Anda di halaman 1dari 7

Bab 2

Pembahasan
1. Biografi Pangeran Diponegoro

1.1 Masa Kecil hingga Dewasa


Beliau dilahirkan pada 11 November 1785 di Ngayogyakarta Hadiningrat, menjelang
fajar pada bulan sura. Ia merupakan putra Gusti Raden Mas Suraja (Sultan
Hamengkubuwana III) raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan ibunya
bernama RA Mangkorowati. Gusti Raden Suraja merupakan putra sulung Sultan
Hamengkubuwana II.
Saat usia 7 tahun, Bendara Raden Mas Mustahar dipindah dari Keputren (tempat
kaum perempuan dan para garwa raja) di dalam keraton menuju Tegalrejo kurang lebih 3
kilometer ke sebelah barat Yogyakarta. Sejak kecil, ia telah dibimbing oleh pejuang
wanita berpengalaman, taat beragama, serta berkemauan baja. Kepribadian itu telah
menjadi bagi Pangeran Diponegoro kecil. Pangeran Diponegori dididik dalam satu
lingkungan keagamaan dan ditengah masyarakat jauh dari keraton. Menginjak dewasa
pada 21 September 1803, nama Bendara Raden Mas Mustahar diubah menjadi Bendara
Mas Raden Mas Antawirya.

1.2 Kehidupan Pribadi


Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran
Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan
rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan,
mengoleksi emas, berkebun. Bahkan, di tempat
persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun yang
dimilikinya ditanamin bunga, sayur-sayuran, buah-
buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga
harimau. Pangeran Diponegoro juga menyukai roti
bakar, kentang Belanda yang dimakan dengan campuran
sambal dan keripik singkong. Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran
Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali dalam hidupnya. Sang Pangeran pertama
kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru
agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro
memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.

1
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya
dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang,
Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan
Hamengkubuwono III. Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya
tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki
sifat arogan menurut Putra Diponegoro II. Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808
dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta.
Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal
ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali
pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga
Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati
meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang
bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama
samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.

Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden
Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
HB II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot
Prawiradirdja, namun lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri
bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro
dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali
menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran
Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri
Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan
dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.

Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kesembilan kalinya dengan perempuan


dari Wajo, Makassar, bernama lengkap Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin
Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk
Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain
Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar. Syarifah Fathimah adalah seorang
putri dari Datuk Husain yang makamnya berada di Makassar.

Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12


putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di
berbagai penjuru dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia,
Jerman, Belanda, dan Arab Saudi. Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi
yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan
tentaranya yang dianggapnya pengecut.

2
2. Jejak Perjalan Melawan Belanda

2.1 Perang Diponegoro (1825–1830)

a. Mulainya Perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert
memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di
sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang
awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati
Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur
Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan
yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam
leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak
memberitahu keputusan Smissaert sehingga
Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara
para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak pada
bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran
Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang
memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan
Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh
dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih
mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya
bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah
selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah
barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong,
sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga
menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling
setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa
Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama


lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga
golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya
sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati";
"sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran
bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para
bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini
menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga
menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro
juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung
Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

3
b. Jalannya Perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan
artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal)
di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan
kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga
bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan
perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang.
Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk.
Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan


penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai
"senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan
usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras
membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya
merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan
merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan
mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota, menghasut, memecah belah, dan bahkan menekan anggota
keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah
komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap
berjuang melawan Belanda.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan


menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829,
Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit
pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke
Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Sentot Prawirodirjo Kyai Modjo 4


c. Akhir Perang
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatra
Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama)
dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-
ajaran agama, mabuk- mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah
Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda
harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan bersatu. Perang
Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang


dipakai perang di Sumatra Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang
bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan
sebagian besar pasukan dari Sumatra Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah
Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek,
dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi,
Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa
tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III,
justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota
karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak
di huni oleh Warok.

Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki skill berperang dan ilmu
kebal sangat tangguh bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang
merugikan pihak Belanda, terjadi sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor
Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel
kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin
berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua
terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.

2.2 Akhir Hayat Pangeran Diponegoro

Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal


Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat
mabuk laut, dan terkena sakit Malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan
ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam Paksa), mengawal
pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah
satu percakapannya adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah
sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang
ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak saudaranya.

5
Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab
bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama
dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama
diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle
mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak
ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan
diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan
memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan
sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing
Makam Pangeran Diponegoro
lagi, yakni St Helena hingga wafat.

Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23


pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan
di Tondano, namun Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa
Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga
akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk sementara
waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau
Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Selanjutnya, pada tahun 1833,
Diponegoro dipindahkan ke Makassar secara diam-diam dan ditempatkan di Benteng Fort
Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro menolak upaya Hindia Belanda untuk
memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin menghabiskan akhir hayatnya di
Makassar.

Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra keduanya
bernama Raden Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal karena sakit dan
dimakamkan di sebidang tanah kecil milik Hindia Belanda, di Kampung Melayu. Setelah
kematian putranya tersebut, Diponegoro kemudian berpikir keselamatan keluarganya jika
dia wafat. Dia pun menulis surat kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar
makam putranya diberikan pagar tembok rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di
samping pusara putranya, dan membuat rumah berikut masjid kecil untuk istri dan
pengikut-pengikutnya, meski dirinya tidak diperkenankan keluar dari Benteng.
Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari
kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter
Carey, sejarawan yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van
Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan
sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun
mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton
Yogyakarta. Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia.
Setelah sang istri meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama makam putranya
dipindahkan ke pemakaman umum yang berada di Jalan Andalas dan Jalan Irian.

6
Bab 3
Rangkuman
Pangeran Diponegoro dilahirkan pada tangga 11 November 1785 di Yogyakarta
menjelang fajar pada bulan Sura. Beliau merupakan anak dari pasangan Gusti Raden Mas
Suraja ( Sultan Hamengkubuwana III ) dan R.A Mangkorowati. Sejak kecil beliau telah di
didik dengan semangat perjuangan,taat agama, dan berkemauan baja,serta rendah hati.

Beliau memulai perjuangannya dalam melawan Belanda dengan menjadi pemimpin


dalam Perang Diponegoro ( Perang Jawa ) yang terjadi pada tahun 1825 – 1830. Namun
sayangnya pada tanggal 28 Maret 1830, Belanda berhasil membuat Pangeran Diponegoro
menyerahkan diri. Beliau pun akhirnya diasingkan ke Manado dan kemudian dipindahkan ke
Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Anda mungkin juga menyukai