Anda di halaman 1dari 111

SEJARAH BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI KELURAHAN

BOEPINANG KECAMATAN POLEANG


KABUPATEN BOMBANA

SKRIPSI

OLEH

ANDI WAWAN
A1A211020

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
SEJARAH BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI KELURAHAN
BOEPINANG KECAMATAN POLEANG
KABUPATEN BOMBANA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kependidikan (S.Pd.)
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

OLEH

ANDI WAWAN
A1A211020

JURUSAN/PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Sejarah

Budaya Masyarakat Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang

Kabupaten Bombana” adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak

pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di perguruan

tinggi manapun, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh

orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam skripsi ini dan disebutkan sumber

kutipan dan daftar pustakanya.

Apabila di kemudian hari ditemukan bahwa dalam naskah skripsi ini dapat

dibuktikan adanya unsur-unsur plagiasi, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan

gelar akademik yang telah saya peroleh dibatalkan, serta diproses menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kendari, 20 Desember 2018

Yang Membuat Pernyataan,

ANDI WAWAN
NIM. A1A211020

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi berjudul

Sejarah Budaya Masyarakat Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan


Poleang Kabupaten Bombana

Oleh

ANDI WAWAN
NIM. A1A211020

telah disetujui untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Haluoleo.

Kendari, 20 Desember 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Mursidin T., M.Pd. Dra. Aswati M., M.Hum


NIP. 19631231 199003 1 034 NIP. 19670108 199003 2 001

Mengetahui,
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.


NIP. 19770829 200812 1 002

iii
HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

SEJARAH BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI KELURAHAN


BOEPINANG KECAMATAN POLEANG
KABUPATEN BOMBANA

Oleh

ANDI WAWAN
NIM. A1A211020
JURUSAN/PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Jurusan/Program


Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Halu Oleo pada hari Kamis tanggal 20 Desember 2018, berdasarkan Surat
Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo
Nomor: 5937/UN29.5/PP/2018 tanggal 18 Desember 2018 dan telah dinyatakan
Lulus.
PANITIA UJIAN

Ketua : Dra. Dade Prat Untarti, M.Si. (....................................... )

Sekretaris : Drs. Hayari, M.Hum. (....................................... )

Anggota : 1. Dr. H. Mursidin T., M.Pd. (....................................... )

2. Drs. Ali Hadara, M.Hum. (....................................... )

3. Dra. Aswati M., M.Hum. (....................................... )

4. Drs. La Batia, M.Hum. (....................................... )

Kendari, 20 Desember 2018

Disahkan oleh
Dekan FKIP Universitas Halu Oleo,

Dr. H. Jamiludin, M.Hum.


NIP. 19641030 198902 1 001

iv
ABSTRAK

ANDI WAWAN (A1A2 11 020). Sejarah Budaya Masyarakat Bugis di Kelurahan


Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana. Dibimbing oleh: (1) Dr. H.
Mursidin T., M.Pd., (2) Dra. Aswati M., M.Hum.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk menjelaskan bentuk-bentuk


kebudayaan masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang
Kabupaten Bombana, (2) Untuk menjelaskan perkembangan kebudayaan
masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten
Bombana, dan (3) Untuk menjelaskan strategi masyarakat suku Bugis dalam
mempertahankan kebudayaan di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang
Kabupaten Bombana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturis. Sumber data penelitian
ini berasal dari tiga kategori sumber sejarah yaitu: sumber tertulis, sumber lisan,
dan sumber visiual. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1)
pengumpulan sumber (Heuristik), 2) kritik sumber eksternal dan internal, 3)
penulisan (historiografi).
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Budaya masyarakat suku
Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana adalah:
mappalili, mappedendang, macceratasi, aqiqah, mabbarasani, mappaci,
ammateang, marraga, maggasing, mallogo, majjeka, (2) Perkembangan budaya
masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten
Bombana makin menurun akibat perkembangan teknologi. (3) Strategi
masyarakat suku bugis dalam mempertahankan kebudayaan di Kelurahan
Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana adalah; memberikan
pemahaman tentang esensi nilai kearifan lokal, melaksanakan kegiatan budaya
secara terus menerus dan berkesinambungan, menumbuhkan rasa percaya diri dan
bangga pada masyarakat Boepinang tentang budaya dan adat istiadat bugis,
membentuk lembaga adat Bugis di Poleang, memasukan kegiatan Budaya Bugis
dalam kurikulum sekolah (Muatan Lokal).

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang merupakan

salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo berjudul “Sejarah Budaya Masyarakat

Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana”.

Penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada

Dr. H. Mursidin T., M.Pd., selaku pembimbing I, dan (2) Dra. Aswati M.,

M.Hum., selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya

dalam membimbing dan mengarahkan penulis. Berkat bimbingan beliaulah

sehingga Skripsi ini dapat tersaji seperti sekarang ini.

Berbagai pihak telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam

penyusunan Skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu

dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.,Sc., selaku Rektor

Universitas Halu oleo.

2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas Halu Oleo.

3. Pendais Hak, S.Ag.,M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP

Universitas Halu Oleo.

4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan bekal pengetahuan dan nasehat

kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Halu Oleo.

vi
5. Seluruh Informan yang telah bersedia memberikan informasi berkaitan dengan

data penelitian.

6. Kepada Ayahanda dan Ibunda, yang telah memberi support dan doa yang

penuh keikhlasan, juga keluarga besarku yang telah memberikan dukungan

dan motivasi selama menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo

khususnya pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program

Studi/Jurusan Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik

penyajian maupun teknik penulisan karena keterbatasan penulis. Untuk itu koreksi

dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata,

semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada penulis

juga kepada pembaca sekalian.

Kendari, 20 Desember 2018

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABASTRAK ................................................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Konsep Sejarah ....................................................................... 8
B. Konsep Kebudayaan ................................................................ 9
C. Konsep dan Teori Perubahan Sosial Masyarakat .................... 13
D. Konsep Nilai Kebudayaan ....................................................... 15
E. Konsep Kearifan Lokal ............................................................ 17
F. Penelitian Relevan .................................................................. 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................. 22
B. Pendekatan Penelitian .............................................................. 22
C. Sumber Data Penelitian .......................................................... 22
D. Heuristik ................................................................................. 23
E. Kritik Sumber ......................................................................... 24
F. Historiografi ........................................................................... 25

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A. Keadaan Geografis ................................................................. 27
B. Keadaan Demografi ................................................................. 28
C. Mata Pencaharian ................................................................... 30
D. Keadaan Sosial Budaya .......................................................... 30

viii
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Kedatangan Masyarakat Suku Bugis di
Boepinang ................................................................................ 35
B. Filosofi Hidup Masyarakat suku Bugis di Kelurahan
Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana ........... 40
C. Sejarah Budaya Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan
Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana ........... 43
D. Perkembangan Budaya Masyarakat Suku Bugis di
Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten
Bombana .................................................................................. 70
E. Strategi Masyarakat Suku Bugis dalam Mempertahankan
Budaya di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang
Kabupaten Bombana ............................................................... 76

BAB VI PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................. 85
B. Saran ........................................................................................ 86
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran di
Sekolah .................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 89


DAFTAR INFORMAN ................................................................................. 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 93

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kelurahan Boepinang Berdasarkan


Golongan Umur dan Jenis Kelamin ................................................... 28
Tabel 2. Keadaan Penduduk Kelurahan Boepinang Pada Tahun 2011-
2017.................................................................................................... 29
Tabel 3. Keadaan Penduduk Kelurahan Boepinang Berdasarkan Mata
Pencaharian ........................................................................................ 30
Tabel 4. Keadaan Penduduk Kelurahan Boepinang Menurut Agama
Tahun 2017 ........................................................................................ 32

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ................................................................ 93


Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian ............................................................. 94
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian ................................................................... 101
Lampiran 4. Surat Keterangan Telah Meneliti ................................................ 102

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ciri khas Negara Indonesia adalah keragaman suku, etnis, dan

budayanya. Keragaman ini budaya ini dimiliki oleh setiap suku yang tinggal di

wilayah Indonesia yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur negara

ini, dan setiap suku memiliki budaya yang berbeda-beda. Dalam keberagaman

suku dan budaya, terkandung nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup masyarakat

penganutnya. Nilai-nilai tersebut dilestarikan oleh suku yang melahirkannya

sebagai suatu bentuk kearifan lokal.

Pengungkapan kearifan lokal yang terkait dengan kebudayaan itu,

memiliki arti penting untuk menjaga keberlanjutan kebudayaan, sekaligus agar

selalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi, di tengah-tengah modernisasi yang

istilahnyasaat ini lebih akrab dikenal sebagai globalisasi. Yang dalam

kenyataannya, globalisasi itu dapat menggeser nilai-nilai budaya lokal oleh nilai

budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat di

Indonesia, baik yang hidup di perkotaan maupun perdesaan.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal, sebagai sebuah

konsepsi eksplisit dan implisit yang khas suatu kelompok atau masyarakat. Nilai

yang hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan materi

yang dibuat manusia yang diturunkan melalui suatu aktivitas ritual atau

pendidikan. Karena itu, fungsi langsung nilai adalah untuk mengarahkan tingkah

1
2

laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya

adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar yang berupa motivasional.

Lebih jauh, makna dari sebuah nilai dapat mengikat setiap individu untuk

melakukan suatu tindakan tertentu, memberi arah dan intensitas emosional

terhadap tingkah laku secara terus menerus dan berkelanjutan. Itu artinya, dengan

nilai setiap pelaku dapat merepresentasikan tuntutan termasuk secara biologis dan

keinginankeinginannya, selain tuntutan sosial tentunya. Namun demikian, dalam

kenyataannya nilai-nilai yang sedemikian itu, hanya merupakan sebagian dari

kehidupan masyarakat yang masih kokoh mempertahankan tradisi, berbeda

dengan masyarakat yang mengalami pergeseran nilai-nilai.

Dalam realitasnya, pergeseran nilai-nilai budaya tersebut, tidak jarang

mengakibatkan nilai-nilai budaya lokal terlupakan dan sekaligus kearifan lokal

yang tumbuh dari budaya masyarakatnya itu, terutama di perkotaan mengalami

degradasi, sehingga cenderung masyarakat pengguna kebudayaan itu sendiri tidak

lagi mengenal kearifan lokal.

Dalam konteks itu, perlu dilakukan pelbagai upaya yang salah satunya

adalah dengan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai budaya

yang dapat mewujudkan kearifan. Oleh karena ituperbincangan kearifan lokal

tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan dan masyarakat yang menjadi

pendukungnya.

Kebudayaan dalam realitasnya sebagai satu istilah yang erat dengan

kehidupan masyarakat. Karena kebudayaan, sebagaimana dikemukakan oleh para

ahli antropologi, diciptakan manusia sebagai keseluruhan yang kompleks yang di


3

dalamnya terkandung sistem pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat

istiadat, dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan yang diterima oleh masyarakat

secara berkelanjutan melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi.

Dari pengertian kebudayaan itu, tampak kebudayaan sebagai wahana dan

wacana bagi masyarakat untuk terus menerus menyesuaikan diri atau merespons

perubahan baik yang diakibatkan dari dalam maupun perubahan dari luar

kebudayaannya tanpa harus menghilangkan identitas kebudayaannya. Respons

penyesuaian diri masyarakat seperti itulah yang kemudian dikenal sebagai

prosesuntuk menjadi pintar dan berpengetahuanwarga masyarakat guna

mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya. Peneguhan terus menerus

hal serupa itu, dalam praktek kebudayaan dikenal sebagai tradisi.

Tradisi sebagai sesuatu yang ditansmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke

masa sekarang, berupa pola-pola atau citra (image) dari tingkah laku termasuk di

dalamnya kepercayaan, aturan, anjuran dan larangan untuk menjalankan kembali

pola-pola tingkah laku yang terus menerus mengalami perubahan. Dalam

prakteknya, tradisi berwujud pada suatu aktivitas yang dilakukan secara terus

menerus dan berulang sebagai upaya peneguhan pola-pola tingkah laku yang

bersandar pada norma-norma bagi tindakan-tindakan di masa depan. Perwujudan

tradisi seperti itu, berupa aktivitas sekitar daur kehidupan, lingkungan alam, dan

lingkungan sosial yang kemudian diinterpretasi sebagai pengetahuan lokal atau

juga disebut kearifan lokal.

Dalam pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan setempat

(local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat
4

bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga

masyarakatnya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai

pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat

(local genius), yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity).

Masyarakat Bugis mempunyai beberapa budaya yang merupakan

pandangan hidup, masyarakat Bugis yang sangat sarat dengan pengalaman

religius. Pengalaman religius ini merupakan bentuk kepercayaan dan penghayatan

kepada yang Maha Pencipta, Yang Maha Tunggal, menjadikan spirit bagi manusia

untuk selalu berbuat kebajikan, bersikap penuh kasih,dan menumbuhkan etos

kerja yang tinggi. Masyarakat Bugis mempercayai dan meyakini bahwa

pengalaman religius sebagai wahana untuk bersikap spiritual sehingga ada

keharmonisan antara dunia dengan manusia. Masyarakat Bugis banyak melakukan

tindakan batin untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, selaras dan

seimbang. Disamping itu, masyarakat Bugis memiliki berbagai macam tradisi,

budaya, falsah hidup, untuk menompang kehidupan mereka baik berada di daerah

mereka maupun di daerah lain.

Budaya yang dimiliki masyarakat Bugis yang mendiami wilayah Sulawesi

Tenggara khususnya di Kecamatan Poleang merupakan cermin dari kehidupan

masyarakat Bugis di wilayah asalnya. Bahasa merupakan salah satu bagian dari

budaya Bugis yang beraneka ragam dalam bentuk butir-butir kearifan lokal yang

menjadi lahan yang subur untuk memperkaya khasanah budaya bangsa. Selain itu

masih banyak bentuk-bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bugis

yang mendiami wilayah ini seperti, tradisi atau upacara perkawinan, tradisi atau
5

upacara pertanian (pembukaan lahan dan pesta panen), tradisi atau upacara

kelahiran, tradisi atau upacara kematian, permainan tradisional, petuah-petuah

(falsafat hidup), gotong-royong dan sebagainya. Bentuk-bentuk budaya tersebut

merupakan salah satu bagian dari beragamnya kebudayaan dari suku-suku yang

ada di Indonesia. Budaya yang begitu beragam member kearifan tersendiri bagi

bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada khususnya,

untuk memaknai dan mengembangkan budaya daerah sebagai kekayaan bangsa

yang tak ternilai harganya, maka peran serta pemerintah yang berkompeten untuk

menjaga, melestarikan dan mengembangkan budaya tersebut agar tidak tenggelam

oleh zaman.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggeser

sebahagian besar budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, seiring dengan itu

telah banyak kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa ini terkikis sedikit demi

sedikit. Pengaruh ini berdampak juga pada budaya yang dimiliki oleh masyarakat

Bugis yang mendiami wilayah Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.

Terkikisnya budaya tersebut disebabkan banyak di kalangan generasi

penerus masyarakat ini lebih tertarik dengan permainan yang disodorkan oleh

teknologi, akibatnya banyak kearifan lokal mulai terkikis sedikit demi sedikit,

bahkan sampai-sampai mereka tidak pernah tahu kalau tradisi, adat, budaya, yang

harus mereka lestarikan dan jaga serta diwariskan lagi kegenerasi berikutnya.

Uraian tersebut di atas telah memberi inspirasi penulis untuk menggali dan

mengangkat sejarah budaya masyarakat Bugis yang dituangkan dalam bentuk


6

penelitian dengan judul “Sejarah Budaya Masyarakat Bugis di Kelurahan

Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sejarah budaya masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang

Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana?

2. Bagaimana perkembangan budaya masyarakat suku Bugis di Kelurahan

Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana?

3. Bagaimana strategi masyarakat suku Bugis dalam mempertahankan budaya di

Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan:

1. Sejarah budaya masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan

Poleang Kabupaten Bombana.

2. Perkembangan budaya masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang

Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana

3. Strategi masyarakat suku Bugis dalam mempertahankan budaya di Kelurahan

Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan beberapa manfaat

sebagai berikut:
7

1. Sebagai sumbangan pemikiran teoritis mengenai budaya masyarakat Bugis

yang tinggal di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.

2. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah agar terus mempertahankan budaya

Masyarakat Bugis yang berada di Kecamatan Poleang kabupaten Bombana.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten

Bombana agar terus memperhatikan budaya yang ada di daerah tersebut.

4. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

kepada seuluruh masyarakat yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara,

khususnya masyarakat Poleang kabupaten Bombana tentang bagaimana

mempertahankan budaya dan bagaimana menyalurkan budaya kepada generasi

muda.

5. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian-penelitian

selanjutnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Sejarah

Kartodirdjo (2002: 89) membagi sejarah menjadi dua, yaitu sejarah dalam

arti objektif yang merupakan kejadian dan peristiwa sejarah yang tidak dapat

terulang dan sejarah dalam arti subjektif atau suatu kontruksi (bangunan) yang

disusun oleh penulis sebagai suatu uraian cerita (kisah). Kisah tersebut merupakan

suatu kesatuan rangkaian dan fakta-fakta yang saling berkaitan. Sejarah sebagai

ilmu yang berhubungan dengan prosedur pengumpulan sumber dan penarikan

fakta dan sumber sejarah yang dilakukan oleh sejarawan atau dengan kata lain

bahwa sejarah sebagai ilmu menyangkut teknik-teknik dalam menyusun dan

merekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa berdasarkan fakta-

fakta sejarah yang dimilikinya.

