Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH SUKU TOLAKI

TUGAS : SOSIOLOGI

DIBUAT : KEVIN ANUGRAH SESAR

KELAS : XII IPS 1

SMA NEGERI 11 KENDARI


I. SEJARAH SUKU TOLAKI

Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Suku
Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku Tolaki
merupakan suku asli daerah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Suku Tolaki tersebar
di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari,
Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara dan Kolaka
Timur.

Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau
kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini.
Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti
Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua
Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere
dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di
Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium
Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari pada artefak di
Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini
maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum
Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak
manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,
gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu
pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak
tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar
perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa
Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara
Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini
melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan
Sulawesi Tenggara.

Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu:
Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah
mokole Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti,
dan kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral
tradition atau tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk.
Di daerah ini telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi
satu konfederasi yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil
membentuk satu konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini
seperti halnya kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa
kerajaan kecil seperti Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya.
Adapun beberapa kerajaan kecil tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kerajaan Padangguni

Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan


kerajaan ini eksis dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja
pertama Padangguni bernama Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau
Tanggolowuta juga biasa digelar Sangia Ndudu Ipadangguni.

2) Kerajaan Wawolesea.

Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara
pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea
merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan
maju disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi
Tengah. Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan
(molowu), akibat Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah
tersebut maka penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran
menuju ke daerah lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton
dan pulau Wawonii. Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang
bernama Rundu Langi, dan tidak mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan
Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan Konawe.

3) Kerajaan Besulutu.

Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja
Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran
berperang (momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya
banyak berkurang, bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak
ada penerus kerajaan tersebut.

4) Kerajaan Watu Mendonga.

Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga
Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode
selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga.
Pada saat itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona
diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak
Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan
Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir
bernama Mokole Lapanggili.
Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa
peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk
arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.

Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya perang


saudara antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan
Besulutu, atau adanya ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti
Bungku dan Ternate, yang menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu
kerajaan Konawe yang merupakan hasil konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta
perang antara kerajaan Wawolesea dan dengan kerajaan Banggai. Pada zaman
Hindia Belanda di Kolaka terdapat distrik Watumendonga yang berkedudukan di
Tongauna.

Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin


yang berusaha untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat
Tolaki yang sudah menetap dan berkembang, penduduknya serta menyebar di
seluruh wilayah kerajaan Padangguni. Adapun nama Mokole Padangguni tersebut
adalah Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua. Selanjutnya Totongano
Wonua memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha, disebabkan
sewaktu Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan
negeri-negeri di sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-
orang yang datang dari Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah
penyakit yang epidemis hampir memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka
bernama Puteo. Totongano Wonua ini menemukan seorang wanita yang berada di
Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha. Selang berapa saat setelah
Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya di Inolobu Nggadue Unaaha.
Tiba-tiba munculah seorang putri di Unaaha dengan 40 orang pengawalnya lengkap
dengan persenjataannya dan berbaju sirat.

Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F. Treferrs
bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan
Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria.
Jadi sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik.
Mereka inilah yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.

Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang


Unaaha. Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha
menyebut putri tersebut dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun,
karena masyarakat Tolaki tidak mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan
ibu putri tersebut. Kemudian mereka menemui mokole Toramalangi, mendengar
laporan masyarakat tersebut maka mokole Toramalangi datang menemui Putri itu. Putri
itu ditumbuhi penyakit kulit berupa panu Opano yang putih sehingga oleh Totongano
Wonua memberikan nama Wekoila.

Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha.
Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan
nama Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak
sama pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe
sehingga berubah Watandiyate.

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama
depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau
Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang
bernama Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam
kitab sastra Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila
dilantik (Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian
Wekoila setelah menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan
Konawe. Dan berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe,
kejadian ini berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada
awalnya berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah
ke daerah Unaaha di Inolobu Nggadue

Suku bangsa Tolaki atai orang laki sering juga disebut Tokea, dalam kepustakaan
asing ada juga yang menyebut Lolaki atau Lalaki. Mereka berdiam di lingkungan
sebagian besar wilayah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka, di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Suku bangsa ini lagi menjadi beberapa subsuku yakni Wiwirano, Labeau,
Aserawanua, Mowewe, Mekongga dan Tamboki, jumlah populasinya diperkirakan
sekitar 150.000 jiwa.

Bahasa Suku Tolaki

Bahasa Tolaki tergolong dalam kelompok bahasa-bahasa Bungku-Laki, bahasa


ini memiliki beberapa dialek seperti dialek Mekongga, Konawe, Nawoni, Moronene,
Kalisus dan Kabaena.

Mata Pencaharian Suku Tolaki

Mata pencaharian pokok orang Tolaki ialah bertanam padi disawah dan
ladang. Sagu masih dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan pokok
pengganti. Ternak yang banyak mereka pelihara ialah kerbau dan sapi. Mata
pencaharian lain seperti meramu hasil hutan, berburu binatang liar dengan tombak
dan sumpit serta menangkap ikan di sungai dan laut juga banyak dilakukan.
II. FALSAFAH

FALSAFAH KALOSARA DALAM MASYARAKAT TOLAKI

A. Pengertian Kalosara
Suku Tolaki telah lama mendiami dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini
menyebar di dua wilayah yang cukup luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe,
Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka,
Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. Persebaran Suku Tolaki ini
membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan sosial budayanya, yang
kemudian tersimpul dalam isntrumen adat kalosara.

Secara harfiah, kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti seutas rotan
dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum.
Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari
bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan,
bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).

Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu:


1. kalo, berupa lingkaran yang berbahan rotan kecil yang bulat berwarna krem tua
yang dipilin, kedua ujung rotan disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran
memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3 unsur
dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan, yaitu:
(a) Unsur pimpinan (mokole/raja/penguasa),
(b) Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan raja/penguasa (pejabat,
pemangku adat, perangkat lembaga adat),
(c) Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan refleksi dari jiwa falsafah demokrasi
Masyarakat Tolaki yang berjiwa Ketuhanan.
2. kain putih sebagai pengalas kalosara, memiliki makna sebagai symbol kejujuran,
kesucian, keadilan, da kebenaran.
3. siwoleuwa, yaitu wadah yang berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman
daun onaha (palem rawa) atau daun sorume (angrek hutan), memiliki symbol
sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan social, dan kesejahteraan
umum bagi seluruh warga Masyarakat Tolaki (Suud, 2011).

Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali
ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas
paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan
di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Kalosara terdiri atas dua jenis, yaitu:
(1) Kalosara Sapu Ulu, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran kepala
orang dewasa atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan
masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah atau
sering pula disebut Meula Nebose.
(2) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran bahu
orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan
masyarakat tertentu, seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh
masyarakat atau sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau
Bose (Tamburaka, 2015).

Terdapat dua model ikatan ujung kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan
pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol, sedangkan yang dua ujungnya dari
arah kiri tersembunyi, maka model kalo ini diperuntukkan pada kegiatan perkawinan.
pihak penerima, sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri bagi pihak
pemberi.

Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka delapan,
maka Kalosara jenis ini diperuntukkan khusus kegiatan upacara adat Mosehe, dalam
konteks ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain atau kalosara
dalam pengertian yang luas (Tamburaka, 2015).

Selanjutnya untuk membedakan Kalosara dengan Kalo, maka kalo dapat


dibedakan berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya, maka kalo banyak
jenisnya.
1. kalo dari rotan ada yang disebut kalosara, yaitu kalo yang dilengkapi dengan
wadah siwole tempat meletakkan kalo dan kain putih sebagai pengalas siwole.
Kalosarana ini digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara
pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian
atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu
saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta
keluarga.
2. kalo dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat
upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan
upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu
dari maskawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi wanita.
3. kalo dari besi disebut kalo kalelawu, yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin
hidung kerbau.
4. kalo dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o langge, yaitu
kalo yang masing-masing dipakai sebagai perhiasan dada, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.
5. kalo dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸ dipakai sebagai pengikat
pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo ula-ula yang digunakan sebagai
alat pekabaran tentang adanya orang yang meninggal.
6. kalo dari kain putih disebut kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di kepala
sebagai tanda berkabung, dan kalo dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu
kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang
tua.
7. kalo dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai sebagai
pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar
disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi orang
dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu
kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah/hutan untuk
selanjutnya diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan.
8. kalo dari daun pandan disebut kalo kalunggu, yaitu kalo yang dipakai sebagai
pengikat kepala bagi gadis remaja.
9. kalo dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai
penjaga ladang dan tanaman yang ada di dalamnya.
10. kalo dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk
menangkap kerbau liar.
11. kalo sebagai cara-cara mengikat yang melingkar disebut mowewei
(membelitkan), mombali (melingkari).
12. kalo yang terbentuk dalam pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di
mana pelaku membentuk lingkaran disebut metaboriri (duduk melingkar dalam
keadaan makan bersama), meobu-obu (duduk melingkar dalam merundingkan
sesuatu secara bersama-sama), metomusako (berdiri berkeliling dalam
menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal), dan modinggu
(menumbuk padi secara bersama-sama dengan 4-5 orang mengelilingi sebuah
lesung masing-masing memegang dua buah alu menumbuk padi sambil
membenturkan alu tersebut dengan alu yang satunya dan atau alu dari orang
yang sebelumnya, sehingga mengeluarkan bunyi dengan irama yang
indah/syahdu untuk didengar sampai kejauhan 2,5 km).

Dalam menguraikan Kalosara sebagai falsafah hidup Masyarakat Tolaki yang


diharapkan akan menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat dewasa ini dan
akan datang, dengan harapan generasi muda tidak tercabut dari akar budayanya.
Dalam kaitan ini relevan dengan apa yang disebut Aristoteles sebagai the natural basis
of society (Stumpf, 1983), dan oleh Muhmidayeli (2011) merupakan suatu upaya
penjabaran dari aliran filsafat perenialisme yaitu berupaya menerapkan nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat kekal dan abadi sepanjang sejarah manusia. Kaum
perenialis memandang bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada zaman
kuno telah terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai problema kehidupan
masyarakat, sehingga perlu digunakan dan diterapkan dalam menghadapi alam
modern yang sarat dengan problema kehidupan.

III. ADAT ISTIADAT

Berikut adalah Tradisi Adat istiadat suku Tolaki

Perkawinan
Mowindahako dapat diterjemahkan pesta perkawinan, setelah tiba hari yang telah
disepakati, maka diantarlah pengantin laki-laki ketempat upacara perkawinan
dengan usungan (Sinamba Ulu) atau kendaraan lain.

Rombongan pengantin laki-laki dalam memasuki ruang upacara utama, pintu


pagar, pintu utama, pintu kamar tidur, pembuka kelambu dan mata pengantin
perempuan masih tertutup. Untuk membuka hal-hal tersebut diatas, maka pihak laki-
laki harus menebusnya sesuai dengan kesepakatan dengan masing-masing penjaga.
Hal ini dimaksudkan agar memeriahkan acara perkawinan, serta sebagai simbol
ketulusan dari pihak laki-laki.disaat upacara ini pula semua kesepakatan peminangan
dipenuhi serta ditampilkan secara transparan didepan masing-masing juru bicara,
Puutabo, pemerintah, serta para undangan.

Setelah hal-hal tersebut dilakukan, kemudian kedua mempelai duduk bersila dan
siap mengikuti upacara adat Mowindahako. Acara ini dilakukan dengan cara juru
bicara pihak laki-laki menyesuaikan duduknya dengan mengarahkan Kalonya
kehadapan Puutobu atau pemerintah setempat dan maju maksimal 4 kali sampai
berhadapan langsung dengan penerima Kalo sebagai permohonan izin untukmemulai
upacara adat. Dalam prosesi ini, juru bicara pihak laki-laki mengucapkan salam
kepada Puutobu atau pemerintah setempat serta menyampaikan maksud kehadiran
yang kemudian dijawab oleh Puutobu atau pemerintah tersebut. Setelah itu penerima
Kalo mengembalikan kepada juru bicara. Kemudian juru bicara laki-laki mohon diri
untuk kembali ketempat semula dan berhadap-hadapan dengan juru bicara dari
pihak perempuan.

Acara berikutnya juru bicara laki-laki mengarahkan kehadapan juru bicara


perempuan dengan meletakkan Kalo untuk melanjutkan acara Mowindahako.
Bersamaan itu pula di sebelah kanan juru bicara laki-laki disuguhkan salopa tempat
sirih, pinang, rokok atau tembakau oleh masing-masing ibu yang ditugaskan untuk
Mosoro niwule.

Setelah kedua petugas Mosoro niwule menyodorkan salopa maka juru bicara laki-
laki membuka kesunyian dengan mengucapkan salam dan dijawab oleh yang
mendengarkan.

Akhir acara atau penutup dilakukan Moheu osara atau pengukuhan adat. Makna
dari acara ini adalah agar dalam melaksanakan tugasnya, juru bicara harus berlaku
adil dan jujur serta sehat sepanjang hidupnya, bila sebaliknya akan terkena sanksinya
dan mendoakan keduarumpun keluarga mempelai agar hidup rukun, damai,
bahagia, sehat, beriman, bertakwa kepada tuhan, dimurahkan rezekinya, melahirkan
keturunan saleh, sehat, berilmu, dan beriman sampai akhir hayat. Kemudian
dilanjutkan dengan saling menyuguhkan minuman sebagai pertanda upacara
perkawinan telah selesai.

Setelah acara adat telah selesai, maka selanjutnya dilakukan akad nikah oleh
petugas agama yang didahului penyerahan perwalian dari orang tua perempuan
kepada imam (pemuka agama islam) yang akan menikahkan. Dan tahapan
berikutnya adalah membawa pengantin laki-laki ke kamar pengantin perempuan
untuk pembatalan wudhu. Dalam acara pembatalan wudhu, jempol kanan pengantin
laki-laki ditempelkan diantara kedua kening atau dibawah tenggorokan pengantin
perempuan.

Pada acara selanjutnya, kedua pengantin keluar kamar menuju kedua orang tua
untuk melaksanakan Meanamotuo atau sembah sujud sebagai tanda syukur dan
hormat kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan memelihara mereka.
Setelah itu barulah dilakukan acara resepsi dan hiburan yang diisi dengan tarian lulo,
pada zaman dulu tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti pernikahan,
pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu
gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, dan yang terpenting dari semua itu adalah arti dari
tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat
yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani
kehidupannya.

Tarian Monotambe
Tari Monotambe atau tari penjemputan merupakan tarian khas Suku Tolaki yang
kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk menjemput tamu Kehormatan
yang datang berkunjung didaerah Propinsi Sulawesi Tenggara khususnya didaerah
Suku tolaki.

Tarian ini biasanya diperankan oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari lelaki
sebagai pengawal. Para penari perempuanyyamengenakan busana motif Tabere
atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat kepala, dan
kalung.Dalam tarian berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini, beberapa penari
perempuan membawa Bosara atau bokor dari rotan, sedangkan
dua penari lelakinya memegang senjata tradisional.

Tarian Lulo
Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga populer di
Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang
perkenalan. Kini Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai
tanda persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, atau
wisatawan.

Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para penarinya saling
berpegang tangan satu sama lain membetuk lingkaran atau memanjang. Dalam
sebuah acara besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo
selalu mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari.taran n jga asa dlaksanakan d
acara pernkaan dan jga acara lain yang bertujuan untuk menghibur para tamu
undangan.

Mosehe
Dahulu kala, tradisi ini dilakukan saat dua kerajaan melakukan peperangan. Untuk
menyucikan semua dosa dan juga dendam, raja di Mekongga melakukan upacara
Mosehe Wonua ini. Dalam upacara yang dilakukan ratusan tahun lalu ini, Raja
Mekongga juga menjodohkan anaknya sehingga permusuhan akhirnya reda. Sejak
Mosehe Wonua dilakukan pertama kali, tradisi ini jadi rutin dilakukan untuk menolak
bala dan juga mara bahaya.

Dalam bahasa suku Mekongga Mosehe memiliki arti melakukan sesuatu yang suci.
Mo diartikan melakukan sesuatu dan Sehe memiliki arti suci. Berangkat dari sini, Mosehe
Mekonga bertransformasi menjadi sebuah ritual yang diadakan secara rutin untuk
menolak bala san menyucikan negeri dari hal-hal yang merugikan semua orang yang
ada di dalam kawasan kerajaan Mekongga.

Setiap tahun, penduduk suku Mekongga akan mengadakan tradisi yang sangat
sakral ini. Bagi mereka, melakukan Mosehe Wonua tidak hanya meminta keberkahan
saja. Mereka juga melestarikan tradisi nenek moyang yang akan sangat sayang jika
sampai hilang dan akhirnya tidak bisa dilakukan lagi. Apalagi tradisi ini berasal dari
kerajaan masa lalu dan telah berusia ratusan tahun.

IV. BUDAYA

Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya


yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi
kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan,
antara lain sebagai berikut :

 Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan


lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih
menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke
pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul
dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah,
ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi
setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan
masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
 Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari
pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat,
dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan
dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang
akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu,
pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya
Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat
tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu
meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang
terdepan.
 Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini
merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan
santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan
filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara
lain sebagai berikut:
“Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain
akan banyak sopan kepadanya.

“Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan
dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum
adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman

“Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”


Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan
kebaikan
 Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka
tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam
menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa
upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama,
saling tolong menolong dan bantu-membantu .
 Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati
diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya
kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada
budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati
sebagai orang tolaki .

Anda mungkin juga menyukai