Anda di halaman 1dari 19

Sejarah Korea

Prasejarah
Zaman
Zaman

Jeulmun
Mumun

Gojoseon
Jin

Proto

Tiga

Buyeo,
Samhan:

Okjeo,
Dongye
Ma,
Byeon,
Jin

Tiga
Goguryeo
Baekje
Silla

Kerajaan:
Kerajaan:

Gaya

Zaman Negara Utara-Selatan:


Silla
Bersatu
Balhae
Tiga
Kerajaan
Akhir:
Taebong,

Goryeo
Joseon
Kekaisaran
Penjajahan
Pemerintahan
Pembagian

Hubaekje

Han
Jepang
Sementara
Korea

Korea Utara, Korea Selatan


Perang Korea
Penguasa
Garis waktu
Sejarah Militer
Perang Laut

Portal Korea
Korea pernah menjadi sebagian wilayah Kekaisaran Jepang mulai tahun 1910 hingga
tahun 1945. Keterlibatan Jepang bermula dengan Perjanjian Ganghwa tahun 1876 ketika
Dinasti Joseon Korea dan meningkatnya serentetan pembunuhan Ratu Myeongseong di
tangan agen-agen Jepang pada tahun 1895, lalu berpuncak dengan Perjanjian Eulsa tahun
1905 dan Perjanjian Aneksasi tahun 1910, yang kedua-duanya akhirnya dinyatakan "batal
dan tidak sah" oleh kedua belah pihak (Jepang dan Korea Selatan) pada tahun 1965.
Sepanjang tempo ini, meskipun Jepang membangun jaringan jalan raya dan komunikasi
modern, kehidupan rakyat biasa Korea amat keras.[1]

Penjajahan Jepang terhadap Korea berakhir dengan penyerahan Jepang kepada Blok
Sekutu pada tahun 1945 pada akhir Perang Dunia II. Semenanjung Korea kemudian
dibagi atas Korea Utara dan Selatan. Zaman pendudukan ini meninggalkan pertentangan
yang terus-menerus antara Jepang dan kedua pihak Korea.
GOGURYEO
Goguryeo adalah sebuah kerajaan kuno yang menduduki wilayah Manchuria dan sebelah
utara Semenanjung Korea. Goguryeo termasuk ke dalam Tiga Kerajaan Korea bersama
Kerajaan Baekje dan Silla dan merupakan kerajaan yang terbesar. Goguryeo berdiri tahun
37 SM dan berakhir pada tahun 668 Masehi.

Daftar isi
[sembunyikan]
1 Sejarah
1.1 Pendirian
2 Jumong dan mitos pendirian
2.1 Ekspansi dan penggabungan suku
2.2 Perang Goguryeo - Wei
2.3 Kebangkitan
2.4 Raja Gwanggaeto
2.5 Perselisihan dari dalam
3 Konflik abad ke 6 dan ke 7
3.1 Lepasnya Lembah Sungai Han
3.2 Perang Goguryeo Sui
3.3 Perang Goguryeo Tang dan Aliansi Tang Silla
3.4 Keruntuhan
3.5 Pergerakan kebangkitan
4 Militer
5 Kebudayaaan
6 Hubungan politis dan budaya dengan Cina
7 Politik modern

8 Pranala luar

Sejarah Pendirian

Lukisan dinding Kompleks Makam Goguryeo di Korea Utara

Berdasarkan Samguk Sagi, seorang pangeran dari kerajaan Buyeo Timur bernama
Jumong mengungsi setelah terjadinya perebutan kekuasaan dengan pangeran lain di
kerajaan itu, dan ia mendirikan sebuah kerajaan bernama Goguryeo pada tahun 37 SM di
sebuah daerah bernama Jolbon Buyeo. Diperkirakan sekarang berlokasi di tengah lembah
Sungai Yalu dan Tung-chia di perbatasan Korea Utara dan Manchuria. Beberapa
sejarawan meyakini bahwa Goguryeo mungkin didirikan lebih awal, yakni pada abad ke2 SM. Dalam kitab sejarah kuno Tiongkok, Han Shu, kata Goguryeo dalam aksara Cina
() pertama kali ditulis pada tahun 113 SM dimana saat itu adalah sebuah negara
kecil yang berada dalam kendali distrik Xuantu. Dalam catatan Kitab Kuno Tang,
disebutkan bahwa Kaisar Taizong dari Dinasti Tang menyebutkan bahwa sejarah
Goguryeo mendekati 900 tahun. Pada tahun 75 SM, sekelompok suku bernama Yemaek,
yang diperkirakan merupakan elemen asli warga Goguryeo, melakukan penyerangan
terhadap Distrik Xuantu dari sebelah barat lembah Sungai Yalu.
Bagaimanapun, dari bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab sejarah Tang, Samguk Sagi,
Nihon Shoki dan sebagainya cenderung mendukung tahun 37 SM atau pertengahan abad
ke-1 SM untuk pendirian Goguryeo. Pembuktian dari benda-benda arkeologis mungkin
mendukung keberadaan suku Yemaek pada abad ke-2 SM, namun tiada bukti langsung
yang bisa menjelaskan apakah mereka menyebut kelompok mereka sebagai warga
Goguryeo. Penyebutan pertama kata Goguryeo sebagai kelompok yang dikait-kaitkan
dengan suku Yemaek dapat ditemukan dalam referensi di Han Shu yang menceritakan
pemberontakan Goguryeo tahun 12 M, ketika mereka melepaskan diri dari pengaruh
Xuantu. Pada saat ini pula para pemimpin Goguryeo mulai mengganti gelarnya menjadi
gelar pemimpin Cina, "wang" (Raja; ).
Pada pendiriannya, kemungkinan warga Goguryeo adalah kombinasi dari orang Buyeo
dan Yemaek. Babad Cina San Guo Zhi menyebutkan dalam bagian berjudul Catatan
mengenai Barbarian dari Timur, menyebutkan bahwa suku Buyeo dan Yemaek berkaitan
secara etnis dan berbicara dalam bahasa yang sama.

