Anda di halaman 1dari 18

Kurikulum 2013 Revisi

Kelas X
SOSIOLOGI
Ragam Gejala Sosial
dalam Masyarakat

Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut.


1. Memahami ragam gejala sosial dan masalah sosial.
2. Memahami masalah sosial aktual dalam masyarakat, seperti kemiskinan, korupsi,
dan penyimpangan sosial.
3. Memahami kenakalan remaja, pengabaian nilai luhur Pancasila, dan pengabaian hak
anak.
4. Memahami upaya pemecahan masalah sosial dengan menggunakan konsep
sosiologi.

A. Gejala Sosial dan Masalah Sosial


Gejala sosial adalah fenomena yang menandai munculnya permasalahan sosial di
masyarakat. Gejala sosial merupakan fenomena sosial yang dapat diamati dalam
kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sosial terdapat perilaku-perilaku atau
aktivitas masyarakat yang muncul karena dipengaruhi atau memengaruhi masyarakat
untuk menanggapi sesuatu. Aktivitas inilah yang disebut sebagai gejala sosial. Adanya
proses memengaruhi dan dipengaruhi menunjukkan bahwa gejala sosial mengandung
konsep sebab akibat.

Gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat secara umum dibedakan menjadi dua
bentuk.
Pertama, gejala sosial yang bersifat positif
Jenis gejala ini memengaruhi munculnya fenomena-fenomena sosial yang bersifat
positif.

Kedua, gejala sosial yang bersifat negatif


Jenis gejala sosial ini memengaruhi munculnya fenomena-fenomena sosial yang
bersifat negatif.

Sosiologi sebagai suatu ilmu, menelaah gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti
norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan,
proses sosial, perubahan sosial, dan kebudayaan, serta perwujudannya. Tidak semua
gejala tersebut berlangsung secara normal sebagaimana dikehendaki masyarakat
bersangkutan. Gejala-gejala yang tidak dikehendaki merupakan gejala abnormal
atau gejala patologis. Hal itu disebabkan karena unsur-unsur masyarakat tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan
penderitaan. Gejala abnormal tersebut dinamakan masalah-masalah sosial (Soerjono
Soekanto: 309).

Menurut Martin S. Weinberg, masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan oleh
sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan norma-
norma, sehingga mereka menyepakati dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah
situasi tertentu.

Gejala sosial berbeda dengan permasalahan sosial itu sendiri. Namun bukan berarti
keduanya tidak berkaitan. Keduanya justru berhubungan erat. Sebagai contoh kasus
tawuran pelajar yang kerap terjadi dapat dianggap sebagai permasalahan sosial. gejala
sosialnya terjadi karena faktor keluarga yang tidak harmonis, atau kontrol sekolah yang
lemah terutama dalam penerapan aturan sekolah.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial di masyarakat. Memahami


gejala sosial sangat penting untuk mencegah munculnya permasalahan sosial yang
lebih besar. Sesuatu bisa disebut gejala sosial ketika melibatkan beberapa individu dan
berdampak sosial pada individu lain atau kelompok. Misalnya beredarnya berita hoaks
di media sosial online pada Pemilu Presiden dan legislatif 2019 merupakan gejala sosial
yang dapat memicu potensi masalah yang besar yakni perpecahan dalam masyarakat
(disintegrasi) akibat pilihan politik yang berbeda.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 2


Menurut Soerjono Soekanto, para sosiolog telah banyak mengusahakan adanya
indeks atau petunjuk terjadinya masalah sosial.

Simple rates adalah angka laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat. Misalnya
angka-angka bunuh diri, perceraian, kejahatan anak, dan seterusnya.

Composite indices adalah gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek


yang mempunyai kaitan satu dengan lainnya.

Komposisi penduduk, dalam arti proporsi penduduk dalam lapisan masyarakat,


tidak adanya keseimbangan dalam hubungan sosial.

Social distance adalah jarak sosial di mana apabila individu merasa dirinya jauh dari
individu lainnya, terdapat tanda akan goyahnya hubungan-hubungan sosial yang
harmonis.

Partisipasi sosial, terdapat keikutsertaan warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan.

B. Masalah Sosial dalam Masyarakat


1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga negara lain, bahkan negara-negara maju sekalipun. Kemiskinan merupakan
masalah sosial yang senantiasa aktual dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Kriteria untuk menentukan kemiskinan menjadi perdebatan ketika disesuaikan
dengan konteksnya. Tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan kriteria tentang
penggolongan kemiskinan.

Dari begitu banyak kriteria yang berasal dari lembaga nasional maupun internasional
dan juga kriteria para ahli tentang kemiskinan, maka pada dasarnya kemiskinan
adalah suatu kondisi yang menunjukkan ketidakmampuan seseorang dalam
mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup diartikan tidak hanya dari sudut
pandang ekonomi, tetapi juga dari sudut pandang budaya.

Para sosiolog membedakan kemiskinan menjadi dua.

a. Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang terjadi ketika orang tidak bisa
mendapatkan kebutuhan untuk mendukung tingkat kesehatan fisik dan efisiensi
minimum dalam tingkat ketercukupan nutrisi.

b. Kemiskinan relatif
Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang ditentukan oleh standar hidup umum
dalam berbagai masyarakat dan apa yang secara kultural didefinisikan sebagai
miskin daripada tingkat kemiskinan secara absolut.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 3


Ketika kemiskinan didefinisikan secara relatif menurut standar kehidupan yang
dinikmati sebagian besar populasi, tingkat kemiskinan akan berbeda di antara
berbagai masyarakat dari waktu ke waktu.

Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu masalah sosial
karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang merasa miskin bukan
karena kurang makan, pakaian, atau perumahan, tetapi karena harta miliknya
dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat
di kota-kota besar di Indonesia seperti, Jakarta; seseorang dianggap miskin karena
tidak memiliki radio, televisi, atau mobil sehingga lama kelamaan benda-benda
sekunder dijadikan ukuran bagi keadaan sosial ekonomi seseorang, yaitu apakah
dia miskin atau kaya. Dengan demikian persoalannya mungkin menjadi lain, yakni
tidak adanya pembagian kekayaan yang merata.

Persoalan menjadi berbeda bagi mereka yang melakukan urbanisasi, tetapi gagal
mencari pekerjaan. Bagi mereka, pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tuna karya, tuna susila,
dan lain sebagainya.

Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya masalah tersebut karena adalah karena


salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik yaitu lembaga
ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, seperti
sosial, budaya, dan psikologis.

Ledakan penduduk pada kota-kota besar akibat dari urbanisasi dan laju
kelahiran yang tidak terkendali, menjadi penyebab terbentuknya permukiman
kumuh (slum area). Permukiman kumuh terbentuk ketika terjadi kesenjangan
antara pertambahan penduduk dengan ketidakmampuan pemerintah dalam
menyediakan permukiman baru yang layak. Oleh karena itu, kawasan yang
sesungguhnya tidak diperuntukan bagi permukiman pun akhirnya digunakan
sebagai area permukiman, seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta api, tanah-
tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, bahkan kolong-kolong jembatan
yang menjadi penyebab muncul kawasan permukiman kumuh di perkotaan.

Permukiman kumuh menjadi faktor yang penting terhadap munculnya berbagai


masalah sosial, seperti berbagai perilaku menyimpang dan kejahatan.

Masalah sosial seperti gizi buruk juga merupakan gejala sosial masyarakat
yang miskin, di mana masyarakat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan
gizi keluarga sehingga menciptakan perangkap kemiskinan. Mereka biasanya
menerapkan prinsip ‘asal kenyang’ dalam konsumsi pangannya. Hal tersebut
akan berdampak pada rendahnya produktivitas keluarga.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 4


2. Korupsi
Korupsi merupakan bentuk kejahatan kerah putih (white collar crimes)
yang menggejala di berbagai negara, termasuk Indonesia. Korupsi adalah
perilaku seseorang yang menempati suatu jabatan dalam suatu instansi, yang
menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan publik yang dipercayakan kepadanya
untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dekat, atau kepentingan kelompoknya.

Ada beberapa perspektif disiplin ilmu pengetahuan dalam mengkaji fenomena


korupsi.

a. Dalam perspektif ilmu hukum, korupsi dipandang sebagai kejahatan (crime),


koruptor adalah penjahat oleh karenanya harus ditindak secara hukum sesuai
dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam perspektif ilmu politik, korupsi dipandang sebagai tindakan penyalahgunaan


kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi dalam birokrasi. Korupsi cenderung
terjadi di ranah politik, khususnya korupsi besar (grand corruption).

c. Dalam perspektif sosiologi, korupsi dipandang sebagai sebuah masalah sosial,


masalah institusional, dan masalah struktural. Korupsi terjadi di semua sektor
dan dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, sehingga korupsi dilihat
sebagai penyakit sosial (patologi sosial).

d. Dalam perspektif kultural, korupsi dipandang sebagai persoalan budaya yang


berkaitan dengan mentalitas, kultur budaya Indonesia yang cenderung menjaga
keharmonisan dengan menghindari konflik menjadi penyebab maraknya korupsi
di masyarakat. Misalnya, ketika ada kolega atau tetangga yang melakukan aktivitas
mengarah pada tindakan memperkaya diri, cenderung dibiarkan karena khawatir
terjadi konflik di dalamnya. Hal tersebut kemudian menjadi umum dilakukan
karena ada pembiaran yang terjadi dalam masyarakat.

Jadi, terdapat perbedaan yang kontras perspektif antarberbagai sudut pandang ilmu
dalam mengkaji fenomena korupsi. Dalam perspektif hukum, korupsi dipandang
sebagai tindakan kejahatan yang harus diberantas. Kemudian dalam perspektif
politik, korupsi dipandang sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang yang dilakukan oleh birokrat. Selanjutnya dalam perspektif agama,
korupsi dipandang sebagai tindakan tercela yang diakibatkan oleh lemahnya iman.
Sementara itu, dalam sudut sosiologi, korupsi dipandang sebagai masalah sosial,
masalah institusional, masalah struktural, dan penyakit sosial yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat. Sementara dari sudut pandang kultur atau budaya, tindakan
korupsi dianggap sesuatu yang biasa karena terjadi pembiaran sebagai akibat dari
keadaan untuk menghindari konflik dalam hubungan sosial.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 5


Dampak korupsi di berbagai bidang.

a. Bidang demokrasi
Praktik korupsi dalam bentuk suap terdapat saat peristiwa pemilu yang dilakukan
tiap lima tahun sekali. Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi proses
masyarakat dalam kebebasan menyampaikan pendapat dan memilih pemimpin
yang amanah kemudian menjadi ajang praktik suap yang dilakukan oleh calon
legislatif atau pemimpin untuk mendapatkan suara dengan cara memberi uang
sogokan pada masyarakat agar terpilih. Jika hal tersebut terus terjadi maka kita
telah memilih calon pemimpin yang akan korup ketika menjabat. Sendi-sendi
demokrasi akan hancur dengan praktik-praktik korupsi.

b. Bidang ekonomi
Tingkat korupsi yang tinggi dapat menyebabkan rendahnya perekonomian
suatu negara. Negara yang tingkat korupsinya tinggi akan sulit meningkatkan
ekonomi karena uang negara yang seharusnya digunakan untuk pelaksanaan
pembangunan justru malah digunakan pribadi atau kelompok untuk memperkaya
diri. Dampak yang paling luas dari korupsi adalah tingginya kemiskinan.

Kebijakan dari negara atau pemerintah yang tidak pro rakyat dan justru pro
pada pengusaha kaya dengan melakukan praktek korupsi akan berdampak pada
tingkat kesejahteraan rakyat yang rendah. Anggaran negara yang seharusnya
dimanfaatkan untuk program kesejahteraan malah disalahgunakan oleh oknum
pejabat dan pengusaha untuk memperkaya diri.

c. Pengikisan budaya ‘jujur’


Bagi pelaku korupsi, ia akan dikuasai oleh rasa tidak pernah cukup. Ia akan terus
melakukan upaya memperkaya diri sendiri dengan cara ‘mencuri uang negara’
atau menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya. Para koruptor menjadi
pribadi yang tamak dan tidak lagi memiliki budaya jujur.

d. Krisis kepercayaan
Dampak korupsi yang tinggi, menjadikan masyarakat mengalami krisis
kepercayaan pada lembaga negara dan penegak hukum. Para oknum pejabat
dan penegak hukum yang telah menyelewengkan uang negara mendapatkan
hukuman yang ringan membuat masyarakat tidak lagi percaya pada penegakkan
hukum dan negara.

Di Indonesia dalam upaya untuk memberantas korupsi, dibentuk suatu lembaga


yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU No. 30
Tahun 2002 mengenai KPK yang bertujuan untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberantas korupsi.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 6


3. Penyimpangan Sosial
Gejala sosial yang tidak sejalan dengan nilai dan norma sosial yang dianut oleh
masyarakat digolongkan sebagai perilaku menyimpang. Ada banyak contoh-contoh
yang kerap kita lihat di masyarakat tentang adanya perilaku menyimpang, sebagai
contoh kenakalan remaja. Kenakalan remaja merupakan gejala sosial yang muncul
akibat adanya proses pendewasaan anak dalam pencarian identitas diri yang
terkadang gagal dilakukan oleh anak dikarenakan faktor lingkungan keluarga dan
sosial yang tidak ideal. Hal inilah yang mendorong terjadinya kenakalan remaja.

Secara singkat, Brinkerhoff dan White (1988: 128) merangkum tiga teori utama
dalam sosiologi dalam menjelaskan masalah perilaku menyimpang.

a. Teori fungsional
Dalam teori ini dikatakan alasan seseorang melakukan perilaku menyimpang
adalah adanya dislokasi antara tujuan dan sarana untuk mencapainya dalam
masyarakat. Dijelaskan dalam teori ini kelas pekerja dan kelas bawah yang tidak
mampu mencapai tujuan yang diharapkan dengan cara-cara yang dianjurkan
mengakibatkan terjadi perilaku menyimpang. Teori ini berasumsi bahwa perilaku
menyimpang merupakan karakteristik dari ketidakharmonisan struktur sosial.

b. Teori interaksi simbolik

Teori diferensiasi asosiasi, yang menjelaskan faktor penyebab perilaku


menyimpang adalah adanya nilai-nilai subbudaya berbeda dalam masyarakat;
beberapa subbudaya menjunjung tinggi nilai-nilai yang mendukung
penyimpangan, hal ini didapat melalui proses sosialisasi. Teori ini menjelaskan
adanya suatu kelompok menyimpang (gangs) yang tergabung dalam kelompok
subbudaya menyimpang.

Teori harga diri, menjelaskan alasan seseorang melakukan penyimpangan


karena gagal menghargai perilaku normal sehingga seseorang melakukan
perilaku menyimpang dengan tujuan meningkatkan harga diri. Biasa kelompok
yang melakukan periaku menyimpang adalah mereka yang gagal dalam peran
konvensional.

Teori pengawasan, menjelaskan seseorang melakukan perilaku menyimpang


karena tidak ada ikatan yang kuat terhadap orang lain dan nilai-nilai, serta
aktivitas masyarakat. Teori ini menggambarkan individu-individu yang kurang
terikat dalam keluarga, tetangga, dan masyarakat akan mendorong berperilaku
menyimpang. Sebagai contoh anak muda dari keluarga broken home (keluarga
gagal).

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 7


Teori pelabelan (labelling), menjelaskan bahwa seseorang melakukan perilaku
menyimpang karena diberi label menyimpang dan mereka menerima label itu
dalam masyarakat dan menjadi karier. Jadi, penyimpangan adalah relatif dan
tergantung bagaimana orang lain memberi label pada seseorang.

c. Teori konflik
Menjelaskan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena terdapat
ketidakmerataan dan kompetisi dalam memperebutkan sumber daya yang
terbatas. Teori ini menggambarkan semua kelas sosial bawah didorong untuk
berperilaku menyimpang dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan untuk
keluar dari frustasi sedangkan kelas atas melakukan penyimpangan untuk
mempertahankan hak-hak istimewa mereka.

Secara sosiologis, ada sejumlah faktor penyebab terjadinya penyimpangan


sosial dalam masyarakat. Adapun faktor penyebab perilaku menyimpang adalah
sebagai berikut.

Di masyarakat sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna sehingga


menimbulkan perilaku menyimpang. Berikut adalah ciri proses sosialisasi yang
tidak sempurna.

Terjadi sosialisasi yang tidak sempurna pada anak dalam keluarga yang
mengalami disorganisasi keluarga. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mengalami
disorganisasi keluarga akan cenderung melakukan perilaku menyimpang.

Orang tua yang tidak mampu menjaga konsistensi antara ucapan dan
tindakan, sehingga tidak dapat menjadi teladan bagi anak akan memicu
anak untuk melakukan perilaku menyimpang.

Lingkungan hunian akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang


anak dalam bersosialisasi, sehingga anak yang hidup di lingkungan hunian
yang tidak baik (kumuh) akan berpotensi untuk melakukan perilaku
menyimpang.

Perilaku menyimpang juga terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki


nilai-nilai subkultur yang menyimpang yaitu suatu kebudayaan khusus yang
normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan/pada
umumnya. Contohnya penganut kebudayaan subkultur “punk” dari anak-
anak muda Indonesia yang mencontoh gaya hdup bebas dari anak-anak muda
“punk” di negara-negara Barat.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 8


4. Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja merupakan salah satu gejala sosial yang sering terjadi di
masyarakat. Kenakalan remaja muncul sebagai akibat dari proses kedewasaan
anak, pencarian suatu identitas kedewasaan. Masalah kenakalan remaja ini menjadi
perhatian dalam berbagai disiplin ilmu di antaranya sosiologi, psikologi, budaya, dan
hukum.

Masalah kenakalan remaja ini menjadi penting dikaji dalam berbagai disiplin ilmu
karena menyangkut keberlangsungan suatu generasi yaitu generasi muda. Kenakalan
remaja adalah bentuk aktivitas atau perbuatan yang melanggar nilai dan norma
sosial yang dilakukan oleh anak usia antara 13 - 18 tahun (kategori usia remaja).

Faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja adalah sebagai berikut.

a. Perkembangan mental remaja yang masih labil


Kondisi remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan merupakan dorongan
terbesar munculnya kenakalan remaja. Apalagi ditambah dengan rasa ingin
tahu mereka yang besar mengenai berbagai hal menyebabkan mereka sering
melanggar peraturan.

b. Hubungan keluarga yang tidak harmonis


Munculnya kenakalan remaja berkaitan dengan ketidakharmonisan hubungan
dengan orang lain, terutama keluarga. Ketidakharmonisan dalam keluarga dapat
terjadi karena kesibukan bekerja orang tua atau ketidakpedulian orang tua
terhadap anak atau sebaliknya. Anak membutuhkan perhatian dan bimbingan
sehingga apabila orang tua tidak dapat memenuhinya, anak akan cenderung
melakukan penyimpangan, seperti bolos sekolah, merokok, minum-minuman
keras dan lain sebagainya.

c. Proses sosialisasi tidak selaras/sempurna


Proses sosialisasi dianggap tidak berhasil apabila individu tidak mampu mendalami
norma-norma dalam masyarakat yang berlaku. Individu yang demikian tidak akan
memiliki perasaan bersalah atau menyesal ketika melanggar nilai dan norma
sosial. Sebagai contoh, orang tua tidak mampu melaksanakan sosialisasi karena
sibuk bekerja. Kondisi tersebut menyebabkan orang tua tidak dapat mengawasi
perkembangan anak/remaja. Anak tidak memiliki pegangan nilai dan norma
yang kuat karena tidak diajarkan oleh orang tua. Akibatnya, dapat mendorong
terjadinya kenakalan remaja.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 9


d. Pengaruh lingkungan sekolah dan sekitar
Lingkungan sekolah yang bangunannya kurang ideal, pembatasan berlebihan dari
pihak sekolah dan guru, materi pelajaran yang membosankan, mengakibatkan
remaja sering merasa tertekan, jenuh, jengkel, dan apatis sehingga minat
belajarnya menurun. Mereka melampiaskannya dengan melakukan tindak
kenakalan. Lingkungan sekitar juga memberi andil dalam kenakalan remaja.
Lingkungan yang warganya banyak melakukan penyimpangan dan maraknya
tayangan kekerasan di media elektronik dapat mendorong remaja untuk
melakukan kenakalan.

5. Pengabaian Nilai Luhur Pancasila


Setiap 1 Juni adalah hari kelahiran Pancasila. Pancasila adalah pandangan hidup
(ideologi) bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila
juga merupakan identitas bangsa Indonesia, di mana segala bentuk perilaku
masyarakat perlu berlandaskan asas-asas Pancasila.

Pancasila yang mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,


dan keadilan sebuah pedoman hidup yang sangat luar biasa bagi bangsa apabila nilai-
nilai tersebut diamalkan oleh segenap masyarakat dan pemerintah, maka persatuan
dan kesatuan, keadilan, dan kemakmuran akan terwujud. Oleh karena itu, sejatinya
Pancasila harus selalu ada dan menyertai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Akan
tetapi, kenyataannya Pancasila kian diabaikan dan dilupakan. Akibatnya adalah
beragam masalah mendera bangsa Indonesia.

Gejala sosial tentang pudarnya nilai luhur Pancasila tampak pada seringnya kita
melihat dan mendengar bahkan mungkin mengalami tindakan diskriminasi suku,
keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.
Kekerasan yang terjadi di masyarakat cenderung meningkat.

Masyarakat Indonesia saat ini semakin mudah terpancing untuk berkonflik dan
melakukan kekerasan. Kekerasan seolah menjadi sesuatu hal yang biasa. Hal tersebut
terjadi karena tidak adanya kesadaran bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan
masalah tetapi malah memperumit keadaan.

Kekerasan merupakan penanda kegagalan memahami keberagaman. Kekerasan


timbul karena pengaruh segelintir anggota masyarakat yang sulit menerima
keberagaman. Anggapan tersebut muncul akibat keterbatasan pemahaman dan
kecenderungan menganggap bahwa orang yang berbeda suku, keturunan, agama,
jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit harus dijauhi, diperlakukan berbeda,
atau dimusuhi. Mereka enggan menerima kebenaran dari keberagaman karena
merasa dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 10


6. Pengabaian Hak Anak
Sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Adapun mengenai hak -hak anak telah diatur
secara tegas dan jelas dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
meliputi pasal 52 ayat 1 dan 2, pasal 53 ayat 1 dan 2, pasal 54, pasal 55, pasal 56 ayat
1 dan 2, pasal 57 ayat 1 dan 2, pasal 58 ayat 1 dan 2, pasal 59 ayat 1 dan 2, pasal 60
ayat 1 dan 2, pasal 61, pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, dan pasal 66 ayat 1-7.

Namun, sejumlah realitas menunjukkan gejala pengabaian hak-hak anak dalam


kehidupan bermasyarakat. Berikut contoh bentuk pengabaian hak-hak anak.

a. Keberadaan anak jalanan di kota besar


Fenomena anak jalanan di kota besar menjadi suatu cerminan bahwa anak tidak
mendapatkan perlindungan yang semestinya dari keluarga, masyarakat, dan
negara. Seharusnya anak memperoleh ruang dan waktu yang kondusif untuk
perkembangan fisik maupun psikis secara wajar. Kenyataannya mereka harus
bersandar pada diri sendiri untuk melindungi diri sendiri dari berbagai ancaman.
Mereka juga harus berjuang untuk bertahan hidup dengan mencari makan dan
minum sendiri.

Ada 4 kelompok anak jalanan dilihat dari hubungan dengan orang tua.

Anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, tetapi masih memiliki


hubungan dengan keluarganya. Ada yang tetap tinggal dengan orang tuanya
dan selalu pulang ke rumah setiap hari. Dan ada pula yang tinggal di jalanan
namun hubungan kekeluargaan tetap dipertahankan dengan pulang ke rumah
secara berkala ataupun tidak teratur.

Anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di


jalanan dan tidak lagi berhubungan atau memutuskan sama sekali hubungan
dengan orang tua atau keluarganya.

Anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan karena berasal


dari keluarga yang hidup dan bertempat tinggal di jalanan.

