Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada bulan Juli yang lalu media diramaikan dengan berita tentang

penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya.1 Komplek Dolly yang berpusat di

Kelurahan Pusat Jaya Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya awalnya merupakan

sebuah lahan kosong dengan panjang kurang lebih 150 m dan lebar 5 m, tepatnya

di Jalan Kupang Gunung Timur I. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa nama

Dolly berawal dari nama seorang pelacur Dolly Khavit yang menikah dengan

pelaut Belanda yang kemudian mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang untuk

pertama kalinya pada tahun 1968. Lokalisasi yang berdiri sejak tahun 1968 ini

ditutup secara resmi oleh Pemerintahan Kota Surabaya dibawah pimpinan Risma

Harini. Penutupan Lokalisasi yang dianggap terbesar di Asia Tenggara ini telah

melewati proses yang panjang sebelum akhirnya benar-benar tidak beroperasi.

Perlawanan sempat muncul dari para penghuni Dolly dan pihak-pihak yang

berkepentingan untuk tetap mempertahankan tempat mata pencaharian mereka.2

Meskipun demikian mereka akhirnya harus tunduk pada pemangku jabatan yang

mempunyai wewenang untuk mencabut izin penyelenggaraan bisnis pelacuran.

1
Purnomo, Tjahyo, dan Ashadi Siregar, Dolly: Membedakan Dunia
Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, 1983, Jakarta: Grafiti
Press, hlm., 48.
2
http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/23/lokalisasi-legendaris-
gang-dolly-resmi-ditutup-19-juli-2014
2

Penutupan lokalisasi Dolly rupanya diikuti oleh penutupan lokalisasi di

daerah lain. Misalnya wacana penutupan lokalisasi Sunan Kuning di Semarang. 3

Menariknya kasus-kasus penutupan lokalisasi tersebut menuai keberhasilan

setelah mendapat dukungan dari kelompok-kelompok agama. Norma agama

dengan mudah dapat dibenturkan dengan keberadaan lokalisasi yang menganggap

pelacuran merupakan perbuatan dosa. Pandangan mengenai pelacuran yang tidak

sesuai dengan norma agama tidak semuanya sama. Terdapat beberapa norma adat

yang tumbuh dalam masyarakat tertentu menolelir kehadiran praktik pelacuran.

Misalnya masyarakat Eskimo yang memperbolehkan istrinya melayani tamu-

tamunya dengan menemaninya tidur dan memberi layanan seksual seperlunya.

Hubungan seksual di luar pernikahan juga bisa ditemukan pada suku-suku primitif

di Pulau Kei, Flores, dan Mentawai. Dalam tradisi yang lebih tua misalnya

pelacuran juga dikaitkan dengan ritual agama. Pada masyarakat Babilonia praktik

pelacuran dipaksakan kepada banyak wanita untuk menghormati Dewi Mylitta.4

Dengan demikian praktik pelacuran merupakan perilaku manusia yang cukup tua

dan bertahan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Dalam konteks Indonesia, praktik pelacuran dapat ditemukan dalam setiap

fase perkembangan sejarahnya. Menurut Terence Hull asal mula pelacuran

memiliki akar sejarah yang dapat ditarik sejak era kerajaan Nusantara.

Karakteristik feodalisme kerajaan memungkinkan perempuan sebagai properti

3
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/muncul-isu-penutupan-warga-
sunan-kuning-waswas/
4
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, 2011, Jakarta: Rajawali Pers.
3

yang bisa diperdagangkan. Hull mencontohkannya lewat seorang Raja yang bisa

memiliki selir dalam jumlah yang tidak terbatas. Perempuan-perempuan itu tidak

jarang merupakan hasil upeti, setoran kerajaan atau bahkan rakyatnya sendiri.

Hull memandang praktik yang demikian tidak ubahnya seperti pelacuran,

meskipun dalam bentuk yang lebih samar. Sementara itu keberadaan perempuan

yang dilacurkan terus saja muncul dalam setiap zaman dan periode sejarah

Indonesia, mulai dari masa kolonial sampai dengan kemerdekaan. 5 Pada masa

kolonial dikenal dengan “wanita publik” yang bermakna sama dengan pelacur.

Mereka biasanya menempati rumah-rumah bordil yang melayani para prajurit

Belanda. Oleh karena itu, mengherankan jika kemudian banyak rumah bordil yang

didirikan di sekitar tangsi militer. Selain “wanita publik” juga dikenal pelacur

klandestin, yakni mereka yang menjajakan diri secara liar dan tidak terdaftar di

rumah bordil.6

Keberadaan pelacuran sempat menimbulkan keresahan dalam masyarakat

kolonial pada saat itu dengan munculnya penyakit kelamin. Ketakutan akan

persebaran penyakit kelamin yang menular melalui para pelacur telah mendorong

pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tentang pelacuran pada tahun 1852.

Peraturan itu mengatur antara lain mengenai pendataan pelacur dan wajib lapor

5
Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones Pelacuran di
Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta: Sinar Harapan , hlm. 1-
4.
6
Jaelani, Gani A., Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, 2013, Bandung:
Syabas Book, hlm. 70-71.
4

bagi pelacur yang tinggal di rumah-rumah bordil.7 Sebenarnya, sebelum marak

praktik pelacuran dalam masyarakat kolonial, pergundikan merupakan hal yang

lumrah dilakukan oleh orang-orang Belanda. Sejak kedatangan VOC (Vereniging

Ostindie Compaigne) di Nusantara sekitar tahun 1600, pergundikan hadir melalui

kemunculan para Nyai. Mereka adalah perempuan-perempuan pribumi yang

mengurus rumah tangga orang-orang Belanda namun sekaligus melayani

kebutuhan seksual mereka yang tidak jarang melahirkan anak. Biasanya

pergundikan diperoleh lewat pemaksaan yang dilakukan secara semena-mena

dengan mengambil perempuan-perempuan pribumi di pelosok daerah. Hal ini

membuat garis pemisah antara pelacuran dan pergundikan menjadi samar, karena

keduanya sama-sama merujuk pada budak perempuan yang juga melayani

kebutuhan seksual.8

Sementara itu pada era yang lebih modern tempat pelacuran lebih dikenal

dengan lokalisasi. Kemunculan lokalisasi sendiri baru difasilitasi negera setelah

tahun 1960-an. Lokalisasi biasanya berbentuk komplek rumah-rumah yang

digunakan untuk operasi berjajar di sepanjang jalan dan keamanan dalam

kompleks yang dikoordinasi oleh kelompok terpadu. Biasanya mereka terdiri dari

aparat pemerintah dan militer setempat. Salah satu hal yang mendasari pengadaan

lokalisasi adalah untuk melakukan pengendalian dan disiplin sosial.9 Salah satu

7
Jaelani, Gani A., Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, 2013, Bandung:
Syabas Book, hlm 49-52.
8
Reggie Baay, Nyai dan Pergundukan di Hindia Belanda, 2010, Jakarta:
Komunitas Bambu, hlm. 1-3.
9
Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones Pelacuran di
Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 30
5

contoh lokalisasi awal adalah Kampung Silir di Surakarta yang didirikan pada

tahun 1961, lokalisasi kemudian diadopsi oleh kompleks-kompleks pelacuran di

Indonesia, misalnya Kramat Tunggak di Jakarta dengan jumlah 300 pelacur dan

76 germo pada tahun 1971.10

Pelegalan prostitusi melalui lokalisasi selain sebagai pengendalian sosial

juga merupakan bagian dari program rehabilitasi sosial dan kesehatan.

Rehabilitasi sosial dalam hal ini bertujuan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi

pelacur yang ingin pindah bekerja di sektor lain dan memberikan dorongan positif

kepada pelacur untuk berhenti sebagai pelacur. Proyek ini dipimpin oleh

direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial di bawah Departemen Sosial. Sementara itu

program kesehatan berkaitan dengan usaha untuk melakukan kontrol terhadap

penyebaran HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya. Aktivitas seksual para