Jumong dan mitos pendirian


Penyebutan kata Jumong paling awal dicatat dalam tulisan di Prasasti Raja Gwanggaeto
yang Agung yang didirikan pada abad ke-4 Masehi. Nama Jumong dapat dibaca:
(Jumong), (Chumo), atau (Jungmo).
Prasasti itu menjelaskan bahwa Jumong adalah pemimpin pertama dan nenek moyang
orang Goguryeo, dan ia adalah putra dari raja Buyeo dan anak perempuan dewi sungai
Habaek. Samguk Sagi dan Samguk Yusa menyebutkan detail dan nama ibu dari Jumong
adalah Yuhwa. Ayah kandung Jumong adalah Hae Mosu yang disebut dengan julukan
laki-laki perkasa atau pangeran surga. Samguk Sagi menulis bahwa Hae Mosu adalah
seorang dewa langit. Lalu Raja Buyeo memberikan tempat perlindungan bagi Yuhwa dan
mengangkat Jumong menjadi putranya, kemudian menjadi pangeran. Konon, Jumong
sangat berbakat, terutama dalam memanah dan berkuda sehingga membuat putra
mahkota cemburu. Putra mahkota berencana membunuh Jumong dan saat mengetahui
rencana itu Jumong melarikan diri dari istana. Prasasti dan sumber-sumber sejarah Korea

saling berlawanan tentang asal dari Jumong. Prasasti menyebut Jumong berasal dari
Buyeo Utara dan babad Samguk Sagi dan Samguk Yusa menyebut ia dari Buyeo Timur.
Jumong tiba di konfederasi Jolbon Buyeo dan menikahi putri raja penguasanya. Pada
akhirnya ia mendirikan Goguryeo dengan segelintir pengikutnya dari Buyeo.
Nama keluarga Jumong adalah Hae (), nama pemimpin Buyeo. Menurut Samguk Yusa,
Jumong mengubah nama keluarganya menjadi Go ( ), berdasarkan asal keturunannya
yang berpengaruh. Jumong tercatat menundukkan kerajaan Biryu ( ) di tahun 36
SM, kerajaan Haeng-in () di tahun 33 SM, dan Okjeo Utara pada tahun 28 SM.

Ekspansi dan penggabungan suku


Awalnya Goguryeo terbentuk dari sekelompok suku yang bernama Yemaek menjadi
sebuah kerajaan dan secara cepat memperluas wilayah mereka. Goguryeo terkenal suka
menyerbu tetangga mereka untuk memperluas wilayah kekuasaannya sehingga seringkali
ditakuti.
Pada masa pemerintahan Raja Taejo tahun 53 M, 5 kelompok suku digabungkan kedalam
5 wilayah yang dikuasai Goguryeo. Ia menundukkan suku Okjeo, suku Dongye, dan
berbagai suku di Manchuria dan Korea sebelah utara. Goguryeo tidak segan untuk
menyerang distrik Lelang, Xuantu dan Liaodong yang merupakan wilayah Dinasti Han.
Kekuatan Goguryeo yang semakin kuat menyebabkan mereka terus melakukan ekspansi
ke wilayah barat laut Manchuria. Namun, karena tekanan dari Liaodong semakin besar
Goguryeo akhirnya memindahkan ibukota dari lembah Sungai Hun ke lembah Sungai
Yalu dekat Gunung Wandu.

Perang Goguryeo - Wei


Kekacauan dari pemberontakan jajahannya (Komander) menyebabkan jatuhnya dinasti
Han. Pada saat yang sama Goguryeo mulai menjalin hubungan dengan Dinasti Wei yang
baru terbentuk. Goguryeo dan Wei akhirnya bergabung menyerang distrik Liaodong yang
berontak pada Diansti Han. Ketika Liaodong jatuh ke tangan Wei, Goguryeo berbalik
menyerang Liaodong dan Wei kembali berperang dengan Goguryeo tahun 244 M.
Goguryeo mengalami kekalahan dan rajanya melarikan diri ke kerajaan Okjeo.

Kebangkitan
Setelah 70 tahun Goguryeo akhirnya bangkit lagi dan kembali membangun ibukota di
gunung Wandu. Goguryeo menumpas distrik Cina terakhir di semenanjung Korea,
Lelang. Namun Goguryeo sering menghadapi invasi asing dan membuat statbilitas negara
goyah. Pada tahun 342 Dinasti Yan Awal (Qian Yan) menginvasi Goguryeo. Lalu pada
tahun 371 Raja Geunchogo dari Baekje menyerbu Goguryeo serta membunuh
pemimpinnya, Raja Gogukwon dan merebut ibukota Pyongyang. Raja Goguryeo ke-17
Sosurim menjalankan kebijakan isolasi dan mulai menyebarkan agama Buddha pada
tahun 372

Raja Gwanggaeto

Prasasti Raja Gwanggaeto yang dibuat tahun 414 M, salah satu dari sedikit rekaman
tertulis yang tersisa dari Goguryeo.
Raja Gwanggaeto (berkuasa dari 391 sampai 412 M) disebut-sebut sebagai raja terkuat
Goguryeo karena kekuatannya dalam militer dan melakukan ekspansi.

Dalam tulisan di prasasti yang didirikan oleh putranya, Jangsu), disbutkan bahwa
Raja Gwanggaeto berhasil dengan gemilang menaklukkan 64 buah kota dan 1400
desa.
Raja Gwanggaeto menundukkan Qian Yan, kerajaan Buyeo dan suku Mohe.
Ia juga untuk pertama kalinya membuat penyatuan Semenanjung Korea dengan
menjadikan kerajaan lain di semenanjung Korea seperti Silla, Baekje dan Gaya
sebagai protektorat selama 50 tahun.
Dalam masa ini Goguryeo menguasai 3/4 wilayah semenanjung Korea.
Jangsu yang naik tahta tahun 413 menggantikan Gwanggaeto, memindahkan
ibukota ke Pyongyang tahun 427 dan mulai meningkatkan hubungan dengan Silla
dan Baekje. Pada masa ini wilayah Goguryeo mencapai batas yang terjauh ke
utara yang mencakup sebagian besar Manchuria dan mencapai wilayah Siberia.

Perselisihan dari dalam


Masa keemasan Goguryeo mencapai puncak pada abad ke 6 dan setelah itu mulai
melemah akibat konflik internal. Raja Anjang terbunuh tanpa ada penerus dan digantikan
oleh saudaranya Raja Anwon. Keadaan Goguryeo semakin goyah saat Yangwon yang
merupakan anak tertua raja Anwon yang berusia 8 tahun di angkat jadi raja ke 23.
Melemahnya Goguryeo dimanfaatkan suku barbar menyerang perbatasan Goguryeo di
sebelah utara tahun 550. Pada tahun 551 gabungan Silla dan Baekje mulai menyerang
Goguryeo.

Konflik abad ke 6 dan ke 7

Pada abad ke 6 dan ke 7 Goguryeo mengalami banyak konflik dengan Dinasti Cina
seperti Sui dan Tang. Sedangkan dalam relasi dengan Silla dan Baekje, lebih terlibat
konflik maupun aliansi.

Lepasnya Lembah Sungai Han


Tahun 551 M Baekje dan Silla bergabung menyerbu Goguryeo dan menduduki lembah
Sungai Han yang subur. Silla kemudian mengkhianati perjanjian dengan Baekje dan
merebut lembah tersebut pada tahun 553. Pada tahun selanjutnya Raja Seong dari Baekje
terbunuh setelah berusaha menyerang batas barat Silla. Hilangnya wilayah yang subur ini
menyebabkan Goguryeo jadi semakin lemah.

Perang Goguryeo Sui


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Goguryeo-Sui
Dinasti Sui yang tumbuh tahun 581 mulai berkembang kuat di Cina. Ekspansi Goguryeo
menyebabkan banyak konflik dengan Sui. Pada tahun 598, Sui menyerang Goguryeo dan
berlanjut pada tahun 612, 613, dan 614 tapi selalu gagal. Perlawanan Sui terbesar terjadi
tahun 612 ketika Sui mulai menyerbu Pyongyang dengan tiga ratus ribu tentara.
Goguryeo dibawah Jenderal Eulji Mundeok mampu mematahkan invasi pasukan Sui.
Goguryeo menggunakan siasat dengan mengumpan tentara Sui ke dalalm perangkap di
luar Pyongyang. Pada Pertempuran di Sungai Salsu pasukan Goguryeo membuka
bendungan dan menenggelamkan sebagian besar pasukan Sui. Dari 300.000 pasukan Sui
hanya 2700 orang yang selamat. Perang tersebut menghabiskan keuangan Sui dan
meruntuhkannya tahun 618.

Perang Goguryeo Tang dan Aliansi Tang Silla


Setelah Sui runtuh, Dinasti Tang di bawah Kaisar Taizong muncul dan mulai
berkampanye menentang Goguryeo, namun banyak dari penyerangan yang dilakukan
gagal. Tahun 642 raja ke 27 Goguryeo, Raja Yeongnyu terbunuh dalam kudeta jenderal
diktator Yeon Gaesomun.
Di tahun 645 Taizong kembali melakukan penyerangan terhadap Goguryeo. Di bawah
pimpinan Jenderal Yeon Gaesomun dan Yang manchun, pasukan Goguryeo kembali
berhasil memukul mundur pasukan Tang dalam pertempuran di Benteng Ansi. Setelah
kematian kaisar Taizong 649, Tang kembali berusaha menaklukkan Goguryeo pada tahun
661 dan 662, namun selama Yeon Gaesomun masih memimpin, tak satupun serangan itu
berhasil.

Keruntuhan
Pada tahun 660 sekutu Goguryeo di barat laut, Baekje, berbalik bergabung ke pihak
aliansi Tang dan Silla dan terus melakukan serangan selama 8 tahun berikutnya.
Sementara itu Jenderal Yeon Gaesomun meninggal tahun 666 dan kepemimpinannya
dilanjutkan oleh ke 3 anak laki-lakinya.

Kekalahan mulai dirasakan Goguryeo ketika anak dari Yeon Gaesomun, Yeon Namsaeng
kalah dalam pertempuran dan merelakan kota-kota di utara Goguryeo diduduki Tang.
Pasukan Tang lalu berhasil merebut ibukota Pyongyang. Sementara itu dari arah selatan,
Jenderal Silla, Kim Yu-shin, juga menyerang dan berhasil menaklukkan pemimpin perang
Goguryeo yang merupakan adik dari Yeon Gaesomun, Yeon Jeongto. Tahun 668, raja
terakhir Goguryeo, Raja Bojang berhasil ditawan oleh pasukan Tang, dan menandai
runtuhnya kerajaan yang memang sudah lemah karena bencana kelaparan dan
pemberontakan internal itu.

Pergerakan kebangkitan
Silla mengambil alih semenanjung Korea dan menyatukannya, serta mulai memberontak
terhadap Tang. Tang kemudian menjadikan wilayah Goguryeo sebagai "Prektorat
Andong" atau "Prektorat yang Mengamankan Wilayah Tmur" yang dipimpin tokoh dari
Tang, Xue Rengui, namun kekuasaan Silla hanya sampai batas Sungai Taedong yang
melewati Pyongyang.
Prektorat Andong yang dipimpin Xue Rengui mengalami kesulitan memerintah
wilayahnya dikarenakan keengganan warga Goguryeo mengakui pemerintahan Tang.
Tang akhirnya membebaskan Raja Bojang dan menempatkannya sebagai pemimpin
Prektorat Andong. Raja Bojang kembali melakukan usaha pemberontakan terhadap Tang.
Raja Bojang akhirnya diasingkan ke Sichuan, Cina tahun 681, dan meninggal pada tahun
berikutnya.
Mantan jenderal Goguryeo yang memberontak Dae Jungsang dan Dae Joyeong merebut
kembali wilayah Goguryeo paling utara setelah kejatuhannya tahun 668 dan mendirikan
kerajaan yang disebut Hu-Goguryeo atau "Goguryeo Selanjutnya", lalu setelah kematian
Dae Joyeong, diubah menjadi Balhae. Balhae menyatakan bahwa Goguryeo adalah
leluhur mereka.

Militer
Goguryeo dikenal sebagai kerajaan yang memiliki militer yang sangat kuat, terutama
pada masa keemasan di pemerintahan Raja Gwanggaeto yang Agung. Goguryeo tercatat
memiliki tentara berkuda yang banyak, pemanah yang handal dan tentara yang memakai
helm, baju besi dan pisau pada sepatunya. Setiap laki-laki dewasa di Goguryeo
diwajibkan ikut dalam militer dan bisa menghindari hanya dengan membayar pajak beras.

Kebudayaaan
Tidak banyak yang diketahui mengenai budaya orang Goguryeo karena sedikitnya bukti
yang tersisa atau hilang. Bukti-bukti yang ada hanya tersisa pada kuburan-kuburan tua
yang berserakan di wilayah propinsi Jilin dan Liaoning di Manchuria dan juga di wilayah
Korea Utara. Di kuburan-kuburan tersebut banyak ditemukan lukisan-lukisan dinding
yang menggambarkan kepercayaan dan kehidupan bangsa Goguryeo pada saat itu.

Bangsa Goguryeo dipercaya para ahli menggunakan bahasa yang digolongkan ke dalam
bahasa Altaik-Tungusik serta menggunakan penulisan Cina klasik.

Goguryeo

Nama Korea
Hangul

Hanja
Alih
aksara
Goguryeo
Baru
McCuneKogury
Reischauer

BAEKJE
Baekje (16 SM-660 M) adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, menguasai wilayah
sebelah barat daya Semenanjung Korea. Baekje mengaku sebagai penerus dari kerajaan
Buyo dari Manchuria.
Kerajaan Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 dari Jumong, raja pendiri
Goguryeo. Baekje beribukotakan di Wiryeseong, yang saat ini dekat dengan kota Seoul.
Puncak keemasan Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi
wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang. Baekje runtuh
tahun 660 setelah dikalahkan oleh gabungan Silla dan Dinasti Tang, lalu setelah itu
menjadi wilayah kekuasaan Silla Bersatu.
Pendirian

Berdasarkan babad Korea Samguk Sagi, Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Raja Onjo
yang memimpin sebagian kecil warga Goguryeo menuju selatan Semenanjung Korea,
tepatnya di wilayah propinsi Jeolla saat ini. Berdasarkan catatan sejarah Tiongkok, San
Guo Zhi, pada masa Samhan, salah satu wilayah Konfederasi Mahan ada yang bernama
Baekje.
Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian Baekje. Jumong
meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut untuk
mendirikan Goguryeo . Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di
Goguryeo. Ia mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo , yaitu Onjo dan
Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo , Jumong langsung menggelarinya sebagai putra
mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu
memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang budak.
Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang Hanam) dan mendirikan kerajaan yang disebut
Sipje ("Sepuluh Budak"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon).
Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena
Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong
untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, namun Onjo
menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut
dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima
senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan :"Baekje" atau
"Seratus Budak".
Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (Baekje pada
awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan
ibukota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru
memindahkan ibukotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang
diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini.
Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagian
Mahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan.

Ekspansi
Dalam masa pemerintahan Raja Goi tahun 234-286, Baekje menjadi kerajaan seutuhnya.
Babad Jepang, Nihon Shoki menyebutkan ekspansi Baekje mencapai wilayah
Konfederasi Gaya di lembah Sungai Nakdong di sebelah tenggara semenanjung Korea.
Rekaman sejarah Tiongkok pertama menyebutkan Baekje sebagai sebuah kerajaan adalah
pada tahun 345. Misi diplomatik pertama dari Baekje yang mencapai Jepang berdasarkan
Nihon Shoki adalah pada tahun 367.
Raja Geunchogo (berkuasa dari 346-375) menyatukan berbagai negara bagian
Konfederasi Mahan serta memperluas teritorinya ke utara melawan Goguryeo. Dalam
masa pemerintahannya wilayah Baekje meliputi wilayah Korea sebelah barat, dan pada
tahun 371 pernah mengalahkan Goguryeo dalam perang di Pyongyang. Baekje juga

tercatat pernah menjalin hubungan dagang dengan Goguryeo , mengadopsi kebudayaan


dan teknologi Tiongkok, serta menganut agama Buddha pada tahun 384.
Baekje yang mempunyai armada laut yang kuat, menjalin hubungan baik dengan
pemimpin Jepang pada zaman yamato. Baekje mentransfer tulisan hanja, agama Buddha,
kemampuan membuat tembikar, upacara penguburan dan berbagai bentuk kebudayaan
lain kepada Jepang melalui bangsawan, seniman, ahli, dan pendeta Buddhanya. .[1]

Periode Ungjin
Ibukota Baekje pindah ke Ungjin (sekarang Gongju) dari tahun 475-538. Hal ini
disebabkan perang dengan Goguryeo yang menyebabkan Wiryeseong jatuh ke tangan
Goguryeo . Nihon Shoki menyebutkan bahwa Ungjin diberikan oleh kaisar Jepang
kepada Raja Munju, yang menunjukkan bahwa wilayah ini dikuasai oleh Jepang (terletak
di Korea). Ungjin terletak di dalam wilayah pegunungan, sehingga terisolasi dari dunia
luar. Pada periode ini Baekje membentuk aliansi bersama Silla untuk melawan Goguryeo.

