Anda di halaman 1dari 7

MICHAEL NICHOLAS

XII MIPA

16

NOVEL SEJARAH DAN TEKS SEJARAH

NOVEL SEJARAH ‘Pangeran Diponegoro Menggagas Ratu Adil’

Novel dimulai dengan cara yang unik yakni narator menempatkan dirinya pada masa kini, baru
kemudian mengajak pembaca untuk kembali ke masa lalu, masuk ke cerita yang 'sebenarnya'.

Novel menyajikan tokoh Pangeran Ontowiryo yang kemudian menjadi Pangeran Diponegoro. Penyajian
tokoh pun diusahakan sedekat mungkin dengan fakta sejarah, bahkan termasuk kondisi kehidupannya
baik dari aspek politik, kehidupan keraton, dan lain sebagainya.

Perhatian utama cerita ditempatkan pada konflik yang dihadapi Pangeran Diponegoro ketika
berhadapan dengan para penjajah yang secara sepihak merebut tanah miliknya untuk dijadikan lahan
proyek. Meski begitu, bagian ini rupanya tidak dibahas secara mendetil.

Kisah ini hanya dilanjutkan dengan memberikan sedikit dampak pada persona Pangeran Diponegoro dan
malah menitikberatkan pada kehidupan tentara penjajah.
TEKS CERITA SEJARAH PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan
Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang
selir bernama RA Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan.

Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan
Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah
permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:

BRA Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan

RA Supadmi yang kemudian diberi nama RA Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III,
Bupati Panolan, Jipang

RA Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta

RAy Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir

RA Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi R.A
Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu

RAy Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan

RA Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan

RAy Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.

Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar.

Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk
Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin
Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di
Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti
Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton.

Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822).

Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V
yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.

Mulainya Perang Diponegoro


Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa
Tegalrejo.

Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat
setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat.
Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas
di sebuah gua yang bernama Gua Selarong.

Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi
kaum kafir.

Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah
Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong.

Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik berjuang
bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang
berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan Diponegoro.

Ibu Kyai Mojo, RA Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III. Akan tetapi,
Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan
gaya hidup keluarga istana.

Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda
Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro.

Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi keduanya adalah
saudara sepupu.

Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.

Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia
memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat.

Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh
pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam.

Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab
itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi
dengan Kyai Mojo.

Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa


sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (dua kiri)  di makam Pahlawan Nasional Pangeran
Diponegoro di Makassar 

Sayembara Belanda

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro,
hingga akhirnya ditangkap pada 1830.

Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri, kavaleri,
dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal—di
kedua belah pihak berlangsung dengan sengit.

Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka
malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi begitu pula sebaliknya.

Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.
Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang.

Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi
perang.

Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi
berita utama karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan para senopati
menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan.

Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata
dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.

Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-
mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah
komando pangeran Diponegoro.

Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu suatu hal yang belum
pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian
Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu.

Perang Modern Pertama


Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern.

Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan.

Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat
yang saat itu belum pernah dipraktikkan.

Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-
tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran
dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari
informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem
benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.

Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian
Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda.

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggota laskarnya dilepaskan.

Ditangkap, Wafat di Rotterdam

Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar


hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau Bagus
Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan
walaupun harus berakhir tragis.

Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam


peperangan, begitu juga Ki Sodewa.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak
memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000
pribumi, dan 200.000 orang Jawa.

Penghargaan sebagai Pahlawan

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar
Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro.

Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa


hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro,
Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro.

Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di
Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip Tembalang.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari
1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun
wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional
diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad
(naskah kuno) Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro
merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado,
Sulawesi Utara, pada 1832-1833.

Babad (naskah kuno) ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli
Raden Mas Antawirya.

untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah


Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama"
di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro

STRUKTUR TEKS CERITA SEJARAH

        Novel sejarah, juga sama seperti novel novel lainnya, termasuk dalan genre teks cerita ulang. Novel
sejarah juga mempunyai struktur teks yang sama dengan struktur novel lainnya yaitu orientasi,
pengungkapan peristiwa, rising action, komplikasi, evaluasi/resolusi, dan koda.
1. Pengenalan situasi cerita ( exposition, orientasi )
          Dalam bagian ini, pengarang setting cerita  baik secara waktu, tempat maupun suasana.selain itu,
orientasi juga dapat disajikan dengan mengenalkan para tokoh, meneta adegan, dan hubungan antar
tokoh.

2. pengungkapan peristiwa
                  Dalam bagian ini disajikan bagian awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan,
ataupun kesukaran kesukaran antar tokoh.
3. Menuju konflik ( rising action )
              Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, atau bertambahnya kesukaran tokoh.
4. Puncak konflik
                Bagian ini disebut juga dengan klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan
menegangkan. Bagian ini juga ditentukan nya nasib tokoh setelah melalui peristiwa yang ia lalui.
5. Penyelesaian (evaluasi/resolusi)
                 Sebagai akhir cerits, pada bagian ini dijelasksn akhir nasib para tokoh setelah melalui berbagai
masalah .
6. Koda
                 Pada bagian ini dalah berupa kesimpulan atau komentar dari cerita yang diceritakan yang
berfungsi sebagai penutup cerita. Namun tidk setiap novel mempunyai koda, bahkan novel novel yang
sekarahng banyak menyerahkan kesimpulan kesimpulan itu pada pembaca sehingga para pembaca
dibiarkan menebak nebak dengan sendiri

PERBANDINGAN TEKS CERITA SEJARAH DAN NOVEL SEJARAH

DALAM NOVEL SEJARAH MEMILIKI LEBIH BANYAK NILAI-NILAI MORAL DIBANDINGKAN TEKS CERITA
SEJARAH

Anda mungkin juga menyukai