com/madromi
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap
shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah)
dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai
TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi
pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau
dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin
kerajaan Nusantara).
Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik
kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi
Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-
TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika
berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika
mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah
disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh.
Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut
PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-
tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-
ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang. Jika memancarkan
kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut
PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah
pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU
atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.
Sesajen yang melambangkan konsep-konsep ilahiyah Ketuhanan
Hyang Maha Esa (Sang Hyang Tunggal) dalam ajaran
Kapitayan/Sunda Wiwitan
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas,
kedudukan ra-TU dan dha-TUtidak bersifat kepewarisan mutlak.
Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara
fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa
diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya.
Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-
ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil
yang disebutWisaya. Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka.
Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka
yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU.Dengan
demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji
kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur
strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.
Konsep kekuasaan RaTu dan DaTu ini mirip dengan konsep :King
Philosopoher-nya Plato dari Yunani abad3 SM, atau mungkin saja
justru Plato dengan Bukunya Republic ini justrui terisnpirasi oleh
ajaran Kapitayan/Sunda Wiwitan dari Atlantis Nusantara
(SUNDALAND). Konsep ini juga yang sebenarnya merupakah ruh
dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yaitu sila ke-4 ;
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan-Perwakilan. serta Sila 1: Ketuhanan Yang
Maha Esa
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa
dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika
pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut
oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara.
Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan
ditambah sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat
kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara
yang awal untuk menganut Vaishnava. Hanya saja, sekalipun
pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut
oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang
bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang. Keberadaan seorang
raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan
ganda sebagai ra-TU atau dha-TU.
Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang
disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri.
Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas
benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-
nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok,dll.
Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara
mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-
benda yang ber-TU-ah.
TAMAT