Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

SEJARAH SOSIAL SUKU BUGIS-MAKASSAR


KELOMPOK II
I. Pendahuluan

Bugis, salah satu dari tiga etnik di Nusantara yang telah menempatkan
manusia-manusianya di seberang lautan sejak ratusan tahun lampau.
Kepindahan masyarakat Bugis-Makassar, lebih disebabkan karena besarnya
dorongan politik di Sulawesi Selatan, yang merupakan kampung halaman
mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar yang telah bersaing sejak abad ke14, menciptakan ketegangan yang berkepanjangan. Aliansi, ekspansi, dan
peperangan yang berlangsung ratusan tahun lamanya, mengundang petualangpetualang asing untuk ikut bermain di dalamnya. Pemerintah Hindia-Belanda
yang tahu keadaan ini, menjadi pihak yang paling siap membantu salah satu
kerajaan yang bersaing.
Kisah terdiasporanya masyarakat Sulawesi Selatan ke seluruh Nusantara,
bermula dari kekonyolan Arung Palakka yang meminta bala bantuan HindiaBelanda. Ketika itu, Kerajaan Bone yang dipimpinnya, memang dalam
keadaan terjepit. Di bawah kendali Sultan Hasanuddin, Kesultanan Gowa
tetangga sekaligus pesaingnya, mencapai puncak peradaban. Wilayahnya yang
terus berkembang, mengancam eksistensi Bone yang semakin rapuh. Di pihak
lain, ekspansi dagang Gowa ke seberang lautan, juga mengancam jaringan
perdagangan Belanda di Indonesia Timur. Keadaan ini menyebabkan,
terjadinya aliansi Bone-Belanda di Sulawesi.
Menurut Christian Pelras dalam Bukunya Manusia Bugis menyatakan bahwa
kehidupan masyarakat Bugis yang pada mulanya merupakan masyarakat
agraris, kemudian bermigrasi sejak jatuhnya Makassar pada tahun 1666. Di
perantauan, orang-orang Bugis terkenal sebagai pelaut ulung, serdadu bayaran,
dan penguasa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Peran dan kiprah mereka,
telah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia, khususnya pada abad ke-18 dan
19 Masehi.
Ada tiga fase perjalanan orang Bugis-Makassar diperantauan jika kita simak
secara mendalam perjalanan hidup mereka sejak ditemukannya migran Bugis
Makassar dimana-mana. Walaupun sebenarnya dalam banyak cerita
dipaparkan bahwa mereka itu juga sebenarnya adalah migran yang tergolong
ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang
migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan, daerah bagian selatan Cina.
II. Fase Fase Migrasi Suku Bugis Makassar.

Ada tiga fase perjalanan orang Bugis-Makassar diperantauan jika kita simak
secara mendalam perjalanan hidup mereka sejak ditemukannya migran Bugis
Makassar dimana-mana. Walaupun sebenarnya dalam banyak cerita
dipaparkan bahwa mereka itu juga sebenarnya adalah migran yang tergolong
1Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang


migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan, daerah bagian selatan Cina.
1. Fase Pertama : Migrasi

Kata Bugis atau To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi
merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai bersaudara dengan Batara
Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami
dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo. Kisah I
La Galigo sama dengan Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi
seperti Buton.
Kepiawaian suku Bugis-Makassar dalam mengarungi samudra cukup
dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan.
Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah
suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat
mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Kenapa Suku Bugis Makasar
suka merantau dan ada dimana-mana ?
Masa Kerajaan

Di semua wilayah kerajaan di Sulawesi Selatan awal abad 12, terjadi


banyak kekacauanm. Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh
generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal
Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik
Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama
Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan
istilah ade pitue. Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa,
Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana
orang saling memangsa laksana ikan (sianre balle), sama dengan yang
ditulis Ahmadin (Kapitalisme Bugis, 2008 ; 14 ) asal usul raja-raja
dari abad ke 14, dan masa itu memasuki periode Lontara. Kerajaan
Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tapi dalam
perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu menjadi
kerajaan Makassar.
Di Soppeng terjadi kekacauan dimana-mana, muncul dua orang To
Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja.
dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala
Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau.
Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng, begitu
juga dengan kerajaan Wajo, bergejolak selama lima generasi, kerajaan
ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.
2Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan
Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan
dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan
wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu
Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan
perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat
sampai di Barru.
Situasi ini lalu memunculkan Perang antara Luwu dan Bone
dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu
kemudian
mempersaudarakan
kerajaan
mereka.
Untuk
mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo,
dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya
wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui
penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergeser dengan
Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta
menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa,
Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut
tellumpoccoe.
Kolonialisme Belanda

Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa


dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara
Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan
yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung
Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang tidak
sudi berada dibawah Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung
oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo,
Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan
benteng Somba Opu luluh lantak. Kekalahan ini mengakibatkan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan
Gowa.
Masa Kemerdekaan

Para raja-raja di Nusantara bersepakat membubarkan kerajaan mereka


dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia
khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan,
dikenal pemberontakan Kahar Muzakkar (DI/TII) . Pemberontakan ini
mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung
halamannya.
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama
kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak
tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya
orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya
merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan.
Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui
3Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

kemerdekaan. Sepanjang masa keberadaan suku Bugis-Makassar sejak


abad ke 12 hingga kemerdekaan, Sulawesi Selatan tidak pernah aman,
dimana-mana berkecamuk, dan jika disimak penelusuran itu, boleh
dikata sejak keberadaannya orang-orang yang mengaku bangsa BugisMakassar memang selalu terusik dari asal usul sejak tertekan oleh
bangsa Cina di Yunan hingga migran sampai di Sulawesi Selatan.
2. Fase Kedua : Adapatif

Orang Bugis-Makasssar memiliki prinsip hidup yang sangat kuat dalam


memaknai perjalanan hidup dan berikut ini beberapa prinsip-prinsip tersebut:
Pertama, Siri Na Pacce (bhs Makassar) Siri Na Pesse (bhs Bugsi).

Prinsip ini mengajarkan bahwa orang Bugis Makassar sangat


menjunjung tinggi persoalan siri atau rasa malu, mereka akan senantiasa
merasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Baginya
pantang untuk melakukan perbuatan yang memalukan yang bertentangan
dengan norma agama, hukum maupun norma adat dan kesopanan, dan
sebuah aib yang cukup memalukan bila dikemudian hari melakukan halhal yang dianggap sebagai perbuatan tidak terpuji . Harga diri atau
integritas merupakan barang/mata uang yang paling berharga bagi orang
bugis makassar, kehilangan harga diri laksana kehilangan segala-galanya
dan lebih baik kehilangan uang dari pada harga diri karena kehilangan
uang kita kehilangaan sedikit akan tetapi kalau kehilangan integritas
maka kita kehilangan segala-galanya Pacce merupakan sebuah sikap
yang dapat merasakan penderitaan sesama manusia dan tentunya sikap
ini akan senantiasa memunculkan solidaritas bagi sesama manusia.
Berpegang teguh pada prinsip kehidupan yang mampu merasakan
pederitaan sesama manusia maka hal itu akan memicu keinginan untuk
senantiasa
mengulurkan
pertolongan
bagi
mereka
yang
membutuhkannya. Budaya Siri Na Pacce (bhs Makassar) Siri Na
Pesse (bhs Bugis). Falsafah hidup ini juga dipegang para perantauperantau Bugis-Makassar, rasa malu untuk tidak kembali kedaerah asal
apabila tidak berhasil di daerah tujuan, oleh sebab itu perantau BugisMakassar akan berusaha sekuat tenaga untuk berhasil di daerah tujuan.
Falsafal hidup melalui syair Leba kusoronna biseangku, kucampana
sombalakku, tamassaile punna teai labuang (Bila perahu telah kudorong,
layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang
kutuju) , Ku alleangi tallanga na toalia (Lebih baik tenggelam dari pada
kembali) (latar belakang kata tersebut dari seorang pelaut yang telah
berangkat melaut) bermakna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang
mulia dengan taruhan nyawa, serta falsafah hidup Teai mangkasara
punna bokona loko Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di
belakang. Adalah simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun
yang dihadapi. Abu Hamid (Siri & Pacce, 2009 ; 9) menegaskan Siri
lebih besar daripada budaya rasa bersalah.

4Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

Kedua, RESO Temanginggi Naletei Pammase Puang artinya bahwa di

dalam mengarungi kehidupan ini, orang Bugis-Makassar akan senantiasa


bekerja secara keras, tekun dan pantang menyerah maka dapat dipastikan
keberhasilan akan bisa dicapai karena Rahmat Tuhan meniti menuju
jalan kesuksesan. Dan di dalam bekerja tersebut pantang berputus asa
karena semakin kita berkeja keras semakin banyak rintangan yang kita
hadapi seperti kegagalan maka dapat dipastikan kita akan semakin dekat
dengan kesuksesan karena hampir semua orang sukses diunia ini pasti
perna merasakan kegagalan.. Jika Fisik dibesarkan dengan melatihnya
mengangkat beban seperti barbell maka jiwa dibentuk berdasarkan
kegagalan yang dihadapi. Hanya dengan kerja keras maka segala usaha
pasti bisa dicapai dan tuhan sangat menyenangi orang yang bekerja
secara keras.
Ketiga, Tea Tammakua idipanajaji, yang artinya kesuksesan anda

tergantung dari diri anda sendiri apa yang anda pilih pada waktu yang
lalu hasilnya apa yang anda rasakan pada saat ini. Dan jika anda ingin
merubah nasib anda maka tidak ada jalan lain hanya anda yang mampu
mengubahnya karena itu hargai diri anda ,kenali diri anda dan potensi
anda lejitkan dan jangan perna berfokus pada kekurangan anda karena
jika berfokus kepada kekurangan maka anda hanya mampu berkeluh
kesah, tapi Fokuslah pada kelebihan anda maka anda akan bisa
melakukan apapun yang anda cita-citakan. Tidak akan berubah nasib
seseorang kecuali dia yang merubanya sendiri demikanlah peringatan
tuhan
Keempat,

Sipakainge, Sipakatau ,dan sipakalebbi.Sikap ini


mengajarkan kepada kita bagaimana cara menggapai kesuksesan dan
berhubungan dengan sesama manusia karena kesuksesan tidak akan bisa
kita capai tanpa bantuan dan berinteraksi dengan orang-orang
disekeliling kita, karena dalam menjalin hubungan dengan manusia
termasuk dengan relasi bisnis dan rekan kerja hendaknya kita senantiasa
saling mengingatkan , saling menghormati, dan saling menghargai. Jika
ketiga sikap ini anda terapkan maka dipastikan urusan anda akan
berjalan mulus. Sipakainge adalah tindakan untuk senantiasa saling
mengingatkan ,saling menegur, saling mengevaluasi dan membimbing
kejalan yang benar jika seseorang mengalami permasalahan atau
kesulitan hidup pada saat tanpa membedakan yang baik dan yang benar.
Sipakatau, merupakan cerminan untuk senantiasa saling menghormati
dan tidak sebaliknya saling bermusuhan, seling sikuk dan injak
menginjak dalam merebut jabatan atau mengejar kekayaan hendaknya
senantiasa kita memanusiakan sesama manusia. Sipakalebbi sebuah
gambaran dalam menjalani hidup dalam bermasyarakat untuk senantiasa
saling menghargai antara sesama manusia, dengan saling menghargai
maka hubungan akan semakin erat dan jauh dari rasa permusuhan dan
kebencian.

5Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

Kelima, Malilu Sipakainge, Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong,

artinya bahwa hendaknya kita membantu satu sama lain jangan saling
menjatuhkan tapi sebaliknya saling menarik serta saling mengingatkan
antara sesama manusia karna jalan menuju kesuksesan pasti penuh
hambatan. Ketika engkau terjatuh maka saling bantulah dan memotivasi
untuk bangkit kembali karena kegagalan akan selalu ada dalam setiap
jalan kesuskesan. Jika anda ingin sukses maka jangan perna takut akan
kegalalan dan jangan pernah menghitung berapa kali anda gagal dan
terjatu tapi hitung dan ingatlah sudah berapa kali anda bangkit dari
kegagalan.
Keenam, Taro Ada Taro Gau, prinsip ini mengajarkan betapa

pentingnya memiliki sikap yang bisa dipercaya taro ada taro gau
memiliki makna bahwa sebagai pemimpin atau apapun profesi anda
senantiasalah untuk selalu konsisten antara ucapan dan perbuatan. Ketika
ucapan dan perbuatan anda sejalan maka dapat dipastikan orang-orang
yang anda pimpin atau berada disekitar anda akan semakin mempercayai
anda, dengan adanya kepercayaan maka anda sudah sukses menapaki
tangga kepemimpinan yaitu dipercaya atau menjadi pemimpin yang
dipercaya. Ketika seorang pemimpin sudah dipercaya maka yang
dipimpinnya otomatis akan mencintainya ketika anda sudah dicintai
rakyat atau orang yang anda pimpin maka pegaruh anda akan semakin
kuat dengan kuatnya pengaruh maka anda menciptkan diri anda menjadi
pemimpin yang kharismatik.
3. Fase Ketiga : Progressif

Dimana-mana orang Bugis-Makassar ketika sudah menetap disuatu wilayah,


pasti menjadi pejuang ulung untuk memenuhi hidup mereka. Karena itulah
mereka terkenal dengan pekerja tekun dan kuat, pantang menyerah dan terus
berusaha, dan disitulah memunculkan sikap ingin lebih maju, ingin lebih
baik dari orang-orang disekitarnya. Ada kebanggan tersediri ketika mereka
pulang berkunjung di kampung halamannya lalu dia dianggap berhasil,
keberhasilannya itu menjadi sebuah kebanggaan karena dianggap
bertanggung jawab atas keluarganya.
Selain tekun, ulet suku bugis makassar terkenal pekerja keras karena
didorong oleh niatnya untuk naik haji. Seseorang yang telah melaksanakan
ibadah haji bagi kalangan orang-orang Bugis-Makassar, naka status sosialnya
dianggap lebih baik dari golongan/kelompok masyarakat umum yang belum
naik haji, haji merupakan kebanggaan tersediri lalu menjadi motivator bagi
dirinya untuk bekerja lebih keras. Suku Bugis-Makassar, tidak hanya dikenal
sebagai pekerja keras, tetapi juga sangat terkenal dengan filosofi hidupnya.
Salah satu kepandaian orang-orang etnis bugis yang banyak tersebar di
hampir seluruh kepulauan nusantara kita adalah mampu dan piawai dalam
mengartikulasikan, merumuskan kalimat atau kata-kata sehingga bermakna
6Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

filosofis bagi kehidupan baik sebagai pribadi maupun komunitas sosial. Satu
diantara sekian banyak formulasi yang bernilai filosofis, sangat strategi,
taktis, dan antisifatif adalah Tellu Cappa atau Tallu Cappa yang dimaknai
dalam kehidupan tiga ujung.
Dalam paseng to riolo (pesan tetua jaman dahulu) dikatakan :
Engka tellu cappa bokonna to laoe, iyana ritu :Cappa lilae, Cappa
orowanewe, Cappa kawalie. (Terdapat tiga ujung yang menjadi bekal bagi
orang yang bepergian, yaitu :Ujung lidah,Ujung kelelakian
(kemaluan).Ujung badi/kawali (senjata). Dalam bahasa Makassar :
Nia antu tallu cappa bokonna tu lampaiyya iyamintu, cappa lila, cappa
kaburaneang, cappa badi (Abu Hamid dkk, 2003, 44)
Sudah sejak dulu orang Bugis-Makassar selalu menggunakan Tellu
Cappa dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah. Ketika menghadapi
sebuah masalah, orang Bugis-Makassar mengedepankan Ujung Lidah,
menyelesaikan dengan jalan diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu.
Bila gagal dengan ujung lidah, maka bisa dilakukan dengan mengadakan
perkawinan antara kedua pihak yang bertikai, diharapkan dengan adanya
perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih kuat. Tetapi bila kedua
cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk
mempertahankan Harga Diri dan menunjukkan keberanian sebagai bagian
dari upaya menapai tujuannya.
Falsafah Tellu Cappa (bhs Bugis) Tallu Cappa (Bhs Makassar) , bukan
hanya efektif dalam penyelesaian Perkara atau masalah saja , tapi dalam
pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian. Kita lihat
makna filosofi tellu cappa sbb ;
Ujung lidah : diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal,
baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat
membedakan baik-buruk.
Ujung Kemaluan: bisa di artikan bahwa dalam mencari jodoh,
hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang
berpengaruh.
Ujung Badik bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga
harkat dan martabat sebagai orang Bugis-Makassar yang menjunjung
tinggi adat Siri na Pacce . dan bila menghadapi permusuhan, maka
disinilah fungsi Ujung yang terakhir, Harga Diri menjadi taruhan,
keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan
catatan bahwa kita dalam posisi yang benar. Dalam adat BugisMakassar Harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun
dengan nyawa dan pengorbanan lainnya. Peneliti La Galigo, Prof Dr
Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Bugis-Makassar
membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan
masyarakat setempat . Orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih
menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat
7Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Budayawan


bugis, Alwi Hamu kemudian menambahkan cappa keempat, yaitu
cappa polopeng, (ujung pena). Mengacu pada kemampuan
menggunakan media informasi untuk mengembangkan diri. Dapat juga
diartikan sebagai perwakilan dari ilmu pengetahuan. Jadi, mari
menggunakan empat ujung yang kita miliki, dengan cara yang
bijaksana. Pada saatnyalah, falsafah yang telah diwariskan orang-orang
Bugis ini bisa dijadikan salah satu sumbangan bagi kekayaan kita
dalam upaya bersama membangun karakter bangsa yang harus
ditumbuhkan secara simultan dan menanganinya pula secara integral
sejak masa usia kanak-kanak. Medianya adalah pendidikan yang
berkualitas sebagai wujud karakter manusia Indonesia yang semakin
langka tetapi wajib dibangun.
III. Sejarah Sosial Nelayan Bugis Di Pangatan Kalimantan Selatan

Ketiga fase diatas memberi makna proses perjalanan suku BugisMakassa di mana saja mereka, dan menjadi pondasi untuk mempertahankan
hidup, lalu berkembang dan berkuasa. Kita lihat proses perjalanan mereka ke
Pangatan Kalimanta Selatan, yang diawali dengan perjalanan panjang dan
menemukan tempat untuk bisa hidup, berinteraksi dengan cara
pendekatannya kepada raja, hidup keberkembang lalu berkuasa dan bahkan
menjadi raja secara turun terumurun seperti di Malaysia dan Brunei.
Menurut Nasaruddin dalam Persepsi sejarah kawasan pantai (Muhlis; 1989)
mngatakan bahwa migran Bugis-Makassar ini diperkirakan mulai 1941 oleh
seorang Punggawa (Juragang) asal Takalar, kemudian 1959 punggawa asal
Barru. Jika kita simak tenggang waktu perjalanan itu, situasi politik saat itu
masih pada pendudukan Jepang hingga pemberontakan Kahar Musakkir
(DI/TII). Artinya ada kondisi social masyarakat yang tidak menguntungkan
untuk hidup aman dan damai saat itu, penulis perkirakan bahwa salah satu
penyebab terjadinya migran karena situasi pemberontakan di Sulawesi
Selatan berkepanjangan.
Ketika Nasaruddin, dalam tulisannya menyebut sejarah nelayan
Pangatang dengan menyebut, nelayan bugis-Makassar dalam perjalanannya
dimulai dengan penjajakan (Priode Coba-Coba), dilanjutkan dengan priode
printisan, saya rasanya berbeda dari apa yang kami fahami. Penulis melihat
bahwa perjalanan hidup migran Bugis di mana saja bukanlah coba-coba, lalu
dilanjutkan dengan perintisan ketika mereka senangi, tetapi keberadaan suku
Bugis-Makassar dimana saja mereka berada disebabkan karena kondisi
daerah mereka yang tidak menguntungkan. Bahkan bertentangan dengan
banyak filsafat hidup orang Bugis Makassar, misalnya Leba kusoronna
biseangku, kucampana sombalakku, tamassaile punna teai labuang (Bila
perahu telah kudorong, layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau
bukan labuhan yang kutuju) , Ku alleangi tallanga na toalia (Lebih baik
tenggelam dari pada kembali) serta falsafah hidup Teai mangkasara punna
bokona loko bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang.

8Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

Sejarah perkembangan Bugis-Makassar sejak abad ke 12 s/d abad


ke 17 daerah Sulawesi Selatan tidak pernah aman, perang antar kerajaan,
perang batas wilayah kerajaan, adu domba raja-raja oleh Belanda, sampai
pemberontakan Kahar Musakkar. Kehidupan orang-orang Bugis-Makassar
saat itu sangat menderita, makan saja sulit, belum lagi hidup tidak menetap
karena selalu berpindah-pindah disebabkan adanya gangguan keamanan. Hal
inilah berdampak pada karakter dan perilaku mereka menjadi berani melaut
karena desakan kondisi lingkungannya terutama yang memang berada
disekitar laut. Mereka yang berada di daerah pedalaman, bertahan atau
mengungsi lalu meninggalkan kampung mereka, baik perorangan maupun
bersama keluarga mereka melalui laut. Karena itulah kenapa dihampir
seluruh wilayah yang ditempat orang Bugis-Makassar selalu berada dipinggir
laut, karena disitulah mereka tiba pertama, dan berkumpul lalu mendirikan
tempat pemukiman dan bercocok tanam, hingga akhirnya menjadi sebuah
perkampungan. Ikatan kekerabatan suku Bugis-Makassar dikenal sangat
kuat, oleh Abu Hamid ( Siri & Pacce, 2009 ; 6 ) menyamakan Giri di
Jepang yang berisi etos kewajiban melaksanakan sopan santun, kewajiban
kepada negara yang melindungi, kewajiban kepada orang tua yang telah
melahirkan dan memelihara.
Ikatan kekerabatan inilah yang menjadi pedoman masyarakat suku
Bugis-Makassar dan dilakukan ketika mereka berada pada satu wilayah dan
merasa sudah berhasil, kemudian mengambil sanak keluarganya untuk
pindah dan hidup bersama mereka, dan ini ditemukan di mana-mana hingga
saat ini diberbagai daerah di tanah air dan wilayah Asia Tenggara, Australia,
dan Afrika Selatan. Gambaran ini pula terjadi pada masyarakat Pangatan di
Kalimanta Selatan melalui beberapa tahapan yang dikenal sebagai migran
Bugis hingga akhir tahun 1959.
IV. Kesimpulan

Kesimpulan, bahwa suku Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut


ulung, pemberani, dan pedagang serta segala simbol-simbol yang melekat
pada diri suku Bugis-Makassar sebagai manusia pelaut, pekerja keras, ulet,
pemberani sangatlah beralasan, kenyataan tersebut banyak literatur
mengungkap baik dari ahli Antropologi, dan Sosiologi. Tapi satu hal yang
menarik bahwa segala simbol yang melekat itu ternyata dipengaruhi oleh
sistuasi social di Sulawesi Selatan saat itu yang berkepanjangan, lalu
memaksa harus berbuat-bekerja dan menyesuaikan diri dimanapun dia
berada (ada. Kata pepatah kuno di mana kaki berpijak disitu langit
dijunjung.
DAFTAR PUSTAKA

9Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Sejarah Sosial Suku Bugis-Makassar

dan

Sejarah Sosial Nelayan Bugis

Abu Hamid dkk (2009) Siri dan Pesse, harga diri Manusia Bugis,
Makassar,
Mandar, Toraja. Refleksi, Makassar.
Ahmadin (2008) Kapitalisme Bugis. Refleksi, Makassar.
Mukhlis (1989) Persepsi Sejarah Kawasan Pantai. P3MP Universitas
Hasanuddin
Pelras, Christian (2006); Manusia Bugis, Nalar, Makassar.

10Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir

Kelompok II; Andi Maddukelleng, Syufri, Idrus, Topan Samuddin

Anda mungkin juga menyukai