pelacur sangat berisiko pada penularan HIV/AIDS maupun penyakit kelamin.11

Pelegalan praktik prostitusi juga muncul di Kudus yang ditandai dengan

keberadaan lokalisasi Mojodadi di Gribig. Lokalisasi ini difasilitasi oleh

pemerintah daerah lewat sejumlah regulasi, antara lain Surat Keputusan Bupati

Kepala Daerah TK II No. Kesra B.4/23/SK/1974. Dalam Surat Keputusan itu jelas

disebutkan tujuan pembangunan lokalisasi itu adalah sebagai upaya untuk

memasyarakatkan kembali para pelacur yang saat itu dikenal dengan wanita tuna

susila (WTS) sekaligus menjauhkan masyarakat dari perilaku asusila. Namun

10
Hull., hlm. 30-31
11
Hull., hlm 41-51.
6

demikian kehadiran lokalisasi Mojodadi harus berakhir setelah penutupan resmi

yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kudus melalui pencabutan ijin

operasinya pada tahun 1998.

Keberadaan lokalisasi legal di Kudus menjadi menarik karena selama ini

kota Kudus memiliki identitas kota santri yang melekat bersama keberadaan dua

makam wali, Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sunan Kudus sendiri oleh

masyarakat Kudus dipahami sebagai pendiri kota Kudus. Hal ini bisa dilihat dari

penetapan hari jadi kota Kudus yang diambil dari sebuah prasasti yang menempel

pada dinding masjid Menara.12 Pandangan identitas Islam yang kuat dalam

masyarakat Kudus juga menjadi perhatian Marcell Bonef. Menurutnya,

masyarakat Kudus khususnya yang berada di lingkungan sekitar Menara

merupakan masyarakat Islam yang memegang teguh tradisi keislaman Sunan

Kudus.13

Berdasar latar belakang diatas, skripsi ini akan membahas permasalahan

sebagai berikut.

12
Djoko Suryo, Hari Jadi Kudus, Tim Peneliti Jurusan Sejarah UGM,
1989, Yogyakarta. Isi dari batu inskripsi tersebut adalah: “Dengan Asma Allah
yang Maha Pengasih dan Penyayang. Telah mendirikan Masjid Aqsa ini dan
negeri Kudus khalifah pada zaman Ulama dari keturunan Muhammad untuk
memberi kemuliaan sorga yang kekal...Untuk mendekati Allah di negeri Kudus,
membina masjid Al Manar yang dinamakan Al Aqsha khalifatullah di bumi ini...
Yang Agung dan mujtahid sayyid (tuan) yang arif (maha mengerahui) al kamil
(yang sempurna) alfadhilin (yang melebihi) al maksus (yang dikhususkan),
dengan pemelharaan al Qodhi Ja’far Shadiq pada tahun 956 Hijriyah Nabi
Muhammad SAW. Lihat dalam Solichin Salam, Kudus dan Sejarah Rokok Kretek
(Kudus: PPRK, 1983), hlm., 7.
13
Boneff, Marcel. 1983. Islam di Jawa dilihat dari Kudus, dalam Citra
Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 234-235.
7

1. Bagaimana terbentuknya lokalisasi Mojodadi yang merupakan prostitusi legal

dan dilindungi pemerintah daerah?

2. Bagaimana gambaran kehidupan lokalisasi dan relasi-relasi yang terbentuk

didalamnya? Apakah respon masyarkat sekitar terhadap keberadaan

Lokalisasi di desa mereka?

3. Apa latar belakang yang mendasari pencabutan izin lokalisasi Mojodadi?

B. Ruang Lingkup

Penentuan ruang lingkup dalam kajian sejarah selain didasarkan pada

pertimbangan praktis, antara lain ketersediaan sumber yang memungkinkan suatu

topic untuk dikaji, juga didasarkan pada pertimbangan metodologis. Berkaitan

dengan hal itu, pembahasan dalam skripsi ini dibatasi dengan tiga ruang lingkup,

yaitu ruang lingkup spasial, temporal dan keilmuan.

