Anda di halaman 1dari 18

1

KESULTANAN JAMBI

Makalah ini disusun sebagai tugas salah satu mata kuliah Sejarah Indonesia Abad 17-18

Dosen Pengampu : Prof.Dr.H. Budi Sulistiono, M.Hum

Disusun Oleh :

Galih Prasetio : 11140220000061

PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015
2

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan
baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Sejarah Kebudayaan Islam
meskipun dalam penyusunan makalah ini terdapat berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari
Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang Sejarah Indonesia pada masa Kesultanan Jambi yang sangat penting
untuk kita bahas dan kita pahami. Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki
detail yang cukup jelas bagi pembaca.

Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Sejarah Indonesia yaitu
Prof.Dr.H. Budi Sulistiono, M.Hum yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang
bagaimana cara kami menyusun makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terimakasih.

Jakarta, 13 Desember 2015

Penyusun
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................3
C. Tujuan.................................................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. Sejarah.............................................................................................................................................5
B. Silsilah.............................................................................................................................................8
C. Wilayah Kekuasaan.........................................................................................................................9
D. Kehidupan Sosial-Budaya..............................................................................................................12
E. Penyebaran Islam di Masa Kesultanan Jambi................................................................................14
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP DAN KESIMPULAN.............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................16
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah Nusantara banyak ditemui oleh sejumlah kesultanan, baik besar atau kecil, yang mempengaruhi
bentuk tradisi dan budaya Islam local. Selama ini, walaupun ada penulisan sejarah kesultanan, temanya
lebih banyak diisi oleh kisah jatuh-bangun suatu kesultanan atau pergantian raja-raja, hanya sedikit kajian
tentang sejarah kesultanan yang berbasis sosio-historis.

Pada awalnya, pembentukan dan perkembangan suatu kesultanan adalah kelanjutan dari proses Islamisasi
di Nusantara.1 Saat itu kawasan Asia Tenggara memang tengah mengalami trade boom karena posisi
strategis jalur perairan di Nusantara dalam bidang perdagangan, baik dengan sesame etnis Melayu
maupun dengan pedagang-pedagang asing dari Eropa, Arab, Cina dan India. 2 Konsekuensi lebih lanjut
dari konversi massal di masa perdagangan ini adalah terbentuknya kota-kota pelabuhan yang kemudian
berkembang menjadi entitas politik muslim di Nusantara sejak abad ke-13, yangditandai dengan
berdirinya Kesultanan Samudra Pasai. Kehadiran Islam telah memberikan reorientasi budaya politik pra-
Islam. Salah satu tradisi politik Islam yang sangat menonjol adalah penekanan pada hubungan antara
sultan dan uama secara kokoh. Ulama berperan sebagai agen perumus dimensi Islam yang khas dan
orisinildalam bingkai dunia Melayu-Indonesia.3 Kisah-kisah pengislaman penguasa-penguasa local yang
kemudian secara mudah diikuti oleh penduduk Nusantara banyak tercatat dalam historiograafi naskah-
naskah local seperti babad, tambo, hikayat, tarsilah/silsilah, dan sebagainya. Oleh karena itu fokus kali ini
adalah mengungkap sejarah Kesultanan Jambi.

1
Azyumardi Azra, “Tradisi Politik Kesultanan Melayu Nusantara”,dalam bukunya, Renaissans Islam Asia Tenggara: Sejaraha,
Wacana, dan Kekuasaan (Bandung Rosda Karya, 1999),h.89
2
Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 (Jakarta: YOI,
1999),h.176
3
Jajat Burhanuddin, “The Making of Islamic Political Tradition in the Malay Archipelago (The Beginning Process)”, Theis
submitted to theFacalties of Letters and Theology, Leiden University, Netherlands
5

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan tentang bagaimana Sejarah Kesultanan Jambi


2. Bagaimana keadaan sosial ekonomi Kesultanan Jambi
3. Apa saja yang dilakukan Imperialisme Pemerintah Hinda Belanda di Kesultanan Jambi.
4. Menjelaskan mengenai Silsilah Kesultanan Jambi
5. Menjelaskan tentang wilayah Kekuasan Kesultanan Jambi
6. Apa saja potensi alam dan sungai
7. Bagaimana Kehidupan Sosial-Budaya Penduduk Jambi

C. Tujuan

Beberapa tujuan yang hendak diperoleh dalam studi ini adalah:


1. Untuk mengungkap sejarah awal Kesultanan Jambi
2. Untuk megungkap pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Jambi
3. Untuk membahas reaksi kesultanan Jambi menghadapi penetrasi Kolonial Belanda
6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah
Sejarah awal Kesultanan Jambi cukup sulit untuk ditelusuri. Hanya satu patokan yang cukup jelas bahwa
sejarah awal berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan kebangkitan Islam. Sedangkan Islamisasi di
Sumatera umumnya di yakini bermula pada abad ke-15. Sumber yang mengungkapkan sejarah awal
Kesultanan Jambi pasca Kerajaan Darmasraya juga masih sedikit. Beberapa sumber tidak membicarakan
secara spesifik tentang sejarah awal Kesultanan Jambi, namun berbicara tentang keadaan Jambi pada
masa tersebut. Misalnya saja pada abad ke-17, Kesultanan Jambi masih mengontrol daerah subur Kerinci
di sebelah Tenggara. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-18 daerah tersebut tidak lagi mempedulikan
kedaulatan kekuasaan Kesultanan Jambi. Sultan Jambi yang memerintah saat itu tidak bisa
memberlakukan kewenangannya di daerah-daerah tenggara yang lain seperti Serampas dan Sungai
Tenang. Sumber tersebut tidak menyebutkan secara terperinci tentang siapa sultan yang memerintah saat
itu atau tindakan apa yang diambil sehubung dengan sikap pembangkangan dari daerah Kerinci,
Serampang, ataupun Sungai Tenang. Sedikit keterangan lainnya tentang sejarah awal Kesultanan Jambi
dapat dilihat ketika Kesultanan Jambi mengalami kejayaan di sector perdagangan sekitar abad ke-16
sampai 17. Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-
1970 dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad
ke-17, sektor perekonomian (perdagangan) di Kesultanan Jambi mengalami masa keemasan. Perdagangan
yang dilakukan antara Kesultanan Jambi dengan Portugis, Inggris, dan Hindia Timur Belanda, sangat
menguntungkan Kesultanan Jambi. Bahkan pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai
pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Akan tetapi situasi ini mulai berubah sekitar tahun
1680-an. Pada tahun tersebut Jambi mulai kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir
timur Sumatra pasca perseteruan dengan Johor, disusul kemudian dengan pergolakan internal. Inggris
yang melihat hilangnya prospek yang menguntungkan atas kerjasama perdagangan dengan
Jambi,akhirnya meninggalkan pos dagannya pada 1679. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC untuk
menanamkan pengaruh lebih kuat, meskipun waktu itu VOC hanya memperoleh keuntungan yang sangat
kecil. Pada 1688, Belanda menangkap Sultan Jambi dan membuangnya ke Batavia. Tindakan ini
mengakibatkan terbelahnya Kesultanan Jambi menjadi dua Kesultanan, hulu dan hilir.

Masih menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1970)
dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), sejak terbelahnya Kesultanan Jambi, kejayaan akan
perdagangan yang sempat dirasakan sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, tidak
pernah lagi diperoleh oleh Kesultanan Jambi. Bahkan setelah penyatuan kembali Kesultanan Jambi pada
1720-an, kejayaan di sektor perdagangan ini tidak pernah kembali dirasakan oleh Kesultanan Jambi.
7

Penyebab utama karena pada akhir abad ke-18, terjadi pergeseran seputar komoditi utama dari Kesultanan
Jambi. Jika sebelumnya lada menjadi komoditi utama, maka kini berubah menjadi emas. Dalam
perdagangan emas ini, Kesultanan Jambi hanya memperoleh untung sedikit karena penambang emas yang
didominasi orang dari Minangkabau mengekspor komoditi emas mereka ke tempat di manapun yang
menjajikan keuntungan tinggi, sehingga tidak selalu melalui ibu kota Jambi. Ditambah lagi pihak
Kesultanan Jambi tidak mempunyai otoritas efektif atas tindakan para pedagang ini, karena telah
kehilangan pengaruh. Pihak Kesultanan Jambi tidak bisa mengambil tindakan sepihak karena menjadi
Negara vassal di bawah Kesultanan Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung). Segala keputusan yang
diambil oleh Kesultanan Jambi harus mendapat persetujuan dari Kesultanan Pagaruyung, bahkan hingga
urusan pemilihan sultan. Keadaan ini memaksa pihak Kesultanan Jambi tidak bisa leluasa mengambil
tindakan atas apa yang telah dilakukan oleh para pedagang Minangkabau, karena para pedagang ini
mendapat perlindungan langsung dari Kesultanan Pagaruyung.

Sejarah awal Kesultanan Jambi mulai sedikit terbuka ketika di perintah oleh Sultan Mohildin yang
memerintah sekitar tahun 1811. Salah satu bagian penting dari sejarah Kesultanan Jambi masa
pemerintahan Sultan Mohildin adalah dilakukannya kontak awal dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1818, seorang utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendatangi Sultan Jambi berkenaan dengan
konflik di Palembang dan Rawas. Dalam kontak ini, pihak Kesultanan Jambi menyatakan bahwa Sultan
Mohildin mengungkapkan persahabatan dan menyatakan bahwa dia maupun rakyatnya tidak akan pernah
mendukung Sultan Palembang. Catatan lain dari sejarah Kesultanan Jambi masa pemerintahan Sultan
Mohildin adalah sejarah perang saudara yang melanda Kesultanan jambi. Menurut buku Kesultanan
Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1970) dan Bangkitnya Imperialisme
Belanda (2008), pada 1811 penduduk ibukota yang dipimpin oleh para saudagar Arab dan suku Raja
Empat Puluh bangkit melawan Sultan Mohildin karena dugaan terjadinya pembunuhan yang dilakukan
oleh istri Sultan Mohildin terhadap beberapa anak perempuan keluarga kaya raya. Pemberontakan ini
memaksa Sultan Mohildin untuk meminta bantuan saudaranya agar melindungi keluarga sultan. Saudara
Sultan Mohildin setuju dengan syarat bahwa anaknya, Raden Tabun, dipermaklumkan sebagai pangeran
ratu (putra mahkota) setelah Sultan Mohildin mangkat.

Masih dalam buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1970)
dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), pergolakan internal lainnya terjadi pada 1817-1818 yang
terjadi antara Sultan Mohildin dengan sepupunya. Pergolakan ini berakibat pada kekalahan Sultan
Mohildin, meskipun beberapa waktu kemudian sang sepupu tewas. Ketegangan berlanjut ketika putra
Sultan Mohildin, Mohammad Fachruddin naik tahta pada 1821 atau 1829-1841. Naiknya Sultan
Mohammad Fachruddin sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Jambi berarti mengesampingkan
perjanjian antara Sultan Mohildin dan sepupunya melalui pengangkatan Raden Tabun selaku putra
mahkota. Dengan demikian tujuan pengangkatan Raden Tabun sebagai putra mahkota yang selanjutnya
diproyeksikan sebagai sultan, praktis tertutup dengan naiknya Mohammad Fachruddin sebagai sultan di
Kesultanan Jambi. Bahkan Sultan Mohammad Fachruddin menunjuk saudaranya sebagai pangeran ratu
untuk menggantikan kedudukan Raden Tabun. Pergolakan antara Sultan Mohammad Fachruddin dan
Raden Tabun terus terjadi hingga tahun 1840-an. Sultan Mohammad Fachruddin sendiri pada dasarnya
tidak dinobatkan secara adat dan baru menempati daerah dataran tinggi padat penghuni, atau kadangkala
di Muara Tebo dan di Sarolangun, Tembesi Hulu.
8

Sultan Mohammad Fachruddin yang naik menggantikan Sulta Mohildin, tetap melanjutkan kebijakan
ayahnya untuk bersikap kooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini dibuktikan ketika pada 3
Agustus dan Oktober 1829, Residen Palembang F.C.E. Praetorius mengirimkan seorang utusan untuk
menghadap Sultan Mohammad Fachruddin untuk memerangi perompak dan melacak kapal Belanda yang
telah dirompak pada Mei 1829. Belanda sebenarnya tidak banyak berharap akan bantuan yang besar dari
Kesultanan Jambi, mengingat Sultan Mohammad Fachruddin sendiri kala itu tidak tinggal di istana,
melainkan tinggal di perbatasan Minangkabau untuk membantu Kesultanan Pagaruyung memerangi
Kaum Paderi. Hanya saja sebagai cara untuk membangun kepercayaan dan mengawali hubungan baik,
kontak dengan Kesultanan Jambi tetap harus dilakukan. Hal ini dikukuhkan dengan sebuah perundingan
antara Sultan Mohammad Fachruddin dengan Residen Praetorius pada 1830.

Pada 14 November 1833 disepakati kontrak sementara antara Sultan Mohammad Fachruddin dengan
Pemerintah Hindia Belanda yang ditandatangani di Sungai Bawang (sebuah dusun kecil di Rawa), di
mana Sultan Mohammad Fachruddin menempatkan dirinya dan Kesultanan Jambi di bawah perlindungan
dan otoritas tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kontrak sementara ini akhirnya berubah
menjadi kontrak permanen yang ditandatangani pada 1834. Bagi Belanda penandatangan kontrak pada
1833 dan akhirnya dipermanenkan pada 1834, merupakan sebuah langkah yang sesuai dengan tujuan
Pemerintah Kolonial, yaitu meluaskan otoritas Belanda di Sumatera, mengisolasi Minangkabau, dan
berusaha membasmi Perompak.

