Anda di halaman 1dari 13

SUKU BUGIS

Suku Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan.
Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga
pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15
sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah
terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus
penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta
jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia,
seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau. Disamping itu
orang-orang Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang telah
beranak pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut.
Karena jiwa perantau dari masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat
banyak yang pergi merantau ke mancanegara.

Sejarah
Awal mula
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi"
merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten
Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan
dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La
Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah
dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading
Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya
sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga
dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi
lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa
kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara,
dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain
Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski
tersebar dan membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan
adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis
tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap,
Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah
Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis
dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah
kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi
Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di
Pangkajene Kepulauan)

Masa kerajaan
Kedatuan Luwu adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dan merupakan asal
muasal lahirnya kerajaan - kerajaan lain seperti kerajaan Bone, kerajaan Gowa,
kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Sidenreng Rappang dan Mandar.
Di dalam epik La Galigo, terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir
dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis
pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan
Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke
China), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di
dekat dusun Sarapao di distrik Pamanna. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi
politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis
mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara
kronologis

Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah
meruntuhkan kronologi ini. Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah
mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri
paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa
orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah Cénrana barat mulai
menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. Teluk Bone bukanlah
daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang
sangat beragam. Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di
dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi
merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi
Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang
pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan
masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual
bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang
dipersatukan oleh hubungan perdagangan.

Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun,
melalui pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai
tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat
pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini
membawa kekayaan yang besar, dan pada abad ke-14 Luwu telah menjadi entitas
yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa
pertama yang diketahui secara nyata adalah Dewaraja (memerintah 1495-1520).
Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap
kerajaan tetangga, Wajo dan Sidenreng. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada
abad ke-16 oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan
kekalahan militernya ditetapkan dalam Tawarik Bone.

Pada tanggal 4 atau 5 Februari 1605, Datu Luwu, La Patiwareq, Daeng


Pareqbung, menjadi penguasa yang pertama dari wilayah Sulawesi bagian selatan
yang memeluk Islam, menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'z'hir (atau
Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai
Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru
agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke
ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo. Tidak
diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai
15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk
penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku
dari dataran tinggi Toraja.

Pada abad ke-19, Luwu telah menjadi kerajaan kecil. James Brooke, yang di
kemudian hari menjadi Rajah Sarawak, menulis pada tahun 1830-an bahwa
"Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah
kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok
[...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam
keadaan peradaban asli yang sangat rendah."

Pada tahun 1960-an, Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan DI/TII yang
dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah
bagi tambang nikel terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang
didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer
perbatasan aslinya.
Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul
seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja
kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama
Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade
pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe.
Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang,
matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian
menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh
putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La
Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu
Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif
Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat.

Kerajaan Makassar
Pada abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo,
yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan.
Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu
kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa &
Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).

Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama,
seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian
memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La
Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau.
Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang
berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki
kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal dia,
komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga
memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari
kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun
kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk
Kerajaan Wajo.

Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing: La Paukke


Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung
Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya
menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La
Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi
dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan
mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo.

Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V),
kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada
masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan
kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak
kemerdekaan Wajo. Setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan
tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konflik antarkerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng
serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai
dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas
wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara,
di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga
melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat
sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan
merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka.
Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng
menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi
dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng.
Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui
penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone.
Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo
dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan
Soppeng membuat aliansi yang disebut "Tellumpoccoe".

Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas
perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk
ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang)
menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang
menyiarkan Islam di Bulukumba.

Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC
hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa
dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng
Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil
Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin
didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo,
Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan
banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa
adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah
itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun 1905–1906
setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi
Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis
baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal
mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek
tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat
lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tetapi hanya sekadar
perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai
kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.

Masa kemerdekaan
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama
(Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah
NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan
disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak
orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya
periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin
terkikis. Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih
banyak mengonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati
diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka.
Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar
membentuk provinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga
daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga
dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit
akibat bertambahnya populasi dan transmigrasi.

Kepercayaan
Saat ini mayoritas orang Bugis menganut agama Islam (sekitar 99%). Islamisasi
masyarakat Bugis telah mengakar kuat, walau masih ada sebagian kecil
masyarakat yang menganut kepercayaan tradisional Tolotang yang jumlahnya
sekitar sebanyak 15 ribu jiwa dan tinggal di wilayah Sidenreng Rappang. Sebelum
Islamisasi masyarakat Bugis, telah ada sebagian masyarakat yang menganut
agama Kristen abad ke 16 yang dibawa oleh Portugis. Saat ini masih ada
komunitas penganut Kristen di daerah Soppeng namun jumlahnya hanya sekitar 5
ribu jiwa. Pada abad ke-17, penyebaran Islam yang dibawa oleh para pendakwah
dari tanah Melayu dan Minangkabau membuat banyak masyarakat penganut
Kristen dan Tolotang masuk Islam sehingga Islam menyebar luas di tanah Bugis
dan Makassar.
Mata pencarian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu
masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang
pendidikan.

Perompak
Sudah bukan rahasia lagi apabila Bugis identik dengan dunia perompakan. Sejak
Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial
Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda
yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis
asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan
bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun sebagai Suku Bugis yang
keras dan tidak mau mengikuti aturan, kebebasan ini tentu disalah gunakan Bugis
untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.

Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka


bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai
barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke
Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka. Hingga masa
modern ini perompak Bugis masih ada dan menjadi momok menakutkan di
perairan Indonesia

Serdadu bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa keras dan haus membunuh orang-orang
Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik
terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka
banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur,
penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu
orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand. Orang-orang Bugis
juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan
Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau
pimpinan Raja Kecil.

Perkawinan
Orang Bugis memandang perkawinan sebagai suatu upacara adat yang bertujuan
untuk menyatukan hubungan kekeluargaan antara dua keluarga besar menjadi
semakin erat. Perkawinan tidak dianggap sebatas menyatukan dua mempelai
dalam hubungan suami-istri, melainkan mendekatkan hubungan keluarga yang
sudah jauh. Pandangan ini membuat orang Bugis memilih perkawinan antara
keluarga dekat, karena mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

Kebudayaan
Suku Bugis menganggap lontara sebagai sumber tertulis yang berkaitan dengan
sejarah, budaya, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Orang Bugis menggunakan
lontara sebagai alat untuk menyampaikan cara berpikir dan pengalaman masa lalu
masyarakatnya. Lontara dijadikan sebagai simbol budaya suku Bugis yang
diwariskan dari masyarakat terdahulu ke masyarakat masa berikutnya.

Tempat tinggal
Suku Bugis umumnya membedakan bentuk rumah sebagai penanda pranata sosial
di dalam masyarakatnya. Rumah suku Bugis dibedakan menjadi "saoraja'' dan
''bola''. Perbedaan keduanya terletak pada simbol-simbol tertentu di dalam
arsitektur rumah dan bukan dari struktur dan konstruksinya. ''Saoraja'' adalah
rumah berukuran besar yang ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan,
sedangkan ''bola'' adalahi rumah biasa yang menjadi tempat tinggal bagi rakyat
biasa. Saoraja memiliki 40 sampai 48 tiang sehingga berukuran lebih besar,
sedangkan bola memiliki 20 sampai 30 tiang sehingga berukuran lebih kecil.
Perbedaan status sosial dapat diketahui melalui bentuk tutup bubungan atap rumah
yang disebut ''timpaklaja''. Timpaklaja pada saoraja bertingkat-tingkat antara 3-5
tingkat, sedangkan timpaklaja pada bangunan bola tidak bertingkat. Semakin
banyak jumlah tingkat timpaklaja maka semakin tinggi pula status sosial
penghuninya.
Bugis perantauan
Museum Bugis di Johor, Malaysia.
Suku Bugis dikenal sebagai suku yang menyebar luas ke berbagai daerah di
Indonesia. Orang Bugis melakukan perantauan besar-besaran di kawasan
Nusantara sejak abad ke-17 Masehi. Koloni-koloni suku Bugis ditemukan di
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Pontianak, Johor, dan Semenanjung
Melayu. Di perantauan, koloni suku Bugis mengembangkan pelayaran,
perdagangan, perikanan, pertanian dan pembukaan lahan perkebunan.

Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan
wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand,
Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town,
Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda
penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka[butuh rujukan].

Oleh karena itulah, pada daerah-daerah yang ditempati suku Bugis ini, dapat
dijumpai mushaf Quran kuno. Biasanya di daerah pesisir, serupa Bima, Sumbawa,
dan Bali. Bahkan Quran dari suku Bugis pun pernah dijumpai di Riau.

Penyebab merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis
pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi
Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di
daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan
kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui
kemerdekaan.

Bugis di Kalimantan Timur


Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan
patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan
perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-
pulau lainnya di antaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu
rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado
yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu
diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan
lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk
usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa
orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai,
terutama di dalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah
Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran
karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain
itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Bugis di Jambi
Penduduk Bugis mulai merantau ke Sumatra termasuk ke Jambi pada saat
daerahnya dijajah oleh pasukan Belanda. Penduduk Bugis berangsur-angsur
meninggalkan daerahnya pada sekitar tahun 1950-an dan mencari daerah yang
situasi nya lebih aman. Penduduk Bugis di Provinsi Jambi kebanyakan bermukim
di wilayah pesisir timur Provinsi Jambi tepatnya di Kabupaten Tanjung Jabung
Barat (Kuala Tungkal, Pangkal Duri) maupun di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur (Mendahara, Kampung Laut, Tanjung Solok, Muara Sabak, Alang Alang,
Simbur Naik, Lambur, Pemusiran, Nipah Panjang) serta bermukim di daratan
seperti di Kota Jambi dan kebanyakan di Desa Tangkit Baru Kabupaten Muaro
Jambi. Selain di Provinsi Jambi, penduduk Bugis juga menyebar di daerah
tetangga yaitu di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau (Pulau Kijang, Sungai
Terab, Keritang, Kotabaru Reteh, Sanglar, Pebenaan, Benteng, Kuala Enok,
Tanah Merah, Tembilahan, Sungai Guntung, Pulau Burung).
Bugis di Sumatra dan Semenanjung Malaysia
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17,
banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan
Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju
kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Di sini mereka turut terlibat dalam perebutan
politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor &
selangor yang merupakan keturunan Luwu.

Anda mungkin juga menyukai