Pertama, batasan spasial skripsi berada di Kabupaten Kudus, tepatnya di

desa Gribig Kecamatan Gebog. Lokalisasi Mojodadi merupakan satu-satunya

lokalisasi di Kudus yang legal. Keberadaan lokalisasi Mojodadi Kudus mengikuti

kemunculan lokalisasi di daerah-daerah yang memang resmi dan diatur

berdasarkan hukum. Pemilihan lokalisasi di Kudus sebagai tempat penelitian

karena Kudus yang selama ini dikenal kota santri rupanya mengakomodasi bisnis

pelacuran secara legal. Kudus juga bukan kota besar, seperti Jakarta, Surabaya,

dan Semarang yang memiliki riwayat pelacuran sejak masa kolonial.

Kedua, lingkup temporal penelitian yakni tahun 1975-1998.Tahun 1975

menjadi awal mula pembahasan lokalisasi Mojodadi Kudus dimana pemerintah

melalui ketetapan hukum mendirikan lokalisasi pada sebidang tanah di desa


8

Gribig. Sementara akhir pembahasan adalah 1998 ketika kondisi Nasional

memanas menjelang kejatuhan Soeharto, lokalisasi Mojodadi Kudus mengalami

kondisi yang sulit. Keberadaanya yang selama ini didukung oleh pemerintahan

melalui payung hukum yang sah mulai digugat. Lewat serangkaian aksi dan

tuntutan oleh beberapa elemen masyarakat, berhasil mendesak pemerintah lokal

untuk meninjau ulang keberadaan lokalisasi. Sehingga legalitasnya dicabut dan

mengakhiri keberadaan lokalisasi Mojodadi Kudus.

Ketiga, adalah batasan keilmuan. Topik penelitian yang saya bahas terkait

keberadaan pelacuran legal di Kudus melalui lokalisasi Mojodadi. Penelitian ini

menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial untuk menganalisis permasalahan-

permasalahan dalam penelitian ini. Khususnya terkait relasi-relasi sosial yang

terbentuk dalam lokalisasi Mojodadi. Sehingga penelitian ini bisa saja

dikategorikan dalam kajian sejarah sosial.

C. Tinjauan Pustaka.

Buku pertama yang menjadi tinjauan pustaka adalah karya Terence Hull

Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya.14 Di awal tulisannya

Terence Hull menguraikan sejarah singkat munculnya pelacuran di Indonesia,

mulai dari masa kerajaan hingga masa Indonesia modern. Meskipun tidak terlalu

dalam mengulas asal mula pelacuran di Indonesia, namun Hull menjelaskan

transformasi pelcuran dari masa ke masa. Misalnya bentuk pelacuran masa

14
Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones Pelacuran di
Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta: Sinar Harapan.
9

kerajaan akan berbeda dengan masa kolonial, dan lain lagi antara masa Jepang dan

pasca kemerdekaan. Baru kemudian penjelasan secara mendalam mengenai

pelacuran dilakukan Hull pada masa Indonesia modern. Hull mengulas bagaimana

pelacuran dibentuk oleh negara secara legal melalu peraturan ataupun undang-

undang. Bentuk pelacuran yang legal ini sesuai dengan tema sehingga akan

membantu mengkonstruksikan penelitian ini. Selain itu dalam buku ini Hull juga

memberikan contoh pelacuran legal di Indonesia, seperti pelacuran Dolly

Surabaya, Kampung Silir Surakarta, dan Kramat Tunggak Jakarta. Secara garis

besar buku Hull sangat membantu penulisan penelitian ini. Kesesuain tema,

ulasan yang komprehensif mengenai pelacuran legal di Indonesia, dan tentunya

contoh pelacuran legal yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat seluk beluk

dunia pelacuran. Selain itu juga informasi terkait undang-undang maupun

peraturan-peraturan terkait penyelenggaraan prostitusi tersaji secara lengkap.

Buku kedua adalah karya Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar yang

berjudul Dolly: Membedakan Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks

Pelacuran Dolly.15 Awalnya buku ini adalah hasil dari skripsi Tjahyo Kumolo,

mahasiswa Sosiologi Unair yang melakukan riset tentang lokalisasi Dollly.

Menariknya selain metode observasi, penelitian ini juga memakai metode

partisipatif, dimana peneliti terlibat aktif dalam dunia pelacuran. Sehingga hasil

penelitian ini cukup detail menggambarkan dunia pelacuran dari jarak yang cukup

15
Purnomo, Tjahyo, dan Ashadi Siregar, Dolly: Membedakan Dunia
Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, 1983, (Jakarta: Grafiti
Press).
10

dekat. Hasilnya tulisan ini mampu menggambarkan kehidupan sehari-hari dunia

pelacuran.

Patologi Sosial16 karya Kartini Kartono menjadi tinjauan pustaka yang

terakhir. Buku ini merupakan katalog lengkap yang mengkaji berbagai macam

gejala sosial yang digolongkan sebagai penyakit masyarakat. Lebih jauh patologi

sosial didefinisikan sebagai tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai

norma ataupun adat istiadat sehingga tidak terintegrasi dengan tingkah laku

masyarakat pada umumnya. Dari sekian ragam patologi sosial pelacuran

mendapat pembahasan khusus dalam satu bab tersendiri. Pembahasan terkait

pelacuran mulai dari definisi, jenis-jenis pelacuran, hingga cara menanggulangi.

Menurut Kartono ada dua tindakan mendasar dalam menangani masalah

pelacuran. Pertama, tindakan preventif yang dimaksudkan sebagai pencegahan.

Misalnya, penyempurnaan perundangan-undangan, penguatan pendidikan agama,

dan pemebrian pendidikan seks. Kedua, tindakan yang bersifat represif dan

kuratif. Antara lain, aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi.17Buku ini menjadi

penting karena memberikan landasan konseptual yang kuat bagi penelitian ini.

D. Kerangka Konseptual dan Pendekatan

Setiap penelitian memerlukan pendekatan sebagai alat yang dipakai

peneliti untuk membangun konsepnya, tidak terkecuali dalam kajian sejarah.

Dalam penelitian sejarah diperlukan peralatan berupa pendekatan yang relevan

16
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, 2011, Jakarta: Rajawali Pers.
17
Kartono Kartini, hlm. 266-268
11

untuk membantu mempermudah mendekati realitas masa lampau.18 Penelitian

sejarah tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian, tetapi bermaksud

menulis kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebab kondisi lingkungan dalam

konteks sosial-budaya. Dalam membuat analisis sejarah diperlukan suatu

kerangka pemikiran ataukerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan

teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu.19 Untuk mempertajam analisa

dalam penelitian ini digunakan pendekatan ilmu social yaitu sosiologi yang

tentunya memiliki relevansi yang kuat dengan obyek penelitian, kaitannya dalam

kajian sejarah. Pendekatan sosiologi digunakan untuk mengetahui kondisi sosial

masyarakat dan memahami kelompok sosial khususnya berbagai macam gejala

kehidupan masyarakat.20 Dalam konteks skripsi ini pendekatan sosiologi

digunakan untuk melihat pengaruh dari keberadaan lokalisasi Mojodadi terhadap

hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat.

Selain pendekatan sosiologi yang secara umum menjelaskan kondisi dan

respon masyarakat terhadap keberadaan lokalisasi Mojodadi, penelitian ini juga

meminjam konsep patologi dalam melihat pelacuran. Dalam ilmu patologi sosial

prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan

perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Definisi ini secara ekplisit

18
SartonoKartodirjo,PemikirandanPerkembanganHistoriografi:
SuatuAlternatif,(Yogyakarta: Gramedia, 1982), hlm.5.
19
SartonoKartodirdjo, PenelitianIlmuSosialdalamMetodeSejarah, (Jakarta:
GramediaPustakaUmum, 1993), hlm.2.
20
SoerjonoSoekanto, SosiologiSuatuPengantar, (Djakarta: PT
RadjaGrafindo, 1990), hlm. 395.
12

menyatakan bahwa peristiwa menjual diri ini dikategorikan sebagai mata

pencaharian sehari-hari dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual dengan pihak

lain.21 Sementara Kartono Kartini sendiri mendifinisikan berbeda antara pelacuran

dan prostitusi. Menurutnya pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan

jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak

orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

Sementara prostitusi didefinisikan sebagai bentuk penyimpangan seksual dengan

pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi

dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang

yang disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi

sifatnya.22

Organisasi dalam industri lokalisasi tidak hanya terbangun dari pelacur

saja, namun setidaknya juga terdiri dari germo dan mucikari. Germo didefinisikan

sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas yang

memungkinkan terjadinya perdagangan seks, biasanya mereka disebut mami,

pemilik lokalisasi. Sementara mucikari adalah orang yang memotong penghasilan

para pelacur dengan imbalan perlindungn ataupun kontak dengan para calon

pelanggan.23Konsep-konsep dalam kehidupan pelacuran yang demikian juga perlu

diperhatikan sehingga pemahaman relasi pelacuran bukan sebatas relasi pelacur

namun juga relasi pelacur-germo, pelacur-mucikari dan pelacur dengan penghuni

21
Kartono,hlm. 213-214.
22
Kartono, hlm. 216.
23
Tjahyo, hlm. 68.
13

luar. Akan lebih baik jika memiliki pemahaman kehidupan pelacuran secara

terperinci sehingga penelitian ini akan jauh lebih eksploratif sehingga tidak

terjebak pada sejarah perkembangan.

E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber

Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang merupakan

proses pengujian dan analisis peristiwa masa lampau. Pengertian metode sejarah

itu sendiri sebenarnya bermacam-macam. Menurut Gottschalk, metode sejarah

adalah proses menguji dan menganalisis rekaman masa lampau manusia dan

merekonstruksinya secara imajinatif melalui data setelah melalui kritik sumber.24

Metode penulisan sejarah merupakan prosedur analitis bagi sejarawan guna

menganalisis kesaksian yang ada, yaitu factor sejarah sebagai bukti yang bisa

dipercaya mengenai masa lampau manusia. Metode sejarah pada dasarnya

mencakup empat tahapan pokok yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan

historiografi.25

Tahap pertama adalah heuristik, merupakan tahap pengumpulan sumber-

sumber tertulis dan yang tidak tertulis, apakah itu sumber primer maupun sumber

sekunder. Sumber yang dicari adalah sumber-sumber yang memiliki relevansi

dengan permasalahan dan objek penilitian. Sumber primer yang menjadi sumber

utama menyangkut validitas, otentisitas, dan kredibilitas informasi yang

24
Louis Gottschalk, MengertiSejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 32.
25
Kuntowijoyo, MetodologiSejarah (Yogyakarta: Tiara WacanaYogya,
1994), hlm. 18-19.
14

terkumpul. Pengumpulan sumber primer dilakukan melalui pelacakan arsip, baik

nasional26 maupun lokal. Arsip nasional misalnya undang-undang ataupun

peraturan yang menjadi payung hukum penyelenggaraan lokalisasi pelacuran

secara legal. Sementara yang berhubungan dengan arsip lokal adalah ketetapan

ataupun peraturan daerah yang menjadi dasar pendirian lokalisasi Mojodadi,

dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus. Penelusuran arsip dilakukan

untuk mengetahuiawal mula munculnya lokalisasi Mojodadi hingga penutupan

lokalisasi melalui ketetapan hukum. Selain sumber primer tertulis, pencarian

sumber juga dieksplorasi lebih jauh dengan penggunaan sumber lisan. Untuk itu

dilakukan serangkaian wawancara, dalam hal ini metode sejarah lisan dengan

menggali informasi dari narasumber yang relevan dengan objek penelitian ini.Hal

ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan tajam mengenai

keberadaan lokalisasi Mojodadi. Terutama orang-orang yang berhubungan

langsung lokalisasi Mojodadi. Narasumber adalah pemangku kebijakan yang

waktu itu berkepentingan terhadap keberadaan Lokalisasi Mojodadi. Pejabat yang

memberi ijin kemungkinan sulit ditemukan, namun Bupati yang mencabut ijinnya

masih hidup. Kekurangan terhadap informan bisa dilakukan dengan penelusuran

arsip sekunder, misalnya informasi dari surat kabar yang terkait dengan lokalisasi

Mojodadi. Sementara itu warga sekitar lokalisasi dalam hal ini desa Gribig, juga

menjadi informan yang memberikan perspektif terkait hubungan pelacuran

dengan dunia luar. Selain itu yang tidak kalah penting adalah wawancara yang
15

dilakukan terhadap orang-orang yang terlibat langsung dalam kehidupan

lokalsiasi, mulai dari pelacur, germo, ataupun orang-orang yang pernah berada

dalam lingkaran pelacuran di lokalisasi Mojodadi.

Tahap kedua adalah kritik sumber yang merupakan tahap pengujian

terhadap sumber yang telah diperoleh.Kritik sumber dapat dilakukan dengan

duacara, yaitu kritik ekstern dan kritik interen.27 Kritik ekstern dilakukan untuk

mengetahui otentisitas sumber tersebut dan lebih pada hal-hal yang bersifat

materiil seperti jenis kertas, stempel, bentu khuruf, tinta yang digunakan, temporal

penulisan, dan lain sebagainya, serta kelengkapan sumber. Dalam hal ini akan

memeriksa otentisitas dokumen-dokumen maupun arsip yang diperoleh terkait

pemberian maupun pencabutan ijin lokalisasi Mojodadi Kudus. Karena bersifat

legal maka keberadaan dokumen maupun arsip tertulis menjadi penting. Kritik

intern dilakukan untuk mengetahui kredibilitas dan keakuratan isi sumber yang

diperoleh.28Kritik intern dilakukan terhadap hasil wawancara dan datatertulis.

Kritik terhadap hasil wawancara dilakukan dengan cara mencocokkan pernyataan-

pernyataan yang disampaikan oleh para informan dengan data lain, baik yang

berbentuk tulisan maupun lisan.Sementara itu kritik intern terhadap data tertulis

dilakukan dengancara koroborasi (membanding-bandingkan) dengan sumber-

sumber lain yang lebih independen dan membuat pertanyaan kritis seperti apakah

pembuat sumber sejarah adalah orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu dan

27
Gottschalk, hlm. 80.
28
Basri M. S., MetodePenilitianSejarah: Pendekatan, Teori, danPraktik,
(Jakarta: RestuAgung, 2006), hlm. 10.
16

apakah ia layak membuat sumbe rtersebut. Dengan cara demikian kesalahan

informasi dalam sebuah sumber sejarah dapat diketahui.29

Tahap ketiga adalah interpretasi yang bertujuan membuat hubungan dan

merangkaikan fakta sejarah yang sejenis dan kronologis untuk memperoleh alur

cerita yang sistematis melalui penafsiran fakta yang telah diuji kebenarannya, agar

dapat diceritakan kembali. Pada saat interpretasi ada tiga hal penting dalam

memahami suatu fakta, meliputi tekstual, kontekstual, dan memahami kondisi

mental pembuat sumber pada masa itu apakah dia berada dalam tekanan atau

tidak, karena bila sumber yang dibuat ternyata untuk kepentingan suatu pihak

maka isi kandungan sebuah dokumen patut dipertanyakan.30 Fakta yang telah

diperoleh melalui telaah terhadap sumber kemudian disusun, atau diberi

penekanan dan ditempatkan pada urutan-urutan logis (sintesis). Setelah itu

dilakukan interpretasi, yaitu pemahaman terhadap fakta sehingga bisa

menunjukan secara kronologis mengenai peristiwa masa lampau yang saling

terkait. Pada tahap ini imajinasi sangat diperlukan untuk menggabungkan fakta

yang telah disintesiskan dan kemudian diinterpretasikan dalam bentuk kata-kata

atau kalimat agar mudah untuk dipahami.

Tahap keempat historiografi merupakan langkah terakhir dalam metode

penulisan sejarah. Pada umumnya tujuan dari penelitian sejarah adalah mencari

kebenaran ilmiah dengan merekonstruksi peristiwa masa lampau secara ilmiah

dengan metodis dan sistematis setelah melalui tahapan kritik sumber baik itu

29
Gottschalk, hlm. 95.
30
Gotschalk, hlm. 77.
17

kritik intern ataupun ekstern, kredibel dan autentik sehingga hasil dari penulisan

itu bukan hanya kebenaran dari masa lampau tetapi juga cerita sejarah yang dapat

dimengerti dengan baik oleh pembacanya.31Historiografi bertujuan untuk

memaparkan fakta dalam bentuk tulisan yang sudah disintesiskan dan dianalisis

dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, sehingga dapat dipahami oleh

pembaca. Sebagai tahapan rekonstruksi, historiografi memegang fungsi penting

dalam proses penyampaian informasi berdasarkan fakta. Tahap ini juga dapat

dikatakan sebagai penyajian fakta secara utuh. Oleh karena itu diperlukan suatu

kemahiran tertentu, sehingga dapat tersusun suatu bentuk karya sejarah.

F. SistematikaPenulisan.

Penyajian hasil penelitian tentunya disusun dalam sebuah sistematika.

Halini dimaksudkan selain untuk memberikan panduan kepada peneliti tentunya

juga memudahkan pembaca. Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam lima

bab dan masing-masing bab dibagi dalam beberapa sub bab.

Bab I Pendahuluan. Pendahuluan memberikan gambaran awal secara

sistematis dari penelitian yang dilakukan dan terdiri dari latarbelakang dan

permasalahan penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka konseptual

dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan sumber dan sistematika

penulisan.

31
Gotschalk,hlm. 13.
18

Bab II menjelaskan gambaran umum daerah penelitian yang meliputi

kondisi demografis, kondisi geografis, kondisi sosial budaya, maupun kondisi

sosial ekonomi KabupatenKudus tahun 1975-1998.

Bab III memuat pembahasan mengenai awal mula kehadiran lokalisasi

Mojodadi di Kudus termasuk bagaimana lokalisasi ini tumbuh dan berkembang

sebagai tempat pelacuran yang legal di Kudus. Sementara aktivitas dalam

lokalisasiakan menjadi sub bahasan yang menarik dalam bab ini.

Pada Bab IV merupakan fase-fase menuju berakhirnya keberadaan

lokalisasi. Mojodadi yang ditutup secara resmi pemerintah. Sebelum sampai pada

proses penutupan resmi lokalisasi Mojodadi akan dijelaskan sebab penutupan

lokalisasi. Aspek internal meliputi respon masyarakat sekitar yang mulai

mempermasalahkan keberadaan lokalisasi Mojodadi. Selain itu juga sikap

pemangku kebijakan dalam hal ini DPRD maupun Bupati Kudus menanggapi

usaha kelompok masyarakat yang mulai terusik dengan keberadaan lokalisasi

Mojodadi yang menjadi latar belakang munculnya aksi menuntut penutupan

lokalisasi Mojodadi.

Bab terakhir adalah bab V merupakan simpulan dari hasil penelitian. Bab

simpulan ini berisi jawaban dari permasalahan penelitian yang hasilnya telah

dibahas pada bab bab sebelumnya.


19

DAFTAR PUSTAKA

Baay, Reggie. 2010.Nyai dan Pergundukan di Hindia Belanda. Jakarta:


Komunitas Bambu.

Boneff, Marcel. 1983. Islam di Jawa dilihat dari Kudus, dalam Citra Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Basri M. S. 2006. MetodePenilitianSejarah: Pendekatan, Teori, danPraktik.


Jakarta: Restu Agung.

Gottschalk,Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto.


Jakarta: Universitas Indonesia.
20

Hull,Terence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1997.Pelacuran di


Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Sinar Harapan.

Jaelani, Gani A. 2013. Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942. Bandung: Syabas


Book.
Kartono Kartini. 2011.Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Kuntowijoyo. 1994.Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

SartonoKartodirdjo. 1993.PenelitianIlmuSosialdalamMetodeSejarah.Jakarta:
GramediaPustakaUmum.

SoerjonoSoekanto. 1990.SosiologiSuatuPengantar. Djakarta: PT RadjaGrafindo.

Solichin Salam. 1983.Kudus dan Sejarah Rokok Kretek. Kudus: PPRK.

TjahyoPurnomo, dan Ashadi Siregar. 1983.Dolly: Membedakan Dunia Pelacuran


Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly. Jakarta: Grafiti Press.

Internet

http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/23/lokalisasi-legendaris-gang-
dolly-resmi-ditutup-19-juli-2014

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/muncul-isu-penutupan-warga-sunan-
kuning-waswas/

Anda mungkin juga menyukai