BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada bulan Juli yang lalu media diramaikan dengan berita tentang
sebuah lahan kosong dengan panjang kurang lebih 150 m dan lebar 5 m, tepatnya
di Jalan Kupang Gunung Timur I. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa nama
Dolly berawal dari nama seorang pelacur Dolly Khavit yang menikah dengan
pelaut Belanda yang kemudian mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang untuk
pertama kalinya pada tahun 1968. Lokalisasi yang berdiri sejak tahun 1968 ini
ditutup secara resmi oleh Pemerintahan Kota Surabaya dibawah pimpinan Risma
Harini. Penutupan Lokalisasi yang dianggap terbesar di Asia Tenggara ini telah
Perlawanan sempat muncul dari para penghuni Dolly dan pihak-pihak yang
Meskipun demikian mereka akhirnya harus tunduk pada pemangku jabatan yang
1
Purnomo, Tjahyo, dan Ashadi Siregar, Dolly: Membedakan Dunia
Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, 1983, Jakarta: Grafiti
Press, hlm., 48.
2
http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/23/lokalisasi-legendaris-
gang-dolly-resmi-ditutup-19-juli-2014
2
sesuai dengan norma agama tidak semuanya sama. Terdapat beberapa norma adat
Hubungan seksual di luar pernikahan juga bisa ditemukan pada suku-suku primitif
di Pulau Kei, Flores, dan Mentawai. Dalam tradisi yang lebih tua misalnya
pelacuran juga dikaitkan dengan ritual agama. Pada masyarakat Babilonia praktik
Dengan demikian praktik pelacuran merupakan perilaku manusia yang cukup tua
memiliki akar sejarah yang dapat ditarik sejak era kerajaan Nusantara.
3
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/muncul-isu-penutupan-warga-
sunan-kuning-waswas/
4
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, 2011, Jakarta: Rajawali Pers.
3
yang bisa diperdagangkan. Hull mencontohkannya lewat seorang Raja yang bisa
memiliki selir dalam jumlah yang tidak terbatas. Perempuan-perempuan itu tidak
jarang merupakan hasil upeti, setoran kerajaan atau bahkan rakyatnya sendiri.
meskipun dalam bentuk yang lebih samar. Sementara itu keberadaan perempuan
yang dilacurkan terus saja muncul dalam setiap zaman dan periode sejarah
Indonesia, mulai dari masa kolonial sampai dengan kemerdekaan. 5 Pada masa
kolonial dikenal dengan “wanita publik” yang bermakna sama dengan pelacur.
Belanda. Oleh karena itu, mengherankan jika kemudian banyak rumah bordil yang
didirikan di sekitar tangsi militer. Selain “wanita publik” juga dikenal pelacur
klandestin, yakni mereka yang menjajakan diri secara liar dan tidak terdaftar di
rumah bordil.6
kolonial pada saat itu dengan munculnya penyakit kelamin. Ketakutan akan
persebaran penyakit kelamin yang menular melalui para pelacur telah mendorong
Peraturan itu mengatur antara lain mengenai pendataan pelacur dan wajib lapor
5
Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones Pelacuran di
Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta: Sinar Harapan , hlm. 1-
4.
6
Jaelani, Gani A., Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, 2013, Bandung:
Syabas Book, hlm. 70-71.
4
membuat garis pemisah antara pelacuran dan pergundikan menjadi samar, karena
kebutuhan seksual.8
Sementara itu pada era yang lebih modern tempat pelacuran lebih dikenal
kompleks yang dikoordinasi oleh kelompok terpadu. Biasanya mereka terdiri dari
aparat pemerintah dan militer setempat. Salah satu hal yang mendasari pengadaan
lokalisasi adalah untuk melakukan pengendalian dan disiplin sosial.9 Salah satu
7
Jaelani, Gani A., Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, 2013, Bandung:
Syabas Book, hlm 49-52.
8
Reggie Baay, Nyai dan Pergundukan di Hindia Belanda, 2010, Jakarta:
Komunitas Bambu, hlm. 1-3.
9
Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones Pelacuran di
Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 30
5
contoh lokalisasi awal adalah Kampung Silir di Surakarta yang didirikan pada
Indonesia, misalnya Kramat Tunggak di Jakarta dengan jumlah 300 pelacur dan
Rehabilitasi sosial dalam hal ini bertujuan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi
pelacur yang ingin pindah bekerja di sektor lain dan memberikan dorongan positif
kepada pelacur untuk berhenti sebagai pelacur. Proyek ini dipimpin oleh
pemerintah daerah lewat sejumlah regulasi, antara lain Surat Keputusan Bupati
Kepala Daerah TK II No. Kesra B.4/23/SK/1974. Dalam Surat Keputusan itu jelas
memasyarakatkan kembali para pelacur yang saat itu dikenal dengan wanita tuna
10
Hull., hlm. 30-31
11
Hull., hlm 41-51.
6
kota Kudus memiliki identitas kota santri yang melekat bersama keberadaan dua
makam wali, Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sunan Kudus sendiri oleh
masyarakat Kudus dipahami sebagai pendiri kota Kudus. Hal ini bisa dilihat dari
penetapan hari jadi kota Kudus yang diambil dari sebuah prasasti yang menempel
pada dinding masjid Menara.12 Pandangan identitas Islam yang kuat dalam
Kudus.13
sebagai berikut.
12
Djoko Suryo, Hari Jadi Kudus, Tim Peneliti Jurusan Sejarah UGM,
1989, Yogyakarta. Isi dari batu inskripsi tersebut adalah: “Dengan Asma Allah
yang Maha Pengasih dan Penyayang. Telah mendirikan Masjid Aqsa ini dan
negeri Kudus khalifah pada zaman Ulama dari keturunan Muhammad untuk
memberi kemuliaan sorga yang kekal...Untuk mendekati Allah di negeri Kudus,
membina masjid Al Manar yang dinamakan Al Aqsha khalifatullah di bumi ini...
Yang Agung dan mujtahid sayyid (tuan) yang arif (maha mengerahui) al kamil
(yang sempurna) alfadhilin (yang melebihi) al maksus (yang dikhususkan),
dengan pemelharaan al Qodhi Ja’far Shadiq pada tahun 956 Hijriyah Nabi
Muhammad SAW. Lihat dalam Solichin Salam, Kudus dan Sejarah Rokok Kretek
(Kudus: PPRK, 1983), hlm., 7.
13
Boneff, Marcel. 1983. Islam di Jawa dilihat dari Kudus, dalam Citra
Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 234-235.
7
B. Ruang Lingkup
dengan hal itu, pembahasan dalam skripsi ini dibatasi dengan tiga ruang lingkup,
karena Kudus yang selama ini dikenal kota santri rupanya mengakomodasi bisnis
pelacuran secara legal. Kudus juga bukan kota besar, seperti Jakarta, Surabaya,
kondisi yang sulit. Keberadaanya yang selama ini didukung oleh pemerintahan
melalui payung hukum yang sah mulai digugat. Lewat serangkaian aksi dan
Ketiga, adalah batasan keilmuan. Topik penelitian yang saya bahas terkait
C. Tinjauan Pustaka.
Buku pertama yang menjadi tinjauan pustaka adalah karya Terence Hull
mulai dari masa kerajaan hingga masa Indonesia modern. Meskipun tidak terlalu
14
Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones Pelacuran di
Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta: Sinar Harapan.
9
kerajaan akan berbeda dengan masa kolonial, dan lain lagi antara masa Jepang dan
pelacuran dilakukan Hull pada masa Indonesia modern. Hull mengulas bagaimana
pelacuran dibentuk oleh negara secara legal melalu peraturan ataupun undang-
undang. Bentuk pelacuran yang legal ini sesuai dengan tema sehingga akan
membantu mengkonstruksikan penelitian ini. Selain itu dalam buku ini Hull juga
Surabaya, Kampung Silir Surakarta, dan Kramat Tunggak Jakarta. Secara garis
besar buku Hull sangat membantu penulisan penelitian ini. Kesesuain tema,
contoh pelacuran legal yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat seluk beluk
Buku kedua adalah karya Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar yang
Pelacuran Dolly.15 Awalnya buku ini adalah hasil dari skripsi Tjahyo Kumolo,
partisipatif, dimana peneliti terlibat aktif dalam dunia pelacuran. Sehingga hasil
penelitian ini cukup detail menggambarkan dunia pelacuran dari jarak yang cukup
15
Purnomo, Tjahyo, dan Ashadi Siregar, Dolly: Membedakan Dunia
Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, 1983, (Jakarta: Grafiti
Press).
10
pelacuran.
terakhir. Buku ini merupakan katalog lengkap yang mengkaji berbagai macam
gejala sosial yang digolongkan sebagai penyakit masyarakat. Lebih jauh patologi
sosial didefinisikan sebagai tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai
norma ataupun adat istiadat sehingga tidak terintegrasi dengan tingkah laku
dan pemebrian pendidikan seks. Kedua, tindakan yang bersifat represif dan
penting karena memberikan landasan konseptual yang kuat bagi penelitian ini.
16
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, 2011, Jakarta: Rajawali Pers.
17
Kartono Kartini, hlm. 266-268
11
teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu.19 Untuk mempertajam analisa
dalam penelitian ini digunakan pendekatan ilmu social yaitu sosiologi yang
tentunya memiliki relevansi yang kuat dengan obyek penelitian, kaitannya dalam
meminjam konsep patologi dalam melihat pelacuran. Dalam ilmu patologi sosial
18
SartonoKartodirjo,PemikirandanPerkembanganHistoriografi:
SuatuAlternatif,(Yogyakarta: Gramedia, 1982), hlm.5.
19
SartonoKartodirdjo, PenelitianIlmuSosialdalamMetodeSejarah, (Jakarta:
GramediaPustakaUmum, 1993), hlm.2.
20
SoerjonoSoekanto, SosiologiSuatuPengantar, (Djakarta: PT
RadjaGrafindo, 1990), hlm. 395.
12
pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi
dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang
yang disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi
sifatnya.22
saja, namun setidaknya juga terdiri dari germo dan mucikari. Germo didefinisikan
para pelacur dengan imbalan perlindungn ataupun kontak dengan para calon
21
Kartono,hlm. 213-214.
22
Kartono, hlm. 216.
23
Tjahyo, hlm. 68.
13
luar. Akan lebih baik jika memiliki pemahaman kehidupan pelacuran secara
terperinci sehingga penelitian ini akan jauh lebih eksploratif sehingga tidak
proses pengujian dan analisis peristiwa masa lampau. Pengertian metode sejarah
adalah proses menguji dan menganalisis rekaman masa lampau manusia dan
menganalisis kesaksian yang ada, yaitu factor sejarah sebagai bukti yang bisa
mencakup empat tahapan pokok yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan
historiografi.25
sumber tertulis dan yang tidak tertulis, apakah itu sumber primer maupun sumber
dengan permasalahan dan objek penilitian. Sumber primer yang menjadi sumber
24
Louis Gottschalk, MengertiSejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 32.
25
Kuntowijoyo, MetodologiSejarah (Yogyakarta: Tiara WacanaYogya,
1994), hlm. 18-19.
14
secara legal. Sementara yang berhubungan dengan arsip lokal adalah ketetapan
dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus. Penelusuran arsip dilakukan
sumber juga dieksplorasi lebih jauh dengan penggunaan sumber lisan. Untuk itu
dilakukan serangkaian wawancara, dalam hal ini metode sejarah lisan dengan
menggali informasi dari narasumber yang relevan dengan objek penelitian ini.Hal
ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan tajam mengenai
memberi ijin kemungkinan sulit ditemukan, namun Bupati yang mencabut ijinnya
arsip sekunder, misalnya informasi dari surat kabar yang terkait dengan lokalisasi
Mojodadi. Sementara itu warga sekitar lokalisasi dalam hal ini desa Gribig, juga
dengan dunia luar. Selain itu yang tidak kalah penting adalah wawancara yang
15
lokalsiasi, mulai dari pelacur, germo, ataupun orang-orang yang pernah berada
duacara, yaitu kritik ekstern dan kritik interen.27 Kritik ekstern dilakukan untuk
mengetahui otentisitas sumber tersebut dan lebih pada hal-hal yang bersifat
materiil seperti jenis kertas, stempel, bentu khuruf, tinta yang digunakan, temporal
penulisan, dan lain sebagainya, serta kelengkapan sumber. Dalam hal ini akan
legal maka keberadaan dokumen maupun arsip tertulis menjadi penting. Kritik
intern dilakukan untuk mengetahui kredibilitas dan keakuratan isi sumber yang
pernyataan yang disampaikan oleh para informan dengan data lain, baik yang
berbentuk tulisan maupun lisan.Sementara itu kritik intern terhadap data tertulis
sumber lain yang lebih independen dan membuat pertanyaan kritis seperti apakah
pembuat sumber sejarah adalah orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu dan
27
Gottschalk, hlm. 80.
28
Basri M. S., MetodePenilitianSejarah: Pendekatan, Teori, danPraktik,
(Jakarta: RestuAgung, 2006), hlm. 10.
16
merangkaikan fakta sejarah yang sejenis dan kronologis untuk memperoleh alur
cerita yang sistematis melalui penafsiran fakta yang telah diuji kebenarannya, agar
dapat diceritakan kembali. Pada saat interpretasi ada tiga hal penting dalam
mental pembuat sumber pada masa itu apakah dia berada dalam tekanan atau
tidak, karena bila sumber yang dibuat ternyata untuk kepentingan suatu pihak
maka isi kandungan sebuah dokumen patut dipertanyakan.30 Fakta yang telah
terkait. Pada tahap ini imajinasi sangat diperlukan untuk menggabungkan fakta
penulisan sejarah. Pada umumnya tujuan dari penelitian sejarah adalah mencari
dengan metodis dan sistematis setelah melalui tahapan kritik sumber baik itu
29
Gottschalk, hlm. 95.
30
Gotschalk, hlm. 77.
17
kritik intern ataupun ekstern, kredibel dan autentik sehingga hasil dari penulisan
itu bukan hanya kebenaran dari masa lampau tetapi juga cerita sejarah yang dapat
memaparkan fakta dalam bentuk tulisan yang sudah disintesiskan dan dianalisis
dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, sehingga dapat dipahami oleh
dalam proses penyampaian informasi berdasarkan fakta. Tahap ini juga dapat
dikatakan sebagai penyajian fakta secara utuh. Oleh karena itu diperlukan suatu
F. SistematikaPenulisan.
juga memudahkan pembaca. Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam lima
sistematis dari penelitian yang dilakukan dan terdiri dari latarbelakang dan
penulisan.
31
Gotschalk,hlm. 13.
18
lokalisasi. Mojodadi yang ditutup secara resmi pemerintah. Sebelum sampai pada
pemangku kebijakan dalam hal ini DPRD maupun Bupati Kudus menanggapi
lokalisasi Mojodadi.
Bab terakhir adalah bab V merupakan simpulan dari hasil penelitian. Bab
simpulan ini berisi jawaban dari permasalahan penelitian yang hasilnya telah
DAFTAR PUSTAKA
Boneff, Marcel. 1983. Islam di Jawa dilihat dari Kudus, dalam Citra Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
SartonoKartodirdjo. 1993.PenelitianIlmuSosialdalamMetodeSejarah.Jakarta:
GramediaPustakaUmum.
Internet
http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/23/lokalisasi-legendaris-gang-
dolly-resmi-ditutup-19-juli-2014
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/muncul-isu-penutupan-warga-sunan-
kuning-waswas/