Anda di halaman 1dari 10

Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat:

Trah Para Wali Besar Mataram Islam, Syahid dalam Perang Sepehi 1812, Cucu Sultan
Hamengkubuwono I, Menantu Sultan Hamengkubuwono II, Panglima Perang Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat Berjulukan Singobarong1

KRT Sumodiningrat adalah pahlawan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam


Perang Sepehi di Yogyakarta 18-20 Juni 1812, pada masa Sultan Hamengkubuwono II. Ia
pernah menjabat sebagai Bupati Jaba kedua pada 1794 dan Wedana Jero pertama pada 1797
(Carey 2008, 188; Carey 1980, 191). Sehari-hari ia juga bertindak sebagai penasehat militer
utama Kraton Yogyakarta (Qomar 2023, 248) . Di tengah medan Perang Sepehi, ia ditugaskan
untuk menjadi panglima utama yang berdiri di garis terdepan menjaga wilayah Yogyakarta.
Sosok inilah yang dijuluki Singobarong oleh masyarakat Yogyakarta sebagaimana terabadikan
di dalam Babad Ngayogyakarta (1876) karya Pangeran Suryanegara dan Raden Adipati
Danureja V.

Kelahiran dan Silsilah


KRT Sumodiningrat dilahirkan sekira 1760-an di wilayah Remame, Kedu Selatan. Ia
merupakan anak KRT Jayaningrat, bupati Kedu Selatan. Di masa kecil hingga mudanya, ia
mendapatkan pendidikan keislaman dari seorang guru bernama Kyai Tambi Jenggi, yang
merupakan seorang wali pemilik otoritas pengasuhan anak-cucu keluarga Karaton
Ngayogyakarta (Arafat 2023, 89). Dalam arsip-arsip Kraton Yogyakarta pada zaman Sultan
Hamengkubuwono II diceritakan peristiwa surat-menyurat antara KRT Sumodiningrat dan
gurunya ini (Carey 1980, 191).
KRT Sumodiningrat merupakan cucu Sultan Hamengkubuwono I. Ayahnya, KRT
Jayaningrat, menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat, anak keempat Sultan Hamengkubuwono
I (Dajapertama & Dirdjasoebrata t.t., 13; Mandoyokusumo 1988, 10). Perkawinan ini
membuahkan lima orang anak: Tumenggung Sumodiningrat; Tumenggung Wiryawinata;
Tumenggung Jayaningrat; Raden Ayu Rangga Madiun; dan Tumenggung Wiryadiningrat
(Serat Salasilah Para Loeloehoer ing Kadanoeredjan 1899, 207).
Nasab KRT Sumodiningrat terhubung kepada Kyai Ageng Penjawi, salah satu dari tiga
tokoh pembuka Kerajaan Mataram Islam di selatan Jawa pada permulaan abad ke-16.

1
Ditulis dan disebarkan oleh Tim Sejarah Panitia Haul 2024 KRT Sumodiningrat Patraka Kriya (Paguyuban Trah
Kyai Ageng Kriyan) Ngayogyakarta Hadiningrat. Pasarean Astana Agung Kotagedhe Yogyakarta, Jumat Kliwon-
Setu Legi, 18 Pasa 1957 J/18 Ramadhan 1445 H/29 Maret 2024 M.
Sedangkan ke atasnya lagi, nasab ini bersambung hingga Kyai Ageng Ngerang. Diurutkan dari
atas, nasab KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Ageng Ngerang I → Kyai Ageng Ngerang II
(Kyai Bodo Pajang) → Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kyai Ageng Panjawi (Kyai
Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka
Kriya/Kyai Kriyan) → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah
Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik →
Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat →
KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8).
Dari jalur lain, KRT Sumodiningrat juga merupakan keturunan Kyai Jejer, Tumenggung
Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting, tiga tokoh penting pada masa
kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah pada 1613-1645 (Sejarah
Ratu t.t., 64). Tumenggung Singaranu adalah Patih kedua Kerajaan Mataram Islam di masa
Sultan Agung Hanyakrakusuma, Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting adalah Wedana
Jaksa dan anggota Dewan Ulama Penasehat Sultan Agung Hanyakrakusuma (Hanyakrakusuma
1999, 10), sedangkan Kyai Jejer adalah guru sekaligus mertua Sultan Agung Hanyakrakusuma
yang juga menjadi tokoh cikal-bakal wilayah Jejeran, Bantul, Yogyakarta.
Darah ketiga tokoh besar Mataram Islam era Sultan Agung itu menyatu di dalam diri
KRT Sumodiningrat. Alurnya dimulai dari perkawinan Kyai Ageng Wonokriyo/Kyai Kriyan
dengan Nyai Ageng Kriyan. Siapakah Nyai Ageng Kriyan? Perempuan agung ini adalah anak
dari pernikahan antara Adipati Singaranu bin Kyai Jejer dengan Nyai Adipati Singaranu binti
Tumenggung Singaranu.
Dari pernikahan Kyai Ageng Wonokriyo/Kyai Kriyan dengan Nyai Ageng Kriyan
lahirlah Tumenggung Jayawinata Gajah Gede yang menikahi R.Ay. Jayawinata binti Raden
Riyo Wirokusumo bin Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting. Melalui alur Tumenggung
Jayawinata Gajah Gede hingga ke bawah akan sampai kepada KRT Sumodiningrat. Dari sini
menjadi jelas bahwa KRT Sumodiningrat adalah juga keturunan Kyai Jejer, Tumenggung
Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting.
Jadi, di dalam darah KRT. Sumodiningrat mengalir darah Sri Sultan Hamengkubuwono
I, Tumenggung Singaranu, Kyai Jejer, Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting, dan Kyai
Ageng Penjawi. Dapat dipastikan secara mutlak bahwa KRT Sumodiningrat adalah tokoh
pribumi negeri Mataram Islam.
Dari jalur Tumenggung Singaranu, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah:
Tumenggung Singaranu → Nyai Adipati Singaranu → Nyai Ageng Kriyan → Demang
Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede →
Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena →
Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah
1899, 163–64 & 201–8).
Dari jalur Kyai Jejer, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Jejer
→ Ki Bagus Sangat/Adipati Singaranu → Nyai Ageng Kriyan → Demang Puspatruna/Demang
Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung
Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung
Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64
& 201–8).
Dari jalur Kyai Juru Kiting, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Kyai
Juru Kiting → Raden Riyo Wirokusumo → Raden Ayu Jayawinata Gajah Gede →
Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena →
Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah
1899, 163–64 & 201–8).

Perkawinan
KRT Sumodiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwono II
dengan GKR Kedaton (Mandoyokusumo 1988, 16; Sejarah Ratu, 80 & 123; Serat Salasilah
1899, 208). Sedangkan GKR Kedaton adalah anak Tumenggung Purwodiningrat, Bupati
Magetan (Mandoyokusumo 1988, 15), atau Bupati Kertosono setelah Perang Giyanti (1746-
1757) sebagaimana termaktub di dalam catatan Lucien Adam, seorang Residen Madiun 1938-
1938, pada 1940 (Reinhart 2021, 242). Silsilah Tumenggung Purwodiningrat ke atas masih
terhubung dengan keluarga besar para priyagung Madura.
Perkawinan KRT Sumodiningrat dengan GKR Bendara tidak membuahkan keturunan.
Dari istri lain, ia memiliki anak bernama Tumenggung Sumonegoro, yang kelak menjadi
Wedana Distrik Maosan Dalem Pengasih hingga Nanggulan (Serat Salasilah 1899, 208). Baik
KRT Sumodiningrat maupun anaknya, Tumenggung Sumonegoro, sama-sama dimakamkan di
Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Kewafatan
Kewafatan KRT Sumodiningrat terjadi pada pagi hari terakhir Perang Sepehi, 20 Juni
1812. Peristiwa kewafatan ini diceritakan di dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Padha I-VII.
Babad Sepehi adalah karya sejarah yang ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, anak Sultan
Hamengkubuwono II, yang memang langsung berada di tengah-tengah pertempuran
(Mangkudiningrat; 2018, 65–66). Jadi, Babad Sepehi merupakan sumber primer sejarah yang
ditulis oleh pelaku sejarah, Pangeran Mangkudiningrat, pada Selasa, 20 Rabi’ul Awal 1228 H
tahun Ehe atau bertepatan dengan 23 Maret 1813. Dengan kata lain, naskah ini “lahir” hanya
sekira setahun setelah Perang Sepehi.
Diceritakan di dalam Babad Sepehi bahwa KRT Sumodiningrat bertempur di sisi barat
Kali Code dan menjaga pos pertahanan bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
bersama dengan Tumenggung Wiryawinata, adiknya sendiri. Peristiwa pertempuran pasukan
Sepehi dengan KRT Sumodiningrat diceritakan di dalam tembang bermetrum Durma, Pupuh
II, mulai Padha atau bait ke-6 dan ke-7 (Mangkudiningrat; 2018, 55–56):
(mereka) sudah masuk ke dalam loji (dan)
berkumpul (dengan) pasukan (lainnya).
Wus mlebet mring loji kumpul barisan/yitna
(Mereka) mengelilingi benteng (dengan)
ngubengi biting/yata kawarnaa/Inggris
waspada. Lalu diceritakan, (serdadu)
medali yuda/Sumodiningrat den incih/marga
Inggris keluar (untuk) bertempur.
ing wetan/Jawitan den Jogi//
Sumodiningrat menuju jalan (di) sebelah
timur, menuju Jawinatan
(Mereka) belok ke barat, (dan) sudah
Nekuk ngilen kali code sampung
menyeberangi Kali Code. Sumodiningrat
nyabrang/Sumodiningrat uning/angabani
memberi aba-aba (untuk) maju ke medan
bala/campuh rame ing yuda/gumruduk
perang. Suara berondongan senapan.
swaraning bedhil/surak
Pekikan terdengar, (dan) terdengar suara
barungan/tengaranira anjrit//
tengara.

Pertempuran terus berjalan. KRT Sumodiningrat dan pasukannya sempat mengalahkan


pasukan Inggris di sebelah tenggara, namun, bersama dengan bantuan dari pasukan Pangeran
Prangwedana mereka kembali mendesak sang panglima dan pasukannya. Hingga akhirnya ia
dibunuh setelah sebelumnya diburu ke kediamannya, yaitu kawasan Tirtodipuran saat ini.
Babad Sepehi menceritakannya dalam Pupuh III, Padha atau bait ke-3 sampai ke-7
(Mangkudiningrat; 2018, 65–66):
Nanging wus kineban lawang/lajeng ngilen
Tetapi pintu (gerbangnya) sudah ditutup.
sakgarwa putra genderang/yata ganti kang
(Ia) bersama istri dan anaknya menuju ke
winuwus/Inggris kang kidul
barat. Alkisah, di sebelah tenggara,
wetan/ketadhahan mring Sumodiningrat
(pasukan) Inggris berhadapan dengan
menggung/myang ari
Sumodiningrat, dan adiknya Wiryawinata.
Wiryawinata/Cakradirja langkung
Cakradirja sangat berani.
ngungkih//
Arame tempeh sunapan/surak gurnang wong Suara tembakan terdengar (sangat) ramai.
Inggris ngangsek wani/Sipahi mangsah Teriakan-teriakan pasukan Inggris (yang)
gumulung/geger wadya Metaram/akeh longe maju (dengan) berani. Sipahi maju
curna mati gya lumayu/ Tumenggung berbondong-bondong. Pasukan Mataram
Sumodiningrat/ngabani wadya sinelir// gempar (karena) banyak yang terluka, mati,
dan melarikan diri. Tumenggung
Sumodiningrat memberi perintah (kepada)
pasukan agar bersiap-siap.
Maju menerjang musuh. Pasukan inggris
Umangsah lajeh tinujang/wadya Inggrsi dan dragonder menunggang kuda teji
drugundur kapal teji/pamedhangnya ngiwad- (sambil) mengayunkan pedangnya dengan
ngiwud/Sumodiningrat mlajar/sawadyane cepat. Sumodiningrat melarikan diri (dan)
sowangan Inggris mangelud/tumenggung pasukannya cerai-berai. (Pasukan) Inggris
Sumodiningrat/sarwi ngampiri kang selir// (terus) mengejarnya. Tumenggung
Sumodiningrat pergi (ke tempat) selirnya.
Pasukan Inggris segera sampai. Raden
Mengsah Inggris tandya prapta/Dyan
Tumenggung (Sumodiningrat) terkepung
Tumenggung kasupit ingajurit/ngamuk
dalam pertempuran. (Ia) mengamuk dengan
liwung lawan dhuwung/sekretaris
kerisnya. Sekretaris menerjang.
mrajang/Prangwedana saha wadya
Prangwedana dan pasukannya (ikut)
atetulung/tumenggung Sumodiningrat
mengeroyok KRT Sumodiningrat.
/pinedhang mring Sekretaris//
Sekretaris menebas
Selangkanya (hingga) putus. Raden
Kena salangira tatas/Dyan Tumenggung Tumenggung (Sumodiningrat) jatuh lalu
niba mulya ngemasi/sakkanca wadya tewas. Teman-teman pasukannya
maleduk/wisma tandya ingobar/wadya mengamuk, rumah-rumah dibakar. Pasukan
Inggris Nirbaya ingkang Inggris terus menggempur Nirbaya.
pinagut/Tumenggung Lowanu panggah/kang Tumenggung Lowanu (yang)
kidul kulon winarni// mempertahankan (Nirbaya). Diceritakan
peperangan di sebelah barat daya.

Babad Panular atau disebut juga Babad Ngengreng juga menceritakan kewafatan KRT
Sumodiningrat. Babad Panular selesai ditulis pada 16 Mei 1816 atau sekira 4 tahun setelah
Perang Sepehi. Pangeran Arya Panular (1771-1826) adalah putra Sultan Hamengkubuwono I
yang menjadi penasehat sekaligus mertua Sultan Hamengkubuwono III. Ia menuliskan
kesaksiannya di tengah-tengah peristiwa Perang Sepehi. Bahkan di dalam peristiwa itu ia
termasuk tokoh yang menyelamatkan Adipati Anom atau RM Surojo, yang kelak menjadi
Sultan Hamengkubuwono III, dengan membawanya ke Taman Sari. Pangeran Arya Panular
menceritakan kewafatan KRT Sumodiningrat di dalam tembang bermetrum Asmaradhana,
Pupuh XI, Padha atau bait ke-21 sampai ke-33 (Arya Panular 2017, 40–41):
saputra wayahnya sami/saha prajurit nung
Bersama anak cucunya/ dan prajurit hebat
samya/myang Gris tindhih
lalu/ bersama (pasukan) Inggris dan
Suketrise/ngubeng Sumodiningratan/bakta
mriyem angru(m)pak/wus pasthine ing Sekretarisnya2/ mengepung
Hyang Agung/Rahadyan Samadiningrat// Sumodiningratan/ membawa meriam
merusak/ sudah ketentuan dari Tuhan yang
Agung/ Raden Samadiningrat//
Ditinggal semua pasukannya/ dan teman,
tinilar wadyanya sami/myang konca kadang
saudara, keluarganya/ termasuk anak
warganya/suta labete mungsuh bot/lan wus
(karena) musuh berat/ dan sudah
sami mireng warta/yen kedhatyan wus
mendengarkan kabar/ jika Kedhaton sudah
bedhah/tyas kuwur pan lajeng mawur/tan
ditaklukkan/ hati hancur lebur/ tidak
ana mongga puliya//
mungkin akan pulih//
Sebagian tertangkap lalu diusir/ dibunuh
salong kaca(n)dhak denungsir/pinarjaya
sedangkan musuh/ banyak yang mati dan
dene me(ng)sah/kathah pejah myang
terluka/ Pangeran Prangwedana3/
ketaton/Pangeran Aprangwedana/ngangsek
menyerang masuk ke halaman/ membuat
malebeng natar/gegeting tyas arsa
hati tak enak lalu bertemu/ dengan Raden
panggung/lan Radyan Samyadiningrat//
Sumodiningrat//
(Pangeran Prangwedana berkata)
dene kalokeng negari/jejendhule wong
terkenalnya di negara/ pemimpinnya orang
Ngayugja/arsa ingajak guguyon/tumpang
Yogya/ lalu diajak bercanda/ duduk
pupu lan Pangeran/langkung gegeting
bersama dengan pangeran/ lebih membuat
manah/kalokeng Sala cinatur/sawiyah
marah/ Pangeran solo diceritakan/ semena-
dhateng Pangeran//
mena terhadap pangeran//
Maka karena keinginan hati/ sampai di
mila katuju ing galih/prapta lawang gedrug
pintu menghentakkan kaki Pangeran
pangran/ngabani wadya angedrel/mangsuk
(Prangwedana)/ masuk bersama-sama di
sumahab ing natar/gla tyas Radyan tan
halaman/ mencari Raden (Sumodiningrat)
ana/Sukretaris gya malebu/ing masjid nulya
tidak ada/ Sekretaris lalu masuk/ di masjid
kapedhak//
lalu ditemukan (Raden Sumodiningrat)//
anulya ingedrel wani/sinasog ing ganjur Lalu diberondong peluru/ ditusuk tombak
atap/akawal-kawal tan puleh/pira kuwate bersama-sama/ terluka banyak tidak dapat
sajuga/kinroyok wadya kathah/Dyan sembuh/ sekuat apa ketika/ dikeroyok
Sumodiningrat lampus/wadya kang tresna pasukan banyak/ Raden Sumodiningrat
wus buyar// meninggal/ pasukannya yang setia bubar//
Suketris tan legeng ati/anulya jongga Sekretaris tidak lega hatinya/ lalu leher
pinedhang/tan tatas nulya dipedang/ tidak putus lalu dikeroyok/
kinrayok/busananya pinendhetan/sedanira busananya dijarah/ meninggalnya
ngangkenan/Suketaris ingkang bunuh/tandya mengenaskan/ Sekretaris yang membunuh/
Pangran Prangwedana// lalu Pangeran Prangwedana//

2
Sekretaris disini merujuk pada Asisten Residen Inggris/Sekretaris Residen Yogyakarta, John Deans. Ia menjadi
pimpinan pasukan atau wakil dari pemerintahan yang membersamai pasukan.
3
Merujuk pada Mangkunegara II. Penggunaan gelar Prangwedana, seorang putra mahkota Kadipaten
Mangkunegara, yang kelak menjadi Mangkunegara II dikarenakan umurnya ketika itu masih di bawah 40 tahun.
KGPAA Prabu Prangwedana baru berganti bergelar KGPAA Mangkunegara II pada 1820.
Lalu segera pergi ke masjid/ melihat jasad
inggal tindak dhateng masjid/ningali
Raden/ Sumodiningrat yang sudah
kuwonda Radyan/Sumodiningrat kang
meninggal/ lalu berkata kepada/ jasad
layon/tandya ingiling-ilingan/rawis Radyan
Raden (Sumodiningrat) dikatakan/ orang
ingucap/wong kaku aja kumenthus/yen tan
yang sudah kaku jangan berlagak/ jika tidak
kadi Prangwedana//
seperti Prangwedana//
Lalu Pangeran (Prangwedana)
Tandya Pangran printah aglis/mring
memerintahkan/ kepada pasukannya semua/
wadyanira sedaya/myang Suketaris
dan kepada sekretaris, perintahnya/ Inggris
printahe/Inggris Sepehi kinena/wadya-bala
dan Sepoy diperbolehkan/ pasukannya
ngerayah/Sumodiningratan gempur/bang
untuk menjarah/ Sumodiningratan
kidul sawernira//
dirobohkan/ (hingga) ujung selatan//
Lalu rumah Raden (Sumodiningrat) yang
gya wismanya Dyankang lalis/wusnya
sudah meninggal/ sesudah dijarah dibakar/
rinayah ingobar/saklangkung geni
besar kobaran apinya/ lalu Pangeran
urube/tandya Pangran Prangwedana/saputra
Prangwedana/ bersama anak cucunya/ serta
wayahira/myang Suketaris umangsuk/Ngloji
Sekretaris masuk/ di Loji tempat Tuan
percayeng Twan Besar//
Besar//
Yang sudah meninggal (Raden
kang kari layon wus ngambil/mring Sumodiningrat) sudah diambil/ oleh
wadyanira kang tresna/wus sinaen ingkang pasukannya yang berbakti/ sudah dipulasara
layon/pinetak waten Jejeran/semanten Jeng jenazahnya/ dikuburkan di Jejeran/ pada
Pangeran/Aprangwedana wus matur/myang saat itu Kanjeng Pangeran/ Prangwedana
Suketaris kanthinya// sudah berbicara/ bersama Sekretaris
temannya//
Kepada Tuan Jendral di Loji/ sangat suka
mring Tuwan Jendral neng Loji/saklangkung
hatinya/ Sumodiningrat sudah meninggal/
ing sukanira/Samadiningrat wus
dijarah rumahnya dibakar/ Sekretaris yang
layon/rinayah wisma ingobar/Suketris kang
membunuh/ Tuan Jendral lalu berkata/
merjaya/Tuwan Jindral tandya
Pangeran (Prangwedana) engkau hendaknya
muwus/pangran lah andika seba//
menghadap//
mring Sultan baru taruni/angsung tabe Kepada Sultan baru yang muda/
kaslametan/myang sira Suketarise/ngirida menghaturkan berita keselamatan/ dan
maring Pangeran/tandya dyi mangsuk kamu Sekretaris/ iringilah Pangeran/ lalu
sigra/mri(ng) kantro gennya Sang keduanya segera masuk/ ke Keraton tempat
Prabu/cundhuk lan Sang Nata Mudha sang Prabu/ bertemu Sang Raja Muda//

Sebuah koran kolonial yang terbit sekira 14 hari setelah Geger Sepehi, Java
Government Gazette Vol. 1, No. 19, 4 Juli 1812, juga menceritakan kewafatan KRT
Sumodiningrat yang ditulis dengan ejaan “Toomogong Semood Deningrat” (Arafat 2023, 94).
Keterangan tentang kewafatan KRT Sumodiningrat ini juga disaksikan langsung oleh William
Major Thorn, seorang Deputi Quarter-Master General Angkatan Darat Inggris yang ikut dalam
ekspedisi pasukan British-Indian dalam penaklukan atas Jawa. Thorn, yang waktu itu masih
berusia 30 tahun, dalam catatan hariannya yang diterbitkan pada 1815 atau tiga tahun setelah
peristiwa Geger Sepehi, menceritakan kesaksian atas kewafatan KRT Sumodiningrat. Ia
menuliskan nama KRT Sumodiningrat itu dengan ejaan “Toomoogong Senoot Diningrat”
(Thorn 1815, 187):
..and, after the a severe conflict with the enemy, who were here in large numbers, and
fighting desperately, they succeeded in opening the gate for Lieutenant-Colonel
Dewar's column, who arrived just at this moment, after defeating the forces in the
suburbs, in which affair their chieftain, the Toomoogong Senoot Deningrat, fell, who
was one of the Sultan's principal advisers and chief instigators, in every hostile
proceeding against British Government.
[..dan, setelah konflik sengit dengan musuh, yang berada di sana dalam jumlah besar,
dan berjuang mati-matian, mereka berhasil membuka pintu gerbang bagi barisan
pasukan Letnan Kolonel Dewar, yang tiba tepat pada saat itu, setelah mengalahkan
pasukan di pinggiran kota, yang menyebabkan jatuhnya pemimpin mereka,
Toomoogong Senoot Deningrat, yang merupakan salah satu penasihat utama dan
penghasut utama Sultan, dalam setiap proses permusuhan terhadap Pemerintah
Inggris.]

