Anda di halaman 1dari 11

Kerajaan Besar Sulawesi Selatan

Sebelum Gowa-Tallo
Jumat, 27 September 2013

Kerajaan Besar Sulawesi Selatan


Sebelum Gowa-Tallo

KABARKAMI.
Sebuah sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan yang pernah mencapai puncak
kejayaannya sebelum besarnya kerajaan Gowa – Tallo adalah kerajaan Siang.  Siang
diperkirakan mengalami “masa keemasan” sekitar abad XV – XVI — sedangkan
masyarakat Bugis Makassar nanti mengenal tradisi tulis “lontarak” di abad XVII. 
Kerajaan Siang hanya sedikit dikenal dan hanya sedikit yang baru bisa diungkap lewat
penelitian arkeologi di bekas pusat wilayah pemerintahan dan pelabuhan Siang Situs
Sengkae, Bori Appaka, Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep ( 70 km dari Kota
Makassar)
Dari minimnya hasil penelitian, diperkirakan bahwa kerajaan Siang ini telah dikunjungi
oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548 jauh sebelum kerajaan Gowa
memproklamirkan kekuatan maritimnya.  Seorang peneliti sejarah dari Portugis yakni
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur
Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar
lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada
sumber manuskrip Eropa dalam peta Portugis bertarikh 1540. Nama “Siang” berasal
dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a’ un
souverain).
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi
pedagang dari berbagai penjuru kepulauan nusantara, bahkan dari Eropa. Pengamat
Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545, kerajaan Siang memiliki
jumlah penduduk sekitar 40.000 jiwa.
Menurut catatan Portugis dari dokumen abad 16, Gowa dan Tallo pernah jadi pengikut
dari kerajaan Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan
arkeolog berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi
bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi merupakan kekuatan besar di pantai barat Sulawesi
Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR :
1975). Sementara M. Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas
seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng atau Nagauleng
bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Garis keturunan Tomanurunga Ri Siang inilah
yang berganti-ganti menjadi raja di Siang (asossorangi ma’gauka) sampai tiba masanya
Karaengta Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan
Gowa. (Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2005).
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Eropa dan sumber lokal, menyatakan
Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara
Abad XIV – XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang
dulunya dikenal Kerajaan Limae Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan Makassar,
yakni Gowa-Tallo.
Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya
kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis yaitu
Pelabuhan Sombaopu . Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar
melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Raja Gowa IX,Karaeng
Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa
petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.
(Pelras 1977 : 252-5).
Pusat kerajaan Siang tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil
hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi
penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas
dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama (Makkulau,
2005, 2007).
Sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang
sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke
Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenrengdi daratan tengah Sulawesi
Selatan membuat kerajaan Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah
pelabuhan penting, pengaruh pusat politiknya meredup.  Nasib kerajaan Siang
kemudian tidak berbeda dengan kerajaan Bantaeng, kendati eksis tetapi berada
dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah et, al, 2000 dalam
Makkulau, 2005).
Hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar dan Universitas Hasanuddin (UNHAS)
menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang dulunya terletak pada sebuah lokasi yang
dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang
sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna
kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang
yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27).
Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses
pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang
diperkirakan terjadi pada akhir abad 16 saat masuknya ekspansi politik kerajaan Gowa
dan mempengaruhi otorisasi sistem pemerintahannya. 

Diposkan oleh Ashari Gunawan di 04.08 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook 

0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda


Blog Archive
 ►  2015 (1)
o ►  September(1)

 ►  2014 (84)
o ►  Juni (21)

o ►  Februari(62)

o ►  Januari (1)

 ▼  2013 (70)
o ►  November(14)

o ▼  September(5)

 Kerajaan Besar Sulawesi Selatan Sebelum Gowa-Tallo...


 Lambang RI Mirip Kerajaan Samudera Pasai

 Sejarah Candi Borobudur Menurut Al-Qur'an

 Sejarah Awal Adanya Suku Minangkabau

 Sejarah Berdiri Candi Borobudur


o ►  Juli (25)

o ►  Juni (26)

Diberdayakan olehBlogger.

Popular Posts

GAMBAR dan NAMA TARI TRADISIONAL DAERAH 33 PROVINSI

Tari Tradisional Tak perlu heran jika kita kaya dengan segala macam budaya. Karena kita  ber Bhineka Tunggal Ika.

Banyak pulauny...

Sejarah Awal Adanya Suku Minangkabau

Sejarah Awal Adanya Suku Minangkabau Suku Minangkabau Sejarah Awal Adanya Suku Minangkabau  -  Suku

Minangkabau atau Minang adala...

 SEJARAH KERAJAAN BANTEN


SEJARAH KERAJAAN BANTEN Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke

daerah barat. Pada tahun 1524/1...

 Legenda Nyai Loro Kidul (Jawa Tengah)

Legen da Nyai Loro Kidul (Jawa Tengah) by Kumpulan Dongeng & Cerita Rakyat on Friday, October 29, 2010 at

12:43am Tentunya an...

 indonesia masa Th. 1500 – 1000 Sebelum Masehi:

Th. 1500 – 1000 Sebelum Masehi: Pelabuhan Singkil: Di pantai Samudera Hindia, kawasan Tanah Batak. Sudah

terkenal ke negeri-negeri di M...

 TANJUNG PUTRI di Lasem, Kerajaan tertua di nusantara !

TANJUNG PUTRI di Lasem, Kerajaan tertua di nusantara ! Sejarah Lasem (Perbatasan Pantura Jateng-Jatim) Pada

Th 1000 SM sebelu...

 Legenda Nyi Roro Kidul - Putri Kandita (Versi BANTEN KIDUL)

Legenda Nyi Roro Kidul - Putri Kandita (Versi BANTEN KIDUL) Banten Kidul yang berbatasan langsung dengan

Samudra Indonesia, masyar...

 Misteri Harta Karun Terbesar Dunia, Sisa Kerajaan Indonesia

“Bhinneka Tunggal Ika” “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan k...

NYI RORO KIDUL & SUNAN KALI JAGA MENIKAH

NYI RORO KIDUL & SUNAN KALI JAGA MENIKAH Di era 1400M, ditengah berkecamuknya dua aliran berbeda

pandangan, antara , Islam dan aja...

 Balaputradewa; Sang Raja Suwarnadwipa

Balaputradewa adalah salah satu tokoh dalam sejarah nusantara yang berpengaruh. Pengaruhnya tidak hanya di w...

Mengenai Saya

Ashari Gunawan 

Lihat profil lengkapku

Blogroll
About

Blogger news

Search

Followers

Sejarah Tanah Luwu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

[.jpg|thumb|300px|Makam Datu Luwu (1900-1940)]]


Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula.
Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana
Toraja(Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi
Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan
nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara
Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di
Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana
untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari
Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja.
Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan
pemerintahan, yaitu:

 Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.


 Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu,
pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh
Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja
tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai
diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
 Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan
Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
 Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan
kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
 Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang
berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

 Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.


 Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
 Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
 Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
 Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah
sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu
(Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh
Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem
pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam
menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat
oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak
menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu
ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang
kemuadian bergelar "Andi Jemma".
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu
dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba,
Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu
diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan
Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada
tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasa dia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah
dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang
ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja
atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra
(Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi
Jemma sebelum dia wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno
memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’
Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh PanglimaKodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu
berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan
Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian
dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah
Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan
Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian
daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra.
Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana
Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang
Darurat, antara lain:

 Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah


Makassar, Jeneponto dan Takalar.
 Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan
Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No.
4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah
meliputi:

 Kewedanaan Palopo
 Kewedanaan Masamba dan
 Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu
diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961,
dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:

 Wara
 Larompong
 Suli
 Bajo
 Bupon
 Bastem
 Walenrang(Batusitanduk)
 Limbong
 Sabbang
 Malangke
 Masamba
 Bone-Bone
 Wotu
 Mangkutana
 Malili
 Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status
Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan
berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi
kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas
wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran
kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota
Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga
Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa
Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah
Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9
Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah
provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas
wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan TopografiKodam VII Wirabuana, Pemerintah Provinsi
Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi, kabupaten/
kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas
wilayahKabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan
Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana
telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah
mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah
Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur
KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12
Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan
dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

1. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten
Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
 Kecamatan Lamasi
 Kecamatan Walenrang
 Kecamatan Pembantu Telluwanua
 Kecamatan Warautara
 Kecamatan Wara
 Kecamatan Pembantu Wara Selatan
 Kecamatan Bua
 Kecamatan Pembantu Ponrang
 Kecamatan Bupon
 Kecamatan Bastem
 Kecamatan Pembantu Latimojong
 Kecamatan Bajo
 Kecamatan Belopa
 Kecamatan Suli
 Kecamatan Larompong
 Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
2. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas
Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
 Kecamatan Sabbang
 Kecamatan Pembantu Baebunta
 Kecamatan Limbong
 Kecamatan Pembantu Seko
 Kecamatan Malangke
 Kecamatan Malangke Barat
 Kecamatan Masamba
 Kecamatan Pembantu Mappedeceng
 Kecamatan Pembantu Rampi
 Kecamatan Sukamaju
 Kecamatan Bone-Bone
 Kecamatan Pembantu Burau
 Kecamatan Wotu
 Kecamatan Pembantu Tomoni
 Kecamatan Mangkutana
 Kecamatan Pembantu Angkona
 Kecamatan Malili
 Kecamatan Nuha
 Kecamatan Pembantu Towuti
3. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah
menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota
ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan
jumlah Kecamatan:
 Kecamatan Wara
 Kecamatan Wara Utara
 Kecamatan Wara Selatan
 Kecamatan Telluwanua
 Kecamatan Wara Timur
 Kecamatan Wara Barat
 Kecamatan Mungkajang
 Kecamatan Bara
 Kecamatan Sendana
4. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan
dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
 Kecamatan Angkona
 Kecamatan Burau
 Kecamatan Malili
 Kecamatan Mangkutana
 Kecamatan Nuha
 Kecamatan Wasuponda
 Kecamatan Tomoni
 Kecamatan Tomoni Utara
 Kecamatan Towuti
 Kecamatan Wotu
Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu
Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu,
Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah
ditetapkan, yaitu:

 Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2


 Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
 Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
 Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Anda mungkin juga menyukai