Selanjutnya sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu sejarah setara dengan ilmu-

ilmu lain karena dalam penyusunannya telah menggunakan metode analisis yang

kritis, walaupun ada proses-proses tertentu yang berbeda dengan proses ilmiah

menurut criteria ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu sebagai mana ilmu-ilmu

lain, sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan juga mempunyai pengertian dan

kajian tersendiri.

Pada dasarnya suatu ilmu tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling

berkaitan antara satu sama lain. Ilmu sejarah misalnya untuk mengetahui

perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain sangat membutuhkan ilmu

sejarah, karena fungsi ilmu sejarah adalah upaya penelusuran jejak-jejak masa

8
9

lampau sehingga yang ada sekarang menjadi jelas. Sejalan dengan itu,

Kuntowijoyo (2013: 210) mengemukakan bahwa sejarah adalah ilmu yang

mandiri. Mandiri artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri,

dan penjelasan sendiri. Yang dimana sejarah manafsirkan, memahami dan

mengerti. Dirnulai dengan menunjukan kekhasan sejarah sebagai ilmu. Setelah

mengetahui jenis sejarah sebagai ilmu, maka perihal penjelasan sejarah,

sehubungan dengan jenis ilmu.

B. Konsep dan Teori Kebudayaan

Menurut ilmu antropologi “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjraningrat, 2009: 153).

Selanjutnya Sedyawati (2014: 53) Pengertian “kebudayaan” sebenarnya

mencakup seluruh adab mansia dalam satuan-satuan kemasyrakatan, termasuk

kedalamnya sistem sosialnya, sistem pengetahunnya, sistem ekonominya,

teknologinya dan lain-lain.

Hal tersebut berarti bahwa hampir semua tindakan manusia itu adalah

“kebudayaan” karena hanya sedikit kegiatan manusia yang tanpa belajar. Hal itu

disebut tindakan naluri, reflex dan sebagainya. Kemampuan manusia dapat

mengembangkan konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan. Sebagai contoh

dahulu makan dengan tangan sekarang semakin maju dan orang bisa membuat alat

yaitu sendok sehingga dapat mengubah kehidupan. Dari beberapa pendapat

tersebut dapat dinyatakan pengertian atau kebudayaan merupakan keseluruhan

kompleksitas aktivitas masyarakat yang di dalamnya terkandung ilmu


10

pengetahuan, kepercayaan, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan lain

yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat seseorang lebih komsumtif

dan bersih.

Selain itu juga ada nilai budaya yang terkandung dalam kebudayaan. Nilai

budaya adalah tingkat yang paling tinggi paling abstrak dari adat istiadat. Nilai

budaya berfungsi juga sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi

sebagai konsep, suatu nilai budaya yang bersifat sangat umum, mempunyai ruang

lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.

Namun justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret, maka nilai-

nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam

jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan yang bersangkutan

(Koentjraningrat, 2009: 153).

Nilai dalam hubungan sosial-budaya berkenaan dengan “harga

kepantasan” atau “harga kebaikan”. Yang dapat dikatakan “penting” dan “tidak

penting” ataupun “mendalam” dan “dangkal”, tetap kualifikasi tersebut tak dapat

diukur secara kuantitatif (Sedyawati, 2007: 254).

Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas,

sebagaimana disepakati di dalam masyarakat yang dianggap baik. Jadi nilai

budaya itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat

dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi, langsung

maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatanya.

Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai budaya itu mengacu kepada
11

keberterimaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dengan

sendirinya bersifat sosial budaya (Sedyawati, 2007: 254).

Adapun nilai-nilai budaya sendiri yaitu menurut (Sedyawati. 2014: 9)

bahwa nilai-nilai budaya itu bisa berkenaan dengan hubungan manusai dengan:

Tuhan, sesama manusia, alam, kerja, waktu dan lain-lain. Mengenai hubungan

manusia antara manusia dan manusia, misalnya dapat dipercinci dalam varian-

varian: antara anak dan orang tua, antara atasan dan bawahan, antara pria dan

wanita ataupun antara kenalan lama yang baru dikenal dan seterusnya. Setiap

kebudayan boleh dikatakan mempunyai tata etiketnya masing-masing berkenaan

dengan hubungan-hubungan tersebut. Etiket itu dapat berkenaan dengan sikap

tubuh yang benar, ragam dan register bahasa yang tepat atau ketentuan-ketentuan

berkenaan dengan hal-hal lain seperti pola busana yang tepat, penggunaan warna

yang tepat yang dinilai “pantas” untuk acara-acara tertentu dan sebagainya.

Ketentuan-ketentuan yang diformulasikan di dalam kebudayaan itu bisa saja

saling tidak sesuai dengan antara suku bangsa yang satu dan suku bangsa lainya.

Itulah kondisi di dalam bangsa Indonesia yang perlu diasuh dengan arif dan penuh

pemahaman budaya pada waktu yang sama meningkatkan pengetahuan dan

‘penerimaan’ berkenaan dengan kebudayaan suku bangsa yang aneka warna.

Khusus mengenai sifat-sifat manusia yang dianggap sebagai pertanda

“karakter/watak yang baik” itu pun dapat berbeda-beda antar budaya seperti suku

bangsa di Indonesia. Indonesia beragam budaya di dalamnya dan setiap wilayah

memiliki budaya lokal/budaya daerah masing-masing. Kebudayaan daerah tidak

bisa diabaikan terutama dalam kehidupan masyarakat warganya masing-masing.


12

Dikatakan demikian, karena budaya lokal memiliki peranan yang sangat

menentukan dalam kehidupan masyarakat budaya daerah dan juga termasuk

kesadaran sejarah pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi

pembentukan jati diri.

Haviland (1988: 233) menyatakan bahwa budaya tradisi (daerah) dapat

menemukan norma untuk perilaku yang teratur, serta kesenian verbal pada

umunya menentukan kebiasaan dan nilai-nilai budaya daerah (bangsa) Setiap

bentuk budaya daerah dapat menambah eratnya kaitan solidaritas masyarakat yang

bersangkutan.

Kemudian, yang perlu dipegang di sini bahwa setiap orang yang memiliki

budaya daerah setempat dan menganut nilai-nilainya, harus bisa memperluas diri

untuk memahami diri sebagai bangsa Indonesia, bukan berpegang sempit kepada

nilai-nila aslinya. Artinya tiap-tiap orang yang semula diarahkan oleh “wilayah

budaya” (culture area) daerah dan sukunya sendiri bahwa selanjutnya perlu

memperluas wilayah budaya itu menjadi wilyah budaya Indonesia. Misalnya Suku

Bali, tanpa kehilangan ciri kebalianya harus mampu merasakan sebagai orang

Indonesia. Demikian juga yang terjadi pada Suku Bugis, Jawa, Batak,Lombok dan

Sebagainya. Sebagai orang Indoensia, tiap-tiap orang di daerah-daerah tidak mesti

kehilangan akar budaya aslinya sendiri. Hanya masing-masing perlu memperluas

pandangan dan sikap budayanya, bukan mengubah dan menggantikan budaya asli

dengan budaya Indonesia. Kekhasan masing-masing daerah atau suku bangsa

dapat menjadi akar bagi perkembangan pribadi setiap perorangan. Oleh karena itu

akar tersebut harus dipertahankan (Manuaba, 1999: 60).


13

Memiliki kepribadian atau identitas diri merupakan kepentingan

manusiawi yang mutlak. Orang yang tidak memiliki kepribadian atau identitas,

dapat diibaratkan seakan-akan seperti orang yang terkatung-katung

karakterisasinya karena merasa tidak ada akarnya. Jadi, sekali lagi, kekhasan

unsur-unsur masing-masing budaya daerah atau suku bangsa sendiri memang

sangat penting dipertahankan dengan adanya arus globalisasi yang mempunyai

dampak yang sangat tidak bagus.

Dengan akar yang mantap yang merupakan jaminan kesinambungan

budaya, maka pembangunan watak bangsa dijamin pula mampu mengahadapi

situasi disemua zaman. Pengaruh globalisasi sebagaimana yang acapkali

dikhwatirkan dapat menghilangkan kepribadian bangsa akan dapat dihadapi

secara mantap tanpa rasa kehawatiran. Justru manusia yang kuat akarnya dalam

budaya sendiri akan mampu menapung pengaruh itu secara selektif sesuai dengan

kepribadianya.

Orang yang memiliki jati diri dapat dikatakan orang yang tidak mudah

goyah. Dengan demikian, ia mampu memperluas jangkauan hidup sesuai dengan

perkembangan zaman, tanpa harus kehilangan jati dirinya. Ia mampu

mengahadapi moderenisasi dan inovasi dalam berbagai segi kehidupanya.

C. Konsep dan teori Perubahan Kebudayaan

Ketika masyarakat sudah memiliki pengetahuan dan telah banyak

menerima pengaruh dari luar perubahan dalam masyarakat akan nampak begitu

juga dalam kebudayaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto

(1990: 342) bahwa kebudayaan adalah suatu yang kompleks yang mencakup
14

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, moral dan setiap

kemampuan dan kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat. Perubahan-

perubahan kebudayaan adalah perubahan-perubahan dari unsur tersebut.

Uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan

perubahan kebudayan adalah perubahan hasil karya cipta manusia yang

disebabkan semakin kompleksnya suatu masyarakat dalam suatu wilayah.

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dengan sengaja dimaksudkan untuk

menyesuaikan pola kehidupan manusia dalam kelompok masyarakat yang

kompleks.

Perubahan kemampuan mertupakan sifat yang penting dalam kebudayaan

manusia. Tanpa itu, kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan kebudayaan

yang berubah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh A. Haviland (2004: 251)

bahwa kebudayaan pada suatu waktu berubah karena bermacam-macam sebab.

Salah satunya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan yang

bersifat adaptif, sebab lainnya adalah bahwa suatu kebetulan atau karena ada

sebab lainnya.

Selanjutnya menurut Soelaeman (2010: 33) menyebutkan bahwa sebab

terjadinya perubahan masyarakat atau kebudayaan, yaitu:

1. Sebab yang berasal dari masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, seperti

perubahan jumlah dan komposisi penduduk

2. Sebab perubahan lingkungan fisik temnpat mereka hidup. Masyarakat yang

terbuka yang berada dalam jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudyaan

lain cenderung untuk berubah secara lebih cepat.


15

Berdasarkan kedua uraian tersebut di atas kita mendapatkan suatu

kesimpulan bahwa sebab-sebab perubahan kebudayaan dalam masyarakat

disebabkan masyarakat itu sendiri dengan memahami karakteristik kebudyaanya

sendiri yang dapat menimbulkan perubahan cara masyarakat pada umumnya

menafsirkan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaannya dan perubahan yang

disebabkan oleh lingkungan damana masyarakat itu tinggal.

Perubahan sendiri merupakan karakteristik semua kebudayaan, tetapi

tingkat dan arah perubahannya berbeda-beda menurut kebudayaan dan waktunya.

Perubahan kebudayaan bisa lambat atau memakan waktu yang lama dan bisa juga

cepat atau memakan waktu yang relatif singkat.

Proses atau mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayan itu

adalah penemuan baru, difusi, hilangnya unsur kebudayaan atau akulturasi. Factor

yang mempengaruhi cara terlaksananya perubahan-perubahan di dalam kebudayan

mencakup seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya

fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada suatu waktu

tertentu dan terpenting diantara semuannya adalah tingkat kecocokan diantara

unsur-unsur baru kebudayaan yang ada.

D. Konsep Nilai Kebudayaan

Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam

dalam suatu masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan

(believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu

dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau

sedang terjadi. Hal ini sejalan sebagaimana yang dikemukakan oleh


16

Koentjaraninggra (1982: 24) bahwa nilai budaya adalah aspek ideal yang terwujud

dalam konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam pikiran sebahagian besar dari

warga suatu masyarakat mengenai apa yang harus dan dianggap penting dan

berharga dalam hidup.

Lebih lanjut Koentjaraninggrat (2000: 11) mengemukakan bahwa nilai

budaya adalah tingkat yang paling abstrak dari adat terdiri dari konsepsi yang

hidup dalam pikiran sebagian besar dari masyarakat mengenai hal-hal yang harus

mereka anggap amanat bernilai dalam hidupnya. Dalam wujud yang paling

konkret. Aspek nilai budaya ini berupa norma-norm, aturan-aturan hukum yang

menjadi pedoman manusia dalam bertindak dalam berperilaku.

Kedua uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku yang

hidup dalam pikiran masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amanat

bernilai dalam hidupnya, wujudnya dapat berupa adat-istiadat, norma-norma,

aturan-aturan dan hukum yang mengaturt tindak budaya yang ada dan menjadi

pedoman manusia dalam bertindak dan berperilaku.

Nilai budaya yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah nilai budaya

yang hidup dalam pikiran masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap

bernilai dalam hidupnya dan wujudnya dapat berupa adat-istiadat, norma-norma

yang mengatur tindak budaya yang beradap dan menjadi pedoman manusia dalam

bertindak dan berperilaku.

Nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah besar dan

bersifat umum yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan masyarakat.

Nilai budaya itu menjadi acuan tingkah laku sebagian besar anggota masyarakat
17

yang bersangkutan; berada dalam alam pikiran mereka dan sulit untuk diterangkan

secara rasional. Nilai budaya bersifat langgeng, tidak mudah berubah aaupun

tergantikan dengan nilai budaya yang lain. Anggota masyarakat memiliki nilai

sebagai hasil proses belajar sejak masa kanak kanak hingga dewasa yang telah

mendarah daging (Elly dan Usman, 2011: 12)

Setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan

serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam

masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi

tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat

secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

E. Konsep Kearifan Lokal

Dalam kamus Indonesia-English, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari

dua kata yaitu kearifan (wisdom) berarti kebijaksaan dan lokal (local) berarti

setempat (Echols dan Hassan, 2014: 415). Selanjutnya Ridwan (2007: 2)

memaparkan kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami

sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk

bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam

ruang tertentu. Pengertian tersebut, disusun secara etimologi, dimana wisdom

dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya

dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek,

atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai

"kearifan/kebijaksanaan".
18

Selanjutnya Asriati (2012: 111) berpandangan bahwa kearifan lokal

merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan

berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya

berkaitan dengan kehiudupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagai

keseharian dari hidup dan sifatnya baisa-biasa saja). Hal senada disampaikan oleh

Sartini (2014: 29) yang mengatakan bahwa kearifan lokal (wisdom) dapat

dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,

penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota

masyarakatnya.

Adapun menurut Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah sebagai

berikut yang dimaksud dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk

pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau

etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas

ekologis.

Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradsional”

suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan

nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang

berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan

pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” itu

terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang

intangible (Sedyawati, 2007: 382).

Kearifan lokal merupakan pengetahan yang eksplisit yang muncul dari

periode panjang yang berovulusi bersama-sama masyarakat dan lingkunganya


19

dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu

panjang dan melakat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai

sumber energi potensial dalam sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk

hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal

tidak sekedar sebagai acuan tingkah-laku seorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu

mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Dari pendapat para ahli diatas dapat dinyatakan bahwa kearifan lokal

merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus didalam

sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa,

kepercayaan dan kebiasaan sehari-hari.

Secara subtansial, kearifan lokal itu nilai-nilai yang berlaku dalam suatu

masyarakat. nilai-nilai yang diyakini kebenaranya dan menjadi acuan dalam

bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu sangat beralasan

jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan etentitas yang sangat menentukan

harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearfian lokal

yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari

para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan

peradaban masyarakat.

Ridwan (2007: 3) mengatakan bahwa: "akhir dari sedimentasi kearifan

lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama". Dalam masyarakat kita,

kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah,

semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.

Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat


20

yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin

dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu

menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi

bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku

mereka sehari-hari.

Adapun menurut Ahmad (2010: 34) mengemukakan kearifan lokal

merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi

seluruh aspek kehidupan, berupa: (1) Tata aturan yang menyangkut hubungan

antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu

maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan

adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari (2)

Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-

tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam (3) Tata aturan yang

menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh

gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah

(Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka).

F. Penelitian Relevan

Penelitian mengenai kearifan lokal masyarakat telah banyak dibahas oleh

berbagai kalangan baik berbentuk hasil penelitian maupun tugas akhir mahasiswa.

Salah satunya adalah hasil penelitian yang dilakukan La Mani (2012), yang

menulis tentang kearifan lokal masyarakat Pulau Wangi-Wangi Kabupaten

Wakatobi, hasil penelitiannya menunjukan bahwa masyarakat Pulau Wangi-

Wangi Masih memegang teguh kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya.


21

Penelitan lainnya yakni penelitan yang dilakukan oleh Ulfita Arsono

(2014) dangan judul penelitian mengenai nilai-nilai kearifan lokal di kabupaten

sleman untuk pengembangan prinsip-prinsip umum tata kelola pemerintahan yang

baik. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pertama, nilai-nilai kearifan lokal

yang telah dilaksanakan di Kabupaten Sleman telah dituangkan dalam slogan

Sleman Sembada. Kedua, nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman tidak

terlepas dari arus nilai-nilai kearifan lokal yang berasal dari Keraton Yogyakarta

akan tetapi ketiga nilai ini belum dimasukkan dalam produk hukum Kabupaten

Sleman. Nilai-nilai itu yakni; 1) Hamemayu Hayuning Bawana, (2) Sawiji Greget

Sengguh Ora Mingkuh, 3) Semangat Golong Gilig. Ketiga, faktor pendorong

implementasi nilai-nilai kearifan lokal dalam produk-produk hukum di

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten

Sleman yakni nilai-nilai kearifan lokal sesuai dengan karakter dan sifat

masyarakat di Kabupaten Sleman. Sedangkan faktor penghambatnya yakni

pertama, masih terdapat pejabat pemerintahan baik di Pemerintah Daerah

Istimewa Yogyakarta maupun Pemerintah Kabupaten Sleman yang belum

menerapkan budaya pemerintahan, yang kedua penuangan nilai-nilai kearifan

lokal masih tersirat dalam setiap pasal di produk-produk hukum.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih satu bulan yakni dimulai pada

Tanggal 26 Februari sampai dengan Tanggal 26 Maret 2018. Lokasi penelitian ini

adalah Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

strukturis. Dimana dalam pendekatan ini lebih menekankan pada aspek proses

sejarah sebagaimana yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (2014: 139)

bahwa banyak aspek prosesual dapat dimengerti apabila dikaitkan dengan aspek

strukturalnya atau dengan kata lain proses hanya dapat berjalan dalam kerangka

struktural.

C. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitan ini terdiri atas tiga, yakni sumber tertulis, sumber

lisan, dan benda. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Helius

(2007: 62-76) bahwa sumber data penelitian terdiri atas; sumber tertulis, sumber

lisan dan karya seni (benda).

1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh melalui telaah buku-buku sejarah di

lokasi penelitian khususnya skripsi, dan laporan hasil penelitian yang

mendukung perolehan data dalam peneitian ini. Sumber tertulis, peneliti

peroleh di kantor Kecamatan, berupa catatan dokumentasi, kantor kelurahan,

22
23

perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, ruang baca FKIP

dan perpustakaan Universitas Halu Oleo.

2. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui keterangan lisan atau hasil

wawancara dengan informan yang dianggap mengetahui tentang sejarah

budaya Suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kabupaten Bombana. Informan

diantaranya tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, guru, lurah, dan

camat.

3. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung

terhadap benda-benda atau alat-alat yang berkaitan dengan tradisi adat istiadat,

serta bentuk budaya lain yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

D. Heuristik

Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan data sebanyak-

banyaknya dengan menggunakan teknik sebagai benikut:

1. Penelitian kepustakaan, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data

yang diperlukan melalui sumber-sumber tertulis berupa buku-buku yang

relevan dengan penelitian ini.

2. Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui

pengamatan secara sistematis tentang fenomena yang diteliti. Dalam penelitian

ini, peneliti melakukan pengamatan langsung tentang budaya masyarakat

Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang.

3. Wawancara dengan delapan orang informan yang mengetahui permasalahan

yang diteliti.
24

4. Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji

dokumen yang ada hubungannya dengan sejarah budaya masyarakat Bugis di

Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang.

E. Kritik Sumber

Pada tahapan ini peneliti mengadakan penilaian terhadap data yang sudah

terkumpul, khususnya bagi data yang masih diragukan kebenarannya sehingga

bisa didapatkan data yang benar-benar akurat, sehingga dapat dipakai dalam

penulisan sejarah.

Untuk mengkaji keaslian dan kebenaran data tersebut dengan menempuh

cara sebagai berikut:

1. Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap

aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil

dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu,

maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan yang ketat. Atas dasar

berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan

integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang yang dapat

dipercaya. Kesaksian itu harus dapat dipahami dengan jelas. Sebelum sumber-

sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah lima

pertanyaan harus dijawab dengan memuaskan, yaitu: (1) siapa yang

mengatakan itu, (2) apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah

diubah?; (3) apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan

kesaksiannya itu; (4) apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang

saksi mata yang kompeten, apakah ia mengetahui fakta itu; dan (5) apakah
25

saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang

diketahui itu? (Syamsuddin, 2007). Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas

asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu

sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk

mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah

diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal harus

menegakkan fakta dari kesaksian, bahwa: (a) kesaksian itu benar-benar

diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini; dan (b) kesaksian yang telah

diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, tanpa ada suatu tambahan-

tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial.

2. Kritik internal menekankan aspek dalam, yaitu: isi dari sumber kesaksian.

Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, giliran selanjutnya

adalah mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut. Evaluasi didasarkan

atas dua penyelidikan, yaitu: pertama, arti sebenarnya dari kesaksian itu harus

dipahami dengan kata lain sumber informasi harus dipahami dengan baik.

Informan harus jelas menunjukkan kompetensi dan kebenaran. Kedua, penulis

harus menetapkan arti sebenarnya dari kesaksian atau sumber yang

didapatkan.

F. Historiografi

Tahap penulisan sejarah dilakukan dengan merujuk pada Sjamsuddin

(2007: 155) sebagai berikut:

1. Penafsiran, yakni menganalisis dan menyusun sumber-sumber data yang

diperoleh dan menggolongkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya


26

sesuai dengan kenyataan yang ada untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian.

2. Penjelasan, yakni menjeaskan sumber-sumber yang telah diperoleh, baik itu

berupa sumber internal maupun sumber eksternal.

3. Penyajian, yakni dengan melakukan penyajian hasil penelitian tentang aspek

yang diteliti.
BAB IV

GAMBARAN UMUM KELURAHAN BOEPINANG KECAMATAN


POLEANG TENGAH KABUPATEN BOMBANA

A. Keadaan Geografis

Kelurahan Boepinang merupakan salah satu kelurahan di wilayah

Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana. Secara geografi Kelurahan Boepinang

berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kastarib

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Bone.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Palimae.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Boepinang Barat.

(Kecamatan Poleang Dalam Angka, 2017)

Secara umum wilayah Kelurahan Boepinang merupakan dataran dan

pegunungan. Kondisi alam semacam ini, sangat berpotensi besar khususnya dalam

bidang pertanian dan perkebunan dengan iklim dan curah hujan rata-rata 150-300

mm pertahun dan suhu rata-rata berkisar antara 29°C-32°C. Dengan kondisi iklim

seperti ini sangat cocok untuk menanam kelapa maupun coklat (kakao).

Dari uraian tersebut diatas jelas bahwa sebagian besar penduduk

Kelurahan Boepinang menggantungkan hidupnya di bidang pertanian dan

perkebunan. Hal ini sejalan dengan penuturan Kepala Kelurahan Boepinang

bahwa 70% penduduk Kelurahan Boepinang bermata pencaharian sebagai petani

dan perkebunan, dan mereka tergolong sebagai petani yang sukses. Hal ini

didukung oleh kegigihan dan keuletan masyarakat yang pada umumnya berprofesi

27
28

sebagai petani juga memiliki pekerjaan sampingan seperti pedagang (H. Abdul

Syukur, Wawancara 15 Meret 2018).

B. Keadaan Demografis

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kelurahan Boepinang Berdasarkan Golongan


Umur dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Kelompok Umur
No Laki-Laki Perempuan Jumlah
(Tahun)
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa)
1 0-4 49 37 86
2 5-9 112 72 184
3 10-14 138 149 287
4 15-19 79 187 266
5 20-24 178 124 302
6 25-29 139 162 301
7 30-34 98 105 203
8 35-39 168 140 308
9 40-44 122 112 234
10 45-49 131 119 250
11 50-54 56 71 127
12 55-59 47 77 125
13 60 keatas 37 39 76
Jumlah 1.354 1.394 2.748
Sumber Data: Kantor Kelurahan Boepinang Tahun 2017

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan kelompok usia 35-39 tahun

memiliki jumlah yang tinggi sebanyak 308 dan terendah adalah kelompok umur

60 tahun keatas yaitu 76 jiwa dari seluruh jumlah penduduk.

Dilihat dari kelompok umur dan jenis kelamin, maka jumlah yang tertinggi

adalah perempuan sebesar 1394 jiwa, sedangkan laki-laki mencapai 1354 dari

jumlah penduduk Kelurahan Boepinang (2748). Untuk jumlah penduduk yang

tertinggi pada jenis kelamin laki-laki adalah kelompok umur 20-24 tahun yaitu

sebanyak 178 jiwa dan menyusul kelompok umur 35-39 tahun yaitu sebanyak 168
29

jiwa, 25-29 tahun sebanyak 139 jiwa, 10-14 tahun sebanyak 138 jiwa, 44-49 tahun

sebanyak 131 jiwa, 40-44 tahun sebanyak 122 jiwa, 5-9 tahun sebanyak 112 jiwa,

30-34 tahun sebanyak 98 jiwa, 15-19 tahun sebanyak 79 jiwa, 50-54 tahun

sebanyak 56 jiwa, 0-4 tahun sebanyak 49 jiwa, 55-59 tahun sebanyak 47 jiwa,

sedangkan yang paling rendah adalah kelompok umur 60 tahun keatas yaitu

sebanyak 37 jiwa.

Jumlah penduduk yang tertinggi pada jenis kelamin perempuan adalah

kelompok umur 15-19 tahun yaitu sebanyak 187 jiwa dan menyusul kelompok

umur 25-29 tahun sebanyak 162 jiwa, 10-14 tahun sebanyak 149 jiwa, 25-29

tahun sebanyak 140 jiwa, 20-24 tahun sebanyak 124 jiwa, 44-49 tahun sebanyak

119 jiwa, 40-44 tahun sebanyak 112 jiwa, 55-59 tahun sebanyak 77 jiwa, 5-9

tahun sebanyak 72 jiwa, 60 keatas 39 jiwa, sedangkan paling rendah adalah

penduduk perempuan kelompok umur 0-4 tahun yaitu sebanyak 37 jiwa.

Tabel 2. Keadaan Penduduk Kelurahan Boepinang Pada Tahun 2011-2017


Jenis Kelamin
Jumlah Kepadatan
No Tahun
(Jiwa) (Jiwa/Km)
Laki-laki Perempuan
1 2011 1.192 1.205 2.402 65
2 2012 1.259 1.269 2.528 72
3 2013 1.272 1.326 2.598 74
4 2014 1.320 1.369 2.689 76
5 2015 1.331 1.375 2.706 77
6 2016 1.338 1.380 2.718 77
7 2017 1.354 1.394 2.748 78
Sumber Data: Kantor Kelurahan Boepinang Tahun 2017

Berdasarkan tabel tersebut terlihat jelas bahwa penduduk Kelurahan

Boepinang dari 2011-2017 mengalami perkembangan tahap demi tahap.


30

Pertumbuhan penduduk dari tahun 2011 sampai dengan 2017 mengalami

peningkatan lebih 5% pertahunnya.

C. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Kelurahan Boepinang bervariasi sesuai

dengan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Namun

demikian dalam variasi tersebut yang menonjol adalah petani dan perkebunan,

dari jumlah keseluruhan penduduk produktif Kelurahan Boepinang. Untuk lebih

jelasnya mengenai mata pencaharian penduduk Kelurahan Boepinang dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Keadaan Penduduk Kelurahan Boepinang Berdasarkan Mata Pencaharian


No Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)
1 Petani 960 33,4
2 Nelayan 144 6,5
3 Pedagang 841 28,1
4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 150 6,8
5 Lain-Lain 653 25,2
Total 2.748 100
Sumber Data : Kantor Kecamatan Poleang Tengah Kabupaten Bombana Tahun
2017.

Berdasarkan data di atas, mata pencaharian penduduk Kelurahan

Boepinang mayoritas adalah petani sebanyak 960 orang atau 43,3%, Pedagang

menempati urutan kedua dengan jumlah 841 atau 38,1%, sedangkan PNS

menempati urutan ketiga yakni dengan jumlah 150 orang atau 6,8%, serta nelayan

menempati urutan keempat yakni 144 orang atau 6,5% dan sisanya bermata

pencaharian lainnya menempati urutan yang terendah yakni 115 orang atau 5,2%.
31

D. Keadaan Sosial Budaya

1. Agama

Aspek kehidupan masyarakat yang terpenting dalam rangka terciptanya

keselarasan dan keseimbangan dunia dan akhirat kelak adalah bidang keagamaan,

yaitu sejauh mana kondisi masyarakat memahami nilai-nilai agama yang

dianutnya serta kemampuan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sehubungan dengan itu, masyarakat di Kelurahan Boepinang mayoritas

beragama Islam dan hanya sebagian kecil yang beragama Kristen, serta yang

beragama Hindu dan Budha tidak ada. Dalam kehidupan masyarakatnya,

perbedaan agama tersebut bukan merupakan suatu penghambat dalam

menciptakan kerukunan hidup yang harmonis serta keamanan yang kondusif. Hal

ini dapat dilihat dari awal menetapnya di daerah Kelurahan Boepinang dimana

aspek kehidupan sosial masyarakat berjalan dengan baik, tertib, aman dan

harmonis serta selalu rukun dan saling menghormati antar pemeluk agama yang

satu dengan yang lainnya. Lebih jelasnya, keadaan penduduk Kelurahan

Boepinang berdasarkan agamanya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Keadaan Penduduk Kelurahan Boepinang Menurut Agama Tahun 2017


No Jenis Agama Jumlah Persentase (%)
1 Islam 2.747 99,99
2 Kristen 1 0,01
3 Hindu - -
4 Budha - -
Total 2.748 100
Sumber Data: Kantor Kelurahan Boepinang Tahun 2017

Berdasarkan tabel tersebut dapat diuraikan bahwa penduduk Kelurahan

Boepinang yang beragama Islam berjumlah 2747 jiwa atau 99,99%, sedangkan

penduduk yang beragama Kristen berjumlah 1 jiwa atau 0,01%. Penduduk yang
32

beragama Hindu dan Budha tidak ada, dari semua jumlah penduduk Kelurahan

Boepinang.

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu aspek yang menentukan

kemampuan dan cara berpikir petani dan pedagang dalam mengelola usahanya.

Semakin tinggi pendidikan formal petani dan pedagang, maka pengetahuan dan

wawasannya semakin luas serta cara berpikirnya akan semakin rasional. Dengan

demikian, maka baik petani maupun pedagang rataan melanjutkan pendidikan

formal sampai tingkat SLTP. Pada kondisi pendidikan yang demikian petani dan

pedagang memiliki pengetahuan dan wawasan yang terbatas namun jika

pengalaman yang sudah bertahun-tahun maka mereka dapat saja mengelola

usahanya dengan baik.

Tujuan pendidikan di Kecamatan Poleang Tengah umumnya dan

khususnya Kelurahan Boepinang adalah untuk meningkatkan kualitas manusia

yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti dan

jujur, berkepribadian, disiplin dan bekerja keras, bertanggung jawab dan mandiri,

cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Untuk mencapai tujuan

pendidikan tersebut telah lama dibangun fasilitas pendidikan seperti Sekolah

Dasar (SD) dan sekolah guru, perkembangan terus ditingkatkan dan didatangkan

tenaga pengajar dari luar Kecamatan Poleang Tengah seperti dari Poleang

(Boepinang, Kastarib, dan lain-lain).

Berdasarkan keterangan diatas, masyarakat Kelurahan Boepinang dapat

mengetahui bahwa begitu pentingnya bila masyarakat termotivasi dengan


33

kesadaran akan pendidikan yang menunjang keberhasilan pembangunan nasional

yang dipusatkan di daerah-daerah terpencil, hal ini dapat dibuktikan dengan

adanya berbagai fasilitas bangunan sekolah dari tahun ketahun semakin

meningkat.

Secara umum tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Boepinang

bervariasi berdasarkan kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat dalam

melihat dan memilih jalur pendidikan sebagai langkah yang paling efektif dalam

pembangunan peradaban dan kebudayaan mereka.

Pembangunan dibidang pendidikan yang senantiasa diarahkan pada

pencapaian kualitas anak didik yang handal baik dari segi kualitas iman dan taqwa

terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun dari segi kualitas ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagai tujuan untuk meningkatkan kualitas manusia.

3. Kebudayaan

Kebudayaan masyarakat Kelurahan Boepinang menganut kebudayaan

suku Bugis, yang sesungguhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti

mengucapkan tabe’ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat depan

sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iye’ (dalam

bahasa Bugis yang artinya ya), ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta

menyayangi yang muda.

4. Kesenian

Kesenian yang ada di Kelurahan Boepinang tidak begitu menonjol, adapun

kesenian yang dapat ditemui di Kelurahan Boepinang yaitu Tari Paduppa Bosara.
34

Tari Paduppa Bosara merupakan sebuah tarian yang menggambarkan bahwa

orang Bugis yang datang atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari

suku Bugis, orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara

sebagai tanda kehormatan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Kedatangan Masyarakat Suku Bugis di Boepinang

Boepinang merupakan salah satu wilayah Poleang dan merupakan

desa/kelurahan yang paling padat penduduknya. Pada waktu dulu, Poleang

merupakan satu wilayah kecamatan yang sekarang ini telah mekar menjadi tujuh

kecamatan. Wilayah poleang yang ada saat ini merupakan jelmaan dari wilayah

kerajaan Polea pada zaman dulu.

Kerajaan Polea atau Lempombopari diperkirakan berdiri sekitar abad ke

XIV. Kerajaan polea pertama dipimpin oleh seseorang dengan gelar Tamotua

(orang yang dituakan) yang dibantu oleh seseorang dijuluki mbue atau seseorang

sesepuh atau nenek bertugas sebagai dukun. (Rekson, dkk., 2015:249). Kerajaan

Poleang, Moronene, Rumbia, dan Kabaena pada awal mulanya merupakan

federasi dari kerajaan Bone. Akan tetapi imbas perang antara Bone dan Buton

melawan Gowa maka Bone dan Buton mempererat ikatan dengan menukar

wilayah federasi kerajaan. Melalui suatu perjanjian antara sultan Buton VIII

Sultan Mardan Ali, raja Bone, raja-raja Keu Wia, Lembo Pari, Wonua Carambau,

dan Raja Selayar di Lueno Ute Labua maka Kerajaan Poleang, Moronene,

Rumbia, dan Kabaena masuk dalam federasi Kesultanan Buton, dan sebagai

gantinya Kesultanan Buton menyerahkan Kerajaan Selayar. (Rekson, dkk.,

2015:255).

Menurut cerita turun-temurun dari masyarakat Poleang bahwa Poleang

berasal dari kata polea yang berarti “bawaan”. Bawaan yang dimaksud adalah

35
36

benda berupa tanah liat yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan diletakkan di

wilayah kekuasaan Kerajaan Moronene sekitar akhir abad ke-19. Pada awal

kedatangannya, masyarakat Bone diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.

Dalam perkembangan selanjutnya untuk tetap memelihara hubungan baik maka

Suku Bugis dan Suku Moronene melakukan suatu perjanjian yang melahirkan

kesepakatan bahwa para pendatang hanya dapat menempati dan menguasai

wilayah pesisir pantai. Sebagai tandanya, diletakkanlah tanah liat yang dibawa

dari negeri mereka.

Polea merupakan suatu peristiwa penyerahan tanah liat (Tanah Bangkalae)

yang berasal dari Palaka Bone Sulawesi Selatan kepada Sultan Buton kemudian

diberikan kepada Raja Lembo Pari dan diletakan di Wita Nimbula yang lebih

dikenal dengan riwayat Polea atau Mpompolea. Paduan Polea (Mpompolea)

Bahasa Moronene yang berarti menyeberang atau penyeberangan dan Poleangi

dalam Bahasa Bugis yang berarti bawaan maka lahirlah nama Poleang (Rekson,

dkk., 2015:249).

Awal mula kedatangan Suku Bugis di Poleang adalah pada masa

pemerintahan Raja Suu di Moronene sekitar akhir abad ke-19. Utusan Raja Bone

bernama Petta Mangkau datang ke Poleang memberitahukan kabar bahwa

Belanda akan berkuasa di Wilayah Kerajaan Bone bahkan bisa sampai di Kerajaan

Moronene (Tamburaka, 2003:167).

Kemudian Raja Suu mengirim utusan untuk bertemu Raja Bone dengan

tujuan memperjelas maksud dari kerjasama antara dua kerajaan. Setelah mencapai

kesepakatan, maka Raja Bone memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju


37

wilayah Kerajaan Moronene dibekali segenggam Tanah Bangkala. Setelah sampai

di Toburi, rombongan tersebut bertemu dengan Raja Suu dan menyerahkan

segenggam tanah dari Raja Bone. Tanah tersebut ditanam di halaman istana Raja

Suu dan menjadi tanda ikatan persahabatan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan

Moronene (Tamburaka, 2003:167).

Pengiriman warga Kerajaan Bone ke kerajaan Poleang menjadi awal mula

datangnya masyarakat Bugis ke Poleang. Masyarakat Bugis yang datang ke

Poleang pada saat itu telah beranak pinak dan membentuk kampung-kampung di

wilayah Kecamatan Poleang saat ini.

Secara historis nama “Poleang” berasal dan Bahasa Bugis yang berarti

“yang dibawa” atau tanah yang dibawa. Istilah ini muncul sehubungan dengan

kedatangan pertama Orang Bugis di daerah ini yang merupakan witayah yang

tidak berpenghuni, sehingga Orang Bugis merupakan penduduk pertama di

wilayah yang sekarang bernama Poleang yang berarti “Tanah yang dibawa dan

Bone” dan selanjutnya menyampaikan kepada Raja Bone bahwa daerah yang

berada di sebelah Timur Bone yang kemudian disebut “Tanah Lau” atau tanah

kita yang ada di timur, dan merupakan wilayah Kerajaan Bone dan Orang Bugis

Bone yang bertempat tinggal di wilayah Poleang ini merupakan penduduk

Kerajaan Bone (Bone ri Lau), dan sewaktu-waktu Raja Bone menyeberang Teluk

Bone menuju Tanah Lau untuk menangkap rusa dengan jalan “rengngeng

jonga=berburu rusa dengan menunggang kuda serta menggunakan tombak dan

tali untuk menjerat/mengikat di daerah yang sekarang bernama “Lappa

Pajjongang” yang merupakan suatu padang luas tempat hidup banyak rusa liar.
38

Hal ini mengundang perhatian Maddolangeng Daeng Mattengnga untuk dijadikan

sebagai kawasan peternakan kuda dan kerbau pada saat itu. Letaknya berbatasan

di Sebelah Utara dengan Bulu Maccimpolongnge (Bahasa Bugis: gunung yang

berbentuk model sanggul perempuan), di sebelah timur adalah Dataran Laeya, di

sebelah selatan terlentang Teluk Bone (Kampung Baru), di sebelah barat terdapat

sungai kecil bersebelahan dengan Wemputtangnge (Bahasa Bugis: sumber mata

air yang merupakan sungai kecil airnya coklat kemerahan) (Hafid, 2016:45).

Kedatangan para pemukim Bugis yang dipimpin oleh Maddolangeng

Daeng Mattengah sekitar tahun 1906 seusai Perang Bone melawan Belanda atau

Rumpa’na Bone beberapa perahu Orang Bugis mendarat dipantai (kompleks

Kampung Baru) sekarang, menyeberang dan Tanah Bugis ke Tanah Poleang

untuk mencari kehidupan yang lebih baik dengan cara bertani, berdagangan,

menangkap ikan, dan sewaktu-waktu mereka berburu rusa untuk kebutuhan lauk.

Kedatangan inigran Bugis di Tanah Poleang (segenggam tanah yang dibawa dan

seberang Tanah Bugis kemudian disimpan di sekitar Kali Mulaeno tempat mereka

pertama kali berlabuh dan menginjakkan kakinya) kemudian dikenal sebagai Salo

Poleang (Sungai Poleang), selanjutnya diyakini sebagai awal penamaan Tanah

Poleang Bugis yang dikenal sampai sekarang. (Hafid, 2016:45).

Selain dari migrasi yang disebabkan konflik berkepanjangan pada masa

sebelum kemerdekaan, ada juga akibat konflik politik sekitar tahun 1949 setelah

kemerdekaan. Pada masa itu, di Sulawesi Selatan terjadi pemberontakan DI/TII

yang meluas sampai ke daerah Sulawesi Tenggara termasuk di Poleang. Dalam

rangka penggalangan kekuatan, para pimpinan DI/TII melakukan pendekatan


39

tradisi dalam etos kultur “siri dan na-pace”. Perjuangan DI/TII di Poleang

mendapat dukungan masyarakat setempat karena penduduk yang mendiami

wilayah itu adalah warga dari Sulawesi Selatan. Sehingga tidak sedikit para

pejuang DI/TII memilih menetap di Poleang pasca pemberontakan itu ditumpas.

Tradisi lisan lain mengungkapan bahwa di Toburi terdapat sebuah bukit

yang disebut Tanah Poleang atau Tanah Bangkala (tanah yang berwarna

keemasan), yang merupakan simbol tanah leluhur yang dibawa dari Pusat Ibu

Kota Kerajaan Bone yang ada di Watampone. Keyakinan ini menunjukkan bahwa

mereka selalu mengingat akan kampung halaman, sehingga apa saja yang

memiliki kemiripan dengan suatu benda atau tempat, selalu dikaitkan dengan

negeri leluhurnya. (Hafid, 2016:47)

Kedatangan Orang Bugis di wilayah Poleang disebut peristiwa

Mallekkedapureng, yaitu simbolisasi hak kebebasan Orang Bugis untuk

mendorong upaya perbaikan kesalahan, baik disebabkan oleh diri sendiri ataupun

orang lain (dalam hal ini kesalahan yang dibuat Belanda karena ingin menguasai

Kerajaan Bone), dengan cara meninggalkan negeri dan menetap di negeri orang

lain. Di tempat baru itu mereka bekerja dengan baik, diawali dengan mengakui

kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Fenomena tersebut sejalan

dengan filosofi passope (perantau/pelaut) yang disebut mappattepu

(menyelesaikan sesuatu sebelum dilaksanakan), ungkapan, seperti: lettu memekki

nainappaki sompe (yakinkan diri anda sudah tiba di tempat tujuan sebelum anda

berlayar menuju tempat yang dituju). Ungkapan sejenis dinyatakan: pasaniasa


40

jamatta nainappaki moto (selesaikan pekerjaan esok hari sebelum bangun tidur di

waktu subuh).

Adapun rombongan Orang Bugis yang datang kemudian untuk berdagang,

menangkap ikan, bertani dan berburu rusa. Rombongan yang datang selanjutnya,

sebagian dan mereka memilih tidak kembali ke Bone, tetapi menetap di Poleang,

dan berusaha untuk memperbaiki hidup dan menjalin hubungan baik dengan

penduduk yang datang lebih awal dan penduduk yang datang kemudian, mereka

memegang prinsip Perantau Bugis: tegi-tegi sore lopie’ konitu taro sengereng

(dimana saja perahu berlabuh di situlah kita menanam/menyimpan kenangan).

Perkembangan wilayah di Poleang sejak kedatang Orang Bugis zaman

dulu sampai sekarang ini telah memberikan pengaruh yang besar. Beberapa fakta

historis pengaruh Bugis Bone di daerah ini, seperti: Nama Kampung Teppoe’,

yang berarti tanggul/Pematang, Tomampu, Pallimae’, Mulaeno, Pu Lemo, dan

Batu Pute. Demikian pula nama Tongko Seng, yang berarti rumah yang beratap

seng dijadikan Pasanggarahan oleh Orang Belanda, kampung-kampung tersebut

merupakan penamaan Orang Bugis.

B. Filosofi Hidup Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Boepinang


Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana

Setiap orang tentunya harus harus memiliki pandangan hidup, begitu pula

suku bugis di Boepinang. Seperti diketahui bahwa nenek moyang suku bugis di

Boepinang adalah para perantau dari Bone Sulawesi Selatan. Nenek moyang

mereka dikenal sebagai pekerja keras dan merantau jauh untuk mengubah nasib

demi mencapai kesuksesan sejati.


41

Orang Bugis di Boepinang mampu beradaptasi dengan lingkungan orang

Moronene sebagai suku pertama yang mendiami wilayah Bombana. Filosofi hidup

yang dianut adalah “kegasi sanree lopi’e kotisu to taro sengereng”. Filosofi ini

menurut Hammade (58 Tahun) mengandung arti bahwa para perantau Bugis tidak

boleh jumawa, merasa dirinya hebat dan bertindak sesuka hati di negeri rantau.

Perantau Bugis harus mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan

barunya. Ia harus mau menerima dan toleransi dengan adat dan budaya setempat,

setelah ia mampu menyakinkan masyarakat setempat untuk menerimanya sebagai

bagian dari masyarakat itu sendiri. Ibarat pepatah Melayu, dimana bumi di pijak

disana langit dijunjung. Maka falsafah Bugis ini bermakna, dimanapun perahuku

kutambatkan, di sanalah saya menanam budi baik. (Wawancara, Maret 2018)

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari orang bugis di Boepinang

memiliki prinsip kehidupan yang sangat dalam yakni “Siri na Pacce”. Informan

bernama Andi Syamsudin (40 Tahun) menyatakan bahwa prinsip “siri”

mengajarkan bahwa orang Bugis senantiasa merasa malu untuk melakukan

perbuatan yang tidak baik. Bagi mereka pantang untuk melakukan perbuatan

memalukan yang bertentangan dengan norma agama, hukum maupun adat dan

kesopanan. Harga diri bagi orang Bugis merupakan sesuatu yang paling berharga,

sehingga kehilangan harga diri laksana khilangan segala-galanya (Wawancara,

Maret 2018).

Selanjutnya informan bernama H. Abdul Syukur (85 Tahun) menjelaskan

bahwa “pace” merupakan sebuah sikap yang dapat merasakan penderitaan sesama

manusia dan tentunya sikap ini akan senantiasa memunculkan solidaritas bagai
42

sesama manusia. Berpegang teguh pada prinsip kehidupan yang mampu perasakan

pederitaan sesama manusia maka hal itu akan memicu keinginan untuk senantiasa

mengulurkan pertolongan bagi mereka yang membutuhkannya (Wawancara,

Maret 2018).

Kehidupan masyarakat suku Bugis di Boepinang sebagian besar adalah

golongan masyarakat mampu. Dalam bidang perekonomian, masyarakat suku

Bugis menganut filosofi “reso temanginggi naletei pammase puang“. Menurut Hj.

Nyameng (58 Tahun), filosofi itu mengandung arti bahwa di dalam mengarungi

kehidupan, manusia Bugis senantiasa bekerja secara keras, tekun dan pantang

menyerah sehingga keberhasilan akan dicapai karena rahmat Tuhan yang maha

kuasa. Dalam bekerja dan berusaha, pantang berputus asa karena semakin giat

bekerja maka semakin banyak rintangan yang dihadapi. Setiap kegagalan yang

didapat akan mendekatkan kesuksesan karena menurut orang Bugis semua orang

sukses pernah mengalami kegagalan. Hanya dengan kerja keras, setiap usaha pasti

bisa dicapai dan tuhan sangat menyenangi orang yang bekerja keras. (Wawancara,

Maret 2018).

Dalam kehidupan bermasyarakat suku Bugis di Boepinang menganut

filosofi “sipakainga, sipakatau, dan sipakalebbi”. Menurut H. Abdul Syukur (85

Tahun) folosofi ini mengajarkan cara menggapai kesuksesan dan berhubungan

dengan sesama manusia karena kesuksesan tidak akan bisa dicapai tanpa bantuan

dan interaksi dengan orang-orang di sekeliling kita. Dalam menjalin hubungan

dengan manusia termasuk dengan relasi bisnis dan rekan kerja hendaknya kita

senantiasa saling mengingatkan (sipakainga), saling menghormati (sipakatau),


43

dan saling menghargai (sipalalebbi). Jika ketiga sikap ini diterapkan maka

dipastikan urusan akan berjalan mulus. (Wawancara, Maret 2018).

Budaya gotong-royong masyarakat Bugis di Boepinang diwujudkan dalam

filosofi hidup “sipatokkong”. Menurut H. Abdul Syukur (85 Tahun) filosofi

sipatokkong mengandung makna saling bekerja sama/saling membantu. Ketika

ada orang lain yang membutuhkan bantuan kita, tanpa memandang siapa dia tetap

harus dibantu. Musuh sekalipun, jika meminta pertolongan asal tidak

membahayakan diri kita tetap harus diberi pertolongan (Wawancara, Maret 2018).

Karakter orang bugis sebagai pekerja keras, jujur, berani, dan bertanggung

jawab menerapkan filosofi “Taro’ ada’ taro gau”. Menurut Hammade (58 Tahun)

filosofi ini memiliki makna “satu kata satu perbuatan”. Artinya, apa yang

diucapkan itu yang juga dilakukan. Bukan lain yang diucapkan, lain juga yang

dilakukan. Prinsip ini juga merupakan simbol loyalitas terhadap apa yang

menjiwai masyarakat Bugis di Boepinang dalam bertindak (Wawancara, Maret

2018).

C. Sejarah Budaya Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Boepinang


Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang sejarah kedatangan

masyarakat Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang berasal dari Bone

Sulawesi Selatan. Budaya masyarakat Boepinang saat ini adalah Budaya Bugis

yang dibawa oleh nenek moyang mereka dari daerah asal. Terdapat beberapa

budaya yang ada dalam masyarakat Poleang yang masih bertahan sampai saat ini.
44

1. Mappalili

Kedatangan suku Bugis di Boepinang awalnya untuk mencari lahan

pertanian dipimpin oleh Maddolangen Daeng Mattengah, mereka membangun

perumahan di Tepi Pantai Boepinang di sekitar Muara Kali Boepinang dan hidup

berdampingan dengan Suku Bajo. Di Boepinang, Maddolangeng Daeng

Mattengah berkenalan dengan Yapua (salah seorang tokoh masyarakat Moronene)

yang tinggal di Pedalaman Boepinang yaitu disekitar perkampungan Tari-Tari dan

Naee. Oleh Yapua, masyarakat yang dipimpin oleh Maddolangeng Daeng

Mattengah diberi lahan pertanian di padang rumput yang luas bagian pedalaman

Boepinang. Setiap kepala keluarga mendapat satu hektar dan Maddolangeng

Daeng Mattengah sebagai pimpinan mendapatkan sisa pembagian dari anggota

kelompoknya. Sisa lahan pembagian tersebut sangat luas, oleh Madolangeng

padang rumput yang luas itu dijadikan tempat berternak kuda (Hafid, 2016: 47).

Masyarakat bugis yang mendapat lahan pertanian mulai mengolah lahan

pertanian untuk perkebunan padi ladang. Setelah lahannya bersih, disiapkan ritual

mappalili untuk mulai menanam padi. Ritual ini merupakan ritual menanam padi

pertama masyarakat Bugis di Boepinang.

Mappalili berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga

tanaman padi dari hama atau penyakit. Mappalili adalah ritual turun-temurun yang

dipegang oleh masyarakat Bugis di Beopinang. Mappalili adalah tanda untuk

mulai menanam padi. Acara adat Mappalili yang digelar selama tiga hari, diawali

dengan acara "atteddu arajang" atau membangunkan alat pembajak yang bertuah,
45

kemudian "arajang ri'alu" atau mengarak pembajak sawah keliling kampung

diiringi musik tradisional dan pemangku adat yang menggunakan baju adat.

Pada hari pertama upacara Mappalili dimulai pada siang hari yakni pukul

11.30 (attangngallo), pada waktu tersebut drum tradisional di Pacce'lang

dibunyikan. Selanjutnya pada pukul 17.30 menuju Maghrib, Assa'ra Allo dengan

drum tradisional. Acara selanjutnya dilakukan pada 20.00 setelah shalat Isya, diisi

dengan pertunjukan masyarakat. Attoeng (gadis-gadis memakai baju bodo) menari

Pakarena Bura'ne, masyarakat yang hadir disuguhkan kue tradisional. Acara ini

dilakukan sampai pagi hari tanpa tidur.

Pada hari kedua, setelah shalat Subuh, dilakukan Pinati (sanro/perias)

dengan diriingi oleh drum tradisional mengumpulkan personil Palili sebanyak 41

orang. Tepat pukul 05:30, para rombongan dari Palili pergi ke sawah

Kalompoang di Pacce'lang. Rombongan dipimpin oleh Pinati Male.

Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak

sawah. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan dua acara sebelumnya. Karena

setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti acara siram-siraman air sebagai

bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan masyarakat setempat. Setelah itu, proses

selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni mengambil air di sungai dan

batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat.

2. Mapadendang

Mapadendang atau yang lebih dikenal dengan “pesta tani” merupakan

suatu pesta syukur atas keberhasilan dalam menanam padi kepada yang maha

kuasa. Mapadendang sendiri merupakan suatu pesta yang diadaakan secara besar-
46

besaran. Yakni acara penumbukan gabah pada lesung dengan tongkat besar

sebagai penumbuknya. Acara mapadendang sendiri juga memiliki nilai magis

yang lain. Disebut juga sebagai pensucian gabah yang dalam artian masih terikat

dengan batangnya dan terhubung dengan tanah menjadi ase (beras) yang nantinya

akan menyatu dengan manusianya. Olehnya itu, perlu dilakukan pensucian agar

lebih berberkah.

Acara semacam ini tidak hanya sekedar menumbuk saja. Alur ceritanya

bahwa para ibu-ibu rumah tangga dekat rumah akan diundang lalu mulai

menumbuk. Dengan nada dan tempo yang teratur, ibu-ibu tersebut pun kadang

menyanyikan beberapa lagu yang masih terkait dengan apa yang mereka kerjakan.

Sedangkan anak-anak mereka bermain disamping atau di bawah rumah.

Acara adat ini dulu umumnya dilakukan oleh masyarakat-masyarakat di

berbagai daerah, begitu selesai mereka lalu menjemur dibawah terik matahari.

Kegiatan ini merupakan hal yang sangat sering dilakukan oleh para petani orang

bugis. Dikenal juga Manre ase baru yang merupakan lanjutan setelah

mapadendang.

Mapadendang dilaksanakan setelah panen raya biasanya memasuki musim

kemarau pada malam hari saat bulan purnama. Pada dasarnya mapadendang

berupa bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk

padi. Komponen utama dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga,

lesung, alu, dan pakaian tradisional yaitu baju bodo.

Pesta ini merupakan bentuk pagelaran seni tradisional karena merupakan

sebuah pertunjukan unik yang menghasilkan bunyian irama teratur atau nada dari
47

kelihaian pemain. Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga disebut

Pakkindona, sedang pria yang menari dan menabur bagian ujung lesung disebut

Pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki pagar yang terbuat

dari anyaman bambu yang disebut Walasoji.

Pakaian yang dikenakan pada saat mapadendang, biasanya mengenakan

pakaian adat. Bagi wanita diwajibkan untuk memakai baju bodo. Laki-laki

memakai lilit kepala serta berbaju hitam, seluar lutut kemudian melilitkan kain

sarung hitam bercorak. Alat yang digunakan dalam Mapadendang seperti: Lesung

panjangnya berukuran kurang lebih 1,5 meter dan maksimal 3 meter, lebarnya 50

cm. Bentuk lesungnya mirip perahu kecil, namun berbentuk persegi panjang.

Enam batang alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras atau pun

bambu berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang berukuran

pendek, kira-kira panjangnya setengah meter.

Personil yang bertugas dalam memainkan seni menumbuk lensung ini atau

mapadendang dipimpin oleh dua orang, masing-masing berada di ulu atau kepala

lesung guna mengatur ritme dan tempo irama dengan menggunakan alat

penumbuk yang berukuran pendek tersebut di atas, biasanya yang menjadi

pengatur ritme adalah mereka yang berpengalaman. Sedangkan menumbuk di

badan lesung adalah mereka perempuan atau laki-laki yang sudah mahir dengan

menggunakan bambu atau kayu yang berukuran setinggi badan orang atau

penumbuknya.

Seiring dengan nada yang lahir dari kepiawaian para penumbuk, biasanya

dua orang laki-laki melakukan tari pakarena. Isi lesung yang ditumbuk berisi
48

dengan gabah atau padi ketan putih/hitam yang masih muda dan biasanya kalau

musim panen tidak dijumpai lagi padi muda, maka biasanya padi tua yang diambil

sebagai pengganti, akan tetapi sebelum ditumbuk padi itu terlebidahulu direbus

selama 5 sampai 10 menit atau direndam air mendidih selama 30 menit kemudian

disangrai dengan menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat tanpa

menggunakan minyak dengan memakai api dari hasil pembakaran kayu.

Setelah ditumbuk sampai terpisah dengan kulitnya barulah perempuan

menampanya memakai alat pattapi yang terbuat dari anyaman bambu dan rotan

yang berdiameter seperti tudung saji di bawah sinar rembulan dan cahaya dari

sulo atau lampu penerangan yang terbuat dari bambu/obor minyak tanah.

Kalau hasil tumbukan dari prosesi mapadendang benar-benar dianggap

bersih karena sudah dipisahkan antara padi dan kulitnya, maka perempuan lainnya

menyiapkan kelapa habis diparut dan gula merah yang sudah diperhalus kemudian

dicampur menjadi satu bersama dengan nasi dari padi yang telah ditumbuk. Maka

terbuatlah satu penganan atau racikan kue tradisional yang dikenal dengan nama

laulung.

Saat musim panen tiba para warga biasanya memotong ujung batang padi

dengan ani-ani, yang menyerupai sebuah pisau pemotong berukuran kecil.

Biasanya setelah terkumpul lantas padi hasil panenan itu dirontokkan dengan cara

menumbuk dalam sebuah lesung. Suara benturan antara kayu penumbuk, yang

disebut alu, dan lesung ini biasanya terdengar nyaring. Membentuk irama ketukan

yang khas rancak bertalu-talu. Gerakan dan bunyi tumbukan berirama inilah yang

menjadi asal-usul seni mapadendang.


49

Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi bolla,

sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar

tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq,

membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika

panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan

kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan

Mapadendang.

Komponen utama dalam ritual mapadendang dimainkan enam perempuan,

dan tiga pria, atau secara berpasang-pasangan, petani saling berhadapan dengan

masing-masing alu di tangan. Diiringi tabuhan rebana, petikan kacapi dan suling

bambu khas suku Bugis, petani mulai memecah biji padi yang telah ditelakkan ke

dalam pallungeng, sambil sesekali memukul badan lesung mengikuti irama

rebana.

Hasil wawancara peneliti dengan tokoh masyarakat Boepinang Abdul

Syukur (85 Tahun) menyatakan bahwa: Pada saat memecah biji padi itulah, ada

nilai kearifan dan bersamaan yang tercipta. Dalam budaya ini, strata antara

pemilik sawah maupun buruhnya, sama. Petani yang memiliki sawah luas atau

hanya sepetak pun, di ritual ini dianggap tidak ada bedanya. (Wawancara, 3 Maret

2018)

Hal yang sama dikatakan oleh tokoh masyarakat Boepinang yang lain

bernama Syamsuddin (40 Tahun) yang menyatakan bahwa: Sangat penting

menjaga dan melestarikan seni serta budaya daerah. Pemerintah daerah, harus

konsisten menjadikan ritual pesta panen mapadendang menjadi program budaya


50

tahunan dalam rangka memelihara nilai-nilai seni budaya. Mapadendang harus di

jadikan kalender even pariwisata dalam rangka melestarikan nilai-nilai kearifan

lokal serta peningkatan kepariwisataan. (Wawancara, 4 Maret 2018)

Ritual mapadendang sebenarnya bukan hanya dikenal di daerah

Boepinang. Di sejumlah tempat di Poleang yang penduduknya bergantung dari

hasil usaha bertani umumnya mengenal ritual bercocok tanam. Mulai dari turun ke

sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara mappalili

sebelum pembajakan tanah. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit

padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan

untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya.

3. Macceratasi

Acara Macceratasi atau pesta laut adalah salah satu manifestasi budaya

masyarakat Bugis Boepinang mengenai hubungan antara umat manusia dengan

Tuhan maupun dengan seluruh makhluk hidup dan lingkungan hidupnya di alam

ini. Macceratasi ini adalah salah satu acara mengucapkan doa syukur atas nikmat

dan rejeki dari hasil laut yang melimpah sebagai karunia dari Tuhan maha esa.

Acara ini dilakukan ditepi pantai tepat pada garis pantai pada saat pasang

surut yang terjauh. Dan merupakan batas pertemuan antara dua lingkungan hidup

atau ekologi yaitu pertemuan antara habitat daratan dengan habitat lautan. Di

dalam acara ini hubungan fungsional antara setiap mahluk hidup, baik manusia

maupun flora dan fauna, dengan seluruh isi alam ini akan ditata kembali dan akan

ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya secara harmonis, atau mengikuti


51

ketentuan-ketentuan adat yang sakral, yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai

suatu hukum alam yang harus dipatuhi.

Prosesi utarna Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing, dan

ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan

darah bagi kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang

tinggal sekitar pantai dan sekitarnya, berharap mendapatkan rezeki yang

melimpah dari kehidupan laut.

Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut.

Itulah bagian utama dari prosesi Upacara Adat Macceratasi. Kendati intinya

hampir sama dengan upacara laut yang biasa dilakukan masyarakat nelayan

tradisional lainnya. Namun upacara adat yang satu ini punya hiburan tersendiri.

Sebelum Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung

Tawar untuk meminta berkah kepada Allah SWT. Sehari kemudian diadakan

pelepasan perahu Bagang dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas

beramai-ramai oleh nelayan bagang, baik dari Suku Bugis, Mandar maupun

Banjar. Keseluruhan upacara adat ini sekaligus melambangkan kerekatan

kekeluargaan antarnelayan.

Untuk meramaikan upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa

kesenian hadrah, musik tradisional, dan atraksi pencak silat. Usai pelepasan

bagang, ditampilkan atraksi meniti di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki

Suku Bajau.

Dengan demikian diharapkan akan terhindar dari timbulnya Bencana dan

akan terciptalah kosmos atau keteraturan yang serasi, sehingga terciptalah


52

keseimbangan abadi di alam ini yang merupakan manifestasi yang hakiki dari

existensi Allah Subhana Wa Ta'ala.

4. Aqiqah

Aqiqah dalam agama Islam merupakan penyembelihan kambing untuk

bayi yang baru lahir, satu ekor kambing untuk perempuan dan dua ekor kambing

untuk laki-laki yang dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran bayi sebagai

ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat kelahiran sang buah hati

tersebut.

Bayi yang baru lahir tersebut disediakan dua ekor ayam yang masih muda

yang menjadi simbol bayi diharapkan bisa bertumbuh dengan baik dan cepat serta

sebutir telur ayam yang menjadi pengharapan asupan gizi sang bayi selama

pertumbuhan selalu terjaga. Untuk lebih mengenalkan diri dengan lingkungan,

saat prosesi aqiqah, dahi bayi dan ibunya pun disentuhkan dengan ayam-ayam

tersebut. Selain itu disediakan pula sebuah kelapa muda yang dibuka dan airnya

digunakan untuk membasahi gunting guna memotong rambut sang bayi. Kelapa

muda melambangkan sebuah kesegaran, kemudaan, dan kesehatan yang

diharapkan selalu menyertai kehidupan anak yang dilahirkan tersebut.

Aqiqah bagi keluarga yang mampu, dilakukan sedini mungkin misalnya :

hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Pada upacara ini ada 2 tata-cara pokok yaitu:

pemotongan hewan dan pembacaan Barzanji. Kemudian beberapa cara yang

sering dikaitkan yaitu: pemberian/peresmian nama dan pengguntingan rambut.

Persiapan-persiapan yang diperlukan pada upacara ini antara lain: kue, songkol,

pisang berbagai jenis. Kemudian alat-alat antara lain: gunting, kelapa muda yang
53

telah dilubangi, patties atau lilin, dan dupa. Pemotongan hewan bagi anak laki-

laki dianjurkan dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat,

sedangakan anak wanita dianjurkan 1 ekor, juga dewasa, jantan dan sehat. Secara

tradisional pemotongan ini dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak

bala dari gangguan roh-roh jahat. Pembacaan Barzanji pada saat dupa dan lilin

dibakar, Barzanji mulai dibaca, anak yang telah diaqikah ditimang oleh dukun

beranak atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di sekitar pembaca Barzanji.

Saat bacaan tiba pada kalimat “Asyarakal Badru Alaina”, ibu yang memangku si

bayi diangkat ke tengah-tengah para penggunting yang telah diundang untuk acara

tersebut selanjutnya rambut bayi digunting atau dipotong.

Di Boepinang yang didominasi oleh suku Bugis, syukuran aqiqah ini

sangat kental dengan makna penyelamatan lingkungan dan pesan moral agar

melihat dalam perspektif jangka panjang sampai lintas generasi, bukan berfikir

secara instan sehingga kelahiran sebuah generasi baru tidak merusak atau

membebani alam sekaligus menjaga tradisi gotong royong dan memelihara

kekerabatan.

Terdapat perbedaan persyaratan bagi bayi yang masih keluarga bangsawan

dengan gelar karaeng, andi, atau daeng, dengan masyarakat biasa. Sebagai anak

yang masih memiliki darah bangsawan, ia diwajibkan untuk menyediakan bibit

kelapa. Dalam acara aqiqah, bibit kelapa tersebut dihias dengan indah dan ditaruh

dalam kamar bayi. Beras yang ditaruh dalam baskom juga dihias dengan bentuk

kepala manusia.
54

Penanaman kelapa ini merupakan upaya agar bayi yang baru lahir telah

dipersiapkan sebagian dari kebutuhan hidupnya. Kelapa, buah yang bermanfaat

dari akar sampai ujung daun tersebut akan berbuah ketika sang bayi sudah

menginjak remaja yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidupnya.

Terdapat pesan moral yang penting bahwa segala sesuatu telah dipersiapkan bagi

kehidupan bayi dalam perspektif jangka panjang dan tidak merusak alam.

Bayi yang baru lahir juga disediakan dua ekor ayam yang masih usia muda

dan sebutir telur ayam. Ayam merupakan binatang yang bisa berkembang biak

dengan cepat dan memiliki nilai gizi yang sangat bagus. Untuk mengenalkan diri

dengan binatang, saat prosesi aqiqah, dahi bayi dan ibunya disentuhkan dengan

ayam-ayam tersebut.

Selain itu disediakan pula sebuah kelapa muda yang dibuka dan airnya

digunakan untuk membasahi gunting guna memotong rambut sang bayi. Kelapa

muda melambangkan sebuah kesegaran, kemudaan, dan kesehatan yang

diharapkan selalu menyertai kehidupan anak yang dilahirkan tersebut. Sebelas

lilin kecil merupakan simbol agar kehidupannya selalu diliputi jalan terang.

Dua potong gula merah juga disediakan sebagai simbolisasi agar

kehidupan anak tersebut selalu manis, menyenangkan, dan penuh kegembiraan.

Ditambah pula dengan dua buah pala yang berisi pengharapan agar bayi tersebut

bisa bermanfaat bagi orang lain. Ia akan selalu ada ketika orang lain

membutuhkannya.

Tak ketinggalan, sebuah tasbih dengan sebuah cincin emas yang

dicelupkan ke air kemudian disentuhkan di dahi menunjukkan agar ajaran agama


55

selalu menjadi pegangan dalam seluruh kehidupannya. Untuk menambah suasana,

dinyalakan pula dupa untuk wewangian dalam prosesi potong rambut bayi yang

dilakukan oleh dukun bayi terlatih yang telah membantu merawat bayi.

Bagi dukun bayi, mereka diberi sedekah berupa 12 macam jenis kue yang

ditaruh dalam satu nampan, 8 liter beras dan uang 20 ribu rupiah yang dibawa

pulang setelah prosesi tersebut selesai. Ari-ari yang merupakan bagian tubuh bayi

saat dilahirkan menjadi bagian penting. Setelah dicuci, ari-ari tersebut ditanam

dengan harapan agar bayi tersebut selalu ingat akan kampung halaman dimana ia

dilahirkan.

Pembacaan barasanji atau syair Barzanji juga umum diselenggarakan pada

malam aqiqah. Pada acara tersebut rambut bayi dipotong dan ada pula pembagian

minyak wangi kepada jamaah yang membacakan syair-syair pujian kepada

Rasulullah. Perayaan aqiqah diselenggarakan cukup meriah. Pada acara tersebut

kerabat dan relasi diundang. Keluarga dekat telah berdatangan sehari sebelumnya

untuk membantu menyiapkan pesta. Para tamu yang datang biasanya memberikan

sumbangan atau kado untuk bayi. Tamu-tamu juga turut melihat si kecil yang kini

telah menjadi anggota baru dalam keluarga tersebut.

5. Mabbarasanji

Bukti nyata dan sikap kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis

dapat kita lihat dalam tradisi-tradisi keislaman yang berkembang di kalangan

masyarakat Bugis. Seperti mengganti pembacaan kitab La Galigo dengan tradisi

pembacaan Barzanji, sebuah kitab yang berisi sejarah kehidupan Nabi


56

Muhammad SAW, dalam setiap hajatan dan acara, doa-doa selamatan, bahkan

ketika membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya.

Tradisi pembacaan kitab Barzanji sebenarnya bukanlah hal yang wajib

dilakukan oleh umat Islam atau pun sebuah ritual yang harus dilakukan di setiap

hari kelahiran Nabi. Barzanji hanya dilakukan untuk mengambil hikmah dan

meningkatkan kecintaan umat terhadap nabinya, menjadikannya suri tauladan

dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi Barzanji di Indonesia sudah merupakan hal

yang lazim dilakukan oleh masyarakatnya. Pembacaan kitab Barzanji pun tidak

hanya dilakukan pada saat perayaan hari kelahiran nabi saja, tetapi juga dilakukan

ketika merayakan kelahiran anak, khitanan, perkawinan, dan sebagainya.

Tujuannya memohon berkah kepada Allah agar apa yang dihajatkan terkabul.

Pembacaan Barzanji merupakan bentuk budaya Islam, sedangkan jenis

makanan yang disajikan sebelum dan saat pembacaan Barzanji pada upacara

Menre Aji merupakan bentuk kebudayaan pra-Islam.

Jenis makanan tersebut juga tidak begitu beda dengan sajian makanan

perayaan masyarakat to-Lotang yang bukan Islam.Tradisi Barzanji masyarakat

Bugis memang unik dibanding tradisi Barzanji yang dilakukan oleh masyarakat di

daerah lain yang ada di Indonesia. Keunikannya terletak pada Barzanji yang

dianggap sakral oleh masyarakat setempat, yang harus dilaksanakan di setiap

upacara adat mereka, serta adanya akulturasi Islam dan pra-Islam pada tradisi

tersebut. Hal inilah yang menarik untuk diteliti dan diadakan penelusuran lebih

jauh mengenai tradisi Barzanji.


57

Hal ini terjadi pula pada Perayaan Hari - hari besar islam dengan nuansa

dan warna sinkretisme, seperti perayaan maulid Nabi Muhammad SAW dengan

rentetan acaranya sebagai berikut: appakarammula, ammone baku, ammode’

baku, angngantara kanre maudu’, pannarimang kanre maudu’, a’rate (assikkiri’),

pammacang salawa, pattoanang, pabbageang kanre maudu. Perayaan hari-hari

besar islam yang juga menghadirkan pembacaan “zikkiri-Barazanji”, selain

Maulid Nabi adalah: Isra Mi’raj, Sepuluh Muharram, bahkan pada hari raya Idul

Fitri dan Idul Adha, masih banyak masyarakat menyelenggarakan Barzanji atau

mengundang “pabaca doang” (Pembaca Doa, biasanya imam kampung atau

anrong guru ke rumahnya untuk membacakan segala jenis dan rupa makanan,

yang diiringi bau asap kemenyan.

6. Mappacci

Mappacci adalah kata kerja dari “Mapaccing” yang berarti bersih.

Mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis,

Mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk

membersihkan segala sesuatu.

Prosesi Mappacci biasa dikenal dengan malam pacar merupakan budaya

Adat Bugis yang sudah menjadi keharusan untuk dilakukan bagi keturunan darah

Bugis. Prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis dilaksanakan pada saat menjelang

acara akad nikah atau ijab kabul keesokan harinya. Mappacci adalah salah satu

upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar atau

Pacci. Menggunakan daun Pacci ini berhubungan dengan kata paccing yang

dalam bahasa Bugis memiliki arti kesucian dan jiwa yang bersih.
58

Sebelum menghiasi tangan calon pengantin wanita dengan daun pacci,

prosesi ini didahului dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji.

Dengan begitu prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis ini terasa lebih sakral dan

khidmat. Hal itu juga yang mengartikan Mapacci juga sebagai simbol akan

kebersihan raga dan kesucian jiwa.

Prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis ini tidak bisa dilakukan

sembarangan, karena memiliki urutan dan tata caranya sendiri, seperti berikut:

Prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis yang pertama dilakukan dengan

penjemputan mempelai atau yang biasa disebut padduppa dalam adat Bugis untuk

menuju pelaminan. Saat calon pengantin wanita sudah berada di pelaminan,

pengantin akan dipersilahkan duduk berdekatan di sisi para pendamping.

Kemudian prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis dimulai dengan

perlengkapan yang telah disiapkan sebelumnya. Sebuah bantal atau pengalas

kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna

penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti

mappakalebbi. Sarung sutera 7 lembar yang disusun di atas bantal. Ini

menyimbolkan harga diri. Pucuk daun pisang yang diletakan diatas bantal yang

melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari. Di atas pucuk

daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai

permakna sebuah harapan. Sebuah piring yang berisi wenno, yaitu beras yang

disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik

Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang atau simbol

kehidupan yang senantiasa rukun. Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari
59

kebersihan dan kesucian sang mempelai wanita yang akan segera menempuh

hidup baru di keesokan harinya. Daun pacci yang menjadi bahan utama

sebelumnya sudah dihaluskan dan disimpan dalam wadah bekkeng. Ini

mengartikan kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan

kehidupan masayarakat. Saat meletakan daun pacci ke tangan calon pengantin

wanita biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kehidupan rumah

tangga yang bahagia.

Uniknya diprosesi adalah jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan

calon pengantin wanita disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu

sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam

istilah Bugis duakkaséra. Dan bagi golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x

7 orang atau duappitu. Sedangkan untuk golongan yang berada di bawahnya bisa

1 x 9 atau 1 x 7 orang.

Cara pemberian pacci ke tangan calon mempelai dengan mengambil

sedikit daun pacci yang telah dihaluskan dan dibentuk bulat, lalu diletakkan daun

dan diusap ke tangan calon mempelai. Dimulai dengan telapak tangan kanan,

kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai

kelak dapat hidup dengan bahagia.

Sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang telah memberikan pacci

diberikan rokok. Pada jaman dahulu pemberian rokok tidak ada dan diganti

dengan pemberian sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya.

Tetapi karena saat ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti

dengan rokok.
60

Mappacci merupakah budaya khas adat Bugis di Boepinang Kecamatan

Poleang. Prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis yang sakral dan penuh dengan

kesucian ini membuat suasana dalam prosesi sangat khidmat dan sakral. Begitu

pula dengan tahapan-tahapan prosesinya yang tidak sembarangan dilakukan,

sehinga dilakukan langsung oleh pemimpin acara yang benar-benar memahami

prosesi Mappacci pernikahan adat Bugis ini

7. Ammateang

Upacara adat ammateang atau upacara adat kematian yang dalam adat

Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang

dalam suatu kampung meninggal dunia. Keluarga dan kerabat dekat maupun

kerabat yang jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang

meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya

membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang

seperti sarung atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang

membawa pussolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita).

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat,

yaitu mabbolo (menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan

tahlil), maggoso’ (menggosok bagian-bagian tubuh mayat), makkoti’

(membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah

seorang anggota keluarga seperti anak, adik atau oleh orang tuanya) dan

mappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat).

Orang-orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa

pakaian si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain
61

sebagainya. Ini menjadi hal unik di mana orang yang memandi mayat akan

mendapat imbalan dari kelurga duka berupa barang orang yang meniggal.

Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan

kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu imam dan beberapa

pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan ajaran Islam. Sementara

diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng (usungan mayat) atau

keranda. Dalam tradisi bugis di kampung saya keranda hanya sekali pakai atau

tidak di simpan lagi.ulereng/keranda ini untuk golongan tau samara (orang

kebanyakan) pada kalangan umum sedangkan ada istilah Walasuji (untuk

golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Walasuji atau baruga bermotif segi

empat belah ketupat ini sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban

masyarakat Bugis.

Bersamaan dengan pembuatan ulereng/keranda bagian bawah, dibuat

pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk lengkungan panjang

sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan liang lahat apabila

jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai

dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat,

maka jenazah pun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan

diatas ulereng.

Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik dimana

dilihat dari tata caranya yang masih di lestarikan masyarakat bugis dahulu.

Ulereng/beranda bagian bawah diangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil

melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah kemudian


62

dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan pengantar

dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-gantian

mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan

pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/

berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar jenazah

hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang

yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat

segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian

meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke

wajah jenazah sebagai tandasiame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah

itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan talkin

dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan

malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah kelapa yang

telah dibelah dua dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung

dan cekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama orang

Bugis, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya

masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas

kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal,

sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol

keturunan.

Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan, yaitu imam

atau ustadz dipesankan oleh keluarga orang yang sudah meninggal itu agar

melanjutkan dengan ceramah dikuburan sebelum rombongan/pelayat pulang dari


63

kuburan. Ceramah atau pesan-pesan agama yang umumnya disampaikan sekaitan

dengan kematian dan persiapan menghadapi kematian, bahwa kematian itu pasti

akan menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya

mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan kebahagian

didunia maupun di akherat, maka seseorang harus mengisi hari-hari kehidupannya

dengan berbuat baik dan amal kebajikan sebanyak mungkin. Sebelum rombongan

pengiring mayat pulang,biasanya pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan

terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah. Semalaman, di rumah

duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca al-Quran secara

bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu upacara selamatan sekaligus

penghitungan hari kematian yang dihitung mulai dari hari penguburan

jenazah.Biasa dalakukan selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang

ini, upacara bilampenni sudah bergeser namanya menjadi tiga malam

saja. Bilampenni yang dilaksanakan dalam tiga malam itu lebih sering dipakai

masyarakat bugis dan dalam tiga malam itu. Keluarga yang berduka setiap tiga

malam selalu menyediakan makan berupa nasi dan lauk-pauk pada sore hari yang

diwadahi dalam baki atau wadah besar/nampan besar yang disimpan dekat posi

bola atau pusat tiang rumah. Makanan yang ada dalam baki itu biasanya dimakan

oleh keluarga sendiri seperti anaknya, cucu-cucunya. Sebagai penutup dalam

bilampenni yaitu, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji, dilanjutkan santap

siang bersama kerabat-kerabat yang diundang.

Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka

beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari
64

keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat

yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini dilakukan penyembelihan sapi.

8. Marraga

Marraga termasuk jenis permainan yang memadukan unsur olahraga dan

seni. Permainan ini mirip olah raga sepak takraw. Marraga memerlukan

kecekatan, ketangkasan dan kelincahan. Permainan yang berasal dari malaka ini,

konon hanya dimainkan oleh para bangsawan Bugis pada saat diadakan upacara-

upacara resmo kerajaan seperti, pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan.

Dewasa ini marraga bukan hanya dimainkan oleh para bangsawan, tetapi juga

oleh orang kebanyakan.

Marrraga umumnya dimainkan oleh pria, baik remaja maupun

dewasa.dalam satu permainan jumlah permainnya 5-15 orang. Permainan

dilakukan pada sebidang tanah datar yang permukaannya dibuat lingkaran dengan

garis tengah minimal 6 meter. Perlatan yang digunakan adalah raga, yaitu sejenis

bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam.

Alat ini umumnya berdiameter 15 cm. Adakalanya gendang di pergunakan untuk

mengiringi jalannya permainan.

Permainan marraga dapat dikatakan sederhana, yaitu permain (jika

menerima raga dari permain lain) harus melambungkan raga tersebut agar jangan

sampai terjatuh sebelum dioperkan pada permain lainnya. Cara melambungkan

raga adalah dengan menggunakan kaki, tangan, bahu, dada dan anggota tubuh

lainnya, tetapi tidak boleh dipegang. Tinggi rendahanya lambungan raga ada yang

dapat mencapai 3 meter dari permukaan tanah secara tegak (sempak


65

sarring/anrong sempak); ada yang sedikit melampaui kepala (sepak biasa); dan

ada yang dibawah pusar (sempak caddi). Hal itu tergantung dari keahlian dan

keinginan permain.orang yang dianggap mahir (niak sempakna atau niak belona),

selain dapat mempertahankan raga agar tidak jatuh ke tanah, juga dapat

melambungkan raga sesuai dengan persyaratan permaianan (bajiki anring

sempakna), yaitu: pintar mengambil raga, disiplin dan mampu menghidupkan

suasana bermain (caraddeko anggalle raga), sepakannya bervariasi dan sulit ditiru

oleh pemain lainnya (jai sempak masagalana).

Sebelum permainan dimulai, para pemain berdiri membentuk lingkaran.

Salah seorang pemain (termahir) memegang raga kemudian melambungkannya.

Pemain yang posisinya pas dengan jatuhnya raga, maka dia yang harus memulai

permainan. Selanjutnya, raga dioperkan pada pemain lain dalam lingkaran

tersebut, demikianlah secara bergiliran.

Nilai yang terkandung dalam permainan marraga adalah kerja sama,

kecermatan, demokrasi dan sportivitas. Nilai kerja keras dan kerja sama tercermin

dari usaha para permain untuk menjaga dengan berbagai macam cara agar raga

tidak jatuh ke tanah. Nilai kecermatan tercermin dari usaha permain untuk

menyepak raga ke sasaran yang dituju, sehingga raga tidak keluar dari arena

permainan. Nilai demokrasi tercermin dari tidak adanya monopoli atau

penyerobotan kesempatan pemain lain. Para pemain diberi kesempatan untuk

menunjukkan keahliannya dan nilai sportivitas tercermin dari pemain yang dengan

lapang dada keluar arena karena menjatuhkan raga ke tanah.


66

9. Maggasing (Gasing)

Maggasing adalah penamaan dalam bahasa Bugis, sedangkan dalam

bahasa Indonesia umumnya dikenal dengan bermain gasing. Penamaan permainan

ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan dalam bermain yaitu gasing.

Jumlah pemain Maggasing adalah dua sampai enam orang. Secara umum

Maggasing dimainkan oleh kaum laki-laki, baik anak-anak, remaja, maupun

dewasa.

Maggasing dapat dilakukan di mana saja, bisa di halaman rumah, ataupun

di lapangan pada waktu pagi dan atau sore hari. Peralatan yang digunakan adalah

sebuah gasing yang terbuat dari kayu yang berkualitas baik, seperti: kayu jati,

teras batang nangka, kayu bayam, teras batang jambu dan kepundung. Kayu

tersebut dibentuk dengan garis tengah antara 2,5 - 4 cm. Bagian bawahnya agak

runcing, kemudian ujungnya dibentuk seperti paku dengan tonjolan sepanjang

kira-kira 2 mm. Saat ini tonjolan tersebut sebagian besar sudah menggunakan

paku besi. Paku inilah yang nantinya akan menyentuh tanah sewaktu gasing

berputar. Peralatan lainnya adalah ulang atau benang yang diameternya sekitar 1

mm dan panjangnya 3 meter. Salah satu ujung benang dibuhul kuat-kuat. Ujung

yang lain dikaitkan pada sekerat kayu kecil sebesar lidi yang panjangnya 3 cm.

Sekerat kayu ini berfungsi sebagai penahan benang sewaktu gasing dilontarkan.

Ada dua jenis permainan beserta aturannya yang ditumbuh-kembangkan

oleh masyarakat Bugis di Boepinang, yaitu permainan yang mengutamakan

bentuk, keindahan, serta lamanya perputaran gasing dan permainan kompetisi.

Pada permainan pertama yang dinilai tidak hanya bentuk, keindahan, ukuran,
67

tinggi badan gasing, kehalusan rautannya dan lamanya putaran, tetapi juga

keseimbangannya dalam berputar. Peserta yang paling memenuhi kriteria itu

dinyatakan sebagai pemenangnya. Sedangkan pada permainan kedua lebih

mengutamakan keahlian seseorang dalam bermain dan dapat mengeluarkan semua

gasing lawan dari lingkaran. Pemain yang dapat melakukannya dianggap sebagai

pemenang.

Permainan yang disebut sebagai Maggasing mengandung nilai keserasian

dan sekaligus keindahan serta ketangkasan dan kecermatan. Nilai keserasian dan

keindahan tercermin dalam pembuatan gasing. Dalam konteks ini gasing tidak

hanya dapat berputar, tetapi keserasian bentuk dan keindahan sehingga enak

dipandang mata juga diperhatikan. Nilai ketangkasan dan kecermatan tercermin

dalam usaha mengeluarkan gasing lawan dari arena (lingkaran permainan).

Tentunya ini membutuhkan ketangkasan dan kecermatan. Sebab jika tidak, sulit

untuk mengeluarkan gasing lawan dari dalam arena.

10. Mallogo/Allogo

Mallogo adalah salah satu permainan tradisional masyarakat Bugis di

Boepinang. Permainan ini mengandung nilai pendidikan seperti kejujuran dan

sportivitas. Meskipun kini Mallogo jarang dimainkan lagi, namun masyarakat

Bugis di Poleang senantiasa merasakan kerinduan untuk melihat permainan ini.

Kerinduan ini bukti bahwa mereka begitu terikat pada tradisi leluhurnya.

Pada masa lalu, selain masyarakat awam, Mallogo juga lazim dimainkan

oleh kaum bangsawan. Oleh karena itu, terdapat dua jenis logo. logo untuk
68

bangsawan terbuat dari tanduk kerbau, seng, atau besi yang disepuh emas,

sedangkan logo masyarakat dari tempurung kelapa kering.

Permainan Mallogo hanya memerlukan peralatan sederhana, yaitu logo

dari tempurung kelapa kering dan sebilah bamboo sebagai pemukul (paqcampaq).

logo dibuat dua bentuk, yaitu logo kecil ukuruan 7-8 cm sebanyak 6-8 buah dan

logo besar ukuran 15 cm.

Mallogo dimainkan oleh dua orang atau lebih. Rata-rata pemain adalah

anak-anak atau remaja laki-laki maupun perempuan. Mallogo biasanya dimainkan

di pinggir sawah atau halaman rumah. Secara umum, ada tiga aturan dalam

permainan Mallogo, yaitu: pemain dianggap pemenang jika mampu menjatuhkan

semua logo, dan ia kembali dapat memukul. Jika pemain pertama tidak dapat

menjatuhkan semua logo, maka permainan berpindah ke lawan. Nilai pemenang

ditentukan dari jumlah logo yang jatuh.

Mula-mula. Enam atau delapan logo kecil dijajar ke belakang dengan

menancapkan salah satu sudutnya ke tanah. Jarak antar logo kurang lebih 10 cm.

logo besar diletangkan di tempat menembak atau memukul. Jarak tembak diatur

sesuai kesepakatan pemain. Pemain yang dahulu memukul juga diatur sesuai

kesepakatan atau undian.

Salah satu pemain mulai memukul logo besar sembari duduk atau

jongkok. Jika dapat menjatuhkan semua logo kecil, ia mendapat nilai dan dapat

memukul lagi. Sebaliknya, jika tidak, maka pemukul berganti ke pemain yang

paling banyak menjatuhkan logo kecil.


69

Permainan Mallogo mengandung nilai-nilai luhur sebagai berikut: Melatih

ketangkasan dan ketenangan. Permainan Mallogo memerlukan ketangkasan

pemainnya. Olahraga. Nilai ini tercermin dari gerakan pemain saat memukul atau

melempar yang membutuhkan stamina, energy, dan fisik yang seimbang.

Melestarikan tradisi. Permainan Mallogo adalah warisan leluhur yang

mengajarkan budi pekerti bagi anak. Oleh karena itu, permainan ini penting untuk

dilestarikan agar nilai-nilai pendidikan dalam permainan ini terpelihara.

Dalam permainan ini ada nilai menjaga kekompakan dan seni. Tercermin

dari strategi yang membutuhkan kekompakan dalam permainan agar menang.

Seni. Nilai seni tercermin dari bentuk logo dan alat pemukulnya yang bagi

sebagian orang, logo dijadikan koleksi.

11. Majjeka

Majjeka berasal dari kata jeka yang artinya jalan, merupakan permainan

masyarakat pada umumnya. Jumlah pemain antara 2-4 orang. Permainan ini

banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak, laki-laki dan perempuan.

Perlengkapan permainan terdiri atas tempurung kelapa yang utuh dan kuat dan

tiap belahan ujungnya diberi lubang. Juga terdapat dua utas tali yang panjangnya

kurang lebih 1,5 meter. Tali diikatkan ke dalam tempurung kelapa yang telah di

lubangi setelah itu tempurung kelapa dimainkan dengan cara menginjakkan kaki

kita di atasnya dan berjalan.

Banyak manfaat yang bisa diambil dari Majjeka ini, diantaranya

memberikan kegembiraan pada anak, mengasah kreativitas anak serta melatih

motorik halus dan motorik kasar anak. Selain itu, Majjeka juga melatih semangat
70

anak dan mengajarkan anak untuk dapat memanfaatkan bahan di sekitar. Untuk

membuat Majjeka cukup mudah. Bahan-bahan yang dibutuhkan juga sangat

mudah didapatkan. Hanya dengan bahan tempurung kelapa atau yang familiar

disebut batok, tali dan alat untuk melubangi batok, kita sudah dapat membuatnya.

D. Perkembangan Budaya Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Boepinang


Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana

Budaya dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan

setempat atau kecerdasan setempat. Secara umum budaya dapat dipahami sebagai

gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai

baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Budaya juga dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang menggunakan

akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa

yang terjadi dalam ruang tertentu. Budaya adalah warisan ajaran hidup yang

disampaikan oleh para pendahulu suatu suku atau bangsa bagi penerusnya.

Warisan ajaran hidup itu melalui berbagai karya, berbentuk tertulis, karya seni

tulis, seni lantun, dan sebagainya.

Dalam kearifan lokal terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan

budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu

dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi

dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama dalam suatu masyarakat.

Hilangnya atau musnahnya kearifan lokal berarti pula memudarnya

kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya pengetahuan masyarakat lokal

untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu.

Hal penting sekali adalah usaha pemupukan serta pengembangan kearifan lokal
71

tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat, baik dalam gaya

hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam orientasi

masyarakat.

Nilai-nilai kearifan lokal tersimpan dalam berbagai media, antara lain:

lisan dan tulisan. Media tulisan dituangkan melalui naskah lontaraq. Dalam

lontaraq ini, orang Bugis menyimpan ilmu dan kearifan masa lalunya, termasuk

berbagai ekspresi kebudayaannya mengalami hambatan-hambatan.

Kearifan lokal merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari

pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga

kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal

untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem

kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang

dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan

melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk,

tembang, hikayat, lontarak dan lain sebagainya.

Nilai-nilai kearifan budaya lokal itu jika tidak dijaga dan dipelihara,

dikhawatirkan secara berangsur akan terjadi proses kepunahan, karena desain

besar kebudayaan seringkali tidak mampu mengendalikan dinamika sosial ke arah

bagaimana yang dirancangkan. Perkembangan sosial, ekonomi dan politik,

sebagai akibat dari globalisasi menjadikan budaya lokal sebagai pondasi

modernisasi budaya menuju budaya Indonesia yang maju dan unggul.

Saat ini kondisi dan perkembangann kearifan lokal masyarakat Bugis di

Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana sudah jarang


72

dijumpai karena adanya pengaruh perkembangan teknologi dan perubahan zaman.

Meskipun demikian ada pula kearifan lokal masyarakan Bugis yang tetap

dipertahankan sampai saat ini.

Kearifan lokal di bidang pertanian seperti mappalili dan mapadendang,

sudah tidak tidak ditemukan lagi, karena masyarakat yang bercocok tanam sudah

sangat sedikit. Selain itu, alat tradisional yang dulu digunakan untuk bertani sudah

tidak digunakan lagi dan diganti dengan alat yang lebih modern. Sebagaimana

dijelaskan oleh Informan bernama Hamade (58 Tahun) yang menyatakan:

“Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan

menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun

semakin jarang dilakukan”. (Wawancara, 7 Maret 2018)

Informan menjelaskan bahwa dalam ritual mapadendang rasa

kebersamaan para petani muncul. Bahkan mapadendang menjadi tempat

pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam ritual itu setiap

pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya, memperhatikan sikap dan

tingkah lakunya.

Pengaruh modernisasi pertanian bagi kehidupan kultural masyarakat ini

juga dituturkan oleh Informan bernama H.Yuliasmin (35 Tahun), menjelaskan

bahwa kami dari jauh hari yang lihai ber-mapadendang ini begitu risau sejak

masuknya alat-alat teknologi sehingga tradisi adat masyarakat sudah tidak dapat

dilaksanakan lagi. Menurut Informan bahwa sebagai penjelmaan dari makhluk

yang gaib nan cantik butiran-butiran padi itu juga berhak istirahat dan menerima

pelayanan dari manusia, sebelum ia sendiri melayani kehidupan kita.


73

Informan mengatakan bahwa: “Kini penghargaan terhadap padi sebagai

sumber kehidupan sudah pudar, appatinro bine, sebuah ritual khusus yang

diperuntukkan buat bibit padi sebelum ditabur di persemaian, yang makin jarang

dilakukan masyarakat Bugis. Orang-orang sekarang hanya berpikir bagaimana

bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen. (Wawancara, 25 Maret 2018)

Hal senada juga diutarakan Tahirman (40 Tahun) yang menyatakan

bahwa: munculnya program pemerintah yang lebih sederhana, sistem pertanian

yang efektif, telah mengubah kepercayaan hidup petani. Sekarang orang bertani

sekadar menggarap saja kemudian menanam dan menunggu panen. Orang bekerja

dan berorientasi untuk mendapatkan uang banyak. (Wawancara, 9 Maret 2018)

Sayangnya tradisi yang sangat bagus ini bagi sebagian masyarakat hanya

menjadi simbol saja karena perubahan kondisi sosial masyarakat. Perubahan dari

masyarakat agraris dengan kepemilikan tanah yang luas tentu tidak mengalami

masalah dalam menjalankan tradisi ini. Tetapi ketika masyarakat sudah hidup di

perkotaan dengan kepemilikan tanah hanya selebar petak rumahnya saja,

tampaknya perlu ada perubahan tradisi yang lebih fleksibel terkait dengan

penyelamatan lingkungan.

Masyarakat Bugis terkenal dengan keteguhan dalam melaksanakan ajaran

agamanya. Saat ini budaya turun-temurun masyarakat Bugis di Boepinang

teralkulturasi oleh ajaran agama Islam. Jadi masyarakat Bugis di Boepinang masih

bisa melaksanakan budaya mereka tanpa bertentangan dengan syariat Islam.

Masyarakat Bugis di Boepinang masih memegang teguh kearifan lokal

yang terkait dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan Aqiqah, Mabbarsanji,


74

Mappaci, dan Ammateang tetap dilaksanakan dalam kondisi apapun, baik orang

mampu secara ekonomi maupun tidak. Karena bagi mereka ritual keagamaan

adalah kewajiban, namun kadang-kadang disertai dengan gengsi dan terkesan

memaksakan keadaan. Sebagaimana penjelasan Informan bernama Hj. Nursia (46

Tahun) yang menyatakan bahwa: Ritual keagamaan itu adalah kewajiban yang

harus dilaksanakan, meskipun didalamnya ada budaya Bugis yang tidak terdapat

di tempat lain. Sebenarnya acaranya bisa dilaksanakan sederha, tetapi karena

kadang-kadang demi gengsi maka harus dilaksanakan secara besar dan ramai.

Tapi terus terang, acara aqiqah, mabbarsanji, mappaci, dan ammateang tetap

dilaksanakan dan dipertahankan sampai saat ini. (Wawancara, 12 Maret 2018)

Dalam permainan tradisional memiliki nilai pendidikan. Nilai edukasi

yang tersimpan didalamnya, adalah nilai yang timbul dalam masyrakat itu sendiri.

Nilai edukasi itu sendiri terbentuk, karena masyarakat Bugis cenderung

menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan memupuk semangat kerjasama

membentuk karakter masyarakat yang ramah dan terkenal tinggi akan kemauan

dan kerja kerasnya untuk menggapai harapan dan cita-cita, melalui permainan

tradisionalnya.

Tujuan permaian tradisional adalah untuk mengembangkan konsep

diri , untuk mengembangkan kreativitas, untuk mengembangkan komunikasi,

untuk mengembangkan aspek fisik dan motorik, mengembangkan aspek sosial,

mengembangkan aspek emosi atau kepribadian, mengembangkan aspek kognitif,

mengasah ketajaman pengindraan, dan mengembangkan keterampilan.


75

Perkembangan gadget yang sangat pesat membuat langka permainan

tradisional. Anak-anak kurang tertarik dengan permainan tradisional. Dalam

permainan tradisional sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa

anak. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Informan bernama Hj. Nyameng (58

Tahun), sebagai berikut: Perkembangan teknologi membuat langka permainan

tradisional. Anak-anak kurang tertarik dengan permainan tradisional sementara

permainan tradisional besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak.

Dengan bermain bersama, anak-anak dilatih untuk saling menghargai. Sesama

manusia harus hidup tolong-menolong dengan bergotong-royong. Selain itu, pada

setiap tahap permainan ini anak-anak sudah melatih diri untuk bersikap ulet, jujur,

setia kawan, dan disiplin agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.

(Wawancara, 11 Maret 2018)

Informan lain bernama H. Abdul Syukur (85 Tahun) menyatakan bahwa:

Semakin berkurangnya lahan bermain juga merupakan salah satu aspek yang

membuat permainan tradisional menjadi langka. Karena lahan-lahan yang

seharusnya dapat dipergunakan anak-anak untuk bermain sudah menjadi

perumahan. Permainan tradisional ini membutuhkan lahan luas sehingga di lahan

sempit memainkan permainan tradisional akan terbatas pula. Akibatnya, budaya

masyarakat Bugis di Boepinang ini perlahan-lahan menjadi hilang. (Wawancara, 3

Maret 2018)
76

E. Strategi Masyarakat dalam Mempertahankan Budaya Masyarakat Suku


Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana

Budaya merupakan hasil adaptasi suatu masyarakat yang berasal dari

pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga

kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat untuk

bertahan hidup yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan

diekspresikan di dalam tradisi yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Budaya lokal cerminan perilaku budaya masyarakatnya berlatar belakang

dari suatu sifat dan tingkah laku masyarakat mengenai kebudayaan lokal, yang

dimana kebudayaan tersebut merupakan turun temurun dari nenek moyang

pendahulu.

Nilai budaya suatu masyarakat diproduksi, dipertahankan, dan

dikomunikasikan melalui media seperti; pendidikan, sistem ekonomi, organisasi,

upacara tradisional, kesenian tradisional, maupun arsitektur tradisionalnya.

Masyarakat suatu wilayah tidak akan mampu menolak modernitas kebudayaan

sebagai konsekuensi global. Setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan dari

masa ke masa. Perubahan itu tergantung dari dinamika masyarakatnya.

Terjadinya perubahan tatanan budaya bukan hanya disebabkan oleh

pengaruh eksternal, tetapi juga akibat pengaruh internal karena berubahnya cara

pandang masyarakat tradisional terhadap perubahan kehidupan dan penghidupan

mereka. Kebudayaan memang bersifat dinamis, berkembang dan mengalami

pengaruh lingkungan strategisnya yang menjadikan kebudayaan berubah dari

waktu ke waktu. Perubahan itu menyebabkan beberapa unsur kebudayaan


77

universal mencapai puncak orbitasi dalam kulminasinya dan mempunyai nilai

yang semakin tinggi.

Untuk mencegah hilangnya kearifan lokal masyarakat Bugis di

Boepinang, maka strategi masyarakat dalam mempertahankan kearifan local

adalah memberikan pemahaman tentang makna suatu budaya. Dengan mengetahui

makna dan fungsi suatu budaya, maka masyarakat Boepinang akan selalu

melaksanakan kegiatan itu dengan harapan akan memperoleh manfaatnya.

Kearifan budaya lokal yang menunjukkan identitas dan karakter budaya

lokal mestinya terlihat secara jelas dalam konsep ketahanan budaya lokal yang

mestinya nilai kaearifan budaya lokal tetap terjaga dan menjadi niilai yang tetap

ada untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal. Untuk menuju ke arah

ketahanan budaya lokal dan pelestarian dan pengembangan unsur unsur budaya

universal, perlu memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk

dilestarikan berlandaskan warisan kearifan budaya lokal.

Memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk

dikembangkan ke dimensi kekinian, sejalan waktu dan kemajuan teknologi yang

berorientasi ke masa depan. Bahwa mempertahankan jati diri dan karakter etnis

lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi. Namun kehidupan

memang berhak berkembang sehingga perubahan lingkungan strategis etnis perlu

diperhitungkan untuk pengembangan dan ketahanan budaya etnis lokal.

Memberi pemahaman kepada anak tentang pentingnya adat budaya

(mappangaja’), setiap orang tua mempunyai tanggung jawab masing-masing

untuk memberi pendidikan yang baik dan pemahaman tentang adat budaya agar
78

kehidupannya tenang dan harmonis serta memiliki silaturahmi yang baik dengan

lingkungan sekitar tempatnya hidup. Menjodohkan putra putri mereka dengan

anak keluarganya agar adat istiadat dalam suatu lingkungan keluarga besarnya

tidak mengalami pengaruh dari adat suku lain.

Sebagai ahli waris kebudayaan Bugis, generasi muda perlu mengetahui

seperti nilai-nilai budaya Bugis. Bukan itu saja, generasi muda juga harus sadar

akan nilai-nilai budayanya yang agung, sebelum nilai-nilai budaya Barat

menggusurnya melalui gelombang raksasa: modernisasi dan westernisasi.

Sebagaimana dijelaskan oleh Hj. Yuliasmin (35 Tahun) sebagai berikut:

Kearifan lokal budaya Bugis ini menunjukkan identitas dan karakter yang harus

dipertahankan. Agar tidak hilang, maka masyarakat perlu memahami esensi

masing-masing nilai kearifan lokal. Dengan memahami makna dan fungsinya

maka masyarakat akan mau melaksanakannya. (Wawancara, 25 Maret 2018)

Nilai-nilai budaya Bugis perlu dipertahankan sejak saat ini. Pertama, harus

disadari bahwa memang telah terjadi “pergeseran nilai”, nilai yang mendominasi

kehidupan kalangan generasi muda saat ini adalah Budaya Barat. Anak-anak

muda sekarang bangga memakai jeans, beranting-anting sebelah dan bernyanyi

rock‘n roll ketimbang memakai sarung Bugis atau gamis dan memainkan lagu

kasidahan. Kondisi semacam itu memang tetap ada, tapi sudah melembaga di

pesantren sebagai sebuah tuntutan agamis. Kearifan lokal merupakan kepercayaan

yang harus dipertahankan. Cara yang paling baik untuk mempertahankan kearifan

lokal masyarakat adalah melaksanakan kegiatan secara terus-menurus.


79

Sebagaimana dijelaskan oleh Informan bernama Tahirman (30 Tahun)

yang menyatakan bahwa: Salah satu cara untuk mempertahankan kearifan local

dalam masyarakat adalah melaksanakan budaya secara terus-menerus. Kegiatan

adat tidak mesti dilaksanakan hanya sebatas sesepuh atau para orang tua, tetapi

harus melibatkan para generasi muda. Jika budaya tetap eksis dilaksanakan maka

generasi muda akan melihat dan mengenal budayanya sendiri, hingga kelak dia

juga akan melaksanakannya. (Wawancara, 9 Maret 2018)

Ada kecendrungan bahwa generasi muda tidak lagi mengenal nilai-nilai

budaya Bugis yang dipahaminya sebagai sebuah konsep tradisional. Semakin

tinggi pendidikan modern yang diterimanya maka budaya Bugis semakin

didorongnya ke menara gading sebagai konsep yang agung dan tak perlu dikaji

atau diapresiasi. Sebaliknya, apresiasi terhadap nilai-nilai budaya Barat yang

dianggapnya modern dengan sangat baik dan cepat dapat diserapnya melalui

berbagai media.

Sebagai identitas modern, generasi sekarang merasa lebih memiliki gengsi

dalam pergaulan sehari-hari manakala mereka dapat mengakses atribut modern

seperti menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggis dari pada mengakses

identitas lokal-tradisional seperti menggunakan bahasa Bugis yang mereka anggap

sebagai identitas “kampungan”. Demikian pula dalam hal tata karma (etika), nilai

seni (estetika) dan akses-akses lainnya.

Dalam sebuah pesta perkawinan misalnya, jarang lagi kita melihat remaja-

remaja yang datang menggunakan sarung dan kopiah. Yang banyak adalah

menggunakan jas dan celana, bahkan ada yang menggunakan jeans dan kemeja
80

ataupun kaos. Rambut gondrong dan anting sebelah juga sudah menjadi bagian

kehidupan remaja saat ini. Ini memang bukan inti dari kebudayaan, karena

kebudayaan bukan sekedar selera musik dan kesenian saja Musik dan kesenian

dan juga properties lainnya hanyalah bahagian kecil dari sebuah kebudayaan.

Musik dan kesenian hanyalah sebuah ikon kebudayaan. Namun ikon-ikon tersebut

telah menunjuk bagaimana sikap apresiasi generasi muda kita pada

kebudayaannya sendiri.

Untuk mencegah kelunturan budaya dan memudarnya kearifan local maka

strategi yang dilakukan adalah menanamkan rasa bangga kepada masyarakat bugis

tentang budayanya sendiri. Masyarakat tidak perlu sungkan dengan pelaksanaan

kegiatan budaya atau penggunaan pakaian adat, tetapi harus bangga dengan

identitas sukunya. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan bernama H. Abdul

Syukur (85 Tahun) yang menyatakan bahwa: Salah satu cara untuk

mempertahankan kearifan local adalah menumbuhkan rasa percaya diri dan

bangga pada masyarakat tentang pelaksanaan adat dan penggunaan pakaian

tradisional. (Wawancara, 3 Maret 2018)

Kendati pengertian budaya sangat abstrak dan memiliki manyak rumusan,

namun kebudayaan dapat diartikan secara sederhana sebagai sebuah kebiasaan

yang dikembangkan oleh adat dan hukum adat berdasarkan kebijakan-kebijakan

yang telah diletakkan oleh para ahli (Toacca) yang berkaitan dengan kehidupan

sosiokultural masyarakat. Karena itu adat dan hukum adat menjadi bahagian

penting dari sebuah kebudayaan. Nilai-nilai dasar budaya Bugis tumbuh dari

pemikiran (konsep) adat yang telah diletakkann oleh para Toacca, seperti
81

Kajaolaliddo, Puang Ri Manggalatung, Maccae ri Luwu, La Waniaga Arung Bila,

Nenek Mallomo, Arung Pancana Toa (Colliq Pujie) dan lain-lain.

Mempeertahankan nilai-nilai kebijakan budaya Bugis memang

memerlukan proteksi. Kekhawatiran akan punahnya budaya Bugis pada beberapa

generasi kemudian memang bukan tak beralasan. Kita bisa melihat bagaimana

degradasi budaya yang berlangsung di hampir semua sektor nilai yang ada. Para

pejabat tak lagi “sipakatau”, dan “siri” tak lagi menjadi bagian penting dalam

memegang amanah atau jabatan. Kata Sipakatau dan Siri pun akhirnya tinggal

menjadi suara slogan.

Salah satu cara mempertahankan eksistensi kearifan lokal suatu daerah

adalah membentuk lembaga adat. Upaya tersebut merupakan sebuah strategi

untuk mempertahankan, memelihara dan mengembangkan kearifan local budaya

masyarakat Bugis di Boepinang berdasarkan karakteristik budaya yang ada di

daerah ini. Salah satu fungsinya adalah sebagai upaya untuk melestarikan budaya

daerah melalui pengkajian nilai-nilai adat daerah yang relevan dengan

perkembangan masyarakat.

Strategi selanjutnya adalah memperkenalkan kearifan lokan kepada

masyarakat sejak dini. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui pendidikan

formal (sekolah). Penerapan kurikulum sekolah formal dalam hal ini muatan local

akan memudahkan anak sekolah untuk mengenal budayanya. Mata pelajaran

muatan local merupakan peluang yang bagus bagi tiap sekolah untuk menumbuh

kembangkan nilai-nilai kebudayaan Bugis.


BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Budaya masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan

Poleang Kabupaten Bombana dimulai sejak kedatangan masyarakat bugis

ke Poleang sekitar akhir tahun 1900-an. Kearifan lokal tesebut antara lain:

mappalili, mappedendang, macceratasi, aqiqah, mabbarasani, mappaci,

ammateang, marraga, maggasing, mallogo, Majjeka.

2. Budaya masyarakat suku Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan

Poleang Kabupaten Bombana ada yang berkembang dan ada yang telah

hilang. Budaya terkait aktivitas pertanian, kelautan dan perikanan sudah

tidak dilaksanakan lagi karena alat untuk kegiatan bertani telah

menggunakan mesin. Budaya yang terkait dengan olahraga atau

permainan/ketangkasan, sudah hilang karena masyarakat lebih memilih

bermain menggunakan teknologi dalam hal ini menggunakan gadget.

3. Strategi masyarakat suku bugis dalam mempertahankan budaya di

Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana adalah;

memberikan pemahaman tentang esensi nilai kearifan lokal, melaksanakan

kegiatan budaya secara terus menerus dan berkesinambungan,

menumbuhkan rasa percaya diri dan bangga pada masyarakat Boepinang

tentang budaya dan adat istiadat bugis, membentuk lembaga adat Bugis di

82
83

Poleang, memasukan kegiatan Budaya Bugis dalam kurikulum sekolah

(Muatan Lokal).

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan beberapa

hal-hal berikut ini:

1. Diharapkan kepada masyarakat Kelurahan Boepinang untuk memelihara

budaya dalam masyarakat karena budaya ini memiliki nilai positif dalam

kehidupan masyarakat dan pelaksanaan budayanya memiliki nilai budaya.

Masyarakat Bugis di Kelurahan Boepinang juga perlu menjaga kelestarian

budaya melalui pelaksaan kegiatan budaya secara rutin dan sosialisasi

kepada generasi muda.

2. Masyarakat setempat diharapkan untuk menghadirkan kembali budaya

yang memiliki nilai kearifan lokal karena dapat menjadi ajang budaya yang

menarik para wisatawan untuk menyaksikan antraksi budaya yang unik

tersebut.

3. Pemerintah Kabupaten Bombana diharapkan dapat memfasilitasi

mayasarakat untuk menghidupkan kembali budaya yang memiliki nilai

kearifan lokal demi perkembangan pariwisata di daerah tersebut.

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah

Manusia pada dasarnya selalu ingin berkembang, dimana sebagian besar

perkembangan tersebut diperoleh melalui belajar. Melalui proses belajar tersebut

terjadi perubahan-perubahan dalam setiap aspek kehidupan.


84

Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran IPS yang diajarkan mulai

tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga tidak dapat dipungkiri

bahwa mata pelajaran sejarah juga memegang peranan penting dalam

meningkatkan mutu pendidikan. Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan

pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan

budaya pada masa kini yang bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan

berfikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah siswa

mampu mengembangkan kompotensi untuk berfikir secara kronologis dan

memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk

memahami dan menjelaskan proses perkembangan budaya serta kekeragaman

sosial dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-

tengah masyarakat dunia.

Hasil dari pembelajaran sejarah diharapkan dapat memberi konstribusi

yang benar dalam upaya mencapai pendidikan nasional. Keberadaan pelajaran

sejarah di Sekolah bertujuan untuk membimbing para peserta didik agar mampu

memahami perkembangan pada masa kini berdasarkan perspektif sejarah akan

memberikan nilai karena tidak hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga

mengetahui interaksi makna yang terkandung didalamnya, sehingga siswa

termotivasi untuk memahami sejarah.

Hasil penelitian yang berjudul tentang “Kearifan Lokal Masyarakat Bugis

di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana” kaitannya

dengan pelajaran sejarah dapat diajarkan pada tingkat SMP kelas VIII semester II

pada mata pelajaran IPS pokok bahasan Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di
85

Indonesia dengan Standar Kompentensi: Menghargai berbagai peninggalan dan

tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Buddha dan Islam,

keragaman kenampakkan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di

Indonesia. Kompetensi Dasar: menghargai keragaman suku bangsa dan budaya di

Indonesia.

Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan pokok bahasan

Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia dengan indikator sebagai

berikut: Menyebutkan jenis keragaman budaya, menyebutkan suku bangsa yang

ada di daerah tempat tinggal, menyebutkan budaya yang ada di daerah tempat

tinggal. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu selama 2x35

menit untuk SMP. Adapun strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan

materi ini yaitu metode ceramah atau diskusi kelompok.

Dengan demikian jelas bahwa “Kearifan Lokal Masyarakat Bugis di

Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana” tetap memiliki

unsur-unsur yang dapat dijadikan bahan panduan dalam pelajaran di sekolah

khususnya bagi siswa SMP. Tujuan yang dapat diperoleh setelah mempelajari

hasil penelitian ini adalah siswa akan mampu memiliki pengetahuan tentang

kearifan lokal masyarakat Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang

Kabupaten Bombana.
DAFTAR PUSTAKA

A, Haviland W. 1993. Antropologi jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Ahmad, Haidlor Ali. 2010. Kearifan Lokal sebagai Landasan Pembangunan.


Jakarta: Erlangga.

Arsono, Ufita. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Sleman Untuk


Pengembangan Prinsip-Prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan Yang
Baik. Skripsi: UNY

Asriati. Nuraini. 2012. Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis


Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan
Sosiologi dan Humaniora. 2(III). Hlm. 106-119.

Burhanuddin, B. 1981. Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan Karya


Teknika.

Echols, M Jhon dan Hassan, Shadly. 2014. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip 2011. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya.
Kencana: Jakarta

Hafid, Anwar. 2016. Hubungan Kekerabatan Antar Etnik di Sulawesi Tenggara


dalam Analisis Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Sejak Masa Kerajaan
Hingga Kini. Makalah Disajikan dalam Seminar Lokakarya Hubungan
Kekerabatan Etnik-Etnik di Sulawesi Tenggara. Kendari, 29-30 Maret.

Kartodirjo, Sartono. 2002. Teori Sejarah dan Masalah Histografi. Jakarta:


Gramedia.

_________________. 2014. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Ilmu Sejarah,


Metodologi Sejarah. Ombak: Yogyakarta

Keraf, A Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media


Nusantara

Koentjaraninggrat. 2000. Kebudayaan dan Mentalitas. Gramedia: Jakarta

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

La Mani. 2012. Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Wangi-Wangi Kabupaten


Wakatobi

86
87

Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontenporer (Suatu


Pengalaman). Yayasan Indayu: Jakrta

Rekson, SL., Basrin, M., Zainudin, T., Anton, F. 2015. Sejarah Peradaban
Moronene. Kendari: Lukita.

Ridwan, Nurman Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda Vol 5, No
1 Jan-Jun. 2000

Sartini, Ni Wayan. 2014. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ungkapan. Jurnal Bahasa dan Sastra. V(1) Hlm, 28-37

Sedyawati, Edi. 2014. Kebudayaan di Nusantara Dari Keris, Tor-tor sampai


Industri Budaya. Komunitas Bambu

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Ombak: Yogyakarta.

Tamburaka, Rustam E., dkk., 2010, Sejarah Sulawesi Tenggara dan 45 Tahun
Sultra Membangun. Cetakan Kedua. Unhalu Press: Kendari.
88

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Hj. Nyameng


Umur : 58 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. Sentral Boepinang

2. Nama : Hj. Nursia


Umur : 46 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Pasar Lama Boepinag

3. Nama : Tahirman
Umur : 30 Tahun
Pekerjan : Wiraswasta
Alamat : Jln. Merdeka Boepinang

4. Nama : Hammade
Umur : 58 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Merdeka Boepinang

5. Nama : Andi Syamsudin


Umur : 40 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Pasar Lama Boepinang
89

6. Nama : Hj. Yuliasmin


Umur : 35 Tahun
Pekerjaan : Ibu rumah Tangga
Alamat : Pasar Lama Boepinang

7. Nama : H. Abdul Syukur


Umur : 85 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jln. Merdeka.
90

Lampiran 1.

PETA LOKASI PENELITIAN

Lokasi
Penelitian
91

Lampiran 2.

DOKUMENTASI PENELITIAN

Saat Wawancara dengan Lurah Boepinang Muhtar, S.Sos


(Wawancara, 1 Maret 2018)

Tokoh Masyarakat Boepinang H. Abdul Syukur (Foto, 3 Maret 2018)


92

Saat Wawancara dengan Syamsuddin (Wawancara, 4 Maret 2018)

Acara Aqiqah (Foto, 6 Maret 2018)


93

Saat Wawancara dengan Hamade (Wawancara, 7 Maret 2018)

Saat Wawancara dengan Tahirman (Wawancara, 9 Maret 2018)


94

Masjid Raya Boepinang (Foto, 10 Maret 2018)

Saat Wawancara dengan Hj. Nyameng (Wawancara, 11 Maret 2018)


95

Saat Wawancara dengan Hj. Nursia (Wawancara, 12 Maret 2018)

Saat Wawancara dengan Nurjanna (Wawancara, 12 Maret 2018)


96

Permainan Tradisional Majjeka (Foto, 15 Maret 2018)

Proses Pembuatan Permainan Tradisional Majjeka (Foto, 15 Maret 2018)


97

Saat Wawancara dengan Syamsuddin (Wawancara, 21 Maret 2018)

Saat Wawancara dengan Hj. Yuliasmin (Wawancara, 25 Maret 2018)


98
99

Anda mungkin juga menyukai