TUGAS : SOSIOLOGI
Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Suku
Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku Tolaki
merupakan suku asli daerah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Suku Tolaki tersebar
di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari,
Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara dan Kolaka
Timur.
Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau
kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini.
Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti
Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua
Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere
dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.
Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di
Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium
Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari pada artefak di
Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini
maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum
Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak
manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,
gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu
pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak
tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar
perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa
Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara
Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini
melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan
Sulawesi Tenggara.
Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu:
Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah
mokole Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti,
dan kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral
tradition atau tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk.
Di daerah ini telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi
satu konfederasi yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil
membentuk satu konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini
seperti halnya kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa
kerajaan kecil seperti Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya.
Adapun beberapa kerajaan kecil tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kerajaan Padangguni
2) Kerajaan Wawolesea.
Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara
pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea
merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan
maju disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi
Tengah. Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan
(molowu), akibat Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah
tersebut maka penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran
menuju ke daerah lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton
dan pulau Wawonii. Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang
bernama Rundu Langi, dan tidak mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan
Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan Konawe.
3) Kerajaan Besulutu.
Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja
Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran
berperang (momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya
banyak berkurang, bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak
ada penerus kerajaan tersebut.
Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga
Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode
selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga.
Pada saat itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona
diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak
Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan
Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir
bernama Mokole Lapanggili.
Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa
peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk
arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.
Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F. Treferrs
bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan
Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria.
Jadi sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik.
Mereka inilah yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.
Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha.
Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan
nama Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak
sama pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe
sehingga berubah Watandiyate.
Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama
depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau
Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang
bernama Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam
kitab sastra Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila
dilantik (Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian
Wekoila setelah menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan
Konawe. Dan berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe,
kejadian ini berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada
awalnya berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah
ke daerah Unaaha di Inolobu Nggadue
Suku bangsa Tolaki atai orang laki sering juga disebut Tokea, dalam kepustakaan
asing ada juga yang menyebut Lolaki atau Lalaki. Mereka berdiam di lingkungan
sebagian besar wilayah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka, di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Suku bangsa ini lagi menjadi beberapa subsuku yakni Wiwirano, Labeau,
Aserawanua, Mowewe, Mekongga dan Tamboki, jumlah populasinya diperkirakan
sekitar 150.000 jiwa.
Mata pencaharian pokok orang Tolaki ialah bertanam padi disawah dan
ladang. Sagu masih dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan pokok
pengganti. Ternak yang banyak mereka pelihara ialah kerbau dan sapi. Mata
pencaharian lain seperti meramu hasil hutan, berburu binatang liar dengan tombak
dan sumpit serta menangkap ikan di sungai dan laut juga banyak dilakukan.
II. FALSAFAH
A. Pengertian Kalosara
Suku Tolaki telah lama mendiami dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini
menyebar di dua wilayah yang cukup luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe,
Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka,
Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. Persebaran Suku Tolaki ini
membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan sosial budayanya, yang
kemudian tersimpul dalam isntrumen adat kalosara.
Secara harfiah, kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti seutas rotan
dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum.
Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari
bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan,
bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali
ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas
paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan
di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Kalosara terdiri atas dua jenis, yaitu:
(1) Kalosara Sapu Ulu, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran kepala
orang dewasa atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan
masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah atau
sering pula disebut Meula Nebose.
(2) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran bahu
orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan
masyarakat tertentu, seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh
masyarakat atau sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau
Bose (Tamburaka, 2015).
Terdapat dua model ikatan ujung kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan
pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol, sedangkan yang dua ujungnya dari
arah kiri tersembunyi, maka model kalo ini diperuntukkan pada kegiatan perkawinan.
pihak penerima, sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri bagi pihak
pemberi.
Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka delapan,
maka Kalosara jenis ini diperuntukkan khusus kegiatan upacara adat Mosehe, dalam
konteks ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain atau kalosara
dalam pengertian yang luas (Tamburaka, 2015).
Perkawinan
Mowindahako dapat diterjemahkan pesta perkawinan, setelah tiba hari yang telah
disepakati, maka diantarlah pengantin laki-laki ketempat upacara perkawinan
dengan usungan (Sinamba Ulu) atau kendaraan lain.
Setelah hal-hal tersebut dilakukan, kemudian kedua mempelai duduk bersila dan
siap mengikuti upacara adat Mowindahako. Acara ini dilakukan dengan cara juru
bicara pihak laki-laki menyesuaikan duduknya dengan mengarahkan Kalonya
kehadapan Puutobu atau pemerintah setempat dan maju maksimal 4 kali sampai
berhadapan langsung dengan penerima Kalo sebagai permohonan izin untukmemulai
upacara adat. Dalam prosesi ini, juru bicara pihak laki-laki mengucapkan salam
kepada Puutobu atau pemerintah setempat serta menyampaikan maksud kehadiran
yang kemudian dijawab oleh Puutobu atau pemerintah tersebut. Setelah itu penerima
Kalo mengembalikan kepada juru bicara. Kemudian juru bicara laki-laki mohon diri
untuk kembali ketempat semula dan berhadap-hadapan dengan juru bicara dari
pihak perempuan.
Setelah kedua petugas Mosoro niwule menyodorkan salopa maka juru bicara laki-
laki membuka kesunyian dengan mengucapkan salam dan dijawab oleh yang
mendengarkan.
Akhir acara atau penutup dilakukan Moheu osara atau pengukuhan adat. Makna
dari acara ini adalah agar dalam melaksanakan tugasnya, juru bicara harus berlaku
adil dan jujur serta sehat sepanjang hidupnya, bila sebaliknya akan terkena sanksinya
dan mendoakan keduarumpun keluarga mempelai agar hidup rukun, damai,
bahagia, sehat, beriman, bertakwa kepada tuhan, dimurahkan rezekinya, melahirkan
keturunan saleh, sehat, berilmu, dan beriman sampai akhir hayat. Kemudian
dilanjutkan dengan saling menyuguhkan minuman sebagai pertanda upacara
perkawinan telah selesai.
Setelah acara adat telah selesai, maka selanjutnya dilakukan akad nikah oleh
petugas agama yang didahului penyerahan perwalian dari orang tua perempuan
kepada imam (pemuka agama islam) yang akan menikahkan. Dan tahapan
berikutnya adalah membawa pengantin laki-laki ke kamar pengantin perempuan
untuk pembatalan wudhu. Dalam acara pembatalan wudhu, jempol kanan pengantin
laki-laki ditempelkan diantara kedua kening atau dibawah tenggorokan pengantin
perempuan.
Pada acara selanjutnya, kedua pengantin keluar kamar menuju kedua orang tua
untuk melaksanakan Meanamotuo atau sembah sujud sebagai tanda syukur dan
hormat kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan memelihara mereka.
Setelah itu barulah dilakukan acara resepsi dan hiburan yang diisi dengan tarian lulo,
pada zaman dulu tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti pernikahan,
pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu
gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, dan yang terpenting dari semua itu adalah arti dari
tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat
yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani
kehidupannya.
Tarian Monotambe
Tari Monotambe atau tari penjemputan merupakan tarian khas Suku Tolaki yang
kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk menjemput tamu Kehormatan
yang datang berkunjung didaerah Propinsi Sulawesi Tenggara khususnya didaerah
Suku tolaki.
Tarian ini biasanya diperankan oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari lelaki
sebagai pengawal. Para penari perempuanyyamengenakan busana motif Tabere
atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat kepala, dan
kalung.Dalam tarian berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini, beberapa penari
perempuan membawa Bosara atau bokor dari rotan, sedangkan
dua penari lelakinya memegang senjata tradisional.
Tarian Lulo
Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga populer di
Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang
perkenalan. Kini Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai
tanda persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, atau
wisatawan.
Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para penarinya saling
berpegang tangan satu sama lain membetuk lingkaran atau memanjang. Dalam
sebuah acara besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo
selalu mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari.taran n jga asa dlaksanakan d
acara pernkaan dan jga acara lain yang bertujuan untuk menghibur para tamu
undangan.
Mosehe
Dahulu kala, tradisi ini dilakukan saat dua kerajaan melakukan peperangan. Untuk
menyucikan semua dosa dan juga dendam, raja di Mekongga melakukan upacara
Mosehe Wonua ini. Dalam upacara yang dilakukan ratusan tahun lalu ini, Raja
Mekongga juga menjodohkan anaknya sehingga permusuhan akhirnya reda. Sejak
Mosehe Wonua dilakukan pertama kali, tradisi ini jadi rutin dilakukan untuk menolak
bala dan juga mara bahaya.
Dalam bahasa suku Mekongga Mosehe memiliki arti melakukan sesuatu yang suci.
Mo diartikan melakukan sesuatu dan Sehe memiliki arti suci. Berangkat dari sini, Mosehe
Mekonga bertransformasi menjadi sebuah ritual yang diadakan secara rutin untuk
menolak bala san menyucikan negeri dari hal-hal yang merugikan semua orang yang
ada di dalam kawasan kerajaan Mekongga.
Setiap tahun, penduduk suku Mekongga akan mengadakan tradisi yang sangat
sakral ini. Bagi mereka, melakukan Mosehe Wonua tidak hanya meminta keberkahan
saja. Mereka juga melestarikan tradisi nenek moyang yang akan sangat sayang jika
sampai hilang dan akhirnya tidak bisa dilakukan lagi. Apalagi tradisi ini berasal dari
kerajaan masa lalu dan telah berusia ratusan tahun.
IV. BUDAYA
“Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan
dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum
adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman