GHOLIB
BIOGRAFI
Banyak peristiwa di luar nalar dan logika masyarakat Pringsewu pada masa itu, yang
membuat K.H. Gholib disegani dan dihormati. K.H. Gholib dianggap memiliki “kesaktian”,
“ilmu linuwih” yang tidak bisa dimiliki sembarang orang.
Konon, suatu malam usai M. Thoib mengajar mengaji di masjid. K.H. Gholib datang.
Tiba-tiba geger karena kehadiran seekor harimau di tengah kerumunan santri dan warga
yang baru selesai belajar agama. K.H. Gholib menenangkan mereka, meminta mereka agar
usah takut. Kepala harimau tersebut ditepuk-tepuknya agar tenang dan tidak mengaum.
Konon, pula, harimau tersebut adalah jelmaan beduk yang berada di samping masjid.
Hingga saat ini, beduk tersebut masih ada di masjid.
Itu salah satu dari sekian ihwal “kelebihan” yang dimiliki K.H. Gholib. Masih banyak
kasha-kisah lain yang sulit diterima nalar, namun demikianlah kenyataannya. Masih ada
sejumlah saksi hidup yang bisa ditanyai perihal ini.
PEJUANG KEMERDEKAAN
Banyak referensi sejarah menyatakan bahwa umat Islam berperan penting dalam
upaya merebut kemerdekaan Indonesia. Demikian pula halnya yang dilakukan K.H. Gholib
selama di Pringsewu. Tidak sedikit peran dan sumbangsih beliau dalam memperjuangkan
kemerdekaan. K.H. Gholib terlibat aktif mengangkat penjajah, bersama masyarakat dan
santrinya mengusir penjajah yang bercokol di Pringsewu.
K.H. Gholib membenci penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang di Pringsewu.
Pra dan pasca proklamasi kemerdekaan, K.H. Gholib berperan penting di Pringsewu.
Setelah proklamasi kemerdekaan, beliau bahkan membentuk pasukan Hizbullah dan
Sabilillah, sebagai pasukan tentara dari kalangan santri dan agama.
Pringsewu termasuk daerah yang menjadi sentral perjuangan para pejuang. Di daerah
itu Belanda bercokol.
Keberanian K.H. Gholib menentang penjajah, membuatnya dicireni oleh Belanda dan
Jepang kala itu. Namanya sangat ditakuti pihak musuh. K.H. Gholib termasuk target operasi
yang harus ditangkap. K.H. Gholib menjadi pemimpin perjuangan menentang penjajah
Belanda dan Jepang. Di bawah komando, masyarakat Pringsewu berjihad mengusir
penjajah.
Pada tahun 1942, dengan mengaku sebagai saudara tua bangsa Hindia Belanda,
Jepang masuk untuk menjajah. Pringsewu termasuk wilayah yang dimasuki tentara Jepang.
Pada saat itu, meski dalam situasi perang, aktifitas di pondok pesantren K.H. Gholib tetap
berjalan seperti biasa. Hanya saja mereka tetap waspada dan hati-hati. Santri masih
berdatangan dari berbagai tempat untuk belajar agama di Pringsewu.
K.H Gholib tetap konsisten dengan sikapnya yang anti penjajahan. Beliau bersama
para santri dan pendukungnya melawan kekejaman Jepang yang suka memeras bahkan
menyiksa rakyat pribumi. Dengan senjata sangat terbatas dan tidak sebanding, bambu
runcing, pedang, golok. Dengan cara gerilya maupun terang-terangan mereka menyerbu
basis-basis pertahanan Jepang di Pringsewu dan sekitarnya.
Salah satu puncak kemarahan K.H. Gholib adalah ketika tentara Jepang memaksa
warga Pringsewu menyembah Dewa Matahari (Tenno Heika) atau Kaisar Hirohito yang
berkuasa di Jepang masa itu. Beliau terang-terangan memerintahkan santri dan warga
Pringsewu untuk menolak ajakan Jepang yang tidak masuk akan dan tidak sesuai kaidah
Islam.
K.H. Gholib menentang agenda sei kerie yang diterapkan Jepang. K.H. Gholib sempat
beberapa kali ditangkap militer Jepang karena dianggap tokoh yang menghasut massa, dan
mengganggu kekuasaan Jepang di Pringsewu. Perlawanan K.H. Gholib tidak surut. Setelah
dilepaskan dari penjara, beliau kembali memimpin pasukannya. Pengaruh K.H. Gholib
demikian kuat di Pringsewu. Itulah yang membuat Jepang cemas.
Jepang hanya 3,5 tahun bercokol di Hindia Belanda, sebelum akhirnya menyerah
kepada Belanda dan sekutu.
Jumat, 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Kabar itu disambut dengan suka cita, termasuk di Pringsewu.
Kemerdekaan yang sekian lama diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan air mata,
akhirnya terwujud juga
Ternyata Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan hendak kembali
bercokol di Indonesia. Belanda yang datang kembali dengan dibantu pasukan sekutu
menggempur semua basis pertahanan tentara dan rakyat Indonesia, termasuk di Pringsewu.
K.H. Gholib tidak tinggal diam. Beliau kembali angkat senjata. Kemerdekaan harus
dipertahankan.
Pada tahun 1945, masa penjajahan Belanda kembali, K.H. Gholib membentuk laskar
Hizbullah dan Sabillillah, di mana K.H. Gholib menjadi pemimpin laskar tersebut.
Kemudian kedua lascar tersebut bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) atau
Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada tanggal 1 November 1945 s/d 7 Agustus 1946, pasukan laskar Hisbullah dan
laskar Sabilillah mendapat gemblengan dan latihan militer, baik mental maupun fisik oleh
Mayor Infanteri Herni dibantu oleh Mayor Infanter Mulkan dan Mayor Infanteri Nurdin.
Pada tanggal 8 Agustus 1947. K.H. Gholib sebagai pimpinan laskar Hisbullah dan
laskar Sabilillah memerintahkan kepada Abdul Fattah, H. Aman dan H. Hanafiah untuk
memimpin rombongan laskar menuju ke Front Baturaja dan Martapura.
Rombongan yang diutus K.H. Gholib bergabung dengan pasukan TKR dan BKR
yang dipimpin Mayor Infanteri Herni dan Bapak Mulkan yang telah lebih dahulu berada di
sana. Mereka bahu-mambahu menggempur markas Belanda dengan bersenjatakan bambu
runcing, golok, pedang, dan lain-lain. Meski dengan persenjataan tidak seimbang,
pertempuran berlangsung sengit.
Pertempuran sengit terjadi di Sepancar–Gibang. Pada saat itu ada beberapa pasukan
laskar Sabilillah yang ditawan oleh Belanda dan ada juga yang gugur sebagai pahlawan.
Dari pihak Indonesia yang selamat di antaralnya Mayor Herny, Mayor Nurdin, Mayor
Mulkan, Sukardi, Sukemi, Supardi, Abdul Fattah, Irsan, Silur, Suparno, Suwarno,
Mardasam, Harun, Hasan, dan Husen.
Mengingat serangan tentara Belanda yang sangat gencar dan mendatangkan bala
bantuan sehingga tidak dapat dielakkan lagi maka pada tanggal 2 Oktober 1948, Mayor
Infanteri Herni, Bapak Nurdin, dan komandan batalion Bapak Mulkan memerintahkan agar
semua pasukan BKR/TKR dan laskar-laskar yang ada untuk mundur ke Tanjungkarang dan
langsung kembali ke Pringsewu.
Belum puas dengan Agresi Militer pertama, Belanda melanjutkan dengan Agresi
Militer kedua. Tersiar kabar, awal Januari 1949 pasukan Belanda akan mendarat di
Pelabuhan Panjang. K.H. Gholib yang mengetahui informasi itu cepat mengatur strategi.
Untuk menghambat pergerakan tentara Belanda, beliau memerintahkan pasukannya untuk
menghancurkan jembatan Bulok Karto (Bulok). Upaya ini berhasil. Pasukan Belanda butuh
waktu lebih lama untuk masuk ke Pringsewu. Mereka berputar melalui Gedong Tataan,
Kedondong, dan Pagelaran.
27 November 1949 terjadi perundingan clash order antara tentara Belanda dengan
tentara RI. Perundingan tersebut dilaksanakan di Kotabumi Lampung Utara. Beberapa
nama yang menghadiri perundungan itu antara lain Mayor K.L. Graaf von Renzouw, Mayor
Inf. H.N.S. Effendi, Kapten A.L. Shohoka, Kapten Inf. Hamdani, dan Letnan Husen.
Selain pasukan tempur darat, penjajah pun memborbardir lewat udara. Dari pesawat
mereka menerjunkan pasukan udara, juga menghancurkan tempat-tempat yang diduga
sebagai basis pertahanan pejuang Indonesia dengan hujan peluru.
Melihat keadaan semakin tidak aman dan banyak korban tewas, K.H. Gholib dan
pasukannya menyeberang memutuskan mengungsi ke hutan-hutan di Gedong Tataan,
Kedondong, Gading Rejo, dan Pringsewu.
Pada saat itu, pesantren K.H. Gholib menjadi basis TRI di Pringsewu. Tokoh-tokoh
TRI pada saat itu adalah Kapten Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Mayor Effendy.
Saat itu telah dibentuk pemerintahan darurat dengan residennya Mr. Gele Harun.
Wakilnya adalah M. Yasin.
Saat Agresi Militer II itu pula, puluhan ulama berkumpul di pesantren K.H. Gholib.
Mereka bermusyawarah membahas bagaimana hukum perang melawan Belanda dari sudut
pandang Islam. Hasil musyawarah itu memutuskan bahwa perang melawan Belanda untuk
mempertahankan kemerdekaan sifatnya fardu ain.
Para ulama itu datang dari berbagai daerah di Lampung, seperti K.H. Hanafiah
(Sukadana), K.H. Nawawi Umar (Telukbetung), K.H. Abdul Rozak Rais (Penengahan,
Kedondong), K.H. Umar Murod (Pagar Dewa, Tulangbawang Barat). K.H. M. Nuh, K.H.
Aman (Tanjungkarang), Kiai M. Yasin (Ketua Masyumi pada saat itu), K.H. A. Rauf ali
(Telukbetung), dan K.H. A. Razak Arsyad (Lampung Utara)
Apa yang diputuskan para ulama tersebut di pondok pesantran K.H. Gholib kemudian
disampaikan ke pemerintah. Itulah yang menjadi dasar umat Islam di Pringsewu untuk
melawan Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia.
Dari keputusan itulah, K.H. Hanafiah dan pasukan lascar Hizbullah dan Sabilillah
menuju Baturaja (Sumatera Selatan) untuk bergabung dengan Tentara Republik Indonesia
yang telah berada di sana dan berperang melawan Belanda yang menduduki Palembang.
Masih di bulan Januari 1949, K.H. Gholib dengan laskarnya menyerang Belanda di
Front Kali Nongko, Kemiling, Tanjungkarang, yang dipimpin oleh Bapak Kapten
Alamsyah Ratu Prawiranegara dengan berjalan kaki setelah selesai melaksanakan sholat
Jumat. Pada waktu itu ternyata serangan tidak mendapat perlawanan karena Belanda telah
pergi meninggalkan Kemiling. Pasukan laskar kembali ke Pringsewu.
Tidak lama kemudian pasukan Belanda menyerang dan menduduki kota Pringsewu
dengan secara tiba-tiba. Untuk tidak menambah banyaknya korban di Pringsewu dan
sekitarnya sengaja tidak diadakan perlawanan mengingat nasib masyarakat pada waktu itu.
Semangat Belanda untuk menghabisi nyawa K.H. Gholib selalu gagal. Belanda selalu
salah memuntahkan pelurunya. K.H. Gholib telah tahu bahwa dirinya merupakan sasaran
utama peluru Belanda.
Belanda bagai memiliki dendam kesumat kepada K.H. Gholib. Segala cara mereka
tempuh demi menangkap dan menghabisi beliau. Selama K.H. Gholib bersembunyi, tentara
Belanda silih berganti menyita, merusak, bahkan menghancurkan harta benda dan asset
K.H. Gholib. Rumah, pabrik, sebagian pondok pesantren, mobil, pabrik tapioka dan pabrik
padi, gudang padi dan rotan, poliklinik, tidak luput dari perusakan Belanda. Dua bus roda
enam juga dibawa. Belum lagi peralatan lain yang tidak sempat di data. Bahkan peralatan
rumah tangga dipindahkan ke pasar Pringsewu dan dijadikan peralatan rumah makan
antek-antek Belanda.
Upaya jahat yang dilakukan Belanda seperti memberi pesan kepada K.H. Gholib agar
segera keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri, juga memberi shock therapy
kepada masyarakat Pringsewu agar memberitahu dimana pemimpin mereka bersembunyi.
Ada beberapa kali kejadian salah tembak yang dilakukan tentara Belanda. Sahabat
karib K.H. Gholib, Ustad M. Nuh, menjadi korban salah sasaran tentara Belanda. Mereka
menduga M. Nuh adalah K.H. Gholib, lantas menembaknya.
Karena keadaan yang tidak aman ini, untuk sementara waktu mengungsi ke desa
Banjar Rejo, Sinar Baru. Kemudian setelah dirasa aman, beliau dan isteri kembali ke
Pringsewu. Namun berita kembalinya cepat tersiar sehingga membuat Belanda bernafsu
kembali untuk menghabisi K.H. Gholib. Lalu Belanda memerintahkan polisi federalnya
memanggil K.H. Gholib untuk berunding dan setelah itu kembali ke rumahnya. Namun
karena ulah jahat dan usil dari kaki tangan Belanda yang disebut Macan Loreng, maka K.H.
Gholib dapat ditawan di markas Belanda yakni di kompleks gereja Pringsewu.
Belanda menggunakan akal liciknya untuk menghabisi K.H. Gholib. Sewaktu
persetujuan gencatan senjata tinggal 2-3 hari lagi akan diumumkan, penjagaan terhadap
tawanan K.H. Gholib semakin diperketat. Sanak keluarganya tidak diperkenankan
menjenguknya.
K.H. Gholib ditahan selama dua minggu di markas Belanda yang saat itu berada di
sebuah gereja. Saat persetujuan gencatan senjata tinggal beberapa hari lagi. Malam kamis
Legi, 9 November 1949 (referensi lain menyebut tanggal 6 November 1949), K.H. Gholib
dilepaskan dari penjara. Hal yang mencurigakan adalah beliau dilepas tengah malam,
sekitar pukul satu atau dua dini hari. Rupanya itulah akal licik tentara Belanda. Baru
sepuluh meter berjalan keluar dari penjara, K.h. Gholib ditembak dari belakang. Beliau
gugur seketika.
Esok paginya, dua orang polisi federal Belanda datang ke pesantren dan langsung
menemui keluarga K.H Gholib. Kedua orang itu mengabarkan perihal telah meninggalnya
K.H. Gholib. Pihak keluarga mengutus 10 orang untuk mengambil jenazah beliau. Ternyata
jenazah beliau dibiarkan tergeletak di bawah palang salib yang ada di gereja Pringsewu
yang pada saat itu digunakan sebagai markas Belanda.
Beliau meninggal sebagai syuhada bahwa yang selama hayatnya berjuang untuk
kepentingan umat, membela agama dan bersama pejuang lainnya merebut kemerdekaan
dari tangan penjajah Belanda dan Jepang. Yang akhirnya wajar kalau beliau dinobatkan
sebagai Pahlawan Bangsa.
Sampai akhir hayatnya, K.H. Gholib tidak mempunyai keturunan. Beliau mengangkat
tiga anak, yaitu; Jamzali, Siti Romlah, dan Rubaiyah (Rubu’iyah).
Hingga saat ini, makam K.H. Gholib masih kerap dikunjungi para peziarah dari
berbagai kota. Bukan hanya Lampung, namun juga Sumatera Selatan, Jambi, Jakarta,
Bandung, Bogor, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Madura, dan lainnya.
Satu kalimat yang pernah terucap dari K.H. Gholib dan terus diingat oleh para
santrinya: Dunia itu kalau dicari lari, kalau dibuang dia datang.
Masjid Jami KH Gholib
Masjid Jami K.H. Gholib, masjid pertama dan tertua di Pringsewu adalah saksi
sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Di tempat ibadah yang didirikan atas
inisiatif K.H. Gholib inilah, kesepakatan-kesepakatan dan strategi-strategi melawan
penjajah Belanda dan Jepang diputuskan bersama. Masjid ini menjadi basis pertahanan
sekaligus perlawanan para pejuang kemerdekaan. Sudah selayaknya masjid tersebut
menjadi cagar budaya atau museum, yang dapat dikunjungi oleh generasi muda sebagai
bagian dari pelajaran atau penelitian lapangan.
Tahun 1971 sampai 1974 ada upaya pendokumentasian perjuangan KH. Gholib.
Ada sekitar tigapuluhan surat pernyataan yang dibuat kerabat, handai taulan, santri,
dan rekan seperjuangan K.H. Gholib. Surat itu diketik menggunakan mesin tik, bahkan ada
juga yang tulis tangan. Pernyataan pribadi itu berisi kesaksian terhadap sosok K.H. Gholib.
Seluruh dokumentasi tersebut dikoleksi oleh salah seorang cucu K.H. Gholib, Dr.
Farida Aryani. Mungkin saja ada surat pernyataan lainnya yang tercecer. Namun, pada
intinya, surat-surat tersebut adalah bukti otentik yang berasal dari beragam pihak tentang
kiprah KH Gholib.
Dan tidak ada alasan untuk menunda upaya memperjuangkan KH Gholib sebagai
pahlawan nasional, setelah sebelumnya diakui sebagai pahlawan daerah Lampung. Hal ini
menjadi tugas bersama para pemangku kebijakan di Lampung untuk mewujudkan hal
tersebut.
Demikianlah sekelumit riwayat hidup serta sepak terjang perjuangan almarhum K.H.
Gholib Pringsewu yang telah ikut serta berperan aktif di dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan mengusir penjajah serta keikutsertaannya dalam mencerdaskan
kehidupan bangsanya melalui Pondok Pesantren dan berbagai lembaga pendidikan yang
ada bersama pemerintah daerah Tk. II Lampung Selatan, yang telah banyak memberikan
bantuannya demi kelancaran pendidikan tersebut di atas.
Dengan harapan kiranya apa yang kami sampaikan tadi akan mendapatkan perhatian
dan tanggapan dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.
TAMAT