Pemerintahan Sultan Mohammad Fachruddin berkhir dengan kemangkatannya pada Januari 1841 dan
digantikan oleh Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Ketika Sultan Abdulrachman Nazaruddin memerintah,
terjadi serangkaian pemberontakan. Pada 1842, salah satu daerah di Jambi memberontak menentang
Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Pada 1845 ancaman akan adanya perang saudara semakin besar. Akan
tetapi pada 1846 pertikaian ini berakhir. Seperti Sultan pendahulunya, Sultan Abdulrachman Nazaruddin
sangat menggantungkan kelangsungan kekuasaannya pada Belanda. Otoritas Kesultanan Jambi yang
sangat lemah untuk menanggulangi adanya pergolakan bahkan sebatas mengatur rakyat, membuat
perlindungan dari Belanda menjadi jalan keluar satu-satunya.

Pada Oktober 1855 Sultan Taha Saifuddin naik tahta untuk Sultan Abdulrachman Nazaruddin yang
mangkat pada 18 Oktober 1855. 4Pemerintahan Sultan Taha Saifuddin ditandai dengan perseteruan antara
Kesultanan Jambi dengan Belanda. Perseteruan tersebut merupakan efek dari penolakan Sultan Taha
Saifuddin terhadap perjanjian dengan Belanda. Tidak seperti para sultan pendahulunya, Sultan Taha
Saifuddin memilih untuk tidak menjalin kerjasama dengan Belanda. Akibat dari perseteruan ini, Sultan
Taha Saifuddin terdesak dan kelur dari istana pada 1858. Meskipun keluar dari istana,perlawanan
terhadap Belanda tetap dilakukan sampai beliau gugur pada 1904. Selama perlawanan terjadi, Belanda
yang menduduki istana Kesultanan Jambi mengangkat sultan pengganti meskipun Sultan Taha Saifuddin
masih hidup. Sultan lain yang naik tahta untuk menggantikan kedudukan Sultan Taha Saifuddin yang
menyingkir keluar keratin, merupakan sultan yang diangkat oleh Belanda dan di anggap sebagai Sultan

4
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia
(1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme
9

Bayang (tidur).5 Di kemudian hari, atas perlawanan gigihnya terhadap Belanda, Sultan Taha Saifuddin
mendapat anugerah sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 1977. 6

B. Silsilah

Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubunga Jambi-Batavia (1830-1907) dan
Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), dari data yang berhasil dihimpun tentang silsilah para sultan
yang memerintah di Kesultanan Jambi adalah sebagai berikut :

1. Sultan Mohildin (1818)


2. Sultan Mohammad Fachruddin (antara 1821 dan 1829-1841)
3. Sultan Abdulrachman Nazaruddin (1841-1855)

Silsilah para sultan ini ditambah dengan sumber lain dari buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah
Jambi (1978/1979), yang menyebutkan bahwa setelah Sultan Abdulrachman Nazaruddin turun tahta,
pengganti beliau adalah:

4. Sultan Taha Saifuddin (1855-1904)


5. Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881)
6. Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866)
7. Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901)

Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu
(putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:

1. Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)


2. Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)

Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota. Kerapatan Patih Dalam
diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang di beri gelar:

1. Pangeran Adipati
2. Pangeran Suryo Notokusumo
3. Pangeran Jayadiningrat
4. Pangerang Aryo Jayakusumo
5. Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo

R.Zainuddin et.al., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi


6
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia
(1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme
10

Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai
lembaga legislative (DPR) pada masa sekarang. Sedangkan Kerapatan Patih Luar dipimpin oleh seorang
pangeran yang tertua dan diberi gelar Pangeran Diponegoro dengan para anggota yang diberi gelar:
1. Pangeran Mangkunegoro
2. Pangeran Purbo
3. Pangeran Marto Joyokusumo
4. Pangeran Kromodilogo
5. Pangeran Kusumodilogo

C. Wilayah Kekuasaan

Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kplonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1970) dan
Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), pada permulaan abad ke-19 wilayah selatan Jambi berbatasan
dengan Karesidenan Palembang yang dibentuk sejak tahun 1819. Kesultanan Jambi sendiri mempunyai
hubungan dengan karesidenan ini melalui Bengkulu dan Rawas (sebuah daerah di Palembang). Di sebelah
utara berbatasan dengan Kesultanan Indragiri dan sejumlah kerajaan merdeka Minangkabau seperti
Siguntur dan Lima Kota. Di sebelah barat, di Pegunungan Buit Barisan, Jambi berbatasan dengan Dataran
Tinggi Padang di Minangkabau, sebuah karesidenan sejak 1816. 7

Sedangkan menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), batas wilayah
administrasi pemerintahan (batas wilayah kekuasaan) Kesultanan Jambi meliputi daerah-daerah yang
tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi Sembilan lurah, Batangnyo Alam Rajo”. Adagium ini jika
diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:

a. Pucuk, yaitu Ulu, dataran tinggi


b. Sembilan lurah, yaitu Sembilan negeri atau wilayah.
c. Batangnyo Alam Rajo, yaitu daerah teras kerajaan yang terdiri atas dua belas suku atau daerah

Khusus untuk adagium “Sembilan lurah” yang diartikan dengan Sembilan negeri, menurut pepatah adat,
ditambahkan pula dengan “empat di atas, tiga ditaruh di bawah, dan dua di Bangko bawah”. Tambahan
adagium tersebut jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:

a. Empat di atas, meliputi daerah Kerinci, dimana pemerintahannya diselenggarakan oleh empat
depati yaitu :
1. Depati Rencong Talang yang berpusat di Pulau Sangkar dengan daerah kekuasaan meliputi
tanah di sebelah barat dan selatan Danau Kerinci.
2. Depati Muara Langkap Tanjung Langkap Sekian yang mempunyai pusat kekuasaan di
Tamiang.
3. Depati Biang Sari dengan daerah kekuasaan yang meliputi tanah di sebelah tenggara dan
timur Danau Kerinci.
4. Depati Atur Bumi yang menempatkan pusat kekuasaan di Hiang. Daerah kekuasaannya
meliputi tanah di sebelah barat laut dan tenggara Danau Kerinci sampai daerah Gunug
Kerinci

7
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia
(1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme
11

b. Tiga ditaruh di bawah, meliputi daerah Bangko atas, dimana pemerintahannya di selenggarakan
oleh tiga depati yaitu:
1. Depati Setio Rajo dengan daerah kekuasaan meliputi Lubuk Gaung.
2. Depati Setio Nyato dengan daerah kekuasaan meliputi daerah Sungai Manau.
3. Depati Setio Beti dengan daerah kekuasaan meliputi Tantan

c. Dua di Bangko bawah, meliputi:


1. Daerah Batin IX, yang terdiri pula atas Batin IX Ulu dan Batin IX Ilir.
2. Daerah yang disebut Induk Enam anak sepuluh dan lebih di kenal dengan sebutan Luhak
XVI, meliputi daerah-daerah:
1. Tiang Pumpung
2. Dusun Tuo
3. Sanggerahan
4. Sungai Tenang
5. Serampas
6. Pembarap

Selain adagium dari pepatah adat yang ditambahkan tersebut, adapula yang menganalogikan bahwa
“Sembilan lurah” dianalogikan dengan Sembilan sungai yang mengalir di daerah Jambi, yaitu:

1. Batang Merangin
2. Batang Masumai
3. Batang Tabir
4. Batang Pelepat
5. Batang Senamat
6. Batang Tebo
7. Batang Bungo
8. Batang Jujuhan
9. Batag Abuan Tungkal

Adapun “Batang Alam Rajo”, diartika dengan daerah teras kerajaan yang terdiri dari 12 daerah atau suku,
yaitu:

1. Jebus, meliputi negeri-negeri Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading, Tanjung, dan
Landrang.
2. Pemayung, meliputi negeri-negeri Teluk sebelah Ulu, Pudak Kumpeh, dan Berembang.
3. Maro Sebo, meliputi negeri-negeri Sungai Buluh, Pelayang, Sengketi Kecil, Sungai Ruan, Buluh
Kasap, Kembang Seri, Rangas Sembilan, Sungai Aur, Teluk Lebar, Sungai Bengkal, Mengupeh,
Remaji, Rantau Api, Rambutan Masam, dan Kubu Kandang.
4. Petajin, meliputi negeri-negeri Betung Bedarah, Penapalan, Sungai Keruh, Teluk Rendah, Dusun
Tuo, Peninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran Kumpeh.
5. VII Koto disebut juga Kembang Peseban, meliputi negeri-negeri Teluk Ketapang, Muara Tabun,
Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang, dan Tanjung.
6. Awin, meliputi negeri Pulau Kayu Aro dan Dusun Tengah
12

7. Penagan, meliputi negeri Sudun Kuap


8. Mestong, meliputi negeri-negeri Tarekan, Lopak-Alas, Kota Karang, dan Sarang Burung.
9. Serdadu, meliputi negeri Sungai Terap.
10. Kebalen, meliputi negeri Terusan
11. Aur Hitam, meliputi negeri-negeri durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang Kelapa, Sungai Seluang,
Pematang Buuh, dan Kejasung.
12. Pinokawan Tengah, meliputi negeri-negeri Dusun Dure Lupak Aur, Pulau Betung, dan Sungai
Durian.

Secara geografis, paparan wilayah Kesultanan Jambi di atas dapat dirangkum menjadi dua bagian, yaitu:

1. Daerah Hulu Jambi yang meliputi:


a. Daerah Aliran Sungai Tungkal Ulu
b. Daerah Aliran Sungai Jujuhan
c. Daerah Aliran Sungai Batang Tebo
d. Daerah Aliran Sungai Tabir
e. Daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambi
2. Daerah Hilir Jambi, meliputi daerah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir sampai Rantau Benar ke
Danau Ambat, yaitu pertemuan antara Sungai Batanghari dan Batang Tembesi, sampai perbatasan
dengan daerah Palembang. Dari paparan luas wilayah secar geografis ini, menurut catatan tentara
Belanda, luas keseluruhan wilayah Kesultanan Jambi adalah 884 Gm (Geografis mil) atau1/4 kali
luas negeri Belanda. Sejalan dengan wilayah daerah administrasi Kesultanan Jambi, pepatah adat
Jambi juga menyebutkan tentang batas-batas wilayah Kesultanan Jambi sebagai berikut:

“Dari ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo. Dan Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun
Tulang”.
Terjemahan dari pepatah adat tersebut kurang lebih diartikan sebagai berikut:
1. Ujung Jabung, yaitu daerah pantai Jambi (daerah Tungkal)
2. Durian Takuk Rajo, yaitu daerah Tanjung Samalidu.
3. Sialang belantak besi, yaitu daerah Sitinjau Laut.
4. Bukit Tambun Tulang, yaitu Bukit Tigas (singkut)

Berdasarkan paparan wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi serta batas-batas daerah kekuasaannya, maka
dapat dikatakan bahwa wilayah Provinsi Jambi sekarang ini merupakan bekas wilayah kekuasaan
Kesultanan Jambi.8

8
R.Zainuddin et.al.,Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi
13

D. Kehidupan Sosial-Budaya

Menurut buku Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial (2001),
sifat hubungan hulu dan hilir atau gerak horizontal barat ke timur sangat mendominasi pertumbuhan dan
perkembangan berbagai aspek kehidupan dalam politik,ekonomi, ataupun kebudayaan di wilayah Jambi.
Hal ini dapat dilihat dari erat dan dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, misalnya Padang Roco,
Muaro Bungo, Muaro Tebo, Muaro Bungo, Muaro Tembesi, Muaro Bulian, Jambi, Muaro Jambi,
Simpang, Muaro Zabak, Kualo Tungkal, Perairan Riau, Selat Malaka, Jawa, Asia Timur,dan Asia Selatan
khususnya India. Kebutuhan hulu dan hilir di laksanakan dengan barter, misalnya kain sutera, keramik,
tekstil dari Cina atau India dengan hasil dari Kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi,
dan lain-lain sehingga menimbulkan system perdagangan dari yang tradisional sampai modern. 9 Potensi
hulu dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi untuk membangun mitra perdagangan. Tercatat pada
pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada
yang menguntungkan. Pada mulanya perdagangan dilakukan dengan orang-orang Portugis dan sejak 1615
dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda. Sebuah perdagangan di mana orang-orang
Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga terlibat. 10 Lewat perdagangan ini para Sultan Jambi memperoleh
keuntungan yang sangat berlimpah.

Selain itu tipologi daerah di Kesultanan Jambi ditandai dengan dukungan sungai besar Batanghari dengan
anak-anak sungainya, yaitu Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Asai, Batang Tabir, Batang Tebo,
Batang Bungo, Batang Ule (Alai), Batag Jujuhan, dan Batang Siau. Kesembilan sungai ini juga
mempunyai nama lain, yaitu: Batang Merangin, Batang Masumai, Batang Tabir, Batang Pelepat, Batang
Senamat, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, dan Batang Abuan Tungkal. Kesembilan daerah
aliran sungai ini disebut dengan “Sembilan lurah” (negeri). Oleh karena itu daerah Kesultanan Jambi
disebut juga dengan “Pucuk Jambi Sembilan Lurah”. Di kawasan “Sembilan lurah” ini telah terjadi
aktivitas sosial-ekonomi yang didukung oleh potensi dari daerah pedalaman. Dukungan para kepala elite
local yang menguasai tiap lurah dengan sebutan depati, membuat terbukanya potensi perdaganagan antara
Jambi dengan pihak luar. Perairan yang lebar dengan sungai yang dalam menciptakan daerah pemukiman
padat di sepanjang aliran sungai dan meninggalkan temuan-temuan arkeologis berupa lebih dari 149
bekas pemukiman kuno maupun 70 situs purbakala.11

9
Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi
10
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia
(1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme
11
Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi
14

Di sisi lain, mata pencaharian penduduk di wilayah Kesultanan Jambi adalah bertani. Di dataran rendah
padi ditanam dengan cara membabat dan membakar hutan; sedang di dataran yang lebih subur seperti
Tembesi dan Tebo, padi ditanam di sawah yang tidak jarang sampai surplus produksi dan dikirim ke
dataran rendah. Di daerah Tebo dan Tembesi hulu, peternakan juga menjadi mata pencaharian
penduduk.12

Di luar dari kehidupan perekonomian di daerah Kesultanan Jambi berkembang pula kehidupan seni
budaya. Menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), perkembangan seni
budaya di wilayah Kesultanan Jambi pada umumnya merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Hanya
saja untuk beberapa hal terdapat kreasi baru seperti dalam seni music dan tari. Sedangkan jenis seni
budaya di Kesultanan Jambi dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Seni ukir yang termanifestasi dalam bentuk :


a. Ukiran bunga tampuk manggis
b. Ukiran akar Cina
c. Ukiran tawang
2. Seni tari dan lagu, antara lain terdiri dari :
a. Tari Tauh atau lebih dikenal istilah “Betauh”
b. Tari nan Belambai
3. Seni kriya, yaitu anyam-anyaman yang terbuat dari bambu, rotan, dan pandan untuk kebutuhan
rumah tangga sendiri.

12
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia
(1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme
15

E. Penyebaran Islam di Masa Kesultanan Jambi

Sebenarnya, garis keturunan dan asal-usul kesultanan Jambi tidak terlalu jelas. Sampai menjelang abad
ke-16, kesultanan Jambi belum terkonsolidasi dengan baik. Kekuasaannya mulai tumbuh seiring dengan
proses pembentukan pemerintahan, islamisasi, dan pertumbuhan ekonomi-perdaganagn sebagaimana
yang tengah terjadi diberbagai tempat di Nusantara, dalam periode antara abad ke-16 dan ke 18. 13

Di dalam naskah SKJ disebutkan bahwa awal sejarah Islam di Jambi pada pertengan abad ke-15, yang
ditandai dengan kedatangan seorang muslim dari Istambul (Turki). Ia berhasil menikahi Putri Selaras
Pinang Masak, yang saat itu menjadi raja di Tanjung Jabung. Seorang muslim dari Istambul itu bernama
Ahmad Salim atau Ahmad Barus II,14 yang datang ke Jambi pada 1440 dan wafat 1480. Ia dimakamkan
di Pulau Berhala, sebuah pulau yang terletak perairan paling ujung timur Provinsi Jambi. Karena
makamnya terletak di Pulau Berhala, maka Ahmad Salim lebih dikenal oleh masyarakat Jambi
dengansebutan Datuk Paduka Berhala. Di dalam naskah SKJ ditegaskan, bahwa kedatangan Datuk
Paduka Berhala menandai sejarah awal Islam di Jambi.

Sebenarnya, sejarah awal Islam di Jambi bisa ditelusuri lebih jauh ke masa Kerajaan Sriwijaya.
Kedatangan Islam ke Nusantara sangat terbantu oleh aktivitas perdagangan. 15Khususnya daerah-daerah
yang memiliki pesisir pantai dan alur sungai, secara ekonomi sangat bergantung pada perdagangan
internasional. Sejarah awal Islam datanag ke Nusantara dibawa oleh pedagang-pedagang muslim dari
Arab, India, dan Cina. Dalam perdagangan ke Nusantara, mereka singgahdi pelabuhan-pelabuhan dagang
mulai dari bahagian pantai barat Sumatra (Barus dan Tiku), ujung pulau Sumatra (Aceh) terus menyusuri
Selat Malaka menuju ke pusat-pusat perdagangan di pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Gresik, Tuban
dan Jepara. Sebagian mereka meneruskan perdagangan ke bagian timur kepulauan Nusantara seperti
Sambas, Banjarmasin, Makasar, Goa, Ternate, Tidore dan Maluku yang saat itu menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah. Kedatangan para pedagang muslim secara tidak langsung telah
memperkenalkan Islam kepada penduduk Nusantara.

13
Uka Tjandarasasmita, Proses Islamisasi dan Perkembangan Kesultanan Jambi serta Upaya Mempertahankan Kedaulatannya
14
A. Mukty Nasruddin, Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949
15
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part One
16

BAB III

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Kesultanan Jambi terbentuk mulai pertengahan abad ke-15. Akhir adab ke-16 atau awal abad ke-17,
Kesultanan Jambi berkembang seiring dengan proses Islamisasi yang berkolaborasi dengan meningkatnya
perekonomian Jambi di pusat-pusat perdagagan di pantai timur Sumatra dan Selat Malaka. Aktivitas
perdagangan Jambi dapat disamakan dengan pelabuhan-pelabuhan besar di Aceh, Palembang, Johor, dan
Jepara.

Seiring dengan pertumbuhan perekonomian Jambi membuat Islam semakin berkembang ke pedalaman
dan tumbuhnya pusat-pusat perkotaan kecil. Perkembangan ini mendorong Belanda untuk datang ke
Jambi, yang diwarnai dengan perlawanan dari Kesultanan Jambi. Simbol perlawanan rakyat Jambi dalam
perlawanan terhadap colonial adalah pribadi Sultan Thaha. Sultan Taha Saifuddin memilih untuk tidak
menjalin kerjasama dengan Belanda. Akibat dari perseteruan ini, Sultan Taha Saifuddin terdesak dan
kelur dari istana pada 1858. Meskipun keluar dari istana,perlawanan terhadap Belanda tetap dilakukan
sampai beliau gugur pada 1904. Selama perlawanan terjadi, Belanda yang menduduki istana Kesultanan
Jambi mengangkat sultan pengganti meskipun Sultan Taha Saifuddin masih hidup. Sultan lain yang naik
tahta untuk menggantikan kedudukan Sultan Taha Saifuddin yang menyingkir keluar keratin, merupakan
sultan yang diangkat oleh Belanda dan di anggap sebagai Sultan Bayang (tidur). Di kemudian hari, atas
perlawanan gigihnya terhadap Belanda, Sultan Taha Saifuddin mendapat anugerah sebagai pahlawan
nasional Indonesia pada 1977.
17

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia ( Bandung: Mizan, 1994)

_____, Renaissans Islam Asia Tenggar: Sejarah, Wacana, dan Kekuasaan (Bandung: Rosda
Karya,1999)

_____, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta:Gramedia,
2002)

Burhanuddun, Jajat, “The Making of Islamci Political Tradition in the Malay Acrhipelago (The
Beginning Process)”, Thesis at Leiden University, Netherlands

Budihardjo. 2001. Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial.
Yogyakarta: Philosophy Press

Darman Moenir et.al. 1993. Minangkabau. Jakarta: Yayasan Gebu Minang.

Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

Kozok, Uli. 2006. Kitab Undang-Undnag Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-


Batavia (1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme (a.b) Jackson, Baverly. 2004. Sumatran
Sultanate and Colonial State: Jambi and the rise of Dutch Imperialism, 1830-1907 (a.b) Noor
Cholis. 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan
Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta

M.D. Mansoer et.al. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.

Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka.

R. Zainuddin et.al. 1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi. Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
18

Reid, Anthony, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-
1680 (Jakarta: YOI, 1999)

Nasruddin, A. Mukty, “Jambi Dalam Sejarah Nusantara692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan, tth.;
Usman Meng’Napak Tilas Liku-Liku Propinsi Jambi (Kerjaan Malayu Kuno s.d Terbentuknya
Propinsi Jambi”, stensilan, tidak diterbitkan, tth.

Schrieke, B.J.O., Indonesia Sociological Studies, Part One, (Den Haagdan Bandung: Van Hoeve,
1955)

Tjandrasasnita, Uka, “Proses Islamisasi dan Perkembangan Kesultanan Jambi serta Upaya
Mempertahankan Kedaulatan”, Mimbar Agama dan Budaya, vol. xx, no.2, 2003, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

http://melayu.online.com 11 Nov. 2015 16:05 wib

Anda mungkin juga menyukai