Anak yang masih bersekolah atau sudah putus sekolah, tetapi sangat rentan
menjadi anak jalanan karena dibelit kondisi kemiskinan atau tidak adanya
orang dewasa yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

b. Tindak kekerasan dalam rumah tangga dan kejahatan terhadap anak


Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan
atas perempuan sepanjang tahun 2016, yang dihimpun Pengadilan Agama dan

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 11


ditangani lembaga mitra pengadaan layanan di Indonesia. Pengaduan langsung
ke Komnas Perempuan juga menunjukkan kasus kekerasan rumah tangga masih
tinggi yaitu 903 kasus dari total 1.022 pengaduan (BBC News, 7/3/2017).

Maraknya Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terjadi karena masih
adanya ketimpangan gender, di mana laki-laki dianggap lebih berkuasa dari
perempuan.

Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dalam pasal 1


disebutkan bahwa setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan
dan anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Larangan kekerasan yang tercantum pada UU No. 23 tahun 2004 tentang


penghapusan kekerasan yang meliputi kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran
rumah tangga.

c. Maraknya pekerja atau buruh anak


Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak sesuai ketentuan peraturan perundangan,
terdapat aturan internasional dan hukum yang mengatur tentang pekerja anak,
di antaranya Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 138 tentang
Upah Minimum Pekerja Anak serta Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan
dan Tindakan Cepat untuk Penghapusan Segala Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi
Anak. Namun, sepertiga dari pekerja anak di seluruh dunia hidup di negara-negara
yang belum meratifikasi konvensi tersebut. Artinya, secara hukum internasional
mereka belum terlindungi.

Sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi Konvensi ILO tersebut,
Indonesia memiliki UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada pasal 68
disebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Namun, pada pasal
69 tentang beberapa pengecualian di antaranya adalah anak usia 13 - 15 tahun
dapat melakukan pekerjaan ringan asalkan tidak mengganggu perkembangan
dan kesehatan fisik, mental, dan sosialnya.

Selanjutnya, pada pasal 74 disebutkan mengenai beberapa jenis pekerjaan yang


dilarang dilakukan oleh oleh anak-anak, seperti perbudakan anak, produksi
pornografi, narkoba, perdagangan minuman keras, dan pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan moral anak.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 12


d. Pelanggaran terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum
Anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang melanggar hukum
diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian anak
dalam undang-undang adalah anak yang telah mencapai usia 8 tahun tetapi
belum mencapai 18 tahun dan belum menikah. Klasifikasi inilah yang sering
digunakan oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Lembaga Pemasyarakatan
untuk menentukan kriteria anak pelaku tindak pidana dan narapidana anak.

e. Belum diterapkannya pendidikan inklusif


Sistem penyelanggaraan pendidikan inklusif memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Artinya,
pendidikan inklusif juga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka
yang memiliki kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif mengajarkan sikap empati,
saling membantu, dan menumbuhkan kepedulian tulus.

Sayangnya, banyak lembaga pendidikan belum bersedia melaksanakan


pendidikan inklusif dengan berbagai alasan, seperti kompetensi atau
kualifikasi tenaga pengajar yang kurang memadai, belum tersedianya sarana/
prasaranapenunjang hingga penolakan dari peserta didik terhadap kehadiran
peserta didik berkebutuhan khusus. Akibatnya, hak anak berkebutuhan khusus,
seperti penyandang disabilitas, anak dengan kesulitan belajar, anak berbakat
istimewa, anak cerdas istimewa, anak korban sosial ekonomi, dan anak korban
bencana untuk memperoleh pendidikan layak pun terabaikan.

C. Upaya Penyelesaian Masalah Sosial dalam Kajian Sosiologi


1. Kemiskinan
Masalah kemiskinan tidak akan selesai hanya dengan menggunakan pendekatan
ekonomi saja. Proses pembangunan yang berlangsung selama ini telah melahirkan
fenomena kemiskinan dengan ciri keterbelakangan, keterpencilan, ketidakberdayaan,
dan ketersisihan. Proses pembangunan yang terlalu ekonomisentris menyebabkan
rapuhnya nilai-nilai sosial dan memudarnya kohesi sosial dalam masyarakat. Kita
dengan mudahnya menyaksikan berbagai kerusuhan, konflik vertikal dan horizontal,
kriminalitas dan sebagainya. Di sisi lain, semangat individualistik dan hedonisme
semakin tinggi. Akibatnya, solidaritas sosial dan sikap empati menjadi sesuatu yang
mahal dan langka. Oleh karena itu, perlu kiranya menumbuhkan sikap hidup sosial
yang lebih egaliter, sebuah sikap yang lebih menghargai persamaan dan distribusi
pendapatan yang lebih merata antarlapisan masyarakat. Dalam konteks ini diperlukan

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 13


adanya suatu mekanisme yang mampu menumbuhkan keinginan masyarakat untuk
mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih egaliter.

Penanganan kemiskinan harus diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas aset


seperti pendidikan dan kesehatan dengan tujuan dapat memperbaiki taraf hidup kaum
miskin dalam jangka panjang.

Banyaknya pandangan dan dimensi tentang kemiskinan menjadikan masalah


kemiskinan menjadi sangat normatif. Untuk itu, keberpihakan terhadap masyarakat
melalui kebijakan pembangunan sangat diperlukan dalam mengatasi kemiskinan.
Kebijakan pembangunan harus mampu memberi peluang atau akses bagi penduduk
miskin dalam memperoleh, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya yang tersedia.
Partisipasi pembangunan yang melibatkan masyarakat miskin perlu didukung melalui
program untuk meningkatkan kemampuan dasar masyarakat miskin. Seperti misalnya
program kemandirian untuk masyarakat miskin dengan membantu pemberian modal
usaha dan menumbuhkan jiwa wirausaha bagi masyarakat miskin.

2. Korupsi
Korupsi merupakan masalah sosial bangsa Indonesia saat ini. Dampak negatif
tindakan korupsi ini menjadikan hambatan besar bagi pembangunan di Indonesia.

Menurut sosiolog Ibnu Khaldun, korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam
kelompok yang memerintah. Oleh karena itu, pelaku korupsi berasal dari kalangan
penentu kebijakan atau penguasa suatu daerah dan pelaku usaha (pengusaha).
Budaya atau pandangan tradisional bahwa kaum birokrat adalah kaum yang terbiasa
‘dilayani’ atau patron menjadi penyebab maraknya korupsi di Indonesia.

Budaya korupsi di dalam birokrasi dapat diminimalisir dengan cara mengubah


paradigma birokrat. Penanggulangan diawali dengan sistem perekrutan dan
pengangkatan yang harus dijauhkan dari asas kekeluargaan, dan politik sehingga
akan terpilih birokrat yang profesional. Penyederhanaan meja-meja birokrasi dapat
meminimalisir tindak korupsi, dan pemanfaatan pelayanan publik berbasis teknologi
komputer (IT), evaluasi pelayanan publik yang transparan dan pengauditan kinerja
di kalangan birokrasi menjadi solusi pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga
jika para birokrasi telah menjalankan tugasnya dengan profesional, maka pihak
pengusaha yang ingin ‘bermain’ dalam korupsi dapat dicegah.

3. Penyimpangan Sosial
Berkaitan dengan penyimpangan sosial, teori-teori sosiologi baik yang klasik
maupun modern telah memberikan sudut pandang yang dapat dijadikan pijakan

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 14


untuk memahami terjadinya perilaku menyimpang dan mengupayakan pemecahan
masalah perilaku menyimpang dari perspektif sosiologi.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang
menurut teori kontrol yang dikemukakan oleh Brinkerhoff dan White. Teori kontrol
menjelaskan kontrol diri terjadi karena individu menginternalisasikan nilai-nilai
dan norma kelompok mereka. Dukungan yang kuat terhadap kontrol diri diberikan
oleh masyarakat yang bersifat informal, jika kontrol ini tidak cukup, maka kontrol
sosial yang bersifat formal dapat dilakukan. Kontrol sosial informal dapat berupa
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, sedangkan kontrol sosial formal
berupa hukum tertulis yang berasal dari negara.

4. Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja merupakan suatu masalah sosial yang harus diupayakan
penanggulangannya. Dari sudut pandang sosiologi, terdapat usaha pencegahan
kenakalan remaja di antaranya sebagai berikut.

a. Tindakan preventif
Dimulai dari keluarga, remaja menyerap dan menerapkan nilai-nilai dan norma
dari keluarga sehingga remaja dapat memiliki keseimbangan diri yang serasi
antara aspek rasio dan aspek emosi. Peran orang tua dan kerabat dekat sangat
dibutuhkan dalam pembentukan pribadi yang baik. Sekolah juga memiliki andil
cukup penting dalam mencegah kenakalan remaja dengan melakukan program
“monitoring” pembinaan melalui kegiatan keagamaan, ekstrakulikuler, dan
kegiatan positif lainnya.

b. Tindakan represif
Usaha menindak pelanggaran norma sosial dapat dilakukan dengan mengadakan
hukuman terhadap setiap perbuatan yang melanggar. Penegakan hukuman
atau sanksi harus dilakukan tanpa pandang bulu. Pemberian sanksi bagi
yang melakukan pelanggaran dilakukan di lingkungan keluarga dan sekolah.
Kekonsistensian dalam penegakan hukum harus dilakukan.

c. Tindakan kuratif dan rehabilitasi


Tindakan ini dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan
dan dianggap perlu mengubah tingkah laku pelanggar dengan memberikan
pendidikan lagi. Pendidikan diulang melalui pembinaan secara khusus oleh suatu
lembaga khusus yang ahli dalam bidang ini.

5. Pengabaian Nilai Luhur Pancasila


Fenomena seringnya terjadi tindak kekerasan karena kegagalan dalam memahami
keberagaman. Kegagalan pemahaman ini tidak terlepas dari pudarnya nilai-nilai luhur

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 15


Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur yang terdapat
dalam sila Pancasila tidak lagi menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat
sehingga kekerasan kerap terjadi dalam masyarakat karena terdapat perbedaan.
Keadaan tersebut tidak boleh dibiarkan terus menerus. Perlu segera dilakukan upaya
kembali pada nilai luhur Pancasila sebagai pedoman dalam berperilaku. Tindakan
konkretnya dapat diuraikan sebagai berikut.

Menjunjung tinggi nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dengan tidak semena-mena kepada orang


lain.

Memperluas pergaulan demi memperkokoh persatuan.

Mengutamakan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan.

Mengembangkan sikap kepedulian terhadap lingkungan sosial dan sekitarnya.

Saling memberi pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan sehingga


terbentuk rasa kepedulian sosial.

6. Pengabaian Hak Anak


Sejumlah realitas menunjukkan gejala pengabaian hak-hak anak dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk itu perlu upaya pemecahan masalah.

a. Keberadaan anak jalanan di kota-kota besar


Solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi anak jalanan antara lain sebagai
berikut.

Melakukan pembatasan terhadap arus urbanisasi dengan cara melakukan


operasi yustisi, memperkuat dengan daerah asal, pemulangan anak jalanan ke
daerah asal, dan lain sebagainya.

Mengembalikan anak jalanan ke bangku sekolah.

Memberikan perlindungan pada anak jalanan sesuai dengan UU No. 23 tahun


2002 tentang perlindungan anak.

Menciptakan program-program yang responsif terhadap perkembangan anak,


terutama anak jalanan.

Melakukan penegakan hukum pada siapa saja yang menafaatkan keberadaan


anak di jalanan.

Membangun kesadaran bahwa anak jalanan merupakan tanggung jawab


bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 16


b. Tindak kekerasan dalam rumah tangga dan kejahatan terhadap anak
Solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah KDRT dan kejahatan terhadap anak
antara lain sebagai berikut.

Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT bukan masalah individual


tetapi merupakan masalah sosial dan terkait dengan pelanggaran hukum.

Menghindari penayangan tentang kekerasan melalui media massa. Sosialisasi


dalam masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Menghindari tindakan kekerasan fisik dan psikis pada anak dengan alasan
memberi pendidikan.

c. Maraknya pekerja atau buruh anak


Sebagai negara yang ikut meratifikasi konvensi ILO, Indonesia telah memiliki
UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pada pasal 68 disebutkan
pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Namun, pada pasal 69 tertuang
pengecualian yakni anak usia 13 - 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan
asal tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosialnya.
Pengawasan dalam mempekerjakan anak perlu dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat seperti berikut.

Perlu ada pengaturan teknis dari pemerintah yang menjelaskan secara lebih
detail tentang syarat dan ketentuan mempekerjakan anak.

Ada izin tertulis dari orang tua atau wali.

Terdapat perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali.

Ada pembatasan waktu jam kerja anak (maksimal 3 jam).

Dilakukan siang hari agar tidak mengganggu waktu sekolah.

Terdapat keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai.

Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

d. Pelanggaran terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perilaku


penyimpangan yang dilakukan oleh anak yang berakibat pada proses hukum
hendaknya diselesaikan dengan mempertimbangkan kepentingan anak dan
masa depan anak.
Solusi yang dapat dilakukan misalnya, tidak mengekspos berlebihan melalui
media massa karena dapat memengaruhi masa depan anak di kemudian hari,
memberi bimbingan dan arahan melalui program konseling pada anak yang
melakukan pelanggaran hukum, jika anak harus menerima sanksi berupa
kurungan atau penjara, maka hendaknya dipisahkan dengan tahanan dewasa.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 17


Perlu ada pendampingan dari seorang psikolog anak dalam mengatasi persoalan
hukum pada anak. Kontribusi keluarga dan masyarakat juga penting ditunjukkan
dengan mengunjungi anak yang harus menghadapi hukuman kurungan agar
anak merasa tidak dikucilkan sehingga dapat menata kembali masa depannya.

e. Belum diterapkannya pendidikan inklusif


Pendidikan inklusif yang mengedepankan pemberian kesempatan yang
sama pada setiap peserta didik termasuk yang memiliki kelainan dan potensi
kecerdasan dan bakat istimewa dalam mendapatkan pendidikan secara bersama
sama. Ternyata, dalam pelaksanaannya justru masih terdapat penyimpangan,
seperti masih terdapat diskriminasi pada anak yang mengalami difabel atau anak
berkebutuhan khusus.

Pemecahan masalah yang dapat dilakukan di antaranya adalah sebagai berikut.

Sekolah baik negeri maupun swasta dari tingkat SD sampai SMA dapat
menerima siswa yang mengalami difabel atau berkebutuhan khusus agar
dapat bersosialisasi dengan siswa pada umumnya.

Masyarakat dan sekolah harus mengawasi perilaku diskriminasi terhadap anak


yang disfabel atau berkebutuhan khusus.

Dikembangkan pemahaman dalam masyarakat akan adanya keberagaman.

Dikembangkan selalu sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga


tidak terdapat diskriminasi dalam suku, agama, ras, maupun golongan.

Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat 18

Anda mungkin juga menyukai