Anda di halaman 1dari 6

HAL 4-12

B.

PENGHUNI AWAL PULAU WANGI-WANGI

Dijelaskan oleh La Ode Abubakar bahwa sekitar abad ke-15 seorang yang bernama
Wa Suru Baenda, putri Raja Banda Elat, beserta ratusan pengikutnya meninggalkan
negerinya akibat letusan gunung berapi bersamaan dengan terjadinya perebutan
kekuasaan di kerajaan itu. Mereka terdampar di Pulau Runduma dan sampai di
Pulau Koba (Wangi-Wangi). Mereka memilih tinggal di Mandati Tonga. Dari suaminya
yang berasal dari Wangi-Wangi bernama Moori Wolio ia dikaruniai dua orang putra
dan dua orang putri. Putra sulungnya yang bernama Gangsalangi memerintah di
Liya, adiknya yang bernama Gangsauri memerintah di Tindoi, Wa Suru Bontongi
berkuasa di Mandati dan Patimalela memerintah di Kapota. Dari mereka inilah
antara lain yang menjadi cikal bakal penduduk Pulau Wangi-Wangi (Abubakar, 1999:
12). Ada juga suku Melayu dari Semenanjung Johor yang mendiami Wangi-Wangi
(Siwupima Andaresta dalam SBF 302, tt, 8).
Pada sekitar pertengahan abad ke-17, sekitar 360 orang pengikut Raja Hitu yang
bernama TulukaBessi, diasingkan oleh Belanda di Patuno Wangi-Wangi. Sumber lain
menyebutkan diasingkan ke Tanah Jawa (La Rabu Mbaru, 2009 : 4). Sebagaimana
diketahui bahwa Tulukabessi adalah Raja Hitu, pemimpin terakhir gerakan
perlawanan rakyat Hitu menetang penjajahan Belanda, sehingga ia dieksekusi mati
pada tanggal 3 september 1646, mayatnya dimasukkan ke dalam peti besi
kemudian dibuang (Ricklefs, 1998 : 94). Di Patuno, para pengikut Tulukabessi itu
memberontak dan berhasil membunuh para serdadu VOC. Sumber lain
menyebutkan mereka memberontak sejak di Laut Buru dan berhasil menguasai
kapal dan mengarahkan ke Kepulauan Tukang Besi (La Rabu Mbaru, 2009 : 4).
Penempatan mereka di Wangi-Wangi adalah hasil perjanjian antara Buton, Ternate,
dan VOC. Akan tetapi karena kuatir para pemberontak itu dapat mengancam
keamanan wilayahnya, maka Buton meminta agar mereka ditempatkan di suatu
pulau kecil dan terpencil yang jauh dari pusat kekuasaan. Mereka pertama kali
diturunkan di sebuah kampung yang kemudian diberi nama Patuno (dari kata
patuhuano artinya tempat menurunkan), kemudian menuju Tindoi dan Maleko
(Pangera,Wawancara, dalam LM Nur Yance, 2006 : 41). Mereka kemudian
disebarluaskan ke Wantoramata di Kaledupa, Lagole di Tomia, dan Palahidu di
Binongko (Abubakar, 1999; Wawancara, 3-5 Maret 14 Oktober 2005). Dari
keturunan mereka ini pula yang menjadi salah satu cikal bakal penduduk dan akar
budaya masyarakat Wakatobi. Namun jauh sebelum kedatangan mereka di WangiWangi, sesungguhnya telah ramai orang-orang bermukim di kepulauan ini. Menurut
Johannes Elbert secara antropologis penduduk Wanci adalah percampuran antara
penduduk Buton Selatan dengan pantai Pulau Buru dan Ambon serta Semenanjung
Melayu, karena itu penduduknya berpakaian mirip orang Buton, namun berperilaku
dan budaya esensi dari strain Melayu lebih canggih (Elbert, 1911 : 138-139).

C.

PENGHUNI AWAL PULAU KALEDUPA

Dalam tradisi lisan, manusia pertama Kaledupa berasal dari keturunan dua keluarga
yaitu Sangia Yiperopa serta isterinya Watoburia dan Sangia Yigola serta isterinya Wa
Hanambaria. Selanjutnya dalam tradisi lisan dituturkan pula bahwa ada
serombongan orang yang datang di Kaledupa dari Buton melalui Kapala Nupasi
(ujung barat atol Wakatobi). Mereka adalah La Manungkira dan istrinya Wa Sau
Leama, La Goga, La Manduka, dan La Koto Gau. Dalam tradisi lisan itu diungkapkan
pula bahwa telah terjadi suatu upaya yang dilakukan oleh La Goga untuk merebut
Wa Sau Leama dari tangan La Manungkira. Bahkan dikatakan La Goga berusaha
merebut Wa Sau Leama ketika La Manungkira sedang menangkap ikan di pasi.
Hanya dengan sekali mendayung dan sekali melangkah La Manungkira sampai di
rumahnya. Namun perselisihan mereka berhasil didamaikan oleh La Koto Gau. La
Manungkira meninggalkan bekas telapak kaki di bukit Watu Walanda Desa Horuo
(M. Rosidin, Wawancara, 24 Mei 2014).
Tradisi lisan menuturkan pula bahwa kedatangan mereka di Kaledupa karena
beberapa alasan. Ada seorang raja anaknya Sembilan orang salah satunya adalah
seorang putri. Putri raja selalu ikut ke laut bersama kakak laki-lakinya. Suatu ketika
putri raja menghilang bersama kakaknya, maka raja memerintahkan seluruh rakyat
di pulau-pulau kecil untuk mencari anak raja sampai ketemu, jika tidak ditemukan
maka seluruh warga dilarang kembali. Para pendatang itu kemudian menyebar ke
tempat-tempat yang lebih tinggi (gunung) yang lazim disebut Syara-Syara Wungka
agar dengan mudah dapat memantau kehadiran para Sanggila. Tempat-tempat
ketinggian dimaksud adalah Wungka Watole,Wungka Tapaa, Wungka Liwuto,
Wungka Tombuluruha, dan Wungka Palea. Di Wungka Watole terdapat sebuah Watu
Galasi (batu gelas/kaca) yang dianggap sakral berbentuk persegi sebagai penanda
titik tengah (sentral) Pulau Kaledupa, sekitar tiga km dari Mesjid Bente (La Dawu,
Wawancara, 20 Mei 2014).
Selanjutnya datang utusan Buton bernama Kasawari (nama aslinya
Battimua), dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Di Kaledupa ia dikenal
pula dengan nama Mia Dao (artinya orang tidak baik) karena mula-mula
kedatangannya dengan cara menyamar sebagai mata-mata. Ia datang melalui
Kapala Nupasi , mendarat di Ladonda selanjutnya berlabuh di Tampara kemudian
menuju puonufuta (pusat tanah) di Tapaa. Di Tampara ia meniggalakan bekas yang
dinamakan Watu Labu Mia Dao artinya tempat berlabuhnya Mia Dao (Wa Ode Ahini,
Wawancara, 1 Juni 2014).
D.

PENGHUNI AWAL PULAU TOMIA

Tradisi lisan yang lebih tua menuturkan bahwa manusia pertama di Tomia
adalah Sipanyong dari Galela Maluku Utara, yang hendak berdagang di Pulau
Ambon tapi dalam perjalanan menuju Ambon perahunya ditimpa oleh angin utara
yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perahunya hancur. Sipanyong

membuat rakit dengan menggunakan kepingan perahunya dan akhinya tiba di


pesisir pantai sebelan timur daratan Pulau Tomia. Dari pantai tersebut Sipanyong
berjalan menuju bukit yang agak tinggi dan dijadikan sebagai tempat kediaman
sementara. Pada suatu saat ketika mengarahkan pandangannya ke pesisir pantai,
dia melihat ada sebuah perahu yang datang dari arah selatan dan mendarat di
pesisir pantai sebelah timur. Maka turunlah Sipanyong menjemput perahu yang
mendarat di pesisir pantai tersebut. Pantai tempat mendarat perahu tersebut kelak
diabadikan dengan nama pantai Polio (dari bahasa Galela di Maluku Utara, artinya
menjemput). Selanjutnya Sipanyong mengajak orang yang mendarat di pantai Polio
itu ke tempat tinggalnya di atas bukit. Mereka pun kemudian saling bersahabat
dengan baik. Kelak tempat persahabatan mereka di sebuah bukit itu diabadikan
dengan nama bukit atau gunung Koa (dari bahasa Galela di Maluku Utara, artinya
bersahabat).
Orang yang di jemput oleh Sipanyong itu bernama Timbarado bersama
istrinya Sutinya, berasal dari Jawa (Timur) yang melakukan perjalanan dengan
menggunakan perahu Jawa bernama tambanga menuju Flores selanjutnya dari
Flores kembali melakukan perjalanan tetapi terdampar di pesisir pantai sebelah
timur daratan Pulau Tomia. Tempat tinggal pertama ketika pertama kali tiba di Pulau
Tomia adalah di bukit Koa selanjutnya pindah ke Kulati, kemudian ke Teetimu
selanjutnya pindah ke sangia Lontoi. Pada saat mereka tinggal di sangia Lontoi
mereka di serang oleh Sanggila Tobelo sehingga mereka pindah ke tempat lain dan
berhasil membuat benteng Suiya selanjutnya pindah dan membuat benteng baru di
Odo
Karena jumlah mereka semakin lama semakin bertambah akhirnya mereka
mencari tempat baru dengan membuat benteng baru yang lebih besar dari benteng
sebelumnya yaitu benteng Rambiranda. Percakapan pertama antara Sipanyong
dengan Timbarado tertuang dalam syair klasik, sebagaimana dituturkan Hasan
Jandi, berbunyi sebagai berikut :
Dulu-dulu dalali
Manga te umbe-umbe
Kaasi tumbu
na ginta
Kaasi tumbu patola
Kandoa talli isekka
Warone panda roduku
(Hasan Jandi, Wawancara, 23 April
2013)
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka membentuk dua unit
pemerintahan, yaitu Suiya di bagian timur dan Komba-Komba di bagian barat. Si
Panyong memerintah di Siuya dengan gelar sangaji dan Timbarado memerintah di

Komba-Komba dengan gelar pati. Sementara dalam naskah bahasa Tagalok,


manusia pertama yang mendiami Pulau Tomia adalah suku Katabato dari Kerajaan
Sulu di Mindanao Filipina Selatan (Siwupima Andaresta, dalam SBF 302, tt, 8).
Di Kahianga Tomia ada
sebuah kuburan yang oleh masyarakat setempat dinamakan kuburan La
Pangkajene, mungkin juga kuburan Karaeng Tuni Palusu, paman Sultan Alaudin,
yang diduga tinggal menetap di Tomia (Abubakar, Wawancara, 3-5 Maret dan 14
Oktober2005). Tradisi lisan menyebutkan bahwa kehadiran Karaeng Tuni Palusu atau
orang-orang Gowa yang dating di Tomia itu selalu disambut dengan tari Sajo Moane
dan Sajo Wowine, yang oleh pendatang dari Gowa disebut tari eja-eja (merahmerah) karena di bagian leher para penari itu dililitkan kain merah yang dalam
bahasa Gowa (Makassar) disebut eja (Ali Hanafie, Wawancara, 6 April 2005).
E.

PENGHUNI AWAL PULAU BINONGKO

Berdasarkan sumber-sumber tertulis dalam naskah Bahasa Tagalog, dinyatakan


bahwa Kedatuan Rukuya (Rukuwa) di Binongko didirikan oleh para pendatang dari
Kerajaan Sulu di Filipina Selatan (Siwupima Andaresta, dalam SBF 508, tt). Hal ini
diperkuat oleh Antila bahwa manusia pertama yang mendiami Pulau Binongko
selain berasal dari Kerajaan Buton, ternyata juga bersasal dari Kerajaan Sulu di
Philipina (Antila, 1972 : 21) kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya.
Pertama kali mereka tinggal di Togo Kaluku (Barangka) di puncak gunung Pulau
Binongko.
Dalam Culadha Tapetape (tradisi lisan) orang Binongko dikisahkan bahwa di
zaman dahulu, telah datang seseorang bernama Sumahil Tahim Alam (dikenal pula
dengan nama La Patua Sakti) dengan menumpang sebuah perahu. Ketika tiba di
Binongko, ia bertemu dengan seorang puteri bidadari yang dipercaya sebagai
waliulla. Pertemuan mereka terjadi di bukit (koncu) Patua Wal. Mereka kemudian
menjadi pasangan suami istri. Dari keturunan mereka ini pulalah yang menjadi
salah satu cikal bakal penduduk Binongko.
HAL 22-29
K.

KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal adalah nilai-nilai yang secara tradisional dijunjung tinggi oleh
masyarakat secara kolektif tetapi berlaku terbatas pada lokalitas dan komunitas
tertentu. Jadi dalam setiap komunitas masyarakat hampir dapat dipastikan memiliki
nilai-nilai sosial budaya yang dijadikan tradisi demi kelangsungan hidupnya. Inilah
yang dinamakan mental struktur dalam ilmu sejarah atau morfologi budaya dalam
ilmu antropologi. Kearifan lokal itu tercermin dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Dalam kaitannya dengan aktivitas kemaritiman yang dilakukan oleh
masyarakat Wakatobi, terdapat banyak nilai-nilai kearifan lokal yang sangat
diperlukan untuk menggapai cita-cita dan menciptakan kehidupan masyarakat yang
harmonis, aman, tentram, dan sejahtera lahir dan batin.

Pertama-tama yang perlu dikemukakan adalah tradisi mawaka atau poawaawa (musyawarah). Artinya bahwa segala aktivitas kehidupan yang menyangkut
kepentingan umum atau yang melibatakan orang banyak, tidak terkecuali
kehidupan yang berlangsung di laut, harus ditempuh dengan cara musyawarah. Di
dalam musyawarah itu harus menjunjung tinggi ideologi Gau Satoto, yang berarti
menyatunya perasaan,pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam satu kesatuan yang
utuh. Ini berarti menunjukkan prinsip keteguhan pendirian dan ketegasan sikap
serta kejujuran yang sangat tinggi, yang dijabarkan ke dalam lima prinsip
musyawarah yaitu, tara, turu, toro, taha, dan toto.
Kedua, adalah tradisi po asa-asa (bersatu) dan po hamba-haamba (bantumembantu). Tradisi persatuan dan tolong-menolong ini dibangun di atas landasan
filosofi mai to assae na hada, ara no assamo na hada mou te bumbu no dete
(artinya mari kita satukan kehendak, jika kehendak sudah menyatu maka bukit pun
akan menjadi datar). Filosofi ini menujukkan bahwa mula-mula yang dipersatukan
itu adalah keinginan atau kehendak yang berbeda-beda. Jika seluruh keinginan yang
bersifat individual itu sudah menyatu atau lebur menjadi satu (no assamo) maka
pekerjaan seberat dan sebesar apapun dengan mudah bisa diselesaikan. Namun
sebaliknya jika kehendak itu sifatnya individual, tidak menyatu (kai no assa) maka
pekerjaan sekecil apapun tidak akan dapat diselesaikan.
Dalam aktivitas pelayaran, prinsip tersebut mula-mula tercermin dalam
konsep asa rope (satu perahu), mate asa-asa tumbu asa-asa (mati sama-sama
hidup sama-sama) yang dipegang teguh manakala perahu dalam keadaan
terancam bahaya, misalnya ancaman badai dan karam. Konsep lainadalah
porambanga (berlayar gandengan) artinya beberapa perahu meninggalkan
pelabuhan secara bersama-sama dengan satu tujuan yang sama. Dalam aktivitas
penangkapan ikan, tradisi po asa-asa po hamba-hamba terutama tercermin dalam
kegiatan penangkapan ikan yang melibatkan orang dalam jumlah besar seperti
helamba dan heole. Di dalam kegiatan penangkapan ikan secara massal ini seluruh
anggota terlibat secara langsung dan mendapatakan bagian yang sama besarnya,
terkecuali pemimpin mereka yang dinamakan parika mendapataka bagian lebih dari
yang lain.
Ketiga, adalah semangat juang, kerja keras, keuletan, dan keberanian yang
sangat tinggi yang dimiliki oleh seorang pelaut. Tantangan yang dihadapi berupa
perpaduan antara kondisi alam yang tandus, hamparan laut lepas yang penuh
dengan badai dan karang, pengetahuan dan sistem navigasi yang masih tradisional
menjadi penyebab utama bagi munculnya semangat hidup seperti ini. Nilai-nilai
tersebut kemudian dilengkapi dengan tradisi kepemimpinan yang dimiliki oleh
seorang parika dan anakoda yang bertanggung jawab, pandai, jujur, dan,
mengayomi.
L.

TRADISI DAN TARI KHAS POPULER

Anda mungkin juga menyukai