Anda di halaman 1dari 7

KLIPING SEJARAH TENTANG

BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO

Disusun Oleh:
Nama : SINTIA RAHMA PUTRI
Kelas : X7
Absen : 31

SMA NEGERI 1 GUBUG


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
GUBUG, KEC. GUBUG, KAB. GROBOGAN
PROVINSI JAWA TENGAH
ASAL USUL PANGERAN DIPONEGORO

Biografi Pangeran
DiponegoroPangeran Diponegoro
adalah anak dari Sultan
Hamengkubuwono III. Beliau adalah
raja ketiga di Kesultanan
Yogyakarta. Pahlawan yang kelak
memimpin Perang Jawa ini lahir
pada tanggal 11 November 1785 di
Yogyakarta. Nama kecilnya adalah
Mustahar. Ibunda Mustahar adalah
selir yang bernama R.A.
Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Selain dipanggil dengan Mustahar,
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro juga dipanggil dengan nama Bendara
Raden Mas Antawirya.

Sadar karena kedudukannya yang hanya sebagai anak seorang selir,


Diponegoro menolak keinginan Sultan Hamengkubuwana III untuk diangkat
menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Biasanya, di
lingkungan kebangsawanan, putra mahkota yang pantas hanyalah anak dari
permaisuri. Diponegoro sendiri pernah menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya.
Yaitu R.A. Retna Madubrangta, R.A. Supadmi yang merupakan putri dari Raden
Tumenggung Natawijaya III, R.A. Retnadewati yang merupakan putri dari
seorang Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta, R.Ay.

Citrawati yang merupakan puteri Raden Tumenggung Rangga


Parwirasentika dengan salah satu isteri selir, R.A. Maduretno yang merupakan
putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
Hamengkubuwono II), R.Ay. Ratnaningsih yang merupakan putri Raden
Tumenggung Sumaprawira yang menjabat sebagai bupati Jipang Kepadhangan,
R.A. Retnakumala yang merupakan putri Kyahi Guru Kasongan, R.Ay.
Ratnaningrum yang merupaka putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan

1
yang terakhir adalah Syarifah Fathimah Wajo yang merupakan putri Datuk
Husain. Tempat peristirahatannya ada di Makassar.

BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO :

KEHIDUPAN PANGERAN DIPONEGORO

Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata.


Sehingga dia lebih suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal
eyang buyut putrinya atau permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya
yaitu Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton
dimulai ketika kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V pada tahun 1822.
Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota perwalian yang menemani
Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan pemerintahan
keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda.
Tentu Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.

TERJADINYA PERANG DIPONEGORO

Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di


wilayah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang
sudah muak dan sebal dengan tingkah Belanda yang tidak menghormati adat
istiadat serta budaya setempat dan sangat mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan
pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya sendiri. Namanya juga penjajah.
Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara frontal, mendapat

2
dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi, sang
paman, Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah
gua yang diberi nama Gua Selarong.

Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa


perjuangannya adalah perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum
kafir. Teriakan perang sabil yang dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas
bahkan sampai ke wilayah Kedu dan Pacitan. Salah seorang tokoh ulama dari
Surakarta yang bernama Kyai Maja juga ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro yang berada di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo
tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sang Pangeran ingin
mendirikan kerajaan atau pemerintahan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo
adalah sebagai ulama besar dan berpengaruh yang sebenarnya masih memiliki
hubungan keluarga dengan Diponegoro.

Ibu dari Kyai Mojo yang bernama R.A. Mursilah adalah saudara
perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III. Tapi Kyai Mojo yang aslinya
bernama Muslim Mochamad Khalifah tidak pernah merasakan kemewahan gaya
hidup khas keluarga bangsawan. Jalinan persaudaraan antara Kyai Mojo dan
Diponegoro semakin erat ketika Kyai Mojo menikahi janda Pangeran
Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Karena itulah,
Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski hubungan
antara keduanya lebih tepat dikatakan saudara sepupu.

Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung


oleh Raden Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan
dan Sunan Pakubuwono VI. Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan
Diponegoro sangatlah kuat karena dia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama yang dikenal teguh
menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah Jawa dipimpin oleh
pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum yang utama.
Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat
perlawanan melawan Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi
Perang Suci.

3
Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan
khususnya dari tokoh-tokoh agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut
seorang sejarawan Peter Carey di bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat
Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun 2016, disebutkan bahwa kira-kira
ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang bergabung dengan
Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami kerugian
hingga tidak kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak
cara terus diusahakan oleh Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun digunakan. Hadiah sebesar 50.000 Gulden diberikan kepada
siapapun yang berhasil menangkap Diponegoro. Hingga akhirnya Pangeran
Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua


pasukan. Contohnya seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat
pertarungan di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri
menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan tentara Perancisnya mengacak-acak
tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh tanah
Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika suatu wilayah
bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya
wilayah itu sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.

Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari
satu lokasi ke lokasi lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat
mesiu dibangun di hutan dan dasar jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus
meningkat karena peperangan terus berkecamuk. Para intel dan kurir bekerja keras
mencari, menganalisis dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk
merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi kekuatan musuh, jarak
dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin banyak
informasi yang terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena
peperangan tidak hanya dimenangkan dari satu atau dua faktor.

Serangan-serangan masif dari rakyat Jawa selalu digencarkan ketika


bulan-bulan penghujan. Karena para senopati sangat paham sekali bahwa salah
satu cara untuk menang adalah mengenali dan menggunakan alam sebagai senjata

4
tak terkalahkan. Jika musim hujan tiba, gubernur Belanda akan berusaha untuk
mengajak gencatan senjata dan berunding. Karena hujan tropis yang sangat deras
membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Tidak hanya itu, penyakit malaria,
disentri, dan sebagainya merupakan masalah yang tidak tampak dan melemahkan
fisik dan moral tentara Belanda. Bahkan yang paling parah adalah penyakit-
penyakit tersebut merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata disetujui, Belanda akan mengatur pasukan dan


menyebarkan intel dan provokator mereka untuk bergerak di kota dan desa. Tugas
mereka adalah menghasut, memecah belah dan bahkan meneror anggota keluarga
para bangsawan dan pemimpin perjuangan rakyat yang mengikuti perjuangan di
bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang dan para bangsawan
pribumi tersebut tidak takut dan semakin berani melawan Belanda.

Pada puncak Perang Jawa, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu. Suatu hal yang belum pernah terjadi ketika masa penjajahan. Ketika
suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa
timur dipenuhi oleh puluhan ribu serdadu Belanda. Dari sudut pandang dunia
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang menggunakan semua metode yang
dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka dan metode
perang gerilya yang dilakukan dengan taktik hit and run dan penghadangan.

Ini sebenarnya bukan sebuah perang suku, tapi suatu perang modern yang
menggunakan berbagai macam siasat yang belum pernah dipraktikkan. Perang ini
juga menggunakan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui teknik insinuasi,
tekanan-tekanan dan provokasi oleh pihak Belanda ke mereka yang terlibat
langsung dalam peperangan kegiatan intelijen dan spionase antara kedua belah
pihak juga sangat aktif untuk mencari informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda menyerang kubu Diponegoro dengan


menggunakan taktik benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun
1829, Kyai Maja berhasul ditangkap. Kemudian menyusul Pangeran Mangkubumi
dan panglima utamanya Sentot Alibasya yang menyerah kepada Belanda. Akhir
cerita, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan

5
Diponegoro di daerah Magelang. Karena sudah terjepit, Pangeran Diponegoro
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota pasukannya dibebaskan.
Akhirnya, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Lalu
dipindahkan ke Makassar hingga menghembuskan nafas terakhir di Benteng
Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan Belanda lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran


Diponegoro. Seperti Ki Sodewa, Dipaningrat, Dipanegara Anom dan Pangeran
Joned. Mereka terus-menerus melakukan perlawanan tanpa kenal menyerah
walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro tertangkap dan
dibuang ke Ambon. Sementara Pangeran Joned dan Ki Sodewa gugur dalam
peperangan.

AKHIR PERANG JAWA

Berakhirnya Perang Jawa menandai akhir perlawanan bangsawan Jawa.


Setelah perang Jawa, jumlah penduduk Ngayogyakarta berkurang hingga
separuhnya. Sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran
Diponegoro dianggap sebagai pemberontak. Sehingga konon keturunannya
dilarang masuk ke Kraton. Sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX
memberi ampunan bagi keturunan Diponegoro yang mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Diponegoro di masa Perang Jawa. Kini
anak cucu Diponegoro bisa bebas masuk Kraton. Khususnya untuk mengurus
silsilah tanpa rasa takut akan diusir.

Selain Yogyakarta, perang melawan Belanda juga berada di tempat lain.


Seperti sejarah berdirinya Banten dan sejarah Perang Banten. Ada juga pahlawan
selain Biografi Pangeran Diponegoro. Contohnya seperti pahlawan nasional dari
Banjarmasin, pahlawan nasional dari Sulawesi, biodata pahlawan kemerdekaan
dan pahlawan nasional dari Kalimantan.

Anda mungkin juga menyukai