Pendahuluan
Dalam literatur kolonial Belanda, Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah
satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Jawa. Tanahnya tandus dan
hampir tidak ada irigasilahan pertanian Bojonegoro berkualitas burukdaerah
yang subur di dekat Bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir
selama musim hujan. (CLM Penders (1984), Bojonegoro 1900-1942: A Story of
Endemic Poverty in North-east Java-Indonesia)
Tulisan ini mengangkat proses transformasi Bojonegoro dari sebuah kabupaten
yang kecil dan miskin, menjadi sebuah kabupaten bisa berdiri tegak dengan
kemandirian dan kerja keras pemerintah dan masyarakatnya. Transformasi ini
merupakan proses panjang dari titik minus, nol, dan plus. Minus adalah masa lalu,
nol adalah proses pembangunan masa kini, dan plus adalah Bojonegoro pada
masa depan.
Kota Bojonegoro adalah kota peradaban yang dilalui sungai terpanjang di Jawa,
Bengawan Solo. Hampir sebagian hewan purba mendiami bantaran Bengawan
Solo. Hingga kini fosil hewan purba di Bojonegoro berlimpah di sepanjang
Bengawan Solo. Bengawan Solo pada masa lalu bukan hanya sebagai jalan
transportasi saja tapi juga sebagai pusat peradaban.
Bojonegoro pada awalnya bernama Rajekwesi. Pusat pemerintahan pertama
adalah Jipang, yakni mencakup Cepu dan Padangan. Lokasinya di sepanjang
Bengawan Solo bagian barat Bojonegoro.
Bengawan Solo yang menghantarkan para pedagang dari Tiongkok, Kerajaan
Demak, dan Majapahit berdagang dengan orang Bojonegoro.
Bengawan Solo juga yang menghantarkan Sasradilaga menyerang Rajekwesi
yang dikuasai Belanda. Lalu Belanda dipukul mundur. Terjadi genjatan senjata.
Belanda akhirnya mengganti nama Rajekwesi dengan nama Bojonegoro.
Kekalahan yang memalukan Belanda lalu membuat Belanda mengganti nama
Rajekwesi menjadi Bojonegoro.
Lalu mengapa Belanda tertarik menguasai Bojonegoro? Jawabnya karena
Bojonegoro memiliki sumber daya alam melimpah. Bojonegoro memiliki minyak,
jati, tembakau, dan lahan yang subur saat itu. Kesuburan lahan itu disebabkan
adanya Bengawan Solo, dan kecocokan lahan ditanami tanaman yang produktif
dan diminati pasar Eropa saat itu, seperti jati dan tembakau.
Meski berlimpah sumber daya alam, masyarakat Bojonegoro masa lalu masih
terjerat kemiskinan, pemerintahan yang tidak berpihak rakyat. Akibatnya, hingga
2007 Bojonegoro adalah kabupaten termiskin nomer 3 di Jawa Timur. Bahkan
CLM Penders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty
in North East Java Indonesia menyebutkan bahwa kemiskinan Bojonegoro sudah
sangat mewabah. Tanah yang gersang dan sulit ditanami tumbuhan, tanaman di
bantaran Bengawan Solo yang diterjang banjir.
Penders mengilustrasikan bahwa kemiskinan di Bojonegoro pada 1900-1940
seperti kemiskinan oleh warga Rangkasbitung di Lebak dalam buku Max Havelaar
karya Multatuli. Dimana-mana rakyat miskin.
Bahkan saat zaman pembangunan orde baru, Bojonegoro nyaris tak tersentuh
pembangunan yang berarti. Rakyat masih miskin, infrastruktur jalan yang rusak
dari mulai poros kabupaten hingga desa dan lingkungan. Kelas sekolah banyak
yang rusak.
Pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah, darimana sebenarya akar
kemiskinan di Bojonegoro? Saya teringat catatan CLM Panders dalam bukunya
Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia.
Dalam versi Indonesia yang diterjemahkan secara pribadi oleh Albard Khan, buku
itu berjudul Bojonegoro 1900-1942 Kisah Kemiskinan Endemik Kabupaten
Bojonegoro Jawa Timur.
Kemiskinan seperti telah menjadi bagian dari sejarah Bojonegoro. Dari dulu
tanah Bojonegoro dikenal tandus karena mengandur kapur. Bukan hanya itu,
persoalan banjir ternyata bukan hanya dalam dekade terakhir ini saja. Namun,
sudah ada sejak akhir abad 18 dan diawal abad 19.
Ironisnya, Penders dalam salah satu bab dalam buku itu menyebut kondisi
Bojonegoro seperti di Lebak kedua, Jawa Barat. Jika Anda pernah membaca buku
Max Havelaar karya Multatuli atawa Douwes Dekker maka Anda tahu cerita
kemiskinan yang dialami Saijah dan Adinda di Rangkasbitung Kabupaten Lebak.
Miskin, terlantar dan dieksploitasi oleh VOC.
Namun, Bojonegoro agak beruntung dibandingkan Rangkasbitung, tanah yang
tandus karena berkapur masih menjadi berkah bagi masyarakat. Lahan yang
keras itu ternyata cocok untuk palawija seperti jagung dan tembakau. Dalam
catatan Penders, tanaman tembakau yang menjadi andalan Bojonegoro
diperkirakan telah ada sejak abad 16. Tanaman itu dibawa oleh Portugis saat ke
Indonesia.
Dalam catatan Penders menyebutkan, pemerintahan kolonial Belanda telah
melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan masyarakat Bojonegoro dari jerat
kemiskinan. Namun, pemerintah Belanda mengakui belum mampu
menyejahterahkan rakyat Bojonegoro. Penyebabnya sederhana, mental birokrat
yang bobrok dan kepicikan kaum pribumi. Kekayaan alam sebelum ditemukan
minyak pada zaman kolonial yang melimpah, seperti hutan jati dan tembakau
ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan rakyat Bojonegoro.
Bahkan, rakyat terjerat dalam belitan renternir Belanda dan pribumi kaya saat itu.
*****
Saya tidak tahu alasan persis Penders mengkaji kemiskinan Bojonegoro.
Mengapa Penders tidak mengkaji Lamongan atau Tuban? Mengapa Bojonegoro?
Hingga tuntas saya membaca catatan Penders, saya tak menemukan alasan baik
secara sosiologis maupun kultural mengkaji Bojonegoro. Hanya di kata pengantar
buku itu, Penders menyebutkan bahwa arsip yang berkaitan Bojonegoro di
Departemen Tanah Jajahan Belanda jumlahnya sangat melimpah. Artinya, sebagai
sebuah kajian keilmuan semata, arsip dan data sangat memadai sebagai bahan
tulisan.
Dan harus diakui catatan-catatan Penders tentang Bojonegoro sangat detail. Dia
mengaku tak pernah ke Bojonegoro. Catatan yang ditulis berdasarkan arsip dan
surat kawat para pejabat Belanda di Indonesia dengan pemerintahan Belanda.
Ada sejumlah penyebab Bojonegoro mengalami kemiskinan yang hebat saat itu,
diantaranya minimnya irigasi, diskriminasi pendidikan, dan terjerat utang yang
menumpuk kepada renternir. Namun, bagi saya, Penders juga harus menambahi
penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan. Ada diskriminasi kelas, antara priyayi
dan rakyat jelata.
Penerapan kebijakan Politik Etis oleh Belanda sempat menyelamatkan
Bojonegoro. Di bidang pertanian, Belanda membuat irigasi dengan membangun
waduk Pacal pada 30 Agustus 1927 yang menelan biaya hingga 1,2 juta gulden.
Di bidang pendidikan yang berhak menikmati pendidikan adalah anak-anak priyayi
dan orang kaya. Sedangkan anak orang miskin dilarang sekolah.
Disisi lain Belanda juga mengenalkan sistem pembayaran berupa uang kepada
rakyat Bojonegoro. Bukan hanya mengenalkan, Belanda juga meminjamkan uang
melalui bank. Banyak rakyat tergiur meminjam uang di bank. Penders mencatat,
Belanda memberikan pinjaman benih padi kepada rakyat di Baureno senilai 13
ribu gulden. Tapi, pinjaman itu terancam tak dapat dikembalikan karena kondisi
cuaca yang tak menentu.
Belanda akhirnya memberi pekerjaan kepada warga Baureno agar dapat
mengembalikan pinjaman. Yakni, mengangkuti batu dari Gunung Pegat (lintasan
Pegunungan Kendeng di Bojonegoro) untuk membangun jalan. Jika tak keliru ,
Gunung Pegat berada di jalur Babat-Jombang. Hingga sekarang sisa-sisa
peninggalan Belanda masih ada di Gunung Pegat yang membujur hingga Desa
Gunungsari Bojonegoro.
Rakyat yang rata-rata petani terjerat utang karena bunga bank sangat tinggi.
Penyebabnya, hasil dari pertanian impas bahkan kurang dari hasil pertanian yang
diperoleh. Bukan hanya itu pejabat kolonial dan administratur bank juga banyak
yang korup. Sehingga makin mencekik rakyat Bojonegoro yang meminjam uang
kepada bank.
***
Dalam kesempatan perbincangan dengan saya, Bupati Bojonegoro Suyoto
mengaku dirinya berkaca dari buku Penders itu untuk mengambil kebijakan politik
kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Bentuk kemiskinan pada zaman kolonial yang
dialami rakyat Bojonegoro seperti dalam catatan Penders tak jauh berbeda
dengan terjadi saat ini. Beruntung kebijakan Belanda saat itu masih ada yang
berpihak kepada rakyat. Yakni, dengan membangun waduk Pacal. Pertanian
Bojonegoro pun hingga kini terselamatkan.
Belanda juga membangun transportasi kereta api. Beruntungnya Bojonegoro
termasuk stasiun besar. Jadi sebagai stasiun utama. Jalur KA inilah digunakan
untuk mengangkut jati, tembakau dan hasil perkebunan lainnya ke Semarang.
Dari Semarang lalu dikirim ke Eropa.
Bukan hanya itu, mengentaskan kemiskinan juga bukan soal memberikan pancing
dan kail. Tapi, bagi saya, adalah memperbaiki mental. Dari mental peminta
menjadi pendaki. Untuk itu butuh revolusi kebudayaan. Ujungnya adalah
menjadikan warga ini bermental pemberi. Dalam bahasa agama, adalah sedekah.
Semakin banyak kita memberi maka semakin banyak kita akan menerima.
Namun, lagi-lagi urusan revolusi kebudayaan bukan hanya fisik, tapi mental.
Karena kegagalan kolonial Belanda saat itu bukan karena kebijakan yang buruk
tapi mental birokrat, legislator serta priyayi yang buruk dan korup. Kalau mental
peminta baik birokrat, legislator maupun rakyatnya ini masih belum berkurang
maka revolusi kebudayaan pun tinggal papan nama.
Penanganan kemiskinan bukan sekadar slogan dan retorika serta angka saja.
Namun, butuh langkah kongkret yang langsung dirasakan masyarakat. Dan jauh
lebih penting adalah menciptakan birokrat yang bersih dan benar-benar melayani
rakyat.
Kartosuwiryo
Ada banyak sebenarnya, tapi menurut saya ada dua orang yang cukup
mempengaruhi pergerakan nasional. Sebut saja tokoh pers nasional Tirto Adhi
Soerjo yang lahir di Blora dan tumbuh di Bojonegoro. Ada tokoh komunisme juga
Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu. Dan Sekarmaji Maridjan
Kartosuwirjo, tokoh Negara Islam Indonesia (NII) yang lahir di Cepu dan tumbuh di
Bojonegoro. Saya mungkin luput menyebut sejumlah tokoh lainya,sehingga Anda
berhak untuk menambah daftar tokoh pergerakan nasional di Bojonegoro,
Lamongan, Tuban dan Blora.
Tanah yang tandus seperti Blora dan Bojonegoro ternyata menjadi lahan tumbuh
dan berkembangnya sejumlah tokoh yang ikut mempengaruhi pergerakan
nasional. Tirto Adhi Suryo ditulis lengkap oleh Pramoedya Ananta Toer dalam
tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah
Kaca. Juga ada tulisan biografi Tirto Adhi Suryo yang ditulis dalam Sang Pemula.
Sedangkan Kartosuwirjo yang mendirikan NII, biografinya dicatat dalam buku
Darul Islam (Sebuah Pemberontakan) karya Van Dijk dan Pemikiran Kartosuwirjo
karya Al Chaidar.
Kartosuwirjo beruntung. Karena saat belajar kepada tokoh Sarekat Islam (SI) HOS
Tjokroaminoto di Surabaya, dia satu pondokan dan satu pendidikan bersama
presiden RI 1 Soekarno dan tokoh komunisme Semaun.
Tjokroaminoto berhasil mendidik para muridnya menjadi tokoh nasional.
Menariknya ketiga muridnya, yakni Soekarno, Semaun dan Kartosuwirjo memilih
jalan hidup ideologi yang berbeda-beda Namun tujuannya sama,
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari tiga tokoh itu, Soekarno dan
Semaun telah banyak jejak yang menelusurinya. Bahkan,keduanya memiliki
banyak massa yang tak sedikit pada zamannya hingga kini. Namun, bagaimana
dengan tokoh NII Kartosuwirjo? Padahal, Kartosuwirjo dan NII menginspirasi
sebagian umat Islam mendirikan Daulah Islamiyah di Indonesia. Hingga ngebet-
nya mendirikan NII di Indonesia mereka pun kerap menempuh jalan kekerasan,
seperti aksi bom bunuh diri. Majalah Tempo edisi khusus Kemerdekaan yang
menurunkan laporan tentang Kartosuwirjo. Siapa sebenarnya Kartosuwirjo? Dia
lahir di Cepu, Blora Jawa Tengah. Anak seorang mantri candu di Cepu. Dari
laporan Tempo berhasil menelusuri, Kartosuwirjo menempuh pendidikan elite
khusus anak Belanda Europeesche Lagere School di Bojonegoro. Kehidupan
keluarga Kartosuwirjo sebenarnya bukan keluarga yang relijius tapi justru
cenderung abangan. Pamannya Mas Marco Kartodikromo adalah tokoh Sarekat
Islam yang cenderung merah. Sehingga Kartosuwirjo juga cenderung membaca
buku-buku berhaluan kiri. Namun dari catatan Tempo, saat menempuh pendidikan
di Bojonegoro, Kartosuwirjo sempat belajar agama kepada tokoh Muhammadiyah
dan Partai Sarekat Islam Indonesia di Bojonegoro. Namanya Notodiharjo.
Tirto Adie Soerjo
Ada jejak pahlawan yang luar biasa di Bojonegoro. Saya katakan luar biasa,
karena dia melawan kolonialisme tak menggunakan senjata. Tapi menggunakan
pena untuk mencerahkan dan membuka kesadaran anak bangsa. Namanya Tirto
Adhie Soerjo. Sayang hingga kini, nama Tirto Adhie Soerjo tak setenar Soekarno
dan Mohammad Hatta.
Jika Anda pernah membaca buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, di
bab pertama ada sebuah puisi sederhana. Puisi ditulis oleh Priatman dalam buku
Perdjoengan dalam Sedjarah. Judul puisinya Lentera, ditulis ulang pada 24
Agustus 1962. Pada bait pertama tertulis:
Raden Mas Tirtoadiesoerjo
Nama kecilnya Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro
.
Tirto Adhie Soerjo, haqul yakin nama ini asing di telinga guru sejarah dan pelajar
di Bojonegoro, mungkin sama sekali tak mengenalnya. Ah atau jangan-jangan
pejabat dan wakil rakyat Bojonegoropun tak mengenalnya.
Tirto Adhie Soerjo adalah Bapak Pers Indonesia. Dia adalah pengelola koran
pribumi pertama di Indonesia pada zaman kolonialisme, yakni Medan Prijaji.
Tirto Adhie Soerjo sebenarnya lahir di Blora. Tapi di Blora hanya numpang lahir
saja. Dia lahir pada 1880. Sejak bayi, dia sudah kehilangan orangtuanya.
Karena itu, mulai bayi, dia diasuh oleh neneknya, Raden Ayu Tirtonoto. yang tak
lain adalah istri dari Bupati Bojonegoro RMT Tirtonoto. Saat itu sebelum 1827,
Bojonegoro bernama Rajekwesi.
Nama kecil Tirto Adhie Soerjo adalah Djokomono. Tak banyak yang tahu cerita
masa kecil dari Tirto Adhie Soerjo. Dia pun tak banyak bercerita atau menulisnya.
Hanya diceritakan, lahir di Blora, masa balita hingga sekolah dasar di Bojonegoro,
lalu ke Madiun, Rembang, Bogor dan Jakarta.
Di Bojonegoro, dia sekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Tentu saja, Tirto
Adhie Soerjo beruntung karena dia anak priyayi. Dia dapat menempuh pendidikan
di sekolah Belanda. Di sekolah itu, dia mendapatkan pengetahuan yang cukup.
Pengetahuan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi kelak untuk membuka
kesadaran bagi anak bangsanya.
Semasa dia kecil, pengaruh neneknya sangat kuat terhadap Tirto Adhie Soerjo.
Neneknya membentuk Tirto Adhie Soerjo memiliki karakter percaya diri sendiri,
berdiri di atas kaki sendiri,tidak takut kemiskinan, tidak takut tak berpangkat, dan
tidak menjadi peminta.
Nah, ajaran Raden Ayu Tirtonoto itu sebenarnya masih relavan hingga kini. Ajaran
yang sesungguhnya melampui zamannya saat itu. Ajaran itu penting disampaikan
kepada para siswa di sekolah.
Ajaran tidak menjadi peminta, sama seperti yang kerap disampaikan Kang Yoto
dalam beberapa kesempatan. Yakni, agar kita beralih dari mental peminta menjadi
pemberi.
Contoh mental peminta adalah sedikit-dikit bikin proposal mengajukan bantuan
kepada pemerintah.
Ajaran memberi dan berbagi diajarkan oleh agama apapun. Sebab inti agama
sebenarnya adalah bermanfaat bagi semua. Tirto Adhie Soerjo paham benar
dengan petuah neneknya tersebut. Karena itu, dia menyakini kemampuan dirinya
adalah berjuang melalui pers. Dia gunakan pers untuk menyadarkan kejamnya
kolonialisme. Untuk itu, kolonialisme harus dilawan.
Beberapa tahun lalu, saya sempat bertemu dengan salah satu keturunan Tirto
Adhie Soerjo. Ada banyak impian dan idealisme saat itu untuk mengenang nama
Tirto Adhie Soerjo di Bojonegoro. Sayangnya impian itu kandas. Sebab, dia
terburu harus balik lagi ke Jakarta.
Nama Tirto Adhie Soerjo, layak untuk menjadi nama gedung, jalan, atau apapun di
Bojonegoro. Dia juga layak diajarkan di sekolah-sekolah di Bojonegoro. Agar
siswa bangga, bahwa Bojonegoro ada jejak sejarah seorang pahlawan besar. Tirto
tak layak dilupakan oleh masyarakat Bojonegoro, dia layak untuk terus diingat dan
diteruskan perjuangannya.
Nama Tirto Adhie Soerjo memang jarang disebut dalam pelajaran sekolah. Apalagi
guru sekolah di Bojonegoro, haqul yakin malah belum banyak yang tahu nama
Titro Adhie Soerjo. Namanya memang tak setenar para pejuang lainnya, seperti
Tjut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Soekarno dan M Hatta. Padahal.
Sesungguhnya Tirto Adhie Soerjo juga berperan besar memberikan pencerahan
dan membuka mata rakyat bergerak meraih kemerdekaan. Tulisan-tulisan Tirto
Adhie Soerjo yang bernas itu dituangkan di koran Soenda Berita (1903) dan
Medan Prijaji (1907).
Tirto Adhie Soerjo adalah orang asli dari Bojonegoro. Cucu dari Bupati Bojonegoro
RMT Tirtonoto. Mas kecilnya dihabiskan di Bojonegoro bersama kakek dan
neneknya. Setelah nenaknya meninggal dunia, dia pindah ke Madiun mengikuti
saudra kakeknya yang juga Bupati Madiun, RMA Brotodiningrat. Di Madiun, dia
sekolah di ELS, lalu pndah ke Batavia (Jakarta sat ini) sekolah di HBS dan
menuntaskan studi di STOVIA.
Sejarah singkat Tirto Adhie Soerjo, saya peroleh dari seorang teman. Catatan itu
merupakan draf dari embrio buku biografi Titro Adhie Soerjo. Diberikan kepada
saya dua tahun lalu. Namun sejarah lengkap Tirto Adhie Soerjo telah saya baca di
tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer. Yakni, Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Pram menjadikan Tirto Adhie Soerjo
sebagai tokoh utama dalam empat novelnya yang cukup terkenal tersebut. Dalam
buku Sang Pemula, Pram mengungkapkan jati diri sebenarnya siapa Minke
sebagai tokoh utama dalam tetraloginya. Minke adalah Tirto Adhie Soerjo.
Hidup Tirto Adhie Soerjo adalah menulis. Dia mengawali menulis pada pada usia
13-14 tahun. Tulisan-tulisannya dikirim ke media yang dikelola oleh pemerintah
Hindia-Belanda. Sejak tulisannya dimuat, dia mulai menikmati dunia jurnalistik.
Tirto Adhier Soerjo memulai karir jurnalistik sebagai penulis lepas di surat kabar
Chabar Hindia Olanda (1888-1897) di Batavia.
Guru jurnalistiknya adalah orang Belanda yang mengelola koran Pembrita Betawi
(1884) bernama Karel Wijbrans. Pembrita Betawi awalnya Koran yang menulis
aktivitas Belanda di Batavia. Namun saat Tirto Adhie Soerjo emnjadi pemimpin
redaksinya, Pembrita Betawi juga menulis penderitaan rakyat Indonesia dijajah
Belanda.
Pada 1903, Tirto Adhie Soerjo mundur dari Pembrita Betawi. Dia lalu mendirikan
Koran Soenda Berita di Cianjur Jawa Barat. Soenda Berita dibiayai oleh bupati
Cianjur saat itu. Tirto Adhie Soerjo mengklaim Soenda Berita merupakan koran
pertama yang dimiliki oleh pribumi.
Lepas dari Soenda Berita, Tirto Adhie Soerjo mendirikan Medan Prijaji pada 1
Januari 1907. Koran ini satu-satunya yang dibiayai oleh pengusaha pribumi.
Statusnya perusahaan korannya sudah perseroan.
Medan Prijaji menjadi media ajang pertarungan kamum pribumi menggelorakan
semangat merebut kemerdekaan dari Belanda.
Oleh sebagian kalangan pers, berdirinya Medan Prijaji seharusnya ditandai
sebagai Hari Pers Nasional. Alasannya, Medan Prijaji membuktikan diri
kemandirian pers yang dikelola bangsa ini. Medan Prijaji mampu menyemaikan
semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Dia benar-benar menjadi pers yang
berpihak kepada rakyat. Karena itu sebenarnya, Medan Prijaji sebenarnya layak
sebagai tonggak kelahiran pers nasional. Apalagi, Tirto Adhie Soerjo, menurut
Pram memang layak disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Namun ada sebagian kalangan pers yang masih memperingati hari pers pada 9
Februari. Karena pada 9 Februari adalah hari lahirnya salah satu lembaga pers
nasional.
Saya kira sudah selayaknya, pemkab Bojonegoro memberikan penghargaan
kepada Tirto Adhie Soerjo. Tekad Tirto Adhie Soerjo memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dari kolonialisme melalui pers telah dibuktikannya. Kisah
tentang Tirto Adhie Soerjo juga bukan fiktif. Ketimbang tetap memelihara mitos
Anglingdarma yang membodohi rakyat, lebih baik memberikan penghargaan
kepada putra Bojonegoro, Sang Pemula Tirto Adhie Soerjo.
H. Sejarah Transportasi Utama di Bojonegoro
Buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe karya Oliver Johannes Raap. Buku
tersebut dicetak sangat lux. Kertasnya bagus dan setebal 208 halaman. Buku itu
merupakan potret pekerja di Jawa pada masa 1890-1940an. Buku tersebut
sebenarnya adalah kumpulan foto dan kartu pos koleksi Oliver. Dia ternyata
sangat gigih mencari foto dan kartu pos kuno. Bukan hanya didapat dari berburu
di kolektor di online saja, tapi juga berburu hingga ke pasar loak. Butuh waktu
hingga 8 tahun dia memburu foto dan kartu pos kuno tersebut.
Oliver adalah orang Belanda. Sehari-hari adalah pedagang buku. Dia datang ke
Indonesia pada saat terjadi krisis moneter. Dia lalu belajar Bahasa Indonesia dan
tentu saja belajar Bahasa Jawa. Dalam keseharian dia minta dipanggil Mas Oli,
bukan Meneer Oli.
Yang menarik dari buku karya Oliver tersebut adalah foto alat transportasi khas
Jawa pada zaman dulu. Yakni cikar atau dokar atau delman. Di foto itu ada
seorang perempuan yang sedang menggendong alat di depan cikar, lalu di cikar
ada penarik pedatinya. Di belakang penarik pedati ada penumpang anak-anak.
Cikar atau dokar adalah kendaraan khas Jawa zaman dulu. Saat ini cikar biasa
digunakan untuk mengangkut batang padi kering atau damen. Dan penarik cikar
adalah sapi. Namun di koleksi foto Oliver ditulis, cikar tersebut ditarik oleh kuda.
Bedanya, cikar penutup ruang untuk penumpang lebih tinggi, sedangkan dokar
lebih rendah.
Saat ini cikar atau dokar masih banyak kita temui di pasar-pasar kecamatan.
Sering jika saya pulang ke Gunungsari, saya ajak anak-anak naik dokar dari
Gunungsari ke Baureno.
Lalu, apa keistimewaan cikar dari Bojonegoro yang termuat dalam buku Oliver
tersebut? Keistimewaan cikar Bojonegoro adalah memiliki per. Fungsi per itu
sebagai suspensi sehingga membuat nyaman penumpang cikar. Bisa jadi karena
sebagai alat transportasi satu-satunya maka pemilik cikarpun memodifikasi agar
para penumpang nyaman.
Sebelum museum Rajekwesi yang satu kompleks dengan kantor Dinas
Pendidikan Bojonegoro dibongkar, ada satu dokar atau cikar yang dipajang di
museum tersebut. Cikar per khas Bojonegoro adalah salah satu bukti sejarah dan
budaya di Bojonegoro. Selayaknya cikar per tersebut mendapatkan tempat yang
layak, sebagai bukti Bojonegoro memiliki alat transportasi yang handal.
Pembaca yang budiman, saya sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa aktivitas
yang dilakukan oleh Oliver patut mendapatkan apresiasi. Orang Belanda memang
orang-orang hebat mendokumentasikan arsip. Mereka rela untuk blusukan hanya
untuk mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah yang berserakan. Lalu
dikumpulkan, dijadikan buku dan menjadi kajian sejarah yang menarik.
Kita sebenarnya cukup beruntung dijajah oleh Belanda. Meski semua penjajahan
adalah kriminalitas. Namun Belanda juga mampu menyimpan arsip bangsa ini
secara baik.
Semua aktivitas, kegiatan dan hal-hal sepele saat menjajah Indonesia dicatat baik
oleh Belanda. Buku CLM Panders Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic
Poverty in North East Java Indonesia sebenarnya adalah studi literatur saja.
Penders tak pernah datang ke Bojonegoro. Namun, dia mampu menulis detail
tentang Bojonegoro. Seolah Penders menggali datanya dari sumber aslinya di
Bojonegoro. Ternyata data yang diperoleh Penders berasal dari kumpulan arsip
yang masih tersimpan rapi perpustakaan Universitas Leiden.
Sayangnya, keteladanan Belanda menyimpan arsip secara baik ini tak menular ke
bangsa Indonesia.
Lihat saja, saat Anda ke kantor dinas pemerintah atau ke ruang guru di sekolah,
maka yang Anda lihat adalah tumpukan kertas dan map. Keliatan tak rapi dan
agak kotor. Setelah sekian lama tak digunakan, tumpukan kertas itu lalu diloakkan.
Bukan hanya kertas, tapi juga foto dan video yang merekam jejak aktivitas dan
denyut kota ini terasa tak disimpan rapi oleh pemerintah.
Dari hal yang paling sepele saja, yakni mengarsipkan jejak sejarah kota ini, terasa
sudah menunjukkan identitas pengelolaan pemerintah yang sebenarnya. Yakni,
bukan sebagai pemelihara yang baik.
Bangsa-bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu mengelola dan
menyimpan serta merawat arsip sejarah mereka dengan baik. Otomatis mereka
juga pemelihara yang baik. Bangunan, jalan, jembatan dan apapun dirawat
dengan baik. Merawat arsip sama juga merawat akal sehat. Bukan hanya untuk
saat ini saja tapi juga generasi selanjutnya.
Dari hal yang sepele, merawat arsip akan menunjukkan identitas kita sebenarnya,
sebagai pemelihara atau perusak.
I. Sejarah Infrastruktur Pengairan di Bojonegoro
Waduk Pacal
Waduk Pacal dimulai pembangunannya pada waduk Pacal pada 30 Agustus 1927
yang menelan biaya hingga 1,2 juta gulden. Ribuan rakyat Bojonegoro dikerahkan
oleh Belanda untuk membangun Waduk Pacal.
Waduk Pacal adalah bagian dari politik etis yang diterapkan Belanda di bidang
pertanian. Untuk membangun Waduk Pacal, sempat terjadi perdebatan sengit
antara kubu konservatif dan liberal di Parlemen Belanda. Hasilnya, Belanda
akhirnya membangun Waduk Pacal di Desa Kedungsumber Kecamatan
Temayang.
Belanda bukan hanya membangun Waduk Pacal. Tapi juga waduk di Sukosewu.
Namun yang di Sukosewu lebih kecil. Waduk Pacal merupakan waduk paling
besar yang dibangun Belanda di Bojonegoro.
Hingga kini, Waduk Pacal yang berisi 20 juta meter kubik air ini mampu mengairi
lahan pertanian di 10 kecamatan di Bojonegoro. Mulai dari
J. Sejarah Gerakan Kesenian dan Kebudayaan di Bojonegoro
Seberapa penting kebudayaan dan kesenian menjadi bagian dari strategi
pembangunan? Seorang kawan karib dari Jogjakarta saat bertandang ke
Bojonegoro membawakan saya sebuah buku yang sangat menarik. Judulnya
Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan.
Penerbitnya Merakesumba dan terbit pada 2008. Buku setebal 580 halaman itu
hingga kini termasuk buku yang dilarang dibaca dan beredar oleh Kejaksaan
Agung. Buku ini adalah kumpulan dari Lembaran Kebudayaan yang terbit di
Harian Rakjat pada 1950-1965. Lembaga Kebudayaan Rakyat atau disingkat
Lekra adalah lembaga kebudayaan yang tumbuh pasca-kemerdekaan RI.
Saya sudah lama memesan buku ini kepada teman saya tersebut. Saya ingin
membacanya sebagai kajian keilmuan. Namun, ada alas an kuta saya ingin
membaca buku ini. Yakni, ditulis dalam buku ini, pada 29 Desember 1954, Wakil
Ketua Lekra saat itu, Njoto pernah datang ke Bojonegoro.
Saat datang ke Bojonegoro, Njoto pidato di Gedung Bioskop Rajekwesi. Isinya
pidatonya, Lekra mencemaskan para kaum muda Indonesia yang lebih senang
meniru kebudayaan barat ketimbang kebudayaan Indonesia. Dia mengajak kaum
muda kembali ke identitas nasional, yakni kebudayaan Indonesia.
Bojonegoro, bagi Njoto, adalah bagian penting dari Lekra. Tak percaya? Dulu
pada revolusi Agustus 1945, seorang pahlawan kemerdekaan bernama Matekram
mendirikan grup seni ludruk Suluh Massa. Semula nama grup ini adalah Bintang
Merah. Lalu diganti menjadi Suluh Massa. Matekraman gugur dalam perang
mempertahankan Bojonegoro melawan penjajah Belanda. Buku Lekra Tak
Membakar Buku menulis, Bintang Merah sejak 1955 keliling ke pelosok desa dan
pegunungan di Bojonegoro. Pentas ludruk Bintang Merang selalu dipadati ribuan
penonton. Lakon yang dipentaskan bersumber dari cerita-cerita rakyat, seperti
Pak Sakerah dan Sawunggaling. Bahkan, saat pentas, ada tarian yang sangat
populer, yakni tari Blondjo Wurung. Nama Bintang Merah lalu diganti nama
menjadi Suluh Massa. Harapannya, ludruk dapat menjadi penyuluh dan pembawa
obor bagi rakyat.Oleh Harian Rakjat pada 2 Januari 1964 menulis Suluh Massa
mampu merebut hati rakyat Bojonegoro. Karena itu, Harian Rakjat menilai Suluh
Massa adalah bagian sangat penting dalam strategi kebudayaan mencintai
kesenian rakyat.
Salah seorang tokoh kesenian Bojonegoro saat ini yang masih menjabat sebagai
kepala desa di Kecamatan Temayang membenarkan jika pada 1950-an
Bojonegoro sangat kuat dan populer kesenian rakyat. Dia bercerita kepada saya,
saat kecil dirinya sering dilatih menari dan pemain ketoprak keliling atau kerap
disebut wayang tobong. Kakak kepala desa itu merupakan salah seorang tokoh
Lekra di Bojonegoro. Wayang tobong menjadi hiburan rakyat. Dalam cerita
ketoprak itu juga diselipkan pesan kerakyatan agar rakyat terus mencintai
kesenian bangsa sendiri. Lagu-lagu perjuangan juga dikumandangkan untuk
merebut hati rakyat.
Saat itu tak ada lembaga kebudayaan yang sehebat Lekra. Lembaga kebudayaan
yang didirikan pada 17 Agustus 1950 di Solo ini mempunyai anggota di hampir
seluruh kabupaten di seluruh Jawa.
Lekra menolak tegas kebudayaan yang tak sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Menariknya, bukan kaum ulama yang saat itu menolak tegas
kebudayaan barat seperti film masuk ke Indonesia tapi justru dari kaum kesenian
rakyat. Lekra menilai film-film saat itu yang diputar di Indonesia tak sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Film yang diputar justru mempertontonkan
kebudayaan yang tak selaras dengan bangsa Indonesia. Akibatnya, generasi
muda tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Generasi muda pun kehilangan
identitas mencintai kesenian rakyat. Lihatnya tontonan kesenian rakyat tak lagi
semeriah dulu. Mereka yang masih menjadi pelaku kesenian rakyat seperti
berjalan sunyi.
Namun berhasilkah strategi Lekra melawan kebudayaan asing? Sungguh saya
masih harus banyak belajar untuk menjawabnya. Sebab, kita hidup pada
zamannya masing-masing. Zaman saya berbeda dengan zaman Lekra hidup.
Dulu keran kapitalisme belum segencar saat ini. Televisi dengan beragam acara
yang kadang menjijikkan sudah setia menemani masyarakat di rumah.
Ada strategi Lekra menjadi salah satu kunci Lekra menjadi lembaga dicintai rakyat
pada zaman itu. Yakni, strategi turun ke bawah atau turba. Dalam catatan salah
satu tokoh Lekra, Utuy Tatang Sontani di Harian Rakjat 27 Februari 1962, dia
menulis turba berarti kita berguru kepada massaKita malahan tak hanya
berguru kepada massa-kita berguru kepada massa sebagai murid ketjil. Pesannya
sederhana sebenarnya dari tulisan ini, agar dicintai rakyat bergurulah kepada
rakyat. Berguru adalah memahami dunia batin rakyat.
PSJB dan Perlawanan Kecil
Ditengah riuh politik di Bojonegoro yang menjemukan, Ada syukuran sederhana
yang menandai sejarah kecil Bojonegoro. Penanda itu bukan sejarah politik.
Namun sejarah perlawanan kecil terhadap arus besar kapitalisme yang kini mulai
menerjang Bojonegoro.
Mengapa saya sebut perlawanan kecil? Karena ditengah kapitalisme yang
tumbuh subur dan riuh politik kacangan di Bojonegoro, Pamarsudi Sastra Jawi
Bojonegoro (PSJB) PSJB masih tetap eksis sampai detik ini. Eksis bukan sekadar
nama saja, tapi juga karya-karya yang bukan hanya nasional tapi juga
internasional. Karya para penulis PSJB juga memberikan banyak warna baru
dalam kancah sastra Jawa di Indonesia.
Tahun 2015, PSJB memasuki usia 30-an. PSJB merayakan syukuran sederhana
ulang tahun ke-30. Usia 30 tahun, tentu bukan usia yang kemarin sore. Namun,
usia yang sudah cukup lama. PSJB bukan hanya sebagai penjaga dari sastra dan
kebudayaan Jawa di Bojonegoro. PSJB sesungguhnya adalah ikon dari
Bojonegoro. Sebagai ikon, PSJB seharusnya juga ikut dijaga bukan hanya oleh
penggeraknya saja, namun juga oleh pemerintah, dan seluruh komponen
masyarakat termasuk media.
Bukti bahwa PSJB sebagai ikon adalah dalam ultahnya ke-30 hadir para ikon-ikon
kebudayaan Bojonegoro. Ada pembuat wayang thengul khas Bojonegoro Santoso
dan dalangnya Pak Dhe Uban. Ada pemain siter yang sudah puluhan tahun
mengamen menyanyikan lagu Jawa dengan siternya, Roekini. Ada launching buku
novel Amrike Kembang Kopi karya Sunaryata Soemardjo dan kumpulan cerita
cekak Rembulane wis Bulan Dadari karya Sri Setya Rahayu.
Hadir pula pengamat sastra Jawa dari Jogjakarta, Dhanu Priyo Prabowo yang
banyak membantu PSJB menerbitkan buku. Ada juga Harry Balung Guru yang
menggeluti arkeologi Bojonegoro selama puluhan tahun.
Ada pula Agus, seorang arsitek asal Kalitidu yang saat ini tinggal di Jogjakarta.
Agus sedang menggarap buku tentang Samin. Buku itu adalah sketsa kehidupan
Samin dan PSJB akan memberi naskah sketsa tersebut.
Buku ini adalah terobosan baru. Yakni menggabungkan sketsa dengan tulisan.
Harapannya, buku dapat menjadi dokumen dari kehidupan sehari-hari Samin.
Mereka para pegiat menguri-uri kebudayaan Jawa ini tulus mencintai Bojonegoro.
Mereka hanya ingin Bojonegoro tetap menjadi bagian penting dari proses sejarah
kebudayaan Indonesia. Yakni, proses memanusiakan manusia. Bukan menjadi
skrup dari mesin kapitalisme. Sekali lagi, inilah yang saya sebut sebagai
perlawanan kecil terhadap arus besar kapitalisme yang mulai deras
Pembaca yang budiman, tentu saja menggeluti sastra Jawa bukanlah bidang yang
bergelimang uang. Tak ada sponsor besar dan perusahaan yang mau
mengeluarkan dananya untuk ikut menjaga sastra Jawa.
Justru mereka para pegiat sastra Jawa harus berkorban untuk terus menguri-uri
kebudaayaan dan sastra Jawa. Bojonegoro sesungguhnya harus bangga memiliki
PSJB. Bangga bahwa PSJB masih menjadi garda depan menjaga sastra Jawa.
Bangga karena penjaga sastra Jawa ternyata bukan di Solo dan Jogjakarta yang
notebene adalah pusat kebudayaan Jawa. Namun, penjaga sastra Jawa justru
adalah tanah jajahan Kesultanan Jogjakarta. Yakni Bojonegoro ini. Dari PSJB,
Bojonegoro menjadi barometer dari sastra Jawa di Indonesia.
Menjaga organisasi yang minim dengan dana besar seperti PSJB bukanlan
sesuatu yang mudah. Butuh stamina dan energi yang luar biasa untuk terus
menjaganya.
Prestasi PSJB yang ditorehkan selama ini untuk mengharumkan nama
Bojonegoro juga. Sudah ada empat sastrawan Jawa asal Bojonegoro yang
memperoleh penghargaan sastra daerah tertinggi di Indonesia, yakni Rancage.
Mulai Djayus Pete, JFX Hoerry, Herwanto dan Yusuf Susilo Hartono.
Bukan hanya itu, sudah ada puluhan buku sastra yang diterbitkan oleh PSJB.
Terakhir adalah buku Djayus Pete, Kagara-gara, Kagiri-giri yang baru diterbitkan
Juni lalu oleh Gus Ris Foundation.
Sekali lagi, buku-buku itulah yang sesungguhnya menjadi bentuk perlawanan
kecil PSJB dari arus deras kebudayaan liyan. Kebudayaan liyan yang akan
mengancam punahnya kebudayaan lokal.
Lucunya, masyarakat kita adalah pandai berteriak kalau sudah merasa
kehilangan. Ketika kebudayaan lokal diakui negara lain, kita baru teriak dan
mengumpat habis.
Padahal sebagai pewaris sah dari kebudayaan itu, kita kudu menjaganya,
menghargainya dan menghormatinya. Bukan hanya itu, kita juga harus berkarya.
Sebagai barometer sastra Jawa di Indonesia, sudah saatnya Bojonegoro memiliki
Pusat Dokumentasi Sastra Jawa.
K. Sejarah Agama-Agama di Bojonegoro
Penyebaran Agama Kristen di Bojonegoro
Kapankah penyebaran Kristen di Bojonegoro diawali? Tak tahu pasti. Namun,
yang jelas penyebaran Kristen di Bojonegoro mungkin berbarengan dengan
masuknya Belanda ke Bojonegoro sekitar tahun 1900-an.
Tim pernah bertamu di rumah seorang warga di Gang Jiken, Bojonegoro.
Namanya Gaguk Widodo Slamet Urip. Mungkin dia sudah lupa dengan saya,
karena pertemuan saya dengannya cukup lama, sekitar tahun 2006.
Pertemuannya pun tidak lama. Dalam obrolan yang hangat, dia menunjukkan
kepada saya, sebuah Alkitab berbahasa Jawa. Tertulis tahun terbitnya adalah
1927. Diterbitkan oleh salah satu penerbit di Singapura. Alkitab tersebut
merupakan warisan dari eyang buyutnya, yakni Eyang Wedono Jiken. Dia adalah
pejabat administratif pemerintahan di Blora. Namun, Eyang Wedono Jiken tempat
tinggalnya di Bojonegoro yang sekarang dikenal sebagai Gang Jiken. Nama Jiken
juga menjadi nama kecamatan di Blora. Di Gang Jiken, para penerus Eyang Jiken
masih menjaga baik Alkitab tersebut meski hampir seluruh keluarganya adalah
muslim.
Meski sudah terlihat kusam, namun Alkitab berbahasa kromo inggil tersebut masih
terawat baik. Bagi anak muda seperti saya saat itu, membaca Alkitab dengan
bahasa Jawa masih terasa asing. Karena terbiasa belajar Alkitab dengan
berbahasa Indonesia. Namun, saya merasakan keasyikan membaca Alkitab
dengan bahasa Jawa tersebut. Bagi saya, Alkitab berbahasa Jawa tersebut
merupakan bukti penyebaran agama Kristen di Bojonegoro secara damai. Bahasa
menjadi alat komunikasi yang efektif untuk menyebarkan agama secara damai.
Dengan menggunakan bahasa Jawa, Alkitab akan lebih bisa diterima oleh
masyarakat Jawa.
Dari cerita cucu Eyang Jiken, Alkitab yang tertulis tahun 1927 tersebut merupakan
pemberian dari pemerintah Belanda. Saat itu, tiap siswa yang belajar di sekolah
Belanda mendapatkan Alkitab. Pada sekitar tahun 1920-an, Belanda menerapkan
politik etis bagi rakyat Indonesia. Salah satunya melalui pendidikan. Namun, ada
kemungkinan Alkitab tersebut merupakan peninggalan dari salah seorang
keturanannya Eyang Wedono Jiken yang bernama Projo. Dia menikah dengan
perempuan Belanda. Lalu menjadi pendeta dan tinggal di Kediri. Projo merupakan
adik dari dr Sosodoro Djatikoesoma. Nama Sosodoro Djatikoesoema saat ini
menjadi nama RSUD di Bojonegoro.
Dugaan awal, kali pertama Kristen menyebar di Bojonegoro dari Dusun Kwangen
Desa Leran Kecamatan Kalitidu. Hingga kini masih ada gereja GKJTU Maranatha
yang masih berdiri di dusun yang dikenal sebagai kampung Kristen tersebut. Ada
dua gereja di Dusun Kwangen yang berpenduduk sekitar 20 KK tersebut.
Sesepuh Dusun Kwangen Sumomarni mengungkapkan, gereja di Dusun
Kwangen sudah dibangun jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Bahkan
masih ada lonceng gereja tua yang masih tersimpan hingga kini.
Di Kwangen, bukan hanya komunitas Kristen saja yang domisili. Namun juga
Islam juga mendirikan musala di Dusun Kwangen. Kehidupan beragama di
Kwangen sangat rukun. Bahkan, dalam satu rumah, ada anak yang beragama
Islam dan Kristen.
Sedangkan persebaran Katolik di Bojonegoro kali pertama diduga berasal dari
Desa Kolong Kecamatan Ngasem. Persebaran Katolik di Bojonegoro diduga mulai
1940an. Katolik dan Kristen menjadi kekuatan penting di Bojonegoro untuk
menjaga agar tetap kondusif.
Para tokoh Kristen dan Katolik Indonesia yang berasal dari Jawa merupakan tokoh
yang mampu berakulturasi dengan kebudayaan secara baik. Sebut saja,
pahlawan nasional IJ Kasmo, pastor Soegijapranata, dan Kiai Sadrach. Ketiganya
merupakan tokoh agama yang mampu memahami kebudayaan Jawa secara utuh.
Sehingga penyebaran Kristen mampu diterima secara baik dan damai oleh
masyarakat Jawa. Mereka menggunakan bahasa hati rakyat, bukan bahasa
kekuasaan.
Begitu pula dengan penyebar agama Islam di Jawa. Para walisongo mampu
membuktikan bahwa penyebaran Islam dengan akulturasi masyarakat Jawa
membawa dampak positif yang luar biasa. Hampir semua agama di Indonesia
melakukan penyebaran secara damai melalui pendidikan. Para wali juga
mendirikan pesantren untuk menyebarkan Islam secara damai. Karena melalui
pendidikan yang benar karakter manusia yang baik akan menemukan sisi
kemanusiaannya. Bahkan Sunan Kalijaga harus berdakwah menyapa rakyat
dengan bahasa musik yang mudah dipahami.
Bojonegoro relatif menjadi salah satu daerah yang mudah menerima hal yang
baru tanpa kekerasan. Kultur religi masyarakat Bojonegoro sebenarnya juga
beragam. Namun, belum ada kasus kekerasan yang disebabkan agama.
Asal usul masyarakat Bojonegoro dari orang Kalang hingga Samin merupakan
penyebar kedamaian. Samin melawan Belanda dengan cara damai, yakni tidak
membayar pajak tanpa melawan kekerasan. Meski Samin Surosentiko ditahan
dan dibuang ke luar Jawa. Samin tak pernah mengajarkan kepada para
pengikutnya melawan Belanda dengan kekerasan. Mengutip Rene Girard
(Sindhunata,2008), kekerasan seperti lingkaran setan, dia akan terus terjadi jika
kekerasan dibalas kekerasan.
Karena itu, pendekatan yang komunikatif terhadap rakyat menjadi penting.
Memahami dunia batin rakyat bukan sekadar bicara jargon kesejahteraan dan
kemakmuran. Namun, juga menyapa batin rakyat. Karena Jawa adalah dunia
keseimbangan dan kedamaian yang berbahasa hati. Damai akan terwujud jika
saling berendah hati, saling memahami.
Menelusuri Jejak Persebaran Islam di Bojonegoro
Padangan
Keberadaan Kadipaten Jipang begitu kuat di tanah Rajekwesi (Bojonegoro).
Termasuk hingga gugurnya Adipati Jipang, Aria Panangsang (adipati kedua)
beserta para pengikutnya pada 1558 masehi.
Pasca gugurnya Aria Panangsang, benda-benda pusaka dari kerajaan Demak
dipindahkan ke Pajang. Saat itulah, kerajaan Pajang mulai berdiri. Namun,
upacara penobatan berlangsung 1568 masehi. Praktis, Kadipaten Jipang menjadi
bagian dari Kerajaan Pajang.
Sultan Pajang Adiwijaya menetapkan Aria Mataram sebagai Adipati Jipang, yang
tidak lain adalah adik dari Aria Panangsang, tapi dari ibu yang berbeda.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (hal: 76), saat menjadi seorang
adipati, Aria Mataram mengutus seorang mubalig untuk mengajarkan agama Islam
ke wilayah Jipang sebelah timur dan selatan Sungai Bengawan Solo.
Mubalig belum diketahui identitasnya ini akhirnya dimakamkan di Desa Padangan,
persisnya sebelah timur utara Jalan Padangan-Bojonegoro.
Khanifuddin, salah satu ulama di Kecamatan Padangan, mengungkapkan,
dulunya ada seorang ulama bernama Hasyim. Tapi, tidak diketahui siapa Mbah
Hasyim, dan dari mana asalnya. Tapi, Mbah Hasyim memiliki gelar ketib Hasyim.
Menurut para sesepuh artinya penulis, penyalin, atau sekretaris.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (hal: 202), pusat penyebaran Islam
abad XVI atau masa kebesaran Demak, untuk wilayah Jipang berada di
Padangan. Dan ulama besarnya, yakni kiai Hasyim.
Kian Hasyim juga dikenal dengan sebutan Mbah Sinare. Menurut dia, kiai Hasyim
memiliki masjid kecil dengan ciri-ciri denahya berbentuk persegi. Terletak di
fondamen tinggi, mempunyai atap tumpang, petunjuk kiblat ditandai dengan
mihrob memiliki serambi depan.
Khanifudin membenarkan jika Mbah Hasyim memiliki langgar atau masjid kecil.
Tapi belum ada kepastian apakah tempatnya sudah memiliki nama atau belum.
Kiai Hasyim cukup gigih dalam berdakwah, hingga banyak masyarakat memeluk
Islam. Meski saat itu, banyak penganut agama selain Islam.
Khanif sapaan akrabnya menceritakan, saat Mbah Hasyim mengambil air wudu di
tepi Sungai Bengawan Solo, dari arah barat, ada sesuatu bergerak menuju ke
arahnya. Mbah Hasyim pun penasaran, dan dilihat dengan cermat, ternyata yang
datang adalah seseorang naik keranjang. Saat itu Mbah Hasyim bertanya kepada
orang di keranjang tersebut.
Nah, orang di keranjang tersebut, kata dia, yakni Pangeran Adiningrat Dandang
Kusuma, atau Mbah Sabil. Kedatangan Mbah Sabil ke tanah Jipang karena dikejar
oleh Belanda dari Kerajaan Mataram, sekitar abad XVII atau 1600-an masehi.
Jika dikorelasikan dengan buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, Kerajaan Pajang
mulai direbut oleh Kerajaan Mataram, sekitar 1586 atau 1587. Praktis, saat itu
Jipang dibawah Adipati Jipang IV bernama Pangeran Benawa, menjadi kekuasaan
Kerajaan Mataram.
Khanif melanjutkan, saat merantau ke tanah Jipang, Pangeran Adiningrat
Dandang Kusuma menuju ke Dusun Jethak dan namanya diganti dengan Sabil,
karena khawatir diketahui kolonial Belanda.
Dari Jethak menyelamatkan diri ke Dusun Jumok yang lokasinya sebelah timur
Ngraho. Setelah tinggal di Jumok, Mbah Sabil berencana pergi ke Ampel,
Surabaya.
Saat ke Ampel, Mbah Sabil menggunakan keranjang mata ero (keranjang
berlubang biasanya digunakan mencari rumput). Saat perjalanan itu, konon Mbah
Sabil banyak memberikan nama desa di daerah Padangan. Seperti Dengok,
Demaan, Kalangan, dan Padangan. Karena diminta Mbah Hasyim untuk tinggal di
tempatnya, dan Mbah Sabil berkenan akhirnya desa itu disebut Kuncen. Sebab,
kepergiannya ke Ampel dikunci oleh Mbah Hasyim.
Keduanya berdakwah bersama dan menjadikan langgar (semula kecil) lalu
dibangun ukuran besar dan pesantren. Lokasi masjidnya berada di Kuncen bagian
utara dari Tugu Pahlawan ke arah timur laut. Hanya saja, saat ini tidak ada
bekasnya karena terkikis air Bengawan Solo.
Mbah Sabil meninggal terlebih dahulu. Dan dimakamkan tidak jauh dari masjid
dan pesantren.
Awalnya disebut Sarean Menak Anggrung, artinya makam orang terhormat
(sarean Menak). Sedangkan anggrung maksudnya lokasinya menjulang tinggi di
tepi Sungai Bengawan Solo.
Cangaan, Pintu Masuk Islam lewat Bengawan
Kapan Islam masuk ke Bojonegoro? Penanda Islam masuk di Bojonegoro salah
satunya ditemukan di Desa Cangaan Kecamatan Kanor Bojonegoro. Yakni, masjid
Nurul Huda yang dibangun pada 1263 Hijriyah atau 1771 Masehi. Kutipan tahun
tersebut tertera dalam ukiran di dalam masjid. Masjid ini satu abad lebih tua
dibandingkan Masjid Darussalam di Kota Bojonegoro yang dibangun pada 1825
Masehi.
Cangaan dulunya adalah sebuah desa yang terdapat dermaga untuk lalu lintas
kapal yang melintas di Bengawan Solo.
Menurut Untung, 92, warga setempat yang dulunya pernah menjadi tukang bersih-
bersih masjid Nurul Huda, menceritakan, Desa Cangaan tergolong desa yang
ramai. Sebab, pada zaman itu banyak orang Belanda yang mendirikan gudang
untuk tembakau. Sehingga perekonomian di desa ini cukup maju. Ditambah pula
dengan adanya aliran sungai Bengawan Solo yang digunakan sebagai jalur
transportasi air untuk menuju ke Gresik dan Surabaya. Ada gudang krosok
tembako.
Pernyataan itu dikuatkan dengan banyaknya bangunan tua yang ada di daerah
tersebut. Bangunan yang memiliki ciri khas dengan saka penyangga yang besar.
Selain itu, juga terdapat pagar yang mengitari rumah dengan ukuran yang cukup
tinggi sehingga halaman rumah sampai tidak kelihatan. Selain itu, menurut catatan
almarhum Sururi Djufri yang juga pernah menjadi takmir masjid Nurul Huda ini, di
Desa Cangaan juga terdapat bangunan dari kayu jati bentuk bucu (berbentuk
kuncup).
Untung menjelaskan, menurut para sesepuhnya, sebelum berdirinya masjid Nurul
Huda para penduduk sudah memeluk agama Islam. Namun, dia tidak bisa
menjelaskan secara detail siapa yang membawa Islam di tanah kelahirannya itu.
Selanjutnya, tutur dia, setelah kedatangan Ki Wirayuda kemajuan Islam cukup
pesat. Dibuktikan dengan membangun masjid sebagai aktifitas ibadah.
Hal yang sama juga tertulis dalam catatan almarhum Sururi. Dalam catatan itu
tertulis sebelum Ki Wirayuda menetap di Cangaan. Desa tersebut sudah dihuni
oleh Kyai Polo atau disebut Kiai Setro Sukun. Beliau adalah putra dari hasil
perkawinan antara Buyut Marjoyo (Martojoyo) yang berasal dari Solo dengan Nyai
Marjoyo dari Ngawi.
Untung menceritakan, awalnya, Ki Wirayuda yang masih memiliki keturunan
dengan kerajaan yang ada di Solo ini, ikut hanyut dengan menggunakan gethek
atau rakit. Kemudian, hidup bersama dengan warga Cangaan dan sekitarnya.
Lalu menikah dengan perempuan orang Cangaan.
Dalam menyiarkan Islam, lanjut Untung, Ki Wirayuda kadang mendatangi rumah
penduduk untuk mengajarkan ngaji Alquran. Kemudian, pada Jumat setelah
menunaikan salat Jumat juga ada pengajian. Metode yang digunakan dengan
cara ceramah. Dia menggambarkan, murid-murid yang ingin mendengarkan
petuahnya duduk bersila dihadapan Ki Wirayuda.
Kemudian, lanjut dia, ada beberapa murid yang juga meneruskan perjuangan Ki
Wiroyudo. Diantaranya, Nursyam, Abdul Hamid, Hasyim, dan Sidiq. Keempat
murid Ki Wirayuda tersebut telah bergelar haji.
Dari Cangaan Menyebar ke Balen
Persebaran Islam di Desa Cangaan Kecamatan Kanor, sebelum kehadiran Ki
Wirayuda. ada seorang yang bernama Buyut Tibah. Ketua Takmir Masjid Nurul
Huda, Abdul Hakim, sesuai dengan catatan almarhum Sururi, Buyut Tibah adalah
seseorang yang dermawan. Selain dermawan, Buyut Tibah juga dikenal sebagai
seorang kiai dan pemuka agama Islam.
Lokasi sawahnya di Desa Cangaan. Luasnya sekitar 1 hektare. Hasil dari sawah
Tiban tersebut hingga kini diberikan ke masjid Nurul Huda.
Asal mula buyut Tibah, bagi penduduk tidak diketahui asal-muasalnya yang pasti.
Dalam catatan almarhum Sururi pun juga tidak ditemukan siapa sebenarnya buyut
Tibah ini. Hanya tertulis, buyut Tibah diperkirakan adalah orang yang bernama
Tibah yang ikut dalam perahu rakit bersama Daulat dan Seco (bersama Ki
Wiroyuda).
Hal ini berdasarkan keterangan yang menyatakan Nyai Tibah (istri buyut Tibah)
adalah saudara buyut Nyai Martoyudo (ibu Ki Wirayuda). Namun ketenaran buyut
Tibah bagi warga masyarakat sudah tidak asing lagi.
Diketehui sebelumnya, di Desa Cangaan sudah tinggal Kyai Polo atau disebut Kiai
Setro Sukun. Beliau adalah putra dari hasil perkawinan antara Buyut Marjoyo
(Martojoyo) yang berasal dari Solo dengan Nyai Marjoyo dari Ngawi. Seiring
berjalannya waktu akhirnya Nyai Setro Sukun meninggal dan akhirnya, Kyai Setro
Sukun menikah dengan iparnya sendiri yang bernama Beruk dan lahirlah haji
Abdul Majid yang menjadi menantu Buyut Tibah.
Hakim menambahkan, dalam catatan almarhum Sururi tertulis, Ki Wiroyudo
menikah dengan anak dari Buyut Tibah yang bernama Karimah atau juga disebut
Biyung Badri. Secara otomatis, saat berada di Cangaan Ki Wirayuda
mendapatkan banyak tambahan ilmu dari Buyut Tibah.
Sehingga, dengan keberadaan Ki Wirayuda dalam keluarga Buyut Tibah ini
menambah kekuatan untuk menyebarkan Islam. Sebab, Ki Wirayuda adalah
seorang pemuda yang sangat terampil dan idealis. Ditambah pula dukungan dari
menantu buyut Tibah lainnya, Kiai Setro. Dari dukungan itulah, akhirnya
mewujudkan masjid untuk media dakwah.
Diakhir hayatnya, Ki Wiroyudo dimakamkan di desa setempat dengan
berdampingan dengan murid-muridnya serta keluarganya. Makam, Ki Wiroyudo
terlihat seperti makam kuno karena nisannya diduga terbuat dari batu kuno yang
berukiran seperti masjid.
Selain mendirikan masjid, juga meluaskan ajaran Islam daerah lain. Salah satu
caranya adanya beberapa tokoh-tokoh yang menimba ilmu ke Cangaan dan
akhirnya membuat sebuah lembaga pendidikan.
Dia juga menjelaskan, persebaran Islam yang ada di Cangaan berlanjut ke
wilayah Sekaran Balen.
Ditemui terpisah, Abdul Qodir, selaku dewan penasehat Masjid Sekaran
membenarkan jika sesepuh pendiri masjid di Sekaran ini masih memiliki hubungan
keluarga dengan Ki Wiroyudo Cangaan. Beliau adalah Kyai Abdul Qodir Jailani
atau disebut juga Raden Citroyudo. Beliau (eyang Jailani) adalah menantu dari
Wiroyudo, terang dia. Masjid di Sekaran Balen dibangun pada 1795 Masehi.
Sejarah NU di Bojonegoro
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam (ormas) terbesar di
negeri ini. Selain itu, juga mempunyai basis pengikut terbesar di Jatim. Karena
hampir semua tokoh pendirinya juga berasal dari pulau Jawa bagian Timur ini.
Lantas kapan NU mulai menyebar di Bojonegoro.
Menurut Mustayar PC NU Bojonegoro, Anas Yunus mengatakan, pertama kali NU
masuk di Bojonegoro melalui jalur barat. Tepatnya dari Kecamatan Padangan,
karena letak wilayah tersebut merupakan jalur strategis. Merupakan
persimpangan jalan raya antara Bojonegoro dengan Ngawi dan Blora. Jalur
tersebut digunakan KH Abdul Wahab Chasbullah (salah satu pendiri NU) untuk
memperkenalkan NU kepada para kiai. Padangan saat itu merupakan wilayah
yang sangat sangat penting, terutama sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Sekitar 1930, KH Abdul Wahab Chasbullah itu sering mengadakan silaturrahmi
dengan beberapa kiai di Kudus, salah satunya dengan KH Asnawi (Kudus).
Sepulang dari Kudus, KH Wahab melewati Pati, Rembang, Blora, Cepu,
Padangan, Bojonegoro, dan Babat. KH Wahab selalu singgah di daerah yang
terdapat pondok pesantrennya.
Kebetulan di Padangan ada pondok Jalaan yang cukup dikenal dibawah asuhan
KH Hasyim. Karena pengaruh KH Wahab itulah berdirilah NU di Padangan pada
1938. Sedangkan di Bojonegoro masih belum ada pondok pesentren. Karena
itulah maka NU pertama kali berdiri di Padangan. NU berkembang lalu di
Kecamatan Kasiman, Ngraho, Tambakrejo, Purwosari, dan lainnya. Sehingga
keberadaan NU di Padangan cukup membantu berdirinya NU di Bojonegoro.
Terbukti pada sekitar 1950, KH. Soleh Hasyim (putra KH Hasyim)
memperkenalkan NU ke kalangan pondok warga kota Ledre. KH Soleh Hasyim
lalu menjadi Imam Khotib di Masjid Agung Bojonegoro.
Secara struktur, NU di Bojonegoro mulai berdiri pada 1953. Yaitu saat KH
Rachmat Zuber dari pesantren Al Falah Mangunsari, Tulungagung menjadi Imam
Masjid Agung Bojonegoro dan merangkap Sekolah Putri Islam (SPI). KH Rachmat
kali pertama menjadi menjadi Tanfidziyah PC NU Bojonegoro. Hal tersebut juga
didukung dengan NU melepaskan diri partai Masyumi dan mendirikan partai
sendiri.
Setelah itu, KH Rachmat lebih mengintensifkan pertemuan dengan pada kiai dan
pondok di Bojonegoro, dengan mengadakan dialog dan ceramah agama.
Sehingga terbentuklah forum para ulama yang terdiri dari beberapa kiai dari
berbagai wilayah di Bojonegoro.
Perkembangan NU di Bojonegoro, tidak lepas dari jasa pendiri dan Tanfidyah PC
NU Bojonegoro pertama kali, KH. Rachmat Zuber. Karena pada masa
kepimpinannya, NU Bojonegoro menjadi partai yang disegani dalam waktu
singkat, serta menuntaskan pembentukan MWC disetiap kecamatan bersama
ranting.
Apalagi, sejak terpilih menjadi ketua DPRD Bojonegoro selama periode (1955-
1960), mampu mewujudkan impiannya memberikan peninggalan yang berarti bagi
warga Nahdliyin, yakni berupa kompleks pendidikan yang direncanakan untuk
sekolah PGA, SMP, dan Diniyah. Serta asrama di Desa Sukorejo, Kecamatan
Bojonegoro atas nama PBNU.
Dan sebuah gedung Madrasah Ibtidaiyah NU untuk PC NU Bojonegoro.
Belum sampai gedung tersebut diresmikan, lanjut penggunannya KH Rachmat
keburu meningglkan Bojonegoro kembali ke Tulungagung untuk memenuhi
panggilan mertuanya KH R. Fattah untuk memimpin pondok pesantren
Mangunsari, Tulungagung. Kemudian pada 1961, diadakan musyawarah PC NU
Bojonegoro, hasilnya menunjuk M Dimyati sebagai tanfidziyah PC NU Bojonegoro
periode (1961-1967).
Saat kepimpinan M Dimyati ini, peran NU lebih banyak berperan sebagai partai
politik, semenjak keluar Masyumi 1952. Apalagi saat zaman orde lama, NU
mempunyai peran yang begitu besar di negeri ini, tepatnya sejak pemerintah
membubarkan PKI, kemudian keluar keputusan PBNU pada 5 Oktober 1965
tentang pembubaran PKI dan mengutuk serangan G 30 S PKI. Banyak warga NU
Bojonegoro yang menjadi korban.
Selanjutnya, AA Taufik menjabat sebagai Tanfidziyah PC NU Bojonegoro (1968-
1974). Saat kepimpinanya, peran NU tidak lagi sebagai parati politik, melainkan
sebagai organisasi sosial. Berdarkan keputusan pemerintah orde baru yang
menyederhanakan partai bersadasarkan UU partai 1975. Kemudian bergabung ke
PPP, merupakan kumpulan dari berbagai partai islam.
Semenjak itulah, PC NU Bojonegoro lebih banyak menangani aset-aset NU yang
hilang, khususnya lembaga pendidikan. Dibawah kepimpinan Chotim AA (1978-
1980), setelah dilakukan pendataan sekitar 20 persen madrasah Maarif yang tidak
daftar ulang. Karena banyak yang beralih ke pemerintah, maka tinggal 50 persen
yang mengikuti standar pendidikan lewat ujian Maarif.
Karena itulah harus dicarikan konsep pembangunan untuk membangkitkan
kembali perjuangan NU pada awal berdiri. Kemudian, saat kepimpinan KH. Ali
SyafiI (1986-1989) pendataan asset terus dilakukan. Serta minta kepada PPLP
Maarif agar gedung maarif di Bojonegoro dikelola sendiri.
Serta juga mendirikan perguruan tinggi islam Universitas Sunan Giri (STAI Sunan
Giri), tujuanya untuk mempersiapakan guru-guru bagi madrasah Maarif.
Kemudian, semangat itulah diterusakan kepengerusan periode selanjutnya (PC
NU Bojonegoro 1989-1992). Kepimpinan KH Achwan Affendi, NU Bojonegoro
mempunyai RS Muna Anggita dan mendirikan penampungan anak asuh Nurul
Rohmah. Dua lembaga itu dibawah Muslimat NU Bojonegoro.
Keyakinan tersebut diperkuat dengan adanya makam disebelah timur makam Wali
Kidangan yang bertuliaskan arab. Namun, hingga kini makam yang ada di sebelah
timur makam Wali Kidangan tersebut juga belum diketahui makam siapa. Namun,
warga meyakini itu adalah makam keluarga Wali Kidangan.
Tahun berapa Wali Kidangan hidup? Tidak ada yang tahu pasti. Namun
berdasarkan makam yang bertuliskan arab tersebut bisa disimpulkan bahwa Wali
Kidangan hidup sekitar 1800-an.
Berdasarkan cerita, Wali Kidangan mempunyai seorang adik bernama Zakaria.
Lokasi makam Wali Zakaria tersebut tidak jauh dari lokasi makam wali Kidangan.
Tepatnya di Desa Tinawaun. Kedunya diyakini sebagai ulama besar dari Kerajaan
Pajang.
Hal tersebut memperkuat bukti bahwa penyebaran ajaran Islam juga ada di
wilayah Bojonegoro barat. Sebab, ada dua makam ulama besar yang ada di Malo.
Sayangnya Wali Kidangan tidak meninggalkan masjid atau pesantren di Desa
Sukorejo, Malo sebagai sarana dakwah Islam. Sehingga, catatan tentangnya
hingga kini masih sangat minim. Cerita siapa sebenarnya Wali Kidangan hanya
diceritakan secara turun temurun. tuturnya.
Raden Sasrakusuma
Menelusuri jejak Islam di tanah Rajekwesi (Bojonegoro) tidak bisa dilepaskan dari
Kadipaten Jipang. Sebab, pada abad ke-16 saat Demak mulai menggantikan
kedudukan Majapahit yang bercorak Hindu. Sehingga, dengan begitu wilayah
Kadipaten Jipang juga mulai menyebar oleh unsur-unsur Islam. Wilayah Jipang
pada masa itu adalah Cepu (Blora) dan Padangan (Bojonegoro) serta wilayah
sekitarnya.
Cepu dan Padangan adalah dua kecamatan beda kabupaten yang saat ini
berdampingan. Karena itu, tak menutup kemungkinan jika dulu Cepu dan
Padangan berada dalam satu wilayah.
Menurut buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (1988), Jipang terkenal dengan
hasil hutannya berupa kayu jati. Bukan hanya itu, kualitas kayu jati dari Jipang
adalah yang terbaik. Sehingga, kayu jati dari hutan kadipaten Jipang dapan
digunakan untuk membuat rumah dan kapal. Kepopuleran Jipang akan hasil
kayunya tidak hanya terdengar di Jawa saja tapi di luar Jawa juga banyak dikenal.
Misalnya Sumatera.
Adipati Jipang yang pertama adalah Pangeran Sekar Kusuma. Dia dikenal
sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen yang masih keturunan dari kerajaan Demak.
Pada saat itu pusat kadipatennya di Cepu. Karena masih keturunan Demak,
adipati ini sudah memeluk Islam. Buktinya, dia meninggal dibunuh saat salat
Jumat. Selanjuntnya, Adipati Jipang diganti oleh anak Pangeran Seda Lapen,
yakni Pangeran Aria Penangsang pada 1521 Masehi. Untuk menyempurnakan
pengetahuan agama dan pemerintahan sang pangeran, dia berguru kepada
Sunan Kudus. Hubungan keduanya antara guru dan murid sangat dekat sekali.
Sehingga Arya Penangsang menjadi murid terkasih dimata sang wali.
Nah, pada saat pemerintahan Arya Panangsang inilah diketahui sang adipati
memiliki penasehat. Diantaranya Raden Bagus Nonong, Raden Rangga Atmajaya,
dan Raden Rara Sekar Winang Rong, dan Raden Sasrakusuma.
Menurut JFX Hoeri, budayawan yang tinggal di Padangan, salah satu penasihat
adipati yang bernama Raden Sasrakusuma atau dikenal Ki Ageng
Rumeksakusuma pernah membuat pesanggrahan di daerah Padangan. Tepatnya
ada di Desa Dengok Kecamatan Padangan.
Raden Sosrokusuma ini juga termasuk murid dari Sunan Kudus. Saat itu, Raden
Sosrokusuma saat ke Padangan melintasi Bengawan Solo. Saat singgah Raden
Sosrokusuma ini mengajarkan ilmu agama pada muridnya.
Selain mengajarkan ilmu agama, Raden Sosrokusumo, kata dia, juga
mengajarkan ilmu kanoragan. Sebab, pada saat itu masih banyak terjadi
peperangan.
Suatu saat Raden Sosrokusuma akan melakukan perjalan ke pusat kadipaten
Jipang dari tempat pesanggrahannya di Desa Dengok. Ketika dalam perjalanan
dihadang oleh berandal. Keduanya adalah Sura Batokan dan Sura Senori. Saat
itu pula perkelahian ketiganya terjadi. Meski berandalnya berjumlah dua orang
akhirnya tertarungan itu bisa dimenangkan oleh Raden Sosrokusuma. Akhirnya
dua berandal itu menjadi muridnya.
Setelah pemerintahan kerajaan Demak di pindah ke Pajang oleh Jaka Tingkir
menantu Sultan Trenggana, seiring berjalannya waktu kadipaten Jipang mulai
melakukan perlawanan terhadap Pajang. Pada saat itu, Sunan Kudus sempat
memanggil Adipati Pajang dan Adipati Jipang untuk menyelesaikan masalah yang
ada. Tapi akhirnya tidak menemukan jalan keluar dan terjadilah peperangan
antara Pajang dan Jipang.
Pada saat peperangan itulah akhirnya Adipati Aria Panangsang gugur dalam
pertempuran. Gugurnya sang adipati juga diikuti oleh Raden Sosrokusuma dan
tiga penasihat lainnya. Para penasehat dimakamkan di Gedong Ageng Jipang,
Cepu.
Sedangkan, pesanggrahan yang ada di Desa Dengok Kecamatan Padangan
ditandai dengan sebuah batu.
Saat ini batu itu di beri pagar pembatas. Sedangkan disekelilingnya terdapat
tempat lesehan. Lokasinya rindang karena di sekitarnya tumbuh pepohonan yang
besar.
Menurut warga sekitar, petilasan itu sekarang disebut dengan makam Mbah
Raden.
PENUTUP
Sejarah Bojonegoro telah banyak ditulis oleh beberapa sejarawan. Baik peneliti
dari dalam negeri maupun luar negeri. Kami hanya bagian kecil yang
menyumbangkan perjalanan Bojonegoro panjang Bojonegoro ini.
Kami yakin masih banyak yang harus diperbaiki dalam pendokumentasian ini.
Kami yakin masih banyak yang harus dikembangkan lagi.
Semoga pendokumetasian sejarah Bojonegoro ini menjadi investasi kecil bagi
pengetahuan generasi Bojonegoro di masa mendatang.
Daftar Bupati