Anda di halaman 1dari 3

Peta sebaran bahasa Bungku-Tolaki menurut Mead (1998).

Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Suku Tolaki
merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku Tolaki merupakan suku
asli daerah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka.[1] Suku Tolaki tersebar di 7 kabupaten/kota di
provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan,
Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara dan Kolaka Timur.[2]

Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian
utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya
terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae,
diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua
Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang
belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano
berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami
University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara
berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di
Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut
menyimpan banyak artefak baik tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda
pemujaan, guci, tempayan, gerabah, porselin baik itu buatan China, Thailand, VOC, Hindia
Belanda, batu pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak tangan,
gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan,
patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk
kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras
Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah
Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara.

Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu: Padangguni
berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah mokole Bunduwula. Kerajaan
Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti, dan kerajaan Wawolesea di Toreo
dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral tradition atau tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh
sebelum kerajaan Konawe terbentuk. Di daerah ini telah berdiri beberapa kerajaan kecil.
Kemudian berintegrasi menjadi satu konfederasi yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya
kerajaan kecil membentuk satu konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah
ini seperti halnya kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa kerajaan kecil
seperti Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Adapun beberapa kerajaan
kecil tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kerajaan Padangguni

Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan kerajaan ini eksis
dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja pertama Padangguni bernama
Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau Tanggolowuta juga biasa digelar Sangia Ndudu
Ipadangguni.

2) Kerajaan Wawolesea

Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara pulau Sulawesi
di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea merupakan keturunan dari
raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan maju disebabkan terjadinya peperangan
antara Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah. Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah
terkena kutukan (molowu), akibat Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena
musibah tersebut maka penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran menuju
ke daerah lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton dan pulau Wawonii.
Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Rundu Langi, dan tidak
mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan
Konawe.

3) Kerajaan Besulutu.

Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja Besulutu yang
bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran berperang (momuho) dengan
beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya banyak berkurang, bahkan Rajanya terbunuh
dalam peperangan. Sehingga tidak ada penerus kerajaan tersebut.

4) Kerajaan Watu Mendonga

Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga Una dan
kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode selanjutnya kerajaan
Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga. Pada saat itu daerah Konawe bagian
Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai
warisan kepada Wunggabae anak Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas
pernikahannya dengan Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan
terakhir bernama Mokole Lapanggili.

Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa peninggalan
dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk arkeologi maupun etnografi,
misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.

Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya perang saudara
antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, atau adanya
ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti Bungku dan Ternate, yang
menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu kerajaan Konawe yang merupakan hasil
konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta perang antara kerajaan Wawolesea dan dengan
kerajaan Banggai. Pada zaman Hindia Belanda di Kolaka terdapat distrik Watumendonga yang
berkedudukan di Tongauna.
Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin yang berusaha
untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat Tolaki yang sudah menetap
dan berkembang, penduduknya serta menyebar di seluruh wilayah kerajaan Padangguni. Adapun
nama Mokole Padangguni tersebut adalah Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua.
Selanjutnya Totongano Wonua memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha,
disebabkan sewaktu Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan
negeri-negeri di sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-orang yang
datang dari Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah penyakit yang epidemis
hampir memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka bernama Puteo. Totongano Wonua ini
menemukan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha. Selang
berapa saat setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya di Inolobu Nggadue
Unaaha. Tiba-tiba munculah seorang putri di Unaaha dengan 40 orang pengawalnya lengkap
dengan persenjataannya dan berbaju sirat.

Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F. Treferrs bahwa hal
yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan Larumbalangi, yang
diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria. Jadi sebagai kakak adalah
Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik. Mereka inilah yang menurunkan raja-raja
Konawe, dan Mekongga di Kolaka.

Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang Unaaha.
Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha menyebut putri tersebut
dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun, karena masyarakat Tolaki tidak
mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan ibu putri tersebut. Kemudian mereka menemui
mokole Toramalangi, mendengar laporan masyarakat tersebut maka mokole Toramalangi datang
menemui Putri itu. Putri itu ditumbuhi penyakit kulit berupa panu Opano yang putih sehingga
oleh Totongano Wonua memberikan nama Wekoila.

Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha. Wekoila ini
dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan nama Walandiate atau
Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak sama pengucapan, kalau orang
Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe sehingga berubah Watandiyate.

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama depan
bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau Watandiyate
dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang bernama Ramandalangi yang
bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam kitab sastra Lagaligo disebut
Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila dilantik (Pinorehu) oleh orang-orang
Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian Wekoila setelah menjadi raja maka kerajaan
Padangguni diganti menjadi kerajaan Konawe. Dan berakhirlah kerajaan Padangguni dan
muncullah kerajaan Konawe, kejadian ini berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat
kerajaan Konawe pada awalnya berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha,
kemudian pindah ke daerah Unaaha di Inolobu Nggadue

Anda mungkin juga menyukai