Anda di halaman 1dari 90

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

DINAS KEBUDAYAAN

BIOGRAFI TOKOH
RATU AGENG
TEGALREJO

CV. KITA TIGA


PRAKATA DINAS KEBUDAYAAN
KATA PENGANTAR

Buku ini menggali lebih dalam mengenai sejarah perjalanan

Ratu Ageng Tegalrejo. Peranan Ragu Ageng Tegalrejo semasa

hidupnya sebelum dan menjadi Permaisuri Hamengkubuwono

I, serta setelahnya yaitu: menetapnya Ratu Ageng di Tegalrejo.

Pengaruh Ratu Ageng Tegalrejo terhadap masyarakat tegalreja

beserta Diponegoro semasa kecilnya. Ia menekankan tentang

pentingnya memberi ruang bagi tradisi lokal dan pemaknaan yang

luas atas nilai sejarah.

Ratu Ageng Tegalrejo menawarkan sebuah cara pandang

tentang nilai-nilai perjuangan yang sejarahnya tidak hanya

dimonopoli kaum laki-laki. Sejauh ini sejarah yang ada di

Yogyakarta hanya lingkup orang besar Keraton, sedangkan orang

yang memilih keluar dari Keraton dan hidup sederhana belum

terpublikasi. Dengan menerapkan pendekatan sejarah sosial dan

memadukannya dengan pendekatan biografi melalui sumber-

sumber yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari

itu, inilah alasan peneliti untuk mengungkap lebih lanjut sejarah-

sejarah yang perlu digali kembali.


Kami ucapankan banyak terimakasih kepada Dinas

Kebudayaan (Kudha Kabudayan) Pemerintah Kota Yogyakarta


yang telah mendukung penelitian ini, sehingga berjalan dengan

baik dan lancar sesuai dengan agenda.

Terimakasih pula kepada Prof. Peter Carey sebagai

narasumber utama yang menyempatkan waktu dan sumbangsih

pemikiran, sehingga kami dimudahkan menemukan sumber-

sumber data yang valid dan berdasar. Serta terimakasih kepada

segenap tim peneliti yang tidak lelah dalam sumbangsih tenaga dan

ilmunya sehingga terselesaikannya kajian ini.

Sehingga kami menghasilkan sebuah buku kecil (saku)

tentang Biografi Ratu Ageng Tegalrejo yang nantinya bisa menjadi

literatur bagi penelitian selanjutnya. Serta dengan terbitnya buku

ini diharapkan pengetahuan kita tentang Ratu Ageng Tegalrejo

pada Abad 17-18 M bertambah. Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, Oktober 2021

Tim Penyusun dan Peneliti


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

BAB II KONDISI YOGYAKARTA PADA MASA RATU ......................

AGENG TEGALREJO.................................................................................... 25

A. Kondisi Geopolitik................................................................................. 26

B. Kondisi Sosial Budaya.......................................................................... 31

BAB III KEHIDUPAN RATU AGENG TEGALREJO............................ 33


A. Periode Awal (1734-1755)............................................................... 34

B. Periode Menjadi Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I....

(1755-1793) ................................................................................................ 39

C. Periode Di Tegalrejo (1793-1803).................................................. 44

BAB IV PERAN RATU AGENG BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT

DI YOGYAKARTA.......................................................................................... 59

A. Bidang Politik Militer........................................................................... 60

B. Bidang Sosial Ekonomi........................................................................ 61

C. Bidang Sosial Keagamaan .................................................................. 61

vi BIOGRAFI TOKOH RATU AGENG TEGALREJO


BAB VI KESIMPULAN................................................................................ 64

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68

LAMPIRAN..................................................................................................... 75

BIOGRAFI TOKOH RATU AGENG TEGALREJO vii


viii
BAB I
PENDHULUAN

“Ratu Ageng Tegalrejo


beberapa tahun terakhir
hingga sekarang seringkali
diperbincangkan di khalayak
umum dari berbagai sumber
mulai dari media massa,
internet, penelitian dan
sebagainya. Sehingga
sosok Ratu Ageng Tegalrejo
menjadikan fokus
utama pembahasan.”

1
Sejarah kerajaan di Jawa sejak Mataram kuno dalam

beberapa catatan hingga sekarang, tidak banyak ditemukan

catatan tentang tokoh perempuan yang berperan sebagai

pemimpin dalam dinasti kerajaan. Selama ini dalam catatan

sejarah kerajaan Mataram lebih didominasi oleh tokoh laki-laki

seperti raja, pangeran dan ulama laki-laki. Beberapa nama yang

tercatat sebagai pemimpin perempuan antara lain; Uttejana

yang merupakan putri Gajayana dari Kerajaan Kanjuruhan

abad 8, Isanatunggawijaya yang merupakan putri Mpu Sindok

dari Kerajaan Medang abad 10, dan Pramodawardhani yang

merupakan putri Raja Samaratungga yang kemudian menikah

dengan Rakai Pikatan pemimpin Mataram kuno.[1]

Sedangkan sejak kerajaan Mataram Islam di Jawa

yang berdiri pada abad ke-16 oleh Danang Sutawijaya atau

Panembahan Senopati hingga sekarang, tidak banyak yang

menyebut peran sosok perempuan dalam kepemimpinan

secara umum. Beberapa nama tokoh perempuan yang memiliki

[1] Titi Surti Nastiti, Perempuan Jawa : Kedudukan Dan Peranannya Dalam
Masyarakat Abad VIII-XV (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 2016); Risa Herdahita
Putri, “Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno,” Historia - Majalah Sejarah
Populer Pertama di Indonesia, December 9, 2017, https://historia.id/kuno/
articles/perempuan-penguasa-masa-mataram-kuno-PyJzZ.

2
peran dalam kepemimpinan antara lain; Ratu Pakubuwono dan

Ratu Ageng Tegalrejo.

Ratu Pakubuwono adalah putri Pangeran Juminah atau

disebut Pangeran Blitar yang juga merupakan keturunan dari

Panembahan Senopati. Kemudian ia menikah dengan Pangeran

Puger di mana selanjutnya menjadi Ratu Pakubuwono ketika

suaminya naik menjadi Raja Pakubuwono 1 pada tahun

1704-1719.[2] Berikutnya adalah Ratu Ageng Tegalrejo yang

merupakan istri dari Sultan Hamengkubuwono I sebagai

peletak dasar Kasultanan Yogyakarta. Ia dikenal sebagai ahli

spiritual dan menulis beberapa kitab seperti Serat Menak dan

Serat Ambiya.

Kanjeng Ratu Ageng Tegalrejo atau Mas Rara Juwati


ini lahir sekitar tahun 1735 M. Satu sisi ia masih merupakan

keturunan dari Sultan Abdul Qahir yang menjadi Sultan di Bima

pada tahun 1620 M. Sedangkan satu sisi lainnya merupakan

keturunan dari Kiai Ageng Derpoyudo sebagai putra dari Kiai


[2]
M.C. Ricklefs, “Ratu Pakubuwana, Sufi Perempuan Leluhur Wangsa Mataram,”
Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia, Juli 31, 2018,
https://historia.id/agama/articles/ratu-pakubuwana-sufi-perempuan-leluhur-
wangsa-mataram-vxJAL.

3
Ageng Datuk Sulaiman atau dikenal sebagai Kiai Sulaiman

Bekel dari Majangjati, masuk dalam wilayah Sragen.[3]

Seperti yang telah diungkapkan oleh Peter Carey[4]

bahwa Ratu Ageng Tegalrejo merupakan tokoh perempuan

berwibawa yang tenggelam dalam sejarah. Carey mengisahkan

bahwa Ratu Ageng Tegalrejo memegang kuat filosofi Jawa dalam

memilih pasangan hidup, yaitu mempertimbangan bebet, bibit,

dan bobotnya. Beliau pernah menjabat sebagai komando Korps

Prajurit Estri yang terdiri dari para perempuan. Pasukan ini,

Korps Prajurit Estri, di bawah kepemimpinannya mengalami

kemajuan. Bahkan beberapa tahun menjelang Perang Jawa,

korps Prajurit Estri tersebut membuat utusan negara dan

Eropa kagum akan kemampuan para pendekar perempuan

dalam menunggangi kuda, melepaskan tembakan salvo dan

ketepatan membidik sasaran. Sisi lain juga, menyebutkan

bahwa ia sebagai cucu dari Ki Ageng Sulaiman Bekel Jamus

yang dikenal sebagai sosok perempuan yang sangat mencintai

ilmu pengetahuan. Kegemarannya ditularkan kepada cucunya


[3]
Peter Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old
Order in Java, 1785-1855. (Leiden; Boston: Brill, 2008), 76.
[4] Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order
in Java, 1785-1855.

4
yaitu Pangeran Diponegoro sebagai pemuda yang diasuhnya.

Sehingga, beberapa sumber menyebutkan bahwa Ratu Ageng

Tegalrejo mempunyai peran besar dibalik nama besar Pangeran

Diponegoro.

Peter Carey[5] pula menyebut Ratu Ageng sebagai sosok

perempuan tangguh yang mendampingi suaminya, yaitu:

Sultan Hamengkubuwono I, dalam Perang Giyanti (1746-

1755). Setelah Perjanjian Giyanti usai, ia membantu suaminya

membentuk Kasultanan Yogyakarta, hingga melahirkan pewaris

tahta Sultan di generasi berikutnya yaitu: Gusti Raden Mas

Sundara yang menjadi Sultan Hamengkubuwono II. Ratu Ageng

bukan saja sebagai istri Raja yang lemah lembut, dia merupakan

perempuan berkarakter kuat. Terlihat dari posisinya sebagai

panglima Pasukan Kawal Istimewa Kerajaan yang merupakan

satu-satunya barisan perempuan pasukan militer Keraton

Yogyakarta.

Sejarah Kasultanan Yogyakarta mencatat bahwa

sosok Ratu Ageng Tegalrejo berlaku agamis dan memiliki


[5] Peter B. Carey and Vincent Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa
Abad Ke-XVIII Dan XIX (Jakarta: Gramedia, 2019).

5
kemampuan spiritual yang tinggi. Ia dikenal sebagai salah satu

ulama perempuan di Jawa bagian Selatan yang disegani karena

ilmu dan kemampuan spiritualitasnya. Sebagai seorang ulama

perempuan, kegemarannya adalah membaca kitab-kitab religi.

Ia juga termasuk penganut tarekat Syattariyah. Ia mempelajari

ilmu tasawuf dan ilmu agama dari orang tua dan kakeknya yang

juga seorang ulama masyhur dan mursyid tarekat (kaum sufi

berbentuk tarekat Syattariyah).

Sikap zuhud yang dilakukan Ratu Ageng Tegalrejo

terlihat dari keberaniannya meninggalkan hingar bingar dunia

istana ketika terjadi konflik dengan putranya, Sundara yang lebih

fokus dalam pemerintahannya dibandingkan kagamaannya.

Ratu Ageng Tegalrejo merasa bahwa Sundara dalam tatanan

dan ajaran Islam. Beliau kemudian memilih menyingkir dari

Keraton dan tinggal di Tegalrejo, wilayah tersebut terletak di

tenggara Keraton.

Satu sumber menjelaskan bahwa, Ratu Ageng Tegalrejo

wafat tanggal 17 Oktober 1803, setelah sakit demam parah akibat

tercebur di kolam ikan. Meninggalnya Ratu Ageng Tegalrejo

6
waktunya tepat bersamaan dengan meletusnya gunung Merapi.

Suasana saat itu menjadi sangat tegang dan penuh duka setelah

wafatnya beliau. Pangeran Diponegoro pada waktu itu masih

berusia belasan tahun dan pula sebagai pewaris Puri Tegalrejo

yang ditempatinya hingga terjadinya perang Diponegoro

(1825-1830). Puri tersebut sampai sekarang masih berdiri,

terdapat renovasi bangunan lama akibat dibakar oleh Belanda.

Terdapat pula sisa bangunan lama berupa benteng yang dijebol

oleh Pangeran Diponegoro digunakan tempat pelarian ketika

dikepung Belanda. Selanjutnya terdapat pula pohon kepel yang

diperkirakan bibitnya merupakan peninggalan Ratu Ageng

Tegalrejo.

Kajian ini akan lebih difokuskan pada sosok Ratu

Ageng Tegalrejo mulai dari asal usul keluarganya, hingga akhir

hayatnya. Periodenya mulai dari sebelum menjadi Ratu atau

Permaisuri, pada saat menjadi Permaisuri dan terakhir sebagai

tokoh yang meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo

dikenal dengan nama Ratu Ageng Tegalrejo. Sehingga rumusan

masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

7
1. Bagaimana sejarah kehidupan Ratu Ageng Tegalrejo ?

2. Bagaimana kontribusi Ratu Ageng Tegalrejo dalam

melawan penjajah di Yogyakarta ?

3. Bagaimana pengaruh (formal/non formal) Ratu Ageng

Tegalrejo di masyarakat Yogyakarta pada umumnya dan

di Tegalrejo pada khususnya?

Kajian ini bertujuan untuk menggali sejarah yang belum

banyak digali dan menjelaskan mengenai sejarah biografi

Ratu Ageng Tegalrejo pada abad ke-18 M. Dengan adanya

kajian ini diharapkan dapat (1) menggali sumber lokal lisan

dan tulisan tentang Ratu Ageng Tegalrejo. Selain itu juga (2)

Mengidentifikasi kontribusi Ratu Ageng Tegalrejo dalam


melawan penjajah kolonial di Kasultanan Ngayogyakarta, serta

(3) Mengidentifikasi pengaruh Ratu Ageng Tegalrejo terhadap

perkembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

Yogyakarta pada masanya.

Hasil kajian (berupa buku) terhadap tokoh perempuan

Jawa seperti Ratu Ageng Tegalrejo diharapkan membantu

pemahaman tersendiri bagi masyarakat umum mengenal

sejarah Kasultanan Mataram dengan perspektif yang

8
lebih lengkap. Sehingga, sejarah Yogyakarta tidak hanya

memunculkan sosok Hamengkubuwono I, Pakualaman atau

Pangeran Diponegoro saja, tetapi juga ada sosok perempuan

yang penting dan memiliki pengaruh dalam masyarakat.

Kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara

lain:

1. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat Indonesia

khususnya Yogyakarta untuk mengenalkan tokoh

penting perempuan dari daerah Tegalrejo di Yogyakarta.

2. Dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam

memahami sejarah Kasultanan Ngayogyakarta. Bahwa

terdapat perempuan dari Kesultanan yang mempunyai

jiwa kepemimpinan dan berpengaruh di masyarakat.

3. Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi sejarah

lokal.

Hasil dari penelusuran literatur mengenai tokoh ini

hanya dijumpai beberapa artikel pendek yang menyinggung

Ratu Ageng Tegalrejo. Namun sumber tersebut tidak membahas

lebih jauh mengenai kehidupan masa kecil hingga dewasa.

9
Termasuk belum ada pembahasan yang lebih detail mengenai

perannya sebagai Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I hingga

di Tegalrejo. Beberapa artikel tersebut antara lain “Pangeran

Diponegoro: Buyut dari Bima, makam di Makassar”, “Nyai

Ageng Tegalrejo, Nenek di Balik Kepahlawanan Diponegoro”,

dan “Wasiat Ratu Ageng Tegalrejo, Memperbenderang Sosok

Samar-Samar Melalui Literasi Digital.”[6]

Selain itu terdapat literatur (buku) lain membahas

tentang profil Ratu Ageng Tegalrejo yaitu karya Peter Carey

tentang Pangeran Diponegoro.[7] Sumber ini cukup banyak

membahas peran Ratu Ageng terkait dengan Diponegoro

terutama masa di Tegalrejo. Begitu juga literatur lain yaitu

Yogyakarta ketika masa Sultan Mangkubumi.[8] Sumber ini

memang tidak fokus pada Ratu Ageng, tetapi ada catatan yang
[6] Dahlan Abubakar, “Pangeran Diponegoro: Buyut dari Bima, Makam di Makassar,” Kahaba.net,
April 9, 2020, https://kahaba.net/opini/76131/pangeran-diponegoro-buyut-dari-bima-makam-
di-makassar.html; “Nyai Ageng Tegalrejo, Nenek di Balik Kepahlawanan Diponegoro,” Republika
Online, May 1, 2020, https://republika.co.id/share/q9n6uf483; Agung Purwandono, “Wasiat
Ratu Ageng Tegalrejo, Memperbenderang Sosok Samar-Samar Melalui Literasi Digital,” KRJogja,
February 11, 2020, https://www.krjogja.com/hiburan/seni-dan-budaya/wasiat-ratu-ageng-
tegalrejo-memperbenderang-sosok-samar-samar-melalui-literasi-digital/.
[7] Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-
1855.; Peter Carey, “Waiting for the ‘Just King’: The Agrarian World of South-Central Java from
Giyanti (1755) to the Java War (1825–30),” Modern Asian Studies 20, no. 1 (February 1986): 59–137,
doi:10.1017/S0026749X00013603; Peter Carey, Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo Dan
Historiograi Perang Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017).
[8] M. C Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java
(London; New York: Oxford University Press, 1974).

10
terkait situasi keraton terutama dalam pemerintahan yang

berlangsung di bawah suaminya.

Pembahasan mengenai Ratu Ageng ini secara khusus

(melalui sumber data yang akurat) belum ada. Selama ini

bahasan tentang tokoh ini hanya menjadi pendamping dari

tokoh utama yang semuanya laki-laki. Serta banyak sumber-

sumber bacaan yang memang menjelaskan tentang Ratu Ageng,

namun suber kutipan belum sepenuhnya Valid, masih berupa

pendapat atau dalam istilah jawa “otak-atik gatuk”. Dengan

demikian, kajian awal ini menjadi penting posisinya sebagai

sebuah usaha yang mengedepankan catatan biografis dan

perannya sebagai pribadi yang independen dalam masyarakat

yang lebih luas, dalam hal ini peran di dalam pemerintahan,

sosial masyarakat dan keagamaan sosial.

Sekali lagi kajian ini menggali lebih dalam mengenai

sejarah perjalanan Ratu Ageng Tegalrejo. Apa yang dilakukan

oleh Ratu Ageng Tegalrejo, sejatinya menampilkan corak

karismatik yang menekankan tentang pentingnya memberi

ruang bagi tradisi lokal dan pemaknaan yang luas atas nilai

11
sejarah. Dari konteks ini, Ratu Ageng Tegalrejo lebih mendapat

ruang di masyarakat Tegalrejo, dengan titik tekan pada tradisi

lokal. Perjalanan hidup yang dilakukan Ratu Ageng Tegalrejo

juga menjadi antithesis perempuan yang terkenal hanya 3 M

(macak, masak, manak) atau berhias, memasak dan melahirkan

dengan menggunakan pedoman tafsir agama yang sempit.

Sejatinya, Ratu Ageng Tegalrejo menawarkan sebuah

cara pandang tentang nilai-nilai perjuangan yang sejarahnya

tidak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Sejauh ini sejarah

yang ada di Yogyakarta hanya lingkup orang besar Keraton,

sedangkan orang yang memilih keluar dari Keraton dan hidup

sederhana belum terpublikasi. Maka dari itu, inilah alasan

peneliti untuk mengungkap lebih lanjut sejarah-sejarah yang

perlu digali kembali. Peneliti ingin membuktikan bahwa sejarah

tidak hanya dimiliki oleh orang besar dan laki-laki saja.

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah

pendekatan sejarah sosial dan memadukannya dengan biografi.

Sejarah sosial diartikan sebagai usaha melukiskan peristiwa

12
sosial, tokohnya dan mencari sebab musababnya dengan

memanfaatkan ilmu-ilmu sosial lain seperti antropologi,

sosiologi, dan ekonomi.[9]

Hal ini fenomena yang terjadi pada rentang masa awal

berdirinya Yogyakarta dan menjelang perang Diponegoro.

Dengan mempelajari siklus kehidupan masyarakat, struktur

dan dinamikanya, kebudayaan material dan non materialnya,

diharapkan dapat memahami konteks ruang dan waktu

kasultanan tersebut.

Fakta merupakan peristiwa sejarah yang mengarah

pada kepada kejadian nyata. Sebagaimana konstruk termasuk

juga fakta sejarah yang pada dasarnya merupakan hasil dari

strukturisasi seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah.

Artifact sebagai bentuk benda fisik berupa konkret dan

termasuk hasil buatan. Sehingga proses artifact menunjukkan

hasil dari proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau.

Analog dengan hal itu maka sociofact menunjuk kepada

peristiwa sosial dalam pranata, lembaga, organisasi dan lain

[9] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992).

13
sebagainya yang telah terkristalisasi. Selanjutnya mentifact

lebih menunjuk kepada produk ide dan pikiran manusia.

Sehingga ketiganya, artifact, socifact, dan mentifact, merupakan

produk masa lampau atau sejarah, dan hanya dapat dipahami

oleh ilmu sosial, antropologi, sosiologi atau ekonomi.

Selanjutnya pendekatan biografi yang awalnya lebih

sering dianggap sebagai salah satu genre dalam sastra,

digunakan untuk mendeskripsikan aspek perjalanan hidup dan

kontribusi manusia pada masa lalu dalam hal ini adalah Ratu

Ageng Tegalrejo. Biografi disini merujuk pada penulisan tokoh

dengan kaidah ilmiah dalam studi sejarah.[10]

Sejarah biografi mengkaji aspek perjalanan hidup dan

kontribusi manusia pada masa lalu. Bidang kajian sejarah

biografi adalah perjalanan hidup, kontribusi, ide, ideologi,

mitos, sikap, watak, orientasi nilai, dan struktur kehidupan.

Sumber sejarah biografi antara lain yaitu cerita rakyat (folklore),

kepercayaan rakyat (folk belief), lagu rakyat (folk song), tradisi

lisan (oral tradition), sumber tertulis, dokumen-dokumen, dan

[10] Lois W. Banner, “Biography as History,” The American Historical Review 114, no. 3 (2009): 579–
86, https://www.jstor.org/stable/30223919.

14
hasil karya yang berkembang di suatu masyarakat tertentu.

Analisis kajian ini menggunakan pendekatan

multidimensional, terutama kerangka teori local leader (great

man) dan perubahan sosial (social change). Dalam kerangka

pikir Great man yang dikenalkan oleh Thomas Carlyle[11], orang

besar (great man) diasosiasikan sebagai seorang pahlawan

namun berbeda beda perspektif di setiap kebudayaan. Misalnya

pahlawan sebagai bagian dari keyakinan seperti dalam contoh

mitologi Skandinavia melihat Dewa Odin atau pahlawan

sebagai nabi dalam tradisi muslim melihat Muhammad, atau

pahlawan sebagai penyair seperti seorang Shakespeare dan

Dante, atau pahlawan sebagai pendeta seperti Martin Luther,

atau pahlawan dalam ahli kesusastraan seperti Johnson dan

Rousseau, atau dalam konsep negara modern pahlawan sebagai

Raja seperti halnya Napoleon.

Penjelasan itu mengarah, pahlawan selalu dominasi

laki-laki, dari kelompok elit dan mempunyai kelebihan material

atau non material seperti intelektual. Hal ini dipahami karena


[11] Thomas Carlyle, On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History, ed. Joel J. Brattin and Mark
Engel (California: University of California Press, 1993).

15
konteks teori ini muncul berlatar belakang Eropa (Inggris dan

Perancis) pasca revolusi Perancis dan Victoria awal di Inggris

yang maskulin, urban proletariat serta fasis. Mungkin begitu

juga di Jawa pada masa itu (1830) di mana sistem kolonial

dan feodal masih kokoh, sehingga peran perempuan kurang

diperhatikan. Dengan kata lain, ada kecenderungan misoginis

dalam kerangka teori great man ini.[12]

Meskipun begitu, konteks perubahan sosial politik

di Mataram pasca perjanjian Giyanti dan menjelang perang

Diponegoro mempunyai peran penting dalam kemunculan

peran Ratu Ageng Tegalrejo. Dalam kerangka teori perubahan

sosial,[13] setidaknya ada dua perspektif yang dominan yaitu

fungsionalis dan konflik.

Pertama mengandaikan bahwa perubahan sebagai

sebuah peristiwa yang alamiah dalam rangka mencapai

keseimbangan baru akibat dari perubahan material seperti

pertambahan penduduk, teknologi serta pengetahuan. Yang

[12] Pamela McCallum, “Misogyny, the Great Man, and Carlyle’s ‘The French Revolution’: The Epic as
Pastiche,” Cultural Critique, no. 14 (1989): 153–78, doi:10.2307/1354296.
[13] Lewis A. Coser, “Social Conflict and the Theory of Social Change,” The British Journal of Sociology
8, no. 3 (1957): 197–207, doi:10.2307/586859.

16
kedua, melihat status quo sebagai kondisi ketidak-adilan dan

menjadi persoalan dan perubahan sosial adalah cara untuk

mengurangi ketidakseimbangan dan mengatasi persoalan

dalam lingkup sosial.

Konteks Ratu Ageng Tegalrejo pada abad ke 18-19

M, teori perubahan sosial dapat digunakan untuk melihat

perubahan akibat palihan negeri tahun 1755 di mana ia

menjadi Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I. Selain itu juga

dapat melihat dinamika perubahan ketika menjelang perang

Jawa yang dipimpin oleh cucunya yaitu Pangeran Diponegoro.

Ia menjadi simbolik di suatu daerah yang menjadikan keadaan

sosial berubah. Ia memiliki peran besar, tetapi dari kita masih

kurang memedulikan riwayat dan perjalanan yang dilalui Ratu

Ageng Tegalrejo. Maka dari itu, kajian ini membutuhkan uluran

tangan yang cukup banyak untuk menggali informasi sebanyak

mungkin.

Sebagai pendekatan sejarah, metode yang digunakan

dapat dipahami sebagai suatu sistem dari cara-cara yang benar

untuk mencapai kebenaran sejarah. Salah satu definisi mengenai

17
metode atau penelitian sejarah adalah sebagai berikut:

Suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip

dan aturan aturan yang dimaksudkan secara efektif dapat

membantu dalam pengumpulan sumber-sumber dari beberapa

data sejarah yang ada, ketika menilai atau menguji sumber-

sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu hasil “sintetis”

(pada umumnya dalam bentuk tertulis) dari hasil-hasil yang

dicapai (Garraghan, 1957: 33 dalam Wasino dan Hartatik).[14]

Proses pengujian dan analisis dilakukan secara

kritis pada rekaman, pengumpulan dokumen-dokumen dan

peninggalan masa lampau yang autentik dan yang dapat

dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas

fakta-fakta yang ada. Menjadi suatu kisah sejarah yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Langkah–langkah yang dilakukan dalam penyusunan

kajian sejarah antara lain sebagai berikut[15]:

[14] Wasino dan Endah Sri Hartatik, Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset Hingga
Penulisan (Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2018).
[15] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).

18
1. Heuristik

Heuristik sebagai tahap awal bagi seorang peneliti

untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah dari berbagai

sumber. Heuristik yaitu suatu langkah keterampilan dalam

mencari, menemukan, dan menangani sumber-sumber yang

berkaitan dengan topik penelitian. Sumber yang digunakan

dalam penelitian yaitu sumber tertulis, tidak tertulis dan ragawi.

Sumber tertulis yang digunakan yaitu sumber primer maupun

sekunder. Sumber primer berupa arsip-arsip yang berkaitan

dengan jejak peninggalan Ratu Ageng Tegalrejo berupa

dokumen keluarga, arsip keraton yang berkaitan dengan sejarah

Ratu Ageng Tegalrejo dan juga buku-buku terkait dengan masa


itu. Peneliti mengumpulkan data yang diperoleh dari rumah

peninggalan (museum) Ratu Ageng Tegalrejo, perpustakaan

keraton, perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dinas

Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini dalam pengumpulan sumber tidak tertulis

dilakukan dengan melakukan FGD dan wawancara. FGD (focus

group discussion) akan dilakukan dengan dinas terkait, aparat

19
desa dan tokoh sekitar. Sedangkan wawancara dilakukan

dengan model wawancara mendalam (depth interview). Peneliti

terlebih dahulu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang

akan ditanyakan. Peneliti melakukan wawancara terhadap

beberapa keluarga atau trah yang masih memiliki keturunan

Ratu Ageng Tegalrejo dan wawancara dengan masyarakat di

Tegalrejo. Selanjutnya peneliti juga akan wawancara terhadap

beberapa akademisi yang mengetahui sejarah sepak terjang

Ratu Ageng Tegalrejo. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat

menemukan data dan informasi-informasi untuk memperjelas

analisis penelitian.

2. Verifikasi

Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahap

selanjutnya setelah data dan sumber telah terkumpul.

Penggunaan sumber-sumber sejarah, haruslah mengevaluasi

atau lebih jelasnya melakukan kritik terhadap sumber-sumber

yang digunakan. Kritik sumber maksudnya adalah proses

pengujian suatu sumber, apakah sumber yang ditemukan

asli atau palsu dan apakah isinya dapat dipercaya atau tidak.

Dalam tahapan ini, kritik sumber dilakukan untuk mengetahui

20
kebenaran dan keabsahan sumber sejarah yang teruji melalui

kritik intern dan ekstern.

Maksud dari kritik intern ini berhubungan dengan

kredibilitas dan reliabilitas isi dari suatu sumber sejarah.

Kritik intern, didalamnya sebagai suatu hal yang dilakukan

maksudnya adalah menyelidiki isi dari sumber sejarah. Kritik

tersebut memiliki tujuan untuk menguji kebenaran isi, fakta

dan cerita dari suatu sumber sejarah sehingga dapat dipercaya

dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik intern

yang berhubungan dengan isi sumber dapat dilakukan dengan

cara memeriksa keaslian sumber tersebut dari pengarangnya

asli atau turunan karya orang lain, dari tahap ini akan didapat

validitas data. Kritik intern dalam penelitian dibutuhkan

tindakan dengan cara membandingkan antara sumber yang satu

dengan sumber yang lain. Sumber yang dirujuk harus sesuai

dengan yang ada serta banyak dipengaruhi oleh subjektivitas

pengarang, dan sumber tersebut apakah sesuai dengan tema

penelitian atau tidak.

21
Kritik ekstern merupakan bentuk kritik terhadap

keaslian sumber (otentisitas) yang berkenaan dengan segi-

segi fisik dari sumber yang didapatkan, sebagaimana yang

dibutuhkan seperti: bahan (kertas atau tinta) yang digunakan,

jenis tulisan, gaya bahasa, huruf, dan segi penampilan yang

lainnya. Nantinya didalamnya terkait pertanyaan kapan, di

mana, siapa, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber

itu dibuat sebagai uji otentisitas minimal. Selanjutnya sebelum

semua kesaksian dikumpulkan oleh ahli sejarah hal tersebut

dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, sehingga

terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang ketat.

Kritik ekstern dilakukan dengan cara melakukan

pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah.

Kritik ekstern juga dapat digunakan untuk memeriksa sumber

sejarah dan menjaga keaslian serta keutuhan sumber tersebut.

Sehingga dalam kritik ekstern dilakukan pengujian sumber

dari aspek luar seperti pengarang dan asal sumber. Penelitian

ini membutuhkan dilakukan kritik ekstern dengan menyeleksi

bentuk sumber data tertulis berupa buku dan literatur untuk

menghasilkan penelitian yang baik. Selanjutnya aspek fisik

22
kedua sumber tersebut dapat dilihat dari pengarang, tahun,

tempat penerbitan sumber, gaya bahasa dan ejaan yang

digunakan.

Peneliti membandingkan sumber yang didapat, baik

sumber tertulis maupun sumber tidak tertulis. Misalnya,

membandingkan sumber yang diperoleh dari tulisan Peter

Carey dan beberapa artikel yang membahas tentang Ratu Ageng

Tegalrejo.

3. Interpretasi

Interpretasi sejarah di sini merupakan tahapan

penelitian yang paling penting dalam metode penelitian sejarah

karena disinilah dipertaruhkan kemampuan peneliti sejarah.

Interpretasi itu sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu analisis

yang berarti menguraikan dan sintesis yang berarti menyatukan.

Dalam hal ini, peneliti melihat dan menafsirkan dengan

menggunakan pendekatan antropologi guna mengungkapkan

status, nilai-nilai dan gaya hidup, serta sistem kepercayaan dan

pola hidup yang mendasari perilaku tokoh sejarah itu sendiri.

Interpretasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan

23
menafsirkan sumber dan data yang didapatkan oleh peneliti,

baik yang berupa sumber primer maupun sekunder.

4. Historiografi

Historiografi adalah tahap akhir dalam penelitian

sejarah. Historiografi itu sendiri merupakan cara penulisan,

pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang

telah dilakukan peneliti. Penulisan sejarah hendaknya dapat

memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian

sejak dari perencanaan hingga penarikan kesimpulan. Selain

itu, alur pemaparan data harus disajikan secara kronologis.

Peneliti berusaha menyajikan secara sistematis dan kronologis

yang tertuang dalam beberapa bab yang saling berkaitan dan

saling melengkapi dari awal hingga akhir sehingga penjelasan

dalam penelitian ini dapat dipahami.

24
BAB II
KONDISI YOGYAKARTA
DAN TEGALREJO
PADA MASA RATU
AGENG TEGALREJO

Beberapa sumber telah


dijelaskan lebih detail
tentang kondisi Yogyakarta
pada masa Ratu Ageng
Tegalrejo. Bagian tulisan ini
memaparkan tentang kondisi
geopolitik, dan kondisi
sosial budaya di sebelum
dan setelah berdirinya
Kasultanan Yogyakarta.

25
A. Kondisi Geopolitik

Pada saat kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan


Agung Hanyokrokusumo, wilayah kekuasaannya meliputi

sebagian besar Jawa Barat (kecuali Banten), Jawa Tengah dan

sebagian Jawa Timur termasuk Surabaya dan Madura (kecuali

Banyuwangi).

Gambar.1 Peta wilayah Mataram masa Sultan Agung (sumber:

https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/sultan-agung)

Menjelang pertengahan abad 18 atau menjelang akhir

dari kerajaan Mataram Islam di Surakarta, terjadi pergolakan

politik yang keras dengan serangkaian pemberontakan


dan perselisihan antar pihak dalam keraton yang berujung

26
pada palihan negeri, Perjanjian Giyanti. Perseteruan yang

tujuan utamanya adalah kekuasaan Mataram ini melibatkan

Pakubuwono II, Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.

Disamping itu pihak luar yang terlibat adalah pemerintahan

kolonial Belanda yang saat itu diduduki oleh gubernur jenderal

G. W. Van Imhoff (1743-1750). Pihak kolonial berusaha

ikut campur dalam penentuan Raja Mataram dan berusaha

mengambil untung dari penguasaan wilayah pesisir jawa.[16]

Pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Mas Said,

cucu Amangkurat IV, terhadap kolonial Belanda dan penguasa

Mataram di Surakarta saat itu, tidak hanya melibatkan pengikut

setia pangeran, tetapi juga pendukung dari wilayah lain, yang

setuju dengan penolakan kepemimpinan Mataram yang bobrok

dan bekerjasama dengan kolonial. Kemudian hari Pangeran

Mangkubumi bergabung dalam pemberontakan tersebut dan

mendapat dukungan dari wilayah Banyumas (Yudonegoro),

Madiun (Wirosentiko) dan Sukowati (Derpoyudo). Dari

keluarga terakhir inilah Pangeran Mangkubumi kemudian

mengenal calon istrinya Juwati.


[16] Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, 37–40.

27
Raden Mas Said meskipun sempat menjadi menantu dari

Pangeran Mangkubumi, pembagian kekuasaan tetap terjadi

dengan wilayah yang tegas antara Surakarta dan Yogyakarta.

Wilayah mancanegara untuk Mangkubumi tanah sebesar

33.950 cacah, sedangkan Pakubuwono III tanah sejumlah

32.350 cacah. Sedangkan wilayah pusat seluas 53100 cacah

meliputi Kedu, Mataram, Bagelen, Pajang, Sukowati dan lainnya

mempunyai irisan masing-masing.[17]

Gambar.2 Peta Mataram setelah Perjanjian Giyanti (sumber:


https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti)

[17] Ibid., 71.

28
Yogyakarta kemudian tumbuh menjadi wilayah yang maju

dibawah Sultan Mangkubumi. Mengikuti konsep kuasa dalam


pandangan Jawa, Yogyakarta menjadi kota urban yang mempunyai

karakter fisik yang unik. Pertumbuhan wilayah kota yogyakarta

mengikuti lingkaran hirarkis dengan pusat negara, negaraagung

dan mancanegara. Selain itu juga mengikuti garis imajiner dari

utara ke selatan dengan Gunung Merapi menjadi titik paling utara

dan pantai Parangtritis menjadi titik paling selatan. [18]

Ketika Ratu Ageng meninggalkan istana dan menetap

di Tegalrejo, pusat kuasa Jawa tetap berada di keraton dibawah

Sultan HB II. Namun Tegalrejo secara berlahan berkembang

menjadi pusat gerakan kelompok santri. Dalam hal ini, lima masjid

pathok negoro awalnya lebih bersifat batas wilayah yaitu Mlangi,

Plosokuning, Babadan, Dongkelan dan Wonokromo. Kemudian

dengan munculnya Tegalrejo, jaringan santri dari lima masjid ini

mulai terhubung dengan Tegalrejo ketika Ratu Ageng membuka

ruang belajar agama Islam beraliran Syatariyah.[19] Bahkan Ratu

[18] Ofita Purwani, ‘Javanese power : silent ideology and built environment of Yogyakarta and
Surakarta’, Disertasi (Edinburgh: The University of Edinburgh, 2014), pp. 115–25
[19] Oman Fathurahman, Shattariyah Silsilah in Aceh, Java, and the Lanao Area of Mindanao (To-
kyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign
Studies, 2016)

29
Ageng saat itu mulai membangun sebuah masjid untuk menampung

bertambahnya para santri dari beberapa daerah untuk ikut belajar.

Gambar 3. Peta Tegalrejo Tahun 1830


(Sumber: Carey, Kuasa Ramalan, 3:98)

30
Tegalrejo menjadi salah satu daerah penting dalam jaringan

kelompok santri di Jawa bagian selatan teruji saat Perang Jawa


banyak kelompok santri dari Kauman, santri daerah perdikan,

pesantren wilayah Mataram, Delanggu, Kedu, Bagelen, Pajang dan

Madiun bergabung dalam pasukan Diponegoro.[20]

B. Kondisi Sosial Budaya

Pada saat pengembangan wilayah Yogyakarta,

disepakati bahwa Keraton Yogyakarta akan tetap menjadi

penjaga, pewaris dan pelestari budaya dan tradisi Mataram

lama, sedangkan Surakarta akan membangun tradisi baru

tetapi tetap berlandaskan budaya lama.[21] Peristiwa ini ditandai

dengan pemberian hadiah oleh Pakubuwono III kepada Sultan

Hamengkubuwono I yang berupa keris Kiai Kopek, warisan

dari Sunan Kalijaga.

Konsep Raja di Keraton Yogyakarta pada prinsipnya

terefleksi pada gelar yang digunakan yaitu Sampeyan Dalem

Ingkang Sinuhun Sultan Hamengkubuwono Senopati ing


[20] Peter B. Carey, ‘Satria and santri; Some notes on the relationship between Dipanagara’s kraton
and religious supporters during the Java War (1825–30)’, in Dari babad dan hikayat sampai sejarah
kritis; Kumpulan karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, ed. by Teuku
Ibrahim Alfian et al. (Yogyakarta: UGM Press, 1987), pp. 271–318
[21] Baha` Uddin and Dwi Ratna Nurhajarini, “MANGKUBUMI SANG ARSITEK KOTA
YOGYAKARTA,” Patrawidya 19, no. 1 (2018): 78.

31
Ngalaga, Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Gelar ini merupakan representasi filosofis kerangka konseptual

secara utuh dari seorang Raja, kerajaan, dan kekuasaannya

dalam pandangan Islam Jawa. Konsep ini merupakan simbol

dan kekuasaan Raja yang mempunyai fungsi untuk melayani

dunia.[22]

Perkembangannya Yogyakarta saat itu terus bertumbuh

menjadi wilayah yang terbuka bagi kelompok bangsa mana

pun, baik nusantara atau luar negeri. Setidaknya keadaan

ini tercermin dari munculnya permukiman khusus seperti

Pecinan, Sayidan, Lodji dan Kota Baru.[23] Kebutuhan pangan

pun mendapat dukungan dari wilayah Kedu, Kebumen dan

Banyumas yang kaya hasil pertaniannya. Selain itu juga muncul

aktivitas lain seperti penarik pajak, kuli sikep dan lainnya.[24]

[22] Ibid., 88.


[23] Darmasugito, 200 Tahun Kota Yogyakarta ( 7-10-1756 – 7-10-1956) (Yogyakarta: Panitya
Peringatan Kota Yogyakarta 200 th Sub Panitya Penerbitan, 1956), 7.
[24] P. B. R Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-
1855, vol. 3 (Jakarta: KPG, 2011), 20–25.

32
BAB III
KEHIDUPAN RATU
AGENG TEGALREJO

Kehidupan Ratu Ageng Tegalrejo


dalam penelitian ini dijabarkan
dalam beberapa periode untuk
memudahkan Pengumpulan
data. Beberapa diantaranya
yaitu: periode awal (1724-
1755) tentang latar belakang
keluarga serta pendidikan,
periode menjadi Permaisuri
Sultan Hamengkubuwana I
(1755-1793), kemudian periode
di Tegalrejo (1973-1803)
menjelaskan tentang masa hidup
Ratu Ageng Tegalrejo setelah
meninggalkan Keraton Yogyakarta
hingga ia meninggal dunia.
33
A. Periode Awal (1734-1755)

Periode awal ini menjelaskan silsilah keluarga Ratu


Ageng Tegalrejo dari keturunan ulama terkemuka pada

masanya, sehingga ia mewarisi kepribadian yang tangguh dan

kuat sebagai sosok pemimpin. Kemudian dijelaskan tentang

pendidikan agama yang didapatkan semasa kecil.

1. Latar Belakang Keluarga

Ratu Ageng Tegalrejo mempunyai nama kecil yaitu

Mas Rara Juwati lahir sekitar tahun 1734 di Madjan atau kini

dikenal dengan Majangjati, Sragen. Kedua orang tuanya adalah

Kiai Ageng Derpoyudo dan Nyai Ageng Derpoyudo. Kiai Ageng

Derpoyudo berasal dari keluarga Kiai asal Majangjati, Sragen.


Beliau terlahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara, dari

ayah bernama Kiai Wiroyudo dan salah satu putri Kraeng Naba

asal Makassar. Sedangkan Nyai Ageng Derpoyudo mempunyai

garis keturunan sampai ke Sultan Bima, di Sumbawa. Ayahnya

adalah Kiai Ageng Datuk Sulaiman adalah putra dari salah satu

Sultan Bima (perhatikan gambar 4).

34
Gambar 4. Silsilah Ratu Ageng Tegalrejo. (Sumber : Peter Carey, The Power
of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-
1855. (Leiden; Boston: Brill, 2008), 765; Serat Salasilah Para Leloehoer Ing
Kadanoerejan, tanpa tahun, 125–27.)

Namun dalam beberapa tulisan tentang asal usul Ratu

Ageng mengenai garis keturunan dari Bima terdapat perbedaan.


Misal dalam tabel silsilah Pangeran Diponegoro yang terdapat

di buku Kuasa Ramalan[25] tertulis Kiai Ageng Datuk Sulaiman

bin Abdul Kahir (1601) atau Kiai Sulaiman Bekel Jamus putra

Sultan Bima Abdul Kahir 1 (1583-1640) yang bertahta 1621-

1640. Datuk Sulaiman ini merupakan salah satu anak Sultan

Bima yang tidak menjadi Raja penerus.

[25] Carey, Kuasa Ramalan, 3:913.

35
Sedangkan di sumber lain[26] menuliskan bahwa Ratu

Ageng merupakan keluarga Sultan Bima generasi ketiga atau

pada masa Sultan Nuruddin. Hal ini memungkinkan bahwa buyut

Diponegoro (Kiai Ageng Datuk Sulaiman) merupakan anak dari

Sultan Abil Sirajudin dengan istrinya yang berasal dari keluarga

keraton Madura saat itu. Mengingat bahwa saat itu ada koalisi

antara Kasultanan Bima dengan pasukan Trunojoyo dan Sultan

Ageng Tirtayasa dalam menghadapi Belanda. Dari sumber ini

juga menjelaskan bahwa Sultan Nuruddin ketika di Jawa, selain

ikut aliansi melawan Belanda juga belajar pengetahuan agama

dari anak cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di

Cirebon. Dari garis keturunan Bima ini Ratu Ageng sepertinya


mewarisi karakter ketegasan dan keberanian baik dalam

bersikap maupun bertindak berdasarkan keyakinannya. Juga

sikapnya di dalam keseharian maupun sikap terhadap Belanda.

Sedangkan dari garis keturunan lainnya Ratu Ageng

mewarisi kultur santri yang kuat karena ayahnya berasal dari

keluarga Kiai terkemuka di Sragen. Dalam sebuah catatan[27]

[26] M. Hilir Ismail, Peran Kasultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara,
Cet. 1 (Mataram: Lengge bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan
The Ford Foundation, 2004), 99.
[27] Carey, Kuasa Ramalan, 3:89. Footnote no 26.
36
menceritakan bahwa makam Kiai Derpoyudo di dukuh Madjan

Kecamatan Kerjo, Karanganyar, Sragen merupakan tempat

ziarah bagi utusan keraton Yogyakarta dan juga pelindung para

penjudi.

Bahkan saudara kandung perempuannya menikah

dengan penghulu kota Pekih Ibrahim atau Dipaningrat

yang merupakan keluarga santri Haji Ibrahim Yogyakarta.

Hal ini pula yang kemudian hari mendekatkan Pangeran

Diponegoro dengan jaringan pejabat agama di kota Kasultanan

Yogyakarta[28]. Kakak lelaki pertamanya yaitu Kiai Rangga

Wirasantika yang kemudian menjadi rangga di Jipang lalu

bupati di Madiun. Adiknya yang lain adalah Kiai Singamenggala

dan Raden Djayasentana.[29]

Pada satu sisi, perkawinan antara keluarga Kiai

yang notabene adalah petani dengan keluarga keraton

akan membawa nilai-nilai dunia petani Jawa tumbuh dan

berpengaruh dalam mempertahankan jaringan penting antara

keraton dan pedesaan. Hal ini tercermin ketika peristiwa geger


[28] Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order
in Java, 1785-1855., 76.
[29] Serat Salasilah Para Leloehoer Ing Kadanoerejan, tanpa tahun, 125–27.

37
Sepoy 1812 beberapa Pangeran melarikan diri dari keraton

ke desa-desa seperti Imogiri karena memang ada kerabat di

sana.[30]

2. Latar Belakang Pendidikan Agama

Rara Juwita berasal dari keluarga santri sehingga

mendapat pendidikan agama yang kuat. Pembelajaran

mengenai Islam saat itu melalui sastra lama (suluk) yang ditulis

ulang dengan pengantar yang lebih tegas akan nilai spiritualnya

pada masa Pakubuwono II. Di mana salah satu tokohnya adalah

Ratu Pakubuwono II. Kewajiban salat jumat, dilarangnya judi

dan madat. Meskipun di istana masih ada anggur dan bir.[31]

Pada periode itu, sebelum perang Diponegoro, memang

berkembang luas ajaran Islam yang beraliran tarekat, khususnya

Syattariyah. Bahkan sastra yang berkembang terasa nilai-nilai

Syattariyah yang ditulis oleh pujangga keraton Surakarta seperti

R. Ng. Ronggosasmita.[32] Maka tidak heran jika kemudian Ratu

Ageng pun mengikuti aliran tersebut.


[30] Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII Dan XIX, 61.
[31] M. C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (Bandung: Serambi Ilmu Semesta, 2013), 34.
[32] Nancy K. Florida, “Shattāriyya Sufi Scents: The Literary World of the Surakarta Palace in
Nineteenth-Century Java,” in Buddhist and Islamic Orders in Southern Asia : Comparative
Perspectives, ed. R. Michael Feener and Anne M. Blackburn (Hawai: University of Hawai’i Press,
2018).

38
B. Periode Menjadi Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I
(1755-1793)
Ratu Ageng diakui sebagai perempuan yang tangguh

selama menjadi pendamping Sultan Hamengkubuwono I. Ia

menjadi teman seperjuangan Sultan sepanjang terjadinya

kemelut Perang Giyanti 1746 – 1755 melawan Belanda. Bahkan

ia melahirkan putra yang kemudian hari menjadi Sultan

kedua, ketika pasukan suaminya berkemah di Gunung Sindoro

daerah Kedu. Pada periode ini diyakini bahwa Ratu Ageng

mendapatkan pengalaman dalam mengatur strategi perang

dan kepemimpinan.

Hasil wawancara[33] dengan Prof. Peter Carey dijelaskan

bahwa Ratu Ageng sebelum menjadi Permaisuri Sultan

Hamengkubuwono I, ia menjadi komandan pertama Prajurit

Estri yang tangkas dan pemberani. Sehingga Pangeran

Mangkubumi tertarik padanya.

Bahkan setelah berdirinya Kasultanan Yogyakarta,

setelah mendirikan keraton sementara di Gamping 1749, Ratu

[33] Peter Carey, wawancara, google meet, September 17, 2021.

39
Ageng pernah menjadi komandan pertama prajurit estri[34].

Pengawal khusus perempuan Langenkusuma ini juga membuat

terkesan Marsekal Herman Willem Daendels ketika datang

di Yogyakarta tahun 1809. Ia menyaksikan dan mengagumi

ketangkasan pasukan perempuan penunggang kuda sambil

membawa senapan di alun-alun selatan.

Pasukan Langenkusuma atau Amazon Corps merupakan

salah satu fungsionaris keraton yang mendapat fasilitas yang

sama dengan keluarga kerajaan dan pejabat VOC seperti;

pesanggrahan dalem, pemakaman, gedung, interior dan

furniture. Perawatannya dan pengerjaannya digarap oleh abdi

dalem yang mendapat anggaran sebesar 679 real.

Masing–masing bendara pasukan akan mendapatkan 32

real.[35] Yang menarik dari pasukan ini adalah pada awal Perang

Jawa ditemukan beberapa jenazah pasukan mantan prajurit

[34] Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII


Dan XIX, 21.
[35] Peter Carey and Mason C. Hoadley, eds., The Archive of Yogyakarta Vol
2: Documents Relating to Economic and Agrarian Affairs (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 136.

40
estri yang tergabung dalam pasukan Diponegoro masih dengan

pakaian lengkap prajuritan.[36]

Gambar 5. Sketsa Khayali tentang Korps Srikandi atau Langenkusuma


(Sumber: Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad
Ke-XVIII Dan XIX, 21.)

Nama prajurit Langenkusuma dijelaskan bahwa kata

Langenkusuma berasal dari kata “langen” artinya seneng, endah

atau kasenengan, kaendahan. Sedangkan ”kusuma” maknanya

kembang, (putri) endah banget, atau trah luhur. Sayangnya

kesatuan prajurit Langenkusuma terpaksa dibubarkan di era

Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII


[36]
Dan XIX, 23.

41
Sultan Hamengkubuwono V akibat makin kuatnya pengaruh

dari Belanda.[37] Dalam Serat Rerenggan Kraton, Pupuh XXII,

Sinom, tertulis bahwa: :

Sanggrahan Madya Ketawang

lamun miyos sri bupati

pratameng langenkusuma

lir priya satuhu

samya munggeng turangga,

myang yen gladhi neng pRaja di

angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.

Artinya :

Pesanggrahan Madyaketawang

Dan datanglah sri bupati (sri Sultan) untuk

menyaksikan

pemimpin pasukan langenkusuma

mirip penampilan prajurit laki-laki

dilihat dari jauh

tampak seperti prajurit sungguhan

semua naik kuda


[37]Ilmiawati Safitri et al., Sejarah Lokal di Yogyakarta Edisi 1: Kasultanan
Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY, 2020), 120.

42
menuju tempat latihan di ibukota

yaitu di Alun-alun Pungkuran (Alun-alun Selatan)[38]

Selain itu Ratu Ageng juga dikenal sebagai orang yang

saleh penganut tarekat Syattariyah dan memerintahkan penulisan

beberapa serat. Statusnya sebagai pengikut tarekat Syattariyah

terbukti dari pertalian silsilah langsung pada mursyid tarekat di

Jawa bernama Shaykh ‘Abd al-Muhyi 1640-1715, di Pemijahan,

provinsi Jawa Barat.

Ratu Ageng jika dalam genealogi tarekat Syattariyah

dikenal sebagai Kanjeng Ratu Kadospaten atau Kadipaten

melalui empat jalur. Jalur pertama adalah dari Kiai Mufid dari

Karang Bolong, yang belajar pada Kiai Mas Muhammad Yusuf,

yang belajar dari Syekh Haji Abdullah, yang belajar pada Shaikh

‘Abd al-Muhyi pada waktu itu. Jalur kedua terhubung mulai dari

ulama Karang Saparwadi, lalu pada Muḥammad Shākir, yang

belajar pada Kiai Mas Bagus Muhammad Muhyi al-Din, yang

belajar pada Shaikh Bojong, dan yang belajar pada Syaikh ‘Abd

al-Muhyi. Jalur ketiga adalah dari ulama Karang Saparwadi,

[38]Yuwono Sri Suwito, Zulkifli Akbar, and Pandu Dewanata, Prajurit Kraton
Yogyakarta: filosofi dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya (Yogyakarta:
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009), 9.

43
lalu pada Kiai Mas Nida Muḥammad, yang belajar pada Shaikh

Haji Abdullah, dan yang belajar Shaikh ‘Abd al-Muhyi. Jalur

terakhir adalah melalui Kiai Nur Daim Muḥammad dari Karang

(Saparwadi), yang belajar dari Kiai Mas Bagus Muhammad

Muhyi al-Din, yang belajar dari Kiai Mas Bagus Dalem Bojong,

dan yang belajar dari Syekh ‘Abd al-Muhyi.[39]

Ia juga konsisten mempraktikkan adat istiadat Jawa

di Keraton. Kebiasaan ini kemudian diteruskan pada generasi

berikutnya dan disaksikan oleh seorang pejabat VOC Nicolaus

Engelhard (1761– 1831) sebagai seorang priyayi yang dalam

hal mematuhi adat-istiadat atau kebudayaan Jawa. [40]

C. Periode Di Tegalrejo (1793-1803)

Periode ini dimulai ketika Ratu Ageng meninggalkan

istana pasca mangkatnya Sultan Hamengkubuwono I pada

tahun 1792 dan ketika suasana keraton sudah tidak kondusif

yang dipicu dengan ketidak-cocokan Ratu Ageng dengan gaya

hidup putranya, Sultan Hamengkubuwono II yang mengabaikan


[39] Oman Fathurahman, Shattariyah Silsilah in Aceh, Java, and the Lanao Area of
Mindanao (Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and
Africa Tokyo University of Foreign Studies, 2016), 49–51.
[40] Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order
in Java, 1785-1855., 78.
44
tanggung jawabnya sebagai penganut ajaran islam. Perginya

Ratu Ageng akibat berselisih dengan para putera-puteranya

dan menetap di sana diungkapkan dalam babad Diponegoro

tepatnya tembang sinom berikut :

XIV 49 Kangjeng Ratu Geng winarna

Pan sering Seloyonèki

lan kang putra pribadi

dadya mutung adudhukuh

babad kang ara-ara

mapan lajeng dèndalemi

tebihira saking nagri ing Ngayogya.

Artinya :

XIV. 49 Sekarang kami bercerita tentang

Ratu Ageng

betapa sering ia berselisih

dengan putra-putranya.

Maka ia minggat dan membuka

lahan baru:

tanah-tanah telantar digarapnya,

[dan] lantas tinggal menetap di

45
sana.

Jauh dari Kota Yogya.[41]

Bahkan disaat jelang wafat anaknya, Ratu Ageng tetap

menasehati dengan tegas untuk tidak sombong dan angkuh,

karena saat dekat dengan kematian ia tidaklah seorang hamba.

Dengan kata lain menunjukkan bahwa Ratu Ageng merupakan

seorang perempuan yang tegas dan kukuh walaupun

berhadapan dengan keluarganya sendiri [42].

Pada awalnya Ratu Ageng, saat itu hampir menginjak 60

tahun, bersama Pangeran Diponegoro tinggal di suatu pondok

(pacangkraman) bernama Tegal Bener sebelum sawah-sawah

dibuka dan perumahan (ndalem) Tegalrejo dibangun. Jarak

yang ditempuh dari keraton dengan berjalan kaki memakan

satu jam. Seorang Belanda yang datang ke Tegalrejo pada 1840-

an, Pastor J .F.G. Brumund, mengatakan bahwa perlu “setengah

jam” dengan kereta menuju tempat itu [43].

[41] BD (Manado) II:116, XIV (Sinom) 49–50. Peter Carey, Kuasa Ramalan. Pangeran Diponegoro
dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.Jilid 1 Jakarta (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011),
94.
[42] Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII Dan
XIX, 71.
[43] Carey, Kuasa Ramalan, 3:94.

46
Tegalrejo merupakan perluasan sawah dari wilayah

Negaragung. Lahan ini juga merupakan warisan dari ibunya

yaitu Nyai Ageng Derpoyudo, di mana letaknya berjarak tiga

kilometer arah barat laut keraton, [44] (Perhatikan Gambar 6).

Gambar 6. Peta Tegalrejo Tahun 1830 (Sumber: Carey, Kuasa Ramalan, 3:98)

[44] Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII Dan XIX, 67.

47
Gambar 7. Tegalrejo (I) dan Keraton (II), tahun 1925. (Sumber:
“Jogjakarta En Omstreken,” Topografi (Yogyakarta, 1925), https://
ubl.webattach.nl/cgi bin/iipview?krtid=9706&name=03868.

Di Tegalrejo Ratu Ageng memang dikenal atau

mempunyai gambaran diri sebagai perempuan yang keras,

bahkan dalam catatan otobiografi Diponegoro dianggap seperti

ibu tiri. Sebelum di Tegalrejo, Ratu Ageng sebenarnya sudah

mengasuh Pangeran Diponegoro saat di keputren saat menjadi

Ratu kadipaten pada tahun 1785-1793. Meski demikian

Diponegoro tetap mencatat bahwa Ratu Ageng mempunyai

kehidupan bersahaja yang senang berada di tengah masyarakat

48
tani sekitar Tegalrejo dan banyak santri yang tertarik datang ke

sana.[45] Selepas Ratu Ageng wafat, Diponegoro pun mengambil

alih pengelolaan Tegalrejo dan semakin memperdalam

pengetahuan agamanya.[46]

Dari catatan Diponegoro juga kita tahu bahwa Ratu

Ageng mempunyai kemampuan berdagang dan pengelolaan

pertanian yang baik di Tegalrejo terutama beras. Melalui

jaringan juragan-dalem (abdi dalem saudagar), pemasarannya

sampai ke Semarang dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Karena

di sana ia masih memiliki banyak kerabat dan juga terlibat

dalam perdagangan budak yang di kemudian hari dilarang oleh

Inggris tahun 1813.[47]

Berdasarkan Babad Diponegoro versi Surakarta di

mana sang Pangeran Diponegoro mengatakan bahwa “dalam

masa kanak-kanak saya, orang tua (Ratu Ageng) itu suka

membuat saya ketakutan ketika mereka memberi perintah”,

[45] Carey, Kuasa Ramalan, 3:91.


[46] M.C. Ricklefs, “Dipanegara’s Early Inspirational Experience,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 130, no. 2/3 (1974): 229.
[47]
Carey and Houben, ’Perempuan-Perempuan Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII
Dan XIX, 41.

49
suatu keterangan yang terasa dalam kisah otobiografinya.[48]

Hal tersebut ditemukan dalam dua larik syair, menggambarkan

kehidupan Ratu Ageng yang senang berada di tengah masyarakat

tani sekitar Tegalrejo. Sehingga banyaknya santri yang tertarik

datang ke Tegalrejo. Berikut kutipan naskah terkait :

XIV 50-1. Kangjeng Ratu winarni

pan tetanèn remenipun

sinambi lan ngibadah

kinarya namurpuniki


lampahira gèn brongta marang

Yang Sukma.

Artinya :

XIV. 50 Kami perikan Ratu [Ageng]:

[betapa] ia senang bertani

bersama dengan tugas rohani.

ia kerjakan tanpa pamrih

di jalan cintanya pada Hyang

Sukma

[48]
Carey 1981a:78–9, 271 catatan 145

50
51 […]

langkung kerta Tegalreja

mapan kathah tiyang prapti

samya angungsi tedhi

ingkang santri ngungsi ngèlmu

langkung ramé ibadah

punapa déné wong tani.

Artinya :

51 [...]

Tegalrejo jadi sangat sejahtera

karena banyak orang datang

semua mencari makan


[sedang] santri mencari ilmu.

Di sana banyak amal dan doa,

terlebih pada petaninya.[49]

Berdasarkan catatan pemerintah Keraton Yogyakarta

tercatat bahwa hasil bumi di Tegalrejo pada 1798–1799

[49] BD (Manado) II:116 XIV (Sinom) 50-51. Peter Carey, Kuasa Ramalan.
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.Jilid 1
Jakarta (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011)

51
berjumlah 74 amet (1 amet=240 kati=150 kilogram) beras,

yaitu sekitar 11.100 kilogram. Hasil panen tersebut sebagian

digunakan untuk acara kematian (adat), pernikahan kerajaan

dan sebagian untuk membantu petugas agama (abdi dalem

perdikan) terkait pembebasan pajak. Sisanya dijual ke

Martapura, Kalimantan Selatan dan persediaan lumbung

keraton.[50] Pajak yang dihasilkan dari pertanian di Tegalrejo

termasuk sumber keuangan yang cukup berarti bagi keraton.

Bersama sumbangan dari pejabat keraton dan kerabatnya, dana

tersebut terkumpul dalam acara khusus (bekti pasumbang).[51]

Pada September 1803, Ratu Ageng menderita demam

tinggi setelah tercebur ke dalam salah satu tambak di Tegalrejo,

saat itu usianya sekitar tujuh puluh tahun. Namun terdapat

dugaan insiden terjatuhnya Ratu Ageng terkait dengan

sebuah percobaan seseorang untuk mencelakakan beliau.

Maka disuruhlah Sumadiningrat untuk diteruskan kepada

Raden Adipati Danurejo II tentang pelaksanaan hukuman bagi

mereka yang terlibat dalam faktor pembunuhan Ratu Ageng

[50] Carey and Hoadley, The Archive of Yogyakarta Vol 2, 135–36.


[51] Ibid., 390.

52
Tegalrejo.[52] Kemudian hal ini dikaitkan dengan peristiwa

Gunung Merapi yang mulai meletus pada 22 September serta

serangkaian letusan kecil di Gunung Sumbing dan Gunung

Sindoro. Rangkaian letusan terakhir ini dimaknai khusus untuk

mengingat pengalaman Ratu Ageng melahirkan putranya Sultan

Hamengkubuwono II pada Maret 1750.

Ratu Ageng sempat dipindahkan ke kediaman putra

mahkota di keraton Yogyakarta dan membaik pada awal Oktober.

Namun kondisi kesehatannya menurun kembali sesudah itu.

Akhirnya pada jam tiga sore 17 Oktober 1803, setelah Ratu

Ageng membisikkan nasihat terakhir kepada putranya, Sultan

kedua, sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Kemudian

beliau menghembuskan napas terakhir.

Jenazah Ratu Ageng disemayamkan dengan upacara

kerajaan di kadipaten (kediaman putra mahkota) dan

dimakamkan pada sore hari berikutnya (18 Oktober 1803) di

pemakaman kerajaan Imogiri yang jauhnya empat jam jalan

kaki ke arah selatan Yogyakarta (lihat lampiran 1).

[52] Ibid., 77.

53
Gambar 8. Denah makam Raja-Raja yang ada di Imogiri, Yogyakarta (Sumber:

Paul Kijlstra, “Pemakaman Imogiri – Makam Sultan Kasultanan Mataram,”


accessed July 12, 2021) https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/

java-today/mataram-Kasultanan/imogiri-pemakaman-burial-complex-

sultan-jawa-tengah)

Iring-iringan pemakamannya diikuti oleh semua

anggota keluarga Sultan (termasuk Diponegoro yang masih

muda), kecuali Sultan hamengkubuwono II sendiri dan ayah

Diponegoro, putra mahkota, yang mendampingi keranda

54
neneknya hanya sampai tempat pertemuan di alun-alun selatan

yang berhadapan langsung dengan keraton Yogyakarta[53].

Dalam The Archive of Yogyakarta vol. 1, Peter Carey

menjelaskan bahwa terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan

setiba di Mekkah oleh jemaah haji antara lain mengadakan

upacara keagamaan (selamatan) untuk peringatan seribu

hari wafatnya Ratu Ageng (Tegalrejo). Upacara ini diadakan

di Padang Arafah, suatu tempat yang dianggap paling sesuai.

Ongkos upacara itu sebagian ditanggung oleh Ratu Kedaton

dan perempuan lain anggota keluarga Keraton Yogya.[54]

Terdapat dua karya yang tertulis atas perintah Ratu

Ageng Tegalrejo pada masa hidupnya. Meskipun karyanya

tercetak setelah ia wafat dan tercetak pada 1830. Berikut karya

yang dimiliki Ratu Ageng Tegalrejo :

1. Serat Menak Amir Hamzah

Manuskrip sastra Serat Menak Amir Hamzah

(perhatikan gambar 9 dan gambar 10) berasal dari khazanah


[53] Carey, Kuasa Ramalan, 3:97.
[54] Peter Carey, ed., The Archive of Yogyakarta. Vol. I: Documents Relating to
Politics and Internal Court Affairs (Oxford: Oxford University Press, 1980),
1980.

55
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang awalnya ditulis

(atas perintah) Ratu Ageng pada 1730-1803, bahwa di

sana menjelaskan tentang Permaisuri dari Sultan pertama

Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I, dan juga ibunda Sultan

Hamengkubuwono II (di mana manuskrip ini diambil Raffles

saat Geger Sepoy di zaman Sultan Hamengkubuwono II).

Gambar 9. Menak Amir Hamza, British Library, Add. 12309, ff. 335v-336r
(Sumber: Annabel Teh Gallop, “The Largest Javanese Manuscript in the
World? Menak Amir Hamza,” March 6, 2019, https://blogs.bl.uk/asian-and-
african/2019/03/the-largest-javanese-manuscript-in-the-world-menak-
amir-hamza.html )

56
Gambar 10. Menak Amir Hamza dengan 1520 halaman, British Library,
Add. 12309 Sumber: (Annabel Teh Gallop, “Menak Amir Hamza, the Javanese
Version of the Hamzanama,” September 28, 2018, https://blogs.bl.uk/asian-
and-african/2018/09/menak-amir-hamza-the-javanese-version-of-the-
hamzanama.html )

Diketahui dalam pembukaan Serat menak Amir Hamzah


di sana terdapat tulisan yaitu : “prabu wanodya / kang jumeneng
Ratu Agung / kang ngedhaton Tegalreja”. Artinya ‘ratu wanita
/ bertahta sebagai Ratu Agung / dan istananya di Tegalreja’.
Manuskrip ini tertulis sekitar tahun 1792 (dan sebelum 1812),
pada masa itu ketika pasukan Inggris menjarah saat geger

57
Sepoy, hingga sekarang arsipnya masih ada di British Library,
London.

Dimensi dalam naskahnya : 287 x 217 mm, terdiri


dari 1.520 halaman folio; menggunakan bahan kertas jawa
(dluwang). Karena ukuran naskahnya sangat besar, sehingga
terjadi kesalahan pada foliasi asli yang melompat dari 449
menjadi 500.[55]

2. Serat Ambiya
Serat Ambiya ini dimulai pada manuskrip dalam
bahasa Jawa dalam aksara Arab (pegon) menyebutkan bahwa
pemiliknya: Hādhā (Arab, ‘ini’) surat Ambiya kagungan-dalĕm
Kangjeng Ratu Agĕng (yaitu nenek buyut Dipanĕgara)  yang
ceritanya diakhiri dengan kisah dari Muhammad Hanafiah.  

Kemudian deskripsi fisik kitab tersebut memiliki


dimensi: 320 x 205 mm, terdiri dari 574 dengan halaman folio;
19 baris per halaman, dan menggunakan tinta hitam. Sampul
terbuat dari kulit asli Jawa berwarna cokelat, dengan bingkai

dan ornamen yang dicap.[56]

[55] “Add MS 12309,” Digitised Manuscripts British Library, accessed October 15,
2021, http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Add_MS_12309.
[56]“MSS Jav 78,” Serat Ambiya, Digitised Manuscripts British Library, accessed
October 15, 2021, http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=MSS_
Jav_78&index=6.
58
BAB IV
PERAN RATU AGENG
BAGI KEHIDUPAN
MASYARAKAT DI
YOGYAKARTA

Hasil penelusuran data tentang


peran Ratu Ageng terhadap
kehidupan masyarakat di
Tegalrejo, bahwa ia merupakan
tokoh perempuan Jawa yang
mempunyai peran penting
dalam sejarah kerajaan Mataram
Islam, khususnya pada periode
akhir tatanan (Jawa Lama)
dan sebelum terjadinya perang
Diponegoro 1825-1830.

59
A. Bidang Politik Militer

Peran awalnya tampak ketika terlibat dalam


pertempuran melawan kolonial Belanda/ VOC bersama

kelompok pemberontak Raden Mas Said dan Pangeran

Mangkubumi sebelum terjadi perjanjian Giyanti 1755. Pada

periode ini, Ratu Ageng mempunyai peran dalam hal strategis

kemiliteran. Selain menjadi bagian dari pasukan tempur, ia

juga menjadi pendamping Pangeran Mangkubumi sebagai istri.

Dalam situasi demikian, tentu ia dapat membantu berpikir dan

mendukung dalam pengambilan keputusan penting.

Namun dalam periode sebagai permaisuri, dikenal

sebagai Ratu Kadipaten, Sultan Hamengkubuwono I, peran

strategis praktis maupun politis sepertinya kurang tampak.

Dalam studi yang lengkap mengenai Yogyakarta pada masa

Sultan Mangkubumi oleh Ricklefs[57], hampir tidak muncul

kecuali di satu catatan kaki[58] yang menjelaskan bahwa istri

pertama Sultan Hamengkubuwono I yaitu Ratu Kentjana, ibu

dari Ratu Bendara, meninggal tahun 1777, sedangkan Ratu

Kadipaten, ibunya putra mahkota, masih hidup di tahun 1787.

[57] Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792.


[58] Ibid., 273.

60
B. Bidang Sosial Ekonomi

Seperti yang dijelaskan di bab sebelumnya (periode


Tegalrejo), secara ekonomi Ratu Ageng berhasil membangun

kemajuan ekonomi yang signifikan pada masyarakat di

Tegalrejo. Ia tidak hanya menjadi tokoh sentral dalam jejaring

ulama dan kelompok Islam saat itu, tetapi juga menjadi

pengelola lahan pertanian yang andal. Keberhasilan dalam

mencukupi kesejahteraan keluarga besar dan masyarakat

sekitar Tegalrejo telah membuat wilayah ini berkembang pesat.

Tempat ini menjadi daya tarik bagi santri-santri atau warga

yang ingin belajar agama sekaligus pertanian.

Kemampuan ekonomi yang baik ini secara tidak

langsung telah menjadi modal yang baik untuk memberikan

bantuan dan pelayanan kelompok – kelompok yang terkoneksi

dalam jaringan santri dan ulama saat itu.

C. Bidang Sosial Keagamaan

Ratu Ageng berperan cukup besar dalam bidang sosial

keagamaan diperkirakan ketika menjadi Permaisuri dengan

sebutan Ratu Kadipaten. Pada periode ini ia terekam dalam

61
silsilah tarekat Syattariyah yang berada di lingkungan keraton.

Ia menjadi simpul aliran ini di garis perempuan berikutnya

yaitu Kanjeng Raden Ayu Kilen yang merupakan istri dari Sultan

Hamengkubuwono II. Ratu Ageng jugalah yang kemudian hari

menanamkan prinsip ajaran ini kepada Pangeran Diponegoro

hingga dewasa.

Terkait bidang budaya Ratu Ageng Tegalrejo dalam

penelitian ini belum bisa dipaparkan dengan jelas. Peter

Carey[59] memaparkan dalam wawancara bahwa ia menjelaskan

belum ditemukan data-data yang terkait tentang budaya,

namun ada kemungkinan data tersebut dapat ditemukan dalam

manuskrip-manuskrip yang terkait dengan Ratu Ageng. Salah

satu manuskrip yang tersimpan adalah naskah kuno serat

Menak Amir Hamzah. Maka dari itu untuk lebih mendalaminya

dibutuhkan penelitian lebih lanjut, sehingga ditemukan data

yang relevan dan akurat.

Jika merujuk pada konsep (Orang Besar) atau Great

Man, Ratu Ageng sudah termasuk dalam kerangka tersebut,

[59] Peter Carey, wawancara, google meet, September 17, 2021.

62
meskipun bidang dan periodenya masih terbatas pada kurun

tertentu. Dalam periode tertentu, khususnya pada masa sebagai

permaisuri, posisinya kurang menonjol dalam hal politik atau

kekuasaan kerajaan. Tetapi ia lebih berperan di dalam bidang

etika, karena saat itu sudah menjadi salah satu pengikut tarekat

Syattariyah dengan namanya Ratu Kadipaten.

Di periode Tegalrejo, Ratu Ageng tidak hanya menjadi

tokoh besar yang dikenal dan berkontribusi secara ekonomi

saja tetapi mampu melakukan usaha perubahan sosial (social

change) di masyarakat khususnya di Tegalrejo, dan Yogyakarta

pada umumnya. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan di

Tegalrejo yang kemudian hari menjadi basis awal penguatan

gerakan Pangeran Diponegoro menjelang perang Jawa.

63
BAB V
KESIMPULAN

Ratu Ageng Tegalrejo sebagai


perempuan dengan kepribadian
yang tangguh, tegas dan disiplin
dalam segala tindakannya, pada
jam tiga sore 17 Oktober 1803
menghembuskan napas terakhir
dan jenazah dimakamkan di
pemakaman kerajaan Imogiri
pada 18 Oktober 1803

64
Akhirnya sampailah pada kesimpulan bahwa Ratu

Ageng Tegalrejo mempunyai nama kecil yaitu Mas Rara Juwati

lahir sekitar tahun 1734 di Madjan atau kini dikenal dengan

Majangjati, daerah Sragen. Kedua orang tuanya adalah Kiai

Ageng Derpoyudo dan Nyai Ageng Derpoyudo. Sedangkan

Nyai Ageng Derpoyudo mempunyai garis keturunan sampai

ke Sultan Bima, di Sumbawa. Ayahnya adalah Kiai Ageng Datuk

Sulaiman adalah putra dari salah satu Sultan Bima.

Ratu Ageng Tegalrejo sebagai perempuan dengan

kepribadian yang tangguh, tegas dan disiplin dalam segala

tindakannya. Serta memiliki wawasan yang luar dalam

kepemimpinan dan strategi militer yang baik. Beliau menjadi

teman seperjuangan Sultan Hamengkubuwono I sepanjang

terjadinya kemelut Perang Giyanti 1746–1755 melawan Belanda

serta mendapatkan pengalaman dalam mengatur strategi. Ratu

Ageng juga dikenal sebagai orang yang saleh penganut tarekat

Syattariyah dan menulis beberapa kitab. Disisi lain Ratu Ageng

ketika dalam genealogi tarekat Syattariyah dikenal sebagai

Kanjeng Ratu Kadospaten atau Kadipaten melalui empat jalur.

65
Ratu Ageng meninggalkan istana pasca mangkatnya

Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1792 dan ketika

suasana keraton sudah tidak kondusif yang dipicu dengan

ketidakcocokan Ratu Ageng dengan gaya hidup putranya,

Sultan Hamengkubuwono II yang mengabaikan tanggung

jawabnya sebagai penganut ajaran Islam yang baik. Bersama

Pangeran Diponegoro beliau menginjak usia 60 tahun tinggal di

suatu pondok (pacangkraman) bernama Tegal Bener sebelum

sawah-sawah dibuka dan perumahan (ndalem) Tegalrejo

didirikan. Ratu Ageng mempunyai kemampuan berdagang dan

pengelolaan pertanian yang baik di Tegalrejo terutama beras.

Bahwa, berdasarkan catatan pemerintah Keraton Yogyakarta


tercatat bahwa hasil bumi di Tegalrejo pada 1798–1799,

berjumlah 74 amet (1 amet=240 kati=150 kilogram) beras.

Sehingga pajak yang dihasilkan dari pertanian di Tegalrejo

termasuk sumber keuangan yang cukup berarti bagi keraton.

Pada September 1803, Ratu Ageng menderita demam

tinggi setelah tercebur ke dalam salah satu tambak di Tegalrejo.

Akhirnya pada jam tiga sore 17 Oktober 1803 menghembuskan

66
napas terakhir dan jenazah dimakamkan di pemakaman

kerajaan Imogiri pada 18 Oktober 1803.

Namun sayangnya, nama dari Ratu Ageng Tegalrejo ini

tidak terlalu populer dikenal masyarakat dan informasi tentang

dirinya masih sangat terbatas. Jejaknya di Tegalrejo, kini terdapat

museum, hampir tidak ada yang signifikan informasinya.

Bahkan di dalam museumnya tidak ada representasi atau

penanda kehadiran Ratu Ageng Tegalrejo. Oleh karena itu,

perlu usaha yang lebih dan tepat dalam mengenalkan sosok,

pemikiran dan kontribusinya dalam masyarakat.

67
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Primer

Carey, P. B. R. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir


Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Vol. 3. Jakarta: KPG,
2011.

_____. Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo Dan Historiograi


Perang Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.

———, ed. The Archive of Yogyakarta. Vol. I: Documents


Relating to Politics and Internal Court Affairs. 1 vols.
Oxford: Oxford University Press, 1980.

———. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End


of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden; Boston:
Brill, 2008.

Carey, Peter B., and Vincent Houben. ’Perempuan-Perempuan


Perkasa Di Jawa Abad Ke-XVIII Dan XIX. Jakarta:
Gramedia, 2019.

Carey, Peter, and Mason C. Hoadley, eds. The Archive of


Yogyakarta Vol 2: Documents Relating to Economic

68
and Agrarian Affairs. 2 vols. Oxford: Oxford University
Press, 2000.

Peter Carey. wawancara. Google meet, September 17, 2021.

Ricklefs, M. C. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-


1792: A History of the Division of Java. London; New
York: Oxford University Press, 1974.

Ricklefs, M. C. Mengislamkan Jawa. Bandung: Serambi Ilmu


Semesta, 2013.

_____. “Dipanegara’s Early Inspirational Experience.” Bijdragen


tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 130, no. 2/3 (1974):
227–58.

Serat Salasilah Para Leloehoer Ing Kadanoerejan, tanpa tahun.

Sumber Sekunder

Banner, Lois W. “Biography as History.” The American Historical


Review 114, no. 3 (2009): 579–86. https://www.jstor.
org/stable/30223919.

———. “Waiting for the ‘Just King’: The Agrarian World of


South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java War
(1825–30).” Modern Asian Studies 20, no. 1 (February

69
1986): 59–137. doi:10.1017/S0026749X00013603.

Carlyle, Thomas. On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic


in History. Edited by Joel J. Brattin and Mark Engel.
California: University of California Press, 1993.

Coser, Lewis A. “Social Conflict and the Theory of Social Change.”


The British Journal of Sociology 8, no. 3 (1957): 197–
207. doi:10.2307/586859.

Darmasugito. 200 Tahun Kota Yogyakarta ( 7-10-1756 – 7-10-


1956). Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Yogyakarta
200 th Sub Panitya Penerbitan, 1956.

Fathurahman, Oman. Shattariyah Silsilah in Aceh, Java, and the


Lanao Area of Mindanao. Tokyo: Research Institute
for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo
University of Foreign Studies, 2016.

Florida, Nancy K. “Shaṭṭāriyya Sufi Scents: The Literary World


of the Surakarta Palace in Nineteenth-Century Java.”
In Buddhist and Islamic Orders in Southern Asia :
Comparative Perspectives, edited by R. Michael Feener
and Anne M. Blackburn. Hawai: University of Hawai’i
Press, 2018.

Ismail, M. Hilir. Peran Kasultanan Bima Dalam Perjalanan


Sejarah Nusantara. Cet. 1. Mataram: Lengge

70
bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The
Ford Foundation, 2004.

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi


Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana,


1994.

McCallum, Pamela. “Misogyny, the Great Man, and Carlyle’s


‘The French Revolution’: The Epic as Pastiche.” Cultural
Critique, no. 14 (1989): 153–78. doi:10.2307/1354296.

Nastiti, Titi Surti. Perempuan Jawa : Kedudukan Dan Peranannya


Dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Bandung: Dunia
Pustaka Jaya, 2016.

Safitri, Ilmiawati, Adjie R. Primantoro;, Fajar Wijanarko, Siti


Mahmudah Nur Fauziah, and Sri Suryani. Sejarah
Lokal di Yogyakarta Edisi 1: Kasultanan Yogyakarta.
Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY, 2020.

Sri Suwito, Yuwono, Zulkifli Akbar, and Pandu Dewanata.


Prajurit Kraton Yogyakarta: filosofi dan nilai budaya
yang terkandung di dalamnya. Yogyakarta: Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009.

71
Uddin, Baha`, and Dwi Ratna Nurhajarini. “Mangkubumi Sang
Arsitek Kota Yogyakarta.” Patrawidya 19, no. 1 (2018).

Wasino, and Endah Sri Hartatik. Metode Penelitian Sejarah: Dari


Riset Hingga Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka
Utama, 2018.

Sumber Internet

Abubakar, Dahlan. “Pangeran Diponegoro: Buyut dari Bima,


Makam di Makassar.” Kahaba.net, April 9, 2020. https://
kahaba.net/opini/76131/pangeran-diponegoro-
buyut-dari-bima-makam-di-makassar.html.

“Add MS 12309.” Digitised Manuscripts British Library. Accessed


October 15, 2021. http://www.bl.uk/manuscripts/
FullDisplay.aspx?ref=Add_MS_12309.

Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, https://kebudayaan.


jogjakota.go.id/page/index/sultan-agung)

Gallop, Annabel Teh. “Menak Amir Hamza, the Javanese Version


of the Hamzanama,” September 28, 2018. https://
blogs.bl.uk/asian-and-african/2018/09/menak-amir-
hamza-the-javanese-version-of-the-hamzanama.html.

72
———. “The Largest Javanese Manuscript in the World? Menak
Amir Hamza,” March 6, 2019. https://blogs.bl.uk/
asian-and-african/2019/03/the-largest-javanese-
manuscript-in-the-world-menak-amir-hamza.html.

Giyanti, Perjanjian, https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_


Giyanti

“Jogjakarta En Omstreken.” Topografi. Yogyakarta,


1925. https://ubl.webattach.nl/cgi-bin/
iipview?krtid=9706&name=03868.JPG&marklat=-
7.8&marklon=110.3632&sid=mnwxz35045094&seq=
9&serie=0&lang=1&ssid=&resstrt=0&svid=434447&
dispx=1366&dispy=652#cur.

Kijlstra, Paul. “Pemakaman Imogiri – Makam Sultan


Kasultanan Mataram.” Accessed July 12, 2021. https://
sultansinindonesieblog.wordpress.com/java-today/
mataram-Kasultanan/imogiri-pemakaman-burial-
complex-sultan-jawa-tengah/.

“MSS Jav 78.” Serat Ambiya. Digitised Manuscripts British


Library. Accessed October 15, 2021. http://www.
bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=MSS_
Jav_78&index=6.

“Nyai Ageng Tegalrejo, Nenek di Balik Kepahlawanan


Diponegoro.” Republika Online, May 1, 2020. https://

73
republika.co.id/share/q9n6uf483.

Purwandono, Agung. “Wasiat Ratu Ageng Tegalrejo,


Memperbenderang Sosok Samar-Samar Melalui
Literasi Digital.” KRJogja, February 11, 2020. https://
www.krjogja.com/hiburan/seni-dan-budaya/wasiat-
ratu-ageng-tegalrejo-memperbenderang-sosok-
samar-samar-melalui-literasi-digital/.

Putri, Risa Herdahita. “Perempuan Penguasa Masa Mataram


Kuno.” Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama
di Indonesia, December 9, 2017. https://historia.id/
kuno/articles/perempuan-penguasa-masa-mataram-
kuno-PyJzZ.

———. “Ratu Pakubuwana, Sufi Perempuan Leluhur Wangsa


Mataram.” Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama
di Indonesia, July 31, 2018. https://historia.id/agama/
articles/ratu-pakubuwana-sufi-perempuan-leluhur-
wangsa-mataram-vxJAL.

74
LAMPIRAN
1. Serat kekancingan sebagai bukti silsilah Ratu Ageng dan

makamnya di Imogiri.

75
2. Peta Tegalrejo Tahun 1830

76
3. Tegalrejo (I) dan Keraton (II), tahun 1925

77
4. Pohon beringin sebagai penanda letak pendopo lama

Ratu Ageng di museum Tegalrejo.

78
5. Relief Perang Diponegoro tanpa ada jejak cerita Ratu

Ageng Tegalrejo

79
6. Replika gambar pangeran Diponegoro sewaktu kecil dan dewa-
sa dalam Webinar Kuliah Umum Defense Heritage bersama Prof.
Peter Carey Jumat, 26 November 2021

80
7. Naskah kuno Babad Diponegoro yang di tulis di Manado tahun
1831-1832 dari Prof. Peter Ceray

81
82

Anda mungkin juga menyukai