Anda di halaman 1dari 16

Nama : Weni Ayu Sundari

NIM : 11901108

Kelas : 3G/PAI

Dosen Pengampu : Dr. Wahab, M.Ag.

Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam

MINIRISET

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI ROBO-ROBO TERHADAP


MASYARAKAT MEMPAWAH

(PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM)

Oleh : Weni Ayu Sundari

Abstrak

Artikel ini merupakan hasil penelitian tentang salah satu budaya kearifan lokal yang masih
terpelihara dan masih dilakukan dalam satu tahun sekali oleh masyarakat Melayu
Mempawah, Kalimantan Barat, yaitu tradisi Robo’-Robo’. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lebih dalam mengenai nilai-nilai pendidikan islam yang terkandung dalam
kearifan lokal ini. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan digunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini
adalah hasil wawancara dengan salah satu warga di Desa Senggiring, Kabupaten Mempawah
yaitu ibu Maryuana yang merupakan pengelola PAUD Insan Cerdas Mempawah Timur,
sedangkan data Sekunder diambil dari dokumen dan bahan pustaka. Nilai-nilai sejarah yang
terkandung dalam tradisi Robo-Robo relevan dengan nilai dalam pembelajaran sejarah,
khususnya materi tradisi masyarakat Indonesia sebelum dan sesudah mengenal tulisan. Nilai
islam yang terkandung dalam praktek lokal Robo-Robo seperti, wujud syukur kepada Allah
SWT karena pada hari Rabu terakhir bulan Sapar (Hijriah) masyarakat memperoleh
keberkahan dan meyakini bahwa allah telah menciptakan langit dengan seisinya agar
hambanya senantiasa bersyukur atas berkahnya baik yang bersumber dari alam, sehingga
masyarakat melayu peracaya dengan pentingnya menjaga alam.
A. Latar Belakang

Pendidikan Islam memberikan perhatian secara memadai terhadap eksistensi manusia.


Manusia dalam pendidikan Islam diperlakukan sebagai mahluk yang memiliki unsur jiwa dan
raga. Ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati, intelek (akal) dan kemampuan-
kemampuan fisik. Organ-organ iniIah yang diarahkan dan dibimbing dalam pendidikan Islam
hingga menjadi pribadi yang utuh. Dalam bahasa yang agak berbeda, A.Yusuf AU
menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dapat memenuhi tiga kebutuhan dasar manusia
yaitu kebutuhan spiritual, kebutuhan psikologis/intelektual dan kebutuhan
fisik/biologis(Sarjono, 2005). Usaha untuk memenuhi tiga kebutuhan di atas, menjadi
pertimbangan utama proses pendidikan Islam, khususnya dalam menentukan nilai-nilai dasar
yang akan ditransformasikan kepada peserta didik. Sebab, salah satu fungsi pendidikan
adalah mentransformasikan nilai-nilai. Dalam konteks pendidikan Islam, nilai-nilai yang
dirnaksud adalah nilai Islam.

Pendidikan Islam mengajak kita lebih kepada hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam misalnya nilai keimanan, ibadah, dan akhlak yang seharusnya kita jalani dan tidak
boleh kita tinggalkan. Jika kita tinggalkan hal tersebut, maka kita akan mendapatkan
penyesalan yang sangat buruk akan datang pada diri kita(Indana et al., 2020). Ajaran Islam
syaratnya dengan nilai-nilai, bahkan konsep pendidikan. Akan tetapi semua itu masih bersifat
subyektif dan trasendental. Agar menjadi sebuah konsep yang obyektif dan membumi perlu
didekati secara keilmuan, atau sebaliknya perlu menggunakan paradigma Islam yang syarat
dengan nilai-nilai pendidikan Islam(Indana et al., 2020). Nilai-nilai pendidikan Islam salah
satu, misalnya keimanan yang ditentukan pada diri kita manusia untuk mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah dan manusia berhak untuk mempunyai pemikiran serta
pemahaman yang berbeda.

Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman
agama, adat istiadat, bahasa, kesenian, kerajinan, mata pencaharian, sehingga dikenal sebagai
negara multikultural terbesar di dunia. Karena itu keanekaragaman tersebut harus selalu
dilestarikan dan di tumbuh kembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang
terkandung didalamnya melalui proses pendidikan. Kebudayaan memiliki kandungan makna
yang di dalamnya ada nilai-nilai etis, moral, dan spiritual sehingga nilai-nilai kebudayaaan
yang diturunkan perlu dijaga dan di lestarikan untuk kepentingan generasi selanjutnya.
Kebudayaan bukanlah hal yang bersifat negatif, tetapi di dalam kebudayaan ada unsur-unsur
penting yang dapat dijadikan sebagai pengatur norma kehidupan manusia(Ufie, 2016).

Nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini


mengalami degradasi dan mulai dilupakan dalam kehidupan bermasyarakat seiring dengan
perkembangan zaman. Namun di sisi lain, nilai-nilai budaya lokal yang merupakan warisan
masa lalu pada beberapa daerah sangat cocok dikembangkan dalam menghadapi era
globalisasi dewasa ini. Satu diantara budaya lokal yang perlu dipertahankan nilai-nilai
budayanya adalah tradisi Robo’-Robo’ yang masih terus aktif dilakukan oleh masyarakat
suku melayu Mempawah, Kalimantan Barat. Tradisi Robo-Robo sebagai tradisi yang sudah
diwariskan secara turun-temurun oleh suku Melayu dari generasi ke generasi dan terus
dipertahankan hingga sekarang, yang mencerminkan bagaimana masyarakat suku Melayu
mewariskan masa lalunya kepada generasi penerusnya.

Manusia dapat belajar dari sesamanya, alam dan lingkungan sekitar. Manusia yang fitrah,
secara alamiah, memang dicetak oleh lingkungan. Akan tetapi, setelah manusia mampu
mengembangkan pikiran dan sering belajar dengan merefleksikan kehidupan maka akan
muncul timbal-balik antara manusia dan lingkungannya. Seorang individu tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh lingkungan melainkan juga berpeluang untuk mempengaruhi
lingkungannya. Pendidikan adalah proses penyesuaian diri dengan lingkungan, sehingga
selama proses penyesuaian tersebut terdapat unsur-unsur pembelajaran. Individu dapat belajar
dari lingkungannya namun lingkungannya juga dapat mengambil pelajaran darinya. Dengan
begitu, kehidupan itu sendiri adalah aktifitas pendidikan, dimana manusia tidak dapat
melepaskan diri dari proses penyesuaian dengan sesamanya maupun lingkungannya. Oleh
karena itu, apabila pengertian di atas dijadikan landasan pemikiran filosofi maka filsafat
pendidikan mengakui bahwa manusia harus menemukan dirinya sendiri sebagai suatu bagian
integral dari alam rohani(Rohinah, 2013).

Pendidikan Islam yang dilandasi filsafat pendidikan yang benar dan mengarahkan
proses kependidikan Islam, pendidikan yang harus diselenggarakan umat muslim adalah
pendidikan keberagamaan yang berlandaskan keimanan, yang berpijak pada filsafat
pendidikan yang universal. Dengan kata lain, nilai-nilai agama adalah tujuan akhir yang
hendak dicapai, sedangkan filsafat yang universal adalah perangkat utama yang sepenuhnya
dibutuhkan guna bisa tiba di stasiun terakhir.
B. Kajian Pustaka

Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rohani, Fety Novianty dan Syarif Firmansyah
yang berjudul “Analisis Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Budaya Pada Masyarakat Adat
Melayu di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kuburaya”, telah menjelaskan bahwa upaya
melestarikan nilai-nilai budaya pada masyarakat adat melayu Kecamatan Sungai Kakap
Kabupaten Kubu Raya dilakukan melalui berbagai pelaksanaan even besar seperti robo’-
robo’, bersanji, syukuran pernikahan yang dilakukan masyakat secara terus menerus. Nilai-
nilai budaya yang ada pada masyarakat adat Melayu Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten
Kubu Raya seperti tolong menolong, kebersamaan, toleransi, keagamaan, dan kerjasama.
Bentuk kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masyarakat adat
melayu Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya yaitu melalui kegiatan robo’-
robo’, hajatan, dan kegiatan gotong royong. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan nilai-
nilai budaya pada masyarakat adat melayu Kecamatan Sungai Kakap kabupaten Kubu Raya
dengan melaksanakan kegiatan robo’- robo’, melaksanakan bersanji dan syukuran
pernikahan yang dilaksanakan secara terus menerus.

Dalam penelitian Suwarni dan Mutiah Ulfa yang berjudul “Internalisasi Tradisi Robo-
Robo Sebagai Sumber Sejarah Lokal Dikelas X SMA Negeri 2 Kabupaten Mempawah”
menyimpulkan bahwa secara umum internalisasi tradisi Robo-Robo sebagai sumber sejarah
lokal telah diterapkan oleh guru dan mendapat respon yang baik dari siswa. Hal tersebut
dapat dilihat dari proses pembelajaran, siswa terlibat secara aktif saat guru melakukan tanya
jawab.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Irwan Septiadi berjudul “Potensi Adat Istiadat Robo-
Robo Pada Etnis Melayu Mempawah Untuk Pembelajaran Matematika Sekolah” telah
menunjukkan hasil bahwa potensi adat istiadat Robo-Robo pada etnis Melayu Mempawah
untuk pembelajaran matematika sekolah terdiri dari : (1) Konsep himpunan dari benda pusaka
keraton Amantubillah dapat diangkat pada pembelajaran kelas 7 SMP; (2) Perisai yang
berbentuk layang-layang dan aktivitas membilang dapat diangkat pada pembelajaran kelas 1
SD dan 2 SD; (3) Benang cindai untuk acara toana yang terdiri dari 7 warna dapat diangkat
pada pembelajaran matematika kelas 12 SMA; (4) Pada acara makan syafar diperoleh
pertidaksamaan bentuk aljabar yang dapat diangkat pada pembelajaran matematika kelas 7
SMP; (5) Pada acara buang-buang terjadi perjalanan menuju kuala mempawah terkait dengan
konsep matematika yaitu jarak, waktu, dan kecepatan. Jumlah orang dalam suatu perahu
dengan konsep matematika tentang kapasitas atau volume. Hal ini dapat diangkat pada
pembelajaran matematika kelas 5 SD; dan (6) Pihak-pihak yang terkait dalam acara Robo-
Robo membentuk beberapa himpunan yang dapat diangkat pada pembelajaran matematika
kelas 7 SMP. Dengan demikian, Adat Istiadat Robo-Robo memiliki potensi untuk diangkat
dalam pembelajaran matematika sekolah.

Sementara pada tulisan saya ini ingin membahas tentang “Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Yang Ada Didalam Tradisi Robo’-Robo’ Terhadap Masyarakat Melayu Kabupaten
Mempawah”, yang ditinjau dari Filsafat Pendidikan Islam.

Nilai Menurut Milton Rokeach dan James Bank, adalah suatu tipe kepercayaan yang
berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan yang mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.
Menurut Sidi Gazalba adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda
konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah dan menurut pembuktian
empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan
tidak disenangi(TEORI, n.d.). Nilai-nilai Islam itu pada hakikatnya adalah kumpulan dari
prinsip-prinsip hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya di dunia ini, yang satu prinsip dengan lainnya saling terkait membentuk satu
kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan. Nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-
sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia
untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah SWT.

Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal
dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri Wibowo (2015:17). Identitas dan
Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup masyarakat sekitar
agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah salah satu sarana dalam
mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik. Hal
senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013: 428) Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan
hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat
Alfian itu dapat diartikan bahwa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah
mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini
masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu.
Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan
yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan, serta dibimbing menjadi
manusia Muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi ini memberi
kesan bahwa filsafat pendidikan Islam sama dengan filsafat pada umumnya. Dalam arti
bahwa filsafat pendidikan Islam mengkaji tentang berbagai masalah yang ada hubungannya
dengan pendidikan, seperti manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, kurikulum,
metode, lingkungan, guru, dan sebagainya. Bedanya dengan filsafat pendidikan pada
umumnya bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam semua masalah kependidikan tersebut
selalu didasarkan kepada ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan
kata lain bahwa kata Islam yang mengiringi kata filsafat pendidikan itu menjadi sifat, yakni
sifat dari filsafat pendidikan tersebut.

C. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif, dalam buku Lexy J.
Moleong (2007:6) menyatakan pendekatan kualitatif artinya penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono
(2012 : 9) adalah: Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tehnik pengumpulan data
dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Sumber data adalah subyek dari mana data itu diperoleh daalam penelitian ini. Untuk
memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini, digunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian
ini adalah hasil wawancara dan observasi. Data wawancara bersumber dari salah satu warga
di Desa Senggiring, Kabupaten Mempawah yaitu ibu Maryuana yang merupakan pengelola
PAUD Insan Cerdas Mempawah Timur. Data Sekunder diambil dari dokumen dan bahan
pustaka, yaitu jurnal yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini dan sumbernya bisa
dipertanggungjawabkan.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Kearifan Lokal Tradisi Robo’-Robo’

Kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus
di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa,
kepercayaan, dan kebiasaan sehari hari (Fallis, 2017). Melayu Mempawah yang mempunyai
adat istiadat yang cukup unik di Kalimantan Barat. Salah satu adat istiadat tersebut adalah
Robo-Robo. Acara tersebut merupakan upacara yang dimaksudkan untuk mengenang para
pendiri Kerajaan Mempawah pada masa lalu yang dilaksanakan setiap tahun pada hari Rabu
terakhir di bulan Syafar. Acara Robo-Robo pertama kali diadakan oleh Penembahan Kerajaan
Mempawah yang telah memeluk Agama Islam (Septiadi, 2017). Acara Robo-Robo sudah
berlangsung lama dan mengakar dalam kebudayaan masyarakat Mempawah.

Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu
Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala
itu yakni, Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari
Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737
Masehi.\Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah,
bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang
bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya
bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten
Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan
disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan
memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di
pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng
Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng
Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai
untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari
Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala
Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan
Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon
keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa,
kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan
sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, yang saban tahun rutin dilakukan warga
Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai
bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan
Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar
terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai
penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang
menganggap bulan Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-
nantikan. Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya bagi
masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati
dengan menggelar Ritual Robo-robo.
Dinamakan Robo-robo karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar
menurut penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati
kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran
Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan
Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.
Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai
pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara
bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La
Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi Kesultanan
Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan
Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk, Raja Mempawah
waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta. Beliau
berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun
1766 M.
Tradisi Robo-Robo merupakan sejarah lokal yang telah melekat erat pada masyarakat
suku Melayu di Kalimantan Barat, Kabupaten Mempawah khususnya. Tradisi Robo-Robo
masih berlangsung hingga sekarang dan terus dipertahankan oleh masyarakat suku Melayu di
tengah-tengah arus globalisasi yang kian menggerus tradisi –tradisi lokal yang ada. Tradisi
Robo-Robo sebagai tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun oleh suku Melayu
dari generasi ke generasi dan terus dipertahankan hingga sekarang, yang mencerminkan
bagaimana masyarakat suku Melayu mewariskan masa lalunya kepada generasi
penerusnya(Suwarni & Ulfah, 2017).
Budaya lokal sebagai identitas bagi masyarakat dan warga. Identitas ini memfasilitasi
suatu pemahaman, tradisi, dan nilai-nilai dalam meningkatkan kesejahteraan dan memberikan
kontribusi untuk membangun rasa kebersamaan dan solidaritas(Ufie, 2016).

Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu
Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala
itu yakni, Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari
Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737
Masehi.\Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah,
bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang
bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya
bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten
Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan
disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan
memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di
pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng
Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng
Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai
untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari
Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala
Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan
Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon
keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa,
kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan
sebagai awal digelarnya hari Robo-robo, yang saban tahun rutin dilakukan warga
Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai
bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan
Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar
terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai
penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang
menganggap bulan Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-
nantikan. Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya bagi
masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati
dengan menggelar Ritual Robo-robo (Ema & Utami, 2017).
Dinamakan Robo-robo karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar
menurut penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati
kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran
Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan
Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.
Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai
pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara
bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La
Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi Kesultanan
Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan
Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk, Raja Mempawah
waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta. Beliau
berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun
1766 M (Rohani et al., 2018).
Persiapan-persiapan untuk menyambut Upacara Ritual Robo-Robo yang dilakukan di
Istana, di Sebukit, di Kuala dan di tempat-tempat lain yang ikut melaksanakan haruslah
disiapkan dengan sebenarnya. Hal ini dikarenakan Upacara RoboRobo selain bersifat
Serimonial juga bernuasakan Megis atau Sakral untuk inilah harus berhati-hati dan cermat
dalam melaksanakannya. Adapun persiapan yang diperlukan adalah antara lain:

a. Pembentukan panitia diutamakan dari keluarga (Karena dianggap lebih


memahami) yang dibantu para kerabat dan orang-orang yang dianggap mampu
untuk ikut dalam kepanitiaan;
b. Adanya musyawarah;
c. Pembagian tugas;
d. Pengumpulan biaya atau pengumpulan pemberian dari keluarga seperti beras,
buahbuahan, lauk pauk, gula, kopi, bumbu-bumbu dapur dan lain sebagainya;
e. Pembersihan Pusaka;
f. Alat-alat dan Pakaian Upacara;
g. Penyiapan Perahu
h. Membagikan undangan-undangan;
i. Kegiatan masak-masak;
j. Adanya musyawarah dengan Panitia Lokal dan Panitia Pemda; dan
k. Kebersihan lokasi bersama Panitia Lokal dan Panitia Pemda.

Adapun pusaka yang dibersihkan meliputi:

a. Dua buah pedang;


b. Dua buah Tampan (Perisai);
c. Dua buah Tombak;
d. Keris; dan Meriam (Septiadi, 2017).
2. Nilai Pendidikan islam dalam Tradisi Robo’-Robo’

Islam yang terkonstruksi dalam budaya lokal adalah salah satu referensi bagi masyarakat
tradisional dalam menanamkan nilai-nilai Islam dalam berkehidupan (Sunandar, 2015). Nilai-
nilai Islam itu pada hakikatnya adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hidup, ajaran-ajaran
tentang bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya di dunia ini, yang satu
prinsip dengan lainnya saling terkait membentuk satu kesatuan yang utuh tidak dapat
dipisahpisahkan. Yang terpenting dengan wujud nilai-nilai Islam harus dapat
ditransformasikan dalam lapangan kehidupan manusia (TEORI, n.d.).

Nilai-nilai dasar pendidikan Islam bermakna konsep-konsep pendidikan yang dibangun


berdasarkan ajaran Islam sebagai landasan etis, moral dan operasional pendidikan. Dalam
konteks ini, nilai-nilai dasar pendidikan Islam menjadi pembeda dari model pendidikan lain,
sekaligus menunjukkan karakteristik khusus (Sarjono, 2005).

Tradisi Robo-Robo yang terdapat di Mempawah, merupakan sejarah lokal yang telah
menjadi bagian dari identitas masyarakat Mempawah khususnya masyarakat suku Melayu,
yang juga merupakan bagian dari penduduk Mempawah. Nilai-nilai sejarah yang terkandung
dalam tradisi Robo-Robo relevan dengan nilai dalam pembelajaran sejarah, khususnya materi
tradisi masyarakat Indonesia sebelum dan sesudah mengenal tulisan. Kochar (2008: 56-63)
mengemukakan bahwa nilai sejarah yang sangat berguna bagi siapa saja yang ingin belajar
dari sejarah, terutama siswa sekolah atau peserta didik, nilai-nilai tersebut adalah nilai
keilmuan, nilai informatif, nilai pendidikan, nilai etika, nilai budaya, nilai nasionalisme, dan
nilai internasional(Suwarni & Ulfah, 2017).
Pembelajaran sejarah agar menarik dan menyenangkan dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara antara lain mengajak siswa pada peristiwa-peristiwa penting sejarah yang
terjadi di sekitar. Umumnya siswa akan lebih tertarik terhadap pelajaran sejarah bila
berhubungan dengan situasi yang ada di lingkungan sekitarnya, sehingga siswa dapat
menggambarkan peristiwa masa lalu seperti dalam pelajaran sejarah. Siswa yang pernah
mengikuti tradisi Robo-Robo dapat menceritakan pengalaman yang dialami selama
mengikuti tradisi Robo-Robo kepada teman-temannya yang lain(Suwarni & Ulfah, 2017).

Robo’-robo’ ini merupakan suatu tradisi di Kabupaten Mempawah yang perlu dijaga dan
dilestarikan. Budaya Robo-Robo harus terus dilestarikan sebagai satu di antara aset daerah.
Event budaya Robo-Robo di Mempawah saat ini sudah resmi menjadi satu diantara warisan
budaya tak benda Indonesia. Acara ini sebagai wujud rasa cinta dari generasi baru dari
leluhur nenek moyangnya yang termasuk sejarah baru terbentuknya kerajaan Mempawah
yang saat ini menjadi kabupaten Mempawah. Dengan ini menghargai jasa leluhur yang
membuat karya besar bagi Kabupaten Mempawah. Terlebih bangsa besar adalah bangsa yang
menghargai jasa pejuang dan pahlawan mereka.

Dengan memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi Robo’Robo’ memiliki


kontribusi terhadap konsep dalam pendidikan islam agar bisa menghindar dari terjadinya
masalah moral dan sosial, serta krisis nilai-nilai kearifan lokal (Wahab, 2017). Tetap harus
menjaga toleransi beragama yang berimplikasi pada penciptaan kerukunan masyarakat,
melestarikan kegiatan-kegiatan keagamaan maupun sosial (Salim & Andani, 2020). Konsep
pendidikan sebagai rumusan modifikasi kearifan lokal dalam aspek komunikasi. Dengan
mendapatkan nilai kearifan lokal menjadi bentuk pendidikan yang baru melalui komunikasi
seperti menunjukkan pendidikan bahasa yang santun kepada masyarakat (Wahab, 2015).

Konsep hidup masyarakat Melayu berakar pada nilai-nilai agama Islam yang di dasarkan
pada al-Qur’an dan Sunnah nabi, begitu juga dengan adat, dimana ia harus berasaskan Islam.
Robo-robo merupakan salah satu unsur budaya bangsa serta sumber yang dapat memberikan
informasi dan pengetahuan. di dalamnya banyak mengandung nilai-niai yang terdapat di
dalam suatu masyarakat, nasehat, pesan, serta petunjuk-petunjuk bagi remaja milenial saat ini
dan berguna bagi kehidupan. Nilai islam yang terkandung dalam praktek lokal Robo-Robo
meliputi Nilai Religious, wujud syukur kepada Allah SWT karena pada hari Rabu terakhir
bulan Sapar (Hijriah) masyarakat memperoleh keberkahan. Meyakini bahwa allah telah
menciptakan langit dengan seisinya agar hambanya senantiasa bersyukur atas berkahnya baik
yang bersumber dari alam, sehingga masyarakat melayu peracaya dengan pentingnya
menjaga alam.

Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan
yang bersumber atau berlandaskan atas ajaran-ajaran agama Islam. Filsafat pendidikan Islam
adalah pembahasan tentang hakikat kemampuan Muslim untuk dapat dibina, dikembangkan,
dan dibimbing, sehingga menjadi manusia yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam
(Tolchah, 2015).

Filsafat pendidikan Islam memperhatikan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang


mendasari pendidikan dalam Islam (Rohinah, 2013). Dalam mengetahui keberhasilan dari
tradisi Robo’-Robo ini terdapat 5 indikator mengevaluasi dengan melihat dan menilai apakah
tradisi Robo’-Robo’ berhasil, yaitu mulai tampak, baru tampak, setengah tampak, tampak
sekali, dan tampak menjadi.

Menurut pandangan saya, dari hasil evaluasi ditinjau dari filsafat pendidikan islam
indikator pencapaian dari kearifan lokal Robo’-Robo’ ini adalah sudah mencapai pada
“Tampak Menjadi”, karena Robo’-Robo’ sudah menjadi icon atau identitas dari budaya
masyarakat Kota Mempawah, menjadi sebuah aset wisata budaya yang telah menjadi salah
satu kalender wisata nasional. Perayaan Robo-Robo (yang kadang dieja Robok-Robok),
adalah adat masyarakat Mempawah yang saat ini tidak hanya dikenal oleh turis domestik
namun juga turis-turis asing.

E. Kesimpulan

Melayu Mempawah yang mempunyai adat istiadat yang cukup unik di Kalimantan
Barat. Salah satu adat istiadat tersebut adalah Robo-Robo. Acara tersebut merupakan upacara
yang dimaksudkan untuk mengenang para pendiri Kerajaan Mempawah pada masa lalu yang
dilaksanakan setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Syafar. Acara Robo-Robo pertama
kali diadakan oleh Penembahan Kerajaan Mempawah yang telah memeluk Agama Islam.
Acara Robo-Robo sudah berlangsung lama dan mengakar dalam kebudayaan masyarakat
Mempawah.

Robo’-robo’ ini merupakan suatu tradisi di Kabupaten Mempawah yang perlu dijaga
dan dilestarikan. Budaya Robo-Robo harus terus dilestarikan sebagai satu di antara aset
daerah. Event budaya Robo-Robo di Mempawah saat ini sudah resmi menjadi satu diantara
warisan budaya tak benda Indonesia. Acara ini sebagai wujud rasa cinta dari generasi baru
dari leluhur nenek moyangnya yang termasuk sejarah baru terbentuknya kerajaan Mempawah
yang saat ini menjadi kabupaten Mempawah. Dengan ini menghargai jasa leluhur yang
membuat karya besar bagi Kabupaten Mempawah. Terlebih bangsa besar adalah bangsa yang
menghargai jasa pejuang dan pahlawan mereka. Nilai islam yang terkandung dalam praktek
lokal Robo-Robo meliputi Nilai Religious, wujud syukur kepada Allah SWT karena pada hari
Rabu terakhir bulan Sapar (Hijriah) masyarakat memperoleh keberkahan. Meyakini bahwa
allah telah menciptakan langit dengan seisinya agar hambanya senantiasa bersyukur atas
berkahnya baik yang bersumber dari alam, sehingga masyarakat melayu peracaya dengan
pentingnya menjaga alam.
DAFTAR PUSTAKA

Ema, & Utami, N. E. (2017). KERAJAAN MEMPAWAH PADA MASA OPU DAENG
MENAMBON TAHUN 1737-1761 DI KABUPATEN PONTIANAK. JURNAL
SOSIOEDUKASI, 6(1), 17–21.

Fallis, A. . (2017). Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699.

Indana, N., Fatiha, N., & Ba’dho, A. (2020). NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM. 2(2), 106–
120. http://publications.lib.chalmers.se/records/fulltext/245180/245180.pdf
%0Ahttps://hdl.handle.net/20.500.12380/245180%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.jsames.
2011.03.003%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.gr.2017.08.001%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/
j.precamres.2014.12

Rohani, Novianty, F., & Firmansyah, S. (2018). Analisis Upaya Melestarikan Nilai-Nilai
Budaya Pada Masyarakat Adat Melayu Di Kecamatan Sungai KakapKabupaten
Kuburaya. VOX EDUKASI, 9(2), 82–162.

Rohinah. (2013). FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM; Studi Filosofis atas Tujuan dan
Metode Pendidikan Islam. Penddikan Islam, 2(2), 309–326.

Salim, A., & Andani. (2020). Kerukunan Umat Beragama; Relasi Kuasa Tokoh Agama
Dengan Masyarakat Dalam Internalisasi Sikap Toleransi Di Bantul, Yogyakarta.
Arfannur: Journal of Islamic Education, 1(1), 1–14.

Sarjono. (2005). Nilai-nilai Dasar Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2),
135–147.

Septiadi, I. (2017). Potensi Adat Istiadat Robo-Robo pada Etnis Melayu Mempawah untuk
Pembelajaran Matematika Sekolah. 1–11.

Sunandar. (2015). Melayu Dalam Tantangan Globalisasi : Refleksi Sejarah dan Berubahnya
Sistem Referensi Budaya. Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies, 5(1), 60–73.

Suwarni, & Ulfah, M. (2017). Internalisasi Tradisi Robo-Robo Sebagai Sumber Sejarah
Lokal Di Kelas x SMA Negeri 2 Kabupaten Mempawah. Sosial Horizon: Jurnal
Pendidikan Sosial, 4(2), 188–197.
TEORI, B. 2 K. (n.d.). Tinajauan Literatur. 14–34.

Tolchah, M. (2015). Filsafat Pendidikan Islam: Konstruksi Tipologis dalam Pengembangan


Kurikulum. Tsaqafah, 11(2), 381–398. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i2.274

Ufie, A. (2016). Mengonstruksi Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam


Pembelajaran Muatan Lokal sebagai Upaya Memperkokoh Kohesi Sosial (Studi
Deskriptif Budaya Niolilieta Masyarakat Adat Pulau Wetang Kabupaten Maluku Barat
Daya, Propinsi Maluku) | Ufie | Jurnal. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran (JPP),
23(2), 79–89. http://journal.um.ac.id/index.php/pendidikan-dan-
pembelajaran/article/view/10157/4844

Wahab. (2015). Sapa And Base Communication Of Sambas Society A Case Of Malay-
Madurese Post-Conflict 1999-2014. International Journal of Scientific and Technology
Research, 4(2), 253–256.

Wahab, W. (2017). Islamic Values of Social Relation in Besaprah Tradition of Sambas


Society: The Case of Post-Conflict Malay-Madura in 1999-2017. Walisongo: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 25(2), 383. https://doi.org/10.21580/ws.25.2.1339

Anda mungkin juga menyukai