Anda di halaman 1dari 7

Kesultanan Pontianak

Kesultanan Kadriyah Pontianak


‫كسولتانن ڤونتيانق‬

1771–1950

Bendera Lambang

Istana Kadriyah di Pontianak

Ibu kota Kota Pontianak

Bahasa Melayu (resmi), Dayak

Agama Islam

Bentuk pemerintahan Monarki Kesultanan


Sultan
  1778-1808 Sultan Syarif
-  Abdurrahman Alkadrie
  1945-1978 Sultan Hamid II

  2004-Sekarang Sultan Syarif Abubakar
-  Alkadrie

Sejarah
  Didirikan
-  23 Oktober 1771
  Peristiwa Mandor
-  1944
  Pembubaran Daerah
- Istimewa Kalimantan
Barat 1950

Pendahulu Pengganti
Kerajaan Mempawah Indonesia

Kesultanan Kadriah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada


tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Alhabib Husein bin Ahmad Alkadrie,
keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas kecil
dan sungai landak yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC
Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan
Mempawah Utin Chandramidi, dan kedua pada tahun 1768 dengan Ratu Syahranum (Ratoe
Sjerip) dari Kesultanan Banjar (putri dari Sultan Saad/Sultan Tamjidillah I), sehingga ia
dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam). Setelah wafatnya Ayahnya Habib Husein di Mempawah,
1771 H, mereka memutuskan mencari wilayah baru dan mendapatkan tempat di Pontianak,
kemudian mendirikan Istana Kadriah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak
dari sultan Siak, dan Banten pada tahun 1778.

Sejarah
Pendirian

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama


keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14
Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai
Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat
tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan
Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Kalimantan Barat.

Masa Kolonial

Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh


Willem Ardinpalm. Sultan memberikan izin kepada Belanda saat itu menempati daerah di
seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.
Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van
Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif
Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun
setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan
persemakmuran dengan tangan terbuka.

Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk


Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi
kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah
Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van
Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya
menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van
Pontianak.

Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu


Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan
Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan
Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan
Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855)
naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak
kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek
pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855.
Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian
wafat pada 1860.

Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872,
putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta setelah beberapa bulan
ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit
mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus
merangkap sebagai penyebar agama Islam.

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya,
Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6
Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak
dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad
merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat
berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam
bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali
berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian
resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu,
ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung
bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri
minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan
berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan
maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang

Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan para undangan (sekitar tahun 1930)


Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala
tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena
dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan
Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.

Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-


komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat,
orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan
mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi
antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-
penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan
penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif
Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para
cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan
lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan
sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-
mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.

Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama
Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada
di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas
pada 1945.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak (1945-1978)


pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan
nama Sultan Hamid II.

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan


Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan
Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat
sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat)
pada 1947-1950. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai
Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada
tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia
Serikat.

Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat
membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah
Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki
(swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk
sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa
Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian
menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia
Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi
Kalimantan Barat.

Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di


keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun.
Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar
Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke.VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29
Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, ibni Sultan Hamid.I, bin Sultan Osman,bin
Sultan Abdurrahman Alkadrie, pendiri kesultanan Kadriah, mengukuhkan Kerabat Muda Istana
Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai
budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Daftar Sultan Pontianak


Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
Masa
No Sultan
pemerintahan
Sultan Syarif Abdurrahman 1 September 1778
1
Alkadrie – 28 Februari 1808
Sultan Syarif Kasim Alkadrie
28 Februari 1808 –
2 bin Sultan Syarif Abdurrahman
25 Februari 1819
Alkadrie
Sultan Syarif Usman Alkadrie
25 Februari 1819 –
3 bin Sultan Syarif Abdurrahman
12 April 1855
Alkadrie[5]
Sultan Syarif Hamid Alkadrie
12 April 1855 – 22
4 bin Sultan Syarif Usman
Agustus 1872
Alkadrie
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
22 Agustus 1872 –
5 bin Sultan Syarif Hamid
15 Maret 1895
Alkadrie
6 Sultan Syarif Muhammad 15 Maret 1895 –
Alkadrie bin Sultan Syarif 24 Juni 1944
Yusuf Alkadrie
24 Juni 1944 – 29
* Interregnum
Oktober 1945
Mayjen KNIL Sultan Hamid II
(Sultan Syarif Hamid Alkadrie 29 Oktober 1945 –
7
bin Sultan Syarif Muhammad 30 Maret 1978
Alkadrie)
30 Maret 1978 –
* Interregnum
15 Januari 2004
Sultan Syarif Abubakar
Alkadrie bin Syarif Mahmud 15 Januari 2004 –
8
Alkadrie bin Sultan Syarif 31 Maret 2017
Muhammad Alkadrie[6]
Sultan Muhammad II 20 october 2010 -
9
Muazzam Shah Kini

Anda mungkin juga menyukai