Anda di halaman 1dari 7

Faris Afrizal / MAK 41 / 452290

Penutupan Gang Dolly

Antropologi Lingkungan sosial budaya


Relasi hubungan manusia dengan lingkungan sangat kuat. Dalam sudut pandang
antropologi, lingkungan mempengaruhi manusia, tetapi manusia juga akan memberikan
pengaruh besar terhadap lingkungan. Dalam konteks antropologi, lingkungan yang berkaitan
adalah lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya merupakan bagian dari lingkungan
hidup. Menurut beberapa pakar lingkungan hidup, lingkungan sosial budaya adalah lingkungan
atau tempat manusia berkumpul menjalankan hidup bersosialisasi dan dalam lingkup berbudaya
sesuai daerah masing-masing yang menjadi ciri khasnya. Lingkungan sosial budaya
menggabungkan antara hidup sosial antar manusia dan budaya masyarakat secara turun-temurun
baik itu budaya timur maupun budaya barat sejak manusia lahir di muka bumi ini. Budaya yang
dilahirkan atau diciptakan menyatukan pola pikir manusia. Pencampuran kebudayaan yang
saling mengisi dapat mempererat hubungan lingkungan sosial budaya.
Menurut tokoh antropologi lingkungan Julian Steward, terdapat kaitan era tantara
lingkungan dengan kebudayaan manusia dan Core culture (Inti Budaya) yang terdapat pada
masing-masing kebudayaan. Menurut siregar (2002) kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan
dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih
tinggi dan lebih diinginkan. Jadi kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah
ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Kebudayaan akan menyertai manusia selama masih hidup dalam keadaan normal. Selama
menjalani hidup itu, kebudayaan menjadi medium utama yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi setiap orang. Banyak Lembaga atau institusi kebudayaan dibuat
oleh masyarakat untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan seperti lembaga perkawinan, kesenian,
keagamaan, ekonomi dan politik. Masing-masing dari lembaga tersebut memiliki fungsi sendiri-
sendiri. Lembaga kebudayaan yang berakar dalam masyarakat mempunyai ketetapan sehingga
sulit mengalami perubahan.
Perubahan kebudayaan ini merupakan perubahan pandangan dan sikap yang mendasar
komunitas suatu masyarakat dalam mempertahankan hidup. Perubahan dalam kebudayaan ini
yakni terjadinya perubahan pandangan yang dianggap relevan dalam menghadapi kehidupan.
Sementara perubahan sosial yakni perubahan yang terjadi pada keadaan atau perilaku sosial.
Perubahan budaya lebih sulit dari pada perubahan sosial. Perubahan budaya secara tidak
langsung akan diikuti perubahan sosial, tetapi tidak untuk sebaliknya.
Budaya sendiri memiliki arti “cara hidup” yang dibentuk oleh sekelompok manusia yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya termasuk kesadaran dan
ketidaksadaran akan nilai, ide, sikap, dan symbol yang membentuk perilaku manusia dan
diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Bagaimana perubahan itu terlaksana ?


