Anda di halaman 1dari 9

I.

PENDAHULUAN

Mado (gana) Duha menempati wilayah Pesisir Pantai (Siheneasi) sebelah Timur
Teluk Dalam di bagian Selatan Pulau Nias (Tan Niha). Wilayah yang ditempati itu dikenal dulunya dengan nama ri Toeneasi. Sebagaimana mado lainnya di Tan Niha, mado Duha juga berasal dari Gomo Br Nadu (Sifalag Gomo) yang merupakan tempat lahir dan bermukimnya Ono Niha yang pertama. Setelah mereka berkembang, tempat (desa) mereka itu dirasakan kurang memberi tempat bagi keturunan mereka, sehingga mereka saling berpencar di seluruh bagian Tan Niha, dan membangun pemukiman (desa) baru. Dari mana asalnya Ono Niha yang pertama (nenek moyang Ono Niha) masih belum ada yang pasti sampai sekarang. Ada dua pendapat tentang hal itu yang saling bertentangan. Pertama, menurut mitos, bahwa Ono Niha berasal dari langit (Dete Holi Anaa) yang diturunkan (nidada) ke bumi Tan Niha. Namanya adalah Hiawalangiadu. Kedua, menurut antropologi, bahwa Ono Niha pertama berasal dari kawasan Asia Tenggara. Kedua pendapat ini sama-sama bertahan, dan sama-sama diakui kebenarannya. Namun Ono Niha lebih mengakui pendapat yang pertama. Informasi perkembangan Ono Niha pertama sampai pada keturunan (generasi) yang sekarang masih simpang siur juga, dalam hal penampilannya. Hal ini dikarenakan garis silsilah yang ditampilkan tidak secara global dan utuh tetapi secara parsial, sehingga kurang bisa dipertanggungjawabkan. Garis silsilah yang ditampilkan hanya menonjolkan satu garis silsilah mado saja menurut orang yang mengumpulkan informasi. Kemudian dalam silsilah suatu mado ada juga yang telah ditambahkan atau dikurangi, tanpa memperhatikan kebenarannya tergantung tujuan dan keadaan si penulis. Salah satu faktor penyebabnya adalah kemajuan zaman yang mampu mengangkat orang-orang yang sebelumnya tidak berkeadaan secara ekonomi menjadi orang-orang terpandang. Oleh sebab itu, dalam penulisan atau penelusuran garis keturunannya dibuat suatu hasil yang meyakinkan. Selain itu juga karena ada orang tertentu yang enggan memakai madonya dan memakai mado orang lain yang lebih berwibawa dan meyakinkan.

II. SEJARAH MADO DUHA

Mado Duha merupakan keturunan seorang pahlawan (satria) sakti bernama TUHA ZAUA. Kepahlawanan Tuha Zaua yaitu dalam segi peperangan melawan musuhmusuhnya. Setiap berperang Tuha Zaua selalu berhasil mengalahkan dan menaklukan musuh-musuhnya sehingga pada mada masa itu, Tuha Zaua cukup dikenal dan disegani. Istri Tuha Zaua bernama Wasi (Sarumaha), saudari kandung Tuhamangaraja, seorang Siulu desa sebelah barat kota Teluk Dalam. Keturunan Tuhamangaraja sekarang yaitu Sarumaha yang menempati desa Bawlowalangi, Hilianaa, Hiligeho, dan Siwalawa. Tuha Zaua lahir di Gomo Br Nadu. Ayahnya seorang raja (Siulu) di desanya di Gomo Br Nadu. Nama ayahnya Logakha termasuk keturunan Hiawalangiadu. Selain Tuha Zaua, Logakha juga mempunyai putra lain bernama Tuha Ase yang lahir di daratan pulau Sumatera tepatnya di negeri Aceh. Keturunan Tuha Ase sekarang dikenal dengan Suku Polem. Tuha Zaua merupakan putra tertua Logakha. Logakha dengan isterinya yang dinikahi atas pilihannya sendiri, tidak memiliki putra selama beberapa tahun mereka menjadi suami isteri. Tetapi Logakha setia terhadap isterinya, padahal dalam pandangan Ono Niha, putra adalah penerus orang tua. Pada suatu ketika, Logakha bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia mendapat perintah untuk pergi merantau ke seberang lautan. Mimpinya tersebut diceritakan kepada isterinya, dan isterinya menjadi sedih dan agak keberatan. Meskipun Logakha berusaha memberi pengertian, namun isterinya tetap agak keberatan kalau Logakha berangkat ke seberang lautan untuk merantau. Kemudian pada suatu ketika, isteri Logakha mendapatkan petunjuk dalam mimpi bahwa kepergian suaminya, Logakha, di negeri seberang adalah untuk masa depan. Lalu berangkatlah Logakha meninggalkan Gomo Br Nadu dan tiba di negeri Aceh. Di tempat itu, Logakha menikahi seorang putri raja setempat. Setelah beberapa tahun menjadi suami-isteri mereka tak kunjung dikaruniai anak. Lalu teringatlah Logakha akan isterinya di Gomo Br Nadu (Tan Niha). Ia berangkat meninggalkan Aceh menuju Tan Niha. Sesampai di kampung halamannya, ia mendapatkan isterinya dalam keadaan hamil tua. Lalu ditungguinya sampai isterinya melahirkan putra baginya dan diberinya nama TUHA ZAUA. Pada waktu kelahiran Tuha Zaua, ikut bersamanya dari dalam kandungan ibunya sepotong batu asah. Setelah Tuha Zaua tumbuh besar, Logakha teringat kembali isterinya di negeri Aceh. Lalu ia berangkat meninggalkan Gomo Br Nadu menuju Aceh. Pada waktu berangkat, ia mematahkan batu asah bawaan Tuha Zaua, dan membawa potonganya ke Aceh. Sesampainya di negeri Aceh, ia mendapatkan isterinya sedang hamil. Kemudian

isterinya melahirkan seorang putra baginya dan diberinya nama Tuha Ase (karena lahir di Aceh), dan bersamanya ikut juga sepasang keris. Menjelang masa tuanya, Logakha bermaksud kembali ke Gomo Br Nadu di Tan Niha. Lalu diutarakannya niatnya itu kepada isterinya. Karena kondisinya yang sudah tua, maka ia tidak mungkin bisa mengaruni lautan bolak-balik Tan Niha Aceh. Ia meninggalkan wasiat kepada isteri dan anaknya yaitu potongan batu asah yang dibawanya dari Tan Niha dan sebilah dari sepasang keris yang ikut bersama Tuha Ase waktu lahir. Sebilah dari sepasang keris ini saya tinggalkan di sini. Dan potongan batu asah ini juga saya tinggalkan di sini untuk putra kita. Sedangkan keris yang sebilah akan saya bawa ke Tan Niha, sebab di sana saya juga punya satu putra bernama Tuha Zaua, dan kepadanya juga telah ada potongan batu ini yang merupakan bawaannya pada waktu ia lahir. Hal ini supaya dikemudian hari bila kita telah tiada dan mereka bermaksud mencari saudaranya maka benda-benda ini akan menjadi bukti bagi mereka. Demikian Logakha meninggalkan pesan kepada isterinya. Konon menurut cerita bahwa potongan batu asah tersebut telah menjadi bukti nyata bahwa Tuha Zaua dan Tuha Ase bersaudara yaitu pada waktu Tuha Ase berlayar dari Aceh ke Tan Niha. Ia terdampar di muara sungai Susua. Pada saat itu ia hendak dirampok karena banyak harta yang ia bawa. Perahunya penuh dengan barang dan harta benda. Tetapi ia menyatakan bahwa harta tersebut adalah milik saudaranya. Bukti saudara saya adalah potongan batu yang saya miliki ini. Demikian ia menunjukan kepada orang banyak potongan batu asah miliknya. Orang-orang di muara sungai Susua mencari batu, mematahkannya dan mencocokannya dengan batu milik Tuha Ase. Tetapi tidak ada yang cocok. Hal ini terdengar oleh Tuha Zaua, lalu ia pergi menemui. Dan setelah dicocokan ternyata pas dan menjadi satu seperti tidak terpatahkan.

III.

TUHA ZAUA

Logakha wafat meninggalkan putranya Tuha Zaua di Gomo Br Nadu dan Tuha Ase di Aceh. Tuha Zaua semakin bertumbuh besar dan bertambah dewasa. Ia termasuk orang yang tidak suka tinggal diam di kampung. Hobinya adalah mengembara melihat-lihat keadaan sekelilingnya. Setelah dewasa ia menghimpun beberapa pemuda kampungnya yang berkondisi kuat dan tangguh, sebanyak 12 orang. Kemudian mereka berangkat meninggalkan kampung untuk mencari tempat yang cocok bagi mereka. Sebab, di kampung aslinya mereka merasakan ketidakpuasan karena jauh dari pantai dan sudah padat. Mereka pergi menuju bagian selatan Tan Niha. Ditengah perjalanan, mereka dicegat serombongan anak muda (pendekar) yang dipimpipin oleh Tuha Dohude di Baho (sungai Masio Lahusa). Dalam pertemuan itu, mereka saling adu kesaktian, satu lawan satu tanpa mau mengakui keunggulan lawan. Ternyata Tuha Zaua unggul dan menang, sedangkan Tuha Dohude kalah. Setelah mampu mengatasi segala rintangan di perjalanan, Tuha Zaua tiba di suatu tempat yang dirasakannya cocok dan sesuai, tepatnya di Rane Batu, pinggiran wilayah kota Teluk Dalam. Daerah tersebut berbatasan dengan desa-desa ri Maenaml. Kemudian ia membangun rumah-rumah darurat. Desa-desa ri Maenaml tersebut dipimpin oleh seorang raja (Tuhenri) bernama Tuhamangaraja. Desa-desa tersebut selalu diganggu dan diserang dari luar oleh Ndrawa Maru sehingga rakyat desa-desa wilayah ri itu merasa gelisah dan tidak aman. Ndrawa Maru berperawakan besar, tinggi dan kulit hitam. Ternyata kepemimpinan dan kemampuan Tuha Zaua dalam berperang (bertarung) telah didengar olah rakyat desa ri Maenaml. Maka pada suatu waktu mereka meminta bantuan Tuha Zaua untuk menghadapi musuh-musuh mereka tersebut dengan suatu imbalan yang layak. Tuha Zaua memberikan respon positif yaitu menyanggupi permohonan mereka tersebut. Setelah itu Tuha Zaua membuat persiapan perang menghadapi Ndrawa Maru. Setelah dirasakan cukup, kemudian mereka berangkat dan disuatu tempat Tuha Zaua dan orang-orangnya bertemu dengan Ndrawa Maru dan orang-orangnya. Maka terjadilah pertempuran (perkelahian) antara pasukan Tuha Zaua dengan pasukan Ndrawa Maru. Rakyat desa ri Maenaml menyaksikan pertempuran (perkelahian) tersebut dan berada di barisan belakang. Berkat keunggulan pasukan Tuha Zaua maka pasukan Ndrawa Maru dipukul mundur dan lari. Sejak itu daerah ri Maenaml aman tanpa gangguan dari luar. Dari hasil itu pula, rakyat desa-desa ri Maenaml simpatik kepada Tuha Zaua dan kelanjutannya adalah mereka menjalin hubungan persaudaraan yang penuh dengan kekeluargaan. Tuha Zaua menikahi saudari kandung Tuhamangaraja yang bernama Wasi.

Bertahun-tahun Tuha Zaua tinggal di Rane Batu bersama isterinya Wasi. Tanahtanah di wilayah itu dikuasai dan menjadi miliknya. Kendatipun demikian Tuha Zaua tidak puas tinggal di situ. Kemudian ia meninggalkan Rane Batu dan berjalan menuju sebelah utara yaitu ri Nonolalu. Di sana ia menetap di desa yang beranama Hiliamuruta (Hilinamzaua). Sesampai di desa itu sebelum menetap, ia melapor kapada penghulu (pemimpin) desa itu bahwa ia bermaksud menetap di situ beberapa saat sekaligus untuk mempelajari kesuburan tanahnya. Setelah satu tahun tinggal di tempat itu ia menghadap penghulu desa itu, meminta supaya kepadanya berkenan diberikan secara tulus dan ikhlas sebagian kecil tanah sekitar lingkungan itu. Ternyata mereka tidak keberatan dan pada dasarnya setuju bahkan tidak berkeberatan jika melebihi dari yang diminta. Tetapi Tuha Zaua menjawab bahwa ia hanya meminta sebagian kecil saja yaitu seluas yang dijangkau gulingan periuk tanah liat dan sejauh yang dijangkau jalaran daun labu. Istilah bahasa Ono Niha Ndrege zi tegulu bowoa ba ndrege zanana undru. Hasil operasinya ternyata tanah yang terjangkau kedua alat pembatas itu tidak sedikit tetapi sangat luas. Tuha Zaua menguasai tanah yang luas dengan batas-batas yang jelas dan telah ditetapkan. Ia membuka kebun atau ladang, dan membangun rumah yang besar Omo Lasara. Omo Lasara dirancang dengan ketinggian yang memungkinkan dapat melihat laut. Kenyataannya memang rumah itu sangat tinggi sampai perahu atau kapal yang sedang berlayar kelihatan. Setelah rumah selesai dibangun, ia mengundang pemimpin desa tetangganya (Siulu), khususnya desa ri Maenaml untuk turut hadir dalam acara peresmian. Omo Lasara itu memiliki dua dapur; satu di belakang yaitu di frma dan satu di bagian depan etawolo. Dengan selesainya rumah itu, memberi petunjuk bahwa Tuha Zaua tidak hanya sementara di tempat itu, tetapi bermaksud menetap lama. Iapun terus bekerja sebagaimana yang lainnya. Bahkan kepemimpinan desa itu pada akhirnya jatuh ke tangannya. Beberapa tahun berselang kemudian, Tuha Zaua berubah pikiran lagi. Ia merencanakan pindah tempat lagi. Setelah keputusan diambilnya, ia meninggalkan desa itu menuju selatan daerah sebelumnya yaitu Rane Batu. Omo Lasara yang dibangun dan dihuninya dibakar. Sebelum berangkat, ia menunjuk beberapa orang melakukan tugas pembakaran rumah itu, dengan catatan bahwa pembakaran dilakukan setelah ia pergi dan membunyikan tanda berupa nada gong (aramba). Tuha Zaua beserta keluarganya dan para pengikutnya meninggalkan desa itu dan ketika sampai di Llmovulo (Baruzsifaedo) diambilnya gong besar (aramba), digantungnya di dahan kayu besar yaitu baruz dan dipukulnya kuat-kuat sehingga menimbulkan suara yang sangat besar sampai terdengar oleh orang-orang yang telah ditunjuknya melakukan tugas. Kayu besar itu diberi nama saita garamba duha. Nama lainnya adalah baruz sifaedo. Daerah itu terletak dekat desa Hilifalag yang sekarang. Di Rane Batu Tuha Zaua membangun kembali rumah-rumah yang sudah sekian tahun ditinggalkannya. Ia hidup bersama dengan pengikut-pengikutnya yang sebagian mengikutinya dari desa Hiliamuruta. Selama tinggal disitu mereka hidup tenteram dan

aman. Hubungan satu sama lainnya juga cukup baik dan terpelihara. Mereka bertani (berladang) dan beternak babi. Yang terakhir merupakan bawaan dari Hiliamuruta, dimana beternak babi merupakan mata pencaharian utama. Kandang babinya berdampingan dengan kandang babi Tuhamangaraja, sang ipar. Tempat itu justru sangat cocok karena terdapat mata air yang digunakan sebagai sumber air dan tidak pernah mengalami kekeringan kendatipun musim kemarau berkepanjangan. Lokasi itu dulunya sekitar disebelah selatan desa Hilianaa sekarang. Keharmonisan dan ketenteraman kehidupan Tuha Zaua pada akhirnya mengalami goncangan. Pada suatu waktu mendung kemalangan menimpa kehidupannya. Para pekerjanya yang biasa memberikan makanan ternak babinya datang menghadapnya secara terburu-buru membawa laporan bahwa kandang ternaknya telah dirusak pada pekerja Tuhamangaraja iparnya, sehingga ternaktenaknya lari berkeliaran dan sulit ditangkap kembali. Mendengar laporan itu Tuha Zaua menjadi emosi dan marah. Lalu ia menyuruh beberapa orang utusan kepada Tuhamangaraja untuk membicarakan penyelesaian persoalan itu. Kepada Tuhamangaraja para utusan itu mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat kesalahan harus dihukum tanpa pertimbangan apa-apa lagi. Mendengar hal itu Tuhamangaraja terkejut sambil berucap perlahan-lahan : sekiranya hal itu benar akan kita ambil tindakan, dihukum atau didenda sesuai dengan kesalahannya. Tetapi saya akan meneliti dan memeriksa kasus ini terlebih dahulu. Bagaimana perkembangannya akan diberitahukan. Jawaban dan tanggapan Tuhamangaraja itu membuat tidak puas dan tidak senang para utusan Tuha Zaua. Jawaban itu mereka balas dengan suatu kata yang nadanya keras dan sinis sehingga menyinggung perasaan Tuhamangaraja. Sebaliknya Tuhamangaraja menjawab kembali dengan nada yang sama sehingga dengan jawaban itu menimbulkan pertengkaran antara kedua belah pihak yang mengakibatkan terbunuhnya Tuhamangaraja secara sadis, kepalanya dipenggal. Para utusan pulang dan membawa kepala Tuhamangaraja. Mereka melapor kepada Tuha Zaua bahwa Tuhamangaraja telah mereka bunuh dengan suatu alasan yang kuat sambil berteriak-teriak di halaman agar mereka disambut dengan penghormatan yang layak menurut tradisi saat itu yaitu supaya diantarkan kepada mereka sirih sebagai tanda penghormatan dan penghargaan atas jasa mereka. Dengan terpaksa dan berat hati Tuha Zaua menerima keadaan itu dan melaksanakannya. Lalu ia mengajak isterinya Wasi turun ke halaman mengantarkan sirih kepada prajuritnya (utusan). Kendatipun dalam hal ini Tuha Zaua dan Wasi mengetahui bahwa yang dibunuh itu adalah Tuhamangaraja. Mereka bersikap seperti itu oleh karena suatu tradisi yang sudah berlaku dan tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Peristiwa itu mempengaruhi Tuha Zaua secara psikologis. Timbul kesadaran dan perubahan sikap serta pola pikir baru. Ia menyadari betapa besarnya resiko kepahlawanannya yang di masa lalu dalam kehidupannya. Peristiwa yang baru dialaminya dianggapnya sebagai balasan atas kepahlawanan dan kepemimpinannya

yang selalu merenggut nyawa manusia demi mempertahankan kewibawaannya sebagai orang yang mumpuni. Konsep-konsep yang telah disusun sebelumnya dibatalkan. Tuha Zaua berencana lagi meninggalkan Rane Batu. Kali ini ia ingin pulang ke kampung halamannya Gomo Br Nadu, dan rencana itu betul-betul diwujudkannya. Ia berangkat bersama sebagian rakyatnya, sedangkan rakyatnya yang mengikutinya dari Hiliamuruta tidak ikut serta, mereka kembali ke tempat asalnya. Sebelum sampai di Gomo Br Nadu, Tuha Zaua mampir terlebih dahulu di suatu tempat yaitu Ono Zihura lingkungan kecamatan Lahusa. Pada persinggahannya itu ia membangun pondok-pondok darurat. Sementara itu merekapun bertani (berladang), menanam padi, ubi, jagung dan kacang-kacangan. Ternyata tanahnya cukup subur dan lingkungan sekitarnya aman tanpa gangguan. Merasakan hal itu, Tuha Zaua membuat kesimpulan untuk menetap disitu. Rumah-rumah baru dibangun dengan kayu-kayu kuat sehingga terbentuk kampung baru yang diberinya nama Ono Zihura. Di kampung itulah Tuha Zaua menetap secara permanen dan memperoleh 3 putra.

IV. SILSILAH TUHA ZAUA

Berdasarkan asal usulnya, Tuha Zaua berasal dari Gomo Br Nadu, sebagai tempat pertama manusia di Tan Niha. Nama manusia pertama di Tan Niha adalah Daulusagr digantikan oleh putranya Sirao, yang kemudian digantikan oleh putranya ke 4 yaitu Hiawalangiadu. Setelah Hiawalangiadu meninggal, ia digantikan oleh putranya Fanalihia. Fanalihia digantikan oleh Botohia, Botohia digantikan oleh Tdhia, Tdhia digantikan Bawalia, Bawahia digantikan Hrhia, Hrhia digantikan Talinahia. Talinahia digantikan Turuhia, Turuhia digantikan Mokhilihia. Mokhilihia digantikan Tarahia, Tarahia digantikan Lamakhilianaa. Lamakhilianaa digantikan Howulawa, Howulawa digantikan Lauru Tlaganaa. Lauru Tlaganaa digantikan Ho (Hohia). Hohia mempunyai dua isteri yaitu Nandrua dan Sauslama. Dari Nandrua, Hohia mendapatkan delapan putra, sedangkan dari Sauslama didapatkannya satu orang putra yaitu Laoya. Laoya berputrakan Dalina (Ho Anaa), Harefa, Telaumbanua, Laoli, Lase, Lugiu, Siwandrfa, Mendrfa dan Galua. Dalina berputrakan Duhamangaraja, Duhamangaraja berputrakan Sisiwamangaraja, Sisiwamangaraja berputrakan Mauslawa, Mauslawa berputrakan Lafauzisiwa. Lafauzisiwa berputrakan Souzato, Souzato berputrakan Saota, Saota berputrakan Dan, Dan berputrakan Baldan. Putra Baldan adalah Logakha dan Logakha berputrakan Tuha Zaua.

V. KETURUNAN TUHA ZAUA

Beberapa tahun di Ono Zihura, Tuha Zaua memperoleh tiga orang putra yaitu : 1. 2. 3. Tuhalowalangi Sambdalagu Amazihono (lahir di Daro-daro)

Tuhalowalangi mempunyai dua orang putra yaitu Tansebua dan Raya Zaua. Mereka meninggalkan Ono Zihura menyusuri pantai dan membangun kampung di Nandrisa (Hilisatar sekarang). Mereka inilah nenek moyang Hilisatar. Sambdalagu juga mempunyai dua orang putra yaitu Sisiwandrfa dan Saootoniha. Sisiwandrfa mempunyai empat orang putra yaitu Siliwuniha, Sarabatu, Lowalangi dan Kawasaluo. Mereka-mereka ini juga meninggalkan Ono Zihura dan menyusuri pantai ke arah selatan. Siliwuniha bersama Sarabatu membangun kampung baru yaitu Anugela Gan (Hiligan). Sedangkan Kawasaluo membangun kampung baru yaitu Hilinisumba, dekat desa Badobara sekarang. Siliwuniha mempunyai dua orang putra yaitu Batusebua dan Sitaha. Batusebua mempunyai empat orang putera yaitu Niogas, Lawoha, Sofeta dan Sobavada. Niogas mempunyai tiga orang putra yaitu Laowo, Zofu dan Gaza (Gorao). Keturunan Niogaso ini secara lengkap ditampilkan secara terpisah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai