Sebelum Gowa-Tallo
Jumat, 27 September 2013
KABARKAMI.
Sebuah sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan yang pernah mencapai puncak
kejayaannya sebelum besarnya kerajaan Gowa – Tallo adalah kerajaan Siang. Siang
diperkirakan mengalami “masa keemasan” sekitar abad XV – XVI — sedangkan
masyarakat Bugis Makassar nanti mengenal tradisi tulis “lontarak” di abad XVII.
Kerajaan Siang hanya sedikit dikenal dan hanya sedikit yang baru bisa diungkap lewat
penelitian arkeologi di bekas pusat wilayah pemerintahan dan pelabuhan Siang Situs
Sengkae, Bori Appaka, Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep ( 70 km dari Kota
Makassar)
Dari minimnya hasil penelitian, diperkirakan bahwa kerajaan Siang ini telah dikunjungi
oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548 jauh sebelum kerajaan Gowa
memproklamirkan kekuatan maritimnya. Seorang peneliti sejarah dari Portugis yakni
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur
Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar
lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada
sumber manuskrip Eropa dalam peta Portugis bertarikh 1540. Nama “Siang” berasal
dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a’ un
souverain).
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi
pedagang dari berbagai penjuru kepulauan nusantara, bahkan dari Eropa. Pengamat
Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545, kerajaan Siang memiliki
jumlah penduduk sekitar 40.000 jiwa.
Menurut catatan Portugis dari dokumen abad 16, Gowa dan Tallo pernah jadi pengikut
dari kerajaan Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan
arkeolog berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi
bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi merupakan kekuatan besar di pantai barat Sulawesi
Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR :
1975). Sementara M. Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas
seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng atau Nagauleng
bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Garis keturunan Tomanurunga Ri Siang inilah
yang berganti-ganti menjadi raja di Siang (asossorangi ma’gauka) sampai tiba masanya
Karaengta Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan
Gowa. (Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2005).
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Eropa dan sumber lokal, menyatakan
Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara
Abad XIV – XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang
dulunya dikenal Kerajaan Limae Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan Makassar,
yakni Gowa-Tallo.
Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya
kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis yaitu
Pelabuhan Sombaopu . Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar
melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Raja Gowa IX,Karaeng
Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa
petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.
(Pelras 1977 : 252-5).
Pusat kerajaan Siang tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil
hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi
penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas
dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama (Makkulau,
2005, 2007).
Sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang
sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke
Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenrengdi daratan tengah Sulawesi
Selatan membuat kerajaan Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah
pelabuhan penting, pengaruh pusat politiknya meredup. Nasib kerajaan Siang
kemudian tidak berbeda dengan kerajaan Bantaeng, kendati eksis tetapi berada
dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah et, al, 2000 dalam
Makkulau, 2005).
Hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar dan Universitas Hasanuddin (UNHAS)
menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang dulunya terletak pada sebuah lokasi yang
dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang
sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna
kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang
yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27).
Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses
pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang
diperkirakan terjadi pada akhir abad 16 saat masuknya ekspansi politik kerajaan Gowa
dan mempengaruhi otorisasi sistem pemerintahannya.
0 komentar:
Poskan Komentar
► 2014 (84)
o ► Juni (21)
o ► Februari(62)
o ► Januari (1)
▼ 2013 (70)
o ► November(14)
o ▼ September(5)
o ► Juni (26)
Diberdayakan olehBlogger.
Popular Posts
Tari Tradisional Tak perlu heran jika kita kaya dengan segala macam budaya. Karena kita ber Bhineka Tunggal Ika.
Banyak pulauny...
Sejarah Awal Adanya Suku Minangkabau Suku Minangkabau Sejarah Awal Adanya Suku Minangkabau - Suku
Legen da Nyai Loro Kidul (Jawa Tengah) by Kumpulan Dongeng & Cerita Rakyat on Friday, October 29, 2010 at
Th. 1500 – 1000 Sebelum Masehi: Pelabuhan Singkil: Di pantai Samudera Hindia, kawasan Tanah Batak. Sudah
TANJUNG PUTRI di Lasem, Kerajaan tertua di nusantara ! Sejarah Lasem (Perbatasan Pantura Jateng-Jatim) Pada
Th 1000 SM sebelu...
Legenda Nyi Roro Kidul - Putri Kandita (Versi BANTEN KIDUL) Banten Kidul yang berbatasan langsung dengan
“Bhinneka Tunggal Ika” “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan k...
NYI RORO KIDUL & SUNAN KALI JAGA MENIKAH Di era 1400M, ditengah berkecamuknya dua aliran berbeda
Balaputradewa adalah salah satu tokoh dalam sejarah nusantara yang berpengaruh. Pengaruhnya tidak hanya di w...
Mengenai Saya
Ashari Gunawan
Blogroll
About
Blogger news
Search
Followers
Belum Diperiksa
Kewedanaan Palopo
Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu
diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961,
dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:
Wara
Larompong
Suli
Bajo
Bupon
Bastem
Walenrang(Batusitanduk)
Limbong
Sabbang
Malangke
Masamba
Bone-Bone
Wotu
Mangkutana
Malili
Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status
Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan
berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi
kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas
wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran
kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota
Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga
Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa
Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah
Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9
Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah
provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas
wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan TopografiKodam VII Wirabuana, Pemerintah Provinsi
Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi, kabupaten/
kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas
wilayahKabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan
Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana
telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah
mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah
Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur
KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12
Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan
dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
1. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten
Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Lamasi
Kecamatan Walenrang
Kecamatan Pembantu Telluwanua
Kecamatan Warautara
Kecamatan Wara
Kecamatan Pembantu Wara Selatan
Kecamatan Bua
Kecamatan Pembantu Ponrang
Kecamatan Bupon
Kecamatan Bastem
Kecamatan Pembantu Latimojong
Kecamatan Bajo
Kecamatan Belopa
Kecamatan Suli
Kecamatan Larompong
Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
2. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas
Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Sabbang
Kecamatan Pembantu Baebunta
Kecamatan Limbong
Kecamatan Pembantu Seko
Kecamatan Malangke
Kecamatan Malangke Barat
Kecamatan Masamba
Kecamatan Pembantu Mappedeceng
Kecamatan Pembantu Rampi
Kecamatan Sukamaju
Kecamatan Bone-Bone
Kecamatan Pembantu Burau
Kecamatan Wotu
Kecamatan Pembantu Tomoni
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Pembantu Angkona
Kecamatan Malili
Kecamatan Nuha
Kecamatan Pembantu Towuti
3. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah
menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota
ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan
jumlah Kecamatan:
Kecamatan Wara
Kecamatan Wara Utara
Kecamatan Wara Selatan
Kecamatan Telluwanua
Kecamatan Wara Timur
Kecamatan Wara Barat
Kecamatan Mungkajang
Kecamatan Bara
Kecamatan Sendana
4. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan
dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
Kecamatan Angkona
Kecamatan Burau
Kecamatan Malili
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Nuha
Kecamatan Wasuponda
Kecamatan Tomoni
Kecamatan Tomoni Utara
Kecamatan Towuti
Kecamatan Wotu
Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu
Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu,
Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah
ditetapkan, yaitu: