Anda di halaman 1dari 5

3.

Wajo

Setelah La Tenri Bali dilantik di Boli menjadi Arung MataEsso Tellukajuruna Boli yang dilangsungkan dibawah pohon Bajo itu, maka sepakat pula ketiga Padanreng, Matoa Pabicara dan para pemuka rakyat mengubah Boli itu, adapun La Tenri Bali digelar dengan nama jabatan Batara Wajo sebelum diangkat memangku jabatan itu, terlebih dahulu meletakkan jabatannya selaku Arung Penrang. Sepeninggal La Tenri Bali sebagai Batara Wajo ke-1 yang menggantikan beliau yang menjadi Batara Wajo ke-2 ialah putranya yang bernama La MataEsso, beliaulah bersama Padanreng yang mengubah nama Majauleng, Sabamparu dan takkalalla masing-masing menjadi Bentempola, Talotenreng dan Tua. Batara wajo ke-2 ini termasyhur dalam pemerintahannya sehingga wajo menjadi lebih makmur, La MataEsso Batara Wajo ke-2 digantikan oleh putranya yang bernama La Patteddungi Tosamallangi sebagai Batara Wajo ke-3, setelah lima tahun memerintah sebagai Batara Wajo moralnya mulai bejat, sama sekali tidak mewarisi sifat ayahnya. Beliau tidak lama memerintah karena tidak disenangi oleh rakyat, sehingga banyak orang wajo pindah ke negeri lain, karena kesewenannya lalu disuruh berhenti sebagai Batara Wajo dan kemudian dihukum mati (dibunuh) oleh rakyat untuk menebus segala dosa-dosanya, yang menggantikannya sebagai pemimpin adalah La Palewo To Palipung dengan gelar baru yaitu Arung Matoa dan gelar Arung Matoa inilah yang dipakai seterusnya mulai dari Arung Matoa Wajo ke-1 sampai Arung Matoa Wajo ke-45 (terakhir). Sejak berdirinya Wajo pada abad XIV sampai dengan berakhir pada abad XX jumlah Arung Matoa Wajo yang memerintah ialah 45 orang, diantara sekian jumlahnya itu yang paling berjasa memperluas wilayah kekuasaan adalah Arung Matoa wajo ke-4 La Tadampare Puang Rimanggalatung yang memerintah sekitar tahun 1491 1521, beliau selain dikenal sebagai negarawan, juga dikenal sebagai filsafat hukum dan ahli ekonomi. Oleh karena itu banyak negeri disekitarnya yang rela bergabung tanpa diperangi, diantaranya : Timurung, Pammana, Soppeng, Enrekang, Batulappa, sedangkan Larompong merupakan hadiah dari kerajaan Luwu untuk Wajo. Untuk jelasnya wilayah kekuasaan kerajaan Wajo pada masa Arung Matoa Wajo ke-4 La Tadampare Puang Rimanggalatung sebagai berikut : Gambar Peta Kerajaan Wajo Nama-nama daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasan kerajaan Wajo pada tahun 1491-1521 adalah sebagai berikut :

1. 2. 3. 4. 5.

Paung Penrang Saebawi Sarinyameng Sekkanasu

6. Wewattana 7. Belogalung 8. Cendana 9. Cinnottabi 10. Timurung 11. Mampu 12. Sailong 13. Solo 14. Bola 15. Boli 16. Wajo-wajo 17. Kampiri atau Pammana 18. Doping 19. Maccoanging / Mattoanging 20. Sajoanging 21. Ujung 22. Taroketeng 23. Lapere 24. Limoua 25. Topadeto 26. Paria 27. Rumpia 28. Macanang 29. Attata 30. Sakkoli 31. Akkotengeng atau Jalang 32. Keera 33. Ana banua 34. Lowa 35. Tempe 36. Singkang 37. Tampangeng 38. Wage 39. Gilireng 40. Patila 41. Paigi 42. Lempong 43. Kading 44. Jampu 45. Canru 46. Ugi 47. Liu 48. Seupe 49. Wawolonrong 50. Siwa 51. Larompong

52. Belawa 53. Otting 54. Rappeng 55. Sidenreng 56. Ogi 57. Paraja 58. Botto 59. Bettao 60. Bulu cenrana 61. Bila 62. Mojong 63. Amparita 64. Massepe 65. Lompo 66. Malluse salo 67. Lanca 68. Duakaserae bate riattalamuru 69. Amali 70. Lamuru 71. Watasoppeng 72. Marioriawo / takkalalla 73. Lompulle 74. Bariengeng 75. Marioriawa / Batu-batu 76. Waenio 77. Belokka 78. Cirowali 79. Peneki 80. Ceppaga 81. Palippu 82. Totinco 83. Data 84. Lagosi 85. Kalola 86. Enrekang 87. Massenrempulu 88. Batulappa 89. Maiwa 90. Kassa 91. Paselloreng 92. Suppa Selain dari Latampare Puang Rimanggalatung Arung matoa Wajo ke-4, yang dianggap salah satu pemikir kerajaan Wajo ialah La Tiringeng To Taba Arung Bettempola bersama pada Ranreng dan rakyat merumuskan hak-hak kebebasan atau kemerdekaan rakyat di La Paddeppa

Menurut dari hasil perjanjian itu bahwa orang-orang Wajo tidak boleh dihalangi untuk melaksanakan kehendak, mengeluarkan pendapat dan bepergian kemana saja yang disukai oleh mereka, namun orang-orang Wajo harus tahu diri dan tidak bertidak melampaui batas kepatutan dan ditegaskan pula oleh La Tiringeng To Taba Arung Bettempola bahwa kebebasan itu mengandung keabadian yaitu orang-orang Wajo hanya mempertuan adat istiadat yang berdasarkan atas persetujuan mereka (Ade mappuraonro) dari dasar inilah sehingga lahir semboyang kerajaan Wajo yang berbunyi : Madareka To Wajo e ade emi napopuwang (Orang Wajo Merdeka hanya hukumlah yang dipertuan), selain dari kesemua arung matowa diatas, kemajuan kerajaan wajo juga dibawah kepemimpinan, Arung Matoa La Mungkace Toaddamang, Arung Matoa La Sangkuru Patau, Arung Matoa La Salewangeng To Tenrirowa, Arung Matoa La Maddukelleng pada masa kepemerintahan La Maddukelleng inilah ditetapkan hari jadi tanah wajo tepatnya pada tanggal 29 Maret tepatnya di daerah Lagosi jadi makanya tanah Wajo juga dikenal dengan sebutan Bumi La Maddukelleng, Arung Matoa La Pariusi To Maddualeng, Sedangkan pada masa pemerintahan Arung Matoa Wajo ke-23 La Tenrilai To Senggeng yang merupakan sekutu dari Somba Gowa Sultan Hasanuddin, takkala berlangsung perjanjian Bugaya pada tanggal 18 Nopember 1667, menolak dengan keras terhadap akan diadakannya perjanjian itu, perjanjian itu merupakan suatu kekalahan total atau suatu tanda menyerah pada VOC-Belanda, beliau tidak mau menandatangani naskah perjanjian itu. Berkata Arung Matoa Wajo La Tenrilai To Sengngeng kepada Somba Gowa Sultan Hasanuddin : Kalau laskar saya sepuluh ribu orang banyaknya itu sudah habis semuanya tewas, barulah saya mau menyerah Mendegar sikap tegas Arung Matoa Wajo To Sengngeng itu, Sultan Hasanuddin dengan amat terharu berkata : Kembalilah ke Wajo dan engkau carikan kebaikan negerimu, agar supaya masih ada juga orang Wajo tinggal untuk diambil selaku bibit, akan tetapi seratus ribu hutang jiwanya Gowa kepada Wajo Dengan penuh kekecewaan dan tekad yang mendalam, kembalilah To Sengngeng ke kerajaan Wajo beserta pasukannya dengan meninggalkan 505 pasukan Wajo yang gugur dimedan pertempuran melawan serangan VOC, ketika menyerang Banteng Somba Opu, dan beliau tak gentar sedikit pun mendegar ucapan Mangkau Bone La Tenri Tatta Arung Palakka setelah perjanjian itu sudah ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin Somba Gowa, bahwa : Peperangan sudah berakhir Karaeng, akan tetapi peperangan saya dengan keluargaku orang Wajo belum selesai. Adapun La Tenrilai To Sengngeng setibanya di Tosora ibukota kerajaan Wajo, segera mengkonsolidasi kedalam kekuatan yang ada, ia membuat benteng-benteng sekeliling Tosora serta siap siaga menunggu revans/serangan Speelman dan La Tenri Tatta Arung Palakka.

Tidak berapa lama kemudian apa yang telah pernah diucapkan Arung Palakka sehabis menyaksikan perjanjian Bungaya kepada Sultan Hasanuddin, akhirnya menjadi kenyataan, Tosora Ibu Kota kerajaan Wajo mulai dikepung dari segala penjuru selama tiga tahun oleh Speelman dan Arung Palakka, sehingga benar-benar melemahkan moril To Sengngeng, kemudian tidak berapa lama kemudian dalam tahun 1670 Arung Palakka melakukan serangan besar-besaran yang tak kalah hebatnya takkala menyerang benteng Barombong dan Benteng Somba Opu, pertempuran berlangsung dengan amat sengit sekali. Tosora dibakar habis, empat hari empat malam berlangsung pertempuran terusmenerus dimana kedua belah pihak mengalami ribuan jiwa yang korban, ibukota kerajaan Wajo telah menjadi lautan darah sekaligus lautan api, tak dapat dilukiskan dengan katakata betapa seramnya pertempuran di Tosora pada masa itu, dimana To Sengngeng sendiri tewas dalam pertempuran sebagai monumen kecintaan kemerdekaan, yang menggantikan To Sengngeng ialah La Palili To Malu Puannna Gella, yang begitu selesai dilantik segera melanjutkan peperangan melawan kerajan Bone dan Kompeni Belanda. Akan tetapi akhirnya juga dikalahkan oleh sebab memang sejak jatuhnya Tosora, laskar Wajo sudah tidak terkoordinasi lagi. Demikian maka pada tanggal 23 Desember 1670 ditandatanganilah perjanjian penyerahan. Dipihak Wajo hadir tiga delegasi Wajo terdiri dari Cakkuridi Wajo, Patola Wajo dan Pilla Wajo ketiganya adalah panglima besar kerajaan Wajo, pada acara penandatanganan perjanjian itu hadir La Tenri Tatta Arung Palakka To Unru, dan beberapa raja-raja lainnya. Adapun isi dari perjanjian itu adalah : Wajo berjanji senantiasa setia pada VOC, dalam pengangkatan atau pemecatan Arung Matoa Wajo VOC harus memberikan persetujuannya, Wajo tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng, mengadakan perhubungan dengan Negara-negara asing selain dari Belanda, mengakui perjanjia Bungaya da membayar upeti (pajak) kepada VOC sejumlah 52.000 real dan harus dibayar dalam empat angsuran tiap tahun. Dari hasil perjanjian ini merupakan awal dari beban (penderitaan) rakyat Wajo. Oleh sebab itu banyak diantaranya yang meninggalkan kampung halaman, tercerai-berai menuju negeri-negeri yang dianggap aman dan bisa ditempati untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya (Malleke dapureng), negeri-negeri yang mereka tempati seperti Mandar, Luwu, Enrekang, Makassar, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Selanggor dan Johor. Makanya sampai sekarang ini penyebaran orang-orang bugis bisa kita dapatkan di beberapa daerah yang ada di nusantara ini. Adapun luas dari wilayah Wajo 250.619 hektar. Selain itu orang-orang Wajo juga disebutkan memiliki Wawang Asogireng (Naiya To Wajoe riwerei Asogireng) makanya orang-orang wajo seolaholah barulah terhormat apabila berhasil mendapatkan kekayaan di dunia, jadi jangan heran jika orang-orang wajo mengejar kekayaan dengan selalu berpengang pada ungkapan Resopa Temmangingi naMalomo Naletei Pammase Dewata

Anda mungkin juga menyukai