih muda,
tentunya lebih baik tetap menjadi kesatria melindungi negara dari ancaman musuh.
Arya Wrekodara menjawab, menjadi pendeta tidak harus menunggu tua. Kakeknya,
yaitu Bagawan Abyasa sejak muda belia sudah menjadi pendeta, baru kemudian diminta
untuk memimpin Kerajaan Hastina, lalu kembali lagi menjadi pendeta di masa tua. Kakek
KITAB WAYANG PURWA

yang lain, yaitu Resiwara Bisma meskipun seorang pendeta namun tetap berjiwa kesatria,
siap angkat senjata saat Kerajaan Hastina menghadapi musuh. Di samping mereka berdua
tentunya masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.
Resi Anoman kembali bertanya apa tujuan Bagawan Bimasuci membuka padepokan
di Gunung Argakelasa. Bagawan Bimasuci menjawab, dirinya hanya ingin mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada para pemuda. Mereka adalah masa depan suatu negara. Pemuda
adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Oleh sebab itu, sejak muda mereka perlu
untuk dibekali ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan mereka kelak.
Resi Anoman berkata, kabar yang ia dengar tidak sesederhana itu. Konon, Bagawan
Bimasuci selain mengajarkan ilmu pengetahuan juga mengajarkan ilmu kasampurnan
sangkan paraning dumadi. Itu sebabnya, Resi Anoman datang untuk membuktikan berita
tersebut. Jika memang benar demikian, ia ingin ikut belajar kepada Bagawan Bimasuci.
Bagawan Bimasuci berkata, Resi Anoman tidak bersungguh-sungguh ingin belajar,
tetapi hanya ingin menguji kepandaiannya saja. Jika memang serius ingin belajar, mengapa
Resi Anoman tidak memperbaiki sikapnya dan mengapa tidak berbicara dengan lebih sopan
santun. Resi Anoman menjawab, dirinya adalah kakak angkat Bagawan Bimasuci, tentunya
jangan disamakan dengan para murid lainnya. Bagawan Bimasuci menjawab, Resi Anoman
adalah kakak angkat Arya Wrekodara, bukan kakak angkatnya. Selama Resi Anoman tidak
memperbaiki tingkah lakunya, maka diberi ilmu segudang pun percuma, tidak akan bisa
merasuk ke dalam sanubari.
Resi Anoman tertegun mendengar ucapan Bagawan Bimasuci yang tegas dan
berwibawa. Ia mengamati dengan seksama dan baru sadar kalau ada sosok yang
memancarkan cahaya dari dalam diri Bagawan Bimasuci. Sosok tersebut adalah Dewa
Ruci, sang guru sejati. Seketika Resi Anoman pun merasa lemas tiada berdaya, dan segera
tunduk memohon ampun kepada Bagawan Bimasuci. Ia tidak lagi menggunakan bahasa
yang lugas, tetapi menggunakan bahasa halus penuh sopan santun kepada Bagawan
Bimasuci, memohon agar diterima menjadi murid.
Bagawan Bimasuci menerima sembah Resi Anoman. Namun, saat ini ia belum bisa
memberikan pelajaran karena Padepokan Argakelasa kedatangan musuh yang hendak
berbuat kekacauan. Resi Anoman pun diperintahkan untuk mengatasi para musuh tersebut.

PARA KURAWA MENGACAU DI GUNUNG ARGAKELASA


Tamu yang hendak membuat kekacauan adalah rombongan Danghyang Druna
bersama Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan para Kurawa. Resi Anoman didampingi para
murid Bagawan Bimasuci, yaitu Putut Antareja, Putut Gatutkaca, dan Putut Antasena keluar
padepokan menyambut mereka. Danghyang Druna selaku kepala rombongan berkata
dirinya ingin bertemu Arya Wrekodara. Resi Anoman menjawab, di sini tidak ada Arya
Wrekodara, yang ada Bagawan Bimasuci. Patih Sangkuni bertanya apa bedanya Arya
Wrekodara dan Bagawan Bimasuci, orangnya sama saja. Resi Anoman pun menjawab
sesuai dengan apa yang disampaikan Bagawan Bimasuci tadi.
Patih Sangkuni tidak mau bertele-tele. Intinya Arya Wrekodara telah lancang berani
menduduki Gunung Argakelasa yang masuk wilayah Kerajaan Hastina. Oleh sebab itu,
padepokan harus dibubarkan dan Arya Wrekodara harus menerima hukuman dari Prabu
Duryudana. Resi Anoman menjawab, Gunung Argakelasa terletak di tengah-tengah antara
Kerajaan Hastina dan Kerajaan Amarta. Gunung ini merupakan batas alamiah yang tidak
menjadi hak milik Kerajaan Hastina, juga bukan hak milik Kerajaan Amarta. Dalam hal ini
Bagawan Bimasuci tidak melanggar hukum sama sekali. Patih Sangkuni marah dan
menuduh Resi Anoman sebagai orang luar sehingga tidak perlu ikut campur. Sebaliknya,
KITAB WAYANG PURWA

Resi Anoman juga menyebut Patih Sangkuni sebagai orang Gandaradesa, sehingga tidak
pantas pula untuk ikut campur.
Suasana menjadi panas. Para Kurawa pun maju untuk membongkar paksa bangunan
Padepokan Argakelasa. Resi Anoman dan ketiga keponakannya segera menghalangi
mereka. Pertempuran pun terjadi. Para Kurawa terdesak tidak mampu melanjutkan aksi
mereka.
Melihat itu, Danghyang Druna maju hendak melabrak Bagawan Bimasuci. Namun,
begitu bertemu muka, ia melihat Bagawan Bimasuci penuh wibawa memancarkan aura
kedewaan. Danghyang Druna mendapatkan pengalaman batin luar biasa. Tanpa ragu lagi,
ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah Arya Wrekodara seperti
biasanya, melainkan Dewa Ruci sang Marbudyengrat. Seketika Danghyang Druna pun
duduk bersimpuh menyembah Bagawan Bimasuci. Namun, Bagawan Bimasuci tidak
menerima sembahnya, melainkan mengangkat dan menggendong tubuh Danghyang Druna
masuk ke dalam padepokan.
Melihat Danghyang Druna selaku kepala rombongan telah bergabung dengan pihak
musuh, Adipati Karna mengajak Patih Sangkuni untuk mundur saja, kembali ke Kerajaan
Hastina untuk melapor kepada Prabu Duryudana.

RADEN ARJUNA BERGURU KEPADA BAGAWAN BIMASUCI


Sementara itu, Raden Arjuna diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong sedang dalam perjalanan menuju Gunung Argakelasa untuk menyusul
Arya Wrekodara. Di tengah jalan mereka dihadang sepasang raksasa suami-istri yang ingin
memangsa daging manusia. Raden Arjuna dapat mengalahkan kedua raksasa itu yang
ternyata penjelmaan Batara Kamajaya dan Batari Ratih.
Batara Kamajaya memberi tahu Raden Arjuna bahwa Arya Wrekodara saat ini berada
di Gunung Argakelasa sebagai Bagawan Bimasuci, yang mengajarkan ilmu kasampurnan
sangkan paraning dumadi. Sebaiknya Raden Arjuna pergi berguru kepadanya. Raden
Arjuna mematuhi nasihat tersebut dan segera berangkat ke sana.
Sesampainya di Gunung Argakelasa, Raden Arjuna segera menghadap Bagawan
Bimasuci. Dengan penuh sopan santun ia menyembah Bagawan Bimasuci dan memohon
diterima sebagai murid. Raden Arjuna sama sekali tidak melihat Bagawan Bimasuci sebagai
kakak kandung, tapi melihatnya sebagai seorang guru yang mengajarkan jalan kebenaran.
Bagawan Bimasuci melihat Raden Arjuna tulus ikhlas ingin berguru kepadanya. Ia pun
menerimanya sebagai murid, dan mengajarkan ilmu kasampurnan sangkan paraning
dumadi, sebagaimana dulu yang diajarkan Dewa Ruci kepada dirinya.

BATARA GURU MENGIRIM PARA DEWA UNTUK MENGHUKUM BAGAWAN


BIMASUCI
Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap para dewa, antara
lain Batara Narada, Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu. Dalam
pertemuan tersebut, Batara Guru bertanya apa yang menjadi penyebab terjadinya gara-
gara di kahyangan, sehingga kahyangan terasa panas tidak seperti biasanya.
Batara Narada menjawab, adanya gara-gara di Kahyangan Jonggringsalaka
disebabkan oleh Arya Wrekodara yang mendirikan padepokan di Gunung Argakelasa, dan
mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi kepada Raden Arjuna. Batara Guru marah
mendengar hal itu. Apabila Arya Wrekodara sembarangan mengajarkan ilmu tingkat tinggi,
maka umat manusia akan berkurang rasa hormatnya kepada para dewa. Batara Guru pun
KITAB WAYANG PURWA

memerintahkan Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Batara Bayu untuk
menghukum Arya Wrekodara dan membongkar padepokannya.
Batara Narada bertanya apakah perlu menjatuhkan hukuman seperti itu? Apakah tidak
sebaiknya diselidiki terlebih dahulu apakah Arya Wrekodara benar-benar bersalah atau
tidak. Batara Guru tidak peduli. Ia sudah memutuskan demikian, maka itulah yang harus
dilaksanakan.
Mendengar itu, Batara Sambu dan adik-adiknya tidak berani menunda lagi. Mereka
pun mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.

PARA DEWA MENGHUKUM BAGAWAN BIMASUCI


Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu telah tiba di Padepokan
Argakelasa. Saat itu Bagawan Bimasuci sedang bersamadi seorang diri. Keempat dewa
tersebut tidak menampakkan diri sehingga Resi Anoman, Raden Arjuna, dan para putut
tidak ada yang menyadari kehadiran mereka.
Batara Sambu pun mengerahkan kesaktiannya berupa ilusi gempa bumi yang sangat
dahsyat. Ternyata Bagawan Bimasuci tetap diam tak tergoyahkan. Batara Brahma
mengerahkan kesaktian berupa api yang membakar tubuh Bagawan Bimasuci. Namun,
Bagawan Bimasuci tetap tak tergoyahkan dan menyadari bahwa api tersebut hanyalah ilusi
belaka. Yang ketiga Batara Indra mengerahkan kesaktian berupa petir yang menggelegar
menyambar tubuh Bagawan Bimasuci. Namun, Bagawan Bimasuci masih tetap diam tidak
bergerak.
Batara Sambu lalu meminta Batara Bayu agar turun tangan. Batara Bayu merasa
serbasalah karena Bagawan Bimasuci alias Arya Wrekodara adalah putra angkatnya.
Namun, karena ini adalah perintah Batara Guru, terpaksa ia pun mengerahkan kesaktian
berupa ilusi angin puting beliung yang melanda tubuh Bagawan Bimasuci. Namun, lagi-lagi
Bagawan Bimasuci tetap diam, tidak bergerak sama sekali.
Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu saling berpandangan,
lalu mereka sepakat untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka, melapor kepada Batara
Guru.

BATARA GURU MENEMUI BAGAWAN BIMASUCI


Setelah keempat putranya gagal, Batara Guru didampingi Batara Narada pergi ke
Padepokan Argakelasa untuk menemui Bagawan Bimasuci secara langsung. Sesampainya
di sana, Batara Guru pun menyapa Bagawan Bimasuci, sehingga Bagawan Bimasuci
membuka matanya.
Batara Guru bertanya mengapa Bagawan Bimasuci tidak membuka mata saat
didatangi keempat dewa tadi. Bagawan Bimasuci menjawab, mereka empat dewa tidak
datang sebagai tamu, tetapi datang sebagai pengacau. Tanpa permisi mereka langsung
mengerahkan kesaktian kepada dirinya. Bagawan Bimasuci merasa tidak ada urusan
dengan keempat pengacau tersebut, sehingga merasa tidak perlu untuk menemui mereka.
Lain halnya dengan Batara Guru dan Batara Narada yang menyapa terlebih dahulu,
sehingga Bagawan Bimasuci merasa perlu untuk membuka mata dan menerima tamu.
Batara Guru menjelaskan kedatangannya ialah untuk meminta agar Bagawan
Bimasuci menghentikan Padepokan Argakelasa, tidak boleh lagi mengajarkan ilmu
kasampurnan sangkan paraning dumadi. Ilmu sangkan paraning dumadi adalah ilmu
terlarang yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Apabila diajarkan secara
sembarangan, maka umat manusia akan berkurang rasa hormatnya kepada para dewa.
KITAB WAYANG PURWA

Bagawan Bimasuci bertanya, mengapa Batara Guru gila hormat seperti itu? Apabila
Batara Guru melindungi umat manusia dengan baik, memimpin dengan adil, maka
penghormatan tulus akan datang dengan sendirinya. Lagipula, Bagawan Bimasuci merasa
terpanggil untuk mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi kepada umat manusia.
Meskipun Batara Guru yang meminta untuk menghentikan, ia tidak akan mematuhi. Batara
Guru marah dan mengutuk Bagawan Bimasuci menjadi raksasa hutan yang tidak bisa
diatur. Namun, Bagawan Bimasuci mendapat perlindungan Dewa Ruci, sehingga kutukan
tersebut berbalik mengenai Batara Guru sendiri.

RAKSASA PENJELMAAN BATARA GURU MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA


Batara Guru kini berubah menjadi raksasa akibat terkena ucapannya sendiri. Ia
merasa sangat malu dan segera terbang ke angkasa tidak tentu arah. Batara Narada
meminta maaf kepada Bagawan Bimasuci dan memohon agar Batara Guru diruwat kembali
menjadi seperti sediakala. Bagawan Bimasuci bersedia lalu ia mengajak Batara Narada
pergi mengejar raksasa tersebut.
Raksasa penjelmaan Batara Guru tampak terbang dengan sangat cepat dan mendarat
di Kerajaan Amarta. Saat itu di istana tampak Prabu Puntadewa didampingi Raden Nakula
dan Raden Sadewa sedang menerima kunjungan Prabu Kresna. Tiba-tiba Patih
Tambakganggeng datang melapor tentang adanya raksasa yang mengamuk merusak
bangunan istana. Raden Nakula dan Raden Sadewa segera maju untuk menangkap
raksasa tersebut, namun mereka tidak mampu mengatasinya.
Tidak lama kemudian, Bagawan Bimasuci datang dan langsung menangkap raksasa
itu. Ia pun meruwat si raksasa hingga kembali lagi menjadi Batara Guru.

BATARA GURU MEMBERIKAN ANUGERAH KEPADA BAGAWAN BIMASUCI


Batara Guru yang sudah kembali ke wujud semula, berterima kasih kepada Bagawan
Bimasuci dan kini ia sadar bahwa dirinya sudah banyak berbuat salah. Ia pun
mempersilakan Bagawan Bimasuci untuk meminta anugerah apa pun kepadanya. Bagawan
Bimasuci menjawab dirinya tidak ingin meminta apa-apa kepada Batara Guru. Batara Guru
mendesak Bagawan Bimasuci, karena jika tidak, maka ia merasa memiliki hutang budi
selamanya.
Bagawan Bimasuci berkata bahwa ia ingin meminta sesuatu tetapi bukan untuk
dirinya, melainkan untuk orang lain. Batara Guru mempersilakan permintaan apakah itu.
Bagawan Bimasuci pun meminta agar roh kedua orang-tuanya, yaitu roh Prabu Pandu dan
roh Dewi Madrim agar dientaskan dari hukuman di Kawah Candradimuka. Batara Guru
mengabulkan permintaan tersebut. Dengan kuasanya, ia pun menghadirkan roh suami-istri
tersebut di hadapan Bagawan Bimasuci.
Bagawan Bimasuci berterima kasih atas anugerah Batara Guru. Sebaliknya, roh Prabu
Pandu dan Dewi Madrim juga berterima kasih atas usaha Bagawan Bimasuci
mengentaskan diri mereka dari Kawah Candradimuka. Prabu Pandu merasa bangga
memiliki putra yang berbudi luhur seperti Arya Wrekodara. Meskipun tinggal di dalam Kawah
Candradimuka, namun mereka merasa seperti tinggal di Swargaloka. Sebaliknya, meskipun
tinggal di Swargaloka tetapi apabila anak-anaknya berbuat kerusakan di dunia, maka itu
rasanya sama saja seperti tinggal di Neraka yang paling dasar.
Bagawan Bimasuci menjawab, mulai hari ini roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim tidak
perlu lagi tinggal di Kawah Candradimuka. Batara Guru membenarkan hal itu. Mulai hari ini
ia menetapkan roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim bisa tinggal di Swargaloka, berkumpul
KITAB WAYANG PURWA

bersama para dewa. Usai berkata demikian, Batara Guru dan Batara Narada kembali ke
kahyangan dengan membawa serta roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim tersebut.

BAGAWAN BIMASUCI KEMBALI MENJADI ARYA WREKODARA


Setelah Batara Guru dan yang lain pergi, Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa datang
menghampiri Bagawan Bimasuci. Prabu Puntadewa memeluk adiknya itu dan berkata
bahwa Kerajaan Amarta telah kehilangan pelindung. Selama ini Prabu Puntadewa bisa
memimpin rakyat dengan baik adalah berkat Arya Wrekodara yang berdiri kokoh di
sampingnya. Tanpa Arya Wrekodara, Prabu Puntadewa bukan siapa-siapa. Raja tanpa
didampingi kesatria pelindung negara tentu tidak dapat menjalankan roda pemerintahan
dengan sebaik-baiknya. Bahkan, raksasa yang baru saja mengamuk merusak bangunan
Kerajaan Amarta, hanya bisa diatasi oleh Arya Wrekodara seorang. Kelak apabila Arya
Wrekodara kembali tinggal di Gunung Argakelasa menjadi brahmana, maka Prabu
Puntadewa khawatir akan datang musuh lain yang lebih kuat, yang datang menyerang
Kerajaan Amarta. Daripada melihat kehancuran bangsa dan negaranya, lebih baik Prabu
Puntadewa menceburkan diri saja ke dalam kobaran api.
Bagawan Bimasuci tergetar hatinya. Seumur hidup ia selalu patuh pada ucapan Prabu
Puntadewa yang dianggapnya sebagai pengganti ayah. Ia lalu menuduh Prabu Kresna yang
telah mengajari kakaknya berkata demikian. Prabu Kresna menjawab, dirinya sama sekali
tidak mengajarkan seperti itu. Mengenai semua ucapan Prabu Puntadewa adalah tulus
keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Lagipula apa yang diucapkan Prabu Puntadewa
sama sekali tidak ada yang salah. Apabila Arya Wrekodara lebih senang tinggal di Gunung
Argakelasa menjadi brahmana, lalu siapa yang melindungi keselamatan Kerajaan Amarta?
Ditambah lagi Raden Arjuna, Arya Antareja, Arya Gatutkaca, dan Raden Antasena juga ikut
tinggal di sana, maka Kerajaan Amarta menjadi lemah dan sangat mudah dihancurkan
musuh. Jika sampai terjadi kehancuran, maka ini semua juga menjadi tanggung jawab Arya
Wrekodara.
Arya Wrekodara merasa ucapan Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa benar semua.
Ia pun menyatakan berhenti menjadi Bagawan Bimasuci dan kembali menduduki
jabatannya di Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa sangat gembira mendengarnya. Ia lalu
mengadakan upacara syukuran untuk memuliakan roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim yang
sudah dientas naik dari Kawah Candradimuka berpindah ke Swargaloka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Adegan Batara Guru berubah menjadi raksasa terdapat dalam kitab Sanghyang Nawaruci. Dalam
kisah tersebut diceritakan bahwa nama Arya Wrekodara saat menjadi brahmana adalah Sang
Angkusprana. Sedangkan roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim dientas ke Swargaloka adalah
bersumber dari rekaman Ki Manteb Soedharsono.
KITAB WAYANG PURWA

GATUTKACA NAGIH JANJI


Kisah ini menceritakan tentang Arya Gatutkaca yang bertapa di Gunung Argakelasa
untuk menagih janji Batara Guru yang pernah diucapkannya dulu.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo,
yang dipadukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan perubahan
seperlunya.
Kediri, 19 Januari 2019
Heri Purwanto

Arya Gatutkaca.

PRABU DURYUDANA MENDENGAR KABAR ARYA GATUTKACA BERTAPA DI


GUNUNG ARGAKELASA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang
Druna dari Sokalima, Patih Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan
Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu, Patih Sangkuni melaporkan
bahwa Arya Gatutkaca saat ini tengah menduduki bekas padepokan milik Bagawan
Bimasuci di Gunung Argakelasa bersama saudara-saudaranya. Patih Sangkuni curiga, Arya
Gatutkaca memiliki niat buruk, mengingat Gunung Argakelasa terletak di perbatasan antara
Kerajaan Hastina dan Kerajaan Amarta.
Prabu Duryudana langsung percaya pada laporan Patih Sangkuni. Memang beberapa
waktu yang lalu Arya Wrekodara menduduki Gunung Argakelasa sebagai brahmana
bernama Bagawan Bimasuci, mengajarkan ilmu kasampurnan dan juga memberikan
pengobatan kepada masyarakat sekitar. Kini ganti anaknya, yaitu Arya Gatutkaca yang
menduduki gunung tersebut. Ia yakin, Arya Gatutkaca pasti sedang mengumpulkan
kekuatan untuk memberontak kepada dirinya. Ia yakin, penduduk yang telah ditolong
Bagawan Bimasuci pasti merasa berhutang budi dan bisa dengan mudah dihasut Arya
Gatutkaca untuk tidak menyukai pemerintah pusat. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Prabu
Duryudana pun memerintahkan Adipati Karna untuk menangkap Arya Gatutkaca hidup atau
mati dengan tuduhan makar.
Adipati Karna meminta Prabu Duryudana agar tidak terburu nafsu. Semua laporan
harus diselidiki terlebih dulu, jangan berat sebelah. Danghyang Druna mendukung ucapan
Adipati Karna. Gunung Argakelasa adalah batas alam antara Kerajaan Hastina dan
KITAB WAYANG PURWA

Kerajaan Amarta. Kedua negara memiliki hak yang sama untuk menjaga gunung tersebut.
Siapa tahu Arya Gatutkaca menduduki Gunung Argakelasa bukan untuk makar, melainkan
untuk mengadakan penghijauan, menjaga kelestarian lingkungan, dan sebagainya.
Prabu Duryudana marah menuduh Danghyang Druna dan Adipati Karna tidak tulus
mendukung pemerintahannya. Danghyang Druna adalah guru para Pandawa, sedangkan
Adipati Karna adalah kakak para Pandawa, sehingga wajar jika mereka memiliki maksud
lain. Danghyang Druna dan Adipati Karna meminta maaf. Mereka menyatakan diri tulus
mengabdi di Kerajaan Hastina. Segala usul yang mereka ajukan tidak lain adalah untuk
kebaikan Prabu Duryudana juga. Tentunya, jangan sampai Prabu Duryudana mendapat
malu seperti yang sudah-sudah.
Prabu Duryudana keras kepala tidak peduli pada ucapan keduanya. Yang baik
menurut dirinya hanya satu, yaitu bisa mengalahkan para Pandawa beserta anak-anak
mereka. Oleh sebab itu, ia pun menegaskan bahwa perintah untuk membubarkan
perkumpulan di Gunung Argakelasa adalah wajib dilaksanakan. Adipati Karna tidak bisa
membantah lagi. Ia pun berangkat melaksanakan tugas dengan didampingi Patih Sangkuni
dan para Kurawa.

PASUKAN HASTINA DISAMBUT ANAK-ANAK PANDAWA


Di Gunung Argakelasa, Bambang Wisanggeni baru tiba dan disambut para putra
Pandawa lainnya, yaitu Arya Antareja, Raden Antasena, dan juga Bambang Irawan.
Bambang Wisanggeni bertanya apa benar Arya Gatutkaca mengadakan perkumpulan dan
apa tujuan dari perkumpulan tersebut. Arya Antareja menjawab, tujuan Arya Gatutkaca
adalah ingin melakukan unjuk rasa kepada Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka
yang dulu pernah berjanji akan mengangkat dirinya sebagai raja kahyangan. Namun, unjuk
rasa ini tidak dilakukan dengan cara berbuat keributan, melainkan dengan cara melakukan
tapa brata di Gunung Argakelasa, yaitu bekas padepokan milik Bagawan Bimasuci.
Bambang Wisanggeni mendukung rencana Arya Gatutkaca. Ia pernah mendengar
cerita bahwa dahulu kala Arya Gatutkaca pernah menjadi jago kahyangan melawan amukan
Patih Sekipu dan juga menumpas Prabu Kalapracona raja Kiskanda. Atas jasanya itu,
Batara Guru menjanjikan akan mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan
apabila sudah tiba saat yang tepat. Sudah dua puluh tahun lebih peristiwa itu berlalu, namun
Batara Guru belum juga menepati janjinya. Bambang Wisanggeni berkata, meskipun Batara
Guru adalah pemimpin para dewa, namun Arya Gatutkaca tidak boleh takut menagih janji.
Ia siap membantu dan mendukung perjuangan Arya Gatutkaca hingga berhasil.
Tidak lama kemudian datanglah Adipati Karna beserta Patih Sangkuni dan para
Kurawa. Mereka datang untuk mengusir Arya Gatutkaca dan anak-anak Pandawa lainnya
dari Gunung Argakelasa. Arya Gatutkaca dilarang mengadakan perkumpulan di dalam
wilayah Kerajaan Hastina. Bambang Wisanggeni berkata, Gunung Argakelasa terletak di
perbatasan antara Kerajaan Hastina dan Amarta, sehingga kedua pihak memiliki hak yang
sama atas gunung ini. Oleh sebab itu, para Kurawa tidak berhak membubarkan
perkumpulan Arya Gatutkaca.
Adipati Karna hilang kesabaran. Ia pun memerintahkan para Kurawa dan pasukan
Hastina untuk mengobrak-abrik Padepokan Argakelasa. Arya Antareja, Raden Antasena,
dan Bambang Irawan menghadapi serangan mereka. Pertempuran sengit pun terjadi.
Kekuatan pihak Hastina jauh lebih banyak. Bambang Wisanggeni pun mengerahkan
kemayan untuk memperdaya musuh. Ia mengajak saudara-saudaranya itu untuk pura-pura
kalah dan berlari masuk ke dalam padepokan. Ketika Adipati Karna dan para Kurawa ikut
mengejar masuk, tahu-tahu mereka sudah berada di alun-alun Kerajaan Hastina. Para
KITAB WAYANG PURWA

Kurawa terheran-heran, sedangkan Adipati Karna tersenyum senang karena dikalahkan


keponakannya dengan cara yang aneh seperti ini.

BATARI DURGA DAN PRABU DEWASRANI MENGHADAP BATARA GURU


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa
lainnya. Mereka membahas tentang penyebab gara-gara yang melanda kahyangan. Batara
Narada menjelaskan bahwa gara-gara disebabkan oleh Arya Gatutkaca yang bertapa di
Gunung Argakelasa untuk menagih janji Batara Guru yang dulu pernah menyanggupi akan
mengangkat dirinya sebagai raja kahyangan. Janji tersebut diucapkan Batara Guru untuk
menghargai jasa Arya Gatutkaca yang saat itu berhasil menumpas musuh kahyangan, yaitu
Prabu Kalapracona dan Patih Sekipu.
Batara Guru belum sempat menjawab, tiba-tiba datang Batari Durga bersama
putranya, yaitu Prabu Dewasrani. Keduanya datang untuk menuntut keadilan. Rupanya
mereka telah mendengar kabar bahwa Arya Gatutkaca sedang bertapa di Gunung
Argakelasa untuk menagih janji yang pernah diucap Batara Guru dulu, yaitu menjadikan
dirinya sebagai raja kahyangan. Prabu Dewasrani merasa ini tidak adil. Dirinya sebagai
putra dewa tidak pernah dijanjikan demikian, tapi mengapa Arya Gatutkaca yang hanya
seorang manusia biasa bisa mendapatkan keuntungan seperti ini.
Batara Guru menjawab, ini bukan soal untung rugi. Arya Gatutkaca pernah berjasa
menumpas musuh kahyangan lebih dari dua puluh tahun silam. Saat itu Batara Guru pernah
berjanji akan mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan apabila sudah tiba waktu
yang tepat. Batara Narada ikut berkata, di mana ia menegaskan bahwa janji adalah hutang,
dan hutang wajib dilunasi.
Batari Durga membantah perkataan Batara Narada. Menurut pendapatnya, janji
seorang pemimpin boleh dilanggar apabila janji tersebut dapat menyebabkan kerugian. Jika
Arya Gatutkaca diizinkan menjadi raja kahyangan, maka semua manusia akan ikut-ikutan
minta dijadikan raja kahyangan. Jika hal itu sampai terjadi, maka wibawa para dewa akan
mengalami kemerosotan. Itulah sebabnya, Batari Durga datang untuk memohon agar
Batara Guru membatalkan janji melantik Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan.
Batara Guru setuju pada usulan Batari Durga. Ia pun mempersilakan Batari Durga
entah bagaimana caranya untuk membubarkan Padepokan Argakelasa agar Arya
Gatutkaca tidak lagi bertapa di sana. Batari Durga menyatakan bersedia. Ia lalu mohon
pamit berangkat bersama Prabu Dewasrani.

ARYA GATUTKACA DIJEMPUT PRABU KRESNA


Sementara itu di Gunung Argakelasa, Raden Abimanyu dan para panakawan datang
menyusul Arya Gatutkaca. Mendengar adik kesayangannya tiba, Arya Gatutkaca segera
keluar dari ruang samadi untuk menyambut Raden Abimanyu. Ia pun terkejut bercampur
gembira mengetahui Bambang Wisanggeni ternyata hadir lebih dulu dan telah berjasa
mengusir orang-orang Hastina menggunakan ilmu kemayan.
Bambang Wisanggeni dan Raden Abimanyu datang untuk menyatakan dukungan
mereka atas perjuangan Arya Gatutkaca, yaitu menagih janji kepada Batara Guru. Bambang
Wisanggeni berpesan, apa pun yang terjadi jangan sampai Arya Gatutkaca pergi
meninggalkan Gunung Argakelasa.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna di padepokan tersebut. Arya Gatutkaca
dan yang lain segera menyambut dengan penuh penghormatan. Prabu Kresna hari itu
datang untuk menjemput pulang Arya Gatutkaca karena ayahnya, yaitu Arya Wrekodara
KITAB WAYANG PURWA

sedang sakit keras. Siang malam Arya Wrekodara hanya berbaring di tempat tidur dan
memanggil-manggil nama Arya Gatutkaca seorang.
Arya Gatutkaca gemetar mendengar berita ini. Ia pun menyatakan hendak pulang ke
Kerajaan Amarta, dan membatalkan tapa-bratanya di Gunung Argakelasa. Bambang
Wisanggeni mencegah, karena bagaimanapun juga Arya Gatutkaca tidak boleh pergi
meninggalkan padepokan. Jika Arya Gatutkaca sampai meninggalkan Gunung Argakelasa,
maka rencana menagih janji Batara Guru akan mengalami kegagalan.
Arya Gatutkaca tidak peduli lagi dengan janji dewata. Sekarang ini yang paling penting
baginya adalah kesembuhan sang ayah. Apalah gunanya menjadi raja kahyangan, apabila
penyakit ayah kandungnya semakin bertambah parah.
Raden Antasena ikut bicara. Ia mendukung ucapan Bambang Wisanggeni agar Arya
Gatutkaca tidak pulang ke Kerajaan Amarta. Apabila benar ayah mereka sedang sakit,
tentunya Prabu Kresna bisa mengobati menggunakan Kembang Wijayakusuma, tidak perlu
susah payah menyusul ke Gunung Argakelasa.
Prabu Kresna menjawab, keampuhan Kembang Wijayakusuma tergantung semangat
si sakit. Masalahnya, yang menjadi sumber semangat Arya Wrekodara hanyalah
kepulangan Arya Gatutkaca. Meskipun diobati berkali-kali menggunakan Kembang
Wijayakusuma, tetap saja tidak ada hasilnya apabila Arya Wrekodara hanya merindukan
Arya Gatutkaca melulu.
Arya Gatutkaca merasa bimbang. Ia lalu meminta pendapat para saudara lainnya.
Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan menyarankan agar Arya Gatutkaca
pulang saja, demi kesembuhan orang tua. Soal bertapa bisa dilanjutkan lain waktu. Arya
Gatutkaca merasa mendapat pendukung. Ia pun menyatakan ikut Prabu Kresna pulang ke
Kerajaan Amarta.
Bambang Wisanggeni merasa kecewa. Ia lalu pamit pulang dengan ditemani Raden
Antasena. Prabu Kresna tidak peduli pada sikap mereka berdua. Tanpa banyak bicara, ia
segera menggandeng tangan Arya Gatutkaca dan membawanya melesat pergi
meninggalkan Padepokan Argakelasa. Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang
Irawan heran melihat kejadian ini. Mereka pun bergegas menyusul kepergian Prabu Kresna
dan Arya Gatutkaca menuju Kerajaan Amarta.

ARYA GATUTKACA DIANIAYA PRABU NAGAPRAKOSA


Prabu Kresna menggandeng tangan Arya Gatutkaca berjalan cepat meninggalkan
Gunung Argakelasa. Arya Gatutkaca heran karena jalur yang ditempuh ternyata bukan
menuju Kerajaan Amarta. Ia pun berontak melepaskan diri dari cengkeraman Prabu Kresna.
Ternyata Prabu Kresna yang menjemputnya adalah penjelmaan Batari Durga, yang ingin
menggagalkan dirinya supaya tidak menjadi raja kahyangan.
Arya Gatutkaca berkata, dirinya lebih baik dibunuh daripada dibohongi seperti ini.
Batari Durga menjawab, urusan membunuh Arya Gatutkaca akan diserahkan kepada Prabu
Dewasrani dan pasukannya saja. Tiba-tiba muncul seorang raja raksasa yang mengaku
bernama Prabu Nagaprakosa. Ia datang untuk mewakili Batari Durga membunuh Arya
Gatutkaca, tidak perlu diserahkan kepada Prabu Dewasrani.
Batari Durga bertanya ada dendam apa sehingga Prabu Nagaprakosa ingin
membunuh Arya Gatutkaca. Prabu Nagaprakosa menjawab, dirinya adalah adik
seperguruan Prabu Kalapracona yang dulu mati dibunuh Arya Gatutkaca. Dendam di
hatinya kepada Arya Gatutkaca sangat besar tidak terukur. Itu sebabnya, Batari Durga tidak
perlu mengotori tangan dengan percikan darah Arya Gatutkaca.
KITAB WAYANG PURWA

Batari Durga merasa senang mendengar penuturan Prabu Nagaprakosa. Arya


Gatutkaca lalu diserahkannya kepada raja raksasa tersebut. Prabu Nagaprakosa menerima
dengan senang hati. Ia pun menghajar Arya Gatutkaca bertubi-tubi hingga jatuh pingsan.
Dengan segenap kekuatan, Prabu Nagaprakosa lalu melemparkan tubuh Arya Gatutkaca
hingga jatuh entah ke mana.

ARYA GATUTKACA DIHADAPKAN KEPADA BATARA GURU


Tubuh Arya Gatutkaca ternyata jatuh di kaki Gunung Jamurdipa. Kebetulan Batara
Narada lewat di situ setelah ia kecewa atas sikap Batara Guru dalam pertemuan tadi.
Melihat Arya Gatutkaca tergeletak pingsan, ia pun mendatangi pemuda itu dan
menyembuhkan lukanya.
Arya Gatutkaca bangun dari pingsan dan segera menyembah Batara Narada. Batara
Narada merasa prihatin dan segera mengajak Arya Gatutkaca naik ke Kahyangan
Jonggringsalaka, menghadap kepada Batara Guru.
Sesampainya di sana, mereka melihat Batara Guru sedang duduk dihadap para dewa
lainnya. Batara Narada segera menyampaikan isi hatinya yang kecewa atas sikap Batara
Guru yang terlalu berat sebelah, lebih mementingkan laporan Batari Durga dan Prabu
Dewasrani daripada menjaga martabat sendiri. Kini Arya Gatutkaca telah hadir di
Kahyangan Jonggringsalaka. Daripada pemuda ini mati dibunuh Batari Durga, mungkin
lebih baik mati dibunuh Batara Guru saja.

BATARA GURU MENEPATI JANJINYA KEPADA ARYA GATUTKACA


Arya Gatutkaca maju mendekat. Ia menyerahkan lehernya untuk dipenggal Batara
Guru. Batara Guru mengangkat pusaka trisula dan mengarahkannya ke dada Arya
Gatutkaca. Namun, pusaka tersebut lalu dialihkan ke pundak Arya Gatutkaca sebagai
pertanda bahwa Batara Guru hendak memberikan restu, bukan hendak membunuhnya.
Batara Narada dan para dewa lainnya heran bercampur lega. Batara Guru
menjelaskan bahwa ia hanya pura-pura mengabulkan permintaan Batari Durga.
Sesungguhnya ini semua hanyalah ujian untuk kesungguhan hati Arya Gatutkaca. Karena
Arya Gatutkaca tidak mengindahkan pesan Bambang Wisanggeni, maka ia pun
mendapatkan luka karena dianiaya Prabu Nagaprakosa. Anggap saja luka-luka tersebut
sebagai pengalaman agar kelak Arya Gatutkaca lebih waspada dan berhati-hati dalam
bertindak.
Mengenai janji yang pernah diucapkan dulu, sama sekali Batara Guru tidak lupa. Ia
menyatakan hari ini adalah hari yang tepat untuk melantik Arya Gatutkaca sebagai raja
kahyangan. Arya Gatutkaca lalu diberi mahkota dan didudukkan di atas takhta yang selama
ini ia duduki.
Arya Gatutkaca duduk sejenak di atas takhta tersebut, kemudian ia turun dan
bersimpuh menyembah Batara Guru. Arya Gatutkaca lalu mendudukkan Batara Guru
kembali ke atas takhta kahyangan. Batara Guru heran mengapa Arya Gatutkaca menolak
anugerah yang ia berikan. Arya Gatutkaca menjawab, dirinya sama sekali tidak menolak.
Tujuannya bertapa di Gunung Argakelasa adalah untuk mengingatkan Batara Guru akan
janji terdahulu. Ia sama sekali tidak berniat serakah, namun hanya ingin menjaga nama baik
Batara Guru sebagai pemimpin para dewa. Kini Batara Guru telah terbukti menepati janjinya
dengan mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan. Arya Gatutkaca merasa
dirinya sudah cukup menduduki takhta kahyangan walaupun hanya beberapa detik saja.
Baginya, yang paling penting adalah Batara Guru sudah menepati janji dan menjaga wibawa
selaku pemimpin para dewa.
KITAB WAYANG PURWA

Batara Guru merasa terharu melihat watak Arya Gatutkaca yang luhur budi. Ia pun
memberikan anugerah baru, yaitu mengangkat Arya Gatutkaca sebagai putra, dengan
memberinya julukan Prabu Guruhandaya. Arya Gatutkaca merasa tersanjung dan kembali
menyembah Batara Guru.

ROMBONGAN ARYA ANTAREJA BERTEMU PRABU KRESNA YANG ASLI


Sementara itu, Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan sedang dalam
perjalanan menyusul Arya Gatutkaca pulang ke Kerajaan Amarta. Di tengah jalan mereka
bertemu Prabu Kresna yang berjalan bersama Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Arya
Antareja dan yang lain segera menyembah, dan mereka pun merasa senang melihat Arya
Wrekodara telah sembuh dari penyakit berkat kepulangan Arya Gatutkaca.
Arya Wrekodara tidak paham atas perkataan Arya Antareja. Ia merasa selama ini
sehat-sehat saja dan tidak terserang penyakit. Arya Antareja pun bercerita bahwa Prabu
Kresna telah datang ke Gunung Argakelasa menjemput pulang Arya Gatutkaca dengan
alasan Arya Wrekodara sakit keras. Prabu Kresna tersenyum dan menjelaskan dirinya tidak
pernah pergi ke Gunung Argakelasa. Justru hari ini ia berniat mengunjungi Arya Gatutkaca
bersama Arya Wrekodara dan Raden Arjuna.
Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan kebingungan mendengarnya.
Kini mereka baru sadar bahwa ucapan Bambang Wisanggeni terbukti benar. Tiba-tiba
datang Prabu Nagaprakosa mengatakan bahwa yang menjemput Arya Gatutkaca adalah
Prabu Kresna palsu, dan saat ini Arya Gatutkaca pun sudah ia bunuh.

ARYA GATUTKACA MENGALAHKAN PRABU NAGAPRAKOSA


Arya Wrekodara marah dan langsung menerjang Prabu Nagaprakosa. Terjadilah
pertarungan di antara mereka. Ternyata Prabu Nagaprakosa ini sangat tangguh sesuai
dengan namanya. Arya Wrekodara pun merasa kesulitan untuk mengalahkan raja raksasa
tersebut.
Tiba-tiba dari angkasa meluncur turun Arya Gatutkaca menerjang Prabu
Nagaprakosa. Keduanya kembali bertarung untuk menyelesaikan permasalahan di antara
mereka. Pertarungan ini berlangsung sangat seru, hingga akhirnya Prabu Nagaprakosa
jatuh terjungkal akibat terkena Aji Brajamusti di tangan Arya Gatutkaca.
Sungguh ajaib, tubuh Prabu Nagaprakosa musnah dan berubah menjadi Batara
Anantaboga. Melihat itu, Prabu Kresna, Raden Arjuna, Arya Antareja, dan yang lain segera
menyampaikan sembah hormat kepadanya.
Batara Anantaboga pun bercerita bahwa dirinya menyamar sebagai raja raksasa
adalah untuk merebut Arya Gatutkaca dari tangan Batari Durga yang menjelma sebagai
Prabu Kresna palsu. Batara Anantaboga pura-pura menjadi Prabu Nagaprakosa dan
menghajar Arya Gatutkaca. Tujuannya adalah supaya Arya Gatutkaca pingsan dan jangan
sampai dibunuh Batari Durga beserta pasukannya. Setelah pingsan, tubuh Arya Gatutkaca
dilempar Batara Anantaboga, dan tentu saja diarahkan supaya jatuh di Gunung Jamurdipa.
Sesuai rencana, Arya Gatutkaca lalu ditemukan Batara Narada dan dibawa menghadap
kepada Batara Guru.
Arya Antareja sangat berterima kasih karena sang kakek telah menolong adiknya dari
tangan jahat Batari Durga. Batara Anantaboga berkata bahwa Arya Gatutkaca juga
cucunya, tidak berbeda dengan Arya Antareja. Setelah dirasa cukup, ia pun pamit undur diri
kembali ke Kahyangan Saptapratala.
Tidak lama kemudian, datanglah Prabu Dewasrani dan pasukannya meminta Arya
Gatutkaca agar melepas gelar sebagai putra angkat Batara Guru. Melihat itu, Raden Arjuna
KITAB WAYANG PURWA

segera maju menerjang Prabu Dewasrani, sedangkan Arya Wrekodara dan Arya Antareja
menumpas pasukan Nusarukmi. Prabu Dewasrani terdesak dan segera mengajak sisa-sisa
prajuritnya mundur melarikan diri.
Prabu Kresna bersyukur peristiwa ini berakhir dengan baik. Ia lalu mengajak mereka
semua kembali ke Kerajaan Amarta untuk melapor kepada Prabu Puntadewa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, nama raja raksasa penjelmaan Batara
Anantaboga adalah Prabu Nagabaginda. Dalam kisah di atas saya ganti menjadi Prabu
Nagaprakosa supaya tidak rancu dengan lakon Antareja Lahir.
KITAB WAYANG PURWA

TALIRASA - RASATALI
Kisah ini menceritakan tentang munculnya dua orang laki-laki bernama Bambang
Talirasa dan Bambang Rasatali yang mengacaukan ketentraman Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman wayang orang Sekar Budaya Nusantara, yang
dipadukan dengan artikel pedhalangan di majalah Panjebar Semangat, dengan
perubahan seperlunya.
Kediri, 09 Februari 2019
Heri Purwanto

Bambang Talirasa dan Dewi Lesmanawati

PRABU DURYUDANA MENDAPAT LAPORAN TENTANG MALING MASUK ISTANA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang
Druna dari Sokalima, Patih Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan
Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu, Adipati Karna melaporkan
tentang putranya, yaitu Raden Warsakusuma yang pulang ke Kadipaten Awangga karena
ada masalah rumah tangga dengan Dewi Lesmanawati.
Beberapa waktu yang lalu Dewi Lesmanawati telah dinikahi Raden Warsakusuma.
Namun, karena sifatnya yang manja dan tidak mau jauh dari orang tua, ia menolak tinggal
di Kadipaten Awangga dan memilih tetap berada di Kerajaan Hastina seperti sediakala.
Raden Warsakusuma pun mengikuti kehendak istri, turut serta tinggal di istana. Hingga
akhirnya, kemarin malam Raden Warsakusuma pulang ke Kadipaten Awangga karena
kalah berkelahi melawan kekasih baru Dewi Lesmanawati.
Adipati Karna pun datang ke Kerajaan Hastina untuk memastikan hal itu. Menurut
laporan putranya, kekasih Dewi Lesmanawati seorang laki-laki yang memiliki kawan
berwajah mirip pula. Mereka berdua menyusup ke dalam puri tanpa ada penjaga yang
mengetahui. Ketika memergoki Dewi Lesmanawati sedang berkasih-kasihan dengan salah
satu dari laki-laki tersebut, Raden Warsakusuma marah dan menyerang mereka. Namun,
Raden Warsakusuma kalah sakti. Tubuhnya dilemparkan jauh sekali, hingga jatuh di
perbatasan Kadipaten Awangga.
Prabu Duryudana terkejut mendengar laporan itu. Ia marah karena keamanan istana
begitu kendor hingga bisa dimasuki penyusup. Patih Sangkuni pun memerintahkan Raden
Kartawarma untuk memeriksa ke dalam puri. Raden Kartawarma segera berangkat. Tidak
lama kemudian ia kembali dan melaporkan bahwa memang benar di dalam puri kediaman
Dewi Lesmanawati ada dua laki-laki tampan. Raden Kartawarma berusaha menangkap
mereka, namun ternyata mereka sangat tangguh sehingga dirinya terdesak mundur.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana semakin marah mendengarnya. Ia pun memerintahkan Patih


Sangkuni bersama para Kurawa untuk menangkap kedua maling tersebut, hidup atau mati.
Adipati Karna ikut serta, karena ini menyangkut rumah tangga putranya pula.
Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan dan masuk ke
dalam kedaton dengan tergesa-gesa.

PARA KURAWA BEUSAHA MENANGKAP KEDUA PENYUSUP


Sementara itu, Dewi Lesmanawati di dalam puri kediamannya sedang bercengkrama
dengan kekasih barunya, yang bernama Bambang Talirasa. Mereka saling berkasih-
kasihan, bercumbu rayu, tertawa bahagia tanpa beban. Tidak lama kemudian muncul kawan
Bambang Talirasa yang bernama Bambang Rasatali. Mereka berdua berwajah mirip tetapi
memiliki sifat yang berbeda. Bambang Rasatali sama sekali tidak tertarik melihat kecantikan
Dewi Lesmanawati. Ia justru mengingatkan Bambang Talirasa agar berhenti menggoda
Dewi Lesmanawati dan mengembalikan perempuan itu kepada suaminya.
Bambang Talirasa menolak saran Bambang Rasatali, karena ia sudah terlanjur jatuh
cinta kepada Dewi Lesmanawati. Bambang Rasatali pun mengingatkan bahwa hari ini
mereka telah dipergoki oleh Raden Kartawarma. Tidak lama lagi pasti para Kurawa yang
lainnya akan datang mengepung mereka berdua. Bambang Talirasa sama sekali tidak takut
pada Kurawa. Baginya, lebih baik mati daripada berpisah dengan Dewi Lesmanawati.
Ucapan Bambang Rasatali terbukti. Para Kurawa dipimpin Patih Sangkuni dan Adipati
Karna telah datang mengepung puri kediaman Dewi Lesmanawati dan memerintahkan
Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali agar menyerahkan diri. Bambang Talirasa
bertanya kepada Dewi Lesmanawati apakah rela dirinya ditangkap para Kurawa. Dewi
Lesmanawati menangis dan memeluk kekasihnya itu erat-erat. Adipati Karna semakin
geram melihat ulah menantunya itu. Namun, ia tidak berani menghukum Dewi Lesmanawati
karena segan kepada Prabu Duryudana.
Patih Sangkuni merasa tidak ada gunanya mengulur waktu. Ia pun memerintahkan
para Kurawa untuk maju menyerang Bambang Talirasa. Pertempuran terjadi. Seorang diri
Bambang Talirasa dikeroyok para Kurawa. Melihat itu, Bambang Rasatali tidak tega
berdiam diri. Ia pun maju membantu sahabatnya. Kali ini para Kurawa dapat dipukul mundur
oleh mereka berdua.
Adipati Karna marah melihat kedua penyusup itu unggul. Ia pun membentangkan
busur, bersiap melepaskan panah pusaka Kuntadruwasa. Bambang Rasatali merasakan
hawa dahsyat pada panah pusaka tersebut. Ia pun mengajak Bambang Talirasa untuk
segera pergi. Bambang Talirasa tidak mau pergi tanpa kekasihnya. Ia lantas menggendong
tubuh Dewi Lesmanawati dan bergerak secepat kilat meninggalkan Kerajaan Hastina
bersama Bambang Rasatali.
Adipati Karna heran melihat kedua musuhnya melarikan diri secepat kilat. Prabu
Duryudana datang memeriksa keadaan. Patih Sangkuni malu mengakui kegagalannya
menangkap penyusup. Ia pun berkata bahwa dahulu kala, Bambang Irawan dan Raden
Antareja pernah menyusup ke dalam istana Kerajaan Hastina untuk menggoda Dewi
Lesmanawati. Kini muncul lagi dua orang pria berwajah tampan. Patih Sangkuni yakin
mereka juga anak-anak para Pandawa seperti peristiwa dulu.
Prabu Duryudana menyetujui laporan Patih Sangkuni. Ia pun memerintahkan agar
Patih Sangkuni pergi ke Kerajaan Amarta untuk melaporkan hal ini kepada Prabu
Puntadewa. Patih Sangkuni mematuhi dengan senang hati. Ia pun mohon pamit
melaksanakan tugas dengan ditemani Arya Dursasana.
KITAB WAYANG PURWA

PATIH SANGKUNI MELEMPARKAN TUDUHAN KEPADA RADEN ARJUNA


Patih Sangkuni dan Arya Dursasana dalam perjalanan menuju Kerajaan Amarta
bertemu Raden Arjuna dan para panakawan di dekat hutan. Setelah saling memberi salam,
Patih Sangkuni menceritakan tentang adanya dua penyusup yang mengacau istana
Kerajaan Hastina. Kedua penyusup itu berwajah tampan, berani memasuki puri kediaman
Dewi Lesmanawati. Para Kurawa dan Adipati Karna telah mengepung kedua penyusup itu,
namun mereka berhasil meloloskan diri dengan membawa serta Dewi Lesmanawati.
Patih Sangkuni mengingatkan bahwa dahulu pernah putra Raden Arjuna yang
bernama Bambang Irawan menyusup ke dalam istana Kerajaan Hastina bersama Raden
Antareja putra Arya Wrekodara. Berdasar miripnya kejadian, dan juga melihat paras kedua
penyusup itu sangat tampan, maka Patih Sangkuni berani menduga bahwa mereka berdua
adalah putra Raden Arjuna pula.
Raden Arjuna marah dituduh demikian. Ia pun berangkat mencari kedua penyusup
tersebut untuk memberi mereka hukuman, karena telah membuat nama baiknya tercemar.

RADEN ARJUNA BERTARUNG MELAWAN BAMBANG TALIRASA


Sungguh kebetulan Raden Arjuna berhasil menemukan Bambang Talirasa dan
Bambang Rasatali di tengah jalan. Ia pun meminta kedua orang itu agar membebaskan
Dewi Lesmanawati yang berdiri di belakang mereka. Bambang Talirasa berkata dirinya akan
melepaskan Dewi Lesmanawati apabila Raden Arjuna bisa melangkahi mayatnya terlebih
dulu.
Raden Arjuna marah dan menyerang Bambang Talirasa. Keduanya pun bertarung
sengit. Bambang Talirasa bertarung dengan santai sambil mulutnya mengejek Raden
Arjuna. Hal ini membuat Raden Arjuna semakin marah dan menyerang Bambang Talirasa
dengan gencar. Bambang Talirasa terdesak dan ia pun mengerahkan Aji Gelap Ngampar.
Tubuh Raden Arjuna pun terlempar jauh ke arah timur akibat ajian tersebut.
Bambang Talirasa tidak berhenti sampai di sini. Ia mendatangi keempat panakawan
dan menyerang mereka dengan Aji Gelap Ngampar pula. Kyai Semar dan Bagong terlempar
ke arah utara, sedangkan Nala Gareng dan Petruk terlempar ke arah selatan.

NALA GARENG DAN PETRUK MENEMUKAN PAKAIAN DEWA


Nala Gareng dan Petruk yang terlempar ke arah selatan jatuh di depan sebuah gua.
Karena takut dikejar Bambang Talirasa, mereka pun masuk dan bersembunyi ke dalam gua
tersebut. Tak disangka di dalam gua itu mereka menemukan sebuah kotak yang setelah
dibuka ternyata isinya berupa jubah dan pakaian gemerlapan, lengkap dengan mahkota.
Nala Gareng mengambil pakaian jubah, sedangkan Petruk mengambil mahkota dan
pakaian yang gemerlapan. Dengan menyamar seperti ini, mereka yakin tidak akan dikenali
lagi oleh Bambang Talirasa. Maka, mereka pun berani keluar gua. Begitu sampai di luar,
tiba-tiba dari angkasa meluncur turun Batara Brahma yang langsung menyembah hormat
kepada mereka. Nala Gareng dan Petruk baru sadar, bahwa gara-gara mengenakan
pakaian itu, wujud mereka kini berubah menjadi mirip Batara Narada dan Batara Guru,
sampai-sampai Batara Brahma tidak dapat mengenali.
Batara Brahma mengatakan bahwa sudah beberapa waktu ini Kahyangan
Jonggringsalaka kosong karena Batara Guru dan Batara Narada menghilang tanpa pamit.
Sungguh beruntung Batara Brahma berhasil menemukan mereka dan keduanya pun
dimohon untuk segera kembali ke kahyangan. Petruk dan Nala Gareng berusaha meniru
kebiasaan Batara Guru dan Batara Narada. Mereka berlagak mengabulkan permohonan
Batara Brahma, lalu bersama-sama kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN ARJUNA DIAJAK PRABU KRESNA MENCARI JAGO


Sementara itu, Raden Arjuna yang terlempar ke arah timur jatuh di hadapan Prabu
Kresna yang sedang dalam perjalanan hendak mengunjungi para Pandawa. Raden Arjuna
menceritakan pengalamannya dikalahkan oleh seseorang bernama Bambang Talirasa yang
memiliki kawan bernama Bambang Rasatali, dan mereka berdua telah menculik Dewi
Lesmanawati pula. Raden Arjuna tidak terima atas kekalahannya ini, dan ia memohon
bantuan kepada Prabu Kresna untuk melawan mereka.
Prabu Kresna menjawab, dirinya tidak ditakdirkan untuk mengalahkan Bambang
Talirasa dan Bambang Rasatali, maka tiada gunanya melawan mereka. Jika ingin
mengalahkan kedua orang itu, maka harus mencari jago yang sepadan dengan mereka.
Raden Arjuna tidak berani membantah karena yakin Prabu Kresna pasti memiliki rencana
seperti biasanya.
Maka, berangkatlah Prabu Kresna dan Raden Arjuna mencari jago untuk menghadapi
Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali. Di tengah jalan mereka bertemu dua orang laki-
laki yang mengaku bernama Bambang Amongrasa dan Bambang Rasaamong. Prabu
Kresna mendapat firasat bahwa kedua orang inilah yang mampu menjadi jago. Ia pun
meminta bantuan mereka untuk menghadapi musuh bernama Bambang Talirasa dan
Bambang Rasatali.
Bambang Amograsa dan Bambang Rasaamong memang sedang menjalani tapa
ngrame, dan mereka pun dengan senang hati mengabulkan permintaan Prabu Kresna.
Maka, berangkatlah mereka bersama-sama mencari kedua musuh tersebut.

MEMBURU BAMBANG TALIRASA DAN BAMBANG RASATALI


Prabu Kresna, Raden Arjuna, dan kedua jago mereka akhirnya bertamu Bambang
Talirasa dan Bambang Rasatali. Bambang Amongrasa meminta kedua orang itu untuk
membebaskan Dewi Lesmanawati. Bambang Talirasa menantang Bambang Amongrasa
agar melangkahi mayatnya terlebih dulu. Kedua orang itu lalu berdebat mengenai arti nama
mereka. Talirasa artinya “mengikat nafsu”, sedangkan Amongrasa artinya “mengasuh
nafsu”. Bambang Talirasa mengejek, mana ada nafsu yang diasuh? Kalau nafsu diasuh
jadinya malah manja dan berkobar-kobar. Bambang Amongrasa menyebut Bambang
Talirasa salah paham. Yang namanya “mengasuh nafsu” bukan memanjakan, tetapi
membimbingnya agar bisa dimanfaatkan menjadi semangat hidup. Nafsu itu bekal dari Yang
Mahakuasa, hendaknya dijadikan semangat untuk berbuat kebaikan, bukannya
dipadamkan. Justru yang kurang baik adalah “mengikat nafsu”. Karena yang namanya
nafsu apabila makin diikat dan makin ditekan, justru kelak akan meledak-ledak.
Bambang Talirasa dan Bambang Amongrasa saling berdebat hingga akhirnya mereka
terlibat baku hantam. Melihat itu, Bambang Rasatali ikut bertarung pula melawan Bambang
Rasaamong. Setelah bertarung cukup lama, Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali
merasa terdesak oleh kesaktian pihak lawan. Mereka pun kabur melarikan diri. Bambang
Talirasa berkata bahwa sudah saatnya mereka kembali ke kahyangan. Ia dan Bambang
Rasatali lalu memasuki sebuah gua, di mana mereka menyembunyikan sebuah peti di
dalam sana. Namun, sungguh mengejutkan ternyata peti tersebut telah kosong tiada berisi
lagi.
Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali merasa heran. Melihat Bambang
Amongrasa dan Bambang Rasaamong sudah semakin dekat, mereka pun tidak mau
membuang-buang waktu. Keduanya lalu melesat terbang menuju ke Kahyangang
Jonggringsalaka.
KITAB WAYANG PURWA

MEMBONGKAR JATI DIRI BAMBANG TALIRASA DAN BAMBANG RASATALI


Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka. Mereka heran melihat ada pesta meriah, di mana Batara Guru duduk
bersantai di atas Balai Marcukunda sambil makan-minum sesuka hati, sedangkan Batara
Narada tampak asyik menari bersama para bidadari. Adapun para dewa lainnya, seperti
Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Yamadipati, sibuk menabuh gamelan.
Bambang Talirasa marah-marah menyebut mereka sudah ditipu Batara Guru dan Batara
Narada palsu.
Batara Guru dan Batara Narada segera memerintahkan para dewa untuk menangkap
Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali karena sudah berani mengacau pesta. Para dewa
pun bangkit dan mengepung mereka. Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali
mengerahkan Aji Kemayan, membuat para dewa itu lemas kehilangan daya. Melihat itu,
Batara Guru dan Batara Narada ketakutan dan berniat melarikan diri.
Pada saat itulah Bambang Amongrasa dan Bambang Rasaamong datang bersama
Prabu Kresna dan Raden Arjuna. Bambang Amongrasa berkata bahwa permainan ini tidak
perlu dilanjutkan lagi. Sebaiknya, semuanya kembali ke wujud asli. Usai berkata demikian,
ia pun membuka samaran. Ternyata Bambang Amongrasa adalah penjelmaan Kyai Semar,
sedangkan Bambang Rasaamong adalah penjelmaan Bagong.
Kyai Semar lalu menyuruh Batara Guru dan Batara Narada membuka penyamaran.
Kedua dewa itu pura-pura tidak paham apa maksud perkataan Kyai Semar. Kyai Semar pun
mengancam akan meludahi mereka jika tidak menurut. Batara Guru ketakutan dan segera
melepaskan pakaiannya, kembali berwujud Petruk, sedangkan Batara Narada kembali
berwujud Nala Gareng. Kyai Semar memarahi mereka karena lancang mencuri pakaian raja
dewa dan menduduki kahyangan. Akhirnya, kahyangan menjadi kacau balau karena
dipimpin oleh orang yang tidak tepat.
Petruk dan Nala Gareng memohon ampun atas perbuatan mereka. Tadinya mereka
hanya ingin tahu bagaimana rasanya duduk di Balai Marcukunda, memimpin Kahyangan
Jonggringsalaka. Ternyata menjadi pemimpin tidak semudah yang mereka kira. Salah
mengambil keputusan justru menyebabkan kekacauan. Mereka kini telah sadar dan
mengembalikan pakaian beserta mahkota kepada pemilik yang sebenarnya.
Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali menerima pakaian yang diserahkan Nala
Gareng dan Petruk. Bambang Talirasa ternyata adalah penjelmaan Batara Guru yang asli,
sedangkan Bambang Rasatali adalah penjelmaan Batara Narada.

MENGEMBALIKAN DEWI LESMANAWATI KE HASTINA


Kyai Semar bertanya apa yang menjadi alasan Batara Guru mengacau Kerajaan
Hastina dan menculik Dewi Lesmanawati. Batara Guru berkata bahwa ia prihatin melihat
para Kurawa hanya sibuk mengumbar hawa nafsu dan angkara murka, sehingga ia berniat
memberi mereka cobaan agar sadar dan memperbaiki diri. Namun, ternyata semua sia-sia
belaka. Para Kurawa adalah keturunan Padepokan Saptaarga yang hanya bisa
mencemarkan nama baik leluhur mereka.
Kyai Semar kembali bertanya, bukankah Batara Guru sendiri dalam wujud Bambang
Talirasa juga mengumbar hawa nafsu? Batara Guru memakai nama samaran “talirasa”,
tetapi ternyata tidak mampu mengikat rasa cintanya, hingga merusak rumah tangga Dewi
Lesmanawati dan Raden Warsakusuma.
Batara Guru menjawab, itu tidak seperti yang tampak oleh mata. Dewi Lesmanawati
yang ia culik hanyalah palsu belaka, yang tercipta dari sekuntum bunga cempaka. Adapun
KITAB WAYANG PURWA

Dewi Lesmanawati yang asli masih berada di Kerajaan Hastina, disembunyikannya dari
pandangan orang lain. Bahkan, Batara Narada pun tidak mengetahui tentang siasat ini.
Batara Narada membenarkan hal itu. Ia mengira Batara Guru dalam wujud Bambang
Talirasa benar-benar lupa diri dan tega merusak kehormatan Dewi Lesmanawati.
Batara Guru lalu membisikkan sebuah mantra kepada Prabu Kresna untuk
memunculkan kembali Dewi Lesmanawati yang asli. Prabu Kresna berterima kasih. Setelah
dirasa cukup, ia pun mohon pamit kembali ke dunia bersama Raden Arjuna dan para
panakawan.

PRABU KRESNA MENGEMBALIKAN DEWI LESMANAWATI KE KERAJAAN HASTINA


Rombongan Prabu Kresna telah tiba di Kerajaan Hastina dan mereka pun disambut
Prabu Duryudana, Danghyang Druna, Patih Sangkuni, dan Adipati Karna. Prabu Kresna
datang untuk menyerahkan Dewi Lesmanawati yang diculik Bambang Talirasa dan
Bambang Rasatali. Ketika Prabu Duryudana meraih tangan putrinya itu, tiba-tiba wujud
Dewi Lesmanawati musnah dan berubah menjadi sekuntum bunga cempaka.
Prabu Duryudana terkejut bercampur heran dan menuduh Prabu Kresna bermain sihir.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa Dewi Lesmanawati tidak pernah hilang diculik, tetapi
masih disembunyikan Bambang Talirasa di dalam istana Kerajaan Hastina. Adapun yang
diculik dan dibawa kabur adalah Dewi Lesmanawati palsu yang tercipta dari bunga
cempaka. Prabu Kresna lalu membaca mantra yang diajarkan Batara Guru. Tiba-tiba dari
dalam tanah menyembul keluar Dewi Lesmanawati dalam keadaan bingung.
Prabu Duryudana lalu bertanya kepada Dewi Lesmanawati apa yang telah terjadi.
Dewi Lesmanawati bercerita bahwa dirinya tiba-tiba didatangi seorang laki-laki tampan yang
langsung memasukkannya ke dalam tanah. Meskipun sendiri di dalam tanah, anehnya Dewi
Lesmanawati tidak merasa haus dan lapar, hingga akhirnya Prabu Kresna mengembalikan
dirinya ke permukaan.
Prabu Duryudana bertanya apakah Dewi Lesmanawati pernah berkasih-kasihan
dengan Bambang Talirasa serta diculik dan dibawa kabur? Dewi Lesmanawati balik
bertanya, Bambang Talirasa itu siapa? Ia mengaku baru kali ini mendengar namanya.
Danghyang Druna melihat Dewi Lesmanawati tampak jujur, dan ia pun memintakan
pengampunan kepada Prabu Duryudana agar tidak menghukum putrinya tersebut.
Prabu Duryudana pada dasarnya tidak pernah tega menghukum anggota keluarga
sendiri. Ia lalu bertanya kepada Adipati Karna apakah masih bersedia menerima Dewi
Lesmanawati sebagai menantu. Prabu Kresna ikut menegaskan bahwa kehormatan Dewi
Lesmanawati yang asli tetap terjaga dan tidak pernah dirusak oleh Bambang Talirasa.
Adipati Karna yang sejak dulu segan kepada Prabu Kresna, tidak berani membantah.
Karena Prabu Kresna sudah menjamin demikian, maka ia pun merasa yakin dan
menyatakan bersedia menerima kembali Dewi Lesmanawati sebagai menantu.
Demikianlah, Prabu Duryudana pun mengadakan pesta syukuran atas
terselesaikannya masalah Bambang Talirasa dan Bambang Rasatali yang telah
mengacaukan ketentraman Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Dalam artikel majalah Panjebar Semangat, nama samaran Kyai Semar dan Bagong adalah
Salahrasa dan Rasasalah. Dalam cerita di atas, nama mereka saya ganti menjadi Amongrasa dan
Rasaamong.
KITAB WAYANG PURWA

BOMA RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Prabu Boma Narakasura dengan
Dewi Agnyanawati yang ternyata jatuh cinta kepada Raden Samba Wisnubrata. Kisah
ini menjadi awal dari Perang Gojalisuta.
Kisah ini saya olah dari sumber artikel pedhalangan di majalah Panjebar Semangat,
dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 23 Februari 2019
Heri Purwanto

Prabu Boma Narakasura

PRABU BOMA MEMINTA RESTU MENIKAH KEPADA PRABU KRESNA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan dihadap
Raden Partajumena, Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam pertemuan itu
mereka membicarakan tentang putra mahkota, yaitu Raden Samba Wisnubrata yang sudah
satu bulan ini menginap di Astana Gandamadana. Prabu Kresna khawatir Raden Samba
lupa pulang, mengingat Dewi Sugatawati saat ini sedang mengandung. Kurang sepuluh hari
dari sekarang, Prabu Kresna berniat mengadakan upacara mitoni untuk menantunya
tersebut.
Tiba-tiba datanglah putra yang lain, yaitu Prabu Boma Narakasura raja Trajutresna.
Kedatangan Prabu Boma ialah untuk meminta restu kepada Prabu Kresna atas rencana
pernikahannya dengan putri Prabu Krentagnyana raja Giyantipura yang bernama Dewi
Agnyanawati. Meskipun Dewi Agnyanawati adalah keponakan Patih Pancadnyana, namun
ia tidak langsung menerima pinangan Prabu Boma. Gadis itu mengajukan syarat dirinya
bersedia menjadi istri Prabu Boma Narakasura asalkan diberi mas kawin berupa bunga
kahyangan bernama Kembang Parijata.
Prabu Boma yang tidak pernah mengetahui adanya bunga tersebut segera
menghadap Prabu Kresna untuk meminta petunjuk. Prabu Kresna berkata bahwa segala
macam jenis bunga ada di Kahyangan Pustaka-kawedar yang dipimpin Batara Kuwera.
Apabila Prabu Boma menginginkan bunga tersebut, hendaknya pergi ke sana dan meminta
langsung kepada Batara Kuwera. Prabu Boma gembira menerima petunjuk tersebut. Ia lalu
mohon pamit meninggalkan pertemuan.
Setelah Prabu Boma pergi, Prabu Kresna kembali membicarakan tentang Raden
Samba. Ia lantas memerintahkan Raden Partajumena dan Arya Setyaki agar pergi ke
KITAB WAYANG PURWA

Astana Gadamadana untuk menjemput pulang Raden Samba di sana. Raden Partajumena
dan Arya Setyaki mohon pamit melaksanakan perintah. Prabu Kresna lalu membubarkan
pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.

PRABU BANAKATONG INGIN MENIKAHI DEWI AGNYANAWATI


Tersebutlah seorang raja dari negeri Pasirsegara yang bernama Prabu Banakatong.
Beberapa tahun yang lalu ia pernah melamar Dewi Agnyanawati sebagai istrinya. Namun,
saat itu Dewi Agnyanawati masih belum cukup umur, sehingga Prabu Krentagnyana belum
bisa menerima pinangan tersebut. Prabu Banakatong bersedia menunggu Dewi
Agnyanawati dewasa. Kini ia merasa waktunya telah tiba. Prabu Banakatong segera
mempersiapkan pasukan dan berangkat menuju Kerajaan Giyantipura.
Dalam perjalanannya itu, rombongan Prabu Banakatong bertemu Raden Partajumena
dan Arya Setyaki yang sedang dalam perjalanan menuju Astana Gandamadana untuk
mencari Raden Samba. Terjadi perselisihan di antara mereka yang berlanjut dengan
pertempuran. Raden Partajumena dan Arya Setyaki berdua saja menandingi pasukan
Pasirsegara. Karena jumlah musuh terlalu banyak, lama-lama mereka terdesak juga. Raden
Partajumena dan Arya Setyaki akhirnya meloloskan diri, mencari jalan lain menuju Astana
Gandamadana.

RADEN ARJUNA BERTEMU RADEN PARTAJUMENA DAN ARYA SETYAKI


Raden Arjuna sang Panegah Pandawa saat itu sedang berkelana bersama para
panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Di tengah jalan mereka melihat
beberapa raksasa dari Kerajaan Pasirsegara yang terpisah dari rombongan Prabu
Banakatong. Para raksasa itu tampak sedang berbuat onar, mengganggu masyarakat
pedesaan. Raden Arjuna pun turun tangan menumpas mereka.
Setelah semua raksasa itu terbunuh, tiba-tiba muncul Raden Partajumena dan Arya
Setyaki yang sedang dalam perjalanan menuju Astana Gandamadana. Setelah saling
memberi salam dan bertanya tujuan, Raden Arjuna merasa tertarik ingin ikut pergi ke Astana
Gandamadana menjemput Raden Samba, mengingat Dewi Sugatawati adalah putrinya
pula. Arya Setyaki dan Raden Partajumena mempersilakan, lalu mereka pun pergi bersama-
sama.

PRABU BOMA MENDATANGI KAHYANGAN PUSTAKA-KAWEDAR


Sementara itu, Prabu Boma Narakasura yang didampingi Patih Pancadnyana serta
para punggawa lainnya, seperti Ditya Yayahgriwa, Ditya Amisunda, Ditya Mahodara, dan
Ditya Ancakogra telah sampai di Kahyangan Pustaka-kawedar. Batara Kuwera menyambut
kedatangan mereka dan bertanya ada keperluan apa Prabu Boma datang ke tempatnya.
Prabu Boma berkata bahwa dirinya ingin melihat wujud Kembang Parijata. Batara Kuwera
pun mengantarkan Prabu Boma ke Taman Sugandika untuk memperlihatkan bunga
tersebut.
Setelah melihat wujud bunga itu, Prabu Boma berkata terus terang bahwa ia ingin
memiliki Kembang Parijata sebagai mas kawin untuk menikahi Dewi Agnyanawati. Batara
Kuwera menjawab, bahwa dirinya mendapat pesan dari Batara Guru mengenai Kembang
Parijata yang kelak hendaknya diberikan kepada putra Prabu Kresna. Prabu Boma berkata
dirinya adalah putra Prabu Kresna, sehingga berhak mendapatkan bunga pusaka tersebut.
Batara Kuwera tidak setuju, karena ia tahu jelas bahwa Prabu Boma adalah putra Batara
Wisnu, bukan putra Prabu Kresna. Meskipun Batara Wisnu sudah menitis ke dalam raga
Prabu Kresna, tetap saja Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Boma marah diperlakukan seperti ini. Ia pun mengamuk memaksa Batara
Kuwera agar menyerahkan Kembang Parijata kepadanya. Batara Kuwera dengan tangkas
menghadapi amukannya. Keduanya lalu bertarung sengit. Patih Pancadnyana dan para
punggawa Trajutresna ikut maju menyerang Batara Kuwera. Batara Kuwera dengan gagah
berani mampu menandingi mereka semua. Meskipun demikian, tetap saja ia hanya seorang
diri yang dikeroyok raksasa sebanyak itu. Batara Kuwera lama-lama letih juga dan sebuah
pukulan Prabu Boma membuat ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Prabu Boma kemudian menghampiri Kembang Parijata dan memetiknya. Pada saat
itulah Batara Kuwera bangun dari pingsan dan langsung menghantam dada Prabu Boma
menggunakan gada pusaka. Prabu Boma terpental hingga keluar kahyangan, sedangkan
Kembang Parijata yang ada di tangannya ikut terlempar entah ke mana. Melihat itu, Patih
Pancadnyana dan para punggawa raksasa segera mengejar, meninggalkan Kahyangan
Pustaka-kawedar.

RADEN SAMBA MENERIMA KEMBANG PARIJATA


Di Astana Gandamadana, Resi Gunadewa dihadap adik kandungnya, yaitu Raden
Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menginap di sana. Resi Gunadewa dan
Raden Samba adalah putra Prabu Kresna yang lahir dari ibu yang sama, yaitu Dewi
Jembawati. Kedua orang tua Dewi Jembawati adalah Resi Jembawan dan Dewi Trijata,
yang keduanya dulu diangkat Prabu Basudewa menjadi juru kunci Astana Gandamadana,
tempat Prabu Kuntiboja dimakamkan. Hingga kemudian Resi Jembawan dan Dewi Trijata
mendapat permohonan dari Prabu Kresna untuk mengasuh Raden Gunadewa yang terlahir
berbulu lebat seperti wanara. Sejak kecil Raden Gunadewa lebih banyak mengurung diri di
dalam Astana Gandamadana, mempelajari kitab suci dan belajar meditasi. Hingga akhirnya
setelah Resi Jembawan dan Dewi Trijata meninggal, ia pun menggantikan kedudukan kakek
dan neneknya itu sebagai juru kunci astana.
Selama satu bulan ini Raden Samba menginap di Astana Gandamadana. Resi
Gunadewa lama-lama merasa curiga. Raden Samba yang biasanya manja dan jarang
keluar istana, mengapa kali ini bisa meninggalkan Kerajaan Dwarawati begitu lama.
Akhirnya, ia pun bertanya ada masalah apa yang sebenarnya sedang dihadapi adiknya
tersebut. Raden Samba bercerita bahwa sebulan yang lalu dirinya mimpi bertemu seorang
putri berwajah cantik jelita. Sayangnya, belum sempat mengetahui nama gadis tersebut, ia
terlanjur bangun dari tidur. Namun, sejak peristiwa itu rasa cintanya kepada sang istri, yaitu
Dewi Sugatawati menjadi berkurang. Siang malam Raden Samba hanya membayangkan
wajah gadis dalam mimpinya tersebut. Ia tidak peduli lagi pada Dewi Sugatawati yang
sebentar lagi kandungannya berusia tujuh bulan.
Resi Gunadewa menasihati Raden Samba agar jangan terbuai pada mimpinya. Mimpi
itu hanyalah bunga tidur belaka. Daripada sibuk memikirkan sesuatu yang tidak nyata, lebih
baik menjaga dan merawat apa yang sudah di tangan, yaitu Dewi Sugatawati. Apalagi saat
ini Dewi Sugatawati sedang hamil, sebentar lagi akan melahirkan keturunan untuk Raden
Samba. Harusnya Raden Samba bersyukur, bukannya berandai-andai membayangkan
perempuan lain yang belum tentu ada.
Raden Samba tersadarkan oleh nasihat kakaknya. Selama ini ia hanya memendam
kegelisahan, tidak berani bercerita kepada ayah dan ibu. Baru kali ini ia menceritakan isi
hatinya dan langsung mendapatkan pencerahan dari sang kakak.
Tiba-tiba dari angkasa turun melayang sekuntum bunga yang jatuh di pangkuan
Raden Samba. Bunga tersebut tidak lain adalah Kembang Parijata yang terlempar dari
Kahyangan Pustaka-kawedar.
KITAB WAYANG PURWA

PRABU BOMA MEMINTA KEMBANG PARIJATA


Tidak lama kemudian datanglah Raden Arjuna, Arya Setyaki, dan Raden Partajumena
di Astana Gandamadana tersebut. Setelah saling memberi salam, Arya Setyaki pun
menyampaikan pesan Prabu Kresna bahwa Raden Samba diminta untuk segera pulang,
karena sepuluh hari lagi Dewi Sugatawati harus menjalani upacara mitoni, yaitu selamatan
tujuh bulan usia kandungannya.
Belum sempat Raden Samba menjawab, Prabu Boma mendadak datang pula di
tempat itu. Melihat Kembang Parijata ada di tangan Raden Samba, Prabu Boma segera
meminta bunga tersebut agar diserahkan kepadanya, karena bunga itu adalah mas kawin
untuk menikahi Dewi Agnyanawati. Tiba-tiba, datang pula Batara Kuwera yang menjelaskan
bahwa Kembang Parijata hanya boleh dimiliki putra Prabu Kresna. Meskipun Prabu Boma
memanggil Prabu Kresna sebagai ayah, tetap saja tidak masuk hitungan, karena
sesungguhnya Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu.
Prabu Boma marah dan menantang Batara Kuwera untuk melanjutkan pertarungan
tadi. Raden Arjuna maju melerai. Ia menasihati Prabu Boma agar jangan menentang
keputusan dewata. Jika dewa sudah menetapkan peraturan seperti itu, maka tidak baik
apabila ada manusia menentangnya. Prabu Boma semakin marah dan melarang Raden
Arjuna ikut campur. Sejak dulu ia tahu kalau pamannya itu tidak suka kepadanya. Ia pun
menantang Raden Arjuna bertarung apabila memang ingin menggantikan Batara Kuwera.
Dasar watak Raden Arjuna yang mudah marah, ia pun melayani tantangan Prabu
Boma. Keduanya lalu bertarung di halaman Astana Gandamadana tanpa ada yang bisa
melerai. Setelah menyaksikan pertarungan mereka yang cukup lama tanpa ada kejelasan
siapa yang menang atau kalah, Raden Samba akhirnya maju menengahi.
Raden Samba berkata kepada Batara Kuwera bahwa Kembang Parijata sudah
menjadi miliknya, maka terserah dirinya digunakan untuk apa. Ia lalu menghampiri Prabu
Boma dan menyerahkan bunga tersebut kepadanya. Prabu Boma sangat berterima kasih
dan memeluk Raden Samba.
Karena tugasnya telah selesai, Batara Kuwera undur diri kembali ke kahyangan.
Raden Arjuna merasa kecewa dan ikut pergi tanpa pamit, disertai para panakawan.

RADEN SAMBA INGIN MENYAKSIKAN PERNIKAHAN PRABU BOMA


Sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, Prabu Boma pun mengajak Raden Samba
sebagai saksi atas perkawinannya dengan Dewi Agnyanawati di Kerajaan Giyantipura.
Raden Samba menerima undangan itu dengan senang hati. Arya Setyaki mengingatkan
Raden Samba atas panggilan Prabu Kresna. Raden Samba menjawab, upacara mitoni
Dewi Sugatawati masih sepuluh hari lagi. Saat ini yang ingin ia lakukan hanyalah
menyaksikan perkawinan kakaknya.
Arya Setyaki dan Raden Partajumena lalu berunding membagi tugas. Arya Setyaki
kembali ke Kerajaan Dwarawati untuk melapor kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden
Partajumena mengawal Raden Samba untuk mengingatkan pulang apabila acara
pernikahan Prabu Boma telah selesai. Adapun Resi Gunadewa tetap tinggal di Astana
Gandamadana karena ia tidak berani meninggalkan tugasnya tanpa seizin Prabu Kresna.

RADEN SAMBA BERTEMU MATA DENGAN DEWI AGNYANAWATI


Demikianlah, Prabu Boma telah berbusana pengantin diarak menuju Kerajaan
Giyantipura. Raden Samba dan Raden Partajumena ikut di dalam rombongan, berbaur
dengan para punggawa raksasa. Sesampainya di sana, mereka disambut Prabu
Krentagnyana dan Dewi Sumirat, bersama anak gadis mereka, yaitu si calon mempelai
KITAB WAYANG PURWA

wanita Dewi Agnyanawati. Betapa terkejut hati Raden Samba saat menyaksikan ternyata
Dewi Agnyanawati adalah perempuan yang pernah dijumpainya di alam mimpi dan ia
rindukan siang-malam.
Sebaliknya, Dewi Agnyanawati juga tergetar perasaannya sewaktu menyaksikan
Raden Samba berjalan di samping Prabu Boma. Tampak Prabu Boma menyerahkan
Kembang Parijata kepadanya. Dewi Agnyanawati menerima bunga tersebut dengan
perasaan menyesal. Ia membayangkan andai saja Raden Samba yang menyerahkan
bunga pusaka ini kepadanya, alangkah bahagia.
Karena persyaratan mas kawin sudah diwujudkan oleh Prabu Boma, maka pernikahan
di antara mereka pun dimulai. Ketika upacara mencuci kaki dilaksanakan, ternyata Dewi
Agnyanawati justru mencuci kaki Raden Samba. Semua orang pun terkejut melihatnya,
terutama Raden Samba yang menahan malu bercampur bahagia. Dewi Sumirat buru-buru
membetulkan posisi Dewi Agnyanawati agar membasuh kaki Prabu Boma.

SERANGAN PRABU BANAKATONG


Upacara pernikahan antara Prabu Boma dan Dewi Agnyanawati telah selesai dan
kemudian dilanjutkan dengan pesta meriah. Kedua mempelai duduk di atas pelaminan
menerima ucapan selamat dari para tamu dan undangan. Wajah Prabu Boma tampak ceria
dengan senyum riang tak tertahankan, sedangkan Dewi Agnyanawati terlihat murung tidak
bergairah. Sesekali Dewi Agnyanawati mencuri pandang ke arah Raden Samba, dan ketika
pandangan mereka bertemu ada perasaan malu-malu bercampur bahagia tak terlukiskan.
Tiba-tiba pesta pernikahan tersebut berubah menjadi kacau karena Prabu Banakatong
dan pasukan Pasirsegara datang menyerang untuk merebut Dewi Agnyanawati. Prabu
Boma marah hendak menghadapi serangan tersebut. Namun, Raden Samba mencegahnya
karena tidak baik seorang pengantin turun tangan seperti ini. Raden Samba lalu memberi
isyarat kepada Raden Partajumena agar segera bertindak.
Maka, berangkatlah Raden Partajumena bersama Patih Pancadnyana dan para
raksasa Trajutresna menghadapi amukan tersebut. Pertempuran terjadi di alun-alun
Kerajaan Giyantipura. Raden Partajumena tampak menghadapi Prabu Banakatong.
Keduanya pun bertarung sengit, hingga akhirnya Prabu Banakatong tewas di tangan Raden
Partajumena.
Melihat rajanya gugur, pasukan Pasirsegara menjadi kocar-kacir. Ada yang mati
terbunuh, ada yang melarikan diri, dan ada yang menyerah takluk. Keadaan akhirnya
tenang kembali. Prabu Krentagnyana pun melanjutkan pesta pernikahan putrinya dan
mempersilakan para tamu menikmati hidangan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Tokoh Prabu Banakatong adalah tambahan dari saya untuk meramaikan cerita.
KITAB WAYANG PURWA

WISANGGENI RABI
Kisah ini menceritakan tentang perkawinan Bambang Wisanggeni putra Raden Arjuna
dengan Dewi Mustikawati putri Prabu Mustikadarma. Dalam upaya perkawinan ini,
Bambang Wisanggeni bersaing dengan Prabu Boma Narakasura dan Raden Lesmana
Mandrakumara.
Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
yang dipadukan dengan keterangan dari Ki Rudy Wiratama, serta sedikit perubahan
seperlunya.
Kediri, 01 Juni 2018
Heri Purwanto

Wisanggeni

PRABU DURYUDANA HENDAK MELAMAR DEWI MUSTIKAWATI DI KERAJAAN


SUNYAPURA
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Danghyang
Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Mereka membicarakan
tentang Raden Lesmana Mandrakumara yang berkali-kali gagal menikah, selalu saja kalah
bersaing melawan anak-anak Pandawa ataupun anak-anak Prabu Kresna. Bahkan, baru-
baru ini bersaing dengan panakawan Petruk pun kalah. Prabu Duryudana merasa sedih
memikirkan nasib putranya itu. Ia khawatir Raden Lesmana sampai tua tidak bisa menikah,
dan itu artinya tidak akan memiliki keturunan. Tentu saja Prabu Duryudana tidak mau garis
penerusnya berakhir sampai di sini.
Danghyang Druna berkata bahwa ia mendengar kabar ada seorang raja bernama
Prabu Mustikadarma dari Kerajaan Sunyapura yang memiliki anak perempuan cantik jelita,
bernama Dewi Mustikawati. Alangkah baiknya, gadis itu saja yang dinikahkan dengan
Raden Lesmana Mandrakumara.
Prabu Duryudana meminta pendapat Patih Sangkuni atas usulan Danghyang Druna
tersebut. Patih Sangkuni bertanya balik apakah tidak jatuh derajat Prabu Duryudana apabila
berbesan dengan seorang raja dari sebuah negara kecil? Apakah wibawa Kerajaan Hastina
tidak akan jatuh jika memiliki menantu dari negara yang tidak terkenal?
Danghyang Druna menjawab, keputusan ada di tangan Prabu Duryudana. Dewi
Mustikawati memang seorang putri dari sebuah kerajaan kecil. Namun, konon kabarnya ia
memiliki paras yang sangat cantik bagaikan bidadari. Gadis seperti itu tentunya sangat
pantas apabila menjadi menantu Prabu Duryudana yang namanya termasyhur di dunia.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah menimbang-nimbang, Prabu Duryudana akhirnya setuju. Ia pun meminta


Danghyang Druna berangkat untuk melamar putri bernama Dewi Mustikawati tersebut.
Danghyang Druna menerima perintah. Prabu Duryudana lalu membubarkan pertemuan.
Patih Sangkuni diperintahkan pergi bersama para Kurawa untuk mengawal kepergian sang
guru ke Kerajaan Sunyapura, sedangkan Adipati Karna ditugasi mempersiapkan keperluan
pesta pernikahan Raden Lesmana.

DEWI MUSTIKAWATI DILAMAR TIGA PIHAK


Di Kerajaan Sunyapura, Prabu Mustikadarma sedang duduk bersama putrinya, yaitu
Dewi Mustikawati. Tidak berapa lama kemudian datanglah Danghyang Druna dan Patih
Sangkuni. Setelah saling memberi salam, Danghyang Druna pun menyampaikan maksud
kedatangannya adalah untuk melamar Dewi Mustikawati sebagai calon istri Raden
Lesmana Mandrakumara. Ia pun memuji-muji Raden Lesmana sebagai putra mahkota
Kerajaan Hastina yang kelak akan menggantikan ayahnya, yaitu Prabu Duryudana menjadi
raja selanjutnya. Itu artinya, Dewi Mustikawati kelak akan menduduki jabatan sebagai
permaisuri pula.
Prabu Mustikadarma berkata bahwa soal jodoh, ia menyerahkan sepenuhnya kepada
sang putri. Belum sempat Dewi Mustikawati menjawab lamaran tersebut, tiba-tiba datang
Raden Antasena, putra Arya Wrekodara. Ia juga datang untuk melamar Dewi Mustikawati
sebagai calon istri adik sepupunya, yaitu Bambang Wisanggeni.
Patih Sangkuni menyela. Ia mengatakan bahwa pihak Kerajaan Hastina lebih dulu
datang ke Kerajaan Sunyapura untuk melamar Dewi Mustikawati. Itu artinya, pihak mereka
yang lebih berhak mendapatkan jawaban dari Prabu Mustikadarma. Raden Antasena yang
pandai bicara mengatakan dirinya dan Patih Sangkuni adalah sama-sama tamu, maka tidak
sepantasnya sesama tamu saling mengatur.
Danghyang Druna lalu menagih jawaban Prabu Mustikadarma, apakah lamaran pihak
Kerajaan Hastina dapat diterima. Prabu Mustikadarma menjawab, dirinya sebagai orang tua
hanya bisa merestui. Mengenai urusan memilih suami, semuanya diserahkan kepada Dewi
Mustikawati.
Setelah mendapat izin dari sang ayah, Dewi Mustikawati pun berkata bahwa ia ingin
bisa mendapatkan pusaka Cupumanik Gambar Jagad. Barangsiapa bisa mewujudkan
keinginannya itu, maka orang itulah yang akan ia pilih menjadi calon suami. Mendengar itu,
Patih Sangkuni mengejek Dewi Mustikawati yang hanya seorang putri negara kecil tetapi
memiliki keinginan muluk-muluk. Tidak perlu susah payah meminta yang aneh-aneh seperti
itu, cukup katakan saja berapa biaya mahar yang diinginkan, maka Kerajaan Hastina akan
membayar lunas tanpa takut kehabisan harta.
Dewi Mustikawati menjawab, Patih Sangkuni janganlah merendahkan para wanita
sebagai kaum yang gila harta. Tidak semua wanita bisa dibeli dan dipameri harta kekayaan
serta emas permata. Jika memang Raden Lesmana Mandrakumara tidak sanggup
mewujudkan Cupumanik Gambar Jagad juga tidak masalah. Masih ada laki-laki lain yang
sanggup mendapatkannya.
Raden Antasena ikut mengejek Kerajaan Hastina yang selalu gagal dalam sayembara
memperebutkan wanita, sehingga wajar jika sekarang gentar dan mengemukakan seribu
alasan. Ia lalu mohon pamit kepada Prabu Mustikadarma dan Dewi Mustikawati untuk
mencari cupumanik tersebut. Danghyang Druna tidak mau ketinggalan. Ia segera mengajak
Patih Sangkuni pergi mencari benda pusaka itu.
Setelah kedua pihak pergi, tiba-tiba datang pula Prabu Boma Narakasura dari
Kerajaan Trajutresna yang juga ingin melamar Dewi Mustikawati sebagai calon istri. Dewi
KITAB WAYANG PURWA

Mustikawati menjawab, dirinya bersedia menikah asalkan ada laki-laki yang mampu
mewujudkan keinginannya, yaitu menghadirkan Cupumanik Gambar Jagad.
Mendengar jawaban itu, Prabu Boma pun mohon pamit undur diri meninggalkan
Kerajaan Sunyapura.

PARA KURAWA MENYERGAP RADEN ANTASENA


Danghyang Druna dan Patih Sangkuni keluar dari istana Sunyapura di mana Arya
Dursasana, Raden Srutayu, Raden Kartawarma, Raden Durmagati, dan para Kurawa
lainnya telah menunggu. Danghyang Druna merasa bingung entah ke mana harus mencari
Cupumanik Gambar Jagad. Patih Sangkuni berkata, urusan mencari cupumanik adalah
tugas Danghyang Druna, sedangkan dirinya dan para Kurawa bertugas untuk
menyingkirkan pesaing. Dalam hal ini, yang harus disingkirkan adalah Raden Antasena agar
tidak kembali ke tempat Bambang Wisanggeni.
Raden Durmagati berkata bahwa Raden Antasena adalah putra Arya Wrekodara, dan
selama ini para Kurawa sering dibuat kocar-kacir saat bertarung melawan Raden Antareja
ataupun Raden Gatutkaca. Maka, niat untuk menjegal Raden Antasena lebih baik
diurungkan saja, karena yang lebih penting adalah bersatu mencari Cupumanik Gambar
Jagad.
Patih Sangkuni menjawab, Raden Antasena tidak perlu ditakuti karena wujudnya
berbeda dengan kedua kakaknya yang gagah perkasa. Raden Antasena ini tubuhnya lebih
kecil, wajahnya lugu dan polos, sepertinya hanya pandai bicara saja dan tidak memiliki
kesaktian apa-apa. Lebih cepat disingkirkan tentu lebih baik.
Patih Sangkuni telah menetapkan demikian. Pasukan pun dibagi menjadi dua.
Danghyang Druna membawa setengah rombongan mencari Cupumanik Gambar Jagad,
sedangkan Patih Sangkuni bersama sisanya mengejar Raden Antasena.
Sementara itu, Raden Antasena yang sedang dalam perjalanan menuju tempat
Bambang Wisanggeni tiba-tiba dihadang Patih Sangkuni, Arya Dursasana, dan para
Kurawa lainnya. Tanpa banyak bicara, mereka pun menyerang pemuda itu. Namun,
sungguh di luar dugaan, Raden Antasena yang berwajah polos dan lugu ternyata memiliki
kesaktian di atas Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Sambil bercanda ia menghajar
para Kurawa. Arya Dursasana dan adik-adiknya pun dibuat babak belur, termasuk Patih
Sangkuni pula. Namun, Raden Antasena teringat bahwa dirinya harus segera melapor
kepada Bambang Wisanggeni sehingga tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini.

BAMBANG WISANGGENI MEMINTA RESTU KEPADA IBUNYA


Raden Antasena berhasil meloloskan diri dan akhirnya sampai di Kahyangan
Duksinageni, di mana Bambang Wisanggeni menunggu bersama ibunya, yaitu Batari
Dresanala. Beberapa waktu yang lalu Batari Dresanala memang mengutus Raden
Antasena untuk menyampaikan lamaran kepada Dewi Mustikawati, putri Prabu
Mustikadarma di Kerajaan Sunyapura sebagai calon istri Bambang Wisanggeni. Kini Raden
Antasena datang melaporkan hasil kepergiannya. Ia bercerita bahwa Danghyang Druna dan
Patih Sangkuni juga datang untuk melamar Dewi Mustikawati. Namun, Dewi Mustikawati
tidak menerima lamaran pihak mana pun, kecuali ada yang mampu mewujudkan
keinginannya, yaitu mendatangkan Cupumanik Gambar Jagad.
Batari Dresanala terkejut mendengar syarat tersebut. Ia pun berkata kepada Bambang
Wisanggeni agar membatalkan saja keinginannya menikahi Dewi Mustikawati. Masih
banyak gadis lain yang bisa dijadikan istri tanpa harus meminta syarat yang seberat itu.
Bambang Wisanggeni menjawab, justru syarat yang berat seperti ini menunjukkan betapa
KITAB WAYANG PURWA

mahal nilai seorang Dewi Mustikawati. Ia pun tetap pada niatnya, yaitu menjadikan gadis
tersebut sebagai istri. Ia lalu bertanya di mana kira-kira Cupumanik Gambar Jagad berada.
Batari Dresanala mengatakan, cupumanik tersebut adalah pusaka milik Sanghyang
Padawenang, leluhur para dewa yang bersemayam di Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
Namun demikian, Bambang Wisanggeni jangan langsung berangkat ke sana. Masalah ini
adalah masalah besar. Bambang Wisanggeni hendaknya terlebih dulu meminta restu dan
dukungan kepada ayahnya, yaitu Raden Arjuna.
Bambang Wisanggeni mematuhi nasihat tersebut. Setelah meminta restu kepada
ibunya, ia pun pergi meninggalkan Kahyangan Duksinageni bersama Raden Antasena.

DANGHYANG DRUNA MEMINTA BANTUAN RADEN ARJUNA


Sementara itu, Raden Arjuna bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong sedang berkelana menebarkan kebaikan. Raden Arjuna berniat
menjalani tapa ngrame, yaitu membantu siapa saja yang sedang mengalami kesulitan. Tiba-
tiba mereka berjumpa Danghyang Druna yang dikawal Bambang Aswatama dan juga
beberapa orang Kurawa.
Setelah menghaturkan sembah hormat, Raden Arjuna pun bertanya ke mana gurunya
itu hendak pergi. Danghyang Druna menjawab dirinya memang sengaja menemui Raden
Arjuna untuk meminta bantuan mencarikan pusaka Cupumanik Gambar Jagad. Benda
pusaka ini adalah prasyarat yang harus dipenuhi Raden Lesmana Mandrakumara untuk
meminang Dewi Mustikawati, putri Prabu Mustikadarma di Kerajaan Sunyapura.
Raden Arjuna yang sudah berniat melakukan tapa ngrame menyanggupi permintaan
Danghyang Druna tersebut. Ia bersedia membantu mendapatkan pusaka Cupumanik
Gambar Jagad. Setelah dicapai kata sepakat, mereka lalu berpisah.

BAMBANG WISANGGENI MEMINTA RESTU KEPADA AYAHNYA


Raden Arjuna yang berjalan bersama para panakawan pun bertemu Bambang
Wisanggeni yang didampingi Raden Antasena. Setelah menyampaikan salam kepada
ayahnya, Bambang Wisanggeni pun meminta restu bahwa dirinya sebentar lagi akan
menikah. Raden Arjuna bertanya, siapa perempuan yang akan menjadi menantunya.
Bambang Wisanggeni menjawab, perempuan itu bernama Dewi Mustikawati, putri Prabu
Mustikadarma dari Kerajaan Sunyapura.
Raden Arjuna bertanya apakah benar gadis itu mengajukan syarat ingin disediakan
Cupumanik Gambar Jagad. Bambang Wisanggeni menjawab benar. Mendengar itu, Raden
Arjuna menolak memberikan restu. Dirinya sudah terlanjur menyanggupi permintaan
Danghyang Druna, maka mau tidak mau ia berada di pihak Kerajaan Hastina. Oleh sebab
itu, ia pun menyarankan agar Bambang Wisanggeni mengurungkan niat menikahi Dewi
Mustikawati.
Bambang Wisanggeni menolak saran ayahnya. Ia telah bersumpah hanya akan
menikahi Dewi Mustikawati seorang, dan tidak ingin berpindah ke lain hati. Raden Arjuna
marah dibantah putranya. Ia pun memukul Bambang Wisanggeni dan mengancam akan
menghajarnya apabila tetap bersikeras ingin menikahi Dewi Mustikawati. Bambang
Wisanggeni tidak takut pada ancaman ayahnya, karena ia merasa menikahi gadis tersebut
bukanlah perbuatan salah. Raden Arjuna bertambah marah dan menyerang putranya itu.
Bambang Wisanggeni terpaksa menghadapi serangan ayahnya. Ia hanya menghindar
dan menangkis, sama sekali tidak pernah membalas pukulan Raden Arjuna. Namun, setiap
kali tangannya menangkis, selalu saja membuat tangan atau kaki Raden Arjuna merasa linu
dan nyeri. Sungguh tinggi kesaktian Bambang Wisanggeni berada di atas Raden Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Antasena dan para panakawan hanya menonton di tepi, kecuali Kyai Semar yang
memilih tidur di bawah pohon.

PRABU KRESNA MELERAI PERTARUNGAN AYAH DAN ANAK


Setelah bertarung cukup lama, Raden Arjuna akhirnya kelelahan dan terdesak. Tiba-
tiba muncul bayangan hitam melerai pertarungan mereka. Orang itu tidak lain adalah Prabu
Kresna, raja Dwarawati. Raden Arjuna dan Bambang Wisanggeni pun sama-sama
menghaturkan salam kepadanya.
Prabu Kresna bertanya mengapa ayah dan anak bertarung di jalan, apakah sedang
latihan perang-perangan? Raden Arjuna menjawab, dirinya berusaha menghalangi
Bambang Wisanggeni yang hendak meminta restu untuk menikah dengan Dewi
Mustikawati. Hal ini karena ia telah berjanji kepada Danghyang Druna untuk membantu
mendapatkan Cupumanik Gambar Jagad sebagai syarat Raden Lesmana Mandrakumara
meminang gadis tersebut.
Prabu Kresna menyebut Raden Arjuna sungguh aneh, karena janji yang ia ucapkan
kepada Danghyang Druna adalah membantu mendapatkan cupumanik, bukan membantu
menghalangi Bambang Wisanggeni. Raden Arjuna menjawab, jika tidak dihalangi maka
Bambang Wisanggeni pasti mampu mendapatkan pusaka tersebut. Prabu Kresna berkata,
itu artinya Raden Arjuna tidak percaya diri, takut berlomba melawan anak sendiri. Lagipula
jika Bambang Wisanggeni berhasil mendapatkan cupumanik tersebut, itu artinya jodoh Dewi
Mustikawati bukan Raden Lesmana.
Prabu Kresna juga berkata, bahwa ia pun dimintai tolong Prabu Boma Narakasura
untuk mencarikan cupu pusaka tersebut, namun ia menolak. Raden Arjuna heran mengapa
Prabu Kresna tidak mau membantu putra sendiri. Prabu Kresna menjawab, dirinya sengaja
tidak membantu Prabu Boma karena ia meramalkan Dewi Mustikawati bukanlah jodoh
putranya itu. Yang kedua, Prabu Boma juga tidak sungguh-sungguh mencintai Dewi
Mustikawati.
Raden Arjuna merasa bimbang. Ia pun bertanya siapa kira-kira jodoh gadis tersebut,
apakah Bambang Wisanggeni ataukah Raden Lesmana Mandrakumara. Prabu Kresna
tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Kyai Semar hendak mendampingi perjalanan
siapa. Kyai Semar bangun dari tidur dan menyatakan hendak mendampingi Bambang
Wisanggeni saja. Dari jawaban tersebut, Raden Arjuna dapat menyimpulkan bahwa Dewi
Mustikawati memang ditakdirkan menjadi istri Bambang Wisanggeni. Ia pun memeluk
putranya itu dan meminta maaf, serta merestuinya semoga berhasil mendapatkan
Cupumanik Gambar Jagad.
Bambang Wisanggeni berterima kasih. Ia lalu mohon pamit kepada ayahnya itu dan
juga kepada Prabu Kresna untuk berangkat menuju Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Kyai
Semar dan Raden Antasena menyertai di belakang.

BAMBANG WISANGGENI MENDAPATKAN CUPUMANIK GAMBAR JAGAD


Di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Sanghyang Padawenang menerima
kedatangan Bambang Wisanggeni dan rombongannya. Mereka semua menghaturkan
hormat kepada leluhur para dewa tersebut. Bambang Wisanggeni kemudian mengutarakan
maksud kedatangannya, yaitu ingin meminjam Cupumanik Gambar Jagad sebagai syarat
untuk menikah dengan Dewi Mustikawati.
Sanghyang Padawenang mengabulkan permohonan Bambang Wisanggeni karena
Dewi Mustikawati memang berjodoh dengan pemuda tersebut. Namun, Cupumanik Gambar
Jagad kelak harus dikembalikan kepadanya, yaitu ketika hendak meletus Perang Bratayuda
KITAB WAYANG PURWA

antara para Pandawa melawan para Kurawa. Kelak ketika Bambang Wisanggeni bersama
Raden Antasena mengembalikan cupumanik tersebut, Sanghyang Padawenang akan
menyampaikan pula apa yang menjadi takdir mereka.
Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena merasa penasaran. Mereka bertanya apa
kira-kira takdir yang kelak akan menimpa mereka. Sanghyang Padawenang tidak bersedia
menjawab karena itu belum waktunya. Kyai Semar menasihati kedua pemuda itu agar
menjalani kehidupan dengan baik, tidak perlu memikirkan hal tersebut. Kelak jika waktunya
tiba, ia yang akan mengingatkan Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena untuk
menghadap Sanghyang Padawenang dengan membawa kembali Cupumanik Gambar
Jagad.
Sanghyang Padawenang merasa cukup untuk hari ini. Bambang Wisanggeni dan yang
lain pun mohon pamit meninggalkan Kahyangan Awang-Awang Kumitir dengan membawa
cupu pusaka yang mereka cari.

PRABU BOMA MENGHADANG BAMBANG WISANGGENI


Bambang Wisanggeni dan rombongannya telah kembali menginjak tanah. Mereka pun
melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Sunyapura. Tiba-tiba mereka dihadang Prabu
Boma Narakasura dan Patih Pancadnyana yang hendak merebut Cupumanik Gambar
Jagad. Bambang Wisanggeni dengan tegas menolak menyerahkan cupumanik tersebut.
Maka, terjadilah pertarungan antara dirinya melawan Prabu Boma, sedangkan Raden
Antasena melawan Patih Pancadnyana.
Prabu Boma terdesak melawan Bambang Wisanggeni yang lincah dan sakti. Ia
akhirnya dapat dikalahkan oleh sepupunya tersebut. Bambang Wisanggeni pun bertanya
untuk apa Prabu Boma menginginkan Cupumanik Gambar Jagad, jika hatinya tidak tulus
mencintai Dewi Mustikawati. Prabu Boma terkejut mengetahui Bambang Wisanggeni dapat
menebak isi hatinya. Ia pun berterus terang bahwa ini semua karena permintaan istrinya,
yaitu Dewi Agnyanawati.
Prabu Boma bercerita bahwa ia baru saja menikah dengan Dewi Agnyanawati,
keponakan Patih Pancadnyana. Namun, istrinya itu selalu menolak jika Prabu Boma
mengajak bermesraan. Prabu Boma pun mendesak Dewi Agnyanawati dan bertanya apa
yang menjadi keinginannya. Dewi Agnyanawati berkata, dirinya bersedia melayani Prabu
Boma apabila dimadu dengan sahabatnya, yaitu Dewi Mustikawati dari Kerajaan
Sunyapura.
Raden Antasena sambil meringkus Patih Pancadnyana ikut bicara. Ia menyarankan
agar Prabu Boma menjadi suami yang tegas, jangan mau diperintah istri seperti itu. Apa
gunanya menikahi Dewi Mustikawati jika tidak mencintainya? Bukankah itu sama saja
dengan menyiksa gadis tersebut? Lagipula, jika Prabu Boma memaksa menikahi
perempuan yang bukan jodohnya, itu berarti ia merebut calon pasangan hidup pria lain yang
ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Mustikawati.
Prabu Boma merenungi ucapan Raden Antasena yang masuk akal. Ia merasa dirinya
terlalu egois karena demi ingin menyenangkan Dewi Agnyanawati lantas merugikan Dewi
Mustikawati dan juga laki-laki lain yang ditakdirkan menjadi jodoh gadis tersebut. Setelah
berpikir demikian, ia pun menyatakan mundur dari perlombaan ini. Prabu Boma lalu
memerintahkan Patih Pancadnyana agar pulang lebih dulu ke Kerajaan Trajutresna,
sedangkan dirinya ingin menyaksikan perkawinan antara Bambang Wisanggeni dan Dewi
Mustikawati.
KITAB WAYANG PURWA

BAMBANG WISANGGENI MEMPERSEMBAHKAN CUPU PUSAKA KEPADA CALON


ISTRINYA
Bambang Wisanggeni, Raden Antasena, Prabu Boma, dan para panakawan
melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Sunyapura. Di tengah jalan mereka dihadang
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni bersama para Kurawa yang menyertai mereka. Jika
sebelumnya, para Kurawa yang menyertai Patih Sangkuni dapat dikalahkan Raden
Antasena, maka kini jumlah mereka bertambah karena bergabung dengan para Kurawa
yang menyertai Danghyang Druna. Dengan jumlah yang lebih banyak, mereka yakin dapat
mengalahkan Raden Antasena dan merebut Cupumanik Gambar Jagad dari tangan
Bambang Wisanggeni yang bertubuh kurus kecil.
Namun, para Kurawa tidak menduga Prabu Boma ada bersama mereka. Patih
Sangkuni pun menghasut Prabu Boma agar bergabung dengan para Kurawa sehingga
mereka dapat bersama-sama merebut Cupumanik Gambar Jagad. Prabu Boma merasa
bimbang, teringat janjinya kepada Dewi Agnyanawati. Namun, Raden Antasena segera
bertanya, apabila Cupumanik Gambar Jagad berhasil direbut, lantas siapa yang akan
menikahi Dewi Mustikawati. Danghyang Druna langsung menjawab, tentu saja Raden
Lesmana Mandrakumara.
Mendengar jawaban itu, Prabu Boma tidak ragu lagi. Ia pun melompat menerjang
rombongan dari Kerajaan Hastina tersebut. Raden Antasena ikut membantu. Para Kurawa
lagi-lagi babak belur menghadapi mereka berdua. Merasa terdesak, Danghyang Druna pun
mengajak Patih Sangkuni dan yang lain untuk mundur, kembali ke Kerajaan Hastina.
Bambang Wisanggeni dan rombongannya melanjutkan perjalanan dan akhirnya
sampai di Kerajaan Sunyapura. Ternyata Prabu Kresna dan Raden Arjuna sudah lebih dulu
tiba di sana, duduk bersama Prabu Mustikadarma dan Dewi Mustikawati. Prabu Kresna
senang melihat Prabu Boma ikut dalam rombongan ini dan menyadari kesalahannya.
Bambang Wisanggeni maju dan menyerahkan Cupumanik Gambar Jagad kepada
Dewi Mustikawati. Gadis itu perlahan menerimanya. Begitu membuka cupu pusaka
tersebut, ia dapat melihat pemandangan di seluruh dunia, baik itu pemandangan di alam
nyata, maupun pemandangan di alam gaib.
Melihat putrinya tampak bahagia, Prabu Mustikadarma pun menyatakan Bambang
Wisanggeni sebagai pemenang sayembara. Hari itu juga ia menikahkan Bambang
Wisanggeni dengan Dewi Mustikawati. Prabu Kresna dan Raden Arjuna kembali
memberikan restu untuk perkawinan mereka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

PERANG GOJALISUTA
Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Kresna melawan Prabu Boma
Narakasura akibat ulah Raden Samba yang berselingkuh dengan Dewi Agnyanawati.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Nartosabdo, serta rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan beberapa perubahan
seperlunya.
Kediri, 19 April 2019
Heri Purwanto

Perang antara Prabu Boma dan Prabu Kresna

PRABU KRESNA MENGUTUS ARYA SETYAKI MENJEMPUT RADEN SAMBA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap para putra, yaitu Raden
Partajumena dan Raden Setyaka, serta senapati Arya Setyaki dan juga Patih Udawa.
Mereka membahas tentang putra mahkota Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu
bulan ini menghilang dari Kesatrian Paranggaruda. Padahal, istri Raden Samba, yaitu Dewi
Sugatawati sedang hamil tua dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan.
Menurut perkiraan Prabu Kresna, kemungkinan besar Raden Samba menginap di
tempat kakak kandungnya, yaitu Resi Gunadewa di Astana Gandamadana. Maka, Prabu
Kresna memerintahkan Arya Setyaki untuk menjemput pulang Raden Samba agar
menunggui Dewi Sugatawati yang hendak melahirkan.
Putra bungsu Prabu Kresna, yaitu Raden Setyaka berkata bahwa dirinya tadi malam
bermimpi melihat Raden Samba naik perahu berdua dengan Dewi Agnyanawati, istri Prabu
Boma Narakasura. Mereka berdua dalam satu perahu yang dihempas badai dan tenggelam
ditelan lautan. Raden Setyaka sangat takut membayangkan mimpinya itu dan kini
memberanikan diri untuk bercerita kepada sang ayah.
Prabu Kresna termenung sejenak. Ia teringat saat upacara pernikahan Prabu Boma
dengan Dewi Agnyanawati telah terjadi kesalahan, yaitu si pengantin wanita justru
menyembah kepada Raden Samba. Apakah peristiwa itu akan berlanjut sebagaimana
mimpi Raden Setyaka? Berpikir demikian, Prabu Kresna pun memerintahkan Arya Setyaki
KITAB WAYANG PURWA

agar segera berangkat melaksanakan tugas. Arya Setyaki mohon pamit, dan Prabu Kresna
lalu membubarkan pertemuan.

RADEN SAMBA NEKAT PERGI MENEMUI DEWI AGNYANAWATI


Sesuai dugaan Prabu Kresna, ternyata Raden Samba memang berada di Astana
Gandamadana menghadap Resi Gunadewa. Sejak peristiwa perkawinan Prabu Boma dan
Dewi Agnyanawati, Raden Samba selalu terbayang-bayang wajah kakak iparnya itu.
Apalagi waktu upacara pengantin, Dewi Agnayanwati salah menyembah kepada dirinya,
bukan menyembah Prabu Boma. Peristiwa itu membuat Raden Samba terkenang setiap
hari dan merasa menyesal, mengapa bukan dirinya yang menikah dengan Dewi
Agnyanawati.
Resi Gunadewa menasihati adiknya itu agar melupakan Dewi Agnyanawati karena
sekarang sudah menjadi kakak ipar mereka. Apalagi Raden Samba sudah memiliki istri,
yaitu Dewi Sugatawati yang sekarang ini sedang mengandung, siap untuk melahirkan
sebentar lagi. Raden Samba menjawab, apa salahnya laki-laki memiliki istri lebih dari satu?
Bukankah ayah mereka, yaitu Prabu Kresna juga memiliki banyak istri? Resi Gunadewa
menjawab, memang benar ayah mereka memiliki banyak istri, namun tidak pernah merebut
istri orang lain.
Raden Samba tersinggung mendengar nasihat Resi Gunadewa. Selama ini ia merasa
nyaman bersama kakak kandungnya tersebut yang dianggap sebagai satu-satunya tempat
untuk mencurahkan isi hati. Namun, ternyata Resi Gunadewa tidak mendukung
keinginannya. Raden Samba merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di Astana
Gandamadana. Ia pun mohon pamit menuju Kerajaan Trajutresna untuk menemui pujaan
hatinya, Dewi Agnayanawati.

DITYA YAYAHGRIWA DITUGASI MENGGUSUR ASTANA GANDAMADANA


Di Kerajaan Trajutresna, Patih Pancadnyana dihadap para punggawa raksasa, yaitu
Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda. Mereka
membicarakan tentang masalah rumah tangga sang raja, yaitu Prabu Boma Narakasura.
Sejak menikah beberapa bulan yang lalu, Dewi Agnyanawati tidak pernah bersedia
melayani Prabu Boma. Pernah sekali Dewi Agnyanawati meminta syarat untuk dimadu
dengan Dewi Mustikawati dari Gunung Cakrawala. Prabu Boma Narakasura pun berangkat
untuk meminang putri tersebut, namun kalah bersaing melawan Bambang Wisanggeni putra
Raden Arjuna.
Prabu Boma kemudian meminta Dewi Agnyanawati agar mengajukan syarat yang lain
saja. Ia tidak bersedia jika harus menikah dengan wanita lain karena yang ia cintai hanyalah
Dewi Agnyanawati seorang. Dewi Agnyanawati akhirnya mengajukan syarat bahwa ia
bersedia melayani Prabu Boma apabila dibuatkan jalan lurus tanpa belok yang
menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan tanah airnya, yaitu Kerajaan Giyantipura.
Dewi Agnyanawati sebagai anak tunggal Prabu Krentagnyana mengaku ingin setiap saat
bisa mengunjungi ayah dan ibunya secara cepat dan lancar, melalui jalan yang lurus tanpa
belok sama sekali.
Prabu Boma bimbang menghadapi syarat ini karena jalan lurus tanpa belok yang
menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura akan menembus
Astana Gandamadana, tempat para leluhur Kerajaan Mandura, Dwarawati, Kumbina, dan
Lesanpura dicandikan. Prabu Boma pun pergi ke tempat ibunya, yaitu Batari Pretiwi untuk
meminta saran atas hal ini, dan menitipkan urusan Kerajaan Trajutresna kepada Patih
Pancadnyana.
KITAB WAYANG PURWA

Patih Pancadnyana yakin Batari Pretiwi pasti merestui Prabu Boma menggusur Astana
Gandamadana, dengan alasan lebih baik mengorbankan yang sudah mati untuk
kepentingan yang masih hidup. Maka, ia pun memerintahkan para punggawa untuk
memulai pembangunan jalan lurus tersebut. Ditya Mahodara bertanya apakah tidak
sebaiknya menunggu kepulangan Prabu Boma terlebih dulu, dan apabila berangkat
sekarang apakah tidak melangkahi keputusan raja?
Patih Pancadnyana menjawab dirinya sudah hafal watak Prabu Boma. Ia yakin Prabu
Boma pasti bersedia melakukan apa saja demi Dewi Agnyanawati, asalkan tidak disuruh
menikah lagi dengan wanita lain. Karena Patih Pancadnyana sudah mendapatkan mandat
untuk menangani urusan Kerajaan Trajutresna, maka ia pun memerintahkan Ditya
Yayahgriwa untuk pergi ke Astana Gandamadana, berunding dengan Resi Gunadewa agar
memindahkan candi para leluhur di sana. Ditya Yayahgriwa mohon pamit ditemani Ditya
Amisunda dan Ditya Mahodara. Patih Pancadnyana lalu mengajak Ditya Ancakogra untuk
memulai persiapan membangun jalan lurus dari Kerajaan Trajutresna menuju Kerajaan
Giyantipura.
Singkat cerita, Ditya Yayahgriwa dan rombongan sudah sampai di Astana
Gandamadana. Mereka disambut Resi Gunadewa yang baru saja ditinggal pergi Raden
Samba. Ditya Yayahgriwa lalu menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk
menggusur Astana Gandamadana karena akan dibangun jalan lurus yang menghubungkan
antara Kerajaan Trajutresna dan Kerajaan Giyantipura. Resi Gunadewa tidak terima karena
Astana Gandamadana adalah tempat para leluhur dicandikan, antara lain Prabu Kuntiboja
dan Prabu Basudewa beserta para istri masing-masing. Lagipula Resi Gunadewa hanyalah
juru kunci astana. Ia tidak berani mengabulkan permintaan Ditya Yayahgriwa tanpa seizin
Prabu Baladewa, karena Astana Gandamadana masuk wilayah Kerajaan Mandura.
Ditya Yayahgriwa tidak peduli. Ia berkata dirinya tidak sudi pulang ke Kerajaan
Trajutresna dengan tangan hampa. Ia pun memaksa Resi Gunadewa menandatangani nota
kesepakatan bahwa Astana Gandamadana harus digusur demi pembangunan jalan lurus
tersebut. Resi Gunadewa menolak dan mengatakan dirinya lebih baik mati daripada dipaksa
mematuhi kesepakatan ini.
Ditya Yayahgriwa mengabulkan perkataan Resi Gunadewa. Ia lantas menghantam
kepala resi muda itu menggunakan gada di tangannya. Resi Gunadewa pun tewas seketika
dengan kepala remuk.

PASUKAN MANDURA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN TRAJUTRESNA


Raden Wisata putra mahkota Kerajaan Mandura sedang meronda keamanan bersama
Patih Pragota dan Arya Prabawa. Mereka heran melihat ada banyak raksasa berkeliaran di
dekat Astana Gandamadana. Raden Wisata bertanya siapa pemimpin mereka. Ditya
Yayahgriwa berkata bahwa Astana Gandamadana akan digusur untuk kepentingan
pembangunan jalan lurus yang menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan
Giyantipura. Barangsiapa menghalangi akan dibunuh, termasuk Resi Gunadewa yang
sudah mati dengan kepala pecah.
Raden Wisata marah mendengar sepupunya tewas. Ia pun mengerahkan pasukan
Mandura untuk mengusir para raksasa tersebut. Ditya Yayahgriwa dan pasukan Trajutresna
menghadapi mereka. Pertempuran terjadi. Ditya Yayahgriwa mengincar Raden Wisata
selaku pemimpin pasukan Mandura. Dalam pertarungan itu, Raden Wisata lengah dan
lehernya putus digigit Ditya Yayahgriwa. Melihat sang pangeran terbunuh, pasukan
Mandura pun kocar-kacir kehilangan mental.
KITAB WAYANG PURWA

Pada saat itulah Arya Setyaki datang. Ia mengeluarkan Gada Wesikuning dan
bergerak lincah menyerang Ditya Yayahgriwa. Dalam pertempuran itu, Ditya Yayahgriwa
tewas kepalanya remuk terkena pukulan gada Arya Setyaki.
Arya Setyaki lalu menghentikan pertempuran. Ia mengatakan urusan ini biar
diselesaikan antara para raja tiga negara, yaitu Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu
Boma, karena sudah jatuh korban jiwa dari masing-masing pihak. Semuanya pun setuju.
Ditya Mahodara dan Ditya Amisunda menggotong mayat Ditya Yayahgriwa dan membawa
pasukannya kembali ke Kerajaan Trajutresna; Arya Setyaki membawa jasad Resi
Gunadewa ke Kerajaan Dwarawati, sedangkan Patih Pragota dan Arya Prabawa membawa
jasad Raden Wisata ke Kerajaan Mandura.

RADEN SAMBA BERTEMU RADEN ARJUNA DAN ARYA GATUTKACA


Sementara itu, Raden Samba sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Trajutresna.
Di tengah jalan ia berjumpa Raden Arjuna dan Arya Gatutkaca yang sedang dalam
perjalanan ke Kerajaan Dwarawati karena ada kabar bahwa Dewi Sugatawati hendak
melahirkan. Raden Arjuna bertanya ada keperluan apa Raden Samba hendak pergi ke
Kerajaan Trajutresna. Raden Samba dengan malu-malu menjawab bahwa ia hendak
menemui Dewi Agnyanawati karena jatuh cinta kepada kakak iparnya tersebut.
Raden Arjuna marah karena Dewi Sugatawati hamil tua hendak melahirkan, tapi justru
Raden Samba pergi menemui wanita lain. Raden Samba menjawab, dirinya ingin
menjemput Dewi Agnyanawati untuk hidup berkumpul dengan Dewi Sugatawati. Raden
Arjuna semakin marah tidak rela putrinya dimadu dengan wanita lain, apalagi wanita ini
sudah punya suami. Raden Samba menjawab, cinta harus diperjuangkan apa pun
rintangannya. Bukankah dulu Raden Arjuna sudah menikah dengan Dewi Sumbadra, juga
menikahi Dewi Srikandi serta banyak wanita lainnya? Raden Samba pun bersumpah,
apabila berhasil menikahi Dewi Agnyanawati, maka ia tidak akan mengurangi kasih
sayangnya kepada Dewi Sugatawati. Untuk itu, ia memohon restu dan bantuan kepada
Raden Arjuna.
Raden Arjuna tersentuh hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya pun memiliki banyak istri,
sehingga tidak bisa menyalahkan Raden Samba apabila ingin menikah lagi. Ia pun berkata
bahwa dirinya tidak merestui perbuatan Raden Samba yang hendak merebut istri Prabu
Boma, namun ia bersedia membantu mencarikan jalan saja. Raden Arjuna lalu
membisikkan mantra Aji Panglimunan kepada Raden Samba agar dapat menyusup masuk
ke dalam istana Trajutresna tanpa ketahuan. Arya Gatutkaca juga diperintahkan untuk
mengantarkan Raden Samba agar perjalanannya lebih cepat.
Demikianlah, Raden Samba berhasil menghafalkan mantra Aji Panglimunan, lalu ia
digendong Arya Gatutkaca terbang menuju Kerajaan Trajutresna. Adapun Raden Arjuna
beserta para panakawan melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk
menjenguk putrinya, yaitu Dewi Sugatawati.

RADEN SAMBA MENEMUI DEWI AGNYANAWATI


Arya Gatutkaca terbang secepat kilat dan menurunkan Raden Samba di dekat
Kerajaan Trajutresna. Raden Samba berterima kasih, lalu membaca mantra Aji
Panglimunan yang telah diajarkan Raden Arjuna tadi. Seketika wujudnya menghilang dan
ia pun leluasa masuk ke dalam istana untuk menemui Dewi Agnyanawati.
Dewi Agnyanawati yang sedang melamun sendiri di puri terkejut melihat Raden
Samba tiba-tiba muncul di hadapannya. Raden Samba yang sudah meluap rindunya segera
merayu wanita pujaannya itu dengan kata-kata manis. Dewi Agnyanawati sendiri pada
KITAB WAYANG PURWA

dasarnya juga jatuh cinta kepada adik iparnya itu sejak pandangan pertama. Mereka pun
saling melepas rindu yang terpendam di hati masing-masing. Raden Samba lalu
menggendong Dewi Agnyanawati yang meronta-ronta genit, dan keduanya pun
memuaskan hasrat birahi di dalam kamar tidur.
Perbuatan Dewi Agnyanawati dan Raden Samba terdengar oleh para dayang. Mereka
pun pergi melapor kepada Patih Pancadnyana. Mendengar laporan ini, Patih Pancadnyana
segera membawa pasukan raksasa mengepung puri tempat tinggal Dewi Agnyanawati.
Raden Samba gugup dan gemetar sehingga lupa bacaan mantra Aji Panglimunan yang bisa
membuatnya tidak terlihat. Tidak lama kemudian, Patih Pancadnyana dan para prajurit
sudah datang hendak menangkap dirinya.
Patih Pancadnyana menyebut Raden Samba pangeran tidak tahu diri, berani
menggoda kakak iparnya sendiri. Raden Samba berteriak minta tolong ketika hendak
diseret oleh Patih Pancadnyana. Suara teriakannya terdengar oleh Arya Gatutkaca yang
masih menunggu di luar istana. Arya Gatutkaca pun melesat terbang lalu menerjang turun
untuk menolong Raden Samba. Patih Pancadnyana ditendangnya hingga jatuh terjungkal.
Sejumlah prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Arya Gatutkaca. Namun, Arya Gatutkaca
tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Raden Samba untuk segera pulang ke
Kerajaan Dwarawati. Dewi Agnyanawati ingin ikut serta karena ia merasa dirinya sudah
menjadi milik Raden Samba. Raden Samba juga tidak mau pulang apabila tidak bersama
kekasihnya tersebut. Arya Gatutkaca terpaksa menggendong mereka berdua dan melesat
terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pancadnyana yang memanggil bala bantuan.

PRABU BOMA MENDAPAT NASIHAT DARI IBUNYA


Sementara itu, Prabu Boma Narakasura berada di Kahyangan Ekapratala menghadap
ibu kandungnya, yaitu Batari Pretiwi. Kedatangannya adalah untuk meminta petunjuk
apakah dirinya harus mengabulkan keinginan Dewi Agnyanawati atau tidak. Karena, apabila
jalan lurus benar-benar dibangun menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan
Giyantipura, maka akan menerobos Astana Gandamadana, tempat para leluhur dicandikan.
Batari Pretiwi mengheningkan cipta sejenak, lalu berkata bahwa Prabu Boma tidak
perlu memusingkan permintaan Dewi Agnyanawati tersebut. Apa gunanya menikah dengan
wanita yang tidak mencintai suaminya dengan sepenuh hati? Permintaan Dewi
Agnyanawati untuk dibuatkan jalan lurus hanyalah mengada-ada karena sekarang ia justru
memadu kasih dengan Raden Samba.
Prabu Boma marah mendengarnya. Ia mohon pamit untuk melabrak adiknya itu.
Namun, Batari Pretiwi mencegah. Apa gunanya menyalahkan Raden Samba apabila Dewi
Agnyanawati ternyata bukan wanita setia? Kecuali jika Raden Samba yang memaksa, boleh
kiranya Prabu Boma membela istrinya. Namun, Dewi Agnyanawati sendiri juga melayani
Raden Samba tanpa mengajukan syarat aneh-aneh segala.
Prabu Boma terdiam merenungi ucapan ibunya. Ia lalu mohon pamit kembali ke
Kerajaan Trajutresna untuk menceraikan Dewi Agnyanawati dan menyerahkannya kepada
Raden Samba.

PRABU BOMA MENGUTUS PATIH PANCADNYANA MENJEMPUT RADEN SAMBA


Prabu Boma telah sampai dan ia heran melihat istana Trajutresna kacau balau. Patih
Pancadnyana melaporkan bahwa Dewi Agnyanawati telah berselingkuh dengan Raden
Samba. Prabu Boma menjawab dirinya sudah tahu dan merestui hubungan mereka. Istri
yang mencintai laki-laki lain, untuk apa dipertahankan?
KITAB WAYANG PURWA

Patih Pancadnyana berkata bahwa Arya Gatutkaca juga datang mengacau Kerajaan
Trajutresna dan melarikan Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati. Prabu Boma
menjawab, Arya Gatutkaca mungkin rindu kepadanya karena sudah lama tidak berlatih
bersama. Ia justru memarahi Patih Pancadnyana dan para prajurit raksasa yang tidak
memperlakukan Arya Gatutkaca dengan sopan.
Patih Pancadnyana heran, mengapa watak rajanya yang biasanya pemarah kini
berubah menjadi sabar seperti ini. Prabu Boma tidak mau memperpanjang masalah. Ia
memerintahkan Patih Pancadnyana untuk menyusul Raden Samba dan Dewi Agnyanawati,
karena mereka akan dinikahkan di Kerajaan Trajutresna oleh Prabu Boma sendiri. Patih
Pancadnyana merasa heran, namun tidak berani membantah. Setelah menerima surat dari
rajanya, barulah ia berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.

PRABU KRESNA MEMARAHI RADEN SAMBA DAN DEWI AGNYANAWATI


Raden Samba dan Dewi Agnyanawati telah diturunkan oleh Arya Gatutkaca di
Kerajaan Dwarawati dan mereka langsung menghadap Prabu Kresna. Tampak Prabu
Kresna sangat marah melihat ulah Raden Samba. Mengenai kematian Resi Gunadewa
tidak membuat marah Prabu Kresna, karena Resi Gunadewa gugur secara kesatria
mempertahankan Astana Gandamadana yang hendak digusur Ditya Yayahgriwa.
Sebaliknya, ulah Raden Samba sama sekali bukan perbuatan kesatria, melainkan
perbuatan seorang pengecut yang memalukan.
Dewi Agnyanawati menyela ikut bicara membela Raden Samba. Bukan Raden Samba
yang membawa dirinya kabur, tetapi ia sendiri yang ingin ikut dibawa ke Kerajaan
Dwarawati. Prabu Kresna semakin marah dan menyebut Dewi Agnyanawati perempuan
tercela yang tidak bisa menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, serta kehormatan
rumah tangga. Jika memang Dewi Agnyanawati tidak mencintai Prabu Boma, mengapa
tidak terus terang saja minta diceraikan? Mengapa pula harus mempermainkan perasaan
Prabu Boma dengan mengajukan syarat aneh-aneh segala, yang kini bahkan menelan tiga
nyawa, yaitu Resi Gunadewa, Raden Wisata, dan Ditya Yayahgriwa.
Dewi Agnyanawati tertunduk malu bercampur takut. Raden Samba yang seumur hidup
selalu dimanja oleh Prabu Kresna, baru kali ini ia melihat sang ayah marah besar
kepadanya. Sebaliknya, Prabu Kresna sendiri juga tidak tega melihat Raden Samba
tertunduk ketakutan di hadapannya. Ia menghela napas, lalu menyuruh Raden Samba dan
Dewi Agnyanawati untuk segera mandi air bunga, menghilangkan kotoran jiwa mereka,
sambil menunggu keputusan hukuman lebih lanjut.

PATIH PANCADNYANA MENJEMPUT RADEN SAMBA DAN DEWI AGNYANAWATI


Tidak lama kemudian, datanglah Patih Pancadnyana menghadap Prabu Kresna.
Setelah menghaturkan sembah, ia pun menyerahkan surat dari rajanya kepada Prabu
Kresna. Prabu Kresna membaca surat itu dan ternyata benar tulisan tangan Prabu Boma.
Isinya ialah permohonan maaf karena Prabu Boma tidak bisa melanjutkan rumah tangga
dengan Dewi Agnyanawati karena istrinya itu lebih mencintai Raden Samba. Dalam hal ini
Prabu Boma lebih mementingkan persaudaraan daripada perkawinan yang tidak sepenuh
hati. Maka, Prabu Boma pun berniat menikahkan Raden Samba dan Dewi Agnyanawati di
Kerajaan Trajutresna, karena Dewi Agnyanawati sudah menjadi warga negara di sana.
Hendaknya mereka berdua diizinkan ikut pergi bersama Patih Pancadnyana yang memang
dikirim Prabu Boma untuk menjemput.
Prabu Kresna terharu membaca isi surat Prabu Boma. Ia pun memanggil Raden
Samba dan Dewi Agnyanawati untuk menjelaskan kehendak Prabu Boma kepada mereka.
Raden Samba dan Dewi Agnyanawati merasa takut apabila kembali ke Kerajaan
KITAB WAYANG PURWA

Trajutresna, namun Prabu Kresna menjamin mereka akan baik-baik saja. Karena sang ayah
sudah menjamin demikian, maka Raden Samba dan Dewi Agnyanawati pun bersedia ikut
bersama Patih Pancadnyana.
Setelah ketiganya pergi, Raden Arjuna muncul dan menanyakan ke mana perginya
Raden Samba. Prabu Kresna menjawab bahwa Raden Samba baru saja berangkat
bersama Dewi Agnyanawati karena dijemput Patih Pancadnyana. Rencananya, mereka
berdua akan dinikahkan oleh Prabu Boma di Kerajaan Trajutresna.
Raden Arjuna terkejut mendengarnya. Ia heran mengapa Prabu Kresna begitu polos,
membiarkan Raden Samba pergi ke tempat Prabu Boma Narakasura. Ia yakin pasti Raden
Samba akan menerima hukuman mati di sana. Raden Arjuna tidak rela cucunya yang akan
lahir menjadi anak yatim. Ia pun bergegas menyusul kepergian Patih Pancadnyana dan
rombongan.
Dengan mengandalkan Aji Saipi Angin, Raden Arjuna berhasil menyusul Patih
Pancadnyana. Tanpa banyak bicara ia menendang patih raksasa tersebut, lalu membawa
Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.

PRABU BOMA NARAKASURA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI


Patih Pancadnyana sangat kesal dirinya terlibat dalam urusan rumah tangga yang
tidak jelas ini. Ia merasa dipermainkan oleh Prabu Boma dan Raden Arjuna. Maka, mereka
berdua harus diadu domba sebagai pembalasan. Patih Pancadnyana yang sudah dirasuki
perasaan dendam itu pun mengiris telinganya sendiri, lalu menulis surat yang ditempelkan
pada luka bekas irisan tersebut.
Sesampainya di Kerajaan Trajutresna, Patih Pancadnyana meraung-raung di hadapan
Prabu Boma. Prabu Boma lalu mengambil surat yang menempel pada sisi kepala Patih
Pancadnyana yang sudah kehilangan sebelah telinga. Surat berlumuran darah itu seolah
ditulis Raden Arjuna yang berisi tantangan, bahwa Prabu Boma harus merebut Raden
Samba dan Dewi Agnyanawati melalui peperangan apabila memang benar-benar jantan.
Raden Arjuna tidak sudi ditipu dengan cara licik, seolah-olah mereka berdua hendak
dinikahkan di Kerajaan Trajutresna. Itu omong kosong belaka. Demikianlah isi surat
tersebut.
Prabu Boma marah dan merobek-robek surat itu. Sejak tadi ia menahan marah karena
istrinya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Meskipun ia mencoba ikhlas, namun isi surat
yang kabarnya ditulis Raden Arjuna telah menyakiti harga dirinya. Kebaikannya dianggap
palsu, dan ini sungguh suatu penghinaan baginya. Prabu Boma pun memerintahkan Patih
Pancadnyana untuk mempersiapkan semua pasukan Trajutresna. Bersama-sama mereka
berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati. Prabu Boma tampak gagah duduk di atas
kendaraannya yang berwujud burung garuda berkepala raksasa, bernama Paksi Wilmuna.
Dalam perjalanan itu, Prabu Boma melihat Arya Wrekodara seorang diri. Ia pun
mendarat menemui pamannya tersebut. Rupanya Arya Wrekodara sedang dalam
perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menyusul Raden Arjuna dan Arya Gatutkaca.
Setelah mendengar cerita Prabu Boma tentang perselingkuhan Raden Samba dengan Dewi
Agnyanawati, juga tentang Raden Arjuna yang menantang perang dirinya, Arya Wrekodara
merasa sangat terkejut. Dasar watak Arya Wrekodara yang selalu bersikap adil, ia pun ikut
bergabung di pihak Prabu Boma untuk menemani keponakannya itu menuntut keadilan.

PERTEMPURAN DI KERAJAAN DWARAWATI


Prabu Boma Narakasura dan pasukannya telah sampai di wilayah Kerajaan
Dwarawati. Kebetulan mereka bertemu Prabu Baladewa yang memimpin pasukan Mandura
KITAB WAYANG PURWA

untuk meminta pertanggungjawaban atas kematian Raden Wisata. Tadinya Prabu


Baladewa hendak membicarakan hal ini dengan Prabu Kresna. Namun, karena bertemu
dengan Prabu Boma, amarahnya pun meluap seketika.
Prabu Baladewa memaki Prabu Boma tidak tahu diri. Demi wanita rela membunuh
saudara sendiri. Prabu Boma memohon maaf atas kematian Raden Wisata. Namun, Prabu
Baladewa tetap menuntut nyawa dibayar nyawa. Arya Wrekodara menjawab, pembunuh
Raden Wisata adalah Ditya Yayahgriwa yang sudah mati dibunuh Arya Setyaki. Prabu
Baladewa tidak peduli dan menuduh Ditya Yayahgriwa tentu mendapat perintah dari
rajanya.
Prabu Baladewa yang semakin marah berniat hendak membunuh Prabu Boma. Arya
Wrekodara maju menghadapinya. Keduanya lalu bertarung seru, diikuti pasukan Mandura
bertempur melawan pasukan Trajutresna. Berita ini pun terdengar oleh Arya Setyaki dan
Patih Udawa. Mereka segera mengerahkan pasukan Dwarawati untuk membantu pihak
Mandura melawan pasukan Trajutresna, karena sakit hati atas kematian Resi Gunadewa
dan Raden Wisata.

PRABU BOMA MENYIKSA RADEN SAMBA


Dalam kekacauan itu, Prabu Boma tidak ingin terlibat lebih jauh. Ia segera naik ke
punggung Paksi Wilmuna untuk kemudian terbang mencari Raden Samba dan Dewi
Agnyanawati. Rupanya kedua orang itu sedang berkasih-kasihan di dalam Taman
Banoncinawi. Prabu Boma pun turun mendarat di hadapan mereka.
Raden Samba yang sedang memeluk Dewi Agnyanawati dari belakang merasa
terkejut. Prabu Boma berusaha ikhlas melihatnya, namun pikirannya terbayang betapa
selama ini ia berusaha untuk bisa mendapatkan perhatian Dewi Agnyanawati, ternyata
semuanya sia-sia belaka.
Paksi Wilmuna melihat rajanya sedang bimbang. Ia pun berbisik agar Prabu Boma
memantapkan hati. Bagaimanapun juga Raden Samba adalah penjahat yang sudah
merusak rumah tangga orang lain. Hukum harus ditegakkan. Prabu Boma termakan ucapan
Paksi Wilmuna. Ia lalu menarik tangan Raden Samba yang masih memeluk Dewi
Agnyanawati. Raden Samba pun menjerit kesakitan. Rupanya kedua lengannya telah putus
akibat tarikan Prabu Boma yang terlalu keras.
Dewi Agnyanawati menjerit ketakutan, sedangkan mata Raden Samba melotot
menahan sakit, jangan sampai ia menangis di hadapan sang kekasih. Paksi Wilmuna
kembali berbisik kepada Prabu Boma, bahwa mata Raden Samba yang melotot itu pernah
melihat tubuh Dewi Agnyanawati telanjang tanpa busana.
Prabu Boma sebenarnya menyesal telah menarik putus lengan Raden Samba. Namun
mendengar ucapan Paksi Wilmuna, ia kembali terbakar amarah. Selama menikah dengan
Dewi Agnyanawati, ia sama sekali belum pernah melihat istrinya telanjang. Namun, Raden
Samba yang tidak ikut memberi nafkah justru pernah menyaksikan Dewi Agnyanawati tanpa
busana dan menggaulinya. Dalam amarahnya itu, jari tangan Prabu Boma bergerak kejam
mencongkel kedua bola mata Raden Samba hingga terjulur keluar, bergantung-gantung di
pipi kiri dan kanan.
Menyadari keadaannya sudah cacat parah, Raden Samba tidak merintih, tetapi justru
tertawa pahit karena merasa umurnya tidak akan lama lagi. Sebaliknya, Prabu Boma justru
menangis tersedu-sedu karena telah berbuat sedemikian kejam kepada sang adik. Paksi
Wilmuna kembali berkata, bahwa mulut Raden Samba yang tertawa itu pernah digunakan
untuk mencium dan menggigit bibir Dewi Agnyanawati. Prabu Boma kembali terbakar
amarah dan tangannya pun merobek mulut Raden Samba hingga menganga lebar.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Boma tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik
kepala Raden Samba hingga leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga
berserakan di tanah. Dewi Agnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis
lagi. Air matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri
menghampirinya dan mengajak Dewi Agnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutresna. Namun,
Dewi Agnyanawati berlari mendekati mayat Raden Samba, mengambil keris yang terselip
di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher sendiri.

PRABU BOMA BERPAMITAN KEPADA PRABU KRESNA


Prabu Boma terkesima menyaksikan Raden Samba dan Dewi Agnyanawati telah mati
bersama. Ia juga tidak menyalahkan Paksi Wilmuna yang telah menghasut dirinya, karena
yang salah adalah ia sendiri yang tidak dapat mengendalikan diri.
Tiba-tiba datang Prabu Kresna di tempat itu sambil menggendong seorang bayi. Ia
terkejut melihat Prabu Boma telah membunuh Raden Samba dengan kejam, serta Dewi
Agnyanawati pun bunuh diri menusuk leher sendiri. Prabu Kresna tidak menyalahkan Prabu
Boma, tetapi justru menyalahkan diri sendiri yang terlalu memanjakan Raden Samba sejak
kecil, sehingga kini mendatangkan aib bagi Kerajaan Dwarawati. Jika memang Raden
Samba harus mati seperti ini, mungkin memang ini sudah menjadi hukum karma baginya.
Prabu Boma tetap merasa bersalah meskipun Prabu Kresna tidak menyalahkan
dirinya. Ia pun mohon pamit untuk terjun ke dalam peperangan yang sedang berkecamuk
di luar supaya bisa mati sebagai kesatria. Prabu Kresna berkata, silakan Prabu Boma
bertarung melawan siapa saja, asal jangan menyakiti Raden Arjuna.
Prabu Boma mematuhi pesan tersebut. Ketika hendak berangkat, ia lebih dulu
bertanya siapa bayi yang sedang digendong Prabu Kresna. Prabu Kresna menjawab, bayi
laki-laki dalam gendongannya adalah putra Raden Samba yang lahir dari Dewi Sugatawati.
Dengan disaksikan Prabu Boma, Prabu Kresna pun memberinya nama Raden Dwara yang
bermakna “pintu”. Maksudnya ialah, semoga kelak Raden Dwara bisa menebus dosa-dosa
Raden Samba, dan menjadi pintu bagi ayahnya memasuki Swargaloka.
Prabu Boma ikut mendoakan nama tersebut semoga bisa menjadi kenyataan. Ia lalu
teringat pada putra angkatnya yang bernama Raden Swarka, yaitu putra kandung Prabu
Bomantara yang dulu mati di tangannya. Prabu Boma berpesan apabila dirinya tewas, maka
Raden Swarka jangan disakiti, dan biarlah putra angkatnya itu mewarisi Kerajaan
Trajutresna. Prabu Kresna mengabulkan permintaan tersebut. Prabu Boma lalu naik ke atas
Paksi Wilmuna dan mereka pun terbang ke angkasa.

PRABU BOMA MENGAMUK DALAM PEPERANGAN


Pertempuran di luar istana Kerajaan Dwarawati masih berlangsung sengit. Gabungan
pasukan Dwarawati dan Mandura tampak unggul mendesak pasukan Trajutresna. Ditya
Amisunda sudah tewas di tangan Arya Setyaki, Ditya Mahodara tewas di tangan Patih
Udawa, sedangkan Ditya Ancakogra tewas di tangan Arya Gatutkaca. Sementara itu, Prabu
Baladewa masih bertarung imbang melawan Arya Wrekodara, sedangkan Patih
Pancadnyana melawan Raden Arjuna.
Prabu Boma Narakasura terjun ke tanah menghadapi Raden Partajumena. Kematian
Resi Gunadewa dan Raden Wisata membuat Raden Partajumena tidak lagi menganggap
Prabu Boma sebagai saudara tua. Ia pun menghujani Prabu Boma dengan ratusan anak
panah. Prabu Boma tidak mampu menghindar dan akhirnya tewas terkena panah-panah
itu. Namun, Aji Pancasunya yang dimiliki Prabu Boma membuatnya hidup kembali begitu
jasadnya menyentuh tanah.
KITAB WAYANG PURWA

Raden Partajumena kembali menyerang Prabu Boma dengan panah-panahnya.


Prabu Boma berkali-kali tewas, namun selalu saja hidup kembali ketika menyentuh tanah.
Pertarungan ini membuat Raden Partajumena letih dan ganti dirinya yang terdesak oleh
serangan Prabu Boma. Namun, tiba-tiba Raden Setyaka muncul menyambar tubuh
kakaknya itu dan membawanya kabur. Raden Partajumena marah karena ia merasa lebih
baik mati daripada meninggalkan pertempuran seperti ini. Raden Setyaka menjawab dirinya
sudah kehilangan Resi Gunadewa, Raden Wisata, dan Raden Samba, maka tidak ingin
kehilangan satu orang saudara lagi. Raden Partajumena pun terkejut mendengar Raden
Samba sudah meninggal pula.
Prabu Boma kembali mengamuk, kali ini ia bertarung menghadapi saingan lamanya,
yaitu Arya Gatutkaca. Keduanya pun bertarung di angkasa. Arya Gatutkaca yang bisa
terbang mampu mengimbangi Prabu Boma yang mengendarai Paksi Wilmuna. Mereka
bertarung sengit seperti yang sudah sering terjadi. Namun, tiba-tiba pandangan Prabu
Boma beralih melihat Patih Pancadnyana yang tewas terbunuh oleh Raden Arjuna.
Amarahnya pun meluap karena Patih Pancadnyana selama ini sudah dianggap bagaikan
paman sendiri. Prabu Boma pun melupakan pesan Prabu Kresna. Dengan sekuat tenaga,
ia mengarahkan Paksi Wilmuna menerjang Raden Arjuna, meninggalkan pertarungannya
melawan Arya Gatutkaca.
Raden Arjuna tidak menyangka dirinya diterjang Prabu Boma dengan mengendarai
Paksi Wilmuna. Kain yang dipakai Raden Arjuna pun lepas terkena cakar Paksi Wilmuna
sehingga pahanya terlihat jelas. Raden Arjuna merasa malu tak terbayangkan. Ia lalu
melesat pergi meninggalkan peperangan.

AKHIR HAYAT PRABU BOMA NARAKASURA


Prabu Kresna menyaksikan Prabu Boma telah melanggar pesannya untuk tidak
menyerang Raden Arjuna. Ia lalu memerintahkan Arya Gatutkaca untuk mengambil Anjang-
Anjang Kencana yang tersimpan di dalam gedung pusaka Kerajaan Dwarawati. Dahulu Arya
Gatutkaca pernah bertarung melawan Prabu Boma demi memperebutkan Wahyu Senapati.
Topeng Waja yang dikenakan Arya Gatutkaca hancur dihantam Gamparan Kencana milik
Batara Ekawarna yang dilemparkan Prabu Boma ke arahnya. Pecahan Topeng Waja dan
Gamparan Kencana lalu dibawa Batara Narada untuk dilebur Batara Ramayadi menjadi
Anjang-Anjang Kencana sebagai sarana kematian Prabu Boma kelak. Pusaka Anjang-
Anjang Kencana lalu diserahkan kepada Prabu Kresna untuk disimpan di gedung pusaka
Kerajaan Dwarawati.
Arya Gatutkaca memahami perintah Prabu Kresna. Ia lalu masuk ke dalam gedung
pusaka untuk mengambil benda tersebut. Sementara itu, Prabu Kresna datang menemui
Prabu Boma dan menegur putranya itu yang telah menyakiti Raden Arjuna. Prabu Boma
bertanya mengapa Raden Arjuna diistimewakan, tidak boleh diserang olehnya. Prabu
Kresna berkata bahwa Prabu Boma sesungguhnya adalah putra Batara Wisnu yang lahir
dari Batari Pretiwi. Adapun Batara Wisnu telah membelah penitisannya, yang setengah
menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan yang setengah menitis kepada Raden Arjuna.
Dengan demikian, apabila Prabu Boma menyerang Raden Arjuna itu sama saja durhaka
kepada ayah sendiri.
Prabu Boma kesal mengapa tidak dijelaskan dari awal. Ia merasa ini semua sudah
kepalang tanggung. Perang ini telah merenggut banyak nyawa. Patih Pancadnyana dan
semua punggawa raksasa Trajutresna yang selama ini menemani dirinya berjuang telah
tewas. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia jika tanpa teman di sampingnya. Prabu Boma
pun berniat mencari mati di tangan Batara Wisnu, ayahnya sendiri. Ia lalu mengarahkan
Paksi Wilmuna terbang ke angkasa, kemudian meluncur turun menerjang Prabu Kresna.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna paham maksud Prabu Boma. Ia pun melepaskan senjata Cakra untuk
menjemput serangan Prabu Boma. Senjata Cakra melesat memotong leher Paksi Wilmuna
dan menembus dada Prabu Boma. Tubuh Prabu Boma pun melayang jatuh ke tanah.
Namun, Arya Gatutkaca muncul mengusung Anjang-Anjang Kencana menjemputnya.
Tubuh Prabu Boma tidak sampai menyentuh tanah, tetapi tertahan di atas pusaka tersebut.
Hal ini membuat Aji Pancasunya tidak berfungsi, sehingga Prabu Boma tidak dapat hidup
kembali seperti tadi.

PERANG GOJALISUTA BERAKHIR


Melihat Prabu Boma telah tewas, Arya Wrekodara dan Prabu Baladewa pun
menghentikan pertarungan mereka. Pada saat itulah datang ayah kandung Dewi
Agnyanawati, yaitu Prabu Krentagnyana raja Giyantipura yang hendak membantu Prabu
Boma. Arya Wrekodara maju menghalangi dan pukulannya pun menewaskan raja tersebut.
Tidak lama kemudian datang pula Batari Pretiwi. Ia menemui Prabu Kresna untuk
menjemput pulang roh Prabu Boma Narakasura. Prabu Kresna mempersilakan. Perlahan-
lahan roh Prabu Boma keluar setelah terjebak di dalam Anjang-Anjang Kencana. Bersama
Batari Pretiwi, roh Prabu Boma yang kembali bernama Batara Sitija, mohon pamit kepada
Prabu Kresna untuk kemudian kembali ke kahyangan.
Setelah ditinggalkan rohnya, jasad Prabu Boma yang masih terbaring di atas Anjang-
Anjang Kencana pun musnah menjadi tanah. Asalnya dari tanah kembali menjadi tanah.
Perang Gojalisuta kini berakhir, yaitu perang antara ayah dan anak yang menyebabkan
banyak jatuh korban jiwa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kemunculan Raden Partajumena dan kelahiran Raden Dwara adalah tambahan dari saya untuk
meramaikan jalannya cerita.
KITAB WAYANG PURWA

KISAH
PANDAWA
BUANG
KITAB WAYANG PURWA

SESAJI RAJASUYA
Kisah ini menceritakan tentang upacara Sesaji Rajasuya yang diadakan oleh para
Pandawa, serta kematian Prabu Jarasanda, musuh bebuyutan Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang dipadukan
dengan buku tuntunan pedalangan lakon Sesaji Rajasuya karya Ki Sarwanto, dengan
perubahan seperlunya.
Kediri, 13 Agustus 2019
Heri Purwanto

Prabu Jarasanda

ADANYA BERITA TENTANG PENANGKAPAN PARA RAJA


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Setyaka, Arya
Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam pertemuan itu hadir pula sang kakak, yaitu Prabu
Baladewa dari Kerajaan Mandura bersama Patih Pragota dan Arya Prabawa.
Prabu Baladewa datang membawa kabar bahwa kedua paman, yaitu Prabu Bismaka
raja Kumbina dan Prabu Setyajit raja Lesanpura telah ditangkap oleh dua orang raja dari
tanah seberang, bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka. Prabu Baladewa mendapat
berita ini dari laporan Raden Rukmaka (putra Prabu Bismaka) yang juga meminta bantuan
untuk membebaskan mereka berdua. Prabu Baladewa berangkat mengejar, tetapi ia
kehilangan jejak dan terpaksa berbelok menuju Kerajaan Dwarawati untuk merundingkan
masalah ini dengan Prabu Kresna.
Arya Setyaki terkejut mendengar berita bahwa ayahnya (Prabu Setyajit) telah
ditangkap orang tak dikenal. Ia pun mohon izin kepada Prabu Kresna untuk mengejar kedua
musuh bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka tersebut. Prabu Kresna melarang Arya
Setyaki berangkat karena ia mendapat firasat bahwa sebentar lagi kedua musuh itu akan
datang menyerang Kerajaan Dwarawati.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Baladewa bertanya siapa sebenarnya dua raja itu dan mengapa mereka
menangkap Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit? Prabu Kresna mengatakan bahwa kedua
raja itu hanyalah suruhan belaka. Saat ini ada dua orang raja lain yang hendak mengadakan
upacara agung, yaitu Prabu Puntadewa yang berniat mengadakan Sesaji Rajasuya, serta
Prabu Jarasanda yang hendak mengadakan Sesaji Kalalodra. Bedanya, Sesaji Rajasuya
harus dihadiri paling sedikit seratus orang raja, sedangkan Sesaji Kalalodra harus
menyembelih seratus orang raja sebagai kurban.
Prabu Jarasanda adalah raja Kerajaan Magada yang beribukota di Giribajra. Menurut
penerawangan Prabu Kresna, saat ini Prabu Jarasanda telah menyekap 97 orang raja,
termasuk Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit. Untuk menggenapi seratus, Prabu Jarasanda
berniat menangkap Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa. Adapun dua
raja bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka adalah bawahan Prabu Jarasanda yang
ditugaskan untuk menangkapi para raja calon kurban.
Prabu Baladewa terkejut dirinya menjadi sasaran. Prabu Kresna menjelaskan bahwa
Prabu Jarasanda menyimpan dendam kepada keluarga Mandura. Prabu Jarasanda adalah
menantu Prabu Gorawangsa raja Guargra, yaitu raja raksasa yang pernah menyamar
sebagai Prabu Basudewa (ayah Prabu Baladewa dan Prabu Kresna) dan menghamili Dewi
Mahira. Dari hubungan tersebut lahir Prabu Kangsa yang bersahabat dengan Prabu
Jarasanda. Ketika dulu Prabu Kangsa tewas dibunuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa
semasa muda, hal ini tentu saja membuat Prabu Jarasanda sakit hati. Itu sebabnya Prabu
Jarasanda ingin menjadikan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sebagai kurban sesaji,
serta digenapi pula dengan Prabu Puntadewa. Adapun dendam kepada para Pandawa
adalah karena mereka putra Prabu Pandu, yang mana Prabu Pandu dulu pernah
mengalahkan Prabu Jarasanda di masa muda.
Prabu Baladewa lega mendengar bahwa Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka selaku
utusan Prabu Jarasanda akan datang untuk menangkap dirinya. Itu artinya ia tidak perlu
susah payah mencari mereka berdua. Prabu Kresna justru menyerahkan masalah ini
kepada Prabu Baladewa karena dirinya akan berangkat menuju Kerajaan Amarta,
membantu para Pandawa mempersiapkan Sesaji Rajasuya. Apabila Prabu Hamsa dan
Prabu Dimbaka bisa dikalahkan, maka Prabu Baladewa diminta untuk segera menyusul ke
Kerajaan Amarta.
Prabu Baladewa heran dirinya datang untuk merundingkan masalah ini bersama
Prabu Kresna, tapi sekarang justru hendak ditinggal pergi ke Kerajaan Amarta. Namun, ia
paham watak adiknya sehingga tidak perlu berdebat lagi. Prabu Kresna pun membubarkan
pertemuan, dan ia memerintahkan Arya Setyaki serta Patih Udawa untuk membantu Prabu
Baladewa menghadapi musuh.

PRABU BALADEWA MENUMPAS PRABU HAMSA DAN PRABU DIMBAKA


Prabu Baladewa mempersiapkan pasukan Dwarawati dan Mandura. Sesuai dugaan
Prabu Kresna, ternyata benar pasukan Magada datang menyerang di bawah pimpinan
Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka. Kedua raja ini datang untuk menangkap Prabu Kresna.
Namun, Prabu Baladewa sudah bersiaga didampingi Arya Setyaki dan Patih Udawa.
Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka ternyata sulit dibunuh.
Apabila Prabu Hamsa mati, maka ia akan hidup kembali setelah mayatnya dilangkahi oleh
Prabu Dimbaka. Sebaliknya, Prabu Dimbaka apabila mati juga hidup kembali setelah
mayatnya dilangkahi Prabu Hamsa.
Prabu Baladewa tidak kekurangan akal. Ia pun menghunus dua pusaka sekaligus,
yaitu Nanggala di tangan kanan dan Alugora di tangan kiri. Kedua pusaka ini masing-masing
KITAB WAYANG PURWA

dihantamkan ke kepala Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka yang menyerang bersama-sama.
Kedua raja itu pun tewas untuk selamanya.

PRABU KRESNA MENINJAU PERSIAPAN SESAJI RAJASUYA


Sementara itu, Prabu Kresna telah tiba di Kerajaan Amarta, disambut Prabu
Puntadewa dan para Pandawa lainnya. Setelah saling bertanya kabar, Prabu Kresna pun
menanyakan bagaimana persiapan Sesaji Rajasuya. Prabu Puntadewa balik bertanya, apa
saja yang harus disediakan para Pandawa dalam mengadakan upacara tersebut.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa Sesaji Rajasuya adalah upacara yang dilakukan
oleh seorang raja dalam rangka mensyukuri berkah atas negaranya yang telah berdiri.
Dalam hal ini, Prabu Puntadewa sangat berhak mengadakan upacara tersebut, karena ia
menjadi raja atas usahanya sendiri membuka negara Amarta mulai dari awal. Adapun raja
lainnya seperti Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana tidak bisa mengadakan Sesaji
Rajasuya karena mereka menjadi raja karena warisan dari orang tua. Sementara itu, Prabu
Kresna yang menjadi raja setelah mengalahkan Prabu Yudakala Kresna juga tidak bisa
mengadakan upacara ini karena Kerajaan Dwarawati sudah lebih dulu ada dan tinggal
meneruskan saja.
Syarat lainnya adalah, Sesaji Rajasuya harus dipimpin oleh tujuh orang brahmana
agung berilmu tinggi, serta disaksikan paling sedikit seratus orang raja dari berbagai negeri.
Selain itu, Prabu Puntadewa harus menghilangkan nyawa seorang raja angkara murka.
Prabu Puntadewa menyimak dengan seksama. Untuk syarat yang pertama ia telah
mengutus para putra Pandawa untuk menjemput para brahmana agung, terutama Bagawan
Abyasa dan Resiwara Bisma. Adapun syarat terakhir yang membuat Prabu Puntadewa
agak keberatan. Menurutnya, upacara Sesaji Rajasuya lebih baik dibatalkan daripada harus
mengorbankan nyawa orang lain.
Prabu Kresna pun bercerita bahwa saat ini Prabu Jarasanda raja Magada telah
menyekap 97 orang raja untuk ia sembelih dalam upacara Sesaji Kalalodra. Namun,
upacara tersebut tidak bisa diadakan apabila jumlah raja yang dikumpulkan belum
mencapai angka seratus. Rencananya, tiga raja yang akan digunakan sebagai penutup
adalah Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa.
Prabu Puntadewa tidak takut apabila dirinya ditangkap dan disembelih Prabu
Jarasanda. Namun, yang ia khawatirkan adalah nasib 97 orang raja yang saat ini menjadi
tawanan. Bagaimanapun juga mereka harus dibebaskan. Prabu Kresna menjelaskan
bahwa paman mereka, yaitu Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit termasuk yang berada
dalam tawanan tersebut. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna marah mendengarnya. Mereka
pun memohon izin kepada Prabu Puntadewa untuk membunuh Prabu Jarasanda dan
membebaskan semua raja yang saat ini ditawan.
Prabu Puntadewa menimbang-nimbang. Akhirnya, ia pun setuju membunuh Prabu
Jarasanda demi untuk membebaskan 97 orang raja yang menjadi tawanan. Namun, ia
memerintahkan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna agar membunuh Prabu Jarasanda saja,
tidak perlu menumpahkan darah orang lain. Mereka lalu bertanya kepada Prabu Kresna
bagaimana cara yang harus ditempuh. Prabu Kresna berkata bahwa Prabu Jarasanda
meskipun kejam dan bengis, namun ia sangat alim dalam beragama dan menghormati
kaum pendeta. Oleh sebab itu, Prabu Kresna mengajak Arya Wrekodara dan Raden Arjuna
untuk menyamar sebagai pendeta saat mendatangi Kerajaan Magada nanti.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna, Arya Wrekodara, Raden Arjuna pun mohon pamit
berangkat. Prabu Puntadewa merestui kedua adiknya, dan meminta Prabu Kresna untuk
melindungi mereka.
KITAB WAYANG PURWA

RADEN ABIMANYU MENGHADAP BAGAWAN ABYASA


Sementara itu di Gunung Saptaarga, Raden Abimanyu disertai para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong menghadap sang kakek buyut, yaitu Bagawan
Abyasa. Kedatangannya ialah untuk menjalankan perintah Prabu Puntadewa memohon
bantuan memimpin upacara Sesaji Rajasuya. Bagawan Abyasa menyatakan bersedia dan
mereka lalu berangkat bersama-sama.
Di tengah perjalanan, Raden Abimanyu dan rombongannya berpapasan dengan para
raksasa pengikut Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka yang kocar-kacir setelah raja mereka
tewas. Para raksasa itu pun menyerang Raden Abimanyu sebagai pelampiasan. Raden
Abimanyu dengan tangkas menghadapi mereka semua. Satu persatu raksasa pun
berguguran. Namun demikian, jumlah raksasa yang menyerangnya terlalu banyak.
Pada saat itulah muncul Arya Gatutkaca bersama Resiwara Bisma di tempat itu. Arya
Gatutkaca segera membantu Raden Abimanyu menumpas habis semua raksasa tersebut
tanpa sisa.
Resiwara Bisma yang melihat Bagawan Abyasa segera menghampirinya adiknya
tersebut (ayah Resiwara Bisma semasa hidupnya menikah dengan ibu Bagawan Abyasa).
Kedua brahmana tua itu pun berpelukan karena lama tidak bertemu. Arya Gatutkaca
ditugasi pergi ke Padepokan Talkanda untuk menjemput Resiwara Bisma agar membantu
pelaksanaan upacara Sesaji Rajasuya. Resiwara Bisma bersedia, namun ia merasa ilmu
Bagawan Abyasa lebih tinggi daripada dirinya, maka ia menyatakan hanya bertindak
sebagai pembantu saja. Bagawan Abyasa menyebut Resiwara Bisma terlalu merendahkan
diri. Mereka saling tertawa dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.

MENYUSUP MASUK KE DALAM KOTA GIRIBAJRA


Giribajra adalah ibu kota Kerajaan Magada. Kota tersebut memiliki nama demikian
karena terlindung oleh Gunung Cetiyaka. Di puncak gunung terdapat sebuah genderang
(tambur) yang bisa berbunyi sendiri apabila ada orang asing datang. Untuk itu, Prabu
Kresna pun memerintahkan Raden Arjuna agar menghancurkan genderang tersebut.
Raden Arjuna melaksanakan perintah. Sebelum tambur itu berbunyi, ia lebih dulu
melepaskan panah menuju ke puncak Gunung Cetiyaka. Anak panah itu melesat dan
menghancurkan genderang tersebut, musnah tanpa sisa.
Arya Wrekodara bertanya mengapa ada genderang yang bisa berbunyi sendiri. Prabu
Kresna pun bercerita bahwa raja Magada terdahulu bernama Prabu Wrehadrata. Meskipun
memiliki dua istri, namun tidak ada seorang pun yang memberinya keturunan. Prabu
Wrehadrata semakin tua dan pergi bertapa, memohon kepada dewata agar bisa memiliki
anak. Dewata mengabulkan permohonannya. Prabu Wrehadrata pun mendapatkan sebutir
buah mangga pertanggajiwa yang jatuh dari langit.
Karena menyayangi kedua istrinya tanpa pilih kasih, Prabu Wrehadrata membelah dua
mangga kahyangan tersebut dan masing-masing diberikan kepada dua istrinya. Setelah
memakan potongan buah mangga itu, kedua istri pun mengandung dan melahirkan pada
hari yang sama. Namun, masing-masing melahirkan bayi yang hanya sebelah saja.
Prabu Wrehadrata merasa sedih dan membuang kedua potongan bayi itu ke hutan. Di
hutan ada raksasi bernama Nyai Jara yang menemukan potongan kedua bayi tersebut.
Ketika keduanya diangkat dan didekatkan, ternyata bersatu menjadi bayi utuh yang memiliki
nyawa. Nyai Jara merasa sayang dan menjadikannya sebagai anak angkat.
Bayi tersebut tumbuh menjadi pemuda bernama Jaka Slewah, karena tubuhnya
tercipta dari dua belahan bayi. Ia menjadi murid Nyai Jara, dan setelah dewasa pergi ke
KITAB WAYANG PURWA

Kerajaan Magada untuk menuntut hak sebagai putra mahkota. Prabu Wrehadrata tidak
percaya bahwa Jaka Slewah adalah putranya. Mereka pun berperang. Prabu Wrehadrata
gugur di tangan anaknya sendiri, lalu kulitnya dikupas dan dijadikan sebagai genderang.
Genderang tersebut bisa berbunyi sendiri karena meminta ingin disempurnakan rohnya.
Jaka Slewah mendapat akal. Ia pun menaruh genderang tersebut di puncak Gunung
Cetiyaka sebagai pertanda apabila ada orang asing yang datang.
Setelah membunuh ayahnya sendiri, Jaka Slewah lalu menjadi raja Magada bergelar
Prabu Jarasanda, artinya “yang disatukan oleh Jara”. Kini Prabu Jarasanda berniat
mengadakan Sesaji Kalalodra, yang mana ia mengumpulkan seratus orang raja untuk
dikurbankan.
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna sangat geram mendengar kekejaman Prabu
Jarasanda. Namun, Prabu Kresna melarang mereka gegabah. Apabila masuk ke istana
Giribajra hendaknya mereka menyamar terlebih dulu menjadi pendeta, karena Prabu
Jarasanda meskipun kejam tetapi sangat menghormati kaum brahmana. Apabila tidak
menyamar, maka mereka akan mudah dicurigai dan dikepung oleh pasukan Kerajaan
Magada.
Arya Wrekodara mengaku tidak takut menghadapi para prajurit Magada. Prabu Kresna
setuju, namun itu artinya membuang-buang waktu dan tenaga. Lagipula, pesan Prabu
Puntadewa hanya Prabu Jarasanda saja yang boleh dibunuh, yang lainnya tidak boleh. Arya
Wrekodara mematuhi dan mereka bertiga pun segera bertukar busana, menyamar sebagai
pendeta.

PRABU JARASANDA MEMARAHI ANAKNYA


Sementara itu di istana Giribajra, Prabu Jarasanda dihadap putranya yang bernama
Raden Jayatsena. Dalam pertemuan itu, Raden Jayatsena mengajukan permohonan
kepada ayahnya supaya para raja yang berjumlah 97 orang dalam tahanan dibebaskan
saja. Raden Jayatsena merasa kasihan apabila mereka disembelih sebagai kurban dalam
Sesaji Kalalodra kelak. Jika mereka masih ditawan, maka negera mereka masing-masing
akan mengalami kekosongan pemerintahan, dan yang menderita adalah rakyat jelata
karena tidak ada kepastian hukum.
Prabu Jarasanda marah-marah mendengar ucapan anaknya. Ia menyebut Raden
Jayatsena anak kecil tahu apa. Kalau para raja itu disembelih, tinggal tunjuk saja ahli waris
mereka sebagai raja maka negara tidak akan mengalami kekosongan. Hal semudah ini tidak
perlu dipikirkan. Justru dengan adanya Sesaji Kalalodra maka Kerajaan Magada akan
semakin dilindungi oleh Batara Kala. Adapun Batara Kala adalah dewa penguasa
marabahaya. Apabila sang dewa sudah berkenan dengan upacara yang dilakukan oleh
Prabu Jarasanda, maka Kerajaan Magada tidak akan dilanda marabahaya lagi.
Raden Jayatsena masih saja mempertahankan pendapatnya. Mengangkat ahli waris
sebagai pengganti tidak semudah itu. Apabila ahli warisnya banyak, maka akan terjadi
perebutan takhta dan kekacauan negara. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban. Prabu
Jarasanda tidak peduli. Jika Raden Jayatsena tetap saja membela para raja tawanan, maka
lebih baik pergi saja dari Kerajaan Magada. Raden Jayatsena tidak berani membantah. Ia
pun pamit mengundurkan diri ke luar istana, takut melihat kemarahan sang ayah.

PRABU KRESNA MENANTANG PRABU JARASANDA PERANG TANDING


Tidak lama kemudian Prabu Jarasanda mendapat kabar dari patihnya bahwa ada tiga
orang brahmana ingin bertemu. Prabu Jarasanda selama hidupnya selalu menghormati
KITAB WAYANG PURWA

brahmana. Ia pun bergegas menyambut mereka dengan penuh tata krama. Ketiga
brahmana tersebut mengaku bernama Resi Kesawa, Resi Balawa, dan Resi Parta.
Resi Kesawa selaku pemimpin rombongan langsung berterus terang bahwa
kedatangan mereka bertiga adalah meminta Prabu Jarasanda untuk membebaskan para
raja yang menjadi tawanan. Untuk apa menambah dosa, lebih baik hidup rukun dalam
persahabatan. Bayangkan apabila kelak keluarga 97 raja itu bersatu menggempur Prabu
Jarasanda, bukankah ini berbahaya? Prabu Jarasanda tidak peduli, karena jika mereka
dikurbankan, maka Batara Kala akan selalu melindungi Kerajaan Magada. Jangankan
diserang seratus negara, bahkan diserang seribu negara pun Prabu Jarasanda tetap
merasa aman dalam perlindungan Batara Kala.
Resi Kesawa berkata bahwa Batara Kala adalah dewa juga, dan di atas dewa masih
ada Tuhan Yang Mahakuasa. Apabila Tuhan berkehendak lain, Batara Kala bisa apa?
Prabu Jarasanda tersinggung dewa sesembahannya dihina. Ia mulai curiga pendeta di
depannya adalah Prabu Kresna, musuh bebuyutannya. Resi Kesawa merasa tidak perlu
menutupi lagi. Ia pun berterus terang bahwa dirinya memang Prabu Kresna, sedangkan
Resi Balawa adalah Arya Wrekodara, dan Resi Parta adalah Raden Arjuna.
Prabu Jarasanda senang sekali karena hari ini ia bisa membunuh Prabu Kresna untuk
membalaskan kematian sahabatnya, yaitu Prabu Kangsa dua puluh tahun yang lalu.
Selama ini Prabu Jarasanda tidak menyerang Kerajaan Dwarawati karena takut pada
sekutu Prabu Kresna, yaitu para Pandawa, mengingat dulu dirinya pernah dikalahkan Prabu
Pandu. Namun, kini Prabu Kresna dan dua Pandawa datang mengantarkan nyawa, maka
Prabu Jarasanda merasa tidak perlu segan-segan lagi.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa kedatangannya bukan untuk bertempur besar-
besaran, tetapi cukup perang tanding membunuh satu orang saja, yaitu Prabu Jarasanda.
Apabila Prabu Jarasanda mati, maka 97 raja yang ditawan harus dibebaskan. Sebaliknya,
jika Prabu Jarasanda bisa membunuh salah satu dari Prabu Kresna, Arya Wrekodara, atau
Raden Arjuna dalam perang tanding nanti, maka Sesaji Kalalodra boleh dilanjutkan, bahkan
Prabu Puntadewa dan Prabu Baladewa akan menyerahkan diri sebagai penggenap jumlah
raja yang akan disembelih.
Prabu Jarasanda seorang raja yang pandai bergulat. Ia merasa terhina jika harus
bergulat melawan Prabu Kresna dan Raden Arjuna yang berbadan kecil. Maka, ia pun
memilih Arya Wrekodara sebagai lawan bertanding. Arya Wrekodara menerima tantangan
dengan senang hati, karena sejak tadi ia berharap dirinya yang dipilih.

PERTANDINGAN ANTARA PRABU JARASANDA MELAWAN ARYA WREKODARA


Pertandingan antara Prabu Jarasanda dan Arya Wrekodara pun dimulai. Mereka
bertanding di sebuah gelanggang disaksikan segenap prajurit Magada. Dalam pertandingan
itu, tampak bahwa keduanya sama-sama kuat dan perkasa. Mereka saling menangkap,
saling membanting, saling tendang, dan saling pukul. Tidak bisa dipastikan siapa yang lebih
unggul dan siapa yang akan kalah.
Ketika senja tiba, Prabu Jarasanda menghentikan pertandingan untuk beristirahat. Ia
sudah menyediakan kamar tamu untuk Prabu Kresna dan rombongannya. Meskipun
bermusuhan, tetapi Prabu Jarasanda tetap menjunjung tinggi tata krama. Ia mengirimkan
para pelayannya untuk memenuhi segala kebutuhan Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan
Raden Arjuna.
Arya Wrekodara makan dengan lahap. Ia tidak takut makanan diracuni karena semasa
muda pernah meminum air ajaib Tirtamanik Rasakunda, sehingga dirinya kebal terhadap
segala jenis racun. Hanya Raden Arjuna yang diam tidak mau makan karena takut terkena
KITAB WAYANG PURWA

racun. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda memang seorang raja angkara
murka, tetapi sangat menjaga harga diri. Prabu Kresna yakin Prabu Jarasanda tidak
mungkin melakukan tindakan rendah layaknya seorang pengecut, misalnya menaruh racun
dalam hidangan. Lagipula, Prabu Kresna memiliki Kembang Wijayakusuma, sehingga
Raden Arjuna tidak perlu merasa khawatir. Setelah mendengar penjelasan demikian, Raden
Arjuna baru berani makan.

CARA MEMBUNUH PRABU JARASANDA


Pagi harinya pertandingan antara Prabu Jarasanda dan Arya Wrekodara kembali
dilanjutkan. Kali ini mereka bertanding dengan penuh semangat karena badan sama-sama
segar. Pertandingan tetap berjalan alot, hingga senja tiba belum ada yang terlihat siapa
pemenangnya.
Malam itu kedua pihak kembali beristirahat. Esok harinya pertandingan dilanjutkan,
dan pada sore harinya dihentikan. Begitulah yang terjadi hingga beberapa hari. Pada hari
ketujuh Prabu Kresna teringat pada kisah kelahiran Prabu Jarasanda. Ia pun berbisik
kepada Arya Wrekodara bahwa Prabu Jarasanda dulu berasal dari dua belahan bayi, maka
sekarang harus dikembalikan lagi menjadi dua belahan.
Arya Wrekodara paham. Dalam pertandingan hari itu, ia berusaha menangkap kedua
kaki Prabu Jarasanda. Ketika bisa ditangkap, ia pun menarik kedua kaki tersebut ke dua
arah yang berbeda. Prabu Jarasanda menjerit dan tubuhnya pun terbelah menjadi dua.
Namun, sungguh ajaib kedua tubuh itu bersatu kembali seperti sedia kala.
Arya Wrekodara menoleh ke arah Prabu Kresna. Prabu Kresna pun mencabut ilalang
dan membelahnya menjadi dua, lalu melemparkannya ke kiri dan ke kanan. Arya Wrekodara
paham. Kali ini ia kembali menangkap kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya
menjadi dua. Kedua potongan itu lalu dilempar jauh-jauh ke kiri dan ke kanan. Namun,
sungguh ajaib keduanya bergerak mendekat dan bersatu lagi, bagaikan tertarik oleh besi
sembrani.
Arya Wrekodara bingung dan kembali menoleh kepada Prabu Kresna. Kali ini Prabu
Kresna mencoba cara lain. Ia melemparkan potongan ilalang di tangan kiri ke arah kanan,
dan melemparkan yang di tangan kanan ke arah kiri. Arya Wrekodara paham. Ia kembali
menangkap kedua kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua
potongan itu lalu dilemparkan menyilang. Belahan tubuh sebelah kiri dilemparkan ke kanan,
sedangkan belahan tubuh kanan dilemparkan ke kiri. Kali ini Prabu Jarasanda tidak lagi
hidup kembali, tetapi mati untuk selamanya.

PRABU KRESNA MEMBEBASKAN PARA RAJA YANG DITAWAN


Para prajurit Magada takut bercampur marah melihat raja mereka tewas mengerikan.
Raden Jayatsena berduka, tetapi ia teringat pesan ayahnya untuk menjaga keamanan tiga
musuhnya apabila tewas. Prabu Kresna terkesan pada sikap kesatria Prabu Jarasanda. Ia
pun membantu Raden Jayatsena menyelenggarakan upacara jenazah. Jasad Prabu
Jarasanda yang sudah terbelah hari itu dibakar dalam dua tempat yang terpisah.
Setelah upacara jenazah Prabu Jarasanda selesai, Raden Jayatsena pun
membebaskan 97 orang raja yang ditawan ayahnya. Mereka semua berterima kasih kepada
Prabu Kresna dan kedua Pandawa. Selama dalam penjara, makan dan minum mereka
selalu diperhatikan oleh Prabu Jarasanda. Itu sebabnya tidak ada raja yang menderita
kelaparan, kecuali beberapa orang yang menolak untuk makan, misalnya Prabu Bismaka
dan Prabu Setyajit.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna kemudian melantik Raden Jayatsena sebagai raja Magada yang baru.
Setelah itu, mereka bersama-sama berangkat ke Kerajaan Amarta untuk menghadiri Sesaji
Rajasuya.

PELAKSANAAN UPACARA SESAJI RAJASUYA


Prabu Puntadewa merasa bahagia karena semua persyaratan upacara telah
terpenuhi. Para raja dari segala penjuru berdatangan memenuhi undangannya. Jumlahnya
lebih dari seratus orang. Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sudah pasti hadir. Prabu Salya,
Prabu Drupada, Prabu Bismaka, Prabu Setyajit, serta para raja mertua Raden Arjuna juga
berdatangan. Hanya Prabu Matsyapati yang tidak hadir mengingat usianya yang sudah tua,
melainkan diwakili oleh para putranya, yaitu Arya Seta, Arya Utara, dan Arya Wratsangka.
Prabu Duryudana datang paling akhir bersama Patih Sangkuni dan Adipati Karna.
Para pendeta pun membaca puja mantra dipimpin tujuh pendeta agung, yaitu Bagawan
Abyasa, Resiwara Bisma, Danghyang Druna, Resi Krepa, Resi Sindupramana, Resi
Jayawilapa, dan Resi Sidiwacana. Dalam upacara tersebut para raja yang telah ditawan
Prabu Jarasanda berterima kasih karena berkat pertolongan Prabu Puntadewa melalui
saudara-saudaranya, mereka bisa terbebas dari maut. Oleh sebab itu, mereka pun sepakat
menyebut Prabu Puntadewa sebagai raja agung bergelar Maharaja Yudistira.
Maharaja Yudistira berkata bahwa semua ini berkat bantuan dan nasihat dari Prabu
Kresna Wasudewa. Baginya, Prabu Kresna bukan hanya sekadar saudara sepupu, tetapi
sudah menjadi dewa pelindung bagi para Pandawa. Prabu Kresna tidak lain adalah titisan
Batara Wisnu yang turun ke dunia untuk memelihara ketertiban dunia. Oleh sebab itu, Prabu
Kresna sangat layak untuk mendapatkan penghormatan agung dalam upacara ini, dan
mulai sekarang Maharaja Yudistira akan menyebut Prabu Kresna dengan panggilan Sri
Batara Kresna. Para hadirin pun bertepuk tangan setuju. Mereka sepakat ikut memanggil
demikian.

PRABU SISUPALA MEMBUAT KEKACAUAN


Tidak semua raja yang hadir bertepuk tangan. Ada satu orang yang maju ke depan
mengajukan keberatan. Orang itu adalah Prabu Sisupala raja Cedi. Ia berkata bahwa Prabu
Kresna tidak layak mendapat penghormatan. Menurutnya, Prabu Kresna adalah manusia
hina yang semasa muda pernah menjadi gembala, berteman dengan sapi, pernah jadi begal
pula, merampok, berjudi, menghisap candu, mabuk-mabukan, dan main perempuan. Prabu
Kresna adalah manusia licik penuh tipu daya. Orang seperti dia tidak pantas mendapat
penghormatan, bahkan tidak pantas berada dalam acara ini.
Prabu Baladewa marah-marah mendengar adiknya dihina. Begitu pula Arya
Wrekodara dan Raden Arjuna ingin melabrak Prabu Sisupala. Namun, mereka dicegah
Prabu Kresna. Prabu Baladewa bertanya mengapa Batara Kresna diam saja. Batara Kresna
menjawab, dirinya tidak diam tetapi sedang menghitung.
Prabu Sisupala tidak takut dan terus menghina. Ia mengatakan bahwa harusnya Prabu
Duryudana raja Hastina yang mendapat penghormatan mulia, karena ia adalah raja paling
kaya di antara para raja semuanya. Tiba-tiba Batara Kresna menyatakan cukup, karena
Prabu Sisupala sudah berdosa kepadanya lebih dari seratus kali. Prabu Sisupala tidak
peduli dan terus-menerus menghinanya. Batara Kresna mengeluarkan senjata Cakra
Sudarsana dan menerbangkannya ke arah Prabu Sisupala. Raja Cedi itu pun tewas
seketika dengan leher putus.
Prabu Baladewa bertanya mengapa Batara Kresna harus bertindak menunggu seratus
hitungan. Batara Kresna pun bercerita bahwa Prabu Sisupala adalah bekas muridnya.
KITAB WAYANG PURWA

Dahulu kala ketika masih menjadi begal, Batara Kresna pernah berkelana hingga ke
Kerajaan Cedi. Di sana sang raja yang bernama Prabu Darmagosa sedang bersedih,
karena putranya yang bernama Raden Sisupala lahir cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga
lengan, dan tiga kaki. Ia mendapatkan ramalan, bahwa orang yang bisa meruwat Raden
Sisupala adalah kelak yang akan mengambil nyawa putranya tersebut. Batara Kresna yang
saat itu bernama Begal Guwenda datang ke istana Cedi dan menggendong bayi Raden
Sisupala. Sungguh ajaib, satu mata, lengan, dan kaki bayi itu lepas sehingga menjadi bayi
normal. Prabu Darmagosa berterima kasih, namun juga memohon agar anaknya jangan
dibunuh. Begal Guwenda mengaku tidak dapat melawan takdir. Namun, ia berjanji asalkan
Raden Sisupala tidak berbuat dosa kepadanya sampai seratus kali, maka tidak akan
dibunuh. Prabu Darmagosa berterima kasih dan menyerahkan Raden Sisupala agar
menjadi murid Begal Guwenda.
Setelah dewasa Prabu Sisupala justru bersahabat dengan Prabu Jarasanda dan
beberapa kali melakukan dosa terhadap Batara Kresna. Hari ini Batara Kresna menghitung
sudah genap seratus kali bahkan lebih, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak
membunuh Prabu Sisupala.

PRABU DURYUDANA DIPERMALUKAN DEWI DRUPADI


Upacara Sesaji Rajasuya telah berakhir. Para tamu satu persatu pamit pulang ke
negara masing-masing. Hanya Prabu Duryudana yang penasaran ingin melihat seperti apa
indahnya istana Indraprasta milik para Pandawa. Konon istana Indraprasta dulu pernah
ditambahi bangunan oleh Batara Wiswakarma dan Ditya Mayasura, yang dilengkapi tipuan
ilusi.
Ketika Prabu Duryudana berjalan seorang diri, ia bertemu panakawan Petruk yang
mengingatkannya agar berhati-hati karena di depan ada kolam air. Prabu Duryudana tidak
percaya dan menuduh Petruk hendak mempermainkannya. Ternyata benar, karpet yang
diinjak Prabu Duryudana adalah kolam. Prabu Duryudana pun tercebur ke dalamnya.
Kebetulan Dewi Drupadi sedang lewat di tempat itu. Ia pun menyebut Prabu
Duryudana buta seperti ayahnya. Prabu Duryudana sangat marah mendengar cacat
ayahnya disinggung. Ia buru-buru merangkak naik dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
Patih Sangkuni datang menyambut Prabu Duryudana yang basah kuyup. Prabu
Duryudana marah dan dendam atas penghinaan ini. Ia bersumpah harus bisa ganti
mempermalukan Dewi Drupadi di depan umum. Patih Sangkuni menghibur rajanya. Ia pun
berjanji akan membantu membalaskan sakit hati Prabu Duryudana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Saya mengikuti alur Mahabharata bahwa Prabu Boma Narakasura mati terlebih dulu dibanding
Prabu Jarasanda. Karena Raden Samba sudah saya kisahkan tewas dalam kisah kematian Prabu
Boma, maka dalam jejer Dwarawati di atas, saya kisahkan yang tampil adalah Raden Setyaka.
KITAB WAYANG PURWA

PANDAWA DADU
Kisah ini menceritakan tentang permainan dadu antara para Kurawa yang diwakili
Patih Sangkuni melawan para Pandawa, sehingga Pandawa harus menjalani hukuman
buang selama tiga belas tahun. Kisah ini merupakan cikal-bakal Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang dipadukan
dengan rekaman lakon Pandawa Dadu yang dimainkan Ki Manteb Soedharsono,
dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 18 September 2019
Heri Purwanto

Dewi Drupadi.

PRABU DURYUDANA SAKIT HATI SETELAH PULANG DARI INDRAPRASTA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang
Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Hari itu Prabu Duryudana
tampak sangat marah. Ia masih sakit hati karena dua hal. Yang pertama, ia sangat iri melihat
keindahan istana Indraprasta milik para Pandawa yang konon dibangun dengan bantuan
Batara Wiswakarma dan Asura Maya. Yang kedua, ia sakit hati karena dihina dan
dipermalukan Dewi Drupadi, istri Maharaja Yudistira.
Saat itu sesudah upacara Sesaji Rajasuya berakhir, Prabu Duryudana berjalan-jalan
untuk mengamati keindahan istana Indraprasta. Muncul panakawan Petruk yang
mengingatkan bahwa di depan ada kolam air. Namun, yang dilihat Prabu Duryudana di
depan adalah hamparan permadani. Ia menuduh Petruk sengaja mempermainkannya.
Prabu Duryudana terus saja melangkah dan dirinya pun tercebur ke dalam kolam yang
dilihatnya sebagai permadani itu. Tiba-tiba Dewi Drupadi muncul dan menghina Prabu
Duryudana tidak bisa melihat seperti ayahnya.
Prabu Duryudana sangat marah atas penghinaan ini. Ia pulang ke Kerajaan Hastina,
tidak enak makan, tidak enak tidur. Sejak kecil ia selalu merasa sial karena memiliki orang
tua yang tunanetra, dan kini kesialannya itu diungkit-ungkit oleh seorang wanita. Andai saja
yang menghinanya seorang laki-laki, pasti sudah ia labrak saat itu juga.
KITAB WAYANG PURWA

Adipati Karna menanggapi cerita tersebut dengan penuh kemarahan. Sebagai


senapati Kerajaan Hastina, ia merasa berdosa jika tidak bisa menghukum penghina rajanya.
Maka, Adipati Karna pun mohon izin untuk menggempur Kerajaan Amarta saat ini juga. Ia
tidak akan kembali jika belum memenggal kepala Dewi Drupadi dan Pandawa Lima,
meskipun mereka adalah adik-adiknya sendiri. Patih Sangkuni tidak setuju. Ia punya usulan
lain, yaitu penghinaan harus dibalas dengan penghinaan, bukan dengan jalan peperangan.
Prabu Duryudana tertarik pada usulan Patih Sangkuni. Ia ingin melihat para Pandawa
dan Dewi Drupadi dihina habis-habisan untuk melampiaskan sakit hatinya. Patih Sangkuni
berkata bahwa, ia pernah mengajak Maharaja Yudistira semasa muda bermain dadu. Saat
itu terlihat bahwa Maharaja Yudistira sangat menyukai permainan ini. Maka, Patih Sangkuni
pun mengusulkan agar Prabu Duryudana mengundang Maharaja Yudistira untuk bermain
dadu lagi, pasti tidak akan ditolak. Melalui permainan dadu nanti, Prabu Duryudana bisa
merebut Kerajaan Amarta beserta istana Indraprasta dan mempermalukan para Pandawa
beserta Dewi Drupadi.
Prabu Duryudana tidak yakin apa benar cara tersebut bisa digunakan untuk
mengalahkan para Pandawa. Patih Sangkuni bercerita bahwa dirinya pernah belajar ilmu
sihir. Memenangkan permainan dadu adalah perkara mudah baginya. Apalagi dadu yang ia
pakai berasal dari tulang ayahnya sendiri, yaitu mendiang Prabu Suwala. Patih Sangkuni
juga telah mengadakan upacara memanggil roh ayahnya agar masuk bersatu di dalam dadu
tersebut.
Danghyang Druna ngeri mendengar rencana Patih Sangkuni. Ia menyarankan Patih
Sangkuni agar membatalkan rencana tersebut, karena mempermalukan para Pandawa
melalui perjuadian adalah tindakan licik dan tidak kesatria. Patih Sangkuni balas
mengatakan bahwa ini lebih baik daripada menempuh jalur peperangan. Jika menggunakan
permainan dadu, maka tidak perlu sampai jatuh korban jiwa. Lagipula jika sampai terjadi
perang seperti yang diusulkan Adipati Karna, maka Danghyang Druna akan kehilangan
murid, entah itu yang mati para Pandawa ataukah para Kurawa.
Prabu Duryudana berkata bahwa dirinya sudah memutuskan untuk menyetujui usulan
Patih Sangkuni, yaitu mengajak para Pandawa bermain dadu. Danghyang Druna dan
Adipati Karna boleh tidak setuju, tetapi mereka harus tetap mematuhi karena raja sudah
memutuskan demikian. Prabu Duryudana juga meminta agar permainan dadu nanti
disaksikan para sesepuh Kerajaan Hastina, yaitu Resiwara Bisma, Prabusepuh Dretarastra,
Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa. Pokoknya para Pandawa dan Dewi Drupadi harus
dipermalukan di hadapan mereka semua.
Danghyang Druna mengingatkan bahwa para Pandawa memiliki penasihat agung,
yaitu Prabu Batara Kresna. Bagaimana jika sampai ia menghalangi permainan dadu nanti?
Patih Sangkuni menjawab, mengenai Prabu Kresna adalah urusan Danghyang Druna.
Prabu Duryudana membenarkan ucapan Patih Sangkuni. Ia meminta Danghyang Druna
agar mengerahkan murid-muridnya untuk mengalihkan perhatian Batara Kresna agar tidak
mengganggu permainan dadu nanti. Danghyang Druna yang dalam hati tidak setuju
terpaksa mematuhi perintah ini.
Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Patih
Sangkuni dan Danghyang Druna lalu berbagi tugas untuk keberalangsungan acara
permainan dadu nanti.

DANGHYANG DRUNA MENGERAHKAN MURID-MURIDNYA


Di paseban luar, Danghyang Druna memanggil murid-muridnya agar maju mendekat.
Mereka adalah para raja bekas pengikut Prabu Jarasanda yang bernama Prabu Wiruka,
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Wisaka, Prabu Reksaka, Prabu Jayakurda, dan Prabu Surakesti. Setelah Prabu
Jarasanda gugur, kelima raja itu menjadi sekutu Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina,
serta berguru kepada Danghyang Druna. Kali ini Danghyang Druna meminta bayaran atas
pelajaran yang ia berikan, di mana mereka harus berangkat menyerang Kerajaan
Dwarawati.
Prabu Wiruka dan kawan-kawan bersenang hati karena ini adalah peluang bagi
mereka untuk membalaskan kematian Prabu Jarasanda, Prabu Sisupala, Prabu Hamsa,
dan Prabu Dimbaka. Mereka lalu mohon pamit dan mohon restu kepada Danghyang Druna,
kemudian berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.

KERAJAAN DWARAWATI DIKEPUNG MUSUH


Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Batara Kresna dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki,
dan Patih Udawa. Hadir pula dua putra lainnya yang telah memiliki negeri sendiri, yaitu
Adipati Partajumena dan Patih Saranadewa. Setelah meninggalnya Raden Samba,
seharusnya yang menjadi pangeran mahkota adalah Raden Partajumena. Namun, Raden
Partajumena menolak karena ingin hidup mandiri membangun negeri sendiri. Ia pun
berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil yang diberi nama Dadapaksi. Adik kandungnya
yang berparas raksasa, yaitu Raden Saranadewa dijadikan sebagai patih, sedangkan
dirinya memakai gelar adipati, dan tetap mengakui Kerajaan Dwarawati sebagai atasan.
Demikianlah, karena Adipati Partajumena telah memiliki negeri sendiri, maka hari ini
Prabu Batara Kresna melantik putra bungsunya, yaitu Raden Setyaka sebagai pangeran
mahota Kerajaan Dwarawati. Pelantikan ini juga disaksikan oleh Prabu Baladewa yang
datang berkunjung dari Kerajaan Mandura.
Prabu Kresna kemudian berbicara kepada Prabu Baladewa, Arya Setyaki, dan yang
lain, bahwa tadi malam dirinya bermimpi melihat Kerajaan Amarta diterjang banjir bandang
(tsunami) yang menenggelamkan kelima Pandawa dan Dewi Drupadi. Namun, mereka
kemudian berhasil muncul kembali ke permukaan. Prabu Kresna mendapat firasat bahwa
para Pandawa akan mendapat musibah besar, namun mampu untuk bertahan. Untuk itu, ia
berniat mengunjungi mereka di Kerajaan Amarta.
Tiba-tiba ada laporan bahwa Kerajaan Dwarawati diserang musuh dari segala penjuru.
Mereka adalah para raja yang berniat membalas dendam atas kematian Prabu Jarasanda
raja Magada. Prabu Kresna segera memerintahkan Arya Setyaki untuk memimpin pasukan
menghadapi serangan tersebut. Prabu Baladewa tanpa diminta langsung memerintahkan
pasukan Mandura untuk membantu.
Maka, terjadilah pertempuran di Kerajaan Dwarawati. Gabungan pasukan Dwarawati
dan Mandura bertempur menghadapi pasukan lima raja yang dikirim Danghyang Druna.
Untuk sementara, Prabu Kresna harus menunda keberangkatannya menuju Kerajaan
Amarta.

ADIPATI YAMAWIDURA MEMBAWA UNDANGAN KE KERAJAAN AMARTA


Sementara itu di Kerajaan Amarta, Maharaja Yudistira dan adik-adiknya menerima
kunjungan Adipati Yamawidura dari Pagombakan. Kedatangan sang paman adalah untuk
menyampaikan surat dari Prabusepuh Dretarastra, yang mengundang Maharaja Yudistira
dan permaisuri Dewi Drupadi beserta keempat Pandawa lainnya untuk menghadiri acara
permainan dadu dalam rangka syukuran hari kelahiran Prabu Duryudana di Kerajaan
Hastina. Maharaja Yudistira menerima undangan tersebut dengan senang hati dan
menyatakan bersedia untuk datang.
KITAB WAYANG PURWA

Arya Wrekodara heran mengapa Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari
kelahiran, bukankah hari kelahiran antara dirinya dengan Prabu Duryudana hanya selisih
satu hari saja, dan seharusnya itu sudah lewat? Maharaja Yudistira melarang Arya
Wrekodara berburuk sangka. Ia pun bercerita tentang kisah kelahiran mereka. Kala itu Dewi
Gandari istri Prabu Dretarastra sudah lebih dulu mengandung, namun sampai dua tahun
belum juga melahirkan. Dewi Kunti yang mengandung belakangan ternyata lebih dulu
melahirkan Maharaja Yudistira. Konon Dewi Gandari sangat marah karena didahului dan ia
pun memukuli perutnya sendiri supaya si janin segera lahir. Ternyata yang keluar dari
kandungannya bukan bayi, melainkan segumpal daging hidup. Bagawan Abyasa datang
dan memecah daging tersebut menjadi seratus potong, lalu memasukkannya masing-
masing ke dalam kuali.
Beberapa waktu kemudian, Dewi Kunti melahirkan Arya Wrekodara dalam keadaan
terbungkus. Esok harinya, salah satu pecahan daging yang dilahirkan Dewi Gandari
berubah menjadi bayi normal, yaitu Prabu Duryudana. Jadi, memang benar bayi Prabu
Duryudana keluar dari kuali selisih sehari dengan lahirnya Arya Wrekodara, namun
kelahirannya ke dunia dalam wujud daging hidup adalah sesudah lahirnya Maharaja
Yudistira. Mungkin yang akan dirayakan Prabu Duryudana adalah kelahirannya yang
pertama tersebut. Maka itu, Maharaja Yudistira melarang Arya Wrekodara berburuk sangka,
apalagi yang mengundang mereka adalah Prabusepuh Dretarastra.
Raden Arjuna ikut bicara. Ia mengingatkan Maharaja Yudistira atas peristiwa Balai
Sigala-gala. Saat itu Prabu Dretarastra telah diperalat Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni
untuk mencelakakan para Pandawa. Prabu Dretarastra adalah orang yang memerintahkan
para Pandawa dan Dewi Kunti untuk bermalam di Balai Sigala-gala yang kemudian dibakar.
Untungnya, Adipati Yamawidura telah memohon bantuan kepada sang mertua, yaitu Resi
Landakseta untuk membuatkan terowongan bawah tanah, sehingga para Pandawa dan
sang ibu bisa selamat. Apalagi kali ini undangannya adalah bermain dadu, tentunya penuh
dengan rekayasa dan tipu muslihat di dalamnya.
Adipati Yamawidura membenarkan ucapan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna.
Dirinya mengaku didesak oleh Prabusepuh Dretarastra untuk mengantarkan surat
undangan ke Kerajaan Amarta. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Dewi Drupadi harus
menghadiri permainan dadu di acara syukuran tersebut. Sepertinya Adipati Yamawidura
sengaja dikirim agar para Pandawa segan menolak. Namun, hari ini ia justru menasihati
Maharaja Yudistira agar tidak menghadiri undangan mencurigakan tersebut.
Maharaja Yudistira menolak nasihat sang paman. Ia telah menyatakan dirinya akan
menghadiri undangan ini dan tidak akan menarik kembali ucapannya. Sama sekali ia tidak
pernah menaruh curiga kepada Prabusepuh Dretarastra yang sudah dianggap sebagai
pengganti ayah kandungnya. Dewi Drupadi sebagai istri juga menyatakan ikut menemani,
begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa. Arya Wrekodara dan Raden
Arjuna tidak tega kalau sampai mereka dicelakai para Kurawa. Maka, keduanya pun
menyatakan ikut berangkat.
Adipati Yamawidura sudah hafal watak Maharaja Yudistira dan ia tidak bisa mencegah
lagi. Maka, mereka pun bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.

PRABU BATARA KRESNA MENYUSUL PARA PANDAWA


Berkat bantuan Prabu Baladewa dan pasukan Mandura, akhirnya musuh yang
mengepung Kerajaan Dwarawati dapat ditumpas semuanya. Prabu Batara Kresna lalu
mohon pamit berangkat ke Kerajaan Amarta karena ia mendapat firasat buruk atas nasib
para Pandawa. Untuk sementara, Kerajaan Dwarawati dititipkan kepada Prabu Baladewa
dan Arya Setyaki.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna pun memacu kereta Jaladara hingga tiba di Kerajaan Amarta. Namun,
di sana ia tidak bertemu para Pandawa. Menurut keterangan Patih Tambakganggeng,
kelima Pandawa dan Dewi Drupadi telah dijemput Adipati Yamawidura untuk bersama-
sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.
Mendengar berita itu, Prabu Kresna segera memacu kereta untuk mengejar. Namun,
ia dihadang Batara Narada yang tiba-tiba turun dari angkasa. Batara Narada mencegah
Prabu Kresna ikut campur, karena ini menyangkut takdir yang harus dijalani para Pandawa.
Prabu Kresna heran takdir apa yang akan menimpa para Pandawa. Batara Narada
mengingatkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, tentunya tidak perlu ragu bahwa
para Pandawa ditakdirkan menjadi kaum kesatria penumpas angkara murka. Namun,
mereka lebih dulu harus menjalani ujian dari Yang Mahakuasa demi menguatkan hati dan
mendewasakan jiwa. Ujian tersebut akan segera datang, dan Prabu Kresna dilarang keras
untuk menggagalkannya.
Prabu Kresna memahami ucapan Batara Narada. Ia pun berjanji tidak akan membantu
Pandawa Lima, namun ia minta izin untuk mengawasi mereka. Batara Narada mengizinkan
Prabu Kresna boleh mengawasi, tapi tidak boleh membantu para Pandawa sama sekali.
Prabu Kresna berterima kasih, lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan.

MAHARAJA YUDISTIRA MENERIMA TANTANGAN BERMAIN DADU


Adipati Yamawidura, Maharaja Yudistira, dan para Pandawa lainnya telah tiba di
Kerajaan Hastina, sedangkan Dewi Drupadi masuk ke dalam kamar tamu karena sedang
datang bulan. Mereka pun disambut oleh Prabu Duryudana yang didampingi Prabusepuh
Dretarastra dan Patih Sangkuni. Juga terlihat ada Resiwara Bisma, Danghyang Druna, dan
Resi Krepa di belakang mereka.
Prabusepuh Dretarastra berkata bahwa hari ini Prabu Duryudana mengadakan pesta
syukuran hari kelahirannya. Ia sengaja mengundang semua kerabat, dan tentunya para
Pandawa. Dalam acara kali ini, Prabu Duryudana ingin mengajak Maharaja Yudistira untuk
bermain dadu, demi mengenang masa kecil para Pandawa dan Kurawa yang sering main
bersama.
Maharaja Yudistira menerima dengan senang hati. Prabu Duryudana berkata bahwa
Patih Sangkuni yang akan mewakili dirinya sebagai pelempar dadu. Adipati Yamawidura
bertanya, mengapa harus diwakili Patih Sangkuni? Mengapa Prabu Duryudana tidak
bermain sendiri sebagai pemimpin Kurawa melawan Maharaja Yudistira sebagai pemimpin
Pandawa?
Prabu Duryudana geram mendengar pertanyaan sang paman. Ia pura-pura mogok
hendak membatalkan permainan. Maharaja Yudistira yang tidak suka melihat orang lain
kecewa segera mengatakan bahwa dirinya bersedia menghadapi Patih Sangkuni sebagai
wakil Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar pihak lawan masuk ke dalam
perangkapnya.

PATIH SANGKUNI BERMAIN SIHIR


Patih Sangkuni duduk didampingi Prabu Duryudana, Arya Dursasana, dan Adipati
Karna. Mereka berhadapan melawan Maharaja Yudistira yang duduk bersama keempat
Pandawa lainnya. Permainan dadu pun dimulai. Mula-mula mereka bertaruh kecil-kecilan,
yaitu perhiasan dan uang yang mereka bawa. Untuk babak pertama dimenangkan Maharaja
Yudistira.
Prabu Duryudana terlihat kecewa kepada Patih Sangkuni. Namun, ia tidak tahu kalau
Patih Sangkuni sengaja memberi angin kepada para Pandawa agar mereka lengah. Pada
KITAB WAYANG PURWA

babak kedua, Patih Sangkuni mulai menggunakan ilmu sihirnya. Dadu yang ia buat dari
tulang mendiang Prabu Suwala telah diisi dengan mantra sihir. Berapa pun yang angka
yang ia minta selalu muncul, seolah dadu tersebut bisa diajak bicara.
Satu persatu harta yang dipertaruhkan Maharaja Yudistira pun berpindah tangan
menjadi milik Prabu Duryudana. Melihat itu, Adipati Yamawidura tampil dan mengusulkan
agar permainan dihentikan saja, karena pihak Pandawa sudah kehabisan bekal. Namun,
Prabu Duryudana tidak bersedia. Ia mengajak Maharaja Yudistira tetap bermain, karena
harta kekayaan para Pandawa yang ada di istana Indraprasta masih banyak. Meskipun tidak
dibawa, tapi itu bisa untuk dipertaruhkan.
Maharaja Yudistira tidak ingin melihat tuan rumah kecewa. Ia pun mempertaruhkan
harta yang ada di istana Indraprasta. Namun, satu persatu lenyap menjadi milik Prabu
Duryudana karena kepandaian Patih Sangkuni melempar dadu. Hingga akhirnya istana
Indraprasta juga dipertaruhkan, dan kemudian jatuh pula ke pihak lawan.

MAHARAJA YUDISTIRA MEMPERTARUHKAN ADIK-ADIKNYA


Maharaja Yudistira mengaku kalah dan dirinya sudah tidak punya apa-apa lagi. Prabu
Duryudana berkata, Maharaja Yudistira masih memiliki empat orang adik yang setia.
Mereka tentunya bisa dipertaruhkan. Jika Maharaja Yudistira menang pada babak
selanjutnya, maka istana Indraprasta beserta isinya akan dikembalikan lagi.
Adipati Yamawidura bangkit kembali meminta agar permainan dihentikan. Prabu
Duryudana menyuruh pamannya itu diam. Seorang adipati tidak berhak memerintah raja.
Prabusepuh Dretarastra tampak manggut-manggut, pertanda ia membenarkan ucapan
Prabu Duryudana.
Maharaja Yudistira terpancing ucapan Prabu Duryudana. Ia pun mempertaruhkan
Raden Sadewa. Namun, Raden Sadewa jatuh pula ke pihak lawan. Yang kedua, ia
mempertaruhkan Raden Nakula. Patih Sangkuni dengan ilmu sihirnya lagi-lagi dapat
merebut Raden Nakula menjadi milik Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana tertawa senang dan berjanji akan menjadikan si kembar sebagai
budak adik kesayangannya, yaitu Arya Dursasana. Ia lalu menantang Maharaja Yudistira
untuk mempertaruhkan adik yang lain. Maharaja Yudistira pun mempertaruhkan Raden
Arjuna. Patih Sangkuni kembali melemparkan dadu dan Raden Arjuna pun menjadi milik
Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana lalu menantang Maharaja Yudistira untuk mempertaruhkan Arya
Wrekodara. Maharaja Yudistira setuju dan ia pun mempertaruhkan adik keduanya itu. Lagi-
lagi Patih Sangkuni berhasil mengendalikan lemparan dadunya, dan Arya Wrekodara pun
jatuh ke tangan Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana tertawa gembira melihat Arya Wrekodara yang sejak kecil menjadi
musuh bebuyutannya, kini berubah menjadi budak yang harus melayani dirinya. Resiwara
Bisma tidak tahan lagi. Ia meminta Prabusepuh Dretarastra untuk menghentikan permainan
gila ini. Prabusepuh Dretarastra hanya diam saja, seolah merestui Prabu Duryudana agar
terus bermain. Resiwara Bisma sangat marah karena ucapannya tidak diperhatikan, namun
ia tidak tega untuk meninggalkan para Pandawa dalam keadaan seperti ini.
Prabu Duryudana kembali mendesak Maharaja Yudistira untuk melanjutkan
permainan. Maharaja Yudistira tidak punya pilihan lain. Ia pun mempertaruhkan dirinya
sendiri. Patih Sangkuni kembali beraksi. Kali ini ia berhasil merenggut kemerdekaan
Maharaja Yudistira. Prabu Duryudana tertawa senang. Ia tidak sudi mendengar gelar
KITAB WAYANG PURWA

Maharaja Yudistira diucapkan. Mulai saat ini, gelar itu harus dibuang dan kembali memakai
nama Prabu Puntadewa saja.

PRABU PUNTADEWA MEMPERTARUHKAN DEWI DRUPADI


Prabu Puntadewa bersedia melepas gelar maharaja yang ia peroleh saat Sesaji
Rajasuya. Ia pun meminta agar permainan dadu dihentikan, karena ia sudah tidak punya
apa-apa lagi. Bahkan, ia dan keempat adiknya sudah resmi menjadi budak para Kurawa.
Prabu Duryudana mengingatkan bahwa Prabu Puntadewa masih memiliki seorang istri
yang cantik tetapi sombong, bernama Dewi Drupadi. Mendengar itu Arya Wrekodara dan
Raden Arjuna bangkit hendak melabrak Prabu Duryudana, namun dicegah Prabu
Puntadewa.
Prabu Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, maka ia tidak berani
mempertaruhkan Dewi Drupadi. Prabu Duryudana berkata bahwa, meskipun Prabu
Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, tetapi hubungan suami-istri tidaklah putus.
Prabu Puntadewa masih berhak untuk mempertaruhkan istrinya. Apalagi kalau babak ini
sampai dimenangkan olehnya, maka seluruh Pandawa akan dibebaskan, dan Kerajaan
Amarta beserta istana Indraprasta akan dikembalikan pula.
Prabu Puntadewa merasa kasihan pada nasib adik-adiknya yang menjadi budak
karena perbuatannya. Maka, ia pun bersedia mempertaruhkan Dewi Drupadi. Patih
Sangkuni kembali melempar dadu. Lagi-lagi ia menang dan Dewi Drupadi pun menjadi milik
Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana khawatir Adipati Karna bangkit melindungi Dewi Drupadi yang
merupakan adik iparnya. Maka, ia pun mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu saat
sayembara memanah di Kerajaan Pancala, yaitu ketika Adipati Karna dihina Dewi Drupadi
sebagai anak kusir yang tidak tahu diri karena berani melamar seorang putri raja. Adipati
Karna terpancing amarahnya karena teringat peristiwa tersebut. Ia pun berkata bahwa Dewi
Drupadi memang sangat cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan.
Ucapan Adipati Karna membuat Raden Arjuna bangkit dan mengucapkan sumpah.
Meskipun mereka bersaudara, namun kelak dirinya akan membunuh Adipati Karna dalam
pertempuran. Mendengar sumpah tersebut, Prabu Duryudana marah dan menyuruh Raden
Arjuna duduk kembali. Seorang budak dilarang bicara tanpa izin majikan. Prabu Puntadewa
segera merangkul Raden Arjuna untuk menyabarkannya.
Sementara itu, Resiwara Bisma, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa hanya bisa
tertunduk karena mereka tidak mampu menghentikan kegilaan ini. Danghyang Druna juga
menyesal telah terlibat dalam penyusunan rencana permainan dadu tersebut.

DEWI DRUPADI DIPERMALUKAN DI DEPAN UMUM


Prabu Duryudana tertawa senang karena Dewi Drupadi yang pernah menghina
dirinya, kini menjadi budak para Kurawa. Ia pun memerintahkan Arya Dursasana menyeret
wanita itu untuk dihadirkan di tempat permainan dadu. Arya Dursasana berangkat segera.
Ia mendatangi Dewi Drupadi yang beristirahat di kamar tamu karena sedang datang bulan.
Dewi Drupadi heran mendengar dirinya telah dipertaruhkan. Arya Dursasana tidak
peduli. Ia langsung menjambak rambut iparnya tersebut dan menariknya agar ikut
dengannya. Dewi Drupadi meronta kesakitan, namun Arya Dursasana justru mempercepat
langkah kakinya. Dewi Drupadi yang seorang wanita tidak mampu mengikuti langkah Arya
Dursasana yang lebih lebar. Ia pun terjatuh di lantai dengan rambut masih dijambak Arya
Dursasana.
KITAB WAYANG PURWA

Tanpa ampun, Arya Dursasana tetap menjambak dan menyeret Dewi Drupadi di lantai
hingga akhirnya mereka sampai di tempat perjudian. Semua orang terkejut dan tertunduk
malu bercampur marah, terutama para Pandawa. Hanya Prabu Duryudana dan para
Kurawa yang tertawa menyaksikan pemandangan ini.
Dewi Drupadi bertanya mengapa dirinya dipertaruhkan. Apakah memang budaya
Kerajaan Hastina menganggap wanita sebagai benda yang bisa diperjualbelikan? Resiwara
Bisma dan Adipati Yamawidura tertunduk malu tidak bisa menjawab. Prabu Puntadewa dan
para Pandawa hanya bisa tertunduk lesu, karena mereka sudah menjadi budak yang tidak
memiliki hak untuk bicara.
Ternyata tidak semua Kurawa tertawa menyaksikan pemandangan itu. Raden
Durmagati adalah satu-satunya yang diam tidak ikut bergembira. Ia melangkah maju dan
meminta kepada Prabu Duryudana agar membebaskan Dewi Drupadi. Raden Durmagati
berkata bahwa perbuatan Arya Dursasana yang menjambak dan menyeret Dewi Drupadi
akan mencoreng nama baik Kerajaan Hastina di mata dunia.
Raden Durmagati memang Kurawa yang unik. Tubuhnya pendek gemuk, wajahnya
buruk rupa, penampilannya lugu seperti anak kecil, namun berpikiran bijaksana. Tidak
jarang ia berani mengkritik Patih Sangkuni apabila merencanakan kejahatan untuk para
Pandawa. Namun, kritikannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Tak disangka, kini ia
berani melawan Prabu Duryudana di depan umum. Prabu Duryudana sangat marah dan
memerintahkan Raden Kartawarma untuk meringkus Raden Durmagati dan membawanya
kembali duduk.
Prabu Duryudana teringat pada ucapan Adipati Karna tadi, bahwa Dewi Drupadi
berwajah cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan. Arya Dursasana pun
diperintahkan untuk melucuti pakaian Dewi Drupadi. Seorang wanita murahan tidak perlu
ditutupi pakaian. Nanti apabila sudah telanjang, maka Dewi Drupadi hendak dipangku di
atas paha Prabu Duryudana.
Arya Wrekodara marah mendengarnya. Ia bersumpah akan meremukkan paha Prabu
Duryudana dan meminum darah Arya Dursasana apabila berani mempermalukan Dewi
Drupadi. Prabu Duryudana tidak peduli dan tetap memerintahkan Arya Dursasana untuk
segera bertindak.
Arya Dursasana dengan beringas menarik ujung kain yang dipakai Dewi Drupadi.
Meskipun berusaha menahannya, namun kekuatan Dewi Drupadi jauh di bawah Arya
Dursasana yang berbadan gemuk tinggi besar. Ia melihat para Pandawa sudah tertunduk
lesu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah
Prabu Batara Kresna. Dewi Drupadi pun memanggil kakak iparnya itu agar datang
menolong.

PRABU BATARA KRESNA MENOLONG DEWI DRUPADI


Prabu Batara Kresna sebenarnya sudah hadir di Kerajaan Hastina sejak tadi, namun
ia menggunakan Aji Panglimunan sehingga tidak seorang pun bisa melihat kehadirannya.
Karena sudah berjanji di hadapan Batara Narada, maka ia pun diam saja tidak menolong
para Pandawa yang dilanda kesusahan.
Namun, kali ini Dewi Drupadi hendak ditelanjangi di depan umum, tidak mungkin Prabu
Kresna menutup mata begitu saja. Lagipula ia hanya berjanji tidak akan membantu para
Pandawa, sedangkan Dewi Drupadi tidak ia sebutkan dalam janji tersebut. Maka, ia merasa
tidak melanggar janji apabila turun tangan membantu adik iparnya tersebut.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Kresna masih tetap menggunakan Aji Panglimunan, namun dari tangannya
keluar kain yang menyambung kepada kain yang dikenakan Dewi Drupadi. Hal itu membuat
kain yang dikenakan Dewi Drupadi tidak bisa habis. Arya Dursasana sampai kelelahan
menarik kain tersebut namun Dewi Drupadi tidak juga terlihat telanjang. Akhirnya, Arya
Dursasana pun jatuh terduduk kehabisan tenaga, sedangkan kain yang ia tarik sudah
bertumpuk menggunung setinggi tubuhnya. Dewi Drupadi tetap berpakaian dan ia pun jatuh
ke lantai dicekam rasa sedih tak terperikan.
Dewi Drupadi menangis telah dipermalukan di istana mertua. Sebagai menantu dirinya
tidak dihargai dan dianggap sebagai benda tak bernyawa. Pada saat itulah muncul Dewi
Gandari dan Dewi Kunti mendatanginya. Dewi Kunti segera memeluk tubuh menantunya
itu, sedangkan Dewi Gandari melabrak Prabu Duryudana, anaknya sendiri.

PERMAINAN DADU DIULANG KEMBALI


Dewi Gandari memaki Prabu Duryudana dan Arya Dursasana sebagai manusia tak
berbudi yang tidak punya tata krama. Prabu Duryudana heran karena selama ini sang ibu
selalu mendukung keinginannya, tapi mengapa kali ini justru melabrak dirinya. Dewi Gandari
berkata, dirinya memang selalu mendukung Prabu Duryudana, tapi tidak untuk kali ini.
Bagaimanapun juga Dewi Gandari dan Dewi Drupadi sama-sama wanita. Menghina satu
orang wanita berarti sama dengan menghina semua wanita di dunia. Menghina Dewi
Drupadi berarti sama dengan menghina Dewi Gandari. Kali ini Dewi Gandari benar-benar
marah. Ia meminta permainan gila ini dibatalkan, dan semua harta benda milik Pandawa
harus dikembalikan. Para Pandawa juga harus dibebaskan, tidak boleh lagi menjadi budak
para Kurawa.
Prabu Duryudana ingin membantah, namun seumur hidup ia selalu menyayangi
ibunya tersebut. Patih Sangkuni mendapat akal. Ia bersedia mengembalikan semua milik
Pandawa, namun mengusulkan agar permainan tetap dilanjutkan. Kali ini bentuk
taruhannya berbeda, bukan lagi harta benda, tetapi hukuman buang.
Dewi Gandari penasaran dan bertanya, hukuman buang seperti apa yang hendak
diusulkan adiknya. Patih Sangkuni menjawab, apabila babak baru nanti dimenangkan para
Pandawa, maka para Kurawa harus menjalani hukuman buang ke hutan selama dua belas
tahun, kemudian ditambah hidup menyamar di sebuah negeri selama satu tahun. Apabila
ketahuan, maka harus mengulang lagi selama dua belas tahun di hutan dan setahun
menyamar, begitu seterusnya. Selama masa pembuangan, maka Kerajaan Hastina harus
dititipkan kepada para Pandawa. Sebaliknya, apabila para Pandawa yang kalah, maka
mereka harus dibuang dengan cara seperti itu. Selama para Pandawa pergi, maka Kerajaan
Amarta untuk sementara harus dititipkan kepada para Kurawa.
Dewi Gandari setuju, yang penting tidak boleh lagi ada perbudakan dan penghinaan
terhadap wanita. Prabusepuh Dretarastra juga setuju, sedangkan Resiwara Bisma dan
Adipati Yamawidura diam saja karena merasa percuma ikut bicara. Prabu Duryudana juga
setuju pada usulan Patih Sangkuni, dan ia pun bertanya bagaimana pendapat para
Pandawa.
Prabu Puntadewa merasa tidak punya pilihan lain. Ia pun menerima tantangan
tersebut. Patih Sangkuni kembali melempar dadu. Sesuai dugaan, babak yang baru ini lagi-
lagi dimenangkan oleh pihak Kurawa.

PARA PANDAWA BERANGKAT KE HUTAN


Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden
Sadewa mohon pamit untuk mulai menjalani masa pembuangan di hutan. Sesuai perjanjian,
KITAB WAYANG PURWA

mereka pun menitipkan Kerajaan Amarta kepada Prabu Duryudana. Dewi Kunti dan Dewi
Drupadi menyatakan ikut serta. Prabu Puntadewa tidak bersedia karena ini adalah
kesalahan dirinya, maka ibu dan istrinya dilarang ikut pergi ke hutan.
Adipati Yamawidura tidak tega melihat kakak iparnya ikut menjalani pembuangan. Ia
pun meminta Dewi Kunti untuk tinggal di Kadipaten Pagombakan saja. Prabu Puntadewa
dan keempat adiknya ikut memohon agar sang ibu menerima tawaran tersebut. Dewi Kunti
akhirnya luluh dan bersedia menerima ajakan Adipati Yamawidura.
Prabu Puntadewa lalu mengajak Dewi Drupadi pulang ke Kerajaan Pancala. Selama
para Pandawa menjalani masa pembuangan, Dewi Drupadi akan dititipkan kepada sang
ayah, yaitu Prabu Drupada. Mendengar itu, Dewi Drupadi mengancam akan bunuh diri. Ia
telah dipermalukan di istana Kerajaan Hastina, maka tidak mungkin pulang ke Kerajaan
Pancala dengan membawa aib. Baginya lebih baik mati daripada malu bertemu orang tua.
Jika Prabu Puntadewa tidak ingin melihat istrinya bunuh diri, maka sebaiknya diizinkan ikut
menemani pergi ke hutan. Bahkan, Dewi Drupadi menyatakan sumpah bahwa dirinya tidak
akan menata rambut sebelum keramas darah Arya Dursasana. Aib memalukan ini hanya
bisa ditebus dengan nyawa Arya Dursasana.
Pada saat itulah muncul Prabu Kresna menampakkan diri. Ia berkata bahwa ini semua
adalah takdir yang harus dijalani para Pandawa dan juga Dewi Drupadi. Kehidupan di hutan
jangan dianggap sebagai musibah, tetapi hendaknya menjadi sarana untuk melebur dosa
dan mendewasakan jiwa, karena kelak para Pandawa akan menjadi kesatria pinilih yang
mendapat tugas dari dewata untuk menumpas angkara murka.
Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya dapat menerima takdir ini. Dewi Drupadi
akhirnya diizinkan untuk ikut serta. Mereka lalu memohon restu dan bersama-sama
berangkat menuju Hutan Kamyaka untuk menjalani masa pembuangan selama dua belas
tahun.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Tokoh Kurawa yang membela Drupadi menurut versi Mahabharata bernama Wikarna. Dalam
kisah di atas saya ganti menjadi Durmagati karena saya mengikuti sanggit Ki Anom Suroto,
bahwa Durmagati adalah anggota Kurawa yang buruk rupa tetapi baik hati, yang sering
mengkritik niat jahat Patih Sangkuni.
KITAB WAYANG PURWA

KIRMIRA GUGUR
Kisah ini menceritakan tentang para Pandawa yang mulai tinggal di hutan, sedangkan
para Kurawa mengambil alih Kerajaan Amarta.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Wanaparwa, dengan perubahan
seperlunya.
Kediri, 11 Desember 2019
Heri Purwanto

PRABU DURYUDANA BERNIAT MENGAMBIL ALIH KERAJAAN AMARTA


Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang
Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Selama beberapa hari ini
para Kurawa selalu merayakan kemenangan mereka atas para Pandawa melalui permainan
dadu. Setiap hari mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dan juga menari gembira dengan
para wanita penghibur. Danghyang Druna prihatin atas ulah mereka. Ia menyarankan
kepada Prabu Duryudana agar jangan terlalu larut dalam kemenangan ini. Kemenangan
terhadap para Pandawa melalui perjudian sesungguhnya adalah kemenangan yang
memalukan. Masih terngiang bagaimana Dewi Drupadi dijambak, diseret, dan dilecehkan di
depan para hadirin. Bagaimanapun juga Dewi Drupadi adalah putri Prabu Drupada, sahabat
karib Danghyang Druna. Memang benar, dulu mereka pernah bermusuhan. Namun, setelah
Danghyang Druna berhasil merebut setengah wilayah Kerajaan Pancala, hubungan mereka
kembali menjadi sahabat. Dewi Drupadi adalah anak dari sahabat Danghyang Druna, berarti
sudah seperti anaknya sendiri.
Patih Sangkuni menjawab keluh kesah Danghyang Druna. Peristiwa ini ibarat nasi
sudah menjadi bubur. Danghyang Druna ikut hadir menyaksikan Dewi Drupadi dilecehkan
namun tidak dapat berbuat apa-apa. Prabu Drupada tentu sangat marah dan menyimpan
dendam kepada Danghyang Druna. Persahabatan antara mereka tentu akan kembali
menjadi permusuhan lagi. Tidak ada pilihan lain bagi Danghyang Druna selain berada di
pihak Kurawa. Jika Prabu Drupada datang menyerang melampiaskan kemarahannya, maka
segenap kekuatan Kerajaan Hastina akan siap melindungi Danghyang Druna.
Danghyang Druna merasa dirinya memang ikut berdosa atas kejahatan ini. Terlanjur
basah maka sekalian mandi pula. Lagipula ia tidak akan lupa bahwa dirinya pernah terlunta-
lunta menjadi orang miskin, sekarang bisa menjadi pendeta kaya raya dan memiliki
perguruan besar, itu semua berkat Prabusepuh Dretarastra yang memberinya pekerjaan.
Dulu ia pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan Hastina. Kini, yang
KITAB WAYANG PURWA

menjadi raja Hastina adalah Prabu Duryudana, maka mau tidak mau ia pun harus setia
kepada muridnya tersebut.
Prabu Duryudana gembira mendengar ikrar setia Danghyang Druna. Kini ia berencana
untuk mengambil alih wilayah Kerajaan Amarta untuk menjadi bagian Kerajaan Hastina.
Sesuai perjanjian, karena para Pandawa kalah bermain dadu, maka mereka harus
menjalani hukuman buang tiga belas tahun lamanya. Selama mereka pergi, maka Kerajaan
Amarta harus dititipkan kepada para Kurawa. Oleh sebab itu, Prabu Duryudana berniat
mengirim Adipati Jayadrata agar menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa
di sana.

PRABU KIRMIRA MENAWARKAN PERSAHABATAN


Prabu Duryudana memanggil Adipati Jayadrata untuk menghadap. Adipati Jayadrata
datang menerima perintah. Prabu Duryudana pun menyerahkan surat tugas kepadanya
agar mulai hari ini menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa di sana. Adipati
Jayadrata menerima tugas tersebut, namun merasa ragu-ragu untuk berangkat. Prabu
Duryudana bertanya mengapa demikian. Adipati Jayadrata menjawab, dirinya agak gentar
jika sampai berhadapan dengan para putra Pandawa, yaitu Raden Antareja, Arya
Gatutkaca, Raden Antasena, Raden Abimanyu, dan sebagainya, yang konon menduduki
Kerajaan Amarta.
Pada saat itulah datang seorang raja raksasa menghadap Prabu Duryudana. Ia
memperkenalkan dirinya bernama Prabu Kirmira dari Kerajaan Ekacakra. Ia adalah putra
dari raja Ekacakra terdahulu yang bernama Prabu Baka. Pada saat ayahnya tewas dibunuh
Arya Wrekodara, saat itu Prabu Kirmira masih bayi. Para pelayan ayahnya berhasil
membawa kabur Prabu Kirmira untuk mengungsi dari balas dendam rakyat Ekacakra yang
sanak keluarganya dimakan oleh Prabu Baka.
Kini Prabu Kirmira telah dewasa. Ia mendatangi Kerajaan Ekacakra dan berhasil
merebut kembali negeri peninggalan ayahnya tersebut. Tidak ada seorang pun rakyat yang
berani melawan dirinya. Prabu Kirmira kemudian mendengar kabar bahwa pembunuh
ayahnya yang bernama Arya Wrekodara memiliki musuh bebuyutan yang bernama Prabu
Duryudana raja Hastina. Pepatah mengatakan, musuh dari musuh adalah teman. Untuk
itulah, Prabu Kirmira pun datang ke Kerajaan Hastina untuk menawarkan persahabatan
dengan Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana menyambut baik tawaran persahabatan tersebut. Ia berkata bahwa
para Pandawa telah kalah dalam permainan dadu dan harus menjalani hukuman buang
selama tiga belas tahun. Selama mereka pergi, Kerajaan Amarta harus diserahkan kepada
para Kurawa. Namun, anak-anak Pandawa menduduki negeri tersebut. Meskipun rata-rata
masih muda, namun mereka memiliki kesaktian tidak kalah dengan para Pandawa.
Prabu Kirmira berkata, ini saatnya ia menunjukkan ketulusan dalam pertemanan ini. Ia
menyatakan bersedia untuk membabat habis anak-anak Pandawa sebagai balas dendam
atas kematian ayahnya terdahulu. Prabu Duryudana berterima kasih, dan ia pun
mempersilakan Prabu Kirmira untuk berangkat menuju Kerajaan Amarta bersama Adipati
Jayadrata.
Prabu Kirmira menerima tugas dengan senang hati. Ia lalu mohon pamit berangkat
bersama Adipati Jayadrata menuju Kerajaan Amarta.

PRABUSEPUH DRETARASTRA MENGUSIR ADIPATI YAMAWIDURA


Di Keraton Gajahoya, Prabusepuh Dretarastra dan Dewi Gandari dihadap Adipati
Yamawidura. Hari itu Adipati Yamawidura datang untuk memohon kebijaksanaan
KITAB WAYANG PURWA

Prabusepuh Dretarastra agar membatalkan hukuman buang yang dijalani para Pandawa
dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan Hastina tempo hari sungguh biadab,
di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan
para hadirin, termasuk para sesepuh negara. Adipati Yamawidura merasa sangat malu tidak
dapat berbuat apa-apa. Prabusepuh Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak
mencegah anak-anaknya.
Dewi Gandari menyela pembicaraan. Ia berkata bahwa dirinya telah menghentikan
permainan itu. Pelecehan Dewi Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib Kerajaan
Hastina. Namun, itu semua telah dihentikan oleh Dewi Gandari. Lalu, mengapa Adipati
Yamawidura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?
Adipati Yamawidura menjawab, yang namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib.
Meskipun Dewi Gandari telah menghentikan permainan, namun permainan tetap saja
dilanjutkan dengan bentuk taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan
dibuang selama tiga belas tahun. Dewi Gandari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah
disepakati bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum buang selama tiga
belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman
buang.
Adipati Yamawidura berkata hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa
diwakili Patih Sangkuni yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih
Sangkuni bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Adipati Yamawidura
menyarankan agar hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang
kembali ke negara mereka. Prabusepuh Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak
bertindak, maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda
Kerajaan Hastina.
Dewi Gandari tersinggung mendengar Patih Sangkuni dituduh berbuat curang dan
bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Prabusepuh Dretarastra, dan ia meminta
izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sangkuni ke Kerajaan Gandaradesa
daripada dihina seperti ini. Adipati Yamawidura menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah
belaka.
Prabusepuh Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun memarahi Adipati
Yamawidura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. Selama ini Adipati Yamawidura
selalu berat sebelah, yaitu lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa, padahal
mereka sesama keponakan. Apapun yang dilakukan anak-anaknya selalu salah di mata
Adipati Yamawidura, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Prabu Pandu selalu
terlihat benar. Jika memang Adipati Yamawidura lebih sayang kepada para Pandawa
daripada para Kurawa, mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?
Adipati Yamawidura terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk
pergi bergabung dengan para Pandawa di Hutan Kamyaka.

PRABU KIRMIRA MENGUSIR PARA PUTRA PANDAWA


Sementara itu di Kerajaan Amarta, para putra Pandawa antara lain Raden Pancawala,
Arya Antareja, Arya Gatutkaca, Raden Abimanyu, Bambang Irawan, Raden Sumitra, dan
Raden Bratalaras, sedang berunding bersama Patih Tambakganggeng dan para punggawa
mengenai kemungkinan para Kurawa datang untuk mengambil alih negara. Para putra
Pandawa siap mengukuhi kerajaan karena menurut mereka Kurawa memenangkan
permainan dadu melalui cara yang licik.
Tidak lama kemudian datanglah Adipati Jayadrata dan Prabu Kirmira di tempat itu.
Mereka meminta para putra Pandawa menyerahkan Kerajaan Amarta kepada para Kurawa
KITAB WAYANG PURWA

karena Pandawa sudah kalah bermain dadu. Sebagai kesepakatan, para Pandawa harus
pergi ke hutan selama dua belas tahun dan menyamar di suatu negara selama setahun,
sedangkan Kerajaan Amarta harus dititipkan kepada Kurawa.
Arya Antareja sebagai juru bicara menolak keputusan itu. Menurutnya, para Kurawa
tidak berhak mengambil alih Kerajaan Amarta karena mereka menang secara curang.
Adipati Jayadrata bertanya apakah para putra Pandawa bisa membuktikan kecurangan itu.
Arya Antareja tidak bisa menjawab. Ia hanya meyakini bahwa Patih Sangkuni bermain sihir
saat melemparkan dadu.
Adipati Jayadrata marah karena para putra Pandawa menuduh tanpa bukti. Ia berkata
bahwa Kerajaan Amarta akan diambil alih hari ini juga, tidak peduli para putra Pandawa
bersedia atau tidak. Arya Antareja dan saudara-saudaranya bertekad akan mengukuhi
setiap jengkal Kerajaan Amarta. Tiba-tiba Prabu Kirmira maju menerjang mereka. Maka,
terjadilah pertempuran. Para putra Pandawa dan pasukan Amarta bertempur menghadapi
Prabu Kirmira dan pasukan raksasa Ekacakra.
Setelah bertempur cukup lama, para putra Pandawa merasa terdesak. Mereka tidak
mampu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta dan terpaksa pergi menyusul orang tua
mereka di Hutan Kamyaka. Prabu Kirmira tidak mau mengampuni. Ia tetap mengejar
mereka dan menyerahkan Kerajaan Amarta kepada Adipati Jayadrata.

PARA PANDAWA BERUNDING SOAL KELANJUTAN PEMBUANGAN MEREKA


Sementara itu di Hutan Kamyaka, Prabu Puntadewa dihadap para adik dan Dewi
Drupadi. Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa memakai
pakaian kenegaraan lengkap. Mereka mengajak Prabu Puntadewa kembali ke Kerajaan
Amarta karena waktu tiga belas hari sudah terlewati. Menurut pepatah lama, waktu sehari
bagaikan setahun. Karena tiga belas hari sudah terlewati, maka itu sama dengan tiga belas
tahun.
Prabu Puntadewa tidak membenarkan pendapat seperti itu. Itu hanyalah pepatah di
dunia majas, sedangkan kekalahan dadu ada di dunia nyata. Hukuman tiga belas tahun
adalah nyata, dan harus dijalani secara nyata. Ia bersumpah akan menjalani hukuman ini.
Terserah keempat Pandawa jika ingin kembali ke Kerajaan Amarta, dirinya tidak akan
melarang. Dewi Drupadi juga dipersilakan kembali ke Amarta bersama keempat Pandawa.
Dewi Drupadi berkata dirinya sudah bersumpah akan menjalani hukum buang sampai
selesai, dan ia anggap ini sebagai pembuang sial. Setelah tiga belas tahun terlewati, maka
urusan dendam kepada Arya Dursasana barulah bisa diselesaikan. Ia ingin membuktikan
kepada dunia bahwa dirinya adalah wanita tangguh yang tidak takut menjalani masa
hukuman.
Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa tertunduk malu.
Mereka lalu menyatakan tetap ikut menyertai Prabu Puntadewa menjalani masa hukuman
sampai habis.

ADIPATI YAMAWIDURA DATANG DI HUTAN KAMYAKA


Setelah para Pandawa satu pemahaman dan satu tujuan, tiba-tiba Adipati
Yamawidura datang menemui mereka. Mereka heran melihat sang paman hadir di Hutan
Kamyaka. Adipati Yamawidura berkata bahwa dirinya telah diusir Prabusepuh Dretarastra
karena memperjuangkan para Pandawa yang dicurangi Patih Sangkuni.
Prabu Puntadewa berkata bahwa tidak ada yang curang dalam permainan tersebut.
Patih Sangkuni bisa menang karena ia memang pandai dalam melempar dadu. Sebaliknya,
ia kalah karena memang tidak terampil. Kini para Pandawa harus menjalani hukuman, dan
KITAB WAYANG PURWA

itu adalah bagian dari perjanjian. Untuk itu, sebaiknya Adipati Yamawidura kembali ke
Kerajaan Hastina.
Adipati Yamawidura menggeleng. Ia masih belum bisa kembali ke sana. Tiba-tiba
datang Srati Sanjaya di tempat itu. Ia adalah juru penuntun sekaligus kusir kereta
Prabusepuh Dretarastra. Ia ditugasi menjemput pulang Adipati Yamawidura karena
Prabusepuh Dretarastra merasa kehilangan dan menyesali ucapannya.
Adipati Yamawidura berkata dirinya tidak mau pulang apabila tidak bersama para
Pandawa. Namun, Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah berjanji untuk menghormati
keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman sampai selesai.
Untuk itu, Adipati Yamawidura diminta untuk pulang saja bersama Srati Sanjaya.
Adipati Yamawidura merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Prabu Puntadewa.
Ia hanya bisa mendoakan semoga para Pandawa dan Dewi Drupadi baik-baik saja selama
menjalani masa pembuangan. Adipati Yamawidura lalu kembali ke Kerajaan Hastina
bersama Srati Sanjaya.

PRABU KIRMIRA MENYERANG HUTAN KAMYAKA


Sepeninggal Adipati Yamawidura dan Srati Sanjaya, para Pandawa didatangi putra-
putra mereka yang mengaku dikejar-kejar raja raksasa bernama Prabu Kirmira. Raden
Pancawala bercerita bahwa ia dan para sepupu berniat mempertahankan Kerajaan Amarta
saat hendak diambil alih para Kurawa melalui Adipati Jayadrata. Ternyata Adipati Jayadrata
datang bersama raja raksasa bernama Prabu Kirmira yang berilmu tinggi. Para putra
Pandawa terdesak menghadapi kekuatannya dan terpaksa kabur menuju Hutan Kamyaka.
Prabu Puntadewa berkata bahwa Kerajaan Amarta tidak perlu dipertahankan karena
sudah menjadi bagian dari perjanjian. Selama tiga belas tahun ke depan Kerajaan Amarta
dititipkan kepada para Kurawa dan itu harus ditepati.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kirmira di tempat itu. Ia mengejek anak-anak
Pandawa yang tidak mampu mengalahkan dirinya, lantas meminta bantuan ayah mereka.
Ia lalu bertanya siapa yang bernama Arya Wrekodara. Arya Wrekodara pun maju
menunjukkan diri. Prabu Kirmira berkata, dirinya ingin membalaskan kematian ayahnya
belasan tahun lalu, yaitu Prabu Baka.
Prabu Puntadewa melarang Arya Wrekodara melayani tantangan Prabu Kirmira
karena para Pandawa sudah kalah bermain dadu, maka harus menepati perjanjian yang
ditentukan. Prabu Kirmira menyahut, ini adalah masalah dendam atas kematian ayahnya,
tidak ada hubungan dengan masalah dadu.
Prabu Puntadewa pun mempersilakan Arya Wrekodara mengambil keputusan sendiri.
Arya Wrekodara segera maju melayani tantangan raja raksasa itu. Perang tanding pun
terjadi. Setelah bertarung lama, Prabu Kirmira akhirnya tewas dengan tubuh lumat
dihantamkan pada batang pohon beringin.

PRABU KRESNA DAN RADEN DRESTADYUMNA MENGUNJUNGI PARA PANDAWA


Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna dan Arya Setyaki dari Kerajaan
Dwarawati, serta Raden Drestadyumna dari Kerajaan Pancala. Mereka datang untuk
menjenguk para Pandawa. Raden Drestadyumna sangat marah mendengar berita bahwa
Dewi Drupadi dilecehkan di istana Kerajaan Hastina. Apabila para Pandawa sepakat, maka
Prabu Drupada dan pasukan Pancala akan menggempur Kerajaan Hastina.
Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah bersumpah akan menjalani masa hukuman tiga
belas tahun tanpa membantah. Ia berharap setelah masa hukuman terlewati, Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Duryudana bersedia mengembalikan Kerajaan Amarta kepada dirinya. Raden


Drestadyumna tidak percaya pada hal itu. Namun, Prabu Puntadewa melarangnya untuk
berprasangka buruk terlebih dulu, karena belum tentu Prabu Duryudana mengingkari janji.
Raden Drestadyumna lalu menyampaikan pesan dari Prabu Drupada bahwa Dewi
Drupadi diajak pulang ke Kerajaan Pancala. Kelak apabila para Pandawa sudah
menyelesaikan masa hukuman, maka ia boleh bergabung lagi dengan Prabu Puntadewa.
Dewi Drupadi menolak hal itu. Ia sudah bersumpah akan mengikuti Prabu Puntadewa
menjalani hukuman, maka hal itu akan dilaksanakan tanpa membantah. Dewi Drupadi lalu
memerintahkan Raden Pancawala untuk ikut pulang ke Kerajaan Pancala bersama Raden
Drestadyumna, tidak perlu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta. Raden Pancawala
menolak dan ingin ikut tinggal di hutan. Dewi Drupadi memaksanya menurut, membuat
Raden Pancawala tidak berani membantah lagi.
Raden Arjuna lalu berkata kepada Prabu Kresna agar bersedia menjaga Dewi
Sumbadra dan Raden Abimanyu selama dirinya menjalani masa hukuman. Prabu Kresna
mengabulkan keinginan tersebut. Sementara itu, Arya Setyaki bersumpah, kelak apabila
para Kurawa mengingkari janji, maka dirinya bersedia menyerahkan jiwa raga kepada para
Pandawa untuk melawan mereka.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna dan Arya Setyaki kembali ke Kerajaan Dwarawati
bersama Raden Abimanyu, Raden Sumitra, dan Raden Bratalaras, sedangkan Raden
Drestadyumna kembali ke Kerajaan Pancala bersama Raden Pancawala. Adapun Arya
Antareja kembali ke Jangkarbumi, Arya Gatutkaca kembali ke Kerajaan Pringgadani,
sedangkan Bambang Irawan kembali ke Padepokan Yaksarata.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


KITAB WAYANG PURWA

BHARATAYUDHA
Perang Baratayudha, atau lengkapnya Baratayuda Jayabinangun, perang antar darah
Barata, merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa
dalam pewayangan, selain perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas
pemberontakan Prabu Trembuku dari Pringgandani dan Perang Gojalisuta, perang
saudara anak bapak, antara Prabu Bomantara alias Prabu Sitija, dengan Prabu
Kresna dalam membela anaknya yang lainnya Samba Wisnubrata, serta perang
Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas serangan Raja
Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona
kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba.

Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati,
memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap.

HARI PERTAMA BHARATAYUDA


Gugurnya Utara, Wratsangka dari pihak Pandawa dan Rukmarata dari pihak Kurawa

Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar besar dari
Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan semburat sinar matahari
fajar yang membias mega dari puncak gunung gemunung ketika hendak menerangi jagat.
KITAB WAYANG PURWA

Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang berwarna
kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung podang yang menguasai
pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang berwarna putih berkumpul sesama putih,
sehingga kelihatan bagaikan kumpulan burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa.
Demikian juga barisan dengan seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya
terkumpul sesamanya.
Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni elok
bagaikan kelompok kembang setaman.
Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan,
bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah
hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan
tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai
hiasan pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang
barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.
Di atas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji,
hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.
Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan
gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap
dengan jalan kaki menggenggam gada super besar di tangannya. Di belakangnya Patih
Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.
Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya
gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya.
Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita
berwatak prajurit.
Susul menyusul di belakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu
Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya
duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi
terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang
coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa,
kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi
bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.
Susul menyusul di belakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa,
dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.
Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar
Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawal Prabu Matswapati diiring
kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang
sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk
memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi.
Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi
Pangeran Pati Arya Drestajumena, atau Trustajumena. Di belakangnya kembali menyusul
raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci
ini.
Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan
pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna,
Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain.
KITAB WAYANG PURWA

Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang
mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan.
Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa tepi strategis.
Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai
Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut
dengan segala hiasan hingga menyerupai istana.
Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala,
pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit
garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang
dibakar terlebih dahulu.
******
Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias
bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan
utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit
melingkup disekitar pesanggrahan.
Di tempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya
mesanggrah di Karangpandan.
******
Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali
iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke
Randuwatangan.
“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini”.
Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa
perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang
dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.
Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak anakku, watak
satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah
dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu
adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.
“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak
Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk
kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan
sejak kamu masih kecil”
Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura, paman para Pandawa dan
Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa sesal,
kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura
kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina.
******
Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati.
Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga
Resi Bisma dan Begawan Durna.
“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas
Pandawa yang tidak tahu tata”.
Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati.
KITAB WAYANG PURWA

“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi
senapati pertama”.
Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat
mungkin. Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu
menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata,
sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada
sepinya pertapan Talikanda menjadikannya seolah tanpa tanding.
Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak
yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam
relungnya.
Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku untuk
mengunduh segala pakarti yang aku pernah perbuat di masa lalu”.
Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh
putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada
sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya,
seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan.
Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya
menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung
dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas
menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas
mengantarnya kembali ke alam tepet suci.
Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja
Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung
mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh
suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan
momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa.
CATATAN : Terdapat versi lain, yang terbunuh oleh Raden Dewabrata ketika itu adalah Dewi
Ambika. Namun versi pada cerita ini adalah ; Ketika itu Dewi Amba, Ambika dan
Rambalika menjadi boyongan ke Astina ketika sayembara perang yang
diselenggarakan Raja Kasi telah dimenangkan oleh Dewabrata. Ketika itu kedua
adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri penengah dan terakhir sehingga
dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata
kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata
atau anak turunnya, menyebabkan Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang
seumur hidupnya.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping Prabu


Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai dengan
ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera mengeluarkan jurus
maut berisi orang orang sakti andalan.
Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar Wukir Jaladri,
gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya pertahan karang laut
dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat barisan prajurit Pandawa. Gemuruh
langkah cepat prajurit yang bergerak maju bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit
dari ujung hingga ke ujung lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan
yang tertutup debu yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling,
kendang, gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.
Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda Matswapati
memberikan usul, “Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan jiwaku beserta anak- anakku
sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa. Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa
sudah menyelamatkan keselamatan keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam,
Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari
Trikarta Prabu Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.
“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku. Ketiganya sekalian aku
serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu sekalian”.
“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan untuk aku serahkan
kepada Kanda Prabu Kresna”, Puntadewa meminta Kresna untuk mengambil alih segala
kebijakan dan strategi.
“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda Matswapati. Untuk
maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta sebagai senapati pertama dan utama,
sedangkan sebagai pendamping adalah eyang Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan
ketetapan.
CATATAN : Pada versi lain, majunya Resi Seta ke palagan terjadi ketika Utara dan Wratsangka telah tewas
dan terpancing kemarahan Resi Seta saat jugar dari tapa tidur.

Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta? Putra
pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian
yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati
Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka
Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini
dirapal.
Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara,
apalagi Wratsangka yang agak penakut.
Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu
hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan
Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking
panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma
sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa.
Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati
garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya, “Semua yang
hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir
Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami
KITAB WAYANG PURWA

sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud
kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai
aturan“.
Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna
untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu meremukkan karang
laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati
utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun
sewaktu waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi
senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna
terhadap Arya Wratsangka di sisi kiri dan kanan.
Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat
suasana yang tergelar di depan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya
Arjuna yang berdiri termangu. “Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang
terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan,
paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat”, demikian sang Arjuna tersentuh
rasa kemanusiaannya.
Lanjutnya, “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak
sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja?”.
“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini
bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah
kenyataannya”, Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin
Arjuna.
“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah
ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu,
perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk
meluwar janji yang telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa............”.,
banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.
“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku
agungkan?” tanya Arjuna.
“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas
kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah
berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu
menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi
bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu
bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna”, Kresna menjelaskan.
Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang
beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat,
mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan
kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit
yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu
membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.
Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga berlangsung seru,
keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu
kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat
kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi
kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab
tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya.
KITAB WAYANG PURWA

Di tempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru. Senapati


Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan kesaktiannya yang mapan
dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda Wirata. Tidak heran, karena
semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding. Bahkan Durna dengan kekurangan fisik,
walau hanya bertangan tunggal, tetapi posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus
merangsek dan mendesak Wratsangka. Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat,
Durna menyudahi pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai
tawur perang.

“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” teriakan para prajurit Kurawa


memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.
Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar kembali ketika
mendengar tewasnya Wiratsangka.
Di lain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi makin liwung,
beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua tapak tangannya
meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan tunggangan para senapati
seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk redam dan gosong terkena amuk
Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang tak lama kemudian mampu merobohkan
pertahanan Prabu Salya. Kereta yang ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara,
pecah berantakan. Prabu Salya selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut
tewas tertebas.
Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melindungi ayahnya akhirnya tewas
terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan Bisma ketika
mendengar adiknya terkasih tewas di tangan Durna.
Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera dilindungi
rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam, dibayanginya Seta hingga tidak
dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada Durna.
Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih hatinya tewas
melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa batara..!, anakku …., kau
yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata malah mendahului aku. Seperti apa
derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu
ngger….. “.
Bagai kehilangan seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.
Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar, mencari dimana Utara
KITAB WAYANG PURWA

berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya. Sementara Utara yang sedang


ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya segera diterjang.
“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi korbanku hari ini!!!”
Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya memaksa
mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang Utara, raksasa
bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua tertebas, raksasa bajang
bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian Candabirawa. Aji pemberian
mertuanya, Resi Bagaspati.
Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang Utara, panah
Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya segera dilepaskan, mengena
tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa dalam peperangan pada ujung hari.
Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah ditetapkan
berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan para prajurit terkapar
bersama ribuan sekalian prajurit.
Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan berlangsung
penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung ketika Bisma madeg
senapati.
KITAB WAYANG PURWA

RESI SETA GUGUR


Ditulis oleh hery_wae

Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua
putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani.
Kesunyian malam mulai mencekam, bintang di langit berkelipan menyebar, sebagian
berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah mata angin di waktu
malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan
berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum
bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap
sari kembang.
Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai
pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam pikiran
mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali
terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma.
Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila
tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa
masih belum terpisahkan dari raga.
Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan
dendam kematian adik-adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat
berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga.
“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan
kematian kedua adikku”.
Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang di waktu malam terus berlangsung.
Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata
terpejam. Di dalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum
melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan
berkumpul kembali.
*********
Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur. Hari
itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.
Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini
Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya,
dua raja sekutu Kurawa dimasukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak
kembar penggedor pertahanan lawan.
KITAB WAYANG PURWA

Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara
dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.
Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang
kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya,
sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.
Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta.
Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk,
sementara Kartamarma selamat. Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah ke arah
Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping.
Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai
sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak
panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng
Durna menyingkir mencari selamat.
Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling
serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki
kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya
masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik-adiknya. Dengan
sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu
tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya
seakan dijauhkan dari dendam membara Seta.
*********
Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas,
tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para
prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung
burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan
kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.
********
Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta
lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa di atas angin Seta
sesumbar, “Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun
setapak”.
“Jangan merasa jadi lelaki sendirian di muka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah
penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah menyahut.
Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak
pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi
bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam.
Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa
saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.
***********
Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata tidak tewas.
Samar terdengar di telinganya sapaan seorang perempuan, “Dewabrata, inilah saat yang aku
tunggu, kemarilah ngger. . . !”
Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan
dandanan serba putih.
KITAB WAYANG PURWA

“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan
manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini…”.
Dewabrata menjawab dengan seribu tanya. Wanita itu menggeleng, “bukan..., akulah
Gangga..., ibumu”.
“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu
merindukan wajah itu”.
“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu
adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.
“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu
sewaktu masih bayi”, sambung Sang Batari.

********
“Beginilah cerita singkatnya ngger anakku : Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu,
ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya
semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura
sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.
Dari kecantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona
denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu dikehendaki. Maka
Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan
menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta.
Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda
Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu.
Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersama-sama.
Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaanku yang dirasa kelewat berat ketika
diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di
bengawan Gangga.
Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat
baginya. Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu berlalu
dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga
disanggupinya permitaan yang satu itu.
Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu
demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan
Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan.
Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang,
senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu
adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran ayahmu terhadap rasa
kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku.
Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari hari kehari,
hingga terucap kata-kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam
kawidodaren”.
Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.
Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan
mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat
dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden
Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya. Kelak Sang Sentanu dapat
menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini,
KITAB WAYANG PURWA

kakak Raden Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang
Baginda Matswapati.
Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang
Pandawa, dan Sentanu.
Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu
ibunya hingga saat Baratayuda tiba.
“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..?” sang Batari
menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.
Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus ke dalam lautan.
“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung
jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”
“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan senjata panah sakti
bernama Cucuk Dandang, lepaskan ke arah lawanmu”. Kasih ibu sekali ini memberikan
tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.
Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama-lama melepas kangen
dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.
********
Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul.
Tandangnya membuat giris siapapun yang ada di dekatnya. Namun tidak sampai separuh
hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.
“Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?” Bisma datang
dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah di tangan, kali ini ia yakin
dapat mengatasi kroda sang Seta.
“Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak
menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar.
Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak
panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak
hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga ke jantung.
Menggelegar tubuh sang resi terkena panah, jatuh ke bumi seiring muncratnya darah dari
dada sang satria.
Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan.
Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama,
Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang
telah berakhir dengan kemenangan di depan mata.
Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang
melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta
membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . sudah tuntas … Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah
berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . . . . . “
Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara
hendak ditujukan kepada Resi Bisma.
Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan “Duh Pukulun
Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah
yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah
prajurit wanita”
KITAB WAYANG PURWA

Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan.
Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat,
dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga
terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang
masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat.
Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar
terhindarkan.

CATATAN : Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi
Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga
sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta.

Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna.
Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi
penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi
dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata
sesal yang terucap.
“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih
punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah
mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati
memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam
Wirata dalam perang.
“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar
setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan
Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga
dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya
sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara”.
Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka pihak
Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara
pembakaran jenazah Seta selesai dilakukan.
KITAB WAYANG PURWA

BHISMA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae

Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang
digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta.
Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang
direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina.
“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu!“
Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa
saat kemenangan akan segera datang.
Lanjutnya, “Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung.
Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat
menandingi kesaktian paduka, Eyang!”
“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang
mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang
dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” berkata lantang Prabu
Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu
menyambut kemenangan.
Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri
Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta,
Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat,
bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan.
Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta menyahut, “Ngger
Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak
orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan,
diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa
ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah
dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!”.
“Apalagi, di belakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang
sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!!”
Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda
Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di
KITAB WAYANG PURWA

sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang
sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan.
Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan
dilindungi oleh para raja telukan, di belakangnya Harya Dursasana siap pada daerah
pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup ke
dalam.
Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur
mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya perut.
Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang
segera dipondongnya ke atas tilam rum.
***
Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar
rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu
membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi pribadi lain akan
menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung.
Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan
pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan
nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal
Kurukasetra menggonggong dengan suara pnjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan
liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk
memulai pesta pora.
Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga
dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi
mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati
hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih
tetap mengait pada raga.

Dewi Amba

Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama
pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada,
berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.
Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan
atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih
tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan
KITAB WAYANG PURWA

setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi
dibarisan tengah, yang sewaktu waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.
Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna,
putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia
yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan
perawakannya yang langsing sentosa.
Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna
melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah
diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim
kemarau panjang. Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh
satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut.
Gemuruh mengerikan.
Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya
memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin membakar
semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan
prajurit yang roboh sebagai pecundang.
Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di
genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang
gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat
gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang
sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada
Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban
prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu,
Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan
bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang
mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan.
Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati
Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi
dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma.
Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan
pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan
Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai
senapati Pandawa.
Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu
tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan
bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.
Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.
“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi
kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah
Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat.
“Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan segenap
pertanyaan bergulung dibenaknya.
“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya
yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.
KITAB WAYANG PURWA

“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?!
Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit
Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”
“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat
kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.
Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh
suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi
Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!”

Wara Srikandi

Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat
menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?”
“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !”, Prabu Kresna masih sambil tertawa
mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra. Tersipu Wara Srikandi dengan pujian
yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat
mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.
Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang
lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “Ayolah istriku, jangan lagi membuang
waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma”.
Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.
*******
Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput
kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang
suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh
hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan.
Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum.
Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi
Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.
Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada
Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah
dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik
keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini.
KITAB WAYANG PURWA

Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama
Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-
diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan-bulan tanpa henti.
Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam
benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar
ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu
baru saja terjadi.
Ketika membuka matanya kembali, di depan matanya Wara Srikandi dengan senyum
mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar
gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya,
Dewi Amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam
raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam di tangan Srikandi,
seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan
Resi Bisma saat ini.
Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi,
maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba.
Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang
Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika
di tanah berdebu Padang Kurusetra.
Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu
Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik-adik mereka masing-masing,
menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang
membuncah.
Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini
memangku bersama raga pepunden mereka.
*****
“Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada
ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala
permusuhan dan peperangan menjadi terhenti. . . “. tersendat dan gemetar suara Resi Bisma
kepada kedua cucu trah Barata.
“Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung
ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku”. Sambil sesekai
nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing,
teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa
ini”.
Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing masing.
Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat. “Lepaskan
sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan
Resi Bisma kali ini. “Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana
gemetar. Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih di tangannya.
Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku
menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang”.
Kali ini Werkudara yang juga berdiri di sisi raga eyangnya segera melompat tanpa
diperintah. Ketika kembali di tangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan
pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi.
Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . . . .!”
KITAB WAYANG PURWA

Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang


senang.
Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar bentar wajahnya
menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya membuat
cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak tertahankan.
Terpatah patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya, “Kerongkonganku kering, tolong
aku diberi minum walau hanya setetes”.
Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali
kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan
anggur merah segar.
“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah kerajaan”.
Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan minuman.
Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali
menolak pemberiannya.
Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia memerintahkan
kepada adik adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang, “Dursasana,
Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada
guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . .
. !”
Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan
sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil
berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.
Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya.
Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air pemberian
cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.
Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari
dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria
pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari, tidak akan
menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya. Perjalanan hidup
yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang berumur panjang.
Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum.
Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang
dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia yang
selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata, hingga
mereka berdua tak mampu bersatu di dunia. Sekaranglah saat bahagia itu menjelang.
KITAB WAYANG PURWA

DURNA JADI SENOPATI


Ditulis oleh hery_wae

Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan
Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan
langkahnya ke depan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa
berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada, sebentar sebentar memukul
pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap keningnya yang berkerut. Hawa sore
yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras
mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat
masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa di dalam hati, kenapa mereka tidak
berbuat adil terhadapnya.
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan
sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka
prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada
perubahan, kembali ia melanjutkan, “Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang
benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh
siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid
Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu
Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta
dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah
sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba
mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti
mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan
segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga
pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang
berdirinya kekuatan Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya
berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara
yang ada di balairung.
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air
mukanya yang menjadi cerah.
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “Rama Prabu Mandaraka, Bapa
Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh
KITAB WAYANG PURWA

jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung
tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”. Sejenak Prabu
Duryudana terdiam.
Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan, “Namun setelah Rama Prabu Salya
membuka mata saya, bahwa ternyata di sekelilingku masih banyak agul-agul sakti, terasa terang
pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan
semangat anakmu ini”.
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak
diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Semua sudah menanti
titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan
mengharap menjadi senapati pengganti.
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan
segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa
tumpas tanpa sisa”.
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap
siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari
kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.
“Syukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah
mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi
itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu
sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan
formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan
ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua
orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya
akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus
untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya
mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan
awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.
“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu
demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk
memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar
barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas
Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana,
Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran,
sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan
pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan
gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidakpuasan yang terpancar
dari kedua Raja Seberang ini. ”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang
cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih
yang selalu melekat ditangannya.
Wajah-wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan
Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang
KITAB WAYANG PURWA

bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak
sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap
kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka
bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera
tancapkan senjata saktimu ke tanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir
menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat
mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka ke dalam. Pasti keduanya akan segera
tewas”.
******
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu
Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan
pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma
secara sederhana, namun diliputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya
Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya
taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka. Prabu Punta yang duduk berdiam diri
dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu
Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari
jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga
menyebabkan tewasnya Resi Bisma.
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini
harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa. Cair kebekuan
hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa,
”Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari.
Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah
mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur
sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan
peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal
dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi
Prabu Punta melanjutkan, ”selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk
mengatur langkah kita di bawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala
kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
KITAB WAYANG PURWA

“Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna.
Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas
terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar
yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa.
Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna
mengingatkan.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada
posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan
kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh”.
*****
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari
masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang
bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-
hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan
kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa
mengamuk di sekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan senjata
membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.
Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga,
putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan
perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah
membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.
Tak hanya itu, di bagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk
perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak
anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuat terperangah prajurit lawan. Tak
kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya
dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh
Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding
bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang
dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang di tempat ramai seperti ini
membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang
benar-benar sakti. Kejar aku..!!”
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku
layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya
menuju ketempat yang ditujunya.
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan
Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di
pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa,
kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh
barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban
amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik
pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya
KITAB WAYANG PURWA

segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita
sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar
pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua
sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan
makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang
barisan yang makin terpecah belah.
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu
sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab
musababnya, segera ia memacu kembali kereta ke arah Prabu Kresna.
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga
tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara
dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil
bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa
terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan
kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujaan yang
terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti
mandraguna. Karena yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna
berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang terlahir sudah bertameng baja di dada
dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “Aduh kakang Prabu, seribu
salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra.
Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita
panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat
ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.
“Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar
Drestajumna.
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput
dia” Sri Kresna memberi putusan.

Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk


bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan
Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk
KITAB WAYANG PURWA

putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang di sisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung
tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang
suami.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak
teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi”
demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa-rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri
tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti
suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas
pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda-tanda aku juga mau
hamil kakang”. Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis
keturunan, eyang.
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil
tersenyum ke arah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu,
rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya
Abimanyu ke dalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai
dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa,
tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga.
Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan
di arena peperangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di
Kurusetra”. Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak
enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah
menggelayut dipundak sang adik.
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka. Namun
lain halnya dengan Abimanyu sendiri.
Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan
baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas
keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada
istrimya, namun tangis keduanya malah bertambah-tambah.
Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika
Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang
suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan
memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang
kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama Kyai Pramugari yang
berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.
KITAB WAYANG PURWA

RANJAPAN - ABIMANYU GUGUR


Ditulis oleh hery_wae

Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul
di udara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada di
hadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa
Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong
kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan cerita
Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang
seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya, “Sembah bektiku saya
berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang
menggayuti para orang tua orang tua kami”
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya
bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”, perintah
sang uwa.
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk
ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna
menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas
Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan
lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada
pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah
Wara Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian
besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit
Randuwatangan. Amukan Abimanyu di atas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng
terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan
penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai
sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas
musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama
membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi,
KITAB WAYANG PURWA

Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah


tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu.
Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah
darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.
Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai
Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut
Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.
Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia
terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan
Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi
dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah
menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah
diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja
terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh
tertelungkup di atas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.
Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju
bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna
sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ke tengah dalam
pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih
menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka
lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra
terkena di dadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.

Bambang Sumitra

Di bagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu
Salya rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu
singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan
strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat,
Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok
Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat
menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari
berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang
dengan senjata di tangan masing-masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat
mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah
bagai diperdayai.
KITAB WAYANG PURWA

Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian, ketika pedang
Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan
yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni
menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan
tersisa menjadi ciut nyalinya.
Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat
diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling
serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh
terguling tak bangun lagi.
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan
sudah terjadi. “Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa di atasmu, dan
menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata-kata
Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung
kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari
kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat
Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi,
disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri
keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya k earah
kejadian.
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia
mengatakan, “Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal
seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka
menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal-akalannya, “Adi Sangkuni, nak
angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu,
maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!”
Sangkuni mengamini.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka
akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan,
padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi
keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.

Karno
KITAB WAYANG PURWA

“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu!”. Jawab Narpati Basukarna
sekenanya.
“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger
yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”.
Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak
Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan
pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah,
tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu
segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih
Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para
prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila
perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu: “Berhentilah
anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk
barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ”
Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman
terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang
demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap
lawan”. Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan
memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya
punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari
lukanya.
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka,
mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.
“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya,
untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.
Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya
biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali.
Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali
menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju
menyongsong serangan.
“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku
kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-
sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. Walau
terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya
masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba
keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa,
KITAB WAYANG PURWA

sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam
waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya.
Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya
anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih
jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh
senjata seperti karangan bunga yang terangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar
mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus
yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti
halnya untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi
makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah
mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan
sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat
bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling
serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan
gamelan berirama Kodok Ngorek!
Di lain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari
pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah
beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka
bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.

Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa
boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri
Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau
tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah
tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana
yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya
sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat
penakutnya sangat kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina
Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya,
Abiseca dan Secasrawa.
KITAB WAYANG PURWA

Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu.


Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan
dipamerkan kepada ayahnya.
“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten
bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada
terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.
Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain-main, ia maju
semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya,
memandang enteng kejadian di depan matanya.

Lesmana Mandrakumara

Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak


dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur
juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera
menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih,
dengan tenaga terakhir, sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke
dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana
Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda
gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.
Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda
karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak
dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka
masing masing. Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul
ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang
suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam
kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan di dalam, seakan sang jabang bayi
sudah tak sabar hendak mengikut ke dalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan
besar Retna Utari untuk ikut serta ke medan perang, terhalang oleh madu dan anaknya
yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang
Utari untuk pergi.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita
muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ke tengah palagan tanpa menghiraukan
bahaya yang mengintip di antara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung
tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak
terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas
dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan
pingsannya sang istri prajurit muda itu. Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti
KITAB WAYANG PURWA

berarak. Burung burung di dahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap
madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga
perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi
kusuma negara yang gugur, di lepas siang.
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang
terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya.
Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu,
menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi
menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka
telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
KITAB WAYANG PURWA

RICUH DI BULUPITU
Ditulis oleh hery_wae

Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar
arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur
perang, Drestajumna. Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang
kesatria menghindar dari tantangan musuh.
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan
bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya
tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu. Tepat ketika
matahari di atas kepala, dikenakan senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak
kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot
tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin
mereka tenggelam. Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir
lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara saudaramu, bicaralah
kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka
menggantikannya jadi kerak neraka itu”. Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara
adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu
mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika
atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini,
tunggangan Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu
sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati-
hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam. Di lain
pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan
menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka
ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol
dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil
melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan
Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak
Kurawa. Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat.
Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam
tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi,
namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh di atas Wersaya. Dengan tidak membuang
waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya di ujung keris Kyai
KITAB WAYANG PURWA

Kalanadah. Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan
mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka
mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan. Melihat kenyataan di depan
mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan.
Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri
Wara Subadra tak henti-hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk
dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak
terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri
belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti
dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang
menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
********
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu
karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya
helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar
mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam
dengan suara tidak jelas. Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya.
Namun orang orang di sekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam
benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja
mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka
tiada satupun yang berani membuka mulutnya. Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut
dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana-mana dengan kenangan terhadap
pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh.
Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama
pamannya.
“Paman Harya Sangkuni!” Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan
kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan
terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan
peperangan.
Namun ditegarkan hatinya ia menjawab. “Daulat sinuwun memanggil hamba”.
“Ini siang atau malam?” Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak
dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.
“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu,
ini siang atau malam,”
Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana
mengeluarkan isi pikirannya. “Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para
Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia
adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang
terjadi, yang salah bukan para dewa”.
“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta
kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya,
seperti yang disandang sekarang ini”.
KITAB WAYANG PURWA

Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan. “Anak lelaki yang hanya satu, satria
Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah
selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda”
di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur
dalam peperangan”.
“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”. Sejenak sang
Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera
dilepaskan dari sesak di dadanya.
“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang
mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara
dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka
tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi
kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku,
yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok
aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”.
Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi ketus.
“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik! “Yang terjadi adalah, para orang
tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang
tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya
ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh
perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa
mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya
tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang
dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak
dilakukan tidaklah ada nyatanya !’
“Apakah harus saya sendiri yang melangkah ke dalam peperangan menyerang para
Pandawa”. Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan
di hadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir
dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat
memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang
terpendam didadanya.
Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang,
ia membuka mulutnya.

Resi Krepa

“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna. Saya yang sanggup
menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”. Krepa memperkenalkan kembali
keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia
KITAB WAYANG PURWA

melanjutkan. “Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan
persaudaraanku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena
kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Karena paduka menjadikannya sebagai
penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi
datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba
tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya
bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan.
Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah
menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang
Baratayda Jaya Binangun”.
Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan
percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya. “Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau
muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah
berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun
menanyakan”. Krepa memancing.
“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”. Penasaran, Prabu Duryudana
menyahut. “Bicaralah Krepa, akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan
telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
Mendapat angin, Krepa makin percaya diri. “Syukurlah, apakah sebabnya bila saya
berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya
diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih
negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah
memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.
“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan
memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu
adalah terserah mereka sendiri”.
“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas
pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.
“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang
Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur
perang”.
Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana
memotong. “Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang
tepat?!”.
Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung-hitungan waktu,
kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan
kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang
lain!”.
“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga
mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.
“Maksud paman Krepa?” Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan
jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing.
Krepa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya, “Bibit disini
ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya,
keadaannya hanyalah orang biasa, sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam
KITAB WAYANG PURWA

jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam
menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkati saya setinggi langit, dan meluberinya
segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.
“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena
kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia
sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang
memberi kecerahan siang”.
“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana
Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan
pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya
membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya
adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman,
tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.
“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara
tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah.
Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi
ringkih!”.
Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak
lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia
mengoceh dihadapan adik iparnya. Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana,
menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan
suasana.
“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar”.
“Mengapa diumpamakan begitu?” Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan
keadaan yang terjadi mempertanyakan.
“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama
sinuwun”.
Kemudian sambung Durna memohon. “Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara
dengan adik ipar saya resi Krapa”.
“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa
silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.
“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk
meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat
dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.
Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang
dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan. “Kalau api yang
kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja
tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para
pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!”
“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian
para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku. Para pejabat
seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!”
“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang
ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina
kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi
KITAB WAYANG PURWA

hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi! Karena itu jangan biasakan
memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.
“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram
sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”
Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati
batu itu.
“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra
pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap
adalah setetes air pengobat dahaga”. Prabu Duryudana menyahut mengamini.
Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.
“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang telah aku sampaikan aku
cabut kembali maka betapa malunya aku”. “Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti
halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah
tadi”.
Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan
didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana. “Mohon maaf yayi
prabu Duryudana”.
Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana
malah berkata dengan nada memelas. “Kakang Prabu kami minta pengayoman”
“Apa dasarnya”. Jawab Karna.
“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”. Kembali Duryudana
berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.
“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang
yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak
tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan menjadi ngawur. Tidak aku
salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti
ini”.
Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan. Kaget
setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela
diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur. Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka
Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika. Geger para
Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian
yang sangat cepat akan membawa korban.

Aswatama
KITAB WAYANG PURWA

Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna
Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa.
Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati
Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang
nyinyir menyindir dirinya.
Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul
dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun. Merah menyala
dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar.
Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.
“Karna bila kamu memang lelaki jantan, ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan
saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi
kesempatan membela diri”.
Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.
Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama. “Heh Aswatama! Kamu anak
Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu
sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku
susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”
Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar
kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar
Adipati Karna telah sampai dipinggir arena. Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna
sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama.
“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu
telah membuat malu bapakmu!”
Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.
“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba
menolaknya”.
“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan
mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali-sekali mendekat, bila tidak aku panggil!”
Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah
menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca
kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk. Aswatama telah kehilangan
paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah
kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.
CATATAN : Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir
Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama. Ada beberapa versi tentang akhir
hidup Resi Krepa, Dalam Mahabharata diceritakan, Resi Krepa hidup sampai jaman
Prabu Parikesit, dan diangkat menjadi Parampara/Ahli nujum kerajaan. Cerita
Pedalangan menyebutkan, Krepa mati oleh tangan Adipati Karna. Kisah lain
menyebutkan. Krepa mati oleh panah Arjuna setelah berakhirnya perang
Bharatayuda, tatkala ia bersama Aswatama menyelundup masuk ke dalam istana
Astina untuk membunuh Parikesit.
KITAB WAYANG PURWA

RICUH JUGA DI KADILENGENG


Ditulis oleh hery_wae

Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.
Yang tengah duduk di bawah pohon Nagasari, duduk di atas batu yang tertata rapi, itulah
prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah
Banuwati atau Banowati.
Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup
menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit
kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis,
namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan
aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai mempadu padan busananya,
maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir.
Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak
yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang
Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin
bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat
akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala
jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah
setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berebut dengan sinar rembulan.
Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda
Jayabinangun.
Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami.
Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya,
kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.
“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya
sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena
selamanya sang dewi takkan pernah mencintai Prabu Duryudana.
“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air
pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah.
“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.
“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke
peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun di hatiku”.
KITAB WAYANG PURWA

Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila
perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari-hari kemarin yang
melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri
tercintanya.
Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi
sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan
Permadi, Arjuna muda, membekas dalam di hatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi
dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung
terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.
“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan
sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!”. Tukas sang dewi.
“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab
Duryudana terus terang.
Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan. “Aku hendak menanyakan beberapa hal.
Pertama, sejak aku meninggalkan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang
ada di Kedaton ini ?”.
“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaannya”. Banuwati
menjawab singkat.
“Syukurlah. Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”. Pertanyaan basa basi
terlontar dari mulut Prabu Duryudana.
“Tetep sehat-sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba, pastilah tidak
tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba,
sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan suaminya.
“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.
“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi Banuwati ketika
sang Prabu terdiam sejenak.
“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah
kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !”. Ragu Prabu Duryudana hendak
mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang
saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?”
“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu.
Karana dalam hitungan, jangan-jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai
kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang
menggantikannmu. . . “.
Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap
memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang
hendak dipanjang panjangkannya.
“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung
wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu
dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu
Duryudana terdiam lagi.
“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana,
terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri”!.
KITAB WAYANG PURWA

Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai sampai ia menyerempet


menyebut nama selingkuhannya.
“Aku tidak mengerti”. Pura-pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak
senang.
“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya,
diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa
Duryudana adalah tipe suami takut istri.
“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna”. Pelahan
Duryudana memberi penjelasan
“Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.

“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati


Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka
Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”.
Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh
pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia
cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia
menyalahkan anak dan suaminya.
“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya
!”.
Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam “Dikabari anaknya
mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . . . “..
“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi
salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab Banuwati ketus.
“Salahku ada dimana?”
Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.
“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.
“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus
menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab
ada pada pundakku . Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani beraninya maju ke peperangan !”.
Ia memberikan alasan.
KITAB WAYANG PURWA

“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali Banuwati
menyalahkan anaknya.
“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.
“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa?” Kembali Banuwati mempertanyakan
hal mengapa ia harus menyesal.
“Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal.
Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain!”. Kekesalan
Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama.
“Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang
tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!”
Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi
ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga
membawa kematian si Abimanyu !”.
Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan
peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu
malah menangis tersedu sedu.
Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya. “Aneh sekali, aneh
sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah-marah kepadaku, menyalahkan
Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan….. !”
Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati
menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih.
Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti
Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara
Subadra, ia telah kehilangan anaknya yang tunggal, belum lagi istri-istrinya Siti Sundari dan Utari.
Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia”.
Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu
!. Abimanyu istrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !! “Ternyata rasa cintamu itu telah
berpaling . . . . ! “
Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada gunanya aku
menyelimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku
bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya
kamu memprihatinkan musuh ?”.
“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.
“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut
sekenanya.
“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru
sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.
Makin tak senang, ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa
kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”
“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak.
“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau
manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani
membunuhnya !”.
KITAB WAYANG PURWA

“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara
dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai
menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang
Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat
baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !”
“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya!”.
Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.
“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali?” Disalahkan para
Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.
Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau
kalahkan !”. beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas
hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.
“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan
rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi.
“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.
“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri!”. Jawab Banuwati terus
terang.
“Perkara yang mana?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam. Makin
meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang
tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah
lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya
mengatakannya sekarang juga!”.
“Tunggu apa lagi, katakan!” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi
hatinya.
“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati
paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau
Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?. Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu
membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun
tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan
dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa,
sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun-tahun. Jadi yang tipis rasa
kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa?!” Bagai bendungan yang jebol, segala
unek unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang
untuk terus terang.
“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! ” jawab Duryudana tandas.
“Silakan sinuwun mengatakan!” kali ini Sang Dewi yang menantang.
“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya
permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.
“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah
makin seru.
“Mereka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala
macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.
Namun kembali ia dicecar pertanyaan.
KITAB WAYANG PURWA

“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”
“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !”. Jengkel Prabu
Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.
“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya.
Sinuwun kalaupun kata-kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak
diperhatikan, bila demikian halnya, silahkan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi
hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang.
“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya..
“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga
lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !”. jawab senang Banuwati
“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.
“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !” Berbalik badan Banuwati hendak pergi
dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa
Prabu Duryudana dilengannya. Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia
mengendurkan pegangannya. Katanya memelas.
“Mau kemana ?”
“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke
Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik.
Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di
istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya,
di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana
mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik
molek itu. Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram
Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan
sentosa Duryudana . . . . .
KITAB WAYANG PURWA

SIHIR SEMPANI
Ditulis oleh hery_wae

Jayadrata

Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan
senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama
baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina
Raden Lesmana Mandrakumara.
Kematian Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan
Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya
Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan
peperangan kali ini.
Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.
“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping
senapati”. Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang
ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan sebagai
pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi
mereka.
“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara
agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan
perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi.
“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam
keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak
kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk
menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara”. Pendita Durna adalah ahli strategi, maka
diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak
dirancangnya itu.
“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan
tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara.
Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan anakmas Bogadenta datang
bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara
seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”. Bogadenta belum sepenuhnya
mengerti akan rancana Pandita Durna.
“Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku
harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung?
KITAB WAYANG PURWA

“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu
Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”.
Durna memutus.
Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya,
Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan
sakti bernama Murdaningsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung.
Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan.
Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan
hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata
kesedihan terhadap kawan seperguruannya
“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda
jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan
Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.
Secara fisik, Prabu Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak
ditandingkan dengan Werkudara.
“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan
Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan
pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”.
Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah
Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna. Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita
Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk
memenangkan peperangan hari ini.
Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha,
kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.
“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit
adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan
aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya
Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak
kesayangannya itu”.
**********
Di lain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari
pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang.
Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan di sebelah kiri, karena ketiadaan
Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati
Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi.
Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju
medan peperangan dihari itu. Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat,
pecahlah perang campuh kembali.
Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning
ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya,
bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak
poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha. Dihadapannya menghadang Raden
Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan
melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.
Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala
kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.
KITAB WAYANG PURWA

Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan
berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya.
Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya.
Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang
bertubi tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga
mengharuskan ia bersembunyi di sela-sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu
tenaga dengan lawannya masing-masing.

Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung
kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi
memungkinkan ia menghindar, karena di belakangnya terdapat reruntuhan kereta perang,
maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.
Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera
pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga
Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang
bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan menjadi bulan-
bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali
pukul di kepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak.
Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan
korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran
secara bergelombang.
Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah,
tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya
bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti-
ganti.
Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima
dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal.
Punggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan.
Tak menyia-nyiakan kesempatan yang terpampang di depan matanya, sekali lagi
dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa
bangun selama-lamanya.
Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya
bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi
kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri.
KITAB WAYANG PURWA

Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan


langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut
Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa
kepalanya. Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut,
satu sisi ruji Cakrabyuha.
Di bagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya.
Salah satu musuh yang memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan
tujuan menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.
Dengan mengendap-endap ia berhasil mendekati ke arah Wara Srikandi, tanpa ragu
dihadapinya untuk mengadu kesaktian “Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!”
Srikandi yang merasa terusik, menghentikan lepasan anak panahnya. “Inikah Srikandi,
yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!”
Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik
bertanya. “Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ? ”.
“Dari ciri cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa
mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik.
“Akulah Wiringsakti ! salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan kematian Eyang
Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan
langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan
memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila
berhasil nanti.
“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau ke hadapan Eyang Bisma !”
Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya
dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera.
Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada dalam
genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan
senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi
ia hendak meringkus lawannya dengan secepat cepatnya.
Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak terbuka di antara
mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada busurnya.
Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah yang
meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke jantung,
menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu.
Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk
meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat
diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur
jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.
Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan
terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak
sanggup mereka bangun kembali selamanya.
Diceritakan, adalah amukan di tempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas
kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya.
Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak
Antareja, Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil
nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-
Bimasena mobat-mabit kanan kiri menyasar lawan di depannya.
KITAB WAYANG PURWA

Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jerit prajurit
Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya
segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi
korban.
Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah liwung
amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun
Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa
lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang
tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap
Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada di depan mukanya. Tak sanggup
menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super
berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran.
Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban.
Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka
masing-masing masih masih di bawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan
melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan
Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Bima terpecah dengan
serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel
Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan
kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya.
Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan.
Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada.
Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata. “Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk
itu?”
“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama Jayadrata.
Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni.
“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk
sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada
Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”, perintah Durna Kumbayana.
“Baik Wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”, Sengkuni bersiap mengajak
Jayadrata.
Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni
keberatan. “Saya tidak takut dengan Werkudara. Kenapa saya harus diminta mundur ?!”
“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata
mundur dahulu“, Durna memberikan pengertian.
“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir
bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa”, kembali Jayadrata mengemukakan
keberatannya.
“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila
saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang
besar ini ngger !” Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata ke
hadapan ayahnya, Sempani.
“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke
pesanggrahan kami ini ?”
“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang
siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya.
KITAB WAYANG PURWA

“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk
itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya”.
Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni. “Andika meremehkan anak saya?
Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Di dalamnya
terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang
prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !”

“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan
ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan. Ini adalah
strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk
hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti
halnya penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil
peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia-sia, akan
melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni
menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna.
Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya. “Bila untuk meringkus Bima,
serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa-
apa, ada suara apapun yang ada di luar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari
jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu”.
Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli
tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya,
dipuja butir-butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk
merubung sang Bimasena. Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah
menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga
Jayadrata tiruan memenuhi palagan peperangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan
itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya. Tergilas Jayadrata
tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara
melihat kejadian itu !
Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi
tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman
bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.
KITAB WAYANG PURWA

TERPANAH ASMARA, ARJUNA-MURDANINGSIH


Ditulis oleh hery_wae

Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.
Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan
rapat dengan para Kurawa.
Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja
karena telah bertahun-tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara
untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman
bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani.
Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah
bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak
membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.
Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak
tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras,
menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.
“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga
sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa-basi telah
usai dibicarakan.
“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan
hal yang tak terduga.
“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa
menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.
“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria
yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan
terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik
martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.
“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”
Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut
pertanyaannya.
“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak sabar
dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya.
“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda
belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa. Alangkah
KITAB WAYANG PURWA

gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal-akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah
prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”.
Bicara Wisamuka, tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya
yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya,
sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka.
Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik. “Aku juga bisa
seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak
terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan“.
Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu
berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya.
“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara.
Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak! Sekaranglah saatnya!”. Wisamuka
yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri.
Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.
“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?”.
dibimbingnya anak muda itu kembali duduk.
Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang
duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam
hati buah hatinya.
“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga
Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.
“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah
ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.
“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya.
Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana
yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah.
Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah
sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh di
atas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata. “Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu
nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi
ayahmu ?”.
“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada
ayah setelah nanti aku ketemu disana”.
Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan
dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu
menyembah khidmat di hadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir. Kenapa
demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka,
dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan
dengan jiwa yang kosong. Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat
dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka,
ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian.
Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya. Memang
secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda
belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka
KITAB WAYANG PURWA

menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.
“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.
Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna di tempat yang tak
terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di
Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana
yang keluar dari mulut Arjunalah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab
musababnya. “Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang? Kemana sajakah
selama ini? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan
kedatanganmu?”
Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangnya segera
bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan! Gelar pahlawan akan dengan mudah
didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera
melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan
pamannya terlebih dahulu. “Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan
Abimanyu !”.

Wisamuka

“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama
kamu pergi”.. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi
pahlawan.
Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan
sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke
hadapan Prabu Duryudana.
Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah
merayunya.
Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna.
“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main-main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang
lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.
Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris
sakti sudah siap di tangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap
hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti
sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.
Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali
senyumnya membayang. “Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang
bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang
pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau.
KITAB WAYANG PURWA

Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi
pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.
Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di
arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera
menerawang, mencari penyebab keanehan.
Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk
menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia
menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan
halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya
menyentuh kalbu.
“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali
kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.
“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila
rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata !”
Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya
Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya
dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.
Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan. Terceriterakan, Dewi
Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga.
Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat
dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya.
Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.
Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada
keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya,
karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama
Arjuna.
Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya,
terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah
meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul
Wisamuka. Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya,
Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa
tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya ke dada. Tamat riwayat Dursilawati.
Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata.
Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di
hatinya.
Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya
pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada. Murdaningsih yang muda tetapi
telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka
menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan
pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung
putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi.
Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih
wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai
deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum
merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona
dengan kecantikan dan gerak geriknya.
KITAB WAYANG PURWA

Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna
melihat apa yang tampak dihadapannya.
“Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?”
Pikir Arjuna.
Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang
memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung
sukmanya.
“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah
aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan
senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para
wanita.
Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu
Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna
dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak
lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya. Namun kali ini, wanita asing dihadapannya
datang dengan ciri ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah
ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi.
Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat
Arjuna semakin mabuk kepayang.
KITAB WAYANG PURWA

TEROR KEPALA JAYADRATA


Ditulis oleh hery_wae

Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk, membiarkan tuannya


turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah
dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada, mengelilingi Arjuna dengan
senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut
berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi.
Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata
memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.
“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya
dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian Murdaningsih mengabaikan
pertanyaan mengenai namanya.
“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak
sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata-kata, sekalimat demi
sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu,
sang Dewi ? Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.
“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah satria
dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan
keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang
banyak yang memuja, sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka
minta andika pijak ?”
“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden,
seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian
yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang
sebenarnya diemban.
“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku
mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya ?”
kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia
menanyakan nama wanita itu.
“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran
lawan bicaranya.
“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”. Sambil
melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu
itu diterapkan.
KITAB WAYANG PURWA

“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan
Arjuna.
“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”
Arjuna menyanggah.
“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang
beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk membuktikan
kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.
“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.
“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat
disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.
Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis,
membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan
tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk
meringkus Arjuna.
Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang
berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu. Namun tidak demikian
dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan
manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan
dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan
belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.
Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah
Murdaningkung kembali memburunya.
Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang
kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun-ubunnya
karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang
dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang di bahunya. Terpasang anak panah
pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan
otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah
Murdaningkung.
Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah
kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil
menangis. Air mata sang Dewi yang jatuh di tubuh gajah itu secara ajaib membangunkan
sang gajah dari kematian. Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih
yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya. Pada saat itu, Prabu
Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya, muncul ditengah
kejadian.
Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu
Bogadenta memarahi adik seperguruannya. “Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh
ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu
tak mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu”.
“Arjuna, Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan,
percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat
tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”
“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran.
KITAB WAYANG PURWA

Bogadenta

“Prabu Bogadenta dari Turilaya”. Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya


“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku”. Arjuna menantang.
“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”
Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi
terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan
runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika
serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah
meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.
Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas
kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu
Bogadenta dari kematiannya. Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga-tiganya saling bisa
menolong sesama kawannya. Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar
keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari-cari.
“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”
Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda”.
Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini.
Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau
lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati
salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi,
maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu.
Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad”.
“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.
“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.
“Saya keteteran menghadapi lawan-lawan itu”. aku Arjuna
“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada
yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu.
“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.
“Penyakitmu belum sembuh-sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago
memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak
panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”.
Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak
panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru
KITAB WAYANG PURWA

siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing-masing.
Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.
“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah
terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.
*******
Sesampainya di palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan
pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak
terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara
mundur.
Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya,
segera Arjuna melepaskan panah Neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari
busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai
Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu
hebat seluruh padang Kurusetra di depan Arjuna.
Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak
dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan. Ketika banjir
melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau
terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke pesanggrahannya,
tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya.
Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang
diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi
penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja
belum memuaskan rasa dihatinya.
Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat
sumpah. “Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak
dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”. Sumpah Arjuna terdengar
oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan.
Geger lawan yang segera menutup rapat jalan ke arah persembunyian Jayadrata.
Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna
“Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan
sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.
“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan
kakak iparnya.
Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan ! Bila
memang itu maumu ayo ikut aku!” Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang
strategis dalam melihat tempat persembunyian Jayadrata.
“Tunggu disini. Lihat apa yang ada di depanmu? Itulah tempat berlindungnya Jayadrata!”
KITAB WAYANG PURWA

“Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?”


“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu
sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh
prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”
Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata. ”Tunggulah sebentar, akan
aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar
Jayadrata dapat ditemukan”.
Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk
menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara
ke angkasa. Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata
yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian
triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.
Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak
terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa
senja yang sebenarnya.
Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan
tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para
prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut
rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya
mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh
dengan kematian Arjuna.
Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung, bersembunyi dalam
kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada. Jayadrata, seorang manusia
keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi
bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah
ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi
disekitarnya.
Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar
diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana
membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di luar. Makin penasaran,
sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.
Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang
persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera
bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher
Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.
Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap
segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang
jatuh itu menjadi bulan-bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya
mendarat di depan Resi Sempani.
Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat
permainan itu. “Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu
belumlah mati. Kamu masih hidup !”
Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam
terpancar dari bola mata itu !
“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi
melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.
KITAB WAYANG PURWA

Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris


tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat
kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa
hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya,
Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang
melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !
Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi
Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan,
segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang-ulang ucapan sakti
penyebab amukan kepala anaknya.
“Hiduplah Jayadrata, jangan mati”. Berulang kalimat ini diucapkan.
Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata-kata namun awas perasaan
Sempani dengan akal-akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.
Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan
hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “Matilah
Jayadrata !
Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke
peperangan. Tidak terima ia dengan akal-akalan yang dilakukan Kresna.
Kepala Jayadrata yang kembali terkulai di tanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada
Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak
berbentuk lagi.
Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan
Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang
menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna
mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba
melayani permainan pedang jago tua itu.
Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung
hingga matahari sudah menyentuh ufuk. Tidak mau bertele-tele, Kresna segera mendekati
Arjuna.
“Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap
dinginnya hujan”.
Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara
Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.
Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang
turun dingin di langit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya
memburu keluar satu persatu dan akhirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit
sakti Jayadrata.
Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena,
tetapi sepanjang hidupnya ada di pihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik
ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling,
daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . .
KITAB WAYANG PURWA

BURISRAWA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae

Burisrawa

Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina di sela-sela perang, dirancang
bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan yang berubah
menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan layanan penuh kasih sang istri
yang didamba siang dan malam sepeninggalnya dari istana. Yang ditemui ternyata
hanyalah keruwetan yang menambah kusut masai keadaan hati di dalam. Ricuh di taman
Kadilengeng masih meninggalkan rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum
terlampiaskan. Sehingga rasa hati itu akhirnya terbayang di wajah kusut sang Prabu. Untuk
mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Di dalam mandinya, tetap yang terbayang
adalah sang istri, Dewi Banowati.
Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi menenangkan
batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa sebongkah kemenyan
sebesar kepala kerbau yang diletakkan di atas pedupaan. Segera disulut dengan api secara
hati-hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan
pedupaan itu. Segera upacara dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan
perasaan heningnya, menutup semua sembilan lubang tubuhnya.
Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar-akaran, mewangi
tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik ke angkasa berbaur mega, yang
bila terlihat bagai bayangan sosok dewata. Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma
yang melayang di keheningan sepi. Yang tersimpan di dalam kalbu sang Prabu hanyalah
kunci pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju lepasnya
mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa. Namun belum tuntas
dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi Banowati kembali membayang menggoda
pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia
berusaha dari awal. Namun kembali ia gagal.
Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang Prabu
Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam hatinya ia memaki
dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya. Merasa tak lagi ada gunanya ia
kembali ke Astina, segera dipanggilnya tunggangan sang Prabu, berupa gajah putih
bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu,
dengan secepat cepatnya. Ia hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk
menumpuk di dadanya. Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah
kembali ke pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari. Kembali ia
menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik iparnya, Jayadrata, membuatnya
semakin murka.
KITAB WAYANG PURWA

“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ? Kesanggupan andika
paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa selama itu tak kelihatan nyatanya !
Gugurnya anakku yang merupakan kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang
telah andika tambahi dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata ! Itukah yang andika telah
lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika adalah seorang
guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan telah melakukan perbuatan dengan
standar ganda. Raga andika ada di sekitar para Kurawa,namun di kedalaman hati, para Pandawalah
yang bersemayam dalam hati. Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati.
Hanya matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan? Taklah itu seimbang dengan gugurnya
Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung keturunanku. Apakah aku
sendiri yang harus maju menjadi senapati !”
Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi-tubi, malu dalam hatinya. Melihat
Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata-katanya, tak tahan ia. Segera pergi ia
tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan demikian. Apalagi peristiwa
kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik iparnya, dan diusirnya Aswatama,
membuat ia merasa bagai terkeping keping hancurnya hati.
Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin. “Aduh anak Prabu,
sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata katamu tadi ?” Salya yang dari tadi diam,
berbicara ia mengingatkan.
“Akan susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah melangkah
ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan kekuatan orang-orang di
sekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk
meringkus para Pandawa dengan kekuatannya sendiri”.
Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya, segera susul
Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban rasa yang menggelayut
dindadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.
“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan pamanmu pulang,
sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba ditemani Aswatama?” Tanya
Sangkuni ragu, karena setahu ia, Aswatama telah menjadi orang yang tak disukai sang
Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu.
Namun otaknya yang encer mengatakan, Aswatamalah yang hendak dijadikan pasal
untuk merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti. “Terserahlah Paman mau
ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya Pandita Durna”.
Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah. Sesampainya di luar,
diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan Aswatama.
Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan, mencari seseorang
dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu malam yang pekat mencari
keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah jauh meninggalakan medan Kurusetra.
Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi yang terjadi
atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti ganti terrasa didalam
hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah menjadikan rasa dan pikirnya
semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya sejajar dengan keberadaan Resi
Bisma ketika itu, yang sama-sama murid dari Ramaparasu. Pertapa sakti yang panjang
umurnya. Pertapa yang hidup sebelum jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai
murid Dewabrata dan Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni
kahyangan.
KITAB WAYANG PURWA

Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju sendiri ke
peperangan sebagai senapati. Bahkan sempat terlintas di pikirannya, bila ia mati dalam
peperangan, maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.
Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam pikirnya, ia
harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak sulungnya Lesmana
Mandrakumara. “Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana membuka
pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.
“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba bakal dipercaya
menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak cempaluk. Cepatlah kanda Prabu
mengatakan, sekaranglah hamba harus melangkah ke medan pertempuran sebagai seorang senapati
melawan Pandawa. Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut
perang di hari-hari kemarinpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati. Hari ini hamba
dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat ganjaran yang tiada ternilai harganya.
Perkenankan adikmu ini, untuk segera melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai
senapati memenuhi dada Dursasana.
“Jauh dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.
“Hah . . . bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar jawaban kakak
sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.
“Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”.
Makin tak mengerti ia mendengar jawaban kakaknya.
Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia melanjutkan “Apakah ada musuh yang
menerabas dari belakang ?”
“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakakmu Banuwati” Kaget setengah tak
percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai-sampai ia menanyakan kembali perintah itu,
tapi jawabannya sama saja.
Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit, yang seharusnya
maju ke medan perang. Kenapa harus kembali ke istana ? Kalau boleh kali ini hamba menolak
perintah paduka”
“Apa kamu tidak takut aku ?” tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.
“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung hamba”. Kecewa
Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia
tak peduli dengan keadaan dirinya ketika batinnya berontak hebat.
“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa-apa terhadap kakak
iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud dari semua perintah terhadap
adiknya.
Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung ugal-
ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak terima. Tetapi apa
daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.
Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira Dursasana.
Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya yang menyebabkan ia
merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya, dipoles bibirnya dengan gincu,
sementara gelung rambutnya dirubah seperti bentuk gelung malang, gelung para wanita.
Dalam perasaannya ia juga bagai dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.
**********
KITAB WAYANG PURWA

Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati membuat putra
Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah mengambil alih peran Pandita
Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola menyerang maju ke padang Kuru dengan
ampyak awur-awur, serabutan membabi buta.
Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan Burisrawa,
Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan Randugumbala segera
bersiap menghadang. Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan,
segera menyelonong ke hadapan Arya Werkudara.

Setyaki

“Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya yang tepat untuk
menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke
masa masa lalu, yang berkali-kali gagal menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan
Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika
didaulat menjadi kusirnya sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.
“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa yang berbadan lebih
besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara meyakinkan tekad Setyaki.
“Yang paling utama adalah tekad !” jawab Setyaki yakin.
“Tekad tidak cukup !” kembali Werkudara menjawab.
“Jadi harus bagaimana ?” tanya Setyaki memancing.
“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu kekuatanmu !“ Werkudara
menawarkan cara.
“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.
“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya, kamu pantas
menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.
Segera disorongkan batang gada ke hadapan Setyaki, dengan sekali usaha, terangkat
gada super berat Arya Bimasena.
“Bagus, kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !”. Bima Kunting artinya
adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian, Setyaki tetap bangga.
“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan gadaku ini, kamu
boleh berangkat sekarang !”. Kembali ujian kedua ditawarkan.
“Silakan kanda”. Kembali Setyaki bersiap diri.
KITAB WAYANG PURWA

Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan badan Setyaki
dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki berpijak. Gelegar suara
itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming.
Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya. “Ayoh berangkat akan aku
awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba aba.
Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu. Semakin percaya diri Setyaki
menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar. “Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang
boleh membantu !”
Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam. Bara dendam
memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena resmi ini. Mereka berdua
bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan kemenangan. “Heee Setyaki yang
datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang
terakhir. Aku tak mau melihat tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarang ! Tidak mungkin kamu
mengalahkan aku !”
“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu!”. “Apa yang kamu
andalkan? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang
kecil, terkena sambaran kakiku lunas nyawamu!” “Jangan banyak mulut, serang aku sekarang
juga!”
Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada Setyaki
dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki menghindar sambil
mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran kaki Setyaki, Burisrawa
meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke leher Setyaki. Kali ini benturan tak
dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki
Burisrawa ditebas dengan tangan berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara
tangan Setyaki kesemutan, Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang-pincang.
Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih berganti. Saling
serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan beradu gada. Setengah
hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua satria itu makin dapat ditebak
keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga raksasa penjelmaan raksasa Singa
Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja Mandaraka yang hampir tak pernah betah
tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana di hutan hutan hingga ke sisi lautan. Berguru pada
berbagai orang sakti, hingga Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi
gurunya. Tak heran ia menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari
kesaktian dan menyadap kekuatan alam.
Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa. Setyaki
mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja raksasa, rontaannya
tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa. Bangga Burisrawa akan
usahanya menjepit Setyaki
“Disini akhir hidupmu Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit,
agar kamu tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.
Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh kekuatan
raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya, bahwa peperangan
tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal, Kresna memanggil Arjuna
hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu dapat ditolong.
“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak-anakmu. Apakah jiwamu sudah
penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih banyak para sakti yang masih bermukim
di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya
KITAB WAYANG PURWA

pemusatan pikirmu. Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang
ada di tanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”
“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa ragaku” mantap Arjuna
menerima tantangan ujian itu.
Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna, tetapi
sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan keberadaan
Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi terserempet Kyai Pasupati,
lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ke tanah.
Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa, Setyaki punya
kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali kali, tewas seketika
Burisrawa.
Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi. “Huh Burisrawa . . . !
Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit ! Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !”
berkacak pinggang Setyaki didepan jasad Burisrawa.
“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul ke arah Setyaki
menjajagi rasa bangga Setyaki.
“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” kebanggaan Setyaki belum habis juga.
“Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan lawanmu ?” tanya
Kresna.
“Oooh . . . . . jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul kepalanya ?”
“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir, lihat ayah Burisrawa, Prabu Salya tidak
terima !”
Buru buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar menjauhi jasad Burisrawa.
Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju ke medan perang. Tapi tak
tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku sabar terlebih dulu.
Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk bertindak walaupun tahu betapa
sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah
kematian kakak Burisrawa, Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak
perempuannya, Erawati, Surtikanti dan Banuwati.
KITAB WAYANG PURWA

MAHALNYA SEBUAH HARGA DIRI


Ditulis oleh hery_wae

Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang, Dewi Banowati
mencoba menyenangkan hati dengan berjalan-jalan di taman sari. Taman yang jalur
jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik hijau merah biru putih dan keemasan. Diterpa
sinar matahari yang belum naik sempurna memancarkan sinar semburat bagai warna
pelangi.
Di suatu tempat yang menjadi kesukaannya, sang Dewi duduk di atas batu marmer
putih mengkilap yang direka pokok kayu. Terpesona sang Dewi memandang taman yang
asri itu dengan berbagai macam tanaman. Tanaman hias dalam jambangan yang ditata
teliti, berpasang-pasang, serasi warnanya dengan paduan bunga-bunga yang harum
mewangi. Tidak hanya dalam jambangan, bunga-bunga perdu juga menghias hamparan
taman bergerombol disela-sela rumput lembut. Bertambah indah suasana taman dengan
terbangunnya rekaan telaga yang berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna
emas, merah, putih dan warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan
ikan ikan itu bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.
Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap waktu
memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati memikirkan perang
yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap malam membakar sesaji
dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap pemujaan sang Dewi selalu
berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang berkecamuk. Untuk kemenangan
siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.
Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali kaget dengan
kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang datang adalalah adik
ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip dengan adiknya sendiri, Burisrawa,
setengah malas ia melambaikan tangannya agar iparnya itu segera mendekat.
Dursasana segera menyampaikan sembahnya, kemudian duduk dengan takzim.
Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian dengan suaminya
yang hari-hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada kejadian apa lagi di
peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak dilaporkannya. Mudah
mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi. Atau ada sesuatukah yang sangat
perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai manusia yang penuh kekerasan
meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi malah datang ke taman sari. Tempat indah
penuh kelembutan. Seribu tanya ia simpan sejenak.
Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik-baik sajakah kedatanganmu, adikku ?”.
“Sembah hamba ke hadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan baktinya.
KITAB WAYANG PURWA

“Apakah perang sudah selesai ?” tak sabar sang Dewi ingin mengetahui apa yang terjadi.
Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk kembali ke
istana.
“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka Arya Burisrawa telah
tewas dalam peperangan”.
Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi ketika
putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat ke depan dengan tatapan
kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya. Banuwati dan Burisrawa, walaupun
kakak beradik, dan pada kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi
keduanya tidaklah seperti kakak beradik yang dekat di hati satu sama lain. Banuwati malah
lebih dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di
Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.
Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar dan
cenderung ugal-ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan Dursasana.
Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana resmi istana, dan
kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke Astina. Apalagi setelah
Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu, hingga ia bersumpah, tak akan
ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa mempersunting dewi impiannya yang gagal,
atau memperistri wanita yang mirip dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.

Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir Banuwati,
“Perang itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia akan dibunuh. Kalau
Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang itu sendiri”
Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan, “Yang kedua,
adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana”.
“Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran sepuh yang sekarang
dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan harus dikembalikan ke istana. Terus
terang saja, kali ini saya ditugaskan oleh kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda
Banowati”.
“Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa curiga terhadap aku,
begitukah ?”. Banuwati mulai kesal dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah
ini buntut dari kericuhan kemarin ketika suaminya datang ?
“Ya, kira kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada kanda Prabu, karena
saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak
akan sanggup menolak”.
Dursasana sudah mulai jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan
sebelumnya. Suasana yang paling tidak senangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu
KITAB WAYANG PURWA

adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun di matanya ada sinar yang warna
cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet beracun. Hal inilah yang membuat
Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser geser mencari posisi yang enak,
namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman. Gerah rasa seluruh tubuhnya,
walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa uap embun yang baru saja kering. Tak
urung keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya.
“Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan! Kamu itu jadi seorang satria kok begitu
bodoh, begitu dungunya! “ berubah menjadi galak Dewi Banuwati. Suasana indahnya taman
sudah hilang dari perasaannya.
“Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-bodohkan, didungu-
dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan . . ” Dursasana menyabarkan diri. Mungkin bila ini
bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah atau bahkan tangannya sudah melayang.
Tabiat Dursasana yang tidak sabaran sebenarnya sudah mencapai ambang batas
kekuatan menahan, namun rasa hormat kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi
mengorbankan habis sifat urakan yang menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya
yang biasanya tak pernah diam seakan terkunci ketat erat.
“Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu seharusnya berperang.
Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke istana. Kenapa kamu menerima perintah itu
dengan begitu lugunya. Apakah itu bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan
tumpahnya darah !” Menuding-nuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak
pinggang.
Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak. “Bukan itu kanda Dewi, yang
memerintah tidak salah, yang diperintah juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah
dimarahi seperti ini ? Tapi terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran di masa datang.
Dan takut hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan kemurkaan
kanda Prabu Duryudana”. Masih mencoba sabar Dursasana.
“Dan bila hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba
laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati”.
“Duh . . Sumbarmu! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat panasnya besi membara!”,
Sinis dewi Banawati berkata.
“Dapat hamba buktikan ! Bila kanda Dewi mengatakan hamba ini satria bodoh yang takut
perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah untuk menjagai wanita, yang terjadi
sebenarnya adalah . . . . . , kanda Prabu itu orang yang kelewat sabar”, sejenak Dursasana ragu
mengatakan, namun sejurus kemudian ia melanjutkan. “Tidak ada orang yang sabar di dunia
ini melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang sangat berbisa,
yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya akan membuat gatal orang
senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya
bentuk dan rupanya yang cantik saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan . . . ”.
“Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa?”, bagaikan mendidih, darah di ubun-
ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya.
“Nanti dulu . . , kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat tanaman berbisa yang
dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati, yang sebagai istri kanda Prabu,
sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau
dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar-benarnya.
Tetapi hal itu hanya terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang
di negara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri”.
KITAB WAYANG PURWA

Keterusterangan Dursasana makin menjadi-jadi, ia memuntahkan seluruh isi hatinya.


Ia melampiaskan belenggu rasa yang dari tadi menjerat erat.
“Bagaimana ? Apa yang kamu ucapkan tadi itu, di hatiku cinta sama siapa ?” Banuwati
menantang. Walaupun jawaban yang akan diucapkan oleh adik iparnya itu sebenarnya
dirasa mudah untuk ditebak jawabannya, tapi ia masih hendak mencoba mencocokkan
dengan perkiraannya.
“Terus terang tadinya hamba tidak akan mengatakan sampai kesitu, tapi karena kanda Dewi
sendiri yang menantang, akan hamba buka yang sebenarnya terjadi. Kanda pasti tahu, sesuatu yang
tersimpan di hati kelamaan akan menjadi penyakit, sekarang sebaiknya hamba keluarkan unek-unek
di hati hamba”.
Di bawah sorot mata tajam kakak iparnya ia melanjutkan curahan isi hatinya. Terlanjur
basah, mandi sajalah sekalian, pikirnya. Masalah ada aduan yang sampai kepada kakak
sulungnya, itu soal nanti. Sekarang sekarang, nanti ya nanti. Kebiasaannya dalam berpikir
pendek, menjadikannya ia meneruskan kata katanya dengan lancar.
“Saya memperhatikan setiap kali ada perang tanding antara Kurawa dan Pandawa, bila ada
warga Pandawa yang menang, paduka bergembira dengan membagi-bagikan hadiah kepada abdi
dalem dan siapapun. Itu salah satu buktinya. Sebaliknya ? Contoh terakhir, ketika putra Paduka,
Lesmana Sarojakusuma tewas, paduka menyalahkan kanda Prabu dan putra paduka sendiri, tetapi
ketika Abimanyu yang tewas, paduka menangis histeris. Itu kejadiannya ! Maka pada setiap semedi,
paduka kanda Dewi selalu memohon dewata, kapan kiranya Baratayuda berakhir dan Kurawa kalah
serta musnah. Dengan demikian kanda Dewi dapat segera melaksanakan keinginan kanda Dewi
untuk menjadi keset Arjuna. Iya kan?”. Habis sudah, tumpah ruah segala kesah hati
Dursasana tercurah.
“Keparat kamu Dursasana ! Kamu megucapkan sesuatu tanpa perhitungan. Ketahuan kamu
sebagai satria yang takut darah, malah menguak rahasia orang lain. Kalau memang kamu sebagai
satria sejati, dan kalau aku diberi wewenang untuk menjagokan, kamu aku adu dengan Arjuna,
berani kamu ?”. Habis kesabaran Banuwati. Kebanggaanya akan Arjuna dimunculkan
dengan tidak malu malu lagi.
“Jangankan Arjuna, Pendawa lima maju bersama tak akan hamba mundur sejangkah!”
Kembali Dursasana sesumbar. Panas hatinya sudah semakin membakar perasaannya.
Bahkan tempat yang didudukinya sudah terasa bagai beralaskan paku membara.
“Sumbarmu ! Tetapi kamupun bisa menang bila aku adu kamu dengan Arjuna, bila sudah
terjadi kodok memakan liangnya !” Banuwati yang sudah terkena dengan telak isi hati dan
kelakuan dibelakang suaminya serta bosan dengan kericuhan yang terjadi segera berbalik
badan meninggalkan Dursasana yang tertawa senang sekaligus panas hatinya karena kata
kata kakak iparnya.
Berdiri Arya Dursasana, setelah ditinggalkan Banuwati, lega rasanya seakan ia sudah
terbebas sangkar yang mengurungnya. Dipandanginya kepergian Banuwati dengan
berkacak pinggang dan muka yang ditengadahkan. Puas tetapi panas.
“Kena kamu Banuwati ! lagakmu seperti orang yang suci, tidak menengok ke tengkuk sendiri
menuduh orang yang tidak-tidak. Aku buka rahasiamu, mencak-mencak seperti orang kalap. Kamu
anggap aku ini apa ? Kalau kamu bukan istri kakakku sudah aku . . . . . . . Huhh . . ! Apakah aku
kelihatan seperti orang yang bergelung malang dengan bibir berpoles gincu, diberi bedak tebal
mukaku dan dipakaikan kemben tubuhku ? Lihat apa yang akan aku lakukan untuk membuktikan kata
kataku. Hari ini tak usah aku meminta ijin dari kanda Prabu, akan aku penggal kepala Arjuna,
sekaligus semua saudaranya”. Panas hati Dursasana membawa keputusannya untuk kembali
melangkah ke hamparan padang Kuru.
KITAB WAYANG PURWA

KARNA TANDING 1 : GATOTKACA GUGUR


Ditulis oleh hery_wae
Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah enggan
segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya yang hanya bisa
ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke Astina, menjadikan ia terpicu
untuk segera berangkat malam kemarin. Keengganan yang berkepanjangan memaksa
dirinya menunda keberangkatannya, namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan
hati yang panas terluka.

Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana
ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena
kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang
di sekelilingnya.
Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini,
membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka
itu menyerempet kepada Adipati Karna.
Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera menyatakan madeg
senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh
resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat
dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan
lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara-negara
jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli
lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia
menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang
dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan
negara Pagerwatangan dengan Lembusaka.
Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar
Randuwatangan malam itu benar-benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari
beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba-tiba. Arya Drestajumna dan Wara
Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan
serangan musuh.
Berita serangan itu akhirnya sampai ke telinga penghuni Randuwatangan. Arjuna yang
dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian
yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa
malam itu.
KITAB WAYANG PURWA

“Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi
kami, kanda Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah
saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.
“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk
menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan
perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria.
Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan”.
“Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini,
apakah kamu setuju ?” Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan
kerelaannya.
“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi
harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca
yang harus menjadi senapati malam ini ?”. Sahut Werkudara.
“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas di waktu malam, dan kotang
Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya”. Kresna menjelaskan
dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah
Gatutkaca harus pergi untuk menghadap Hyang Widi Wasa.
“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas
Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan
kepada Kresna.
“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu
gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan
mati sia-sia. Kejadiannya akan tercatat dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan
pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu?” kembali Kresna meyakinkan hati adik
iparnya yang masih saja ragu.
“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.
“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga ”.
Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa
kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu
mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang
Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca.
Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan.
Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan
diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.
“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk
maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar,
namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan
oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang
demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan
sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata di
dalam taman surga”.
Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan
sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan
kata pamitan terakhir kalinya.
Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu. Kata-kata
terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang
KITAB WAYANG PURWA

hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes
di kedua belah pipinya.
“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan
kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan
pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi”.
“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta mengucapkan kata kata
seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku
kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku
wisuda menjadi senapati”.
Kata-kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna
menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda
senapati. Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh paman
paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka
malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling
serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai
auman singa lapar di padang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor di tangan
kiri dan senjata di tangan kanan mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain
dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir
yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang
menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi
semakin merah. Bagaikan banjir api!
Dan diangkasapun terang obor di medan Kuru seakan menelan sinar sang hyang
wulan. Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya.
Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya
menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan
yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas. Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga
tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang
Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya. Benarlah, tanpa perlawanan
berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca. Tetapi tidak hanya
musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam
dan sama sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh
trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.
Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca
sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang. Segera Raden Gatutkaca dan
Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk
melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan
ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak,
menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga.
Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya
membuat Gatutkaca keteteran. Segera serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan
sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua
tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api
tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa
jadian dari telapak tangan Karna.
Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian
Narantaka senapati Pringgandani. Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang
Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta
Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.
KITAB WAYANG PURWA

Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam di hari lain, malam ini tidak
berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat
susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin
lesatan kereta Adipati Karna.
Di atas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang
dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka,
bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ke
tangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya
bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus.
Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta
Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan
sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama di dada musuhnya.
Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya
senjata Kunta. Ia melesat ke atas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil
mencapainya. Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang
berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas
menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap
setia menunggu sang keponakan di alam madyantara. Rasaksa lucu yang kini berujud
sukma setengah sempurna itu, hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika
perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu.
Maka ia bersiap berkeliling di atas arena tegal Kuru malam itu. Maka ketika melihat
lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai
di sasaran di atas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca.
Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang ke atas awan dengan
membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa. “Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya
pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga“.
Takzim Gatutkaca menghormat pamannya. ”Oh, paman . . . Aku tidak mengelak akan
kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu
meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah
pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai
permintaan terakhir terhadap pamannya.
“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu?” senyum sang paman menanyakan
permintaan keponakannya.
“Kematianku harus membawa korban di pihak musuh sebanyak-banyaknya, hingga perang
malam ini berakhir”, Jawab Gatutkaca mantap.
“Baik aku bisa melakukannya!” Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang
Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika
pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk ke dalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya
tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan
keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama kemenakan tersayang, hari ini
berakhir.
Bersatunya Kunta Druwasa ke dalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat.
Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai
suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan di bawah sana.
Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati
Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura
terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar
KITAB WAYANG PURWA

bertumbak-tumbak luasnya. Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang
ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.
Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan
banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca
menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun
yang ada di sekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para
raksasa, persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu.
Dan seketika perang terhenti ! Berhenti perang meninggalkan luka dalam di hati
Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.
Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar
menunda dendamnya.
“Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari
kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.
“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat apa yang akan terjadi
disana !”.
Werkudara pergi sendirian ke arah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja
perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan
mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti
yang tindakannya di masa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan
hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.
Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi
terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami
atau terlebih lagi bagi anaknya.
Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk
mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa,
keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka.
Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya.
Maka upacara segera dimulai. Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni
pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama
suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.
KITAB WAYANG PURWA

DURSASANA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae

Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa karena kematian anak
tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang masuk dalam arena
pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap saja terjadi, setelah kematian
Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna kehilangan pegangan diri, kali ini Sang
Bima Sena-pun mengalami hal yang sama. Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu
Kresna, Karna atau dirinya sendiri. Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi
senapati malam itu adalah atas niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung
membuat perasaannya yang teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga anak lelakinya
telah mendahuluinya meraih surga. Yang pertama ketika mengikhlaskan Antareja menjadi
tawur atas kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang waktu lalu.
Kemudian berita telah sampai pula di telinganya, ketika Antasena juga telah
merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan dan mengalami
perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang itu. Ia dengan sukarela
tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala, hingga lebur menjadi abu. *)
Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka remuk
redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang kosong Werkudara
berjalan menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya sampai di pinggir bengawan
Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang siang. Rasa lelah semalaman dalam
menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja, Pageralun dan Pagerwatangan, membebani
raga sang Bima, ditambah jiwa yang terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak
tercintanya. Walau amuknya semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih
Sengkuni, Anggabasa dan Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas
kematian terhadap Adipati Karna. Rebahlah di bawah randu hutan di pinggir bengawan,
sang Bima melepas lelah. Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir
bagai kejadian yang baru saja terjadi.
Dibayangkannya sosok sang istri yang begitu menyayanginya dengan segenap jiwa
dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan-angan ketika ia memilih istri. Wanita yang
lembut namun perkasa dan sakti mandraguna. Berkelebat bayangan kejadian pahit manis
perjalanan kasih, hidup dan perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu
dengannya ketika membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian
angker dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang ternyata
mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah menyatu dalam jiwa
masing-masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri ketika melihat perubahan ujud
raseksi Arimbi yang begitu perkasa dan sakti, menjadi sedemikian cantik karena sabda sang
KITAB WAYANG PURWA

ibu, Prita-Kunti Talibrata, ketika menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya
dalam membantu anak-anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing
Rahsa ke telinga Arimbi.
Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia melahirkan
seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka, tetapi oleh olah para
Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan bagaikan berotot kawat tulang
besi. Ia telah berhasil membebaskan Kahyangan Jonggring Saloka dengan mengenyahkan
Prabu Kalapercona dan para punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia
banggakan dengan sosok yang dambaan yang melekat pada angan-angannya. Putra
sempurna yang merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu,
orang tuanya, yaitu Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani.
Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya itu buyar,
ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara teriakan sesumbar
itu. Itulah suara sesumbar dari Dursasana.

Bima

Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman Kadilengeng
di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya, Banuwati, untuk
mengalahkan Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh sebagai manusia yang takut
darah, menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera menaklukkan Pandawa.
Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi anak kecil
yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah pelampiasan dendam atas
kematian anaknya tadi malam. Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala
pakaian yang melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali.
Kelelahan jiwa raga yang mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari
dalam rasa hati. Melompat sang Bima menuju ke arah suara yang nyerocos sesumbar tak
henti-hentinya.
Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika melihat
Werkudara menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai di medan peperangan,
orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia bayangkan.
“Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot-repot mencarimu di tengah
banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa! Sekalian aku hendak membalaskan kematian
anakku Dursala karena ulah anakmu Gatutkaca !” kalimat yang terucap disertai tawa yang
mengalir dari mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud.
“Apa maumu ?!” Bimasena menyahut sekenanya.
KITAB WAYANG PURWA

“Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja. Sekaranglah waktunya
untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah sebenarnya yang mempunyai kaki yang
lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan tenaga yang paling kuat diantara kita berdua !” yakin
Dursasana kali ini dapat menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang
punggung trah Pandawa ini.
“Waspadalah, ayo kita mulai !” Siaga Werkudara setelah ia berhenti berucap.
Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan Kurawa mulai
berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara dielakkan dengan
sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai sasaran, segera Dursasana
menarik kembali serangannya, kemudian ganti tangan kirinya hendak menyapu pundak
Bima.
Gerakan Dursasana yang lurus menyerang pundaknya segera ditangkis dengan
tangan kanan, benturan kedua tangan terjadi. Sentuhan tangan keduanya memulai kontak
tenaga sebagai penjajakan atas kekuatan di antara keduanya.
“He he he . . . . bagus juga kekuatanmu, jangan keburu senang dengan berhasil menghindari
serangan pertamaku. Ayolah sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak
seberapapun kekuatan yang hendak kau kerahkan”
“Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !” Kembali keduanya siap dengan
kuda-kudanya.
Kali ini kaki kanan Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba
menahan dengan kedua tangannya yang bersilang di depan dadanya. Ketika kaki
Werkudara beradu dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut
pada kakinya hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian kekuatan kaki
Werkudara telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang terpaksa menggulingkan
diri. Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya, namun waspada Dursasana yang
segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan kaki
keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masing masing.
Terlempar keduanya beberapa langkah ke belakang dengan mulut masing-masing
mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut Dursasana mengalirkan
sumpah serapah seperti kebiasaanya.
Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara yang sudah
siap dengan kuda-kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam dengan caci makinya.
Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri diselingi sambaran kepalan tangan
dari keduanya. Saling serang dan elak berlangsung seimbang pada mulanya.
Tanding keduanya bagaikan perkelahian seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak
sentosa Werkudara yang kokoh maju setapak setapak menahan dan menyerang balik
Dursasana yang berkelahi bagai seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh
sabetan tangan dan kaki kedua musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah,
sedangkan yang besar-besar batangnya bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta
akarnya.
Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari keduanya.
Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala kesaktian dari Ajian
Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga menyatunya saudara tunggal bayu
serta kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu
Kresna yang menyamar menjadi Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata
kepada Arjuna, sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari
keberadaan Kresna dan Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

Usaha “tarak brata” inilah yang membuat ia lama kelamaan menjadikannya Werkudara
unggul telak daripada Dursasana yang jarang melakukan usaha peningkatan ilmu kesaktian
dengan lebih enak tinggal di istana.
Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong, berganti ia
mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara melayani kemauan
Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada Lukitasari.
Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi tubi dari Dursasana.
Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan segala kesaktiannya, keteguhan
Werkudara tetap tak tergoyahkan.
Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba mencari akal lain
dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan melawan dengan berulang ulang
kemudian melompati kali Cingcingguling.
“Werkudara . . . . Ayuh kejar aku ke seberang! Kamu tunjukkan seberapa kuat tenaga seribu
gajah yang kamu miliki ! “ Ia berharap sebelum kaki Werkudara menapak tebing seberang ia
sudah kembali menyerang sehingga lawannya kehilangan keseimbangan kemudian
serangan beruntun dilancarkan hingga lawan dengan mudah disasarnya.
Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan adiknya, segera
melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak Arjuna ketika adiknya itu
terkena tekanan jiwa atas kematian Abimanyu, membuat intuisi Kresna segera menemukan
dimana adanya Werkudara yang mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu.
Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak resmi dan ia
berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya seseorang untuk
menjemput Drupadi.

Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam mengubah strategi
menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika
campur tangan pihak ketiga juga ikut bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang
tak rela atas kematiannya masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak
menuntut balas atas kematiannya.
Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai menjadi sarana
atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan menginjak tebing sungai
dengan mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya. Kesempatan ini digunakan
sepenuhnya oleh Werkudara yang dengan sigap menjambak rambut lawannya, dan
kakinyapun mengunci gerak lawannya. Dengan tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana
bagaikan seekor buaya memutar mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh
musuhnya.
KITAB WAYANG PURWA

Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi dengan
tulang yang sudah patah pada beberapa bagian.
“Adikku Werkudara, lepaskan aku ! Berikan kakakmu sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan
pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku, berikan aku hidup. . . . . . . “. Memelas kata kata
permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana.
“Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu masih dalam keadaan jaya,
tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara sepupumu. Sekarang waktunya kamu
menuai tindakanmu dahulu yang selalu mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu.
Bahkan kakak iparku Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi dadu, hingga
sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali bergelung”. Mendengar permohonan ampun
tidak digubris, dengan muka yang memerah marah dan gemetar, kemudian berubah pucat
pasi tanda keputusasaan mendera dadanya.
Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam kepongahan
itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya. Kekesalan Bima
terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya hingga tercerai berai. Tidak
puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang sudah tercerai berai dilemparkan
kesegala penjuru.
Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan pernah
bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah Dursasana. Janji itu
terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh Dursasana di arena judi dadu. Janji itu terucap
disaksikan oleh semua yang hadir dalam arena itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia
tak dapat dipermalukan karena pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat
dilepas seakan tiada berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan.
Bima yang teringat akan sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana
dengan mulutnya hingga kumis dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai di tempat
kakak iparnya Drupadi, dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari
jenggot dan kumisnya, yang kemudian dipersembahkan di hadapan Drupadi yang dengan
senang hati menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.

*) Pada versi pedalangan Banyumasan, ada empat anak Werkudara. Satu yang hampir tak pernah disebut, yaitu
Raden Srenggini. Sedangkan pada masa lalu, pedalangan gaya Surakarta menyatakan Antasena dan Antareja
adalah sosok yang sama.
KITAB WAYANG PURWA

TEKAD DURNA MENEGAKKAN KEMBALI HARGA DIRI


Ditulis oleh hery_wae

Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas kehendak Adipati
Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih ke tempat yang lain namun
dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya. Di tempat ini terlihat bentangan
suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan muram, seperti halnya cahaya
kunang-kunang. Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang-
awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis
berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi
hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar.
Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang
terlunta-lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila di bawah pohon
baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati
yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan ke dalam alam layap leyep, alam samar.
Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati,
Ramaparasu.
Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah
murung.
Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa.
Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya. “Guru, hamba telah kehilangan
harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan
gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi”
“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan
telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. Dan bila
kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan
apa maksudnya”. Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi,
bahwa di depan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana
muridnya.
“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana
dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang
terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan
hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini
kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas,
adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang
teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun
kepercayaan itu lagi” sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam,
KITAB WAYANG PURWA

menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan
menjalankan sepenuh hati.
“Jadi apa maksudmu sekarang? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi
masalahmu?” sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang
tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.
“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah
menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali
lagi mohon pencerahannya bapa guru”. Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada
sang guru.
“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa?” Kembali Ramaparasu menegaskan
pertanyaannya.
“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul di pundak ini, apakah cukup
disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan
paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya!” Kumbayana
mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada
dalam keputusasaan yang berat.

“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah
seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu
tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata
perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam
kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka
Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah
dilalui melewati keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali
kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu
adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatianlah
itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi
seorang kesatria yang harus dilalui ”
“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru”. Mengangguk Kumbayana,
mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.
“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu
membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika
menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu ke alam abadi nanti,
itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau
sebaliknya”. Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan
dari sang gurunadi.
KITAB WAYANG PURWA

Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. Ia telah menimbang-


nimbang tentang hal di hadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat
oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidakpercayaan akan kemampuannya sebagai
senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi
dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di
hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.
Malam tinggal sepotong. Malam yang di tempat lain, di padang Kurusetra baru saja
terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga
dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan.
Namun di tempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. Pemandangan
alam yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya.
Bulan lepas purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai
bayangan seekor kura kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih
mengelipkan bintang bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin.
Ayam hutan berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai
dipinggir hutan menjelang terang fajar.
*****
Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu pinggir
hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak terkasihnya
Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring Merak dirapal menurut
petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya kocak kebiasaan mereka berdua
yang sering bercanda.
“Aswatama, kamu mencolek-colek aku, ada apa?!” Sangkuni yang terheran, menanyakan
ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang menyentuh.
“Hamba tidak melakukan itu paman” sanggah Aswatama.
“Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang kerjaannya mengganggu
manusia !” Sangkuni setengah berbisik mengatakan kepada Aswatama.
“Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak dosa jadi tidak
diganggu”. Jawab Aswatama sekenanya.
“Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu?” kembali Sangkuni menegaskan.
“Ya begitu, memang kenyataannya!” terkekeh Pandita Durna menyahut. Maka tampaklah
sosok Durna dihadapan keduanya.
Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian berganti sang
Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.
“Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang, Sinuwun sudah
mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika sebagai senapati. Sinuwun Prabu
Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak terkira. Maklumlah, beliau banyak beban
dipunggungnya yang kian berat. Apalagi kematian putra lelaki satu-satunya, telah meruntuhkan
moral perangnya. Tugas wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu
Duryudana”.
“Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup menyelesaikan perang
dengan kemenangan !“. Pendeta Durna menjanjikan.
“Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut dalam pertempuran ini,
pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat membuktikan kerjaku, pasti sinuwun
Duryudana akan mengampuni kesalahan kamu “.
KITAB WAYANG PURWA

Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi
prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agul-agul sakti
sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna
telah berhasil membunuh Gatutkaca. Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap,
namun kesediaannya kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya,
Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.
Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam
peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang
malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini. Melihat kelelahan yang
mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka diambil alihlah kendali
peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna sendiri.
Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari,
membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang di
tangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan
bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan
siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan
nyala kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam
menentukan dimana arena amukannya akan terjadi.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera
menghadap Sri Kresna dan Arjuna. “Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada
paduka, apakah yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat
dengan mata para prajurit”.
“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai di hadapanku. Aku akan
mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita Durna”.
Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa.
“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi Kumbayana.
Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan
patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang
dimana tidak ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana
tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam”. Kresna
mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika
itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang,
bahkan gurunya sendiri, hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan
badan yang gemetar.
“Kata-kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon
petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.
“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang kamu
miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang orang yang kamu percayai dalam
membantu usahamu, adimas”. Pesan Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.
Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat
melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan
juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang
meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana.
Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang
gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu.
Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani
senapati Bulupitu itu.
KITAB WAYANG PURWA

Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan
mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.

Drupada

“Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu. Ayolah kita
menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah Barata ini”.
“Ooh . . kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu miliki. Lupakan saat
dahulu ketika bersama-sama berguru. Lupakan saat kita sudah melewati simpang jalan dan kamu
sudah mukti wibawa di Pancalaradya, yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku
kurang tata susila ketika aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana
dan membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus berakhir
dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa pengabdiannya sebagai tokoh yang
membawa kebenaran dalam sudut pandang kita masing masing”.
Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera mengalir
gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap ditambah dengan
ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita yang hanya bertangan
fungsi tunggal.
Namun pandita Durna adalah seorang guru yang setiap kali menurunkan ilmunya
bukan menjadi berkurang, tetapi malah semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah
seorang raja yang walaupun sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih
menjanjikan kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.
Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang unggul. Hal
ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada kesempatan terbuka, sang
pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada sang Sucitra tua hingga ke
jantungnya.
“Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku, dan rasanya sudah dekat ajalku
. . . . . “ terpatah kata kata Sucitra yang sudah roboh di tanah yang bersimbah darah. Ia
menyampaikan isi hati di hadapan Kumbayana yang masih berdiri mematung.
Dengan nafas yang makin satu satu keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada
lirih melanjutkan, “namun . . . persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . sampai disini. Aku
akan sabar menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . mudah mudahan waktu
tunggu . . . . ini tak akan lama”.
Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas di tangannya.
Seketika tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan tewasnya Prabu Drupada.
KITAB WAYANG PURWA

Di lain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak lah berguna.
Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi kesempatan bertarung
dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia mengantarkan jiwanya menuju keabadian.
Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya moral
prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan gurunya.
“Sembah baktiku kami haturkan ke hadapan Bapa Guru” Dananjaya mengaturkan
sembahnya.
“Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan suba sita. Inilah
yang aku kagumi dari watak para anak Pandu” Durna terkesima dengan apa yang terjadi
dihadapannya.
Lanjutnya “Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi. Ajian Laring Merak
yang aku banggakan tidaklah ada artinya di hadapanmu. Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu.
Sudah saatnya Baratayuda menentukan, mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada
saat ini”.
Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan kewajiban
sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan murid.
Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada perasaan sedikit
segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati. Pukulan dan gerak yang
dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka tak lama kemudian
punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia merasa kesakitan.
Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa sakit yang mendera
bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia bersungguh sungguh.
Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah dengan tenaga yang lebih baik
karena faktor usia, membuat ia mendesak sang Pandita.
Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya. Kobaran dahsyat
api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat lari tunggang langgang
prajurit Amarta.
Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang di atas
palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru memadamkan
kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri yang disempurnakan
oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung silih berganti. Segala bentuk
kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak
balik pertahanan Durna. Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos
keris kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung
seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris Pulanggeni
ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti menonton tanding senjata
itu.
Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya menjadikan
peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali dari pencarian
terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana, pertempuran masih tetap
berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya adalah perang strategi. Bila secara wajar
pertempuran akan memakan waktu dan berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.
“Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai tujuan tertentu”.
“Apa maksudmu ? Werkudara menukas.
“Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa hari ini gurumu
meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidakpercayaan Duryudana kepada anak bapak
KITAB WAYANG PURWA

Sokalima. Misi dari gurumu sekarang, tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus
mengembalikan kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia
lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu”. Sejenak Kresna diam
dan menyelidik, apakah kata-katanya dimengerti oleh adik sepupunya itu.
Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. “Teruskan dongengmu, biar aku
tidak setengah setengah menelan omonganmu”
“Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati pendamping ?” Kresna
bertanya, namun kembali ia meneruskan “Itu adalah raja dari negara Malawapati, Prabu
Permeya”.
“Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ?” Kembali Bima memotong.
“Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan gajahnya sekalian,
kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka mengatakan Aswatama telah tewas!”
Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri Permeya yang
duduk pongah di atas gajahnya. Terkejut Permeya ketika di hadapannya telah berdiri
dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya ketika melihat gada di tangan Bima-
Werkudara berputar mengancam dirinya.
Tak pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak
sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah runtuh, tak sulit Werkudara
menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama. Tanpa bisa
mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.
Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan Aswatama
telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai di telinga Begawan Durna.
KITAB WAYANG PURWA

DURNA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut-sahutan yang
mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran
berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya.
“Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”
“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.
Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya
dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua
adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”
“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab
seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin
makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai. ”Ah . . sama saja,
bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya
untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.
Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian
anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan.
“Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti
Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan
perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa
akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.
Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa
yang diperingatkan oleh kanda Prabu”
Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya
datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.
KITAB WAYANG PURWA

“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang
berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan
bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira,
apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata-
katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan
berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi.
Lanjutnya, “Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang
katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih
hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya
dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.
Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika
Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang
Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara
kalimat Hesti terucap pelan.
Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah
tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna,
jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.
Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan
Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda
bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan
Kumbayana di alam madyantara-pun, punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama di
telinga sang Begawan.

Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana
tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa
guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan
perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru
imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
****
Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung
dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi
dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya
kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan
kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.
KITAB WAYANG PURWA

Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak
menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra-putra dari Adipati Drestarastra
dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura. Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi
dari hadapan Begawan Durna.
Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima.
Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna di tempat
pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada di depan arca Durna, ia
sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.
Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah
sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan
pikiran di hadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.
Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna.
Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya. Berhari
hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah,
Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.
“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna.
Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku? Taklah kamu bakal mengalahkan murid
terkasihnya!”
Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya
adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan
peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam-diam berselingkuh dengan
menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.
Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidakbenaran tuduhan itu,
dengan mengajak Arjuna ke tempat Palgunadi berada. Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap
hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas
Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan
diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah,
“Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini.
Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat
berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”
Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna
telah menyalahi janji di hadapan para sesepuh kami”
“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh
begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh
tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit
dengan susah payah.
“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai
kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya
sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu
bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan
memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.
“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang
menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok
Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.
“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang
Guru?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu.
KITAB WAYANG PURWA

Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari
tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah
menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia
menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya. Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun
berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong
menyampaikan usulnya.
“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan
melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada di belakangmu itu, Palgunadi”
“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan
Arjuna.
“Wanita di belakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat di jarimu. Bukankan itu
hal yang bersifat adil Bapa Guru ?” Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada
gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.
Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas
pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu
telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan
nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan
memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain.
Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia
mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku
menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”
Kaget Palgunadi, terputus angan-angannya ketika ia diminta segera memutuskan
pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini.
Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini
adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya
sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur
dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan
saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat
menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu. Angan itu terputus ketika suara istrinya
menanyakan beberapa hal, “Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya?
Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain? Tidakkah
seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak
memiliki . . . “.
“Baiklah . . . “, potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang
lebar, “Sekarang aku akan memutuskan!” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap
Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila
ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan
tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada
kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah
keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin
sekaligus jarinya.
“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku”
Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya.
Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya.
Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada
keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik
terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak
KITAB WAYANG PURWA

mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya
sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang
dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak,
golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya
terpancar dari hukum alam semesta.
Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa
keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah
Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina
serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang
terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun*) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan
mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada
murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.
“Segera letakkan jarimu di atas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar
kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena
peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi
murid-muridnya….”. antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.
“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak
mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.
Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya di atas batu, bersamaan dengan
dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal
dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia
alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan
yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa.
Tewas sang Palgunadi.
Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia
lengah. Cundamanik yang ada di tangan Durna secepat kilat ada pada genggaman
Anggraini yang kemudian menusukkan keris di tangannya ke dada tembus di jantung.
Menyusul sang istri setia ke pangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang
yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh
keduanya.
Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang
terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang
sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu
darimu“.
******
KITAB WAYANG PURWA

Melihat sang Drestajumna di atas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan
rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma
Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi
liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya
yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah
dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !”
Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.
Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek
menyesali kematian anaknya semata wayang.
”Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan
Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur
kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan
Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih.
Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti
akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai
bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin
akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan
aku dengan anak tanpanmu..“. menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau,
berdiri condong bersandar tebing batu.
Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi
melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib
anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan
Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan.
Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan
ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna. Tanpa
sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai
layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher
Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan
kemudian dilemparkan jauh-jauh.
Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak
menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda.
“Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan
senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran
Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling
jumpa. Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat
membalasnya.
“Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu
kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan
menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke
hadapan sahabatnya.
Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci
keabadian.
******
KITAB WAYANG PURWA

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah
ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan
raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya.
“Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa.
Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah
menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali
tindakannya.
Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan
betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika
ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan.
Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui
hatinya.
Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan
Werkudara. Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak
kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk
tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah
sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa
tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak
adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal.
Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”.
Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang
tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih
Sengkuni.
“Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban
Sengkuni.

Aswatama

“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan
menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang
ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui
cerita yang didramatisir.
“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia
memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut
bibirnya bergetar.
“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama
pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan,
sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna
KITAB WAYANG PURWA

dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan
bunyi yang menggelegar bergemuruh di tangannya.
Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena
merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk
menghadapi amukan Aswatama.
Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu
sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua
yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati
Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan-bulani kepala dari guru para pepunden
Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah
“tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”
“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena
jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang
dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar.
Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan
itu!”
Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi
hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari
mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi
tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai
seorang penasihat perang”.
Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap
Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar.
Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam
hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki?” Setyakipun mengangguk.
”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf
atas kelakuannya tadi.
“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah
kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk
kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari.
Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama
yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.
Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk
mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng
baja. Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan
mengucapkan sumpah, “Ingat orang-orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas
atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun
perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”
KITAB WAYANG PURWA

KARNA SALYA PADHU


Ditulis oleh hery_wae

Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan Prabu
Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu hingga
menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya bagaikan
meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya hati dibawanya
menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung. Seribu hitungan langkah
yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam pikirannya. Rencana bagaimana cara
membalaskan sakit hati atas pokal orang Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa
bersaudara atas kematian orang tuanya secara keseluruhan.
“Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna. Belum merasa lega
hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni
usaha apapun, bahkan menjadi hewan paling hina-pun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas
atas kematianmu”, kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah Aswatama.
Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang dicintainya.
Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, pamannya itu
yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada dirinya, tak terbatas pada rasa
sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal ayahnya sedari kecil di Timpuru telah
mendekat-lekatkan hatinya kepada pamannya itu.
Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan atas nama cinta,
tetapi semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban mengasuh dirinya sebagai
anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi adalah perilaku yang menghindari diri dari
kerepotan itu, demi mengejar angan tinggi seorang perantau muda yang haus akan
pengalaman dan cecapan kebebasan masa mudanya. Angan kebebasan berpetualang
yang membawa ayahnya menjadi rusak raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah
tercintanya juga diberkati kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan
menjadi guru ilmu kanuragan para Kurawa dan Pandawa.
Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih sayang sang
ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga dengan sosok dirinya
yang merupakan keturunan satu-satunya. Bagi ayahnya adalah pelecut semangat hidup,
ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna. Sosok dirinya yang mengingatkan atas
sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.
Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang mencari
dirinya telah menemukannya. “Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu
KITAB WAYANG PURWA

berpanjang panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu. Sinuwun
Prabu Duryudana berkenan memanggilmu”
Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya masih
tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat marah, ketika ia
berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika pertengkaran pamannya itu
dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian pamannya.
Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan. “Sinuwun
Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau, yang menganggap orang tuamu telah
menjadi pahlawan atas gugurnya dalam membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada
negara. Ayolah anakku, jangan ragukan kata kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas
sabda Prabu Duryudana”.
“Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini” Aswatama menuruti kata kata Patih
Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan batin. Dengan bergabung
kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia dapatkan dalam usahanya
membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan dalam kepalanya juga mengarah
kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia yang tahu.
******
Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka
dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para sanak
saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan tulang tulang
dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang membuat serasa lumpuh.
Ditambah lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik
sandi. Kematiannya yang diluar arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan
kematiannya yang sangat menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan
dendam kepada Werkudara.
“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan pertempuran”
Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang terkasihnya tewas satu
persatu.
“Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu”. Salya mencoba
menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan pilihan.
“Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu mempunyai
pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini,
aku sanggup untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu
Pandawa”.
“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dan
senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan Para Pandawa dengan landasan
bangkai para prajurit dan bergelimang dengan darah para bebanten perang”. Duryudana
menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya atas kematian adik
terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran
dari Prabu Salya.
“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul yang kiraku dapat
mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri kokoh seorang calon
senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah anak dewa penerang hari, yang telah
kuasa memenangi pertempuran malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati
muda Gatutkaca”. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga
mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan dari hati yang
tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap
KITAB WAYANG PURWA

mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil kemenangan yang dicapainya baru
baru ini yang tidak dilakukan dengan cara kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu
waktu sebelumnya yang terjadi diwaktu yang wajar, siang hari.

“Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda Adipati,
kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati
dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan terlaksana besok pagi”.
“Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah terucap dari sabda
paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada adinda Prabu, dalam
perang nanti, kami pasti akan berhadapan dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang
sudah terucap dari sabda Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal
bertemu kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas
Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan
peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan kepada
Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan kepada Karna-
Suryatmaja.
Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan pemberian
pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya, Bratasena Werkudara,
untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar keponakannya. Pertempuran
yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya
tewas pada saat Perang Baratayuda berlangsung nanti.
“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan kami,
pasti akan kami kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang hendak ia
sampaikan.
“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara kami dengan
dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi,
mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia yang setimbang dengan derajat Prabu
Kresna”.
Sejenak Karna diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada
adik iparnya itu. Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu.
“Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya Sangkuni?
Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati akan memenuhi kehendak
kanda Adipati”.
Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi telah
ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan mertuanya
yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk
KITAB WAYANG PURWA

melawan balik sikap mertuanya itu. Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan
dipenuhi tanpa harus tercampuri oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan
dalih dalam melawan sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.
“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku kehendaki.
Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu Kresna. Satu satunya orang
yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . . Rama Prabu Salya”.
Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia
berkata. “Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap apa?
Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku
sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga
sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan
permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka”.
Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan
kepada mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya.
Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya diawal
perang.
“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah sekarang
putramu sendiri yang akan maju ke medan Kurusetra. Saya relakan jiwaku demi kemenangan yang
hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam ini juga”. Duryudana mencoba untuk
menarik perhatian ayah mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan
kakak iparnya bila ia mengancam akan bertindak sendiri. Kembali diluar dugaan, Salya
berkata sambil tertawa sumbang.
“Anak mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak
usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata-kata anakmas Duryudana tadi, bukan
keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan ancaman halus seperti yang
anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu
yang membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang”.
Akhirnya Salya menyanggupi permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya
dikabulkan bukannya senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti. “Terima kasih
rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon perkenannya adinda Prabu
Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga”.
Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam
melawan rasa benci dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan
peran itu dari saat ini juga.
“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau perintahkan
untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah menantunya sekalian memanjakan
semua kemauan menantunya.
“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke Awangga. Anakmu
mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah lama anakmu tidak memberi kabar
ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon
perkenannya. Ketemu dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang
senapati. Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang
lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa, tugas yang
taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi penjelasan kepada mertuanya.
Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah. “Dalih apapun
yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti. Mari ikuti aku, kita segera
berangkat ke Awangga”.
KITAB WAYANG PURWA

“Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan mengantarkan
senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.
“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini nanti”
demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya dan Adipati
Karna sampai di gapura pesanggrahan.
Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam. Tetapi dua
sosok tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan Aswatama. Segera
keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya.
Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan. Setelah basa basi
sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu Duryudana,
“Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu dari hadapanku. Kematian
ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang
anak pahlawan, selayaknya kamu harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan.
Sedangkan perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit yang
setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali di hadapanku”.
“Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami pelihara sikap
kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba sebagai mata mata atas kedua
parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan
hubungannya dengan kedua parampara paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena
keduanya adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa. Prabu
Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda Adipati Karna adalah
saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi paduka Dewi Kunti. Maka menurut
hamba, keduanya harus diawasi benar benar pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba
mohon maaf. Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba kesampingkan”.
Aswatama menghaturkan kata kata itu dengan hati hati. Sebenarnya ia khawatir
mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada dirinya hingga diberanikan dirinya
mengutarakan isi hatinya. Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk
dalam.
Tetapi hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya. ”Anak
Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi dengan keduanya.
Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan keterangan yang diberikan besok hari ketika
perang esok hari telah usai”.
Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat memejamkan
matanya. Kenangan masa lalu dan rencana ke depan hilir mudik mengisi kepalanya. Tapi
putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi Baratayuda tidaklah menjadi
persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia hitung-hitung dalam perkara ini. Yang
utama adalah bagaimana ia dapat membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan
pamannya, baik itu melalui tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang
telah diputuskan, bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang,
dirinya aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin
menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua pihak yang
sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian bertahta diatas bangkai
mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina dengan permaisuri Dewi Banuwati.
Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.
KITAB WAYANG PURWA

KARNA TANDING : KARNA GUGUR


Ditulis oleh hery_wae

Tak diceritakan bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri
tercintanya, Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana
pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari
menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga prajurit
yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya
yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya dengan cepat.
Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan
busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar
perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang
bergeletakan mencuat di antara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang
bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka
menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu
bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar
kekitar di angkasa yang biru dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya
untuk kembali berpesta pora.
Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang
sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius
menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan
sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak? “Inilah
yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah
mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan
baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem
lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada di dalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya
meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya
kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar
mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas.
***
Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu
dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap
para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang
bersifat oportunis.
KITAB WAYANG PURWA

“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru
sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para Kurawa menang
atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang
bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak
bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan
bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu,
karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina !”.
Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas
kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna.
Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak
beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah
keberangkatan Sanjaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin
kejadiannya akan berbeda.
Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah
seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-
gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan
oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api
yang membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa.
Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan. Yamawidura yang menjelma
menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan
menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi
karena sesuatu hal ia harus sembunyi-sembunyi menyelamatkannya.
Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian
telah membuat sesal dihati Srikandi. Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar
keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah
melangkah ke palagan. Maka di dalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok
Adipati Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di
pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang
oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak
rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain. “Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu
telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan
terhadap orang tuamu dan keluargamu?”.
“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu Dewanata. Sekaranglah
aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku para
Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa
berada?”
“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra
senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!”.
“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!” Pertempuran dua anak muda itu
berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya,
untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan masing masing.
Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada
Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan
Warsasena dengan menewaskannya.
Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang
tinggal satu telah tewas. Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran
KITAB WAYANG PURWA

kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata
tidaklah imbang di hadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak
lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya
membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para Pandawa.
Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam
pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari
Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta
perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja
masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah
menaiki kereta, dan ia masih ada di bawah, kemarahannya kembali meledak.
“Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua,
keparat! Orang tua masih di bawah, kamu sudah duduk nangkring di atas kereta!”.
Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari
waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya
menetapi darma. Disini derajat kusir ada di bawah senapati”.
“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu.
Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai hatiku dalam
pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu
jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat
mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”.
Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.
“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki
kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda-tanda dalam diri putramu, detak jantung di dada ini
mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk
mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . ”. Campur aduk perasaan kedua manusia menantu
dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan.
Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral
perang senapati Kurawa. Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam
bergulung di atas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor
naga yang mengincar kematian Arjuna.
Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ke tempat ia bersiap, segera
menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya “Heh kamu makhluk yang
mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.
“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu
menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya. Tetapi
sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia
pergi.
“Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun,
tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya
kematianmu!”.
“Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu
yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematianku moyangku”.
Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaannya sedikitpun, segera tahu apa yang
ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.
KITAB WAYANG PURWA

“Arjuna, di atas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan
panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah.
Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika
yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak
mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak
keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera
terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu.
Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang
dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan
kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna.
Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.
Kresna telah tahu apa yang melatarbelakangi maksud dari keberpihakan Karna
terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata,
ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna
sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu
terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu
hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah
salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa
majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada
seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu. Mari
aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi
kusirmu”.
Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna,
kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua
yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan
dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca,
kesaktian kereta Jaladara bisa berkali-kali lipat kekuatannya.
Suasana berkembang makin hening, di angkasa telah turun para dewata dengan
segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar
yang terjadi di padang Kuru. Sebaran bunga-bunga mewangi turun satu-satu bagai kupu-
kupu yang beterbangan. Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari
keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan
untuk menyambut kedatangannya.
Berkata ia kepada Arjuna “Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta
perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya”.
Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya.
“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh di hadapan Adipati Karna setelah
menghaturkan sembahnya.
“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menangis meraung-raung.
Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela-bela diriku membutakan mata menutup
rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”.
Karna menumpahkan isi hatinya.
“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka
kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara
paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik-adik paduka,
Kanda Adipati”. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.
Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terasa di dalam hatinya. “Lihat, air
mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang
kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama-sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga
dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang
sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku
menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi
hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang
bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?”. Sejenak mereka berdua
saling berdiam diri.
Sesaat kemudian Karna melanjutkan. ”Tak ada seorangpun di dunia ini yang dapat
mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku
nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku
memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “ Serak terpatah patah suara Adipati Karna
ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna.
Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas.
“Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira,
lebih bertenaga, lebih sakti!”.
“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang
lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian
mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.
Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah
berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya
dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak
prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan
manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.
Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna.
Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata. “Rama prabu, hampir saja
hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.
“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi
kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”.
Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya. Kembali adu
ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada di tangan Karna.
Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah
sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat
menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak.
Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna
dan mencabik segenggam rambutnya.
“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai
perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna menanyakan.
KITAB WAYANG PURWA

“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku
akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali
gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para
yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan
segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum. Adu kesaktian telah
berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling
mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua. Namun
Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati,
yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup
kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam
kelanggengan!”.
Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak
panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata
karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai
bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-
sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya tak
bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi
kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari
keretanya, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.
Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata
yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah
sepasang mata Aswatama!

Banyak sekali versi tentang cerita Karna Tanding. Petikan dan suntingan dari pagelaran demi pagelaran wayang purwa diatas, adalah
salah satunya yang terpilih untuk diketengahkan. dalam versi lain, saat tanding lawan arjuna, kereta perang Karna teperosok ke dalam
lumpur. sesuai dengan kutukan dari guru Karna yaitu Ramaparasu atau Ramabargawa. Pada saat membetulkan roda kereta yang
terperosok itulah, Kresna memerintahkan Arjuna membidik Karna. Gugurlah Karna dengan kepala terpenggal panah Arjuna. Syahdan,,
Karna menyamar sebagai seorang brahmana agar dapat diterima menjadi murid Ramaparasu, karena Ramaparasu tidak mau menerima
murid dari golongan ksatria. Pada suatu saat terbongkarlah kebohongan Karna. Merasa ditipu dan dikhianati, keluarlah kutukan dari
sang guru.
KITAB WAYANG PURWA

KETIKA RAHASIA ITU TERUNGKAP


Ditulis oleh hery_wae

Kidung layu-layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai
pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik-rintik. Meski begitu, rintik hujan
itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa.
Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan
atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna
kepada orang orang di sekitarnya dan para saudara mudanya. Ia adalah sosok yang tegar
dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya
kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang
secara tersamar menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku
kebajikan. Ia telah menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan
demikian ia telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu
Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten.
Dengan terbunuhnya Adipati Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai
Jalak yang gagal, maka secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para
prajurit di arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang
tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi kenyataan,
bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang termasuk Prabu
Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut sebagai kenyataan, bahwa
perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi pengakuan terhadap kekalahan itu,
belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana.
Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan,
juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga
terlimput oleh gelap. Di hadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan apa
yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman dan Raden
Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung menyikapi keadaan
dihadapannya. Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan dan pemikiran, telah
dikalahkan oleh rasa takut akan murka junjungannya.
Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat
rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus segala
keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka berburu di hutan.
Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika mendiang ayahnya
diangkat menjadi guru bagi sekalian anak-anak Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai
saat inipun masih tetap tersandang, walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi
ketika ia harus kehilangan kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela
pamannya Krepa. Juga tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam
KITAB WAYANG PURWA

mengabdi kepada Prabu Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya


terhadap penguasa tertinggi Astina.
Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam jiwanya. Padahal sesuatu yang
hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu peristiwa di medan perang, telah mendesak
kuat dalam hati untuk disampaikan. Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan
sesuatu apapun. Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari
pembesar yang hadir.
Dalam ketidaksabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu Salya
berbicara. “Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan dengan sepatah kata,
namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar. Pasti anak Prabu merasa kehilangan
Senapati yang menjadi bebeteng negara, kakak iparmu, anak menantuku, Adipati Karna”. Tetap
bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing dari Prabu Salya,
sehingga kembali ia melanjutkan.
“Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh karena terdorong oleh
gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu menyampaikan isi hati ini”
“Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu tanpa dapat
diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu berikan terhadap putramu”.
Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir Prabu Duryudana, terbawa oleh
rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan oleh ayah mertuanya.
Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang dihadapi
tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati Prabu Duryudana.
“Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini seakan menjadi manusia yang tidak
lengkap panca indraku. Setelah saya timbang-timbang, ternyata pancaindriaku masih lengkap. Oleh
karena itu, aku akan menyampaikan sesuatu”.
“Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu”. Duryudana kali ini mencoba pula
tersenyum, walau terasa hambar.
Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu terdengar
sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. “Terhitung selama perang
berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu mengatakan bahwa waktu telah
sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak Prabu masih mempunyai kepercayaan kepadaku”.
Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang berlangsung pada
masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di Mandaraka. Ketika itu ia sedang
merembuk bagaimana ia berencana hendak memberikan negara kepada anak turun, serta
bagaimana ia menyampaikan cara dalam menata negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan
dengan kedatangan dua orang utusan yang belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat
dan memberikan surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi
pahargyan di suatu tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun,
pesanggrahan yang begitu indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda-muda dan
begitu cantik-cantik.
“Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring tetabuhan dan kidung yang
menyenangkan hati”. Prabu Salya meneruskan, “Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku
makan dengan begitu lahapnya. Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka sekejap aku
telah menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji”.
Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, “Begitu aku sudah merasa
kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku ketahui, dan memeluk
aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan balas budi dan terdorong oleh rasa puas
KITAB WAYANG PURWA

karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta
saya untuk bersedia berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti,
seketika aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan darah
yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku sendiri”.
Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal.
Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika tak ada
lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya Sangkuni.
“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?” Geragapan Patih Sangkuni menjawab
pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang.
“Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.
“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu?”
“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah untuk
beradu dada dengan para Pandawa”.
“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.
“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam
perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah berkat pemberian
dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan,
bahwa mereka telah rela menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak
Prabu”. Jawab Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata-katanya kemudian
lancar nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.
“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang, itu
sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang mengerti akan rasa
kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban.
Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela
negara, tanpa memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar,
seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan negara Astina, tetapi
ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala
kemewahan, dipuji puji dan diagung agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi
ajang kebrutalan musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?”
Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti,
umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlah kata-katanya mengikuti
arah pembicaraan pamannya itu.
“Wah, kalau saya . . . . ini kalau saya . . ., saya akan segera bertindak! Segera saya akan
melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat semena mena atas negara
ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan jumawa Patih Harya Suman menjawab.
“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi tidak
mengerti akan balas budi itu?”
“Ada saja ! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!”
Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa
maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum
mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran, sandiwara itu
akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika Prabu Duryudana kembali
mengajukan pertanyaan kepada pamannya.
“Apakah ada orang yang lain selain istriku?”
KITAB WAYANG PURWA

“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada mulanya
juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri oleh paduka anak Prabu,
ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa
sayang Paduka Angger Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara
Astina telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati”.
“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu, seberapapun
bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina ini?”.
“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.
“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya hanya
aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu kesaktian dengan para
Pendawa”.
“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau tutun tangan,
maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela melihat paduka
kerepotan”.
Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar.
Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam duduknya. Dan sampai disini Duryudana sedikit
mentok, keteteter dengan kepiawaian pamannya mengolah kata.
“Ya . . . . . tetapi . . . . . apakah ini . . . . . . , apakah aku harus menangis di hadapan istriku? Si
Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu . . . yang sejatinya bukan sanak, tapi
ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam
keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara, seharusnya
ia tidak menghindar dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman.
Seumpama saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut
si paman bagaimana?”
“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!”
Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak
hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah
pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah.
Dan berkatalah Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha
menekan perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.
“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi kepala saya
bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat hingga sampai ke dada ini. Di
seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah
dipadukan dengan kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. bila sudah
manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur
dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan menggambarkan, anak Prabu saat ini
sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti
melambaikan tangannya. Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang
diarah selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya sudah tua. Tak
usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam. Gambalangnya begini, paduka anak
Prabu sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya
mengatakan, kenapa, orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu
sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan?” Sudah disengaja Prabu Duryudana
menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung basah, maka walau dengan debaran dada,
ia mengatakan,
“Silakan bila rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.
KITAB WAYANG PURWA

“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat tingginya sosok
para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa?
Apakah saya harus gemetar melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah
sebagai anak anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari
setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan Batara Yama. Oleh
sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan dua landasan. Ketika bebanten para
Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma, sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada
paduka anak mantu, bahwa Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok
persoalannya? Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan? Oleh
sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah gugur dalam perang ini.
Itu yang pertama!”
“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu manusia bukan
manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang menerangi jagat. Walaupun ini
hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan, tapi sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah
mengenakan anting anting dan permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa,
Wijayandanu, siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak, siapapun
tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung , gunung itu akan menjadi
runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna
dapat mengalahkan dengan panah bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah
Arjuna telah membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya
bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.
Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit
dadanya, lama kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia
seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap kembali.
Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat
gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan
susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.
“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”
“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani beraninya memutus
pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu.
“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf. Silakan
apa yang hendak kamu katakan?!”
Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk
menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang atau
tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali terbentang
dihadapannya.
Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati
Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati”.
“Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” terheran Prabu Duryudana
mendengar kata kata Aswatama.
“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu Salya, saya
lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas mengenai leher Arjuna. Tetapi
arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan”
Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar
sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya sendiri.
“Siapa pembesar yang melakukan itu?
KITAB WAYANG PURWA

“Tidak lagi hamba menutup-nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar. Namun tiba
tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan kereta menjadi oleng. Panahpun
tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara,
bahwa gugurnya gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”
“Iblis keparat kamu Aswatama!” Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang
mengamati dengan sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia
itu terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan
bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu.
“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru. Paling
tinggi tugasmu hanya memberi makan kuda-kuda kendaraan para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa
derajatmu hanya di bawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan.
Kesalahanmu, pertama, kamu sudah berani-beraninya memotong pembicaraan para agung. Kedua
kamu sudah berani mengatakan yang bukan bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah
menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana
kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu berniat
merenggangkan hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata
katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus
kerismu Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh
selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah menghadapi Prabu Salya,
akan kutebas batang lehermu!”
“Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu hanya berderajat
rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama” maka Prabu Duryudana segera
menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat mertuanya seakan telah kehilangan
pengamatan dirinya.
“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih dengan kata
marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.
“Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan mampu bila
berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat rama Prabu, jangan
mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama. Rama mesti mengingat, masih banyak
kewajiban yang harus dijalankan. Mohon bersabar rama Prabu”.
“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu.
Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan mundur sejangkah menghadapi orang
tuamu itu!” masih juga belum berhenti kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit
ungkit ayah Aswatama.
Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah
membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang
pendapat itu.
“Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku sudah tak lagi
membutuhkan kamu. Pergilah!”
“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di palagan
peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati Aswatama kembali kambuh, bahkan
sekarang semakin parah.
Keputusan hari kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah
mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya
dengan sejuta rencana tumbuh di dalam rongga kepalanya.
KITAB WAYANG PURWA

SAAT-SAAT TERAKHIR
Ditulis oleh hery_wae

Aswatama segera pergi ke istal. Melepas kuda terbaik dari dalamnya, melepas tali
yang mengikat ke tonggak, kemudian ia memacu kudanya dengan kecepatan penuh
meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang segala keruwetan yang
mendera dadanya. Beban yang menindihnya, seakan hendak ia angkat dan campakkan,
dengan cara memacu kuda itu sekencang kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang
semula telah ia rancang dengan rasa was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya.
Sepenuh hati rencana telah digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun.
Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak menuju ke hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu
Salya dan istri dari Prabu Duryudana. Setelah kejadian di balairung tadi, sebuah rencana
yang tertanam dari hari hari terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul
tekad bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana. Junjungannya di masa
lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa di masa
lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah
mata. Kekesalan yang terpendam mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan
dengan pengusiran yang kedua kali terhadap dirinya.
Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua
Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya
tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya
karena perasaan malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi kata-katanya tersekat
pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana.
Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam
dengan hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng.
Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua
prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah
ada di depan mata.
Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan
setengah dipermalukan oleh Aswatama, masih mendekam didalam hati Prabu Salya.
Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi
suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran
masing masing yang berputar putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika
kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.
KITAB WAYANG PURWA

“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama.
Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak menantu. Apakah ia hanya
bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu Paman?”
Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana
dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya
dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan
nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan
jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya
menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga ada. Bahkan ia telah membunuh
mertuanya dengan tangannya sendiri”.
“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian?”
Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa
yang dikehendaki pamannya.
Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan“
“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang
belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat
mengendalikan nalarnya.
Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi
sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu,
Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah
mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku
Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi
aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata
itupun aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok
anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan
waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!”
“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu Salya,
tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih Sangkuni menjawab dengan nada
merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak-bahak, menyaksikan pancingannya
berhasil diasambar sasarannya.
Sesak di dalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja
memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana. Maka ia
tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama.
Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia
berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak
lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan
berusaha setenang yang ia bisa.
“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali dulu
menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan
bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka”.
“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana melepaskan
kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya.
Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang
pengecut.
“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku
serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya. Besok aku
KITAB WAYANG PURWA

tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan
rama Prabu Salya”.
Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren
Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul. Dan kedatangan Prabu
Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan Prameswari Mandaraka, Dewi
Setyawati.
“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun telah
berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul dalam perang
yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu?”
“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda Setyawati,
bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya hanya melepas kangen,
sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka
meninggalkanmu. Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan sebagai
seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku
terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita
berdua adalah orang yang punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita
pergi juga bersama-sama”.
Mendengar kata-kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang
wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan
kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya.
Ia telah merelakan anak-anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak
akan lagi rela melepas suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak
anaknya. Maka ia bangkit dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu
Salya yang melihat tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya.
“Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi
isi hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.
“Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina.
Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suminya Basukarna.
Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini,
hamba tidak akan melepas kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita
untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi
pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka
sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang
sekiranya dapat kita turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua
ini di Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon maaf
kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak lagi
mengorbankan seorangpun”.
Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri
memeluk suaminya.
Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya, “itulah kenapa dari dulu
aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan.
Tetapi dalam dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas
segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri dewasa, kecantikan itu
tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan
tadi, adalah mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu
punya itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga
segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari masalah pelik. Maka,
walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun seumpamanya, dari muda hingga
KITAB WAYANG PURWA

rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja
memenuhi dadaku. Dan bukan oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu
aku tidak boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu.
Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, rasanya
sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan
terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah
dewata limpahkan?”.
Jatuh ke dalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan
suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah
berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang
istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap
terjalin waktu demi waktu.
Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan
nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa
gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia yang dalam
satu sama lain. Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah.
Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat
memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan
yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua
berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah
mendapat murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya
terjadi atas mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara
seperguruan ayahnya.
Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya. Dari
situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan
kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong
Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan
masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap tidur. Kokok ayam
yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi bersiap menerangi
semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih di sanggar itu,
Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah
menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap.
KITAB WAYANG PURWA

SIASAT SANG PECUNDANG


Ditulis oleh hery_wae

Kita tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan kebulatan
tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di taman itu, Dewi
Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang dayang-nya. Mereka dengan setia
memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar junjungannya dapat melupakan
kemelut yang sedang menyelubungi negaranya.
Ketika Aswatama masuk ke Taman Kadilengeng, suasana hingar bingar mendadak
terhenti. Hampir semua mata menuju kearah kedatangan Aswatama. Semua menerka
nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan oleh sang tamu. Sosok
tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak Pedanyang Sokalima, anak dari Sang
Pujangga Astina. Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada
apakah gerangan berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang sudah
berhari hari berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat berganti waktu
demi waktu dan segala kemapanan pasti goyah dengan cepat.
Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh Dewi Banuwati para dayang dayang-nya
untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai segala perubahan di peperangan hendak
ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama.
Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa basi telah diucapkan oleh keduanya.
Bagi Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap ia lakukan demi
siasat yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku hormat kepada istri Prabu
Duryudana. Walau dalam hatinya ia mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi
negara Astina, tetapi pesona kecantikan Sang Dewi masih membuat dirinya juga tak
berdaya dihadapan Banuwati.
Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya dalam-
dalam. Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi kecantikan dari
junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum Banuwati telah lama
mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan kemanjaan sikap dari Banuwati,
ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk memiliki Sang Dewi semakin menindih
perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia mengidam idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati
yang manja, Banuwati yang sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang
menatapnya. Tapi bagi Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu.
Ketika itu, keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja.
Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu tabu atas masa lalu. Dan pada
saat yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap isi jiwanya, pesona yang
terpancar dari sosok seorang Banuwati.
KITAB WAYANG PURWA

“Aswatama, apakah perang sudah usai?” Itulah yang setiap kali diucapkan Sang Dewi
ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali pertanyaan itu diucapkan.
Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan ucapan dari bibir merah Banuwati
masih dengan angan angannya. Sangat jarang Aswatama berhadapan langsung dengan
Sang Dewi, bisa dikatakan tak lebih dari hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah
jabatan yang ia sandang tidak memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di
istana sejak dari muda. Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat
dasarnya, membuat runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata
pesona yang terpancar dari sosok Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-kata
yang disusun sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan.
Tetapi gugupnya Aswatama di mata Dewi Banuwati diartikan lain. Dimatanya,
kegugupan itu mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam peperangan yang
menentukan yang kehidupan negara selanjutnya. Dan Aswatama merasakan kesan yang
memancar dari mata Banuwati itu. Maka timbullah keberaniannya untuk segera melakukan
tindakan yang semula dirancangnya.
Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang. Serta merta
Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan pertanyaan itu. “Memang ada yang
hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian penting di palagan peperangan”.
“Cepat katakan, Aswatama! “ Tak sabar Banuwati segera menyahut.
“Apakah Paduka Ratu berkenan dengan apa yang hendak hamba katakan?”.
“Ya ya. . . segera katakanlah”.
“Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan tinggal menunggu saat
saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana memerintahkan kepada hamba untuk
membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari taman Kadelengeng”.
“Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada sesuatu yang membuat
aku khawatir akan keselamatan diriku”. Datar saja ucapan Dewi Banuwati, tak ada sedikitpun
kecemasan membayang di wajahnya oleh sebab dari berita yang disampaikan Aswatama.
Berita kekalahan Kurawa, sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil baginya.
Aswatama hanya mengangguk anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran
dengan sikap Banuwati. Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja.
Katanya kemudian.
“Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan bersalah bila tidak
menjalankan titah yang telah digariskan”.
“Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu ada yang
dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang Baratayuda adalah para
Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu bagaimana memperlakukan musuh, mereka tak
akan mungkin mencelakakan aku. Apalagi sifat dimas . . . . “
Terhenti ucapan yang sudah ada dikerongkongannya dan segera ditelan kembali. Dan
warna merah dadu menghiasi wajah Sang Dewi atas ketelanjurannya, walau terputus.
Namun Aswatama segera tahu apa yang hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah
membuat otak Aswama seketika terang benderang “Tetapi perkenankan hamba berterus
terang. Gusti Prabu Duryudana sudah berada di suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan
ini. Disana sudah menunggu pula ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas
kehendak ayahanda Paduka Sang Dewi, perdamaian diantara yang sedang berperang hendak
diselenggarakan. Dan diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi atas perdamaian itu. Dari pihak
KITAB WAYANG PURWA

Kurawa akan langsung dipimpin oleh Gusti Prabu Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan
dipimpin oleh Raden Arjuna”.
Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing kenangan terhadap
kekasih gelapnya.
“Ah . . “., Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang, tetapi
segera dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya.
Dari sudut matanya, Aswatama mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi
Banuwati yang dengan susah payah hendak menyembunyikan perasaan yang berkecamuk
dihatinya. Namun senyum sekilas tadi telah mengembangkan sejuta asa di hati Aswatama.
Dalam hatinya mengatakan, “Inilah saatnya!”.
Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan Banuwati
melayang layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang membayang di rongga
kepala Banuwati. Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati
memecahkan kesunyian.
“Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya lakukan, hendaknya
dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang kanda Prabu hendak berdamai setelah
kekalahan nampak dipelupuk matanya. Perdamaian yang sebelumnya telah membawa banyak
korban!” Sejenak Dewi Banowati terdiam, kemudian ia menyambung.
“Tetapi baiklah, Aswatama, kapan kita hendak berangkat?”
“Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi. Malam ini juga hamba
dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke hadapannya”.
Jawab Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi dadanya,
setelah sekian lama merasa tertindih beban yang begitu berat.
“Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama!”
“Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita. Sedangkan malam terus
berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk mempersiapkan segala sesuatu. Toh kita
besok sudah kembali lagi ke Astina”. Berpikir tangkas Aswatama segera menolak usul yang
disampaikan Dewi Banuwati.
“Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!”. Maka dengan persiapan singkat, Dewi
Banuwati berganti busana dan segera menaiki kuda. Dan Aswatama menaiki kudanya pula.
Tak ada kecurigaan apapun ketika mereka melewati penjagaan demi penjagaan,
pengawalan terakhirpun telah melepasnya. Dan tak terasa malam makin merambat dan
perjalanan mereka semakin cepat. Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang
pegagan sudah mereka lalui. Hujan yang turun sore tadi telah lama reda,langit hanya
menyisakan awan bergumpal di sana sini. Namun sebagian, masih menampakkan bintang
bintang yang berkelipan malu malu.
Kemudian tibalah mereka di padang perdu dan kemudian hutan dengan tumbuhan
kayu besar yang makin pepat. Dan malam semakin merambat larut, sementara perjalanan
terus berlanjut.
“Aswatama, apakah tempat itu masih jauh?” tanya Banuwati yang merasa curiga dengan
perjalanan malam yang seperti tak berujung.
“Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai?” Aswatama berkilah.
KITAB WAYANG PURWA

“Benarkah? Aku lihat kita malah berputar-putar arah tidak karuan bahkan kita memasuki
hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita!” tanya Banuwati ketika sampai pada tempat
yang lapang ditumbuhi beberapa pohon pohon perdu ditepi jurang.
“Mhmm . . . , baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan apa sejatinya yang
kulakukan terhadapmu”.
Sejenak Dewi Banuwati bagai terhenti jantungnya. Ia mendengar ucapan Aswatama
yang bernada lain dari biasanya. Tetapi sekuat tenaga ditenangkan hatinya. Doa akan
keselamatannya ia panjatkan untuk mengatasi kejadian yang tidak diperhitungkan
sebelumnya.
Di lain pihak, Aswatama yang sudah sekian lama bersikap hormat sebagai anak
Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha bersikap tegak.
Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan Aswatama.
Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon. “Tempat yang
agak lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap Banuwati”., demikian pikirnya
dengan debar dada yang masih bergemuruh.
Tetapi setelah diingat bahwa ia hanya berdua saja dengan Banuwati, dan apalah
artinya wanita tanpa pendamping dihadapan lelaki yang terkodrat lebih kuat. Maka jebol-lah
keraguan yang semula melimputi dirinya. Dipandangnya Banuwati dari ujung rambut
hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang. Senyum aneh tersungging di bibir Aswatama
bagai orang yang mabuk tuak.
Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai membayang
diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya masih juga tidak hendak
reda. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia menanya, dengan tetap duduk diatas
punggung kuda.
“Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama?” bergetar bibir
Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya pertanyaan itu telah
diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawab Aswatama yang masih dengan
senyum kemenangan dibibirnya.
Kemudian dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan berkata dengan dada
tengadah. “Di dunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki pesona yang
begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu agung-pun bertekuk lutut.
Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada suatu katapun yang bernada menentang.
Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu untuk ketemu Arjuna tidak diturut, hanya sedikit kata rayuan
dan seribu alasan, permintaan itu akhirnya dikabulkan. Benar benar Prabu Duryudana bagai kerbau
yang dicocok hidungnya. Dan pesona dari dirimu tidak urung telah menebar keseluruh
lingkunganmu. Pesonamu juga telah menyusup menembus dalam dijantungku. Setiap dirimu lewat
didekatku, terasa dadaku hendak pecah. Ya, terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan
ini terhadapmu, Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian karena aku
dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada dalam keadaan sekarat.
Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa Aswatama adalah pemilik yang sah dari
Banuwati untuk selanjutnya he he he . . . . !”.
Masih dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan nyalang
sosok Banuwati yang tertegun duduk di atas kuda. Tanpa berkedip, di kegelapan yang
hanya tersinari bintang, sosok siluet Banuwati di keremangan itu makin mempesona di mata
anak Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu. Hilang kewaspadaannya, dan tidak
terpikir bahwa suatu saat, kuda itu dapat dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar. Sementara
di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat melarikan diri.
KITAB WAYANG PURWA

Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi Aswatama yang selalu
mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak. Banuwati yang lambat laun bisa
menguasai dirinya, kemudian berusaha tersenyum. Ia sudah dapat melihat dengan jelas,
langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang menjepit dirinya.
“Ooh . . . begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi suamiku bila ia memiliki
kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah membawamu untuk memboyong aku kemana kamu
suka. Bawalah aku ke Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan mukti wibawa meneruskan
kejayaan Astina! Lihat bintang bintang di langit adalah saksinya!” Sang Dewi mengatakan
sambil menunjuk ke langit dimana bintang-bintang masih bergelayutan.
Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut mendongak ke langit. Dan saat yang
sedikit itu digunakan dengan sempurna oleh Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan
dipacu kuda itu tanpa menoleh kanan kiri.
Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda Banuwati. Bergulingan ia
menahan sakit di dadanya, dan merah padam mukanya oleh perasaan marah yang tidak
terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan tertatih-tatih, dilepaskan ikatannya
dengan terburu buru. Sumpah serapah membuncah dari mulutnya. Terlambat sedikit, kuda
yang ditunggangi Banowati telah menghilang di kelebatan hutan dan pekatnya malam.
Derap kaki kuda yang bergulung-gulung menggema di antara tebing telah
memperlambat usaha Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara kabut telah
turun setelah malam menjadi dingin menjelang pagi.
Sempurnalah kesulitan Aswatama dalam melacak jejak buruannya. Dewi Banuwati
yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir mengendalikan kudanya.
Terpental pental ia di atas punggung kuda yang menjadi liar menyelusup di antara pepatnya
pepohonan hutan. Walau sekuat tenaga Banuwati bergayut, namun tetap ia tak berhasil
menguasai keseimbangan badan diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke dalam
kelebatan perdu yang tumbuh menyebar di tebing jurang.
KITAB WAYANG PURWA

JUJURLAH PINTEN, TANGSEN


Ditulis oleh hery_wae

Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega mega di langit timur, ketika
Aswatama telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati. Kelamnya hutan
dan kabut menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak lari kuda yang ditumpangi
Banuwati. Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang masih baru kadang masih dapat terlihat
sebagai tanda lacaknya, namun sejatinya kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya
yang terperosok jatuh di tempat yang sudah jauh tertinggal.
“Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak ada yang dapat aku
katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika aku belum berhasil membunuh
perempuan celaka yang berlindung dibalik kecantikan parasnya!” Perasaan sesal dan dendam
melonjak lonjak dalam dada Aswatama. Segenap sisi hutan telah ia selusuri meneliti dengan
seksama tanda tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun Sang Dewi seolah ditabiri oleh
kekuatan gaib yang tak kasat mata.
Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang tamu yang
sedari lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh tuan rumah. Prabu
Salya yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah mengira, siapa sebenarnya yang
hendak menghadap. Firasatnya mengatakan, bukan orang lain yang hendak bertemu
dengannya. Maka ia masih tetap dalam busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja
Hyang Maha Agung, dan juga belum hendak beranjak dari sanggar pemujan.
Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat di hadapannya berjalan dua
sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya, Nakula dan Sadewa.
Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya Madrim. Adik perempuan
satu satunya yang sangat ia kasihi.
Seketika tangannya dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya
menghadap. Sambil tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap-usap kepala
kemenakannya dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan
menghaturkan sembah bakti kepadanya.
“Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari” Masih disertai senyum, Sang Uwak, ketika
melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil kemenakannya dengan
panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan Sadewa. Ia masih saja
menganggap kemenakannya masih saja selayaknya kanak kanak, walau mereka
sebetulnya sudah lepas dewasa. Panggilan itu seakan ia ucapkan sebagaimana ia dengan
segenap kasih ingin menumpahkannya kepada anak yang terlahir piatu itu. Dan masih
KITAB WAYANG PURWA

tercetak kuat dalam benaknya, betapa sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh
sepasang orang tuanya, sehingga tak terkira betapa kasih Sang Uwak tertumpah kepada
kedua kematiannya, maka Para Pandawa tak akan dapat mengalahkan senapati bentukan
Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya.
Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan
Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan maksudnya. Mereka pun
menjawab, “Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa Prabu ceriterakan”
“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan oleh
sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang dipimpin oleh
Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa
sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan.
Dalam perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian
Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali
lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah
dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu
melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun
Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu.
Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya. Tak ada seorangpun yang mampu
mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan
akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan
darah, ayahmu juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”.
Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat,
tiba tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas. Sudah menjadi suratan takdir bahwa
kematian kedua orang tuamu adalah menuai apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk
sanggup menjadi kerak Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam
Lembu Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan”.
“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura, kepada Arjuna
kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam asuhan ibu dari
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi perlindungan atasmu
sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak kandungnya. Maka itu Pinten, Tangsen,
perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara
saudaramu tua menyayangi ibunya”.
“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak membeda
bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara saudara kami yang lahir dari rahim ibu
Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika
uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.
“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas,
“Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam
menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan kakakmu
Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak
kau sampaikan Pinten, Tangsen”.
Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah
terbuka. Kemudian kematiannya, maka Para Pandawa tak akan dapat mengalahkan
senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya. Maka Nakula dan Sadewa
telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan Prabu Salya, agar nanti dengan
gampang masuk mengutarakan maksudnya.
KITAB WAYANG PURWA

Mereka pun menjawab, “ Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa
Prabu ceriterakan”
“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan oleh
sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang dipimpin oleh
Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa
sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan.
Dalam perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian
Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali
lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah
dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu
melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun
Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu.
Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram di kakinya. Tak ada seorangpun yang mampu
mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan
akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan
darah, ayahmu juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”. Sebentar prabu Salya
membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya.
“Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat, tiba tiba saja jasad keduanya telah
hilang tak berbekas. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu adalah
menuai apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak Neraka
Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu Andini, sanggup mukti waktu
itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan”.
“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura, kepada Arjuna
kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam asuhan ibu dari
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi perlindungan atasmu
sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak kandungnya. Maka itu Pinten, Tangsen,
perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara
saudaramu tua menyayangi ibunya”.
“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak membeda
bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara saudara kami yang lahir dari rahim ibu
Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika
uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.
“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas,
“Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam menjalani
Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan kakakmu Puntadewa. Aku
lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan
Pinten, Tangsen”.
Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah
terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang hendak
menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna.
“Siapakah di antara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami telah
mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda sebagai senapati perang
Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua saudara Pandawa”.
Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud kedatangannya.
Kembali dengan suara parau ia mengatakan, “Maka Uwa Prabu, dari pada memperpanjang
cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan runtuh di medan Kuru, maka kami akan
menyerahkan kematian kami sekarang juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami,
kemenakan Paduka Uwa Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya”.
KITAB WAYANG PURWA

Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya, dengan


suara meninggi ia mengatakan, “Heh . . . apa yang kamu ucapkan? Sedari tadi aku
menceriterakan bagaimana keperwiraan orang tuamu, Pandu, juga dengan segala kelemahannya.
Bagaimana orang tuamu yang semua orang di jagat ini telah tahu, ternyata ia juga adalah bagaikan
seekor harimau yang sangat ditakuti. Kesaktian dan kewibawaan orang tuamu ibarat bisa menunduk-
runtuhkan gunung Himawan. Tetapi apa yang terjadi terhadapmu, tidaklah membekas apa yang ada
pada Pandu yang melekat pada dirimu. Harimau itu ternyata hanya beranak dua ekor tikus!”
Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar putar pada
rongga kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak kemudian dengan suara
berat Salya bertanya kepada kedua kemenakannya, “Baratayuda itu sebenarnya siapa yang
berperkara?”
Hampir serempak kedua satria itu menjawab, “Itu perkara hamba Para Pandawa dan
Kurawa”.
“Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para pepundenmu, para orang
tua orang tua yang seharusnya kamu beri kemukten. Kamu berikan kebahagian. Malah orang tua
orang tua itu telah kamu jadikan korban. Dan bila kamu adalah manusia manusia yang berakal,
tentunya kamu tidak akan menghadapku dan menyatakan minta aku bunuh disini. Itu seperti halnya
kamu sudah melihat hal yang sudah pasti, sehingga kamu telah mengambil kesimpulan”. Kata Prabu
Salya dengan kalimat yang bertekanan.
“Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang kau datangi sudah
menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua hanya merupakan gambaran dari
betapa kamu berdua adalah sebetul betulnya manusia yang berjiwa kerdil”. Ketus Prabu Salya
menyambung.
“Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya tergambar dari
kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk hati dan jiwanya yang paling
dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan keteguhannya, dengan segala kekuatannya ia
berrenang dalam banjir darah yang ia ciptakan. Arjuna yang begitu titis dalam olah panah, sehingga
sudah begitu banyak para sraya Prabu Duyudana yang tumbang oleh ketepatan olah warastra.
Mereka adalah sebenar benarnya anak Pandu Dewanata. Dan tak kalah dari orang tuanya, orang
muda Pandawa seperti Abimanyu dan Gatutkaca, telah bersimbah darah, dengan gagah berani
mereka telah merelakan jiwanya, gugur menjadi kusuma bangsa. Lho sedangkan kamu itu apa?
Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan jiwa! Kamu takut menjalani peperangan heh?”.
“Terserahlah yang Uwak katakan . . . ”. Nakula menjawab dengan lesu.
“Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala ulahmu. Dari
aku mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua, melilhatmu mencium
kaki dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah tahu. Itu bukan gambaran
sosok anak Pandu !! Keheningan kembali menyungkup. Hanya pandangan mata tajam
Prabu Salya menghujam kearah kedua kemenakannya berganti ganti.
Namun sebentar kemudian Prabu Salya mengatakan dengan nada tinggi hal yang
membuat kedua satria kembar itu terhenyak, “Kedatanganmu kemari adalah ada yang
menyuruhmu, iya apa iya . . ?!”
Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata lain, Sadewa
kali ini yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat, “Kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya Uwa Prabu . . . . ”.
“Tidak . . , aku tidak akan memberimu maaf. . !” Masih dengan suara tinggi Prabu Salya
menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya.
KITAB WAYANG PURWA

“Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu?” Tanya Sadewa.


“Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang untuk berbuat seperti
itu?” Prabu Salya masih bersikeras.
“Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri . . “. Nakula dan
Sadewa masih mencoba ingkar.
“Tidak . . . . tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah macan yang beranak
tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak kembarmu. Apakah bila kamu sudah berlinangan
air mata dihadapanku, maka Salya akan larut. Ketahuilah, dalam perang nanti, siapa yang menjadi
musuh Duryudana, ia akan menjadi musuh Salya pula!” Prabu Salya masih mencoba
mengancam.
“Silakan Uwa memarahi kami berdua . . . Tetapi biar bagaimanapun, silakan uwa Prabu untuk
membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka ini”. Sadewa tetap pada pendiriannya.
Bagaimanapun pembekalan dari Prabu Kresna ketika ia hendak pergi ke Mandaraka telah
ia coba lakukan dengan sepenuh kekuatan untuk memenuhinya.
“Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua sepeninggal
kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada sejumput ketenteraman yang bisa
kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu berdua adalah masih darah dagingku sendiri”.
“Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam dalam dalam dihati ini, Pandawa
adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini”.
“Hmm . “.
“Sekarang katakan kepadaku, begini, Pinten, Tangsen. Tirukan kata kataku: Uwa Prabu, bila
nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina, kami para Pandawa minta
kepada Uwa, hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawanya; Ayo katakan itu kepadaku . . . !“
Prabu Salya menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada datar
ia mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia katakan
inilah yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada dirinya.
KITAB WAYANG PURWA

SALYA DAN BUNGA CEMPAKA MULIA


Ditulis oleh hery_wae

Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun
yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing. Keduanya mengalihkan
pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian, dengan pertanyaan
disertai suara yang dalam.
“Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang
jawablah!”
“Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa.
“Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi”. Kembali Salya memerintahkan
kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa. Kedua satria kembar itu kembali
saling pandang. Kali ini Nakula bertanya kepada adiknya, Sadewa.
“Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?”
“Tersesrahlah kanda, saya akan duduk di belakang kanda saja”. Jawab Sadewa lesu.
Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa apakah yang akan menimpa
kami . . . ”.
Baru berapa patah kata Nakula berkata, namun dengan cepat Prabu Salya memotong
ucapan yang keluar dari bibir Nakula.
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah
aku ucapkan tadi”. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula
ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika
Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari
bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.
“Uwa Prabu . .”
“Uwa Prabu”, tiru Nakula
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,”
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,”
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . “.
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa “
“Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . “.
KITAB WAYANG PURWA

Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh
Prabu Salya.
Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya
Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”.
Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu.
Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih. Setelah
beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas pelukan, kemudian duduk
kembali.
Katanya, “Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk
kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi
dalam perang ini. Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa
yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa yang salah dalam
perang Barata ini”.
Keduanya hanya menganggukkan kepala dengan lemah.
“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan kata kataku,
aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”.
Nakula dan Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti.
Sejurus kemudian Prabu Salya meneruskan, “Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan
Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu berdua.
Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja baru di Mandaraka. Kamu berdua akan
aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu Sadewa”.
Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka
jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan menyerahkan
Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang, kesanggupannya menyerahkan
nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan terlahir dari dalam hati yang terdalam.
Maka Nakula dan Sadewa yang diberi kepercayaan hanya berkata menyanggupi
“Hamba, uwa Prabu, semua yang uwa Prabu katakan akan hamba junjung tinggi”.
Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu berdua adalah; Nakula, kamu akan
aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu
kuberikan kewajiban sebagai raja yang menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan
adalah, Sadewa, melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja raja d iluar Mandaraka.
Sedangkan Nakula, lakukan penggalangan dengan raja-raja jajahan yang ada dalam lingkup Negara
Mandaraka”.
“Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi ibarat orang yang
hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila selayaknya orang yang bepergian
dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila
berbicara mengenai bekal bagi orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua
memiliki sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai”.
“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka berikan kepada
kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.
“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta.
Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan. Pencipta itu
langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan
yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam
perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan
perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya”..
KITAB WAYANG PURWA

“Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas
kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain yang sudah
mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah yang telah menjadi
kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur segala hal mengenai
kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan
kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk
oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok
kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur
yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing masing.
Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan
kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara
sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang
dianut”.
“Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut orang
lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu
senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak
lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau
katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya”.
“Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan Adiguna. Sifat
yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang, Adigung, watak
seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan
kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular
yang sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan
dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan
rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah,
tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri
kemanusiaan”.
Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai
terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila
sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya. “Dan
keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah kamu berdua
menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan
manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau
orang yang berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai
sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti
yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila
tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong
oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”.
Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya.
Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti. Lanjutnya “Sedikitnya empat hal inilah
yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja.Sekarang kembalilah. Kembalilah ke
pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali
ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”.
“Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru
tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami Pandawa nanti”.
Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang akan
menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para
Pandawa.
KITAB WAYANG PURWA

“Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan kepada
yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”.
Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang
uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara
saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak
condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan
kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.
Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari
Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali
ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi
Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling.
Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka
kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam dengan
tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan kewajiban dan
kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana.
Tanpa membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana
keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu.
Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah
menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi.
Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan.
Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih
berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru.
Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang
berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali ketemu
dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas,
kegalauan hati masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya
mengenang masa lalu ketika dirinya masih muda.
Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling
bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati. Kejadian di
Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka,
setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara. Ayahnya yang kecewa dengan
perintah kepada dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu
disodorkan oleh ayahnya waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk
kepemimpinan kepada putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita.
Namun dirinya yang waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya
harus menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah
memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta sampai di
Pertapaan Argabelah.
Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan
mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar api itu,
diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya
waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati
bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah
seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri.
Seketika akalnya berputar, bagaimana caranya memetik “bunga cempaka mulia indah
nan mewangi, tetapi ditunggui oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan
dengan seorang raksasa?!
KITAB WAYANG PURWA

“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?” Begawan Bagaspati
menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam
kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada
keduanya.
Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada
Narasoma. “Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.
“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah.
“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan Bagaspati.
Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati kembali.
“Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma”. Kata
Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa di masa muda,
berwatak degsura.
Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah
salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan
yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun
ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia
ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya.
“Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini”. Bagaspati
menjelaskan.
“Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu
dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?”
“Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat menyembuhkan
penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati anakku?”. Bagaspati berterus
terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap.
Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan
bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang
menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari sakit itu.
Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah?”
KITAB WAYANG PURWA

UTANG PIUTANG NARASOMA - BAGASPATI


Ditulis oleh hery_wae

“Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu
jawabannya”.
Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan polah
tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan di depan
dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima.
Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih
jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut
Narasoma.
“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang
terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar dengan
indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa
lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor
buaya putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga
cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.
Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui
maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati,
“Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu.
Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan
selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.
Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya,
namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya. “Untuk apa dan siapa yang hendak
diupacarai, Bapa?” Gemetar suara Pujawati.
“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma
menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab teka teki dari
calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa
permitaanku Pujawati”.
Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati agar
segera meninggalkan keduanya. Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri
disertai pandangan Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Di lain
pihak Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.
Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan
Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak
samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan meminta
syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu”.
“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan”.
Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.
KITAB WAYANG PURWA

“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang.
Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia-sia, walaupun ia hanya seorang anak perempuan
gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti
kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu,
Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun
banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh
janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.
“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-
teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang
wanita.
Maka segalanya mudah saja baginya menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali
Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang
sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati.
“Jawabannya gampang-gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah, tetapi
tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang jantan yang kau
maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu
itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai
anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang
cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah
Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada matanya.
Lanjut Begawan Bagaspati. “Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku
Pujawati, tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar
aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu di depan orang tuamu. Itukah
yang kau maksud dengan teka teki itu, raden?”
Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu
sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia
terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan
segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun
yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku
tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.
Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang di
wajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan apa yang
menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat
kau pegang teguh?”
“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”. Serta merta
Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya.
“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu
menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi ke depan aku menyebutkan kau sebagai menantuku, karena
aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut
pusakamu, tancapkan ke dada ini”.
“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa-dosa”.
Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.
Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka
yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada
Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal.
Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi
KITAB WAYANG PURWA

segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan
Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma.
Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak
lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa
kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu!”
“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Di dalam tubuhku masih terpendam ajian
yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia
dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai
kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku
serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan sebaik-baiknya”.
“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan syarat
itu”.
“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku”.
Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam
khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia
kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang
menakutkan! Itulah Candabhirawa! Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim.
Kemudian ia menanyakan “Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar
dari gua garba paduka Sang Resi?”
“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku sediakan
sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri di depanmu. Itulah sosok yang
akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa”.
Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya.
Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok
yang lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan
memelas ia mengatakan kepada Bagaspati.
“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama-lamanya? Hamba melihat hal yang
berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan.
Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap
Candabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan
Bagaspati.
“Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden
berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara, maka
Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.
“Akan aku penuhi permintaanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku.
Apakah permintaannya?”
“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden senang-
senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan kenikmatan yang
berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba sederhana?”
“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi”. kembali Narasoma
mengucap janji.
“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati
belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang
sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi-tubi. Maka tanpa
berpikir panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati.
KITAB WAYANG PURWA

Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati.
Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan.
Tetapi ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas.
Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang
masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri
termangu-mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya.
“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga nanti
bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat itulah aku hendak
menjemputmu bersama-sama dengan anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga
waktu itu tiba”.
Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu. Tetapi seketika angan Salya buyar
oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan
Kuru.
Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah
menuntaskan basah embun sedari lama. Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi
Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela
kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya
dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak di
pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah pergi kembali
ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan
Sadewa.
Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan
Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh
Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu
Kurandageni dari negara Girikedasar. Yang dipanggil buru-buru datang.
Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah
malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku
bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.
“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama paduka
kemedan Kuru”.
Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari
Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah
malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi
jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.
“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!”.
“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.
“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa, Paman
Prabu Salya”.
“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada orang-
orang tua kami yang hamba hormati”.
Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu Puntadewa.
“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk
berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi adalah perang
yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan”.
KITAB WAYANG PURWA

Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju
sebagai senapati.
“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang
yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidakadilan yang terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab
Prabu Puntadewa tenang.
“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak
angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti yang
dilakukan oleh kanda Duryudana”.
Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.
“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya kanda
Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari menantu Prabu
Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu
Puntadewa menjawab.
“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu Duryudana
adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran semesta, tindakan Prabu
Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya
dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi
Astina. Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta.
“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap
menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimulai bukan atas kemauan hamba,
diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba”.
Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus
menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak
kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah
banyak memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang
orang tua kita dan anak anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri
kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak
makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang
dinda diam saja”.
Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti
hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai kemauan yang
tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang
didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan
negara, dan tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk diberi
cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan
atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami
yang empat”.
Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia
berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu
bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?”.
“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat untuk
mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” . Jawaban Werkudara tidak membuat
Kresna puas.
“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan Kresna beralih ke
Arjuna.
KITAB WAYANG PURWA

“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda
Kresna”.
“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban
yang sudah ia perkirakan. Yang disebut namanya hanya saling pandang.
“Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara.
“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik-adikmu ini. Sekarang
aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.
“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan kepada
orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh-sungguh”. Jawab Puntadewa.
Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara penuh
arti.
“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” keluh Bima seenaknya.
Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk
memutar otak yang seakan kusut.
Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, “Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati
menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba
sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.
Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga
meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang
tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci dan
tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda
akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang Hyang Wisnu
hendak katakan”.
Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu
batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah
tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa,
hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana
Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.
Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung
gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan
didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak
mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya.
Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai
macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu
melukai kulit Sang Senapati.
Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati
melayang menunggu saat yang ditunggu tunggu.
“Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasaoma, aku
tidak membenci kamu walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke
tepet suci bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan
menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”.
Melayang sukma Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta. Ketika melihat
kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah merasa terdapat
aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.
KITAB WAYANG PURWA

SALYA GUGUR
Ditulis oleh hery_wae

Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya
mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali
akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji
Candabirawa.
Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat dari goa
garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa! “Raden Narasoma,
hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya Candabirawa.
“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat di depanku, dialah musuhku, Prabu Puntadewa.
Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari hadapan Prabu Salya. Ia
kemudian mengamuk sejadi jadinya ke arah para prajurit pengawal Prabu Puntadewa.
Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna
serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang
tercurah dari langit, Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan
tanpa hitungan lagi yang dapat terlihat.
Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian di sekelilingnya
yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan rangsekan musuh dalam
ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu.
Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke
seluruh prajurit yang segera menyingkir. Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil
itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu-mangu sejenak. Sebagian lagi larut
menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali ke arah
dimana Prabu Puntadewa berada.
Ketika sudah dekat jarak antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu
berhenti mendadak. Mereka kemudian saling berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah
memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu
bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan
lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh kesenangan yang
ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian
diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita
kembali ke haribaan Begawan Bagaspati”.
Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut dalam raga
Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu
KITAB WAYANG PURWA

Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar
jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.
Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus
Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada
tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara
Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh.
Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra, tetapi
sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata
panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar,
maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut
maupun sasaran bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung
peragu-lah yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.

Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk
kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak
panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam
senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya!
Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia
telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula
dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu
Salya ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya.
Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah
segera memberi aba-aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan
sendirinya telah mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi.
Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan
yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus
dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa.
Dengan sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia
gentayangan mengincar kematian Para Pandawa.
Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa
watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari pusat Kahyangan,
Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara.
Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari
Sengkuni atau Sakuni. Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang
diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang
tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku
KITAB WAYANG PURWA

mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-
nyambar.
Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk
menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi
suasana yang mungkin saja terjadi.
“Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan lemah,
dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi sebenarnyalah ia adalah seorang
yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui,
bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang tuamu
Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah
berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah.
Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak Tala dengan bergulingan di atas tumpahan minyak.
Tetapi ada yang terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran
awal untuk menyobek kulit dagingnya!”
Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu.
Didekati Sangkuni yang terbungkuk-bungkuk sesumbar maciya-ciya tanpa memperhatikan
sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa
mengalahkannya. Lengah Arya Suman! Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang
menjadi sasaran amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk ke dalam
kobaran api. Tumpas Kurawa yang menghadang.

“Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman . . . . !”
Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah menyambar tubuh lawannya yang
memang tidak lagi gesit setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika
Prabu Pandu Dewanata bertahta.
Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya sehingga ia
terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah mendarat di sela-sela bokong
Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu
lagi. Belah raga Sengkuni dengan jerit mengiring kematiannya.
“Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah ibumu, Kunti, ketika
ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu melorot dan menjadi tontonan dan sorakan
orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan
kulit dari Patih Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!”
Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja
oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati
KITAB WAYANG PURWA

telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi Satyawati
seakan berenang dalam genangan darah. Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah
yang terkapar, mencari-cari jangan jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara
mendung makin tebal terkadang seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok
demi sosok yang ia perkirakan adalah raga Prabu Salya.
Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi Setyawati tak lagi
ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah suaminya. Menjerit Dewi Setyawati
memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang belum lagi kering darah di dadanya.
“Kanda Prabu, paduka telah meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur
perang ini. Walau paduka telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur
paduka, seakan akan melambai mengajak hamba turut serta”.
Sejenak Setyawati menciumi jenazah suaminya yang sudah semakin dingin.
Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian suami tercintanya,
“Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang Paduka ucapkan semalam,
tak kan kuasa hamba tolak”.
Segera diraih cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati,
tewas Sang Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan
senyum menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.
Endang Sugandini yang sama-sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi
Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya
karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik.
Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi
Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati.
Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang
menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah
mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.
KITAB WAYANG PURWA

DURYUDANA GUGUR, AKHIR BHARATAYUDA


Ditulis oleh hery_wae

Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa masih duduk


di bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Di antaranya duduk Prabu Matswapati dan
Prabu Kresna.
“Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi
kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda Jayabinangun ini.
Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua,
guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba
telah mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira,
bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka”.
Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa
adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada
Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata,
“Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku
punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga
cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi
hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban,
serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari
di depan”.
Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi
pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih
terpendam, “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi
Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum
kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna,
mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing
saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda
Prabu untuk kembali ke Astina”.
Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak
disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali
diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil keputusan untuk
hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara
Indraparahasta atau Amarta!”
Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu
itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan
KITAB WAYANG PURWA

dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi
keputusan semula masih saja ia pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu
kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu
Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya
mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu”.
Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada di
luar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah
berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu
mengerikan. Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang
disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di
Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya
sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu.
Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah
kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah
sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi. “Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila
seseorang membangunkan orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat
ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa
dengan aji Pameling”.
Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang
selalu dijaga putranya Raden Setyaka. Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji
Pameling ke arah telinga hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah
mampu mengubah jalannya waktu.
Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun
dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi, di hadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.
“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan perang sudah
selesai?”
“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu
Duyudana”. Jawab Kresna.
“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja
Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa kehancuran. Kamu
harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa.
Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.
“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi” Jawab
Werkudara.
“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah
merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”.
Ajak Kresna Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan
ketajaman insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya
merumput.
“Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah Kyai Pamuk. Tetapi
lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu Duryudana, serta bermacam senjata.
Hamba pikir di telaga itulah Prabu Duryudana bersembunyi di bawah rimbunnya tanaman teratai
merah yang mengambang”.
“Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana. Betapa kangennya
rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan akan aku tebus tapaku untuk
kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan Kurawa”. Baladewa menimpali.
KITAB WAYANG PURWA

Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu Duryudana, “Dinda


Prabu, ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk bertemu dengan dinda Prabu
Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda, perkenankan dinda keluar dari air telaga
walaupun hanya sebentar. Kita dapat berbicara dari hati kehati”.
Suara itulah yang ditunggu tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara Prabu
Baladewa karena lebarnya tela ga, namun ia telah yakin, yang ditunggu sudah tiba. Keluar
dari tempat persembunyian ditengah telaga dan segera mendekati arah Prabu Baladewa.
Berangkulan keduanya tanpa menghiraukan sekelilingnya.
“Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah yang selama ini
hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri atau pengecut, tetapi hamba ingin
melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah gada yang kanda Prabu ajarkan. Selayaknya kanda
Prabu menjadi saksi ketrampilan olah gada yang aku tekuni. Sepantasnya guru menjadi saksi
kesaktian muridnya”. Duryudana berkilah.
“Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru kami datang dengan
ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang menjadi tawur perang! Kami beserta
para Pandawa telah bersepakat untuk mengajak paduka dinda untuk kembali ke Astina, dan
melupakan kejadian yang telah lalu, yang sejatinya kita bisa jadikan pelajaran kita melangkah ke
depan”. Baladewa mencoba memberikan penjelasan.
“Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara Astina dan
hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri”.
Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai “Tidak, tidak
kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur beribu-ribu jumlahnya. Apa
gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati. Tidak! Hamba adalah raja besar. Raja yang sudah
bertahun-tahun hidup dalam kemuliaan. Tidak selayaknya hamba melepaskan begitu saja tanggung
jawab itu”.
Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh Baladewa, sesaat
kemudian Duryudana menyambung, “Kalah atau menang, Pandawa akan kecewa. Seumpama
saya yang menang itu sudah menjadi kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan kami,
dan kemuliaan Prabu Duryudana akan menyudul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila Pandawa yang
menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka hanya akan merawat anak anak
yatim dan janda janda korban perang. Mereka hanya akan menemukan reruntuhan demi
reruntuhan”.
Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan kepala
lemah, katanya “Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak gunung. Tak bisa
diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti kemauan dinda Prabu”.
“Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta perang tanding gada
dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok seimbang”. Jawab Duryudana.
Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan yang terletak
di punggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan Werkudara. Satu lawan
satu!
Kresna mendekati Werkudara sebelum perang tanding dimulai dengan membisikkan
sesuatu yang disusul anggukan kepala Werkudara penuh arti. Ketika Prabu Duryudana
bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa
Duryudana itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya. Tetapi Werkudara-pun sadar,
bahwa Duryudana mulai serangan gadanya dengan menjajagi kemampuannya,
sebagaimana juga akan dilakukan oleh Werkudara.
KITAB WAYANG PURWA

Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat menyerang dengan


penggada tepat ke arah dada. Namun seperti yang diduga oleh Werkudara, Duryudana
belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan
itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras
mendahului gerak tangan Duryudana yang terjulur itu.
Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya
belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara tidak mau
merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya
Bandung Bandawasa. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun ia masih
belum yakin jika serangan lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi,
hingga serangan itu akan dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu.
Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru.Tetapi baik Werkudara maupun
Duryudana tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat kelebihan
lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu.
Bagaimanapun mereka tidak boleh membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan
mereka kedalam kesulitan yang gawat.
Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar nyambar Werkudara
dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya.
Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat menyambar dan sekali sekali
mematuk dengan gadanya.
Sengitnya perang tanding masih diawasi dengan tegang oleh Prabu Kresna dan
Baladewa. Sebentar sebentar mimik muka keduanya menegang, sebentar kemudian
kembali cair. Terasa kesiur angin panas dari ayunan gada mulai menampar tubuh keduanya
dan memaksanya sedikit menjauh dari arena pertempuran. Sementara pukulan gada
keduanya dari waktu ke waktu semakin dahsyat.
Keduanya telah sampai pada tataran teringgi kemampuannya. Kekuatan yang
bagaikan taufan saling menghantam badan keduanya, tetapi mereka adalah manusia
manusia pilihan yang telah tertempa oleh pengalaman berguru dan pengalaman tempur
yang panjang. Duryudana melontarkan gelombang-gelombang pukulan gada yang dahsyat
beruntun susul menyusul. Namun Werkudara dengan ajian Blabak Pengantol antol dan
dibantu sukma Kumbakarna yang menyatu selagi Werkudara ada di lereng gunung
Kutarunggu, sangat sulit ditaklukkan. Sementara tamparan serangan itupun mulai terasa
bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih menyengat tubuhnya. Arena perang
tanding telah menjadi hangus bagai terkena sengatan halilintar. Bahkan suara gelegar
benturan kedua gada pusaka terdengar membahana bagai sejuta guruh dilangit berpetir.
Namun kekuatan Duryudana adalah kekuatan simbol dari angkara murka yang tidak
begitu saja dapat diatasi oleh laku kebaikan. Maka perang tanding itu sudah seharian tanpa
ada kelihatan siapa yang bakal unggul.
Setingkat demi setingkat Duryudana itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi.
Kekuatan angin yang melanda Werkudara oleh kesiur gadanya menjadi semakin dahsyat.
Bahkan kemudian angin itu mulai berputar, Werkudara mulai merasa dirinya dihisap oleh
pusaran angin yang begitu panas. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai kekuatan tidak
terbatas telah menghisapnya ke atas. Sedangkan udara panas semakin lama menjadi
semakin panas menerpa kulitnya. Namun aji Blabak Pangantol antol telah menerapkan
dirinya bagai terpaku dalam tanah. Dalam satu kesempatan ketika Duryudana melompat
menyerang, maka dikenai pahanya sebelah kiri Prabu Duryudana dengan penggada yang
bagai bobot gunung Semeru.
KITAB WAYANG PURWA

Dengan keluh terahan, disusul kata kata kotor, ambruk Prabu Duryudana! Tetapi
begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada Werkudara masih saja
menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana tak berujud lagi. Prabu Baladewa
murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak berdaya terkena hajaran gada
Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan Duryudana tiada tara namun kekuatan gada
Werkudara yang bagai bobot gunung Mahameru pasti akan menghancurkan sosok
Duryudana.
“Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang-mentang kamu menang,
sehingga kamu berlaku sia-sia terhadap pihak yang kalah. Duryudana sudah tidak berdaya kamu
perlakukan seperi layaknya binatang buruan! Ayoh tandingi Baladewa!”
Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang mengkhawatirkan
terjadi, telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, “Sabar kanda, sabar. Hamba sudah bilang
sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk membelokkan takdir. Baratayuda dalah peristiwa
luwarnya kaul atau janji, itu hal yang pertama. Kedua adalah arena tagih menagih antara yang
menghutangi dan yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun budi pekerti. Dan ketiga adalah,
syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya angkara itu kanda, tidaklah bisa sirna bila tidak
bersamaan dengan yang menyandangnya”.
Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera
menyambung, “Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah mengerti bahwa
Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan hutang seribu malu yang disandang
manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka kanda, ikhlaskan kematian Prabu Duryudana. Marilah
kita bersama melangkah kedepan dalam satu tindakan bersama sama para saudara kita Pandawa,
yang telah terbukti menjadi sarana hilangnya angkara”.
Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali langit
membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan berakhir.
Demikianlah, setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah kembali
menghadap Baginda Matswapati di Hupalawiya. Golongan Kurawa, Kartamarma dan
Aswatama masih berkeliaran. Namun Perang Dunia ke empat ini praktis telah berakhir . . .
.
Surak surak manengker gumuruh
Swaraning wadya surak gambira
Unggul Baratayuda para Pandawa
Labuh Negara Astina balane
Kurawa gugur tengahing palagan Pandawa . . .
Pandawa unggul ing prang Baratayuda.

Anda mungkin juga menyukai