Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

Khalifah Al-Makmun (198-218/813-833), pada masa khalifah Al-Makmun adalah puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah, kekayaan yang melimpah ruah, keamanan Negara terjamin, walaupun ada sedikit pemberontakan namun semua itu dapat diatasi. Luas wilayah kekuasaan Bani abbas di masa itu terbentang mulai dari Afrika Utara di Barat sampai ke India di Timur. Pada masa khalifah ini hidup para filosof, pujangga, ahli baca Al-Quran dan para Ulama yang mencapai reputasi Internasional dalam bidang ilmu agama. Di antara mereka terdapat ahli ilmu fiqh Imam As-Syafii, ahli ilmu Hadits Bukhari, sedangkan dalam ilmu eksakta terkumpul para ilmuwan dalam lembaga ilmu pengetahuan yang bernama Bayt Al-Hikmah yang didirikan pada tahun 215 H/830 M. Lembaga Bayt Al-Hikmah (House of Wisdom = Rumah Kebijaksanaan) dimanfaatkan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bertitik tolak pada nalar dan kajian-kajian empiris khusus, kemajuan di bidang sains pada masa tersebut di dorong oleh semangat penyelididkan ilmiah untuk mengungkap ayat-ayat Al-Quran yang bersifat kauniah. Semaraknya kemajuan tersebut tidak terlepas dari iklim pemerintahan yang di bina oleh khalifah dengan baik, yang merupakan orang terpelajar, pecinta ilmu pengetahuan, dan pengagum karya-karya ilmiah, khususnya yang berasal dari Yunani, Persia, dan India. Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah, jika dicermati secara detail, beberapa proses kegiatan diantaranya ialah rihlah yang di lakukan oleh para pencari ilmu seperti Imam Bukhari dalam pengumpulan Hadits dan Imam As-Syafii dalam ilmu ushul fiqh, dalam pengumpulan manuskrip yang bersifat akliah sepenuhnya di dukung oleh pemerintah, maka setiap usaha pembinaan ilmu pengetahuan memperoleh fasilitas istimewa. Semua manuskrip yang berhasil dikumpulkan dari berbagai daerah yang telah berhasil ditaklukkan, diterjemahkan dalam bahasa Arab. Karya-karya ilmiah yang telah dialih bahasakan itu kemudian menjadi bahan kajian para ulama seperti Al-Kindi, Ibn Rusydi, Ibn Sina, Al-Farabi dan lain-lain. Kejayaan penterjemahan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah mampu mengantarkan umat Islam mencapai puncak kejayaan (zaman keemasan), karena didukung oleh beberapa faktor, di

antaranya : pertama, para penguasa (khalifah) yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan agama maupun eksakta. Kedua, factor khalifah Al-Makmun mencapai puncak kejayaan, karena kestabilan politik dan ekonomi.

BAB II PEMBAHASAN BENTUK-BENTUK LEMBAGA PENGEMBANGAN ILMU PADA MASA ALMAKMUN

Bentuk-bentuk lembaga pendidikan yang berkembang pada zaman kekhalifahan Bani Abbasiyah jauh berbeda dengan lembaga pada masa pembinaan pendidikan Islam lembagalembaga tradisional seperti Kuttab dan masjid yang merupakan warisan lembaga pendidikan masa Nabi Muhammad SAW. Namun demikian lembaga pendidikan masa khalifah Al-Makmun telah mengalami perubahan yang begitu pesat baik dari segi institusinya maupun kurikulum yang di gunakan, di samping itu juga munculnya lembaga pendidikan Islam yang baru seperti Madrasah dan perpustakaan besar Bayt Al-Hikmah.1 Mehdi Nakosteen menemukan bahwa lembaga pendidikan Islam pada abad ke-8 hingga abad ke-14 adalah Kuttab dan Maktab, palace school (istana), mosque school (mesjid), bookshop school ( toko buku), literary salon (salon kesastraaan), Madrasah, dan Universitas.2 A. Lembaga Formal (Bayt Al-Hikmah) Perkembangan peradaban Islam khususnya bidang keilmuan mencapai masa keemasan di zaman Bani Abbasiyah di banding masa sebelumnya, itu disebabkan berdirinya Bayt Al-Hikmah atau wisma kebijaksanaan yang motifnya untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain. Dari berdirinya Bayt Al-Hikmah tersebut melahirkan intelektual-intelektual yang

Dinamika Ilmu, Jurnal Kependidikan, (Samarinda : STAIN 1998), hal. 94

Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education, (Colorado : University of Colorado Prees : 1964), hal. 46

termasyhur di berbagai bidang. Dan itu mendorong Daulah Bani Abbasiyah membangun di sektor lain, contohnya sector ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.3

a. Sejarah Berdirinya Bayt Al-Hikmah Sosial, ekonomi, pendidikan , ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesastraan mengalami perkembangan pada Bani Abbasiyah, mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (736-809 M) dan puteranya Al-Mamun (813-833 M). Kedua penguasa tersebut menekankan pada pengembangan dan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, ketimbang perluasan wilayah seperti di masa Bani Umayyah. Inilah pokok perbedaan antara Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah. Khalifah Harun Ar-Rasyid memanfaatkan kekayaannya untuk keperluan sosial seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dan lembaga farmasi pun didirikan. Disamping itu, sarana kesejahteraan umum diperhatikan, pemandian-pemandian umum juga dibangun, begitu juga jalan-jalan umum. Khalifah Al-Mamun, pengganti Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mempersiapkan penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahlinya. Salah satu bukti zaman keemasan Bani Abbasiyah adalah Bayt Al-Hikmah yang pendirinya adalah khalifah Al-Mamun. Dalam lembaga pendidikan tersebut merupakan wujud keinginan mengulang (meniru) lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang Kristen Neotorians, yakni Gondeshapur yang salah satu tokohnya Gorgius Gabriel. Dan menjadikan Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan terdiri atas dua tempat, pertama : Maktab dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan, dan tulisan. Kedua :

Al-Tibawi, Muslim Education in the Golden Age of The Caliphate, Jurnal Islamic Culture vol. 28, no 3 Juli

1954

tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang yang ahli pada bidangnya masing-masing.4 Gerakan terjemahan yang berlangsung pada tiga fase. Pertama, pada masa khalifah AlManshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah Al-Mamun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah buku filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang ilmu yang diterjemahkan semakin luas. Darul hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya bermacam-macam bangsa dan peradaban pada masa kerajaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intelek yang hebat yang telah mendorong orang-orang Islam pada waktu itu untuk memperoleh ilmu-ilmu pengetahuan zaman kuno. Menurut pendapat yang lebih kuat lahirnya lembaga-lembaga ini ada pada masa Ar-Rasyid. Tujuan utama dari pada pendirian lembaga-lembaga itu ialah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing, terutama ilmu pengetahuan orang Griek dan falsafah mereka ke dalam bahasa Arab untuk dipelajari. Pada waktu itulah telah diterjemahkan kitab-kitab berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, dan telah menghasilkan ulamaulama yang terkenal, diantaranya Al-Khawarijmi sebagai ahli ilmu falak yang terkenal dan Abu Jafar Muhammad sebagai ahli bidang ilmu ukur dan mantiq. Kemudian kerajaan Fatimiyah di Mesir meniru pula kerajaan Abbasiyah, maka mereka ini pun mendirikan Darul ilmi, seperti lembaga Bagdad abad ke-IV. Di sana dipelajari ilmu falak, ilmu-ilmu orang Yunani, disamping mempelajari ilmu-ilmu Islam. Menurut keterangan dari AlMaqrizi bahwa Darul Hikmah di Mesir pada tahun 395 H dan disitulah berkumpul para fuqaha, dan disitu pulalah di bawa kitab dari istana-istana untuk dibaca dan dipelajari oleh orang-orang yang berkeinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuannya. Disitulah berkumpul ahli nahwu, ahli bahasa dan dokter-dokter dengan mendapat pelayanan dari pelayan-pelayan yang bekerja disitu. Dalam Darul Hikmah inilah terdapat kitab-kitab yang disuruh angkat oleh Al-Hakim Biamrillah dari istananya dalam jumlah sangat besar yang berisi selain yang tersebut diatas, ilmu sastra dan tulisan-tulisan tangan yang belum pernah dipunyai oleh raja-raja lain. Semua lapisan
Soekama Karya dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 68
4

orang diperbolehkan masuk ke dalam gedung ini untuk membaca buku-buku yang ada disana. Bahkan orang-orang yang ingin menyalin dan menulis telah disediakan kertas, pena, dan tinta. Lembaga ini merupakan perpustakaan-perpustakaan yang dipelihara oleh sebagian besar para ulama yang mempunyai keahlian dalam berbagai ilmu pengetahuan yang mengajar serta memberi penjelasan-penjelasan kepada orang-orang yang mengunjungi perpustakaan tersebut. Lembaga ini adalah mirip dengan universitas dewasa ini, dalam pengertian di sana belajar segolongan pelajar dari bermacam-macam ilmu pengetahuan secara mendalam dan pikiran yang bebas. Adanya hubungan yang erat diantara perpustakaan dengan lembaga ini merupakan factor yang besar untuk mencapai tujuan ini. Lembaga pendidikan ini didirikan berkat adanya usaha dan bantuan dari orang-orang yang memegang pimpinan dan pemerintahan, dan jumlahnya pun sangat kecil dan usianya pun pendek, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, dan juga ia tidak begitu meluas ke negeri-negeri Islam yang lain. Ia terbatas dalam berbagai negeri saja, seperti Persia, Iraq, dan Mesir. b. Tauhid Sebagai Sumber Nilai Ilmu Pada Bayt Al-Hikmah Faktor pendorong yang menjadi dasar bagi kaum muslimin untuk menguasai pengetahuan adalah dinamika internal yang muncul dari nilai tauhid, tauhid mengajarkan bahwa menuntut ilmu itu perintah Allah SWT. Dan karenanya menjadi kewajiban bagi setiap muslim, di samping itu berbagai upaya untuk memahami dan menelusuri ajaran sumber Islam.5 c. Kontribusi Bayt Al-Hikmah Bayt Al-Hikmah sebagai lembaga penterjemahan, lembaga pendidikan, perpustakaan, lembaga penelitian, dan observatorium, dapat dilihat hasilnya sebagai kontribusi yang telah diberikan kapada masyarakat dan kebudayaannya, pada masanya maupun sesudahnya.6

H.A.R. Gibb, Mohammadanisme an Historical Surfe, Second Edition, (London : Oxford University Prees, 1953), hal. 4-5 6 Hitti, History of The Arabs, hal. 315

Dalam kreatifitas Bayt Al-Hikmah sebagaimana diungkapkan Hitti, jelas terlihat perhatian yang sangat besar dari pada khalifah Harun dan Al-Mamun dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Syalaby7 menganalisa aktifitas Bayt Al-Hikmah sebagai berikut : Bayt Al-Hikmah membawa perkembangan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sastra dikalangan kaum muslim. Ilmu pengetahuan asing dimasukkan, lantas dikuasai dan dimiliki oleh kaum muslimin. Dengan demikian perbendaharaan ilmiah ini jadi terpelihara, dan dapat dipusakakan pada generasi-generasi yang akan datang, dikala hampirhampir saja lenyap dan musnah. Kontribusi Bayt Al-Hikmah tambah bersinar setelah munculnya para ilmuan muslim seperti Al-Kindi (w.260/873), ia berhasil menyelaraskan pikiran Yunani dengan buah pikiran Islam, yang dilanjutkan Al-Farabi (w. 340/950) serta Ibn Sina (w. 428/103), serta para filosof lainnya. d. Aktivitas dan Peran Bayt Al-Hikmah Dalam Ilmu Pengetahuan Sejak semula, motif berdirinya lembaga ini adalah untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khususnya umat Islam, dengan disertai transfer ilmu-ilmu kuno. Dengan berdirinya lembaga ini kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan lebih intensif. Yaitu dengan cara khalifah mengirimkan sastrawan, sejarawan, dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya untuk ekspedisi di kawasan-kawasan kuno. Menurut Oumar Faroukh, faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan ini adalah: 1. Suasana keinginan antara Arab dengan yang lainnya. 2. Keinginan untuk menguasai ilmu yang belum dimiliki. 3. Legititmasi dan dorongan ayat-ayat Al-Quran untuk menguasai ilmu pengetahuan. 4. Bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan suatu konsekuensi dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.

Syalaby, Al-Tarikh, hal 170. Analisa Syalabi ini disadur oleh Nourouzzaman Shaddiqie dengan kutipan No. 32

Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini memperluas peranannya, bukan hanya sebagai lembaga penerjemahan saja, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuan bagi masyarakat, melalui banyaknya perpustakaan umum di kota. 2. Sebagai pusat dan forum pengembangan keilmuan. 3. Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan koordinasi pelaksanaan pendidikan.

e. Pengaruh Bayt Al-Hikmah dalam Ilmu Pengetahuan Setelah meluasnya peran lembaga tersebut, lembaga ini juga membawa dampak positif secara makro bagi masyarakat luas diantaranya : 1. Ditemukannya jakur benang merah yang menjelaskan rentangan sejarah perkembangan peradaban umat manusia sejak kurun waktu yang sangat tua, dan diperoleh kembali kekayaan warisan peradaban kuno yang bernilai tinggi dari Yunani, Persia,India dan lain=lain. 2. Semakin tumbuh suburnya kondisi sosial yang favourable bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 3. Terjadinya integrasi sosial yang kian intensif dan berkurangnya sikap primordialisme.

B. Lembaga Informal a) Kuttab Kuttab adalah tempat belajar yang pertama kali muncul di Jazirah Arab, setelah Muhammad diangkat oleh Allah menjadi rasul. Lembaga ini tetap dilestarikan sebagai tempat belajar bagi anak-anak baik membaca maupun menulis. Dilihat dari segi yang diajarkan, pertama, Kuttab yang berfungsi mengajarkan tulis-baca teks dasar puisi-puisi Arab dengan para

pengajarnya adalah orang-orang non-muslim. Kedua, Kuttab yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Quran8. Dengan para gurunya adalah orang-orang muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, kurikulum Kuttab meliputi membaca, menulis, dan pengajaran Al-Quran yang lebih ditekankan pa penghafalan. Bahasa Arab, sebagaimana dalam Al-Quran yang menjadi pedoman umat Islam merupakan bentuk bahasa yang banyak digunakan. Oleh karena itu, ilmu tata bahasa (nahwu dan sharaf), menjadi penting dalam pendidikan Kuttab. Al-Quran disamping menjadi kitab suci, yang tak ternilai harganya karena mengandung pesan-pesan religious, juga sebagai pedoman dalam penulisan dan penyusunan kalimat yang benar. Dalam sejarah pendidikan Islam, pendidikan dasar selain diadakan di Kuttab-Kuttab, juga diadakan di istana-istana dan rumah-rumah kaum bangsawan. Timbulnya institusi ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. b) Mesjid Mesjid juga pusatnya pendidikan, telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah, dan diteruskan sampai khalifah Al-Mamun mesjid dijadikan sebagai pusatnya ilmu pengetahuan, salah satu mesjid yang terkenal karena peranannya yang besar dalam dunia pendidikan adalah mesjid Jami Al-Azhar di Kairo Mesir yang didirikan oleh Jauhar Al-Siqili pada abad ke-5 H masa pemerintahan Dinasti Fatimiyyah.9 Namun belasan tahun setelah didirikannya, mesjid itu dikhususkan untuk tempat memberikan pelajaran dan untuk penelitian-penelitian ilmiah. Maka mulai saat itu sampai sekarang mesjid Jami tersebut telah berkembang menjadi Universitas yang terpenting diantara universitas-universitas Islam yang lain di dunia. Disamping mesjid Jami Al-Azhar yang terkenal lainnya adalah mesjid Jami AlQurwiyyin di kota fez (Maroko), yang dibangun pada abad ke-3 H, dan yang menjadi pusat penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Dalam proses pengajaran mesjid Jami ini lebih menekankan pada azas-azas demokrasi pendidikan Islam. Dari sinilah munculnya metodemetode dengan teknik-teknik baru dalam mengajar. Dalam mesjid Jami yang akhirnya
8 9

George Makdisi, The Rise of Colleges, (Edinburg : Edinburg University Prees, 1981, hal. 19 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), hal.69

berkembang menjadi Universitas Al-Qurawiyyin. Ali Al-Jumbulati menuturkan bahwa hampir semua universitas modern yang ada sekarang ini mengikuti pola Jami Al-Qurawiyyin. Misalnya penyelesaian rapat senat terbuka pada setiap pembukaan tahun perkuliahan baru, upacara pelepasan bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya termasuk tradisi yang berasal dari pola Al-Qurawiyyin.10 Hal ini membuktikan kaum muslimin telah lebih dahulu mengenal kegiatan-kegiatan Universitas sebelum bangsa Eropa. Proses pendidikan di mesjid-mesjid ini pada umumnya menggunakan sistim halaqah11, dimana seorang guru duduk di mesjid dan murid-murid duduk mengelilinginya. Halaqah dalam mesjid biasanya dipimpin seorang syaikh yang menyampaikan pelajarannya, suara syaikh harus keras agar didengar oleh murid-murid yang duduk agak jauh dari syaikh, Al-Khatib Al-Bagdadi ketika mengajar pelajaran Al-Hadits di Jami Damaskus12, apabila membaca Hadits suaranya bisa kedengaran sampai keujung mesjid tersebut. Syaikh juga melibatkan murid-muridnya berdiskusi, debat antara guru dengan murid, ini dimaksudkan agar para murid terbiasa dengan berfikir argumentative dan logis sesuai dengan kaedah-kaedah logika yang berlaku. Sistem pengajaran yang demokratis ini mampu menghasilkan para ilmuan yang mendukung kegiatan Bayt Al-Hikmah.

C. Lembaga Non Formal (Majlis-majlis Ilmu Pengetahuan) Majlis bisa diartikan segbagai kelas. Misalnya kelas tempat Hadits disampaikan disebut Majlis Al-Hadits. Demikian juga studi gramatika disebut dengan Majlis Al-Nahwu. Majlis-majlis ini secara langsung bisa dikaitkan dengan lembaga pendidikan, seperti Majlis Al-Mudzakarah dan Majlis Munazarah ada pula majlis yang hanya merupakan hubungan tidak langsung dengan aktivitas pendidikan seperti Majlis Al-Syaara. a. Majlis Al-Hadits Secara umum Majlis Al-Hadits dikelompokkan dua, yaitu majlis Al-Hadits yang tidak tetap (occational) dan majlis Hadits yang permanen. Kelas okasional diadakan oleh guru-guru
Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,1994), hal.64 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), hal. 88 12 Muhammad Yunus, Sejarah , hal. 19
11 10

yang mempunyai jumlah Hadits terbatas. Mereka kadang kala hanya duduk selama dua kali pertemuan menurut jumlah Haditsnya. Biasanya seorang guru berada dalam majlis sebuah Hadits13 dua kali setahun, seperti Ahmad Ibn Muhammad Abu Al-Faraj (w. 415/1024).14 Antusias masyarakat untuk menghadiri pertemuan ini di banyak tempat sangat tinggi. Sebagai contoh Khalayak yang menghadiri pada pertemuan Ashim Ibn Ali (w. 221/836)15 yang diadakan di masjid Al-Rusyafa(di dalam kot Bagdad) berjumlah antara 100.000 dan 120.000 orang. Jumlah orang yang hadir dalam majlis Al-Firyabi(w. 301/913-914) Syari Al-Manshur di pusat kota Bagdad dan Kuffah diperkirakan berjumlah 30.000 orang.16 Lebih dari 20.000 orang hadir dalam majlis Al-Bukhari di Bagdad. Sedangkan kelas Hadits yang permanen diadakan oleh para sarjana yang mempunyai spesialisasi di cabang pengetahuan ini.17 Kelas ini diadakan secara regular seminggu sekali. Para murid yang menghadiri majlis ini bisa memakan waktu beberapa tahun. Dalam setiap kelas ada seorang murid yang selama 20 tahun mengikuti guru Hadits. Ada juga murid yang menuntut Hadits dari seorang guru sehingga selama 30 tahun. b. Majlis Al-Tadris Majlis ini adalah kelas untuk pengajaran suatu pelajaran tertentu. Penggunaan majlis ini hanya untuk beberapa pelajaran saja. Kelas-kelas tersebut diberi nama menurut atas pelajaran yang diajarkan, misalnya Majlis Al-Fiqh, Majlis Nahwu, dan Majlis Kalam. Untuk materi AlHadits tidak termasuk dalam kelompok majlis Al-Tadris ini. Ada perbedaan mendasar antara cirri majlis Al-Hadits di satu sisi dari materi pelajaran lainnya di sisi lain. Guru yang menyampaikan materi Hadits menurut Al-Bagdadai membutuhkan persyaratan khusus yaitu yang menyangkut kemampuan pedagogis. Tugas guru hanya menyampaikan Hadits. Tugas murid dalam majlis hanya menghafal dan mencatat Al-Hadits yang diterima dari guru untuk dirinya sendiri. Kenyataannya hanya orang yang matang saja yang mampu mengumpulkan Hadits. Madhab Kuffah tidak mengizinkan anak-anak dibawah umur 20 tahun untuk mengumpulkan Hadits, sedang madhab Basrah tidak mengizinkan anak-anak dibawah usia 30 tahun.
Abu Bakar ,Ahmad Ibn Al-Bagdady, Tarikh Bagdad, (Da Al-fikr, t.t.)v. hal.67 Ibid, hal.367 15 Ibid, hal.247 16 Ibid, hal. 454 17 Munir Ud-Din, Sejarah , hal. 57
14 13

Yang perlu dicatat bahwa seorang murid Hadits tidak mempelajari Hadits secara detail di dalam suatu majlis, namun hanya sekedar mengumpulkan untuk kemudian menyeleksinya di rumah. Sedangkan para murid yang mempelajari materi-materi pelajaran salin Hadits, seperti murid dari Majlis Al-Fiqh, Majlis Al-Nahwu,dan Majlis Al-kalam pergi untuk mempelajari materi-materi tersebut secara runtut. Guru materi pelajaran non-hadits tersebut mengajarkan menurut rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Mereka mulai dengan materi-materi yang sederhana dan terus meningkat ke materi yang lebih rumit dan sulit secara gradual. Guru Nahwu dan Fiqh dapat dengan mudah mencatat kemajuan yang dicapai muridmuridnya, bukan mungkin meramalkan berapa lama lagi mereka pula mempelajari materi yang ditetapakan. Sebaliknya, seorang guru Hadits tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa muridnya telah selesai belajar hadits, jumlah murid Majlis Al-Tadris tidak pasti, artinya tidak banyak dan bisa sedikit. Yang pasti bahwa murid majlis ini tidak sebanyak Majlis Al-Hadits AlKhatib Al-Bagdad melaporkan bagaimana dia pernah pergi ke mesjid Abu Hamid Al-Isfaraini di Bagdad. Dia mengatakan adanya kelas besar di masjid ini yaitu sekitar 700 murid yang menghadiri kelas ini.18 c. Majlis Al-Munazarah Majlis Al-Munazarah berarti tempat untuk perdebatan. Yang jelas sesuai dengan namanya, majlis ini digunakan oleh para ahli untuk berkompetensi melalui perdebatan tentang beberapa hal. Ada beberapa jenis Majlis Al-Munazarah. Pertama, Majlis Munazarah yang diadakan oleh khalifah, kedua, jenis majlis Al-Munazarah yang disebut institusi pendidikan, ketiga, jenis majlis Al-Munazarah yang bukan lembaga permanen (sifatnya spontan), dan keempat, jenis majlis Al-Munazarah debat terbuka diantara para ahli. Jenis majlis Al-Munazarah yang pertama diadakan atas perintah atau permintaan khalifah. Misalnya pada Dinasti Bani Abbas, khalifah Al-Mamun ketika di Bagdad dan meminta Ibn Ahtam untuk mengumpulkan para ahli hukum dan ahli lain untuk datang ke pertemuan. Di sana Al-Mamun berdiskusi dengan para ahli itu tentang Hadits dan materi lain selama pertemuan ini.

18

Ibid, hal. 368

Pertemuan biasanya dihadiri oleh khalifah. Tujuan utama dari diskusi itu adalah menurut Ahmad Amin, yaitu yang disebut the wish of abbasid caliph ialah untuk memainkan peran hakim diantara berbagai perbedaan antara sarjana muslim. Verdik yang dikeluarkan khalifah AlMamun ialah dalam pertemuan semacam itu untuk menyelamatkan orang-orang Islam dari perpecahan kelompok. Sejumlah perdebatan yang berlangsung dengan kehadiran khalifah yang tercatat paling terkenal yaitu perdebatan tentang persoalan apakah Al-Quran itu makhluk atau tidak. Perdebatan akhirnya merambat juga ke persoalan teologi dan hokum materi gramatika dan psikologi. Tips majlis Al-Munazarah yang kedua ialah disebut institusi pendidikan. Ini dilakukan secara teratur dan bercirikan kelompok diskusi. Salah seorang murid Abu hanifah(w. 150 H) mencatat persoalan-persoalan yang diajukan dalam forum diskusi semacam ini. Dia biasa mengkonsultasikan catatan-catatan itu kepada Abu Hanifah. Setelah menghadap padanya maka akan diketahui kualitas dari hasil diskusi itu memuaskan atau tidak.
19

Abu Hanifah mendorong

murid-muridnya untuk saling berdiskusi dan proses diskusi tersebut diawasinya secara langsung. Jenis majlis Al-Munazarah yang ketiga diadakan secara spontan oleh dua orang ahli yang bertemu secara tiba-tiba, kemudian mulai berdebat tentang suatu masalah tertentu. Misalnnya munazarah yang dilakukan oleh Imam AsyafiI dengan Ishaq Ibn Ruahwayh tentang masalah penduduk Mekkah.20 Adapaun jenis majlis Al-Munazarah yang keempat, yaitu berbentuk perlombaan terbuka open contents antar para ilmuan Islam. Pertemuan diatur sedemikian rupa dan diumumkan kapan pelaksanaannya. Tujuan diadakannya perdebatan menunjukkan ahli mana diantara keduanya yang lebih jago. Orang bisa dikatakan menang bila dia mampu membuktikan kesalahan-kesalahan sang lawan dan mampu membuatnya diam. Demikian beberapa lembaga pendidikan yang terdapat pada masa ini, untuk menunjang pengembangan ilmu pengetahuan di bawah kekhalifahan Harun Ar-Raysid maupun Al-Mamun.

19 20

Ibid, hal. 32 Ibid, hal. 345

BAB III KESIMPULAN Bentuk-bentuk lembaga pendidikan yang berkembang pada zaman kekhalifahan Bani Abbasiyah jauh berbeda dengan lembaga pada masa pembinaan pendidikan Islam, lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti Kuttab dan mesjid yang merupakan warisan lembaga pendidikan masa Nabi Muhammad SAW. namun demikian lembaga pendidikan pada masa khalifah AlMamun telah mengalami perubahan yang begitu pesat baik dari segi institusinya maupun kurikulum yang digunakan, disamping itu juga munculnya lembaga pendidikan Islam yang baru seperti Madrasah dan perpustakaan besar Bayt Al-Hikmah. Perkembangan peradaban Islam khususnya bidang keilmuan mencapai masa keemasan di zaman Bani Abbasiyah di banding masa sebelumnya, itu disebabkan berdirinya Bayt Al-Hikmah atau wisma kebijaksanaan yang motifnya untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lainlain. Dari berdirinya Bayt Al-Hikmah tersebut melahirkan intelektual-intelektual yang

termasyhur di berbagai bidang. Dan itu mendorong Daulah Bani Abbasiyah membangun di sektor lain, contohnya sector ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Lembaga pengetahuan pada saat ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Lembaga formal (Bayt Al-Hikmah), yang sangat berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada masa tersebut. 2. Lembaga informal, diantaranya Kuttab yang kurikulumnya meliputi menulis, aritmatika dan pengajaran Al-Quran serta masjid juga dijadikan sebagai pusat pendidikan. 3. Lembaga non-formal, yaitu majlis-majlis ilmu peengetahuan, yang terbagi kepada empat, yaitu Majlis Al-Hadits, Majlis Al-Tadris, Majlis Al-Munazarah, dan Majlis Muzaraah.

DAFTAR PUSTAKA Dinamika Ilmu, Jurnal Kependidikan, (Samarinda : STAIN 1998) Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education, (Colorado : University of Colorado Prees : 1964) Al-Tibawi, Muslim Education in the Golden Age of The Caliphate, Jurnal Islamic Culture vol. 28, no 3 Juli 1954 Soekama Karya dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998) H.A.R. Gibb, Mohammadanisme an Historical Surfe, Second Edition, (London : Oxford University Prees, 1953) Hitti, History of The Arabs Syalaby, Al-Tarikh George Makdisi, The Rise of Colleges, (Edinburg : Edinburg University Prees, 1981)

H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994) Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,1994) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994) Muhammad Yunus, Sejarah Abu Bakar ,Ahmad Ibn Al-Bagdady, Tarikh Bagdad, (Da Al-fikr, t.t.) Munir Ud-Din, Sejarah

Anda mungkin juga menyukai