Anda di halaman 1dari 9

Kesultanan Bone

 Awal berdiri

Kerajaan Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun sebelum
Kerajaan Bone terbentuk, sudah ada unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum
yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang
terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang,
Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh
ikatan rasa seketurunan dari satu nenek moyang yang sama. Hal seperti itu menciptakan
permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya, akhirnya mereka tenggelam dalam
situasi konflik yang berkepanjangan. Konflik antar wanua berlangsung selama bertahun-
tahun, Norma-norma hukum tidak berlaku, adat-istiadat dipasung.

Proses lahirnya Bone sebagai sebuah kerajaan, di awali dengan kisah kehadiran seorang
“Tomanurung” sebagai seorang penguasa sentral di Kerajaan Bone. Munculnya
“tomanurung” sebagai pemimpin di kerajaan Bone, dikisahkan dalam sejarah lontara, bahwa
sebelum kedatangan tomanurung, terjadi hujan badai dan petir yang sambung menyambung
selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah sosok seorang manusia di
suatu tempat yang mengenakan jubah putih dn berdiri di tengahtengah padang luas. Oleh
karena penduduk tidak mengenal asal-usul orang tersebut, maka penduduk menyebut
sebagai “tomanurung” (orang yang turun dari langit, dari kayangan). Maka setelah itu
berkumpullah rakyat Bone, dan melakukan perundingan dengan kesepakatan berangkat
menemui tomanurung untuk mengangkatnya sebagai raja Bone. Sesudah perjanjian tersebut
terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE”

Awal berkembangnya

Manurung ini menjadi raja bone I. Ia menegakkan hukum dan adat istiadat, oleh karena itu
ketertiban dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan.

 Struktur pemerintahan

Bisa dibilang Kerajaan Bone sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam
terminology politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan dengan
penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam
dewan adat yang disebut "ade pitu", yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai
penasehat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitu
dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan. Ade Pitu Bone
terdiri dari 7 orang, anggota-anggotanya terdiri dari tujuh komunitas Wanua yaitu :
1. Arung Ujung

 Bertugas Mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan Bone

2. Arung Ponceng

 Bertugas Mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan dan Pemerintahan

3. Arung Ta

 Bertugas Bertugas Mengepalai Urusan Pendidikan dan Urusan Perkara Sipil

4. Arung Tibojong

 Bertugas Mengepalai Urusan Perkara / Pengadilan Landschap/ Hadat Besar dan Mengawasi
Urusan Perkara Pengadilan Distrik

5. Arung Tanete Riattang

 Bertugas Mengepalai Memegang Kas Kerajaan, Mengatur Pajak dan Mengawasi Keuangan

6. Arung Tanete Riawang

 Bertugas Mengepalai Pekerjaan Negeri (Landsahap Werken – Lw) Pajak Jalan Pengawas
Opzichter.

7. Arung Macege

 Bertugas Mengepalai Pemerintahan Umum Dan Perekonomian.

Lalu dibantu oleh 4 Kabinet antara lain :

I. Petta Poggawae (Panglima Perang)

dengan Membawahi 3 perangkat masing-masing:

1. Anre Guru Anakkarung, bertugas mengkoordinir para anak bangsawan berjumlah 40 orang
bertugas sebagai pasukan elit kerajaan.
2. Pangulu Joa, bertugas mengkordinir pasukan dari rakyat tana Bone yang disebut Passiuno
artinya Pasukan Berani Mati yakni pasukan siap tempur di medan perang setiap saat rela
mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya kerajaan Bone dari gangguan kerajaan lain.
3. Dulung (Panglima Daerah), bertugas mengkoordinir daerah kerajaan bawahan, di kerajaan
Bone terdapat 2 Dulung Panglima Daerah yaitu :

1. Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara


2. Dulungna Awatangka dari kawasan Bone Selatan.

II. Jennang (Pengawas)

 Bertugas mengawasi para petugas yang menangani di bidang pengawasan baik dalam
lingkungan istana, maupun dengan daerah kerajaan bawahan.

III. Kadhi (Ulma)

 Bertugas sebagai penghulu syara’ dalam bidang agama Islam. Perangkatnya terdiri dari
imam, khatib, bilal. Itu setelah islam masuk ke kerajaan Bone.

IV. Bissu (Waria)

 Bertugas merawat benda-benda kerajaan Bone di samping itu sebagai tabib mengadakan
pengobatan tradisional, juga bertugas dalam kepercayaan kepada Dewata Seuwae, setelah
masuknya islam di kerajaan Bone, kedudukan bissu di non aktifkan.

 Politik luar negeri/diplomasi

 Dari data-data sejarah yang diperoleh dari Lontara Akkarungeng ri Bone. Dimasa La-
Ummase, Raja bone ke 2, Bone melakukan ekspansi di sekitar wilayahnya, Politik
ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya tadi, seperti: Macege, Biru,
Matajang, Anro Biring, Cellu, Palakka, dan Tanete Riattang.

 Dengan menguasai wilayah yang sangat luas, c, sesuai dengan pembagian warna bendera
Kerajaan Bone.
Pertama, negeri-negeri yang memakai bendera “Worongporong”, wilayahnya adalah:
Matajang, Maroanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Macege. Wilayah ini
semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, negeri-negeri yang memakai
bendera umbul merah di sebelah kanan Worongporongng’e. Wialayahnya ialah: Paccing,
Tanete, Lemo Ape, Masalle, dan Belawa. Semua wilayah ini dibawah koordinasi Kajao
Ciung. Ketiga, negeri-negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Worongporong’e,
yaitu: Arasoe, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, dan Madello. Wilayah ini
dibawah koordinasi Kajao Araso’e.

 Perjanjian Unnyi, Pasca Perang Cellu yaitu perang antara Bone dan Luwu. Dalam
perjanjian ini tidak memuat unsur-unsur yang menetapkan pembayaran kerugian perang
dari pihak Luwu ke pihak Bone. Ini berupa pendekatan diplomasi secara kekeluargaan dari
Bone dan menempatkan Bone dalam posisi strategis dan prestisius yang kuat terhadap
kerajaan kecil di sekitar wilayah Kerajaan Bone.

 Perjanjian “Tellumpoccoe” pada tahun 1582 merupakan kekuatan utama bagi kerajaan-
kerajaan Bugis (Bone, Wajo, dan Soppeng) di dasarkan pada keinginan untuk mengikat
tali persaudaraan ketiga kerajaan Bugis tersebut. Selain itu motivnya ialah untuk bersatu
menentang agresi Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adi daya di daratan Sulawesi
pada zamannya.

 Sosial budaya masyarakat

Mayoritas masyarakat di Bone adalah suku Bugis, karena tersebar di dataran rendah yang
subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan.
Mata pencaharian lain adalah pedagang. Suku bugis juga suka merantau, karena
kepiawaiannya dalam mengarungi samudra.

Masyarakat Bone memiliki sistem budaya dan sistem sosial yang disebut Pangngadereng.
Sistem pangngadereng yang berlaku di Bone pra-Islam, terdiri atas empat unsur pokok yang
terintegrasi dalam membangun kehidupan moral manusia, yaitu ade, rapang, wari dan
bicara. Adapun adê itu adalah adat yang memperbaiki rakyat, rapang itu adalah undang -
undang yang mengokohkan kerajaan, wari itu adalah aturan membedakan pangkat
bangsawan yang memperkuat kekeluargaan kerajaan yang sekeluarga, dan bicara yang
memagari perbuatan yang sewenang-wenang.
Setelah masuknya islam, unsur ini bertambah jadi 5 yaitu sara. Sara merupakan syariat Islam
ke dalam kehidupan masyarakat, disebutkan dalam Lontara Latoa. Proses Islamisasi di
kerajaan Bone sendiri, tidak bisa dilepaskan dari proses islamisasi yang sedang beralangsung
di kerajaan Gowa. Setelah Islam menjadi agama kerajaan di Gowa, maka penyebaran Islam
pun di mulai ke seluruh wilayah di luar kerajaan Gowa. Siar Islam dilakukan dengan pertama-
pertama mengajak kerajaan tetangganya, Bone bersama sekutunya tidak mempercayai
penyebaran Islam yang dilakukan oleh kerajaan Gowa. Menurut Bone, Gowa tidak tulus
menyebarkan Islam, melainkan bermotiv politis. Menurut mereka, ini adalah siasat Gowa
untuk menguasai seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan. Karena Bone menolak masuk Islam,
akhirnya Gowa menyerang Bone dan Bone dapat ditaklukkan pada tahun 1611.
ketika Lamaddaremmeng (1625-1640) menjadi raja Bone XIII. Islam menjadi agama resmi
kerajaan. Beliau sangat mengamalkan agama Islam, gagasannya yang sangat terkenal ialah
menghapuskan system perbudakan di Bone, karena alasannya manusia dilahirkan bukan
untuk diperbudak. Beliau juga menegakkan hukum Islam dan menghukum pelaku zina,
pencurian, minuman keras, penyembah berhala, dan berbagai macam kejahatan lainnya.
Namun, hal ini banyak mendapat tantangan berat dari para pembesar kerajaan, termasuk ibu
kandungnya sendiri. Kerajaan Gowa pun tidak senang dengan gagasan tersebut dan bahkan
menyerang Bone kembali.

 Masa kejayaan

Arung Palakka, adalah Raja Bone XV. Dalam Lontara Akkarungeng Bone, disebutkan bahwa
Latenritatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun dan masa itu pula Bone dikalahkan oleh
Gowa. Orang tua Arung Palakka ditangkap dan ditawan bersama Raja Bone dan pembesar
kerajaan lainnya, dan kemudian dibawa ke Gowa, dan di sana mereka semuanya dijadikan
tenaga kerja paksa dalam membangun benteng Somba Opu. Rakyat Bugis Bone merasakan
penderitaan yang luar biasa. Arung Palakka turut merasakan bagaimana penderitaan
bangsanya, rakyat Bone disiksa oleh tentara dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerja
paksa. Dalam lontarak dijelaskan, bahwa Latenritatta Arung Palakka gusar memikirkan
bagaimana cara mengembalikan harkat dan martabat kebesaran kerajaan Bone. Akhirnya ia
bersama rakyat bugis melarikan diri, Arung Palakka kemudian menyeberang ke Pulau Jawa,
tepatnya ke Batavia untuk mencari bantuan. Akhirnya terjadilah perang terbuka antara Arung
Palakka Raja Bone dengan bantuan Belanda melawan Gowa dibawah pimpinan Sultan
Hasanuddin. Perang inilah yang kemudian meruntuhkan dan mengakhiri kebesaran Gowa
sebagai kerajaan yang tersohor di kawasan Timur Nusantara. Perang Makassar (1667 M)
memaksa Gowa menyerah dan menanda tangani isi Perjanjian Bongaya (1669 M)

 Sebagai Raja Bone II, ia melakukan ekspansi atau perluasan wilayah taklukan di sekitarnya. Anro
Biring, Matajang, Biru, Macege, dan Cellu (dikisahkan dalam Lontara Akkureng ri Bone).

 Di masa pemerintahan Raja Bone IV, We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppi’e yang bergelar
Bissu Lalempili, kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap, kesejahteraan
rakyat terjamin, hasil-hasil pertanian melimpah.

 Pada masa pemerintahan Raja Bone V, Latenri Sukki sebagai pewaris tahta dari ibunya, We
Benrigau, Latenrisukki merupakan Raja Bone pertama yang disebutkan dalam lontara memiliki
hubungan kerjasama dengan kerajaan besar lainnya di Sulawesi Selatan.

 Runtuh

Sejak runtuhnya kerajaan Gowa pasca Perjanjian Bongaya, Bone bangkit menjadi satu-satunya
kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan Sulawesi Selatan dan Timur Nusantara, hingga
memasuki awal abad ke XX M. Pada abad ke XIX M, kerajaan Bone merupakan saingan utama Belanda
dalam usahanya memperluas wilayah kekuasannya dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya,
kedua belah pihak ini pernah terlibat dalam perang besar. Peperangan yang dilancarkan Belanda pada
tahun 1905 terhadap pusat kekuasaan Kesultanan Bone, mengakibatkan benteng pertahanan Bone
jebol, dan Belanda berhasil menaklukkan Bone. Inilah akhir perjalanan sejarah Kerajaan Bone

 Peninggalan

Museum ini diberi nama Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri sendiri merupakan
Raja Bone Ke 31 pada tahun 1895-1905. Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek Pemugaran dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dan diresmikan menjadi Museum La Pawawoi oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
TEDDUNG PULAWENG (PAYUNG EMAS) Merupakan paying Pusaka Kerajaan Bone yang telah
ada sejak Zaman kejayaan Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka (1654 – 1696).

LA MAWAKKA (KERIS) Pada zamannya pusaka ini dipergunakan oleh Arung Palakka dalam setiap
pertempuran melawan musuh kerajaan.

Perjanjian Bongaya 1669-1905 M. menunjukkalah bahwa Bone sebagai salah satu kerajaan terbesar
di Sulawesi Selatan, telah mengalahkan Kerajaan Gowa dan menggantikan posisinya sebagai
pemimpin dan pemegang hegemoni politik di Sulawesi Selatan dan kawasan Timur Nusantara

Berbeda dengan di daerah lain, sebut misalnya di pulau Jawa, yang banyak meninggalkan jejak sejarah
seperti prasasti yang informasinya dapat bertahan lama. Oleh sebab itu, lontara’ harus diletakkan
pada posisi terdepan sebagai bahan kajian untuk mengungkap misteri perjalanan suku-suku di
Sulawesi.

Kajao Lalliddong adalah sebuah gelar bagi seorang pemikir politik dan negarawan dari Tanah Bugis
Bone. Kajao Laliddong pula yang mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifatsifat yang harus dimiliki
oleh raja dan rakyat, yaitu: Lempu’ (kejujuran), Acca (kepandaian, kecerdasan, Assitinajang
(kepatutan), Getteng (keteguhan pada prinsip), Reso (usaha, kerja keras), Siri’ (harga diri, martabat)).
Daftar pustaka
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/4169/3869 > Vol 19, No 2 (2017)
Rahmawati Rahmawati, Andi Reni
https://bone.go.id/2013/09/20/struktur-pemerintahan-kerajaan-bone-masa-lalu/ 20 Sep 2013

journal.unhas.ac.id/index.php/jlb/article/download/3047/1599 oleh A Abdullah - 2018

Transformasi Budaya lslam di Kerajaan Bone pada Abad ke 17


Oleh:
Rahmawati
Jurnal adabiyah vol. 16 no 1/2016
https://www.researchgate.net/publication/308800748_Transformasi_Budaya_lslam_di_Kerajaan_Bone
_pada_Abad_ke_XVII

Anda mungkin juga menyukai