Anda di halaman 1dari 61

Sejarah Kabupaten Bojonegoro

Pendahuluan
Dalam literatur kolonial Belanda, Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah
satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Jawa. Tanahnya tandus dan
hampir tidak ada irigasilahan pertanian Bojonegoro berkualitas burukdaerah
yang subur di dekat Bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir
selama musim hujan. (CLM Penders (1984), Bojonegoro 1900-1942: A Story of
Endemic Poverty in North-east Java-Indonesia)
Tulisan ini mengangkat proses transformasi Bojonegoro dari sebuah kabupaten
yang kecil dan miskin, menjadi sebuah kabupaten bisa berdiri tegak dengan
kemandirian dan kerja keras pemerintah dan masyarakatnya. Transformasi ini
merupakan proses panjang dari titik minus, nol, dan plus. Minus adalah masa lalu,
nol adalah proses pembangunan masa kini, dan plus adalah Bojonegoro pada
masa depan.
Kota Bojonegoro adalah kota peradaban yang dilalui sungai terpanjang di Jawa,
Bengawan Solo. Hampir sebagian hewan purba mendiami bantaran Bengawan
Solo. Hingga kini fosil hewan purba di Bojonegoro berlimpah di sepanjang
Bengawan Solo. Bengawan Solo pada masa lalu bukan hanya sebagai jalan
transportasi saja tapi juga sebagai pusat peradaban.
Bojonegoro pada awalnya bernama Rajekwesi. Pusat pemerintahan pertama
adalah Jipang, yakni mencakup Cepu dan Padangan. Lokasinya di sepanjang
Bengawan Solo bagian barat Bojonegoro.
Bengawan Solo yang menghantarkan para pedagang dari Tiongkok, Kerajaan
Demak, dan Majapahit berdagang dengan orang Bojonegoro.
Bengawan Solo juga yang menghantarkan Sasradilaga menyerang Rajekwesi
yang dikuasai Belanda. Lalu Belanda dipukul mundur. Terjadi genjatan senjata.
Belanda akhirnya mengganti nama Rajekwesi dengan nama Bojonegoro.
Kekalahan yang memalukan Belanda lalu membuat Belanda mengganti nama
Rajekwesi menjadi Bojonegoro.
Lalu mengapa Belanda tertarik menguasai Bojonegoro? Jawabnya karena
Bojonegoro memiliki sumber daya alam melimpah. Bojonegoro memiliki minyak,
jati, tembakau, dan lahan yang subur saat itu. Kesuburan lahan itu disebabkan
adanya Bengawan Solo, dan kecocokan lahan ditanami tanaman yang produktif
dan diminati pasar Eropa saat itu, seperti jati dan tembakau.
Meski berlimpah sumber daya alam, masyarakat Bojonegoro masa lalu masih
terjerat kemiskinan, pemerintahan yang tidak berpihak rakyat. Akibatnya, hingga
2007 Bojonegoro adalah kabupaten termiskin nomer 3 di Jawa Timur. Bahkan
CLM Penders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty
in North East Java Indonesia menyebutkan bahwa kemiskinan Bojonegoro sudah
sangat mewabah. Tanah yang gersang dan sulit ditanami tumbuhan, tanaman di
bantaran Bengawan Solo yang diterjang banjir.
Penders mengilustrasikan bahwa kemiskinan di Bojonegoro pada 1900-1940
seperti kemiskinan oleh warga Rangkasbitung di Lebak dalam buku Max Havelaar
karya Multatuli. Dimana-mana rakyat miskin.
Bahkan saat zaman pembangunan orde baru, Bojonegoro nyaris tak tersentuh
pembangunan yang berarti. Rakyat masih miskin, infrastruktur jalan yang rusak
dari mulai poros kabupaten hingga desa dan lingkungan. Kelas sekolah banyak
yang rusak.
Pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah, darimana sebenarya akar
kemiskinan di Bojonegoro? Saya teringat catatan CLM Panders dalam bukunya
Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia.
Dalam versi Indonesia yang diterjemahkan secara pribadi oleh Albard Khan, buku
itu berjudul Bojonegoro 1900-1942 Kisah Kemiskinan Endemik Kabupaten
Bojonegoro Jawa Timur.
Kemiskinan seperti telah menjadi bagian dari sejarah Bojonegoro. Dari dulu
tanah Bojonegoro dikenal tandus karena mengandur kapur. Bukan hanya itu,
persoalan banjir ternyata bukan hanya dalam dekade terakhir ini saja. Namun,
sudah ada sejak akhir abad 18 dan diawal abad 19.
Ironisnya, Penders dalam salah satu bab dalam buku itu menyebut kondisi
Bojonegoro seperti di Lebak kedua, Jawa Barat. Jika Anda pernah membaca buku
Max Havelaar karya Multatuli atawa Douwes Dekker maka Anda tahu cerita
kemiskinan yang dialami Saijah dan Adinda di Rangkasbitung Kabupaten Lebak.
Miskin, terlantar dan dieksploitasi oleh VOC.
Namun, Bojonegoro agak beruntung dibandingkan Rangkasbitung, tanah yang
tandus karena berkapur masih menjadi berkah bagi masyarakat. Lahan yang
keras itu ternyata cocok untuk palawija seperti jagung dan tembakau. Dalam
catatan Penders, tanaman tembakau yang menjadi andalan Bojonegoro
diperkirakan telah ada sejak abad 16. Tanaman itu dibawa oleh Portugis saat ke
Indonesia.
Dalam catatan Penders menyebutkan, pemerintahan kolonial Belanda telah
melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan masyarakat Bojonegoro dari jerat
kemiskinan. Namun, pemerintah Belanda mengakui belum mampu
menyejahterahkan rakyat Bojonegoro. Penyebabnya sederhana, mental birokrat
yang bobrok dan kepicikan kaum pribumi. Kekayaan alam sebelum ditemukan
minyak pada zaman kolonial yang melimpah, seperti hutan jati dan tembakau
ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan rakyat Bojonegoro.
Bahkan, rakyat terjerat dalam belitan renternir Belanda dan pribumi kaya saat itu.
*****
Saya tidak tahu alasan persis Penders mengkaji kemiskinan Bojonegoro.
Mengapa Penders tidak mengkaji Lamongan atau Tuban? Mengapa Bojonegoro?
Hingga tuntas saya membaca catatan Penders, saya tak menemukan alasan baik
secara sosiologis maupun kultural mengkaji Bojonegoro. Hanya di kata pengantar
buku itu, Penders menyebutkan bahwa arsip yang berkaitan Bojonegoro di
Departemen Tanah Jajahan Belanda jumlahnya sangat melimpah. Artinya, sebagai
sebuah kajian keilmuan semata, arsip dan data sangat memadai sebagai bahan
tulisan.
Dan harus diakui catatan-catatan Penders tentang Bojonegoro sangat detail. Dia
mengaku tak pernah ke Bojonegoro. Catatan yang ditulis berdasarkan arsip dan
surat kawat para pejabat Belanda di Indonesia dengan pemerintahan Belanda.
Ada sejumlah penyebab Bojonegoro mengalami kemiskinan yang hebat saat itu,
diantaranya minimnya irigasi, diskriminasi pendidikan, dan terjerat utang yang
menumpuk kepada renternir. Namun, bagi saya, Penders juga harus menambahi
penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan. Ada diskriminasi kelas, antara priyayi
dan rakyat jelata.
Penerapan kebijakan Politik Etis oleh Belanda sempat menyelamatkan
Bojonegoro. Di bidang pertanian, Belanda membuat irigasi dengan membangun
waduk Pacal pada 30 Agustus 1927 yang menelan biaya hingga 1,2 juta gulden.
Di bidang pendidikan yang berhak menikmati pendidikan adalah anak-anak priyayi
dan orang kaya. Sedangkan anak orang miskin dilarang sekolah.
Disisi lain Belanda juga mengenalkan sistem pembayaran berupa uang kepada
rakyat Bojonegoro. Bukan hanya mengenalkan, Belanda juga meminjamkan uang
melalui bank. Banyak rakyat tergiur meminjam uang di bank. Penders mencatat,
Belanda memberikan pinjaman benih padi kepada rakyat di Baureno senilai 13
ribu gulden. Tapi, pinjaman itu terancam tak dapat dikembalikan karena kondisi
cuaca yang tak menentu.
Belanda akhirnya memberi pekerjaan kepada warga Baureno agar dapat
mengembalikan pinjaman. Yakni, mengangkuti batu dari Gunung Pegat (lintasan
Pegunungan Kendeng di Bojonegoro) untuk membangun jalan. Jika tak keliru ,
Gunung Pegat berada di jalur Babat-Jombang. Hingga sekarang sisa-sisa
peninggalan Belanda masih ada di Gunung Pegat yang membujur hingga Desa
Gunungsari Bojonegoro.
Rakyat yang rata-rata petani terjerat utang karena bunga bank sangat tinggi.
Penyebabnya, hasil dari pertanian impas bahkan kurang dari hasil pertanian yang
diperoleh. Bukan hanya itu pejabat kolonial dan administratur bank juga banyak
yang korup. Sehingga makin mencekik rakyat Bojonegoro yang meminjam uang
kepada bank.
***
Dalam kesempatan perbincangan dengan saya, Bupati Bojonegoro Suyoto
mengaku dirinya berkaca dari buku Penders itu untuk mengambil kebijakan politik
kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Bentuk kemiskinan pada zaman kolonial yang
dialami rakyat Bojonegoro seperti dalam catatan Penders tak jauh berbeda
dengan terjadi saat ini. Beruntung kebijakan Belanda saat itu masih ada yang
berpihak kepada rakyat. Yakni, dengan membangun waduk Pacal. Pertanian
Bojonegoro pun hingga kini terselamatkan.
Belanda juga membangun transportasi kereta api. Beruntungnya Bojonegoro
termasuk stasiun besar. Jadi sebagai stasiun utama. Jalur KA inilah digunakan
untuk mengangkut jati, tembakau dan hasil perkebunan lainnya ke Semarang.
Dari Semarang lalu dikirim ke Eropa.
Bukan hanya itu, mengentaskan kemiskinan juga bukan soal memberikan pancing
dan kail. Tapi, bagi saya, adalah memperbaiki mental. Dari mental peminta
menjadi pendaki. Untuk itu butuh revolusi kebudayaan. Ujungnya adalah
menjadikan warga ini bermental pemberi. Dalam bahasa agama, adalah sedekah.
Semakin banyak kita memberi maka semakin banyak kita akan menerima.
Namun, lagi-lagi urusan revolusi kebudayaan bukan hanya fisik, tapi mental.
Karena kegagalan kolonial Belanda saat itu bukan karena kebijakan yang buruk
tapi mental birokrat, legislator serta priyayi yang buruk dan korup. Kalau mental
peminta baik birokrat, legislator maupun rakyatnya ini masih belum berkurang
maka revolusi kebudayaan pun tinggal papan nama.
Penanganan kemiskinan bukan sekadar slogan dan retorika serta angka saja.
Namun, butuh langkah kongkret yang langsung dirasakan masyarakat. Dan jauh
lebih penting adalah menciptakan birokrat yang bersih dan benar-benar melayani
rakyat.

Bojonegoro Masa Kini


Pada Maret 2007 melalui pilkada langsung dan demokratis, Suyoto atau akrab
yang dipanggil Kang Yoto terpilih sebagai bupati. Kang Yoto dan Kang Hartono
yang hanya didukung 7 kursi di DPRD, mampu mengalahkan calon incumbent
yang diusung oleh lebih dari 14 kursi. Pilkada yang langsung dipilih rakyat mampu
menjaring pemilih yang berbobot. Siapapun memiliki peluang untuk mengabdi
kepada rakyat. Pilkada langsung inilah yang membuat Kang Yoto berkomitmen
langsung kepada rakyat.
Komitmen pertama adalah menjamin para birokrasi bekerja keras melayani rakyat.
Komitmen kedua adalah menjamin bahwa anggaran untuk kepentingan rakyat.
Komitmen ketiga adalah transparan semua kebijakan dan rakyat dapat bertemu
langsung bupati. Salah satu program transparansi kebijakan tersebut, yakni Dialog
Jumat yang sudah mulai periode pertama hingga periode kedua kepemimpinan
Kang Yoto saat ini.
Perbaikan pertama yang dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur jalan rusak.
Pilihannya adalah menggunakan paving. Mengapa paving? Karena paving cocok
dengan tanah Bojonegoro yang bergerak. Bukan hanya itu, pengerjaan paving
juga membuka lapangan pekerjaan yang luas kepada masyarakat.
Hasilnya dari jalan poros desa hingga kabupaten yang rusak, kini tinggal sekitar
10 persen.
Bukan hanya jalan raya saja yang diperbaiki. Kini ke akses ke Bojonegoro jauh
lebih mudah dan cepat. Salah satunya, jalur rel ganda yang melalui Bojonegoro.
Dari Jakarta ke Bojonegoro naik kereta jauh lebih nyaman dan cepat dibandingkan
dulu.
Dari jalan lalu tumbuhlah ekonomi. Batik yang khas Bojonegoro mulai dikenalkan.
Muncullah warga yang memproduksi batik Jonegaran. Batik Jonegoro mulai
diminati warga Bojonegoro. Wong Jonegoro merasa bangga menggunakan batik
Jonegoro. Batik Jonegoro juga sudah menjadi seragam wajib bagi siswa dan para
pegawai. Batik Jonegoro menjadi kebanggaan warga Bojonegoro.
Warga Bojonegoro yang dikenal ulet dan pekerja keras tak menyerah begitu saja
dengan kondisi alam yang keras Pertanian juga mulai tumbuh pesat dengan
adanya embung di berbagai pelosok Bojonegoro. Bukan hanya padi saja, tapi juga
tanaman lain, seperti jagung, kedelai, bawang merah menjadi komoditas yang
dihasilkan warga Bojonegoro.
Berkah migas juga membawa dampak positif yang signifikan kepada Bojonegoro.
Efek domino ekonomi dari migas menumbuhkan ekonomi baru bagi Bojonegoro.
Dari mulai usaha hotel, restoran, UMKM tumbuh, dan usaha lain yang menyerap
tenaga kerja yang tak sedikit.
Keberhasilan ekonomi Bojonegoro yang terus tumbuh juga didukung oleh
kebersamaan warga Bojonegoro yang plural. Bojonegoro yang sejak dulu menjadi
wilayah jalur ekonomi melalui Bengawan Solo didatangi oleh berbagai warga yang
memiliki latar beragam. Kondisi Bojonegoro yang plural dan warganya mampu
hidup harmonis inilah yang menjadi modal sosial berharga dalam pembangunan di
Bojonegoro.
Kerja keras pemerintah dan masyarakat Bojonegoro ini tak sia-sia. Bojonegoro
mendapatkan berbagai prestasi, bukan hanya regional, dan nasional tapi juga di
tingkat internasional.
Masa Depan Bojonegoro
Muncul pertanyaan, bagaimana potret Bojonegoro 20 tahun hingga 30 tahun
kedepan? Apakah masyarakatnya akan jauh lebih makmur atau akan semakin
mundur?
Saat ini jumlah penduduk Bojonegoro sekitar 1,2 juta jiwa. Pada 20-30 tahun
mendatang, jumlah penduduk dipastikan bertambah. Mungkin 2-3 juta jiwa. Basis
utama ekonomi Bojonegoro saat ini adalah migas dan pertanian. Kedua basis ini
menjadi sumber utama pendapatan pembiayaan ekonomi pembangunan. Lalu
muncul tagline, Bojonegoro lumbung pangan dan energi.
Dari migas, Bojonegoro mendapatkan dana bagi hasil migas. Bisa saja
pendapatan dari dana bagi hasil migas akan berkelanjutan hingga 30 tahun
mendatang. Namun, migas tentu saja ada batasnya. Pada 30 tahun mendatang,
potensi migas di Bojonegoro akan semakin menipis. Jika semakin menipis, maka
efek domino dari migaspun akan semakin berkurang.
Tapi semoga saja, efek domino ekonomi ini akan bertahan lama. Sebab, letak
Bojonegoro yang berada ditengah kawasan migas Blok Cepu, Blok Tuban, Blok
Nona dan sebentar lagi ada Blok Blora. Meski belum miliki nama blok sendiri,
Bojonegoro mendapatkan dana bagi hasil migas dari blok tersebut.
Dan pertanian adalah sumber mata pencaharian utama dari masyarakat. Sebagai
masyarakat yang agraris, Bojonegoro sampai kapanpun akan tergantung kepada
pertanian. Saat ini, hampir 70 persen masyarakat Bojonegoro adalah petani.
Namun, 30 tahun mendatang, bisa saja lahan pertanian akan semakin sempit.
Sebab, luas lahan tak mungkin bertambah. Jumlah penduduk pasti bertambah.
Otomatis lahan juga semakin berkurang.
Apalagi lahan hutan bukanlah milik Bojonegoro tapi milik perhutani. Artinya,
pertanian sesungguhnya bisa menjadi ancaman basis ekonomi juga berkurang.
Lalu selain pertanian dan migas adakah sumber ekonomi lain agar pembangunan
ini dapat berkelanjutan? Jawabnya adalah sektor jasa. Dapatkah Bojonegoro
membangun sektor jasa? Bisa saja. Singapura sebelum menjadi raksasa ekonomi
saat ini, dulunya masyarakatnya adalah petani kopra. Namun, pada 1970an,
pemerintah Singapura belok haluan ke sektor jasa. Salah satu sektor jasa yang
menjadi andalan Singapura adalah kesehatan. Rumah sakitnya dibangun
mentereng. Dokternya adalah para ahli yang diakui dunia medis. Tak hanya itu,
alat kesehatannya terlengkap didunia. Orang Indonesia yang berduit jika sakit
pasti berobat ke Singapura. Bukan kesehatan, ikon kota itu penting. Maka
dibuangunlah Orchard Street.
Sejumlah merek ternama dari fashion hingga makanan membangun supermarket
di Orchard Street. Dan yang jauh lebih penting dari sektor jasa adalah merawat
kembali budaya dan sejarah. Rumah dan lokasi sejarah direstorasi kembali. Lalu
menjadi sajian wisata yang menarik. Singapura juga membangun pendidikan
mereka menjadi yang terbaik di Asia.
Nah, kembali ke Bojonegoro, satu abad setelah tragedi kemiskinan ada 1900-
1942, kini Bojonegoro memiliki visi besar. Yakni menjadi lumbung pangan dan
energi negeri. Visi Bojonegoro ini menjadi sangat menarik. Mengapa? Karena visi
ini jika berhasil maka Bojonegoro yang sangat miskin akan menjelma menjadi
masyarakat yang sejahtera dalam waktu yang tak lama.
Namun, tantangan mewujudkan visi itu cukup banyak, bukan hanya dari
masyarakat yang apatis. Birokrat yang darahnya masih ada kultur Orde Baru juga
menjadi tantangan yang cukup berat.
Tantangan paling berat dan krusial adalah pasca kepemimpinan Kang Yoto.
Pondasi yang sudah dibangun ini tentu diharapkan tak sia-sia. Namun, justru
menjadi berkembang lebih berpihak kepada rakyat dan dirasakan manfaatnya
oleh rakyat.
Mungkin ini masih jauh waktunya. Tapi empat-lima tahun lagi bukan waktu yang
lama. Pemimpin yang visioner dan berpihak kepada kepentingan rakyat harus
mulai dikader mulai sekarang.
Kue hasil bumi yang menggiurkan ini, di masa depan jangan hanya dinikmati oleh
segelintir elit dan golongan saja. Pun jangan sampai persoalan kemiskinan lalu
bergeser menjadi masalah ketidakadilan.
A. Bojonegoro Masa Pra Sejarah
1. Masa Satu Juta Tahun Lalu
Bagaimana wajah Bojonegoro satu juta tahun lalu? Bojonegoro satu juta tahun
lalu adalah lautan dalam. Buktinya, banyak ditemukan hewan yang hidup di laut.
Salah satunya adalah molusca. Fosil molusca banyak ditemukan di Desa Soko
Kecamatan Temayang. Jarak antara Desa Temayang dengan Bojonegoro sekitar
30 Km. Lokasi desanya bukan di tengah kota tapi di pelosok, masuk hutan.
Bukan hanya fosil molusca saja yang membuktikan Bojonegoro pada masa lalu
adalah molusca, tapi juga banyak peninggalan pra sejarah hingga kolonialisme
Belanda yang banyak ditemukan di Desa Soko ini.
Menuju Desa Soko diperlukan stamina yang cukup kuat. Desa ini terletak sekitar
20 Km dari Kecamatan Temayang. Arahnya, jika Temayang di pertigaan Desa
Pajeng Kecamatan Gondang belok ke kiri. Dari pertigaan Desa Pajeng itu,
jaraknya masih sekitar 8 Km. Sekitar 5 Km telah dipaving. Sisanya belum
dipaving. Namun, sisanya jalan berbatu (makadam) dan harus pandai-pandai
mencari jalan yang bagus. Bukan hanya itu, kondisi jalan juga masih naik turun
yang cukup tajam sehingga perlu hati-hati yang ekstra. Perkampungan pertama
yang ditemui adalah Desa Pajeng, selebihnya adalah hutan jati dan non-jati jika
ke Desa Soko.
Sesampai di Desa Soko, suasana purba cukup terasa. Belasan batu menyerupai
lumping diletakkan di depan Kantor Desa Soko. Batu yang cukup besar itu
berdiameter 1 meter. Tingginya sekitar 0,5 meter. Ditengahnya berlubang. Ada
yang masih utuh dan ada yang patah. Ada yang berukuran kecil. Batu menyerupai
lumping itu ditemukan sejumlah warga desa setempat dari sawah dan sekitar
perumahan mereka. Diperkirakan jumlahnya masih lebih banyak lagi yang masih
tertimbun di persawahan desa setempat. Batu menyerupai lumpang itu
diperkirakan peninggalan zaman Majapahit.
Ada dua kemungkinan, batu itu merupakan alat untuk menumbuk padi dan beras
pada zaman kerajaan Majapahit. Selain itu, batuan itu merupakan tempat sesaji
warga desa setempat yang diletakkan di persawahan desa setempat. Batuan
tersebut diduga tempat sesajen zaman Majapahit. Sesaji itu untuk persembahan
Dewi Sri.
Majapahit memilih lokasi ini sebagai tempat lokasi singgah sebab di desa ini ada
mata air. Mata air itu letaknnya ditengah sawah yang dikelilingi hutan. Airnya
sangat jernih dan tak pernah habis meski di musim kemarau.
Selain, batuan berbentuk lumpang yang ditemukan. Desa ini juga kaya
peninggalan purba peninggalan sekitar jutaan tahun lalu, seperti batuan karang.
Padahal batuan karang itu hanya ditemukan di daerah sekitar laut. Tapi di Desa
Pajang batuan karang ini berserakan sangat banyak. Jika beruntung, maka akan
ditemukan fosil purba baik itu udang besar (lobster) maupun fosil daun yang telah
menyatu dengan batuan karang. Desa Soko diperkirakan pada satu juta atahun
lalu lautan.
Batuan karang itu digunakan sebagai pembatas tanah atau rumah oleh warga
desa setempat. Batuan karang itu, juga digunakan oleh warga desa setempat
pinggir rumah mereka.
Di Desa Soko Kecamatan Temayang bukan hanya peninggalan pra sejarah dan
Majapahit, namun juga peninggalan kolonialisme Belanda. Buktinya, ditengah
hutan di lereng pegunungan Kendeng ditemukan bekas bangunan yang sudah
roboh. Bangunan itu diduga adalah bekas perumahan Belanda. Dugaan lain
adalah bekas waduk yang dibangun Belanda.
Kekayaan sejarah bukan hanya peninggalan para sejarah dan Majapahit. Tak jauh
dari balai Desa Soko, terdapat makam Dampo Awang. Dia merupakan salah satu
panglima perang dari pasukan Cheng Ho. Di samping balai desa juga ada rumah
dalang khusus untuk ruwatan, Mbah Soekijah. Dalang tanpa gamelan ini sangat
langka. Dia harus menjalani puasa 40 hari sebelum pentas dalang.
Peninggalan sejarah bukan hanya ditemukan di perkampungan Desa Soko saja.
Namun ditemukan juga di tengah hutan Desa Soko yang berbatasan dengan
Kabupaten Nganjuk. Jumlah penduduk Desa Soko 2.470 jiwa, 783 KK, sedangkan
luasnya sekitar 3.900 meter persegi.
Desa Soko berbatasan dengan Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk. Dulu,
Kecamatan Ngluyu masuk wilayah Bojonegoro. Namun, pada tahun 1900 oleh
Kasultanan Jogjakarta kedua wilayah dipisah. Wilayah Ngluyu masuk Nganjuk,
sedangkan Soko masuk Temayang (Bojonegoro). Kedua wilayah itu hanya
dipisahkan dengan pegunungan Kendeng. Akibat pemisahan itu, salah satu
makam Bupati Bojonegoro KRTM Sostrodiningrat saat ini berada di Dusun
Cabean Desa Sugihwaras Kecamatan Ngluyu.
Untuk ke pegunungan Kendeng, perjalanannya tak mudah. Lokasi gua dan
peninggalan kolonialisme itu ke arah timur dari perkampungan Desa Soko. Jalan
pertama kami susuri adalah jalan tegalan sawah. Kami harus hati-hati
melewatinya karena menggunakan motor. Setelah sawah, kami melewati hutan
semak belukar. Sekitar 1 Km, kami tiba di jalan agak lebar sekitar 2 meter. Ada
bekas ban. Berarti jalan tersebut dilewati kendaraan roda empat. Tapi kondisi
jalannya rusak parah. Kami hanya melewati sisi tengahnya saja, karena kanan kiri
cekungan dalam dan tak mungkin dilewati roda doa. Sekitar 2 Km, melintas jalan
tersebut, kami berhenti. Sebab, jalan yang akan kami lewati, jalannya sangat jelek.
Motor tak mungkin bisa melewatinya. Motor dikunci dan tinggal begitu saja di
tengah hutan yang cukup lebat. Perjalanan kami lanjutkan jalan kaki. Dalam
perjalanan, penunjuk jalan, Nur Salim bercerita, sepanjang perjalanan kami
melewati hutan, dulu banyak ditemukan kuburan orang Majapahit. Di dalam
kuburan itu, banyak ditemukan monte (perhiasan orang Majapahit yang dibawa
mati). Cara menemukan kuburan Majapahit itu mudah, biasanya dipermukaan
tanah ada kreweng (pecahan genteng). Monte itu lalu dijual oleh warga setempat.
Sekitar 1 Km berjalan, akhirnya kami berhenti. Lalu kami masuk ke hutan. Nur
Salim didepan kami membabat ilalang dan semak belukar. Sekitar satu jam
mencari, kami tak menemukan bekas bangunan tersebut. Akhirnya, kami istirahat.
Dan Nur Salim mencari bangunan bersama Suheri. Bangunan itu akhirya
ditemukan, tapi sudah roboh. Tak ada yang yang tersisa dari bangunannya
tersebut. Panjang bangunan yang roboh itu sekitar 30 meter. Hanya terlihat
permukaanya saja. Lokasinya, oleh warga setempat dinamakan, Sendang Mbeji.
Kalau melihat bangunannya sudah ada semennya, maka ini diperkirakan bekas
bangunan Belanda,kata sejarawan lokal, Harry Nugroho.
Warga setempat, Sumardi mengaku belum pernah mendengar cerita tentang
bangunan di tengah hutan tersebut. Begitu pula, sekdes Soko Jauhari juga belum
pernah mendengar cerita tentang bangunan tersebut. Tapi sendang Mbeji pada
zaman dulu dikeramatkan oleh warga setempat,kata Sekdes Soko Jauhari.
Tak jauh dari Sendang Mbeji, membentang pegunungan Kendeng yang
berbatasan langsung dengan Kecamatan Ngluyu. Di pegunungan Kendeng yang
masuk wilayah Desa Soko ditemukan sedikitnya 9 gua. Dua gua yang terbesar
adalah Gua Gogor dan Gua Gondel. Di Gua Gondel pernah ditemukan mahkota
yang diduga milik raja. Mahkota itu berlapiskan emas. Namun, mahkota itu
akhirnya raib dicuri orang.
Potensi Desa Soko yang kaya dengan sejarah sudah seharusnya dikelola baik
oleh pemerintah. Salah satnya, menjadikan Desa Soko ini sebagai wisata sejarah.
Bukti lain Bojonegoro pada satu juta tahun lalu adalah lautan adalah penemuan
Fosil Ikan Paus di Kecamatan Temayang Bojonegoro. Diperkirakan usia 3 juta
tahun lalu. Fosil ikan paus ini ditemukan kali pertama di di Indonesia Fosil ikan
paus ditemukan di Kali Jono Desa Buntalan Kecamatan Temayang.
Banjir ternyata tak selamanya menjadi musibah. Bagi Supangat, seorang anggota
TNI berpangkat serda di Kecamatan Temayang, banjir adalah berkah. Ditemukan
pada 4 April 2012, Saat itu, Supangat sedang libur piket jaga di pos TNI
Temayang. Dia ingin menyalurkan hobinya. Yakni mencari fosil.
Pagi yang cerah usai menyelesaikan pekerjaan rumah. Dia melangkah menuju
Kali Jono yang tak jauh dari rumahnya.
Air sungai sedang dangkal. Kaki telanjangnya lincah melewati rerumputan dan
tanah lempung berpasir menuju pinggir sungai.
Tanah di pinggir sungai itu masih terlihat basah dan ditimbun tanah yang berpasir.
Tanah yang basah itu adalah sisa banjir tumpahan air dari wilayah selatan.
Di bibir sungai, kakinya melangkah pelan turun ke sungai. Lalu dia menelusuri
sungai. Pandangan matanya terus mengarah ke bawah. Lalu disingkapnya,
sampah daun. Matanya tertegun melihat bentuk bebatuan yang tak lazim. Dia
mencoba meraba bebatuan itu.
Dia yakin, itu bukan batu biasa. Itu fosil. Dugaannya tak meleset. Ternyata,
bentuknya panjang. Lalu dia mencoba dengan pelan mengambil bebatuan itu.
Satu per satu akhirnya terangkat.
Setelah dilihat utuh, fosil itu seperti tulang punggung. Kalau tulang punggung
berarti hewan vertebrata. Bukan hanya itu saja, disamping fosil itu ada tulang
samping yang menyambung dengan tulang punggung atau belakang. Usahanya
tak berhenti, dia lalu menelusuri sungai Buntalan lagi.
Tak jauh dari penemuan tulang belakang, dia menemukan fosil yang berbentuk
seperti tulang leher ikan.
Dia menyakini, fosil yang ditemukan adalah ikan besar. Sebab dari tulang yang
ditemukan cukup besar, yakni satu kepalan lebih tangan orang dewasa. Untuk
sementara, dari hasil penemuan fosil ikan hiu ini, panjangnya 2,3 meter.
Diperkirakan masih lebih panjang lagi. Sebab, masih banyak fosil yang belum
ditemukan.
Tak ada mimpi sebelumnya, tapi penemuan adalah hobi saja,kata Supangat.
Fosil itu kini disimpan di rumahnya di Desa Buntalan.
Temuan fosil itu akhirnya disampaikan kepada pengelola Museum 13, Harry
Nugroho. Harry pun melakukan penelitian.
Jenis batuan tempat penemuan fosil ikan paus adalah formasi lidah. Kedalaman
dari permukaan sekitar 10 m-300 m. Ciri batuan lidah adalah terumbu dan batu
gamping berlapis. Perkiraaan usia fosil itu dilihat dari jenis batuannya adalah 3
juta-700 ribu tahun lalu. Sebelumnya di Sugihwaras juga pernah ditemukan, tapi
tak selengkap yang ditemukan di Temayang ini.
Peneliti Museum Geologi Bandung, Erick Setiyabudi mengapresiasi penemuan
fosil ikan besar di Bojonegoro. Fosil ikan paus ini merupakan kali pertama
ditemukan di Indonesia.
Dugaan kuat, fosil ikan besar yang itu adalah paus. Sebab, ikan paus memiliki
tulang belakang (vertebrata). Sedangkan ikan besar seperti hiu tak memiliki tulang
belakang. Tapi tulang rawan. Sehingga ikan hiu akan hancur jika sudah matu
lama. Berbeda dengan ikan paus. Merupakan jenis hewan mamalia yang memiliki
tulang belakang. Kalau ikan hiu tak memiliki tulang belakang, tapi tulang rawan.
Di Pulau Seram Papua juga pernah ditemukan ikan besar. Namun bukan jenis
ikan paus. Yakni, lebih mengarah ke jenis dynosaurus. Usianya 65 juta tahun.
Kalau ikan paus yang di Bojonegoro itu satu-satunya yang baru ditemukan di
Indonesia,tegasnya.
Untuk memperkuat temuan fosil ikan besar di Bojonegoro, Erick akan akan
mengkonsultasikan kepada ahli ikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Konsultasi tersebut untuk memperoleh keterangan yang lebih detail tentang
tulang dan jenis ikan.
Bupati Suyoto juga mengapresiasi temuan fosil ikan paus ini. Dia berharap bukti
sejarah ini dapat merangkai sejarah Bojonegoro di masa lalu. Karena itu perlu
diamankan jangan sampai terjual ke pasar gelap,tegasnya.
Di pasar gelap fosil, penemuan seperti tulang ikan paus purba ini dihargai sangat
mahal. Diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan juga rupiah. Karena itu,
penemuan fosil ikan paus ini harus diamankan. Pentingnya juga memberikan
penghargaan dan apresiasi kepada penemunya.
Penemuan Fosil Tanduk Kerbau di Bengawan Solo
Fosil tanduk kerbau berukuran 1,7 meter itu diletakkan di atas bangku yang
berada di dalam museum mini SDN 2 Panjunan. Satu tanduk ditemukan utuh,
satu tanduknya lagi telah patah. Tanduk itu dipisahkan kepala kerbau yang tingga
kerangka namun beberapa fosil gigi kerbau ditemukan masih utuh. Fosil gigi
kerbau sangat berguna untuk mengetahui umur fosil tanduk kerbau ini,kata
penemu fosil tanduk kerbau Dimun Suprapto.
Tanduk kerbau itu ditemukan pada 28 September 2013 di aliran Bengawan Solo.
Tepatnya di sepanjang aliran Kecamatan Malo. Dimun tak bersedia
mengungkapkan titik lokasi penemuan tanduk kerbau tersebut. Alasannya, dirinya
tak ingin ada pencurian terhadap kekayaan sejarah dan prasejarah Bojonegoro.
Kalau diketahui titik lokasinya maka saya yakin akan banyak pencuri fosil yang
berdatangan ke Bojonegoro,ujar pria asli Kalitidu.
Penemuan ini berawal dari ketekunan Dimun bersama Suheri dan Hary Nugroho
mencari fosil pra sejarah di sepanjang Bengawan Solo. Saat musim kemarau
seperti ini, air Bengawan Solo surut sehingga mempermudah mencari fosil
binatang purba di sepanjang aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. Tidak
ada warga yang memberitahu kami terkait fosil tanduk kerbau tersebut, jadi murni
kami mencari sendiri,ujarnya.
Fosil kerbau dengan nama latin Bubalus Paleokarabau ini diperkirakan berusia
300 ribu-10 ribu tahun. Karena dinilai cukup tua, penemuan fosil tanduk kerbau ini
mendapatkan apresiasi para peneliti dari Museum Geologi Bandung. Rencananya,
para peneliti dari museum Geologi Bandung akan ke Bojonegoro pada November
mendatang untuk meneliti fosil tanduk kerbau tersebut.
Perkiraan usia fosil tanduk kerbau tersebut bakal ditentukan oleh hasil penelitian
dari sejumlah kerangka yang ditemukan dan tanah yang menempel di fosil
tersebut. Bisa saja, fosil tanduk kerbau lebih tua usianya. Sebab, usia Bengawan
Solo diperkirakan mencapai 1 juta tahun lalu. Bengawan Solo pada masa purba
menjadi lokasi berkumpulnya binatang purba mencari air.
Bagi Dimun, penemuan fosil tanduk kerbau ini adalah temuan terbesarnya selama
menjadi pencari benda sejarah dan pra sejarah di Bojonegoro. Sebelumnya,
ratusan fosil telah ditemukan Dimun, Suheri dan Hary Nugroho, namun temuan
yang agak utuh adalah fosil tanduk kerbau ini.
Dimun berencana menjual fosil tanduk kerbau ini. Dana penjualan fosil kerbau ini
akan digunakan sebagai operasional pencarian benda dan situs pra sejarah di
Bojonegoro. Selama ini, dia mengaku harus merogoh koceknya sendiri untuk
mencari benda purbakala. Dukungan dari pemerintanpun dinilai sangat minim.
Karena itu, dirinya tak ragu untuk menjual fosil tanduk kerbau tersebut.
B. Bojonegoro Pada Masa Prasejarah
Orang Kalang
Makam orang Kalang membuktikan pada zaman megalitikum di Bojonegoro sudah
ada aktivitas manusia. Makam Kalang yang di Kasiman, Bojonegoro.
JFX Hoerry dalam buku Napak Tilas Wong Kalang Bojonegoro (2011)
menyebutkan, belum ada bukti orang Kalang diakui asli Bojonegoro. Namun,
orang Kalang yang ada di Bojonegoro sudah ada sejak zaman pra sejarah atau
sejak Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Orang Kalang di Bojonegoro adalah
penyembah matahari. Hal itu dibuktikan dari makam tertua Kalang di Kidangan
yang dikenal Wali Kidangan di Desa Sukorejo Kecamatan Malo. Artinya, orang
Kalang di Bojonegoro lebih tua dari orang Kalang di Jogjakarta pada masa Raja
Mataram I, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645).
Dosen Universitas Udayana Bali, Rochtri Agung Bawono dalam tulisannya
Menelusuri Masyarakat Asli Bojonegoro (2010) menyebutkan, makam orang
Kalang di Bojonegoro diperkirakan pada 1460-1620. Menurut Roctri, jika merujuk
dari tahun tersebut maka orang Kalang di Bojonegoro ada pada masa Hyang
Purwawisesa dari Dinasti Girindrawardana yang berkuasa pada akhir Majapahit
(1456-1466). Padahal Bojonegoro baru lahir pada 1677. Artinya, sekitar 200 tahun
sebelum Bojonegoro lahir, orang Kalang sudah berdomisili di Bojonegoro. Dalam
kajian CLM Panders dalam buku Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic
Poverty in North-East Java-Indonesia menyebutkan, orang Kalang adalah asal
usul dari komunitas Samin yang ada di Blora dan Bojonegoro.
Saya termasuk percaya bahwa orang Kalang bukan orang asli Bojonegoro.
Namun setidaknya ada bukti ilmiah orang Kalang adalah komunitas tertua yang
ada di Bojonegoro.
Semestinya makam Kalang dan situs sejarah Rajekwesi lainnya yang harus dijaga
dan dipelihara oleh pemkab. Makam batuan Kalang itu bisa dijadikan sebagai
lokasi wisata sejarah yang menarik.
Bojonegoro Pada Mulanya
Dari catatan bundelan Sejarah Bojonegoro: Bunga Rampai, Bojonegoro bermula
dari perkampungan yang tersebar di sejumlah titik. Kampung-kampung itu
tersebar di Gadung Rahu yang saat ini disebut Ngraho, Badender (Dander),
Randu Gempol, Toja dan Adiluwih. Adalah Ki Ruhadi atau yang dikenal Rakai
Purnawikan yang menjadi salah satu kepala suku terkuat dari sejumlah
perkampungan. Dia tinggal di Randu Gempol. Nama itu lalu diubah menjadi
Hurandu Purwo pada 1115.
Letaknya berada di Desa Plesungan Kecamatan Kapas. Ibukota kerajaannya di
Kedaton di sekitar wilayah Kecamatan Kapas. Kerajaan kecil Hurandu Purwo lalu
lenyap. Pada saat kekuasaan Airlangga bertahta di Kahuripan, wilayah
kekuasaanya hingga barat. Saat itu berdiri kabupaten Rajekwesi. Pada masa
kerajaan Singasari (1222-1292), kerajaan Rajekwesi pecah menjadi tiga. Yakni
Rajekwesi Wetan, Bahuwerno (Baureno) dan Getasan Kenur (Kanor saat ini).
Pada zaman kerajaan Majapahit (1293-1309), tiga kabupaten itu dilebur menjadi
satu dengan nama Kabupaten Kahuripan. Sejumlah candi pada zaman Airlangga
dan Majapahit dibangun di kabupaten Kahuripan. Sayang, candi-candi itu
dihancurkan saat kerajaan Demak berkuasa di tanah Jawa (1521).
Kabupaten Kahuripan pun ditelan zaman. Lalu pada 1523, muncul dua kabupaten
yang berbasis Islam. Yakni, Jipang Panolan dan Waru. Jipang Panolan dipimpin
Raden Wirabaya dan bekas Senopati Anggakusuma sebagai adipati Waru.
Hingga kemudian Jipan Panolan menjadi wilayah kekuasaan Kasultanan
Yogyakarta.
Dari Bojonegorolah sesungguhnya mempunyai hubungan batin yang sangat erat
dengan Kasultanan Yogyakarta. Sebab, bupati Bojonegoro, R.T Sosrodingrat yang
menikah dengan BRA Sosrodiningrat menurunkan trah Hamengkubuwono ke IV
hingga Hamengkubuwono ke X saat ini.
C. Di Bawah Kekuasaan Belanda
Masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
Pada tahun 1795 dalam kerajaan Belanda terjadi perebutan kekuasaan oleh
Perancis dengan jalan kekerasan atau biasa dikenal dengan Coupdetat. Pada
saat itu Raja Belanda yang bernama Willem III melarikan diri ke Ingrris dan di
negeri Belanda sendiri mereka membentuk suatu pemerintahan Republik dengan
nama Bataafsche Republik.
Republik ini bekerjasama dengan Prancis sedangkan Raja Belanda yang
melarikan diri ke negeri Inggris tadi membentuk pemerintahan sendiri dan
bekerjasama dengan Inggris. Suatu keuntungan tersendiri bagi setiap pihak
karena pada saat itu Inggris dan Perancis sedang perang hebat.
Pada tahun 1801 hingga 1808 terjadilah pertentangan politik yang di sebabkan
oleh pro-kontra terhadap Perancis yang notabennya pada masa itu Belanda masih
menjajah Indonesia. oleh karena itu dibentuklah sistem perekonomian baru yaitu
monopoli dan mode pemerintahan dagang dengan tetap mempertahankan jenis
modes VOC. Sistem ini dikemukakan oleh pimpinan Naderburg bekas Komisaris
Jenderal tahun 1791 hingga 1799. Hal ini di tentang olehVan Hogendorp bekas
gezaghebber di Jawa Timur, beliau memiliki pemikiran yang sangat liberal dimana
sistem pemerintahan harus dipisahkan dengan soal-soal ekonomi yang mana
sistem rodi harus dihapuskan.
Setelah melalui pertemuan kedua belah pihak ditemukan jalan keluar dimana
sistem pemerintahan Belanda yang kolot masih tetap dipergunakan serta di
imbangi dengan perubahan sistema yang bersifat liberal. Dengan begitu
berdampak besar bagi politik di Indonesia karena pada saat itu Belanda masih
menguasai Indonesia sedangkan Belanda berada pada kekuasaan Perancis.
Pada masa itu Indonesia dibawah ancaman Inggris yang pada saat itu menguasai
pangkalan di India, sehingga mengkhawatirkan Napoleon Bonaparte (raja
Republik baatafsche)akan perebutan Indonesia oleh Inggris. Dengan begitu
Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Willem Daendels seorang ahli hukum dan
ahli militer untuk mengemban tanggung jawab memimpin pemerintahan di
Indonesia. Datang di Indonesia pada tanggal 14 Januari 1808 Gubernur Jendral
Herman Willlem Daendels menjabat sebagai Gubernur ke 36 di pulau Jawa.

Selama tiga tahun masa jabatannya di Indonesia sangatlah membekas bagi


sejumlah masyarakat salah satunya Bojonegoro, sistem pemerintahan yang
fundaentil dia terapkan dengan tindakan-tindakan yang cenderung kejam.
Beberapa kekejaman Gubernur Daendels yang masih membekas di hati
masyarakata adalah ketika membuat pertahanan militer untuk menghindari
serangan dari Inggris. Saat itu Bojonegoro masih di bawah wilayah Rembang,
sedangkan untuk mencari perlindungan Gubernur Daendels membuat jalan besar
yang membentang dari Anyer di Jawa Barat hingga Pantai Utara Pulau Jawa kota
Panarukan Jawa Timur. Di perkirakan jalan mencapai 1000km, cara pembuatan
jalan ini menggunakan sistem paksa atau kerja rodi.
Masyarakat yang berada di sekitar jalan yang di bangun di paksa untuk
membangun jalan termasuk rakyat Bojonegoro, mereka di paksa untuk
membangun jalan serta pangkalan angkatan laut tanpa di beri upah berupa uang
dan makanan. Sehingga makanan yang mereka makan adalah pemberian dari
Sultan Yogyakarta. Disamping itu, kekejaman juga terjadi di bidang ekonomi
keuangan dimana Gubernur Daendels menerapkan sitem VOC bagi masyarakat
Indonesia dan Eropa. Sedangkan pada masa itu perekonomian di Indonesia
sedang merosot sehingga timbullah perlawanan dari rakyat Indonesia.
Perlawanan di pimpin oleh Kesultanan Yokyakarta, yang mana beliau juga
merupakan pimpinan dari Blok politik yang anti Belanda. Pergolakan politik antara
blok politik anti Belanda yang di pimpin oleh Sultan Hamengku Buwono II dan blok
politik pro Belanda yang di pimpin oleh Patih Danuredjo yang dimenangkan oleh
Sultan Hamengku Buwono II. Kemenangan ini sontak membuat Belanda khawatir
sehingga Gubernur Daendels menyusun beberapa tuntutan yang bukan-bukan
untuk Kasultanan Yogyakarta. Salah satu tuntutannya adalah menyerahkan orang-
orang yang di anggap anti Belandaa terutama Pangeran Raden Natakusumo serta
menggerakkan kembali rakyat berusia dewasa sepanjang jalur proyek lalu lintas di
jalur Utara.
Oleh sebab itu rakyat Jipang (Bojonegoro) berlindung dibelakang blok anti
Belanda karena merasa keselamatan mereka terancam. Bupati Jipang Raden
Ronggo Prawirodirdjo III itu sontak melakukan perlawanan terhadap Belanda
secara terus-menerus hingga akhir hayatnya. Dengan meninggalnya Bupati
Jipang justru membuat Gubernur Daendels menaruh perhatian lebih terhadap
perekonomian di Jipang (Bojonegoro). Sejak saat itu Gubernur Daendels
memberikan tindakan-tindakan yang tegas dan keras bagi masyarakat.Salah satu
tindakan tegas Gubernur Daendels adalah dengan memberikan gaji yang tetap
kepada semua pegawai termasuk Bupati Jipang.
Tindakan keras pada waktu itu adalah dengan melarang mereka melakukan
perdagangan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Akan tetapi
larangan itu belum sepenuhnya bisa terapkan karena belum adanya aturan yang
mutlak oleh pegawai. Dengan adanya peraturan baru berarti telah merubah
peraturan lama dari sistem korp pegawai warisan dari VOC menjadi lebih modern.
Sehingga hal itu merubah pemikiran para petinggi daerah bahkan termasuk desa,
dari yang bersifat feodal ke arah yang modern. Hal itu di lakukan oleh Gubernur
Daendels demi untuk mendapatkan perekonomian yang lebih maju serta
mensukseskan program pemerintahannya dengan sistem paksa.
Gubernur Daendels dikenal sebagai orang yang memiliki ambisi tinggi dalam
memimpin suatu wilayah, dengan sifatnya tersebut besar keinginannya untuk
menerapkan sistem paksa dalam pembangunan proyek jalannya yang di beri
nama Jalan Raya Daendels. Dengan begitu roda perekonomian akan ikut maju
karena selain untuk pertahanan dari serangan Inggris di utara, jalan tersebut juga
digunakan untuk memperlancar jalannya perekonomian. Keinginan Gubernur
Daendels nampaknya kurang berjalan mulus karena Daendels cenderung
menerapkan sistem kontradiktif pada sistem perekonomiannya.