Periode Sabi
Periode Sabi berlangsung dari tahun 538-660, saat tahun 538 Raja Seong memindahkan
lagi ibukota ke Sabi (saat ini kabupaten Buyo). Masa ini Baekje berkembang pesat, dan
secara resmi nama lainnya adalah Nambuyo (Buyo Selatan), yang diambil dari Kerajaan
Buyo, asal muasal dari Baekje.
Raja Seong mempererat hubungan dengan Tiongkok dalam bidang perdagangan dan
diplomasi selama abad ke-6 dan ke-7. Sementara itu, hubungan dengan Silla semakin
merenggang.

Kejatuhan dan Pergerakan Kebangkitan


Pada than 660, tentara aliansi Silla dan Dinasti Tang menyerang Baekje. Kota Sabi jatuh
ke tangan Silla, sementara Raja Uija dan putranya diasingkan ke Tiongkok. Beberapa
anggota kerajaan lain melarikan diri ke Jepang. Sisa-sisa warga Baekje berupaya
mengadakan pergerakan kebangkitan di dalam kekuasaan aliansi Silla dan Tang yang
memiliki tentara mencapai 130.000 orang. Jenderal Boksin menunjuk pangeran Buyo
Pung (putra Raja Uija yang selamat) sebagai raja baru Baekje. Baekje meminta
pertolongan pada Pangeran Naka no e (yang nanti menjadi Kaisar Tenji) dari Jepang.
Pangeran Naka no e mengirimkan Abe no Hirafu, seorang gubernur propinsi Koshi ke
Baekje.
Pada tahun 663, sisa-sisa tentara Baekje bergabung dengan tentara Jepang dalam
pertempuran di atas air melawan Silla dalam Perang Baekgang. Tang juga mengirimkan
7000 tentara dan 170 kapal perang. Baekje menderita kekalahan setelah terjadi 5 kali
pertempuran di sungai Geum selama bulan Agustus tahun 663.

Struktur Sosial dan Politik

Raja Goi pertama kali menerapkan sistem patrilineal yang melestarikan suksesi kerajaan.
Pada awal periode Baekje, Hae dan Jin adalah dua klan yang berpengaruh, sebagian
besar ratu berasal dari kedua klan ini dan suksesi ini berlangsung dalam waktu yang
lama. Kemungkinan besar klan Hae adalah klan yang menguasai tampuk kerajaan
sebelum digantikan oleh klan Buyo. Kedua klan ini kemungkinan juga berasal dari
Kerajaan Buyo di utara. Klan Hae dan Buyo bersama 7 klan yaitu Sa, Yeon, Hyeop, Jin,
Guk, Mok, dan Baek adalah klan-klan kuat di masa Sabi.
Pegawai kantor kerajaan dibagi ke dalam 16 ranking, 6 orang anggota pertama dari
ranking membentuk sebuah kabinet, dengan pemimpin dipilih setiap 6 tahun sekali.
Dalam ranking Sol, pegawai pertama (Jwapyeong) sampai ke-6 (Naesol) bertanggung
jawab dalam urusan politik, adminstrasi, dan militer. Dalam tingkat Deok, pegawai ke-7
(Jangdeok) sampai ke-11 (Daedeok) mungkin ditugaskan dalam banyak bidang,
sedangkan tingkatan Mundok, Mudok, Jwagun, Jinmu dan Geuku bertanggung jawab
sebagai administrator kemiliteran.

Bahasa dan Kebudayaan


Baekje didirikan oleh imigran dari Goguryeo yang berbicara bahasa Buyo, yang masih
berhubungan dengan bahasa kerajaan Gojoseon dan Kerajaan Buyeo. Sedangkan rakyat
Samhan (yang pernah menguasai Baekje) kemungkinan berbicara dalam bahasa yang
sama namun mempunyai dialek atau variasi bahasa berbeda dengan bahasa Buyo, karena
nenek moyangnya berasal dari tempat yang sama, namun orang Samhan sudah datang ke
selatan terlebih dahulu.
Seniman Baekje mengadopsi budaya Tionghoa dan menyesuaikannya menjadi tradisi
yang unik. Hasil karya seni Baekje sangat dipengaruhi oleh agama Buddha. Keindahan
seni Baekje terlukis dalam Senyum Baekje yang terdapat pada banyak karya seni dan
patung Buddha. Pada masa Sabi di tahun 541, banyak seniman dari Tiongkok (Dinasti
Liang) dikirim ke Baekje, sehingga semakin memperluas pengaruh Tiongkok pada
kebudayaan Korea. Namun, pengaruh asli Baekje tidak hilang begitu saja. Makam raja
Muryeong (berkuasa 501-523) walaupun dimodelkan dari Tiongkok namun tidak
menghilangkan tradisi asli Baekje. Dalam makam tersebut ditemukan ornamen khas
Baekje seperti mahkota, ikat pinggang emas, dan giwang emas. Karya seni khas Baekje
yang lain adalah desain genting batu bebentuk lotus, pola batu bata yang menjalin,
lekukan dalam gaya keramik, bentuk epitaph yang elegan, ukiran-ukiran Buddha, pagoda,
pembakar dupa dan sebagainya.
Sedikit yang diketahui mengenai musik Baekje, namun, musisi-musisinya pernah dikirim
ke Tiongkok pada abad ke-7 untuk belajar.

SILLA

Silla (tahun 57 Sebelum Masehi - 935 Masehi), seringkali diucapkan Shilla, adalah salah
satu dari Tiga Kerajaan Korea. Silla bermula dari kerajaan kecil di Konfederasi Samhan.
pada tahun 660 Masehi Silla bersekutu dengan Dinasti Tang berhasil menaklukkan
kerajaan Baekje serta Goguryeo pada tahun 668. Pada masa penyatuan ini seringkali
disebut sebagai masa Silla Bersatu atau Silla Selanjutnya (Hu-silla) dimana wilayah
kekuasaannya mencakup semua bagian semenanjung Korea, sementara sebelah utaranya
adalah wilayah kekuasaan kerajaan baru, yang merupakan penerus dari kerajaan
Goguryeo, Balhae. Setelah hampir 1000 tahun, Silla terpecah menjadi negeri-negeri kecil
yang mengantarkan Korea pada masa Tiga Kerajaan Zaman Akhir, dan sampai pada
akhirnya semuanya diserap oleh kerajaan baru, Dinasti Goryeo tahun 935.

Silla

Cheonmado dari Cheonmachong

Nama Korea
Hangul

Hanja

Alih
Baru

aksara

McCuneReischauer

Silla

Silla

Nama
Dari awal pendirian sampai perkembangannya menjadi kerajaan yang besar, nama Silla
tercatat dalam banyak karakter Tionghoa (hanja) yang secara fonetis mungkin ditulis
berdasarkan nama dugaan dari bahasa Korea kuno yaitu: Saro; , Sara; , Seorabeol; (), Seona-beol; (), Seoya-beol; (), atau pun Seo-beol; .
Arti kata-kata dugaan dari bahasa Silla itu kemungkinan adalah ibukota, walaupun masih
menjadi teka-teki. Pada tahun 503, Raja Jijeung menetapkan tulisan hanja yang
dibaca Silla dalam bahasa Korea modern. Karena orang Korea kini seringkali
mempalatalisasikan abjad maka penyebutan kata Silla terdengar seperti Shilla di
telinga pendengar bahasa lain.
Kata yang paling mendekati adalah Seora-beol, dapat ditelusuri dari unsur bahasa Silla,
syeo-beul, yang berarti ibukota kerajaan, yang kemudian berubah menjadi Syeo-ul, dan
akhirnya Seo-ul. Seoul yang kini dikenal adalah ibukota Korea setelah berakhirnya masa
Dinasti Joseon, dimana nama saat itu adalah Hanseong atau Hanyang.
Nama Silla pada zaman kuno dikenal luas oleh masyarakat Asia Timur Laut. Orang
Yamato menyebutnya Shiragi, orang Jurchen (nenek moyang bangsa Manchu menyebut
Solgo atau Solho. Dalam bahasa Tionghoa penyebutannya adalah Shin Luo.

Sejarah
Para ahli sejarah secara tradisional membagi sejarah Silla menjadi 3 bagian periode: awal
(57 SM-654 M), tengah (654-780) dan akhir (780-935).

Perubahan kekuasaan
Silla diperintah oleh 3 keluarga (klan) kuat selama berdirinya, yaitu Bak (Park), Seok,
dan Kim. Klan Bak sebagai pendiri berkuasa lebih dari 3 generasi sebelum menghadapi
pemberontakan oleh klan Seok. Dalam masa-masa pemerintahan pertama raja keluarga
Seok, Raja Talhae, klan Kim berperan sebagai klan aristokrat (bangsawan). Ketiga klan
ini saling berebut kekuasaan sepanjang sejarah Silla.

Pendirian
Dalam masa Proto Tiga Kerajaan (masa sebelum Tiga Kerajaan), negara-negara kecil di
bagian tengah dan selatan semenanjung Korea dikelompokkan ke dalam 3 konfederasi
(negara bagian) bernama Samhan. Salah satunya bernama Jinhan yang memiliki 12 buah
bagian-bagian yang lebih kecil. Salah satunya adalah negeri Saro (Saro-guk) yang
merupakan asal dari Silla. Negeri Saro terbagi atas 6 desa dengan 6 kelompok klan.
Berdasarkan babad Goryeo Samguk Sagi yang ditulis pada abad ke-12, Silla didirikan
oleh seseorang bernama Bak Hyeokgeose tahun 57 SM di kota yang sekarang adalah

Gyeongju. Menurut legenda Bak Hyeokgeose lahir dari telur kuda putih. Ketika berusia
13, ke-6 kelompok klan mengangkatnya jadi pemimpin negeri Saro.
Pembuktian lewat bukti arkeologis menunjukkan bahwa walau ada negara yang berdiri
pada masa itu di wilayah Gyeongju, masih terlalu dini untuk menyebut Silla sebagai
sebuah kerajaan. Penulis Samguk Sagi dari zaman Goryeo, Kim Bu-shik, mungkin
mencoba untuk mengesahkan bukti berdirinya Silla dengan memberi senioritas historis di
atas rivalnya, Baekje dan Goguryeo.

Sejarah awal
Dalam masa kekuasaanya, tampuk kepemimpinan Silla berganti-ganti dengan peran 3
klan terkuat.
Mulai abad ke-2 M, Silla baru muncul sebagai kerajaan yang berkembang pesat di bagian
tenggara semenanjung Korea. Silla memperluas kekuasaan dan pengaruh atas
Konfederasi Jinhan pada abad ke-3 dan terus menjadi kuat.
Di bagian barat Baekje telah berdiri kokoh sejak tahun 250 setelah menundukkan
Konfederasi Mahan. Di bagian barat daya, Konfederasi Gaya muncul dan mengambil alih
Konfederasi Byeonhan. Sementara di utara, Goguryeo yang sejak tahun 50 mulai berdiri
kokoh, berhasil mengusir perwakilan militer Tiongkok terakhir dari semenanjung Korea
pada tahun 313 dan terus mengancam para tetangganya.

Berkembang jadi kerajaan


Raja Naemul (berkuasa 356-402) dari klan Kim menetapkan sistem monarki yang turuntemurun. Gelarnya kini telah menjadi Maripgan (han atau gan), yaitu gelar serupa dengan
khan pada orang Turkik dan Mongol. Pada 377, ia mengirim utusan dan menjalin
hubungan dengan Goguryeo.
Silla mencoba mendekati Goguryeo karena sedang mengalami tekanan dari Baekje dan
Negeri Wa[1]. Namun saat Goguryeo mulai memperluas teritori ke selatan dan
memindahkan ibukotanya ke Pyongyang tahun 427, Raja Nulji mencoba mengadakan
persekutuan dengan Baekje.
Pada masa Raja Bopheung (514-540), Silla telah mencapai titik penuh sebagai negara
kuat. Ia pun telah menggunakan Buddhisme sebagai agama negara dan mengendalikan
negara-negara kecil di sekitarnya. Sekitar tahun 530-an Konfederasi Gaya dapat
ditaklukkannya.
Pada masa Raja Jinheung (540-570), Silla mengembangkan armada perang yang kuat. Ia
pernah membantu Baekje merebut wilayah Sungai Han yang diduduki Goguryeo namun
pada tahun 553 merebut wilayah itu dari Baekje, mengakhiri 120 tahun aliansi kedua
kerajaan itu. Peiode awal Silla berakhir dengan wafatnya Ratu Jindeok pada tahun 654.

Silla Bersatu
Pada abad ke 7 Masehi, Silla menjalin hubungan dengan Dinasti Tang dari
Tiongkok.
Pada tahun 660 di bawah pemerintahan Raja Muyeol (berkuasa 654-661), berhasil
menundukkan Baekje.
Pada tahun 668, di bawah kekuasaan Raja Munmu Besar dan Jenderal Kim Yushin dengan bantuan militer Dinasti Tang, berhasil mengalahkan Goguryeo.
Seluruh semenanjung Korea berhasil disatukan Silla setelah hampir 10 tahun
mengusir seluruh koloni Dinasti Tang di sebelah utara. Para pelarian Goguryeo
mendirikan negeri baru di timur laut semenanjung Korea bernama Balhae.

Para anggota keluarga pemimpin pada zaman Silla Bersatu digolongkan ke dalam sistem
kelompok Jin-gol (keturunan tulang murni) dan Seong-gol (tulang suci) berdasarkan
keturunan orang tuanya. Selain itu, sebagai akibat dari penyatuan wilayah-wilayah
semenanjung Korea, para keluarga bangsawan semakin banyak mengumpulkan
kekayaan. Pada masa-masa awal unifikasi terjadi beberapa kali pemberontakan oleh para
pejabat istana, namun dapat ditekan oleh keluarga kerajaan dengan memindahkan mereka
ke dalam jabatan-jabatan pusat. Untuk waktu yang lama, sekitar 1 abad (dari akhir abad
ke-7 sampai akhir abad ke-8), kerajaan mengganti sistem penggajian pejabat dengan
memberi tanah (no-geup) dengan sistem jikjeon atau dengan membayar gaji saja.
Akhir abad ke-8, klan Kim mulai menolak penggunaan sistem ini dan mulai
memberontak. Pemberontakan terbesar adalah pembangkangan Kim Dae-gong yang
berlangsung 3 tahun.
Periode tengah Silla berakhir dengan pembunuhan Raja Hyegong tahun 780 yang
mengakhiri suksesi dari Raja Muyeol, tokoh penyatu Tiga Kerajaan. Kematiannya adalah
puncak perselisihan panjang antar klan dalam kerajaan yang melibatkan sebagian besar
anggota keluarga bangsawan.
Akibatnya keluarga bangsawan muncul sebagai kekuatan utama bagian internal
sementara peran raja hanya sebagai tokoh kepala saja. Namun begitu, periode ini
menyaksikan negeri ini pada titik puncak, dengan kuatnya hubungan dan konsolidasi
keluarga kerajaan serta berhasilnya usaha mempraktekkan sistem birokrasi cara
Tiongkok.

Penurunan dan kejatuhan


Akhir dari periode ini dinamakan Zaman Tiga Kerajaan Akhir, saat beberapa kerajaan
yang mengatasnamakan pendahulunya bangkit dan memberontak seperti Hu-Baekje dan
Hu-Goguryeo. Silla sendiri jatuh ke dalam pemberontakan dinasti baru, Goryeo pada
tahun 935.

Politik dan sosial

Dari abad ke-6, Silla menetapkan sistem yang ketat dalam bidang birokrasi dan hukum.
Pangkat dan status sosial pejabat diukur berdasarkan sistem ranking tulang. Begitu pula
pada cara berpakaian, bentuk rumah dan jumlah perkawinan yang diperbolehkan,
semuanya diatur menurut hukum tertentu. Kelas anggota keluarga kerajaan dibagi
menjadi 2, yaitu kelas tulang suci (seong-gol) dan tulang murni (jin-gol). Sistem ini
berakhir ketika penguasa terakhir dari kelas tulang suci, Ratu Jindeok wafat pada tahun
654[1]. Jumlah bangsawan dari kelas tulang suci pun semakin menurun karena calon
raja/ratu hanya boleh berasal dari keturunan yang kedua orang tuanya berasal dari kelas
tulang suci, sementara keturunan dari orang tua tulang suci yang menikah dengan kelas
tulang murni dianggap masuk ke kelas tulang murni.
Sejak menguatnya kebijakan negara yang tersentralisasi, masyarakat Silla juga
dipengaruhi oleh kebijakan aristokrat yang ketat. Sistem birokrasi negara pun
mengadopsi cara Tiongkok untuk mengurus wilayah yang sangat luas. Sebelum masa
unifikasi, Raja Silla menganggap dirinya sangat besar dan menyamai sang Buddha.
Sedangkan hal-hal mencolok yang mewarnai periode setelah unifikasi adalah
meningkatnya konflik antar kelompok, antara keluarga kerajaan dengan bangsawan.

Budaya
Ibukota Silla adalah Seora-beol (saat ini Gyeongju). Di sana sejumlah besar makam Silla
masih bisa ditemui di pusat kota Gyeongju. Kuburan-kuburan raja Silla yang berbentuk
gundukan bukit-bukit kecil serta benda-benda berharga dari zaman itu dapat ditemukan di
seluruh wilayah Gyeongju. Wilayah Bersejarah Gyeongju dimasukkan oleh UNESCO
dalam daftar Warisan Dunia pada tahun 2000[2]. Sebagian besar dari kota kuno Silla ini
juga dilindungi dalam wilayah Taman Nasional Gyeongju[3] .
Peniggalan-peninggalan termashyur Silla di Gyeongju:

Lonceng Perunggu Raja Seongdeok.


Cheomseongdae, observatori astronomi tertua di Asia Timur yang dibangun pada
masa Ratu Seondeok (berkuasa 623-647).

Silla juga terkenal di kalangan pedagang Muslim Timur Tengah yang pergi berdagang ke
Tiongkok lewat jalur sutra. Ahli geografi Arab dan Persia seperti Ibn Khuradhih, AlMasudi, Dimashiki, Al-Nawairi dan Al-Maqrizi menuliskan catatan-catatan tentang Silla.

Buddhisme

Patung Buddha emas di Kuil Bulguksa.


Raja Bopheung secara resmi masuk agama Buddha pada tahun 527, walau sebenarnya
sudah diperkenalkan sejak lebih dari 100 tahun sebelumnya di Silla. Buddhisme
diperkenalkan ke Silla oleh Biksu A-do, seorang pelarian Goguryeo pada pertengahan
abad ke-5[4]. Cerita menyebutkan bahwa Raja Bopheung memeluk agama Buddha setelah
mengeksekusi seorang bangsawan istana bernama Ichadon hanya karena ingin darahnya
berwarna putih susu.
Buddhisme di Silla lebih kuat dibanding di Goguryeo atau Baekje karena merupakan
agama negara. Dari Raja Bopheung sampai 6 penguasa berikutnya, menggunakan nama
Buddhis dan menganggap diri mereka setara dengan Buddha[5]. Dalam hal pertahanan
negara dibentuklah barisan militer Hwarang, para pemuda yang memiliki pemahaman
Buddhisme yang kuat. Mereka juga memainkan perang penting dalam penyatuan
semenanjung. Masa-masa akhir periode awal Silla adalah saat Budhisme mencapai
puncak. Sejumlah besar kuil didirikan dengan dana dan sponsor bangsawan. Yang paling
terkenal adalah Bulguksa, Seokkuram, dan Hwangyongsa (Kuil Kaisar Naga) yang
dibangun dengan 9 tingkat pagoda kayu, melambangkan 9 buah negeri yang bersatu
dalam Silla. Hwangyongsa runtuh karena terbakar dalam invasi Mongol ke Goryeo abad
ke-12. Kuil Buddha Silla melambang kekuatan kerajaan dan peran Buddhisme dalam
ekspansi dan proteksi negara.
Dengan bersatunya Tiga Kerajaan dalam Silla Bersatu, agama Buddha kurang menjadi
begitu penting saat negara mulai mengadopsi metode birokrasi Tiongkok untuk
mengelola negara yang semakin besar dan juga untuk mengekang kekuasaan keluarga
bangsawan. Namun Buddhisme tetap mendapat tempat khusus rakyat Silla. Banyak dari
biksu-biksu pergi ke Tiongkok belajar dan mencari sutra. Hasil seni dan kerajinan Silla
sangat dipengaruhi unsur-unsur Buddhisme yang kental.

Galeri

Mah
kota
Silla,
abad
ke-5

Belati Silla,
abad ke-5

Lonceng

perunggu
RajaPagoda
batu
Seongdeok Besar
Gunung Namsan

sampai ke-6

Figur

jumonji
Buddha di GunungBuddha
Namsan
dekat
Gyeongju

di

kuilornamen emas

Batu
bataUkiran
berdekorasi,
Patung prajurit kera,berdekorasi, abad ke-abad ke-9.
[National Museum of8.
Korea]].

Konfederasi Gaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Konfederasi Gaya

42 M 562 M

Ibu kota
Bahasa
Agama
Pemerintahan

Tak diketahui
Bahasa Korea kuno
Buddhisme,
Shamanisme Korea
Monarki

di

- ? - 562
Era bersejarah
- Formasi
Konfederasi
Byeonhan
- Permulaan
- penggabungan
Silla

Doseolji
Kuno
Formasi Silla Bersatu
42
ke

562

Konfederasi Gaya

Mahkota
Gaya.

Nama Korea
Hangul

or

Hanja
Alih
aksara
Gaya
Baru
McCuneKaya
Reischauer

Gaya
Gaya adalah nama dari sebuah konfederasi yang berlokasi di lembah Sungai Nakdong di
Korea bagian selatan[1], yang berkembang dari Konfederasi Byeonhan dari periode
Samhan. Periode tradisional yang digunakan para sejarawan untuk kronologis sejarah
gaya adalah tahun 42 - 532 Masehi. Berdasarkan bukti arkeologis dari abad ke-3 sampai
abad ke-4, diketahui Gaya berkembang dari gabungan beberapa kota bertembok
Byeonhan. Selanjutnya Gaya diserap ke dalam kerajaan Silla, salah satu dari Tiga
Kerajaan Korea. Sisa-sisa dari kebudayaan Gaya yang tersisa hanyalah komplek-komplek
pemakaman yang berisikan benda-benda persembahan yang sudah diekskavasi oleh para
arkeolog. Beberapa makam besar yang berasal dari akhir abad ke-3 sampai abad ke-4
seperti makam Daeseong-dong di Gimhae dan Bokcheon-dong di Busan diketahui
sebagai makam dari anggota kerajaan Gaya[2].

Anda mungkin juga menyukai