Anda di halaman 1dari 5

Museum Asi Mbojo

A. Latar Belakang
Asi Mbojo merupakan bangunan bersejarah yang memilki keunikan arsitektur
tersendiri. Terletak di Kabupaten paling timur Pulau Sumbawa wilayah Nusa Tenggara
Barat Kabupaten Bima bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kabupaten Bima).
Di sebelah barat, Kabupaten Bima berbatasan dengan wilayah Kabupaten Dompu,
disebelah Timur bersebelahan dengan Selat Sape, Sebelah Utara berbatasan dengan
Samudera Hindia, dan disebelah Selatan bersebelahan dengan Laut Flores.
Bangunan berlantai dua tersebut dibangun pada tahun 1927, hasil dari perpaduan
gaya Eropa dan Bima yang menggantikan bangunan istana sebelumnya pada abad 19
yang bergaya Portugis. Arsiteknya adalah putra Ambon bernama Obzichter Rehatta. Asi
Mbojo dengan luas area situs 30.728 m (167×184) dan luas bangunan 428 m (6×18),
berfungsi tidak hanya sebagai tempat yang diperuntukan bagi kediaman pemimpin rakyat
Bima, tetapi juga sebagai pusat pemerintahan, seni, budaya, pengadilan dan pusat
penyiaran agama islam. Asi Mbojo ini dibangun dengan sumber dana dari anggaran
belanja kesultanan dan harta pribadi sultan dan dibangun secara bergotong royong
bersama rakyat.
1.
A. SEJARAH ASI BIMA

Sejak berdirinya Kerajaan Bima pada abad II M, sampai berakhirnya masa


kesultanan pada tahun 1951, jumlah istana yang ada 11 buah. Dari 11 istana yang
didirikan pada masa kerajaan dan kesultanan hanya dua yang dapat kita saksikan sampai
saat ini yaitu Asi Bou dan Asi Mpasa yang masih berdiri dengan megah dan indah.
Istana Bima yang dalam Bahasa Bima populer disebut ”Asi” mulai di kenal oleh
masyarakat di sekitar abad II M, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Bima. Sejak itu,
Indra Zambrut, Raja Bima yang pertama mendirikan ”Asi Wadu Perpati”, yang merupakan
Asi tertua di Bima. Pembangunan Asi dilaksanakan dengan cara ”Karawi Kaboro” atau
disebut dengan gotong royong oleh rakyat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai Kepala
Bagian Pembangunan dan Pertukangan.
Sejak pemerintahan Raja Bima pertama Indra Zamrud sampai dengan
pemerintahan Sultan Abdul Aziz, material Istana di bangun dengan bahan kayu jati alam
yang berumur ratusan tahun. Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim istana di bangun
secara semi permanen, di buat dari kayu jati alam dan serambi depannya dibuat
permanen. Pada masa Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin, di bangun istana
permanen yang sampai saat ini masih berdiri dengan megahnya.
Istana Bima adalah bangunan bergaya Eropa. Mulai dibangun pada tahun 1927.
Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek, putra daerah Indonesia kelahiran Ambon,
Obzichter Rehatta. Rehatta adalah seorang tokoh pergerakan dan keberadaannya di Bima
karena dibuang oleh penjajah Belanda. Ia dibantu oleh Bumi Jero. Istana yang kini telah
beralih fungsi sebagai Museum Daerah itu adalah sebuah bangunan permanen berlantai
dua yang merupakan perpaduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Istana tersebut
diselesaikan dalam tempo tiga tahun dan resmi menjadi Istana Kesultanan Bima pada
Tahun 1929. Pembangunan istana dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat,
sedang sumber pembiayaan berasal dari anggaran belanja kesultanan dan uang pribadi
sultan.
Asi Mbojo, bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan, memiliki
halaman seluas 500 meter persegi yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan taman
bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua pintu gerbang timur dan barat yang
senantiasa dijaga oleh anggota pasukan pengawal kesultanan. Pintu gerbang sebelah
timur disebut “Lawa Kala” atau “Lawa Se”. Dinamakan “Lawa Se” karena di buat lebih
awal, “Lawa Kala” merupakan pintu masuk anggota sara hukum dan para ulama. Pintu
gerbang sebelah barat disebut “Lare-Lare” merupakan pintu gerbang resmi kesultanan,
dibelakang istana terdapat pintu gerbang yang disebut “Lawa Weki” tempat masuk para
anggota keluarga istana. “Lare-Lare” mirip masjid bertingkat tiga. Tingkat atas loteng di
pergunakan untuk menyimpan tabur rancana dan dua buah lonceng. Tabur rancana
dibunyikan pada jam 18.00-20.00. Disamping itu Tabur rancana di bunyikan sebagai tanda
bahwa upacara adat ”Hanta Ua Pua” akan di mulai. Dua buah lonceng mempunyai fungsi
yang berbeda. Satu lonceng berfungsi untuk pemberitahuan jam atau waktu, sedangkan
yang satu berfungsi untuk memberikan tanda bahaya.
Konsep tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan istana lain di tanah
air. Istana menghadap ke barat. Didepannya terdapat tanah lapang atau alun-alun
namanya Serasuba. Disinilah raja tampil secara terbuka dihadapan rakyat pada saat-saat
tertentu. Misalnya pada saat diselenggarakannya upacara-upacara penting atau perayaan
hari besar keagamaan. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan.
Disebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai sarana kegiatan
ritual keagamaan (islam). Kini masjid itu bernama Masjid Sultan Salahuddin. Tanah lapang
berbentuk segi empat (mendekati bentuk bujur sangkar). Satu sisi bersebelahan dengan
bangunan masjid dan disisi lain menyatu dengan halaman istana. Jelaslah bahwa
bangunan istana, alun-alun, dan masjid merupakan satu kesatuan yang utuh.
Di depan Asi bagian barat terdapat beberapa meriam kuno dan tiang bendera
setinggi 50 meter yang terbuat dari kayu jati “Kasi Pahu” Tololai (Sekarang terletak di
Wera Barat) yang kemudian disebut Tiang “Kasi Pahu”. Tiang bendera tersebut dibangun
oleh Sultan Abdullah untuk memperingati Hari Pembubaran Angkatan Laut Kesultanan.
Sultan Abdullah terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi
keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk
menyerang pejuang – pejuang Gowa – Makassar dan Bugis.Tiang Kasi Pahu sempat
roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj. Putri Maryam.
Bahannya bukan dari jati Tololai – karena jati disana sudah tidak ada lagi – tapi
merupakan kayu jati kelas satu di Wawo, Bima.

Disebelah selatan Asi, berdiri sebuah masjid kesultanan yang megah dan dibangun
pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid tahun 1872 Masehi. Masjid yang bersejarah
tersebut pernah hancur dibom oleh Sekutu pada Perang Dunia II. Menurut sejarawan M.
Hilir Ismail (1996), fungsi istana Bima pada masa lalu, terutama pada masa kesultanan
adalah sbb:
Tempat tinggal sultan bersama keluarganya, rumah tempat tingal, rumah bicara dan
rumah bangsawan.
Pusat pemerintahan.
Pusat penyiaran agama islam.
Pusat pengembangan kesenian dan kebudayaan.
Pusat peradilan.
Berikut adalah ruangan-ruangan beserta fungsinya yang berada di Istana
Kesultanan Bima:

1. Ruang aula depan bagian utara.


2. Ruang penyimpanan.
3. Ruangan besar bagian utara (Ruang Emas).
4. Ruangan lantai atas

Setelah gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) meresmikan Asi Mbojo sebagai
Museum Daerah, pada Agustus Tahun 1989, pembenahan – pembenahan terhadap
museum dilakukan secara insentif. Dengan demikian status museum berada dibawah
naungan Pemerintah. Hal ini diperkuat setelah otonomi daerah.
Museum tersebut menyimpan 320 jenis barang peninggalan kerajaan/kesultanan,
misalnya mahkota bertahtakan intan dan permata serta sejumlah benda bernilai lainnya
yang masih tersimpan di brankas Pemda Bima. Seiring perubahan status Pemerintah
Daerah pada tatanan Nasional termasuk dengan diberlakukanya Otonomi Daerah maka
fungsi serta pengelolaan Museum ASI Mbojo berubah lagi statusnya menjadi Unit
Pelaksana Tekhnis Daerah (UPTD) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima
berdasarkan Peraturan Bupati Bima Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan,
Susunan, Kedudukan, Tugas pokok, Fungsi dan Tata kerja untuk pelaksana tehnis Dinas
dan Badan lingkup Pemerintah Kabupaten Bima, yang juga diatur oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

B. Koleksi Museum Asi Mbojo


Museum Asi Mbojo memiliki berbagai koleksi benda- benda antara lain benda-
benda pusaka peninggalan Kerajaan dan Kesultanan Bima, dan yang paling terpopuler
dari Koleksi Museum yaitu “Gunti Rante ” sebuah parang yang sangat menakjubkan diukir
pada Zaman Majapahit dan Mahkota Sultan yang terbuat dari emas. Koleksi-koleksi benda
pusaka, pengunjung museum dapat melihatnya di ruangan Galeri Benda Pusaka di lantai
satu, di lantai satu juga terdapat ruangan galeri benda-benda perkakas dan baju-baju
peninggalan masyarakat pada zaman kerajaan dan kesultanan, di lantai satu ini dulu
merupakan kantor pusat pemerintahan Kabupaten Bima 1951 hingga 1960. Bangunan-
bangunan di lantai satu dan dua masih asli dan tidak pernah direnovasi hingga sekarang.
Beberapa barang yang bisa disaksikan ada yang terbuat dari emas, perak dan tembaga,
seperti mahkota, payung, keris, senjata, perlengkapan keris istana dan lainnya. Selain itu,
benda- benda yang dipamerkan di Museum Asi Mbojo ini tak hanya berasal dari Kerajaan
Bima saja, namun benda-benda purbakala sebelum masa kerajaan dan kesultanan Bima
juga bisa kita lihat di tempat ini. Di museum ini juga terdapat salah satu ruangan yang dulu
sering dipakai Presiden RI pertama, Soekarno, menginap kalau berkunjung ke Bima.

DAFTAR KOLEKSI UNGGULAN MUSEUM ASI MBOJO


1. Mahkota Kerajaan Bima (Songko Raja)
2. Keris SAMPARAJA (Sampari Raja)
3. Keris TATARAPA (Keris Putra Mahkota)
4. Golok La Nggunti Rante
5. TARE KAMPU & SAMPAI (Talam)
6. TEMPAT LILIN & GUNTING LILIN
7. Cere Oi Nono (Cerek AIR MINUM)
8. JOPU TUTA SAWA (TONGKAT KEBESARAN SULTAN)
9. SALAPA (Tempat Sirih Pinang) Bokor dan CEREK .
10. BUJA SERE (Tombak Perwira)
11. Katopo Jena Jara Asi,Rantai Kendali,Karaci.
12. SONDI REO
13. MAHKOTA PEJABAT MANGGARAI, GOLOK DAN PEDANG / SONDI
14. NGAMO/WACARIMA (Tempat Cuci tangan) dan SAMPAI NGAMO (Alas Kendi)
15. SONDI
SILSILAH KESULTANAN BIMA

1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I, menjabat pada tahun 1620-1640) menikah dengan
Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair
(Sultan Bima II).
2. Sultan Abil Khair Siradjuddin (Sultan Bima II,menjabat pada tahun 1640-1682) menikah
pada tanggal 13 April 1646 dengan Karaeng Bonto Je’ne, yang merupakan adik kandung
Sultan Hasanuddin dari Gowa. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan
Bima III) pada tahun 1651.
3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima III,menjabat pada tahun 1682-1687) menikah dengan Daeng
Ta Memang anaknya Raja Tallo. Dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin
(Sultan Bima IV).
4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima IV,menjabat pada tahun 1687-1696) menikah dengan
Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei. Dari pernikahan tersebut
melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima V).
5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima V,menjabat pada tahun1696-1731), menikah dengan
Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne, pada
tanggal 12 september 1704. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad
Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima VI).
6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima VI,menjabat pada tahun 1731-1747),
menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan
Sirajuddin pada tahun 1727. Dari pernikahan ini melahirkan Kumala ‘Bumi Pertiga dan
Abdul Kadim, sementara Sultan Abdul Kadim lahir pada tahun 1729. yang kemudian
diangkat menjadi Sultan Bima VII pada tahun 1747. Ketika itu beliau baru berumur 13
tahun. Kumala ‘Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng
Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa
pada tahun 1747, dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa II.
7. Kumala Syah (Kumala ‘Bumi Partiga, pada tahun 1747-1751). Disini, Sultan Abdul Kadim
baru berumur 13 tahun, maka belum dapat menjabat secara aktif, sehingga jabatan
kesultanan Bima dibantu sementara oleh Kumala ‘Bumi Pertiga (Kumala Syah) antara tahun
1747-1751 sambil menunggu usia Sultan Abdul Kadimdipandang pantas menjadi Sultan
secara aktif. Sultan Abdul Kadim dinobatkan kembali sebagai Sultan Bima VIII pada tahun
1751.
8. Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima VIII,menjabat pada tahun 1751-1773), dari
pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (La Hami) pada tahun 1762 dan Sultan
Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima IX pada tahun 1773.
9. Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima IX,menjabat pada tahun 1773-1817), dari pernikahannya
melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. Ketika sultan Abdul Hamid meninggal dunia
pada tahun 1819, pada tahun 1817 Sultan Ismail telah diangkat menjadi Sultan Bima X.
10. Sultan Ismail (Sultan Bima X,menjabat pada tahun 1817-1854) dari pernikahannya
melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827. Sultan Abdullah diangkat menjadi Sultan
Bima XI pada tahun 1854.
11. Sultan Abdullah (Sultan Bima XI,menjabat pada tahun 1854-1868), menikah dengan Sitti
Saleha ‘Bumi Partiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abdul
Aziz dan Sultan Ibrahim. Sultan Abdul Azis diangkat menjadi Sultan Bima XII pada tahun
1868.
12. Sultan Abdul Azis (Sultan Bima XII,menjabat pada tahun 1868-1881). Sultan Abdul Azis
berhalangan, maka digantikan oleh saudaranya, yaitu Sultan Ibrahim, sehingga Sultan
Ibrahim diangkat menjadi Sultan Bima XIII pada tahun 1881.
13. Sultan Ibrahim (Sultan Bima XIII,menjabat pada tahun 1881-1915), dari pernikahannya
melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima XIV pada
tahun 1915.
14. Sultan Salahuddin (Sultan Bima XIV,menjabat pada tahun 1915-1951), dari pernikahannya
melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi). Abdul Kahir II dinobatkan sebagai Jena Teke
(Sultan Muda) pada tahun 1943, kemudian dinobatkan sebagai Sultan Bima XV setelah
beliau wafat yaitu pada tahun 2002.
15. Sultan Abdul Kahir II (Sultan Bima XV), yang biasa dipanggil Putra Kahirmenikah dengan
Putri dari Keturunan Raja Banten, dan dari pernikahannya melahirkan Fery Zulkarnaen.
16. Fery Zulkarnain dilantik menjadi Sultan Bima XVI pada tahun 2013 oleh Ruma ‘Bumi
Partiga yaitu Hj. Siti Mryam M. Salahuddin yang merupakan saudara kandung dari Sultan
Abdul Kahir II, sekaligus sebagai ketua Majelis Adat “Sara Dana Mbojo” saat ini, tepatnya
pada Hari Kamis, tanggal 4 Juli 2013 M. (26 Sa’ban 1434 H.) (Sumber : Samparaja)

Anda mungkin juga menyukai