Anda di halaman 1dari 3

Kisah Berdirinya Kerajaan Wajo Versi Dongeng

Pernahkah kalian mendengar kisah atau dongeng tentang Putri Tandampalik? Dongeng itu
menceritakan tentang asal-usul dan sejarah munculnya negeri Wajo serta beberapa daerah di
dalamnya.

Dikisahkan, bahwa Kerajaan Luwu memiliki seorang putri yang cantik bernama puteri We
Tandampalik. Silih berganti pangeran dari berbagai kerajaan lain datang untuk melamar sang
putri, termasuk pangeran dari Kerajaan Bone. Lamaran pangeran Bone itu belum disetujui oleh
Raja Luwu (Datu Luwu), sebab menurut adat luwu, puterinya hanya boleh menikah dengan
orang Luwu juga.

Suatu hari, puteri Tandampalik terserang penyakit kusta. Khawatir penyakit sang puteri menular,
ia bersama beberapa pengikutnya kemudian dihanyutkan hingga masuk ke daerah Tosora, ketika
sampai di daratan itu, pengikutnya memungut buah pohon bajo, dari nama buah itulah kemudian
puteri Tandampalik memberi nama wilayah itu dengan sebutan Wajo
.
Sementara kawasan tempat sang puteri bermukim kemudian disebut Majauleng, berasal dari
kata dalam bahasa Bugis, yaitu kata Maja yang berarti jelek dan kata Uli' yang berarti kulit.
Konon kabarnya, puteri Tandampalik dijilati kerbau belang hingga penyakit kustanya pulih dan
sembuh. Tempat sang puteri dijilati kerbau itu kemudian disebut Sakkoli. 

Gambar Ilustrasi
Saat puteri Tandampalik sembuh, ia beserta pengikutnya yang setia kemudian membangun
pemukiman baru di wilayah itu. Hingga suatu saat, datanglah seorang pangeran dari Bone yang
sedang berburu dan beristirahat di dekat perkampungan Puteri Tandampalik. Tanpa disangka-
sangka, Puteri Tandampalik kemudian bertemu Pangeran Bone, kemudian datang ke Luwu untuk
menemui dan mengabari raja Luwu. Singkat cerita mereka kemudian menikah dan menurunkan
raja-raja Wajo.

Kisah Berdirinya Kerajaan Wajo Versi Sumber Sejarah (Lontara')

Terlepas dari kisah dongeng tersebut dari mana sebutulnya nama Wajo ini berasal dan
bagaimana sejarah awal mula Kerajaan Wajo berdiri? 

Beberapa pendapat mengatakan bahwa nama Wajo berasal dari kata dalam bahasa Bugis
yaitu wajo-wajo berarti bayangan atau bayang-bayang. Hal itu merujuk pada peristiwa ikrar atau
kontrak sosial pada tahun 1399, antara rakyat serta pemimpin adat dengan La Tenribali, di
bawah bayang-bayang pohon bajo, mereka bersepakat untuk mendirikan kerajaan Wajo.
Perjanjian itu diadakan di Tosora yang kemudian menjadi ibu kota Kerajaan Wajo.

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain di Sulawesi Selatan yang pada umunya
memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut kronik
Bugis yang disebut Lontara' Sukkuna Wajo, dimulai dengan pembentukan komunitas masyarakat
di pinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah penjuru
mata angin, utara, selatan, timur dan barat berkumpul di pinggir sebuah Danau, Danau itu
kemudian dikenal dengan nama Danau Lampulung, berasal dari kata bahasa
Bugis Sipulung yang berarti berkumpul.

Kelompok masyarakat di pinggir danau itu dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui
namanya, ia hanya disebut dengan gelar Paungnge ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal
sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi.

Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas kemudian bubar. Hingga tiba seseorang yang
memiliki kemampuan yang sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng ri Boli. Tokoh ini
kemudian mendirikan komunitas masyarakat di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga
meninggalnya Puang ri Timpengeng. Setelah itu, datanglah putera mahkota kedatuan Cina
(Kedatuan Cina yang dimakud adalah kerajaan yang pernah berdiri di Pammana, Wajo) dan
Kerajaan Mampu, yaitu La Paukke mendirikan Kerajaan Cinnotabi di bekas wilayah komunitas
masyarakat Boli.

Kerajaan Cinnotabi terus berkembang sampai pada masa pemerintahan Arung Cinnotabi ke-
IV, La Patiroi. Sepeninggal La Patiroi, Dewan Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan
saudaranya La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Kemudian tiga orang sepupu
dari La Tenribali yaitu La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng. Ketiganya diangkat
menjadi penguasa di tiga tempat yang berbeda.
La Tenritau menguasai wilayah Majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah Sabbamparu
dan La Matareng menguasai wilayah Takkalalla. Akan tetapi dalam pemerintahannya, La
Tenritippe sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya sehingga mereka berdua
diturunkan dari jabatannya. Karena alasan itu, maka La Tenribali mengasingkan dirinya.

Setelah itu, kerajaan Cinnotabi bubar, warga serta dewan adatnya berkumpul di Boli dan
membentuk komunitas masyarakat baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajurue. La Tenribali
sendiri setelah meninggalkan Cinnotabi membentuk kerajaan baru yang disebut Akkarungeng ri
Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama (berlokasi di sebelah Timur Tosora, bukan
Kabupaten Pinrang yang sekarang).

Ketiga sepupunya kemudian datang meminta La Tenribali agar bersedia kembali menjadi Raja
Lipu Tellu KajuruE di Boli. La Tenribali menerima kemudian permintaan itu, ia kemudian
diangkat menjadi raja dengan gelar Arung Mata Esso.

Pada upacara pelantikannya di bawah pohon bajo pada tahun 1399, diucapkan ikrar dan
perjanjian sosial antara rakyat dan La Tenribali. Perjanjian itu kemudian dikenal dengan
nama Assijancingenge ri Majauleng.

Berdasarkan perjanjian tersebut, maka diubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara Wajo,
sementara Lipu Tellu Kajurue atau Kerajaan Boli  juga diubah menjadi Kerajaan Wajo. Ketiga
sepupu La Tenribali juga berganti gelar menjadi Paddanreng yang menguasai wilayah bawahan
Wajo.

La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng


Bettempola, La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu, yang kemudian berubah menjadi
Paddanreng Talotenreng dan La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkalalla yang kemudian
berubah menjadi Paddanreng Tuwa.

Kerajaan Wajo terus berkembang, hingga mengalami perubahan struktural pasca


perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi
Batara Wajo yang bersifat monarki absolut kemudian diganti menjadi Arung Matowa yang
bersifat monarki konstitusional. 

Masa keemasan Wajo adalah pada masa pemerintahan La Tadampare Puang ri Maggalattung.
Wajo menjadi anggota persekutuan TellumpoccoE sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai
saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
 

Anda mungkin juga menyukai