Anda di halaman 1dari 17

TUGAS SEJARAH

KERAJAAN ISLAM DI NUSA TENGGARA


“KERAJAAN BIMA”

KELOMPOK 1:
-JELITA AZZAHRA MAHARANI
-FAUZIAH ZAHRA AMALIA
-SELFI TRIANAWATI
-AZZA PRADISTA
-ALFARIZKI FAUZI
ASAL-USUL KERAJAAN BIMA
Kerajaan Bima terletak di pantai timur pulau Sumbawa. Asal mula kerajaan ini diperkirakan
telah ada sejak periode Hindu. Namun, sayang sekali, data sejarah berkenaan dengan kerajaan ini
pada masa Hindu sangat minim. Data sejarah tertulis yang tersedia hanya pada fase Bima telah
konversi ke Islam pada tahun 1620 M. Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip.
Sumber-sumber tersebut menceritakan tentang fase sejarah sejak masa prasejarah hingga
masuknya Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa
Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa tersebut
ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat naskah-naskah kuno
yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut.
Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M.
Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun, bahasa ini belum
mencapai taraf bahasa tulis. Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis
dalam bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M. Ketika
itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut
terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Ncuhi terkuat
adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan,
ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra
Zamrud menggunakan nama ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau
Sumbawa tersebut. Berkenaan dengan Zamrud, kisahnya dimulai pada masa kanak-kanak, ketika ia
dikirim ayahnya ke Pulau Sumbawa dengan keranjang bambu. Indra Zamrud sampai dan mendarat di
Danau Satonda, dekat Tambora. Ncuhi Dara sudah mendengar berita kedatangan Indra ini, karena
itu ia datang untuk menyambut dan mengangkatnya sebagai anak. Ketika Indra dewasa, lima Ncuhi
di Sumbawa sepakat mengangkatnya menjadi raja, sedangkan para Ncuhi tersebut menjadi menteri.
Dengan kepemimpinan mereka, Kerajaan Bima terus berkembang dan menjadi pelabuhan dagang
yang cukup diperhitungkan. Kenyataan ini sejalan dengan catatan yang terdapat dalam Kitab
Negarakertagama yang menyebutkan bahwa, Kerajaan Bima sudah memiliki pelabuhan besar pada
tahun 1365 M. Jadi, kisah dalam Bo Sangaji Kai ini sesuai dengan catatan Negarakertagama.
PROSES MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN BIMA
Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal
kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap
yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam
tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada
tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah
masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.

Berdasarkan kajian dan penelitian itulah, ditetapkan dua tahap masuknya


islam di tanah Bima. Hal itu didasarkan pada keterangan dari catatan lokal yang
dimiliki, ternyata tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan
Ternate sangat besar. Para mubaliq dan pedagang dari dua negeri tersebut silih
berganti menyiarkan Islam di Dana Mbojo. Selain itu para pedagang Bima pun
memiliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis kedatangan
Islam di Bima yaitu tahap pertama dari Demak dan kedua dari Ternate.

Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang
ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke
Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh
para pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang
dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di
Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima
selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam.
PROSES MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN BIMA
Keterangan Tome Pires juga diperkuat Panambo Lombok, DR. E Urtrech, SH mengatakan bahwa “
pengislaman di pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan sunan prapen putera Sunan Giri yang
pernah menundukkan Sumbawa dan Bima. “ Saya sepakat dengan M. Hilir bahwa kata “ Menundukkan “
dalam keterangan Panambo Lombok itu tidaklah tepat, karena proses islamisasi di tanah air secara umum
tidak dilakukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan misi damai, dakwah dan perdagangan serta
perkawinan silang. Kata menundukkan itu sebenanrnya lebih mengarah pada kesadaran masyarakat untuk
memeluk Islam. Disamping itu, jika terjadi penundukkan berarti raja Bima saat itu sudah memeluk Islam
dan diikuti oleh rakyatnya. Tapi pada kenyataannya Islam baru secara resmi menjadi agama kerajaan pada
tahun 1640 M.

Tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui
betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur islam di wilayah timur nusantara.
Pada masa sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate.
Dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi
Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara islam
itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara. Pada masa sultan Baabullah(tahun 1570-
1583), usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang
Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima. Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa
para Mubaliq dari Sulawesi Selatan yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11
Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan
Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.

Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat situasi politik dan keamanan sangat
tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari
Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa
politik dijalankan oleh Salisi. Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik
menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan
areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma
Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
PROSES MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN BIMA
Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq
untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera
Mahkota La Ka’I dalam pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan
belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.

Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari


1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat
syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera
mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara
Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma
Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.

Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi
Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan
dari pamannya salisi. Hal itu yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari
kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan
masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.
PERIODE PEMERINTAHAN KERAJAAN BIMA
Sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah
memerintah sekitar 60 orang raja atau sultan di
Kerajaan Bima. Khusus pada periode Islam, ada 14
orang sultan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, yang
berkuasa di Kerajaan Bima adalah Sultan Muhammad
Shalahuddin. Ia meninggal dunia pada tahun 1951, dan
kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II. Di
masa Abdul Khair II ini, ia tidak banyak berkecimpung
untuk mengurus Kerajaan Bima, sebab ia lebih memilih
menjadi pegawai di Departemen Dalam Negeri dan
anggota Parlemen. Ketika meninggal dunia, ia
digantikan oleh anak tertuanya, Putra Feri Andi
Zulkarnain.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA KERAJAAN BIMA
Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli
yang mendiami Bima adalah orang Donggo. Sebagian besar di antara mereka
mendiami daerah dataran tinggi. Sebelumnya, 0rang-orang Donggo ini juga banyak
yang mendiami daerah dataran rendah, namun, karena terdesak oleh para
pendatang yang membawa agama dan kebudayaan baru, mereka menyingkir ke
dataran tinggi. Hal ini didorong oleh keinginan untuk mempertahankan agama dan
tradisi yang telah mereka warisi secara turun temurun. Kepercayaan asli orang
Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan Marafu. Dalam
perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama Kristen dan Islam. Orang
Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam, dengan sistem
peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu, rumah mereka juga berpindah-
pindah. Suku lain yang mendiami Bima adalah orang Dou Mbojo. Mereka adalah
para migrant dari daerah Makasar yang datang sekitar abad ke-14 M. Mereka
berbaur dan menikah dengan orang asli Bima dan mendiami daerah pesisir. Untuk
bertahan hidup, mereka bercocok tanam, berdagang dan menjadi pelaut.
Kepercayaan asli orang Dou Mbojo adalah Makakamba-Makakimbi, sejenis
animisme. Sebagai mediator antara alam gaib dengan manusia, dipilih seorang
pemimpin yang disebut Ncuhi Ro Naka. Secara substantif, kepercayaan ini tidak
berbeda dengan Marafu pada orang Donggo. Mereka memiliki tradisi ritual pada
saat tertentu untuk menghormati arwah leluhur, dengan mempersembahkan
sesajen dan hewan ternak sebagai korban. Upacara ini dipimpin oleh Ncuhi,
ditempat yang disebut Parafu Ra Pamboro.
POLITIK PEMERINTAHAN KERAJAAN BIMA
Politik Pemerintahan Kerajaan Bima tentulah memiliki keterkaitan
dengan perkembangan agama pada masa sebelum Islam di Dana Mbojo
(Bima), Pada hakikatnya perkembangan Agama di Bima sebenarnya sama
dengan perjalanan sejarah perkembangan agama di daerah-daerah lain di
wilayah Nusantara. Pada tahap-tahap awal perkembangan Agama dan
kepercayaan Masyarakat Bima yaitu pada masa Naka dan masa Ncuhi,
yakni lahir beberapa jenis agama yang berdasarkan pikiran serta hayalan
manusia (agama budaya), bukan agama wahyu (Agama Samawi) seperti
Islam. Agama budaya ini tumbuh dan berkembang ketika masyarakat masih
berada dalam tingkat kehidupan yang masih sangat sederhana, dengan
kata lain masih primitif. Karena itu agama-agama budaya hasil pikiran serta
hayalan mereka disebut agama masyarakat primitif, yang meliputi
dinamisme, animisme dan politeisme. (Nasution, H. 1974)Agama-agama
budaya itu oleh masyarakat Mbojo dikenal dengan istilah “makamba”
(dinamisme), “makimbi” (animisme) dan Hindu (politeisme). Sementara
politik pemerintahan yang ada, Dari informasi sejarah, dapat diketahui
bahwa di Bima telah berlaku berbagai sistem politik pemerintahan, yang
sesuai dengan keadaan zaman
POLITIK PEMERINTAHAN KERAJAAN BIMA
Selain suku di atas, sejak Islam masuk pada abad ke-16 M, juga terdapat
perkampungan Melayu di Bima. Berkaitan dengan kehidupan keagamaan, agama besar
pertama yang berkembang adalah Hindu. Sisa peninggalan peradaban Hindu ini masih bisa
dilihat pada prasasti Wadu Pa􀎵 a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur
pada sekitar pertengahan abad ke 8 M. Selain prasasti Wadu, juga ditemukan bekas candi di
Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu
di Pulau Sangiang. Namun, peninggalan bersejarah ini tidak mengandung informasi memadai
untuk menjelaskan peranan agama Hindu di Bima. Setelah Hindu, kemudian masuk agama
Islam. Agama ini relatif mudah diterima, karena orang Bima sebenarnya telah lama mengenal
agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang
Gujarat India dan Arab di Sape (pelabuhan Bima). Campur tangan penguasa Bima yang telah
masuk Islam dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan telah ikut mempercepat
penyebaran Islam, yang awalnya hanya dianut oleh masyarakat pesisir. Saat ini, di beberapa
daerah di Bima, terjadi percampuran antara Islam dan tradisi lokal, sehingga muncul suatu
ikrar yang berbunyi: Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku. Artinya, hidup dan
matinya orang Bima harus dengan hukum Islam. Untuk memperkuat ikrar ini, sejak masa
kesultanan telah dibentuk sebuah Majelis Adat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung
jawab dalam penyiaran, penyebaran dan pembuatan kebijakan keislaman. Setelah agama
Islam masuk ke Bima, kemudian berkembang tradisi tulis, sehingga banyak ditemukan naskah-
naskah kuno peninggalan periode ini. Menurut Maryam (salah seorang ahli waris kerajaan
Bima), ia memiliki dua peti naskah kuno Bima. Naskah kuno itu disebut Bo Sangaji Kai.
Naskah ini ditulis ulang pada abad ke-19, dengan kertas buatan Belanda dan China. Pada
masa Islam, naskah ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Aksara Bima yang sempat dipakai pada
masa pra Islam kemudian ditinggalkan, seiring masuknya peradaban Islam tersebut.
SULTAN YANG PERNAH MEMERINTAH DI KERAJAAN BIMA
 Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir, yaitu raja Bima pertama yang memeluk
Islam. Sebelum menjadi Sultan Bima I bernama Ruma To Ma Bata Wada. Pada
masa pemerintahan Sultan Bima I, Kerajaan Bima menjalin hubungan dengan
Kerajaan Makassar yang tujuannya untuk mempertahankan wilayahnya dari
ancaman Belanda. Raja Bima I mempersunting putri Karaeng Kassuarang (adik
istri Sultan Makassar bernama Daeng Sikontu).
 Sultan Bima II atau Sultan Abdul Khair Sirajuddin, ia dikenal pula dengan nama
Ruma Matau Uma Jati dan La Mbila. Sultan Bima II adalah putra Sultan Bima I.
Sultan Bima II menikahi Karaeng Bonto Je'ne (Saudara Sultan Hasanuddin).
 Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah atau Ruma Ma Wa'a Paju, adalah putra
Sultan Bima II. Sultan Nuruddin menikah dengan Daeng Tamemang (saudari
putri raja Tallo).
 Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah, pada masa pemerintahannya Bima
menjadi daerah taklukan Belanda. Hal tersebut tidak terlepas dari kekalahan
Gowa atas Belanda (1792). Pada waktu itu, Sultan Abdul Hamid dipaksa
Belanda agar Bima dilebur menjadi wilayah protektorat Belanda.
 Sultan Muhammad Salahuddin, pada masa pemerintahannya terjadi masa
peralihan dari masa penjajah ke masa merdeka. Pada waktu itu Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, Sultan Muhammad memilih bergabung
dengan Negara kesatuan Republik Indonesia. Sultan Muhammad ini dipandang
sebagai raja Bima paling terkemuka dalam hal pengetahuan Islam.
PENYEBAB RUNTUHNYA KERAJAAN BIMA
Pada tahun 1906, penguasa Bima, Sultan Ibrahim, dipaksa
menandatangani kontrak politik yang bertujuan menghapus kedaulatan
Kerajaan Bima oleh Belanda. Isi perjanjian ini antara lain: Bima mengakui
wilayahnya menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda, Sultan tidak
boleh mengadakan kerjasama dengan bangsa Eropa lain. Selain itu, Bima
harus membantu Belanda bila sedang berperang dan Sultan dilarang
menyerahkan kekuasaannya selain kepada Belanda.

Pada masa pemerintahan sultan terakhir, Muhammad Salahuddin


(1915-1951), pendidikan agama Islam mengalami perkembangan yang
pesat. Sultan Muhammad memperbanyak sarana peribadahan dan
pendidikan, seperti masjid dan madrasah.
Kerajaan Bima berakhir pada tahun 1951 karena Sultan Muhammad
Salahuddin meninggal dunia. Di samping itu, sebelumnya Bima telah
mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi bagiannya. Kini
Bima menjadi wilayah kabupaten, berada dalam Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN BIMA
1. Perkuburan Tolobali terletak di Bima yakni 2. Mahkota Kerajaan Bima (Songko
berupa dua buah kuburan yang kijingnya Raja)
berbentuk kubah. Kubah kuburan ini
memiliki kesamaan bentuk dengan
kuburan Sultan Goa di Sulawesi Selatan. Dibuat pada tahun Tahun 1799 oleh
Dua kuburan ini merupakan kuburan Pandai Emas dari Bima yang
ulama besar yang berjasa dalam bernama Bumi Ndede La Nggadi.
mengajarkan agama Islam di Bima yaitu Mahkota ini terbuat dari Emas
Syeikh Umar dan Syeikh Banta. Pada saat
itu, Sultan sangat menghormati dan Murni dengan tatanan intan dan
mencintai ulama sehingga didatangkanlah Berlian, Mahkota ini dipakai oleh
Syeikh Umar dari Banten untuk Sultan pada saat upacara-upacara
mengajarkan ajaran Islam di Bima. kebesaran istana.
Kedatangan Syeikh Umar dan Syeikh
Banta terjadi setelah dua ulama dari
Makassar -Datuk Dibandang dan Datuk
Ditiro- pulang lagi ke daerahnya.
PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN BIMA
3. Keris SAMPARAJA (Sampari 4. Keris TATARAPA (Keris Putra Mahkota)
Raja)

Dibuat pada tahun 1799


oleh Pandai Emas dari Bima
yang bernama Bumi Ndede Dibuat pada tahun 1799 oleh Pandai Emas
La Nggadi . dari Bima yang bernama Bumi Ndede La
Keris ini merupakan Keris Nggadi . Keris ini terbuat dari Emas murni
Jabatan Raja dan Sultan yang hanya dipakai oleh Putra Mahkota
yang menjabat. Keris ini sebagai calon pengganti Sultan. Pembuatan
dibuat dari Emas murni yang keris ini dilakukan dengan cara
dihiasi dengan batu tradisional begitupun dengan ukiran dan
permata. sentuhan warna yang berbeda.
PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN BIMA
5. JOPU TUTA SAWA (TONGKAT 6. Katopo Jena Jara Asi,Rantai
KEBESARAN SULTAN) Kendali,Karaci. (Perlengkapan Berkuda
SULTAN)

Tongkat Kebesaran Sultan yang


berkepala Ular. Dibuat Dibuat pada tahun 1799 oleh Pandai Mas
pada tahun 1799 oleh pandai dari Bima yang bernama Bumi Ndede La
Mas dari Bima yang bernama Nggadi. Perlengkapan Kuda ini terbuat dari
Bumi Ndede La Nggadi . Tongkat Emas murni (Katopo jena jara asi), Rantai
ini terbuat dari Kayu dengan Kendali terbuat dari besi serta cambuk
tatanan kepala ular dari yang gagangnya berlapis emas.
Emas dan dihiasi dengan intan. Perlengkapan ini biasa digunakan oleh
Begitu juga dengan mata ular Sultan setiap mengendarai kuda.
dihiasi dengan intan.
FOTO-FOTO
FOTO-FOTO
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai