Anda di halaman 1dari 17

ISLAM DI GORONTALO

(Sejarah dan Islamisasi Masyarakat Gorontalo)

Abstrak : Islam adalah agama mayoritas yang ada di


nusantara. Agama islam menjadi agama menyoritas bagi
masyarakat gorontalo hal ini membuktikan bahwa di bagian
timur nusantara khususnya Gorontalo terjadi proses
islamisasi,prose islamisasi tidak lepas dari peran raja yaitu raja
Amai yang membuat kebijakan agar seluruh masyarakat yang
ada di wilayah kerajaannya harus beragama islam, dan islam di
gorontalo diimpilakasikan kedalam nilai falsafah masyarakat
gorontalo yang telah di kemukakan oleh raja-raja terdahulu yakni
Adati bula-bulaa to saraa, saraa bula-bulaa to kurani yang
diartikan sebagai Adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah
dan falsafah ini yang digunakan masyarakat gorontalo dalam
menjalankan kehidupan dan hubungan sosial sampai saat ini.
Kata kunci: Islamisasi, Islam, Gorontalo.

A.

Pendahuluan
Gorontalo dikenal sebagai salah satu daerah menjadikan

agama Islam sebagai identitas utama dari bangunan budaya dan


perkembangan masyarakatnya. Pengaruh Islam di kawasan ini
diyakini melalui proses yang begitu panjang sejak raja-raja

pertama yang memerintah Gorontalo sampai raja-raja tersebut


menjadikan agama Islam sebagai agama resmi dikerajaan
Gorontalo.
Perkembangan kajian tentang sejarah perkembangan
Islam di Indonesia sudah
diakui bahwa

banyak

dilakukan, tetapi harus

publikasi yang benar-benar komprehensif

belum bisa didapatkan, bahkan masih terdapat perbedaan


mengenai kapan Islam mulai masuk ke Nusantara, bigutupun
yang terjadi di kawasan Utara Nusantara, khususnya Gorontalo,
sudah banyak penelitian yang dilakukan tetapi belum
mendapatkan hasil yang komprehensif mengenai Islam masuk di
Gorontalo. Padahal, adalah suatu realitas penting yang kita
saksikan hingga kini bahwa agama Islam menjadi kekuatan besar
yang mempengaruhi sendi-sendi sosial kebangsaan kita. Sejak
abad XV agama Islam resmi menjadi kekuatan kebudayaan
dan agama utama di kepulauan nusantara, termasuk di wilayah
timur Nusantara.
Meluasnya penyebaran agama Islam terutama sekitar abad
15 dan 16 pada kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia,
termasuk di dalamnya wilayah timur Nusantara jelas
menimbulkan variasi-variasi dalam proses Islamisasi itu dan
juga telah melahirkan corak akomodasi- akomodasi
dinamika

dan

kultural yang berbeda-beda.

Namun demikian yang harus diakui adalah bahwa


perkembangan atau penyebaran Islam, khususnya di Gorontalo,
menyebabkan hal-hal spesifik dan juga memunculkan
kenyataan- kenyataan sosial baru. Ini terjadi karena umumnya
gerakan sosial keagamaan memang selalau bersentuhan
dengan tata sosial yang ada. Karena itulah sehingga bisa
dikatakan bahwa kontak awal antara pengembangpengembang agama Islam dengan jenis kebudayaan dan
masyarakat lokal merupakan suatu proses akomodasi dan
adaptasi budaya, termasuk politik.1
B.

Metode Penelitian.
Jenis penelitian yang dipergunakan pada penelitian ini

adalah jenis penelitian kepustakaan atau lebih sering di sebut


Library research. Dan pendekatan yang yang digunakan untuk
menunjang agar penelitian ini lebih komprehensif yaitu
diantaranya menggunakan pendekatan sejarah dimana dapat
melukiskan, menjelaskan dan menerangkan fakta sejarah yang
berkaitan tentang siapa, apa, kapan, bagaimana dan dimana
peristiwa dan sejarah itu terjadi dengan mengumpulan datadata yang berhubungan dengan penelitian ini baik itu dari bukubuku, makalah, jurnal, dan judul penelitian lainnya.
C.
Sekilas Asal Usul Nama Gorontalo.
Asal usul nama Gorontalo atau dalam sebutan lama
1 Basri Amin, Islam, Budaya dan Lokalitas Gorontalo, Jurnal,
Universitas Negeri Gorontalo.hal.2

Hulontalo ada beberapa versi diantaranya Bulua lo tola (tempat


perkembangbiakan ikan gabus), ada juga pendapat bahwa kata
itu berasal dari Buntu langi-langi (perbukitan yang tergenang
air), ada pula yang berasal dari kata Huluntulangi, kemudian
mengalami proses perubahan menjadi Hulontalangi yang artinya
Lembah Mulia. Sebelum kedatangan Kolonial Belanda, kata
Hulantalo berubah menjadi Gorontalo, akibat sulit diucapkan
bagi orang-orang Belanda. Menurut S.R Nur, ketika melakukan
penelitian sejak tahun 1960-an, kata gorontalo yang asli tidak
bisa dilacak lebih jauh, tetapi di temukan beberapa keterangan
tambahan bahwa kata Gorontalo berarti Lembah Mulia,
penjelasan lainnya adalah : Hua Lolontalengo (orang Goa yang
berjalan kian kemari); Pogolatalo atau Pohulatalo (tampat
menunggu).2
D.

Masyarakat Gorontalo sebelum kedatangan Islam.


Semula masyarakat Gorontalo adalah nomaden di sekitar

lereng perbukitan tergenang air (buntu langi-langi). Pada


perkembangan selanjutnya, melalui prinsip demokrasi yang kuat,
mereka membentuk negara federasi (Pohalaa) Hulantalo.
Masyarakat Gorontalo adalah merupakan salah satu suku bangsa
yang ada di Indonesia. Menurut J.G.F Riedel salah satu seorang
sarjana antropologi Belanda mengemukanan bahwa penduduk
2 S.R.Nur (1979), Dalam Hasanuddin dan Basri Amin, Gorontalo dalam
Dinamika Sejarah Masa Kolonial, Yogyakarta, ombak, 2012,h14.

Gorontalo termasuk ras melayu Polinesia yang datang dari


bagian utara. Pada waktu mereka masuk di daerah Gorontalo,
daerah itu sudah ada penduduk asli yang mendiaminya. Pada
perkembangan selanjutnya terjadilah percapuran di kalangan
mereka. Selain percampuran antara ras melayu Polinesia dengan
penduduk asli Gorontalo, pada perkembangan berikutnya telah
terjadi pula pembauran antar penduduk setempat dengan
penduduk yang berasal dari sebelah timur yakni daerah Ternate,
Tidore, dan dari selatan seperti Bugis dan Makassar.
Sementara itu kepercayaan masyarakat Gorontalo kala itu
pada dasarnya sama dengan daerah lain di Indonesia yaitu
menganut Animisme. Tetapi yang membedakan hanya pada
bentuk upacara dan pelaksanaan adat pemujaan. Dalam
kehidupan penduduk penganut aninisme yang kebiasaannya
menyembah dewa Gunung TilongkabilaToguwata,
Malenggabila, dan Longgibila. Kebiasaan menyembah dewa
inilah merupakan kepercayaan yang di anut mayoritas pada saat
itu. Di samping itu juga adat dan kearifan lokal yang saat itu ada
di junjung tinggi sebagai suatu aturan yang mengatur hubungan
sosial masyarakat kala itu.3
Sebelum kedatangan Kolonial Belanda, Gorontalo berbentuk
kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat
ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-Kerjaan itu tergabung dalam
3 Basri Amin, Islam, Budaya dan Lokalitas Gorontalo, Jurnal,
Universitas Negeri Gorontalo.hal.5

dalam suatu ikatan kekeluargaan yang disebut Pohalaa.


Secara etimologis Pohalaa adalah wadah persatuan keluarga.
Dalam pengertian lain Pohalaa adalah suatu masyarakat hukum
dalam suatu kerajaan atau perserikatan dari kerjaan yang diikat
oleh tali persaudaraan, adat istiadat, kepercayaan, hukum adat
tata negara dan kemasyarakatan Gorontalo. Sebelum
terbentuknya Pohalaa, struktur masyarakat Gorontalo terdiri dari
keluarga-keluarga besar (large family) yang tinggal di rumahrumah besar dengan tiang-tiang tinggi yang disebut laihe dan
setiap laihe diketuai oleh orang tertua yang disebut Pululaibe
atau Puulaibe yakni tauwa lo laihe. Perkembangan selanjutnya
terjadi pola kehidupan masyarakat yang mengelompok terdiri
dari bangunan laihe-laihe. Kelompok laihe inilah yang disebut
Lemboa, dipimpin oleh seorang yang dituakan yang disebut
Bandalo.4
Dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang antara lain
diikat oleh karakteristik kesatuan geografis, geneelogis, sosial,
politik dan kultural, terdapat beberapa Lemboa yang kemudian
menyatukan diri dalam suatu kesatuan sosial yang lebih besar
yang disebut Linula, yakni semacam kerajaan kecil yang dipimpin
oleh seorang Ologia atau raja. Sejalan dengan perkembangan
penduduk dari waktu ke waktu, maka munculah linula-linula
4 M. Lipoeto, Sejarah Gorontalo, Dua Limo Lo Pohalaa,1942, hal,6 dalam
Zohra Yasin,Ismail Puhi,Moh.Ihsan Husna, Mashadi, Islam Tradisi dan Kearifan
Lokal Gorontalo,Gorontalo,Sultan Amai Press,2013,h 50.

(kerajaan-kerajaan kecil) yang menyebar di berbagai wilayah


atau daratan Gorontalo. Kemudian linula-linula ini mengelompok
menjadi Pohalaa. Pohalaa adalah kelompok atau kerajaan yang
lebih besar, yaitu terdiri dari :
1. Pohalaa Goronatalo
2. Pohalaa Limboto
3. Pohalaa Bone (meliputi Suwawa dan Bintauna)
4. Pohalaa Bolango (tahun1862 diganti Boalemo)
5. Pohalaa Atinggola.
Sistem pemerintahan pada masa Pohalaa ini berakar pada
kekuasaan rakyat. Organisasi pemerintahan dalam kerajaan
terbagi atas tiga bagian yang menjalin kerja sama, yang disebut
Buatula Totolu atau Buatula Toulango yaitu : (1) Buatula
Bantayo di kepalai oleh Bate, yang memeiliki kewenangan atau
otoritas dalam membuat peraturan dan garis-garis besar tujuan
kerajaan,(2) Buatula Bubato, dikepalai oleh Raja (Olongia) yang
memeiliki kewenangan dan otoritas dalam melaksanaka
peraturan serta memiliki tanggungjawab dalam mensejahterakan
masyarakat, (3) Buatula Bala, yakni yang bertanggung jawab
atas tugas-tugas pengaman dan pertahanan.5
Menurut sejarah kerajaan tertua adalah Kerajaan Wadda
yang terletak di lereng Gunung Boliohuto dengan rajanya
Buniyaguguto. Versi lain mengatakan kerajaan ini terletak di
Suwawa. Setelah itu muncul Kerajaan Suwawa di Daerah datran
5 Samin Rajik Nur, Beberapa Aspek Adat Tata Negara Kerajaan Gorontalo Pada Masa
Pemerintahan Eyato, Disertasi,1979,h 41. Dalam Zohra Yasin,Ismail Puhi,Moh.Ihsan Husna,
Mashadi, Islam Tradisi dan Kearifan Lokal Gorontalo,Gorontalo,Sultan Amai Press,2013,h 50-51.

tinggi bangiyo di kaki gunung Tilongkabila. Kerajaan Suwawa


merupakan serikat yang terdiri dari Suwawa, Bone dan Bintauna.
Raja pertama dari kerajaan ini adalaha Ayudugiya. Pada tahun
1330 mundullah kerajaan Limboto. Kerajaan ini merupakan
negara serikat dari lima kerajaan kecil yang disebut Dutu.
Perserikatan ini di prakarsai oleh seorang perempuan bernama
Mbui Bungale yang kemudian di pilih menjadi ratu pertama. Pada
tahun 1385 MatoloduladaA mendirikan kerajaan Gorontalo. Ketika
itu terdapat 17 Linula di Gorontalo, seringkali terjadi
pertengkaran dan peperangan antara linula-linula yang ada,
karena perwatakan masyarakat ketika itu memang mudah
tersinggung serta memiliki ke-aku-an yang terlalu tinggi,
sehingga sedikit saja terjadi salah paham aka berakhir dengan
peperangan. Dalam situasi yang tidak memnetu itulah
kepemimpinan MatoduladaA dimulai di Linula Hulontalangi.
MatoduladaA resah dengan keadaan seperti ini. Bangkitlah
rencana besarnya untuk mempersekutukan linul-linul tersebut
dalam sebuah pemerintahan serikat yang disebut PohalaA.
Pada tahun 1427 setelah 45 tahun memerintah di PohalaA
Gorontalo MatoloduladaA turun tahta dan digantilan oleh
anaknya Uloli. Sebentulnya yang berhak mengantikan
MotoloduladaA adalah Lihawa, Olonginya Lo Linula HungginaA,
Anggota golongan Dile. Tetepi di luar dugaan yang menjadi

maharaja adalah Uloli. Putra MotoloduladaA dari permaisurinya


Tilabunga.
Dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan yang berada di
daerah Gorontalo terjadi peperangan yang berlangsung cukup
lama antara dua kerajaan besar yaitu Gorontalo dan Limboto.
Perang saudara ini terjadi karena terbunuhnya raja Polamolo
yang merupakan raja dari kerajaan gorontalo oleh pembesarpembesar kerajaan Limboto di perbatasan antara kerajaan
Limboto dan Gorontalo, yaitu di tempat yang bernama
Dehuwalolo. Alasan pembunuhan oleh pembesar kerajaan
Limboto terhadap raja Polamolo karena menurut mereka bahwa
raja Polamolo telah menghina kerajaan mereka. Penghinaan itu
sendiri mungkin masih berkaitan dengan tuduhan penzinahan
yang dilakukan oleh putri Moliye, oleh Peperangan ini
berlansung kurang lebih
E.
Islamisasi di Gorontalo
Raja Amai (1523-1550) merupakan peletak dasar Islamisasi
di Gorontalo setelah melakukan perkawinan dengan Owutango
putri Raja Palasa Ogomonjolo (Kumojolo) di Siyendeng,
Tomini yang mempunyai pertalian darah dengan Raja-Raja
Ternate.
Proses peng-Islaman Raja Amai dimulai dari kunjungannya
untuk memperkuat hubungan kerjasama dengan kerajaankerajaan di Teluk Tomini. Di Kerajaan Palasa, Raja Amai terpikat

dan kemudian melamar putri Owutango. Setelah disepakati


dalam Kerajaan Palasa, akhirnya lamaran Raja Amai diterima
dengan suatu syarat harus di Islamkan dan begitupula secara
langsung adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Gorontalo
harus bersumber pada Al- Quran. Hal ini terbukti Raja Amai
melakukan pembaharuan dalam kerajaan dengan
mengembangkan prinsip adat dan kebiasaan masyarakat
disesuaikan dengan ajaran Islam.
Setelah pelaksanaan perkawinan, Raja Amai kembali ke
Gorontalo bersama istrinya putri Owutango dan didampingi 8
raja-raja kecil di bawah vasal Palasa yaitu Tamalate, Lemboo,
Siyendeng, Hulangato, Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo.
Mereka ini diharapkan bertugas membantu Raja Amai dalam
membimbing masyarakat serta merancang adat istiadat yang
berpedoman pada Islam. Kedatangan Raja Amai dan para
pembesar Kerajaan Palasa di Gorontalo disambut pembesar
Kerajaan Gorontalo. Selanjutnya 8 raja-raja kecil Palasa diberi
gelar Olongia walu lonto otolopa.
Di Kerajaan Gorontalo, mereka membagi tugas sesuai
dengan bidang dan kemampuan yang dimilikinya, seperti Raja
Tamalate, Lemboo, Siyendeng dan Hulangato ditugaskan
merancang adat-istiadat yang akan diberlakukan pada
masyarakat Gorontalo. Selain itu, Raja Tamalate dan Siyendeng

10

juga mengajarkan tentang cara pembuatan peralatan rumah


tangga seperti tolu, tutup saji dan pembuatan garam dapur.
Demikian pula bagi Raja Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo
bertugas mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan
mantera-mantera dan dukun dalam pengobatan. Di samping
itu, 8 raja tersebut juga bertugas sebagai muballigh dalam
pengembangan ajaran Islam pada masyarakat.6
Mereka diberikan lokasi pemukiman tersendiri oleh Raja
Amai di daerah Hunto (Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota
Selatan sekarang). Di daerah tersebut juga didirikan sebuah
tempat ibadah yang disebut Tihi Lo Hunto (Mesjid Sultan Amai
sekarang). Dari lokasi dan masjid inilah kemudian menjadi pusat
kegiatan pendidikan dan kebudayaan Islam (awal) di Gorontalo.
Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan berupa dakwah dan
tablig tentang keagamaan-kemasyarakatan dalam hubungan
dunia dan akhirat. Demikian pula dalam aktifitasnya mulai
memperkenalkan dan mengembangkan prinsip adat dan
kebiasaan yang berlaku pada kerajaan dengan cara ajaran Islam,
di kalangan generasi muda, Islam diperkenalkan lewat tarian
antara lain, tidi lo polopalo ynang mengandung ajaran bahwa
manusia sama derajatnya dihapan tuhan Yang Maha Esa, tidal
6 S. R. Nur, Beberapa Aspek Hukum Adat Tata Negara
Kerajaan Gorontalo Pada Masa Pemerintahan Eato 1673-Dalam
Basri Amin, Islam, Budaya dan Lokalitas Gorontalo, Jurnal,
Universitas Negeri Gorontalo.hal.3

11

mengenal ras, bangsa, golongan, kaum jelata atau


bangsawan.7sehingga adat memegang peranan penting dalam
saluran Islamisasi. Pada tahun 1566 agama Islam secara resmi
menjadi agama kerajaan dan mengatur adat istiadat dengan
memasukkan pengaruh Islam di dalamnya.
Dalam kerajaan mulai ditetapkan bahwa pentingnya adat
istiadat disesuaikan dengan syariah Islam, hasil rumusan ini
dikenal dengan prinsip saraa topa-topango to adati artinya
syarah bertumpu pada adat. Pada rancangan adat yang dibuat
Raja Amai bersama 8 raja-raja kecil tersebut telah
menghasilkan suatu rumusan adat sebanyak 185 adat yang
diberlakukan.
Prinsip-prinsip adat itu menjadi pegangan utama dalam
menjalankan pemerintahan kerajaan serta hubungannya dengan
masyarakat yang berpola pada kehidupan Islami.Dapat
dikatakan bahwa proses terjadinya perkawinan kedua golongan
elite kerajaan lebih menguntungkan dan mempercepat saluran
Islamisasi dalam masyarakat Gorontalo. Secara diplomatik,
kedua kerajaan secara langsung berhubungan dengan Ternate.
Perubahan serempak dalam skala luas, menempatkan penguasa
lokal dan pengikutnya beralih memeluk agama Islam.
Keberhasilan Islam disebabkan bahwa status politik kerajaan
7 Zohra Yasin,Ismail Puhi, Moh Ihsan Husnan, Mashadi,hal 101

12

menjadi faktor penentu proses Islamisasi dengan lebih mudah


penerimaan dan penyebarannya di kalangan rakyat, karena raja
mempunyai wibawa dan kharisma di tengah masyarakatnya.
Pada tahun 1590 Raja Amai digantikan oleh putranya
Motolodulakiki sebagai Olongia To Tilayo. Faktor ini didukung
oleh kebijakan raja yang menarik penduduk memeluk agama
Islam. Untuk lebih memahami ajaran Islam, Motolodulakiki
mengutus pembesar kerajaan guna mempelajari ajaran Islam di
Ternate, sehingga dalam ajaran Islam tersebut lebih ditekankan
pada ajaran tauhid dan ma'rifat. Semasa pemerintahannya,
Motolodulakiki berhasil mengembangkan proses Islamisasi dan
memperluas sosialisasi Islam di tengah masyarakat. Hal ini
terbukti setelah diberlakukannya hukum adat dalam adati
hula-hula to saraa, saraa hula-hula to adati (adat bersendi
saraa, saraa bersendi adat), artinya hukum adat dan hukum
Islam mempunyai kedudukan yang sama.
Pasca era raja Motodulakiki, perubahan progresif dan
perolehan predikat Ilomata selanjutnya adalah yang di dapatkan
oleh Raja Eyato (pelanjut raja Matodulakiki), beliau yang berhasil
memprakarsai sumpah Uduluwo Lo Ulimo Lo Pohalaa, sumpah
yang berhasil mempersatukan Kerajaan Gorontalo dan Limboto
setelah bertikai selama lebih 200 tahun. Raja Eyato kemudian
melajutkan perjuangan raja-raja terdahulu dalam meletakan

13

dasar agama Islam dalam setiap kehidupan masyarakat baik itu


budaya, sosial, politik dan lainnya. Pada akhirnya maharaja
Eyato mengambil sikap dan membangun strategi baru lagi dan
menyatakan Adati Bula-bulaa to syaraa wau syaraa bulabulaa to kuruani bahwa adat gorontalo adalah Adat bersendi
syara dan syara bersendikan kitabullah (Al-quran). Konsekuensi
dari falsafah adat tersebut di atas maka proses transformasi
nilai-nilai syaraa atau ajaran Islam ke dalam system Adat dan
Budaya Gorontalo semakin luas mencakup berbagai aspek
kehidupan masyarakat.8
Hal inilah yang membuat Islam menjadi agama resmi
kerajaan sampai hari ini dan Filosofi tersebut telah menyatu dan
menjadi identitas masyarakat gorontalo.
F.

Kesimpulan
Peran raja Amai merupakan hal yang paling pokok bagi

sejarah dan perkembangan Islam di gorontalo, karena dengan


secara tidak langsung hubungan yang dibangun antara kerajaan
gorontalo dengan kerajaan Gumonjolo di Sulawesi tengah
merupakan awal dan tonggak sejarah Islam mulai berinteraksi
dengan masyarakat Gorontalo. Sejak saat itu pula proses
Islamisasi terjadi sehingga merubah hampir seluruh aspek
bidang kehidupan masyarakat gorontalo baik itu agama, adat,
8 Ibid,hal 52

14

budaya dan tradisi. Dimulai dari penganut animisme beralih


memeluk agama Islam, adat, budaya dan tradisi yang tidak
sesuai dengan syariah disesuaikan dengan syariah Islam, dan
bertentangan dengan hukum islam mulai ditinggalkan. Dan
ketika raja Eyato memerintah kerajaan gorontalo hal ini di
pertegas lagi dengan falsafah yang di kenal Adati bula-bulaa to
saraa, saraa bula-bulaa to kurani dengan adanya falsafah ini
lebih mempertegas bahwa Islam menjadi identitas spiritual bagi
masyarakat gorontalo, dan berlaku hingga saat ini.

G.

Saran
Falsafah Adati bula-bulaa to saraa, saraa bula-bulaa to

kurani merupakan konteks yang menjadi bingkai dari penciri


tradisi Islam di gorontalo, apakah dalam realisasinya saat ini
masih mencari bentuk, apakah prinsip tersebut hanya mencari
suasananya atau memang ada aplikasinya, karena kita melihat di
gorontalo adat-adat itu memang memiliki nuansa Islam, tetapi
ketika ada pelanggaran-pelanggaran maka secara syariat itu
tidak ada sanksi, namu secara adat orang tersebut akan
terkucilkan hidupnya dalam masyarakat. Ini yang sebenarya
perlu kita perhatikan apakah nilai Islam dalam proses adat hanya
di jadikan sebagai simbol yang menunjukan kalau mereka itu

15

beragama islam, dan bukan menjadikan nilai Islam sebagai inti di


menjalankan prose kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Ishak, Ajub, Hukum Perdata Islam Di Indonesia dan Praktek


Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, Sultan Amai
Press, Gorontalo, 2014.
Yasin, Zohra,dkk, Islam Tradisi dan Kearifan Lokal Gorontalo,
Sultan Amai Press, Gorontalo, 2013
Mashadi, Jurnal Studi Islam Ulumuna, STAIN Mataram, Mataram,
2013

16

Tohopi, Ridwan, Naskah Klasik IsraMiraj (Tradisi dan Budaya


Islam Lokal Masyarakat Gorontalo), L-Sabda, 2005
Amin, Basri, Islam, Budaya, dan Lokalitas Gorontalo,UNG.

17

Anda mungkin juga menyukai