Gubernur Daendels menghapuskan penyerangan wajib benang kapas dan nila
yang banyak dihasilkan oleh rakyat Jipang akan tetapi cenderung memaksa
mereka untuk kerja paksa (rodi). Hal tersebut membuat masyarakat Yogyakarta
yang memang dekat dengan Jipang melakukan pemberontakan api kepada
Daendels. Akibat terjadinya pemberontakan membuat keadaan financial Daendels
merosot jauh dari masa Kompeni dulu, sehingga Gubernur Daendels menjual
beberapa tanah yang luas kepada Cina. Hal ini hampir membuat Jipang runtuh
akibat politik tersebut, akan tetapi dapat terselamatkan oleh kerajaan Inggris yang
akhirnya menguasai Indonesia.
Masa Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles
Pemerintahan masa Daendels memberikan riwayat yang buruk terhadap
pemerintahan selanjutnya, salah satunya hubungan yang kurang baik dengan
para petinggi Jawa khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Serta suasana
administrasi pemerintahan yang kurang lancar dan kas negara yang semakin
kosong membuat Gubernur Janssens harus bekerja keras untuk memulihkan
semua. Hubungan-hubungan dengan negara asing pun kurang harmonis
sehingga negara tidak akan mendapat bantuan apapun dari Belanda.
Selama beberapa waktu belum ada tindakan apapun yang dilakukan oleh
Janssens untuk memulihkan semua dan bahkan pada saat itu Belanda
menyerahkan diri karena tidak sanggup melakukan perlawanan di desa Tuntang
wilayah kabupaten Salatiga yang merupakan daerah kekuasaam Surakarta.
penyerahan ini biasa di sebut Kapitulasi Tuntang pada tahun 1811, sejak saat itu
perekonomian Indonesia berada pada jajahan perseroan dagang seperti VOC.
East Indiant Company (EIC) merupakan perseroan dagang inggris yang berpusat
di India, yang kini menguasai perekonomian Indonesia.
Dengan dibekali ilmu yang diterapkannya di India membuat Raffles percaya untuk
menerapkannya di Indonesia, salah satunya Stelsel Tanah. Raffles berusaha
menumbuhkan perdagangan bebas, sistem tanaman bebas dan menghapuskan
kontingenten serta rodi. Sistem rodi di hapuskan akan tetapi petani pribumi di
wajibkan membayar pajak kepada Inggris. Demi menjalankan sistem Stelsel
Tanah Raffles melakukan penelitian ke berbagai daerah di Jawa, sehingga
mendapat gambaran untuk mengambil alih pemungutan pajak yang dilakukan oleh
para raja dari Yogyakarta dan Surakarta.
Mereka membebaskan raja dari kegiatan pemungutan pajak dan mengangkatnya
menjadi pemimpin. Dengan begitu perlahan pemerintah Inggris mampu merebut
posisi para raja untuk pemungutan pajak serta penyewaan lahan pertanian yang
dulunya dilakukan oleh para raja dan penduduk sebagai penyewa serta pengelola.
Penduduk kini harus membayar pajak tanah kepada pemerintah bukan lagi upeti,
yang biasa dikenal dengan sebutan landrente. Kegiatan pemungutan pajak
tersebut dilakukan atas dasar seperti, penghapusan segala penyerahan hasil
tanah secara paksa dan pembebasan penanaman serta perdangangan. Sehigga
petani memiliki hak pasti atas barang-barang yang dihasilkannya, pengawasan di
lakukan langsung oleh pemerintah. Berikut penarikan pajak tanah tidak lagi di
lakukan oleh Bupati ataupun raja demi menghindari penyelewengan. Menyewakan
tanah secara langsung tanpa melalui perantara.
Dasar-dasar tersebut merupakan dasar perekonomian liberal, dimana petani di
berikan kebebasan dalam menanam serta dagang sesuai dengan perjanjian
dengan pemerintah. Sistem perekonomian liberal adalah dimana petani diberikan
kebebasan sehingga tidak ada lagi sistem organisasi yang dilakukan petinggi-
petinggi daerah setempat yang mana harus dipatuhi oleh rakyat. Perubahan
sistem ini semata-mata dilakukan bukan untuk kemakmuran rakyat melainkan trik
dari Raffles agar mendapatkan barang-barang untuk kemudian di pasarkan di
pasar dunia. Penarikan pajak yang terkesan tergesa-gesa menimbulkan terjadinya
tekanan serta paksaan dari pemerintah. Hal itu dirasa berat oleh rakyat karena
mereka di paksa menyetor uang dalam jumlah yang besar sedang mereka
terbiasa dengan sistem kontingenten. Oleh sebab itu, ini menjadi kesempatan
emas bagi Cina untuk mendapatkan barang-barang dengan harga murah karena
rakyat terdesak untuk menjual barang mereka.
Berbagai upaya dilakukan oleh Raffles demi merubah tatanan pemerintahan yang
feodal menjadi tatanan yang berkiblat Eropa. Raffles berusaha menggeser
peranan Bupati serta petinggi daerah demi menerapkan dasar-dasar Eropa. Hal
itu tidak di sambut baik oleh Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II
yang kembali menduduki kerajaan Yogyakarta setelah Daendels lengser. Sultan
Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari
Gubernur Jendral Raffles melakukan perlawanan yang sontak mendapat
dukungan penuh dari masyarakat Jipang (Bojonegoro) karena pada masa itu
menjadi salah satu daerah kekuasaan Yogyakarta. Akan tetapi Inggris mampu
menundukkan Sultan Sepuh dan pada akhirnya Jipang (Bojonegoro) yang
memiliki banyak lahan jati jatuh ke tangan Inggris.
Sejak saat itu kayu jati merupakan salah satu hasil bumi yang di perdagangkan di
pasar dunia oleh Inggris. Setiap laki-laki yang tinggal di wilayah hutan kayu jati
seperti di Malo, Kasiman dan Dander banyak diperkerjakan sebagai penanam,
penebang dan pengangkut ke tempat tujuan.
Sejak 1 April 1813 pemerintah Inggris mendirikan kantor yang disebut Civil
Communissioner. Hal ini terjadi atas perjanjian yang dilakukan oleh pihak Inggris
dengan Sultan Hamengku Buwono III dengan tujuan ingin membekuk kerajaan
Yogyakarta. Sultan III harus melepaskan bea dari bandar-bandar dan pasar dan
akan di ganti kerugiannya oleh Inggris sebanyak 100 ribu pertahun. Menyerahkan
keuntungan daripenjualan sarang burung, madat dan kayu jati.
Pada masa kekuasaan pemerintah Inggris, Bupati Jipang (Bojonegoro) dijabat
oleh Raden Prawirosentiko yang merupakan keturunan dari Kasultanan
Yogyakarta. Asas yang beliau terapkan berkiblat pada Kerajaan yang mana Bupati
berkewajiban menarik upeti dari masyarakat untuk diserahkan kepada kerajaan
untuk dibuat biaya perang. Akan tetapi beliau belum begitu banyak melakukan
perintah dari penguasa Inggris.
Masa Commissaris Jendral
Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789 mendapat perlawanan keras
utamanya dari negeri Perancis. Masyarakat banyak yang menolak despotisme
serta hak-hak istimewa yang di tekankan pada masa itu. Penolakan dilakukan oleh
kaum bangsawan serta petani yang menolak terhadap perbudakan yang dilakukan
oleh tuan tanah karena disana kaum borjuis juga ikut membayar pajak. Akibat dari
revolusi perancis ini benua Eropa dan susunan pemerintahannya rusak termasuk
Belanda.
Penyusunan kembali sistem pemerintahan Eropa yang dilakukan oleh negara-
negara pemenang di buktikan dengan adanya perjanjian Chaumon pada 1 Maret
1814. Setelah runtuhnya Perancis sebagai negara Revolusi membuat Inggris
menduduki posisi tertinggi di benua Eropa. Hal itu membuat kekhawatiran
tersendiri untuk negara Inggris akan serangan dadakan yang akan dilakukan oleh
negara Perancis. Oleh karena itu, pemerintah Inggris memikirkan hal kemanusian
dan perlindungan negara dengan membangun kembali negara Belanda yang
letaknya berada pada perbatasan Belanda Perancis dengan tujuan sebagai
perisai Inggris. Untuk mewujudkan tujuan tersebut negara Belanda harus memiliki
daerah jajahan sehingga pada tahun 1814 diadakan penyerahan derah jajahan
Inggris yaitu Indonesia kepada Belanda, ditandai dengan konvensi London. Yang
berisi tentang penyerahan beberapa daerah kekuasaan Inggris kepada Belanda
yang diwakili oleh beberapa team. Team tersebut terdiri dari pegawai pemerintah
serta beberapa batalyon tentara Belanda yang akan di kerahkan untuk
menjalankan pemerintahan baru di Indonesia. Penyerahan daerah jajahan
Indonesia dari tangan Inggris kepada Belanda dilaksanakan pada tanggal 19
Agustus 1816. Pemerintahan yang baru ini bernama Nederlandsch Indie atau
Hindia Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda yang diterapkan di Indonesia tidak berjalan mulus
karena mereka kesulitan untuk mendapatkan kekuasaan kembali terutama di
pulau Jawa. Dengan kembalinya pemerintah atas kekuasaan Belanda maka
muncul kembali penarikan pajak secara sewenang-wenang seperti yang
diterapkan zaman VOC dulu. Pemerintah Hindia-Belanda bekerja ekstra keras
untuk mengisi kekosongan kas negara, oleh sebab itu mereka menekankan pada
semua rakyat untuk mengekspor tanaman dagang mereka. Pada saat itu Jipang
(Bojonegoro) ialah negara penghasil kayu jati terbesar akan tetapi ekspor kayu jati
kurang begitu berhasil karena kurangnya pengalaman petani. Sistem feodal yang
selama ini di terapkan di Indonesia belum mampu digeser oleh pemerintahan
Gubernur Raffles. Pemerintahan Hindia-Belanda mulai mendominasi Bojonegoro
dimulai pada tahun 1830, akan tetapi pemerintahannya tidak akan mampu
mencampuri kehidupan masyarakat Bojonegoro sampai keakarnya.
Awal tahun 1825 terjadi perang besar Diponegoro, pada masa itu keadaan
pemerintahan di Jipang (Bojonegoro) belum banyak di sisipi oleh kolonial karena
masih dalam kepemipinan penguasa daerah seperti Bupati Raden Tumenggung
Sumonegoro. Perekonomianpun masih dalam bentuk barter (tukar- menukar
barang) bukan uang, oleh karena itu pemerintah pusat belum mampu
mengkoordinir keuangan negara sehingga para pejabat pemerintah di beri
wewenang untuk menarik upeti dari masyarakat. Dengan begitu akan membantu
meningkatkan otonom daerah dari segi finansial.
Pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Van der Copellen tahun1819, bupati
masih mempunyai kekuasaan sebagai penguasa dan pejabat daerah sehingga
rakyat mempunyai pemikiran untuk membalas jasa mereka dengan memberikan
upeti dan gaji berupa tanah. Hal tersebut sudah berusaha di hapuskan oleh
pemerintahan Hindia- Belanda untuk mengurangi kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh petinggi daerah serta memperkecil usaha tuan-tuan tanah. Akan
tetapi harapan itu tidak dapat tercapai dan justru terjadi beberapa pemberontakan
oleh rakyat. Pada masa pemerintahannya Gubernur Van der Copellen membentuk
karesidenan dan kabupaten di pulau Jawa pada Januari 1819.
Reaksi Rakyat
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro ialah bukti kecintaan Pangeran Diponegoro terhadap
bangsanya, beliau tidak ingin bangsanya di tekan maupun di jajah olehbangsa
lain. Kecintaannya terhadap tanah air di buktikan dengan kegigihannya untuk
memperebutkan kemerdekaan yang sebenarnya. Kekejaman serta penindasan
yang dilakukan oleh negara penjajah menyulutkan peperangan antara rakyat
dengan Belanda, dimana Pangeran Diponegoro mendapat dukungan penuh dari
masyarakat Jipang (Bojonegoro). Hal- hal yang memicu peperangan antara lain
adalah orang-orang Belanda yang secara perseorangan memiliki tanah yang luas
di Yogyakarta akibat persewaan yang dilakukan oleh orang Belanda kepada kaum
bangsawan yang kekurangan uang.
Orang-orang Cina yang secara personal sebagai pemungut pajak (tol) pada jalan
dan jembatan yang mereka anggap sebagai bangunannya demi kepentingannya.
Adudomba yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda serta penarikan
bermacam-macam pajak. Banyak pihak yang dirugikan oleh aturan yang di buat
Belanda, salah satunya Rakyat dan kaum bangsawan. Mereka harus menerima
aturan yang telah ditetapkan meskipun pada akhirnya mereka harus mengalami
penderitaan serta kerugian yang besar. Disamping itu mereka juga mendapat
penghinaan dan perlakuan yang tidak baik menurut hukum adat-istiadat yang
berlaku waktu itu. Hal ini yang memicu amarah Pangeran Diponegoro sehingga
beliau melakukan perlawanan terhadap Belanda. Rakyat yang
Rakyat semakin sengsara dengan adanya berbagai macam pajak yang harus di
bayar kepada pihak Asing salah satunya adalah sistem pembayaran tol (bea).
Beawan yang tidak berperikemanusiaan tersebut memaksa dan memeras rakyat
agar membayar pajak dalam jumlah besar karena mereka menyewa daerah bea
cukai dengan harga yang tinggi. Karena tidak ingin mengalami kerugian akhirnya
mereka memeras rakyat dengan memintai pajak atas semua barang bawaannya.
Pangeran Diponegoro
Putra dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati yang
dikenal dengan Pangeran Diponegoro. Adalah sosok yang taat beragama dan
misticus, kegemarannya bertapa di gua-gua membuatnya semakin bertambah
kuat. Sosoknya yang sholeh sangat di hormati oleh penduduk sekitar.
Sebab khusus meledaknya peperangan adalah pada suatu hari banyak patok
ditancapkan di lahan tanah di Tegalrejo (daerah tempat tinggal Pangeran
Diponegoro) yang mana dilakukan tanpa izin dari sang pemilik. Pada saat itu
Pangeran Diponegoro memerintahkan beberapa orangnya untuk mencabut patok
tersebut lalu Patih Danurejo IV menginginkan patok tersebut di pasang kembali
karena takut kepada Nahuys, Residen Yogyakarta. Dengan begitu terjadilah
perselisihan kedua belah pihak, pada akhirnya Nuhuys menunjuk Pangeran
Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro) untuk melunakkan hati Pangeran
Diponegoro agar mau menghadap Nahuys. Melihat hal itu seketika Pangeran
Diponegoro menolak akhirnya terjadi serangan mendadak oleh Belanda di
Tegalrejo. Oleh sebab itu mulailah terjadi peperangan, agresi yang dilakukan
Belanda dengan membakar tempat tinggal Pangeran Diponegoro dan memporak-
porandakan penduduk. Dengan bantuan Pangeran Mangkubumi serta para
prajurit termasuk rakyat Jipang, Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan
kepada Belanda. Dengan mengatur strategi baru untuk penyerangan, Pangeran
Diponegoro menyusun organisasi ketentaraan dan pimpinan perang yang
bermarkas di Selarong.
Peperangan yang berlangsung selama lima tahun itu mulai 20 Juni 1825 hingga
28 Maret 1830 telah menelan banyak korban bagi prajurit Belanda. Teriakan
perang melawan kolonialisme Belanda yang disuarakan Pangeran Diponegoro
disambut hangat oleh rakyat termasuk rakyat rajekwesi.
Sekian lama mereka merindukan sosok pahlawan seperti Pangeran Diponegoro
yang mau melakukan perlawanan akibat penindasan yang dilakukan oleh negara
Asing. Hal ini membuat semua rakyat rela secara lahir-batin segenap jiwa raga
demi membela tanah air mereka dan untuk mengembalikan kekuasaan atas
kesultanan Yogyakarta.
Rajekwesi ialah nama suatu desa yang merupakan salah satu bagian dari Jipang.
Desa tersebut masih agraris dimana kehidupan rakyatnya bergantung pada hasil
tanaman yang mereka produksi. Rajekwesi berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Kahuripan dan berstatus sebagai Daerah Persekutuan Desa. Bahkan pada masa
kerajaan Mojopahit desa Rajekwesi mulai tak terdengar hingga datanglah
kerajaan Mataram yang membangkitkan desa Rajekwesi kembali. Sampai pada
akhirnya rakyat Rajekwesi ikut andil dalam peperangan Diponegoro.
Perang Diponegoro yang terjadi di sejumlah wilayah di daerah Jawa memaksa
negara Belanda untuk memperkuat perlindungan dengan mendirikan benteng-
benteng pertahanan serta memperkuat kekuatan militer mereka. Hal itu pula yang
dilakukan rakyat Jipang (Bojonegoro) yang pada masa itu masih ikut wilayah
Rajekwesi untuk mendukung Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Perlawanan yang dilakukan rakyat Rajekwesi pada tanggal 20 November 1827 di
pimpin oleh Raden Tumenggung Aria Sasradilaga. Peperangan yang di pimpin
beliau pecah dan pada akhirnya mampu merebut wilayah Rembang dan Bowerna
dari tangan Belanda.
Akibatnya Kekuasaan Belanda di wilayah Timur pun ikut terancam, pada akhir
tahun 1827 seluruh wilayah Rembang dan Rajekwesi tempur dalam api
peperangan yang membuat negara Belanda mengirimkan pasukan yang
seharusnya bertahan di Jawa Tengah untuk membantu peperangan di Timur.
Perlawanan semakin sengit karena Tuban berhasil direbut oleh rakyat, mereka
juga mampu merebut beberapa senjata Belanda seperti meriam.
Rembang yang menjadi pusat pemerintahan Belanda pada masa itu menjadi
sangat terancam oleh serangan dari rakyat. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung
lama dikarenakan rakyat yang mudah puas dengan kemenangannya menjadi
celah yang baik untuk Belanda menyusun strategi penyerangan. Tanggal 26
Januari 1828 menjadi angin yang baik untuk Belanda karena mereka mampu
memperbaiki hubungan dengan Surabaya dan Semarang. Belanda semakin
kokoh mendirikan benteng-benteng pertahan di wilayah Jawa Timur-Jawa Tengah.
Dengan dipimpin Kolonel Roest Belanda menyerang Madiun dan Rembang,
mereka mengincarpimpinan rakyat yaitu Tumenggung Sasradilaga dan Raden
Bagus. Akhirnya kedua pemimpin tersebut berhasil tertangkap dan kemudian
menyerah kepada Belanda.
Awal November 1825 adalah awal pemerintahan Nederland Indie di Kabupaten
Jipang, pada masa itu di dirikanlah Residen Rembang dan diadakan suatu sidang.
Beberapa petinggi daerah seperti Kartodirdjo dan Mangunnegoro menentang hasil
sidang, mereka berambisi untuk menumpas habis seluruh peserta sidang
termasuk Raden Adipati Djojonegoro (Bupati Jipang) yang di sinyalir mendukung
Hindia-Belanda. Oleh sebab itu, Raden Sosrodilogo berusaha merebut kembali
Rajekwesi sebagai pusat pengatur strategi untuk perlawanan terhadap Belanda.
Hal itu menambah coretan sejarah tentang perang Diponegoro, karena pasukan
Sosrodilogo yang berada dimana-mana telah siap melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Pemerintahan Sosrodilogo dikenal dengan sebutan
pemerintahan perang karena pada masa kepemimpinannya lebih sering
digunakan untuk berperang. Seperti yang dilakukan untuk merebut kembali
Rajekwesi yang membuat Belanda merasa sangat terancam.
Pada tanggal 2 Januari 1828 pasukan Belanda berhasil mengusir Sosrodilogo
keluar kota lebih dari 2000 pasukan belanda dikerahkan di bawah pimpinan Van
Griesheim. Karena pengusiran tersebut Sosrodilogo memobilisir rakyat untuk
melakukan perlawanan dari luar kota, Belanda pun melakukan serangan balik
dengan mendirikan benteng utama di desa Pluntaran. Pemerintah Belanda juga
menginginkan supaya Rajekwesi segera dipindahkan, namun semua itu tidak
memadamkan niat Sosrodilogo untuk melakukan perlawanan. Usaha yang
dilakukan oleh Griesheim tidak membuahkan hasil karena kondisi ekonomi di
Rajekwesi tidak memungkinkan.
Selain itu Belanda juga menginginkan perubahan nama atas Rajekwesi untuk
menghilangkan kenangan rekyat tentang perlawanan kepada pemerintah.
Beberapa usulan nama telah di terima oleh Road van Indie, dan pada tanggal 25
September 1828 Rajekwesi resmi berganti dengan Bojonegoro yang
ditandatangani oleh Du Bus. Bodjonegara dalam bahasa kawi yang berarti
kota/tempat memberi makan sehingga pemerintahannya dapat bertahan dari
pemberontak. Dengan demikian secara resmi Jipang dan Rajekwesi telah berubah
nama menjadi Bojonegoro, akan tetapi tetap pada karasidenan Rembang.
Masa Penjajahan Hindia- Belanda
Setelah perang Diponegoro berakhir wilayah Bojonegoro langsung dikuasai dan
di perintah oleh pemerintah Hindia- Belanda. Pemerintahan yang di pimpni oleh
C.F.T. Pranctorius menjadi babak baru penjajahan terhadap Bojonegoro. Untuk
memulihkan perekonomian Belanda serta mengembalikan kas negara yang habis
akibat perang menjadikan Belanda menerapkan mode perekonomian stelsel.
Stelsel adalah sistem perekonomian paksa yang diterapkan Belanda dengan
pemerasan. Rakyat di paksa menanam tanaman tanaman yang telah ditentukan
pemerintah yang hasilnya dapat di jual ke Eropa. Salah satu bukti paksaan yang
dilakukan Belanda antara lain, akan dibuat perjanjian antara rakyat dengan
Belanda tentang pemberian separuh tanah dan ladang mereka untuk Belanda.
Akan tetapi perjanjian itu mulai di ingkari karena Belanda hanya menginginkan
tanah yang subur saja. Belanda membebaskan pajak kepada petani akan tetapi
hal itu justru memberatkan rakyat karena hampir seluruh hasil tanaman mereka di
minta pemerintah. Bojonegoro merupakan salah satu daerah yang diwajibkan
tanam paksa, salah satu tanamannya adalah tembakau dan kapas. Rakyat sudah
terbiasa menanam kedua tanaman tersebut untuk keperluan sendiri akan tetapi
pada masa penjajahan Belanda mereka di paksa menanam untuk diekspor ke
luar. Hal itu banyak memberikan dampak positif negatif bagi rakyat, dampak
positifnya rakyat mampu memahami serta mempelajari tehnik dan cara
memelihara tembakau. Mereka juga mampu membedakan mana bibit yang unggul
dan sifat sifat tanah. Dampak negatifnya banyak terjadi kemiskinan serta
kemelaratan yang membawa kematian.
Bojonegoro merupakan salah satu daerah yang berdampak besar akibat
kemiskinan. Hal ini memicu reaksi rakyat dimana mereka bekerjasama dengan
beberapa pihak seperti Humanis Belanda untuk melakukan tantangan terhadap
tanam paksa berdasarkan prinsip-prinsip ethika dan perikemanusiaan. Pihak lain
yang mendukung tantangan itu adalah Kaum Kapitalis Belanda, mereka
berpendapat bahwa sistem tanam paksa di Indonesia harus dihapuskan sehingga
pemodal-pemodal bisa memberikan pinjaman modal kepada rakyat dengan
kejelasan status tanah. Reaksi Rakyat yang dilakukan masyarakat Bojonegoro
adalah dengan membakar salah satu kebun tembakau terbesar yang berada di
Balen. Mereka melakukan perlawanan kepada Belanda dengan membuat mereka
rugi.
Pada awal abad 20an di Indonesia diwarnai dengan pemberontakan-
oemberontakan, kerusuhan dan kegaduhan yang dilakukan oleh masyarakat.
Pemberontakan itu banyak diakukan oleh masyarakat pedesaan untuk
menjelaskan suatu pertentangan yang dilakukan oleh rakyat. Hal itu didominasi
oleh ajaran mesinitis dan pandangan yang bersifat revolusioner serta campur
tangan negara Barat yang turut merubah sistem sosial rakyat. Perubahan sistem
ekonomi serta penerapan sistem ekonomi uang semakin memperberat rakyat, hal
ini membuat para petani melakukan pemberontakan.
Disamping itu di bidang politik, lembaga politik tradisional semakin terdesak
posisinya oleh pemerintahan kolonial. Dalam hal ini rakyat mempunyai cara
tersendiri untuk menghadapinya salah satunya gerakan sosial. Hal ini menjadi
suatu ancaman bagi kolonial dikarenakan rakyat memperkuat protes sosialnya
dengan perasaan keagamaan yang berubah menjadi sistem politik yang mana
kolonial tidak memilikinya. Gerakan-gerakan rakyat itu sering disebut sebagai
gangguan ataupun huru-hara oleh kolonial dikarenakan sistem pertahanannya
yang tidak terorganisir. Pergolakan itu tidak dimasukkan sebagai peristiwa perang
sebab mereka tidak mempunyai tujuan jelas di bidang pemerintahan dan
masyarakat.
Dapat dipastikan hampir setiap masyarakat mengenal pergolakan rakyat pada
abad 20an, alasan pokok yang mendasari pergolakan tersebut adalah karena
keadaan dan peraturan yang tidak adil. Serta rasa dendam kepada kolonial
karena tidak memberi ruang yang bebas bagi kehidupan para pendukungnya.
Selain itu, masyarakat berharap akan datangnya ratu adil yang bersifat mesianistis
dengan harapan dapat menyelamatkan rakyat. Terdapat beberapa jenis gerakan
sosial yang dilakukan rakyat, salah satunya yang dilakukan masyarakat
Bojonegoro adalah gerakan Samin. Munculnya gerakan ini oleh rakyat
Bojonegoro dikarenakan kemiskinan dan kemelaratan akibat sistem politik pintu
terbuka (open deur politic) pada tahun 1870. Politik ini mulai berlaku sejak
munculnya undang-undang Agraria (pertanahan) yang mana berisi pasal-pasal
yang menguntungkan kolonial. Seperti, Gubernur Jendral dapat menyewakan
tanah menurut peraturan perundang-undangan dan dengan peraturan perundang-
undangan akan diberikan pula tanah dengan hak erfpacht paling lama 75tahun.
Pada saat yang sama pula Belanda mengeluarkan Agrarische Besluit yang
mendukung kebijakan baru tentang agraria tersebut. Pasal pertama yaitu apabila
rakyat tidak dapat membuktikan kalau tanah yang mereka miliki hak eigendom
maka secara langsung tanah itu menjadi milik negara (Domien Verklaring).
Berikut adalah macam-macam definisi hak, hak eigendom ialah hak yang terkuat
menurut sistem Barat. Hak pakai ini bersifat turun-temurun dan apabila terpaksa
dicabut oleh pemerintah maka pemerintah wajib memberi ganti rugi yang sesuai.
Hak erfpacht ialah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan
kekuasaan yang penuh.
Pemilik modal biasanya memiliki kewajiban untuk membayar uang pacht kepada
pemilik setiap tahunnya. Hak opstal ialah hak untuk mendirikan rumah, bangunan
dan tempat tanaman-tanaman diatas tanah orang lain (pribumi). Dengan adanya
tiga jenis pertanahan ini maka terdapatlah tanah milik negara yang bebas. Artinya
kebebasan itu sesuai dengan kehendak pemerintah, pemerintah dapat melakukan
penggusuran-penggusuran tempat penduduk demi kepentingan negara.
Penggusuran tanpa imbalan ganti rugi inilah yang menjadi penyebab kemiskinan
penduduk. Padahal secara teoritis telah ada peraturan negara yang melangan
penduduk menjual tanah kepada asing. Dampak dari pelaksanaan politik pintu
terbuka ini menjadikan Indonesia menjadi negara pengambil bekal hidup demi
kehidupan asing.
Sejak 1870 berkembanglah imperialisme modern dimana tanah jajahan
Indonesia hanya di ambil kekayaannya saja, Indonesia menjadi negara
pengambilan bahan mentah untuk pabrik-pabrik bangsa Eropa dan menjadi pasar
penjualan barang-barang hasil macam-macam industri bangsa Barat (Eropa).
Menjadi lahan penanaman modal asing, salah satuya Bojonegoro. Rakyat
Bojonegoro menjadi buruh di daerahnya sendiri, mereka di paksa bekerja kepada
tuan Kapitalis yang menanam modal di wilayahnya dengan imbalan upah yang
sedikit. Rakyat diperas tenaganya dan dipaksa oleh swasta demi kepentingannya.
Gerakan Samin adalah gerakan pemberontakan yang dilakukan khususnya oleh
masyarakat Bojonegoro yang berlokasi di Blora. Sistem pemberontakan ini bersifat
mistik religius yang berhubungan dengan keagamaan. Gerakan ini bertujuan untuk
mengembalikan tradisi lama yang mana tradisi tersebut telah banyak berubah
akibat campur tangan dari luar.
Membangun kembali sistem kolektif baik dari segi ekonomi maupun masyarakat.
Ingin membebaskan diri dari segala campur tangan kolonial, hal ini dijelaskan
dalam buku teles. Menurut Soeparmo, masyarakat Samin adalah mereka yang
menghendaki hidup bebas dan merdeka seluas-luasnya tanpa ada batas.
Peradaban masyarakat Samin banyak terdapat di Tapelan kecamatan Ngraho.
Perkembangan masyarakat Samin terjadi sejak abad 1900, pada mulanya
dipelopori oleh Soerosamin.
Masyarakat berpedoman pada ajaran-ajaran yang diajarkan Soerosamin yang
pada dasarnya mereka tidak sudi diperintah oleh orang lain. Mereka terkenal amat
jujur dan tidak suka mengganggu pihak lain. Mereka juga mempunyai tradisi dan
aturan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya akan tetapi mereka
sangat menghargai apabila ada tamu dari orang luar. Perjuangan masyarakat
Samin sangatlah panjang dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda,
perlawanan itu mulai terjadi sejak kelahiran SaminSurasentika tahun 1859. Sejak
saat itu beliau berjuang keras menyebarkan ajaran Samin untuk menolak
pembayaran pajak, sehingga beliau dan beberapa pengikutnya dibuang oleh
pasukan kolonial. Penyebaran gerakan Samin tidak hanya dilakukan di wilayah
Bojonegoro tetapi juga di Blora, Rembang, Pati, Kudus dll.
Perubahan Ketatanegaraan Bojonegoro
Pada awalnya Bojonegoro, Rembang, Tuban, Blora menjadi wilayah karesidenan
Rembang yang masuk provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi semua itu berubah
ketika ada dua pemimpin dari pihak Belanda yang ikut mengatur tatanan
pemerintah pada 1826.
Pada tahun 1855 kelengkapan pemerintah di Bojonegoro sudah ada dan di bagi
sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan pemerintahan
yang semakin sempurna dan banyaknya warga asing yang tinggal di Bojonegoro.
Dengan begitu makin banyak perusahaan negara maupun swasta, sehingga
menambah jumlah pekerja. Oleh karena itu perlulah dibentuk suatu tatanan
pemerintah hingga ketinggat terendah yang dinamai Distrik. Wilayah Distrik
karesidenan Rembang ialah, Bojonegoro, Rembang, Tuban dan Blora.
Bojonegoro merupakan daerah penghasil tembakau terbesar salah satu
macamnya ialah tembakau Havana. Karena proses produksi yang cepat maka
diperlukan perhubungan yang cepat pula sehingga dibuatlah jalan kereta api oleh
Belanda yang berpusat diSemarang. Jalan kereta api dibuat guna untuk
memperlancar ekspor tembakau dari Bojonegoro. Sehubungan dengan dibukanya
jalur kereta api di Bojonegoro itu muncul jabatan baru yaitu patih sebagai
sekertaris kabupaten.
Dengan kelengkapan perangkat pemerintah membuat wilayah Bojonegoro
semakin ramai. Sehingga penjajah saling berebut untuk menerapkan sistem
eksploitasinya kepada tanah penduduk. Terdapat dua partai yang menginginkan
pahamnya di anut oleh rakyat diantaranya partai Konservatif dan Liberal. Partai
Konservatif menganggap tanah jajahan sebagaiperusahaan negara dan partai
Liberal menganggap tanah jajahan sebagai perusahaan swasta. Partai Liberal
menolak campur tangan pemerintah guna untuk menjaga ketertiban umum untuk
kelancaran roda ekonomi. Adapun tugas pemerintah adalah melindungi rakyat
jajahan dari masalah tanah, oleh karena itu dibuatlah undang-undang agraria dan
gula pada tahun 1870.
Berdasarkan dari undang-undang tersebut maka sistem tanam paksa tembakau di
Bojonegoro di hapus dan di ganti menjadi usaha swasta tahun 1866. Sejak saat
itu pihak swasta Eropa mendapat peluang banyak untuk memiliki tanah di wilayah
Bojonegoro dengan sistem kontrak sewa tanah. Sejak tahun 1860an politik
kolonial Belanda semakin mementingkan kesejahteraan rakyat sehingga
mengakibatkan sistem administrasi pemerintah semakin intensif.
Sekitar tahun 1870an perubahan di berbagai bidang terjadi, yang paling menyolok
adalah urbanisasi atau perpindahan masyarakat desa ke kota. Faktor yang
mendasari perpindahan mereka adalah berkurangnya tanam pertanian dan
bertambahnya kemiskinan di desa. hal semacam itu menjadi alasan kuat rakyat
pindah ke kota, disamping itu perkembangan kehidupan di kota dengan adanya
perusahaan-perusahaan dan perkebunan yang menjamin kehidupan rakyatnya.
Disisi lain alasan transportasi yang lebih mudah juga menjadi alasan mereka
melakukan urbanisasi.
Pada era perusahaan swasta maka diberlakukan administrasi sistem barat, pada
saat itu Bupati Bojonegoro adalah Raden Mas Tumenggung Tirtonoto II. Dalam
membangun daerahnya beliau mulai dari pembangunan prasarana irigatie
(saluran dari pertanian) dan jalan lalu lintas. Pembangunan tersebut berhubungan
dengan adanya usaha perkebunan milik swasta yang mengharuskan mereka
membangun waduk demi kelancaran pertanian mereka. Disamping itu di bangun
pula jalan raya klas dua tingkat pedesaan dan jembatan-jembatan. Sarana
tersebut di bangun hampir di semua wilayah distrik, di usahakan pula
pembangunan sosial khususnya lembaga pendidikan untuk masyarakat. Dengan
di bukanya jabatan-jabatan tinggi administrasi pemerintah kolonial bagi penduduk
pribumi akan membuka peluang bagi mereka untuk mendapat pelatihan dan
pendidikan dari lembaga-lembaga pendidikan.
Salah satu perkembangan penting yang mencerminkan perhatian yang lebih dari
pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan rakyat pribumi adalah dengan
pengangkatan Inspektur pendidikan. Pada 1 Agustus 1872 di kabupaten
Bojonegoro mulai didirikan sekolah Inlandsche Scholen, direktur sekolah di jabat
oleh Raden Djojodimedjo serta pembantunya Abu Nodir dan Mustahal.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman produksi eksport berjalan kurang
baik karena jatuhnya harga kopi dan gula dipasar dunia. Padatahun 1891 harga
tembakau di pasaran juga merosot pesat sehingga membahayakan kelangsungan
hidup perkebunan tembakau. Pada saat itu Bojonegoro di bawah kepemimpinan
bupati Raden Adipati Ariyo Reksokusumo.
Dalam kurun waktu itu pemerintah mulai mengusahakan proyek besar seperti
pengeboran minyak tanah. Tahun 1889 ditemukan adanya tambang minyak tanah
di kawasan desa Kawengan Banyu urip, Kasiman. Sejak saat itu pula di adakan
pengeboran minyak dan hasil pengeboran minyak mentah tersebut di kirim ke
Cepu yang kebetulan merupakan pusat pertambangan minyak tanah. Proyek
kedua yang dilakukan pemerintah adalah Irigatie Solovalles merupakan proyek
pemerintah yang mengusahakan untuk pembuatan sungai baru sebagai pemecah
bengawan Solo yang di pandang mulai membahayakan daerah kota Bojonegoro.
Karena bentuknya yang dangkal sehingga berakibat banjir. Galian aliran baru ini
diberi nama Bengawan Suwang, proyek ini bertujuan untuk mengendalikan banjir
dan untuk keperluan pertanian selama musim kemarau.
Secara prasarana wilayah Bojonegoro memang sudah mengalami kemakmuran
tetapi kesejahteraan rakyat tak ada perubahan. Bahkan menjelang tahun 1900an
bahaya banjir semakin mengancam wilayah tersebut. Menurut Gonggrijp seorang
ekonom Belanda mengatakan penyebab tidak adanya peningkatan kemakmuran
masyarakat adalah dikarenakan krisis yang melanda perkebunan-perkebunan
milik swasta ataupun pemerintah sekitar tahun 1885. Hal ini yang membuat
perkebunan-perkebunan melakukan penghematan berupa penekanan upah dan
sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin.
Semua itu mudah untuk dilakukan sebab yang terkena tindakan penghematan
adalah penduduk. Masyarakat Jawa khususnya Bojonegoro menanggung beban
finansial yang amat berat karena hasil dana eksport tanaman tidak hanya di
gunakan pemerintah Hindia Belanda untuk kemakmuran penduduk Jawa akan
tetapi untuk membiayai pemerintah daerah koloni di luar Jawa.
D. Bengawan Solo dan Riwayatnya
Hati bergetar saat mendengarkan alunan Bengawan Solo di Film The Sun Also
Rises karya Jiang Wen. Lagu itu diputar di akhir film. Saat si tokoh utama gantung
diri di sebuah jembatan. Film berlatar Revolusi Kebudayaan Tiongkok ini
menjadikan Jiang Wen sebagai The Best Director Venice International Film
Festival pada 2007. Tepat pada tahun yang sama juga terjadi banjir besar akibat
luapan Bengawan Solo. Banjir besar dalam sejarah Bengawan Solo itu menelan
kerugian yang tak sedikit.
Sebelumnya, sutradara favorot saya, Wong Kar Wai dalam film In The Mood for
Love juga ada lagu Bengawan Solo versi lirik berbahasa Inggris yang dinyanyikan
dalam salah satu adegan film tersebut.
Sebagai lagu, lagu Bengawan Solo sudah mendunia. Di Jepang, Tiongkok,
Malaysia dan sejumlah negara lainnya, lagu ciptaan Gesang ini sudah sangat
akrab.
Ada ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola
sungainya. Bojonegoro, Tuban dan Lamongan sebenarnya beruntung berada di
wilayah aliran Bengawan Solo. Sungai-sungai besar di dunia mampu memberikan
kehidupan yang layak bagi warganya.
Di Mesir, Sungai Nil menjadi ikon dan mampu menjadi kekuatan ekonomi bagi
Mesir. Di Brasil ada Sungai Amazon yang menjadi tulang punggung bagi jutaan
warga di sepanjang Sungai Amazon yang membentang belasan negara di
Amerika Latin. Amazon juga menjadi tulang punggung bagi lingkungan dunia serta
flora dan fauna. Di Tiongkok ada Sungai Yangtze yang diubah menjadi kekuatan
energi yang luar biasa. Puluhan ribu megawatt energi listrik dihasilkan dari sungai
Yangtze. Dan Bengawan Solo menjadi tulang punggung ekonomi bagi ratusan ribu
warga di sepanjang sungai terpanjang di Jawa ini.
Nah, apakah sungai Nil, Amazon dan Yangtze tak pernah banjir? Tentu saja banjir
menjadi rutinitas di musim hujan. Namun, pemerintah setempat mampu
meminimalisir banjir. Bukan hanya meminimalir tapi juga memaksimalkan menjadi
potensi ekonomi, kebudayaan, dan energi.
Bengawan Solo kini sedang menggeliat lagi. Bagi warga di sepanjang Bengawan
Solo, luapan air sudah menjadi kebiasaan. Bahkan dalam local wisdom, ada
kepercayaan yang diyakini warga, banjir akibat luapan Bengawan Solo akan surut
jika sudah meluap lima kali. Ini mungkin masih luapan ke 2-3 kali Bengawan Solo.
Setelah itu akan surut lagi. Mungkin kepercayaan warga sepanjang Bengawan
Solo hampir sama dengan warga di sekitar Gunung Merapi. Warga Merapi
percaya, gunung bukan meletus tapi sekedar batuk. Batuk untuk mengeluarkan
dahak yang kotor, setelah itu Merapi akan sehat lagi. Kata sehat bagi warga
Merapi adalah lahan di sekitar Merapi akan subur kembali.
Warga baik di gunung berapi maupun sungai memiliki kekhasan tersendiri dalam
menyikapi bencana. Kepercayaan warga harus kita hormati. Namun, pemerintah
juga harus melakukan upaya antisipasi meminimalisir banjir. Sebab, banjir kali ini
bukan hanya dari luapan Bengawan Solo. Tapi juga sejumlah sungai yang meluap
akibat tak mampu menampung air hujan.
Kita sebenarnya agak beruntung juga dijajah Belanda. Mengapa? Sebab Belanda
adalah negara yang penataan saluran air dan irigasinya terbaik di dunia. Saat ke
Bojonegoro, Belanda membangun Waduk Pacal untuk meningkatkan pertanian
warga Bojonegoro. Bukan hanya itu, sebenarnya Waduk Pacal juga diharapkan
mampu menampung air dari sungai yang di bagian selatan Bojonegoro.
Belanda juga membangun Solo Valey. Yakni, sungai buatan yang digunakan untuk
mengalirkan air dari Bengawan Solo ke bagian selatan Bojonegoro. Belanda
sadar, jika air Bengawan Solo tak dibagi ke selatan, maka luapan air saat musim
hujan akan menggenani kota Bojonegoro. Sayang niat Belanda membangun Solo
Valey terhenti. Belanda harus segera angkat kaki, setelah perjanjian Meja Bundar
disepakati antara Indonesia-Belanda dan Sekutu untuk mengakhiri penjajahan.
Terhentinya pembangunan Bengawan Solo akhirnya mengakibatkan Bojonegoro
yang berada di cekungan Bengawan Solo menjadi langganan banjir saat musim
hujan.
Beberapa waktu lalu, ada niat dari pemkab Bojonegoro akan menghidupkan lagi
Solo Valey. Sayang, niat itu hingga kini pun kabur alias tak jelas kelanjutannya.
Berada di wilayah yang dikelilingi air menjadi resiko bagi Bojonegoro sebagai
daerah yang dikepung air juga. Namun, sebagai wilayah yang juga menjadi ladang
minyak, menjadikan Bojonegoro saat musim kemarau menjadi sangat kering dan
gersang. Jika menyebut musim, maka gersang dan banjir adalah dua kata yang
identik dengan Bojonegoro.
Air sebenarnya adalah berkah. Sebab air adalah lambang kehidupan. Tak ada air
maka tak ada kehidupan. Jika air menjadi bah, maka bukan air yang keliru. Tapi
perilaku kita yang harus ditata lagi. Menata air adalah menata keberlanjutan
kehidupan.
E. Tanaman Berharga di Bojonegoro
Tembakau
Kapan tembakau kali pertama ditanam di Bojonegoro? Jika dihitung mulai awal
hingga tahun ini, usia pertanian tembakau di Bojonegoro telah mencapai usia 178
tahun. Data itu saya baca di buku Membunuh Indonesia (Konspirasi Global
Penghancuran Kretek) yang diterbitkan pada 2011.
Lagi-lagi Belanda yang ikut berjasa mewariskan tanaman tembakau di
Bojonegoro. Tanam tembakau kali pertama di Bojonegoro pada 1834. Sebelum
tembakau ditanam di Bojonegoro, Belanda lebih dulu menanam di wilayah Kedu
Jawa Tengah pada 1832. Namun, Belanda mengalami kegagalan panen
tembakau di daerah Kedu. Kegagalan panen tembakau diakibatkan letusan
gunung Merapi.
Di Bojonegoro, Belanda mulai mencoba menanam tembakau jenis Manilla dan
Havana. Belanda memilih Bojonegoro ditanami tembakau karena Dipilih
Bojonegoro karena pada saat itu Bojonegoro masuk dalam wilayah Karasidenan
Rembang. Hampir semua wilayah Karasidenan Rembang dipaksa menanam
tembakau.
Sayang tembakau yang ditanam di Bojonegoro tak bertahan lama. Petani
tembakau terus merugi. Penyebabnya, kemarau yang panjang. Kekeringan yang
dahsyat mengakibatkan tanaman tembakau menjadi tak produktif. Tanam
tembakau di Bojonegoro pun akhirnya gagal.
Kegagalan tak membuat Belanda surut. Belanda pun tak kekurangan akal. Dua
tahun kemudian, pada 1936, muncullah kebijakan Tanam Paksa oleh Belanda.
Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah tembakau. Hasilnya, penanaman
tembakau menyebar hampir ke seluruh wilayah Bojonegoro. Hasilnya juga,
Belanda untung besar dari jumlah ekspor tembakau yang selalu meningkat ke
Eropa. Belanda untung besar dari jualan tembakau di Eropa. Bumi Rajekwesi ini
juga
Meski ada kebencian dari efek Tanam Paksa, justru pada tahun-tahun berikutnya
rakyat Indonesia yang diuntungkan dalam pola pertanian yang dikembangkan
Belanda.
Di Bojonegoro misalnya, Belanda membangun banyak irigasi. Salah satunya
Waduk Pacal dan sejumlah waduk lainnya. Ada juga Solo Valley yang digadang-
gadang akan mengalirkan air dari Bengawan Solo untuk petanian wilayah bagian
selatan Bojonegoro.
Tembakau yang diwariskan oleh Belanda hingga saat ini juga masih dinikmati oleh
petani di Bojonegoro. Meski harga tembakau saat ini naik turun, tapi tembakau
telah meningkatkan kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Dari tembakaulah,
Bojonegoro dikenal di nusantara. Bahkan hingga mancanegara. Hingga kini,
tembakaulah yang menghidupi sebagian besar dari penduduk di Bojonegoro.
Belanda jelas penjajah. Namun penjajahan Belanda juga banyak mewariskan
banyak keuntungan bagi rakyat Indonesia dan khususnya pertanian bagi
Bojonegoro. Belanda memang mengeruk banyak dari hasil bumi Indonesia.
Namun, Belanda juga memiliki visi untuk mengembangkan pertanian. Visi itulah
yang hingga kini masih bisa dirasakan oleh rakyat Bojonegoro. Sebut saja, ada
Waduk Pacal, sumur minyak tradisional, jati, tembakau, saluran irigasi dan masih
banyak lagi. Bahkan, Belanda juga membangun pabrik tepung untuk roti di desa
Gunungsari. Meski pabrik tepung di Desa Gunungsari dihancurkan saat Jepang
datang ke Indonesia.
Jati
Jati sebenarnya sudah lama tumbuh di Bojonegoro. Jauh sebelum Belanda
datang ke Bojonegoro, pohon jati sudah tumbuh di Bojonegoro. Jati kini menjadi
tanaman khas bagi Bojonegoro. Hampir 40 persen luas lahan di Bojonegoro
ditanami jati.
Bahkan Belanda membangun rel hingga ke pelosok bagian selatan Bojonegoro
untuk mengangkut kayu jati. Kayu jati yang sudah berumur tua, ditebang lalu
dibawa ke eropa melalui pelabuhan di Semarang.
Di Temayang masih banyak ditemukan rel-rel tua bekas KA yang dibangun oleh
Belanda. Bahkan stasiun besar Bojonegoro dibangun Belanda yang
menghubungkan Bojonegoro dengan Semarang.
Pohon jati yang berasal dari Bojonegoro terkenal dengan kayu jati terbaik. Di
sejumlah tempat, seperti Universitas Leiden Belanda, kayu jati dari Bojonegoro
menjadi penyangga penting bangunan. Bukan hanya di Belanda, tapidi sejumlah
negara lainnya, seperti Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, kayu jati dari
Bojonegoro merupakan kayu yang selalu diincar.
Karena itu, kayu jati asal Bojonegoro mulai dulu hingga kini menjadi kayu terbaik
di dunia. Fungsi kayu jati bermacam-macam. Mulai dari furniture hingga rumah.
Di Bojonegoro, masih banyak rumah warga yang dibangun dari kayu jati. Hasilnya,
meski dibangun selama puluhan hingga ratusan tahun, kayu jati tetap kuat dan
bertahan lama.
F. Pergerakan Organisasi dan Parpol di Bojonegoro
Serikat Islam
Serikat Islam (SI) yang digagas oleh HOS Tjokroaminoto ini muncul di Bojonegoro
pada 1916. Saat itu Bupati Bojonegoro bernama Raden Adipati Aryo
Kusumoadinegoro. SI berdiri untuk menghadang laju ekonomi pedagang China.
Termasuk para pedagang China di Bojonegoro. SI adalah gerakan kemerdekaan
pertama yang berdiri di Bojonegoro. SI berdiri pertama di Padangan. Mengapa
muncul di Padangan? Karena penyebaran Islam di Bojonegoro bermula di
Padangan. Yakni, saat Sultan Trenggono menjadi sultan Kerajaan Pajang.
SI cabang Bojonegoro dipimpin oleh Moeshadi. Perkembangan SI di Bojonegoro
sangat pesat. Bahkan awal berdiri di Bojonegoro pada 1913 sudah memiliki lima
ranting. Yakni, Desa Payaman (Kecamatan Ngraho dan Tambakrejo), Desa
Rowobayan (Kecamatan Padangan), Desa Mulyorejo (Kecamatan Balen, Pelem),
Desa Sekaran (Kecamatan Balen, Pelem) dan Desa Patoman (Kecamatan Kanor,
Pelem).
Komunis
Saya ingin bercerita. Kisah ini saya pungut dari buku Sejarah Komunis Indonesia,
Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-
1948) yang diterbitkan oleh Pusjarah TNI. Buku ini sangat tebal karena terdiri atas
lima jilid. Saya pesan buku ini dari seorang wakil rakyat berbaik hati membelikan
untuk saya. Sebenarnya buku yang dibelikan keliru karena yang saya pesan buku
Sejarah Komunisme Indonesia karya Ruth Mcavey yang diterbitkan Komunitas
Bambu. Tapi justru karena salah membeli itu, saya akhirnya menemukan cerita
tentang Bojonegoro.
***
Pukul 07.00, Senin Wage, 24 September 1945, ribuan rakyat Bojonegoro
memadati alun-alun. Karasidenan Bojonegoro diproklamirkan menjadi bagian dari
Negara Republik Indonesia. Proklamasi itu dibacakan oleh Residen Bojonegoro
RMTA Soeryo. Pernyataan bergabung dengan Negara Republik Indonesia karena
rakyat saat itu belum percaya jika Indonesia telah menyatakan proklamasi
kemerdekaan pada 17 Agustus.
Tak lama setelah menyatakan Karasidenan Bojonegoro bergabung dengan
Negara Republik Indonesia, 12 Oktober 1945, RMTA Soeryo diangkat menjadi
Gubernur Jawa Timur.
Siapa sebenarnya pemrakarsa bergabungnya karasidenan Bojonegoro dengan
Negara Republika Indonesia? Namanya Mr Boedisoesetyo, seorang anggota
Komite Nasional Indonesia (KNI) dari Lamongan. Pada 2 September 1945, dia
mendesak agar Karasidenan Bojonegoro segara diproklamirkan untuk mendukung
Negara Republik Indonesia. Desakan itu disetujui oleh RMTA Soeryo.
Setelah menjadi Gubernur Jawa Timur, RMTA Soeryo diganti Bupati Bojonegoro,
Utomo sebagai Residen Bojonegoro. Pergantian ini tak disetujui oleh KNI.
Akhirnya terjadi kekosongan Residen Bojonegoro. Kekosongan Residen ini
dimanfaatkan oleh Amir Syarifuddin dengan memasukkan kader komunis menjadi
Residen Bojonegoro. Pada 17 November ditunjuk Hindromartono sebagai Residen
Bojonegoro. Hindromartono merupakan orang dekat Amir Syarifuddin, Dia yakin,
jika Karasidenan Bojonegoro maka PKI dapat menguasai wilayah bagian barat
dari Jawa Timur dan bagian paling timur dari Jawa Tengah.
Hindromartono lalu mengubah tradisi di Karasidenan. Kata tuan-tuan yang biasa
digunakan untuk menyebut pejabat, diubah menjadi saudara-saudara. Agak
terdengar kurang akrab di telinga pejabat karasidenan saat itu. Bagi
Hindromartono, kata tuan menandakan ada kelas, ada strata dalam birokrasi di
Bojonegoro. Karena itu, perubahan bahasa panggilan itu dapat mengubah sistem
kelas di birokrasi.
Residen Hindromartono memang berlatar komunis ingin mengubah tradisi dari
yang paling sederhana, yakni bahasa.
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai yang gigih untuk memasukkan
kadernya sebagai penguasa-penguasa lokal. Bukan hanya di Bojonegoro yang
ingin dikuasai. Wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Cirebon, Tegal dan
Pemalang merupakan daerah yang ingin dikuasai PKI. Caranya pun bukan
sekadar merebut kekuasan dengan senjata. Namun, juga dengan cara yang halus
seperti menempatkan kader sebagai Residen Bojonegoro. Di Cirebon, kekuasaan
direbut dengan cara pemberontakan lokal. Begitu juga di Tegal. Nah, di
Bojonegoro inilah, peralihan Residen direbut tanpa ada pemberontakan.
Meski hanya dua tahun (1945-1947), kekuasaan komunis Hindromartono di
Bojonegoro merupakan paling lama ditingkat lokal dibandingkan daerah lain. Pada
Juli 1947, dia didepak sebagai Residen Bojonegoro. Namun, Amir Syarifuddin
masih sayang dengan kadernya itu. Lepas sebagai Residen Bojonegoro,
Hindromartono sebagai Menteri Negara Urusan Kepolisian dalam kabinet Amir
Syarifuddin.
Menempatkan kader sebagai penguasa lokal telah dilakukan PKI pada
pascakemerdekaan. Tujuannya makin banyak penguasa lokal maka makin mudah
menyebarkan ideologi kepada rakyat. Cara itu sebenarnya dicontoh oleh partai-
partai di Indonesia saat ini. Yakni, dengan merebut kekuasaan di tingkat
kabupaten melalui pilkada.
Kekuasaan memang selalu menggiurkan, padahal itu amanat yang luar biasa
berat. Menjadi penguasa, seperti kue, dia masih enak diperebutkan. Lalu dimakan
sendiri.
G. Tokoh Pergerakan di Bojonegoro
Samin
Namanya Matthijs Waterloo. Jabatannya, Residen Yogyakarta. Saya membaca
kisah ini di buku Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama
di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey.
Saat itu yang memimpin Kesultanan Yogyakarya adalah Sultan Hamengkubuwono
II. Pada pertengahan April 1808 dia menulis kepada Gubernur Hindia Belanda
yang baru bernama Herman Wilem Dandels yang menggantikan Albertus Wiese.
Dalam surat itu, dia berharap Dandels menyerobot tanah di wilayah timur
kekuasaan Yogyakarya. Termasuk wilayah Jipang Panolan. Yakni, Blora,
Padhangan, Rajegwesi dan Buwerno. Isi surat itu sebenarnya adalah pemisahan
yang jelas lahan yang dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta dan tanag pemerintah
Belanda.
Sederhana pertimbangannya, wilayah Jipang Panolan tumbuh jutaan kayu jati.
Karena itu, jika Belanda berhasil menyerobot wilayah Jipang Panolan maka jutaan
kayu jati akan menjadi hak milik Belanda.
Dandels yang ditugasi oleh Kerajaan Belanda melindungi Jawa dari Inggris setuju
dengan ide Waterloo. Mengapa Jawa? Karena Jawa pada abad ke-17 merupakan
daerah yang belum mampu direbut oleh Inggris. Tiga wilayah Jipang Panolan.
Yakni, Padhangan, Rajegwesi dan Buwerno akhirnya menjadi satu nama, yakni
Bojonegoro.
Setelah merebut tanah wilayah Jipang Panolan, Belanda lalu merebut jutaan
hektar tanaman kayu jati di wilayah Blora, Rembang, hingga Bojonegoro. Kayu-
kayu jati itu dikirim oleh Belanda ke Eropa melalui dermaga di Rembang. Dari
sekian banyak kota di pesisir utara Jawa saat itu, Rembang termasuk yang masih
belum dikuasai Inggris. Bahkan untuk melancarkan upaya Belanda mengirim
semua hasil bumi Indonesia ke Eropa, Dandels yang dikenal bengis itu
membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan.
Kayu-kayu jati dari Bojoneororo dan Blora menjadi kebutuhan utama bagi bangsa
Eropa. Revolusi industri di Eropa sedang hangat-hangatnya. Kebutuhan kayu
untuk bangunan rumah dan industri sangat diminati di Eropa. Termasuk ke
Belanda sendiri.
Selama puluhan tahun, Belanda menguras habis kayu jati dari Blora dan
Bojonegoro. Tak ada perlawanan dari rakyat. Rakyat tak berani melawan Belanda.
Lalu sekitar awal-awal abad 18, muncul benih perlawanan.
Namanya Raden Kohar atau biasa disebut Samin Surosentiko. Lahir pada 1859 di
Klopoduwur Blora. Samin mengajarkan ajaran yang bersumber dari kitab Jimah
Kalimasada. Awalnya hanya dianggap sebagai aliran kebatinan oleh Belanda.
Namun, pada awal-awal 1900an. Samin menjadi sebuah kekuatan baru terhadap
perlawanan Belanda.
Kekayaan alam berupa kayu jati yang dikuras habis oleh Belanda membuat Samin
geram. Namun, kemarahan Samin tidak meledak menjadi kekuatan bersenjata.
Samin memberi perintah kepada pengikutnya agar tak membayar pajak kepada
pemerintah Belanda. Perintah ini dituruti oleh pengikutnya.
Bagi Samin, kekayaan alam kayu jati ini adalah warisan dan milik sah anak cucu
bangsa ini. Kayu jati tak boleh menjadi milik asing.
Belanda was-was karena pengikut Samin bukan hanya segelintir orang saja.
Namun, jumlah pengikut Samin mencapai ribuan orang.
Belanda yang licik pun menggunakan akal busuknya. Samin dan sejumlah
pengukutnya ditangkapi. Lalu dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Pada 1914,
Samin pun meninggal dunia di Padang.
Meski dibuang di Padang. Semangat melawan Belanda tanpa kekerasan tetap
diteruskan oleh pengikut Samin. Mereka yang tak membayar pajak bukan hanya
di Blora dan Bojonegoro saja. Para pengikut Samin di Madiun hingga Pati pun
menolak membayar pajak kepada Belanda. Belanda pun tak berkutik dengan
perjuangan para pengikut Samin tersebut.
Namun, sejarah berulang lagi. Blora dan Bojonegoro memiliki sumber minyak
bumi yang jumlahnya lumayan besar. Kini, diam dan tak membayar pajak seperti
yang dilakukan Samin ternyata juga tak menjadikan solusi. Karena tak membayar
pajak, berarti tak taat kepada pemerintah. Apalagi jika melawan kekuatan asing
yang sangat besar, kita seperti bertarung melawan ruang hampa. Kita hanya bisa
teriak tapi tak didengarkan suara kita.
Sasradilaga
Keharuman Rajekwesi adalah keharuman sejarah jadi terbukti, berbeda engan
keharuman Malawapati dibawah kuasa raja Anglingdarma yang berbau mitos oleh
karena ilmu sejarah tak berhasil menemukan fakta yang dapat dipergunakan
menjadi bukti pegangan bagi kebenaran Sejarah Kerajaan Malawapati( (Sejarah
Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa, 1988)
Pembaca yang budiman, apakah Anda pernah membaca buku Sejarah Kabupaten
Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa)? Saya yakin belum
banyak para pembaca yang membacanya. Bahkan mungkin belum tahun bentuk
buku tersebut.
Saya yakin juga guru sejarah di kelas tak pernah mengajarkan kepada siswanya
tentang sejarah lokal yang bersumber dari buku tersebut. Yang mereka tahu
tentang sejarah kerajaan di Nusantara, tapi sejarah kabupaten sendiri mungkin
tak mengetahui secara benar.
Saya berharap Bupati Bojonegoro Kang Yoto yang belum membaca buku
tersebut, segera membaca buku tersebut. Buku sejarah Bojonegoro tersebut
dapat menjadi buku pelengkap buku CLM Panders, Bojonegoro 1900-1942: A
Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia. Dalam versi Indonesia
yang diterjemahkan secara pribadi oleh Albard Khan, buku itu berjudul Bojonegoro
1900-1942 Kisah Kemiskinan Endemik Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.
Buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro diterbitkan pada masa Bupati Soejito pada
Juni 1988. Disusun oleh panitia penggali dan penyusun sejarah hari jadi yang
dibentuk oleh pemkab saat itu.
Buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro merupakan kekayaan yang luar biasa bagi
siswa dan generasi muda Bojonegoro. Mereka harus tahu sejarah lokal
Bojonegoro. Sebab faktanya, siswa di Bojonegoro ternyata tak banyak yang tahu
sejarah Bojonegoro yang sebenarnya.
Saya akan kutip sedikit sejarah perlawanan rakyat Bojonegoro terhadap Belanda
yang luar biasa. Di buku itu disebutkan, heroisme rakyat Bojonegoro mendukung
Pangeran Diponegoro dalam perang pembebasan Jawa.
Pada 1825, saat itu di Jipang yang beribukota di Padangan. Rakyat Jipang
mengorganisir diri membentuk kelompok-kelompok pasukan untuk mendukung
sepenuhnya Pangeran Diponegoro melawan dan mengusir Belanda dari tanah
Jawa. Sikap patriotik rakyat Jipang ini didukung sepenuhnya oleh Pangeran
Diponegoro. Sikap heroisme rakyat Jipang lalu diapresiasi Pangeran Diponegoro.
Diponegoro lalu mengirim orang paling dekatnya, yakni Raden Tumenggung
Sasradilaga. Sasradilaga yang menjadi tokoh pembebasaan rakyat Jipang dari
penindasan Belanda.
Rajekwesi yang saat itu dikuasai oleh Belanda berhasil dibebaskan oleh
Sasradilaga. Sasradilaga akhirnya menjadi Bupati Bojonegoro pada 1827-1828.
Masjid Darussaalam di Kota Bojonegoro dibangun juga berkat dari usaha
Sasradilaga.
Takluknya Rajekwesi ditangan pasukan Sasradilaga membuat cemas Belanda.
Lalu Belanda mengirim 2.000 pasukan ke Rajekwesi. Kota Rajekwesipun porak-
poranda dibumihanguskan Belanda. Sasradilaga dan pasukan lalu melanjutkan
perang gerilya melawan Belanda.
Belandapun mengganti nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro. Kotannya pun
digeser ke utara, dekat dengan Bengawan Solo. Menjadikan Bengawan Solo
menjadi transportasi utama Rajekwesi-Babad-Lamongan-Surabaya.
Ada perbedaan pandangan terkait nama Bojonegoro. AD Cornets de Greet dari
Islandche Zaken menyebut boojho dari bahasa Kawi yang berarti makan, dan
negoro berarti tempat, pemerintah. Jadi Boojhonegoro adalah tempat memberi
makan yang sah.
Lalu ada pandangan lain yang menyebutkan, kata boodjo atau bodjo bermakna
istri. Jadi Bojonegoro bermakna istri yang setia kepad negoro. Jadi Bojonegoro
adalah kesetiaan kepada negara. Yakni pusat pemerintahan Belanda saat itu di
Batavia. Jadi, nama Bojonegoro adalah pemberian Belanda. Bukan berasal dari
Bojanegara, yang menjadi salah satu nama lokasi dalam cerita Anglingdarma.
Mengapa Belanda mengubah Rajekwesi menjadi Bojonegoro? Karena
perlawanan rakyat yang dipimpin Sasradilaga membuat Belanda takluk. Satu-
satunya perlawanan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan
berhasil menaklukkan Belanda adalah di Bojonegoro.
Karena itu, Belanda secara politis harus membuat kota baru untuk mengubur
Rajekwesi. Nama Rajekwesi perlu diganti, agar rakyat tak ingat kekalahan
Belanda dari Sasradilaga.
Maka dibangunlah kota baru dan memindahkan lokasi Rajekwesi di tepi
Bengawan Solo.
Pembaca yang budiman, jika sejarah ini sebagai teladan bagi generasi muda,
nama Sasradilaga layak sebagai tokoh ikon Bojonegoro. Sasradilaga terbukti
mampu membebaskan Rajekwesi dari cengkeraman Belanda. Sasradilaga juga
menjadi insprasi rakyat melawan Belanda. Barangkali layak juga ada nama Laskar
Sasradilaga.

Kartosuwiryo
Ada banyak sebenarnya, tapi menurut saya ada dua orang yang cukup
mempengaruhi pergerakan nasional. Sebut saja tokoh pers nasional Tirto Adhi
Soerjo yang lahir di Blora dan tumbuh di Bojonegoro. Ada tokoh komunisme juga
Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu. Dan Sekarmaji Maridjan
Kartosuwirjo, tokoh Negara Islam Indonesia (NII) yang lahir di Cepu dan tumbuh di
Bojonegoro. Saya mungkin luput menyebut sejumlah tokoh lainya,sehingga Anda
berhak untuk menambah daftar tokoh pergerakan nasional di Bojonegoro,
Lamongan, Tuban dan Blora.
Tanah yang tandus seperti Blora dan Bojonegoro ternyata menjadi lahan tumbuh
dan berkembangnya sejumlah tokoh yang ikut mempengaruhi pergerakan
nasional. Tirto Adhi Suryo ditulis lengkap oleh Pramoedya Ananta Toer dalam
tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah
Kaca. Juga ada tulisan biografi Tirto Adhi Suryo yang ditulis dalam Sang Pemula.
Sedangkan Kartosuwirjo yang mendirikan NII, biografinya dicatat dalam buku
Darul Islam (Sebuah Pemberontakan) karya Van Dijk dan Pemikiran Kartosuwirjo
karya Al Chaidar.
Kartosuwirjo beruntung. Karena saat belajar kepada tokoh Sarekat Islam (SI) HOS
Tjokroaminoto di Surabaya, dia satu pondokan dan satu pendidikan bersama
presiden RI 1 Soekarno dan tokoh komunisme Semaun.
Tjokroaminoto berhasil mendidik para muridnya menjadi tokoh nasional.
Menariknya ketiga muridnya, yakni Soekarno, Semaun dan Kartosuwirjo memilih
jalan hidup ideologi yang berbeda-beda Namun tujuannya sama,
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari tiga tokoh itu, Soekarno dan
Semaun telah banyak jejak yang menelusurinya. Bahkan,keduanya memiliki
banyak massa yang tak sedikit pada zamannya hingga kini. Namun, bagaimana
dengan tokoh NII Kartosuwirjo? Padahal, Kartosuwirjo dan NII menginspirasi
sebagian umat Islam mendirikan Daulah Islamiyah di Indonesia. Hingga ngebet-
nya mendirikan NII di Indonesia mereka pun kerap menempuh jalan kekerasan,
seperti aksi bom bunuh diri. Majalah Tempo edisi khusus Kemerdekaan yang
menurunkan laporan tentang Kartosuwirjo. Siapa sebenarnya Kartosuwirjo? Dia
lahir di Cepu, Blora Jawa Tengah. Anak seorang mantri candu di Cepu. Dari
laporan Tempo berhasil menelusuri, Kartosuwirjo menempuh pendidikan elite
khusus anak Belanda Europeesche Lagere School di Bojonegoro. Kehidupan
keluarga Kartosuwirjo sebenarnya bukan keluarga yang relijius tapi justru
cenderung abangan. Pamannya Mas Marco Kartodikromo adalah tokoh Sarekat
Islam yang cenderung merah. Sehingga Kartosuwirjo juga cenderung membaca
buku-buku berhaluan kiri. Namun dari catatan Tempo, saat menempuh pendidikan
di Bojonegoro, Kartosuwirjo sempat belajar agama kepada tokoh Muhammadiyah
dan Partai Sarekat Islam Indonesia di Bojonegoro. Namanya Notodiharjo.
Tirto Adie Soerjo
Ada jejak pahlawan yang luar biasa di Bojonegoro. Saya katakan luar biasa,
karena dia melawan kolonialisme tak menggunakan senjata. Tapi menggunakan
pena untuk mencerahkan dan membuka kesadaran anak bangsa. Namanya Tirto
Adhie Soerjo. Sayang hingga kini, nama Tirto Adhie Soerjo tak setenar Soekarno
dan Mohammad Hatta.
Jika Anda pernah membaca buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, di
bab pertama ada sebuah puisi sederhana. Puisi ditulis oleh Priatman dalam buku
Perdjoengan dalam Sedjarah. Judul puisinya Lentera, ditulis ulang pada 24
Agustus 1962. Pada bait pertama tertulis:
Raden Mas Tirtoadiesoerjo
Nama kecilnya Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro
.
Tirto Adhie Soerjo, haqul yakin nama ini asing di telinga guru sejarah dan pelajar
di Bojonegoro, mungkin sama sekali tak mengenalnya. Ah atau jangan-jangan
pejabat dan wakil rakyat Bojonegoropun tak mengenalnya.
Tirto Adhie Soerjo adalah Bapak Pers Indonesia. Dia adalah pengelola koran
pribumi pertama di Indonesia pada zaman kolonialisme, yakni Medan Prijaji.
Tirto Adhie Soerjo sebenarnya lahir di Blora. Tapi di Blora hanya numpang lahir
saja. Dia lahir pada 1880. Sejak bayi, dia sudah kehilangan orangtuanya.
Karena itu, mulai bayi, dia diasuh oleh neneknya, Raden Ayu Tirtonoto. yang tak
lain adalah istri dari Bupati Bojonegoro RMT Tirtonoto. Saat itu sebelum 1827,
Bojonegoro bernama Rajekwesi.
Nama kecil Tirto Adhie Soerjo adalah Djokomono. Tak banyak yang tahu cerita
masa kecil dari Tirto Adhie Soerjo. Dia pun tak banyak bercerita atau menulisnya.
Hanya diceritakan, lahir di Blora, masa balita hingga sekolah dasar di Bojonegoro,
lalu ke Madiun, Rembang, Bogor dan Jakarta.
Di Bojonegoro, dia sekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Tentu saja, Tirto
Adhie Soerjo beruntung karena dia anak priyayi. Dia dapat menempuh pendidikan
di sekolah Belanda. Di sekolah itu, dia mendapatkan pengetahuan yang cukup.
Pengetahuan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi kelak untuk membuka
kesadaran bagi anak bangsanya.
Semasa dia kecil, pengaruh neneknya sangat kuat terhadap Tirto Adhie Soerjo.
Neneknya membentuk Tirto Adhie Soerjo memiliki karakter percaya diri sendiri,
berdiri di atas kaki sendiri,tidak takut kemiskinan, tidak takut tak berpangkat, dan
tidak menjadi peminta.
Nah, ajaran Raden Ayu Tirtonoto itu sebenarnya masih relavan hingga kini. Ajaran
yang sesungguhnya melampui zamannya saat itu. Ajaran itu penting disampaikan
kepada para siswa di sekolah.
Ajaran tidak menjadi peminta, sama seperti yang kerap disampaikan Kang Yoto
dalam beberapa kesempatan. Yakni, agar kita beralih dari mental peminta menjadi
pemberi.
Contoh mental peminta adalah sedikit-dikit bikin proposal mengajukan bantuan
kepada pemerintah.
Ajaran memberi dan berbagi diajarkan oleh agama apapun. Sebab inti agama
sebenarnya adalah bermanfaat bagi semua. Tirto Adhie Soerjo paham benar
dengan petuah neneknya tersebut. Karena itu, dia menyakini kemampuan dirinya
adalah berjuang melalui pers. Dia gunakan pers untuk menyadarkan kejamnya
kolonialisme. Untuk itu, kolonialisme harus dilawan.
Beberapa tahun lalu, saya sempat bertemu dengan salah satu keturunan Tirto
Adhie Soerjo. Ada banyak impian dan idealisme saat itu untuk mengenang nama
Tirto Adhie Soerjo di Bojonegoro. Sayangnya impian itu kandas. Sebab, dia
terburu harus balik lagi ke Jakarta.
Nama Tirto Adhie Soerjo, layak untuk menjadi nama gedung, jalan, atau apapun di
Bojonegoro. Dia juga layak diajarkan di sekolah-sekolah di Bojonegoro. Agar
siswa bangga, bahwa Bojonegoro ada jejak sejarah seorang pahlawan besar. Tirto
tak layak dilupakan oleh masyarakat Bojonegoro, dia layak untuk terus diingat dan
diteruskan perjuangannya.
Nama Tirto Adhie Soerjo memang jarang disebut dalam pelajaran sekolah. Apalagi
guru sekolah di Bojonegoro, haqul yakin malah belum banyak yang tahu nama
Titro Adhie Soerjo. Namanya memang tak setenar para pejuang lainnya, seperti
Tjut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Soekarno dan M Hatta. Padahal.
Sesungguhnya Tirto Adhie Soerjo juga berperan besar memberikan pencerahan
dan membuka mata rakyat bergerak meraih kemerdekaan. Tulisan-tulisan Tirto
Adhie Soerjo yang bernas itu dituangkan di koran Soenda Berita (1903) dan
Medan Prijaji (1907).
Tirto Adhie Soerjo adalah orang asli dari Bojonegoro. Cucu dari Bupati Bojonegoro
RMT Tirtonoto. Mas kecilnya dihabiskan di Bojonegoro bersama kakek dan
neneknya. Setelah nenaknya meninggal dunia, dia pindah ke Madiun mengikuti
saudra kakeknya yang juga Bupati Madiun, RMA Brotodiningrat. Di Madiun, dia
sekolah di ELS, lalu pndah ke Batavia (Jakarta sat ini) sekolah di HBS dan
menuntaskan studi di STOVIA.
Sejarah singkat Tirto Adhie Soerjo, saya peroleh dari seorang teman. Catatan itu
merupakan draf dari embrio buku biografi Titro Adhie Soerjo. Diberikan kepada
saya dua tahun lalu. Namun sejarah lengkap Tirto Adhie Soerjo telah saya baca di
tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer. Yakni, Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Pram menjadikan Tirto Adhie Soerjo
sebagai tokoh utama dalam empat novelnya yang cukup terkenal tersebut. Dalam
buku Sang Pemula, Pram mengungkapkan jati diri sebenarnya siapa Minke
sebagai tokoh utama dalam tetraloginya. Minke adalah Tirto Adhie Soerjo.
Hidup Tirto Adhie Soerjo adalah menulis. Dia mengawali menulis pada pada usia
13-14 tahun. Tulisan-tulisannya dikirim ke media yang dikelola oleh pemerintah
Hindia-Belanda. Sejak tulisannya dimuat, dia mulai menikmati dunia jurnalistik.
Tirto Adhier Soerjo memulai karir jurnalistik sebagai penulis lepas di surat kabar
Chabar Hindia Olanda (1888-1897) di Batavia.
Guru jurnalistiknya adalah orang Belanda yang mengelola koran Pembrita Betawi
(1884) bernama Karel Wijbrans. Pembrita Betawi awalnya Koran yang menulis
aktivitas Belanda di Batavia. Namun saat Tirto Adhie Soerjo emnjadi pemimpin
redaksinya, Pembrita Betawi juga menulis penderitaan rakyat Indonesia dijajah
Belanda.
Pada 1903, Tirto Adhie Soerjo mundur dari Pembrita Betawi. Dia lalu mendirikan
Koran Soenda Berita di Cianjur Jawa Barat. Soenda Berita dibiayai oleh bupati
Cianjur saat itu. Tirto Adhie Soerjo mengklaim Soenda Berita merupakan koran
pertama yang dimiliki oleh pribumi.
Lepas dari Soenda Berita, Tirto Adhie Soerjo mendirikan Medan Prijaji pada 1
Januari 1907. Koran ini satu-satunya yang dibiayai oleh pengusaha pribumi.
Statusnya perusahaan korannya sudah perseroan.
Medan Prijaji menjadi media ajang pertarungan kamum pribumi menggelorakan
semangat merebut kemerdekaan dari Belanda.
Oleh sebagian kalangan pers, berdirinya Medan Prijaji seharusnya ditandai
sebagai Hari Pers Nasional. Alasannya, Medan Prijaji membuktikan diri
kemandirian pers yang dikelola bangsa ini. Medan Prijaji mampu menyemaikan
semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Dia benar-benar menjadi pers yang
berpihak kepada rakyat. Karena itu sebenarnya, Medan Prijaji sebenarnya layak
sebagai tonggak kelahiran pers nasional. Apalagi, Tirto Adhie Soerjo, menurut
Pram memang layak disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Namun ada sebagian kalangan pers yang masih memperingati hari pers pada 9
Februari. Karena pada 9 Februari adalah hari lahirnya salah satu lembaga pers
nasional.
Saya kira sudah selayaknya, pemkab Bojonegoro memberikan penghargaan
kepada Tirto Adhie Soerjo. Tekad Tirto Adhie Soerjo memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dari kolonialisme melalui pers telah dibuktikannya. Kisah
tentang Tirto Adhie Soerjo juga bukan fiktif. Ketimbang tetap memelihara mitos
Anglingdarma yang membodohi rakyat, lebih baik memberikan penghargaan
kepada putra Bojonegoro, Sang Pemula Tirto Adhie Soerjo.
H. Sejarah Transportasi Utama di Bojonegoro
Buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe karya Oliver Johannes Raap. Buku
tersebut dicetak sangat lux. Kertasnya bagus dan setebal 208 halaman. Buku itu
merupakan potret pekerja di Jawa pada masa 1890-1940an. Buku tersebut
sebenarnya adalah kumpulan foto dan kartu pos koleksi Oliver. Dia ternyata
sangat gigih mencari foto dan kartu pos kuno. Bukan hanya didapat dari berburu
di kolektor di online saja, tapi juga berburu hingga ke pasar loak. Butuh waktu
hingga 8 tahun dia memburu foto dan kartu pos kuno tersebut.
Oliver adalah orang Belanda. Sehari-hari adalah pedagang buku. Dia datang ke
Indonesia pada saat terjadi krisis moneter. Dia lalu belajar Bahasa Indonesia dan
tentu saja belajar Bahasa Jawa. Dalam keseharian dia minta dipanggil Mas Oli,
bukan Meneer Oli.
Yang menarik dari buku karya Oliver tersebut adalah foto alat transportasi khas
Jawa pada zaman dulu. Yakni cikar atau dokar atau delman. Di foto itu ada
seorang perempuan yang sedang menggendong alat di depan cikar, lalu di cikar
ada penarik pedatinya. Di belakang penarik pedati ada penumpang anak-anak.
Cikar atau dokar adalah kendaraan khas Jawa zaman dulu. Saat ini cikar biasa
digunakan untuk mengangkut batang padi kering atau damen. Dan penarik cikar
adalah sapi. Namun di koleksi foto Oliver ditulis, cikar tersebut ditarik oleh kuda.
Bedanya, cikar penutup ruang untuk penumpang lebih tinggi, sedangkan dokar
lebih rendah.
Saat ini cikar atau dokar masih banyak kita temui di pasar-pasar kecamatan.
Sering jika saya pulang ke Gunungsari, saya ajak anak-anak naik dokar dari
Gunungsari ke Baureno.
Lalu, apa keistimewaan cikar dari Bojonegoro yang termuat dalam buku Oliver
tersebut? Keistimewaan cikar Bojonegoro adalah memiliki per. Fungsi per itu
sebagai suspensi sehingga membuat nyaman penumpang cikar. Bisa jadi karena
sebagai alat transportasi satu-satunya maka pemilik cikarpun memodifikasi agar
para penumpang nyaman.
Sebelum museum Rajekwesi yang satu kompleks dengan kantor Dinas
Pendidikan Bojonegoro dibongkar, ada satu dokar atau cikar yang dipajang di
museum tersebut. Cikar per khas Bojonegoro adalah salah satu bukti sejarah dan
budaya di Bojonegoro. Selayaknya cikar per tersebut mendapatkan tempat yang
layak, sebagai bukti Bojonegoro memiliki alat transportasi yang handal.
Pembaca yang budiman, saya sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa aktivitas
yang dilakukan oleh Oliver patut mendapatkan apresiasi. Orang Belanda memang
orang-orang hebat mendokumentasikan arsip. Mereka rela untuk blusukan hanya
untuk mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah yang berserakan. Lalu
dikumpulkan, dijadikan buku dan menjadi kajian sejarah yang menarik.
Kita sebenarnya cukup beruntung dijajah oleh Belanda. Meski semua penjajahan
adalah kriminalitas. Namun Belanda juga mampu menyimpan arsip bangsa ini
secara baik.
Semua aktivitas, kegiatan dan hal-hal sepele saat menjajah Indonesia dicatat baik
oleh Belanda. Buku CLM Panders Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic
Poverty in North East Java Indonesia sebenarnya adalah studi literatur saja.
Penders tak pernah datang ke Bojonegoro. Namun, dia mampu menulis detail
tentang Bojonegoro. Seolah Penders menggali datanya dari sumber aslinya di
Bojonegoro. Ternyata data yang diperoleh Penders berasal dari kumpulan arsip
yang masih tersimpan rapi perpustakaan Universitas Leiden.
Sayangnya, keteladanan Belanda menyimpan arsip secara baik ini tak menular ke
bangsa Indonesia.
Lihat saja, saat Anda ke kantor dinas pemerintah atau ke ruang guru di sekolah,
maka yang Anda lihat adalah tumpukan kertas dan map. Keliatan tak rapi dan
agak kotor. Setelah sekian lama tak digunakan, tumpukan kertas itu lalu diloakkan.
Bukan hanya kertas, tapi juga foto dan video yang merekam jejak aktivitas dan
denyut kota ini terasa tak disimpan rapi oleh pemerintah.
Dari hal yang paling sepele saja, yakni mengarsipkan jejak sejarah kota ini, terasa
sudah menunjukkan identitas pengelolaan pemerintah yang sebenarnya. Yakni,
bukan sebagai pemelihara yang baik.
Bangsa-bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu mengelola dan
menyimpan serta merawat arsip sejarah mereka dengan baik. Otomatis mereka
juga pemelihara yang baik. Bangunan, jalan, jembatan dan apapun dirawat
dengan baik. Merawat arsip sama juga merawat akal sehat. Bukan hanya untuk
saat ini saja tapi juga generasi selanjutnya.
Dari hal yang sepele, merawat arsip akan menunjukkan identitas kita sebenarnya,
sebagai pemelihara atau perusak.
I. Sejarah Infrastruktur Pengairan di Bojonegoro
Waduk Pacal
Waduk Pacal dimulai pembangunannya pada waduk Pacal pada 30 Agustus 1927
yang menelan biaya hingga 1,2 juta gulden. Ribuan rakyat Bojonegoro dikerahkan
oleh Belanda untuk membangun Waduk Pacal.
Waduk Pacal adalah bagian dari politik etis yang diterapkan Belanda di bidang
pertanian. Untuk membangun Waduk Pacal, sempat terjadi perdebatan sengit
antara kubu konservatif dan liberal di Parlemen Belanda. Hasilnya, Belanda
akhirnya membangun Waduk Pacal di Desa Kedungsumber Kecamatan
Temayang.
Belanda bukan hanya membangun Waduk Pacal. Tapi juga waduk di Sukosewu.
Namun yang di Sukosewu lebih kecil. Waduk Pacal merupakan waduk paling
besar yang dibangun Belanda di Bojonegoro.
Hingga kini, Waduk Pacal yang berisi 20 juta meter kubik air ini mampu mengairi
lahan pertanian di 10 kecamatan di Bojonegoro. Mulai dari
J. Sejarah Gerakan Kesenian dan Kebudayaan di Bojonegoro
Seberapa penting kebudayaan dan kesenian menjadi bagian dari strategi
pembangunan? Seorang kawan karib dari Jogjakarta saat bertandang ke
Bojonegoro membawakan saya sebuah buku yang sangat menarik. Judulnya
Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan.
Penerbitnya Merakesumba dan terbit pada 2008. Buku setebal 580 halaman itu
hingga kini termasuk buku yang dilarang dibaca dan beredar oleh Kejaksaan
Agung. Buku ini adalah kumpulan dari Lembaran Kebudayaan yang terbit di
Harian Rakjat pada 1950-1965. Lembaga Kebudayaan Rakyat atau disingkat
Lekra adalah lembaga kebudayaan yang tumbuh pasca-kemerdekaan RI.
Saya sudah lama memesan buku ini kepada teman saya tersebut. Saya ingin
membacanya sebagai kajian keilmuan. Namun, ada alas an kuta saya ingin
membaca buku ini. Yakni, ditulis dalam buku ini, pada 29 Desember 1954, Wakil
Ketua Lekra saat itu, Njoto pernah datang ke Bojonegoro.
Saat datang ke Bojonegoro, Njoto pidato di Gedung Bioskop Rajekwesi. Isinya
pidatonya, Lekra mencemaskan para kaum muda Indonesia yang lebih senang
meniru kebudayaan barat ketimbang kebudayaan Indonesia. Dia mengajak kaum
muda kembali ke identitas nasional, yakni kebudayaan Indonesia.
Bojonegoro, bagi Njoto, adalah bagian penting dari Lekra. Tak percaya? Dulu
pada revolusi Agustus 1945, seorang pahlawan kemerdekaan bernama Matekram
mendirikan grup seni ludruk Suluh Massa. Semula nama grup ini adalah Bintang
Merah. Lalu diganti menjadi Suluh Massa. Matekraman gugur dalam perang
mempertahankan Bojonegoro melawan penjajah Belanda. Buku Lekra Tak
Membakar Buku menulis, Bintang Merah sejak 1955 keliling ke pelosok desa dan
pegunungan di Bojonegoro. Pentas ludruk Bintang Merang selalu dipadati ribuan
penonton. Lakon yang dipentaskan bersumber dari cerita-cerita rakyat, seperti
Pak Sakerah dan Sawunggaling. Bahkan, saat pentas, ada tarian yang sangat
populer, yakni tari Blondjo Wurung. Nama Bintang Merah lalu diganti nama
menjadi Suluh Massa. Harapannya, ludruk dapat menjadi penyuluh dan pembawa
obor bagi rakyat.Oleh Harian Rakjat pada 2 Januari 1964 menulis Suluh Massa
mampu merebut hati rakyat Bojonegoro. Karena itu, Harian Rakjat menilai Suluh
Massa adalah bagian sangat penting dalam strategi kebudayaan mencintai
kesenian rakyat.
Salah seorang tokoh kesenian Bojonegoro saat ini yang masih menjabat sebagai
kepala desa di Kecamatan Temayang membenarkan jika pada 1950-an
Bojonegoro sangat kuat dan populer kesenian rakyat. Dia bercerita kepada saya,
saat kecil dirinya sering dilatih menari dan pemain ketoprak keliling atau kerap
disebut wayang tobong. Kakak kepala desa itu merupakan salah seorang tokoh
Lekra di Bojonegoro. Wayang tobong menjadi hiburan rakyat. Dalam cerita
ketoprak itu juga diselipkan pesan kerakyatan agar rakyat terus mencintai
kesenian bangsa sendiri. Lagu-lagu perjuangan juga dikumandangkan untuk
merebut hati rakyat.
Saat itu tak ada lembaga kebudayaan yang sehebat Lekra. Lembaga kebudayaan
yang didirikan pada 17 Agustus 1950 di Solo ini mempunyai anggota di hampir
seluruh kabupaten di seluruh Jawa.
Lekra menolak tegas kebudayaan yang tak sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Menariknya, bukan kaum ulama yang saat itu menolak tegas
kebudayaan barat seperti film masuk ke Indonesia tapi justru dari kaum kesenian
rakyat. Lekra menilai film-film saat itu yang diputar di Indonesia tak sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Film yang diputar justru mempertontonkan
kebudayaan yang tak selaras dengan bangsa Indonesia. Akibatnya, generasi
muda tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Generasi muda pun kehilangan
identitas mencintai kesenian rakyat. Lihatnya tontonan kesenian rakyat tak lagi
semeriah dulu. Mereka yang masih menjadi pelaku kesenian rakyat seperti
berjalan sunyi.
Namun berhasilkah strategi Lekra melawan kebudayaan asing? Sungguh saya
masih harus banyak belajar untuk menjawabnya. Sebab, kita hidup pada
zamannya masing-masing. Zaman saya berbeda dengan zaman Lekra hidup.
Dulu keran kapitalisme belum segencar saat ini. Televisi dengan beragam acara
yang kadang menjijikkan sudah setia menemani masyarakat di rumah.
Ada strategi Lekra menjadi salah satu kunci Lekra menjadi lembaga dicintai rakyat
pada zaman itu. Yakni, strategi turun ke bawah atau turba. Dalam catatan salah
satu tokoh Lekra, Utuy Tatang Sontani di Harian Rakjat 27 Februari 1962, dia
menulis turba berarti kita berguru kepada massaKita malahan tak hanya
berguru kepada massa-kita berguru kepada massa sebagai murid ketjil. Pesannya
sederhana sebenarnya dari tulisan ini, agar dicintai rakyat bergurulah kepada
rakyat. Berguru adalah memahami dunia batin rakyat.
PSJB dan Perlawanan Kecil
Ditengah riuh politik di Bojonegoro yang menjemukan, Ada syukuran sederhana
yang menandai sejarah kecil Bojonegoro. Penanda itu bukan sejarah politik.
Namun sejarah perlawanan kecil terhadap arus besar kapitalisme yang kini mulai
menerjang Bojonegoro.
Mengapa saya sebut perlawanan kecil? Karena ditengah kapitalisme yang
tumbuh subur dan riuh politik kacangan di Bojonegoro, Pamarsudi Sastra Jawi
Bojonegoro (PSJB) PSJB masih tetap eksis sampai detik ini. Eksis bukan sekadar
nama saja, tapi juga karya-karya yang bukan hanya nasional tapi juga
internasional. Karya para penulis PSJB juga memberikan banyak warna baru
dalam kancah sastra Jawa di Indonesia.
Tahun 2015, PSJB memasuki usia 30-an. PSJB merayakan syukuran sederhana
ulang tahun ke-30. Usia 30 tahun, tentu bukan usia yang kemarin sore. Namun,
usia yang sudah cukup lama. PSJB bukan hanya sebagai penjaga dari sastra dan
kebudayaan Jawa di Bojonegoro. PSJB sesungguhnya adalah ikon dari
Bojonegoro. Sebagai ikon, PSJB seharusnya juga ikut dijaga bukan hanya oleh
penggeraknya saja, namun juga oleh pemerintah, dan seluruh komponen
masyarakat termasuk media.
Bukti bahwa PSJB sebagai ikon adalah dalam ultahnya ke-30 hadir para ikon-ikon
kebudayaan Bojonegoro. Ada pembuat wayang thengul khas Bojonegoro Santoso
dan dalangnya Pak Dhe Uban. Ada pemain siter yang sudah puluhan tahun
mengamen menyanyikan lagu Jawa dengan siternya, Roekini. Ada launching buku
novel Amrike Kembang Kopi karya Sunaryata Soemardjo dan kumpulan cerita
cekak Rembulane wis Bulan Dadari karya Sri Setya Rahayu.
Hadir pula pengamat sastra Jawa dari Jogjakarta, Dhanu Priyo Prabowo yang
banyak membantu PSJB menerbitkan buku. Ada juga Harry Balung Guru yang
menggeluti arkeologi Bojonegoro selama puluhan tahun.
Ada pula Agus, seorang arsitek asal Kalitidu yang saat ini tinggal di Jogjakarta.
Agus sedang menggarap buku tentang Samin. Buku itu adalah sketsa kehidupan
Samin dan PSJB akan memberi naskah sketsa tersebut.
Buku ini adalah terobosan baru. Yakni menggabungkan sketsa dengan tulisan.
Harapannya, buku dapat menjadi dokumen dari kehidupan sehari-hari Samin.
Mereka para pegiat menguri-uri kebudayaan Jawa ini tulus mencintai Bojonegoro.
Mereka hanya ingin Bojonegoro tetap menjadi bagian penting dari proses sejarah
kebudayaan Indonesia. Yakni, proses memanusiakan manusia. Bukan menjadi
skrup dari mesin kapitalisme. Sekali lagi, inilah yang saya sebut sebagai
perlawanan kecil terhadap arus besar kapitalisme yang mulai deras
Pembaca yang budiman, tentu saja menggeluti sastra Jawa bukanlah bidang yang
bergelimang uang. Tak ada sponsor besar dan perusahaan yang mau
mengeluarkan dananya untuk ikut menjaga sastra Jawa.
Justru mereka para pegiat sastra Jawa harus berkorban untuk terus menguri-uri
kebudaayaan dan sastra Jawa. Bojonegoro sesungguhnya harus bangga memiliki
PSJB. Bangga bahwa PSJB masih menjadi garda depan menjaga sastra Jawa.
Bangga karena penjaga sastra Jawa ternyata bukan di Solo dan Jogjakarta yang
notebene adalah pusat kebudayaan Jawa. Namun, penjaga sastra Jawa justru
adalah tanah jajahan Kesultanan Jogjakarta. Yakni Bojonegoro ini. Dari PSJB,
Bojonegoro menjadi barometer dari sastra Jawa di Indonesia.
Menjaga organisasi yang minim dengan dana besar seperti PSJB bukanlan
sesuatu yang mudah. Butuh stamina dan energi yang luar biasa untuk terus
menjaganya.
Prestasi PSJB yang ditorehkan selama ini untuk mengharumkan nama
Bojonegoro juga. Sudah ada empat sastrawan Jawa asal Bojonegoro yang
memperoleh penghargaan sastra daerah tertinggi di Indonesia, yakni Rancage.
Mulai Djayus Pete, JFX Hoerry, Herwanto dan Yusuf Susilo Hartono.
Bukan hanya itu, sudah ada puluhan buku sastra yang diterbitkan oleh PSJB.
Terakhir adalah buku Djayus Pete, Kagara-gara, Kagiri-giri yang baru diterbitkan
Juni lalu oleh Gus Ris Foundation.
Sekali lagi, buku-buku itulah yang sesungguhnya menjadi bentuk perlawanan
kecil PSJB dari arus deras kebudayaan liyan. Kebudayaan liyan yang akan
mengancam punahnya kebudayaan lokal.
Lucunya, masyarakat kita adalah pandai berteriak kalau sudah merasa
kehilangan. Ketika kebudayaan lokal diakui negara lain, kita baru teriak dan
mengumpat habis.
Padahal sebagai pewaris sah dari kebudayaan itu, kita kudu menjaganya,
menghargainya dan menghormatinya. Bukan hanya itu, kita juga harus berkarya.
Sebagai barometer sastra Jawa di Indonesia, sudah saatnya Bojonegoro memiliki
Pusat Dokumentasi Sastra Jawa.
K. Sejarah Agama-Agama di Bojonegoro
Penyebaran Agama Kristen di Bojonegoro
Kapankah penyebaran Kristen di Bojonegoro diawali? Tak tahu pasti. Namun,
yang jelas penyebaran Kristen di Bojonegoro mungkin berbarengan dengan
masuknya Belanda ke Bojonegoro sekitar tahun 1900-an.
Tim pernah bertamu di rumah seorang warga di Gang Jiken, Bojonegoro.
Namanya Gaguk Widodo Slamet Urip. Mungkin dia sudah lupa dengan saya,
karena pertemuan saya dengannya cukup lama, sekitar tahun 2006.
Pertemuannya pun tidak lama. Dalam obrolan yang hangat, dia menunjukkan
kepada saya, sebuah Alkitab berbahasa Jawa. Tertulis tahun terbitnya adalah
1927. Diterbitkan oleh salah satu penerbit di Singapura. Alkitab tersebut
merupakan warisan dari eyang buyutnya, yakni Eyang Wedono Jiken. Dia adalah
pejabat administratif pemerintahan di Blora. Namun, Eyang Wedono Jiken tempat
tinggalnya di Bojonegoro yang sekarang dikenal sebagai Gang Jiken. Nama Jiken
juga menjadi nama kecamatan di Blora. Di Gang Jiken, para penerus Eyang Jiken
masih menjaga baik Alkitab tersebut meski hampir seluruh keluarganya adalah
muslim.
Meski sudah terlihat kusam, namun Alkitab berbahasa kromo inggil tersebut masih
terawat baik. Bagi anak muda seperti saya saat itu, membaca Alkitab dengan
bahasa Jawa masih terasa asing. Karena terbiasa belajar Alkitab dengan
berbahasa Indonesia. Namun, saya merasakan keasyikan membaca Alkitab
dengan bahasa Jawa tersebut. Bagi saya, Alkitab berbahasa Jawa tersebut
merupakan bukti penyebaran agama Kristen di Bojonegoro secara damai. Bahasa
menjadi alat komunikasi yang efektif untuk menyebarkan agama secara damai.
Dengan menggunakan bahasa Jawa, Alkitab akan lebih bisa diterima oleh
masyarakat Jawa.
Dari cerita cucu Eyang Jiken, Alkitab yang tertulis tahun 1927 tersebut merupakan
pemberian dari pemerintah Belanda. Saat itu, tiap siswa yang belajar di sekolah
Belanda mendapatkan Alkitab. Pada sekitar tahun 1920-an, Belanda menerapkan
politik etis bagi rakyat Indonesia. Salah satunya melalui pendidikan. Namun, ada
kemungkinan Alkitab tersebut merupakan peninggalan dari salah seorang
keturanannya Eyang Wedono Jiken yang bernama Projo. Dia menikah dengan
perempuan Belanda. Lalu menjadi pendeta dan tinggal di Kediri. Projo merupakan
adik dari dr Sosodoro Djatikoesoma. Nama Sosodoro Djatikoesoema saat ini
menjadi nama RSUD di Bojonegoro.
Dugaan awal, kali pertama Kristen menyebar di Bojonegoro dari Dusun Kwangen
Desa Leran Kecamatan Kalitidu. Hingga kini masih ada gereja GKJTU Maranatha
yang masih berdiri di dusun yang dikenal sebagai kampung Kristen tersebut. Ada
dua gereja di Dusun Kwangen yang berpenduduk sekitar 20 KK tersebut.
Sesepuh Dusun Kwangen Sumomarni mengungkapkan, gereja di Dusun
Kwangen sudah dibangun jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Bahkan
masih ada lonceng gereja tua yang masih tersimpan hingga kini.
Di Kwangen, bukan hanya komunitas Kristen saja yang domisili. Namun juga
Islam juga mendirikan musala di Dusun Kwangen. Kehidupan beragama di
Kwangen sangat rukun. Bahkan, dalam satu rumah, ada anak yang beragama
Islam dan Kristen.
Sedangkan persebaran Katolik di Bojonegoro kali pertama diduga berasal dari
Desa Kolong Kecamatan Ngasem. Persebaran Katolik di Bojonegoro diduga mulai
1940an. Katolik dan Kristen menjadi kekuatan penting di Bojonegoro untuk
menjaga agar tetap kondusif.

Para tokoh Kristen dan Katolik Indonesia yang berasal dari Jawa merupakan tokoh
yang mampu berakulturasi dengan kebudayaan secara baik. Sebut saja,
pahlawan nasional IJ Kasmo, pastor Soegijapranata, dan Kiai Sadrach. Ketiganya
merupakan tokoh agama yang mampu memahami kebudayaan Jawa secara utuh.
Sehingga penyebaran Kristen mampu diterima secara baik dan damai oleh
masyarakat Jawa. Mereka menggunakan bahasa hati rakyat, bukan bahasa
kekuasaan.
Begitu pula dengan penyebar agama Islam di Jawa. Para walisongo mampu
membuktikan bahwa penyebaran Islam dengan akulturasi masyarakat Jawa
membawa dampak positif yang luar biasa. Hampir semua agama di Indonesia
melakukan penyebaran secara damai melalui pendidikan. Para wali juga
mendirikan pesantren untuk menyebarkan Islam secara damai. Karena melalui
pendidikan yang benar karakter manusia yang baik akan menemukan sisi
kemanusiaannya. Bahkan Sunan Kalijaga harus berdakwah menyapa rakyat
dengan bahasa musik yang mudah dipahami.
Bojonegoro relatif menjadi salah satu daerah yang mudah menerima hal yang
baru tanpa kekerasan. Kultur religi masyarakat Bojonegoro sebenarnya juga
beragam. Namun, belum ada kasus kekerasan yang disebabkan agama.
Asal usul masyarakat Bojonegoro dari orang Kalang hingga Samin merupakan
penyebar kedamaian. Samin melawan Belanda dengan cara damai, yakni tidak
membayar pajak tanpa melawan kekerasan. Meski Samin Surosentiko ditahan
dan dibuang ke luar Jawa. Samin tak pernah mengajarkan kepada para
pengikutnya melawan Belanda dengan kekerasan. Mengutip Rene Girard
(Sindhunata,2008), kekerasan seperti lingkaran setan, dia akan terus terjadi jika
kekerasan dibalas kekerasan.
Karena itu, pendekatan yang komunikatif terhadap rakyat menjadi penting.
Memahami dunia batin rakyat bukan sekadar bicara jargon kesejahteraan dan
kemakmuran. Namun, juga menyapa batin rakyat. Karena Jawa adalah dunia
keseimbangan dan kedamaian yang berbahasa hati. Damai akan terwujud jika
saling berendah hati, saling memahami.
Menelusuri Jejak Persebaran Islam di Bojonegoro
Padangan
Keberadaan Kadipaten Jipang begitu kuat di tanah Rajekwesi (Bojonegoro).
Termasuk hingga gugurnya Adipati Jipang, Aria Panangsang (adipati kedua)
beserta para pengikutnya pada 1558 masehi.
Pasca gugurnya Aria Panangsang, benda-benda pusaka dari kerajaan Demak
dipindahkan ke Pajang. Saat itulah, kerajaan Pajang mulai berdiri. Namun,
upacara penobatan berlangsung 1568 masehi. Praktis, Kadipaten Jipang menjadi
bagian dari Kerajaan Pajang.
Sultan Pajang Adiwijaya menetapkan Aria Mataram sebagai Adipati Jipang, yang
tidak lain adalah adik dari Aria Panangsang, tapi dari ibu yang berbeda.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (hal: 76), saat menjadi seorang
adipati, Aria Mataram mengutus seorang mubalig untuk mengajarkan agama Islam
ke wilayah Jipang sebelah timur dan selatan Sungai Bengawan Solo.
Mubalig belum diketahui identitasnya ini akhirnya dimakamkan di Desa Padangan,
persisnya sebelah timur utara Jalan Padangan-Bojonegoro.
Khanifuddin, salah satu ulama di Kecamatan Padangan, mengungkapkan,
dulunya ada seorang ulama bernama Hasyim. Tapi, tidak diketahui siapa Mbah
Hasyim, dan dari mana asalnya. Tapi, Mbah Hasyim memiliki gelar ketib Hasyim.
Menurut para sesepuh artinya penulis, penyalin, atau sekretaris.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (hal: 202), pusat penyebaran Islam
abad XVI atau masa kebesaran Demak, untuk wilayah Jipang berada di
Padangan. Dan ulama besarnya, yakni kiai Hasyim.
Kian Hasyim juga dikenal dengan sebutan Mbah Sinare. Menurut dia, kiai Hasyim
memiliki masjid kecil dengan ciri-ciri denahya berbentuk persegi. Terletak di
fondamen tinggi, mempunyai atap tumpang, petunjuk kiblat ditandai dengan
mihrob memiliki serambi depan.
Khanifudin membenarkan jika Mbah Hasyim memiliki langgar atau masjid kecil.
Tapi belum ada kepastian apakah tempatnya sudah memiliki nama atau belum.
Kiai Hasyim cukup gigih dalam berdakwah, hingga banyak masyarakat memeluk
Islam. Meski saat itu, banyak penganut agama selain Islam.
Khanif sapaan akrabnya menceritakan, saat Mbah Hasyim mengambil air wudu di
tepi Sungai Bengawan Solo, dari arah barat, ada sesuatu bergerak menuju ke
arahnya. Mbah Hasyim pun penasaran, dan dilihat dengan cermat, ternyata yang
datang adalah seseorang naik keranjang. Saat itu Mbah Hasyim bertanya kepada
orang di keranjang tersebut.
Nah, orang di keranjang tersebut, kata dia, yakni Pangeran Adiningrat Dandang
Kusuma, atau Mbah Sabil. Kedatangan Mbah Sabil ke tanah Jipang karena dikejar
oleh Belanda dari Kerajaan Mataram, sekitar abad XVII atau 1600-an masehi.
Jika dikorelasikan dengan buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, Kerajaan Pajang
mulai direbut oleh Kerajaan Mataram, sekitar 1586 atau 1587. Praktis, saat itu
Jipang dibawah Adipati Jipang IV bernama Pangeran Benawa, menjadi kekuasaan
Kerajaan Mataram.
Khanif melanjutkan, saat merantau ke tanah Jipang, Pangeran Adiningrat
Dandang Kusuma menuju ke Dusun Jethak dan namanya diganti dengan Sabil,
karena khawatir diketahui kolonial Belanda.
Dari Jethak menyelamatkan diri ke Dusun Jumok yang lokasinya sebelah timur
Ngraho. Setelah tinggal di Jumok, Mbah Sabil berencana pergi ke Ampel,
Surabaya.
Saat ke Ampel, Mbah Sabil menggunakan keranjang mata ero (keranjang
berlubang biasanya digunakan mencari rumput). Saat perjalanan itu, konon Mbah
Sabil banyak memberikan nama desa di daerah Padangan. Seperti Dengok,
Demaan, Kalangan, dan Padangan. Karena diminta Mbah Hasyim untuk tinggal di
tempatnya, dan Mbah Sabil berkenan akhirnya desa itu disebut Kuncen. Sebab,
kepergiannya ke Ampel dikunci oleh Mbah Hasyim.
Keduanya berdakwah bersama dan menjadikan langgar (semula kecil) lalu
dibangun ukuran besar dan pesantren. Lokasi masjidnya berada di Kuncen bagian
utara dari Tugu Pahlawan ke arah timur laut. Hanya saja, saat ini tidak ada
bekasnya karena terkikis air Bengawan Solo.
Mbah Sabil meninggal terlebih dahulu. Dan dimakamkan tidak jauh dari masjid
dan pesantren.
Awalnya disebut Sarean Menak Anggrung, artinya makam orang terhormat
(sarean Menak). Sedangkan anggrung maksudnya lokasinya menjulang tinggi di
tepi Sungai Bengawan Solo.
Cangaan, Pintu Masuk Islam lewat Bengawan
Kapan Islam masuk ke Bojonegoro? Penanda Islam masuk di Bojonegoro salah
satunya ditemukan di Desa Cangaan Kecamatan Kanor Bojonegoro. Yakni, masjid
Nurul Huda yang dibangun pada 1263 Hijriyah atau 1771 Masehi. Kutipan tahun
tersebut tertera dalam ukiran di dalam masjid. Masjid ini satu abad lebih tua
dibandingkan Masjid Darussalam di Kota Bojonegoro yang dibangun pada 1825
Masehi.
Cangaan dulunya adalah sebuah desa yang terdapat dermaga untuk lalu lintas
kapal yang melintas di Bengawan Solo.
Menurut Untung, 92, warga setempat yang dulunya pernah menjadi tukang bersih-
bersih masjid Nurul Huda, menceritakan, Desa Cangaan tergolong desa yang
ramai. Sebab, pada zaman itu banyak orang Belanda yang mendirikan gudang
untuk tembakau. Sehingga perekonomian di desa ini cukup maju. Ditambah pula
dengan adanya aliran sungai Bengawan Solo yang digunakan sebagai jalur
transportasi air untuk menuju ke Gresik dan Surabaya. Ada gudang krosok
tembako.
Pernyataan itu dikuatkan dengan banyaknya bangunan tua yang ada di daerah
tersebut. Bangunan yang memiliki ciri khas dengan saka penyangga yang besar.
Selain itu, juga terdapat pagar yang mengitari rumah dengan ukuran yang cukup
tinggi sehingga halaman rumah sampai tidak kelihatan. Selain itu, menurut catatan
almarhum Sururi Djufri yang juga pernah menjadi takmir masjid Nurul Huda ini, di
Desa Cangaan juga terdapat bangunan dari kayu jati bentuk bucu (berbentuk
kuncup).
Untung menjelaskan, menurut para sesepuhnya, sebelum berdirinya masjid Nurul
Huda para penduduk sudah memeluk agama Islam. Namun, dia tidak bisa
menjelaskan secara detail siapa yang membawa Islam di tanah kelahirannya itu.
Selanjutnya, tutur dia, setelah kedatangan Ki Wirayuda kemajuan Islam cukup
pesat. Dibuktikan dengan membangun masjid sebagai aktifitas ibadah.
Hal yang sama juga tertulis dalam catatan almarhum Sururi. Dalam catatan itu
tertulis sebelum Ki Wirayuda menetap di Cangaan. Desa tersebut sudah dihuni
oleh Kyai Polo atau disebut Kiai Setro Sukun. Beliau adalah putra dari hasil
perkawinan antara Buyut Marjoyo (Martojoyo) yang berasal dari Solo dengan Nyai
Marjoyo dari Ngawi.
Untung menceritakan, awalnya, Ki Wirayuda yang masih memiliki keturunan
dengan kerajaan yang ada di Solo ini, ikut hanyut dengan menggunakan gethek
atau rakit. Kemudian, hidup bersama dengan warga Cangaan dan sekitarnya.
Lalu menikah dengan perempuan orang Cangaan.
Dalam menyiarkan Islam, lanjut Untung, Ki Wirayuda kadang mendatangi rumah
penduduk untuk mengajarkan ngaji Alquran. Kemudian, pada Jumat setelah
menunaikan salat Jumat juga ada pengajian. Metode yang digunakan dengan
cara ceramah. Dia menggambarkan, murid-murid yang ingin mendengarkan
petuahnya duduk bersila dihadapan Ki Wirayuda.
Kemudian, lanjut dia, ada beberapa murid yang juga meneruskan perjuangan Ki
Wiroyudo. Diantaranya, Nursyam, Abdul Hamid, Hasyim, dan Sidiq. Keempat
murid Ki Wirayuda tersebut telah bergelar haji.
Dari Cangaan Menyebar ke Balen
Persebaran Islam di Desa Cangaan Kecamatan Kanor, sebelum kehadiran Ki
Wirayuda. ada seorang yang bernama Buyut Tibah. Ketua Takmir Masjid Nurul
Huda, Abdul Hakim, sesuai dengan catatan almarhum Sururi, Buyut Tibah adalah
seseorang yang dermawan. Selain dermawan, Buyut Tibah juga dikenal sebagai
seorang kiai dan pemuka agama Islam.
Lokasi sawahnya di Desa Cangaan. Luasnya sekitar 1 hektare. Hasil dari sawah
Tiban tersebut hingga kini diberikan ke masjid Nurul Huda.
Asal mula buyut Tibah, bagi penduduk tidak diketahui asal-muasalnya yang pasti.
Dalam catatan almarhum Sururi pun juga tidak ditemukan siapa sebenarnya buyut
Tibah ini. Hanya tertulis, buyut Tibah diperkirakan adalah orang yang bernama
Tibah yang ikut dalam perahu rakit bersama Daulat dan Seco (bersama Ki
Wiroyuda).
Hal ini berdasarkan keterangan yang menyatakan Nyai Tibah (istri buyut Tibah)
adalah saudara buyut Nyai Martoyudo (ibu Ki Wirayuda). Namun ketenaran buyut
Tibah bagi warga masyarakat sudah tidak asing lagi.
Diketehui sebelumnya, di Desa Cangaan sudah tinggal Kyai Polo atau disebut Kiai
Setro Sukun. Beliau adalah putra dari hasil perkawinan antara Buyut Marjoyo
(Martojoyo) yang berasal dari Solo dengan Nyai Marjoyo dari Ngawi. Seiring
berjalannya waktu akhirnya Nyai Setro Sukun meninggal dan akhirnya, Kyai Setro
Sukun menikah dengan iparnya sendiri yang bernama Beruk dan lahirlah haji
Abdul Majid yang menjadi menantu Buyut Tibah.
Hakim menambahkan, dalam catatan almarhum Sururi tertulis, Ki Wiroyudo
menikah dengan anak dari Buyut Tibah yang bernama Karimah atau juga disebut
Biyung Badri. Secara otomatis, saat berada di Cangaan Ki Wirayuda
mendapatkan banyak tambahan ilmu dari Buyut Tibah.
Sehingga, dengan keberadaan Ki Wirayuda dalam keluarga Buyut Tibah ini
menambah kekuatan untuk menyebarkan Islam. Sebab, Ki Wirayuda adalah
seorang pemuda yang sangat terampil dan idealis. Ditambah pula dukungan dari
menantu buyut Tibah lainnya, Kiai Setro. Dari dukungan itulah, akhirnya
mewujudkan masjid untuk media dakwah.
Diakhir hayatnya, Ki Wiroyudo dimakamkan di desa setempat dengan
berdampingan dengan murid-muridnya serta keluarganya. Makam, Ki Wiroyudo
terlihat seperti makam kuno karena nisannya diduga terbuat dari batu kuno yang
berukiran seperti masjid.
Selain mendirikan masjid, juga meluaskan ajaran Islam daerah lain. Salah satu
caranya adanya beberapa tokoh-tokoh yang menimba ilmu ke Cangaan dan
akhirnya membuat sebuah lembaga pendidikan.
Dia juga menjelaskan, persebaran Islam yang ada di Cangaan berlanjut ke
wilayah Sekaran Balen.
Ditemui terpisah, Abdul Qodir, selaku dewan penasehat Masjid Sekaran
membenarkan jika sesepuh pendiri masjid di Sekaran ini masih memiliki hubungan
keluarga dengan Ki Wiroyudo Cangaan. Beliau adalah Kyai Abdul Qodir Jailani
atau disebut juga Raden Citroyudo. Beliau (eyang Jailani) adalah menantu dari
Wiroyudo, terang dia. Masjid di Sekaran Balen dibangun pada 1795 Masehi.
Sejarah NU di Bojonegoro
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam (ormas) terbesar di
negeri ini. Selain itu, juga mempunyai basis pengikut terbesar di Jatim. Karena
hampir semua tokoh pendirinya juga berasal dari pulau Jawa bagian Timur ini.
Lantas kapan NU mulai menyebar di Bojonegoro.
Menurut Mustayar PC NU Bojonegoro, Anas Yunus mengatakan, pertama kali NU
masuk di Bojonegoro melalui jalur barat. Tepatnya dari Kecamatan Padangan,
karena letak wilayah tersebut merupakan jalur strategis. Merupakan
persimpangan jalan raya antara Bojonegoro dengan Ngawi dan Blora. Jalur
tersebut digunakan KH Abdul Wahab Chasbullah (salah satu pendiri NU) untuk
memperkenalkan NU kepada para kiai. Padangan saat itu merupakan wilayah
yang sangat sangat penting, terutama sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Sekitar 1930, KH Abdul Wahab Chasbullah itu sering mengadakan silaturrahmi
dengan beberapa kiai di Kudus, salah satunya dengan KH Asnawi (Kudus).
Sepulang dari Kudus, KH Wahab melewati Pati, Rembang, Blora, Cepu,
Padangan, Bojonegoro, dan Babat. KH Wahab selalu singgah di daerah yang
terdapat pondok pesantrennya.
Kebetulan di Padangan ada pondok Jalaan yang cukup dikenal dibawah asuhan
KH Hasyim. Karena pengaruh KH Wahab itulah berdirilah NU di Padangan pada
1938. Sedangkan di Bojonegoro masih belum ada pondok pesentren. Karena
itulah maka NU pertama kali berdiri di Padangan. NU berkembang lalu di
Kecamatan Kasiman, Ngraho, Tambakrejo, Purwosari, dan lainnya. Sehingga
keberadaan NU di Padangan cukup membantu berdirinya NU di Bojonegoro.
Terbukti pada sekitar 1950, KH. Soleh Hasyim (putra KH Hasyim)
memperkenalkan NU ke kalangan pondok warga kota Ledre. KH Soleh Hasyim
lalu menjadi Imam Khotib di Masjid Agung Bojonegoro.
Secara struktur, NU di Bojonegoro mulai berdiri pada 1953. Yaitu saat KH
Rachmat Zuber dari pesantren Al Falah Mangunsari, Tulungagung menjadi Imam
Masjid Agung Bojonegoro dan merangkap Sekolah Putri Islam (SPI). KH Rachmat
kali pertama menjadi menjadi Tanfidziyah PC NU Bojonegoro. Hal tersebut juga
didukung dengan NU melepaskan diri partai Masyumi dan mendirikan partai
sendiri.
Setelah itu, KH Rachmat lebih mengintensifkan pertemuan dengan pada kiai dan
pondok di Bojonegoro, dengan mengadakan dialog dan ceramah agama.
Sehingga terbentuklah forum para ulama yang terdiri dari beberapa kiai dari
berbagai wilayah di Bojonegoro.
Perkembangan NU di Bojonegoro, tidak lepas dari jasa pendiri dan Tanfidyah PC
NU Bojonegoro pertama kali, KH. Rachmat Zuber. Karena pada masa
kepimpinannya, NU Bojonegoro menjadi partai yang disegani dalam waktu
singkat, serta menuntaskan pembentukan MWC disetiap kecamatan bersama
ranting.
Apalagi, sejak terpilih menjadi ketua DPRD Bojonegoro selama periode (1955-
1960), mampu mewujudkan impiannya memberikan peninggalan yang berarti bagi
warga Nahdliyin, yakni berupa kompleks pendidikan yang direncanakan untuk
sekolah PGA, SMP, dan Diniyah. Serta asrama di Desa Sukorejo, Kecamatan
Bojonegoro atas nama PBNU.
Dan sebuah gedung Madrasah Ibtidaiyah NU untuk PC NU Bojonegoro.
Belum sampai gedung tersebut diresmikan, lanjut penggunannya KH Rachmat
keburu meningglkan Bojonegoro kembali ke Tulungagung untuk memenuhi
panggilan mertuanya KH R. Fattah untuk memimpin pondok pesantren
Mangunsari, Tulungagung. Kemudian pada 1961, diadakan musyawarah PC NU
Bojonegoro, hasilnya menunjuk M Dimyati sebagai tanfidziyah PC NU Bojonegoro
periode (1961-1967).
Saat kepimpinan M Dimyati ini, peran NU lebih banyak berperan sebagai partai
politik, semenjak keluar Masyumi 1952. Apalagi saat zaman orde lama, NU
mempunyai peran yang begitu besar di negeri ini, tepatnya sejak pemerintah
membubarkan PKI, kemudian keluar keputusan PBNU pada 5 Oktober 1965
tentang pembubaran PKI dan mengutuk serangan G 30 S PKI. Banyak warga NU
Bojonegoro yang menjadi korban.
Selanjutnya, AA Taufik menjabat sebagai Tanfidziyah PC NU Bojonegoro (1968-
1974). Saat kepimpinanya, peran NU tidak lagi sebagai parati politik, melainkan
sebagai organisasi sosial. Berdarkan keputusan pemerintah orde baru yang
menyederhanakan partai bersadasarkan UU partai 1975. Kemudian bergabung ke
PPP, merupakan kumpulan dari berbagai partai islam.
Semenjak itulah, PC NU Bojonegoro lebih banyak menangani aset-aset NU yang
hilang, khususnya lembaga pendidikan. Dibawah kepimpinan Chotim AA (1978-
1980), setelah dilakukan pendataan sekitar 20 persen madrasah Maarif yang tidak
daftar ulang. Karena banyak yang beralih ke pemerintah, maka tinggal 50 persen
yang mengikuti standar pendidikan lewat ujian Maarif.
Karena itulah harus dicarikan konsep pembangunan untuk membangkitkan
kembali perjuangan NU pada awal berdiri. Kemudian, saat kepimpinan KH. Ali
SyafiI (1986-1989) pendataan asset terus dilakukan. Serta minta kepada PPLP
Maarif agar gedung maarif di Bojonegoro dikelola sendiri.
Serta juga mendirikan perguruan tinggi islam Universitas Sunan Giri (STAI Sunan
Giri), tujuanya untuk mempersiapakan guru-guru bagi madrasah Maarif.
Kemudian, semangat itulah diterusakan kepengerusan periode selanjutnya (PC
NU Bojonegoro 1989-1992). Kepimpinan KH Achwan Affendi, NU Bojonegoro
mempunyai RS Muna Anggita dan mendirikan penampungan anak asuh Nurul
Rohmah. Dua lembaga itu dibawah Muslimat NU Bojonegoro.

