Anda di halaman 1dari 22

www.scribd.

com/madromi

Kapitayan AGAMA PERTAMA di Nusantara,Bukti bahwa Para


Nabi Pernah diutus di Nusantara
Posted by
Ahmad Yanuana Samantho on Oktober 4, 2016 in Budaya &
Sastra, Falsafah, Hikmah, Lingkungan dan Pelestarian Budaya,
Tolenransi Bhineka Tunggal Ika

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI


BERKEMBANG DI NUSANTARA?
Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah
Kapitayan.
Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang
disebut, Sanghyang Taya yang bermakna hampa atau kosong.
Orang Jawa/Sunda Wiwitan mendefinisikan Sanghyang Taya
dalam satu kalimat, tan kena kinaya ngapa alias tidak bisa diapa-
apakan keberadaannya. Untuk itu, supaya bisa disembah,
Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut
Tu atau To, yang bermakna daya gaib, yang bersifat
adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno, kata
taya artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada.
Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu
yang tidak bisa didefinisikan, tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang
tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia
ada tetapi tidak ada.

BAGAIMANA DASAR PEMAHAMAN AJARAN TERSEBUT?


Dalam sistem ajaran Kapitayan yang begitu sederhana waktu itu,
Sanghyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam
bentuk kekuatan gaib yang disebut Tu. Tu adalah bahasan
kuno yang artinya benang atau tali yang menjulur. Tu inilah yang
dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sanghyang Taya.Tu
kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik
(positif) dan sifat tidak baik (negatif).
Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun
dalam satu kesatuan. Tu yang baik disebut Tuhan, dan Tu yang
tidak baik disebut Hantu.Tu bisa didekati ketika dia muncul di
dunia dalam sesuatu yang terdapat kata-kata tu. Seperti wa-tu,
tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban, dan sebagainya, yang
menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari tu yang bersemayam.
Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman purba sekali.
DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM APAKAH WALISONGO
MENGADOPSI KAPITAYAN?

Memang Kapitayan ini diadopsi oleh Wali Songo untuk


menyebarkan Islam. Karena selama 850 tahun Islam tidak bisa
masuk pada kalangan pribumi yang mayoritas penganut
Kapitayan. Karena apa? Karena para saudagar muslim Arab (yang
belum paham ilmu tafsir dan takwil Al-Quran secara lengkap),
menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas singgasana bernama
Arsy. Lho, itu kan seperti manusia?. Orang-orang pribumi yang
memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu.
Bagaimana Tuhan duduk, itu kan sama seperti manusia?

LALU PRINSIP AJARANNYA BAGAIMANA ?


Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu
dan Budha. Nah, pada jaman Wali Songo, prinsip dasar Kapitayan
dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada
masyarakat bahwa Sanghyang Taya adalah laisa kamitslih syaiun,
berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan
tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak
bisa diangan-angan seperti apapun.
Wali Songo juga menggunakan istilah sembahiyang dan tidak
memakai istilah shalat. Sembahiyang adalah menyembah HYang.
Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan kemudian
diubah menjadi seperti langgar-langgar di desa yang ada
mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun adopsi Kapitayan. Tentang
ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak
diistilahkan dengan shaum karena masyarakat tidak ngerti tapi
menggunakan istilah upawasa kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan
syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng. Jadi, Kapitayan
selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa
diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud
seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat
Nusantara akan menolak.
Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu
yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa,
pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan
bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran
itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan
bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.

MENURUT PERSEPSI ANDA, APA YANG DISEBUT KEJAWEN?


Kata Kejawen secara gramatika kebahasaan saja sudah salah.
Dalam bahasa Jawa, tidak ada
kata Kejawen. Sebetulnya Kejawen diberikan kepada kelompok
hasil reformasi yang dilakukan oleh Syaikh Lemah Abang di daerah
pedalaman.
Reformasi dari masyarakat kawulo yang artinya budak menjadi
masyarakat merdeka sehingga menimbulkan konflik dengan elite
Kesultanan Demak.
Syaikh Lemah Abang (Syekh Siti Jenar) membentuk banyak sekali
Desa Lemah Abang, dari daerah Banten sampai daerah ujung
timur Jawa. Para pengikut Syaikh Lemah Abang umumnya
menentang tradisi Ritual dan Fiqh Kesultanan Demak.

Dalam buku Negara Kerta Bumi disebutkan bahwa Syaikh Lemah


Abang pernah tinggal di Baghdad selama tujuh belas tahun. Oleh
karena itu, pemahaman dia terhadap sistem kekuasaan banyak
terpengaruh oleh sistem kekuasaan di Baghdad. (Syeik lemah
Abang senetulnya kelahiran Persia/Iran dan merupakan ulama Sufi
keturunan Nabi (ItrahNubuwah,
https://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/2016/07/berdasarkan-
riwayat-islam-syaikh-siti.html
https://ahmadsamantho.wordpress.com/?s=syekh+siti+jenar&sub
mit=Cari
Ketika balik ke Nusantara, dia melihat realita Kesultanan Demak
yang masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit. Jika ada
masyarakat yang akan menghadap sultan atau raja diharuskan
nyembah dulu yang oleh Syaikh Lemah Abang dianggap tidak
benar. Sebab ketika Syaikh Lemah Abang menghadap sultan
maupun raja, dia tetap dengan posisi berdiri, tidak nyembah, dan
sejak itu dia melarang masyarakat menyembah jika menghadap
sultan.

Pokok ajaran KAPITAYAN:


Hamemayu Hayuning Bawono: Menata Keindahan Dunia.
Kapitayan, Agama Universal Dari Tanah Jawa (Sundaland).
Wahai saudaraku. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai,
khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan
Tuhan. Para leluhur kita dulu SUDAH SADAR DIRI, jauh sebelum
ajaran agama baru yang di import dari Timur Tengah, India dan
China hadir di Nusantara.
Para beliau merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk
DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya, bukannya menjadi bahan
perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya lalu menjadi
sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu, nenek
moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan
pengetahuan tentang Dzat (kenyataan) Tertinggi serta tentang
bagaimana bisa menemukan-Nya.
Ya. Orang Jawa dan Sunda dan pada umumnya suku lain di
Nusantara seperti Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo, To
Manurung-Ila Galigo di Sulawesi, dll, di masa lalu telah percaya
akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun
memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan
keburukan dalam kehidupan dunia.
Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang
Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara
sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk
yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk
disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri. Tuhan-lah
yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka
pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang
Hyang Taya.
Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci,
tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan
disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai
ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami
perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga
ketat).
Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk
laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk
menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki
akhlak terpuji).
Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun), juga
menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum
migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama
mempunyai konteks yang sama dengan ujung MONOTHEISME
(Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum
migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.
Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu
sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi
dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). Ajaran mereka
biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan
pada konsep keseimbangan.
Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan
ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol
laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang,
pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang
memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan
kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya.
Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang
(termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah
memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan
perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para
leluhur dulu.
Kemudian jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara
terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan yang secara keliru
dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme.
Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan
kepada Sang Hyang Taya sebelumnya.
Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja
sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang
bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung.
Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem
kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa,
bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari
India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa,
Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan Adikodrati
yang supranatural.
Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur
dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya.
Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-
bayangkan (Niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera.
Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu
kalimat Tan kena kinaya ngapa alias tidak bisa diapa-apakan
keberadaan-Nya. Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya
mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang
bermakna daya gaib yang bersifat Adikodrati.
Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat,
Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal.
Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang
bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sang
Hyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama
Sang Hyang Manikmaya.
Demikianlah, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya
pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang Hyang Tunggal. Karena
itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang
Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca
indera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat paradoks
itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-
sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia.
Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang
menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sang
Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu tersembunyi di dalam
segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO.
Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib
pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-
mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud,
TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam
melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan
sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada
Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan
gaib.
Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah seperti Syariat,
Thariqah, Hakikat dan Makrifat, maka di Kapitayan praktek di atas
adalah proses ibadah tingkatan syariat yang dilakukan oleh
masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para
ulama-ulama sufi nya Kapitayan, mereka menyembah langsung
kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu,
pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk
(lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud
menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam Tutu-d (hati).
Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya
adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut
swa-dingkep (memegang ke-aku-an diri).
Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian dilanjutkan
dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu
dilanjutkan lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan
kedua tumit diduduki), dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem
(bersujud). Sedangkan tempat ibadahnya disebut Sanggar, yaitu
bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di
dinding sebagai lambang kehampaan. Kalau Anda kesulitan
membayangkan tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda
dengan langgar/musholla di desa-desa pada umumnya.

Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap
shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah)
dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai
TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi
pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau
dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin
kerajaan Nusantara).
Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik
kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi
Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-
TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika
berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika
mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah
disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh.
Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut
PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-
tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-
ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang. Jika memancarkan
kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut
PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah
pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU
atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.
Sesajen yang melambangkan konsep-konsep ilahiyah Ketuhanan
Hyang Maha Esa (Sang Hyang Tunggal) dalam ajaran
Kapitayan/Sunda Wiwitan
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas,
kedudukan ra-TU dan dha-TUtidak bersifat kepewarisan mutlak.
Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara
fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa
diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya.
Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-
ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil
yang disebutWisaya. Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka.
Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka
yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU.Dengan
demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji
kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur
strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.
Konsep kekuasaan RaTu dan DaTu ini mirip dengan konsep :King
Philosopoher-nya Plato dari Yunani abad3 SM, atau mungkin saja
justru Plato dengan Bukunya Republic ini justrui terisnpirasi oleh
ajaran Kapitayan/Sunda Wiwitan dari Atlantis Nusantara
(SUNDALAND). Konsep ini juga yang sebenarnya merupakah ruh
dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yaitu sila ke-4 ;
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan-Perwakilan. serta Sila 1: Ketuhanan Yang
Maha Esa
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa
dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika
pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut
oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara.
Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan
ditambah sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat
kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara
yang awal untuk menganut Vaishnava. Hanya saja, sekalipun
pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut
oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang
bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang. Keberadaan seorang
raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan
ganda sebagai ra-TU atau dha-TU.
Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang
disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri.
Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas
benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-
nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok,dll.
Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara
mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-
benda yang ber-TU-ah.

Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah


sangat drastis. Dan ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan
rumah pernah di tekan hebat oleh para tamunya. Contohnya
ketika zaman kerajaan Kadhiri, penganut agama Hindu yang
mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan
Kapitayan sehingga mereka harus naik ke gunung Klothok dan
gunung Wilis (artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar
disana, sebagian dibawa kaum penjajah ke Leiden dan
berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru
bermarkas di Leiden-Belanda sana).
Lalu di zaman kerajaan Tumapel/Singosari kejadiannya pun sama,
penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini
hingga mengungsi ke pesisir selatan tanah Jawa. Selanjutnya di
zaman kerajaan Demak, penganur agama Islam yang melakukan
penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir di zaman
Kolonial, penganut agama Nasrani mendapat tempat elite di sosial
kemasyarakatan dan lainnya.
Sungguh, jika Anda mau bertanya seberapa ramah dan besarnya
pengorbanan suatu peradaban menerima perobahan? Itu hanya
milik peradaban tanah Jawa di Nusantara. Andai saja mereka
bersikukuh pada keyakinannya dan mengabaikan nilai universal
yang dipahaminya, saya amat yakin bahwa TIDAK AKAN ADA
AJARAN AGAMA IMPORT BEGITU MUDAHNYA MASUK DI TANAH
JAWA, bahkan tanpa pertumpahan darah. Justru yang belum yakin
itulah yang bertanya dan kearifan tanah ini menjawab dengan
bahasa semesta.
Ketika agama Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita
memiliki Borobudur yang dikagumi seluruh dunia dan dijadikan
tempat pendidikan kelas dunia di masanya. Hal yang sama juga
terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan
masyarakat Balinya. Kemudian agama Islam bahkan dengan
pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisongo sebagai
ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan lainnya, dan kini timbullah
dengan apa yang dikenal dunia kini dengan sebutan Islam
Nusantara.

Tapi, ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus seperti


aslinya di mana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan
yang nyata. Dan ketika ada orang yang menganggap adalah
sempurna bila agama dijalankan sejurus dengan adat di mana ia
diturunkan. Maka JAWABANNYA ADALAH SALAH BESAR, karena
tata nilai agama itu bersifat universal, sedangkan adat
dianugerahkan pada suatu komunitas dan kekhususan lokasi.
Sehingga jangan bermimpi untuk bisa hidup sempurna jika
memaksakan sesuatu terutama keyakinan tanpa
menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.
Sebab, getaran semestanya (nyata dan gaib) akan melawan
dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang keliru dan
bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Dan Tuhan
itu adalah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana, lantas mengapa masih saja ada orang yang berani
mengkerdilkan keperkasaan-Nya itu dengan mengatakan Tuhan
hanya paham bahasa atau cara kami saja?. Sungguh aneh.
Akan tiba waktunya di tanah Nusantara ini bangkit kembali
ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di
tanah Jawa, tetapi membawa pengaruh bagi seluruh dunia. Ajaran
itu sangat indah karena di dalamnya terdapat aturan hidup yang
menuhankan Tuhan Yang Satu, mengabdi kepada Dzat Yang Maha
Mulia, dan tunduk hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa.
Sebagaimana yang telah dikabarkan di dalam kitab suci semua
agama besar dunia
Wahai saudaraku. Semoga kita tetap bisa menjadi pribadi yang
tidak berpikiran picik atau fanatik yang buta, karena itu hanya
akan menyusahkan. Bahkan jika terus dipertahankan, maka
kehidupan pun akan semakin kacau, karena kepicikan dan fanatik
itu sendiri adalah sumber dari kebodohan. Bersikaplah bijaksana
disertai hati yang lapang, dengan begitu tujuan hidup di dunia
akan tercapai.
Artikel ini diadaptasi dan diedit oleh Ahmad Yanuana Samantho
dari berbagai sumber (antara lain: Atlas Walisongo, Karya Agus
Sunyoto dan
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/01/19/peradaban-
sunda-adalah-akar-dari-seluruh-peradaban-dunia/
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/08/09/carita-para-
nabi-urang-sunda/
https://oediku.wordpress.com//kapitayan-agama-universal-d/

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai