Anda di halaman 1dari 14

K.H.

GHOLIB

KIAI BAMBU SERIBU


ULAMA & PAHLAWAN KEMERDEKAAN
DARI PRINGSEWU, LAMPUNG

RIWAYAT HIDUP K.H GHOLIB

OLEH : Dr. FARIDA ARIYANI, M.Pd

BIOGRAFI

K.H. Gholib dilahirkan di Desa Mojosantren, Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa


Timur. Tidak atau belum didapatkan informasi atau bukti tertulis mengenai tanggal
kelahiran K.H. Gholib. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa itu upaya dokumentasi
pencatatan ihwal kelahiran seorang bayi belum marak dan wajib seperti masa sekarang.
Perihal tahun kelahiran K.H. Gholib masih menjadi misteri karena belum valid. Di
beberapa sumber tertulis, disebutkan beliau lahir tahun 1896, sementara sumber lain
menyebut 1899.
Masa kecil K.H Gholib tidaklah segemerlap anak-anak sebayanya. Ayahnya, K.
Rohani bin K. Nursihan telah meninggalkannya sejak ia masih kecil karena peperangan.
Hanya ada informasi minim bahwa sebelum Gholib kecil dikhitan, ayahnya sempat datang
dan member uang satu ringgit kala itu.
Ibunya, Muksiti, mengasuh Ghalib kecil. Ia memperoleh pendidikan agama dari
orangtua dan bangku madrasah di desa kelahirannya. Ibunya menitipkan Gholib kecil
kepada seorang kiai untuk belajar agama. Dari Kiai Ali, Gholib mendapat ilmu tauhid,
hikmah, fiqih, ahlak, dan kajian-kajian agama Islam. Setelah tamat madrasah kemudian ia
melanjutkan Tholabul Ilmi, keluar daerahnya yaitu ke sebuah pondok pesantren di
Semarang.
Sejak itu Ghalib muda kerap berpindah untuk menimba pengetahuan tentang agama
Islam, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu guru ke guru lain. Ia telah hafal banyak
hadist. Selain ilmu agama, beliau juga belajar ilmu bela diri saat perang dan bermasyarakat.
Gholib juga tercatat pernah menjadi murid tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, K.H.
Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebu Irang, pernah juga menimba ilmu pada K.H.
Kholil di Bangkalan, Madura. Kedua nama ini adalah tokoh ulama terkenal hingga saat ini.
Setelah ilmu yang dikuasainya dirasa cukup, Gholib muda memutuskan mengembara.
Ilmu yang didapatnya dimanfaatkan untuk menyebarkan syiar Islam di berbagai daerah,
mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan hingga Singapura dan Malaysia. Pada saat itu pula,
Gholib telah menikahi Syiah’iyah (atau Sa’yah), putri seorang bangsawan Jawa.
Kemudian dengan tekad dan semangat juang yang besar demi menyebarkan dan
menegakkan Islam, beliau meninggalkan kampung halamannya di Jawa dan menuju ke
belahan barat bumi Nusantara, yakni ke Tanjung Pura, Medan, Sumatera Utara.
Beliau diterima oleh masyarakat Tanjung Pura dengan senang hati dan mendapat
dukungan yang besar dalam mengembangkan ajaran Islam. Beliau bersama masyarakat
setempat membangun sebuah masjid yang merupakan fasilitas utama dalam perjuangannya.
Beliau mengadakan kegiatan pengajian untuk anak-anak, remaja, maupun orang-orang tua.
Di samping pengajian juga sering mengadakan ceramah-ceramah agama di
kampung-kampung.
Di setiap tempat yang disambanginya demi menegakkan dan mengembangkan ajaran
Islam, beliau mendirikan masjid dan pondok pesantren sebagai sarana tempat bagi para
santri mengaji dan menggali ilmu pengetahuan agama Islam. Dalam waktu yang relatif
singkat pondok pesantren tersebut sudah dipadati oleh para santri yang datang dari daerah
sekitarnya. Dalam melaksanakan pendidikan agama Islam (Pondok Pesantren) tersebut,
K.H. Gholib dibantu oleh beberapa orang ustad yang cukup mampu dalam pengetahuan
agama Islam.
Setelah berjalan lama dan dirasa mulai mantap dalam pengetahuan agama Islam dan
juga dipandang atau dianggap sudah ada beberapa orang santri yang mampu untuk
menggantikannya sebagai ustad serta meneruskan perjuangannya, maka beliau pun
berpamitan meninggalkan Tanjung Pura menuju ke Batu Pahat, Johor, Malaysia.
Di Batu Pahat, K.H Gholib menerapkan pola yang sama seperti di daerah-daerah
sebelumnya. Bersama masyarakat Batu Pahat mengembangkan agama Islam.
Pengajian-pengajian dan ceramah-ceramahnya ternyata mendapat sambutan yang hangat
dari warga masyarakat Batu Pahat dan sekitarnya.
Setelah beberapa tahun kemudian, nampaklah hasil perjuangannyam dengan
meluapnya para santri dan meningkatnya kemampuan para ustad yang berhasil digembleng
dan ditempa oleh K.H Gholib sehingga mampu dan sanggup untuk meneruskan jihad dan
perjuangannya, maka beliau pun berpamit meninggalkan Batu Pahat, Malaysia, kira-kira
tahun 1924 menelusuri daerah-daerah yang masih rawan dan kurang pengetahuan agama
Islam dengan tujuan membina masyarakat desa tersebut, mendirikan masjid dan pondok
pesantren meskipun dalam kondisi yang sederhana.
Di mana beliau singgah di suatu tempat atau desa, beliau sempat mendirikan masjid
sebagai sarana untuk beribadah dan mengembangkan ajaran Islam. Adapun daerah yang
dituju ialah desa Martapura, Balikpapan, Kalimantan. Beliau berada di Martapura,
Balikpapan, hanya satu tahun saja, dan ternyata telah berhasil mencetak kader-kader Islam
yang tangguh dan handal.
Jiwa mengembara untuk menyebarkan Islam yang dimilik K.H. Gholib tidak selesai
di Hindia Belanda saja. Laksana burung elang, beliau mengepakkan sayapnya lebih jauh.
Tahun 1927 beliau bersama istrinya merantau ke Singapura. Saat berada di Negeri Singa itu,
beliau bertemu dengan M. Anwar Sanprawiro, orang Jawa yang berasal dari daerah
Pagelaran, Lampung.
Dari pertemuan ke pertemuan tersebut, Anwar Sanprawiro mengabarkan tentang
program kolonisasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, mengirim orang-orang
dari Pulau Jawa ke Lampung untuk membuka hutan, berkebun di sana. Sayangnya, program
kolonisasi tersebut tidak diimbangi dengan misi agama Islam.
Informasi tersebut menggerakkan hati K.H. Gholib untuk merantau ke Lampung.
Setelah berunding dengan istrinya, beliau akhirnya berangkat ke Lampung menaiki kapal
laut dari Singapura.
Sesampainya di Lampung, K.H. Gholib tinggal sementara di rumah Anwar
Sanprawiro di daerah Pagelaran.
Saat itu Pringsewu masih belum tersentuh agama. Banyak kegiatan maksiat
merajalela di sana. Hal ini menjadi tantangan K.H. Gholib. Benar apa yang diceritakan
Anwar Sanprawiro tentang kondisi di tempat kolonisasi ini. Usia K.H. Gholib saat itu
sekitar empatpuluh tahun. Dia memilik tugas lumayan berat untuk mengajak masyarakat ke
jalan islam.
Setelah mengetahui situasi di Pagelaran dan Pringsewu, Gholib membeli tanah di desa
Fajaresuk, dan kemudian dibangun rumah tinggal dan masjid sederhana. Setelah menetap
beberapa lama di Fajaesuk, Gholib pindah ke Pringsewu. Masjid yang dibangunnya di
Fajaresuk diserahkan kepada masyarakat setempat untuk dimanfaatkan dengan
kegiatan-kegiatan agama.
Di Pringsewu, Gholib membeli tanah di sebelah utara, sekitar 750 meter dari pasar
Pringsewu saat ini. Dia membangun rumah berlantai tanah berdinding geribik dan beratap
alang-alang. Setelah beberapa lama menetap di Pringsewu. K.H. Gholib membangun
masjid berlantai semen, berdinding papan, dan beratap alang-alang. Meski kecil dan
sederhana, masjid tersebut dapat menampung jemaah di sekitar.
Masjid tersebut dinamai Masjid Jami K.H. Gholib. Inilah masjid pertama yang berdiri
di Pringsewu. Masjid ini kelak menjadi tempat bersejarah, selain aspek agama, juga
termasuk basis perjuangan merebut dan memertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dekat dengan rumahnya, K.H. Gholib juga mendirikan sebuah pesantren dengan tiga
ruang kelas untuk tempat belajar Islam bagi masyarakat Pringsewu. Anak-anak dan remaja
hingga orangtua belajar mengaji di sana. Bukan hal yang mudah memberi penyadaran
agama kepada masyarakat yang masih jauh dari nilai-nilai agama. Awalnya hanya sekitar
duapuluh orang yang mengikuti kajian agama.
Setelah berapa lama, K.H. Gholib kedatangan musafir, seorang pria paruh baya
bernama M. Thoib. Beliau datang ke masjid tersebut dengan tujuan menjadi muazin dan
mengajar mengaji. Niat baik itu disambut K.H Gholib.
Dari beberapa sumber tertulis dan wawancara, ada versi lain menyebut tentang guru
pertama di madrasah K.H. Gholib adalah H. M. Nuh yang berasal dari Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian atas izin K.H. Gholib mengundang saudara ipanya, Ustad Muhyidin, untuk
membantu mengajar. Hal itu dilakukan nampaknya karena semakin banyak santri yang
belajar di pesantren.
Yang datang ke pesantren K.H. Gholib bukan hanya orangtua yang mengantar anaknya
untuk menjadi santri yang hendak belajar, namun ada juga yang berminat menjadi guru di
sana. Tahun 1934, Asisten Demang Nadjamuddin dan adiknya Ustadz Jafar, datang
menemui K.H. Gholib. Kebetulan pada saat itu, Ustadz M. Nuh telah kembali ke Cianjur.
Akhirnya oleh K.H. Gholib kedua tamunya tersebut didapuk menjadi pengajar di pesantren
tersebut. Setahun kemudian, datang lagi dua guru keturunan Arab, Aa Iji Ismail dari
Cilegon yang pernah menjadi santri di Tebuireng, dan Sayid Alwi Almahdali dari
Telukbetung.
Pesantren K.H. Gholib menjadi terkenal. Berkat kesabaran dan ketekunan K.H.
Gholib dan para kerabatnya, lambat laun makin banyak santri berdatangan ke sana untuk
menimba ilmu. Jumlah santri diperkirakan pernah mencapai seribuan orang. Selain dari
Lampung, mereka datang dari daerah lain seperti Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan
Jawa.
Santri di ponpes K.H. Gholib saat itu ditempa dengan disiplin dan kasih sayang.
Mereka fasih membaca al Quran dengan suara yang merdu, selain mahir berbahasa Arab.
K.H Gholib dan para pengajar di pondok, menekankan pentingnya ibadah sholat lima waktu
berjamaah kepada seluruh santri. Kegiatan bersifat seni budaya juga dilakukan bersama,
seperti barzanji dan marhabanan setiap malam Jumat atau di waktu-waktu yang disepakati
bersama.
Pertanyaan menarik, bagaimana K.H. Gholib menghidupi atau pesantrennya?
Disinilah letak keunikan dan luar biasanya pengorbanan tulus ikhlas yang diberikan
beliau.
Banyak kesaksian, lisan dan tertulis, K.H. Gholib tidak mengutip biaya atau
sumbangan dari orangtua santri. Beliau justru membiayai semua kebutuhan santri, bahkan
termasuk para pengajar di pesantrennya. Bahkan termasuk biaya konsumsi para santri dan
pengajar, semua ditanggung K.H. Gholib.
Bila ada guru, santri, dan keluarganya yang sakit, berobat gratis di poliklinik yang
juga dimiliki beliau.
Banyak tamu yang datang entah dari mana dengan beragam hajat masing-masing.
Ada yang minta didoakan untuk tujuan tertentu, ada yang ingin berobat. Mereka menginap
di pesantran. Lagi-lagi, tanpa dipungut biaya, bahkan semua kebutuhan mereka ditanggung
K.H. Gholib.
Kehadiran K.H. Gholib membawa perubahan besar bagi masyarakat Pringsewu.
Kisah-kisah negatif yang didengar K.H. Gholib tentang Pringsewu dari sahabatnya Anwar
Sanprawiro, perlahan terkikis dan lenyap oleh pendekatan agama. Maksiat dan kegiatan
kriminal perlahan hilang. Masyarakat Pringsewu segan dan hormat kepada K.H. Gholib
karena mampu menyatukan masyarakat. Beliau juga tidak membeda-bedakan antar umat
manusia, apa pun latar belakang mereka. Beliau tulus ikhlas membantu kamu fakir miskin,
anak yatim piatu, dan siapa saja yang membutuhkan bantuannya.
Perkembangan pendidikan Pondok Pesantren K.H. Gholib pada saat itu sangat pesat
sekali. Para santri yang datang mengaji bukan berasal dari Pringsewu saja, akan tetapi
banyak juga yang berasal dari daerah Lampung dan bahkan Sumatera Selatan dan Jawa.
Jumlah santri pada saat itu mencapai hampir seribu limaratus dan berhasil mencetak para
ustad yang tangguh dan handal dalam mengembangkan Islam.
Untuk menunjang dan membiayai Pondok Pesantren, kesejahteraan para ustad dan
santri, beliau pun mengembangkan usaha-usaha di bidang perekonomian, antara lain:
- Mendirikan pabrik tapioka
- Usaha bidang transportasi (13 buah mobil)
- Membuat pabrik tenun
- Usaha di bidang pertanian (sawah, perikanan, dan jual beli padi)
- Mendirikan rumah sakit Islam (balai pengobatan)

Banyak peristiwa di luar nalar dan logika masyarakat Pringsewu pada masa itu, yang
membuat K.H. Gholib disegani dan dihormati. K.H. Gholib dianggap memiliki “kesaktian”,
“ilmu linuwih” yang tidak bisa dimiliki sembarang orang.
Konon, suatu malam usai M. Thoib mengajar mengaji di masjid. K.H. Gholib datang.
Tiba-tiba geger karena kehadiran seekor harimau di tengah kerumunan santri dan warga
yang baru selesai belajar agama. K.H. Gholib menenangkan mereka, meminta mereka agar
usah takut. Kepala harimau tersebut ditepuk-tepuknya agar tenang dan tidak mengaum.
Konon, pula, harimau tersebut adalah jelmaan beduk yang berada di samping masjid.
Hingga saat ini, beduk tersebut masih ada di masjid.
Itu salah satu dari sekian ihwal “kelebihan” yang dimiliki K.H. Gholib. Masih banyak
kasha-kisah lain yang sulit diterima nalar, namun demikianlah kenyataannya. Masih ada
sejumlah saksi hidup yang bisa ditanyai perihal ini.

PEJUANG KEMERDEKAAN

Banyak referensi sejarah menyatakan bahwa umat Islam berperan penting dalam
upaya merebut kemerdekaan Indonesia. Demikian pula halnya yang dilakukan K.H. Gholib
selama di Pringsewu. Tidak sedikit peran dan sumbangsih beliau dalam memperjuangkan
kemerdekaan. K.H. Gholib terlibat aktif mengangkat penjajah, bersama masyarakat dan
santrinya mengusir penjajah yang bercokol di Pringsewu.
K.H. Gholib membenci penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang di Pringsewu.
Pra dan pasca proklamasi kemerdekaan, K.H. Gholib berperan penting di Pringsewu.
Setelah proklamasi kemerdekaan, beliau bahkan membentuk pasukan Hizbullah dan
Sabilillah, sebagai pasukan tentara dari kalangan santri dan agama.
Pringsewu termasuk daerah yang menjadi sentral perjuangan para pejuang. Di daerah
itu Belanda bercokol.
Keberanian K.H. Gholib menentang penjajah, membuatnya dicireni oleh Belanda dan
Jepang kala itu. Namanya sangat ditakuti pihak musuh. K.H. Gholib termasuk target operasi
yang harus ditangkap. K.H. Gholib menjadi pemimpin perjuangan menentang penjajah
Belanda dan Jepang. Di bawah komando, masyarakat Pringsewu berjihad mengusir
penjajah.
Pada tahun 1942, dengan mengaku sebagai saudara tua bangsa Hindia Belanda,
Jepang masuk untuk menjajah. Pringsewu termasuk wilayah yang dimasuki tentara Jepang.
Pada saat itu, meski dalam situasi perang, aktifitas di pondok pesantren K.H. Gholib tetap
berjalan seperti biasa. Hanya saja mereka tetap waspada dan hati-hati. Santri masih
berdatangan dari berbagai tempat untuk belajar agama di Pringsewu.
K.H Gholib tetap konsisten dengan sikapnya yang anti penjajahan. Beliau bersama
para santri dan pendukungnya melawan kekejaman Jepang yang suka memeras bahkan
menyiksa rakyat pribumi. Dengan senjata sangat terbatas dan tidak sebanding, bambu
runcing, pedang, golok. Dengan cara gerilya maupun terang-terangan mereka menyerbu
basis-basis pertahanan Jepang di Pringsewu dan sekitarnya.
Salah satu puncak kemarahan K.H. Gholib adalah ketika tentara Jepang memaksa
warga Pringsewu menyembah Dewa Matahari (Tenno Heika) atau Kaisar Hirohito yang
berkuasa di Jepang masa itu. Beliau terang-terangan memerintahkan santri dan warga
Pringsewu untuk menolak ajakan Jepang yang tidak masuk akan dan tidak sesuai kaidah
Islam.
K.H. Gholib menentang agenda sei kerie yang diterapkan Jepang. K.H. Gholib sempat
beberapa kali ditangkap militer Jepang karena dianggap tokoh yang menghasut massa, dan
mengganggu kekuasaan Jepang di Pringsewu. Perlawanan K.H. Gholib tidak surut. Setelah
dilepaskan dari penjara, beliau kembali memimpin pasukannya. Pengaruh K.H. Gholib
demikian kuat di Pringsewu. Itulah yang membuat Jepang cemas.
Jepang hanya 3,5 tahun bercokol di Hindia Belanda, sebelum akhirnya menyerah
kepada Belanda dan sekutu.
Jumat, 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Kabar itu disambut dengan suka cita, termasuk di Pringsewu.
Kemerdekaan yang sekian lama diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan air mata,
akhirnya terwujud juga
Ternyata Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan hendak kembali
bercokol di Indonesia. Belanda yang datang kembali dengan dibantu pasukan sekutu
menggempur semua basis pertahanan tentara dan rakyat Indonesia, termasuk di Pringsewu.
K.H. Gholib tidak tinggal diam. Beliau kembali angkat senjata. Kemerdekaan harus
dipertahankan.
Pada tahun 1945, masa penjajahan Belanda kembali, K.H. Gholib membentuk laskar
Hizbullah dan Sabillillah, di mana K.H. Gholib menjadi pemimpin laskar tersebut.
Kemudian kedua lascar tersebut bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) atau
Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada tanggal 1 November 1945 s/d 7 Agustus 1946, pasukan laskar Hisbullah dan
laskar Sabilillah mendapat gemblengan dan latihan militer, baik mental maupun fisik oleh
Mayor Infanteri Herni dibantu oleh Mayor Infanter Mulkan dan Mayor Infanteri Nurdin.
Pada tanggal 8 Agustus 1947. K.H. Gholib sebagai pimpinan laskar Hisbullah dan
laskar Sabilillah memerintahkan kepada Abdul Fattah, H. Aman dan H. Hanafiah untuk
memimpin rombongan laskar menuju ke Front Baturaja dan Martapura.
Rombongan yang diutus K.H. Gholib bergabung dengan pasukan TKR dan BKR
yang dipimpin Mayor Infanteri Herni dan Bapak Mulkan yang telah lebih dahulu berada di
sana. Mereka bahu-mambahu menggempur markas Belanda dengan bersenjatakan bambu
runcing, golok, pedang, dan lain-lain. Meski dengan persenjataan tidak seimbang,
pertempuran berlangsung sengit.
Pertempuran sengit terjadi di Sepancar–Gibang. Pada saat itu ada beberapa pasukan
laskar Sabilillah yang ditawan oleh Belanda dan ada juga yang gugur sebagai pahlawan.
Dari pihak Indonesia yang selamat di antaralnya Mayor Herny, Mayor Nurdin, Mayor
Mulkan, Sukardi, Sukemi, Supardi, Abdul Fattah, Irsan, Silur, Suparno, Suwarno,
Mardasam, Harun, Hasan, dan Husen.
Mengingat serangan tentara Belanda yang sangat gencar dan mendatangkan bala
bantuan sehingga tidak dapat dielakkan lagi maka pada tanggal 2 Oktober 1948, Mayor
Infanteri Herni, Bapak Nurdin, dan komandan batalion Bapak Mulkan memerintahkan agar
semua pasukan BKR/TKR dan laskar-laskar yang ada untuk mundur ke Tanjungkarang dan
langsung kembali ke Pringsewu.

Belum puas dengan Agresi Militer pertama, Belanda melanjutkan dengan Agresi
Militer kedua. Tersiar kabar, awal Januari 1949 pasukan Belanda akan mendarat di
Pelabuhan Panjang. K.H. Gholib yang mengetahui informasi itu cepat mengatur strategi.
Untuk menghambat pergerakan tentara Belanda, beliau memerintahkan pasukannya untuk
menghancurkan jembatan Bulok Karto (Bulok). Upaya ini berhasil. Pasukan Belanda butuh
waktu lebih lama untuk masuk ke Pringsewu. Mereka berputar melalui Gedong Tataan,
Kedondong, dan Pagelaran.
27 November 1949 terjadi perundingan clash order antara tentara Belanda dengan
tentara RI. Perundingan tersebut dilaksanakan di Kotabumi Lampung Utara. Beberapa
nama yang menghadiri perundungan itu antara lain Mayor K.L. Graaf von Renzouw, Mayor
Inf. H.N.S. Effendi, Kapten A.L. Shohoka, Kapten Inf. Hamdani, dan Letnan Husen.
Selain pasukan tempur darat, penjajah pun memborbardir lewat udara. Dari pesawat
mereka menerjunkan pasukan udara, juga menghancurkan tempat-tempat yang diduga
sebagai basis pertahanan pejuang Indonesia dengan hujan peluru.
Melihat keadaan semakin tidak aman dan banyak korban tewas, K.H. Gholib dan
pasukannya menyeberang memutuskan mengungsi ke hutan-hutan di Gedong Tataan,
Kedondong, Gading Rejo, dan Pringsewu.
Pada saat itu, pesantren K.H. Gholib menjadi basis TRI di Pringsewu. Tokoh-tokoh
TRI pada saat itu adalah Kapten Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Mayor Effendy.
Saat itu telah dibentuk pemerintahan darurat dengan residennya Mr. Gele Harun.
Wakilnya adalah M. Yasin.
Saat Agresi Militer II itu pula, puluhan ulama berkumpul di pesantren K.H. Gholib.
Mereka bermusyawarah membahas bagaimana hukum perang melawan Belanda dari sudut
pandang Islam. Hasil musyawarah itu memutuskan bahwa perang melawan Belanda untuk
mempertahankan kemerdekaan sifatnya fardu ain.
Para ulama itu datang dari berbagai daerah di Lampung, seperti K.H. Hanafiah
(Sukadana), K.H. Nawawi Umar (Telukbetung), K.H. Abdul Rozak Rais (Penengahan,
Kedondong), K.H. Umar Murod (Pagar Dewa, Tulangbawang Barat). K.H. M. Nuh, K.H.
Aman (Tanjungkarang), Kiai M. Yasin (Ketua Masyumi pada saat itu), K.H. A. Rauf ali
(Telukbetung), dan K.H. A. Razak Arsyad (Lampung Utara)
Apa yang diputuskan para ulama tersebut di pondok pesantran K.H. Gholib kemudian
disampaikan ke pemerintah. Itulah yang menjadi dasar umat Islam di Pringsewu untuk
melawan Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia.
Dari keputusan itulah, K.H. Hanafiah dan pasukan lascar Hizbullah dan Sabilillah
menuju Baturaja (Sumatera Selatan) untuk bergabung dengan Tentara Republik Indonesia
yang telah berada di sana dan berperang melawan Belanda yang menduduki Palembang.
Masih di bulan Januari 1949, K.H. Gholib dengan laskarnya menyerang Belanda di
Front Kali Nongko, Kemiling, Tanjungkarang, yang dipimpin oleh Bapak Kapten
Alamsyah Ratu Prawiranegara dengan berjalan kaki setelah selesai melaksanakan sholat
Jumat. Pada waktu itu ternyata serangan tidak mendapat perlawanan karena Belanda telah
pergi meninggalkan Kemiling. Pasukan laskar kembali ke Pringsewu.
Tidak lama kemudian pasukan Belanda menyerang dan menduduki kota Pringsewu
dengan secara tiba-tiba. Untuk tidak menambah banyaknya korban di Pringsewu dan
sekitarnya sengaja tidak diadakan perlawanan mengingat nasib masyarakat pada waktu itu.
Semangat Belanda untuk menghabisi nyawa K.H. Gholib selalu gagal. Belanda selalu
salah memuntahkan pelurunya. K.H. Gholib telah tahu bahwa dirinya merupakan sasaran
utama peluru Belanda.
Belanda bagai memiliki dendam kesumat kepada K.H. Gholib. Segala cara mereka
tempuh demi menangkap dan menghabisi beliau. Selama K.H. Gholib bersembunyi, tentara
Belanda silih berganti menyita, merusak, bahkan menghancurkan harta benda dan asset
K.H. Gholib. Rumah, pabrik, sebagian pondok pesantren, mobil, pabrik tapioka dan pabrik
padi, gudang padi dan rotan, poliklinik, tidak luput dari perusakan Belanda. Dua bus roda
enam juga dibawa. Belum lagi peralatan lain yang tidak sempat di data. Bahkan peralatan
rumah tangga dipindahkan ke pasar Pringsewu dan dijadikan peralatan rumah makan
antek-antek Belanda.
Upaya jahat yang dilakukan Belanda seperti memberi pesan kepada K.H. Gholib agar
segera keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri, juga memberi shock therapy
kepada masyarakat Pringsewu agar memberitahu dimana pemimpin mereka bersembunyi.
Ada beberapa kali kejadian salah tembak yang dilakukan tentara Belanda. Sahabat
karib K.H. Gholib, Ustad M. Nuh, menjadi korban salah sasaran tentara Belanda. Mereka
menduga M. Nuh adalah K.H. Gholib, lantas menembaknya.
Karena keadaan yang tidak aman ini, untuk sementara waktu mengungsi ke desa
Banjar Rejo, Sinar Baru. Kemudian setelah dirasa aman, beliau dan isteri kembali ke
Pringsewu. Namun berita kembalinya cepat tersiar sehingga membuat Belanda bernafsu
kembali untuk menghabisi K.H. Gholib. Lalu Belanda memerintahkan polisi federalnya
memanggil K.H. Gholib untuk berunding dan setelah itu kembali ke rumahnya. Namun
karena ulah jahat dan usil dari kaki tangan Belanda yang disebut Macan Loreng, maka K.H.
Gholib dapat ditawan di markas Belanda yakni di kompleks gereja Pringsewu.
Belanda menggunakan akal liciknya untuk menghabisi K.H. Gholib. Sewaktu
persetujuan gencatan senjata tinggal 2-3 hari lagi akan diumumkan, penjagaan terhadap
tawanan K.H. Gholib semakin diperketat. Sanak keluarganya tidak diperkenankan
menjenguknya.
K.H. Gholib ditahan selama dua minggu di markas Belanda yang saat itu berada di
sebuah gereja. Saat persetujuan gencatan senjata tinggal beberapa hari lagi. Malam kamis
Legi, 9 November 1949 (referensi lain menyebut tanggal 6 November 1949), K.H. Gholib
dilepaskan dari penjara. Hal yang mencurigakan adalah beliau dilepas tengah malam,
sekitar pukul satu atau dua dini hari. Rupanya itulah akal licik tentara Belanda. Baru
sepuluh meter berjalan keluar dari penjara, K.h. Gholib ditembak dari belakang. Beliau
gugur seketika.
Esok paginya, dua orang polisi federal Belanda datang ke pesantren dan langsung
menemui keluarga K.H Gholib. Kedua orang itu mengabarkan perihal telah meninggalnya
K.H. Gholib. Pihak keluarga mengutus 10 orang untuk mengambil jenazah beliau. Ternyata
jenazah beliau dibiarkan tergeletak di bawah palang salib yang ada di gereja Pringsewu
yang pada saat itu digunakan sebagai markas Belanda.
Beliau meninggal sebagai syuhada bahwa yang selama hayatnya berjuang untuk
kepentingan umat, membela agama dan bersama pejuang lainnya merebut kemerdekaan
dari tangan penjajah Belanda dan Jepang. Yang akhirnya wajar kalau beliau dinobatkan
sebagai Pahlawan Bangsa.
Sampai akhir hayatnya, K.H. Gholib tidak mempunyai keturunan. Beliau mengangkat
tiga anak, yaitu; Jamzali, Siti Romlah, dan Rubaiyah (Rubu’iyah).
Hingga saat ini, makam K.H. Gholib masih kerap dikunjungi para peziarah dari
berbagai kota. Bukan hanya Lampung, namun juga Sumatera Selatan, Jambi, Jakarta,
Bandung, Bogor, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Madura, dan lainnya.
Satu kalimat yang pernah terucap dari K.H. Gholib dan terus diingat oleh para
santrinya: Dunia itu kalau dicari lari, kalau dibuang dia datang.
Masjid Jami KH Gholib

Masjid Jami K.H. Gholib, masjid pertama dan tertua di Pringsewu adalah saksi
sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Di tempat ibadah yang didirikan atas
inisiatif K.H. Gholib inilah, kesepakatan-kesepakatan dan strategi-strategi melawan
penjajah Belanda dan Jepang diputuskan bersama. Masjid ini menjadi basis pertahanan
sekaligus perlawanan para pejuang kemerdekaan. Sudah selayaknya masjid tersebut
menjadi cagar budaya atau museum, yang dapat dikunjungi oleh generasi muda sebagai
bagian dari pelajaran atau penelitian lapangan.
Tahun 1971 sampai 1974 ada upaya pendokumentasian perjuangan KH. Gholib.
Ada sekitar tigapuluhan surat pernyataan yang dibuat kerabat, handai taulan, santri,
dan rekan seperjuangan K.H. Gholib. Surat itu diketik menggunakan mesin tik, bahkan ada
juga yang tulis tangan. Pernyataan pribadi itu berisi kesaksian terhadap sosok K.H. Gholib.
Seluruh dokumentasi tersebut dikoleksi oleh salah seorang cucu K.H. Gholib, Dr.
Farida Aryani. Mungkin saja ada surat pernyataan lainnya yang tercecer. Namun, pada
intinya, surat-surat tersebut adalah bukti otentik yang berasal dari beragam pihak tentang
kiprah KH Gholib.
Dan tidak ada alasan untuk menunda upaya memperjuangkan KH Gholib sebagai
pahlawan nasional, setelah sebelumnya diakui sebagai pahlawan daerah Lampung. Hal ini
menjadi tugas bersama para pemangku kebijakan di Lampung untuk mewujudkan hal
tersebut.
Demikianlah sekelumit riwayat hidup serta sepak terjang perjuangan almarhum K.H.
Gholib Pringsewu yang telah ikut serta berperan aktif di dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan mengusir penjajah serta keikutsertaannya dalam mencerdaskan
kehidupan bangsanya melalui Pondok Pesantren dan berbagai lembaga pendidikan yang
ada bersama pemerintah daerah Tk. II Lampung Selatan, yang telah banyak memberikan
bantuannya demi kelancaran pendidikan tersebut di atas.
Dengan harapan kiranya apa yang kami sampaikan tadi akan mendapatkan perhatian
dan tanggapan dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai