1771–1950
Bendera Lambang
Istana Kadriyah di Pontianak
Bahasa Melayu (resmi), Dayak
Agama Islam
Sejarah
Didirikan
- 23 Oktober 1771
Peristiwa Mandor
- 1944
Pembubaran Daerah
- Istimewa Kalimantan
Barat 1950
Pendahulu Pengganti
Kerajaan Mempawah Indonesia
Sejarah
Pendirian
Masa Kolonial
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872,
putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta setelah beberapa bulan
ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit
mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus
merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya,
Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6
Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak
dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad
merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat
berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam
bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali
berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian
resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu,
ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung
bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri
minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan
berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan
maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama
Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada
di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas
pada 1945.
Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat
membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah
Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki
(swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk
sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa
Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian
menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia
Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi
Kalimantan Barat.