Pembahasan
1. Biografi Pangeran Diponegoro
1
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya
dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang,
Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan
Hamengkubuwono III. Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya
tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki
sifat arogan menurut Putra Diponegoro II. Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808
dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta.
Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal
ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali
pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga
Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati
meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang
bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama
samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden
Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
HB II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot
Prawiradirdja, namun lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri
bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro
dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali
menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran
Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri
Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan
dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.
2
2. Jejak Perjalan Melawan Belanda
a. Mulainya Perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert
memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di
sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang
awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati
Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur
Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan
yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam
leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak
memberitahu keputusan Smissaert sehingga
Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara
para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak pada
bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran
Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang
memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan
Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh
dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih
mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya
bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah
selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah
barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong,
sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga
menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling
setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa
Putri di sebelah Timur.
3
b. Jalannya Perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan
artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal)
di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan
kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga
bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan
perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang.
Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk.
Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa
tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III,
justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota
karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak
di huni oleh Warok.
Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki skill berperang dan ilmu
kebal sangat tangguh bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang
merugikan pihak Belanda, terjadi sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor
Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel
kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin
berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua
terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.
5
Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab
bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama
dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama
diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle
mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak
ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan
diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan
memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan
sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing
Makam Pangeran Diponegoro
lagi, yakni St Helena hingga wafat.
Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra keduanya
bernama Raden Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal karena sakit dan
dimakamkan di sebidang tanah kecil milik Hindia Belanda, di Kampung Melayu. Setelah
kematian putranya tersebut, Diponegoro kemudian berpikir keselamatan keluarganya jika
dia wafat. Dia pun menulis surat kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar
makam putranya diberikan pagar tembok rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di
samping pusara putranya, dan membuat rumah berikut masjid kecil untuk istri dan
pengikut-pengikutnya, meski dirinya tidak diperkenankan keluar dari Benteng.
Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari
kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter
Carey, sejarawan yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van
Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan
sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun
mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton
Yogyakarta. Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia.
Setelah sang istri meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama makam putranya
dipindahkan ke pemakaman umum yang berada di Jalan Andalas dan Jalan Irian.
6
Bab 3
Rangkuman
Pangeran Diponegoro dilahirkan pada tangga 11 November 1785 di Yogyakarta
menjelang fajar pada bulan Sura. Beliau merupakan anak dari pasangan Gusti Raden Mas
Suraja ( Sultan Hamengkubuwana III ) dan R.A Mangkorowati. Sejak kecil beliau telah di
didik dengan semangat perjuangan,taat agama, dan berkemauan baja,serta rendah hati.