Perubahan kebudayaan akan sangat lambat terjadinya, tetapi ada kalanya terasa cepat
karena berlangsung dalam keadaan terpaksa. Proses perubahan kebudayaan dapat terjadi dalam
berbagai mekanisme, antara lain melalui penemuan baru yang berlangsung difusi. Difusi ini
berlangsung melalui proses peniruan dengan cara memasukkan suatu kebudayaan dari
kebudayaan lain. Perlu diperhatikan bahwa peniruan tidak selalu menyerupai aslinya. Suatu
benda atau perilaku yang ditiru jarang sekali sama dengan aslinya. Perbedaan itu dapat terjadi
karena faktor seleksi demi penyesuaian dengan keadaan setempat atau memang karena kebetulan
tidak dapat terjadi secara tepat.
Kasus Penutupan Gang Dolly
Pelacuran sudah ada sejak zaman raja-raja jawa. Seluruh kehidupan yang ada di atas
tanah jawa adalah milik raja, termasuk hukum dan keadilan. Ketika raja berkehendak, tidak ada
yang bisa menghalangi, termasuk saat dia ingin mempersunting seorang istri diluar permaisuri.
Bahkan banyak bangsawan yang ingin putrinya yang cantik dijadikan selir seorang raja karena
dianggap sebuah penghormatan. Di Surabaya, Jawa Timur terdapat praktik prostitusi atau
lokalisasi yang bernama Gang Dolly yang sudah berlangsung lama
Gang Dolly ini awalnya adalah lokasi kompleks pemakaman masyarakat tionghoa. Sekitar tahun
1966, Kawasan tersebut kemudian dibongkar dan dijadikan pemukiman penduduk. Pada tahun
1967, seorang mantan wanita tuna Susila bernama Dolly Khavit menikah dengan pelaut belanda
dan mendirikan rumah di jalan yang bernama Kupang Gunung Timur. Kemudian ia mendirikan
wisma-wisma yang disewakan kepada orang lain. Wisma-wisma ini yang merupakan cikal bakal
menjadi lokalisasi. Lokalisasi ini kemudian dikenal denagn lokalisasi Dolly atau orang-orang
menyebutnya Gang Dolly. Lokalisasi ini memiliki lebih dari 9000 wanita tuna Susila yang
bergabung. Tidak hanya penduduk local, namun wisatawan asing pun tak jarang datang hanya
untuk memuaskan birahinya.
Lokalisasi dolly ini seorang PSK dapat melayani 10 hingga 13 pelanggan dalam
semalam. Bukan hanya itu, Dolly kemudian juga menjadi tumpuang hidup bagi ribuan pedagang
kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin symbiosis
mutualisme. Dolly kemudian mendapat predikat sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara
mengalahkan Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. PSK yang ada di
lokalisasi ini berasal dari sejumlah daerah seperti Semarang, Purwodadi, Trenggalek, Sidoarjo.
Pada tahun 2010, karena dolly dianggap suskes dan masyarakat Surabaya sempat
menganggap Dolly sebagai lokalisasi yang legal. Karena tidak tersentuh oleh apparat seperti
satuan polisi pamong praja (satpol PP). Maka para mucikari atau calo PSK di Dolly saat bekerja
diwajibkan menggunakan baju batik. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan antara warga
sekitar, pemakai jasa PSK atau lelaki hidung belang serta pengguna jalan. Akhirnya Dolly
Khavit meninggal dunia pada tahun 1992. Pihak keluarga memakamkan di kompleks pemakanan
Nasrani di Sukun, Malang, Jawa Timur. Nama dari pendiri yakni Dolly Khavit yang akhirnya
menjadi ikon lokalisasi ini. Namun lokalisasi ini menuai kontroversi, dan pemerintah kota
Surabaya menutup lokalisasi ini.
Pemerintah kota Surabaya didukung pemerintah provinsi dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) gencar berkampanye menghapus julukan kota Surabaya yang terkenal “Kota Sejuta PSK”.
Pemerintah menutup lokalisasi dolly ini dan mengharapkan para PSK dapat mengalihkan
kegiatan ini ke kegiatan yang lebih positif. Pemerintah kota Surabaya telah meyiapkan Rp16
milliar untuk membeli seluruh wisma yang ada yakni terdapat sekitar 311 wisma dan berencana
membangung Gedung multifungsi yang lantai dasar akan digunakan untuk sentra PKL.
Penutupan lokalisasi ini menuai kontroversi, karena lokalisasi ini sudah berdiri sejak
puluhan tahun, susah untuk menutupnya. Penolakan dilakukan oleh PSK maupun mucikari.
Sehingga pemerintah sulit untuk menutup karena banyak ancaman dan tantangan dari
masyarakat sekitar kompleks, para pedagang dan pemilik wisma. Bagi mereka Dolly sudah
menjadi kekuatan untuk sandaran hidup mereka tidak hanya PSK tetapi juga masyarakat sekitar
mendapat imbas dari kegiatan bisnis yang dilakukan ini.
Pada tahun 2014 Dolly resmi ditutup, PSK yang ada tinggal sekitar 1200 orang,
pemerintah kota Surabaya tetap mengontrol aktivitas yang masih dilakukan oleh warga atau PSK
disana. Dolly akhirnya ditutup karena persaingan prostitusi di Surabaya yang juga semakin ketat,
Dolly kalah dengan panti pijat yang terselubung terdapat fasilitas yang sama dan lebih
menjanjikan.
Menurut walikota Surabaya Ir. Tri Rismaharini, sebagian besar PSK yang ada dikawasan
ini bukanlah warga asli Surabaya. Sejak lama, para pekerja seks komersial ini diberi peringatan
agar PSK tidak bertambah. Langkah pemerintah kota Surabaya ini kemudian terus berupaya
memulangkan para pekerja seks komersial ke daerah asal mereka. Walikota Surabaya ini
menjadi perempuan pertama yang beranai menutup lokalisasi dan mendapat julukan singa betina
yang menentang keras praktek prostitusi ini.
Analisis Kasus Gang Dolly
Lokalisasi gang Dolly ini menjadi pusat perdagangan wanita yang tidak memanusiakan
manusia. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam aktivitas prostitusi ini seperti,
pelanggaran HAM, narkoba dan miras. Banyak penyakit – penyakit yang mungkin akan terjadi
karena aktivitas ini seperti HIV, AIDS dan penyakit kelamin lainnya. Kerusakan rumah tangga
dan moral bangsa akan menjadi permasalahan yang penting juga, sehingga benar langkah yang
diambil pemerintah kota Surabaya dengan menutup lokalisasi ini tetapi dengan syarat adanya
penyuluhan untuk para pekerja seks komersial dan mempertimbangkan dampatk lain yang akan
terjadi seperti dampak ekonomi yang terjadi setelah penutupan.
Industri bisnis jasa seks atau lokalisasi dalam pandangan masyarakat mengasumsikan
bahwa perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial seakan tidak memiliki ruang bagi
mereka untuk memilih pekerjaan tersebut. Tetapi lokalisasi juga merupakan bukti bahwa masih
banyak nilai-nilai moralitas masyarakat Indonesia yang rendah. Menggantungkan kehidupan
ekonomi pada gang dolly membuat prinsip-prinsip nilai moral dikesampingkan sehingga pada
saat lokalisasi tersebut ditutup para pekerja dan masyarakat lain yang menggantungkan
kehidupannya disana merasa tidak siap dan melakukan perlawanan.
Pemerintah kota Surabaya telah menyiapkan uang ganti rugi sebesar Rp 5 juta untuk
setiap PSK dan mucikari, tetapi masih banyak yang menolak. Penolakan ini banyak tidak
disetujui baik oleh mucikari maupun PSK, mereka merasa bahwa perputaran uang di Dolly ini
tidak hanya dari PSK dan mucikari saja, tetapi banyak juga warga atau PKL yang terdampak dan
mereka tidak mendapat uang ganti rugi sehingga penutupan ini diwarnai penolakan dan unjuk
rasa kepada pemerintah kota Surabaya.
Pada tahun 2014 ketika Dolly resmi ditutup, banyak warga yang kesusahan karena
perekonomian mereka yang menurun drastis. Efek penutupan ini juga dirasakan oleh pedagang
kaki lima yang biasa berjualan disekitar gang Dolly, karena adanya penutupan, pemasukan
mereka menurun karena tidak ada wisatawan gang Dolly lagi. Para warga harus memulai bisnis
lagi dari nol untuk melanjutkan hidup karena rata-rata mereka juga masih mempunyai anak yang
harus ditanggung.
Ketika awal penutupan mungkin masih tidak sepenuhnya tempat tersebut bersih dari
aktivitas prostitusi tersebut. Karena adanya pergeseran perubahan budaya dan perubahan sosial
yang begitu cepat. Perubahan budaya dan perubahan sosial ini mungkin akan terasa begitu cepat
karena sifatnya yang memaksa. Para pekerja seks komersial yang sudah memiliki kebiasaan
menjadi PSK dari lama dan menjadi budaya, dirubah pola hidup atau cara hidupnya kea rah yang
lebih baik akan muncul culture shock karena harus memulai kebiasaan baru lagi.
Keputusan pemerintah kota Surabaya yang sudah tidak bisa diganggu gugat untuk
menutup gang Dolly dan mereka harus menghidupi keluarganya masing-masing, akhirnya
masyarakat tergerak untuk memulai bisnis yang diberikan oleh Gerakan Menulis Harapan.
Penyuluhan diberikan untuk memberikan keterampilan kepada masyarakat eks Dolly agar
mereka bisa menciptakan bisnis sendiri dan memiliki penghasilan yang lebih berkah. Jika
dibandingkan dengan penghasilan sebelumnya mungkin bisa dikatakan lebih kecil, karena dilihat
bahwa perputaran uang di gang dolly bisa mencapai 1 milliar perhari. Tetapi gerakan positif
yang dilakukan sekarang lama-kelamaan akan menuai hasil yang menguntungkan.
Banyak bisnis-bisnis yang telah bermunculan di wilayah gang Dolly ini, seperti bisnis
tempe, bisnis kerupuk miler dan sebagainya. Masyarakat merasa terbuka hatinya atas bisnis yang
dijalani sekarang, meski penghasilan yang didapatkan tidak sebesar dulu, penghasilan yang
diperoleh menjadi halal dan berkah. Masyarakat di gang Dolly sudah bisa menerima penutupan
lokalisasi gang Dolly ini. Meski sekarang masih banyak praktek-praktek prostitusi yang
terselubung, tetapi citra wilayah gang Dolly ini sudah mulai membaik akibat banyaknya
kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh aktivis pejuang ekonomi dan masyarakat di
wilayah gang Dolly.
Daftar Pustaka

Alam, Bachtiar. "Globalisasi Dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan."


Antropologi Indonesia (2014).

Handayani, Triana Dianita. "Dolly Riwayatmu Kini." Volume 11, Nomor 2, Desember 2014 11,
no. 2 (2014): 57-65.

Noviana, Sari, Nurtika Fadhilah, and Anis Munika. "Pengaruh Penutupan Lokalisasi Dolly Dan
Jarak Terhadap Aktivitas Ekonomi Warga Sekitar." Jurnal Bisnis Teknologi 2, no. 1
(2015): 50-55.

Saputra, Akmal. "Potret Lokalisasi Gang Dolly Dalam Perspektif Patologi Sosial." JURNAL
COMMUNITY 1, no. 1 (2018).

Siregar, Leonard. "Antropologi Dan Konsep Kebudayaan." Jurnal Antropologi Papua 1, no. 1
(2002): 1-12.

Yusuf, Burhanuddin. "Moralitas Masyarakat Eks Lokalisasi Dolly (Studi Kasus Di Gang Dolly
Kota Surabaya)." University of Muhammadiyah Malang, 2017.

Anda mungkin juga menyukai