Anda di halaman 1dari 15

Kerajaan Gowa Tallo

& Bone
Kelompok 6 (Laras, Aisha, Rifa, dan Cahyo)
Kerajaan Gowa dan
Tallo
Sejarah Awal
Pada awalnya, di wilayah Gowa terdapat sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang atau
Sembilan Bendera.Sembilan komunitas tersebut adalah Tambolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data,
Agangjene, Bisei, Kalili, dan Sero.Dengan berbagai cara, baik damai ataupun paksaan, sembilan komunitas
tersebut membentuk Kerajaan Gowa pada awal abad ke-14. Kala itu, masyarakat dan penguasanya masih
menganut kepercayaan animisme. Tomanurung Bainea kemudian diangkat menjadi raja dan mewariskan
Kerajaan Gowa kepada putranya, Tumassalangga.

Kerajaan Gowa pernah terbelah menjadi dua setelah masa pemerintahan Tonatangka Lopi pada abad ke-15. Hal
ini disebabkan oleh perang saudara antara dua putra Tonatangka Lopi, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero,
yang saling berebut takhta. Setelah Batara Gowa menang, Karaeng Loe ri Sero turun ke muara Sungai Tallo dan
mendirikan Kerajaan Tallo. Selama bertahun-tahun, dua kerajaan bersaudara ini tidak pernah akur. Hingga pada
akhirnya, Raja Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna dari Gowa membuat perjanjian dengan Tallo
dalam kesepakatan "dua raja tetapi satu rakyat" pada 1565.

Perjanjian tersebut menyatakan bahwa kedua kerajaan tidak boleh saling melawan. Setelah bersatu kembali,
kerajaan ini disebut Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar dengan sistem pembagian kekuasaan. Raja
dipilih dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya dari keturunan Tallo.
Persekutuan Tellumpoccoe
Persekutuan Tellumpoccoe adalah suatu aliansi penting antara tiga kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan, yaitu
Bone, Wajo, dan Soppeng; dalam menghadapi kekuatan dua kerajaan kembar Makassar, yaitu Gowa-Tallo.

Persekutuan ini dikukuhkan dalam perjanjian pada tahun 1582 di Bunne, Timurung, Bone utara, berupa upacara
sumpah disertai menghancurkan telur dengan batu. Bone diakui sebagai saudara tua, Wajo saudara tengah, dan
Soppeng saudara muda, yang diurutkan berdasarkan luas masing-masing kerajaan. Ketiga kerajaan akan saling
melindungi satu sama lain, dan ekspansi hanya akan diadakan ke luar wilayah tiga kerajaan tersebut. Wajo juga
akan dibela apabila Gowa memperlakukannya sebagai budak.

Karaeng Matoaya pemimpin Gowa-Tallo masuk Islam pada tahun 1605, yaitu setahun setelah Datu Luwu La
Patiware' Daeng Parabbung yang telah lebih dahulu masuk Islam. Hal tersebut membawa warna baru dalam
hubungan antara Gowa-Tallo dengan kerajaan-kerajaan Bugis selanjutnya, meskipun persaingan dan
peperangan telah lama terjadi sebelum kedatangan Islam di Sulawesi Selatan. Kekompakkan persekutuan
Tellumpoccoe teruji pada tahun 1608 saat terjadi Pertempuran Pakenya antara Gowa-Tallo melawan Soppeng,
dan kembali pada tiga bulan setelahnya dalam perang antara Gowa-Tallo melawan Wajo. Pasukan Gowa-Tallo
di bawah pimpinan Karaeng Matoaya berhasil dipukul mundur pada dua peristiwa itu. Namun, persekutuan
mulai goyah setelah Datu Soppeng Beowe masuk Islam tahun 1609 mengikuti ajakan Gowa.
Kemudian Gowa dan Soppeng bersama-sama menghadapi kerajaan-kerajaan Bugis lainnya, sehingga Arung
Matoa Wajo La Sangkuru Patau antara tahun 1609-1610 juga masuk Islam, dan akhirnya Arumpone Bone La
Tenripale juga dapat dikalahkan dan memeluk agama tersebut tahun 1611. Di saat satu demi satu
kerajaan-kerajaan Bugis tersebut menyerah, Karaeng Matoaya dari Gowa-Tallo tidak menuntut denda perang,
melainkan hanya meminta agar mereka mengucapkan syahadat saja. Gowa-Tallo kemudian menyarankan agar
Persekutuan Tellumpoccoe dipelihara kembali oleh Bone, Wajo, dan Soppeng untuk menghadapi musuh yang
merugikan agama, sedangkan musuh dari seberang lautan akan dihadapi oleh Gowa-Tallo.

Setelah wafatnya Karaeng Matoaya yang alim dalam beragama, perseteruan Bone dan Gowa timbul kembali,
yang berujung pada perang yang berlarut-larut di antara kedua kerajaan tersebutnya. Bone dan Gowa silih
berganti berupaya menguasai hagemoni berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan, hingga akhirnya pada 1666
Gowa berhasil dikalahkan dan menandatangai Perjanjian Bungaya.
A. Kehidupan Politik
Sebetulnya ada banyak kerajaan di sekitar Makassar. Misalnya Gowa, Tallo, Bone, Soppeng, Wajo, dan
Sidenreng. Namun, hanya Gowa dan Tallo yang menggabungkan diri menjadi satu kekuatan dengan nama
Makassar. Raja Makassar yang pertama masuk Islam adalah Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan Alaudin
(1593– 1639). Penguasa selanjutnya adalah Malekul Said (1639–1653), berhasil membuat Kerajaan Makassar
menjadi kerajaan maritim. Puncak kegemilangan Kerajaan Makassar terjadi saat Sultan Hasanuddin memegang
tampuk kekuasaan. Di tangannya, Kerajaan Makassar berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan jaringan
perdagangan yang kuat dan pengaruh yang luas. Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang antimonopoli,
sehingga ketika Belanda datang ingin menguasai jaringan perdagangan yang telah lama terbentuk, ia
menentang dengan keras. Keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan diIndonesia bagian timur jelas tidak
bisa diterima oleh sultan. Konflik terjadi dan Hasanuddin berhasil menghalau pasukan VOC dari kawasan
Maluku. Namun, upaya Belanda untuk menguasai jaringan perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur itu
tidak pernah surut. Dengan siasat adu domba, Belanda berhasil memanfaatkan Aru Palaka (Raja Bone) untuk
memasukkan pengaruhnya. Saat itu, Kerajaan Bone masuk dalam kekuasaan Kerajaan Makassar. Akhirnya,
pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya dengan Belanda. Isi perjanjian
itu antara lain VOC diperbolehkan memonopoli perdagangan dengan mendirikan benteng, Makassar
melepaskan wilayah-wilayah kekuasaannya, dan Aru Palaka dirajakan di Bone.
B. Kehidupan Sosial Budaya

Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung. Salah satu hasil budayanya yang
mengagumkan adalah perahu pinisi. Dengan menggunakan perahu itu, mereka mengarungi lautan lepas dan
membangun jaringan pelayaran dan perdagangan antarpulau bahkan antarkawasan. Para penguasa Gowa
sudah sejak lama menerapkan prinsip mare liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka sangat terikat
dengan dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut masyarakat Makassar biasa disebut pangadakkang
bersumber dari ajaran agama Islam. Bahkan hingga kini, masyarakat Makassar terkenal dengan
penghormatannya yang kuat pada norma-norma adat. Struktur sosial masyarakat Makassar meliputi golongan
bangsawan yang disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang disebut to maradeka dan hamba sahaya yang
disebut ata.
Kerajaan Bone
Sejarah Awal

Bukti sejarah berdirinya Kerajaan Bone sangat sedikit, hanya mengandalkan dari tulisan-tulisan kuno yang
terdapat dalam lontara. Kerajaan Bone didirikan oleh Manurunge ri Matajang pada 1330 masehi. Sejarah
masuknya Islam ke Kerajaan Bone berawal ketika kerajaan ini tidak dianggap sederajat oleh Kesultanan Gowa.
Kerajaan Bone baru akan dianggap setara apabila mau mengikuti Kesultanan Gowa memeluk agama Islam. Raja
Bone menolak persyaratan tersebut sehingga timbul peperangan di antara dua kerajaan ini. Dalam peperangan,
Kerajaan Bone menyerah kalah dan akhirnya mau memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Raja
Bone pertama yang masuk Islam adalah La Tenriruwa, yang bergelar Sultan Adam (1611-1616 M). Sejak saat itu,
Raja Bone dikenal giat mengajak rakyatnya untuk memeluk Islam.
A. Kehidupan Politik
1. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan
persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote'e melakukan
pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance (Perjanjian Tamalate). Perjanjian
tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada
di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa
kekuasaan La Uliyo Bote'e.

2. Di masa Kekuasaannya Raja bone V, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu,
Dewaraja Batara Lattu (Perang Cellu).Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu
Luwu yang disebut Polo Malelae ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi). Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi
tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang .Hal ini
menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu.Berdasarkan
substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah,
perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu
sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan
prestise yang kuat terhadap kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan-kerajaan
lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
B. Kehidupan Sosial Budaya

Sejarah Perjalanan Kasta di Kerajaan Bone Seperti halnya kasta-kasta di Bone merupakan hasil penyusunan
yang menjadi ketentuan atau pengaturan (Wari) yang telah ditetapkan raja Bone dimasa pemerintahan
Lapatau Matanna (raja Bone ke-16 (1696-1714 M). Sejak itulah susunan dan tingkatan derajat bangsawan di
Bone diberlakukan bahkan masih ada sampai sekarang.Pembagian masyarakat Bugis-Makassar dalam
kasta-kasta atau golongan-golongan adalah suatu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan
sosial,ekonomi, dan religius dari masyarakat Bugis-Makssar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Di dalam buku
"Latoa", bahwa memelihara dan mempetahankan kasta-kasta adalah salah satu syarat untuk menjadikan
sebuah negeri bisa menjadi besar Kasta-kasta di Bone dapat diperinci atas tiga kasta utama, yaitu:

1. Anak Arung (anak raja-raja);

2 To-Maradeka (orang-orang merdeka/orang-orang biasa atau kebanyakan

3. Ata (hamba-sahaya atau budak)


C. Kehidupan Budaya

- POLA PENATAAN SPATIAL

Arsitektur rumah bangsa Bugis pada umumnya tidak bersekat-sekat, tanpa serambi yang terbuka. Tangga
depan biasanya terletak dibagian pinggir. Didekat tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga
rumah dinaungi dengan atap kemudian di kiri atau kanan tangga terdapat pegangan untuk menaiki rumah. Di
depan pintu masuk terdapat "Tamping" semacam ruang tunggu bagi tamu sebelum dipersilakan masuk oleh
tuan rumah. Posisi "Tamping" ini biasanya agak lebih rendah dari lantai ruang utama rumah.
- TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE

Tahapan dari proses perkawinan adat Bone dapat dibagi tiga tahapan, yaitu tahapan pra nikah, nikah, dan
tahapan setelah nikah. Upacara Sesudah Akad Nikah :

1. Ziarah kubur, meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam
upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena
merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua
belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.

2. Cemme-cemmé atau mandi-mandi Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara
perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi
mandi-mandi di suatu tempat.
- Baju Bodo / Baju Tokko

Baju bodo adalah baju adat Bugis-Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan Lipa' sabbe adalah
sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo.Dahulu kala, ada peraturan
mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang
mengenakannya.

1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.

2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.

3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.

4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.

5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan

6. Warna ungu dipakai oleh para janda.

Anda mungkin juga menyukai