Lokasi Makam
Jenazah KRT Sumodiningrat dikubur pada pukul 10 malam. Para pengikutnya
mengambil jenazahnya untuk dikuburkan di desa Jejeran (Arya Panular 2017, 41; Serat
Salasilah 1899, 207). Desa ini secara administratif, masuk dalam wilayah Wonokromo, Plered,
Bantul, Yogyakarta. Wilayah ini adalah pemukiman religius yang didirikan oleh Kyai Jejer,
leluhur KRT Sumodiningrat, sekira hampir 500 tahun lalu. Sepeninggal Kyai Jejer, wilayah
Jejeran dirawat dan dijaga oleh Kyai Kriyan yang juga merupakan leluhur KRT Sumodiningrat.
Sebuah arsip berbahasa dan beraksara Jawa berupa surat-surat Kraton Yogyakarta
menyebutkan kedukaan para pengikut KRT Sumodiningrat (konca sumodiningratan) ketika
mereka mengetahui wafatnya junjungan mereka. Dalam surat berbahasa dan beraksara Jawa
yang dikirimkan kepada Mas Ngabehi Prawirawijaya dan Kyai Ngabehi Danukrama, mereka
menyatakan perasaan kesedihan itu dengan kalimat: “…raosa konca sumodiningratan punika,
kaupamaaken kewan waten ing wana, baten waten ingkang gadhah wana… (…perasaan orang
Sumodiningratan ini, seperti hewan di hutan, tapi tidak punya hutan lagi…)” (Carey 1980a,
433–34).
Mengapa KRT Sumodiningrat dimakamkan di Jejeran? Makam Jejeran di barat Masjid
Mi’rajul Muttaqinallah adalah pemakaman anak-turun Kyai Jejer dan Kyai Kriyan, yang
memang merupakan leluhur KRT Sumodiningrat. Paugeran atau aturan baku pemakaman
sepuh dalam kebudayaan Jawa Islam adalah: bahwa makam anak-keturunan seorang tokoh
akan dimakamkan bersama dengan leluhurnya dan saudara-saudaranya. Kecuali terjadi
keadaan tertentu yang menghalangi pelaksanaan paugeran itu.
Selain itu, pemakaman ini merupakan tanah pamutihan yang memang merupakan hak
milik KRT Sumodiningrat. Tanah ini berada tepat di sisi barat Masjid Kagungan Dalem
Mi’rajul Muttaqinallah yang dulu disebut Masjid Sumodiningratan (Serat Salasilah 1899,
208). Letak makam KRT Sumodiningrat ada di dalam sebuah cungkup khusus di sisi selatan
cungkup makam Kyai Kriyan. Di sisi barat cungkup makam KRT Sumodiningrat juga
dimakamkan adiknya, RT Wiryowinoto, yang juga menjadi syahid pada Perang Sepehi.
Semoga KRT Sumodiningrat, saudara-saudaranya, istri dan anak-turunnya, serta para
leluhurnya senantiasa mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Amin. Al Fatihah...
Wallahu a’lam.

Rujukan Pustaka
Agustriyanto, R. Sunu. 2018. Sarasilah Trah Kraton Ngayogyakarto Ingkang Sumare Ing
Makam Gunung Tambal Bantul, Jejeran Bantul (Versi II). Dokumen Keluarga.
Arafat, M Yaser. 2023. “Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat Bukan Habib
Hasan Bin Thoha Bin Yahya: Analisis Kritis di Balik Kesalahpahaman Sejarah”.
Warisan: Journal of History and Cultural Heritage 4(2): 86–96.
Arya Panular, Pangeran. 2017. Babad Ngengreng [Edisi Pelatinan dan Terjemahan Peter
Carey]. ed. Peter Carey. Jakarta: Buku Kompas.
Carey, Peter. 2008. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order
in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press.
Carey, Peter BR. 1980. The Archive of Yogyakarta, Volume I: Documents Relating to Politics
and Internal Court Affairs. Oxford: Oxford University Press.
———. 2000. The Archive of Yogyakarta, Volume II: Documents Relating to Economic and
Agrarian Affairs. Oxford: Oxford University Press.
Dajapertama, R.M.Ng. & R.M.B. Dirdjasoebrata. Serat “Radja-Poetra” (Babon Saking Swargi
R.M. Toemenggung Sasrakoesoema Ing Kalasan-Ngajogyakarta. Solo: Drukkerij
“Melati” Keprabon.
Hanyakrakusuma, Sultan Agung. 1999. Serat Kekiyasaning Pangracutan. Semarang: Dahara
Prize.
Mandoyokusumo, KPH. 1988. Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat. Musium Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta.
Mangkudiningrat; Pangeran & Yudhi Irawan. 2018. Babad Sepehi: Suntingan Teks dan Aspek
Kesejarahan. Jakarta: Perpustakaan Nasiional RI.
Qomar, Akhlis Syamsal. 2023. Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Reinhart, Christopher. 2021. Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun
Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934-38). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Sejarah Ratu. Tp., Tt.
Serat Salasilah Para Loeloehoer Ing Kadanoeredjan. 1899.
Thorn, Major W. 1815. Memoir of the Conquest of Java with the Subsequent Operations of the
British Forces in the Orient. London: T Egerton, Military Library, White Hall.
Layang Kekancingan Darah Dalem R. Triandy Norchandra, No. 340, 28 Mulud Je 1942/21
Maret 2009 M.
Layang Kekancingan Darah Dalem RM. Sujatma, No. 26431, 21 Mulud Alip 1875/16 Maret
1944 M.
Layang Kekancingan Darah Dalem R. Martapangarsa, No.7256, 20 Jumadilakir Wawu
1889/12 Januari 1958 M.

Anda mungkin juga menyukai