Warisan Arung Palakka
Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-17
Pendahuluan
Abad ke-17 merupakan periode luar biasa dalam sejarah Sulawesi Selatan.
perubahan serempak terjadi dalam skala luas, banyak penguasa lokal dan
pengikutnya dalam waktu singkat beralih memeluk agama Islam. Ini tidak pernah
terjadi sebelumnya. Keberhasilan Islam pada dua dekade pertama abad ke-17 itu
terutama disebabkan oleh raja Gowa pertama yang memeluk Islam. Dia
berkeyakinan bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk menyebarluaskan agama
Islam kepada para tetangganya, bila perlu dengan menaklukkan mereka. Setelah
menaklukkan kerajaan Bone, saingan terberatnya, Gowa pun menjadi kekuatan
terbesar di Sulawesi Selatan. Untuk pertama kali dalam sejarah Sulawesi Selatan,
tercatat adanya satu negara yang dapat menyatakan diri sebagai penguasa seluruh
wilayah semenanjung tersebut. Meskipun demikian, Gowa tidak pernah menaklukkan
Luwu- kerajaan yang pernah mendominasi Sulawesi Selatan, yang pertama kali
memeluk Islam, dan yang mula pertama mendukung niat Gowa untuk menyebarkan
agama Hindu ke wilayah lain.
Begitu berhasil menempatkan hampir seluruh Sulawesi Selatan di bawah
kekuasaannya, Gowa kemudian mengirim bala tentaranya ke barat hingga Lombok
1
dan ke timur hingga Kepulauan Aru Kei. pada pertengahan abad ke 17, Gowa menjadi
salah satu kerajaan terkuat dan terbesar dalam sejarah Nusantara. begitu tersohor
nya kekuatan dan kekayaan Gowa hingga orang-orang di Indonesia timur sulit
percaya bahwa VOC berani menentang kekuasaan Gowa. Namun, berkat kerjasama
tak terduga antara komponis dengan orang Bugis, musuh Gowa, masa kejayaan
tersebut berakhir dengan sangat mendadak dan mengenaskan. Tahun 1669, Somba
Opu, Gowa, jatuh ke tangan musuh. bahkan sebelum penjarahan terhadap Gowa
berakhir, berita kemenangan tersebut dengan cepat menyebar di kerajaan-kerajaan
sekitar dan mengabarkan munculnya seorang pemimpin baru Arung Palakka yang
ditakdirkan warisan Kerajaan Gowa. Maka, sepanjang Abad ke-17 orang-orang Bugis
Bone Soppeng sebagai pemenang mendominasi peta kekuasaan di Sulawesi.
Dewasa ini, masih banyak orang Makassar yang mengenang kejatuhan Gowa dengan
perasaan getir. Mereka menganggap bahwa sebuah kerajaan "Indonesia" sejati,
telah dikhianati oleh kelompok "Indonesia" lainnya, dan menjadikan Belanda, sang
"kolonial", sebagai pemenang utamanya. jalan pikiran seperti itulah yang dominan,
khususnya setelah Indonesia meraih kemerdekaan dari Belanda sesudah melalui
pertempuran sengit sepanjang 1945-1950. Orang Bugis dan Makassar saling
memperdebatkan peran tokoh masing-masing, Sultan Hasanuddin dari Gowa dan
Arung Palakka dari Bone Soppeng sebagai "pahlawan nasional" Indonesia yang sejati.
meskipun berbagai kalangan dengan benar menyesalkan digunakannya standar
sekarang sebagai ukuran untuk mengevaluasi kejadian di abad ke 17,
sentimen-sentimen yang muncul dari semangat nasionalisme memang tidak mudah
reda. Arung Palakka dan orang Bugis telah bersekutu dengan kaum Padri untuk
melawan "sesama orang Indonesia", dan oleh karena itu dianggap sebagai penghianat
oleh republik Indonesia yang baru berdiri itu. Lama setelah semangat revolusi
meredup, perdebatan mengenai hal tersebut tetap berlanjut, tetap mempengaruhi
kehidupan politik lokal pemberian nama jalan, bahkan ibukota Sulawesi Selatan.
sepanjang pengetahuan tentang periode penting dalam sejarah Sulawesi Selatan itu
belum dipahami dengan untuk sulit kiranya untuk mengharapkan berakhirnya
kontroversi tersebut.
2
Meski beberapa peristiwa sejarah lokal yang terjadi pada paruh kedua abad ke-17
itu telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, catatan-catatan itu sering ditulis
berdasarkan perspektif kerajaan atau daerah tertentu (Abdulrazak 1965, 1967,
1967/1968, 1968, 1969a, 1969b, 1970; Sanusi, 1967; Zainal Abidin, 1969; Mahmud
Nunung, 1975; Tangdilintin 1974; Fihri 1947). Oleh karena itu, karya-karya tersebut
cenderung berorientasi regional dan hampir tidak ada yang membahas implikasi
peristiwa tersebut terhadap Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Rasa bangga
terhadap daerah masing-masing yang tetap ada, yang diwarisi dari sifat unit politik
yang terintegrasi pada tiap-tiap daerah di masa lalu, menyebabkan timbulnya
ketegangan yang meluas untuk membahas hal-hal yang ada di luar batas daerah
masing-masing. Ketika Sikap seperti itu merambah ke penulisan sejarah, para
sejarawan lokal tidak berani menulis sejarah yang bersifat umum yang menuntutnya
untuk memilih salah satu dari berbagai versi yang saling bertolak belakang. jika
sejarah seperti itu hendak ditulis, sebaiknya hal itu dilakukan oleh orang luar,
sehingga motifnya tidak akan terlalu dicurigai dan sikap tidak memihak nya lebih
bisa diterima.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang terutama mendasari penulisan buku ini.
dengan memperkenalkan bahan-bahan dari dokumen VOC yang hingga kini belum
banyak dikenal, untuk mengkaji Sulawesi Selatan penulis berharap dapat membangun
dan memperluas landasan sejarah yang telah diletakkan pondasinya oleh
ilmuan-ilmuan lokal. sumber-sumber tertulis dan lisan Sulawesi Selatan juga
digunakan agar diperoleh perspektif yang lebih luas sebelum membahas setiap
pernyataan menyangkut arti penting berbagai peristiwa yang terjadi.
Ketika melakukan penelitian untuk buku ini, sebuah topik menarik muncul ke
permukaan: mengenai cara yang ditempuh oleh seorang penguasa lokal di Indonesia
untuk dapat memanfaatkan keberadaan Belanda guna melakukan perubahan berdaya
jangkau luas terhadap masyarakatnya. tampak jelas bahwa walaupun terlibat and
company di Sulawesi Selatan pada mulanya diperoleh melalui penggunaan kekuatan
militer, akan tetapi untuk selanjutnya kegiatan mereka seringkali terbatas hanya
sebagai penengah pada perselisihan yang terjadi dalam masyarakat lokal. Namun
demikian, dukungan yang mereka berikan tetap merupakan faktor yang sangat
penting karena tanpa dukungan company tak ada seorang penguasa pun yang dapat
menjalankan pemerintahan dengan penuh percaya diri.
3
Reputasi Kompeni membantu melanggengkan kekuasaannya sehingga kekuasaan orang
yang beruntung dan cukup cerdik berhubungan dengan kompeni. Arung Palakka Yang
sepanjang hidupnya berulang kali menegaskan hubungannya dengan company
sebenarnya melakukan hal itu dengan dua tujuan: bayi Kompeni hal itu dilakukan
untuk terus menegaskan bahwa dirinya setia dan mengabdi kepada mereka, dan bagi
orang Sulawesi Selatan hal itu merupakan peringatan terselubung bagi dirinya
memiliki senjata yang dapat dia (Arung Palakka) gunakan sewaktu-waktu untuk
mempertahankan kekuasaan.
Dengan berbekal kepercayaan dari Kompeni, Arung Palakka kemudian melakukan
berbagai perubahan tanpa menghadapi perlawanan berarti dari masyarakat Sulawesi
Selatan. meskipun kompeni sering dituding sebagai pihak yang melakukan perubahan
perubahan radikal terhadap kehidupan sosial di nusantara, namun dalam studi ini
akan diperlihatkan bahwa paling tidak Sulawesi Selatan, inisiatif perubahan
tersebut justru tampak jelas berasal dari penguasa setempat. hanya dengan
melakukan penelitian di daerah-daerah lain di mana terdapat pengaruh Kompeni,
baru dapat diketahui apakah pengaruh company di Sulawesi Selatan yang demikian
itu merupakan suatu hal yang harus atau tidak.
Alasan kedua, yang tak kalah pentingnya, yang mendasari studi ini adalah untuk
melihat akar migrasi besar-besaran dari Sulawesi Selatan yang terjadi pada paruh
kedua abad ke-17. begitu pentingnya akibat perpindahan penduduk itu sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam hal politik dan demografi di
seluruh Nusantara. fenomena tersebut, sebelumnya hanya selalu diteliti dari sudut
pandang daerah di mana pengungsi Sulawesi Selatan itu menetap atau mencoba
untuk menetap. akibatnya, penjelasan mengenai motif yang mendasari dan tindakan
perantauan mereka sering diabaikan dan diremehkan, yang sayangnya ikut pula
menjadi karakteristik isi buku-buku Sejarah umum tentang Indonesia dan Malaysia.
mengingat adanya ketidaksesuaian antara gambaran tentang mereka di dalam
buku-buku sejarah dengan apa yang diketahui mengenai kepribadian orang Sulawesi
Selatan di kampung halaman mereka, maka di cobalah dalam studi ini untuk melihat
proses pengungsian tersebut dalam konteks yang berhubungan dengan peristiwa
yang saat itu terjadi di Sulawesi Selatan. Hanya dengan cara itu dapat
4
diperoleh kerangka pemikiran yang seimbang di dalam menilai aktivitas mereka di
rantau.
Ada dua sumber utama buku ini. sumber pertama adalah dokumen pokok yang
berasal dari periode itu yang terdapat di badan arsip Nasional Belanda di Den Haag.
hal ihwal sumber-sumber tersebut telah cukup memadai dibahas dalam berbagai
karya yang telah ada (Ricklefs 1974:xvi-xviii; L.Y. Andaya 1975: 13-15; B.W. Andaya
1976: 4-6). namun, yang perlu diutarakan kembali pada kesempatan ini adalah
kualitas laporan yang bervariasi yang dikirim oleh gubernur atau presiden dari fort
Rotterdam di Makassar ke gubernur jenderal dan dewan Hindia Belanda di Batavia.
Laksamana Cornelis Speelman hanya berada di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu
yang relatif singkat, 1667 hingga 1669, tetapi bahan yang berhasil dikumpulkan
tentang wilayah ini jauh melampaui banyak penerusnya dengan menjabat jauh lebih
lama. Karya monumentalnya, Notitie, y ang dia tinggalkan sebagai laporan akhir untuk
penggantinya, berjumlah 646 halaman folio dan berisi catatan singkat namun
komprehensif tentang sejarah Sulawesi Selatan hingga pada masanya. karya
tersebut menjadi sumber informasi yang paling berharga untuk seluruh pimpinan plo
Rotterdam sesudah dirinya dan bagi sejarawan sejarawan kemudian. Selain, Notitie,
Speelman juga menulis laporan rinci selama berlangsungnya perang Makassar yang
memungkinkan orang membuat rekonstruksi banyak kejadian dalam perang tersebut.
F.W. Stapel menggunakan laporan itu untuk menulis sebuah tesis tentang perang
Makassar, namun tidak sampai melewati periode setelah penandatanganan
perjanjian bongaya tahun 1667 (Stapel 1922). Karya Stapel, H et Bongaais Verdrag,
banyak dikutip dalam buku ini untuk bagian awal perang Makassar Karena dia dan
saya menggunakan dokumen Kompeni yang sama. Hal-hal lain yang tidak disebut
Stapel, dipaparkan dengan sepenuhnya merujuk kepada arsip VOC. Setelah
Speelman meninggalkan Sulawesi pada bulan Oktober 1669, laporan yang ditulis para
pelanjut nya tidak pernah menghasilkan kedalaman isi dan ruang lingkup liputan yang
sama, serta sangat beragam kualitas dan panjangnya. Oleh karena itu, sejarawan
seringkali bergantung kepada informan Nya sehingga secara khusus harus
mengalami minat dan gaya individual masing-masing pejabat Kompeni. sebuah
catatan yang rinci dan panjang belum tentu menandakan adanya peristiwa besar dan
penting yang tercatat di
5
dalamnya. Sebaliknya, catatan yang pendek dan singkat tidak harus diasumsikan
sebagai pertanda tidak adanya kejadian penting yang sedang berlangsung saat itu
yang layak dicatat. Hanya setelah membandingkan berbagai dokumen dari kurun
waktu yang cukup panjang, barulah beberapa diantara catatan itu dapat memberi
petunjuk tentang kejadian-kejadian yang digambarkan di dalamnya.
Masih ada satu hal lain menyangkut sumber-sumber Belanda itu yang perlu
diperjelas kembali. di antara tumpukan bahan-bahan company yang secara spesifik
berhubungan dengan masalah company adalah dokumen berharga berisi surat-surat,
pidato-pidato dan komentar-komentar dari penguasa dan bangsawan lokal. Sayang,
catatan aslinya sangat jarang ditemukan dan orang harus puas dengan bahasa
terjemahan. Meski begitu, dalam bentuk terjemahan pun bahan-bahan tersebut
tetap sangat bernilai karena merupakan bagian dari sedikit catatan dari zaman itu
yang menggambarkan apa dan bagaimana pola pikir, ucapan, dan tindakan para
pemimpin lokal dalam berbagai macam situasi. Jika laporan laporan Kompeni lainnya
sangat berguna dalam memberi kerangka kronologis tentang perkembangan Sulawesi
Selatan, maka dengan meneliti dokumen khusus tersebut orang dapat memahami
berbagai ketegangan, konflik, dan keprihatinan para pemimpin lokal.
Sumber kedua yang dijadikan bahan informasi adalah catatan-catatan lokal Sulawesi
Selatan, yang sangat diperlukan Karena keanekaragaman informasi yang terdapat di
dalamnya. Para ilmuwan yang sudah mempelajari lontara' Bugis dan Makassar-kronik,
catatan harian, buku agenda- dikejutkan oleh jelas dan akurat nya isi bahan
tersebut (Kern 1948; Cense 1951; Noorduyn 1965; Zainal Abidin 1971). Dalam
penelitian ini "catatan harian raja-raja Gowa dan Tallo" (Ligtvoet 1880) terbukti
secara khusus sangat berguna untuk mencari penanggalan dan hubungan antar tokoh
yang dalam catatan kompeni sering memusingkan atau bahkan tidak disebut sama
sekali. "Catatan harian Arung Palakka" (L-31) sangat berguna bagi sejarawan untuk
melihat—meski hanya sesekali dan sekilas—kehidupan pribadi Arung Palakka. Kronik
kerajaan kerajaan Bugis dan Makassar memberi landasan untuk merekonstruksi asal
usul negara-negara yang ada di Sulawesi Selatan beserta sejarahnya sebelum
datangnya Belanda. Kronik tersebut juga dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal
yang dihadapi oleh kelas penguasa.
6
Selain bahan-bahan di atas terdapat pula bahan-bahan tertulis dan yang agaknya
berasal dari tradisi lisan. Cerita-cerita rakyat, etimologi rakyat, tradisi lokal,
episode sejarah pendek, pengamatan terhadap kejadian-kejadian tertentu,
kesemuanya merupakan unsur-unsur yang membentuk dokumen tersebut. Bersama
dengan sejumlah cerita atau kisah yang hingga kini masih hidup dalam ingatan
masyarakat, bahan-bahan tertulis itu dapat memberikan petunjuk vital untuk
memahami informasi yang membingungkan dalam catatan-catatan Belanda dan kronik
lokal. Lebih penting lagi, adalah peran sumber tersebut dalam mengemukakan
bagaimana suatu peristiwa mempengaruhi daerah atau kelompok tertentu. Dengan
demikian, sumber-sumber Sulawesi Selatan secara umum menyumbangkan
pemahaman yang lebih mendalam terhadap informasi tumpang tindih yang terdapat
dalam catatan-catatan VOC dari masa itu.
Dalam menggunakan sumber-sumber ini, para sejarawan sebaiknya memperhatikan
beberapa hal. Pertama, l ontara' k adang-kadang ditulis dengan aksara yang tidak
bisa dibaca, berisi informasi yang sulit diuraikan rujukannya serta kata-kata kuno
yang hanya diketahui Oleh segelintir orang yang sebagian besar sudah lanjut usia.
Seringkali dibutuhkan konsultasi dan diskusi panjang untuk menangkap makna dari
bagian-bagian tertentu; itupun konotasinya masih tetap tidak diungkapkan. Kedua,
tak satupun dari dokumen yang ada berasal dari abad ke-17 dan banyak yang sudah
berkali-kali disalin dan diedit dari naskah pertamanya. Tidak adanya kajian filologis
terhadap sebagian besar lontara' t ersebut, membuat sulit untuk menentukan kapan
bahan tersebut mulai ada atau kapan mula diinterpolasi. Untunglah beberapa
catatan orang Portugis pada abad ke-16 dan laporan-laporan Belanda abad ke-17
dapat dijadikan sebagai bahan pembanding. Dalam membandingkan naskah-naskah
Eropa dan Sulawesi Selatan gambaran umum mengenai peristiwa-peristiwa besar
yang terdapat dalam kedua sumber itu tampak hampir sama.
Satu hal yang menakjubkan dari sumber-sumber lokal tersebut adalah kesesuaian isi
beberapa sumber yang berlainan itu tentang peristiwa-peristiwa tertentu di
Sulawesi Selatan yang benar-benar terjadi dan penting artinya. Meski
dokumen-dokumen yang tidak identik, pencantuman berbagai hal yang berbeda satu
sama lain tentang daerah tertentu tidak sampai merusak alur cerita sesungguhnya.
orang mungkin akan menyanggah, seperti yang telah dilakukan oleh sejumlah
sejarawan lokal bahwa
7
dokumen yang tersisa dari revolusi dan pemberontakan di Sulawesi Selatan
(1945-1965) itulah yang kemudian dijadikan sebagai dasar salinan dokumen
selanjutnya. Namun, para penyalin ternyata tidak menggunakan kesempatan seperti
itu untuk mengangkat peran daerah masing-masing dalam salinan itu. Berhubung
sejarah Sulawesi Selatan tidak memihak kepada suatu kelompok tertentu, maka
hanya orang nekat saja yang akan mengubah fakta yang telah diketahui umum atau
interpretasi yang telah diterima secara umum.
Akhirnya, perlu ditekankan bahwa sumber-sumber Sulawesi Selatan adalah bagian
integral dari budaya lokal. Mensejajarkan begitu saja sumber-sumber tersebut
dengan naskah naskah Belanda akan menjadi kurang adil bagi keduanya. Studi ini
diharapkan dapat menunjukkan bahwa suatu pemahaman mengenai cara orang Bugis
dan Makassar melihat dunia yang merupakan landasan penting untuk menggali lebih
dalam berbagai catatan Kompeni. Sebagai contoh, naskah-naskah Sulawesi Selatan
sering menjelaskan dan menilai sebuah perbuatan berdasarkan konsep yang telah
dikenal baik oleh masyarakat. Cukup dengan menyebutkan konsep itu, maka
serangkaian kesan akan timbul dalam pikiran masyarakat yang berhubungan dengan
sebab, akibat, serta sanksi sanksi tradisional yang terkandung di dalam konsep itu.
Siri' y
ang berarti "rasa malu" dan "harga diri" adalah salah satu dari konsep seperti
itu. Tanpa memahami berbagai implikasi yang terkandung dalam istilah itu, seorang
pejabat Kompeni yang menerjemahkan secara langsung sebuah surat berbahasa
Bugis atau Makassar ke dalam bahasa Belanda, bisa salah tafsir atau
menganggapnya sebagai hal yang tidak relevan.
Pengetahuan masyarakat Sulawesi Selatan, atau sumber-sumbernya, dapat
memberikan masukan bagi catatan-catatan Belanda. Salah satu contohnya adalah
tata cara yang ada di sekitar pembuatan perjanjian. Tradisi pembuatan perjanjian di
Sulawesi Selatan memiliki tata perilaku tersendiri dan penggunaan kata kata khusus
yang kelak akan menandakan posisi suatu kerajaan tersebut dalam hierarki
negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Belanda sering memeriksa
surat dari penguasa lokal yang menyatakan bahwa mereka tengah "diingatkan" oleh
penguasa lain akan sebuah perjanjian sebelumnya atau surat yang berisi pernyataan
bahwa mereka bagaikan "anak" Kompeni. Pernyataan seperti itu
8
sebenarnya merupakan deklarasi penting yang menyiratkan adanya keinginan untuk
mengadakan perubahan arah kekuatan politik di wilayah itu sehingga memerlukan
perhatian khusus. Hanya saja, komunikasi budaya yang vital seperti itu mungkin akan
luput dari perhatian para sejarawan yang hanya mempunyai perhatian atau
pengetahuan sambil lalu tentang masyarakat Sulawesi Selatan.
Mengingat sejarah paruh kedua abad ke-17 didominasi oleh dan berkisar di seputar
Arung Palakka, maka dirinya dijadikan fokus studi ini. dalam Bab 1 akan dibahas
sejumlah ciri tertentu politik dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan serta
faktor-faktor keadaan historis tertentu yang dapat membantu menjelaskan
peristiwa peristiwa penting dalam periode tersebut. Memuncaknya perseteruan
antara Gowa dan dengan Bone dan meningkatnya ketegangan antara VOC dengan
Gowa yang berkontribusi langsung terhadap terjadinya perang Makassar akan
dipaparkan pada bab 2. Karena alasan tertentu, dalam Bab 3, Perang Makassar
digambarkan agak terperinci. Bahkan hingga kini, perang tersebut masih tetap
membangkitkan suatu respon emosional di tengah masyarakat Sulawesi Selatan, dan
pada gilirannya menimbulkan sejumlah mitos dan salah pengertian. Melalui upaya
untuk mengetahui realitas perang yang sebenarnya, diharapkan sebagian besar dari
mitos-mitos dan salah pengertian itu dapat dihilangkan. Selanjutnya, perang
tersebut mengisahkan pula berbagai hal yang ternyata memiliki arti penting pada
tahun-tahun berikutnya, seperti: (1) keberanian dan kenekatan Arung Palakka yang
kemudian menjadi ciri khas gaya dia berperang dan menjadikannya legenda pada
masanya; (2) pertikaian pendapat yang serius di kalangan bangsawan Gowa-Tallo
antara kelompok yang menginginkan perang dan yang menginginkan perdamaian yang
kemudian menyebabkan terjadinya pembelotan sejumlah pemimpin berpengaruh
kerajaan tersebut; dan (3) persekutuan yang kompleks antara sejumlah kerajaan
bugis dengan sejumlah kerajaan Makasar pada kedua belah pihak, yang
bertentangan dengan gambaran simplisistik bahwa perang yang berlangsung antara
orang Bugis dan Belanda di satu pihak melawan orang Makassar di pihak lain. Dengan
memaparkan setepat mungkin apa yang sebenarnya terjadi dalam perang
Makassar—meski bahannya terbatas—maka paling tidak orang dapat mulai
membahas implikasi perang tersebut dengan kepala dingin dan lebih rasional.
9
Pada November 1667, Perjanjian Bongaya, ditandatangani oleh pihak pihak yang
berperang dalam sebuah usaha prematur untuk mengakhiri perang. Makna dan arti
penting perjanjian tersebut terhadap pihak-pihak yang terlibat akan dibahas pada
Bab 4. Pembahasan mengenai hal tersebut sangat diperlukan untuk menjelaskan,
dalam Bab 5, mengapa dan bagaimana pada tahun tahun berikutnya Perjanjian
Bongaya dipandang sebagai pembenaran atas aksi-aksi yang terkesan provokatif
yang sama-sama dilakukan, baik oleh Kompeni maupun kerajaan kerajaan Sulawesi
Selatan. hal tersebut lebih lanjut juga akan memperjelas mengapa begitu besar
perhatian diberikan oleh masyarakat untuk mengamati kedaulatan (inviolability)
setiap kerajaan di Sulawesi Selatan, betapapun kecil dan tidak penting yang
kerajaan itu.
Bab 6 dan 7 membahas bagaimana Arung Palakka dan Kompeni mengkonsolidasikan
kekuatan dan mengatur pembagian kekuasaan yang berterima bagi kedua belah
pihak, dimana Arung Palakka berperan sebagai pihak yang lebih dominan dalam
urusan urusan internal dan Kompeni untuk urusan eksternal Sulawesi Selatan. Begitu
berhasilnya pembagian tugas tersebut sehingga protes tradisional yang dilancarkan
masyarakat menjadi tidak berhasil dan menyebabkan terjadinya emigrasi
besar-besaran dari Sulawesi Selatan. Kisah tentang para pengungsi itu akan dibahas
pada Bab 8 untuk memahami alasan kepergian mereka, motivasi mereka di rantau,
dan arti penting mereka terhadap perkembangan politik di Sulawesi Selatan.
Mengingat jumlah dan reputasi mereka sebagai pasukan perang, para pengungsi
tersebut merupakan ancaman nyata, bukan hanya bagi kerajaan-kerajaan lemah di
nusantara tetapi juga terhadap stabilitas Sulawesi Selatan. Kekalahan mereka di
Jawa pada tahun 1679 mengakhiri ancaman terhadap kekuasaan koalisi Arung
Palakka-Kompeni.
Meski hubungan Arung Palakka dengan Kompeni secara umum tampak sukses dan
menguntungkan, ada juga masa di mana ketegangan muncul antara Arung Palakka
dengan berbagai penguasa Belanda yang bermarkas di Fort Rotterdam. Suatu ketika
Arung Palakka mulai merasa bahwa statusnya di mata Kompeni mulai menurun
sehingga dia mengarahkan mata baliknya kepada penguasa lokal lain yang
menurutnya dapat memetik manfaat dari keadaan itu. Kecurigaan itu kemudian
berujung pada sebuah episode terakhir yang dibahas pada Bab 9: pembunuhan
terhadap Bakke Todani,
10
salah seorang pendukung paling setia Arung Palakka, atas perintah Arung Palakka
sendiri. Dia bersedia mengambil langkah drastis itu, bukan hanya sekadar untuk
melindungi posisinya, akan tetapi juga memastikan bahwa keturunannya tidak akan
mendapat lawan berarti dalam mewujudkan mimpi-mimpi Arung Palakka. Sejak itu,
tidak ada lagi penguasa di Sulawesi Selatan yang berani menentang kekuasaan Arung
Palakka. Bab 10 dan 11 akan menggambarkan bagaimana Arung Palakka hampir
menguasai sepenuhnya seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Dia tidak
segan-segan menggunakan bujukan, intimidasi, dan—bila perlu— kekerasan untuk
mewujudkan keinginannya. Tidak kulminasi dari usaha itu dapat dilihat dari
terciptanya persatuan di Sulawesi Selatan dan penghargaan yang diberikan
kepadanya oleh gabungan pasukan di Sulawesi Selatan pada 1695, tidak sampai
setahun sebelum dia mangkat.
Bab 12 adalah lanjutan kisah upaya monumental Arung Palakka untuk menciptakan
Sulawesi Selatan bersatu di bawah pimpinan keluarganya. Sebuah kesatuan politik di
Sulawesi Selatan yang tidak terlalu di bawah pimpinan 1 orang penguasa, telah
terwujud pada 1696 ketika Arung Palakka wafat. Penggantinya, La Patau, terus
memerintah sebagai penguasa tertinggi tanpa ada yang merintangi berkat
ketajaman pandangan Arung Palaka yang jauh kedepan dan meletakkan dasar
kekuasaan dan otoritas bagi La Patau. Meski tak ada lagi anak-anak La Patau yang
memiliki pengaruh terbesar dirinya, namun mereka dan keturunan mereka
merupakan penguasa semua kerajaan besar di Sulawesi Selatan hingga abad ke-20.
Kesatuan politik mungkin tidak sampai dicapai oleh penerus Arung Palakka, namun
dasar-dasar untuk melakukan tindakan secara bersatu telah mapan dan diperkuat
oleh dekatnya hubungan darah di antara kerajaan-kerajaan besar. itulah mungkin
pencapaian tertinggi yang berhasil diraih Arung Palakka selama hidupnya yang
panjang dan penuh kejadian. Sebuah warisan dari Arung Palakka yang patut dihargai.
11
Bab I
Negara dan masyarakat di Sulawesi Selatan pada abad ke-17
Kejadian-kejadian di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 hanya dapat dipetakan
Dengan memahami ciri cultural tertentu yang mempengaruhi kekuasaan politik di
wilayah ini. Salah satu ciri mendasar itu adalah keberadaan 4 suku besar di Sulawesi
Selatan; Bugis, mendiami seluruh bagian timur dan separuh bagian barat dari
semenanjung Sulawesi Selatan. Berikutnya, Makassar, mendiami bagian Barat dan
Selatan. Setelah itu, orang Toraja Sa'dan yang kebanyakan menduduki wilayah
pegunungan Utara, berbatasan dengan negara-negara Bugis, Luwu, di sebelah
selatan dan Mandar di sebelah barat.1 Terakhir, orang Mandar, menempati wilayah
pesisir dan pegunungan pegunungan di barat daya. Orang Mandar dapat dibagi
menjadi dua kelompok: mereka yang hidup di kampung-kampung pegunungan, yang
secara kolektif disebut Pitu Ulunna Salo'. M
ereka ini secara etnis adalah orang
Toraja. Dan mereka yang tinggal di pesisir, yang berada di bawah sebuah
konfederasi, Pitu Babanna Bilanga.
Oleh karena orang Bugis dan Makassar sejak dahulu menguasai daerah-daerah subur
dan mempunyai akses terhadap pelabuhan pelabuhan strategis, mereka menjadi
suku-suku yang dominan dalam hal politik dan populasi di Sulawesi Selatan.
1
Toraja Sa'dan merupakan bagian dari kelompok masyarakat Toraja Selatan, sering
disebut sebagai Tar' Toraja. Secara etnis, istilah Toraja umumnya digunakan untuk
mengacu pada kelompok nonmuslim di Sulawesi tengah dan Selatan, dan dibagi
menjadi kelompok; Toraja Timur, Toraja Barat, dan Toraja Selatan. Meski
diklasifikasi menjadi 1 kelompok etnik, terdapat perbedaan yang cukup banyak pada
ketiga kelompok ini dalam hal bahasa, pelapisan sosial, pembangunan rumah,
pertanian, teknik tenun, dan sebagainya (Nooy Palm 1975:53)
12
Sebaliknya, Mandar dan Toraja sering menjadi korban ambisi penguasa Bugis atau
Makassar dan ikut pula tenggelam dalam kehancuran politik yang terjadi di pesisir.
Abad ke-17 dipenuhi dengan perburuan hegemoni antara Kerajaan Bugis Bone dan
kerajaan Makassar Gowa. Persaingan ini terus tumbuh, baik dalam hal intensitas
maupun ancaman untuk menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Negara-negara di
Sulawesi Selatan senantiasa berada di bawah tekanan Bone dan Gowa, dan mengikat
komitmen pada salah satu berdasarkan keadaan. hal ini memperlihatkan bahwa
pertimbangan suku tidaklah berperan besar dalam pengambilan keputusan. Contoh,
negara-negara Bugis yaitu Wajo, Luwu, Bulo-Bulo, Lamatti dan Raja menjadi sekutu
Gowa, sementara wilayah Turatea di Makassar mendukung Arung Palakka pada
perang Makassar tahun 1666-1669. Konfederasi Mandar, Pitu Babanna Bilanga
adalah salah satu sekutu setia Gowa dan memperlihatkan peran besarnya dalam
perang itu. Tindakan balas dendam Arung Palakka dapat dihindari berkat kelihaian
mereka menggunakan kerasnya medan pegunungan di pedalaman. Sementara orang
Toraja yg tidak berperan aktif dalam perang itu, kecuali mungkin beberapa orang
yang tergabung dalam pasukan Datu Luwu. Oleh karena itu, jatuhnya Somba Opu
tahun 1669 yang mengakhiri Perang Makassar, bukanlah kemenangan salah satu suku
terhadap suku lain melainkan kemenangan satu persekutuan negara-negara dari suku
yang berbeda atas persekutuan lainnya.
Ada lagi ciri lain yang dianggap penting dalam kejadian kejadian yang berlangsung
pada abad ke 17, yaitu, kekuatan dan kesatuan masyarakat lokal yang membentuk
unit politik dasar di daerah ini. Meski unit-unit masyarakat itu menjadi bagian dari
kerajaan/negara yang tentunya lebih besar, sifat konfederatif kerajaan-kerajaan
ini tetap mencerminkan peran penting masing-masing unit masyarakat itu. Untuk
memperoleh kejelasan tentang kekuatan masyarakat ini, yang harus diperhatikan
adalah tradisi lokal yang berhubungan dengan asal usul masyarakat itu sendiri.
Representasi paling rinci dan koheren tentang asal usul masyarakat Sulawesi
Selatan terlihat pada sebuah epic Bugis dari Luwuk, I La Galigo.2 D
alam cerita epik
ini para dewa berkuasa di dunia atas dan dunia bawah. Suatu hari, dewa P atotoe,
"sang penentu takdir", memanggil para dewa untuk berunding dan sepakat untuk
mengirim anak Dewa Patotoe yaitu Batara guru untuk memerintah di bumi. We
Nyilitimo', anak dari ketua para dewa di dunia bawah, juga dikirim ke bumi dengan
cara "menyembul dari dalam laut" untuk menemani Batara Guru. Maka menikahlah
2
Dari penelaahan terhadap seluruh pecahan cerita I La Galigo di Eropa dan
Indonesia, R.A. Kern memperkirakan bahwa karya ini setidaknya terdiri dari 6000
hingga 8000 halaman, sehingga merupakan salah satu syair epic terpanjang di dunia
sastra (Kern 1954:v).
13
mereka, kemudian keturunan mereka menguasai Luwuk, hingga suatu hari keturunan
terakhir dari dewa-dewa ini kembali ke tanah asalnya. Kedatangan kedua kalinya
penguasa keturunan dewa ini kemudian terjadi lagi, namun mereka pun harus kembali
ke tempat asalnya. Dengan lenyapnya rangkaian kedua dari penguasa ini, epik I La
Galigo " berakhir".3
Dalam cerita I La Galigo, t idak diceritakan bagaimana manusia datang dan menghuni
bumi. Ketika dewa itu turun, penghuni bumi telah ada. Meski demikian, terdapat satu
versi tradisi lisan yang secara umum dikenal tentang banjir dan permulaan baru.
Menurut versi ini, dunia awalnya ditutupi oleh air, kecuali beberapa puncak gunung.
Di puncak-puncak inilah hidup beberapa kelompok manusia. ketika permukaan air
surut mereka mulai membangun rakit dan menjalin hubungan dengan orang-orang
dari puncak lain. Mereka kemudian membangun rumah yang terbuat dari atap
(sejenis palem) dan kayu dan mulai hidup dalam komunitas. Ketika Patotoe dan
istrinya melihat bahwa bumi memang tak berpenghuni namun tanpa seseorang yang
memerintahkan mereka kemudian mengundang para dewa untuk membicarakan hal
ini. kemudian para dewa bersepakat bahwa mereka harus mengirim keturunan
mereka ke bumi agar penghuni bumi dapat "menaati dunia atas dan menghormati
dunia bawah ". Dari bagian tersebut, hingga hilangnya penguasa-penguasa keturunan
dewa di bumi, versi ini sama dengan umumnya cerita I La Galigo ( Makkaraka 1967:
16-17; Borahima 197129).4
3
Karena ada kemungkinan kuat bahwa I La Galigo merupakan cerita epik yang
berakhir terbuka, jadi mungkin tidak cocok menggunakan kata "" pada bagian yang
mungkin hanya merupakan sebuah akhir dari cerita yang kita kenal. sedikit sekali
penelitian yang telah dilakukan untuk mengumpulkan cerita cerita pecahan dari epic
ini sehingga kita belum dapat memperoleh bukti yang lebih lengkap sebelum
mengajukan pembagian yang lebih pasti terhadap I La Galigo. A
lmarhum haji Andi
Pangerang Opu Tosinilele dari Belopa mengatakan bahwa keluarganya mempunyai
"sejumlah besar" buku-buku I La Galigo s ebelum masa pemberontakan Kahar
Muzakar (1950-1963). Sebagai hasil penghancuran yang terjadi pada masa itu hanya
sekitar 40 buku yang tersisa (percakapan pribadi, April, 1975)
4
Borahima memperoleh cerita ini dari Watampone, ibu Kota Bone. Ketika saya di
sana mengumpulkan informasi tentang cerita asal-usul Sulawesi Selatan, hanya ada
satu orang yang memberitahu saya cerita ini. Dia seorang muslim yang taat dan
berusaha menyangkal keberadaan bissu, tokoh keagamaan pra Islam yang masih
menjalankan fungsinya kini di Sulawesi Selatan. Ada kemungkinan cerita tentang
banjir itu dipinjam dari tradisi Islam, yang mau mungkin dikenal oleh pencerita ini.
14
Bagian yang tidak disebutkan oleh versi cerita lisan ini adalah keberadaan, menurut
tradisi yang berlaku di daerah Bugis dan Makassar, benda yang disebut gaukeng
(Bugis) atau g aukang ( Makassar). benda ini adalah faktor penting dalam
pembentukan pemukiman awal Bugis Makassar dan sangat dihormati sebagai makhluk
halus penjaga pada sebuah komunitas tertentu. G aukeng bisa berupa apa saja yang
bentuknya tidak biasa atau mempunyai ciri aneh; bisa berupa biji buah yang telah
kering, Tunggul pohon, bajak tua, namun lebih sering berupa batu. Dipercaya bahwa
pada suatu waktu di masa lampau beberapa anggota dari komunitas ini menemukan
benda keramat itu, mereka kemudian menyediakan tempat, pelayan, kebun dan kolam
untuk merawat benda itu dan penemunya. penemu ini kemudian menjadi pemimpin
komunitas baik dalam urusan keagamaan maupun sekuler, sebagai juru bicara untuk
gaukeng i tu. I nilah permulaan, menurut sumber-sumber lisan Ini, adanya
pemimpin-pemimpin dari komunitas gaukeng.
Meski hampir tidak ada pembahasan mengenai asal usul gaukeng a tau arti
pentingnya, kita masih dapat memahaminya melalui contoh serupa di tempat lain di
Asia Tenggara. Kepercayaan terhadap dewa-dewa penjaga yang bersemayam di
batu-batu dapat ditemukan di Asia Tenggara, India dan Cina, dan salah satu
penjelasan rinci tentang hal ini dibuat oleh ilmuwan Perancis, Paul Mus, yang
menjelaskan tentang batu batu keramat di Champa, kini Vietnam bagian tengah.
Champa adalah nama sebuah kerajaan yang penduduknya dari ras bangsa Indonesia
yang mengembangkan peradaban mengesankan antara abad 9 hingga ke 14. Menurut
Mus orang-orang Champa percaya bahwa dewa tanah, yang mengandung energi
energi pemberi hidup bagi dunia, dalam batu-batu tadi. Batu-batu ini bukanlah
representasi, namun dewa tanah yang sebenarnya dibuat kasat mata bagi manusia.
Karena dewa tanah tidak mampu berkomunikasi dengan manusia dalam bentuk
seperti itu, jadi perlu ada perantara bagi manusia dan orang yang menjadi perantara
diangkat oleh sesama mereka menjadi pemimpin spiritual dan orang yang menjadi
perantara diangkat oleh sesama mereka menjadi pemimpin spiritual dan keduniawian
bagi komunitasnya karena perannya sebagai juru bicara bagi dewa tanah. Batu-batu
keramat di Champa ini kelihatannya mempunyai kesamaan asal usul, fungsi dan makna
dengan gaukeng d i Sulawesi Selatan. Sangat mungkin hal ini merupakan bagian dari
kesamaan fenomena yang disebutkan Mus bahwa batu-batu ini hadir di sepanjang
India bagian selatan hingga Jepang Selatan (Mansion Asia) (Mus 1975:7-15).5
5
Di masyarakat Maloh di hulu sungai Kapuas Kalimantan Barat, batu-batu tertentu
dipuja dengan berbagai cara dan dianggap sebagai wadah makhluk halus atau
kekuatan. Di salah satu desa, kekuatan batu dikatakan mampu, melalui kegiatan
15
Nampaknya tradisi lisan di Sulawesi Selatan lebih ekspresif daripada yang di
Champa menyangkut peran batu batu keramat ini dalam evolusi sebuah pemukiman.
Menurut tradisi ini, komunitas gaukeng asli di Sulawesi Selatan secara perlahan
mulai meluas. Daerah yang merupakan tempat asli g aukeng, yang kemudian
ditentukan sebagai batas wilayah sebuah komunitas, tidak mampu lagi mencukupi
keperluan kelompok komunitas ini. Bagian batu dari komunitas induk diberikan,
setiap kelompok mendapat gaukeng masing-masing. Komunitas baru ini dianggap
sebagai "anak" oleh komunitas "ibu" yang merupakan komunitas g aukeng a sli, dan
gaukeng m ilik komunitas "anak" ini dianggap sebagai "pembantu" bagi g aukeng a sli
itu. Komunitas g aukeng seperti ini ada di banyak tempat di seluruh Sulawesi
Selatan, tidak lama, mereka mulai bersinggungan dan perselisihan pun tidak
terhindarkan, khususnya dalam memperebutkan hak terhadap tanah dan air.
kekuatan fisik sering digunakan untuk mengatasi perselisihan ini karena tidak ada
cara lain untuk menyelesaikan pertengkaran antara komunitas g aukeng ini. Menurut
tradisi lisan pada tahap ini muncullah Tomanurung ( Bugis)/Tumanurung ( Makassar)
"orang yang turun dari dunia atas ".
Tanpa merujuk secara khusus pada I La Galigo, tradisi lisan dan tulis
bugis-makassar kemudian mengaitkan episode terakhir yang terkenal dari epic ini
dengan datangnya Tomanurung. K etika rangkaian kedua dari penguasa keturunan
dewa hilang dari bumi, sebagaimana digambarkan pada episode "terakhir" I La
Galigo, v ersi ini kemudian dilanjutkan dengan periode 7 (sebagian mengatakan 77)
generasi ketika rakyat tidak mempunyai pemimpin. Periode ini digambarkan dalam
tradisi sebagai periode dimana manusia menjadi seperti ikan, di mana yang lebih
besar dan kuat memakan yang lebih kecil dan lemah.6 Dalam keputusasaan, rakyat
ritual, memberi "panen yang berhasil, sebuah periode bebas hujan, cuaca bebas
banjir selama berbulan-bulan pematangan dan panen, dan keberuntungan yang lebih
umum seperti kesehatan, rezeki, kesuburan, dan kemakmuran dan di zaman dulu,
keberhasilan dalam perang " (King 1975: 12-3).
6
Dalam bahasa Bugis: sianre-anre bale taue, y ang secara harfiah berarti
"orang-orang bertindak seperti ikan yang saling memakan". Metafor ini disebut
dalam sastra Indian kuno sebagai konsep m
atsyanyaya, a
tau "logika ikan". Menurut
gagasan Indian kuno tentang perputaran masa, manusia akan turun derajatnya di
ujung perputaran massa dan kehilangan perasaan terhadap tugas alaminya. Karena
bakal tidak ada pemimpin, dan sebuah masyarakat tanpa Raja tidak akan dapat
hidup, "logika ikan",, atau persamaannya di barat "hukum rimba", akan muncul
(Lingat 1973:207).
16
meminta kepada dewa agar mengirim seorang penguasa ke bumi sekali lagi sehingga
kedamaian dan ketertiban dapat dipulihkan. Permintaan ini terjawab dan seorang
Tomanurung muncul di antara rakyat di sebuah tempat yang terpencil. Menurut
tradisi dari berbagai kerajaan, awalnya Tomanurung i tu ragu menerima tawaran
mereka untuk menjadi pemimpin. Baru ketika jaminan tertentu dibuat dengan
mengakui posisi istimewa nya, Tomanurung i tu akhirnya melunak. posisi rakyat
diamankan dengan ditempatkannya para pimpinan komunitas dalam sebuah dewan
khusus. Dewan ini bertugas memberi saran saran kepada penguasa dalam urusan
kenegaraan dan untuk mempertahankan kebiasaan kebiasaan yang berlaku di wilayah
itu. Karena itu, dewan ini menjadi seperti gudang tempat menyimpan tradisi dan
kebiasaan komunitas yang mendahului—dalam hal waktu dan arti pentingnya—figur
Tomanurung berikutnya.7
Pengorganisasian komunitas komunitas ini kedalam negara mini dengan seorang
penguasa dan dewan penasehat untuk menjamin baiknya fungsi masyarakat hanya
langkah pertama menuju unit-unit negara yang lebih besar. Kemudian negara-negara
yang berdiri sendiri mulai menggabungkan diri secara sukarela atau dengan paksaan
untuk membentuk unit-unit yang lebih besar dengan berbagai alasan namun
kebanyakan untuk pertahanan. Sifat longgar dari konfederasi ini tetap
dipertahankan bahkan ketika mereka telah menjadi kerajaan yang kuat. Alternatif
lain adalah sebuah pemerintahan yang terpusat secara paksaan yang memerlukan
keahlian lebih, kemampuan membangun kekuatan, serta kekayaan. faktor-faktor ini
belum pernah dipunyai penguasa manapun di Sulawesi Selatan hingga berkuasanya
Arung Palakka La Tenritatta pada akhir abad ke 17, yang merupakan fokus buku ini.
Apa yang ditemukan di Kerajaan seperti Luwu, Bone, Wajo dan Gowa, adalah
suprastruktur administratif dengan penguasa atasan yang mendominasi sub struktur
dibawah penguasa-penguasa "sub". hanya sedikit campur tangan dari negara negara
"Supra" terhadap urusan dalam negeri negara negara "sub". Namun, akses para
penguasa atasan terhadap "sub kerajaan" begitu mudah sehingga dapat memaksakan
7
Terdapat variasi dalam cerita ini tentang seberapa besar kekuasaan diserahkan
kepada T omanurung pada awalnya, yang memperlihatkan kekuatan relatif dewan vis
a vis p
enguasa T
omanurung. Salah satu cerita paling menarik tentang T omanurung
adalah dari Bone, di mana Tomanurung disebut telah muncul di lapangan terbuka
berdiri di atas batu datar. Menariknya, cerita ini mencoba untuk memperlihatkan
bahwa dewa-dewa di dunia atas dan dunia bawah bertanggung jawab menghadirkan
Tomanurung kepada rakyat. Juga terdapat tradisi T otompo', "dia yang menyembul
dari dunia bawah", yang tidak selazim T omanurung namun terbukti keberadaannya,
memperlihatkan lebih besar nya perang dunia bawah dalam kepercayaan masyarakat
ketimbang yang biasanya ada (Noorduyn 1955:47-8; Pelras 1971, 1:77).
17
kehendaknya jika perlu. Hal ini memungkinkan persatuan yang bersifat konfederatif
terjadi. Konfederasi sub negara ini kedalam sebuah "kerajaan" tidak pernah
dianggap sebagai sebuah pemerintahan permanen dan dicirikan dengan cairan
persekutuan persekutuan politik. Jika sebuah "sub kerajaan "percaya bahwa
kepentingannya tidak terpenuhi oleh (kerajaan) yang lain dalam konfederasi nya,
"sub kerajaan" ini dapat mencari kesepakatan baru dengan konfederasi lain. Pilihan
seperti ini dimiliki khususnya oleh sub kerajaan yang lebih kuat, sebagaimana
diperlihatkan dengan seringnya terjadi perubahan persekutuan wilayah-wilayah di
antara Wajo dan Bone dalam masa perang antara kedua kerajaan ini pada abad
ke-16 dan ke-17 (Noorduyn 1955:216; Andaya 1978:285).
Keterjangkauan geografis daerah daerah Bugis dan Makassar mempermudah atau
mungkin memang dibutuhkan untuk membentuk konfederasi. sebaliknya, hambatan
Allah memisahkan kelompok-kelompok di daerah Mandar dan Toraja hingga
pembentukan kerajaan-kerajaan besar sudut dibenarkan dan dipertahankan. Dua
konfederasi utama Mandar sering saling bertempur, sama seringnya dengan
bertempur melawan musuh bersama. Negara Balannipa adalah konfederasi wilayah
pantai yang terkuat dan sering berhasil memaksakan kehendak kepada negara lain
pada abad ke-17. Sebagai hasilnya, Belanda dan kerajaan kerajaan Bugis dan
Makassar sering menyebut penguasa Balannipa sebagai Maradia (penguasa) Mandar,
meski dia hanyalah yang terbesar di antara komunitas komunitas Mandar dan
hanyalah Maradia di Balannipa. hanya sedikit yang dapat di ketahui tentang
negara-negara di pegunungan Mandar karena mereka jarang bersinggungan dengan
arus umum dalam percaturan politik di Sulawesi Selatan. sumber-sumber Belanda,
Bugis dan Makassar hanya menyebutkan berpindahnya populasi muara sungai di
Mandar ke pegunungan pada masa penyerangan. namun tidak disebutkan
keikutsertaan aktif Dari konfederasi hulu sungai Mandar dalam kejadian historis
manapun. sumber-sumber muara sungai Mandar menyatakan bahwa di abad ke-16
terdapat persekutuan pertahanan antara kedua konfederasi Mandar ini (Abdul Rauf
1974: 13). Sedikit sekali yang bisa di ketahui tentang sejarah negara-negara hulu
sungai Mandar sehingga terjadi ketidak sepakatan tentang bergabung ke manakah
tujuh negara mandat dalam kedua konfederasi ini (Mangoli 1973: 30-1).8
8
Negara-negara yang disetujui oleh semua adalah Aralle, Mambi, Rentebulahan,
Matanga dan Tabang. Tidak ada persetujuan pada 3 negara terakhir yang
membentuknya menjadi tujuh: Tu'bi, Bambang dan Tabulahan.
18
Secara umum, komunitas-komunitas toraja adalah yang paling sulit untuk hidup
berkecukupan di daerah pegunungan mereka. Setiap tanah datar yang ada di
gunakan dan sebagian bukit dibuat menjadi teras untuk menanam padi. Karena itu,
makanan tidak pernah cukup untuk mendukung jumlah penduduk yang besar.9
Perjalanan antar komunitas sangat lambat dan sulit karena wilayahnya yang tidak
datar. Keterkucilan secara fisik suatu komunitas tertentu dan tempat-tempat
konsentrasi populasi yang kecil mengurangi keperluan atau keinginan untuk
melaksanakan konfederasi permanen seperti yang terjadi di daerah daerah Bugis
dan Makassar. Yang muncul di toraja adalah persatuan yang longgar antar komunitas
sebagaimana yang ada di Mandar yang bertindak secara bersama-sama ketika
dibutuhkan, tapi tidak pernah menyerahkan diri kepada kekuasaan yang lebih tinggi.
Dulu, ada satu konfederasi toraja yang relatif kuat disebut Tallulembangna " Tiga
perahu", yang terdiri dari Sangalla, Makale dan Mengkendek. Mereka mempunyai
nenek moyang yang sama, dan masing-masing anggota konfederasi ini diperintahkan
oleh seorang P
uang ( Tuan). Namun konfigurasi ini jelas hanya sebuah pengecualian,
dengan sebuah struktur adat yang lebih kompleks, daripada kebanyakan komunitas
Toraja lainnya (Nooy-Palm 1975:64). Pada abad ke-17 dan awal abad ke 18,
komunitas Toraja Sa'dan bergabung menjadi satu untuk melawan invasi Bugis.
Namun ketika ancaman itu berlalu, mereka kembali ke daerah masing-masing dan
mencairkan kesatuan itu. Tradisi Toraja juga tidak pernah bersuara tentang adanya
percobaan dari seorang pemimpin Toraja untuk menyatukan seluruh komunitas
Toraja secara politik.10 tentulah jelas bagi pemimpin pemimpin Toraja bahwa
mencoba untuk memerintah di bawah satu kerajaan komunitas yang
bermacam-macam dan tersebar ini, sebagian terletak di daerah yang tidak dapat
dilalui, adalah sesuatu yang tidak realistis dan tidak praktis.
9
Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat di wilayah wilayah Toraja pada abad
ke-20, banyak orang toraja yang terpaksa mencari penghidupan nya di Kota
Makassar dan kota lain di Indonesia.
10
Pernyataan ini berdasarkan wawancara dengan sejarah wanita raja pada tahun
1974 sampai 1975, pada sebuah naskah yang tidak diterbitkan tentang sejarah dan
kebudayaan Toraja yang ditulis Sarung'allo Parenge Kesu, dan pada buku tulisan L.t.
Tangdilintin, Toraja dan kebudayaannya, Ujung Pandang, 1974.
19
Perbedaan antara organisasi politik yang revolusi di daerah daerah Mandar Toraja
dan Bugis Makassar. Suatu komunitas di antara suku Mandar dan Toraja tidak
pernah berkonfederasi begitu erat hingga sepakat mengakui penguasa atasan
tunggal sebagai kekuasaan politik yang prinsipil. Di sisi lain, bagi orang Bugis dan
Makassar, komunitas g aukeng berkembang menjadi kesatuan kesatuan politik, atau
kerajaan-kerajaan, dengan penguasa atasan yang diakui. penguasa atasan ini menjadi
penguasa utama di antara penguasa penguasa kecil yang merupakan pemimpin dari
sebaran komunitas gaukeng a tau kerajaan (besar atau kecil). Jika kerajaan ini
bergabung baik dengan keinginan sendiri maupun secara paksa kedalam sebuah
konfederasi atau kerajaan, mereka harus melepaskan hak kepada kesatuan yang
lebih besar ini untuk memulai perang dan untuk menjalankan urusan luar negeri
dengan negara lain. Meski begitu, mereka tetap memiliki hak memilih pemimpin
sendiri dan untuk mempertahankan adat dan proses perundang-undangan (bicara)
sendiri. Jadi, mereka tidak mempunyai kebebasan bertindak sebagai mana orang
Toraja dan Mandar, dan perbedaan ditegaskan dengan aturan hubungan antar
negara yang kaku yang berlaku baik bagi kerajaan-kerajaan maupun bagi
konfederasi/kerajaan, begitu pula antara kerajaan.
Praktek unik di masa lalu yang memberikan hak kepada kerajaan-kerajaan untuk
mempertahankan gabungan aspek-aspek paling dasar dan penting yang membentuk
suatu negara muncul Karena rasa hormat terhadap makhluk halus pelindung
komunitas, g aukeng. K arena Pangeran lokal disebut Tomanurung m aka merekapun
"berdarah putih" atau berasal dari keturunan dewa, dan karena mereka dipercaya
11
pemerintah atas nama g aukeng, s ecara umum orang takut jika ada usaha dari orang
luar untuk menggantikannya, Karena akan menyebabkan malapetaka di negeri itu.
Menurut adat dan bicara, a turan-aturan ini adalah praktek yang berasal dari
kebiasaan yang revolusi sekian lama dalam hubungannya dengan gaukeng d an
komunitasnya. Jadi, jika ada usaha orang luar untuk campur tangan terhadap
pranata berbasis gaukeng ini, dewa tanah setempat akan marah. Kepercayaan ini
membantu mempertahankan unit politik dasar yang berkembang dari komunitas
gaukeng. A sal usul keramat unit-unit politik yang diperintahkan arung (Bugis),
karaeng ( Makassar), m aradia ( Mandar), dan sebagainya, ini berperan cukup penting
dalam menjelaskan keterpaduan mereka, identitas unit mereka, dan kekuatan
mereka di masyarakat Sulawesi Selatan. Hanya dengan menyadari keberadaan
sifat-sifat negara ini, kita dapat menilai usaha Arung Palakka dalam membangun
20
sebuah kesatuan di seluruh Sulawesi Selatan dari kelompok-kelompok yang sangat
independen dan beragam.
Satu ciri cultural khusus yang memegang peranan sangat penting dalam sejarah
Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-17 yaitu: konsep s iri' dan pesse
(Bugis)/pacce ( Makassar). Siri' adalah konsep yang mencakup gagasan tentang
harga diri dan rasa malu. Tidak ada kontradiksi dalam kedua istilah ini, Karena rasa
malu secara implisit juga mengandung konsepsi rasa malu yang merupakan asal
munculnya harga diri. Namun terdapat dua cara yang berbeda ketika orang merujuk
ke istilah s iri'. Di satu sisi digunakan orang untuk menandakan seseorang telah
dibuat s iri', dipermalukan. perbuatan yang membuat orang merasa malu adalah
tindakan yang mengabaikan konsepsi tentang martabat dan harga diri yang dipegang
seseorang. Dalam keadaan seperti itu, orang yang telah dibuat s iri' diharapkan
melakukan sesuatu untuk memulihkan kembali harga diri yang ternodai dengan
menagihnya pada pihak yang mencorengnya. Noda yang melekat pada seseorang yang
kehilangan siri', h arga diri atau martabat, sangat besar sehingga orang itu akan
bersedia mengorbankan hidup dalam usahanya untuk menghilangkan rasa malu dan
memulihkan harga diri. Ada pepatah dalam masyarakat Bugis bahwa lebih baik mati
mempertahankan siri' (mate ri siri'na) daripada terus hidup tanpa siri' s ama sekali
(mate siri'). ketentuan masyarakat tentang balasan yang setimpal terhadap
seseorang yang dibuat siri' m emaksa orang seperti Arung Palakka untuk mengambil
tindakan-tindakan yang bagi orang luar terlihat sebagai perbuatan yang tidak masuk
akal, konyol dan bahkan bunuh diri.
Pesse/pacce m erujuk khususnya kepada kepercayaan terhadap kesatuan spiritual
seluruh individu di dalam satu komunitas tertentu. Asal usul konsepsi ini dan basis
kekuatannya dapat dilacak dari gaukeng. Setiap komunitas dulu ditentukan oleh
gaukeng y ang kekuasaan spiritualnya mencakup wilayah tertentu dan berbatas.
Makanya, dari awal pembentukan sebuah komunitas, sebuah ikatan spiritual telah
ada di antara anggotanya berdasarkan identifikasi mereka terhadap sebuah gaukeng
tertentu dan kepercayaan bersama mereka terhadap kekuatan yang melindungi
seluruh komunitas.
Konsepsi pesse/pacce m empunyai banyak kesamaan dengan gagasan tentang siri'.
Pesse/pacce p ada tingkat biasa berarti "rasa pedih", tapi juga mempunyai
pengertian lain yaitu "rasa simpati empati terhadap kawan". Sebagaimana dalam
siri', d
alam pesse/pacce t idak ada pertentangan antara makna makna tari yang
berasal dari istilah tunggal ini. Sebaliknya, dalam kenyataan, makna-makna itu
21
mengangkat sebuah gagasan yang menyatu.12 Empati yang dirasakan seseorang
terhadap sekampung yang berada dalam kesukaran ditampilkan dalam bentuk emosi
rasa sakit karena dia merasakan hal yang sama secara spiritual. Emosi p
esse/pacce
inilah yang mengikat seorang Bugis atau Makassar pada kampung halamannya bahkan
setelah lama dia pergi dan berperan sebagai perangsang bagi dia untuk kembali ke
komunitas spiritual artinya. Seseorang juga dapat menampakan pesse/pacce kepada
komunitas yang sedang menderita meski dia tidak terkena dampak langsung.
Sebagaimana halnya s iri', perasaan empati dan simpati atau pesse/pacce m
au minta
tindakan untuk menghilangkan penyebab kesukaran.
Kedua konsepsi ini sangat berkaitan erat. Tindakan merusak siri' t erhadap
seseorang lah yang menciptakan situasi pesse/pacce. T ekanan pesse/pacce
komunitas terhadap seseorang yang telah dibuat siri', a tau dipermalukan, dapat
memaksa orang itu mengambil langkah yang bagi masyarakat dianggap prosedur
layak dalam situasi seperti itu. keberadaan "tekanan sosial" semacam ini dapat
dilihat pada pepatah "mati dilumuri gula, mati diberi santan" (mate rogollai, mate
risantangi).13 Perilaku seperti ini terdapat pula dalam catatan VOC, dimana sekutu
Kompeni dari Sulawesi Selatan meminta kepada gua pelunasan atas "rasa malu" yang
disebabkan oleh mereka. "Tanpa pelunasan", kata sekutu-sekutu itu, "kami tidak
dapat terus hidup, tapi harus mati dan akan dianggap orang yang tidak mempunyai
perasaan".14
12
Ini mengingatkan akan kontradiksi serupa yang digunakan ilmuwan barat Ketika
"menemukan" dualisme dalam masyarakat Jawa ", kiri kanan, terang gelap, baik
jahat. Namun dualisme ini dilihat sebagai kesatuan tanpa konotasi keagamaan.
konsep kanan kiri, terang gelap, baik jahat, adalah dua sisi pada koin yang sama dan
dianggap esensial bagi satu sama lain dan bagian dari setiap struktur kehidupan.
Lihat Rassers 1959.
13
Percakapan pribadi, Prof.Zainal Abidin bin Farid, 1975.
14
Lihat KA 1217a, fol.228v, mengenal beberapa keluhan terhadap pemerintahan
Gowa.
22