Kemajemukan masyarakat di Indonesia tidak lagi dapat dipungkiri. Kehidupan masyarakat yang selalu bersifat dinamis menyebabkan kondisi masyarakat selalu berubah, baik dari keeratan sosial, ketegangan, hingga perpecahan kerap mewarnai dinamika kehidupan masyarakat. Kondisi masyarakat yang terdiri dari berbagai macam latar belakang menjadikan setiap individu dalam suatu kelompok masyarakat memiliki watak, sikap, sifat, serta pandangan hidup yang berlainan. Walaupun di dalam masyarakat terdapat kesamaan, namun tetap saja berpeluang besar terjadinya suatu masalah sosial. Sebuah masalah terjadi ketika apa yang diharapkan dan dicita-citakan tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah masyarakat semakin tinggi pula sebuah wilayah terjadi masalah. Masalah sosial juga dapat terjadi sebagai dampak negatif dari adanya suatu perubahan sosial- budaya dalam masyarakat. Masalah sosial berhubungan erat dengan nilai- nilai sosial dan lembaga kemasyarakatan. Dikatakan sebagai masalah sosial karena masalaha tersebut bersangkut-paut dengan hubungan antarmanusia dan di dalam kerangka bagian-bagian kebudayaan yang normatif. Sehingga masalah sosial bersangkut-paut dengan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat. Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain : Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, prostitusi dll. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb. UKURAN SOSIOLOGI TERHADAP MASALAH SOSIAl Menurut Robert K. Merton dan Robert A. Nisbet, dalam menentukan bahwa suatu masalah merupakan problema sosial atau tidak, digunakan beberapa pokok persoalan sebagai ukuran, yaitu: 1. Kriteria Utama masalah sosial yaitu tidak adanya penyesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. 2. Adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi, dengan apa yang terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup. a. KEMISKINAN Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial. Kemiskinan muncul sebagai masalah sosial sejak berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia dan juga ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat. Pada waktu dulu setiap individu sadar akan kedudukan ekonomisnya, sehingga mereka mampu mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomi para warga masyarakat ditentukan secara tegas. Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, kemiskinan bukan masalah sosial, karena mereka menganggap bahwa semua telah ditakdirkan, sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Bagi para urban yang gagal mendapatkan pekerjaan, kemiskinan tidak lagi diukur dari kebutuhan sekunder saja, tetapi disebabkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan primernya. b. PENGANGGURAN Pengangguran merupakan masalah sosial yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Pesatnya arus globalisasi dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan adanya efisiensi dalam kegiatan ekonomi, misalnya penggunaan mesin-mesin produksi. Hal itu menyebabkan berkurangnya penggunaan tenaga manusia. Oleh sebab itu pengangguran makin tinggi. Di negara negara berkembang, pada umumnya juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sementara itu persaingankerja makin lama makin ketat, sehingga orang yang tidak memiliki keahlian (skill) akan kesulitan mencari kerja. c. KEJAHATAN Kejahatan disebabkan kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Orang yang menjadi jahat, disebabkan orang tersebut mengadakan kontak dengan pola-pola perilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri dari pola-pola perilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut. Pada masa modern seperti sekarang ini timbul kejahatan yang disebut white collar crime yaitu suatu kejahatan yang timbul akibat perkembangan ekonomi yang terlalu cepat dan menekankan pada aspek material–finansial belaka. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat di dalam menjalankan peranan fungsinya. Golongan tersebut menganggap kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya. Untuk mengatasi masalah kejahatan dapat dilakukan dengan dua cara berikut:
1. Preventif, yaitu dengan cara menjauhkan diri dari pola-
pola kejahatan dan mendekatkan diri dari pola-pola perilaku yang tidak menyukai kejahatan. 2. Represif, yaitu dengan cara rehabilitasi, seperti hal berikut. a) Menciptakan program yang bertujuan menghukum orang tersebut. b) Berusaha mengubah agar orang tersebut tidak jahat, misalnya dengan cara memberi pekerjaan atau latihan-latihan untuk menguasai bidang-bidang tertentu agar dapat membaur kembali dengan masyarakat umum. d. Prostitusi Prostitusi adalah gejala masyarakat yang ada dan timbul sejak zaman dahulu hingga sekarang. Banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh prostitusi, tidak hanya dalam bersifat materi tetapi non-material. Masyarakat Indonesia dalam menanggapi prostitusi bermacam-macam, ada yang bersikap menolak dengan cara mengutuk keras dan memberikan hukuman beratkepada pelakunya. Namun demikian ada juga masyarakat yang bersikap netral dengan berperilaku acuh dan masa bodoh dengan adanya prostitusi tersebut. Di Indonesia terdapat suatu kawasan yang terkenal dengan nama Gang Dolly, gang Dolly ini merupakan kawasan lokalisasi pelacuran yang terletak di daerah Jarak Pasar Kembang kota Surabaya Jawa Timur. Di kawasan lokalisasi ini, wanita penghibur “dipajang” di dalam ruamgam berdinding kacamirip etalase. Konon lokalisasi ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara, lebih besar dari Patpong di Bangkok, Thailand an Geylang di Singapura. Bahkan pernah terjadi kontroversi untuk memasukkan gang Dolly sebagai salah satu daerah tujuan wisata Surabaya bagi wisatawan manca negara. Gang Dolly ini sudah ada sejak jaman Belanda dan dikelola oleh seorang perempuan keturunan Belanda yang bernama Dolly Van Der Mark keturunan dari Dolly sampai sekarang masih ada di Surabaya, meskipun sudah tidak mengelola bisnis. Kawasan Dolly di kawasan tengah kota berbaur dengan pemukiman penduduk yang padat, ,dikawasan Putat Surabaya. Kompeks lokalisasi Dolly menjadi sumber rejeki bagi banyak pihak bukan hanya bagi pekerja seks, tetapi juga pemilik warung, penjaja rokok,tukang parker, tukang ojek, dan tukang becak. Di bawah pemerintahan Tri Risma Harini pada tanggal 19 Juni 2014 akhirnya lokalisasi ditutup. Ditutupnya gang Dolly ini menuai pro dan kontra terutama bagi PSK, Mucikari, serta orang-orang yang mencari nafkah di area sekitar gang Dolly. Tetapi setelah penutupan gang Dolly permasalahan prostitusi kemudian selesai begitu saja tetapi dengan ditutupnya gang Dolly pemerintah memiliki tugas baru, diantaranya banyak PSK yang masih menjalankan bisnisnya secara terselubung melalui suatu aplikasi yang diberi nama E-Dolly bahkan penghasilan mereka justru lebih banyak dari sebelumnya. Jika penghasilan mereka di Dolly setiap bulan 10-20 juta, maka setelah Dolly ditutup dan mereka tidak terikat kontrak penghasilan mereka mencapai 50 juta perbulan. Dari prespektif sosiologi penutupan gang Dolly tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah prostitusi di Indonesia. Hal ini dikarenakan pemerintah mengatasi permasalahan prostitusi selalu yang menjadi titik pemecahan masalah adalah PSK nya, di mana PSK ditangkap, di beri sanksi, serta diberi berbagai macam sosialisasi, padahal PSK ada karena ada konsumennya, jadi untuk menangani masalah prostitusi tidak hanya menitikberatkan di PSK tetapi pada para “tamu langganan” yang kerapkali datang pun juga menjadi titik pemecahan, bagi mereka tamu merupakan orang terhormat, yang harus dilayani, namun bila mereka bertamu dengan situasi dan kondisi seperti itu apa masih bisa dikatakan orang-orang terhormat? Selain itu pemerintah ketika menutup Dolly harus melihat kondisi Dolly. Dolly tidak hanya untuk kegiatan prostitusi saja, karena ada juga banyak orang-orang yang mencari nafkah dengan cara halal di Dolly seperti laundry, berjualan sembako, warung kopi, dan lain sebagainya. Contohnya para pedagang yang bekerjadi sekitar gang Dolly tersebut tidak diberi ganti rugi sehingga mereka kehilangan lapangan pekerjaan dan tidak adanya modal untuk berdagang. Dampak selanjutnya terjadinya peningkatan kriminalitas akibat pengangguran dan semakin bertambahnya kemiskinan di wilayah Surabaya. Untuk menghilangkan prostitusi memang sangat sulit bahkan tidak mungkin karena ini sudah ada sejak jaman purba, tetapi untuk memperkecil jumlah prostitusi sangat memungkinkan. Semua aspek yang ada di lingkungan prostitusi Dolly jika tidak ditangani dengan baik maka akan menjadi permasalahan yang lebih besar lagi, karena masyarakat itu dinamis bukan statis dan harus di selesaikan dengan solusi yang berkepanjangan dan dapat mensejahterahkan semua pihak yang bersangkutan.