Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PEMIKIRAN KH. ABDURRAHMAN WAHID


TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Studi Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Nusantara

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Mudzakkir Ali, MA

Disusun oleh :
Nama : Rohmatun Nazilah
NIM : 18200011243

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUA
N

A. Latar Belakang
Dalam dinamika perkembangan dunia pendidikan, kita tidak hanya
berfokus pada kurikulum dan peraturan-peraturan pendidikan saja, tapi juga kita
mampu melihat rekam jejak tokoh-tokoh pendidikan yang telah berkontribusi
pada perkembangan pendidikan khususnya di Indonesia. Banyak sekali tokoh
pendidikan yang telah berkontribusi dalam perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia. Salah satu dari sekian banyaknya tokoh tersebut adalah Abdurrahman
Wahid atau biasa disapa “Gus Dur”.
Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia,
gagasannya mengenai demokrasi dan pluralismenya sangat kuat hingga menjadi
acuan para tokoh lain yang mengikutinya. Walau demikian Gus Dur sering juga
mendapat kritikan dari orang-orang yang tidak menyukainya. Hal yang membuat
banyak pihak tidak menyukainya adalah karena pemikiran Gus Dur yang sering
dianggap “ngawur” dan dengan gaya bicaranya yang “ceplas-ceplos” menjadi
pemicunya. Namun demikian, Gus Dur bukanlah sosok yang lemah dan mudah
menyerah, dia sangat gigih memperjuangkan gagasan dan kontribusinya
terhadap kaum yang tertindas dan didiskriminasi oleh kepemerintahan dan
kondisi masyarakat saat itu. Dengan pemikiran serta karya-karyanya yang
bersejarah dan monumental maka tak heran banyak sekali orang-orang yang
terpengaruh oleh pemikirannya yang sangat diminati dan dikagumi. Ideologisnya
yang berprinsip pada asas demokrasi yang adil dan kesetaraan strata
mampu mengubah
Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat,
menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan
tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela golongan-golongan yang
tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme Indonesia karena sikap
toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang ada, seperti
masalah
juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan
dengan
cara memperbarui dunia pendidikannya

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi K.H.Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana pemikiran K.H.Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
Agama
Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang Biografi K.H.Abdurrahman Wahid
2. Mengetahui tentang pemikiran K.H.Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
Agama Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi K.H.Abdurrahman Wahid


Abdurrahman Wahid lahir di Jombang pada 4 Agustus 1940. Tetapi, hari
lahir sebenarnya adalah 4 Sya‟ban 1359 H bertepatan dengan 7 September
1
1940.
Ini terjadi karena kesalahan administrasi saat mendaftar di sekolah dasar,
Gus Dur memberi keterangan dalam kalender Islam tetapi dipahami dalam
kalender masehi oleh pihak sekolah. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman
Ad-Dakhil - yang diambil dari nama salah seorang pahlawan Dinasti Umayyah
yang berhasil membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban di
sana- yang secara
2
harfiah berarti “Sang Penakluk”. Ia kemudian lebih dikenal masyarakat
dengan
panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren untuk
anak laki-laki kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara
keturunan KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra KH. Hasyim Asy‟ari,
pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926 dan Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri
Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur merupakan
campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih (kalangan kiai). Selain
itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan ayahnya

1
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman
2
Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 25.
optimisme yang tinggi kepada anak pertamanya yang baru lahir. Meski nama yang berat
bagi seorang anak, tetapi Wahid Hasyim yakin dengan masa depan anaknya. Greg
Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 35
Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita Hayatunnufus dan
3
Inayah Wulandari.
Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan
banyak puisi dalam bahasa arab. Abdurrahman Wahid mulai menuntut ilmu di
Sekolah Dasar (SD) di Jakarta. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke
sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Tanah Abang. Selanjutnya ia
pindah ke Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang tokoh Muhammadiyah, KH.
Junaid seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Setelah menamatkan
pendidikannya di SMEP, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya
untuk belajar diberbagai pesantren yang berada dibawah naungan Nahdlotul
Ulama. Pada mulanya, ia mondok di Tegalrejo Magelang (1957-1959).
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Abdurrahman Wahid menimba ilmu di
Mualimat Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Setelah itu, ia
mondok di pesantren Krapyak, Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang tokoh
NU terkemuka, KH. Ali Maksum. Selanjutnya pada tahun 1964, ia
berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo, hingga
tahun 1966. Karena merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Al-Azhar
tersebut, maka pada tahun 1966-1970 ia meninggalkan Kairo untuk
melanjutkan studinya di
4
fakultas seni universitas Bagdad.
Gus Dur memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis
ketika ia belajar di kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah,
tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas
Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini
pula, Gus Dur belajar sufisme dan sering melakukan ziarah kubur ke makam-
makam para wali kelas dunia.
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus
3
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan
Pendidikan Esensi
Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h.71
4
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 340-341.
pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi
kepedulian
utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam
tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana
modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan
konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur
yang
khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan
reinterpretasi dan kontekstualisasi. Jika dilacak, dari segi kultural, Gus
Dur
melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren
yang
sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan
budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga,
lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan
kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi.
Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus
Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah
barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan
tidak segera
5
mudah dipahami, alias kontroversi.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat
sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali
surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan
oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan
gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30
Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak
lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin.
Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.
Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang

5
.Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais
Tentang
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 121
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid
Beberapa karya yang dihasilkan dari pemikiran Gus Dur antara lain,
Bunga Rampai Pesantren, Muslim di Tengah Pergumulan, Kyai Nyentrik
Membela Pemerintah, Tuhan Tak Perlu Dibela, Prisma Pemikiran
7
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Kyai
Menggugat; Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
Transformasi, Tabayyun Gus Dur, Islam; Negara; dan Demokrasi, Himpunan
Percikan Perenungan Gus Dur, Gus Dur Menjawab Tantangan Perubahan,
Membangun Demokrasi, Melawan

B. Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam


1. Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam
Pendidikan dalam islam lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta‟lim,
ta‟dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing istilah tersebut
memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya
disebut bersamaan. Namun, kesemuanya akan memilki makna yang
sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya
mewakili istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam beberapa buku pendidikan
Islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian dalam mewakili
peristilahan pendidikan Islam.
a. Tarbiyah
Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabba atau rabaa didalam al-
Quran disebutkan lebih dari dalapan ratus kali, dan sebagian besar atau
bahkan seluruhnya dengan Tuhan, yaitu terkadang dihubungkan dengan
alam jagat raya (bumi, langit, bulan, bintang, matahari, tumbu-tumbuhan,
binatang, gunung, laut dan sebagainya), dengan manusia seperti pada
kata rabbuna (Tuhan kami), rabbuhu (Tuhannya), rabbuhum (Tuhan
mereka semua), rabbiy (Tuhan-ku). Karena demikian lausnya
pengertian al-

8
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.359.
Attas yang tidak sependapat dengan pakar pendidikan lainnya
yang
menggunakan kata al-tarbiyah dengan arti pendidikan. Menurutnya, kata
al-tarbiyah terlalu luas arti dan jangkauannya. Kata tersebut tidak hanya
menjangkau manusia melainkan juga menjaga alam jagat raya
sebagaimana tersebut. Benda-benda alam selain manusia, menurutnya
tidak dapat dididik, karna benda-benda alam selain manusia itu tidak
memiliki persyaratan potensial, seperti akal, pancaindra, hati nurani,
insting, dan fitrah yang memungkinkan untuk dididik. Yang memiliki
potensi-potensial diatas itu hanya manusia. Untuk itu Naquid al-Attas
lebih memilih kata al-ta’dib (sebagaimana nanti akan dijelaskan) untuk
adti pendidikan, dan bukan kata al-tarbiyah.
Tetapi menurut ulama‟. tarbiyah dapat juga dapat diartikan
dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani).
Kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi
dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk
ketakwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur.” Sebagai proses,
tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu
pengetahuan yang sulit. Pengertian tersebut diambil dari QS. Ali imron
ayat 79
b.
Ta’lim
Ta‟lim merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari
akar kata „allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah
tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan
pengajaran. Kalimat allamahu al-„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu
9
kepadanya.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan
:”proses tranmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa

9
Hans Wehr, A Dictionary of modern written Arabic, Op cit., h. 636
c. Ta’dib
Ta‟dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan
santun,
tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta‟dib
yang seakar dengan adab memilki arti pendidikan peradaban atau
kebudayaan. Artinya, orang yang berpendidikan adalah orang yang
berperadaban, sebaliknya, peradaban yang berkualitas dapat diraih
d.
melalui pendidikan. Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan pengajaran
dan
pelatihan. Menurut al-bastani, riyadhah dalam konteks pendidikan berarti
mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia. Pengertian ini akan
berbeda jika riyadhah dinisbatkan kepada disiplin tasawuf atau olahraga.
Riyadhah dalam tasawuf berarti latihan rohani dengan cara menyendiri
pada hari-hari tertentu untuk melakukan ibadah dan tafakur mengenai hak
dan kewajibanya. Sementara riyadhah dalam disiplin olahraga

Menurut Drs. Ahmad D. Marimba pendidikan Islam adalah


bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian
utama tersebut dengan istilah “kepribadian muslim”, yaitu kepribadian yang
memiliki nilai-nilai agama Islam. Memilih dan memutuskan serta berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam. Dan bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-
10
nilai Islam.
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi
antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi
oleh pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan

10
Nur Uhbiyati , Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h.
9-10
pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan
pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam.
Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam
secara jelas terlihat pada gagasannya melalui pembaruan pesantren. Menurutnya,
semua aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum,
manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren
juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan
klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil
11
sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk perkembangan.
Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri
dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan
kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan,
bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya,
bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun. Konsep pendidikan Gus Dur ini
adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan bertujuan
untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang utuh,
mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.

2. Tujuan Pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman Wahid


a. Pendidikan Islam Berbasis Neomodernisme
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, tidak lepas dari
peran pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang
menjadi wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi
intelektual Islam tradisional. Dalam perjalanan historisnya, pesantren
muncul sejak awal abad hijriyah, hingga masa-masa paling akhir dari
imperium Usmaniyah di Turki pada awal abad ke-20. Dan sampai
kini

11
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013),
h. 37
masyarakat. Bagi Gus Dur pendidikan Islam haruslah memadukan
12
sesuatu yang tradisional dan modern.
Gus Dur adalah pemimpin besar yang sangat disegani karena
kedalaman pemikiran sosialnya, keluasan wawasan politiknya, keawasan
naluri politiknya dan besar pengaruhnya sepanjang sejarah Indonesia
sejak lebih dari tiga dawarsa yang lalu. Kemampuan Gus Dur meramu
tradisi pesantren dengan pemikiran-pemikiran modern
menjadikannya
13
sebagai juru bicara utama para kiai-kiai dan masyarakat NU.
Menurut
Gus Dur, sistem pendidikan nasional harus diubah dengan pendidikan
berbasis masyarakat. Sebab sistem pendidikan kita sekarang hanya
formal. Orang tidak punya ijazah tidak dipakai, padahal banyak warga
masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki kemampuan. Termasuk
pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tapi tidak pernah
b.
dihargai, paparnya
Pendidikan Islam Berbasis Pembebasan
Pendidikan Islam sebagai wahana pembebasan bagi ummat
manusia, sudah tertuang dalam teks-teks Al-Qur‟an dan diperkuat oleh
Al-Hadist, akan tetapi secara konstektual hal tersebut sudah tersirat pada
ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis, sehingga sangat memungkinkan bagi
manusia untuk menginterpretasikan Al-Qur‟an secara skriptual dan
menginterpretasikan ayat-ayat Allah secara konstektual
merupakan cermin kemerdekaan manusia. Pendidikan berupaya
memberikan bantuan untuk membebaskan manusia di dalam kehidupan
objektif dari penindasan yang mencekik mereka. Oleh karena itu
pendidikan islam mempunyai peran penting untuk memberikan

12
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esensi
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h.82
13
A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia,
(Yogyakarta, Klik.R, 2007), h.7
14
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esensi
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h.88
pembebasan kepada peserta didik, dalam koridor nilai-nilai
15
humanistiknya yang sesuai dengan inti ajaran islam.
c. Pendidikan Islam Berbasis Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah paham yang mengajarkan keberagaman
budaya, adanya keberagaman budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun
agama tentu merupakan suatu harapan akan perdamaian dalam hidup
16
berdampingan dalam bingkai perbedaan. Pendekatan yang
digunakan Gus Dur dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam
kehidupan kemasyarakatan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan
ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat
kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem
kemasyarakatan yang
sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan ini
lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan
lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial
secara evolutif dan gradual. Pendekatan seperti ini dapat mempermudah
masuknya „agenda Islam‟ ke dalam „agenda nasional‟ bangsa

3. Kurikulum Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif
dan inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan
potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap
problem yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman
Wahid, diantaranya:
a. Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan
psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan
karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka
tidak

15
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esens
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h. 89 i
16
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esens
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h. 92 i
17
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esens
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h. 93 i
mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar
mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan);
b. Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented
sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan
inovatif pada diri peserta didik;
c. Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran
peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa
bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti
transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character building)

Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah
sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat
demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri,
pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu
bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut
18
diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya

4. Metode Pendidikan Islam Perspekif K. H. Adurrahman


Wahid
a. Strategi Politik
Gus Dur mengambil sikap dan langkah yang berbeda
dengan mayoritas aktivis Islam karena ia memiliki dasar yang kuat.
Wawasannya
khazanah intelektual Islam, baik klasik maupun kontemporer.
Pemahamannya terhadap banyak khazanah intelektual Islam dan
juga
khazanah intelektual secara umum membuatnya menjadi pribadi
yang memiliki pandangan komprehensif terhadap berbagai persoalan
yang ada. Dan karena itulah, Gus Dur memandang keberagaman harus
mendapat
18
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esensi
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h. 115
meniadakan sesuatu karena alasan perbedaan, walaupun yang
berbeda
secara numerik hanya sejumlah kecil saja. Strategi politik
merupakan wahana untuk menyatukan umat dalam bingkai perbedaan.
b.
Strategi cultural
Pondok pesantren sebagai lembaga kultural yang
simbol-simbol budaya jawa, sebagai agen pembaharuan yang
memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development),
sebgai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning)
dan juga pondok pesantren yang bersandar pada silabi yang dibawakan
oleh Imam Al-Suyuti lebih dari 500 tahun nan-lalu, dalam itmam al-
dirayah silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren
tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terbagi
dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu
atau tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-qur‟an dan teks hadis nabi,
semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam.
c. Strategi sosio-kultural
Gus Dur menempatkan pesantren pada sebuah tempat eksklusif
dalam kognisi beliau. Pemikiran-pemikiran Gus Dur masih terbuka bagi
siapa saja yang ingin memperebut dan memperjuangkan budaya-budaya
Islam tradisional, khususnya budaya pesantren, namun tidak menutup
19
mata terhadap kondisi dan perkembangan zaman yang terus berevolusi.

5. Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid


Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun
pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni
klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal
menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-
Sunnah Wal Jama‟ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas.
Ketiga, berupaya

19
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan Esensi
Pendidikan Di Era Global, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h. 127-134
Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi
oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional
yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan
budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika
yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah
yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan
sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi
Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh
membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur
selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.

6. Relevansi Pemikiran Gus Dur dengan Pendidikan Saat Ini


Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia
pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan
pendidikan Islam ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai
saat ini masih dipertahankan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Artinya,
dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam
mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah
menjadi robot- robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang
mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif
Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik.
Selain itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik
mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang
satu ini nampaknya sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia saat
ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun
peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup
transfer of knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta
pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran
tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan
pendidikan berkarakter.
Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski
pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam,
namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai
pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula
diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.

7. Karya-Karya Intelektual KH. Abdurrahman Wahid


Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau
mungkin -meminjam istilah Antonio Gramsci- "intelektual organik" dari
tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat
reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan
senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan
pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting
substansi yang disampaikannya.
Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang
kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif.
Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus
Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu dapat
terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya
membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan dapat dilihat dari
kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.
Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut
dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat
beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fiqih praktis
di pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh
Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang
serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus
Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus
Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke
dalam
Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang
menjadi
perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi
gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
1) Pandangan dunia pesantren.
2) Pribumisasi Islam.
3) Keharusan demokrasi.
4) Finalitas, negara-bangsa pancasila.
5) Pluralisme agama.
6) Humanitarinisme universal, dan
7) Antropologi kiai.
Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan
dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang
menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, Lingkungan hidup, dan
gender. Tema- tema pokok inilah barangkali yang melandsi seluruh gerakan
Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan
maupun ekonomi. Seluruh tema tersebut, dalam banyak tulisan dibidik Gus
Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekeyaan intelektual dan
kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenal
agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya
lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan Gus Dur.
Sementara pengembaraannya di timur tengah dan di barat telah
mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu mondial yang membuatnya
harus berfikir kosmopolit dan progresif.
Dalam artikel berjudul “Peranan Umat Islam dalam Berbagai
20
Pendekatan”, Gus Dur juga berargumen bahwa konvergensi nilai-nilai
hukum Islam terdiri dari dua model pendekatan, yaitu nilai inspiratif dan
normatif. Model inspiratif bahwa nilai- nilai Islam menjadi titik tolak bagi
pengembangan moral aturan. Sedangkan model yang kedua, normatif

20
Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.), Kontroversi Pemikiran
Islam
dapat dilakukan dengan cara melihat Islam dalam bentuk norma.
Sehingga
menurutnya kedua pendekatan ini sangat penting untuk dikembangkan, dan
21
keduanya harus ada dan saling mendukung. Menurut penulis, hal
inilah yang mungkin digunakan Gus Dur sebagai landasan pendekatan
antropologi- budaya pada ide „pribumisasi Islam‟ miliknya.
Ide pribumisasi Islam yang fenomenal Gus Dur berpandangan bahwa
dalam memahami wahyu haruslah dipertimbangkan aspek kontekstual
ataupun adat istiadat setempat, sepanjang hal tersebut tidak mengubah makna
dan substansi agama dengan berdasarkan pada “al-‘ādatu muhakkamah”.
Pandangan Gus Dur tersebut merupakan buah pemikirannya tentang
universalisme Islam sebagaimana yang terdapat dalam artikel berjudul
“Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, menurutnya
universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manivestasi penting
dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai
bidang seperti hukum agama (fiqh), ketauhidan (tauhīd), etika (akhlāq) yang
dalam masyarakat seringkali disempitkan hingga menjadi kesusilaan belaka
dan sikap hidup, menampakkan kepedulian yang sangat besar kepada
unsur-
22
unsur utama dari kemanusiaan.
Sementara itu, dalam artikel berjudul “Menjadikan Hukum Islam
sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur berargumen bahwa hukum
Islam memiliki kedudukan kunci dalam kehidupan bergama. Sebagai
kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seseorang yang
petuh memeluk agamanya. Menurutnya hukum Islam memiliki pengertian
yang lebih dari sekedar luas lingkup yang dikenal orang pada umumnya. Di
samping itu juga mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya

21
Muntaha Azhari dan Mun‟im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan,
(Jakarta: P3M, 1989), hal.198-199
22
M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan
Realitas
Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), hal. 545
Dalam artikel berjudul “Islam, Ideologi dan Etos Kerja di
Indonesia”,
Gus Dur berpandangan bahwa dengan mengutip kembali fatwa
muktamar
bahwa Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk
melaksanakan ajaran agama dan membiarkan hal-hal yang
berhubungan
dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan
23
ideologi politik mereka ditentukan oleh proses negara.
Terdapat juga tulisan-tulisan kumpulan esai yang ditulis Gus
Dur pada periode 1980-an yang diterbitkan oleh Tempo. Sebuah periode
yang dapat disebut sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Diantara judul
esai-esai tersebut antara lain seperti: Pesantren Dan Ludruk, Kiyai Nyentrik
Membela Pemerintah, Kiyai Khasbulloh Dan Musuhnya, Sulit Masuknya
Mudah Keluarnya, Kiyai Ikhlas Dan Ko- Edukasi, Reorientasi Kiyai Adlan,
Kiyai Razaq Yang Terbakar, Ketat Tapi Longgar, Kiyai Iskandar Dan Pak
Damin, Bersatu Dalam Menuntut Ilmu, Baik Belum Tentu Bermanfaat,
Tokoh Kiyai Syukri, Sang Kiyai Dan Keyakinannya, Dunia Nyatakiyai
Zainal, Ustadz Yang Hidup Dalam Dua Dunia, Bila Kiyai Berdebat,
Kiyai Dolar Berdakwah, Syeikh Mas‟ud memburu Kitab, Kiyai Mencari
Mutiara, Yang Umum Dan Yang Khusus, Akar Prioritas Ibadah, Dokter
Idealis Kiyai Formalis dan Muallim Syafi‟i: In Memoriam. Berbagai judul
esai ini dapat pula ditemukan dalam buku “Kiyai Nyentrik Membela
Pemerintah.”
Dalam buku yang cukup fenomenal berjudul “Islamku, Islam Anda,
dan Islam Kita”, Gus Dur menunjukkan bagaimana potret pemikirannya
tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme,
demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme
dan globalisasi. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos
wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama

23
Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet.
II,
mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual
hingga kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural.
Dalam buku ini, Gus Dur memberikan tiga kerangka keberIslaman
yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan mendalam, terutama
dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu keberIslaman
yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan. Kedua, Islam
Anda, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini
harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri
terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan Nahdlatul Ulama dapat
jadi berbeda dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula
sebaliknya. Ketiga, Islam Kita, yaitu keberIslaman yang bercita-cita untuk
mengusung kepentingan bersama kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412
halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya menerjemahkan
konsep
24
Islam Anda.
Pada umumnya, diskursus keberIslaman hanya terhenti pada
kedua
model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi akan
pentingnya merajut antara keberIslaman yang berbasis pada pengalaman dan
keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada
perdamaian dan keadilan sosial.
Seperti pernyataan Dr. M. Syafi‟i Anwar, dalam kata pengantarnya,
dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur
adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi
Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada
kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur
lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya
ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk
melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks
keIndonesiaan.
24
M. Husaini, “Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id,
Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekat Gus Dur,
mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari
beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam
Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti
kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan
sosial. Di sisi lain, Gus Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting
yang melengkapi khazanah intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik.
Dalam konteks inilah, ia -bersama Nurcholish Madjid- lantas disebut sebagai
kelompok neo-modernis.
Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan
bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu.
Hampir setiap isu kontemporer direspon Gus Dur. Ini mungkin berkaitan
dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial,
terutama di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai pemimpin berjuta-juta umat
pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus
Dur untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal
keagamaan dan ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi trend Dunia
Ketiga.
Meski secara kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun
belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara
pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut kiranya butuh penelitian
khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti
Prisma, lebih serius dan lebih bermutu dari pada tulisan artikel atau kolom di
Majalah atau Surat Kabar Harian, maka periode pertengahan akhir 1970-an
hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak keemasan
intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya dapat disebut "periode
ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur mencurahkan energi
intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di Prisma,
Tempo, dan Kompas.
Sementara pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga
pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke berbagai
media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo,
Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor,
Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan
tetapi, tulisan-tulisan periode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang
pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk
antologi. Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni “Kiai
Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
25
Transformasi”.
Seiring dengan kesibukannya pada akhir tahun 1990-an, tulisan-
tulisan ilmiah bermutu Gus Dur di atas pada akhirnya berganti dengan
komentar-komentar dan statemen-statemen yang hampir tiap hari menghiasi
wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya kian
pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB
(Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat,
maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan
statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum
intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.
Dengan pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas
bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang aktifis gerakan sosial dan
gerakan politik semata, melainkan juga seorang intelektual dan pemikir
cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik
di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak pernah belajar di
dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar
karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu ilmu-
ilmu

25
Abdurrahman Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab,
PergumulanSebuah
Wacana dan Transformasi, (Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989)
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab,


Sebuah
Pergumulan Wacana dan Transformasi, Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia,
Yogyakarta, Klik.R, 2007
Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais, Yogyakarta: Laelathinkers, 2003
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2013

Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam : Upaya Mengembalikan


Esensi
Pendidikan Di Era Global, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (terj.) Jakarta:
Paramadina, 1999

Hans Wehr, A Dictionary of modern written Arabic, Op cit., h. 636

M. Husaini, “Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id,

M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam


dan
Realitas Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993
M.Sugeng Sholahuddin, Ensikloped Toko Pendidika Islam
Pekalongan: Stain Press, 2005 i h n ,

Muhammad Rifa‟i, Gus Dur, Yogyakarta: Garasi, 2009

Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.), Kontroversi


Pemikiran
Islam Di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990
Nur Uhbiyati , Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005

Zainal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku
Kita, 200

Anda mungkin juga menyukai