dan
Bugis, salah satu dari tiga etnik di Nusantara yang telah menempatkan
manusia-manusianya di seberang lautan sejak ratusan tahun lampau.
Kepindahan masyarakat Bugis-Makassar, lebih disebabkan karena besarnya
dorongan politik di Sulawesi Selatan, yang merupakan kampung halaman
mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar yang telah bersaing sejak abad ke14, menciptakan ketegangan yang berkepanjangan. Aliansi, ekspansi, dan
peperangan yang berlangsung ratusan tahun lamanya, mengundang petualangpetualang asing untuk ikut bermain di dalamnya. Pemerintah Hindia-Belanda
yang tahu keadaan ini, menjadi pihak yang paling siap membantu salah satu
kerajaan yang bersaing.
Kisah terdiasporanya masyarakat Sulawesi Selatan ke seluruh Nusantara,
bermula dari kekonyolan Arung Palakka yang meminta bala bantuan HindiaBelanda. Ketika itu, Kerajaan Bone yang dipimpinnya, memang dalam
keadaan terjepit. Di bawah kendali Sultan Hasanuddin, Kesultanan Gowa
tetangga sekaligus pesaingnya, mencapai puncak peradaban. Wilayahnya yang
terus berkembang, mengancam eksistensi Bone yang semakin rapuh. Di pihak
lain, ekspansi dagang Gowa ke seberang lautan, juga mengancam jaringan
perdagangan Belanda di Indonesia Timur. Keadaan ini menyebabkan,
terjadinya aliansi Bone-Belanda di Sulawesi.
Menurut Christian Pelras dalam Bukunya Manusia Bugis menyatakan bahwa
kehidupan masyarakat Bugis yang pada mulanya merupakan masyarakat
agraris, kemudian bermigrasi sejak jatuhnya Makassar pada tahun 1666. Di
perantauan, orang-orang Bugis terkenal sebagai pelaut ulung, serdadu bayaran,
dan penguasa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Peran dan kiprah mereka,
telah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia, khususnya pada abad ke-18 dan
19 Masehi.
Ada tiga fase perjalanan orang Bugis-Makassar diperantauan jika kita simak
secara mendalam perjalanan hidup mereka sejak ditemukannya migran Bugis
Makassar dimana-mana. Walaupun sebenarnya dalam banyak cerita
dipaparkan bahwa mereka itu juga sebenarnya adalah migran yang tergolong
ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang
migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan, daerah bagian selatan Cina.
II. Fase Fase Migrasi Suku Bugis Makassar.
Ada tiga fase perjalanan orang Bugis-Makassar diperantauan jika kita simak
secara mendalam perjalanan hidup mereka sejak ditemukannya migran Bugis
Makassar dimana-mana. Walaupun sebenarnya dalam banyak cerita
dipaparkan bahwa mereka itu juga sebenarnya adalah migran yang tergolong
1Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir
dan
Kata Bugis atau To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi
merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai bersaudara dengan Batara
Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami
dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo. Kisah I
La Galigo sama dengan Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi
seperti Buton.
Kepiawaian suku Bugis-Makassar dalam mengarungi samudra cukup
dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan.
Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah
suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat
mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Kenapa Suku Bugis Makasar
suka merantau dan ada dimana-mana ?
Masa Kerajaan
dan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan
Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan
dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan
wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu
Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan
perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat
sampai di Barru.
Situasi ini lalu memunculkan Perang antara Luwu dan Bone
dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu
kemudian
mempersaudarakan
kerajaan
mereka.
Untuk
mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo,
dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya
wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui
penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergeser dengan
Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta
menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa,
Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut
tellumpoccoe.
Kolonialisme Belanda
dan
dan
tergantung dari diri anda sendiri apa yang anda pilih pada waktu yang
lalu hasilnya apa yang anda rasakan pada saat ini. Dan jika anda ingin
merubah nasib anda maka tidak ada jalan lain hanya anda yang mampu
mengubahnya karena itu hargai diri anda ,kenali diri anda dan potensi
anda lejitkan dan jangan perna berfokus pada kekurangan anda karena
jika berfokus kepada kekurangan maka anda hanya mampu berkeluh
kesah, tapi Fokuslah pada kelebihan anda maka anda akan bisa
melakukan apapun yang anda cita-citakan. Tidak akan berubah nasib
seseorang kecuali dia yang merubanya sendiri demikanlah peringatan
tuhan
Keempat,
dan
artinya bahwa hendaknya kita membantu satu sama lain jangan saling
menjatuhkan tapi sebaliknya saling menarik serta saling mengingatkan
antara sesama manusia karna jalan menuju kesuksesan pasti penuh
hambatan. Ketika engkau terjatuh maka saling bantulah dan memotivasi
untuk bangkit kembali karena kegagalan akan selalu ada dalam setiap
jalan kesuskesan. Jika anda ingin sukses maka jangan perna takut akan
kegalalan dan jangan pernah menghitung berapa kali anda gagal dan
terjatu tapi hitung dan ingatlah sudah berapa kali anda bangkit dari
kegagalan.
Keenam, Taro Ada Taro Gau, prinsip ini mengajarkan betapa
pentingnya memiliki sikap yang bisa dipercaya taro ada taro gau
memiliki makna bahwa sebagai pemimpin atau apapun profesi anda
senantiasalah untuk selalu konsisten antara ucapan dan perbuatan. Ketika
ucapan dan perbuatan anda sejalan maka dapat dipastikan orang-orang
yang anda pimpin atau berada disekitar anda akan semakin mempercayai
anda, dengan adanya kepercayaan maka anda sudah sukses menapaki
tangga kepemimpinan yaitu dipercaya atau menjadi pemimpin yang
dipercaya. Ketika seorang pemimpin sudah dipercaya maka yang
dipimpinnya otomatis akan mencintainya ketika anda sudah dicintai
rakyat atau orang yang anda pimpin maka pegaruh anda akan semakin
kuat dengan kuatnya pengaruh maka anda menciptkan diri anda menjadi
pemimpin yang kharismatik.
3. Fase Ketiga : Progressif
dan
filosofis bagi kehidupan baik sebagai pribadi maupun komunitas sosial. Satu
diantara sekian banyak formulasi yang bernilai filosofis, sangat strategi,
taktis, dan antisifatif adalah Tellu Cappa atau Tallu Cappa yang dimaknai
dalam kehidupan tiga ujung.
Dalam paseng to riolo (pesan tetua jaman dahulu) dikatakan :
Engka tellu cappa bokonna to laoe, iyana ritu :Cappa lilae, Cappa
orowanewe, Cappa kawalie. (Terdapat tiga ujung yang menjadi bekal bagi
orang yang bepergian, yaitu :Ujung lidah,Ujung kelelakian
(kemaluan).Ujung badi/kawali (senjata). Dalam bahasa Makassar :
Nia antu tallu cappa bokonna tu lampaiyya iyamintu, cappa lila, cappa
kaburaneang, cappa badi (Abu Hamid dkk, 2003, 44)
Sudah sejak dulu orang Bugis-Makassar selalu menggunakan Tellu
Cappa dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah. Ketika menghadapi
sebuah masalah, orang Bugis-Makassar mengedepankan Ujung Lidah,
menyelesaikan dengan jalan diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu.
Bila gagal dengan ujung lidah, maka bisa dilakukan dengan mengadakan
perkawinan antara kedua pihak yang bertikai, diharapkan dengan adanya
perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih kuat. Tetapi bila kedua
cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk
mempertahankan Harga Diri dan menunjukkan keberanian sebagai bagian
dari upaya menapai tujuannya.
Falsafah Tellu Cappa (bhs Bugis) Tallu Cappa (Bhs Makassar) , bukan
hanya efektif dalam penyelesaian Perkara atau masalah saja , tapi dalam
pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian. Kita lihat
makna filosofi tellu cappa sbb ;
Ujung lidah : diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal,
baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat
membedakan baik-buruk.
Ujung Kemaluan: bisa di artikan bahwa dalam mencari jodoh,
hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang
berpengaruh.
Ujung Badik bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga
harkat dan martabat sebagai orang Bugis-Makassar yang menjunjung
tinggi adat Siri na Pacce . dan bila menghadapi permusuhan, maka
disinilah fungsi Ujung yang terakhir, Harga Diri menjadi taruhan,
keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan
catatan bahwa kita dalam posisi yang benar. Dalam adat BugisMakassar Harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun
dengan nyawa dan pengorbanan lainnya. Peneliti La Galigo, Prof Dr
Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Bugis-Makassar
membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan
masyarakat setempat . Orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih
menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat
7Tugas Mata Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir
dan
Ketiga fase diatas memberi makna proses perjalanan suku BugisMakassa di mana saja mereka, dan menjadi pondasi untuk mempertahankan
hidup, lalu berkembang dan berkuasa. Kita lihat proses perjalanan mereka ke
Pangatan Kalimanta Selatan, yang diawali dengan perjalanan panjang dan
menemukan tempat untuk bisa hidup, berinteraksi dengan cara
pendekatannya kepada raja, hidup keberkembang lalu berkuasa dan bahkan
menjadi raja secara turun terumurun seperti di Malaysia dan Brunei.
Menurut Nasaruddin dalam Persepsi sejarah kawasan pantai (Muhlis; 1989)
mngatakan bahwa migran Bugis-Makassar ini diperkirakan mulai 1941 oleh
seorang Punggawa (Juragang) asal Takalar, kemudian 1959 punggawa asal
Barru. Jika kita simak tenggang waktu perjalanan itu, situasi politik saat itu
masih pada pendudukan Jepang hingga pemberontakan Kahar Musakkir
(DI/TII). Artinya ada kondisi social masyarakat yang tidak menguntungkan
untuk hidup aman dan damai saat itu, penulis perkirakan bahwa salah satu
penyebab terjadinya migran karena situasi pemberontakan di Sulawesi
Selatan berkepanjangan.
Ketika Nasaruddin, dalam tulisannya menyebut sejarah nelayan
Pangatang dengan menyebut, nelayan bugis-Makassar dalam perjalanannya
dimulai dengan penjajakan (Priode Coba-Coba), dilanjutkan dengan priode
printisan, saya rasanya berbeda dari apa yang kami fahami. Penulis melihat
bahwa perjalanan hidup migran Bugis di mana saja bukanlah coba-coba, lalu
dilanjutkan dengan perintisan ketika mereka senangi, tetapi keberadaan suku
Bugis-Makassar dimana saja mereka berada disebabkan karena kondisi
daerah mereka yang tidak menguntungkan. Bahkan bertentangan dengan
banyak filsafat hidup orang Bugis Makassar, misalnya Leba kusoronna
biseangku, kucampana sombalakku, tamassaile punna teai labuang (Bila
perahu telah kudorong, layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau
bukan labuhan yang kutuju) , Ku alleangi tallanga na toalia (Lebih baik
tenggelam dari pada kembali) serta falsafah hidup Teai mangkasara punna
bokona loko bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang.
dan
dan
Abu Hamid dkk (2009) Siri dan Pesse, harga diri Manusia Bugis,
Makassar,
Mandar, Toraja. Refleksi, Makassar.
Ahmadin (2008) Kapitalisme Bugis. Refleksi, Makassar.
Mukhlis (1989) Persepsi Sejarah Kawasan Pantai. P3MP Universitas
Hasanuddin
Pelras, Christian (2006); Manusia Bugis, Nalar, Makassar.