Sejarah Muhammadiyah di Bojonegoro


Bojonegoro tidak lepas dari dua organisasi islam (ormas) terbesar di negeri ini,
yakni Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Dua ormas ini mempunyai
pengaruh besar bagi masyarakat. Khususnya bagi sejarah di Bojonegoro mulai
zaman hindia belanda hingga reformasi. Lantas kapan dua oramas tersebut mulai
masuk ke Bojonegoro?
Menurut sumber, secara organisasi Muhammadiyah di Bojonegoro berdiri pada
1952. Saat itu, Mashudi sebagai pemimpin pertama kali yang mendirikan. Selama
sepuluh tahun dia menjabat dan membesarkan Muhammadiyah di Kota Ledre.
Ustadz Mashudi yang pertama kali menjabat, menurut dari beberapa cerita, kata
Penasehat Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Bojonegoro, Hasan Anwar.
Namun, sebenarnya gerakan Muhammadiyah sudah masuk ke wilayah
Bojonegoro sejak tahun 1947. Kepastian itu, adanya beberapa masyarakat yang
sudah kenal Muhammadiyah. Terutuma masyarakat Bojonegoro bagian timur,
karena beberapa orang dari Kecamatan Baureno, Kanor, dan Sumberrejo ikut
pengajian di di Cabang Muhammdiyah Babat, Lamongan.
Sementara Muhammadiyah di Lamongan lebih awal berdiri sejak 1926, yang
dirintis oleh H. Sadullah yang berpusat di desa Blimbing Paciran. Berdasarkan
hal ini ada kemungkinan besar gerakan Muhammadiyah di Bojonegoro sudah ada
sebelum tahun 1947, ujarnya.
Meski demikian, lanjut Anwar, belum ada pergerakan Muhammadiyah secara
terbuka. Muhammadiyah lebih banyak digunakan untuk dirinya sendiri. Salah
satunya Ustadz Bukhori warga Desa Drajat, Kecamatan Baureno. Beliau
(Bukhori), termasuk orang pertama kali mengikuti pegerakan Muhammadiyah,
ungkapnya.
Selain itu, beliau berasal dari Jogyakarta (Pusat Muhammadiyah berdiri),
imbuhnya.
Baru kedatangan Mashudi, Muhammadiyah dikenal orang banyak. Dia merupakan
orang asli Bojonegoro yang melalang buana sampai keluar Jawa tepatnya di
daerah Palembang (Sumatera), karena dikejar-kejar penjajah. Pada saat
menyelamatkan diri ke Palembang beliau sempat berkawan dengan tokoh Islam
terkenal diantaranya Buya Hamka.
Pertemuan dengan tokoh besar ini, kemudian membawa Mashudi bergabung
dalam Hizbul Wathon (HW) dan sekaligus menjadi salah seorang anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sehingga memungkinkan beliau untuk
mengembangkan diri dan mengemban misi persyarikatan di Bojonegoro.
Terpisah, Ketua PD Muhammdiyah Bojonegoro, Zainuddin mengatakan, karena
Negara sudah merdeka dan keadaan mulai kondusif, maka pada 1947 Mashadi
memilih tinggal di Bojonegoro. Apalagi kondisi kesehatannya kurang sehat,
kemudian dimanfaatkan untuk mulai merintis amal usaha panti asuhan dan
Sekolah Rakyat Islam (SRI) yang dipusatkan di Sumberrejo.
Kemudian 1952, Mashudi pindah ke wilayah kota Bojonegoro dan
mengembangkan langkah yang lebih besar dengan membentuk Muhammadiyah
cabang Bojonegoro yang berpusat di kota Bojonegoro.
Sampai akhirnya terjadi masa peralihan kepemimpinan dari Mashudi kepada Abu
Arifaini pada Agustus 1962. Karena kondisi fisik Mashudi menurun. Kemudian
pergerakan Muhammadiyah pada periode ini sudah nampak. Kegiatan dakwah
melalui pengajian pada periode ini cukup gencar dilakukan oleh mubaligh
mubaligh muda dari Jogjakarta.
Apalagi, pada periode ini (1962-1970) ada tokoh Muhammdiyah dari Gresik yang
merupakan kader HW yaitu Tamsyi Tedjo Sasmito menjabat sebagai Bupati
Bojonegoro, memberikan andil yang besar untuk membesarkan Muhammadiyah
Cabang Bojonegoro, kemudian keberadaan Cabang Bojonegoro mengalami
perubahan menjadi daerah yang berdiri sendiri sejak 1967.
Selanjutnya pada kepimpinan Machfud Muharrom (1970-1978), Muhammadiyah
pada masa ini diarahkan pada pengembangan sekolah Muhammadiyah yang
sudah berdiri, di sekitar wilayah Sumberrejo, Kanor, Kedungadem, Sugihwaras,
Kapas, Baureno dan Balen.
Prestasi yang menonjol diantaranya adalah gerakan untuk menyadarkan kaum
tradisionalis agar menjalankan ajaran agama Islam sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah. Selain itu, berhasil merintis Balai Pengobatan Ibu dan
rumah Bersalin (BPRB) yang berlokasi di sebelah barat Alun-alun kota
Bojonegoro. BPRB saat itu juga juga digunakan sebagai kantor PD
Muhammadiyah pertama kali.
Penyebar Islam di Bojonegoro
Sunan Blongsong
Ada banyak jejak religi yang mengisahkan syiar agama Islam di wilayah
Bojonegoro. Salah satunya peran Sunan Blongsong di Desa Blongsong,
Kecamatan Baureno
Menuju Desa Blongsong, Kecamatan Baureno, cukup mudah. Karena, berada
tidak jauh dari Jalan Raya Bojonegoro-Babat. Sehingga, bisa ditempuh
menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu, hampir
seluruh jalannya dipaving.
Tetapi, ada yang anehnya. Saat memasuki desa tersebut, tidak ada papan nama
atau tugu desa. Sebaliknya, hanya terdapat papan penunjuk arah bertuliskan
Sunan Blongsong. Hanya berjarak sekitar 200 meter, kembali dijumpai tulisan
hampir sama. Kali ini, tulisan itu berada di pintu gapura makam.
Ya, makam yang terletak di timur jalan itu menjadi tempat peristirahatan sesepuh
desa setempat. Lokasinya berada di tempat khusus. Masyarakat desa setempat
menyebutnya cungkup.
Dalam bangunan berukuran 6 x 7 meter itu tak hanya terdapat makam Sunan
Blongsong. Melainkan ada delapan makam lainnya. Untuk membedakan dengan
makam lain, makam Sunan Blongsong dibungkus kain putih.
Sunan Blongsong masih menyimpan misteri sampai kini. Sebab, ada berbagai
versi asal-usul Sunan Blongsong. Bahkan, nama aslinya pun diduga lebih dari
satu. Ada yang menyebutnya sebagai Raden Syekh Syamsudin.
Ada juga yang menyebut Raden Syekh Marjuki. Terakhir, ada yang menyebut
Kanjeng Adipati Banusumitro dan Raden Syekh Nur Sahid.
Meski terdapat berbagai versi, masyarakat memercayai Sunan Blongsong
merupakan keturunan Sunan Kalijaga.
Versi lain Sunan Blongsong, merupakan prajurit Kerajaan Mataram yang
melarikan diri. Saat itu, Mataram terpecah menjadi dua. Ada yang pro dengan
pemerintah Belanda. Ada juga yang melawan Belanda. Sunan Blongsong
termasuk yang melawan.
Kemudian, dia melarikan diri sampai ke desa setempat. Di situ, Sunan Blongsong
tidak hanya membangunan kekuatan melawan tentara Belanda. Tapi, juga
menyebarkan agama Islam. Sehingga, pengikutnya sangat banyak.
Sunan Blongsong dikenal sangat sakti. Ketika tentara Belanda mencarinya, selalu
tak menemukan karena bisa menghilang, Karena itu nama Baureno disebut
Bowerno yang artinya tidak kelihatan.
Sedangkan soal nama Sunan Blongsong, masyarakat desa setempat tidak
mengetahui secara pasti. Bahkan, nama Sunan Blongsong baru muncul sekitar
sepuluh tahun terakhir. Saat itu, masyarakat setempat penasaran ingin
mengetahui nama asli sesepuh desanya. Selain itu, juga sering digunakan tempat
ziarah warga dari luar kota.
Berdasarkan Bunga Rampai Sejarah Bojonegoro, Sunan Blongsong merupakan
anak Sunan Kalijaga. Dia diangkat menjadi bupati oleh Kesultanan Demak untuk
memimpin Kabupaten Bowowarono. Pusat pemerintahannya di Dusun Sayang,
Desa Blongsong. Terbentuknya Kabupaten Bojonegoro tidak bisa lepas dari
kawasan wilayah timur. Salah satunya Kecamatan Baureno. Wilayah itu pernah
dijadikan kabupaten. Saat itu bernama Bahuwarno.
Ini terjadi pada masa berakhirnya Kerajaan Kahuripan, memasuki masa Kerajaan
Dhaha (Kadiri). Hingga Singasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit, Periode
pertama adalah masa akhir Kerajaan Kahuripan. Sebagaimana disebutkan,
bernama Bahuwarno dengan pusat pemerintahan di Grenjeng, Desa Sraturejo,
Kecamatan Baureno. Lokasi istananya berada di petilasan Sumur Nganten yang
dirawat penduduk setempat.
Di kawasan ini terdapat sumur tua dan cungkup berupa bangunan terbuka tanpa
dinding, tetapi terlindung atap genting. Warga setempat menghormati tokoh
pepundhen itu dengan sebutan Mbah Krebut pengejawantahan dari Prabu
Basunondo.
Setiap tahun, seusai panen padi, masih digunakan sebagai tempat sedekah bumi
(nyadran). Sumur di lokasi tersebut selalu dikunjungi pasangan pengantin yang
baru saja mengucapkan ikrar ijab kabul (akad nikah). Mereka akan membasuh
muka, tangan, dan kaki bersama pasangannya secara bergantian. Tujuannya
adalah agar pernikahannya awet dan terhindar dari cobaan, ungkapnya.
Kalau ini diselaraskan sejarah, lanjut dia, Bahuwarno berkisar pada masa
pemerintahan Prabu Kertajaya di Kadiri (1182-1222). Atau, seiring berakhirnya
tampuk kekuasaan Kertajaya karena ditaklukkan oleh Ken Arok yang sebelumnya
merebut tahta Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. Akuwu adalah kedudukan
setingkat bupati yang lazim diterapkan pada masa Kertajaya, jelasnya.
Kemudian, berubah pada masa Kasultanan Demak (1475-1548). Termasuk
wilayah Kadipaten Jipang, dengan nama Kabupaten Bowowarono, yang pusat
pemerintahannya di Dusun Sayang, Desa Blongsong. Yang menjadi bupati adalah
salah seorang putera Sunan Kalijaga yang bernama Raden Nur Syahid
Murdonegoro dengan gelar Kanjeng Adipati Banusumitro.
Kesaktian tokoh yang diyakini warga sebagai wali sebutan untuk kanjeng sunan)
ini bisa menghilang. Bekasnya berupa jubah atau blongsong (bahasa Jawa yang
berarti selongsong atau bungkus). Sehingga, akan dijadikan asal mula nama Desa
Blongsong.
Kanjeng Adipati Banusumitro memerintah hingga akhir hayatnya. Serta,
dimakamkan di astono (penduduk setempat menyebut makam sentono) yang
terletak di Desa Blongsong. Kedudukan sebagai bupati dilanjutkan puteranya
sendiri yang bergelar Adipati Singoyudo.
Hingga sekarang, pusat pemerintahan Kabupaten Bowowarono di Dusun Sayang,
Desa Blongsong, Kecamatan Baureno, masih dapat dilihat peninggalannya. Yakni,
berupa batu umpak (pondasi tatakan) untuk empat tiang besar yang disebut
sokoguru.
Tidak jauh dari situ terdapat sebongkah batu besar yang terpendam sebagian,
sepertinya sebuah prasasti.
Bukti pusat pemerintahan pada Kesultanan Demak juga dapat dilihat dari nama-
nama dusun di Desa Blongsong. Antara lain, Dusun Mantren (tempat tinggal para
mantri) dan Dusun Landar (asal kata Landrad, tempat hukuman atau penjara).
Serta, Pasar Sarayang, sekarang berubah menjadi Dusun Sayang. Dusun itu
letaknya berdekatan. Kalau dilihat dari letaknya sama seperti model pusat
pemerintahan Demak, ujar pria yang juga tim ekspedisi Bojonegoro itu.
Memang tidak terlalu banyak peninggalan Sunan Blongsong yang dapat dilihat
sekarang. Di an a tetenger yang masih dapat dilihat
adalah batu dan prasasti tersebut. Selain itu juga ada Sendang Co. Lokasinya
tidak jauh dari makam Sunan Blongsong.
Sendang tersebut dipercaya sebagai tempat mandi sunan. Dulu, warga Desa
Blongsong memanfaatkannya sebagai tempat mandi dan mencuci pakaian.
Bahkan, pernah dibangun tempat mandi khusus karena airnya tidak pernah
kering, meski musim kemarau.
Wali Kidangan
Selain di Baureno, jejak-jejak penyebaran Islam Di Bojonegoro juga ada di Malo,
yaitu Wali Kidangan.
Makam Wali Kidangan ada di Desa Sukorejo, Dusun Kidangan, Malo. Lokasinya
tidak jauh. Dari jembatan Malo yang menjadi ikon Kecamatan tersebut jalan lurus
ke utara. Sebelum masuk lokasi, ada tugu yang dibangun Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Bojonegoro sebagai tanda pintu masuk.
Dari gapura tersebut perjalanan bisa dilanjutkan menggunakan motor Sebab, jalan
untuk menuju lokasi makan Wali Kidangan cukup menanjak. Jarak antara gapura
menuju ke makan Wali Kidangan masih sekitar 3 kilometer (km).
Sampai di area makam, perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Motor
sudah tidak mungkin menempuh perjalanan tersebut. Sebab, para peziarah harus
berjalan menyusuri anak tangga. Perjalanan menyusuri anak tangga tersebut
cukup melelahkan. Panjang tangga untuk mencapai atas bukit dimana lokasi
makan Wali Kidangan tersebut sekitar 1 km.
Sesampai diatas, ada sebuah musala berdiri kokoh. Musala tersebut sering
digunakan para peziarah untuk beristirahat sejenak ketika lelah mendaki.
Makam Wali Kidangan lokasinya tidak jauh dari musala tersebut. Namun, untuk
mencapainya harus harus menapaki tangga lagi. Jaraknya tidak terlalu jauh.
Hanya 100 meter.
Di areal makam sudah ada beberapa warga yang sedang berziarah. Mulut mereka
dengan kyusuk membaca Surat Yasin bersama-sama. Selesai membaca Surat
Yasin mereka lalu berdoa bersama. Kepala Desa Sukorejo, Malo Munawaroh
menjelaskan, tidak banyak orang yang mengetahui bagaimana sejarah Wali
Kidangan. Sebab, tidak ada catatan yang menyebutkannya. Sehingga tidak
banyak orang yang mengetahui bagaimana asal-usul Wali Kidangan sampai ada
di Malo.
Namun, lanjut Munawaroh, berdasarkan cerita yang berkembang dari orang-orang
terdahulu, Wali Kidangan adalah salah seorang alim ulama. Dia sempat
menyebarkan Islam di Desa Sukorejo dan beberapa wilayah Malo. Ada juga yang
mengatakan dia adalah salah satu prajurit kerajaan Demak yang bersembunyi
disini karena di kejar Belanda. Lalu menyebarkan Islam sampai wafat dan dikubur
disini, jelasnya.
Siapa sebenarnya Wali Kidangan yang makamnya ada diatas bukit Kidangan
Dusun Kidangan, Desa Sukorejo, Kecamatan Malo masih misteri. Tidak banyak
masyarakat yang mengetahui asal-usul Wali Kidangan tersebut.
Namun, warga sekitar meyakini bahwa Wali Kidangan adalah seorang ulama
besar dari kesultanan Pajang yang merupkan kelanjutan Kerajaan Demak, Jawa
Tengah. Nama aslinya adalah Syeh Mukodar. Karena lama bermukim di bukit
Kidangan, maka lama-lama dia dikenal sebagai Wali Kidangan orang warga
sekitar. Namun, adapula yang menyebutnya Pangeran Kumbang Ali-Ali. Ada
banyak versi tentang mbah Wali Kidangan ini.
Meskipun masih belum banyak orang yang mengetahui asal usulnya secara pasti,
namun hal tersebut tidak membuat peziarah makam Wali Kidangan di Dusun
Kidangan, Desa Sukorejo, Malo sepi. Bahkan, pada hari tertentu sangat ramai.
Ada hari khusus yang biasanya ramai peziarah, yaitu Kamis Legi dan Jumat
Pahing. Dua hari itu, biasanya ada juru kunci yang menunggu disana. Selain dua
hari itu, tidak ada juru kunci yang menunggu disana.
Sejak 2002 silam, juru kunci makam Wali Kidangan sudah berganti sebanyak 4
kali. Pergantian tersebut karena berbagai sebab. Misalnya karena meninggal
dunia atau karena ada masyarakat yang tidak cocok sehingga harus diganti.
Sebab, penetapan juru kunci tetap dilakukan melalui musyawarah warga.
Menurut Munawaroh, Wali Kidangan bukanlah warga asli Desa Sukorejo. Bahkan,
bisa dikatakan dia adalah ulama keturunan arab. Sebab, melihat makamnya yang
cukup panjang (sekitar 2 meter) tidak mungkin orang Jawa. Diduga Wali Kidangan
adalah keturunan Arab.

Keyakinan tersebut diperkuat dengan adanya makam disebelah timur makam Wali
Kidangan yang bertuliaskan arab. Namun, hingga kini makam yang ada di sebelah
timur makam Wali Kidangan tersebut juga belum diketahui makam siapa. Namun,
warga meyakini itu adalah makam keluarga Wali Kidangan.
Tahun berapa Wali Kidangan hidup? Tidak ada yang tahu pasti. Namun
berdasarkan makam yang bertuliskan arab tersebut bisa disimpulkan bahwa Wali
Kidangan hidup sekitar 1800-an.
Berdasarkan cerita, Wali Kidangan mempunyai seorang adik bernama Zakaria.
Lokasi makam Wali Zakaria tersebut tidak jauh dari lokasi makam wali Kidangan.
Tepatnya di Desa Tinawaun. Kedunya diyakini sebagai ulama besar dari Kerajaan
Pajang.
Hal tersebut memperkuat bukti bahwa penyebaran ajaran Islam juga ada di
wilayah Bojonegoro barat. Sebab, ada dua makam ulama besar yang ada di Malo.
Sayangnya Wali Kidangan tidak meninggalkan masjid atau pesantren di Desa
Sukorejo, Malo sebagai sarana dakwah Islam. Sehingga, catatan tentangnya
hingga kini masih sangat minim. Cerita siapa sebenarnya Wali Kidangan hanya
diceritakan secara turun temurun. tuturnya.
Raden Sasrakusuma
Menelusuri jejak Islam di tanah Rajekwesi (Bojonegoro) tidak bisa dilepaskan dari
Kadipaten Jipang. Sebab, pada abad ke-16 saat Demak mulai menggantikan
kedudukan Majapahit yang bercorak Hindu. Sehingga, dengan begitu wilayah
Kadipaten Jipang juga mulai menyebar oleh unsur-unsur Islam. Wilayah Jipang
pada masa itu adalah Cepu (Blora) dan Padangan (Bojonegoro) serta wilayah
sekitarnya.
Cepu dan Padangan adalah dua kecamatan beda kabupaten yang saat ini
berdampingan. Karena itu, tak menutup kemungkinan jika dulu Cepu dan
Padangan berada dalam satu wilayah.
Menurut buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (1988), Jipang terkenal dengan
hasil hutannya berupa kayu jati. Bukan hanya itu, kualitas kayu jati dari Jipang
adalah yang terbaik. Sehingga, kayu jati dari hutan kadipaten Jipang dapan
digunakan untuk membuat rumah dan kapal. Kepopuleran Jipang akan hasil
kayunya tidak hanya terdengar di Jawa saja tapi di luar Jawa juga banyak dikenal.
Misalnya Sumatera.
Adipati Jipang yang pertama adalah Pangeran Sekar Kusuma. Dia dikenal
sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen yang masih keturunan dari kerajaan Demak.
Pada saat itu pusat kadipatennya di Cepu. Karena masih keturunan Demak,
adipati ini sudah memeluk Islam. Buktinya, dia meninggal dibunuh saat salat
Jumat. Selanjuntnya, Adipati Jipang diganti oleh anak Pangeran Seda Lapen,
yakni Pangeran Aria Penangsang pada 1521 Masehi. Untuk menyempurnakan
pengetahuan agama dan pemerintahan sang pangeran, dia berguru kepada
Sunan Kudus. Hubungan keduanya antara guru dan murid sangat dekat sekali.
Sehingga Arya Penangsang menjadi murid terkasih dimata sang wali.
Nah, pada saat pemerintahan Arya Panangsang inilah diketahui sang adipati
memiliki penasehat. Diantaranya Raden Bagus Nonong, Raden Rangga Atmajaya,
dan Raden Rara Sekar Winang Rong, dan Raden Sasrakusuma.
Menurut JFX Hoeri, budayawan yang tinggal di Padangan, salah satu penasihat
adipati yang bernama Raden Sasrakusuma atau dikenal Ki Ageng
Rumeksakusuma pernah membuat pesanggrahan di daerah Padangan. Tepatnya
ada di Desa Dengok Kecamatan Padangan.
Raden Sosrokusuma ini juga termasuk murid dari Sunan Kudus. Saat itu, Raden
Sosrokusuma saat ke Padangan melintasi Bengawan Solo. Saat singgah Raden
Sosrokusuma ini mengajarkan ilmu agama pada muridnya.
Selain mengajarkan ilmu agama, Raden Sosrokusumo, kata dia, juga
mengajarkan ilmu kanoragan. Sebab, pada saat itu masih banyak terjadi
peperangan.
Suatu saat Raden Sosrokusuma akan melakukan perjalan ke pusat kadipaten
Jipang dari tempat pesanggrahannya di Desa Dengok. Ketika dalam perjalanan
dihadang oleh berandal. Keduanya adalah Sura Batokan dan Sura Senori. Saat
itu pula perkelahian ketiganya terjadi. Meski berandalnya berjumlah dua orang
akhirnya tertarungan itu bisa dimenangkan oleh Raden Sosrokusuma. Akhirnya
dua berandal itu menjadi muridnya.
Setelah pemerintahan kerajaan Demak di pindah ke Pajang oleh Jaka Tingkir
menantu Sultan Trenggana, seiring berjalannya waktu kadipaten Jipang mulai
melakukan perlawanan terhadap Pajang. Pada saat itu, Sunan Kudus sempat
memanggil Adipati Pajang dan Adipati Jipang untuk menyelesaikan masalah yang
ada. Tapi akhirnya tidak menemukan jalan keluar dan terjadilah peperangan
antara Pajang dan Jipang.
Pada saat peperangan itulah akhirnya Adipati Aria Panangsang gugur dalam
pertempuran. Gugurnya sang adipati juga diikuti oleh Raden Sosrokusuma dan
tiga penasihat lainnya. Para penasehat dimakamkan di Gedong Ageng Jipang,
Cepu.
Sedangkan, pesanggrahan yang ada di Desa Dengok Kecamatan Padangan
ditandai dengan sebuah batu.
Saat ini batu itu di beri pagar pembatas. Sedangkan disekelilingnya terdapat
tempat lesehan. Lokasinya rindang karena di sekitarnya tumbuh pepohonan yang
besar.
Menurut warga sekitar, petilasan itu sekarang disebut dengan makam Mbah
Raden.
PENUTUP
Sejarah Bojonegoro telah banyak ditulis oleh beberapa sejarawan. Baik peneliti
dari dalam negeri maupun luar negeri. Kami hanya bagian kecil yang
menyumbangkan perjalanan Bojonegoro panjang Bojonegoro ini.
Kami yakin masih banyak yang harus diperbaiki dalam pendokumentasian ini.
Kami yakin masih banyak yang harus dikembangkan lagi.
Semoga pendokumetasian sejarah Bojonegoro ini menjadi investasi kecil bagi
pengetahuan generasi Bojonegoro di masa mendatang.
Daftar Bupati

Anda mungkin juga menyukai